Pencarian

Puri Rodriganda 4

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 4


Rodriganda bukan hanya untuk memperoleh warisan besar yang kelak akan menjadi
bagianmu dan yang hanya kau peroleh berkat usaha dari ayah dan aku, tetapi masih
ada satu sebab lagi, yaitu aku benar-benar cinta kepadamu."
"Apa" Cinta?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Agak lucu juga. Boleh
saja! Aku tiada keberatan dicintai."
Ketika Josefa mengerti, curahan isi hatinya sudah menjadi bahan tertawaan, ia
menggertakkan gigi menahan diri, jangan sampai menerkam orang yang menghinanya
dan mengoyak mukanya dengan kukunya yang tajam itu.
"Kau mengetahui, bahwa cinta jangan hanya datang dari sepihak. Maka kuharap kau
mau membalas cintaku!"
"Ah! Kau sudah gila barangkali!"
"Alfonso!" kata Josefa dengan suara parau. "Tak dapatkah kau mencintaiku?"
"Tidak, saudara sepupu. Kukira tidak seorang pun di dunia ini akan jatuh cinta
kepadamu." Setiap kata yang diucapkan dirasa gadis itu sebagai tikaman ujung pedang yang
tajam. "Baik, kalau kau tak bersedia mengerti juga!" katanya dengan hati kesal. "Sudah
pernahkah mendengar, bahwa cinta dapat dipaksakan juga" Sungguh-sungguh
dipaksakan?" "Ah, kau mengigau saja."
"Bukanlah igauan, melainkan kenyataan. Aku akan membuktikannya!"
"Aku ingin mengetahui."
"Bila kau tidak bersedia menikah denganku, kau akan kehilangan mahkotamu sebagai
pangeran." Alfonso menjadi agak cemas. Gadis semacam ini dapat berbuat apa pun, bila nekad.
Maka ia menjawab, "Jangan begitu, Josefa! Kau mengetahui, cinta tidak dapat diatur sekehendak hati
kita. Bukan salahku, bahwa aku tidak mencintaimu."
"Namun kau dapat berusaha! Itu keinginanku!" serunya sambil menghentakkan kaki
ke atas tanah. "Sabar, sabar dahulu!" kata Alfonso memperingatkan.
"Aku sudah bersabar bertahun-tahun lamanya. Aku telah menyimpan rasa cinta di
dalam dadaku, sampai akhirnya cinta itu memenuhi serta mengoyak-ngoyak seluruh
hatiku. Yah, hari ini pun aku sudah bersabar, ketika kau melumuri aku dengan
ejekan dan hinaan. Hingga kini aku masih berharap kepadamu. Aku akan merendah
diri dan memohon kepadamu, berusahalah, mencintai aku!"
Josefa menghampirinya dan berusaha memegang tangannya, tetapi Alfonso menjauhkan
tangannya, lalu menjawab,
"Hentikanlah permainan sandiwaramu dan lekaslah pergi ke kamarmu! Maafkan aku,
karena tak dapat memenuhi keinginanmu!"
"Baik," kata Josefa, "bila kau tak membantu, akan kuusahakan dengan tanganku
sendiri. Ayah akan pergi ke Vera Cruz, bukan?"
"Benar. Ia harus mengangkut mayat itu."
"Bilamana ia kembali lagi?"
"Kira-kira seminggu lagi."
"Baik. Aku memberi waktu selama itu. Setelah ayahku kembali, akan kutanyakan
sekali lagi kepadamu. Bila kau masih saja menolak...."
"Aku akan menolaknya, meskipun kau beri waktu lima puluh tahun untuk berpikir."
"Jangan berkata yang bukan-bukan, Alfonso!" kata gadis itu sambil mengancam.
"Kau sudah cukup menghinaku."
"Sudah, pergi sajalah kau!"
"Baik, aku akan pergi! Tapi ingat, berapa lama waktu yang kuberi kepadamu.
Sampai berjumpa lagi!"
"Sampai berjumpa lagi! Kau pun harus ingat, bahwa kau harus melapor lebih
dahulu, bila hendak bicara denganku!"
Josefa pergi dan Alfonso menjatuhkan diri ke atas divan sambil tertawa terus-
menerus. Pikirnya, ia seperti baru menyaksikan suatu pertunjukan yang sangat
lucu. Tiada disadarinya, bahwa yang lucu mudah sekali berubah menjadi sesuatu
yang sedih. Pada malam hari dua orang sedang sibuk di halaman belakang istana. Mereka adalah
Alfonso dan sekretaris. Mereka mengeluarkan beberapa ekor kuda yang diberi
pelana. "Jadi berapa lama perjalanan paman ini?"
"Delapan atau sembilan hari."
"Hati-hatilah, jangan sampai diketahui orang!"
Empat ekor kuda berangkat meninggalkan istana dari pintu belakang, dua ekor kuda
tunggangan dan dua ekor lagi kuda beban. Salah seekor kuda beban mengangkut
bahan makanan dan di atas punggung yang seekor lagi diikatkan sebuah keranjang
panjangnya lebih kurang dua meter.
Rombongan kecil itu menuju kuburan. Sesampai di situ mereka menambatkan kuda
sedangkan mereka sendiri berjalan kaki melalui pintu gerbang yang selalu terbuka
menuju ruang di bawah tanah, khusus disediakan untuk keluarga Rodriganda.
Alfonso membuka pintu, lalu menuruni tangga. Mereka membuka peti mati dalam
gelap gulita. Semua itu dikerjakannya dengan tidak mengeluarkan suara sedikit
pun. Lalu dikeluarkan tubuh orang yang mati semu itu dari peti mati dan
dimasukkannya ke dalam keranjang, tutupnya dikunci erat-erat dengan berbagai
kunci. Kemudian mereka pergi.
Pagi hari Alfonso baru kembali melalui pintu belakang. Ia tidur di kamarnya,
melepas lelah setelah bekerja berat sepanjang malam.
Setelah bangun ia makan pagi dan masuk ke kamar pangeran lama. Ia mulai
membalik-balik surat-surat yang ditinggalkan oleh Don Fernando. Surat pertama
yang dibacanya, ialah sepucuk surat penting yang dibubuhi meterai resmi. Baru
saja dibacanya surat itu, ia melompat dari kursi dengan memaki. Bunyi surat itu
sebagai berikut, "Saya, pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla, dengan ini menerangkan, bahwa
Hacienda del Erina telah disewakan kepada senor Pedro Arbellez dengan
perjanjian, bahwa ia akan menjadi pemilik sepenuhnya daripada hacienda itu bila
pangeran Fernando, tuan tanahnya meninggal dunia. Salinan surat ini dipegang si
penyewa." Kemudian tertera tanggal, meterai dan tanda tangan pangeran serta pejabat-
pejabat pemerintah. "Caramba!" maki Alfonso. "Si tua Arbellez itu sudah sangat cerdik mengamankan
kedudukannya. Dan surat kematian resmi yang kuusahakan itu justru memberi
senjata ke dalam tangannya. Maka sayang, rencana pembalasanku belum dapat
dilaksanakan karena itu. Aku harus mencari kesempatan lain."
Surat itu masih dipegang di tangannya, ketika pintu diketuk orang dan Maria
Hermoyes masuk ke dalam. Alfonso melihat kepadanya dengan muka masam dan
bertanya dengan kasarnya, "Apa yang kau kehendaki, Maria?"
Abdi yang telah lanjut usia itu menarik-narik bajunya dengan malu-malu.
"Yang Mulia, saya - saya mohon diberhentikan dari jabatan saya."
Pangeran palsu itu memandangnya sejenak. Apakah maksud permohonannya ini"
Mungkinkah ia ingin berhenti, supaya lebih bebas mengadakan perlawanan
terhadapnya" Tetapi ketika dilihatnya mata wanita yang jujur itu, dibuangnya
segala rasa curiga terhadapnya. Bahkan ia merasa lebih tenteram, karena wanita
tua yang nampaknya mulai menyusahkan itu, akan pergi atas kemauannya sendiri.
Namun pura-pura ia terkejut, ketika ia menjawab,
"Mengapa" Kau tidak senang lagi tinggal bersama kami?"
"Yang Mulia, usia saya sudah lanjut. Saya takut, kalau-kalau saya kurang pandai
menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang baru ini."
Alfonso hampir tidak dapat menyembunyikan rasa puasnya. Ia boleh tinggal
selamanya di hacienda itu. Makin jauh dari ibu kota makin baik!
"Nah, Maria, kalau engkau sudah yakin benar, maka tak berguna aku menahanmu. Aku
akan memberi pensiun kepadamu, sehingga engkau tidak akan menderita kekurangan.
Kau sungguh akan merasa puas."
Sekali ini Alfonso benar-benar menepati janji. Bahkan karena keinginannya cepat-
cepat bebas dari wanita itu, ia menjanjikan lebih banyak lagi. Ia membekalinya
dengan segala macam barang keperluan dalam perjalanan, seekor kuda tunggang yang
dapat dipercaya dan seorang abdi sebagai pengawal.
Dua hari kemudian Maria Hermoyes meninggalkan rumah, setelah menjadi abdi di
situ selama bertahun-tahun.
Alfonso menggunakan waktu menjelang kembali pamannya untuk membiasakan diri
dengan tata kehidupan baru itu. Ia menerima dan membalas kunjungan orang-orang
dan mendapat simpati dari mereka, karena ia pandai pura-pura sedang diliputi
dukacita. Suatu kali ia menerima surat dari Spanyol, yang mengacaukan seluruh
rencananya, karena memungkinkannya mencapai cita-cita lebih tinggi lagi. Kini ia
menghitung hari hingga Pablo Cortejo kembali. Akhirnya pada hari kedelapan
pamannya kembali dari perjalanan dan pangeran langsung menyuruhnya datang
menghadap kepadanya. "Apa khabar paman?" tanya Alfonso.
"Khabar baik, baik sekali," jawab pamannya.
"Nah, sekarang hatiku lega. Sungguh bukan pekerjaan mudah untuk mengangkut orang
mati semu itu dari sini ke pantai. Berhasil pulakah paman menyelundupkan ke
dalam kapal?" "Benar, kami telah berhasil."
"Aku telah membayar upahnya di Vera Cruz, lalu mengirim mereka kembali ke
kampungnya. Aku mendengar khabar, bahwa engkau harus pergi ke Spanyol!?"
"Benar! Aku telah mendapat surat dari 'ayah' di Spanyol, minta aku langsung
pergi ke Spanyol." "Bolehkah aku membacanya?"
Alfonso mengambil surat itu dari atas meja dan memberikannya kepada Cortejo.
Bunyi surat itu, Rodriganda, 5.10.1874 Alfonso, puteraku yang tercinta!
Sudah kupesan kepada senor Pablo Cortejo untuk memberitahu kepadamu, bahwa aku
sangat mengharap kedatanganmu di Rodriganda. Keadaan mataku makin lama makin
memburuk disebabkan penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan. Aku ingin
mengingatkan padamu tentang kedudukanmu sebagai putera tunggal serta penerus
keluarga kita dan selanjutnya aku menunggu kedatanganmu selekasnya.
Ayahmu Manuel, pangeran Rodriganda y Sevilla.
"Surat itu sangat penting kedengarannya," kata sekretaris. "Dan bagaimana
keputusanmu?" "Aku akan berangkat. Segala persiapan sudah dikerjakan."
"Aku pun memberi nasehat demikian. Usaha kita mulai tampak membaik. Di sini kau
sudah menjadi ahli waris dan di sana pun engkau akan memiliki seluruh daerah
kekuasaan pangeran. Perihal Don Manuel yang akan menjadi buta benar-benar
menguntungkan kita."
"Sudah lama aku hidup dengan cemas, bahwa ia akan melihat persamaanku dengan
ayahku yang sebenarnya," jawab Alfonso. "Tetapi syukurlah kini kecemasan itu
sudah lalu." "Namun harus diusahakan, supaya ia tidak dapat sembuh kembali."
"Tak dapat tidak akan kuusahakan sungguh-sungguh."
"Dan bagaimana dengan Roseta, saudara perempuanmu" Dia tentu akan melihat
persamaan itu." "O, itu sama sekali tidak kukhawatirkan."
"Maka kunasehatkan pada kamu untuk pergi selekasnya. Kepentinganmu di sini akan
kujaga dengan baik," lalu ia melirik kepada keponakannya sambil bertanya,
"tetapi bagaimana dengan Josefa" Kau sudah baik kembali dengannya?"
"Baik kembali?" tanya Alfonso pura-pura tidak mengerti.
"Pernahkah kami bertengkar?"
"Hm, kau akan berpisah dengan kami, sebelum kau berangkat?"
"Tentu saja!" kata Alfonso agak ragu-ragu.
"Baik. Sekarang aku akan melihat Josefa. Aku belum melihatnya setelah aku tiba."
Cortejo pergi ke kamar anak perempuannya. Gadis itu gembira melihat ayahnya
kembali dengan selamat. Namun nampaknya ia sedang murung. "Aku sudah melihat
ayah ketika baru tiba. Sudahkah ayah mengunjungi Alfonso" Apakah ia bicarakan
tentang aku?" "Sambil lalu saja. Mengapa" Kalian saling marah, waktu aku tidak di sini?"
"Bukan aku, dia yang menjauhiku. Sudahkah ayah mengetahui, bahwa Alfonso hendak
pergi ke Spanyol?" "Ya, aku sudah mengetahui. Ia ingin berangkat sekarang juga, tetapi ia berjanji
hendak minta diri lebih dahulu."
"Bohong, ayah! Lebih baik aku pergi sekarang juga menemuinya."
"Kau bermaksud hendak memaksanya?"
"Ya," kata gadis itu yakin. "Serahkan saja kepadaku. Ayah akan ikut juga?"
Ayah dan anak pergi ke rumah Alfonso. Mereka menjumpainya sedang sibuk berkemas.
Alfonso bermuka masam, ketika melihat saudara sepupunya masuk. Ia ingin
mengusirnya. Namun Josefa mendahului dengan pertanyaan, "Kau masih ingat
perkataanku sebelum ayah pergi ke Vera Cruz?"
"Hm. Aku tak ingat lagi," katanya berpura-pura.
"O, kalau begitu, perlu juga aku mengingatkan lagi kepadamu. Aku telah
mengatakan, aku cinta kepadamu dan bahwa aku berharap menjadi puteri Rodriganda
y Sevilla." Jawab Alfonso dengan nada kesal dan mengejek, "Caramba, ya, benar juga, kuingat
kini leluconmu yang hambar itu. Dan kau ingin mempertahankannya juga?"
"Tentu saja aku ingin mempertahankannya. Ingat perkataanku ketika itu: aku
memberi waktu kepadamu untuk berpikir, sampai kedatangan ayahku. Kini waktu itu
sudah habis dan aku ingin mendengar keputusanmu."
"Kau mau mendengar jawabnya" Baiklah, inilah jawabnya: aku akan menikah dengan
gadis pilihanku sendiri. Dan aku tidak akan menikah dengan kamu. Tidak akan!
Tidak akan!" Perkiraan Alfonso Josefa akan mengamuk. Namun hal itu tidak terjadi. Gadis itu
begitu yakin dengan kemenangannya, sehingga ia tetap bersikap tenang. Hanya
nampak senyum mengejek pada bibirnya, ketika ia menjawab,
"Namun kau akan menikah juga denganku!"
"Lucu juga kau ini! Aku dapat menerka rencanamu dan segala alasan yang akan kau
kemukakan. Tetapi semua itu tak akan mempan terhadapku."
"O, begitu perkiraanmu! Tetapi, sayang, kau bersalah! Tidak ada senjata yang
lebih ampuh daripada itu!"
Alfonso menentang mata burung hantu gadis itu dengan congkak. "Kau bermaksud
memaksa aku menikah dengan kamu dengan ancaman akan membuka rahasiaku di muka
umum, bahwa aku bukan pangeran Rodriganda yang sesungguhnya."
"Memang demikian," jawab gadis itu tenang.
"Senjata itu menimbulkan tertawa. Kau harus menimbang dahulu buruk baiknya
sebelum mengambil tindakan yang nekad, karena bila aku terkena kau pun akan
terkena, sekaligus dengan ayahmu. Bukankah kita ini sekutu dalam segala
kejahatan?" "Itu harus dibuktikan lebih dahulu. Dan kukira, takkan mudah bagimu
membuktikannya. Lagi pula bagaimana kalau surat wasiat baru itu kugunakan?"
Alfonso tertawa mengejek. "Tak dapat kau menakut-nakutiku demikian. Aku tahu,
bahwa surat itu sudah habis dimakan api."
"Sekali lagi kau bersalah. Surat itu masih ada, utuh, siap sedia digunakan."
Alfonso mulai merasa cemas.
Sekretaris pun heran. "Apa, Josefa, surat itu tidak kau bakar?" tanyanya.
"Hanya amplopnya yang kubakar," kata gadis itu sambil tertawa. "O, kalian, laki-
laki, menganggap dirimu pandai dan cerdik. Lihat saja ayah. Aku disuruhnya
membakar surat wasiat terkutuk itu, tanpa diingatnya bahwa surat itu pada suatu
ketika dapat berguna sekali untuk menjinakkan pangeran Alfonso, Rodriganda
palsu." "Tidak kusangka, kau dapat memainkan peranan gemilang itu!" seru Cortejo dengan
gembira. "Di mana kau simpan surat itu?" tanya Alfonso.
Josefa menepuk saku bajunya dengan gembira. Alfonso merencanakan suatu siasat.
"Coba perlihatkan kepadaku," katanya, "kalau tidak, aku tak akan percaya."
"Boleh," kata Josefa sambil meraba dengan tangannya ke dalam sakunya, tetapi
bukan dalam saku yang sebelah saja melainkan dalam kedua belah sakunya.
Ketika Alfonso melihat surat itu dalam tangan kiri Josefa, ia hendak
merampasnya. Tetapi niat itu terpaksa diurungkan, karena dilihatnya tangan kanan
gadis itu memegang pisau belati yang diarahkan kepadanya.
Ia melangkah ke belakang dengan terkejut. "Wah, hendak kau tikam aku?" serunya.
"Tidak," jawab gadis itu sambil tertawa, "tetapi maafkan aku karena terpaksa
menjaga milikku." "Milikmu?" katanya dengan berang. "Surat wasiat itu milikku!"
"Tidak. Surat itu harus dipegang oleh ketua pengadilan. Dan aku bersumpah demi
segala yang suci, bahwa surat itu akan kuserahkan ke dalam tangannya, kecuali
kau membuat keterangan tertulis tentang pertunanganmu dengan aku, sebelum kau
berangkat." "Itu sudah keterlaluan!" kata Alfonso dengan berang.
"Apakah tidak keterlaluan juga, ketika kau menyebut aku sebagai gadis tua dan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buruk muka?" "Jangan bermain nekad!"
"Itu pasti akan kulakukan. Dan aku harap ayah bersedia membantuku juga."
"Tentu," jawab Cortejo. "Surat wasiat itu di tangan kami merupakan senjata
ampuh, yang tidak dapat dilawan. Kami dapat menerangkan, bahwa kau telah dikirim
ke sini waktu masih kecil sebagai pangeran Alfonso de Rodriganda dan kami tidak
mengetahui sedikit pun, bahwa kau telah ditukar. Surat-surat yang dapat
digunakan sebagai bukti terhadap kami kubakar. Coba kalau sudah begitu, dapatkah
kau melibatkan kami?"
"Kalian berdua seperti pemeras saja!" seru Alfonso.
"Mungkin kau benar. Namun dapat dimengerti juga, bahwa kami tidak senang bekerja
sama dengan kawan yang berkhianat. Kami ingin juga melihat buah dari segala
jerih payah kami. Kau telah menerima dari tanganku milik keluarga Rodriganda di
Meksiko yang tak terhingga itu. Maka wajarlah keinginan kami, bahwa kami turut
menikmatinya dengan jalan kau menikah dengan Josefa."
"Aku sekali-kali tidak akan menuruti kehendakmu."
Kini Josefa berdiri dekat sekali dengan Alfonso. "Apakah itu keputusanmu yang
terakhir?" tanyanya.
"Benar." "Baiklah!" Hanya sepatah kata inilah yang dikatakan gadis itu. Kemudian ia melangkahkan
kaki ke arah pintu. Dari muka gadis yang tegang itu Alfonso dapat melihat, bahwa
gadis itu sungguh-sungguh. Kini hati Alfonso menjadi kecut. "Tunggu dahulu, kau
mau pergi ke mana?" "Ke ketua pengadilan," kata gadis itu sambil berdiri.
"Kau sedang kemasukan setan! Kau kira kau dapat hidup bahagia sebagai istri
seorang yang tidak mencintaimu?"
"Ya, aku akan bahagia. Untuk selanjutnya kau bebas berbuat apa pun sekehendak
hatimu, asal aku boleh menjadi puteri Rodriganda."
"Tetapi itu tidak mungkin! Apa yang akan dikatakan pangeran Manuel, bila aku
tanpa izin daripadanya menikah dengan anak sekretaris saudaranya!"
"Itu bukan maksudku. Kau dapat menunda pernikahan hingga pangeran wafat. Tetapi
sekarang aku harus diberi surat keterangan tentang pertunangan kita."
Alfonso berpikir. "Dan setelah kau terima surat itu bersediakah engkau memberi
surat wasiat itu kepadaku?"
"Tidak. Surat wasiat itu baru kau terima setelah pernikahan kita, sedangkan
surat keteranganmu ini gunanya, supaya kau mendapat kebebasan pergi ke mana pun
dalam perjalananmu."
Alfonso mengangguk putus asa. "Baik, akan kau peroleh surat itu."
"Akhirnya dapat juga kau memakai pikiran warasmu. Sekarang jangan kau kira,
semuanya sudah beres, jadi kau tidak perlu menepati janjimu, ketika kau sedang
di Spanyol. Aku sanggup mengadakan pembalasan dendam bila kau mengingkari
janji." Alfonso mengangkat kepala dengan congkak, ketika ia menandatangani surat yang
sudah disusun sebelumnya oleh Josefa. Tidak lama kemudian ia berangkat menuju
pelabuhan, naik kapal berlayar ke Spanyol.
Ketika kapal itu bertolak meninggalkan pelabuhan, dua orang penunggang kuda
melarikan kudanya kencang-kencang ke arah kapal. Mereka adalah Hati Beruang dan
Kepala Banteng. Karena mereka kembali dahulu ke hacienda dan melawat Panah
Halilintar yang sedang sakit keras, maka mereka banyak kehilangan waktu. Lagi
pula mereka kehilangan seekor kuda di suatu daerah yang sunyi. Telah makan waktu
lama untuk menangkap kuda lain. Setelah mereka tiba di kota Meksiko mereka
bertanya tentang pangeran dan mendengar, bahwa ia sudah pergi meninggalkan kota
sehari sebelumnya. Mereka berdaya-upaya, menyuruh kudanya lari sekencang-
kencangnya, supaya dapat mengejar pangeran dan membalas dendam, namun mereka
terlambat sampai di pelabuhan, sehingga hanya sempat menyaksikan kapal itu
bertolak di depan mata mereka.
Musuh besar mereka telah luput dari tangan mereka.
P.S. Baca sambungannya dalam jilid II.
ePub version: ePub Lover http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
Dr. KARL MAY: PURI RODRIGANDA JILID II Penerbit: Pradnya Paramita (1981)
Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit
Disalin oleh: Debora Chang Untuk: http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists
BAB I STERNAU, DOCTOR MEDICUS Semenjak terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam buku yang lampau,
setengah tahun telah berlalu.
Dari arah pegunungan Pirenea bagian selatan, datanglah seorang penunggang kuda
menuju ke arah kota lama Spanyol yang kenamaan itu, Kota Manresa (di propinsi
Barcelona). Ia mengendarai kuda yang luar biasa kuatnya. Itu perlu juga, karena
penunggangnya pun bertubuh besar serta kuat pula. Dan sesuai dengan pengalaman
kita, bahwa orang-orang yang bertubuh kuat seperti dia itu mempunyai jiwa yang
lembut, yang suka damai, maka wajah orang yang terbuka dan menimbulkan
kepercayaan ini tidaklah membayangkan kesan, bahwa ia dapat menyalahgunakan
kekuatan tubuhnya itu. Rambut yang pirang dan raut mukanya menunjukkan bahwa ia bukanlah orang dari
daerah selatan. Usianya baru kira-kira tiga puluh tahun, tetapi sikap yang menunjukkan
ketenangan, banyak pengalaman, dan kepercayaan kepada diri sendiri membuat dia
kelihatan lebih tua. Bajunya berpotongan Perancis terbuat dari cita yang halus dan di belakang pelana
diikatkan sebuah tas yang berisi barang-barang yang dianggap sangat penting oleh
penunggang kuda itu, sehingga setiap kali ia meraba untuk memastikan barang itu
masih ada padanya. Sesampainya di Manresa, hari sudah siang. Ia menempuh lorong-lorong sempit dan
tiba di plaza. Di situ perhatiannya tertarik kepada sebuah rumah tinggi yang
baru didirikan. Di atas pintu tertulis dengan huruf-huruf keemasan, "Hotel
Rodriganda". Ia tampak tergesa-gesa sekali dan tidak hendak tinggal di Manresa.
Namun ketika dibacanya tulisan tadi, ia menghentikan kudanya di hadapan pintu
gerbang hotel dan turun dari atas kudanya.
Ketika ia berdiri, kita baru dapat mengaguminya dengan sungguh-sungguh. Meskipun
mula-mula tubuhnya tampak besar sekali, namun kesan ini kini berkurang, melebur
secara harmonis dengan sifat-sifat tubuh yang lain yang mendatangkan rasa kagum
dan segan kepada orang yang melihatnya.
Beberapa orang pelayan menyambut dengan segala hormat. Ia menyerahkan kudanya,
lalu masuk ke dalam ruangan yang diuntukkan bagi tamu-tamu terkemuka. Hanya ada
seorang di dalam ruangan itu, yang langsung menyambutnya dengan hormat.
"Buenas tardes - selamat sore!" salam orang asing itu.
"Buenas tardes!" jawab orang itu. "Saya pemilik hotel ini. Anda hendak
bermalam?" "Tidak. Saya hanya akan memesan makanan kecil dan minum anggur!"
Pemilik hotel segera meneruskan pesanan itu kepada orang-orangnya, lalu
bertanya, "Jadi Anda tidak hendak bermalam di Manresa."
"Saya ingin melanjutkan perjalanan ke Rodriganda. Berapa jauh dari sini?"
"Sejam perjalanan dari sini, Senor. Tadi kelihatan Anda ingin melampaui hotel
kami begitu saja." "Memang," jawab orang asing itu. "Nama hotel Anda membuat saya mengubah rencana
saya. Apa sebab Anda menamakan rumah Anda 'Rodriganda'?"
"Karena saya pernah menjadi abdi Pangeran selama bertahun-tahun dan berkat
kebaikannya saya dapat mendirikan hotel ini."
"Jadi Anda mengenal baik keadaan Pangeran?"
"Baik sekali." "Saya seorang dokter dan maksud saya pergi ke Pangeran. Maka saya ingin
mendengar sesuatu tentangnya. Siapa-siapakah yang dapat saya jumpai di Puri
Rodriganda?" Pemilik hotel tampak suka sekali berbicara pada sore hari yang sepi itu. Maka ia
menjawab, "Saya suka sekali memenuhi keinginan Anda. Saya dengar dari ucapan kata-kata
Spanyol yang Anda gunakan, bahwa Anda adalah orang asing. Apakah Anda diundang
Pangeran yang sedang sakit itu untuk mengobatinya?"
Orang asing itu menggoyang-goyangkan kepala sedikit, karena agak ragu-ragu
bagaimana menjawab pertanyaan itu. Kemudian ia berkata,
"Memang benar perkiraan Anda. Saya ini orang Jerman dan namaku Sternau. Sudah
lama saya menjabat sebagai pembantu pertama profesor Letourbier di Paris.
Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk secepatnya berkunjung ke
Rodriganda." "Sayang. Mungkin Anda tidak sempat menjumpai Pangeran dalam keadaan hidup. Sejak
beberapa waktu beliau menderita penyakit mata yang tidak tersembuhkan menurut
dokter. Lagipula akhir-akhir ini beliau menderita penyakit kencing batu, yang
sangat banyak mendatangkan rasa nyeri dan sangat berbahaya itu. Hanya pembedahan
dapat menyelamatkan nyawanya. Beliau rela menjalani pembedahan ini, lalu
datanglah dua ahli bedah termasyhur untuk membedahnya. Namun keinginan beliau
itu ditentang oleh putri tunggal beliau, yaitu Condesa Roseta. Para dokter tidak
dapat menunggu dan kemarin saya dengar, bahwa pembedahan akan dilakukan hari ini
juga." "Wah! Kalau begitu saya terlambat!" seru orang asing itu lalu bangkit. "Saya
harus berangkat sekarang juga. Masih ada kemungkinan saya belum terlambat."
"Saya pun berpendapat demikian. Tak ada dokter yang bersedia melakukan
pembedahan seperti itu pada waktu magrib. Lagipula mereka masih belum berani
melakukan pembedahan itu, karena pekerjaan itu selalu ditentang oleh Condesa,
meskipun para dokter dan terutama putra Pangeran tidak akan menunda-nunda."
"Jadi Pangeran Manuel de Rodriganda Sevilla mempunyai seorang putra?"
"Benar. Seorang putra tunggal bernama Pangeran Alfonso, yang lama pernah tinggal
pada pamannya, seorang tuan tanah di Meksiko. Ia dipanggil pulang oleh ayahnya
ketika penyakit mata ayahnya ternyata tidak tersembuhkan."
"Kenalkah Anda pada Mindrello?"
"Tentu saja. Setiap orang mengenalnya. Mindrello seorang yang miskin tetapi
jujur. Ia disangka kadang-kadang melakukan pekerjaan menyelundup. Karena itu
juga ia diberi nama Mindrello penyelundup. Namun ia dapat dipercaya. Hatinya
lebih baik daripada banyak di antara mereka yang memandang rendah kepadanya."
"Terima kasih, Senor. Setelah mendengar segala keterangan Anda, saya tidak boleh
tinggal lebih lama lagi di sini. Selamat sore!"
"Selamat sore, Senor! Saya harap Anda tidak akan datang terlambat."
Sternau membayar dan menyuruh menyediakan kudanya, lalu pergi mengendarai kuda
itu. Hari sudah menjelang malam, sehingga sukar baginya untuk sampai di Rodriganda
sebelum gelap. Sambil mengendarai kuda dikeluarkannya dari dalam saku sepucuk
surat, dan dibukanya. Meskipun sudah berkali-kali dibaca masih ingin juga ia
membacanya sekali lagi. Surat itu ditulis oleh seorang wanita, demikianlah
bunyinya, Rodriganda, 16. 5. 1848. Kepada Tuan dr. Sternau, Paris, 24 rue Vaugiraid.
Kawan yang baik! Kita sebenarnya telah berpisah lama. Akan tetapi beberapa peristiwa telah
terjadi, yang menyebabkan kehadiran Anda di sini sangat diperlukan. Anda harus
menyelamatkan jiwa Pangeran Rodriganda! Datanglah secepat mungkin, dan bawalah
serta alat-alat kedokteran Anda! Hubungilah Mindrello, penyelundup itu dan
tanyakan tentang saya! Sekali lagi permohonan saya, supaya Anda lekas datang.
Kawan Anda, Roseta. Setelah dibacanya surat itu, lalu dilipat lagi dan disimpan ke dalam sakunya.
Kini jalannya melalui hutan pohon eik, namun tidak dilihatnya pohon-pohon yang
tumbuh di tepi jalan itu. Pikirannya melayang-layang ke Kota Paris, ketika ia
pertama kali bertemu dengan gadis penulis surat itu.
Kejadian itu berlangsung di Jardin des Plantes (Kebun Raya), ketika ia tiba-tiba
melihatnya di balik serumpun tumbuh-tumbuhan sedang duduk termenung di atas
sebuah bangku. Terpesona oleh kecantikan gadis yang luar biasa itu, maka ia
tertegun sejenak. Gadis itu berdiri dan kini kecantikannya bertambah lagi. Belum
pernah dilihatnya seorang gadis yang begitu cantik, begitu sempurna, yang
dianggap sebagai tidak mungkin. Ia, sebagai seorang dokter berpengalaman, merasa
nadinya berhenti berdenyut dan jantungnya memeras darahnya ke pelipis dan pipi.
Saat itu merupakan saat bersejarah baginya - dan bagi gadis itu juga. Mereka
saling mencintai, meskipun cinta itu menemui jalan buntu. Dokter itu hanya boleh
bertemu dengan kekasihnya di dalam taman itu saja.
Gadis itu menurut pengakuannya, seorang dayang Condesa (= putri) Roseta de
Rodriganda Sevilla, bersama ayahnya yang buta tinggal di Paris dan dayang
condesa telah mengangkat sumpah, tidak akan menikah selama hidupnya. Apakah
alasannya berbuat demikian, tidak dikatakannya juga. Dokter itu sangat
berbahagia mengetahui, bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan, namun ia merasa
sedih mengingat keputusan yang diambil kekasihnya mengubah pendiriannya. Ia
memohon dan membujuk. Gadis itu menangis, tetapi bertahan pada pendiriannya
semula. Kemudian gadis itu pergi dan dokter harus berjanji, tidak akan
menanyakan tentang dia. Semenjak itu tiada henti-hentinya ia memerangi kesedihan
hatinya. Kemudian ia menerima surat ini. Ia membaca dan badannya gemetar. Tanpa
merundingkan dengan seseorang lagi, ia mengemasi alat-alat yang diperlukan, lalu
berangkatlah ia, memenuhi permintaan kekasihnya.
Ia melarikan kuda sekencang-kencangnya, sehingga pada saat matahari terbenam ia
sudah tiba di desa Rodriganda.
Desa itu tampak lebih baik dan lebih ramah daripada desa-desa Spanyol pada
umumnya. Jalan-jalannya lebar serta bersih. Rumah-rumahnya dengan kaca jendela
yang seolah-olah mengajak para tamu singgah sebenar. Itu merupakan suatu tanda,
bahwa Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla bukan hanya pandai memerintah,
tetapi juga senantiasa berusaha menambah kebahagiaan dan kesejahteraan
rakyatnya. Sternau menanyakan kepada seseorang yang dijumpainya, di mana rumah Mindrello.
Orang itu menunjuk rumah yang terletak di ujung desa. Di hadapan rumah itu
Sternau menghentikan kuda dan turun, lalu masuk ke dalam rumah. Penghuni rumah
sekeluarga sedang makan malam.
"Apakah di sini rumah Mindrello?" tanya Sternau kepada seseorang.
"Benar, Senor, itu saya sendiri!" jawab orang itu, sambil bangkit dari kursi.
Orang itu bertubuh tegap dan kuat. Pada roman mukanya dapat dilihat, bahwa ia
seorang yang jujur dan dapat dipercaya.
"Kenalkah Anda pada dayang Condesa Rodriganda?"
"Siapakah namanya?" tanya orang Spanyol itu dengan wajah tegang.
"Roseta." "Astaghfirullah, kalau begitu Anda Senor Sternau dari Paris."
"Benarlah demikian."
Maka mereka sekeluarga bangkit dari kursi masing-masing dan berjabat tangan
dengan Sternau dengan muka berseri-seri. Anak-anak yang kecil pun turut berdiri
dan memberanikan diri mengulurkan tangan kepada tamunya.
"Kami semua bergembira pada kedatangan Anda!" seru Mindrello. "Anda datang tepat
pada waktunya. Condesa, maksud saya Nona Roseta dayang itu, sedang resah
hatinya. Segera akan saya beritakan kepadanya."
"Apakah Pangeran hari ini juga sudah mengalami pembedahan?"
"Belum. Condesa mohon dan berdoa, supaya jangan dikerjakan hari ini. Tetapi
besok pekerjaan itu pasti tidak dapat ditunda lagi. Condesa yakin, bahwa Anda
akan datang, Senor."
"Kalau begitu Condesa mengetahui juga tentang surat yang ditulis oleh dayangnya
itu." "Hm, ya, benar Condesa pasti mengetahui," jawab orang Spanyol itu agak kemalu-
maluan. "Tetapi untuk hari ini sudah kami sediakan kamar untuk Anda di loteng,
kamar yang ada bunga-bungaan di muka jendelanya. Akan saya antarkan Anda ke situ
dengan makanan malamnya, sebelum nona itu datang."
"Dan kuda saya?"
"Dapat ditempatkan di rumah tetangga saya. Kuda akan diberi makan juga di situ.
Maukah Anda mengikuti saya, Senor?"
Mindrello mengantar Sternau naik tangga kecil ke sebuah kamar yang rapi bersih
di loteng, langit-langitnya begitu rendah, sehingga dokter itu hampir menyentuh
dengan kepalanya. Kemudian makanan diantar ke situ. Dalam pada itu Sternau dapat


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati pemandangan puri melalui jendela kamar.
Puri itu dibangun pada zaman ketika bangsa Arab memerintah di situ. Bentuknya
seperti bujur sangkar luas, dihiasi dengan kubah-kubah yang sangat indah.
Meskipun dinding-dindingnya tampak kukuh dan tegap, namun keseluruhannya dengan
segala menara-menaranya yang cantik mungil menunjukkan kehalusan dalam cara
membangun. Bangunan agung ini nampak cemerlang dikitari oleh hutan pohon eik yang gelap.
Barangsiapa memandang pada saat matahari sedang terbenam dengan sisa-sisa warna
merah di ufuk barat yang memesona, akan menyangka dirinya di alam dongeng.
Tak lama kemudian senja berganti dengan malam. Puri dan desa diliputi oleh
bayangan hitam. Sternau menyalakan lampu dan memeriksa alat-alat kedokteran yang
diantarkan oleh Mindrello ke kamarnya di atas loteng sebelum ia membawa kuda ke
rumah tetangganya. Kemudian Sternau mendengar pintu kamarnya diketuk orang.
"Masuklah!" serunya.
Pintu kamar dibuka dan tiba-tiba berdirilah di hadapannya gadis yang memegang
peran dalam mimpi-mimpinya.
"Roseta..." Sepatah kata itulah yang hanya dapat diutarakannya.
Suara gadis itu gemetar, ketika ia bertanya,
"Carlos, masih ingatkah Anda pada saya?"
"Masih ingat?" kembali Sternau bertanya. "Mintalah apa pun dari saya, asal
jangan minta harus melupakan Anda."
"Namun perlu juga itu. Tetapi hari ini kita masih boleh bertemu, maka kini saya
datang untuk mengucapkan terima kasih pada kedatangan Anda. Mari saya ceritakan,
apa sebab saya sangat menginginkan kedatangan Anda!"
"Surat Anda tidak begitu jelas. Mungkinkah maksud Anda, bahwa Pangeran dalam
bahaya" Di Manresa saya mendengar bahwa beliau harus menjalani pembedahan."
"Memanglah demikian, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang membuat saya merasa
khawatir. Tentang hal itu hanya dapat saya terangkan secara lisan, karena saya
menaruh kepercayaan kepada Anda. Hati saya mengatakan, bahwa selain penyakitnya
masih ada bahaya lain yang mengancam Pangeran. Akan tetapi sekarang saya tidak
takut lagi, karena Anda sudah di sini."
Wajah Sternau berseri-seri mendengar pujian itu. Ia mengulurkan kedua belah
tangan lalu berkata, "Anda menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada saya. Itu tanda Anda masih
mencintai saya." Gadis itu menyambut uluran tangan Sternau dan menjawab,
"Benar, Carlos, saya masih mencintai Anda. Cinta saya masih sama dengan ketika
saya harus berpisah dengan Anda dan saya selamanya akan mencintai Anda. Sampai
saat ini sikap saya menjadi teka-teki bagi Anda, tetapi besok akan dapat Anda
pecahkan teka-teki itu dan sekaligus akan mengerti, mengapa saya harus bersikap
demikian." "Mengapa baru besok" Mengapa tidak sekarang saja?"
"Karena saya tidak sanggup mengutarakannya dengan kata-kata apa yang akan Anda
dengar besok. Dan sekarang Carlos, janganlah kita mulai menyalahkan nasib kita,
melainkan hendaklah kita mencari kebahagiaan dalam kasih kita yang suci, yang
menjadi penghubung di antara kita satu sama lain, meskipun kita terpaksa
dipisahkan oleh keadaan! Marilah kita perbincangkan tanpa luapan emosi tentang
maksud saya mengundang Anda ke mari."
Sternau memaksa dirinya tetap bersikap tenang dan menyilakan kekasihnya duduk.
"Akan saya terangkan maksud saya memohon kedatangan Anda ke mari," demikian
dimulainya. "Anda mengetahui, bahwa Pangeran menderita penyakit mata yang gawat.
Di samping itu beliau menderita suatu penyakit tambahan, yaitu penyakit kencing
batu yang sangat mendatangkan rasa nyeri. Dan para dokter yang diminta
pertolongannya berpendapat, bahwa hanya pembedahan dapat menolong. Pangeran
telah menyatakan diri rela menjalani pembedahan. Condesa sangat mengasihi
ayahnya yang malang itu. Ia pun merupakan tangan kanan serta mata ayahnya, yang
sudah tidak dapat melihat. Maka Condesa berdoa siang dan malam, mohon kepada
Tuhan perlindungan bagi ayahnya, karena ia selalu diliputi rasa takut, kalau-
kalau suatu bencana akan menimpa diri ayahnya yang malang itu. Para dokter yang
merawat Pangeran adalah orang-orang berhati dingin yang tidak dapat dipercaya.
Cortejo, notarisnya dan Senora Clarissa, yang selalu hadir dekat Pangeran,
tampak seperti hantu-hantu yang mengerikan, yang haus darah Pangeran, dan
selanjutnya Alfonso, putra Pangeran itu - o, betapa sedih hati Condesa!"
Roseta menutup mukanya dengan tangan dan menangis. Sternau menarik tangan gadis
itu dari matanya lalu membujuk, "Janganlah menangis, Senorita! Curahkan isi hati
Anda kepada saya, dengan demikian hati Anda akan merasa lega."
"Baik," jawab gadis itu sambil menahan tangis dan menghapus air matanya.
"Condesa masih kecil sekali ketika berpisah dengan saudaranya Alfonso. Delapan
belas tahun kemudian saudaranya akan kembali lagi. Condesa gembira sekali
mendengar berita itu. Ketika saudaranya tiba, Condesa menyambut dengan hangat.
Ia hendak menghampiri dan memeluk saudaranya. Namun ia hanya dapat menindakkan
kaki selangkah saja. Ia tidak dapat menyentuh orang di hadapannya itu, apalagi
memeluknya. Apa sebab ia berbuat demikian tidak diketahuinya sendiri; seolah-
olah ada suara dalam hati yang menasihatinya supaya berhati-hati. Pandangan
matanya kejam dan suaranya tanpa kasih. Dan ketika setiap hari diamati tingkah
laku saudaranya itu, dilihatnya bahwa ia hanya menaruh perhatian kepada ayahnya
untuk mengetahui bilamanakah ia akan meninggal. Maka Condesa putus ada dan
akhirnya ia menulis - maksud saya, ia menyuruh saya menulis surat kepada Anda."
"Apa yang ada dalam kuasa saya akan saya kerjakan," kata Sternau. "Pembedahan
itu akan dilaksanakan besok?"
"Benar. Para dokter tidak bersedia menunda lagi. Saya dengar juga, bahwa
pembedahan akan dilaksanakan pukul sebelas."
"Apakah saya dibolehkan melihat dan berbicara dengan Pangeran sebelum waktu
itu?" "Tentu, asal Anda harus menghadap Condesa lebih dahulu. Pergilah menghadap
Condesa pukul sembilan! Sudah pernahkah Anda melakukan pembedahan dalam kasus
kencing batu itu?" Sternau tersenyum. "Kerap kali sudah, Senorita. Malah dapat saya katakan tanpa
menyombongkan diri, bahwa saya ahli dalam perkara itu."
"Apakah pembedahan demikian berbahaya?"
"Tergantung! Untuk memastikannya, maka pasien harus diperiksa lebih dahulu! Biar
kita bersabar dahulu hingga pemeriksaan selesai dilakukan."
"Benar, kita harus menunggu! Saya menaruh kepercayaan penuh pada Anda. Hanya
Andalah yang dapat menyelamatkan, bila masih belum terlambat."
Gadis itu bangkit. "Anda mau pergi, Senorita?"
"Ya, karena kehadiran saya diperlukan di sana. Jadi Anda akan datang pukul
sembilan?" "Tentu saya datang. Bolehkah saya menemani Anda berjalan, Senorita?"
"Hari sudah gelap. Kita tidak akan dilihat orang. Maka Anda boleh menemani saya
sampai ke puri!" Mereka meninggalkan rumah Mindrello dan berjalan bergandengan tangan. Setelah
mereka sampai di pintu pagar taman, Sternau mengangkat tangan kekasihnya dan
menciumnya. "Selamat malam, Carlos," kata Roseta dengan ramah. "Beristirahatlah untuk
melepaskan lelah." "Selamat malam, Senorita!"
Sternau hendak pergi, tetapi gadis itu mendekati dan berbisik kepadanya,
"Carlos-ku, maafkan saya dan janganlah bersedih hati!"
Kemudian gadis itu pergi dan masuk ke dalam taman.
BAB II GASPARINO CORTEJO Tepat pada waktu dua sejoli sedang berpisah, maka di dalam salah satu kamar di
puri sedang diadakan percakapan yang agak ganjil sifatnya. Penghuni kamar salah
seorang dari kedua orang ahli bedah, yang ditugaskan dengan dibantu seorang
dokter dari Manresa, melakukan pembedahan pada Pangeran.
Senor Gasparino Cortejo, jabatan advokat dan notaris, hadir dalam kamar itu. Ia
bangkit hendak minta diri, lalu berkata dengan dinginnya.
"Jadi Anda berpendapat, bahwa pembedahan itu membahayakan jiwa pasien?"
"Sudah pasti!" "Dokter-dokter kolega Anda tidak akan mengemukakan keberatannya?"
"Mereka tidak berani mempunyai pendirian lain dari pada saya. Mereka mengetahui,
bahwa saya benar-benar ahli dalam bidang pembedahan," bunyi jawabnya yang
congkak. "Baik. Tetapi Anda telah meyakinkan Pangeran, bahwa ia akan diselamatkan?"
"Tentu." "Maka segalanya akan tetap berlangsung seperti yang kita rencanakan semula.
Pembedahan akan dilaksanakan pukul delapan tanpa sepengetahuan Condesa.
Honorarium Anda yang lumayan besarnya akan Anda terima di rumah saya di Manresa.
Selamat malam!" "Selamat malam!"
Kedua orang itu berjabatan tangan dengan sopan santun, seolah-olah mereka berdua
orang-orang yang terhormat. Advokat tidak langsung pergi ke kamarnya, melainkan
mengunjungi Senora Clarissa, yang cepat-cepat pergi menghampiri advokat itu. Itu
merupakan tanda, bahwa wanita itu sudah lama menanti. Mereka pergi ke kamar
wanita itu, lalu mengunci pintu erat-erat, supaya tidak ada orang yang dapat
mendengarkan percakapannya.
Notaris tidak berpakaian nasional Spanyol, melainkan berpakaian hitam. Gerak-
gerik tubuhnya yang kurus, tinggi, dan bungkuk sabut itu memberi kesan watak
yang suka melempar batu sembunyi tangan. Garis-garis tajam pada wajahnya
mengingatkan pada seekor burung buas, sehingga sukarlah bagi kita untuk tidak
merasa takut berhadapan dengan orang itu. Kesan dari wajah yang menakutkan itu
diperkuat lagi oleh matanya yang senantiasa mengintai mangsa.
Senora Clarissa adalah seorang wanita bertubuh besar. Raut muka wanita yang
berusia hampir lima puluh tahun itu kasar, menyerupai seorang pria. Perlu
ditambahkan lagi, bahwa pandangan matanya agak juling.
"Silakan duduk, Gasparino," kata wanita itu, sambil duduk sendiri di atas divan
bersalut kain beledu. "Aku telah lama menantimu. Kabar apa yang kau bawa?"
"Kabar baik," jawab Notaris, sambil duduk di sebelahnya. "Ahli bedah itu telah
menyetujui usulku." "Maka akhirnya kita akan dapat memetik dan menikmati buah pengorbanan kita yang
demikian lama itu. Dapatkah pembedahan itu menyebabkan kematian?"
"Sudah pasti." "Yah, itu sudah suratan takdir Pangeran," kata wanita itu sambil menengadah ke
langit. "Akhirnya Tuhan dapat melepaskannya dari segala penderitaannya. Oleh
karena itu kita harus merelakan kepergian Pangeran. Akan tetapi bagaimana dengan
Condesa, apakah ia tidak akan mengemukakan keberatan lagi?"
"Untung, sekali ini tidak, Sayang! Condesa mengira, pembedahan baru akan
dilakukan pukul sebelas, padahal mereka sudah akan mulai pukul delapan. Pangeran
sudah akan dilepaskan dari penderitaannya ketika Condesa sedang berpakaian."
"Dan bagaimana dengan Pangeran Alfonso?" tanya wanita itu dengan mengedipkan
mata julingnya sebelah. "Itu benar-benar puncak kesempurnaan dari pekerjaan kita."
"Memang perkataanmu itu sedikit pun tiada berlebihan. Pekerjaan kita menunjukkan
keahlian yang sempurna, namun tertutup bagi dunia luar. Mereka tidak akan meraba
sedikit pun tentang rencana kita yang luar biasa cerdik itu. Berapa lama kita
berdua hidup dengan saling mencintai, bukankah demikian Gasparino-ku" Namun
banyak penghalang. Cinta kita tidak dapat kita utarakan dengan leluasa, karena
ayahku seorang pedagang kaya. Ia tidak menghendaki menantu miskin seperti kamu.
Anak kita terpaksa kita singkirkan, kalau kamu tidak tiba-tiba mendapat ilham
untuk menukarkannya dengan Pangeran Alfonso yang masih kanak-kanak itu dan
mengirimkannya ke saudara Pangeran Manuel di Meksiko. Kini kita sudah menjadi
orang tua seorang pangeran dan kelak akan memiliki harta keluarga Rodriganda
yang tidak ternilai banyaknya. Mari kita bergembira dan mengenangkan hidup kita
yang cemerlang kemudian hari."
Sternau tidak dapat tidur. Pertemuan dengan gadis kekasihnya menyebabkan keadaan
itu. Di dalam kamar ia berjalan hilir mudik saja. Keesokan harinya, pagi-pagi,
dilihatnya tetangga sudah bangun. Ia pergi ke situ dan minta kudanya disiapkan.
Dinaikinya kudanya lalu pergilah ia tanpa tujuan tertentu, hanya untuk
menenangkan pikiran yang sedang kacau. Akhirnya sampailah ia di Manresa. Di situ
dilihatnya sebuah venta, yaitu sebuah rumah penginapan yang kelihatannya masih
kosong. Namun ada seekor kuda ditambatkan di depannya. Itu merupakan tanda bahwa
sudah ada seorang tamu di dalamnya. Sternau turun dari kudanya. Sejak semalam ia
masih belum makan sesuatu. Kini ia ingin memesan kopi secangkir. Ketika ia masuk
ke dalam dilihatnya di situ seorang berpakaian sederhana sedang duduk pada meja
dengan membawa alat-alat kedokteran untuk membedah orang. Tiada diketahui oleh
Sternau, bahwa orang itu adalah seorang dokter dari Manresa yang diminta
bantuannya dalam pembedahan pada Pangeran.
Pemilik rumah penginapan yang duduk di sebelahnya setelah menerima pesanan dari
Sternau, melanjutkan percakapan dengan tamunya.
"Jadi Anda akan mengunjungi Pangeran, Senor Dokter?"
"Ya, seperti sudah saya katakan tadi."
"Akhirnya pembedahan akan dilakukan hari ini juga?"
"Benar. Pukul delapan nanti."
"Tetapi Condesa tidak akan menyetujui lagi!"
"Mereka tidak minta persetujuan lagi dari padanya. Kepada Condesa pernah
dikatakan, bahwa pembedahan baru akan dilakukan pukul sebelas."
"Bagaimana perkiraan Anda, Pangeran akan sembuh lagi atau tidak?"
"Mungkin sembuh - tetapi - mungkin juga tidak. Siapa tahu?"
Kini Sternau mendapat kopinya. Sudah cukup, yang didengarnya itu. Cepat-cepat
diminumnya kopi, lalu ia membayar dan pergi, tanpa meninggalkan kesan bahwa
percakapan yang didengarnya tadi amatlah penting baginya. Ia melarikan kuda
kencang-kencang, sehingga sebelum pukul delapan ia sudah sampai di Rodriganda
lagi. Setelah diserahkannya kuda kepada tetangganya ia mengeluarkan alat-alat
kedokterannya, lalu pergi ke puri secepat-cepatnya.
Sternau sampai pada pintu pagar yang menuju ke taman, tempat ia semalam telah
berpisah dengan kekasihnya. Pintu pagar itu terbuka dan ia masuk ke dalam.
Dengan langkah cepat ia menuju ke puri. Mula-mula ia menempuh jalan yang tepinya
ditumbuhi pohon-pohonan. Kemudian ia hendak masuk halaman depan puri, ketika ia
tiba-tiba berdiri terpaku karena terkejut. Di hadapannya berdiri - Roseta, siap
untuk berjalan-jalan menghirup udara segar pagi hari. Ia tidak berpakaian ketat
cara Paris, maupun salah satu pakaian nasional Spanyol; gaun yang menutup tubuh
yang elok itu merupakan kombinasi dari pakaian bangsa Moor yang ringan dengan
pakaian bangsa-bangsa di sebelah utara yang lebih tebal.
Baru saja ia memberi perintah kepada seorang abdi, yang menjawab perintah itu
dengan hormatnya, "Baik, Condesa!" lalu pergi lagi. "Condesa?" Tiba-tiba tabir
yang menyelubungi kekasihnya terbuka.
"Roseta!" serunya.
Gadis itu berpaling. "Carlos! Begitu pagi Anda sudah di taman?"
"Ya Tuhan, bermimpikah saya" Saya kenal akan Rosita, da... yang putri, tetapi
Anda..." "Tetapi apa, Senor?"
"Tetapi Anda adalah Condesa Roseta sendiri."
"Memang benar terkaan Anda, Carlos," jawab Condesa sambil mengulurkan tangannya
kepadanya. "Dapatkah Anda memaafkan saya?"
"Memaafkan" Alangkah menyedihkan! Ya, sekarang saya mengerti, mengapa kita harus
berpisah. Anda tega berbuat demikian pada saya, Roseta?"
Condesa menundukkan kepala serta menerangkan dengan suara gemetar.
"Karena ketika itu saya mencintai Anda dan saya ingin mengecap hidup berbahagia
selama beberapa saat. Tetapi semuanya sudah lampau dan hukuman yang harus saya
pikul bertambah berat lagi. Ayah saya - tetapi saya lihat Anda membawa alat-alat
kedokteran. Mengapa Anda datang begitu pagi?" demikian dipotongnya perkataannya
sendiri dengan terkejut. "Apa alasannya?"
"Alasannya?" tanya Sternau, masih seperti dalam mimpi. "O, betul juga, saya
hampir melupakan urusan saya yang paling penting. Condesa, ayah Anda dalam
bahaya yang amat besar!"
Muka putri cantik itu menjadi pucat pasi.
"Ayah saya?" bisiknya. "Mengapa?"
Sternau mengeluarkan arloji, melihat padanya, lalu menjawab,
"Wah, sudah waktunya! Condesa, mereka segera akan mulai dengan pembedahannya!"
"Masa" Pembedahan baru akan dilakukan pukul sebelas!"
"Tidak. Mereka telah mengelabui mata Anda. Tanpa sepengetahuan Anda diputuskan,
mereka akan melakukan pembedahan pukul delapan. Saya kebetulan menjumpai seorang
dokter dari Manresa pagi ini dan mendengarkan percakapannya dengan pemilik rumah
penginapan tanpa diketahui mereka."
"Astaghfirullah! Mereka tentu beritikad buruk, kalau tidak, apa guna mereka
berdusta kepada saya. Mari Senor, kita harus bertindak cepat, untuk mencegah
mereka melakukan kejahatan ini!"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Condesa bergegas pergi ke puri, diikuti oleh Sternau.
Ketika mereka tiba di pintu masuk, orang sedang memasukkan seekor kuda ke dalam
kandang. Sternau mengenalinya sebagai kuda dokter dari Manresa. Tampak dokter
itu telah melarikan kudanya dengan kencang supaya lekas sampai di Rodriganda.
"Cepatlah, Condesa!" kata Sternau. "Para ahli bedah sudah hadir; kita harus
bertindak secepatnya!"
"Mari! Cepat, cepat!" seru Condesa sambil naik tangga, lalu berjalan di atas
serambi muka yang lantainya ditutupi hamparan permadani yang mahal. Di depan
pintu berdiri seorang abdi.
"Pangeran sudah bangun?" tanya Condesa.
"Sudah, Condesa," bunyi jawabnya.
"Ia seorang diri?"
"Tidak. Para dokter menemaninya."
"Sudah berapa lama?"
"Sepuluh menit."
"O, kalau begitu kita masih belum terlambat. Mari masuk, Senor!"
Condesa hendak masuk, tetapi abdi itu menghampiri, lalu menerangkan, meskipun
secara sopan santun, namun dengan pasti.
"Maafkan saya, Condesa. Saya telah mendapat perintah keras untuk melarang setiap
orang masuk." "Aku juga?" "Terutama Anda."
Condesa menjadi murka. Ia menegakkan kepala dengan tinggi hati, lalu bertanya,
"Siapa memberi perintah demikian?"
"Pangeran Alfonso. Beliau hadir juga di dalam kamar."
"O, jadi dialah orangnya! Baik, berilah jalan!"
"Maaf, Condesa. Sungguh tidak boleh! Saya tidak berani berbuat lain sebab..."
Abdi itu tidak dapat melanjutkan perkataannya, karena Sternau memegang
lengannya, mendorongnya kuat-kuat tanpa mengucapkan sepatah kata pun ke samping,
lalu membuka pintu. Kini mereka masuk ke dalam ruang muka tempat kediaman
Pangeran. Abdi masuk juga mengikuti mereka tanpa dapat berbuat apa-apa. Pintu
yang menuju ke kamar Pangeran terkunci dan Putri Roseta mengetuk pintu itu.
"Siapa di situ?" tanya seseorang dari dalam kamar itu, setelah berkali-kali
pintu diketuk. Suaranya dikenal Putri sebagai suara saudaranya.
"Aku sendiri," kata Condesa. "Lekas buka!"
"Kau, Roseta?" bunyi jawabnya agak kecewa. "Siapa yang mengizinkan kau masuk.
Apakah penjaga itu tidak di tempat?"
"Ada. Tetapi lekas buka, Alfonso!"
"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Roseta. Para dokter melarang kehadiran orang
lain di sini!" "Aku tidak dapat dilarang masuk ke dalam, apalagi hari masih pagi. Masih lama
waktu pukul sebelas!"
"Ayah minta supaya pembedahan dilakukan sekarang juga, lagipula pembedahan itu
tidak sesuai disaksikan oleh seorang wanita."
"Aku harus berbicara dengan Ayah sebelumnya."
"Tidak mungkin. Nah, mereka sudah mulai..."
Perkataan terakhir ini diucapkan dengan tiada sabar lagi, dengan nada tajam dan
menolak, seolah-olah Alfonso menganggap percakapan sudah berakhir. Hal itu
membuat Condesa naik darah.
"Alfonso," katanya dengan suara memerintah. "Aku akan masuk. Kau tidak dapat
melarangku. Aku ingin bicara dengan Ayah sebentar."
"Ayah sekali-kali tidak ingin bicara denganmu. Selanjutnya aku tidak mempunyai
waktu untuk melayani perkataanmu terus-menerus. Sebaiknya engkau pergi. Sia-sia
engkau mengetuk pintu. Biar bagaimana tidak akan dibuka juga!"
"Baik, kalau begitu akan kubuka sendiri!"
"Boleh kau coba!"
Perkataan itu diucapkan dengan nada mengejek. Kemudian terdengar, bahwa orang
yang mengucapkan perkataan itu pergi.
"Sekarang apa dayaku?" tanya Roseta dengan putus asa kepada kawannya.
Kawannya tersenyum dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, namun ia tidak
segera menjawab, karena sedang memperhatikan bunyi-bunyi yang terdengar dalam
kamar yang tertutup pintunya.
"Condesa," kata abdi sambil mendekati Putri dengan merendahkan diri. "Saya
mengetahui dengan pasti, pintu tidak akan dibuka. Maka saya mohon supaya Anda
sudi meninggalkan ruang ini..."
"Diam!" hardik Condesa dan ia ingin menambahkan lagi kata-kata yang pedas kepada
abdi itu, kalau ia tidak dipanggil oleh Sternau untuk turut mendengar suara yang
keluar dari dalam kamar ayahnya itu.
Condesa berbuat seperti yang dikehendaki Sternau dan mendengar suara ayahnya
yang sayup-sayup menghitung:
"Lima-enam-tujuh-delapan-sembilan-sepuluh-sebelas."
"Apa maksud Ayah?" tanya Condesa, lalu hatinya menjadi kecut.
"Pangeran sedang dibius," jawab Sternau. "Dan ia disuruh menghitung oleh para
dokter." "Jadi mereka sungguh-sungguh hendak membedah Ayah?"
"Betul." "Perbuatan itu harus dicegah, biar bagaimanapun juga!" seru Condesa dengan hati
cemas. "Senor, tolonglah saya!"
"Anda mengizinkan saya membongkar pintu?"
"Apa boleh buat" Lakukanlah, cepat!"
Sternau melangkah ke arah pintu, lalu menerjangnya kuat-kuat dengan kaki. Krak!
Sekali hantam terbukalah pintu. Kini ia bersama Condesa berdiri di dalam kamar
Pangeran. Kamar itu kosong, tetapi sayup-sayup terdengar suara-suara. Tiba-tiba
pintu kamar sebelahnya terbuka. Alfonso dan salah seorang dokter masuk ke dalam.
"Kurang ajar benar ini!" seru Alfonso. "Terlalu benar kau, sampai berani
membongkar pintu!" katanya dengan berang.
Karena marah, maka tidaklah dilihatnya bahwa Roseta tidak seorang diri,
melainkan berkawan. Matanya berapi-api dan urat-urat di lehernya membengkak.
"Aku terlalu?" tanya Condesa. Mukanya menjadi merah padam menahan amarah.
"Bukankah seorang putri Rodriganda y Sevilla mempunyai hak penuh untuk setiap
waktu berbicara dengan ayahnya" Bukan aku yang keterlaluan, melainkan mereka,
yang hendak melakukan pembedahan pada ayahku yang dapat membahayakan nyawanya."
"Kami telah mengambil keputusan demikian dan tidak berniat menarik kembali. Maka
sebaiknya engkau pergi saja, karena kehadiranmu sekali-kali tidak berguna."
"Aku tidak akan pergi sebelum melihat Ayah dan berbicara dengannya. Di manakah
ia?" "Dalam kamar sebelah. Kelakuanmu yang sembrono akan membahayakan nyawanya. Ayah
harus terhindar dari gangguan. Ketegangan yang sekecil-kecilnya dapat membawa
akibat yang sebesar-besarnya. Siapakah orang asing di sampingmu itu?"
"Ia Senor Sternau, seorang dokter dari Paris, yang telah kuundang ke mari. Aku
ingin mendengar pendapatnya tentang penyakit Ayah. Kau tentu akan setuju dengan
kedatangannya itu!" Dokter bedah yang ikut masuk juga ke dalam mengerutkan dahi, sambil melihat
dengan hati kesal kepada mereka.
Kini Pangeran Alfonso berkata,
"Dari Paris" Siapa memberi izin kepadamu berbuat demikian" Itu melanggar segala
peraturan! Kuharap orang lebih menghormati kemauanku. Kemauanku adalah supaya
kau segera meninggalkan kamar ini dan mengirim kembali dokter asing ini!"
Maka Putri menjadi pucat pasi mendengar kata-kata hinaan ini dan memerlukan
beberapa saat untuk memulihkan keseimbangannya. Kemudian tubuhnya seolah-olah
bertambah besar. Ia mengangkat tangan lalu menjawab,
"Tahukah kau dengan siapa kau sedang berbicara" Dalam perkara ini yang dapat
memerintah hanyalah Pangeran Rodriganda dan bila ia terhalang, maka aku sama-
sama berhak dengan kamu untuk memerintah. Pembedahan tidak boleh dilakukan,
sebelum penyakit Ayah diselidiki dengan cermat lebih dahulu oleh senor ini.
Itulah kemauanku dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi!"
Garis-garis muka pangeran muda ini menjadi tajam, urat-urat di dahinya
membengkak dan suaranya menjadi parau ketika ia menghampiri saudaranya dengan
tangan terangkat secara mengancam lalu menjawab,
"Kau ini memerintah" Seorang gadis" Cis! Yang bukan-bukan saja! Pembedahan tetap
akan dilaksanakan dengan atau tanpa persetujuanmu dan kau akan kuenyahkan dengan
bantuan para abdi, bila tidak pergi dengan suka rela. Aku sudah biasa melihat
segala perintahku ditaati orang. Habis perkara!"
Kemudian ia menghadap kepada Sternau, lalu berkata,
"Dan Anda pun harus pergi juga! Kukira tidak perlu aku mengambil tindakan untuk
mengeluarkan Anda dengan paksa dari sini!"
Sternau tersenyum saja tanpa mengindahkan ancaman itu.
"Saya telah datang diundang Putri Rodriganda," jawabnya tenang, "dan maksudnya
ialah untuk melihat Pangeran, ayah Anda. Tugas saya akan saya kerjakan juga,
meskipun mendapat tantangan! Condesa, saya mohon diperkenalkan kepada Tuan
Dokter ini, yang sekurang-kurangnya adalah teman sejawat saya."
Sambil berkata ia menunjuk kepada dokter Spanyol, yang selama perdebatan sengit
tadi telah mengundurkan diri dekat jendela. Roseta mengangguk, menyatakan
setuju, lalu memperkenalkan.
"Senor Dokter Carlos Sternau, direktur klinik Profesor Letourbier di Paris -
Dokter Francas dari Madrid - nah, kedua dokter yang lainnya kebetulan sekali
datang juga: Dokter Milanos dari Cordova dan Dokter Cielli dari Manresa."
Kedua dokter yang baru disebut namanya itu baru datang dari kamar sebelah.
Perhatiannya tertarik oleh perdebatan yang hangat itu. Mereka memberi hormat
secara dingin kepada Sternau dan Dokter Francas, yang sejak tadi sudah hadir di
dalam kamar itu. Dokter Francas tampak pucat. Rupanya di antara tiga orang dokter itu dialah yang
paling ahli. Ia mengenal juga nama Profesor Letourbier dan mengetahui, bahwa di
hadapannya berdiri seorang dokter yang benar-benar ahli. Maka berhubung dengan
itikadnya yang kurang baik itu, kehadiran Dokter Sternau dianggap sebagai suatu
bahaya baginya. Untuk menjauhi bahaya itu diusahakan supaya ia bersikap angkuh
menentang kehadiran dokter asing itu. Maka ia berkata dengan tinggi hati.
"Saya tidak kenal senor ini. Persiapan kami sudah matang; kami tidak memerlukan
seorang pembantu lagi. Kami telah mendapat tugas dari pasien agung kami untuk
melakukan pembedahan dan bila kami tidak diberi kesempatan untuk melaksanakannya
sekarang juga, tanpa mendapat gangguan dari Anda, maka saya akan menyatakan
tidak bertanggung jawab pada segala akibatnya. Jadi lekaslah pergi dan suruhlah
dokter asing itu lekas meninggalkan Rodriganda!"
Condesa hendak menjawab, tetapi Sternau memberi isyarat supaya ia bersabar
dahulu. "Izinkanlah saya memberi jawaban, Condesa yang saya muliakan!" katanya.
"Persoalan ini mengenai diri saya. Maka saya pula yang harus menjawab. Saya
hadir di sini sebagai seorang dokter dan di samping itu sebagai tamu Anda pula,
Condesa, maka sebenarnya saya harapkan sikap yang wajar dari saudara Anda, yaitu
menghormati saya, dan sikap ramah-tamah dari pihak para dokter teman sejawat
saya. Namun harapan saya dikecewakan oleh mereka; mereka mengambil sikap
memusuhi saya. Maka keadaan sekarang berubah. Kini saya tidak mohon lagi,
melainkan saya bertindak sebagai wakil Putri Rodriganda yang memperhatikan
kepentingannya dalam bidang ilmu pengobatan. Sebagai wakil resmi Putri
Rodriganda saya menyatakan sebagai berikut: Oleh karena suatu pekerjaan
sepenting lagipula berbahaya seperti pembedahan ini hendak dilaksanakan dalam
keadaan yang sangat meragukan, maka saya mempunyai alasan kuat untuk mencurigai
pekerjaan ini. Karena itu saya terang-terangan menentangnya. Saya nyatakan
setiap orang yang hendak melakukan pembedahan sebelum saya mendapat kesempatan
melihat serta bercakap-cakap dengan pasien itu, sebagai orang yang tidak
bertanggung jawab, ya, bahkan sebagai seorang pembunuh. Jika seandainya saya
hendak diusir secara paksa, maka saya segera akan minta bantuan polisi, yang
tidak segan-segan akan mengabulkan permintaan yang datang dari pihak Putri
Rodriganda." Dengan kepala tegak Sternau berdiri di hadapan para dokter. Matanya menyinarkan
kewibawaan, seolah-olah ia bukan seorang asing, melainkan pemilik puri itu
sendiri. Dokter Francas menjadi pucat kedua kalinya dan dua teman sejawat
pembantunya menundukkan kepalanya. Alfonso ingin mengamuk, namun ia tidak dapat
menemukan kata-kata untuk mencurahkan kemarahannya. Pada saat itu tiba-tiba
pintu kamar dibuka dan masuklah seorang yang menimbulkan rasa hormat maupun rasa
kasihan. Orang yang masuk itu buta. Itu dapat dilihat seketika itu juga. Namun matanya
yang tidak bercahaya tampak mempunyai kesanggupan untuk menguasai keadaan
sekitarnya. Tubuhnya yang tinggi dan yang menjadi kurus oleh penderitaan ini
diselubungi oleh kain putih yang turun dari bahu sampai ke tanah seperti kain
kafan saja. Wajahnya yang mulia itu pucat pasi dan rambutnya yang beruban pada
pelipisnya itu tergantung tebal-tebal sampai ke leher.
Kesan orang ketika itu, seolah-olah mereka melihat suatu roh keluar dari dalam
kubur untuk mengakhiri suatu perselisihan di antara makhluk yang fana. Orang
yang baru muncul itu adalah Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla. Pembiusan
yang dialaminya masih kurang sempurna sifatnya. Ia telah sadar kembali dan
mendengar perdebatan itu. Tertarik oleh perdebatan itu dengan berselubungkan
kain putih, ia telah meluncur dari atas meja operasi dan masuk ke dalam ruangan
ini. "Apa yang sedang terjadi di sini" Siapakah yang bicara tadi" Mengapa pembedahan
harus ditunda?" tanya Pangeran, sambil matanya berkeliaran melihat ke kiri dan
ke kanan. Roseta langsung menghampiri, lalu memeluknya dengan mesra. "Ayah, ayahku yang
tercinta!" serunya. "Puji syukur kepada Tuhan, bahwa pembedahan masih belum
dilakukan! Kini mereka tidak boleh membunuh Ayah."
"Membunuh" Siapa akan membunuh, anakku?"
"Kalau tidak dihalangi, Ayah akan mati, percayalah, Ayah!"
"Ucapanmu itu dilandasi oleh cinta yang amat besar kepada ayahmu. Namun
sebenarnya tidak perlu kau mengganggu kami!"
"Benar sekali, Ayah!" kata pangeran palsu cepat-cepat. "Ia telah mengacau
pekerjaan kami dengan cara melanggar segala peraturan! Ia begitu kurang ajar
sampai berani menyuruh bongkar pintu! Coba Ayah pikir sendiri, apakah perbuatan
itu layak dilakukan oleh seorang Putri Rodriganda."
"Benarkah itu, Nak?" tanya Don Manuel dengan tersenyum, kurang percaya.
"Memang benar, Ayah," jawab Putri. "Kesehatan Ayah harus selalu dijaga dengan
hati-hati sekali dan jiwa Ayah terlalu berharga bagiku untuk berlaku kurang
hati-hati. Ayah hanya boleh mendapat pertolongan dokter-dokter yang saya
percayai. Namun saya mendapat kesan, bahwa mereka kurang memperhatikan
kepentingan Ayah dan bertindak agak ceroboh. Disebabkan oleh rasa cemas dan
khawatir itu, maka saya menulis surat kepada Profesor Letourbier di Paris minta
dikirim seorang ahli bedah. Sekarang ahli bedah itu sudah ada di sini. Anehnya
ialah, bahwa mereka tidak mengizinkan berbicara dengan Ayah. Dapatkah sekarang
Ayah maklum, mengapa saya akhirnya masuk kamar Ayah juga?"
Si sakit itu menundukkan kepala dan berkata sambil tersenyum letih,
"Dokter-dokterku mendapat kepercayaan sepenuhnya. Bila pembedahan itu
dirahasiakan waktunya, maka hal itu semata-mata dilakukan demi kepentinganmu
sendiri dan supaya aku terhindar dari rasa gelisah. Di mana dokter dari Paris
itu?" "Ia hadir di sini. Namanya Dokter Carl Sternau dari Mainz."
"Di sini, dalam kamar ini?"
"Benarlah, Yang Mulia," jawab Sternau sendiri. "Maafkan saya, bahwa saya
memberanikan diri menerima undangan putri Anda. Bila kita menghadapi perkara
hidup mati seseorang, maka tidak boleh kita menganggap soal yang kecil apalagi
bila orang yang dimaksudkan itu ayah kita sendiri."
Perkataan itu diucapkan dengan suara mantap yang tepat mengenai hati orang buta
itu. "Pernahkah Anda menyaksikan pembedahan demikian, Senor?" tanya Pangeran.
"Pernah." "Anda hanya menjawab dengan sepatah kata saja, tetapi dari nadanya saya dapat
mendengar, bahwa Anda telah berkali-kali menyaksikan pembedahan demikian, bahkan
mungkin juga melakukannya sendiri."
"Anda baru saja mendengar, saya ini seorang dokter yang memimpin suatu tim
dokter pada Profesor Letourbier."
"Kalau begitu, Anda harus mendapat kepercayaan dan tidak boleh dikesampingkan
begitu saja. Saya harus mengucapkan terima kasih dengan kedatangan Anda.
Bersediakah Anda memeriksa saya?"
"Itu memang maksud kedatangan saya, Yang Mulia."
"Kalau begitu, maka silakan masuk. Para dokter akan menemani kita. Selanjutnya
saya mohon supaya yang lain tinggal di sini."
"Tunggu dahulu, Ayah!" seru Alfonso. "Ayah belum mengetahui bahwa saya telah
mengusir orang ini. Ayah akan meniadakan perintah saya?"
"Anakku, engkau telah menghina senor ini dan aku harus meminta maaf karena
perbuatanmu itu." Dengan mengucapkan perkataan ini ia kembali lagi ke kamar sebelah. Sternau
mengikutinya bersama dengan tiga orang dokter itu.


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alfonso yang harus tinggal dalam kamar itu berbisik kepada saudaranya dengan
berangnya, "Awas! Ini tidak akan kulupakan!"
Kemudian ia berdiri di muka sebuah jendela. Roseta duduk di atas kursi, tanpa
menghiraukan saudaranya. Kamar yang dimasuki Pangeran sudah dilengkapi dengan segala alat pembedahan yang
diperlukan. Di atas sebuah meja panjang diletakkan sebuah tilam, tempat Pangeran
membaringkan diri. Di sampingnya terletak berbagai alat pembedahan dan di atas
lantai terdapat pinggan-pinggan tempat menampung darah.
Pangeran Manuel berkata kepada Sternau,
"Karena saya sudah kehilangan penglihatan, maka saya biasa menilai orang dari
suaranya. Dan suara Anda menimbulkan kepercayaan. Maka silakan Anda memeriksa
saya!" Sternau sudah biasa menghadapi berbagai pasien, tetapi sekali ini ia merasa
prihatin. Maklumlah, karena sekali ini pasiennya ayah gadis yang luar biasa
dicintainya, meskipun tanpa harapan. Dengan tiada sengaja ia menarik napas
panjang. Pangeran mendengar dan bertanya, "Anda kira keadaan saya ini sudah
mengkhawatirkan?" "Bukan begitu, Yang Mulia," jawabnya. "Apa yang Anda dengar bukan pernyataan
putus asa, melainkan suatu doa yang dipanjatkan kepada Tuhan, semoga pekerjaan
saya dapat berhasil dengan baik dan harapan Condesa terkabul."
Pangeran menjabat tangannya, lalu berkata,
"Terima kasih, Senor. Perkataan Anda membuat saya lebih banyak menaruh
kepercayaan kepada Anda. Barangsiapa di samping keahliannya masih juga
mengharapkan bantuan dari Tuhan akan berhasil dalam segala usahanya. Maka
silakan mulai pekerjaan Anda!"
Kini Sternau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang berhubungan dengan penyakit
Pangeran. Sesudah itu Pangeran harus berbaring di atas meja, supaya dapat
diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara yang meyakinkan
bagi para dokter Spanyol yang menghadirinya, sehingga mereka menyadari, bahwa
mereka berhadapan dengan seorang dokter yang jauh lebih ahli daripada mereka.
Akhirnya si sakit dibolehkan berdiri lagi. Ia bertanya kepada Sternau tentang
hasil pemeriksaannya, akan tetapi Sternau tidak menjawabnya, melainkan ia
bertanya pula. "Yang Mulia, Anda tidak dapat melihat. Bolehkah saya mengajukan berbagai
pertanyaan berhubung dengan hal itu kepada Anda?"
"Boleh. Silakan bertanya!"
Sternau mengajukan berbagai pertanyaan, yang dijawab oleh Pangeran. Kemudian ia
mengeluarkan berbagai perkakas, lalu menyinari dan memeriksa mata Pangeran.
Akhirnya selesailah ia dengan pemeriksaannya, lalu ia menghadap kepada dokter-
dokter teman sejawatnya. "Baru saja dikatakan oleh Dokter Francas, bahwa ia tidak mengizinkan campur
tangan orang luar. Maka saya terpaksa menempuh jalan lain daripada musyawarah.
Kini saya paparkan segala pendapat saya tanpa tedeng aling-aling, tanpa berusaha
mendengar pendapat orang lain. Yang Mulia, bolehkah saya mengetahui dengan cara
bagaimanakah para dokter hendak mengeluarkan batu dari dalam tubuh Anda?"
"Dengan membedah kandung kencing," jawab si sakit.
Sternau terkejut. "Itu tidak mungkin, Yang Mulia," serunya. "Mereka hendak
menipu Anda atau Anda salah mengerti! Sebab saya tidak mengerti apakah keperluan
mereka untuk menipu Anda."
"Saya tidak salah mendengar," kata Pangeran. "Boleh Anda tanyakan sendiri kepada
Tuan-Tuan ini!" Sternau menoleh kepada para dokter. Hanya Francas yang sanggup memberi jawaban.
Ia berkata dengan angkuhnya,
"Memang pendapat kami demikian. Hanya dengan cara demikian Pangeran dapat
disembuhkan dari penyakitnya."
"Tetapi," kata Sternau dengan hati panas, "sudahkah Anda mengetahui dengan pasti
tentang batu itu dengan jalan meraba, mengetahui berapa besar dan di mana
letaknya" Astaghfirullah, saya tidak dapat memahami pekerjaan Anda. Setiap
pembedahan di bagian tubuh sekitar ini adalah berbahaya, apalagi pembedahan yang
hendak Anda lakukan. Dapat menyebabkan kematian! Seorang dokter yang berani
menggunakan pisau bedahnya dengan cara seperti yang Anda maksudkan bagi saya
sama dengan seseorang yang hendak melakukan pembunuhan keji terencana!"
"Kurang ajar benar!" seru ahli bedah dari Madrid itu.
"Anda sendirilah yang kurang ajar!" jawab Sternau dengan mata berapi-api.
"Pangeran Rodriganda itu bukanlah seorang dokter. Beliau tidak dapat mengetahui
apa yang akan terjadi pada dirinya. Tetapi setiap orang yang baru belajar
tentang ilmu kedokteran mengetahui, bahwa pembedahan itu pasti berakhir dengan
kematian bagi Pangeran. Bila saya adukan hal ini dan mereka datang untuk
mengadakan penyelidikan, maka pasti Anda akan ditahan berdasar tuduhan hendak
melakukan pembunuhan."
Meskipun ancaman itu mengecutkan hati para dokter, namun Francas berhasil
menguasai dirinya. "Wah," serunya mengejek. "Anda, orang asing, hendak mengancam kami" Lucu benar!
Lihat, orang ini pandai bermain sandiwara dengan tujuan mendapat pujian dari
Yang Mulia, mungkin dengan harapan diangkat menjadi dokter pribadi Yang Mulia.
Akan tetapi Yang Mulia tidak begitu mudah tertipu. Beliau mengenal benar kami.
Kami adalah dokter-dokter kenamaan. Nama kami belum pernah ternoda! Mari, lebih
baik kita dengar saja pendapat dukun sombong ini, bagaimana cara sebaiknya
menurut pandangannya untuk mengeluarkan batu itu!"
"Baik, itu akan Anda dengar!" jawab Sternau tenang. "Batu itu hanya dapat
dikeluarkan dengan jalan lithotripsi. Jalan demikian tidak berbahaya."
"Lithotripsi?" tanya dokter dari Manresa itu. "Apa itu?"
Sternau menggelengkan kepala mendengar ucapan itu. "Nah, Yang Mulia mendengar
sendiri, kepada siapa Anda telah mempercayakan keselamatan jiwa Anda serta
kebahagiaan putri Anda," katanya kepada Pangeran. "Orang ini belum pernah
mendengar tentang lithotripsi, yaitu cara menghancurkan dan mengeluarkan batu
dengan gurdi catheter!"
Francas tertawa mengejek. "Anda kira Anda terlalu pandai" Dongeng tentang
selipit catheter itu sudah lebih dahulu kami ketahui daripada Anda, namun hanya
merupakan dongeng saja. Hanya seorang yang masih awam menaruh kepercayaan
padanya. Dan kami tidak suka bertukar pikiran dengan seorang awam. Biar Pangeran
sendiri yang menentukan, siapa yang harus meninggalkan kamar ini, dia atau
kami." "Dalam perkara ini segala perbuatan akan saya lakukan berpedoman pada hati
nurani," kata Sternau. "Sudah saya katakan, bahwa Pangeran bukanlah seorang
dokter. Karena itu, maka ada kemungkinan, beliau akan memilih yang salah, yang
akan menyebabkan kematiannya. Dalam hal itu saya tidak akan menyerah begitu
saja. Ketahuilah, bahwa saya rela mempertaruhkan nyawa saya sendiri untuk
mempertahankan keyakinan saya!"
Maka Pangeran bangkit, lalu berbicara dengan nada memerintah,
"Tuan-Tuan Dokter, tempat ini janganlah dijadikan gelanggang perdebatan.
Pendapat Anda sudah saya maklumi. Kini giliran menguji pendapat Dokter Sternau.
Maka biarlah ia di sini untuk memaparkan pendapatnya. Tuan-Tuan Dokter lain saya
minta meninggalkan tempat ini dahulu. Kemudian Tuan-Tuan akan diberi tahu
tentang keputusan yang akan saya ambil."
"Itu berarti, bahwa kami diusir?" gerutu Francas. "Apakah itu berarti juga,
bahwa kami sudah diberhentikan dari tugas kami" Baik, kami akan pergi, tetapi
kami masih harus mengadakan perhitungan dengan orang asing ini. Selanjutnya
adalah harapan kami, supaya Yang Mulia jangan mudah terpengaruh oleh bujukan,
melainkan selalu menimbang masak-masak keputusan yang hendak Anda ambil."
Mereka mengemasi perkakasnya, lalu meninggalkan kamar itu. Tidak lama kemudian
Roseta masuk, memeluk Pangeran dengan mesra dan bersorak, "Selamat! Ayah, terima
kasih!" Pangeran menolak dengan lemah lembut, sambil berkata,
"Sabar dahulu, Nak! Keputusan masih belum diambil! Aku masih harus mendengar
pendapat Dokter Sternau lebih dahulu."
"Pendapat Dokter Sternau sudah pasti satu-satunya yang baik," seru Roseta. "Ayah
sungguh dapat mempercayainya."
Roseta memandang kepada Sternau dengan penuh kemesraan, sehingga hati Sternau
diliputi kebahagiaan. Dengan suara terharu ia berkata,
"Percayalah kepada saya, Yang Mulia! Demi Tuhan, segala perbuatan yang hendak
saya lakukan pada Yang Mulia, adalah yang sejujur-jujurnya. Saya mohon Anda
memaafkan saya telah menggunakan kata-kata kasar pada para dokter itu. Saya
terkejut mendengar cara mereka bekerja yang begitu ceroboh dan tidak mengenal
tanggung jawab, yang dapat membahayakan jiwa Anda. Bila pembedahan dilakukan
juga, maka jiwa Anda sudah pasti tidak akan tertolong."
Kini pintu terbuka dan Alfonso menyerbu masuk. Di luar ia telah mendengar
tentang kegagalan pada dokter dan kini ia datang dengan marah dan rasa kecewa
untuk mengusahakan, supaya sedapat mungkin tujuan jahat masih dapat
dilaksanakan. "Mengapa para dokter itu pergi, Ayah" Ayah telah mengusir mereka?" tanyanya.
"Aku tidak mengusir mereka, Nak!" jawab Pangeran. "Aku hanya mengatakan kepada
mereka, aku ingin diberi waktu untuk berpikir."
"Saya harap, dalam mengambil keputusan, Ayah sudi mempertimbangkan juga segala
jasa dan jerih payah para dokter untuk menyembuhkan penyakit Ayah itu!"
"Aku akan mengambil keputusan yang adil, percayalah, Nak! Tetapi sekarang
kumohon supaya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi perkara yang memuakkan
ini." Alfonso harus menurut juga, lalu Pangeran berkata kepada anak perempuannya,
"Tahukah kamu, bahwa Dokter Sternau telah memeriksa mataku juga?"
Putri Roseta memandang kepada Sternau dengan muka berseri-seri.
"Benarkah demikian?" tanyanya. "Dan bagaimanakah pendapat Anda, ada harapan atau
tidak?" "Pasti ada harapan, Condesa. Berkali-kali saya telah mengobati orang buta.
Berkat pengalaman saya, kini dapat membedakan dengan mudah kasus-kasus penyakit
buta yang tidak dapat disembuhkan dengan yang dapat disembuhkan."
"Tetapi pendapat para dokter, penyakit mata Ayah itu tiada tersembuhkan."
"Berdasar pemeriksaan saya, dapat saya pastikan bahwa pendapat para dokter itu
salah." Roseta terlompat. Pangeran menegakkan kepalanya, suatu tanda bahwa ia merasa
gembira, sedang Alfonso melempar pandangan penuh kebencian.
"Apa maksud Anda?" tanya Don Manuel. "Katakanlah, lekas!"
"Benarkah para dokter berpendapat bahwa penyakit Anda tidak dapat disembuhkan?"
"Ya, begitulah pendapat mereka."
"Menurut pendapat mereka, Anda menderita penyakit apa?"
"Penyakit stafyloom."
"Itu tidak benar. Penyakit stafyloom, bila lapisan kornea membusuk! Penyakit
Anda disebut star keruh, bergabung dengan pengotoran lapisan kulit tanduk yang
sangat jarang kita jumpai. Penyakit ini disebut leukoom."
"Apakah penyakit itu dapat disembuhkan?" tanya Pangeran sambil menahan napasnya.
"Memang sudah lama penyakit ini dianggap sebagai tiada tersembuhkan, tetapi kini
para dokter sudah berhasil menyembuhkan beberapa orang yang berpenyakit
demikian. Leukoom ini dapat dikeluarkan dengan menggunakan jarum star yang
dimasukkan berkali-kali. Akhirnya star keruh di bawahnya dapat dibedah. Maukah
Anda mempercayakan diri Anda kepada saya, maka saya dapat mengatakan dengan
jujur, bahwa Anda mempunyai harapan untuk dapat melihat kembali, meskipun tidak
sejelas seperti sebelum Anda sakit. Sedikitnya Anda dapat membaca dengan memakai
kacamata!" Pangeran menadahkan tangan ke langit, lalu berkata,
"O, alangkah baiknya, bila itu mungkin!"
Roseta, karena gembira, berlutut di hadapannya dan menangis terisak-isak.
"Ayah, percayalah kepadanya! Tiada seorang pun dapat menolong Anda, kecuali
dia!" "Baik, akan kuturut nasehatmu, Nak! Aku akan mempercayakan diriku sepenuhnya
kepadanya!" demikian diputuskan oleh Pangeran. "Sambutlah tangan saya, Tuan!
Anda telah mulai pekerjaan Anda hari ini dengan bantuan Tuhan dan Anda akan
mengakhirinya dengan bantuan Tuhan pula. Alfonso, anakku, tidakkah engkau turut
bergembira dengan kami?"
Pangeran palsu itu berusaha menyembunyikan kekecewaannya, lalu menjawab,
"Saya akan berbahagia, bila Ayah sembuh dan dapat melihat lagi, tetapi harus
dikatakan juga, bahwa tidaklah baik untuk memberi harapan palsu kepada seseorang
dalam kesusahan, sebab bila pengharapan itu ternyata kosong belaka, maka orang
itu akan merasa sepuluh kali lebih malang!"
"Tuhan akan melindungi kita! Perawatan itu akan makan waktu berapa lama, Tuan
dokter?" "Batu itu tidak dapat langsung dikeluarkan, karena Anda masih harus membiasakan
diri dengan perkakasnya. Setelah dua minggu baru dapat dikerjakan," jawab
Sternau. "Dan kemudian, bila kekuatan tubuh Anda sudah pulih kembali setelah
mengalami pembedahan itu, maka dapat dimulai dengan perawatan mata. Itu akan
makan waktu lebih lama lagi."
"Tetapi dapatkah Anda tinggal di sini begitu lama?"
"Ya, saya harus minta cuti pada Profesor Letourbier selama beberapa waktu lebih
dahulu. Mungkin juga saya harus meletakkan jabatan saya di sana."
"Baik Anda meletakkan jabatan saja, bila Anda tiada berkeberatan. Anda dapat
tinggal di sini berapa lama pun dan akan menerima ganti rugi cukup banyak untuk
segala yang Anda tinggalkan di Paris!"
"Hadiah paling besar yang saya harapkan hanyalah, bila Anda dapat sembuh dengan
sempurna dan dapat memperoleh penglihatan Anda kembali. Hari ini saya akan
menulis sepucuk surat kepada Profesor."
"Ya, lakukanlah itu! Anda tinggal di sini saja. Roseta akan mengantarkan Anda ke
kamar Anda." "Bukankah pekerjaan itu harus dilakukan oleh seorang abdi?" kata Alfonso dengan
hati kesal. "Benar juga pendapatmu," kata Pangeran, "kegirangan hatiku membuat aku lupa hal
itu." "Saya pun harus berterima kasih pada ucapan peringatan itu," kata Sternau dengan
penuh harga diri, "karena bukanlah keinginan saya, orang mengadakan pengecualian
karena saya." Sternau minta diri kepada Pangeran Manuel dan bergegas keluar dari
kamar itu. Di luar ia menjumpai ketiga orang dokter Spanyol itu, yang menatapnya
dengan pandangan penuh kebencian.
"Anda telah menantang kami," kata Francas. "Baik, kami terima tantangan itu dan
kami terus-menerus akan melawan Anda, hingga Anda menyerah kalah."
"Boleh saja!" Hanya itulah jawaban Sternau. Kemudian didorongnya orang yang berbicara tadi,
lalu ia membuka pintu. Ia pergi ke rumah tempat ia bermalam. Bila ia kembali
lagi ke puri, sebuah kamar sudah akan siap baginya untuk ditempati.
Tidak lama kemudian beberapa orang mengadakan pertemuan di kamar Senora Clarissa
dengan pintu terkunci. Pangeran Alfonso, Dokter Francas, dan Notaris Gasparino
Cortejo hadir di situ. Kedua orang yang namanya disebut lebih dahulu
menceritakan peristiwa yang baru dialaminya dengan panjang lebar.
"Aneh benar!" seru Clarissa setelah mendengar seluruh cerita itu. "Kami sudah
begitu yakin akan berhasilnya rencana itu, tiba-tiba datang orang asing untuk
mengacaukan segala-galanya!"
"Mengacaukan?" tanya Alfonso dengan tajam. "Itu tidak dapat disebut demikian.
Bukan mengacaukan, melainkan hanyalah menunda sekadarnya."
"Cara penyembuhan dengan catheter itu benarkah dapat berhasil?" bisik notaris
kepada dokter. "Sudah pasti," jawab Francas. "Tetapi sebelum ia berhasil, sebaiknya kita
menghancurkan diri Dokter Sternau dengan gurdinya sendiri."
"Dan bagaimana kemungkinan berhasilnya pembedahan mata itu?"
"Itu pun mungkin, kecuali bila terjadi peradangan. Saya khawatir, dokter asing
itu sanggup melakukan segala pekerjaan itu."
"Maka kita harus mengusahakan, supaya peradangan itu terjadi," kata Clarissa.
"Benarlah, itu dapat kita usahakan dan lebih banyak lagi," kata notaris, "tetapi
kita harus bekerja dengan hati-hati. Janganlah kita tergesa-gesa. Selanjutnya
kita harus selalu menjaga, supaya perbuatan kita tidak menimbulkan kecurigaan.
Kita tidak boleh dilihat orang sedang bersama-sama. Maka kita harus selekasnya
mengakhiri pembicaraan ini dan berpisah. Namun satu hal sudah pasti: Pangeran
tidak boleh sembuh, terutama tidak boleh dapat melihat kembali, karena hal itu
akan berbahaya. Ia sekali-kali tidak boleh melihat wajah Alfonso. Dan dokter
asing itu harus dibunuh atau disingkirkan."
"Tetapi bagaimana?" tanya Clarissa.
"Serahkan pekerjaan itu kepadaku! Aku mempunyai kawan-kawan baik di daerah
pegunungan. Mereka dinamakan perampok oleh orang-orang bodoh. Tetapi bagiku
mereka merupakan sahabat-sahabat yang paling setia serta jujur. Aku akan
mengunjungi mereka dan minta bantuan mereka untuk membebaskan kami dari gangguan
pengacau asing itu."
Ketika Sternau kembali lagi ke puri, Putri Roseta menyambut dengan salamnya.
"Selamat siang, Senor!" katanya. "Semoga kedatangan Anda membawa berkat dan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahagia!" "Saya khawatir, kedatangan saya mula-mula hanya mendatangkan pertarungan saja,"
jawabnya. "Itu sudah diramalkan oleh Dokter Francas."
"Mungkin Anda benar," jawab Putri dengan mata berseri-seri, "tetapi pertarungan
itu bukanlah hanya bermanfaat untuk memberantas kepalsuan, dusta dan kebatilan,
melainkan juga suatu pertarungan yang mengabdi kepada cinta! Dan dalam
pertarungan itu saya akan menjadi kawan Anda yang setia dan bersemangat!"
BAB III KISAH TENTANG SEORANG PENGEMIS
Di atas pegunungan Pirenea di sebelah barat Andorra, terdapat pegunungan
Maladetta (= Yang Terkutuk). Puncak-puncaknya menjulang tinggi ke langit dan
jurang-jurangnya dalam serta gelap. Di daerah itu terlihat seorang pengembara
menempuh jalan menuruni gunung. Tiada mata air yang dapat memberinya kesejukan,
tiada pula semak belukar tempat berteduh dari panas matahari yang memancarkan
sinar dengan teriknya ke atas tanah berbatu yang tandus itu. Sesungguhnya
pengembara itu sangat mendambakan seteguk air minum yang dapat menyegarkan
tubuh, serta suatu tempat yang teduh, tempat ia dapat melunjurkan kaki untuk
melepaskan lelah sejenak.
Orang itu sudah lanjut usianya. Rambut sudah beruban dan wajahnya kurus kering
oleh pengaruh cuaca. Kulit tangannya mengeras seperti kulit hewan yang disamak.
Pakaiannya compang-camping dan sandal yang dipakainya sudah tua dan tipis,
sehingga kakinya menyentuh tanah yang panas menyengat itu. Tambahan pula tampak
ia sedang menderita sakit payah, karena ia batuk tiada putus-putusnya! Demikian
ia berjalan terhuyung-huyung menuruni gunung. Perjalanan itu sangat meletihkan,
tetapi ia memaksakan kaki melangkah terus, seolah-olah terdorong oleh pengaruh
kutuk jahat, merangkak-rangkak di tengah-tengah gurun tandus itu. Akhirnya ia
berhenti dan menoleh ke kiri dan ke kanan seolah-olah ada sesuatu yang dicari.
"Inilah daerahnya," katanya kepada diri sendiri. "Di sini telah kubawa anak itu.
Dari sini aku pergi ke Meksiko dan dari sini pula mulailah hidup sengsara yang
terasa hingga ke tulang sumsumku. Maka di sinilah aku harus berhenti dan
beristirahat." Orang tua itu lalu duduk bertopang dagu di atas sebuah batu yang membara. Di
mana-mana sunyi senyap keadaannya. Hanya napas orang tua yang terengah-engah itu
memecah kesunyian. "O, santa madre dolorosa," katanya kemudian. "Betapa besar dosaku, betapa kejam
pula ganjaran yang kuterima untuk perbuatanku itu! Aku harus mengembara
sepanjang masa sambil mengemis, menempuh daratan dan lautan untuk menebus dosaku
yang amat berat menekan jiwaku itu, agar dengan tenang dapat membaringkan
tubuhku ke dalam liang kubur. Ya Tuhan, sertailah hamba-Mu yang berdosa ini.
Berilah, supaya aku tidak sia-sia mencari! Berilah, supaya aku dapat
menemukannya, supaya dengan demikian aku terhindar dari bahaya api neraka yang
abadi itu!" Ia duduk termenung sambil batuk-batuk. Kemudian ia mulai lagi.
"Akan tetapi, masih hidupkah ia" Ataukah sudah dimatikan, anak yang tampan, yang
telah kugendong dalam keadaan tidur seperti anak Kristus di dalam tangan perawan
suci itu" Alangkah kejinya, kalau benar begitu keadaannya. Tidak, tiada tertahan
olehku keadaan yang tidak menentu seperti ini! Aku harus berjalan terus,
membelok ke kiri, ke tempat persembunyian gerombolan perampok itu. Tetapi mereka
tidak boleh mengenaliku; mereka tidak boleh menerka maksud kedatanganku. Mereka
tidak akan mengusirku. Mereka akan membiarkan orang sakit payah seperti aku dan
tidak lama lagi akan kutemukan anak itu, bila insya Allah ia masih hidup. Maka
ayolah kakiku, berjalanlah terus tanpa merisaukan segala keletihan! Tidak lama
lagi kalian boleh beristirahat untuk selama-lamanya!"
Ia bangkit dengan susah payah, lalu melanjutkan perjalanannya. Sejak semula
perjalanannya menuju ke arah selatan. Kini ia membelok ke arah timur. Ia harus
menempuh lembah-lembah sempit dan mendaki tebing-tebing curam. Ia batuk-batuk,
napasnya terengah-engah, ia merintih dan mengerang, namun tidak mau menyerah
kalah sebelum ia melihat pohon-pohon hijau di hadapannya. Kini ia sudah
melampaui daerah tandus dan gersang dan ia mencapai daerah pegunungan yang mula-
mula ditumbuhi semak belukar, tetapi tidak lama kemudian menjadi hutan-hutan
yang lebat. Di antara semak-semak dan pohon-pohon itu ia mendaki ke atas, sampai ia tiba di
sebuah padang yang dikitari semak-semak. Di situ ia duduk melepaskan lelah.
Baru saja ia duduk, ia mendengar bunyi langkah kaki orang di belakangnya.
Sebelum sempat menoleh ke belakang, ia merasa sebuah tangan orang yang tegap
memegang bahunya, lalu ia mendengar suara orang membentak, "Apa kerjamu di sini,
Kek?" "Mati!" Hanya sepatah kata itulah jawabnya. Kemudian dibiarkannya kepala
terkulai ke bawah. "Kakek ingin mati" Mengapa?"
Orang yang berbicara itu masih muda dan bertubuh kekar. Dari senjata-senjata
yang dibawanya kita dapat menerka bahwa ia bukanlah orang kota atau orang desa
biasa, yang bertujuan damai.
"Karena aku tidak dapat berjalan lagi," keluh orang sakit itu.
"Mengapa Kakek ke mari" Apa hendak dicari?"
"Berhari-hari sudah aku mencari akar tumbuh-tumbuhan yang dapat menyembuhkan
penyakitku, namun tiada dapat kutemukan."
"Kakek berasal dari mana?"
"Dari Orense, jauh dari sini, di perbatasan dengan wilayah Portugis."
"Kakek sakit perlu datang ke mari" Kakek membawa makanan?"
"Tidak, sedikit pun tidak."
"Sedikit pun tidak" Astaghfirullah, Kakek akan mati kelaparan, sebelum Kakek
ditewaskan kuman-kuman penyakit paru-paru Kakek! Tunggu sebentar! Aku akan minta
izin supaya boleh membawa Kakek ke tempat kami!"
Anak muda itu menghilang di balik semak-semak tetapi tak lama kemudian kembali
lagi. "Dengan mata Kakek ditutup secarik kain aku dapat membawa Kakek ke suatu tempat,
di situ Kakek dapat beristirahat dengan tenang," katanya.
"Mengapa harus dengan mata tertutup?"
"Itu perlu, karena Kakek tidak boleh melihat jalan masuk ke tempat kediaman
kami." "Siapakah kalian gerangan?"
"Kami perampok, namun kami orang-orang jujur, Kek."
"Perampok" Aku tidak mempunyai apa-apa. Maka aku tak perlu takut pada kalian.
Tutup saja mataku dengan secarik kain dan bawalah aku ke mana kau kehendaki."
Perampok itu mengambil kain yang terlilit di lehernya, menutup mata orang tua
itu dengan kain, lalu membimbingnya.
Mula-mula mereka menempuh jalan yang ditumbuhi semak-semak, kemudian menurut apa
yang dapat kita dengar dari bunyi langkah kaki mereka melalui lorong sempit.
Akhirnya mereka berhenti dan kain penutup mata orang tua itu dibuka. Kini orang
tua itu berdiri di atas suatu padang berbatu-batu. Sekelilingnya duduk lebih
kurang dua puluh orang berwajah liar dan bersenjata lengkap. Mereka sedang
makan, minum, mengisap rokok, atau memeriksa senjatanya. Kakek itu dibawa
menghadap seorang yang bertubuh tinggi dan berjanggut lebat, yang sedang
berbaring di atas selimut bulu domba, sibuk menghitung uang di dalam tas kulit
yang besar. "Siapa nama Kakek?" bentaknya kepada kakek yang baru datang itu.
"Namaku Bernardo, Senor."
Kepala perampok itu mengamatinya sejenak.
"Sangkaku, aku sudah pernah melihat wajah Kakek."
"Saya rasa Anda khilaf. Saya belum pernah melihat Anda."
"Kata orangku, Kakek berasal dari daerah Orense. Mengapa tidak diam di sana
saja, bila sedang sakit?"
"Justru karena keadaan saya yang sakit inilah maka saya ke mari. Saya mencari
sejenis akar yang dapat menyembuhkan segala penyakit."
"Haha, obat semacam itu tidak ada!"
"Ada, Tuan. Seorang Zanggi yang arif bijaksana mengatakannya."
"Apakah Kakek tidak mempunyai anak yang dapat menggantikan Kakek!"
"Saya tidak bersanak saudara di dunia ini."
"Kakek boleh tinggal di sini untuk beristirahat! Kakek tidak akan lama lagi
hidup. Ingat, tanpa izinku, Kakek tidak boleh meninggalkan tempat ini. Awas,
kalau Kakek berkhianat. Kami akan mengambil tindakan tegas pada orang-orang
demikian!" Orang tua itu diberi tempat bernaung yang agak jauh letaknya dari tempat mereka
sendiri. Ia mendapat makan dan minum. Selanjutnya ia tidak dihiraukan lagi.
Selang berapa lama penjaga yang bertugas di luar masuk lagi dan lapor kepada
kepala perampok bahwa seorang asing ingin bicara dengannya. "Siapakah orang
itu?" tanya kepala perampok.
"Ia tidak bersedia menyebut namanya. Ia memakai topeng hitam supaya tidak
dikenal orang." "Baik, aku akan datang."
Kepala perampok itu bangkit, mengambil sepucuk pistol dan meninggalkan
tempatnya. Di luar dilihatnya orang asing itu. Nampaknya dikenal juga orang
asing itu karena ia menghampirinya dan mengulurkan tangan kepadanya, lalu
menyambutnya dengan ramah.
"Selamat datang, Senor Gasparino! Berapa lama kita tidak bertemu?"
"Sst!" kata orang yang bertubuh tinggi kurus dan bertopeng itu, memperingatkan.
"Jangan menyebut namaku! Kita harus waspada! Cukup amankah kita di sini?"
"Saya jamin! Penjaga yang sedang bertugas itu cukup jauh berdiri dari sini. Ia
tidak dapat mendengar percakapan kita. Saya harap, Anda membawa tugas yang
menarik bagi saya." "Memang ada tugas itu, asal Anda jangan minta upah terlalu banyak. Berapa ongkos
untuk menyingkirkan dua orang?"
"Itu tergantung pada siapakah mereka itu."
"Seorang pangeran dan seorang dokter."
"Siapakah pangeran itu?"
"Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla."
"Tuan Anda" Astaghfirullah! Anda benar-benar seorang pegawai yang setia! Tetapi
maaf, saya tidak dapat memenuhi permintaan Anda! Pangeran itu di bawah naungan
salah seorang sahabat saya. Ia tidak boleh saya bunuh!"
"Ada-ada saja. Ingat, saya berani membayar harga yang mahal!"
"Itu pun tidak dapat mempengaruhi pendirian saya. Kami perampok bersikap jujur
pada sesama kawan. Sungguhpun Anda menjanjikan bayaran yang berlipat ganda
besarnya, namun harus saya tolak juga. Maka tugas membunuh orang pertama itu
janganlah dipersoalkan lagi. Lalu siapakah orang yang kedua itu?"
"Seorang dokter Jerman."
"Itu dapat dilaksanakan."
"Dan tentu lebih murah upahnya."
"Tentu saja. Di mana tinggalnya?"
"Di rumah Pangeran."
"Kalau begitu upahnya tidak dapat lebih murah. Seorang yang tinggal di rumah
orang yang kami lindungi tidak boleh dibunuh juga."
"Tidak boleh" Siapa yang dapat melarang Anda?"
"Saya sendiri. Saya tidak boleh melanggar begitu saja peraturan yang telah saya
ciptakan sendiri. Tetapi mengapa orang ini harus disingkirkan?"
"Ia merintangi jalan saya. Saya harap keterangan ini sudah cukup bagi Anda?"
"Baik. Ia harus mati atau menghilang saja?"
"Yang pertama lebih aman."
"Anda harus membayar seribu keping uang dublon."
"Sebanyak itu" Anda sedang mengigau, Capitano?"
Kepala perampok itu bangkit dan berkata pendek,
"Kalau begitu kita batalkan saja. Adios, Senor!"
"Sudahlah! Saya setuju dengan harga itu. Bilamana uang itu harus dibayarkan?"
"Separuh sekarang dan separuh lagi kemudian."
"Dan bila Anda gagal?"
"Tak mungkin gagal. Bagaimana orang itu harus didekati?"
"Itu belum dapat saya pastikan. Sedikitnya diperlukan sejumlah orang untuk
melakukan pekerjaan itu. Anda mengirim mereka ke Rodriganda. Mereka akan bertemu
dengan saya di taman. Di situ saya akan memberi petunjuk. Inilah lima ratus
keping uang dublon."
Gasparino menghitung uang itu, lalu bertanya,
"Masih adakah anak kecil yang dahulu?"
"Masih. Dan kini ia sudah meningkat dewasa."
"Mengapa tidak Anda bunuh saja?"
"Dahulu Anda membayar saya untuk menyingkirkannya saja. Dan siapakah sebenarnya
anak itu?" "Anda dapat mendengar tentang itu kemudian. Siapakah ia menurut perkiraan Anda?"
"Hanya seorang anak yang ditemukan di pegunungan."
"Boleh saya melihatnya?"
"Sayang tidak, Senor! Anda bukanlah anggota. Anda hanya membayar pekerjaan saya.
Sekarang lebih baik Anda pergi. Lebih dari ini tidak dapat Anda peroleh."
"Baik. Bilamana saya dapat mengharap kedatangan orang-orang Anda ke Rodriganda?"
"Esok sore. Adios, Senor!"
"Adios." Mereka berjabatan tangan, lalu berpisah. Kedua orang itu baru saja memutuskan
tentang jiwa seseorang. Hal itu dianggap soal kecil saja. Tetapi siapakah yang
sebenarnya lebih berbahaya, kepala perampok yang kejam atau notaris munafik yang
bertindak dengan sembunyi-sembunyi itu" Setelah perampok itu kembali di tempat
persembunyiannya, ia memanggil lima orangnya yang tangguh dan menyuruh mereka
pergi ke Rodriganda untuk melaksanakan pekerjaan yang dikehendaki notaris.
Ketika malam hari tiba, salah seorang perampok menghampiri pengemis tua itu,
lalu menyuruh mengikutinya. Ia membawanya ke dalam suatu gua gelap di dalam
sebuah gunung. Di kiri kanan gua itu terdapat kamar-kamar kecil yang dibuat
dengan jalan memahat dinding batu itu. Kamar-kamar itu dipakai sebagai kamar
tidur para perampok. Beberapa di antara kamar-kamar itu berterali besi, sehingga
menyerupai sel-sel dalam penjara.
Perampok yang mengantar pengemis itu adalah seorang anak muda berusia lebih
kurang dua puluh dua tahun. Ia berpakaian daerah Catalonia, yang penuh dengan
warna-warni. Cahaya lampu yang dipegang di tangannya memperlihatkan raut muka
yang agung yang sukar dapat kita kaitkan pada seorang perampok. Tubuhnya tinggi
semampai dan gerak-geriknya lemah gemulai serta menarik pandangan orang.
"Inilah kamar Kakek," katanya, sambil menunjuk pada salah sebuah kamar. "Ada
tempat tidur juga di dalamnya. Lampu ini kutinggalkan di sini. Pakailah untuk
keperluan Kakek." "Terima kasih, Nak," jawab orang tua itu. "Mungkin aku tidak dapat meninggalkan
kamar ini hidup-hidup."
"Mengapa tidak" Janganlah kita berpikiran terlalu pesimis. Benarlah bahwa Kakek
sedang sakit payah. Namun kita selalu harus berharap. Tuhan masih ada, yang
dapat menyembuhkan segala penyakit."
"Memang aku berharap," jawab orang tua itu sambil batuk-batuk, "tetapi aku
berharap pada kematianku. Kematian itu akan melepaskan diriku dari segala
penderitaan." "Kakek tentu sangat menderita," kata perampok itu sambil membantu orang tua itu
membereskan tempat tidurnya.
"Roh kita tidak dapat meninggalkan jasad tanpa kita merasa sakit. Jasad kita
menolak kematian itu. Namun apakah rasa sakit dibanding dengan penderitaan
rohani! Penderitaan demikian lebih mengerikan. Maka adalah harapanku, jangan
sampai Anak mengalaminya dalam hidup."
"Jiwa Kakek menderita" Aku ingin sekali meringankan penderitaan Kakek. Aku ingin
menolong Kakek." "Anak sangat bermurah hati. Namun hanya Capitano-lah yang dapat menolongku.
Mungkin juga Anak dapat, bila Anak menghendaki."
"Tentu aku bersedia bila sanggup!"
"Kenalkah Anak seseorang di antara kawanan perampok, yang tidak mengetahui asal-
usulnya?" Perampok muda itu memasang telinga. "Mengapa Kakek bertanya tentang itu?"
"Karena Kakek mencari orang demikian."
"Benarlah, di antara kami ada seseorang yang tidak mengetahui asal-usulnya. Dan
kebetulan dia hanya seorang."
"Itu dia yang Kakek maksudkan. Tunjukkan pada Kakek, siapakah orang itu."
"Aku sendiri orangnya."
"Alhamdulillah! Siapa nama Anak?"
"Mariano." "Apa lanjutannya" Tidak ada nama lain?"
"Tidak." "Ah! Bagaimana asal mula, maka Anak sampai di sarang perampok ini?"
"Kepala perampok telah menemukanku di daerah pegunungan. Ia telah memeliharaku.
Segala usaha untuk mencari orang yang meletakkanku di pegunungan itu sia-sia
belaka." "Entahlah."

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berapa lama Anak hidup dengan mereka?"
"Lebih kurang delapan belas tahun."
"Lebih kurang delapan belas tahun?" tanya si tua sambil melamun. "Waktunya cocok
sekali. Dapatkah Anak berusaha mengingat kembali kejadian-kejadian semasa
kecil?" "Sayang tidak. Hanya aku kerap kali bermimpi tentangnya."
"Mungkin sekali mimpi Anak itu sesungguhnya kejadian yang sebenarnya. Apa yang
Anak mimpikan itu?" "Mimpiku tentang sebuah boneka yang mungil. Ia terletak di atas tempat tidur
putih bersih serta indah. Di sudut tempat tidur itu dapat kulihat sebuah mahkota
dari emas dan boneka itu dapat bergerak."
"Tahukah anak nama boneka itu?"
"Ya," jawabnya. "Masih jelas kuingat, bahwa aku menamakannya Roseta atau Roosje.
Ada juga mimpi tentang seorang yang bertubuh tinggi dan besar, yang memanggilku
Alfonso. Ia mendudukkan aku ke atas pangkuan seorang wanita yang cantik dan
agung, yang sangat sayang kepadaku dan yang selalu membelai dan menciumku serta
boneka Roseta. Aku masih ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Aku pun tidur
di atas tempat tidur yang dihiasi dengan mahkota-mahkota. Suatu kali datang
seorang laki-laki asing, selagi aku tidur. Ketika itu aku tidak tidur di dalam
puri, melainkan dibawa oleh Papa dan Mama ke sebuah kota. Aku hendak berteriak,
karena aku takut kepada orang itu, tetapi orang itu mengencangkan ikatan kainku.
Karena ketakutan, aku pun tertidur. Setelah aku terbangun lagi, aku terbaring di
dalam hutan. Itulah mimpiku seluruhnya."
"Tidak ada lagi yang Anak ingat" Tidak ingatkah Anak siapa nama orang yang
berpakaian seragam itu?"
"Abdi-abdi memanggilnya Pangeran atau Yang Mulia."
"Tidak pernahkah disebut namanya?"
"Tidak." "Dengarlah, Anakku, mimpimu itu sebenarnya bukanlah mimpi, melainkan kenyataan!"
"Demikian juga pernah menjadi pendapatku. Tetapi bila kuceritakan kepada
Capitano, maka ia memarahiku. Aku tidak boleh bicara lagi. Mahkota itu sama
sekali tidak boleh kusebut, meskipun aku dapat melukiskannya dengan tepat. Ia
hendak memukulku, bila aku berani bicara tentang hal itu lagi. Karena itu hingga
kini aku hanya menyimpan pengetahuanku itu dalam hati saja."
"Ingatanmu tentang mahkota itu masih jelas?"
"Aku dapat melukiskannya dengan tepat sekali. Ujung-ujungnya yang terbuat dari
emas itu bertatahkan mutiara dan di bawahnya terdapat dua tanda dari perak."
"Tanda-tanda apakah itu?"
"Mula-mula aku juga tidak mengetahui, tetapi setelah aku belajar membaca, aku
kenal kedua tanda itu sebagai dua huruf, huruf R dan S."
"Mahkota itu merupakan lambang dari seorang pangeran. Janganlah lupa kedua huruf
itu!" "Aku tidak akan melupakannya, meskipun aku belum pernah menceritakannya kepada
orang lain." "Dan di antara kaum perampok itu, masih adakah seorang yang diperoleh dengan
jalan menemukannya di hutan?"
"Tidak ada lagi!"
"Kalau begitu, Anaklah yang kucari itu."
Mariano terheran-heran. "Kakek mencariku" Mengapa?"
"Anakku, tampak sudah menjadi kehendak Allah, bahwa engkau akan mendengarkan
riwayat kejadian yang sesungguhnya tentang dirimu. Apa yang akan kau dengar dari
mulutku, haruslah kau jadikan pedoman dalam hidupmu seterusnya."
Wajah anak itu nampak menjadi gembira. "Benarkah itu?" serunya. "Puji syukur
kepada Tuhan!" "Diam!" tegur orang tua itu. "Sekali-kali tidak boleh diketahui orang, bahwa aku
berbicara tentang hal ini denganmu. Bila diketahui oleh kepala perampok, jiwamu
takkan selamat. Sebenarnya mereka bermaksud untuk membunuhmu, namun untunglah
pekerjaan terkutuk itu tidak sampai terjadi. Tetapi bila ia mengetahui apa yang
hendak kuceritakan kepadamu, ia akan merasa terpaksa membunuhmu, hanya untuk
menyelamatkan rahasia. Untunglah bahwa kamar inilah yang kausediakan untukku.
Ingat, apa yang akan kuceritakan ini, sekali-kali bukanlah dimaksud untuk
telinga orang lain. Maka sebaiknyalah engkau kembali lagi ke sini, bila tugasmu
sehari ini sudah selesai dan tidak ada orang yang memerlukan bantuanmu lagi."
"Aku harus menunggu sampai semua orang tidur."
"Bawalah kertas, pena, dan tinta, karena pasti akan ada yang harus kau catat.
Bawalah juga sebuah lampu yang lebih terang nyalanya, supaya engkau tidak
mendapat kesukaran bila sedang mencatat."
Mariano pergi dan orang tua itu ditinggalkannya seorang diri.
"Terima kasih Tuhan, bahwa Engkau memberi kepadaku tenaga secukupnya untuk
sampai ke tempat ini," katanya kepada dirinya sendiri. "Barangkali Tuhan mau
mengampuniku, bila aku berusaha untuk menebus dosaku pada masa lampau itu."
Ia batuk-batuk lagi sehingga hampir tidak dapat bernapas.
Tak lama kemudian para perampok itu tidur. Beberapa orang masih berbaring sambil
bercakap-cakap. Akhirnya mereka pun menarik selimut menutupi tubuhnya. Semua
orang sudah tidur. Hanya seorang penjaga di luar berjalan hilir mudik untuk
menjaga keselamatan kawan-kawannya.
Kini Mariano meninggalkan kamarnya. Hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan
rasa gembira. Akhirnya, akhirnya tabir yang menutup matanya akan dibuka juga!
Kini ia mengetahui, bahwa mimpinya itu bukanlah khayal belaka, melainkan
kenyataan! Hatinya berdebar-debar, ketika ia menghampiri sel yang didiami orang
tua itu. Orang tua itu masih jaga. Ia sedang duduk, ketika mendengar anak muda
itu datang. Mariano meletakkan lampunya ke atas lantai, lalu duduk di sebelah
orang tua itu. Orang sakit itu melihat dengan penuh pengharapan, mengulurkan tangan dan
menggenggam tangan Mariano ke dalam tangannya sendiri, yang membara karena demam
yang sedang diderita. "Mariano," demikian dimulai pengakuannya, "orang telah melakukan kejahatan
padamu dan akulah yang menolong mereka. Sekarang aku masih belum mohon
pengampunan dari padamu. Engkau harus mendengar dahulu, bagaimana cara aku
berdosa kepadamu." Orang sakit itu berdiam diri dan menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ia
membutuhkan tenaga untuk dapat melanjutkan ceritanya.
"Harus kauketahui juga, bahwa aku dahulu pernah menjadi anggota kawanan
perampokmu itu." "Masa! Kakek! Perampok juga!"
"Benarlah demikian, Nak! Capitano adalah pemimpinku juga. Namaku Tito Sertano
dan aku berasal dari Mataro. Mula-mula aku seorang pelaut miskin. Kadang-kadang
aku menyelundupkan beberapa elo kain sutra melewati perbatasan Perancis. Pada
suatu kali aku tertangkap. Perahu serta barang selundupanku disita dan aku
sendiri dimasukkan ke dalam kurungan. Namun aku dapat melarikan diri dan karena
di mana pun aku tidak dapat hidup aman, maka aku menggabungkan diri dengan
gerombolan perampok itu. Pekerjaan pertama yang harus kulakukan ialah menukar
seorang anak. Hingga kini pekerjaan menyelundup itu tidak begitu memberatkan
hati, tetapi perbuatan yang baru ini membuat hatiku gelisah. Aku tidak dapat
tidur semalaman. Dan ketika aku disuruh Capitano membunuh seseorang, aku
mengingkari sumpah setiaku dan meninggalkannya."
"Coba ceritakan kisah penukaran anak itu!" mohon Mariano.
"Kepala perampok itu menyertai aku untuk meyakinkan diri, bahwa pekerjaan itu
dilaksanakan dengan baik. Ia membawaku ke sebuah hotel di Barcelona. Kami
bermalam di situ. Kira-kira tengah malam, kami didatangi orang yang membawa
bungkusan. Ketika dibuka bungkusan itu kulihat di dalamnya seorang anak berusia
kira-kira empat tahun. Kain pembungkusnya berbau ether, maka aku mengetahui
Tersembunyi The Hidden 2 Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 13
^