Monte Cristo 7
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 7
ambang kematian" Tak mungkin! Hatimu terlalu agung untuk tidak memahami
pendirianku. Tidak, aku tidak akan melawan. Aku akan menguatkan diriku untuk
berjuang melawan diriku sendiri, untuk menelan setiap tetes air mataku seperti
yang engkau katakan tadi."
"Engkau benar," kata Maximilien dengan ketenangan yang dingin. "Aku mengerti.
Engkau tidak mau mengecewakan ayahmu atau membangkang terhadap
nenekmu, dan esok engkau akan menandatangani surat pernikahanmu."
"Tetapi apalagi yang dapat kuperbuat?"
"Sungguh-sungguhkah engkau meminta saranku?"
"Tentu! Engkau tahu, betapa perasaan hatiku kepadamu."
"Inilah usulku. Pertama, turutlah aku ke rumah adikku, setelah itu kita pergi ke
Aljazair, Inggris atau Amerika, kecuali kalau engkau lebih menyukai tempat lain
yang lebih tersembunyi, menunggu sampai hati keluargamu menjadi lunak lalu kita
kembali lagi ke Paris."
Valentine menggelengkan kepala. "Itu saran yang gila, Maximilien, dan aku lebih
gila lagi apabila aku tidak segera menghentikan jalan pikiranmu dengan: tidak
mungkin!" "Benar lagi, Valentine. Dengan senang aku mengatakannya sekali lagi. Memang aku
gila, seperti yang engkau katakan, dan engkau telah membuktikan kepadaku bahwa
cinta benar-benar dapat membutakan seseorang yang biasa berfikir tenang. Terima
kasih untuk cara berpikirmu yang jernih tanpa terpengaruh oleh rasa cinta. Yang
dapat kulakukan sekarang hanyalah mendo'akan semoga engkau mendapat hidup yang
tenang tentram dan bahagia, jauh dari kesepian sehingga tidak ada tempat lagi
dalam sudut-sudut hatimu bagiku. Selamat tinggal, Valentine."
"Mau ke mana, Maximilien?" Valentine terperanjat. Ia melompat menjulurkan
tangannya ke luar pintu menangkap tangan kemeja Maximilien. Valentine merasa
bahwa di balik ketenangan Maximilien tersembunyi sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Sebelum pergi, katakan dahulu apa yang hendak kaulakukan!"
Maximilien tersenyum sedih, tetapi tidak menjawab.
"Katakan, katakan Max. Aku meminta!"
"Jangan khawatir. Aku tidak berniat membuat Tuan d'Epinay bertanggung jawab
untuk nasib burukku. Seandainya aku orang lain, mungkin sekali akan mengajaknya
berduel, tetapi bagiku tak ada gunanya. Ketika ia menyetujui perkawinannya
denganmu, dia tidak tahu bahwa aku ada. Aku tidak mempunyai perselisihan dengan
dia dan aku bersumpah kepadamu bahwa aku tidak akan mengganggunya. Aku tidak
pernah mau bersikap seperti pahlawan cengeng dalam buku-buku ceritera, namun,
tanpa pidato yang panjang-panjang atau sumpah-sumpah apa pun jua, aku telah
menyerahkan hidupku ke dalam tanganmu.
Engkau akan meninggalkanku dan seperti telah kukatakan tadi, sikapmu adalah
benar. Bila engkau pergi, kehidupanku akan habis. Inilah yang akan kulakukan.
Aku akan menanti sampai detik terakhir engkau akan menikah, oleh karena aku
tidak mau menghilangkan setiap kemungkinan yang tak terduga betapapun kecilnya,
kemungkinan yang dapat merubah nasibku. Bahkan untuk seorang yang dihukum mati
pun keajaiban mungkin saja terjadi. Aku akan menunggu sampai aku yakin tak ada
lagi obat bagi kesedihan-ku dan pada saat itulah aku akan membunuh diri seperti
layaknya seorang anak manusia yang paling terhormat yang pernah hidup di
Perancis." Valentine dicekam rasa takut yang sangat. Tangannya jatuh terkulai dan dua buah
butir air mata menggulir di pipinya. "Oh! Kasihanilah aku Maximilien! Engkau
tidak akan melakukan itu, bukan?"
"Demi kehormatanku, tak ada jalan lain. Lagi pula apa pentingnya bagimu" Engkau
telah dan akan melakukan kewajibanmu, dan tidak perlu engkau mempunyai perasaan
bersalah." Valentine duduk berlutut. Kedua belah tangannya di dada.
"Selamat tinggal, Valentine." Maximilien mengulangi lagi.
"Ya Tuhan," kata Valentine sambil menengadahkan wajah ke langit. "Engkau
mengetahui bahwa saya telah melakukan dengan segala kemampuan untuk menjadi anak
yang patuh, tetapi aku lebih suka mati karena malu daripada karena penyesalan.
Engkau harus hidup, Maximilien, dan aku tidak akan menyerahkan diriku selain
kepadamu. Seandainya, Max, aku berhasil menangguhkan perkawinan itu, bersediakah engkau
menungguku?" "Aku bersumpah bersedia. Dan hendaknya engkau pun bersumpah kepadaku bahwa
engkau akan mencegah terlak-sananya perkawinan itu, bahwa sekalipun mereka
memaksa, engkau akan tetap mengatakan tidak."
"Aku bersumpah."
"Aku percaya, Valentine. Tetapi seandainya keluargamu tidak mau mendengarmu,
seandainya Tuan d'Epinay esok dipanggil untuk menandatangani perjanjian
perkawinan itu, lalu.. "Lalu aku akan datang kepadamu dan kabur bersamamu.
Aku akan memberimu kabar tentang setiap perkembangan."
"Terima kasih, Valentine yang manis. Segera setelah aku mengetahui saatnya, aku
akan segera datang ke mari. Aku akan membawa sebuah kereta untuk membawamu ke
tempat adikku." "Pulanglah sekarang," kata Valentine, "sampai bertemu lagi."
Maximilien menanti sampai suara langkah Valentine hilang dari pendengarannya.
Dia menengadah ke langit, mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diberi
kebahagiaan merasakan nikmatnya dicintai. Lalu dia segera pulang.
Seharian itu dan hari berikutnya dia menanti dan menanti, namun tak ada kabar
dari Valentine. Baru pada hari ketiga ia menerima pesan:
Air mata, permohonan dan do'a tidak menghasilkan apa-apa.
Perjanjian perkawinan akan ditandatangani jam sembilan nanti malam.
Aku telah memberikan janjiku kepadamu, Maximilien, dan hatiku adalah milikmu.
Aku akan berada di pintu gerbang nanti malam jam sembilan kurang seperempat.
VALENTINE Maximilien membaca surat itu berulang-ulang sambil selalu membayangkan bagaimana
perasaannya nanti pada saat Valentine datang dan berkata, "Ini aku Maximilien,
bawalah aku ke mana pun juga."
Dia mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin diperlukan untuk pelarian itu. Dua
buah tangga disembunyikannya di luar tembok gerbang dan sebuah kereta telah pula
disiapkan. Jam delapan malam, Maximilien sudah berada di pintu gerbang. Kereta dan kudanya
disembunyikan di balik sebuah gedung tua yang hampir runtuh. Dia berjalan hilir-
mudik sambil sekali-sekali melemparkan pandangannya ke dalam kebun yang gelap
mencari sesosok tubuh bergaun putih atau suara langkah orang berjalan. Lonceng
gereja Saint-Philippe berdentang menandakan jam setengah sembilan. Saat-saat itu
sangat menggelisahkan. Setiap gemerisik dedaunan di dalam kebun atau desir angin
menyebabkan dahi Maximilien basah berkeringat dan tanpa sadar menempatkan
sebelah kakinya di anak tangga siap untuk naik. Di tengah-tengah ketegangan
karena takut dan khawatir ia mendengar lonceng berbunyi sepuluh kali. Terbayang
di hadapannya Valentine kehilangan kekuatannya selagi dia berlari dan sekarang
sedang terbaring tak sadarkan diri di dalam kebun. Setan yang membisikkan
pikiran ini tak henti-hentinya bekerja sehingga akhirnya dia yakin sekali.
Ketika jam menunjukkan setengah sebelas, ia sudah tak dapat lagi menunggu. Dia
menaiki tembok dan melompat ke dalam kebun.
Beberapa saat kemudian dia dapat melihat bangunan rumah dengan jelas. Keadaannya
hampir gelap, tidak terang-benderang seperti selayaknya di rumah yang sedang
diselenggarakan suatu upacara penting seperti
penandatanganan perkawinan. Karena kegelapan dan
kesunyian itu Maximilien merasa takut, khawatir telah terjadi sesuatu dengan
Valentine. Dengan nekad dan cemas ia memutuskan akan mencari Valentine apapun
yang harus terjadia. Dia maju sampai Ujung kebun dan bersiap hendak berlari
melintasi halaman terbuka antara dia dan rumah itu.
Pada saat itulah dia mendengar orang bercakap-cakap.
Segera ia mengundurkan diri lagi bersembunyi di balik semak-semak. Bulan muncul
dari balik awan, dan karena cahayanya itu ia dapat melihat de Villefort berjalan
menuju ke arah dia bersembunyi dibarengi orang yang berbaju gelap yang dia kenal
sebagai Dokter d'Avrigny.
Langkah kedua orang itu berhenti tidak jauh dari tempatnya. Maximilien mendegar
Villefort berkata, "Ah, Dokter, rupanya Tuhan sedang memurkai kami Tak usah Tuan
mencoba menghibur saya. Luka saya terlampau
dalam. Dia meninggal! Meninggal!"
Keringat dingin segera membasahi dahi Maximilien dan giginya gemeretak. Siapakah
yang mati" "Saya membawa Tuan ke mari bukan untuk menghibur, Tuan de Villefort," kata
dokter, "justru sebaliknya."
"Apa maksud Tuan?"
"Maksud saya, di balik musibah yang baru saja menimpa Tuan, mungkin sekali akan
ada musibah lain yang lebih besar. Saya harus menceriterakan sesuatu yang
mengerikan." Dengan lemah sekali Villefort merebahkan diri di atas bangku yang tidak jauh
dari situ. Dokter d'Avrigny tetap berdiri. Maximilien memasang kuping dengan
penuh rasa khawatir. "Katakan saja, Dokter," kata Villefort. "Saya sudah siap untuk segala macam."
"Nyonya de Saint-Meran seorang tua. Ini benar," kata dokter, "namun kesehatannya
sangat baik." Maximilien menarik napas lega.
"Beliau meninggal karena sedih, Dokter," jawab Villefort, "setelah hidup bersama
selama empat puluh tahun.."
"Bukan karena sedih," kata dokter lagi. "Memang benar kesedihan dapat
menyebabkan seorang meninggal dalam keadaan tertentu, tetapi tidak mungkin dalam
satu hari , dalam satu jam, apalagi dalam sepuluh menit! Oleh karena sekarang
kita hanya berdua saja, ada sesuatu yang perlu saya katakan."
"Ya Tuhan, apakah itu?"
"Bahwa gejala yang timbul karena tetanus dan karena keracunan pada makanan, sama
benar." Villefort melompat berdiri, kemudian, setelah berdiri selama beberapa saat ia
duduk kembali. "Demi Tuhan, Dokter," katanya, "yakinkah Tuan kepada apa yang
Tuan katakan?" "Saya yakin betul akan kesungguhan kata-kata saya dan juga kepada orang yang
saya ajak bicara." "Apakah Tuan mengatakan hal itu kepada saya sebagai seorang sahabat atau seorang
jaksa?" "Sebagai kawan, setidak-tidaknya sementara ini. Kedua gejala itu serupa benar
sehingga saya masih ragu membuat pernyataan tertulis. Saya telah memeriksa mayat
Nyonya de Saint-Meran selama tiga perempat jam dan dengan yakin dapat saya
katakan bukan saja beliau meninggal karena diracun tetapi juga dapat mengatakan
racun apa yang digunakan. Nyonya de Saint-Meran meninggal karena brucine atau
strychnine dalam dosis yang sangat banyak."
Tanpa disadarinya Villefort memegang tangan dokter erat-erat, lalu berkata
seakan-akan berteriak, "Tidak mungkin! Agaknya aku mimpi! Sungguh menggetirkan
mendengar ini dari seorang seperti Tuan. Demi Tuhan, Dokter, katakan bahwa Tuan
keliru!" "Mungkin saya keliru, tetapi..."
'Tetapi apa?" "Tetapi saya kira tidak. Adakah orang yang berkepentingan dengan matinya Nyonya
de Saint Meran" "Tidak, tentu saja tidak! Anak saya satu-satunya menjadi ahli warisnya. Hanya
Valentine ... Ya Tuhan! Seandainya sangka buruk timbul dalam pikiranku, aku akan
menikam jantungku sendiri sebagai hukuman karena mengandung pikiran seperti
itu!" "Saya tidak bermaksud menuduh seseorang," kata Dokter d Avngny "jangan Tuan
salah sangka. Sebab mungkin saja saya salah, namun bagaimana, hati nurani saya
mewajibkan mengatakannya kepada Tuan. Sebaiknya Tuan menyelidikinya."
"Tentang siapa" Bagaimana?"
"Umpamanya saja, selidiki kalau kalau pelayan ayah Tuan karena kekeliruan yang
tidak disengaja telah memberikan minuman kepada Nyonya de Saint-Meran
yang sebenarnya untuk Tuan Noirtier."
"Tetapi bagaimana mungkin minuman untuk ayah dapat menjadi racun bagi Nyonya de
Saint-Meran?" "Sangat sederhana. Seperti Tuan ketahui, racun itu dapat menjadi obat untuk
penyakit-penyakit tertentu.
Kelumpuhan adalah salah satu dari penyakit itu. Setelah mencoba semua cara untuk
mengembalikan kemampuan gerak dan bicara Tuan Noirtier tanpa hasil, saya
memutuskan untuk mengobatinya dengan brucine. Ini terjadi tiga tahun yang lalu.
Dosis terakhir yang saya berikan sebanyak enam senti gram, suatu jumlah yang
tidak akan berpengaruh kepadanya oleh karena tubuhnya telah terbiasa berkat
pemberian dosis yang secara bertahap meningkat. Tetapi dosis itu dapat mematikan
bagi yang lain." "Tetapi kamar Tuan Nortier sama sekali tidak berhubungan dengan kamar Nyonya de
Saint-Meran. Barrois tidak pernah masuk ke kamar Nyonya de Saint-Meran."
"Tuan de Villefort," kata dokter, "saya akan berusaha menyelamatkan Nyonya de
Saint-Meran seandainya mungkin, tetapi beliau sekarang sudah meninggal dan
kewajiban saya yang pertama-tama adalah mengurusi yang masih hidup. Mari kita
sembunyikan rahasia ini dalam dasar hati kita masing-masing. Seandainya ada
orang lain yang menemukan rahasia ini, saya bersedia untuk menutup mulut dan
berpura-pura tidak tahu. Dalam pada itu, hendaknya Tuan jangan berhenti
menyelidik, karena persoalan ini tidak akan berhenti sampai di sini. Seandainya
Tuan berhasil menemukan yang berdosa, sayalah orang pertama yang akan mengatakan
kepada Tuan: Tuan adalah jaksa, bertindaklah sesuai dengan kebijaksanaan Tuan.'
" "Terima kasih, Dokter, terima kasih!" Dari suaranya ternyata betul kegembiraan
de Villefort. "Saya tidak pernah mempunyai kawan sebaik Tuan." Lalu, seperti
khawatir Dokter d'Avngny akan berubah pikiran, ia segera berdiri dan membimbing
dokter itu kembali masuk ke dalam
rumah. Maximilien keluar dari dalam semak-semak dengan
menarik napas dalam. Wajahnya sangat pucat. Orang dapat saja mengira dia hantu
dalam cahaya bulan. Ketika meneliti keadaan rumah yang suram itu ia
melihat sebuah jendela terbuka. Karena cahaya lilin yang ditempatkan di atas
perapian, ia melihat sesosok tubuh keluar ke beranda. Valentine. Karena takut
dilihat orang, karena khawatir akan menakutkan Valentine sehingga berteriak
meminta tolong, dia berlari melintasi pekarangan menuju ke tangga rumah dan
membukakan pintu yang tak terkunci. Setelah melalui ruang tamu ia menaiki tangga
ke tingkat atas. Dia sudah nekad benar sehingga kalau pada waktu itu bertemu
dengan Tuan de Villefort, ia tidak akan merasa takut lagi. Untung sekali, tak
seorang pun yang melihatnya.
Ketika sampai di puncak tangga isak tangis seseorang yang dikenalnya betul
menariknya ke sebuah pintu setengah terbuka. Melalui pintu itu tampak cahaya
remang-remang. Ia masuk. Di bawah kain putih terbaring mayat Nyonya de Saint-Meran. Di
sampingnya, Valentine yang telah kembali dari beranda duduk berlutut sambil
mengucapkan do'a secara cepat dan hampir tidak berujung pangkal. Melihat
Valentine menangis sedih, Maximilien tidak dapat menahan diri. Dia menghela
napas dan memanggil nama Valentine.
Valentine menengadah dan menatap Maximilien tanpa terkejut. Hati yang telah
membengkak karena kesedihan rupanya tidak lagi mampu untuk menyatakan perasaan
lain. 'Valentine" kata Maximilien dengan suara bergetar, "Aku telah menunggu dua jam
lamanya, dan ketika engkau tidak juga muncul, aku merasa khawatir. Aku menaiki
tembok lalu masuk ke dalam kebun. Di sanalah aku mendengar orang berbicara
tentang kecelakaan ini...
"Suara siapa?" Maximilien bergidik, teringat kepada semua
pembicaraan antara dokter dan Tuan de Villefort. "Suara pelayan pelayanmu,"
katanya. "Kalau engkau ditemukan di sini, celaka," kata Valentine tanpa takut atau marah.
"Sssst," bisik Maximilien. Mereka mendengar suara pintu terbuka dan suara
langkah orang di tangga. "Ayah keluar dari kamar kerjanya," kata Valentine.
"Mengantarkan dokter ke luar" tambah Maximilien.
"Bagaimana engkau tahu ada dokter?"
"Aku hanya menduga."
Sementara itu mereka mendengar pintu depan terbuka, lalu menutup kembali dan
dikunci. Lalu kedengaran Tuan de Villefort melangkah ke pintu yang menuju kebun,
menguncinya dan kembali lagi ke tingkat atas.
"Sekarang," kata Valentine, "engkau tidak mungkin lagi ke luar melalui pintu
depan atau pintu ke kebun. Hanya tinggal satu pintu keluar dan itu melalui kamar
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakek. Mari." "Ke mana?" "Ke kamar kakek."
"Hati hati Valentine," kata Maximilien ragu. "Sekarang baru aku sadar bahwa
kelakuanku sangat gila. Apakah engkau yakin tidak kehilangan akal sehatmu?"
"Yakin. Aku hanya menyesal harus meninggalkan nenek di sini."
"Kematian itu suci, Valentine."
"Ya, tetapi aku tidak akan lama. Mari."
Valentine berjalan melalui sebuah tangga kecil menuju kamar Tuan Noirtier.
Maximilien mengikutinya dengan berjingkat.
Noirtier yang telah diberi tahu oleh pelayannya tentang segala kejadian, masih
duduk di kursi rodanya. Matanya bersinar ketika melihat Valentine.
"Kakek," katanya, "Kakek tentu telah mendengar bahwa Nyonya de Saint-Meran
meninggal sejam yang lalu. Karena itu, selain Kakek, tak ada lagi orang yang
akan mengasihi saya." Mata orang tua itu menyorotkan sinar kemesraan.
"Karena itu pula saya harus mempercayakan semua
kesedihan dan harapan saya hanya kepada Kakek. Benar begitu?"
"Benar," jawab Noirtier dengan isarat matanya.
"Kalau begitu, perhatikanlah baik-baik Tuan ini. Kakek,"
kata Valentine lagi sambil menarik Maximilien pada tangannya. "Dia adalah Tuan
Maximilien Morrel, putra pemilik kapal yang ternama dan terhormat di Marseilles.
Tentu Kakek pernah mendengarnya, bukan?"
"Ya," jawab mata orang tua itu.
"Namanya tidak bercacat. Yang menyebabkan lebih terhormat lagi karena dalam usia
tiga puluh tahun dia sudah mencapai pangkat kapten dan menjadi perwira Legiun
Kehormatan." Noirtier memberi isarat bahwa ia sudah mengetahui semua itu.
"Kakek," kata Valentine selanjutnya, "saya sangat mencintainya dan saya tidak
bersedia kawin dengan siapa pun kecuali dengan dia! Kalau mereka memaksa saya
kawin dengan yang lain, saya lebih suka mati atau bunuh diri"
Sinar mata Noirtier menunjukkan kekacauan hatinya.
"Kakek menyukai Maximilien?"
"Ya." "Dan kakek bersedia melindungi kami dari kemauan ayah?"
Noirtier mengarahkan matanya yang cerdas itu kepada Maximilien seakan-akan
hendak berkata, "tergantung kepada keadaan."
Maximilien memahaminya. "Valentine," katanya, "engkau mempunyai kewajiban untuk
segera pergi ke kamar nenekmu. Sementara itu ijinkan aku berbicara berdua dengan
kakekmu sebentar." 'Ya ya, benar!" kata mata Noirtier. Kemudian dia menatap Valentine dengan
pandangan penuh tanda tanya.
"Tentu Kakek berpikir bagaimana dia akan dapat memahami Kakek, bukan?"
"Ya." "Jangan khawatir. Kami sering sekali berbicara tentang Kakek. Maximilien sudah
mengetahui bagaimana saya bercakap-cakap dengan Kakek."
Valentine -berdiri, mencium dahi kakeknya dengan
mesra, mengucapkan kata-kata pamitan kepada
Maximilien, lalu keluar kamar.
Untuk membuktikan bahwa kata-kata Valentine benar, Maximilien segera mengambil
kamus, pena dan secarik kertas lalu meletakkan semuanya di atas meja yang ada
lampu di atasnya. "Pertama-tama, Tuan," katanya, "ijinkan dahulu saya
memperkenalkan diri, menceriterakan bagaimana saya jatuh cinta kepada Valentine
dan apa rencana saya."
''Saya mendengarkan." jawab Noirtier dengan matanya.
Mengesankan sekali melihat orang tua yang pada lahirnya tampak sebagai beban
untuk orang lain, tetapi sekarang menjadi satu-satunya pelindung dan pendukung
sepasang muda belia yang kuat, sehat dan sedang berada di ambang kehidupan.
Maximilien menceriterakan bagaimana
mulanya dia dapat berkenalan dengan Valentine, lalu jatuh cinta kepadanya dan
bagaimana pula Valentine menyambutnya. Lalu dia menceriterakan tentang
keluarganya, kedudukannya dan keadaan keuangannya.
"Setelah saya menceriterakan tentang cinta dan harapan saya," katanya
selanjutnya, "bolehkah sekarang saya menceriterakan rencana kami?"
"Silakan." Maximilien mengatakan bahwa sebuah kereta telah
menunggu di luar pagar dan bahwa dia bermaksud
membawa Valentine ke rumah saudara perempuannya, lalu menikahinya dan
selanjutnya menanti dan mengharapkan restunya dari Tuan de Villefort.
"Tidak!" Noirtier memberi isarat dengan matanya.
"Apakah tuan tidak setuju dengan rencana kami?"
"Tidak." "Lalu apa yang harus kami lakukan" Keinginan terakhir dari Nyonya de Saint-Meran
supaya Valentine dan Tuan d'Epinay segera dinikahkan. Apakah saya harus
membiarkan itu terjadi?"
Mata Noirtier tidak memberikan isarat apa-apa.
"Saya mengerti, saya harus menunggu."
"Benar." 'Tetapi kalau kami menunggu terlalu lama, segala-
galanya akan gagal. Valentine tidak akan berdaya tanpa bantuan. Mereka akan
memaksanya seperti kepada anak kecil."
Sebuah senyuman penuh rahasia tercermin dalam sorot mata orang tua itu.
"Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa
perkawinan itu tidak akan terlaksana?"
"Ya." 'Tidak akan terlaksana?" teriak Maximilien heran dan penuh harap. "Maaf, Tuan,
tetapi saya kurang percaya mendengar berita gembira itu. Apakah Tuan yakin tidak
akan terjadi?" "Ya." Dengan penegasan ini pun Maximilien masih tetap ragu.
Keyakinan yang datang dari seorang tua yang tidak berdaya mungkin saja tidak
bersumber dari kekuatan kemauan me-ainkan bersumber dari pikirannya yang makin
lemah. Mungkin karena dia mengerti keraguan anak muda itu, atau mungkin juga karena dia
merasa belum mempercayai sepenuhnya kepada kepatuhannya, Noirtier menatap wajah
Maximilien dengan tajam. "Apakah Tuan menghendaki saya mengulangi janji saya untuk menunggu?" tanya
Maximilien. "Ya." "Rupanya Tuan menghendaki saya bersumpah?"
"Ya." Maximilien mengangkat tangannya lalu berkata, "Saya bersumpah demi kehormatan
saya untuk tidak mengambil langkah-langkah sebelum mendapat keputusan dari
Tuan." "Bagus," kata Noirtier dengan matanya.
"Apakah Tuan menghendaki saya pergi sekarang?"
"Ya." "Tanpa menemui dahulu Nona Valentine?"
"Ya." Maximilien menunjukkan sikap patuhnya, mengangguk lalu meninggalkan ruangan.
BAB XLII DUA hari kemudian, menjelang jam sepuluh pagi
jenazah Tuan dan Nyonya de Saint-Meran dimakamkan di pekuburan Pere Lachaise, di
tempat yang sudah sejak lama disediakan oleh Villefort untuk kuburan
keluarganya. Di sana sudah terbaring jenazah istrinya yang pertama, Renee, ibu
Valentine. Oleh karena upacara keagamaan sudah dilakukan di rumah Villefort, di makam tidak
banyak lagi yang perlu dilakukan. Oleh sebab itu setelah kedua mayat selesai
ditanam, para pengantar segera pula bubar.
Ketika Franz d'Epinay hendak berpamitan kepada Villefort, Villefort bertanya,
"Bila kita dapat bertemu lagi?"
"Terserah kepada Tuan," jawab Franz.
"Kalau begitu, secepat mungkin."
"Apakah Tuan menghendaki saya turut bersama Tuan sekarang?"
"Benar, seandainya tidak mengganggu Tuan."
"Sama sekali tidak "
Kedua orang itu kembali ke rumah Villefort. Tanpa menemui dahuhi istri dan
anaknya, Villefort mengajak tamunya langsung ke ruang kerjanya.
"Seperti Tuan ketahui,, Tuan d'Epinay," dia memulai.
"keinginan terakhir Nyonya de Saint-Meran adalah, supaya perkawinan Valentine
dilakukan tanpa diundur-undur lagi.
Perjanjian perkawinan itu sedianya akan dilakukan tiga hari yang lalu, oleh
sebab itu naskahnya sekarang pun telah siap.
Kita dapat menandatanganinya sekarang."
"Tetapi bukankah Tuan sedang berkabung?" jawab Franz ragu-ragu.
"Jangan khawatir. Kami tidak pernah menyepelekan sopan-santun. Valentine akan
tinggal selama tiga bulan di sebuah perkebunan yang diwariskan deh Tuan dan
Nyonya de Saint-Meran Seminggu sejak hari ini, dengan persetujuan Tuan, upacara
perkawinan akan diselenggarakan di sana tanpa perayaan. Setelah perkawinan
dilakukan, Tuan dapat kembali ke Paris sedangkan istri Tuan akan menghabiskan
masa berkabungnya di sana bersama ibu tirinya."
"Bila itu kehendak Tuan, terserahlah, Tuan de Villefort,"
kata Franz, "hanya saja saya ingin mengusulkan agar Alber de Morcerf dan Raoul
de Chateau-Renaud turut hadir sebagai saksi."
"Apakah saya perlu mengirim utusan kepada mereka atau Tuan lebih suka
menjemputnya sendiri?"
"Lebih baik saya sendiri."
"Baik. Saya mengharap Tuan kembali lagi ke mari setelah setengah jam. Valentine
sudah akan siap menanti."
Franz membungkuk lalu pergi. Villefort menyuruh pelayannya rnemberitahu
Valentine bahwa notaris dan saksi-saksi dari Tuan d'Epinay akan datang setengah
jam lagi Mendengar berita itu Valentine seakan-akan disambar petir. Dia segera
menemui kakeknya. Tetapi di tangga dia bertemu dengan ayahnya, dan Villefort
membawanya ke ruang duduk.
Di ruang tamu Valentine berpapasan dengan Barrois.Ia memberikan isarat kecemasan
dengan pandangan matanya.
Selang beberapa saat datang pula dua buah kereta.
Sebuah kereta membawa notaris dan sebuah lagi membawa Franz dan kedua kawannya.
Tak lama kemudian semua telah berkumpul di ruang duduk.
Notaris mempersiapkan segala surat yang diperlukan di atas meja, mengenakan
kacamatanya, berpaling kepada Franz lalu berkata, "Tuan d'Epinay, Tuan de
Villefort meminta saya memberi tahu Tuan bahwa perkawinan Tuan dengan Nona de
Villefort telah mengubah rencana Tuan Noirtier yang berkaitan dengan cucunya.
Beliau mencabut Nona Valentine sebagai akhli waris beliau."
"Saya sangat menyesal bahwa hal ini dikemukakan dihadapan Nona de Villefort,"
jawab Franz. "Saya tidak pernah menyelidiki berapa besar kekayaan Nona de
Villefort, tetapi betapapun akan berkurangnya karena pencabutan hak itu, tetap
akan jauh lebih besar dari milik saya sendiri. Apa yang dicari keluarga saya
dari perkawinan ini adalah kehormatan. Yang saya cari adalah kebahagiaan."
Dalam hati Valentine menyetujui apa yang dikatakan oleh Franz. Berbarengan pula
dengan itu dua titik air mata berlinang di pipinya.
"Boleh saya tambahkan," kata de Villefort kepada bakal menantunya, "bahwa Tuan tidak perlu berkecil hati karena
tindakan Tuan Noirtier ini, oleh karena tindakannya itu disebabkan semata-mata
oleh kelemahan daya pikirnya.
Beliau akan berbuat begitu juga seandainya cucunya ini kawin dengan yang lain,
dan saya yakin pada saat ini beliau ingat bahwa cucunya akan melakukan
perkawinan tetapi sudah tidak akan ingat lagi siapa nama bakal suaminya itu."
Tepat pada saat Villefort akan menghabisi pembicaraannya, pintu tiba-tiba
terbuka dan Barrois muncul di ambang pintu. "Tuan-tuan," katanya dengan suara
yang tidak layak dari seorang pelayan kepada majikannya dalam suasana sekhidmat
itu, "Tuan Noirtier minta berbicara dengan Baron Franz d'Epinay sekarang juga."
Villefort terkejut, Valentine berdiri, mukanya pucat dan terdiam bagaikan
patung. Albert dan Chateau-Renaud saling berpandangan penuh keheranan, sedangkan
notaris memalingkan pandangannya kepada Villefort.
"Tidak mungkin," jawab Villefort. "Pada saat ini Tuan d'Epinay tidak dapat
meninggalkan ruangan ini."
"Dalam hal demikian," kata Barrois, "Tuan Noirtier memerintahkan saya
memberitahukan bahwa beliau sendiri yang akan datang ke ruangan ini."
"Valentine," kata Villefort, "coba lihat, apa pula keinginan kakekmu itu."
Valentine sudah berjalan beberapa langkah ketika Villefort mengubah pikirannya.
'Tunggu, aku ikut" "Maaf, Tuan de Villefort," kata Franz, "oleh karena Tuan Noirtier dengan tegas
meminta berbicara dengan saya, saya rasa adalah kewajiban saya untuk memenuhi
permintaannya. Di samping itu saya sendiri akan merasa senang dapat sekaligus
melakukan kunjungan kehormatan yang belum pernah sempat saya lakukan dahulu."
"Oh, tak perlu Tuan bersusah-susah," kata Villetort. Jelas sekali keresahannya.
"Maaf," jawab Franz dengan nada pasti, "tetapi saya tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk membuktikan kepada beliau bahwa saya bermaksud menghapus
prasangka beliau kepada saya dengan kesetiaan saya."
Sebelum Villefort sempat menahannya Franz sudah berdiri dan mengikuti Valentine
yang sudah sampai di tangga. Hati Valentine gembira seperti gembiranya seseorang
yang karam kapalnya, lalu berhasil selamat sampai ke darat, Villefort mengikuti
mereka. Ketiganya menemui Noirtier menunggu di kursi rodanya.
"Ini, tuan Franz d'Epinay yang datang memenuhi permintaan Ayah," kata Villefort
kepada ayahnya. "Sebenarnya sejak dahulu saya menghendaki Ayah bertemu
dengannya, supaya Ayah yakin betapa tidak beralasan keberatan Ayah terhadap
perkawinan Valentine ini."
Noirtier menjawab dengan sorot matanya yang membuat Villefort gemetar. Lalu dia
membeli isarat supaya Valen tine mendekat. Dalam beberapa saat, degan cara yang
biasa Valentine menemukan kata "kunci" dan setelah itu Noirtier mengarahkan
pandangannya kepada laci sebuah meja tulis yang berada di antara dua buah
jendela. Valentine membuka laci itu dan menemukan sebuah kunci. Setelah
meyakinkan bahwa kunci itu yang dimaksud, Noirtier melihat kepada sebuah meja
tulis tua yang pantasnya berisi kertas-kertas yang tidak berharga.
"Apakah saya harus membuka laci meja ini?" tanya Valentine.
"Ya." "Salah satu laci yang di pinggir?"
"Bukan." "Yang di tengah?"
"Benar." Valentine membuka laci itu dan mengeluarkan seberkas kertas, "Apakah ini yang
Kakek minta?" "Bukan," jawab orang tua itu dengan matanya. Kemudian dia mengarahkan matanya
kepada kamus. Valentine menyebut huruf demi huruf menurut abjad sampai dia
dihentikan pada huruf "R". Dia membuka kamus, menun-juki kata demi kata dengan
jari telunjuknya sampai kepada kata "rahasia".
"Apakah ada rahasia?" tanya Valentine.
"Ya," "Dan siapa yang mengetahui rahasia itu?" Noirtier memandang pintu tempat Barrois
tadi keluar kamar. "Barrois?" "Ya." Valentine berlari ke pintu dan memanggil Barrois.
"Barrois!" Katanya ketika pelayan tua itu memasuki ruangan. "Kakek menyuruh saya
membuka laci meja tulis itu.
Katanya ada rahasia dalam laci itu dan kata beliau engkau mengetahuinya Tolong
huka." Barrois melihat kepada Noirtier. "Lakukan," kata mata Noirtier yang cerdas itu.
Barrois membuka laci yang berdasar ganda lalu mengeluarkan seberkas kertas yang
diikat dengan pita hitam.
"Apakah ini yang Tuan maksud?" tanyanya.
"Ya." "Kepada siapa saya harus berikan berkas ini" Kepada Tuan de Villefort?"
"Bukan." "Kepada Nona Valentine?"
"Bukan." "Kepada Tuan d'Epinay?"
"Ya." Franz terkejut. Dia melangkah ke depan dan menyambut berkas itu dari tangan
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barrois. "Apa yang harus saya lakukan dengan berkas ini?"
"Apakah Kakek menghendaki agar Tuan d'Epinay membacanya?" Valentine turut
bertanya. "Ya," isarat kakek tua itu.
"Kalau begitu kita dapat duduk," kata Villefort tidak sabar. "Akan mengambil
waktu yang cukup lama membaca seluruh berkas itu." Dia duduk, tetapi Valentine
tetap berdiri di samping kursi kakeknya, sedangkan Franz berdiri di hadapannya.
Franz membuka berkas itu lalu mulai membacanya:
"Kutipan dari risalah pertemuan Perkumpulan Bonaparte di Rue Saint-Jacques yang
diselenggarakan pada tanggal S Februari 1815."
Franz berhenti. "5 Pebruari 1815!" serunya, "Hari ayah saya terbunuh! Dan
setelah beliau meninggalkan perkumpulan itu beliau hilang!"
Mata Noirtier memberi isarat agar dia meneruskan membacanya.
"Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, Louis-Jacques Beaurepaire, Letnan
Kolonel Altileri, Etienne Duchampy, Brigadir Jendral dan Claude Lecharpal
Direktur Pengairan dan Kehutanan, dengan ini memberikan pernyataan bahwa pada
tanggal 4 Pebruari 1815 telah datang sebuah surat dari Pulau Elba yang
memperkenalkan kepada para anggota perkumpulan, Jendral Flavin de Ouesnal yang
pernah berdinas di bawah Kaisar Napoleon sejak 1804 sampai 1815, sebagai orang
yang dipercaya masih setia kepada Napoleon sekalipun telah diberi gelar Baron
oleh Raja Louis "Oleh sebab itu, sebuah surat undangan telah dikirimkan kepada Jendral de
Ouesnal untuk menghadiri pertemuan yang akan diadakan keesokan harinya tanggal 5
Pebruari 1815. Surat undangan tersebut tidak mencantumkan
alamat, tetapi menjanjikan akan ada orang yang
menjemputnya pada jam sembilan malam hari, seandainya Jendral bersedia
menghadiri pertemuan tersebut.
"Pada jam sembilan malam itu, Presiden Perkumpulan menjemput sendiri Jendral de
Quesnal. Jendral telah siap.
Presiden mengabarkan bahwa salah satu sarat untuk menghadiri rapat tersebut,
Jendral harus tetap tidak mengetahui alamat tempat rapat itu, dan bahwa ia harus
bersedia ditutup matanya dan bahwa dia harus bersumpah tidak akan mencoba
mengangkat penutup matanya selama itu. Jendral menyetujui persaratan ini lalu
bersumpah demi kehormatan tidak akan mencoba mengetahui ke mana dia dibawa.
Dalam perjalanan Presiden melihat bahwa Jendral mencoba melihat dari bawah
penutup matanya lalu mengingatkannya kepada sumpahnya. 'Oh, ya," jawab Jendral.
Kereta berhenti di sebuah lorong yang menuju ke Rue Saint-Jacques. Dengan
berpegang kepada tangan Presiden, Jendral turun dari kereta, lalu berjalan
sepanjang lorong itu, menaiki tangga dan seterusnya memasuki sebuah ruangan yang
dipergunakan untuk tempat pertemuan. Di sana jendral diberitahu bahwa dia boleh
membuka penutup matanya. Ketika matanya terbuka, dia sangat terperanjat melihat
banyak kenalannya menjadi anggota suatu
perkumpulan yang sangat rahasia, yang belum pernah dicurigai Dia ditanya tentang
pandangan politiknya, tetapi dia hanya menjawab bahwa surat dari Elba itu sudah
cukup jelas. Franz berhenti dahulu membaca, lalu berkata, "Ayah saya seorang kaum Kerajaan.
Tidak perlu menanyainya tentang pandangan politiknya, semua orang
mengetahuinya." "Itulah sebabnya saya bersahabat dengan ayah Tuan".kata Villefort. "Memang mudah
sekali berkawan dengan orang yang sepaham."
Franz melanjutkan lagi membacanya:
"Presiden mendesak Jendral agar menyatakan pandangannya lebih terperinci lagi,
tetapi Jendral menjawab bahwa ia lebih dahulu ingin mengetahui apa yang mereka
harapkan dari dia. Lalu kepadanya ditunjukkan surat dari Elba yang
memperkenalkan Jendral sebagai orang yang dapat diharapkan bantuannya. Sebuah
bagian penuh dari surat itu menceriterakan tentang akan kembalinya Kaisar dari
Pulau Elba dan menjelaskan pula bahwa keterangan yang lebih terperinci akan
diuraikan dalam surat lain yang akan disampaikan setelah tibanya kapal Pharaon,
kapal yang dimiliki oleh perusahaan Morrel and Son dari Marseilles dan yang
kaptennya seorang yang sangat setia kepada Kaisar.
"Ketika dia membaca surat itu, Jendral yang dipercaya oleh semua anggota
perkumpulan sebagai salah seorang dari mereka itu, membuat tanda-tanda yang
jelas bahwa ia tidak menyetujui rencana itu. Setelah selesai membacanya ia tetap
diam sambil mengerutkan dahi
"Bagaimana pendapat tuan tentang surat itu, Jendral?"
tanya Presiden. "Saya akan mengatakan bahwa sumpah kesetiaan kepada Raja Louis XVIII masih
terlalu baru untuk diingkari lagi hanya untuk kepentingan bekas kaisar," jawab
Jendral. "Jawaban ini sudah cukup jelas untuk menghapuskan keraguan kita tentang
pandangan politiknya,"
"Jendral," kata Presiden, "bagi kami tidak ada Raja Louis XVIII dan tidak ada
bekas kaisar. Vang ada, hanyalah Yang Mulia Kaisar, yang dibuang dari Perancis,
tanah airnya, selama sepuluh bulan terakhir ini dengan kekerasan dan
pengkhianatan." "Maafkan saya, Tuan-tuan," kata Jendral, "kalau bagi Tuan-tuan tidak ada Raja
Louis XVIII, bagi saya ada.
Beliau mengangkat saya menjadi baron dan jendral, dan saya tidak akan melupakan
bahwa kedua kehormatan itu saya peroleh berkat berhasilnya beliau kembali ke
Perancis." "Harap Tuan hati-hati, Jendral," jawab Presiden. "Tuan telah membukakan mata
kami bahwa kami keliru tentang Tuan. Sebuah gelar dan pangkat ternyata telah
cukup untuk membuat Tuan mendukung penguasa baru yang akan kami gulingkan. Kami
tidak akan memaksa Tuan untuk
membantu kami atau bergabung dengan kami, namun kami akan memaksa Tuan untuk
bertindak sebagai seorang jantan terhormat sekalipun Tuan tidak akan
melakukannya "Apakah Tuan akan mengatakan sebagai suatu tindakan terhormat kalau saya
mengetahui tempat persembunyian Tuan dan saya tidak membocorkannya" Hal demikian
saya katakan sebagai bersekutu!" "Tuan dibawa ke dalam pertemuan ini tidak
dengan paksa," kata Presiden, "dan ketika kami meminta Tuan ditutup mata dalam
perjalanan, Tuan menyetujuinya. Ketika Tuan menuju ke mari Tuan telah mengetahui
bahwa kami bukan sedang asyik mem-perkokoh kedudukan Louis XVIII. Kalau demikian
buat apa kami bersusah-payah bersembunyi dari polisi. Terlalu gampang bagi Tuan
bersedia ditutup mata untuk
mengetahui suatu rahasia, lalu menanggalkannya dan seterusnya mengkhianati orang
yang mempercayai Tuan. Pertama-tama hendaknya Tuan katakan dengan tegas
apakah Tuan berpihak kepada Raja yang kebetulan
sekarang sedang berkuasa atau berpihak kepada Yang Mulia Kaisar."
"Saya berpihak kepada Raja," jawab Jendral. "Saya telah bersumpah setia kepada
Raja Louis XVIII dan saya akan memegang teguh sumpah itu." "Jawaban Jendral ini
disambut dengan gerutu hadirin. Jelas sekali banyak anggota perkumpulan
mempertimbangkan untuk membuat Jendral menyesali kata-katanya yang terburu nafsu
itu." Presiden meminta hadirin untuk tenang. "Jendral," katanya,
"Tuan cukup berakal sehat untuk menyadari akibat dari keadaan ini, dan
keterbukaan Tuan itulah yang menentukan sarat-sarat yang harus kami kenakan
kepada Tuan. Tuan harus bersumpah demi kehormatan Tuan untuk tidak
membocorkan apa-apa yang Tuan ketahui di sini." Jendral berteriak sambil
memegang hulu pedangnya, "Kalau Tuan berbicara tentang kehormatan, sebaiknya
Tuan mengetahui dahulu hukumnya dan jangan memaksa saya!"
"Dan Tuan sendiri," kata Presiden dengan ketenangan yang lebih mengesankan
daripada kemarahan Jendral,
"jangan menyentuh pedang itu. Saya menasehatkan sekali untuk tidak
melakukannya." Jendral memandang ke sekelilingnya sebagai awal kegelisahannya.
Sekalipun demikian ia masih berkata dengan tegas, "saya tidak akan bersumpah."
"Bila demikian, tuan mesti mati," kata Presiden tenang. "Wajah Jendral berubah
pucat dan sekali lagi ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa anggota berbisik-
bisik satu sama lain dan masing-masing memegang
senjatanya di balik mantel. Tetapi Jendral tetap diam.
"Tutup pintu," kata Presiden kepada para penjaga. Lalu Jendral maju selangkah
dan dengan ihtiar sekuat tenaga untuk menguasai diri, ia berkata, "Saya
mempunyai seorang anak laki-laki; karena saya sekarang berada di tengah-tengah
pembunuh saya harus memikirkan nasibnya."
"Setiap orang mempunyai hak untuk menghina lima puluh orang!" kata Presiden,
"itu adalah haknya orang yang lemah. Tetapi Tuan keliru kalau menggunakan hak
itu. Be r su m paid ah, Jendral, dan jangan menghina kami" Sekali lagi Jendral
terkalahkan oleh kelebihan wibawa Presiden.
Dia ragu-ragu sebentar, lalu bertanya, "Sumpah apa yang Tuan kehendaki?"
"Begini: Saya bersumpah demi kehormatan saya bahwa saya tidak akan membocorkan
kepada siapa pun juga apa yang saya dengar antara jam sembilan dan sepuluh malam
pada tanggal 5 Pebruari 1815, dan saya mengatakan bahwa saya bersedia mati
seandainya saya mengingkari sumpah saya ini." "Kelihatan bahwa Jendral mengalami
sedikit kebingungan yang menyebabkan dia tidak dapat menjawab untuk sementara
waktu. Akhirnya dengan keengganan yang tidak tersembunyikan dia mengucapkan sumpah yang
diminta itu, tetapi dengan suara yang sangat lemah sehingga sukar untuk
didengar. Beberapa anggota menuntut agar ia mengulanginya dengan keras.
Jendral melakukannya sekali lagi. Lalu dia bertanya,
"Apakah saya bebas untuk pergi?" Presiden bangkit dari duduknya, menunjuk tiga
orang anggota untuk mengawaninya, lalu naik ke dalam kereta bersama Jendral yang telah ditutup lagi
matanya. "Ke mana Tuan ingin kami antarkan?" tanyanya kepada jendral.
"Ke mana saja asal saya dapat terlepas dari kehadiran Tuan," jawab Jendral
Quesnal. "Hati-hati" kata Presiden,
"sekarang Tuan tidak lagi berada dalam suatu pertemuan, melainkan berhadapan
dengan perorangan. Jangan
menghina, kecuali kalau Tuan menghendaki diminta
pertanggungan jawab untuk penghinaan itu." Tetapi Jendral tidak memahami bahasa
itu. Dia menjawab. "Dalam kereta ini Tuan sama beraninya dengan ketika dalam
pertemuan, hanya karena alasan yang sederhana sekali, yaitu bahwa empat orang
selalu lebih kuat dari seorang."
"Presiden memerintahkan kereta berhenti. Mereka baru saja sampai di Quai des
Ormes di mana ada tangga yang menuju ke sungai. "Mengapa berhenti di sini?"
Jendral bertanya. "Karena Tuan telah menghina seseorang. Dan karena orang itu
tidak mau melanjutkan selangkah pun sebelum menuntut penyelesaian yang
terhormat." "Ini hanya merupakan bentuk lain dari pembunuh-an!" kata Jendral.
"Jangan mencoba berteriak meminta tolong" kata Presiden, "kecuali kalau Tuan
menghendaki saya menganggap Tuan sebagai salah searang yang saya
maksudkan tadi dalam pertemuan sebagai seorang pengecut yang menggunakan
kelemahannya sebagai perisai.
Sekarang, Tuan seorang diri dan hanya seorang pula yang akan melayani Tuan. Tuan
mempunyai sebilah pedang di pingang, saya pun mempunyai sebuah dalam tongkat
ini. Salah seorang dari tuan-tuan ini akan menjadi saksi Tuan.
Sekarang Tuan boleh membuka tutup mata.9 Jendral segera melepaskan penutup
matanya. Keempat orang itu turun dari kereta." Franz berhenti lagi membaca untuk
menyeka keringat dingin dari dahinya. Ada sesuatu yang mengerikan tampak dalam
wajah anak muda itu selama dia membaca keras-keras keterangan-keterangan yang
tidak pernah diketahuinya tentang kematian ayahnya.
Noirtier melihat kepada Villefort dengan air muka bangga dan memandang rendah.
Franz membaca lagi: "Seperti dikatakan tadi, hari itu adalah tanggal S Pebruari 1815. Salju telah
turun tiga hari berturut-turut dan tangga yang menuju sungai itu tertutup salju.
Salah seorang dari saksi meminjam sebuah lentera dari perahu nelayan yang
terdekat. Pedang Presiden yang bersarung tongkat lebih pendek dari pedang
Jendral. Jendral mengusulkan diadakan undian untuk pemilihan pedang, tetapi
Presiden mengatakan bahwa dialah yang menantang, dan ketika menantang itu dia
telah berpendapat bahwa masing-masing menggunakan senjatanya sendiri. Para
pembantu mencoba memperkuat saran Jendral, tetapi Presiden meminta agar mereka
tidak turut campur. "Lentera diletakkan di atas tanah. Kedua lawan berdiri di
kin kanannya Dan mulailah pertarungan itu. Jendral de Quesnal dikenal sebagai
salah seorang pemain pedang yang mahir dalam ketentaraan, tetapi karena diserang
secara keras ia kehilangan keseimbangan sampai terjatuh. Para saksi mengira ia
terbunuh, tetapi lawannya, yang mengetahui bahwa ia tidak
mengenainya, mengulurkan tangan membantunya untuk berdiri. Kejadian ini bukannya
membuat Jendral itu menjadi lebih tenang, bahkan sebaliknya memanaskan darahnya
dan ia mulai menyerang dengan hebatnya.
Presiden tidak beranjak sedikit pun dari tempat berdirinya.
Tiga kali Jendral mundur karena merasa jarak terlampau dekat untuk kemudian
kembali lagi menyerang. Tetapi pada serangan ketiga kalinya ia jatuh tersungkur
lagi. Saksi-saksi mengira ia kehilangan keseimbangannya lagi seperti tadi,
tetapi ketika salah seorang dari mereka mencoba
membantunya berdiri, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah pada tangannya.
Darah. "Jendral yang hampir kehilangan kesadarannya itu masih sempat berkata,
"Oh, mereka menyewa pembunuh atau gum anggar ketentaraan untuk melawanku!' Tanpa
menjawab, Presiden menghampiri saksi yang memegang lentera,
menyingsingkan lengan bajunya lalu memperlihatkan bahwa lengannya pun terluka
pada dua tempat. Selanjutnya ia membuka jasnya dan melepaskan kancing kemejanya.
Ia memperlihatkan luka ketiga pada pinggangnya. Walaupun demikian ia tidak
terdengar mengeluarkan erang kesakitan sedikit pun juga. "Jendral meninggal lima
menit kemudian." Franz membaca bagian ini dengan suara yang tertahan sehingga hampir-hampir tidak
dapat dipahami. Dia berhenti, mengusap mata dengan tangannya. Setelah berdiam sejenak ia melanjutkan
lagi: "Presiden menuruni tangga yang menuju sungai itu dengan darah bercucuran di atas
salju. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara badan Jendral diceburkan ke
dalam sungai oleh para saksi, setelah mereka yakin betul akan kematiannya.
"Dengan demikian Jendral itu meninggal dalam sebuah duel yang terhormat, bukan
karena penyergapan seperti disangka orang.
Sebagai kesaksian atas perkara tersebut kami menandatangani pernyataan ini demi
tegaknya kebenaran, kalau-kalau pada suatu saat dikemudian hari salah seorang
dari pelaku kejadian ini didakwa orang sebagai pembunuh atau pelanggar hukum.
'Tertanda: BEAUREPAIRE DUCHAMPY LECHARPAL." "Tuan Noirtier," kata Franz setelah selesai membaca dokumen yang menggetarkan
jiwanya itu, "oleh karena tampaknya Tuan mengetahui seluk-beluk kejadian ini
sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, haraplah Tuan tidak mengecewakan saya
untuk dapat mengetahui nama
Presiden perkumpulan itu, sehingga akhirnya saya dapat mengetahui siapa nama
pembunuh ayah saya."
Bagaikan seorang yang kehilangan akal Villefort meloncat menuju pintu, sedang
Valentine yang tahu apa yang bakal menjadi jawaban kakek tua itu, dan yang
sering sekali melihat dua bekas luka di lengan kakeknya, mundur beberapa langkah
karena kekhawatiran. "Satu-satunya kekuatan yang menyebabkan saya dapat membaca dokumen itu sampai
pada akhirnya adalah harapan untuk mengetahui siapa yang membunuh ayah saya,"
kata Franz selanjutnya. "Demi Tuhan, Tuan Noirtier, katakanlah dengan cara
apapun juga sehingga saya dapat mengerti.. ."
"Baik," kata Noirtier dengan matanya. Lalu dia mengarahkan matanya kepada kamus.
Franz mengambil kamus itu dengan tangan gemetar, lalu menyebut abjad satu demi
satu sampai orang tua itu menghentikannya pada huruf S. Franz meluncurkan
jarinya sepanjang kata-kata dalam kamus. Sementara itu Valentine menyembunyikan
mukanya di balik kedua belah tangannya. Akhirnya Franz sampai kepada kata
"saya". "Betul," kata Noirtier.
'Tuan!" seru Franz. 'Tuankah yang membunuh ayah saya?"
"Betul," jawab Noirtier sambil menatap wajah anak mu-da itu dengan pandangan
seorang raja. Dengan lunglai Franz jatuh ke sebuah kursi.
Villefort membuka pintu dan berlari ke hiar oleh karena tiba-tiba saja disergap
keinginan untuk merenggut kehidupan yang masih bersarang dalam tubuh orang tua
yang tak pernah dapat diajak berdamai itu.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB XLIII FRANZ meninggalkan kamar Noirtier dalam keadaan
begitu terpukul sehingga Valentine sendiri pun merasa iba kepadanya. Setelah
menggumamkan kata-kata yang tidak dipahami, Villefort bergegas mengunci dirinya
di ruang kerjanya. Dua jam kemudian dia menerima surat berikut:
"Dengan dibongkarnya fakta-fakta pagi ini jelas sekali Tuan Noirtier de
Villefort beranggapan bahwa persatuan antara keluarganya dengan keluarga Tuan
Franz d'Epinay tidak mungkin terjadi. Tuan d'Epinay sangat terkejut memahami
kenyataan bahwa Tuan de Villefort yang mengetahui rahasia ini tidak pernah
berupaya untuk memberitahukan sebelumnya ini" Surat yang tajam dari seorang anak
muda yang selama ini menaruh hormat kepadanya merupakan suatu pukulan maut bagi
kehormatan orang seperti de Villefort.
Sementara itu Valentine yang merasakan kebahagiaan dan ketakutan sekaligus pada
saat yang bersamaan, mencium dan menyatakan terima kasih kepada kakeknya yang
hanya dengan sebuah gerakan saja telah mampu memutuskan rantai yang dianggapnya
tak mungkin terputuskan. Dia meminta diri pergi ke kamarnya sendiri untuk menenangkan diri.
Izin itu diberikan dengan isarat matanya.
Tetapi, bukan kamarnya yang ia tuju, melainkan kebun.
Maximilien telah menantinya di pintu gerbang. Tadi, Maximilien telah melihat
Franz dan de Villefort meninggalkan pekuburan bersama-sama seusainya upacara
penguburan Tuan dan Nyonya de Saint-Meran dan dia menyangka
mesti akan terjadi sesuatu. Oleh sebab itu ia berjaga jaga di luar tembok, siap
untuk bertindak dengan penuh
kepercayaan bahwa Valentine akan berlari kepadanya pada kesempatan yang pertama.
Ketika melihat kedatangan Valentine, hatinya merasa yakin. Ketika mendengar
kata-kata Valentine yang pertama hatinya melonjak karena gembira.
"Kita selamat!" kata Valentine.
"Selamat?" Maximilien mengulangi, tidak percaya kepada nasib yang sangat baik
itu. "Siapa yang menyelamatkan kita?"
"Kakek. Oh, engkau harus mencintainya, Maximilien!"
Maximilien bersumpah akan mencintai orang tua itu sepenuh hati. Sumpah itu tidak
sukar keluar dari lubuk hatinya, karena pada saat itu ia tidak merasa puas
dengan hanya mencintainya sebagai sahabat saja atau sebagai seorang ayah,
melainkan mau memujanya seperti kepada malaikat.
'Tetapi bagaimana beliau melakukannya?" tanya Maximilien.
Valentine sudah akan membuka mulutnya untuk men-
ceriterakan segala-galanya, tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ceriteranya itu
akan menyangkut sebuah rahasia besar yang juga melibatkan orang lain selain
kakeknya. "Akan aku ceriterakan nanti," katanya.
"Bila?" "Kalau aku sudah menjadi istrimu."
Jawaban ini cukup membuat Maximilien menyetujui
saja. Sebab itu dia sudah merasa puas dengan apa yang sudah dikatakan Valentine,
yang cukup untuk sehari itu.
Namun demikian dia meminta agar Valentine menemuinya lagi esok hari. Valentine
memberikan janji itu dengan senang hati. Pandangan Valentine kini berubah sama
sekali. Sekarang ia merasa lebih percaya bahwa ia akan kawin dengan Maximilien daripada
tidak akan kawin dengan Franz.
Esok harinya Noirtier meminta notaris datang lagi. Surat wasiatnya yang
terdahulu disobek dan menyuruh membuat lagi yang baru, di dalamnya ditetapkan
bahwa ia akan mewariskan seluruh kekayaannya kepada Valentine, asal saja dia
tidak dipisahkan daripadanya.
Banyak orang segera memperhitungkan bahwa Nona
Valentine de Villefort, satu-satunya ahli waris Tuan dan Nyonya de Saint-Meran
dan diangkat kembali menjadi ahli waris Tuan Noirtier, pada suatu saat nanti
akan mempunyai penghasilan hampir tiga ratus ribu frank setahun.
Sementara perkawinan Valentine dibatalkan, Count of Morcerf mengenakan seragam
letnan jendralnya, menghiasinya dengan semua tanda kehormatan yang
dimilikinya, lalu meminta disiapkan kuda-kudanya yang terbaik untuk berkunjung
kepada Baron Danglars. Bankir itu sedang sibuk mempelajari neraca bulanannya, dan dalam waktu-waktu
terakhir ini sukar sekali menjumpai dia dalam keadaan yang cerah gembira. Ketika
sahabat lamanya masuk, ia mencoba memperlihatkan air muka kebangsawanannya dan
duduk tegak di kursinya. Sebaliknya, Morcerf yang biasa kaku dan resmi pada
kesempatan ini berusaha meninggalkan kekakuannya dengan tersenyum ramah. 'Inilah
aku, Baron," katanya. "Selama ini kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk
melaksanakan rencana kita"
"Rencana apa, Count?" tanya Danglars, seakan-akan tidak dapat memahami apa yang
dimaksud oleh Morcerf. "Ah, aku tahu sekarang bahwa engkau seorang yang suka resmi dan menghendaki
upacara sesuai dengan kebiasaan.
Baik." Dengan senyum yang dipaksakan Morcerf berdiri, membungkuk dalam-dalam
kepada Danglars lalu berkata,
"Baron Danglars, bolehkah saya mempunyai kehormatan untuk meminang puteri Tuan,
Nona Eugenie Danglars untuk anak saya, Viscount Albert de Morcerf."
Tetapi Danglars bukannya memberi jawaban yang me-
nyenangkan seperti yang diharapkan oleh Morcerf, melainkan mengerutkan dahi
sambil berkata, "Sebelum memberi jawaban, Count, saya memerlukan sedikit waktu
untuk memikirkannya lebih dahulu."
"Untuk memikirkannya dahulu!" seru Morcerf terheran-heran. "Bukankah engkau
telah mempunyai waktu delapan tahun untuk memikirkannya sejak kita
merundingkannya?" "Count, setiap hari timbul kejadian-kejadian yang mengharuskan kita meninjau
kembali segala persoalan yang pernah kita anggap sebagai telah selesai
diputuskan." "Maaf, Baron, tetapi saya tidak dapat memahami apa yang Tuan maksudkan."
"Yang saya maksudkan, bahwa belum lama ini timbul keadaan-keadaan baru dan bahwa
.,." "Ungkapan yang samar-samar, bahkan kosong, Baron.
Ungkapan itu mungkin saja dapat memuaskan orang biasa, tetapi Count of Morcerf
bukanlah orang biasa. Apabila ada orang menarik kembali janji yang telah
diberikan kepadanya, dia berhak menuntut alasan-alasan yang masuk akal."
Sekalipun sebenarnya Danglars seorang pengecut,
namun tidak mau tampak sebagai pengecut. Selain dari itu, ia merasa tersinggung
mendengaf nada suara Morcerf.
"Saya mempunyai alasan yang kuat," jawabnya, "tetapi akan sukar sekali
mengatakannya kepada Tuan."
"Suatu hal dapat dipastikan, Tuan menolak menikahkan puteri Tuan kepada anak
saya." "Bukan begitu, saya hanya menangguhkan keputusan saya."
'Tetapi pasti Tuan tidak akan menikmati keangkuhan Tuan dengan mengira bahwa
saya akan sedia menuruti kehendak Tuan dan menunggu dengan patuh datangnya
kemurahan hati Tuan!"
"Apabila Tuan tidak dapat menunggu, baiklah kita anggap rencana kita sebagai
batal saja." Morcerf menggigit bibirnya untuk menahan ledakan
amarahnya yang sudah menjadi darah dagingnya, oleh karena ia masih sadar bahwa
dalam keadaan seperti itu dialah yang akan menjadi bahan tertawaan apabila dia
tidak dapat menahan diri. Dia sudah sampai di ambang pintu keluar ketika tiba-
tiba saja ia merubah lagi pendiriannya.
Dia ber-balik dan kembali lagi. Air mukanya yang marah karena tersinggung telah
berubah. "Kita sudah berkenalan selama bertahun-tahun, Baron " katanya, "sebab
itu pantas kita saling menghargai. Setidak-tidaknya Tuan dapat mengatakan
kejadian buruk apakah yang menyebabkan anak saya kehilangan nilai di mata Tuan."
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan anak Tuan secara pribadi. Hanya itulah
yang dapat saya katakan,"
jawab Danglars yang menjadi sombong lagi setelah melihat kelunakan Morcerf.
"Kalau begitu, dengan siapa?" tanya Morcerf kurang enak.
Danglars menatap Morcerf dengan keyakinan diri yang lebih dari semula laki
berkata. "Berterimakasihlah karena saya tidak memberikan penjelasan yang
terperinci" BAB XLIV MAXIMILIEN sangat berbahagia. Tuan Noirtier baru
saja menyuruh Barrois memanggilnya. Dia ingin segera mengetahui apa maksud
panggilan itu sehingga ia lebih percaya kepada kakinya sendiri daripada kepada
kaki-kaki kuda kereta. Itulah sebabnya dia berlari-lari menuju rumah Tuan
Noirtier dengan Barrois di belakangnya mencoba mengikutinya. Maximilien berumur
tiga puluh, Barrois enam puluh. Maximilien dibakar semangatnya oleh api cinta
sedangkan Barrois kepayahan karena kepanasan.
Ketika sampai, Maximilien seperti tidak merasa cape, karena cinta memang
bersayap, tetapi Barrois yang sudah bertahun-tahun tidak pernah jatuh cinta
lagi, basah kuyup bermandikan keringat.
Pelayan tua itu mempersilakan Maximilien masuk melalui pintu khusus. Tak lama
kemudian suara gemerisik gaun wanita memberi tahukan kedatangan Valentine. Dia
tampak cantik sekali dengan pakaian paginya. Maximilien sangat terpesona
sehingga ia akan merasa gembira sekati, pun seandainya tidak jadi bertemu dengan
Tuan Noirtier yang memanggilnya. Tetapi kakek tua itu telah datang, didorong di
atas kursi rodanya. Maximilien segera mengucapkan terima kasih untuk
jasa-jasa Noirtier yang telah menyelamatkan Valentine dan dia sendiri dari
kedukaan. Noirtiei menjawabnya dengan pandangan mata yang penuh kemurahan hati.
Lalu dia mengarahkan matanya kepada Valentine yang sedang duduk agak kemalu-
maluan di sudut "Apakah perlu saya menceriterakan semua yang Kakek katakan kepada saya?"
Valentine bertanya. "Ya," isarat Noirtier.
"Maximilien, Kakek telah banyak sekali berceritera dalam tiga hari terakhir
ini," kata Valentine. "Beliau memanggilmu sekarang supaya aku menceriterakannya
kembali kepadamu. Oleh karena aku hanya sebagai
penterjemah semata-mata, aku akan mengatakan semuanya sama seperti yang
dikehendaki beliau."
"Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya," jawab Maximilien
Valentine merendahkan pandangan matanya, suatu hal yang membuat Maximilien penuh
harap, karena Valentine selalu merasa lemah apabila dia sedang berbahagia.
"Kakek ingin meninggalkan rumah ini," katanya. "Barrois akan mencari sebuah
apartemen yang memadai. Seandainya ayah mengizinkan, aku akan tinggal bersama
Kakek dan akan meninggalkan rumah ini segera pula. Seandainya tidak, aku akan
menunggu sampai cukup usia, berarti delapan belas bulan lagi dari sekarang. Pada
waktu itu aku bebas, dan aku akan mempunyai penghasilan dan kekayaan sendiri dan
.. "Dan?" tanya Maximilien.
"Dan, dengan restu Kakek aku akan menepati janjiku kepadamu."
Kata-kata terakhir diucapkannya dengan perlahan sekali sehingga Maximilien tidak
akan dapat mendengarnya kalau saja ia tidak sedang mengikuti pembicaraan
Valentine dengan seksama.
"Apakah saya tidak keliru, Kakek?" tanya Valentine kepada kakeknya.
'Tidak." "Oh!" Maximilien tak dapat menahan serunya. Segera dia bersimpuh di muka kakek
tua itu seakan-akan berlutut di hadapan Tuhan, dan bersimpuh di muka Valentine
seperti dia bersimpuh di hadapan malaikat. "Apakah jasa saya sehingga patut
menerima kebahagiaan seperti ini?"
Noirtier memandang kepada kedua anak muda yang
sedang dilanda cinta itu dengan penuh perasaan kasih. Barrois yang berdiri agak
jauh dari mereka tersenyum sambil menghapus butir-butir keringat yang masih
membasahi dahinya. "Oh, Banois sangat kepanasan. Kasihan," kata Valentine.
"Karena saya habis berlari dengan cepat, Nona," jawab Barrois. "Namun demikian
saya akui bahwa Tuan Morrel berlari lebih cepat dari saya."
Noirtier mengarahkan matanya kepada sebuah baki yang di atasnya ada sebuah
tempat air jeruk dan sebuah gelas.
Noirtier telah meminumnya sebagian setengah jam yang lalu.
"Minumlah air jeruk ini, Barrois," kata Valentine. "Kulihat engkau sangat
menginginkannya." "Kalau saya boleh berterus-terang, Nona, saya hampir mati kehausan," jawab
Barrois, "dan saya akan sangat bergembira sekali apabila dapat minum demi
kesehatan Nona dengan air jeruk ini."
"Minumlah, dan kembali lagi nanti ke mari"
Barrois mengambil baki itu dan segera setelah ia berada di luar kamar dengan
sekali teguk ia menghabiskan gelas yang telah diisi air jeruk oleh Valentine.
Valentine dan Maximilien sedang saling mengucapkan kata berpisah ketika mereka
mendengar suara bel berbunyi di tangga. Berarti ada tamu. Valentine melihat jam.
"Hari telah siang," katanya, "dan hari ini, hari Sabtu. Mesti dia dokter. Apakah
Maximilien harus pergi, Kakek?"
"Ya," "Barrois!" Valentine berteriak. "Ke mari!"
Suara pelayan tua itu menjawab, "Saya datang, Nona."
"Barrois akan menunjukkan jalan" kata Valentine kepada Maximilien. Barrois
masuk. "Siapa yang membunyikan bel?"
"Dokter d'Avrigny," jawab Barrois terhuyung huyung
"Mengapa engkau, Barrois?" tanya Valentine heran.
Barrois tidak menjawab. Dia melihat kepada majikannya dengan penuh ketakutan.
Tangannya mencoba meraih sesuatu untuk menahan dirinya.
"Dia hampir jatuh!" Maximilien berseru.
Barrois makin sempoyongan. Wajahnya menunjukkan
adanya serangan penyakit yang gawat dan mendadak. Dia maju beberapa langkah lagi
menuju Noirtier. "Ya, Tuhan!"
katanya dengan susah payah. "Mengapa saya ini" Sakitnya .
. . mata saya kabur . .. kepala seperti dibakar. Oh, jangan sentuh saya!"
Matanya berputar putar, kepalanya terkulai ke belakang, sedangkan anggota badan
lainnya kaku. "Dokter d'Avrigny! Dokter d'Avrigny!" Valentine berteriak-teriak- "Ke mari
cepat! Tolong!" Barrois membalikkan badan, mundur lalu terjatuh di depan kaki Noirtier.
Villefort yang mendengar teriakan Valentine muncul di ambang pintu. Maximilien
segera menyembunyikan diri di belakang tirai. Mata Noirtier berkilat-kilat
karena tidak sabar dan cemas. Seakan-akan seluruh perasaan harinya tertumpah
kepada orang tua yang malang itu, yang lebih merupakan sahabat daripada pelayan.
Urat-urat wajah Barrois bergerak menegang, matanya merah seakan-akan berdarah,
lehernya terkulai lemah, tangannya menggapai-gapai. Kakinya begitu kaku,
sehingga seakan-akan mungkin patah kalau ditekukkan. Bintik-bintik buih keluar
dari sela-sela bibirnya ketika dia mengerang kesakitan.
Villefort memandang Barrois dengan mata melotot dan mulutnya ternganga. Dia
tidak melihat Maximilien. Segera dia membalikkan badan dan berlari sambit
berteriak. "Dokter! Dokter!Dokter!Tolong!"
Nyonya de Villefort masuk dengan diam-diam_
Pandangannya yang pertama diarahkan kepada Noirtier yang dalam keadaan serupa
ini layak terpengaruh oleh berbagai perasaan, namun tetap segar bugar. Lalu dia
melihat kepada Barrois yang seperti sedang di ambang kematian.
"Demi Tuhan, Ibu, di mana Dokter?" tanya Valentine.
"Di kamar Edouard, sedang memeriksanya. Dia agak sakit hari ini," jawab Nyonya
de Villefort. Lalu dia meninggalkan ruangan itu.
Maximilien keluar dari persembunyiannya. Tak seorang pun memperhatikannya dalam
kebingungan seperti itu. "Segera pergi, Maximilien," kata Valentine, "dan tunggu sampai aku menyuruh
orang." Maximilien menekankan tangan Valentine ke dadanya lalu pergi melalui pintu
khusus. Beberapa detik kemudian Villefort masuk bersama dokter dari pintu yang lain.
Barrois kelihatan sudah mulai akan sadar kembali Serangan pertama telah berlalu.
Terdengar keluhannya perlahan-lahan, dan dia mencoba duduk pada sebuah lututnya.
Villefort dan Dokter d'Avrigny menggo-tongnya ke kursi panjang.
"Obat apa yang diperlukan, Dokter?" tanya Villefort.
"Tolong ambilkan air bening dan eter. Apa Tuan mempunyainya?"
"Ada." 'TJan tolong suruh orang mencari minyak terpenten dan sedikit obat muntah."
"Kau, ambil!" perintah Villefort kepada salah seorang pelayannya.
"Sekarang saya harap semua meninggalkan kamar ini."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah saya pun harus pergi-" tanya Valentine agak malu-malu
"Ya, terutama sekali Nona," jawab dokter itu pendek.
Valentine menatap wajah dokter itu dengan agak heran, mencium dahi Noirtier lahi
pergi. Dokter menutup pintu dengan air muka muram setelah Valentine keluar.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Barrois?" tanyanya.
"Sedikit baik, Dokter "
"Bisa kau meminum air dengan eter ini?"
"Akan saya coba, tetapi harap jangan sentuh saya"
"Mengapa?" "Karena rasanya, kalau saya tersentuh, sekalipun dengan ujung jari, serangan
akan datang lagi Minumlah."
Barrois menerima gelas, mendekatkan bibirnya yang keungu-unguan ke bibir gelas
lalu meminum setengah dari isinya.
"Rupanya serangan itu mendadak sekali," kata Dokter.
"Seperti kilat"
"Bagaimana perasaanmu kemarin atau kemarin dahulu?"
"Tidak merasakan apa-apa."
"Apa yang kau makan hari ini?"
"Belum makan apa-apa. Saya hanya minum sedikit saja air jeruk Tuan Noirtier.
Hanya itu." Barrois mengangguk kepada Noirtier yang tanpa bergerak sedikit pun
mengawasi dan mendengarkan seksama dari kursi rodanya.
"Di mana air jeruk itu sekarang?" tanya Dokter dengan cepat.
"Di dapur." "Apa saya ambilkan, Dokter?" tanya Villefort.
"Biar, tinggal saja di sini Saya akan mengambilnya sendiri" Dia berlari keluar
dan turun ke dapur melalui tangga khusus untuk para pelayan. Hampir saja dia
menubruk Nyonya de Villefort yang juga sedang menuju dapur.
Nyonya de Villefort berteriak terkejut, namun dokter tidak mengacuhkannya.
Didorong oleh prasangkanya yang kuat dia melompati tiga empat anak tangga
terakhir, lalu berlari cepat ke dapur. Di sana dia melihat tempat air jeruk di
atas baki. Isinya hanya tinggal seperempat. Dia menyambarnya seperti burung
elang menyambar mangsanya, kemudian berlari kembali ke kamar Noirtier. Napasnya
hampir habis. Nyonya de Villefort menaiki kembali tangga dengan perlahan-lahan ke kamarnya
sendiri. "Betul ini?" tanya Dokter d'Avrigny.
"Benar, Tuan." "Ini pula yang kauminum?"
"Saya kira begitu."
"Bagaimana rasanya?"
"Sedikit pahit"
Dokter menuangkan air jeruk itu sedikit ke telapak tangannya, lalu mencicipinya.
Segera pula ia meludahkan-aya kembali ke dalam tungku api "Sama," katanya.
"Apakah Tuan juga meminum air jeruk ini, Tuan Noirtier?"
"Ya," jawab Noirtier dengan matanya.
"Terasa pahit juga?"
"Ya." "Oh, Dokter!" Barrois berteriak. "Saya terserang kembali!
Ya, Tuhan kasihanilah saya!"
"Tolong lihat apa sudah dapat obat muntah itu," kata dokter kepada de Villefort.
Villefort berlari keluar sambil berteriak, "Obat muntah!
Obat muntah mana?" Tak seorang pun menjawab. Suasana ketakutan dan
kekhawatiran mencekam seluruh rumah.
Barrois terserang lebih hebat dari pertama kali. Karena tidak dapat menolong
meringankan penderitaannya, dokter meninggalkannya dan menghampiri Noirtier.
"Bagaimana dengan Tuan?" katanya dengan suara ditahan. "Baik-baik saja?"
"Ya." "Barroiskah yang membuatkan air jeruk itu?"
"Ya." "Tuankah yang menyuruh dia meminumnya?"
"Bukan." "Tuan de Villefort?"
"Bukan." "Nyonya de Villefort?"
"Bukan." "Valentine?" "Ya." Dokter d Avrigny kembali kepada Barrois dan bertanya,
"Siapa yang membuat air jeruk itu?"
"Saya." "Lalu engkau langsung mengantarkannya kepada Tuan Noirtier?"
"Tidak, karena saya disuruh dahulu melakukan sesuatu yang lain. Karena itu saya
tinggalkan air jeruk itu di lemari makanan."
"Jadi siapa yang mengantarkannya ke mari?"
"Nona Valentine."
Dokter memukul dahinya sendiri sambil berkata, "Ya Tuhan! Ya Tuhan!"
"Dokter!Dokter!" Barrois menjerit-jerit Dia merasakan datangnya serangan yang
ketiga kalinya. "Napas saya! Jantung! Kepala! Apa saya harus lama menderita,
Dokter?" "Saya mengerti," jawab Barrois yang sudah tak berdaya itu. "Ya Tuhan, ampunilah
saya!" Dia jatuh terkulai dibarengi jeritan yang mengerikan seakan-akan disambar
petir. Dokter meraba detak jantung Barrois lalu berkata kepada Villefort, "Tolong
ambilkan sirup bunga."
Villefort pergi dan kembali sesaat kemudian. "Masih pingsan?" tanyanya.
"Dia sudah mati.' Villefort terlompat selangkah ke belakang, memegang kepalanya dengan kedua belah
tangannya, lalu berkata dengan suara sedih, "Begitu cepat?"
"Ya, cepat sekali, bukan?" kata Dokter. "Tetapi itu tak perlu mengagetkan Tuan.
Tuan dan Nyonya de Saint-Meran juga meninggal secara mendadak. Banyak orang yang
mati mendadak dalam rumah ini, Tuan de Villefort'
"Apa!"seru Villefort dengan nada ketakutan dan terkejut.
"Masihkah Tuan dipengaruhi prasangka itu?"
"Tak pernah hilang dari ingatan saya sesaat pun," jawab dokter itu tenang. "Dan
saya akan membuktikan bahwa saya tidak keliru. Dengarkanlah baik-baik, Tuan de
Villefort." Villefort gemetar bagaikan orang yang kena sawan.
"Ada sejenis racun yang sangat mematikan tanpa meninggalkan bekas," kata dokter.
"Saya telah menyelidiki jenis racun itu dan saya kenal benar kepada akibat-
akibatnya. Saya baru saja melihat akibat-akibat itu pada Barrois yang malang,
dan saya juga melihatnya pada Nyonya de Saint-Meran. Ada cara untuk membuktikan
adanya racun tersebut dalam suatu cairan. Cairan beracun itu akan mengubah
kertas lakmus menjadi biru dan mengubah sirup bunga yang ungu menjadi hijau.
Kita tidak mempunyai kertas lakmus di sini, tetapi ada sirup bunga.
Perhatikanlah." Dokter menuangkan air jeruk dengan hati-hati ke dalam cangkir berisi sirup
bunga. Mula-mula warna sirup itu berubah menjadi kebiru-biruan, lalu sedikit
demi sedikit berubah lagi menjadi hijau. Percobaan itu menghilangkan semua
keragu-raguan. "Barrois yang malang diracun dengan brucine," kata Dokter d'Avrigny. "Sekarang
saya telah siap untuk menjawab kebenaran ini baik di hadapan Tuhan maupun di
hadapan manusia." Villefort terhenyak ke atas kursi tanpa berkata sepatah pun, tak berdaya seperti
mayat Barrois. Segera dokter menyadarkannya kembali.
"Oh, kematian berada dalam rumahku!" katanya gemetar.
"Pembunuhan berada dalam rumah Tuan," kata Dokter membetulkan. "Apakah Tuan
mengira racun itu ditujukan kepada pelayan malang itu" Tuan Noirtier telah
meminumnya sebagian bagaikan minum air biasa. Barrois meminumnya karena
kecelakaan. Dan sekalipun Barrois yang menjadi korban, sebenarnya Noirtier yang
diincar." "Tetapi mengapa ayah saya masih tetap hidup?"
"Seperti telah saya katakan di kebun setelah meninggalnya Nyonya de Saint-Meran,
dia sudah kebal terhadap racun itu, sehingga racun dalam jumlah tertentu yang
tidak akan berakibat apa-apa kepadanya, telah mematikan Barrois. Tak seorang
pun, bahkan juga si pembunuh, mengetahui bahwa saya selama ini mengobati
kelumpuhan Tuan Noirtier dengan racun brucine. Mari sekarang kita ikuti jejak-
jejak pembunuh itu. Mula-mula dia membunuh Tuan de Saint-Meran, lalu Nyonya de
Saint-Meran . . . warisan berganda dapat diharapkan dari kematiannya.
Tuan Noirtier telah mencabut hak waris keluarganya, dan bermaksud mewariskan
kekayaannya kepada orang-orang miskin. Dia selamat. Tetapi segera setelah ia
merubah lagi surat wasiatnya, segera itu pula ia menjadi calon korban
berikutnya. Surat wasiat yang baru itu baru dibuat kemarin dulu. Nah, Tuan
lihat, tak ada waktu yang dibuang-buang."
"Oh, maafkan anak saya, Tuan d'Avrigny!" gumam Villefort.
"Ah, Tuan menyebut sendiri nama itu. Tuan ayahnya."
"Kasihanilah Valentine! Dengarkan saya, Dokter, tidak mungkin! Saya lebih suka
menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan dia!"
'Tiada maaf! Kejahatan itu telah jelas sekali dan amat keji Putri Tuan yang
membungkus obat yang dikirimkan kepada Tuan de Saint-Meran, dan dia mati Dia
pula yang menyediakan makanan Nyonya de Saint-Meran, dan dia mati mendadak. Dia
yang mengantarkan tempat air jeruk kepada Tuan Noirtier, dan Tuan Noirtier
selamat karena suatu keajaiban."
"Dengarkan!" Villefort berteriak. "Kasihanilah saya, tolong saya! Tidak, anak
saya tidak bersalah. Saya tidak mau menggusur anak saya ke tiang gantungan
dengan tangan saya sendiri. Pikiran itu saja sudah menyebabkan saya mau merobek-
robek jantung saya sendiri rasanya Bagaimana bila di kemudian hari ternyata Tuan
keliru Bagaimana kalau orang lain yang melakukannya, bukan Valentine" Bagaimana
kalau pada suatu hari nanti saya datang kepada Tuan dan berkata, "Kau membunuh
anakku!" "Baik," kata dokter itu setelah diam sejenak. "Saya akan menunggu."
Villefort menatap wajah dokter itu seakan-akan dia tidak percaya kepada apa yang
didengarnya. "Tetapi," lanjut Dokter dengan suara rendah dan khidmat, "bila ada orang lain
dalam rumah ini jatuh sakit, atau Tuan sendiri yang terkena, jangan memanggil
saya oleh karena saya tidak mau lagi kembali ke rumah ini. Saya bersedia
memegang rahasia Tuan yang mengerikan ini, tetapi saya tidak bersedia membiarkan
rasa malu dan sesal tumbuh dalam jiwa saya seperti tumbuhnya kejahatan dan
kedukaan dalam rumah Tuan ini. Selamat tinggal, Tuan de Villefort."
BAB XLV MALAM telah larut ketika Andrea Cavalcanti kembali ke penginapannya di Hotel des
Princes. Tetapi baru saja ia menginjakkan kaki di halaman hotel itu dia melihat
penjaga hotel berdiri menunggunya dengan topi di tangan.
"Tuan, orang itu tadi ke mari."
"Orang apa?" jawab Andrea acuh tak acuh, seakan-akan ia tidak ingat lagi kepada
orang yang sebenarnya dia kenal betul.
"Orang yang biasa Tuan beri tunjangan."
"Oh, ya," kata Andrea. "Pelayan tua ayahku. Apakah sudah kau beri uang dua ratus
frank yang kutitipkan kepadamu?"
"Dia menolak menerimanya, Tuan."
"Apa?" "Katanya ia ingin berbicara dengan Tuan. Mula-mula ia tidak mau percaya ketika
saya katakan Tuan sedang keluar.
Tetapi akhirnya saya dapat meyakinkan dan ia meninggal kan surat ini untuk Tuan
' "Coba lihat," kata Andrea. Dia menerima surat itu dan membaca kalimat ini:
"Engkau tahu di mana aku tinggal.
Aku mengharapkan kedatanganmu besok jam sembilan
pagi." "Nanti ke kamarku kalau engkau telah selesai mengurus kuda," kata Andrea kepada
saisnya. Dia baru selesai membakar surat dari Caderousse ketika sais itu masuk. "Badanmu
hampir seukuran dengan badanku, Pierre?"
"Ya, saya mendapat kehormatan itu" jawab sais.
"Aku mempunyai janji dengan seorang wanita malam ini, tetapi aku tidak mau dia
mengetahui siapa aku. Coba aku pinjam pakaian mu dan surat-suratmu."
Sais menurut saja. Lima menit kemudian, dengan menyamar sepenuhnya, Andrea
meninggalkan Hotel des Princes tanpa dikenal orang. Dia menyewa sebuah kereta dan meminta diantarkan ke
penginapan Aurberge du Cheval Rouge di Picpus. Keesokan paginya dia meninggalkan penginapan itu
menuju Rue Menilmontant dan berhenti di miika pintu rumah ketiga di sebelah kiri
jalan. "Mencari siapa?" tanya seorang penjual buah-buahan di seberang jalan.
"Tuan Pailletin."
"Pensiuan pembuat roti itu?"
"Benar." "Naiklah ke tangga di sebelah kiri, di ujung halaman itu.
Dia tinggal di lantai empat."
Andrea mengikuti petunjuk itu lalu membunyikan bel pada pintu di lantai empat.
Beberapa saat kemudian wajah Caderousse muncul dari balik pintu. "Engkau datang
tepat sekali," katanya, lalu dia menutup pintu kembali.
Pada waktu memasuki ruangan itu dengan kesal Andrea melemparkan topinya ke atas
sebuah kursi. Lemparannya tidak tepat, topi itu menggelinding di lantai.
"Jangan marah, anak muda," kata Caderousse. "Coba lihat makanan yang akan kita
sarap bersama. Semua kesukaanmu."
Andrea mencium bau bawang putih dan lemak segar. Di ruang berikutnya dia melihat
meja yang sudah ditata untuk dua orang, di atasnya ada dua buah botol anggur,
sewadah besar brendi dan buah-buahan di atas selembar daun kol yang disusun rapi
di atas sebuah piring dari tanah.
"Kalau engkau meminta aku datang untuk sarapan bersama, persetan!" kata Andrea
marah. "Anak muda " kata Caderousse ramah, "baik sekali kita berbicara sambil makan.
Tidakkah engkau senang bertemu dengan kawan lama" Aku sendiri sangat
berbahagia." "Munafik." "Seandainya aku tidak menyukaimu, apa kau kira aku akan tetap mau menjalani
kehidupan buruk yang disebabkan engkau ini" Aku lihat engkau mengenakan pakaian pelayan-mu.
Sebenarnya, aku pun dapat
mempunyai seorang pelayan. Aku pun dapat memiliki kereta seperti milikmu, dan
aku pun dapat makan di rumah makan terhormat seperti yang engkau lakukan. Dan
mengapa aku tidak melakukannya" Karena aku tidak mau menyusahkan kawanku
Benedetto. Tetapi engkau harus mengakui bahwa aku pun dapat memiliki itu semua
apabila aku menghendakinya. Betul?" Sinar mata Caderousse menekankan makna kata-
katanya tadi. "Sementara itu,"
katanya selanjutnya, "silakan duduk dan mari kita makan."
Andrea membuka botol anggur dan selanjutnya malahap hidangan dengan bergairah.
Muda dan sehat seperti dia, nafsu makannya masih mengatasi segala-galanya.
"Enak bukan?" tanya Caderousse.
"Begitu enaknya sehingga aku tidak mengerti mengapa orang yang dapat memasak dan
makan make n an selezat ini masih bisa merasa tidak berbahagia."
"Karena kebahagianku dirusakkan hanya oleh sebuah pikiran saja," jawab
Caderousse. "Maksudmu?" "Pikiran bahwa aku hidup karena pemberian seorang kawan. Aku, yang dahulu selalu
dapat menghidupi diriku sendiri"
"Jangan kaupikirkan tentang itu. Aku mempunyai cukup uang untuk kita berdua."
"Sama saja. Hatiku penuh dengan penyesalan. Tetapi aku mempunyai satu gagasan."
Hati Andrea bergetar. Gagasan Caderousse selalu saja menggetarkan hatinya.
"Sangat memalukan kalau engkau selalu harus
menunggu sampai akhir bulan untuk menerima
tunjanganmu," lanjut Caderousse. "Kalau aku jadi engkau, aku akan minta
tunjangan di muka untuk enam bulan dengan dalih akan membeli sebuah tanah
pertanian. Setelah menerima uang itu lalu kabur."
"Mengapa engkau tidak menuruti nasihatmu sendiri"
Mengapa engkau tidak meminta tunjanganmu untuk enam bulan atau bahkan untuk
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setahun di muka, lalu lari ke Brussel?"
"Bagaimana kau dapat mengharapkan aku dapat hidup dengan seribu dua ratus frank"
Aku mempunyai rencana yang lebih baik. Dapatkah engkau tanpa mengeluarkan sesen
pun dari uangmu sendiri, memberi aku lima belas ribu frank" Oh, nanti dulu,
tidak cukup . . . aku tak akan dapat menjadi orang jujur kalau kurang dari tiga
puluh ribu." "Tidak, aku tidak dapat," jawab Andrea pendek.
"Kukira engkau tidak mengerti. Aku katakan: tanpa mengeluarkan sesen pun dari
uangmu sendiri." "Engkau meminta aku mencuri sehingga aku merusak segala-galanya dan kita berdua
dikembalikan lagi ke dalam penjara?"
"Oh, aku tak peduli apakah kita akan tertangkap atau tidak," jawab Caderousse.
"Memang aku merasa kangen kepada kawan-kawan kita di penjara sana. Hatiku tidak
sekeras hatimu. Engkau tidak pernah mau bertemu kembali dengan mereka!"
Sekali ini, hati Andrea bukan saja bergetar, tetapi wajahnya pun menjadi pucat.
Jangan bertindak bodoh, Caderousse!" katanya berteriak.
"Jangan takut, kawanku Benedetto. Yang harus engkau lakukan hanyalah, mencarikan
jalan untuk aku mendapatkan uang yang tiga puluh ribu itu tanpa melibatkan
engkau dalam bentuk apapun juga."
"Baik, aku akan mencoba. Aku akan membuka mata dan telingaku."
"Sementara itu aku harap engkau menaikkan tunjanganku menjadi lima ratus. Aku
mau menggaji seorang pelayan." "Baik, engkau akan menerima lima ratus frank sekalipun itu sebenarnya berat
untuk aku." "Aku tidak melihat mengapa," kata Caderousse,
"padahal uangmu mengalir dari sumber yang tanpa batas."
Seakan-akan Andrea menantikan pernyataan ini. Seberkas cahaya kebanggaan
bersinar di matanya, lalu
menghilang lagi dengan cepat.
"Benar," katanya, 'Count of Monte Cristo memperlakukan aku dengan baik."
"Dia sangat kaya, bukan?"
"Pasti. Aku sering datang ke rumahnya. Dengan demikian aku dapat melihat dengan
mata kepala sendiri. Beberapa hari yang lalu seorang pegawai bank mengirimkan uang sejumlah lima
puluh ribu frank. Kemarin seorang pejabat bank lainnya mengirimkan seratus ribu
frank dalam emas" "Dan engkau masuk ke dalam rumahnya?" tanya Caderousse ingin tahu.
"Kapan saja aku suka."
Caderousse terdiam sebentar. Jelas sekali bahwa pikirannya sedang berputar-
putar, bekerja. Tiba-tiba dia berkata,
"Aku ingin sekali melihatnya! Pasti menakjubkan!"
"Sangat menakjubkan."
"Bukankah dia tinggal di Avenue des Champs Etysee?"
"Ya, nomor tiga puluh."
"Engkau harus membawa aku ke sana suatu waktu."
"Kau tahu, itu tidak mungkin."
"Ya, kukira engkau benar. Tetapi, coba ceriterakan kepadaku tentang rumah itu.
Besarkah rumah itu?"
"Tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil."
"Bagaimana pembagiannya?"
"Harus kugambarkan agar jelas."
"Ini!" kata Caderousse sambil pergi ke sebuah meja mengambil tinta, pena dan
kertas. Andrea menerima pena itu dengan senyum yang hampir tidak tampak, lalu mulai
mendenah. "Rumah itu berada antara halaman dan sebuah kebun, begini," katanya.
"Bagaimana temboknya" Tinggi?"
"Tidak. Paling tinggi delapan sampai sepuluh kaki."
"Bagaimana keadaan lantai pertamanya?"
"Di lantai pertama ada dua buah ruang duduk, sebuah ruang makan dan sebuah ruang
bilyar." "Bagaimana bentuk jendelanya?"
"Mengesankan sekali . . . sangat besar sehingga orang seperti aku dapat masuk
melalui kotak-kotak kacanya."
"Bagaimana tentang kunci-kuncinya?"
"Jendela itu tidak pernah dikunci. Count of Monte Cristo itu orang yang aneh.
Dia senang sekali melihat langit di malam hari."
"Di mana para pelayan tidur?"
"Mereka tidur di bangunan yang terpisah, di sebelah kananmu kalau engkau
memasuki halaman. Baru kemarin aku mengatakan kepada Count: Tuan kurang hati-
hati. Kalau Tuan pergi ke Auteuil dan membawa semua pelayan, rumah ini kosong
sama^ekali. Pada suatu hari pasti rumah ini dirampok."
"Dan bagaimana jawabannya?"
"Katanya, 'apa peduli saya kalau saya dirampok"'"
"Dia tentu mempunyai sebuah meja bermesin."
"Apa maksudmu?"
"Meja yang dapat menjebak pencuri dan secara otomatis memberikan tanda bahaya.
Aku pernah melihat contohnya dalam sebuah pameran terakhir ini."
"Tidak, dia hanya memiliki sebuah meja biasa."
"Dan belum pernah ada orang mencuri sesuatu dari dalam rumahnya?"
'Tidak, semua pelayannya sangat setia."
"Tentu laci meja itu banyak sekali isinya?"
"Mungkin sekali. Tak seorang pun tahu apa isinya."
"Di mana letaknya meja itu?"
"Di lantai kedua."
"Coba gambarkan keadaan lantai dua itu."
"Baik." Andrea mengambil lagi penanya. "Ini ruang tunggu dan ruang duduk," katanya. "Di
sebelah kiri ruang duduk ada ruang perpustakaan. Di sebelah kanan ruang duduk
ada kamar tidur dan kamar hias. Meja itu berada di kamar hias."
"Apakah kamar hias ini berjendela?"
"Ada dua ... di sini dan di sini. Andrea menggambarkan letak jendela itu pada
denahnya. Caderousse berpikir. "Apakah ia sering pergi ke rumahnya di Auteuil?"
"Dua atau tiga kali seminggu. Besok, umpamanya, dia bermaksud menghabiskan hari
siangnya di sana dan terus bermalam di sana juga."
"Yakin?" "Dia mengundangku makan malam di sana."
"Engkau akan memenuhinya?"
"Mungkin." "Dan kalau engkau datang untuk makan malam, apakah engkau juga akan menginap di
sana?" "Aku mau." Caderousse manatap wajah anak muda itu dengan tajam seakan-akan ia hendak
mengorek kebenaran kata-katanya dari lubuk hatinya. Tetapi Andrea mengambil
kotak cerutu dari kantong bajunya dengan tenang, menyulut sebuah lalu
mengisapnya dengan gaya yang wajar sekali. "Kapan engkau menghendaki uangmu yang
lima ratus frank itu?"
"Sekarang juga, kalau engkau membawanya."
"Aku tak pernah membawa uang lima ratus frank dalam saku"
"Titipkan saja kepada penjaga hotel itu, nanti aku menjemputnya."
"Hari ini?" "Tidak, besok."
"Dan engkau tidak akan mengganggu aku lagi, bukan?"
"Tidak akan. Tetapi dengarlah nasihat yang bersahabat"
"Apa?" "Aku nasihatkan agar engkau meninggalkan cincin intan itu padaku. Bagaimana
mungkin engkau melakukan kesalahan sebodoh ini" Apakah engkau bermaksud supaya kita tertangkap lagi?"
"Apa maksudmu?"
"Kau berpakaian seperti seorang pelayan, tetapi engkau masih juga memakai cincin
intan berharga empat atau lima ribu frank!"
"Penaksiran yang cermat sekali. Seharusnya engkau menjadi seorang juru lelang."
"Aku tahu sedikit-sedikit tentang intan. Pernah aku memilikinya sebuah."
Tanpa menjadi marah karena pemerasan yang baru ini, Andrea dengan patuh
menyerahkan cincin itu. Sebenarnya Caderousse khawatir dia akan marah sekali.
"Ada lagi yang kauinginkan?" tanyanya. "Perlu jaket ini"
Bagaimana dengan topiku" Jangan malu-malu memin-
tanya." "Baik, aku tak akan menahanmu lebih lama lagi dan aku akan mencoba mengobati
sendiri kerakusanku. Tunggu sebentar, aku antarkan sampai di pintu."
"Tak perlu ." "Harus." "Mengapa?" "Karena ada suatu rahasia kecil pada pintu itu, suatu kewaspadaan yang kurasa
perlu dijalankan. Kunci buatan Huret and Fichet itu dirombak dan diperbaiki oleh
Gaspard Caderousse. Aku akan membuatkan mu sebuah kalau
engkau nanti sudah menjadi seorang kapitalis."
"Terima kasih," kata Andrea. "Aku akan memberitahu seminggu sebelumnya."
Mereka berpisah. Caderousse tetap berdiri sampai dia melihat Andrea menuruni
ketiga buah tangga dan berjalan melintasi pekarangan. Segera dia kembali ke
kamarnya. Dengan hati-hati ia mengunci pintunya dan mulailah dia mempelajari denah yang
ditinggalkan Andrea dengan seksama.
BAB XLVI SEHARI setelah pembicaraan Andrea dan Caderousse, Count of Monte Cristo pergi ke
rumahnya di Auteuil membawa Ali dan beberapa orang pelayannya. Ketika berada di
sana Bertuccio datang dari Normandia membawa berita tentang rumah yang hendak
dibeli Monte Cristo di sana. Rumah itu telah beres, dan kapal kecil dengan
diawaki enam orang sudah berlabuh di sebuah teluk kecil dekat rumah itu, siap
untuk mengarungi lautan setiap saat.
Monte Cristo memuji ketrampilan Bertuccio dan memberitahukan agar siap untuk
berangkat setiap waktu karena keperluannya di Pcrancts sudah akan berakhir dalam
sebulan lagi. Pada saat itulah Baptis tin membuka pintu.
Dia membawa sebuah baki, di atasnya sepucuk surat.
"Mengapa engkau ke mari?" tanya Monte Cristo kepada Baptistin yang pakaiannya
penuh berdebu. "Apakah aku memanggilmu?"
Tanpa menjawab Baptistin menghampirinya dan menyerahkan surat itu. 'Penting dan
sangat mendesak," katanya.
Monte Cristo membuka surat itu:
"Count of Monte Cristo dengan ini diberitahu bahwa ada orang yang akan
membongkar rumahnya di Paris dengan maksud mencuri berbagai surat berharga yang
disangkanya berada dalam laci meja di kamar ruasnya Count of Monte Cristo cukup
mampu untuk tidak meminta perlindungan polisi. Laporan kepada polisi dapat
menimbulkan terdapatnya petunjuk siapa penulis surat ini.
Terlalu banyaknya orang di rumah itu atau penjagaan yang terlalu menyolok dapat
menyebabkan si pencuri menangguhkan niatnya, dan pada gilirannya akan
menyebabkan Count of Monte Cristo kehilangan kesempatan menemukan orang yang
menjadi musuhnya, sebuah kesempatan baik yang kebetulan diketahui oleh penulis
ini dan peringatan yang tidak mungkin diulangi lagi penulis apabila si pencuri
gagal dalam usaha pertamanya kemudian mencoba lagi pada kesempatan lain."
Yang pertama timbul pada Monte Cristo setelah
membaca surat ini, adalah sangkaan bahwa surat itu hanya merupakan suatu
muslihat dari seorang pencuri belaka untuk memindahkan perhatiannya kepada suatu
bahaya kecil dari bahaya lain yang jauh lebih besar. Oleh sebab itu, hampir saja
dia menyuruh menyerahkan surat itu kepada polisi, sekalipun disarankan untuk
tidak melakukannya oleh si penulis surat itu. Tetapi tiba-tiba timbul pikiran
lain. Mungkin sekali pencuri itu betul-betul seorang musuh pribadinya, seorang musuh
yang hanya dia sendiri yang dapat mengenalinya dan hanya dia sendiri yang dapat
memanfaatkannya, kalau perlu.
"Dia bukan hendak mencuri surat-surat berharga," katanya kepada dirinya sendiri,
"dia mau membunuh aku. Aku tidak ingin polisi sibuk terlibat dalam urusan
pribadiku. Aku cukup kaya untuk membebaskan mereka dari biaya-biaya yang harus
dikeluarkan untuk urusan ini."
Dia memanggil Baptistin yang telah keluar lagi setelah menyerahkan surat tadi.
"Cepat kembali ke Paris dan bawa semua pelayan ke mari " katanya "Aku memerlukan
semuanya di sini." Baptistin membungkuk.
"Apakah perintahku jelas" Engkau harus membawa semua pelayan ke mari, tetapi aku
menghendaki supaya rumah itu ditinggalkan dalam keadaan seperti sekarang.
Kunci jendela-jendela di lantai satu, hanya itu."
"Bagaimana dengan jendela-jendela di lantai dua, Tuan?"
"Engkau tahu aku tidak pernah menguncinya. Pergi sekarang."
Pada sore harinya dia makan dengan kesederhanaan dan ketenangan seperti biasa.
Setelah memberi isarat kepada Ali untuk mengikutinya dia menyelinap ke luar
melalui pintu samping. Menjelang malam ia sudah berada di rumahnya di Paris. Dia
berdiri di bawah sebuah pohon meneliti sepanjang jalan dengan seksama, mencari
kalau-kalau ada orang yang bersembunyi di sekitar itu. Setelah yakin bahwa tidak
ada orang yang akan menyergapnya, dia berlari ke pintu Samping diikuti Ali.
membuka kuncinya lalu naik masuk ke kamar tidurnya tanpa menyingkap kan tirai-
tirai jendela atau. berbuat sesuatu yang bisa menjadi petunjuk kembalinya dia ke
rumah itu. Ketika sampai di kamar tidurnya, Monte Cristo memberi tanda kepada Ali untuk
berhenti. Dia masuk ke kamar pakaiannya, lalu memeriksanya dengan seksama.
Segala sesuatu masih tetap pada tempatnya. Dia melepaskan pegangan palang pintu,
lalu kembali ke kamar tidurnya.
Selagi Monte Cristo melakukan pekerjaan itu Ali telah menyiapkan senjata-senjata
yang diminta majikannya. Sebuah karaben pendek dan sepasang pistol berlaras
ganda. Dengan senjata-senjata itu Monte Cristo dapat mempertahankan jiwa lima orang.
Ketika itu setengah sepuluh malam. Dengan cepat
Monte Cristo dan Ali memakan sepotong roti disusul dengan segelas anggur
Spanyol. Monte Cristo menggeserkan sebuah papan pada dinding. Dengan
bergesernya papan itu tampak sebuah lubang yang
membuatnya dapat melihat ke ruangan lain. Pistol dan karabennya berada di dekat
jangkauannya. Ali berdiri di sebelahnya dengan memegang sebuah kapak Arab. Monte
Cristo dapat melihat ke jalan melalui salah satu jendela kamar tidurnya.
Dua jam telah berlalu. Malam gelap gelita. Tetapi Ali berkat pembawaannya, dan
Monte Cristo berkat latihannya yang sempurna dapat menembus kegelapan itu bahkan
dapat melihat gerakan sekecil apa pun di pekarangan.
Monte Cristo yakin bahwa pencuri itu akan mengincar nyawanya, bukan uangnya.
Oleh sebab itu pencuri itu akan masuk ke dalam kamar tidurnya, mungkin melalui
tangga atau mungkin juga melalui salah sebuah jendela di kamar hiasnya. Dia
memerintahkan Ali menjaga tangga dan ia sendiri mengawasi kamar pakaiannya.
Lonceng di Les Invalides berbunyi. Jam dua belas kurang seperempat. Ketika
dentang terakhir hampir menghilang Monte Cristo mendengar suara goresan berasal
dari kamar pakaiannya. Suara ini menghilang sementara, lalu diikuti oleh suara
kedua dan ketiga. Pada keempat kalinya Monte Cristo tahu suara apa itu. Sebuah
tangan yang terlatih sedang berusaha memecahkan kaca jendela dengan sebutir
intan. Monte Cristo mendengar suara jantungnya sendiri berdetak semakin cepat.
Betapapun terbiasanya seseorang dengan sesuatu bahaya, namun dari denyut
jantungnya dan ber-getarnya daging dia selalu menyadari betapa besarnya
perbedaan antara khayalan dan kenyataan, antara bencana dan pelaksanaannya.
Monte Cristo memberi isarat kepada Ali, yang juga mengetahui bahwa bahaya datang
dari arah kamar majikannya. Ia datang menghampiri- Monte Cristo ingin sekali
segera mengetahui siapa sebenarnya musuhnya dan berapa orang banyaknya. Jendela
yang kacanya sedang dipecahkan terletak tepat sekati di hadapan lubang dinding
tempat ia melihat ke kamar pakaiannya. Dia mengarahkan matanya ke jendela itu
dan dia melihat sesosok bayangan di luar kaca. Kaca itu tiba-tiba menjadi gelap,
seakan-akan sehelai kertas gelap direkatkan kepadanya. Tak berapa lama kemudian,
kaca itu pecah tanpa jatuh ke lantai. Sebuah tangan masuk dari lubang itu
melepaskan selot jendela.
Sesosok tubuh itu masuk- la hanya seorang diri.
Pada saat itu Monte Cristo merasakan Ali menyentuh bahunya. Dia melihat kepada
Ali. Ali menunjuk ke jendela kamar tidur yang menghadap ke jalan. Monte Cristo
sadar akan ketajaman firasat pelayannya. Dia berjalan menuju jendela itu dan
melihat seorang laki-laki di luar seperti sedang mengawasi apa yang sedang dan
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan terjadi di rumah itu.
"Seorang bertindak dan seorang lagi menjaga," pikir Monte Cristo. Dia memberi
isarat kepaaa Ali untuk mengawasi orang yang di jalan, sedang dia sendiri
kembali mengawasi pencuri yang sudah berada di kamar
pakaiannya. Orang itu berdiri di kamar itu, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dia melihat
bahwa ada dua pintu dalam ruangan itu. la tidak mengetahui bahwa pegangan palang
pintu yang menuju ke kamar tidur sudah dilepaskan oleh Monte Cristo. Ia merasa
aman, tidak akan terganggu.
Monte Cristo mendengar suara gemerincing serangkaian kunci seperti yang biasa
dimiliki oleh tukang-tukang kunci untuk menolong membukakan pintu-pintu yang
hilang kuncinya- Para pencuri memberi julukan "burung bulbul"
kepada rangkaian kunci semacam itu, pasti karena
kepuasannya mendengar suara yang terdengar sedap di telinga ketika terbukanya
pintu karena kunci itu. "Ah!" pikir Monte Cristo dengan senyum kecewa.
"Hanya seorang pencuri."
Oleh karena tidak dapat menemukan kunci yang pas
dalam kegelapan, pencuri itu mengambil sebuah benda yang diletakkan di atas meja
ketika dia tadi masuk. lalu salah satu menekan pernya dan tiba-tiba secercah
cahaya menerangi tangan dan wajahnya.
"Hah!" Monte Cristo terperanjat dan mundur selangkah.
"Dia adalah..."
Ali mengangkat kapaknya. "Jangan bergerak!" perintah Monte Cristo berbisik. "Dan letakkan kapak itu, kita
tidak akan memerlukan senjata."
Lalu Monte Cristo menambahkan perintah-perintah lainnya dengan suara yang lebih
ditekan karena keterkejutannya tadi, yang barangkali juga telah mengejutkan pula
orang di dalam kamar pakaian itu.
Dengan berjingkat-jingkat Ali pergi sebentar dan kembali lagi sambil membawa
pakaian hitam dan topi bersegi tiga-Sementara itu Monte Cristo telah
menanggalkan jas, rompi dan kemejanya. Di bawah kemejanya ia memakai sebuah baju
besi. Yang terakhir dari jenis baju ini dipakai di Perancis oleh Raja Louis XVI
yang takut terhadap ancaman pedang, tetapi wafat karena kapak. Segera pula baju
besi ini hilang tertutup oleh sebuah jubah panjang bersamaan dengan hilangnya
rambut Monte Cristo di bawah sebuah wig. Topi bersegi tiga itu menutupi rambut
palsunya, melengkapi penyamaran Monte Cristo menjadi seorang padri.
Pencuri yang sudah tidak mendengar lagi suara-suara yang mencurigakan
melanjutkan pekerjaannya.
"Baik," kata Monte Cristo yang rupanya mempunyai juga pengetahuan tentang
beberapa rahasia perk ncian yang tidak diketahui oleh pencuri terpandai pun,
"engkau akan sibuk sementara ini." Dia berjalan ke arah jendela.
Orang yang di jalan sekarang sedang berjalan hilir mudik. Anehnya, orang itu
bukannya mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang, melainkan memusatkan
perhatiannya kepada apa yang sedang terjadi di rumah Monte Cristo. Maksud dia
berjalan-jalan hanya untuk melihat ke dalam kamar pakaian. Tiba-tiba Monte
Cristo memukul dahinya lalu tertawa agak ditahan. Dia kembali kepada Ali dan
berkata,. "Engkau tinggal di sini dan bersembunyi dalam gelap. Apapun yang
engkau dengar atau apapun yang terjadi, engkau jangan keluar kecuali kalau aku
memanggil namamu." Ali memberi isarat bahwa ia mengerti dan akan me-
matuhi perintah itu. Monte Cristo mengambil sebuah lilin dari lemari dan menyalakannya. Selagi si
pencuri sibuk dengan ikhtiarnya membuka laci, dengan hati-hati sekali Monte
Cristo membuka pintu dan mengusahakan sedemikian rupa sehingga wajahnya jelas
diterangi cahaya lilin. Pintu terbuka dengan perlahan sekali. Pencuri itu tidak
mendengar apa-apa, hanya saja dia terkejut sekali menyadari bahwa ruangan tiba-
tiba menjadi terang. Dia berbalik.
"Selamat malam, Tuan Caderousse," kata Monte Cristo.
"Apa yang sedang Tuan kerjakan di sini pada malam selarut ini?"
'Padri Busoni!" Caderousse berteriak semakin terkejut.
Dia tidak mengerti bagaimana "hantu" ini dapat masuk padahal ia merasa telah
dengan cermat sekali menutup pintu- Rangkaian kunci terjatuh dari tangannya dan
ia berdiri terbengong-bengong.
Monte Cristo berjalan beberapa langkah lagi lalu berhenti antara Caderousse dan
jendela. Dengan demikian dia menghalangi satu-satunya jalan lari si pencuri.
"Padri Busoni!" katanya mengulang, masih dengan nada dan pandangan heran.
"Betul, saya Padri Busoni. Dan saya merasa gembira karena Tuan masih mengenal
saya. Tuan Caderousse. Ini membuktikan bahwa ingatan Tuan kuat sekali, karena,
kecuali kalau saya keliru, sudah sepuluh tahun lewat sejak kita berjumpa . . .
Dan sekarang Tuan sedang merampok rumah Count of Monte Cristo."
"Padri Busoni," katanya lagi dengan suara dikulum. Dia mencoba mendekati jendela
yang dikawal Monte Cristo.
"Saya tidak . . . harap Bapak sudi mempercayai saya . . .
saya bersumpah . . ."
"Jendela kaca yang pecah, lentera, serangkai "burung bulbul," sebuah laci meja
yang hampir terbongkar . . . .
semua itu telah jelas."
Caderousse melihat ke sekeliling mencari tempat bersembunyi atau lubang untuk
meloloskan diri. "Saya lihat Tuan tidak berubah: Tuan Caderousse si Pembunuh," lanjut Monte
Cristo. "Oleh karena rupanya Bapak mengetahui segala-galanya, tentu Bapak mengetahui
juga bahwa itu kesalahan istri saya, bukan salah saya. Pengadilan mengakui
kebenaran ini, ternyata dari hukuman yang dijatuhkan hanya berupa kerja paksa."
"Apakah Tuan sudah selesai menjalani hukuman itu?"
"Tidak, Bapak, saya dibebaskan oleh seorang yang tidak saya kenal."
"Orang itu telah berbuat amal yang baik sekali bagi masyarakat."
"Begini Bapak, saya berjanji . . ."
"Kalau begitu Tuan adalah pelarian narapidana!" Monte Cristo menyela.
"Saya kira begitu," jawab Caderousse bimbang.
"Dalam hal demikian, kejahatan kecil ini mungkin sekali akan membawa Tuan ke
tiang gantungan." "Bapak, saya terpaksa . . ."
''Semua penjahat mengatakan demikian."
"Kemiskinan . . ."
"Sudah!" kata Busoni tajam. "Kemiskinan dapat menyebabkan seseorang meminta-
minta atau mencuri sepotong roti, tetapi tidak menyebabkan dia membongkar sebuah laci meja tulis
dalam sebuah rumah yang dia sangka tidak berpenghuni. Dan ketika engkau membunuh
jauhari yang datang untuk membayar harga intan yang aku berikan kepadamu, apakah
itu juga karena kemiskinan?"
"Maafkan saya, Bapak," kata Caderousse meminta.
"Bapak pernah sekali menyelamatkan jiwa saya, tolonglah untuk kedua kalinya."
"Kejadian yang dahulu tidak akan mempengaruhi saya sekarang."
"Apakah Bapak seorang diri, atau ada polisi bersama Bapak untuk menangkap saya?"
"Sendiri," kata padri, "dan aku mau memaafkanmu, sekalipun kelemahanku ini dapat
menimbulkan keburukan lainnya, kalau engkau bersedia mengatakan segala sesuatu
dengan sebenarnya." "Oh, Bapak Busoni!" teriak Caderousse gembira sekali sambil maju selangkah.
"Bapak memang penyelamat saya!"
"Engkau mengatakan bahwa ada seseorang yang membebaskan engkau dari penjara?"
"Benar, saya berani bersumpah!"
"Siapa?" "Seorang Inggris."
"Namanya?" "Lord Wilmore."
"Aku kenal kepadanya, jadi aku akan dapat membuktikan kebenaran kata katamu
ini." "Saya tidak berbohong, Bapak Busoni!"
"Jadi orang Inggris itu pelindungmu, betul?"
"Bukan, beliau pelindung orang Corsica, kawan seperan-tauan."
"Siapa nama orang Corsica itu?"
"Benedetto." "Nama keluarganya?"
"Dia tidak pernah mempunyai nama keluarga ... Ia seorang anak pungut."
"Dan dia pun kabur bersamamu?"
"Betul. Kami bekerja di Saint-Mandrier dekat Toulon.
Pada suatu hari kami mengikir rantai kami dengan kikir yang diberikan oleh orang
Inggris itu, dan kami kabur."
"Bagaimana kejadiannya dengan Benedetto?"
"Saya tidak tahu, kami berpisah di Hyeres."
"Engkau bohong!" kata padri dengan nada suara yang sukar dibantah. "Orang itu
masih menjadi kawanmu dan engkau mungkin akan menggunakannya sebagai kaki
tanganmu." "Oh, Bapak Busoni!"
"Apa penghasilanmu setelah meninggalkan Toulon"
Jawab!" "Dari melakukan pekerjaan lama."
"Bohong!" kata padri sekali lagi dengan nada yang lebih keras. Caderousse
memandangnya dengan takut. "Engkau hidup dari uang yang diberikan oleh
Benedetto." "Betul begitu." jawab Caderousse. "Benedetto telah menjadi anak seorang
bangsawan kaya." "Bagaimana mungkin dia menjadi anak seorang bangsawan, kaya?"
"Bukan anak yang sah."
"Siapa nama bangsawan yang kaya itu?"
"Count of Monte Cristo yang tinggal di rumah ini."
"Benedetto menjadi anak Count of Monte Cristo?" tanya Monte Cristo terheran
heran "Begitulah kira-kira, karena Count of Monte Cristo telah menemukan seorang ayah
palsu baginya, yang memberinya lima ribu frank setiap bulan dan bermaksud
mewariskan setengah juta frank."
"Ah, aku paham sekarang," kata padri palsu itu yang sudah mulai mengerti jalan
pikiran Caderousse. "Nama apa yang dipergunakan anak muda itu sekarang?"
"Andrea Cavalcanti."
"Kalau begitu, dialah orangnya yang diterima kawanku Monte Cristo di rumahnya
dan yang akan mengawini Nona Danglars?"
"Tepat sekali."
"Dan engkau membiarkannya, kau penjahat busuk!
Engkau yang mengetahui riwayat hidupnya dan
kebusukannya" "Mengapa saya harus menghalangi kebahagian kawan sendiri?"
"Betul juga. Engkau bukanlah orangnya yang akan memberitahu Tuan Danglars.
Aku...," "Jangan, Bapak Busoni!"
"Mengapa?" "Karena Bapak akan menghilangkan sumber hidup kami."
"Apakah engkau mengira, karena hendak menolong sepasang penjahat mencari
kehidupannya aku akan mau menjadi sekutunya" Tidak, aku akan mengatakan semuanya
kepada Tuan Danglars."
"Engkau tidak akan bisa mengatakannya kepada siapa pun juga, Padri!" Caderousse
berteriak sambil menghunus pisaunya lalu menghujamkannya ke tengah-tengah dada
Monte Cristo. Dia sangat heran karena pisau itu bukan tertancap pada dada padri
melainkan mental kembali dan patah ujungnya. Pada saat yang bersamaan Monte
Cristo menangkap tangan penyerangnya lalu memilinnya dengan kuat sekali sehingga
pisau itu terjatuh. Caderousse menjerit kesakitan.
Monte Cristo tidak melemahkan pilinannya karena jeritan ini. Bahkan ia
memperkerasnya sehingga Caderousse terduduk pada lututnya dan akhirnya
tertelungkup dengan wajahnya di lantai. Monte Cristo menginjakkan kakinya pada
kepala Caderousse, lalu berkata, "Aku tidak tahu, apa yang mencegahku
menghancurkan tengkorakmu, pembunuh!"
"Kasihanilah saya! Kasihanilah saya!"
Count of Monte Cristo mengangkat lagi kakinya. "Berdiri!" katanya.
Caderousse berdiri. "Ya Tuhan, kuat benar Bapak ini!" kata Caderousse sambil memegang-megang
tangannya yang masih sakit.
"Oh Tuhan kuat sekail!"
"Diam! Tuhan memberikan kekuatan kepadaku untuk
menindas binatang-binatang jalang seperti engkau. Aku bertindak atas nama Tuhan,
ingatkan itu, kau bedebah. Dan atas kehendak Tuhan juga aku melepaskanmu
sekarang. Pegang pena itu" dan tuliskan apa yang aku katakan."
"Saya tidak pandai menulis." kata Caderousse.
"Bohong! Pegang pena itu dan tulis!'
Caderousse tidak dapat membantah. Dia duduk lalu
menulis: "Tuan Danglars, laki-laki yang Tuan terima di rumah Tuan dan yang Tuan
rencanakan untuk diambil sebagai menantu adalah seorang penjahat yang lari dari
penjara Toulon bersama saya. Dia mengaku bernama Benedetto, tetapi dia sendiri
sebetulnya tidak mengetahui siapa namanya yang sebenarnya, dan tidak pernah
mengenal siapa orang tuanya."
"Tandatangani!" perintah Monte Cristo. Caderousse menandatanganinya.
"Sekarang beri alamat: Kepada Baron Danglars, Rue de la Chaussee-d' Antin."
Caderousse menulis alamat itu. Monte Cristo mengambil kertas itu dari tangan
Caderousse, lalu berkata, "Sekarang kau boleh pergi."
"Apakah Bapak merencanakan sesuatu terhadap saya?"
"Gila engkau! Rencana apa?"
"Tolong tegaskan, Bapak tidak menghendaki kematian saya."
"Aku menginginkan apa yang dikehendaki Tuhan,"
jawab Monte Cristo. "Kalau engkau dapat selamat sampai ke rumah, segera
tinggalkan Paris, tinggalkan Perancis dan di mana pun engkau berada, selama
engkau berkelakuan baik aku akan mengatur supaya engkau dapat menerima pensiun
sekadarnya setiap bulan, karena kalau engkau selamat sampai di rumah berarti . .
"Berarti apa?" tanya Caderousse bergidik.
"Berarti aku akan percaya bahwa Tuhan mengampunimu dan aku pun akan
memaafkanmu." "Bapak memperingatkan saya akan kematian!" kata Caderousse takut.
"Ayo pergi!" kata Monte Cristo menunjuk jendela.
Caderousse yang tidak dapat diyakinkan sepenuhnya oleh janji Count of Monte
Cristo menaiki jendela lalu menuruni tangga. Monte Cristo mendekatinya sambil
membawa lain. Siapa pun juga yang mengawasinya di jalan akan dapat melihat
dengan jelas Caderousse sedang menuruni tangga dan diantar orang lain dengan
membawa lilin "Apa maksud Bapak?" tanya Caderousse cemas. "Bagaimana kalau ada patroli lewat?"
Monte Cristo meniup lilin. Caderousse tidak dapat bernapas lega sebelum kakinya
menginjak tanah. Monte Cristo kembali ke kamar tidurnya. Dari sana ia melihat Caderousse
melintasi pekarangan lalu memasang tangga di tembok. Dia lihat orang yang di
jalan itu bersembunyi di sudut dinding dekat dengan tempat Caderousse akan
menaikinya. Tepat ketika kakinya menginjak tanah di seberang
dinding Caderousse melihat sebuah tangan memegang pisau. Sebelum dia sempat
mempertahankan diri tangan itu telah menikam punggungnya, kemudian pinggangnya.
Ketika dia terjatuh, penyerangnya menjambak rambutnya dan menikamnya lagi untuk
ketiga kalinya. Sekarang di dadanya. Setelah melihat korbannya tidak berkutik
lagi dan matanya menutup, si penikam meninggalkannya dengan perkiraan korbannya
sudah mati. Dengan susah payah Caderousse bangkit bertelakan
kepada sikutnya. Dia berteriak lemah sekali, "Tolong! Padri Busoni! Saya mati!"
Teriakan yang mengharukan ini menembus kesunyian.
Pintu pekarangan rumah terbuka dan Ali bersama
majikannya muncul sambil memegang lentera.
"Ada apa?" tanya Monte Cristo
"Tolong! Saya ditikam."
"Tabahkan hatimu!"
"Ah, terlambat! Bapak datang hanya tepat untuk menyaksikan kematian saya!"
Ali dan Monte Cristo mengangkat orang terluka itu ke dalam rumah Monte Cristo
memeriksa ketiga luka tikam dengan cermat. Ali memandang kepada majikannya
seakan-akan hendak bertanya apa yang harus dilakukan.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pergi ke rumah Tuan Jaksa de Villefort dan bawa beliau ke mari. Dan katakan
kepada penjaga supaya dia
memanggil dokter." "Dokter tak akan dapat menyelamatkan jiwa saya, tetapi barangkali dia dapat
memberi saya sedikit kekuatan sehingga saya mempunyai waktu untuk membuat sebuah
pernyataan." "Tentang apa?" "Tentang orang yang menikam saya"
"Kau tahu siapa dia?"
"Saya tahu! Benedetto."
"Kawanmu orang Corsica itu?"
"Benar. Dialah yang memberikan denah rumah ini.
Mungkin sekali dia mengharapkan saya dapat membunuh Count of Monte Cristo.
Dengan demikian dia dapat
menerima warisannya dengan cepat- Mungkin juga dia mengharapkan Count of Monte
Cristo dapat membunuh saya, sehingga dia terbebas dari saya. Ketika dia melihat
bahwa tidak satu pun dari harapannya terjadi, dia menikam saya."
"Tuan Jaksa akan segera datang."
"Beliau akan terlambat. Saya terlalu banyak kehilangan darah."
'Tunggu " kata Monte Cristo. Dia pergi sebentar, lalu kembali lagi membawa
sebuah botol. Dikucurkannya tiga empat tetes dari isinya ke antara bibir
Seribu Keping Emas Untuk 1 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Perantauan Ke Tanah India 3
ambang kematian" Tak mungkin! Hatimu terlalu agung untuk tidak memahami
pendirianku. Tidak, aku tidak akan melawan. Aku akan menguatkan diriku untuk
berjuang melawan diriku sendiri, untuk menelan setiap tetes air mataku seperti
yang engkau katakan tadi."
"Engkau benar," kata Maximilien dengan ketenangan yang dingin. "Aku mengerti.
Engkau tidak mau mengecewakan ayahmu atau membangkang terhadap
nenekmu, dan esok engkau akan menandatangani surat pernikahanmu."
"Tetapi apalagi yang dapat kuperbuat?"
"Sungguh-sungguhkah engkau meminta saranku?"
"Tentu! Engkau tahu, betapa perasaan hatiku kepadamu."
"Inilah usulku. Pertama, turutlah aku ke rumah adikku, setelah itu kita pergi ke
Aljazair, Inggris atau Amerika, kecuali kalau engkau lebih menyukai tempat lain
yang lebih tersembunyi, menunggu sampai hati keluargamu menjadi lunak lalu kita
kembali lagi ke Paris."
Valentine menggelengkan kepala. "Itu saran yang gila, Maximilien, dan aku lebih
gila lagi apabila aku tidak segera menghentikan jalan pikiranmu dengan: tidak
mungkin!" "Benar lagi, Valentine. Dengan senang aku mengatakannya sekali lagi. Memang aku
gila, seperti yang engkau katakan, dan engkau telah membuktikan kepadaku bahwa
cinta benar-benar dapat membutakan seseorang yang biasa berfikir tenang. Terima
kasih untuk cara berpikirmu yang jernih tanpa terpengaruh oleh rasa cinta. Yang
dapat kulakukan sekarang hanyalah mendo'akan semoga engkau mendapat hidup yang
tenang tentram dan bahagia, jauh dari kesepian sehingga tidak ada tempat lagi
dalam sudut-sudut hatimu bagiku. Selamat tinggal, Valentine."
"Mau ke mana, Maximilien?" Valentine terperanjat. Ia melompat menjulurkan
tangannya ke luar pintu menangkap tangan kemeja Maximilien. Valentine merasa
bahwa di balik ketenangan Maximilien tersembunyi sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Sebelum pergi, katakan dahulu apa yang hendak kaulakukan!"
Maximilien tersenyum sedih, tetapi tidak menjawab.
"Katakan, katakan Max. Aku meminta!"
"Jangan khawatir. Aku tidak berniat membuat Tuan d'Epinay bertanggung jawab
untuk nasib burukku. Seandainya aku orang lain, mungkin sekali akan mengajaknya
berduel, tetapi bagiku tak ada gunanya. Ketika ia menyetujui perkawinannya
denganmu, dia tidak tahu bahwa aku ada. Aku tidak mempunyai perselisihan dengan
dia dan aku bersumpah kepadamu bahwa aku tidak akan mengganggunya. Aku tidak
pernah mau bersikap seperti pahlawan cengeng dalam buku-buku ceritera, namun,
tanpa pidato yang panjang-panjang atau sumpah-sumpah apa pun jua, aku telah
menyerahkan hidupku ke dalam tanganmu.
Engkau akan meninggalkanku dan seperti telah kukatakan tadi, sikapmu adalah
benar. Bila engkau pergi, kehidupanku akan habis. Inilah yang akan kulakukan.
Aku akan menanti sampai detik terakhir engkau akan menikah, oleh karena aku
tidak mau menghilangkan setiap kemungkinan yang tak terduga betapapun kecilnya,
kemungkinan yang dapat merubah nasibku. Bahkan untuk seorang yang dihukum mati
pun keajaiban mungkin saja terjadi. Aku akan menunggu sampai aku yakin tak ada
lagi obat bagi kesedihan-ku dan pada saat itulah aku akan membunuh diri seperti
layaknya seorang anak manusia yang paling terhormat yang pernah hidup di
Perancis." Valentine dicekam rasa takut yang sangat. Tangannya jatuh terkulai dan dua buah
butir air mata menggulir di pipinya. "Oh! Kasihanilah aku Maximilien! Engkau
tidak akan melakukan itu, bukan?"
"Demi kehormatanku, tak ada jalan lain. Lagi pula apa pentingnya bagimu" Engkau
telah dan akan melakukan kewajibanmu, dan tidak perlu engkau mempunyai perasaan
bersalah." Valentine duduk berlutut. Kedua belah tangannya di dada.
"Selamat tinggal, Valentine." Maximilien mengulangi lagi.
"Ya Tuhan," kata Valentine sambil menengadahkan wajah ke langit. "Engkau
mengetahui bahwa saya telah melakukan dengan segala kemampuan untuk menjadi anak
yang patuh, tetapi aku lebih suka mati karena malu daripada karena penyesalan.
Engkau harus hidup, Maximilien, dan aku tidak akan menyerahkan diriku selain
kepadamu. Seandainya, Max, aku berhasil menangguhkan perkawinan itu, bersediakah engkau
menungguku?" "Aku bersumpah bersedia. Dan hendaknya engkau pun bersumpah kepadaku bahwa
engkau akan mencegah terlak-sananya perkawinan itu, bahwa sekalipun mereka
memaksa, engkau akan tetap mengatakan tidak."
"Aku bersumpah."
"Aku percaya, Valentine. Tetapi seandainya keluargamu tidak mau mendengarmu,
seandainya Tuan d'Epinay esok dipanggil untuk menandatangani perjanjian
perkawinan itu, lalu.. "Lalu aku akan datang kepadamu dan kabur bersamamu.
Aku akan memberimu kabar tentang setiap perkembangan."
"Terima kasih, Valentine yang manis. Segera setelah aku mengetahui saatnya, aku
akan segera datang ke mari. Aku akan membawa sebuah kereta untuk membawamu ke
tempat adikku." "Pulanglah sekarang," kata Valentine, "sampai bertemu lagi."
Maximilien menanti sampai suara langkah Valentine hilang dari pendengarannya.
Dia menengadah ke langit, mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diberi
kebahagiaan merasakan nikmatnya dicintai. Lalu dia segera pulang.
Seharian itu dan hari berikutnya dia menanti dan menanti, namun tak ada kabar
dari Valentine. Baru pada hari ketiga ia menerima pesan:
Air mata, permohonan dan do'a tidak menghasilkan apa-apa.
Perjanjian perkawinan akan ditandatangani jam sembilan nanti malam.
Aku telah memberikan janjiku kepadamu, Maximilien, dan hatiku adalah milikmu.
Aku akan berada di pintu gerbang nanti malam jam sembilan kurang seperempat.
VALENTINE Maximilien membaca surat itu berulang-ulang sambil selalu membayangkan bagaimana
perasaannya nanti pada saat Valentine datang dan berkata, "Ini aku Maximilien,
bawalah aku ke mana pun juga."
Dia mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin diperlukan untuk pelarian itu. Dua
buah tangga disembunyikannya di luar tembok gerbang dan sebuah kereta telah pula
disiapkan. Jam delapan malam, Maximilien sudah berada di pintu gerbang. Kereta dan kudanya
disembunyikan di balik sebuah gedung tua yang hampir runtuh. Dia berjalan hilir-
mudik sambil sekali-sekali melemparkan pandangannya ke dalam kebun yang gelap
mencari sesosok tubuh bergaun putih atau suara langkah orang berjalan. Lonceng
gereja Saint-Philippe berdentang menandakan jam setengah sembilan. Saat-saat itu
sangat menggelisahkan. Setiap gemerisik dedaunan di dalam kebun atau desir angin
menyebabkan dahi Maximilien basah berkeringat dan tanpa sadar menempatkan
sebelah kakinya di anak tangga siap untuk naik. Di tengah-tengah ketegangan
karena takut dan khawatir ia mendengar lonceng berbunyi sepuluh kali. Terbayang
di hadapannya Valentine kehilangan kekuatannya selagi dia berlari dan sekarang
sedang terbaring tak sadarkan diri di dalam kebun. Setan yang membisikkan
pikiran ini tak henti-hentinya bekerja sehingga akhirnya dia yakin sekali.
Ketika jam menunjukkan setengah sebelas, ia sudah tak dapat lagi menunggu. Dia
menaiki tembok dan melompat ke dalam kebun.
Beberapa saat kemudian dia dapat melihat bangunan rumah dengan jelas. Keadaannya
hampir gelap, tidak terang-benderang seperti selayaknya di rumah yang sedang
diselenggarakan suatu upacara penting seperti
penandatanganan perkawinan. Karena kegelapan dan
kesunyian itu Maximilien merasa takut, khawatir telah terjadi sesuatu dengan
Valentine. Dengan nekad dan cemas ia memutuskan akan mencari Valentine apapun
yang harus terjadia. Dia maju sampai Ujung kebun dan bersiap hendak berlari
melintasi halaman terbuka antara dia dan rumah itu.
Pada saat itulah dia mendengar orang bercakap-cakap.
Segera ia mengundurkan diri lagi bersembunyi di balik semak-semak. Bulan muncul
dari balik awan, dan karena cahayanya itu ia dapat melihat de Villefort berjalan
menuju ke arah dia bersembunyi dibarengi orang yang berbaju gelap yang dia kenal
sebagai Dokter d'Avrigny.
Langkah kedua orang itu berhenti tidak jauh dari tempatnya. Maximilien mendegar
Villefort berkata, "Ah, Dokter, rupanya Tuhan sedang memurkai kami Tak usah Tuan
mencoba menghibur saya. Luka saya terlampau
dalam. Dia meninggal! Meninggal!"
Keringat dingin segera membasahi dahi Maximilien dan giginya gemeretak. Siapakah
yang mati" "Saya membawa Tuan ke mari bukan untuk menghibur, Tuan de Villefort," kata
dokter, "justru sebaliknya."
"Apa maksud Tuan?"
"Maksud saya, di balik musibah yang baru saja menimpa Tuan, mungkin sekali akan
ada musibah lain yang lebih besar. Saya harus menceriterakan sesuatu yang
mengerikan." Dengan lemah sekali Villefort merebahkan diri di atas bangku yang tidak jauh
dari situ. Dokter d'Avrigny tetap berdiri. Maximilien memasang kuping dengan
penuh rasa khawatir. "Katakan saja, Dokter," kata Villefort. "Saya sudah siap untuk segala macam."
"Nyonya de Saint-Meran seorang tua. Ini benar," kata dokter, "namun kesehatannya
sangat baik." Maximilien menarik napas lega.
"Beliau meninggal karena sedih, Dokter," jawab Villefort, "setelah hidup bersama
selama empat puluh tahun.."
"Bukan karena sedih," kata dokter lagi. "Memang benar kesedihan dapat
menyebabkan seorang meninggal dalam keadaan tertentu, tetapi tidak mungkin dalam
satu hari , dalam satu jam, apalagi dalam sepuluh menit! Oleh karena sekarang
kita hanya berdua saja, ada sesuatu yang perlu saya katakan."
"Ya Tuhan, apakah itu?"
"Bahwa gejala yang timbul karena tetanus dan karena keracunan pada makanan, sama
benar." Villefort melompat berdiri, kemudian, setelah berdiri selama beberapa saat ia
duduk kembali. "Demi Tuhan, Dokter," katanya, "yakinkah Tuan kepada apa yang
Tuan katakan?" "Saya yakin betul akan kesungguhan kata-kata saya dan juga kepada orang yang
saya ajak bicara." "Apakah Tuan mengatakan hal itu kepada saya sebagai seorang sahabat atau seorang
jaksa?" "Sebagai kawan, setidak-tidaknya sementara ini. Kedua gejala itu serupa benar
sehingga saya masih ragu membuat pernyataan tertulis. Saya telah memeriksa mayat
Nyonya de Saint-Meran selama tiga perempat jam dan dengan yakin dapat saya
katakan bukan saja beliau meninggal karena diracun tetapi juga dapat mengatakan
racun apa yang digunakan. Nyonya de Saint-Meran meninggal karena brucine atau
strychnine dalam dosis yang sangat banyak."
Tanpa disadarinya Villefort memegang tangan dokter erat-erat, lalu berkata
seakan-akan berteriak, "Tidak mungkin! Agaknya aku mimpi! Sungguh menggetirkan
mendengar ini dari seorang seperti Tuan. Demi Tuhan, Dokter, katakan bahwa Tuan
keliru!" "Mungkin saya keliru, tetapi..."
'Tetapi apa?" "Tetapi saya kira tidak. Adakah orang yang berkepentingan dengan matinya Nyonya
de Saint Meran" "Tidak, tentu saja tidak! Anak saya satu-satunya menjadi ahli warisnya. Hanya
Valentine ... Ya Tuhan! Seandainya sangka buruk timbul dalam pikiranku, aku akan
menikam jantungku sendiri sebagai hukuman karena mengandung pikiran seperti
itu!" "Saya tidak bermaksud menuduh seseorang," kata Dokter d Avngny "jangan Tuan
salah sangka. Sebab mungkin saja saya salah, namun bagaimana, hati nurani saya
mewajibkan mengatakannya kepada Tuan. Sebaiknya Tuan menyelidikinya."
"Tentang siapa" Bagaimana?"
"Umpamanya saja, selidiki kalau kalau pelayan ayah Tuan karena kekeliruan yang
tidak disengaja telah memberikan minuman kepada Nyonya de Saint-Meran
yang sebenarnya untuk Tuan Noirtier."
"Tetapi bagaimana mungkin minuman untuk ayah dapat menjadi racun bagi Nyonya de
Saint-Meran?" "Sangat sederhana. Seperti Tuan ketahui, racun itu dapat menjadi obat untuk
penyakit-penyakit tertentu.
Kelumpuhan adalah salah satu dari penyakit itu. Setelah mencoba semua cara untuk
mengembalikan kemampuan gerak dan bicara Tuan Noirtier tanpa hasil, saya
memutuskan untuk mengobatinya dengan brucine. Ini terjadi tiga tahun yang lalu.
Dosis terakhir yang saya berikan sebanyak enam senti gram, suatu jumlah yang
tidak akan berpengaruh kepadanya oleh karena tubuhnya telah terbiasa berkat
pemberian dosis yang secara bertahap meningkat. Tetapi dosis itu dapat mematikan
bagi yang lain." "Tetapi kamar Tuan Nortier sama sekali tidak berhubungan dengan kamar Nyonya de
Saint-Meran. Barrois tidak pernah masuk ke kamar Nyonya de Saint-Meran."
"Tuan de Villefort," kata dokter, "saya akan berusaha menyelamatkan Nyonya de
Saint-Meran seandainya mungkin, tetapi beliau sekarang sudah meninggal dan
kewajiban saya yang pertama-tama adalah mengurusi yang masih hidup. Mari kita
sembunyikan rahasia ini dalam dasar hati kita masing-masing. Seandainya ada
orang lain yang menemukan rahasia ini, saya bersedia untuk menutup mulut dan
berpura-pura tidak tahu. Dalam pada itu, hendaknya Tuan jangan berhenti
menyelidik, karena persoalan ini tidak akan berhenti sampai di sini. Seandainya
Tuan berhasil menemukan yang berdosa, sayalah orang pertama yang akan mengatakan
kepada Tuan: Tuan adalah jaksa, bertindaklah sesuai dengan kebijaksanaan Tuan.'
" "Terima kasih, Dokter, terima kasih!" Dari suaranya ternyata betul kegembiraan
de Villefort. "Saya tidak pernah mempunyai kawan sebaik Tuan." Lalu, seperti
khawatir Dokter d'Avngny akan berubah pikiran, ia segera berdiri dan membimbing
dokter itu kembali masuk ke dalam
rumah. Maximilien keluar dari dalam semak-semak dengan
menarik napas dalam. Wajahnya sangat pucat. Orang dapat saja mengira dia hantu
dalam cahaya bulan. Ketika meneliti keadaan rumah yang suram itu ia
melihat sebuah jendela terbuka. Karena cahaya lilin yang ditempatkan di atas
perapian, ia melihat sesosok tubuh keluar ke beranda. Valentine. Karena takut
dilihat orang, karena khawatir akan menakutkan Valentine sehingga berteriak
meminta tolong, dia berlari melintasi pekarangan menuju ke tangga rumah dan
membukakan pintu yang tak terkunci. Setelah melalui ruang tamu ia menaiki tangga
ke tingkat atas. Dia sudah nekad benar sehingga kalau pada waktu itu bertemu
dengan Tuan de Villefort, ia tidak akan merasa takut lagi. Untung sekali, tak
seorang pun yang melihatnya.
Ketika sampai di puncak tangga isak tangis seseorang yang dikenalnya betul
menariknya ke sebuah pintu setengah terbuka. Melalui pintu itu tampak cahaya
remang-remang. Ia masuk. Di bawah kain putih terbaring mayat Nyonya de Saint-Meran. Di
sampingnya, Valentine yang telah kembali dari beranda duduk berlutut sambil
mengucapkan do'a secara cepat dan hampir tidak berujung pangkal. Melihat
Valentine menangis sedih, Maximilien tidak dapat menahan diri. Dia menghela
napas dan memanggil nama Valentine.
Valentine menengadah dan menatap Maximilien tanpa terkejut. Hati yang telah
membengkak karena kesedihan rupanya tidak lagi mampu untuk menyatakan perasaan
lain. 'Valentine" kata Maximilien dengan suara bergetar, "Aku telah menunggu dua jam
lamanya, dan ketika engkau tidak juga muncul, aku merasa khawatir. Aku menaiki
tembok lalu masuk ke dalam kebun. Di sanalah aku mendengar orang berbicara
tentang kecelakaan ini...
"Suara siapa?" Maximilien bergidik, teringat kepada semua
pembicaraan antara dokter dan Tuan de Villefort. "Suara pelayan pelayanmu,"
katanya. "Kalau engkau ditemukan di sini, celaka," kata Valentine tanpa takut atau marah.
"Sssst," bisik Maximilien. Mereka mendengar suara pintu terbuka dan suara
langkah orang di tangga. "Ayah keluar dari kamar kerjanya," kata Valentine.
"Mengantarkan dokter ke luar" tambah Maximilien.
"Bagaimana engkau tahu ada dokter?"
"Aku hanya menduga."
Sementara itu mereka mendengar pintu depan terbuka, lalu menutup kembali dan
dikunci. Lalu kedengaran Tuan de Villefort melangkah ke pintu yang menuju kebun,
menguncinya dan kembali lagi ke tingkat atas.
"Sekarang," kata Valentine, "engkau tidak mungkin lagi ke luar melalui pintu
depan atau pintu ke kebun. Hanya tinggal satu pintu keluar dan itu melalui kamar
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakek. Mari." "Ke mana?" "Ke kamar kakek."
"Hati hati Valentine," kata Maximilien ragu. "Sekarang baru aku sadar bahwa
kelakuanku sangat gila. Apakah engkau yakin tidak kehilangan akal sehatmu?"
"Yakin. Aku hanya menyesal harus meninggalkan nenek di sini."
"Kematian itu suci, Valentine."
"Ya, tetapi aku tidak akan lama. Mari."
Valentine berjalan melalui sebuah tangga kecil menuju kamar Tuan Noirtier.
Maximilien mengikutinya dengan berjingkat.
Noirtier yang telah diberi tahu oleh pelayannya tentang segala kejadian, masih
duduk di kursi rodanya. Matanya bersinar ketika melihat Valentine.
"Kakek," katanya, "Kakek tentu telah mendengar bahwa Nyonya de Saint-Meran
meninggal sejam yang lalu. Karena itu, selain Kakek, tak ada lagi orang yang
akan mengasihi saya." Mata orang tua itu menyorotkan sinar kemesraan.
"Karena itu pula saya harus mempercayakan semua
kesedihan dan harapan saya hanya kepada Kakek. Benar begitu?"
"Benar," jawab Noirtier dengan isarat matanya.
"Kalau begitu, perhatikanlah baik-baik Tuan ini. Kakek,"
kata Valentine lagi sambil menarik Maximilien pada tangannya. "Dia adalah Tuan
Maximilien Morrel, putra pemilik kapal yang ternama dan terhormat di Marseilles.
Tentu Kakek pernah mendengarnya, bukan?"
"Ya," jawab mata orang tua itu.
"Namanya tidak bercacat. Yang menyebabkan lebih terhormat lagi karena dalam usia
tiga puluh tahun dia sudah mencapai pangkat kapten dan menjadi perwira Legiun
Kehormatan." Noirtier memberi isarat bahwa ia sudah mengetahui semua itu.
"Kakek," kata Valentine selanjutnya, "saya sangat mencintainya dan saya tidak
bersedia kawin dengan siapa pun kecuali dengan dia! Kalau mereka memaksa saya
kawin dengan yang lain, saya lebih suka mati atau bunuh diri"
Sinar mata Noirtier menunjukkan kekacauan hatinya.
"Kakek menyukai Maximilien?"
"Ya." "Dan kakek bersedia melindungi kami dari kemauan ayah?"
Noirtier mengarahkan matanya yang cerdas itu kepada Maximilien seakan-akan
hendak berkata, "tergantung kepada keadaan."
Maximilien memahaminya. "Valentine," katanya, "engkau mempunyai kewajiban untuk
segera pergi ke kamar nenekmu. Sementara itu ijinkan aku berbicara berdua dengan
kakekmu sebentar." 'Ya ya, benar!" kata mata Noirtier. Kemudian dia menatap Valentine dengan
pandangan penuh tanda tanya.
"Tentu Kakek berpikir bagaimana dia akan dapat memahami Kakek, bukan?"
"Ya." "Jangan khawatir. Kami sering sekali berbicara tentang Kakek. Maximilien sudah
mengetahui bagaimana saya bercakap-cakap dengan Kakek."
Valentine -berdiri, mencium dahi kakeknya dengan
mesra, mengucapkan kata-kata pamitan kepada
Maximilien, lalu keluar kamar.
Untuk membuktikan bahwa kata-kata Valentine benar, Maximilien segera mengambil
kamus, pena dan secarik kertas lalu meletakkan semuanya di atas meja yang ada
lampu di atasnya. "Pertama-tama, Tuan," katanya, "ijinkan dahulu saya
memperkenalkan diri, menceriterakan bagaimana saya jatuh cinta kepada Valentine
dan apa rencana saya."
''Saya mendengarkan." jawab Noirtier dengan matanya.
Mengesankan sekali melihat orang tua yang pada lahirnya tampak sebagai beban
untuk orang lain, tetapi sekarang menjadi satu-satunya pelindung dan pendukung
sepasang muda belia yang kuat, sehat dan sedang berada di ambang kehidupan.
Maximilien menceriterakan bagaimana
mulanya dia dapat berkenalan dengan Valentine, lalu jatuh cinta kepadanya dan
bagaimana pula Valentine menyambutnya. Lalu dia menceriterakan tentang
keluarganya, kedudukannya dan keadaan keuangannya.
"Setelah saya menceriterakan tentang cinta dan harapan saya," katanya
selanjutnya, "bolehkah sekarang saya menceriterakan rencana kami?"
"Silakan." Maximilien mengatakan bahwa sebuah kereta telah
menunggu di luar pagar dan bahwa dia bermaksud
membawa Valentine ke rumah saudara perempuannya, lalu menikahinya dan
selanjutnya menanti dan mengharapkan restunya dari Tuan de Villefort.
"Tidak!" Noirtier memberi isarat dengan matanya.
"Apakah tuan tidak setuju dengan rencana kami?"
"Tidak." "Lalu apa yang harus kami lakukan" Keinginan terakhir dari Nyonya de Saint-Meran
supaya Valentine dan Tuan d'Epinay segera dinikahkan. Apakah saya harus
membiarkan itu terjadi?"
Mata Noirtier tidak memberikan isarat apa-apa.
"Saya mengerti, saya harus menunggu."
"Benar." 'Tetapi kalau kami menunggu terlalu lama, segala-
galanya akan gagal. Valentine tidak akan berdaya tanpa bantuan. Mereka akan
memaksanya seperti kepada anak kecil."
Sebuah senyuman penuh rahasia tercermin dalam sorot mata orang tua itu.
"Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa
perkawinan itu tidak akan terlaksana?"
"Ya." 'Tidak akan terlaksana?" teriak Maximilien heran dan penuh harap. "Maaf, Tuan,
tetapi saya kurang percaya mendengar berita gembira itu. Apakah Tuan yakin tidak
akan terjadi?" "Ya." Dengan penegasan ini pun Maximilien masih tetap ragu.
Keyakinan yang datang dari seorang tua yang tidak berdaya mungkin saja tidak
bersumber dari kekuatan kemauan me-ainkan bersumber dari pikirannya yang makin
lemah. Mungkin karena dia mengerti keraguan anak muda itu, atau mungkin juga karena dia
merasa belum mempercayai sepenuhnya kepada kepatuhannya, Noirtier menatap wajah
Maximilien dengan tajam. "Apakah Tuan menghendaki saya mengulangi janji saya untuk menunggu?" tanya
Maximilien. "Ya." "Rupanya Tuan menghendaki saya bersumpah?"
"Ya." Maximilien mengangkat tangannya lalu berkata, "Saya bersumpah demi kehormatan
saya untuk tidak mengambil langkah-langkah sebelum mendapat keputusan dari
Tuan." "Bagus," kata Noirtier dengan matanya.
"Apakah Tuan menghendaki saya pergi sekarang?"
"Ya." "Tanpa menemui dahulu Nona Valentine?"
"Ya." Maximilien menunjukkan sikap patuhnya, mengangguk lalu meninggalkan ruangan.
BAB XLII DUA hari kemudian, menjelang jam sepuluh pagi
jenazah Tuan dan Nyonya de Saint-Meran dimakamkan di pekuburan Pere Lachaise, di
tempat yang sudah sejak lama disediakan oleh Villefort untuk kuburan
keluarganya. Di sana sudah terbaring jenazah istrinya yang pertama, Renee, ibu
Valentine. Oleh karena upacara keagamaan sudah dilakukan di rumah Villefort, di makam tidak
banyak lagi yang perlu dilakukan. Oleh sebab itu setelah kedua mayat selesai
ditanam, para pengantar segera pula bubar.
Ketika Franz d'Epinay hendak berpamitan kepada Villefort, Villefort bertanya,
"Bila kita dapat bertemu lagi?"
"Terserah kepada Tuan," jawab Franz.
"Kalau begitu, secepat mungkin."
"Apakah Tuan menghendaki saya turut bersama Tuan sekarang?"
"Benar, seandainya tidak mengganggu Tuan."
"Sama sekali tidak "
Kedua orang itu kembali ke rumah Villefort. Tanpa menemui dahuhi istri dan
anaknya, Villefort mengajak tamunya langsung ke ruang kerjanya.
"Seperti Tuan ketahui,, Tuan d'Epinay," dia memulai.
"keinginan terakhir Nyonya de Saint-Meran adalah, supaya perkawinan Valentine
dilakukan tanpa diundur-undur lagi.
Perjanjian perkawinan itu sedianya akan dilakukan tiga hari yang lalu, oleh
sebab itu naskahnya sekarang pun telah siap.
Kita dapat menandatanganinya sekarang."
"Tetapi bukankah Tuan sedang berkabung?" jawab Franz ragu-ragu.
"Jangan khawatir. Kami tidak pernah menyepelekan sopan-santun. Valentine akan
tinggal selama tiga bulan di sebuah perkebunan yang diwariskan deh Tuan dan
Nyonya de Saint-Meran Seminggu sejak hari ini, dengan persetujuan Tuan, upacara
perkawinan akan diselenggarakan di sana tanpa perayaan. Setelah perkawinan
dilakukan, Tuan dapat kembali ke Paris sedangkan istri Tuan akan menghabiskan
masa berkabungnya di sana bersama ibu tirinya."
"Bila itu kehendak Tuan, terserahlah, Tuan de Villefort,"
kata Franz, "hanya saja saya ingin mengusulkan agar Alber de Morcerf dan Raoul
de Chateau-Renaud turut hadir sebagai saksi."
"Apakah saya perlu mengirim utusan kepada mereka atau Tuan lebih suka
menjemputnya sendiri?"
"Lebih baik saya sendiri."
"Baik. Saya mengharap Tuan kembali lagi ke mari setelah setengah jam. Valentine
sudah akan siap menanti."
Franz membungkuk lalu pergi. Villefort menyuruh pelayannya rnemberitahu
Valentine bahwa notaris dan saksi-saksi dari Tuan d'Epinay akan datang setengah
jam lagi Mendengar berita itu Valentine seakan-akan disambar petir. Dia segera
menemui kakeknya. Tetapi di tangga dia bertemu dengan ayahnya, dan Villefort
membawanya ke ruang duduk.
Di ruang tamu Valentine berpapasan dengan Barrois.Ia memberikan isarat kecemasan
dengan pandangan matanya.
Selang beberapa saat datang pula dua buah kereta.
Sebuah kereta membawa notaris dan sebuah lagi membawa Franz dan kedua kawannya.
Tak lama kemudian semua telah berkumpul di ruang duduk.
Notaris mempersiapkan segala surat yang diperlukan di atas meja, mengenakan
kacamatanya, berpaling kepada Franz lalu berkata, "Tuan d'Epinay, Tuan de
Villefort meminta saya memberi tahu Tuan bahwa perkawinan Tuan dengan Nona de
Villefort telah mengubah rencana Tuan Noirtier yang berkaitan dengan cucunya.
Beliau mencabut Nona Valentine sebagai akhli waris beliau."
"Saya sangat menyesal bahwa hal ini dikemukakan dihadapan Nona de Villefort,"
jawab Franz. "Saya tidak pernah menyelidiki berapa besar kekayaan Nona de
Villefort, tetapi betapapun akan berkurangnya karena pencabutan hak itu, tetap
akan jauh lebih besar dari milik saya sendiri. Apa yang dicari keluarga saya
dari perkawinan ini adalah kehormatan. Yang saya cari adalah kebahagiaan."
Dalam hati Valentine menyetujui apa yang dikatakan oleh Franz. Berbarengan pula
dengan itu dua titik air mata berlinang di pipinya.
"Boleh saya tambahkan," kata de Villefort kepada bakal menantunya, "bahwa Tuan tidak perlu berkecil hati karena
tindakan Tuan Noirtier ini, oleh karena tindakannya itu disebabkan semata-mata
oleh kelemahan daya pikirnya.
Beliau akan berbuat begitu juga seandainya cucunya ini kawin dengan yang lain,
dan saya yakin pada saat ini beliau ingat bahwa cucunya akan melakukan
perkawinan tetapi sudah tidak akan ingat lagi siapa nama bakal suaminya itu."
Tepat pada saat Villefort akan menghabisi pembicaraannya, pintu tiba-tiba
terbuka dan Barrois muncul di ambang pintu. "Tuan-tuan," katanya dengan suara
yang tidak layak dari seorang pelayan kepada majikannya dalam suasana sekhidmat
itu, "Tuan Noirtier minta berbicara dengan Baron Franz d'Epinay sekarang juga."
Villefort terkejut, Valentine berdiri, mukanya pucat dan terdiam bagaikan
patung. Albert dan Chateau-Renaud saling berpandangan penuh keheranan, sedangkan
notaris memalingkan pandangannya kepada Villefort.
"Tidak mungkin," jawab Villefort. "Pada saat ini Tuan d'Epinay tidak dapat
meninggalkan ruangan ini."
"Dalam hal demikian," kata Barrois, "Tuan Noirtier memerintahkan saya
memberitahukan bahwa beliau sendiri yang akan datang ke ruangan ini."
"Valentine," kata Villefort, "coba lihat, apa pula keinginan kakekmu itu."
Valentine sudah berjalan beberapa langkah ketika Villefort mengubah pikirannya.
'Tunggu, aku ikut" "Maaf, Tuan de Villefort," kata Franz, "oleh karena Tuan Noirtier dengan tegas
meminta berbicara dengan saya, saya rasa adalah kewajiban saya untuk memenuhi
permintaannya. Di samping itu saya sendiri akan merasa senang dapat sekaligus
melakukan kunjungan kehormatan yang belum pernah sempat saya lakukan dahulu."
"Oh, tak perlu Tuan bersusah-susah," kata Villetort. Jelas sekali keresahannya.
"Maaf," jawab Franz dengan nada pasti, "tetapi saya tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk membuktikan kepada beliau bahwa saya bermaksud menghapus
prasangka beliau kepada saya dengan kesetiaan saya."
Sebelum Villefort sempat menahannya Franz sudah berdiri dan mengikuti Valentine
yang sudah sampai di tangga. Hati Valentine gembira seperti gembiranya seseorang
yang karam kapalnya, lalu berhasil selamat sampai ke darat, Villefort mengikuti
mereka. Ketiganya menemui Noirtier menunggu di kursi rodanya.
"Ini, tuan Franz d'Epinay yang datang memenuhi permintaan Ayah," kata Villefort
kepada ayahnya. "Sebenarnya sejak dahulu saya menghendaki Ayah bertemu
dengannya, supaya Ayah yakin betapa tidak beralasan keberatan Ayah terhadap
perkawinan Valentine ini."
Noirtier menjawab dengan sorot matanya yang membuat Villefort gemetar. Lalu dia
membeli isarat supaya Valen tine mendekat. Dalam beberapa saat, degan cara yang
biasa Valentine menemukan kata "kunci" dan setelah itu Noirtier mengarahkan
pandangannya kepada laci sebuah meja tulis yang berada di antara dua buah
jendela. Valentine membuka laci itu dan menemukan sebuah kunci. Setelah
meyakinkan bahwa kunci itu yang dimaksud, Noirtier melihat kepada sebuah meja
tulis tua yang pantasnya berisi kertas-kertas yang tidak berharga.
"Apakah saya harus membuka laci meja ini?" tanya Valentine.
"Ya." "Salah satu laci yang di pinggir?"
"Bukan." "Yang di tengah?"
"Benar." Valentine membuka laci itu dan mengeluarkan seberkas kertas, "Apakah ini yang
Kakek minta?" "Bukan," jawab orang tua itu dengan matanya. Kemudian dia mengarahkan matanya
kepada kamus. Valentine menyebut huruf demi huruf menurut abjad sampai dia
dihentikan pada huruf "R". Dia membuka kamus, menun-juki kata demi kata dengan
jari telunjuknya sampai kepada kata "rahasia".
"Apakah ada rahasia?" tanya Valentine.
"Ya," "Dan siapa yang mengetahui rahasia itu?" Noirtier memandang pintu tempat Barrois
tadi keluar kamar. "Barrois?" "Ya." Valentine berlari ke pintu dan memanggil Barrois.
"Barrois!" Katanya ketika pelayan tua itu memasuki ruangan. "Kakek menyuruh saya
membuka laci meja tulis itu.
Katanya ada rahasia dalam laci itu dan kata beliau engkau mengetahuinya Tolong
huka." Barrois melihat kepada Noirtier. "Lakukan," kata mata Noirtier yang cerdas itu.
Barrois membuka laci yang berdasar ganda lalu mengeluarkan seberkas kertas yang
diikat dengan pita hitam.
"Apakah ini yang Tuan maksud?" tanyanya.
"Ya." "Kepada siapa saya harus berikan berkas ini" Kepada Tuan de Villefort?"
"Bukan." "Kepada Nona Valentine?"
"Bukan." "Kepada Tuan d'Epinay?"
"Ya." Franz terkejut. Dia melangkah ke depan dan menyambut berkas itu dari tangan
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barrois. "Apa yang harus saya lakukan dengan berkas ini?"
"Apakah Kakek menghendaki agar Tuan d'Epinay membacanya?" Valentine turut
bertanya. "Ya," isarat kakek tua itu.
"Kalau begitu kita dapat duduk," kata Villefort tidak sabar. "Akan mengambil
waktu yang cukup lama membaca seluruh berkas itu." Dia duduk, tetapi Valentine
tetap berdiri di samping kursi kakeknya, sedangkan Franz berdiri di hadapannya.
Franz membuka berkas itu lalu mulai membacanya:
"Kutipan dari risalah pertemuan Perkumpulan Bonaparte di Rue Saint-Jacques yang
diselenggarakan pada tanggal S Februari 1815."
Franz berhenti. "5 Pebruari 1815!" serunya, "Hari ayah saya terbunuh! Dan
setelah beliau meninggalkan perkumpulan itu beliau hilang!"
Mata Noirtier memberi isarat agar dia meneruskan membacanya.
"Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, Louis-Jacques Beaurepaire, Letnan
Kolonel Altileri, Etienne Duchampy, Brigadir Jendral dan Claude Lecharpal
Direktur Pengairan dan Kehutanan, dengan ini memberikan pernyataan bahwa pada
tanggal 4 Pebruari 1815 telah datang sebuah surat dari Pulau Elba yang
memperkenalkan kepada para anggota perkumpulan, Jendral Flavin de Ouesnal yang
pernah berdinas di bawah Kaisar Napoleon sejak 1804 sampai 1815, sebagai orang
yang dipercaya masih setia kepada Napoleon sekalipun telah diberi gelar Baron
oleh Raja Louis "Oleh sebab itu, sebuah surat undangan telah dikirimkan kepada Jendral de
Ouesnal untuk menghadiri pertemuan yang akan diadakan keesokan harinya tanggal 5
Pebruari 1815. Surat undangan tersebut tidak mencantumkan
alamat, tetapi menjanjikan akan ada orang yang
menjemputnya pada jam sembilan malam hari, seandainya Jendral bersedia
menghadiri pertemuan tersebut.
"Pada jam sembilan malam itu, Presiden Perkumpulan menjemput sendiri Jendral de
Quesnal. Jendral telah siap.
Presiden mengabarkan bahwa salah satu sarat untuk menghadiri rapat tersebut,
Jendral harus tetap tidak mengetahui alamat tempat rapat itu, dan bahwa ia harus
bersedia ditutup matanya dan bahwa dia harus bersumpah tidak akan mencoba
mengangkat penutup matanya selama itu. Jendral menyetujui persaratan ini lalu
bersumpah demi kehormatan tidak akan mencoba mengetahui ke mana dia dibawa.
Dalam perjalanan Presiden melihat bahwa Jendral mencoba melihat dari bawah
penutup matanya lalu mengingatkannya kepada sumpahnya. 'Oh, ya," jawab Jendral.
Kereta berhenti di sebuah lorong yang menuju ke Rue Saint-Jacques. Dengan
berpegang kepada tangan Presiden, Jendral turun dari kereta, lalu berjalan
sepanjang lorong itu, menaiki tangga dan seterusnya memasuki sebuah ruangan yang
dipergunakan untuk tempat pertemuan. Di sana jendral diberitahu bahwa dia boleh
membuka penutup matanya. Ketika matanya terbuka, dia sangat terperanjat melihat
banyak kenalannya menjadi anggota suatu
perkumpulan yang sangat rahasia, yang belum pernah dicurigai Dia ditanya tentang
pandangan politiknya, tetapi dia hanya menjawab bahwa surat dari Elba itu sudah
cukup jelas. Franz berhenti dahulu membaca, lalu berkata, "Ayah saya seorang kaum Kerajaan.
Tidak perlu menanyainya tentang pandangan politiknya, semua orang
mengetahuinya." "Itulah sebabnya saya bersahabat dengan ayah Tuan".kata Villefort. "Memang mudah
sekali berkawan dengan orang yang sepaham."
Franz melanjutkan lagi membacanya:
"Presiden mendesak Jendral agar menyatakan pandangannya lebih terperinci lagi,
tetapi Jendral menjawab bahwa ia lebih dahulu ingin mengetahui apa yang mereka
harapkan dari dia. Lalu kepadanya ditunjukkan surat dari Elba yang
memperkenalkan Jendral sebagai orang yang dapat diharapkan bantuannya. Sebuah
bagian penuh dari surat itu menceriterakan tentang akan kembalinya Kaisar dari
Pulau Elba dan menjelaskan pula bahwa keterangan yang lebih terperinci akan
diuraikan dalam surat lain yang akan disampaikan setelah tibanya kapal Pharaon,
kapal yang dimiliki oleh perusahaan Morrel and Son dari Marseilles dan yang
kaptennya seorang yang sangat setia kepada Kaisar.
"Ketika dia membaca surat itu, Jendral yang dipercaya oleh semua anggota
perkumpulan sebagai salah seorang dari mereka itu, membuat tanda-tanda yang
jelas bahwa ia tidak menyetujui rencana itu. Setelah selesai membacanya ia tetap
diam sambil mengerutkan dahi
"Bagaimana pendapat tuan tentang surat itu, Jendral?"
tanya Presiden. "Saya akan mengatakan bahwa sumpah kesetiaan kepada Raja Louis XVIII masih
terlalu baru untuk diingkari lagi hanya untuk kepentingan bekas kaisar," jawab
Jendral. "Jawaban ini sudah cukup jelas untuk menghapuskan keraguan kita tentang
pandangan politiknya,"
"Jendral," kata Presiden, "bagi kami tidak ada Raja Louis XVIII dan tidak ada
bekas kaisar. Vang ada, hanyalah Yang Mulia Kaisar, yang dibuang dari Perancis,
tanah airnya, selama sepuluh bulan terakhir ini dengan kekerasan dan
pengkhianatan." "Maafkan saya, Tuan-tuan," kata Jendral, "kalau bagi Tuan-tuan tidak ada Raja
Louis XVIII, bagi saya ada.
Beliau mengangkat saya menjadi baron dan jendral, dan saya tidak akan melupakan
bahwa kedua kehormatan itu saya peroleh berkat berhasilnya beliau kembali ke
Perancis." "Harap Tuan hati-hati, Jendral," jawab Presiden. "Tuan telah membukakan mata
kami bahwa kami keliru tentang Tuan. Sebuah gelar dan pangkat ternyata telah
cukup untuk membuat Tuan mendukung penguasa baru yang akan kami gulingkan. Kami
tidak akan memaksa Tuan untuk
membantu kami atau bergabung dengan kami, namun kami akan memaksa Tuan untuk
bertindak sebagai seorang jantan terhormat sekalipun Tuan tidak akan
melakukannya "Apakah Tuan akan mengatakan sebagai suatu tindakan terhormat kalau saya
mengetahui tempat persembunyian Tuan dan saya tidak membocorkannya" Hal demikian
saya katakan sebagai bersekutu!" "Tuan dibawa ke dalam pertemuan ini tidak
dengan paksa," kata Presiden, "dan ketika kami meminta Tuan ditutup mata dalam
perjalanan, Tuan menyetujuinya. Ketika Tuan menuju ke mari Tuan telah mengetahui
bahwa kami bukan sedang asyik mem-perkokoh kedudukan Louis XVIII. Kalau demikian
buat apa kami bersusah-payah bersembunyi dari polisi. Terlalu gampang bagi Tuan
bersedia ditutup mata untuk
mengetahui suatu rahasia, lalu menanggalkannya dan seterusnya mengkhianati orang
yang mempercayai Tuan. Pertama-tama hendaknya Tuan katakan dengan tegas
apakah Tuan berpihak kepada Raja yang kebetulan
sekarang sedang berkuasa atau berpihak kepada Yang Mulia Kaisar."
"Saya berpihak kepada Raja," jawab Jendral. "Saya telah bersumpah setia kepada
Raja Louis XVIII dan saya akan memegang teguh sumpah itu." "Jawaban Jendral ini
disambut dengan gerutu hadirin. Jelas sekali banyak anggota perkumpulan
mempertimbangkan untuk membuat Jendral menyesali kata-katanya yang terburu nafsu
itu." Presiden meminta hadirin untuk tenang. "Jendral," katanya,
"Tuan cukup berakal sehat untuk menyadari akibat dari keadaan ini, dan
keterbukaan Tuan itulah yang menentukan sarat-sarat yang harus kami kenakan
kepada Tuan. Tuan harus bersumpah demi kehormatan Tuan untuk tidak
membocorkan apa-apa yang Tuan ketahui di sini." Jendral berteriak sambil
memegang hulu pedangnya, "Kalau Tuan berbicara tentang kehormatan, sebaiknya
Tuan mengetahui dahulu hukumnya dan jangan memaksa saya!"
"Dan Tuan sendiri," kata Presiden dengan ketenangan yang lebih mengesankan
daripada kemarahan Jendral,
"jangan menyentuh pedang itu. Saya menasehatkan sekali untuk tidak
melakukannya." Jendral memandang ke sekelilingnya sebagai awal kegelisahannya.
Sekalipun demikian ia masih berkata dengan tegas, "saya tidak akan bersumpah."
"Bila demikian, tuan mesti mati," kata Presiden tenang. "Wajah Jendral berubah
pucat dan sekali lagi ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa anggota berbisik-
bisik satu sama lain dan masing-masing memegang
senjatanya di balik mantel. Tetapi Jendral tetap diam.
"Tutup pintu," kata Presiden kepada para penjaga. Lalu Jendral maju selangkah
dan dengan ihtiar sekuat tenaga untuk menguasai diri, ia berkata, "Saya
mempunyai seorang anak laki-laki; karena saya sekarang berada di tengah-tengah
pembunuh saya harus memikirkan nasibnya."
"Setiap orang mempunyai hak untuk menghina lima puluh orang!" kata Presiden,
"itu adalah haknya orang yang lemah. Tetapi Tuan keliru kalau menggunakan hak
itu. Be r su m paid ah, Jendral, dan jangan menghina kami" Sekali lagi Jendral
terkalahkan oleh kelebihan wibawa Presiden.
Dia ragu-ragu sebentar, lalu bertanya, "Sumpah apa yang Tuan kehendaki?"
"Begini: Saya bersumpah demi kehormatan saya bahwa saya tidak akan membocorkan
kepada siapa pun juga apa yang saya dengar antara jam sembilan dan sepuluh malam
pada tanggal 5 Pebruari 1815, dan saya mengatakan bahwa saya bersedia mati
seandainya saya mengingkari sumpah saya ini." "Kelihatan bahwa Jendral mengalami
sedikit kebingungan yang menyebabkan dia tidak dapat menjawab untuk sementara
waktu. Akhirnya dengan keengganan yang tidak tersembunyikan dia mengucapkan sumpah yang
diminta itu, tetapi dengan suara yang sangat lemah sehingga sukar untuk
didengar. Beberapa anggota menuntut agar ia mengulanginya dengan keras.
Jendral melakukannya sekali lagi. Lalu dia bertanya,
"Apakah saya bebas untuk pergi?" Presiden bangkit dari duduknya, menunjuk tiga
orang anggota untuk mengawaninya, lalu naik ke dalam kereta bersama Jendral yang telah ditutup lagi
matanya. "Ke mana Tuan ingin kami antarkan?" tanyanya kepada jendral.
"Ke mana saja asal saya dapat terlepas dari kehadiran Tuan," jawab Jendral
Quesnal. "Hati-hati" kata Presiden,
"sekarang Tuan tidak lagi berada dalam suatu pertemuan, melainkan berhadapan
dengan perorangan. Jangan
menghina, kecuali kalau Tuan menghendaki diminta
pertanggungan jawab untuk penghinaan itu." Tetapi Jendral tidak memahami bahasa
itu. Dia menjawab. "Dalam kereta ini Tuan sama beraninya dengan ketika dalam
pertemuan, hanya karena alasan yang sederhana sekali, yaitu bahwa empat orang
selalu lebih kuat dari seorang."
"Presiden memerintahkan kereta berhenti. Mereka baru saja sampai di Quai des
Ormes di mana ada tangga yang menuju ke sungai. "Mengapa berhenti di sini?"
Jendral bertanya. "Karena Tuan telah menghina seseorang. Dan karena orang itu
tidak mau melanjutkan selangkah pun sebelum menuntut penyelesaian yang
terhormat." "Ini hanya merupakan bentuk lain dari pembunuh-an!" kata Jendral.
"Jangan mencoba berteriak meminta tolong" kata Presiden, "kecuali kalau Tuan
menghendaki saya menganggap Tuan sebagai salah searang yang saya
maksudkan tadi dalam pertemuan sebagai seorang pengecut yang menggunakan
kelemahannya sebagai perisai.
Sekarang, Tuan seorang diri dan hanya seorang pula yang akan melayani Tuan. Tuan
mempunyai sebilah pedang di pingang, saya pun mempunyai sebuah dalam tongkat
ini. Salah seorang dari tuan-tuan ini akan menjadi saksi Tuan.
Sekarang Tuan boleh membuka tutup mata.9 Jendral segera melepaskan penutup
matanya. Keempat orang itu turun dari kereta." Franz berhenti lagi membaca untuk
menyeka keringat dingin dari dahinya. Ada sesuatu yang mengerikan tampak dalam
wajah anak muda itu selama dia membaca keras-keras keterangan-keterangan yang
tidak pernah diketahuinya tentang kematian ayahnya.
Noirtier melihat kepada Villefort dengan air muka bangga dan memandang rendah.
Franz membaca lagi: "Seperti dikatakan tadi, hari itu adalah tanggal S Pebruari 1815. Salju telah
turun tiga hari berturut-turut dan tangga yang menuju sungai itu tertutup salju.
Salah seorang dari saksi meminjam sebuah lentera dari perahu nelayan yang
terdekat. Pedang Presiden yang bersarung tongkat lebih pendek dari pedang
Jendral. Jendral mengusulkan diadakan undian untuk pemilihan pedang, tetapi
Presiden mengatakan bahwa dialah yang menantang, dan ketika menantang itu dia
telah berpendapat bahwa masing-masing menggunakan senjatanya sendiri. Para
pembantu mencoba memperkuat saran Jendral, tetapi Presiden meminta agar mereka
tidak turut campur. "Lentera diletakkan di atas tanah. Kedua lawan berdiri di
kin kanannya Dan mulailah pertarungan itu. Jendral de Quesnal dikenal sebagai
salah seorang pemain pedang yang mahir dalam ketentaraan, tetapi karena diserang
secara keras ia kehilangan keseimbangan sampai terjatuh. Para saksi mengira ia
terbunuh, tetapi lawannya, yang mengetahui bahwa ia tidak
mengenainya, mengulurkan tangan membantunya untuk berdiri. Kejadian ini bukannya
membuat Jendral itu menjadi lebih tenang, bahkan sebaliknya memanaskan darahnya
dan ia mulai menyerang dengan hebatnya.
Presiden tidak beranjak sedikit pun dari tempat berdirinya.
Tiga kali Jendral mundur karena merasa jarak terlampau dekat untuk kemudian
kembali lagi menyerang. Tetapi pada serangan ketiga kalinya ia jatuh tersungkur
lagi. Saksi-saksi mengira ia kehilangan keseimbangannya lagi seperti tadi,
tetapi ketika salah seorang dari mereka mencoba
membantunya berdiri, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah pada tangannya.
Darah. "Jendral yang hampir kehilangan kesadarannya itu masih sempat berkata,
"Oh, mereka menyewa pembunuh atau gum anggar ketentaraan untuk melawanku!' Tanpa
menjawab, Presiden menghampiri saksi yang memegang lentera,
menyingsingkan lengan bajunya lalu memperlihatkan bahwa lengannya pun terluka
pada dua tempat. Selanjutnya ia membuka jasnya dan melepaskan kancing kemejanya.
Ia memperlihatkan luka ketiga pada pinggangnya. Walaupun demikian ia tidak
terdengar mengeluarkan erang kesakitan sedikit pun juga. "Jendral meninggal lima
menit kemudian." Franz membaca bagian ini dengan suara yang tertahan sehingga hampir-hampir tidak
dapat dipahami. Dia berhenti, mengusap mata dengan tangannya. Setelah berdiam sejenak ia melanjutkan
lagi: "Presiden menuruni tangga yang menuju sungai itu dengan darah bercucuran di atas
salju. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara badan Jendral diceburkan ke
dalam sungai oleh para saksi, setelah mereka yakin betul akan kematiannya.
"Dengan demikian Jendral itu meninggal dalam sebuah duel yang terhormat, bukan
karena penyergapan seperti disangka orang.
Sebagai kesaksian atas perkara tersebut kami menandatangani pernyataan ini demi
tegaknya kebenaran, kalau-kalau pada suatu saat dikemudian hari salah seorang
dari pelaku kejadian ini didakwa orang sebagai pembunuh atau pelanggar hukum.
'Tertanda: BEAUREPAIRE DUCHAMPY LECHARPAL." "Tuan Noirtier," kata Franz setelah selesai membaca dokumen yang menggetarkan
jiwanya itu, "oleh karena tampaknya Tuan mengetahui seluk-beluk kejadian ini
sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, haraplah Tuan tidak mengecewakan saya
untuk dapat mengetahui nama
Presiden perkumpulan itu, sehingga akhirnya saya dapat mengetahui siapa nama
pembunuh ayah saya."
Bagaikan seorang yang kehilangan akal Villefort meloncat menuju pintu, sedang
Valentine yang tahu apa yang bakal menjadi jawaban kakek tua itu, dan yang
sering sekali melihat dua bekas luka di lengan kakeknya, mundur beberapa langkah
karena kekhawatiran. "Satu-satunya kekuatan yang menyebabkan saya dapat membaca dokumen itu sampai
pada akhirnya adalah harapan untuk mengetahui siapa yang membunuh ayah saya,"
kata Franz selanjutnya. "Demi Tuhan, Tuan Noirtier, katakanlah dengan cara
apapun juga sehingga saya dapat mengerti.. ."
"Baik," kata Noirtier dengan matanya. Lalu dia mengarahkan matanya kepada kamus.
Franz mengambil kamus itu dengan tangan gemetar, lalu menyebut abjad satu demi
satu sampai orang tua itu menghentikannya pada huruf S. Franz meluncurkan
jarinya sepanjang kata-kata dalam kamus. Sementara itu Valentine menyembunyikan
mukanya di balik kedua belah tangannya. Akhirnya Franz sampai kepada kata
"saya". "Betul," kata Noirtier.
'Tuan!" seru Franz. 'Tuankah yang membunuh ayah saya?"
"Betul," jawab Noirtier sambil menatap wajah anak mu-da itu dengan pandangan
seorang raja. Dengan lunglai Franz jatuh ke sebuah kursi.
Villefort membuka pintu dan berlari ke hiar oleh karena tiba-tiba saja disergap
keinginan untuk merenggut kehidupan yang masih bersarang dalam tubuh orang tua
yang tak pernah dapat diajak berdamai itu.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB XLIII FRANZ meninggalkan kamar Noirtier dalam keadaan
begitu terpukul sehingga Valentine sendiri pun merasa iba kepadanya. Setelah
menggumamkan kata-kata yang tidak dipahami, Villefort bergegas mengunci dirinya
di ruang kerjanya. Dua jam kemudian dia menerima surat berikut:
"Dengan dibongkarnya fakta-fakta pagi ini jelas sekali Tuan Noirtier de
Villefort beranggapan bahwa persatuan antara keluarganya dengan keluarga Tuan
Franz d'Epinay tidak mungkin terjadi. Tuan d'Epinay sangat terkejut memahami
kenyataan bahwa Tuan de Villefort yang mengetahui rahasia ini tidak pernah
berupaya untuk memberitahukan sebelumnya ini" Surat yang tajam dari seorang anak
muda yang selama ini menaruh hormat kepadanya merupakan suatu pukulan maut bagi
kehormatan orang seperti de Villefort.
Sementara itu Valentine yang merasakan kebahagiaan dan ketakutan sekaligus pada
saat yang bersamaan, mencium dan menyatakan terima kasih kepada kakeknya yang
hanya dengan sebuah gerakan saja telah mampu memutuskan rantai yang dianggapnya
tak mungkin terputuskan. Dia meminta diri pergi ke kamarnya sendiri untuk menenangkan diri.
Izin itu diberikan dengan isarat matanya.
Tetapi, bukan kamarnya yang ia tuju, melainkan kebun.
Maximilien telah menantinya di pintu gerbang. Tadi, Maximilien telah melihat
Franz dan de Villefort meninggalkan pekuburan bersama-sama seusainya upacara
penguburan Tuan dan Nyonya de Saint-Meran dan dia menyangka
mesti akan terjadi sesuatu. Oleh sebab itu ia berjaga jaga di luar tembok, siap
untuk bertindak dengan penuh
kepercayaan bahwa Valentine akan berlari kepadanya pada kesempatan yang pertama.
Ketika melihat kedatangan Valentine, hatinya merasa yakin. Ketika mendengar
kata-kata Valentine yang pertama hatinya melonjak karena gembira.
"Kita selamat!" kata Valentine.
"Selamat?" Maximilien mengulangi, tidak percaya kepada nasib yang sangat baik
itu. "Siapa yang menyelamatkan kita?"
"Kakek. Oh, engkau harus mencintainya, Maximilien!"
Maximilien bersumpah akan mencintai orang tua itu sepenuh hati. Sumpah itu tidak
sukar keluar dari lubuk hatinya, karena pada saat itu ia tidak merasa puas
dengan hanya mencintainya sebagai sahabat saja atau sebagai seorang ayah,
melainkan mau memujanya seperti kepada malaikat.
'Tetapi bagaimana beliau melakukannya?" tanya Maximilien.
Valentine sudah akan membuka mulutnya untuk men-
ceriterakan segala-galanya, tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ceriteranya itu
akan menyangkut sebuah rahasia besar yang juga melibatkan orang lain selain
kakeknya. "Akan aku ceriterakan nanti," katanya.
"Bila?" "Kalau aku sudah menjadi istrimu."
Jawaban ini cukup membuat Maximilien menyetujui
saja. Sebab itu dia sudah merasa puas dengan apa yang sudah dikatakan Valentine,
yang cukup untuk sehari itu.
Namun demikian dia meminta agar Valentine menemuinya lagi esok hari. Valentine
memberikan janji itu dengan senang hati. Pandangan Valentine kini berubah sama
sekali. Sekarang ia merasa lebih percaya bahwa ia akan kawin dengan Maximilien daripada
tidak akan kawin dengan Franz.
Esok harinya Noirtier meminta notaris datang lagi. Surat wasiatnya yang
terdahulu disobek dan menyuruh membuat lagi yang baru, di dalamnya ditetapkan
bahwa ia akan mewariskan seluruh kekayaannya kepada Valentine, asal saja dia
tidak dipisahkan daripadanya.
Banyak orang segera memperhitungkan bahwa Nona
Valentine de Villefort, satu-satunya ahli waris Tuan dan Nyonya de Saint-Meran
dan diangkat kembali menjadi ahli waris Tuan Noirtier, pada suatu saat nanti
akan mempunyai penghasilan hampir tiga ratus ribu frank setahun.
Sementara perkawinan Valentine dibatalkan, Count of Morcerf mengenakan seragam
letnan jendralnya, menghiasinya dengan semua tanda kehormatan yang
dimilikinya, lalu meminta disiapkan kuda-kudanya yang terbaik untuk berkunjung
kepada Baron Danglars. Bankir itu sedang sibuk mempelajari neraca bulanannya, dan dalam waktu-waktu
terakhir ini sukar sekali menjumpai dia dalam keadaan yang cerah gembira. Ketika
sahabat lamanya masuk, ia mencoba memperlihatkan air muka kebangsawanannya dan
duduk tegak di kursinya. Sebaliknya, Morcerf yang biasa kaku dan resmi pada
kesempatan ini berusaha meninggalkan kekakuannya dengan tersenyum ramah. 'Inilah
aku, Baron," katanya. "Selama ini kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk
melaksanakan rencana kita"
"Rencana apa, Count?" tanya Danglars, seakan-akan tidak dapat memahami apa yang
dimaksud oleh Morcerf. "Ah, aku tahu sekarang bahwa engkau seorang yang suka resmi dan menghendaki
upacara sesuai dengan kebiasaan.
Baik." Dengan senyum yang dipaksakan Morcerf berdiri, membungkuk dalam-dalam
kepada Danglars lalu berkata,
"Baron Danglars, bolehkah saya mempunyai kehormatan untuk meminang puteri Tuan,
Nona Eugenie Danglars untuk anak saya, Viscount Albert de Morcerf."
Tetapi Danglars bukannya memberi jawaban yang me-
nyenangkan seperti yang diharapkan oleh Morcerf, melainkan mengerutkan dahi
sambil berkata, "Sebelum memberi jawaban, Count, saya memerlukan sedikit waktu
untuk memikirkannya lebih dahulu."
"Untuk memikirkannya dahulu!" seru Morcerf terheran-heran. "Bukankah engkau
telah mempunyai waktu delapan tahun untuk memikirkannya sejak kita
merundingkannya?" "Count, setiap hari timbul kejadian-kejadian yang mengharuskan kita meninjau
kembali segala persoalan yang pernah kita anggap sebagai telah selesai
diputuskan." "Maaf, Baron, tetapi saya tidak dapat memahami apa yang Tuan maksudkan."
"Yang saya maksudkan, bahwa belum lama ini timbul keadaan-keadaan baru dan bahwa
.,." "Ungkapan yang samar-samar, bahkan kosong, Baron.
Ungkapan itu mungkin saja dapat memuaskan orang biasa, tetapi Count of Morcerf
bukanlah orang biasa. Apabila ada orang menarik kembali janji yang telah
diberikan kepadanya, dia berhak menuntut alasan-alasan yang masuk akal."
Sekalipun sebenarnya Danglars seorang pengecut,
namun tidak mau tampak sebagai pengecut. Selain dari itu, ia merasa tersinggung
mendengaf nada suara Morcerf.
"Saya mempunyai alasan yang kuat," jawabnya, "tetapi akan sukar sekali
mengatakannya kepada Tuan."
"Suatu hal dapat dipastikan, Tuan menolak menikahkan puteri Tuan kepada anak
saya." "Bukan begitu, saya hanya menangguhkan keputusan saya."
'Tetapi pasti Tuan tidak akan menikmati keangkuhan Tuan dengan mengira bahwa
saya akan sedia menuruti kehendak Tuan dan menunggu dengan patuh datangnya
kemurahan hati Tuan!"
"Apabila Tuan tidak dapat menunggu, baiklah kita anggap rencana kita sebagai
batal saja." Morcerf menggigit bibirnya untuk menahan ledakan
amarahnya yang sudah menjadi darah dagingnya, oleh karena ia masih sadar bahwa
dalam keadaan seperti itu dialah yang akan menjadi bahan tertawaan apabila dia
tidak dapat menahan diri. Dia sudah sampai di ambang pintu keluar ketika tiba-
tiba saja ia merubah lagi pendiriannya.
Dia ber-balik dan kembali lagi. Air mukanya yang marah karena tersinggung telah
berubah. "Kita sudah berkenalan selama bertahun-tahun, Baron " katanya, "sebab
itu pantas kita saling menghargai. Setidak-tidaknya Tuan dapat mengatakan
kejadian buruk apakah yang menyebabkan anak saya kehilangan nilai di mata Tuan."
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan anak Tuan secara pribadi. Hanya itulah
yang dapat saya katakan,"
jawab Danglars yang menjadi sombong lagi setelah melihat kelunakan Morcerf.
"Kalau begitu, dengan siapa?" tanya Morcerf kurang enak.
Danglars menatap Morcerf dengan keyakinan diri yang lebih dari semula laki
berkata. "Berterimakasihlah karena saya tidak memberikan penjelasan yang
terperinci" BAB XLIV MAXIMILIEN sangat berbahagia. Tuan Noirtier baru
saja menyuruh Barrois memanggilnya. Dia ingin segera mengetahui apa maksud
panggilan itu sehingga ia lebih percaya kepada kakinya sendiri daripada kepada
kaki-kaki kuda kereta. Itulah sebabnya dia berlari-lari menuju rumah Tuan
Noirtier dengan Barrois di belakangnya mencoba mengikutinya. Maximilien berumur
tiga puluh, Barrois enam puluh. Maximilien dibakar semangatnya oleh api cinta
sedangkan Barrois kepayahan karena kepanasan.
Ketika sampai, Maximilien seperti tidak merasa cape, karena cinta memang
bersayap, tetapi Barrois yang sudah bertahun-tahun tidak pernah jatuh cinta
lagi, basah kuyup bermandikan keringat.
Pelayan tua itu mempersilakan Maximilien masuk melalui pintu khusus. Tak lama
kemudian suara gemerisik gaun wanita memberi tahukan kedatangan Valentine. Dia
tampak cantik sekali dengan pakaian paginya. Maximilien sangat terpesona
sehingga ia akan merasa gembira sekati, pun seandainya tidak jadi bertemu dengan
Tuan Noirtier yang memanggilnya. Tetapi kakek tua itu telah datang, didorong di
atas kursi rodanya. Maximilien segera mengucapkan terima kasih untuk
jasa-jasa Noirtier yang telah menyelamatkan Valentine dan dia sendiri dari
kedukaan. Noirtiei menjawabnya dengan pandangan mata yang penuh kemurahan hati.
Lalu dia mengarahkan matanya kepada Valentine yang sedang duduk agak kemalu-
maluan di sudut "Apakah perlu saya menceriterakan semua yang Kakek katakan kepada saya?"
Valentine bertanya. "Ya," isarat Noirtier.
"Maximilien, Kakek telah banyak sekali berceritera dalam tiga hari terakhir
ini," kata Valentine. "Beliau memanggilmu sekarang supaya aku menceriterakannya
kembali kepadamu. Oleh karena aku hanya sebagai
penterjemah semata-mata, aku akan mengatakan semuanya sama seperti yang
dikehendaki beliau."
"Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya," jawab Maximilien
Valentine merendahkan pandangan matanya, suatu hal yang membuat Maximilien penuh
harap, karena Valentine selalu merasa lemah apabila dia sedang berbahagia.
"Kakek ingin meninggalkan rumah ini," katanya. "Barrois akan mencari sebuah
apartemen yang memadai. Seandainya ayah mengizinkan, aku akan tinggal bersama
Kakek dan akan meninggalkan rumah ini segera pula. Seandainya tidak, aku akan
menunggu sampai cukup usia, berarti delapan belas bulan lagi dari sekarang. Pada
waktu itu aku bebas, dan aku akan mempunyai penghasilan dan kekayaan sendiri dan
.. "Dan?" tanya Maximilien.
"Dan, dengan restu Kakek aku akan menepati janjiku kepadamu."
Kata-kata terakhir diucapkannya dengan perlahan sekali sehingga Maximilien tidak
akan dapat mendengarnya kalau saja ia tidak sedang mengikuti pembicaraan
Valentine dengan seksama.
"Apakah saya tidak keliru, Kakek?" tanya Valentine kepada kakeknya.
'Tidak." "Oh!" Maximilien tak dapat menahan serunya. Segera dia bersimpuh di muka kakek
tua itu seakan-akan berlutut di hadapan Tuhan, dan bersimpuh di muka Valentine
seperti dia bersimpuh di hadapan malaikat. "Apakah jasa saya sehingga patut
menerima kebahagiaan seperti ini?"
Noirtier memandang kepada kedua anak muda yang
sedang dilanda cinta itu dengan penuh perasaan kasih. Barrois yang berdiri agak
jauh dari mereka tersenyum sambil menghapus butir-butir keringat yang masih
membasahi dahinya. "Oh, Banois sangat kepanasan. Kasihan," kata Valentine.
"Karena saya habis berlari dengan cepat, Nona," jawab Barrois. "Namun demikian
saya akui bahwa Tuan Morrel berlari lebih cepat dari saya."
Noirtier mengarahkan matanya kepada sebuah baki yang di atasnya ada sebuah
tempat air jeruk dan sebuah gelas.
Noirtier telah meminumnya sebagian setengah jam yang lalu.
"Minumlah air jeruk ini, Barrois," kata Valentine. "Kulihat engkau sangat
menginginkannya." "Kalau saya boleh berterus-terang, Nona, saya hampir mati kehausan," jawab
Barrois, "dan saya akan sangat bergembira sekali apabila dapat minum demi
kesehatan Nona dengan air jeruk ini."
"Minumlah, dan kembali lagi nanti ke mari"
Barrois mengambil baki itu dan segera setelah ia berada di luar kamar dengan
sekali teguk ia menghabiskan gelas yang telah diisi air jeruk oleh Valentine.
Valentine dan Maximilien sedang saling mengucapkan kata berpisah ketika mereka
mendengar suara bel berbunyi di tangga. Berarti ada tamu. Valentine melihat jam.
"Hari telah siang," katanya, "dan hari ini, hari Sabtu. Mesti dia dokter. Apakah
Maximilien harus pergi, Kakek?"
"Ya," "Barrois!" Valentine berteriak. "Ke mari!"
Suara pelayan tua itu menjawab, "Saya datang, Nona."
"Barrois akan menunjukkan jalan" kata Valentine kepada Maximilien. Barrois
masuk. "Siapa yang membunyikan bel?"
"Dokter d'Avrigny," jawab Barrois terhuyung huyung
"Mengapa engkau, Barrois?" tanya Valentine heran.
Barrois tidak menjawab. Dia melihat kepada majikannya dengan penuh ketakutan.
Tangannya mencoba meraih sesuatu untuk menahan dirinya.
"Dia hampir jatuh!" Maximilien berseru.
Barrois makin sempoyongan. Wajahnya menunjukkan
adanya serangan penyakit yang gawat dan mendadak. Dia maju beberapa langkah lagi
menuju Noirtier. "Ya, Tuhan!"
katanya dengan susah payah. "Mengapa saya ini" Sakitnya .
. . mata saya kabur . .. kepala seperti dibakar. Oh, jangan sentuh saya!"
Matanya berputar putar, kepalanya terkulai ke belakang, sedangkan anggota badan
lainnya kaku. "Dokter d'Avrigny! Dokter d'Avrigny!" Valentine berteriak-teriak- "Ke mari
cepat! Tolong!" Barrois membalikkan badan, mundur lalu terjatuh di depan kaki Noirtier.
Villefort yang mendengar teriakan Valentine muncul di ambang pintu. Maximilien
segera menyembunyikan diri di belakang tirai. Mata Noirtier berkilat-kilat
karena tidak sabar dan cemas. Seakan-akan seluruh perasaan harinya tertumpah
kepada orang tua yang malang itu, yang lebih merupakan sahabat daripada pelayan.
Urat-urat wajah Barrois bergerak menegang, matanya merah seakan-akan berdarah,
lehernya terkulai lemah, tangannya menggapai-gapai. Kakinya begitu kaku,
sehingga seakan-akan mungkin patah kalau ditekukkan. Bintik-bintik buih keluar
dari sela-sela bibirnya ketika dia mengerang kesakitan.
Villefort memandang Barrois dengan mata melotot dan mulutnya ternganga. Dia
tidak melihat Maximilien. Segera dia membalikkan badan dan berlari sambit
berteriak. "Dokter! Dokter!Dokter!Tolong!"
Nyonya de Villefort masuk dengan diam-diam_
Pandangannya yang pertama diarahkan kepada Noirtier yang dalam keadaan serupa
ini layak terpengaruh oleh berbagai perasaan, namun tetap segar bugar. Lalu dia
melihat kepada Barrois yang seperti sedang di ambang kematian.
"Demi Tuhan, Ibu, di mana Dokter?" tanya Valentine.
"Di kamar Edouard, sedang memeriksanya. Dia agak sakit hari ini," jawab Nyonya
de Villefort. Lalu dia meninggalkan ruangan itu.
Maximilien keluar dari persembunyiannya. Tak seorang pun memperhatikannya dalam
kebingungan seperti itu. "Segera pergi, Maximilien," kata Valentine, "dan tunggu sampai aku menyuruh
orang." Maximilien menekankan tangan Valentine ke dadanya lalu pergi melalui pintu
khusus. Beberapa detik kemudian Villefort masuk bersama dokter dari pintu yang lain.
Barrois kelihatan sudah mulai akan sadar kembali Serangan pertama telah berlalu.
Terdengar keluhannya perlahan-lahan, dan dia mencoba duduk pada sebuah lututnya.
Villefort dan Dokter d'Avrigny menggo-tongnya ke kursi panjang.
"Obat apa yang diperlukan, Dokter?" tanya Villefort.
"Tolong ambilkan air bening dan eter. Apa Tuan mempunyainya?"
"Ada." 'TJan tolong suruh orang mencari minyak terpenten dan sedikit obat muntah."
"Kau, ambil!" perintah Villefort kepada salah seorang pelayannya.
"Sekarang saya harap semua meninggalkan kamar ini."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah saya pun harus pergi-" tanya Valentine agak malu-malu
"Ya, terutama sekali Nona," jawab dokter itu pendek.
Valentine menatap wajah dokter itu dengan agak heran, mencium dahi Noirtier lahi
pergi. Dokter menutup pintu dengan air muka muram setelah Valentine keluar.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Barrois?" tanyanya.
"Sedikit baik, Dokter "
"Bisa kau meminum air dengan eter ini?"
"Akan saya coba, tetapi harap jangan sentuh saya"
"Mengapa?" "Karena rasanya, kalau saya tersentuh, sekalipun dengan ujung jari, serangan
akan datang lagi Minumlah."
Barrois menerima gelas, mendekatkan bibirnya yang keungu-unguan ke bibir gelas
lalu meminum setengah dari isinya.
"Rupanya serangan itu mendadak sekali," kata Dokter.
"Seperti kilat"
"Bagaimana perasaanmu kemarin atau kemarin dahulu?"
"Tidak merasakan apa-apa."
"Apa yang kau makan hari ini?"
"Belum makan apa-apa. Saya hanya minum sedikit saja air jeruk Tuan Noirtier.
Hanya itu." Barrois mengangguk kepada Noirtier yang tanpa bergerak sedikit pun
mengawasi dan mendengarkan seksama dari kursi rodanya.
"Di mana air jeruk itu sekarang?" tanya Dokter dengan cepat.
"Di dapur." "Apa saya ambilkan, Dokter?" tanya Villefort.
"Biar, tinggal saja di sini Saya akan mengambilnya sendiri" Dia berlari keluar
dan turun ke dapur melalui tangga khusus untuk para pelayan. Hampir saja dia
menubruk Nyonya de Villefort yang juga sedang menuju dapur.
Nyonya de Villefort berteriak terkejut, namun dokter tidak mengacuhkannya.
Didorong oleh prasangkanya yang kuat dia melompati tiga empat anak tangga
terakhir, lalu berlari cepat ke dapur. Di sana dia melihat tempat air jeruk di
atas baki. Isinya hanya tinggal seperempat. Dia menyambarnya seperti burung
elang menyambar mangsanya, kemudian berlari kembali ke kamar Noirtier. Napasnya
hampir habis. Nyonya de Villefort menaiki kembali tangga dengan perlahan-lahan ke kamarnya
sendiri. "Betul ini?" tanya Dokter d'Avrigny.
"Benar, Tuan." "Ini pula yang kauminum?"
"Saya kira begitu."
"Bagaimana rasanya?"
"Sedikit pahit"
Dokter menuangkan air jeruk itu sedikit ke telapak tangannya, lalu mencicipinya.
Segera pula ia meludahkan-aya kembali ke dalam tungku api "Sama," katanya.
"Apakah Tuan juga meminum air jeruk ini, Tuan Noirtier?"
"Ya," jawab Noirtier dengan matanya.
"Terasa pahit juga?"
"Ya." "Oh, Dokter!" Barrois berteriak. "Saya terserang kembali!
Ya, Tuhan kasihanilah saya!"
"Tolong lihat apa sudah dapat obat muntah itu," kata dokter kepada de Villefort.
Villefort berlari keluar sambil berteriak, "Obat muntah!
Obat muntah mana?" Tak seorang pun menjawab. Suasana ketakutan dan
kekhawatiran mencekam seluruh rumah.
Barrois terserang lebih hebat dari pertama kali. Karena tidak dapat menolong
meringankan penderitaannya, dokter meninggalkannya dan menghampiri Noirtier.
"Bagaimana dengan Tuan?" katanya dengan suara ditahan. "Baik-baik saja?"
"Ya." "Barroiskah yang membuatkan air jeruk itu?"
"Ya." "Tuankah yang menyuruh dia meminumnya?"
"Bukan." "Tuan de Villefort?"
"Bukan." "Nyonya de Villefort?"
"Bukan." "Valentine?" "Ya." Dokter d Avrigny kembali kepada Barrois dan bertanya,
"Siapa yang membuat air jeruk itu?"
"Saya." "Lalu engkau langsung mengantarkannya kepada Tuan Noirtier?"
"Tidak, karena saya disuruh dahulu melakukan sesuatu yang lain. Karena itu saya
tinggalkan air jeruk itu di lemari makanan."
"Jadi siapa yang mengantarkannya ke mari?"
"Nona Valentine."
Dokter memukul dahinya sendiri sambil berkata, "Ya Tuhan! Ya Tuhan!"
"Dokter!Dokter!" Barrois menjerit-jerit Dia merasakan datangnya serangan yang
ketiga kalinya. "Napas saya! Jantung! Kepala! Apa saya harus lama menderita,
Dokter?" "Saya mengerti," jawab Barrois yang sudah tak berdaya itu. "Ya Tuhan, ampunilah
saya!" Dia jatuh terkulai dibarengi jeritan yang mengerikan seakan-akan disambar
petir. Dokter meraba detak jantung Barrois lalu berkata kepada Villefort, "Tolong
ambilkan sirup bunga."
Villefort pergi dan kembali sesaat kemudian. "Masih pingsan?" tanyanya.
"Dia sudah mati.' Villefort terlompat selangkah ke belakang, memegang kepalanya dengan kedua belah
tangannya, lalu berkata dengan suara sedih, "Begitu cepat?"
"Ya, cepat sekali, bukan?" kata Dokter. "Tetapi itu tak perlu mengagetkan Tuan.
Tuan dan Nyonya de Saint-Meran juga meninggal secara mendadak. Banyak orang yang
mati mendadak dalam rumah ini, Tuan de Villefort'
"Apa!"seru Villefort dengan nada ketakutan dan terkejut.
"Masihkah Tuan dipengaruhi prasangka itu?"
"Tak pernah hilang dari ingatan saya sesaat pun," jawab dokter itu tenang. "Dan
saya akan membuktikan bahwa saya tidak keliru. Dengarkanlah baik-baik, Tuan de
Villefort." Villefort gemetar bagaikan orang yang kena sawan.
"Ada sejenis racun yang sangat mematikan tanpa meninggalkan bekas," kata dokter.
"Saya telah menyelidiki jenis racun itu dan saya kenal benar kepada akibat-
akibatnya. Saya baru saja melihat akibat-akibat itu pada Barrois yang malang,
dan saya juga melihatnya pada Nyonya de Saint-Meran. Ada cara untuk membuktikan
adanya racun tersebut dalam suatu cairan. Cairan beracun itu akan mengubah
kertas lakmus menjadi biru dan mengubah sirup bunga yang ungu menjadi hijau.
Kita tidak mempunyai kertas lakmus di sini, tetapi ada sirup bunga.
Perhatikanlah." Dokter menuangkan air jeruk dengan hati-hati ke dalam cangkir berisi sirup
bunga. Mula-mula warna sirup itu berubah menjadi kebiru-biruan, lalu sedikit
demi sedikit berubah lagi menjadi hijau. Percobaan itu menghilangkan semua
keragu-raguan. "Barrois yang malang diracun dengan brucine," kata Dokter d'Avrigny. "Sekarang
saya telah siap untuk menjawab kebenaran ini baik di hadapan Tuhan maupun di
hadapan manusia." Villefort terhenyak ke atas kursi tanpa berkata sepatah pun, tak berdaya seperti
mayat Barrois. Segera dokter menyadarkannya kembali.
"Oh, kematian berada dalam rumahku!" katanya gemetar.
"Pembunuhan berada dalam rumah Tuan," kata Dokter membetulkan. "Apakah Tuan
mengira racun itu ditujukan kepada pelayan malang itu" Tuan Noirtier telah
meminumnya sebagian bagaikan minum air biasa. Barrois meminumnya karena
kecelakaan. Dan sekalipun Barrois yang menjadi korban, sebenarnya Noirtier yang
diincar." "Tetapi mengapa ayah saya masih tetap hidup?"
"Seperti telah saya katakan di kebun setelah meninggalnya Nyonya de Saint-Meran,
dia sudah kebal terhadap racun itu, sehingga racun dalam jumlah tertentu yang
tidak akan berakibat apa-apa kepadanya, telah mematikan Barrois. Tak seorang
pun, bahkan juga si pembunuh, mengetahui bahwa saya selama ini mengobati
kelumpuhan Tuan Noirtier dengan racun brucine. Mari sekarang kita ikuti jejak-
jejak pembunuh itu. Mula-mula dia membunuh Tuan de Saint-Meran, lalu Nyonya de
Saint-Meran . . . warisan berganda dapat diharapkan dari kematiannya.
Tuan Noirtier telah mencabut hak waris keluarganya, dan bermaksud mewariskan
kekayaannya kepada orang-orang miskin. Dia selamat. Tetapi segera setelah ia
merubah lagi surat wasiatnya, segera itu pula ia menjadi calon korban
berikutnya. Surat wasiat yang baru itu baru dibuat kemarin dulu. Nah, Tuan
lihat, tak ada waktu yang dibuang-buang."
"Oh, maafkan anak saya, Tuan d'Avrigny!" gumam Villefort.
"Ah, Tuan menyebut sendiri nama itu. Tuan ayahnya."
"Kasihanilah Valentine! Dengarkan saya, Dokter, tidak mungkin! Saya lebih suka
menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan dia!"
'Tiada maaf! Kejahatan itu telah jelas sekali dan amat keji Putri Tuan yang
membungkus obat yang dikirimkan kepada Tuan de Saint-Meran, dan dia mati Dia
pula yang menyediakan makanan Nyonya de Saint-Meran, dan dia mati mendadak. Dia
yang mengantarkan tempat air jeruk kepada Tuan Noirtier, dan Tuan Noirtier
selamat karena suatu keajaiban."
"Dengarkan!" Villefort berteriak. "Kasihanilah saya, tolong saya! Tidak, anak
saya tidak bersalah. Saya tidak mau menggusur anak saya ke tiang gantungan
dengan tangan saya sendiri. Pikiran itu saja sudah menyebabkan saya mau merobek-
robek jantung saya sendiri rasanya Bagaimana bila di kemudian hari ternyata Tuan
keliru Bagaimana kalau orang lain yang melakukannya, bukan Valentine" Bagaimana
kalau pada suatu hari nanti saya datang kepada Tuan dan berkata, "Kau membunuh
anakku!" "Baik," kata dokter itu setelah diam sejenak. "Saya akan menunggu."
Villefort menatap wajah dokter itu seakan-akan dia tidak percaya kepada apa yang
didengarnya. "Tetapi," lanjut Dokter dengan suara rendah dan khidmat, "bila ada orang lain
dalam rumah ini jatuh sakit, atau Tuan sendiri yang terkena, jangan memanggil
saya oleh karena saya tidak mau lagi kembali ke rumah ini. Saya bersedia
memegang rahasia Tuan yang mengerikan ini, tetapi saya tidak bersedia membiarkan
rasa malu dan sesal tumbuh dalam jiwa saya seperti tumbuhnya kejahatan dan
kedukaan dalam rumah Tuan ini. Selamat tinggal, Tuan de Villefort."
BAB XLV MALAM telah larut ketika Andrea Cavalcanti kembali ke penginapannya di Hotel des
Princes. Tetapi baru saja ia menginjakkan kaki di halaman hotel itu dia melihat
penjaga hotel berdiri menunggunya dengan topi di tangan.
"Tuan, orang itu tadi ke mari."
"Orang apa?" jawab Andrea acuh tak acuh, seakan-akan ia tidak ingat lagi kepada
orang yang sebenarnya dia kenal betul.
"Orang yang biasa Tuan beri tunjangan."
"Oh, ya," kata Andrea. "Pelayan tua ayahku. Apakah sudah kau beri uang dua ratus
frank yang kutitipkan kepadamu?"
"Dia menolak menerimanya, Tuan."
"Apa?" "Katanya ia ingin berbicara dengan Tuan. Mula-mula ia tidak mau percaya ketika
saya katakan Tuan sedang keluar.
Tetapi akhirnya saya dapat meyakinkan dan ia meninggal kan surat ini untuk Tuan
' "Coba lihat," kata Andrea. Dia menerima surat itu dan membaca kalimat ini:
"Engkau tahu di mana aku tinggal.
Aku mengharapkan kedatanganmu besok jam sembilan
pagi." "Nanti ke kamarku kalau engkau telah selesai mengurus kuda," kata Andrea kepada
saisnya. Dia baru selesai membakar surat dari Caderousse ketika sais itu masuk. "Badanmu
hampir seukuran dengan badanku, Pierre?"
"Ya, saya mendapat kehormatan itu" jawab sais.
"Aku mempunyai janji dengan seorang wanita malam ini, tetapi aku tidak mau dia
mengetahui siapa aku. Coba aku pinjam pakaian mu dan surat-suratmu."
Sais menurut saja. Lima menit kemudian, dengan menyamar sepenuhnya, Andrea
meninggalkan Hotel des Princes tanpa dikenal orang. Dia menyewa sebuah kereta dan meminta diantarkan ke
penginapan Aurberge du Cheval Rouge di Picpus. Keesokan paginya dia meninggalkan penginapan itu
menuju Rue Menilmontant dan berhenti di miika pintu rumah ketiga di sebelah kiri
jalan. "Mencari siapa?" tanya seorang penjual buah-buahan di seberang jalan.
"Tuan Pailletin."
"Pensiuan pembuat roti itu?"
"Benar." "Naiklah ke tangga di sebelah kiri, di ujung halaman itu.
Dia tinggal di lantai empat."
Andrea mengikuti petunjuk itu lalu membunyikan bel pada pintu di lantai empat.
Beberapa saat kemudian wajah Caderousse muncul dari balik pintu. "Engkau datang
tepat sekali," katanya, lalu dia menutup pintu kembali.
Pada waktu memasuki ruangan itu dengan kesal Andrea melemparkan topinya ke atas
sebuah kursi. Lemparannya tidak tepat, topi itu menggelinding di lantai.
"Jangan marah, anak muda," kata Caderousse. "Coba lihat makanan yang akan kita
sarap bersama. Semua kesukaanmu."
Andrea mencium bau bawang putih dan lemak segar. Di ruang berikutnya dia melihat
meja yang sudah ditata untuk dua orang, di atasnya ada dua buah botol anggur,
sewadah besar brendi dan buah-buahan di atas selembar daun kol yang disusun rapi
di atas sebuah piring dari tanah.
"Kalau engkau meminta aku datang untuk sarapan bersama, persetan!" kata Andrea
marah. "Anak muda " kata Caderousse ramah, "baik sekali kita berbicara sambil makan.
Tidakkah engkau senang bertemu dengan kawan lama" Aku sendiri sangat
berbahagia." "Munafik." "Seandainya aku tidak menyukaimu, apa kau kira aku akan tetap mau menjalani
kehidupan buruk yang disebabkan engkau ini" Aku lihat engkau mengenakan pakaian pelayan-mu.
Sebenarnya, aku pun dapat
mempunyai seorang pelayan. Aku pun dapat memiliki kereta seperti milikmu, dan
aku pun dapat makan di rumah makan terhormat seperti yang engkau lakukan. Dan
mengapa aku tidak melakukannya" Karena aku tidak mau menyusahkan kawanku
Benedetto. Tetapi engkau harus mengakui bahwa aku pun dapat memiliki itu semua
apabila aku menghendakinya. Betul?" Sinar mata Caderousse menekankan makna kata-
katanya tadi. "Sementara itu,"
katanya selanjutnya, "silakan duduk dan mari kita makan."
Andrea membuka botol anggur dan selanjutnya malahap hidangan dengan bergairah.
Muda dan sehat seperti dia, nafsu makannya masih mengatasi segala-galanya.
"Enak bukan?" tanya Caderousse.
"Begitu enaknya sehingga aku tidak mengerti mengapa orang yang dapat memasak dan
makan make n an selezat ini masih bisa merasa tidak berbahagia."
"Karena kebahagianku dirusakkan hanya oleh sebuah pikiran saja," jawab
Caderousse. "Maksudmu?" "Pikiran bahwa aku hidup karena pemberian seorang kawan. Aku, yang dahulu selalu
dapat menghidupi diriku sendiri"
"Jangan kaupikirkan tentang itu. Aku mempunyai cukup uang untuk kita berdua."
"Sama saja. Hatiku penuh dengan penyesalan. Tetapi aku mempunyai satu gagasan."
Hati Andrea bergetar. Gagasan Caderousse selalu saja menggetarkan hatinya.
"Sangat memalukan kalau engkau selalu harus
menunggu sampai akhir bulan untuk menerima
tunjanganmu," lanjut Caderousse. "Kalau aku jadi engkau, aku akan minta
tunjangan di muka untuk enam bulan dengan dalih akan membeli sebuah tanah
pertanian. Setelah menerima uang itu lalu kabur."
"Mengapa engkau tidak menuruti nasihatmu sendiri"
Mengapa engkau tidak meminta tunjanganmu untuk enam bulan atau bahkan untuk
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setahun di muka, lalu lari ke Brussel?"
"Bagaimana kau dapat mengharapkan aku dapat hidup dengan seribu dua ratus frank"
Aku mempunyai rencana yang lebih baik. Dapatkah engkau tanpa mengeluarkan sesen
pun dari uangmu sendiri, memberi aku lima belas ribu frank" Oh, nanti dulu,
tidak cukup . . . aku tak akan dapat menjadi orang jujur kalau kurang dari tiga
puluh ribu." "Tidak, aku tidak dapat," jawab Andrea pendek.
"Kukira engkau tidak mengerti. Aku katakan: tanpa mengeluarkan sesen pun dari
uangmu sendiri." "Engkau meminta aku mencuri sehingga aku merusak segala-galanya dan kita berdua
dikembalikan lagi ke dalam penjara?"
"Oh, aku tak peduli apakah kita akan tertangkap atau tidak," jawab Caderousse.
"Memang aku merasa kangen kepada kawan-kawan kita di penjara sana. Hatiku tidak
sekeras hatimu. Engkau tidak pernah mau bertemu kembali dengan mereka!"
Sekali ini, hati Andrea bukan saja bergetar, tetapi wajahnya pun menjadi pucat.
Jangan bertindak bodoh, Caderousse!" katanya berteriak.
"Jangan takut, kawanku Benedetto. Yang harus engkau lakukan hanyalah, mencarikan
jalan untuk aku mendapatkan uang yang tiga puluh ribu itu tanpa melibatkan
engkau dalam bentuk apapun juga."
"Baik, aku akan mencoba. Aku akan membuka mata dan telingaku."
"Sementara itu aku harap engkau menaikkan tunjanganku menjadi lima ratus. Aku
mau menggaji seorang pelayan." "Baik, engkau akan menerima lima ratus frank sekalipun itu sebenarnya berat
untuk aku." "Aku tidak melihat mengapa," kata Caderousse,
"padahal uangmu mengalir dari sumber yang tanpa batas."
Seakan-akan Andrea menantikan pernyataan ini. Seberkas cahaya kebanggaan
bersinar di matanya, lalu
menghilang lagi dengan cepat.
"Benar," katanya, 'Count of Monte Cristo memperlakukan aku dengan baik."
"Dia sangat kaya, bukan?"
"Pasti. Aku sering datang ke rumahnya. Dengan demikian aku dapat melihat dengan
mata kepala sendiri. Beberapa hari yang lalu seorang pegawai bank mengirimkan uang sejumlah lima
puluh ribu frank. Kemarin seorang pejabat bank lainnya mengirimkan seratus ribu
frank dalam emas" "Dan engkau masuk ke dalam rumahnya?" tanya Caderousse ingin tahu.
"Kapan saja aku suka."
Caderousse terdiam sebentar. Jelas sekali bahwa pikirannya sedang berputar-
putar, bekerja. Tiba-tiba dia berkata,
"Aku ingin sekali melihatnya! Pasti menakjubkan!"
"Sangat menakjubkan."
"Bukankah dia tinggal di Avenue des Champs Etysee?"
"Ya, nomor tiga puluh."
"Engkau harus membawa aku ke sana suatu waktu."
"Kau tahu, itu tidak mungkin."
"Ya, kukira engkau benar. Tetapi, coba ceriterakan kepadaku tentang rumah itu.
Besarkah rumah itu?"
"Tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil."
"Bagaimana pembagiannya?"
"Harus kugambarkan agar jelas."
"Ini!" kata Caderousse sambil pergi ke sebuah meja mengambil tinta, pena dan
kertas. Andrea menerima pena itu dengan senyum yang hampir tidak tampak, lalu mulai
mendenah. "Rumah itu berada antara halaman dan sebuah kebun, begini," katanya.
"Bagaimana temboknya" Tinggi?"
"Tidak. Paling tinggi delapan sampai sepuluh kaki."
"Bagaimana keadaan lantai pertamanya?"
"Di lantai pertama ada dua buah ruang duduk, sebuah ruang makan dan sebuah ruang
bilyar." "Bagaimana bentuk jendelanya?"
"Mengesankan sekali . . . sangat besar sehingga orang seperti aku dapat masuk
melalui kotak-kotak kacanya."
"Bagaimana tentang kunci-kuncinya?"
"Jendela itu tidak pernah dikunci. Count of Monte Cristo itu orang yang aneh.
Dia senang sekali melihat langit di malam hari."
"Di mana para pelayan tidur?"
"Mereka tidur di bangunan yang terpisah, di sebelah kananmu kalau engkau
memasuki halaman. Baru kemarin aku mengatakan kepada Count: Tuan kurang hati-
hati. Kalau Tuan pergi ke Auteuil dan membawa semua pelayan, rumah ini kosong
sama^ekali. Pada suatu hari pasti rumah ini dirampok."
"Dan bagaimana jawabannya?"
"Katanya, 'apa peduli saya kalau saya dirampok"'"
"Dia tentu mempunyai sebuah meja bermesin."
"Apa maksudmu?"
"Meja yang dapat menjebak pencuri dan secara otomatis memberikan tanda bahaya.
Aku pernah melihat contohnya dalam sebuah pameran terakhir ini."
"Tidak, dia hanya memiliki sebuah meja biasa."
"Dan belum pernah ada orang mencuri sesuatu dari dalam rumahnya?"
'Tidak, semua pelayannya sangat setia."
"Tentu laci meja itu banyak sekali isinya?"
"Mungkin sekali. Tak seorang pun tahu apa isinya."
"Di mana letaknya meja itu?"
"Di lantai kedua."
"Coba gambarkan keadaan lantai dua itu."
"Baik." Andrea mengambil lagi penanya. "Ini ruang tunggu dan ruang duduk," katanya. "Di
sebelah kiri ruang duduk ada ruang perpustakaan. Di sebelah kanan ruang duduk
ada kamar tidur dan kamar hias. Meja itu berada di kamar hias."
"Apakah kamar hias ini berjendela?"
"Ada dua ... di sini dan di sini. Andrea menggambarkan letak jendela itu pada
denahnya. Caderousse berpikir. "Apakah ia sering pergi ke rumahnya di Auteuil?"
"Dua atau tiga kali seminggu. Besok, umpamanya, dia bermaksud menghabiskan hari
siangnya di sana dan terus bermalam di sana juga."
"Yakin?" "Dia mengundangku makan malam di sana."
"Engkau akan memenuhinya?"
"Mungkin." "Dan kalau engkau datang untuk makan malam, apakah engkau juga akan menginap di
sana?" "Aku mau." Caderousse manatap wajah anak muda itu dengan tajam seakan-akan ia hendak
mengorek kebenaran kata-katanya dari lubuk hatinya. Tetapi Andrea mengambil
kotak cerutu dari kantong bajunya dengan tenang, menyulut sebuah lalu
mengisapnya dengan gaya yang wajar sekali. "Kapan engkau menghendaki uangmu yang
lima ratus frank itu?"
"Sekarang juga, kalau engkau membawanya."
"Aku tak pernah membawa uang lima ratus frank dalam saku"
"Titipkan saja kepada penjaga hotel itu, nanti aku menjemputnya."
"Hari ini?" "Tidak, besok."
"Dan engkau tidak akan mengganggu aku lagi, bukan?"
"Tidak akan. Tetapi dengarlah nasihat yang bersahabat"
"Apa?" "Aku nasihatkan agar engkau meninggalkan cincin intan itu padaku. Bagaimana
mungkin engkau melakukan kesalahan sebodoh ini" Apakah engkau bermaksud supaya kita tertangkap lagi?"
"Apa maksudmu?"
"Kau berpakaian seperti seorang pelayan, tetapi engkau masih juga memakai cincin
intan berharga empat atau lima ribu frank!"
"Penaksiran yang cermat sekali. Seharusnya engkau menjadi seorang juru lelang."
"Aku tahu sedikit-sedikit tentang intan. Pernah aku memilikinya sebuah."
Tanpa menjadi marah karena pemerasan yang baru ini, Andrea dengan patuh
menyerahkan cincin itu. Sebenarnya Caderousse khawatir dia akan marah sekali.
"Ada lagi yang kauinginkan?" tanyanya. "Perlu jaket ini"
Bagaimana dengan topiku" Jangan malu-malu memin-
tanya." "Baik, aku tak akan menahanmu lebih lama lagi dan aku akan mencoba mengobati
sendiri kerakusanku. Tunggu sebentar, aku antarkan sampai di pintu."
"Tak perlu ." "Harus." "Mengapa?" "Karena ada suatu rahasia kecil pada pintu itu, suatu kewaspadaan yang kurasa
perlu dijalankan. Kunci buatan Huret and Fichet itu dirombak dan diperbaiki oleh
Gaspard Caderousse. Aku akan membuatkan mu sebuah kalau
engkau nanti sudah menjadi seorang kapitalis."
"Terima kasih," kata Andrea. "Aku akan memberitahu seminggu sebelumnya."
Mereka berpisah. Caderousse tetap berdiri sampai dia melihat Andrea menuruni
ketiga buah tangga dan berjalan melintasi pekarangan. Segera dia kembali ke
kamarnya. Dengan hati-hati ia mengunci pintunya dan mulailah dia mempelajari denah yang
ditinggalkan Andrea dengan seksama.
BAB XLVI SEHARI setelah pembicaraan Andrea dan Caderousse, Count of Monte Cristo pergi ke
rumahnya di Auteuil membawa Ali dan beberapa orang pelayannya. Ketika berada di
sana Bertuccio datang dari Normandia membawa berita tentang rumah yang hendak
dibeli Monte Cristo di sana. Rumah itu telah beres, dan kapal kecil dengan
diawaki enam orang sudah berlabuh di sebuah teluk kecil dekat rumah itu, siap
untuk mengarungi lautan setiap saat.
Monte Cristo memuji ketrampilan Bertuccio dan memberitahukan agar siap untuk
berangkat setiap waktu karena keperluannya di Pcrancts sudah akan berakhir dalam
sebulan lagi. Pada saat itulah Baptis tin membuka pintu.
Dia membawa sebuah baki, di atasnya sepucuk surat.
"Mengapa engkau ke mari?" tanya Monte Cristo kepada Baptistin yang pakaiannya
penuh berdebu. "Apakah aku memanggilmu?"
Tanpa menjawab Baptistin menghampirinya dan menyerahkan surat itu. 'Penting dan
sangat mendesak," katanya.
Monte Cristo membuka surat itu:
"Count of Monte Cristo dengan ini diberitahu bahwa ada orang yang akan
membongkar rumahnya di Paris dengan maksud mencuri berbagai surat berharga yang
disangkanya berada dalam laci meja di kamar ruasnya Count of Monte Cristo cukup
mampu untuk tidak meminta perlindungan polisi. Laporan kepada polisi dapat
menimbulkan terdapatnya petunjuk siapa penulis surat ini.
Terlalu banyaknya orang di rumah itu atau penjagaan yang terlalu menyolok dapat
menyebabkan si pencuri menangguhkan niatnya, dan pada gilirannya akan
menyebabkan Count of Monte Cristo kehilangan kesempatan menemukan orang yang
menjadi musuhnya, sebuah kesempatan baik yang kebetulan diketahui oleh penulis
ini dan peringatan yang tidak mungkin diulangi lagi penulis apabila si pencuri
gagal dalam usaha pertamanya kemudian mencoba lagi pada kesempatan lain."
Yang pertama timbul pada Monte Cristo setelah
membaca surat ini, adalah sangkaan bahwa surat itu hanya merupakan suatu
muslihat dari seorang pencuri belaka untuk memindahkan perhatiannya kepada suatu
bahaya kecil dari bahaya lain yang jauh lebih besar. Oleh sebab itu, hampir saja
dia menyuruh menyerahkan surat itu kepada polisi, sekalipun disarankan untuk
tidak melakukannya oleh si penulis surat itu. Tetapi tiba-tiba timbul pikiran
lain. Mungkin sekali pencuri itu betul-betul seorang musuh pribadinya, seorang musuh
yang hanya dia sendiri yang dapat mengenalinya dan hanya dia sendiri yang dapat
memanfaatkannya, kalau perlu.
"Dia bukan hendak mencuri surat-surat berharga," katanya kepada dirinya sendiri,
"dia mau membunuh aku. Aku tidak ingin polisi sibuk terlibat dalam urusan
pribadiku. Aku cukup kaya untuk membebaskan mereka dari biaya-biaya yang harus
dikeluarkan untuk urusan ini."
Dia memanggil Baptistin yang telah keluar lagi setelah menyerahkan surat tadi.
"Cepat kembali ke Paris dan bawa semua pelayan ke mari " katanya "Aku memerlukan
semuanya di sini." Baptistin membungkuk.
"Apakah perintahku jelas" Engkau harus membawa semua pelayan ke mari, tetapi aku
menghendaki supaya rumah itu ditinggalkan dalam keadaan seperti sekarang.
Kunci jendela-jendela di lantai satu, hanya itu."
"Bagaimana dengan jendela-jendela di lantai dua, Tuan?"
"Engkau tahu aku tidak pernah menguncinya. Pergi sekarang."
Pada sore harinya dia makan dengan kesederhanaan dan ketenangan seperti biasa.
Setelah memberi isarat kepada Ali untuk mengikutinya dia menyelinap ke luar
melalui pintu samping. Menjelang malam ia sudah berada di rumahnya di Paris. Dia
berdiri di bawah sebuah pohon meneliti sepanjang jalan dengan seksama, mencari
kalau-kalau ada orang yang bersembunyi di sekitar itu. Setelah yakin bahwa tidak
ada orang yang akan menyergapnya, dia berlari ke pintu Samping diikuti Ali.
membuka kuncinya lalu naik masuk ke kamar tidurnya tanpa menyingkap kan tirai-
tirai jendela atau. berbuat sesuatu yang bisa menjadi petunjuk kembalinya dia ke
rumah itu. Ketika sampai di kamar tidurnya, Monte Cristo memberi tanda kepada Ali untuk
berhenti. Dia masuk ke kamar pakaiannya, lalu memeriksanya dengan seksama.
Segala sesuatu masih tetap pada tempatnya. Dia melepaskan pegangan palang pintu,
lalu kembali ke kamar tidurnya.
Selagi Monte Cristo melakukan pekerjaan itu Ali telah menyiapkan senjata-senjata
yang diminta majikannya. Sebuah karaben pendek dan sepasang pistol berlaras
ganda. Dengan senjata-senjata itu Monte Cristo dapat mempertahankan jiwa lima orang.
Ketika itu setengah sepuluh malam. Dengan cepat
Monte Cristo dan Ali memakan sepotong roti disusul dengan segelas anggur
Spanyol. Monte Cristo menggeserkan sebuah papan pada dinding. Dengan
bergesernya papan itu tampak sebuah lubang yang
membuatnya dapat melihat ke ruangan lain. Pistol dan karabennya berada di dekat
jangkauannya. Ali berdiri di sebelahnya dengan memegang sebuah kapak Arab. Monte
Cristo dapat melihat ke jalan melalui salah satu jendela kamar tidurnya.
Dua jam telah berlalu. Malam gelap gelita. Tetapi Ali berkat pembawaannya, dan
Monte Cristo berkat latihannya yang sempurna dapat menembus kegelapan itu bahkan
dapat melihat gerakan sekecil apa pun di pekarangan.
Monte Cristo yakin bahwa pencuri itu akan mengincar nyawanya, bukan uangnya.
Oleh sebab itu pencuri itu akan masuk ke dalam kamar tidurnya, mungkin melalui
tangga atau mungkin juga melalui salah sebuah jendela di kamar hiasnya. Dia
memerintahkan Ali menjaga tangga dan ia sendiri mengawasi kamar pakaiannya.
Lonceng di Les Invalides berbunyi. Jam dua belas kurang seperempat. Ketika
dentang terakhir hampir menghilang Monte Cristo mendengar suara goresan berasal
dari kamar pakaiannya. Suara ini menghilang sementara, lalu diikuti oleh suara
kedua dan ketiga. Pada keempat kalinya Monte Cristo tahu suara apa itu. Sebuah
tangan yang terlatih sedang berusaha memecahkan kaca jendela dengan sebutir
intan. Monte Cristo mendengar suara jantungnya sendiri berdetak semakin cepat.
Betapapun terbiasanya seseorang dengan sesuatu bahaya, namun dari denyut
jantungnya dan ber-getarnya daging dia selalu menyadari betapa besarnya
perbedaan antara khayalan dan kenyataan, antara bencana dan pelaksanaannya.
Monte Cristo memberi isarat kepada Ali, yang juga mengetahui bahwa bahaya datang
dari arah kamar majikannya. Ia datang menghampiri- Monte Cristo ingin sekali
segera mengetahui siapa sebenarnya musuhnya dan berapa orang banyaknya. Jendela
yang kacanya sedang dipecahkan terletak tepat sekati di hadapan lubang dinding
tempat ia melihat ke kamar pakaiannya. Dia mengarahkan matanya ke jendela itu
dan dia melihat sesosok bayangan di luar kaca. Kaca itu tiba-tiba menjadi gelap,
seakan-akan sehelai kertas gelap direkatkan kepadanya. Tak berapa lama kemudian,
kaca itu pecah tanpa jatuh ke lantai. Sebuah tangan masuk dari lubang itu
melepaskan selot jendela.
Sesosok tubuh itu masuk- la hanya seorang diri.
Pada saat itu Monte Cristo merasakan Ali menyentuh bahunya. Dia melihat kepada
Ali. Ali menunjuk ke jendela kamar tidur yang menghadap ke jalan. Monte Cristo
sadar akan ketajaman firasat pelayannya. Dia berjalan menuju jendela itu dan
melihat seorang laki-laki di luar seperti sedang mengawasi apa yang sedang dan
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan terjadi di rumah itu.
"Seorang bertindak dan seorang lagi menjaga," pikir Monte Cristo. Dia memberi
isarat kepaaa Ali untuk mengawasi orang yang di jalan, sedang dia sendiri
kembali mengawasi pencuri yang sudah berada di kamar
pakaiannya. Orang itu berdiri di kamar itu, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Dia melihat
bahwa ada dua pintu dalam ruangan itu. la tidak mengetahui bahwa pegangan palang
pintu yang menuju ke kamar tidur sudah dilepaskan oleh Monte Cristo. Ia merasa
aman, tidak akan terganggu.
Monte Cristo mendengar suara gemerincing serangkaian kunci seperti yang biasa
dimiliki oleh tukang-tukang kunci untuk menolong membukakan pintu-pintu yang
hilang kuncinya- Para pencuri memberi julukan "burung bulbul"
kepada rangkaian kunci semacam itu, pasti karena
kepuasannya mendengar suara yang terdengar sedap di telinga ketika terbukanya
pintu karena kunci itu. "Ah!" pikir Monte Cristo dengan senyum kecewa.
"Hanya seorang pencuri."
Oleh karena tidak dapat menemukan kunci yang pas
dalam kegelapan, pencuri itu mengambil sebuah benda yang diletakkan di atas meja
ketika dia tadi masuk. lalu salah satu menekan pernya dan tiba-tiba secercah
cahaya menerangi tangan dan wajahnya.
"Hah!" Monte Cristo terperanjat dan mundur selangkah.
"Dia adalah..."
Ali mengangkat kapaknya. "Jangan bergerak!" perintah Monte Cristo berbisik. "Dan letakkan kapak itu, kita
tidak akan memerlukan senjata."
Lalu Monte Cristo menambahkan perintah-perintah lainnya dengan suara yang lebih
ditekan karena keterkejutannya tadi, yang barangkali juga telah mengejutkan pula
orang di dalam kamar pakaian itu.
Dengan berjingkat-jingkat Ali pergi sebentar dan kembali lagi sambil membawa
pakaian hitam dan topi bersegi tiga-Sementara itu Monte Cristo telah
menanggalkan jas, rompi dan kemejanya. Di bawah kemejanya ia memakai sebuah baju
besi. Yang terakhir dari jenis baju ini dipakai di Perancis oleh Raja Louis XVI
yang takut terhadap ancaman pedang, tetapi wafat karena kapak. Segera pula baju
besi ini hilang tertutup oleh sebuah jubah panjang bersamaan dengan hilangnya
rambut Monte Cristo di bawah sebuah wig. Topi bersegi tiga itu menutupi rambut
palsunya, melengkapi penyamaran Monte Cristo menjadi seorang padri.
Pencuri yang sudah tidak mendengar lagi suara-suara yang mencurigakan
melanjutkan pekerjaannya.
"Baik," kata Monte Cristo yang rupanya mempunyai juga pengetahuan tentang
beberapa rahasia perk ncian yang tidak diketahui oleh pencuri terpandai pun,
"engkau akan sibuk sementara ini." Dia berjalan ke arah jendela.
Orang yang di jalan sekarang sedang berjalan hilir mudik. Anehnya, orang itu
bukannya mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang, melainkan memusatkan
perhatiannya kepada apa yang sedang terjadi di rumah Monte Cristo. Maksud dia
berjalan-jalan hanya untuk melihat ke dalam kamar pakaian. Tiba-tiba Monte
Cristo memukul dahinya lalu tertawa agak ditahan. Dia kembali kepada Ali dan
berkata,. "Engkau tinggal di sini dan bersembunyi dalam gelap. Apapun yang
engkau dengar atau apapun yang terjadi, engkau jangan keluar kecuali kalau aku
memanggil namamu." Ali memberi isarat bahwa ia mengerti dan akan me-
matuhi perintah itu. Monte Cristo mengambil sebuah lilin dari lemari dan menyalakannya. Selagi si
pencuri sibuk dengan ikhtiarnya membuka laci, dengan hati-hati sekali Monte
Cristo membuka pintu dan mengusahakan sedemikian rupa sehingga wajahnya jelas
diterangi cahaya lilin. Pintu terbuka dengan perlahan sekali. Pencuri itu tidak
mendengar apa-apa, hanya saja dia terkejut sekali menyadari bahwa ruangan tiba-
tiba menjadi terang. Dia berbalik.
"Selamat malam, Tuan Caderousse," kata Monte Cristo.
"Apa yang sedang Tuan kerjakan di sini pada malam selarut ini?"
'Padri Busoni!" Caderousse berteriak semakin terkejut.
Dia tidak mengerti bagaimana "hantu" ini dapat masuk padahal ia merasa telah
dengan cermat sekali menutup pintu- Rangkaian kunci terjatuh dari tangannya dan
ia berdiri terbengong-bengong.
Monte Cristo berjalan beberapa langkah lagi lalu berhenti antara Caderousse dan
jendela. Dengan demikian dia menghalangi satu-satunya jalan lari si pencuri.
"Padri Busoni!" katanya mengulang, masih dengan nada dan pandangan heran.
"Betul, saya Padri Busoni. Dan saya merasa gembira karena Tuan masih mengenal
saya. Tuan Caderousse. Ini membuktikan bahwa ingatan Tuan kuat sekali, karena,
kecuali kalau saya keliru, sudah sepuluh tahun lewat sejak kita berjumpa . . .
Dan sekarang Tuan sedang merampok rumah Count of Monte Cristo."
"Padri Busoni," katanya lagi dengan suara dikulum. Dia mencoba mendekati jendela
yang dikawal Monte Cristo.
"Saya tidak . . . harap Bapak sudi mempercayai saya . . .
saya bersumpah . . ."
"Jendela kaca yang pecah, lentera, serangkai "burung bulbul," sebuah laci meja
yang hampir terbongkar . . . .
semua itu telah jelas."
Caderousse melihat ke sekeliling mencari tempat bersembunyi atau lubang untuk
meloloskan diri. "Saya lihat Tuan tidak berubah: Tuan Caderousse si Pembunuh," lanjut Monte
Cristo. "Oleh karena rupanya Bapak mengetahui segala-galanya, tentu Bapak mengetahui
juga bahwa itu kesalahan istri saya, bukan salah saya. Pengadilan mengakui
kebenaran ini, ternyata dari hukuman yang dijatuhkan hanya berupa kerja paksa."
"Apakah Tuan sudah selesai menjalani hukuman itu?"
"Tidak, Bapak, saya dibebaskan oleh seorang yang tidak saya kenal."
"Orang itu telah berbuat amal yang baik sekali bagi masyarakat."
"Begini Bapak, saya berjanji . . ."
"Kalau begitu Tuan adalah pelarian narapidana!" Monte Cristo menyela.
"Saya kira begitu," jawab Caderousse bimbang.
"Dalam hal demikian, kejahatan kecil ini mungkin sekali akan membawa Tuan ke
tiang gantungan." "Bapak, saya terpaksa . . ."
''Semua penjahat mengatakan demikian."
"Kemiskinan . . ."
"Sudah!" kata Busoni tajam. "Kemiskinan dapat menyebabkan seseorang meminta-
minta atau mencuri sepotong roti, tetapi tidak menyebabkan dia membongkar sebuah laci meja tulis
dalam sebuah rumah yang dia sangka tidak berpenghuni. Dan ketika engkau membunuh
jauhari yang datang untuk membayar harga intan yang aku berikan kepadamu, apakah
itu juga karena kemiskinan?"
"Maafkan saya, Bapak," kata Caderousse meminta.
"Bapak pernah sekali menyelamatkan jiwa saya, tolonglah untuk kedua kalinya."
"Kejadian yang dahulu tidak akan mempengaruhi saya sekarang."
"Apakah Bapak seorang diri, atau ada polisi bersama Bapak untuk menangkap saya?"
"Sendiri," kata padri, "dan aku mau memaafkanmu, sekalipun kelemahanku ini dapat
menimbulkan keburukan lainnya, kalau engkau bersedia mengatakan segala sesuatu
dengan sebenarnya." "Oh, Bapak Busoni!" teriak Caderousse gembira sekali sambil maju selangkah.
"Bapak memang penyelamat saya!"
"Engkau mengatakan bahwa ada seseorang yang membebaskan engkau dari penjara?"
"Benar, saya berani bersumpah!"
"Siapa?" "Seorang Inggris."
"Namanya?" "Lord Wilmore."
"Aku kenal kepadanya, jadi aku akan dapat membuktikan kebenaran kata katamu
ini." "Saya tidak berbohong, Bapak Busoni!"
"Jadi orang Inggris itu pelindungmu, betul?"
"Bukan, beliau pelindung orang Corsica, kawan seperan-tauan."
"Siapa nama orang Corsica itu?"
"Benedetto." "Nama keluarganya?"
"Dia tidak pernah mempunyai nama keluarga ... Ia seorang anak pungut."
"Dan dia pun kabur bersamamu?"
"Betul. Kami bekerja di Saint-Mandrier dekat Toulon.
Pada suatu hari kami mengikir rantai kami dengan kikir yang diberikan oleh orang
Inggris itu, dan kami kabur."
"Bagaimana kejadiannya dengan Benedetto?"
"Saya tidak tahu, kami berpisah di Hyeres."
"Engkau bohong!" kata padri dengan nada suara yang sukar dibantah. "Orang itu
masih menjadi kawanmu dan engkau mungkin akan menggunakannya sebagai kaki
tanganmu." "Oh, Bapak Busoni!"
"Apa penghasilanmu setelah meninggalkan Toulon"
Jawab!" "Dari melakukan pekerjaan lama."
"Bohong!" kata padri sekali lagi dengan nada yang lebih keras. Caderousse
memandangnya dengan takut. "Engkau hidup dari uang yang diberikan oleh
Benedetto." "Betul begitu." jawab Caderousse. "Benedetto telah menjadi anak seorang
bangsawan kaya." "Bagaimana mungkin dia menjadi anak seorang bangsawan, kaya?"
"Bukan anak yang sah."
"Siapa nama bangsawan yang kaya itu?"
"Count of Monte Cristo yang tinggal di rumah ini."
"Benedetto menjadi anak Count of Monte Cristo?" tanya Monte Cristo terheran
heran "Begitulah kira-kira, karena Count of Monte Cristo telah menemukan seorang ayah
palsu baginya, yang memberinya lima ribu frank setiap bulan dan bermaksud
mewariskan setengah juta frank."
"Ah, aku paham sekarang," kata padri palsu itu yang sudah mulai mengerti jalan
pikiran Caderousse. "Nama apa yang dipergunakan anak muda itu sekarang?"
"Andrea Cavalcanti."
"Kalau begitu, dialah orangnya yang diterima kawanku Monte Cristo di rumahnya
dan yang akan mengawini Nona Danglars?"
"Tepat sekali."
"Dan engkau membiarkannya, kau penjahat busuk!
Engkau yang mengetahui riwayat hidupnya dan
kebusukannya" "Mengapa saya harus menghalangi kebahagian kawan sendiri?"
"Betul juga. Engkau bukanlah orangnya yang akan memberitahu Tuan Danglars.
Aku...," "Jangan, Bapak Busoni!"
"Mengapa?" "Karena Bapak akan menghilangkan sumber hidup kami."
"Apakah engkau mengira, karena hendak menolong sepasang penjahat mencari
kehidupannya aku akan mau menjadi sekutunya" Tidak, aku akan mengatakan semuanya
kepada Tuan Danglars."
"Engkau tidak akan bisa mengatakannya kepada siapa pun juga, Padri!" Caderousse
berteriak sambil menghunus pisaunya lalu menghujamkannya ke tengah-tengah dada
Monte Cristo. Dia sangat heran karena pisau itu bukan tertancap pada dada padri
melainkan mental kembali dan patah ujungnya. Pada saat yang bersamaan Monte
Cristo menangkap tangan penyerangnya lalu memilinnya dengan kuat sekali sehingga
pisau itu terjatuh. Caderousse menjerit kesakitan.
Monte Cristo tidak melemahkan pilinannya karena jeritan ini. Bahkan ia
memperkerasnya sehingga Caderousse terduduk pada lututnya dan akhirnya
tertelungkup dengan wajahnya di lantai. Monte Cristo menginjakkan kakinya pada
kepala Caderousse, lalu berkata, "Aku tidak tahu, apa yang mencegahku
menghancurkan tengkorakmu, pembunuh!"
"Kasihanilah saya! Kasihanilah saya!"
Count of Monte Cristo mengangkat lagi kakinya. "Berdiri!" katanya.
Caderousse berdiri. "Ya Tuhan, kuat benar Bapak ini!" kata Caderousse sambil memegang-megang
tangannya yang masih sakit.
"Oh Tuhan kuat sekail!"
"Diam! Tuhan memberikan kekuatan kepadaku untuk
menindas binatang-binatang jalang seperti engkau. Aku bertindak atas nama Tuhan,
ingatkan itu, kau bedebah. Dan atas kehendak Tuhan juga aku melepaskanmu
sekarang. Pegang pena itu" dan tuliskan apa yang aku katakan."
"Saya tidak pandai menulis." kata Caderousse.
"Bohong! Pegang pena itu dan tulis!'
Caderousse tidak dapat membantah. Dia duduk lalu
menulis: "Tuan Danglars, laki-laki yang Tuan terima di rumah Tuan dan yang Tuan
rencanakan untuk diambil sebagai menantu adalah seorang penjahat yang lari dari
penjara Toulon bersama saya. Dia mengaku bernama Benedetto, tetapi dia sendiri
sebetulnya tidak mengetahui siapa namanya yang sebenarnya, dan tidak pernah
mengenal siapa orang tuanya."
"Tandatangani!" perintah Monte Cristo. Caderousse menandatanganinya.
"Sekarang beri alamat: Kepada Baron Danglars, Rue de la Chaussee-d' Antin."
Caderousse menulis alamat itu. Monte Cristo mengambil kertas itu dari tangan
Caderousse, lalu berkata, "Sekarang kau boleh pergi."
"Apakah Bapak merencanakan sesuatu terhadap saya?"
"Gila engkau! Rencana apa?"
"Tolong tegaskan, Bapak tidak menghendaki kematian saya."
"Aku menginginkan apa yang dikehendaki Tuhan,"
jawab Monte Cristo. "Kalau engkau dapat selamat sampai ke rumah, segera
tinggalkan Paris, tinggalkan Perancis dan di mana pun engkau berada, selama
engkau berkelakuan baik aku akan mengatur supaya engkau dapat menerima pensiun
sekadarnya setiap bulan, karena kalau engkau selamat sampai di rumah berarti . .
"Berarti apa?" tanya Caderousse bergidik.
"Berarti aku akan percaya bahwa Tuhan mengampunimu dan aku pun akan
memaafkanmu." "Bapak memperingatkan saya akan kematian!" kata Caderousse takut.
"Ayo pergi!" kata Monte Cristo menunjuk jendela.
Caderousse yang tidak dapat diyakinkan sepenuhnya oleh janji Count of Monte
Cristo menaiki jendela lalu menuruni tangga. Monte Cristo mendekatinya sambil
membawa lain. Siapa pun juga yang mengawasinya di jalan akan dapat melihat
dengan jelas Caderousse sedang menuruni tangga dan diantar orang lain dengan
membawa lilin "Apa maksud Bapak?" tanya Caderousse cemas. "Bagaimana kalau ada patroli lewat?"
Monte Cristo meniup lilin. Caderousse tidak dapat bernapas lega sebelum kakinya
menginjak tanah. Monte Cristo kembali ke kamar tidurnya. Dari sana ia melihat Caderousse
melintasi pekarangan lalu memasang tangga di tembok. Dia lihat orang yang di
jalan itu bersembunyi di sudut dinding dekat dengan tempat Caderousse akan
menaikinya. Tepat ketika kakinya menginjak tanah di seberang
dinding Caderousse melihat sebuah tangan memegang pisau. Sebelum dia sempat
mempertahankan diri tangan itu telah menikam punggungnya, kemudian pinggangnya.
Ketika dia terjatuh, penyerangnya menjambak rambutnya dan menikamnya lagi untuk
ketiga kalinya. Sekarang di dadanya. Setelah melihat korbannya tidak berkutik
lagi dan matanya menutup, si penikam meninggalkannya dengan perkiraan korbannya
sudah mati. Dengan susah payah Caderousse bangkit bertelakan
kepada sikutnya. Dia berteriak lemah sekali, "Tolong! Padri Busoni! Saya mati!"
Teriakan yang mengharukan ini menembus kesunyian.
Pintu pekarangan rumah terbuka dan Ali bersama
majikannya muncul sambil memegang lentera.
"Ada apa?" tanya Monte Cristo
"Tolong! Saya ditikam."
"Tabahkan hatimu!"
"Ah, terlambat! Bapak datang hanya tepat untuk menyaksikan kematian saya!"
Ali dan Monte Cristo mengangkat orang terluka itu ke dalam rumah Monte Cristo
memeriksa ketiga luka tikam dengan cermat. Ali memandang kepada majikannya
seakan-akan hendak bertanya apa yang harus dilakukan.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pergi ke rumah Tuan Jaksa de Villefort dan bawa beliau ke mari. Dan katakan
kepada penjaga supaya dia
memanggil dokter." "Dokter tak akan dapat menyelamatkan jiwa saya, tetapi barangkali dia dapat
memberi saya sedikit kekuatan sehingga saya mempunyai waktu untuk membuat sebuah
pernyataan." "Tentang apa?" "Tentang orang yang menikam saya"
"Kau tahu siapa dia?"
"Saya tahu! Benedetto."
"Kawanmu orang Corsica itu?"
"Benar. Dialah yang memberikan denah rumah ini.
Mungkin sekali dia mengharapkan saya dapat membunuh Count of Monte Cristo.
Dengan demikian dia dapat
menerima warisannya dengan cepat- Mungkin juga dia mengharapkan Count of Monte
Cristo dapat membunuh saya, sehingga dia terbebas dari saya. Ketika dia melihat
bahwa tidak satu pun dari harapannya terjadi, dia menikam saya."
"Tuan Jaksa akan segera datang."
"Beliau akan terlambat. Saya terlalu banyak kehilangan darah."
'Tunggu " kata Monte Cristo. Dia pergi sebentar, lalu kembali lagi membawa
sebuah botol. Dikucurkannya tiga empat tetes dari isinya ke antara bibir
Seribu Keping Emas Untuk 1 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Perantauan Ke Tanah India 3