Pencarian

Puri Rodriganda 3

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 3


pembaringan, lalu bertanya,
"Kalian sudah kembali" Dengan membawa kemenangan" Dan bagaimana dia" Sudah
dimakan buaya?" "Tidak," jawab Kepala Banteng dengan nada sungguh-sungguh, sambil memperhatikan
adiknya. "Tidak?" Wajah gadis itu tampak muram. "Jadi orang yang harus menerima
pembalasanku kalian biarkan lepas lagi?"
Kepala Banteng merasa puas, karena hati adiknya masih tetap terbakar oleh rasa
dendamnya. Jawabnya, "Anjing-anjing Comanche telah membebaskannya, malahan
sebagai ganti mereka telah mengikat saudaraku, kepala suku Apache itu, ke atas
pohon untuk menjadi mangsa buaya-buaya yang ganas itu."
Gadis Indian itu memandang orang Apache itu dengan rasa heran. Tampak olehnya
scalp-scalp baru bergantungan pada ikat pinggangnya. Baru sekali ini ia
memandang kepadanya dengan takjub dan rasa hormat yang besar dan hatinya kecut
bila terkenang kepada mara bahaya yang telah menimpa diri kepala suku itu.
Wajahnya berubah pucat. "Kepala suku Apache" Bukankah sekarang ia berdiri di hadapanku dengan tiada
kurang sesuatu apa," kata gadis itu terheran-heran.
"Hati Beruang berhasil membebaskan diri, lalu mengalahkan kaum Comanche pula."
Bagi seorang gadis Indian seperti Karja, makna perkataan itu diresapi benar.
"Ia seorang pahlawan!" katanya, sambil memandang dengan rasa kagum kepada orang
Apache itu. "Tetapi pangeran masih bebas juga" Sudah tentu ia akan pergi menemui
pamannya di Meksiko. Itu kuketahui dari isi sepucuk surat yang kutemukan di
antara barang-barangnya. Dalam surat itu tertulis, bahwa Alfonso segera harus
datang kepada pamannya." Kemudian ia bertanya kepada abangnya. "Dan kau biarkan
dia pergi begitu saja" Berikan kepadaku seekor kuda; akan kukejar dan kubunuh!"
Kepala Banteng tersenyum. Ia merasa puas dengan sikap adiknya. "Jangan pergi!"
perintahnya. "Semua akan beres, percayalah! Alfonso tak mungkin lepas dari
genggaman tanganku. Akan kukejar dia."
"Bila jatuh ke tanganmu, akan kau bunuh?"
"Benar. Ia telah menghina seorang putri Mixteca dan akan mati oleh tanganku
sendiri." "Atau oleh tanganku," kata orang Apache itu dengan sungguh-sungguh.
"Uf! Jadi saudara bermaksud ikut dengan aku ke Meksiko?" tanya cibolero itu.
Rasa kagum gadis Indian itu terhadap pahlawannya bertambah lagi. Jawab orang
Apache itu, "Karja sudah menjadi adikku juga, maka menjadi tugasku juga membalas penghinaan
kepadanya." Dengan perkataan itu diulurkan tangannya kepada kedua orang kakak beradik, yang
disambut dengan mesra pula.
"Hati Beruang itu saudara sejati kami, maka kehadirannya bersamaku sangat
kuhargai," kata Kepala Banteng. "Tetapi sekarang mari kita pergi menjenguk orang
kulit putih yang sakit itu."
Bungkusan selimut yang berisi barang-barang perhiasan itu dibawanya dengan
dibantu oleh orang Apache dan gadis Indian itu ke kamar si sakit.
Di dalam kamar itu tampak Emma sedang duduk di sisi si sakit. Wajahnya pucat,
matanya berlinang air mata.
"Jangan menangis senorita," kata orang Mixteca itu, sambil meletakkan beban ke
atas tanah. "Akan kuperiksa keadaan sahabat kita."
Dibukanya pembalut Unger, diperbaharui lagi, lalu katanya, "Ia tak akan mati."
Wajah gadis cantik itu menjadi cerah.
"Sungguhkah demikian?" tanya gadis itu. "Sungguh benar?"
"Pasti!" katanya sambil mengangguk.
"Berapa lama ia sehat kembali?"
Pertanyaan ini membuat Kepala Banteng menarik muka sungguh-sungguh. "Saya tak
dapat mengatakan, tetapi sudah pasti, ia tidak akan mati."
"Cara merawatnya saya dapat menjamin."
"Saya percaya, senorita. Tapi bolehkah saya bertanya?"
"Silahkan, Kepala Banteng?"
"Pernahkah senor Unger berbicara dengan Anda tentang harta raja-raja itu"
Sebagaimana Anda ketahui, saya telah mengantarkannya ke gua harta itu."
"Ya. Ketika itu ia hendak dibunuh oleh pangeran!"
"Harta itu kemudian hilang lagi. Tetapi kaum Mixteca memutuskan untuk
menghadiahkan sebahagian dari harta raja-raja kepada Itinti-ka sebagai kenang-
kenangan. Kini ia sakit. Bersediakah Anda menerima sebagai wakil dan
menyimpannya untuk dia nanti?"
"Tentu bersedia," jawab gadis itu. "Barang-barang apakah yang Anda bawa?"
"Lihatlah sendiri!"
Lalu dibuka oleh Kepala Banteng bungkusan selimut dan segala isinya digelar di
muka gadis itu, gemerlapan ditimpa cahaya matahari. Emma hampir tidak dapat
percaya pada penglihatannya, banyak sekali bungkah-bungkah emas dan barang
perhiasan yang belum pernah dilihat dalam hidupnya. Seketika lupalah ia pada
kesedihan hatinya. "Valgame dios, betapa banyak harta, betapa indahnya! Jadi
semuanya milik Unger?"
"Benar. Semua itu miliknya," jawab orang Mixteca itu.
"Santa Madonna, kalau begitu, ia malah lebih kaya dari ayahku!"
Kepala suku itu mengamati si sakit lagi.
"Itinti-ka akan menjadi suami Anda, bukankah demikian senorita?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. Mukanya merah.
"Anda akan tetap setia padanya?"
"Tetap!" jawabnya dengan pasti. "Tetapi mengapa Anda bertanya hal itu?"
"Karena saya mengetahui, bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang Anda.
Pernahkah ia berbicara tentang tanah airnya" Dari manakah asalnya?"
"Dari daerah sekitar Mainz di Jerman."
"Apakah ia mempunyai sanak saudara?"
"Ia mempunyai seorang saudara, bekerja sebagai mualim kapal."
"Uf! Jika Itinti-ka tidak bersedia menerima emas itu, saya harap barang-barang
itu akan dapat diberikan kepada saudaranya. Bersediakah Anda mengurus hal itu?"
"Baik. Harta itu memang besar sekali, namun saya tidak silau olehnya. Harta
ayahku cukup banyak untuk menjamin kehidupan yang bahagia kepada kami berdua.
Saudaranya di Jerman lebih membutuhkan harta itu. Maka merekalah akan
memperolehnya. Tunanganku tentu tidak berkeberatan mengirim harta itu ke
Jerman." "Tidak. Saya mengetahui, ia tidak berkeberatan. Dokter yang Anda panggil sudah
datang atau belum?" "Belum." "Saya ingin mendengar pendapatnya."
Orang Indian itu sekali lagi memperhatikan si sakit. Tetapi Emma menjemput
beberapa kalung berlian dan mempermainkannya di tangan. Maka terdengarlah bunyi
denting yang indah dan bunyi itulah menarik perhatian si sakit. Matanya terbuka
dan melihat sekeliling. Pandangannya tidak liar, melainkan sedih sekali.
Nampaknya si sakit tidak mengenal orang-orang sekelilingnya.
"Aku kalah!" bisiknya.
"Dios, ia berkata lagi," seru Emma, lalu bergegas mendekati tempat tidurnya.
"Apa yang kau katakan, sayang?" tanyanya dengan suara gemetar.
Si sakit memandangnya dan menjawab, "Aku kalah."
"Ia mengigau!" seru gadis itu cemas. "Antonio, kau tidak kenal padaku lagi?"
"Aku kenal padamu," bisiknya.
"Coba sebutkan namaku!" bujuk Emma.
"Tidak kenal." "Santa Madonna! Ia tidak mengenal lagi namaku. Masa, kau sudah lupa."
"Aku kenal, tetapi aku sudah kalah."
Maka gadis itu bercucuran air mata. Ia bertanya lagi,
"Dan dua orang kepala suku ini?"
"Mereka pun aku mengenal, tetapi aku tidak mengetahui siapa mereka."
"Masa kau tidak mengenal Kepala Banteng dan Hati Beruang?"
"Aku mengenal, tetapi aku sudah kalah."
"Ia mengigau. Pikirnya ia sudah mati!" keluh Emma.
Kini Kepala Banteng menghampiri gadis itu lalu berkata, "Senorita, bolehkah saya
bertanya, tetapi anggaplah seolah-olah Roh yang Maha Kuasa yang mengajukan
pertanyaan itu?" "Boleh." "Apa yang akan Anda perbuat, bila sahabat kita Panah Halilintar tetap
berkelakuan seperti sekarang?"
"Biarlah begitu, aku tak akan meninggalkan, tak mungkin! Tetapi saya yakin, ia
akan sembuh kembali."
"Mungkin kesehatan badannya pulih kembali tapi jiwanya tetap sakit. Berjanjilah,
bahwa Anda tidak meninggalkannya!"
Maka gadis cantik itu bercucuran air mata. Kemudian ia tenang kembali dan
berkata dengan penuh kepastian,
"Saya sekarang menjadi tunangannya dan kelak akan menjadi istrinya, biar bagaimana keadaannya.
Tetapi harapanku, supaya orang yang menghendaki kematiannya tidak luput dari
hukuman." "Ia akan mendapat hukuman, itu sudah merupakan janji suciku," kata orang Mixteca
itu dan disetujui oleh orang Apache itu.
Mereka mendengar langkah kuda di halaman, Emma pergi ke jendela.
"Dokter datang!" katanya. "Sekarang kita mendapat kepastian, apa yang dapat kita
harapkan dan apa yang harus kita takutkan."
Tidak lama kemudian dokter diantar oleh haciendero ke kamar. Ia mendengarkan
segala keterangan yang diberikan tentang si sakit, lalu mendekati tempat tidur
untuk memeriksa badan Unger. Si sakit menarik mukanya kesakitan, namun tidak
mengeluarkan suara sedikit pun. Tampak keadaan rohaniah yang terganggu, ia masih
tetap berpegang pada asas, bahwa kita wajib menguasai rasa sakit kita.
Ketika dokter bertanya kepadanya, "Siapakah Anda, senor?" jawabnya dengan nada
sedih, "Aku mengetahui."
"Dan siapakah nama Anda?"
"Tidak mengetahui."
"Tidakkah Anda kenal senor Unger?"
"Aku kenal dia, tapi aku sudah kalah."
"Di mana ia sekarang?"
"Tidak mengetahui."
"Siapa yang mengalahkan Anda?"
"Tidak mengetahui."
"Dan di mana Anda dikalahkan" Tidak mengetahui juga?"
"Mengetahui, tetapi aku kalah."
Demikian dijawabnya segala pertanyaan, yang diajukan kepadanya. Ia menyatakan
mengenal semuanya, namun sebenarnya ia tidak mengenal siapa pun dan yang
diketahuinya hanyalah, bahwa ia sudah kalah.
Dokter menggeleng kepalanya.
"Ia menderita gegar otak dan saya tidak dapat berbuat sesuatu," katanya. "Ramuan
obat yang Anda bubuhkan di atas kepalanya merupakan obat satu-satunya, yang
dapat diharapkan. Bila luka itu sembuh, ada harapan ingatannya akan pulih
kembali. Maka Anda tidak usah putus asa." Setelah semua tamu meninggalkan kamar,
Emma berlutut di sisi kekasihnya. Dipegangnya tangan Unger, lalu bertanya,
"Katakan sungguh-sungguh, kenalkah kau padaku, Antonio?"
"Ya, aku mengenalmu," bisiknya.
"Maka sebutlah namaku, ayo, sekali ini saja!"
"Aku tidak mengenal namamu."
"Cintakah kau kepadaku?"
"Biar keadaanmu begitu, sayang, aku tidak akan meninggalkanmu."
"Aku tidak sakit, aku hanya dikalahkan."
BAB VI PABLO CORTEJO Ibu kota kerajaan purba bangsa Astek ialah Mexico, pernah menjadi tempat
kediaman raja Montezuma yang malang, negeri itu bernama Meksiko pula. Di kota
itu, dekat salah satu paseo (daerah pertamanan) yang indah, didirikan sebuah
istana yang sangat mewah, kepunyaan pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla,
seorang tuan tanah terkemuka di negeri itu. Semasa muda ia turut berjuang untuk
kemerdekaan tanah airnya. Meksiko sudah merupakan tanah airnya yang baru,
pilihan hatinya sendiri. Maka dari itu, sebagai seorang Spanyol ia diperbolehkan
tetap tinggal di negeri itu.
Ia duduk di kamar kerja, sedang meneliti bon-bon pengeluaran, yang diajukan
kepadanya oleh Pablo Cortejo, sekretaris pribadinya. Pada saat ini Cortejo
sedang berwajah murung. Tubuhnya tinggi kurus membungkuk karena kekecewaan
hatinya. Bibirnya pucat dan tipis, agak ditarik ke dalam karena rasa kurang puas
dan matanya yang kecil melirik kepada pangeran dengan pandangan berapi-api,
mengandung rasa benci yang sangat. Pangeran mengerutkan kening sambil meneliti
kertas-kertas di hadapannya.
"Sungguh terlalu!" kata Don Fernando, "itu tidak dapat dibenarkan!"
"Maklumlah kaum muda biasa kurang berpikir," jawab Cortejo membela.
Pangeran memandangnya dengan sungguh-sungguh, lalu menjawab, "Aku sebenarnya
tidak berkeberatan, bila seorang anak muda senang mengadakan pesta, namun ia
harus mengenal juga tanggung jawab. Dari dapatkah ini disebut tanggung jawab,
apa yang kulihat di hadapanku ini?"
"Itu hanya suatu kelemahan yang harus kita maafkan."
"Jadi kau anggap suatu kelemahan yang tak berarti, bila keponakanku pada satu
malam saja dapat menghabiskan dua belas ribu peso dalam perjudian?"
"Tapi jumlah sebesar itu kerap kali juga dimenangkannya, Don Fernando."
"Jadi ia sudah kerap kali bermain judi. Apakah ia sudah kecanduan bermain judi?"
tanya pangeran dengan berang. "Aku perlu membatasi kebebasannya." Ia terus
membalik-balik surat di hadapannya.
"Apakah ini?" tanya pangeran. "Bukankah persoalan ini sudah selesai?"
"Don Alfonso telah mengeluarkan uang saku, yang dimaksud, untuk keperluan hal
lain. Apakah keperluan itu, tidak dikatakannya, karena ia tidak usah
mempertanggungjawabkan pengeluarannya kepada saya."
"Memang demikian," kata pangeran, "tetapi kukira diam-diam ia menceriterakannya
kepadamu. Lagi pula kelihatannya keponakanku lebih mempercayai kamu daripada
aku." "Jangan kira demikian, Don Fernando, itu hanya kelihatannya. Memang benar juga,
bahwa saya mendapat kepercayaan Don Alfonso, tetapi...."
"Kadang-kadang kamu merasa tergoda untuk menyalahgunakan kepercayaan itu!" kata
pangeran dengan nada keras.
"Terlalu, Yang Mulia!"
"Masih ada lagi! Bila keponakanku kurang patuh kepada peraturanku, maka kaulah
menjadi biang keladinya! Kukira tidaklah menyenangkan bagimu untuk dipecat dari
jabatan, setelah bekerja bertahun-tahun lamanya, bukankah begitu?"
Kening sekretaris itu merapat seolah-olah hendak mengancam, tetapi hanya
sebentar. Kemudian kembali lagi bersikap seperti sediakala. Ia menjawab dengan
rendah hati, "Sekiranya saya boleh mengutarakan pendapat, mungkin terpikir oleh Yang Mulia,
bahwa pendapat Yang Mulia mungkin khilaf?"
"Aku tidak khilaf," kata pangeran tegas. "Coba terangkan, mengapa keponakanku
sepanjang hari bersamamu" Mengapa kamu selalu bersama dia, bila kupanggil" Kamu
mengetahui, bahwa aku bukanlah orang yang banyak bicara. Tetapi bila terdorong
untuk bicara, aku ingin bicara secara tuntas. Apa pula perlunya kamu membela
kecanduannya pada permainan judi?"
"Saya kira, itu merupakan kesukaan anak muda pada umumnya."
"Tetapi itu bukan alasan untuk memboroskan uangku. Apa pula sebabnya, ia
mengeluarkan surat wesel dengan memakai namaku?"
"Saya rasa, itu hanya kebetulan, Yang Mulia."
"Apa!" seru pangeran. "Itu yang kau sebut kebetulan" Apakah nama keponakanku
sudah begitu merosot nilainya, sehingga orang tidak mau membayar surat wesel
atas namanya sendiri dan minta namaku dibubuhkan sebagai jaminan" Siapa menulis
namaku di atas kertas itu, keponakanku atau kamu?"
"Don Alfonso." "Janganlah kejadian ini terulang lagi! Kau pun mulai sekarang tidak akan
mendapat kertas wesel blangko lagi. Dan mengenai persoalan ini," - pangeran
menunjuk pada salah satu surat - "ini sudah kubereskan dengan lima ribu piaster.
Kepada siapa kuberikan uang itu?"
"Kepada saya," jawab sekretaris dengan malu, namun dalam hati ia menyimpan rasa
benci. "Tadi kau katakan, bahwa keponakanku telah mengeluarkan uang untuk keperluan
lain. Berarti, bahwa telah kau berikan uang itu kepadanya."
"Don Alfonsolah yang minta."
"O, begitu! Jadi keinginan keponakanku yang tidak bertanggungjawab itu lebih
berat bagimu dari perintah pamannya, tak lain majikanmu sendiri" Aku perlu
mengambil tindakan, supaya perintah-perintahku ditaati! Mengerti?"
Don Fernando mengambil surat-surat lain satu per satu untuk diselidikinya. Tiba-
tiba wajahnya yang pucat itu berubah warna menjadi merah karena rasa malu dan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berang. Ia melompat dari tempat duduk, lalu menghampiri sekretarisnya dengan
mata berapi-api. "Tahukah kamu di mana Don Alfonso sekarang?" tanya Pangeran.
"Di hacienda del Erina."
"Mengapa?" "Saya kurang mengetahui apakah sebabnya."
"Ya, aku pun kurang mengerti, mengapa tiba-tiba timbul keinginan keponakanku
yang aneh-aneh, mengunjungi hacienda yang sunyi dan terasing itu dan mengapa
kamu sangat setuju dengan kepergiannya itu. Kini semuanya jelas bagiku!"
Sekretaris menjadi pucat. Akan tetapi pangeran mundar-mandir saja di dalam
kamar, karena tidak dapat mengendalikan perasaannya. Tiba-tiba ia menoleh dan
bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang duel (perang tanding) itu?"
"Duel yang mana?" Tanya sekretaris pura-pura bingung.
"Cortejo!" hardik pangeran dengan suara menggeledek.
"Sungguh saya tak mengetahui."
"Baik. Tapi kamu tidak dapat membohongiku. Kalau tetap kau tidak mengatakan, kau
akan kupecat dari jabatanmu. Cepat ambil keputusan!"
Cortejo mengerti, bahwa ia telah terdesak ke sudut. Ia tidak melihat jalan
keluar dan menjawab dengan malu.
"Ampun, Don Fernando! Don Alfonso telah memesan kepada saya, supaya merahasiakan
perkara itu." "Perintah siapa yang patut kau patuhi, perintahku atau perintah keponakanku"
Ayo, katakan!" "Don Alfonso telah pergi ke hacienda untuk mengelakkan suatu duel."
"Beri keterangan lebih jelas! Pangeran Embarez telah menulis surat ini,
"Don Fernando! Saya mohon, supaya Anda memerintahkan keponakan Anda tiga hari sesudah ini hadir
di tempat yang sudah ditentukan semula. Waktunya sudah tiga minggu lalu. Perkara
sepenting ini tidak dapat ditunda semenit pun. Bila Don Alfonso tidak hadir pada
waktu yang telah ditentukan, maka saya tidak akan segan-segan memuat berita yang
memalukan itu dalam DIARO OFFICIAL dan dalam LA SOCIEDAD. Harapan saya, Anda
tidak memandang remeh perihal kehormatan keponakan Anda.
Almanzo pangeran Embarez.
"Nah, katakanlah sekarang, maksud apakah yang terkandung dalam surat ini! Apakah
dengan surat yang bernada menghina ini, maksud penulisnya hendak menyampaikan
tantangan untuk berduel?"
"Pangeran Embarez telah menghina Don Alfonso."
"Haha! Jadi keponakanku telah menantangnya?"
"Tidak. Pangeran itu telah menantang Don Alfonso."
"Jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya. Keponakanku telah menghina
pangeran itu. Janganlah berusaha memutar balik keadaan. Jadi keponakanku telah
menerima tantangan itu?"
"Ia terpaksa." "Ah! Terpaksa" Jadi hal itu berarti sebenarnya ia berjiwa pengecut dan ingin
mengelakkan duel itu. Alangkah memalukan! Di mana duel itu harus berlangsung?"
"Di tepi Danau Texcoco."
"Dan Alfonso tidak hadir di situ?"
"Pangeran Embarez dikenal orang sebagai ahli permainan pedang dan penembak
tepat," jawab sekretaris dengan malu.
Pangeran mengurut dada. "Ya, Tuhan!" keluhnya. "Keponakanku begitu pengecut! Ia
telah menerima tantangan, tetapi melarikan diri ketakutan. Aduh! Nama Rodriganda
ternoda, tercemar dan tak seorang pun bertindak menyelamatkannya."
Sekali lagi ia berjalan hilir mudik dalam kamar. Kemudian ia berhenti dan
berkata, "Dengarkanlah perintahku! Kirimlah segera dua orang utusan ke
hacienda!" "Mengapa dua orang?"
"Supaya berita itu pasti sampai. Mereka harus memberi tahu keponakanku, bahwa ia
segera harus kembali ke kota Meksiko. Kau dengar : segera!"
"Yang Mulia tidak boleh melupakan, bahwa sekurang-kurangnya utusan itu
memerlukan waktu tiga atau empat minggu untuk kembali lagi di sini!"
"Itu kuketahui. Aku akan mengunjungi pangeran Embarez dan memberitahu kepadanya,
bahwa akulah yang akan berduel sebagai ganti keponakanku. Dari isi surat dapat
ditarik kesimpulan, bahwa Alfonso telah memilih pedang sebagai senjata?"
"Benar!" jawab sekretaris dengan hati gembira.
"Ia pengecut, dan bodoh pula! Sebenarnya ia tak perlu lari. Pilih saja senjata
pistol, ditembakkan dari jarak jauh. Pergilah sekarang, dan suruh Maria
Hermoyes, wanita tua itu datang kepadaku!"
Sekretaris meninggalkan tempat itu.
Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita tua menghadap pangeran. Ia berdiri
di muka pintu kamar dan membungkukkan badan memberi salam.
"Silakan masuk dan silakan duduk, Maria!" sambut Don Fernando dengan sopan
santun, karena wanita tua itu pembantu rumah tangga yang paling setia.
Masih tetap pangeran berjalan hilir mudik. Sukar baginya, menyembunyikan amarah
yang menjadi-jadi. Akhirnya berkatalah ia, "Maria, kau tetap pembantuku yang
setia bukan?" "Don Fernando," jawabnya, "Anda mengetahui, bahwa hidupku saya abdikan kepada
Anda." "Itu kuketahui. Bersediakah kau berterus terang kepadaku?"
"Saya belum pernah dusta kepada Anda."
"Aku maklum, namun dalam kehidupan, pembantu paling setia pun kadang-kadang
menganggap lebih bijaksana menyembunyikan sesuatu pada majikannya. Sukakah kau
dalam suatu perkara, berjanji akan berterus terang?"
"Saya akan memberi pengakuan seperti di hadapan Tuhan sendiri."
"Baik! Beberapa tahun yang lalu kau telah menjemput keponakanku dari Spanyol.
Sekarang katakanlah terus terang, benarkah ia keponakanku sesungguhnya?"
Abdi itu tampak terkejut.
"Aneh benar pertanyaan Anda!" katanya terbata-bata. "Apa alasan Anda
menyangsikan hal itu, Don Fernando?"
"Kau harus menjawab dengan sepatah kata saja," perintahnya. "Benar, atau tidak!"
"Saya tak dapat menjawab demikian. Ampun tuan, perkara ini tampak pada
permulaannya remeh saja, tetapi lama-kelamaan makin memberatkan hatiku."
"Hm! Apa maksudmu sebenarnya?"
"Persangkaanku, menyolok benar persamaan antara Don Alfonso dengan senor Pablo
Cortejo...." "Benar! Aku pun mendapat kesan demikian, kesan itu menimbulkan pikiran yang
aneh-aneh pada diriku."
Selanjutnya Don Alfonso dan Cortejo selalu tampak bersama-sama dan kasak-kusuk
satu sama lain. "Aku mengetahui. Mulai dari sekarang akan berubah."
"Lagi pula...." Maria ragu-ragu dan mukanya menjadi merah padam, meskipun
usianya sudah lanjut. "Jangan segan-segan, katakan saja!" kata pangeran.
"Masih ada hal ketiga lagi yang mengganggu pikiranku," demikian dilanjutkannya.
"Saya perlu memberitahu bahwa saudara senor Pablo...."
Kembali ia terhenti. "Ayo, jangan segan-segan! Yang kau katakan hanya untuk telingaku saja. Bukankah
yang kau maksud tadi ahli hukum pembantu saudaraku, advokat Gasparino Cortejo,
yang bertempat tinggal di Manresa di Spanyol?"
"Benarlah. Dahulu, semasa muda ia pernah jatuh cinta kepadaku, meskipun usiaku
beberapa tahun lebih tua daripadanya. Ia pernah memberi potret dirinya kepadaku
dan potret itu masih saya simpan sampai sekarang."
"Bagaimana hubungan dengan potret itu?"
"Persamaannya dengan pangeran Alfonso terlalu menyolok."
"Boleh aku melihatnya?"
"Boleh, Yang Mulia! Saya akan mengambilnya." Abdi itu pergi dan kembali lagi
membawa sebuah potret. Baru saja dilihat oleh pangeran potret itu, maka ia
berseru. "Bukan main! Seperti potret Alfonso sendiri!"
"Benar. Saya pun berpendapat demikian, Don Fernando, perkara itu membuat hatiku
risau." "Kaukah pengasuh, yang menyusui bayi Alfonso?"
"Benarlah. Selama enam bulan. Kemudian saya masih harus bertempat tinggal di
puri. Seorang tukang kayu istana meminangku, maka saya menjadi isterinya dan
tinggal bersama. Suamiku sakit, lalu meninggal. Kini saya seorang diri kembali.
Ketika itu Anda mengemukakan keinginan Anda untuk mendapatkan Alfonso. Keinginan
Anda terkabul, karena ketika itu anak itu masih mempunyai kakak yang masih
hidup. Saya diminta mengantarkan anak itu ke Meksiko. Tawaran itu saya terima,
karena tak ada lagi sesuatu di puri yang memberatkan hatiku."
"Dari saat itu sampai kepergianmu kamu tidak hadir lagi di puri?"
"Tidak, karena waktu yang sempit. Kapal sudah siap berlayar. Pagi hari sebelum
berangkat, saya diminta datang ke puri. Kemudian saya naik kereta kuda bersama
pangeran Manuel, isterinya dan Alfonso, membawa kami ke Barcelona. Di situ kami
berjumpa dengan senor Pedro Arbellez, sekarang menjadi pemilik hacienda, tetapi
ketika itu masih memegang jabatan sebagai pengawas. Saya bersama anak itu
kemudian diserahkan kepadanya."
"Apakah kamu diantar oleh Don Manuel dan isterinya ke atas kapal?"
"Tidak. Keduanya segera kembali lagi, karena Yang Mulia Tuan Puteri tidak tahan
berpisah dengan puteranya. Setelah itu saya setiap saat bersama anak itu. Akan
tetapi keesokan harinya, pagi-pagi, pada persangkaanku muka anak itu mengalami
sedikit perubahan." "Wah! Lanjutkan keteranganmu!"
"Ya, masih ada lagi, meskipun suatu hal remeh. Sebagai kebiasaan orang miskin,
saya selalu ingin mengetahui, apa yang dipakai oleh orang kaya. Maka ketika saya
menukar pakaian anak itu, saya perhatikan baik-baik apa yang dipakai olehnya.
Keesokan harinya saya merasa agak heran, karena menurut perasaanku baju anak itu
ukurannya lebih kecil daripada malam sebelumnya."
Pangeran Fernando memandang dengan tajam. "Hanya persangkaanmu saja demikian?"
tanya pangeran tegang. "Ataukah keyakinanmu?"
"Sayang ketika itu saya tidak memperhatikan nomor ukuran bajunya. Meskipun
demikian saya merasa pasti, bahwa baju itu telah ditukar."
"Pintu kamarmu terkunci atau tidak?"
"Tidak." "Apakah nama tempat penginapannya" Aku telah lupa."
"Nama hotel itu 'El Hombre Grande'. Letaknya di kota Barcelona."
"Tahukah kamu, siapa-siapa tamu hotel pada malam itu?"
"Keesokan harinya diam-diam aku menanyakan berbagai hal kepada orang-orang di
hotel itu. Dan keterangan mereka mungkin berguna juga. Tidak jauh dari kamarku
tinggal seorang tamu yang mendapat kunjungan dari dua orang. Ketiga tamu itu
tidak dikenal orang. Mereka meninggalkan hotel keesokan harinya pagi-pagi. Salah
seorang membawa bungkusan."
"Siapakah yang melihatnya?"
"Seorang gadis pelayan yang menderita sakit gigi dan tidak dapat tidur."
"Jadi ada kemungkinan anak itu bersama bajunya ditukar orang. Dapatkah kau
memberi keterangan lebih lanjut?"
"Tak ada yang pasti, tetapi terdapat hal-hal kecil, yang mula-mula tampak remeh,
tetapi kemudian ternyata penting juga."
"Katakan saja, jangan segan-segan! Dalam perkara seperti ini hal-hal kecil
kadang-kadang merupakan kunci untuk membuka hal-hal yang besar."
"Nah, anak itu belum pernah bicara tentang orang tuanya, sedangkan sepatutnya ia
merasa sedih berpisah dengan mereka."
"Memang." "Saya mendapat kesan, seolah-olah ia tak pernah bertempat tinggal bersama orang
tuanya. Ketika saya singgung tentang pangeran Manuel dan isterinya, ia tidak
memanggilnya papa dan mama, melainkan ayah dan ibu. Lagi pula ia tidak suka
bicara tentang tanah airnya, seolah-olah ia dilarang berbuat demikian.
Selanjutnya ia tidak menjawab, bila dipanggil Alfonso. Anak itu seperti biasa
dipanggil dengan nama lain"
"Masya Allah! Semua itu baru kau ceriterakan sekarang padaku?"
"Mula-mula saya ini seorang gadis bodoh, tidak menaruh curiga sedikit pun. Baru
setelah saya tinggal di sini saya mulai berpikir. Apa lagi setelah saya melihat
persamaan yang membingungkan itu. Saya mulai menaruh curiga, namun sudah
terlambat." "Belum tentu sudah terlambat. Jalan Tuhan tidak dapat kita terka."
"Lagi pula anak itu dalam perjalanan lebih banyak bertanya tentang Pablo Cortejo
daripada tentang Anda. Akhirnya dapat saya ketahui juga, bahwa kedua orang itu
beraku berengkau, bila mereka hanya berdua saja."
"Benarkah?" tanya pangeran cepat.
"Benar! Bahkan pernah saya dengar Don Alfonso memanggil sekretaris Anda paman.
Ketika itu mereka sedang di dalam taman. Mereka tidak mengetahui bahwa saya
sedang mengawasinya."
"Masih ada lagi keteranganmu?"
"Hanya itulah yang dapat saya ceriterakan, Don Fernando."
"O, itu sudah memadai. Kini aku yakin, bahwa ada orang-orang mendalangi
kejahatan ini. Tetapi biarlah! Mereka tidak akan luput dari hukum."
"Haruskah saya rahasiakan pembicaraan tadi, Yang Mulia?"
"Tentu saja. Mereka tidak boleh menduga, bahwa kita mengetahui sesuatu, takut
nanti mereka mengacaukan segalanya. Tapi kalau benar dugaan kita, di manakah
Alfonso yang asli?" "Ia telah dibawa ketiga orang itu."
"Dan mungkin juga dibunuh."
"Por amor de dios!"
"Itu harus kuselidiki," kata pangeran dengan berang. "Jadi itulah sebabnya, maka
Alfonso ini begitu biadab. Karena itu aku tak dapat merasakan adanya tali
persaudaraan di antara kami. Namun di mata orang banyak ia masih keponakanku dan
aku harus membelanya. Tolong panggil sais dan suruhlah menyiapkan kereta kuda.
Bila kuperlukan kamu lagi, akan kuberitahu."
Wanita tua itu pergi. Pangeran menyimpan kembali surat-surat yang menimbulkan keresahan hati ke dalam
laci meja tulis, lalu pergi ke luar rumah dan naik kereta kuda yang sudah
disiapkan baginya. "Ke rumah pangeran Embarez!" titahnya kepada sais.
Tak lama kemudian kereta itu berhenti di muka rumah pangeran Embarez. Don
Fernando melaporkan kedatangannya, kemudian dipersilakan masuk ke dalam.
Embarez, seorang pangeran muda usia, menerimanya dengan hormat sekali, namun
sangat dingin. Don Fernando dipersilakan duduk, sedangkan ia sendiri tetap
berdiri saja. Maka oleh karena itu pangeran Rodriganda menolak tawaran untuk duduk di atas
kursi dan tetap berdiri pula.
"Hari ini telah saya terima surat dari Anda," katanya.
Embarez mengangguk dalam-dalam.
"Dan saya pun kurang mengerti, mengapa surat itu ditulis dengan nada sedingin
itu." "Nada demikian dapat dipahami dengan mudah."
"Mungkin bagi Anda, tetapi tidak bagi saya. Saya selalu ramah dan sopan terhadap
setiap orang." "Saya pun demikian terhadap orang-orang yang patut diperlakukan demikian."
Rodriganda melangkah ke belakang dengan berang. "Apakah maksud Anda, saya kurang
patut mendapat penghargaan menurut penilaian Anda!" tanya Rodriganda dengan nada
tajam. "Maksud saya tidak ditujukan kepada Anda pribadi."
"Tetapi surat itu ditujukan kepadaku!"
"Berkenaan dengan tingkah laku keponakan Anda."
"Saya mohon penjelasan. Apa yang terjadi antara Anda dengan dia?"
"Soal kehormatan, karena ia telah menghina saudara perempuanku. Lalu saya
tantang dia berkelahi memakai senjata pedang. Ia telah menerima tantangan itu."
"Bilamana duel itu harus berlangsung?"
"Tiga hari sesudah kejadian itu. Sayang ia tidak hadir, sehingga terpaksa saya
beranggapan, bahwa kehormatannya tidak tahan diuji dengan pedang. Mungkin juga
ia takut. Bagaimanapun juga tidak ada tafsiran yang lebih menguntungkan
baginya." Rodriganda harus menelan penghinaan sekasar itu. Namun ia tetap tenang dan
menjawab. "Anda khilaf, pangeran. Saya terpaksa mengutarakan pendapat, bahwa bukanlah
perbuatan ksatria untuk menghina seorang yang tidak bersalah seperti saya ini.
Harus Anda ketahui pula, bahwa keponakanku terpaksa mengadakan perjalanan jauh.
Dalam keadaan seperti itu kadang-kadang orang terpaksa tidak memenuhi janji,
meskipun ia tidak mempunyai keinginan demikian. Seumpama Anda adalah saya, saya
akan menanyakan lebih dahulu kepada pamannya, sebelum saya mengambil tindakan
menghina orang." Perkataan ini berkesan di dalam hati lawannya. Jawabnya, "Isi surat saya khusus
ditujukan kepada keponakan Anda."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bukan alasan. Begini saja! Saya bertindak sebagai wakil keponakanku. Surat
Anda tertuju kepadaku. Maka sesuai dengan itu saya mohon, supaya ujung pedang
yang sedianya diarahkan kepada keponakanku itu, kini diarahkan saja kepadaku
sendiri." "Ah! Maksud Anda....?"
"Bahwa saya menerima tantangan yang diajukan kepada keponakanku itu."
"Pangeran, itu sekali-kali bukanlah maksudku," kata Embarez cepat. "Saya mohon,
supaya Anda menarik kembali perkataan Anda!"
"Dan saya mohon, supaya Anda menerimanya," jawab Rodriganda sungguh-sungguh.
"Baik! Bila Anda memaksa, saya harus menerima juga."
"Bilamana akan dilangsungkan?"
"Terserah kepada Anda."
"Besok?" "Begitu tergesa-gesa untuk mati, Don Fernando?" tanya Embarez menyindir.
"Hidup matiku ada di tangan Tuhan," kata Rodriganda tenang.
"Senjata apa Anda pilih?"
"Sebagai pengganti keponakanku saya harus tunduk pada pilihannya, jadi senjata
pedang. Tempatnya pun sama dengan yang ditetapkan oleh keponakanku."
"Siapa pendamping Anda?"
"Siapa yang mendampingi keponakanku?"
"Vicomte de Lorriere."
"Tuan Vicomte akan saya minta selekasnya datang pada Anda."
"Dan saya akan menantikan kedatangannya."
"Maka semua sudah kita bicarakan dan saya minta diri."
Don Fernando pergi ke rumah Vicomte de Lorriere. Vicomte sangat murka ketika
mendengar, bahwa Alfonso tidak hadir. Namun ia menahan diri, mengingat
kehormatan Don Fernando dan berjanji hendak memberi bantuan yang diperlukan.
Kemudian pangeran Rodriganda pulang.
Sepanjang petang hari ia sibuk menulis. Malam hari ia menyuruh Maria Hermoyes
datang. Wanita itu mengira, tuannya hendak membicarakan tentang penukaran anak
itu, tetapi ternyata tidak demikian.
"Maria," katanya, "akan kupercayakan suatu rahasia kepadamu. Jagalah, supaya
jangan sampai diketahui orang."
"Tentu, Yang Mulia, saya akan menyimpan rahasia itu baik-baik," jawabnya.
"Tentu kau ketahui apa artinya duel itu. Besok aku akan berduel."
"Benarkah?" tanya wanita itu terkejut. "Jangan, jangan berbuat demikian!"
"Aku terpaksa," katanya. "Alfonso telah menerima tantangan, tetapi ia takut dan
melarikan diri. Untuk menjaga nama baikku, aku harus menggantikannya."
"Ya Tuhan, ia akan menjadi pembunuh pamannya sendiri."
"Kau tidak usah khawatir. Aku pandai juga memainkan pedang, meskipun aku bukan
jagoan. Mudah-mudahan aku tidak mendapat cedera. Namun untuk menghadapi segala
macam kemungkinan, sudah kusiapkan surat wasiatku...."
"Saya kira, surat itu sudah selesai ditulis?" kata Maria, agak merasa heran.
"Yang sudah selesai yang memuat Alfonso sebagai ahli waris tunggalku. Tetapi itu
perlu diubah. Telah bangkit curigaku dan telah kuambil tindakan seperlunya.
Inilah surat wasiat baru. Kau harus menyimpannya."
"Saya" Yang Mulia, saya ini hanya seorang wanita miskin!" kata wanita itu sambil
menangis. "Kau abdiku yang setia dan kau adalah satu-satunya yang dapat kupercaya. Bila
besok aku kembali lagi, kau kembalikan surat itu kepadaku. Tapi bila aku tidak
kembali, harus kau sampaikan surat itu kepada ketua pengadilan, yang akan
mengambil tindakan seperlunya. Selamat malam!"
Wanita tua itu hendak menolak, tetapi ia mendorongnya dengan lemah lembut ke
luar, supaya tidak terpengaruh oleh kelemahan hati wanita tua itu, yang mungkin
menggagalkan niatnya. Setelah Pablo Cortejo meninggalkan pangeran, ia memberi perintah kepada kedua
utusan, lalu kembali ke kamarnya. Ia pernah mempunyai seorang isteri yang telah
meninggal dan meninggalkan seorang anak, seorang anak perempuan. Anaknya yang
bernama Josefa dimanja dan dipuja-puja. Bila kita mengharap melihat seorang
gadis cantik tiada taranya kita akan sangat kecewa. Tubuhnya serupa dengan
ayahnya, tinggi kurus, bertulang kasar, raut mukanya tajam dan gerak-geriknya
agak canggung. Warna kulit mukanya kuning pucat, giginya sudah banyak tanggal
dan matanya seperti mata burung hantu yang terpaksa dibuka menentang cahaya
matahari. Pablo Cortejo tidak pergi ke kamar kerjanya, melainkan pergi menemui anaknya.
Gadis itu sedang berbaring di taman di atas tikar gantung dan sedang merokok.
"Apa yang diinginkan pangeran" Penting benar kelihatannya."
"Ia memberi tamparan di mukaku," geramnya.
"Mengenai apa pembicaraannya?"
"Apa lagi kalau bukan mengenai Alfonso."
"Hm! Ia keponakan sendiri, bukankah demikian?"
"Untunglah demikian pendapatnya. Seandainya si tua itu mengetahui keadaan
sebenarnya, mati kita! Mula-mula diterimanya berita malang tentang utang akibat
perjudian, kemudian berita yang tidak kurang merisaukan, yaitu tentang
pembatalan duel, ini terutama disebabkan oleh sikapmu itu!"
"Aku?" tanya gadis itu terheran-heran. "Apa hubunganku dengan tantangan
berduel?" "Bukan secara langsung, tetapi kau tidak menghendaki Alfonso hadir. Kau takut
kehilangan nyawanya yang sangat berharga dan ia pun mungkin lebih takut lagi."
"Apa hubungan dengan perkara yang dihadapi ayah hari ini?"
"Pangeran Embarez telah menulis surat kepada Don Fernando, membuat Don Fernando
sangat marah dan mengancam hendak mengusir Alfonso atau melakukan tindakan keras
yang lain." "Ia tak akan berani berbuat demikian. Alfonso tidak akan membiarkannya."
"Pangeran sudah marah sekali. Ia hendak membatasi gerak gerik keponakannya.
Sampai ia berani menyalahkan aku. Katanya, keponakannya itu mendapat pengaruh
buruk daripadaku." "Pengaruh itu memang bukan dari pihak ayah, melainkan dari pihakku," demikian
diakui oleh gadis itu dengan terus terang.
"Benar pendapatmu itu. Sementara itu, surat pangeran Embarez membawa perubahan
yang menguntungkan bagi kita. Don Fernando sendiri akan berduel sebagai ganti
Alfonso." Josefa melompat kegirangan dari atas tikar gantungnya. "Bilamana?"
"Entahlah, tetapi dalam waktu dekat, karena pangeran tidak biasa menunda perkara
sepenting itu." "Dan bila ia tertembak mati?"
"Tertikam mati!"
"Jadi duel itu menggunakan senjata pedang. Itu mungkin lebih berbahaya."
"Maka dapat dikatakan kita sudah menang. Surat wasiat sudah ditulis dan Alfonso
dianggap sebagai ahli waris tunggal."
"Dan demikian aku juga menjadi ahli waris," kata gadis itu sambil tertawa
girang. "Memang, kau juga. Alangkah cerdik saudaraku Gasparino yang bertempat tinggal di
Spanyol dengan merencanakan siasat itu. Keinginannya, supaya segenap harta benda
jatuh ke dalam tangannya dan ke dalam tangan anaknya. Dan bagian kita sedikit
sekali. Tetapi belum tentu siapa lebih cerdik, dia atau kita. Kau harus mendapat
bagian juga dari warisan itu."
"Apa yang akan dikatakan Alfonso tentang usul kita itu!"
"Sudah tentu ia tak merasa senang."
"Mengapa tidak" Ayah mengira aku ini gadis tidak laku?" tanya Josefa
tersinggung. "Bukan itu maksudku," jawab Cortejo. "Tetapi seorang pangeran harus menikah
dengan seorang puteri."
"Itu tidak menjadi soal. Dengan sendirinya aku menjadi puteri, bila ia menikah
dengan aku." "Hm. Cerdik juga engkau. Tetapi harus diakui, bahwa ia tidak akan menyerah
begitu saja." "Alfonso harus ditundukkan bukan dengan cinta, tetapi dengan paksaan."
"Dan bagaimana, kalau Don Fernando tidak tewas dalam duel?"
Josefa menundukkan kepala dan menjawab, "Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa
kaum laki-laki selalu harus bersikap selemah itu."
Ayahnya memperhatikan gadis itu sejenak. Kemudian ia bertanya, "Jadi maksudmu,
pangeran harus mati?"
"Benarlah!" "Jika bukan oleh pedang...."
"....masih ada cara lain juga. Tetapi sebenarnya tidak sesuai benar dengan
tujuan kita, bila Don Fernando meninggal. Dengan membiarkan dia hidup, kita akan
mendapat senjata ampuh di tangan kita, karena aku belum yakin, tali persaudaraan
antara ayah dengan keponakan maupun saudara akan selalu tahan uji."
"Baik juga kau ingatkan hal itu. Memang lebih baik Don Fernando tetap hidup,
tetapi hal itu jangan sampai membahayakan kepentingan kita. Untuk mencapai
tujuan, umpamanya kita dapat menyerahkannya hidup-hidup kepada nakhoda bajak
laut Henrico Landola, tak lama lagi akan datang di sini. Lagi pula sangat segan
hatiku, melakukan pembunuhan terhadap seorang yang berjasa pada kita."
"Berjasa?" tanya Josefa mengejek. "Ada-ada saja ayah! Bukankah ayah bekerja,
memberi jasa kepadanya" Tetapi tidak apalah, karena aku sendiri berpendapat, ia
lebih baik tetap hidup. Untuk mencapai tujuan itu, harus diusahakan supaya
seolah-olah ia mati. Siapakah pandai membuat ramuan untuk membuat orang seperti
mati?" "Aku mengetahui seorang ahli pembuat ramuan. Ia bersedia memberi pertolongan,
asal diberi uang jasa. Peramu itu seorang Indian, bertempat tinggal di Santa
Anita. Namanya Basilio. Segera aku pergi kepadanya untuk minta bantuan."
"Tetapi tunggu dahulu, sampai kita mengetahui kesudahan duel. Apa yang ayah
ketahui tentang Alfonso?"
"Tiga minggu yang lalu sudah kukirim seorang utusan untuk memberi penyuluhan
seperlunya. Hari ini pangeran mengirim dua orang utusan sekaligus. Mereka akan
berjumpa dengan Alfonso di tengah jalan. Beberapa hari lagi ia akan sampai ke
sini." "Syukurlah, karena ia akan kembali kepadaku!"
Mata gadis itu berseri-seri. Nyatalah, ia sangat mencintai Alfonso. Namun
cintanya pasti akan berubah menjadi malapetaka, dan menimpa orang yang
dikasihinya, bila ia tidak membalas kasihnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Don Fernando de Rodriganda meninggalkan kota
Meksiko bersama Vicomte, pembantunya, menuju ke Danau Texcoco. Kedua orang itu
berpakaian nasional Meksiko, bertopi sombrero yang bertepi lebar, dihiasi
benang-benang emas, yang bergantungan sampai ke bahu. Bajunya hitam berkancing
perak kecil-kecil. Mereka memakai pelindung kaki bersulamkan benang emas dan
perak, ditarik melalui lutut dan diikatkan pada pinggang dengan sebuah ikat
pinggang. Pelana kuda pun dihiasi dengan warna-warna emas dan perak serta kancing-kancing
dari perak. Kekang kuda dihiasi dengan cara serupa. Tali kendali terbuat dari
tali sutera beraneka warna dan pacu kudanya yang besar-besar terbuat dari perak.
Di belakang sandaran pelana terdapat selembar kulit putih, untuk melindungi
senjata pistol. Kulit itu tergantung sebelah menyebelah tubuh kuda sampai jauh
ke bawah. Bergantungan pada pelana juga terdapat tali laso.
Kedua orang cavalero itu tidak bercakap-cakap. Apa yang perlu diperbincangkan,
sudah dibicarakan sebelumnya. Vicomte memahami benar pergolakan dalam hati
pangeran, maka ia tidak mau mengganggu dengan percakapan yang kurang perlu.
Ketika mereka sampai di tempat tujuan mereka di dekat danau, lawannya sudah
hadir. Lawannya didampingi oleh seorang dokter sebagai pembantu dan seorang lagi
yang tidak memihak pada salah seorang di antara mereka.
Kedua orang itu segera bersiap dan mulai berduel setelah diberi tanda.
Mula-mula pangeran Embarez memandang enteng lawannya. Ternyata ia membuat
kesalahan besar dengan pandangan demikian. Don Fernando dapat mempermainkan
pedang dengan tangkas, hingga berhasil melukai. Tetapi hal ini membuat lawannya
menyerang kembali dengan lebih bersemangat. Karena sebenarnya ia lebih terlatih
dari Don Fernando, akhirnya berhasillah ia menusukkan pedangnya ke dada lawannya
itu. "Aku terkena!" seru Don Fernando, lalu roboh ke atas tanah.
Dokter segera berdiri di sisinya memeriksa luka Don Fernando menyatakan, bahwa
luka itu tidak seberapa besar, namun cukup berbahaya untuk meneruskan duel.
Pangeran Embarez merasa puas dengan kesudahan ini dan meninggalkan tempat itu.
Don Fernando mendapat perawatan dan diangkut dengan kereta kuda ke rumahnya.
Setiba di rumah, mereka disambut oleh Cortejo dan puterinya, yang langsung
hendak menyanyikan lagu duka. Tetapi atas kehendak pangeran mereka disuruh
pergi. Pangeran hanya ingin ditemani oleh Maria, wanita tua itu. Maria datang
dan diberi tugas merawat pangeran. Setelah dokter meninggalkan tempat itu, Maria
berkata. "Saya membawa surat wasiat Anda."
"Itu tidak perlu lagi," kata pangeran sambil tersenyum. "Tolong simpan baik-baik
ke dalam laci tengah meja tulis itu."
Maria berbuat seperti yang diperintahkan kepadanya dengan hati-hati dan cermat.
Berlainan sekali suasana di tempat kediaman sekretaris. Ayah dan puteri sedang
duduk dengan wajah muram.
"Apa yang telah kita capai?" tanya Josefa.
"Tidak sesuatu pun!" Jawab ayahnya. "Yang sangat mengesalkan hati, ialah bahwa
wanita tua pengasuh itu pandai sekali mencari muka, sehingga ia mendapat
kepercayaan dari pangeran."
"Lalu perbuatan pangeran Embarez pun sangat mengecewakan. Mengapa seorang ahli
dalam permainan pedang seperti dia tidak dapat menikamkan pedangnya lebih dalam
lagi ke tubuh lawannya?"
"Aku harus langsung pergi ke Santa Anita."
"Benar! Berangkatlah secepatnya! Setiap saat berharga bagi kita."
"Sebenarnya aku ingin menanti kedatangan Alfonso lebih dahulu."
"Tapi tidak ada salahnya, bila ayah memesan ramuan itu lebih dahulu!"
"Benar juga pendapatmu! Mari, aku berangkat!"
Pablo Cortejo naik kudanya dan pergi menuju desa Santa Anita, penduduknya
terutama terdiri dari bangsa Indian.
Mata pencaharian kaum Indian di situ berkebun. Hasil perkebunannya diangkut
dengan perahu-perahu kecil melalui terusan Chalco ke kota dan dijual di situ.
Hasil yang dijual terdiri dari buah-buahan, bunga-bungaan, jagung dan rumput
kering. Wanita berpakaian rok merah menyala berbaring bersama anak-anak dan
anjing-anjing di sisi muatan beraneka ragam itu. Sehelai selimut dibentangkan di
atas dua tongkat kayu, Gunanya untuk memberi perlindungan dari terik matahari.
Di sebelah kiri terbentang kebun terapung bangsa Indian yang kenamaan, diberi
nama Chinanpa oleh mereka. Permukaan Danau Chalco mula-mula bening, tetapi
kemudian orang-orang Indian menutupinya dengan rakit-rakit dan tikar rumput,
diberi tanah di atasnya dan ditanami dengan sayur-mayur dan bunga-bungaan.
Tanaman-tanaman ini mempunyai akar, sehingga rakit-rakit tidak diombang-
ambingkan lagi oleh ombak dan menyerupai pulau-pulau kecil, berpagar bunga
mawar, tempat menanam sayur-mayur dan buah-buahan yang lezat.
Bangsa Indian ini bukan bangsa yang liar. Mereka beragama katolik dan disebut
Indios fideles, berlawanan dengan Indios bravos, yaitu bangsa Indian yang hidup
bebas, liar. Kepercayaan serta adat-istiadat yang lama masih memegang peranan
dalam hidup kekristenan mereka sekarang. Namun di antara mereka terdapat juga
orang-orang yang lebih ditakuti daripada orang Comanche atau Apache liar.
Salah seorang dari mereka adalah Basilio, seorang dukun ramu. Ia mengenal segala
macam ramuan Indian, cara membuatnya, pemakaian serta pengaruhnya, pengetahuan
yang diwarisi dari nenek moyangnya. Tidaklah segan ia memperdagangkan hasil
kepandaiannya. Banyak jumlah orang yang dibunuhnya, mungkin lebih banyak dari
jumlah orang yang tewas oleh tangan Kepala Banteng dan Hati Beruang dalam
perkelahian yang jujur. Setiap orang mengetahui letak rumahnya, demikian juga Cortejo. Ia masuk
pekarangan kecil di sebelah rumah itu, supaya tidak menarik perhatian orang,
kemudian ia mengetuk pintu.
Setelah berkali-kali mengetuk, pintu dibuka. Muka buruk seorang wanita tua
tampak di balik daun pintu. Wanita itu bertanya,
"Apa yang Anda kehendaki?"
"Apakah Basilio, dukun itu, ada di rumah?"
"Tidak ada! Di mana ia sekarang ataupun bila mana ia kembali, tidak kuketahui
juga." Cortejo meraba saku, lalu mengeluarkan sekeping uang peso. Diperlihatkannya
kepada wanita itu, lalu ia bertanya lagi,
"Apakah Basilio ada di rumah?"
"Kurasa ada. Berikan dahulu uang itu!"
"Baru kuberikan, bila sudah pasti ia ada di rumah."
"Benar. Ia ada di rumah," katanya. "Cepat, berikan uang itu!"
"Dapat aku bicara dengannya?"
"Dapat. Mari ikut aku!"
Cortejo memberi uang kepada wanita itu, lalu masuk ke dalam. Wanita itu menutup
pintu dan pergi ke sebuah kamar, yang lebih menyerupai kandang kambing daripada


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat kediaman orang. "Duduklah!" katanya. "Aku akan memanggilnya."
Setelah ditinggalkan wanita itu, Cortejo mencari sesuatu, yang layak untuk
tempat duduk, tetapi sia-sia saja. Hanya dilihatnya setumpuk tumbuh-tumbuhan
kering, lalu ia duduk di atasnya.
Berapa lama ia harus menunggu, sebelum orang Indian itu keluar. Ia seorang
bertubuh kecil dan kurus dengan raut muka yang tajam, berhidung bengkok dan
berkacamata besar. "Apa kehendak Anda?" Tanya orang Indian itu.
"Boleh saya berterus terang dengan Anda?" jawab sekretaris.
"Rahasia pun boleh Anda sampaikan kepadaku."
"Anda menjual ramuan?"
"Benar." "Yang baik maupun yang jahat?"
"Semuanya baik," jawab Basilio dengan senyum lebar.
"Maksudku yang beracun dan yang tidak beracun."
"Benar. Bila maksud Anda, bicara tentang yang beracun, kita harus hati-hati.
Siapakah Anda?" "Anda tidak perlu mengetahui. Hanya dapat kukatakan, bahwa saya bukan seorang
polisi." "Baik, baik! Anda mempunyai uang" Siapa hendak bicara tentang ramuan beracun
harus membayar sepuluh peso lebih dahulu. Sanggupkah Anda?"
Cortejo meraba sakunya, lalu mengeluarkan uang sebanyak yang diminta dan memberi
uang itu kepadanya. Orang Indian itu tersenyum gembira dan menerima uang itu.
Kemudian ia berkata, "Kini Anda boleh bertanya!"
"Apakah terdapat juga ramuan yang membuat orang seolah-olah mati?" tanya
Cortejo. "Ada. Bahkan terdapat beberapa jenis. Kepada siapa ramuan itu diperuntukkan?"
"Untuk seorang laki-laki bertubuh tegap berusia lebih kurang lima puluh tahun."
"Haruskah ia menjadi sadar kembali?"
"Ya, sesudah satu minggu."
"Bila mana Anda memerlukan ramuan itu?"
"Sekarang juga. Berapa harga yang Anda minta?"
"Harganya seratus uang peso."
"Akan saya bayar."
"Baik. Saya senang berdagang dengan Anda, karena Anda cepat mengambil putusan.
Tunggu sebentar. Saya akan mengambil ramuannya!"
Basilio pergi. Sekali ini hampir satu jam, baru kembali lagi. Ia membawa
bungkusan kecil dan diberikan kepada sekretaris. "Inilah barangnya!" kata
Basilio. Bungkusan itu kecil sekali, besarnya kurang dari seperempat sebuah bidal. Maka
agak kurang percaya Cortejo memegangnya dan bertanya, "Inikah" Apa tidak salah"
Bolehkah saya membukanya?"
"Boleh saja!" kata peramu itu dengan tersenyum.
Cortejo membuka bungkusan. Isinya serbuk halus tak berbau.
Kelihatannya seperti beling ditumbuk halus-halus.
"Dapatkah saya memegang tanpa mengalami akibat buruk?"
"Ramuan itu hanya bekerja di dalam perut orang," jawabnya.
"Dan bagaimana cara menggunakannya?"
"Anda harus melarutkannya dalam air, lalu membubuhkannya pada makanan atau
minuman. Pengaruhnya terasa setelah satu malam."
"Apakah ada juga obat penangkalnya?"
"Tidak. Lagi pula obat-obat lain pun tak kuasa menggagalkan bekerjanya."
"Saya mau membelinya. Tetapi Anda menjamin kemujarabannya?"
"Saya tidak biasa bersumpah, tetapi Anda akan melihat, bahwa ramuan ini mujarab
sekali." "Bila kemudian ternyata, bahwa ramuan ini kurang mujarab, saya minta kembali
uangku, lalu saya adukan Anda sebagai seorang peramu racun. Sebagaimana Anda
ketahui, perbuatan demikian dapat dijatuhi hukuman mati."
Dukun ramu itu tersenyum dengan tenang.
"Siapa yang bersalah, senor" Yang meramu racun atau yang memberi kepada orang
lain untuk dimakan" Saya kira, orang yang tersebut belakangan lebih berat
kesalahannya. Pendeknya bayar saja dan pergilah!"
Cortejo membayar, lalu hendak pergi. Tiba-tiba teringat olehnya sesuatu hal.
"Ada sesuatu ingin saya tanyakan. Orang yang mati semu mayatnya mengeluarkan
noda-noda atau tidak?"
"Tidak!" "Tetapi dalam perkara yang saya hadapi, harus ada noda-noda itu!"
"Hm! Sulit juga kalau begitu!" jawab Basilio, sambil tersenyum licik.
"Bukankah lebih baik, langsung membunuh saja orang itu" Bila demikian, akan
timbul noda-noda itu dengan sendirinya."
"Tidak. Ia tidak boleh mati. Dapatkah noda-noda itu ditimbulkan dengan sengaja?"
"Ya dapat, tetapi agak sulit. Harganya lima puluh peso!"
"Basilio, Anda benar-benar seorang pemeras! Saya rasa, dua puluh peso sudah
cukup!" "Harga tidak kurang, lima puluh peso atau saya akan pergi!" Basilio pura-pura
hendak pergi. "Tunggu dahulu! Tiga puluh peso!" kata Cortejo cepat.
"Baik! Saya akan mengambil barangnya."
Orang Indian itu pergi, sepuluh menit kemudian kembali dengan sebuah botol
kecil, berisi zat cair kekuning-kuningan.
"Tahukah Anda, di mana biasa keluar noda-noda pada sesosok mayat" Celupkan
secarik kain ke dalam zat cair ini, lalu gosoklah tempat-tempat itu! Makin
banyak Anda bubuhkan zat cair makin gelap warnanya."
"Serahkan barangnya dan terimalah uangnya!"
Cortejo membayar. Orang Indian itu memasukkan uang dengan gembira ke dalam
sakunya. Setelah itu Cortejo keluar rumah, naik kudanya, cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Barang siapa keluar dari rumah Basilio, langsung
dicurigai orang, telah melakukan perdagangan gelap.
BAB VII SIASAT IBLIS Dalam perjalanan pulang Cortejo menjumpai seorang penunggang kuda di dekat
daerah Paseo de la Viga. Tampak orang itu tidak biasa menunggang kuda. Ia
berpakaian ringan musim semi dan kepalanya ditutup topi sombrero lebar. Cortejo
terkejut melihat orang itu. Ia mengenalnya, tetapi tidak mengharapkan
kedatangannya di tempat itu. Orang tersebut nakhoda Henrico Landola.
Bibirnya terkatup erat, dengan sudut mulutnya tertarik ke bawah seolah-olah
selalu hendak mengejek, hidungnya bengkok tajam, pandangan mata kelabunya tajam
dan menusuk dan menimbulkan kesan, kita berhadapan dengan orang luar biasa.
Memang nakhoda Landola bukan pelaut biasa; itu harus diakui yang pernah
mengenalnya. Orang-orang itu berpendapat, meskipun namanya seperti orang
Spanyol, sesungguhnya ia seorang Yankee sejati, tak gentar menghadapi iblis
sekalipun dan bila perlu ia sanggup berlayar memasuki neraka dan keluar dari
ujung yang lain, tanpa merusak sedikit pun tiang maupun layar kapal. Semua
samudera serta pelabuhannya dikenal dan umum mengetahui, bahwa ia bersedia
menerima setiap muatan, halal ataupun haram, asal sanggup membayarnya. Bahkan
menurut bisik-bisik orang, ia tidak segan-segan menerima muatan budak negro,
meskipun perbudakan setidak-tidaknya di atas kertas, sudah dilarang oleh negara-
negara besar dan para pelanggarnya senantiasa harus berjaga-jaga bila bertemu
dengan kapal-kapal perang yang berlayar hilir mudik.
Cortejo menghentikan kudanya, lalu bertanya, "Bukankah saya berhadapan dengan
senor Henrico Landola?"
"Benar," jawab pelaut itu.
"Tapi apakah maksud Anda datang ke sini, ke daerah paseo ini?"
"Saya pergi menyongsong Anda."
"Mengapa?" tanya Cortejo terheran-heran.
"Tahukah Anda, bahwa saya naik ke darat di Vera Cruz" Sudahkah Anda terima surat
dari saudara Anda?" "Memang telah saya terima."
"Kalau begitu, segalanya sudah beres. Saya bersusah payah pergi ke mari, ke
tanah terkutuk, penuh dengan perampok dan penyakit demam ini, untuk mengadakan
pembicaraan langsung dengan Anda. Di tempat kediaman Anda hanya saya temui
puteri Anda, yang mengatakan, bahwa saya dapat menemui Anda di Paseo. Maka saya
ke sini." "Betapa ceroboh Anda! Anda tidak boleh kelihatan di sini. Meskipun di sini Anda
tidak dikenal orang, namun setan dapat memainkan peran yang tidak dapat diduga.
Dua orang hendak merundingkan perkara rahasia seperti kita, sama sekali tidak
boleh kelihatan oleh orang lain."
"Baiklah, kalau kehendak Anda demikian."
"Maka pergilah ke mana Anda kehendaki dan kembalilah lagi malam hari pukul
sepuluh berjalan kaki ke sini!"
"Baik, saya akan hadir pada waktu itu."
Landola melanjutkan perjalanan dan sekretaris pun pulang lagi ke rumahnya.
Sesampai di rumah, ia diterima puterinya, yang ingin sekali mendengar khabar
tentang pengalamannya. "Sudahkah ayah bertemu dengan Basilio dan memperoleh ramuannya?"
"Sudah, tetapi benar-benar mahal harganya."
"Coba ceritakan!"
Sekretaris bercerita pada Josefa tentang kunjungan kepada Basilio. Kemudian ia
berkata, "Mengapa telah kau suruh nakhoda itu menyongsong aku" Itu berbahaya!"
"Bukankah lebih berbahaya lagi, membiarkan di sini menantikan ayah."
"Demikiankah kehendaknya" Alangkah cerobohnya! Apakah ia mengatakan tentang
pekerjaannya?" "Sedikit pun tidak."
"Dan kau juga tidak bertanya?"
Josefa menjawab agak kemalu-maluan, "Memang aku bertanya, tetapi ia tidak
bersedia mengatakan pekerjaannya."
"Tentu. Orang seperti Henrico Landola tidak akan berbicara dengan kaum wanita
tentang perkara-perkara demikian. Telah kau katakan, aku di paseo?"
"Tidak. Hanya kukatakan kepadanya, bahwa ia dapat menjumpai ayah di paseo. Jadi
ayah sudah mendapat obat itu" Bagaimana bentuknya, serbuk atau zat cair?"
Sekretaris membuka bungkusan, lalu memperlihatkan isinya.
"Bilamana ayah akan memberikan obat itu" Hari ini juga?"
"Aku harus menunggu. Alfonso belum datang."
"Mengapa harus menunggu dia?"
"Lagi pula aku harus memberitahu nakhoda Landola lebih dahulu."
"Jadi besok obat itu dapat diberikan kepada Don Fernando?"
"Bila mungkin."
"Tetapi bagaimana caranya" Maria, si tua itu, tidak mengizinkan orang
mengunjunginya. Ia menjaga seperti seekor naga."
"Namun harus ada jalan."
"Obat itu bekerja dalam waktu semalam dan pengaruhnya terasa selama waktu
seminggu." "Kalau begitu, kemungkinan Don Fernando akan meninggal, karena ia sudah luka."
"Itu bukan salahku. Aku hanya bermaksud membuatnya mati semu; bila ia sampai
mati, terserahlah. Hatiku tidak akan tersiksa."
Setelah malam tiba, Cortejo berkemas untuk memenuhi janji pergi ke paseo. Ia
tidak naik kuda, karena dengan demikian akan sulit baginya bercakap-cakap dengan
Landola. Ia menjumpai nakhoda itu di situ.
"Tepat waktunya!" seru Landola, setelah dikenalnya orang yang baru datang itu.
"Di mana Anda telah menghabiskan waktu, senor Landola?"
"Mudah saja. Cukup banyak tempat hiburan gelap. Tetapi jangan ditanyakan tentang
hal itu." jawabnya. "Mari kita berjalan berdampingan, kita dapat mulai
pembicaraan kita." Mereka berjalan berdampingan dan bisik-bisik.
"Sudahkah Anda terima surat dari senor Gasparino, saudara Anda?" tanya nakhoda.
"Sudah. Demikian juga Anda sudah menerima tugas?"
"Tidak." "Semestinya sudah."
"Hm, istilah yang ada gunakan kurang tepat, senor" kata Landola sambil
tersenyum. "Nakhoda Henrico Landola seorang bebas merdeka. Tidak seorangpun
dapat memerintahnya atau memberi tugas padanya."
"Maaf. Bukan maksud saya untuk menghina Anda."
"Tidak apalah. Beginilah kejadiannya! Saudara Anda memohon kepada saya untuk
membantu menyelesaikan suatu perkara."
"Perkara apa." "Yah. Kira-kira usaha hendak menyingkirkan seseorang," jawab nakhoda dengan
tenang. "Dalam keadaan mati atau hidup?"
"Menurut keinginan saudara Anda: mati!"
"Bagaimana, bila saya berlainan pendapat dengan saudaraku?"
"Terserah. Asal Anda mau membayar. Anda sanggup menawar berapa?"
"Saya kira 1000 duro sudah cukup."
"Baik. Apa yang harus kuperbuat pada orang itu?"
"Melenyapkan dia."
"Ke mana?" "Terserah kepada Anda."
"Baik. Bilamana saya memperoleh 'barang'-nya?"
"Berapa lama Anda berlabuh di pelabuhan?"
"Sampai perkara ini beres. Tapi jangan menyuruh saya menunggu lama di negeri
terkutuk dan berbahaya ini. Kemungkinan saya cepat membongkar sauh."
"Baik. Saya akan mengusahakan secepatnya. Tahukah Anda, siapa orang yang
dimaksud itu?" "Saya tidak mengetahui. Lagi pula saya tak ada keinginan mengetahui siapakah
orangnya." "Andaikata ketika itu hari masih terang, akan nampak wajah nakhoda, bahwa ia
berdusta. Sebenarnya sudah tercium olehnya muslihat curang yang sedang
dijalankan Cortejo dua bersaudara, diam-diam ia berusaha mencari keuntungan dari
keadaan itu." "Bagaimana bila orang itu memberitahu namanya kepada Anda....?"
"Saya tidak akan percaya."
"Dan bila terdengar oleh awak kapal Anda?"
"Tak seorang pun akan melihatnya!"
"Dapatkah kami mendengar dari Anda kemudian, ke mana Anda membawanya?"
"Mungkin. Sekarang saya sendiri pun masih belum mengetahuinya."
"Baik. Mungkin besok orang itu akan mati...."
"Bilamana ia dimakamkan?"
"Seharusnya dalam dua hari, tetapi keponakannya belum datang."
"Jadi ia dimakamkan tanpa hadir keponakannya."
"Itu melanggar peraturan."
"O, jadi orang ini orang terkemuka! Kalau begitu, dokter menganjurkan, supaya
mayat itu diawetkan dengan rempah-rempah."
"Saya tidak akan mengizinkan. Kita dapat mengemukakan alasan, bahwa hal itu
bertentangan dengan adat istiadat keluarga mereka atau bahwa orang yang
meninggal itu semasa hidupnya pernah tidak setuju."
"Bagus! Tetapi bagaimana cara mengangkutnya ke pelabuhan?"
"Tentu bukan di dalam peti mati."
"Saya rasa lebih baik memasukkannya ke dalam keranjang ringan."
"Baik. Dan naik kendaraan apa?"
"Seekor kuda dapat membawanya."
"Dan bagaimana memasukkannya ke alam kapal?"
"Terserah kepada Anda. Itu tugas Anda sendiri?"
"Hm! Saya kurang menyukai bagian itu. Tapi, biarlah, akan kuatur sebaik-baiknya.
Asal jangan sampai Anda kehilangan keranjang itu di perjalanan."
"Pekerjaan itu memang memusingkan kepala. Jalan dari sini ke pantai laut penuh
dengan penjahat, orang kulit merah maupun kulit putih."
"Anda harus mendapat pengawalan kuat."
"Itu pun sulit. Dalam hal itu kita harus melibatkan orang-orang."
"Tidak usah. Anda sendiri saja ikut."
"Saya sendiri sebenarnya tidak dapat. Namun akan kuusahakan juga. Bagaimana
dapat Anda ketahui, bahwa kami sudah sampai, senor capitano?"
"Mudah saja. Anda mengirim seorang utusan kepadaku."
"Dan Anda sendiri akan menyambut kami?"
"Belum tentu. Anda tentu tidak akan masuk ke dalam kota dengan membawa keranjang
itu?" "Tentu tidak!" "Begini saja. Anda harus mencari bagian pantai yang sunyi dan dapat disinggahi
perahu. Segera, setelah saya mendengar, bahwa Anda sampai, saya akan datang pada
malam hari untuk mengambil keranjang itu."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Jadi kita sekarang sudah sepaham."
"Mari, kita berpisah."
"Mengapa tergesa-gesa?"
"Saya masih membutuhkan hiburan. Sebagaimana diketahui, kehidupan di laut sangat
menjemukan. Maka bila kita di darat, kita harus menggunakan kesempatan itu untuk
mencari hiburan sebanyak-banyaknya."
"Saya mengerti. Selamat malam dan bergembiralah, senor."
"Selamat malam! Lekas diselesaikan soal pemakaman itu!"
"Jangan khawatir!"
Kedua orang itu berpisah.
Don Fernando sedang berbaring karena lukanya sama sekali tidak menduga, bahwa
pemakamannya sudah diatur dengan rapi.
Pada hari itu Cortejo sedang mujur sekali, karena ia bertemu dengan Maria
Hermoyes, ketika ia masuk ke istana. Maria sedang membawa sebuah gelas penuh
berisi air minum sejuk dari sumur.
"Bagaimana keadaan Don Fernando?" tanya Cortejo.
"Sudah agak baik," jawab Maria.
"Demamnya sudah berkurang?"
"Tidak, tetapi ia sangat haus. Hampir setiap seperempat jam saya harus pergi ke
sumur mengambil air minum."
"Dokter sudah tiba?"
"Sudah dua kali. Kata dokter, luka itu tidak berapa berat. Maka kita tidak perlu
khawatir, asal tidak terjadi hal-hal yang tidak terduga."
"Mudah-mudahan pangeran akan lekas sembuh. Di daerah tropis kita harus hati-hati
benar. Luka kecil kadang-kadang dapat membawa bencana."
"Benar juga, senor. Tetapi maaf, saya masih banyak pekerjaan. Selamat malam!"
"Selamat malam!"
Mereka sampai dekat pintu kamar Maria. Wanita tua itu mungkin hendak mengambil
sesuatu dalam kamarnya. Maka diletakkan gelas berisi air itu di atas meja.
Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.
Cortejo langsung berdiri di dekat gelas itu. Ramuan disimpan dalam sakunya.
Dalam sekejap mata ketika dilihatnya, bahwa ia seorang diri, secepat kilat
dikeluarkannya bungkusan dari dalam saku dan dengan tangan gemetar dicurahkannya
ramuan ke dalam gelas. Setelah itu, cepat-cepat ia pergi.
Josefa Cortejo masih belum tidur. Ia menanti ayahnya. Dengan gembira Cortejo
bercerita kepada anaknya, bahwa rencana jahatnya sudah berhasil. Gadis itu
mendengar dengan penuh perhatian. Kemudian ia melompat kegirangan.
"Untung benar!" katanya. "Horee, kita menang! Kini enyah segala keraguan. Kini
sudah pasti aku akan menjadi puteri, isteri pangeran. Bilamana Alfonso dapat
tiba di sini" Aku tak sabar menantikannya."
"Beberapa hari lagi. Tapi bila ia sungguh-sungguh berusaha, besok sampai di
sini." "Aduh! Aku tidak akan dapat tidur memikirkannya."
"Lebih baik kau sekarang pergi ke kamar tidurmu juga. Setiap saat dapat terjadi
sesuatu dengan pangeran dan orang akan membangunkan setiap orang yang bertempat
tinggal di sekitarnya. Setiap orang masih akan berpakaian tidur, sedangkan kau
seorang diri berpakaian lengkap. Mereka akan menaruh curiga. Kita harus berhati-
hati. Soal kecil pun tidak boleh kita abaikan."
"Ayah benar juga. Sekarang coba bayangkan, Andaikata tubuh pangeran menjadi
kaku. Apakah dalam hal itu ayah akan mengizinkan Maria tinggal di dalam kamar si
sakit berdua dengan si sakit?"
"Tentu saja tidak."
"Memang harus demikian pendirian ayah. Ada lagi hal lain. Mungkin ayah belum
mengetahui bahwa rupanya pangeran sudah menulis surat wasiat baru."
"Caramba - celaka!" maki Cortejo terkejut.
"Itu dugaanku. Bukan suatu kebiasaan orang hendak berduel, membereskan berbagai
hal lebih dahulu?" "Benar. Dan Don Fernando sudah tentu mengadakan persiapan seperlunya."
"Arnoldo, abdinya, telah melihat pangeran terus-menerus menulis surat."
"Tapi itu masih belum merupakan bukti, bahwa ia menulis surat wasiat baru."
"Masih ada alasan lain. Mengapa surat itu harus dirahasiakan benar olehnya"
Mengapa tidak disimpan dalam laci meja tulis saja, tempat ia biasa menyimpan
surat-suratnya?" "Lalu di mana disimpannya surat itu?"
"Diberikannya kepada Maria Hermoyes."
"Bedebah!" seru Cortejo terkejut. "Kau tahu pasti?"
"Pasti. Wanita itu ke luar dari kamar pangeran membawa amplop besar ditutup oleh
lima buah meterai dan ketika ia menghadap pangeran setelah selesai duel itu, ia
membawa lagi amplop itu."
"Kau dengar dari siapa?"
"Dari abdi pribadinya."
"Perbedaannya memang nyata benar, perlakuan terhadap diriku dengan diri wanita
itu. Penuh curiga terhadap diriku sedangkan penuh kepercayaan terhadap dirinya.
Sudah pasti ia mengubah surat wasiatnya. Tetapi apakah kiranya yang diubah itu"
Ahli warisnya hanya Alfonso, bukan?"
"Ayah khilaf." kata Josefa. "Don Fernando kecewa terhadap Alfonso. Ia dapat
menggugurkan haknya sebagai ahli waris, karena Alfonso hanya seorang keponakan
saja. Lain halnya dengan harta benda Don Manuel di Spanyol. Di situ Alfonso
kedudukannya lebih kuat. Haknya sebagai ahli waris di sana tidak dapat
digugurkan begitu saja."
"Kau benar. Namun aneh juga, mengapa Don Fernando menaruh kepercayaan begitu
besar kepada pengasuh itu."
"Wanita itulah, yang mengantar Alfonso kemari. Mungkin juga ia sudah menaruh
curiga." "Apakah kecurigaannya disampaikan juga kepada Pangeran?"
"Kita harus menyingkirkan dia, ayah! Di manakah kiranya pangeran menyimpan surat
itu?" "Pasti di laci tengah meja tulisnya, tempat menyimpan surat-surat pentingnya."
"Kalau begitu, tindakan kita pertama-tama setelah ramuan mulai bekerja, membuka
laci itu." "Akan kuusahakan. Sekarang mari kita pergi dari sini!"
Cortejo pergi ke kamar tidurnya. Demikian juga anaknya, namun ia tidak dapat
tidur, seperti juga dikatakan sebelumnya. Ia membayangkan kehidupannya yang
gilang gemilang kemudian hari. Bahwa kehidupan cemerlang seperti itu hanya dapat
diperoleh dengan perbuatan-perbuatan jahat dan keji, sekali-kali tidak menjadi
pertimbangan baginya. Beberapa jam telah lalu. Cortejo sedang tidur nyenyak, ketika pintu kamarnya
diketuk-ketuk. Ia bangun dan bertanya, siapakah orang itu.
"Saya Arnoldo," jawab abdi pangeran. "Lekaslah buka pintu, senor! Ada sesuatu
terjadi dengan Don Fernando!"
"Aku datang segera."
Cortejo melompat dari tempat tidurnya, mengenakan baju, lalu cepat-cepat
menyalakan lampu. Kemudian ia membuka pintu dan abdi itu masuk ke dalam.
"Apa yang terjadi dengan pangeran?" tanya sekretaris.
"Entahlah. Hari ini saya bertugas jaga. Saya duduk di ruang depan sedang
mengantuk. Tiba-tiba saya mendengar pekik keras dari dalam. Saya bertanya apa
yang terjadi, tetapi tidak mendapat jawaban. Maria, wanita tua itu meratap dan
menangis, tetapi ia tidak mau membuka pintu. Lalu saya datang ke sini
memberitahu Anda, senor."
"Tindakanmu itu tepat benar. Kita harus segera menyelidiki perkara itu."
Cortejo ikut abdi itu ke kamar pangeran. Di situ mereka mendengar ratap tangis
pengasuh. Mereka mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.
"Buka pintu!" perintah Cortejo, lalu diterjangnya pintu. Wanita yang sedang
bingung itu terkejut dan membuka pintu.
"Apa yang terjadi?" tanya sekretaris.
"Tuanku yang begitu baik.... sudah mati... mati!" ratapnya.
Cortejo mendekati pangeran di tempat tidurnya dan mengamatinya. Don Fernando
sedang berbaring; mukanya pucat dan berkerut-kerut seperti mayat.
"Bilamana terjadi?" tanya Cortejo kepada pengasuh.
"Saya tak mengetahui," jawab wanita itu.
"Engkau harus mengetahui, karena engkaulah yang merawatnya!"
"Saya tertidur dan ketika saya bangun, Don Fernando sudah meninggal. Lalu saya
menangis, lama, lama sekali."
"Engkau harus bertanggung jawab tentang kematian pangeran," hardik Cortejo.
"Mengapa tidak cepat kau buka pintu, ketika Arnoldo mengetuknya" Sekiranya kau
biarkan dia masuk, mungkin jiwa si sakit masih dapat di tolong!"
"Tidak. Pangeran sudah mati ketika itu," jawab wanita itu membela diri. Cortejo
langsung melihat ke arah laci tengah meja tulis, ketika ia masuk kamar itu.
Untung baginya, anak kunci masih melekat di mulut kunci laci itu.
"Sekarang harus dibangunkan semua orang dan cepat memanggil dokter! Lekas
pergi!" perintah Cortejo. Mendengar perintah abdi Arnoldo cepat pergi dan Maria
pun meninggalkan kamar itu dengan meremas-remas tangannya. Kini Cortejo langsung
pergi ke meja tulis, membuka laci, mengambil amplop, dimasukkannya ke dalam
saku, lalu menutup laci itu kembali. Kemudian ia bergegas keluar dari kamar itu.
Kejadian ini berlangsung cepat, sehingga pengasuh ketika akan ke luar dari kamar
dipegang tangannya oleh Cortejo.
"Tunggu dahulu, Maria!" katanya. "Don Fernando menaruh kepercayaan penuh
kepadamu, bukan?" "Memang demikian," jawab wanita itu tersedu-sedu.
"Baik. Engkau harus menunggu tuanmu sampai orang-orang dari kepolisian datang.
Engkau harus juga menjaga, supaya jangan ada yang hilang, dibawa orang! Kini
masuklah lagi ke dalam kamar! Aku yang membangunkan orang-orang!"
Itu sesuai kehendak wanita tua itu. Ia kembali ke kamar pangeran dan mulai lagi
ratap tangisnya. Penghuni istana terbangun dari tidur nyenyak, dibangunkan oleh suara Cortejo
yang memanggil mereka. Mereka berlarian menuju ke kamar pangeran untuk
menyaksikan kematian tuannya. Kemudian terdengarlah ratap tangis mereka, yang
tidak berhenti sebelum dokter tiba.
Dokter itu sangat terkejut, karena kejadian ini sama sekali tidak diduganya.
Tindakan pertama ialah menyuruh ke luar semua orang yang mengerumuni mayat.
Hanya Cortejo, abdi pangeran dan wanita pengasuh dibolehkan tetap di situ.
Kemudian ia memeriksa mayat itu. Sambil menggelengkan kepala ia berkata, "Korban
tetanus. Masih terasa panas. Kita harus menunggu sebentar."
Cortejo merasa khawatir, kalau-kalau dokter hendak membedah urat darah tubuh
itu, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dokter hanya mengatakan, bahwa ia akan
menunggui mayat hingga pagi hari. Maka Cortejo dan abdi pangeran meninggalkan
kamar itu. Hanya wanita pengasuh tinggal bersama dokter.
Setelah Cortejo kembali lagi di kamar dijumpainya Josefa, anaknya sedang
menanti. Josefa dengan berbaju tidur, seperti juga penghuni istana lain, telah
berlari bersama mereka ke kamar pangeran. Tetapi sekarang ia sudah berganti
pakaian. "Surat wasiat itu sudah di tangan ayah?" tanya Josefa.
"Benar. Aku menemukannya di dalam laci tengah meja tulis. Masih belum ada
alamatnya. Coba kita lihat!"
Cortejo membuka materainya, mengambil suratnya dari dalam amplop dan membacanya.
Ia sangat terkejut. "Apa isinya?" tanya Josefa cemas.
"Inilah, baca sendiri!" jawabnya, setelah selesai membaca.
Josefa terkejut, ketika ia membaca surat itu.
"Sudah kuduga!" serunya. "Haknya sebagai ahli waris sudah digugurkan!"
"Kita tidak akan menerima uang sesen pun!"
"Sebaliknya Maria akan menerima sejumlah harta sangat besar," kata gadis itu
marah-marah. "Dan pada kita akan diadakan penelitian pula. Akan diselidiki, apakah Alfonso
itu benar-benar putera pangeran Rodriganda yang asli."
"Untunglah surat terkutuk itu sudah di tangan kita."
"Bakar saja!" "Ketika ayah mengambil surat itu, ayah mengetahui pasti, tidak ada orang yang
melihatnya" Maria pun tidak?"
"Jangan khawatir! Cepat sekali kulakukan pekerjaan itu sehingga wanita itu pun
menyangka, bahwa aku meninggalkan kamar tepat di belakangnya."
"Kalau begitu, tidak terdapat alasan untuk merasa khawatir. Baik. Surat itu akan
dibakar, maka habislah segala kesusahan kita. Hanya masih ada kesulitan, yaitu
Alfonso." "Aku akan mewakilinya. Akulah, sebagai sekretaris pribadinya, menjadi orang
kedua setelah pangeran meninggal."
"Bagaimana dengan noda-noda mayat itu?"
"Aku akan mencari kesempatan untuk membubuhkannya."
"Mayat pangeran akan tetap dibiarkan dalam kamar?"
"Tidak. Kamar itu akan ditutup oleh pengadilan, sementara menanti pengumuman isi
surat wasiat." "Bilamana hal itu akan terjadi?"
"Sesuai dengan undang-undang negara, hari ini juga. Pengumuman itu untuk
mengetahui, siapakah menjadi ahli waris dan tuan rumah di sini."
"Mayat itu akan dibawa ke mana?"
"Ke tempat tidur agung di balai besar. Siapkan segala yang diperlukan untuk itu!
Balai itu harus dibalut seluruhnya dengan kain hitam."
"O, aku akan sibuk sekali!"
"Aku pun demikian. Aku harus mengurus tentang peti mati dan lain-lain. Hari
sudah hampir pagi. Aku harus segera mulai."
"Dan kesibukanku dimulai dengan surat ini." Sambil mengatakan Josefa mengambil
sampul berisi surat wasiat, lalu ia pergi ke arah perapian. Nyala api di
dalamnya naik tinggi-tinggi.
Beberapa jam kemudian Cortejo dipanggil dokter.
"Anda sekretaris Don Fernando?" tanya dokter. "Andakah, yang dikuasai mengurus
segala keperluannya?"
"Benar." "Maka dapat saya sampaikan kepada Anda, bahwa pangeran benar-benar telah
meninggal dunia." Cortejo pura-pura terkejut. "Bagaimana mungkin?" keluhnya.
"Memang. Saya pun mula-mula menganggap tidak mungkin. Namun akhirnya terpaksa
harus percaya juga."
"Kata Anda pangeran meninggal karena penyakit tetanus?"
"Benar. Iklim panas daerah selatan ini kadang-kadang sangat berbahaya. Luka
kecil kadang-kadang dapat mendatangkan kematian."
"Mengerikan benar! Dapatkah senor mengizinkan saya membawa jenazah dari sini"
Setengah jam lagi akan tiba orang-orang dari pengadilan untuk mengurus soal
warisan." "Siapakah ahli warisnya?"
"Menurut perkiraan saya, mungkin Don Alfonso."
"Anda hadir, ketika pangeran almarhum menulis surat wasiatnya?"
"Ya, saya hadir."
"Maka dapat saya pastikan, bahwa perkiraan Anda benar. Maukah Anda
memperkenalkan diri saya kepada pangeran yang baru" Hingga kini saya selalu
mendapat kepercayaan pangeran almarhum."
"Baik! Akan saya usahakan dalam batas-batas kesanggupanku," jawab Cortejo.
"Maka akan saya siapkan surat kematian untuk keperluan pemerintah. Namun saya
perlu mengadakan pemeriksaan jenazah sekali lagi sebelum dimakamkan."
"Bahkan itu merupakan permintaanku, senor."
Dengan ini selesailah pembicaraan mengenai soal-soal utama.
Jenazah almarhum belum dipindahkan, ketika orang-orang dari pengadilan tiba.
Pengasuh itu harus pergi juga. Hanya Cortejo boleh hadir, karena ia mewakili
pangeran semasa hidupnya.
Don Fernando telah menyerahkan surat wasiatnya yang pertama kepada pemerintah
dan surat ini dibuka. Ternyata, bahwa Alfonso adalah ahli waris tunggal.
Selanjutnya tertera juga, bahwa dianjurkan kepada ahli waris, supaya sekretaris
yang sekarang tetap dipertahankan dalam jabatannya. Lagi pula sekretaris itu
mendapat bagian yang cukup besar dalam pembagian warisan. Semua abdi pun
mendapat bagian, namun hal itu baru diumumkan setelah pemakaman.
"Di manakah pangeran Alfonso sekarang?" tanya seorang penguasa, yang telah
membuka surat wasiat itu. Orang itu adalah ketua pengadilan kota Meksiko.
"Di sebuah hacienda yang jauh dan sunyi."
"Bilamana ia kembali?"
"Mungkin hari ini. Selambat-lambatnya dua tiga hari lagi."
"Langsung saya diberitahu, bila ia tiba, senor Cortejo! Saya akan mengunjunginya
dan mengadakan pembicaraan dengannya. Sekali ini saya memberi izin kepada Anda
untuk mengurus perkara pemakaman dan lain-lain. Surat-surat almarhum disimpan di
mana?" "Di perpustakaan dan di sini."
"Dan hartanya berupa uang, barang-barang perhiasan dan lain-lain?"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam meja tulis ini."
"Kalau begitu, saya terpaksa menyegel seluruh tempat kediaman Don Fernando. Anda
bertanggung jawab, bahwa segel-segel itu tidak dirusak."
Cortejo mengangguk, lalu menjawab, "Saya mohon mendapat sejumlah uang
sebelumnya, guna pembiayaan pemakaman. Kemudian jumlah itu akan saya
perhitungkan." "Baik! Anda akan memperolehnya."
Dengan demikian segalanya sudah diatur dan kamar-kamar pangeran disegel, setelah
jenazahnya dipindahkan ke balai besar.
BAB VIII AHLI WARIS GADUNGAN Berita wafatnya pangeran Fernando yang dicintai masyarakat itu segera tersiar ke
mana-mana. Diceriterakan orang, bahwa pangeran terluka dalam perkelahian dan
setiap keluarga terkemuka mengirim kartu pernyataan bela sungkawa.
Sore itu Cortejo menunggu jenazah pangeran dan ia menggunakan kesempatan untuk
membubuhkan noda-noda pada jenazah. Sangat berhasil pekerjaan itu, sehingga
seorang ahli pun tidak akan dapat membedakan dengan noda-noda asli. Ketika
keesokan harinya dokter memeriksa jenazah untuk kedua kalinya dan melihat noda-
noda itu, langsung ia memberi izin untuk memakamkannya.
Tetapi pada hari itu terjadi suatu kejadian lagi.
Sore hari ketika Cortejo sedang menulis surat, ia mendengar seorang datang naik
kuda dan menghentikan kuda dekat pintu gerbang. Hal itu tidak dihiraukan. Tidak
lama kemudian ia mendengar orang berjalan menuju pintu kamarnya. Pintu itu
terbuka. Cortejo melompat dari meja tulisnya. "Alfonso! Akhirnya kau datang juga. Sudah
lama kuharapkan kedatanganmu!"
"Aku pun ingin bertemu kembali dengan paman."
"Kau sudah mengetahui, bahwa pangeran sudah meninggal?"
"Sudah," kata Alfonso sambil tertawa.
"Kau tertawa! Mengapa?"
"Karena lucu. Paman pandai benar meramalkan. Paman menulis tentang kemungkinan
pangeran Fernando akan meninggal. Sekarang baru aku sampai di sini - kudengar, ia
sudah meninggal." "Tidakkah perlu kau tanyakan, siapa ahli warisnya?"
"Bukankah sudah jelas, bahwa akulah ahli warisnya?"
"Jangan terlalu takabur!"
Alfonso terkejut mendengar ini. "Jadi mungkin bukan aku?"
"Jangan khawatir," kata pamannya. "Memang kaulah ahli warisnya, akan tetapi
hampir kau kehilangan hakmu, hendak diberikan kepada pangeran Manuel dari puri
Rodriganda di negeri Spanyol, yang puteranya ditukarkan denganmu."
"Persetan dengan dia! Mengapa sampai terjadi begitu?"
"Engkau akan mendengar semua. Tetapi, caramba, alangkah kusut pakaianmu!"
Alfonso melayangkan pandang kepada pakaian kusut masai yang dipakainya, lalu
menerangkan, "Perjalananku melalui hutan rimba. Tetapi tidak apalah. Dalam
sekejap mata aku dapat berganti pakaian."
Sebuah pintu dibuka dan Josefa masuk. Setelah dilihatnya saudara sepupunya,
hatinya girang bukan buatan. Direntangkannya tangannya seolah-olah hendak
mendekap kekasihnya, "Alangkah rindu aku denganmu, Alfonso! Peluklah aku erat-erat, kekasihku!"
Karena Alfonso tidak langsung menuruti kehendaknya, maka ia sendiri yang
menghampirinya dan mendekapnya erat-erat serta menciumnya. Alfonso berusaha
melepaskan diri dari dekapan. Karena tiada berhasil, maka ia marah.
"Lepaskan aku!" perintahnya. "Aku tidak membutuhkan sandiwara seperti ini.
Alangkah ceroboh kamu, memanggilku saudara sepupu! Apa yang akan terjadi, kalau
seseorang mendengar ucapan itu! Rahasia kita akan terbuka!"
"Jangan marah kekasihku! Aku terdorong oleh rindu dan kasihku kepadamu!"
"Ya, tetapi perlukah menggigit bibirku keras-keras dengan gigimu yang tinggal satu?"
Sindiran tajam itu menolong. Dalam mata gadis yang menyerupai mata burung hantu
itu mulai menyala api kemarahan, lalu ia berkata dengan membuang muka,
"Kau akan menyesal kemudian! Akan tiba waktunya, kau menyembah-nyembah padaku,
minta maaf untuk penghinaan itu!"
"Kurasa sekarang belum perlu!" ejek Alfonso.
"Suatu waktu!" "Tidak! Selama-lamanya juga tidak!"
"Lihat saja! Orang tidak dapat menghinaku tanpa mendapat ganjaran!"
"Ah, omong kosong semua! Di mana kau simpan kunci-kunci tempat kediamanku,
Cortejo?" Sekretaris menyaksikan penyambutan ini dengan hati berdebar-debar. Kini ia
menunjuk dengan muka muram ke papan hitam, yang tergantung pada dinding, tempat
menggantungkan berbagai kunci.
"Itulah kunci-kuncinya!" katanya dengan hati kesal.
Alfonso kurang puas dengan pelayanan demikian. "Apa sebenarnya maksudmu?" tanya
Alfonso. "Tidak apa-apa!"
"Nah, kalau begitu tidakkah pada tempatnya, bila seorang sekretaris menyampaikan
kunci yang diminta ke dalam tangan tuannya?"
Wajah Cortejo bertambah muram, lalu jawabnya, "bukankah lebih sopan bagi seorang
keponakan untuk mengambil sendiri kunci-kuncinya daripada menyuruh pamannya?"
Alfonso tertawa. "Hentikan sajalah permainan sandiwara itu! Aku sekali-kali
bukan orang yang senang diajak bermain sandiwara! Bahkan menontonnya pun aku
tidak suka!" "Harus kau insyafi bahwa permainan sandiwara itu benar-benar perlu bagimu!
Sampai sekarang kau hanya mendapat peranan sampingan tak berarti. Peranan ini
mungkin diambil dari tanganmu, sehingga kau terpaksa meninggalkan pentas. Maka
sebaiknya jangan banyak bicara; pergilah ke kamarmu untuk berganti pakaian!
Kemudian kau kirim seorang abdi untuk memanggilku."
Ini dikatakan dengan tegas dan berwibawa, sehingga Alfonso tidak berani
menentangnya. Ia menurut dan pergi dari situ. Kini Cortejo menghadap kepada anak
perempuannya, "Josefa, kita berbuat kesalahan besar, ketika kau bakar surat wasiat yang kedua
itu. Sekarang sudah menjadi abu di dalam perapian."
Mata gadis itu berseri-seri, namun ia menjawab dengan merengek-rengek,
"Mengapa harus disebut kesalahan besar?"
"Karena surat wasiat itu dapat kita pergunakan sebagai senjata terhadap tingkah
Alfonso yang manja itu."
"Kukira, kita sudah menguasainya!"
Cortejo melanjutkan pekerjaannya dan Josefa pergi ke kamarnya. Ia membuka sebuah
laci rahasia dalam lemarinya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam.
Itulah surat wasiat yang ternyata masih utuh.
"Untunglah kemarin saya tidak begitu bodoh membakar surat itu. Hanya amplopnya
dimakan api. Suratnya dapat kugunakan untuk menjinakkan saudara sepupuku yang
kucintai." Setelah pangeran gadungan itu berganti pakaian ia menyuruh seorang abdi
memanggil sekretaris. Sekretaris itu datang segera, duduk seenaknya di atas kursi, lalu mulai
bercakap. "Coba ceriterakan pengalamanmu, Alfonso! Nampaknya pahit juga pengalaman itu."
"Benarlah, yang kualami kadang-kadang dapat menegakkan bulu roma. Tetapi
kemudian saja paman akan mendengar tentang itu. Sekarang aku ingin mendengar
lebih dahulu tentang apa yang telah terjadi di sini. Jadi mulai sajalah
berceritera, paman!"
Cortejo mengangguk. "Sudah kau terima suratku?"
"Sudah." "Dan kedua utusan itu" Telah kau jumpai juga?"
"Utusan mana?" "O, jadi tidak kau jumpai?"
"Tidak. Aku terpaksa menempuh jalan lain."
"Aku disuruh Don Fernando mengirim dua orang utusan untuk mencarimu."
"Dua orang sekaligus" Tentu penting sekali. Berhubung dengan keadaan genting si
sakit barangkali?" "Bukan! Berhubung dengan suatu perkelahian. Embarez telah menulis surat kepada
pangeran dan mengancamnya akan mengumumkan dalam surat kabar, bila persoalan
tidak dibereskan dalam tiga hari."
"Kurang ajar! Pangeran tentu mengamuk ketika mendengar berita itu."
"Tentu. Segera dia mengirim dua orang utusan untuk mengambilmu. Kemudian dia
sendiri pergi ke rumah Embarez untuk...."
"Untuk minta duel ditunda?"
"Sekali-kali tidak!" jawab Cortejo. "Don Fernando ialah seorang ksatria dan
menjunjung tinggi nama baik keluarga. Maka dari itu ia pergi ke rumah Embarez
untuk menggantikanmu dalam perkelahian itu."
"Caramba. Tidak dapat diharapkan kesudahan yang lebih baik. Karena kalau aku
tidak salah, Don Fernando telah membiarkan dirinya ditikam mati oleh lawannya
sebagai ganti aku." "Memang demikian pendapat umum, bahwa kematiannya disebabkan oleh duel itu."
"Jadi sebenarnya disebabkan oleh hal lain" Aku jadi ingin mengetahui, apa sebab
kematian yang sesungguhnya?"
Cortejo mengeluarkan surat saudaranya dari dalam saku dan memperlihatkan kepada
keponakannya. "Baca sendiri!" katanya.
Alfonso membaca surat itu cepat-cepat, lalu bertanya,
"Jadi surat ini menganjurkan membunuh pangeran dan telah dipenuhi."
"Ya, namun ia tidak mati. Ia masih hidup!"
Alfonso sangat terkejut. "Apa" Masih hidup" Paman sudah gila barangkali!"
"Belum, nak. Aku masih belum gila!"
"Bukankah bodoh sekali membiarkan dia hidup."
"Sudah diusahakan, supaya ia tidak merugikan kita. Pangeran Fernando dibuat mati
semu." Alfonso terkejut. "Mati semu! Astaghfirullah! Bukan main!"
"Tubuhnya menjadi kaku."
"Tetapi, apakah yang diperbuat paman, sehingga demikian keadaannya?"
"Telah kumasukkan racun ke dalam minumannya, mengakibatkan tubuh menjadi kaku.
Kekakuan itu berlangsung seminggu lamanya, kemudian ia bangun kembali."
"Dan apa yang terjadi setelah itu?"
"Bila ia terbangun sudah di dalam kapal Henrico Landola."
"Dan nakhoda itu akan menyingkirkannya?"
"Benar. Aku akan membawanya, diikat dalam sebuah keranjang ke pantai laut."
"Itu pekerjaan sulit. Pantai laut penuh dengan perampok-perampok dan penjahat-
penjahat." "Memang aku harus mendapat pengawalan, tetapi orang-orang itu tidak boleh
mengetahui keadaan sebenarnya. Sulit benar mendapatkan orang-orang yang dapat
dipercaya." Alfonso menjawab cepat-cepat. "Aku dapat menolong paman."
"Kau?" tanya Cortejo terheran-heran. "Kau kenal orang-orang pemberani, tidak
suka bicara dan tidak senang mencampuri urusan orang lain?"
"Benar, aku mengenal orang-orang yang benar-benar memiliki sifat-sifat demikian.
Mereka orang-orangku, yang mengawal aku dari hacienda ke sini."
"O, orang-orang vaquero" Mereka kurang sesuai."
"Bukan vaquero, melainkan orang Indian."
"Itu lebih baik. Mereka beragama Kristen?"
"Bukan, mereka tidak beragama."
"Jadi Indios bravos! Masuk suku mana?"
"Masuk suku Comanche."
"Suku Comanche?" tanya sekretaris terkejut. "Kau sedang bergurau!"
"Tidak. Aku sungguh-sungguh."
"Tetapi kaum Comanche itu biadab sekali. Mereka tidak tinggal di Meksiko,
melainkan di daerah seberang. Mereka datang ke mari hanya untuk membunuh dan
merampok. Aku belum pernah melihat salah seorang di antara mereka."
"Aku pun baru mengenal mereka. Sungguh pun mereka jauh lebih berbahaya daripada
orang Indian liar di sini, namun mereka berkawan denganku dan setia pula
padaku." "Kawan-kawanmu" Dan mereka mengawalmu ke mari?"
"Benar. Mereka bersembunyi di pegunungan. Aku telah mengalami peristiwa-
peristiwa yang mengerikan. Perlu juga paman mendengar ceriteraku itu."
Alfonso mulai berceritera tentang pengalamannya di hacienda. Ia berceritera
tentang kaum Comanche, tentang gua raja-raja dengan harta karunnya, tentang
perkelahiannya, tentang saat-saat mencekam, ketika ia digantung di atas kolam
buaya dan tentang pelariannya.
Cortejo mendengar dengan mulut ternganga sampai Alfonso selesai berbicara.
Kemudian ia berseru, "Masya Allah! Ceriteramu itu hampir tidak dapat dipercaya! Jadi benarkah ada
harta karun itu" Kau lihat dengan mata kepalamu sendiri" Dan harta itu kemudian
hilang?" "Hilang lenyap entah ke mana! Hanya Kepala Banteng, si bedebah itu, bersama kaum
Mixtecanya mungkin mengetahuinya."
"Tapi kita harus berusaha mencari lagi, meskipun harus bertahun-tahun lamanya!"
seru Cortejo dengan semangat menyala-nyala.
"Aku pun akan mencari, karena aku sudah menjadi pemilik hacienda itu. Aku akan
mengerahkan sepasukan prajurit dalam usaha itu."
"Prajurit-prajurit itu akan kau peroleh dengan mudah. Kau akan mendapat
prajurit-prajurit itu, karena perintah pangeran Rodriganda harus dilaksanakan."
"Maka aku pun hendak membalas dendam kepada mereka yang telah berani menentangku
pada masa yang lampau."
"Jadi orang-orang Comanche-mu dapat mengawal aku ke Vera Cruz?"
"Ya. Aku telah berjanji bertemu dengan mereka nanti malam. Aku harus memberikan
hadiah-hadiah kepada mereka."
"Aku ikut." "Maka paman harus menyediakan segala barang yang telah kujanjikan kepada mereka!
Aku akan menuliskannya ke atas kertas. Tetapi - bagaimana tentang warisan itu?"
"Kau adalah ahli waris tunggal."
"Surat wasiat sudah dibuka?"
"Sudah. Aku harus memberi kabar pada ketua pengadilan. Ia berjanji akan datang
untuk mengurus soal warisan, bila kau sudah tiba."
"Maka segera kirimlah seorang utusan kepadanya!"
"Warisan itu nyaris luput dari tangan kita. Don Fernando telah menulis surat
wasiat baru!" "Persetan dengan dia! Coba ceriterakan, apa sebab."
Cortejo berceritera. Setelah selesai berceritera, Alfonso berkata, "Pengasuh itu
harus dipecat!" "Itu perbuatan bodoh! Karena perbuatan itu, pengasuh akan menyebarkan ceritera
ke mana-mana. Kita harus menyumbat mulutnya dengan bermacam-macam hadiah, atau
kita harus menyingkirkannya."
"Masa wanita seperti itu harus diberi hadiah lagi!"
"Maka kita pilih cara kedua. Tetapi sekarang harus kuperingatkan kepadamu
tentang kewajiban yang luhur."
"Apa maksud paman?"
"Terlalu kau! Masa kau tidak mengetahui kewajibanmu sebagai keponakan dari
pangeran yang baru wafat" Apa yang akan dikatakan oleh abdi-abdinya, bila mereka
melihat, bahwa kau acuh tak acuh terhadap kematiannya?"
"Benar juga! Sepatutnya aku pergi melihat jenazah dan berusaha menangis
sedikit!" "Tentu!" "Bersujud dan berdoa di hadapan peti mati serta memperlihatkan wajah sedih."
"Seperti lazimnya dalam berduka cita."
"Baik. Akan kukerjakan semua, meskipun sangat bertentangan dengan seleraku.
Timbul perkara lain, yang ingin kubicarakan dengan paman. Ini bertalian dengan
Josefa." "Ya, katakan saja!" kata Cortejo penuh pengharapan.
"Aku kurang setuju dengan kelakuan Josefa yang dibuat-buat, waktu hendak
menyambut kedatanganku."
"Mengapa dibuat-buat" Kurasa wajar juga. Mengapa anakku tidak boleh bergembira,
melihat saudara sepupunya pulang dari perjalanan jauh?"
"Tetapi itu bukan cara lazim menyambut seorang saudara sepupu. Kurasa ia jatuh
cinta kepadaku." "Memang, tampaknya demikian," kata Cortejo dingin.
"Eh! Dan paman tidak melarangnya?"
"Sayang tak dapat. Tak dapat aku melarang seseorang jatuh cinta. Cinta itu susah
diatur." "Tetapi paman tentu menginsyafi, bahwa Josefa sama sekali bukanlah pasangan baik
bagiku?" "Tidak. Itu tidak kuinsyafi."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi.... paman mungkin berpendapat, bahwa aku dan Josefa dapat menjadi pasangan
yang ideal?" "Mengapa tidak" Mungkin saja!"
"Tetapi bagiku itu tak mungkin!" seru Alfonso dengan berang, "karena dia hanya
keturunan orang biasa saja!"
"Dan kau sendiri" Bukankah setali tiga uang?" jawab Cortejo tajam.
"Dahulu! Tetapi sekarang keadaan sudah berubah. Aku sudah menjadi pangeran
Rodriganda." "Josefa pun dapat memperoleh gelar puteri Rodriganda, setelah berlangsung
pernikahannya dengan pangeran Rodriganda. Kalian sudah cocok satu sama lain dan
mungkin sudah jodoh. Maka dia jangan disia-siakan."
"Ia lebih tua daripadaku, lagi pula jangankan cantik, sedikit menarik pun
tidak." "Malah lebih baik mempunyai seorang istri yang kurang cantik. Istri cantik
banyak godaan. Istri kurang cantik lebih setia. Kehidupan bersuami-istri akan
lebih terjamin tenteram dan bahagia."
"Persetan dengan kalian berdua!" kata Alfonso dengan menghentakkan kaki.
"Kalau kami dijemput setan, kau pun akan turut dijemput," jawab Cortejo dengan
tenang. "Kita ini sudah sehidup semati. Bertiga kita melakukan kejahatan demi
kejahatan dan nasib kita sudah ditempa menjadi satu oleh perbuatan haram itu.
Maka baik kau camkan, Alfonso, selama hidupmu kau tidak akan dapat melepaskan
diri dari ikatan dengan kami!"
"Dan bila aku memberontak, melepaskan diri juga?"
"Maka celakalah akibatnya."
"Tapi kau akan turut terkena."
"Tidak usah! Itu hanya tergantung pada cara kita menanganinya. Bila kau ingat
baik-baik, kau dalam kekuasaan kami sepenuhnya. Apa yang kau capai adalah berkat
kami. Mati hidupmu di tangan kami. Cukuplah sudah pertikaian ini. Pergilah
sekarang ke balai menengok jenazah dan berusahalah memainkan peran sebaik-
baiknya." Dengan demikian tukar-menukar pikiran mengenai Josefa selesai. Kini Alfonso
maklum, apa yang diharapkan mereka daripadanya. Dia harus mengambil keputusan:
menerima atau menolak. Di hadapan jenazah pangeran ia pandai bermain sandiwara sebagai orang yang
sangat berduka cita. Air matanya bercucuran, sehingga para abdi merasa kasihan
kepadanya. Tapi tidak lama kemudian datanglah beberapa orang hendak melawat.
Menurut adat kebiasaan di Meksiko dalam upacara semacam ini setiap orang boleh
datang melawat. Maka banyaklah orang menggunakan kesempatan ini, kaya atau
miskin, menyaksikan kecemerlangan upacara.
Cortejo pun hadir di balai yang kini penuh sesak dengan pengunjung. Ia hendak
membereskan letak sesuatu. Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat seorang Indian
menghampirinya. Indian itu berhidung bengkok tajam dan memakai kacamata tanduk
yang besar. Orang itu Basilio, dukun ramu dari Santa Anita. Ketika dilihatnya
Cortejo, ia pergi menghampirinya. "Nah," katanya tersenyum, "sudah terbukti aku
tidak bohong, bukan senor?"
Sekretaris menariknya ke sebuah ruang kosong.
"Sial benar Anda," katanya, "apa yang Anda kehendaki di sini?"
"Ah, bukan suatu apa. Saya suka melihat mayat," kata orang Indian itu tenang.
"Dari mana Anda mengetahui tempat ini?"
"Hm, saya mengenal Anda sudah lama. Saya dapat menduga, kepada siapa racun itu
hendak diberikan, lalu saya datang ke mari untuk menyaksikan bagaimana obat itu
bekerja." "Lalu bagaimana pendapat Anda?"
"Baik sekali." "Bilamana ia bangun kembali?"
"Kira-kira seminggu lagi. Akan tetapi sekarang pun ia sudah sadar sepenuhnya."
"Astaghfirullah! Jadi ia dapat mendengar, suara di sekelilingnya?"
"Ya. Bahkan ia dapat melihat dengan mata sebelah, yang kurang cermat
dikatupkan." "Tetapi itu berbahaya sekali."
"Itu urusan Anda sendiri. Saya tidak mencampuri urusan Anda, senor, tetapi bila
untung Anda sedang baik, saya harap, Anda jangan lupa pada orang miskin seperti
saya." Ucapan itu diiringi kejapan mata yang bermakna tidak dapat ditafsirkan salah.
Kemudian ia keluar pintu. Cortejo mengikuti di belakangnya. Di luar ia menjumpai
Alfonso. "Siapakah orang itu?" tanya Alfonso, setelah dilihatnya tidak seorang pun
mendengar perkataannya. "Paman tadi mengadakan pembicaraan sesuatu dengannya?"
"Caramba, alangkah terkejut aku!" jawab Cortejo. "Ia Basilio."
"Basilio" Basilio yang mana?"
Sekretaris masih bingung. Ia melihat sekitarnya, lalu berbisik,
"Dukun ramu." "Ascuas! Yang telah memberi racun itu" Telah paman beritahu siapakah sebenarnya
paman?" "Tidak. Tetapi ia telah mengenalku."
"Dapatkah ia menduga, kepada siapa racun itu diberikan?"
"Bahkan dia mengetahui dengan pasti sekarang."
"Itu berbahaya. Dapatkah ia menyimpan rahasia?"
"Orang demikian tidak dapat diharapkan pandai menyimpan rahasia."
"Ia akan melekat pada kita sebagai seekor lintah."
"Akan kulemparkan dia dari tubuhku."
"Setelah dilepas harus diinjak pula hingga mati."
"Lagi pula telah kudengar sesuatu daripadanya, yang membuat hatiku cemas.
Ternyata pangeran berbaring dalam keadaan sadar."
"Itu tak mungkin."
"Ia mendengar dan melihat semuanya."
"Celaka!" seru Alfonso. Tetapi tiba-tiba nampak senyum mengejek pada bibirnya.
Lalu ia berkata, "Sebenarnya ingin juga kuketahui apa yang dipikirkannya, ketika
ia mendengar ratap tangisku."
Seorang abdi berlari-lari menghampiri mereka dan memberitahu, bahwa ketua
pengadilan ingin berbicara dengan pangeran. Alfonso menerima pejabat itu di
tempat kediamannya, didampingi Cortejo. Perkara warisan diselesaikan dengan cara
yang sangat memuaskan. Kini Alfonso tiba-tiba berubah menjadi seorang jutawan.
Pada malam hari, ketika semua orang sudah tidur dan hanya wanita-wanita penunggu
jenazah masih berjaga, sebuah pintu belakang istana dibuka dan tiga ekor kuda
dibawa keluar. Dua ekor diberi berpelana, sedangkan yang ketiga dibebani dengan
beberapa pucuk senjata dan barang-barang lain. Alfonso dan Cortejo naik kuda,
lalu pergi menempuh jalan-jalan gelap dan sunyi di kota.
Mereka menuju pegunungan di sebelah utara dan setelah lebih dari sejam
berkendaraan kuda, mereka tiba di suatu lembah sempit dan sunyi. Di tempat itu
menyala seunggun api kecil.
Orang-orang Comanche mula-mula bersembunyi, ketika mereka tiba. Setelah orang-
orang Indian itu mengetahui siapa yang datang, mereka keluar dari tempat
persembunyiannya. "Saudara kulit putih telah menepati janji," kata pemimpinnya.
"Apa yang kujanjikan tentu kutepati," jawab Alfonso bangga.
"Siapa orang kulit putih itu?"
"Temanku." "Biar dia mengisap pipa perdamaian bersama kami."
"Tak dapatkah upacara itu ditiadakan" Kita tidak mempunyai waktu."
"Untuk pipa perdamaian selalu tersedia waktu. Siapa tidak bersedia mengisapnya
bersama kami, adalah musuh kami. Dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan
tuntutan roh." Tak ada lagi pilihan lain bagi kedua orang itu kecuali mengikuti adat kebiasaan
orang Indian. Maka mereka duduk, menyalakan pipa dan mengisapnya bergiliran. Baru setelah itu
pemimpin mulai berkata, "Kedua saudara kami ini sudah membawa barang-barang seperlunya bagi kami" Bedil,
pisau, peluru dan mesiu?"
"Ya, semuanya itu, ditambah dengan mutiara dan barang perhiasan untuk squaw
kalian." "Cukupkah jumlah itu?"
"Cukup, sesuai dengan janjiku."
"Kami hendak membongkar muatannya. Masih ada lagi sesuatu yang ingin saudara
bicarakan?" "Maukah saudara-saudara kulit merah sebelum kembali ke kampung, mendapat lebih
banyak pucuk senjata dan barang perhiasan lagi?"
"Apa yang harus kami kerjakan untuk memperoleh itu?"
"Melindungi orang yang baru mengisap pipa perdamaian dengan kalian."
"Apakah bahaya mengancamnya, sehingga ia memerlukan bantuan dari saudaranya
kulit merah?" "Bukan begitu. Ia hendak bepergian dari gunung ke laut...."
"Tempat air besar itu?"
"Benar. Perjalanan menuju ke situ penuh dengan bahaya, yang datang dari kaum
penjahat. Maka saudara-saudara diperlukan untuk melindunginya."
"Berapa hari perjalanan ke air besar tempat berlayar sampan-sampan besar itu?"
"Lima hari." "Bolehkah kami memperoleh tambahan lagi dua bilah pisau dan dua buah cermin,
yang dapat membayangkan muka kami?"
"Boleh." "Sebuah pipa untuk mengisap tembakau dan sebungkus tembakau, sebesar kepala
orang?" "Itu pun boleh."
"Kami akan mengawal saudara kami kulit putih ke air besar. Bilamana ia hendak
berangkat?" "Dua tiga hari lagi."
"Haruskah kami menanti di sini" Kami perlu mendapat beberapa keping perak, yang
disebut orang kulit putih uang, untuk membeli keperluan kami, makanan-makanan di
rumah orang kulit putih."
"Itu pun dapat dipenuhi. Inilah uang sepuluh peso."
"Dapatkah uang itu dibelikan makanan, cukup untuk enam orang?"
"Dapat." "Maka semua beres. Howgh!"
Orang-orang Comanche itu mendapat uang dan segala barang yang diangkut oleh kuda
beban itu. Mereka sangat bergembira, apa lagi setelah mendapat sekotak cerutu
dengan cuma-cuma. Setelah itu paman dan keponakan kembali ke arah kota.
Setelah sampai di istana, mereka hendak tidur melepaskan lelah. Cortejo melihat
lagi ke balai, tempat jenazah itu dibaringkan. Wanita pengasuh sedang duduk juga
di situ bersama-sama wanita-wanita penunggu jenazah. Ketika dilihat pengasuh
Cortejo, bangkitlah ia, lalu menghampirinya.
"Maafkan saya, senor! Sebenarnya kurang tepat saatnya, tetapi bolehkah saya
mengajukan pertanyaan" Surat wasiat sudah dibuka kemarin, segera setelah
wafatnya pangeran. Apakah ini surat wasiat yang disimpan dalam laci tengah meja
tulis?" "Ya, tentunya surat itu juga. Ketua pengadilan telah menerimanya lalu
menyegelnya." "Saya mendengar, bahwa Don Alfonso menjadi ahli waris yang terutama dan bahwa
sejumlah orang telah mendapat hadiah. Apakah saya juga mendapat sesuatu?"
"Ya. Engkau mendapat seribu peso dan jaminan makan cuma-cuma selama hidupmu."
Wanita itu sangat terkejut. "Hal itu disebut dalam surat wasiat itu" Kalau
begitu, surat wasiat itu bukan yang resmi."
"Apa alasanmu berpendapat demikian?"
"Karena Don Fernando telah menjanjikan kepada saya hal lain dan hal itu pun
tertera dalam surat wasiat itu. Saya diberi janji, boleh kembali ke kampung
halaman di Spanyol dan akan mendapat sejumlah uang cukup besar untuk dapat
dinikmati selama hidupku."
"Bilamana surat wasiat baru itu ditulis?"
"Pada malam sebelum perkelahian berlangsung. Ketika itu Yang Mulia menulis surat
wasiat baru yang diberikannya kepadaku untuk disimpan. Sekembalinya dari
perkelahian saya serahkan kembali surat itu."
"Di mana kemudian surat itu disimpan?"
"Dalam laci tengah meja tulis."
"Kalau begitu, maka aku harus pergi menanyakan kepada ketua pengadilan, apakah
ketentuan-ketentuan yang kau sebut tertera dalam surat wasiat."
"Benar. Tanyakanlah padanya, senor Cortejo! Karena Yang Mulia sudah wafat, tidak
ada alasan lagi bagiku untuk tinggal di sini."
"Tetapi bagaimana, Andaikata ketentuan-ketentuan itu tidak tertulis dalam surat
itu?" "Maka surat wasiat yang dibuka itu palsu."
"Jadi ada dua helai surat" Dari mana dapat kau ketahui?"
"Itu dikatakan oleh Don Fernando sendiri, ketika ditulisnya surat wasiat baru
itu." "Tetapi mengapa ia harus membuat dua surat wasiat?"
"Tak dapat saya katakan. Saya harus berbicara dengan ketua pengadilan. Ia harus
mencari surat wasiat yang baru itu."
"Biar aku sendiri membicarakan dahulu dengannya, Maria! Engkau akan mendengar
kemudian, apa yang dikatakannya."
Cortejo pergi dengan memaki-maki dalam hati. Wanita ini masih dapat mendatangkan
banyak kesusahan baginya.
Keesokan hari jenazah pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla dikebumikan.
Masyarakat dari seluruh kalangan atas hadir pada peristiwa besar itu. Jenazah
Don Fernando disemayamkan di suatu ruangan di bawah tanah, khusus disediakan
baginya. Pangeran Alfonso, meskipun diliputi dukacita, namun banyak orang iri
hati kepadanya. Selesai upacara pemakaman sunyi senyap keadaan di istana. Alfonso duduk di atas
divan melamun bagaimana cara menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah itu
sebaik-baiknya. Ketika itu pintu terbuka dan Josefa masuk ke dalam.
Alfonso bangkit dari tempat duduk dengan sangat terkejut. Berani benar gadis
ini, masuk ke dalam kamarnya, buka main!
"Kau ke sini?" tanyanya. "Apa yang kau kehendaki?"
"Bicara denganmu."
"Apa yang akan dikatakan para abdi, bila mereka melihat kau diam-diam masuk ke
dalam kamarku." "Bahwa kita ada hubungan kekeluargaan," kata gadis itu mengejek.
"Apakah kamu.... sudah gila?"
"Tenanglah! Tak perlu marah-marah! Kini orang belum mengetahui namun bila kau
kurang hati-hati, kemungkinan orang-orang akan mendengarnya dari mulutku
sendiri." "Kau sedang bergurau."
"Sekali-kali tidak. Aku sungguh-sungguh, karena aku sedang marah!"
"Marah" Kalau begitu, bolehkah saya minta penjelasan tuan puteri, kepada siapa
marah dan apa sebab-sebab kemarahan itu?"
Josefa memandangnya dengan berang. "Pertama karena kau tidak mempunyai rasa
sopan santun dengan membiarkan aku berdiri."
"O, maaf, silahkan duduk! Dan yang kedua?"
"Kedua, karena kau telah menghina aku."
"Menghina" Itu tuduhan berat. Sayang aku sendiri tidak dapat mengingat peristiwa
itu." "Kau telah mengatakan aku telah tua dan bermuka buruk. Mengakulah! Jangan
bohong!" "Ya, karena kenyataan memang demikian!"
Jawaban pendek ini dikatakan dengan menahan tawa. Tetapi Josefa makin meluap-
luap amarahnya. Mata burung hantunya menentang mata Alfonso seolah-olah hendak
menusuk, menembus badannya. Ia berseru dengan berang,
"Sekarang malah kau tambahkan sebuah penghinaan lagi!"
"Apa maksud kau sebenarnya, Josefa. Mau menantang aku berkelahi?" tanya Alfonso
sambil tertawa. "Cih! Apa guna menantang orang seperti kamu! Kau pasti akan lari, karena kau
berjiwa pengecut. Lain dengan aku. Kau minta bukti, aku lebih berani?"
"Silahkan!" "Baik, akan kutunjukkan. Namun aku masih ingin mencoba sekali lagi dengan jalan
damai, bila masih mungkin ditempuh: Alfonso, keinginanku menjadi puteri
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 4 Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 8
^