Pencarian

Puri Rodriganda 6

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 6


bernama Don Fernando, sebagai putra bungsu tidak dapat mewarisi mahkota
pangeran. Maka ia pergi ke Meksiko dan membawa bagian dari warisannya. Ia
menetap di negeri itu dan menjadi kaya-raya. Don Fernando telah berjuang di
pihak kaum nasionalis. Ia tetap hidup membujang dan ingin membuat putra kedua
dari kakaknya menjadi ahli warisnya. Ketika itu Don Manuel mempunyai dua orang
putra. Namun sebagai syarat diajukannya, supaya anak itu dikirim kepadanya untuk
dididiknya. Don Manuel setuju, karena warisan itu luar biasa besarnya."
"Jadi anak itu dibawa ke Meksiko" Bilamana?"
"Itu masih segar dalam ingatan saya, karena kebetulan hari itu suami saya
merayakan hari ulang tahunnya. Anak itu dibawa pada tanggal satu Oktober tahun
1830." Mariano mendengar dengan tercengang. Darahnya mengalir dengan deras dalam
tubuhnya. Namun ia tetap menguasai diri dan bertanya,
"Siapa yang menjemput anak itu?"
"Pedro Arbellez, seorang penyewa tanah dan Fernando, yang telah datang ke mari."
"Apakah terdapat orang lain yang turut hadir dekat anak itu?"
"Hanya seorang wanita, seorang inang pengasuhnya, bernama Maria Hermoyes."
"Di mana Pedro Arbellez naik kapal?"
"Di Barcelona. Pangeran dan Tuan Putri mengantar anak itu ke sana dan saya pun
turut hadir. Kapal itu tertunda berangkat karena badai. Itulah sebab maka orang
Meksiko itu masih dua hari bermalam di hotel El Hombre Grande."
Keterangan ini sesuai benar dengan cerita pengemis yang meninggal itu. Mariano
berusaha sekuat tenaga untuk menekan perasaannya yang meluap-luap. Ia bertanya
seolah-olah acuh tak acuh.
"Apakah Senor Cortejo ketika itu sudah bekerja pada Pangeran?"
"Sudah!" "Apakah ia sudah beristri dan beranak?"
"Tidak. Ia tidak berkeluarga."
"Hm, tahukah Anda, apakah di antara sanak saudaranya ada yang mempunyai anak?"
"Ia mempunyai saudara di Meksiko dan mempunyai seorang anak perempuan."
"Apakah Don Fernando masih hidup di Meksiko?"
"Tidak. Tahun lalu ia meninggal."
"Dan Alfonso menerima warisan dari padanya?"
"Benar, Senor. Ia telah menjadi kaya-raya."
"Tadi Anda mengatakan, bahwa Don Manuel mempunyai dua orang anak."
"Benar, tetapi yang sulung meninggal, ketika Alfonso pergi ke Meksiko. Ia
tinggal di Madrid untuk mendapat didikan sebagai perwira, tetapi ia meninggal
oleh penyakit. Karena itu Alfonso menjadi putra tunggal, yang akan mewarisi
mahkota." "Apakah Don Alfonso disukai orang?"
"Tidak. Dahulu ia seorang anak yang baik. Saya kerap kali menimang-nimangnya.
Tetapi sejak di Meksiko wataknya sudah berubah sama sekali. Ia lebih suka
bergaul dengan Cortejo dan Clarissa daripada dengan ayah dan saudaranya
sendiri." "Hm! Lalu siapakah Dona Amy Dryden itu?"
"Ia orang Inggris. Condesa sangat sayang kepadanya. Ayahnya seorang yang kaya-
raya. Lain daripada itu tidak ada yang saya ketahui."
"Kalau begitu, saya tidak mempunyai pertanyaan lagi. Terima kasih, Senora."
"Bolehkah saya juga mengajukan sebuah pertanyaan, Senor Teniente" Apakah Anda
masih ada pertalian keluarga dengan keluarga Rodriganda?"
"Sayang tidak. Nama saya pun Lautreville."
"Atau barangkali keluarga Lautreville itu masih kerabat dari keluarga
Cordobilla. Tuan Putri, ibunda Condesa, adalah dari keluarga Cordobilla."
"Tidak juga. Kami tidak ada pertalian keluarga dengan mereka."
"Kalau begitu persamaan Anda sangat membingungkan!" kata istri penjaga puri.
"Sekarang masih ingin saya dengar apakah Alimpoku akan kembali segera."
"Sudah pasti hari ini juga!"
"Terima kasih, Senor Teniente! Kini saya akan pergi. Bila Anda perlu pelayanan,
Anda dapat membunyikan lonceng."
Elvira pergi. Mariano berjalan hilir-mudik saja. Apa yang didengarnya sudah
cukup untuk membuat darahnya mendidih. Bila persangkaannya benar, maka ia adalah
ahli waris yang asli dari Rodriganda, putra Pangeran Manuel, saudara Putri
Roseta. Dan Alfonso adalah putra palsu, yang asal-usulnya hanya diketahui oleh
Notaris. Mungkin Capitano juga mengetahuinya. Tetapi apakah gerangan maksud
mengirim ke Rodriganda. Itu yang membingungkan Mariano. Bila ia benar putra
Pangeran, bukankah sangat berbahaya untuk membiarkannya bergerak dekat Pangeran,
karena mudah sekali rahasia mereka akan terungkap.
Sedang Mariano asyik memikirkan persoalan ini, dua orang lain sedang duduk-duduk
memperbincangkan perkara yang sama. Mereka adalah Cortejo dan Clarissa.
"Persamaan letnan itu benar-benar mencolok," kata Clarissa.
"Memang terlalu! Bukan main terkejut ketika aku melihatnya."
"Aku juga! Barangsiapa melihatnya bersama Alfonso di sebelah Pangeran, maka
tanpa sangsi sedikit pun akan memandang orang Perancis itu sebagai putranya."
"Memang suatu hal yang membingungkan. Persamaan itu terlalu mencolok untuk
dianggap sebagai permainan alam belaka."
"Atau barangkali Capitano..."
"Yang bukan-bukan! Seorang perampok tidak akan berlalu seceroboh itu! Hanya ada
satu keterangan. Anak yang kita tinggalkan di sarang perampok itu tertukar lagi.
Dikira Capitano, anak itu masih di tangannya, padahal ia sudah ada di tempat
lain." "Jadi anak yang sudah dua kali tertukar itu adalah letnan ini" Lalu bagaimana
anak itu sampai ke Kota Paris bersama keluarga Lautreville?"
"Wallahualam! Di dunia ini sudah banyak terjadi hal-hal yang sebenarnya tak
mungkin." "Kita harus bertindak cerdik dan memancing keterangan dari letnan ini. Seorang
anak muda yang masih hijau akan mudah kita kelabui. Ambil hatinya, maka segera
akan kau dengar segala yang kau inginkan. Tahukah Capitano, siapakah anak yang
ditukar itu?" "Tidak." "Kalau begitu, besar kemungkinan, letnan itu seorang Rodriganda juga. Mungkin
saja timbul alasan-alasan bagi perampok, untuk mengirim orang ini ke Rodriganda
dengan menyamar sebagai seorang letnan."
"Itu tidak mungkin! Letnan itu tidak dibesarkan di kalangan perampok. Itu dapat
kau lihat dengan nyata. Lahiriah maupun batiniah ia tidak sesuai dengan seorang
perampok. Dari perkenalanku yang hanya sepintas lalu dengannya dapat kuketahui,
bahwa ia memperoleh pendidikan tinggi juga. Sudah pasti ia bukan seorang
perampok." "Makin nyata juga bagiku, bahwa ia bukanlah perampok. Andaikata ia anak yang
kita tinggalkan pada Capitano, tentu ia tak akan membunuh kawan-kawannya sendiri
hari ini!" "Hal itu membuat hatiku lega. Namun kelemahan hati kita di masa lalu itu sangat
disayangkan. Sebaiknya anak itu ketika itu dibunuh saja. Orang yang sudah mati
tidak dapat membuka rahasia lagi."
"Kau sendiri menunjukkan kelemahan yang lebih besar dengan bersedia
menandatangani surat untuk Capitano, Gasparino. Hampir tidak dapat dipercaya,
seorang ahli hukum berbuat sebodoh itu."
"Aku telah ada di dalam cengkeraman kekuasaannya, Clarissa."
"Itu tidak dapat kupahami. Seorang perampok tidak layak pergi ke polisi untuk
mengadukan lawannya."
"Bukan itu yang kutakuti. Tetapi ia dapat pergi ke Pangeran dengan membawa putra
yang asli. Lagipula surat keterangan itu tidak akan mendatangkan kerugian
bagiku. Aku tahu, tujuan Capitano dengan surat itu hanya untuk memerasku."
"Tidak mungkin ia mengembalikan anak itu kepada Pangeran. Bukankah sudah
kaukatakan bahwa perampok itu tidak mengetahui asal-usul anak itu?"
"Memang aku tidak mengatakan hal itu kepadanya. Namun seorang perampok itu
cerdik. Mungkin ia sudah mengadakan penyelidikan sendiri. Ingat bahwa ia menolak
anjuranku untuk membunuh anak itu. Hal itu menambah kecurigaanku. Sangat mungkin
ia sudah menduga keadaan sebenarnya. Namun kini perkara itu sudah mudah bagiku:
bila perampok itu menjadi berbahaya bagiku, akan kutembak dia. Habis perkara!"
BAB VI PERANGKAP-PERANGKAP BARU Kehadiran dua orang tamu itu mengubah suasana sepi di Rodriganda menjadi ramai.
Pangeran Manuel selalu bergembira, bila kedua orang muda itu datang mengunjungi
dalam kamarnya untuk menghibur hatinya. Hatinya merasa tertarik kepada letnan
itu, entah apa sebab. Demikian juga disukainya pembawaan gadis Inggris yang
selalu tenang itu. Pergaulan dengan mereka membawa pengaruh yang baik bagi orang
sakit itu. Karena tiga orang dokter itu telah meninggalkan Rodriganda, maka
Pangeran hanya mendapat pertolongan dari Dokter Sternau dan berkat
pertolongannya yang berhasil dengan baik, setelah beberapa hari dapat dirasakan
oleh Pangeran, bahwa batu dalam tubuhnya telah hilang. Baru setelah kekuatan
tubuhnya pulih kembali, dapat dimulai dengan mengobati matanya. Berita itu
mendatangkan kegembiraan di hati para penghuni puri, kecuali tentu si ahli
hukum, Nona Clarissa, dan Alfonso.
Pada waktu-waktu tertentu tampak empat orang bercengkrama di dalam taman.
Rombongan empat orang itu selalu berakhir menjadi dua pasang: Dokter Sternau
tiap kali bergabung dengan Roseta, sedangkan sang letnan dengan Amy. Pangeran
yang duduk berangin-angin di beranda, akhirnya mengetahui juga kebiasaan itu dan
kadang-kadang tergoda untuk mengucapkan kata-kata kelakar berhubung dengan hal
itu. Mariano merasa cintanya berkobar-kobar dalam hati dan Amy melihat
pasangannya sebagai penjelmaan dari segala cita-citanya.
Dengan demikian beberapa waktu berlalu, tanpa terjadi sesuatu yang mengganggu
ketenteraman hidup dalam puri itu.
Ada yang membaca, ada yang berjalan-jalan atau mengendarai kuda, ada yang
bermain musik dan dalam segala hal Mariano memperlihatkan kemahiran dan
ketangkasannya. Hanya di bidang musik ia tidak turut mengambil bagian: ia tidak
dapat bermain piano. Pada suatu kali, ketika siang hendak berganti malam, Dokter Sternau sedang
berada di kamar Pangeran, Roseta sedang mengendarai kuda bersama saudaranya dan
Letnan sedang asyik di serambi mengamati lukisan yang mirip dengan dirinya.
Kemudian ia masuk ruang perpustakaan di sebelahnya. Ketika itu hari sudah mulai
gelap, sehingga tidak tampak olehnya, bahwa Amy hadir juga di ruang itu. Gadis
itu sedang menikmati ketenangan hari senja dan sedang melamun. Ketika dilihatnya
de Lautreville masuk ke dalam, ia tetap duduk, karena dikiranya letnan itu hanya
bermaksud melintasi ruang itu saja. Akan tetapi letnan itu tidak berbuat
demikian. Ia berdiri di muka jendela dan memandang pemandangan ketika matahari
sedang terbenam. Dengan demikian beberapa menit berlalu dalam keheningan sejati. Kemudian ia
memutar badannya, mungkin dengan maksud akan pergi, namun tiba-tiba pandangannya
tertuju pada sebuah gitar Spanyol yang tergantung pada dinding. Diambilnya gitar
itu, lalu dimainkannya beberapa kelompok nada. Amy bangkit berdiri terpesona
oleh desir nada-nada yang indah itu. Gitar merupakan alat musik yang dicintai
bangsa Spanyol. Hampir setiap keluarga mempunyai sebuah alat demikian dan tiada
jarang juga kita berjumpa dengan orang-orang yang pandai sekali memainkannya.
Namun permainan seperti yang diperdengarkan oleh letnan itu benar-benar luar
biasa. Maka Amy langsung bertepuk tangan setelah permainan itu selesai, lalu ia
berseru, "Bukan main indah permainan Anda itu! Benar-benar mengagumkan! Tadi kata Anda,
Anda tidak pandai bermain musik."
"Maaf Nona, saya tidak mengetahui, bahwa Nona duduk di sini. Beberapa waktu yang
lalu saya hanya mengatakan, bahwa saya tidak pandai bermain piano."
"Tetapi mengapa Anda tidak mengatakan lebih dahulu, bahwa Anda sangat mahir
memainkan gitar?" "Karena saya mempunyai pendapat pribadi tentang musik. Musik terutama sekali
merupakan seni tentang perasaan, pengungkapan isi hati seseorang dan tidak ada
orang yang ingin memamerkan perasaannya kepada umum. Saya pun tidak suka
memainkan perasaan saya dengan suatu alat musik untuk memperdengarkan kepada
setiap orang." "Jadi Anda menciptakan lagu-lagu Anda sendiri?"
"Saya belum pernah mempelajari suatu nada. Saya memainkan sesuatu yang
ditimbulkan oleh khayal saya dan lagu-lagu itu hanya diuntukkan bagi diri saya
sendiri, bukanlah bagi orang lain."
"Kalau begitu, Anda serakah. Anda menyanyi juga?"
"Ya, hanya menurut keadaan jiwa pada saat itu."
"Dan tidak seorang pun boleh mendengar nyanyi Anda" Saya pun tidak?"
"Baiklah, Nona, saya akan bernyanyi untuk Anda. Tetapi lagu apa" Saya belum
pernah mempelajari lagu-lagu. Saya biasa mengikat syair sendiri."
"Kalau begitu, coba dapatkah Anda menyanyikan sebuah lagu cinta?"
"Baiklah. Tetapi harus ada obyeknya, seorang gadis kepada siapa perasaan saya
tertuju!" "Tentu!" jawab Amy gembira. "Ya, memang ada seorang yang ingin saya anggap
menjadi pokok perhatian selama saya menyanyi lagu itu."
Dalam mengucapkan perkataan itu ia membimbing gadis itu ke kursi bekas tempat
duduknya dan menyilakannya duduk di atasnya. Kemudian ia pergi ke belakang kamar
dan duduk di atas sebuah divan. Suasana begitu gelap di situ, sehingga Amy tidak
dapat melihat pemuda itu.
Hening sejenak. Kemudian gadis itu mendengar bunyi dawainya. Lemah-lembut mula-
mula, kemudian berangsur menjadi keras, kelompok-kelompok nada terpisah, mencari
persesuaian dan akhirnya menemui bentuk sebagai suatu lagu. Kini Lady Amy
mendengar suaranya. "Aku percaya akan cintamu,
dengan sepenuh hatiku. Tapi bila nasib merenggutmu dari sisiku,
aku masih dapat menatap langit.
Di situ akan kutemukan cahayamu,
cemerlang dan murni, penuh harapan suci; maka doaku selalu
agar kau suatu kali jadi milikku."
Suatu selingan pendek mengantarkan kepada bait berikutnya dalam nada minor yang
liris dan mengharukan. "Aku mengharap cintamu,
menjadi pelita dalam hidupku.
Bilakah terbuka pintu surga itu,
tempat kutujukan langkahku"
Maka tenggelamlah segala duka masa lalu ke dalam kesamaran abadi dan rahmat
Tuhan membawa damai dengan persekutuan yang suci."
Suatu selingan mengembalikan nada kepada terts besar. Kelompok-kelompok nada
bertambah penuh dan kuat, lagu terdiri dari motif-motif yang tetap, dan suara
penyanyi pun terdengar lebih kuat.
"Cintamu tempat hidupku bertaut,
seluruh hati dan jiwaku! Biar, biarkan daku menujumu,
tetaplah jadi milikku. Jangan biarkan hatiku merana,
berpeluk lutut tanpa usaha.
Kau cahaya hidupku, tanpa kau segalanya akan kelam."
Lagu itu sudah berhenti, namun masih lama setelah itu belum terdengar suara-
suara di ruang yang gelap itu. Akhirnya Mariano perlahan-lahan melangkah ke
depan untuk menggantungkan gitar kembali ke tempatnya.
"Nah, bagaimana pendapat Nona?" tanya Mariano.
"Lagu itu baru, bukan?" tanya Amy. "Anda sendiri yang mencipta perkataan maupun
lagunya." "Benarlah." "Anda seorang penyair besar! Bolehkah saya mengetahui satu hal lagi" Kepada
siapa sebenarnya Anda persembahkan lagu Anda itu?"
"Kepada - Anda!"
Baru saja kata-kata ini terucapkan, maka gadis itu merasa dirinya dipeluk oleh
pemuda itu. Pemuda itu meletakkan tangannya ke atas rambut gadis itu lalu
berkata, "Tuhan memberkati Nona! Saya mencintai Nona, tetapi masih belum waktunya
sekarang mengucapkan itu. Kemudian akan saya kunjungi Anda di Meksiko atau di
tempat mana pun di dunia ini untuk mengecap bahagia yang hanya dapat saya
peroleh dari Anda." Bibir gadis itu terbakar oleh cium hangat dan ia tiada menolak. Kemudian pemuda
itu meninggalkan ruang perpustakaan. Bunyi langkah kakinya makin lama makin
menghilang dari pendengaran gadis itu. Gadis itu membiarkan air matanya mengalir
dengan bebas karena rasa suka dan bahagia yang dialaminya.
Kemudian ia mendengar deru kereta kuda yang sedang datang. Roseta telah kembali
dengan Alfonso. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan pengantar pos dan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima berbagai surat dan surat kabar dari padanya. Surat-surat itu dibagi
kepada mereka yang harus menerimanya. Notaris menerima juga sepucuk surat. Surat
itu mendapat stempel pos dari Barcelona. Bunyinya,
"Senor! Baru saja saya masuk pelabuhan dengan kapal Pendola saya. Pelayaran telah
menghasilkan banyak uang. Saya harap kedatangan Anda dengan segera, karena saya
sedang menanti cuaca baik untuk melanjutkan pelayaran.
Henrico Landola." Surat itu sangat menggembirakan hati Cortejo. Segera ia pergi mendapatkan
wanita-sekutunya lalu berseru, setelah mengunci pintu di belakangnya.
"Clarissa, ada kabar baik!"
Wanita itu bangkit dari tempat duduk dan berkata,
"Kabar baik" Aku lebih suka mendengar itu. Sudah berapa lama kita hanya
mendengar berita-berita yang buruk saja. Coba ceritakan!"
"Landola telah tiba dengan selamat di Barcelona dan mengabarkan bahwa segala
usaha telah berhasil dengan baik."
"Jadi engkau akan pergi ke Barcelona?"
"Tidak, akan kuundang nakhoda itu ke Rodriganda. Keadaan kita di sini terlalu
gawat, sehingga kita tidak boleh meninggalkan sehari pun. Lagipula, kudengar
berita bahwa Capitano pemimpin perampok itu, kini sedang berangkat ke sini. Ia
ingin bertemu denganku tengah malam."
"Bagus!" seru Clarissa. "Aku mendapat akal! Kita akan dapat mengetahui, letnan
itu mempunyai hubungan dengan Capitano atau tidak. Bila terdapat hubungan, maka
Capitano akan menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengannya. Kita harus
mengawasi. Akan pergikah ia ke taman atau tidak."
"Itu pendapat bagus! Pertama-tama akan kuawasi abdi letnan itu. Layaknya
Capitano tidak akan langsung menghubungi letnan itu, karena perbuatan itu akan
mencolok sekali." Cortejo pergi, untunglah masih belum terlambat untuk menyaksikan sesuatu. Ketika
ia menuruni tangga, dilihatnya abdi Letnan sedang bergegas menuju ke kamar
tuannya. "O, begitulah, ini sudah cukup," kata ahli hukum itu dalam hati. "Rajin benar
ia. Tentu ada sebab-sebabnya! Aku harus waspada."
Ia berjalan melalui suatu serambi dan menuruni tangga. Di kiri kanan tangga itu
tumbuh semak-semak, tempat orang dapat bersembunyi dengan mudah. Cortejo
menyelinap ke dalam semak-semak itu dan berbaring di atas tanah, supaya jangan
dilihat orang. Dari tempat itu ia dapat mengawasi setiap orang yang meninggalkan
puri di sisi yang menghadap pada taman.
Cortejo menanti selama kira-kira setengah jam, lalu ia mendengar bunyi langkah
orang. Letnan de Lautreville keluar dari pintu, menoleh ke kiri dan ke kanan,
lalu cepat-cepat menuruni tangga, menuju ke taman.
"Jadi benar juga!" kata ahli hukum itu dalam hati. "Aku harus mengetahui, di
mana mereka bertemu!"
Ia meninggalkan tempat persembunyiannya, menghindar dari tempat-tempat yang
diterangi lampu dan mengikuti jejak letnan itu. Letnan itu tidak berusaha
sedikit pun supaya tidak didengar. Ia harus tetap memainkan peranan sebagai
perwira. Jika seandainya ia kebetulan bertemu dengan seseorang, maka orang itu
tidak boleh mempunyai persangkaan buruk padanya. Karena itu, maka mudahlah bagi
si ahli hukum mengikuti jejaknya. Setelah berjalan beberapa lama, letnan itu
membelok, menempuh jalan simpang menuju ke sebuah pondok sepi.
"Bagus," kata Notaris perlahan-lahan. "Di pondok itu mereka akan bertemu. Aku
mengenal tempat ini lebih baik daripada mereka. Akan kuamati gerak-gerik
mereka." Ia tidak mengikuti perwira itu lagi, tetapi menyelinap melalui suatu padang
rumput dan tempat yang ditumbuhi semak-semak. Dari tempat ini ia dapat melihat
pondok itu dengan nyata. Pondok itu kecil, dindingnya tipis. Bila orang
bercakap-cakap di dalam dengan suara yang tidak terlalu lemah, maka akan mudah
mendengar dari luar. Ahli hukum itu menyelinap ke balik pondok dan memasang
telinga. Benar jugalah! Ia mendengar percakapan. Mula-mula ia mendengar suara
Capitano agak keras juga.
"Jadi engkau tinggal di puri?"
"Benar," jawab suara Letnan yang dikenal dengan baik.
"Bagaimana sampai dapat berlaku begitu cepat dan memuaskan?"
"Untunglah bagiku - atau bagi Anda barangkali malang, Capitano - saya dapat
menyelamatkan Condesa bersama kawannya ketika diserang oleh dua orang perampok."
"Kurang ajar! Siapakah kedua orang itu" Masih adakah perampok-perampok lain di
sini selain kita" Akan kubereskan mereka semua."
"Sayang hal itu sudah tidak perlu lagi. Ada dua sebabnya. Pertama karena saya
sendiri telah membereskan mereka dan kedua karena mereka itu bukan perampok
lain, melainkan orang-orang kita juga."
"Astagfirullah! Siapakah mereka itu?"
"Juanito dan Bartolo."
"Mana mungkin! Mereka takkan berani menghina Condesa demikian rupa."
Hening sejenak, tiba-tiba kepala perampok itu berkata,
"Jadi engkau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri! Tahukah kamu, hukuman apa
yang dapat dikenakan pada pelaku perbuatan demikian?"
"Hukuman mati," jawab Mariano tenang. "Tetapi hukuman itu tidak usah saya
takuti. Apakah perbuatan mereka menyerang Condesa itu dilakukan atas perintah
Anda?" "Tidak." "Nah, kalau begitu saya hanya telah menghukum mereka."
"Apakah kau berhak berbuat demikian" Hanya aku sebagai pemimpin boleh
menjatuhkan hukuman demikian."
"Yang seorang telah menyamar dengan memakai kedok dan yang seorang lagi melumuri
mukanya dengan arang."
Hening sejenak lagi. Akhirnya letnan itu berdeham memperlihatkan
ketidaksabarannya dan berkata dengan suara yakin,
"Pendek kata mereka sekali-kali bukan kawan saya. Saya bukanlah anggota
gerombolan Anda. Anda telah memelihara dan membesarkan saya. Sebagian besar dari
hidup saya, saya lewatkan di kalangan Anda, tetapi Anda lupa menyuruh saya
mengucapkan sumpah setia. Maka saya tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan
saya pada Anda." "Oleh karena itu sebaiknya sekarang juga engkau mengucapkan sumpah setia itu."
"Saya tidak ingin melakukannya."
"Beranikah kau...," Capitano hampir-hampir tidak dapat percaya, menjumpai
pertentangan sekeras itu. "Bagus! Itulah terima kasihmu pada segala kebaikan
yang telah kau terima dari padaku?"
"Jangan sebut-sebut perihal kebaikan Anda itu!" seru letnan itu dengan nada
benci. "Apakah seorang anak harus berterima kasih, bila ia diculik dari tangan
orangtuanya dan dipelihara di kalangan perampok?"
Notaris yang secara sembunyi-sembunyi turut mendengarkan percakapan itu
terkejut. "Jadi benar, dialah orangnya! Dan ia mengetahui juga, bahwa ia telah
diculik!" Capitano pun terkejut. Bertanya dengan marah,
"Diculik dari tangan orangtuanya" Kau bicara tentang siapa?"
Mariano menyadari, bahwa sebenarnya kurang bijaksana baginya membiarkan dirinya
dikuasai oleh perasaannya. Seharusnya ia lebih berhati-hati dan tidak
memperlihatkan, bahwa ia sudah banyak mengetahui tentang riwayat hidupnya itu.
Namun kini hal itu sudah terlambat. Ia menjawab,
"Tentang diri saya sendiri, bukan tentang orang lain!"
"Hm, jadi kau kira engkau telah diculik?" tanya Capitano hati-hati.
"Benar! Diculik dan ditukarkan!"
"Mungkin saja. Tetapi apa hubungan dengan aku" Aku telah menemukanmu di luar dan
sampai sekarang aku tidak mengetahui, siapa yang telah meletakkanmu di situ."
"Jangan berbohong, Capitano! Anda sendiri yang telah menculikku!" seru pemuda
itu dengan marah. "Aku" Coba buktikan! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak mengambilmu dari
tangan orangtuamu!" "Ya, Anda dapat saja bersumpah mengenai hal itu, karena orang lainlah yang telah
menculikku; tetapi itu dilakukan berdasarkan perintah Anda. Masih ingatkah Anda
seseorang yang bernama Tito Sertano" Ia berasal dari Mataro."
"Bedebah! Dari siapa kau dengar nama itu?"
"Selanjutnya masih ingatkah Anda nama hotel El Hombre Grande di Barcelona" Di
situlah terjadi penukaran anak pada tanggal dua Oktober 1830."
"Dari siapa kau dengar cerita bohong demikian?"
"Itu rahasia saya!"
"Kau harus mengatakan kepadaku! Aku telah mengirimmu ke Rodriganda untuk memata-
matai Gasparino Cortejo dan kawan-kawan, bukan untuk menentang aku dengan
berbagai tuduhan palsu. Ayo katakan, dari siapa kau dengar isapan jempol itu?"
"Saya tidak akan menceritakannya!"
"Kau harus membuka mulut. Aku dapat memaksamu!"
"Benarkah?" "Kau kira engkau dapat meremehkan aku" Akan kubuktikan, bahwa engkau takkan
sanggup. Aku perintahkan kamu untuk segera kembali ke gua tempatmu!"
Pemuda itu tertawa kecil dan menjawab, "Sayang tidak dapat saya laksanakan
perintah itu." "O, jadi kau berani menentangku terang-terangan?" Darah Capitano mendidih.
"Berani!" kata Mariano sambil tertawa. "Saya tetap tinggal di sini. Apa yang
akan dikatakan Pangeran Rodriganda bila mengetahui, bahwa de Lautreville malam
hari telah melarikan diri seperti seorang penjahat" Lagipula saya sudah betah
tinggal di Rodriganda dan," - lalu ditambahkannya keterangan berikut ini - "saya
sudah benar-benar merasa sebagai salah seorang anggota keluarga Rodriganda."
"Jadi engkau minta dipaksa" Turuti perintahku atau akan kubunuh kamu!"
"Dengarkan lebih dahulu pendapatku ini, Capitano! Saya sekali-kali tidak
membenci Anda," kata Mariano dengan tenang. "Meskipun Anda telah merampokku dan
keluargaku yang asli, namun izin serta bantuan Anda membuatku memperoleh segala
yang diperlukan untuk menduduki tempatku yang asli. Karena itu saya tidak ingin
membalas dendam. Namun camkanlah ini: kini kita sudah impas! Apa yang sekarang
hendak saya lakukan, masih belum saya ketahui, tetapi satu hal sudah pasti,
yaitu bahwa saya tidak kembali lagi kepada kalian. Anda tidak dapat memaksa
saya. Saya lebih kuat dan lebih tangkas daripada Anda. Muslihat pun tidak akan
menolong Anda." "Benarkah demikian?" ejek kepala perampok itu. "Tidak dapatkah aku memberitahu
Pangeran Rodriganda bahwa engkau adalah seorang perampok?"
"Saya kira itu kurang bijaksana. Tentu saja akan ditanyakan di mana kawan-kawan
saya bersarang. Rahasia itu akan terpaksa saya buka."
"Bangsat!" seru kepala perampok itu.
"Tenang, Capitano, tenang! Selama Anda tidak mengusik saya, saya pun akan
menutup mulut. Anda kenal saya dan mengetahui, bahwa janji saya dapat dipercaya.
Tetapi saya tidak bersumpah setia kepada Anda dan bila memaksa saya dengan tipu
daya atau dengan kekerasan, maka Anda akan menjadi musuh saya. Saya dapat
mempertahankan diri saya. Sekian perkataan saya."
"Inikah keputusanmu yang terakhir?"
"Betul, yang terakhir! Hai Capitano, jangan main-main! Mata saya masih dapat
melihat dengan terang. Meskipun gelap, saya dapat melihat dengan jelas, bahwa
Anda mencabut pisau. Tetapi Anda tidak melihat, bahwa selama percakapan ini saya
memegang pistol di tangan saya yang sudah siap untuk ditembakkan. Sebelum Anda
dapat mencapai saya dengan pisau Anda, Anda akan menjadi mayat. Anak kecil itu
sudah menjadi dewasa dan ia akan berlaku sebagai orang dewasa pula. Selamat
tinggal, Capitano!" Mata-mata yang berdiri di luar pondok mendengar juga pemuda itu pergi.
"Mariano!" kepala perampok itu memanggil.
Tidak ada jawaban. "Mariano!" sekali lagi terdengar Capitano memanggil. Sekali ini bukan dengan
nada perintah, melainkan dengan nada yang mengandung kecemasan.
Tidak dijawab juga. Bunyi langkah kakinya makin menghilang.
"Astagfirullah! Ia pergi!" kata Capitano perlahan-lahan. "Ia ingin bebas, tetapi
jangan harap akan berhasil. Barangsiapa sudah dalam kekuasaanku tidak mungkin
lepas lagi. Betapa dungu aku mengirimnya ke Rodriganda! Pasti ada orang yang
membukakan matanya. Aku harus mengetahui siapa!"
Ia perlahan-lahan meninggalkan pondok dan menghilang ke balik semak-semak di
dalam taman. Kini ahli hukum itu dapat meninggalkan tempat persembunyiannya
tanpa takut didengar orang. Diam-diam ia kembali ke puri dan mencari kawan
wanitanya lagi, yang dengan berdebar-debar sedang menantikannya. Alfonso turut
hadir juga. Keduanya sangat terkejut ketika mendengar bahwa letnan itu benar-
benar anak yang diculik itu.
"Ya Allah, apa yang harus kita lakukan?" tanya Clarissa. "Jadi pemuda itu sudah
mengetahui siapakah dia sebenarnya?"
"Dari ucapannya dapat kutarik kesimpulan, bahwa ia mengetahui."
"Kalau begitu, ibarat kita sedang duduk di atas gunung berapi yang hendak
meletus," kata Alfonso dengan nada tegang. "Bangsat itu harus disingkirkan
selekas mungkin." "Apa yang kau maksud dengan disingkirkan, Nak?" tanya Notaris.
"Dibunuh! Hanya mayat dapat menutup mulut. Perkara ini dapat menimbulkan ekor
yang sangat merugikan bagi kita, maka tiadalah baik berhati lemah menghadapi
seseorang yang begitu berbahaya. Lagipula bukankah ia seorang perampok"
Masyarakat harus berterima kasih kepada kita, bila kita dapat membuatnya tidak berdaya lagi."
Clarissa mengangguk saja. Akan tetapi ahli hukum itu berkata setelah berpikir,
"Tentu ia harus disingkirkan. Dengan membunuhnya atau dengan cara lain masih
belum dapat dipastikan. Itu tergantung kepada pembicaraanku dengan Capitano
nanti. Tengah malam akan kudengar apa yang perlu kita takuti dan apa yang
tidak." Dengan keputusan ini ibu dan anak harus sudah merasa puas.
Menjelang tengah malam Notaris kembali lagi ke taman. Di situ terdapat tempat
tersembunyi, tempat ia biasa bertemu dengan Capitano. Ia mendapati kepala
perampok itu sedang menantikannya.
"Anda telah menyatakan dengan tanda supaya saya datang," kata Cortejo. "Itu
sangat sesuai dengan kehendak saya, karena saya tidak perlu susah-susah pergi ke
pegunungan lagi. Sedianya saya hendak pergi mengunjungi Anda di tempat Anda."
"Hendak membicarakan apa lagi?" tanya pemimpin perampok hati-hati.
"Masih perlukah Anda menanyakannya?" tanya Cortejo pura-pura heran. "Bukankah
Anda telah menerima tugas dari saya, yang hingga kini masih belum terselesaikan
karena Anda tidak mengirim orang-orang yang tangguh melakukan tugas, melainkan
serombongan pengecut."
"Tuduhan demikian sekali-kali tidak dapat saya benarkan," jawab kepala perampok.
"Janganlah main kucing-kucingan, Senor. Baik kita selesaikan perkara ini secepat
mungkin. Masih inginkah Anda tugas itu dilaksanakan juga?"
"Tentu saja! Bahkan saya ingin secepat mungkin."
"Baik, maka dengarlah syarat-syaratnya dahulu."
"Syarat-syaratnya" Bukankah pada pertemuan kita terakhir kali sudah lengkap
dibicarakan syarat-syarat itu?"
"Memang, tetapi sejak itu keadaan sudah berubah. Saya sudah mencari keterangan
tentang apa yang telah terjadi. Anda telah berpesan berkali-kali, supaya dokter
itu dibunuh dengan pisau saja."
Notaris bimbang sejenak dan menjawab,
"Tidak. Itu siasat Bartolo sendiri!"
"Jangan bohong!" kata kepala perampok itu dengan marah. "Anda ingin
menghindarkan bunyi tembakan lalu melarang orang-orang itu menembak. Benar
tidak?" "Tidak benar." "Saya tidak begitu saja menuduh. Sebelum saya mengatakan sesuatu telah saya kaji
lebih dahulu kebenarannya. Bartolo dan Juanito telah tewas pada ketika lain. Apa
gerangan yang telah mendorong mereka menyerang Condesa, masih merupakan teka-
teki bagi saya. Namun saya percaya, bahwa Anda tidak ada sangkut-pautnya dengan
kejadian itu. Tetapi saya anggap Anda bertanggung jawab penuh pada kematian
orang lain, yang mayatnya tergolek di taman ini dan yang kemudian diangkut oleh
polisi itu. Untuk kesalahan itu Anda harus menambah bayaran Anda dengan dua
ratus uang duro. Baru setelah syarat itu dipenuhi kita dapat melanjutkan
pembicaraan kita." "Permintaan Anda tidak mungkin dikabulkan."
"Apa" Tidak mungkin" Saya anggap sangat mungkin! Ketahui, saya telah bersumpah,
bahwa saya tidak akan melepaskan tuntutan itu."
Notaris tampak berpikir sejenak. Akhirnya ia berkata dengan perlahan-lahan serta
minta perhatian. "Mungkin saya dapat memenuhi keinginan Anda, bila Anda bersedia mengabulkan
permintaan saya. Di samping dokter itu masih ada seorang lagi yang merintangi
jalan saya." "Jadi ia harus disingkirkan pula" Siapakah orang itu?"
"Seorang perwira."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Caramba, ini menjadi sangat menarik! Ia tinggal di tangsi mana?"
"Ia tidak tinggal di salah satu tangsi. Ia sedang dalam cuti. Lagipula ia
bukanlah orang Spanyol melainkan orang Perancis."
"Di mana dapat saya menemukannya?"
"Di sini di Rodriganda."
"Siapa namanya?"
"Alfred de Lautreville."
"Alfred de - hm!" geram kepala perampok itu. "Belum pernah mendengar namanya."
"O, tentu, tentu," sindir Notaris. "Lagipula meskipun orang itu tiada Anda
kenal, namun Anda masih harus mengadakan perhitungan dengan dia. Orang itu
jugalah yang telah membunuh Bartolo dan Juanito, kedua orang Anda itu. Anda
ingin membiarkan begitu saja?"
"Membiarkan begitu saja" Tentu saja tidak," kata Capitano ragu-ragu. "Akan
tetapi apa hubungan dengan Anda?"
"Sudah saya katakan tadi, ia merintangi jalan saya. Maukah Anda menerima tugas
ini" Bila Anda tidak mau, terpaksa saya akan mencari orang lain yang dapat
melayani lebih baik daripada Anda."
"Janganlah mengharap pekerjaan demikian akan selamat. Saya tidak akan membiarkan
orang lain menyaingi usaha saya. Lagipula orang Perancis ini sudah menjadi
perhitungan saya, karena ia telah membunuh dua orang saya. Barangsiapa berani
menentang saya akan berurusan dengan saya. Camkanlah hal itu!"
"Tenang saja! Apakah hal itu berarti bahwa orang itu di bawah naungan Anda?"
"Tidak," jawab kepala perampok, "sebaliknya hal itu berarti, bahwa ia menunggu
pembalasan saya. Ia tidak akan luput dari pembalasan itu. Ia harus
disingkirkan!" "Apakah hal itu berarti dengan kata lain, bahwa ia harus dibunuh?"
"Dibunuh" Siapa yang mengatakan harus dibunuh. Saya mempunyai rencana lain
dengannya, tetapi saya dapat menjamin Anda, bahwa ia tidak akan menyusahkan Anda
lagi." Kini Notaris merasa puas. Ia sudah mengetahui, apa yang perlu diketahuinya.
Tetapi ia menjaga, janganlah kentara, bahwa ia sudah mengetahui segala rahasia
Capitano, lalu ia menjawab,
"Baik, saya percaya kepada Anda, Capitano. Saya akan membayar juga dua ratus
duro sebagai ganti rugi untuk orang Anda yang mati, tetapi sebagai imbalan saya
ingin supaya dokter itu mati dan orang Perancis itu disingkirkan."
"Permintaan Anda dapat saya kabulkan, asal Anda mau membayar untuk dokter itu
jumlah uang yang lima ratus duro yang masih tersisa serta lima ratus lagi untuk
orang Perancis itu."
"Baik, Anda akan mendapat uang itu setelah pekerjaan itu Anda selesai!"
"Saya perlu uang sekarang juga. Anda harus membayar separuhnya!"
"Saya tidak membawa uang. Kerjakan saja tugas Anda dengan baik, uangnya tentu
akan beres! Bila Anda tidak setuju dengan itu, saya terpaksa akan membatalkan
perjanjian itu." "Baik, saya terima syarat-syarat Anda," kata kepala perampok itu ragu-ragu.
"Tetapi jangan Anda kira, dapat menipu saya satu duro pun! Bilamana harus
dilakukan?" "Selekas mungkin. Harinya masih belum dapat ditentukan. Masih adakah sesuatu
yang perlu Anda bicarakan" Tidak" Maka kini pembicaraan kita sudah selesai.
Selamat malam, Senor!"
"Selamat malam!"
Perampok itu pergi dan Notaris berjalan perlahan-lahan kembali ke puri.
"Hahaha!" tawanya pada diri sendiri. "Kaukira dapat menipuku, Kawan. Kau harus
lebih cerdik lagi untuk itu. Aku akan mendahuluimu dan mengatur siasat sendiri."
Keesokan pagi masuklah Elvira ke dalam kamar Sternau untuk mengantar kopi.
"Terima kasih, Senora," katanya. "Buatkan saya susu segelas saja, saya masih
belum ingin minum kopi."
"Tidak ingin minum kopi," tanya wanita itu sambil merasa heran. "Apakah Anda
barangkali sakit?" "Bukan begitu. Saya harus mengerjakan sesuatu yang membutuhkan ketenangan
seluruh syaraf saya dan seperti Anda ketahui, kopi itu dapat merangsang darah."
"Pekerjaan itu tentu sangat penting!"
"Memang demikian. Berdoalah kepada Tuhan, supaya pekerjaan saya dapat berhasil
dengan baik, Senora! Saya hendak melakukan pembedahan pada mata Pangeran Manuel
yang kita kasihi itu."
Elvira terkejut mendengar itu, hingga talam di dalam tangannya terjatuh ke
lantai. "Pembedahan matanya!" seru wanita itu. "Masya Allah! Sungguh benarkah itu?"
"Benar. Selanjutnya saya minta, supaya diusahakan suasana hening dan sepi di
seluruh puri sedapat mungkin. Jendela-jendela di kamar sakit harus segera
ditutup setelah selesai diadakan pembedahan. Bila perlu Anda dapat minta bantuan
Condesa, menyediakan barang-barang yang diperlukan! Kini saya ingin mendapat
susu saya!" "Baik, baik, Tuan, segera akan Anda dapat. Apa yang akan dikatakan oleh
Alimpoku, bila ia mendengar tentang pembedahan itu. Saya sudah pergi, sudah
berlari, sudah terbang! Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Anda!"
Elvira membiarkan sementara pecahan cangkir berserakan di lantai dan bergegas ke
luar dari kamar. Gerak yang dinamakannya "terbang" itu sesungguhnya lebih
menyerupai "berguling-guling".
Ketika dokter masuk ruang tamu, ia dihujani berbagai pertanyaan oleh mereka yang
hadir. "Benarkah Pangeran hari ini akan mengalami pembedahan?" tanya Clarissa.
"Benar." Lalu Alfonso berdiri di hadapan Sternau dan berkata dengan wajah muram dan nada
keras. "Lakukan lebih dahulu dengan pertimbangan yang masak. Apakah Anda sungguh yakin
bahwa pembedahan akan berhasil?"
"Bukan seratus persen pasti, namun ada harapan besar."
"Anda hanya berharap saja! Jadi berdasar pengharapan yang samar-samar Anda sudah
berani melakukan pekerjaan berbahaya seperti itu. Dapatkah Anda
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan dan hati nurani Anda?"
"Dapat," jawabnya dengan sungguh-sungguh dan yakin.
"Kalau begitu, saya sebagai putra pasien menuntut supaya Anda dibantu oleh
beberapa dokter ahli bedah kenamaan."
"Saya sekali-kali tidak berminat untuk mengulangi pengalaman pahit masa lalu,
untunglah tidak berakhir dengan bencana. Lagipula saya harus menjunjung tinggi
keinginan Pangeran, yang tidak menghendaki campur tangan dalam hal ini."
"Siapakah yang sebenarnya berkuasa di sini?" tukas Alfonso.
"Bukankah kedudukan saya jauh lebih tinggi daripada kalian semua?"
"Saya pun sebagai wakil Pangeran tidak dapat dikesampingkan begitu saja!"
sambung Cortejo. Sternau menjawab dengan nada pasti.
"Saya ingin memperingatkan Tuan-Tuan, bahwa hanyalah seorang dokter boleh
memerintah dalam hal ini! Pembedahan akan dikerjakan sepuluh menit kemudian.
Segala sesuatu sudah dipersiapkan dan saya harus melarang tiap pekerjaan yang
dapat menimbulkan gangguan."
"Baik kita tunggu kesudahannya!" seru Alfonso.
"Benar, kita tunggu kesudahannya!" jawabnya. "Saya harus memperingatkan Anda,
bahwa gangguan yang sekecil apa pun pada Pangeran akan berakibat buruk bagi
beliau dan Anda harus memikul tanggung jawab sepenuhnya, bila sampai terjadi
sesuatu!" "Kita akan menghadiri pembedahan!" kata Alfonso.
"Memang saya akan memerlukan beberapa tenaga pembantu. Saya mendapat kesan,
bahwa di antara hadirin terdapat beberapa orang yang tidak suka melihat Pangeran
sembuh, maka saya perlu mengambil tindakan-tindakan berkenaan dengan hal itu.
Condesa Roseta, maukah Anda menyumbangkan tenaga Anda dalam pembedahan ini?"
"Saya rela mengabdikan segenap tenaga saya untuk pekerjaan yang mulia ini," kata
gadis itu. "Pekerjaan tidak akan mengatasi tenaga Anda. Yang dibutuhkan adalah tenaga
wanita. Barangkali Lady Amy pun suka memberikan tenaganya?"
"Terima kasih atas kepercayaan Anda!" jawab gadis Inggris itu.
"Dan bagaimana dengan saya?" tanya Clarissa.
"Anda tidak usah bersusah-susah, Senora!" kata Sternau dengan nada dingin.
"Syaraf Anda kurang sesuai dengan pekerjaan ini. Melihat luka kecil pun Anda
sudah hampir jatuh pingsan, sehingga saya terpaksa menyangga Anda. Apalagi bila
Anda harus menghadapi pembedahan seperti ini."
"Namun saya harus diizinkan hadir!" kata Alfonso.
"Dan saya harus menolaknya pula. Saya tidak memerlukan penonton. Hanya seorang
pria ingin saya minta bantuannya. Senor de Lautreville, relakah Anda turut
menyumbangkan tenaga Anda?"
"Saya suka memberi bantuan demikian," jawab Mariano.
"Saya ingin mohon sesuatu dan saya yakin Anda suka mengabulkannya. Anda
mengetahui letak jendela-jendela yang terdapat pada kamar Pangeran."
"Ya, saya mengetahui."
"Saya minta supaya Anda selama pembedahan, terus-menerus berjalan-jalan di bawah
jendela-jendela itu. Kehadiran Anda di situ akan menjadi jaminan bagi saya,
bahwa tidak akan terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki dari pihak sana."
Letnan memandang dengan penuh pengertian lalu berkata,
"Saya dapat menduga apa yang Anda maksud dan dengan segala suka hati saya akan
menyumbangkan tenaga saya. Pekerjaan memulihkan kembali penglihatan Pangeran
adalah sesuatu yang sangat mulia dan saya menganggap sebagai suatu kehormatan
turut mengambil bagian dalam membuat pekerjaan itu berhasil."
"Apa" Kehormatan?" tanya Alfonso mengejek. "Bukankah lebih baik disebut
penghinaan, bila diperkuda oleh seorang dokter?"
Mariano menghampirinya dengan dua langkah dan berkata,
"Tarik kembali perkataan Anda!"
"Tidak!" jawabnya dengan marah. "Bahkan saya ingin mengulanginya!"
"Baik, kalau begitu biar senjata saja yang akan berbicara, seperti lazimnya
dilakukan oleh pasukan kavaleri!"
"Haha! Anda" Pasukan kavaleri?" seru Alfonso. "Bukankah Anda hanya..."
Don Alfonso palsu itu tidak dapat melanjutkan perkataannya, karena tiba-tiba
Gasparino Cortejo mendekati dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Diam, Pangeran!" demikian diperingatkannya. "Sekarang masih belum waktunya dan
bukan tempatnya untuk mengadakan pembicaraan semacam itu."
"Itu pun pendapat saya," kata Dokter. "Tetapi bila memerlukan seorang pendamping
dalam duel, Senor de Lautreville, bolehlah Anda mengambil saya. Kini saya minta
Anda dan kedua wanita itu mengikuti saya."
Kedua gadis itu begitu terkejut, sehingga mereka mengikuti tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Letnan pun pergi tanpa menoleh kepada orang-orang yang
ditinggalkan. Orang-orang itu menunggu dengan sabar sampai bunyi-bunyi langkah
ketiga orang itu menghilang. Kemudian Notaris berkata,
"Ceroboh benar kamu. Hampir-hampir kamu membuka rahasia kita!"
"Apa ruginya?" geram Alfonso. "Alangkah lucu melihat wajah-wajah mereka, bila
mereka mendengar bahwa ia sebenarnya seorang perampok!"
"Dan lebih lucu lagi, bila mereka mendengar bahwa ia sebenarnya harus menduduki
tempatmu. Ia bukan hanya menduga ini, melainkan sudah mengetahui dengan pasti
dan tampak ia masih hanya ingin menyelidiki asal-usul keturunanmu. Saya akan
berusaha, supaya ia tidak dapat menyusahkan kita lagi."
"Dan dokter ini!" seru Clarissa dengan berang. "Sikapnya seolah-olah tuan rumah
sendiri di sini." "Sikapnya ketika ia menyatakan dengan sombong bahwa ia tidak boleh diganggu
itu?" geram Notaris. "Namun penyembuhan Pangeran harus dicegah sedapat mungkin.
Kita harus mengusahakan ketegangan yang cukup besar untuk dapat mengimbangi
hasil pembedahan itu."
Sedang di ruang tamu diucapkan kata-kata yang bernada bermusuhan, maka Dokter
pergi bersama dua orang wanita itu memasuki kamar Pangeran. Ia menempatkan dua
orang penjaga di hadapan pintu ruang muka lalu mengunci pintu itu. Pangeran
sudah menanti dan membalas salamnya dengan ramah.
"Anda membawa siapa, Senor?" tanya Don Manuel ketika ia mendengar langkah-
langkah ringan dari dua orang wanita itu.
"Condesa Roseta serta Lady Amy. Saya lebih percaya kepada mereka daripada orang
lain." "Terima kasih, Dokter! Anda telah mendahulukan keinginan hati saya. Di mana
putra saya?" "Ia sedang di ruang tamu dan minta dimaafkan, saya terpaksa minta, supaya jangan
hadir di sini." "Apakah dua orang wanita itu akan cukup tabah, Senor?"
"Saya kira demikian. Dua wanita itu hanya saya minta membantu saya dengan
menyerahkan beberapa alat kepada saya. Bolehkah sekarang saya tanyakan,
bagaimana keadaan jiwa Pangeran sekarang?"
Pada wajah Pangeran tampak senyum cerah penuh kepercayaan dan ia menjawab,
sambil melipat tangannya.
"Saya telah berembuk dengan diri saya sendiri dan dengan Tuhan dan saya dapat
menyerahkan nasib saya tanpa waswas ke dalam tangan Anda. Keadaan tidur dapat
menguasai tubuh kita, namun roh kita mengembara terus mengalami berbagai
pengalaman, yang telah kita rasakan dan pikirkan dalam keadaan jaga. Saya telah
bermimpi, bahwa Anda membuka mata saya. Saya dapat melihat dunia Tuhan yang
indah, saya lihat wajah putri saya yang cantik dan saya lihat juga Anda serta
Letnan - namun," demikian ditambahkannya dengan rasa kecewa, "saya tidak melihat
putra saya. Sebaliknya saya melihat orang asing, yang wajah maupun bahasanya
tidak saya pahami. Apa yang Anda bawa" Saya mendengar bunyi gemerincing."
"Itu adalah perkakas kedokteran saya."
"Perkakas kedokteran itu tidak menimbulkan rasa takut pada saya. Itu hanya
merupakan alat-alat pembantu akal maupun ketangkasan Anda dan mendapat
kepercayaan penuh dari saya. Bilamana dapat kita mulai?"
"Sekarang juga."
Sternau membetulkan letak tempat tidur Pangeran, menyiapkan perkakasnya dan
menerangkan kepada dua orang wanita itu, apa yang diperlukan dari padanya.
Setelah diyakininya bahwa tidak ada sesuatu yang dilupakan maka ia berdiri di
muka jendela. Roseta memeluk ayahnya dengan mesra dan berbisik kepadanya sambil
mencucurkan air mata. "Ayah, ia sedang berdoa."
"Itu sudah kuduga," jawab ayahnya dengan lemah lembut.
Kecuali tiga orang yang bersekongkol itu tidak ada orang lagi di dalam puri yang
tidak ingin memanjatkan doa ke hadirat Tuhan untuk mohon agar pekerjaan dokter
itu berhasil dengan selamat.
Letnan yang berjalan hilir-mudik di bawah jendela-jendela itu pun turut melipat
tangannya. "Ya Tuhan," bisiknya dengan segenap hatinya, "limpahkanlah karunia-Mu! Berilah
kepada si sakit penglihatan kembali dan saya akan senantiasa memuji nama-Mu.
Amin!" Setengah jam telah berlalu sejak Mariano mulai berjaga-jaga, ketika Pangeran
Muda meninggalkan ruang tamu. Ia memakai perlengkapan pemburu dan membawa dua
ekor anjing terikat pada tali. Para abdi hanya menggeleng-geleng kepalanya saja
melihat tuannya tega pergi berburu, sedang nasib ayahnya dalam keadaan gawat.
Ketika ia berjalan melewati sang letnan, dilihatnya di pucuk pohon seekor burung
gagak. Cepat-cepat diambil senapannya yang berlaras dua lalu dipasangnya.
"Sasaran yang bagus sekali! Awasi burung itu, Pluto, Pollux! Tangkap!"
Ia hendak memetik picu, namun tak sampai.
"Bangsat!" terdengar suara dekat telinganya. Lalu ia tidak mendengar apa-apa
lagi. Kepalanya terasa pusing, telinganya mengiang.
Mariano telah melompat ke arahnya, memegang kerongkongannya dan dengan tangan
yang sebelah lagi merampas senapannya. Ditinjunya sekali, lalu bedebah itu rebah
ke atas tanah tanpa mengeluarkan suara. Beberapa orang abdi telah
menyaksikannya, di antaranya penjaga puri.
"Ya Allah! Ia bermaksud hendak menembak!" keluh Alimpo yang baik hati itu. "Ia
ingin mengejutkan Senor Dokter! Elviraku telah mengatakan juga. Harus kita
apakan dia?" "Tidak usah," jawab Letnan. "Bila Anda berani mengapa-apakannya, ia akan
membalas dendam kepada Anda!"
"Jadi ia masih belum mati?"
"Tidak. Ia hanya belum dapat bernapas."
"Saya kira ia sudah mati. Sayang benar, bila ia - mati!"
Jelas sekali bahwa yang dimaksud penjaga puri itu justru kebalikan dari yang
telah diucapkannya. "Anda tidak usah menghiraukan dia! Saya akan mengamankannya."
Letnan itu mengangkat tubuh Alfonso, membawa masuk ke dalam puri, menuruni salah
satu tangga, menaruh tubuh itu ke dalam ruang di bawah tanah, mengunci erat-
erat, mengambil anak kuncinya, lalu kembali lagi ke pos jaganya.
Hanya beberapa saat kemudian, Condesa memanggil istri penjaga puri masuk ke
dalam kamar Pangeran. Ketika wanita itu masuk kamar dengan langkah-langkah yang


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiada berbunyi, Pangeran sedang duduk di atas kursi besar dan Dokter sedang
mengenakan pembalut. "Kini tutuplah semua kain gorden!" kata Sternau. "Tadi saya memerlukan cahaya
matahari. Kini semua harus diusahakan gelap. Tetapi jangan membuat gaduh!"
Di dalam kamar masih tercium bau khas dari chloroform. Wajah Pangeran, sepanjang
masih dapat dilihat, pucat pasi. Suaranya kedengaran parau namun tetap, ketika
ia bertanya, "Dokter - berhasilkah - Anda" Bolehkah saya menaruh harapan?"
"Hm, boleh." "Sedikit saja?"
"Itu semata-mata tergantung pada Anda sendiri, apakah tidak ada, ada sedikit,
ataupun banyak harapan. Saya mohon supaya Anda tetap tenang, Don Manuel. Esok
hari Anda boleh mendengar lebih banyak lagi."
Pangeran menarik napas panjang. Tetapi Roseta memegang tangan Dokter dan
berbisik tanpa terdengar ayahnya.
"Saya minta Anda berterus terang saja kepada saya!"
Dokter melihat dengan bangga dan gembira. Hatinya seolah-olah menjadi lega,
ketika ia menjawab dengan berbisik juga.
"Pekerjaan itu berhasil!"
"Jadi Ayah dapat melihat lagi?"
"Benar! Sst! Diam! Kegembiraan hati dapat membahayakan kesehatannya seperti juga
perasaan tegang lainnya."
Maka Roseta tidak sanggup menguasai perasaan lagi. Sungguhpun dapat disaksikan
oleh kawan wanitanya dan oleh istri penjaga puri, dipeluknya Dokter Sternau
serta diciumnya. Elvira ketika menyaksikan peristiwa itu, hampir-hampir terpekik karena terkejut.
Untunglah ia masih berhasil menguasai dirinya dan ia menghibur hati dengan
pendapat, "Aku harus menceritakan kejadian ini kepada Alimpoku. Masya Allah, berita itu
akan mengejutkan dan menggembirakannya!"
Lady Amy pun terkejut. Beberapa saat kemudian Dokter pergi untuk menggantikan
Letnan berjaga. "Sudah selesai, Senor?" tanya Mariano, ketika dilihatnya Sternau. "Dan
bagaimanakah hasilnya - tetapi sebenarnya saya tidak usah bertanya lagi. Saya
dapat menyaksikannya pada wajah Anda yang gembira."
"Pembedahan berhasil lebih baik daripada harapan saya. Tetapi ini tidak boleh
diberitakan kepada si sakit. Bedil apakah itu?"
"Bedil kepunyaan Alfonso. Saya telah mengamankannya," kata Mariano dengan wajah
muram. "Diamankan" Mengapa?"
Letnan menceritakan peristiwa yang telah terjadi. Dokter mendengar dengan hati
makin panas. "Orang macam apa dia!" serunya. "Alangkah busuk hatinya! Itu tidak mungkin
dilakukan tanpa sengaja. Dan ia menamakan diri pangeran!"
Mariano sebenarnya ingin sekali memberi komentar mengenai hal ini. Akan tetapi
ia menahan diri dan tidak mengatakan apa-apa. Dokter melanjutkan perkataannya,
"Anda mempunyai rencana apa dengan dia?"
"Baik saya serahkan hal itu kepada kebijaksanaan Anda saja, Senor. Anda tentu
lebih mengetahui, ia berbahaya atau tidak."
"Andaikata ia dapat melepaskan tembakan tadi, besar sekali kemungkinan Pangeran
akan sadar dari pembiusan dan dengan demikian dapat membahayakan pembedahan itu.
Tetapi sekarang hm, bawalah saya kepadanya! Saya ingin berbicara dengannya."
Mereka pergi ke ruang di bawah tanah dan Letnan membuka pintu. Alfonso telah
mendengar mereka datang dan berdiri di belakang pintu. Ia langsung menerkam
Mariano, kalau ia tidak dihalangi oleh Sternau yang memegang kedua belah
tangannya erat-erat. "Perampok! Bangsat!" serunya sambil mengertakkan gigi.
"Maki-makilah sesuka hatimu!" kata Sternau. "Perkataan Anda sekali-kali tidak
akan mengenai kami. Kami akan membebaskan Anda kembali. Tetapi sebelumnya,
dengar lebih dahulu petuah saya."
"Enyahlah, kamu sekalian, bangsat! Atau saya perintahkan mengeluarkan kamu!"
"Sabar dahulu! Saya tidak akan melepaskan Anda, sebelum Anda mendengarkan
perkataan saya." "Bicaralah, cepat!" hardik Alfonso.
"Yang hendak saya katakan ialah, bahwa kelakuan Anda sangat mencurigakan.
Meskipun saya tidak mengerti apa yang menjadi sebab, saya ingin supaya Anda
jangan mengunjungi ayah Anda sebelum mendapat izin dari saya. Pendeknya bila
terjadi sesuatu dengan ayah Anda karena perbuatan Anda, akan saya paparkan hal
itu di surat kabar, lalu saya akan menyerahkan Anda kepada pengadilan."
"Lakukanlah, ya, lakukanlah!" seru penipu itu berkeras kepala. "Maka akan saya
perintahkan mendera kalian berdua dengan cemeti!"
Kini sang letnan tidak dapat menahan diri lagi. Ia sebenarnya ingin menyimpan
rahasia itu baik-baik, namun kini ia tidak dapat menguasai diri lagi. Diletakkan
tinjunya ke atas bahu Alfonso lalu ia berkata,
"Sekali lagi berani kau keluarkan ancaman seperti tadi, kau akan rebah oleh
tinjuku! Kau kira, kau sendiri tidak perlu takut kepada pengadilan, engkau
bersama orangtuamu yang bagus itu" Perwira pengadilan akan menentukan, engkau
benar-benar keturunan Pangeran Rodriganda y Sevilla atau bukan! Sekarang
pergilah!" Ditinjunya Alfonso kuat-kuat, sehingga orang itu terlepas dari tangan Dokter dan
terempas pada dinding. Ia jatuh terguling, tetapi lekas-lekas berdiri dan lari
menaiki tangga. "Apa yang Anda katakan?" tanya Dokter. "Jadi orang itu bukan putra Pangeran
Manuel?" Kini anak muda itu sadar, bahwa ia telah membuat kekeliruan besar. Ditekankannya
tangannya kepada dahinya yang panas membara lalu ia bertanya,
"Dapatkah Anda menyimpan rahasia, Senor?"
"Dapat," kata Sternau.
"Anda berkenan di hati saya. Maukah Anda menjadi sahabat saya?"
"Dengan senang hati! Ini, terimalah tanganku!"
"Maka penuhilah keinginan saya!" pinta Mariano sambil menjabat tangan Dokter.
"Simpanlah segala yang akan Anda dengar ke dalam hati Anda!"
"Baik, akan saya pegang teguh rahasia itu, namun, meskipun ingin sekali saya
mendengarnya dari Anda, kini timbul persoalan lain yang lebih mendesak. Saya
harus segera pergi ke Pangeran, supaya jangan sampai kedahuluan Alfonso.
Kemungkinan ia pergi ke Pangeran untuk menggagalkan segala pekerjaan saya."
Untunglah bagi Sternau, Alfonso tidak menempuh jalan itu. Ia segera pergi ke
Senora Clarissa. "Ibu," keluhnya ketika ia masuk, "suruh Ayah datang segera! Suatu bencana telah
terjadi. Mati kita! Benar-benar mati! Tidak ada abdi di depan. Aku akan
memanggil Ayah sendiri."
Alfonso bergegas ke luar dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan ayahnya.
Alfonso menceritakan apa yang telah terjadi. Kedua orangtuanya sampai terkejut.
"Apa yang harus kulakukan" Katakanlah!" seru Alfonso dengan gugup.
Notaris bangkit dan berkata dengan nada keras.
"Menutup mulut! Kau harus pandai menutup mulut! Kau telah berbuat suatu
kebodohan besar. Siapa yang menyuruh menembak di bawah jendela Pangeran. Kau
telah membahayakan dirimu sendiri, orangtuamu, dan seluruh rencana kita. Satu-
satunya jalan pemecahan ialah, aku harus segera pergi ke Barcelona, ke Nakhoda
Landola. Tadi aku terima sepucuk surat telegram, yang menyatakan bahwa ia
berhalangan datang karena harus hadir di kapal ketika kapal itu memuat dan
membongkar barang. Mualim yang seharusnya melakukan pekerjaan itu sedang sakit."
"Bilamana kau hendak pergi?" tanya Clarissa.
"Setengah jam lagi. Tetapi aku ingin ditaati, Alfonso. Bila sekali lagi engkau
melakukan suatu kebodohan, aku takkan dapat menolongmu lagi. Camkanlah itu!"
Itu sekali-kali tidak diduga Alfonso. Belum pernah ia ditegur secara demikian
oleh ayahnya. Ia meninggalkan kamar tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun.
Tiga hari kemudian pagi-pagi sekali Sternau berjalan-jalan dengan Letnan di
dalam taman. Selama beberapa hari ini ia tidak pernah meninggalkan Pangeran.
Baru sekali ini ia keluar menghirup hawa sejuk. Mereka menjumpai dekat rumpun
bunga, istri penjaga puri sedang memetik bunga dan mengumpulkan di pangkuannya.
"Selamat pagi, Tuan-Tuan!" seru wanita itu dari jauh. "Anda melihat bunga mawar
yang indah-indah ini" Hari ini harus dipetik bunga-bunga yang terindah, itu pun
dikatakan oleh Alimpoku."
"Ada apa hari ini?" tanya Sternau.
"Apa" Anda tidak mengetahui?" tanya wanita itu terheran-heran. "Bukankah hari
ini Condesa kami yang tercinta merayakan ulang tahunnya?"
"Benarkah" Kalau begitu, kita harus segera mengucapkan selamat kepadanya."
"Benar! Condesa sudah bangun. Pangeran pun sudah bangun dan menyuruh saya pergi
ke taman. Ia ingin menghadiahkan bunga-bungaan itu kepada Condesa di kamarnya."
"Saya tidak mendengar dari Pangeran tentang hal itu," kata Dokter.
"Mungkin beliau ingin merahasiakan dahulu. Barang-barang bingkisan sudah
diterima kemarin. Pergilah ke atas, Senor, Anda dapat membantu merangkai bunga!"
Lima menit kemudian Sternau sudah di kamar Pangeran dan membantu istri penjaga
puri mengatur bingkisan-bingkisan yang indah itu. Kemudian Elvira memanggil
Roseta. Sternau hendak meninggalkan kamar, tetapi Pangeran menahannya.
"Jangan pergi, Dokter!" pintanya. "Kehadiran Anda menambah kesukaan hati saya."
Condesa datang. Ia berbaju putih sederhana.
Ia menjabat tangan kedua orang itu, menyatakan kegembiraannya seperti anak kecil
melihat karangan bunga yang indah itu, lalu menyatakan terima kasih kepada
ayahnya dengan memeluknya.
"Kata Elvira, Anda pun telah membantu mengubah bunga. Terima kasih," katanya
kepada Sternau. Sternau menyambut tangan Roseta yang sekali lagi diulurkan kepadanya dan
menciumnya lalu menjawab,
"Apa yang saya perbuat tidak ada artinya, tetapi bila Anda mengizinkan, saya
akan memberanikan diri mempersembahkan bingkisan yang jauh lebih berharga.
Bolehkah?" Wajah gadis itu menjadi merah, tetapi ia berkata,
"Dari tangan Anda setiap bingkisan, yang sekecil-kecilnya pun, penuh mengandung
arti bagi saya." "Kita akan mengusahakannya. Semoga diberkahi oleh Tuhan!"
Sternau menghampiri Pangeran. "Silakan memutar badan Anda, Yang Mulia!" Ia mohon
dengan rasa tegang. Perlahan-lahan dan hati-hati dilepaskannya pembalut dari
mata Pangeran Manuel. "Dapatkah Anda melihat putri Anda?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, sehingga Pangeran masih
tetap menutup mata setelah pembalut dilepaskan. Ia berdiri dekat meja yang penuh
dengan bunga-bunga itu, tempat ia menyandarkan tangan dan ia tidak menyadari apa
yang terjadi pada dirinya. Tetapi akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan
berbisik, "Betapa agung hari ini! Betapa suci saat ini! O Tuhan, berilah supaya usaha ini
berhasil!" Sambil gemetar di seluruh tubuhnya, perlahan-lahan ia membuka mata. Sternau
sedang membelakangi Pangeran sehingga tidak dapat melihat mukanya, tetapi ia
melihat Pangeran mengangkat tangannya, membuat dua langkah ke depan dan
menghampiri putrinya. Kemudian ia mendengar berseru dengan gembira sekali.
"Astagfirullah! Benarkah ini" Bukankah hanya mimpi" Aku dapat melihat! Senor
Dokter, sungguhkah itu?"
"Ayah melihat aku! Itu dapat kulihat pada mata Ayah!" sorak Roseta.
Dipeluknya Pangeran. Pangeran begitu terpengaruh oleh perasaannya, sehingga ia
rebah ke atas divan dan menutup matanya.
"Ya Tuhan," keluh Roseta. "Ayah jatuh pingsan. Itu akan berakibat buruk pada
matanya." "Jangan khawatir, Condesa!" kata Sternau, menghibur hatinya. "Pangeran hanya
merasa bingung, tetapi tidak pingsan. Matanya sudah sembuh dan tentu akan dapat
bertahan pada kegembiraan ini."
"Benarlah, mataku dapat bertahan!" bisik Pangeran dengan senyum bahagia. "Aku
dapat merasakannya. Bolehkah aku membukanya?"
Sekali lagi Pangeran membuka matanya perlahan-lahan. Roseta bersorak dan
menangis bergantian dan menyerahkan diri tanpa sengaja ke dalam pelukan Sternau;
cepat-cepat ia kembali lagi ke ayahnya serta memeluknya sekali lagi. Pangeran
tidak dapat melepaskan pandangan pada putrinya. Ia memeluk putrinya erat-erat,
membelai dan memanggilnya dengan berbagai nama kesayangan. Akhirnya ia berseru,
setelah menyadari kembali kewajibannya.
"Maaf Senor, aku telah melupakan Anda! Ke marilah, supaya aku dapat melihat
jelas orang yang telah menyembuhkan penyakitku itu!" Sternau menghampiri
Pangeran dan berjabatan tangan dengannya.
Pangeran memandangnya lama tanpa berkata-kata.
"Sama benar dengan yang selalu kubayangkan tentang Anda," katanya. "Senor, aku
tidak dapat menyatakan terima kasihku, tetapi selama hidupku, aku adalah milik
Anda!" Dengan mengucapkan perkataan itu ditariknya Sternau ke arahnya dan diciumnya,
seolah-olah ia berhadapan dengan putranya sendiri.
"Sekarang aku ingin melihat yang lain," pintanya.
"Don Manuel, biarlah cukup pengalaman Anda untuk hari ini," jawab Dokter. "Anda
harus beristirahat dahulu sampai petang hari. Istirahat itu perlu bagi Anda."
"Putraku pun masih belum boleh kulihat?"
"Lebih baik jangan dahulu," kata Sternau yang tiba-tiba mendapat akal yang baik.
"Condesa Roseta akan tetap mendampingi Anda, yang lain akan Anda lihat waktu
senja, bila cahaya matahari sudah kehilangan tenaga. Saya mohon kepada Anda,
turutilah keinginan saya sekali ini saja!"
"Baik, kuturuti keinginan Anda," kata Pangeran. "Tetapi aku tidak ingin
bergembira seorang diri saja. Roseta, usahakanlah supaya seluruh Rodriganda
bergembira. Kita harus merayakan pesta, pesta besar, dan barangsiapa mempunyai
suatu keinginan, harus menyampaikannya kepadamu, jangan kepada Senor Gasparino
atau Alfonso, melainkan kepada kamu saja. Bila mungkin, keinginan itu akan
kukabulkan. Semua orangku hari ini harus menerima gaji tambahan satu bulan.
Selanjutnya aku harus memberi - harus memberi... Senor, apakah Anda mempunyai
sanak saudara?" "Seorang ibu dan seorang kakak," bunyi jawabnya.
"Di Jerman?" "Benar, di Mainz."
"Sudah dapatkah aku membaca?"
"Dapat, tetapi sebaiknya jangan dahulu."
"Hanya beberapa patah kata saja."
"Itu saya izinkan."
"Atau menulis" Hanya beberapa baris saja, tidak lebih daripada itu."
"Begitu mendesak hal itu?"
"Memang." "Kalau begitu, bolehlah, tetapi jangan menghadap ke jendela ketika menulis."
Pangeran pergi ke meja tulisnya. Ia mengeluarkan sehelai surat cek blanko dan
mengisinya. Kemudian dilipatnya surat itu dan diserahkannya kepada putrinya.
"Inilah, Roseta, anakku," katanya, "mintalah kepada Dokter untuk menerima
perkataan ini sebagai kenangan kepada hari ini. Pemberian ini bukanlah dari
padaku, melainkan dari pada kamu, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
ibu dan kakaknya! Jasa-jasanya tidak dapat ditukar dengan pemberian apa pun,
namun kepada ibu dan kakaknya kita boleh menyatakan perasaan kita, bahwa kita
sangat menyayanginya."
Roseta mengambil surat itu dan memberikan kepada Sternau, namun Sternau
mengangkat tangannya untuk menyatakan menolak.
"Itu sudah saya duga," kata putri itu sambil menjadi merah mukanya, "tetapi
janganlah salah mengerti: Anda tidak diberi sesuatu. Anda tidak berhak untuk
menolak sesuatu yang diberikan kepada orang lain."
Ketika Sternau tetap menolak juga, Roseta mendekapnya, memasukkan surat itu ke
dalam tangan, lalu berbisik perlahan sekali,
"Carlos, terimalah demi aku!"
Ini mematahkan segala perlawanannya. Ia mengucapkan terima kasih serta menjabat
tangan kedua orang itu. Kemudian ia pergi. Sesampai di kamarnya baru
diketahuinya bahwa surat di dalam tangannya itu berupa surat cek seharga dua
puluh lima ribu piaster perak, suatu honorarium yang layak dianugerahkan oleh
raja-raja, yang dalam sekejap mata dapat mengubahnya menjadi seorang hartawan.
Roseta mengira, bahwa Sternau lekas-lekas pergi karena ia merasa dirinya
tersinggung. "Aku kira tidak, Nak. Ia tidak boleh memandang kepada uangnya, melainkan kepada
itikad yang baik. Ia bukan menerima honorarium, melainkan segala yang kumiliki
adalah miliknya juga. Tekankan sekali lagi hal itu kepadanya, Roseta! Tetapi
kini lekaslah siapkan supaya semua orang mengambil bagian dalam suasana gembira
ini!" P.S. Baca sambungannya dalam jilid III
ePub version: ePub Lover

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.loverDr. KARL MAY:
PURI RODRIGANDA JILID III Penerbit: Pradnya Paramita (1981)
Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit
Disalin oleh: Tiur Ridawati, Sandi Taruni, Svetlana Dayani, & Johannes Sulistio
Untuk: http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists
BAB I PERAMU BISA Dalam pada itu senor Gasparino Cortejo telah berangkat ke Barcelona. Di
pelabuhan kota itu berlabuh di antara kapal-kapal lainnya sebuah kapal bertiang
tiga yang menggunakan nama La Pendola, bertuliskan pada buritannya. Perkataan
ini berarti "bulu". Bagi orang awam perkataan itu agak membingungkan, digunakan
untuk memberi nama pada kapal dagang sebesar itu, yang mempunyai tiga buah tiang
dan terdiri dari geladak yang berlapis-lapis. Namun seorang pelaut tidak akan
merasa heran mendengar nama itu. Meskipun sudah nyata bahwa kapal itu tidak
dibuat di salah satu galangan di Amerika, namun bagannya adalah khas Amerika.
Haluannya muncul ke atas air dengan tinggi dan megah dan lunasnya masuk ke dalam
air dengan panjang dan tajam. Bila kita mengamati kapal itu, maka kesan yang
akan kita peroleh ialah bahwa kapal itu niscaya dapat berlayar dengan sangat
laju, "seringan sehelai bulu". Namun kapal demikian mempunyai kekurangan juga,
yaitu bahwa ia terlalu mudah membelok sehingga menghambat kelajuannya. Maka
keahlian dan ketangkasan tinggi juga diperlukan untuk melayarkannya.
Landola mengunci diri bersama Gasparino Cortejo dalam kamarnya di kapal itu,
supaya dapat berbincang-bincang dengan leluasa tentang usaha dagangnya tanpa
takut diganggu orang. Notaris duduk di belakang setumpuk surat-surat yang baru
selesai diperiksanya. Ia meletakkan pena di atas meja dan berkata,
"Aku benar-benar merasa puas dengan usahamu, Landola. Bagianku berjumlah tiga
puluh ribu duro. Jumlah sebesar itu melampaui segala pengharapanku." Nakhoda
mendengarkan dengan acuh tak acuh. Ia bertanya dengan nada dingin,
"Jadi bagaimana sekarang" Bagian Anda, Anda minta langsung dibayarkan atau baik
dibiarkan saja untuk menambah modal usaha perdagangan kita" Uang itu sangat saya
perlukan." "Pakailah uang itu!"
"Baik. Masih adakah hal-hal lain?"
"Hm! Anda memerlukan seorang kelasi?"
"Boleh. Orang macam apa?"
"Yang biasa hilang di tengah perjalanan."
"Haha! Di dalam air?" tanya Landola sambil tertawa dengan penuh pengertian.
"Di darat pun boleh juga. Pokoknya asal ia jangan kembali lagi."
"Seperti halnya don Fernando de Rodriganda y Sevilla, bukan?"
"Sst!" kata notaris terkejut. "Anda dapat didengar orang! Jangan sebut-sebut
nama itu lagi. Bukankah don Fernando sudah mati....!"
"Lebih buruk daripada itu. Ia sudah hilang tiada berbekas! Siapakah kelasi baru
itu?" "Seseorang memperkenalkan diri sebagai seorang perwira, padahal ia hanya seorang
petualang." "Bagus! Orang semacam itu justru saya perlukan. Di mana dapat saya temukan dia?"
"Di Rodriganda. Anda harus mengambil dari sana."
"Bagus. Ia bertubuh kuat?"
"Kuat sekali!" "Kalau begitu ia akan melawan."
"Pasti!" "Itu harus kita cegah! Anda rela membayar berapa?"
"Berapa permintaan Anda, capitano?"
"Tiga ratus duro untuk pekerjaan itu selengkapnya: untuk menculiknya tanpa
diketahui orang, membuat ia hilang tiada berbekas dan menjaga supaya ia tidak
dapat kembali lagi."
"Baik, saya setuju. Meskipun saya mengetahui bahwa Anda dapat menerima banyak
uang bila menjualnya. Jadi uang itu akan saya persiapkan. Hendak dibawa ke mana
anak muda itu?" "Hm, saya sendiri masih belum mengetahui. Mungkin ke salah satu pulau terpencil
yang penduduknya masih biadab. Orang kulit putih laku dengan harga mahal di
situ, guna dipersembahkan sebagai kurban kepada dewa-dewa mereka yang ganas."
"Cerdik benar Anda, capitano!"
Nakhoda itu tertawa mengejek. "Saya kira, Anda masih dapat mengatasi saya dalam
kecerdikan. Bilamana saya harus mengambil anak muda itu?"
"Dapatkah Anda datang esok hari?"
"Ke Rodriganda" Dapat. Akan saya persiapkan sebuah kereta kuda. Di mana saya
harus berhenti?" "Saya akan pergi menyongsong Anda. Usahakan supaya Anda sudah di perbatasan
Rodriganda tepat pukul sepuluh!"
"Baik. Anda harus mempersiapkan segala-galanya. Pemuda ini tentu orang penting
sekali. Kalau tidak demikian, Anda tidak akan susah benar. Seteguk bisa akan
mempercepat hasil kita."
"Saya tidak suka menggunakan bisa. Cara demikian tidak dapat diandalkan."
"Tidak dapat diandalkan" Siapa yang mengatakan demikian" Dalam sebuah buku tua
telah saya temukan suatu resep ramuan bisa yang benar-benar hebat. Ingin Anda
melihatnya?" Kini nakhoda membuka pintu sebuah almari kecil yang melekat pada dinding kamar,
menggeser beberapa gulungan uang kertas yang tebal ke samping lalu mengeluarkan
sebuah buku tua. Bentuk aksara yang digunakan dalam buku itu menunjukkan, bahwa
buku itu sudah berabad-abad usianya. Sampul serta lembar yang bertuliskan nama
buku itu sudah terpisah. Diletakkannya buku itu ke atas meja lalu dibukanya.
"Buku yang tiada ternilai harganya!" katanya. "Telah saya beli dari seorang
mualim kapal yang telah lanjut usianya. Dari mana didapat oleh si tua buku itu,
wallahualam. Isinya beraneka ragam resep dan obat-obatan. Lihatlah ini....!"
Ditunjuknya tulisan berikut.
Inilah bisa yang sangat mujarab menyebabkan kematian dan penyakit gila.
Ambillah setetes getah dari Antiaris toxicaria, setengah tetes getah dari
Strycnos Tieute, seperempat tetes getah dari Alpinia galanga dan seperempat
tetes juga dari Zingiber cassamumar, yang disebut juga jahe berbisa. Getah-getah
itu harus dimasak hingga susut menjadi separuh isi semula lalu dimasukkan ke
dalam botol kecil. Lima tetes dari ramuan ini sudah cukup untuk membunuh orang
yang kuat tubuhnya; dua tetes dapat membuatnya gila, sehingga ia tidak
mengetahui lagi siapa ia sebenarnya.
Penyakit gila ini dapat disembuhkan lagi oleh obat berikutnya:
Tumbuklah secangkir penuh Capsium, sejenis cabai, lalu campurkanlah dengan air
liur orang yang habis disiksa dengan menggelitiknya lama-lama sehingga air itu
berbusa. Diamkanlah larutan itu selama satu minggu. Bubuhilah kemudian dengan
cuka murni sesendok. Obat itu kemudian dituangkan ke dalam botol. Dua tetes dari
obat mujarab ini akan menghalau penyakit gila dalam waktu tiga hari.
Catatan: Obat ini hanya dapat diramu di benua Asia dan telah teruji
kemanjurannya oleh berbagai penduduk liar di situ.
"Bagus! Anda mempunyai bisa yang Anda maksudkan itu" Bolehkah saya memperoleh
beberapa tetes?" "Untuk siapa" Untuk anak muda yang harus saya culik itu?"
"Bukan." "Jadi untuk urusan lain lagi. Baik, tetapi ketahuilah bahwa obat ini sangat
mahal harganya. Setetes obat harganya lima duro."
"Masya Allah! Tetapi sungguhkah dapat diandalkan?"
"Saya jamin!" "Berikan saya sepuluh tetes."
"Boleh. Itu harganya lima puluh duro!"
"Baiklah! Masukkan semua pengeluaran itu ke dalam buku!"
Kini nakhoda mengeluarkan obat sebotol dari dalam almari, lalu menuangkan
sepuluh tetes dari isinya ke dalam sebuah botol kecil yang kosong.
"Terimalah senor! Ini sudah cukup untuk membunuh dua orang atau membuat lima
orang gila. Saya harap, Anda merasa puas."
Percakapan ini berlangsung pada hari kedua setelah kepergian notaris dari
Rodriganda. Pada hari ketiga, hari berlangsungnya pesta, ia kembali lagi. Ketika
ia mengendarai kudanya melalui desa, ia terheran-heran melihat semua orang
berpakaian pesta. Baru di puri didengarnya dari kawan-kawan sekutunya, segala
sesuatu yang telah terjadi.
Setelah senja tiba, ketika dokter bersama Roseta sedang berdua di kamar
pangeran, timbullah sekali keinginan dalam hati don Manuel untuk bertemu dengan
puteranya. Tak ada pilihan lain bagi Sternau kecuali memuaskan keinginan itu.
"Akan saya usahakan memanggilnya," katanya sambil masuk ke dalam ruang depan.
Kemudian ia memerintahkan kepada seorang abdi, "Suruh pangeran Alfonso dan
letnan Lautreville datang kemari. Usahakan supaya kedua orang itu masuk ke dalam
kamar pangeran serentak!"
Mariano tidak dapat menduga rencana dokter itu. Hari itu ia tidak berpakaian
seragam. Ia hanya berpakaian preman saja. Di ruang depan ia berjumpa dengan
Alfonso, yang sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya. Pangeran telah
menanggalkan pembalutnya dan menanti kedatangan puteranya dengan tiada sabar.
Ketika kedua orang itu masuk, mula-mula perhatiannya tertarik kepada Alfonso,
tetapi segera berkisar ke arah letnan. Ia bangkit lalu menghampirinya. Dengan
tangan terbuka ia berseru,
"Puteraku, alangkah bahagia aku dapat melihatmu. Kemarilah dan bergembiralah!"
Kejadian ini membuat hati sang letnan berdebar-debar, tetapi ia harus menguasai
diri. Alangkah besar keinginannya memeluk pangeran ketika itu. Ia tidak dapat
menjawab, tetapi itu pun tidak perlu lagi, karena Alfonso cepat-cepat
mendahuluinya. "Ayah khilaf, sayalah putera Anda!"
Pangeran yang kini sudah dapat melihat, mengarahkan pandangannya yang tajam
kepada si pembicara lalu menjawab,
"Janganlah mempermainkan aku. Engkau bukan puteraku!"
"Saya sungguh putera ayah. Masakan ayah tidak dapat mengenal suara saya?"
Don Manuel terdiam memandangnya.
"Suara ini, ya, saya ingat!" serunya. "Memang aku mengenalnya, tetapi pertama
kali aku mendengarnya aku sudah yakin, itu bukan suara puteraku. Tetapi siapakah
yang seorang lagi?" "Ia letnan de Lautreville," jawab Sternau.
"Jadi dialah letnan itu. Bagaimana pendapat Anda, benarkah itu?"
Hati Mariano berdebar-debar, tetapi ia menjawab, "Benar, itulah kenyataannya,
Yang Mulia!" Maka terdengarlah pangeran mengucapkan sesuatu, entah suatu keluhan atau sedu.
Ia tidak menyentuh kedua pemuda itu, melainkan memutar badannya perlahan-lahan
lalu menjatuhkan diri ke atas kursinya dan berkata,
"Roseta, beritahukan kepada tuan-tuan ini, bahwa mereka boleh meninggalkan kamar
ini. Kuminta hanya senor Sternau tinggal di sini!"
Alfonso pergi ke kamar Clarissa dan menjumpai notaris. Kedua orang itu telah
menanti kedatangannya kembali dengan tiada sabar.
"Kabar baik atau buruk?" tanya Cortejo.
"Ia tidak mau mengakuiku!" jawabnya. "Malah ia hendak memeluk letnan."
"Wah, ia pun hadir?"
"Ia masuk pada waktu yang sama, ketika saya masuk juga."
"Setan! Itu kelihatan seperti sudah direncanakan lebih dahulu! Apa yang
dikatakan pangeran?"
"Letnan itu diakui sebagai puteranya."
"Dan setelah kekhilafan itu kau perbaiki?"
"Maka ia memerintahkan kami berdua pergi. Kini Sternau masih ada di kamar
pangeran" "Mungkin orang itu sudah menduga sesuatu atau sudah mengetahui segalanya"
Untunglah bahwa hari ini keadaan akan berubah. Bila ditunda sampai besok
barangkali sudah terlambat!"
"Hari ini" Apa yang akan terjadi hari ini, sayang?" tanya Clarissa.
"Itu akan kau lihat kemudian. Makin sedikit orang mengetahui tentang hal itu
makin baik. Pergilah tidur dan janganlah membiarkan pikiranmu menjadi kusut!"
Cortejo pergi ke kamarnya; akan tetapi segera ia meninggalkannya lagi. Tampak
menuju taman. Mula-mula ia berjalan perlahan-lahan seolah-olah tanpa tujuan.
Namun ketika ia sampai di taman dipercepat langkahnya. Sebelum pukul sepuluh ia
sudah tiba di daerah perbatasan Landola tiba tepat pada waktunya. Ia datang naik
kereta ditarik oleh dua ekor kuda dan membawa serta enam orang kelasi yang
bertubuh tegap dan kuat. Kereta itu disembunyikan di bawah pohon, dijaga oleh
salah seorang pengikutnya. Pengikut-pengikut yang lain pergi ke arah Rodriganda.
"Bagaimana harus dikerjakan?" tanya nakhoda.
"Mudah," jawab notaris. "Di desa orang-orang sedang merayakan pesta dengan
berdansa-dansa. Hampir semua abdi ada di situ. Pemuda itu ada juga di situ. Saya
telah menyaksikannya. Salah sebuah tangga di belakang puri tidak digunakan
orang. Saya akan mengantar kalian naik tangga itu, melalui ruang tamu ke kamar
pemuda itu. Kamarnya tidak terkunci. Kalian bersembunyi di dalam kamar itu. Bila
ia datang, langsung kalian pegang dia!"
"Mudah mengatakan itu. Tetapi bagaimana kami dapat meninggalkan puri lagi?"
"Dengan cara seperti tadi juga. Kalian menunggu sampai saya datang, karena saya
akan menjemput kalian lagi, setelah keadaan menjadi aman."
Mereka berbuat seperti apa yang dikatakan notaris. Tanpa diketahui orang mereka
tiba di bagian belakang puri. Mereka naik tangga setelah membuka sepatu mereka.
Melalui ruang tamu yang terang tetapi tidak dihadiri orang itu mereka sampai di
kamar letnan dan bersembunyi di dalamnya.
Sternau dan Roseta sedang di kamar pangeran. Amy mula-mula diminta datang juga,
tetapi karena don Manuel sedang dalam keadaan muram, tidak lama kemudian wanita
itu meninggalkan kamar itu lagi. Untuk menghilangkan rasa jemu ia mengusulkan
kepada letnan, supaya mereka berjalan-jalan ke desa. Mereka mengunjungi venta,
suatu rumah penginapan, di sana orang berdansa-dansa dengan diiringi bunyi
suling dan gitar. Kemudian mereka kembali lagi ke puri. Sebelum sampai di puri
wanita Inggris itu berhenti berjalan dan bertanya perlahan-lahan,
"Apakah hidup Monsieur sedang diberati oleh suatu rahasia?"
"Benarlah," jawab pemuda itu setelah berdiam diri sejenak.
"Tidak bolehkah Anda menceriterakan kepada saya?"
"Sekarang belum boleh."
"Anda tidak mempercayai saya?"
"Bukan begitu," jawab pemuda itu. "Tetapi ada hal-hal yang diri kita sendiri
kadang-kadang tidak berani mengakui kebenarannya."
"Tetapi bolehkah saya mengetahui kemudian?"
"Pasti Anda akan mendengarnya, bila...." Ia berhenti di tengah kalimatnya.
"Bila saya - masih boleh bertemu kembali dengan Anda."
Gadis itu menjabat tangan pemuda itu, menatap wajahnya lalu menjawab,
"Baik! Saya akan menanti Anda!"
"Berapa lama" Berapa lama Anda dapat menanti" Katakanlah my lady!"
Gadis itu menyandarkan kepalanya pada dada pemuda itu dan berbisik:
"Selama hidupku!"
Mariano tidak menjawab, tetapi ia tetap memeluk gadis itu, hingga akhirnya gadis
itu sendiri minta mereka meneruskan saja perjalanan mereka. Amy diantar sampai
pintu kamarnya lalu Mariano langsung ke kamarnya sendiri. Sedang dimabuk bahagia
ia ingin menyepi di dalam kamar untuk membiarkan pikirannya mengembara dengan
leluasa ke mana-mana. Sedang tenggelam dalam khayalan mimpi yang indah ia masuk
kamar depan tempat kediamannya tanpa menaruh curiga sedikit pun lalu
dinyalakannya lampu. Setelah pintu kamar dikunci pergilah ia ke kamar tidur
untuk menanggalkan baju. Namun baru saja ia melangkahkan kaki ke dalam kamar
yang gelap itu, maka sebuah tinju melayang mengenai pelipisnya diikuti oleh
sebuah tinju lagi, sehingga ia rebah ke atas lantai tiada sadarkan diri.
"Bawa kemari lampunya!" perintah nakhoda. "Kita ingin melihat orang itu."
Lampu dibawa ke situ dan cahayanya diarahkan kepada Mariano.
"Pemuda yang gagah!" kata Henrico Landola. "Hm, wajahnya mirip dengan orang yang
saya kenal. Perlu juga diselidiki hal itu. Bungkuslah tubuhnya dengan kain layar
dan ikatlah bungkusan itu dengan tali erat-erat, sehingga kita tidak akan
mendapat kesulitan daripadanya!"
Lampu dipadamkan. Tidak lama kemudian terdengar pintu diketuk orang. Setelah
pintu dibuka notaris masuk ke dalam.
"Berhasilkah Anda menangkapnya?" tanya notaris. "Anda mendapat perlawanan
daripadanya?" "Sekali-kali tidak. Seorang pelaut mempunyai cara yang khas untuk menangani hal
seperti itu." "Apakah ia belum sadar?"
"Itu akan kita lihat nanti. Mari kita keluar. Di situ lebih aman daripada di


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam." "Mari!" Cortejo mengantar para pelaut itu melalui jalan yang ditempuhnya ketika mereka
masuk. Tidak lama kemudian mereka mencapai kereta mereka. Tubuh letnan itu telah
diangkut oleh dua orang dan diletakkan di atas tanah dekat kereta. Notaris
menyalakan sebuah lentera. Ia masih ingin melihat lawannya sekali lagi untuk
mengucapkan kata-kata yang pedas dan menyakitkan hati. Cahaya lentera jatuh ke
atas wajah tawanan itu. Mariano membuka matanya.
"Kau sudah sadar kembali," kata notaris sambil tertawa mengejek. "Sayang sekali
rencanamu di Rodriganda tidak dapat kau laksanakan. Kini engkau tidak dapat
merugikan orang lain lagi. Selamat tinggal, jangan lupa kepadaku!"
Dengan mengucapkan perkataan ini ditinjunya lawannya yang tiada berdaya itu
tepat di mukanya. Kemudian diberinya aba-aba untuk memasukkan tawanan itu ke
dalam kereta. Sementara itu nakhoda bertanya kepadanya,
"Bagaimana sekarang, senor! Ia harus mati atau...."
"Ya, sebaiknya mati saja!"
"Tetapi dengan demikian saya akan menderita kerugian besar sekali!"
"Baik! Akan saya tambah dua ratus duro lagi pada upah Anda!"
"Setuju sekali! Orang-orangku akan melakukan tugas dengan suka hati. Selamat
malam, senor! Dapatkah kita bertemu lagi sebelum saya berangkat?"
"Baik. Kita masih akan bertemu sekali lagi. Selamat jalan!"
Kereta berangkat dan notaris pulang ke Rodriganda. Ia yakin kini bahwa
rencananya tidak akan mengalami kegagalan lagi. Mungkin hatinya tidak seriang
itu, bila Andaikata ia dapat membaca isi hati nakhoda pembajak itu. Nakhoda itu
diam-diam bergembira, melihat mangsa yang empuk di hadapannya. "Berjaga-jagalah
Cortejo dan Mariano, kalian berdua akan kuperas habis-habisan!"
Keesokan hari Amy Dryden bangun pagi-pagi sekali. Timbul keinginan dalam hati
untuk pergi ke luar, menghirup udara segar. Di luar kamar dijumpainya Elvira
sedang menyandang keranjang bunga di tangannya. Elvira memberi hormat kepadanya
yang disambut dengan ucapan terima kasih.
"Sepagi ini sudah demikian sibuk, senor Elvira," katanya.
"Benar, lady Amy yang mulia," jawab isteri penjaga puri, yang tampak sudah
terbiasa mencampur aduk panggilan gelar Spanyol dengan gelar Inggris yang tentu
merupakan hasil dari pelajaran yang diberikan oleh suaminya. "Saya diberi tugas
untuk memperbaiki kesalahan besar yang telah kami perbuat kemarin. Bayangkanlah
dona Dryden, kemarin kami telah menghambur-hamburkan bunga beraneka ragam dan
warna dalam pesta, namun orang yang sesungguhnya harus menjadi pusat perayaan,
yang menyebabkan diadakannya pesta itu, terlupakan sama sekali. Ia tidak
menerima sekuntum bunga pun dalam kamarnya. Adilkah itu" Alimpo-ku pun
mengatakan bahwa hal itu sangat tidak adil."
"Orang yang Anda maksud itu senor Sternaukah?"
"Memang senor Sternaulah orangnya. Ingatlah dona lady, bahwa jasanya bukan hanya
membuat pangeran dapat melihat lagi, tetapi ia pun dapat mengobati penyakitnya
yang sangat berbahaya itu. Karena itu saya diminta dona Roseta, menyediakan
karangan bunga mawar baginya."
"Apakah ia tetap menjaga don Manuel?"
"Ya. Tampaknya ia mencurigai orang-orang tertentu, bahwa mereka ingin supaya
pangeran tidak sembuh. Senor Sternau seorang yang berkesanggupan besar. Itu pun
dikatakan oleh Alimpo-ku. Hari ini pun ia menjaga pangeran. Kini ia sedang
berjalan-jalan di taman."
"Kalau begitu mungkin kita dapat bertemu dengannya. Saya bantu Anda memetik
bunga." "Anda baik sekali my lady Amy dona yang tercinta! Kehormatan ini saya terima
dengan senang hati."
Dugaan Amy tepat sekali. Ketika mereka sedang memetik bunga, dokter datang. Ia
memberi salam lalu gadis Inggris itu menghampirinya.
"Bolehkah saya ikut, tuan, atau kehadiran saya akan mengganggu?"
"Sekali-kali tidak, my lady. Kehadiran Anda menyenangkan hati saya," jawabnya,
"karena baru saja saya memikirkan tentang Anda."
"Tentang saya?" tanya gadis itu terheran-heran.
"Benarlah. Ketika saya mengingat diri Anda, maka teringat pulalah saya negeri
jauh yang akan menjadi tanah air Anda yang kedua."
"Maksud Anda negeri Meksiko" Anda sudah mengenalnya?"
"Ya, saya mengenalnya sangat baik. Saya pernah menempuh padang-padang prairi di
Amerika Utara, melalui Texas, New Mexico dan gurun Mapigau ke ibu kota negeri
itu. Di sana saya tinggal beberapa hari. Kemudian saya meneruskan perjalanan ke
Kalifornia." "Jadi Anda benar-benar pernah mengunjungi Meksiko" Itu akan membuat saya lebih
menyukai negeri itu!" seru gadis itu. "Saya harap Anda sudi berceritera banyak
tentang Meksiko. Terus terang, saya sebenarnya dicekam oleh rasa takut pada
negeri itu. Ingat sejarahnya yang penuh ditandai oleh darah dan perbuatan keji!"
"Memang sejarahnya ditulis dengan darah dan keadaannya sampai sekarang masih
belum aman benar. Tetapi bayangan Anda adalah terlalu berlebih-lebihan. Meksiko
adalah salah satu negeri yang tercantik di dunia. Kota itu dapat memberi
kenikmatan istimewa kepada kita. Kehidupan serta keramaian ibu kotanya dapat
memberi kepuasan kepada kita."
"Tetapi bagaimana dengan kehidupan di daerah, tuan" Kerap kali kita mendengar
berita-berita tentang perampokan dan pembunuhan!"
"My lady, perampok-perampok ini sesungguhnya orang-orang yang mengenal sopan-
santun. Suatu kali Anda diserang oleh segerombolan perampok, tetapi mereka akan
memperlakukan Anda dengan segala kehormatan dan bila secara kebetulan Anda
bertemu dengan kepala perampoknya di suatu pertemuan, maka ia akan menegur Anda
dengan hormat dan minta supaya Anda sudi melupakan peristiwa kecil yang pernah
Anda alami itu." "Alangkah romantisnya. Jadi mereka merampok hanya untuk memperoleh uang saja?"
"Biasanya memang begitu. Namun di daerah-daerah terpencil keadaannya mungkin
lebih berbahaya lagi. Barang siapa berani mengandalkan perlawanan kerap kali
harus membayar keberanian itu dengan nyawa. Maka di daerah-daerah seperti itu
orang bepergian dengan dikawal. Tetapi peristiwa-peristiwa semacam itu tergolong
kepada peristiwa kecil-kecil saja, bila dibandingkan dengan kehidupan berbahaya
di daerah savana. Di situ setiap orang bermusuhan dengan sesamanya. Setiap saat
kita berhadapan dengan maut. Orang-orang yang kurang pandai mengendarai kuda dan
tidak diperlengkapi dengan senjata-senjata ampuh, tubuhnya kurang tegap, orang
demikian sebaiknya jangan mencoba menempuh hidup di daerah savana. Lebih aman
bagi mereka tinggal di rumah dan membaca buku."
"Ya, saya pernah membaca buku demikian. Benarkah bahwa orang-orang yang
mengarungi hutan rimba itu mahir sekali dalam mencari jejak manusia ataupun
hewan yang dikehendakinya?"
"Benar. Lagipula untuk menjadi pencari jejak demikian tidak hanya diperlukan
latihan saja. Terutama sekali ia harus memiliki panca indera yang tajam. Sifat
demikian tidak dapat diperoleh dengan mempelajarinya. Itu sifat pembawaan. Ia
harus pandai memperoleh keterangan yang diperlukan dengan menyelidiki tiap butir
pasir, tiap batang rumput, tiap dahan dan ranting pohon-pohonan. Ia harus pandai
memperhitungkan seribu satu peristiwa yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia
biasa." "Anda pun sanggup berbuat demikian?"
"Ya, karena terpaksa," jawab Sternau.
"Jadi Anda salah seorang pencari jejak termasyhur, yang kehidupannya sangat
romantis itu?" Sternau membungkukkan tubuhnya dan berkata sambil berkelakar,
"Demikianlah adanya, my lady!"
"Saya ingin sekali menyaksikan kecerdikan salah seorang pemburu prairi seperti
yang Anda maksud itu!"
"Kalau di Meksiko, mudah sekali meluluskan keinginan Anda, tetapi di sini, my
lady - tapi mungkin juga di sini pun saya dapat memperlihatkan cara-cara mencari
jejak itu." Sementara bercakap-cakap, mereka meninggalkan Elvira dengan bunga-bunganya lalu
tiba di bagian taman yang letaknya di sebelah belakang puri. Mata orang biasa
tidak akan dapat menemukan sesuatu di situ, namun pandangan mata Sternau yang
terlatih dalam sekejap mata dapat memastikan bahwa beberapa orang pernah
berjalan di tempat itu. "Anda menemukan jejak?" tanya gadis Inggris itu sambil memperhatikan tanah di
bawah kakinya. "Saya tidak melihat apa-apa!"
"Saya tidak merasa heran Anda berkata demikian," jawab Sternau. "Hanya seorang
Indian atau seorang pemburu prairi ulung dapat memastikan letak butir-butir
pasir, bahwa jalan yang jarang dilalui orang ini semalam telah ditempuh oleh
beberapa orang." "Semalam" Aneh juga. Kedengaran seperti mengandung suatu rahasia!"
"Tidak usah kita menafsirkan demikian. Mungkin juga peristiwa biasa," kata
Sternau sambil tersenyum. Dan sambil menghentikan gadis itu dengan memegang
tangannya, ia melanjutkan, "Anda berhenti di sini, supaya tidak menghapus jejak-
jejak di hadapan Anda!" Kemudian ia membungkuk, menyelidiki tanah lalu berkata,
"Lihatlah, my lady. Tanah di sini terinjak bukan?"
Amy melihat pula ke arah tanah yang ditunjuk Sternau lalu berkata dengan rasa
heran. "Memang saya dapat melihat sebuah jejak. Berasal dari kaki seorang
manusiakah itu?" "Memang benar. Dari sebuah sepatu bot besar, bertumit pendek dan lebar, seperti
biasa dipakai para nelayan atau pelaut. Ini lagi jejak yang sama dan di situ
terdapat lagi. Di sebelah kanan tampak banyak jejak: jadi banyak yang telah
berjalan di sini. Tetapi jejak-jejak itu tidak tajam tampaknya. Jadi mereka
sudah agak lama meninggalkan tempat ini, kira-kira menjelang malam tiba."
"Tetapi tidak ada dalam puri orang yang memakai sepatu bot seperti itu," kata
gadis itu karena merasa heran.
"Jadi kita boleh menarik kesimpulan, bahwa mereka adalah orang-orang asing,"
jawab Sternau. "Malahan saya mulai merasa curiga."
"Benarkah?" tanya gadis itu ketakutan. "Ya, sebab orang-orang itu datang dari
arah puri. Mari kita lihat dari pintu mana!"
Kini diikuti jejak ke arah puri lalu mereka sampai di pintu belakang, yang telah
digunakan orang-orang itu.
"Wah!" seru Sternau. "lihatlah, orang-orang ini ketika masuk ke dalam puri
menempuh jalan lain dari ketika mereka keluar. Mereka masuk di sebelah kiri
menyusup ke dalam semak-semak, tetapi di sebelah kanan mereka langsung keluar
menuju ke taman. Jadi mereka benar-benar orang asing. Itulah sebabnya, saya
mulai merasa curiga. Cepat! Kita harus menyelidiki, ke mana mereka pergi."
Mereka mengikuti jejak. Amy Dryden merasa setiap menit keadaannya bertambah
tegang. Dilihatnya betapa cermat kawan seperjalanannya meneliti setiap hal yang
sekecilnya pun untuk kemudian menentukan arah yang harus dituju. Ketika mereka
tiba di suatu tempat, jalan yang ditempuh mereka melebar dan tanahnya masih
basah oleh embun. Amy heran ketika melihat kawannya lebih lama memperhatikan
jejak-jejak di atas tanah.
Kemudian Sternau berkata.
"My lady, saya lihat sesuatu yang ganjil. Di antara orang-orang asing itu ada
seorang penghuni puri. Lihatlah, jejak ini berasal dari sebuah sepatu bot mewah!
Akan saya buat gambarnya."
Dokter itu mengeluarkan selembar kertas koran dengan sebatang pensil, lalu
menggambar dengan sangat teliti keliling tapak itu di atas kertas.
"Ini satu hal," katanya, "tetapi masih ada satu yang lebih aneh lagi. Di sini
dua orang telah berjalan seiring. Perhatikan, bahwa tumit sepatu mereka lebih
dalam masuk ke dalam tanah daripada telapaknya!"
"Benar juga, tuan!"
"Jadi mereka berjalan dengan langkah yang lebih berat daripada kawan-kawan
mereka. Itu berarti bahwa mereka telah membawa beban yang agak berat juga.
Marilah, kita melanjutkan perjalanan kita!"
Sternau mengikuti jejak itu beberapa lama tanpa berkata-kata. Akhirnya ia
berhenti dan berkata terheran-heran,
"Wah, di sini pernah berhenti sebuah kereta!"
"Masa!" kata Amy Dryden. "Apakah yang dikehendaki kereta itu di sini, di antara
semak-semak ini?" "Itu pun merupakan teka-teki bagi saya. Inilah batas taman. Anda dapat melihat
jejak-jejak roda kereta itu" Ada dua ekor kuda penariknya. Di sini telah
diturunkan beban berat itu, di atas tanah di sebelah kereta."
Sternau membungkuk untuk lebih teliti menyelidiki bekas-bekas yang tertinggal di
atas lumut. Lumut yang mula-mula rebah itu sudah bangkit kembali seperti sedia
kala. Tampak Sternau tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat memberi petunjuk
lebih jauh. Tiba-tiba pandangannya tertarik kepada sebuah tumbuh-tumbuhan semak
yang berduri. Pada duri-durinya tersangkut sesuatu yang menarik perhatiannya.
Dilepaskannya benda itu dari duri semak itu. Benda itu membuatnya terkejut
sekali. Dengan wajah pucat ia berkata,
"Tahukah Anda benda apakah yang diangkut mereka ke luar puri lalu dilemparkan ke
dalam kereta itu?" "Astagfirullah! Anda benar-benar membuat saya terkejut, sir!" jawab Amy
ketakutan. "Benda apakah yang Anda maksud itu?"
"Seorang manusia! Lihat saja rambut, yang telah saya lepas dari duri-duri itu.
Rambut ini tersangkut ketika benda itu diletakkan ke atas tanah. Rambut itu
berwarna hitam dan panjang-panjang, tepat seperti yang dimiliki monsieur de
Lautreville. Ternyata rambut itu bukan kepunyaan seorang wanita, melainkan
seorang laki-laki." Kini giliran gadis Inggris itu menjadi pucat wajahnya. "Monsieur de
Lautreville?" tanya Amy terkejut. "Suatu bencana telah terjadi, suatu kejahatan!
Kita harus menanyakan, siapa di antara penghuni puri yang tidak hadir."
"Hm! Jawab Sternau dengan berpikir. Memang perkara ini agak luar biasa juga.
Namun untuk segera menarik kesimpulan, bahwa suatu kejahatan telah dilakukan
orang, mungkin terlalu dicari-cari. Kita tidak hidup dalam rimba raya Amerika.
Kita hidup dalam masyarakat yang teratur, tunduk pada hukum. Mungkin pencarian
jejak seperti di salah satu savana di Amerika itulah, yang membuat angan-angan
kita jadi lupa daratan."
"Anda menamakan ini masyarakat yang tunduk pada hukum, bila orang pernah
berusaha membunuh Anda di taman ini, Roseta dan saya pernah diserang oleh
kawanan perampok itu?" bantah gadis itu dengan hati kesal.
"Benarlah pendapat Anda, my lady. Mari kita lekas kembali ke puri."
Mereka bergegas menuju ke puri. Sementara itu penghuni puri sudah mulai bangun
dari tidurnya. "Saya mohon kepada Anda, jangan mengatakan apa-apa kepada mereka, my lady!"
pinta Sternau. "Serahkan perkara ini seluruhnya kepada saya untuk sementara!
Terutama harus kita pikirkan keadaan pangeran. Beliau masih belum sembuh benar
dan tidak boleh mendengar berita yang mengejutkan. Pergilah ke ruang tamu dan
janganlah berbicara tentang soal ini hingga saya dapat bertemu lagi dengan
Anda!" Amy berjanji akan berlaku sesuai dengan yang dikehendaki Sternau lalu naik
tangga, sedang Sternau pergi ke kamar penjaga pintu. Ia mengetahui, bahwa orang
itu pada saat seperti ini biasa membersihkan sepatu-sepatu kepunyaan para
penghuni puri. Sesampai di situ dilihatnya orang itu bersama pembantu-
pembantunya sedang sibuk membersihkan sepatu. Tanpa memberi keterangan sedikit
pun dikeluarkannya sepotong kertas itu. Tak lama kemudian ditemukannya sepatu
bot yang sama ukurannya dengan gambar di atas kertas itu.
"Siapakah pemilik sepatu bot ini?" tanya Sternau kepada penjaga pintu, yang
tercengang menghadapi penyelidikan yang tiada termakan oleh akalnya itu.
Kemudian dokter pergi menemui penjaga puri untuk memperoleh keterangan-
keterangan lebih lanjut. Ia mendengar dari penjaga puri bahwa semua penghuni
puri sudah bangun kecuali sang letnan.
"Mari, senor Castellano, kita harus membangunkannya!" perintah Sternau.
"Membangunkannya?" tanya Alimpo terheran-heran. "Ia akan marah bila kita
mengganggu tidurnya."
"Tidak." Mereka menemukan kamar letnan tiada terkunci, dalam keadaan kosong. Tempat
tidurnya tidak sempat ditidurinya. Selanjutnya suasana di dalam kamar
menunjukkan, bahwa pernah terjadi sesuatu yang luar biasa, meskipun belum dapat
diartikan suatu perkelahian. Di atas lantai terletak sepotong tali tebal, tampak
seperti ujung tali yang biasa dipergunakan kelasi kapal untuk mengukur kecepatan
berlayar sebuah kapal. Pici yang dipakai letnan pada malam sebelumnya, terletak
di lorong. Dokter kini yakin bahwa telah terjadi sesuatu pada diri Lautreville. Ia bertanya
kepada beberapa orang di puri dan mendengar, bahwa belum seorang pun melihat
letnan hari itu. Ia memutuskan pergi ke kamar Cortejo. Sternau tidak minta
diantar lagi, melainkan langsung masuk ke dalam setelah mengetuk pintu. Ahli
hukum itu sedang mengisap rokok. Ia agak terkejut, melihat seorang tamu datang
sepagi itu. Setelah bersalam-salaman ia berkata,
"Apa maksud kedatangan Anda, senor Sternau?"
"Saya ingin menanyakan sesuatu."
"Katakanlah. Tetapi biar singkat saja! Saya tidak biasa diganggu orang pada


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu sepagi ini." Cortejo mengucapkan perkataan ini dengan nada keras dan dengan air muka yang
menunjukkan permusuhan. Namun Sternau tidak dapat ditakut-takuti oleh sikap
demikian. Ia berdiri tepat di hadapan notaris, menentang mukanya dan menjawab,
"Janganlah khawatir. Saya tidak akan berpanjang lebar, asal Anda juga dapat
memberi jawab yang pendek serta jujur pada pertanyaan saya ini: di manakah
letnan de Lautreville?"
Pertanyaan itu sekali-kali tidak diduga oleh notaris. Wajahnya menjadi pucat. Ia
memerlukan beberapa waktu untuk kembali menguasai dirinya. Namun kemudian ia
berkata dengan tegas, "Senor Sternau, saya kira, Anda salah alamat. Apa hubungan saya dengan
Lautreville?" "Sekurang-kurangnya ia sama dengan penghuni Rodriganda yang lain di mata Anda.
Letnan itu telah hilang. Tidak seorang pun melihatnya."
"Hilang" Cari sendiri, senor! Saya sekali-kali tidak merasa heran, bahwa ia
melarikan diri. Dari semula sudah saya duga, bahwa ia hanya seorang petualang
saja." "Masa. Bukankah di sini selain letnan terdapat petualang-petualang lain," jawab
Sternau tenang. "Siapakah orang-orang yang membantu Anda menyerang orang yang
hilang itu serta memasukkannya ke dalam kereta yang telah menunggu di tepi
taman?" Ahli hukum itu terkejut bukan kepalang. Tadi dikiranya bahwa segalanya telah
berjalan dengan lancar. Kini sudah nyata, orang lain telah menyaksikan kejadian
itu. Ia meraba sandaran kursi di sebelahnya untuk mendapat tempat berpegang.
Akan tetapi sesaat kemudian timbul dalam pikirannya, bahwa orang itu sekurang-
kurangnya akan berusaha mencegah perbuatan itu. Karena hal ini tidak terjadi,
maka kesimpulannya ialah, bahwa tidak seorang pun menyaksikannya. Jadi tuduhan
Sternau hanya berdasar dugaan semata-mata. Pendapat demikian membuat kepercayaan
notaris pada dirinya pulih kembali, lalu ia menjawab dengan berusaha menenangkan
diri. "Anda sudah gila layaknya, senor, berani menuduh tanpa alasan. Enyahlah dari
sini, atau akan saya ambil tindakan seperlunya!"
Sternau tersenyum mendengar ancaman itu lalu menjawab,
"Senor Cortejo, biar kita berterus terang saja! Sejak pertama kali saya bertemu
dengan Anda, saya menaruh cinta yang sangat besar kepada Anda. Karena itu saya
diam-diam mengamati Anda. Ternyata bahwa Anda patut menerima cinta itu. Saya
tidak bermaksud lebih lama lagi mengganggu Anda. Saya hanya ingin memperlihatkan
kepada Anda, bahwa segala akal dan tipu daya Anda sudah tidak dapat mengelabui
mata saya lagi. Saya khawatir, jangan-jangan rasa cinta saya itu makin menjadi-
jadi. Kalau akhirnya cinta itu memuncak sampai tidak tertahan lagi, saya sanggup
mendekap Anda erat-erat sampai tubuh Anda hancur. Adios, senor!"
Setelah memberi salam secara mengejek ia meninggalkan kamar itu.
Ahli hukum itu tinggal seorang diri. Pikirannya kusut masai. "Apa makna
perkataan orang itu?" tanyanya dalam hati. "Celaka dua belas! Ia sudah
mengetahui segala siasatku. Aku harus menyingkirkannya! Dari mana dapat
diketahuinya, bahwa orang-orang tidak dikenal telah hadir di sini dan bahwa aku
hadir di antara mereka" Orang itu harus kusingkirkan, apa pun yang akan terjadi!
Wahai untungku, kian gelap jadinya. Namun aku sanggup menghalau kegelapan itu.
Pangeran pun harus minum beberapa tetes dari bisa itu. Akan kubunuh saja dia"
Tetapi sebenarnya menjadi gila pun sudah memadai. Orang gila hampir sama dengan
orang mati. Orang gila harus di bawah perwalian seseorang. Dengan demikian
Alfonso dapat memiliki harta yang tak ternilai itu. Sama halnya seperti pangeran
sudah meninggal. Aku akan keluar sebagai pemenang, biar dikerumuni oleh puluhan
orang musuh!" Sedang Cortejo bercakap dengan dirinya sendiri, Sternau mengumpulkan segenap
penghuni puri kecuali pangeran Manuel dan memberitahu mereka, bahwa letnan de
Lautreville telah hilang. Berita itu menggemparkan seisi puri, terutama ketika
diceriterakan oleh Sternau bahwa ia menemukan jejak-jejak di taman, yang
menandakan bahwa telah terjadi penculikan dengan kekerasan. Untuk sementara
tidak diceriterakannya tentang sangkaannya pada notaris.
Yang paling banyak terkena ialah gadis Inggris itu. Gadis itu bersumpah akan
menggunakan segala daya upaya untuk membuka tabir misteri itu. Sternau minta
kepada para penghuni, supaya jangan memberitahu sedikit pun kepada pangeran
tentang kejadian itu. Orang-orang bermusyawarah mencari jalan untuk membebaskan
letnan. Namun harus juga diakui, bahwa ada kemungkinan letnan pergi karena
kemauan sendiri. Karena itu disepakati untuk menunggu selama sehari. Kemudian
mereka akan menanyakan ke kota Paris, di mana terdapat tangsi letnan, sesuai
pengakuannya. Sternau tidak setuju dengan keputusan itu, tetapi diam-diam ia
akan berusaha memperoleh keterangan dalam kegelapan itu. Sesuai dengan niat itu
ia minta cuti dari pangeran dengan alasan, bahwa untuk penyelesaian suatu
perkara yang penting ia harus pergi ke Barcelona, lalu ia menyuruh menyiapkan
kudanya. Setelah memberitahu kepada Adelardo, bahwa peristiwa menghilangnya
letnan itu baginya pun merupakan suatu teka-teki, maka ia menaiki kuda dan
meninggalkan puri. Notaris beserta Alfonso dan Clarissa pun telah menghadiri permusyawaratan di
puri itu. Ia mengerti mengapa Sternau mencurigainya dan makin tetap
pendiriannya, hendak menyingkirkan lawannya itu. Ketika didengar, bahwa Sternau
menyuruh menyiapkan seekor kuda diketahuinya, bahwa perjalanan Sternau
bersangkut-paut dengan hilangnya letnan.
Mungkin maksud dokter itu untuk mengikuti jejak yang telah ditemukannya. Itulah
sebabnya notaris lekas-lekas meninggalkan puri mendahuluinya. Melalui jalan
memutar ia pergi ke tempat pemberhentian kereta pada malam itu. Sternau sudah
menduga bahwa ia akan dimata-matai, maka ia pura-pura hendak menuju desa. Tetapi
kemudian membelok menuju tempat jejak-jejak orang yang tidak dikenal itu. Ia
tidak usah turun dari kuda untuk melihat jejak kereta. Dengan tiada susah
diikutinya jejak itu tanpa diketahuinya, bahwa ada orang yang memata-matainya.
Cortejo membiarkan Sternau pergi lalu kembali lagi ke puri.
"Benar juga seperti yang sudah kuduga," pikir Cortejo dengan geram. "Ia sedang
mengikuti jejak kereta, tetapi tidak lama lagi ia akan tiba di suatu tempat yang
penuh dengan jejak-jejak lain. Pasti ia akan bingung. Namun aku harus siap siaga
menghadapi segala kemungkinan."
Ketika Cortejo tiba di puri, ia bertemu dengan seorang abdi yang mengantar
minuman pagi ke kamar pangeran Manuel. Didapatinya juga, bahwa puteri Roseta
sedang pergi ke penjaga puri.
"Kini tiba saatnya," pikirnya. "Kini pangeran seorang diri saja. Lakukan
sekarang!" Cortejo bergegas ke kamarnya untuk mengambil botol yang didapatnya
dari nakhoda Landola itu. Kemudian ia membawa juga seberkas surat, lalu menuju
ke kamar tuannya. Pangeran sedang duduk seorang diri menghadapi santapan pagi.
Karena hanya dihidangkan makanan untuk seorang saja, dapat dipastikan bahwa
putrinya tidak akan kembali dalam waktu singkat. Sungguhpun pangeran masih
memakai tudung pelindung pada matanya, namun wajahnya sudah cerah. Ia merasa
puas dengan keadaannya. "Selamat pagi, Cortejo, Anda datang tepat pada waktunya," kata sambutannya pada
notaris, ketika ia masuk ke dalam. "Maksud saya minta Anda datang setelah makan
pagi." "Saya setiap saat siap sedia mengabdi kepada kepentingan Anda," kata ahli hukum
itu dengan rendah hari. "Saya mengetahui, Cortejo, bertahun-tahun Anda telah mengabdi kepada saya. Anda
selalu setia, bekerja dengan keras dan jujur. Maka saya berharap, semoga tidak
lama lagi akan terbuka kesempatan bagi saya untuk menyatakan rasa terima kasih
kepada Anda. Mungkin suatu waktu saya dalam suasana marah berlaku tidak adil
pada Anda, namun harap Anda maafkan, karena ketika itu saya terpengaruh oleh
penyakit saya. Sebenarnya hati saya berkenan pada Anda. Terutama setelah
Suling Emas 13 Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Permainan Maut 3
^