Pencarian

Piramida Bangsa Astek 6

Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 6


sebaik-baiknya. Sternau memberi keleluasaan pada kita untuk mengejarnya."
"Tetapi sebenarnya masih belum merupakan kepastian baginya, kita ini sahabat
atau bukan." "Bahkan dalam hal itu lebih bodoh lagi baginya untuk menunggu kedatangan kita.
Tetapi nampaknya ia sudah menduga bahwa kita adalah kawan. Lihat, sekali lagi ia
memberi isyarat!" Kini Panah Halilintar juga melambai-lambai dengan senapannya. Itu sudah cukup
tanda bagi Sternau. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan kawan.
"Kita dapat juga mengejarnya," pikir Fransisco.
"Itu dapat dimengerti," demikian keterangan Panah Halilintar. Ia tidak dapat
memilih kudanya. Ia harus merasa puas dengan kuda yang kebetulan dijumpainya,
baik ataupun tidak. Kita dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Kita dapat
memilih kuda. Kuda Sternau sudah letih lelah, sedangkan kuda kita segar bugar.
Lagi pula tubuh Sternau lebih berat. Lihat, ia harus berganti kuda."
Mereka melihat Sternau dengan lincahnya melompat dari seekor kuda ke kuda yang
lain yang sedang berlari dengan kencangnya. "Ia tidak sempat berhenti sesaat pun
untuk berganti kuda; itu memang lebih baik," kata Panah Halilintar sambil
mengangguk. "Bahkan ingat perkataanku ini, ia tidak akan mengurangi kecepatan
kudanya ketika memberi salam kepada kita pada saat kita melampauinya."
Jarak di antara para penunggang kuda makin mengecil.
Mereka dapat berbicara satu sama lain. Maka Panah Halilintar berseru, "Tuan
Sternau!" Sternau berpaling lalu berkata, "Tuan Unger! Saya langsung mengenali Anda."
"Bagaimana dapat?"
"Hanya seorang bangsa Eropa dapat menunggang kuda seperti Anda dan di hacienda
del Erina Anda satu-satunya yang berasal dari barat. Percepat jalan Anda!"
"Boleh." Panah Halilintar bangkit dari atas pelana kuda untuk memperingan beban kudanya
lalu melengkingan sebuah pekik. Kudanya mengerti dan melaju secepat anak panah
keluar dari busurnya. Fransisco mengikutinya. Beberapa saat kemudian mereka
sudah berjalan sebelah-menyebelah Sternau.
"Puji syukur kepada Tuhan yang memungkinkan Anda sampai ke mari!" katanya sambil
berjabat tangan. "Mengapa kuda-kuda tambahan Anda begitu sarat muatannya?"
Panah Halilintar tertawa, "Barang-barang itu akan
sangat dibutuhkan. Tentu saja Tuan-tuan yang hendak saya bebaskan itu tidak
mempunyai perlengkapan yang baik, maka saya membawa barang-barang yang mungkin
diperlukan. Perlengkapan Anda sebagai pemburu serta senjata Anda ada pula di
situ." "Semuanya itu Anda bawa?" tanya Sternau kegirangan.
"Ya, semuanya! Senjata milik Mariano dan saudara saya pun termasuk juga."
"Terima kasih! Anda bertindak sangat bijaksana.
Bagaimana keadaan di hacienda" Bilamana penculikan itu diketahui orang?"
Panah Halilintar memberi laporan dan Sternau mendengar dengan penuh perhatian.
Mereka tidak mengurangi kecepatan jalan kudanya.
Mereka berjalan terus hingga malam tiba dan jejak perampok tidak dapat dilihat
lagi. Kini mereka terpaksa beristirahat. Untunglah mereka menjumpai sesuatu
tempat yang ditumbuhi rumput sedikit sehingga mereka dapat memberi makan
kudanya. Namun mereka tidak dapat menemukan kayu untuk menyalakan api. Karena
itu mereka terpaksa bermalam dalam gelap gulita. Mereka hampir tidak berbicara.
Yang harus diutamakan adalah istirahat, maka baru menjelang pagi, setelah mereka
cukup merasa segar kembali, Panah Halilintar berkata,
"Nampaknya para penjahat telah menggunakan waktu malam dengan berjalan terus."
"Sudah tentu," jawab Sternau. "Mereka tahu bahwa saya mengejarnya. Agaknya
mereka berhenti beristirahat pada pagi hari. Waktu itu harus kita gunakan
sebaiknya untuk mengejar ketinggalan kita pada malam sebelumnya."
Di daerah itu pergantian antara siang dan malam atau sebaliknya berlangsung
dengan cepatnya. Ketika Sternau bercakap hari masih gelap gulita, namun lima
menit kemudian hari sudah terang benderang. Ketiga orang penunggang kuda itu
melanjutkan perjalanan melalui gurun Mapimi.
BAB II DI DALAM PIRAMIDA Setelah Sternau terlepas, Verdoja selekasnya mengamankan para tawanan dari
tindakan "Ratu Batu Karang". Di tepi gurun ia menempatkan beberapa orang yang
mendapat tugas menangkap ataupun menembak mati Sternau. Tangan para tawanan
dilepas belenggunya agar mereka dapat memegang kendali. Mereka bekerja dengan
cermat sekali, sehingga meniadakan segala kemungkinan bagi para tawanan untuk
membebaskan diri. Gerombolan yang telah dicerai-beraikan oleh Sternau itu menuju
ke hacienda Verdoja dengan jalan memutar. Gerombolan yang sudah mengecil
jumlahnya itu menempuh gurun Mapimi.
Pada wajah Verdoja nampak dengan jelas bahwa matanya menderita sakit yang
sangat, namun ia tidak mengeluh sedikitpun. Bukan main panas hatinya, namun yang
harus diutamakan ialah mencapai tujuannya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pembalasan dendam dapat ditangguhkan hingga saatnya tiba.
Sepanjang hari mereka menempuh jalan ke arah barat, melalui dataran berbatu,
daerah batu karang gersang dan padang pasir yang tandus hingga mereka tiba di
permulaan daerah yang berhutan. Di sini kuda mereka yang letih lelah itu
mendapat istirahat setengah jam lamanya. Setelah itu mereka meneruskan
perjalanannya lagi. Di daerah ini siang harinya terasa sangat panas, namun malam harinya sangat
dingin. Hawa dingin itu menguntungkan bagi gerombolan, karena mereka dapat
bergerak lebih cepat tanpa menjadi lelah. Kuda Mexico itu terkenal sekali karena
sifatnya, tahan menempuh perjalanan jauh.
Keesokan paginya mereka tiba di tempat yang mengandung air, tempat yang
dirindukan oleh setiap orang. Di situ mereka dapat beristirahat. Pelana-pelana
dilepaskan dari kudanya sehingga kuda itu dapat makan rumput dan minum air
sekenyangnya. Orang-orangnya pun menyantap makanan yang dibawa mereka sebagai
bekal. Para tawanan pun mendapat bagiannya. Ketika kuda-kuda mulai meringkik
serta bergelut satu sama lain, maka itulah menandakan bahwa kuda-kuda itu sudah
tidak merasa lelah lagi sehingga perjalanan dilanjutkan lagi ke arah yang sama.
Kini mereka menempuh daerah yang lebih subur. Di sana sini terlihat padang
rumput dan hutan kecil. Menjelang malam mereka menempuh hutan yang lebat dan keesokan paginya mereka
tiba di gurun yang merupakan dataran tinggi luas. Sekali lagi mereka
beristirahat untuk memulihkan tenaga pada kudanya sehingga sanggup berjalan
sepanjang hari. Lembah kecil tempat mereka berada mengandung sebuah ngarai.
Verdoja menempatkan tiga orang di situ. Mereka harus memata-matai Sternau yang
akan datang menyelidiki tempat istirahat gerombolan.
Sternau tidak mungkin sampai di situ sebelum esok malamnya. Dan pada saat itu
Verdoja bermaksud mengirimkan orang-orangnya yang masih tersisa ke situ juga.
Mereka melanjutkan perjalanan. Ternyata lembah yang ditempuh mereka melebar
menjadi padang rumput luas. Mereka memilih jalan yang tidak dilalui orang. Hari
berganti menjadi malam dan mereka tidak menjumpai hacienda, meskipun di mana-
mana terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya hacienda di dekatnya. Ketika
malam tiba mereka berhenti di muka sebuah bangunan raksasa menyerupai piramida
yang kakinya ditumbuhi semak belukar dan di situ terdapat juga timbunan batu-
batuan. Verdoja menyembunyikan tanda siul dengan
memakai jari tangannya dan pada saat itu juga terdengar bunyi derak di antara
tumbuhan. Seseorang keluar dari situ. "Sudah datangkah pesuruh saya?" tanya Verdoja.
"Sudah, Senor," jawab orang itu. "Ia telah
menyampaikan surat Anda kepada saya. Semua sudah saya persiapkan. Lampu pun
sudah sedia." "Berjalanlah di depanku. Yang lain harus menunggu saya kembali."
Verdoja menghampiri Emma, mengikat tangannya ke punggungnya dan melepaskan
belenggu pada kakinya. Ia mengangkatnya dari atas kudanya lalu mendorongnya
masuk ke dalam semak-semak. Gadis itu membiarkan dirinya diperlakukan demikian,
karena ia menyadari bahwa perlawanan di sini tidak akan ada gunanya. Mata gadis
itu ditutupi dengan sepotong kain. Kemudian Verdoja menggendongnya masuk ke
dalam. Dari bunyi langkah kaki orang itu gadis itu dapat mendengar bahwa ia
berada dalam suatu bangunan menyerupai gua. Tanahnya tidak rata dan udara makin
jauh ke dalam makin pengap.
Akhirnya terdengar bunyi pintu dibuka dan Verdoja meletakkan gadis itu di atas
tanah. Ia membuka kain penutup mata gadis. Kini Emma melihat bahwa ia berada
dalam sebuah ruangan yang dibuat dalam batu karang, panjang dua setengah meter,
lebar tiga perempat meter dan tinggi dua meter. Sebuah karung rum-put terhampar
di atas tanah gunanya sebagai tikar tempat berbaring.
Sepotong roti kering dengan sebuah kendi berisi air adalah perlengkapan lainnya.
Pada dinding-dindingnya melekat rantai-rantai besi. Verdoja memegang lampu di
tangannya. Penunjuk jalan tadi telah mengundurkan diri di balik pintu yang diperkuat dengan
tulang besi. Verdoja memegang lampu di tangannya. Penunjuk jalan tadi telah
mengundurkan diri di balik pintu yang diperkuat dengan tulang besi.
"Kita sudah sampai ke tempat tujuan," kata Verdoja dengan riang hati.
"Kau tidak mungkin keluar dari sini. Maka akan kubuka saja belenggumu."
Sambil melakukan pekerjaan itu matanya yang masih sehat melirik dengan penuh
gairah kepada tubuh gadis Mexico yang cantik molek itu.
"Apakah salahku sebenarnya Senor, maka Anda sampai menculik saya dan
memenjarakan saya dalam gua ini?"
Tanya gadis itu terengah-engah ketakutan.
"Kau telah mencuri hatiku," jawab Verdoja. "Kini kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu: Kau harus dapat mencintaiku pula."
Verdoja merentangkan tangannya untuk memeluk gadis itu, namun gadis itu mengelak
terkejut. "Tidak mau, kurang ajar!" seru gadis itu sambil mundur ke sudut yang paling
jauh. "Masa, kau tentu mau!"
Kembali ia menghampiri gadis itu, namun tangan gadis itu cepat merampas pisau
yang tersisip di pinggang Verdoja lalu mengacungkan senjata itu.
"Jangan mendekat!" perintah gadis itu pendek, " nanti kutusuk."
Orang Mexico itu terkejut mundur selangkah. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa
mengejek, "Pisau dalam tangan yang sehalus dan secantik itu bagaikan jarum
penjahit saja layaknya. Serahkan kembali, manis!"
Verdoja ingin merampasnya, tetapi karena ia hanya mempunyai sebelah tangan yang
baik, terpaksa harus meletakkan lampunya dahulu di atas tanah. Pada saat itu
gadis itu menggunakan kesempatan itu,
"Saya hanya seorang gadis yang lemah namun Anda pun lemah karena hanya mempunyai
sebelah tangan. Maka janganlah menjamah saya!"
Verdoja agak ragu-ragu. Pada saat itu masuklah penunjuk jalan ke dalam. Ia
mendengar apa yang telah dikatakan, maka ia bertanya, "Anda perlu bantuan saya,
Senor?" "Perlu," jawab Verdoja. "Rampas pisau itu dari
tangannya!" Emma menyadari bahwa ia tidak dapat melawan dua orang, namun ia tidak melepaskan
harapan untuk bertahan. Dengan pisau diarahkan pada dada sendiri ia berkata
dengan penuh keyakinan, "Jangan berani jamah saya. Aku siap bunuh diri."
Wajahnya ketika itu menampakkan kesungguhan hati sehingga Verdoja percaya.
Jalannya peristiwa tidak cocok dengan rencananya. Maka ia menahan tangan
pembantunya yang sudah siap digerakkan ke arah gadis itu lalu berkata, "Biarkan
saja! Masih ada jalan lain. Rasa lapar akhirnya akan membuat dia bertekuk lutut.
Mulai hari ini gadis itu jangan diberi makan. Sampai ia mengemis minta
dikasihani. Mari kita tinggalkan dia."
Ia memungut kembali lampunya dan meninggalkan penjara. Pembantunya mengikutinya
lalu pintu tertutup lagi di belakang mereka dengan bunyi derit yang mengerikan.
Di tempat itu ia kini terbaring gadis yang sedianya hidup manja - dalam suatu
gua yang gelap dan pengap! Dengan sebuah karung rumput sebagai tempat tidur dan
air kotor sebagai air minum. Udara segar tidak dapat masuk ke dalam. Lagi pula
ia sudah dijatuhi hukuman menderita kelaparan, karena sepotong roti jagung yang
terletak di sebelah kendi itu hanyalah dapat bertahan beberapa waktu saja. Dalam
perjalanan lama ke tempat tujuan ini Emma telah belajar banyak dari Karja. Ia
harus selalu mencari kesempatan untuk merebut senjata dari tangan lawannya
supaya ia dapat membela diri bila diserang.
Emma telah melaksanakan nasihat itu. Kini ia sudah memiliki sebilah pisau. Pisau
demikian adalah barang yang sangat berharga dalam keadaan kritis seperti ini. Ia
memegang senjata itu erat-erat di tangannya dan bertekad mempertahankannya
apapun yang akan terjadi. Tetapi perjalanan jauh dan perlakuan Verdoja yang
kasar terhadapnya membuat tubuhnya letih lesu lalu ia meluncurkan diri ke atas
karung rumput dan membiarkan
air matanya berhamburan. Ia berada dalam gua jauh di bawah tanah, sebagai korban
perbuatan seorang penjahat yang tiada berperikemanusiaan. Ia hanya mempunyai
sebuah harapan, yaitu bahwa Sternau dapat juga berhasil menemukannya.
Dalam pada itu Verdoja dengan pembantunya keluar lagi dari piramida untuk
menjumpai orang-orangnya.
Piramida itu merupakan bangunan tua pada zaman Mexico-purba, didirikan dari batu
bata di atas batu karang dasarnya. Sebelum dibangun, telah digali dalam batu
karang itu beberapa ruangan yang diperhubungkan dengan lorong-lorong. Bangunan
piramida sendiri mempunyai lorong-lorong seperti itu, tempat raja-raja dan
pendeta pada zaman purba itu menyimpan rahasia-rahasianya serta memuja dewa
matahari. Batu batanya telah menjadi lapuk dimakan waktu dan semak-semak telah
memasuki celah-celah dengan akar-akarnya dalam-dalam. Itulah sebabnya bangunan
itu makin menjadi runtuh. Puncak piramida menjadi lapuk oleh pengaruh angin
badai, makin lama makin gugur, sehingga keseluruhannya itu menyerupai sebuah
bukit berpuncak datar, dari kaki sampai ke puncak ditumbuhi semak belukar.
Namun angin badai maupun hujan tidak sampai mempengaruhi bagian dalamnya.
Ruangan-ruangan serta lorong-lorongnya masih tetap utuh serta kukuh-kuat seperti
beratus-ratus tahun yang lampau. Bangunan tua itu letaknya di tengah-tengah
tanah milik nenek moyang Verdoja. Salah seorang moyang telah berdaya upaya untuk
menemukan pintu masuknya. Setelah berusaha cukup lamanya ia dapat menemukan
pintu itu tersembunyi di balik tumpukan puing. Ia merahasiakan penemuannya itu.
Rahasia itu merupakan rahasia keluarga. Sejak itu bagian dalam piramida itu
telah banyak mengalami kejadian-kejadian yang tidak boleh terdengar oleh telinga
umum, apalagi oleh pemerintah. Pembantu yang menjadi penunjuk jalan ketika
Verdoja masuk bersama Emma
adalah penjaga bangunan tua itu dan menjadi orang kepercayaan majikannya masa
kini. Rahasia dipegang teguh oleh kedua orang itu. Mereka saling percaya-
mempercayai. Setelah Verdoja keluar dari piramida, maka gadis Indian diangkat dari atas
kudanya. Ia pun ditutupi matanya, demikian juga Pardero yang tidak suka
diperlakukan demikian. Tetapi ia harus mengalah juga karena ia tahu bahwa
Verdoja tidak mau membuka rahasianya kepada siapa pun. Sesampai di dalam Pardero
dilepas lagi ikatan matanya lalu boleh berjalan-jalan dengan bebasnya. Hanya
pintu masuk yang dirahasiakan terhadapnya seperti juga kepada setiap orang lain.
Penjaga piramida membimbing gadis Indian itu sedangkan Verdoja membimbing
Pardero. Mereka tiba di sel Emma. Di sebelahnya ada sebuah sel lagi. Pintu sel itu dibuka
untuk memasukkan Karja. "Sementara itu aku akan mengambil tawanan-tawanan lainnya. Kau urus Karja saja,"
kata Verdoja kepada Pardero.
Ia pergi bersama pembantunya. Pardero melepas tutup mata gadis Indian itu
sehingga gadis itu dapat bergerak dengan bebas. Di cahaya lampu Pardero
memandangi tubuh gadis yang cantik itu dengan penuh selera. "Kini tak ada kuasa
lagi yang dapat merampasmu dari tanganku,"
katanya. Mata gadis itu berapi-api karena marah dan tersinggung harga dirinya. Ia, putri
seorang kepala suku, adik Kepala Banteng yang termasyhur itu, sekali-kali tidak
merasa takut kepada Letnan yang hanya bertangan satu itu.
"Pengecut!" katanya dengan nada menghina.
"Mana mungkin pengecut?" kata Pardero sambil tertawa. "Bukankah kami dapat
menaklukkan kamu serta membawamu ke mari?"
"Bagaikan pencuri menyelinap masuk ke dalam untuk menangkap orang-orang yang
sedang tidur, patutkah perbuatan demikian dibanggakan" Seorang ksatria tidak
berperang melawan wanita. Bukankah Sternau sudah
terlepas" Ia baru seorang ksatria, kau tak sanggup menandinginya. Kalian seperti
serigala padang prairie yang hanya berani secara gerombolan mencari mangsa pada
malam hari dan hanya menangis ketakutan bila mendengar tembakan. Sungguhpun aku
hanya seorang gadis, namun aku tidak merasa takut sedikit pun kepadamu seperti
juga kepada nyamuk yang mengiang-ngiang dekat telingaku dan yang mudah


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuhancurkan dengan dua jariku."
"Diam! Ketahuilah bahwa nasibmu sepenuhnya ada di tanganku dan bahwa baik buruk
nasibmu pun sepenuhnya tergantung pada kelakuanmu. Jadi tinggal pilih saja : mau enak atau
mau dihancurkan?" "Dihancurkan" Aku, adik kepala Banteng" Oleh kamu"
Haha, lucu benar. Jangan berani jamah aku! Kau akan menyesal!"
Gadis itu mengancam dengan mengangkat tangannya.
Pardero mengulurkan tangan kirinya untuk mendekap gadis itu. Kini gadis itu
tidak mengelak malah mendekatinya, namun... secepat kilat hal itu terjadi sebelum
disadari oleh sang Letnan. Pisau yang tersisip di pinggangnya serta sebuah
pistol sudah pindah ke tangan gadis yang gagah berani itu. Pada saat itu gadis
itu mendorongnya kuat-kuat sehingga ia terhuyung-huyung menabrak pintu. Gadis
itu membidikkan pistolnya ke arah Pardero serta mengacungkan pisau dengan tangan
kirinya. "Mari, kucing liarku, akan kujinakkan kau!" seru Pardero sambil melangkah
menghampirinya. "Berhenti!" ancam gadis Indian, "atau kutembak!"
"Ah! Masa! Kau tentu main-main saja, manis!" Dengan memandang enteng ancaman
gadis itu Pardero melompat ke arahnya, untuk merampas senjatanya dari tangannya
namun pada saat itu juga terdengar letusan tembakan dan Pardero menjerit
kesakitan, sambil memegangi mulutnya yang mengeluarkan darah. Peluru gadis itu
telah menghancurkan rahangnya serta mengenai lidahnya.
"Setan! Akan kuhajar kau!" serunya dengan mulut
berdarah sambil memegangi dengan tangan yang cacat dan merentangkan tangan
lainnya ke arah gadis itu.
Pisau nampak berkilat seketika lalu menghunjam bekali-kali dengan kecepatan luar
biasa ke dada laki-laki itu.
"O, Dios!" rintih orang itu lalu rebah tak berdaya ke atas tanah.
"Mampus kamu!" seru gadis itu dan ke empat kalinya pisau tertanam di rusuk tubuh
Pardero, masuk di antara tulang rusuk, tepat mengenai jantung yang menghabiskan
nyawa orang itu. Gadis perkasa itu serta merta berlutut di sisi lawannya,
mencabut pistol yang kedua, mengambil pelurunya, jam tangan serta kantung berisi
bahan makanan yang disandang korban. Semua perlengkapan diambilnya. Tiba-tiba ia
mendengar orang memukul dinding ruangannya keras-keras.
"Siapa di situ?" tanya gadis itu.
"Aku... Emma," bunyi jawabnya tertahan.
Karja bersorak kegirangan. Ia menjemput lentera yang terletak di atas tanah itu.
Sesaat kemudian ia sudah berdiri di muka pintu sel Emma. Ia berusaha sekuat
tenaga untuk membuka grendel yang sudah berkarat itu.
Setelah berhasil, langsung ia masuk ke dalam.
"Kau memiliki senjata serta sebuah lampu ... kau bebas?" seru gadis berkulit putih
itu. "Memang aku memiliki senjata, namun aku masih belum bebas," jawab gadis Indian
itu. "Kau telah mengetuk ... jadi kau tahu aku ada dekatmu?"
"Aku mendengar suara-suara, suara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian terdengar tembakan.
Siapakah yang menembak itu?"
"Aku. Mula-mula aku menembak rahangnya, kemudian aku menikam tubuhnya dengan
pisau. Ia sudah mati."
Astaga! Alangkah mengerikan!" desah Emma.
"Mengerikan" Sekali-kali tidak. Orang itu hanya menerima ganjarannya yang
setimpal. Tetapi kini kita
janganlah membuang-buang waktu. Kita harus mencari kebebasan. Kau mempunyai
senjata?" "Sebilah pisau yang telah kurebut dari Verdoja."
"Bagus. Jadi kau pun dapat bertindak dengan perkasa bila perlu. Terimalah pistol
ini! Siapa yang berani menghalangi kita akan kita tembak mati. Mari kita periksa
lorong ini." Mereka menyelinap memasuki lorong-lorong dan menempuh jalan yang dilalui ketika
mereka masuk. Lorong itu sempit, udaranya pengap. Karja berjalan di muka. Tiba-
tiba ia terhenti lalu memekik kegirangan.
"Ada apa?" tanya Emma.
"Aku menemukan sesuatu!" jawab gadis Indian. "Kita tidak perlu bergelap-gelap
lagi ataupun mati kelaparan.
Lihatlah!" Di dinding lorong terdapat sebuah lubang berbentuk bujur sangkar. Di dalamnya
terdapat sejumlah perbekalan tortilla, yaitu roti jagung berbentuk pipih,
makanan biasa orang Mexico. Di cahaya lentera tampak juga sebuah botol penuh
berisi cairan. Setelah diperiksa ternyata isinya minyak.
"Mujur benar kita!" kata Emma. "Kukira kita akan mati kelaparan dalam bangunan
seperti neraka ini."
"Kita tidak akan mati kelaparan. Roti jagung itu dapat kita makan. Lagi pula aku
telah mengambil kantung berisi perbekalan makanan dari tubuh Pardero. Mari kita
lanjutkan perjalanan!"
"Apakah tidak berbahaya memasuki lorong-lorong ini"
Kita akan tersesat."
"Tidak mungkin. Percayalah. Aku tahu dengan pasti bahwa kita telah datang dari
arah sini juga. Sungguhpun mataku tertutup, namun perasaanku menyatakan bahwa
pintu sel terbuka ke arah kami datang."
Perlahan mereka menyelinap terus. Akhirnya mereka menjumpai sebuah pintu dengan
gerendel besi kukuh yang baru saja telah diminyaki. Pintu itu terbuka sedikit.
Ketika kedua gadis itu membukanya dengan mendorongnya,
mereka berada dalam lorong yang kedua. Karja memeriksa pintu dan melihat bahwa
sebelah luar pintu itu diberi grendel pula sehingga pintu itu dapat dikunci dari
dua belah pihak. "Itu hasil pemikiran yang cerdik," pikir gadis itu.
"Grendel bagian luar gunanya untuk mengunci pintu terhadap lorong tempat sel-sel
kita, sedangkan grendel bagian dalam un
tuk mengamankan diri dari serangan orang-orang dari luar.
"Ngeri aku bila mengingat nasib kita ini." Keluh Emma.
"Namun untunglah bahwa nasib itu sudah bertukar menjadi baik."
"Apa kerja kita sekarang?"
"Kita ada harapan. Sternau sedang mencari kita dan mungkin dapat juga menemukan
penjara kita. Kita memiliki senjata, peluru,minyak dan bahan makanan. Kita tidak
akan menyerah. Kini masih satu hal yang membingungkan aku, kita harus menempuh
jalan ke kiri atau ke kanan..."
"EST ... aku dengar sesuatu!"
Perkataan itu diucapkan Emma dengan berbisik. Kedua gadis itu mendengar bunyi
langkah kaki orang dari kejauhan, makin lama makin mendekat.
"Cepat kita kembali. Kita menggerendel pintu dari dalam!" kata Karja.
Mereka menyelinap kembali ke balik pintu lalu menggerendelnya dari dalam. Bunyi
langkah kaki itu makin mendekat ... Namun mereka berjalan terus. Tidak ada usaha
untuk membuka pintu. Hanya seseorang mendorongnya sedikit untuk mengetahui pintu
itu sudah tertutup rapat atau belum.
"Beberapa orang pria," bisik Emma.
"Kuduga empat orang," pikir Karja. "Mungkin Verdoja dengan pembantunya untuk
membawa Senor Mariano dan Senor Unger. Mereka berhenti. Dengarlah, ada yang
bercakap." Keempat orang itu masih belum jauh dari situ ketika terdengar suara Verdoja.
"Berhenti! Kita sudah sampai! Masukkan yang seorang di sini dan yang seorang
lagi di sel sebelahnya, Ayo, cepat!"
Beberapa saat berlalu. Mereka tidak mendengar apa-apa. Kemudian terdengar bunyi
grendel pintu yang digeser.
Setelah itu bunyi langkah kaki dua orang yang berjalan kembali. Di muka pintu
lorong mereka berhenti sesaat lalu berusaha membuka pintu dengan mendorongnya.
"Wah, Pardero telah menggrendel pintu dari dalam!"
kata Verdoja sambil tertawa.
"Sebenarnya itu tidak perlu," gerutu penjaga bangunan.
"Kini kita terpaksa menunggu."
"Tentu ia tidak mau diganggu oleh kita. Namun ia patut diberi pelajaran. Kita
kunci saja pintu dari luar."
"Dan apabila ia mau keluar ..."
"Ia harus rela menunggu juga."
"Tetapi mungkin ia mencoba masuk ke dalam lorong-lorong lainnya sehingga ia
tersesat atau melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang."
"Pintu yang satunya lagi akan kita kunci juga, maka ia hanya dapat mundar-mandir
dalam lorong ini saja sampai kita membukakan pintu untuknya."
"Dan apabila ia pergi ke ujung lorong di sebelah sana?"
"Itu pun akan sia-sia saja baginya. Pintu belakang tak mungkin dapat dibukanya,
karena ia tidak mengenal rahasianya. Mari kita pergi saja; sejam kemudian kau
harus menjemputnya."
Setelah mereka pergi, kedua gadis itu dapat bernafas dengan lega kembali. Ngeri
mereka mengingat kemungkinan bahwa mereka dapat ditangkap kembali.
Setelah bunyi langkah kaki tidak terdengar lagi, Emma bertanya, "Apa sekarang?"
"Membebaskan kedua kawan kita. Maka kita jadi berempat. Kini kita tidak perlu
merasa takut lagi." Emma membuka sebuah pintu yang menuju ke sebuah lorong simpang. Kedua gadis itu
menemukan di situ dua sel bersebelahan yang dihuni oleh dua tawanan pria itu.
Karja mengetuk tetapi tidak mendapat jawaban. Demikian pun di pintu yang kedua
mereka tidak berhasil memperoleh jawaban. Ia membuka pintu kedua sel itu dengan
menggeser grendelnya lalu menyinarkan lampunya ke dalam. Di atas tanah terbaring
seorang pria yang dibelenggu dengan dua buah rantai.
"Senor Unger!" kata gadis itu setelah mengenalinya.
"Mengapa Anda tidak menjawab?"
Karena terkejut Mualim itu menggerakkan rantainya yang berbunyi gemerincing. Ia
tidak dapat melihat siapa yang masuk karena Karja menerangi sel itu namun ia
sendiri berdiri dalam gelap.
Unger yang mengenali gadis Indian itu dari suaranya berkata dengan tercengang-
cengang, "Senorita Karja, bagaimana Anda sampai dapat ke mari?"
"Kami berhasil membebaskan diri kami," jawabnya.
"Kami" Siapa lagi?"
"Senorita Emma."
"Masya Allah! Senorita Emma ada bersama Anda?"
"Benar, inilah saya," kata Emma sambil melangkah masuk untuk memperlihatkan
dirinya. "Karja yang perkasa itu telah membunuh Pardero, melucuti senjatanya dan
membebaskan diriku. Kini giliran kami membebaskan Anda."
"Puji syukur kepada Tuhan!" seru Unger dengan merasa lega. "Apakah Verdoja telah
pergi?" "Benar, dan penjaga bangunan baru sejam kemudian akan kembali lagi."
"Kalau begitu masih ada banyak waktu. Senor Mariano ada di sel sebelah."
"Kita akan membebaskannya juga," kata Karja.
"Bagaimana membuka rantai itu" Kita tidak mempunyai anak kuncinya."
"Rantai ini tidak berkunci," kata Unger. "Di dinding rantai hanya dikukuhkan
dengan beberapa pasak besi.
Pasak-pasak itu begitu tinggi letaknya sehingga tidak
tercapai olehku. Coba lihat saja sendiri, Senorita."
Benar juga apa yang dikatakan itu. Unger sedang terbaring terlentang. Kedua
tangannya dirantai serta rantainya itu dikukuhkan pada kedua dinding. Rantai itu
begitu pendek sehingga tawanan itu tidak dapat mencapai dinding sebelah kiri
maupun sebelah kanan. Dalam sekejap mata Karja melihat bagaimana caranya
melepaskan rantai. Maka sesaat kemudian Unger sudah terbebas dari segala
hambatannya. Ia menggeliat dengan tubuhnya yang besar itu untuk memulihkan
kembali peredaran darahnya.
"Untung benar Anda telah datang," katanya. "Mari, kita bebaskan Senor Mariano
dahulu, kemudian kita dapat bertukar pengalaman."
Mereka pergi ke sel sebelah. Reaksi Mariano serupa dengan Unger. Ia pun tidak
memberi jawaban ketika pintunya diketuk karena ia mengira mereka itu musuhnya
yang datang untuk menghina. Tubuhnya diikat dengan rantai seperti pada Unger,
maka tiadalah memakan waktu lama untuk membebaskannya. Gadis-gadis itu harus
menceritakan pengalamannya, bagaimana mereka sampai memperoleh kebebasannya.
Kedua pria itu sangat memuji keberanian mereka. Kini gadis-gadis itu tidak lagi
berdiri sendiri melainkan mempunyai pelindung yang cukup tangguh.
Atas usul Mariano pisau tetap dipegang oleh kedua gadis dan pistol diserahkan
kepada kedua pria. Selanjutnya mereka berjanji untuk tetap bersama-sama, karena bila salah seorang
dapat dipisahkan dari mereka, ia tentu tidak akan tertolong lagi. Mereka harus
berjaga-jaga. Setiap saat bencana dapat terjadi. Bahan makanan mereka bagi empat. Ke empat
kendi air disiapkan, setiap orang membawa satu. Unger dan Mariano membagi-bagi
peluru yang direbut dari Pardero dan Mualim memasukkan botol berisi minyak ke
dalam sakunya. Sayang jam tangan Pardero mati sehingga mereka tidak mempunyai
alat pengukur waktu. Segala sesuatu yang berguna dibawa mereka dalam perjalanan menyelidiki lorong-
lorong yang gelap menyeramkan itu. Lorong yang ada sel-sel tawanan pria itu
ujungnya yang satu ditutup dengan sebuah pintu. Di ujungnya yang satu lagi
terdapat sebuah kamar. Dari kamar itu dapat dicapai lorong yang ada sel-sel
tawanan gadis. Ujung lorong itu ditutup dengan pintu. Pintu itu dikunci dengan
dua grendel besar yang sudah berkarat.
Dengan sekuat tenaga kedua pria itu menggeser grendel.
Setelah berusaha lama grendel itu dapat digeser, namun sia-sia saja. Pintu belum
terbuka juga. Itulah pintu yang dimaksudkan oleh Verdoja dengan pintu yang tidak
dapat dibuka orang yang tidak mengenal rahasianya.
"Apa akal?" tanya Unger. "Pintu ini tak mungkin kita buka."
"Tentu ada rahasianya," kata Mariano. "Mari kita selidiki. Mungkin kita dapat
mengetahui rahasianya."
Setiap sentimeter pada pintu serta dinding di sekelilingnya diraba dengan tangan
dan kaki. Mereka mencari bagian yang tidak rata, yang agak menonjol atau masuk
ke dalam. Namun usaha mereka sia-sia saja.
"Tak perlu kita membuang-buang waktu lagi dengan mencari," kata Unger. "Ini
bukanlah caranya untuk mendapat kebebasan. Kita harus menggunakan siasat.
Jangka waktu bagi penjaga untuk kembali lagi sudah hampir lewat. Kita harus
menaklukkannya. Bila orang itu sudah kita kuasai, kita dapat memaksakannya. Bila
orang itu sudah kita kuasai, kita dapat memaksanya memberitahukan kita jalan
untuk mendapat kebebasan."
"Benarlah, itu satu-satunya jalan yang memberi harapan," kata Mariano.
"Kita sudah mempunyai korek api milik Pardero, maka kita sebaiknya memadamkan
lentera kita. Cahayanya dapat membahayakan kita. Mari kita kembali lagi ke ujung
lorong dan membuka pintu. Salah seorang dari kita berdiri menanti di dalam
lorong. Yang seorang lagi bersembunyi di balik pintu yang terbuka. Bila orang
itu muncul, akan kita sergap dia." "Dan bagaimana dengan kami?" tanya Karja.
"Kalian berdua bersembunyi dalam sel Senorita Emma.
Dalam sel yang satunya lagi terdapat mayat Pardero.
Tentunya sel itu kurang cocok bagi seorang gadis."
Maka gadis-gadis itu masuk ke dalam sel. Mariano sendiri menanti dalam lorong
yang gelap itu dan Unger bersembunyi di balik pintu. Lama mereka menunggu.
Akhirnya mereka mendengar bunyi-bunyi yang lemah. Di kejauhan terdengar sebuah
pintu ditutup orang, lalu suara orang yang agak menggerutu. Kemudian terdengar
bunyi langkah kaki orang yang kian mendekat. Si penjaga bangunan datang.
Lenteranya yang kecil berkelap-kelip di tangannya memberi penerangan taram-
temaram. Akhirnya cahaya lampu menerangi pintu yang sedang terbuka.
"Senor Pardero!" panggil orang itu dengan suara tertahan.
Tidak ada jawaban. Orang itu pergi ke lubang pintu untuk melihat ke dalam
lorong. Cahaya lampunya dengan samar-samar menerangi tubuh Mariano yang sedang
bersandar pada dinding. "Senor Pardero?" tanya penjaga.
"Ya," jawab orang Spanyol itu dengan suara yang dibuatbuat.
"Senor Verdoja sudah pergi ke hacienda. Saya harus mengantarkan Anda ke situ."
"Dan yang lainnya?"
Seandainya lorong itu tidak begitu sempit, lembab serta hampa maka orang itu
tentu tidak akan terkecoh semudah itu. Namun kini suasana separuh gelap dan
suara Mariano yang dibuat-buat itu membuat penjaga tidak menaruh syak wasangka
bahwa ia berhadapan dengan Pardero.
"Mereka sudah kembali semuanya," jawabnya.
"Semuanya?" "Benar. Mula-mula Senor Verdoja hendak mengirim beberapa orang saja, tetapi


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena Sternau itu lawan yang luar biasa kuat serta cerdiknya, maka ia merasa
perlu mengirim semua orangnya untuk menangkapnya. Mereka
baru akan menerima upahnya setelah berhasil menangkapnya hidup-hidup ataupun
membawa pulang kepala orang itu yang sudah terpenggal. Maka sudah barang tentu
mereka akan berusaha sedapat-dapatnya untuk menemukannya.
"Tetapi bukankah kuda mereka sudah terlalu letih?"
Unger mengerti bahwa Mariano sedang berusaha mengetahui sebanyak mungkin tentang
rencana lawannya, tetapi ia menganggap pembicaraan itu perlu juga dihentikan
karena dapat membahayakan diri mereka.
Maka ia diam-diam keluar dari persembunyiannya lalu berdiri tepat di belakang
penjaga bangunan. Orang itu masih belum juga menyadari keadaan gawatnya. Ia
menjawab, "Mula-mula mereka pergi ke hacienda untuk mengambil kuda-kuda yang
masih segar. Untunglah kedua tawanan kita, Unger dan Mariano sudah dipenjarakan
dalam selnya. Jadi mereka tidak dapat mengganggu kita lagi."
"Kukira kau sedang mengigau!" kata Mariano sambil maju selangkah mendekatinya.
Pada saat itu juga Unger langsung memegang lehernya dengan kedua belah
tangannya. Maka terlepaslah lentera dari tangan orang itu.
Ia mengerang kesakitan lalu menggelepar-gelepar dengan kaki dan tangannya.
Sesaat tubuhnya gemetar, kemudian terjatuh dengan lemas ke dalam tangan
lawannya. "Bagus," kata Pelaut itu. "Ia sudah tidak sadarkan diri.
Nyalakan lampu." Mereka membaringkan tubuh itu ke atas lantai lalu menyalakan lampu. Setelah
diterangi oleh sinar lampu, maka tampaklah tubuh itu sudah menjadi kaku. Matanya
masih terbuka dan wajahnya tampak kebiru-biruan.
"Ia bukan pingsan. Ia sudah mati," kata Mariano.
"Itu tak mungkin," jawab Unger. "Aku tidak
mencekiknya." "Lihat saja, Senor. Warna demikian bukanlah merupakan tanda seseorang jatuh
pingsan. Ia pasti sudah mati, namun bukan karena perbuatan Anda. Karena
sangat terkejut ketika Anda tiba-tiba memegang lehernya."
"Astaga, mungkin juga demikian. Kelihatannya seperti orang yang menderita
serangan jantung. Sayang, kini ia tak dapat menunjukkan jalan keluar kepada
kita." "Namun mungkin kita dapat menemukannya tanpa bantuannya. Kini kita dapat
menemukan jalan ke luar dengan mengikuti jalan yang ditempuh orang itu."
"Saya kira, tidak semudah itu. Lorong-lorongnya begitu banyak dan bersimpang
siur sehingga dapat menyesatkan kita. Lagi pula pintu-pintunya tidak dapat
dibuka orang yang tidak mengenal rahasianya."
"Kita lihat saja nanti. Pertama-tama harus kita periksa dahulu, orang itu sudah
benar-benar mati atau belum. Di ikat pingangnya tersisip sebilah pisau dan
sepucuk pistol ... Senjata yang sangat berguna bagi kita."
Mariano memotong dengan pisau urat nadi penjaga.
Darah keluar hanya beberapa tetes saja. Mereka mendengarkan nafas dan membuka
baju orang itu untuk mengetahui masih terdapat pergerakan pada tubuhnya atau
tidak. Selama seperempat jam mereka menyelidiki.
Akhirnya mereka merasa yakin, orang itu sudah mati.
"Aneh benar!" geram Unger. "Orang ini sekali-kali bukanlah seorang penakut bila
menelusuri lorong-lorong yang gelap menyeramkan ini, tetapi bila sesuatu terjadi
yang menyimpang dari kebiasaan, maka ia langsung mendapat serangan jantung! Baik
kita letakkan tubuhnya dekat tubuh Pardero sehingga gadis-gadis tidak perlu
melihatnya." Sebelum mereka mengangkat tubuhnya, mereka
memeriksa isi saku-sakunya. Mereka menemukan sebuah jam terbuat dari tembaga.
Benda itu besar gunanya bagi mereka untuk menentukan siang dan malam.
Selanjutnya ditemukan sebilah pisau lipat kecil dan sejumlah besar rokok yang
selalu terdapat dalam saku baju orang Mexico.
Baru setelah selesai mereka pindahkan mayat penjaga ke dalam sel Pardero. Mereka
memanggil gadis-gadis itu dan menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi.
"Orang itu nampaknya sekali-kali bukan penakut," kata Karja. "Tuan Unger
tentunya mencekiknya dengan tangan pelautnya yang kuat itu."
"Itu tidak benar!" jawab Unger. "Mungkin ia bukan seorang penakut, tetapi ia
orang yang beritikad jahat.
Orang demikian jiwanya labil, mudah menjadi terkejut.
Tetapi sebaiknya jangan kita persoalkan lagi perbedaan pendapat itu. Lebih baik
kita mencari tahu, jalan keluar masih terbuka atau tidak."
Mereka pergi ke tempat lorong itu bercabang lalu membelok ke kanan, ke arah
datangnya penjaga. Mereka menjumpai pintu terbuka yang menuju ke sebuah lorong
simpang. Di situ mereka membelok lagi ke kanan lalu terbentur pada dinding batu
yang tidak dapat ditembusi.
Mereka berbalik kembali dan memasuki bagian lain dari lorong. Mereka terbentur
pada sebuah pintu yang terkunci dengan dua buah grendel. Mereka menggeser
grendel itu namun pintu tidak dapat dibuka juga.
"Lagi-lagi pintu rahasia," kata Unger putus asa.
"Mungkin demikian," kata Mariano. "Tetapi kita dapat menyelidikinya."
"Berempat mereka mencari-cari berjam lamanya, segenap kecerdasannya dicurahkan,
namun sia-sia saja. Ketika mereka berusaha dengan tenaga mereka bergabung, melepaskan pintu dari
engselnya, mereka tidak mencapai hasil sedikit pun.
"Segala usaha kita tidaklah berhasil," kata Mariano dengan hati kesal. "Mungkin
perlu kita mengadakan serangan lagi."
"Siapa lagi yang harus diserang?" tanya Emma.
"Verdoja." "Benarlah pendapatnya," kata Unger. "Bila penjaga bangunan tidak kembali lagi
bersama Pardero, maka Verdoja akan mengira, mereka telah mendapat kecelakaan.
Maka ia akan pergi ke piramida dan kita siap menantinya."
"Dan bila ia sampai tercekik lagi lehernya oleh Anda...?"
tanya Emma mengumpat. "Itu tidak usah Anda khawatirkan. Saya tidak akan mencekiknya. Kami berdua sudah
cukup tangguh untuk menguasainya. Kemudian akan kami panggil gadis-gadis untuk
membelenggunya. Ia tidak akan dapat berkutik lagi.
Dan bila ia masih menghargai nyawanya ia akan membebaskan kita."
"Benar. Itu satu-satunya jalan untuk memperoleh kemerdekaan kita kembali,"
tambah Mariano. "Mari kita kembali lagi ke lorong kita."
"Kita masih mempunyai banyak waktu," kata Karja.
"Penjaga bangunan masih belum diharapkan kembali.
Masih beberapa jam lagi sebelum tiba saatnya Verdoja merasa gelisah."
"Sebaiknya kedua gadis itu tidur saja dahulu. Kami akan menjaga keamanan."
Usul itu diterima. Gadis-gadis itu tidak mau melihat mayat itu. Mereka tidur di
sel tempat Mariano ditawan.
Mereka boleh membawa lampu yang sudah dinyalakan.
Mariano dan Unger menanti dekat pintu tempat mereka menaklukkan penjaga. Verdoja
tentunya akan ke situ juga.
Tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran bekas kapten, bencana yang akan
menimpanya bila ia kembali ke kuil masa purba itu. Sebagaimana yang dikatakan
oleh penjaga, Verdoja telah pergi ke hacienda ditemani oleh orang-orangnya.
Hacienda itu tanah pusakanya dan merupakan salah satu dari keenam puluh tanah
milik yang terdapat di Negara Chihuahua, yang juga merupakan nama ibukotanya.
Hacienda Verdoja letaknya dua hari perjalanan dari ibukota, tetapi untuk pergi
ke Mexico diperlukan waktu seminggu. Itulah sebabnya maka nenek moyang Verdoja
merupakan peternak-peternak sejati, yang mencurahkan segenap perhatiannya kepada
pemeliharaan hewannya dan sekali-kali tidak merasa tertarik pada politik.
Verdoja adalah yang pertama yang mengubah adat kebiasaan itu.
Ia seorang yang haus akan kekuasaan. Ia menginginkan pengaruh yang bertambah
besar. Di Mexico terdapat
banyak partai yang saling bersaingan. Karena itu bagi orang yang mempunyai
ambisi akan pengaruh, hal itu menguntungkan namun sekaligus juga merugikan.
Verdoja menyadari bahwa Juarez akhirnya akan memperoleh kemenangan, maka ia
menggabungkan diri dengannya. Di bawah pimpinan orang yang gagah perkasa itu ia
sampai mencapai pangkat kapten. Sayang permulaan yang cemerlang ini kini sudah
berakhir dengan cara yang memalukan. Ia sudah dapat membayangkan bahwa Juarez
tidak akan sudi menerimanya lagi.
Hari sudah malam ketika Verdoja tiba di hacienda.
Tidak ada seorang pun yang menantikan kedatangannya.
Sesungguhnya ia telah mengirim seorang utusan untuk menyampaikan perintahnya
kepada penjaga sehubungan dengan para tawanan, namun penjaga itu pun dipesan
supaya pandai memegang rahasia.
Maka sepulangnya ke rumah semua penghuni sudah tidur. Ia harus membangunkan
beberapa vaquero. Mereka harus menyediakan kuda-kuda yang kuat serta segar.
Setelah perintah itu dikerjakan, orang-orang Mexico itu bergegas menaiki
kudanya, pergi menempuh kegelapan kembali ke arah mereka datang. Mereka bertekad
bulat untuk menangkap Sternau ataupun membunuhnya untuk memperoleh hadiah yang
dijanjikan. Baru sekarang Verdoja sempat melayani dirinya. Ia tidak beristri. Di haciendanya
seorang wanita keluarga jauh mengurus rumah tangganya. Wanita itu merasa heran
ketika melihatnya datang. Pada perkiraannya Verdoja masih bersama Juarez, maka
ia merasa heran melihat tuannya pulang ke rumah ketika hari sudah larut malam.
Rasa herannya berubah menjadi rasa terkejut, ketika ia melihat bahwa tuannya itu
sudah kehilangan empat jari dan sebelah matanya. Wanita itu hendak meratap dan
menangis, namun tuannya tidak memberi kesempatan. Langsung ia membentaknya
secara kasar dan memerintahnya segera menghidangkan makanan. Sambil menyantap
makanan, ia memberitahukan kepadanya
bahwa ia menantikan kedatangan seorang tamu bernama Pardero. Penjaga piramida
akan mengantarkannya ke mari.
Maka harus disediakan makanan baginya dan sebuah kamar disiapkan. Kemudian ia
langsung pergi tidur untuk mendapat istirahat yang sangat dibutuhkannya.
Ketika ia terjaga, hari sudah siang. Wanita pengurus rumah tangganya
menghidangkan minuman coklat yang segera diminumnya tanpa berkata-kata. Ia
menggeser cangkir yang sudah kosong itu lalu bertanya, "Apakah Senor Pardero
sudah bangun?" "Senor Pardero?"
"Benar. Senor yang berjanji akan datang kemarin."
"Ia masih belum datang."
"Apa! Belum datang?" seru Verdoja terkejut. "Dan penjaga piramida" Kemarin ia
harus datang juga." "Ia pun tidak saya lihat."
"Kamu mungkin sudah tertidur nyenyak sehingga mereka sudah melayani dirinya
sendiri." Agak marah wanita itu menjawab, "Tak mungkin orang dapat melayani dirinya
sendiri di sini. Bila datang tamu, sayalah yang mengatur segala-galanya ... Malam
hari pun saya dibangunkan untuk itu. Saya telah menunggu sepanjang malam, namun
percuma saja." Verdoja tidak menjawabnya. Ia keluar dan menyuruh siapkan seekor kuda. Sepuluh
menit kemudian ia pergi ke arah piramida. Tanpa dilihat orang, ia tiba di
bangunan tua itu. Cepat-cepat ia turun dari kudanya dan membiarkan kuda itu
makan rumput dekat sekelompok belukar. Belukar itu berbatas dengan sebuah batu
karang besar yang sebagian sudah runtuh. Batu itu beralur-alur yang ditumbuhi
lumut. Di tempat itu batu menyentuh tanah alur-alur itu tampaknya makin dalam.
Verdoja berbaring di atas lututnya dan menyandarkan bahunya kepada batu karang
itu. Ia mendorong dengan bahunya dan bagian batu yang beralur dalam mulai
bergeser masuk ke dalam. Kini nampak sebuah lubang besar. Di bawahnya terdapat
beberapa butir batu berbentuk bulat, tempat batu
karang itu bergeser. Lubang itu cukup besar untuk dimasuki orang dengan
mengendap-endap. Verdoja masuk ke dalam. Ia masuk ke dalam suatu celah di
dinding lalu mendorong batu karang itu kembali ke tempatnya semula.
Di dalam celah terdapat beberapa buah lentera, sama seperti yang dibawa oleh
penjaga piramida. Verdoja menyalakan sebuah lalu menuruni sebuah lorong dalam
batu karang. Kemudian lorong itu naik sedikit lalu menurun lagi. Lorong itu
kadang-kadang lurus, ada kalanya berliku-liku. Ia berjalan keluar masuk kamar-
kamar dan melalui sel-sel. Ia membuka dan menutup pintu dengan hanya
menyentuhnya perlahan, tiap kali terdengar bunyi logam "klik". Ia memanjat
sebuah tangga dan setelah ia membuka dan menutup lagi beberapa pintu dengan cara
gaib yang sama, maka ia sampai pada pintu yang tidak dapat dibuka oleh para
tawanan itu, betapa besar pun usaha mereka. Pintu ini pun membuka karena
mendapat sentuhan dari Verdoja meskipun dibaliknya terdapat beberapa grendel.
Kini ia masih harus memasuki sebuah pintu yang dibiarkan terbuka oleh penjaga
lalu ia berada di lorong dengan sel-sel tempat Mariano dan Unger ditahan.
Ia telah mengunci semua pintu di belakangnya. Di luar dugaannya orang sedang
menghadangnya dalam lorong itu. Ia mengira bahwa Pardero masih tetap berada
bersama Karja dan bahwa si penjaga telah meninggalkannya.
Mungkin penjaga itu mendapat suatu halangan maka ia belum dapat kembali ke
hacienda. Perlahan ia pergi ke gua dengan sel-sel gadis itu. Tiba-tiba cahaya
lampunya menerangi Mariano, namun sebelum Verdoja dapat mengenalinya, ia sudah
dipegang dari belakang lalu Unger berseru, "Berhenti! Menyerahlah!"
"Tidak!" teriak Verdoja. Mariano hendak menangkapnya namun Verdoja memberontak
lepas dari tangan Unger dan menendang perut Mariano yang jatuh terguling ke atas
lantai. Dengan memegang lampu Verdoja cepat-cepat melarikan diri ke dalam
lorong. Langsung ia memahami apa yang telah terjadi. Pardero dan penjaga tentu sudah
dibunuh. Kalau tidak demikian, para tawanan tidak mungkin lepas. Ia harus
menyelamatkan diri serta menjaga supaya para tawanan tidak lolos. Maka ia tidak
memilih berkelahi melainkan ia melarikan diri.
"Kejar dia!" seru Unger.
Mariano cepat-cepat bangkit lalu bertanya,
"Tidak perlu mengajak para gadis?"
"Tidak," seru pelaut itu tanpa berpikir panjang.
"Tetapi kita mungkin kehilangan mereka. Saya akan mengambil mereka."
"Maka saya akan pergi lebih dahulu."
Unger mengejar si pelari dan Mariano mengambil para gadis. Ternyata itu tidak
perlu. Para gadis sudah siap berdiri di belakangnya membawa lampu yang sudah
menyala di tangannya. Bahkan Karja demikian panjang akalnya, ia membawa serta
sebotol minyak. "Ayo, cepat kita pergi!" seru Mariano. Ia berlari di belakang Unger. Verdoja
kini sudah dekat pintu. Ia menyentuhnya ...
Lalu pintu membuka dengan patuhnya meskipun ada grendel di baliknya. Di belakang
pintu terlihat suatu ruangan yang gelap. Di tengah-tengah lantai tampak sebuah
lubang hitam menganga. Sebilah papan menjembatani lubang itu. Karena Verdoja
sudah hampir terkejar oleh Unger, maka melompatlah ia ke atas papan itu dalam
usahanya menyelamatkan diri. Namun malang baginya, papan itu bergoyang dan
berderak-derak. Tinggal selangkah dua langkah lagi untuk mencapai seberang ...
namun papan itu patah berkeping-keping ... Dengan diiringi oleh jeritan yang
mengerikan Verdoja terjun ke dalam lubang yang dalam itu. Bunyi benturan
tubuhnya dengan dasar lubang terdengar sampai ke atas.
"Astaga!" seru Unger sambil mundur selangkah dari lubang pintu yang sudah
dicapainya. "Verdoja jatuh ke dalam lubang!"
Di mana" Di mana?" Tanya Mariano yang telah melampauinya.
"Di situ ... di bawah!"
Kedua gadis pun datang menyaksikan. Emma yang menuju ke lubang itu hendak
membiarkan pintu menutup di belakangnya. Untunglah Mariano dapat mencegah
perbuatan itu. "Jangan ditutup, Senorita. Bila kita tidak berhasil menyeberangi lubang itu kita
akan terkurung di ruangan yang sempit ini."
Benar juga ia. Di ruangan berbentuk bujur sangkar di hadapan mereka menganga
sebuah lubang, lebarnya lebih dari lima meter, dari dinding sebelah kiri ke
dinding sebelah kanan. Lubang itu hanya dapat diseberangi melalui suatu
jembatan. Di tempat mereka berdiri, lantai hanya semester lebarnya sehingga
mereka hampir-hampir tidak berani bergerak. Ketika lampu mereka menerangi bagian
langit-langit, maka di situ pun tampak lubang berlanjut ke atas.
"Ini agaknya bekas mata air," kata Unger.
"Benarlah pendapatmu," jawab Mariano. "Dengarlah!"
Dari bawah terdengar samar-samar suara. Unger berbaring di atas lututnya dan
memanggil ke bawah, "Verdoja!" Terdengar suara orang mengerang secara mengerikan.
Itulah jawabannya. "Kau masih sadar?" Tanya Unger. Sekali lagi terdengar suara orang mengerang
sebagai jawaban. "Mau kamu kami tolong?" Tanya Unger.
Jawaban yang terdengar tidak dapat dimengerti mereka.


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia tidak tertolong lagi," kata Mariano. "Mata air itu sekurangkurangnya dua
puluh meter dalamnya."
"Verdoja sudah menerima hukuman yang setimpal!"
tambah Karja agak marah-marah. "Tetapi bagaimana nasib kita selanjutnya?"
"Pintu masih terbuka," kata Emma. "Mari kita mencari rahasianya."
Mereka menerangi lorong dan mereka merasa heran karena bukan hanya pintunya yang
terbuka melainkan juga kosen-kosen pintu telah berputar membuka. Di atas dan di
ambang pintu terlihat alur-alur yang dalam pada bagian atas dan bawah daun pintu
tampak lubang-lubang kecil. Bagaimana caranya menggerakkan grendel tidaklah
jelas. Keempat tawanan itu bersusah payah untuk memecahkan rahasia, namun tiada
berhasil. Jalan keluar melalui lubang mata air tidak mungkin dilaksanakan.
Suara Verdoja meraung-raung makin lama makin tiada tertahan orang yang
mendengarnya. Maka mereka hendak kembali saja ke lorong tempat mereka datang.
Pintu yang menghubungkan dengan lubang mata air dibiarkan terbuka. Mereka
mengganjalnya dengan rumput kering yang diambil mereka dari sebuah sel, untuk
menjaga supaya pintu itu tidak dapat menutup kembali dengan sendirinya. Mereka
saling melempar pandangan berputus asa.
"Ada kemungkinan, Verdoja telah meninggalkan salah sebuah pintu yang dilaluinya,
terbuka," Mariano menduga.
"Mari kita menyelidikinya."
"Mereka kembali ke lorong lalu terbentur pada pintu yang dahulu sudah diusahakan
membukanya, tetapi tanpa hasil. Pintu itu terkunci. Mereka berusaha lagi, namun
kini pun tanpa hasil. "Kita sudah terperangkap," sedu Emma. "Kita menjumpai nasib mati kelaparan."
"Masih belum seburuk itu," hibur Mariano. "Tuhan masih ada. Tuhan tidak akan
membiarkan kita seperti ini."
"Mari kita kerahkan segenap akal dan tenaga kita untuk menyelamatkan diri kita.
Tentu harus ada jalan."
"Saya rasa, sudah tidak ada jalan lagi," kata Karja.
"Kecuali bila Senor Sternau datang."
"Dan bila ia tidak datang?" keluh Emma. "Karena ia sudah tertangkap kembali atau
dibunuh?" "Ingat Senorita, Senor Sternau itu bukanlah anak kecil.
Saya yakin ia dapat mengatasi kesulitan keadaannya,"
hibur Unger. "Saya kira membuka pintu itu bukanlah pekerjaan yang sulit sekali. Bukankah kita
mempunyai pisau" Itu merupakan perkakas yang tepat."
"Benarlah," sindir Emma. "Kita potong saja pintu dengan pisau itu." Mereka
tertawa juga mendengar kelakar itu sungguhpun mereka mengalami nasib yang
seburuk itu. "Itu bukan maksudku, Senorita," kata Unger. "Kayu pintu itu sekeras besi.
Memotongnya dengan pisau itu akan memakan waktu berbulan lamanya. Lagipula,
andaikata kita berhasil juga, masih belum tentu kita berada dalam lorong yang
benar. Maksud saya membongkar sebagian dinding sekitar pintu. Di situ niscaya
terdapat rahasianya."
"Kurasa kau benar," kata Mariano membantunya. "Mari kita kerjakan!"
"Ada jalan yang lebih pendek," kata Karja. "Kita pintal saja sebuah tali
tambang. Tali itu kita masukkan ke dalam lubang. Salah seorang di antara kita
turun ke bawah menemui Verdoja. Bila ia masih hidup, ia dapat membuka rahasia
pintu kepada kita. "Dari bahan apa harus kita buat tali itu?"
"Dari tali dan laso yang dipakai untuk mengelenggu kita. Tali-tali itu masih
tertinggal dalam sel kita. Bila kurang panjang, kita dapat menggunakan baju
lawan kita yang sudah mati. Bila perlu baju kita sendiri dapat digunakan.
Mungkin dapat juga kita lepaskan rantai-rantai yang dipakai untuk membelenggu
tubuh kedua senores itu serta memanfaatkannya. Senorita Emma dan saya telah
mendapat selimut yang juga dapat ditemukan dalam sel kami. Selimut itu dapat
kita koyak-koyak lalu kita pintal menjadi tali."
Usul itu diterima. Laso-laso mulai dihubunghubungkan, baju Pardero dan penjaga
dipotong-potong, demikian juga selimut-selimut, sekaliannya itu dipintal menjadi
tali. Setelah selesai tali dipintal, panjangnya
mencapai lebih dari dua puluh meter. Unger dan Mariano menarik dengan sekuat
tenaga di kedua belah ujungnya untuk mencobai kekuatannya. Untunglah tali itu
cukup kuat. Mariano menawarkan dirinya turun ke bawah karena tubuhnya lebih
ringan daripada Unger. Ada dua lampu tersedia, salah satu diikatkan Mariano pada sabuk pinggangnya.
Kemudian mereka pergi ke lubang mata air.
Suara mengerang masih terdengar sama jelasnya seperti sebelumnya. Mariano
mengikatkan salah satu ujung tali pada dadanya untuk dapat turun ke bawah.
Kembalinya ke atas ia harus memanjat tali. Itu lebih baik karena ia lebih pandai
memanjat daripada Unger. Lagi pula itu lebih baik daripada ia ditarik ke atas
meskipun Unger dapat dibantu oleh kedua gadis, karena tali itu akan bergeser
pada dinding batu yang tajam sehingga mudah putus.
Tersedia empat kendi berisi air. Salah satu dikorbankan mereka untuk membasahi
tali supaya tetap menjadi lentur dan bertambah kekuatannya. Kemudian Mariano
berjongkok, memegang dengan kedua belah tangan tali pada simpulnya di atas
dadanya lalu menolak dengan lututnya ke tepi lubang. "Aku turun, Tuhan
menyertaiku," serunya. Unger bertenaga kuat. Ia dapat menahan talinya sendiri.
Kawannya yang perkasa itu segera turun ke dalam lubang gelap itu. Amat perlahan
dan hati-hati Mualim itu mengulur tali. Gadis-gadis itu berbaring di atas
lututnya. Mereka melihat cahaya lampu makin menghilang turun ke bawah.
"Mudah-mudahan ia tidak sampai mati lemas!" kata Emma. "Mata air itu begitu
dalam serta tua, mungkin ada gas-gas beracun di dalamnya."
Itu sesuatu yang masih belum terpikirkan oleh mereka.
Tetapi Unger menggelengkan kepalanya sambil tertawa,
"Senorita, bukankah Anda mendengar Verdoja mengerang tadi?"
"Ya, saya dengar," katanya, "suaranya menakutkan
sekali!" "Suara itu merupakan bukti bahwa ia masih hidup. Ia tentunya sudah lama mati
bila terdapat gas beracun di situ."
Ketika tali setelah diulur hingga tinggal dua meter lalu berkerut, mereka merasa
lega. Mariano telah mencapai dasar.
Ketiga orang berdiri di tepi lubang sedang
memperhatikan setiap bunyi yang sampai ke telinganya.
Sumber air itu tidak bundar melainkan bersegi empat dan dinding-dindingnya
licin. Jadi tidak berbahaya bagi tali.
Berabad yang lalu mungkin terdapat air di dalamnya, tetapi kini mata air itu
sudah kering. Mariano berdiri di atas batu karang berlubang-lubang yang dilapisi
oleh pasir. Dahulu kala air mengalir melalui pasir itu. Pemuda itu mencari
tempat Verdoja jatuh. Tak jauh dari ia melihat orang itu terbaring, tubuhnya
bergelung seperti anjing kesakitan. Dari mulutnya yang terbuka, keluar suara
raung, yang di bawah lebih mengerikan kedengarannya daripada di atas. Bibirnya
penuh oleh busa dan darah.
Matanya yang masih utuh sedang terbuka. Mariano melihat bahwa Verdoja berada
dalam keadaan sadar. "Berhentilah meraung dan jawablah pertanyaanku,"
kata Mariano. "Saya hendak menolong Anda."
Orang yang mendapat kecelakaan itu berhenti sejenak meraung lalu mengarahkan
pandangannya yang penuh berisi kebencian kepada penyelamatnya. "Di mana
Pardero?" tanyanya. Nampak pada wajahnya bahwa setiap perkataan itu sangat menyakitkan baginya.
"Sudah mati," jawab Mariano.
"Dan penjaga?" "Mati juga." "Gadis-gadis?" "Mereka ada di atas bersama kami."
"Pembunuh!" "Jangan memaki," perintah Mariano. "Semua adalah
salah Anda sendiri. Meskipun demikian kami mau menolong Anda."
"Mau menolong" Bagaimana?" tanya Verdoja.
"Kami akan mengangkat Anda dengan tali dan
membawa Anda ke hacienda."
Sejenak nampak pada wajah Verdoja yang menderita kesakitan itu suatu perasaan
terima kasih. Namun kemudian ia memandang lagi dengan jahatnya.
"Bagaimana Anda dapat merencanakan keluar dari sini?"
tanyanya. "Anda harus mengatakan bagaimana caranya membuka pintu dan menunjukkan jalan
yang menuju ke luar."
"O! jadi Anda masih belum tahu" Bagus!" wajah Verdoja menampakkan kepuasan
sataniah yang sangat mengerikan bagi orang yang melihatnya. "Kalian orang-orang
busuk patut mendapat hukuman ... mati kelaparan ... mati kehausan ... mati karena
sengsara," tambahnya. Tiap perkataan diucapkan dengan suara yang makin keras.
Hampir-hampir ia mati tercekik. Nyatalah bahwa ia sedang menikmati kepuasan yang
sampaisampai dapat menumpulkan rasa sakitnya.
"Kami tidak akan mati," jawab Mariano, "Karena Anda tentu ingin mendapat
kebebasan dan kesehatan Anda kembali dan itu hanyalah dapat dicapai dengan
bantuan kami." "Kebebasan! Kesehatan! Ah!" erang Verdoja. "Tangan patah, tulang punggung patah!
Mana mungkin aku tetap hidup! Biar aku mati saja!"
"Anda tidak akan mati, Anda akan tetap hidup dengan bantuan kami. Mau Anda kami
tolong?" "Tak perlu! Tak perlu! Kalian harus mati juga!"
Mulutnya kembali berbusa. Matanya seakan hendak ke luar dari rongganya. Ia
menyerupai seekor ular yang di saat kematiannya pun masih dapat menyemburkan
bisa. Mariano sudah habis kesabarannya. "Anda
menghancurkan diri Anda sendiri!" serunya.
"Aku rela!" jawabnya. "Dan kalian akan menjadi busuk
bersamaku ... Itu benar-benar mengasyikkan ... Bersama menik
mati neraka!" "Itu perkataan Anda yang terakhir?"
Dengan menggertakkan gigi reruntuhan manusia itu memuntahkan, "Ya, yang
terakhir, benar-benar yang terakhir!"
"Dengan demikian semua rasa kasihan kini berakhir.
Perlu diambil tindakan yang lebih keras. Bila permohonan dengan sopan santun
tidak dihiraukan lagi, masih ada jalan lain untuk memaksakan seorang iblis
seperti Anda. Kami sekali-kali tidak ingin mati kelaparan hanya untuk memuaskan hati Anda."
Mariano berlutut di sisi Verdoja memegang lengannya yang cedera lalu menekannya
kuat-kuat ke bawah. Penyiksaan itu membuat orang jahat itu meraung-raung kesakitan.
"Bagaimana caranya membuka pintu?" bentak Mariano.
"Tidak akan kukatakan!" raung Verdoja.
"Kau harus mengatakannya! Aku tidak akan
melepaskanmu," seru Mariano yang sekali lagi kuat-kuat menekan lengan orang itu
ke bawah. Jeritan yang kini terdengar menyerupai raungan seekor harimau, namun
Verdoja belum mau membuka rahasia. Mariano memegang kakinya, namun itu tidak
akan ada artinya karena tulang punggung penjahat itu sudah patah dan kakinya
tidak lagi berperasaan. Ia tertawa mengejek ketika ia melihat usaha Mariano
tidak membawa hasil sedikit pun. Maka pemuda itu makin kesal hatinya.
"Ya, tertawalah terus, setan," hardiknya. "Masih ada cara lain untuk
menyiksamu!" Ia memegang kedua lengan orang sakit itu dan menyentaknya kuat-kuat hingga
lengan itu hampir tanggal dari tubuhnya. Kembali Verdoja meraung-raung. Raungnya
memekakkan telinga mereka yang mendengarnya. Namun tetap ia tidak mau membuka
rahasia. "Nyatalah kamu ini lebih jahat dari semua iblis
dikumpulkan!" teriak Mariano.
"Maka mampuslah bila itu merupakan keinginanmu!
Tuhan akan menolong kami!"
Ia menyentak tali yang menghubungkan dengan atas sebagai tanda bahwa ia sudah
mau kembali lagi. Kemudian ia memegang tali dengan kedua belah tangan. Ketika
Verdoja menyaksikan peristiwa itu, ia mengangkat sedikit kepalanya dan sambil
melirik ke arah pemuda itu, ia mendesis, "Terkutuklah, kamu. Terkutuk! Keparat!"
Kata-kata perpisahan itu mengingatkan Mariano kepada suatu hal ia kembali
berlutut di sisi Verdoja dan menggeledah saku-sakunya. Ia mengambil jam tangan,
uang, cincin, pistol, sebilah pisau dan beberapa benda lain lalu memasukkannya
ke dalam sakunya. "Perampok!" maki Verdoja.
"Kami masih dapat memakainya, kamu tidak, bedebah!"
Mariano menyentak tali untuk mencobainya lalu memanjat ke atas. Dari bawah
terdengar terus-menerus caci maki.
Setiba di atas, ia dihujani berbagai pertanyaan. Ia menceritakan pengalamannya.
Ketika ia menceritakan bagaimana caranya ia menyiksa untuk memaksakan penjahat
itu berbicara, kedua gadis diliputi oleh rasa ngeri dan jijik. Tetapi Unger
berkata, "Mengapa tidak kauhancurkan saja kepala iblis itu?"
"Kurasa itu tak perlu lagi. Ia tidak mau ditolong, karena tidak mau melihat kita
mencapai kebebasan ... kalau begitu, biar dia mati saja perlahan-lahan."
"Kini tidak ada jalan lain lagi bagi kita. Kita harus mencoba peruntungan dengan
menggunakan pisau untuk membongkar batu bata di sekitar pintu. Bila kita
mengetahui rahasia sebuah pintu, maka dengan rahasia itu pun kita dapat membuka
pintu yang lain-lainnya. Mereka kembali ke lorong di mana terdapat pintu terakhir yang ditutup Verdoja,
lalu mereka mulai bekerja.
BAB III KEPALA-KEPALA SUKU Di perbatasan Mexico mengalir Sungai Rio Grande del Norte. Di sebelah selatan
sungai itu terdapat sebuah dataran tinggi dengan beberapa pegunungan yang menuju
ke arah timur. Di situ terdapat padang-padang rumput tempat bermukim bangsa
Comanche. Bangsa Comanche didatangkan ke Mexico untuk membantu pasukan pemerintah di bawah
pimpinan Herrera. Mereka suka sekali memenuhi panggilan itu karena mengharapkan
membawa pulang banyak barang rampasan. Beribu-ribu orang sudah disiapkan, tidak
serentak semuanya secara terang-terangan, melainkan mereka berangkat diam-diam
berkelompok-kelompok untuk menjaga supaya mereka tidak diketahui oleh kaum
Apache, musuh besar mereka.
Seminggu sebelum peristiwa itu terjadi maka di atas dataran tinggi yang
merupakan padang prairi kecil, telah berlangsung banyak kejadian yang agak
menegangkan. Ketika itu musim lembu liar pindah ke daerah selatan.
Berkelompok mereka melalui lembah-lembah di pegunungan. Maka tiadalah
mengherankan bila padang-padang prairi di dekatnya penuh dengan orang Indian
yang berburu lembu untuk memperoleh daging yang diperlukan mereka selama musim
dingin. Ketika matahari terbenam, cahayanya yang terakhir menyinari suatu pemandangan
berdarah. Sejauh mata memandang nampak tubuh-tubuh lembu bergelimpangan dan di
sekitarnya terlihat tubuh-tubuh manusia berwarna
merah kecoklatan sibuk "membuat daging", demikianlah istilah yang digunakan oleh
penghuni prairi itu. Di mana-mana dinyalakan api unggun. Di atas api itu mereka
membakar daging lembu yang lezat. Pada tiang-tiang diikatkan beribu-ribu tali
dan sabuk. Pada tali dan sabuk itu bergantungan daging lembu dipotong panjang-
panjang dijemur di panas matahari.
Di tengah-tengah kesibukan ini terlihatlah tiga buah kemah. Kemah itu terbuat
dari kulit lembu dan dihiasi bulu burung elang, yang menandakan bahwa kemah-
kemah itu diuntukkan bagi kepala-kepala suku yang kenamaan. Dua buah kemah pada
saat itu tanpa penghuni. Di hadapan kemah yang ketiga duduk seorang Indian
berusia lanjut, seluruh tubuhnya dihiasi dengan gambar-gambar rajah. Tubuhnya
yang telanjang ditutupi dengan kulit rusa yang sudah disamak dan di sisinya
terletak sepucuk senapan panjang. Tubuhnya penuh dengan gores-gores. Rambutnya
diikat menjadi jambul menyerupai topi helm. Lima helai bulu nampak keluar dari
jambul. Orang tadi adalah "Kuda Terbang", seorang kepala suku bangsa Apache yang
disegani. Rambutnya sudah beruban, maka tenaganya sudah berkurang. Ia tidak
dapat turut dalam perburuan banteng lagi. Namun hatinya masih muda serta akalnya
masih sehat. Di sekitar api unggun ialah orang yang paling disegani. Pendapatnya
dalam musyawarah lebih berat bobotnya daripada beratus pemburu yang gagah


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkasa. Karena ia tidak dapat turut dalam perburuan, maka ia duduk-duduk di
muka kemahnya menikmati tontonan yang disajikan oleh pemburu-pemburu dari ketiga
suku yang tergolong dalam bangsa Apache itu.
Dataran tinggi itu diselang-selingi oleh hutan-hutan kecil yang hijau warnanya.
Di antara pulau-pulau hijau itu berlangsung pertarungan-pertarungan yang
dahsyat, pemburu Indian melawan banteng liar. Dekat kemah-kemah itu terdapat
juga seonggok semak belukar. Kepala
suku yang disebut tadi tidak menaruh perhatian pada semak-semak itu namun ia
langsung juga mengetahui ketika beberapa ranting bergerak-gerak.
Ia memegang senapannya. Dikiranya ada hewan perburuan di dalam belukar itu. Ia
sudah tidak cukup kuat untuk memburu banteng, namun kini ia mendapat kesempatan
untuk memperlihatkan kepandaiannya menembak. Matanya menemukan sesuatu yang
gelap di antara semak-semak. Tentu di situ perburuannya bersembunyi. Ia
membidik, namun ketika ia hendak memetik picu ia melihat belukar itu dikuakkan
dan seorang pria keluar dari dalamnya.
Ia bukan orang Apache. Ia orang asing! Bagaimana ia dapat sampai di situ, di
tempat orang-orang Apache ramai berburu" Musuhkah ia" Tentunya ia seorang
pemburu besar, kalau tidak mana mungkin ia dapat mencapai tempat itu tanpa
diketahui orang. Kuda Terbang siap memetik picu. Namun orang asing itu mengangkat tangan kirinya,
suatu tanda bahwa ia datang sebagai seorang sahabat. Ia memakai baju terbuat
dari kulit banteng dan di tangan kanannya ia memegang sepucuk senapan berlaras
dua. Pada ikat pinggangnya terdapat sebuah kantong berisi peluru, sebilah pisau,
dan sebuah tomahawk. Warna wajahnya merah kecoklatan, tentu ia seorang Indian.
Tanpa berkata-kata ia duduk di sisi orang Apache itu sambil meletakkan senjata-
senjatanya di tempat yang jauh darinya. Baru setelah ia memperlihatkan bukti-bukti iktikad baiknya, ia mulai bercakap dengan bahasa
Apache yang baik, "Hari ini bagi putra-putra bangsa Apache merupakan hari baik
dalam perburuannya. Roh Besar tentunya menyertai mereka."
Orang Apache itu menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang ksatria besar,
namun ia menjawab tak acuh, "Orang Apache berburu untuk mendapatkan daging,
namun ia bukan hanya pandai menembak banteng, ia pandai juga menembak musuhnya."
"Benarlah perkataan Kuda Terbang itu," jawab orang
asing itu. Wajah orang tua itu berseri-seri. "Anda orang asing namun tahu nama saya!"
katanya. "Saya belum pernah melihat Anda. Tetapi keharuman nama Anda tersebar ke segenap
prairi dan pegunungan. Barangsiapa bertemu dengan dia, pasti akan
mengenalnya." "Kuda Terbang ialah seorang kepala suku. Ia menyandang bulu elang dan selalu
duduk di atas kuda bila ia meninggalkan kemahnya," kata orang tua itu.
Kata-katanya mengandung sindiran, yang dimaklumi juga oleh orang asing itu, maka
ia menjawab, "Namun ada juga kepala suku yang menyembunyikan kudanya bila mereka
pergi menyelidik. Mereka pun berhak menyandang bulu elang serta lebih dari tiga
puluh buah scalp (= kulit kepala) musuh. Anda yang arif bijaksana sudah tentu
maklum akan hal itu. Anda pun akan mengerti juga bahwa segenggam siasat kadang-
kadang dapat mengalahkan selumbung peluru dan mesiu."
Perkataannya meninggalkan kesan yang dalam pada orang tua itu. "Menyandang
banyak bulu elang serta menaklukkan lebih dari tiga puluh orang musuh! Bukan
main!" Kuda Terbang sendiri masih belum dapat membanggakan diri dengan prestasi
seperti itu. Maka ia berkata, "Orang asing itu pemberani serta cerdik. Ia dapat
menembusi penjagaan orang-orang kulit merah. Itu hanya dapat dilakukan oleh
seorang ksatria kenamaan. Orang asing itu bukanlah orang Comanche. Putra-putra
bangsa Apache sedang berburu, tidak dalam keadaan perang, kapak perang mereka
sudah ditanam. Apakah maksud kedatangan orang asing itu
untuk mengisap pipa perdamaian bersama kami?"
"Ia sudah mengisap pipa demikian."
"Jadi orang asing itu sahabat bangsa Apache?"
"Ia saudaranya. Suku Jicarilla bangsa Apache mengenal semuanya. Ia sedang
mencari kepala suku kenamaan yang bernama Shosh-in-liett atau Hati Beruang."
Orang tua itu kini membuang segala sikap hati-hatinya.
Ia memandang orang di sisinya dengan wajah penuh keramahan dan bertanya dengan
hormat, "Jadi Andakah saudara Hati Beruang?"
"Benarlah." "Apakah ia berhak menyandang tujuh bulu elang?"
"Benarlah." "Ia menyandang tiga puluh scalp musuhnya?"
"Lebih dari itu."
"Kalau begitu saya kenal akan dia. Ia Mokashi-tayis atau Kepala Banteng, kepala
suku bangsa Mixteca. Ia raja dari segala pemburu banteng. Maka ia tidak memakai
bulu elangnya. Ia meninggalkannya di kemahnya."
"Benarlah pendapat Kuda Terbang," kata Kepala Banteng. "Apakah saudara saya Hati
Beruang berada di sini di antara bangsa Apache?"
"Benarlah. Hari ini ia telah membunuh lebih dari sepuluh banteng. Kepala suku
bangsa Mixteca boleh bicara dengannya. Ia adalah saudara kami dan prajurit
bangsa Apache tidak akan membunuhnya."
Wajah Kepala Banteng yang gagah perkasa itu tampak tersenyum sedikit. Ia
menjawab, "Prajurit bangsa Apache tidak akan dapat memegangnya dan membunuhnya
andaikata mereka musuh. Kepala Banteng tidak merasa takut kepada siapa pun."
Orang tua itu diam lama. Ia setuju. Akhirnya ia bertanya, "Apakah saya perlu
mengirim orang untuk membawa kuda Kepala Banteng ke mari?"
"Prajurit bangsa Apache sangat sibuk dengan berburu banteng. Kepala Banteng akan
pergi sendiri mengambil kudanya. Bagi seorang kepala suku bukanlah pekerjaan
hina untuk mengurus hewan yang mengantarkannya ke mana-mana."
Padang prairi berbatasan dengan hutan rimba yang lebat. Kepala Banteng memasuki
hutan itu. Ketika ia hendak menuruni sebuah ngarai, ia mendengar suara yang
sangat bising. Seekor hewan sedang menerobos hutan,
menerjang dengan kakinya apa yang merintanginya. Ketika ia menoleh ke bawah,
tampak olehnya seekor banteng keluar dari padang prairi masuk ke dalam hutan,
dikejar oleh seorang Indian menunggang kuda. Orang itu membawa tabung berisi
anak panah di punggungnya. Di tangan kirinya ia memegang busur dan di tangan
kanannya sebatang lembing.
Orang itu masih muda, kira-kira dua puluh tahun usianya. Seorang pemburu yang
lebih tua dan berpengalaman, lebih suka berburu lembu betina yang dagingnya
lebih empuk daripada berburu lembu jantan yang di samping berbahaya juga
dagingnya alot. Lagipula berburu banteng di atas tanah yang tidak rata itu
sangat berbahaya. Namun anak muda yang mabuk berburu itu tidak mengindahkan lagi
marabahaya lalu memacu terus kudanya.
Banteng itu berlari tunggang langgang dengan pengejarnya di belakangnya memasuki
ngarai. Ketika banteng itu menyadari bahwa ia tidak dapat berjalan terus, ia
merundukkan kepalanya lalu memutar tubuhnya tepat pada waktu orang Indian itu
melemparkan lembingnya ke bagian tubuh hewan itu yang paling peka, yaitu di
balik bulu tengkuknya. Namun karena hewan itu berbalik, maka lembing itu tidak mengenai sasarannya
melainkan mengenai bagian tubuh yang tidak berbahaya. Banteng yang terluka itu
menjadi sangat berbahaya. Sekali lagi ia merundukkan kepalanya lalu dengan
mengenduskan nafas liar ia menanduk serta mengoyak perut kuda yang ditunggangi
oleh pemburu. Kuda itu rebah ke atas tanah sedangkan isi perutnya berhamburan ke
luar. Orang Indian itu masih dapat menyelamatkan dirinya dengan cepat melompat.
Senjata yang ada padanya hanyalah panah dan pisau. Sesaat kemudian ia mencabut
sebatang anak panah dari tabungnya, memegang busurnya lalu melepaskan anak panah
yang tepat mengenai mata banteng itu.
Ketabahan hati sang pemburu sangat mengagumkan, namun banteng itu masih memiliki
sebuah mata yang sehat. Sesaat ia diam terpaku, kemudian ia meraung dengan
dahsyatnya lalu merundukkan kepalanya lagi, siap-siap untuk menanduk. Sekali ini
tanduk yang runcing dan berbahaya itu pasti akan mengenai sasarannya, membunuh
anak muda itu. Pada saat itu terdengar bunyi tembakan lalu kepala banteng itu
terkulai. Tubuh raksasa itu gemetar seketika. Kaki depannya rebah, diikuti oleh
kaki belakangnya, sebelum hewan itu rebah menemui ajalnya. Peluru itu tepat
mengenai mata banteng yang sehat, menembus ke dalam, mengenai otak.
Ketika Kepala Banteng melihat bahwa pertarungan itu akan berakhir dengan
kekalahan bagi si pemburu, ia melompat dari tebing ngarai dan menembak. Ketika
orang Apache itu menoleh kepadanya maka ia sedang mengisi kembali senapannya.
"Saya lihat saudara lebih menyukai daging lembu jantan daripada lembu betina,"
katanya tenang. "Saudara lebih suka memburu banteng di hutan daripada di padang
prairi" Lain kali sebaiknya saudara berlaku lebih bijaksana."
Wajah orang Indian itu menjadi merah padam
mendengar sindiran itu. Namun ia segera menguasai dirinya. Dengan tinggi hati ia
menjawab, "Hidup atau mati saya bukanlah urusan Anda."
"Apakah saudara sudah tidak mempunyai ayah lagi yang dapat menangisi kematian
saudara?" "Ayah saya Kuda Terbang," jawabnya dengan tinggi hati.
"Dan siapakah namamu?"
"Nama saya akan disebut orang di seluruh jagad."
"Jadi kau masih belum mempunyai nama" Kau hampir meninggal di sini tanpa
diketahui orang di mana kuburanmu. Adikku baru saja terlepas dari bahaya maut.
Andaikata ia lebih berhati-hati, ia akan dapat memperoleh nama agung."
Menurut adat kebiasaan bangsa Apache, seorang anak
baru mendapat nama setelah ia melakukan tindak kepahlawanan. Bagi seorang anak
muda, mati sebelum mendapat nama itu merupakan suatu keaiban. Maka perkataan
Kepala Banteng itu membuat anak muda itu merasa malu. Ia mencabut pisaunya.
"Jadi saya harus menguliti kepala Anda lebih dahulu untuk dapat memperoleh
nama?" Kepala Banteng tersenyum. "Itu dapat kulakukan sepuluh kali terhadapmu sebelum
kamu sekali dapat melakukannya terhadapku."
"Coba lakukan!" Sambil mengutarakan tantangan ini, anak muda itu mencekau dada
orang Mixteca itu siap untuk memberi tikaman. Namun secepat kilat Kepala Banteng
memegang tangan anak muda yang menggenggam pisau itu lalu memijatnya kuat-kuat
sehingga anak itu menjerit kesakitan dan menjatuhkan pisaunya.
"Apakah biasa seorang Apache memekik kalau merasa sakit?" tanya kepala suku
Mixteca. "Apakah biasa seorang Apache membunuh penyelamat jiwanya" Kini aku
berhak sepenuhnya menguliti kepalamu, tetapi aku tidak mau sebab... tengoklah,
siapa yang datang di situ" Seorang lawan yang tangguh bagimu!"
Kepala Banteng menunjuk ke arah tepi ngarai di seberang. Semak-semak terkuak,
seekor beruang menampakkan diri. Bukan beruang kecil berwarna coklat, melainkan
beruang raksasa keabu-abuan warnanya berasal dari pegunungan yang oleh orang
Amerika dinamakan beruang grizzly. Bila berdiri di atas kaki belakangnya,
tingginya mencapai tiga meter. Tenaganya bukan main besarnya. Ia dapat menyeret
seekor lembu. Di Amerika ia dianggap sebagai binatang buas yang paling
berbahaya. Barang-siapa yang dapat membunuh seekor beruang grizzly, ia akan
menerima kehormatan sama dengan seorang pahlawan yang telah membunuh dan
menguliti kepala sepuluh orang musuh. Beruang itu tertarik oleh bau busuk yang
berasal dari bangkai kuda.
Namun kini ia melihat mangsa lain yang lebih menarik.
"Sayang aku tidak membawa senapan ayahku!" seru pemuda Indian itu.
Baru setelah memperoleh nama, seorang Apache memperoleh senjata api.
"Ini! Pakailah senapanku," kata Kepala Banteng.
Pemuda itu merasa heran. Ia tidak dapat mengerti bahwa orang dapat merelakan
mangsa sedemikian. Ketika dilihatnya bahwa tawaran itu diajukan dengan sungguh-
sungguh, ia mengambil senapan itu, mengokang kedua picunya lalu melompat
mendapatkan beruang. Namun Kepala Banteng lebih sigap lagi. Ia mencabut pisaunya lalu lari menempuh
jalan lingkaran mendekati beruang dari belakang. Maksudnya untuk mengamati
pertarungan dan siap membantu pemuda Indian itu bila ia dalam keadaan terdesak.
Beruang grizzly itu segenap perhatiannya tercurahkan pada pemuda itu. Pada jarak
empat langkah dari pemuda itu ia berdiri di atas kaki belakangnya hendak
menerkamnya. Saat ini merupakan peluang baik bagi pemuda itu. Ia membidikkan
senapannya ke arah jantung beruang, memetik picu dan serentak melompat ke
samping, senapannya tetap diarahkan kepada mangsanya.
Beruang itu berjalan terhuyung-huyung, dua tiga langkah, kemudian ia terdiam dan
meraung sambil mengeluarkan darah dari moncongnya. Kemudian ia jatuh ke atas
tanah. "Bagus!" puji Kepala Banteng. "Beruang itu tepat terkena jantungnya. Saudara
mempunyai pandangan mata tajam serta tangan dingin. Ia tidak gemetar menghadapi
bahaya. Ia akan menjadi pemburu besar. Kini ia berhak mendapat nama dan saya
akan tetap menjadi sahabatnya, selama diizinkan oleh Roh Agung."
Pemuda yang tidak gentar menghadapi marabahaya itu, kini gemetar karena
kegirangan. "Benarkah ia sudah mati?" tanyanya.
"Benar. Saudara boleh mengulitinya serta mengawetkan kepalanya untuk disimpan
sebagai kenang-kenangan akan tindak kepahlawanannya yang pertama."
Pemuda itu mengembalikan senapannya kepada orang Mixteca itu lalu berlutut di
sisi beruang yang sudah tidak bernyawa itu. Pemuda Indian itu lebih merasa
berbahagia daripada seorang kulit putih yang dianugerahi bintang-bintang. Ia
langsung menguliti perburuannya. Kepala Banteng tidak mau mengganggu pemuda yang
sedang mengecap bahagia itu lalu mengisi senapannya dengan peluru dan pergi
mendapatkan kudanya. Ia melepaskan kuda dari ikatannya dan berangkat.
Ketika orang Mixteca itu mencapai batas prairi, matahari sudah terbenam, hari
berganti dengan malam. Orang-orang Apache sedang sibuk menyeret binatang perburuannya dengan laso
ditarik oleh kudanya. Orang Mixteca itu kini tidak berusaha menyembunyikan
dirinya lagi. Langsung ia pergi ke kemah-kemah, di mana terdapat beberapa ratus
orang pemburu sedang mengerumuni perburuannya. Di muka kemah kedua berdiri
seorang kepala suku yang menyandang tiga bulu elang di jambulnya. Ia adalah Hati
Beruang. Orang itu menyambut dengan gembira kedatangan Kepala Banteng.
"Hatiku rindu akan dikau," katanya. "Terpujilah Manitou yang telah mempertemukan
dikau denganku. Selamat datang sebagai tamuku. Sudilah mengisap calumet bersama
saudarasaudaraku." Semua pemburu yang berdiri mengelilinginya
memandangi kepala suku Mixteca yang termasyhur itu dengan rasa kagum. Setelah
Hati Beruang mengantarkannya ke dua kepala suku lainnya yang sedang berdiri di muka kemah
Kuda Terbang, mereka lengkap membentuk suatu majelis kehormatan. Mereka saling
berjabat tangan. Sebuah api unggun dinyalakan dan daging lembu dibakar. Api
unggun lain-lain lagi berturut-turut dinyalakan yang membentuk separuh lingkaran
mengitari para kepala suku bersama tamunya itu.
Salah seorang tidak tampak. Ialah putra Kuda Terbang.
Setiap orang tahu, namun tidak seorang pun berani menyinggung-nyinggung hal itu.
Pada ketika orang menyiapkan makanan, biasa orang Indian tidak berkata banyak. Baru setelah
makanan siap, kepala suku pertama membuka pesta dengan berbicara.
Tiba-tiba perhatian orang tertarik oleh sesosok tubuh mengerikan yang datang
menghampiri mereka. Ia adalah pemuda Apache itu. Ia telah menguliti beruang,
tetapi kepalanya masih melekat pada kulit badannya. Kepala beruang itu
dikenakannya di atas kepalanya sendiri. Kulit beruang itu berumbai-umbai lebar
secara mengerikan menutupi tubuhnya. Beruang itu begitu besar sehingga kulitnya
terseret setengah meter di belakang pemuda itu.
Dekat api unggun putra kepala suku itu berhenti. Ia sebenarnya merasa heran,
melihat orang asing itu di tengah-tengah rombongan mereka, namun ia tidak
memperlihatkan perasaannya. Dua kuku beruang dipersembahkannya di hadapan Kepala
Banteng, suatu pernyataan kehormatan yang tidak dipahami oleh yang lainnya.
Mereka memaklumi bahwa Kepala Banteng ada sangkut pautnya dengan pembunuhan
beruang itu, tetapi tidak seorang pun yang menanyakan, bahkan Kuda Terbang
sendiri tidak. Namun tampak mata orang tua itu bersinar kegirangan, mengetahui
bahwa putranya yang bungsu sudah dapat menaklukkan beruang grizzly yang sangat
berbahaya itu. Setelah lemak pada daging yang dibakar itu mulai menetes ke api,
orang tua itu baru memegang pipa perdamaiannya lalu mengangkat bicara,
"Hari ini merupakan hari bahagia bagi bangsa Apache dengan menerima kedatangan
Kepala Banteng, kepala suku Mixteca yang sangat kenamaan itu. Ia adalah saudara
Hati Beruang dan bermaksud hendak mengisap pipa perdamaian dengan kami.
Tangannya kuat, kakinya cepat, pendapatnya sangat bijaksana, semua tindakannya
adalah tindakan seorang ksatria. Selamat datang!"
Kepala suku itu meletakkan sebutir bara di atas tembakaunya lalu mengisap enam
kali sedotan pada pipanya lalu meniupkan asap ke langit, ke tanah, dan ke empat
penjuru angin. Kemudian ia menyampaikan pipanya
kepada tamunya. Tamunya bangkit lalu berkata, "Putra-putra bangsa Apache adalah
prajurit gagah perkasa. Bahkan seorang anak kecil sudah berhasil menembak mati seekor beruang buas


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan hanya sebutir peluru, tanpa mengedipkan matanya."
Mendengar perkataan itu semua mata tertuju kepada putra kepala suku. Pemuda itu
baru saja mengerti dari perkataan ayahnya bahwa orang yang menyelamatkan jiwanya
adalah seorang kepala suku yang termasyhur.
Hatinya berdebar karena rasa bahagia. Mata ayahnya berlinang-linang ketika
putranya mendapat pujian dari ksatria Mixteca itu.
Kepala Banteng melanjutkan perkataannya, "Kepala suku Mixteca datang ke mari
dengan membawa pesan. Ini akan Anda dengar sehabis makan. Musuh Anda adalah
musuh dia, kawan Anda adalah kawan dia juga. Ia rela mengorbankan nyawanya untuk
putra Anda. Ia pun akan merasa bangga bila keharuman nama bangsa Mixteca dapat
dipersatukan dengan bangsa Anda."
Setelah mengucapkan kata itu ia mengisap enam kali sedotan pada pipa perdamaian,
kemudian ia meneruskannya kepada Hati Beruang. Bersama kepala suku yang ketiga, yaitu salah
seorang putra Kuda Terbang, mereka menyelesaikan upacara. Kemudian pipa itu
dibawa berkeliling di antara orang-orang lainnya. Hanya putra bungsu belum boleh
memegang pipa itu karena ia masih belum mempunyai nama.
Seusai upacara itu, orang mulai menyantap makanan.
Potongan-potongan daging lembu yang besar-besar itu dalam waktu yang singkat
lenyap ke dalam perut. Kemudian orang tua itu menyatakan bahwa mereka sudah siap untuk mendengarkan
amanat Kepala Banteng. Orang Mixteca itu memulai amanatnya. "Di Negeri Mexico sedang berkobar
peperangan dahsyat. Para prajurit tidak merasa puas dengan pimpinan yang ada.
Pimpinan itu dipegang oleh seorang kulit putih dan ia tidak memenuhi
kewajibannya. Mereka telah memilih pemimpin
baru, seorang Indian bernama Juarez. Ia bertubuh kuat seperti banteng, cerdik
seperti harimau kumbang dan pengalamannya sebagai pemimpin luas sekali. Ia telah
mendengar suara hati rakyat dan ia ingin membahagia-
kannya. Untuk mencapai tujuan itu ia mengumpulkan prajurit-prajurit gagah
perkasa. Ia menjelajah negeri untuk menarik kaum simpatisan baginya. Pemimpin
lama gentar menghadapinya. Ia mengutus orangnya kepada kaum Comanche untuk
meminta bantuan. Para kepala suku Comanche berapat lalu mengambil keputusan
untuk memenuhi panggilan itu. Mereka sudah siap sedia untuk berangkat ke Mexico
dalam jumlah yang besar. Mereka bermaksud menempati daerah di antara Mexico
dengan padang rumput milik kaum Apache. Bila mereka berhasil, maka kaum Apache
akan terpisahkan dari daerah selatan lalu mereka akan terdesak ke pegunungan. Di
situ mereka akan menderita kekurangan karena musim dingin sudah di ambang pintu.
Namun pemimpin Mexico yang berbangsa Indian itu menyukai bangsa Apache yang
gagah perkasa itu. Ia tidak rela, mereka terdesak oleh anjing-anjing Comanche.
Maka ia minta supaya bangsa Apache mau bersekutu dengannya dalam menghalau
musuh. Kaum Comanche sudah bergerak ke medan pertempuran, tetapi bila kaum
Apache sigap menempati daerah Chihuahua yang terletak di antara gurun Mapimi
dengan kota, maka kaum Comanche akan dihentikan dalam perjalanannya.
Mereka akan dihancurkan di tengah-tengah gurun. Bila prajurit-prajurit Apache
mau mendengar kata, maka mereka akan memperoleh banyak scalp (kulit kepala)
serta akan mencapai kemenangan besar."
Setelah mengutarakan pendapatnya, ia duduk kembali.
Hening sejenak di antara para prajurit. Akhirnya kata Kuda Terbang, "Saya setuju
dengan pendapat saudara kami. Pemimpin baru yang bernama Juarez itu seorang
bangsa Indian. Kami lebih mempercayai seorang Indian sebagai pemimpin daripada
seorang kulit putih. Putra-putra bangsa Apache tidak mau disisihkan oleh kaum
Comanche yang pengecut itu. Kuda Terbang memohon kedua kepala suku lainnya
menyatakan pendapatnya."
Hati Beruang bangkit lalu berkata, "Di sisiku duduk saudaraku Kepala Banteng. Ia
seorang ksatria sejati. Dari mulutnya hanya keluar perkataan yang berisi
kebenaran. Ia tidak akan mengusulkan sesuatu yang dapat merugikan putra dan putri bangsa
Apache. Bersama dia banyak orang Comanche akan saya bunuh. Bersama dia saya
masih akan mengumpulkan banyak scalp. Mereka sudah dalam perjalanan, maka
janganlah kita membuang-buang waktu.
Tiga suku bangsa Apache berkumpul di sini untuk
'membuat daging' yang diperlukan untuk musim dingin.
Saya memegang pimpinan suku Apache Jicarilla dan saya bersedia langsung
berangkat, asal kedua suku lainnya dapat mengerjakan pembuatan daging untuk
musim dingin bagi kami."
Kini tiba giliran kepala suku ketiga, yaitu putra orang tua itu, mengangkat
bicara. "Prajurit kita tidak boleh membuang waktu lagi. Saya setuju dengan
pendapat saudaraku Hati Beruang. Salah satu suku harus berangkat lebih dahulu.
Siapa yang akan pergi itu harus kita musyawarahkan lebih dahulu."
Ketiga kepala suku telah mengutarakan pendapatnya.
Kini tiba giliran sang dukun memberikan tanggapannya.
"Ahli sihir" itu dihiasi dengan bermacam benda yang berkaitan dengan jabatannya:
scalp-scalp yang dikerjakan dengan rapih, kantong-kantong, berkas rambut,
tongkat penyihir, dan bendera. Pada kesempatan itu ia mengenakan baju kulit
banteng yang pernah ditembaknya.
Dengan memakai beraneka ragam perhiasan ia mulai menari, suatu tarian yang
ganjil serta menyeramkan, lagipula karena tubuhnya disinari oleh cahaya api
unggun yang melemparkan bayangannya jauh ke dataran yang tandus dan gelap itu.
Orang-orang Indian memperhatikan tamasya itu dengan hati sabar, meskipun tarian
itu berlangsung lama. Akhirnya dukun itu menghentikan gerakannya, memegang dua
obor yang sedang menyala dan
mengamati ke arah mana asapnya menghilang. Kemudian ia menoleh ke langit,
mengamati bintang-bintang lalu mengumumkan dengan suara lantang, "Manitou, Roh
Besar, sedang murka disebabkan oleh perbuatan para naga yang menamakan diri
Comanche. Ia menyerahkannya ke dalam tangan kaum Apache. Ia memerintah para
prajurit suku Jicarilla untuk segera berangkat setelah matahari terbit dua kali.
Suku-suku yang lain akan mengikutinya kemudian, setelah bekal daging untuk musim
dingin selesai mereka persiapkan."
Perkataannya itu bukan hanya mengandung izin untuk mengangkat senjata, melainkan
juga untuk menetapkan suku mana yang dipilih menjadi pelopor, yaitu suku
Jicarilla di bawah pimpinan Hati Beruang.
Terdengar mereka bersorak. Mereka mendapat waktu sehari untuk mempersiapkan
keperluan perang. Suatu peraturan yang memuaskan hati mereka, karena tanpa
persiapan, di antaranya mencoreng-coreng muka, orang Indian tidak percaya akan
mendapat kemenangan. Mereka masih membereskan beberapa perkara kecil dengan secepatnya, karena tiap
orang bersemangat meluap-luap untuk mengalahkan kaum Comanche serta mengumpulkan
banyak kulit kepala. Seusai semuanya itu, Kuda Terbang menggunakan kesempatan untuk menyatakan
penghargaan kepada putranya.
"Putraku telah mengenakan baju kulit beruang. Apakah ia berhak berbuat
demikian?" "Aku telah menembaknya," jawab pemuda itu.
"Sendirian saja?"
"Ya, sendirian."
"Dengan senjata apa?"
"Dengan senapan pinjaman dari kepala suku Mixteca yang termasyhur itu. Ia
menjadi saksinya." Orang tua itu menoleh kepada Kepala Banteng lalu berkata, "Kepala suku bangsa
Mixteca telah menyaksikan pertarungan dengan beruang itu. Kuku binatang itu pun
dipersembahkan kepadanya. Maka kami mohon Anda mau bercerita tentang peristiwa
itu." Secara ringkas Kepala Banteng bercerita tentang pengalamannya sambil berhati-
hati, jangan sampai menyinggung perasaan anak muda itu.
Kini Hati Beruang bangkit lalu berkata, "Putra Kuda Terbang telah menembak mati
beruang grizzly. Ia membunuhnya dengan sekali tembakan saja. Ini lebih berarti
daripada membunuh dua puluh orang Comanche yang pengecut itu. Hatinya tabah,
tangannya mantap, dan matanya tajam. Ia patut kita masukkan ke dalam golongan
prajurit kita serta mendapat nama."
Ayah dan putra merasa terjunjung tinggi dengan ucapan itu. Mereka sendiri tidak
berhak mengeluarkan tuntutan seperti yang diajukan oleh Hati Beruang. Orang-
orang menyatakan setuju dengan gemuruh di sekitar api unggun. Pahlawan yang
sedang disanjung-sanjung itu berdiri dengan tegaknya di tengah-tengah mereka.
Matanya berseri karena rasa bangga dan bahagia. "Hati Beruang, saudaraku,"
katanya. "Anda seorang ksatria yang keharuman namanya tersebar ke mana-mana.
Saya harus berterima kasih kepada Anda karena berkat upaya Anda saya dapat
memperoleh nama. Bilamana upacara pemberian nama itu dapat dilangsungkan?"
"Sekembali putra-putra Apache dari medan
pertempuran," jawab ayahnya.
"Apakah diperkenankan, seorang yang masih belum mempunyai nama, turut berperang
melawan anjing-anjing Comanche?"
"Tidak." "Tetapi saya mau menemani saudara saya, Hati Beruang, ke Mexico. Maka sebaiknya
esok hari saya mendapat nama."
"Itu tidak sesuai dengan tata cara kita. Tetapi kepala suku Mixteca sebagai
pemilik kuku beruang adalah tamu kita. Biar dialah yang menentukan bila ia sudah
mempunyai nama untukmu."
Kepala Banteng menjawab, "Saya sudah mempunyai nama. Temanku yang muda telah
mengalahkan beruang grizzly, maka ia akan bernama: Shoshseste, si Pembunuh
Grizzly. Esok hari akan saya berikan dia nama ini. Bila saudaraku, Kuda Terbang,
mengizinkan maka Pembunuh Grizzly akan pergi bersama kami ke Mexico untuk
mengumpulkan kulit kepala kaum Comanche."
Saran yang datang dari kepala suku termasyhur ini segera diterima orang. Kini
musyawarah sudah selesai, namun orang-orang masih berkumpul untuk
membicarakan keberangkatannya ke medan pertempuran.
Meskipun hari sudah malam, beberapa orang pergi ke ngarai untuk mengambil
banteng dan beruang yang sudah terbunuh itu. Hewan-hewan itu diikat dengan laso
lalu diseret. Kini malam berlalu dengan sunyinya. Kepala Banteng tidur dalam
kemah Hati Beruang. Daerah itu dijaga ketat, oleh pos-pos jaga yang saling
berganti. Keesokan harinya berlangsung upacara pemberian nama. Pada kesempatan itu kaki
beruang menjadi hidangan makanan istimewa. Pembunuh Grizzly mendapat senapan
yang terbaik dari ayahnya dan sebagai putra seorang kepala suku ia berhak
menyandang sehelai bulu elang di rambutnya. Petang hari diisi dengan mencoreng-
moreng tubuh, muka, pakaian, dan alat-alat perang.
Keesokan harinya pasukan yang terdiri dari lebih kurang dua ratus orang itu
berangkat. Mula-mula mereka diantarkan oleh kerabatnya. Setelah mereka berpisah
dengannya, mereka berjalan menurut gaya susunan prajurit Indian yang lazim: para
penunggang kuda berjalan beriring. Prajurit tertua memegang pimpinan. Kepala
Banteng, Hati Beruang, dan Pembunuh Grizzly berjalan mendahului mereka untuk
mengamati daerah yang mereka tempuh serta mengadakan persiapan-persiapan
berhubung dengan keamanan.
Padang prairi yang terbuka tidak baik untuk ditempuh.
Jadi mereka memilih jalan pegunungan tinggi yang turun naik. Jalan demikian
menemui banyak rintangan yang
mendatangkan banyak kerugian akan waktu. Baru pada hari kelima setelah mereka
berangkat, mereka tiba di gurun Mapimi di sebelah utara jalan yang ditempuh oleh
Verdoja. Mereka bermaksud menduduki pegunungan di antara Chihuahua dengan gurun.
Maka mereka pergi ke arah selatan, makin dalam masuk ke gurun Mapimi. Tiba-tiba
mereka bertiga serentak menghentikan kudanya, karena jalan mereka dipotong oleh
jejak-jejak. "Penunggang kuda!" kata Pembunuh Grizzly serta turun dari kudanya.
"Kami ingin mendengar dari Saudara, jejak itu berasal dari berapa orang," kata
Hati Beruang yang dengan tenang tetap duduk di atas kudanya. Suatu kesempatan
baik untuk menguji kecerdasan pemuda itu.
Pembunuh Grizzly menyelidiki jejak lalu berkata, "Tiga belas orang."
"Bagus. Dan siapa orangnya yang menempuh
perjalanan itu?" "Kulit putih." "Dari mana Saudara mengambil kesimpulan demikian?"
"Mereka tidak berjalan beriring. Jejak-jejak itu sangat berjauhan letaknya. Kita
dapat mudah menghitung berapa orangnya."
"Bilamana mereka melintasi jalan kita?"
Pemuda Apache itu berjongkok. Ia menjawab, "Matahari segera akan berada di atas
kita. Mereka tiba kemarin di sini ketika matahari hampir terbit."
"Apakah mereka tergesa-gesa?"
"Benarlah. Pasir di belakang jejak kaki kuda terlempar ke belakang. Mereka
berjalan cepat." "Saudara sangat pandai menafsirkan. Kini kami masih ingin mendengar dari
Saudara, apakah orang-orang itu bermaksud damai atau jahat?"
Pembunuh Grizzly memandang kepada kepala suku dengan terheran-heran, kemudian ia
menggelengkan kepalanya. "Itu mustahil dapat kita ketahui dari penyelidikan
jejak ini." "Itukah pendapat Saudara" Nah, kini akan saya buktikan bahwa itu mungkin. Di
tempat ini, Mapimi lebarnya tiga hari perjalanan. Siapa yang telah menempuh
lebih dari tiga hari, akan menjadi letih lelah. Ia akan sayang memakai kudanya.
Jejak kaki kuda tidak ringan, melainkan dalam. Itu bukanlah petunjuk bahwa kuda-
kuda itu berlari kencang. Lompatan kuda tidak lebar, melainkan pendek-pendek.
Jadi kuda-kuda itu letih lelah, sungguhpun demikian tetap dipacu supaya berjalan
lebih kencang. Jadi mereka itu sedang dikejar orang."
Pembunuh Grizzly membela diri dengan berkata,
"Namun pengejarnya pun berlari kencang bukan?"
"Seandainya mereka mengejar orang, maka mereka harus mengikuti jejak orang itu.
Maka harus ada jejak-jejak yang lebih dahulu. Namun tidak terdapat jejak
demikian. Jadi mereka sedang melarikan diri serta dikejar orang."
Kepala Banteng meneropong ke arah tempat datangnya jejak itu lalu berkata,
"Saya setuju dengan Hati Beruang. Para pengejarnya dapat kita jumpai setiap
saat. Mereka tidak boleh menemukan kita. Maka lebih baik Pembunuh Grizzly
kembali lagi untuk memesan kepada para prajurit Apache, jangan sampai mereka
mengikuti kita sampai di sini.
Mereka harus lebih ke utara melalui tanah pegunungan yang berbatasan dengan
Mapimi lalu menanti kita di situ.
Kita masih ingin menyelidiki asal usul jejak itu."
Pemuda Apache tidak membantah. Ia menaiki kudanya lalu berangkat. Kedua orang
lainnya mengikuti jejak-jejak yang membawa mereka ke arah barat. Tiba-tiba
mereka saling memandang, keduanya terpikir akan suatu hal yang sama.
"Jejak menuju ke arah barat," kata Kepala Banteng.
"Ke arah 'pas' pegunungan... suatu tempat penuh dengan bahaya."
"Mungkin itu merupakan jebakan yang diatur oleh para pengejarnya. Mari, kita
selidiki." "Tetapi kita harus melenyapkan jejak kita. Pengejarnya mungkin juga musuh kita.
Saudara dapat menolong saya."
Mereka menghapus jejak mereka serta jejak kuda dengan cara yang sempurna.
Setelah itu mereka pergi menempuh jalan memutar ke pegunungan yang
berbatasan dengan Mapimi di sebelah barat, kira-kira setengah mil di sebelah
utara "pas" itu.
Daerah itu amat sukar ditempuh oleh kuda yang harus menuruni tebing curam
ditumbuhi tumbuhan lebat untuk sampai di lembah. Di situ kuda-kuda itu dapat
ditinggalkan dengan aman. Dengan berjalan kaki mereka memanjat sebuah batu
karang. Di atasnya mereka dapat melihat pemandangan ke "pas" itu. Di bawah
terletak lembah, tempat Verdoja memasang kemahnya. Lembah itu di ujungnya
menjadi sempit menyerupai ngarai. Di situ ditempatkan orang-orang Verdoja untuk
menghadang Sternau. Namun itu di luar pengetahuan orang-orang Indian itu. Mereka
berbaring di atas tanah supaya tidak terlihat dari bawah. Tidak ada sesuatu yang
luput dari pengamatan orang-orang Indian itu.
"Uf!" kata Hati Beruang tiba-tiba. Ia telah melihat sesuatu yang agak
mencurigakan. Kepala Banteng menoleh kepadanya untuk melihat ke arah mata
pandangannya tertuju. Ia melihat seorang laki-laki memanjat tebing ngarai itu.
Jaraknya begitu jauh sehingga orang itu tampak seperti seekor kumbang yang
merayap di atas tebing. Meskipun demikian mereka dapat menyaksikan kejadian itu dengan jelas.
"Seorang Mexico," kata Kepala Banteng.
"Benar," jawab Hati Beruang. "Ngarai itu nampaknya dihuni orang."
Kedua orang Indian itu mengamati gerak-gerik orang itu hingga ia mencapai puncak
tebing di seberang mereka.
Orang itu berhenti lalu memandang ke arah timur seolah-olah mencari sesuatu.
Kedua orang Indian itu pun menoleh ke arah itu. Setelah mengamati beberapa detik
lamanya kata Kepala Banteng, "Uf, itulah mereka!"
"Tiga orang penunggang kuda," tambah Hati Beruang.


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang bermunculan tiga titik di pemandangan mereka, namun titik-titik itu
begitu kecil sehingga hanya orang-orang berpengalaman di rimba seperti orang
Indian dapat melihatnya. Orang Mexico yang mengamati juga di seberang ngarai itu
tidak dapat melihatnya. "Apakah mereka pengejarnya?" tanya Hati Beruang.
"Tidak," jawab Kepala Banteng. "Masakan lima belas orang lari karena dikejar
oleh hanya tiga orang saja?"
"Mengapa tidak" Mungkin ketiga orang itu pemberani.
Mungkin juga mereka mempunyai bala bantuan di belakangnya."
"Itu harus kita nantikan saja."
Orang di seberang ngarai yang sedang mengamati itu tiba-tiba memekik lalu cepat-
cepat menuruni tebing. Tentu ia telah melihat ketiga orang pendatang itu.
"Kini ia sedang memberi laporan kepada kawan-kawannya yang berada dalam
persembunyian," kata Hati Beruang.
Benar jugalah demikian. Setelah masuk ke dalam ngarai ia muncul lagi bersama dua
orang kawannya yang datang dari lembah. Ketiga orang itu bersembunyi di balik
sebuah batu karang besar di "pas" itu.
"Mereka akan membunuh para pendatang itu," kata Hati Beruang.
"Tetapi mengapa hanya ada tiga orang" Bukankah yang kita temukan itu jejak lima
belas orang?" "Kawan-kawannya telah meneruskan perjalanan dengan meninggalkan hanya tiga
orang. Tiga orang pengecut sudah cukup untuk menandingi tiga orang perkasa
dengan cara menyerang nya dari tempat tersembunyi."
"Perlukah kita memperingatkan mereka?"
"Lebih dari itu. Bahkan kita akan membantunya bila diperlukan. Kita harus
berusaha berada di belakang mereka sebelum mereka mencapai 'pas'. Mari, kita
berangkat!" Hati Beruang menuruni lereng, diikuti oleh Kepala Banteng. Setelah mereka dari
bawah tidak dapat dilihat lagi, mereka berlari ke hutan-hutan yang banyak
terdapat dekat "pas" itu. Terlindungi oleh hutan-hutan itu mereka menurun lagi
untuk mendekati ketiga orang Mexico itu dari belakang. Adanya batu karang besar-
besar di daerah itu memberi keuntungan bagi mereka.
Kedua kepala suku itu berhasil mendekat, bersembunyi di balik sebuah batu karang
yang jaraknya kurang dari lima puluh langkah dari ketiga orang Mexico itu.
Orang-orang Indian itu dapat mengamati mereka dengan cermat dan sekaligus
mempunyai pandangan luas ke lembah itu.
Dengan mengendap-endap serta senapan siap dalam tangannya, mereka tetap terdiam
di balik batu karang. Derap kaki kuda terdengar; pada saat itu juga tampak ketiga orang penunggang
kuda memasuki lembah. Baru saja orang-orang Indian melihatnya, wajah mereka
berseri-seri. "Uf!" bisik Hati Beruang. "Itulah Itintika Panah Halilintar, saudara kita.
Bukankah ia sedang sakit?"
"Dan Francisco, vaquero itu (= buruh peternakan)," bisik Kepala Banteng. "Apa
yang dikehendaki mereka di sini"
Mungkinkah terjadi sesuatu malapetaka di hacienda del Erina?"
"Itu akan kita dengar pada waktunya. Namun siapakah gerangan orang bertubuh
tegap yang ikut dengan mereka"
Uf, itulah saudara kita Matava-se! Apa maksudnya ia ke mari?"
"Kepala Banteng telah berkenalan dengan dia beberapa bulan yang lalu di hacienda
del Erina." "Uf! Biar kita bunuh ketiga orang Mexico itu."
"Kita lihat dulu bagaimana sikap mereka. Bila mereka mengangkat senjatanya, maka
kita akan menembaknya."
Kaum perampok di balik batu karang berbisik-bisik.
Mereka hanya mengharapkan kedatangan Sternau, dan bukan sekarang melainkan esok
hari. Dan kini ia datang, bukan seorang diri melainkan bersama dua orang.
Siapakah mereka" "Tentunya kenalan-kenalan baru," kata salah seorang Mexico.
"Apa yang harus kita lakukan kini" Mereka bertiga."
"Kita tidak dapat menangkap dia. Baik kita tembak saja dia."
"Dan bagaimana dengan kawan-kawannya?"
"Tentu saja harus kita bunuh juga. Mereka dapat membocorkan rahasia kita. Namun
kita masih ada waktu. Mereka masih belum mencapai jangkauan peluru kita.
Tembakan kita tidak boleh meleset. Sekali menembak ketiganya harus kena. Bila
Sumpah Palapa 2 Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa Panji Sakti 1
^