Pencarian

Puri Rodriganda 7

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 7


penglihatan saya pulih kembali, saya ingin menyebarkan kebahagiaan kepada orang-
orang yang berhubungan dengan hidup saya. Masih adakah permohonan Anda yang
perlu diutarakan?" "Don Manuel, saya belum pernah mengutarakan suatu permohonan untuk memenuhi
keinginan saya sendiri," kata notaris dengan tinggi hati dan tegas. "Permohonan
saya ini semata-mata berdasarkan pekerjaan saya. Perkenankanlah saya, membaca
surat perjanjian yang baru dibuat, untuk penyewa tanah bernama Antonio Firenza?"
"Membacakan" Hm, saya ingin mencoba membaca sendiri. Dokter Sternau tidak hadir
di sini. Ia telah pergi ke Barcelona, maka ia tidak akan mengetahui, bila saya
sekali-sekali menyimpang dari perintahnya. Berikan saya surat perjanjian itu!"
Cortejo memberi berkas surat itu kepadanya. Mengapa tangannya gemetar melakukan
pekerjaan itu" Jadi dokter itu telah berangkat ke Barcelona. Pemberitahuan itu
telah terlompat dari mulut pangeran, suatu pemberitahuan yang sangat penting
artinya bagi Cortejo. Mengapa dokter itu pergi" Mungkinkah ia sudah mengetahui,
bahwa orang yang diculik itu akan dibawa ke kota itu" Dalam pada itu pangeran
memegang surat, lalu membawanya ke meja tulis dan duduk di belakang meja itu. Ia
memberi isyarat kepada notaris supaya duduk, lalu mulai membaca surat perjanjian
itu. Berhubung dengan keadaan mata pangeran masih lemah, maka jendela dibiarkan
tertutup dengan kain horden. Kegembiraan hati pangeran karena ia sudah dapat
menggunakan mata lagi setelah mengalami hidup sebagai orang buta demikian lama
itu menyebabkan ia membaca keras-keras.
Cortejo telah memilih kursi dekat meja makan, sehingga ia dapat mencapai cangkir
pangeran dengan tangannya. Sedang terdengar suara pangeran membaca dengan keras,
Cortejo mengeluarkan botol kecil dan membuka tutupnya. Pangeran duduk
membelakanginya. Cortejo agak bangkit dari kursi dan mengulurkan tangan yang
memegang botol itu. Dengan hati-hati diteteskannya dua tetes isinya ke dalam
cangkir. Pada saat itu don Manuel sedang membaca sebuah kalimat yang panjang dan
ia memutar badannya, seolah-olah untuk memastikan, pendengarnya masih
mencurahkan perhatian kepadanya atau tidak. Pangeran melihat tangan ahli hukum
itu terulur ke atas cangkir.
"Sedang mengapa Anda?" tanya don Manuel terheran-heran.
"Maafkan saya, Yang Mulia, saya hanya menghalau seekor lalat!" jawab si
penyampur bisa dengan cekatan. Ia menyembunyikan botol kecil itu dalam lekuk
tangannya sedemikian, sehingga tiada tampak oleh penglihatan pangeran yang masih
lemah itu. Maka pangeran merasa puas dan memutar kembali badannya lalu berkata,
setelah ia selesai membaca surat itu,
"Surat perjanjian ini berkenan di hati saya. Segera akan saya tandatangani.
Sampaikan selekasnya surat ini kepada penyewa tanah, supaya ditandatangani juga
olehnya!" Kemudian dipegangnya cangkir di atas meja itu. Cortejo bangkit dan mengikuti
gerak-gerik pangeran dengan hati berdebar-debar. Sinar matanya tidak sedikit pun
memperlihatkan belas kasihan ataupun rasa sesal, melainkan hanya rasa loba dan
tamak seperti halnya dimiliki oleh seekor binatang buas. Kini didekatkan oleh
pangeran cangkir itu pada mulutnya lalu diminum isinya sampai habis. Setelah itu
diletakkannya cangkir itu kembali ke tempatnya. Cortejo terdengar menarik nafas
panjang. Hatinya lega, karena saat tegang baginya sudah berlalu. Dengan rendah
hati ia bertanya kepada pangeran, apakah ia masih memerlukan tenaganya. Jawab
pangeran, "Memang masih ada sesuatu yang saya minta Anda mengerjakannya, senor Cortejo.
Saya ingin mengikat dokter Sternau lebih lama lagi pada rumah tangga saya. Maka
tolonglah buatkan untuknya sepucuk surat pengangkatan sama dengan yang dibuat
untuk dokter Cielli, mendapat makan dan penginapan cuma-cuma, tetapi tolong
tuliskan juga, bahwa ia akan menerima honorarium tiga ribu duro setahun! Surat
itu akan saya berikan kepada dokter Sternau."
"Baik! Hari ini juga akan saya siapkan surat itu, Yang Mulia."
"Maka pekerjaan kita hari ini sudah selesai. Selamat siang!"
Notaris pergi setelah memberi hormat. Sesampai di kamarnya, dilemparkannya surat
perjanjian yang dibawanya itu sambil tertawa mengejek,
"Masya Allah! Tiga ribu duro! Dokter itu akan dapat hidup seperti seorang
pangeran. Namun ia tidak akan memperoleh dengan semudah itu. Surat pengangkatan
itu tidak akan kutulis di atas kertas. Kini aku akan berangkat ke Barcelona
mengikuti dokter itu. Bisa yang diminum pangeran akan menampakkan pengaruhnya
semasa aku dalam perjalanan. Maka aku tak dapat dicurigai orang."
Tiada lama lagi ia pergi, menempuh jalan yang dilalui Sternau.
Setengah jam kemudian Alimpo meninggalkan kamarnya, pergi ke kamar pangeran
untuk menerima tugas. Seperti biasa ia masuk ke dalam kamar tanpa melapor
terlebih dahulu. Namun ia mundur terperanjat: pangeran sedang berjongkok di
sudut kamar yang paling jauh dan meraung-raung seperti seekor binatang.
"Jangan, jangan apakan aku!" raungnya. "Aku ini sebenarnya siapa?"
Penjaga puri itu bukanlah seorang pemberani, namun ia memberanikan diri demi
cinta pada tuannya. "Yang Mulia! Don Manuel!" serunya. "Saya ingin menanyakan...."
"Ah, jangan tanyakan apa-apa!" pinta pangeran, memotong perkataannya. "Bukankah
aku tidak mengingat apa-apa lagi!"
"Astagfirullah! Seru Alimpo. Apa yang telah terjadi! Don Manuel yang saya
kasihi, bangkitlah! Izinkan saya menolong mengangkat Anda!"
Sambil berkata menghampiri pangeran. Namun pangeran beringsut-ingsut menjauhinya
serta berteriak dengan menolakkan tangannya.
"Tinggalkan aku. Aku tidak ingat lagi - sungguh tidak ingat!"
"Masa, Yang Mulia tidak mengenal saya lagi! Saya ini Alimpo, abdi Anda yang
paling setia!" "Alimpo" A-lim-po?" tanya pangeran sambil berpikir, kemudian ia bangkit
perlahan-lahan, melangkahkan kaki ke depan dan berkata, "Alimpo, ya betul!
Sekarang aku ingat. Aku adalah Alimpo yang setia itu. Namaku Alimpo!"
Matanya yang kusam mulai bercahaya. Ia berjalan perlahan-lahan hilir mudik di
dalam kamar, tanpa menaruh perhatian pada penjaga puri. Kadang-kadang ia
gembira, kadang-kadang sedih. Ia berkata,
"Betul juga! Aku ini Alimpo yang setia. Sekarang aku ingat. Namaku Alimpo!"
Kini tiada tertahan lagi oleh penjaga puri itu. Seolah-olah dikejar hantu ia
lari sekencang-kencangnya ke Elvira isterinya, yang ditemukan sedang menyetrika
pakaian. "Elvira!" serunya terengah-engah.
"Ada apa?" tanya wanita itu sambil melihat ke arah suaminya. Tiba-tiba seterika
yang ada di tangannya terjatuh dengan gemerincing ke atas lantai, setelah
dilihat wanita itu keadaan suaminya yang demikian kusut.
"Astagfirullah!" keluhnya. "Apa yang telah terjadi! Kau tampak seperti orang
putus asa, Alimpo!" "Memang. Aku benar-benar putus asa!" erangnya.
"Soal pangeran membuat aku demikian. Beliau - ah! Beliau sudah berubah akal!"
Elvira mundur selangkah lalu membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu. Tetapi
sepatah kata pun tiada terucapkan olehnya, sedangkan mulutnya ternganga saja.
"Benar-benar gila, aduh!" tambah penjaga puri.
Baru sekarang, setelah mendengar pernyataan yang mengerikan diulang lagi, Elvira
mendapatkan kembali kesanggupannya berkata-kata. Namun ia tidak mengeluh.
Sebaliknya ia menjadi marah,
"Aduh, Alimpo-ku sayang, kau sendiri barangkali sudah menjadi gila!"
"Aku?" tanya Alimpo sambil menjadi panas hatinya.
"Elvira sayang, dengarlah ini! Aku sekali-kali tidak suka mendengar sindiran-
sindiran seperti itu! Aku bersungguh-sungguh. Pangeran benar-benar sudah berubah
akal!" "Begitu pendapatmu" Siapa yang membohongimu?"
"Aku tidak mendengar dari siapa pun. Aku melihat dengan mata kepala sendiri."
"Tak mungkin! Dalam mimpimu barangkali!"
Kesabaran Alimpo sudah sampai pada batasnya. Dipegangnya tangan isterinya dan
ditarik ke luar kamar, seraya berkata,
"Ikutilah aku, Elvira, dan saksikanlah sendiri!"
"Baik!" Jawab Elvira. "Tetapi seterika itu harus kuangkat lebih dahulu!"
Diangkatnya besi panas yang sudah sempat membakar sebagian lantai itu dan
disimpannya kembali ke tempat semula. Kemudian ia mengikuti suaminya ke kamar
pangeran. Di situ dijumpainya pangeran masih tetap berjalan hilir mudik
senantiasa mengucapkan kata-kata,
"Jangan apa-apakan aku, karena aku sudah ingat sekarang. Aku ini Alimpo yang
setia itu!" Pangeran dalam keadaan yang sangat menyedihkan, kelakuannya seperti orang yang
kurang waras. Baru saja Elvira melihat pangeran, wanita itu berseru,
"Astagfirullah, benar juga perkataanmu itu. Beliau sudah berubah akal!"
Kemudian terduduklah ia ke atas kursi, tanpa kuasa menggerakkan tubuh. Pangeran
telah mendengar suaranya lalu berpaling kepadanya dan menatap dengan pandangan
seperti orang yang kurang waras.
"Berubah akal?" tanyanya. "Siapa" Aku ini Alimpo - abdi yang setia itu!"
Kemudian ia melanjutkan berjalan hilir mudik.
"Cepat, cepat Alimpo!" seru Elvira. "Panggillah Condesa!"
Alimpo menurut dan menemukan Roseta setelah mencari beberapa lama di dalam kamar
gadis Inggris itu. Gadis itu pun dapat melihat dengan sepintas lalu, bahwa
mereka telah mengalami sesuatu yang dahsyat, lalu ia bertanya,
"Mengapa begitu tergesa-gesa, Alimpo" Apa yang telah terjadi?"
"Aduh, Condesa, janganlah terkejut!" pintanya dengan gemetar seluruh tubuhnya.
"Kedengaran seperti kabar yang sangat buruk. Cepat, katakan, Alimpo! Apa yang
telah terjadi?" "Suatu bencana, bencana yang mengerikan!"
Roseta terlompat dari kursi dan memegang bahu penjaga puri.
"Seseorang - telah - berubah akal!" kata Alimpo terbata-bata.
"Berubah akal" Ya ampun, siapakah orang itu?"
"Condesa yang kami sayangi, maafkanlah saya menyampaikan berita duka ini kepada
Anda, karena berita ini akan sangat mengguncangkan hati Anda. Orang yang saya
maksud ialah don Manuel."
"Ayahku?" tanya Roseta, terperanjat.
"Benarlah." Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Alimpo yang berbudi tak boleh tidak tentu
terdapat salah pengertian dalam hal ini."
"Tidak, tidak," kata Alimpo sungguh-sungguh. "Don Manuel benar-benar sudah
berubah akal. Elviraku menyaksikannya juga. Kini ia sedang di kamar pangeran."
"Dari mana Anda dapat mengetahui, bahwa ayah berubah akal?" tanya Roseta, masih
tetap tersenyum. "Beliau sedang duduk di sudut kamar yang paling jauh seperti seekor anjing
ketakutan, ketika saya datang. Mata beliau memandang dengan beringas. Beliau
meratap-ratap, minta supaya jangan diapa-apakan. Beliau sudah hilang ingatan.
Mula-mula beliau tidak mengetahui, siapa beliau sebenarnya. Kemudian beliau
menganggap diri saya, penjaga puri Alimpo."
Roseta melihat kepada Alimpo dengan pandangan kurang percaya. Tiba-tiba
dipegangnya tangan penjaga puri itu dan ditariknya. Alimpo menurut saja.
Sesampai di kamar orang yang tertimpa malapetaka itu, Elvira masih tetap duduk
di kursi sambil meremas-remas tangannya. Pangeran pun masih berjalan hilir mudik
sambil mengucapkan perkataan-perkataan yang aneh itu. Hingga kini Roseta masih
kurang percaya, makin beratlah baginya menyaksikan keadaan sesungguhnya.
Pandangan matanya tiba-tiba menjadi gelap. Ia meraba ke kanan dan ke kiri untuk
mendapat tempat berpegang. Kemudian ia terjatuh ke dalam pelukan Amy Dryden.
Hampir-hampir ia jatuh pingsan. Untunglah ia dapat menguasai dirinya, lalu
melepaskan diri dari tangan kawannya dan berjalan menghampiri ayahnya.
"Ayah, ya ampun, apa yang telah terjadi?" serunya.
Pangeran terdiam dan menatap dengan pandangan beku tanpa mengenalnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya. "Aku tidak mengetahui. Jangan apa-apakan
aku, karena aku ini Alimpo abdi setia itu"
Perkataan itu diucapkan perlahan-lahan tanpa lagu.
"Ayah, ayahku!" ratap anak gadis yang terkejut itu, sambil memeluknya. "Apa yang
telah terjadi" Anda sedang sakit. Masakan Anda tidak mengenalku?"
"Mengenalmu?" Tanya Don Manuel perlahan-lahan sambil menggeleng-geleng
kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa pun. Yang kuketahui hanyalah, bahwa aku ini
Alimpo." "Bukan, Ayah bukan Alimpo," seru gadis itu. "Anda ayahku, ayahku yang tercinta.
Ayah harus berusaha mengingatnya!"
Sambil menangis tersedu-sedu Roseta memeluk ayahnya. Dibelainya pipi dan rambut
ayahnya yang kusut masai, diciumnya mulut dan tangannya yang kurus,
didekapkannya tubuhnya erat-erat dan penuh kasih sayang kepada ayahnya. Namun
pangeran tiada berubah sedikit pun. Ia berkata,
"Jangan menekan tubuhku demikian. Aku hampir tidak dapat bernafas. Jangan apa-
apakan aku, karena aku sudah mengetahui siapa aku ini. Aku ini Alimpo, abdi yang
setia itu!" Itu sudah melebihi daya tahan gadis itu. Ia rebah ke atas divan. Kawannya datang
berlari memeluknya. Penjaga puri dengan isteri pun menangis. Namun pangeran
berdiri di hadapan mereka sambil menatap mereka dengan mata berkaca-kaca lalu
berkata, "Janganlah menangis! Aku tidak berbuat apa-apa pada kalian. Aku ini Alimpo, abdi
setia itu." "Ya, Tuhan, bagaimana sekarang?" ratap Roseta.
"Di manakah senor Sternau?" Tanya Amy dengan mata berlinang-linang.
Condesa terlompat. "Sternau!" serunya. "Bodoh! Mengapa aku sampai melupakan! Hanya dialah yang
dapat menolong dan ia tentu cepat memberi pertolongan. Tetapi ia telah pergi ke
Barcelona. Alimpo, segera kirim seorang utusan untuk mengambilnya. Ia harus
segera pulang!" "Ke Barcelona?" Tanya Alimpo. "Di mana harus mencarinya?"
"Ya ampun, saya tak mengetahui! Kirim tiga atau empat orang utusan. Mereka harus
pergi secepat mungkin dan melarikan kuda sekencang-kencangnya. Biar kudanya
sampai mati karena lelah, tidak mengapa. Asal mereka dapat menemukan senor
Sternau. Cepat, setiap menit berharga."
Roseta tidak teringat kepada saudaranya. Hanya kekasihnya yang tetap dalam
ingatannya. Penjaga puri bergegas pergi ke kandang kuda. Tak lama kemudian
berangkatlah tiga utusan naik kuda-kuda yang tercepat.
Alfonso berdiri di kamar senora Clarissa di muka jendela. Ketika dilihatnya
ketiga orang pengendara kuda itu berangkat, ia berkata kepada ibunya.
"Tentu ada sesuatu yang penting terjadi. Pangeran telah mengirim tiga orang
utusannya." "Ke mana?" "Entahlah, mereka membelok ke kanan ke arah Mataro atau Barcelona."
"Apakah gerangan sebabnya" Lekas selidiki, apa yang telah terjadi, anakku!
Mengingat keadaan kita yang pelik ini segala kejadian menjadi penting bagi kita,
apalagi kejadian seperti ini, pengiriman utusan tiga orang sekaligus. Kita Harus
selalu waspada." Alfonso melihat keluar jendela dan memanggil Alimpo, yang baru keluar dari
kandang kuda. "Siapa yang mengirim ketiga orang utusan itu?" Tanya Alfonso ketika penjaga puri
itu masuk. "Saya, Yang Mulia," jawab Alimpo.
"Ke mana?" "Ke Barcelona."
"Siapa yang menyuruh?"
"Condesa." "Mereka disuruh mengerjakan apa" Tiga orang sekaligus!"
"Mereka harus mencari senor Sternau."
Penjaga puri itu sama sekali tidak menyukai Alfonso. Karena itu ia hanya
menjawab dengan jawaban yang pendek.
"Mengapa dokter itu dipanggil?" Tanya pangeran muda itu.
"Don Manuel tiba-tiba jatuh sakit. Saya kira pangeran sudah berubah akal."
"Berubah akal" Astagfirullah!" Alfonso kelihatan sangat terkejut. Namun orang
yang mengamati dengan teliti akan melihat matanya berseri-seri.
Kemudian katanya kepada penjaga puri, "Baiklah! Aku akan datang."
Baru saja pintu ditutup oleh Alimpo, maka Clarissa melompat kegirangan dan
memegang tangan anaknya seraya bersorak,
"Kita menang, Alfonso, kita menang! Tahukah kamu siapa yang menyebabkan penyakit
gila itu" Ayahmu!"
"Masa" Mana mungkin orang yang segar bugar tiba-tiba menjadi gila?"
"Mungkin saja. Sesungguhnya ayahmu masih belum mau menceritakan banyak-banyak
kepadaku, namun semalam dikatakannya, bahwa hari ini akan terjadi sesuatu pada
diri pangeran." "Demonio, itu perbuatan yang benar-benar cerdik! Tidak usah melakukan
pembunuhan, namun aku akan menjadi ahli waris juga."
Sementara kejadian ini berlaku di Rodriganda, notaris sedang dalam perjalanan ke


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barcelona. Tidak lama kemudian ia masuk jalan kecil melalui desa-desa dan daerah
peternakan. Jalan ini tidak dikenal oleh Sternau dalam perjalanan mengikuti
jejak kereta itu. Maka notaris dengan menempuh jalan pintas itu dapat lebih
dahulu sampai di tujuan. Kereta itu disewa oleh pemilik rumah penginapan El Hombre Grande. Sesampai
notaris di Barcelona, ia langsung menuju hotel itu untuk memesan kepada
pemiliknya, supaya ia jangan bersedia melayani orang yang minta keterangan
mengenai siapa yang telah menyewa kereta itu. Kemudian ia pergi ke pelabuhan
untuk mengunjungi Landola di kapalnya.
"Selamat datang senor Cortejo," demikian bunyi salamnya. "tidak saya sangka Anda
datang secepat ini. Namun Anda saya terima dengan segala senang hati. Saya sudah
siap dengan segala suratnya. Setiap waktu saya dapat bertolak."
"Baik sekali." "Baik sekali" Saya harap, Anda tidak mengalami suatu gangguan."
"Tidak. Saya hanya ingin memberitahu kepada Anda, bahwa kereta Anda telah
dilihat orang dan bahwa sudah diketahui orang, siapa yang telah Anda angkut.
Mungkin kira-kira sejam lagi seseorang akan datang di Barcelona, mengikuti jejak
Anda." "Bagus. Ia boleh terjun ke air dan mengikuti saya dengan berenang. Anda masih
mempunyai waktu untuk mengadakan pembicaraan terakhir?"
"Boleh." "Pembicaraan kita makan waktu paling lama seperempat jam. Setelah itu saya akan
berlayar. Pasang sudah tinggi."
"Dan bagaimana dengan tawanan Anda?"
"Ia ada di bawah, di ruang lunas. Hingga kini ia masih belum bersedia bicara,
makan maupun minum."
"Ingat bahwa ia harus mati! Itulah perjanjian kita."
"Jangan khawatir! Mari ikut ke kamar saya, senor!"
Setengah jam kemudian Cortejo sudah di darat lagi dan La Pendola membongkar sauh
untuk mulai berlayar kembali.
Setelah dokter Sternau meninggalkan Rodriganda, maka jejak kereta yang diikuti
membawanya ke jalan raya yang menggabungkan Lerida dengan Barcelona. Di sini ia
kehilangan jejak di antara jejak-jejak kendaraan lain sehingga tiada mungkin
baginya mengikuti jejak kereta itu lagi. Sternau hanya mempunyai satu pegangan.
Ia melihat orang terdapat dalam kereta itu. Tetapi ini pun masih belum pasti.
Untunglah di tempat pertemuan jalan dari Rodriganda dengan jalan Raya tampak
seorang gembala yang menggembala domba merinonya di padang rumput. Gembala itu
telah memasang tenda, sehingga kemungkinan semalam ia hadir juga untuk menjaga
domba-dombanya. Sternau menghampiri gembala itu dan bertanya setelah mengucapkan
kata salam. "Semalam kamu menjaga domba juga?"
"Benar, senor!" jawabnya.
Dokter memperlihatkan sekeping uang perak kepadanya, lalu bertanya lagi,
"Semalam di sini ramai?"
"Tidak. Saya hanya melihat sebuah kereta lewat. Dari jurusan Rodriganda."
"Pukul berapa?"
"Menjelang tengah malam. Kira-kira dua jam kemudian ia kembali lagi."
"Siapa yang duduk di dalamnya?"
"Beberapa orang. Saya tidak mengenal mereka."
"Kuda yang bagaimana yang dipakai untuk menariknya?"
"Seekor berwarna coklat dan seekor lagi putih."
"Engkau tidak melihat pakaian para penumpangnya?"
"Kalau tidak salah, mereka memakai baju dan karpus seperti yang biasa dipakai
para pelaut." "Baik, terima kasih pada keteranganmu."
Sternau melanjutkan perjalanan. Apa yang didengar memberi harapan sedikit
kepadanya. Kini ia singgah di setiap rumah penginapan untuk mendapat keterangan
yang memuaskan. Akhirnya, setelah berjalan kira-kira tiga jam, dijumpainya
sebuah hotel kecil yang terasing letaknya. Di halaman hotel terdapat kandang-
kandang kuda, suatu tanda bahwa hotel itu menerima tamu-tamu yang berkereta. Ia
turun dari kuda, menambatkannya lalu masuk ruang tamu dan memesan anggur
segelas. Pemilik hotel itu sudah lanjut usianya dan bersikap ramah-tamah. Ia
segera mengajak Sternau bercakap tentang cuaca dan berbagai hal lain, tetapi
dokter tidak tertarik oleh percakapan itu. Akhirnya orang tua itu bertanya,
"Tuan hendak ke mana?"
"Saya sedang mencari sebuah kereta yang seharusnya telah lewat di sini."
"Sebuah kereta" Hmm. Mungkin saya telah melihatnya. Usia saya sudah lanjut.
Pekerjaan saya tidak banyak lagi, maka saya biasa duduk sehari-harian di muka
jendela. Kereta macam apa yang Anda maksud?"
"Kereta itu ditarik oleh dua ekor kuda, seekor berwarna coklat dan yang seekor
berwarna putih. Penumpangnya berpakaian seperti pelaut."
"Bilamana kereta itu lalu?"
"Mungkin menjelang tengah malam kereta itu lewat di sini dan kembali lagi empat
jam kemudian. Anda melihat kereta itu lalu?"
"Tidak, tuan. Kedua kalinya sudah terlalu gelap untuk dapat melihat sesuatu.
Tetapi pertama kali mereka lewat mereka singgah di sini."
"Lihatlah uang emas ini! Anda akan memperolehnya, bila Anda dapat menyebut
pemilik kereta itu."
Mata orang tua itu bersinar karena gembira. Hotelnya termasuk hotel kecil. Tidak
banyak pendapatannya dan uang emas itu sangat berarti baginya.
"Terima kasih, tuan!" katanya sambil tertawa karena gembira. "Dengan uang emas
Anda patut mendengar keterangan lebih banyak lagi. Kereta itu milik seorang
pemilik rumah penginapan di Barcelona. Itu saya ketahui dengan pasti."
"Apakah pemilik itu turut serta dengan mereka?"
"Ia tidak begitu bodoh berbuat demikian. Orang tidak senang hadir dalam
rombongan Landola." "Siapakah Landola itu?"
"Seorang nakhoda kapal. Kapalnya bernama La Pendola."
"Apa hubungan orang itu dengan kereta yang saya maksud?"
"Astagfirullah! Nakhoda itu ada di dalamnya. Ia menjadi saisnya. Sudah tentu ia
telah mengunjungi sekutunya, tuan Gasparino Cortejo di Rodriganda."
"Masya Allah! Mereka saling mengenal?"
"Tentu. Bahkan mereka membentuk suatu persekutuan dagang yang didesas-desuskan
orang. Orang yang bernama Henrico ini, rupanya berkebangsaan Amerika. Ia seorang
petualang nomor wahid. Nyawa orang tidak masuk bilangan baginya. Ia lebih mirip
seorang bajak laut daripada seorang pedagang. Ia kadang-kadang berani membawa
muatan "Kayu besi", maksud sebenarnya adalah budak-budak Negro yang
diperjualbelikan." "Cortejo pun turut dengan usaha terkutuk itu?"
"Benar," jawab orang tua itu. "Akan saya jelaskan kepada Anda. Anda kenal
pangeran Rodriganda?"
"Sedikit." "Pangeran Manuel dari Rodriganda ini telah lama menderita suatu penyakit mata.
Akhirnya ia menjadi buta, sehingga ia terpaksa menyerahkan segala urusan kepada
seorang ahli hukum yang mewakilinya, namanya Cortejo. Orang ini sebenarnya
seorang penjahat. Tetapi kerap kali kita jumpai di alam kita ini hubungan aneh
seperti ini. Seekor anak domba yang dibayangi terus-menerus oleh seekor burung
buas, yang selalu siap hendak menerkam, mengoyak-ngoyak dan menelannya. Demikian
juga harta keluarga Rodriganda merupakan daya penarik kuat bagi Cortejo yang
tamak itu. Mengertikah Anda?"
"Tentu saya mengerti!"
"Supaya harta Cortejo yang kian hari kian bertambah banyak itu tidak tercium
oleh orang luar, maka harta yang diperoleh dari penggelapan harta pangeran itu
dimasukkannya ke dalam usaha perdagangan gelap. Kapal milik Cortejo bersama
Nakhoda Landola dan keuntungannya dibagi dua."
"Anda mengetahui pasti?"
"Itu didesas-desuskan orang. Tetapi kemarin telah saya dengan sendiri, ketika
para pelaut itu singgah di sini. Mereka berbisik-bisik, tetapi saya dapat
mendengar dengan nyata, meskipun pembicaraan itu bukan dimaksud untuk telinga
saya." "Anda tidak mendengar tujuan mereka peri kemarin?"
"Tidak. Tetapi ke mana lagi tujuan Landola kalau bukan ke Cortejo?"
"Baik. Kini terimalah uang emas ini, Anda sudah cukup berjasa."
Pemilik hotel itu memasukkan uang itu dengan muka berseri-seri ke dalam saku.
Baru saja Sternau hendak pergi, ketika ia mendengar seseorang datang naik kuda
yang dilarikan dengan kencang. Sternau melihat keluar dan mengenal abdi penjaga
kuda dari Rodriganda. Abdi itu tiba-tiba menghentikan kuda yang bersimbah peluh
itu, ketika dikenalnya kuda Sternau yang tertambat di muka pintu itu. Ia
melompat turun dari kuda lalu masuk ke dalam.
"Untunglah saya segera bertemu Anda, senor Dokter!" serunya, bila dilihatnya
Sternau. "Condesa telah mengirim saya. Kami bertiga pergi, masing-masing
menempuh jalan yang berlainan supaya jangan sampai gagal menemukan Anda."
"Tentu penting sekali urusan yang membawa Anda, kemari. Apakah yang terjadi?"
"Don Manuel sekonyong-konyong menderita sakit parah."
"Tidak mungkin! Karena matanya?" Tanya Sternau terkejut.
"Bukan. Kepalanya yang sakit, otaknya."
"Apa" Tak Mungkin! Salah paham barangkali."
"Itu keadaan sebenarnya, senor!"
"Lekas minum anggur segelas. Sudah itu kita segera berangkat pulang ke
Rodriganda!" Setelah duduk di atas kudanya masing-masing, Sternau mengajukan berbagai
pertanyaan kepada abdi itu tentang keadaan Rodriganda. Ia mendengar, bahwa
notaris telah meninggalkan puri. Lalu Dokter itu menghentikan kuda dan bertanya,
"Engkau tidak diperlukan di Rodriganda?"
"Pada saat ini tidak."
"Bersediakah kamu pergi ke Barcelona untuk urusan saya?"
"Bersedia senor."
"Berangkatlah secepatnya ke sana! Kamu harus mencari keterangan di pelabuhan,
pada hari apa kapal La Pendola kepunyaan Nakhoda Henrico Landola hendak
bertolak. Dapatkah kamu mengerjakannya?"
"Tentu saja, senor!"
"Tetapi mungkin senor Cortejo juga hadir di Barcelona. Jagalah supaya ia tidak
mengetahui tentang tugasmu. Kamu akan kuberi hadiah, bila dapat menyelesaikan
tugasmu dengan baik."
Abdi itu langsung berangkat. Sternau pun berangkat pula menuju Rodriganda.
Kudanya dilarikan kencang-kencang. Jarak yang telah ditempuh dalam tiga jam kini
dapat ditempuhnya kurang dari satu jam. Sesampai di puri ia dijemput oleh
penjaga puri yang berlari-lari menghampirinya dan mengambil kudanya.
"Aduh, senor, mengapa sampai begini!" keluhnya.
"Pangeran sudah berubah akal, betul-betul berubah akal."
"Hampir tiada dapat dipercaya! Di mana beliau sekarang?"
"Di kamar tidurnya. Condesa di situ juga dan mengunci pintunya. Condesa tidak
mengizinkan orang masuk, kecuali yang dipanggilnya. Pangeran Alfonso sudah
menyatakan dirinya yang berkuasa di Puri Rodriganda. Ia hendak memanggil seorang
dokter jiwa, namun Condesa tidak mengizinkannya."
Sternau hanya mengangguk saja lalu bergegas naik tangga. Di muka pintu ruang
depan berdiri dua orang abdi yang segera membolehkannya masuk. Ketika ia
perlahan-lahan masuk ke dalam kamar tidur pangeran, dilihatnya orang sakit itu
sedang berbaring di atas tempat tidur dengan kepala dibalut. Roseta duduk di
dekatnya dengan mata berlinang-linang, sedangkan di sebelahnya duduk gadis
Inggris, kawannya itu, yang berusaha menghibur hatinya. Sternau menghampiri
orang sakit itu. Ia melepaskan pembalut pada kepala pangeran lalu memegang
pergelangannya. Kemudian ia membiarkan kedua wanita itu bercerita tentang segala
hal yang diketahuinya berhubung dengan kejadian itu. Mereka bercerita dengan
suara tertahan-tahan. Sementara itu pangeran tiada henti-hentinya meratap.
"Jangan apa-apakan aku - aku ini Alimpo, abdi setia!"
Kini Sternau memeriksa nafas serta mata si sakit. Akhirnya ia berdiri di ujung
tempat tidur dekat kaki pangeran supaya dapat dilihat dengan baik oleh si sakit
itu, lalu ia bertanya, "Siapakah Anda?"
"Aku ini - Alimpo, abdi setia itu," jawab pangeran dengan berpikir.
"Itu tidak benar!" hardik Sternau. "Coba Anda pikirkan baik-baik! Anda
sebenarnya adalah....?"
"Aku ini - aku ini - Alimpo!" jawabnya dengan sedih.
"Anda bohong! Janganlah bohong terus-menerus!" hardik dokter itu dengan suara
seperti guntur. "Anda bukan Alimpo! Katakan yang sesungguhnya!"
Sambil berkata demikian Sternau memukul tempat tidur pangeran sampai berderak-
derak bunyinya. Kedua wanita itu kecut hatinya. Si sakit berusaha menutup
kepalanya dengan selimut, tetapi Sternau membuka selimut itu dan mengulangi
permintaannya dengan suara menggelegar seperti guntur,
"Ayo, lekas katakan sekarang, siapakah Anda!"
Orang sakit itu membalik-balikkan tubuhnya dengan gelisah, lalu meratap, "Jangan
apa-apakan aku, sebab aku ini Alimpo, abdi setia!"
Kini Sternau pergi dari tempat tidur dan berkata kepada kedua wanita itu,
"Maafkan perbuatan saya tadi, saya tidak melihat jalan lain! Tolong ambilkan
saya air, kain dan beberapa mangkuk. Pangeran harus diambil darahnya sedikit."
"Sudah gawatkah keadaannya?" tanya Roseta ketakutan.
Sternau tidak menjawab, melainkan mendorongnya sedikit ke samping, lalu bergegas
meninggalkan kamar. "Sudah tentu tidak ada harapan lagi!" bisik Roseta.
"Carlos tidak akan menghardik ayah dan tidak akan mendorongku ke samping! Ia
tidak mau kehilangan waktu sedetik pun. Itulah tanda, bahwa keadaan ayah sangat
genting." Sungguhpun ia tidak berani berharap lagi, namun cepat-cepat ia pergi untuk
mengambil barang-barang yang diperlukan. Ketika Sternau kembali, barang-barang
itu sudah lengkap tersedia. Sternau membawa berbagai obat-obatan, pembalut dan
alat-alat lainnya. "Apa yang dimakan atau diminum pangeran hari ini?" tanyanya.
"Tidak lain daripada susu coklat," jawab Roseta.
"Siapa menyiapkan minuman itu?"
"Saya sendiri."
"Siapa yang mengantarkannya?"
"Seorang abdi."
"Don Manuel telah diracun!"
Sternau berkata dengan nada pasti, sehingga tubuh Roseta menjadi lemas dan ia
menjatuhkan diri ke atas kursi.
"Astagfirullah!" ratapnya.
"Racun yang diperoleh dari tumbuhan upas, sejenis racun yang sangat berbahaya.
Saya sebetulnya harus merahasiakan. Namun saya berterus terang juga. Itu bukti,
bahwa saya masih menaruh harapan. Tolong panggilkan beberapa orang abdi. Mereka
harus membantu saya dalam mengambil darah!"
Ketika pangeran melihat persiapan di sekelilingnya, ia terdiam ketakutan dan
membiarkan dirinya diperlakukan orang sekehendak hati mereka. Sternau mengambil
darah si sakit sebanyak yang dimungkinkan dalam keadaan tanpa terlalu merugikan
kesehatan tubuhnya. Kemudian ia memerintahkan menangkap beberapa ekor lalat.
Orang merasa heran mendengar perintah aneh itu. Sternau memasukkan lalat-lalat
itu ke dalam sebuah gelas yang sudah diisi dengan beberapa tetes darah pangeran.
Kemudian ia meminta perhatian kedua wanita itu. Lalat-lalat itu mengisap sedikit
darah lalu mulai gemetar tubuhnya, bergelung, lalu mati.
"Nyatalah saya tidak salah. Bisa itu diperoleh dari tumbuhan upas. Banyak cara
meramu bisa ini, masing-masing dapat mendatangkan penyakit gila ialah dengan dua
tetes, dan kematian ialah dengan lima atau enam tetes dari bisa itu. Kini saya
yakin, bahwa mereka bermaksud membuat pangeran gila."
Perkataan ini menyebabkan orang-orang sangat terkejut. Beberapa waktu berlalu
sebelum suasana tenang dapat pulih kembali, terutama juga karena mereka tidak
mengetahui, siapa yang dapat dicurigai selain abdi yang telah bertugas di kamar
pangeran. "Apakah menurut pendapat Anda keadaan ayah masih tertolong?" Tanya Roseta cemas.
"Masih dapat," jawab Sternau dengan penuh kepastian. "Bisa ini bila digunakan
dengan takaran kecil akan mengakibatkan penyakit gila karena kehilangan ingatan.
Ketika penjaga puri itu menemukan pangeran, maka ingatan pangeran baru mulai
hilang. Ingatan beliau hanya dapat melekat pada manusia terakhir yang
dijumpainya. Itulah sebab maka beliau menganggap dirinya Alimpo. Beliau tidak
mengenal nama lain lagi. Saya bermaksud menyelidiki, apakah ingatan beliau itu
sudah lenyap sama sekali. Maka saya menghardik-hardik beliau untuk mendatangkan rasa takut. Namun usaha itu pun tidak berhasil.
Kedua tetes bisa itu sudah melarut ke dalam darah dan sudah meresap ke dalam
otak beliau. Saya berusaha mengurangi keracunan otak beliau itu dengan
menggunakan lalat-lalat Spanyol dan rempah-rempah, lalu mengurangi keracunan
darah dengan mengeluarkan darah sebanyak mungkin. Bisa yang masih tersisa di
dalam tubuh beliau saya tawarkan dengan obat penangkal yang saya ketahui,


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun bukan dengan cara biadab dan kejam seperti yang biasa dilakukan pribumi
sebuah pulau yang pernah saya kunjungi, yang masih belum mengenal peradaban."
"Apa yang Anda maksudkan, Carlos?"
"Dukun-dukun di pulau yang saya maksud tadi berpendapat, bahwa bisa upas itu
hanya dapat ditawarkan dengan air liur yang diperoleh dari orang yang disiksa
demikian beratnya sampai mulutnya mengeluarkan busa."
"Dan Anda percaya kemanjurannya?" tanya Lady Amy.
"Mungkinkah penderitaan orang-orang yang kena siksa sampai dapat menghasilkan
zat-zat berbisa, yang dapat digunakan sebagai obat penangkal?"
"Mungkin! Percobaan-percobaan biadab seperti itu dilarang di negeri kita,
meskipun sebenarnya orang-orang yang menggunakan racun itu pada pangeran,
sesungguhnya patut menerima perlakuan seperti demikian. Mungkin dengan jalan
menyiksa seseorang dapat dihasilkan zat-zat berbisa. Ingat penyakit anjing gila
yang dapat ditularkan oleh seekor anjing gila dengan menggigit seseorang.
Selanjutnya orang dapat menularkan penyakit itu kepada orang lain dengan
menggigitnya pula. Di dalam sejarah kita kenal bisa aqua tofana yang digunakan
oleh keluarga Borgia untuk meracun lawannya. Bisa itu pun mungkin diperoleh
dengan cara demikian."
"Jadi bagaimana sekarang, senor?"
"Sementara cukuplah bagi saya, bahwa saya sudah mengetahui jenis penyakitnya.
Bisa itu terutama terdiri dari zat-zat alkaloid serta mengandung jenis-jenis
racun berbahaya, yaitu strychnine dan brucine. Ini harus ditawarkan dengan zat-
zat yang mengandung tanine. Mudah-mudahan saya dapat membuat ramuan dari bahan-
bahan: serbuk kopi, daun teh dengan catechu, capsicum, madat dan yodium, yang
akan berhasil menangkal bisa itu. Tetapi obat penangkal itu belum dapat saya
berikan dalam satu dua hari ini. Pangeran harus sembuh lebih dahulu karena
mengalami pengambilan darah itu. Untuk sementara pangeran belum saya ganggu.
Kini beliau nampaknya sedang tidur."
BAB II KAUM ZANGGI Menjelang malam notaris Gasparino Cortejo kembali dari Barcelona. Hari sudah
mulai gelap. Sejam lagi ia akan tiba di Rodriganda. Ketika ia menghentikan
kudanya, di suatu tanah lapang dalam hutan yang dilaluinya, dilihatnya
sekelompok tenda di sekeliling api unggun. Di atas api unggun itu terjerang
sebuah periuk besi, yang berisi makanan mendidih. Lapangan itu penuh dengan
orang, karena tenda-tenda itu didiami oleh rombongan kaum Zanggi.
"Kalau tidak salah, itu ibu Zarba," katanya dalam hati, ketika dilihatnya
seorang wanita tua duduk dekat api. "Itu kebetulan sekali, Aku memerlukannya."
Dalam pada itu kehadirannya sudah diketahui orang. Tidak lama kemudian ia
dikerumuni oleh laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berteriak-teriak dengan
bisingnya. "Nasib Anda saya ramalkan, senor?" Tanya seorang gadis.
"Jangan, biar saya yang melakukannya. Saya lebih pandai," kata seorang wanita
tua. "Minta sedekah, tuan!" raung sekelompok anak-anak. Bergantungan pada kuda
Cortejo. Cortejo hanya memandang hiruk-pikuk itu dengan tersenyum, lalu menegur seorang
laki-laki tua dengan ramah.
"Bukankah kau Garbo yang gagah perkasa" Tentu engkau masih kenal pada diriku?"
katanya. Orang yang ditegur menghampiri si pembicara dan mengamati sejenak di bawah
topinya yang bertepi lebar itu.
"Senor Cortejo!" serunya. "Selamat datang! Saya tidak segera mengenal Anda. Anda
mempunyai sedikit tembakau untuk diberikan kepada seorang miskin?"
"Engkau akan mendapat tembakau itu. Malahan lebih banyak lagi yang akan kau
peroleh, bila engkau ingin berjasa kepadaku!"
"Tentu saja saya bersedia. Saya sudah berkali-kali menerima budi baik Anda.
Adakah sesuatu yang harus dikerjakan, senor?"
"Mungkin ada. Aku hendak ke ibu Zarba lebih dahulu. Tolong jaga kudaku
sebentar!" Gasparino Cortejo turun dari kuda lalu menuju ke arah api. Di dalam periuk besar
sedang dimasak beberapa ekor ayam, seekor kelinci, dan beberapa ekor ikan.
"Selamat sore!" salamnya kepada wanita tua itu.
Wanita itu sedang mengaduk masakan dalam periuk dengan sepotong kayu. Tanpa
menoleh, ia bertanya, "Siapakah Anda?"
"Segera dapat kau ketahui, bila Anda mau memandangku. Atau mungkinkah bekas
bunga mawar di kalangan kaum Gitano itu sudah demikian sombong, sehingga ia
tidak mengenal kembali bekas pemujanya?"
Kini wanita itu menoleh perlahan-lahan. Sulit untuk menerka usia seorang wanita
Zanggi yang sudah tua. Demikian juga dengan wanita ini. Namun raut mukanya
menunjukkan, bahwa ia pernah cantik sekali pada masa mudanya.
"Kaukah itu, Cortejo?" tegurnya ramah, sambil bangkit dengan bersandar pada kayu
pengaduk masakan yang ditekankannya ke atas tanah. Baju yang dikenakannya
compang-camping, namun sikapnya tinggi hati dan anggun.
"Jadi Anda masih hidup. Senor?" Tanya wanita itu, sambil menatap wajah notaris
dengan pandangan berapi-api.
"Saya kira Anda sudah mampus!"
"Aku lihat, kau masih seperti dulu saja," kata Cortejo sambil tertawa. "Sejak
kapan kau di sini?" "Di sini" Baru saja sejak sore hari!"
"Pantas aku tidak menjumpaimu tadi pagi. Tetapi coba katakana Zarba, apakah kita
masih bersahabat seperti dahulu?"
"Masih," jawab wanita itu sambil melihat dengan pandangan curiga.
"Gasparino selalu murah dengan pemberiannya!" kata notaris sambil tertawa.
"Saya faham," kata wanita itu. "Namun permintaannya selalu berat pelaksanaannya,
lagi pula harus dirahasiakan."
"Benarlah, syarat-syarat itu yang kukehendaki sekali ini juga," kata Cortejo.
"Bagaimana sekarang dengan harga-harga yang kau pasang" Masih samakah dengan
dahulu?" "Hm, masih sama," jawab Zarba.
"Sejak kita berpisah, aku terpaksa bekerjasama dengan orang lain."
"Saya mengetahui," kata wanita itu. "Dengan capitano. Anda merasa puas?"
"Tidak. Aku lebih suka bekerjasama dengan kamu. Jadi upah untuk kematian masih
tetap lima ratus duro?"
"Ya, bila dilakukan terhadap orang biasa."
"Dan bila ia bukan orang biasa?"
"Itu tergantung dari pangkat dan kekayaannya."
"Umpamanya seorang pangeran?"
"Astagfirullah! Tentu bukan...."
Zarba tidak melanjutkan perkataannya, tetapi menunjuk tangan ke arah Rodriganda.
"Hm. Mungkin juga!" Jawab Cortejo.
"Dibunuh atau disingkirkan?"
"Itu masih belum dapat dipastikan. Berapa upahnya?"
"Itu pun masih belum dapat dipastikan," jawab wanita tua itu sambil tertawa.
"Kami baru datang dari daerah...."
"Dari Rodriganda" Bagaimana keadaannya" Ada kabar apa?"
"Kabarnya pangeran menderita serangan suatu penyakit."
"Penyakit apa?"
"Tidak dapat saya ketahui, namun kabarnya seorang dokter bernama Sternau akan
dapat menyembuhkannya."
"Tidak mungkin disembuhkan olehnya."
"Haha! Saya mulai mengerti. Anda tentu sudah mengetahui tentang penyakit itu!"
"Ada-ada saja! Camkan baik-baik nama Sternau itu! Mungkin engkau segera harus
berkenalan, dengannya. Engkau mempunyai waktu nanti malam" Dapatkah engkau
datang seorang diri dekat pohon eik yang besar itu?"
"O, pohon yang dahulu itu" Baik, saya akan datang!"
"Jangan sampai lupa! Adios!"
Percakapan hanya dilakukan di bawah empat mata. Kaum Zanggi sangat menghormat
pada pemimpinnya, sehingga mereka tiada berani mengganggu dalam perundingan-
perundingannya. Kini ketikan notaris menuju ke kudanya mereka mengerumuni. Ia
membagi tembakau serta rokok dan melemparkan kepingan kecil kepada anak-anak
mereka. Kemudian ia pergi.
Pertemuannya dengan kaum Gitano sangat menguntungkan baginya. Dahulu sudah ada
pengalamannya bekerja sama dengan wanita pemimpin itu. Sekarang pun ia ingin
mencari keuntungan dengan kehadiran mereka. Cortejo menyerahkan kuda kepada
seorang abdi, lalu bergegas pergi menjumpai Clarissa untuk mendengar laporan
dari padanya tentang segala kejadian.
"Bangsat!" sumpahnya. "Si bedebah Sternau pandai segalanya. Jadi ia mengetahui
racun itu berasal dari tumbuhan upas" Kalau begitu, tentu ia dapat menyembuhkan
pangeran lagi." "Jadi ada obat penangkalnya?"
"Memang ada." "Kata orang di puri, bila pangeran dapat sembuh kembali, maka ia dapat langsung
mengenal si pemberi racun itu kepadanya. Maka sebaiknya engkau merahasiakan
sesuatu kepadaku." "Ada-ada saja!" katanya sambil tersenyum. "Kalian kaum wanita, selalu ingin
tahu. Tapi, Hm, memang, pangeran tidak boleh sembuh kembali!"
"Bagaimana cara mencapai tujuan itu?"
"Kita harus memilih cara yang tepat!" jawabnya pendek, lalu ia meninggalkan
kawannya. Sesampai di dalam kamarnya ia berjalan hilir mudik terus menerus.
Akhirnya ia mengambil keputusan dan tetaplah hatinya akan melaksanakan keputusan
itu apapun yang akan terjadi.
Beberapa menit menjelang tengah malam tibalah kembali utusan yang dikirim ke
Barcelona membawa laporan kepada Sternau, bahwa kapal itu telah meninggalkan
pelabuhan pada hari itu juga. Beberapa menit kemudian notaris datang menyelinap
ke taman. Kini ia lebih berhati-hati. Dijaganya, supaya jangan sampai
meninggalkan jejak. Zarba dijumpai dekat pohon eik sesuai dengan perjanjian
mereka. "Anda sudah menanyakan tentang keadaan pangeran?" Tanya wanita tua itu.
"Sudah. Ia harus mati."
"Bagaimana harus saya tafsirkan perkataan itu" Mati karena penyakit?"
"Berapa upahmu?"
Wanita Zanggi itu berbuat seolah-olah berfikir sejenak, lalu menjawab,
"Berapa tawaran Anda?"
"Aku tidak menawar. Kau harus menetapkan harga."
"Harganya tergantung pada sukar atau tidak pekerjaan itu dapat dilakukan."
"Tubuh don Manuel harus diempaskan."
"Diempaskan" Aneh benar permintaan Anda. Mengapa justru diempaskan?"
"Karena ia gila."
"O, sekarang saya mulai mengerti. Tentu sebagai seorang gila ia mendapat
penjagaan ketat. Suatu kali ia berhasil lolos, lalu terjun dari suatu tebing dan
badannya hancur. Benarkah perkiraan saya itu?"
"Itulah kira-kira rencanaku," jawab notaris.
"Tetapi bagaimana kita dapat masuk ke dalam puri, bila don Manuel dijaga
demikian ketat?" "Sebenarnya tanpa penjaga yang sesungguhnya. Hanya dokter dan putrinya saja.
Lagi pula biasanya mereka di kamar sebelahnya. Kamar pangeran bersebelahan juga
dengan ruang perpustakaan. Aku mempunyai kunci ruang itu. Akan kuantar kalian
masuk ke dalam ruang itu. Selebihnya kuserahkan kepada kalian mengaturnya."
"Garbo akan mengepalai mereka."
"Benar, dialah orang yang dapat diserahi tugas seperti itu. Jadi berapa upah,
bila usaha itu berhasil?"
"Tiga ribu duro."
"Apa" Kau pemeras."
"Bukankah senor sudah mengenal saya" Biarpun mahal namun pekerjaan saya beres
dan sangat teliti. Lagi pula, perlu juga Anda ingat, betapa besar keuntungan
yang Anda peroleh dengan kematian pangeran itu, don Gasparino!"
"Hm! Dan bagaimana syarat pembayaran uang itu?"
"Saya baru datang pada Anda untuk menerima uang itu, setelah pekerjaan selesai.
Jadi Anda lihat sendiri, bahwa saya jujur."
"Benar juga. Pekerjaanmu setidak-tidaknya lebih memuaskan daripada capitano,
yang menuntut uang muka separuh dari jumlah upah dan akhirnya tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan juga."
"Sangat memalukan. Tetapi bukankah tadi Anda menyebut nama Sternau perlu
diingat" Diakah Dokter itu?"
"Benar. Ia pun harus disingkirkan! Tetapi tidak segera, karena dua kematian
sekaligus akan terlalu menyolok mata."
"Jadi masalahnya kini hanyalah Don Manuel. Bilamana harus dilaksanakan, senor
Cortejo?" "Esok hari." "Di mana dapat kita bertemu?"
"Di sini, pada saat seperti ini, tengah malam. Engkau hadir juga?"
"Tidak," jawab wanita itu. "Pekerjaan semacam itu hanya layak dikerjakan kaum
laki-laki. Apakah Garbo cukup dapat dipercaya?"
"Dapat." "Maka semata tidur, senor!"
"Selamat malam!"
Mereka berpisah. Ahli hukum itu menyelinap kembali ke puri dan tiba di situ
tanpa diketahui orang. Wanita Zanggi itu kembali ke perkampungannya, tetapi
bukan seorang diri. Karena baru saja ahli hukum itu pergi, maka dibalik batang
pohon eik itu muncul sesosok tubuh.
"Kau sudah mendengar semuanya?" Tanya wanita Zanggi itu.
"Jadi pangeranlah tujuannya! Engkau bersedia membunuhnya?"
"Tidak Zarba! Pangeran itu orang baik. Kita banyak berhutang budi padanya."
"Tetapi tiga ribu duro!"
"Telah kupikirkan...." bisik orang Zanggi itu.
"Ketika siang tadi aku tiba di Loriba, aku dengar bahwa pembakar roti esok hari
akan dimakamkan." "O. aku mengerti maksudmu," kata wanita tua yang cerdik itu.
"Kita akan menggali mayatnya, mengenakan pakaian pangeran kepadanya dan
melemparkan dari atas tebing."
"Rencanamu itu bagus Garbo. Akan tetapi bagaimana dengan pangeran?"
"Kita akan menyembunyikannya. Kemudian ia dapat datangkan rezeki besar bagi
kita." "Menyembunyikannya" Di mana?"
"Pada kawanku Gabrillon, di atas menara api."
"Bagus! Di situ ia aman. Tak ada orang yang akan mencarinya."
"Jadi engkau setuju, Zarba?"
"Setuju sekali! Ahli hukum Cortejo akan kita peras seperti sebuah jeruk!"
Ketika keesokan harinya letnan de Lautreville masih belum nampak juga, para
penghuni Rodriganda merasa yakin, bahwa telah terjadi sesuatu pada dirinya.
Sternau menganggap kurang bijaksana mengutarakan kecurigaannya, ketika orang-
orang mengambil keputusan hendak menulis surat ke Paris. Ia harus mencurahkan
segenap perhatiannya kepada don Manuel.
Pangeran sedang dalam keadaan gawat. Makanan yang dihidangkan disantapnya dan
tiap kali diucapkan nama Alimpo. Itulah hanya tanda-tanda hidup yang kita
peroleh daripadanya. Alfonso tidak pernah muncul di kamar si sakit. Demikian pun Cortejo dan
Clarissa. Ketiga orang itu sedang duduk bermusyawarah. Alfonso hendak pergi ke
pengadilan untuk minta diakui hak-haknya, tetap Cortejo mendesak supaya
menangguhkan pekerjaan itu sekurang-kurangnya selama sehari. Maka sehari berlalu
dan malam pun tiba. Lebih kurang tiga perempat jam perjalanan ke arah timur laut dari Rodriganda
terletak desa Loriba. Di desa itu pembakar roti meninggal dan dimakamkan pada
hari itu. Penggali makam tinggal di desa itu juga, tetapi agak jauh dari
kuburan. Ia masih belum merasa perlu menyelesaikan pekerjaan pada makam itu,
tetapi hanya menimbun dengan tanah sampai penuh.
Hari sudah larut malam. Bulan belum nampak di langit, tetapi binatang-binatang
menyinarkan cahaya yang cukup terang untuk dapat melihat beberapa langkah di
hadapan kita, ketika serombongan orang berpakaian sangat ganjil perlahan-lahan
berjalan menuju kuburan. Rombongan itu terdiri dari lima orang Zanggi dewasa dan
tiga orang anak. Anak-anak itu disuruh menjaga, sedang kelima orang itu memanjat
dinding. "Engkau dapat mengenal makam itu, Lorro?" Tanya seorang daripadanya.
"Dapat" kata Lorro. "Marilah!"
Ia berjalan menyusuri makam-makam. Siang hari ia telah hadir pada pemakaman,
sehingga kini dapatlah ia mengantar orang-orangnya ke tempat itu. Orang-orang
Zanggi itu langsung mulai pekerjaannya. Alat-alatnya seperti tembilang dan sekop
telah didapat dari desa. Karena tanahnya masih belum padat, pekerjaan menggali


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi mudah. Tak lama kemudian alat mereka terkena pada peti di bawah timbunan
tanah. Mereka mendirikan peti itu di dalam liang lahat yang sudah kosong itu.
Bagian atas peti muncul ke atas permukaan. Dengan demikian mereka dapat
membongkar peti itu. Lorro mengeluarkan sebuah lentera yang hingga kini
disembunyikannya, lalu menerangi muka mayat. "Mari keluar!" katanya tak
berperasaan. "Kau harus ikut kami pergi jalan-jalan!"
Pembakar roti yang mengalami gangguan dalam istirahatnya itu diangkat dari dalam
peti dan diletakkan di sebelah makam. Peti dikembalikan ke tempat semula.
Dengan bantuan lentera orang-orang Zanggi itu dengan mudah dapat menghapus
jejaknya. Kemudian mayat itu dipikul oleh dua orang dan mereka pergi ke dalam
kegelapan. Anak-anak itu kembali ke perkampungan mereka dan ketiga orang yang
tersisa bergegas pergi ke Rodriganda supaya jangan sampai terlambat.
Tengah malam notaris sudah hadir dekat pohon eik. Kaum Gitano sudah berkumpul di
situ. "Garbo," tegurnya.
"Hadir," jawab orang Zanggi itu. "Kita sudah lengkap!"
"Mari kita berangkat!"
Cortejo berjalan di muka, memimpin mereka berjalan di tempat yang tidak mudah
memperlihatkan jejak kaki mereka. Kemudian ia memimpin ke pintu yang telah
dimasukinya bersama para pelaut. Tempat itu gelap sehingga mereka membutuhkan
lentera lagi. Jalan mereka mendaki dan menuruni beberapa tangga serta melalui
beberapa ruangan kosong. Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan penuh dengan
buku-buku. Itulah perpustakaan puri.
"Tunggu!" perintah notaris lalu ia menghampiri sebuah pintu dan membukanya
perlahan-lahan, sehingga ia dapat mengintip ke dalam kamar sebelah. Kemudian ia
menggapai Garbo dan berbisik.
"Lihat! Sanggupkah kamu?"
Orang Gitano itu berdiri di muka celah pintu dan menjawab dengan berbisik pula,
"Kita kerjakan sekarang saja."
"Tetapi hati-hatilah, jangan sampai gadis-gadis itu terjaga!"
"Beres! Jangan khawatir!"
"Lakukanlah!" Di ruang sebelah pangeran yang sakit sedang berbaring. Tampak seperti seorang
yang sudah tidak bernyawa lagi, tidak bergerak. Di atas sebuah divan duduklah
Roseta dan Amy, keduanya itu membuat mereka letih-lesu, sehingga mereka terjaga
ketika orang Zanggi itu menyelinap masuk ke dalam dan memadamkan lampu. Kawan-
kawannya mengikuti dengan segera. Notaris tinggal di luar, waspada. Ia tidak
mendengar suara sedikit pun. Semenit kemudian kembalilah orang-orang Zanggi itu
dengan membawa beban yang tiada bergerak.
"Kuncilah lagi pintu dan terangi jalan kami!" pinta Garbo.
Mereka kembali lagi melalui jalan tadi ke pohon eik. Notaris yang melihat bahwa
pangeran tidak bernafas dan tidak bergerak lagi, bertanya,
"Apakah ia sudah mati?"
"Begitulah tampaknya," jawab Garbo. "Saya sudah memperlakukan demikian, sehingga
ia tidak dapat membahayakan lagi bagi kita. Mati atau hidup tidak menjadi soal
bagi Anda, bukan?" "Memang," jawab notaris yang tidak dapat menghalau perasaan jijik yang tiba-tiba
menghinggapi dirinya. "Jadi kalian sudah mengetahui, ke mana ia harus dibawa?"
"Tentu saja. Boleh saya sekarang menerima upah saya, senor?"
"Boleh, aku sangat puas dengan pekerjaan kalian! Ini, terimalah uangnya. Bila
aku ingin berhubungan lagi dengan kalian aku akan datang pada Zarba. Selamat
malam!" "Selamat malam, tuan!"
Orang-orang Zanggi itu pergi dengan beban mereka. Di ujung taman mereka
menemukan sebuah gerobak dorong, yang telah sengaja disembunyikan. Pangeran
diletakkan di atasnya, lalu gerobak didorong perlahan-lahan, sampai mereka tiba
di perkampungan mereka. Di situ mereka menjumpai serombongan orang yang menanti
kedatangannya dengan tenang. Salah seorang bangkit. Ialah wanita Zanggi yang tua
itu. "Berhasil?" Tanya wanita itu.
"Beres," jawab Garbo. "Pangeran tiada sadarkan diri."
"Inilah pakaian untuk dikenakan padanya. Setelah itu harus kaubawa dia
selekasnya. Tetapi kau harus bertanggungjawab pada nyawanya. Dan ini mayatnya.
Ia sudah ditelanjangi. Kenakan pakaian Don Manuel lengkap padanya, lalu cepat
bawa dia ke tempat itu!"
Dalam pada itu notaris pun kembali ke puri. Kini ia sudah belajar dari
pengalaman. Ia telah menyembunyikan sebatang sapu kecil dekat pohon eik untuk
menghapus jejak-jejak kakinya. Dengan demikian ia tiba di kamarnya tanpa
diketahui orang. Namun ia tidak pergi tidur, karena ia mengetahui, bahwa tiap
saat kedua gadis itu dapat berteriak minta pertolongan.
Tetapi suasana tetap sunyi sepi sampai esok paginya, bahkan ia masih sempat
pergi ke taman untuk dapat memastikan, bahwa jejaknya telah hilang.
Dokter Sternau sebenarnya bermaksud menjaga si sakit pada malam itu, tetapi
Roseta berkeberatan. Gadis itu ingin menjaga sendiri bersama kawannya. Kedua
gadis itu sangat lelah, sehingga mereka tertidur dan baru terbangun keesokan
paginya, ketika matahari sudah mulai memancarkan cahaya. Sternau pun terbangun
juga. Kekhawatirannya pada si sakit membuatnya terus-menerus gelisah. Ia
terbangun, berganti pakaian lalu pergi ke pangeran Manuel. Ruang muka kediaman
pangeran tidak terkunci. Sternau masuk ke dalam. Pada saat itu dari dalam kamar
si sakit terdengar kedua gadis itu memekik ketakutan. Sternau bergegas masuk dan
melihat kedua gadis itu berdiri menghadapi tempat tidur si sakit yang kosong.
"Di manakah pangeran?" tanyanya.
"Ya, ampun, di manakah ayah?" seru Roseta.
"Kalian telah tertidur?"
"Saya tiada tahan melawan kantuk saya," jawab Roseta kemalu-maluan.
"Saya tertidur juga," kata Amy.
Sternau tiada menegur mereka. Ia hanya berkata,
"Ia tentu masih belum jauh dari sini. Ia masih terlalu lemah untuk dapat
berjalan!" "Mungkinkah ia sedang di ruang muka?" Tanya Roseta.
"Tidak." "Atau di ruang perpustakaan!"
Sternau membuka pintu ruang itu, tetapi tidak dapat menemukan pangeran di situ,
juga tidak setelah mencari di bawah dan di sela-sela kursi meja.
"Saya tidak dapat mengerti, bahwa si sakit dapat meninggalkan tempat tidurnya
ataupun kamarnya," kata dokter sambil menggelengkan kepala. "Tubuhnya masih
terlalu lemah. Ia tidak mengalami kegelisahan badaniah maupun rohaniah. Jendela-
jendela pun terkunci, maka tidak mungkin ia melompat dari situ dan jatuh ke
bawah. Kita harus segera mencari di seluruh puri."
Semua penghuni puri dikumpulkan dan ditanya. Tiada seorang pun telah melihat
pangeran. Segenap pelosok puri diselidiki, namun tanpa hasil. Hanya tiga orang
tetap bersikap tenang, walaupun seluruh puri seolah-olah di timpa badai. Mereka
adalah notaris, senorita Clarissa dan Alfonso. Mereka yakin, bahwa tidak lama
lagi orang-orang akan datang untuk minta pertolongan.
Benar juga perkiraan mereka, karena tidak lama kemudian datanglah Roseta dalam
suasana sangat tegang. Dilihatnya Alfonso duduk bersama Cortejo lalu ia berseru,
"Masya Allah, Alfonso, ayah hilang, dan engkau sedang duduk seenaknya saja di
sini!" Alfonso mengangkat bahu acuh tak acuh. "Masa bodoh! Bukankah aku tidak boleh
turut campur lagi" Bukankah kalian sudah merampas hak-hakku untuk berbicara?"
"Janganlah mengada-ada! Tak ada orang yang berkeinginan demikian."
"Janganlah kita bertengkar lagi! Kalian telah mengatur segala-galanya. Maka
kalian harus siap pula menerima akibatnya. Bila terjadi suatu kecelakaan pada
ayah, maka kalianlah yang bertanggungjawab. Janganlah menyeret-nyeret aku lagi!"
"Tetapi aneh bukan" Masakan ayah dapat menghilang begitu saja?"
"Jadi ayah tidak ada di dalam puri ini" Kalau begitu ia harus dicari di luar
puri ini. Senor Cortejo, Anda sebagai bendahara dan wakil ayah harus berdaya
upaya menemukan ayah kembali!"
Maka notaris bangkit dengan penuh harga diri dan bertanya kepada tuan puteri,
"Pakaian apa yang dikenakan don Manuel, dona Roseta?"
"Ya, Tuhan, ayah hanya berbaju tidur saja. Lagi pula ayah itu sedang sakit,
begitu lemah badannya, sehingga mustahil ia bangkit dari tempat tidur."
"Mungkin itu merupakan pendapat Dokter Sternau, namun saya mengetahui jiwa
kadang-kadang bertenaga luar biasa. Segera akan saya perintahkan pencarian
pangeran di daerah sekitar puri dan saya usulkan, supaya diberi hadiah kepada
orang yang dapat menemukannya. Dengan demikian orang mendapat rangsangan untuk
lebih giat mencari."
"Baik! Lakukanlah itu!" seru Roseta, lalu cepat pergi dari situ.
"Nah, bukankah sudah kukatakan dari semula?" Tanya Cortejo kepada anaknya. "Kini
aku bertindak sebagai bendahara dan wakil pangeran dan aku ingin mengetahui,
siapa yang tidak mengakui kedudukan itu."
Sternau telah memisahkan diri dari orang-orang lain. Baginya adalah mustahil,
bahwa pangeran yang sudah demikian lemah disebabkan oleh pengambilan darahnya,
masih sanggup meninggalkan tempat tidur dan kamarnya, apalagi meninggalkan puri.
Maka lebih masuk akal baginya, bahwa pangeran telah diculik. Karena itu ia pergi
ke luar dan berjalan-jalan mengitari puri untuk mencari jejak. Namun ia tidak
menemukan sesuatu yang dapat memberi pegangan sedikit padanya. Akhirnya ia
pulang lagi tanpa membawa hasil. Ia ingin menjaga Roseta yang sedang kacau balau
pikirannya. Itu. Dalam pada itu notaris sudah mulai usaha pencahariannya. Pesuruh-pesuruh
berjalan kaki maupun berkuda pergi kian kemari minta bantuan rakyat. Barang
siapa dapat menemukan pangeran akan diberi hadiah lima ratus duro. Namun usaha
ini pun tidak membawa hasil.
Hari berganti menjadi malam. Malam pun lalu, tanpa membawa hasil pula, meskipun
beratus-ratus orang berusaha sekeras mungkin, karena terdorong keinginan
memperoleh hadiah yang lumayan itu.
Keesokan harinya para penghuni puri duduk di ruang makan menghadapi makan pagi,
namun tiada seorang pun menyentuh makanan itu. Musibah itu Nampak dapat
menghapus segala sengketa dan permusuhan di antara mereka. Seorang abdi masuk ke
dalam. Ia memberitahu bahwa ada seorang Zanggi di luar yang membawa berita
penting bagi mereka. Orang itu segera disuruh masuk.
Ia adalah Garbo. Ia memakai sandal yang diikat dengan tali-tali melingkar kaki
dan betisnya. Celananya pendek dan compang-camping. Baju yang dikenakan serupa
pula. Ia memegang topi berbentuk runcing yang diputar-putarnya di dalam
tangannya, suatu tanda bahwa ia merasa canggung berhadapan dengan orang-orang
dari kalangan atas. "Siapakah kamu?" Tanya notaris.
"Saya hanya seorang Gitano miskin, senor," jawabnya.
"Saya membawa berita. Izinkanlah saya mengumumkannya!"
Orang Zanggi itu pandai bermain sandiwara. Wajahnya seperti orang baik-baik yang
belum pernah berbuat sesuatu yang merugikan sesamanya. IA mendehem dan memulai
laporannya, "Saya ini seorang Gitano miskin. Pencahariannya saya mengobati orang ataupun
hewan yang sakit. Oleh sebab itu saya biasa pergi ke pegunungan untuk mencari
akar-akar. Tadi pagi pun saya berbuat demikian. Saya melalui suatu tebing yang
curam. Tiba-tiba saya melihat sepotong kain melekat pada duri-duri sebuah
tumbuh-tumbuhan. Pada kain itu terlihat sebuah gambar mahkota dan di bawahnya
tertulis huruf-huruf R dan S..."
"Astagfirullah! Tanda kebesaran kita!" seru Roseta.
"Kau bawa kain itu?"
"Ya. Saya dengar, bahwa seorang pangeran kaya telah hilang dan kini sedang
dicari, lalu saya memungut potongan kain itu dan menuruni tebing curam itu. Di
bawah sekali, di kaki tebing itu saya temukan..."
Orang Zanggi itu gemetar, seolah-olah teringat olehnya sesuatu yang sangat
mengerikan, sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkataannya. Tetapi Roseta
bangkit melompat, menghampiri dan memberi perintah,
"Lanjutkan perkataanmu! Apa yang telah kau temukan?"
"Jangan!" kata Sternau sambil mendekati orang itu.
"Saya mohon supaya para wanita pergi lebih dahulu, sebelum orang itu melanjutkan
ceriteranya!" "Tidak, saya tidak akan pergi! Saya harus mendengar apa yang hendak
dikatakannya!" jawab tuan puteri dengan hati yakin, sehingga Sternau tidak
mengemukakan keberatan lagi.
"Haruskah saya melanjutkan ceritera saya?" Tanya Gitano itu.
"Ya," jawab tuan puteri, "bahkan saya perintahkan!"
"Di bawah, di dasar ngarai itu, saya lihat sesosok mayat."
"Mayat!" seru tuan puteri sambil meremas-remas tangannya karena putus asa. "O,
ayahku, ayahku yang kusayangi!"
Sternau meletakkan tangan ke atas tangan gadis itu.
"Dona, Roseta, kuatkan diri Anda! Masih belum waktunya berputus asa. Mayat itu
mungkin juga mayat orang lain ataupun orang yang disangka sudah mati sebenarnya
masih hidup. Sebaiknya Anda menunda perasaan Anda sampai sudah diperoleh hasil-
hasil penyelidikan!"
"Tidak mungkin ia masih hidup, karena tubuhnya sudah hancur," kata Gitano itu.
"Kau membawa potongan kain itu?" Tanya Alfonso.
Orang Zanggi itu mengeluarkan secarik kain berbentuk segitiga dari bahan tenunan
yang luar biasa halusnya, lalu diberikannya kepada pangeran muda. Sekali pandang
sudah cukup bagi Alfonso. Ia berseru dengan tegas.,
"Itu tanda kebesaran kita. Pastilah!"
"Coba perlihatkan!"
Dengan mengucapkan dua patah kata itu Roseta melompat ke arah saudaranya dan
merebut potongan kain dari genggaman tangannya serta mengamatinya.
"Mati! Benar-benar mati! Ya, Tuhan!" bisik gadis itu, sambil berpegangan pada
sebuah meja supaya jangan terjatuh.
"Anda mengetahui dengan pasti?" Tanya Sternau dengan sangat terharu.
"Ya, sudah pasti," kata gadis itu sedih, "Kain itu koyakan dari kemeja ayah,
yang telah saya kenakan padanya, setelah selesai pengambilan darah itu. Dapat
saya kenal dari nomornya." Dan sambil menghadap kepada orang Zanggi itu ia
berkata, "Cepat katakana, di mana ia dapat ditemukan!"
"Ia terbaring di dalam ngarai yang dinamakan Bateria."
Kata bateria yang berasal dari bahasa Spanyol itu berarti juga dinding atau batu
karang yang runtuh, jadi suatu tempat yang berbahaya. Ketika orang-orang
mendengar kata yang mengerikan itu, mereka mengetahui bahwa sudah tidak ada
harapan lagi, karena Bateria itu ngarai yang dalamnya lebih dari seratus meter
dengan tebing-tebing yang hampir tegak lurus ke bawah. Barang siapa terjatuh ke
dalamnya, tentu akan hancur tubuhnya berkeping-keping.
"Cukuplah!" ratap Roseta. "Ya Tuhan, aku telah membunuhnya. Aku telah lengah dan
tertidur ketika ayah meninggal. Peristiwa ini tak dapat kulupakan dan akan
selalu menghantui hidupku! Ayahku! Ayahku!"
Ia pergi meninggalkan kamar dengan menggenggam secarik kain itu di dalam
tangannya. Amy Dryden mengikutinya dengan maksud melipur lara pada kawannya.
"Dapatkah mayat itu dicapai tanpa menempuh bahaya?" Tanya notaris kepada orang
Zanggi itu. "Dapat, asal kita mengenal baik daerah berbatu itu."
"Kau mengenalnya" Maukah engkau menjadi penunjuk jalan?"
"Mau. Tetapi saya ini hanya seorang Zanggi yang miskin, senor."
"Baik, engkau akan mendapat upah lima ratus duro asal mayat itu benar-benar
mayat orang yang kami cari. Saya rasa, don Alfonso harus ikut untuk memastikan,
mayat itu mayat ayahnya atau bukan."
Yang diajak bicara hanya mengangguk saja. Sternau tidak diminta turut dengan
mereka. Itu sudah diduganya, meskipun hal itu bukan berarti bahwa ia akan
tinggal diam. Berita tentang penemuan mayat pangeran itu segera tersiar ke mana-
mana. Setiap orang ingin ikut mengambil mayat itu. Rombongan yang dipimpin oleh
notaris dan Alfonso itu setiap saat mengembang, karena orang-orang dari puri
maupun dari desa berduyun-duyun bergabung dengannya.
Sternau mula-mula pergi ke kamar Roseta. Peristiwa kecelakaan itu sebenarnya
tidak amat meyakinkan baginya. IA bermaksud menghibur hati gadis itu, tetapi
Roseta memberitahu, bahwa ia tidak ingin diganggu pada saat itu karena hatinya
masih diliputi kesedihan, Kini Sternau bersiap-siap hendak pergi juga ke tempat
kecelakaan itu. Ia tidak menggabungkan diri dengan rombongan notaris, melainkan
hanya minta Alimpo menunjukkan jalan baginya. Ngarai Bateria itu setengah jam
perjalanan dari Rodriganda ke arah Manresa. Di kedalaman yang gelap mengalir
sebuah sungai yang gelap pula. Airnya yang dingin tidak mendatangkan banyak
manfaat bagi tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tepinya, karena cahaya matahari
tidak dapat menembus ngarai itu, karena jalan yang menuju ke bawah terlalu
banyak rintangannya. Namun Alimpo menerangkan kepada Sternau, bahwa semasa kecil
ia berkali-kali telah menuruni ngarai itu. Ia mengenal suatu jalan ke bawah yang
mungkin belum diketahui orang Zanggi itu.
Notaris telah mengirim seorang utusan untuk memanggil dokter Cielli di Manresa
serta wali kota Rodriganda, supaya pemeriksaan mayat menjadi agak resmi


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sifatnya. Telah disediakan juga sebuah usungan untuk mengangkut mayat itu.
Alimpo bukanlah seorang pejalan kaki yang terlatih, maka rombongan notaris lebih
dahulu tiba di Bateria daripada Sternau. Namun berkat pertolongan Alimpo yang
mengenal jalan singkat ke dasar tebing, Sternau tiba di situ bersamaan waktunya
dengan rombongan notaris.
Tamasya yang sangat mengerikan menanti mereka. Di tepi anak sungai terkapar
mayat orang yang terjatuh itu. Ketika terjatuh, mayat itu tersangkut pada ujung
batu yang tajam-tajam, sehingga tidak terbentuk manusia lagi, melainkan berupa
onggokan daging yang bonyok, yang menimbulkan pemandangan yang mengerikan.
Wajahnya hancur luluh, sehingga tidak dapat dikenal lagi. Alangkah terkejut si
penjaga puri ketika melihat pemandangan itu. Dengan air mata bercucuran ia
meratap. "Kasihan benar, pangeran yang sebaik itu! Akhirnya harus menemui kematian yang
mengerikan seperti ini! Pemandangan ini tak kulupakan seumur hidupku!"
Segera terdengarlah ratap tangis di mana-mana, Cortejo tiada berkata-kata dan
Alfonso menghampiri jenazah "ayahnya" lalu berusaha berlutut di hadapannya. Akan
tetapi ia tiada sampai berbuat demikian, karena tiba-tiba dihinggapi perasaan
sangat ngeri. Sternau mengamati tingkah laku Alfonso, lalu menghampiri tubuh
yang tidak berbentuk itu dan berjongkok untuk menyelidikinya.
"Jangan!" kata notaris. "Sebaiknya kita jangan menyentuh tubuh itu, sebelum
senor Cielli dari Manresa tiba!"
Sternau mundur selangkah dan berkata dengan nada mengejek,
"Saya tidak mempersoalkan apakah menjadi hak Anda untuk mengeluarkan perintah
demikian, namun karena dokter Cielli adalah dokter pengadilan, maka bolehlah ia
sebagai orang pertama menyelidiki mayat itu."
"Bahkan sebagai wakil mendiang pangeran, saya berkewajiban mengawasi, supaya
segala sesuatu berjalan sesuai dengan peraturan," jawab notaris. "Telah saya
jelaskan, bahwa pangeran sudah berubah akal. Saya telah menganjurkan penjagaan
yang ketat, namun Anda melawan kehendak saya dan dengan demikian memungkinkan
pangeran melarikan diri. Jadi Anda sendirilah yang harus memikul tanggung jawab
kematian pangeran, kematian yang begitu mengerikan itu. Dan Anda tidak boleh
merasa heran, bila kami tidak tinggal diam, membiarkan Anda terus-menerus
menyebarkan onar dan bencana di tempat yang sama sekali bukanlah menjadi hak
Anda." Sternau hanya mengangkat bahu sebagai tanda, bahwa ia tidak merasa perlu
melayani ocehan seperti itu. Beberapa waktu berlalu sebelum dokter dari Manresa
tiba. Selama waktu itu perhatian orang tertuju kepada tingkah laku Sternau yang
sifatnya agak ganjil. Ia pergi ke lembah dan menyelidiki setiap tapak tanah di
situ. Ia mengamati setiap batu dan setiap ujung karang. Bahkan ia mendaki tebing
karang yang curam itu, suatu pekerjaan yang sangat berbahaya dan menyelidiki
tepi tebing, tempat pangkal orang mati itu terjun ke bawah. Notaris mengamati
perbuatan itu dengan pandangan mengejek. Nyatalah bahwa ia sangat tidak setuju
dengan perbuatan itu, tetapi ia tidak dapat melarangnya. Akhirnya tibalah
Cielli. Supaya cepat sampai, ia datang berkuda. Kuda ditambatkan di atas, dan ia
sendiri menuruni ngarai itu.
"Selamat datang, senor!" sambut Cortejo sambil menghampirinya. "Saya telah lama
menantikan Anda." "Saya tidak dapat tiba lebih cepat lagi, don Gasparino," jawabnya.
"Anda sudah mendengar tentang peristiwa ini?"
"Sudah. Utusan Anda sudah memberitahu kepada saya. Kasihan benar, pangeran itu!
Begitu menyedihkan kematiannya. Wah, siapa itu yang sedang bermain akrobat di
tebing yang curam itu" Nekad benar ia." Cielli menunjuk ke atas, ke tempat
Sternau sedang menyelidiki batu-batuan.
"Itu rekan Anda yang termasyhur itu," jawab notaris dengan mengejek.
"Nampaknya ia sedang mencari sarang burung atau telur burung di situ."
Kini Sternau melihat, bahwa Cielli sudah tiba. Ia turun ke bawah dengan
kecepatan yang luar biasa, yang membuat orang-orang tercengang.
"Ia bergerak seperti seekor kucing," geram Cortejo.
"Lebih tepat dikatakan seperti monyet, demikian juga tingkah lakunya," tambah
Cielli. "Benar-benar rajin dia."
"Saya harap, Anda tidak akan memberi kesempatan kepadanya untuk mengemukakan
pendapat, senor dokter."
"Tentu saja tidak," jawab Cielli. "Saya sebagai dokter pengadilan mengetahui
benar kewajiban saya. Mari kita mulai mengadakan penyelidikan."
Mereka bercakap perlahan-lahan, sehingga tiada terdengar orang lain. Namun dari
pandangan mata mereka ke arah Sternau yang berjalan menghampiri mereka, tampak
jelas perasaan mereka. Wali kota dipanggil dan pergi bersama notaris dan Cielli
ke mayat itu. "Anda pertama-tama harus menerangkan tentang keadaan tubuh ini, masih hidupkah
atau tidak," kata Gasparino kepada dokter itu.
Dokter Cielli memperhatikan sejenak sisa-sisa tubuh yang sudah hancur itu lalu
berkata, "Masih hidup" Tak mungkin! Orang ini terang sudah mati!"
"Catat dalam laporan, pak wali kota!" perintah Cortejo. "Sesudah itu harus
dipastikan sebab-sebab kematiannya."
"Sebabnya ialah : terjatuh ke dalam ngarai," demikian keterangan dokter.
"Catat lagi, pak wali kota! Namun yang paling penting adalah mengidentifikasikan
sang korban. Ia mengenakan baju tidur pangeran Manuel de Rodriganda, ia pun
tiada bersepatu, seakan ia baru saja terbaring di tempat tidurnya. Pangeran
telah mendapat serangan penyakit gila dan melarikan diri - tidak dapat disangsikan
lagi, bahwa orang mati ini adalah pangeran. Setujukah Anda, Dokter?"
"Setuju!" Cortejo mengajukan pertanyaan kepada penjaga puri,
"Senor Alimpo, tahukah Anda baju apa yang dikenakan oleh pangeran pada malam
terakhir?" "Ya, saya melihatnya ketika Elvira mengambilnya." bunyi jawabnya.
"Inikah bajunya?"
Cortejo menunjuk ke suatu arah lalu berkata, "Orang Gitano ini telah menemukan
secarik kain di atas tebing. Kami tidak membawa kain itu, namun nyata kain itu
bersangkut paut dengan peristiwa ini. Tanda kebesaran pangeran terlukis di
atasnya. Jadi sudah jelas pangeranlah orangnya. Para hadirin yang semua mengenal
baik don Manuel dalam hidupnya diminta supaya mendekat dan memastikan sendiri
tubuh siapakah yang terbaring itu, tubuh pangeran atau bukan."
Mereka mendekat dengan gemetar dan semua tanpa kecuali menyatakan, bahwa tubuh
itu benarlah kepunyaan don Manuel. Bahkan Alimpo menemukan sesuatu yang lebih
penting. "Senores," serunya, "lihatlah tangan ini! Di jarinya melekat cincin nikah
pangeran. Cincin itu selalu dipakainya."
Benarlah apa yang dikatakan itu. Kaum Zanggi itu cerdik benar. Mereka telah
melepaskan cincin dari jari pangeran lalu mengenakannya pada jari mayat itu.
"Maka tidaklah dapat disangsikan lagi, mayat itu mayat pangeran," kata Cortejo.
"Pak wali kota, catatlah itu!"
Wali kota itu mencatat keterangan yang didiktekan oleh Cortejo dan setelah
dilengkapi dengan beberapa catatan tambahan lalu ditandatangani.
"Letakkan mayat itu ke atas usungan!" perintah notaris. "Kita akan mengangkut ke
puri!" Para pemikul mendekat. Ketika itu datanglah Sternau yang hingga kini hanya
memperhatikan kejadian itu dari jauh saja.
"Jangan!" katanya. "Saya berkeberatan, bila mayat itu dipindahkan dari sini.
Puri itu bukanlah tempatnya!"
"Wah!" seru Cortejo. "Anda ingin turut mengemukakan pendapat Anda" Namun
berdasar apa dan karena kedudukan apa?"
"Karena saya ini dokter pangeran."
"Sayang tidak lagi!"
"Baik, kalau begitu saya sebagai manusia menaruh keberatan pada pemindahan mayat
itu. Itu sudah cukup. Dalam perkara seperti ini para pejabat pengadilan
mempunyai kewajiban untuk mendengar pendapat setiap orang yang ingin dikemukakan
berhubung dengan masalah ini."
"Setuju, senor! Namun pendapat Anda itu tampak hanya merupakan ocehan yang tidak
perlu diperhatikan. Coba katakan, mengapa mayat tidak layak ditempatkan di dalam
puri." Perhatian semua orang tertuju kepada Sternau. Notaris telah berbicara dengan
nada mengejek dan dokter Cielli berusaha sedapat mungkin memperdengarkan tawa
yang mengejek pula. Pangeran muda pun menggelengkan kepala untuk menyatakan
perasaan tersinggung. Namun orang-orang lain berpihak kepada Sternau dan menanti
jawabannya. Dengan tenang ia berkata,
"Orang yang mendapat kecelakaan itu tidak layak dibawa ke puri, karena ia
bukanlah don Manuel."
Keterangan itu membuat orang tercengang, tetapi pihak lawan Sternau tertawa
terbahak-bahak. "O, sungguh lucu!" tukas notaris. "Jadi mayat ini bukanlah mayat don Manuel!
Mungkinlah senor Sternau menderita penyakit sama dengan pangeran. Ayo, angkat
mayat itu!" "Tunggu!" seru Sternau. "Mayat ini tetap di tempatnya hingga saya selesai
memberi kesaksian tentang alasan-alasan saya mempunyai pendapat demikian.
Sesudah itu Anda boleh berbuat sesuka hati pada mayat tersebut."
"Kami tidak butuh alasan-alasan Anda. Ayo, angkat mayat itu!"
"Maaf, senor Cortejo," kata wali kota menengahi. "Saya bertindak atas nama
pengadilan dan selayaknya senor Sternau kita dengar juga pendapatnya!
Sesungguhnya mayat itu tidak boleh dipindah sebelum kepala polisi tiba. Demikian
juga ketentuan dengan penyamun yang dikalahkan senor Sternau di taman itu. Namun
dalam perkara ini tadinya saya mengira, saya boleh menyimpang sedikit, karena
perkara ini tidaklah tergolong perkara kriminil, hanya merupakan peristiwa
kecelakaan, karena sudah ada kepastian, bahwa mayat itu mayat pangeran. Namun
kini persoalannya berubah dan dalam hal ini saya sendirilah yang harus mengambil
keputusan. Senor Sternau, silakan Anda berbicara!"
Sternau mengangguk puas dan mulai berbicara,
"Boleh saya ajukan pertanyaan kepada Anda, bapak wali kota, berapa lama don
Manuel telah hilang?"
"Sejak kemarin pagi," jawab pegawai negeri itu.
"Jadi berapa lama ia sudah meninggal?"
"Tidak lebih lama dari dua puluh empat jam."
"Baik! Kini Anda perhatikan mayat itu! Keadaannya benar-benar sudah membusuk.
Perhatikan isi perutnya! Sudah biru kehitam-hitaman warnanya. Kita tidak usah
menjadi seorang dokter untuk dapat memastikan bahwa orang ini tidak mungkin mati
dua puluh empat jam yang lalu. Lagi pula melihat keadaan gelap dan dingin
seperti di tempat ini, maka sesosok mayat sekurang-kurangnya dapat bertahan
selama dua minggu di sini. Maka saya minta para penghuni sudi mempertimbangkan
dengan akal yang sehat dan tidak dapat begitu saja dipermainkan oleh praktek
para tukang sulap yang gelap...."
"Diam!" selang notaris. "Mengapa dibiarkan saja orang ini mengacau!" Wali kota
menjawab, "Senor Cortejo, saya ingin mendengar keterangan senor Sternau dahulu,
kemudian baru akan mengambil keputusan sendiri!" Lalu ia menghadap kepada
Sternau dan berkata, "Silakan senor melanjutkan keterangan Anda!"
"Seperti telah saya katakan tadi, sebaiknya Anda menggunakan akal Anda yang
sehat. Pak wali kota, Andaikata Anda membantai seekor kambing dan Anda
membiarkan kambing di tempat ini. Berapa lamakah kira-kira menurut pertimbangan
Anda, tubuh itu akan menjadi busuk seperti mayat itu!"
"Anda benar juga. Kira-kira setelah dua minggu," jawab pegawai negeri itu.
"Bagus!" kata Cielli menyindir. "Seorang manusia dipersamakan dengan seekor
kambing!" Sternau memandang kepadanya dengan tenang.
"Saya menggunakan perbandingan, supaya dapat dimengerti oleh orang biasa. Dan
mereka merasa puas. Itu dapat saya lihat pada wajah mereka. Namun Anda selaku
seorang dokter mereka, tidak dapat mengerti. Itu suatu hal yang benar-benar
aneh!" "Saya sama sekali tidak suka mendengar kata-kata sindiran seperti itu!" kata
Cielli dengan berang. "Perkataan saya saat ini haruslah Anda anggap sungguh-sungguh, senor. Maka
perhatikanlah baik-baik apa yang hendak saya katakan! Tadi sudah saya utarakan
pendapat saya tentang kecurigaan yang pertama. Kini Anda akan mendengar yang
kedua: kaki sebelah kanan mayat baik kita periksa dan mengambil ukurannya.
Lihatlah, kaki ini masih utuh benar. Saya pernah melihat kaki pangeran. Kaki ini
lebih besar dan lebih lebar. Telapak kakinya tebal dan berbelah, tumitnya keras
bertulang, tiada layak didapati pada kaki seorang bangsawan yang belum pernah
berjalan kaki tanpa bersepatu. Coba saksikanlah sendiri, pak wali kota!"
Pendidik Rodriganda mengerumuni Sternau dan diam-diam menyetujui pendapatnya.
Namun notaris berkeras kepala yang membantah,
"Dan mengapa mayat itu memakai pakaian pangeran?"
"Tentu pakaian itu dengan sengaja dikenakan kepadanya."
"Lalu cincinnya."
"Itu pun dikenakan pada jarinya."
"O, jadi Anda menduga suatu perbuatan kejahatan?"
"Tentu! Coba perhatikan mayat itu baik-baik! Memang ia telah terjatuh dari atas
tebing yang sangat tinggi, namun tidak mungkin tubuh itu menjadi hancur
sedemikian rupa. Menurut pendapat saya orang ini telah dilemparkan keras-keras
ke bawah. Kemudian pelakunya menuruni ngarai dan menghancurkan bagian-bagian
tubuh mayat yang masih belum rusak agar tidak dikenal lagi."
"Itu pendapat seorang gila!" seru Alfonso.
"Memang keterlaluan!" tambah notaris.
Orang Zanggi itu menjadi pucat wajahnya, tetapi orang-orang lain masih sangat
menyangsikan kebenaran pendapat Sternau. Sternau melanjutkan keterangannya.
"Kini akan saya buktikan kebenaran pendapat saya."
Lalu ia pergi ke suatu tempat tidak jauh dari situ. Sebuah batu diangkatnya dan
diperlihatkannya kepada pejabat itu.
"Apa yang melekat pada batu ini?"
"Darah." "Bukan! Bukan darah. Coba perlihatkan saja kepada senor Cielli. Ia akan mudah
mengenalnya." Wali kota memperlihatkan batu itu kepada dokter itu. Dokter Cielli memeriksa
sejenak lalu berkata, "Memang bukan darah. Ini percikan dari otak sang korban. Itu berarti bahwa
kepala korban terbentur kepada batu itu ketika terjatuh."
"Sayang saya tiada sependapat," jawab Sternau, "dan akan saya buktikan justru
kebalikannya. Silakan tuan-tuan mengikuti saya!"
Lalu ia pergi ke arah yang berlawanan dengan arah letak batu itu dan menunjuk
kepada sebuah lubang di tanah. Batu itu sesuai benar bentuknya dengan lubang
itu. "Lihatlah, tuan-tuan, inilah lubang tempat batu itu melekat di tanah. Batu itu
kemudian dikeluarkan dengan paksa. Saya menemukannya di tempat tadi. Di antara
tempat itu dengan lubang terletak mayat itu. Hal itu berarti, bahwa batu itu
diambil orang dan digunakan sebagai pemukul kepala mayat. Maka pada batu itu
melekatlah percikan otak mayat. Kemudian batu itu dilempar jauh-jauh. Ternyata
pelakunya telah berlaku sangat ceroboh."
"Benar jugalah pendapat Anda itu!" seru wali kota terheran-heran.
"Mana mungkin! Pandai benar orang itu mengarang ceritera!" kata Alfonso.
"Ikut saya naik ke atas. Akan saya perlihatkan sesuatu!" jawab Sternau.
Ia mendaki ke atas dan orang-orang mengikutinya. Setiba di tepi Bateria ia pergi
ke arah kanan dan berdiri di tepi ngarai yang curam.
"Lihatlah, tuan-tuan!" katanya. "Inilah tempat mayat terjatuh. Sebelum terjatuh,
mayat itu terbaring dahulu di sini. Bekas mayat tampak dengan nyata. Rumput di
tempat ini rebah dan masih belum bangkit setegak sediakala. Bekas itu berbentuk
tubuh seseorang yang sedang berbaring. Dan di sekitar bekas ini tampak jelas
jejak-jejak kaki orang. Jadi beberapa orang telah berkumpul di sini. Mereka
telah melempar mayat itu ke bawah. Dan saat kejadian adalah semalam, itu dapat
dibaca dari jejak-jejak itu."
"Alangkah cerdas pendapat Anda!" kata wali kota terheran-heran.
"Bangsat!" gerutu notaris.
Wajah Garbo tampak lebih pucat. Hal itu tidak luput dari perhatian Sternau, yang
telah mengamati setiap orang. Ia menghampiri wali kota dan berkata,
"Saya rasa Anda cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan saya ini, senor. Siapakah
menurut pendapat Anda orang yang dapat memberi penerangan dalam hal ini?"
Wali kota berpikir sejenak lalu menyatakan tidak sanggup menjawab pertanyaan
itu. "Kalau begitu akan saya katakan." Sternau menghampiri orang Zanggi itu, menepuk
bahunya dan berkata, "Inilah orangnya. Dialah yang menemukan mayat itu, maka dia jugalah dapat
menjadi sumber penerangan bagi kita. Ikutilah saya!"
Lalu Sternau memegang tangannya dan menarik ke tempat jejak-jejak itu. Di situ
ada tempat berlumpur, yang memperlihatkan jejak-jejak kaki dengan jelas.


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perhatikan sandalnya yang penuh Lumpur itu!" kata Sternau.
"Benar juga!" kata wali kota.
"Dan bahwa bentuk kakinya sesuai benar dengan jejak di Lumpur itu."
Sternau menyuruh Garbo berdiri di atas jejak itu.
"Ini pun benar!" kata wali kota. "Nah, Gitano, bukalah mulutmu! Kau harus
bertanggungjawab." Garbo berusaha menguasai diri dan menjawab.
"Keterangannya memang sederhana. Bersama dua orang kawan saya telah mencari akar
tumbuh-tumbuhan. Kami tiba di tepi ngarai. Di situ saya berbaring melepas lelah,
sedangkan kawan-kawan saya berjalan terus. Bekas di atas rumput itu saya sendiri
yang membuatnya, senor."
"Kau benar-benar cerdik. Dan bagaimana keteranganmu tentang kain koyak dari baju
pangeran itu" Kau temukan melekat pada duri tumbuh-tumbuhan, bukan?"
"Benar," jawab Garbo kemalu-maluan.
"Coba perlihatkan duri itu!"
"Mari!" Garbo menuruni ngarai untuk mencari duri itu, namun tiada berhasil.
"Saya tidak dapat menemukan kembali," katanya dengan menyesal.
"Itu sudah saya duga!" kata Sternau. Bila baju seseorang yang terjatuh
tersangkut pada duri, maka baju itu akan cabik-cabik, atau Andaikata hanya
sepotong kecil saja yang koyak, maka tepi koyakan akan menunjukkan tiras-tiras
yang tidak beraturan. Potongan kain yang kau temukan itu koyakannya rapi benar.
Sungguh tidak diperlukan kepandaian luar biasa untuk dapat membedakan koyakan
oleh tangan dengan koyakan oleh duri tumbuh-tumbuhan.
"Saya setuju!" kata wali kota dengan wajah sungguh-sungguh.
"Maka kini saya mengeluarkan pernyataan ini," demikian dilanjutkan Sternau,
"bahwa mayat itu bukanlah mayat pangeran de Rodriganda, melainkan mayat orang
lain yang ditukar dengan sengaja untuk maksud-maksud jahat. Saya minta supaya
segala pernyataan saya dicatat dan supaya segala jejak yang telah saya temukan
dijaga, jangan sampai terhapus. Selanjutnya saya berharap, supaya mayat itu
tidak disentuh orang hingga kepala polisi tiba untuk mengadakan penyelidikan
seperlunya." "Itu akan dilaksanakan, senor," jawab wali kota.
"Anda akan mengusahakan supaya ngarai itu dijaga?"
"Baik." "Lalu menahan Gitano yang mencurigakan ini?"
"Baik, bila Anda menganggap perlu."
Alfonso menyatakan keberatan. Dalam perjalanan ke ngarai itu ia mendengar dari
notaris, bahwa orang Zanggi itu bekerja sebagai pesuruhnya. Kini dikhawatirkan
bahwa Garbo akan membocorkan rahasia bila ia ditahan.
"Itu tidak dapat saya izinkan!" katanya. "Apakah Anda sudi melayani kepentingan
orang asing ini, pak wali kota" Tiadakah Anda sadari, bahwa setelah ayahanda
meninggal saya sendiri pemegang tampuk pimpinan" Saya adalah putera ayahku!"
Sternau mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. Ia menjawab dengan tenangnya,
"Anda perlu membuktikan lebih dahulu bahwa Anda benar-benar putera pangeran,
karena pangeran Alfonso yang sesungguhnya sedang di dalam sebuah kapal laut
bersama nakhoda Landola. Ia telah diculik orang."
Pernyataan itu sebenarnya baru merupakan dugaan belaka, namun suasana menjadi
gempar. "Terlalu! Terlalu benar!" seru orang-orang. Notaris terperanjat. Namun Alfonso
melompat hendak menyerang Sternau.
"Bangsat!" serunya. "Tukang fitnah, akan kucekik lehermu!"
Sternau meluruskan tubuhnya, memegang pinggang si penipu, lalu dengan mudah
mengangkatnya dan membawa ke tepi tebing yang curam. Kemudian ia mengangkat
tinggi-tinggi di atas ngarai yang menganga dan dalam itu.
"Kau ingin mencekik leherku, bedebah!" kata Sternau sambil tertawa. "Inginkah
kulempar ke bawah, seperti yang pernah dialami oleh korban kecuranganmu" Namun
apa guna membunuh seorang penipu yang tiada berarti seperti kau ini" Lebih baik
engkau mampus saja karena praktek-praktekmu yang busuk. Cepat enyahlah dari
sini!" Lalu ia meninggalkan ngarai dan melempar Alfonso ke samping. Kemudian ia berkata
kepada wali kota, "Saya harap, Anda akan memenuhi kewajiban Anda. Bila tidak, Anda sendiri akan
terkena akibat buruknya. Mari, pak penjaga puri, kita pergi!"
Ia pergi bersama Alimpo tanpa mendapat halangan dari orang-orang. Alfonso
bangkit. Ia gemetar menahan amarahnya, namun tiada berani mencurahkan amarahnya
kepada dokter itu. Malu benar ia pada orang-orang yang memandang sebagai tuannya
itu. Kini ia mencurahkan amarahnya kepada wali kota,
"Andalah yang menjadi gara-gara dari perlakuan buruk pada saya ini. Peristiwa
ini tak dapat saya lupakan."
"Saya hanya melakukan kewajiban saya!" kata pejabat itu untuk membela diri.
Ia seorang bawahan dari pangeran. Ia telah bertindak sesuai dengan hukum, karena
terkesan oleh wibawa Sternau yang kuat itu, secara jasmani maupun rohani. Namun
dokter itu kini tidak lagi di sampingnya dan makin susutlah keberaniannya
menghadapi "pangeran" muda, terutama karena notaris itu pun turut campur dan
menghardik kepadanya. "Barangkali Anda masih belum mengetahui benar, siapakah saya ini."
"Saya mengetahui, Anda adalah bendahara pangeran."
"Baik. Jadi apa makna perkataan itu?"
"Anda mewakili pangeran dalam soal keuangan dan dalam soal hukum."
"Bagus! Hingga kini saya masih memegang jabatan itu. Jadi yang saya lakukan
sebenarnya sama dengan yang dilakukan oleh pangeran sendiri. Jadi Anda akan
menghukum Gitano yang tiada bersalah ini?"
Wali kota merasa serba salah, maka ia diam saja. Kemudian Cortejo berkata pada
orang Zanggi itu, "Engkau sudah tidak kami perlukan. Engkau boleh pergi. Tidak
ada orang yang dapat menghalangimu!"
Mata Garbo berseri-seri karena gembira. Ia membungkuk dalam-dalam di hadapan
Cortejo dan menjawab, "Terima kasih, senor! Saya sungguh tidak bersalah!"
Ia pergi tanpa menemui rintangan dari wali kota. Kini notaris memerintah orang-
orangnya. "Turun ke bawah dan usunglah jenazah pangeran yang malang itu ke puri! Siapa
yang tidak mematuhi perintah saya, akan dipecat!"
Orang-orang mematuhi perintah tanpa menentang. Ketakutan pada notaris itu
meniadakan segala usaha Sternau untuk menegakkan hukum. Wali kota bergabung pula
dengan rombongan. Tiada lama lagi rombongan akan berangkat. Dokter dari Manresa
mendampingi jenazah, sedangkan Cortejo dan Alfonso berjalan di belakang supaya
dapat bercakap-cakap tanpa didengar orang.
"Sternau tentu akan melapor pada polisi," kata putera notaris. "Ia dapat
melakukan hal-hal yang tidak terduga-duga."
"Aku pantang menyerah!"
"Tapi aneh juga. Bagaimana ia dapat mengetahui bahwa aku bukan putera don Manuel
de Rodriganda yang sejati?"
"Wallahu alam! Ia tinggal satu-satunya lawan kita, maka harus selekasnya
dibijaksanakan." Anggota-anggota rombongan yang lain pun bercakap-cakap sambil berjalan. Mereka
sangat menyegani Sternau dan membenci penentangnya. Setiap orang telah mendengar
perkataan Sternau. Kini mereka mengutarakan perasaan mereka dengan berbisik-
bisik dan yang dibisikkan itu sama sekali tidak menjunjung tinggi martabat
"pangeran" muda itu.
Rombongan kini tiba di puri dan notaris memerintahkan meletakkan jenazah di
rumah ibadat. Kemudian ia pergi ke kamarnya. Di dalam kamar sudah terdapat
surat-surat yang diantar oleh pos ketika ia tidak hadir. Surat pertama hanya
berisi berita singkat. Baru selayang pandang dibacanya surat itu, maka pada
wajahnya terbayang rasa keiblisan.
"Bagus! Bagus! Cocok benar!" serunya. "Nasib mujur sekali ini menemaniku!"
Dengan menggenggam surat dalam tangan ia bergegas ke wanita, sekutu
kejahatannya. Alfonso sudah berdiri di dalam kamar wanita itu, sedang
menceriterakan kejadian di Bateria.
"Benarkah, ceritera itu Gasparino?" Tanya Clarissa.
"Jadi kita sedang dalam keadaan bahaya?"
"Bahaya itu kini sudah berlalu," jawab Cortejo.
"Sungguh?" tanya Alfonso.
"Ini, inilah yang menolong kita!" seru notaris sambil mengacungkan surat itu.
"Surat apa, ayah?" Tanya Alfonso.
"Surat dari bank di Barcelona, Pangeran telah menghibahkan sejumlah uang kepada
Sternau." "Lain tidak?" tanya Clarissa kecewa. "Bukankah sudah dapat kita duga perbuatan
itu?" "Namun perbuatan itu dapat menjerat leher dokter itu! Uang hibah itu tidak
dibayarkan dengan tunai, melainkan dengan surat cek dan surat cek itu dikirim
Sternau kepada bank dengan permintaan untuk diteruskan ke Jerman. Bank itu telah
melakukan tugas itu dan melaporkan kejadian itu kepada pangeran."
"Tetapi hingga kini sungguh masih belum jelas bagiku, mengapa peristiwa ini
dapat menjerat leher dokter itu," kata Alfonso sambil menggeleng kepala. "Harap
ayah bicara lebih jelas lagi!"
"Besarnya jumlah uang itulah, yang dapat menjerat leher dokter itu. Coba baca
sendiri!" Setelah surat dibaca oleh kedua orang itu mereka merasa heran.
"Tak mungkin!" seru Clarissa.
"Alangkah besar jumlah itu!" seru Alfonso.
"Hadiah yang layak bagi seorang pangeran, bahkan bagi seorang raja pun. Sungguh
balas jasa yang istimewa sebagai imbalan penyembuhan penyakit mata itu! Pandai
benar dokter itu melepas jeratnya. Pangeran sudah di dalam cengkeramannya, susah
untuk melepaskannya."
"Namun," kata Alfonso, "masih belum mengerti juga aku...."
"Kau akan segera mengerti. Pangeran itu buta. Ia belum pernah menulis sepatah
kata pun..." "Lalu?" "Segala urusan tulis-menulis adalah pekerjaanku. Bahkan penulisan tandatangan
pun diserahkan kepadaku. Tiba-tiba surat cek ini ditulis dengan tangan pangeran
sendiri...." "Jadi demikiankah persoalannya" Aku sudah mulai mengerti!" seru Alfonso.
"....seluruhnya tanpa sepengetahuanku dan tidak tercatat dalam buku-buku."
"Tidak tercatat?"
"Tidak. Selama tiga hari aku lupa membuat catatan-catatan dalam buku. Aku masih
harus membayar uang hibah sebesar seribu duro, sesuai perintah pangeran. Itu
merupakan bukti yang memberatkan Sternau."
"Bagus!" seru Clarissa. "Akhirnya kita akan memperoleh kemenangan juga."
"Akan kuusahakan sebaik-baiknya. Kamu, Alfonso, bersiap-siap pergi ke Manresa."
"Apakah kerjaku di situ?"
"Masa harus kau tanya juga" Kau harus mengadukannya kepada polisi. Sternau harus
ditangkap selekas mungkin."
"Dan bagaimana dengan Roseta" Bila diketahui olehnya, ia dapat menjadi saksi dan
akan menentang kita."
"Memang kejadian itu harus kita perhitungkan juga. Akan kupikir mengenai hal
itu. Lagi pula tujuan kita bukanlah untuk memperoleh kembali uang itu dan
mengusahakan supaya Sternau ditahan berdasar tuduhan pemalsuan tandatangan.
Untuk sementara cukuplah, bila ia tidak berdaya. Dan untuk itu diperlukan
bantuan kawanku, kepala polisi."
"Jadi menurut pendapat ayah, Sternau tidak akan dibawa ke Manresa, melainkan ke
Barcelona?" "Tentu, karena perkara ini meliputi jumlah uang sangat besar. Sementara kamu
pergi ke Manresa, akan kusiapkan surat kepada kepala polisi. Sternau dalam
tahanan, jenazah pangeran dimakamkan, engkau menerima warisan dan menerima
pangkat sebagai pangeran baru. Bila dari pihak Roseta timbul kesulitan, mudah
sekali kita menjinakkannya. Ia harus mengalami nasib serupa dengan ayahnya. Ia
harus menjadi gila!"
Roseta dan Sternau yang menjadi sasaran dari persekongkolan pihak yang jahat
itu, sedang duduk bersama gadis Inggris kawannya untuk memperbincangkan masalah
mereka. Sekembali dokter Sternau bersama Alimpo dari Bateria, ia langsung pergi
menghadap Roseta. Ia diizinkan masuk dan menjumpai gadis Inggris bersama Roseta.
Tuan puteri itu pucat pasi wajahnya. Sambil menahan air mata yang bercucuran ia
berkata, "Saya mohon dengan sangat, supaya Anda singkat saja dengan perkataan Anda,
karena saya sedang dalam duka! Ayah sudah tiada, bukan?"
Sternau menghampirinya, mengangkat tangan serta menciumnya dan menjawab dengan
kata-kata penghibur, "Jangan menangis, dona Roseta. Ayah Anda belum meninggal, ia masih hidup!"
"Masih hidup" Ya, Tuhan, di manakah ayah?"
"Entahlah. Saya hanya mengetahui, bahwa orang yang meninggal itu bukanlah ayah
Anda." Ia membimbing gadis itu ke sebuah kursi dan berkata,
"Silakanlah duduk dahulu! Apakah iman Anda sekarang sudah cukup kuat mendengar
ceritera saya ini?" "Tidak perlu Anda khawatir. Di sisi Anda saya selalu merasa kuat, karena saya
menaruh kepercayaan penuh pada Anda."
"Maka dengarkanlah! Ketika saya diminta datang dari Paris, di antara penghuni
Rodriganda yang saya kenal hanyalah Anda. Saya tidak pernah berbuat jahat kepada
seseorang, tidak pernah menghina siapa pun, namun baru saja saya tiba di sini,
saya diserang orang. Segera saya ketahui, bahwa para penyerang saya tidak
mengharapkan apa-apa dari milik saya yang sangat sedikit itu. Tujuan mereka
semata-mata membunuh saya. Oleh karena saya tidak mempunyai musuh, maka
permusuhan mereka timbul karena tugas saya yang membawa saya ke mari. Dan saya
bertugas menyelamatkan jiwa ayah Anda. Jadi kesimpulannya, bahwa beberapa orang
menghendaki kematian pangeran."
Roseta sangat terkejut. "Tetapi itu tidak mungkin. Ayahku begitu baik!"
"Memang ia sangat baik, tetapi ia pun dalam kedudukan sebagai pangeran
Rodriganda memiliki tanah luas serta harta benda yang luar biasa banyaknya."
"Apa maksud Anda" Saya kurang mengerti."
"Don Manuel mempunyai nasib serupa dengan saya, ia sebenarnya tidak mempunyai
musuh. Karena itu saya yakin, bahwa musuh itu orang-orang yang menghendaki
kekayaan Rodriganda."
"Kekayaan Rodriganda" Bukankah itu hanya dapat diwariskan kepada saudara saya?"
"Itu pun sudah saya pikir masak-masak. Namun perihal persaudaraan itu dan bahwa
saudara Anda itu semasa kecil tinggal di Meksiko, menimbulkan persangkaan pada
diri saya. Maka dari itu saya tetap mengawasi mereka. Ayah Anda telah dirawat
tiga orang dokter yang kurang pandai, yang dapat menyebabkan kematiannya. Ketiga
dokter itu mendapat perlindungan dari tiga orang pula."
"Maksud Anda: notaris, senora Clarissa, dan saudara saya" Sangatlah mengerikan
pendapat Anda, namun tampak benar juga. Saudara saya selalu memusuhi Anda."
"Itu sudah saya ketahui. Saya telah mengamati tiga orang itu. Mereka jarang
mengunjungi pangeran. Mereka selalu berkumpul dan bersekutu. Kini dapat saya
pastikan : merekalah yang menginginkan kematian ayah Anda!"
"Astagfirullah. Alangkah mengerikan pemandangan yang Anda bentangkan di hadapan
mata saya!" "Tuhan mengizinkan saya menyelamatkan jiwa ayah Anda. Tetapi ia kembali sakit
lagi, ia menjadi gila. Penyakit ini disebabkan suatu ramuan. Siapakah yang
memberi ramuan itu" Entahlah. Ketika itu saya sedang dalam perjalanan ke
Barcelona. Anda sedang di tempat lain dan pangeran seorang diri. Sementara itu
mungkin pangeran kedatangan seseorang yang memasukkan ramuan itu ke dalam
minumannya. Saya mengetahui obat penangkalnya. Meskipun obat itu masih belum
saya berikan, namun persiapannya sudah berjalan lancar. Musuh pangeran itu
menyadari bahwa saya sanggup menyembuhkan pangeran, maka mereka mengambil
tindakan yang tiada tanggung-tanggung : mereka harus menyingkirkan ayah Anda."
"Jadi Anda yakin, bahwa ayah pergi tidak karena kehendak hatinya sendiri?" tanya
Roseta cemas. "Ia tidak sanggup berjalan kaki. Tubuhnya terlalu lemah."
"Jadi ayah dibunuh!"
"Mereka telah menculiknya. Mereka tidak membunuhnya."
"Ayah Anda sungguh-sungguh masih hidup. Di mana ia sekarang, wallahu alam; namun
akhirnya harus saya ketahui juga. Sekarang dengarkan, dona Roseta; bila ayah
Anda hanya menghilang, maka saudara Anda belum berhak memperoleh warisan.
Pangeran harus mati. Akan tetapi jenazah yang ditemukan itu bukanlah jenazah
ayah Anda, jadi don Manuel masih hidup. Tubuhnya telah ditukar dengan tubuh
orang lain dan mayat yang ditemukan itu sudah meninggal selama empat hari."
Kini ia menceritakan seluruh kejadian di Bateria kepada kedua wanita itu.
Setelah selesai, Roseta berkata,
"Terima kasih, senor. Kami merasa benar-benar terhibur oleh keterangan Anda!"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kini saya dapat bergembira kembali. Saya yakin, kita akan sanggup menangkis
segala serangan mereka. Bukankah demikian, senor?"
Sternau menjabat tangan wanita itu. "Dona Roseta, hidup saya ini saya abdikan
kepada kepentingan Anda dan saya akan tetap berusaha menemukan ayah Anda. Dan
Anda, my lady, Anda akan mendampingi kami sebagai saudara kami sendiri."
"Setuju sekali."
Sternau menggelengkan kepala sambil tertawa riang dan menerangkan,
"Dengan kata "saudara" itu maksud saya sebenarnya sesuatu yang lebih khas.
Sudikah Anda mengizinkan saya menerangkan lebih lanjut pendapat saya, lady Amy?"
"Ya, katakanlah!"
"Anda harus menjadi saudara kami dengan jalan bersedia menjadi puteri
Rodriganda." "Puteri Rodriganda?" tanya Amy. "Saya kurang mengerti. Apakah maksud Anda
sebenarnya?" "Dengan jalan menjadi permaisuri pangeran Alfonso de Rodriganda y Sevilla. Saya
lihat, Anda merasa tersinggung mendengar perkataan saya itu, namun Anda akan
segera memaafkan, bila Anda mendengar bahwa pangeran Alfonso itu sekarang sedang
tidak di sini. Ia sedang di sebuah kapal laut."
Gadis Inggris itu menjadi merah padam mukanya. "Pandai benar Anda mempermainkan
saya." "Anda pernah melihatnya di sini," kata Sternau tenang.
"Saya tetap belum mengerti."
"Anda mengenal sebagai letnan pasukan berkuda."
Amy memandang kepada Sternau dengan penuh keheranan. Roseta pun agak bingung
disebabkan perkataan itu. Sternau bangkit lalu bertanya,
"My ladies, apakah masuk di akal bahwa seorang anak menghendaki kematian ayahnya
atau supaya ayahnya menjadi gila?"
"Tidak," jawab Roseta.
"Nah, perasaan sekejam itu dikandung dalam hati Alfonso, jadi ia bukanlah putera
don Manuel." Roseta bangkit melompat dan berseru,
"Apa" Apa kata Anda" Jadi ia bukanlah putera ayahku, bukan saudaraku" Siapakah
ia sebenarnya" Cepat katakanlah."
"Ia nyata bukan putera don Manuel, karena Anda dan saya pernah bertemu dengan
Alfonso yang asli." "Bilamana" Di mana?"
"Di sini! Dona Roseta, silakan masuk ke serambi lukisan dan amatilah lukisan don
Manuel semasa kecil lalu bandingkanlah lukisan itu dengan Alfred de
Lautreville!" Kini tiba giliran lady Amy untuk merasa heran.
"Alfred!" seru gadis itu. "Apa kata Anda, senor" Apa yang Anda ketahui tentang
dia" Ia pernah mengatakan kepada saya, bahwa hidupnya masih diliputi suatu
rahasia dan bahwa ia harus memecahkan rahasia itu."
"Ia telah berterus terang kepada Anda. Ialah pangeran de Rodriganda y Sevilla
yang sejati dan Alfonso yang lain itu seorang penipu. Karena itu maka sang
letnan harus disingkirkan! Ia telah diculik dan dibawa ke sebuah kapal."
"Diculik!" seru gadis Inggris itu sambil mengacungkan tinjunya yang kecil itu
dan berjalan menghampiri Sternau. "Diculik" Dan dibawa ke kapal?" ulangnya.
"Berani sekali mereka melakukan perbuatan sekeji itu?"
Sternau mengangguk dan tersenyum. "Jadi Anda mengaku, mencintai Alfonso, my
lady?" "Benar," jawab gadis itu terus terang. "Saya mencintainya. Saya pun hendak
mencari dan harus menemukannya. Dan saya ingin memperingatkan musuh-musuhnya
yang telah berlaku begitu kejam padanya! Kini ayahku dalam sepucuk surat telah
minta saya kembali ke Inggris. Namun saya bukanlah seorang yang tiada berdaya.
Silakan Anda melanjutkan ceritera Anda, senor!"
Sternau kini menceriterakan, bagaimana ia dapat mengetahui segalanya dengan
menyelidiki jejak. Mereka dapat mengetahui tipu daya dan akal busuk kawanan itu,
sungguhpun mereka tidak dapat membuktikannya. Akhirnya mereka harus berpisah,
karena Amy harus berangkat. Ia berjanji akan berbicara dengan ayahnya dan akan
minta bantuan baik untuk dirinya maupun untuk kawan-kawannya. Kemudian ia
berpisah dengan Sternau dan berjanji akan memperkekal persahabatannya.
Tidak lama kemudian ia berangkat dari Rodriganda. Ia diantar Roseta sampai ke
kota Pons. Percakapan serta keberangkatan sahabat mereka yang tiba-tiba itu
membuat Sternau lupa menanyakan tentang mayat. Dokter itu mengira, bahwa wali
kota telah mematuhi segala perintahnya. Sedang asyik bercakap, mereka sama
sekali tidak melihat bahwa mayat itu dibawa masuk. Sternau telah pergi ke desa
untuk mengunjungi Mindrello, pembantunya yang setia. Ia baru saja kembali dari
ngarai. Di situ ia telah turut mengadakan penyelidikan. Sternau mempercayakan
kepadanya segala rahasia tentang penyelidikannya dan diam-diam ia minta bantuan
padanya. Penyelundup itu menyetujui permintaan itu lalu mendapat lima puluh duro
dari Sternau untuk menutup segala biaya yang diperlukan. Kemudian dokter kembali
lagi ke puri untuk melakukan pekerjaan di dalam kamar. Namun ia tidak dapat
memusatkan pikiran. Tiap kali perhatiannya beralih kepada kejadian-kejadian yang
baru dialaminya. Demikian asyik ia dengan kenangannya, sehingga tiada terdengar
olehnya pintu diketuk orang. Ia baru sadar setelah berulang-ulang terdengar
ketukan itu. "Masuk!" serunya.
Pintu dibuka dan dokter merasa heran melihat seseorang yang tidak dikenal masuk
tanpa melapor terlebih dahulu.
"Siapakah Anda?" tanya Sternau kepada orang yang baru masuk itu.
"Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk bertemu dengan senor Sternau, dokter
pribadi pangeran Manuel?" Tanya orang yang tidak dikenal itu sebagai ganti
jawabannya. "Benarlah." "Puteri Roseta de Rodriganda telah mengutus saya ke mari."
"Bukankah puteri sudah berangkat ke Pons?"
"Betul. Beliau hendak bermalam di rumah saya dan minta supaya Anda datang ke
sana." "Untuk apa?" "Itu tidak diterangkan beliau. Seorang wanita ada bersama beliau."
"Sesuai. Anda pemilik sebuah hotel?"
"Benar. Di Elbrida, dekat Manresa."
"Anda datang naik kereta puteri?"
"Tidak. Puteri tidak menghendaki kuda-kudanya terlalu lelah."
"Silakan duduk! Saya akan segera siap."
Biasanya Sternau berlaku hati-hati dalam keadaan seperti demikian, tetapi ia
harus juga mempertimbangkan kemungkinan, bahwa tuan puteri telah mengalami
sesuatu, sehingga memerlukan bantuannya. Maka ia berpakaian, mengunci lemari-
lemarinya, lalu pergi bersama orang yang tidak dikenal itu ke pintu pagar. Di
situ dilihatnya sedang menanti sebuah kereta dengan dua kuda penariknya. Mereka
naik ke kereta dan berangkat. Di atas, di muka sebuah jendela, berdiri notaris
bersama dua orang sekutunya.
"Ia sudah naik ke kereta itu," katanya sambil tertawa mengejek.
"Mereka sudah berjalan," kata Alfonso.
"Ia sudah tertangkap," tambah Clarissa. "Benar-benar cerdik kamu menyuruh kepala
polisi itu menyamar sebagai seorang pemilik hotel, Gasparino sayang."
Dalam pada itu kereta menuju ke Manresa, namun kemudian ia menempuh jalan
simpang ke kiri menuju Barcelona.
"Kita salah jalan!" kata Sternau.
"Tidak salah," jawab orang tak dikenal itu.
"Arah ke Manresa?"
"Bukan ke Barcelona."
"Hai, siapakah senor sebenarnya" Dan apakah yang Anda kehendaki dari saya?"
"Anda ingin mengetahui" Saya kepala polisi Manresa. Apa kehendak saya" Membawa
Anda ke Barcelona. Untuk dihadapkan kepada juez de lo criminal."
"Kepada hakim" Untuk apa?"
"Entahlah. Anda masih akan mendengar keterangannya."
"Anda telah membohongi saya, senor."
"Ah, itu hanya muslihat yang harus saya gunakan untuk mencegah perkara menjadi
berbelit-belit." "Dan bila saya tidak mau ikut Anda?"
"Sia-sia. Tengoklah melalui jendela belakang. Akan tampak kepada Anda empat
orang penunggang kuda, penembak jitu."
"Tampak seolah-olah seorang penjahat besar sedang diangkut."
"O, tidak. Itu sekedar memenuhi peraturan, senor. Saya yakin, Anda hari ini juga
akan dibolehkan kembali, namun Anda adalah seorang asing. Maka saya harus
Pedang 3 Dimensi 12 Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan Pendekar Lembah Naga 24
^