Pencarian

Puri Rodriganda 1

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 1


Dr. KARL MAY: PURI RODRIGANDA JILID I Penerbit: Pradnya Paramita (1981)
Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit
Disalin oleh: Bien Adiwijaya, Lidia Chang, Tubagus M. Iqbal, Ami Nur Amalina, Zeneth
Thobaroni, Svetlana Dayani, Dinasari, & Mackylafry Darwin
Untuk: http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists
BAB I DIREBUT DARI TANGAN SUKU COMANCHE
Musim semi tahun 1847. Di sungai Rio Grande del Norte nampak sebuah sampan ringan terbawa arus ke
hilir. Sampan terbuat dari lempeng-lempeng kulit kayu, dihubungkan dengan ter
dan lumut. Di dalam sampan terdapat dua orang dari kebangsaan yang berlainan.
Seorang memegang kemudi dan seorang sedang memilin-milin peluru dari kertas,
mesiu dan timah untuk mengisi senapan berlaras dua kepunyaannya.
Orang yang memegang kemudi nyatalah dari raut muka yang gagah perkasa dan sinar
mata yang tajam, seorang Indian. Bahkan dengan melihat pakaiannya sudah dapat
dipastikan ia seorang Indian, ia memakai baju berburu terbuat dari kulit rusa,
memakai kulit pelindung kaki, dihiasi dengan rambut musuh yang telah
ditaklukkannya dan sepatu moccasin bersol dua lapis. Di leher memakai kalung
dari gigi-gigi beruang kelabu, Rambutnya dijalin tinggi-tinggi, di atasnya
terdapat tiga helai bulu burung elang. Itu merupakan tanda, bahwa ia berpangkat
kepala suku. Di sampingnya di dalam sampan terletak sehelai kulit lembu yang
indah, dipakainya sebagai baju luar. Pada ikat pinggangnya tersisip sebuah
tomahawk, sebilah pisau bermata dua untuk menguliti kepala musuh dan sebuah tas
tempat menyimpan peluru. Di atas kulit lembu terletak sepucuk senapan berlaras
dua. Hulu senapan itu bergores-gores, tiap gores menunjukkan jumlah musuh yang
sudah ditaklukkannya. Pada kalung gigi beruangnya tergantung kalumet, yaitu pipa
perdamaian. Lagi pula menonjol keluar dari ikat pinggangnya, hulu dua buah
pistol. Dengan memegang tangkai kemudi di tangan, nampak seolah-olah ia kurang
peduli keadaan sekelilingnya. Tetapi bila diperhatikan dengan teliti ternyata,
bahwa di balik sikap acuh tak acuh itu terdapat kewaspadaan pada segala sesuatu
yang dapat menimbulkan bahaya baginya.
Kawan yang duduk di haluan adalah seorang kulit putih. Orang itu bertubuh
ramping, namun tegap dan kuat. Janggutnya lebat, berwarna pirang, sepadan dengan
tubuhnya. Ia bercelana kulit, ujungnya masuk ke dalam pelindung kaki dari kulit.
Baju pemburunya berwarna biru. Topi yang dipakainya bertepi lebar, seperti layak
dipakai oleh seorang pemburu di daerah Barat Jauh.
Kedua orang itu tampak sebaya kira-kira berumur masing-masing dua puluh delapan
tahun. Di belakang tumit sepatu mereka terdapat duri-duri, gunanya sebagai alat
pemacu kuda. Hal itu menandakan, bahwa mereka telah berkendaraan kuda, sebelum
membuat sampan yang ditumpanginya. Sedang mereka membiarkan sampannya
dihanyutkan arus ke hilir, tiba-tiba terdengar olehnya ringkik kuda. Demi di
dengar bunyi itu, mereka merebahkan diri ke dalam sampan, supaya tidak
kelihatan. "Ada kuda," bisik orang Indian itu dengan logat suku Apache Jicarilla.
"Kuda itu berdiri lebih jauh ke hilir," ujar si kulit putih.
"Telah tercium bau kita olehnya. Siapakah gerangan penunggangnya?"
"Tak mungkin seorang Indian atau seorang pemburu berkulit putih," kata pemburu
itu pula. "Pemburu yang berpengalaman tak membiarkan kudanya meringkik keras-keras. Mari
kita menepi dan menyelinap ke arah bunyi itu!"
"Lalu meninggalkan sampan begitu saja?" tanya orang Indian itu. "Andai kata
mereka musuh yang bermaksud memikat, lalu membunuh kita?"
"Jangan takut; kita bersenjata."
"Lebih baik saudara menjaga sampan, sementara aku meninjau daerah ini."
"Baiklah." Kedua orang itu menepi. Orang Indian itu naik ke tepi, sedang orang kulit putih
itu tetap di dalam sampan menanti kawannya kembali. Sesaat kemudian orang Indian
itu bangkit berdiri, suatu tanda bahwa tidak dilihatnya bahaya.
"Bagaimana keadaannya!" tanya si pemburu.
"Di sana, di balik semak-semak sedang tidur seorang kulit putih."
"O, begitu" Seorang pemburukah ia?"
"Ia hanya memiliki sebilah pisau."
"Mari kita ke sana!"
Orang kulit putih itu melompat keluar dari dalam sampan dan menambatkan sampan,
Kemudian mengambil senapan serta kedua pucuk pistolnya, siap sedia ditembakkan.
Diikutinya orang Indian itu sampai ke tempat orang yang sedang tidur itu. Di
sisi orang itu terdapat kuda yang berpelana secara biasa di Meksiko, tertambat
pada pohon. Orang itu memakai celana Meksiko, kemeja putih dan baju pendek berwarna biru,
layak dipakai oleh tentara berkuda. Kemeja serta celananya diikat oleh sehelai
kain kuning, yang dipakai sebagai ikat pinggang. Pada ikat pinggang itu hanya
terselip sebilah pisau, tanpa senjata lain-lain lagi. Topi sombreronya kuning
warnanya menutupi muka, melindunginya dari terik matahari. Demikian nyenyaknya
orang itu tidur, sehingga sekali-kali tidak diketahuinya, kedua orang itu datang
menghampirinya. "Hai, bangunlah!" seru orang kulit putih itu sambil mengguncang-guncang lengan
orang yang tidur itu. Ia terbangun, bangkit melompat dan mencabut pisau.
"Bedebah, mau apa kalian?" serunya separuh mengantuk.
"Mula-mula kami ingin tahu siapakah kamu."
"Dan siapakah kalian?"
"Mungkin kau takut pada orang Indian itu. Ketakutan demikian tidak beralasan. Ia
orang baik-baik. Namanya Shosh-in-liett, kepala suku Apache-Jicarilla dan aku
seorang pemburu, bernama Unger."
"Shosh-in-liett?" seru orang asing itu. "O, kalau begitu saya tak perlu
khawatir. Beliau seorang prajurit Apache dan bersahabat dengan orang kulit
putih." Kata Shosh-in-liett berarti "Hati Beruang".
"Lalu siapakah Anda?" tanya Unger.
"Saya Domenico, seorang vaquero (pekerja perusahaan peternakan)," jawab orang
itu. "Di mana?" "Di seberang sungai. Di daerah milik pangeran Rodriganda."
"Lalu mengapa kau sampai terdampar ke sini?"
"Ala, lebih baik katakan, bagaimana saya dapat sampai ke seberang lagi! Saya
sedang dikejar oleh orang-orang suku Comanche."
"Perkataanmu tidak sesuai dengan kenyataan. Orang yang sedang dikejar-kejar
musuh tidak tidur dengan nyenyak."
"Siapa dapat mengelakkan tidur, bila dalam keadaan letih lelah."
"Di manakah kau berjumpa dengan suku Comanche itu?"
"Tepat di sebelah utara tempat kita ini, ke arah Rio Pecos. Rombongan kami
terdiri dari lima belas orang laki-laki dan dua orang wanita, sedang rombongan
mereka lebih dari enam puluh."
"Kalian telah melawan?"
"Ya. Orang-orang Indian menyerang dengan tiba-tiba. Kami tidak dapat mengadakan
persiapan lebih dahulu. Karena itu mereka sempat membunuh sebagian besar di
antara kami dan menawan kedua wanita itu. Entah berapa banyak di antara kami
yang dapat menyelamatkan diri, di samping saya."
"Dari mana kalian dan ke mana tujuan kalian?"
Vaquero agak segan berbicara. Setiap jawaban harus ditarik keluar dari mulutnya.
Jawabnya: "Kami berkuda ke benteng Guadelupe untuk menjemput dua wanita yang datang
berkunjung ke sana."
"Tetapi Rio Pecos tidak terletak sepanjang perjalanan Anda."
"Memang. Sebelum kembali ke peternakan kami, kami mengunjungi Rio Pecos. Di
situlah kami diserang."
"Siapakah kedua wanita itu?"
"Senorita Emma Arbellez dan Karja, seorang wanita Indian."
"Siapakah senorita Arbellez?"
"Puteri penyewa tanah bernama Pedro Arbellez."
"Dan Karja?" "Wanita Indian itu adik Tecalto, kepala suku Mixteca yang masyhur itu."
Si Hati Beruang tertambat perhatiannya mendengar ini.
"Adik Tecalto?" tanyanya. "Tecalto kawanku; pernah mengisap pipa perdamaian
bersamaku. Adiknya tidak boleh dibiarkan menjadi tawanan orang! Kawan-kawan
kulit putih, maukah kalian ikut aku membebaskannya?"
"Kalian tidak berkuda," kata Domenico mengemukakan keberatan.
Orang Indian itu memandangnya dengan rasa cemooh.
"Hati Beruang tidak dicemaskan oleh perkara demikian. Dalam waktu satu jam ia
dapat memperoleh kuda dari anjing-anjing Comanche itu."
"Hebat benar kalau begitu!"
"Itu bukan sesuatu yang luar biasa," kata Unger. "Bilamana kalian diserang?"
"Pada malam hari."
"Berapa lama kau tidur?"
"Tidak lebih dari seperempat jam."
"Kalau begitu, orang-orang Comanche itu akan segera tiba di sini".
"Astaghfirullah."
"Kau seorang vaquero, namun kau tidak mengenal kebiasaan orang Indian. Mengapa
mereka menawan kedua wanita itu" Adakah maksud mereka untuk minta uang tebusan?"
"Pasti tidak! Kedua wanita itu ditawari untuk diperisteri oleh mereka. Keduanya
cantik benar." "Memang pernah kudengar, bahwa gadis Mixteca itu cantik-cantik. Bila orang-orang
Comanche tidak bersedia mengembalikan kedua wanita itu, maka mereka akan
berusaha bersembunyi. Mereka akan menghapus jejak mereka. Akibatnya, kau tidak
akan lepas dari perhatian mereka. Kau akan terus dikejar untuk kemudian dibasmi
mereka. Dengan demikian kau tidak dapat membawa berita ke rumah."
"Memang demikianlah. Hal itulah membuat hatiku resah." jawab orang Meksiko itu.
"Orang Comanche itu naik kudakah?"
"Benar." "Maka mereka akan melakukan pengejaran dengan naik kuda, mereka akan mengikuti
jejakmu dan akan tiba di sini dengan berkendaraan kuda."
"Benar juga! Tak terpikir olehku sebelumnya."
"Kau tidak dapat dikatakan cerdik, Mengapa kau sampai dapat begitu lalai."
"Saya terlalu lelah."
"Sekurang-kurangnya kau harus berusaha menyeberangi sungai lebih dahulu."
"Sungai terlalu lebar dan kuda saya sedang liar ketika itu."
"Kau harus bersyukur, bahwa kami bukanlah kaum Comanche. Kalau tidak, kau akan
terbangun dari tidur dengan kepala tanpa kulit lagi. Sudah laparkah kau?"
"Sudah." "Ikut saja ke dalam sampan! Tetapi pindahkan kudamu ke tempat yang lebih
tersembunyi dahulu!"
Hati Beruang sudah lebih dahulu pergi ke sampan. Ia merebahkan diri ke atas
kulit lembu. Vaquero diberi daging. Air minum dapat diambil dari dalam sungai,
sehingga ia tidak kekurangan sesuatu.
Setelah kenyang makan, Unger menyuruhnya berceritera tentang dirinya. Ia seorang
pekerja di tanah kepunyaan pangeran Fernando de Rodriganda, terletak di sekitar
sungai Rio Grande del Norte. Sungai tersebut merupakan batas antara Meksiko dan
Texas dengan Cordilleras dari Coahuila.
Beberapa saat kemudian Unger pergi meninggalkan sampan, lalu mendaki tebing
sungai untuk meninjau. Baru saja sampai ke atas, maka ia berseru:
"Nah, itu dia! Mereka menuju ke mari. Untunglah kami tidak terlambat!"
Hati Beruang segera mendampinginya.
"Siapa yang akan mengambil kudanya?" tanyanya.
"Aku," jawab pemburu itu.
Orang Indian itu mengangguk, "dari orang-orang Comanche yang berkuda ini tak
seorang pun boleh luput!"
Unger mengangguk, lalu bertanya kepada vaquero itu, "Milikmu hanya pisau itu
saja" Kalau begitu, kau tak dapat membantu kami. Tinggal di sampan. Aku akan
menaiki kudamu!" "Tapi bagaimana kalau ditembak mati?" tanyanya dengan hati kecut.
"Tak usah khawatir! Dalam hal itu kami akan mendapat ganti enam ekor."
Orang Meksiko itu harus merasa puas dengan jawaban ini. Ia bersembunyi ke dalam
sampan, sementara kedua orang lainnya pergi ke tempat vaquero semula. Mereka
bersembunyi di samping kuda, di balik semak belukar.
Penunggang-penunggang kuda yang mula-mula tampak sebagai enam titik hitam di
kejauhan, makin mendekat. Pakaian serta senjata mereka kini dapat dikenali.
"Memang, itulah anjing-anjing Comanche," kata si Hati Beruang.
"Akan kita tembak bahu mereka. Dua yang berjalan di belakang lebih dahulu
menjadi sasaran, kemudian baru yang di depan."
"Yang di belakang adalah bagianku." kata orang Apache itu.
"Baiklah!" Orang-orang Comanche sudah mendekat sampai jarak setengah kilometer. Mereka
tetap berjalan cepat. Dalam waktu semenit mereka akan mencapai jarak tembak
senapan kedua orang itu. "Orang-orang Comanche ini berotak udang. Mereka tak dapat menggunakan pikiran!"
"Seharusnya mereka mempertimbangkan kemungkinan vaquero itu bersembunyi di sini.
Pikir mereka ia sudah terburu-buru menyeberangi sungai."
"Uf!" Dengan kata seru yang mengandung makna supaya kita waspada. orang Apache itu
mengangkat senapannya. Perbuatan itu diikuti oleh Unger. Sesaat kemudian
terdengarlah dua letusan, diikuti oleh dua berikutnya. Empat orang Comanche
terjatuh dari kudanya. Pemburu itu melompat ke atas kuda vaquero, la1u keluar
dari dalam semak belukar. Kedua orang Comanche yang tersisa terperanjat. Mereka
tidak diberi kesempatan berbalik, demikian cepatnya orang kulit putih itu
mendekatinya. Mereka mengangkat tomahawknya. Tetapi Unger sudah siap dengan
pistol. Dua kali tembakan meletus dan dua orang itu terjatuh dari kudanya.
Prajurit-prajurit yang hanya luka ringan itu segera diikat. Kemenangan ini
diperoleh dalam waktu kurang dari dua menit. Kuda-kuda mereka ditangkap dengan
mudah. Kini Domenico datang. Ia menyaksikan segenap kejadian itu dari sampannya.
"Ascuas!" katanya, "itu baru dapat disebut kemenangan!"
"Itu bukanlah pekerjaan yang sangat sulit!" kata orang kulit putih itu sambil
tertawa. "Hanya enam orang Comanche. Bagaimana sekarang kita akan berangkat
lagi?" "Baik!" jawab orang Indian itu. "Adik kawanku tidak boleh sia-sia menantikan
pertolongan." "Vaquero itu harus ikut dengan kita?"
Si Hati Beruang mengamati orang Meksiko itu, lalu berkata "terserah
kepadamulah." "Saya ikut," kata orang Meksiko itu.
"Kau menimbulkan kesan seperti tidak berguna," kata Unger.
"Kau kurang menunjukkan sifat kejantanan."
"Mana mungkin saya berbuat lain. Saya tidak memiliki senjata."
"Tetapi dalam pertempuran kemarin pun kau melarikan diri."
"Saya bermaksud mendatangkan bala bantuan."
"O, begitu" Dapatkah kau temukan kembali tempat kalian diserang kemarin?"
"Dapat." "Kalau begitu, kau boleh ikut kami."
"Bolehkah saya mengambil senjata dari orang-orang Indian?"
"Tentu boleh. Ambil juga salah seekor kuda mereka! Kudamu akan kulepaskan. Ia
terlalu letih, sehingga tidak berguna lagi bagi kita."
Salah seorang Indian Comanche, ikatannya agak dikendurkan, sehingga ia dapat
membebaskan diri. Dengan demikian dapatlah ia membebaskan kawan-kawannya juga.
Senapan-senapan orang Comanche itu diambil mereka. Tiga ekor kuda yang terbaik
dinaiki, kuda lain-lainnya dilepaskan. Kemudian mereka berangkat.
Mereka menuju utara, lurus ke arah Rio Pecos. Mula-mula mereka melalui padang
prairi, kemudian daerah pegunungan yang ditumbuhi hutan. Mereka menempuh lembah
dan ngarai. Pada malam hari mereka mencapai sebuah bukit. Dari puncak bukit
mereka dapat meninjau ke arah savana.
"Uf!" seru orang Apache itu, sambil menunjuk ke bawah.
Di situ tampak perkemahan orang Indian; di tengah-tengah mereka terdapat tawanan
mereka. Orang kulit putih itu mengeluarkan sebuah teropong kecil dari dalam
saku. Ia melihat melalui teropong itu.


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang dapat saudara lihat?" tanya Hati Beruang.
"Empat puluh sembilan orang Comanche dan enam orang tawanan."
"Wanita-wanita itu termasuk juga di dalamnya?"
"Ya. Ada dua orang wanita. Akan kita lepaskan mereka nanti malam."
Orang Indian itu mengangguk.
"Empat puluh sembilan prajurit Comanche tidak sanggup mengadakan penjagaan
ketat, karena luas daerah yang harus dijaga itu," tambah pemburu itu.
"Namun kita akan bersembunyi juga. Lagi pula ada kemungkinan beberapa vaquero
telah lepas pula. Maka mereka harus mengejar vaquero-vaquero itu. Dan bila
mereka pulang dari pengejaran itu, mereka akan menemukan kita. Tambatkan kuda-
kuda kita!" perintahnya kepada Domenico. "Kami berdua akan berusaha menghapus
jejak-jejak kita." Unger pergi bersama Hati Beruang untuk menghapus jejak-jejak mereka. Kemudian
mereka mencari tempat persembunyian yang paling aman untuk mereka bersama
kudanya. Matahari terbenam. Hari menjadi gelap. Meskipun demikian mereka tetap tinggal di
tempat persembunyian. Waktu paling tepat untuk membuka serangan, ialah beberapa
saat lewat tengah malam. "Nah, sudahkah ada rencana penyerbuan?" tanya orang kulit putih itu kepada
kawannya. "Sudah," jawab orang Indian itu. "Saudara menyergap seorang penjaga. Kami
menyelinap mendekati mereka, menyergap para penjaga, lalu memotong tali pengikat
para tawanan dan melarikan diri."
"Mari kita pergi sekarang juga, karena pekerjaan yang kita hadapi makan waktu
yang cukup lama." "Apakah Dominica harus kita tinggalkan?"
"Ya, karena ia harus menjaga kuda kita."
"Ia harus menanti di mana?"
"Di tempat kita pertama kali bertemu dengan orang Comanche tadi. Kita harus
melalui daerah itu lagi, karena kita harus kembali ke Rio Grande."
Kedua orang gagah berani itu mengambil senapan lalu pergi, setelah memberi
petunjuk seperlunya kepada vaquero itu.
Di bawah, di lembah, menyala sebuah api unggun. Sekelilingnya tidur prajurit-
prajurit Comanche. Di tengah-tengah para tawanan tidur dalam keadaan terikat.
Prajurit penjaga tentu bertugas di luar lingkungan itu.
Setelah mereka sampai di lembah, si Hati Beruang berbisik:
"Aku menempuh arah ke kiri dan kau ke kanan."
"Baik. Kedua wanita itu akan kita bebaskan lebih dahulu."
Kemudian mereka berpisah. Unger menyelinap ke arah kanan mengelilingi
perkampungan. Pekerjaan demikian dilakukan dengan cara yang lazim di daerah
padang prairi. Kita harus menelungkup dan merayap seperti ular di atas tanah.
Kita tidak boleh terlihat atau terdengar oleh siapa pun. Lagi pula harus kita
jaga supaya jangan sampai tercium bau kita oleh kuda-kuda musuh. Kuda-kuda itu
akan menjadi gelisah, dengan demikian memberi petunjuk tentang kehadiran kita.
Unger pun menyelinap dengan cara demikian. Mula-mula ia mengelilingi
perkampungan dengan busur yang amat besar. Sedikit demi sedikit busur itu
diperkecil. Akhirnya dilihatnya sesosok tubuh bergerak hilir mudik. Itulah
prajurit penjaga. Ia mendekat dengan menyelinap, hati-hati sekali. Untunglah api
unggun itu sudah sangat berkurang nyalanya. Maka ia berhasil tanpa dilihat
orang, mendekati penjaga sampai pada jarak lima langkah, tiba-tiba ia melompat
menerkam orang itu dan mencekik lehernya kuat-kuat. Penjaga itu rebah, tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun. Dalam sekejap ia sudah terbelenggu. Dengan
demikian Unger berhasil menaklukkan seorang penjaga dalam waktu kira-kira
seperempat jam saja. Kemudian ia bertemu dengan si Hati Beruang, yang telah
menaklukkan dua orang penjaga.
"Sekarang giliran membebaskan para wanita!" bisik orang Indian itu.
"Hati-hati!" kata orang kulit putih itu.
"Pshaw! Orang Apache selalu berani dan bersifat hati-hati. Mari!" jawabnya.
Mereka berjalan tanpa terdengar, menempuh padang yang ditumbuhi rumput tinggi,
ke arah api unggun. Kedua wanita itu, berkat baju yang berwarna terang, dapat
dikenali dengan mudah. Mereka berbaring sebelah menyebelah, dibelenggu kaki dan
tangannya. Unger mendekati salah seorang wanita dan berbisik ke dalam
telinganya, "Jangan bersuara! Saya adalah kawan. Saya akan membebaskan Anda dan kawan Anda.
Setelah itu larilah cepat-cepat ke arah kuda!"
Wanita itu mengangguk. Lalu pemburu itu memotong tali-tali, yang mengikat tubuh
mereka dengan erat, sehingga sampai melukai mereka.
Si Hati Beruang pergi membebaskan tawanan laki-laki. 4 orang vaquero yang harus
dibebaskan. Mereka berbaring berdekatan. Segera dicabut pisau untuk memotong
tali pengikat mereka. Baru saja ia berhasil memotong tali pengikat dua orang
tawanan, maka dilihatnya seorang Comanche bergerak dengan tiba-tiba. Secepat
kilat Hati Beruang mendekatinya, lalu menikamkan pisaunya ke dalam dada orang
itu. Namun orang Comanche yang luka parah itu masih sempat berteriak minta
pertolongan. "Lari! Ikut saya ke tempat kuda," seru orang Apache itu, sambil memotong tali
pengikat dua orang tawanan lainnya.
Mereka melompat berdiri dan berlari ke arah kuda.
"Lari! Cepat!" seru orang kulit putih itu pula, sambil memegang kedua wanita
itu, masing-masing dengan sebelah tangannya, lalu menariknya ke arah kuda.
Tetapi kedua wanita itu hampir-hampir tidak dapat bergerak lagi, sangat sakit
terasa bekas ikatan pada kakinya.
"Hati Beruang!" seru Unger agak cemas.
"Aku di sini!" jawab orang Apache itu.
"Lekas ke mari!"
Segera kepala suku itu berdiri di sampingnya. Diangkatnya salah seorang wanita
dan didudukkannya ke atas punggung kuda. Demikian juga diperbuat oleh Unger.
Mereka sendiri melompat ke atas pungggung kuda, lalu melarikan kudanya kencang-
kencang. Segalanya berlangsung dalam waktu singkat sekali. Namun hampir mereka terlambat.
Baru saja dipacu kudanya, sudah terdengar bunyi tembakan senapan orang Comanche
di belakangnya. Orang-orang Comanche itu sama sekali tidak menduga serangan ini, sehingga mereka
lalai dan tidur dengan nyenyaknya.
Kini mereka berlompatan kacau-balau, masing-masing mencari senjatanya. Beberapa
saat mereka bingung dibuatnya, sehingga terlambat menyadari, bahwa tawanannya
sudah melarikan diri. Kemudian mereka me1ompat ke atas kuda-kuda yang masih ada
dan mengejar pelarian mereka.
Orang kulit putih bersama kawannya, orang Apache itu, berkendaraan kuda di depan
sekali. Masing-masing membawa seorang wanita, duduk di hadapan mereka di atas
kuda. Vaquero itu menanti di tempatnya. Demi didengarnya mereka datang, ia
melompat ke atas kuda dan membawa dua ekor kuda lainnya.
"Ikut aku!" seru Unger kepadanya.
Pengejaran berlangsung pada malam hari yang gelap gulita, mendaki bukit dan
menuruni lembah kembali. Kaum pelarian di depan, disusul oleh kaum Comanche.
Mereka tiada henti-hentinya menembaki lawan. Akhirnya tibalah mereka di padang
prairi yang terbuka. Kini kaum pelarian terpaksa harus membela diri.
"Dapatkah Anda mengendarai kuda sendiri?" tanya Unger kepada wanitanya.
"Dapat." "Ini, peganglah kendalinya! Jalan lurus saja!"
Kemudian ia turun dari kuda yang ditumpangi dan melompat ke atas kudanya
sendiri, yang dibawa oleh vaquero. Demikian juga dilakukan oleh orang Apache
itu. Mereka berjalan di belakang dan membalas menembak kaum Comanche. Dengan
demikian kaum Comanche tidak berani terlalu mendekat. Akhirnya mereka sudah
ketinggalan agak jauh juga.
"Kita dapat memperlambat jalan kuda," kata Domenico.
"Jangan!" jawab si kulit putih. "Justru kita harus berjalan secepat mungkin.
Maksud kita supaya menyeberang sungai secepatnya."
Kini Unger dapat lebih memperhatikan kedua wanita itu. Yang seorang
berkebangsaan Spanyol dan yang seorang lagi berkebangsaan Indian. Keduanya luar
biasa cantiknya. "Anda tahan berjalan terus secepat ini, senorita?" tanya Unger kepada gadis
kulit putih itu. "Saya tahan selama Anda kehendaki," jawab gadis itu.
"Nama sara Unger," kata pemburu itu memperkenalkan diri.
"Unger" Seperti nama Jerman."
"Memang sara seorang Jerman. Percayakah Anda apa yang akan saya katakan?"
"Tentu." "Kita harus menyeberangi sungai. Kami telah menemukan vaquero Domenico di
seberang sana dan dari padanya kami mendengar segala hal ihwalnya. Kemudian kami
mengalahkan musuh serta dapat membebaskan Anda."
"Dua orang saja melawan musuh sebanyak itu?"
Gadis itu memandang kepada tubuh pemburu yang kukuh kuat itu dengan penuh
kekaguman. Di sinilah percakapan mereka itu berakhir.
Keempat tawanan yang dibebaskan adalah tiga orang vaquero dengan majordomusnya,
bernama Diego. "Apa yang akan kita perbuat sekarang?" tanya Diego.
"Tidakkah lebih baik kita bertahan di sini" Kita mempunyai delapan senapan dan
dapat mematahkan perlawanan mereka."
"Jangan. Pertumpahan darah yang tidak perlu harus kita cegah."
"Apa" Tidak perlu" Bila kita tidak mematahkan perlawanannya di sini, mereka akan
mengikuti kita dan kita tak dapat mengusir mereka lagi."
"Anda kira, kita dapat mengusir mereka dengan membunuh beberapa puluh orang dari
mereka" Sebaliknya, akan menjadi alasan bagi mereka untuk membalas dendam. Lebih
baik kita menyeberang sungai dan melanjutkan perjalanan. Biar kedua wanita itu
naik ke sampan dahulu."
Demikian terjadi, apa yang dikehendaki oleh pemburu itu. Majordomus mendayung
sampan dengan kedua wanita tersebut di dalamnya ke seberang, sedang yang lain
dengan menunggang kuda mengarungi sungai ke seberang. Sesampai di seberang,
sampan ditenggelamkan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan berkuda. Mereka
tetap melarikan kuda cepat-cepat, beberapa jam lamanya. Sesudahnya baru mereka
mengurangi kecepatan, dengan demikian percakapan mereka dapat berjalan lancar.
Si Hati Beruang berkuda di sisi gadis Indian-Mixteca yang cantik-jelita itu,
sedangkan Unger di sisi gadis Meksiko.
"Kita sudah berjam-jam berjalan sebelah menyebelah, namun belum saling
mengenal," kata pemburu itu kepada kawan gadisnya.
"Sayang itu tidak benar," kata gadis itu sambil tertawa, "sebab saya sudah
mengenal Anda. Saya mengetahui bahwa Anda suka mempertaruhkan nyawa untuk
kepentingan orang lain dan bahwa Anda seorang pemburu yang perkasa dan hati-
hati." "Itu pengetahuan yang dapat Anda peroleh sendiri. Tetapi masih harus ditambah
lagi." "Silakan menambahnya, senor."
"Nama saya Anton Unger. Saya hanya mempunyai seorang abang. Tidak ada lagi
saudara saya yang lain. Abang saya dan saya bermaksud hendak bersekolah. Namun
karena kekurangan biaya dan ayah kami meninggal, terpaksalah kami urungkan niat
kami itu. Abang saya menjadi pelaut dan saya sendiri pergi ke Amerika. Di situ
saya hidup mengembara dan akhirnya saya menetap sebagai pemburu di padang
prairi." "Tetapi bagaimana Anda sampai terdampar di Rio Grande?"
"Maaf, saya segan bicara tentang hal itu."
"Jadi suatu rahasia?"
"Yah, dapat dinamakan suatu rahasia, tetapi dapat juga dinamakan suatu
kebodohan." "Saya ingin benar mengetahui."
"Yah, kalau begitu saya menyerah saja." kata Unger sambil tertawa. "Rahasia itu
sebenarnya mengenai suatu harta karun yang besar sekali."
"Harta apakah gerangan?"
"Harta terdiri dari ratna mutu manikam, emas dan perak yang berasal dari bangsa
Indian zaman purba."
"Di mana harta itu dapat ditemukan?"
"Itu saya pun belum tahu."
"Sayang! Tetapi dari mana Anda mendengar tentang harta itu?"
"Di daerah utara. Suatu kali saya merawat seorang Indian berusia lanjut, dan
sakit. Sebelum meninggal, ia mempercayakan rahasia itu kepada saya."
"Akan tetapi, keterangan yang paling penting, di mana letak harta itu. justru
tidak diberikan?" "Katanya, saya dapat menemukannya di Meksiko, di propinsi Coahuila, lalu saya
diberi juga sebuah peta, berikut peta khususnya."
"Daerah manakah yang dimaksud peta itu?"
"Entahlah, karena peta itu menunjukkan garis-garis ketinggian, lembah-lembah
serta aliran-aliran sungai, namun sama sekali tidak bernama."
"Itu aneh. Tahukah Shosh-in-liett, kepala suku Apache, tentang harta itu?"
"Tidak." "Bukankah ia sahabat Anda?"
"Memang, ia sahabat saya yang sesungguhnya."
"Namun Anda mau mempercayakan rahasia itu kepada orang seperti saya, yang baru
saja Anda kenal?" Unger memandang lurus ke muka gadis Meksiko yang bermata biru itu, lalu
menjawabnya, "Ada orang yang dengan sendirinya kita tidak mau menyembunyikan sesuatu
terhadapnya." "Dan Anda kira aku termasuk orang demikian?"
"Memang demikian."
Wajah Emma menjadi merah padam. Ia mengulurkan tangan kepadanya, lalu menjawab,
"Anda tidak salah. Saya akan memberi suatu keterangan kepada Anda, yang ada
sangkut-paut dengan rahasia Anda itu, senor."
"Silakan berceritera tentang hal itu," jawab Unger dengan gembira.
"Saya kenal seseorang yang ingin mencari harta karun masa purba itu juga."
"Wah! Siapakah orang itu?"
"Tuan muda kami, pangeran Don Alfonso de Rodriganda Sevilla. Ia saudara sepupu
serta ahli waris dan pangeran Fernando, yang tidak mempunyai putera itu. Dengan
maksud mencari harta itu, ia tinggal sementara di rumah ayah saya."
"Apa yang diketahuinya tentang harta itu?"
"Umum sudah mengetahui, ketika kedatangan bangsa Spanyol pemegang-pemegang
kekuasaan zaman dahulu telah menyembunyikan harta kepunyaan bangsanya di
berbagai tempat tersebar di seluruh negeri. Lagi pula tersebar khabar tentang
adanya tempat-tempat persembunyian emas dan perak dalam jumlah sangat besar.
Tempat-tempat demikian disebut bonanza. Orang-orang Indian mengenal tempat-
tempat ini, tetapi mereka lebih suka mati daripada membuka rahasia kepada orang
kulit putih." "Namun Don Alfonso ini mendapat kepercayaan salah seorang Indian, sampai ia
mengetahui tentang hartanya?"
"Tidak. Kami yang mendiami hacienda del Erina mendengar dongengnya, bahwa dekat
tempat kami itu terdapat sebuah gua, tempat suku Mixteca menyembunyikan
hartanya. Banyak sudah orang mencari tempat itu, termasuk juga pangeran Alfonso,
tetapi masih belum ada orang yang dapat menemukannya."
"Di mana letak hacienda del Erina itu?"
"Kira-kira sehari perjalanan dari sini, di lereng pegunungan Coahuila. Anda akan
melihatnya sendiri, karena saya harap, Anda bersedia mengantar kami ke situ."
"Saya baru berpisah dengan Anda, setelah saya tahu, bahwa Anda selamat tiba di
rumah, senorita!" "Setelah itu pun Anda belum dapat meninggalkan kami, karena Anda harus tinggal
dahulu bersama kami sebagai tamu kami, bukankah demikian, senor?"
"Untuk keselamatan Anda sendiri saya lekas-lekas harus meninggalkan Anda. Saya
tahu benar, bahwa diam-diam kita diikuti oleh beberapa prajurit Comanche. Mereka
ingin mengadakan pembalasan dan menyerang kita. Karena itu setiba di hacienda,
saya bersama si Hati Beruang akan kembali lagi untuk memata-matai mereka."
"Tidak takutkah Anda, bahwa kita terkejar oleh kaum Comanche, sebelum kita tiba
di hacienda?" "Tidak, karena kemungkinan demikian boleh dikata tidak ada. Kaum Comanche hanya
dapat mengejar kita pada waktu siang hari, karena mereka harus mengikuti jejak
kita. Sedang kita dapat berjalan siang dan malam. Jadi dengan sendirinya mereka
akan tertinggal di belakang jauh. Mereka tidak mudah mengejar ketinggalan itu.
Tetapi baiklah kita alihkan pembicaraan kepada harta karun itu lagi. Jadi tak
seorang pun mengetahui di mana letak gua itu?"
"Di antara kaum kulit putih tidak ada."
"Mungkinkah barangkali seorang Indian?"
"Benar. Ada seorang Indian, mungkin juga dua orang yang mengetahui tentang harta
raja-raja zaman purba itu. Tecalto adalah satu-satunya keturunan raja-raja
Mixteca zaman purba itu; ia pun menjadi ahli waris dari rahasia mereka. Dan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karja, yang berkuda di sebelah kepala suku Apache itu, adalah adiknya. Mungkin
ia pun mengetahui rahasia itu."
Kini Unger lebih memperhatikan gadis Indian itu dari biasanya.
"Pandaikah ia menyimpan rahasia?" tanya Unger.
"Saya kira demikian," jawab gadis Meksiko itu. "Namun," tambahnya sambil
tersenyum sedikit, "kata orang, bahwa kepandaian wanita menyimpan rahasia hanya
sampai pada batas-batas tertentu."
"Sampai batas manakah yang Anda maksudkan, senorita?"
"Batas cinta." "Wah! Mungkin sekali Anda benar," kelakarnya. "Dan bolehkah saya tanya, apakah
Karja sudah mencapai batas itu?"
"Nampaknya sudah."
"Wah! Siapakah orang yang mendapat rezeki besar itu?"
"Terka sendiri. Tidak susah."
Pemburu itu mengerutkan kening. "Mungkinkah pangeran Alfonso, karena ia dengan
demikian dapat mengetahui rahasia itu?"
"Tepat sekali."
"Dan mungkinkah ia akan berhasil, menurut pendapat Anda?"
"Habis, gadis itu mencintainya."
"Dan bagaimana dengan abangnya" Sebagai ahli waris tunggal dari raja-raja
Mixteca, bagaimana pendapatnya tentang percintaan itu?"
"Mungkin ia sama sekali tidak mengetahui tentang perhubungan itu, karena sebagai
seorang cibolero (pemburu banteng kenamaan), jarang ia di hacienda."
"Cibolero kenamaan" Kalau begitu, saya pun harus mengenalnya. Akan tetapi
sayang, nama Tecalto tidak saya kenal."
"Oleh kaum pemburu ia tidak dinamakan Tecalto, melainkan Mokashitayis."
"Mokashitayis atau si Kepala Banteng?" tanya Unger dengan gembira. "Tentu saja
saya kenal dia. Si Kepala Banteng itu pemburu banteng terbesar di wilayah antara
sungai Red River dengan gurun Mapimi. Saya telah mendengar ceritera-ceritera
tentang dia. Maka saya senang hati, akan berjumpa dengannya. Dan Karja adalah
adik orang termasyhur ini" Saya harus memandangnya dengan rasa hormat juga."
"Mungkin Anda ingin mencoba juga merayunya?"
Unger tertawa. "Saya" Mana ada orang dari daerah Barat merayu! Dan mana dapat
pula saya bersaingan dengan seorang pangeran Rodriganda! Andai kata saya
mempunyai kepandaian merayu, tentu sudah saya coba pada orang lain."
"Kepada siapa?" tanya Emma.
"Tak lain tak bukan hanya kepada Anda, senorita!" jawabnya terus terang. Gadis
itu melihatnya dengan mata berseri-seri.
"Tetapi dari saya, Anda tak mungkin dapat mengetahui tempat harta karun itu."
"Jangan khawatir, senorita! Tahukah Anda, bahwa ada harta yang tiada terhingga
nilainya, jauh melebihi harta karun yang betapa pun besarnya" Dalam arti itu
saya ingin menjadi penggali harta demikian."
"Usahakan mencarinya, mungkin Anda akan menemukannya juga!"
Lalu gadis itu mengulurkan tangan kepada pemburu itu dan menjabat tangannya
dengan mesra. Dalam perjalanan, Unger mendengar, bahwa kedua gadis itu telah bepergian ke Rio
Grande del Norte untuk merawat bibi gadis Meksiko tersebut, yang sedang sakit
keras. Sayang, bahwa bibi itu akhirnya meninggal juga, meskipun mendapat
perawatan yang sangat baik dari kedua gadis itu. Kemudian Arbellez mengirim
majordomus Diego bersama beberapa orang vaquero menjemput mereka. Pada
perjalanan pulang, mereka diserang oleh kaum Comanche.
Sementara Unger bercakap dengan Emma, maka di belakangnya diadakan percakapan
lain. Si Hati Beruang mengendarai kudanya di sebelah gadis Indian itu. Mata
orang Apache itu memandang gadis Indian yang cantik itu dengan kagum, karena
tidak canggung dapat mengendarai kuda yang separuh liar. Kepala suku itu bukan
seorang yang banyak cakap. Tiap kata yang diucapkan mengandung lebih dari satu
arti. Karja mengenal baik adat bangsa Indian, maka tiadalah mengherankan bahwa
orang di sebelahnya diam saja. Tetapi ia dapat merasakan juga, bahwa ia sedang
diamati oleh orang itu. Maka ia sangat terkejutlah, ketika kepala suku itu
menegurnya. "Adik tergolong kepada suku bangsa mana?"
"Suku bangsa Mixteca," jawabnya.
"Itu pernah menjadi suku bangsa besar dan sampai sekarang terkenal karena
wanitanya yang cantik-jelita. Apakah adik seorang squaw atau masih gadis?"
"Saya masih belum bersuami."
"Apakah hati adik masih menjadi milik adik sepenuhnya?"
Orang Indian menganggap kurang sopan berbicara tentang hal semacam ini, biasa
mengajukan pertanyaannya secara halus, berbelit-belit. Ketika gadis itu
mendengar pertanyaan ini, mukanya menjadi merah, tetapi menjawab dengan tenang,
"Tidak lagi!" Ia mengenal adat istiadat kaum Apache, dan mengetahui, bahwa ia harus terus
terang dalam hai ini. Wajah orang Apache itu tidak berubah sedikit pun, lalu ia
bertanya lagi, "Apakah hati adik sudah diberikan kepada orang dari bangsa adik sendiri?"
"Tidak, kepada seorang kulit putih."
"Hati Beruang menyesali adik. Adik jangan segan-segan memberitahu kepadaku, bila
orang kulit putih itu menipu adik."
"Ia tidak akan menipu saya," jawab Karja dengan bangga.
Senyum simpul bermain di bibir orang Apache itu. Jawabnya,
"Warna putih itu lekas bernoda. Baik adik sangat hati-hati dalam hal itu."
Mereka melarikan kudanya tetap ke arah selatan. Sejam menjelang gelap mereka
beristirahat sejenak. Baik manusia maupun hewan membutuhkan istirahat,
melepaskan lelah. Setengah jam kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Unger
sangat kagum, melihat kawan gadisnya dapat bertahan terus menerus mengendarai
kudanya. Diutarakan juga perasaan itu. Emma tersenyum, "Anda harus mengetahui,
bahwa saya sejak kecil sudah tinggal di daerah ini. Kami selalu tinggal di
daerah seperti hutan liar ini."
"Belum pernahkah timbul keinginan dalam diri Anda untuk kembali ke dunia
beradab, untuk hidup di antara mereka yang sebangsa dengan Anda?"
"Sama sekali tidak. Di hacienda dapat saya peroleh segala sesuatu yang saya
perlukan dan pergaulan dengan manusia alamiah, yang masih asli, lebih saya
hargai dari pergaulan dengan golongan-golongan yang lebih beradab. Bukankah
peradaban demikian kerap kali hampa dan palsu?"
"Anda tepat mengambil perkataan. Saya pun lebih banyak menjumpai kesetiakawanan
pada penduduk yang masih liar daripada di dunia yang sudah beradab. Sebagai
contoh, lihat saja kepada kawan saya, orang Apache itu. Ialah orang Indian yang
paling berani, gesit dan setia. Saya lebih suka mempercayakan diri saya kepada
orang Apache itu sendirian daripada kepada berpuluh, bahkan beratus orang kulit
putih. Mereka kerap kali hanya kulitnya yang berwarna putih bersih, namun
hatinya hitam kelam."
"Memang tak dapat disangkal, bahwa orang Apache itu dapat dipercaya. Tetapi
selain dia, masih ada seorang lagi yang patut mendapat kepercayaan kita. Andalah
sendiri orangnya!" "Jadi maukah Anda mempercayai saya?" tanya Unger dan matanya berseri-seri.
"Dengan sepenuh hati!" jawab Emma. "Anda pandai memuji orang Apache itu, tetapi
Anda lupa mengatakan, bahwa Anda sendiri dikaruniai sifat mulia demikian."
"Sungguh benarkah demikian?"
"Memang benar. Saya telah memperhatikan Anda. Sekarang saya tahu pasti, bahwa
Anda bukanlah seorang pemburu biasa. Anda tentu mempunyai nama kehormatan juga,
yang diberikan oleh kaum pemburu dan orang Indian kepada Anda."
Ia mengangguk. "Tepat juga pendapat Anda itu."
"Kalau begitu, apa nama kehormatan Anda itu?"
"Ayo, Antonio, ingin benar saya ketahui."
"Tidak maukah Anda menyebutnya?"
"Sekarang tidak. Bila terlanjur disebut orang lain, maka saya akan mengakuinya."
"Ada-ada saja. Anda seperti seorang raja yang sedang bepergian secara
incognito." "Memang benar," kata Unger sambil tertawa. "Seorang pemburu yang baik bagaikan
raja, raja hutan rimba dan raja padang prairi."
"Raja! raja! Tiba-tiba saya teringat sebuah nama kehormatan yang terkenal:
Matavase, yaitu Raja Batu Karang. Anda kenalkah dia?"
"Tidak, namun saya mendengar, bahwa ia setanah air dengan saya. Nama sebenarnya
Karl Sternau dan pekerjaannya dokter. Ia pernah mengembara bersama si Hati
Beruang selama beberapa bulan di daerah pegunungan Batu yang sangat berbahaya
itu. Kini ia sudah kembali ke Eropa."
"Anda Juga berniat pulang ke tanah air?"
"Baru setelah saya berhasil mengumpulkan harta cukup banyak, untuk membuat
keluarga saya di sana dapat menempuh hidup sejahtera."
Setelah perkataan itu mereka terdiam. Keduanya menyadari, bahwa mereka tak dapat
terus menerus hidup bersama. Ungerlah yang mulai pembicaraannya.
"Belum pernahkah terpikir melihat dunia yang luas, untuk bepergian" Ke Eropa
misalnya?" "Belum pernah. Hacienda kami merupakan tanah airku dan saya, tidak pernah ingin
meninggalkannya." "Tidakkah Anda pernah takut pada serangan orang Indian terhadap hacienda itu?"
"Tidak. Hacienda merupakan benteng kecil."
"Saya kenal perusahaan peternakan semacam itu. Rumahnya didirikan dari batu dan
pekarangannya dikelilingi oleh tembok pertahanan. Dapatkah benteng demikian
bertahan terhadap serangan musuh dengan tiba-tiba?"
"Kami akan waspada dan Anda juga. Saya harap, Anda bersedia menjadi tamu kami!"
"Saya harus berunding lebih dahulu dengan si Hati Beruang. Saya tak dapat
berpisah dengannya."
"Ia akan mau tinggal."
"Ia mencintai kebebasannya. Tak mungkin ia dapat tinggal lama di dalam sebuah
gedung." Emma tersenyum. "Namun saya mengetahui, ia akan dapat bertahan."
"Mengapa pendapat Anda demikian?"
"Saya telah melihat pandangan matanya kepada Karja."
"Anda benar-benar pandai mengadakan pengamatan."
"Sayang sekali bagi si Hati Beruang, bila ia membiarkan diri diseret
perasaannya." "Tak usah khawatir! Jiwanya keras seperti besi. Percintaan tak dapat
mematahkannya." "Dan bagaimana Anda sendiri" Terbuat dari besi jugakah kiranya?"
"Memang demikian."
"Jadi tak menderita juga oleh percintaan?"
"Tidak!" "Gagah benar kedengarannya!"
"Akan tetapi itulah kenyataan. Wanita yang saya cinta, harus dapat menghargai
perasaanku. Tetapi, kita sudah ketinggalan! Orang Apache itu ingin cepat-cepat.
Ia ingin menggunakan waktu siang hari untuk mencapai jarak sejauh-jauhnya. Kita
jangan menyulitkan dengan berjalan lambat."
Setengah jam telah berlalu, hari menjadi gelap. Mereka masih melanjutkan
perjalanan mereka selama dua jam, sampai mereka menemui sebuah batang air. Pada
suatu kelokan batang air mereka berhenti.
Mereka berlompatan turun dari kuda dan menyiapkan tempat bermalam. Kuda-kuda
ditempatkan dekat tepi sungai. Kemudian mereka menyalakan api unggun dan duduk-
duduk di sekitarnya. Lebih masuk ke darat tumbuh semak belukar. Seorang penjaga
di tempatkan di situ. Unger membuat tempat tidur yang empuk dari ranting-ranting dan daun-daunan untuk
Emma; si Hati Beruang membuat juga untuk gadis Indian, kawannya. Itu merupakan
suatu kehormatan besar, karena seorang Indian lazimnya tidak bersedia membuatkan
seorang wanita sesuatu, yang dapat dikerjakan wanita itu sendiri.
Akhirnya mereka tidur. Sudah diputuskan, masing-masing mendapat giliran jaga
selama seperempat jam. Unger dan Hati Beruang mendapat giliran terakhir, justru
karena saat-saat sebelum fajar menyingsing biasa digunakan bangsa Indian untuk
melakukan serangan. Akan tetapi malam berlalu tanpa terjadi sesuatu dan ketika fajar menyingsing
mereka berangkat lagi. Mereka melalui daerah, makin lama makin banyak dihuni
orang. Tengah hari mereka mencapai tujuannya.
BAB II HACIENDA DEL ERINA Hacienda del Erina merupakan sebidang tanah yang luas. Di dalamnya terdapat
sebuah gedung dari batu alam. Gedung dikitari oleh dinding, dapat melindungi
para penghuninya dari serangan musuh. Bagian dalam rumah tinggal dibangun dengan
elok dan luas sekali, sehingga dapat dihuni oleh beratus-ratus orang.
Di sekeliling rumah terdapat taman yang luas, ditanami tumbuh-tumbuhan tropis
dengan bunga-bunga aneka warna dan menyebarkan bau harum semerbak ke
sekelilingnya. Salah satu tepinya berbataskan hutan rimba, sedangkan tepi yang
lain berbataskan ladang-ladang pertanian yang amat luas. Kedua tepi sisanya
berbatasan padang rumput yang luas pula, tempat memelihara ternak beribu-ribu
ekor banyaknya. Ketika rombongan kecil itu tiba di padang rumput, mereka disambut dengan gembira
oleh beberapa orang vaquero. Tempik sorak mereka segera berubah menjadi luapan
amarah, ketika didengar apa yang telah terjadi. Mereka menuntut segera dikirim
rombongan orang untuk mengadakan pembalasan.
Majordomus sudah pergi lebih dahulu untuk memberitakan kedatangan mereka. Maka
Pedro Arbellez, yang sudah lanjut usia, sudah berdiri di depan pintu, menyambut
kedatangan anak perempuannya dengan para pengawalnya. Dengan air mata berlinang,
ia mengangkat anaknya dari atas punggung kuda.
"Selamat datang, anakku," katanya. "Tentu banyak penderitaan yang telah kau
tanggung dalam perjalananmu yang penuh dengan bahaya itu. Kau kelihatannya letih
dan lelah." Dipeluknya sang ayah, lalu jawabnya,
"Benarlah ayah, saya telah ditimpa malapetaka besar."
"Malapetaka apakah kiranya?" tanya ayahnya, setelah menyambut wanita Indian
kawannya juga dengan ramahnya.
"Kami telah ditawan oleh kaum Comanche."
"Astaghfirullah! Mereka sudah di Rio Grande?"
"Tidak, tetapi kami kurang hati-hati, karena sampai ke dekat Rio Pecos. Di situ
kami diserang. Dua orang inilah, yang menyelamatkan kami."
Emma memegang tangan orang kulit putih dan tangan orang Indian itu, lalu
diperkenalkan kepada ayahnya.
"Don Antonio Unger dan Shosh-in-liett, kepala suku Apache. Tanpa mereka, saya
sudah menjadi squaw orang Comanche, sedang yang lain mati di tiang penyiksa."
Orang tua itu berkeringat sekujur tubuhnya, hanya dengan membayangkan kekejaman-
kekejaman yang digambarkan.
"Masya Allah, alangkah celaka, tetapi juga alangkah bahagia kita sekarang,"
katanya. "Selamat datang, senores, selamat datang! Anda harus menceriterakan
segala pengalaman Anda dan saya akan berusaha memperlihatkan kegembiraan serta
terima kasih saya. Silahkan masuk dan anggaplah rumah ini seperti kepunyaan Anda
sendiri!" Sangat ramah penyambutan itu. Lagi pula orang tua itu menimbulkan kesan sebagai
orang yang luhur budinya.
Para tamu masuk melalui dinding pertahanan, menyerahkan kuda kepada para
pelayan, lalu masuk rumah. Majordomus beserta para vaquero tinggal di ruang
depan, sedang dua orang tamu beserta wanitanya diantar oleh haciendero ke salon.
Mereka dipersilahkan duduk, lalu Emma menceriterakan secara ringkas pengalaman
mereka. "Masya Allah," keluh haciendero, "alangkah pahitnya pengalaman Anda, anak-anak
yang malang! Tetapi Tuhanlah mengirim kedua senores ini untuk menyelamatkan
kalian. Puji syukur kepada Tuhan. Apa yang akan dikatakan oleh pangeran dan oleh
Tecalto?" "Tecalto?" tanya Karja. "Si Kepala Banteng ada di sini?"
"Benar. Kemarin baru tiba."
"Dan pangeran pun juga?" tanya Emma.
"Ya, sejak seminggu yang lalu. Nah, itulah dia!"
Pintu yang menghubungkan dengan ruangan berikutnya terbuka dan pangeran Alfonso
masuk ke dalam. Ia memakai baju kamar sutera berwarna merah, menerawang dengan
indah dan menyebarkan bau harum semerbak menusuk hidung. Pintu yang tetap
terbuka memperlihatkan ruangan makan. Ruangan itu diatur dengan cara mewah dan
telah banyak mengeluarkan biaya. Dari serbet yang dipegang pangeran dalam
tangannya dapat dilihat, bahwa ia tengah menikmati hidangan lezat ala Meksiko.
"Saya mendengar namaku disebut orang," katanya. "Ha, senorita-senorita cantik
sudah kembali lagi. Anda membawa kabar baik?"
Demi melihat pangeran, wajah gadis Indian itu menjadi agak merah dan hal itu
tidak luput dari penglihatan orang Apache itu. Namun Emma tidak terpengaruh
sedikit pun. Ia menjawab dengan dingin, meskipun tetap sopan.
"Seperti Anda lihat sendiri, tuan. Hampir kami tidak dapat kembali lagi. Kami
telah ditawan oleh kaum Comanche."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ascuas!" serunya. "Akan saya suruh mencambuk mereka!"
"Itu tidak mudah dilaksanakan," jawab Emma menyindir. "Lagi pula kami sekarang
sudah kembali dengan tak kurang suatu apa. Inilah pahlawan-pahlawan penyelamat
jiwa kami." Pangeran itu mundur beberapa langkah, mengamati kedua pahlawan itu, lalu menarik
muka, seolah-olah ia kecewa dan bertanya,
"Siapakah orang-orang ini?"
"Senor Unger dari Jerman dan Hati Beruang, kepala suku Apache."
"Nah, orang Jerman dengan orang Apache. Kapan mereka berangkat lagi" Sebaiknya
selekasnya." "Mereka adalah tamu saya dan mereka boleh tinggal di sini selama mereka
menghendaki," jawab haciendero.
"Apa kata Anda?" seru sang pangeran. "Saya bersama mereka di bawah satu atap"
Mereka berbau hutan dan rawa. Saya tak tahan tinggal di sini lebih lama lagi!"
Arbellez bangkit berdiri. Matanya bersinar-sinar karena marah.
"Itu terserah kepada Anda. Saya tak dapat menahan Anda tetap tinggal di sini.
Kedua senores itu telah menyelamatkan jiwa anak saya dan mereka saya terima
dengan tangan terbuka."
"Jadi, Anda membantah perkataan saya?" seru pangeran.
"Terpaksa," jawab Arbellez dengan tegas.
"Tahukah Anda, bahwa sayalah yang berkuasa di sini?"
"Sepanjang pengetahuan saya bukan Anda."
"Bukan saya" Siapa, kalau begitu?"
"Pangeran Fernando. Anda di sini hanya tamu saja. Lagi pula bahkan pangeran
Fernando pun tidak berhak mencampuri urusan saya dalam hal ini. Saya adalah
pengontrak hacienda yang sah selama hidup saya. Maka tak ada orang, yang dapat
memerintah saya, tamu manakah yang dapat saya terima dan manakah yang tidak."
"Ascuas, itu sudah terlalu."
"Yang terlalu sebenarnya Anda sendiri dengan sikap yang kasar terhadap tamu
saya. Lagi pula, perlukah disebut-sebut tentang bau hutan dan rawa, yang sekali-
kali tidak tercium oleh saya. Apakah wangi-wangian yang Anda pakai, yang terlalu
menusuk hidung itu, tidak lebih memuakkan" Kini para tamu akan saya antar ke
ruang makan. Terserah kepada Anda, masih mau melanjutkan makan atau tidak."
Sesudah berkata demikian dibuka oleh haciendero pintu menuju ruang makan dan
para tamu dipersilahkan masuk. Orang Indian itu berdiri tanpa bergerak, seolah-
olah tidak mengerti, apa yang sedang diperbincangkan. Dengan sikap gagah ia
masuk ke dalam ruang makan. Namun Unger pergi menghampiri pangeran.
"Anda pangeran Alfonso de Rodriganda?"
"Benarlah," jawab pangeran, terheran-heran karena pemburu ini berani menegurnya.
"Senor Arbellez lupa memperkenalkan Anda kepada kami. Saya menantang Anda
berduel. Anda boleh memilih senjatanya: anggar, pistol atau bedil."
"Anda ingin berduel dengan saya?" tanya pangeran tercengang-cengang.
"Tentu saja! Andaikata Anda menghina saya di luar hacienda, maka saya akan
memukul Anda, tanpa pikir panjang lagi. Tetapi penghinaan ini terjadi di bawah
atap tuan rumah yang saya hormati. Maka untuk menghormati beliau serta dua orang
wanita, saya mengajukan tantangan itu."
"Berduel" Dengan Anda" Siapakah Anda itu" Seorang pemburu, seorang pengembara,
cis!" "Jadi tidak berani" Kalau begitu, Anda patut disebut seorang pembual dan
pengecut, seorang yang patut dikasihani. Bila Anda tak mau mengubah pendirian
Anda, harga Anda sudah ditentukan. Terserah kepada Anda!"
Unger mengikuti orang Apache, kawannya. Pangeran berdiri termangu.
"Arbellez, Anda membiarkan dia?" tanyanya kepada haciendero.
"Anda sendiri tidak berani menghalangi?" jawabnya.
"Mari, Emma, mari, Karja! Tempat kita di dalam ruang makan, bersama orang-orang
terhormat." "Alangkah curangnya! Akan kuberi pelajaran kepada Anda, Arbellez!"
"Terserahlah!" Orang tua yang gagah berani itu mengantar kedua wanita itu ke dalam kamar makan.
Ketika Emma berjalan, melintas di hadapan pangeran, ia berkata,
"Rendah benar perbuatan Anda tadi!"
Wanita Indian mengikuti dengan kepala tertunduk. Ia tidak sampai hati mencela
perbuatan kekasihnya, namun tak dapat ia menatap mukanya. Pangeran Alfonso tidak
kembali ke kamar makan. Dilemparkannya serbetnya ke atas lantai, lalu diinjak-
injaknya. Kemudian ia berkata dengan menggertakkan gigi.
Barang siapa melihat pandangan matanya yang liar serta urat-urat dahinya
membengkak karena marah, akan dapat membayangkan, bahwa dengan nekad ia sanggup
melakukan tindakan kekerasan.
Pangeran Alfonso sebenarnya bukan seorang yang berwajah buruk atau menjijikkan.
Raut mukanya dalam keadaan tenang mungkin tampak menarik; tetapi kini, sedang
dikuasai oleh setan amarah, wajahnya berubah menjadi buruk dan menjijikkan.
Setelah terpaksa mengalami kekalahan, Alfonso pergi ke kamarnya sendiri.
Sementara itu para tamu beserta tuan rumah dan kedua wanita itu sedang menikmati
hidangan-hidangan istimewa di ruang makan. Hidangan terdiri dari semangka masak
yang sudah dipotong-potong, air buahnya menitik ke atas pinggan perak; buah
delima merekah, jeruk manis, granadilla dan segala masakan daging dan terigu,
yang biasa dapat dinikmati oleh keluarga Meksiko. Sambil menyantap makanan,
diceriterakan mereka lebih banyak tentang pengalaman-pengalamannya. Setelah itu,
haciendero menunjukkan kepada para tamu, kamarnya masing-masing.
Kedua orang itu mendapat kamar yang bersebelahan letaknya. Unger tidak dapat
berlama-lama tinggal dalam kamarnya. Ia pergi ke taman. Kemudian ia mengamati
kuda-kuda Meksiko, yang sedang makan rumput.
Sedang berjalan-jalan di situ, tiba-tiba dilihatnya sesosok tubuh, tampak agak
ganjil muncul di hadapannya. Orang itu bertubuh tinggi dan tegap; berbaju kulit,
seperti dipakai oleh kaum cibolero. Di atas kepala memakai bagian atas dari
kepala beruang. Dari kepala beruang itu bergantungan ke bawah beberapa lembar
kulit, sampai hampir mencapai tanah. Pada ikat pinggang yang lebar, tersisip
beberapa bilah pisau dan perkakas lain. Ia pun menyandang sebuah laso pada bahu
kanannya. Pada pagar tersandar sebuah senapan, dari jenis yang seratus tahun
lalu dibuat di Kentucky dan sangat berat, sehingga tidak dapat digunakan orang
biasa. "Siapakah kau?" tanya Unger terheran-heran.
"Saya Mokashitayis, dari suku Mixteca," jawabnya.
"Apakah namamu Tecalto, cibolero yang termasyhur itu?"
"Benarlah. Kau sudah kenal akan daku?"
"Aku belum pernah melihatmu, namun sering kali mendengar namamu."
"Siapa namamu?"
Wajah orang Indian yang sungguh-sungguh itu menjadi cerah. Mungkin baru berusia
dua puluh lima tahun. Mukanya tampan.
"Jadi kaulah pemburu, yang telah menyelamatkan adikku, Karja."
"Kebetulan nasib baik ada di pihak kami."
"Bukan, itu bukan nasib. Kau telah merebut kuda-kuda dari tangan kaum Comanche
dan kau telah mengikutinya. Kepala Banteng banyak berutang budi kepadamu. Kau
sama perkasanya dengan Matavase, si Raja Batu Karang. Pernah juga aku mendengar
nama lain lagi, yaitu Itinti-ka atau si Panah Halilintar. Nama itu diberikan
suku Apache dan suku Comanche kepadanya."
"Tetapi belum pernahkah kau melihatnya sendiri?" tanya pemburu itu.
"Disebut demikian karena ia secepat dan setepat panah, sedang kekuatannya
seperti halilintar. Senapannya belum pernah luput mengenai sasarannya dan
matanya tajam, tak pernah salah dalam mengikuti jejak. Sampai sekarang belum
pernah aku melihatnya. Namun kini ia berdiri di hadapanku."
"Dari mana dapat kau kenali aku?" tanya Unger terheran-heran.
"Dengan hanya melihat pipimu. Panah Halilintar mempunyai cacat bekas tusukan
pisau di pipinya. Tanda-tanda pengenal demikian diingat orang. Benar tidak?"
Unger mengangguk. "Kau benar. Aku diberi nama Itinti-ka, si Panah Halilintar."
"Aku mengucap syukur kepada Manitou, karena aku diberi kesempatan bertemu
denganmu. Kau seorang yang gagah perkasa. Mari kita berjabat tangan. Kau
kuanggap saudaraku sendiri!"
Mereka berjabatan tangan dan Unger berkata,
"Selama kita dapat saling memandang, kita akan hidup sebagai saudara."
Kemudian ditambahkan lagi oleh orang Indian itu,
"Tanganmu adalah tanganku dan kakimu adalah kakiku pula! Awas bagi musuhmu,
karena dia juga musuhku dan awas bagi musuhku, karena dia juga musuhmu! Aku
adalah kau, dan kau adalah aku. Kita sebenarnya satu!"
Si Kepala Banteng itu suka bercakap-cakap tidak seperti orang Indian yang
tinggal di daerah utara. Akan tetapi Kepala Banteng tidaklah kurang wibawanya
dari mereka yang lebih bersifat pendiam, yang mempunyai anggapan, bahwa seorang
prajurit pantang sekali mencurahkan isi hatinya.
"Kau tinggal di hacienda?" tanya Unger.
"Tidak," jawab pemburu banteng itu. "Siapa mau tinggal di tempat, yang dibatasi
oleh dinding" Tempat tinggalku di sini." Ditunjuknya padang rumput, tempat ia
berdiri. "Kukira, tempat tidurmu yang terbaik di hacienda ini. Aku pun tidak dapat tahan
tinggal dalam kamar saja."
"Hati Beruang, kawanmu, telah mencari padang rumput juga. Aku telah berbicara
dengannya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Kami sudah menjadi saudara,
seperti juga kau dengan aku."
"Di manakah ia?"
"Ia duduk di sana, bersama kaum vaquero. Mereka sedang berceritera tentang
serangan kaum Comanche."
"Mari kita pergi ke tempat mereka!"
Orang Indian itu meraih senapannya yang berat, memanggulnya, lalu menunjukkan
jalan kepada orang kulit putih itu.
Jauh dari rumah, di tengah-tengah kelompok kuda setengah liar, yang sedang makan
rumput, serombongan vaquero sedang berbaring di atas tanah, sedang berceritera
tentang kisah perjalanan majikan wanitanya. Si Hati Beruang tidak turut dalam
percakapan itu, meskipun sebenarnya ia lebih mengetahui kejadiannya.
Dua orang yang baru datang bergabung dengan mereka. Orang kulit putih,
pahlawannya yang kedua, segera turut juga mengemukakan pendapat-pendapatnya.
Akhirnya terjadilah percakapan yang asyik dan memikat perhatian, hanya dapat
ditemukan di dalam suatu perkampungan di hutan rimba.
Tiba-tiba percakapan mereka diganggu oleh bunyi dengus dan ringkik kuda yang
sedang marah. "Apa itu?" tanya Unger, yang cepat-cepat menoleh, mendengar bunyi itu.
"Kuda jantan si Hitam," jawab salah seorang vaquero.
"Biar ia mati kelaparan, kalau tak mau menurut."
"Mati kelaparan" Mengapa?"
"Ia tidak dapat dijinakkan."
"Masa?" "Benar, senor. Tak perlu sangsi tentang hal itu. Kami telah mencoba berbagai
usaha. Tiga kali kami berusaha menjinakkan, tetapi sia-sia saja. Kami semua
penunggang kuda yang tangkas, percayalah! Akan tetapi tiap kali kami akan naik,
selalu dilempar oleh kuda setan itu ke atas tanah. Hanya seorang dapat menaiki."
"Siapakah orang itu?"
"Si Kepala Banteng, kepala suku Mixteca. Hanya dia seorang, tidak dilempar ke
atas tanah. Namun ia tidak berhasil menjinakkannya."
"Aneh. Siapa dapat tetap duduk di atas punggung kuda, harus juga menguasainya."
"Itu pikiran kami juga. Tetapi si setan hitam itu lain dari pada yang lain.
Setelah ia tidak berhasil melemparkan penunggangnya itu ke atas tanah, maka ia
lari masuk ke dalam sungai. Setelah siasat itu tidak berhasil, ia lari masuk ke
dalam hutan lebat dan menyapu penunggangnya dari atas punggungnya."
"Terlalu!" seru Unger.
"Memang harus diakui kebenarannya," kata si Kepala Banteng, "meskipun agak
memalukan juga. Anehnya sampai sekarang aku selalu berhasil menjinakkan kuda
yang betapa pun liarnya."
Vaquero itu melanjutkan, "Di hacienda ini banyak penunggang kuda yang tangkas. Mereka masing-masing
mencoba kekuatan serta kesigapannya, namun selalu sia-sia. Kata mereka, mungkin
hanya seorang saja, sanggup menjinakkan kuda jantan itu."
"Dan siapakah kiranya orang itu?"
"Pemburu itu seorang asing, ia pengembara dekat sungai Red River. Bahkan setan
di neraka pun sanggup ditungganginya. Kata orang, pemburu inilah pernah ada di
tengah-tengah sekelompok kuda liar. Ia sanggup melompat dari satu kuda ke kuda
yang lain untuk memilih, mana yang terbaik."
Unger tertawa gembira, lalu bertanya, "Siapakah nama pemburu itu?"
"Siapakah nama yang sebenarnya, tidaklah kuketahui, tetapi orang Indian
menyebutnya Itinti-ka atau si Panah Halilintar. Banyak pemburu, yang datang dari
utara, dapat berkisah tentangnya."
Si Hati Beruang dan si Kepala Banteng berbuat seolah-olah tidak mengetahui,
bahwa mereka sedang membicarakan Unger.
Unger pun tidak membuka rahasia, lalu ia bertanya,
"Di manakah kuda itu?"
"Ia diikat di balik bukit itu."
"Ayme! - wahai, itu sangat tidak adil."
"Senor Arbellez sebenarnya sangat sayang kepada hewannya. Tetapi sekali ini ia
bersumpah, akan membiarkan si Hitam mati kelaparan, bila ia tak mau menurut."
"Jadi kalian telah mengikat mulutnya juga?"
"Tentu saja." "Perlihatkan kuda itu kepadaku!"
"Ikut saja, senor."
Ketika mereka bangkit berdiri, tampak tuan Arbellez datang bersama anak
perempuannya dan Karja, menghampiri mereka. Ia sedang dalam perjalanan keliling
mengadakan inspeksi. Para vaquero mengantarkan Unger ke kuda liar itu.
Kuda itu terbaring di atas tanah dengan keempat kakinya terikat dan sebuah
keranjang di hadapan moncongnya. Matanya merah karena amarah dan dari moncongnya
keluar busa bergumpal-gumpal.
"Aduh, sayang benar!" seru Unger.
"Habis, apa lagi yang dapat diperbuat?" tanya vaquero itu tanpa menunjukkan
kasihan. "Itu merupakan penganiayaan! Tak dapat dibenarkan! Dengan demikian kuda yang
sangat bermutu itu akan binasa."
Kini rombongan Arbellez dengan kedua gadis itu menghampiri Unger.
"Mengapa Anda bersitegang leher seperti itu, senor?" tanya Arbellez.
"Anda membunuh kuda jantan itu!" jawab Unger terus terang.
"Memang itulah kehendak saya, sebab ia tak menurut."
"Kuda itu akan menurut juga, asal jangan dengan cara demikian."
"Kami telah mencoba dengan segala macam usaha, tetapi sia-sia saja."
"Usahakan seorang penunggang kuda yang tangguh untuk menaiki punggungnya!"
"Tak ada gunanya! Sudah berkali-kali dicoba!"
"Masa! Boleh saya menaikinya, senor?"
"Tidak!" Unger memandang dengan rasa heran, "Mengapa tidak?"
"Karena pekerjaan itu terlalu berbahaya bagi Anda."
"Terlalu berbahaya" Lebih baik saya mati daripada membiarkan keadaan demikian.
Sebagai seorang pencinta kuda, saya tidak tahan melihat kuda itu. Jadi bolehkah
saya menaikinya?" Kini Emma, yang sedang cemas hatinya, menghampiri Unger. "Jangan izinkan Don
Antonio menaikinya, yah. Ayah mengetahui, betapa berbahaya kuda itu."
Unger memandang gadis itu dengan tersenyum. Kecemasan gadis itu merupakan bukti
nyata, bahwa gadis itu tidak acuh tak acuh terhadapnya. Maka kemudian ia berkata
dengan nada sungguh-sungguh,
"Senorita, saya mohon, janganlah menyinggung perasaan saya. Saya sama sekali
tidak takut pada kuda itu."
"Anda belum mengenal kuda itu, senor," kata Arbellez. "Pernah saya mendengar,
bahwa hanya Itinti-ka, si Panah Halilintar dapat menjinakkan kuda itu."
"Kenalkah Anda pada Itinti-ka?"
"Tidak, tetapi ia penunggang kuda terbaik, yang hidup di antara kedua samudera."
"Namun saya tetap minta naik kuda tersebut."
"Yah, saya harus meluluskan, meskipun dengan pedih hati. Karena Anda adalah tamu
saya. Tapi bila berakibat buruk, jangan menyalahkan saya!"
Kini Emma turun dari kuda, pergi menghampiri Unger, lalu mohon, sambil memegang
tangannya, "Senor Unger, maukah Anda demi persahabatan kita mengurungkan niat
Anda, naik kuda itu" Saya benar-benar cemas!"
Unger memandang dengan penuh pengertian, "Senorita," katanya, "coba berterus
teranglah kepada diri sendiri. Apakah baik dan terhormat bagi saya untuk
mengatakan, mula-mula saya tidak takut, tetapi kemudian menarik kembali
perkataan itu?" Gadis itu menundukkan kepala dan mengerti, bahwa Unger akan kehilangan muka
terhadap para penunggang kuda yang tangkas itu, bila ia berbuat demikian. Maka
katanya hanya,

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi tetapkah Anda pada pendirian Anda?"
"Sungguh senorita, pekerjaan itu tidak sukar bagiku."
Unger memandang kepada gadis itu dengan penuh keyakinan pada kesanggupannya,
sehingga gadis itu akhirnya percaya, bahwa pekerjaan itu akan berhasil.
"Mari!" kata Unger, lalu pergi menghampiri kuda liar itu. Beberapa orang vaquero
hendak membantu membuka ikatan kuda, tetapi Unger memberi isyarat, supaya mereka
pergi saja. Kuda masih berbaring, mendengus dan berguling-guling di atas tanah.
Unger melepaskan keranjang dari mulut kuda, lalu memotong tali yang mengikat
mulut kuda serta kaki depan dan kaki belakang. Dengan sangat menakjubkan
melompat ke atas kuda yang sudah bangkit berdiri di atas kakinya itu.
Kini mulai berlangsung pergulatan seru antara kuda dengan penunggangnya.
Pertarungan demikian hebat belum pernah disaksikan oleh penonton. Kuda itu tiba-
tiba mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi, melompat dengan ganjil ke kiri dan
ke kanan, memukul dan menggigit, membanting penunggang ke atas tanah, berguling-
guling seperti kuda gila, bangkit melompat lagi, namun penunggangnya masih tetap
di atas punggung. Peristiwa ini merupakan pergulatan antara ketangkasan manusia
dengan tingkah liar seekor hewan, akan tetapi makin lama pergulatan makin
berubah menjadi adu tenaga otot-otot manusia yang kuat melawan tenaga hewan.
Kuda itu berkeringat. Ia tidak mengendus lagi, melainkan hanya mengerang. Ia
berusaha mengumpulkan sisa tenaganya, tetapi penunggangnya pantang menyerah.
Dengan paha sekuat tenaga dikepitnya tubuh kuda itu, sehingga hampir tak dapat
bernapas lagi. Lalu kuda itu melompat yang terakhir kali dengan keempat kakinya
tinggi-tinggi ke udara, untuk kemudian lari melompat melampaui pagar dan semak
belukar, menghilang dengan penunggangnya dalam waktu kurang dari setengah menit.
"Bagus! Bagus! Belum pernah kulihat pertunjukan semacam itu!" puji Arbellez.
"Akan patah lehernya," kata seorang vaquero.
"Takkan terjadi," kata yang seorang lagi. "Ia sudah berhasil menaklukkannya."
"Betapa cemas hatiku," kata Emma terus terang. "Tetapi sudah tidak berbahaya
lagi, bukankah demikian, yah?"
"Jangan khawatir! Kau liat sendiri, betapa kokoh ia duduk di atas punggung kuda
dan betapa kuat tenaganya. Seolah-olah ia bergulat dengan setan. Kukira, Itinti-
ka sendiri takkan dapat mengatasinya."
Kini si Kepala Banteng tampil ke muka dan berkata, "Memang Itinti-ka tak dapat
mengatasinya, karena senor Unger tak lain si Panah Halilintar sendiri."
"Apa?" seru Arbellez. "Dia" Si Panah Halilintar?"
"Benar. Tanyakan kepada kepala suku Apache!"
Pedro Arbellez memandang kepada si Hati Beruang dengan penuh tanda tanya.
"Benar demikian," kata Hati Beruang.
"Seandainya tadi sudah saya ketahui, saya tak menderita ketakutan seperti ini,"
kata haciendero. "Saya benar-benar takut, ketika ia mengendarai kuda itu.
Seperti saya sendiri, yang duduk di atasnya."
Emma terdiam saja, tetapi dalam hati ia sangat gembira.
Semua orang tetap berdiri di tempat masing-masing. Mereka menanti dengan hati
berdebar-debar. Setelah seperempat jam berlalu, kembalilah Unger. Kuda hitam itu
letih, tetapi penunggangnya masih tetap duduk di atasnya, sambil tertawa
gembira. Emma menghampiri. "Terima kasih, senor!" katanya.
Orang lain akan bertanya, "Mengapa?" Akan tetapi Unger mengerti isi hati gadis
itu, lalu tersenyum kepadanya.
"Jadi, senor Arbellez," kata Unger. "Tidak perlu Itinti-ka mengendarai kuda itu,
saya pun dapat." "Karena Anda sendiri Itinti-ka."
"Ha-ha! Jadi rahasia saya sudah diketahui orang!"
"Dan Raja dari padang savana itu tidak dapat bepergian secara incognito lagi,"
demikian ditambahkan oleh Emma.
Semua orang berebut memuji, menyatakan kekagumannya kepada Unger. Namun
ditolaknya segala puji-pujian itu.
"Pekerjaan saya belum selesai," katanya. "Boleh saya ikut Anda dalam perjalanan
Anda, senor Arbellez?" tanyanya.
"Bukankah kuda jantan itu sudah terlalu lelah?"
"Tidak. Ia harus dibawa pergi juga."
"Baik, ikutlah kami!"
Mereka mengendarai kuda, melalui padang yang luas. Di padang itu dipelihara
kuda, lembu, domba dan kambing. Setelah pulang ke rumah, kuda jantan itu
ditambatkan. Ketika Karja, si gadis Indian sedang menuju ke kamarnya, melintasi kamar
pangeran, pintu kamar dibuka dan Alfonso keluar sebentar.
"Karja, dapatkah kau bertemu aku hari ini juga?"
"Pukul berapa?" tanya gadis itu.
"Dua jam sebelum tengah malam."
"Di mana?" "Di bawah pohon zaitun, dekat anak sungai."
"Aku akan datang."
Ketika malam tiba, orang-orang pergi menuju kamar makan, mereka dapat menikmati
hidangan istimewa. Kedua kepala suku pun hadir juga, tetapi pangeran tiada
tampak di situ. Ia telah menyelinap ke tempat pertemuan di bawah pohon zaitun.
Di dekatnya mengalir anak sungai. Pada waktu yang telah ditentukan datanglah
gadis Indian itu. Pangeran menyilahkan duduk. Gadis itu diam saja.
"Ada apa dengan kau, Karja?" tegurnya. "Sudah tidak menghiraukan aku lagi?"
"Aku masih cinta, meskipun sebenarnya kau tidak patut mendapat perhatianku
lagi," jawabnya. "Tidak gembirakah hatimu mendengar, aku telah selamat?"
"Ah. Mengapa kau berpikir demikian?"
"Kau menghina pahlawan-pahlawan penyelamatku?"
"Tempat mereka di luar, di padang rumput dan bukan di dalam hacienda." Gadis
Indian yang rupawan itu menggelengkan kepala. "Itu bukan perbuatan mulia,
Alfonso!" "Tetapi aku benci sesuatu yang buruk."
"Jadi si Panah Halilintar kau anggap buruk?"
"Si Panah Halilintar" Si pencari jejak" Tidak saya lihat dia!"
"Kau telah melihatnya. Unger itulah dia."
"Ascuas! Kini aku mengerti, mengapa ia menantangku."
"Kau jadi berduel dengannya?"
"Tak terpikir sedikit pun olehku. Ia tidak sederajat denganku."
Gadis Indian itu mencintainya, maka jawabnya, "Aku setuju dengan pendirianmu.
Jangan terima tantangan itu, karena pasti kau kalah."
Tidak menyenangkan, mendengar dari mulut seorang kekasih, bahwa orang lain lebih
gagah perkasa dari diri sendiri. Maka lekas-lekas ditambahkan oleh Alfonso,
"Kau salah. Pernahkah kau saksikan, aku sedang menembak atau berkelahi?"
"Belum." "Nah, kalau begitu kau tak berhak mengemukakan pendapatmu. Seorang pangeran
harus melebihi orang biasa dan juga pemburu semacam itu. Tunggu sampai kau
menjadi permaisuriku dan sempat menyaksikan kesanggupanku."
"Jadi permaisurimu" Aduh, mungkinkah itu" Alfonso, aku sangat cinta kepadamu.
Sungguh, kita akan hidup bahagia."
"Memang, kebahagiaan itu tinggal dipetik saja. Segalanya tergantung kepadamu.
Sudah kau ketahui syarat yang harus dipenuhi."
"Tapi alangkah berat syaratmu itu, karena aku harus mengingkari sumpah-suciku.
Aku harus mengkhianati bangsaku."
"Bodoh, kalau mau diikat sumpah yang diucapkan, ketika kau masih anak kecil
sekali. Sumpah demikian sudah lapuk. Lagi pula bangsamu kini sudah punah.
Bangsaku akan menjadi bangsamu juga. Aku telah bersusah-payah pergi ke mari
untuk mengetahui, benarkah kau masih cinta kepadaku atau tidak. Sayang, bila kau
tidak memenuhi pengharapanku. Maka terpaksa aku pergi seorang diri ke Spanyol."
"Kejam benar kau."
"Bukan kejam. Aku hanya berhati-hati. Cinta yang tidak disertai pengorbanan,
bukanlah cinta yang sesungguhnya!"
"O, tidak!" kata Karja dengan penuh semangat, sambil memeluk kekasihnya. "Kau
tahu, betapa besar cintaku kepadamu. Aku pun mau berkorban."
"Maka buktikan dahulu! Dengarlah! Kita sungguh memerlukan harta karun itu untuk
kepentingan raja baru di tanah airmu yang baru itu. Raja itu akan mengangkatmu
menjadi bangsawan. Itulah jalan supaya kau dapat dinikahkan denganku. Tiadakah
kau bangga menjadi puteri Rodriganda, permaisuriku?"
"Sungguh benar perkataanmu itu?"
"Memang benar. Sudah seribu kali kukatakan hal itu kepadamu."
"Kau mau berjanji, tidak membuka rahasiaku kepada abangku?"
"Abangmu takkan mengetahui, siapa yang mengambil harta itu."
Alfonso senang hati, karena tampaknya gadis Indian itu terjebak ke dalam
perangkapnya. Ia pura-pura mencintai gadis itu, hanya untuk mengetahui tentang
rahasia harta karun itu. "Baik, kalau begitu. Akan kukatakan kepadamu, di mana harta itu dapat kau
temukan. Tetapi dengan syarat, rahasia baru mau kubuka, setelah diadakan
pengumuman tentang pertunangan kita."
"Itu tak mungkin," katanya kecewa. "Kau baru dapat diangkat menjadi bangsawan,
setelah diadakan penyerahan harta itu dan pertunangan kita baru dapat diumumkan
setelah pengangkatanmu sebagai bangsawan. Itulah adat istiadat istana di
negeriku, tidak dapat ditentang."
"Benarkah semua itu?" tanya gadis Indian itu.
Alfonso memeluk gadis itu dengan mesra dan menciumnya. "Memang demikian,
percayalah, Karjaku sayang! Kau kan mengetahui bahwa aku tak dapat hidup
tanpamu! Meskipun sebenarnya kau anak seorang raja, namun kebangsawananmu itu
tidak diakui di negeriku. Menurut ukuran hatiku kau sederajat denganku, namun di
mata dunia tidak demikian. Maka dapatkah kau percayakan rahasiamu kepadaku?"
"Baik, akan kau ketahui rahasia itu," kata Karja, yang makin lama makin lemah
pertahanannya. "Akan tetapi masih harus kau penuhi permintaanku yang remeh ini.
Berikan lebih dahulu sebuah pernyataan tertulis kepadaku, bahwa kau akan
menerima harta karun itu, jika kau mengambil aku sebagai isterimu."
Syarat ini sebenarnya agak berat bagi Alfonso, tetapi setelah hampir tercapai
tujuannya, masihkah harus terhambat oleh tingkah gadis itu" Jangan. Gadis Indian itu takkan sanggup menggunakan sepucuk surat untuk
kepentingannya. Maka ia mengalah saja.
"Boleh Karjaku sayang! Permintaanmu akan kupenuhi dengan segala senang hati.
Jadi, katakan saja, di mana dapat ditemukan harta itu, sayang?"
"Surat pernyataannya lebih dahulu, Alfonso sayang!"
"Baik. Besok sore akan kusiapkan."
"Memakai meterai."
"Baik." "Malam harinya akan kuberitahukan tempat persembunyian itu."
"Mengapa baru malam hari" Surat itu akan kau peroleh sore hari. Bolehkah aku
datang mengunjungimu?"
"Jangan. Aku takut, kalau Emma atau seorang pelayan datang. Mereka dapat
menemukan kita berdua."
"Kau saja datang padaku."
"Masa aku yang datang?" tanyanya ragu-ragu.
"Kau takut?" "Tidak. Aku akan datang."
Kembali dipeluk dan diciumnya Karja, meskipun ia harus memaksakan diri berbuat
demikian. Memang benar ia menyukai gadis-gadis, tetapi gadis Indian tidak sesuai
dengan seleranya. Sedang Alfonso dan Karja duduk-duduk di bawah pohon zaitun, Unger mengantar
Tecalto ke tempat tidurnya di atas rumput. Ia sudah biasa tidur beratap langit.
Sebelum tidur, hendak menghirup udara segar lebih dahulu. Ia duduk di tepi kolam
dahulu, di tengah-tengahnya terdapat sebuah air mancur.
Belum lama ia duduk, ia mendengar jejak kaki perlahan-lahan di atas rumput.
Seorang wanita melangkahkan kaki ke arah air mancur. Ia mengenali Emma, lalu
segera berdiri, supaya jangan disangka mata-mata. Emma melihatnya juga, lalu
agak ragu-ragu. "Senorita, jangan ragu-ragu! Silahkan ke mari," kata Unger. "Aku segera
meninggalkan tempat ini, supaya jangan mengganggu Anda!"
"O, Andakah itu" Kukira, Anda sudah lama tidur."
"Kamar itu agak panas bagi saya; saya masih harus menyesuaikan diri."
"Demikian juga dengan saya, maka saya ke mari."
"Nikmatilah kesegaran malam, tanpa diganggu. Selamat malam, senorita."
Unger hendak pergi, tetapi Emma menahan sambil memegang tangannya.
"Biar Anda tetap di sini, bila Anda kehendaki. Alam indah ini kepunyaan Tuhan
dan cukup luas untuk kita nikmati berdua. Anda sekali-kali tidak mengganggu
saya!" Ia menurut dan duduk di tepi kolam di sisi gadis itu.
Dalam pada itu kepala suku Mixteca membaringkan diri di taman dekat pagar. Ia
menengadah ke langit dan melamun tentang bulan-bulan dan bintang-bintang,
berjuta-juta banyaknya, yang tiada hentinya berputar dan dipuja oleh nenek
moyangnya itu. Meskipun demikian tiap suara yang halus pun tiada luput dari
perhatiannya. Benarkah ia mendengar langkah kaki perlahan-lahan di atas rumput dan suara
berbisik" Ia mengetahui, bahwa pangeran selalu berusaha mendekati adiknya dan
adiknya tidak sanggup mempertahankan diri terhadap rayuan sang pangeran. Maka
curiganya mulai bangkit. Sudah selama satu jam pangeran maupun Karja tiada
nampak di hacienda. Mungkin mereka diam-diam mengadakan pertemuan di taman" Itu
harus diselidikinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memanjat pagar secara lincah, seperti biasa
dilakukan oleh seorang Indian. Kemudian ia meniarap di atas rumput dan
menyelinap, tanpa mengeluarkan suara, sehingga sampai tiada tertangkap oleh
pendengaran Unger yang sudah terlatih. Maka orang Indian itu dapat mencapai tepi
seberang kolam dan mendengar tiap-tiap kata yang diucapkan oleh kedua orang itu.
"Senor, saya sebenarnya harus marah kepada Anda," kata Emma. "Anda telah
menyebabkan saya ketakutan tadi."
"Berhubung dengan kuda itu" Ya, Anda merasa ketakutan tanpa alasan. Saya pernah
menjinakkan kuda-kuda sekurang-kurangnya sama liar dengan kuda itu. Lihat saja,
kuda hitam itu sekarang sudah jinak sekali, sampai seorang wanita pun dapat
menungganginya." "Tetapi masih ada baiknya, kejadian siang tadi. Anda terpaksa melepaskan
incognito Anda. Anda tak dapat pura-pura bodoh lagi."
"Bukan pura-pura bodoh," katanya sambil tertawa. "Itu hanya kebiasaan saya untuk
berhati-hati. Justru karena orang menganggap saya pemburu biasa, saya sering
dapat memperoleh keuntungan."
"Tetapi kepada saya hal itu tidak perlu disembunyikan, bukan" Rahasia yang jauh
lebih besar, sudah Anda percayakan kepada saya."
"Rahasia itu sebenarnya tidak ada harganya bagi saya. Gua, yang berisi harta
karun itu, besar kemungkinan tidak akan saya temukan, meskipun saya ada di
dekatnya." "Mengapa demikian?"
"Keadaan tanah, pegunungan dan sungai di daerah sekitar saya, telah saya
selidiki. Daerah terakhir yang kita lalui, sesuai benar dengan peta saya."
"Jadi ada harapan, Anda dapat menemukan harta itu dengan bantuan peta Anda."
"Benar, tetapi saya rasa, tidak dapat melanjutkan penyelidikan itu. Saya ragu-
ragu, apakah saya mempunyai hak untuk mengambil harta itu."
"Saya kira, Anda mempunyai hak, bila Anda dapat menemukannya. Meskipun saya
tidak melebih-lebihkan keuntungan memiliki harta itu, namun sudah pasti dengan
memilikinya, Anda dapat memenuhi berbagai keinginan dalam hidup Anda. Beribu-
ribu orang ingin kekayaan demikian. Maka carilah, senor. Anda akan
menemukannya!" "Benar, harta itu membuat kita berkuasa," katanya sambil termenung. "Di negeri
saya, ada seorang saudara yang miskin. Saya dapat membuatnya bahagia dengan
harta itu. Tetapi harta itu sudah ada pemiliknya. Tentu keturunan raja-raja itu
berhak memilikinya."
"Dari siapa Anda memperoleh peta itu?"
"Dari seorang Indian, seperti sudah saya katakan. Ia luka dan meninggal, sebelum
ia dapat memberi keterangan-keterangan yang diperlukan secara lisan."
"Namanya tidak tertera?"
"Tidak. Di sudut tertera sebuah lambang aneh. Baik, saya mengambil keputusan
akan tetap mencarinya. Tetapi bila saya menemukannya, saya tak akan
menyentuhnya, sebelum saya dapat bertemu dengan pemilik yang sah."
"Senor, Anda benar-benar seorang yang berbudi luhur."
"Saya hanya mendengarkan kata hati, tak mau mengerjakan sesuatu yang tidak
adil." "Saudara Anda itu miskin?"
"Benar. Ia seorang pelaut dan ia selalu bergantung pada orang lain, kalau tak
ada bantuan dari luar. Saya sendiri hanya memiliki sedikit uang dari hasil
perburuan." "Milik Anda pasti lebih besar. Saya tidak percaya, seorang seperti Panah
Halilintar, tidak memiliki harta lebih banyak. Maksud saya, harta lain dari
emas."

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang saya kenal harta demikian. Harta tak ternilai besarnya. Bila saya
memiliki seratus kehidupan, semua rela saya abdikan kepadanya."
"Bolehkah saya mengetahui, harta apakah yang Anda maksud gerangan?"
Lalu suara Unger berubah menjadi terharu sekali, ketika ia membisikkan,
"Andalah harta itu."
"Saya percaya kepada perkataan Anda," kata gadis itu secara sederhana. "Saya
beranggapan, bahwa hati manusia harus kita nilai lebih tinggi dari harta benda.
Ingin saya sampaikan juga, bahwa saya pun mengenal harta rohani yang tak
ternilai harganya." Unger, ketika mendengar ini merasa gembira, karena menduga sesuatu, yang sampai
sekarang belum berani diharapkannya.
"Harta apakah yang Anda maksudkan, senorita?"
"Andalah - tidak, saya salah - kaulah harta itu, Antonio!"
Dengan mengucap kata-kata itu didekapnya Unger dan dilekatkan kepalanya pada
dadanya. "Sungguhkah demikian, mungkinkah demikian?" tanyanya.
"Sungguh. Pertama kali aku melihatmu, ketika melepaskan belengguku, kemudian
mengangkatku ke atas kuda, aku mengagumimu, aku cinta padamu. Kini aku milikmu.
Mulai sekarang setiap saat dalam hidupku kuabdikan kepadamu."
Maka ia pun membalas memeluk gadis itu dan berbisik,
"Alangkah bahagia aku! Hampir-hampir tidak dapat dipercaya, bahwa nasib yang
begitu baik menimpa seorang pemburu miskin."
Mereka masih berpelukan beberapa waktu lamanya dan tidak mendengar, bahwa di
tepi seberang ada sesuatu yang bergerak.
Itulah si Kepala Banteng, sedang menyelinap kembali ke tempat tidur.
Keesokan harinya, ketika Unger baru bangun, haciendero sudah masuk ke dalam
kamarnya, memberi salam pagi. Dalam waktu singkat dalam perkenalan mereka
haciendero sudah menaruh simpati yang besar pada tamunya.
"Saya datang dengan sebuah permintaan," katanya.
"Akan saya kabulkan, bila mungkin," jawab Unger.
"Sampai sekarang Anda belum sempat memikirkan pakaian Anda. Saya menganggap, itu
sudah perlu ditukar dengan yang baru dan boleh saya katakan saya mempunyai
persediaan cukup dalam bidang itu. Jika Anda mau, harga-harga yang saya pasang,
sangat murah." Unger menangkap maksud baik tuan rumah, namun di satu pihak ia tidak mau
menyinggung perasaan dan di pihak lain ia pun sadar, bahwa baju perburuannya
sudah sangat tidak layak. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baik, saya terima
tawaran Anda, senor Arbellez, tetapi dengan satu syarat, yaitu bahwa harganya
janganlah terlalu tinggi, sebab saya hanyalah seorang miskin."
"Hm. Sedikit harus dibayar juga, meskipun soal pembayaran tidak perlu dilakukan
segera. Mari, senor, akan kuperlihatkan persediaanku!"
Ketika Unger sejam kemudian berdiri di muka sebuah cermin, dirinya hampir-hampir
tak dapat dikenali lagi. Ia memakai celana Meksiko, bersulamkan benang emas dan
terbuka sedikit jahitan di bawahnya; sepatu bot ringan berpacu besar-besar;
kemeja putih bersih dan baju luar pendek yang terbuka bagian depannya serta
dihiasi dengan uang emas dan perak. Di atas kepala dipakainya topi sombrero
bertepi lebar dan pinggangnya berlilitkan selendang sutera Cina yang sangat
halus. Rambutnya dipangkas dan janggutnya digunting rapih-rapih. Hampir-hampir
ia tak dapat mengenali dirinya kembali dalam pakaian yang indah dan mewah.
Ketika ia masuk ke dalam kamar makan untuk makan pagi, dijumpainya Emma di situ.
Gadis itu merah mukanya, ketika dilihatnya, betapa banyak perubahan yang terjadi
atas diri Unger. Karja baru sekarang dapat melihat, betapa gagahnya orang kulit
putih itu. Barangkali ia membanding-bandingkan dengan pangeran. Kedua kepala
suku Indian pura-pura tidak melihat perubahan itu.
Hanya seorang menjadi kesal sekali. Orang itulah pangeran. Ia sedang gembira,
mengingat harta karun akan jatuh ke dalam tangannya. Ketika ia masuk ke ruang
makan untuk makan pagi, demi dilihatnya Unger menjadi pusat perhatian, ingin
sekali ia langsung meninggalkan ruang itu. Apalagi ketika dilihatnya Emma asyik
berbicara dengannya. Pangeran menggertakkan giginya dan mengambil keputusan,
diam-diam hendak mencelakakannya.
Selesai makan pagi, Emma minta kepada Unger dan ayahnya, supaya jangan
meninggalkan ruangan dahulu. Unger sama sekali tidak menduga, apa yang
dikehendaki gadis itu. Tetapi ketika mereka hanya bertiga, maka gadis cantik itu
menarik ayahnya, lalu berkata, "Ayah, bukankah kemarin kita berunding untuk
menentukan, bagaimana sebaiknya kita dapat membalas budi senor Unger?"
"Memang," katanya, "namun kita tak dapat menemukan caranya."
"Kemudian saya terus memikirkan hal itu," kata gadis itu. "Dan akhirnya saya
menemukan cara paling tepat. Mau ayah melihatnya?"
"Tentu saja, nak!"
Maka Emma menghampiri Unger, lalu menciumnya. "Inilah cara yang saya maksudkan,
ayah, dan saya kira, ia patut menerima."
Mata haciendero bercahaya dan berlinang-linang. "Apakah senor Unger juga
berkenan dengan hadiah itu?"
"Saya bergembira, ayah, karena tahu, bahwa Antonio mencintaiku."
"Sudahkah ia mengatakan sendiri?"
"Sudah!" katanya dengan air mata berlinang.
"Bilamana?" "Semalam. Di taman. Tapi ayah, perlukah Anda mengetahui semua" Tidak cukupkan
Anda mengetahui, bahwa saya sedang bahagia?"
"Memang, itu sudah cukup, meskipun harus kukatakan bahwa kamu telah membuatku
bahagia juga. Dan bagaimana dengan Anda, senor Unger, benarkah Anda rela menjadi
menantu seorang yang sudah tua dan sederhana?"
"Saya merasa bahagia sekali!" jawabnya. "Tetapi saya ini hanya seorang miskin."
"Tidak apa. Justru saya menjadi lebih kaya lagi oleh karena itu. Semoga Tuhan
memberkati kita semua dan menjadikan hari ini permulaan dari kehidupan yang
bahagia!" Mereka saling memeluk dalam keadaan yang penuh bahagia, ketika pintu terbuka dan
pangeran masuk ke dalam. Ia berdiri terpaku. Segera diketahuinya, apa yang sebenarnya terjadi dan ia
menjadi pucat karena berangnya.
"Saya merasa, bahwa saya mengganggu!" katanya.
"Jangan pergi dahulu, dengarlah tentang pertunangan puteri saya dengan senor
Unger!" kata haciendero. "Saya ucapkan selamat!"
Setelah mengucapkan perkataan itu, dengan amarah yang tertekan, ia meninggalkan
ruangan. Pedro Arbellez tidak tanggung-tanggung mengumumkan kepada para
pegawainya, bahwa hari itu menjadi hari libur berhubung dengan perayaan
pertunangan senorita Emma. Hacienda dengan daerah sekitarnya menjadi ramai.
Gegap gempita terdengar tempik sorak kaum vaquero serta orang-orang Indian,
pekerja hacienda. Semua sayang kepada majikannya. Mereka pun mengenal senor
Unger sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa, maka sangat rela menganggap
sebagai tunangan gadis, puteri majikannya itu.
Ketika Unger hendak pergi ke padang rumput, dijumpainya kepala suku Mixteca.
"Kau seorang yang gagah berani," kata kepala suku itu. "Kau menaklukkan lawanmu
serta merebut hati gadis tercantik di negeri ini. Semoga Manitou memberkatimu!"
"Benarlah, aku telah mendapat rezeki besar," jawab si kulit putih. "Aku pemburu
miskin, tiba-tiba menjadi seorang haciendero yang kaya raya."
"Kau tidak miskin, kau kaya!"
"Bagaimana dapat dikatakan kaya," kata Unger sambil tertawa, "tidurku beratap
langit, berselimut embun."
"Tidak," kata orang Indian itu sungguh-sungguh. "Kau benar-benar kaya. Bukankah
kau mempunyai peta tentang harta karun?"
Orang kulit putih itu melangkah ke belakang, terheran-heran.
"Dari mana kau ketahui?"
"Aku mengetahui! Bolehkah aku melihat petanya?"
"Boleh. Ikut saja aku!" Unger mengantarkan orang Indian itu ke kamarnya, lalu
membentangkan secarik kertas yang agak kumal di hadapannya. Tecalto melayangkan
pandangnya ke arah sudut peta itu.
"Benarlah. Ini lambang Toxertes, ayah dari ayahku. Ia harus meninggalkan
tanahnya dan tidak kembali lagi. Kau tidak miskin. Maukah kau melihat gua yang
berisi harta karun itu?"
"Dapatkah kau tunjukkan kepadaku?"
"Dapat." "Milik siapakah harta itu?"
"Milikku dengan Karja. Kami adalah sisa dari keturunan raja-raja Mixteca.
Sukakah kutunjukkan jalannya?"
"Suka." "Bersiaplah menjelang tengah malam. Perjalanan hanya dapat ditempuh pada malam
hari. Tak boleh diketahui orang. Hanya wanita yang kau cintai boleh
mengetahuinya. Karena ia sudah mengetahui bahwa kau sedang mencari harta itu."
"Aneh. Dari mana dapat kau ketahui?"
"Aku telah mendengar tiap-tiap kata, yang kau ucapkan semalam di taman. Kau
memiliki peta itu, namun tidak mau mengambil harta. Kau ingin bertemu lebih
dahulu dengan pemilik yang sah. Kau seorang yang jujur, jarang bersua pada orang
kulit putih lainnya. Karena itu kau akan diberi kesempatan melihat harta itu."
Sejam kemudian, pada waktu makan siang, ketika orang-orang masih bercakap-cakap
sehabis makan, gadis Indian itu menyelinap ke kamar pangeran.
"Sudahkah kau siapkan suratnya?"
"Dapatkah kau membaca?"
"Dapat," jawab gadis itu bangga.
"Inilah suratnya!"
Alfonso memberi Karja selembar kertas, yang berisi tulisan seperti berikut:
"Dengan ini saya menyatakan, bahwa telah menerima harta raja-raja Mixteca, saya
menganggap diriku sebagai tunangan Karja, ahli waris raja-raja itu, lalu hendak
membawanya sebagai isteri ke tanah air saya.
Alfonso Pangeran de Rodriganda y Sevilla."
"Cukupkah demikian?" tanyanya.
"Perkataannya benar, hanya masih belum ada materainya."
"Itu tidak perlu."
"Kau telah berjanji kepadaku."
"Baik, meterai itu akan kau dapat," katanya dengan menyembunyikan kekesalan
hatinya. Alfonso membubuhkan capnya di bawah surat itu.
"Ini, Karjaku! Sekarang pegang juga janjimu!"
"Akan kupegang janjiku. Tahu kau letak gunung El Reparo?"
"Saya tahu. Letaknya empat jam perjalanan dari sini ke arah barat."
"Bentuknya menyerupai bendungan yang memanjang, tempat keluarnya tiga anak
sungai. Anak sungai di tengahlah, yang harus kau perhatikan. Permulaannya bukan
suatu mata air. Anak sungai itu keluar dari dalam tanah, sudah sebagai sungai
yang lebar. Kau dapat mengarungi air itu dengan membungkuk di tempat air itu
keluar dari gunung. Bila tempat itu kau masuki, kau akan tiba dalam gua."
"O, mudah kalau begitu."
"Memang mudah."
"Apakah diperlukan juga penerangan?"
"Di sebelah kanan ruang masuk itu akan kau temukan beberapa batang obor."
"Sudah semua yang hendak kau beritahukan kepadaku?"
"Sudah semua." "Benarkah harta itu dapat ditemukan di situ?"
"Seluruh harta selengkapnya."
"Terima kasih, Karjaku sayang! Kini kau sudah menjadi tunanganku dan tak lama
lagi kau akan menjadi isteriku. Tetapi lekas pergi sekarang! Orang dapat
menemukan kita berdua."
Karja pergi. Ia telah berkorban dan korban itu menekan berat kepada jiwanya. Ia
harus menghadiri pesta pertunangan hari itu, tetapi sebenarnya hatinya merasa
sedih. Pangeran tetap tinggal dalam kamar. Siang hari datanglah seorang pengantar surat
dari ibu kota Meksiko. Surat itu dialamatkan kepadanya pribadi. Setelah surat
itu dibaca, ia melamun sejenak, kemudian melompat dan berkata dalam hati,
"Mungkin merupakan suatu kejahatan. Peduli apa! Aku setuju, karena akan
mendatangkan mahkota pangeran bagiku. Untunglah aku sudah siap untuk berangkat.
Akan kubawa kekayaan, akan menjadi bahan iri hati raja-raja di dunia."
Surat itu berbunyi demikian:
"Keponakanku yang baik!
Ayahmu telah menulis surat. Surat itu diterima delapan hari setelah kepergianmu.
Engkau harus berangkat ke Spanyol, ke istana keluarga Rodriganda. Akan tetapi,
pangeran Fernando yang sudah tua sudah meninggal lebih dahulu. Kapten Landola
sementara itu akan berangkat ke Vera Cruz.
Pamanmu Pablo Cortejo." BAB III HARTA KARUN RAJA-RAJA Perayaan berlangsung, tanpa mendapat gangguan sesuatu, terutama karena pangeran
tidak menampakkan diri. Kini ia sudah tahu rahasianya. Ia menyuruh kedua pelayannya mengemasi barang-
barangnya. Setelah makan malam, diberitahukannya kepada Arbellez, bahwa ia akan
berangkat malam itu. Meskipun perbuatan itu tampak ganjil, namun Arbellez tidak
menanyakan sebabnya atau berusaha menghalang-halangi. Ketika Alfonso kemudian
meninggalkan rumah, dijumpainya Karja, sudah menanti di taman beberapa waktu
lamanya. Karena sudah yakin tujuannya akan berhasil, ia berbuat bodoh dengan
mengatakan kepada Karja, "Tadi telah kuberitahukan pada Arbellez, bahwa aku akan berangkat."
"Ke mana?" tanya gadis itu.
"Ke ibu kota." "Dan bagaimana dengan hartanya?"
"Itu akan kuambil lebih dahulu. Mungkin hanya sebagian dahulu. Pelayanku siap
sedia dengan kudanya dan akan pergi ke gunung El Reparo, untuk menggali harta
tersebut. Dari situ aku langsung pergi ke Meksiko."
"Bilamana kau kembali lagi?"
"Entahlah." "Kau jemput aku di sini?"
"Baru setelah rencanaku benar-benar selesai." Perkataan itu diucapkan dengan
nada agak menyindir. Gadis Indian itu mulai menyadari, bahwa ia sedang
dipermainkan. "Bila kau tidak kembali, saya akan mencarimu di ibu kota," katanya.
"Janganlah berbuat demikian. Kau tinggal menantikan kedatanganku kembali di
sini!" kata pangeran dengan sombong.
"Kau berani menegurku dengan nada sombong itu" Kukira, seorang pangeran tidak
layak memperlakukan calon isterinya sedemikian rupa."
"Harus kau cari kesalahan pada dirimu sendiri. Bila kau datang dengan permintaan
yang aneh-aneh, maka kau tak layak dapat kubawa ke dalam kalanganku."
Gadis itu terkejut dan berkata terbata-bata, "Kurasa kau mempermainkanku! Kau
pandai berpura-pura, hanya untuk mendapatkan harta itu."
"Seorang pangeran tidak dapat berbohong, soalnya, aku hanya lebih cerdik
daripadamu. Harta itu sudah menjadi milikku dan kau harus tunduk pada
peraturanku. Bila kau tak mau, terserahlah. Aku tidak merasa terikat lagi oleh
perjanjian kita." Karja memekik. Pangeran terkejut dan menyesal atas perbuatan bodoh itu. Ia mendengar bunyi
langkah kaki di lorong. Kesombongannya berubah menjadi rasa sangat ketakutan.
Cepat ia melarikan diri ke tempat pelayannya sedang menanti.
Karja berjalan terhuyung-huyung, masuk ke dalam rumah dan langsung jatuh pingsan
di dalam tangan Arbellez. Arbellez membawanya ke dalam kamar.
Tidak lama kemudian berduyun-duyunlah orang masuk ke dalam rumah. Mula-mula tak
ada yang mengetahui, bahwa orang kulit putih dengan si Kepala Banteng tidak
hadir di situ. Emma berlutut di sisi gadis pingsan itu.
Kemudian Karja membuka mata, melepaskan diri dari pegangan kawannya, lalu
bangkit. Dengan muka merah padam, ia berseru sekuat suaranya. "Uf, siapa mau
ikut aku untuk menangkap dan membunuh pangeran, karena ia seorang penipu dan
pengkhianat. Ia bermaksud mencuri harta raja-raja dan ia telah pergi bersama dua
orang pelayan ke gunung El Reparo."
"Masya Allah!" kata Emma. "Senor Unger telah pergi juga dengan Tecalto ke situ.
Sebenarnya harus kurahasiakan, tetapi apa boleh buat! Keadaan memaksa!"
"Maka mereka dalam bahaya!" seru gadis Indian itu. "Pangeran akan menemukan
senor Unger dan abangku di situ dan akan membunuh mereka. Senor Arbellez,
tiuplah serunai tanda ada bahaya! Kumpulkan semua vaquero dan cibolero! Mereka
harus ke gua-gua harta raja-raja untuk menyelamatkan kedua orang itu."
Kini terdengar bunyi hiruk-pikuk orang bertanya dan menjawab. Hanya orang Apache
itu tetap tenang saja. Ia sedang memperhatikan Karja. Alangkah cantik gadis itu,
ketika meluap-luap amarahnya. Perangai wanita Indian sejati! Maka berkatalah ia,
"Siapa tahu, di mana letak gua itu?"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya," jawab Karja. "Saya dapat menunjukkan pada Anda jalan ke situ."
"Dapatkah dicapai dengan naik kuda?"
"Dapat." "Biar gadis itu dengan seorang vaquero menemani saya! Lebih dari itu tidak saya
perlukan. Karena lawan kita hanyalah tiga orang."
"Saya pun turut!" kata Arbellez.
"Jangan!" kata orang Apache itu tegas. "Kalau Anda pergi, siapa yang mengatur
hacienda" Berikan saya seorang saja. Yang lain perlu menjaga hacienda. Itulah
yang sebaiknya." Itu pun yang dikerjakan mereka. Arbellez pergi dan tak lama kemudian vaquero
yang diperlukan tiba. Karja menaiki kuda, lalu mereka berangkat. Suasana hiruk
pikuk yang baru lalu menyebabkan keberangkatan agak terlambat.
Beberapa jam sebelumnya, selesai perayaan pesta pertunangan, orang-orang sudah
menuju ke tempat tidurnya, pergilah si Kepala Banteng ke kamar Unger.
"Sudah siap?" Kepala Banteng bertanya.
"Sudah." "Mari kita berangkat!"
Unger mengambil senjata dan mengikuti orang Indian itu. Di bawah, tiga ekor kuda
sudah siap, dua ekor berpelana dan seekor lagi berpelana pembawa beban.
"Apa maksud Anda dengan kuda itu?" tanya Unger sambil menunjuk ke arah kuda
beban itu. "Telah kukatakan, bahwa kau bukan seorang miskin. Kau tidak mau mencuri harta
ini. Karena itu kau diizinkan, membawa pulang sebagian harta itu, sebanyak yang
dapat diangkut oleh seekor kuda."
"Apa-apaan!" seru Unger terkejut.
"Jangan bantah, lekaslah, ikut aku."
Orang Indian itu naik ke atas kudanya, memegang tali kekang kuda beban itu, lalu
pergi. Pemburu itu mengikutinya. Hari gelap gulita, tetapi orang Indian itu
mengenal jalannya dan kuda Meksiko separuh liar itu matanya setajam kucing dalam
gelap. Mereka tidak dapat maju pesat, karena harus menempuh jalan pegunungan,
yang hampir tidak dapat dilalui.
Si Kepala Banteng tidak berkata sepatah kata pun. Malam itu sunyi sepi. Tak ada
suara lain yang terdengar selain bunyi dengus kuda. Sejam berlalu, sejam lagi
dan sejam lagi. Kemudian terdengar desir air. Mereka tiba pada suatu anak sungai
dan menelusurinya. Sekonyong-konyong mereka melihat sebuah punggung gunung di
hadapannya. Di kaki gunung orang Indian itu turun dari atas kudanya.
"Kita akan menunggu di sini sampai hari menjadi siang," katanya.
Unger turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya memakan rumput dan duduk di
atas sebuah batu besar di sisi Kepala Banteng.
"Sudah dekatkah gua itu?" tanyanya.
"Sudah. Di tempat air keluar dari pegunungan. Kau harus masuk ke dalam air,
membungkukkan badan dan merangkak ke dalam lubang. Kau akan tiba di gua itu. Tak
seorang pun mengetahui tentang besar dan berapa jumlah cabang-cabang gua itu,
kecuali Kepala Banteng dan Karja."
Unger ingat perkataan Emma yang berhubungan dengan hal itu, lalu katanya, "Akan
tetapi seorang yang ingin mengetahui rahasia itu dari Karja. Ialah pangeran
Alfonso." "Uf! Kita harus hati-hati!"
"Kau kawanku, harus kau ketahui, bahwa adikmu menaruh cinta kepada orang Spanyol
itu." "Aku sudah mengetahui."
"Tapi bila ia membuka rahasia itu kepadanya?"
"Dalam hal itu Kepala Banteng masih ada. Orang kulit putih itu tak akan mendapat
bahagian sedikitpun juga dari harta itu."
"Besarkah harta itu?"
"Kau akan melihatnya sendiri. Semua emas di Meksiko dikumpulkan menjadi satu,
masih belum sepersepuluh bagian dari harta itu. Hanya seorang kulit putih
berhasil menyaksikan harta itu dan..."
"Kau telah membunuhnya?"
"Tidak. Ia tidak perlu dibunuh, karena ia menjadi gila, setelah melihat harta
itu, dan karena kegembiraan yang amat besar. Orang kulit putih itu tidak dapat
menahan diri, melihat harta terkumpul sebanyak itu. Hanya orang Indian yang
tahan." "Dan kau hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadaku juga?"
"Tidak, aku hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadamu, karena
aku sayang kepadamu. Aku tak ingin melihatmu menjadi gila juga. Coba boleh aku
periksa nadimu?" Orang Indian itu memegang tangan Unger, lalu meraba nadinya. Kemudian ia
berkata, "Benar, kau orang kuat. Jiwamu masih belum terpengaruh emas itu. Tetapi bila kau
sudah masuk gua itu, darahmu akan berdesir seperti air terjun dari batu karang
itu." Percakapan itu terhentilah. Orang kulit putih itu dihinggapi perasaan aneh. Kini
langit mulai menampakkan warna. Cahaya sayup-sayup di timur mulai bertambah
terang. Tak lama kemudian makin jelas kelihatan benda-benda di sekitarnya.
Unger melihat di hadapannya gunung El Reparo. Lerengnya penuh pohon eik. Di kaki
gunung keluarlah sebuah anak sungai dari dalam batu-batunya. Anak sungai itu
lebar satu meter dan dalam satu setengah meter.
"Itukah jalan masuknya?" tanyanya.
"Benar," jawab si Kepala Banteng. "Tetapi kita belum akan masuk. Kita harus
menyembunyikan kuda-kuda kita. Orang yang harus menjaga harta harus berlaku
hati-hati." Mereka menyembunyikan kuda di balik semak-semak.
Kemudian mereka kembali ke anak sungai, lalu menghapus jejak kaki mereka,
seperti biasa dilakukan orang Indian. Akhirnya mereka sampai pada batu karang,
tempat air itu keluar melalui suatu lubang.
"Mari!" kata si Kepala Banteng, lalu masuk ke dalam air; di antara permukaan air
dengan batu karang terdapat ruang kosong, sehingga mereka dapat mengangkat
kepala ke atas air. Selama beberapa waktu mereka harus mengarungi air, kemudian
tiba dalam ruangan gelap. Udara di situ kering, meskipun ada anak sungai.
"Coba lihat tanganmu!" perintah orang Indian itu, lalu mengantar pemburu itu ke
tempat kering. Kemudian dirasakan lagi denyut nadinya.
"Jantungmu kuat!" katanya, "aku akan menyalakan obor."
Ia menjauh beberapa langkah dari Unger. Tak lama kemudian tampak kilatan api di
udara, diikuti oleh bunyi desis lalu sebatang obor mulai menyala.
Tetapi apa yang terjadi" Bukan hanya sebatang, melainkan tampak seperti beribu-
ribu batang menyala serentak. Unger merasa seperti di tengah-tengah matahari,
cahayanya menyilaukan mata. Sedang menghadapi pancaran cahaya terang benderang
itu, terdengar suara orang Indian itu berkata,
"Inilah gua dengan harta raja-raja! Kuatkan imanmu!"
Beberapa saat berlalu, sebelum mata Unger dapat membiasakan diri dengan keadaan
cemerlang ini. Gua itu berbentuk bujur sangkar tinggi, panjang dan lebarnya kira-kira enam
puluh langkah kaki dan dilalui anak sungai itu. Anak sungai itu permukaannya
ditutup dengan plat-plat batu. Ruang itu dari lantai dasar sampai ke langit-
langit yang lengkung, penuh berisi barang perhiasan yang tak ternilai harganya,
cahaya yang menyilaukan itu dapat menggoncangkan iman, biar berapa teguh
sekalipun. Terdapat berhala-berhala bertahtakan ratna mutu manikam, terutama yang
melambangkan dewa udara Quetzalcoatl, dewa pencipta Tetzkatlipoka, dewa perang
Huitzilopochtli dengan isterinya dewi Teoyaniqui, serta berhala saudaranya
Tlakahuepankuexkotzin. Selanjutnya berhala dewi air Chalcuikueja, dewi api
Ixcozauhqui dan dewa anggur Cenzontotochtin. Beratus-ratus dewa rumah terdapat
di atas rak-rak; patung-patung demikian terbuat dari logam mulia atau diasah
dari batu kristal. Di antaranya terdapat bermacam-macam alat perang emas, pot-
pot emas dan perak, perhiasan bertahtakan intan, pisau untuk memotong kurban,
pucuknya bertatahkan batu berkilauan. Pucuk pisau itu sendiri sudah tidak
ternilai harganya. Perisai dari kulit binatang berlapis emas tempa. Di tengah
langit-langit tergantung sesuatu bagaikan lampu hias yang menakjubkan. Sebuah
mahkota raja berbentuk mahkota seperti sebuah pici, terbuat dari benang emas
kasar bertatahkan intan. Selanjutnya tampak kantong-kantong penuh dengan pasir-
emas dan serbuk-emas, peti-peti berisi butir-butir emas sebesar kacang hijau
sampai sebesar telur burung merpati. Terlihat juga bungkah-bungkah perak murni,
keluar dari urat-urat di dalam tanah. Di atas meja-meja besar terdapat contoh
berbagai bangunan, seperti kuil Meksiko, Cholula dan Teotihuakan, tak perlu lagi
disebut barang-barang mosaik indah memakai bahan kulit kerang, emas, perak, batu
mulia serta mutiara, yang berserakan terhampar di atas tanah.
Melihat harta sebanyak ini orang kulit putih itu mabuk. Ia merasa seperti
seorang pangeran dalam dongeng Seribu-Satu-Malam. Ia berusaha sekuat tenaga,
supaya tetap tenang, namun tanpa hasil. Unger merasa berdebar-debar, intan yang
besar-besar itu tampak seolah-olah berpusing di hadapan matanya. Ia benar-benar
mabuk. Ia pun menyadari bahwa kekayaan sebesar itu dapat mendatangkan pengaruh
buruk bagi kita. Sehingga kita terdorong oleh keserakahan, akhirnya dapat
melakukan perbuatan jahat yang sekeji-kejinya.
"Inilah gua harta raja-raja," demikian orang Indian itu mengulangi perkataannya.
"Dan harta ini hanyalah aku dan Karja pemiliknya, keturunan terakhir dari raja-
raja Mixteca." "Maka kau lebih kaya dari raja-raja lain di dunia ini!" kata Unger menyatakan
kekagumannya. "Kau salah! Aku sebenarnya lebih miskin dari kau dan siapapun juga. Atau
perlukah kau iri hati kepada keturunan raja-raja, yang sudah tak berkuasa dan
kerajaannya sudah hancur menjadi puing" Para prajurit, pemakai perkakas perang
ini, dihormati oleh rakyatnya. Sepatah kata yang mereka ucapkan dapat menentukan
hidup atau mati. Harta mereka masih utuh, akan tetapi kuburan, tempat menaruh
tulang-tulang mereka, sudah dirusak oleh orang kulit putih. Abu jenazah mereka
berserakan ditiup angin. Cucu-cucu mereka mengembara di hutan-hutan serta padang
prairi. Pekerjaannya memburu banteng. Kemudian datang orang kulit putih. Ia pun
dusta dan penipu, ia memerangi serta membunuh bangsaku, hanya untuk memperoleh
harta ini. Tanah sudah menjadi kepunyaannya, tetapi orang Indian sudah
menyingkirkan harta ke tempat yang gelap di bawah tanah, agar tidak terjamah
oleh tangan perampok. Namun kau ternyata tidak seperti yang lain, hatimu tidak
mengenal kejahatan. Kau telah menyelamatkan adikku dari tangan kaum Comanche.
Kau adalah saudaraku. Karena itu kau boleh membawa pulang sebagian harta,
sebanyak yang dapat diangkut oleh seekor kuda. Tetapi dua jenis yang boleh kau
miliki. Lihatlah bungkah-bungkah emas ini, lalu barang-barang perhiasan seperti
cincin, rantai, gelang dan lain-lain. Pilih mana yang kau sukai. Akan tetapi
benda-benda lain adalah benda suci. Benda-benda itu tidak boleh kena cahaya
matahari, matahari yang telah menyaksikan tenggelamnya bangsa Mixteca."
Jodoh Rajawali 18 Goosebumps - Ksatria Hantu Rahasia Kunci Wasiat 1
^