Untuk Orang Pemberani 2
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock Bagian 2
nanti saya cari uangnya. Eddie tidak usah tahu tentang semua ini, bukan?"
"Tentu tidak usah sampai beliau tahu, Mrs. Holland. Anda hanya harus membayar
hutang itu - lain tidak. Dan suami Anda tidak perlu mengetahui hal ini sama
sekali." " Bukannya karena saya malu atau semacamnya!" teriak Fran. "Saya belum
kehilangan keberuntungan saya, kok! "
"Tentu saja, Mrs. Holland."
"Anda tidak bisa melakukan itu pada saya, Mr. Cooney - "
Topi itu kembali ditancapkan ke rambut yang mengkilap dan berminyak. "Saya
benar-benar harus pergi, Mrs. Holland. Anda tahu dimana Anda bisa bertemu saya.
Di Vito's. Bila Anda datang jam berapapun sebelum jam enam, maka kita bisa
melupakan semuanya."
"Tapi saya sudah mengatakannya pada Anda!" Fran mengacak-acak kembali rambutnya
yang sudah tersisir rapi. "Saya tidak memiliki uang sebanyak itu! Saya tidak
bisa mendapatkan uang sebanyak itu! Tidak ada cara apapun - "
"Anda tahu pegadaian?"
"Saya sudah - " Fran berhenti dan jari-jarinya menutupi mulut. Kalau saja Eddie
tahu! "Sampai jumpa, Mrs. Holland."
Lelaki itu keluardan menutup pintu pelan-pelan.
Fran mendengar langkah kaki lelaki itu di lorong yang semakin sayup dan kemudian
menghilang, dan dia memikirkan Eddie. Fran memandang ke meja dapur seakan dapat
melihat suaminya duduk di seberangnya, terlihat sedih dan bingung seperti yang
sudah pernah dilihat Fran berkali-kali sebelumnya, menggeleng-gelengkan kepala
dan berkata, "Mengapa kau lakukan itu, Fran" Untuk apa?"
Bagaimana mungkin dia menghadapi adegan itu lagi" Setelah semua janji-janji,
adegan saling tuduh yang penuh airmata, dan kata-kata maaf" Saat pertama itu
terjadi semua tidaklah begitu buruk; mereka masih berbulan madu, dan apapun yang
dilakukan mempelai Eddie selalu menyenangkan, lucu dan menarik - bahkan bertaruh
untuk pacuan kuda dengan uang belanja. Mereka mentertawakan hal itu lalu
menyelesaikannya - sebelum perdebatan berlangsung terlalu jauh - dengan cara-
cara lembut dan penuh kasih seperti yang biasa dilakukan pasangan pengantin
baru. Tapi peristiwa itu terulang untuk yang kedua kali, kemudian ketiga, dan di
setiap kejadian itu, Eddie terlihat semakin sedih dan heran, dan keheranan itu meningkat sampai
berubah jadi kemarahan. Kemudian ada kejadian buruk bulan Oktober kemarin,
ketika Eddie mengetahui lingkaran putih di jari manis Fran itu tadinya tempat
cincin pertunangan... Fran merinding mengingatnya. Tidak ada pengampunan dari Eddie saat itu. Fran
telah bersumpah kebiasaannya itu sudah hilang; dia juga berusaha sebisanya untuk
meyakinkan Eddie bahwa dia telah belajar dari pengalaman.
Tetapi tetap saja Eddie tidak mau memaafkannya; dia telah memperingatkan Fran
dengan halus. "Kalau sampai terjadi sekali lagi, Fran... Ya Tuhan... kalau sampai terjadi
sekali lagi... Aku akan keluar dari sini..."
Dia beranjak dari kursi dapur dan lari ke kamar. Dibukanya laci lemari dengan
kasar, melempar pakaian-pakaian dan kardus-kardus dari swalayan yang berisi
kancing, jepitan topi, dan kain-kain perca. Semua tas tangannya digerayangi,
jemarinya meraba ke semua kantung demi mencari recehan yang tertinggal.
Fran meraba dua pasang saku-saku setelan milik suaminya yang tergantung di
lemari, berharap bisa mendengar suara gemerincing uang receh. Dibukanya kotak
perhiasan dari plastik yang diberikan Ed Natal kemarin, dan kaget karena di
dalamnya hampir tidak ada apa- apa lagi yang berharga kecuali pernak-pernik
berharga murah yang didapatnya di toko obralan.
Bahkan ketika Fran "terbang" ke ruang tamu dia merasa sudah pernah melakukan
semua hal yang baru dilakukannya.
Di bawah bantal sofa Fran menemukan koin sepuluh sen dan satu sen yang sudah
meng-hitam. Di dalam vas bunga porselen di rak buku ditemukannya selembar uang
satu dollar yang terlipat.
Dibawanya semua harta karun yang ditemukan ke meja dapur dan mulai menghitung.
"Dua dollar tujuh puluh delapan sen," bisiknya.
Fran menopang dagu dengan kedua tangan.
"Ya Tuhan! ya Tuhan," katanya.
Dua puluh lima dollar tidaklah banyak, pikirnya. Tapi dimana dia bisa
mendapatkan uang sebesar itu" Dia tidak punya teman lagi kecuali Lila.
Keluarganya tinggal berpuluh-puluh kilo jauhnya dari sini. Dimana dia bisa
mendapatkannya sebelum jam enam" Dia melirik pergelangan tangannya, tetapi jam
yang dulu berada disana sekarang sedang berdetik di sebuah toko loak di jalan
Broadway. Dia memandang sekilas ke jam listrik di meja dapur dan kaget demi
melihat jam yang menunjukkan pukul sebelas tigapuluh.
Kurang dari tujuh jam! Dua puluh lima dollar! Dan Cooney menyebutnya bisnis
recehan. Lalu gagasan itu muncul di kepala Fran.
Gagasan itu terlahir dari kenangan sedih, gambaran yang tidak menyenangkan di
sudut jalan berangin dua minggu lalu. Fran baru saja pulang setelah seharian
berbelanja dan ada gaun yang agak terlalu mahal dalam kotak garis-garis cantik
dalam dekapannya. Dia sudah lama berdiri di sudut itu, dengan kaki sakit, sambil
berdoa moga-moga Bis Nomer Lima tidak penuh. Kemudian Fran membuka tas
tangannya, tas tangan yang ini, yang diletakkannya di atas meja, mencari
recehan... Fran beranjak secepat kilat sampai kursi yang didudukinya bergeser dan menggesek
lantai linoleum dibawahnya dengan keras. Dia berlari ke kamar dan berdandan
sedikit. Diambilnya sepasang sepatu beludru dan mengeluarkan benda serupa sutra yang di-
sebutnya "selendang sore" dari laci. Efek yang dilihatnya di cermin tidak begitu
menggembirakannya, dan Fran segera mengganti pakaiannya.
Ketika semuanya selesai, Fran terlihat seperti gadis yang biasa dipamerkan Eddie
di pesta-pesta. Kemudian dia melangkah keluar.
Empat blok dari bangunan apartemen Fran terdapat halte bis terdekat. Halte bis
yang bagus, dengan bis Nomer Lima, Nomer Lima Belas dan Nomer Dua Puluh Tiga
saling menyeruduk satu sama lain di pinggir jalan saat jam-jam sibuk. Bis Nomer
Lima baru saja pergi terseok-seok, setengah terisi di siang hari. Tapi masih
banyak orang yang berdiri disana, menunggu angkutan ke tempat yang hanya Tuhan
yang tahu. Sebagian besar adalah orang-orang tua.
Orang tua tidak terlalu bagus untuk rencana yang akan dijalankannya. Tetapi Fran
melangkah dengan pasti ke arah tiang penyangga berbentuk panah dan terlihat
seperti seorang perempuan dengan maksud tertentu. Dari sudut matanya, Fran
memilih calon korban pertama. Dia tahu, yang pertama adalah yang paling sulit,
jadi dia harus berhati-hati dalam memilih. Bapak itu tidak terlalu tua, mungkin
beberapa tahun di atas lima puluh.
Matanya menggembung dan bahunya naik, seakan matahari bulan Juni, anehnya,
membuat dia kedinginan. Kedua tangannya berada dalam saku, dan uang receh di
dalamnya bergemerincing. Dia berjalan ke arah si bapak itu dari samping, mengintai jalanan kalau-kalau
ada bis yang mendekat. Si bapak melihat Fran dengan acuh.
Lalu Fran melihat bis Nomer Lima Belas di kejauhan. Dia membuka tas tangan dan
mengaduk-aduk isinya. "Ya Tuhan!" sahutnya keras.
Si bapak menatap Fran dengan mata melebar.
Fran memandang tanpa daya ke arah si bapak, dan ekspresi setengah panik dan
setengah bergurau terpadu di wajah Fran dengan sangat baik.
"Bagus sekali!" kata Fran. "Aku tidak punya sesenpun! "
Si bapak tersenyum samar, tidak tahu harus berbuat apa. Dan tangannya berhenti
mempermainkan recehan. "Apa yang harus kulakukan" Aku harus pergi ke kota - "
"Saya - hmm" Si bapak itu berdehem.
"Begini, bisakah saya - ehmm - "
"Bisakah Anda" Bisakah Anda meminjamkan saya lima belas sen" Saya merasa bodoh - "
Bapak itu tersenyum lebar; ini akan menjadi bahan obrolan buatnya nanti. Fran
juga tidak merasa segan; karena dialah yang beramal untuk si bapak sebenamya.
Tangannya meraih saku dan keluar dengan segenggam koin perak. Diambilnya koin
lima dan sepuluh sen dan kemudian mengangsurkannya ke Fran.
"Tidak usah dipikirkan," ujarnya. Bis itu berhenti di depan mereka. "Kau bisa
mengembalikannya lewat pos," katanya lagi. "Hahaha! Well, ini bisnya - "
"Bukan bisku," jawab Fran sambil tersenyum. "Aku menunggu bis Nomer Lima. Terima
kasih banyak." "Kembali!" sahutnya riang dan mulai berjalan menaiki bis.
Semoga harimu cerah, Pak, pikirnya.
Seorang lelaki muda yang baru turun dari bis sedang melipat koran di depannya.
"Maaf - " "Hah?" Orang itu menengadahkan wajahnya, matanya yang pucat bertanya-tanya.
"Saya merasa bodoh sekali, tapi - " Fran mengedip-ngedipkan bulu matanya dengan
cantik. Lelaki itu masih sangat muda, dan dia tersipu. "Saya meninggalkan rumah
tanpa membawa uang sesenpun. Dan saya harus naik bis berikutnya ke kota - "
"Ya ampun," sahutnya, menyeringai malu. "Saya tahu bagaimana perasaan Anda.
Sebentar - " Dia meraba-raba saku jaketnya.
"Hanya ada dua puluh lima sen - "
"Oh, tapi - " "Tidak, tidak, ambillah semuanya. Aku juga sering begitu." Dia kembali menatap
wajah Fran lebih lama, dan baru menyadari ternyata Fran terlihat lebih tua
daripada senyumnya. Lelaki itu mengangguk dan melanjutkan perjalanannya.
"Permisi," katanya pada seorang perempuan tua yang sedang memicingkan matanya ke
arah jalan. "Saya merasa tidak enak sekali meminta bantuan Anda , tapi saya baru
sadar - " "O yah?" kata si perempuan tua itu.
Fran tersenyum getir. "Tidak," katanya dengan muka masam.
Seorang lelaki perlente berkacamata, mengepit buku di salah satu lengannya,
berjalan perlahan menuju halte. Matanya berkedip ketika Fran berjalan
mendekatinya "Permisi," kata Fran.
Sejam kemudian, Fran merasa tumit kanannya membengkak. Aneh sekali, bagaimana
mungkin hal ini dapat mengakibatkan sakit yang begini hebat pada kakinya.
Padahal untuk berjalan bermil-mil ke seluruh toko-toko pakaian dia bisa...
Lalu Fran memikirkan uang recehan yang ada di tas tangannya dan cepat-cepat
menyeberang jalan. Ada apotik di sudut jalan, dan Fran segera menghampiri salah
satu bilik telepon dan segera menutup pintu lipatnya rapat-rapat.
Dia menghitung recehannya dengan cermat.
Jumlah semuanya tiga dollar lima belas sen. Ditambah uang yang dia miliki,
semuanya jadi lima dollar sembilan puluh tiga sen. Fran mendesah. Pekerjaannya
masih panjang... Seorang lelaki berdiri di luar ketika Fran membuka pintu bilik telepon.
"Permisi," sahutnya otomatis. "Saya merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah
tanpa membawa uang sesenpun, dan saya harus pergi ke - saya harus menelpon."
Lelaki itu tersenyum lemah. "Begitukah?" sahutnya. Lalu dia menyadari Fran
mengharapkan sesuatu darinya, dan dia segera mengaduk-aduk sakunya. "Oh, yah,
tentu, aku punya sepuluh sen."
"Terima kasih," sahut Fran. "Terima kasih banyak."
Fran kembali menutup pintu bilik dan memencet nomer tanpa memasukkan uang. Dia
bicara dengan cepat dan riang pada pesawat telpon yang mati itu untuk sesaat,
lalu meletakkan corong telpon kembali ke tempatnya setelah dia mengucapkan salam
perpisahan yang menyenangkan, lalu tersenyum penuh kemenangan pada lelaki yang
menyusul masuk segera setelah Fran keluar.
Kemudian Fran kembali ke halte bis.
Pukul tiga sore, dan Fran hampir mengumpulkan sepuluh dollar lagi. Pukul lewat
lima belas, Fran kembali ke bilik telepon untuk kembali menghitung.
"Empat dollar sembilan sen," ujarnya keras.
Jarinya mengorek-ngorek kotak pengembalian koin di bagian bawah pesawat, dan dia
mendapatkan koin sepuluh sen.
"Ini memang hari keberuntunganku!" Dan Fran tertawa senang.
Pukul empat sore Fran mulai kehilangan semangat. Kumpulan orang yang menunggu
bis di halte mulai memadat, tetapi meningkatnya lalu-lintas tidak membantunya
mengumpulkan receh-receh yang diperlukan.
Pukul setengah lima Fran masih harus berusaha keras memenuhi target dua puluh
lima dollar. "Permisi..." Fran menyapa seorang lelaki gemuk dengan raut wajah kosong. "Saya
merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah tanpa menyadari bahwa saya tidak
membawa uang sepeserpun. Bisakah Anda membantu saya - "
"Pergi," sahut lelaki gemuk itu kasar.
"Anda tidak mengerti," kata Fran. "Saya hanya meminta Anda untuk - "
"Nyonya, tolong, pergilah," sahut si lelaki gemuk.
Itu penolakan pertamanya. Fran tahu, dia lebih baik tidak membantah lelaki itu.
Tapi tiba-tiba dia merasa bebal.
"Begini," kata Fran dengan suara meninggi.
"Hanya lima belas sen. Maksud saya, itu 'kan cuma ongkos bis - "
Dia merasa lengannya dicengkeram dan Fran berputar marah.
"Maafkan saya, Nyonya - " Dia menatap dengan pandangan terhina ke arah lelaki yang
jemarinya bersandar dengan kukuh di lengan Fran. Usianya masih awal tigapuluhan,
dan pakaian yang dikenakannya berpotongan mewah. Si lelaki gemuk bergegas dari
hadapan mereka, dan hal itu membuat Fran lebih marah.
"Apa yang Anda inginkan?"
Lelaki itu tersenyum. Giginya panjang-panjang dan matanya tidak memancarkan
senyum yang terpampang di wajahnya.
"Saya rasa Anda harus ikut dengan saya, Nyonya."
"Apa?" "Tolong. Lakukanlah demi kita berdua dan jangan membuat situasi yang membuat
orang curiga. Bagaimana?"
"Saya tidak mengerti maksud Anda!"
"Begini, Nyonya. Aku telah mengamatimu setengah jam terakhir ini. Kau mengerti
maksudku, bukan" Sekarang mari ikut baik-baik denganku sebelum aku berubah
pikiran." Perut Fran yang kosong mulai bergolak.
"Mengapa saya harus ikut Anda" Anda pikir Anda ini siapa?"
"Kalau kau ingin melihat lencana, aku bisa melambaikannya untukmu. Tapi kita
sudah cukup membuat banyak orang menatap kesini. Jadi, bagaimana menurutmu?"
Fran menelan ludah dengan susah payah. "Baiklah."
Mereka berjalan menjauhi halte bis, dengan tangan si lelaki masih berada di
lengan Fran sambil tersenyum layaknya teman lama yang kebetulan bertemu. Dia
tidak mengatakan apapun sampai mereka tiba di sebuah mobil sedan abu-abu yang
diparkir seratus meter dari halte.
Dia membuka pintu mobil untuk Fran. "Silahkan masuk."
"Begini, Tuan, kalau boleh, saya bisa menjelaskan apa yang terjadi - "
"Kau akan mendapatkan kesempatan itu nanti. Silahkan naik."
Fran menurut. Lelaki itu menuju ke sisi yang lain dan menyelinap masuk di
sebelah Fran. Mereka segera meninggalkan tempat itu dan berputar ke kiri di sudut jalan.
"Anda tidak mengerti," ujar Fran memelas. "Saya tidak melakukan kesalahan
apapun. Saya tidak mencuri atau semacamnya. Saya hanya meminta, Anda mengerti
kan" " "Kau memang dalam masalah, itu benar."
Dengan mulus mereka menerabas lampu merah yang telah berganti hijau dan kembali
berbelok ke kiri. Fran menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Tapi sumurnya
telah kering; tidak ada airmata menetes disana.
"Percuma saja kau melakukannya," ujar si lelaki. "Aku telah banyak melihat
perempuan-perempuan sepertimu, Nyonya. Tapi harus kuakui - gayamu tadi belum
pernah kulihat sebelumnya. Kau pikir berapa banyak uang yang berhasil kau
kumpulkan?" "Tapi saya tidak memerlukan uang banyak.
Hanya beberapa dollar! Saya harus punya dua puluh lima dollar sebelum jam enam
nanti. Harus!" "Berapa banyak yang kau dapat?"
"Tidak banyak. Saya mengatakan yang sejujumya. Hanya beberapa dollar! Anda tidak
akan menahan saya hanya karena beberapa dollar, bukan?"
"Berapa banyak, Nyonya?"
Fran membuka tas tangannya dan memandang sekumpulan uang receh di dalamnya.
"Saya tidak tahu persis berapa," jawabnya lemah. "Mungkin lima belas atau enam
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belas dollar. Tapi semua ini belum cukup..."
Mobil mereka meluncur di jalur lambat, jauh dari jalan utama yang sibuk, menuju
daerah pergudangan dekat sungai.
"Please!" teriak Fran. "Jangan laporkan saya! Saya tidak akan melakukannya lagi!
Saya putus asa demi mendapatkan uang itu - "
"Seberapa banyak lagi yang kau perlukan, Manis?"
"Apa?" "Untuk menggenapi dua puluh lima dollar?"
Fran kembali membuka tasnya. "Saya tidak tahu persisnya. Mungkin sepuluh dollar.
Mungkin kurang dari itu."
"Hanya itu?" Dia menyeringai.
Kakinya menekan pedal gas kuat-kuat, seakan-akan dia ingin segera sampai di
tujuan. Lelaki itu menikung tajam di tiap belokan, ban mobilnya meneriakkan protes, dan
Fran menjadi waspada karenanya.
"Hey!" Fran memandang keluar jendela dan dilihatnya kawasan sepi yang aneh itu.
"Apa ini" Anda ini polisi atau bukan?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Fran menatap leiaki itu. "Kau bukan polisi!
Kau bahkan tidak akan menangkapku sama sekali - " Fran menepi ke pintu dengan satu
tangan memegang gagang pintu.
"Jangan bertindak bodoh; kau hanya akan melukai dirimu sendiri. Lagipula, Manis,
aku masih bisa menghadapkanmu ke polisi. Aku masih bisa mengadukan penipuan yang
kau lakukan itu - " "Mereka tidak akan mempercayaimu!"
"Mungkin saja. Tapi kenapa harus susah-susah?" Dia melepaskan tangan kanan dari
kemudi dan menggapai Fran kemudian merangkulnya.
"Hati-hati!" teriak Fran dengan tajam.
"Kau tidak bertindak cerdas, sayang. Kau harus mendapatkan uang dua puluh lima
dollar sebelum jam enam. Sekarang sudah hampir jam lima. Kau kira darimana kau
akan mendapatkan sisanya?"
"Keluarkan aku dari sini!"
"Mungkin aku bisa membantumu, Manis."
Dia menarik Fran mendekat, matanya masih menatap lurus ke jalan, dengan seringai
yang makin lebar di wajahnya. "Jika kau memper-bolehkan aku - "
"Tidak," sahut Fran. "Tidak!"
Dia melambat di belokan berikutnya, dan Fran melihat kesempatannya datang.
Tangannya membuka gagang pintu, dan pintu itu segera terbuka. Si lelaki
menyumpah-nyumpah dan menarik tangan Fran.
"Tinggalkan aku sendiri!" Fran berteriak, kemudian melayangkan tas tangannya
yang diberati recehan ke kepala si lelaki. Dengan suara buk pelan, tas itu
mengenai pelipisnya. Lelaki itu berteriak marah, dan tangannya yang luput mencengkeram lengan Fran
malah merobek lengan bajunya. Tangannya yang kiri, tanpa sadar, melepas setir,
dan mengakibatkan mobilnya melesat bagai kuda liar, melemparkan Fran kejalan.
Fran jatuh dengan lutut lebih dulu, terisak tapi tidak terluka, dan menatap
tanpa rasa ngeri atau sesal ketika mobil itu menabrak trotoar kemudian
menabrakkan kap depannya ke tembok gudang yang terbuat dari batu bata merah.
Pikiran pertama yang ada di benak Fran adalah lari, karena tidak ada siapapun
yang melihat kejadian itu. Lalu dia ingat tas tangannya yang masih ada di dalam.
Fran kemudian memaksakan diri untuk mendekati mobil yang sudah penyok itu untuk
mencari tasnya. Pintunya masih terbuka, dan tasnya berada di sebelah lelaki yang sedang pingsan
itu. Fran tidak tahu apakah orang itu sudah mati atau masih hidup, dan hal itu
bukanlah hal yang penting baginya. Lelaki itu membungkuk, tertahan oleh setir
mobil di bawah tubuhnya dengan tangan menggantung tak berdaya di sisi badannya.
Fran terperanjat, tapi dia tetap meraih tasnya.
Kemudian Fran mendapat gagasan untuk mencari dompet si lelaki itu. Tangannya
men-jelajah mantap tanpa ragu, dan tidak ada kegugupan dalam caranya bergerak.
Dia menemukan lembaran-lembaran uang dalam saku di dalam jas yang dikenakan si
lelaki. Berlembar-lembar uang, tetapi - dengan rasa keadilan yang aneh - Fran hanya
mengambil sepuluh dollar.
Fran mencapai pemangkas rambut Vito sepuluh menit sebelum pukul enam. Vito baru
akan menyeringai , tetapi raut wajahnya langsung berubah ketika dia melihat Fran
masuk dengan wajah kusut dan pakaian kotor.
"Cooney, ya" Dia ada di belakang. Hey, Phill! Ada perempuan mencarimu!"
Cooney menatap Fran penasaran ketika dia masuk keluar dari ruang belakang.
Lengan kemejanya tergulung dan kelihatannya dia sedang main poker. Wajahnya
berubah cerah ketika dilihatnya Fran meraih tasnya dan tertawa ketika Fran
mengeluarkan tangannya yang penuh recehan.
"Apa yang Anda lakukan, Mrs. Holland" Merampok celengan anak-anak?"
"Hitunglah," ujar Fran pelan. "Hitunglah, Mr. Cooney."
Mereka menumpahkan isi tas ke atas meja manicure. Vito membantunya. Setelah
selesai, Cooney menengadah.
"Tiga puluh dollar empat puluh enam sen, Mrs. Holland," ujarnya, tersenyum puas.
"Akhirnya Anda bisa melunasinya dengan uang recehan sekalipun. Saya menyesal
karena harus menetapkan peraturan ini pada Anda seperti yang telah saya lakukan
tadi pagi. Tapi Anda sudah membuktikan, Anda bisa melakukannya."
Fran menaiki tangga menuju apartemennya dengan langkah perlahan. Di lantai tiga,
sebuah pintu terbuka, dan seorang perempuan pirang, dengan rambut penuh alat
pengeriting, melongok keluar.
"Fran! Ya Tuhan, kemana saja kau?"
"Belanja," sahut Fran letih.
"Kau berantakan sekali. Dapat barang bagus?"
"Tidak. Tidak ada yang bagus, Lila."
"Well, aku punya berita bagus untukmu, nak. Kau tidak perlu memasak malam ini.
Datanglah ke tempatku dan kita akan makan bersama kalau kau enggan memasak
sendiri - " "Maksudmu?" "Susah sekali mencarimu, kiddo." Perempuan pirang itu tertawa. "Ed pasti
menelpon sembilan kali siang ini. Dan akhirnya dia menelponku, dikiranya kita
sedang kumpul disini, mabuk atau semacamnya."
"Ed?" Fran menatap perempuan itu, matanya mengerjap.
"Ya. Dia menelpon dari kantor. Dia ingin memberitahu kalau dia tidak pulang
sampai besok. Ada urusan penting dan mendadak dengan seorang klien, atau apalah.
Katanya, dia harus pergi ke Chicago dengan penerbangan pukul lima sore ini."
"Tidak pulang?" Fran memandang dengan bodoh.
"Hey, santai saja. Kau dengar kataku. Dia pergi ke Chicago. Kau bisa santai
malam ini, sayang." Fran mendesah dan mulai melangkah pergi. "Terimakasih, Lila."
"Santai saja," jawab perempuan pirang itu sambil mengangkat bahu. "Hey, yakin
kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
Diatas, Fran memutar kunci, membuka pintu depan dan masuk ke dalam. Piring-
piring bekas sarapan di bak cuci piring terlihat suram dalam cahaya matahari
yang mulai memudar. Dia melempar tasnya ke atas meja, dan melepas sepatunya dengan kasar.
Di ruang tamu, Fran menghempaskan diri ke sofa dan menyalakan sebatang rokok.
Dia duduk kelelahan, menatap cahaya muram di luar, menghisap rokoknya dalam
diam. Dia membetulkan selendang sore dari bahunya, seakan-akan udara menjadi dingin
dalam ruangan itu. "Chicago," sahut Fran dengan getir.
Dan nama itu punya arti tertentu. Pasti punya arti. Fran segera berdiri. Itulah
rahasia dari semua ini, pikimya. Nama itu harusnya memiliki arti tertentu.
Fran bergegas menuju telepon dan memutar nomer yang dihafalnya luar kepala.
"Halo, apa Mr. Cooney ada?"
Kakinya yang terbalut stoking mengetuk-ngetuk lantai linoleum tidak sabar.
"Halo, Mr. Cooney" Dengar, ini Fran Holland. Pada pacuan keempat besok. Saya
bertaruh lima dollar untuk Chicago Flyer. Benar, pada pacuan keempat..." []
GADIS EMAS Ellis Peters "Shakespeare," ujar manajer keuangan kapal itu dengan muram, saat dia menghadap
gelas bir keduanya seusai pertunjukan teater, "tentu saja semuanya menampilkan
Shakespare tahun ini".
Aktor-aktor itu juga memainkan peranannya dengan cukup menggigit. Kalimat
'hartaku dan putriku' dan semacamnya - ada seorang aktor yang memainkan peranan
itu dengan lebih bagus. Aku ingat, aku pernah menontonnya. The Jew of Malta
judulnya, dan Marlowe yang menulisnya 'Oh emas, Oh gadis! Oh, kecantikan ! Oh,
kebahagiaanku ! ' Menonton The Merchant malam ini membuatku teringat kembali. Juga mengingatkanku
akan sebuah kasus nyata yang kualami - hanya saja dia bukan putrinya. Bukan,
bukan seperti itu. "Saat itu aku masih seorang awak kapal junior, atasanku si tua McLean, di perahu
Aurea, oh, sepuluh tahun yang lalu, hal itu terjadi. Kadang aku masih
memimpikannya, tapi jarang sekali sekarang ini. Perahuku sedang berlayar dari
Liverpool ke Bombay, pelayaran ketiga bagiku, dan pasangan itu naik, dalam
keramaian, tepat sebelum perahu mulai berlayar. Di kerumunan orang yang begitu
banyak, kau pasti bisa melihat mereka. Gadis itu. Dia amat sangat cantik, benar-
benar cantik, dengan rambut warna jagung keemasan, mata sayu, dan satu lagi, dia
sedang hamil, dan itu membuat orang-orang tersentuh. Kau tahu, 'kan, dengan baju
longgar dan sepasang lengan ramping yang terjuntai di samping tubuhnya yang
berat. Dan caranya berjalan, hati-hati dan canggung, berusaha agar tidak jatuh.
Perlahan dia menuju geladak bawah, berpegang erat pada susuran tangga. Kau bisa
rasakan semua lelaki disana berusaha menahan diri untuk tidak lari dan
membantunya. "Mereka memesan perjalanan ke Bombay, mungkin mengenai pekerjaan sebagai pe-
nasihat handal disana. Suaminya, lebih tua dari si gadis, mungkin empatpuluhan
sementara si gadis baru dua puluh dua, tapi ada sesuatu yang menarik dari diri
si suami ini. Perempuan-perempuan di perahu saling berbisik-bisik tentang si
suami, padahal perahu baru berlayar kurang dari satu jam. Lelaki itu gagah,
dengan wajah tampan, kulit gelap, pendiam, dengan raut wajah cerdas, berputar-
putar di sekeliling istrinya, dengan perhatian yang membuat semua istri-istri
yang berada di perahu berwajah hijau karena cemburu. Bandot insyaf, kata mereka.
Don Juan yang telah menetapkan satu gadis pilihan. Godalah dan jauhkan diri dari
istrinya! Banyak diantara perempuan-perempuan itu yang memang mencoba
mendekatinya sebelum perahu berlabuh di Bombay.
Tapi tidak, sepanjang perjalanan itu, tidak ada perempuan lain selain istrinya.
Dia selalu menempel pada istrinya dengan wajah khawatir, tiap hari, selama tujuh
belas hari. "Dua hari kemudian kami mengadakan latihan sekoci di perahu. Kami memang selalu
melakukannya, walaupun biasanya kurang dari setengah penumpang yang muncul,
apalagi pada pelayaran tahun itu, ketika laut bertingkah seperti yang biasa
terjadi di laut. Aku adalah awak yang menangani sekoci mereka, dan aku bergegas
ke kabin mereka ketika sirine pertama berbunyi. Suaminya tidak ada. Dia pergi
mengambil beberapa buku perpustakaan untuk istrinya. Menyenangkan sekali
membantunya memakai jaket penyelamat. Seperti perempuan pada umumnya, dia tidak
tahu sama sekali bagaimana mengenakannya, dengan atau tanpa pedoman.
"Dia tidak terlihat begitu tambun di bawah baju longgarnya. Hanya sedikit lebih
besar dari ukuran normal, menurutku. Dan caranya mengucapkan terimakasih padaku,
membuatku rela lompat ke laut untuknya. Ya, dia baik-baik saja, ya, dia akan
pergi ke dek dan melaporkan semuanya sebagaimana mestinya, seperti orang-orang
yang lain. Dan dia memang melakukannya. Bagai anak-anak yang sedang bermain,
orang yang paling ceria diantara orang-orang sekelilingnya. Tiba-tiba si suami
datang bergegas ke arahnya, dengan liar menculiknya dari kerumunan orang-orang
di sekitar dan menjaganya sendiri. Tidak ada seorangpun yang tidak iri dengan
haknya itu. "Seperti itu, sepanjang perjalanan, selama tujuh belas hari. Ketika diadakan
pemutaran film, mereka saling berpegangan tangan di sudut yang sepi. Menurut si
istri, mereka merasa belum lama menikah, dan menurut si suami dia belum sembuh
benar dari keterkejutan yang membahagiakan dengan menikahi istrinya itu, dan dia
seperti tidak percaya akan keberuntungan yang menimpanya.
"Kami menurunkan kira-kira setengah penumpang di Karachi, dan terus melaju
menuju Bombay, sepi dan perlahan-lahan seperti biasanya. Dan malam itu, sekitar
tengah malam, kebakaran terjadi.
"Waktu itu sedang berlangsung pesta dansa, dan kami biasa menampilkan sesuatu
yang menggembirakan untuk melengkapi pesta perpisahan itu. Jadi kami tidak tahu
bagaimana awal mulanya. Yang kutahu, tiba-tiba terdengar suara sirine dari bawah
dek, tapi di dalam bar-bar di atas, sirine itu tidak terdengar sama sekali, dan
musik tetap mengalun, dan di geladak atas masih banyak orang di kolam renang
bahkan ketika situasi di bawah sudah mendekati kepanikan. Komunikasi tidak dapat
dilakukan karena seluruh sistem pengeras suara rusak. Dan sebelum kau selesai
mengucapkan kata 'pisau', asap sudah menyebar kemana-mana. Dalam sepuluh menit,
semuanya jadi kacau. Tidak ada seorangpun yang bisa mendengar suaranya sendiri,
bahkan jika dia berteriak sekuat-kuatnya sekalipun. Dan jika orang sudah merasa
ketakutan, suara yang keluar juga tidak terlalu keras.
"Bukan panik, sebenarnya. Harusnya bisa lebih baik kalau saja ada cara
memberitahu mereka bagaimana menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya tidak
semua seperti itu, hanya sebagian kelompok kecil saja. Lagipula jumlah awak
perahu tidak mencukupi untuk berkeliling dan mengawasi para penumpang.
Kadang rasa bingung dan kekacauan menyebabkan hal yang sama seperti panik.
Beberapa diantara mereka, orang-orang atletis yang berusaha berbuat sesuatu,
melakukan hal-hal yang salah karena tidak ada panduan bagi mereka. Dan yang lain
berjalan mondar-mandir, menghalang-haiangi kelompok mereka dan kami. Apa yang
bisa kau lakukan" Puji Tuhan, untung saja keadaan laut saat itu tenang sekali.
Dua-tiga perahu menerima panggilan kami dan bergerak menyelamatkan para
penumpang dan awak perahu.
"Dan terjadilah semuanya. Api menyebar seolah marah, dan si istri juga ada di
dek diantara kerumunan penumpang yang lain.
Kami mendorong orang-orang untuk naik ke geladak atas dan meminta mereka
mengenakan jaket penyelamat, lalu mulai menurunkan sekoci. Hiruk-pikuk itu
adalah sesuatu yang akan kuingat seumur hidupku. Tidak ada yang menjerit, tapi
semua orang saling berteriak.
"Aku tertatih-tatih berusaha mencapai Dek B dalam kepulan asap, membuka pintu
kabin, menyisir apakah ada penumpang yang masih berada di dalam kabin, dengan
salah satu penumpang perempuan bersandar di tangan kananku dan seorang awak
perahu dari Goa juga menggandeng dua orang penumpang yang lain. Aku mendorong
pintu 56, dan disanalah si gadis emas kami, menempel pada suaminya, dan sepasang
mata bak danau berwarna abu-abu besar dan membelalak itu terbius oleh teror.
Mereka berdua sedang berusaha memasangkan jaket penyelamat ke tubuh si istri
dengan canggung. Jaket si suami sendiri tergeletak di bawah. Aku menggeram
keras, menyegerakan memakaikan jaket itu ke istrinya, dengan cepat, dan segera
merangkulnya dengan tangan kiriku setelah dia terlindung jaket. Dia bekerja
keras menjejakkan kakinya selangkah demi selangkah menaiki tangga geladak di
belakangku, terengah-engah, dan caranya berjalan sangat sukar dan menyakitkan
seperti seorang nenek tua. Aku bahkan sedikit terluka, di dalam, karena aku
harus memaksanya berjalan cepat-cepat, tapi, Ya Ampun, kami memang harus buru-
buru. Aurea berderak di bawah kami, menggigil di laut yang tenang dan damai.
Perahu itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
"Well, akhirnya aku bisa menuntun mereka ke sekoci, ke hiruk-pikuk yang ada di
dek atas. Disana sudah ada perahu pengangkut minyak ke arah timur yang sudah
menunggu, dengan sekoci-sekoci terapung menunggu kami dan lampu-lampu besar
berseliweran di air yang kelam. Kemudian dek di bawah kaki kami bergerak miring
dan mulai berdiri tegak, membuat kami tergelincir menuju pagar di pinggir
perahu. Para penumpang perempuan menjerit histeris dan menggapai apapun yang
terpegang. Kukira kami juga akan jatuh , sebagaimana orang-orang lain, tapi si
gadis emas itu segera membetulkan posisi tubuhnya kembali. Sekoci kami
tergelincir ke buritan, dan macet, dan aku tahu sekoci itu tidak akan bisa
dipergunakan. Beberapa penumpang lainnya sudah selamat sampai ke perahu tanker,
berdiri tegak di geladak dan menunggu untuk dapat menyelamatkan barang-barang
sebisanya ketika kami sedang tenggelam. Sekoci lainnya bergerak mendekat dari
perahu tanker itu. Salah satunya sudah dekat ke kapal dan berteriak-teriak ke arah kami. Aku
berteriak balik ke arah mereka, dan mereka bergerak semakin mendekat. Aku
memeluk erat-erat si gadis emas. Dua nyawa - kau tidak tahu bagaimana rasanya.
"Suaminya memekik marah, memegangnya erat dengan ketakutan yang sangat, menjerit
kasar dengan bahasa yang bahkan tidak bisa dimengerti dalam kondisi hiruk pikuk
yang biasanya. Tidak ada waktu untuk meyakinkan siapapun tentang apapun. Aku
merengkuhkan tanganku untuk menggapai dagu si suami dan menariknya ke atas, dan
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pegangannya ke si istri terlepas. Aku merengkuhnya dan melemparnya melewati
pagar, dan meletakkannya dengan lembut dan hati-hati ke tempat yang kutahu
adalah tempat teraman saat itu, ke laut yang hanya beberapa meter jaraknya dari
sekoci yang sedang mendekat. Petugas yang kupanggil-panggil sudah condong ke
laut dan bersiap-siap menangkapnya.
"Dan setelah itu dua hal yang kerap kuimpikan sampai sekarang, terjadilah.
Suaminya menjerit keras bagai suara pekikan jiwa yang terkutuk, suara yang tidak pernah
kulupakan. Dia berusaha sekuat tenaga mencapai pagar sambil terus berteriak. Dan
si gadis, si gadis emas itu - Ya Tuhan, begitu dia menyentuh air, tubuhnya
langsung tenggelam seperti batu!
"Wajahnya menengadah ke arahku, tanpa suara, menatapku dengan pandangan tersesat
dan takut, sedetik sebelum laut menelannya.
Dia menghilang dan tidak muncul-muncul lagi.
"Semenit penuh aku berusaha meraihnya. Bayangkan! Lalu aku menyelam mencarinya,
terus ke dalam dan semakin dalam, memburunya, terus, terus, terus, sampai aku
harus ditarik ke sekoci dengan paksa. Aku tidak menemukannya. Tapi sekilas,
kurasa, aku melihat suaminya, jauh di bawah sana, sama nekatnya sepertiku.
Sepertinya aku ingat seraut wajah dengan rambut mencuat ke berbagai arah, mata
yang kalut, dan mulutyang meraung tanpa suara. Nama si gadis" Mungkin akan jauh
lebih baik kalau saja semuanya hanya terjadi dalam khayalanku. Lebih baik
melupakannya. Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya.
"Saat itu yang tersisa dari si suami tidak ada sama sekali, hanya jaket
penyelamatnya yang terobang-ambing tanpa tujuan , saat dia merobek dan
melemparkannya demi menyelamatkan si istri. Seharusnya kami tidak usah
menemukannya , kalau saja pusaran air Austeria tidak mengaduk-aduk isi laut dan
menghempaskannya kembali ke pinggir pantai.
Sekoci perahu tanker itu masih berputar-putar berkeliling, dan salah satu
diantaranya secara kebetulan menemukan tubuh si gadis, sesaat sebelum kembali
tenggelam. Tapi kami tidak pernah menemukan suaminya.
"Tubuhnya ditemukan, dan kami juga menemukan apa yang terdapat padanya, yang
membuat Interpol terlibat dalam cerita ini."
"Tentu saja dia bukan istrinya. Dia adalah model yang biasa berpose untuk
fotografer dan aktris kacangan yang dikenalnya di sebuah klub. Dia juga tidak
hamil. Hanya saja, perasaan si lelaki itu padanya - dan aku berani bersumpah -
itu tulus. Dia belum pernah menyewa gadis itu sebelumnya. Semua muatannya yang
berharga telah diselundupkan lewat udara, dengan alat transportasi lainnya, dan
yang terakhir ini adalah hal mudah, perjalanan menyenangkan dengan hadiah yang
cantik menunggu di tempat tujuan. Bisnis yang sangat menguntungkan. Kurasa
mereka tidak akan kembali.
"Semua barang yang dia bawa dalam korset di bawah baju hamil longgarnya itu,
ketika latihan perahu telah selesai, disembunyikan dalam jaket penyelamat yang
dikenakan si gadis. Apa mereka pikir itu adalah tempat yang amat sangat aman"
Well, begini, kuberitahu kau. Tidak ada yang bakal percaya mereka menggunakan
jaket penyelamat itu untuk tujuan sesungguhnya - tidak ada seorangpun.
Itu bukan tempat yang paling aman. Dan dia bisa membuat dirinya nyaman sampai
dia harus mengumpulkan semua bebannya itu di Bombay dan membawanya dengan sabar
ke darat melalui Pabean. Hanya saja mereka lupa menukarnya kembali malam
sebelumnya, sehingga mereka tidak siap menghadapi kebakaran.
"Tentu saja si suami bisa mengenakan jaket itu ke tubuhnya sendiri dan
menyerahkan jaketnya untuk si gadis. Mungkin dia akan melakukannya, kalau saja
aku tidak menyeretnya memakai jaket itu dan memaksa tangannya. Atau mungkin saja
dia tidak akan melakukannya. Gadis itu memang seorang profesional yang melakukan
pekerjaannya untuk si suami. Begitu si gadis sampai di sekoci maka dia akan
selamat. Dan apapun yang terjadi sesudahnya, itu adalah karena si gadis, dengan
kecantikannya yang melenakan dan keadaannya yang membuat trenyuh, yang pasti
akan mendapatkan perawatan V.I.P, dan kesempatan besar mendapatkan hadiah
mereka, dan membawanya ke India dengan aman.
"Aku masih bertanya-tanya , apa sesungguhnya yang membuat si lelaki itu menyelam
mencarinya, si gadis, atau lima belas kilogram batangan-batangan gemuk emas
murni yang menenggelamkan si gadis." []
BOCAH PERAMAL GEMPA Margaret St. Clair "Kamu ini memang skeptis," ujar Wellman. Dia menuang air dari teko kristal,
menaruh sebutir pil di lidahnya, dan menelannya dengan bantuan air. Secara
alamiah memang bisa dimengerti. Aku tidak akan meyalahkanmu, aku bahkan tidak
bermimpi untuk menyalahkanmu.
Sayangnya, banyak dari kami disini yang berpikiran sepertimu, ketika kita mulai
menayangkan si bocah Herbert ini. Aku tidak berkeberatan memberitahukanmu, ini
hanya diantara kita berdua, aku sendiripun agak ragu-ragu acara itu nantinya
akan berhasil di televisi."
Wellman menggaruk-garuk belakang telinganya ketika Read memandangnya dengan
tatapan tertarik yang sok ilmiah.
"Well, aku salah," sahut Wellman sambil meletakkan kembali tangannya dari
belakang telinga. "Dengan senang hati aku katakan bahwa aku 1000 persen salah. Pertunjukan si
bocah pertama kalinya, yang tanpa pariwara dan tanpa pemberitahuan menghasilkan
1400 pucuk surat keesokan harinya. Dan rating yang dia hasilkan sekarang..." Dia
membungkuk ke arah Read dan membisikkan sesuatu.
"Oh!" Hanya itu yang bisa dikatakan Read.
"Kami belum bisa menyebutkannya dengan pasti sekarang ini, karena banyaknya
orang-orang usil di Purple yang tidak akan mempercayai kita. Tapi ini hanyalah
kejujuran yang sederhana. Tidak ada karakter televisi lain sekarang ini yang
memiliki banyak pengikut seperti bocah itu. Dia bahkan dibicarakan di saluran
gelombang pendek, dan orang-orang seluruh dunia mendengarkannya. Tiap acaranya
ditayangkan, kantor pos mengirimkan dua truk berisi surat-surat untuknya. Kau
tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku, Read, akhirnya kalian para
ilmuwan mulai berpikiran untuk menelitinya. Aku amat bersungguh-sungguh tentang
hal ini." "Bagaimana sifat anak itu?" Read bertanya.
"Si bocah" Oh, sangat sederhana, pendiam, amat sangat tulus. Aku sangat suka
padanya. Ayahnya - well, dia itu yang ber-karakter kuat."
"Bagaimana program ini berlangsung?"
"Maksudmu bagaimana Herbert melakukannya " Sejujurnya, Read , itulah yang
seharusnya menjadi bahan penelitian kalian, para ilmuwan. Kami tidak memiliki
petunjuk apapun mengenai hal ini, sungguh."
"Tapi aku bisa memberikanmu perincian bagaimana program ini bekerja. Bocah ini
mengadakan pertunjukan dua kali seminggu, tiap Senin dan Jumat. Dia tidak
menggunakan naskah" - Wellman meringis - "yang cukup membuat kami sakit kepala.
Katanya, naskah membuatnya kering. Dia mengudara selama dua belas menit.
Kebanyakan dia hanya bicara, bercerita pada para pendengar tentang apa saja yang
telah dilakukannya di sekolah, buku-buku yang sedang dibacanya, dan sebagainya.
Hal-hal yang sering kau dengar dari anak-anak baik dan pendiam. Tapi dia selalu
membuat dua atau tiga ramalan, selalu, sedikitnya satu, dan tidak pernah lebih
dari tiga. Ada hal-hal yang nantinya akan terjadi dalam empat puluh jam
mendatang. Menurut Herbert, dia tidak bisa melihat lebih jauh dari itu.
"Dan hal-hal itu benar-benar terjadi?" tanya Read yang pertanyaannya itu lebih
mirip penegasan. "Ya," sahut Wellman dengan agak berat. Tanpa sadar dia mencibirkan bibirnya.
"Herbert meramalkan ada sebuah pesawat yang jatuh di Guam April kemarin, angin
topan di negara-negara Gurun, dan hasil pemilu. Dia meramalkan bencana perahu
selam di kepulauan Tortuga. Sadarkah kau, ada agen FBI yang menontonnya di
studio, diam-diam, setiap pertunjukannya berlangsung" Itu agar Herbert bisa
diamankan dan pertunjukannya dihentikan bila dia mengatakan sesuatu yang
mengacaukan stabilitas keamanan umum. Mereka menanggapi bocah ini dengan serius.
"Aku melihat-lihat catatan anak ini kemarin ketika aku tahu universitas akan
mengadakan penelitian mengenai anak ini. Acaranya telah ditayangkan selama satu
setengah tahun, dua kali seminggu. Dia telah meramalkan 106 kejadian selama ini.
Dan setiap ramalan, satu demi satu, benar-benar terjadi. Dan saat ini masyarakat
luas percaya" - Wellman membasahi bibirnya dan mencoba mencari kata-kata yang
tepat - "mereka akan percaya bila dia meramalkan hari kiamat atau siapa yang
akan memenangkan hadiah dari Pertempuran di Irlandia."Aku sungguh-sungguh
mengenai hal ini, Read. Amat sangat sungguh-sungguh sampai aku sendiri takut.
Herbert adalah hal terbesar yang ada di televisi sejak adanya penemuan
selselenium . Kau tidak membesar-besarkannya atau mengada-adaakan pentingnya
dia. Sekarang, maukah kau pergi menghadiri acaranya" Sudah waktunya dia
mengudara." Wellman berdiri dari meja kerjanya, merapikan dasi bermotif penguin ungu dan
merah muda di lehernya. Dia memimpin Read melalui koridor stasiun radio menuju
ruang observasi studio 8G tempat Herbert Pinner mengudara.
Menurut Read, Herbert terlihat seperti anak baik yang pendiam. Usianya sekitar
15 tahun, dengan perawakan tinggi untuk anak seumur-nya, dan dengan raut wajah
menyenangkan dan cerdas, tetapi juga penuh kekhawatiran.
Dia berdiri tegak saat sedang mempersiapkan diri untuk mengudara dan terkesan
menyakitkan bagi orang yang melihatnya.
"... aku sedang membaca sebuah buku yang sangat menarik," ujar Herbert kepada
para pendengarnya. "Judulnya The Count of Monte Cristo. Kurasa semua orang yang
membaca buku itu pasti suka isi ceritanya." Herbert mengambil buku dan
menunjukkannya ke penonton di studio. "Aku juga mulai membaca buku mengenai
astronomi yang dikarang oleh seseorang bernama Duncan. Membaca bukunya membuatku
ingin membeli teleskop. Kata ayahku, jika aku belajar dengan giat dan
mendapatkan nilai-nilai bagus di sekolah, aku boleh memiliki teleskop kecil pada
akhir tahun pelajaran. Aku akan menceritakan pada Anda semua apa saja yang
kulihat setelah aku membelinya nanti.
"Akan ada gempa bumi, tidak begitu besar, di negara-negara Atlantik Utara malam
ini. Banyak bangunan yang akan rusak, tapi tidak ada korban jiwa. Besok pagi
sekitar pukul sepuluh mereka akan menemukan Gwendolyn Box yang hilang di
kepulauan Sierra sejak Kamis kemarin. Kakinya patah, tapi dia masih hidup.
"Setelah mendapatkan teleskop aku berharap agar bisa menjadi salah satu anggota
kelompok -kelompok pengamat bintang variabel. Bintang-bintang variabel adalah
bintang yang kecemerlangannya bervariasi akibat perubahan internal maupun
eksternal..." Setelah acara selesai, Read diperkenalkan pada si Pinner muda. Dia merasa anak
itu sangat kooperatif dan sopan, tetapi agak sedikit tertutup.
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, Mr. Read," jawab Herbert ketika
sejumlah pertanyaan awal diajukan. "Bukan gambar-gambar, seperti yang Anda
tunjukkan, dan juga bukan kata-kata. Tetapi - tapi semua hal itu datang begitu
saja dalam benakku."
"Satu hal yang aku sadari, aku tidak bisa meramalkan apapun yang aku sama sekali
tidak tahu. Aku bisa meramalkan adanya gempa bumi karena semua orang tahu apa
itu gempa bumi. Tapi aku tidak akan bisa meramalkan Gwendolyn Box jika aku tidak
tahu dia hilang. Aku hanya merasakan seseorang atau sesuatu akan ditemukan."
"Maksudmu, kau tidak akan bisa meramalkan apapun kecuali hal tersebut ada dalam
kesadaranmu sebelumnya?" tanya Read bersemangat.
Herbert agak ragu-ragu menjawabnya.
"Kurasa begitu," ujarnya. "Hal itu membuat... semacam titik dalam benakku, hanya
saja aku tidak dapat mengatakannya. Seperti melihat dalam sinar terang dengan
mata yang tertutup rapat. Anda tahu ada cahaya disana, tapi hanya itu yang Anda
tahu. Itulah alasannya mengapa aku membaca begitu banyak buku. Makin banyak hal-
hal yang kuketahui, makin banyak juga yang bisa kuramalkan."
"Kadang-kadang aku juga melupakan beberapa hal penting. Aku tidak tahu mengapa.
Waktu itu ada kejadian meledaknya sejumlah bahan atom dan banyak korban jatuh.
Yang aku ingat saat itu adalah melonjaknya kebutuhan tenaga kerja."
"Aku betul-betul tidak mengerti bagaimana cara kerjanya, Mr. Read. Aku betul-
betul tidak mengetahuinya."
Ayah Herbert datang menghampiri. Dia adalah seorang lelaki kecil dan agak
bungkuk dengan sifat persuasif dan tertutup. "Jadi Anda yang akan meneliti
Herbie, ya?" katanya setelah perkenalan singkat dengan Read. "Well, baiklah.
Sudah saatnya dia diteliti."
"Saya yakin kita berpendapat sama,"jawab Read hati-hati. "Saya harus mengetahui
beberapa hal untuk diuji."
Mr. Pinner memandangnya dengan galak.
"Anda ingin menguji apa benar ada gempa bumi nanti" Begitu" Semuanya berbeda
bila Anda mendengarkannya sendiri. Well, memang akan ada gempa bumi. Hal yang
menyedihkan, gempa bumi itu." Dia men-decakkan lidah seakan meledek. "Tapi tidak
akan ada korban jiwa, itu bagusnya. Dan mereka akan menemukan Miss Box itu
sebagaimana yang tadi dikatakan Herbie."
Gempa yang diramalkan terjadi pukul 9:15 ketika Read sedang duduk di bawah lampu
penghubung dan membaca laporan dari Perkumpulan untuk Penelitian Supranatural.
Read mendengar sekelilingnya berderak-derak dan bergerak, dan kemudian tanah di
bawahnya berayun lama dan membuatnya mual.
Keesokan paginya, Read meminta sekretarisnya menghubungi Haffner, seorang
seismologis yang dikenalnya. Haffner, melalui sambungan telpon itu, menjelaskan
dengan cepat dan terperinci.
"Seharusnya tidak akan ada cara meramalkan terjadinya gempa," ujarnya dengan
gemas. "Bahkan tidak sejam sebelumnya. Kalaupun ada, kami akan mengeluarkan
pengumuman dan mengungsikan orang-orang tepat pada waktunya. Tidak akan ada
korban jiwa jika kami dapat melakukan hal itu. Ya, kami akan menjelaskan
bagaimana gempa itu secara keseluruhan. Sudah bertahun-tahun kami mengetahui
daerah ini termasuk dalam salah satu daerah gempa. Tetapi untuk mengetahui waktu
tepatnya itu - "ini seperti kau bertanya pada seorang astronom untuk meramalkan
terjadinya nova. Dia tidak akan tahu, begitu juga kami. Ngomong-ngomong, apa
yang menyebabkan hal ini" Ramalan yang dibuat si bocah pinner ini ya?"
"Ya, kami sedang menimbang-nimbang untuk menelitinya."
"Menimbang-nimbang" Maksudmu, sekarang kau berkeliling dan menelitinya" Ya
Tuhan! Kalian psikolog-psikolog peneliti, benar-benar membangun menara gading!"
"Menurutmu dia asli?"
"Jawabannya secara tidak profesional adalah:ya."
Read menutup telponnya. Ketika dia keluar makan siang dia melihat kepala berita
di koran tentang ditemukannya Miss Box seperti yang diramalkan Herbert dalam
acara radio kemarin. Tapi Read masih ragu. Kamis kemarin dia baru menyadari, masalahnya bukan dia
takut menghabiskan uang universitas dalam meneliti penipuan, tetapi dia terlalu
yakin apapun yang diramalkan Herbert Pinner adalah sungguhan.
Dia tidak terlalu antusias sekarang untuk memulai penelitiannya. Dia takut.
Kesadaran itu mengejutkannya. Dia langsung menghubungi dekan saat itu juga,
menanyakan mengenai persetujuan yang dia ajukan, dan dekan memberitahukan tidak
akan ada kesulitan dalam birokrasi penelitiannya.
Jumat pagi dia segera memilih dua asisten untuk membantunya dalam proyek ini,
dan ketika acara Herbert akan ditayangkan mereka sudah berada di stasiun radio.
Mereka melihat Herbert duduk tegang di kursinya dalam studio 8G didampingi oleh
Wellman dan sekitar lima atau enam eksekutif radio yang berkerumun di
sekelilingnya. Ayahnya berjalan mondar-mandir kebingungan, dengan tangan
melambai-lambai kesana-kemari. Orang-orang FBI itu bahkan lupa bersikap tenang
dan pasif, dan bergabung dalam argumentasi yang memanas. Dan Herbert, di tengah,
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, tidak, aku tidak bisa,"
dengan terus menerus sambil bergerak-gerak.
"Tapi mengapa, Herbie?" Ayahnya merengek. "Tolong katakan pada Ayah mengapa"
Mengapa kau tidak mau mengudara sekarang?"
"Aku tidak bisa,' jawab Herbert. "Tolong jangan paksa aku. Aku benar-benar tidak
bisa sekarang!" Read menyadari betapa pucat anak itu, apalagi di sekeliling
mulutnya. "Herbie, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau, apapun, kalau kau mau
mengudara malam ini. Yang penting kau mau mengudara! Teleskop itu - aku akan
membelikanmu besok. Aku akan membelinya malam ini!"
"Aku tidak ingin teleskop," ujar si Pinner muda itu sedih. "Aku tidak ingin
melihat apapun lewat teleskop itu."
"Aku akan membelikanmu kuda poni, perahu bermotor, bahkan membuatkanmu kolam
renang! Herbie, aku akan melakukan apapun untukmu!"
"Tidak," jawab Herbert.
Mr. Pinner memandang berkeliling dengan putus asa. Matanya tertumbuk ke arah
Read yang sedang berdiri di sudut, dan dia segera menghampirinya. "Nasihatilah
dia, Mr. Read," ujarnya tergagap.
Read menggigit bibir bawahnya. Dalam satu hal itu memang urusannya. Dia
menyeruak diantara orang-orang yang mengerumuni Herbert, dan menepuk bahu bocah
itu dengan tangannya. "Aku dengar kau tidak mau mengudara malam ini, Herbert.
Ada apa ini?" tanya Read.
Herbert memandangnya. Ungkapan terhina yang ada dalam matanya membuat Read
merasa bersalah sedih. "Saya hanya tidak bisa melakukannya sekarang. Anda juga
jangan mulai bertanya-tanya pada saya, Mr. Read."
Read menggigit bibirnya sekali lagi.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagian teknik dalam para psikologi adalah bagaimana membuat subjek untuk bisa
diajak bekerjasama. "Bila kau tidak mengudara sekarang ini, Herbert, maka akan
ada banyak orang yang sangat kecewa."
Wajah Herbert menunjukkan sedikit kepastian. "Saya tidak dapat menahannya," kata
Herbert. "Lebih dari itu, akan ada banyak orang yang ketakutan. Mereka tidak tahu mengapa
kau tidak mengudara dan mereka pasti akan membayangkan yang tidak-tidak. Banyak
bayangan yang tidak-tidak. Bila mereka tidak melihatmu maka banyak orang yang
akan ketakutan." "Aku - " Herbert mengusap-usap pipinya.
"Mungkin itu benar," jawabnya pelan. "Hanya saja..."
"Kau harus melanjutkan acaramu itu."
Herbert menyerah dengan mendadak.
"Baiklah," ujarnya. "Aku akan mencobanya."
Setiap orang yang ada di studio menghembuskan nafas lega. Orang-orang itu
kemudian bergerak menuju pintu ke ruang observasi. Mereka bicara dengan nada
suara gugup dan agak meninggi. Ketegangan sudah berlalu, hal yang paling buruk
sekalipun tidak akan terjadi.
Bagian pertama acara Herbert hampir tidak ada bedanya dengan pertunjukan-
pertunjukan nya yang lalu. Suara si bocah itu sedikit bergetar dan tangannya
juga sedikit gemetar, tetapi ketidakwajaran ini tidak akan diperhatikan oleh
kebanyakan penonton di studio. Ketika acara sudah berlangsung kira-kira lima
menit, Herbert menyingkirkan bukunya dan menggambar (dia telah membahas beberapa
gambar mekanis sebelumnya), dan menunjukkannya kepada penonton lalu mulai bicara
dengan sangat serius. "Saya akan memberitahukan kalian mengenai kejadian besok," ujarnya. "Besok" -
Herbert berhenti dan dan menelan ludah -
"besok akan menjadi hari yang berbeda dari yang sudah-sudah. Besok adalah awal
dari dunia yang baru dan lebih baik bagi kita semua."
Read, mendengarkan dari ruangan yang tertutup kaca, merasa hawa dingin merayap
sedikit demi sedikit di sekujur tubuhnya ketika dia mendengar si bocah bicara.
Dia menatap wajah orang-orang di sekelilingnya dan mereka sedang mendengarkan
Herbert dengan seksama, wajah mereka terlihat gugup dan kaget. Rahang bawah
Wellman agak sedikit terbuka, dan dia meraba penjepit dasi berbentuk unicorn di
lehernya. "Di masa lalu, kita mengalami masa-masa yang cukup sulit. Kita mengalami
peperangan - banyak sekali peperangan - dan kelaparan, dan wabah penyakit. Kita
mengalami depresi dan tidak tahu apa yang menyebabkannya. Banyak orang-orang
kelaparan sementara banyak makanan tersedia, dan banyak orang yang sakit parah
padahal kita tahu obatnya. Kita telah melihat sumber daya alam dihabiskan tanpa
malu, sungai-sungai berair hitam oleh tanah-tanah yang dihanyutkan, sementara
kelaparan semakin mendekati kita hari demi hari dengan pasti. Kita telah
menderita, kita telah mengalami masa-masa sulit.
"Mulai besok" - suaranya semakin keras dan dalam - "semua hal akan berubah. Tidak
akan ada lagi peperangan. Kita akan hidup bersama-sama berdampingan layaknya
saudara. Kita akan melupakan pembunuhan dan perampokan dan bom. Dari kutub ke
kutub, dunia ini akan menjadi sebuah taman yang besar, dipenuhi dengan kekayaan
dan buah-buahan, dan semua itu akan tersedia buat kita untuk dipergunakan dan
dinikmati. Manusia akan berumur panjang dan hidup dengan bahagia, dan ketika
mati, mereka akan meninggal karena usia tua. Tidak akan ada seorangpun yang akan
takut. Pertamakalinya sejak manusia menghuni bumi ini, kita akan hidup dengan
cara sebagaimana manusia hidup."
"Kota-kota akan diperkaya dengan budaya yang beragam, dengan seni dan musik
serta buku-buku. Dan setiap ras di dunia ini akan turut andil dalam
menyumbangkan kebudaya-annya masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Kita akan
menjadi lebih bijaksana, lebih gembira dan lebih kaya daripada manusia-manusia
sebelumnya. Dan dalam waktu dekat" - Herbert agak ragu-ragu sebentar seakan-akan
pikirannya terhenti di tengah jalan - "dalam waktu dekat kita akan meluncurkan
pesawat roket." "Kita akan pergi ke Mars, Venus dan Jupiter. Kita akan pergi ke perbatasan
sistem tata surya kita untuk melihat bagaimana Uranus dan Pluto itu. Dan mungkin
dari sana - ini mungkin saja - kita akan melanjutkan untuk pergi melihat
bintang-bintang." "Besok adalah awal dari semua itu. Cukup sekian untuk malam ini. Selamat
tinggal. Selamat malam." Sesaat setelah Herbert mengundurkan diri tidak ada seorangpun yang bergerak atau
bicara. Kemudian suara-suara panik mulai terdengar. Read memandang sekeliling ,
menyadari betapa pucat orang-orang di sekelilingnya dengan mata-mata mereka yang
membelalak. "Aku penasaran bagaimana dampak hal ini dalam acara televisi," kata Wellman,
seolah pada dirinya sendiri. Dasinya berkibar-kibar liar. "Akan ada pertunjukan
televisi, itu pasti - itu adalah bagian bagusnya." Dan kemudian ke arah Pinner
yang sedang meniup hidung dan mengusap matanya. "Bawa dia keluar dari sini,
Pinner, secepatnya. Dia akan dikerubuti orang-orang bila dia tetap tinggal
disini." Ayah Herbert mengangguk. Dia segera berlari kedalam studio mendapatkan Herbert
yang sudah dikerumuni orang-orang dan kembali dengan anaknya itu. Bersama dengan
Read, mereka berusaha keluar dari kerumunan itu dan berjalan melalui koridor ke
luar menuju jalanan di belakang gedung stasiun radio.
Read masuk ke dalam mobil tanpa dipersilahkan dan duduk di hadapan Herbert di
salah satu kursi lipat. Anak itu kelihatan lelah, tetapi wajahnya menunjukkan
senyum samar. "Lebih baik kau minta supir untuk membawamu ke sebuah hotel yang sepi," kata
Read menganjurkan ayah Herbert. "Kau akan digerebek jika pulang ke tempat
biasanya." Pinner mengangguk . "Hotel Triler," perintahnya pada supir. "Pelan-pelan saja,
Pak. Kita butuh waktu untuk berpikir."
Mr. Pinner melingkarkan tangan ke tubuh Herbert dan memeluknya. Matanya
berkilat-kilat. "Ayah bangga padamu, Herbie," ujarnya tulus, "bangga sebagaimana
biasanya. Apa yang kau katakan - itu adalah hal yang amat, sangat, indah."
Pak supir tidak membuat gerakan apapun untuk menyalakan mobil. Dan sekarang dia
menolehkan wajahnya ke belakang dan berkata, "Anda Mr. Pinner muda, bukan" Saya
tadi baru saja melihat pertunjukan Anda. Bisakah saya bersalaman?"
Setelah beberapa saat Herbert membungkuk ke depan dan menjabat tangan si supir.
Supir yang disalami menanggapinya dengan semangat. "Saya hanya ingin
berterimakasih - hanya ingin mengucapkan terimakasih - Oh, persetan! Maafkan saya,
Mr. Herbert. Yang tadi Anda sampaikan benar-benar berarti bagi saya. Dulu saya
ikut dalam perang yang terakhir."
Mobil itu meluncur dari bahu jalan. Ketika mereka melalui perkotaan, Read
memperhatikan bahwa saran Mr. Pinner untuk berjalan pelan-pelan sesungguhnya
tidak perlu. Orang-orang sudah memadati jalan-jalan yang mereka lalui. Pinggir-
pinggir jalan dipadati manusia.
Orang-orang mulai berlarian ke trotoar. Mobil melambat, akhirnya merangkak, dan
orang-orang itu tetap saja berlarian keluar. Read segera menutup kaca dengan
tirai, dia takut mereka mengenali Herbert.
Penjual-penjual koran berteriak-teriak di sudut-sudut dengan suara histeris dan
keras. Ketika mobil itu berhenti Pinner membuka pintu mobil dan menyelinap keluar. Dia
datang kembali dengan sekumpulan koran yang dirangkum dalam kedua tangannya.
"DUNIA BARU AKAN DATANG!" kata salah satu koran, sementara yang lain, "MILENIUM
ESOK!" dan yang lainnya, cukup sederhana "KEBAHAGIAAN BAGI DUNIA!" Read melebar-
kan salah satu koran itu dan mulai membaca.
"Seorang bocah berusia lima belas tahun mengatakan bahwa dunia dan semua per-
masalahannya akan segera berakhir, mulai besok, dan dunia menjadi liar karena
gembira. Si bocah, Herbert Pinner, yang ramalan-ramalan mengagumkannya sangat akurat dan
membuatnya digandrungi banyak orang di seluruh dunia, meramalkan sebuah masa
damai, makmur dan sejahtera sebagaimana yang belum pernah dialami dunia ini
sebelumnya..." "Bukankah ini indah, Herbert?" kata Pinner agak gagap. Matanya menyala-nyala.
Dia mengguncang lengan Herbert. "Bukankah ini menakjubkan" Tidakkah kau senang?"
"Ya,"jawab Herbert.
Mereka akhirnya tiba di hotel dan mendaftar. Mereka menempati sebuah kamar mewah
di lantai enam belas. Bahkan pada ketinggian ini mereka masih bisa mendengar
suara teriakan-teriakan samar kerumunan orang-orang yang bergembira di bawah.
"Berbaring dan istirahatlah, Herbert," kata Pinner. "Kau terlihat letih.
Mengatakan semua itu - pasti hal itu menyulitkanmu." Dia berkeliling ke seluruh
ruangan untuk beberapa saat dan kembali ke putranya sambil meminta maaf. "Kau
tidak apa-apa bukan kalau aku keluar sebentar, Herbert" Aku terlalu gembira
untuk bisa tenang. Aku ingin melihat ada apa di luar sana.
Tangannya sudah berada di kenop pintu.
"Ya, silahkan , " j a w a b Herbert. Dia menenggelamkan dirinya di sofa.
Read dan Herbert hanya berdua di ruangan itu. Beberapa saat hanya ada kesunyian
diantara mereka. Herbert menjalin jari-jemarinya di kening dan menghela nafas.
"Herbert," Read memanggil pelan. "Kupikir kau tidak dapat melihat masa depan
lebih dari empat puluh jam mendatang?"
"Itu benar," jawab Herbert tanpa melihat.[]
BERJALAN SENDIRIAN Miriam Allen Deford John Larsen berdiri menunggu bis yang akan membawanya ke tempat kerja. Saat itu
per-tengahan Maret, tetapi musim semi telah menebarkan aromanya; udara cenderung
hangat dan langit berwarna biru lebih gelap daripada saat musim dingin. Di
seberang jalan, pucuk-pucuk tunas daun berwarna hijau di pohon poplar seperti
sedang mengiklankan datangnya musim semi.
Saat itu juga ingatannya kembali pada suatu pagi yang cerah bagai musim di semi
ketika dia masih seorang bocah, empat puluh tahun yang lalu. Dia akan bangun dan
menatap langit yang berwarna seperti ini melalui jendela kamarnya yang terbuka,
dan hatinya akan dipenuhi dengan emosi yang aneh dan tanpa nama, akibat
kehausannya akan sesuatu, menunggu hal yang belum pernah dialami.
Bis yang ditunggu belum juga datang. Jika bis itu terlambat datang, dia juga
terlambat masuk kerja, dan Sims, atasannya, akan memasang raut wajah masam dan
berkata, "Hah yang sibuk, Larsen. Bisakah kau datang tepat waktu?" Tapi
sebenarnya tidak pernah ada hari yang sibuk - sangat jarang terjadi. Orang-orang
tidak membeli karpet dan keset seperti mereka membeli sayur-mayur dan serbet
kertas. "Muak," ujar Larsen pada dirinya sendiri, menunggu sendiri di sudut yang suram.
"Benar-benar muak." Benaknya kosong mengingat kejadian sejam sebelumnya, dan
suara Katie yang menjengkelkan. "Demi Tuhan, John, bangun! Kau mau terlambat
sampai ke tempat kerja" Kalau kau terus begini mungkin kau akan dipecat, dan
kita akan kemana" Cepat! Kau pikir aku suka bangun jam berapapun untuk
memasakkan sarapanmu" Setidaknya kau bisa memakannya saat makanan itu sudah
kumasakkan!" Itu adalah monolog yang sama dan selalu terulang. Ketika dia pergi, istrinya
akan kembali merangkak ke tempat tidur, masih mengenakan pengeriting yang tidak
sedap dipandang itu, dan hanya Tuhan yang tahu kapan dia akan merangkak keluar
dari sana hanya untuk berleha-leha sepanjang hari. Dia bisa mempersiapkan
sarapannya sendiri dan hanya perlu setengah dari waktu yang diperlukan istrinya,
tapi itu tidak akan membuat Katie bagai martir untuk seorang suami yang tidak
efisien dan suka melamun.
Larsen menggigil dalam mantelnya yang sudah usang; saat ini tidak seperti
suasana musim semi seperti yang dilamunkannya, meskipun matahari akan
menghangatkan semuanya dengan cepat. Pikirannya melayang pada hutan dan lapangan
bermain di masa kecilnya, sebuah kebebasan dan kemerdekaan di tahun masa lampau.
Matanya dipicingkan ke jalanan; tidak ada isyarat sedikitpun bis itu akan lewat.
Dengan tiba-tiba, Larsen menyeberang ke apotik di sudut, sebelum akal sehatnya
mengambil alih. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping recehan sepuluh
sen dan pergi ke bilik telepon.
"Mr. Sims" Ini Larsen. Begini, saya benar-benar minta maaf, tapi saya tidak bisa
datang hari ini. Nyeri punggung saya kambuh; saya akan pergi ke dokter untuk
memeriksanya. Tapi saya akan datang besok, meskipun saya masih sakit. Tidak,
saya tidak bisa datang meskipun hanya setengah hari - nyeri punggung ini seperti
sakit gigi. Ya, saya tahu, tapi - Well, baiklah, Mr. Sims. Saya akan
melakukannya. Ya, Pak, saya juga menyesal."
Sims mungkin akan heran mengapa bukan Katie yang menelepon jika dia sendiri
sedang sakit. Mungkin dia akan mengatakan bahwa dia memerlukan karyawan yang
lebih muda untuk menangani pekerjaannya. Oh , persetan dengan itu semua;
sekarang sudah terlambat untuk mempertimbangkannya kembali.
Dia kembali berdiri di tempatnya tadi, dan bis yang dinaikinya adalah bis yang
mengarah ke arah yang berlawanan, jauh dari kota. Dia turun setelah bis itu
mencapai tujuan terakhir.
Hanya ingin sendiri - itu adalah perasaan yang menyenangkan. Tidak ada
seorangpun yang merengek padanya, tidak perlu bergegas-gegas. Dia belum pernah
berada di daerah pinggiran tempat bis itu menurunkannya. Dia hanya berjalan
berputar-putar untuk beberapa saat, mengagumi rumah dan halaman - jenis tempat
tinggal yang sering dia impikan, saat dia dan Kate masih pengantin baru. Mungkin
jika mereka punya anak yang akan membuatnya berambisi melakukan sesuatu, atau
jika Kate tidak berubah menjadi sangat keras dan galak seperti sekarang -
Ketika siang menjelang Larsen sudah letih berjalan. Dia kembali ke daerah
perkantoran yang tidak begitu luas, makan sepotong hamburger dan minum secangkir
kopi di ruang makan yang hampir sepi. Dia menanyakan jadwal bis disana. Agar
bisa kembali ke rumah seperti biasanya, agar Kate tidak akan tahu, jadi tidak
ada alasan bagi Kate untuk berteriak-teriak dan mengomelinya. Tidak ada rasa
takut kalau-kalau dia meneleponnya ke toko; Katie tahu orang-orang disana tidak
akan memanggilnya kecuali dalam keadaan darurat. Dia membeli sekotak rokok dan
majalah, lalu mulai berjalan menuju ke pinggir kota dengan penuh harapan.
Setelah berjalan selama satu jam lebih, akhirnya dia menemukan apa yang dia cari
- sebuah hutan kecil dan teduh yang dilalui sungai kecil dan dataran cerah
bermandi sinar matahari di pinggir jalan yang sepi, tempat dia bisa duduk di
atas pokok pohon yang tumbang sambil membaca dan merokok, lalu membiarkan
keheningan dan kedamaian meresap masuk ke syaraf-syarafnya. Di kejauhan
dilihatnya atap-atap rumah perbukitan yang tersembunyi di balik tajuk pohon-
pohon rindang, tapi tidak ada satupun yang terlalu dekat dengan hutan itu yang
akan membuatnya merasa diamati. Kendaraan lewat satu-dua kali ke arah yang
berlainan, dan tidak ada satupun orang yang memperhatikan di tempat perlindungan
yang nyaman itu. Suasana saat itu sangat sunyi dan membuat Larsen terkantuk-
kantuk. Dia terbangun dan merasa segar, dan hal pertama yang dilihatnya adalah matahari,
lalu jam tangannya. Pukul 4:40; masih banyak waktu untuk mengejar bis yang akan
membawanya kembali ke rumah. Dia berdiri dan meregangkan tubuhnya, berdebat
dalam hati apakah dia akan berjalan kaki lebih jauh atau berbalik berlenggang
perlahan-lahan menuju halte bis.
Di jalan, dalam keheningan, didengarnya suara dedaunan kering bergemerisik. Dia
melongok, dan melihat seorang gadis remaja berjalan menuju ke arahnya. Larsen
mundur, menunggu sampai si gadis melewatinya; mungkin dia akan membuat si gadis
takut jika tiba-tiba dia melihat ada seorang lelaki tua muncul dari dalam hutan.
Sambil bersandar pada sebatang pohon, Larsen memperhatikan si gadis berjalan.
Gadis itu cantik, dengan rambut kuning keemasan yang jatuh sampai ke kerah
sweater merahnya. Dia mengenakan rok berwarna biru gelap, kaus kaki merah, dan
sepatu kulit coklat, dan dia mengepit beberapa buku pelajaran di bawah
lengannya. Dia bersenandung sambil jalan, suaranya jernih, tipis, dan kekanak-
kanakkan. Saat itu senja sudah agak larut baginya untuk pulang sekolah, tapi
mungkin gadis itu baru selesai menghadiri rapat pelajar.
Mungkin dia tinggal di salah satu rumah yang atapnya terlihat diantara
pepohonan; mungkin ada jalan pintas menembus hutan menuju ke sana.
Dia melewati Larsen dan Larsen menunggu sampai si gadis hilang dari pandangan di
kelokan jalan. Lalu didengarnya suara mobil, berjalan perlahan dari belakang, ke
arah yang sama dengan si gadis.
Mobil dua pintu itu berwarna hitam dan reyot, dengan seorang lelaki di dalamnya.
Larsen melihat sekilas ke lelaki di belakang kemudi - seorang lelaki
berperawakan besar seusianya, dengan rambut hitam yang mengherankan untuk lelaki
tua seusianya, tanpa topi.
Mobil itu juga melewatinya, dan Larsen keluar dari persembunyiannya lalu
melangkah menuju ke arah kota. Sayangnya, dia terlambat untuk melambai ke mobil
reyot itu dan mungkin meminta tumpangan sampai ke halte bis.
Jarak si gadis dengan mobil itu sekarang hanya kira-kira seratus kaki, hampir
membelok di tikungan. Mobil itu hampir mencapai si gadis.
Dan mendadak berhenti. Semuanya terjadi dengan sangat cepat dan Larsen tidak segera menyadari, akibat
tidur siangnya tadi.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki tua yang mengemudi melompat keluar, mengatakan sesuatu pada si gadis, dan
si gadis menggelengkan kepala. Lelaki itu mencengkeram lengan si gadis dan meng-
giringnya masuk ke dalam mobil. Dia melawan dan berteriak; tetapi lelaki itu
membekap mulutnya dengan satu tangan. Diseretnya si gadis, lalu dia menyusul
masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Si gadis melompat - mungkin dia
melihat Larsen saat itu, yang seakan lumpuh karena keterkejutannya - menggapai
pintu mobil dan mencoba berteriak.
Lelaki itu memukulnya dua kali, membuatnya roboh ke lantai mobil. Lalu dia
segera menjalankan mobil dan melaju sekencang-kencangnya.
Ketika Larsen, yang masih gemetar, lari menuju tikungan, mobil dan pengendaranya
sudah hilang dari pandangan. Plat nomer mobil bahkan tidak diperhatikannya.
Sepanjang jalan di daerah pinggiran menuju kota, Larsen merenungkan apa yang
harus dia lakukan. Sudah menjadi tugasnya, dia tahu itu, untuk mencari polisi
kota itu dan melaporkan kejadian yang tadi dilihatnya. Tapi itu membuatnya harus
menjelaskan keberadaannya disana, memberi nama dan alamat, dan mengharuskannya
datang ke kantor polisi sebagai saksi yang melihat kejahatan yang telah terjadi
dan mengidentifikasi pelakunya.
Lalu Sims akan tahu alasan ketidakhadirannya di tempat kerja adalah bohong
belaka. Kate juga akan tahu. Sims mungkin akan memecatnya.
Kate bahkan akan membuat hidupnya lebih buruk daripada di neraka. Dia bahkan
tidak akan mendapatkan pekerjaan lain, walaupun nantinya pekerjaan itu sama
payahnya dengan yang dia miliki sekarang, di usianya sekarang.
Dia tidak punya tabungan, dan hutang mereka adalah setengah barang yang memenuhi
rumah mereka sekarang. John Larsen membayangkan dengan jelas hal menakutkan apa yang bakal dihadapinya
nanti bila dia berniat melaporkan kejadian itu.
Dia tidak begitu mengerti situasinya. Lelaki itu mungkin ayahnya. Si gadis
mungkin sedang keluyuran, sebagaimana yang sedang dilakukannya, atau mungkin dia
telah melanggar beberapa aturan yang ditetapkan orangtuanya.
Apa yang disaksikannya mungkin hanyalah hukuman berat tapi syah menurut hukum
untuk kenakalan-kenakalan yang diperbuat anak-anak.
Lagipula, apa yang bisa dilakukannya" Dia bahkan tidak bisa mengidentifikasi
lelaki itu - hanya melirik sekilas ketika mobil lelaki itu melewatinya, tidak
akan bisa menunjuk orang yang tepat bila harus dihadapkan dengan berbagai macam
lelaki setengah baya dengan rambut hitam tebal. Larsen hanya akan membuat
dirinya berada dalam kekacauan tanpa bisa keluar dari sana, dan semua sia-sia
belaka. Dia sampai di kota dengan cepat, tanpa melihat atau mendengar mobil tadi
sekilaspun; lagipula mobil seperti itu ada dimana-mana dan salah satunya mungkin
mobil si lelaki. Untuk menenangkan kesadarannya, dia mencari-cari polisi di
sekitar daerah perkantoran itu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka di
sekitar. Tercekat dengan ketidaktentramannya, Larsen ikut masuk ke dalam bis yang baru
saja datang, dan menyadari nanti dia akan tiba di kota terlalu cepat, kemudian
dia ikut sampai separuh jalan, dan menanti bis berikutnya. Dia sampai di
rumahnya sendiri pada jam yang biasa, dan Kate belum mempersiapkan makan malam.
Dia duduk dengan marah sambil membaca koran sore, sementara Kate mengeluh dan
mengomelinya dari dapur. Mereka tidak pernah bertanya satu sama lain tentang apa
yang mereka hadapi hari itu; tidak ada sesuatupun yang akan menarik minat salah
satu dari mereka. Akhirnya Larsen bisa berpikir jernih keesokan harinya dan mengatakan pada Sims
bahwa dokter yang ditemuinya berkata penyakitnya hanya encok biasa, dan
istirahatnya seharian kemarin sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. Saat dia
melihat tatapan Sims, Larsen meringis dan mengusap-usap pinggang belakangnya
sering-sering. Larsen cukup beruntung hari ini karena berhasil menjual karpet
tangga kuno yang panjang dan sudah berbulan-bulan lalu ingin mereka singkirkan .
Sims menunjukkan kepuasannya dengan mengucapkan selamat malam dan berharap encok
yang diderita Larsen cepat sembuh. Bagaimanapun Sims tidak lupa memotong gajinya
karena membolos sehari penuh. Artinya, Larsen harus tetap bekerja pada jam makan
siang minggu depan tiap hari; dia tidak ingin Kate sampai tahu gajinya
berkurang. Saat Larsen berhenti untuk membeli koran, dua hari sesudahnya, ada gambar wajah
seorang gadis terpasang di halaman depan.
Apakah Anda pernah melihat gadis ini" begitu bunyi kepala beritanya . Larsen
segera mengenali wajah itu. Pakaian yang digambar-kan di koran sama seperti yang
dikenakan si gadis di foto pada hari itu.
Namanya Diane Morrison, putri kepala sekolah Belleville Consolidated Junior High
School, tempatnya belajar di tahun pertama.
Biasanya, ayahnya yang mengantar-jemput putrinya itu. Selasa kemarin Diane
menunggu ayahnya sampai pukul setengah empat, laiu ayah mengatakan bahwa dia
masih sibuk sampai sejam kemudian; lalu, sebagaimana yang sering terjadi, si
ayah menganjurkan anaknya pulang dengan berjalan kaki dan bilang pada ibu bahwa
ayah akan pulang terlambat. Ketika si ayah pulang pukul enam, anak gadisnya
belum muncul. Dia adalah seorang anak yang bisa diandalkan, yang selalu
menelepon ke rumah bila ingin mampir kemanapun. Orangtuanya telah menelusuri
semua jalan pulang dari sekolah dan menghubungi semua kawan-kawannya. Tapi tidak
ada seorangpun yang melihat Diane. Dan sejak saat itu Diane tidak terlihat lagi
dimanapun. Karena ada kemungkinan terjadinya penculikan, FBI diminta menangani kasus
tersebut. FBI, polisi negara bagian dan kepolisian distrik setempat menyisir hutan dan
daerah perbukitan sekitar Belleville. Sejauh ini mereka sama sekali tidak
menemukan jejak atau petunjuk keberadaannya.
"Demi Tuhan," omel Kate, "Bisakah kau buka mulutmu selain untuk makan" Tidak ada
satu katapun yang keluar dari mulutmu, kerjamu hanya melamun terus. Sementara
aku disini, terkurung seharian, dan kau pulang dan berlagak seolah aku hanya
salah satu perabot rumah atau semacamnya. Kau pikir aku ini - "
Larsen membiarkan istrinya meracau. Dia mencoba memutuskan, haruskah dia melapor
atau tidak" Apakah laporannya nanti akan membantu" Mereka mungkin akan mengenali
lelaki itu bila dia menggambarkannya. Tapi nanti John Larsen berada dimana" Yang
pasti dia akan menghadapi permasalahan hidup yang paling buruk.
Ditatapnya Kate dan Larsen hampir saja mengatakan semuanya dan meminta nasihat
istrinya. Tapi kemudian dia mempertimbangkan kembali, gentar mengingat bagaimana
dia akan menghadapinya nanti. Dan dia bahkan tahu apa yang akan dinasihatkan
istrinya nanti - menjauhlah dari masalah itu dan jangan membuat kita makin susah
sebagaimana yang kau buat pada kehidupan kita. Biarkan polisi-polisi itu
melakukan tugas mereka - untuk itulah mereka dibayar.
Sejak saat itu Larsen mulai rajin membeli koran terbitan pagi dan sore,
memaksakan diri, disertai rasa takut yang menjalar dingin di perut, untuk
mencari berita tentang kejadian itu.
Seminggu berlalu sudah, dan dibawah tumpukan kerikil di sebuah pertambangan tua,
mereka menemukan mayat si gadis. Tulang tengkoraknya retak di tiga tempat akibat
pukulan benda berat serupa linggis. Tubuh itu penuh luka dan memar, dan si gadis
itu juga disinyalir telah mengalami perundungan seksual. Di tangan kanannya
tergenggam selembar sapu tangan lelaki, bermotif kotak-kotak warna merah dan
putih. John Larsen terjaga sepanjang malam, sementara Katie tertidur lelap dengan nafas
berat dan teratur di sebelahnya. Ketika dilihatnya jendela telah berubah warna
menjadi abu-abu karena sinar matahari yang malu-malu, Larsen memutuskan untuk
membiarkan masalah itu berlalu beberapa lama. Dia ingat beberapa cerita kriminal
yang pernah dibacanya. Mungkin ada serpihan kulit di bawah kuku si gadis dan
lembaran-lembaran benang dan rambut di pakaian korban yang ditemukan penyelidik
forensik hanya dalam hitungan menit, dan mereka akan melacak mobil-mobil yang
dicurigai dan mencari sidik jari disana. Di desa kecil seperti Belleville mereka
akan menemukan lelaki berambut gelap itu dengan cepat, kecuali jika si lelaki
adalah orang asing yang berasal dari tempat lain.
Dan Larsen mungkin satu-satunya saksi mata yang menyaksikan penculikan itu.
Kalau saja dia tidak berada disana - tetap saja mereka harus menyelidikinya
sebagaimana yang telah mereka lakukan sampai detik ini. Dia membayangkan dirinya
mencoba menjelaskan semuanya pada petugas FBI yang meragukan keterangan Larsen
mengenai apa yang sedang dilakukannya di jalanan dekat Belleville sementara dia
seharusnya bekerja di kota.
Ketika Larsen mempertimbangkan kembali semuanya, gagasannya membolos kerja
seharian sepertinya amat sangat mengherankan dan kekanak-kanakan. Tidak ada
seorangpun yang akan mengerti; mereka pasti mengira dia bohong. Mereka pasti
mengira dia hanya mengarang-ngarang cerita untuk melindungi dirinya sendiri.
Mereka mungkin akan menuduhnya melakukan pembunuhan tingkat tiga. Saat terbaring
di tempat tidur, Larsen sedang mempertimbangkan nasibnya. Dan hidupnya akan
hancur. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berpura-pura kejadian itu
tidak pernah ada. Lagipula mereka akan segera menemukan si lelaki itu - mereka
selalu bisa menemukannya. Dan ketika itu terjadi, Larsen akan merasa lega karena
dia masih punya nyali untuk membiarkan semua itu berlalu.
Dan, ketika tiga hari kemudian dia membaca kepala berita Tersangka Pembunuhan
Morisson Tertangkap, Larsen merasa luar biasa lega dan membuat matanya berkaca-
kaca. Sambil berdiri dalam bis, Larsen membaca berita itu dengan cermat.
Yang ditangkap adalah asisten penjaga sekolah. Namanya Joseph Kennelly. Dari
awal dia memang sudah dicurigai, begitu menurut berita yang dimuat. Tentu saja,
dia kenal gadis itu sambil lalu. Joe tidak menikah, dan tinggal sendiri di
sebuah gubuk dua kamar dekat pertambangan tempat mayat si gadis ditemukan. Dia
juga memiliki catatan kejahatan - tidak termasuk kejahatan seksual, tapi dia
sering sekali ditangkap akibat pelanggaran dan menyetir sambil mabuk. Joe juga
menghabiskan sebagian besar masa remajanya di tempat penampungan anak-anak
terbelakang. Teori yang diajukan polisi adalah; Joe melihat si gadis pulang terlambat saat
dia sudah selesai bertugas. Tidak diragukan lagi, Joe sangat tertarik pada si
gadis; sekarang ketika semuanya sudah terlambat, teman-teman sekolah Diane
sering melihat Joe melontarkan lelucon vulgar tentang rambut keemasan dan
perawakan Diane yang sedang mekar. Joe adalah karyawan yang serampangan, dengan
kelakuan yang sering menjengkelkan kepala sekolah dan sering kepergok minum
ketika sedang bekerja. Mr. Morisson sudah mengancam akan memecatnya. Dan motif
kejahatan itu jelaslah sudah -balas dendam dan nafsu.
Saputangan itu memang miliknya - yang dibuktikan dengan tanda penatu. Lagipula,
ada bekas luka dalam di rahang kirinya, kemungkinan sudah berumur satu atau dua
minggu. Joe menyangkal semuanya dengan marah, tentu. Dia sudah pulang sambil mengendarai
mobilnya seperti biasa, dan sama sekali tidak meninggalkan gubuknya sampai dia
pergi bekerja keesokan harinya. Dia bahkan tidak pernah bertemu Diane - atau
orang lain. Sebuah botol wiski yang hampir kosong ditemukan di lemari sapu, dan menurut
Kennelly dia memang agak mabuk ketika dia pulang. Di rumah dia kembali minum,
tertidur kira-kira pukul sepuluh malam, dan tidak bangun-bangun lagi sampai
fajar menjelang. Tidak ada orang yang melihatnya saat itu, di sekolah maupun di
tempat lain, antara hari Selasa jam empat sore sampai Rabu pagi jam sembilan.
Mengenai saputangannya, dia mengakui saputangan itu memang miliknya yang sudah
lama hilang, berminggu-minggu sebelumnya, entah dimana. Pasti si pembunuh itu
yang menemukannya. Bekas luka di pipi" Keesokan paginya setelah bermabuk-mabukan
tangannya gemetar dan dia melukai dirinya sendiri saat sedang bercukur.
Sejauh ini baik-baik saja: John Larsen membaca berita itu dengan penuh rasa
syukur karena telah membiarkan semua berjalan apa adanya. Tapi kemudian hatinya
melonjak bagai peluru meriam demi membaca berita selanjutnya.
Joseph Kennelly berusia dua puluh enam tahun. Gambar yang tercetak di koran
menunjukkan seorang lelaki muda tinggi dan kurus dengan rambut sedikit terang
dan agak botak di sekitar pelipis. Dan mobilnya adalah sedan biru gelap.
Larsen sampai di rumah, berjalan bagai robot dari halte bis. Dilemparnya koran
dan topi ke kursi terdekat, pergi ke kamar mandi, dan mengunci diri disana:
satu-satunya kamar tempat dia bisa merenung sendirian di rumah.
"Kaukah itu, John?" panggil Kate; dan ketika dia melihat kemana suaminya itu
pergi dia berjalan kembali ke dapur. Makan malam baru saja dimasak, seperti
biasa; John sering heran, apa saja sih yang dilakukan istrinya sepanjang hari.
Mungkin melekat di kursi tepat di depan televisi, sebagaimana dulu dia melekat
di kursi dekat radio. Sambil meringkuk di dudukan toilet, Larsen bergumul dengan kesadarannya. Tiada
gunanya dia yakinkan diri sendiri bahwa apa yang diketahuinya bukan suatu hal
yang penting. Dia telah melihat Diane Morisson diculik, melihat pelakunya, dan
itu bukan Joseph Kennelly. Dia tidak bisa menelepon dari rumah - Kate akan
berada di dekat lehernya, menguping. Dia harus mencoba mencari alasan untuk bisa
menelepon dari luar. Dia bermain-main kembali dengan gagasannya untuk
menceritakan semuanya pada Kate. Tidak, hal itu sama sekali tidak bisa
diharapkan; dia kenal betul siapa Kate.
Kenop pintu diputar-putar dari luar.
"Ya ampun," ujarnya dari balik pintu, "kenapa kau kunci pintunya" Apa kau sakit
atau apa?" "Aku baik-baik saja," sahut John bergumam, kemudian memutar kunci.
"Aku tidak pernah melihat lelaki sepertimu! Tidak ada satu katapun keluar dari
mulutmu saat kau pulang - mungkin kau tidak merasa punya istri. Aku hanya
pembantu disini, yang memasak makanan dan merawatmu. Kau mengunci diri di sana,
seakan-akan aku ini orang asing. Aku terkurung disini, bekerja keras seharian - "
"Kau mau aku bicara apa" Aku lelah."
"Kau pikir aku tidak?"
"Sudah, kita tidak usah bertengkar lagi, Kate," ujar John lelah. Sebuah gagasan
muncul di benaknya. "Kepalaku sakit sekali. Kalau makan malam belum siap, kurasa
aku akan pergi ke apotik dan membeli obat."
"Makan dulu," jawabnya, berusaha berdamai. "Kau akan merasa lebih baik sesudah
makan." Dia berusaha keras mendapat jawaban bernada ramah dari John, dan itu
terlihat jelas di wajahnya. "Aku baru saja membaca-baca berita yang ada di
koran. Ya ampun, anak itu kasihan sekali ya" Aku senang mereka berhasil
menangkap pelakunya. Orang-orang seperti itu harusnya diceburkan dan digoreng
dalam minyak panas."
"Bagaimana kau tahu kalau dia memang pelakunya?" Larsen tidak bisa menahan diri
untuk tidak bertanya. Saat itu juga Kate menjadi panas.
"Well, sekarang kau jadi lebih tahu dari para polisi itu ya, Tuan Pintar" Bila
dia bukan pelakunya, mengapa mereka menangkapnya" Mereka tidak akan menangkapnya
sampai mereka mendapatkan barang-barang milik korban padanya - dan semua orang
juga tahu itu." "Mungkin juga," sahutnya lemah, dan Larsen segera mengatur meja makan sebelum
Kate menyuruhnya. Kepalanya memang sakit, dan itu bukan hal yang aneh. Ucapan-ucapan Kate
membuatnya berpikir kembali. Kate salah: mereka memang menangkap orang yang
tidak bersalah. Dengan kesadaran itu, mereka tidak bisa menjatuhkan vonis
padanya. Pikirannya terbang ke laboratorium polisi yang pernah dia baca di
cerita misteri. Rambut dan serat yang ada di pakaian si gadis itu mungkin saja
milik orang lain, seorang lelaki setengah baya yang tegap dengan rambut gelap
dan tebal, siapapun dia. Tidak diragukan lagi, ada banyak temuan ilmiah lain
yang tidak diketahui Larsen, dan temuan-temuan itu akan meringankan tuduhan
terhadap Kennelly. Penjaga sekolah itu mungkin akan didakwa oleh juri yang agung
berdasarkan apa yang mereka temukan - asal Larsen tidak muncul di pengadilan.
Mereka sungguh-sungguh yakin bahwa mereka akhirnya menangkap pelakunya.
Dan bila John Larsen tidak menjulurkan leher kemana-mana, maka kehancuran yang
tidak pernah usai tidak akan dialaminya.
Dia tidak keluar rumah untuk menelepon.
Para juri akhirnya memang mendakwa Kennelly, dan dia ditahan tanpa uang jaminan
di penjara setempat. Larsen sering sekali memikirkan Kennelly, meskipun pengaruh
jahat kejadian itu telah terasa samar dalam dirinya, sedikit demi sedikit.
Benar-benar nasib buruk untuk Kennelly, dipenjara selama itu untuk sesuatu yang
tidak dilakukannya. Tapi dilihat dari sudut manapun, lelaki itu memang tidak
berguna, dan bila dia ditakut-takuti dengan baik, mungkin dia akan menjadi
lurus. Saat ini mungkin mereka sadar mereka tidak punya bukti yang cukup untuk
membawa Kennelly ke meja hijau, atau akan muncul sesuatu yang akan menunjukkan
pada mereka siapa pelaku kejahatan itu sebenarnya - meskipun Larsen sadar mereka
tidak akan mencari tertuduh lain dengan sekuat tenaga ketika mereka pikir mereka
telah mendapatkan tertuduh yang sebenarnya.
Kennelly dibela seorang pengacara yang hebat - dari seorang paman kaya yang
muncul entah dari mana dan membayarsemua keperluannya. Lawrence Prather, nama si
pengacara. Dia membela beberapa kasus pembunuhan di beberapa daerah dan hampirselalu
meloloskan kliennya dari dakwaan. Kennelly yakin dirinya akan dibebaskan, jika
dia diadili. Tanggal pengadilan ditetapkan.
Larsen menenangkan dirinya sendiri, jika nanti ada sedikit saja keraguan tentang
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembebasannya maka dia akan mengorbankan diri dan menemui Prather dengan
ceritanya. Tapi tidak ada keraguan sedikitpun saat pengadilan berlangsung.
Larsen mendengar orang-orang membicarakan kasus itu di toko, juga di bis; semua
orang sangat tertarik mengikuti berita itu. Semua orang mengira Kennelly akan
bebas, bukan berarti mereka menganggap Kennelly tidak bersalah. Beberapa orang
memandang sinis pada peradilan: mereka menganggap orang tidak bisa didakwa hanya
karena bukti atau tuduhan semata.
Kadangkala, dengan gemetar, John Larsen membayangkan dirinya sedang diwawancara
pengacara pembela. Keberadaannya tidak berguna, meskipun dia datang ke pengacara
itu, jika Larsen tidak mau menjadi saksi mata.
Dan dia bisa mendengar suara jaksa penuntut yang mengadakan pemeriksaan silang
terhadapnya di pengadilan.
"Ceritakan bagaimana Anda sampai berada di tempat yang tidak wajar dan di waktu
yang juga tidak wajar itu, Mr. Larsen?"
Tidak akan ada seorangpun yang membelanya: hanya ada kata-katanya yang
bertentangan dengan ucapan semua orang. Jaksa penuntut mungkin akan membuat
dirinya menjadi salah satu kaki-tangan Kennelly, atau menuduhnya menerima suap
demi umpan ini: bahwa Larsen mengarang semua hal yang dikatakannya. Mereka
bahkan akan mencurigai, atau berpura-pura curiga, tentang ceritanya yang tidak
melindungi Kennelly tetapi melindungi dirinya sendiri. Orang-orang yang ada di
tempat makan siang akan mengenali wajahnya; dia ada Belleville sore itu. Namanya
akan segera dibersihkan, memang, tetapi dengan begitu banyak perhatian yang
tertuju padanya saat itu, orang akan memandangnya dengan tatapan lain saat dia
keluar dari sana. Larsen menjauh dari kantor Prather.
Pengadilan Kennelly dimulai bulan Oktober.
Larsen benar-benar tidak bisa pergi; dia harus bekerja. Tetapi dia mengikuti
berita tersebut dari koran-koran, kata demi kata. Dia tidak bisa mengalihkan
pikirannya ke hal lain. Sims memergokinya membicarakan kasus itu pada salah satu pelanggan, dan marah
karenanya. "Kita ingin orang-orang bicara tentang karpet disini, bukan
pembunuhan," ujarnya.
"Jika kau tidak bisa bekerja dengan benar, Larsen-" Larsen segera minta maaf dan
lebih berhati-hati. Dia terpana dan takut akan antusiasme masyarakat. Perlu waktu hampir seminggu
hanya untuk mendapatkan juri. Kennelly disoraki dan diteriaki saat dibawa ke
luar dari ruang sidang. Pembunuh dan penyiksaan seksual terhadap seorang gadis
kecil adalah kejahatan terburuk yang bisa dibayangkan, dan masyarakat ingin ada
orang yang diganjar untuk kejahatan ini. Larsen menggigil saat berpikir untuk
memberanikan diri mencabut dari mulut mereka. Menyatakan bahwa dia percaya
Joseph Kennelly mungkin tidak bersalah hanya akan membuatnya tidak aman.
Saat pengadilan berlangsung, Larsen mulai mengalami mimpi buruk. Dia tidak nafsu
makan dan bobotnya terus turun . Kate bahkan menyadari keadaannya dan terus saja
merongrong suaminya dengan berbagai macam pertanyaan. Sebagaimana orang-orang di
sekitarnya, Kate juga rajin mengikuti berita tentang kasus tersebut di koran-
koran, dan tiap malam dia sangat ingin membicarakannya. Dia tahu Kennelly memang
bersalah, dan kursi listrik terlalu bagus untuknya. Dan jika dia sampai bebas,
dia hams dirajam sampai mati.
"Diam!" teriak suaminya.
"Sepertinya kau prihatin padanya ya?" sahutnya. "Mungkin kau berharap untuk
dapat melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya dan pergi begitu saja!"
Larsen masuk ke kamar mandi demi menghindari istrinya yang selalu menuntut
jawaban. Selama pengadilan berlangsung, dia menunggu sia-sia akan adanya rambut atau
serat kain yang akan disebut-sebut sebagai bukti: kelihatannya tidak ada apapun
yang ditemukan, atau mungkin keberadaannya diacuhkan karena bukti-bukti tersebut
tidak menunjukkan bahwa Kennelly memang tidak bersalah. Tidak ada seorangpun
yang menyebut-nyebut adanya noda darah atau sidik jari dalam mobil - mungkin
dengan alasan yang sama. Seorang saksi ahli mengatakan ada serpihan kerikil yang ditemukan dalam sepatu
terdakwa yang memang berasal dari pertambangan itu, tapi Kennelly sering
mengunjungi tempat itu karena dekat dengan gubuknya. Dan tidak ada saksi mata
yang membuktikan alibi Kennelly, atau menyangkalnya. Teman-teman sekolah Diane
hanya bisa menyatakan kebiasaan Kennelly secara samar. Larsen merasa bebannya
mulai berkurang. Tapi pembelaan itu ternyata lebih dari sekedar formalitas. Hanya Kennelly
sendirilah saksinya, dan dia adalah saksi yang buruk, bahkan bagi dirinya
sendiri - dia mengaku mabuk di saat-saat yang menentukan.
Pengacaranya tidak berusaha untuk menyatakan ketidakwarasan Kennelly sebagaimana
yang diharapkan Larsen. Prather menyampaikan pidato penutup yang kuat, merujuk
pada kurangnya bukti dan menyatakan tidak adanya kesaksian apapun yang bisa
sungguh-sungguh menjerat kliennya dan mendakwanya bersalah.
Tetapi Jaksa Penuntut Holcombe memaparkan semua hal yang menyangkut si penjaga
sekolah - mencela, mengungkap catatan kejahatannya yang panjang, dan
memanggilnya "mahluk berbentuk manusia, dengan sifat kebinatangan yang kejam
jahat". Yang paling celaka dari semua itu adalah saputangan. "Aku sama sekali tidak
percaya dengan kebetulan-kebetulan seperti itu," ujar Holocombe sarkastis.
"Kuberitahu apa saja yang aku percaya - aku percaya si gadis malang itu menarik
keluar saputangan itu dari saku Kennelly sendiri saat dia berusaha untuk melawan
dan berjuang demi keselamatan dan kehormatannya. Dan aku percaya gadis malang
itu melukai wajah Kennelly dalam perjuangannya yang tanpa daya, hanya untuk
melarikan diri dari monster yang menyerangnya."
Orang-orang yang menonton di ruang sidang bertepuk tangan, dan mereka tidak
berhenti sampai Hakim mengancam untuk mengusir mereka.
Di depan juri, Hakim Stith berusaha netral, tapi para juri sendiri bisa menilai
di pihak siapa Hakim itu berdiri. Mereka juga berpihak pada orang yang sama;
masih jelas dalam ingatan mereka foto-foto si malang Diane kecil yang sudah jadi
mayat. Beberapa orang diantara juri tersebut juga memiliki putri. Harus ada
seseorang yang dihukum untuk kejahatan brutal ini.
Akhirnya mereka memutuskan terdakwa bersalah atas kedua tuduhan: penculikan dan
pembunuhan. Pemungutan suara hanya di- adakan tiga kali - begitu menurut pegawai
pengadilan pada wartawan setelah sidang selesai - untuk mengembalikan akal sehat
beberapa juri yang sentimentil dan konyol yang menyatakan keraguan beralasan.
Tetapi Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, pikir Larsen panik. Dia tidak
bisa berbuat begitu, hanya dengan kesaksian tidak langsung. Paling berat, orang
itu hanya akan diberi hukuman seumur hidup, dan itu artinya dia akan bebas
bersyarat suatu hari nanti. Hal itu tidak akan begitu menyakitkan bagi kennelly,
juga tidak akan membuatnya menjadi lebih baik.
Hakim memutuskan untuk menghukum Kennelly di kursi listrik. Dia juga punya
seorang putri di rumah. Tapi 'kan selalu ada permohonan naik banding, pikir Larsen putus asa. Dan
permohonan itu akan dikabulkan. Kennelly akan bersidang lagi, dan nanti
kebenaran akan muncul ke permukaan.
"Demi Tuhan, berhentilah mondar-mandir begitu!" ujar Kate dengan nada marah
untuk kesekian kalinya sore itu. "Ada apa denganmu akhir-akhir ini" Dan kau
terlalu banyak merokok, John. Aku tidak suka itu - kau menghabiskan terlalu
banyak uang untuk rokok!"
Permohonan naik banding ditolak.
Jaksa penuntut menyatakan kegembiraannya pada wartawan. "Kematian terlalu bagus
bagi manusia ular seperti Kennelly," ujarnya.
Prather tidak membawa persidangan itu ke Pengadilan Negara Tertinggi. "Tidak ada
alasan,"jelasnya. Tapi masih ada alasan-alasan lain. Dan Larsen akan menyediakannya.
Dua kali Larsen mencoba menghubungi nomer telepon Prather. Tapi kemudian dia
sadar apa yang akan setelah itu. Lalu dia meletakkan kembali gagang telepon ke
tempatnya. Tunggu dan lihat sajalah, ujarnya pada diri sendiri. Hal-hal seperti
ini akan makan waktu bertahun-tahun , itu berarti tahun demi tahun penangguhan
hukuman. "Dan mengapa Anda menunda-nunda terlalu lama untuk memberi informasi ini, Mr.
Larsen?" tanya pengacara pembela di dalam kepala Larsen sendiri.
Tidak ada guna mengorbankan diri demi mendapatkan pengampunan bagi Kennelly,
memohon mereka untuk mengikuti beberapa petunjuk tanpa keterlibatan John Larsen
sama sekali. Tanpa kesaksiannya, semua bukti-bukti baru sama sekali tidak
berarti. Lagipula, sekarang ini semuanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika
pertama kali Kennelly ditahan - atau sebelumnya - mungkin apa yang diketahui
Larsen akan sangat berguna. Sekarang dia hanya akan melibatkan diri dalam
peluang tipis untuk menyelamatkan Kennelly, begitu Larsen berkata, terus dan
terus, pada diri sendiri.
Kalau saja ada seseorang - seorang saja di dunia ini - untuk bisa diceritakan
tentang peristiwa itu, yang akan memberinya nasihat, melindunginya, dan membuat
segalanya berakhir dengan baik!
Kennelly berada dalam tahanan khusus bagi terhukum mati di penjara negara
bagian. Tanggal eksekusinya sudah ditetapkan tiga bulan lagi.
Dua bulan berlalu. Akhirnya hanya tinggal sebulan.
Prather membawa paman Kennelly, satu-satunya keluarga yang dimiliki lelaki itu,
menghadap gubernur. Sementara Gubemur sedang berkampanye kembali mencalonkan
diri bulan November nanti. Dan dia tidak ingin ada penangguhan hukuman seorang
lelaki yang didakwa atas pembunuhan seksual seorang gadis kecil.
Waktu berlalu. Eksekusi itu berlangsung seminggu lagi.
Kemudian dua hari lagi. Bobot John Larsen berkurang dua puluh kilogram. Dia takut tidur; karena dia
pernah berteriak dalam tidurnya dan membangunkan Kate. Dia bahkan tidak pernah
memperhatikan omelan istrinya lagi.
"Kalau kau sakit, pergilah ke dokter."
"Aku tidak sakit."
"Kau pikir aku bodoh" Kau menyimpan sesuatu, John. Apa yang telah kau lakukan,
John?" Kate mencoba beberapa kemungkinan.
"John, beritahu aku!" Tiba-tiba istrinya menangis terisak-isak. "Aku tahu ada
apa ini sebenarnya, dan aku tidak akan bertahan menghadapinya. Kau berhubungan
dengan perempuan lain! Bila selama dua puluh tujuh tahun pernikahan ini kau
pikir aku akan membiarkanmu - "
Larsen tertawa. Dan tawa yang keluar bukanlah suara yang enak didengar.
Beberapa rencana gila memenuhi benaknya. Dia akan pergi ke Belleville, dia akan
berburu sampai dia menemukan lelaki berambut gelap itu dan akan memaksa pembunuh
itu mengaku. Semuanya hanya omong kosong.
Penangguhan pada menit-menit terakhir ditiadakan. Dalam hati Larsen juga
berharap hal itu tidak ada. Kennelly menduduki kursi tepat sesuai jadwal,
berteriak-teriak dirinya tidak bersalah dengan sisa nafas yang masih dia miliki.
Membaca cerita menyedihkan itu seluruhnya dari koran, akhimya John Larsen
berhadapan dengan kebenaran yang sesungguhnya.
Mungkin dia tidak bisa mencegah terjadinya pembunuhan terhadap gadis itu -
meskipun dia mungkin bisa melakukannya jika dia bertindak cepat saat itu juga.
Tapi apa yang dilakukannya sudah cukup.
Dia telah mengakhiri hidup seorang lelaki yang tidak bersalah, hanya demi
mempertahan-kan pekerjaan yang menjijikkan dan istri yang dia benci. Dia, John
Larsen, telah membunuh seorang lelaki yang tidak dikenalnya, sebagaimana lelaki
tak dikenal itu membunuh Diane Morisson.
Dia adalah pembunuh, dan pembunuh harus mati. Tapi dia tidak punya cukup
keberanian untuk menyelamatkan Kennelly, dan dia juga tidak punya nyali
sedikitpun untuk mati. Yang dapat dilakukannya hanya bertahan, sampai batas
kemampuannya. Melihat raut wajah suaminya petang itu, omelan Kate tertahan sampai di bibir.
John memunguti makan malam di piringnya dalam kebisuan. Setelah itu dia segera
tidur. Dalam tidur panjangnya yang tanpa mimpi, Larsen bagai binatang yang
letih. Keesokan paginya Larsen sedang menunjukkan sebuah karpet pada seorang pelanggan.
Tiba-tiba dia menjatuhkan karpet itu dan berdiri dengan tegang.
Dan dia berteriak-teriak: "Aku melakukannya! Aku melakukannya!"
Perlu dua orang lelaki untuk menenangkan-nya sampai ambulan datang...
Dan di dekat Belleville, seorang lelaki dengan rambut hitam kelam, 'tokoh' yang
tidak berbahaya yang dikenal setiap orang tapi tidak diperhatikan siapapun,
menyusuri jalan sepi di desa itu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam, dan
matanya mencari-cari seorang gadis cantik yang sedang berjalan sendirian.[]
HUKUMAN UNTUK ORANG-ORANG KASAR
Jack Ritchie "Berapa usiamu?" tanyaku!
Matanya mengarah ke pistol yang sedang kupegang. "Begini, Mister, uang dalam
mesin kasir ini memang tidak terlalu banyak, tapi ambillah semuanya . Aku tidak
akan menyusahkanmu."
"Aku tidak tertarik dengan uang kotormu itu. Berapa usiamu?"
Dia terkejut. "Empat puluh dua."
Aku mendecakkah lidah. "Sayang sekali. Setidaknya - menurutmu. Kau mungkin bisa
hidup dua sampai tiga puluh tahun lagi kalau saja kau bisa sedikit bersusah
payah untuk berlaku sopan."
Dia tidak mengerti. "Aku akan membunuhmu," kataku, "untuk sebuah perangko seharga empat sen dan
sekantung permen cherry."
Dia tidak mengerti sedikitpun tentang permen cherry, tapi dia tau apa yang
kumaksud dengan perangko.
Kepanikan mulai menjalar di wajahnya.
"Kau pasti gila. Kau tidak bisa membunuhku hanya karena itu."
"Tapi buktinya aku bisa."
Dan memang kulakukan. Ketika dokter Biller mengatakan bahwa aku hanya punya sisa waktu empat bulan
sebelum mati, tentu saja aku merasa gelisah. "Apakah Anda yakin hasil X-ray saya
tidak tertukar dengan orang lain" Saya pernah mendengar ada peristiwa semacam
itu." "Sayangnya tidak, Mr. Turner."
Aku menyatakan apa yang ada di benakku dengan lebih bersungguh-sungguh. "Laporan
laboratorium itu. Mungkin secara tidak sengaja petugasnya menempelkan nama saya
pada kertas yang salah..."
Perlahan dia menggelengkan kepalanya.
"Saya sudah memeriksanya dua kali. Saya selalu melakukannya dalam kasus-kasus
seperti ini. Keamanan praktek medis, seperti biasa."
Saat itu sore hampir beranjak petang, dan sudah waktunya matahari lelah. Aku
sedikit berharap ketika sudah saatnya jiwaku beranjak dari raga, maka saat itu
adalah pagi hari. Agak lebih cerah kelihatannya.
"Dalam kasus-kasus seperti ini," lanjut dokter Biller, "seorang dokter
menghadapi sebuah dilema besar. Haruskah dia mengatakan yang sesungguhnya pada
si pasien" Saya selalu berterus terang pada semua pasien saya. Itu akan
memudahkan mereka mengurus semuanya dan mencoba-coba alternatif penyembuhan
lainnya." Dia menarik sebuah buku catatan. "Saya juga sedang menulis sebuah
buku. Apa yang akan Anda lakukan dengan sisa waktu yang Anda miliki?"
"Saya sungguh-sungguh tidak tahu. Saya baru saja memikirkannya satu-dua menit
yang lalu." "Tentu saja," jawab Briller. "Tidak usah buru-buru. Tapi ketika Anda sudah
memutuskannya, Anda akan memberitahukannya pada saya, bukan" Buku saya berisi
tentang hal-hal yang akan dilakukan orang-orang dengan sisa waktu mereka saat
mereka sadar usia mereka hanya sebentar lagi."
Buku catatannya disingkirkan. "Datanglah tiap dua atau tiga minggu sekali.
Dengan cara itu kita akan lihat bagaimana perkembangan kemunduran kesehatan
Anda." Briller mengiringiku ke pintu. "Saya sudah menulis sekitar dua puluh dua kasus
seperti Anda." Matanya menerawang ke masa depan.
"Anda tahu, ini bisa jadi buku laris."
Hidupku selalu saja membosankan. Bukannya tidak bermakna, cuma membosankan.
Aku merasa tidak menyumbangkan apapun di dunia ini - dan aku memiliki banyak
kesamaan yang terdapat pada hampir setiap orang - tetapi di sisi lain aku juga
tidak mengambil apapun. Singkatnya, aku hanya minta untuk tidak diganggu. Hidup
ini sudah cukup susah tanpa harus bersosialisasi dengan masyarakat yang tidak
pernah ada habisnya. Apa yang dapat dilakukan seseorang dengan sisa waktu hidup empat bulan yang
membosankan" Aku tidak tahu sudah seberapa jauh aku berjalan dan berpikir tentang hal itu,
sampai aku tiba di sebuah jembatan panjang yang melengkung turun ke sebuah
lapangan di pinggir danau. Suara musik mekanis meruyak masuk ke dalam benakku
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan aku melihat ke bawah.
Sirkus, atau mungkin pasar malam, adalah apa yang kulihat.
Disana adalah dunia keajaiban yang lusuh, tempat benda-benda berkilat dianggap
emas, tempat pemimpin pertunjukan dengan topi tinggi dianggap seorang pria
sejati, sama sejatinya dengan medali yang tersemat di dadanya. Tempat para
wanita yang terbalut gaun merah muda di atas punggung-punggung kuda berwajah
tegang dengan mata memicing.
Disanalah tempat para penjual-penjual bersuara kasar, dengan kembalian yang
sering kurang. Aku selalu merasa kematian sebuah sirkus besar mungkin dianggap sebagai salah
satu kemajuan budaya pada abad ke duapuluh, tetapi aku terus saja berjalan
menuruni jembatan itu dan dalam beberapa menit aku sudah berada di tengah
jajaran kios-kios dimana mutasi manusia dieksploitasi dan dipamerkan sebagai
hiburan anak-anak. Tanpa sadar aku sampai ke sebuah kubah besar dan memandang pemeriksa tiket yang
bosan dalam kotaknya di sebelah pintu masuk utama yang beberapa tangga lebih
tinggi. Seorang bapak dengan wajah menyenangkan menggiring dua gadis kecil mendekati
sebuah pos dan mengangsurkan beberapa kartu segiempat yang kelihatannya seperti
tiket. Si pemeriksa tiket menelusuri daftar di hadapannya dengan jari. Matanya menegang
dan dia membentak si bapak dan anak-anak kecil itu beberapa saat. Kemudian
pelan-pelan dan dengan sengaja dia merobek-robek kartu itu menjadi sobekan-
sobekan kecil dan menjatuhkannya ke lantai. "Ini sudah tidak bisa dipakai lagi,"
katanya. Wajah si bapak memerah. "Saya tidak mengerti."
"Kau tidak menjaga poster sirkus tetap di tempatnya," bentak si pemeriksa tiket.
"Pergi sana, sampah!"
Anak-anak itu menengadah memandang ayah mereka, keheranan membayang di wajah
mereka. Apa yang akan dilakukan Ayah"
Bapak itu hanya berdiri dengan wajah pucat menahan marah . Sepertinya dia ingin
mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menatap kedua gadis kecilnya. Matanya
mengatup sebentar, mengendalikan marahnya .
Kemudian dia berkata, "Mari, Nak. Kita pulang."
Dia kembali menggiring dua gadis kecil itu pergi, terus ke jalan, dan kedua
bocah itu menoleh ke belakang, heran, tapi mereka tidak mengatakan apapun.
Aku mendekati si pemeriksa tiket.
"Mengapa kau lakukan itu?"
Dia memandangku dari tempatnya yang agak tinggi. "Apa urusannya denganmu?"
"Banyak, mungkin."
Dengan marah dia meneliti wajahku.
"Karena dia tidak menjaga poster yang kami tempelkan itu di tempatnya."
"Aku sudah mendengarnya tadi. Jelaskan padaku."
Dia menarik nafas seakan-akan dia harus bayar hanya untuk menjelaskan hal itu.
"Anak buah kami menyusuri kota dua minggu lebih dulu. Mereka menempelkan poster
berisi iklan pertunjukan ini dimanapun sebisa mereka - toko kelontong, toko
sepatu, toko daging - tempat manapun yang mau memajang poster- poster itu di jendela dan menjaganya
tetap melekat disana sampai sirkus ini datang kemari.
Anak buah kami akan memberikan dua atau tiga tiket gratis sebagai ganti
penempelan poster. Tetapi beberapa pelawak ini tidak tahu kalau kami memeriksa
poster-poster tersebut. Bila poster itu sudah tidak ada di tempatnya saat sirkus datang ke kota maka
tiket-tiket yang kami berikan sudah tidak berlaku lagi."
"Begitu," ujarnya kering. "Jadi kau merobek tiket-tiket itu di hadapan mereka
dan anak-anak mereka. Memang terbukti orang itu menurunkan poster dari jendela
toko mungilnya terlalu cepat. Atau mungkin orang-orang yang menurunkan poster
itu dari jendela mereka memberikan tiket itu padanya."
"Apa bedanya" Tiket-tiket itu tetap tidak berlaku."
"Mungkin menurutmu tidak ada bedanya. Tapi sadarkah apa yang telah kau lakukan?"
Matanya menyipit, mencoba mengira-ngira kemampuan dan kekuatanku.
"Kau telah melakukan salah satu kejahatan terbesar dalam bersikap terhadap
sesama manusia," ujarku datar. "Kau mempermalukan seorang ayah dihadapan anak-
anaknya. Kau telah menorehkan luka dalam diri anak-anaknya dan luka itu akan
tetap tinggal seumur hidup mereka. Dia akan pulang bersama anak-anaknya, dan
perjalanan itu akan sangat panjang sekali. Dan apa yang dapat dia katakan pada
mereka?" "Apakah kau polisi?"
"Aku bukan polisi. Anak-anak seusia mereka menganggap ayah adalah orang terbaik
di seluruh dunia. Paling berani, paling baik. Dan sekarang mereka akan selalu
ingat ada seorang lelaki yang jahat pada ayah - dan si ayah tidak melakukan
apapun terhadapnya."
"Aku memang sudah merobek tiketnya. Kenapa dia tidak membeli tiket saja" Apa kau
penyelidik kota?" "Aku juga bukan penyelidik kota. Apa kau berharap dia membeli tiket setelah
kejadian yang memalukan itu" Kau membuat bapak itu tidak bisa mengambil jalan
lain. Dia tidak bisa membeli tiket dan tidak bisa menciptakan skenario untuk
memperbaiki keadaan tersebut karena anak-anak ada bersamanya. Dia tidak bisa
melakukan apapun. Sama sekali tidak bisa, kecuali kembali pulang bersama anak-
anak yang ingin melihat sirkusmu yang menyedihkan itu."
Aku melihat ke lantai pos jaganya. Ada banyak serpihan-serpihan mimpi yang ter-
buang disana - reruntuhan dari ayah-ayah yang lain yang melakukan kejahatan
terbesar karena tidak menjaga poster-poster itu tetap menempel di tempatnya. "Setidaknya kau bisa berkata,
'Maaf, Pak, tiket-tiket ini tidak berlaku lagi.' Kemudian kau bisa menjelaskan
kepada mereka dengan baik-baik dan sopan."
"Aku tidak dibayar untuk sopan." Dia menunjukkan gigi-giginya yang kuning.
"Lagipula, Mister, aku suka merobek-robek kertas. Itu membuatku merasa
berkuasa." Dan begitulah. Orang kecil yang diberi sedikit kekuasaan dan menggunakannya
bagai Caesar. Dia setengah berdiri. "Sekarang keluarlah dari sini, Mister, sebelum aku datang
dan mengejar-ngejarmu ke seluruh taman bermain ini."
Ya. Dia memang orang yang kejam, seekor binatang dua dimensi yang lahir tanpa
kepekaan dan perasaan, yang ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang
mencelakakan orang lain seumur hidupnya. Dia adalah mahluk yang harus
dimusnahkan dari muka bumi ini.
Andaikan aku punya kekuatan untuk...
Aku menatap wajah orang yang sedang merengut itu dan sesaat kemudian berbalik
dan pergi. Di atas jembatan aku naik bis menuju toko olahraga di Thirty-seventh
Street. Aku membeli pistol kaliber 32 dan sekotak peluru.
Mengapa kita tidak membunuh" Apakah karena kita tidak merasakan pembenaran moral
dalam melakukan hal final seperti itu" Atau apakah kita cenderung takut pada
konsekwensi yang menimpa jika kita tertangkap - harga yang harus dibayar oleh
kita sebagai pelaku, oleh istri, oleh anak-anak kita"
Kita telah memperlakukan orang-orang yang bersalah dengan sikap lunak, dan kita
harus bertahan dengan keberadaan mereka karena untuk menghilangkan mereka dari
muka bumi ini akan membuat kita mengalami penderitaan akan kesakitan dan
kepedihan yang lebih parah.
Tapi aku tidak punya keluarga dan sahabat.
Dan hidupku tinggal empat bulan lagi.
Matahari telah tenggelam dan lampu-lampu di pasar malam bersinar terang saat aku
turun dari bis di jembatan yang tadi. Aku melongok ke jajaran panggung dan
melihat lelaki itu masih berada disana.
Bagaimana aku melakukannya" Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa aku langsung saja
berjalan kesana dan menembaknya di atas singgasana yang mungil itu"
Masalah itu terpecahkan begitu saja. Aku melihatnya digantikan oleh pemeriksa
tiket lainnya - dan itu jelas-jelas membuatnya lega.
Dia menyalakan rokok dan dengan santai berjalan keluar dari jajaran panggung
menuju tepi danau yang gelap.
Kususul dia saat akan membelok di tikungan yang tertutup semak-semak. Tempat itu
sepi, tapi cukup dekat dengan pasar malam dan suara riuh masih terdengar dari
sana. Dia mendengar langkah kakiku yang sedang mendekat dan menoleh. Seulas senyum
licik tersungging di bibirnya dan dia mengusap buku-buku jarinya. "Kau yang
minta, Pak." Matanya membelalak saat dia melihat pistol yang kupegang.
"Berapa usiamu?" tanyaku.
"Begini, Pak, aku hanya punya beberapa lembar sepuluh dolar di saku," jawabnya
panik. "Berapa usiamu?" aku kembali bertanya.
Matanya berkilat-kilat gugup. "Tiga puluh dua."
Dengan raut wajah sedih aku menggeleng-gelengkan kepala. "Kau bisa hidup sampai
usia tujuh puluh tahun. Mungkin kau masih punya waktu sampai empat puluh tahun
lagi, kalau kau mau sedikit bersusah payah bersikap selayaknya manusia."
Wajahnya memucat. "Apa kau sudah gila atau semacamnya?"
"Mungkin." Dan pelatuknya kutarik. Suara tembakan itu tidak sekeras yang kubayangkan, atau mungkin bunyinya
tertelan oleh hiruk-pikuk riuhnya pasar malam.
Dia terhuyung-huyung sedikit dan jatuh ke pembatas jalan setapak. Dari
penampilannya, dia memang sudah mati.
Aku duduk di bangku taman terdekat dan menunggu.
Lima menit. Sepuluh. Apa tidak ada orang yang mendengar suara tembakan tadi"
Tiba-tiba aku merasa lapar sekali. Aku belum makan apapun sejak tadi siang .
Bayangan tentang kantor polisi dan pertanyaan-pertanyaan panjang yang harus
kujawab membuatku tidak tahan lagi. Lagipula, kepalaku sangat sakit.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan menulis:
Kata-kata ceroboh masih dapat dimaafkan.
Tetapi kehidupan yang dipenuhi sikap kasar dan kejam tidak dapat dimaafkan.
Orang ini pantas mati. Aku baru akan menuliskan namaku, tapi akhirnya kuputuskan, mungkin inisialku
sudah cukup untuk saat ini. Aku tidak mau ditangkap sebelum makan kenyang dan
minum aspirin. Kertas itu kulipat dan kumasukkan ke saku kemeja lelaki yang sudah mati itu.
Tidak ada seorangpun yang kutemui saat aku menelusuri jalan setapak yang
menanjak kejembatan. Aku berjalan menuju Weschler's, yang mungkin merupakan
restoran terbaik di seluruh kota. Harganya, dalam keadaan normal, diluar
jangkauanku, tapi kupikir inilah saatnya memanjakan diriku sendiri.
Setelah makan, kuputuskan untuk pesiar petang dengan bis sebagai kegiatan
selanjutnya. Aku lebih menyukai tamasya seperti ini, lagipula sebentar lagi
kemerdekaanku untuk bisa bergerak bebas akan sangat terbatas.
Supir bis yang kukendarai adalah lelaki yang tidak sabaran dan dia memperlakukan
para penumpang bagai musuh. Tetapi malam itu indah dan bis yang kutumpangi juga
sepi. Di Sixty-eighth Street, seorang perempuan berambut putih dengan raut wajah halus
menunggu di halte. Si supir menghentikan kendaraannya sambil menggerutu dan
membuka pintu. Nenek itu tersenyum dan mengangguk pada setiap penumpang ketika dia menjejakkan
kaki ke tangga bis, dan orang yang melihatnya bisa langsung tahu kehidupannya
yang penuh kebahagiaan nan lembut dan sedikit perjalanan naik bis.
"Well! bentak si supir. "Apa naik ke dalam bis saja perlu waktu seharian?"
Wajah si nenek memerah dan dia gugup.
"Maaf." Tangannya menyodorkan selembar uang lima dolar ke si supir.
Dia murka. "Apa kau tidak punya uang receh?"
Warna di wajahnya semakin memerah.
"Kukira tidak. Tapi coba kulihat dulu."
Supir itu tidak terburu-buru untuk mengejar jadwalnya dan dia menunggu.
Dan yang terlihat jelas di wajahnya adalah: dia sangat menikmati keadaan ini.
Si nenek menemukan pecahan seperempat dollar dan mengangsurkannya dengan tangan
gemetar. "Masukkan dalam kotak!" bentak si supir lagi.
Dan uang pecahan itu dijatuhkannya ke dalam kotak.
Si supir kembali menjalankan kendaraannya dengan gerakan mendadak. Untung tangan
si nenek berhasil meraih tali pegangan tepat pada waktunya.
Matanya mencari-cari mata penumpang yang lain, seolah minta maaf - karena tidak
bergerak lebih cepat, karena tidak menyediakan uang receh, dan karena hampir
jatuh saat bis bergerak. Senyum itu gemetar, kemudian dia duduk.
Di Eighty-second Street, dia membunyikan bel tanda berhenti, bangkit dari kursi,
dan berjalan ke depan. Supir itu menoleh ke belakang dan kembali membentak-bentak si nenek sambil
menghentikan kendaraannya. "Gunakan pintu belakang! Kalian semua, tidak pernah
belajar mempergunakan pintu belakang ya?"
Aku adalah penumpang yang selalu menggunakan pintu belakang. Khususnya jika bis
sedang penuh. Tapi saat itu hanya ada enam orang penumpang dan mereka membaca
koran dengan ketakutan netral.
Dia berbalik, wajahnya pucat, dan turun lewat pintu belakang.
Petang yang telah atau akan dia nikmati, sekarang sudah hancur. Mungkin petang-
petang lainnya juga akan hancur, saat si nenek kembali mengingat kejadian yang
baru saja dia alami. Aku tetap duduk di dalam bis sampai tujuan terakhir.
Aku satu-satunya penumpang ketika si supir berbelok dan parkir.
Tempat parkir itu adalah sebuah sudut remang-remang yang sepi, dan tidak ada
satupun penumpang yang menunggu di halte.
Supir itu melirik jam tangannya, menyalakan rokok, dan baru sadar masih ada satu
penumpang di dalam bisnya. "Jika kau ingin kembali ke kota, bayar seperempat
dollar lagi, Pak. Disini tidak ada penumpang gratis."
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pelan ke depan. "Berapa usiamu?"
Matanya menyipit. "Bukan urusanmu."
Budha Pedang Penyamun Terbang 14 Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Mestika Burung Hong Kemala 4
nanti saya cari uangnya. Eddie tidak usah tahu tentang semua ini, bukan?"
"Tentu tidak usah sampai beliau tahu, Mrs. Holland. Anda hanya harus membayar
hutang itu - lain tidak. Dan suami Anda tidak perlu mengetahui hal ini sama
sekali." " Bukannya karena saya malu atau semacamnya!" teriak Fran. "Saya belum
kehilangan keberuntungan saya, kok! "
"Tentu saja, Mrs. Holland."
"Anda tidak bisa melakukan itu pada saya, Mr. Cooney - "
Topi itu kembali ditancapkan ke rambut yang mengkilap dan berminyak. "Saya
benar-benar harus pergi, Mrs. Holland. Anda tahu dimana Anda bisa bertemu saya.
Di Vito's. Bila Anda datang jam berapapun sebelum jam enam, maka kita bisa
melupakan semuanya."
"Tapi saya sudah mengatakannya pada Anda!" Fran mengacak-acak kembali rambutnya
yang sudah tersisir rapi. "Saya tidak memiliki uang sebanyak itu! Saya tidak
bisa mendapatkan uang sebanyak itu! Tidak ada cara apapun - "
"Anda tahu pegadaian?"
"Saya sudah - " Fran berhenti dan jari-jarinya menutupi mulut. Kalau saja Eddie
tahu! "Sampai jumpa, Mrs. Holland."
Lelaki itu keluardan menutup pintu pelan-pelan.
Fran mendengar langkah kaki lelaki itu di lorong yang semakin sayup dan kemudian
menghilang, dan dia memikirkan Eddie. Fran memandang ke meja dapur seakan dapat
melihat suaminya duduk di seberangnya, terlihat sedih dan bingung seperti yang
sudah pernah dilihat Fran berkali-kali sebelumnya, menggeleng-gelengkan kepala
dan berkata, "Mengapa kau lakukan itu, Fran" Untuk apa?"
Bagaimana mungkin dia menghadapi adegan itu lagi" Setelah semua janji-janji,
adegan saling tuduh yang penuh airmata, dan kata-kata maaf" Saat pertama itu
terjadi semua tidaklah begitu buruk; mereka masih berbulan madu, dan apapun yang
dilakukan mempelai Eddie selalu menyenangkan, lucu dan menarik - bahkan bertaruh
untuk pacuan kuda dengan uang belanja. Mereka mentertawakan hal itu lalu
menyelesaikannya - sebelum perdebatan berlangsung terlalu jauh - dengan cara-
cara lembut dan penuh kasih seperti yang biasa dilakukan pasangan pengantin
baru. Tapi peristiwa itu terulang untuk yang kedua kali, kemudian ketiga, dan di
setiap kejadian itu, Eddie terlihat semakin sedih dan heran, dan keheranan itu meningkat sampai
berubah jadi kemarahan. Kemudian ada kejadian buruk bulan Oktober kemarin,
ketika Eddie mengetahui lingkaran putih di jari manis Fran itu tadinya tempat
cincin pertunangan... Fran merinding mengingatnya. Tidak ada pengampunan dari Eddie saat itu. Fran
telah bersumpah kebiasaannya itu sudah hilang; dia juga berusaha sebisanya untuk
meyakinkan Eddie bahwa dia telah belajar dari pengalaman.
Tetapi tetap saja Eddie tidak mau memaafkannya; dia telah memperingatkan Fran
dengan halus. "Kalau sampai terjadi sekali lagi, Fran... Ya Tuhan... kalau sampai terjadi
sekali lagi... Aku akan keluar dari sini..."
Dia beranjak dari kursi dapur dan lari ke kamar. Dibukanya laci lemari dengan
kasar, melempar pakaian-pakaian dan kardus-kardus dari swalayan yang berisi
kancing, jepitan topi, dan kain-kain perca. Semua tas tangannya digerayangi,
jemarinya meraba ke semua kantung demi mencari recehan yang tertinggal.
Fran meraba dua pasang saku-saku setelan milik suaminya yang tergantung di
lemari, berharap bisa mendengar suara gemerincing uang receh. Dibukanya kotak
perhiasan dari plastik yang diberikan Ed Natal kemarin, dan kaget karena di
dalamnya hampir tidak ada apa- apa lagi yang berharga kecuali pernak-pernik
berharga murah yang didapatnya di toko obralan.
Bahkan ketika Fran "terbang" ke ruang tamu dia merasa sudah pernah melakukan
semua hal yang baru dilakukannya.
Di bawah bantal sofa Fran menemukan koin sepuluh sen dan satu sen yang sudah
meng-hitam. Di dalam vas bunga porselen di rak buku ditemukannya selembar uang
satu dollar yang terlipat.
Dibawanya semua harta karun yang ditemukan ke meja dapur dan mulai menghitung.
"Dua dollar tujuh puluh delapan sen," bisiknya.
Fran menopang dagu dengan kedua tangan.
"Ya Tuhan! ya Tuhan," katanya.
Dua puluh lima dollar tidaklah banyak, pikirnya. Tapi dimana dia bisa
mendapatkan uang sebesar itu" Dia tidak punya teman lagi kecuali Lila.
Keluarganya tinggal berpuluh-puluh kilo jauhnya dari sini. Dimana dia bisa
mendapatkannya sebelum jam enam" Dia melirik pergelangan tangannya, tetapi jam
yang dulu berada disana sekarang sedang berdetik di sebuah toko loak di jalan
Broadway. Dia memandang sekilas ke jam listrik di meja dapur dan kaget demi
melihat jam yang menunjukkan pukul sebelas tigapuluh.
Kurang dari tujuh jam! Dua puluh lima dollar! Dan Cooney menyebutnya bisnis
recehan. Lalu gagasan itu muncul di kepala Fran.
Gagasan itu terlahir dari kenangan sedih, gambaran yang tidak menyenangkan di
sudut jalan berangin dua minggu lalu. Fran baru saja pulang setelah seharian
berbelanja dan ada gaun yang agak terlalu mahal dalam kotak garis-garis cantik
dalam dekapannya. Dia sudah lama berdiri di sudut itu, dengan kaki sakit, sambil
berdoa moga-moga Bis Nomer Lima tidak penuh. Kemudian Fran membuka tas
tangannya, tas tangan yang ini, yang diletakkannya di atas meja, mencari
recehan... Fran beranjak secepat kilat sampai kursi yang didudukinya bergeser dan menggesek
lantai linoleum dibawahnya dengan keras. Dia berlari ke kamar dan berdandan
sedikit. Diambilnya sepasang sepatu beludru dan mengeluarkan benda serupa sutra yang di-
sebutnya "selendang sore" dari laci. Efek yang dilihatnya di cermin tidak begitu
menggembirakannya, dan Fran segera mengganti pakaiannya.
Ketika semuanya selesai, Fran terlihat seperti gadis yang biasa dipamerkan Eddie
di pesta-pesta. Kemudian dia melangkah keluar.
Empat blok dari bangunan apartemen Fran terdapat halte bis terdekat. Halte bis
yang bagus, dengan bis Nomer Lima, Nomer Lima Belas dan Nomer Dua Puluh Tiga
saling menyeruduk satu sama lain di pinggir jalan saat jam-jam sibuk. Bis Nomer
Lima baru saja pergi terseok-seok, setengah terisi di siang hari. Tapi masih
banyak orang yang berdiri disana, menunggu angkutan ke tempat yang hanya Tuhan
yang tahu. Sebagian besar adalah orang-orang tua.
Orang tua tidak terlalu bagus untuk rencana yang akan dijalankannya. Tetapi Fran
melangkah dengan pasti ke arah tiang penyangga berbentuk panah dan terlihat
seperti seorang perempuan dengan maksud tertentu. Dari sudut matanya, Fran
memilih calon korban pertama. Dia tahu, yang pertama adalah yang paling sulit,
jadi dia harus berhati-hati dalam memilih. Bapak itu tidak terlalu tua, mungkin
beberapa tahun di atas lima puluh.
Matanya menggembung dan bahunya naik, seakan matahari bulan Juni, anehnya,
membuat dia kedinginan. Kedua tangannya berada dalam saku, dan uang receh di
dalamnya bergemerincing. Dia berjalan ke arah si bapak itu dari samping, mengintai jalanan kalau-kalau
ada bis yang mendekat. Si bapak melihat Fran dengan acuh.
Lalu Fran melihat bis Nomer Lima Belas di kejauhan. Dia membuka tas tangan dan
mengaduk-aduk isinya. "Ya Tuhan!" sahutnya keras.
Si bapak menatap Fran dengan mata melebar.
Fran memandang tanpa daya ke arah si bapak, dan ekspresi setengah panik dan
setengah bergurau terpadu di wajah Fran dengan sangat baik.
"Bagus sekali!" kata Fran. "Aku tidak punya sesenpun! "
Si bapak tersenyum samar, tidak tahu harus berbuat apa. Dan tangannya berhenti
mempermainkan recehan. "Apa yang harus kulakukan" Aku harus pergi ke kota - "
"Saya - hmm" Si bapak itu berdehem.
"Begini, bisakah saya - ehmm - "
"Bisakah Anda" Bisakah Anda meminjamkan saya lima belas sen" Saya merasa bodoh - "
Bapak itu tersenyum lebar; ini akan menjadi bahan obrolan buatnya nanti. Fran
juga tidak merasa segan; karena dialah yang beramal untuk si bapak sebenamya.
Tangannya meraih saku dan keluar dengan segenggam koin perak. Diambilnya koin
lima dan sepuluh sen dan kemudian mengangsurkannya ke Fran.
"Tidak usah dipikirkan," ujarnya. Bis itu berhenti di depan mereka. "Kau bisa
mengembalikannya lewat pos," katanya lagi. "Hahaha! Well, ini bisnya - "
"Bukan bisku," jawab Fran sambil tersenyum. "Aku menunggu bis Nomer Lima. Terima
kasih banyak." "Kembali!" sahutnya riang dan mulai berjalan menaiki bis.
Semoga harimu cerah, Pak, pikirnya.
Seorang lelaki muda yang baru turun dari bis sedang melipat koran di depannya.
"Maaf - " "Hah?" Orang itu menengadahkan wajahnya, matanya yang pucat bertanya-tanya.
"Saya merasa bodoh sekali, tapi - " Fran mengedip-ngedipkan bulu matanya dengan
cantik. Lelaki itu masih sangat muda, dan dia tersipu. "Saya meninggalkan rumah
tanpa membawa uang sesenpun. Dan saya harus naik bis berikutnya ke kota - "
"Ya ampun," sahutnya, menyeringai malu. "Saya tahu bagaimana perasaan Anda.
Sebentar - " Dia meraba-raba saku jaketnya.
"Hanya ada dua puluh lima sen - "
"Oh, tapi - " "Tidak, tidak, ambillah semuanya. Aku juga sering begitu." Dia kembali menatap
wajah Fran lebih lama, dan baru menyadari ternyata Fran terlihat lebih tua
daripada senyumnya. Lelaki itu mengangguk dan melanjutkan perjalanannya.
"Permisi," katanya pada seorang perempuan tua yang sedang memicingkan matanya ke
arah jalan. "Saya merasa tidak enak sekali meminta bantuan Anda , tapi saya baru
sadar - " "O yah?" kata si perempuan tua itu.
Fran tersenyum getir. "Tidak," katanya dengan muka masam.
Seorang lelaki perlente berkacamata, mengepit buku di salah satu lengannya,
berjalan perlahan menuju halte. Matanya berkedip ketika Fran berjalan
mendekatinya "Permisi," kata Fran.
Sejam kemudian, Fran merasa tumit kanannya membengkak. Aneh sekali, bagaimana
mungkin hal ini dapat mengakibatkan sakit yang begini hebat pada kakinya.
Padahal untuk berjalan bermil-mil ke seluruh toko-toko pakaian dia bisa...
Lalu Fran memikirkan uang recehan yang ada di tas tangannya dan cepat-cepat
menyeberang jalan. Ada apotik di sudut jalan, dan Fran segera menghampiri salah
satu bilik telepon dan segera menutup pintu lipatnya rapat-rapat.
Dia menghitung recehannya dengan cermat.
Jumlah semuanya tiga dollar lima belas sen. Ditambah uang yang dia miliki,
semuanya jadi lima dollar sembilan puluh tiga sen. Fran mendesah. Pekerjaannya
masih panjang... Seorang lelaki berdiri di luar ketika Fran membuka pintu bilik telepon.
"Permisi," sahutnya otomatis. "Saya merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah
tanpa membawa uang sesenpun, dan saya harus pergi ke - saya harus menelpon."
Lelaki itu tersenyum lemah. "Begitukah?" sahutnya. Lalu dia menyadari Fran
mengharapkan sesuatu darinya, dan dia segera mengaduk-aduk sakunya. "Oh, yah,
tentu, aku punya sepuluh sen."
"Terima kasih," sahut Fran. "Terima kasih banyak."
Fran kembali menutup pintu bilik dan memencet nomer tanpa memasukkan uang. Dia
bicara dengan cepat dan riang pada pesawat telpon yang mati itu untuk sesaat,
lalu meletakkan corong telpon kembali ke tempatnya setelah dia mengucapkan salam
perpisahan yang menyenangkan, lalu tersenyum penuh kemenangan pada lelaki yang
menyusul masuk segera setelah Fran keluar.
Kemudian Fran kembali ke halte bis.
Pukul tiga sore, dan Fran hampir mengumpulkan sepuluh dollar lagi. Pukul lewat
lima belas, Fran kembali ke bilik telepon untuk kembali menghitung.
"Empat dollar sembilan sen," ujarnya keras.
Jarinya mengorek-ngorek kotak pengembalian koin di bagian bawah pesawat, dan dia
mendapatkan koin sepuluh sen.
"Ini memang hari keberuntunganku!" Dan Fran tertawa senang.
Pukul empat sore Fran mulai kehilangan semangat. Kumpulan orang yang menunggu
bis di halte mulai memadat, tetapi meningkatnya lalu-lintas tidak membantunya
mengumpulkan receh-receh yang diperlukan.
Pukul setengah lima Fran masih harus berusaha keras memenuhi target dua puluh
lima dollar. "Permisi..." Fran menyapa seorang lelaki gemuk dengan raut wajah kosong. "Saya
merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah tanpa menyadari bahwa saya tidak
membawa uang sepeserpun. Bisakah Anda membantu saya - "
"Pergi," sahut lelaki gemuk itu kasar.
"Anda tidak mengerti," kata Fran. "Saya hanya meminta Anda untuk - "
"Nyonya, tolong, pergilah," sahut si lelaki gemuk.
Itu penolakan pertamanya. Fran tahu, dia lebih baik tidak membantah lelaki itu.
Tapi tiba-tiba dia merasa bebal.
"Begini," kata Fran dengan suara meninggi.
"Hanya lima belas sen. Maksud saya, itu 'kan cuma ongkos bis - "
Dia merasa lengannya dicengkeram dan Fran berputar marah.
"Maafkan saya, Nyonya - " Dia menatap dengan pandangan terhina ke arah lelaki yang
jemarinya bersandar dengan kukuh di lengan Fran. Usianya masih awal tigapuluhan,
dan pakaian yang dikenakannya berpotongan mewah. Si lelaki gemuk bergegas dari
hadapan mereka, dan hal itu membuat Fran lebih marah.
"Apa yang Anda inginkan?"
Lelaki itu tersenyum. Giginya panjang-panjang dan matanya tidak memancarkan
senyum yang terpampang di wajahnya.
"Saya rasa Anda harus ikut dengan saya, Nyonya."
"Apa?" "Tolong. Lakukanlah demi kita berdua dan jangan membuat situasi yang membuat
orang curiga. Bagaimana?"
"Saya tidak mengerti maksud Anda!"
"Begini, Nyonya. Aku telah mengamatimu setengah jam terakhir ini. Kau mengerti
maksudku, bukan" Sekarang mari ikut baik-baik denganku sebelum aku berubah
pikiran." Perut Fran yang kosong mulai bergolak.
"Mengapa saya harus ikut Anda" Anda pikir Anda ini siapa?"
"Kalau kau ingin melihat lencana, aku bisa melambaikannya untukmu. Tapi kita
sudah cukup membuat banyak orang menatap kesini. Jadi, bagaimana menurutmu?"
Fran menelan ludah dengan susah payah. "Baiklah."
Mereka berjalan menjauhi halte bis, dengan tangan si lelaki masih berada di
lengan Fran sambil tersenyum layaknya teman lama yang kebetulan bertemu. Dia
tidak mengatakan apapun sampai mereka tiba di sebuah mobil sedan abu-abu yang
diparkir seratus meter dari halte.
Dia membuka pintu mobil untuk Fran. "Silahkan masuk."
"Begini, Tuan, kalau boleh, saya bisa menjelaskan apa yang terjadi - "
"Kau akan mendapatkan kesempatan itu nanti. Silahkan naik."
Fran menurut. Lelaki itu menuju ke sisi yang lain dan menyelinap masuk di
sebelah Fran. Mereka segera meninggalkan tempat itu dan berputar ke kiri di sudut jalan.
"Anda tidak mengerti," ujar Fran memelas. "Saya tidak melakukan kesalahan
apapun. Saya tidak mencuri atau semacamnya. Saya hanya meminta, Anda mengerti
kan" " "Kau memang dalam masalah, itu benar."
Dengan mulus mereka menerabas lampu merah yang telah berganti hijau dan kembali
berbelok ke kiri. Fran menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Tapi sumurnya
telah kering; tidak ada airmata menetes disana.
"Percuma saja kau melakukannya," ujar si lelaki. "Aku telah banyak melihat
perempuan-perempuan sepertimu, Nyonya. Tapi harus kuakui - gayamu tadi belum
pernah kulihat sebelumnya. Kau pikir berapa banyak uang yang berhasil kau
kumpulkan?" "Tapi saya tidak memerlukan uang banyak.
Hanya beberapa dollar! Saya harus punya dua puluh lima dollar sebelum jam enam
nanti. Harus!" "Berapa banyak yang kau dapat?"
"Tidak banyak. Saya mengatakan yang sejujumya. Hanya beberapa dollar! Anda tidak
akan menahan saya hanya karena beberapa dollar, bukan?"
"Berapa banyak, Nyonya?"
Fran membuka tas tangannya dan memandang sekumpulan uang receh di dalamnya.
"Saya tidak tahu persis berapa," jawabnya lemah. "Mungkin lima belas atau enam
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belas dollar. Tapi semua ini belum cukup..."
Mobil mereka meluncur di jalur lambat, jauh dari jalan utama yang sibuk, menuju
daerah pergudangan dekat sungai.
"Please!" teriak Fran. "Jangan laporkan saya! Saya tidak akan melakukannya lagi!
Saya putus asa demi mendapatkan uang itu - "
"Seberapa banyak lagi yang kau perlukan, Manis?"
"Apa?" "Untuk menggenapi dua puluh lima dollar?"
Fran kembali membuka tasnya. "Saya tidak tahu persisnya. Mungkin sepuluh dollar.
Mungkin kurang dari itu."
"Hanya itu?" Dia menyeringai.
Kakinya menekan pedal gas kuat-kuat, seakan-akan dia ingin segera sampai di
tujuan. Lelaki itu menikung tajam di tiap belokan, ban mobilnya meneriakkan protes, dan
Fran menjadi waspada karenanya.
"Hey!" Fran memandang keluar jendela dan dilihatnya kawasan sepi yang aneh itu.
"Apa ini" Anda ini polisi atau bukan?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Fran menatap leiaki itu. "Kau bukan polisi!
Kau bahkan tidak akan menangkapku sama sekali - " Fran menepi ke pintu dengan satu
tangan memegang gagang pintu.
"Jangan bertindak bodoh; kau hanya akan melukai dirimu sendiri. Lagipula, Manis,
aku masih bisa menghadapkanmu ke polisi. Aku masih bisa mengadukan penipuan yang
kau lakukan itu - " "Mereka tidak akan mempercayaimu!"
"Mungkin saja. Tapi kenapa harus susah-susah?" Dia melepaskan tangan kanan dari
kemudi dan menggapai Fran kemudian merangkulnya.
"Hati-hati!" teriak Fran dengan tajam.
"Kau tidak bertindak cerdas, sayang. Kau harus mendapatkan uang dua puluh lima
dollar sebelum jam enam. Sekarang sudah hampir jam lima. Kau kira darimana kau
akan mendapatkan sisanya?"
"Keluarkan aku dari sini!"
"Mungkin aku bisa membantumu, Manis."
Dia menarik Fran mendekat, matanya masih menatap lurus ke jalan, dengan seringai
yang makin lebar di wajahnya. "Jika kau memper-bolehkan aku - "
"Tidak," sahut Fran. "Tidak!"
Dia melambat di belokan berikutnya, dan Fran melihat kesempatannya datang.
Tangannya membuka gagang pintu, dan pintu itu segera terbuka. Si lelaki
menyumpah-nyumpah dan menarik tangan Fran.
"Tinggalkan aku sendiri!" Fran berteriak, kemudian melayangkan tas tangannya
yang diberati recehan ke kepala si lelaki. Dengan suara buk pelan, tas itu
mengenai pelipisnya. Lelaki itu berteriak marah, dan tangannya yang luput mencengkeram lengan Fran
malah merobek lengan bajunya. Tangannya yang kiri, tanpa sadar, melepas setir,
dan mengakibatkan mobilnya melesat bagai kuda liar, melemparkan Fran kejalan.
Fran jatuh dengan lutut lebih dulu, terisak tapi tidak terluka, dan menatap
tanpa rasa ngeri atau sesal ketika mobil itu menabrak trotoar kemudian
menabrakkan kap depannya ke tembok gudang yang terbuat dari batu bata merah.
Pikiran pertama yang ada di benak Fran adalah lari, karena tidak ada siapapun
yang melihat kejadian itu. Lalu dia ingat tas tangannya yang masih ada di dalam.
Fran kemudian memaksakan diri untuk mendekati mobil yang sudah penyok itu untuk
mencari tasnya. Pintunya masih terbuka, dan tasnya berada di sebelah lelaki yang sedang pingsan
itu. Fran tidak tahu apakah orang itu sudah mati atau masih hidup, dan hal itu
bukanlah hal yang penting baginya. Lelaki itu membungkuk, tertahan oleh setir
mobil di bawah tubuhnya dengan tangan menggantung tak berdaya di sisi badannya.
Fran terperanjat, tapi dia tetap meraih tasnya.
Kemudian Fran mendapat gagasan untuk mencari dompet si lelaki itu. Tangannya
men-jelajah mantap tanpa ragu, dan tidak ada kegugupan dalam caranya bergerak.
Dia menemukan lembaran-lembaran uang dalam saku di dalam jas yang dikenakan si
lelaki. Berlembar-lembar uang, tetapi - dengan rasa keadilan yang aneh - Fran hanya
mengambil sepuluh dollar.
Fran mencapai pemangkas rambut Vito sepuluh menit sebelum pukul enam. Vito baru
akan menyeringai , tetapi raut wajahnya langsung berubah ketika dia melihat Fran
masuk dengan wajah kusut dan pakaian kotor.
"Cooney, ya" Dia ada di belakang. Hey, Phill! Ada perempuan mencarimu!"
Cooney menatap Fran penasaran ketika dia masuk keluar dari ruang belakang.
Lengan kemejanya tergulung dan kelihatannya dia sedang main poker. Wajahnya
berubah cerah ketika dilihatnya Fran meraih tasnya dan tertawa ketika Fran
mengeluarkan tangannya yang penuh recehan.
"Apa yang Anda lakukan, Mrs. Holland" Merampok celengan anak-anak?"
"Hitunglah," ujar Fran pelan. "Hitunglah, Mr. Cooney."
Mereka menumpahkan isi tas ke atas meja manicure. Vito membantunya. Setelah
selesai, Cooney menengadah.
"Tiga puluh dollar empat puluh enam sen, Mrs. Holland," ujarnya, tersenyum puas.
"Akhirnya Anda bisa melunasinya dengan uang recehan sekalipun. Saya menyesal
karena harus menetapkan peraturan ini pada Anda seperti yang telah saya lakukan
tadi pagi. Tapi Anda sudah membuktikan, Anda bisa melakukannya."
Fran menaiki tangga menuju apartemennya dengan langkah perlahan. Di lantai tiga,
sebuah pintu terbuka, dan seorang perempuan pirang, dengan rambut penuh alat
pengeriting, melongok keluar.
"Fran! Ya Tuhan, kemana saja kau?"
"Belanja," sahut Fran letih.
"Kau berantakan sekali. Dapat barang bagus?"
"Tidak. Tidak ada yang bagus, Lila."
"Well, aku punya berita bagus untukmu, nak. Kau tidak perlu memasak malam ini.
Datanglah ke tempatku dan kita akan makan bersama kalau kau enggan memasak
sendiri - " "Maksudmu?" "Susah sekali mencarimu, kiddo." Perempuan pirang itu tertawa. "Ed pasti
menelpon sembilan kali siang ini. Dan akhirnya dia menelponku, dikiranya kita
sedang kumpul disini, mabuk atau semacamnya."
"Ed?" Fran menatap perempuan itu, matanya mengerjap.
"Ya. Dia menelpon dari kantor. Dia ingin memberitahu kalau dia tidak pulang
sampai besok. Ada urusan penting dan mendadak dengan seorang klien, atau apalah.
Katanya, dia harus pergi ke Chicago dengan penerbangan pukul lima sore ini."
"Tidak pulang?" Fran memandang dengan bodoh.
"Hey, santai saja. Kau dengar kataku. Dia pergi ke Chicago. Kau bisa santai
malam ini, sayang." Fran mendesah dan mulai melangkah pergi. "Terimakasih, Lila."
"Santai saja," jawab perempuan pirang itu sambil mengangkat bahu. "Hey, yakin
kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
Diatas, Fran memutar kunci, membuka pintu depan dan masuk ke dalam. Piring-
piring bekas sarapan di bak cuci piring terlihat suram dalam cahaya matahari
yang mulai memudar. Dia melempar tasnya ke atas meja, dan melepas sepatunya dengan kasar.
Di ruang tamu, Fran menghempaskan diri ke sofa dan menyalakan sebatang rokok.
Dia duduk kelelahan, menatap cahaya muram di luar, menghisap rokoknya dalam
diam. Dia membetulkan selendang sore dari bahunya, seakan-akan udara menjadi dingin
dalam ruangan itu. "Chicago," sahut Fran dengan getir.
Dan nama itu punya arti tertentu. Pasti punya arti. Fran segera berdiri. Itulah
rahasia dari semua ini, pikimya. Nama itu harusnya memiliki arti tertentu.
Fran bergegas menuju telepon dan memutar nomer yang dihafalnya luar kepala.
"Halo, apa Mr. Cooney ada?"
Kakinya yang terbalut stoking mengetuk-ngetuk lantai linoleum tidak sabar.
"Halo, Mr. Cooney" Dengar, ini Fran Holland. Pada pacuan keempat besok. Saya
bertaruh lima dollar untuk Chicago Flyer. Benar, pada pacuan keempat..." []
GADIS EMAS Ellis Peters "Shakespeare," ujar manajer keuangan kapal itu dengan muram, saat dia menghadap
gelas bir keduanya seusai pertunjukan teater, "tentu saja semuanya menampilkan
Shakespare tahun ini".
Aktor-aktor itu juga memainkan peranannya dengan cukup menggigit. Kalimat
'hartaku dan putriku' dan semacamnya - ada seorang aktor yang memainkan peranan
itu dengan lebih bagus. Aku ingat, aku pernah menontonnya. The Jew of Malta
judulnya, dan Marlowe yang menulisnya 'Oh emas, Oh gadis! Oh, kecantikan ! Oh,
kebahagiaanku ! ' Menonton The Merchant malam ini membuatku teringat kembali. Juga mengingatkanku
akan sebuah kasus nyata yang kualami - hanya saja dia bukan putrinya. Bukan,
bukan seperti itu. "Saat itu aku masih seorang awak kapal junior, atasanku si tua McLean, di perahu
Aurea, oh, sepuluh tahun yang lalu, hal itu terjadi. Kadang aku masih
memimpikannya, tapi jarang sekali sekarang ini. Perahuku sedang berlayar dari
Liverpool ke Bombay, pelayaran ketiga bagiku, dan pasangan itu naik, dalam
keramaian, tepat sebelum perahu mulai berlayar. Di kerumunan orang yang begitu
banyak, kau pasti bisa melihat mereka. Gadis itu. Dia amat sangat cantik, benar-
benar cantik, dengan rambut warna jagung keemasan, mata sayu, dan satu lagi, dia
sedang hamil, dan itu membuat orang-orang tersentuh. Kau tahu, 'kan, dengan baju
longgar dan sepasang lengan ramping yang terjuntai di samping tubuhnya yang
berat. Dan caranya berjalan, hati-hati dan canggung, berusaha agar tidak jatuh.
Perlahan dia menuju geladak bawah, berpegang erat pada susuran tangga. Kau bisa
rasakan semua lelaki disana berusaha menahan diri untuk tidak lari dan
membantunya. "Mereka memesan perjalanan ke Bombay, mungkin mengenai pekerjaan sebagai pe-
nasihat handal disana. Suaminya, lebih tua dari si gadis, mungkin empatpuluhan
sementara si gadis baru dua puluh dua, tapi ada sesuatu yang menarik dari diri
si suami ini. Perempuan-perempuan di perahu saling berbisik-bisik tentang si
suami, padahal perahu baru berlayar kurang dari satu jam. Lelaki itu gagah,
dengan wajah tampan, kulit gelap, pendiam, dengan raut wajah cerdas, berputar-
putar di sekeliling istrinya, dengan perhatian yang membuat semua istri-istri
yang berada di perahu berwajah hijau karena cemburu. Bandot insyaf, kata mereka.
Don Juan yang telah menetapkan satu gadis pilihan. Godalah dan jauhkan diri dari
istrinya! Banyak diantara perempuan-perempuan itu yang memang mencoba
mendekatinya sebelum perahu berlabuh di Bombay.
Tapi tidak, sepanjang perjalanan itu, tidak ada perempuan lain selain istrinya.
Dia selalu menempel pada istrinya dengan wajah khawatir, tiap hari, selama tujuh
belas hari. "Dua hari kemudian kami mengadakan latihan sekoci di perahu. Kami memang selalu
melakukannya, walaupun biasanya kurang dari setengah penumpang yang muncul,
apalagi pada pelayaran tahun itu, ketika laut bertingkah seperti yang biasa
terjadi di laut. Aku adalah awak yang menangani sekoci mereka, dan aku bergegas
ke kabin mereka ketika sirine pertama berbunyi. Suaminya tidak ada. Dia pergi
mengambil beberapa buku perpustakaan untuk istrinya. Menyenangkan sekali
membantunya memakai jaket penyelamat. Seperti perempuan pada umumnya, dia tidak
tahu sama sekali bagaimana mengenakannya, dengan atau tanpa pedoman.
"Dia tidak terlihat begitu tambun di bawah baju longgarnya. Hanya sedikit lebih
besar dari ukuran normal, menurutku. Dan caranya mengucapkan terimakasih padaku,
membuatku rela lompat ke laut untuknya. Ya, dia baik-baik saja, ya, dia akan
pergi ke dek dan melaporkan semuanya sebagaimana mestinya, seperti orang-orang
yang lain. Dan dia memang melakukannya. Bagai anak-anak yang sedang bermain,
orang yang paling ceria diantara orang-orang sekelilingnya. Tiba-tiba si suami
datang bergegas ke arahnya, dengan liar menculiknya dari kerumunan orang-orang
di sekitar dan menjaganya sendiri. Tidak ada seorangpun yang tidak iri dengan
haknya itu. "Seperti itu, sepanjang perjalanan, selama tujuh belas hari. Ketika diadakan
pemutaran film, mereka saling berpegangan tangan di sudut yang sepi. Menurut si
istri, mereka merasa belum lama menikah, dan menurut si suami dia belum sembuh
benar dari keterkejutan yang membahagiakan dengan menikahi istrinya itu, dan dia
seperti tidak percaya akan keberuntungan yang menimpanya.
"Kami menurunkan kira-kira setengah penumpang di Karachi, dan terus melaju
menuju Bombay, sepi dan perlahan-lahan seperti biasanya. Dan malam itu, sekitar
tengah malam, kebakaran terjadi.
"Waktu itu sedang berlangsung pesta dansa, dan kami biasa menampilkan sesuatu
yang menggembirakan untuk melengkapi pesta perpisahan itu. Jadi kami tidak tahu
bagaimana awal mulanya. Yang kutahu, tiba-tiba terdengar suara sirine dari bawah
dek, tapi di dalam bar-bar di atas, sirine itu tidak terdengar sama sekali, dan
musik tetap mengalun, dan di geladak atas masih banyak orang di kolam renang
bahkan ketika situasi di bawah sudah mendekati kepanikan. Komunikasi tidak dapat
dilakukan karena seluruh sistem pengeras suara rusak. Dan sebelum kau selesai
mengucapkan kata 'pisau', asap sudah menyebar kemana-mana. Dalam sepuluh menit,
semuanya jadi kacau. Tidak ada seorangpun yang bisa mendengar suaranya sendiri,
bahkan jika dia berteriak sekuat-kuatnya sekalipun. Dan jika orang sudah merasa
ketakutan, suara yang keluar juga tidak terlalu keras.
"Bukan panik, sebenarnya. Harusnya bisa lebih baik kalau saja ada cara
memberitahu mereka bagaimana menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya tidak
semua seperti itu, hanya sebagian kelompok kecil saja. Lagipula jumlah awak
perahu tidak mencukupi untuk berkeliling dan mengawasi para penumpang.
Kadang rasa bingung dan kekacauan menyebabkan hal yang sama seperti panik.
Beberapa diantara mereka, orang-orang atletis yang berusaha berbuat sesuatu,
melakukan hal-hal yang salah karena tidak ada panduan bagi mereka. Dan yang lain
berjalan mondar-mandir, menghalang-haiangi kelompok mereka dan kami. Apa yang
bisa kau lakukan" Puji Tuhan, untung saja keadaan laut saat itu tenang sekali.
Dua-tiga perahu menerima panggilan kami dan bergerak menyelamatkan para
penumpang dan awak perahu.
"Dan terjadilah semuanya. Api menyebar seolah marah, dan si istri juga ada di
dek diantara kerumunan penumpang yang lain.
Kami mendorong orang-orang untuk naik ke geladak atas dan meminta mereka
mengenakan jaket penyelamat, lalu mulai menurunkan sekoci. Hiruk-pikuk itu
adalah sesuatu yang akan kuingat seumur hidupku. Tidak ada yang menjerit, tapi
semua orang saling berteriak.
"Aku tertatih-tatih berusaha mencapai Dek B dalam kepulan asap, membuka pintu
kabin, menyisir apakah ada penumpang yang masih berada di dalam kabin, dengan
salah satu penumpang perempuan bersandar di tangan kananku dan seorang awak
perahu dari Goa juga menggandeng dua orang penumpang yang lain. Aku mendorong
pintu 56, dan disanalah si gadis emas kami, menempel pada suaminya, dan sepasang
mata bak danau berwarna abu-abu besar dan membelalak itu terbius oleh teror.
Mereka berdua sedang berusaha memasangkan jaket penyelamat ke tubuh si istri
dengan canggung. Jaket si suami sendiri tergeletak di bawah. Aku menggeram
keras, menyegerakan memakaikan jaket itu ke istrinya, dengan cepat, dan segera
merangkulnya dengan tangan kiriku setelah dia terlindung jaket. Dia bekerja
keras menjejakkan kakinya selangkah demi selangkah menaiki tangga geladak di
belakangku, terengah-engah, dan caranya berjalan sangat sukar dan menyakitkan
seperti seorang nenek tua. Aku bahkan sedikit terluka, di dalam, karena aku
harus memaksanya berjalan cepat-cepat, tapi, Ya Ampun, kami memang harus buru-
buru. Aurea berderak di bawah kami, menggigil di laut yang tenang dan damai.
Perahu itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
"Well, akhirnya aku bisa menuntun mereka ke sekoci, ke hiruk-pikuk yang ada di
dek atas. Disana sudah ada perahu pengangkut minyak ke arah timur yang sudah
menunggu, dengan sekoci-sekoci terapung menunggu kami dan lampu-lampu besar
berseliweran di air yang kelam. Kemudian dek di bawah kaki kami bergerak miring
dan mulai berdiri tegak, membuat kami tergelincir menuju pagar di pinggir
perahu. Para penumpang perempuan menjerit histeris dan menggapai apapun yang
terpegang. Kukira kami juga akan jatuh , sebagaimana orang-orang lain, tapi si
gadis emas itu segera membetulkan posisi tubuhnya kembali. Sekoci kami
tergelincir ke buritan, dan macet, dan aku tahu sekoci itu tidak akan bisa
dipergunakan. Beberapa penumpang lainnya sudah selamat sampai ke perahu tanker,
berdiri tegak di geladak dan menunggu untuk dapat menyelamatkan barang-barang
sebisanya ketika kami sedang tenggelam. Sekoci lainnya bergerak mendekat dari
perahu tanker itu. Salah satunya sudah dekat ke kapal dan berteriak-teriak ke arah kami. Aku
berteriak balik ke arah mereka, dan mereka bergerak semakin mendekat. Aku
memeluk erat-erat si gadis emas. Dua nyawa - kau tidak tahu bagaimana rasanya.
"Suaminya memekik marah, memegangnya erat dengan ketakutan yang sangat, menjerit
kasar dengan bahasa yang bahkan tidak bisa dimengerti dalam kondisi hiruk pikuk
yang biasanya. Tidak ada waktu untuk meyakinkan siapapun tentang apapun. Aku
merengkuhkan tanganku untuk menggapai dagu si suami dan menariknya ke atas, dan
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pegangannya ke si istri terlepas. Aku merengkuhnya dan melemparnya melewati
pagar, dan meletakkannya dengan lembut dan hati-hati ke tempat yang kutahu
adalah tempat teraman saat itu, ke laut yang hanya beberapa meter jaraknya dari
sekoci yang sedang mendekat. Petugas yang kupanggil-panggil sudah condong ke
laut dan bersiap-siap menangkapnya.
"Dan setelah itu dua hal yang kerap kuimpikan sampai sekarang, terjadilah.
Suaminya menjerit keras bagai suara pekikan jiwa yang terkutuk, suara yang tidak pernah
kulupakan. Dia berusaha sekuat tenaga mencapai pagar sambil terus berteriak. Dan
si gadis, si gadis emas itu - Ya Tuhan, begitu dia menyentuh air, tubuhnya
langsung tenggelam seperti batu!
"Wajahnya menengadah ke arahku, tanpa suara, menatapku dengan pandangan tersesat
dan takut, sedetik sebelum laut menelannya.
Dia menghilang dan tidak muncul-muncul lagi.
"Semenit penuh aku berusaha meraihnya. Bayangkan! Lalu aku menyelam mencarinya,
terus ke dalam dan semakin dalam, memburunya, terus, terus, terus, sampai aku
harus ditarik ke sekoci dengan paksa. Aku tidak menemukannya. Tapi sekilas,
kurasa, aku melihat suaminya, jauh di bawah sana, sama nekatnya sepertiku.
Sepertinya aku ingat seraut wajah dengan rambut mencuat ke berbagai arah, mata
yang kalut, dan mulutyang meraung tanpa suara. Nama si gadis" Mungkin akan jauh
lebih baik kalau saja semuanya hanya terjadi dalam khayalanku. Lebih baik
melupakannya. Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya.
"Saat itu yang tersisa dari si suami tidak ada sama sekali, hanya jaket
penyelamatnya yang terobang-ambing tanpa tujuan , saat dia merobek dan
melemparkannya demi menyelamatkan si istri. Seharusnya kami tidak usah
menemukannya , kalau saja pusaran air Austeria tidak mengaduk-aduk isi laut dan
menghempaskannya kembali ke pinggir pantai.
Sekoci perahu tanker itu masih berputar-putar berkeliling, dan salah satu
diantaranya secara kebetulan menemukan tubuh si gadis, sesaat sebelum kembali
tenggelam. Tapi kami tidak pernah menemukan suaminya.
"Tubuhnya ditemukan, dan kami juga menemukan apa yang terdapat padanya, yang
membuat Interpol terlibat dalam cerita ini."
"Tentu saja dia bukan istrinya. Dia adalah model yang biasa berpose untuk
fotografer dan aktris kacangan yang dikenalnya di sebuah klub. Dia juga tidak
hamil. Hanya saja, perasaan si lelaki itu padanya - dan aku berani bersumpah -
itu tulus. Dia belum pernah menyewa gadis itu sebelumnya. Semua muatannya yang
berharga telah diselundupkan lewat udara, dengan alat transportasi lainnya, dan
yang terakhir ini adalah hal mudah, perjalanan menyenangkan dengan hadiah yang
cantik menunggu di tempat tujuan. Bisnis yang sangat menguntungkan. Kurasa
mereka tidak akan kembali.
"Semua barang yang dia bawa dalam korset di bawah baju hamil longgarnya itu,
ketika latihan perahu telah selesai, disembunyikan dalam jaket penyelamat yang
dikenakan si gadis. Apa mereka pikir itu adalah tempat yang amat sangat aman"
Well, begini, kuberitahu kau. Tidak ada yang bakal percaya mereka menggunakan
jaket penyelamat itu untuk tujuan sesungguhnya - tidak ada seorangpun.
Itu bukan tempat yang paling aman. Dan dia bisa membuat dirinya nyaman sampai
dia harus mengumpulkan semua bebannya itu di Bombay dan membawanya dengan sabar
ke darat melalui Pabean. Hanya saja mereka lupa menukarnya kembali malam
sebelumnya, sehingga mereka tidak siap menghadapi kebakaran.
"Tentu saja si suami bisa mengenakan jaket itu ke tubuhnya sendiri dan
menyerahkan jaketnya untuk si gadis. Mungkin dia akan melakukannya, kalau saja
aku tidak menyeretnya memakai jaket itu dan memaksa tangannya. Atau mungkin saja
dia tidak akan melakukannya. Gadis itu memang seorang profesional yang melakukan
pekerjaannya untuk si suami. Begitu si gadis sampai di sekoci maka dia akan
selamat. Dan apapun yang terjadi sesudahnya, itu adalah karena si gadis, dengan
kecantikannya yang melenakan dan keadaannya yang membuat trenyuh, yang pasti
akan mendapatkan perawatan V.I.P, dan kesempatan besar mendapatkan hadiah
mereka, dan membawanya ke India dengan aman.
"Aku masih bertanya-tanya , apa sesungguhnya yang membuat si lelaki itu menyelam
mencarinya, si gadis, atau lima belas kilogram batangan-batangan gemuk emas
murni yang menenggelamkan si gadis." []
BOCAH PERAMAL GEMPA Margaret St. Clair "Kamu ini memang skeptis," ujar Wellman. Dia menuang air dari teko kristal,
menaruh sebutir pil di lidahnya, dan menelannya dengan bantuan air. Secara
alamiah memang bisa dimengerti. Aku tidak akan meyalahkanmu, aku bahkan tidak
bermimpi untuk menyalahkanmu.
Sayangnya, banyak dari kami disini yang berpikiran sepertimu, ketika kita mulai
menayangkan si bocah Herbert ini. Aku tidak berkeberatan memberitahukanmu, ini
hanya diantara kita berdua, aku sendiripun agak ragu-ragu acara itu nantinya
akan berhasil di televisi."
Wellman menggaruk-garuk belakang telinganya ketika Read memandangnya dengan
tatapan tertarik yang sok ilmiah.
"Well, aku salah," sahut Wellman sambil meletakkan kembali tangannya dari
belakang telinga. "Dengan senang hati aku katakan bahwa aku 1000 persen salah. Pertunjukan si
bocah pertama kalinya, yang tanpa pariwara dan tanpa pemberitahuan menghasilkan
1400 pucuk surat keesokan harinya. Dan rating yang dia hasilkan sekarang..." Dia
membungkuk ke arah Read dan membisikkan sesuatu.
"Oh!" Hanya itu yang bisa dikatakan Read.
"Kami belum bisa menyebutkannya dengan pasti sekarang ini, karena banyaknya
orang-orang usil di Purple yang tidak akan mempercayai kita. Tapi ini hanyalah
kejujuran yang sederhana. Tidak ada karakter televisi lain sekarang ini yang
memiliki banyak pengikut seperti bocah itu. Dia bahkan dibicarakan di saluran
gelombang pendek, dan orang-orang seluruh dunia mendengarkannya. Tiap acaranya
ditayangkan, kantor pos mengirimkan dua truk berisi surat-surat untuknya. Kau
tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku, Read, akhirnya kalian para
ilmuwan mulai berpikiran untuk menelitinya. Aku amat bersungguh-sungguh tentang
hal ini." "Bagaimana sifat anak itu?" Read bertanya.
"Si bocah" Oh, sangat sederhana, pendiam, amat sangat tulus. Aku sangat suka
padanya. Ayahnya - well, dia itu yang ber-karakter kuat."
"Bagaimana program ini berlangsung?"
"Maksudmu bagaimana Herbert melakukannya " Sejujurnya, Read , itulah yang
seharusnya menjadi bahan penelitian kalian, para ilmuwan. Kami tidak memiliki
petunjuk apapun mengenai hal ini, sungguh."
"Tapi aku bisa memberikanmu perincian bagaimana program ini bekerja. Bocah ini
mengadakan pertunjukan dua kali seminggu, tiap Senin dan Jumat. Dia tidak
menggunakan naskah" - Wellman meringis - "yang cukup membuat kami sakit kepala.
Katanya, naskah membuatnya kering. Dia mengudara selama dua belas menit.
Kebanyakan dia hanya bicara, bercerita pada para pendengar tentang apa saja yang
telah dilakukannya di sekolah, buku-buku yang sedang dibacanya, dan sebagainya.
Hal-hal yang sering kau dengar dari anak-anak baik dan pendiam. Tapi dia selalu
membuat dua atau tiga ramalan, selalu, sedikitnya satu, dan tidak pernah lebih
dari tiga. Ada hal-hal yang nantinya akan terjadi dalam empat puluh jam
mendatang. Menurut Herbert, dia tidak bisa melihat lebih jauh dari itu.
"Dan hal-hal itu benar-benar terjadi?" tanya Read yang pertanyaannya itu lebih
mirip penegasan. "Ya," sahut Wellman dengan agak berat. Tanpa sadar dia mencibirkan bibirnya.
"Herbert meramalkan ada sebuah pesawat yang jatuh di Guam April kemarin, angin
topan di negara-negara Gurun, dan hasil pemilu. Dia meramalkan bencana perahu
selam di kepulauan Tortuga. Sadarkah kau, ada agen FBI yang menontonnya di
studio, diam-diam, setiap pertunjukannya berlangsung" Itu agar Herbert bisa
diamankan dan pertunjukannya dihentikan bila dia mengatakan sesuatu yang
mengacaukan stabilitas keamanan umum. Mereka menanggapi bocah ini dengan serius.
"Aku melihat-lihat catatan anak ini kemarin ketika aku tahu universitas akan
mengadakan penelitian mengenai anak ini. Acaranya telah ditayangkan selama satu
setengah tahun, dua kali seminggu. Dia telah meramalkan 106 kejadian selama ini.
Dan setiap ramalan, satu demi satu, benar-benar terjadi. Dan saat ini masyarakat
luas percaya" - Wellman membasahi bibirnya dan mencoba mencari kata-kata yang
tepat - "mereka akan percaya bila dia meramalkan hari kiamat atau siapa yang
akan memenangkan hadiah dari Pertempuran di Irlandia."Aku sungguh-sungguh
mengenai hal ini, Read. Amat sangat sungguh-sungguh sampai aku sendiri takut.
Herbert adalah hal terbesar yang ada di televisi sejak adanya penemuan
selselenium . Kau tidak membesar-besarkannya atau mengada-adaakan pentingnya
dia. Sekarang, maukah kau pergi menghadiri acaranya" Sudah waktunya dia
mengudara." Wellman berdiri dari meja kerjanya, merapikan dasi bermotif penguin ungu dan
merah muda di lehernya. Dia memimpin Read melalui koridor stasiun radio menuju
ruang observasi studio 8G tempat Herbert Pinner mengudara.
Menurut Read, Herbert terlihat seperti anak baik yang pendiam. Usianya sekitar
15 tahun, dengan perawakan tinggi untuk anak seumur-nya, dan dengan raut wajah
menyenangkan dan cerdas, tetapi juga penuh kekhawatiran.
Dia berdiri tegak saat sedang mempersiapkan diri untuk mengudara dan terkesan
menyakitkan bagi orang yang melihatnya.
"... aku sedang membaca sebuah buku yang sangat menarik," ujar Herbert kepada
para pendengarnya. "Judulnya The Count of Monte Cristo. Kurasa semua orang yang
membaca buku itu pasti suka isi ceritanya." Herbert mengambil buku dan
menunjukkannya ke penonton di studio. "Aku juga mulai membaca buku mengenai
astronomi yang dikarang oleh seseorang bernama Duncan. Membaca bukunya membuatku
ingin membeli teleskop. Kata ayahku, jika aku belajar dengan giat dan
mendapatkan nilai-nilai bagus di sekolah, aku boleh memiliki teleskop kecil pada
akhir tahun pelajaran. Aku akan menceritakan pada Anda semua apa saja yang
kulihat setelah aku membelinya nanti.
"Akan ada gempa bumi, tidak begitu besar, di negara-negara Atlantik Utara malam
ini. Banyak bangunan yang akan rusak, tapi tidak ada korban jiwa. Besok pagi
sekitar pukul sepuluh mereka akan menemukan Gwendolyn Box yang hilang di
kepulauan Sierra sejak Kamis kemarin. Kakinya patah, tapi dia masih hidup.
"Setelah mendapatkan teleskop aku berharap agar bisa menjadi salah satu anggota
kelompok -kelompok pengamat bintang variabel. Bintang-bintang variabel adalah
bintang yang kecemerlangannya bervariasi akibat perubahan internal maupun
eksternal..." Setelah acara selesai, Read diperkenalkan pada si Pinner muda. Dia merasa anak
itu sangat kooperatif dan sopan, tetapi agak sedikit tertutup.
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, Mr. Read," jawab Herbert ketika
sejumlah pertanyaan awal diajukan. "Bukan gambar-gambar, seperti yang Anda
tunjukkan, dan juga bukan kata-kata. Tetapi - tapi semua hal itu datang begitu
saja dalam benakku."
"Satu hal yang aku sadari, aku tidak bisa meramalkan apapun yang aku sama sekali
tidak tahu. Aku bisa meramalkan adanya gempa bumi karena semua orang tahu apa
itu gempa bumi. Tapi aku tidak akan bisa meramalkan Gwendolyn Box jika aku tidak
tahu dia hilang. Aku hanya merasakan seseorang atau sesuatu akan ditemukan."
"Maksudmu, kau tidak akan bisa meramalkan apapun kecuali hal tersebut ada dalam
kesadaranmu sebelumnya?" tanya Read bersemangat.
Herbert agak ragu-ragu menjawabnya.
"Kurasa begitu," ujarnya. "Hal itu membuat... semacam titik dalam benakku, hanya
saja aku tidak dapat mengatakannya. Seperti melihat dalam sinar terang dengan
mata yang tertutup rapat. Anda tahu ada cahaya disana, tapi hanya itu yang Anda
tahu. Itulah alasannya mengapa aku membaca begitu banyak buku. Makin banyak hal-
hal yang kuketahui, makin banyak juga yang bisa kuramalkan."
"Kadang-kadang aku juga melupakan beberapa hal penting. Aku tidak tahu mengapa.
Waktu itu ada kejadian meledaknya sejumlah bahan atom dan banyak korban jatuh.
Yang aku ingat saat itu adalah melonjaknya kebutuhan tenaga kerja."
"Aku betul-betul tidak mengerti bagaimana cara kerjanya, Mr. Read. Aku betul-
betul tidak mengetahuinya."
Ayah Herbert datang menghampiri. Dia adalah seorang lelaki kecil dan agak
bungkuk dengan sifat persuasif dan tertutup. "Jadi Anda yang akan meneliti
Herbie, ya?" katanya setelah perkenalan singkat dengan Read. "Well, baiklah.
Sudah saatnya dia diteliti."
"Saya yakin kita berpendapat sama,"jawab Read hati-hati. "Saya harus mengetahui
beberapa hal untuk diuji."
Mr. Pinner memandangnya dengan galak.
"Anda ingin menguji apa benar ada gempa bumi nanti" Begitu" Semuanya berbeda
bila Anda mendengarkannya sendiri. Well, memang akan ada gempa bumi. Hal yang
menyedihkan, gempa bumi itu." Dia men-decakkan lidah seakan meledek. "Tapi tidak
akan ada korban jiwa, itu bagusnya. Dan mereka akan menemukan Miss Box itu
sebagaimana yang tadi dikatakan Herbie."
Gempa yang diramalkan terjadi pukul 9:15 ketika Read sedang duduk di bawah lampu
penghubung dan membaca laporan dari Perkumpulan untuk Penelitian Supranatural.
Read mendengar sekelilingnya berderak-derak dan bergerak, dan kemudian tanah di
bawahnya berayun lama dan membuatnya mual.
Keesokan paginya, Read meminta sekretarisnya menghubungi Haffner, seorang
seismologis yang dikenalnya. Haffner, melalui sambungan telpon itu, menjelaskan
dengan cepat dan terperinci.
"Seharusnya tidak akan ada cara meramalkan terjadinya gempa," ujarnya dengan
gemas. "Bahkan tidak sejam sebelumnya. Kalaupun ada, kami akan mengeluarkan
pengumuman dan mengungsikan orang-orang tepat pada waktunya. Tidak akan ada
korban jiwa jika kami dapat melakukan hal itu. Ya, kami akan menjelaskan
bagaimana gempa itu secara keseluruhan. Sudah bertahun-tahun kami mengetahui
daerah ini termasuk dalam salah satu daerah gempa. Tetapi untuk mengetahui waktu
tepatnya itu - "ini seperti kau bertanya pada seorang astronom untuk meramalkan
terjadinya nova. Dia tidak akan tahu, begitu juga kami. Ngomong-ngomong, apa
yang menyebabkan hal ini" Ramalan yang dibuat si bocah pinner ini ya?"
"Ya, kami sedang menimbang-nimbang untuk menelitinya."
"Menimbang-nimbang" Maksudmu, sekarang kau berkeliling dan menelitinya" Ya
Tuhan! Kalian psikolog-psikolog peneliti, benar-benar membangun menara gading!"
"Menurutmu dia asli?"
"Jawabannya secara tidak profesional adalah:ya."
Read menutup telponnya. Ketika dia keluar makan siang dia melihat kepala berita
di koran tentang ditemukannya Miss Box seperti yang diramalkan Herbert dalam
acara radio kemarin. Tapi Read masih ragu. Kamis kemarin dia baru menyadari, masalahnya bukan dia
takut menghabiskan uang universitas dalam meneliti penipuan, tetapi dia terlalu
yakin apapun yang diramalkan Herbert Pinner adalah sungguhan.
Dia tidak terlalu antusias sekarang untuk memulai penelitiannya. Dia takut.
Kesadaran itu mengejutkannya. Dia langsung menghubungi dekan saat itu juga,
menanyakan mengenai persetujuan yang dia ajukan, dan dekan memberitahukan tidak
akan ada kesulitan dalam birokrasi penelitiannya.
Jumat pagi dia segera memilih dua asisten untuk membantunya dalam proyek ini,
dan ketika acara Herbert akan ditayangkan mereka sudah berada di stasiun radio.
Mereka melihat Herbert duduk tegang di kursinya dalam studio 8G didampingi oleh
Wellman dan sekitar lima atau enam eksekutif radio yang berkerumun di
sekelilingnya. Ayahnya berjalan mondar-mandir kebingungan, dengan tangan
melambai-lambai kesana-kemari. Orang-orang FBI itu bahkan lupa bersikap tenang
dan pasif, dan bergabung dalam argumentasi yang memanas. Dan Herbert, di tengah,
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, tidak, aku tidak bisa,"
dengan terus menerus sambil bergerak-gerak.
"Tapi mengapa, Herbie?" Ayahnya merengek. "Tolong katakan pada Ayah mengapa"
Mengapa kau tidak mau mengudara sekarang?"
"Aku tidak bisa,' jawab Herbert. "Tolong jangan paksa aku. Aku benar-benar tidak
bisa sekarang!" Read menyadari betapa pucat anak itu, apalagi di sekeliling
mulutnya. "Herbie, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau, apapun, kalau kau mau
mengudara malam ini. Yang penting kau mau mengudara! Teleskop itu - aku akan
membelikanmu besok. Aku akan membelinya malam ini!"
"Aku tidak ingin teleskop," ujar si Pinner muda itu sedih. "Aku tidak ingin
melihat apapun lewat teleskop itu."
"Aku akan membelikanmu kuda poni, perahu bermotor, bahkan membuatkanmu kolam
renang! Herbie, aku akan melakukan apapun untukmu!"
"Tidak," jawab Herbert.
Mr. Pinner memandang berkeliling dengan putus asa. Matanya tertumbuk ke arah
Read yang sedang berdiri di sudut, dan dia segera menghampirinya. "Nasihatilah
dia, Mr. Read," ujarnya tergagap.
Read menggigit bibir bawahnya. Dalam satu hal itu memang urusannya. Dia
menyeruak diantara orang-orang yang mengerumuni Herbert, dan menepuk bahu bocah
itu dengan tangannya. "Aku dengar kau tidak mau mengudara malam ini, Herbert.
Ada apa ini?" tanya Read.
Herbert memandangnya. Ungkapan terhina yang ada dalam matanya membuat Read
merasa bersalah sedih. "Saya hanya tidak bisa melakukannya sekarang. Anda juga
jangan mulai bertanya-tanya pada saya, Mr. Read."
Read menggigit bibirnya sekali lagi.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagian teknik dalam para psikologi adalah bagaimana membuat subjek untuk bisa
diajak bekerjasama. "Bila kau tidak mengudara sekarang ini, Herbert, maka akan
ada banyak orang yang sangat kecewa."
Wajah Herbert menunjukkan sedikit kepastian. "Saya tidak dapat menahannya," kata
Herbert. "Lebih dari itu, akan ada banyak orang yang ketakutan. Mereka tidak tahu mengapa
kau tidak mengudara dan mereka pasti akan membayangkan yang tidak-tidak. Banyak
bayangan yang tidak-tidak. Bila mereka tidak melihatmu maka banyak orang yang
akan ketakutan." "Aku - " Herbert mengusap-usap pipinya.
"Mungkin itu benar," jawabnya pelan. "Hanya saja..."
"Kau harus melanjutkan acaramu itu."
Herbert menyerah dengan mendadak.
"Baiklah," ujarnya. "Aku akan mencobanya."
Setiap orang yang ada di studio menghembuskan nafas lega. Orang-orang itu
kemudian bergerak menuju pintu ke ruang observasi. Mereka bicara dengan nada
suara gugup dan agak meninggi. Ketegangan sudah berlalu, hal yang paling buruk
sekalipun tidak akan terjadi.
Bagian pertama acara Herbert hampir tidak ada bedanya dengan pertunjukan-
pertunjukan nya yang lalu. Suara si bocah itu sedikit bergetar dan tangannya
juga sedikit gemetar, tetapi ketidakwajaran ini tidak akan diperhatikan oleh
kebanyakan penonton di studio. Ketika acara sudah berlangsung kira-kira lima
menit, Herbert menyingkirkan bukunya dan menggambar (dia telah membahas beberapa
gambar mekanis sebelumnya), dan menunjukkannya kepada penonton lalu mulai bicara
dengan sangat serius. "Saya akan memberitahukan kalian mengenai kejadian besok," ujarnya. "Besok" -
Herbert berhenti dan dan menelan ludah -
"besok akan menjadi hari yang berbeda dari yang sudah-sudah. Besok adalah awal
dari dunia yang baru dan lebih baik bagi kita semua."
Read, mendengarkan dari ruangan yang tertutup kaca, merasa hawa dingin merayap
sedikit demi sedikit di sekujur tubuhnya ketika dia mendengar si bocah bicara.
Dia menatap wajah orang-orang di sekelilingnya dan mereka sedang mendengarkan
Herbert dengan seksama, wajah mereka terlihat gugup dan kaget. Rahang bawah
Wellman agak sedikit terbuka, dan dia meraba penjepit dasi berbentuk unicorn di
lehernya. "Di masa lalu, kita mengalami masa-masa yang cukup sulit. Kita mengalami
peperangan - banyak sekali peperangan - dan kelaparan, dan wabah penyakit. Kita
mengalami depresi dan tidak tahu apa yang menyebabkannya. Banyak orang-orang
kelaparan sementara banyak makanan tersedia, dan banyak orang yang sakit parah
padahal kita tahu obatnya. Kita telah melihat sumber daya alam dihabiskan tanpa
malu, sungai-sungai berair hitam oleh tanah-tanah yang dihanyutkan, sementara
kelaparan semakin mendekati kita hari demi hari dengan pasti. Kita telah
menderita, kita telah mengalami masa-masa sulit.
"Mulai besok" - suaranya semakin keras dan dalam - "semua hal akan berubah. Tidak
akan ada lagi peperangan. Kita akan hidup bersama-sama berdampingan layaknya
saudara. Kita akan melupakan pembunuhan dan perampokan dan bom. Dari kutub ke
kutub, dunia ini akan menjadi sebuah taman yang besar, dipenuhi dengan kekayaan
dan buah-buahan, dan semua itu akan tersedia buat kita untuk dipergunakan dan
dinikmati. Manusia akan berumur panjang dan hidup dengan bahagia, dan ketika
mati, mereka akan meninggal karena usia tua. Tidak akan ada seorangpun yang akan
takut. Pertamakalinya sejak manusia menghuni bumi ini, kita akan hidup dengan
cara sebagaimana manusia hidup."
"Kota-kota akan diperkaya dengan budaya yang beragam, dengan seni dan musik
serta buku-buku. Dan setiap ras di dunia ini akan turut andil dalam
menyumbangkan kebudaya-annya masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Kita akan
menjadi lebih bijaksana, lebih gembira dan lebih kaya daripada manusia-manusia
sebelumnya. Dan dalam waktu dekat" - Herbert agak ragu-ragu sebentar seakan-akan
pikirannya terhenti di tengah jalan - "dalam waktu dekat kita akan meluncurkan
pesawat roket." "Kita akan pergi ke Mars, Venus dan Jupiter. Kita akan pergi ke perbatasan
sistem tata surya kita untuk melihat bagaimana Uranus dan Pluto itu. Dan mungkin
dari sana - ini mungkin saja - kita akan melanjutkan untuk pergi melihat
bintang-bintang." "Besok adalah awal dari semua itu. Cukup sekian untuk malam ini. Selamat
tinggal. Selamat malam." Sesaat setelah Herbert mengundurkan diri tidak ada seorangpun yang bergerak atau
bicara. Kemudian suara-suara panik mulai terdengar. Read memandang sekeliling ,
menyadari betapa pucat orang-orang di sekelilingnya dengan mata-mata mereka yang
membelalak. "Aku penasaran bagaimana dampak hal ini dalam acara televisi," kata Wellman,
seolah pada dirinya sendiri. Dasinya berkibar-kibar liar. "Akan ada pertunjukan
televisi, itu pasti - itu adalah bagian bagusnya." Dan kemudian ke arah Pinner
yang sedang meniup hidung dan mengusap matanya. "Bawa dia keluar dari sini,
Pinner, secepatnya. Dia akan dikerubuti orang-orang bila dia tetap tinggal
disini." Ayah Herbert mengangguk. Dia segera berlari kedalam studio mendapatkan Herbert
yang sudah dikerumuni orang-orang dan kembali dengan anaknya itu. Bersama dengan
Read, mereka berusaha keluar dari kerumunan itu dan berjalan melalui koridor ke
luar menuju jalanan di belakang gedung stasiun radio.
Read masuk ke dalam mobil tanpa dipersilahkan dan duduk di hadapan Herbert di
salah satu kursi lipat. Anak itu kelihatan lelah, tetapi wajahnya menunjukkan
senyum samar. "Lebih baik kau minta supir untuk membawamu ke sebuah hotel yang sepi," kata
Read menganjurkan ayah Herbert. "Kau akan digerebek jika pulang ke tempat
biasanya." Pinner mengangguk . "Hotel Triler," perintahnya pada supir. "Pelan-pelan saja,
Pak. Kita butuh waktu untuk berpikir."
Mr. Pinner melingkarkan tangan ke tubuh Herbert dan memeluknya. Matanya
berkilat-kilat. "Ayah bangga padamu, Herbie," ujarnya tulus, "bangga sebagaimana
biasanya. Apa yang kau katakan - itu adalah hal yang amat, sangat, indah."
Pak supir tidak membuat gerakan apapun untuk menyalakan mobil. Dan sekarang dia
menolehkan wajahnya ke belakang dan berkata, "Anda Mr. Pinner muda, bukan" Saya
tadi baru saja melihat pertunjukan Anda. Bisakah saya bersalaman?"
Setelah beberapa saat Herbert membungkuk ke depan dan menjabat tangan si supir.
Supir yang disalami menanggapinya dengan semangat. "Saya hanya ingin
berterimakasih - hanya ingin mengucapkan terimakasih - Oh, persetan! Maafkan saya,
Mr. Herbert. Yang tadi Anda sampaikan benar-benar berarti bagi saya. Dulu saya
ikut dalam perang yang terakhir."
Mobil itu meluncur dari bahu jalan. Ketika mereka melalui perkotaan, Read
memperhatikan bahwa saran Mr. Pinner untuk berjalan pelan-pelan sesungguhnya
tidak perlu. Orang-orang sudah memadati jalan-jalan yang mereka lalui. Pinggir-
pinggir jalan dipadati manusia.
Orang-orang mulai berlarian ke trotoar. Mobil melambat, akhirnya merangkak, dan
orang-orang itu tetap saja berlarian keluar. Read segera menutup kaca dengan
tirai, dia takut mereka mengenali Herbert.
Penjual-penjual koran berteriak-teriak di sudut-sudut dengan suara histeris dan
keras. Ketika mobil itu berhenti Pinner membuka pintu mobil dan menyelinap keluar. Dia
datang kembali dengan sekumpulan koran yang dirangkum dalam kedua tangannya.
"DUNIA BARU AKAN DATANG!" kata salah satu koran, sementara yang lain, "MILENIUM
ESOK!" dan yang lainnya, cukup sederhana "KEBAHAGIAAN BAGI DUNIA!" Read melebar-
kan salah satu koran itu dan mulai membaca.
"Seorang bocah berusia lima belas tahun mengatakan bahwa dunia dan semua per-
masalahannya akan segera berakhir, mulai besok, dan dunia menjadi liar karena
gembira. Si bocah, Herbert Pinner, yang ramalan-ramalan mengagumkannya sangat akurat dan
membuatnya digandrungi banyak orang di seluruh dunia, meramalkan sebuah masa
damai, makmur dan sejahtera sebagaimana yang belum pernah dialami dunia ini
sebelumnya..." "Bukankah ini indah, Herbert?" kata Pinner agak gagap. Matanya menyala-nyala.
Dia mengguncang lengan Herbert. "Bukankah ini menakjubkan" Tidakkah kau senang?"
"Ya,"jawab Herbert.
Mereka akhirnya tiba di hotel dan mendaftar. Mereka menempati sebuah kamar mewah
di lantai enam belas. Bahkan pada ketinggian ini mereka masih bisa mendengar
suara teriakan-teriakan samar kerumunan orang-orang yang bergembira di bawah.
"Berbaring dan istirahatlah, Herbert," kata Pinner. "Kau terlihat letih.
Mengatakan semua itu - pasti hal itu menyulitkanmu." Dia berkeliling ke seluruh
ruangan untuk beberapa saat dan kembali ke putranya sambil meminta maaf. "Kau
tidak apa-apa bukan kalau aku keluar sebentar, Herbert" Aku terlalu gembira
untuk bisa tenang. Aku ingin melihat ada apa di luar sana.
Tangannya sudah berada di kenop pintu.
"Ya, silahkan , " j a w a b Herbert. Dia menenggelamkan dirinya di sofa.
Read dan Herbert hanya berdua di ruangan itu. Beberapa saat hanya ada kesunyian
diantara mereka. Herbert menjalin jari-jemarinya di kening dan menghela nafas.
"Herbert," Read memanggil pelan. "Kupikir kau tidak dapat melihat masa depan
lebih dari empat puluh jam mendatang?"
"Itu benar," jawab Herbert tanpa melihat.[]
BERJALAN SENDIRIAN Miriam Allen Deford John Larsen berdiri menunggu bis yang akan membawanya ke tempat kerja. Saat itu
per-tengahan Maret, tetapi musim semi telah menebarkan aromanya; udara cenderung
hangat dan langit berwarna biru lebih gelap daripada saat musim dingin. Di
seberang jalan, pucuk-pucuk tunas daun berwarna hijau di pohon poplar seperti
sedang mengiklankan datangnya musim semi.
Saat itu juga ingatannya kembali pada suatu pagi yang cerah bagai musim di semi
ketika dia masih seorang bocah, empat puluh tahun yang lalu. Dia akan bangun dan
menatap langit yang berwarna seperti ini melalui jendela kamarnya yang terbuka,
dan hatinya akan dipenuhi dengan emosi yang aneh dan tanpa nama, akibat
kehausannya akan sesuatu, menunggu hal yang belum pernah dialami.
Bis yang ditunggu belum juga datang. Jika bis itu terlambat datang, dia juga
terlambat masuk kerja, dan Sims, atasannya, akan memasang raut wajah masam dan
berkata, "Hah yang sibuk, Larsen. Bisakah kau datang tepat waktu?" Tapi
sebenarnya tidak pernah ada hari yang sibuk - sangat jarang terjadi. Orang-orang
tidak membeli karpet dan keset seperti mereka membeli sayur-mayur dan serbet
kertas. "Muak," ujar Larsen pada dirinya sendiri, menunggu sendiri di sudut yang suram.
"Benar-benar muak." Benaknya kosong mengingat kejadian sejam sebelumnya, dan
suara Katie yang menjengkelkan. "Demi Tuhan, John, bangun! Kau mau terlambat
sampai ke tempat kerja" Kalau kau terus begini mungkin kau akan dipecat, dan
kita akan kemana" Cepat! Kau pikir aku suka bangun jam berapapun untuk
memasakkan sarapanmu" Setidaknya kau bisa memakannya saat makanan itu sudah
kumasakkan!" Itu adalah monolog yang sama dan selalu terulang. Ketika dia pergi, istrinya
akan kembali merangkak ke tempat tidur, masih mengenakan pengeriting yang tidak
sedap dipandang itu, dan hanya Tuhan yang tahu kapan dia akan merangkak keluar
dari sana hanya untuk berleha-leha sepanjang hari. Dia bisa mempersiapkan
sarapannya sendiri dan hanya perlu setengah dari waktu yang diperlukan istrinya,
tapi itu tidak akan membuat Katie bagai martir untuk seorang suami yang tidak
efisien dan suka melamun.
Larsen menggigil dalam mantelnya yang sudah usang; saat ini tidak seperti
suasana musim semi seperti yang dilamunkannya, meskipun matahari akan
menghangatkan semuanya dengan cepat. Pikirannya melayang pada hutan dan lapangan
bermain di masa kecilnya, sebuah kebebasan dan kemerdekaan di tahun masa lampau.
Matanya dipicingkan ke jalanan; tidak ada isyarat sedikitpun bis itu akan lewat.
Dengan tiba-tiba, Larsen menyeberang ke apotik di sudut, sebelum akal sehatnya
mengambil alih. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping recehan sepuluh
sen dan pergi ke bilik telepon.
"Mr. Sims" Ini Larsen. Begini, saya benar-benar minta maaf, tapi saya tidak bisa
datang hari ini. Nyeri punggung saya kambuh; saya akan pergi ke dokter untuk
memeriksanya. Tapi saya akan datang besok, meskipun saya masih sakit. Tidak,
saya tidak bisa datang meskipun hanya setengah hari - nyeri punggung ini seperti
sakit gigi. Ya, saya tahu, tapi - Well, baiklah, Mr. Sims. Saya akan
melakukannya. Ya, Pak, saya juga menyesal."
Sims mungkin akan heran mengapa bukan Katie yang menelepon jika dia sendiri
sedang sakit. Mungkin dia akan mengatakan bahwa dia memerlukan karyawan yang
lebih muda untuk menangani pekerjaannya. Oh , persetan dengan itu semua;
sekarang sudah terlambat untuk mempertimbangkannya kembali.
Dia kembali berdiri di tempatnya tadi, dan bis yang dinaikinya adalah bis yang
mengarah ke arah yang berlawanan, jauh dari kota. Dia turun setelah bis itu
mencapai tujuan terakhir.
Hanya ingin sendiri - itu adalah perasaan yang menyenangkan. Tidak ada
seorangpun yang merengek padanya, tidak perlu bergegas-gegas. Dia belum pernah
berada di daerah pinggiran tempat bis itu menurunkannya. Dia hanya berjalan
berputar-putar untuk beberapa saat, mengagumi rumah dan halaman - jenis tempat
tinggal yang sering dia impikan, saat dia dan Kate masih pengantin baru. Mungkin
jika mereka punya anak yang akan membuatnya berambisi melakukan sesuatu, atau
jika Kate tidak berubah menjadi sangat keras dan galak seperti sekarang -
Ketika siang menjelang Larsen sudah letih berjalan. Dia kembali ke daerah
perkantoran yang tidak begitu luas, makan sepotong hamburger dan minum secangkir
kopi di ruang makan yang hampir sepi. Dia menanyakan jadwal bis disana. Agar
bisa kembali ke rumah seperti biasanya, agar Kate tidak akan tahu, jadi tidak
ada alasan bagi Kate untuk berteriak-teriak dan mengomelinya. Tidak ada rasa
takut kalau-kalau dia meneleponnya ke toko; Katie tahu orang-orang disana tidak
akan memanggilnya kecuali dalam keadaan darurat. Dia membeli sekotak rokok dan
majalah, lalu mulai berjalan menuju ke pinggir kota dengan penuh harapan.
Setelah berjalan selama satu jam lebih, akhirnya dia menemukan apa yang dia cari
- sebuah hutan kecil dan teduh yang dilalui sungai kecil dan dataran cerah
bermandi sinar matahari di pinggir jalan yang sepi, tempat dia bisa duduk di
atas pokok pohon yang tumbang sambil membaca dan merokok, lalu membiarkan
keheningan dan kedamaian meresap masuk ke syaraf-syarafnya. Di kejauhan
dilihatnya atap-atap rumah perbukitan yang tersembunyi di balik tajuk pohon-
pohon rindang, tapi tidak ada satupun yang terlalu dekat dengan hutan itu yang
akan membuatnya merasa diamati. Kendaraan lewat satu-dua kali ke arah yang
berlainan, dan tidak ada satupun orang yang memperhatikan di tempat perlindungan
yang nyaman itu. Suasana saat itu sangat sunyi dan membuat Larsen terkantuk-
kantuk. Dia terbangun dan merasa segar, dan hal pertama yang dilihatnya adalah matahari,
lalu jam tangannya. Pukul 4:40; masih banyak waktu untuk mengejar bis yang akan
membawanya kembali ke rumah. Dia berdiri dan meregangkan tubuhnya, berdebat
dalam hati apakah dia akan berjalan kaki lebih jauh atau berbalik berlenggang
perlahan-lahan menuju halte bis.
Di jalan, dalam keheningan, didengarnya suara dedaunan kering bergemerisik. Dia
melongok, dan melihat seorang gadis remaja berjalan menuju ke arahnya. Larsen
mundur, menunggu sampai si gadis melewatinya; mungkin dia akan membuat si gadis
takut jika tiba-tiba dia melihat ada seorang lelaki tua muncul dari dalam hutan.
Sambil bersandar pada sebatang pohon, Larsen memperhatikan si gadis berjalan.
Gadis itu cantik, dengan rambut kuning keemasan yang jatuh sampai ke kerah
sweater merahnya. Dia mengenakan rok berwarna biru gelap, kaus kaki merah, dan
sepatu kulit coklat, dan dia mengepit beberapa buku pelajaran di bawah
lengannya. Dia bersenandung sambil jalan, suaranya jernih, tipis, dan kekanak-
kanakkan. Saat itu senja sudah agak larut baginya untuk pulang sekolah, tapi
mungkin gadis itu baru selesai menghadiri rapat pelajar.
Mungkin dia tinggal di salah satu rumah yang atapnya terlihat diantara
pepohonan; mungkin ada jalan pintas menembus hutan menuju ke sana.
Dia melewati Larsen dan Larsen menunggu sampai si gadis hilang dari pandangan di
kelokan jalan. Lalu didengarnya suara mobil, berjalan perlahan dari belakang, ke
arah yang sama dengan si gadis.
Mobil dua pintu itu berwarna hitam dan reyot, dengan seorang lelaki di dalamnya.
Larsen melihat sekilas ke lelaki di belakang kemudi - seorang lelaki
berperawakan besar seusianya, dengan rambut hitam yang mengherankan untuk lelaki
tua seusianya, tanpa topi.
Mobil itu juga melewatinya, dan Larsen keluar dari persembunyiannya lalu
melangkah menuju ke arah kota. Sayangnya, dia terlambat untuk melambai ke mobil
reyot itu dan mungkin meminta tumpangan sampai ke halte bis.
Jarak si gadis dengan mobil itu sekarang hanya kira-kira seratus kaki, hampir
membelok di tikungan. Mobil itu hampir mencapai si gadis.
Dan mendadak berhenti. Semuanya terjadi dengan sangat cepat dan Larsen tidak segera menyadari, akibat
tidur siangnya tadi.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki tua yang mengemudi melompat keluar, mengatakan sesuatu pada si gadis, dan
si gadis menggelengkan kepala. Lelaki itu mencengkeram lengan si gadis dan meng-
giringnya masuk ke dalam mobil. Dia melawan dan berteriak; tetapi lelaki itu
membekap mulutnya dengan satu tangan. Diseretnya si gadis, lalu dia menyusul
masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Si gadis melompat - mungkin dia
melihat Larsen saat itu, yang seakan lumpuh karena keterkejutannya - menggapai
pintu mobil dan mencoba berteriak.
Lelaki itu memukulnya dua kali, membuatnya roboh ke lantai mobil. Lalu dia
segera menjalankan mobil dan melaju sekencang-kencangnya.
Ketika Larsen, yang masih gemetar, lari menuju tikungan, mobil dan pengendaranya
sudah hilang dari pandangan. Plat nomer mobil bahkan tidak diperhatikannya.
Sepanjang jalan di daerah pinggiran menuju kota, Larsen merenungkan apa yang
harus dia lakukan. Sudah menjadi tugasnya, dia tahu itu, untuk mencari polisi
kota itu dan melaporkan kejadian yang tadi dilihatnya. Tapi itu membuatnya harus
menjelaskan keberadaannya disana, memberi nama dan alamat, dan mengharuskannya
datang ke kantor polisi sebagai saksi yang melihat kejahatan yang telah terjadi
dan mengidentifikasi pelakunya.
Lalu Sims akan tahu alasan ketidakhadirannya di tempat kerja adalah bohong
belaka. Kate juga akan tahu. Sims mungkin akan memecatnya.
Kate bahkan akan membuat hidupnya lebih buruk daripada di neraka. Dia bahkan
tidak akan mendapatkan pekerjaan lain, walaupun nantinya pekerjaan itu sama
payahnya dengan yang dia miliki sekarang, di usianya sekarang.
Dia tidak punya tabungan, dan hutang mereka adalah setengah barang yang memenuhi
rumah mereka sekarang. John Larsen membayangkan dengan jelas hal menakutkan apa yang bakal dihadapinya
nanti bila dia berniat melaporkan kejadian itu.
Dia tidak begitu mengerti situasinya. Lelaki itu mungkin ayahnya. Si gadis
mungkin sedang keluyuran, sebagaimana yang sedang dilakukannya, atau mungkin dia
telah melanggar beberapa aturan yang ditetapkan orangtuanya.
Apa yang disaksikannya mungkin hanyalah hukuman berat tapi syah menurut hukum
untuk kenakalan-kenakalan yang diperbuat anak-anak.
Lagipula, apa yang bisa dilakukannya" Dia bahkan tidak bisa mengidentifikasi
lelaki itu - hanya melirik sekilas ketika mobil lelaki itu melewatinya, tidak
akan bisa menunjuk orang yang tepat bila harus dihadapkan dengan berbagai macam
lelaki setengah baya dengan rambut hitam tebal. Larsen hanya akan membuat
dirinya berada dalam kekacauan tanpa bisa keluar dari sana, dan semua sia-sia
belaka. Dia sampai di kota dengan cepat, tanpa melihat atau mendengar mobil tadi
sekilaspun; lagipula mobil seperti itu ada dimana-mana dan salah satunya mungkin
mobil si lelaki. Untuk menenangkan kesadarannya, dia mencari-cari polisi di
sekitar daerah perkantoran itu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka di
sekitar. Tercekat dengan ketidaktentramannya, Larsen ikut masuk ke dalam bis yang baru
saja datang, dan menyadari nanti dia akan tiba di kota terlalu cepat, kemudian
dia ikut sampai separuh jalan, dan menanti bis berikutnya. Dia sampai di
rumahnya sendiri pada jam yang biasa, dan Kate belum mempersiapkan makan malam.
Dia duduk dengan marah sambil membaca koran sore, sementara Kate mengeluh dan
mengomelinya dari dapur. Mereka tidak pernah bertanya satu sama lain tentang apa
yang mereka hadapi hari itu; tidak ada sesuatupun yang akan menarik minat salah
satu dari mereka. Akhirnya Larsen bisa berpikir jernih keesokan harinya dan mengatakan pada Sims
bahwa dokter yang ditemuinya berkata penyakitnya hanya encok biasa, dan
istirahatnya seharian kemarin sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. Saat dia
melihat tatapan Sims, Larsen meringis dan mengusap-usap pinggang belakangnya
sering-sering. Larsen cukup beruntung hari ini karena berhasil menjual karpet
tangga kuno yang panjang dan sudah berbulan-bulan lalu ingin mereka singkirkan .
Sims menunjukkan kepuasannya dengan mengucapkan selamat malam dan berharap encok
yang diderita Larsen cepat sembuh. Bagaimanapun Sims tidak lupa memotong gajinya
karena membolos sehari penuh. Artinya, Larsen harus tetap bekerja pada jam makan
siang minggu depan tiap hari; dia tidak ingin Kate sampai tahu gajinya
berkurang. Saat Larsen berhenti untuk membeli koran, dua hari sesudahnya, ada gambar wajah
seorang gadis terpasang di halaman depan.
Apakah Anda pernah melihat gadis ini" begitu bunyi kepala beritanya . Larsen
segera mengenali wajah itu. Pakaian yang digambar-kan di koran sama seperti yang
dikenakan si gadis di foto pada hari itu.
Namanya Diane Morrison, putri kepala sekolah Belleville Consolidated Junior High
School, tempatnya belajar di tahun pertama.
Biasanya, ayahnya yang mengantar-jemput putrinya itu. Selasa kemarin Diane
menunggu ayahnya sampai pukul setengah empat, laiu ayah mengatakan bahwa dia
masih sibuk sampai sejam kemudian; lalu, sebagaimana yang sering terjadi, si
ayah menganjurkan anaknya pulang dengan berjalan kaki dan bilang pada ibu bahwa
ayah akan pulang terlambat. Ketika si ayah pulang pukul enam, anak gadisnya
belum muncul. Dia adalah seorang anak yang bisa diandalkan, yang selalu
menelepon ke rumah bila ingin mampir kemanapun. Orangtuanya telah menelusuri
semua jalan pulang dari sekolah dan menghubungi semua kawan-kawannya. Tapi tidak
ada seorangpun yang melihat Diane. Dan sejak saat itu Diane tidak terlihat lagi
dimanapun. Karena ada kemungkinan terjadinya penculikan, FBI diminta menangani kasus
tersebut. FBI, polisi negara bagian dan kepolisian distrik setempat menyisir hutan dan
daerah perbukitan sekitar Belleville. Sejauh ini mereka sama sekali tidak
menemukan jejak atau petunjuk keberadaannya.
"Demi Tuhan," omel Kate, "Bisakah kau buka mulutmu selain untuk makan" Tidak ada
satu katapun yang keluar dari mulutmu, kerjamu hanya melamun terus. Sementara
aku disini, terkurung seharian, dan kau pulang dan berlagak seolah aku hanya
salah satu perabot rumah atau semacamnya. Kau pikir aku ini - "
Larsen membiarkan istrinya meracau. Dia mencoba memutuskan, haruskah dia melapor
atau tidak" Apakah laporannya nanti akan membantu" Mereka mungkin akan mengenali
lelaki itu bila dia menggambarkannya. Tapi nanti John Larsen berada dimana" Yang
pasti dia akan menghadapi permasalahan hidup yang paling buruk.
Ditatapnya Kate dan Larsen hampir saja mengatakan semuanya dan meminta nasihat
istrinya. Tapi kemudian dia mempertimbangkan kembali, gentar mengingat bagaimana
dia akan menghadapinya nanti. Dan dia bahkan tahu apa yang akan dinasihatkan
istrinya nanti - menjauhlah dari masalah itu dan jangan membuat kita makin susah
sebagaimana yang kau buat pada kehidupan kita. Biarkan polisi-polisi itu
melakukan tugas mereka - untuk itulah mereka dibayar.
Sejak saat itu Larsen mulai rajin membeli koran terbitan pagi dan sore,
memaksakan diri, disertai rasa takut yang menjalar dingin di perut, untuk
mencari berita tentang kejadian itu.
Seminggu berlalu sudah, dan dibawah tumpukan kerikil di sebuah pertambangan tua,
mereka menemukan mayat si gadis. Tulang tengkoraknya retak di tiga tempat akibat
pukulan benda berat serupa linggis. Tubuh itu penuh luka dan memar, dan si gadis
itu juga disinyalir telah mengalami perundungan seksual. Di tangan kanannya
tergenggam selembar sapu tangan lelaki, bermotif kotak-kotak warna merah dan
putih. John Larsen terjaga sepanjang malam, sementara Katie tertidur lelap dengan nafas
berat dan teratur di sebelahnya. Ketika dilihatnya jendela telah berubah warna
menjadi abu-abu karena sinar matahari yang malu-malu, Larsen memutuskan untuk
membiarkan masalah itu berlalu beberapa lama. Dia ingat beberapa cerita kriminal
yang pernah dibacanya. Mungkin ada serpihan kulit di bawah kuku si gadis dan
lembaran-lembaran benang dan rambut di pakaian korban yang ditemukan penyelidik
forensik hanya dalam hitungan menit, dan mereka akan melacak mobil-mobil yang
dicurigai dan mencari sidik jari disana. Di desa kecil seperti Belleville mereka
akan menemukan lelaki berambut gelap itu dengan cepat, kecuali jika si lelaki
adalah orang asing yang berasal dari tempat lain.
Dan Larsen mungkin satu-satunya saksi mata yang menyaksikan penculikan itu.
Kalau saja dia tidak berada disana - tetap saja mereka harus menyelidikinya
sebagaimana yang telah mereka lakukan sampai detik ini. Dia membayangkan dirinya
mencoba menjelaskan semuanya pada petugas FBI yang meragukan keterangan Larsen
mengenai apa yang sedang dilakukannya di jalanan dekat Belleville sementara dia
seharusnya bekerja di kota.
Ketika Larsen mempertimbangkan kembali semuanya, gagasannya membolos kerja
seharian sepertinya amat sangat mengherankan dan kekanak-kanakan. Tidak ada
seorangpun yang akan mengerti; mereka pasti mengira dia bohong. Mereka pasti
mengira dia hanya mengarang-ngarang cerita untuk melindungi dirinya sendiri.
Mereka mungkin akan menuduhnya melakukan pembunuhan tingkat tiga. Saat terbaring
di tempat tidur, Larsen sedang mempertimbangkan nasibnya. Dan hidupnya akan
hancur. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berpura-pura kejadian itu
tidak pernah ada. Lagipula mereka akan segera menemukan si lelaki itu - mereka
selalu bisa menemukannya. Dan ketika itu terjadi, Larsen akan merasa lega karena
dia masih punya nyali untuk membiarkan semua itu berlalu.
Dan, ketika tiga hari kemudian dia membaca kepala berita Tersangka Pembunuhan
Morisson Tertangkap, Larsen merasa luar biasa lega dan membuat matanya berkaca-
kaca. Sambil berdiri dalam bis, Larsen membaca berita itu dengan cermat.
Yang ditangkap adalah asisten penjaga sekolah. Namanya Joseph Kennelly. Dari
awal dia memang sudah dicurigai, begitu menurut berita yang dimuat. Tentu saja,
dia kenal gadis itu sambil lalu. Joe tidak menikah, dan tinggal sendiri di
sebuah gubuk dua kamar dekat pertambangan tempat mayat si gadis ditemukan. Dia
juga memiliki catatan kejahatan - tidak termasuk kejahatan seksual, tapi dia
sering sekali ditangkap akibat pelanggaran dan menyetir sambil mabuk. Joe juga
menghabiskan sebagian besar masa remajanya di tempat penampungan anak-anak
terbelakang. Teori yang diajukan polisi adalah; Joe melihat si gadis pulang terlambat saat
dia sudah selesai bertugas. Tidak diragukan lagi, Joe sangat tertarik pada si
gadis; sekarang ketika semuanya sudah terlambat, teman-teman sekolah Diane
sering melihat Joe melontarkan lelucon vulgar tentang rambut keemasan dan
perawakan Diane yang sedang mekar. Joe adalah karyawan yang serampangan, dengan
kelakuan yang sering menjengkelkan kepala sekolah dan sering kepergok minum
ketika sedang bekerja. Mr. Morisson sudah mengancam akan memecatnya. Dan motif
kejahatan itu jelaslah sudah -balas dendam dan nafsu.
Saputangan itu memang miliknya - yang dibuktikan dengan tanda penatu. Lagipula,
ada bekas luka dalam di rahang kirinya, kemungkinan sudah berumur satu atau dua
minggu. Joe menyangkal semuanya dengan marah, tentu. Dia sudah pulang sambil mengendarai
mobilnya seperti biasa, dan sama sekali tidak meninggalkan gubuknya sampai dia
pergi bekerja keesokan harinya. Dia bahkan tidak pernah bertemu Diane - atau
orang lain. Sebuah botol wiski yang hampir kosong ditemukan di lemari sapu, dan menurut
Kennelly dia memang agak mabuk ketika dia pulang. Di rumah dia kembali minum,
tertidur kira-kira pukul sepuluh malam, dan tidak bangun-bangun lagi sampai
fajar menjelang. Tidak ada orang yang melihatnya saat itu, di sekolah maupun di
tempat lain, antara hari Selasa jam empat sore sampai Rabu pagi jam sembilan.
Mengenai saputangannya, dia mengakui saputangan itu memang miliknya yang sudah
lama hilang, berminggu-minggu sebelumnya, entah dimana. Pasti si pembunuh itu
yang menemukannya. Bekas luka di pipi" Keesokan paginya setelah bermabuk-mabukan
tangannya gemetar dan dia melukai dirinya sendiri saat sedang bercukur.
Sejauh ini baik-baik saja: John Larsen membaca berita itu dengan penuh rasa
syukur karena telah membiarkan semua berjalan apa adanya. Tapi kemudian hatinya
melonjak bagai peluru meriam demi membaca berita selanjutnya.
Joseph Kennelly berusia dua puluh enam tahun. Gambar yang tercetak di koran
menunjukkan seorang lelaki muda tinggi dan kurus dengan rambut sedikit terang
dan agak botak di sekitar pelipis. Dan mobilnya adalah sedan biru gelap.
Larsen sampai di rumah, berjalan bagai robot dari halte bis. Dilemparnya koran
dan topi ke kursi terdekat, pergi ke kamar mandi, dan mengunci diri disana:
satu-satunya kamar tempat dia bisa merenung sendirian di rumah.
"Kaukah itu, John?" panggil Kate; dan ketika dia melihat kemana suaminya itu
pergi dia berjalan kembali ke dapur. Makan malam baru saja dimasak, seperti
biasa; John sering heran, apa saja sih yang dilakukan istrinya sepanjang hari.
Mungkin melekat di kursi tepat di depan televisi, sebagaimana dulu dia melekat
di kursi dekat radio. Sambil meringkuk di dudukan toilet, Larsen bergumul dengan kesadarannya. Tiada
gunanya dia yakinkan diri sendiri bahwa apa yang diketahuinya bukan suatu hal
yang penting. Dia telah melihat Diane Morisson diculik, melihat pelakunya, dan
itu bukan Joseph Kennelly. Dia tidak bisa menelepon dari rumah - Kate akan
berada di dekat lehernya, menguping. Dia harus mencoba mencari alasan untuk bisa
menelepon dari luar. Dia bermain-main kembali dengan gagasannya untuk
menceritakan semuanya pada Kate. Tidak, hal itu sama sekali tidak bisa
diharapkan; dia kenal betul siapa Kate.
Kenop pintu diputar-putar dari luar.
"Ya ampun," ujarnya dari balik pintu, "kenapa kau kunci pintunya" Apa kau sakit
atau apa?" "Aku baik-baik saja," sahut John bergumam, kemudian memutar kunci.
"Aku tidak pernah melihat lelaki sepertimu! Tidak ada satu katapun keluar dari
mulutmu saat kau pulang - mungkin kau tidak merasa punya istri. Aku hanya
pembantu disini, yang memasak makanan dan merawatmu. Kau mengunci diri di sana,
seakan-akan aku ini orang asing. Aku terkurung disini, bekerja keras seharian - "
"Kau mau aku bicara apa" Aku lelah."
"Kau pikir aku tidak?"
"Sudah, kita tidak usah bertengkar lagi, Kate," ujar John lelah. Sebuah gagasan
muncul di benaknya. "Kepalaku sakit sekali. Kalau makan malam belum siap, kurasa
aku akan pergi ke apotik dan membeli obat."
"Makan dulu," jawabnya, berusaha berdamai. "Kau akan merasa lebih baik sesudah
makan." Dia berusaha keras mendapat jawaban bernada ramah dari John, dan itu
terlihat jelas di wajahnya. "Aku baru saja membaca-baca berita yang ada di
koran. Ya ampun, anak itu kasihan sekali ya" Aku senang mereka berhasil
menangkap pelakunya. Orang-orang seperti itu harusnya diceburkan dan digoreng
dalam minyak panas."
"Bagaimana kau tahu kalau dia memang pelakunya?" Larsen tidak bisa menahan diri
untuk tidak bertanya. Saat itu juga Kate menjadi panas.
"Well, sekarang kau jadi lebih tahu dari para polisi itu ya, Tuan Pintar" Bila
dia bukan pelakunya, mengapa mereka menangkapnya" Mereka tidak akan menangkapnya
sampai mereka mendapatkan barang-barang milik korban padanya - dan semua orang
juga tahu itu." "Mungkin juga," sahutnya lemah, dan Larsen segera mengatur meja makan sebelum
Kate menyuruhnya. Kepalanya memang sakit, dan itu bukan hal yang aneh. Ucapan-ucapan Kate
membuatnya berpikir kembali. Kate salah: mereka memang menangkap orang yang
tidak bersalah. Dengan kesadaran itu, mereka tidak bisa menjatuhkan vonis
padanya. Pikirannya terbang ke laboratorium polisi yang pernah dia baca di
cerita misteri. Rambut dan serat yang ada di pakaian si gadis itu mungkin saja
milik orang lain, seorang lelaki setengah baya yang tegap dengan rambut gelap
dan tebal, siapapun dia. Tidak diragukan lagi, ada banyak temuan ilmiah lain
yang tidak diketahui Larsen, dan temuan-temuan itu akan meringankan tuduhan
terhadap Kennelly. Penjaga sekolah itu mungkin akan didakwa oleh juri yang agung
berdasarkan apa yang mereka temukan - asal Larsen tidak muncul di pengadilan.
Mereka sungguh-sungguh yakin bahwa mereka akhirnya menangkap pelakunya.
Dan bila John Larsen tidak menjulurkan leher kemana-mana, maka kehancuran yang
tidak pernah usai tidak akan dialaminya.
Dia tidak keluar rumah untuk menelepon.
Para juri akhirnya memang mendakwa Kennelly, dan dia ditahan tanpa uang jaminan
di penjara setempat. Larsen sering sekali memikirkan Kennelly, meskipun pengaruh
jahat kejadian itu telah terasa samar dalam dirinya, sedikit demi sedikit.
Benar-benar nasib buruk untuk Kennelly, dipenjara selama itu untuk sesuatu yang
tidak dilakukannya. Tapi dilihat dari sudut manapun, lelaki itu memang tidak
berguna, dan bila dia ditakut-takuti dengan baik, mungkin dia akan menjadi
lurus. Saat ini mungkin mereka sadar mereka tidak punya bukti yang cukup untuk
membawa Kennelly ke meja hijau, atau akan muncul sesuatu yang akan menunjukkan
pada mereka siapa pelaku kejahatan itu sebenarnya - meskipun Larsen sadar mereka
tidak akan mencari tertuduh lain dengan sekuat tenaga ketika mereka pikir mereka
telah mendapatkan tertuduh yang sebenarnya.
Kennelly dibela seorang pengacara yang hebat - dari seorang paman kaya yang
muncul entah dari mana dan membayarsemua keperluannya. Lawrence Prather, nama si
pengacara. Dia membela beberapa kasus pembunuhan di beberapa daerah dan hampirselalu
meloloskan kliennya dari dakwaan. Kennelly yakin dirinya akan dibebaskan, jika
dia diadili. Tanggal pengadilan ditetapkan.
Larsen menenangkan dirinya sendiri, jika nanti ada sedikit saja keraguan tentang
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembebasannya maka dia akan mengorbankan diri dan menemui Prather dengan
ceritanya. Tapi tidak ada keraguan sedikitpun saat pengadilan berlangsung.
Larsen mendengar orang-orang membicarakan kasus itu di toko, juga di bis; semua
orang sangat tertarik mengikuti berita itu. Semua orang mengira Kennelly akan
bebas, bukan berarti mereka menganggap Kennelly tidak bersalah. Beberapa orang
memandang sinis pada peradilan: mereka menganggap orang tidak bisa didakwa hanya
karena bukti atau tuduhan semata.
Kadangkala, dengan gemetar, John Larsen membayangkan dirinya sedang diwawancara
pengacara pembela. Keberadaannya tidak berguna, meskipun dia datang ke pengacara
itu, jika Larsen tidak mau menjadi saksi mata.
Dan dia bisa mendengar suara jaksa penuntut yang mengadakan pemeriksaan silang
terhadapnya di pengadilan.
"Ceritakan bagaimana Anda sampai berada di tempat yang tidak wajar dan di waktu
yang juga tidak wajar itu, Mr. Larsen?"
Tidak akan ada seorangpun yang membelanya: hanya ada kata-katanya yang
bertentangan dengan ucapan semua orang. Jaksa penuntut mungkin akan membuat
dirinya menjadi salah satu kaki-tangan Kennelly, atau menuduhnya menerima suap
demi umpan ini: bahwa Larsen mengarang semua hal yang dikatakannya. Mereka
bahkan akan mencurigai, atau berpura-pura curiga, tentang ceritanya yang tidak
melindungi Kennelly tetapi melindungi dirinya sendiri. Orang-orang yang ada di
tempat makan siang akan mengenali wajahnya; dia ada Belleville sore itu. Namanya
akan segera dibersihkan, memang, tetapi dengan begitu banyak perhatian yang
tertuju padanya saat itu, orang akan memandangnya dengan tatapan lain saat dia
keluar dari sana. Larsen menjauh dari kantor Prather.
Pengadilan Kennelly dimulai bulan Oktober.
Larsen benar-benar tidak bisa pergi; dia harus bekerja. Tetapi dia mengikuti
berita tersebut dari koran-koran, kata demi kata. Dia tidak bisa mengalihkan
pikirannya ke hal lain. Sims memergokinya membicarakan kasus itu pada salah satu pelanggan, dan marah
karenanya. "Kita ingin orang-orang bicara tentang karpet disini, bukan
pembunuhan," ujarnya.
"Jika kau tidak bisa bekerja dengan benar, Larsen-" Larsen segera minta maaf dan
lebih berhati-hati. Dia terpana dan takut akan antusiasme masyarakat. Perlu waktu hampir seminggu
hanya untuk mendapatkan juri. Kennelly disoraki dan diteriaki saat dibawa ke
luar dari ruang sidang. Pembunuh dan penyiksaan seksual terhadap seorang gadis
kecil adalah kejahatan terburuk yang bisa dibayangkan, dan masyarakat ingin ada
orang yang diganjar untuk kejahatan ini. Larsen menggigil saat berpikir untuk
memberanikan diri mencabut dari mulut mereka. Menyatakan bahwa dia percaya
Joseph Kennelly mungkin tidak bersalah hanya akan membuatnya tidak aman.
Saat pengadilan berlangsung, Larsen mulai mengalami mimpi buruk. Dia tidak nafsu
makan dan bobotnya terus turun . Kate bahkan menyadari keadaannya dan terus saja
merongrong suaminya dengan berbagai macam pertanyaan. Sebagaimana orang-orang di
sekitarnya, Kate juga rajin mengikuti berita tentang kasus tersebut di koran-
koran, dan tiap malam dia sangat ingin membicarakannya. Dia tahu Kennelly memang
bersalah, dan kursi listrik terlalu bagus untuknya. Dan jika dia sampai bebas,
dia hams dirajam sampai mati.
"Diam!" teriak suaminya.
"Sepertinya kau prihatin padanya ya?" sahutnya. "Mungkin kau berharap untuk
dapat melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya dan pergi begitu saja!"
Larsen masuk ke kamar mandi demi menghindari istrinya yang selalu menuntut
jawaban. Selama pengadilan berlangsung, dia menunggu sia-sia akan adanya rambut atau
serat kain yang akan disebut-sebut sebagai bukti: kelihatannya tidak ada apapun
yang ditemukan, atau mungkin keberadaannya diacuhkan karena bukti-bukti tersebut
tidak menunjukkan bahwa Kennelly memang tidak bersalah. Tidak ada seorangpun
yang menyebut-nyebut adanya noda darah atau sidik jari dalam mobil - mungkin
dengan alasan yang sama. Seorang saksi ahli mengatakan ada serpihan kerikil yang ditemukan dalam sepatu
terdakwa yang memang berasal dari pertambangan itu, tapi Kennelly sering
mengunjungi tempat itu karena dekat dengan gubuknya. Dan tidak ada saksi mata
yang membuktikan alibi Kennelly, atau menyangkalnya. Teman-teman sekolah Diane
hanya bisa menyatakan kebiasaan Kennelly secara samar. Larsen merasa bebannya
mulai berkurang. Tapi pembelaan itu ternyata lebih dari sekedar formalitas. Hanya Kennelly
sendirilah saksinya, dan dia adalah saksi yang buruk, bahkan bagi dirinya
sendiri - dia mengaku mabuk di saat-saat yang menentukan.
Pengacaranya tidak berusaha untuk menyatakan ketidakwarasan Kennelly sebagaimana
yang diharapkan Larsen. Prather menyampaikan pidato penutup yang kuat, merujuk
pada kurangnya bukti dan menyatakan tidak adanya kesaksian apapun yang bisa
sungguh-sungguh menjerat kliennya dan mendakwanya bersalah.
Tetapi Jaksa Penuntut Holcombe memaparkan semua hal yang menyangkut si penjaga
sekolah - mencela, mengungkap catatan kejahatannya yang panjang, dan
memanggilnya "mahluk berbentuk manusia, dengan sifat kebinatangan yang kejam
jahat". Yang paling celaka dari semua itu adalah saputangan. "Aku sama sekali tidak
percaya dengan kebetulan-kebetulan seperti itu," ujar Holocombe sarkastis.
"Kuberitahu apa saja yang aku percaya - aku percaya si gadis malang itu menarik
keluar saputangan itu dari saku Kennelly sendiri saat dia berusaha untuk melawan
dan berjuang demi keselamatan dan kehormatannya. Dan aku percaya gadis malang
itu melukai wajah Kennelly dalam perjuangannya yang tanpa daya, hanya untuk
melarikan diri dari monster yang menyerangnya."
Orang-orang yang menonton di ruang sidang bertepuk tangan, dan mereka tidak
berhenti sampai Hakim mengancam untuk mengusir mereka.
Di depan juri, Hakim Stith berusaha netral, tapi para juri sendiri bisa menilai
di pihak siapa Hakim itu berdiri. Mereka juga berpihak pada orang yang sama;
masih jelas dalam ingatan mereka foto-foto si malang Diane kecil yang sudah jadi
mayat. Beberapa orang diantara juri tersebut juga memiliki putri. Harus ada
seseorang yang dihukum untuk kejahatan brutal ini.
Akhirnya mereka memutuskan terdakwa bersalah atas kedua tuduhan: penculikan dan
pembunuhan. Pemungutan suara hanya di- adakan tiga kali - begitu menurut pegawai
pengadilan pada wartawan setelah sidang selesai - untuk mengembalikan akal sehat
beberapa juri yang sentimentil dan konyol yang menyatakan keraguan beralasan.
Tetapi Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, pikir Larsen panik. Dia tidak
bisa berbuat begitu, hanya dengan kesaksian tidak langsung. Paling berat, orang
itu hanya akan diberi hukuman seumur hidup, dan itu artinya dia akan bebas
bersyarat suatu hari nanti. Hal itu tidak akan begitu menyakitkan bagi kennelly,
juga tidak akan membuatnya menjadi lebih baik.
Hakim memutuskan untuk menghukum Kennelly di kursi listrik. Dia juga punya
seorang putri di rumah. Tapi 'kan selalu ada permohonan naik banding, pikir Larsen putus asa. Dan
permohonan itu akan dikabulkan. Kennelly akan bersidang lagi, dan nanti
kebenaran akan muncul ke permukaan.
"Demi Tuhan, berhentilah mondar-mandir begitu!" ujar Kate dengan nada marah
untuk kesekian kalinya sore itu. "Ada apa denganmu akhir-akhir ini" Dan kau
terlalu banyak merokok, John. Aku tidak suka itu - kau menghabiskan terlalu
banyak uang untuk rokok!"
Permohonan naik banding ditolak.
Jaksa penuntut menyatakan kegembiraannya pada wartawan. "Kematian terlalu bagus
bagi manusia ular seperti Kennelly," ujarnya.
Prather tidak membawa persidangan itu ke Pengadilan Negara Tertinggi. "Tidak ada
alasan,"jelasnya. Tapi masih ada alasan-alasan lain. Dan Larsen akan menyediakannya.
Dua kali Larsen mencoba menghubungi nomer telepon Prather. Tapi kemudian dia
sadar apa yang akan setelah itu. Lalu dia meletakkan kembali gagang telepon ke
tempatnya. Tunggu dan lihat sajalah, ujarnya pada diri sendiri. Hal-hal seperti
ini akan makan waktu bertahun-tahun , itu berarti tahun demi tahun penangguhan
hukuman. "Dan mengapa Anda menunda-nunda terlalu lama untuk memberi informasi ini, Mr.
Larsen?" tanya pengacara pembela di dalam kepala Larsen sendiri.
Tidak ada guna mengorbankan diri demi mendapatkan pengampunan bagi Kennelly,
memohon mereka untuk mengikuti beberapa petunjuk tanpa keterlibatan John Larsen
sama sekali. Tanpa kesaksiannya, semua bukti-bukti baru sama sekali tidak
berarti. Lagipula, sekarang ini semuanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika
pertama kali Kennelly ditahan - atau sebelumnya - mungkin apa yang diketahui
Larsen akan sangat berguna. Sekarang dia hanya akan melibatkan diri dalam
peluang tipis untuk menyelamatkan Kennelly, begitu Larsen berkata, terus dan
terus, pada diri sendiri.
Kalau saja ada seseorang - seorang saja di dunia ini - untuk bisa diceritakan
tentang peristiwa itu, yang akan memberinya nasihat, melindunginya, dan membuat
segalanya berakhir dengan baik!
Kennelly berada dalam tahanan khusus bagi terhukum mati di penjara negara
bagian. Tanggal eksekusinya sudah ditetapkan tiga bulan lagi.
Dua bulan berlalu. Akhirnya hanya tinggal sebulan.
Prather membawa paman Kennelly, satu-satunya keluarga yang dimiliki lelaki itu,
menghadap gubernur. Sementara Gubemur sedang berkampanye kembali mencalonkan
diri bulan November nanti. Dan dia tidak ingin ada penangguhan hukuman seorang
lelaki yang didakwa atas pembunuhan seksual seorang gadis kecil.
Waktu berlalu. Eksekusi itu berlangsung seminggu lagi.
Kemudian dua hari lagi. Bobot John Larsen berkurang dua puluh kilogram. Dia takut tidur; karena dia
pernah berteriak dalam tidurnya dan membangunkan Kate. Dia bahkan tidak pernah
memperhatikan omelan istrinya lagi.
"Kalau kau sakit, pergilah ke dokter."
"Aku tidak sakit."
"Kau pikir aku bodoh" Kau menyimpan sesuatu, John. Apa yang telah kau lakukan,
John?" Kate mencoba beberapa kemungkinan.
"John, beritahu aku!" Tiba-tiba istrinya menangis terisak-isak. "Aku tahu ada
apa ini sebenarnya, dan aku tidak akan bertahan menghadapinya. Kau berhubungan
dengan perempuan lain! Bila selama dua puluh tujuh tahun pernikahan ini kau
pikir aku akan membiarkanmu - "
Larsen tertawa. Dan tawa yang keluar bukanlah suara yang enak didengar.
Beberapa rencana gila memenuhi benaknya. Dia akan pergi ke Belleville, dia akan
berburu sampai dia menemukan lelaki berambut gelap itu dan akan memaksa pembunuh
itu mengaku. Semuanya hanya omong kosong.
Penangguhan pada menit-menit terakhir ditiadakan. Dalam hati Larsen juga
berharap hal itu tidak ada. Kennelly menduduki kursi tepat sesuai jadwal,
berteriak-teriak dirinya tidak bersalah dengan sisa nafas yang masih dia miliki.
Membaca cerita menyedihkan itu seluruhnya dari koran, akhimya John Larsen
berhadapan dengan kebenaran yang sesungguhnya.
Mungkin dia tidak bisa mencegah terjadinya pembunuhan terhadap gadis itu -
meskipun dia mungkin bisa melakukannya jika dia bertindak cepat saat itu juga.
Tapi apa yang dilakukannya sudah cukup.
Dia telah mengakhiri hidup seorang lelaki yang tidak bersalah, hanya demi
mempertahan-kan pekerjaan yang menjijikkan dan istri yang dia benci. Dia, John
Larsen, telah membunuh seorang lelaki yang tidak dikenalnya, sebagaimana lelaki
tak dikenal itu membunuh Diane Morisson.
Dia adalah pembunuh, dan pembunuh harus mati. Tapi dia tidak punya cukup
keberanian untuk menyelamatkan Kennelly, dan dia juga tidak punya nyali
sedikitpun untuk mati. Yang dapat dilakukannya hanya bertahan, sampai batas
kemampuannya. Melihat raut wajah suaminya petang itu, omelan Kate tertahan sampai di bibir.
John memunguti makan malam di piringnya dalam kebisuan. Setelah itu dia segera
tidur. Dalam tidur panjangnya yang tanpa mimpi, Larsen bagai binatang yang
letih. Keesokan paginya Larsen sedang menunjukkan sebuah karpet pada seorang pelanggan.
Tiba-tiba dia menjatuhkan karpet itu dan berdiri dengan tegang.
Dan dia berteriak-teriak: "Aku melakukannya! Aku melakukannya!"
Perlu dua orang lelaki untuk menenangkan-nya sampai ambulan datang...
Dan di dekat Belleville, seorang lelaki dengan rambut hitam kelam, 'tokoh' yang
tidak berbahaya yang dikenal setiap orang tapi tidak diperhatikan siapapun,
menyusuri jalan sepi di desa itu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam, dan
matanya mencari-cari seorang gadis cantik yang sedang berjalan sendirian.[]
HUKUMAN UNTUK ORANG-ORANG KASAR
Jack Ritchie "Berapa usiamu?" tanyaku!
Matanya mengarah ke pistol yang sedang kupegang. "Begini, Mister, uang dalam
mesin kasir ini memang tidak terlalu banyak, tapi ambillah semuanya . Aku tidak
akan menyusahkanmu."
"Aku tidak tertarik dengan uang kotormu itu. Berapa usiamu?"
Dia terkejut. "Empat puluh dua."
Aku mendecakkah lidah. "Sayang sekali. Setidaknya - menurutmu. Kau mungkin bisa
hidup dua sampai tiga puluh tahun lagi kalau saja kau bisa sedikit bersusah
payah untuk berlaku sopan."
Dia tidak mengerti. "Aku akan membunuhmu," kataku, "untuk sebuah perangko seharga empat sen dan
sekantung permen cherry."
Dia tidak mengerti sedikitpun tentang permen cherry, tapi dia tau apa yang
kumaksud dengan perangko.
Kepanikan mulai menjalar di wajahnya.
"Kau pasti gila. Kau tidak bisa membunuhku hanya karena itu."
"Tapi buktinya aku bisa."
Dan memang kulakukan. Ketika dokter Biller mengatakan bahwa aku hanya punya sisa waktu empat bulan
sebelum mati, tentu saja aku merasa gelisah. "Apakah Anda yakin hasil X-ray saya
tidak tertukar dengan orang lain" Saya pernah mendengar ada peristiwa semacam
itu." "Sayangnya tidak, Mr. Turner."
Aku menyatakan apa yang ada di benakku dengan lebih bersungguh-sungguh. "Laporan
laboratorium itu. Mungkin secara tidak sengaja petugasnya menempelkan nama saya
pada kertas yang salah..."
Perlahan dia menggelengkan kepalanya.
"Saya sudah memeriksanya dua kali. Saya selalu melakukannya dalam kasus-kasus
seperti ini. Keamanan praktek medis, seperti biasa."
Saat itu sore hampir beranjak petang, dan sudah waktunya matahari lelah. Aku
sedikit berharap ketika sudah saatnya jiwaku beranjak dari raga, maka saat itu
adalah pagi hari. Agak lebih cerah kelihatannya.
"Dalam kasus-kasus seperti ini," lanjut dokter Biller, "seorang dokter
menghadapi sebuah dilema besar. Haruskah dia mengatakan yang sesungguhnya pada
si pasien" Saya selalu berterus terang pada semua pasien saya. Itu akan
memudahkan mereka mengurus semuanya dan mencoba-coba alternatif penyembuhan
lainnya." Dia menarik sebuah buku catatan. "Saya juga sedang menulis sebuah
buku. Apa yang akan Anda lakukan dengan sisa waktu yang Anda miliki?"
"Saya sungguh-sungguh tidak tahu. Saya baru saja memikirkannya satu-dua menit
yang lalu." "Tentu saja," jawab Briller. "Tidak usah buru-buru. Tapi ketika Anda sudah
memutuskannya, Anda akan memberitahukannya pada saya, bukan" Buku saya berisi
tentang hal-hal yang akan dilakukan orang-orang dengan sisa waktu mereka saat
mereka sadar usia mereka hanya sebentar lagi."
Buku catatannya disingkirkan. "Datanglah tiap dua atau tiga minggu sekali.
Dengan cara itu kita akan lihat bagaimana perkembangan kemunduran kesehatan
Anda." Briller mengiringiku ke pintu. "Saya sudah menulis sekitar dua puluh dua kasus
seperti Anda." Matanya menerawang ke masa depan.
"Anda tahu, ini bisa jadi buku laris."
Hidupku selalu saja membosankan. Bukannya tidak bermakna, cuma membosankan.
Aku merasa tidak menyumbangkan apapun di dunia ini - dan aku memiliki banyak
kesamaan yang terdapat pada hampir setiap orang - tetapi di sisi lain aku juga
tidak mengambil apapun. Singkatnya, aku hanya minta untuk tidak diganggu. Hidup
ini sudah cukup susah tanpa harus bersosialisasi dengan masyarakat yang tidak
pernah ada habisnya. Apa yang dapat dilakukan seseorang dengan sisa waktu hidup empat bulan yang
membosankan" Aku tidak tahu sudah seberapa jauh aku berjalan dan berpikir tentang hal itu,
sampai aku tiba di sebuah jembatan panjang yang melengkung turun ke sebuah
lapangan di pinggir danau. Suara musik mekanis meruyak masuk ke dalam benakku
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan aku melihat ke bawah.
Sirkus, atau mungkin pasar malam, adalah apa yang kulihat.
Disana adalah dunia keajaiban yang lusuh, tempat benda-benda berkilat dianggap
emas, tempat pemimpin pertunjukan dengan topi tinggi dianggap seorang pria
sejati, sama sejatinya dengan medali yang tersemat di dadanya. Tempat para
wanita yang terbalut gaun merah muda di atas punggung-punggung kuda berwajah
tegang dengan mata memicing.
Disanalah tempat para penjual-penjual bersuara kasar, dengan kembalian yang
sering kurang. Aku selalu merasa kematian sebuah sirkus besar mungkin dianggap sebagai salah
satu kemajuan budaya pada abad ke duapuluh, tetapi aku terus saja berjalan
menuruni jembatan itu dan dalam beberapa menit aku sudah berada di tengah
jajaran kios-kios dimana mutasi manusia dieksploitasi dan dipamerkan sebagai
hiburan anak-anak. Tanpa sadar aku sampai ke sebuah kubah besar dan memandang pemeriksa tiket yang
bosan dalam kotaknya di sebelah pintu masuk utama yang beberapa tangga lebih
tinggi. Seorang bapak dengan wajah menyenangkan menggiring dua gadis kecil mendekati
sebuah pos dan mengangsurkan beberapa kartu segiempat yang kelihatannya seperti
tiket. Si pemeriksa tiket menelusuri daftar di hadapannya dengan jari. Matanya menegang
dan dia membentak si bapak dan anak-anak kecil itu beberapa saat. Kemudian
pelan-pelan dan dengan sengaja dia merobek-robek kartu itu menjadi sobekan-
sobekan kecil dan menjatuhkannya ke lantai. "Ini sudah tidak bisa dipakai lagi,"
katanya. Wajah si bapak memerah. "Saya tidak mengerti."
"Kau tidak menjaga poster sirkus tetap di tempatnya," bentak si pemeriksa tiket.
"Pergi sana, sampah!"
Anak-anak itu menengadah memandang ayah mereka, keheranan membayang di wajah
mereka. Apa yang akan dilakukan Ayah"
Bapak itu hanya berdiri dengan wajah pucat menahan marah . Sepertinya dia ingin
mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menatap kedua gadis kecilnya. Matanya
mengatup sebentar, mengendalikan marahnya .
Kemudian dia berkata, "Mari, Nak. Kita pulang."
Dia kembali menggiring dua gadis kecil itu pergi, terus ke jalan, dan kedua
bocah itu menoleh ke belakang, heran, tapi mereka tidak mengatakan apapun.
Aku mendekati si pemeriksa tiket.
"Mengapa kau lakukan itu?"
Dia memandangku dari tempatnya yang agak tinggi. "Apa urusannya denganmu?"
"Banyak, mungkin."
Dengan marah dia meneliti wajahku.
"Karena dia tidak menjaga poster yang kami tempelkan itu di tempatnya."
"Aku sudah mendengarnya tadi. Jelaskan padaku."
Dia menarik nafas seakan-akan dia harus bayar hanya untuk menjelaskan hal itu.
"Anak buah kami menyusuri kota dua minggu lebih dulu. Mereka menempelkan poster
berisi iklan pertunjukan ini dimanapun sebisa mereka - toko kelontong, toko
sepatu, toko daging - tempat manapun yang mau memajang poster- poster itu di jendela dan menjaganya
tetap melekat disana sampai sirkus ini datang kemari.
Anak buah kami akan memberikan dua atau tiga tiket gratis sebagai ganti
penempelan poster. Tetapi beberapa pelawak ini tidak tahu kalau kami memeriksa
poster-poster tersebut. Bila poster itu sudah tidak ada di tempatnya saat sirkus datang ke kota maka
tiket-tiket yang kami berikan sudah tidak berlaku lagi."
"Begitu," ujarnya kering. "Jadi kau merobek tiket-tiket itu di hadapan mereka
dan anak-anak mereka. Memang terbukti orang itu menurunkan poster dari jendela
toko mungilnya terlalu cepat. Atau mungkin orang-orang yang menurunkan poster
itu dari jendela mereka memberikan tiket itu padanya."
"Apa bedanya" Tiket-tiket itu tetap tidak berlaku."
"Mungkin menurutmu tidak ada bedanya. Tapi sadarkah apa yang telah kau lakukan?"
Matanya menyipit, mencoba mengira-ngira kemampuan dan kekuatanku.
"Kau telah melakukan salah satu kejahatan terbesar dalam bersikap terhadap
sesama manusia," ujarku datar. "Kau mempermalukan seorang ayah dihadapan anak-
anaknya. Kau telah menorehkan luka dalam diri anak-anaknya dan luka itu akan
tetap tinggal seumur hidup mereka. Dia akan pulang bersama anak-anaknya, dan
perjalanan itu akan sangat panjang sekali. Dan apa yang dapat dia katakan pada
mereka?" "Apakah kau polisi?"
"Aku bukan polisi. Anak-anak seusia mereka menganggap ayah adalah orang terbaik
di seluruh dunia. Paling berani, paling baik. Dan sekarang mereka akan selalu
ingat ada seorang lelaki yang jahat pada ayah - dan si ayah tidak melakukan
apapun terhadapnya."
"Aku memang sudah merobek tiketnya. Kenapa dia tidak membeli tiket saja" Apa kau
penyelidik kota?" "Aku juga bukan penyelidik kota. Apa kau berharap dia membeli tiket setelah
kejadian yang memalukan itu" Kau membuat bapak itu tidak bisa mengambil jalan
lain. Dia tidak bisa membeli tiket dan tidak bisa menciptakan skenario untuk
memperbaiki keadaan tersebut karena anak-anak ada bersamanya. Dia tidak bisa
melakukan apapun. Sama sekali tidak bisa, kecuali kembali pulang bersama anak-
anak yang ingin melihat sirkusmu yang menyedihkan itu."
Aku melihat ke lantai pos jaganya. Ada banyak serpihan-serpihan mimpi yang ter-
buang disana - reruntuhan dari ayah-ayah yang lain yang melakukan kejahatan
terbesar karena tidak menjaga poster-poster itu tetap menempel di tempatnya. "Setidaknya kau bisa berkata,
'Maaf, Pak, tiket-tiket ini tidak berlaku lagi.' Kemudian kau bisa menjelaskan
kepada mereka dengan baik-baik dan sopan."
"Aku tidak dibayar untuk sopan." Dia menunjukkan gigi-giginya yang kuning.
"Lagipula, Mister, aku suka merobek-robek kertas. Itu membuatku merasa
berkuasa." Dan begitulah. Orang kecil yang diberi sedikit kekuasaan dan menggunakannya
bagai Caesar. Dia setengah berdiri. "Sekarang keluarlah dari sini, Mister, sebelum aku datang
dan mengejar-ngejarmu ke seluruh taman bermain ini."
Ya. Dia memang orang yang kejam, seekor binatang dua dimensi yang lahir tanpa
kepekaan dan perasaan, yang ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang
mencelakakan orang lain seumur hidupnya. Dia adalah mahluk yang harus
dimusnahkan dari muka bumi ini.
Andaikan aku punya kekuatan untuk...
Aku menatap wajah orang yang sedang merengut itu dan sesaat kemudian berbalik
dan pergi. Di atas jembatan aku naik bis menuju toko olahraga di Thirty-seventh
Street. Aku membeli pistol kaliber 32 dan sekotak peluru.
Mengapa kita tidak membunuh" Apakah karena kita tidak merasakan pembenaran moral
dalam melakukan hal final seperti itu" Atau apakah kita cenderung takut pada
konsekwensi yang menimpa jika kita tertangkap - harga yang harus dibayar oleh
kita sebagai pelaku, oleh istri, oleh anak-anak kita"
Kita telah memperlakukan orang-orang yang bersalah dengan sikap lunak, dan kita
harus bertahan dengan keberadaan mereka karena untuk menghilangkan mereka dari
muka bumi ini akan membuat kita mengalami penderitaan akan kesakitan dan
kepedihan yang lebih parah.
Tapi aku tidak punya keluarga dan sahabat.
Dan hidupku tinggal empat bulan lagi.
Matahari telah tenggelam dan lampu-lampu di pasar malam bersinar terang saat aku
turun dari bis di jembatan yang tadi. Aku melongok ke jajaran panggung dan
melihat lelaki itu masih berada disana.
Bagaimana aku melakukannya" Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa aku langsung saja
berjalan kesana dan menembaknya di atas singgasana yang mungil itu"
Masalah itu terpecahkan begitu saja. Aku melihatnya digantikan oleh pemeriksa
tiket lainnya - dan itu jelas-jelas membuatnya lega.
Dia menyalakan rokok dan dengan santai berjalan keluar dari jajaran panggung
menuju tepi danau yang gelap.
Kususul dia saat akan membelok di tikungan yang tertutup semak-semak. Tempat itu
sepi, tapi cukup dekat dengan pasar malam dan suara riuh masih terdengar dari
sana. Dia mendengar langkah kakiku yang sedang mendekat dan menoleh. Seulas senyum
licik tersungging di bibirnya dan dia mengusap buku-buku jarinya. "Kau yang
minta, Pak." Matanya membelalak saat dia melihat pistol yang kupegang.
"Berapa usiamu?" tanyaku.
"Begini, Pak, aku hanya punya beberapa lembar sepuluh dolar di saku," jawabnya
panik. "Berapa usiamu?" aku kembali bertanya.
Matanya berkilat-kilat gugup. "Tiga puluh dua."
Dengan raut wajah sedih aku menggeleng-gelengkan kepala. "Kau bisa hidup sampai
usia tujuh puluh tahun. Mungkin kau masih punya waktu sampai empat puluh tahun
lagi, kalau kau mau sedikit bersusah payah bersikap selayaknya manusia."
Wajahnya memucat. "Apa kau sudah gila atau semacamnya?"
"Mungkin." Dan pelatuknya kutarik. Suara tembakan itu tidak sekeras yang kubayangkan, atau mungkin bunyinya
tertelan oleh hiruk-pikuk riuhnya pasar malam.
Dia terhuyung-huyung sedikit dan jatuh ke pembatas jalan setapak. Dari
penampilannya, dia memang sudah mati.
Aku duduk di bangku taman terdekat dan menunggu.
Lima menit. Sepuluh. Apa tidak ada orang yang mendengar suara tembakan tadi"
Tiba-tiba aku merasa lapar sekali. Aku belum makan apapun sejak tadi siang .
Bayangan tentang kantor polisi dan pertanyaan-pertanyaan panjang yang harus
kujawab membuatku tidak tahan lagi. Lagipula, kepalaku sangat sakit.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan menulis:
Kata-kata ceroboh masih dapat dimaafkan.
Tetapi kehidupan yang dipenuhi sikap kasar dan kejam tidak dapat dimaafkan.
Orang ini pantas mati. Aku baru akan menuliskan namaku, tapi akhirnya kuputuskan, mungkin inisialku
sudah cukup untuk saat ini. Aku tidak mau ditangkap sebelum makan kenyang dan
minum aspirin. Kertas itu kulipat dan kumasukkan ke saku kemeja lelaki yang sudah mati itu.
Tidak ada seorangpun yang kutemui saat aku menelusuri jalan setapak yang
menanjak kejembatan. Aku berjalan menuju Weschler's, yang mungkin merupakan
restoran terbaik di seluruh kota. Harganya, dalam keadaan normal, diluar
jangkauanku, tapi kupikir inilah saatnya memanjakan diriku sendiri.
Setelah makan, kuputuskan untuk pesiar petang dengan bis sebagai kegiatan
selanjutnya. Aku lebih menyukai tamasya seperti ini, lagipula sebentar lagi
kemerdekaanku untuk bisa bergerak bebas akan sangat terbatas.
Supir bis yang kukendarai adalah lelaki yang tidak sabaran dan dia memperlakukan
para penumpang bagai musuh. Tetapi malam itu indah dan bis yang kutumpangi juga
sepi. Di Sixty-eighth Street, seorang perempuan berambut putih dengan raut wajah halus
menunggu di halte. Si supir menghentikan kendaraannya sambil menggerutu dan
membuka pintu. Nenek itu tersenyum dan mengangguk pada setiap penumpang ketika dia menjejakkan
kaki ke tangga bis, dan orang yang melihatnya bisa langsung tahu kehidupannya
yang penuh kebahagiaan nan lembut dan sedikit perjalanan naik bis.
"Well! bentak si supir. "Apa naik ke dalam bis saja perlu waktu seharian?"
Wajah si nenek memerah dan dia gugup.
"Maaf." Tangannya menyodorkan selembar uang lima dolar ke si supir.
Dia murka. "Apa kau tidak punya uang receh?"
Warna di wajahnya semakin memerah.
"Kukira tidak. Tapi coba kulihat dulu."
Supir itu tidak terburu-buru untuk mengejar jadwalnya dan dia menunggu.
Dan yang terlihat jelas di wajahnya adalah: dia sangat menikmati keadaan ini.
Si nenek menemukan pecahan seperempat dollar dan mengangsurkannya dengan tangan
gemetar. "Masukkan dalam kotak!" bentak si supir lagi.
Dan uang pecahan itu dijatuhkannya ke dalam kotak.
Si supir kembali menjalankan kendaraannya dengan gerakan mendadak. Untung tangan
si nenek berhasil meraih tali pegangan tepat pada waktunya.
Matanya mencari-cari mata penumpang yang lain, seolah minta maaf - karena tidak
bergerak lebih cepat, karena tidak menyediakan uang receh, dan karena hampir
jatuh saat bis bergerak. Senyum itu gemetar, kemudian dia duduk.
Di Eighty-second Street, dia membunyikan bel tanda berhenti, bangkit dari kursi,
dan berjalan ke depan. Supir itu menoleh ke belakang dan kembali membentak-bentak si nenek sambil
menghentikan kendaraannya. "Gunakan pintu belakang! Kalian semua, tidak pernah
belajar mempergunakan pintu belakang ya?"
Aku adalah penumpang yang selalu menggunakan pintu belakang. Khususnya jika bis
sedang penuh. Tapi saat itu hanya ada enam orang penumpang dan mereka membaca
koran dengan ketakutan netral.
Dia berbalik, wajahnya pucat, dan turun lewat pintu belakang.
Petang yang telah atau akan dia nikmati, sekarang sudah hancur. Mungkin petang-
petang lainnya juga akan hancur, saat si nenek kembali mengingat kejadian yang
baru saja dia alami. Aku tetap duduk di dalam bis sampai tujuan terakhir.
Aku satu-satunya penumpang ketika si supir berbelok dan parkir.
Tempat parkir itu adalah sebuah sudut remang-remang yang sepi, dan tidak ada
satupun penumpang yang menunggu di halte.
Supir itu melirik jam tangannya, menyalakan rokok, dan baru sadar masih ada satu
penumpang di dalam bisnya. "Jika kau ingin kembali ke kota, bayar seperempat
dollar lagi, Pak. Disini tidak ada penumpang gratis."
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pelan ke depan. "Berapa usiamu?"
Matanya menyipit. "Bukan urusanmu."
Budha Pedang Penyamun Terbang 14 Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Mestika Burung Hong Kemala 4