Piramida Bangsa Astek 7
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 7
tidak, kita akan mendapat kesulitan besar. Ingat betapa berbahaya Sternau itu.
Namun kita ada cukup waktu. Bila mereka menemukan jejak kita, mereka akan
menyelidikinya. Sambil mengendap-endap mereka itu merupakan sasaran empuk bagi
senapan kita." "Sayang kawan-kawan kita dahulu tidak ada di sini.
Bersama mereka kita pasti dapat dengan mudah menangkap ketiga orang itu," kata
orang yang ketiga. "Kita tidak memerlukan mereka. Kita sendiri cukup tangguh menghadapinya."
Para penjahat itu sekali-kali tidak menyangka bahwa di belakang mereka
bersembunyi dua orang yang mengamati segala gerak-geriknya.
Dalam pada itu Sternau dengan kawan-kawannya sudah mendekat. Ia telah
menghentikan kudanya serta mengamati keadaan lembah dan jarak antara kedua
lereng gunung. "Ngarai berbahaya!" katanya. "Saya berani bertaruh, Verdoja telah memasang jerat
di situ. Baik kita lalu di situ serta pura-pura acuh tak acuh. Saya akan
mengamati keadaan." Perlahan mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka tiba di tempat Verdoja
pernah memasang kemahnya. Mereka berhenti di situ.
"Inilah tempat istirahat mereka," kata Francisco.
Sternau melayangkan pandangnya ke seluruh penjuru lalu berkata gugup, "Lekas,
turun dari kuda dan tambatkan kuda. Kita pura-pura hendak beristirahat!
Cepat! Cepat!" Panah Halilintar melihat ke arah Sternau memandang lalu melompat dari kudanya.
"Saya setuju dengan Anda," katanya. "Jangan sampai mereka tahu... kita harus
mencari perlindungan."
"Di situ... sebelah kanan, pada lereng gunung... batu karang besar itu," jawab
Sternau. "Saya kira, mereka tidak akan menembak kuda. Kita akan berpencar, pura-
pura hendak mengumpulkan kayu api... kemudian langsung ke balik batu karang."
Mereka meninggalkan kudanya lalu mulai menjemput ranting-ranting.
"Lihat!" bisik salah seorang Mexico, "mereka berhenti.
Alangkah mudahnya menembak mereka."
"Sedang mengapa mereka?" seru kawannya. "Mereka bersembunyi di situ. Kita sama-
sama dalam keadaan bahaya seperti mereka."
"Kurasa tidak. Mereka belum pergi ke ngarai. Tentu ada alasan lain sehingga
mereka bersembunyi."
"Itu berbahaya. Kita bersembunyi di sini, mereka pun bersembunyi di situ. Kita
sama-sama dalam keadaan bahaya seperti mereka."
Memang demikianlah keadaannya. Dekat tempat masuk ke ngarai, Sternau telah
melihat sebatang ranting patah, hanya itu yang tampak olehnya. Penjahat telah
memanjat tebing dan berpegangan pada ranting itu. Kulit batang pohon terkoyak,
menampakkan bekas koyakan yang agak putih warnanya. Hanya mata orang yang
terlatih dapat menangkap keganjilan itu serta mengartikannya.
Panah Halilintar pun melihatnya. Ketiga orang itu kini merebahkan diri di balik
batu karang dan Francisco bertanya, "Apa yang aneh?" Ia tidak mengerti, mengapa
mereka harus bersembunyi.
"Kaulihat ranting yang tercabut itu?" jawab Panah
Halilintar." "Eh... ya." "Lalu di atasnya, bekas batu-batu bergulingan ke bawah?"
"Ya." "Bagus! Itu merupakan bukti bahwa baru saja seorang memanjat tebing untuk
memata-matai. Ketika ia melihat kita, ia terburu-buru kembali ke lembah, separuh
meluncur. Bekasnya itu masih jelas terlihat di tebing. Di seberang situ tentunya
ada orang-orang yang sedang menghadang kita."
"Caramba!" maki Francisco.
"Tetapi kita tidak perlu merasa takut. Mereka hanya berdua, paling banyak
bertiga." "Masa jumlahnya hanya sekecil itu?" kata Panah Halilintar.
"Anda kira, Verdoja menghadang dengan seluruh pasukannya?" jawab Sternau.
"Tidak, mula-mula ia harus mengamankan tawanannya. Jumlah tawanan empat orang.
Rombongan mereka terdiri dari sebelas orang, sehingga yang berlebih itu hanya
tiga orang. Ia tidak mengetahui bahwa saya mendapat bantuan. Pada perkiraannya
saya hanya seorang diri. Maka seorang pun sudah cukup untuk menghabisi nyawaku
dengan sebutir peluru. Tempat musuh bersembunyi tentunya agak dekat kita. Mari
kita selidiki sekeliling kita, mungkin dapat kita temukan tempat persembunyian
mereka." Pandangannya yang tajam menyusuri tiap batu dan tiap semak yang dapat memberi
pelindungan. "Saya tahu!" katanya tiba-tiba. "Tadi saya lihat lutut orang di balik batu
karang tinggi dan berbentuk persegi itu. Mari kita tembak ke arah itu."
"Tak mungkin tembakan Anda mengenainya," kata vaquero itu.
"Sangat mungkin," jawab Sternau sambil merebahkan diri. Batu tempat mereka
berlindung sedikit runtuh. Maka dengan aman ia dapat membidik melalui celah
dalam batu. Katanya kepada Panah Halilintar, "Bila Anda meletakkan topi Anda di atas hulu
senapan Anda lalu mengacungkan senapan itu, mereka akan menyangka melihat orang
yang sedang mengintip. Biar mereka melepaskan tembakan pada 'orang' itu. Si
penembak tentu akan memperlihatkan sebagian dari tubuhnya. Itu merupakan sasaran
kita." "Baik kita coba juga," kata Panah Halilintar sambil tertawa lalu menaruh topinya
di atas senapannya. Kedua kepala suku yang ada di seberang telah mengamati segala kejadian. Mereka
menyiapkan senapannya sehingga setiap saat dapat digunakan.
Kemudian muncullah topi itu, menimbulkan kesan bahwa seseorang mengintip di
balik batu. "Uf!" bisik Kepala Banteng. "Bodoh benar orang itu!"
"Patutkah saudara mengira bahwa Ratu Batu Karang itu begitu bodoh?" tanya Hati
Beruang. "Lebih baik kita nantikan saja!"
Ketiga pembunuh itu berbisik-bisik. Salah seorang memegang senapannya,
meletakkannya di tepi batu.
Sambil bersandar pada batu ia mengangkat kepalanya untuk dapat menembak topi
itu. Baru saja ia memetik picu lalu dari seberang terdengar tembakan dan orang
Mexico itu jatuh terjungkir.
"Jadi seperti saudara lihat, itu merupakan siasat belaka."
"Ratu Batu Karang memang seorang ksatria besar," kata kepala suku itu.
"Kedua orang yang tersisa akan mendapat gilirannya juga, namun saya sudah tidak
sabar lagi. Baik kita memperkenalkan diri."
"Baik," orang Mixteca itu mengangguk.
Kedua penjahat itu sedang sibuk dengan menolong kawannya yang terluka itu
sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi di belakang mereka. Kedua
kepala suku itu bangkit berdiri, melambai-lambai ke seberang lalu kembali
merebahkan diri. "Apa itu?" tanya Panah Halilintar terheran-heran.
"Sungguh kebetulan sekali, itu Kepala Banteng," jawab Sternau. "Dan orang Indian
di sebelahnya itu... kalau tidak salah Hati Beruang. Nasib kita mujur. Kini musuh
diapit oleh dua api. Siapa yang menyangka, kita akan ditemani oleh dua kepala
suku yang gagah perkasa itu."
"Serahkan saja kepada mereka. Mereka akan
menembak mati kaum penjahat itu," pikir Francisco.
"Itu bukan tujuan kita," jawab Sternau. "Lebih baik kita tawan mereka hidup-
hidup. Maka kita dapat menanyai mereka. Semoga orang-orang Mexico itu tidak
mengerti bahasa Apache. Maka mereka tidak dapat mengetahui kepada siapa kita
berkata dan apa arti perkataan itu.
Kepala suku tentu cukup bijaksana untuk tidak menjawab dengan kata-kata."
Sternau menunggu beberapa saat lalu berseru dengan suara lantang, "Tenilsuk
nagongo akaja - ada berapa orang musuh?"
Di balik batu karang di seberang diacungkan dua tangan.
"Jadi dua orang," kata Sternau. "Sesuai dengan dugaanku." Kembali ia berseru,
"Shi ankhuan to tastsa ta, shi ankhuan hotli intahinta - saya mau menangkap
mereka hidup-hidup!"
"Sternau berteriak seperti orang gila. Apa maksudnya dengan perkataanmu itu"
Bila hendak memaki kami, silakan berbahasa Spanyol! Kita berada dalam keadaan
genting. Sedikit menonjol tubuh kita, maka langsung akan menjadi sasaran
tembakan mereka. Tak ada jalan lain. Kita harus menanti sampai malam tiba atau
sampai kawan-kawan kita kembali lagi."
Namun jalannya tidak sesuai dengan jalan pikirannya.
Para kepala suku memahami betul pesan Sternau. Mereka meletakkan senapannya ke
atas tanah, lalu membawa pisau belatinya dengan jalan menggigitnya. Perlahan
mereka merangkak ke arah orang Mexico itu. Sternau mengerti bahwa ia harus
mengalihkan perhatian mereka.
Ia berdiri tegak lurus, mengangkat senapannya lalu
menembak. "Bagus. Anda mau menembak!" kata salah seorang Mexico sambil tertawa dan
mengintip di balik batu karang.
"Mari, kau boleh mendapat sebutir peluru."
Ia meraih senapannya, namun pada saat itu juga ia merasa lehernya dicekik orang
kuat-kuat sehingga ia terengah-engah kekurangan nafas. Kawannya mengalami nasib
yang serupa. "Serbu!" kata Sternau sambil melompat ke lembah.
Kawan-kawannya mengikutinya. Bantuan mereka sebenarnya tidak diperlukan lagi.
Kedua kepala suku itu sedang sibuk mengikat orang yang sudah tidak sadarkan diri
itu dengan tali laso. "Kepala Banteng, kepala suku Mixteca, telah menyelamatkan jiwa saya kedua
kalinya," kata Sternau sambil mengulurkan tangan kepadanya.
"Matava-se sendiri sanggup mengerjakan segala-galanya," jawab kepala suku itu
merendah. Kini Sternau pun berjabat tangan dengan Hati Beruang.
"Perjumpaan kita terakhir sudah bertahun-tahun lalu.
Maka besar hati saya bertemu kembali dengan Anda."
"Hati Beruang pun berbesar hati bertemu kembali dengan Saudara. Beberapa musim
panas yang panjang saya menantikan Saudara."
Panah Halilintar menceritakan kepada kepala suku Apache tentang penyembuhannya
berkat bantuan Sternau. Kemudian mereka duduk-duduk dan bermusyawarah.
Mereka menjaga supaya percakapan mereka tidak terdengar oleh para tawanan.
"Apakah tujuan sahabat kami menempuh gurun?" tanya Kepala Banteng.
"Kami mengalami musibah," jawab Sternau. "Hacienda del Erina telah diserang
perampok." "Siapakah mereka" Orang-orang Mexico?"
"Benarlah. Penjahat itu menawan empat orang: Senor Mariano, Senor Unger,
Senorita Emma, dan Senorita Karja."
"Karja?" seru kepala suku terkejut.
"Karja, bunga suku Mixteca itu?" seru Hati Beruang.
"Mengapa sampai hal demikian dapat terjadi" Apakah tidak ada orang laki-laki di
rumah?" "Benar ada beberapa orang laki-laki, namun..."
"Itu bukan laki-laki, bila sampai ada orang-orang diculik," kata Hati Beruang.
"Bolehkah saya tambahkan bahwa saya sendiri termasuk dalam tawanan itu?" jawab
Sternau. "Ratu Batu Karang... seorang tawanan?" tanya Hati Beruang tak percaya. "Bukankah
Anda sekarang bebas?"
"Saya berhasil membebaskan diri. Apakah para kepala suku mau mendengar
ceritanya?" Sternau bercerita tentang pengalamannya dengan cara sesingkat-singkatnya. Ketika
ia berhenti, orang Apache itu mengulurkan tangan kepadanya lalu berkata,
"Maafkan saya, Saudara! Memang bukanlah perkara yang sulit untuk mengalahkan,
orang yang sekuat-kuatnya pun bila ia diserang dari belakang dalam keadaan
gelap. Kini kita harus cepat-cepat menyembunyikan kuda kita. Kita tidak tahu,
siapa yang mungkin akan datang."
Sternau ikut pergi menyembunyikan kuda. Di tempat itu mereka melihat kuda-kuda
para perampok sedang makan rumput. Para perampok yang kini sudah sadarkan diri
digiring juga ke situ. Francisco menunggu di ujung lembah, mengadakan penjagaan.
Yang lain bergabung dengan Sternau menanyai para tawanan.
"Kalian masuk rombongan Verdoja?" tanya Sternau.
Tidak dijawab. "Aku melihat sendiri kalian dalam rombongan itu. Tak ada gunanya menutup mulut
atau menyangkal. Perbuatan demikian hanya akan menambah beratnya hukuman.
Mengapa kalian tertinggal dari mereka?"
"Itu perintah Verdoja," jawab mereka dengan garang.
"Mendapat tugas apa?"
"Membunuh atau menawan Anda."
"Itu sudah kuduga. Tetapi aku kurang mengerti,
mengapa kalian bertiga yang dikirim untuk tugas itu.
Bukankah kalian sudah tahu betapa sulitnya membunuh aku, apalagi menangkap aku
hidup-hidup?" "Kami kira, Anda baru akan tiba esok hari. Verdoja telah berjanji akan mengirim
bala bantuan lebih banyak lagi."
"O, jadi banyak orang akan dikirim ke mari. Bilamana?"
"Mungkin esok hari."
"Berapa banyaknya?"
"Entahlah." "Ke mana Verdoja membawa tawanannya?"
"Itu pun tidak kami ketahui."
"Jangan berbohong!"
"Anda kira, Verdoja mempercayakan rahasianya kepada kami?"
"Hm! Namun mereka yang datang esok hari, tentu akan mengetahuinya. Di mana
tempat pertemuan kalian?"
"Di sini, di lembah ini."
"Berapa banyaknya uang hadiah yang dijanjikan Verdoja untuk usaha pembunuhan
itu?" "Seratus peso bagi tiap orang."
"Baik. Kini tunggu putusan kami."
Upaya Sternau berhasil dalam membiarkan para penjahat tetap hidup. Mereka
ditinggalkan di cabang lembah dalam keadaan terbelenggu. Salah seorang,
belenggunya dibuat agak kendur, agar ia dapat membebaskan diri serta kawannya.
Senjata mereka dimusnahkan dan kuda mereka dibawa pergi.
Kawan-kawan yang baru bertemu itu kini dapat memperbincangkan maksud yang
dikandung bangsa Apache yang membawa mereka ke daerah ini. Sternau hanya
mengetahui bahwa pasukan Juarez berada di Monclova, selanjutnya bahwa Verdoja
dibantu oleh enam orang Mexico. Mungkin orang-orang itu datang esok hari, namun
rombongan Sternau tidak merasa takut. Maka mereka sepakat mengirim Hati Beruang
kepada bangsa Apache untuk menenteramkan hati mereka. Di balik punggung
pegunungan ia akan menanti kedatangan
kawan-kawan lainnya. Setelah diputuskan demikian, Hati Beruang berangkat naik
kuda. Petang serta malam hari itu tidak terjadi apa-apa. Pagi esok harinya pun
demikian. Menjelang petang terdengar bunyi derap kaki kuda. Sternau telah
mengatur tempat persembunyian masing-masing di balik batu karang.
Mereka mendapat perintah, mula-mula menembak kuda orang-orang itu. Ketika bunyi
derap itu makin mendekat, rombongan Sternau cepat-cepat mencari tempatnya
masing-masing. Di sebelah barat lembah terdapat juga sebuah "pas". Di situ mulai menampak empat
orang Mexico. Mereka berhenti untuk menyelidiki lembah. Ketika mereka tidak
menemukan kawan-kawannya, mereka memasuki lembah simpang yang sempit itu. Baru
saja mereka tiba di situ terdengarlah empat kali tembakan. Kuda-kuda melompat
lalu terjatuh. Peluru-peluru tepat mengenai sasarannya sehingga kuda-kuda itu
tidak dapat bangkit kembali.
Sesaat penunggang kuda serta kudanya menjadi kacau-balau. Keadaan itu digunakan
dengan baik oleh keempat jago tembak itu. Mereka berlompatan ke luar dari
persembunyiannya lalu memukul kepala lawannya dengan hulu senapannya sebelum
orang-orang itu menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian orang-orang itu
dibelenggu dengan tali laso mereka sendiri. Pemimpin mereka adalah seorang
perwira pasukan bertombak yang dahulu pernah terlihat di hacienda del Erina.
"Selamat bertemu kembali," kata Sternau. "Sayang kini kau tidak berpangkat
sebagai perwira lagi."
Orang itu memandang Sternau dengan penuh
kebencian. "Aku tidak bersalah. Aku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanmu
itu. Lepaskan aku." "Kami tidak perlu mendengarkan ocehanmu itu.
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tugasmu menjawab pertanyaanku. Ke mana
kausembunyikan para tawanan?"
"Tidak tahu." "Aku mau mengulangi pertanyaanku hanya sekali saja:
Di mana tawanan itu?"
"Tak mau kukatakan."
Kepala Banteng mencabut pisaunya, menodongkannya kepada bekas perwira itu lalu
berkata dengan garang, "Adikku Karja ada di mana?"
Orang itu kurang mengenal watak orang Indian maka ia tetap membungkam saja.
Orang Indian itu berkata dengan tenang, "Jawab pertanyaanku."
"Tidak mau." "Maka kamu tidak usah tetap hidup. Orang mati tidak dapat berbicara. Kau tidak
mau bicara, jadi kau akan mati."
Demi terucap perkataan itu, orang Indian itu secepat kilat menikamkan pisaunya
tepat mengenai jantung lawannya. Maka lawannya itu rebah tanpa mengeluarkan
suara. "Kalian semuanya boleh menempuh jalan itu," kata Kepala Banteng dengan darah
dingin. Kini pisau ditodongkan ke dada tawanan yang kedua.
Kepala Banteng bertanya, "Kamu juga mau membungkam atau mau bicara?"
Orang itu takut pada ancaman itu namun ia takut pula mengkhianati kawan-
kawannya. Ia berpikir sejenak.
Karena tidak dapat menunggu lebih lama lagi, orang Mixteca itu menikamkan
pisaunya ke dalam dada orang Mexico itu. Kini tiba giliran yang ketiga.
"Katakanlah, anjing, di mana tawanan itu disembunyikan."
"Baik, akan kukatakan semuanya," kata orang itu ketakutan. "Para tawanan
disembunyikan dalam bangunan piramida kuno."
"Di manakah bangunan itu?"
"Di negara Chihuahua, dekat hacienda Verdoja."
"Bagaimana bentuk bangunan itu?"
"Merupakan bangunan piramida Mexico lama yang dahulunya dipergunakan sebagai
tempat mengabdi pada dewa matahari. Letaknya di sebelah utara hacienda,
ditumbuhi oleh semak belukar."
"Di mana tempat masuknya?"
"Tidak tahu. Hari sudah malam ketika kami tiba di situ.
Kami harus tunggu di luar, tidak boleh masuk. Hanya Senor Verdoja, Senor
Pardero, dan seorang penjaga berusia lanjut boleh masuk. Mula-mula kedua gadis
tawanan dibawa masuk, kemudian tawanan prianya."
"Di sebelah mana tempat masuknya itu?"
"Tidak tahu." "Kamu tentu sudah mengetahui di sebelah mana Verdoja masuk."
"Ia pergi ke hutan belukar di sebuah sudut piramida lalu menghilang di sebelah
selatan." "Di situ tentunya tempat masuknya. Apa yang terjadi setelah para tawanan dibawa
masuk?" "Kami pergi ke hacienda Verdoja, mendapat kuda-kuda baru serta bekal makanan dan
pergi ke mari." "Berapa lamanya perjalanan itu?"
"Dari pukul dua sesudah tengah malam hingga sekarang."
"Jadi kita akan tiba di piramida pada malam hari bila kita berangkat sekarang."
"Benar." "Baik. Kau harus menjadi penunjuk jalan, tetapi tidak ada orang yang boleh
melihat kita. Dan ingatlah: bila kau berusaha menipu kami, ketika itu kau akan
menjadi mayat. Kau tahu jalannya?"
"Tahu benar." "Maka kita tidak memerlukan orangmu yang keempat.
Sesuai dengan hukum savana ia harus mati."
Sebelum Sternau dapat mencegah, Kepala Banteng mencabut sekali lagi pisaunya
lalu menikamkannya ke dalam dada orang Mexico itu.
"Kepala Banteng kejam," kata Panah Halilintar mencela.
"Kulit kepala mereka terlalu mudah diperoleh."
Dengan angkuhnya Kepala Banteng menjawab, "Kepala suku Mixteca hanya mengambil
kulit kepala dari musuh yang kalah dalam peperangan. Ini hanya anjing, aku tidak
menginginkan kulit kepalanya. Mereka mati sebagai anjing kena pukul oleh
tongkat." Semua barang yang dimiliki keempat perampok yang dapat berguna diambil. Kemudian
mereka pergi. Penunjuk jalan mendapatkan kuda yang tidak diperlukan oleh
Sternau. Kelima orang itu pergi melalui "pas" ke utara. Di situ Hati Beruang
bersama kaum Apache menanti mereka.
Pos-pos depan itu mempermudah jalan mereka.
Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Kaum Apache berniat
untuk menguasai hacienda dan menawan Verdoja serta Pardero. Mereka akan diminta
dengan ancaman supaya membebaskan para tawanan. Kemudian mereka akan dihakimi.
Seorang Apache kembali untuk memberitahu Kuda Terbang, di mana kelompok pertama
prajurit akan bertemu dengan kelompok kedua. Francisco tidak diperlukan lagi dan
dikirim kembali oleh Sternau ke hacienda del Erina untuk memberitahu Arbellez
tentang keadaan mereka. Arbellez mendapat nasihat, janganlah berputus asa karena
besar harapannya, putrinya akan kembali ke atas pangkuannya.
Rombongan berangkat. Orang-orang kulit putih berjalan di muka, Hati Beruang dan
Pembunuh Grizzly bersama penunjuk jalan di tengah. Mereka diikuti oleh rombongan
suku Apache yang berjalan seperti biasanya dengan cara beriring. Mereka tiba di
dataran tinggi Chihuahua melewati berbagai wilayah hacienda tanpa diketahui
penghuninya. Tengah hari mereka menempuh hutan lebat. Menjelang malam mereka tiba di daerah
perbatasan milik Verdoja. Di sebelah barat tampak samar-samar bentuk bangunan
piramida bangsa Astek yang menyeramkan roma. Itulah tujuan perjalanan mereka.
BAB IV MATA-MATA Di sebelah barat laut gurun Mapimi terdapat beberapa sungai yang mengalir ke
situ serta membuat tanahnya subur ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Padang-padang
rumput diselingi oleh hutan-hutan lebat terdapat di daerah itu hingga sampai di
barat laut Mexico. Di situ terdapat dataran-dataran tempat suku Apache bermukim.
Orang-orang Apache ketika itu berada di salah satu hutan. Mereka dipimpin oleh
Sternau, Kepala Banteng, dan Hati Beruang. Di sepanjang jalan mereka tidak
berjumpa dengan manusia, maka mereka merasa aman dan tenteram. Seandainya hutan
yang ditempuh mereka itu agak kecil maka mereka akan menjelajahnya untuk
menyelidikinya. Karena hutan itu sangat luas, mereka merasa cukup hanya
menyelidiki daerah tepinya saja.
Namun seorang peninjau yang ahli akan dapat menangkap bunyi-bunyi lemah yang
bergerak dengan perlahan ke arah tepi hutan. Akhirnya terdengar pula beberapa
ucapan orang dengan nada menggerutu. "Apakah Saudara belum pernah diajar
berjalan tanpa terdengar orang?"
Jawabnya keluar dengan suara tertahan, "Di bawah pohon-pohonan sangat gelap.
Apakah Saudara mempunyai mata kucing, yang dapat melihat semua ranting dan daun-
daunan?" Kemudian suasana menjadi hening kembali, hanya bunyi desir yang aneh itu masih
tetap terdengar. Ketika bunyi itu pun tiba-tiba berhenti, terdengar seseorang
berbisik, "Mengapa Saudara berhenti" Apakah Saudara mendengar sesuatu?"
"Benar, saya mendengar di kejauhan seekor kuda mengendus."
Endus kuda itu terdengar lagi, makin dekat.
"Orang-orang berkuda sedang menuju ke mari. Dekat kita ada sebatang pohon yang
tinggi. Mari kita memanjat pohon itu. Di atas pohon itu kita tidak dapat dilihat
dari bawah dan kita akan mempunyai pandangan luas ke padang prairi." Percakapan
tadi dilakukan oleh dua orang Indian. Yang berkata terakhir, kini memeluk batang
pohon lalu memanjatnya. Ia diikuti oleh yang lain. Mereka bergerak dengan
lincahnya tanpa terdengar orang, bagaikan dua ekor tupai layaknya. Setelah
mereka berada tinggi di atas pohon, tertutupi oleh daun-daunan, mereka tidak
terlihat sedikit pun dari bawah. Senjata mereka tergantung di tubuhnya, namun
mereka tidak terhambat sedikit pun olehnya. Baru mereka berada di situ, maka
terdengar bunyi langkah kaki orang. Mereka itu orang-orang Apache yang telah
turun dari kudanya untuk menyelidiki tepi hutan. Setelah mereka lewat, dapat
diketahui dari bekas-bekas kaki kuda bahwa rombongan itu telah meneruskan
perjalanan. "Uf!" bisik salah seorang Indian, "bangsa Apache!"
"Wajahnya bercoreng-moreng, menandakan dalam keadaan perang!" tambah yang
lainnya. "Ada orang kulit putih di antara mereka."
"Tiga orang! Uf! Uf!"
"Mengapa Saudara begitu terkejut?"
"Saudara tidak mengenali pemimpinnya, seorang kulit putih bertubuh tegap serta
berwibawa itu?" "Tidak." "Ia bernama Matava-se. Beberapa musim dingin yang lalu aku telah berjumpa
dengannya di kota yang disebut orang kulit putih Santa Fe."
"Uf. Ia seorang gagah perkasa. Dan tahukah Saudara siapa kepala-kepala suku yang
mendampinginya?" "Yang seorang bernama Hati Beruang, seorang anjing Apache."
"Dan yang lainnya bernama Kepala Banteng, seorang Mixteca. Mari kita hitung
jumlah pasukan mereka."
Orang-orang Indian yang memata-matai mereka itu sedang duduk di puncak pohon.
Dari situ mereka dapat mengawasi gerak-gerik lawannya dengan aman. Mereka
menghitung dengan cermat. Setelah rombongan Apache itu lampau, berkata salah
seorang mata-mata, "Jumlah mereka dua puluh kali sepuluh orang, ditambah dengan
enam orang Apache dan empat orang kulit putih."
"Saudara telah menghitung dengan cermat. Ke manakah gerangan mereka pergi?"
"Tujuan mereka ke hacienda Verdoja. Presiden Mexico telah memanggil prajurit
Comanche, maka si pengkhianat Juarez itu tentunya mengumpulkan orang Apache
untuk menandinginya. Mereka menuju ke hacienda yang merupakan tujuan kita pula.
Esok hari akan tiba banyak orang Comanche. Matilah anjing-anjing Apache itu.
Mereka akan menghadiahkan kulit kepala mereka kepada kita.
Tetapi mari kita mengikuti mereka supaya tahu apa yang dikehendaki mereka."
"Baik kita berpisah saja. Aku akan mengikuti jejak mereka dan Saudara pulang
untuk memberi laporan."
"Baik." Kedua orang Indian itu meluncur turun dari atas pohon lalu menyelinap ke luar
hutan. Mula-mula mereka memastikan diri bahwa mereka tidak diikuti orang,
kemudian mereka menuju ke padang prairi.
Kini mereka nampak dengan jelasnya: dua orang Comanche mengenakan pakaian
perang. Tidak nampak tanda-tanda kehormatan sebagai kepala suku pada mereka,
namun pasti mereka bukan sembarang prajurit karena mereka diserahi tugas mata-
mata yang demikian beratnya.
Matahari sudah hampir terbenam. Di kejauhan bergerak rombongan orang Apache
bagaikan seekor ular layaknya.
"Saudara harus cepat-cepat mengikuti mereka! Hari sudah hampir malam. Saudara
akan kehilangan jejak mereka."
Tanpa menjawab, kawannya itu bergegas-gegas mengikuti rombongan orang Apache
itu. Seorang mata-mata Indian dalam keadaan perang biasanya tidak mengendarai
kuda, karena kuda itu dapat menghambat gerak mereka. Seorang Comanche yang
berjalan kaki mudah mencari perlindungan di balik tiap benda yang dijumpainya.
Dengan demikian mudah pulalah baginya untuk memata-matai lawannya sementara hari
masih cukup terang. Kawannya mengawasinya sejenak, kemudian ia kembali lagi ke
rombongannya. Rombongan orang Apache tiba di piramida. Mereka berhenti dekat bangunan
menyeramkan itu. Para pemimpinnya memandanginya dengan perasaan
bercampur. Di dalamnya terkurung orang-orang yang sangat dikasihinya.
"Tiada mungkinkah kita menghancurkan bangunan itu," kata Panah Halilintar dengan
gemasnya. "Sabar!" kata Sternau menghibur. "Pasti kita dapat membebaskan mereka. Saya
harap, kita segera dapat mengakhiri penderitaan mereka."
"Setiap kali Karja, putri Mixteca itu, menarik nafas panjang, seorang musuh
harus menebusnya dengan jiwanya," ancam Kepala Banteng. "Di manakah letak pintu
masuknya?" Sternau bertanya kepada penunjuk jalan, "Di tempat mana kalian disuruh
menunggu?" "Ikutlah saya!" kata orang Mexico itu. Setelah berjalan beberapa lamanya, orang
itu berkata, "Inilah tempatnya!"
"Dan ke mana Verdoja masuk bersama tawanannya?"
"Di sini di antara semak belukar ini ia menghilang dan di sana, di ujung situ,
terlihatlah cahaya lampu mereka."
"Baik. Jika kau berkata benar, kau akan kami biarkan hidup."
Sternau memanggil kedua kepala suku serta Panah
Halilintar untuk memberitahu mereka tentang keadaannya.
"Kita harus melarang orang kita berjalan di semak-semak itu," kata Kepala
Banteng. "Verdoja pernah mondar-mandir di situ. Meskipun kejadian itu sudah lama
berlalu, namun ia pasti telah meninggalkan jejak. Jejak itu baru dapat kita
lihat bila hari sudah terang."
"Masa, harus kita menunggu sampai pagi hari," kata Hati Beruang.
"Benar juga pendapat Saudara," kata Panah Halilintar.
"Emma tidak boleh menderita lebih lama lagi dalam penjaranya."
"Jadi Anda menganggap perlu, kita menantikan petunjuk dari Verdoja?" tanya
Sternau kepada Kepala Banteng. "Bukankah masih ada jalan lain" Kita dapat
menyerbu hacienda." "Namun kita harus menyelidiki daerah itu lebih dahulu."
"Perlukah itu?" tanya Panah Halilintar. "Serbu saja, pegang orang itu, seret dia
ke mari." Anton Unger sudah tidak sabar lagi. Kekhawatirannya terhadap kekasihnya
mendorongnya berbuat ceroboh.
Sternau sudah siap dengan jawabnya ketika terdengar suara pekik orang kuat-kuat.
"Uf! Ntsage no-khi peniyil -
kemarilah!" terdengar suara orang dalam bahasa Apache.
Suara itu terdengar di belakang mereka.
"Siapa?" tanya Sternau.
"Pembunuh Grizzly," jawab Hati Beruang.
"Apakah ia memisahkan diri dari kita?"
"Benar. Ia ingin lebih cermat menyelidiki daerah."
"Kalau begitu, ia telah menemukan sesuatu yang penting. Lekas, kita pergi
melihat!" Sternau meluncur turun dari kudanya lalu bergegas ke arah suara itu. Ia
menjumpai pemuda Apache itu sedang berlutut. Di bawah lututnya ada seorang
Indian yang dipegangnya erat-erat.
"Seorang Comanche!" katanya.
Segera dilemparkan orang sebuah tali laso untuk mengikat orang itu. Orang yang
tertangkap itu mata-mata Comanche yang telah memata-matai mereka.
"Bagaimana sampai Saudara dapat menangkap orang ini?" tanya Hati Beruang.
"Saya berjalan di belakang rombongan. Saya mendengar orang sedang mengikuti
kita. Lalu saya turun dari kuda untuk mencarinya. Saya menemukan dia di sini. Ia
sedang memasang telinga untuk mendengar percakapan kita.
Langsung saya terkam dia."
Sternau mendekati tawanan itu untuk menyelidikinya.
"Benar," katanya. "Ia seorang mata-mata Comanche yang memata-matai kita."
"Bunuh anjing itu!" kata seorang Apache.
"Sejak kapan seorang prajurit Apache dapat mendahului kepala sukunya dalam
mengambil keputusan" Prajurit demikian tidak patut dinamakan prajurit. Ia
seorang wanita atau anak kecil."
Orang itu dengan rasa malu mengundurkan diri.
Pembunuh Grizzly yang berdiri dekat tawanannya bertanya, "Di mana kawan-
kawanmu?" Namun mata-mata itu membungkam saja. Usaha orang lainnya pun untuk menyuruhnya
bicara, gagal pula. Sternau berhasil mengubah keadaan itu dengan melemparkan pertanyaan, "Kau
seorang prajurit Comanche hanya mau menjawab pertanyaan orang yang
menghormatimu. Apakah kau akan melarikan diri bila aku membuka belenggumu?"
"Tidak. Saya tidak akan lari."
"Mau kau menjawab pertanyaanku?"
"Ratu Batu Karang akan mendapat jawaban. Ia seorang yang baik dan adil."
"Jadi kau kenal aku?" tanya Sternau.
"Saya kenal Anda serta menjadi tawanan Anda."
"Kau menjadi milik orang yang menaklukkanmu.
Bangkitlah!"
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sternau melepaskan belenggunya. Tawanan itu bangkit
berdiri tanpa berusaha melarikan diri.
"Kau seorang dirikah?" tanya Sternau.
"Tidak." "Satu rombongan?"
"Tidak. Hanya ada seorang kawan."
"Tugasmu menjadi mata-mata?"
"Benar." "Kau ada banyak bala bantuan?"
"Lebih dari itu tidak boleh saya katakan."
"Baik. Aku tidak akan bertanya lagi. Bawalah orang ini serta jagalah baik-baik,"
katanya kepada seorang Apache.
Perbincangan dilanjutkan.
"Dua orang mata-mata di perjalanan, merupakan pelopor dari sebuah pasukan
Comanche," kata Sternau.
"Kita harus waspada.
Kedua orang itu pasti telah melihat kita. Kemudian mereka berpisah. Salah
seorang pergi mengikuti kita dan yang lainnya kembali untuk memberi laporan
kepada rombongannya. Sebenarnya kita tidak usah takut kepada mereka, karena di
belakang mereka ada rombongan orang Apache. Namun sebaiknya kita sudah siap
siaga dekat piramida sebelum mereka tiba. Mereka tidak mungkin tiba sebelum esok
petang. Saya mengusulkan untuk sementara kita tidak pergi ke hacienda dulu. Esok
hari pagi-pagi sekali kita berusaha memasuki piramida. Bila kaum Comanche sampai
dapat tiba lebih dahulu daripada yang kita duga, maka kita dapat mempergunakan
bangunan tua ini sebagai tempat perlindungan. Air cukup tersedia bagi kita
maupun kuda kita. Semak belukar dapat memberi perlindungan. Hanya satu hal yang
kekurangan, yaitu makanan. Itu pun dapat kita usahakan. Kita dapat menggiring
sekelompok lembu. Mulai tengah malam kaum vaquero tidak menjaga di padang
rumput. Mereka sedang tidur."
Kini mereka menggiring beberapa ekor lembu untuk dijadikan bekal makanan bagi
para prajurit Apache selama dua minggu. Rumput bagi kuda dan lembu mereka
tersedia cukup di atas padang-padang rumput yang luas.
Mereka mengirim mata-mata menyongsong pasukan Comanche yang bergerak ke arah
mereka. Kemudian mereka yang tidak mendapat tugas jaga dibolehkan tidur
berselimut untuk memulihkan tenaga. Panah Halilintar, Hati Beruang, serta Kepala
Banteng tidak tidur. Hati mereka selalu risau memikirkan nasib kekasihnya dalam
penjara piramida. Sebelum fajar menyingsing mereka membangunkan Sternau, karena tanpa dia mereka
tidak berani mengambil tindakan apa pun. Keempat orang itu pergi ke arah yang
ditunjukkan oleh orang Mexico itu semalam. Ketika mereka menyelidiki tanahnya,
ternyata bahwa terdapat jejak yang jelas menunjuk ke bagian tenggara dari
piramida. Di antara semak-semak, jejak itu nampak jelas, tetapi tidak demikian
di padang rumput di belakangnya. Kejadian itu sudah lama berlangsung sehingga
rumput yang rebah sudah bangkit kembali. Mereka agak kecewa. Orang-orang yang
sedianya pandai memecahkan persoalan itu, kini hampir putus harapan. Segala
ikhtiar sudah dilakukan, namun sia-sia.
Mereka mengerahkan tenaga prajurit Apache. Semak belukar, daerah sekitar
piramida, keempat dinding, serta ujung tumpul dari bangunan tua itu, diselidiki
dengan saksama, namun mereka tidak menemukan sesuatu.
Mereka mulai merasa putus asa. Tetapi Sternau bukanlah orang yang membiarkan
dirinya lama-lama dikuasai oleh perasaan demikian. Sekali lagi ia mengamati
bangunan yang penuh dengan rahasia itu lalu berkata,
"Kita tidak berdaya. Kita harus menjemput Senor Verdoja.
Mari kita pergi ke hacienda!"
Lima menit kemudian sepasukan terdiri dari lima puluh orang Apache berangkat di
bawah pimpinan Matava-se dan Hati Beruang. Matahari terbit ketika hacienda mulai
tampak di pemandangan mereka. Bagaikan angin puyuh para prajurit menyerbu
gedung. Mereka tidak ada banyak waktu. Kaum Comanche setiap saat dapat datang.
Mereka tiba di pagar tanpa mendengar bunyi-bunyi. Nampaknya penyerbuan akan berhasil.
Pintu pagar masih tertutup, namun itu bukan rintangan bagi para prajurit. Atas
perintah kepala suku mereka melompat turun dari kudanya lalu memanjati pagar.
Beberapa orang vaquero yang sedang berbaring dapat ditangkap mereka dengan
mudah. Mereka tidak mendapat kesulitan dengan orang-orang lainnya. Seorang
Apache membuka pintu pagar lalu Matava-se masuk ke dalam bersama Hati Beruang.
Kepala suku tinggal bersama orangnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
Sternau pergi bersama tiga orang Apache ke jalan masuk. Di daerah ini rumah-
rumah mempunyai bentuk yang sama. Maka Sternau langsung tahu di mana pemilik
hacienda berada. Ia bergegas menaiki tangga lalu membuka pintu. Penyerbuan tidak
dapat diadakan tanpa kegaduhan. Para penghuni rumah terbangun. Melihat orang-
orang Indian menyerbu, mereka menjadi ketakutan setengah mati. Nyonya rumah
ditemani oleh lima orang wanita. Semuanya itu berkumpul dalam sebuah kamar,
gemetar ketakutan. Kebetulan Sternau dengan kawan-kawannya masuk ke dalam kamar
itu. Kedatangannya menyebabkan para wanita menangis terisak-isak serta meratap-
ratap. "Diam!" perintah Sternau.
Perintah itu tidak dipatuhi mereka. Pengurus rumah tangga berlutut di hadapannya
menengadahkan tangannya ke langit serta memelas, "Mohon ampun, Senor. Apakah
kesalahan kami, kami tidak pernah berbuat apa-apa."
"Di manakah Verdoja?"
"Ia tidak di rumah. Kemarin pagi ia pergi dan sampai sekarang belum kembali."
Itu berita yang buruk. Perjalanan ke hacienda itu semata-mata dilakukan untuk
memperoleh keterangan dari Verdoja. Kalau begitu, mereka sebaiknya tinggal saja
dekat piramida. Kekecewaan tergambar jelas pada wajah Sternau sehingga pengurus
rumah tangga itu bertanya,
"Apakah barangkali keponakan saya itu musuh Anda?"
Perkataan wanita itu mengingatkan Sternau kepada suatu hal. "Apakah Verdoja
keponakan Anda?" tanyanya.
"Benar, Senor. Saya nyonya rumah."
"Apakah ia mempercayai Anda?"
"Itu sudah jelas. Kalau tidak, mana dapat saya diangkat menjadi nyonya rumah."
"Maksud saya, apakah ia mau mempercayakan rahasia-rahasianya kepada Anda?"
"Ya... kadang-kadang ia mau menceritakan."
"Tahukah Anda, di mana ia sekarang berada?"
"Tidak." "Apakah Verdoja semalam tinggal di hacienda?"
"Ya." "Tahukah Anda tentang piramida yang ada di sekitar sini?"
"Ya, saya tahu."
"Apakah piramida itu berongga di dalamnya?"
"Benar, ia berongga. Senor Verdoja kerap kali masuk ke dalamnya."
"Benarkah demikian?" tanya Sternau girang.
"Bagaimana caranya masuk ke dalam?"
"Itu tidak saya ketahui. Sejak ayahnya hidup, hal itu sudah merupakan rahasia.
Namun di atas terdapat sebuah meja tulis. Di dalamnya tersimpan suatu peta yang
berisi gambar bagan ruang-ruangan dalam piramida."
"Antarkan saya ke meja tulis itu."
Wanita tua itu mengantarkan Sternau ke ruang duduk Verdoja. Di situ terdapat
sebuah meja tulis. Sternau membongkar lacinya dengan pisaunya. Benar juga
terdapat peta di situ yang menggambarkan tentang bagian dalam dari piramida. Bergembira dengan
penemuannya itu Sternau memasukkan peta itu ke dalam sakunya lalu pergi ke
rombongan orang Apache di bawah. Prajurit-prajurit itu telah mengumpulkan
peluru, beberapa buah kapak, dan linggis. Barang-barang itu akan dibawa mereka.
Mungkin mereka memerlukannya di dalam bangunan tua itu.
Penyerbuan hanya berlangsung dalam waktu setengah
jam. Kini rombongan itu berangkat lagi menuju ke piramida bangsa Astek itu.
Baru setelah tiba kembali di tempat itu Sternau berkesempatan untuk menyelidiki
peta. Denahnya sangat jelas. Bagian dalam piramida terjadi atas tiga tingkat. Di
tengah-tengah terdapat mata air yang dalam dan berbentuk segi empat. Di sekitar
mata air terdapat lorong-lorong yang dihubungkan oleh lorong-lorong simpang. Di
ujung-ujung lorong didirikan sel-sel. Mula-mula piramida itu dapat dimasuki dari
empat penjuru serta di tengah-tengah terdapat juga satu jalan masuk. Jalan-jalan
masuk itu sudah tentu dibuntukan dengan dinding. Masalahnya kini untuk menemukan
salah satu jalan masuk itu.
Sternau memberitahukan kawan-kawannya tentang peta itu. Semua kini sibuk
mencari, namun tidak ada yang dapat menemukan sesuatu. Tiba-tiba Sternau
terpikir akan sesuatu. Ia mengukur panjangnya salah satu dinding untuk
memastikan di mana letak tengahnya. Di tempat itu ia menjumpai sebuah batu
karang. Pada batu itu terdapat gores-gores yang agak ganjil. Ia menyelidiki batu
itu dengan saksama. Hampir-hampir ia putus asa. Ketika itu ia berjongkok lalu
mendorong batu itu kuat-kuat. Wah... ia bergerak.
Ia bangkit melompat lalu berseru, "Aku sudah tahu rahasianya."
"Benarkah demikian?" tanya Panah Halilintar kurang percaya.
"Benar. Inilah jalan masuknya. Aku dapat merabanya."
"Di mana" Lekas katakan!"
"Batu yang di tengah itu dapat didorong masuk."
Panah Halilintar langsung berjongkok lalu mendorong batu itu dengan sekuat
tenaga... batu itu berputar ke dalam dan alas batu yang bergelinding mulai nampak.
Sternau melihat ke dalam. "Kulihat ada sebuah lampu.
Semestinya ada banyak lampu seperti itu."
"Ada juga minyak sebotol."
"Cepat... nyalakan lampu dan kita akan masuk ke
dalam." Panah Halilintar cepat menyalakan lampu lalu masuk ke dalam. Ia tidak peduli
lagi, apakah ada orang yang mengikutinya. Namun ketiga kawannya lengkap
mengikutinya: Sternau, Kepala Banteng, dan Hati Beruang.
Mereka menempuh lorong panjang hingga tiba di sebuah pintu. Sternau menerangi
peta dengan lampunya untuk menyelidikinya.
"Di peta tidak diterangkan tentang adanya pintu-pintu,"
katanya. "Apakah ada kuncinya?"
"Tidak," jawab Panah Halilintar, "namun pintu itu tertutup erat bagaikan
terkunci." "Mungkin di bagian dalamnya terdapat gerendel-gerendel yang mengunci pintu. Atau
mungkin juga ada rahasianya. Untuk mencari pemecahan rahasia itu diperlukan
banyak waktu. Lebih baik kita ledakkan saja pintu. Ada cukup bahan peledak
tersedia. Buatlah beberapa lubang dengan pisau di dalam dinding dekat kosen-
kosen pintu. Dindingnya terbuat dari batu bata yang sudah tua sehingga agak
lunak. Aku akan mengambil bahan peledaknya."
Mereka langsung bekerja dengan rajinnya. Sekembali Sternau, pekerjaan sudah
rampung. Lubang-lubang diisi dengan bahan peledak yang diberi sumbu terbuat dari
tali dibubuhi bahan peledak. Sumbu itu dinyalakan. Semua orang berlari kembali
ke jalan masuk. Sesaat kemudian terdengarlah empat kali letusan hebat berturut-
turut. Kelima orang itu hendak masuk lagi, namun mereka melihat Pembunuh Grizzly
tergesa-gesa menyongsong mereka. Tentu ia membawa kabar penting.
"Ada apa?" tanya Hati Beruang.
"Anjing-anjing Comanche sudah keluar dari hutan menuju ke mari."
"Siapa yang membawa berita itu?"
"Rusa Merah." "Kita ingin mendengarnya dahulu. Bawa ia kemari!"
Orang Apache yang bernama Rusa Merah itu datang. Ia
salah seorang mata-mata yang telah dikirim ke daerah musuh.
"Silakan Saudara menceritakan, apa yang telah terjadi,"
kata Hati Beruang. "Saya kembali ke jalan yang telah kita tempuh," prajurit itu memulai laporannya.
"Kedua orang Comanche yang salah seorangnya sudah ada di tengah kita, telah
melihat kita. Tentunya hal itu terjadi di dalam hutan. Maka saya berjalan
mengitarinya. Terdengar bunyi cereceh burung gagak. Tentu burung-burung itu
beterbangan terkejut oleh adanya orang yang sedang berjalan di antara pohon-
pohonan. Lalu saya bersembunyi di balik semak-semak dan menanti. Tidak lama
kemudian anjing-anjing Comanche itu lewat, rombongan besar... saya hitung ada
empat kali sepuluh orang prajurit bersama tiga orang kepala suku."
"Kenalkah kau akan mereka?" tanya Hati Beruang.
"Tidak." "Ke mana musuh itu pergi?"
"Setelah yang terakhir lewat, saya mengikuti mereka.
Mereka pergi ke tepi hutan. Di situ mereka mengadakan rapat lalu pergi ke
hacienda." "Mereka akan segera ke mari."
"Mungkin nanti malam mereka baru tiba," pikir Panah Halilintar
"Tidak. Mereka akan mengurung kita, supaya hubungan kita dengan dunia luar
terputus," jawab Sternau.
"Pada malam hari mereka akan menyerang kita. Maka penjagaan harus diketatkan.
Bila terjadi sesuatu, datanglah segera ke lubang ini untuk memberi laporan."
Mata-mata itu boleh pergi. Kelima orang itu kembali masuk ke lorong. Setibanya
di tempat letaknya pintu itu, mereka melihat daun pintu sudah rebah di atas
tanah. Daun pintu diterbangkan bersama kosen-kosennya ke luar dinding. Mereka
menyeretnya ke tepi lalu memeriksanya.
Hanya terlihat sebuah lubang di bawah dan sebuah lagi di atas. Selain itu, tidak
ada lagi yang ganjil. Kemudian
mereka menyelidiki lantai serta langit-langit tempat daun pintu itu melekat lalu
mereka menemukan sebuah gigi besi di atas maupun di bawah. Gigi itu pas benar
pada lubangnya. Namun gigi itu tidak dapat digerak-gerakkan sedikit pun, maka
mereka tidak dapat mengetahui bagaimana alat itu bekerja.
"Yah, tidak ada jalan lain. Kita harus meledakkan semua pintu," kata Sternau.
"Akan kuambil lebih banyak bahan peledak lagi, namun kita harus berjalan sedikit
lagi. Sekali lagi Sternau mengeluarkan peta untuk menyelidikinya.
"Apakah yang Saudara cari?" tanya Hati Beruang.
"Tempat menyekap tawanan itu. Itu kira-kira di tengah-tengah piramida, dekat
mata air, karena itulah tempat yang terbaik untuk menyekapnya. Pintu ini kita
ledakkan saja. Saudara Panah Halilintar yang baru saja sembuh dari penyakitnya,
sebaiknya menjauhkan diri secukupnya bila pintu itu meledak."
Orang membuat lubang-lubang lagi. Ketika Sternau kembali, bahan peledak itu
langsung dimasukkan ke dalam lubang-lubang. Mereka berlari menjauhkan diri.
Setelah terdengar bunyi ledakan, mereka melihat hasilnya sama dengan pintu
sebelumnya. Di sini pun terlihat gigi-gigi besi di atas dan di bawah, namun
tidak terlihat adanya permesinan yang dapat menggerakkannya. Pembuat kunci
rahasia ini sungguh seorang yang cerdik. Pintu beserta kunci rahasianya itu
pasti buatan zaman kemudian, karena pada zaman piramida itu dibangun, masih
belum dikenal orang besi.
Atas petunjuk Sternau mereka melanjutkan perjalanan.
Di samping bahan peledak dibawanya juga sebuah kapak dan sebatang besi
pengungkit. Pintu berikutnya dicoba mereka membongkarnya dengan alat-alat itu,
namun sia-sia. Terpaksa harus diledakkan lagi. Pintu ini dilengkapi dengan
gerendel-gerendel besar di bagian luar dan dalamnya, sehingga harus digunakan
lebih banyak bahan peledak untuk membongkarnya. Maka bunyi ledakan yang
terdengar amat dahsyat. Bangunan itu bergetar menakutkan oleh karenanya. Ketika
mereka tiba di tempat peledakan itu, mereka melihat sebagian tembok serta
langit-langit tempat pintu itu, menjadi gugur. Begitu banyak puing bertumpuk
sehingga menghambat jalan mereka. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, mereka
harus menyisihkan puing-puing itu. Kemudian langit-langit pun harus ditopang.
Alat-alat yang tepat untuk mengerjakan pekerjaan itu, tidak ada pada mereka.
Maka pekerjaan itu menjadi sangat berat dan memakan waktu berjam-jam lamanya.
Sedang mereka sibuk bekerja, datanglah seorang utusan yang meminta supaya para
kepala suku keluar dari bangunan itu. Karena keadaan bangunan itu sangat
membahayakan dan ratusan orang Indian di luar membutuhkan pimpinan, maka mereka
menganggap kurang bijaksana bila kepala suku mereka membiarkan dirinya dalam
keadaan penuh bahaya itu. Maka para kepala suku harus pergi. Setiba mereka di
luar, mereka melihat prajurit-prajurit Comanche sudah mengurung mereka. Setelah
dihitung dengan cermat, nyatalah bahwa jumlah mereka hanyalah seratus orang
sebanyak-banyaknya. Beberapa orang di antara mereka menggiring lembu.
"Musuh kita sedang berburu lembu untuk
mengumpulkan bekal daging," kata Sternau. Mereka tidak akan menyerang sebelum
malam tiba. Kini kita masih aman dan dapat melanjutkan pekerjaan kita."
BAB V TERLEPAS DARI KEPUNGAN MUSUH Setiap saat pertempuran dapat berkobar di sekitar piramida, namun para tawanan
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih tetap terkurung dalam bangunan itu. Mereka membicarakan segala kemungkinan
akan pembebasan. Segenap harapan dipusatkan mereka kepada Sternau. Hingga kini
sudah dua malam berlalu, waktu yang terasa sebagai berabad lamanya. Air minum
sudah hampir habis. Makanan pun sudah tinggal sedikit lagi dan setiap kali
terdengar raung dan rintih Verdoja yang sudah setengah gila itu dari arah mata
air. Gadis Indian itu tidak berkata apa-apa, tetapi Emma tidak dapat menyembunyikan
rasa takutnya. Ia sudah tidak percaya lagi bahwa mereka dapat diselamatkan.
Prianya telah berusaha membongkar pintu dengan pisau, tetapi tanpa hasil.
Penyelamatan hanya dapat diharapkan datangnya dari luar, tetapi siapa orangnya
yang sanggup melakukannya" Isi piramida merupakan rahasia dan mereka yang
memegang kunci rahasia itu sudah mati atau sudah menjadi gila dan berada di
bawah, dekat mata air. Emma melipat tangannya dan berdoa, "Ya Tuhan, tolonglah kami dalam mengatasi
keadaan kami yang demikian buruknya! Janganlah lepaskan hamba-Mu yang tidak
berdaya ini, kami serahkan nasib kami sepenuhnya ke dalam tangan-Mu yang
mahakuasa dan mahaadil itu."
Mualim terdiam mendengar doa itu, tetapi Mariano memegang tangan gadis itu lalu
menghibur hatinya, "Janganlah berputus asa! Kita masih menaruh harapan kepada Sternau. Ia tahu
penderitaan kita sebagai tawanan Verdoja. Tentu ia tidak tinggal diam dan
berusaha menyelamatkan kita."
"Tetapi bagaimana dapat ia mengetahui bahwa kita berada di sini. Siapa orangnya
yang dapat memberitahukan kepadanya?"
"Serahkan semuanya saja kepada Tuhan. Saya yakin bahwa Sternau dapat menemukan
kita." "Tetapi seandainya ia mendapat kecelakaan, bagaimana nasib kita?"
"Ia tidak akan mendapat kecelakaan. Ia tahu bahwa kita membutuhkan
pertolongannya, maka ia selalu akan berhati-hati, justru karena hati-hatinya
itu, ia agak terhambat sampai ke mari. Baru dua minggu berlalu.
Mungkin sekali, kini ia sudah dekat. Namun dengarlah!
Seperti ada...!" "Ada apa?" tanya Emma.
"Bunyi gemuruh... seperti bunyi guntur di kejauhan."
"Ah, mana mungkin. Bangunan ini kedap suara. Suara dari luar tidak mungkin
tembus ke dalam." Kembali hening sesaat. Suasana menjadi tegang.
Mualim memecah keheningan itu. "Sayang benar aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingin sekali kuhancurkan bangunan sial ini bila mungkin."
"Janganlah Anda mengkhayal. Hanya dari luar kita dapat mengharapkan
pertolongan." "Namun pertolongan itu harus cepat datang... bukan untuk diriku. Aku dapat
bertahan lebih lama lagi. Tetapi lain halnya dengan senorita-senorita itu.
Mereka tidak berdosa, lagipula daya tahan mereka sudah berkurang.
Namun... apa itu?" Kali ini keempat orang itu mendengar bunyi gemuruh itu."Sama seperti yang tadi,"
kata Mariano. Hanya kali ini lebih keras. Aneh benar. Bunyi badai atau guntur
tidak mungkin sampai ke mari."
"Itu bukan badai dan bukan guntur. Itu bunyi tembakan," kata Mualim.
"Tembakan tak mungkin sampai terdengar di sini," kata Emma.
"Mengapa tidak, kalau tembakan itu dilepaskan di dalam piramida ini," kata
Unger. "Siapa orangnya yang dapat menembak di sini?"
"Entahlah. Namun sebagai seorang pelaut aku dapat membedakan bunyi tembakan
dengan bunyi guntur. Itu pasti bunyi tembakan. Dan bukan tembakan pistol atau
senapan, melainkan tembakan meriam. Namun mengingat tempat kita ini terkurung,
keterangan demikian agak ganjil pula."
"Benar. Itu pasti bukan tembakan senjata ringan. Dan apakah maksud mereka dengan
tembakan itu" Untuk memberi tanda kepada kita" Sternau tentu tahu bahwa kita
tidak dapat memberi jawaban," kata Emma.
Mualim mengangguk, lalu memandang ke depan serta berpikir. "Memang itu bukan
tembakan senapan biasa. Tentunya senjata yang luar biasa beratnya. O, aku teringat akan sesuatu. Yah,
ada bunyi yang mirip dengan itu.
Suatu ledakan!" "Jadi Anda mengira bahwa...?"
Unger mengangguk. "Benarlah. Kukira Sternau sudah tiba. Mungkin ia menghadapi
pintu-pintu yang terkunci itu, dengan tanpa adanya jalan lain, terpaksa
meledakkannya." Nada yakin Mualim membuat harapan pada Emma pulih kembali. Katanya dengan air
mata berlinang-linang, "Anda memberi harapan kepada kami, Senor Unger. Kini kepercayaanku sudah kembali
lagi. O, Ayahku yang malang! Alangkah besar hatiku, bila dapat bertemu kembali
denganmu!" Ia menangis, namun air matanya itu bercucuran karena hati yang sedih, bukan
karena harapan baru. Tiba-tiba terdengar bunyi benturan sangat dahsyat, yang
membuat lantai dan dinding lorong itu bergetar. Dan setelah bunyi
benturan itu diikuti oleh bunyi derak yang membisingkan telinga, maka Mualim
melompat ke atas serta bersorak,
"Sternau sudah datang! Sternau sudah datang! Itu tadi bunyi ledakan hebat yang
menggugurkan dinding. Kita sudah selamat. Mari kita bergembira!"
Emma berusaha bangkit, namun tubuhnya yang lemah itu membuat ia roboh kembali.
"Tidak bermimpikah aku?"
tanyanya terengah-engah. "Senor Unger berkata benar," kata Mariano. "Bagaimana pendapat Anda, Senorita
Karja?" Perlahan gadis Indian itu mengangkat pandangannya kepadanya. "Pasti
Sternau! Saya yakin akan kedatangannya."
Emma memeluknya serta menciumnya lalu bersorak,
"Puji syukur kepada Allah Yang Mahakasih. Saya tidak akan melupakan kemurahan
hati-Mu, seperti juga Kamu selalu mengingat kami."
Waktu berlalu dengan merayap. Di lorong yang diisi dengan sel-sel Unger dan
Mariano, mereka diam mendengarkan.
"Kita pergi saja ke pintu yang lebih jauh lagi," usul Mualim.
"Baik, mungkin kita dapat mendengar lebih banyak lagi dari situ," kata Mariano.
Ia membantu Emma bangkit. Mereka berjalan ke pintu yang pernah dicongkel-congkel
mereka dengan pisau itu lalu duduk di atas lantai yang dingin itu untuk
mendengarkan. Terdengarlah terus-menerus bunyi benda-benda bergesek.
"Tahukah Anda, apakah itu, Senorita?" tanya Unger.
"Kawan-kawan kita sedang sibuk memindahkan puing-puing yang berjatuhan, berasal
dari dinding yang gugur itu. Ledakan yang terakhir lebih hebat lagi. Lorong
tentunya hancur oleh karena itu!"
Mereka mendengar barang bergeser-geser terus-menerus tiada habis-habisnya.
"Saya hampir tidak dapat mempercayai kebenaran itu!"
"Percayalah, Senorita! Apa yang saya katakan tadi
bukanlah khayalan belaka."
"Aneh! Kini suara-suara tadi tidak terdengar sedikit pun lagi."
"Mungkin mereka sedang beristirahat sebentar," hibur Mualim.
Sesungguhnya saat itu ketika para kepala suku dipanggil kembali oleh rakyatnya
karena mereka sedang dikurung oleh kaum Comanche. Keempat tawanan itu berdiam
diri saja hingga bunyi bergeser-geser itu terdengar kembali. Kemudian terdengar
bunyi benturan-benturan keras, seperti orang membacokkan parang dan kapak ke
atas kayu. Lagipula mereka seperti mendengar suara-suara orang bicara di
kejauhan. Kemudian terdengar bunyi...
langkah kaki orang yang mendekat!
"Kini tiba giliran pintu ini," kata seseorang. "Pintu ini menuju ke mata air.
Kita masih mempunyai cukup bahan peledak."
Para tawanan diam seperti terpaku, dalam ketegangan ini mereka tidak dapat
berbicara. Tanpa berkata-kata, mereka berpegangan tangan masing-masing. Akhirnya
bisik Mualim, "Itu Sternau! Aku tahu! Ia tahu bahwa pintu ini membuka jalan ke
mata air." Mereka mendengar samar-samar orang meraba-raba pintu. Orang lain lagi berbicara,
"Kita perlukan banyak bahan peledak. Pintu ini pun diberi banyak gerendel."
Demi mendengar ucapan ini, Emma tiba-tiba bangkit, lalu memekik tersedu-sedu,
"Ya Tuhan! Itu Antonio!
Antonioku!" Di balik pintu sejenak keadaan menjadi sunyi sepi, seakan mereka justru karena
rasa gembira yang melimpah, akhirnya menjadi lumpuh. Kemudian Panah Halilintar
berseru, "Emma, Emmaku, benarkah engkau di situ?"
"Benar!" sorak gadis itu. "Akulah ini, sayang!"
"Puji syukur kepada Tuhan! Engkau seorang diri saja?"
"Tidak. Kami berempat."
Kini terdengar suara orang yang belum pernah terdengar sebelumnya, "Berempat.
Jadi kamu juga, Karja?"
Suara tadi membuat gadis Indian itu menjawab dengan gembira, "Benarlah, Karja,
adikmu ada juga di sini!"
"Uf! Uf!" terdengar suara orang yang keempat. Bisik Mualim, "Siapakah orang
itu?" "Suara itu saya kenali," kata Emma. "Itu Hati Beruang, seorang kepala suku
bangsa Apache. Mereka lengkap semuanya, Hati Beruang, Kepala Banteng, dan Panah
Halilintar. Namun di manakah Sternau" Saya tidak mendengarnya lagi."
Tanya Panah Halilintar, "Bagaimana keadaanmu, Emma?"
"Baik! Kini segala penderitaan sudah berakhir!"
Seseorang mengetuk pintu. Kemudian terdengar lagi suara Sternau, "Dan apa kabar
dengan nakhoda kita yang perkasa itu" Ia sudah dilupakan semua orang, bahkan
oleh saudaranya sendiri!"
"Terima kasih, Dokter!" seru Unger. "Kemudi masih belum terlepas dari tanganku.
Bila Anda membuka jalan, kita segera dapat melanjutkan pelayaran."
"Hasrat Anda akan terkabulkan segera. Hanya ingin aku bertanya, Verdoja dan
Pardero masih ada di situ?"
"Benar. Mereka masih ada di sini. Namun mereka tidak dapat melapor kepada Anda.
Pardero sudah menemui ajalnya dan Verdoja terjatuh di tepi mata air dengan
tulang punggung dan kedua belah tangan yang patah. Ia masih hidup."
"Kesudahan yang sangat menyedihkan," kata Sternau di balik pintu. "Kalian telah
mempertahankan diri dengan gagah perkasa. Sikap kalian itu sangat terpuji. Namun
kini kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kalian harus dibebaskan. Gelapkah di
tempat kalian itu" Kalian dapat melihat?"
"Dapat. Kami membawa lampu."
"Bagus! Kalian harus mundur sejauh-jauhnya! Kami akan meledakkan pintu. Apakah
lorong kalian memungkinkan kalian mundur?"
"Ya. Dengan leluasa."
"Maka lekaslah! Kami segera akan tiba."
Para tawanan itu mundur sejauh mungkin lalu mendengar orang-orang di balik pintu
mengorek-ngorek dan mencongkel-congkel dengan pisaunya. Beberapa saat kemudian
terdengar bunyi ledakan yang gegap gempita.
Karena pintu itu dekat mereka, maka peledakan itu bukan hanya terdengar,
melainkan juga terasa benar pengaruhnya. Dinding-dinding berguguran, bagian
langit-langit pun berbungkah-bungkah berjatuhan ke atas lantai.
Setelah debu yang beterbangan bergumpal-gumpal mulai mengendap, terdengar dari
tempat bekas pintu itu berdiri, suara Panah Halilintar yang tiada sabar lagi,
"Emma, di manakah kamu?"
"Di sini!" sorak Emma sambil berlari.
Di balik tumpukan puing berdiri Panah Halilintar, meskipun di tempat yang gelap,
namun masih kelihatan juga karena cahaya lampu yang menyinarinya. Emma segera
berpelukan dengan mesra dengan kekasihnya,
"Antonio, kekasihku! Hampir saja aku mati!"
"Puji syukur kepada Tuhan yang menghindarkanmu dari malapetaka," jawab
kekasihnya dengan terharu.
"Kalau tidak demikian, kepalaku yang baru sembuh dari sakit itu tidak akan dapat
menerimanya. Aku pasti akan menjadi gila."
Di sisinya nampak Kepala Banteng. "Di manakah Karja, putri kaum Mixteca itu?"
serunya. Gadis Indian itu bergegas menyongsongnya serta menyalaminya dengan hangat. Kini
Sternau juga datang menyambut semuanya dengan salam. Ia menceritakan secara
ringkas apa yang terjadi.
"Kau sempat merampas pisau Verdoja lalu
mengancamnya?" tanya Panah Halilintar kepada tunangannya.
"Benarlah. Ia tidak boleh menjamahku. Kuancam akan membunuhnya atau membunuh
diriku sendiri," jawab gadis itu sederhana.
"Pahlawan kecil!" Dengan penuh rasa kagum ia
mendekap gadis tunangannya itu. Pada saat itu Karja ditanya, "Apakah putri
Mixteca itu sendiri membunuh Pardero?" Pertanyaan itu diajukan oleh Hati
Beruang. Hati Karja kini sudah menjadi miliknya, meskipun dahulu ia pernah
menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Alfonso.
"Benar," jawab gadis itu perlahan.
"Lalu kemudian membebaskan kawanmu, seorang tawanan juga?"
"Benar." "Putri Mixteca seorang pahlawan wanita sejati. Ia pantas menjadi istri tunggal
seorang kepala suku yang termasyhur."
Orang Apache itu membelai rambut gadis itu dengan mesra, kemudian ia berpaling,
namun Karja menangkap makna dari sikap demikian.
"Baik kita memusatkan perhatian kepada hal-hal yang kita hadapi sekarang," kata
Sternau memperingatkan. "Mula-mula kita harus memeriksa sel-sel tempat kalian diasingkan serta mayat-
mayat di dalamnya." Mariano mengambil lampu lalu pergi menunjukkan jalan. Rombongan orang yang baru
datang itu berdiri bulu romanya, menyaksikan penjara-penjara yang sempit serta
kotor itu. Ketika mereka menemukan mayat-mayat lawannya, mereka terdiam saja.
Mereka menyadari dalam peristiwa ini tangan Tuhan sudah bekerja.
Tiba-tiba terdengar pekik yang memanjang dan menyayat hati.
"Apa itu?" tanya Panah Halilintar.
"Verdoja," jawab Mariano.
"Mengerikan!" kata Sternau. "Aku akan pergi menjumpainya."
Mereka melanjutkan perjalanannya. Hanya para gadis tidak mengikut mereka karena
merasa takut. Mereka minta kepada Mualim supaya mau menemaninya. Wajah Verdoja
terlalu menjijikkan bagi gadis-gadis itu.
Setelah rombongan sampai ke mata air, terdengar lagi pekik itu, lebih menakutkan
daripada raung binatang buas
mana pun. Mereka yang berdiri di tepi mata air itu terkejut sekali, sehingga
mereka langsung memalingkan mukanya.
"Jadi Verdoja tidak mau memecahkan rahasia pintu itu?" tanya Sternau.
"Tidak, ia menginginkan kami mati semuanya di sini."
"Sungguh jahat orang itu. Namun aku ingin
menjumpainya juga." Sternau menyiapkan tali lasonya. Tali itu dihubung-hubungkannya dengan tali
kepunyaan Kepala Banteng dan Hati Beruang. Kemudian ia mengambil lampu lalu
diturunkan oleh kawan-kawannya ke mata air dengan menggunakan tali itu. Sesampai
di bawah ia memancarkan cahaya lampunya kepada orang yang mendapat musibah itu.
Orang itu membuka matanya yang berlumuran dengan darah, menatap sejenak wajah
lawannya lalu berseru, "Anjing, mau apa kau ke mari?"
"Untuk menyampaikan kabar kepada seseorang yang berhati iblis bahwa rencana
busuknya telah gagal semuanya! Kami telah menyelamatkan para tawanan.
Pintu-pintu rahasiamu sekali-kali bukanlah rintangan bagi kami untuk masuk ke
dalam." "Bangsat, kamu sekalian, kamu patut..." Verdoja tidak sanggup menyelesaikan
kalimatnya. Ia terbatuk-batuk terus-menerus lalu meraung-raung kembali
kesakitan. "Sadarilah bahwa kamu sudah berada di ambang pintu maut," kata Sternau
memperingatkan. "Dalam keadaan demikian kita sebaiknya tidak memaki-maki,
melainkan bersujud di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, serta memohon pengampunan
dosadosa kita." Verdoja berusaha mengepalkan tinju namun tiada berhasil. Bagaikan seekor
binatang buas ia memperlihatkan giginya serta mendesis, "Enyahlah kamu, bangsat, aku tidak
mengemis kasihan." Ucapannya yang kasar itu memadamkan setiap percik rasa kasihan dalam hati
Sternau. "Baik!" katanya. "Bila kamu berkehendak demikian, kami akan menuruti
keinginanmu. Kami tidak akan berusaha lagi mengurangi
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penderitaanmu." Sternau membungkuk untuk memeriksa tubuh orang itu. Pekerjaan itu dilakukannya
tanpa mengenal belas kasihan, sehingga si sakit meraung-raung kesakitan.
Akhirnya Sternau selesai. "Kehendak Tuhan telah berlaku," katanya. "Tulang-
tulangmu semuanya patah, maka kau tidak akan hidup lama lagi."
Sternau melepaskan ikatan tali lasonya dan
mengikatkannya pada tubuh si sakit.
Ia memberi tanda. Orang-orang menarik tali ke atas.
Bukannya Sternau yang muncul ke atas melainkan si sakit yang terus-menerus
memperdengarkan raungannya.
Sesampai Verdoja di atas, tubuhnya diletakkan di dalam lorong, lalu tali
diturunkan kembali ke mata air. Sekali ini Sternau-lah yang diangkat ke atas.
"Apa yang harus kita perbuat dengan orang itu?" tanya Panah Halilintar.
"Beberapa orang Apache akan kusuruh menggotong tubuhnya ke lorong pertama. Di
situ masih terdapat sedikit air yang dapat meringankan penderitaannya. Ia dapat
tinggal di situ hingga menemui ajalnya. Kini kita harus lekas mencari jalan
keluar." Mereka menjemput para gadis dan mengantarkannya ke luar melalui pintu-pintu yang
telah diledakkan. Ketika Emma menginjakkan kakinya di luar, ia terpaku
menghadapi pemandangan yang menyilaukannya. Dengan air mata berlinang-linang
gadis itu mendekap Sternau lalu berkata, "Peristiwa ini senantiasa akan tergores
dalam hatiku." Kepala Banteng pun menjabat tangan Sternau. "Matava-se, jiwaku adalah milik
Anda." Mereka berjalan mengelilingi dinding piramida untuk memperoleh pemandangan yang
lebih baik. Kaum Comanche sudah bertambah jumlahnya. Kira-kira sudah ada tiga
ratus orang berkumpul. Kuda mereka cukup banyaknya serta perlengkapan senjatanya cukup baik. Emma
menjadi gelisah melihat musuh demikian banyaknya, namun kaum pria menghibur hatinya. Sebaliknya Karja
yang memandang rendah kaum Comanche, minta diberikan senjata supaya dapat turut
aktif dalam pembelaan. Menjelang matahari terbenam tampak jumlah musuh sudah mencapai kira-kira empat
ratus orang yang mengurung piramida. Ketika hari menjadi malam, tampak dengan
jelasnya api unggun mereka menyala. Kaum Apache pun berani menyalakan api untuk
membakar daging. Seekor lembu sudah dibantai mereka. Kemudian mereka memadamkan
apinya. Hal itu diikuti juga oleh kaum Comanche.
Mereka harus tetap waspada. Selama api unggun musuh masih menyala, mereka tidak
usah mengkhawatirkan serangan dari musuh, karena tiap gerakan mencurigakan akan dapat
dilihat. Kini api sudah dipadamkan. Para kepala suku mengusahakan supaya orang-
orangnya tetap berjaga. Dekat semak belukar para penembak ahli bersiap-siap
dengan senapan terkokang.
Pandangannya yang tajam menembusi kegelapan malam.
Sternau telah mengusahakan sehingga di antara medan musuh dengan mereka terdapat
beberapa pos mata-mata. Orang-orang itu merangkak menghampiri musuh sejauh mungkin. Mereka hanya diberi
senjata pisau. Mereka menerima pesan supaya segera mengundurkan diri bila musuh
mulai menyerang. Hati Beruang mendapat tugas jaga di sebelah utara piramida, Kepala Banteng di
sebelah selatan, Panah Halilintar di sebelah timur, dan Sternau di sebelah
barat. Sternaulah yang memegang pimpinan serta menunjuk tiga orang yang lincah untuk
memberi laporan tentang segala kejadian. Dua jam lewat tengah malam Panah
Halilintar mengirim orang yang melaporkan kepada Sternau bahwa musuh sedang
bergerak ke arah barat. Segera Sternau memberi perintah supaya semua prajurit
Apache dikirim ke tempatnya.
Sternau berkata kepada Hati Beruang, "Saudaraku
hendaknya berangkat dengan lima puluh orang prajurit untuk menyerang musuh dari
belakang. Carilah kuda-kuda mereka. Prajurit Saudara hendaklah dengan menaiki
kuda menerjang pertahanan musuh."
"Uf!" seru orang Apache itu karena menganggap perintah itu sangat menggairahkan.
"Matava-se adalah seorang pemimpin besar. Pasti kita akan mendapat kemenangan
gilang-gemilang." Dengan diam-diam Hati Beruang pergi bersama pasukannya. Sternau memperingatkan
kepada prajurit yang tersisa supaya mereka tidak menembaki pasukan berkuda itu
karena mereka itu kawan-kawannya sendiri.
Kini diam-diam orang bersiap-siap menghadapi pertempuran yang akan meletus.
Beberapa jam berlalu. Fajar menyingsing di ufuk timur.
Hari sudah cukup terang untuk membedakan kawan lawan. Tiba-tiba terdengar pekik
perang keluar serentak dari mulut empat ratus prajurit Comanche. Saat itu juga
prajurit-prajurit itu menyerbu. Seorang prajurit Indian yang mendiami padang
prairi, lebih suka bertempur berkendaraan kuda. Namun kini mereka harus merebut
piramida, maka kuda mereka tidak banyak berguna.
Karena itu mereka menyerang dengan berjalan kaki.
Mereka merupakan sasaran empuk bagi orang-orang Apache. Setelah musuh berada
cukup dekat dengan mereka, maka Sternau memerintahkan keseratus lima puluh orang
prajuritnya, menghujani musuh dengan peluru serta anak panah.
Akibatnya banyak prajurit Comanche yang tewas terbunuh. Mereka mengundurkan
diri, namun kepala suku mereka memerintahkan maju terus. Para prajurit Apache
mendapat peluang untuk mengisi senapan mereka. Sekali lagi mereka menghujani
musuh dengan peluru serta anak panah, yang membawa hasil serupa dengan yang
sebelumnya. Kaum Comanche menyatakan kemarahannya dengan meraung-raung. Sekali
lagi mereka bergabung dan menerjang maju ke depan.
Kaum Apache tidak ada kesempatan lagi mengisi senapannya. Pertempuran mulai
beralih menjadi perkelahian satu lawan satu. Tak lama lagi pertempuran akan
berakhir. Yang masih memiliki sebuah peluru dalam senapannya, menembakkannya untuk
kemudian memegang tomahawknya. Namun tiba-tiba datang menyerbu sepasukan berkuda di bawah pimpinan
Hati Beruang. Diam-diam, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka menyerang kelompok
prajurit Comanche serta memorak-morandakan mereka.
Hari sudah menjelang siang. Sternau dapat mengamati medan pertempuran dengan
baik. Segera ia melihat kesempatannya terbuka. Dengan suara lantang ia berseru,
"Naiki kuda! Serbu!"
Kuda-kuda prajurit Apache terdapat di sebelah barat.
Dalam sekejap mata para prajurit sudah menaiki kuda lalu menyerbu musuh. Kaum
Comanche tidak sanggup menangkis serangan demikian. Mereka mengambil langkah
seribu, menghilang di dataran tinggi. Kaum Apache memenangkan pertempuran.
Mereka memperoleh banyak scalp (kulit kepala) musuh, namun mereka sendiri pun
kehilangan beberapa orang.
Sementara kaum Apache beristirahat, kaum Comanche bergabung kembali di daerah
sebelah barat. Kini mereka mengepung piramida. Dengan demikian mereka mencegah
orang-orang Apache keluar dari daerah tempat mereka berdiam. Sternau berunding
dengan para kepala suku. "Inilah kesempatan bagi kita untuk menerobos kepungan musuh," usul Sternau.
"Kaum Comanche tidak akan sanggup menahan kita karena mereka sudah kehilangan
semangat oleh kekalahan mereka."
"Untuk apa kita meninggalkan tempat kita?" tanya Hati Beruang. "Biar kita
bertahan saja di sini. Kaum Comanche tidak akan berani menyerang kita. Bala
bantuan kita akan segera bergabung dengan kita."
Semua orang setuju dengan pendapat Hati Beruang,
maka Sternau harus mengalah. Verdoja diletakkan dekat pintu masuk ke piramida.
Seorang prajurit menjaganya.
Namun tidak lama kemudian prajurit itu dapat meninggalkannya, karena penjahat
itu sudah menemui ajalnya.
Hari itu dan esok harinya pun berlalu. Bala bantuan yang diharapkan belum tiba
juga. Kaum Comanche nampaknya sudah bertambah jumlahnya. Pada malam hari
berikutnya salah seorang prajurit jaga melihat seseorang merangkak ke arahnya.
Langsung ia memegang senjatanya. Namun orang itu memberi tanda dengan
mengeluarkan pekik tertahan. Orang itu bukanlah musuh, melainkan seorang Apache
dari suku lain. Ia merangkak mendekati prajurit itu lalu berbisik, "Saudara
seorang jaga?" "Benar." "Siapa pemimpin saudara?"
"Matava-se." Orang yang baru datang itu berdiam diri karena terharu, lalu bertanya, "Apakah
Matava-se ada bersama saudara?"
"Benar." "Tentulah pasukan Saudara bertambah harum
namanya di bawah pimpinannya. Boleh saya bertemu dengan dia?"
"Berjalanlah terus. Nanti Saudara akan diantarkan kepadanya."
Sternau sedang bermusyawarah ketika orang
mengantarkan prajurit Indian itu kepadanya.
"Siapakah kamu?"
"Saya Elang Melayang, kepala suku kaum Llaneros,"
jawabnya. Mendengar jawaban ini, Hati Beruang serta merta bangkit lalu menghampirinya.
"Elang Melayang" Uf! Selamat datang! Bilamana pasukan Saudara datang?"
"Saya datang sebagai seorang duta."
"Bukan sebagai kepala suku?"
"Bukan. Kuda Terbang telah mengumpulkan semua kepala suku Apache. Ia membawa
pesan bahwa Mexico kini sedang dalam keadaan perang dan bahwa Juarez adalah
kawan bangsa Apache. Semua prajurit sudah siap sedia, namun mereka tidak mau
berperang melawan kepala suku negara Mexico. Mereka telah menguburkan kapak
perang dan saya diutus untuk menyampaikan berita itu."
"Jadi tidak ada bala bantuan yang dapat kita harapkan?"
"Tidak. Kuda Terbang menginginkan supaya kalian mengundurkan diri lalu kembali
ke padang perburuan untuk membuat daging."
Hati Beruang menundukkan kepala tanpa berkata-kata.
Tetapi Kepala Banteng sudah tidak sabar lagi. Ia mengemukakan sesuatu. "Sejak
kapan bangsa Apache mempunyai dua lidah?" gerutunya. "Mula-mula Kuda Terbang
menyuruh kita mengangkat kapak perang, kini ia menyuruh menguburkannya lagi.
Kita telah mencapai kemenangan gilang-gemilang, mengumpulkan banyak kulit kepala
musuh. Tiba-tiba kita harus kembali membuat daging."
"Saudara tidak usah mematuhi seruan. Saudara seorang kepala suku Mixteca," jawab
utusan itu. "Maka saya tidak akan turut bicara," kata Kepala Banteng.
"Bagaimana pendapat Matava-se mengenai perintah itu?" tanya Hati Beruang.
"Saya sangat menghargai perdamaian sungguhpun saya mau menolong sahabatku.
Saudara Hati Beruang bebas memilih sesuai dengan kehendaknya."
"Saya telah menunaikan tugas saya dengan
menyampaikan perintah itu. Saudara-saudara boleh bermusyawarah. Saya harus
kembali lagi, sesuai dengan keinginan para kepala suku."
Dengan perkataan ini Elang Melayang minta diri lalu
pergi meninggalkan mereka. Perjalanan yang ditempuhnya itu sangat berbahaya. Ia
harus menerobos pertahanan pasukan Comanche. Bila ia sampai tertangkap, ia tidak
akan tertolong lagi. Menjelang pagi terdengar pekik-pekik gembira di perkampungan kaum Comanche.
Tentu ada sesuatu yang menggembirakan hati mereka. Apa sebab-sebabnya, baru
dapat dilihat bila hari sudah terang. Di segenap penjuru tampak prajurit-
prajurit Comanche yang baru tiba pada malam hari. Kini jumlah mereka bertambah
menjadi seribu orang lebih. Mereka merupakan bala bantuan yang pernah dikirim ke
Presiden. Sternau sangat terkejut. Kini sudah nyata, mereka tidak sanggup
melepaskan diri. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mati. Para prajurit
Apache pun menjadi putus asa, melihat jumlah musuh yang jauh melebihi mereka.
Bantuan dari mana pun tidak dapat diharapkan lagi.
Sternau memanjat puncak piramida untuk
mengasingkan diri, supaya ia dapat berpikir lebih tenang lagi. Bukan hanya
kebebasannya yang terancam bahaya, melainkan juga hidupnya. Masih sempatkah ia
melihat kembali kawan-kawan yang dikasihinya" Ia meraba sakunya untuk
mengeluarkan surat Roseta, namun yang keluar adalah peta bagan piramida.
Perlahan ia membuka lipatannya dan melayangkan pandangannya ke atas peta secara
tidak sadar, bukan sengaja untuk mencari sesuatu.
Semua lorong sama bentuknya kecuali satu yang ukurannya lebih pendek dan agak
ganjil nampaknya. Ada tulisan tertera pada lorong itu: peta-pove. Sternau belum
pernah mendengar kata-kata itu. Sedang ia memikirkan hal itu, datanglah Kepala
Banteng menyusulnya ke atas.
Sambil berpikir Sternau bertanya, "Pernahkah Saudara mendengar perkataan peta-
pove itu?" "Pernah. Itu bahasa yang digunakan oleh bangsa Indian suku Jemes. Arti perkataan
itu: ke arah lembah. Mengapa Saudara bertanya demikian?"
Sternau tiada menjawab. Ia bangkit berdiri lalu
memandang ke arah barat, ke pegunungan Cordilleras.
Tiba-tiba ia mendapat ilham. "Ikutlah saya, Saudara,"
katanya sambil memutar tubuhnya.
Ia bergegas-gegas menyusuri dinding ke tempat yang didiami para gadis. Ia
mengambil dua kotak berisi mesiu yang terdapat di situ, menyalakan dua lampu
lalu menggapai beberapa orang Apache yang bertubuh kekar.
Orang-orang itu diperlengkapinya dengan martil, linggis, serta kapak. Di luar
piramida ia berpesan pada Hati Beruang supaya ia tetap waspada. Kemudian ia
memasuki piramida bersama Kepala Banteng. Ketika ia sampai pada persimpangan
jalan, biasanya ia membelok ke kanan.
Namun kini ia berjalan terus dan tiba pada sebuah pintu kecil. Kapak dan linggis
tidak sanggup membukanya, maka pintu itu terpaksa diledakkan. Di balik pintu
terdapat sebuah tangga yang menuju ke bawah. Di situ terdapat sebuah pintu. Di
baliknya terdapat sebuah ruangan yang di peta nampaknya seperti sebuah sel
panjang. Setelah pintu itu pun diledakkan, mereka harus menuruni tangga untuk
sampai pada suatu lorong yang panjang sekali.
Itulah sebuah lorong di bawah tanah yang langsung menuju ke arah barat.
Semuanya itu sesuai dengan dugaan Sternau setelah ia mendengar arti kata asing
itu. hatinya berdebar karena rasa gembira dan lega. Ia bergegas berjalan melalui
lorong gelap yang hanya sedikit diterangi oleh lampunya itu.
Berapa lamanya ia berjalan, kurang disadarinya, namun tiba-tiba ia berdiri di
muka beberapa anak tangga. Ia memanjatnya lalu sampai dalam sebuah gua yang
penuh berisi batu-batuan yang lepas-lepas. Dengan alat-alat kapak dan linggis,
batu-batuan itu disingkirkan lalu...
cahaya matahari memancar ke dalam. Mereka
memperbesar lubang cahaya itu dan memanjat ke luar gua. Kini mereka berada dalam
sebuah lembah sempit penuh dengan batu kerikil dan tidak ditumbuhi tumbuh-
tumbuhan. Hati-hati mereka mendaki tebing lembah itu.
Mereka melihat bahwa mereka berada di sebelah timur
piramida pada jarak lebih kurang satu mil. Di antara mereka dan piramida
terdapat orang-orang Comanche.
Kuda-kudanya sedang memakan rumput di padang kira-kira lima ratus langkah dari
lembah itu. "Nah, bagaimana pendapat Saudara tentang penemuan ini?" tanya Sternau.
"Pertumpahan darah dapat dicegah dengan demikian,"
jawab orang Mixteca itu tenang, tetapi pada cahaya matanya terlihat betapa lega
hatinya. "Kaum Comanche tentu akan mengira, kita pandai menggunakan sihir."
"Mereka akan mencari-cari kita dengan sia-sia, karena kita sudah lari dengan
membawa kuda-kuda mereka.
Karja, putri Mixteca, tidak perlu mati di tangan abangnya, karena gadis itu
lebih baik mati daripada ditangkap hidup-hidup oleh kaum Comanche."
Jadi bagi abangnya itu, nasib adiknyalah yang lebih dicemaskannya.
"Kini kita harus kembali lagi. Kita tidak boleh tampak di sini."
Kembali mereka turun ke dalam gua lalu menutupi lubang dengan batu-batuan.
Melalui lorong di bawah tanah mereka sampai di piramida lagi. Apakah gunanya
lorong yang menyeramkan itu di masa purba" Maknanya pada masa itu tentulah untuk
mengelabui mata para umatnya yang percaya. Lorong inilah tempatnya para pendeta
berjalan hilir mudik ketika di atas, dalam kuil, darah kurban manusia sebagai
persembahan kepada dewa matahari, mengalir dengan derasnya.
Mula-mula para kepala suku bermufakat apa yang harus dikerjakan mereka. Kemudian
para prajurit diberitahu. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mendaki
pegunungan Cordilleras lalu berpisah. Hati Beruang masih menambahkan: "Hati
Beruang menyayangi kawan-kawannya, maka ia akan menemaninya hingga Guamayas."
Karja menjadi merah mukanya mendengar perkataan
itu, karena ia tahu dengan pasti, kepada siapa sebenarnya perkataan itu
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditujukan. Di pegunungan sangat sukarlah didapat makanan, maka seharusnya diusahakan
perbekalan secukupnya. Kuda-kuda yang tidak dapat dipakai melalui lorong di bawah tanah, harus
ditinggalkan. Sebagai gantinya mereka harus berusaha menangkap kuda kaum
Comanche. Semua orang sibuk bersiap-siap untuk berangkat. Semua barang yang
dapat dibawa dikumpulkan.
Pada saat matahari terbenam, Karja memanjat piramida. Besar dan semampai nampak
tubuhnya berdiri di atas bangunan itu. Bajunya berkibaran ditiup angin dan
pipinya yang kehitam-hitaman nampak jelas warnanya di cahaya matahari yang
meredup. Apakah gerangan yang direnungkannya" Matanya memandang ke arah utara.
Di situ tidak terdapat Guamayas, tujuan berikut dari perjalanan mereka, tidak
juga terdapat hacienda del Erina, rumahnya tempat ia akan kembali lagi. Di situ
terdapat padang perburuan bangsa Apache di bawah pimpinan Hati Beruang, kepala
suku mereka, tempat bertaut segenap hati gadis itu. Betapa bodohnya ia pada masa
silam, mau melayani rayuan Pangeran Alfonso. Berlainan sekali cinta yang
didapatnya dari Hati Beruang. Dalam lamunannya ia tidak menyadari bahwa dari
sisi seberang piramida ada seseorang yang memanjat pula bangunan itu. Orang itu
adalah yang menjadi obyek lamunannya itu.
Hati Beruang berdiam diri ketika melihat gadis itu. Ia melihat bagaimana
matahari dengan cahayanya mewarnai pipi serta rambut gadis itu dan bagaimana
mata gadis yang hitam itu memandang dengan sayu ke dalam kegelapan malam. Ia
menghampiri gadis itu. Ketika gadis itu mendengar bunyi langkah kakinya, ia
langsung berpaling. Demi tampak olehnya pemuda itu maka pipi dan lehernya bertambah lagi merahnya.
Kepala suku yang melihat betapa bingung gadis itu disebabkan oleh kedatangannya,
mundur selangkah lalu bertanya, "Bila melihat Hati Beruang, putri Mixteca selalu
terkejut. Maka ia akan pergi, sungguhpun ia tidak tahu, mengapa ia sampai
menyinggung hatinya."
Hampir tiada terdengar jawab gadis itu, "Kepala suku Apache tidak menyinggung
hati saya." Hati Beruang menatap gadis itu lalu bertanya, "Namun Putri membenci dia,
bukankah Putri selalu berusaha menghindarkannya?"
"Tidak." "Apa daya Hati Beruang bila perjalanannya selalu bertemu dengan perjalanan
Putri" Apakah di dalam kekuasaannya, mengatur jalannya mimpi" Dapatkah mata
dipersalahkan, bila ia melihat di ombak sungai atau di awan langit wajah serta
tubuh yang itu-itu juga" Apakah saya sebesar Manitou" Dapatkah saya mematikan
perasaan yang bergelora dalam dadaku?"
Karja berdiam diri, namun Hati Beruang melihat bahwa tubuhnya gemetar. "Mengapa
Karja tidak mau menjawab?"
tanyanya. "Berapa lamakah lagi masih tersedia waktu untuk melihat wajah orang
yang dikasihi oleh Hati Beruang" Beberapa hari lamanya ataukah hanyalah beberapa
jam" Sesudah itu ia akan dipersunting pria lain...!"
"Tidak! Tak mungkin aku menjadi istri orang lain!" bisik gadis itu.
"Tak mungkin, katamu. Tak mungkin" Kau sungguh tak mempermainkanku" O, Karja,
jadi kau sayang padaku"
Utarakankah perasaanmu supaya aku mendapat
kepastian." "Ya, aku cinta padamu," katanya terengah-engah.
"Aku pun demikian. Kau akan menjadi istri kepala suku, istriku yang tunggal. Kau
tidak akan diharuskan bekerja seperti istri-istri lainnya. Kau akan diperlakukan
seperti seorang Senora kulit putih yang keinginannya selalu dipenuhi."
Hati Beruang memeluk Karja serta menciumnya tanpa menghiraukan keadaan bahwa
mereka berdiri di puncak bangunan sehingga tampak nyata gerak-geriknya oleh
kaum Comanche di bawah. Di bawah, mereka sedang diadili serta dijatuhi hukuman
mati oleh lawannya dan di atas mereka sedang menjalin hubungan batin seumur
hidup. Mereka berdiri berdekap-dekapan, melupakan seluruh isi dunia. Warna merah
yang datang dari matahari yang sedang terbenam mewarnai tubuh mereka dengan
warna yang gaib. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke belakang dengan terkejut. Ia
mendengar suara orang yang dikenalnya baik, "Adakah di antara kalian berdua yang
sakit dan memerlukan bantuan?"
Orang yang berbicara itu Kepala Banteng. Saat berangkat sudah hampir tiba, maka
ia mencari adiknya. Sekali-kali tidak disangkanya, adiknya itu ditemukannya dalam pelukan orang
Apache itu. Hati Beruang mula-mula agak canggung, namun segera ia dapat mengatasi keadaannya
lalu bertanya, "Bolehkah aku masih menyebut Kepala Banteng Saudaraku?"
"Tentu boleh," bunyi jawabnya sungguh-sungguh.
"Apakah ia murka kepadaku karena aku mencuri hati adiknya?"
"Tidak. Ia tidak marah karena hati adiknya tidak dapat dicuri orang. Dalam hati
seorang wanita sejati ada tempat untuk keduanya, untuk suami maupun untuk
kakaknya." "Apakah Saudara mengizinkanku berkunjung ke hacienda del Erina untuk
menyampaikan emas kawinku?"
"Ya, itu kuizinkan."
"Terdiri dari apakah emas kawin itu?"
"Itu urusan Saudara sendiri. Kepala Banteng tidaklah menjual adiknya."
"Apakah Saudara mau menerima seratus buah kulit kepala musuh?"
"Tidak. Kulit kepala musuh bisa kukumpulkan sendiri."
"Atau sepuluh lembar kulit beruang merah?"
"Tidak. Aku tidak kekurangan kulit."
"Maka sebutkan, apa yang Saudara kehendaki."
Mata pemburu banteng itu berkaca-kaca. Ia meletakkan tangannya di atas bahu
orang Apache itu lalu berkata,
"Aku tidak memerlukan kulit kepala ataupun kulit beruang, tidak juga emas
ataupun perak, aku hanya menginginkan supaya Saudara dapat membahagiakan adikku
kelak. Kau sudah kuakui sebagai saudaraku, namun bila Karja dibuat tidak
bahagia, aku akan memeng-
gal kepalamu dengan tomahawkku lalu memberikan otakmu sebagai makanan kepada
semut. Kembalilah ke padang rumputmu dan bicaralah dengan rakyatmu, datanglah
kemudian ke hacienda del Erina untuk menjemput adikku."
Kepala Banteng memutar tubuhnya lalu turun ke bawah. Hati Beruang mengikutinya,
lurus dan gagah, sebagai seorang pria yang belum pernah bercumbu-cumbu dengan
seorang wanita. Selama hari masih senja, tidak seorang pun dibolehkan meninggalkan kemahnya.
Baru setelah hari menjadi malam mereka berangkat. Para prajurit Apache memasuki
lorong-lorong dengan membawa senjata dan barang keperluan mereka. Setelah orang
yang terakhir lewat, maka batu penutup digulingkan supaya menutupi lubang.
Orang-orang mulai berjalan. Kepala Banteng berjalan di depan dan Sternau di
belakang. Sternau membawa sekotak bahan peledak. Setelah rombongan itu memanjat
tangga, ia meletakkan bahan peledak itu di dalam lorong lalu membakar sumbunya.
Kemudian ia mengikuti rombongan.
Tanpa penerangan mereka berjalan dalam lorong di bawah tanah dan tanpa mendapat
gangguan mereka tiba di ujung lorong yang segera ditimbuni dengan batu-batuan.
Setelah selesai mereka melakukan pekerjaan itu, mereka mendengar bunyi gemuruh
seperti ada gempa bumi di kejauhan. Bahan peledak telah meledakkan serta
menghancurkan lorong-lorong dan gua sehingga tidak ada orang yang dapat
memasukinya lagi. Kini mereka berusaha menangkap sekurang-kurangnya dua ratus ekor kuda. Bukanlah
jumlah yang kecil, namun tidaklah begitu sukar menangkapnya, karena dekat lembah
beratus-ratus kuda sedang memakan rumput.
Beberapa orang mata-mata dikirimkan untuk menyelidiki, bagaimana penjagaan kuda-
kuda itu. Mereka kembali lagi membawa laporan bahwa mereka melihat tiga orang
penjaga. Kini mereka dikirim kembali untuk
menyingkirkan para penjaga itu.
Sternau memerintah untuk bekerja dengan hati-hati sekali. Mereka tidak boleh
semuanya serentak menaiki kuda-kuda musuh itu. Perbuatan demikian akan sangat
menyolok mata. Mereka harus bergiliran menaiki kuda dan membawanya diam-diam.
Baru setelah menempuh jarak yang agak jauh, mereka dapat menaiki kuda serta
melarikannya. Tak seorang pun mengetahui tentang pencurian kuda itu karena tanah
yang ditumbuhi rumput itu sangat lunak. Pagi-pagi baru orang-orang Comanche itu
menemukan mayat-mayat para penjaga. Ketika itu orang-orang Apache sudah menempuh
jarak setengah hari. Kaum Comanche merasa sangat kecewa. Mereka merasa heran,
bagaimana kaum Apache itu dapat melepaskan diri. Baru dari mata-mata mereka yang
dibebaskan oleh Sternau, mereka tahu bagaimana cara bangsa Apache itu meloloskan
diri. *** Document Outline 000.pdf 001.pdf 002.pdf 003.pdf 004.pdf 005.pdf 006.pdf Telur Mata Setan 3 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Eng Djiauw Ong 12
tidak, kita akan mendapat kesulitan besar. Ingat betapa berbahaya Sternau itu.
Namun kita ada cukup waktu. Bila mereka menemukan jejak kita, mereka akan
menyelidikinya. Sambil mengendap-endap mereka itu merupakan sasaran empuk bagi
senapan kita." "Sayang kawan-kawan kita dahulu tidak ada di sini.
Bersama mereka kita pasti dapat dengan mudah menangkap ketiga orang itu," kata
orang yang ketiga. "Kita tidak memerlukan mereka. Kita sendiri cukup tangguh menghadapinya."
Para penjahat itu sekali-kali tidak menyangka bahwa di belakang mereka
bersembunyi dua orang yang mengamati segala gerak-geriknya.
Dalam pada itu Sternau dengan kawan-kawannya sudah mendekat. Ia telah
menghentikan kudanya serta mengamati keadaan lembah dan jarak antara kedua
lereng gunung. "Ngarai berbahaya!" katanya. "Saya berani bertaruh, Verdoja telah memasang jerat
di situ. Baik kita lalu di situ serta pura-pura acuh tak acuh. Saya akan
mengamati keadaan." Perlahan mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka tiba di tempat Verdoja
pernah memasang kemahnya. Mereka berhenti di situ.
"Inilah tempat istirahat mereka," kata Francisco.
Sternau melayangkan pandangnya ke seluruh penjuru lalu berkata gugup, "Lekas,
turun dari kuda dan tambatkan kuda. Kita pura-pura hendak beristirahat!
Cepat! Cepat!" Panah Halilintar melihat ke arah Sternau memandang lalu melompat dari kudanya.
"Saya setuju dengan Anda," katanya. "Jangan sampai mereka tahu... kita harus
mencari perlindungan."
"Di situ... sebelah kanan, pada lereng gunung... batu karang besar itu," jawab
Sternau. "Saya kira, mereka tidak akan menembak kuda. Kita akan berpencar, pura-
pura hendak mengumpulkan kayu api... kemudian langsung ke balik batu karang."
Mereka meninggalkan kudanya lalu mulai menjemput ranting-ranting.
"Lihat!" bisik salah seorang Mexico, "mereka berhenti.
Alangkah mudahnya menembak mereka."
"Sedang mengapa mereka?" seru kawannya. "Mereka bersembunyi di situ. Kita sama-
sama dalam keadaan bahaya seperti mereka."
"Kurasa tidak. Mereka belum pergi ke ngarai. Tentu ada alasan lain sehingga
mereka bersembunyi."
"Itu berbahaya. Kita bersembunyi di sini, mereka pun bersembunyi di situ. Kita
sama-sama dalam keadaan bahaya seperti mereka."
Memang demikianlah keadaannya. Dekat tempat masuk ke ngarai, Sternau telah
melihat sebatang ranting patah, hanya itu yang tampak olehnya. Penjahat telah
memanjat tebing dan berpegangan pada ranting itu. Kulit batang pohon terkoyak,
menampakkan bekas koyakan yang agak putih warnanya. Hanya mata orang yang
terlatih dapat menangkap keganjilan itu serta mengartikannya.
Panah Halilintar pun melihatnya. Ketiga orang itu kini merebahkan diri di balik
batu karang dan Francisco bertanya, "Apa yang aneh?" Ia tidak mengerti, mengapa
mereka harus bersembunyi.
"Kaulihat ranting yang tercabut itu?" jawab Panah
Halilintar." "Eh... ya." "Lalu di atasnya, bekas batu-batu bergulingan ke bawah?"
"Ya." "Bagus! Itu merupakan bukti bahwa baru saja seorang memanjat tebing untuk
memata-matai. Ketika ia melihat kita, ia terburu-buru kembali ke lembah, separuh
meluncur. Bekasnya itu masih jelas terlihat di tebing. Di seberang situ tentunya
ada orang-orang yang sedang menghadang kita."
"Caramba!" maki Francisco.
"Tetapi kita tidak perlu merasa takut. Mereka hanya berdua, paling banyak
bertiga." "Masa jumlahnya hanya sekecil itu?" kata Panah Halilintar.
"Anda kira, Verdoja menghadang dengan seluruh pasukannya?" jawab Sternau.
"Tidak, mula-mula ia harus mengamankan tawanannya. Jumlah tawanan empat orang.
Rombongan mereka terdiri dari sebelas orang, sehingga yang berlebih itu hanya
tiga orang. Ia tidak mengetahui bahwa saya mendapat bantuan. Pada perkiraannya
saya hanya seorang diri. Maka seorang pun sudah cukup untuk menghabisi nyawaku
dengan sebutir peluru. Tempat musuh bersembunyi tentunya agak dekat kita. Mari
kita selidiki sekeliling kita, mungkin dapat kita temukan tempat persembunyian
mereka." Pandangannya yang tajam menyusuri tiap batu dan tiap semak yang dapat memberi
pelindungan. "Saya tahu!" katanya tiba-tiba. "Tadi saya lihat lutut orang di balik batu
karang tinggi dan berbentuk persegi itu. Mari kita tembak ke arah itu."
"Tak mungkin tembakan Anda mengenainya," kata vaquero itu.
"Sangat mungkin," jawab Sternau sambil merebahkan diri. Batu tempat mereka
berlindung sedikit runtuh. Maka dengan aman ia dapat membidik melalui celah
dalam batu. Katanya kepada Panah Halilintar, "Bila Anda meletakkan topi Anda di atas hulu
senapan Anda lalu mengacungkan senapan itu, mereka akan menyangka melihat orang
yang sedang mengintip. Biar mereka melepaskan tembakan pada 'orang' itu. Si
penembak tentu akan memperlihatkan sebagian dari tubuhnya. Itu merupakan sasaran
kita." "Baik kita coba juga," kata Panah Halilintar sambil tertawa lalu menaruh topinya
di atas senapannya. Kedua kepala suku yang ada di seberang telah mengamati segala kejadian. Mereka
menyiapkan senapannya sehingga setiap saat dapat digunakan.
Kemudian muncullah topi itu, menimbulkan kesan bahwa seseorang mengintip di
balik batu. "Uf!" bisik Kepala Banteng. "Bodoh benar orang itu!"
"Patutkah saudara mengira bahwa Ratu Batu Karang itu begitu bodoh?" tanya Hati
Beruang. "Lebih baik kita nantikan saja!"
Ketiga pembunuh itu berbisik-bisik. Salah seorang memegang senapannya,
meletakkannya di tepi batu.
Sambil bersandar pada batu ia mengangkat kepalanya untuk dapat menembak topi
itu. Baru saja ia memetik picu lalu dari seberang terdengar tembakan dan orang
Mexico itu jatuh terjungkir.
"Jadi seperti saudara lihat, itu merupakan siasat belaka."
"Ratu Batu Karang memang seorang ksatria besar," kata kepala suku itu.
"Kedua orang yang tersisa akan mendapat gilirannya juga, namun saya sudah tidak
sabar lagi. Baik kita memperkenalkan diri."
"Baik," orang Mixteca itu mengangguk.
Kedua penjahat itu sedang sibuk dengan menolong kawannya yang terluka itu
sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi di belakang mereka. Kedua
kepala suku itu bangkit berdiri, melambai-lambai ke seberang lalu kembali
merebahkan diri. "Apa itu?" tanya Panah Halilintar terheran-heran.
"Sungguh kebetulan sekali, itu Kepala Banteng," jawab Sternau. "Dan orang Indian
di sebelahnya itu... kalau tidak salah Hati Beruang. Nasib kita mujur. Kini musuh
diapit oleh dua api. Siapa yang menyangka, kita akan ditemani oleh dua kepala
suku yang gagah perkasa itu."
"Serahkan saja kepada mereka. Mereka akan
menembak mati kaum penjahat itu," pikir Francisco.
"Itu bukan tujuan kita," jawab Sternau. "Lebih baik kita tawan mereka hidup-
hidup. Maka kita dapat menanyai mereka. Semoga orang-orang Mexico itu tidak
mengerti bahasa Apache. Maka mereka tidak dapat mengetahui kepada siapa kita
berkata dan apa arti perkataan itu.
Kepala suku tentu cukup bijaksana untuk tidak menjawab dengan kata-kata."
Sternau menunggu beberapa saat lalu berseru dengan suara lantang, "Tenilsuk
nagongo akaja - ada berapa orang musuh?"
Di balik batu karang di seberang diacungkan dua tangan.
"Jadi dua orang," kata Sternau. "Sesuai dengan dugaanku." Kembali ia berseru,
"Shi ankhuan to tastsa ta, shi ankhuan hotli intahinta - saya mau menangkap
mereka hidup-hidup!"
"Sternau berteriak seperti orang gila. Apa maksudnya dengan perkataanmu itu"
Bila hendak memaki kami, silakan berbahasa Spanyol! Kita berada dalam keadaan
genting. Sedikit menonjol tubuh kita, maka langsung akan menjadi sasaran
tembakan mereka. Tak ada jalan lain. Kita harus menanti sampai malam tiba atau
sampai kawan-kawan kita kembali lagi."
Namun jalannya tidak sesuai dengan jalan pikirannya.
Para kepala suku memahami betul pesan Sternau. Mereka meletakkan senapannya ke
atas tanah, lalu membawa pisau belatinya dengan jalan menggigitnya. Perlahan
mereka merangkak ke arah orang Mexico itu. Sternau mengerti bahwa ia harus
mengalihkan perhatian mereka.
Ia berdiri tegak lurus, mengangkat senapannya lalu
menembak. "Bagus. Anda mau menembak!" kata salah seorang Mexico sambil tertawa dan
mengintip di balik batu karang.
"Mari, kau boleh mendapat sebutir peluru."
Ia meraih senapannya, namun pada saat itu juga ia merasa lehernya dicekik orang
kuat-kuat sehingga ia terengah-engah kekurangan nafas. Kawannya mengalami nasib
yang serupa. "Serbu!" kata Sternau sambil melompat ke lembah.
Kawan-kawannya mengikutinya. Bantuan mereka sebenarnya tidak diperlukan lagi.
Kedua kepala suku itu sedang sibuk mengikat orang yang sudah tidak sadarkan diri
itu dengan tali laso. "Kepala Banteng, kepala suku Mixteca, telah menyelamatkan jiwa saya kedua
kalinya," kata Sternau sambil mengulurkan tangan kepadanya.
"Matava-se sendiri sanggup mengerjakan segala-galanya," jawab kepala suku itu
merendah. Kini Sternau pun berjabat tangan dengan Hati Beruang.
"Perjumpaan kita terakhir sudah bertahun-tahun lalu.
Maka besar hati saya bertemu kembali dengan Anda."
"Hati Beruang pun berbesar hati bertemu kembali dengan Saudara. Beberapa musim
panas yang panjang saya menantikan Saudara."
Panah Halilintar menceritakan kepada kepala suku Apache tentang penyembuhannya
berkat bantuan Sternau. Kemudian mereka duduk-duduk dan bermusyawarah.
Mereka menjaga supaya percakapan mereka tidak terdengar oleh para tawanan.
"Apakah tujuan sahabat kami menempuh gurun?" tanya Kepala Banteng.
"Kami mengalami musibah," jawab Sternau. "Hacienda del Erina telah diserang
perampok." "Siapakah mereka" Orang-orang Mexico?"
"Benarlah. Penjahat itu menawan empat orang: Senor Mariano, Senor Unger,
Senorita Emma, dan Senorita Karja."
"Karja?" seru kepala suku terkejut.
"Karja, bunga suku Mixteca itu?" seru Hati Beruang.
"Mengapa sampai hal demikian dapat terjadi" Apakah tidak ada orang laki-laki di
rumah?" "Benar ada beberapa orang laki-laki, namun..."
"Itu bukan laki-laki, bila sampai ada orang-orang diculik," kata Hati Beruang.
"Bolehkah saya tambahkan bahwa saya sendiri termasuk dalam tawanan itu?" jawab
Sternau. "Ratu Batu Karang... seorang tawanan?" tanya Hati Beruang tak percaya. "Bukankah
Anda sekarang bebas?"
"Saya berhasil membebaskan diri. Apakah para kepala suku mau mendengar
ceritanya?" Sternau bercerita tentang pengalamannya dengan cara sesingkat-singkatnya. Ketika
ia berhenti, orang Apache itu mengulurkan tangan kepadanya lalu berkata,
"Maafkan saya, Saudara! Memang bukanlah perkara yang sulit untuk mengalahkan,
orang yang sekuat-kuatnya pun bila ia diserang dari belakang dalam keadaan
gelap. Kini kita harus cepat-cepat menyembunyikan kuda kita. Kita tidak tahu,
siapa yang mungkin akan datang."
Sternau ikut pergi menyembunyikan kuda. Di tempat itu mereka melihat kuda-kuda
para perampok sedang makan rumput. Para perampok yang kini sudah sadarkan diri
digiring juga ke situ. Francisco menunggu di ujung lembah, mengadakan penjagaan.
Yang lain bergabung dengan Sternau menanyai para tawanan.
"Kalian masuk rombongan Verdoja?" tanya Sternau.
Tidak dijawab. "Aku melihat sendiri kalian dalam rombongan itu. Tak ada gunanya menutup mulut
atau menyangkal. Perbuatan demikian hanya akan menambah beratnya hukuman.
Mengapa kalian tertinggal dari mereka?"
"Itu perintah Verdoja," jawab mereka dengan garang.
"Mendapat tugas apa?"
"Membunuh atau menawan Anda."
"Itu sudah kuduga. Tetapi aku kurang mengerti,
mengapa kalian bertiga yang dikirim untuk tugas itu.
Bukankah kalian sudah tahu betapa sulitnya membunuh aku, apalagi menangkap aku
hidup-hidup?" "Kami kira, Anda baru akan tiba esok hari. Verdoja telah berjanji akan mengirim
bala bantuan lebih banyak lagi."
"O, jadi banyak orang akan dikirim ke mari. Bilamana?"
"Mungkin esok hari."
"Berapa banyaknya?"
"Entahlah." "Ke mana Verdoja membawa tawanannya?"
"Itu pun tidak kami ketahui."
"Jangan berbohong!"
"Anda kira, Verdoja mempercayakan rahasianya kepada kami?"
"Hm! Namun mereka yang datang esok hari, tentu akan mengetahuinya. Di mana
tempat pertemuan kalian?"
"Di sini, di lembah ini."
"Berapa banyaknya uang hadiah yang dijanjikan Verdoja untuk usaha pembunuhan
itu?" "Seratus peso bagi tiap orang."
"Baik. Kini tunggu putusan kami."
Upaya Sternau berhasil dalam membiarkan para penjahat tetap hidup. Mereka
ditinggalkan di cabang lembah dalam keadaan terbelenggu. Salah seorang,
belenggunya dibuat agak kendur, agar ia dapat membebaskan diri serta kawannya.
Senjata mereka dimusnahkan dan kuda mereka dibawa pergi.
Kawan-kawan yang baru bertemu itu kini dapat memperbincangkan maksud yang
dikandung bangsa Apache yang membawa mereka ke daerah ini. Sternau hanya
mengetahui bahwa pasukan Juarez berada di Monclova, selanjutnya bahwa Verdoja
dibantu oleh enam orang Mexico. Mungkin orang-orang itu datang esok hari, namun
rombongan Sternau tidak merasa takut. Maka mereka sepakat mengirim Hati Beruang
kepada bangsa Apache untuk menenteramkan hati mereka. Di balik punggung
pegunungan ia akan menanti kedatangan
kawan-kawan lainnya. Setelah diputuskan demikian, Hati Beruang berangkat naik
kuda. Petang serta malam hari itu tidak terjadi apa-apa. Pagi esok harinya pun
demikian. Menjelang petang terdengar bunyi derap kaki kuda. Sternau telah
mengatur tempat persembunyian masing-masing di balik batu karang.
Mereka mendapat perintah, mula-mula menembak kuda orang-orang itu. Ketika bunyi
derap itu makin mendekat, rombongan Sternau cepat-cepat mencari tempatnya
masing-masing. Di sebelah barat lembah terdapat juga sebuah "pas". Di situ mulai menampak empat
orang Mexico. Mereka berhenti untuk menyelidiki lembah. Ketika mereka tidak
menemukan kawan-kawannya, mereka memasuki lembah simpang yang sempit itu. Baru
saja mereka tiba di situ terdengarlah empat kali tembakan. Kuda-kuda melompat
lalu terjatuh. Peluru-peluru tepat mengenai sasarannya sehingga kuda-kuda itu
tidak dapat bangkit kembali.
Sesaat penunggang kuda serta kudanya menjadi kacau-balau. Keadaan itu digunakan
dengan baik oleh keempat jago tembak itu. Mereka berlompatan ke luar dari
persembunyiannya lalu memukul kepala lawannya dengan hulu senapannya sebelum
orang-orang itu menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian orang-orang itu
dibelenggu dengan tali laso mereka sendiri. Pemimpin mereka adalah seorang
perwira pasukan bertombak yang dahulu pernah terlihat di hacienda del Erina.
"Selamat bertemu kembali," kata Sternau. "Sayang kini kau tidak berpangkat
sebagai perwira lagi."
Orang itu memandang Sternau dengan penuh
kebencian. "Aku tidak bersalah. Aku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanmu
itu. Lepaskan aku." "Kami tidak perlu mendengarkan ocehanmu itu.
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tugasmu menjawab pertanyaanku. Ke mana
kausembunyikan para tawanan?"
"Tidak tahu." "Aku mau mengulangi pertanyaanku hanya sekali saja:
Di mana tawanan itu?"
"Tak mau kukatakan."
Kepala Banteng mencabut pisaunya, menodongkannya kepada bekas perwira itu lalu
berkata dengan garang, "Adikku Karja ada di mana?"
Orang itu kurang mengenal watak orang Indian maka ia tetap membungkam saja.
Orang Indian itu berkata dengan tenang, "Jawab pertanyaanku."
"Tidak mau." "Maka kamu tidak usah tetap hidup. Orang mati tidak dapat berbicara. Kau tidak
mau bicara, jadi kau akan mati."
Demi terucap perkataan itu, orang Indian itu secepat kilat menikamkan pisaunya
tepat mengenai jantung lawannya. Maka lawannya itu rebah tanpa mengeluarkan
suara. "Kalian semuanya boleh menempuh jalan itu," kata Kepala Banteng dengan darah
dingin. Kini pisau ditodongkan ke dada tawanan yang kedua.
Kepala Banteng bertanya, "Kamu juga mau membungkam atau mau bicara?"
Orang itu takut pada ancaman itu namun ia takut pula mengkhianati kawan-
kawannya. Ia berpikir sejenak.
Karena tidak dapat menunggu lebih lama lagi, orang Mixteca itu menikamkan
pisaunya ke dalam dada orang Mexico itu. Kini tiba giliran yang ketiga.
"Katakanlah, anjing, di mana tawanan itu disembunyikan."
"Baik, akan kukatakan semuanya," kata orang itu ketakutan. "Para tawanan
disembunyikan dalam bangunan piramida kuno."
"Di manakah bangunan itu?"
"Di negara Chihuahua, dekat hacienda Verdoja."
"Bagaimana bentuk bangunan itu?"
"Merupakan bangunan piramida Mexico lama yang dahulunya dipergunakan sebagai
tempat mengabdi pada dewa matahari. Letaknya di sebelah utara hacienda,
ditumbuhi oleh semak belukar."
"Di mana tempat masuknya?"
"Tidak tahu. Hari sudah malam ketika kami tiba di situ.
Kami harus tunggu di luar, tidak boleh masuk. Hanya Senor Verdoja, Senor
Pardero, dan seorang penjaga berusia lanjut boleh masuk. Mula-mula kedua gadis
tawanan dibawa masuk, kemudian tawanan prianya."
"Di sebelah mana tempat masuknya itu?"
"Tidak tahu." "Kamu tentu sudah mengetahui di sebelah mana Verdoja masuk."
"Ia pergi ke hutan belukar di sebuah sudut piramida lalu menghilang di sebelah
selatan." "Di situ tentunya tempat masuknya. Apa yang terjadi setelah para tawanan dibawa
masuk?" "Kami pergi ke hacienda Verdoja, mendapat kuda-kuda baru serta bekal makanan dan
pergi ke mari." "Berapa lamanya perjalanan itu?"
"Dari pukul dua sesudah tengah malam hingga sekarang."
"Jadi kita akan tiba di piramida pada malam hari bila kita berangkat sekarang."
"Benar." "Baik. Kau harus menjadi penunjuk jalan, tetapi tidak ada orang yang boleh
melihat kita. Dan ingatlah: bila kau berusaha menipu kami, ketika itu kau akan
menjadi mayat. Kau tahu jalannya?"
"Tahu benar." "Maka kita tidak memerlukan orangmu yang keempat.
Sesuai dengan hukum savana ia harus mati."
Sebelum Sternau dapat mencegah, Kepala Banteng mencabut sekali lagi pisaunya
lalu menikamkannya ke dalam dada orang Mexico itu.
"Kepala Banteng kejam," kata Panah Halilintar mencela.
"Kulit kepala mereka terlalu mudah diperoleh."
Dengan angkuhnya Kepala Banteng menjawab, "Kepala suku Mixteca hanya mengambil
kulit kepala dari musuh yang kalah dalam peperangan. Ini hanya anjing, aku tidak
menginginkan kulit kepalanya. Mereka mati sebagai anjing kena pukul oleh
tongkat." Semua barang yang dimiliki keempat perampok yang dapat berguna diambil. Kemudian
mereka pergi. Penunjuk jalan mendapatkan kuda yang tidak diperlukan oleh
Sternau. Kelima orang itu pergi melalui "pas" ke utara. Di situ Hati Beruang
bersama kaum Apache menanti mereka.
Pos-pos depan itu mempermudah jalan mereka.
Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Kaum Apache berniat
untuk menguasai hacienda dan menawan Verdoja serta Pardero. Mereka akan diminta
dengan ancaman supaya membebaskan para tawanan. Kemudian mereka akan dihakimi.
Seorang Apache kembali untuk memberitahu Kuda Terbang, di mana kelompok pertama
prajurit akan bertemu dengan kelompok kedua. Francisco tidak diperlukan lagi dan
dikirim kembali oleh Sternau ke hacienda del Erina untuk memberitahu Arbellez
tentang keadaan mereka. Arbellez mendapat nasihat, janganlah berputus asa karena
besar harapannya, putrinya akan kembali ke atas pangkuannya.
Rombongan berangkat. Orang-orang kulit putih berjalan di muka, Hati Beruang dan
Pembunuh Grizzly bersama penunjuk jalan di tengah. Mereka diikuti oleh rombongan
suku Apache yang berjalan seperti biasanya dengan cara beriring. Mereka tiba di
dataran tinggi Chihuahua melewati berbagai wilayah hacienda tanpa diketahui
penghuninya. Tengah hari mereka menempuh hutan lebat. Menjelang malam mereka tiba di daerah
perbatasan milik Verdoja. Di sebelah barat tampak samar-samar bentuk bangunan
piramida bangsa Astek yang menyeramkan roma. Itulah tujuan perjalanan mereka.
BAB IV MATA-MATA Di sebelah barat laut gurun Mapimi terdapat beberapa sungai yang mengalir ke
situ serta membuat tanahnya subur ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Padang-padang
rumput diselingi oleh hutan-hutan lebat terdapat di daerah itu hingga sampai di
barat laut Mexico. Di situ terdapat dataran-dataran tempat suku Apache bermukim.
Orang-orang Apache ketika itu berada di salah satu hutan. Mereka dipimpin oleh
Sternau, Kepala Banteng, dan Hati Beruang. Di sepanjang jalan mereka tidak
berjumpa dengan manusia, maka mereka merasa aman dan tenteram. Seandainya hutan
yang ditempuh mereka itu agak kecil maka mereka akan menjelajahnya untuk
menyelidikinya. Karena hutan itu sangat luas, mereka merasa cukup hanya
menyelidiki daerah tepinya saja.
Namun seorang peninjau yang ahli akan dapat menangkap bunyi-bunyi lemah yang
bergerak dengan perlahan ke arah tepi hutan. Akhirnya terdengar pula beberapa
ucapan orang dengan nada menggerutu. "Apakah Saudara belum pernah diajar
berjalan tanpa terdengar orang?"
Jawabnya keluar dengan suara tertahan, "Di bawah pohon-pohonan sangat gelap.
Apakah Saudara mempunyai mata kucing, yang dapat melihat semua ranting dan daun-
daunan?" Kemudian suasana menjadi hening kembali, hanya bunyi desir yang aneh itu masih
tetap terdengar. Ketika bunyi itu pun tiba-tiba berhenti, terdengar seseorang
berbisik, "Mengapa Saudara berhenti" Apakah Saudara mendengar sesuatu?"
"Benar, saya mendengar di kejauhan seekor kuda mengendus."
Endus kuda itu terdengar lagi, makin dekat.
"Orang-orang berkuda sedang menuju ke mari. Dekat kita ada sebatang pohon yang
tinggi. Mari kita memanjat pohon itu. Di atas pohon itu kita tidak dapat dilihat
dari bawah dan kita akan mempunyai pandangan luas ke padang prairi." Percakapan
tadi dilakukan oleh dua orang Indian. Yang berkata terakhir, kini memeluk batang
pohon lalu memanjatnya. Ia diikuti oleh yang lain. Mereka bergerak dengan
lincahnya tanpa terdengar orang, bagaikan dua ekor tupai layaknya. Setelah
mereka berada tinggi di atas pohon, tertutupi oleh daun-daunan, mereka tidak
terlihat sedikit pun dari bawah. Senjata mereka tergantung di tubuhnya, namun
mereka tidak terhambat sedikit pun olehnya. Baru mereka berada di situ, maka
terdengar bunyi langkah kaki orang. Mereka itu orang-orang Apache yang telah
turun dari kudanya untuk menyelidiki tepi hutan. Setelah mereka lewat, dapat
diketahui dari bekas-bekas kaki kuda bahwa rombongan itu telah meneruskan
perjalanan. "Uf!" bisik salah seorang Indian, "bangsa Apache!"
"Wajahnya bercoreng-moreng, menandakan dalam keadaan perang!" tambah yang
lainnya. "Ada orang kulit putih di antara mereka."
"Tiga orang! Uf! Uf!"
"Mengapa Saudara begitu terkejut?"
"Saudara tidak mengenali pemimpinnya, seorang kulit putih bertubuh tegap serta
berwibawa itu?" "Tidak." "Ia bernama Matava-se. Beberapa musim dingin yang lalu aku telah berjumpa
dengannya di kota yang disebut orang kulit putih Santa Fe."
"Uf. Ia seorang gagah perkasa. Dan tahukah Saudara siapa kepala-kepala suku yang
mendampinginya?" "Yang seorang bernama Hati Beruang, seorang anjing Apache."
"Dan yang lainnya bernama Kepala Banteng, seorang Mixteca. Mari kita hitung
jumlah pasukan mereka."
Orang-orang Indian yang memata-matai mereka itu sedang duduk di puncak pohon.
Dari situ mereka dapat mengawasi gerak-gerik lawannya dengan aman. Mereka
menghitung dengan cermat. Setelah rombongan Apache itu lampau, berkata salah
seorang mata-mata, "Jumlah mereka dua puluh kali sepuluh orang, ditambah dengan
enam orang Apache dan empat orang kulit putih."
"Saudara telah menghitung dengan cermat. Ke manakah gerangan mereka pergi?"
"Tujuan mereka ke hacienda Verdoja. Presiden Mexico telah memanggil prajurit
Comanche, maka si pengkhianat Juarez itu tentunya mengumpulkan orang Apache
untuk menandinginya. Mereka menuju ke hacienda yang merupakan tujuan kita pula.
Esok hari akan tiba banyak orang Comanche. Matilah anjing-anjing Apache itu.
Mereka akan menghadiahkan kulit kepala mereka kepada kita.
Tetapi mari kita mengikuti mereka supaya tahu apa yang dikehendaki mereka."
"Baik kita berpisah saja. Aku akan mengikuti jejak mereka dan Saudara pulang
untuk memberi laporan."
"Baik." Kedua orang Indian itu meluncur turun dari atas pohon lalu menyelinap ke luar
hutan. Mula-mula mereka memastikan diri bahwa mereka tidak diikuti orang,
kemudian mereka menuju ke padang prairi.
Kini mereka nampak dengan jelasnya: dua orang Comanche mengenakan pakaian
perang. Tidak nampak tanda-tanda kehormatan sebagai kepala suku pada mereka,
namun pasti mereka bukan sembarang prajurit karena mereka diserahi tugas mata-
mata yang demikian beratnya.
Matahari sudah hampir terbenam. Di kejauhan bergerak rombongan orang Apache
bagaikan seekor ular layaknya.
"Saudara harus cepat-cepat mengikuti mereka! Hari sudah hampir malam. Saudara
akan kehilangan jejak mereka."
Tanpa menjawab, kawannya itu bergegas-gegas mengikuti rombongan orang Apache
itu. Seorang mata-mata Indian dalam keadaan perang biasanya tidak mengendarai
kuda, karena kuda itu dapat menghambat gerak mereka. Seorang Comanche yang
berjalan kaki mudah mencari perlindungan di balik tiap benda yang dijumpainya.
Dengan demikian mudah pulalah baginya untuk memata-matai lawannya sementara hari
masih cukup terang. Kawannya mengawasinya sejenak, kemudian ia kembali lagi ke
rombongannya. Rombongan orang Apache tiba di piramida. Mereka berhenti dekat bangunan
menyeramkan itu. Para pemimpinnya memandanginya dengan perasaan
bercampur. Di dalamnya terkurung orang-orang yang sangat dikasihinya.
"Tiada mungkinkah kita menghancurkan bangunan itu," kata Panah Halilintar dengan
gemasnya. "Sabar!" kata Sternau menghibur. "Pasti kita dapat membebaskan mereka. Saya
harap, kita segera dapat mengakhiri penderitaan mereka."
"Setiap kali Karja, putri Mixteca itu, menarik nafas panjang, seorang musuh
harus menebusnya dengan jiwanya," ancam Kepala Banteng. "Di manakah letak pintu
masuknya?" Sternau bertanya kepada penunjuk jalan, "Di tempat mana kalian disuruh
menunggu?" "Ikutlah saya!" kata orang Mexico itu. Setelah berjalan beberapa lamanya, orang
itu berkata, "Inilah tempatnya!"
"Dan ke mana Verdoja masuk bersama tawanannya?"
"Di sini di antara semak belukar ini ia menghilang dan di sana, di ujung situ,
terlihatlah cahaya lampu mereka."
"Baik. Jika kau berkata benar, kau akan kami biarkan hidup."
Sternau memanggil kedua kepala suku serta Panah
Halilintar untuk memberitahu mereka tentang keadaannya.
"Kita harus melarang orang kita berjalan di semak-semak itu," kata Kepala
Banteng. "Verdoja pernah mondar-mandir di situ. Meskipun kejadian itu sudah lama
berlalu, namun ia pasti telah meninggalkan jejak. Jejak itu baru dapat kita
lihat bila hari sudah terang."
"Masa, harus kita menunggu sampai pagi hari," kata Hati Beruang.
"Benar juga pendapat Saudara," kata Panah Halilintar.
"Emma tidak boleh menderita lebih lama lagi dalam penjaranya."
"Jadi Anda menganggap perlu, kita menantikan petunjuk dari Verdoja?" tanya
Sternau kepada Kepala Banteng. "Bukankah masih ada jalan lain" Kita dapat
menyerbu hacienda." "Namun kita harus menyelidiki daerah itu lebih dahulu."
"Perlukah itu?" tanya Panah Halilintar. "Serbu saja, pegang orang itu, seret dia
ke mari." Anton Unger sudah tidak sabar lagi. Kekhawatirannya terhadap kekasihnya
mendorongnya berbuat ceroboh.
Sternau sudah siap dengan jawabnya ketika terdengar suara pekik orang kuat-kuat.
"Uf! Ntsage no-khi peniyil -
kemarilah!" terdengar suara orang dalam bahasa Apache.
Suara itu terdengar di belakang mereka.
"Siapa?" tanya Sternau.
"Pembunuh Grizzly," jawab Hati Beruang.
"Apakah ia memisahkan diri dari kita?"
"Benar. Ia ingin lebih cermat menyelidiki daerah."
"Kalau begitu, ia telah menemukan sesuatu yang penting. Lekas, kita pergi
melihat!" Sternau meluncur turun dari kudanya lalu bergegas ke arah suara itu. Ia
menjumpai pemuda Apache itu sedang berlutut. Di bawah lututnya ada seorang
Indian yang dipegangnya erat-erat.
"Seorang Comanche!" katanya.
Segera dilemparkan orang sebuah tali laso untuk mengikat orang itu. Orang yang
tertangkap itu mata-mata Comanche yang telah memata-matai mereka.
"Bagaimana sampai Saudara dapat menangkap orang ini?" tanya Hati Beruang.
"Saya berjalan di belakang rombongan. Saya mendengar orang sedang mengikuti
kita. Lalu saya turun dari kuda untuk mencarinya. Saya menemukan dia di sini. Ia
sedang memasang telinga untuk mendengar percakapan kita.
Langsung saya terkam dia."
Sternau mendekati tawanan itu untuk menyelidikinya.
"Benar," katanya. "Ia seorang mata-mata Comanche yang memata-matai kita."
"Bunuh anjing itu!" kata seorang Apache.
"Sejak kapan seorang prajurit Apache dapat mendahului kepala sukunya dalam
mengambil keputusan" Prajurit demikian tidak patut dinamakan prajurit. Ia
seorang wanita atau anak kecil."
Orang itu dengan rasa malu mengundurkan diri.
Pembunuh Grizzly yang berdiri dekat tawanannya bertanya, "Di mana kawan-
kawanmu?" Namun mata-mata itu membungkam saja. Usaha orang lainnya pun untuk menyuruhnya
bicara, gagal pula. Sternau berhasil mengubah keadaan itu dengan melemparkan pertanyaan, "Kau
seorang prajurit Comanche hanya mau menjawab pertanyaan orang yang
menghormatimu. Apakah kau akan melarikan diri bila aku membuka belenggumu?"
"Tidak. Saya tidak akan lari."
"Mau kau menjawab pertanyaanku?"
"Ratu Batu Karang akan mendapat jawaban. Ia seorang yang baik dan adil."
"Jadi kau kenal aku?" tanya Sternau.
"Saya kenal Anda serta menjadi tawanan Anda."
"Kau menjadi milik orang yang menaklukkanmu.
Bangkitlah!"
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sternau melepaskan belenggunya. Tawanan itu bangkit
berdiri tanpa berusaha melarikan diri.
"Kau seorang dirikah?" tanya Sternau.
"Tidak." "Satu rombongan?"
"Tidak. Hanya ada seorang kawan."
"Tugasmu menjadi mata-mata?"
"Benar." "Kau ada banyak bala bantuan?"
"Lebih dari itu tidak boleh saya katakan."
"Baik. Aku tidak akan bertanya lagi. Bawalah orang ini serta jagalah baik-baik,"
katanya kepada seorang Apache.
Perbincangan dilanjutkan.
"Dua orang mata-mata di perjalanan, merupakan pelopor dari sebuah pasukan
Comanche," kata Sternau.
"Kita harus waspada.
Kedua orang itu pasti telah melihat kita. Kemudian mereka berpisah. Salah
seorang pergi mengikuti kita dan yang lainnya kembali untuk memberi laporan
kepada rombongannya. Sebenarnya kita tidak usah takut kepada mereka, karena di
belakang mereka ada rombongan orang Apache. Namun sebaiknya kita sudah siap
siaga dekat piramida sebelum mereka tiba. Mereka tidak mungkin tiba sebelum esok
petang. Saya mengusulkan untuk sementara kita tidak pergi ke hacienda dulu. Esok
hari pagi-pagi sekali kita berusaha memasuki piramida. Bila kaum Comanche sampai
dapat tiba lebih dahulu daripada yang kita duga, maka kita dapat mempergunakan
bangunan tua ini sebagai tempat perlindungan. Air cukup tersedia bagi kita
maupun kuda kita. Semak belukar dapat memberi perlindungan. Hanya satu hal yang
kekurangan, yaitu makanan. Itu pun dapat kita usahakan. Kita dapat menggiring
sekelompok lembu. Mulai tengah malam kaum vaquero tidak menjaga di padang
rumput. Mereka sedang tidur."
Kini mereka menggiring beberapa ekor lembu untuk dijadikan bekal makanan bagi
para prajurit Apache selama dua minggu. Rumput bagi kuda dan lembu mereka
tersedia cukup di atas padang-padang rumput yang luas.
Mereka mengirim mata-mata menyongsong pasukan Comanche yang bergerak ke arah
mereka. Kemudian mereka yang tidak mendapat tugas jaga dibolehkan tidur
berselimut untuk memulihkan tenaga. Panah Halilintar, Hati Beruang, serta Kepala
Banteng tidak tidur. Hati mereka selalu risau memikirkan nasib kekasihnya dalam
penjara piramida. Sebelum fajar menyingsing mereka membangunkan Sternau, karena tanpa dia mereka
tidak berani mengambil tindakan apa pun. Keempat orang itu pergi ke arah yang
ditunjukkan oleh orang Mexico itu semalam. Ketika mereka menyelidiki tanahnya,
ternyata bahwa terdapat jejak yang jelas menunjuk ke bagian tenggara dari
piramida. Di antara semak-semak, jejak itu nampak jelas, tetapi tidak demikian
di padang rumput di belakangnya. Kejadian itu sudah lama berlangsung sehingga
rumput yang rebah sudah bangkit kembali. Mereka agak kecewa. Orang-orang yang
sedianya pandai memecahkan persoalan itu, kini hampir putus harapan. Segala
ikhtiar sudah dilakukan, namun sia-sia.
Mereka mengerahkan tenaga prajurit Apache. Semak belukar, daerah sekitar
piramida, keempat dinding, serta ujung tumpul dari bangunan tua itu, diselidiki
dengan saksama, namun mereka tidak menemukan sesuatu.
Mereka mulai merasa putus asa. Tetapi Sternau bukanlah orang yang membiarkan
dirinya lama-lama dikuasai oleh perasaan demikian. Sekali lagi ia mengamati
bangunan yang penuh dengan rahasia itu lalu berkata,
"Kita tidak berdaya. Kita harus menjemput Senor Verdoja.
Mari kita pergi ke hacienda!"
Lima menit kemudian sepasukan terdiri dari lima puluh orang Apache berangkat di
bawah pimpinan Matava-se dan Hati Beruang. Matahari terbit ketika hacienda mulai
tampak di pemandangan mereka. Bagaikan angin puyuh para prajurit menyerbu
gedung. Mereka tidak ada banyak waktu. Kaum Comanche setiap saat dapat datang.
Mereka tiba di pagar tanpa mendengar bunyi-bunyi. Nampaknya penyerbuan akan berhasil.
Pintu pagar masih tertutup, namun itu bukan rintangan bagi para prajurit. Atas
perintah kepala suku mereka melompat turun dari kudanya lalu memanjati pagar.
Beberapa orang vaquero yang sedang berbaring dapat ditangkap mereka dengan
mudah. Mereka tidak mendapat kesulitan dengan orang-orang lainnya. Seorang
Apache membuka pintu pagar lalu Matava-se masuk ke dalam bersama Hati Beruang.
Kepala suku tinggal bersama orangnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
Sternau pergi bersama tiga orang Apache ke jalan masuk. Di daerah ini rumah-
rumah mempunyai bentuk yang sama. Maka Sternau langsung tahu di mana pemilik
hacienda berada. Ia bergegas menaiki tangga lalu membuka pintu. Penyerbuan tidak
dapat diadakan tanpa kegaduhan. Para penghuni rumah terbangun. Melihat orang-
orang Indian menyerbu, mereka menjadi ketakutan setengah mati. Nyonya rumah
ditemani oleh lima orang wanita. Semuanya itu berkumpul dalam sebuah kamar,
gemetar ketakutan. Kebetulan Sternau dengan kawan-kawannya masuk ke dalam kamar
itu. Kedatangannya menyebabkan para wanita menangis terisak-isak serta meratap-
ratap. "Diam!" perintah Sternau.
Perintah itu tidak dipatuhi mereka. Pengurus rumah tangga berlutut di hadapannya
menengadahkan tangannya ke langit serta memelas, "Mohon ampun, Senor. Apakah
kesalahan kami, kami tidak pernah berbuat apa-apa."
"Di manakah Verdoja?"
"Ia tidak di rumah. Kemarin pagi ia pergi dan sampai sekarang belum kembali."
Itu berita yang buruk. Perjalanan ke hacienda itu semata-mata dilakukan untuk
memperoleh keterangan dari Verdoja. Kalau begitu, mereka sebaiknya tinggal saja
dekat piramida. Kekecewaan tergambar jelas pada wajah Sternau sehingga pengurus
rumah tangga itu bertanya,
"Apakah barangkali keponakan saya itu musuh Anda?"
Perkataan wanita itu mengingatkan Sternau kepada suatu hal. "Apakah Verdoja
keponakan Anda?" tanyanya.
"Benar, Senor. Saya nyonya rumah."
"Apakah ia mempercayai Anda?"
"Itu sudah jelas. Kalau tidak, mana dapat saya diangkat menjadi nyonya rumah."
"Maksud saya, apakah ia mau mempercayakan rahasia-rahasianya kepada Anda?"
"Ya... kadang-kadang ia mau menceritakan."
"Tahukah Anda, di mana ia sekarang berada?"
"Tidak." "Apakah Verdoja semalam tinggal di hacienda?"
"Ya." "Tahukah Anda tentang piramida yang ada di sekitar sini?"
"Ya, saya tahu."
"Apakah piramida itu berongga di dalamnya?"
"Benar, ia berongga. Senor Verdoja kerap kali masuk ke dalamnya."
"Benarkah demikian?" tanya Sternau girang.
"Bagaimana caranya masuk ke dalam?"
"Itu tidak saya ketahui. Sejak ayahnya hidup, hal itu sudah merupakan rahasia.
Namun di atas terdapat sebuah meja tulis. Di dalamnya tersimpan suatu peta yang
berisi gambar bagan ruang-ruangan dalam piramida."
"Antarkan saya ke meja tulis itu."
Wanita tua itu mengantarkan Sternau ke ruang duduk Verdoja. Di situ terdapat
sebuah meja tulis. Sternau membongkar lacinya dengan pisaunya. Benar juga
terdapat peta di situ yang menggambarkan tentang bagian dalam dari piramida. Bergembira dengan
penemuannya itu Sternau memasukkan peta itu ke dalam sakunya lalu pergi ke
rombongan orang Apache di bawah. Prajurit-prajurit itu telah mengumpulkan
peluru, beberapa buah kapak, dan linggis. Barang-barang itu akan dibawa mereka.
Mungkin mereka memerlukannya di dalam bangunan tua itu.
Penyerbuan hanya berlangsung dalam waktu setengah
jam. Kini rombongan itu berangkat lagi menuju ke piramida bangsa Astek itu.
Baru setelah tiba kembali di tempat itu Sternau berkesempatan untuk menyelidiki
peta. Denahnya sangat jelas. Bagian dalam piramida terjadi atas tiga tingkat. Di
tengah-tengah terdapat mata air yang dalam dan berbentuk segi empat. Di sekitar
mata air terdapat lorong-lorong yang dihubungkan oleh lorong-lorong simpang. Di
ujung-ujung lorong didirikan sel-sel. Mula-mula piramida itu dapat dimasuki dari
empat penjuru serta di tengah-tengah terdapat juga satu jalan masuk. Jalan-jalan
masuk itu sudah tentu dibuntukan dengan dinding. Masalahnya kini untuk menemukan
salah satu jalan masuk itu.
Sternau memberitahukan kawan-kawannya tentang peta itu. Semua kini sibuk
mencari, namun tidak ada yang dapat menemukan sesuatu. Tiba-tiba Sternau
terpikir akan sesuatu. Ia mengukur panjangnya salah satu dinding untuk
memastikan di mana letak tengahnya. Di tempat itu ia menjumpai sebuah batu
karang. Pada batu itu terdapat gores-gores yang agak ganjil. Ia menyelidiki batu
itu dengan saksama. Hampir-hampir ia putus asa. Ketika itu ia berjongkok lalu
mendorong batu itu kuat-kuat. Wah... ia bergerak.
Ia bangkit melompat lalu berseru, "Aku sudah tahu rahasianya."
"Benarkah demikian?" tanya Panah Halilintar kurang percaya.
"Benar. Inilah jalan masuknya. Aku dapat merabanya."
"Di mana" Lekas katakan!"
"Batu yang di tengah itu dapat didorong masuk."
Panah Halilintar langsung berjongkok lalu mendorong batu itu dengan sekuat
tenaga... batu itu berputar ke dalam dan alas batu yang bergelinding mulai nampak.
Sternau melihat ke dalam. "Kulihat ada sebuah lampu.
Semestinya ada banyak lampu seperti itu."
"Ada juga minyak sebotol."
"Cepat... nyalakan lampu dan kita akan masuk ke
dalam." Panah Halilintar cepat menyalakan lampu lalu masuk ke dalam. Ia tidak peduli
lagi, apakah ada orang yang mengikutinya. Namun ketiga kawannya lengkap
mengikutinya: Sternau, Kepala Banteng, dan Hati Beruang.
Mereka menempuh lorong panjang hingga tiba di sebuah pintu. Sternau menerangi
peta dengan lampunya untuk menyelidikinya.
"Di peta tidak diterangkan tentang adanya pintu-pintu,"
katanya. "Apakah ada kuncinya?"
"Tidak," jawab Panah Halilintar, "namun pintu itu tertutup erat bagaikan
terkunci." "Mungkin di bagian dalamnya terdapat gerendel-gerendel yang mengunci pintu. Atau
mungkin juga ada rahasianya. Untuk mencari pemecahan rahasia itu diperlukan
banyak waktu. Lebih baik kita ledakkan saja pintu. Ada cukup bahan peledak
tersedia. Buatlah beberapa lubang dengan pisau di dalam dinding dekat kosen-
kosen pintu. Dindingnya terbuat dari batu bata yang sudah tua sehingga agak
lunak. Aku akan mengambil bahan peledaknya."
Mereka langsung bekerja dengan rajinnya. Sekembali Sternau, pekerjaan sudah
rampung. Lubang-lubang diisi dengan bahan peledak yang diberi sumbu terbuat dari
tali dibubuhi bahan peledak. Sumbu itu dinyalakan. Semua orang berlari kembali
ke jalan masuk. Sesaat kemudian terdengarlah empat kali letusan hebat berturut-
turut. Kelima orang itu hendak masuk lagi, namun mereka melihat Pembunuh Grizzly
tergesa-gesa menyongsong mereka. Tentu ia membawa kabar penting.
"Ada apa?" tanya Hati Beruang.
"Anjing-anjing Comanche sudah keluar dari hutan menuju ke mari."
"Siapa yang membawa berita itu?"
"Rusa Merah." "Kita ingin mendengarnya dahulu. Bawa ia kemari!"
Orang Apache yang bernama Rusa Merah itu datang. Ia
salah seorang mata-mata yang telah dikirim ke daerah musuh.
"Silakan Saudara menceritakan, apa yang telah terjadi,"
kata Hati Beruang. "Saya kembali ke jalan yang telah kita tempuh," prajurit itu memulai laporannya.
"Kedua orang Comanche yang salah seorangnya sudah ada di tengah kita, telah
melihat kita. Tentunya hal itu terjadi di dalam hutan. Maka saya berjalan
mengitarinya. Terdengar bunyi cereceh burung gagak. Tentu burung-burung itu
beterbangan terkejut oleh adanya orang yang sedang berjalan di antara pohon-
pohonan. Lalu saya bersembunyi di balik semak-semak dan menanti. Tidak lama
kemudian anjing-anjing Comanche itu lewat, rombongan besar... saya hitung ada
empat kali sepuluh orang prajurit bersama tiga orang kepala suku."
"Kenalkah kau akan mereka?" tanya Hati Beruang.
"Tidak." "Ke mana musuh itu pergi?"
"Setelah yang terakhir lewat, saya mengikuti mereka.
Mereka pergi ke tepi hutan. Di situ mereka mengadakan rapat lalu pergi ke
hacienda." "Mereka akan segera ke mari."
"Mungkin nanti malam mereka baru tiba," pikir Panah Halilintar
"Tidak. Mereka akan mengurung kita, supaya hubungan kita dengan dunia luar
terputus," jawab Sternau.
"Pada malam hari mereka akan menyerang kita. Maka penjagaan harus diketatkan.
Bila terjadi sesuatu, datanglah segera ke lubang ini untuk memberi laporan."
Mata-mata itu boleh pergi. Kelima orang itu kembali masuk ke lorong. Setibanya
di tempat letaknya pintu itu, mereka melihat daun pintu sudah rebah di atas
tanah. Daun pintu diterbangkan bersama kosen-kosennya ke luar dinding. Mereka
menyeretnya ke tepi lalu memeriksanya.
Hanya terlihat sebuah lubang di bawah dan sebuah lagi di atas. Selain itu, tidak
ada lagi yang ganjil. Kemudian
mereka menyelidiki lantai serta langit-langit tempat daun pintu itu melekat lalu
mereka menemukan sebuah gigi besi di atas maupun di bawah. Gigi itu pas benar
pada lubangnya. Namun gigi itu tidak dapat digerak-gerakkan sedikit pun, maka
mereka tidak dapat mengetahui bagaimana alat itu bekerja.
"Yah, tidak ada jalan lain. Kita harus meledakkan semua pintu," kata Sternau.
"Akan kuambil lebih banyak bahan peledak lagi, namun kita harus berjalan sedikit
lagi. Sekali lagi Sternau mengeluarkan peta untuk menyelidikinya.
"Apakah yang Saudara cari?" tanya Hati Beruang.
"Tempat menyekap tawanan itu. Itu kira-kira di tengah-tengah piramida, dekat
mata air, karena itulah tempat yang terbaik untuk menyekapnya. Pintu ini kita
ledakkan saja. Saudara Panah Halilintar yang baru saja sembuh dari penyakitnya,
sebaiknya menjauhkan diri secukupnya bila pintu itu meledak."
Orang membuat lubang-lubang lagi. Ketika Sternau kembali, bahan peledak itu
langsung dimasukkan ke dalam lubang-lubang. Mereka berlari menjauhkan diri.
Setelah terdengar bunyi ledakan, mereka melihat hasilnya sama dengan pintu
sebelumnya. Di sini pun terlihat gigi-gigi besi di atas dan di bawah, namun
tidak terlihat adanya permesinan yang dapat menggerakkannya. Pembuat kunci
rahasia ini sungguh seorang yang cerdik. Pintu beserta kunci rahasianya itu
pasti buatan zaman kemudian, karena pada zaman piramida itu dibangun, masih
belum dikenal orang besi.
Atas petunjuk Sternau mereka melanjutkan perjalanan.
Di samping bahan peledak dibawanya juga sebuah kapak dan sebatang besi
pengungkit. Pintu berikutnya dicoba mereka membongkarnya dengan alat-alat itu,
namun sia-sia. Terpaksa harus diledakkan lagi. Pintu ini dilengkapi dengan
gerendel-gerendel besar di bagian luar dan dalamnya, sehingga harus digunakan
lebih banyak bahan peledak untuk membongkarnya. Maka bunyi ledakan yang
terdengar amat dahsyat. Bangunan itu bergetar menakutkan oleh karenanya. Ketika
mereka tiba di tempat peledakan itu, mereka melihat sebagian tembok serta
langit-langit tempat pintu itu, menjadi gugur. Begitu banyak puing bertumpuk
sehingga menghambat jalan mereka. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, mereka
harus menyisihkan puing-puing itu. Kemudian langit-langit pun harus ditopang.
Alat-alat yang tepat untuk mengerjakan pekerjaan itu, tidak ada pada mereka.
Maka pekerjaan itu menjadi sangat berat dan memakan waktu berjam-jam lamanya.
Sedang mereka sibuk bekerja, datanglah seorang utusan yang meminta supaya para
kepala suku keluar dari bangunan itu. Karena keadaan bangunan itu sangat
membahayakan dan ratusan orang Indian di luar membutuhkan pimpinan, maka mereka
menganggap kurang bijaksana bila kepala suku mereka membiarkan dirinya dalam
keadaan penuh bahaya itu. Maka para kepala suku harus pergi. Setiba mereka di
luar, mereka melihat prajurit-prajurit Comanche sudah mengurung mereka. Setelah
dihitung dengan cermat, nyatalah bahwa jumlah mereka hanyalah seratus orang
sebanyak-banyaknya. Beberapa orang di antara mereka menggiring lembu.
"Musuh kita sedang berburu lembu untuk
mengumpulkan bekal daging," kata Sternau. Mereka tidak akan menyerang sebelum
malam tiba. Kini kita masih aman dan dapat melanjutkan pekerjaan kita."
BAB V TERLEPAS DARI KEPUNGAN MUSUH Setiap saat pertempuran dapat berkobar di sekitar piramida, namun para tawanan
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih tetap terkurung dalam bangunan itu. Mereka membicarakan segala kemungkinan
akan pembebasan. Segenap harapan dipusatkan mereka kepada Sternau. Hingga kini
sudah dua malam berlalu, waktu yang terasa sebagai berabad lamanya. Air minum
sudah hampir habis. Makanan pun sudah tinggal sedikit lagi dan setiap kali
terdengar raung dan rintih Verdoja yang sudah setengah gila itu dari arah mata
air. Gadis Indian itu tidak berkata apa-apa, tetapi Emma tidak dapat menyembunyikan
rasa takutnya. Ia sudah tidak percaya lagi bahwa mereka dapat diselamatkan.
Prianya telah berusaha membongkar pintu dengan pisau, tetapi tanpa hasil.
Penyelamatan hanya dapat diharapkan datangnya dari luar, tetapi siapa orangnya
yang sanggup melakukannya" Isi piramida merupakan rahasia dan mereka yang
memegang kunci rahasia itu sudah mati atau sudah menjadi gila dan berada di
bawah, dekat mata air. Emma melipat tangannya dan berdoa, "Ya Tuhan, tolonglah kami dalam mengatasi
keadaan kami yang demikian buruknya! Janganlah lepaskan hamba-Mu yang tidak
berdaya ini, kami serahkan nasib kami sepenuhnya ke dalam tangan-Mu yang
mahakuasa dan mahaadil itu."
Mualim terdiam mendengar doa itu, tetapi Mariano memegang tangan gadis itu lalu
menghibur hatinya, "Janganlah berputus asa! Kita masih menaruh harapan kepada Sternau. Ia tahu
penderitaan kita sebagai tawanan Verdoja. Tentu ia tidak tinggal diam dan
berusaha menyelamatkan kita."
"Tetapi bagaimana dapat ia mengetahui bahwa kita berada di sini. Siapa orangnya
yang dapat memberitahukan kepadanya?"
"Serahkan semuanya saja kepada Tuhan. Saya yakin bahwa Sternau dapat menemukan
kita." "Tetapi seandainya ia mendapat kecelakaan, bagaimana nasib kita?"
"Ia tidak akan mendapat kecelakaan. Ia tahu bahwa kita membutuhkan
pertolongannya, maka ia selalu akan berhati-hati, justru karena hati-hatinya
itu, ia agak terhambat sampai ke mari. Baru dua minggu berlalu.
Mungkin sekali, kini ia sudah dekat. Namun dengarlah!
Seperti ada...!" "Ada apa?" tanya Emma.
"Bunyi gemuruh... seperti bunyi guntur di kejauhan."
"Ah, mana mungkin. Bangunan ini kedap suara. Suara dari luar tidak mungkin
tembus ke dalam." Kembali hening sesaat. Suasana menjadi tegang.
Mualim memecah keheningan itu. "Sayang benar aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingin sekali kuhancurkan bangunan sial ini bila mungkin."
"Janganlah Anda mengkhayal. Hanya dari luar kita dapat mengharapkan
pertolongan." "Namun pertolongan itu harus cepat datang... bukan untuk diriku. Aku dapat
bertahan lebih lama lagi. Tetapi lain halnya dengan senorita-senorita itu.
Mereka tidak berdosa, lagipula daya tahan mereka sudah berkurang.
Namun... apa itu?" Kali ini keempat orang itu mendengar bunyi gemuruh itu."Sama seperti yang tadi,"
kata Mariano. Hanya kali ini lebih keras. Aneh benar. Bunyi badai atau guntur
tidak mungkin sampai ke mari."
"Itu bukan badai dan bukan guntur. Itu bunyi tembakan," kata Mualim.
"Tembakan tak mungkin sampai terdengar di sini," kata Emma.
"Mengapa tidak, kalau tembakan itu dilepaskan di dalam piramida ini," kata
Unger. "Siapa orangnya yang dapat menembak di sini?"
"Entahlah. Namun sebagai seorang pelaut aku dapat membedakan bunyi tembakan
dengan bunyi guntur. Itu pasti bunyi tembakan. Dan bukan tembakan pistol atau
senapan, melainkan tembakan meriam. Namun mengingat tempat kita ini terkurung,
keterangan demikian agak ganjil pula."
"Benar. Itu pasti bukan tembakan senjata ringan. Dan apakah maksud mereka dengan
tembakan itu" Untuk memberi tanda kepada kita" Sternau tentu tahu bahwa kita
tidak dapat memberi jawaban," kata Emma.
Mualim mengangguk, lalu memandang ke depan serta berpikir. "Memang itu bukan
tembakan senapan biasa. Tentunya senjata yang luar biasa beratnya. O, aku teringat akan sesuatu. Yah,
ada bunyi yang mirip dengan itu.
Suatu ledakan!" "Jadi Anda mengira bahwa...?"
Unger mengangguk. "Benarlah. Kukira Sternau sudah tiba. Mungkin ia menghadapi
pintu-pintu yang terkunci itu, dengan tanpa adanya jalan lain, terpaksa
meledakkannya." Nada yakin Mualim membuat harapan pada Emma pulih kembali. Katanya dengan air
mata berlinang-linang, "Anda memberi harapan kepada kami, Senor Unger. Kini kepercayaanku sudah kembali
lagi. O, Ayahku yang malang! Alangkah besar hatiku, bila dapat bertemu kembali
denganmu!" Ia menangis, namun air matanya itu bercucuran karena hati yang sedih, bukan
karena harapan baru. Tiba-tiba terdengar bunyi benturan sangat dahsyat, yang
membuat lantai dan dinding lorong itu bergetar. Dan setelah bunyi
benturan itu diikuti oleh bunyi derak yang membisingkan telinga, maka Mualim
melompat ke atas serta bersorak,
"Sternau sudah datang! Sternau sudah datang! Itu tadi bunyi ledakan hebat yang
menggugurkan dinding. Kita sudah selamat. Mari kita bergembira!"
Emma berusaha bangkit, namun tubuhnya yang lemah itu membuat ia roboh kembali.
"Tidak bermimpikah aku?"
tanyanya terengah-engah. "Senor Unger berkata benar," kata Mariano. "Bagaimana pendapat Anda, Senorita
Karja?" Perlahan gadis Indian itu mengangkat pandangannya kepadanya. "Pasti
Sternau! Saya yakin akan kedatangannya."
Emma memeluknya serta menciumnya lalu bersorak,
"Puji syukur kepada Allah Yang Mahakasih. Saya tidak akan melupakan kemurahan
hati-Mu, seperti juga Kamu selalu mengingat kami."
Waktu berlalu dengan merayap. Di lorong yang diisi dengan sel-sel Unger dan
Mariano, mereka diam mendengarkan.
"Kita pergi saja ke pintu yang lebih jauh lagi," usul Mualim.
"Baik, mungkin kita dapat mendengar lebih banyak lagi dari situ," kata Mariano.
Ia membantu Emma bangkit. Mereka berjalan ke pintu yang pernah dicongkel-congkel
mereka dengan pisau itu lalu duduk di atas lantai yang dingin itu untuk
mendengarkan. Terdengarlah terus-menerus bunyi benda-benda bergesek.
"Tahukah Anda, apakah itu, Senorita?" tanya Unger.
"Kawan-kawan kita sedang sibuk memindahkan puing-puing yang berjatuhan, berasal
dari dinding yang gugur itu. Ledakan yang terakhir lebih hebat lagi. Lorong
tentunya hancur oleh karena itu!"
Mereka mendengar barang bergeser-geser terus-menerus tiada habis-habisnya.
"Saya hampir tidak dapat mempercayai kebenaran itu!"
"Percayalah, Senorita! Apa yang saya katakan tadi
bukanlah khayalan belaka."
"Aneh! Kini suara-suara tadi tidak terdengar sedikit pun lagi."
"Mungkin mereka sedang beristirahat sebentar," hibur Mualim.
Sesungguhnya saat itu ketika para kepala suku dipanggil kembali oleh rakyatnya
karena mereka sedang dikurung oleh kaum Comanche. Keempat tawanan itu berdiam
diri saja hingga bunyi bergeser-geser itu terdengar kembali. Kemudian terdengar
bunyi benturan-benturan keras, seperti orang membacokkan parang dan kapak ke
atas kayu. Lagipula mereka seperti mendengar suara-suara orang bicara di
kejauhan. Kemudian terdengar bunyi...
langkah kaki orang yang mendekat!
"Kini tiba giliran pintu ini," kata seseorang. "Pintu ini menuju ke mata air.
Kita masih mempunyai cukup bahan peledak."
Para tawanan diam seperti terpaku, dalam ketegangan ini mereka tidak dapat
berbicara. Tanpa berkata-kata, mereka berpegangan tangan masing-masing. Akhirnya
bisik Mualim, "Itu Sternau! Aku tahu! Ia tahu bahwa pintu ini membuka jalan ke
mata air." Mereka mendengar samar-samar orang meraba-raba pintu. Orang lain lagi berbicara,
"Kita perlukan banyak bahan peledak. Pintu ini pun diberi banyak gerendel."
Demi mendengar ucapan ini, Emma tiba-tiba bangkit, lalu memekik tersedu-sedu,
"Ya Tuhan! Itu Antonio!
Antonioku!" Di balik pintu sejenak keadaan menjadi sunyi sepi, seakan mereka justru karena
rasa gembira yang melimpah, akhirnya menjadi lumpuh. Kemudian Panah Halilintar
berseru, "Emma, Emmaku, benarkah engkau di situ?"
"Benar!" sorak gadis itu. "Akulah ini, sayang!"
"Puji syukur kepada Tuhan! Engkau seorang diri saja?"
"Tidak. Kami berempat."
Kini terdengar suara orang yang belum pernah terdengar sebelumnya, "Berempat.
Jadi kamu juga, Karja?"
Suara tadi membuat gadis Indian itu menjawab dengan gembira, "Benarlah, Karja,
adikmu ada juga di sini!"
"Uf! Uf!" terdengar suara orang yang keempat. Bisik Mualim, "Siapakah orang
itu?" "Suara itu saya kenali," kata Emma. "Itu Hati Beruang, seorang kepala suku
bangsa Apache. Mereka lengkap semuanya, Hati Beruang, Kepala Banteng, dan Panah
Halilintar. Namun di manakah Sternau" Saya tidak mendengarnya lagi."
Tanya Panah Halilintar, "Bagaimana keadaanmu, Emma?"
"Baik! Kini segala penderitaan sudah berakhir!"
Seseorang mengetuk pintu. Kemudian terdengar lagi suara Sternau, "Dan apa kabar
dengan nakhoda kita yang perkasa itu" Ia sudah dilupakan semua orang, bahkan
oleh saudaranya sendiri!"
"Terima kasih, Dokter!" seru Unger. "Kemudi masih belum terlepas dari tanganku.
Bila Anda membuka jalan, kita segera dapat melanjutkan pelayaran."
"Hasrat Anda akan terkabulkan segera. Hanya ingin aku bertanya, Verdoja dan
Pardero masih ada di situ?"
"Benar. Mereka masih ada di sini. Namun mereka tidak dapat melapor kepada Anda.
Pardero sudah menemui ajalnya dan Verdoja terjatuh di tepi mata air dengan
tulang punggung dan kedua belah tangan yang patah. Ia masih hidup."
"Kesudahan yang sangat menyedihkan," kata Sternau di balik pintu. "Kalian telah
mempertahankan diri dengan gagah perkasa. Sikap kalian itu sangat terpuji. Namun
kini kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kalian harus dibebaskan. Gelapkah di
tempat kalian itu" Kalian dapat melihat?"
"Dapat. Kami membawa lampu."
"Bagus! Kalian harus mundur sejauh-jauhnya! Kami akan meledakkan pintu. Apakah
lorong kalian memungkinkan kalian mundur?"
"Ya. Dengan leluasa."
"Maka lekaslah! Kami segera akan tiba."
Para tawanan itu mundur sejauh mungkin lalu mendengar orang-orang di balik pintu
mengorek-ngorek dan mencongkel-congkel dengan pisaunya. Beberapa saat kemudian
terdengar bunyi ledakan yang gegap gempita.
Karena pintu itu dekat mereka, maka peledakan itu bukan hanya terdengar,
melainkan juga terasa benar pengaruhnya. Dinding-dinding berguguran, bagian
langit-langit pun berbungkah-bungkah berjatuhan ke atas lantai.
Setelah debu yang beterbangan bergumpal-gumpal mulai mengendap, terdengar dari
tempat bekas pintu itu berdiri, suara Panah Halilintar yang tiada sabar lagi,
"Emma, di manakah kamu?"
"Di sini!" sorak Emma sambil berlari.
Di balik tumpukan puing berdiri Panah Halilintar, meskipun di tempat yang gelap,
namun masih kelihatan juga karena cahaya lampu yang menyinarinya. Emma segera
berpelukan dengan mesra dengan kekasihnya,
"Antonio, kekasihku! Hampir saja aku mati!"
"Puji syukur kepada Tuhan yang menghindarkanmu dari malapetaka," jawab
kekasihnya dengan terharu.
"Kalau tidak demikian, kepalaku yang baru sembuh dari sakit itu tidak akan dapat
menerimanya. Aku pasti akan menjadi gila."
Di sisinya nampak Kepala Banteng. "Di manakah Karja, putri kaum Mixteca itu?"
serunya. Gadis Indian itu bergegas menyongsongnya serta menyalaminya dengan hangat. Kini
Sternau juga datang menyambut semuanya dengan salam. Ia menceritakan secara
ringkas apa yang terjadi.
"Kau sempat merampas pisau Verdoja lalu
mengancamnya?" tanya Panah Halilintar kepada tunangannya.
"Benarlah. Ia tidak boleh menjamahku. Kuancam akan membunuhnya atau membunuh
diriku sendiri," jawab gadis itu sederhana.
"Pahlawan kecil!" Dengan penuh rasa kagum ia
mendekap gadis tunangannya itu. Pada saat itu Karja ditanya, "Apakah putri
Mixteca itu sendiri membunuh Pardero?" Pertanyaan itu diajukan oleh Hati
Beruang. Hati Karja kini sudah menjadi miliknya, meskipun dahulu ia pernah
menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Alfonso.
"Benar," jawab gadis itu perlahan.
"Lalu kemudian membebaskan kawanmu, seorang tawanan juga?"
"Benar." "Putri Mixteca seorang pahlawan wanita sejati. Ia pantas menjadi istri tunggal
seorang kepala suku yang termasyhur."
Orang Apache itu membelai rambut gadis itu dengan mesra, kemudian ia berpaling,
namun Karja menangkap makna dari sikap demikian.
"Baik kita memusatkan perhatian kepada hal-hal yang kita hadapi sekarang," kata
Sternau memperingatkan. "Mula-mula kita harus memeriksa sel-sel tempat kalian diasingkan serta mayat-
mayat di dalamnya." Mariano mengambil lampu lalu pergi menunjukkan jalan. Rombongan orang yang baru
datang itu berdiri bulu romanya, menyaksikan penjara-penjara yang sempit serta
kotor itu. Ketika mereka menemukan mayat-mayat lawannya, mereka terdiam saja.
Mereka menyadari dalam peristiwa ini tangan Tuhan sudah bekerja.
Tiba-tiba terdengar pekik yang memanjang dan menyayat hati.
"Apa itu?" tanya Panah Halilintar.
"Verdoja," jawab Mariano.
"Mengerikan!" kata Sternau. "Aku akan pergi menjumpainya."
Mereka melanjutkan perjalanannya. Hanya para gadis tidak mengikut mereka karena
merasa takut. Mereka minta kepada Mualim supaya mau menemaninya. Wajah Verdoja
terlalu menjijikkan bagi gadis-gadis itu.
Setelah rombongan sampai ke mata air, terdengar lagi pekik itu, lebih menakutkan
daripada raung binatang buas
mana pun. Mereka yang berdiri di tepi mata air itu terkejut sekali, sehingga
mereka langsung memalingkan mukanya.
"Jadi Verdoja tidak mau memecahkan rahasia pintu itu?" tanya Sternau.
"Tidak, ia menginginkan kami mati semuanya di sini."
"Sungguh jahat orang itu. Namun aku ingin
menjumpainya juga." Sternau menyiapkan tali lasonya. Tali itu dihubung-hubungkannya dengan tali
kepunyaan Kepala Banteng dan Hati Beruang. Kemudian ia mengambil lampu lalu
diturunkan oleh kawan-kawannya ke mata air dengan menggunakan tali itu. Sesampai
di bawah ia memancarkan cahaya lampunya kepada orang yang mendapat musibah itu.
Orang itu membuka matanya yang berlumuran dengan darah, menatap sejenak wajah
lawannya lalu berseru, "Anjing, mau apa kau ke mari?"
"Untuk menyampaikan kabar kepada seseorang yang berhati iblis bahwa rencana
busuknya telah gagal semuanya! Kami telah menyelamatkan para tawanan.
Pintu-pintu rahasiamu sekali-kali bukanlah rintangan bagi kami untuk masuk ke
dalam." "Bangsat, kamu sekalian, kamu patut..." Verdoja tidak sanggup menyelesaikan
kalimatnya. Ia terbatuk-batuk terus-menerus lalu meraung-raung kembali
kesakitan. "Sadarilah bahwa kamu sudah berada di ambang pintu maut," kata Sternau
memperingatkan. "Dalam keadaan demikian kita sebaiknya tidak memaki-maki,
melainkan bersujud di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, serta memohon pengampunan
dosadosa kita." Verdoja berusaha mengepalkan tinju namun tiada berhasil. Bagaikan seekor
binatang buas ia memperlihatkan giginya serta mendesis, "Enyahlah kamu, bangsat, aku tidak
mengemis kasihan." Ucapannya yang kasar itu memadamkan setiap percik rasa kasihan dalam hati
Sternau. "Baik!" katanya. "Bila kamu berkehendak demikian, kami akan menuruti
keinginanmu. Kami tidak akan berusaha lagi mengurangi
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penderitaanmu." Sternau membungkuk untuk memeriksa tubuh orang itu. Pekerjaan itu dilakukannya
tanpa mengenal belas kasihan, sehingga si sakit meraung-raung kesakitan.
Akhirnya Sternau selesai. "Kehendak Tuhan telah berlaku," katanya. "Tulang-
tulangmu semuanya patah, maka kau tidak akan hidup lama lagi."
Sternau melepaskan ikatan tali lasonya dan
mengikatkannya pada tubuh si sakit.
Ia memberi tanda. Orang-orang menarik tali ke atas.
Bukannya Sternau yang muncul ke atas melainkan si sakit yang terus-menerus
memperdengarkan raungannya.
Sesampai Verdoja di atas, tubuhnya diletakkan di dalam lorong, lalu tali
diturunkan kembali ke mata air. Sekali ini Sternau-lah yang diangkat ke atas.
"Apa yang harus kita perbuat dengan orang itu?" tanya Panah Halilintar.
"Beberapa orang Apache akan kusuruh menggotong tubuhnya ke lorong pertama. Di
situ masih terdapat sedikit air yang dapat meringankan penderitaannya. Ia dapat
tinggal di situ hingga menemui ajalnya. Kini kita harus lekas mencari jalan
keluar." Mereka menjemput para gadis dan mengantarkannya ke luar melalui pintu-pintu yang
telah diledakkan. Ketika Emma menginjakkan kakinya di luar, ia terpaku
menghadapi pemandangan yang menyilaukannya. Dengan air mata berlinang-linang
gadis itu mendekap Sternau lalu berkata, "Peristiwa ini senantiasa akan tergores
dalam hatiku." Kepala Banteng pun menjabat tangan Sternau. "Matava-se, jiwaku adalah milik
Anda." Mereka berjalan mengelilingi dinding piramida untuk memperoleh pemandangan yang
lebih baik. Kaum Comanche sudah bertambah jumlahnya. Kira-kira sudah ada tiga
ratus orang berkumpul. Kuda mereka cukup banyaknya serta perlengkapan senjatanya cukup baik. Emma
menjadi gelisah melihat musuh demikian banyaknya, namun kaum pria menghibur hatinya. Sebaliknya Karja
yang memandang rendah kaum Comanche, minta diberikan senjata supaya dapat turut
aktif dalam pembelaan. Menjelang matahari terbenam tampak jumlah musuh sudah mencapai kira-kira empat
ratus orang yang mengurung piramida. Ketika hari menjadi malam, tampak dengan
jelasnya api unggun mereka menyala. Kaum Apache pun berani menyalakan api untuk
membakar daging. Seekor lembu sudah dibantai mereka. Kemudian mereka memadamkan
apinya. Hal itu diikuti juga oleh kaum Comanche.
Mereka harus tetap waspada. Selama api unggun musuh masih menyala, mereka tidak
usah mengkhawatirkan serangan dari musuh, karena tiap gerakan mencurigakan akan dapat
dilihat. Kini api sudah dipadamkan. Para kepala suku mengusahakan supaya orang-
orangnya tetap berjaga. Dekat semak belukar para penembak ahli bersiap-siap
dengan senapan terkokang.
Pandangannya yang tajam menembusi kegelapan malam.
Sternau telah mengusahakan sehingga di antara medan musuh dengan mereka terdapat
beberapa pos mata-mata. Orang-orang itu merangkak menghampiri musuh sejauh mungkin. Mereka hanya diberi
senjata pisau. Mereka menerima pesan supaya segera mengundurkan diri bila musuh
mulai menyerang. Hati Beruang mendapat tugas jaga di sebelah utara piramida, Kepala Banteng di
sebelah selatan, Panah Halilintar di sebelah timur, dan Sternau di sebelah
barat. Sternaulah yang memegang pimpinan serta menunjuk tiga orang yang lincah untuk
memberi laporan tentang segala kejadian. Dua jam lewat tengah malam Panah
Halilintar mengirim orang yang melaporkan kepada Sternau bahwa musuh sedang
bergerak ke arah barat. Segera Sternau memberi perintah supaya semua prajurit
Apache dikirim ke tempatnya.
Sternau berkata kepada Hati Beruang, "Saudaraku
hendaknya berangkat dengan lima puluh orang prajurit untuk menyerang musuh dari
belakang. Carilah kuda-kuda mereka. Prajurit Saudara hendaklah dengan menaiki
kuda menerjang pertahanan musuh."
"Uf!" seru orang Apache itu karena menganggap perintah itu sangat menggairahkan.
"Matava-se adalah seorang pemimpin besar. Pasti kita akan mendapat kemenangan
gilang-gemilang." Dengan diam-diam Hati Beruang pergi bersama pasukannya. Sternau memperingatkan
kepada prajurit yang tersisa supaya mereka tidak menembaki pasukan berkuda itu
karena mereka itu kawan-kawannya sendiri.
Kini diam-diam orang bersiap-siap menghadapi pertempuran yang akan meletus.
Beberapa jam berlalu. Fajar menyingsing di ufuk timur.
Hari sudah cukup terang untuk membedakan kawan lawan. Tiba-tiba terdengar pekik
perang keluar serentak dari mulut empat ratus prajurit Comanche. Saat itu juga
prajurit-prajurit itu menyerbu. Seorang prajurit Indian yang mendiami padang
prairi, lebih suka bertempur berkendaraan kuda. Namun kini mereka harus merebut
piramida, maka kuda mereka tidak banyak berguna.
Karena itu mereka menyerang dengan berjalan kaki.
Mereka merupakan sasaran empuk bagi orang-orang Apache. Setelah musuh berada
cukup dekat dengan mereka, maka Sternau memerintahkan keseratus lima puluh orang
prajuritnya, menghujani musuh dengan peluru serta anak panah.
Akibatnya banyak prajurit Comanche yang tewas terbunuh. Mereka mengundurkan
diri, namun kepala suku mereka memerintahkan maju terus. Para prajurit Apache
mendapat peluang untuk mengisi senapan mereka. Sekali lagi mereka menghujani
musuh dengan peluru serta anak panah, yang membawa hasil serupa dengan yang
sebelumnya. Kaum Comanche menyatakan kemarahannya dengan meraung-raung. Sekali
lagi mereka bergabung dan menerjang maju ke depan.
Kaum Apache tidak ada kesempatan lagi mengisi senapannya. Pertempuran mulai
beralih menjadi perkelahian satu lawan satu. Tak lama lagi pertempuran akan
berakhir. Yang masih memiliki sebuah peluru dalam senapannya, menembakkannya untuk
kemudian memegang tomahawknya. Namun tiba-tiba datang menyerbu sepasukan berkuda di bawah pimpinan
Hati Beruang. Diam-diam, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka menyerang kelompok
prajurit Comanche serta memorak-morandakan mereka.
Hari sudah menjelang siang. Sternau dapat mengamati medan pertempuran dengan
baik. Segera ia melihat kesempatannya terbuka. Dengan suara lantang ia berseru,
"Naiki kuda! Serbu!"
Kuda-kuda prajurit Apache terdapat di sebelah barat.
Dalam sekejap mata para prajurit sudah menaiki kuda lalu menyerbu musuh. Kaum
Comanche tidak sanggup menangkis serangan demikian. Mereka mengambil langkah
seribu, menghilang di dataran tinggi. Kaum Apache memenangkan pertempuran.
Mereka memperoleh banyak scalp (kulit kepala) musuh, namun mereka sendiri pun
kehilangan beberapa orang.
Sementara kaum Apache beristirahat, kaum Comanche bergabung kembali di daerah
sebelah barat. Kini mereka mengepung piramida. Dengan demikian mereka mencegah
orang-orang Apache keluar dari daerah tempat mereka berdiam. Sternau berunding
dengan para kepala suku. "Inilah kesempatan bagi kita untuk menerobos kepungan musuh," usul Sternau.
"Kaum Comanche tidak akan sanggup menahan kita karena mereka sudah kehilangan
semangat oleh kekalahan mereka."
"Untuk apa kita meninggalkan tempat kita?" tanya Hati Beruang. "Biar kita
bertahan saja di sini. Kaum Comanche tidak akan berani menyerang kita. Bala
bantuan kita akan segera bergabung dengan kita."
Semua orang setuju dengan pendapat Hati Beruang,
maka Sternau harus mengalah. Verdoja diletakkan dekat pintu masuk ke piramida.
Seorang prajurit menjaganya.
Namun tidak lama kemudian prajurit itu dapat meninggalkannya, karena penjahat
itu sudah menemui ajalnya.
Hari itu dan esok harinya pun berlalu. Bala bantuan yang diharapkan belum tiba
juga. Kaum Comanche nampaknya sudah bertambah jumlahnya. Pada malam hari
berikutnya salah seorang prajurit jaga melihat seseorang merangkak ke arahnya.
Langsung ia memegang senjatanya. Namun orang itu memberi tanda dengan
mengeluarkan pekik tertahan. Orang itu bukanlah musuh, melainkan seorang Apache
dari suku lain. Ia merangkak mendekati prajurit itu lalu berbisik, "Saudara
seorang jaga?" "Benar." "Siapa pemimpin saudara?"
"Matava-se." Orang yang baru datang itu berdiam diri karena terharu, lalu bertanya, "Apakah
Matava-se ada bersama saudara?"
"Benar." "Tentulah pasukan Saudara bertambah harum
namanya di bawah pimpinannya. Boleh saya bertemu dengan dia?"
"Berjalanlah terus. Nanti Saudara akan diantarkan kepadanya."
Sternau sedang bermusyawarah ketika orang
mengantarkan prajurit Indian itu kepadanya.
"Siapakah kamu?"
"Saya Elang Melayang, kepala suku kaum Llaneros,"
jawabnya. Mendengar jawaban ini, Hati Beruang serta merta bangkit lalu menghampirinya.
"Elang Melayang" Uf! Selamat datang! Bilamana pasukan Saudara datang?"
"Saya datang sebagai seorang duta."
"Bukan sebagai kepala suku?"
"Bukan. Kuda Terbang telah mengumpulkan semua kepala suku Apache. Ia membawa
pesan bahwa Mexico kini sedang dalam keadaan perang dan bahwa Juarez adalah
kawan bangsa Apache. Semua prajurit sudah siap sedia, namun mereka tidak mau
berperang melawan kepala suku negara Mexico. Mereka telah menguburkan kapak
perang dan saya diutus untuk menyampaikan berita itu."
"Jadi tidak ada bala bantuan yang dapat kita harapkan?"
"Tidak. Kuda Terbang menginginkan supaya kalian mengundurkan diri lalu kembali
ke padang perburuan untuk membuat daging."
Hati Beruang menundukkan kepala tanpa berkata-kata.
Tetapi Kepala Banteng sudah tidak sabar lagi. Ia mengemukakan sesuatu. "Sejak
kapan bangsa Apache mempunyai dua lidah?" gerutunya. "Mula-mula Kuda Terbang
menyuruh kita mengangkat kapak perang, kini ia menyuruh menguburkannya lagi.
Kita telah mencapai kemenangan gilang-gemilang, mengumpulkan banyak kulit kepala
musuh. Tiba-tiba kita harus kembali membuat daging."
"Saudara tidak usah mematuhi seruan. Saudara seorang kepala suku Mixteca," jawab
utusan itu. "Maka saya tidak akan turut bicara," kata Kepala Banteng.
"Bagaimana pendapat Matava-se mengenai perintah itu?" tanya Hati Beruang.
"Saya sangat menghargai perdamaian sungguhpun saya mau menolong sahabatku.
Saudara Hati Beruang bebas memilih sesuai dengan kehendaknya."
"Saya telah menunaikan tugas saya dengan
menyampaikan perintah itu. Saudara-saudara boleh bermusyawarah. Saya harus
kembali lagi, sesuai dengan keinginan para kepala suku."
Dengan perkataan ini Elang Melayang minta diri lalu
pergi meninggalkan mereka. Perjalanan yang ditempuhnya itu sangat berbahaya. Ia
harus menerobos pertahanan pasukan Comanche. Bila ia sampai tertangkap, ia tidak
akan tertolong lagi. Menjelang pagi terdengar pekik-pekik gembira di perkampungan kaum Comanche.
Tentu ada sesuatu yang menggembirakan hati mereka. Apa sebab-sebabnya, baru
dapat dilihat bila hari sudah terang. Di segenap penjuru tampak prajurit-
prajurit Comanche yang baru tiba pada malam hari. Kini jumlah mereka bertambah
menjadi seribu orang lebih. Mereka merupakan bala bantuan yang pernah dikirim ke
Presiden. Sternau sangat terkejut. Kini sudah nyata, mereka tidak sanggup
melepaskan diri. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mati. Para prajurit
Apache pun menjadi putus asa, melihat jumlah musuh yang jauh melebihi mereka.
Bantuan dari mana pun tidak dapat diharapkan lagi.
Sternau memanjat puncak piramida untuk
mengasingkan diri, supaya ia dapat berpikir lebih tenang lagi. Bukan hanya
kebebasannya yang terancam bahaya, melainkan juga hidupnya. Masih sempatkah ia
melihat kembali kawan-kawan yang dikasihinya" Ia meraba sakunya untuk
mengeluarkan surat Roseta, namun yang keluar adalah peta bagan piramida.
Perlahan ia membuka lipatannya dan melayangkan pandangannya ke atas peta secara
tidak sadar, bukan sengaja untuk mencari sesuatu.
Semua lorong sama bentuknya kecuali satu yang ukurannya lebih pendek dan agak
ganjil nampaknya. Ada tulisan tertera pada lorong itu: peta-pove. Sternau belum
pernah mendengar kata-kata itu. Sedang ia memikirkan hal itu, datanglah Kepala
Banteng menyusulnya ke atas.
Sambil berpikir Sternau bertanya, "Pernahkah Saudara mendengar perkataan peta-
pove itu?" "Pernah. Itu bahasa yang digunakan oleh bangsa Indian suku Jemes. Arti perkataan
itu: ke arah lembah. Mengapa Saudara bertanya demikian?"
Sternau tiada menjawab. Ia bangkit berdiri lalu
memandang ke arah barat, ke pegunungan Cordilleras.
Tiba-tiba ia mendapat ilham. "Ikutlah saya, Saudara,"
katanya sambil memutar tubuhnya.
Ia bergegas-gegas menyusuri dinding ke tempat yang didiami para gadis. Ia
mengambil dua kotak berisi mesiu yang terdapat di situ, menyalakan dua lampu
lalu menggapai beberapa orang Apache yang bertubuh kekar.
Orang-orang itu diperlengkapinya dengan martil, linggis, serta kapak. Di luar
piramida ia berpesan pada Hati Beruang supaya ia tetap waspada. Kemudian ia
memasuki piramida bersama Kepala Banteng. Ketika ia sampai pada persimpangan
jalan, biasanya ia membelok ke kanan.
Namun kini ia berjalan terus dan tiba pada sebuah pintu kecil. Kapak dan linggis
tidak sanggup membukanya, maka pintu itu terpaksa diledakkan. Di balik pintu
terdapat sebuah tangga yang menuju ke bawah. Di situ terdapat sebuah pintu. Di
baliknya terdapat sebuah ruangan yang di peta nampaknya seperti sebuah sel
panjang. Setelah pintu itu pun diledakkan, mereka harus menuruni tangga untuk
sampai pada suatu lorong yang panjang sekali.
Itulah sebuah lorong di bawah tanah yang langsung menuju ke arah barat.
Semuanya itu sesuai dengan dugaan Sternau setelah ia mendengar arti kata asing
itu. hatinya berdebar karena rasa gembira dan lega. Ia bergegas berjalan melalui
lorong gelap yang hanya sedikit diterangi oleh lampunya itu.
Berapa lamanya ia berjalan, kurang disadarinya, namun tiba-tiba ia berdiri di
muka beberapa anak tangga. Ia memanjatnya lalu sampai dalam sebuah gua yang
penuh berisi batu-batuan yang lepas-lepas. Dengan alat-alat kapak dan linggis,
batu-batuan itu disingkirkan lalu...
cahaya matahari memancar ke dalam. Mereka
memperbesar lubang cahaya itu dan memanjat ke luar gua. Kini mereka berada dalam
sebuah lembah sempit penuh dengan batu kerikil dan tidak ditumbuhi tumbuh-
tumbuhan. Hati-hati mereka mendaki tebing lembah itu.
Mereka melihat bahwa mereka berada di sebelah timur
piramida pada jarak lebih kurang satu mil. Di antara mereka dan piramida
terdapat orang-orang Comanche.
Kuda-kudanya sedang memakan rumput di padang kira-kira lima ratus langkah dari
lembah itu. "Nah, bagaimana pendapat Saudara tentang penemuan ini?" tanya Sternau.
"Pertumpahan darah dapat dicegah dengan demikian,"
jawab orang Mixteca itu tenang, tetapi pada cahaya matanya terlihat betapa lega
hatinya. "Kaum Comanche tentu akan mengira, kita pandai menggunakan sihir."
"Mereka akan mencari-cari kita dengan sia-sia, karena kita sudah lari dengan
membawa kuda-kuda mereka.
Karja, putri Mixteca, tidak perlu mati di tangan abangnya, karena gadis itu
lebih baik mati daripada ditangkap hidup-hidup oleh kaum Comanche."
Jadi bagi abangnya itu, nasib adiknyalah yang lebih dicemaskannya.
"Kini kita harus kembali lagi. Kita tidak boleh tampak di sini."
Kembali mereka turun ke dalam gua lalu menutupi lubang dengan batu-batuan.
Melalui lorong di bawah tanah mereka sampai di piramida lagi. Apakah gunanya
lorong yang menyeramkan itu di masa purba" Maknanya pada masa itu tentulah untuk
mengelabui mata para umatnya yang percaya. Lorong inilah tempatnya para pendeta
berjalan hilir mudik ketika di atas, dalam kuil, darah kurban manusia sebagai
persembahan kepada dewa matahari, mengalir dengan derasnya.
Mula-mula para kepala suku bermufakat apa yang harus dikerjakan mereka. Kemudian
para prajurit diberitahu. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mendaki
pegunungan Cordilleras lalu berpisah. Hati Beruang masih menambahkan: "Hati
Beruang menyayangi kawan-kawannya, maka ia akan menemaninya hingga Guamayas."
Karja menjadi merah mukanya mendengar perkataan
itu, karena ia tahu dengan pasti, kepada siapa sebenarnya perkataan itu
Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditujukan. Di pegunungan sangat sukarlah didapat makanan, maka seharusnya diusahakan
perbekalan secukupnya. Kuda-kuda yang tidak dapat dipakai melalui lorong di bawah tanah, harus
ditinggalkan. Sebagai gantinya mereka harus berusaha menangkap kuda kaum
Comanche. Semua orang sibuk bersiap-siap untuk berangkat. Semua barang yang
dapat dibawa dikumpulkan.
Pada saat matahari terbenam, Karja memanjat piramida. Besar dan semampai nampak
tubuhnya berdiri di atas bangunan itu. Bajunya berkibaran ditiup angin dan
pipinya yang kehitam-hitaman nampak jelas warnanya di cahaya matahari yang
meredup. Apakah gerangan yang direnungkannya" Matanya memandang ke arah utara.
Di situ tidak terdapat Guamayas, tujuan berikut dari perjalanan mereka, tidak
juga terdapat hacienda del Erina, rumahnya tempat ia akan kembali lagi. Di situ
terdapat padang perburuan bangsa Apache di bawah pimpinan Hati Beruang, kepala
suku mereka, tempat bertaut segenap hati gadis itu. Betapa bodohnya ia pada masa
silam, mau melayani rayuan Pangeran Alfonso. Berlainan sekali cinta yang
didapatnya dari Hati Beruang. Dalam lamunannya ia tidak menyadari bahwa dari
sisi seberang piramida ada seseorang yang memanjat pula bangunan itu. Orang itu
adalah yang menjadi obyek lamunannya itu.
Hati Beruang berdiam diri ketika melihat gadis itu. Ia melihat bagaimana
matahari dengan cahayanya mewarnai pipi serta rambut gadis itu dan bagaimana
mata gadis yang hitam itu memandang dengan sayu ke dalam kegelapan malam. Ia
menghampiri gadis itu. Ketika gadis itu mendengar bunyi langkah kakinya, ia
langsung berpaling. Demi tampak olehnya pemuda itu maka pipi dan lehernya bertambah lagi merahnya.
Kepala suku yang melihat betapa bingung gadis itu disebabkan oleh kedatangannya,
mundur selangkah lalu bertanya, "Bila melihat Hati Beruang, putri Mixteca selalu
terkejut. Maka ia akan pergi, sungguhpun ia tidak tahu, mengapa ia sampai
menyinggung hatinya."
Hampir tiada terdengar jawab gadis itu, "Kepala suku Apache tidak menyinggung
hati saya." Hati Beruang menatap gadis itu lalu bertanya, "Namun Putri membenci dia,
bukankah Putri selalu berusaha menghindarkannya?"
"Tidak." "Apa daya Hati Beruang bila perjalanannya selalu bertemu dengan perjalanan
Putri" Apakah di dalam kekuasaannya, mengatur jalannya mimpi" Dapatkah mata
dipersalahkan, bila ia melihat di ombak sungai atau di awan langit wajah serta
tubuh yang itu-itu juga" Apakah saya sebesar Manitou" Dapatkah saya mematikan
perasaan yang bergelora dalam dadaku?"
Karja berdiam diri, namun Hati Beruang melihat bahwa tubuhnya gemetar. "Mengapa
Karja tidak mau menjawab?"
tanyanya. "Berapa lamakah lagi masih tersedia waktu untuk melihat wajah orang
yang dikasihi oleh Hati Beruang" Beberapa hari lamanya ataukah hanyalah beberapa
jam" Sesudah itu ia akan dipersunting pria lain...!"
"Tidak! Tak mungkin aku menjadi istri orang lain!" bisik gadis itu.
"Tak mungkin, katamu. Tak mungkin" Kau sungguh tak mempermainkanku" O, Karja,
jadi kau sayang padaku"
Utarakankah perasaanmu supaya aku mendapat
kepastian." "Ya, aku cinta padamu," katanya terengah-engah.
"Aku pun demikian. Kau akan menjadi istri kepala suku, istriku yang tunggal. Kau
tidak akan diharuskan bekerja seperti istri-istri lainnya. Kau akan diperlakukan
seperti seorang Senora kulit putih yang keinginannya selalu dipenuhi."
Hati Beruang memeluk Karja serta menciumnya tanpa menghiraukan keadaan bahwa
mereka berdiri di puncak bangunan sehingga tampak nyata gerak-geriknya oleh
kaum Comanche di bawah. Di bawah, mereka sedang diadili serta dijatuhi hukuman
mati oleh lawannya dan di atas mereka sedang menjalin hubungan batin seumur
hidup. Mereka berdiri berdekap-dekapan, melupakan seluruh isi dunia. Warna merah
yang datang dari matahari yang sedang terbenam mewarnai tubuh mereka dengan
warna yang gaib. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke belakang dengan terkejut. Ia
mendengar suara orang yang dikenalnya baik, "Adakah di antara kalian berdua yang
sakit dan memerlukan bantuan?"
Orang yang berbicara itu Kepala Banteng. Saat berangkat sudah hampir tiba, maka
ia mencari adiknya. Sekali-kali tidak disangkanya, adiknya itu ditemukannya dalam pelukan orang
Apache itu. Hati Beruang mula-mula agak canggung, namun segera ia dapat mengatasi keadaannya
lalu bertanya, "Bolehkah aku masih menyebut Kepala Banteng Saudaraku?"
"Tentu boleh," bunyi jawabnya sungguh-sungguh.
"Apakah ia murka kepadaku karena aku mencuri hati adiknya?"
"Tidak. Ia tidak marah karena hati adiknya tidak dapat dicuri orang. Dalam hati
seorang wanita sejati ada tempat untuk keduanya, untuk suami maupun untuk
kakaknya." "Apakah Saudara mengizinkanku berkunjung ke hacienda del Erina untuk
menyampaikan emas kawinku?"
"Ya, itu kuizinkan."
"Terdiri dari apakah emas kawin itu?"
"Itu urusan Saudara sendiri. Kepala Banteng tidaklah menjual adiknya."
"Apakah Saudara mau menerima seratus buah kulit kepala musuh?"
"Tidak. Kulit kepala musuh bisa kukumpulkan sendiri."
"Atau sepuluh lembar kulit beruang merah?"
"Tidak. Aku tidak kekurangan kulit."
"Maka sebutkan, apa yang Saudara kehendaki."
Mata pemburu banteng itu berkaca-kaca. Ia meletakkan tangannya di atas bahu
orang Apache itu lalu berkata,
"Aku tidak memerlukan kulit kepala ataupun kulit beruang, tidak juga emas
ataupun perak, aku hanya menginginkan supaya Saudara dapat membahagiakan adikku
kelak. Kau sudah kuakui sebagai saudaraku, namun bila Karja dibuat tidak
bahagia, aku akan memeng-
gal kepalamu dengan tomahawkku lalu memberikan otakmu sebagai makanan kepada
semut. Kembalilah ke padang rumputmu dan bicaralah dengan rakyatmu, datanglah
kemudian ke hacienda del Erina untuk menjemput adikku."
Kepala Banteng memutar tubuhnya lalu turun ke bawah. Hati Beruang mengikutinya,
lurus dan gagah, sebagai seorang pria yang belum pernah bercumbu-cumbu dengan
seorang wanita. Selama hari masih senja, tidak seorang pun dibolehkan meninggalkan kemahnya.
Baru setelah hari menjadi malam mereka berangkat. Para prajurit Apache memasuki
lorong-lorong dengan membawa senjata dan barang keperluan mereka. Setelah orang
yang terakhir lewat, maka batu penutup digulingkan supaya menutupi lubang.
Orang-orang mulai berjalan. Kepala Banteng berjalan di depan dan Sternau di
belakang. Sternau membawa sekotak bahan peledak. Setelah rombongan itu memanjat
tangga, ia meletakkan bahan peledak itu di dalam lorong lalu membakar sumbunya.
Kemudian ia mengikuti rombongan.
Tanpa penerangan mereka berjalan dalam lorong di bawah tanah dan tanpa mendapat
gangguan mereka tiba di ujung lorong yang segera ditimbuni dengan batu-batuan.
Setelah selesai mereka melakukan pekerjaan itu, mereka mendengar bunyi gemuruh
seperti ada gempa bumi di kejauhan. Bahan peledak telah meledakkan serta
menghancurkan lorong-lorong dan gua sehingga tidak ada orang yang dapat
memasukinya lagi. Kini mereka berusaha menangkap sekurang-kurangnya dua ratus ekor kuda. Bukanlah
jumlah yang kecil, namun tidaklah begitu sukar menangkapnya, karena dekat lembah
beratus-ratus kuda sedang memakan rumput.
Beberapa orang mata-mata dikirimkan untuk menyelidiki, bagaimana penjagaan kuda-
kuda itu. Mereka kembali lagi membawa laporan bahwa mereka melihat tiga orang
penjaga. Kini mereka dikirim kembali untuk
menyingkirkan para penjaga itu.
Sternau memerintah untuk bekerja dengan hati-hati sekali. Mereka tidak boleh
semuanya serentak menaiki kuda-kuda musuh itu. Perbuatan demikian akan sangat
menyolok mata. Mereka harus bergiliran menaiki kuda dan membawanya diam-diam.
Baru setelah menempuh jarak yang agak jauh, mereka dapat menaiki kuda serta
melarikannya. Tak seorang pun mengetahui tentang pencurian kuda itu karena tanah
yang ditumbuhi rumput itu sangat lunak. Pagi-pagi baru orang-orang Comanche itu
menemukan mayat-mayat para penjaga. Ketika itu orang-orang Apache sudah menempuh
jarak setengah hari. Kaum Comanche merasa sangat kecewa. Mereka merasa heran,
bagaimana kaum Apache itu dapat melepaskan diri. Baru dari mata-mata mereka yang
dibebaskan oleh Sternau, mereka tahu bagaimana cara bangsa Apache itu meloloskan
diri. *** Document Outline 000.pdf 001.pdf 002.pdf 003.pdf 004.pdf 005.pdf 006.pdf Telur Mata Setan 3 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Eng Djiauw Ong 12