Untuk Orang Pemberani 1
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock Bagian 1
KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN
ALFRED HITCHCOCK eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN
ALFRED HITCHCOCK UNTUK ORANG-ORANG PEMBERANI
Untuk Orang-Orang Pemberani
Diterjemahkan dari Alfred Hitchcock Presents: More Stories Not For The Nervous,
Deil Publishing Co., Inc. New York 1973
Penerjemah: Ritoresmi Pujiningsih
Penyunting: Yustina Dian Rachmawati
Desain: Camelia Tri Lestari
Komputer Gratis: nDhien Cetakan Pertama: Desember 2004
Diterbitkan oleh Batang Press e-mail: batangpress@plasa.com
Untuk Orang-Orang Pemberani / oleh Alfred Hitchcock - Yogyakarta: Balang Press,
2004. 384 hlm ; 11x18 cm. ISBN 979-3239-20-4 DAFTAR ISI Dari Jendela Kamar - Hal Dresner - 7
Lemming - Richard Mathieson - 29
Ratu Putih - Idris Seabright - 33
Teriakan Minta Tolong - Robert Arthur - 45
Permainan - Mike Marmer - 81
Kecelakaan - Henry Slesar - 103
Gadis Emas - Ellis Peters - 131
Bocah Peramal Gempa - Margaret St. Clair - 143
Berjalan Sendirian - Miriam Allen Deford - 163
Hukuman untuk Orang-Orang Kasar - Jack Ritchie - 195
Maaf, Salah Sambung - Lucille Fletcher dan Allan Ullman - 225
DARI JENDELA KAMAR Hal Dresner Tubuh yang kurusnya tertutup selimut tebal, disangga dengan enam buah bantal
terbaik dan termahal, di situlah Jacob Bauman berada dan memandang jijik ke arah
pelayannya yang sedang mempersiapkan nampan makanan di hadapannya. Pelayan
tersebut lalu meyibakkan tirai, dan segera saja kamar tersebut diterangi cahaya
pagi. "Apakah Anda lebih suka bila jendelanya terbuka, Tuan?" tanya Charles.
"Kau ingin aku masuk angin, ya?"
"Tidak, Tuan. Apa ada lagi yang lain?"
Jacob menggelengkan kepala dan menyelipkan serbet makan di celah antara atasan
piama dan dada tipisnya. Dibukanya tutup piring sarapan, dan tangannya terhenti
di udara sambil menatap Charles yang masih berdiri bagai pengawal di sebelah
jendela. "Kamu menunggu tip?" tanya Jacob sinis.
"Tidak, Tuan. Saya menunggu Nona Nivens. Dokter Holmes menyatakan agar Anda
tidak dibiarkan berada sendirian kapanpun, Tuan."
"Sana keluar," kata Jacob. "Jika aku memutuskan untuk mati lima menit lagi, aku
akan memanggilmu dengan bel. Kau tidak akan kehilangan momen apapun."
Jacob memandang pelayan itu pergi, menunggu sampai pintu kamar benar-benar
tertutup lalu membuka tutup piring logam perak yang di bawahnya terdapat sebuah
telur mata sapi yang seperti berselaput, terbaring di atas selembar roti bakar.
Seoles tipis selai dan secangkir teh encer melengkapi menu pagi itu.
Ah! Jacob menatap makanannya tanpa selera dan memandang ke jendela. Cerah sekali
di luar sana. Halaman mansion Bauman yang hijau membentang luas bagai meja
bilyar, dilengkapi dengan jalan kecil berbentuk tapal kuda dari kerikil halus
yang putih berkilau. Di sana-sini ada hiasan patung perunggu mungil; dewi cantik
dan menggoda berhias kerubin, kurir dengan tumit bersayap, singa betina garang
dan sekelompok anak-anaknya; semua diletakkan seolah tersembunyi dan berkesan
mahal. Di ujung sebelah kiri tapal kuda tersebut, di luar pondok bata kecil yang
ditempati pengurus taman, Jacob melihat karyawannya, Pak Coveny, berlutut
memeriksa rumpun bunga azalea. Di ujung sebelah kanan, di bawah pagar besi
tinggi berujung runcing, pintu garasi dua lantai terbuka dan supirnya sedang
mengelap bagian depan mobil convertible biru milik Mrs. Bauman sambil mengobrol
dengan Nona Nivens, perawat harian Jacob yang masih muda. Di luar pagar
tersebut, halaman luar menghampar tak terputus sampai ke jalan raya.
Jauh, sangat jauh, sehingga mata awas Jacob tidak dapat mengenali mobil-mobil
yang melintas di sana. Jacob Bauman yang malang, pikirnya.
Semua hal yang indah-indah dalam hidupnya datang sangat terlambat. Akhirnya, dia
memiliki rumah mewah dan megah tetapi dia terlalu sakit untuk dapat
menikmatinya. Akhirnya dia menikahi seorang perempuan muda dan cantik yang mampu membuat
setiap lelaki berpaling memandangnya, tetapi dia terlalu tua untuk dapat
bersenang-senang dengan perempuan itu. Dan akhirnya, Jacob memiliki wawasan yang
luas tentang misteri sifat manusia, tetapi dia hanya bisa terbaring di tempat
tidur dan orang-orang yang ditemuinya hanya sebatas para pembantu yang menemani.
Jacob Bauman kaya yang malang, pikir Jacob.
Dengan semua kekayaan, keberuntungan dan kebijaksanaan yang dimiliki, dunianya
hanya selebar kasur, sepanjang jalanan pada taman yang dapat dia lihat dari
jendela, dan sedalam alam pikiran Nona Nevins.
Dimana gadis itu, ya" Kepalanya berpaling ke jam di atas meja di sebelah tempat
tidurnya yang dikerumuni botol-botol, obat-obatan dan tabung-tabung kecil. Jam
sembilan lewat enam menit. Jacob kembali memandang ke jendela dan dilihatnya si
gadis berseragam putih melirik ke jam tangannya dengan cemas, meniupkan ciuman
untuk si supir, lalu berjalan cepat-cepat masuk rumah. Dia adalah seorang gadis
pirang dan tegap, berjalan dengan lenggak-lenggok nan anggun dan tangan
mengayun; luapan energi yang melelahkan Jacob. Dia terus memandang gadis itu
sampai dia menghilang di bawah atap beranda lalu kembali menghadapi sarapannya.
Nona Nevins akan berhenti untuk menyapa koki dan pelayan perempuan, dan itu
artinya Jacob sedang menghabiskan telur dan rotinya nanti ketika dia mengetuk
pintu, begitulah perkiraannya.
Jacob sedang mengunyah remah roti terakhir saat terdengar ketukan di pintu; dia
berteriak "Pergi" dan si perawat itu masuk, tersenyum.
"Selamat pagi, Mr. Bee," sapanya riang. Dia meletakkan novel bersampul tipis di
atas lemari, sekilas memandang acuh ke arah grafik kesehatan yang ditinggalkan
oleh perawat yang bertugas tadi malam. "Bagaimana kabar Anda hari ini?"
"Hidup," sahut Jacob.
"Ini hari yang indah sekali!" kata si gadis sambil berjalan ke jendela. "Tadi
saya berdiri Dari Jendela Kamar di luar dan bicara dengan Vic sebelum kesini dan
cuacanya seperti musim semi saja. Apa Anda menginginkan saya membuka
jendelanya?" "Tidak usah. Teman doktermu itu memperingatkan aku agar tidak kedinginan."
"Oh, iya... Saya lupa. Saya rasa saya bukan seorang perawat yang baik ya?"
katanya sambil tersenyum.
"Kamu memang perawat, kok" sahut Jacob.
"Kamu lebih baik dari perawat-perawat yang tidak pernah meninggalkanku seorang
diri." "Anda hanya menyenangkan hati saya saja. Saya tahu, saya tidak cukup
berdedikasi." "Berdedikasi" Kamu masih muda dan cantik, kamu punya minatmu sendiri. Saya
mengerti itu. Kamu berkata pada dirimu sendiri. 'Saya akan jadi perawat
sebentar, pekerjaannya mudah, makanannya enak, jadi saya akan bisa menghemat
uang sampai saya menikah.'"
Gadis itu terkejut. "Tahukan Anda" Itu sama seperti yang saya katakan pada diri
saya sendiri ketika Dokter Holmes menawarkan pekerjaan ini pada saya. Tahukah
Anda bahwa Anda ini sangat cerdas, Mr. Bee?"
"Terimakasih," kata Jacob kering. "Makin tua, makin cerdas." Dia menghirup teh
dan berlagak seolah merasakan pahit. "Ah. Tidak enak! Bawa pergi." Dia menendang
pelan dari balik selimutnya.
"Anda harus menghabiskannya," kata si gadis.
"Bawa pergi dari hadapanku," kata Jacob tidak sabar.
"Terkadang Anda seperti anak kecil."
"Jadi anggaplah saya ini bocah lelaki kecil dan kamu gadis kecil. Tapi lebih
baik kita bicara tentang dirimu." Jacob mengatur tumpukan bantalnya, tetapi
segera berhenti ketika si gadis datang membantunya.
"Katakan padaku, Frances," tanyanya ketika wajah si perawat itu dekat dengan
wajahnya. "Apa kau sudah memilih calon suami?"
"Mr. Bee, itu masalah yang sangat pribadi untuk ditujukan pada seorang gadis."
"Aku memang bertanya tentang masalah pribadi, kok. Bila kau tidak mau
mengatakannya padaku bagaimana aku tahu" Apa aku akan bercerita pada orang-
orang" Apa ada orang yang bisa kuceritakan" Dokter spesialismu itu bahkan
melarang adanya telepon di samping tempat tidur untuk menghubungi pialang
sahamku sewaktu-waktu. Terlalu tegang bagiku untuk mengetahui berapa ratus ribu
dolar yang telah hilang. Apa dia tidak tahu bahwa aku bisa mengetahui berapa
untung-rugi yang kudapat dari koran-koran yang kubaca, sampai hitungan sen"
...Jadi, ayo ceritakan padaku," Jacob tersenyum penuh kemenangan, "bagaimana
pacarmu itu." "Mr. Bee! Seorang suami yang bermasa depan cerah adalah yang dicari, tapi
pacar..." Dia meletakkan bantal terakhir dan duduk di kursi dekat jendela. "Saya tidak
bisa bayangkan bagaimana saya dalam pikiran Anda."
Jacob mengangkat bahunya. "Aku rasa kamu itu gadis muda baik-baik. Tetapi gadis
baik-baik zaman sekarang sangat berbeda dengan gadis baik-baik limapuluh tahun
yang lalu. Aku tidak mengatakan lebih baik atau lebih buruk. Hanya berbeda. Aku
mengerti hal-hal semacam ini. Lagipula, kau hanya beberapa tahun lebih muda dari
istriku. Aku tahu, para lelaki senang melihatnya, jadi mereka juga senang
melihatmu." "Oh, tetapi istri Anda jauh lebih cantik. Sungguh. Saya rasa beliau adalah salah
satu perempuan yang paling mempesona yang pernah saya lihat."
"Bagus baginya," jawab Jacob. "So, ceritakan padaku tentang pacarmu itu."
"Well," sahut si gadis memulai, wajahnya terlihat bahagia. "Semuanya belum pasti
betul. Maksud saya, kami belum menentukan tanggal dan semacamnya."
"Kamu sudah yakin, tentu," ujar Jacob. "Kamu hanya tidak ingin bercerita padaku
karena takut kupecat sebelum kau siap."
"Tidak, sungguh, Mr. Bauman..."
"Kamu memang belum menetapkan kapan harinya . Tapi kamu sudah menetapkan
bulannya, bukan?" Dia menunggu adanya penyangkalan untuk beberapa saat. "Jadi
benar," sambungnya. "Percaya padaku jika aku bilang aku mengerti hal-hal seperti
ini. Bulan apa" Juni?"
"Juli," sahut si gadis sambil tersenyum.
"Tembaklah aku... cuma meleset sebulan... Aku tidak akan bertanya apakah dia
tampan atau tidak karena aku tahu dia tampan... dan juga kuat."
"Ya." "Tetapi lembut."
Si gadis mengangguk, wajahnya bersinar.
"Bagus," ujar Jacob. "Menikah dengan lelaki yang lembut itu sangat penting...
Asal jangan terlalu lembut. Orang-orang yang terlalu lembut mempersilahkan diri
mereka untuk diinjak. Percayalah, aku tahu. Aku dulu juga pernah menjadi orang
yang sangat lembut, dan tahukah kau kemana hal itu membawaku" Tidak kemanapun.
Jadi aku belajar untuk berbeda. Bukan berarti aku tidak melakukan kesalahan sama
sekali... tapi tiap aku melakukan kesalahan aku membayarnya... pernikahan yang
buruk bisa jadi kesalahan yang besar, bahkan yang paling besar. Kamu harus tahu
apa isi di dalam paket yang kamu dapatkan. Tapi kamu tahu, bukan?"
"Ya. Dia sangat baik. Sungguh. Anda tidak bisa mengetahuinya karena Anda tidak
mengenalnya dengan baik, Mr. Bauman, tapi bila Anda pernah duduk bersama
dengannya - " dia berhenti di tengah kalimat sambil menggigit bibirnya. "Oh, saya
tidak bermaksud - " "Jadi, dia memang seorang yang kukenal,"
ujar Jacob. "Ini menarik. Aku bahkan tidak menyangka. Temanku, mungkin?"
"Bukan. Bukan, sungguh, saya tidak bermaksud mengatakan itu. Semuanya hanya
salah ucap. Dia bukan siapa-siapa - "
"Dokter Holmes?" Jacob menebak.
"Oh, bukan!" "Atau mungkin seseorang yang bekerja untukku?" tanya Jacob sambil tersenyum
licik, memandang wajah si gadis. "Charles" Tidak...bukan... tidak mungkin
Charles. Kau tidak begitu menyukai Charles, 'kan Frances" Kau menganggap dia
merendahkanmu, bukan?"
"Ya," sahut si gadis, dengan semburat marah di wajah. "Dia membuatku merasa
seperti... oh, saya tidak tahu apa namanya. Hanya karena dia merasa begitu
anggun. Well, bila Anda bertanya, menurut pendapat saya dia itu seperti ikan."
Jacob terkekeh. "Kamu benar sekali. Charles itu ikan. Ikan kaku... lalu siapa"
Pak Coveny terlalu tua untukmu, jadi tinggal..." Dia berhenti sesaat, matanya
bersinar-sinar menggoda si gadis, dan mulutnya terbuka. Lalu pandangannya
terarah melewati si gadis, keluar jendela, dan berkata, "Tidak, aku tidak tahu.
Beri aku petunjuk. Dia berbisnis di bidang apa" Saham, mungkin" Minyak"
Tekstil?" Nada suaranya meninggi. "Transportasi?"
"Oh, Anda menggoda saya," sahut si gadis. "Anda tahu calon suami saya adalah
Vic. Pasti selama ini Anda sudah tahu. Saya harap Anda tidak marah. Sungguh,
saya akan memberitahu Anda sebelumnya, tetapi - "
Ketukan di pintu mengejutkannya.
"Pergi," teriak Jacob.
Pintu terbuka dan Mrs. Bauman masuk. Dia seorang perempuan mempesona dengan
rambut merah , seperti masih berusia duapuluhan dengan swearer kuning daffodil
dan celana panjang ketat yang provokatif.
"Selamat pagi semuanya. Jangan, duduk-lah, sayang," ujarnya ke arah Frances.
"Bagaimana kabar pasien kita pagi ini?"
"Buruk," sahut Jacob.
Istrinya tertawa dibuat-buat dan menepuk pipi Jacob. "Apa tidurmu nyenyak?"
"Tidak." "Dia kasar, ya?" kata Mrs. Bauman kepada Frances. "Aku heran bagaimana kau bisa
tahan menghadapinya."
"Karena uang," sahut Jacob. "Sama sepertimu."
Mrs. Bauman tertawa dipaksakan. "Dia seperti bayi, bukan" Apa dia sudah minum
pilnya yang berwama jingga?"
"Sudah," kata Jacob.
"Belum," sahut Frances. "Apa sekarang sudah pukul 09.15" Oh, saya - "
"Sayangnya sekarang hampir pukul 09.20," jawab Mrs. Bauman dingin. "Biar aku
yang melakukannya." Dia lalu membuka botol kecil yang diambil dari meja di
sebelah tempat tidur dan menuang segelas air dari teko perak. "Ayo, buka
mulutmu." Jacob memalingkan wajah darinya. "Aku masih bisa memegang segelas air dan
sebutir pil," katanya. "Kau bahkan tidak terlihat seperti perawat." Dia
memasukkan pil itu ke dalam mulut lalu mendorongnya masuk dengan seteguk air.
"Kau mau pergi kemana, berpakaian seperti mahasiswi begitu?"
"Ke kota, belanja sedikit."
"Vic sudah mempersiapkan mobil Anda," kata Frances. "Dia mengelapnya pagi ini
sampai mengilat seperti baru."
"Aku yakin itu, sayang."
"Kalau kurang mengilat, beli yang baru," kata Jacob.
"Aku juga sudah memikirkan hal itu," jawab istrinya. "Tapi kupikir aku akan
menunggu sampai kau sembuh dulu. Lalu kita akan membeli sebuah mobil sport
mungil dengan dua kursi penumpang di dalamnya dan kita akan berkendara berdua,
hanya berdua." "Aku sudah tidak sabar lagi," ujar Jacob.
"Lihat! Bukankah hari ini cerah sekali" Mengapa kau tidak meminta Charles
membuka jendela?" "Karena aku tidak mau kedinginan dan mati," jawab Jacob. "Tapi terimakasih atas
sarannya." Sambil tersenyum semanis mungkin, Mrs. Bauman menyentuh bibirnya dengan jari dan
menempelkannya di dahi suaminya.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bahkan tidak berhak menerima ciuman di dahi hari ini," katanya dengan nada
main-main. "Bila dia masih jadi penggerutu seperti ini," lanjutnya kepada
Frances, "jangan bicara dengannya. Dia pasti kapok."
Senyumannya mengundang Frances untuk turut serta dalam persekutuan perempuan.
"Aku akan cepat kembali," katanya sambil memandang Jacob.
"Aku akan setia menunggumu disini."
"Bye." Mrs. Bauman mengucapkan salam dengan manis, lalu pergi.
"Tutup pintunya," kata Jacob pada Frances.
"Beliau sangat cantik, ya?" ujar Frances sambil berjalan ke arah pintu dan
kembali ke tempatnya. "Saya ingin sekali bisa mengenakan celana panjang seperti
itu." "Lakukan sesuatu untuk suamimu dan kenakan celana seperti itu sebelum kau
menikah," jawab Jacob.
"Oh, Vic pasti tidak akan keberatan. Dia bahkan tidak punya rasa cemburu
sedikitpun di tubuhnya. Dia pernah berkata kepada saya ratusan kali bahwa dia
sangat suka ketika saya dilirik lelaki lain."
"Dan bagaimana perasaanmu saat dia yang dilirik perempuan lain?"
"Oh, saya tidak keberatan. Lagipula, hal itu alami, kan" Dan Vic memiliki - "
wajahnya sedikit merona. "Saya tidak mengerti bagaimana kita akan membicarakan
hal ini lagi nanti. Anda benar-benar payah, Mr. Bauman."
"Biarkan seorang lelaki tua bersenang-senang sambil ngobrol," sahut Jacob. "Jadi
Vic sudah banyak pengalaman dengan perempuan... begitu?"
"Kadang hal ini membuat saya malu. Maksud saya, ada beberapa wanita yang dengan
gampangnya melemparkan diri ke seorang lelaki. Dua minggu yang lalu, Rabu malam,
kami sedang berada di sebuah klub. Saat itu Vic sedang libur."
Jacob mengangguk dan sekali lagi memandang melewati kepala si gadis yang mulai
berbicara dengan nada cepat. Dia bisa melihat istrinya berjalan melintasi
halaman menuju garasi. Dia bergerak dengan cara yang berbeda dari Frances, lebih
pelan, seakan-akan malas.
Di balik celana coklat tanah, pinggul itu bergoyang, bergerak samar, seperti
timbangan yang sedang mencari keseimbangan. Bahkan ayunan tangannya yang lesu
terlihat seperti sedang menghemat energi, tidak mengayun kesana-kemari seperti
Frances, tetapi menyimpannya untuk gerakan-gerakan yang lebih penting.
"...dia benar-benar gadis yang mengerikan,"
lanjut Frances. "Maksud saya, saya benar-benar terkejut waktu dia menghampiri
meja kami. Rambutnya selegam malam dan sepertinya dia tidak bersisir selama
berminggu-minggu, dan dia mengoleskan lipstik sebotol penuh..."
Jacob mendengarkan sambil melamun, matanya masih menatap ke arah istrinya di
luar sana. Dia telah mencapai mobilnya dan berdiri sambil bersandar ke pintu,
bicara pada Vic. Jacob bisa melihat senyum yang melebar saat istrinya sedang mendengarkan dan
kemudian, sambil menyentak kepala ke belakang, dia tertawa. Jacob tidak dapat
mendengarnya, tapi dia ingat bagaimana suara tertawa itu terdengar di telinganya
bertahun-tahun sebelumnya, tajam dan ringan, tawa yang menggairahkan dan memuji.
Vic, satu kaki tersangga ke bemper mobil, lengan besar yang menyilang di dada,
ikut tersenyum bersamanya.
"...kupikir dia mabuk," kata Frances, terserap dalam ceritanya sendiri. "Maksud
saya, saya tidak bisa bayangkan ada seorang perempuan yang berani melompat ke
pangkuan seorang lelaki dan menciumnya. Maksud saya, tepat di hadapan teman
kencannya dan di hadapan orang banyak. Saya kan bisa saja disangka istrinya."
"Lalu apa yang dilakukan Vic?" tanya Jacob, berpaling dari jendela.
"Well, dia tidak melakukan apapun. Maksud saya, apa yang bisa dia lakukan" Kami
sedang berada di muka umum dan Vic hanya tertawa dan menganggap semua itu hanya
gurauan. Tapi saya tidak bisa. Maksud saya, saya sudah berusaha, tapi gadis itu
sama sekali tidak beranjak dan Vic tidak bisa mengibaskannya. Semua orang
melihat hal itu dan saya semakin marah dan marah dan - well, sejujurnya, Mr.
Bauman, sesungguhnya saya adalah orang yang emosional. Maksud saya, jika sudah
menyangkut hal-hal pribadi seperti Vic, saya tidak dapat mengendalikan diri saya
sendiri." "Sebagaimana yang terjadi dengan Betty?" tanya Jacob.
Frances menggigit bibir bagian bawahnya. "Saya kira Anda tidak tahu tentang hal
ini. Saya betul-betul minta maaf mengenai hal itu, Mr. Bauman. Saat itu saya
akan ke dapur untuk mengambil makan siang. Saya melihat lengannya melingkar di
leher Vic dan, well, saya gelap mata."
"Begitulah yang kudengar," sahut Jacob sambil tersenyum. "Aku tidak sempat
melihat Betty setelah dia pergi, tetapi Charles bilang wajah gadis itu sama
sekali tidak menyenangkan lagi untuk dilihat."
"Saya rasa saya mencakarnya cukup parah," ujar Frances sambil menyipitkan mata.
"Saya sungguh-sungguh menyesal mengenai hal itu. Saya sudah mencoba minta maaf
kepadanya, tetapi dia bahkan tidak mau mendengar. Seakan-akan semua itu
kesalahan saya." "Lalu apa yang kau lakukan terhadap gadis di klub itu?"
"Saya jambak rambutnya dan menariknya pergi dari Vic," kata Frances mengaku
dengan suara malu-malu. "Dan jika Vic tidak menghentikan saya, mungkin sudah
saya congkel mata gadis itu. Maksud saya, saat itu saya sudah benar-benar gila.
Itu bahkan lebih buruk daripada kejadian dengan Betty, karena dia sungguh-
sungguh mencium Vic. Saya rasa, jika saat itu ada pisau atau semacamnya, pasti
saya sudah berusaha untuk membunuhnya."
"Benarkah?" kata Jacob. Pandangannya meninggalkan wajah si gadis dan kembali ke
arah jendela. Tidak ada seorangpun, Vic maupun istrinya, yang terlihat. Matanya
menyisir seluruh halaman, melewati patung-patung yang berkilau di bawah sinar
matahari, ke arah Pak Coveny yang masih memeriksa tanaman, lalu kembali ke mobil
istrinya yang berkilat-kilat. Dia melihat bentuk aneh di atas atap mobil itu
dan, sambil menyipitkan mata, meyakinkan diri bahwa itu adalah lap yang
digunakan Vic untuk membersihkan mobil istrinya.
"Dan bagaimana perkelahian-perkelahian kecil itu mempengaruhi perasaanmu
terhadap Vic?" tanyanya sambil lalu.
"Oh, semua tidak ada pengaruhnya sama sekali. Maksud saya, bagaimana bisa" Bukan
salah Vic jika banyak perempuan yang tergila-gila padanya. Maksud saya, dia
jelas-jelas tidak mengundang mereka."
"Tentu saja tidak," kata Jacob. Dia kembali memicingkan matanya, berusaha untuk
ter-fokus pada jendela gelap di atas garasi. Dia merasa melihat semburat kuning
terang disana. Ataukah itu hanya kilatan cahaya matahari yang dipantulkan kaca jendela" Tidak,
jendelanya terbuka. Berarti itu bukan cahaya matahari. Itu dia, ada lagi, berada
diantara bayangan-bayangan yang bergerak. Bayangan itu berwarna terang, kotak,
semakin lama semakin menyempit, dan kini terangkat ke atas perlahan-lahan,
seperti selembar kain. Mungkin sepotong pakaian yang terang, yang perlahan-lahan
dilepaskan dari sesuatu, dari seseorang.
Kemudian warna cerah itu menghilang, dan bahkan bayangan-bayangan itu sama
sekali tidak terlihat lagi di jendela. Jacob tersenyum.
"Aku yakin Vic sangat setia," ujarnya. "Bila ada yang harus disalahkan, pastilah
para perempuan itu. Kecemburuanmu sangat bisa dimengerti. Itu adalah hakmu yang
kau gunakan untuk menjaga apa yang kau miliki. Bahkan bila hal itu harus
menghancurkan beberapa bagian dari hidupmu."
Frances terkejut. "Apa Anda pikir Vic tidak mencintai saya sebagaimana saya
mencintainya dengan apa yang telah terjadi" Dia bilang dia mengerti."
"Aku yakin dia mengerti," kata Jacob.
"Bahkan, dia mungkin lebih mencintaimu karena kau telah menunjukkan kesetiaanmu
padanya. Lelaki suka hal-hal seperti itu...Tidak, tidak, itu hanya perkataanku
saja. Cuma bicara-bicaranya orang tua saja. Lagipula, apa yang bisa kulakukan
selain bicara?" "Oh, Anda dapat melakukan banyak hal," sahut Frances. "Anda sangat pintar.
Maksud saya, setidaknya saya pikir begitu. Seharusnya Anda punya hobi. Mengisi
teka-teki silang atau semacamnya. Saya yakin Anda menguasai hal-hal semacam
itu." "Mungkin aku akan mencobanya kapan-kapan," ujar Jacob. "Tapi sekarang, kurasa
aku akan tidur sebentar."
"Itu ide bagus," kata Frances. "Saya membeli sebuah buku untuk dibaca hari ini.
Saya mulai membacanya dalam perjalanan naik bis kesini. Bagus sekali. Ceritanya
tentang seorang perempuan Perancis yang membodohi para raja."
"Kedengarannya bagus," ujar Jacob. "Tapi sebelum kau mulai membaca, aku ingin
kau melakukan sesuatu untukku." Dia membalikkan badannya dan membuka satu-
satunya laci di meja samping tempat tidurnya. "Jangan takut."
Jacob berhati-hati ketika dia mengambil sepucuk pistol kecil berwarna abu-abu
dari dalamnya. "Aku menyimpannya kalau-kalau ada perampok yang masuk kesini.
Lama sekali benda ini tidak dibersihkan, sampai-sampai aku tidak yakin masih
berfungsi atau tidak. Maukah kau membawanya ke Vic dan minta dia untuk
memeriksanya?" "Tentu saja," jawab Frances sambil berdiri dan mengambil pistol tersebut dengan
acuh. "Hey, ringan sekali. Saya pikir pistol itu beratnya sepuluh kilo."
"Kurasa itu pistol untuk perempuan," kata Jacob. "Untuk perempuan dan lelaki
tua. Hati-hati, pistol itu terisi. Aku akan mengeluarkan pelurunya karena kau
akan membawanya. Sayangnya aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya."
"Aku akan berhati-hati," jawab Frances sambil bermain-main dengan gagang pistol.
"Dan Anda harus berusaha untuk tidur sementara saya pergi. Apakah saya harus
memanggil Charles untuk datang menemani Anda?"
"Jangan, tidak usah repot-repot. Aku akan baik-baik saja. Tidak usah terburu-
buru untuk kembali lagi kesini, temani dulu tunanganmu. Kurasa tadi aku
melihatnya naik ke kamar."
"Dia tidur," kata Frances.
"Kalau begitu, coba kau mengendap-endap ke kamarnya dan kejutkan dia," ujar
Jacob. "Mungkin dia menyukainya."
"Well, bila ternyata dia tidak suka, saya akan bilang bahwa semua itu ide Anda."
"Ya," kata Jacob. "Kau bilang saja padanya kalau itu ideku."
Dia tersenyum, menatap gadis itu pergi, kemudian kembali merebahkan diri di atas
bantal dan memejamkan mata. Suasana sangat sepi dan dia merasakan keletihan yang
amat sangat sampai-sampai dia merasa mulai terlelap ketika terdengar tembakan
pertama, lalu yang kedua, dan ketiga. Suaranya terdengar melintasi halaman. Dia
ingin sekali duduk dan melihat semuanya dari jendela, tapi sepertinya itu
melelahkan. Lagipula, tidak ada satupun yang bisa dilakukannya, karena dia hanya
bisa terbaring di tempat tidur. []
LEMMING Richard Mathieson "Mereka datang darimana, ya?"tanya Reordon.
"Dari manapun," jawab Carmack.
Mereka berdiri di jalan raya dekat pesisir pantai. Sejauh mata memandang yang
terlihat mobil dan mobil lagi. Ribuan mobil berhimpitan bemper ke bemper, pintu
ke pintu. Jalan raya itu benar-benar banjir mobil.
"Itu ada lagi," seru Carmack.
Kedua polisi itu memandang kerumunan orang yang berjalan ke pantai. Diantara
mereka ada yang mengobrol dan tertawa. Beberapa lagi hanya diam dan serius.
Tetapi semua menuju ke satu arah: pantai.
Reordon menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti," katanya, untuk yang kesekian
ratus kali dalam minggu ini. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti."
Carmack hanya mengangkat bahu.
"Jangan terlalu dipikir. Semuanya sudah terjadi. Ada apa lagi disana?"
"Tapi ini gila."
"Lihat, orang-orang yang tadi sudah tidak ada," kata Carmack.
Sambil diawasi oleh dua polisi, kerumunan orang itu bergerak menapaki pasir
pantai abu-abu dan berjalari ke air. Beberapa diantara mereka mulai berenang.
Ada juga yang tidak dapat bergerak di air karena pakaian yang mereka kenakan.
Carmack memandang seorang gadis muda yang menggapai-gapai di atas air dan
kemudian tenggelam akibat mantel bulu yang dikenakannya.
Dalam beberapa menit mereka semua menghilang. Kedua polisi tersebut memandang
tempat orang-orang yang tadi berjalan ke laut.
"Sampai kapan kejadian ini akan berlangsung?" tanya Reordon.
"Kurasa sampai tidak ada satupun yang tersisa," jawab Carmack.
"Mengapa?" "Kau pernah membaca tentang lemming?" tanya Carmack.
"Tidak." "Lemming adalah sejenis binatang pengerat yang tinggal di negara-negara
Skandinavia. Mereka terus berkembang biak sampai sumber makanan mereka habis.
Lalu mereka bergerak dari satu negara ke negara lain dan menghancurkan apa saja
yang ada di hadapan. Ketika mereka sampai di laut mereka terus saja maju. Mereka
berenang sampai kekuatan mereka habis. Jumlah lemming itu mencapai jutaan."
"Kau pikir mereka juga seperti itu?" tanya Reordon.
"Mungkin," jawab Carmack.
"Manusia 'kan bukan binatang pengerat!" sahut Reordon marah.
Carmack tidak menjawab. Mereka berdiri sambil menunggu di tepi jalan , tetapi tidak ada seorangpun yang
nampak. "Dimana mereka?" tanya Reodon.
"Mungkin semua sudah masuk ke air," jawab Carmack.
"Semuanya?" "Kejadian ini sudah berlangsung seminggu lebih," jawab Carmack. "Orang-orang
dari berbagai pelosok datang kesini. Lagipula, 'kan ada danau."
Reordon menggigil. "Semua," katanya.
"Mana kutahu," jawab Carmack, "tetapi mereka masih terus saja datang sampai
sekarang." "Ya Tuhan." Carmack mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Well, sekarang bagaimana?"
Reordon menghembuskan nafas dengan keras. "Kita?"tanyanya.
"Kau pergilah," kata Carmack. "Aku akan menunggu sejenak kalau-kalau masih ada
orang lagi yang datang."
"Baiklah." Reordon mengulurkan tangannya. "Selamat tinggal, Carmack," ujarnya.
Mereka berjabatan tangan . "Selamat tinggal, Reordon," jawab Carmack.
Dia berdiri sambil merokok dan mengawasi sahabatnya berjalan menapaki pasir
pantai abu-abu dan masuk ke dalam air sampai air tersebut melampaui kepalanya.
Dilihatnya Reordon berenang beberapa meter sebelum akhirnya menghilang.
Beberapa menit kemudian dia mematikan rokok dan memandang sekeliling. Sampai
akhirnya dia ikut menceburkan diri ke dalam air.
Sejuta mobil membisu dalam kekosongan mereka di sepanjang jalan pantai.[]
RATU PUTIH Idris Seabright "Aku rasa kau sama sekali tidak menginginkan sendok-sendok tehku yang sudah
rusak itu, kan?" kata Miss Smith tajam
Tajam memang, tetapi suaranya terdengar serak-serak basah dan merdu, layaknya
aktris BBC yang sedang berperan sebagai seorang perempuan tua, seorang aktris
BBC belia; dan Carson melihat, teriepas dari kekesalannya karena tertangkap
basah dengan harta temuannya itu - dia pasti memiliki sepasang mata di belakang
kepalanya - harapan bahwa nenek ini sebenarnya seorang perempuan muda yang
karena alasan-alasan tertentu yang bersifat pribadi, memilih untuk berpakaian
dan berlagak seperti perempuan tua bangka. Menganggapnya sebagai perempuan muda
yang sedang menyamar membuat si nenek tidak sebegitu menakutkan daripada
sebaliknya: mengandaikannya sebagai nenek yang bertingkah laku dan bicara
layaknya gadis duapuluhan.
Siapapun nenek itu, dia bukan seorang korban yang lembut, bodoh dan dicintai
sebagaimana yang diinginkan. Sebaliknya, dia seseorang dengan bahu warna ungu
muda dan lengan berurat-nadi kebiruan. Dia bertemu nenek itu di jalanan, salah
satu tempat perburuan nenek tua nan baik kesukaannya. Tidak terlalu sulit
baginya untuk memancing mereka mengundangnya ke acara minum teh.
Sekarang yang dilihatnya dari nenek itu bukan sebagai nenek tua maupun nenek
baik. Dan nama yang diambilnya adalah sebuah ejekan.
Miss Mary Smith - anonimitas titik akhir.
"Kenapa kau menyeringai begitu?" tanyanya. Lalu berubah jadi paksaan. "Kemarikan
sendok tehku." Dijangkaunya saku mantel tanpa suara dan mengeluarkan lima sendok teh dari sana.
Si nenek benar, dia tidak memerlukan uang si nenek. Barang-barang yang dicurinya
dari orang-orang tua seusia si nenek hampir tidak laku dijual, kalaupun bisa
uangnya akan dia gunakan untuk membayar tagihan-tagihan yang berlainan dan tidak
tersentuh. Itu adalah sesuatu yang membuatnya ketakutan, tidak lebih baik
daripada masokisme moral, tetapi lebih baik dari apapun yang pernah terpikirkan
olehnya. Dia menikmatinya dan belum mau menyingkirkan kebiasaan itu.
Diletakkannya sendok-sendok tersebut di meja teh di hadapan si nenek dan kembaii
menenggelamkan diri di kursi. Si nenek menghitung. Kakinya - datar dan bersandal
rata - diketuk-ketukkan ke lantai. "Cuma lima. Harusnya ada enam. Aku
menginginkan yang satu lagi."
Dengan malas-malasan diberikannya sendok terakhir si nenek. Sendok itulah yang
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbaik diantara yang lain, asli dan kuno, dengan bentuk yang imut, dan sekarang
nilainya pasti tidak lebih mahal dari ketika pertama kali sendok itu dibuat.
Cekungannya penuh lubang-lubang kecil dan halus seakan seorang bayi yang baru
tumbuh gigi, yang sezaman dengan Washington dan Jefferson, telah menggigit-gigit
bagian tersebut. Bayi yang menyedihkan - pinggirannya yang tajam dan bergerigi
itu pasti sudah mencabik gusinya.
Si nenek merampas sendok itu dan menggosoknya keras-keras dengan taplak meja
teh. Lalu si nenek mengembalikan sendok itu ke tamunya. "Lihat ke dalam cekungan
sendok." Carson melakukan apa yang diperintahkan si nenek. Miss... Smith kelihatannya
tidak akan menghubungi polisi, sementara itu dia hanya merasa tidak nyaman,
bukan takut. "Well?" katanya, meletakkan kembali sendok itu di meja.
"Tidakkah kau lihat sesuatu?"
"Hanya bayangan diriku sendiri, terbalik. Seperti biasa."
"Hanya itu?" ujarnya kaget. "Kembalikan lukisan cat airku, sementara aku
berpikir. Barang itu nilainya bahkan lebih murah ketimbang sendok-sendok tadi."
Si nenek tidak mungkin melihatnya mengambil lukisan cat air itu. Dia sedang
membuat teh, membelakangi Carson, dan tidak ada cermin atau apapun dengan
permukaan mengkilat di dekatnya. Dia bahkan tidak mungkin memperhatikan jarak
dimana lukisan cat air tersebut tergeletak, karena benda itu berada diantara
pernak-pernik lain yang jelek dan tidak berharga.
"Lebih baik kita minum teh," ujarnya, menarik lukisan cat air yang didapatnya
kembali dan meletakkan ke tempatnya semula.
Dibingkaipun, lukisan itu tidak lebih besar daripada sebuah kartupos Eropa. Ada
gambar pohon palem, sebuah pulau, air, semuanya seakan-akan cair dengan gaya
yang meniru Winslow Homery. Tidak heran jika Carson sampai memutuskan bahwa
benda tersebut patut dicuri. "Kau mau sedikit campuran gin dalam teh" Rasanya
agak sedikit membantu."
"Ya, terima kasih."
i Nenek menuang sesuatu dari botol kotak ke dalam poci teh dan kemudian
meletakkannya di meja. Mereka minum. Teh itu panas membakar, dan Carson hanya
bisa mengatasi penderitaan itu dengan cara memasukkan gula banyak-banyak ke
dalam cangkir. Miss Smith meletakkan cangkirnya sendiri pada tatakan. Dia batuk dan kemudian
membersihkan hidungnya dengan saputangan katun untuk pria. "Lebih baik kau
masuk," katanya, sambil mengetuk-ngetukkan jari tengahnya ke permukaan lukisan
cat air itu, "dan melihat seberapa pantas kau berada di dalamnya."
Wuuuush, wuuush, pluk. Carson sudah berada dalam lukisan cat air, duduk di sebuah pulau dengan pohon-
pohon palem bergaya Winslow-Homer
Rerumputannya lengket sekali dan tempat itu sangat berisik seolah sedang terjadi
kerusuhan. Ombaknya, butiran petak-petak menyerpih berwarna biru, mencapai
pantai dengan suara keras bagai piring keramik membentur batu, camar laut
memekik seperti alat musik tiup dari Inggris, dan daun-daun palem yang bergerigi
mengeluarkan suara seperti lempengan seng.
Tetapi Carson tidak terlalu terganggu untuk menerima kenyataan yang dikatakan
Miss Smith bahwa pulau itu lumayan cocok untuknya. Suara yang dia dengar
mengaburkan semuanya; dia tidak perduli apa ada lemari pajangan seorang nenek,
dimanapun dia berada, menyimpan pernak-pernik yang cukup untuk dimasukkan ke
dalam saku. Dia terlalu lelah dan nyaman seolah sedang berada dalam rengkuhan
hangat Miss Smith dan bersandar di bahunya yang lembut.
Yu-hu. Pasti karena pengaruh gin. Dia tertidur.
Ketika dia bangun semuanya masih sama.
Camar, ombak dan pohon palem mengeluarkan suara bersahut-sahutan. Disana, dimana
ombak kaku bikinan lemari pendingin itu terbentuk, air bergolak dengan sebentuk
berwarna biru tua berputar dibawahnya. Apakah itu sudah ada disana sebelumnya"
Pasti. Tapi dia tidak yakin.
Itu bisa saja disebabkan karena banyak hal - hiu yang sedang naik ke permukaan,
kura-kura raksasa, gurita seperti dalam cerita Jules Verne. Bisa saja. Tidak.
Tidak. Carson memekik lirih ketakutan.
Plup. Dia kembali duduk di depan Miss Smith, terpisah oleh meja teh. Si nenek
itu telah menudungi poci tehnya dengan penutup kain, tapi tampaknya itu masih
poci teko yang sama. Dia mengoleskan mentega ke biskuit dan memasukkannya utuh ke dalam mulut. "Apa
kau suka berada di pulau itu?" tanyanya sambil mengunyah.
"Pertama sih lumayan," jawabnya dengan agak terpaksa. "Tapi kemudian ada sesuatu
yang berenang di bawah air dan aku tidak suka itu."
"Menarik." Si nenek menyeringai. "Kau tidak peduli pada kebisingan, kau tidak
peduli pada keterasingan. Tapi ada sesuatu yang bergerak di bawah air dan tidak
dapat kau lihat yang kau... tidak sukai."
Apa yang sedang direncanakannya "
Apakah dia sedang mencoba semacam analisa mulia terhadapnya" Mencoba, dengan
cara yang disetujui para psikiater, mencari tahu apa yang membuatnya takut
sehingga dia dapat menghilangkannya" Tidak. Lebih tepatnya, dia sedang memetakan
kontur ketakutannya sehingga dia dapat memasukkan, menguasai, kedalamnya.
"Mengapa Anda kelihatannya sangat tertarik?" tanya Carson. Dia mencoba
mengoleskan mentega pada biskuit, tapi tangannya bergetar sangat keras sehingga
dia harus meletakkan pisaunya.
"Jarang sekali ada orang yang mau mencuri apapun dariku."
Tidak. Tidak akan ada yang mau mencuri darinya. Hanya Carson, yang diantara
semua nenek di seluruh dunia yang dapat dipilihnya, hanya Carson yang harus
terlibat dengan seseorang bernama Isis, Rhea, Cybele - ada banyak nama-nama dewi
yang bisa dipilih - Anatha, Dindymene, Astarte. Atau Neith.
Carson menjilat bibirnya. "Bagaimana jika kita minum teh lagi?" usulnya. "Dan
sedikit gin" Pasti teh itu akan jadi minuman yang menyegarkan."
"Kurasa gin yang kutuang tadi sudah cukup banyak."
Tetapi nenek itu tidak protes ketika Carson membuka tudung poci dan mengambil
botol kotaknya. Kelihatannya dia bahkan tidak melihat Carson melakukannya.
Carson tadi telah dibodohi dengan cara seperti itu, dan si nenek mungkin saja
melihatnya. Tetapi dia bisa membalas perlakuannya bila si nenek dengan kekuatan
serupa dewi ini mabuk. Dia meletakkan kembali botol itu di meja dengan label menghadap ke si nenek agar
dia tidak tahu seberapa banyak Carson menuangnya. "Anda yang menuang."
Bergetarkah tangan yang sedang memegang poci teh itu" Dia tidak yakin betul. "Ya
Tuhan, kau membuat teh ini jadi keras sekali," katanya.
"Menyegarkan!" Dia berusaha tersenyum. "Ayo, disambi biskuitnya. Saat-saat
seperti ini biasanya orang kurang bersemangat, sore-sore begini."
"Ya." Badan si nenek agak bergetar karena batuk. Sebutir remah biskuit mungkin
menyangkut di tenggorokannya. Dia berharap si nenek tersedak dan mati.
Si nenek mendorong remahan itu dengan tegukan terakhir dari cangkirtehnya.
"Sekarang aku menginginkan pemberat kertasku."
Itu adalah harta karun terakhir yang dimilikinya. Itu adalah benda yang paling
dia sukai diantara benda-benda yang lain. Dengan sedih dia mengambil bulatan itu
dari saku dan memberikannya ke si nenek.
Dia mengetukkan jari. Salju tiruan turun dari atas kubah dan jatuh perlahan ke
bagian dasar yang berhiaskan pemandangan musim dingin.
"Cantik," kata si dewi memuji. "Salju yang cantik."
"Ya. Saya mengaguminya."
"... sudah larut untuk mencobamu ke yang lain lagi. Lagipula, aku tahu pasti apa
yang kau inginkan. Kau adalah jenis orang yang tidak tahan untuk menunggu
sesuatu yang tidak menyenangkan." Poci tehnya tidak sengaja menyentuh cangkir.
Suara si nenek makin samar terdengar. Dia meninggalkan tetes teh di taplak
sebelum meletakkan poci teh kembali ke tempatnya.
Sekaranglah saatnya, jika memang saat yang tepat itu ada.
"Terimakasih untuk sore yang menyenangkan," katanya sambil menggeser kursi ke
belakang, kemudian berdiri. "Mungkin kita bisa mengadakan acara seperti ini lagi
kapan-kapan." Mulut si nenek terbuka. Seuntai ludah berkilau diantara bibirnya dan kemudian
jatuh. "Dasar busuk. Masuk ke dalam kau, mahluk bodoh."
Pemberat kertas itu menerima tubuhnya.
Rasanya seperti menembus angin ribut, seperti berenang, tapi dia bisa bernafas
dengan baik. Carson berusaha berjalan melintasi cairan itu - gliserin kah" - menuju dinding
kaca dan mengintip keluar.
Miss Smith menjentikkan jari. Bibirnya bergerak. Dia mulai berdiri. Lalu jatuh
ke lantai. Cangkirnya jatuh dari jemarinya yang lemah dan turun perlahan di sampingnya.
Miss Smith benar-benar mabuk berat.
Setelah beberapa saat, Carson mulai berpikir.
Rasanya dia melihat tubuh si nenek berkedut.
Setidaknya dia yakin bahwa si nenek tidak pergi keluar. Dia mati.
Sekitar pukul delapan pagi seseorang datang dan menemukannya. Banyak orang lalu-
lalang sebelum akhirnya para petugas yang membawa brankas datang. Cangkir teh
itu tetap tinggal di lantai.
Mereka bahkan tidak mau bersusah-susah menutup tirai jendela. Cahaya bulan
berkilauan dalam penjara kaca dan menyinari salju di dasarnya dengan sangat
cemerlang. Andaikan itu salju sungguhan! Dia sangat menginginkan sebuah ceruk
nyaman yang bisa dia buat sendiri dalam rinai salju, pondokan hangat bergaya
Steffanson yang dapat dinikmatinya dalam kandangnya yang empuk. Sebagaimana
pertama kali dia datang, Carson mengapung vertikal di malam hari, menderita
karena insomnia, dan merasa sangat tidak nyaman bagai batang asparagus di atas
wajan. Akhirnya malam berganti. Dia tidak tahu apa dia menyesal atas kematian Miss
Smith atau tidak. Apakah kepercayaan yang tidak masuk akal tentang adanya
kemurahan hati yang potensial pada diri si nenek itu masih menghantuinya"
Setelah kejadian dengan pulau itu dan sekarang ini"
Pagi berlangsung cepat ketika dengan masuknya seorang perempuan yang bertugas
membersihkan rumah. Dia seorang perempuan yang masih muda, dengan bibir merah
dan rambut kuning flamboyan.
Perempuan itu menancapkan kabel penghisap debu dan mulai membersihkan lantai.
Dilepasnya taplak meja teh dan mencuci semua perabot yang ada di atasnya.
Kemudian dia mengambil pemberat kertas dengan pemandangan musim salju itu.
Pemberat itu diguncang dengan kasar.
Salju buatan mulai turun di sekeliling Carson.
Si perempuan menekan hidungnya ke kaca agar bisa melihat lebih jelas ke dalam.
Matanya sangat, sangat besar. Tidak mungkin dia tidak melihat Carson.
Dia menyeringai. Carson mengenalinya.
Miss Smith. Mestinya dia tahu, Neith tidak akan mati begitu saja.
Si perempuan mengguncang pemberat itu sekali lagi. Kemudian dia meletakkannya
dengan kasar ke atas meja.
Untuk sesaat Carson berpikir gadis itu akan melemparnya ke dinding perapian.
Tapi itu akan terjadi nanti.
Dia mungkin akan membiarkan Carson hidup selama beberapa hari. Dia bisa
meletakkannya di bawah terik matahari, membekukannya di lemari pendingin,
mengguncangnya berulang-ulang sampai dia merasa mabuk laut bagai janin yang
tidak diinginkan... banyak kemungkinan yang akan terjadi. Dan pada akhirnya akan
terjadi benturan. Si gadis itu memain-mainkan jarinya dengan membuat garis melintang di
tenggorokannya. Dicabutnya kabel penghisap debu, kemudian pergi keluar.[]
TERIAKAN MINTA TOLONG Robert Arthur Untuk keberapa puluh kalinya hari itu, dengan suara sedikit gemetar, Martha
Halsey membaca artikel di harian Dellville Weekly Call dengan suara keras:
Firma real estat Boggs and Boggs hari ini menyatakan penjualan rumah tua
keluarga Halsey yang berlokasi di seberang pengadilan.
Rumah tersebut, yang merupakan milik Miss Martha dan Louise Halsey, putri
almarhum Hakim Hiram A. Halsey, telah diperintahkan untuk dijual oleh kemenakan
mereka, Mrs. Ellen Halsey Baldwin.
Kali ini, Louise, dengan tangan dipenuhi urat nadi kebiru-biruan dan sedang
mengibaskan potongan-potongan perca untuk dibuat selimut tebal yang sedang
dikerjakannya di atas kursi roda, diam membisu. Hanya suara angin New England
yang menjawab, seakan melengking dan memekik gembira saat meniup tanaman
merambat di atap rumah kuno itu, terasing dari kebisingan dan kesibukan kota.
Sepanjang hari itu, sejak Ellen membawa masuk koran yang didapat dari kotak
surat, tepat sebelum sarapan pagi, mereka telah membaca dan membaca lagi
beberapa kali sambil membahas semuanya dari berbagai sudut. Mulanya Louise yakin
ini adalah kesalahan. Tetapi dengusan Martha bagai mengejek gagasan itu. Lalu
Louise ingin menghubungi Ellen dan bertanya tentang hal ini.
Tetapi ada perasaan waspada yang selama ini terbengkalai dalam kehidupannya yang
membuat Martha berkata tidak.
Dan sekarang , setelah sehari penuh mereka saling bicara, berspekulasi dan
meletihkan diri dengan berbagai perkiraan, jawaban itu terbit dalam pikirannya.
Hanya itu satu-satunya jawaban yang memungkinkan, dan dengan kejadian-kejadian
yang diterimanya tanpa prasangka selama enam bulan terakhir ini - termasuk
kematian si malang Queenie seminggu sebelumnya - tiba-tiba saja semuanya jelas
terpampang. Martha menarik nafas sebelum bicara. Lalu, dengan tenang dan perlahan, dia mulai
men-jabarkan kebenaran pada Louise.
"Louise, aku yakin betul Ellen dan Roger menginginkan kita mati."
"Mati?" Louise menatapnya dari kursi roda dengan pandangan kaget dan raut wajah
tidak percaya terpancar dari sana. "Oh, tidak, Martha!"
"Tidak ada jawaban lain," kata Martha.
Garis wajahnya bagaikan granit New England yang ditempa cuaca, keras. Di usia
yang sudah delapan puluh tahun itu mata birunya menyala.
"Sekarang aku mengerti mengapa Roger dan Ellen memaksa kita menjual rumah di
kota dan tinggal di pinggiran sini bersama mereka," katanya. "Juga mengapa
mereka merayu untuk memberi kuasa hukum pada mereka sehingga Ellen bisa
mengurusi apa yang diistilahkan Roger sebagai detil-detil minor yang melelahkan
dan ada hubungannya dengan tanah kita."
"Kebenarannya cukup sederhana jika kau mencermati kenyataan-kenyataan yang
terjadi dalam sudut pandang yang tepat. Pertama Roger dan Ellen mengasingkan
kita dari semua sahabat dan tetangga. Dan sekarang mereka cukup berani menjual
tanah kita. Nanti, sebentar lagi, mereka pasti berharap dapat mewarisi saham dan
surat obligasi yang kita miliki."
"Tetapi mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali jika kita meninggal!" sahut
Louise dengan suara agak tergagap.
"Itulah maksudku."
Martha berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju jendela kamar tidur yang juga
berfungsi sebagai ruang duduk tempat mereka tinggal, berjalan dengan sangat
hati-hati agar sakit pinggulnya tidak bertambah parah. Angin musim gugur New
England menggerakkan dahan-dahan pohon meranggas yang mengelilingi rumah kuno
bergaya Kolonial itu. Martha mengangkat daun jendela, memeluk tubuhnya sendiri
melawan angin yang meniup dingin.
"Toby, Toby!" panggilnya. "Kesini, Toby!"
Tidak ada sahutan meooong, tidak ada gumpalan berbulu coklat-kuning melompat ke
dalam. Dibantingnya daun jendela sampai menutup dan berjalan tertatih kembali ke
lingkaran terang yang dipancarkan oleh lampu minyak tanah yang besar di meja
tengah, dekat kursi roda kakaknya.
"Pertama Queenie," lanjutnya sedih, "Sekarang Toby! Aku beritahu kamu, Louise,
besok atau lusa Roger akan membawa Toby dalam keadaan dingin dan kaku, dan
berpura-pura sedih - sebagaimana yang dia lakukan sewaktu membawa masuk Queenie
minggu lalu. Diracun, tentu."
Martha memandang dengan tajam ke arah kakaknya dan sepasang mata Louise mendadak
berkabut. "Queenie yang malang," bisiknya. "Kata Roger dia pasti telah menemukan umpan
yang dipasang para petani di luar sana. Itu memang benar, Martha. Para petani
itu memang - " "Apakah Queenie akan makan makanan seperti itu setelah mendapatkan makanan layak
darimu selama delapan tahun?" sahut Martha menegaskan. "Queenie itu kucing
pemilih. Aku beritahu kau siapa yang meracuninya. Roger, tidak lain dan tidak
bukan." Louise memandang adiknya dan angin bersiul di sekeliling sayap rumah kuno itu.
"Tapi mengapa?"
"Pikirkan kembali apa yang terjadi sebulan terakhir. Mantra yang sedang mengenai
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu ini. Sehari kau merasa lemah dan sakit. Besoknya kau merasa lebih baik.
Dan beberapa hari kemudian kau kembali lemah kembali. Penjelasan apa yang bisa
kau katakan mengenai kondisimu itu?"
"Setelah seseorang melampaui usia tujuh puluh lima tahun - "
"Tidak mungkin. Kau tidak pernah mengalami hal-hal semacam ini ketika kita
berada di rumah kita sendiri."
"Tidak... Itu benar. Aku tidak pernah seperti itu."
"Well ! Dan aku tidak perlu mengingatkanmu bahwa sebagai apoteker Roger memiliki
akses kemanapun mengenai obat-obatan - termasuk racun."
"Oh, Martha, tidak!"
"Roger itu sangat pintar. Dia melakukannya sodikit demi sedikit, jadi kita hanya
akan merasa sakit pelan-pelan dan suatu saat nanti kita akan mati - karena sebab
yang wajar." Martha seperti mendesiskan kata-kata terakhirnya.
"Semua gejala penyakitmu itu, Louise, adalah akibat keracunan kronis, sepertinya
racun arsenikum. Queenie diberi makan dari piringmu. Tetapi dia hanya menjadi
semakin kurus dan kurus lalu mati, sementara kau hanya menjadi semakin sakit.
Dan Roger membawanya kesini sambil mengarang-ngarang cerita tentang Queenie yang
memakan umpan yang dipasang para petani."
Martha menarik nafas dalam-dalam, paru-parunya dipenuhi dengan kebencian. "Lalu
Roger menyadari bahwa hal yang sama bisa saja terjadi pada Toby. Hanya saja Toby
dia biarkan sakit bersama-sama dengan kita disini, tetapi kita telah curiga
bagaimana cerita sebenarnya. Jadi dia memutuskan untuk melenyapkan Toby
selamanya. Dan kini Toby kita tersayang namun malang telah tiada."
"Oh, jahat sekali," kata Louise menggeragap. "Tapi bagaimana kau bisa yakin?"
"Berdasarkan bukti, termasuk mobil baru yang dibeli Roger kemarin."
"Tapi itu kan bukan mobil yang benar-benar baru," sanggah Louise. "Itu mobil
bekas. Dan Roger memang membutuhkannya, karena musim dingin yang akan datang."
"Itulah tujuan sebenarnya. Kebutuhan. Roger dan Ellen sangat memerlukan uang.
Kau tahu betapa sedikit gaji yang diterima Roger di apotik Mr. Jebway. Kau hanya
perlu mencermati semua fakta-fakta yang ada. Dua tahun yang lalu Roger datang
kemari tanpa tahu dari mana dia berasal - orang asing. Dia bertemu Ellen dan
tanpa pikir panjang akhirnya Ellen mau menikah dengannya. Tapi coba lihat, Ellen
itu biasa-biasa saja. Mengapa Roger tertarik padanya" Aku sebenarnya heran saat
itu. Kini aku tahu. Itu semua karena Ellen adalah pewaris tunggal kita,
kemenakan kita. Dan kita punya rumah megah, juga saham dan surat obligasi yang
ditinggalkan ayah untuk kita. Kemudian Roger melihat kesempatan ini. Dia
menikahi Ellen dan mengira bahwa suatu saat nanti dia akan menguasai harta kita
dengan cepat - dengan cara meracun kita berdua."
"Semua hal yang kau bicarakan tentang Ellen memang benar," kata Louise, dan raut
wajahnya yang mungil dan keriput menunjukkan keraguannya. "Dia itu amat sangat
biasa-biasa saja. Tapi sifatnya yang manis, dan seorang lelaki tidak selalu
menikahi perempuan karena melihat penampilannya saja."
Martha mengacungkan jari telunjuknya yang kurus kering kearah kakaknya. "Kau
tahu, menurutku Ellen sudah berubah. Kau merasakannya bukan, bagaimana dia
menjadi penuh rahasia sekarang ini. Bagaimana dia selalu menghindar saat kita
sedang bicara masalah rumah" Bagaimana Roger dan Ellen diam-diam saling
berpandangan saat mereka pikir kita tidak melihat mereka" Dan bagaimana mereka,
saat kita membicarakan masalah uang, selalu mengalihkan pembicaraan?"
Martha mencondongkan tubuh ke depan, memelankan suaranya.
"Aku lupa. Mereka mungkin mendengarkan pembicaraan kita dari luar pintu.
Sebagaimana yang aku katakan tadi, pertimbangkan semua kenyataannya. Kita
bahagia di rumah kita di kota. Lalu musim panas yang lalu Ellen dan Roger
membuat kita yakin dengan kekhawatiran mereka atas kondisi kesehatan kita.
Karena sakit pinggulku dan arthritismu, mereka bilang kita tidak bisa mengurus
diri dengan benar. Tidak masuk akal! Kita bisa saja menjual beberapa saham kita
dan membayar seorang tukang masak dan pembantu. Tapi tidak. Layaknya nenek-nenek
bodoh kita setuju saja memberi kuasa hukum pada Ellen dan pindah kesini bersama
mereka. Sekarang kita benar-benar terasing. Kita tidak pernah bertemu orang lain
sama sekali, dan bisa dibilang kita tidak pernah meninggalkan rumah. Kita tidak
pernah mendapat surat sepucukpun. Bahkan Hakim Beck juga tidak datang menjenguk
kita, dan aku menulis kepadanya tiga hari yang lalu, memintanya - tidak, memohon
padanya - untuk datang mengunjungi kita. Kukatakan bahwa kita ingin membicarakan
sesuatu yang penting."
"Kau menyurati Hakim Beck?" seru Louise. "Kau tidak mengatakannya kepadaku."
"Karena aku tidak ingin membuatmu khawatir dengan kecurigaanku. Tapi sekarang
aku yakin, dan aku akan menyampaikan semuanya ke pak hakim. Kalau kita bisa
bertemu dengannya, Aku yakin Roger tidak pernah menyampaikan suratku kepadanya."
Bibir Martha menegang. "Kita harus menghadapinya dengan tabah. Roger jadi tidak
sabaran. Kelihatan sekali dia berencana untuk menghabisimu dulu. Kemudian aku.
Dan tidak ada seorangpun yang akan curiga sedikitpun."
"Oh, Martha!" sepasang mata Louise yang pucat kebiruan mengerjap cemas.
"Aku akan memanggil mereka dan mencari tahu bagaimana sikap mereka. Oh, aku
bukannya mau menuduh mereka. Tapi dari cara mereka menjawab pertanyaanku, kita
bisa tahu seberapa banyak yang harus mereka tutupi."
Martha berjalan pincang ke pintu yang menuju ke selasar penghubung ke bagian
rumah utama. Sambil membuka pintu, dia berteriak, "Roger! Ellen!"
"Ya, Bibi?" sahut suara seorang perempuan muda.
Martha kembali ke tempat duduknya dan Ellen segera datang menghampiri. Ia adalah
seorang perempuan muda dengan mata menonjol, dagu tipis dan raut muka khawatir.
Dia masuk, mengelap tangannya ke celemek, dan tersenyum.
"Sebentar lagi makan malam siap," katanya. "Daging bakar. Bagaimana?"
"Bagus sekali, Ellen," sahut Martha, "tetapi kami ingin bicara dengan Roger."
"Apa ada yang memanggilku?" Suara langkah kaki yang beratterdengardi lorong dan
Roger muncul di belakang Ellen. Roger bertubuh pendek, dengan rambut kaku dan
raut wajah cerah, hanya saja garis-garis di sekitar mulut dan kacamata tebal
yang dia kenakan tidak membuatnya tampak menyenangkan.
"Ini aku, Bibi, lengkap." Dia tertawa seperti baru saja menceritakan gurauan.
"Bibi perlu bantuanku?"
Dia melingkarkan tangan di sekeliling pinggang istrinya dan wajahnya berseri-
seri. Di atas bibir yang sedang tersenyum itu sepasang mata dibalik kacamatanya
terlihat bertambah besar dan menyiratkan pikiran rahasia dari benaknya.
"Tiga gadis kesayanganku, semua berada dalam satu atap. Harem kecil rahasia
milikku." Sambil bicara begitu, dia meremas lengan Ellen dengan lembut.
"Roger, aku penasaran mengapa aku belum mendapat surat balasan dari Hakim Beck,"
kata Martha. "Apa kau sudah memberikan suratku padanya?"
"Well, belum,"jawab Roger ragu-ragu. "Aku meninggalkan surat itu pada sekretaris
Hakim Beck. Sebenarnya aku baru akan memberitahukan Bibi malam ini. Hakim Beck
sedang keluar kota."
"Keluar kota?" tanya Louise. Matanya menatap Roger.
Roger berdehem, dan Louise bisa melihat bagaimana Roger dan Ellen saling
melirik. "Beliau pergi ke Boston karena ada kasus di sana. Menurut sekretarisnya, kasus
itu lumayan penting."
"Tetapi Pak Hakim tidak punya klien di Boston," sahut Martha tegas.
"Beliau pergi atas permintaan klien lokal," sambung Roger. Raut wajahnya yang
tidak tenang semakin terlihat.
"Kapan beliau kembali" Pak Hakim itu benci Boston."
"Mungkin satu atau dua hari lagi," sahut Roger cepat. "Segera setelah beliau
kembali, surat Bibi akan segera dibaca."
"Mmm." Martha memandang penuh arti ke arah Louise dan Louise membalas dengan
anggukan yang mengisyaratkan bahwa dia juga bisa melihat pengingkaran Roger.
"Ada berita di koran Call hari ini, Roger, yang mengatakan bahwa Ellen telah
rumah kami ke Boggs untuk dijual. Tentu saja, menggunakan kuasa hukum yang kami
serahkan padanya. Itu pasti tidak benar."
Lagi-lagi mereka melihat Roger dan Ellen saling berpandangan secara diam-diam.
Kepercayaan diri Roger hilang pelan-pelan.
"Well, tidak, Bibi Martha," katanya. "Rumah itu perlu perbaikan dimana-mana.
Kami pikir Bibi berdua bahagia tinggal bersama kami dan - well, kami pikir rumah
itu memang harus dijual."
"Roger!" Martha bangkit, bersandar pada penyangganya kemudian berdiri berhadapan
dengan Roger yang tidak berani menatap matanya. "Kau ingat, kami setuju untuk
tinggal di sini asal kami bisa kembaii ke rumah kami kapanpun kami mau. Bukan
begitu, Ellen?" "Ya, tentu saja, Bibi Martha," sahut Ellen sambil memilin-milin celemeknya.
"Dan maksud dari pernyataan tersebut adalah kami sama sekali tidak berniat
menjual rumah itu selama kami masih hidup."
"Kami ingin pindah kembaii," kata Louise dengan suara bergetar.
"Oh, Bibi Louise!" protes Ellen. "Bibi tidak boleh begitu!"
"Mengapa tidak" Apa alasannya?" tanya Martha.
"Sebentar lagi musim dingin," sambung Roger yang mendapatkan keyakinannya
kembali. "Rumah itu perlu membutuhkan pemanas yang baru, dan pemasangannya
memerlukan waktu lama dan mahal. Mungkin baru musim panas nanti kita bisa
memasangnya. Tidak ada yang lebih buruk daripada rumah yang dingin ketika cuaca
sedang bersalju, apalagi bila Bibi sedang sakit." Saat itu wajahnya hampir bisa
dikatakan menarik, meskipun garis-garis itu terlihat semakin dalam.
"Lagipula, seperti yang dikatakan Ellen, kami ingin Bibi tingal bersama kami.
Kami pikirakan menyenangkan bagi kita jika Bibi tidak hidup sendiri."
Dengan tatapannya Martha memperingatkan Louise untuk tidak protes. "Kami akan
memikirkannya dan membicarakan masalah ini dengan Hakim Beck," jawabnya.
"Itu baru gadisku! Well, Ellen, ayo kita makan malam. Aku harus kembali ke
apotik malam ini. Mr. Jebway kelihatannya agak flu saat ini."
Roger dan Ellen kembali ke bagian rumah yang mereka tempati.
Martha berpaling pada Louise. "Well" Kau setuju denganku sekarang?"
"Oh, ya, aku setuju," jawab Louise menggeragap. "Ya ampun, kelihatan sekali
kalau dia berbohong. Sistem pemanasan di rumah kita bekerja dengan sempuma. Kita
tidak pernah mengalami gangguan pemanas sejak Ayah memasangnya tiga puluh tujuh
tahun yang lalu." "Dan siapa klien lokal yang sampai mengutus Hakim Beck pergi ke Boston?" tanya
Martha dengan suara mencibir. Dia menatap lurus-lurus ke wajah kakaknya. "Apakah
kau lihat tadi Roger berkata dia harus kembali lagi ke apotik malam ini" Seakan-
akan dia hanya berpikir bagaimana cara melarikan diri dari sini sebelum kita
sempat bertanya-tanya lagi. Tampaknya dia perlu lebih banyak racun dari
persediaan obat Mr. Jebway."
"Martha!" seru Louise, dengan jemari refleks menutup bibirnya yang bergetar.
Malamnya dua bersaudara tersebut tidak dapat tidur nyenyak. Martha terbangun
beberapa kali dan berjalan tertatih-tatih ke jendela sambil memanggil Toby. Tapi
tetap saja suara sahutan meooong itu tidak kunjung datang.
"Toby mati," kata Martha pada Louise keesokan paginya. "Kita tidak akan pernah
melihat Toby lagi." "Toby yang malang." Mata Louise yang biru pucat berkaca-kaca. "Mereka itu
monster. Dulu kupikir Ellen gadis yang manis."
"Dulu memang begitu," sahut Martha.
"Roger telah mengubah seluruh sifatnya. Secara alami, perempuan biasa menuruti
perintah dan bimbingan suaminya."
"Tapi menuruti perintah Roger untuk membunuh kita - "
"Sejauh ini mereka hanya membunuhi kucing. Kita akan cari cara untuk mencegah
mereka membunuh kita. Aku punya rencana."
Nada suara Martha terdengar putus asa.
"Sebenarnya aku tidak suka jika aku harus melakukannya, tapi cara ini akan
kupergunakan bila terpaksa."
Terdengar langkah kaki di lorong, dan Ellen datang membawa nampan.
"Selamat pagi," katanya sambil meletakkan piring di atas meja.
Dilihat dari wajahnya pagi itu, kelihatannya Ellen tidak bisa tidur nyenyak
semalam. "Telur rebus, keik panas dan teh. Enak dan mengenyangkan. Tahukah Bibi,
ada butiran es di kandang ayam pagi ini."
"Kami sama sekali tidak bisa tidur nyenyak tadi malam," kata Martha pada Ellen.
"Kami mengkhawatirkan Toby."
"Ya ampun , dia belum kembali?" kekhawatiran Ellen tidak dibuat-buat. "Kuharap
dia belum - maksudku, kuharap dia tidak keluyuran kemana-mana. Tapi meskipun dia
melakukannya, Toby pasti akan kembali."
"Aku tidak bisa makan, sungguh, makanan ini tidak tertelan," sahut Louise sedih
setelah Ellen pergi. Dia hanya mengacak-acak keik panasnya yang berwarna coklat
keemasan. "Kita harus menjaga agar tubuh kita tetap kuat," kata Martha. "Makan saja
telurnya. Telur itu di dalam cangkang, jadi sangat aman dimakan. Dan minum
tehnya." "Aku coba." Louise akhirnya bisa memakan telur dan minum teh, meskipun dirasa
agak terlaiu kental. Martha memakan semua keik coklat dan telur di piringnya.
Tapi dia juga merasa teh pagi itu terlalu kental.
"Apakah kau bisa menyelinap keluar dan menelepon Hakim Beck?" tanya Louise
ketika mereka selesai sarapan.
"Kamu lupa!" Martha memandang kakaknya dengan serius. "Bulan lalu Roger mencabut
saluran telponnya." "Ya Tuhan, iya," seru Louise. "Katanya tagihan telpon terlalu mahal."
"Meskipun kita menawarkan diri untuk membayarnya. Itu cara pertama yang
dilakukannya untuk memutuskan hubungan kita dengan dunia luar."
"Sekarang kita tidak mungkin bisa minta tolong!" suara Louise bernada panik.
"Kita masih bisa. Seperti yang kukatakan tadi malam, aku benci melakukannya,
tapi akan kujakukan jika terpaksa. Sekarang, lanjutkan pekerjaanmu menjahit
selimut. Aku akan membacakan koran untukmu. Kita harus pura-pura sibuk. Apa yang
pertama harus kubaca?"
"Oh, berita kematian," kata Louise. "Kalau-kalau ada orang yang kita kenal
meninggal dunia." Wajahnya khawatir. "Kita tidak mendapatkan kabar lagi sekarang
ini. Mary Thompson biasanya memberitahu kita jika terjadi apa-apa, tapi dia
tidak punya mobil - " suara nafas Martha yang tertahan membuat Louise menghentikan
ucapannya. "Ada apa?"
"Mary Thompson!"
"Dia tidak mati kan?" tanya L o u i s e , waspada.
"Tidak," sahut Martha sambil memainkan mulutnya . "Tapi mungkin dia lebih baik
meninggal. Menurut berita, dia masuk Haven Home."
"Oh, tidak!" teriak Louise.
Martha mengangguk. "Perempuan malang itu memintanya sendiri. Bayangkan, orang
seusianya dipaksa tinggal di tempat tua dan mengerikan itu. Tempat itu dingin,
busuk, dan penuh tikus. Benar-benar Rumah Perlindungan! Nama yang bagus bukan
berarti tempatnya juga bagus. Tempat itu hanya sebuah rumah di desa dan sudah
rusak, mencoreng lingkungan! Baginya, itu sama saja dengan mati."
"Mary yang malang," ujar Louise sedih. "Oh, aku teringat pada acara minum teh,
dengan perapian yang sedang menyala dan kucing-kucing yang tidur di depannya,
dan Mary datang mengunjungi kita."
Raut wajahnya berubah bagai anak kecil yang kegirangan. "Jika kita bisa kembali
ke rumah kita yang lama Mary bisa tinggal bersama kita! Kita akan membayar
beberapa pembantu dan itu pasti akan menyenangkan!"
"Kita bisa," kata Martha berjanji. "Mary Thompson tidak akan melewati hari-hari
sepinya di tempat mengerikan itu selama kita masih punya cara untuk
membantunya." Harapan untuk mendapatkan rumah mereka kembali dan tinggal serumah dengan
sahabat lama mengangkat suasana hati Louise beberapa saat. Kemudian , saat
hendak menjahit potongan perca yang dua puluh tahun silam adalah gaun wol
terbaik yang biasa dipakai ke gereja di hari Minggu, tiba-tiba Louise tertegun.
"Aku - aku merasa tidak enak badan." Dia menunggu beberapa saat, kemudian menatap
adiknya dengan ngeri. "Aku sakit. Lebih baik aku tidur."
Martha membantunya naik ke ranjang dan memijat pergelangan tangan Louise. "Sudah
agak baikan?" tanyanya.
"Aku merasa aneh," jawab Louise berbisik.
" Lemah , tidak berdaya dan - dan kaget. Seperti - sepertinya aku diracun!" Kata-
kata terakhir itu keluar dalam bisikan putus asa dan ketakutan, dan ketika
terucap kedua kakak beradik itu bersitatap dengan sebuah pengertian yang tampak
jelas di mata mereka. "Tehnya," kata Martha. "Oh, pintar sekali Roger itu. Tapi aku tidak meminumnya
dan kau hanya minum sedikit - " dia mencengkeram pergelangan tangan Louise dengan
kuat. "Aku yakin kau tidak sakit parah. Kau hanya minum teh itu sedikit dan itu
tidak cukup untuk membuatmu keracunan. Lagipula, aku yakin Roger merencanakan
untuk melakukannya perlahan-lahan, untuk membuatnya terlihat seperti penyakit
yang bisa menyebabkan kematian. Tapi kita akan memaksa mereka untuk memanggil
dokter Roberts . Dan dia akan menyampaikan pesan kita ke Hakim Beck."
"Kamu memang cerdas, Martha," ujar Louise menggumam kagum.
"Sebelum kita bertemu Hakim Beck, kita harus merahasiakan kecurigaan kita
terhadap Roger dan Ellen. Kalau sampai terlihat, dia tidak akan menunggu lama-
lama."
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, tentu tidak."
Tetapi ketika Ellen masuk, dia tidak menyarankan agar mereka dijenguk oleh
dokter. Ellen hanya mondar-mandir mengurusi Louise dan menyarankan minum
aspirin, bikarbonat dan botol air panas. Bagaimanapun, Martha tetap memaksa dan
akhirnya, dengan malas, Ellen mengenakan mantel dan pergi ke rumah tetangga
terdekat yang jaraknya seperempat mil untuk menghubungi dokter Roberts lewat
telpon. Dia kembali, mengabarkan bahwa dokter Roberts sedang menangani
kelahiran, tapi akan datang secepatnya.
Waktu berjalan lambat. Louise tidak bertambah parah. Tetapi dia tetap tinggal di
kasur, selalu mengaduh dan mengeluh, sementara Martha memijat pergelangan
tangannya dan menyeka pelipisnya dengan minyak angin.
Mereka menolak makan siang dan hal ini membuat Ellen bertambah panik.
"Tapi Bibi harus makan," bujuknya "supaya Bibi tetap kuat."
"Aku sudah makan banyak tadi pagi," kata Martha. "Dan aku yakin Louise malah
akan bertambah parah jika dia makan dalam keadaan tegang seperti ini. Lebih baik
tidak makan apapun ketika perutmu sedang bermasalah."
Ellen yang kelihatan marah dan khawatir itu akhirnya membawa nampan makan siang
mereka keluar. Dokter Roberts datang sore-sore, agak kedinginan dan nafas berembun. Dia adalah
seorang lelaki pendek dan gempal dengan rambut-rambut halus berwama putih,
sedikit lebih muda dari kedua kakak-beradik itu.
"Ayo, ayo... ada apa ini?" tanya si dokter sambil duduk dan meraba denyut nadi
di pergelangan tangan Louise. "Mmm. Sepertinya kamu gelisah. Coba kuperiksa
lidahmu, gadis kecil."
Martha segera mendekat ketika dokter Roberts memasang stetoskop dan mendengar
denyut jantung Louise. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Louise?" tanyanya sambil mengelus dagunya. "Kata
Ellen kucingmu baru saja hilang?"
"Kucing itu diracun , " kata M a r t h a .
"Sekarang Toby sudah tidak ada. Kami khawatir kalau-kalau Toby juga diracun."
"Hmmm, hmmm. Gawat sekali. Menurutku kau terlalu mencemaskan binatang
peliharaanmu. Aku akan memberimu resep yang dapat dibeli Roger. Kau beruntung,
ada Roger yang bekerja di apotik. Kau bisa mengheat setengah harga obat.
Sekarang ini harga obat sangat mahal."
"Cemas!" seru Louise ketika dokter Roberts meraih buku resepnya. "Dokter, aku - "
Martha mengisyaratkan Louise untuk diam. Dokter Roberts, yang sedang sibuk
dengan resepnya, tidak memperhatikan kedua perempuan itu.
"Dokter," tanya Martha ketika dokter sedang melipat stetoskopnya , "bisakah Anda
menyampaikan pesan kami untuk Hakim Beck?"
"Tentu, tentu, Martha. Apa pesannya?"
Dokter Roberts berdiri dan memijit lembut puncak kepalanya yang botak.
"Tolong katakan pada Hakim Beck untuk datang kesini malam ini! Katakan padanya
ini amat sangat penting."
"Amat sangat penting. Hmmm.. aku tidak suka memintanya pergi malam-malam. Dia
sedang demam." "Jadi, dia tidak sedang di Boston?" tanya Louise.
"Boston" Darimana kalian tahu bahwa dia di Boston" Dia sedang sakit ketika
terakhir aku bertemu dengannya."
"Tolong minta padanya untuk datang malam ini," kata Martha memohon. "Katakan
padanya ini masalah hidup dan mati."
"Hidup dan mati" Hmmm." Dokter Roberts mengangkat alisnya yang putih dan tebal.
"Well, baiklah, baiklah, bila dia sudah cukup sehat. Dan jangan khawatir tentang
Toby dan Queenie. Peliharalah lagi beberapa anak kucing yang sehat dan kalian
akan merasa jadi perempuan baru."
"Saat kami kembali ke rumah kami di kota kami akan melakukannya," sahut Martha
tegas. "Pasti menyenangkan melihat kucing yang bermain-main di depan perapian."
"Rumah kalian di kota?" tanya si dokter keheranan. "Mengapa kalian ingin kembali
kesana" Tempat itu terlalu besar buat kalian - amat sangat besar. Kalian tidak
akan mampu menjaganya. Kusarankan lebih baik kalian tetap disini karena ada yang
akan merawat kalian."
Setelah dokter itu meninggalkan ruangan, Martha mendengar Ellen berbicara
dengannya di lorong. Martha melongokkan kepalanya keluar pintu untuk mencuri
dengar. Sesaat kemudian dia berjalan kembali ke samping Louise.
"Katanya kau hanya gelisah," bisiknya. "Dia meresepkan obat penenang."
"Obat penenang! Seharusnya tadi kita bilang kalau itu racun!"
"Dia tidak akan mendengarnya. Tidakkah kau lihat" Semua orang berpihak pada
Ellen dan Roger. Orang-orang semua mengira mereka adalah sepasang suami istri
yang manis dan menyenangkan yang merawat dua orang nenek tua yang tidak
berdaya." Martha melambaikan tangannya putus asa.
"Louise, meskipun Hakim Beck datang malam ini, dia pasti akan berpikiran sama.
Aku bisa menyimpulkannya sekarang. Kita berdua sudah berada di kuburan dalam
waktu sebulan dan semua orang akan bersedih untuk Roger dan Ellen."
"Kita berikan saja saham dan surat berharga kita pada mereka," bisik Louise. "
mereka tidak punya alasan untuk membunuh kita."
"Tentu saja tidak boleh." Mata Martha membelalak. "Mereka akan langsung membawa
kita ke Haven Home. Kau mau hari-harimu berakhir di tempat yang mengerikan itu?"
"Lebih baik aku mati. Tapi bila tak ada satupun yang mau mendengarkan kita - "
"Hanya ada satu cara, kita harus kabur."
"Martha!" Louise terduduk. "Kau tahu kita tidak bisa seperti itu. Kau bahkan
tidak akan sanggup berjalan setengah mil ke rumah keluarga lain, apalagi sambil
mendorong kursi rodaku. Kita akan mati kedinginan. Coba dengar angin di luar
sana!" Angin itu menggetarkan daun jendela sekan menegaskan pernyataan Louise. Tetapi
Martha mengangguk-angguk dengan raut wajah misterius.
"Kau akan lihat. Aku sudah mengatakannya, aku punya rencana. Kita akan kabur.
Jangan takut." "Tapi jika kita memang bisa kabur, mereka akan mengatakan kita ini nenek-nenek
yang tolol dan mereka pasti akan membawa kita kembali kesini lagi," sahut
Louise. "Aku juga sudah memikirkannya. Kita akan lari dan mereka akan membawa kita
kembali ke rumah lama. Tapi kita harus menunggu sampai Roger pulang."
Tanpa menghiraukan rasa penasaran Louise, Martha tetap bungkam mengenai
rencananya itu. Ketika hari beranjak sore, suhu mulai bertambah dingin, dan saat
malam mulai menjelang suhu dingin mulai terasa mendesak jendela-jendela tinggi
di rumah itu. Martha mulai memilah-milah perhiasan dan pernak-pernik berharga
yang mereka miliki dan mengumpulkannya menjadi satu dan dimasukkan dalam syal.
"Kita tidak bisa membawa banyak-banyak,"
katanya. "Kita harus meninggalkan pakaian kita disini. Tapi kita bisa menjual
saham kita dan membeli pakaian lagi."
Louise merasa lebih baik dan sekarang dia duduk. "Kuharap aku tahu lebih banyak
tentang rencanamu itu. Kau pasti tidak akan bisa berjalan sambil mendorongku
sejauh setengah mil. Kita akan membeku."
"Bantuan akan datang pada waktunya," sahut Martha berjanji. "Sekarang kau harus
ingat, Ellen dan Roger tidak boleh mencurigai hal ini karena mereka adalah
pembunuh. Mereka telah membunuh Queenie dan Toby mereka berencana membunuh kita
juga. Biarkan aku saja yang bicara."
"Baiklah," sahut Louise pasrah. "Tapi kita tentu tidak akan makan makanan
mereka, bukan?" "Tentu saja jangan. Sekarang sssttt - Roger sudah pulang, dan kurasa aku dengar
Ellen membawakan kita makan malam."
Terdengar suara piring berdentingan dan Ellen masuk membawa nampan berisi piring
dan peralatan makan perak. Roger berdiri di belakangnya, kacamata tebalnya
berkilat dalam cahaya lampu.
"Dr. Roberts memintaku untuk mebawakanmu obat istimewa, Bibi Louise," kata
Roger. Dia tersenyum lebar saat mengambil botol obat itu dari saku, melempar dan
menangkapnya kembali. "Debu emas murni mungkin lebih murah. Tetapi dengan obat
ini, dalam seminggu Bibi akan selincah anak kuda."
"Terima kasih, Roger. Aku akan meminumnya nanti."
"Sebelum makan, begitu resepnya. Ini. Ditelan, ya."
Dia memegang sebutir kapsul merah dan segelas air. Louise menatap Martha seolah
memohon padanya, kemudian menelan kapsul itu.
"Itu baru gadisku. Bibi harus meminumnya lagi sebelum tidur."
"Kau sudah menemukan Toby?" tanya Martha. "Dia masih belum pulang."
Roger membasahi bibirnya dan Ellen langsung menyela. "Toby" Tidak, tapi aku
yakin dia akan kembali. Dia hanya keluyuran di luar."
"Kukira aku mendengarnya di ruang bawah tanah. Kedengarannya dia lemah sekali."
Martha terlihat khawatir. "Tolonglah, Roger, maukah kau lihat ke bawah?"
"Di ruang bawah tanah?" Roger dan Ellen saling berpandangan tidak nyaman. "Aku
heran mengapa dia ada di bawah sana. Aku juga pernah mendengarnya mengeong
disana sebelum kejadian ini."
"Ayolah, Roger. Tolong dilihat. Kau juga mendengarnya bukan, Louise?"
"Oh, iya. Aku yakin dia ada di ruang bawah tanah," sahut Louise.
"Tidak ada salahnya melihat kesana," saran Ellen. "Mungkin dia menyelinap masuk
saat aku mengambil persediaan makanan kita dua hari yang lalu."
"Baiklah, aku pergi." Roger mengangkat bahunya dengan gaya berlebihan. "Ke ruang
bawah tanah untuk menemukan Toby."
Dia melangkah ke lorong dan mereka mendengarnya menuruni tangga dengan berisik.
Sesaat kemudian mereka mendengar gumaman di bawah lantai.
"Tidak ada tanda-tanda adanya kucing disini."
"Ellen, tolong, bantu Roger mencari Toby," pinta Martha. "Toby mungkin sembunyi di belakang tempat batu bara dan Roger tidak dapat melihatnya."
"Well, baiklah," sahut Ellen, dan pergi menyusul Roger di ruang bawah. "Kemari,
Toby." Mereka bisa mendengar suara Ellen dan Roger memanggil-manggil Toby.
Martha terpincang-pincang menuju lorong dan pelan-pelan menutup pintu ruang
bawah tanah. Kemudian didorongnya palang pintu yang berat itu ke tempatnya.
"Sudah!" kata Martha dengan suara penuh kemenangan. "Sekarang kita bisa kabur."
"Tapi kita akan kedinginan!" Louise memekik ketika Martha setengah menariknya
dari tempat tidur dan membantu mengenakan pakaian hangat. "Dan mereka akan
membawa kita kembali lagi kesini."
"Tidak. Mereka tidak akan mengirim kita kembali kesini."
Martha kemudian mengenakan mantel dan mengerudungi kepalanya dengan syal ,
kemudian mendudukkan Louise di kursi roda.
Saat itulah Roger dan Ellen sadar pintu ruangan sudah terkunci rapat dan mereka
menggedor-gedomya. "Bibi Martha!" teriak Ellen memanggil-manggil. "Buka pintu! Mengapa dikunci?"
"Hey Bibi!" teriak Roger. "Leluconnya bagus, sekarang biarkan kami keluar. Toby
tidak ada di bawah sini. Kami sudah mencarinya kemana-mana."
"Toby tidak ada di bawah karena mereka telah membunuhnya." Martha bergumam sinis
sambil menatap Louise. Dia mendorong kakaknya ke selasar yang menuju ke pintu depan dan keluar melalui
beranda. Malam menjelang, dan diluar sana gelap gulita. Angin dingin
menggoyangkan dahan-dahan pohon yang meranggas, suaranya berdengung lembut.
Louise memekik kaget ketika Martha membuat kursi rodanya tersandung satu anak
tangga dan Martha terus mendorong sampai ke jalan raya, seratus meter dari
rumah. Lalu dia memutar kursi itu dan mengunci rodanya.
"Sekarang kau tunggu sebentar," ujarnya.
"Aku tidak akan lama."
Martha berjalan tertatih-tatih dan masuk kembali ke dalam rumah, mengacuhkan
teriakan Roger dan Ellen yang memohon dari ruang bawah tanah yang terkunci
rapat. Terbungkus dalam syal dan mantel tebal, Louise menunggu dalam gelap di
luar rumah Angin mempermainkannya, menggigitinya bagai geligi kecil, dan Martha kembali,
membawa syal dengan perhiasan mereka di dalamnya.
"Martha!" teriak Lousie. "Aku kedinginan. Apa yang akan kau lakukan?"
"Kau akan lihat." Martha berhenti di sebelahnya, menggigil, dan membungkuk
bertelekan tongkat. "Kau akan lihat nanti, Louise. Perhatikan saja rumahnya."
Lousie memperhatikan. Di belakang jendela tepat di bagian sayap tempat tinggal
mereka terlihat semburat kuning cerah. Berkelap-kelip, kemudian menyembur. Dan
semburat kuning itu membesar dengan cepat dan berubah menjadi tirai api yang
menjilat-jilat melalui jendela yang setengah terbuka. Api terus bertambah besar,
menjadi lebih besar dan kuat seiring angin yang berhembus di sela-sela tanaman
rambatyang lebat. "Api!" Louise tersentak. "Rumah itu terbakar!"
"Aku memercikkan minyak tanah dari lampu ke sekitar ruangan," sahut Martha,
"ingat, Ellen dan Roger berencana membunuh kita. Mereka telah melakukannya pada
kucing-kucing kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri. Tidak ada jalan
lain." Suara Martha sedikit meninggi. "Tapi ingat. Kita tidak boleh membicarakan
rencana mereka ini kepada siapapun. Mereka keturunan kita. Tidak ada seorangpun
yang akan mempercayainya. Anggaplah semua ini adalah tragedi yang menyedihkan.
Kau mengerti?" "Oh, ya. Ya," sahut Louise, senang. "Kau sangat cerdas. Sekarang akan ada orang
yang melihat api itu dan memanggil pemadam kebakaran. Bukankah begitu?"
"Ya, kebakaran di desa selalu menarik perhatian orang. Begitulah cara kita
memanggil bantuan karena kita tidak berdaya. Setelah semua ini berakhir, kita
akan kembali ke rumah lama kita."
Kemudian mereka mengamati api itu dalam diam. Lidah api dari jendela semakin
besardan segera berubah menjadi obor raksasa. Setelah beberapa saat terdengar
raungan sirine yang sayup-sayup terdengar dari atap pemadam kebakaran di kota.
"Api ini lumayan hangat." Louise bergumam sambil mengulurkan tangannya ke arah
rumah. "Nyaman sekali rasanya."
Atap tempat tinggal mereka runtuh sambil memercikkan bara api, seiring datangnya
mobil pemadam kebakaran dan para petugas yang mengenakan helm yang saling teriak
satu sama lain. Tetapi rumah itu sudah diselimuti api dan para petugas tidak
bisa berbuat apa-apa. Perapian ruang tamu hakim Beck berderak menyenangkan. Martha dan Louise
memandangnya, dan melihat bayangan-bayangan indah disana.
"Kita akan berada di rumah kita sendiri secepatnya," gumam Louise.
"Dengan anak-anak kucing yang bermain di karpet dan Mary Thompson menemani kita.
Putri Mrs. Rogers bisa kita perbantukan dengan bayaran dua puluh lima dolar
seminggu. Kita mampu membayarnya dengan mudah."
"Harta kita akan bertahan selama kita masih hidup," jawab Martha menyetujui.
"Kurasa aku mendengar Pak Hakim datang."
Pintu terbuka, tetapi bukan seorang lelaki yang masuk melainkan seekor kucing
Siam yang menyelinap. Kucing itu melompat ke pangkuan Martha dan mengeong
senang. "Toby!" seru Louise.
"Toby!" ujar Martha mengikuti. "Darimana saja kau, kucing nakal?"
"Kukira dia akan menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan," sebuah suara kering
menyahut. Suara itu berasal dari Hakim Beck, seorang pria kurus, tinggi dan agak
bungkuk berusia enampuluhan, yang berjalan masuk di belakang si kucing. "Sesuatu
yang akan membuat hari-hari mendung ini sedikit berwarna. Salah satu petugas
pemadam kebakaran menemukannya semalam tidak jauh dari reruntuhan."
Dia menyalami masing-masing perempuan itu dengan genggaman tangan yang kuat,
kemudian meniup hidungnya dengan suara keras.
"Maaf," katanya. "Saya terserang demam ketika berada di Boston. Kota yang
buruk.Berangin, ribut."
" Anda - ke Boston " " tanya Martha. Bibirnya terasa kering tiba-tiba.
"Tiga hari. Dan bisa dibilang semuanya sia-sia saja."
Hakim itu duduk dan menggelengkan kepalanya.
"Ini adalah peristiwa yang sangat menyedihkan. Rumah-rumah kuno adalah perangkap
api yang mengerikan. Tapi kita tidak akan bicara masalah itu. Lebih baik kita
tidak membahasnya. Kita akan bicara tentang kalian, karena Roger dan Ellen -
well, tiada." "Oh, kami akan baik-baik saja," sahut Louise cepat. "Kami akan pindah kembali ke
rumah lama. Dan kami akan membawa serta Mary Thompson bersama kami. Dia tidak
boleh tinggal lebih lama seharipun di tempat mengerikan itu."
Hakim Beck meniup hidungnya kembali. Raut wajahnya terlihat sedih saat tanpa
sadar dia menelusuri lambang Mason di jam berantai emas miliknya.
"Martha, Louise - " Hakim Beck berhenti sesaat. Mereka memandangnya, sepasang mata
cerah di wajah antik itu. "Sulit bagiku untuk mengatakannya pada kalian.
Kunjunganku ke Boston sesungguhnya mengenai kalian."
"Mengenai kami?" tanya mereka beriringan.
"Sesungguhnya mengenai harta warisan ayah kalian, tepatnya. Sebagaimana yang
kalian ketahui, warisan itu terdiri dari sejumlah uang - yang sudah di
belanjakan - dan beberapa saham Rel Kereta Api di New England dan Toronto."
"Ya?" tanya Martha, dan mereka tetap saja menatapnya.
"Well, bisnis perkeretaapian sedang menurun belakangan ini dan New England dan
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Toronto menderita bangkrut musim panas yang lalu. Itulah alasan mengapa Ellen
dan Roger menginginkan kalian tinggal bersama mereka, agar bisa merawat kalian.
Ellen menginginkan kuasa hukum darimu untuk memudahkannya dan Roger mengurus
sisa harta yang ada tanpa kalian ketahui. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya,
tetapi mereka khawatir hal tersebut akan membuat kalian cemas. Karena itulah
kami tetap menutupi dan merahasiakannya. Sayang sekali, sekarang kalian harus
tahu, Martha dan Louise. Aku turut bersedih karena rumah kalian yang lama tidak
bisa ditempati. Bahkan kami tidak bisa menemukan orang yang mau membelinya.
Tidak ada dana untuk merenovasi. Bahkan tidak ada uang yang tersisa dari harta
warisan yang ditinggalkan ayahmu." Hakim Beck berhenti sesaat. Dengan lembut
Hakim Beck melanjutkan, "Kalian mungkin sering bertanya-tanya mengapa Ellen dan
Roger sering merasa tegang dan malu. kalian tahu. Percayalah , mereka tidak
keberatan. Mereka mencintai kalian."
Kedua bersaudara itu saling pandang, membisu dalam kengerian.
"The Haven Home." Suara Louise berbisik sangat pelan. Martha bahkan tidak bisa
berkata apa-apa.[] PERMAINAN Mike Marmer Matahari merah-jingga yang hampir terbenam di langit Jamaika tergantung rendah
di cakrawala Kepulauan Karibia seolah sengaja berada disana untuk bergaya.
Bayang-bayang senja memanjang sudah, miring, dengan warna hitam lembut di atas
semak bougenvil dan bunga sepatu yang berwarna cerah, dan ujung bayang-bayang
itu berakhir di bagian depan Hotel Dorando yang mewah dan terang di Montego Bay.
Pemandangan itu seperti yang terdapat pada gambar-gambar di kartu pos, ketika
tubuh George Farnham, dengan tangan menggapai-gapai liar dan teriakan yang makin
lama makin terdengar samar, melesat turun melewati dedaunan kelapa dan
terjerembab di beranda bawah.
Dua puluh menit kemudian, di kamar lantai dua belas di mana almarhum Mr. Farnham
memulai perjalanan jatuhnya ke beranda, jandanya duduk membisu di sofa, dengan
raut wajah kedukaan. Di seberangnya , Mr. Tibbie, Asisten Manager yang sedikit botak, duduk
bertengger seperti burung di pinggir kursi. Wajahnya menyiratkan dukacita,
selain perasaan tidak nyaman yang membebaninya selama seperempat jam terakhir
sejak janda Mr. Farnham berada dalam tanggungjawabnya.
Tibbie menggeleng-gelengkan kepala.
"Buruk sekali," ujarnya ke arah Mrs. Farnham.
"Kecelakaan yang buruk sekali," ulangnya.
Janda Mr. Farnham mendongak, mendapati raut wajah penuh simpati Mr. Tibbie yang
mengangguk samar, dan menundukkan kepalanya kembali.
Kecelakaan. Hal itu tidak pernah terlintas di benaknya, kematian George dianggap
sebagai kecelakaan. Dalam waktu sepersekian detik di teras tadi, dia hanya
memikirkan polisi, pemeriksaan dan pengadilan. Tetapi disini, untuk kesekian
kalinya dalam lima belas menit terakhir, Mr. Tibbie menyebutnya sebagai
kecelakaan. Dan sebelumnya , saat dia bergegas menuju beranda secepat mungkin dengan lift,
semua orang berbisik-bisik mengenai kecelakaan itu.
"Tragedi," bisik mereka.
"Kecelakaan yang mengerikan... perempuan yang menyenangkan... dengan dua anak-
anak yang cantik dan tampan... kecelakaan yang sangat buruk."
Apakah tidak ada seorangpun yang melihat kejadian di teras saat itu"
Priscilla Farnham adalah seorang perempuan lembut dan agak gemuk, dengan garis-
garis kecantikan masa remaja yang masih membayang di wajahnya. Selama ini tidak
pernah dia menganggap dirinya sebagai orang yang kuat dan cerdik, dan sekarang
dia terkejut mendapati kekuatan yang terdapat dalam dirinya untuk bisa tabah
menghadapi semua ini. Dia heran akan kemampuannya untuk tetap tenang dan tetap
mengenakan topeng sedih seorang janda yang baru ditinggal suaminya.
Perasaanya pada George sudah hilang sejak lama. Seingatnya, Priscilla hanya
merasa sedikit menyesal ketika dia memandang ke bawah dari balkon. Menurutnya,
George seperti sepotong bagian aneh dari sebuah gambar teka-teki yang terbingkai
di lempengan lantai batu.
Suara telpon membuyarkan lamunannya.
Tibbie, dengan pandangan minta maaf karena suara telpon yang mengganggu,
bergegas menjawabnya. Dia memperkenalkan siapa dirinya, mendengarkan , kemudian
mengatupkan sebelah tangannya ke telpon.
"Ini Pak Edmonds, dari kepolisian. Dia bilang, ada orang dari C.I.D yang
menunggu di lobi dan, bila Anda menyanggupi, dia akan datang kesini dan
mengajukan beberapa pertanyaan."
Tibbie tersenyum meyakinkan. "Saya yakin, ini hanya tugas rutin mereka. Anda
adalah pelancong di pulau ini. Dan menurut Pak Edmonds, dia akan membawa seorang
penyelidik bersamanya."
Wajah Priscilla pasti menunjukkan perubahan, karena Tibbie langsung menambahkan:
"Tapi bila Anda keberatan mengenai hal ini..."
"Tidak, tidak, mereka dipersilahkan untuk datang kemari," sahutnya.
Tibbie menyambungkan jawaban itu ke telpon, kemudian kembali menoleh ke
Priscilla. "Lima menit?" Priscilla mengangguk. "Lima menit bisa," kata Tibbie memberitahu Pak Edmonds lewat telpon, kemudian
meletakkan gagang telpon kembali ke tempatnya.
Matanya memandang Priscilla kembali. "Apa masih ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Saya akan sangat berterimakasih jika Anda sudi menjaga anak-anak."
Dengan wajah yang menunjukkan rasa terima kasih karena diperkenankan pergi, dia
bergegas menuju kamar tidur.
Anak-anak. Merekalah yang terpenting saat ini. Apa yang dapat mereka perbuat
tanpa dirinya" Dia membayangkan Mark, dengan rambut ikalnya yang legam dan bulu
mata yang panjang. Usianya baru sembilan tahun, tetapi sudah menunjukkan ciri
fisik tubuh yang tegap dan tampan saat dia dewasa nanti. Dan Amy, berbeda dua
tahun dari Mark, mewarisi kecantikan dan rambut pirang Priscilla dengan mata
violet yang besar. Berpikir untuk berpisah dengan mereka membuatnya kacau, dan
kecerdikan yang baru saja didapatnya itu tiba-tiba dibayangi rasa ketakutan.
Lima menit. Lima menit untuk membangun benteng pertahanannya. Untuk apa" Mungkin
pertanyaan-pertanyaannya nanti hanya formalitas belaka, penyelidikan tentang
peristiwa kecelakaan yang mengerikan, seperti yang diyakinkan oleh Mr. Tibbie,
dan tidak perlu persiapan berlebihan untuk menghadapinya.
Tetapi bila anggota C.I.D itu memeriksa lebih jauh , bila mereka bisa
mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, penyeiidikan tersebut akan berbeda
sama sekali. Pembunuhan! Priscilla menggigil mengingatnya, tetapi harus disebut apalagi selain
pembunuhan" Dia mengakui, kematian George bukan hal yang sudah "dipersiapkan";
tidak ada perencanaan matang dan berdarah dingin. Tapi tetap saja pikiran
tentang hal itu masih selalu ada, lima-sepuluh menit sesudahnya. Pembunuhan"
Mungkin. Akan ada banyak interpretasi mengenai tingkat pembunuhan itu sendiri,
tapi masing-masing memiliki hukuman khusus.
Tidak, dia harus mengambil arah lain. Pembenarankah" Apakah kematian George
adalah sesuatu yang dapat dibenarkan" Secara sah memang tidak; meskipun dalam
cara yang paling sederhana dan hampir primitif sekalipun Priscilla menganggap
itu adalah hal yang bisa dibenarkan. Dalam hal tertentu, semua ini salah George
sendiri. Dia yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini.
Tibbie kembali ke ruangan dan membuyarkan pemikirannya. Dia melaporkan keadaan
anak-anak, dan mereka baik-baik saja. Salah satu pegawai hotel yang diminta
Tibbie untuk menjaga mereka mengatakan anak-anak itu bersikap sangat baik.
" Kelihatannya mereka hanya mengkhawatirkan keadaan Anda, " Tibbie menambahkan
dengan senyuman menghibur.
"Saya katakan pada mereka, Anda akan kembali bersama mereka sebentar lagi."
Priscilla mengangguk berterimakasih.
"Kami memang sangat dekat," ujarnya pada Asisten Manager itu ketika dia kembali
duduk bertengger di kursi.
Sekarang semua sudah ditangani, begitu pikir Priscilla pada dirinya sendiri.
Semua hal untuk dapat terhindar dari tuduhan pembunuhan.
Apa yang akan ditanyakan oleh anggota C.I.D itu" Mereka tentu mencari motif.
Uang" Tidak, hal itu tidak berlaku disini. Cemburu" Dia segera menghilangkan
pikiran itu. Benci" Well, mereka memang sempat bertengkar sebelumnya, tetapi bukankah pertengkaran
adalah hal yang wajar terjadi, di keluarga yang paling harmonis sekalipun"
Tetapi, karena keluarga Farnham sedang berada di negara asing, tidakkah
penelitian akan berdasarkan pada keadaan mereka selama disini"
Harapannya segera kandas. Mereka memang bertengkar sebelumnya. Pertengkaran
hebat dan menyakitkan . Dan seingatnya, ketika semuanya memuncak, dia berpaling
dari George dan tiba-tiba melihat anak-anaknya berdiri disana, di ambang pintu
ruang tamu, dengan raut wajah yang menyiratkan ketakutan dan kepedulian. Dia
telah berusaha memperingatkan George, tetapi dia terus saja berteriak-teriak,
menumpahkan sumpah serapah yang menyakitkan untuk didengar.
Kemudian dia bergegas ke balkon, dan anak-anak berlari mendekat dan memeluk ibu
mereka erat-erat. Perlu waktu lima sampai sepuluh menit untuk merangkai kata-kata, membujuk George
membatalkan niatnya. Dia mengajak anak-anak untuk mengadakan Permainan.
Ketakutan dan kecemasan menghilang, dan mereka berlari ke ruang tamu untuk mulai
bermain. Aneh, pikirnya . Kalau saja George mengerti dan turut serta dalam Permainan itu,
maka semuanya akan lain. Kalau saja George mau turut serta dalam semua hal yang
melibatkan perasaan cinta dan saling berbagi, dia tidak akan terbaring di bawah
sana, tertutup taplak meja beranda konyol berwarna cerah.
Kejadian yang menyebabkan pemandangan di bawah sana dimulai sejak lama, ketika
George berubah. Awalnya dia seorang yang riang dan penuh perhatian saat mereka
masih pacaran. Tetapi ketika ayah Priscilla meninggal tidak lama setelah mereka
menikah, George mengambil alih perusahaan dan manajemen yang ditinggalkan ayah
Priscilla, dan perubahan itupun dimulai. Yang dipikirkan George hanya
perusahaan. Mereka tidak punya waktu lagi untuk bersenang-senang berdua.
Tidak ada lagi kejutan-kejutan berbentuk hadiah, coklat dan bunga yang datangnya
tak terduga. Tidak ada satupun barang bawaan di dalam mobil yang membuat
Priscilla terkejut dengan senang, tidak seperti George yang dulu.
Dia berusaha membuat George tertarik untuk mengikuti Permainan dan membuatnya
mengalami keasyikan dalam keceriaan dan kedekatan yang bisa ditemukan dalam
keluarganya sendiri. Seingatnya, George pernah mengikuti permainan itu sekali,
dengan terpaksa. Priscilla mendekat manja dan berkata, "coba tebak." George akan
menjawab sesuai peraturan Permainan: "Apa?" Kemudian Priscilla akan berkata:
"Coba tebak apa yang sudah kulakukan untukmu hari ini." Kemudian George harus
menerka dengan hal-hal konyol, seperti: "Kau menemukan emas seharga sejuta
dollar dan akan menyembunyikannya di bawah serbet makanku." Atau, "kau membuat
replika Taj Mahal dari tusuk gigi, dan besok kita akan pergi ke kota untuk
mengambil beberapa mebel." Lalu tebak-menebak itu akan semakin serius sampai
George bisa menebak dengan benar apa yang telah dilakukan Priscilla untuk
mengejutkannya; atau dia menyerah dan Priscilla mengatakan kejutannya.
Tapi biasanya George selalu berhenti setelah berkata "Apa?" Dia selalu bilang,
Permainan itu "konyol" dan Priscilla lebih konyol karena memainkannya.
Priscilla mengaku, Permainan itu memang konyol, tapi menyenangkan. Permainan itu
penuh dengan Kejutan, rasa Saling Memberi, Bermain, dan Cinta. Juga Romantis,
karena kejutannya hari itu adalah gaun tidur yang sangat menggoda.
Baik George maupun dirinya terus saja mengambang, dan satu-satunya yang
menyelamatkan pernikahan mereka adalah hadirnya anak-anak. Mark dan Amy
mewariskan paras dan semangat Priscilla. Mereka pergi tamasya, membuat kejutan-
kejutan, melakukan Permainan, dan menunjukkan rasa saling mengasihi sebagaimana
yang ditunjukkan sang ibu pada mereka. Dan itu membuat mereka sangat dekat
dengan Priscilla. Mungkin - Priscilla merasa sedikit kegetiran dalam hatinya - Priscilla terlalu
mencurahkan perhatiannya pada Mark dan Amy dan tidak pada George . Tetapi
Priscilla membela diri, kalau saja George mau menjadi bagian dari mereka...
kalau saja dia mau b e r b a g i perasaan saling mengerti yang menyenangkan
itu... kalau saja - Priscilla menghentikan lamunannya.
Ketukan pelan di pintu mengakhiri rentetan ingatannya dan membuat Tibbie
terlompat dari tempatnya bertengger. Dia berjalan ke pintu, membukanya, dan
menyapa Pak Edmonds dan seorang lelaki jangkung dengan pakaian preman.
Edmonds yang gilang-gemilang dalam seragam musim panas dengan seragam santai
berwama merah dan topi "Bobby", topi polisi yang layaknya dipakai anggota
kepolisian Inggris, memperkenalkan rekannya. Lalu dia mengangguk dan mundur
kembali ke lorong, menutup pintu di belakangnya.
Lelaki itu adalah Sersan Detektif Waring, berparas tangkas dengan sepasang mata
biru terang dan rambut sewarna pasir yang mulai memutih dan bertindak sebagai
penyelidik dari Pusat Penyelidikan Daerah untuk wilayah Teluk Montego.
"Saya minta maaf karena mengganggu Anda di saat seperti ini, Mrs. Farnham,"
sapanya patah-patah dalam bahasa Inggris berdialek British. "Jika Anda bersedia
untuk menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan, saya usahakan untuk
menyelesaikannya secepat mungkin."
"Saya akan memberi semua informasi yang Anda perlukan," jawabnya.
Sersan tersebut duduk di sebelah Tibbie dan mengambil sebuah buku notes kecil
dari saku jas. Tanpa sadar dia mencari pensil dan menemukannya, lalu membalik
lembaran buku itu, memandang sekilas dan kembali menatap Priscilla.
"Kita bisa muiai dengan apa yang Anda bisa ingat, semampu Anda, mengenai sesaat
sebelum... peristiwa tersebut terjadi."
"Saya tidak ingat banyak, sayang sekali.
Saya sedang berbaring di sofa - pikiran saya sedang kacau. Saya tidak ingat
apakah jeritan itu yang menyadarkan saya ataukah anak-anak. Yang saya ingat
hanya ketika mereka mengguncang saya, kemudian saya bangkit.
Kemudian kami ke balkon - saya melongok ke bawah " - Priscilla berusaha
mengatasi suaranya yang bergetar - "dan saya melihat suami saya."
Sersan Waring berdiri dan berjalan cepat ke balkon, memandang sebentar, kemudian
kembali ke kursinya. "Apakah suami Anda tampak tertekan belakangan ini" Apakah Anda merasa bahwa dia
mungkin sedang berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri?"
"Oh, tidak!" jawab Priscilla cepat, dan langsung menyesali jawabannya itu. Dia
tidak berpikir akan adanya kemungkinan bunuh diri.
Sekarang kemungkinan itu hilang.
Waring bertanya, "Apakah dia baik-baik saja?"
Priscilla agak bingung mendengarnya.
"Maksud saya, apakah dia sehat-sehat saja" Apakah dia pernah pingsan atau merasa
pusing atau semacamnya?"
"Ya," sahutnya. "Malahan, itu adalah salah satu alasan mengapa kami mengadakan
liburan kesini. Suami saya bekerja terlalu keras. Terlalu keras, menurut kami.
Dan terkadang dia mengeluh sakit kepala dan pusing. Saya merasa dia harus
terbebas dari semua itu... untuk santai. Karena itulah kami pergi ke Jamaika."
Priscilla heran, sungguh mengagumkan betapa mudahnya orang berbohong ketika apa
yang dipertaruhkan sangat besar.
Penyelidik itu membuat catatan di buku hitamnya.
"Saya mengerti betapa menegangkannya hal ini bagi Anda," lanjutnya. Ucapannya
bernada prihatin. "Jika Anda masih sanggup saya akan mengajukan beberapa
pertanyaan lagi selama beberapa menit. Saya yakin semuanya akan selesai. Kami
harus membuat beberapa penyelidikan mengenai kematian yang tidak wajar." Waring
berhenti beberapa saat, lalu melanjutkan. "Sebagaimana yang Anda tahu, disana
ada teralis setinggi tiga kaki yang mengelilingi teras di balkon. Sangat sulit
untuk memastikan seorang pria jatuh begitu saja dari teralis setinggi itu..."
Priscilla mulai merasa terganggu dengan kegugupannya sendiri.
"... kecuali bila memang dia mendadak terserang pusing dan terpeleset. Begini,
Mrs Farnham, seorang karyawan..." dia melirik ke buku catatannya"... seorang
pelayan bernama Parsons, sedang mempersiapkan meja di beranda untuk makan malam.
Kebetulan dia mendongak, atau mungkin teriakan suami Anda - yang juga Anda
dengar - yang membuatnya mendongak. Dan dia melihat suami Anda jatuh melampaui
teralis tersebut. Tapi Parsons bersikeras, dia merasa bahwa suami Anda tidak
terjatuh." Kejutan mendadak itu membuatnya kaget.
Seseorang telah melihat kejadian yang sebenarnya.
"Biasanya, kami akan meminta Parsons memastikan adanya orang lain disamping
suami Anda saat itu. Dan dia mengaku tidak melihat siapa-siapa."
"Tentu Anda tidak berpikir bahwa - "
"Tentu saja tidak," sahut Waring memotong cepat. "Tetapi kami harus
menindaklanjuti pernyataan apapun mengenai hal itu. Kami juga mendapati
pernyataan Parson ini tidak berarti apapun bagi kami. Lagipula, Parson berada
tepat di bawah balkon, jadi dia melihat lurus ke atas, dia tidak mungkin melihat
balkon Anda dengan jelas. Dan pernyataan Parsons tersebut membuat saya yakin
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa suami Anda seolah sedang berusaha menyeimbangkan posisinya.
Tangannya melambai-lambai di udara mencari pegangan. Karenanya dapat disimpulkan
bahwa..." Priscilla merasakan kehangatan yang merasukinya tiba-tiba dan meyakinkannya.
Mungkin dia bisa lolos dari tuduhan pembunuhan!
"...dan mungkin dia salah mengartikan gerakan suami Anda yang sedang
menyelamatkan diri itu sebagai hal lain," lanjut Sersan itu.
"Dan karena sekarang telah terbukti bahwa memang suami Anda sedang dalam keadaan
tidak sehat, kami dapat menyimpulkan bagaimana suami Anda terjatuh dari balkon."
Ketukan di pintu mengganggu mereka. Dia melangkah ke pintu, membukanya, dan
melihat topi Pak Edmonds menyembul ketika dia bicara cepat dengan suara pelan.
Waring melongokkan kepalanya kembali ke ruang tamu. Dia memandang dengan teliti
ke arah Priscilla sebelum berkata, "Saya permisi sebentar, hanya akan keluar
beberapa menit. Kelihatannya kita punya saksi mata yang lain." Keyakinannya
memudar. Priscilla duduk dengan bibir terkatup rapat dan pertanyaan demi
pertanyaan bermunculan di benaknya.
Jawaban itu datang ketika Waring masuk kembali ke ruangan itu dan berjalan ke
arahnya. Raut wajahnya berubah serius.
"Mrs. Farnham, apa Anda dan suami Anda sempat bertengkar sebelum dia tiada?"
"Ya," jawab Priscilla dengan suara pelan.
Waring mendesak. "Pasangan di kamar sebelah - keluarga Rinehart - berkata bahwa
mereka mendengar Anda dan suami bertengkar lumayan hebat. Suara Anda terdengar
keras, dan mereka mendengar suami Anda menyebut-nyebut tentang... mati."
"Semua ini terdengar seperti pertengkaran konyol sekarang - "
Sersan itu menatapnya, meminta penjelasan lebih lanjut.
"Maksud saya tidak benar-benar konyol,"
lanjutnya. "Sekarang semuanya terlihat... well, tidak penting lagi sekarang.
Suami saya ingin mengakhiri liburan ini dan pulang. Saya dan anak-anak masih
ingin tinggal disini setidaknya seminggu lagi. Liburan yang sudah kami
rencanakan mestinya baru berakhir minggu depan. Sayangnya, pertengkaran kami
memanas dan beberapa perkataan kasar terucap dari mulut kami. Lalu dia
mengatakan, saat dia mati nanti saya boleh melakukan apa yang saya mau. Tapi
sekarang, saat dia masih menjadi kepala keluarga, kami harus pulang."
Priscila menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum samar. "Itu adalah salah
satu ungkapan kesukaannya."
Dia kembali memandang Waring. Itu adalah kebisuan terlama yang pernah dialami
Priscilla. Wajah Sersan itu melembut. "Sepertinya hal itu menjelaskan apa yang didengar
keluarga Rineharts tanpa sengaja." Sekali lagi Waring melihat catatannya.
"Ada satu lagi, Mrs. Farnham," lanjutnya. "Anda bilang Anda sedang berbaring di
sofa ketika suami Anda jatuh."
Priscilla mengangguk. "Dan Anda juga mengatakan," sambungnya, "anak-anak membangunkan Anda segera
setelah Anda merasa mendengar teriakan suami Anda."
Dia kembali mengangguk. Waring menatapnya kembali dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. "Apa Anda
keberatan jika anak-anak dibawa masuk kesini dan bertanya pada mereka dimana
Anda berada ketika mereka memanggil" Ini semua sekedar formalitas saja.
Biasanya, kami tidak bisa bertanya pada mereka secara resmi; dan kami harus
mendapatkan persetujuan dari Anda. Tapi semua akan memperjelas laporan saya dan
akan menghentikan semua penyelidikan ini."
Priscilla mengangkat bahunya. "Baiklah," jawabnya. "Tapi tolong - "
Waring mengangguk menghargainya. Dia mengangguk ke Tibbie yang langsung pergi ke
kamartidur, kemudian kembali membawa Amy dan Mark.
Priscilla tidak menoleh ketika mereka masuk. Kemudian, ketika mereka dibimbing
ke arah Sersan Waring, perlahan dia menengadahkan wajahnya dan tersenyum.
Waring kembali ke tempat duduknya, sedikit membungkuk agar dia dan anak-anak
berada dalam jarak pandang yang sama. Dia bicara dengan lembut tapi tegas.
"Apakah kalian mengerti apa yang terjadi hari ini?"
Mark dan Amy mengangguk pelan.
"Bapak akan bertanya sesuatu pada kalian. Maukah kalian menjawabnya?"
Wajah mereka tetap sendu ketika mereka melempar pandangan bertanya-tanya ke arah
Priscilla. "Kalian harus menjawab pertanyaan bapak itu," ujarnya lembut. Ketika Priscilla
mengisyaratkan agar anak-anaknya kembali memperhatikan Waring, dia melihat
pandangan sersan itu yang terarah langsung padanya.
Tatapan pak polisi itu kembali terarah ke Amy dan Mark, lalu dia mulai dengan
sangat hati-hati. "Tadi, ketika kalian mendengar Ayah - berteriak... Apa kalian
ingat?" Mereka menatap balik ke arah si sersan.
Waring melanjutkan. "Kalian berteriak ketika kalian melihat ayah. Kalian
berteriak pada Ibu... dan mengguncangnya. Benar?"
Mereka mengangguk khidmat.
"Kalian ingat, dimana Ibu berada ketika kalian mengguncangnya?"
Mark menjawab, "tadi Ibu berada di tempatnya sekarang."
"Kau yakin?" "He eh," sahut Amy. "Kami sedang mengadakan Permainan."
"Permainan?" Priscilla menjelaskan, "Itu hanya permainan kecil yang kami mainkan - "
Kata-katanya terhenti saat Sersan mengangkat tangannya, memperingatkan untuk
diam. Ini adalah saat yang ditakuti Priscilla.
Bagaimanapun, dia merasa semuanya akan terungkap ketika mereka mengetahui
perihal Permainan ini. "Permainan apa" Apa yang kalian mainkan?"
Mark mengambil alih. "Itu semacam permainan yang kami mainkan bersama ibu.
Menyenangkan sekali. Kami membuat kejutan-kejutan kecil. Kami membeli... atau
membuat sesuatu... atau melakukan sesuatu. Lalu kami akan berkata, 'Coba
tebak!'" "'Coba tebak"'" ulang Sersan.
"lya," ujar Amy. Suaranya melengking pelan. "Ibu akan berkata, 'Coba tebak apa
yang Ibu lakukan untuk kalian,' dan kami akan mencoba menebak kejutannya."
"Atau kami akan berkata, 'Coba tebak apa yang kami lakukan untuk Ibu,' dan Ibu
akan menebaknya," Mark menambahkan. "Lanjutkan."
"Well, setelah Ayah dan Ibu" - suara Mark berubah pelan - "bertengkar, Ibu
berkata mari kita mengadakan permainan." Suaranya kembali ceria, kemudian
berpaling melihat adiknya. "Lalu Amy dan aku pergi ke kamar untuk memikirkan
kejutan apa yang akan kami buat untuk Ibu. Dan Ibu tetap tinggal disini
memikirkan kejutan untuk kami."
"Lalu, ketika kalian mendengar Ayah berteriak," tanya Waring hati-hati sekali,
"kalian langsung menghampiri Ibu. Dan Ibu berada disana, di sofa?"
"Oh, iya," ujar Amy riang. "Ibu sedang berbaring. Kami datang untuk
memberitahukan kejutan kami pada Ibu. Apa Bapak mau tahu kejutan apa yang kami
siapkan untuk Ibu?" "Tidak," sahut Sersan Waring sambil tertawa. "Rahasia adalah rahasia. Aku hanya
ingin bertanya apakah kalian masih ingat dimana Ibu kalian berada saat itu."
Dia kembali memandang Priscilla. "Saya rasa ini membuat semuanya menjadi jelas,
Mrs. Farnham. Dan nanti akan ada pemeriksaan post mortem, tapi itu adalah hal rutin."
"Haruskah anak-anak dilibatkan kembali?"
tanyanya. "Saya rasa tidak. Masalah ini sudah cukup berat bagi mereka."
Waring berjabat tangan dengan Amy dan Mark dan mengucapkan terima kasih.
"Saya turut prihatin, Mrs. Farnham," ujarnya. "Saya harap penyelidikan ini tidak
terlalu memberatkan Anda. Saya sadar, kecelakaan tragis yang menimpa suami Anda
sudah cukup membuat Anda sedih tanpa harus terganggu lagi dengan pertanyaan-
pertanyaan saya ini. Tapi ini adalah tugas saya."
"Saya mengerti, Sersan Waring. Dan terima kasih karena Anda sangat pengertian
menghadapi anak-anak."
"Oh, tidak masalah," sahutnya. "Saya juga punya anak." Sersan itu mengisyaratkan
Tibbie untuk mengikutinya keluar dan menutup pintu dengan lembut.
Priscilla duduk tanpa bergerak selama beberapa saat seakan tidak percaya
semuanya sudah berakhir. Lalu dia tersenyum pada anak-anaknya yang masih saja
berdiri tanpa suara. Amy, dengan raut muka sedikit marah, memecahkan keheningan diantara mereka.
"Ibu, Ibu belum bilang kejutan Ibu untuk kami."
Mark menambahkan dengan nada suara kecewa. "Ibu belum mengatakan apa yang Ibu
lakukan untuk kami. Ibu lupa ya?"
"Tidak, Ibu tidak lupa," jawab Priscilla.
Suaranya terdengar sedih.
Dia akan segera memberitahukan mereka apa yang dilakukannya. Ketika sudah
saatnya untuk duduk bersama dan menjelaskan bagaimana Permainan yang selama ini
mereka mainkan disalahgunakan hari itu.
Tidak, dia tidak lupa. Dia juga tidak akan lupa ketika Mark dan Amy
mengguncangnya dan berteriak, "Coba tebak!" Dalam keheranan-nya, Priscilla
bertanya, "Apa?" Dan anak-anaknya, berwajah cerah karena kejutan yang telah
mereka buat, menariknya ke teras di balkon dan menunjuk ke arah teralis kemudian
berteriak riang, "Coba tebak apa yang kami lakukan hari ini untuk Ibu!" []
KECELAKAAN Henry Slesar Fran keluar dari apartemen Lila, memasukkan kertas taruhan pacuan kuda berwama
hijau dalam kantung celemeknya. Lila, si gadis beruntung itu! Tiga kali menang
dalam seminggu! Fran menggeleng-gelengkan kepala sambil menaiki tangga kumuh ke apartemennya
sendiri di sebelah, cemburu dengan keberuntungan Lila dan sebal dengan ketidak-
beruntungannya sendiri. Ketika pintu terbanting di belakangnya, Fran bergegas ke meja dapurdan mendorong
sisa sarapan suaminya ke samping. Kertas taruhan kuda dikeluarkan, matanya turun
naik mencermati tulisan kecil-kecil dan membaca daftar pacuan ke empat besok.
"Sonny Boy, County Judge, Chicago Flyer, Marzipan, Goldenrod..."
Dibacanya semua nama itu keras-keras sambil jemarinya memain-mainkan sejumput
rambut coklat di keningnya. Lalu matanya tertutup dan kepalanya mendongak ke
atas. Seharusnya nama-nama berarti sesuatu, kalau tidak, sia-sia saja. Begitulah
caranya memilih. Memang tidak begitu banyak membantu, tetapi hanya begitulah caranya.
"Sonny Boy," bisiknya. Ed, suami Fran, sangat mengagumi Jolson. "Sonny Boy,"
teriaknya keras-keras. Dia berjalan menuju telepon dan dengan cepat memutar nomer yang dituju.
"Vito's," jawab suara seorang lelaki di ujung sana.
"Halo, apa Mr. Cooney ada disana?"
"Hey, Phill, untukmu."
"Halo?" jawab Cooney.
"Mr. Cooney" Ini Fran Holland. Bisakah Anda memasang taruhan lima dollar untukku
pada pacuan kuda besok" Aku ingin - "
"Tunggu, Mrs. Holland. Saya senang Anda menelpon. Begini, saya sudah berniat
mengunjungi Anda, Mrs. Holland. Segera setelah saya selesai bercukur."
"Mengunjungi saya?" Fran memandang aneh ke pesawat telpon.
"Ya, Mrs. Holland. Begini. Pertama, saya tidak diizinkan memasang taruhan untuk
Anda sampai semua urusan selesai, Mrs. Holland. Kedua, saya harus datang kesana
dan mungkin menagih hutang Anda. Semua jadi dua puluh lima dollar sekarang."
"Dua puluh lima dollar" Tapi itu banyak sekali. Maksud saya, sebesar itu?"
"Ya, Mrs. Holland. Anda mungkin tidak menyadarinya. Saya cuma resepsionis. Semua
ini bukan gagasan saya. Terlalu banyak simpang siur masalah uang disini, Anda
tahu kan maksud saya?"
"Tidak! Saya tidak tahu!" sahut Fran naik darah, layaknya ibu-ibu yang dibohongi
oleh tukang daging. "Well, saya akan datang kesana dan menjelaskan semuanya, Mrs. Holland. Kita
bertemu nanti." "Jangan! Tunggu sebentar - "
Tetapi lelaki bernama Cooney itu tidak mau menunggu. Suara klik di ujung sana
mengakhiri percakapan mereka.
Fran memandang tolol ke corong telpon yang berdengung sebelum meletakkan kembali
ke tempatnya. Dan berpikir tentang Cooney yang datang nanti - atau siapapun -
membuat Fran bertindak otomatis. Dia segera membersihkan sisa-sisa makanan
dipiring dan menumpuknya di bak cuci piring. Meja juga dibersihkan dari remah-
remah dengan sapuan tangannya, dan kotorannya dia masukkan ke dalam tas kertas
yang bersandar dekat kompor.
Fran segera melepaskan celemeknya dan melempar ke lemari dinding.
Di kamar, Fran berhenti dan membersihkan wajahnya sambil berkaca di meja rias.
Wajah itu masih terlihat muda, tetapi garis-garis ketuaan sedikit nampak di
sekitar matanya. Rambutnya mencuat ke segala arah dan Fran mengambil sisir lalu merapihkannya
dengan tarikan-tarikan menyakitkan.
Dia berencana menghubungi Lila, tetapi mengingat raut wajahnya yang ceria dan
senang membuatnya kesal. Tidak, dia akan membicarakan hal ini dengannya nanti,
saat mereka bersimpati pada kuda-kuda yang lambat.
Dia duduk di meja dapur dan menyalakan sebatang rokok. Sepuluh menit kemudian
bel pintu berbunyi. Dengan tenang Fran berjalan menuju pintu.
Cooney melepas topinya. Lingkaran topi itu lumayan kencang dan meninggalkan
bekas bulat di permukaan rambutnya yang baru dicukur. Dia tampak seperti agen
asuransi yang mulai beranjak tua, antusias untuk mendapatkan banyak nasabah.
"Selamat pagi, Mrs. Holland. Boleh masuk?"
"Tentu saja," sahut Fran.
Cooney melangkah masuk, mata kecilnya memeriksa apartemen tiga kamar itu. Dia
duduk di kursi tamu dan menggoyang-goyangkan abu rokok di asbak.
"Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Fran layaknya ibu-ibu yang sedang mengomel.
"Bukan masalah pribadi sebenarnya, Mrs.
Holland. Anda tahu, saya senang berbisnis dengan orang-orang seperti Anda. Hanya
saja pihak manajemen sedikit terganggu dengan laporan penerimaannya."
Fran hampir tersenyum. "Saya kira apa."
"Tidak, saya serius." Wajahnya terlihat sedih. "Anda kira berapa banyak
keuntungan yang kami dapatkan dengan menjalankan bisnis seperti ini" Begini,
orang-orang menengah bawah adalah motor penggerak bisnis kami ini. Tapi saat
Anda mengumpulkan banyak orang seperti itu, Mrs. Holland - "
"Saya menggunakan uang saya sendiri!
Anda jangan menuduh saya - "
"Siapa yang menuduh " Begini, Mrs. Holland, Anda telah berhutang dua puluh lima
dollar pada kami sejak - " Cooney merogoh saku jasnya dan mengambil buku neraca
berwama hitam, "20 Mei," ujarnya. "Ini sudah hampir dua bulan. Sekarang coba
Anda pikir, bagaimana perasaan seseorang atau bagaimana tindakan perusahaan jika
Anda melakukan hal itu, Mrs. Holland?"
"Dengar, Mr. Cooney. Anda tahu, kan, saya selalu bayar, cepat atau lambat. Sejak
saya mulai - " "Anda teman Mrs. Shank, bukan?" Pertanyaan itu datang tiba-tiba.
"Ya, dan Anda juga sudah tahu itu. Apakah Lila yang memberitahu - "
"Ya. Well, dia sebenarnya juga tidak lebih baik, Mrs. Holland. Bila ini membuat
Anda merasa lebih baik."
"Tapi dia baru saja menang - "
"Bagus baginya. Jika Mrs. Shank menang kami harus membayarnya secepat mungkin,
kalau tidak dia akan berteriak-teriak kesetanan. Tapi saat dia sedang tidak
beruntung - " Wajahnya merengut, dan itu membuat Fran tidak nyaman dengan situasi yang sedang
dia hadapi. "Baiklah," sahutnya getir. "Bila Anda bertingkah seperti itu maka saya akan
mencari orang lain."
"Silahkan. Anda boleh melakukan itu, Mrs. Holland." Cooney memasukkan kembali
buku itu ke sakunya. "Tapi yang dua puluh lima dollar itu tetap harus dibayar."
"Saya akan membayarnya minggu depan."
"Tidak, Mrs. Holland."
"Tidak bagaimana" Saya akan memberikan uangnya minggu depan. Suami saya baru
gajian minggu depan."
"Ya, Mrs. Holland."
Fran memandangnya. "Anda kenapa sih" Saya tidak mungkin memberi Anda sesuatu
yang tidak saya miliki. Anda mau mengharapkan apa lagi?"
"Dua puluh lima dollar, Mrs. Holland. Saya diperintah untuk itu. Anda bisa
meminjamnya, bukan" Dari Mrs. Shank, mungkin?"
"Jangan dia," ujar Fran pahit.
"Anda pasti punya sesuatu dalam rumah ini. Uang belanja."
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Saya hanya punya satu dollar lima puluh sen. Hanya itu! Hutang saya
dimana-mana - " Lelaki itu berdiri, kalau cahaya dalam ruangan itu tidak berubah, maka raut
wajah Mr. Cooney-lah yang berubah. Kelembutan menghilang dari wajahnya, dan raut
itu mengeras, walaupun tidak berbahaya.
"Saya harus dapat uangnya hari ini, Mrs. Holland. Dan kalau saya tidak
mendapatkannya sekarang - "
"Apa yang akan Anda lakukan?" Fran tidak percaya tingkah lakunya; selama ini
Cooney berlaku baik padanya.
"Saya akan datang kembali jam enam, Mrs. Holland."
"Kembali?" "Untuk menemui suami Anda."
Itu adalah kata-kata yang tidak pernah diucapkan Cooney, tidak pernah sama
sekali. Dia datang pagi-pagi dua kali dalam seminggu dalam tiga bulan terakhir.
Keberadaan Eddie membekas dimana-mana. Piring sarapan yang tandas karena nafsu
makan Eddie yang besar, pipa rokoknya yang butut tergeletak di rak piring, dan
kadang-kadang ada kemeja yang harus ditisik dan diletakkan di kursi dapur,
tetapi Cooney tidak pernah menyebutkan hal itu sebelumnya.
"Mengapa?" sahut Fran. "Mengapa Anda harus melakukannya" Saya sudah bilang,
Pendekar Penyebar Maut 5 Seruling Sakti Karya Didit S Andrianto Suramnya Bayang Bayang 34
KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN
ALFRED HITCHCOCK eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN
ALFRED HITCHCOCK UNTUK ORANG-ORANG PEMBERANI
Untuk Orang-Orang Pemberani
Diterjemahkan dari Alfred Hitchcock Presents: More Stories Not For The Nervous,
Deil Publishing Co., Inc. New York 1973
Penerjemah: Ritoresmi Pujiningsih
Penyunting: Yustina Dian Rachmawati
Desain: Camelia Tri Lestari
Komputer Gratis: nDhien Cetakan Pertama: Desember 2004
Diterbitkan oleh Batang Press e-mail: batangpress@plasa.com
Untuk Orang-Orang Pemberani / oleh Alfred Hitchcock - Yogyakarta: Balang Press,
2004. 384 hlm ; 11x18 cm. ISBN 979-3239-20-4 DAFTAR ISI Dari Jendela Kamar - Hal Dresner - 7
Lemming - Richard Mathieson - 29
Ratu Putih - Idris Seabright - 33
Teriakan Minta Tolong - Robert Arthur - 45
Permainan - Mike Marmer - 81
Kecelakaan - Henry Slesar - 103
Gadis Emas - Ellis Peters - 131
Bocah Peramal Gempa - Margaret St. Clair - 143
Berjalan Sendirian - Miriam Allen Deford - 163
Hukuman untuk Orang-Orang Kasar - Jack Ritchie - 195
Maaf, Salah Sambung - Lucille Fletcher dan Allan Ullman - 225
DARI JENDELA KAMAR Hal Dresner Tubuh yang kurusnya tertutup selimut tebal, disangga dengan enam buah bantal
terbaik dan termahal, di situlah Jacob Bauman berada dan memandang jijik ke arah
pelayannya yang sedang mempersiapkan nampan makanan di hadapannya. Pelayan
tersebut lalu meyibakkan tirai, dan segera saja kamar tersebut diterangi cahaya
pagi. "Apakah Anda lebih suka bila jendelanya terbuka, Tuan?" tanya Charles.
"Kau ingin aku masuk angin, ya?"
"Tidak, Tuan. Apa ada lagi yang lain?"
Jacob menggelengkan kepala dan menyelipkan serbet makan di celah antara atasan
piama dan dada tipisnya. Dibukanya tutup piring sarapan, dan tangannya terhenti
di udara sambil menatap Charles yang masih berdiri bagai pengawal di sebelah
jendela. "Kamu menunggu tip?" tanya Jacob sinis.
"Tidak, Tuan. Saya menunggu Nona Nivens. Dokter Holmes menyatakan agar Anda
tidak dibiarkan berada sendirian kapanpun, Tuan."
"Sana keluar," kata Jacob. "Jika aku memutuskan untuk mati lima menit lagi, aku
akan memanggilmu dengan bel. Kau tidak akan kehilangan momen apapun."
Jacob memandang pelayan itu pergi, menunggu sampai pintu kamar benar-benar
tertutup lalu membuka tutup piring logam perak yang di bawahnya terdapat sebuah
telur mata sapi yang seperti berselaput, terbaring di atas selembar roti bakar.
Seoles tipis selai dan secangkir teh encer melengkapi menu pagi itu.
Ah! Jacob menatap makanannya tanpa selera dan memandang ke jendela. Cerah sekali
di luar sana. Halaman mansion Bauman yang hijau membentang luas bagai meja
bilyar, dilengkapi dengan jalan kecil berbentuk tapal kuda dari kerikil halus
yang putih berkilau. Di sana-sini ada hiasan patung perunggu mungil; dewi cantik
dan menggoda berhias kerubin, kurir dengan tumit bersayap, singa betina garang
dan sekelompok anak-anaknya; semua diletakkan seolah tersembunyi dan berkesan
mahal. Di ujung sebelah kiri tapal kuda tersebut, di luar pondok bata kecil yang
ditempati pengurus taman, Jacob melihat karyawannya, Pak Coveny, berlutut
memeriksa rumpun bunga azalea. Di ujung sebelah kanan, di bawah pagar besi
tinggi berujung runcing, pintu garasi dua lantai terbuka dan supirnya sedang
mengelap bagian depan mobil convertible biru milik Mrs. Bauman sambil mengobrol
dengan Nona Nivens, perawat harian Jacob yang masih muda. Di luar pagar
tersebut, halaman luar menghampar tak terputus sampai ke jalan raya.
Jauh, sangat jauh, sehingga mata awas Jacob tidak dapat mengenali mobil-mobil
yang melintas di sana. Jacob Bauman yang malang, pikirnya.
Semua hal yang indah-indah dalam hidupnya datang sangat terlambat. Akhirnya, dia
memiliki rumah mewah dan megah tetapi dia terlalu sakit untuk dapat
menikmatinya. Akhirnya dia menikahi seorang perempuan muda dan cantik yang mampu membuat
setiap lelaki berpaling memandangnya, tetapi dia terlalu tua untuk dapat
bersenang-senang dengan perempuan itu. Dan akhirnya, Jacob memiliki wawasan yang
luas tentang misteri sifat manusia, tetapi dia hanya bisa terbaring di tempat
tidur dan orang-orang yang ditemuinya hanya sebatas para pembantu yang menemani.
Jacob Bauman kaya yang malang, pikir Jacob.
Dengan semua kekayaan, keberuntungan dan kebijaksanaan yang dimiliki, dunianya
hanya selebar kasur, sepanjang jalanan pada taman yang dapat dia lihat dari
jendela, dan sedalam alam pikiran Nona Nevins.
Dimana gadis itu, ya" Kepalanya berpaling ke jam di atas meja di sebelah tempat
tidurnya yang dikerumuni botol-botol, obat-obatan dan tabung-tabung kecil. Jam
sembilan lewat enam menit. Jacob kembali memandang ke jendela dan dilihatnya si
gadis berseragam putih melirik ke jam tangannya dengan cemas, meniupkan ciuman
untuk si supir, lalu berjalan cepat-cepat masuk rumah. Dia adalah seorang gadis
pirang dan tegap, berjalan dengan lenggak-lenggok nan anggun dan tangan
mengayun; luapan energi yang melelahkan Jacob. Dia terus memandang gadis itu
sampai dia menghilang di bawah atap beranda lalu kembali menghadapi sarapannya.
Nona Nevins akan berhenti untuk menyapa koki dan pelayan perempuan, dan itu
artinya Jacob sedang menghabiskan telur dan rotinya nanti ketika dia mengetuk
pintu, begitulah perkiraannya.
Jacob sedang mengunyah remah roti terakhir saat terdengar ketukan di pintu; dia
berteriak "Pergi" dan si perawat itu masuk, tersenyum.
"Selamat pagi, Mr. Bee," sapanya riang. Dia meletakkan novel bersampul tipis di
atas lemari, sekilas memandang acuh ke arah grafik kesehatan yang ditinggalkan
oleh perawat yang bertugas tadi malam. "Bagaimana kabar Anda hari ini?"
"Hidup," sahut Jacob.
"Ini hari yang indah sekali!" kata si gadis sambil berjalan ke jendela. "Tadi
saya berdiri Dari Jendela Kamar di luar dan bicara dengan Vic sebelum kesini dan
cuacanya seperti musim semi saja. Apa Anda menginginkan saya membuka
jendelanya?" "Tidak usah. Teman doktermu itu memperingatkan aku agar tidak kedinginan."
"Oh, iya... Saya lupa. Saya rasa saya bukan seorang perawat yang baik ya?"
katanya sambil tersenyum.
"Kamu memang perawat, kok" sahut Jacob.
"Kamu lebih baik dari perawat-perawat yang tidak pernah meninggalkanku seorang
diri." "Anda hanya menyenangkan hati saya saja. Saya tahu, saya tidak cukup
berdedikasi." "Berdedikasi" Kamu masih muda dan cantik, kamu punya minatmu sendiri. Saya
mengerti itu. Kamu berkata pada dirimu sendiri. 'Saya akan jadi perawat
sebentar, pekerjaannya mudah, makanannya enak, jadi saya akan bisa menghemat
uang sampai saya menikah.'"
Gadis itu terkejut. "Tahukan Anda" Itu sama seperti yang saya katakan pada diri
saya sendiri ketika Dokter Holmes menawarkan pekerjaan ini pada saya. Tahukah
Anda bahwa Anda ini sangat cerdas, Mr. Bee?"
"Terimakasih," kata Jacob kering. "Makin tua, makin cerdas." Dia menghirup teh
dan berlagak seolah merasakan pahit. "Ah. Tidak enak! Bawa pergi." Dia menendang
pelan dari balik selimutnya.
"Anda harus menghabiskannya," kata si gadis.
"Bawa pergi dari hadapanku," kata Jacob tidak sabar.
"Terkadang Anda seperti anak kecil."
"Jadi anggaplah saya ini bocah lelaki kecil dan kamu gadis kecil. Tapi lebih
baik kita bicara tentang dirimu." Jacob mengatur tumpukan bantalnya, tetapi
segera berhenti ketika si gadis datang membantunya.
"Katakan padaku, Frances," tanyanya ketika wajah si perawat itu dekat dengan
wajahnya. "Apa kau sudah memilih calon suami?"
"Mr. Bee, itu masalah yang sangat pribadi untuk ditujukan pada seorang gadis."
"Aku memang bertanya tentang masalah pribadi, kok. Bila kau tidak mau
mengatakannya padaku bagaimana aku tahu" Apa aku akan bercerita pada orang-
orang" Apa ada orang yang bisa kuceritakan" Dokter spesialismu itu bahkan
melarang adanya telepon di samping tempat tidur untuk menghubungi pialang
sahamku sewaktu-waktu. Terlalu tegang bagiku untuk mengetahui berapa ratus ribu
dolar yang telah hilang. Apa dia tidak tahu bahwa aku bisa mengetahui berapa
untung-rugi yang kudapat dari koran-koran yang kubaca, sampai hitungan sen"
...Jadi, ayo ceritakan padaku," Jacob tersenyum penuh kemenangan, "bagaimana
pacarmu itu." "Mr. Bee! Seorang suami yang bermasa depan cerah adalah yang dicari, tapi
pacar..." Dia meletakkan bantal terakhir dan duduk di kursi dekat jendela. "Saya tidak
bisa bayangkan bagaimana saya dalam pikiran Anda."
Jacob mengangkat bahunya. "Aku rasa kamu itu gadis muda baik-baik. Tetapi gadis
baik-baik zaman sekarang sangat berbeda dengan gadis baik-baik limapuluh tahun
yang lalu. Aku tidak mengatakan lebih baik atau lebih buruk. Hanya berbeda. Aku
mengerti hal-hal semacam ini. Lagipula, kau hanya beberapa tahun lebih muda dari
istriku. Aku tahu, para lelaki senang melihatnya, jadi mereka juga senang
melihatmu." "Oh, tetapi istri Anda jauh lebih cantik. Sungguh. Saya rasa beliau adalah salah
satu perempuan yang paling mempesona yang pernah saya lihat."
"Bagus baginya," jawab Jacob. "So, ceritakan padaku tentang pacarmu itu."
"Well," sahut si gadis memulai, wajahnya terlihat bahagia. "Semuanya belum pasti
betul. Maksud saya, kami belum menentukan tanggal dan semacamnya."
"Kamu sudah yakin, tentu," ujar Jacob. "Kamu hanya tidak ingin bercerita padaku
karena takut kupecat sebelum kau siap."
"Tidak, sungguh, Mr. Bauman..."
"Kamu memang belum menetapkan kapan harinya . Tapi kamu sudah menetapkan
bulannya, bukan?" Dia menunggu adanya penyangkalan untuk beberapa saat. "Jadi
benar," sambungnya. "Percaya padaku jika aku bilang aku mengerti hal-hal seperti
ini. Bulan apa" Juni?"
"Juli," sahut si gadis sambil tersenyum.
"Tembaklah aku... cuma meleset sebulan... Aku tidak akan bertanya apakah dia
tampan atau tidak karena aku tahu dia tampan... dan juga kuat."
"Ya." "Tetapi lembut."
Si gadis mengangguk, wajahnya bersinar.
"Bagus," ujar Jacob. "Menikah dengan lelaki yang lembut itu sangat penting...
Asal jangan terlalu lembut. Orang-orang yang terlalu lembut mempersilahkan diri
mereka untuk diinjak. Percayalah, aku tahu. Aku dulu juga pernah menjadi orang
yang sangat lembut, dan tahukah kau kemana hal itu membawaku" Tidak kemanapun.
Jadi aku belajar untuk berbeda. Bukan berarti aku tidak melakukan kesalahan sama
sekali... tapi tiap aku melakukan kesalahan aku membayarnya... pernikahan yang
buruk bisa jadi kesalahan yang besar, bahkan yang paling besar. Kamu harus tahu
apa isi di dalam paket yang kamu dapatkan. Tapi kamu tahu, bukan?"
"Ya. Dia sangat baik. Sungguh. Anda tidak bisa mengetahuinya karena Anda tidak
mengenalnya dengan baik, Mr. Bauman, tapi bila Anda pernah duduk bersama
dengannya - " dia berhenti di tengah kalimat sambil menggigit bibirnya. "Oh, saya
tidak bermaksud - " "Jadi, dia memang seorang yang kukenal,"
ujar Jacob. "Ini menarik. Aku bahkan tidak menyangka. Temanku, mungkin?"
"Bukan. Bukan, sungguh, saya tidak bermaksud mengatakan itu. Semuanya hanya
salah ucap. Dia bukan siapa-siapa - "
"Dokter Holmes?" Jacob menebak.
"Oh, bukan!" "Atau mungkin seseorang yang bekerja untukku?" tanya Jacob sambil tersenyum
licik, memandang wajah si gadis. "Charles" Tidak...bukan... tidak mungkin
Charles. Kau tidak begitu menyukai Charles, 'kan Frances" Kau menganggap dia
merendahkanmu, bukan?"
"Ya," sahut si gadis, dengan semburat marah di wajah. "Dia membuatku merasa
seperti... oh, saya tidak tahu apa namanya. Hanya karena dia merasa begitu
anggun. Well, bila Anda bertanya, menurut pendapat saya dia itu seperti ikan."
Jacob terkekeh. "Kamu benar sekali. Charles itu ikan. Ikan kaku... lalu siapa"
Pak Coveny terlalu tua untukmu, jadi tinggal..." Dia berhenti sesaat, matanya
bersinar-sinar menggoda si gadis, dan mulutnya terbuka. Lalu pandangannya
terarah melewati si gadis, keluar jendela, dan berkata, "Tidak, aku tidak tahu.
Beri aku petunjuk. Dia berbisnis di bidang apa" Saham, mungkin" Minyak"
Tekstil?" Nada suaranya meninggi. "Transportasi?"
"Oh, Anda menggoda saya," sahut si gadis. "Anda tahu calon suami saya adalah
Vic. Pasti selama ini Anda sudah tahu. Saya harap Anda tidak marah. Sungguh,
saya akan memberitahu Anda sebelumnya, tetapi - "
Ketukan di pintu mengejutkannya.
"Pergi," teriak Jacob.
Pintu terbuka dan Mrs. Bauman masuk. Dia seorang perempuan mempesona dengan
rambut merah , seperti masih berusia duapuluhan dengan swearer kuning daffodil
dan celana panjang ketat yang provokatif.
"Selamat pagi semuanya. Jangan, duduk-lah, sayang," ujarnya ke arah Frances.
"Bagaimana kabar pasien kita pagi ini?"
"Buruk," sahut Jacob.
Istrinya tertawa dibuat-buat dan menepuk pipi Jacob. "Apa tidurmu nyenyak?"
"Tidak." "Dia kasar, ya?" kata Mrs. Bauman kepada Frances. "Aku heran bagaimana kau bisa
tahan menghadapinya."
"Karena uang," sahut Jacob. "Sama sepertimu."
Mrs. Bauman tertawa dipaksakan. "Dia seperti bayi, bukan" Apa dia sudah minum
pilnya yang berwama jingga?"
"Sudah," kata Jacob.
"Belum," sahut Frances. "Apa sekarang sudah pukul 09.15" Oh, saya - "
"Sayangnya sekarang hampir pukul 09.20," jawab Mrs. Bauman dingin. "Biar aku
yang melakukannya." Dia lalu membuka botol kecil yang diambil dari meja di
sebelah tempat tidur dan menuang segelas air dari teko perak. "Ayo, buka
mulutmu." Jacob memalingkan wajah darinya. "Aku masih bisa memegang segelas air dan
sebutir pil," katanya. "Kau bahkan tidak terlihat seperti perawat." Dia
memasukkan pil itu ke dalam mulut lalu mendorongnya masuk dengan seteguk air.
"Kau mau pergi kemana, berpakaian seperti mahasiswi begitu?"
"Ke kota, belanja sedikit."
"Vic sudah mempersiapkan mobil Anda," kata Frances. "Dia mengelapnya pagi ini
sampai mengilat seperti baru."
"Aku yakin itu, sayang."
"Kalau kurang mengilat, beli yang baru," kata Jacob.
"Aku juga sudah memikirkan hal itu," jawab istrinya. "Tapi kupikir aku akan
menunggu sampai kau sembuh dulu. Lalu kita akan membeli sebuah mobil sport
mungil dengan dua kursi penumpang di dalamnya dan kita akan berkendara berdua,
hanya berdua." "Aku sudah tidak sabar lagi," ujar Jacob.
"Lihat! Bukankah hari ini cerah sekali" Mengapa kau tidak meminta Charles
membuka jendela?" "Karena aku tidak mau kedinginan dan mati," jawab Jacob. "Tapi terimakasih atas
sarannya." Sambil tersenyum semanis mungkin, Mrs. Bauman menyentuh bibirnya dengan jari dan
menempelkannya di dahi suaminya.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bahkan tidak berhak menerima ciuman di dahi hari ini," katanya dengan nada
main-main. "Bila dia masih jadi penggerutu seperti ini," lanjutnya kepada
Frances, "jangan bicara dengannya. Dia pasti kapok."
Senyumannya mengundang Frances untuk turut serta dalam persekutuan perempuan.
"Aku akan cepat kembali," katanya sambil memandang Jacob.
"Aku akan setia menunggumu disini."
"Bye." Mrs. Bauman mengucapkan salam dengan manis, lalu pergi.
"Tutup pintunya," kata Jacob pada Frances.
"Beliau sangat cantik, ya?" ujar Frances sambil berjalan ke arah pintu dan
kembali ke tempatnya. "Saya ingin sekali bisa mengenakan celana panjang seperti
itu." "Lakukan sesuatu untuk suamimu dan kenakan celana seperti itu sebelum kau
menikah," jawab Jacob.
"Oh, Vic pasti tidak akan keberatan. Dia bahkan tidak punya rasa cemburu
sedikitpun di tubuhnya. Dia pernah berkata kepada saya ratusan kali bahwa dia
sangat suka ketika saya dilirik lelaki lain."
"Dan bagaimana perasaanmu saat dia yang dilirik perempuan lain?"
"Oh, saya tidak keberatan. Lagipula, hal itu alami, kan" Dan Vic memiliki - "
wajahnya sedikit merona. "Saya tidak mengerti bagaimana kita akan membicarakan
hal ini lagi nanti. Anda benar-benar payah, Mr. Bauman."
"Biarkan seorang lelaki tua bersenang-senang sambil ngobrol," sahut Jacob. "Jadi
Vic sudah banyak pengalaman dengan perempuan... begitu?"
"Kadang hal ini membuat saya malu. Maksud saya, ada beberapa wanita yang dengan
gampangnya melemparkan diri ke seorang lelaki. Dua minggu yang lalu, Rabu malam,
kami sedang berada di sebuah klub. Saat itu Vic sedang libur."
Jacob mengangguk dan sekali lagi memandang melewati kepala si gadis yang mulai
berbicara dengan nada cepat. Dia bisa melihat istrinya berjalan melintasi
halaman menuju garasi. Dia bergerak dengan cara yang berbeda dari Frances, lebih
pelan, seakan-akan malas.
Di balik celana coklat tanah, pinggul itu bergoyang, bergerak samar, seperti
timbangan yang sedang mencari keseimbangan. Bahkan ayunan tangannya yang lesu
terlihat seperti sedang menghemat energi, tidak mengayun kesana-kemari seperti
Frances, tetapi menyimpannya untuk gerakan-gerakan yang lebih penting.
"...dia benar-benar gadis yang mengerikan,"
lanjut Frances. "Maksud saya, saya benar-benar terkejut waktu dia menghampiri
meja kami. Rambutnya selegam malam dan sepertinya dia tidak bersisir selama
berminggu-minggu, dan dia mengoleskan lipstik sebotol penuh..."
Jacob mendengarkan sambil melamun, matanya masih menatap ke arah istrinya di
luar sana. Dia telah mencapai mobilnya dan berdiri sambil bersandar ke pintu,
bicara pada Vic. Jacob bisa melihat senyum yang melebar saat istrinya sedang mendengarkan dan
kemudian, sambil menyentak kepala ke belakang, dia tertawa. Jacob tidak dapat
mendengarnya, tapi dia ingat bagaimana suara tertawa itu terdengar di telinganya
bertahun-tahun sebelumnya, tajam dan ringan, tawa yang menggairahkan dan memuji.
Vic, satu kaki tersangga ke bemper mobil, lengan besar yang menyilang di dada,
ikut tersenyum bersamanya.
"...kupikir dia mabuk," kata Frances, terserap dalam ceritanya sendiri. "Maksud
saya, saya tidak bisa bayangkan ada seorang perempuan yang berani melompat ke
pangkuan seorang lelaki dan menciumnya. Maksud saya, tepat di hadapan teman
kencannya dan di hadapan orang banyak. Saya kan bisa saja disangka istrinya."
"Lalu apa yang dilakukan Vic?" tanya Jacob, berpaling dari jendela.
"Well, dia tidak melakukan apapun. Maksud saya, apa yang bisa dia lakukan" Kami
sedang berada di muka umum dan Vic hanya tertawa dan menganggap semua itu hanya
gurauan. Tapi saya tidak bisa. Maksud saya, saya sudah berusaha, tapi gadis itu
sama sekali tidak beranjak dan Vic tidak bisa mengibaskannya. Semua orang
melihat hal itu dan saya semakin marah dan marah dan - well, sejujurnya, Mr.
Bauman, sesungguhnya saya adalah orang yang emosional. Maksud saya, jika sudah
menyangkut hal-hal pribadi seperti Vic, saya tidak dapat mengendalikan diri saya
sendiri." "Sebagaimana yang terjadi dengan Betty?" tanya Jacob.
Frances menggigit bibir bagian bawahnya. "Saya kira Anda tidak tahu tentang hal
ini. Saya betul-betul minta maaf mengenai hal itu, Mr. Bauman. Saat itu saya
akan ke dapur untuk mengambil makan siang. Saya melihat lengannya melingkar di
leher Vic dan, well, saya gelap mata."
"Begitulah yang kudengar," sahut Jacob sambil tersenyum. "Aku tidak sempat
melihat Betty setelah dia pergi, tetapi Charles bilang wajah gadis itu sama
sekali tidak menyenangkan lagi untuk dilihat."
"Saya rasa saya mencakarnya cukup parah," ujar Frances sambil menyipitkan mata.
"Saya sungguh-sungguh menyesal mengenai hal itu. Saya sudah mencoba minta maaf
kepadanya, tetapi dia bahkan tidak mau mendengar. Seakan-akan semua itu
kesalahan saya." "Lalu apa yang kau lakukan terhadap gadis di klub itu?"
"Saya jambak rambutnya dan menariknya pergi dari Vic," kata Frances mengaku
dengan suara malu-malu. "Dan jika Vic tidak menghentikan saya, mungkin sudah
saya congkel mata gadis itu. Maksud saya, saat itu saya sudah benar-benar gila.
Itu bahkan lebih buruk daripada kejadian dengan Betty, karena dia sungguh-
sungguh mencium Vic. Saya rasa, jika saat itu ada pisau atau semacamnya, pasti
saya sudah berusaha untuk membunuhnya."
"Benarkah?" kata Jacob. Pandangannya meninggalkan wajah si gadis dan kembali ke
arah jendela. Tidak ada seorangpun, Vic maupun istrinya, yang terlihat. Matanya
menyisir seluruh halaman, melewati patung-patung yang berkilau di bawah sinar
matahari, ke arah Pak Coveny yang masih memeriksa tanaman, lalu kembali ke mobil
istrinya yang berkilat-kilat. Dia melihat bentuk aneh di atas atap mobil itu
dan, sambil menyipitkan mata, meyakinkan diri bahwa itu adalah lap yang
digunakan Vic untuk membersihkan mobil istrinya.
"Dan bagaimana perkelahian-perkelahian kecil itu mempengaruhi perasaanmu
terhadap Vic?" tanyanya sambil lalu.
"Oh, semua tidak ada pengaruhnya sama sekali. Maksud saya, bagaimana bisa" Bukan
salah Vic jika banyak perempuan yang tergila-gila padanya. Maksud saya, dia
jelas-jelas tidak mengundang mereka."
"Tentu saja tidak," kata Jacob. Dia kembali memicingkan matanya, berusaha untuk
ter-fokus pada jendela gelap di atas garasi. Dia merasa melihat semburat kuning
terang disana. Ataukah itu hanya kilatan cahaya matahari yang dipantulkan kaca jendela" Tidak,
jendelanya terbuka. Berarti itu bukan cahaya matahari. Itu dia, ada lagi, berada
diantara bayangan-bayangan yang bergerak. Bayangan itu berwarna terang, kotak,
semakin lama semakin menyempit, dan kini terangkat ke atas perlahan-lahan,
seperti selembar kain. Mungkin sepotong pakaian yang terang, yang perlahan-lahan
dilepaskan dari sesuatu, dari seseorang.
Kemudian warna cerah itu menghilang, dan bahkan bayangan-bayangan itu sama
sekali tidak terlihat lagi di jendela. Jacob tersenyum.
"Aku yakin Vic sangat setia," ujarnya. "Bila ada yang harus disalahkan, pastilah
para perempuan itu. Kecemburuanmu sangat bisa dimengerti. Itu adalah hakmu yang
kau gunakan untuk menjaga apa yang kau miliki. Bahkan bila hal itu harus
menghancurkan beberapa bagian dari hidupmu."
Frances terkejut. "Apa Anda pikir Vic tidak mencintai saya sebagaimana saya
mencintainya dengan apa yang telah terjadi" Dia bilang dia mengerti."
"Aku yakin dia mengerti," kata Jacob.
"Bahkan, dia mungkin lebih mencintaimu karena kau telah menunjukkan kesetiaanmu
padanya. Lelaki suka hal-hal seperti itu...Tidak, tidak, itu hanya perkataanku
saja. Cuma bicara-bicaranya orang tua saja. Lagipula, apa yang bisa kulakukan
selain bicara?" "Oh, Anda dapat melakukan banyak hal," sahut Frances. "Anda sangat pintar.
Maksud saya, setidaknya saya pikir begitu. Seharusnya Anda punya hobi. Mengisi
teka-teki silang atau semacamnya. Saya yakin Anda menguasai hal-hal semacam
itu." "Mungkin aku akan mencobanya kapan-kapan," ujar Jacob. "Tapi sekarang, kurasa
aku akan tidur sebentar."
"Itu ide bagus," kata Frances. "Saya membeli sebuah buku untuk dibaca hari ini.
Saya mulai membacanya dalam perjalanan naik bis kesini. Bagus sekali. Ceritanya
tentang seorang perempuan Perancis yang membodohi para raja."
"Kedengarannya bagus," ujar Jacob. "Tapi sebelum kau mulai membaca, aku ingin
kau melakukan sesuatu untukku." Dia membalikkan badannya dan membuka satu-
satunya laci di meja samping tempat tidurnya. "Jangan takut."
Jacob berhati-hati ketika dia mengambil sepucuk pistol kecil berwarna abu-abu
dari dalamnya. "Aku menyimpannya kalau-kalau ada perampok yang masuk kesini.
Lama sekali benda ini tidak dibersihkan, sampai-sampai aku tidak yakin masih
berfungsi atau tidak. Maukah kau membawanya ke Vic dan minta dia untuk
memeriksanya?" "Tentu saja," jawab Frances sambil berdiri dan mengambil pistol tersebut dengan
acuh. "Hey, ringan sekali. Saya pikir pistol itu beratnya sepuluh kilo."
"Kurasa itu pistol untuk perempuan," kata Jacob. "Untuk perempuan dan lelaki
tua. Hati-hati, pistol itu terisi. Aku akan mengeluarkan pelurunya karena kau
akan membawanya. Sayangnya aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya."
"Aku akan berhati-hati," jawab Frances sambil bermain-main dengan gagang pistol.
"Dan Anda harus berusaha untuk tidur sementara saya pergi. Apakah saya harus
memanggil Charles untuk datang menemani Anda?"
"Jangan, tidak usah repot-repot. Aku akan baik-baik saja. Tidak usah terburu-
buru untuk kembali lagi kesini, temani dulu tunanganmu. Kurasa tadi aku
melihatnya naik ke kamar."
"Dia tidur," kata Frances.
"Kalau begitu, coba kau mengendap-endap ke kamarnya dan kejutkan dia," ujar
Jacob. "Mungkin dia menyukainya."
"Well, bila ternyata dia tidak suka, saya akan bilang bahwa semua itu ide Anda."
"Ya," kata Jacob. "Kau bilang saja padanya kalau itu ideku."
Dia tersenyum, menatap gadis itu pergi, kemudian kembali merebahkan diri di atas
bantal dan memejamkan mata. Suasana sangat sepi dan dia merasakan keletihan yang
amat sangat sampai-sampai dia merasa mulai terlelap ketika terdengar tembakan
pertama, lalu yang kedua, dan ketiga. Suaranya terdengar melintasi halaman. Dia
ingin sekali duduk dan melihat semuanya dari jendela, tapi sepertinya itu
melelahkan. Lagipula, tidak ada satupun yang bisa dilakukannya, karena dia hanya
bisa terbaring di tempat tidur. []
LEMMING Richard Mathieson "Mereka datang darimana, ya?"tanya Reordon.
"Dari manapun," jawab Carmack.
Mereka berdiri di jalan raya dekat pesisir pantai. Sejauh mata memandang yang
terlihat mobil dan mobil lagi. Ribuan mobil berhimpitan bemper ke bemper, pintu
ke pintu. Jalan raya itu benar-benar banjir mobil.
"Itu ada lagi," seru Carmack.
Kedua polisi itu memandang kerumunan orang yang berjalan ke pantai. Diantara
mereka ada yang mengobrol dan tertawa. Beberapa lagi hanya diam dan serius.
Tetapi semua menuju ke satu arah: pantai.
Reordon menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti," katanya, untuk yang kesekian
ratus kali dalam minggu ini. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti."
Carmack hanya mengangkat bahu.
"Jangan terlalu dipikir. Semuanya sudah terjadi. Ada apa lagi disana?"
"Tapi ini gila."
"Lihat, orang-orang yang tadi sudah tidak ada," kata Carmack.
Sambil diawasi oleh dua polisi, kerumunan orang itu bergerak menapaki pasir
pantai abu-abu dan berjalari ke air. Beberapa diantara mereka mulai berenang.
Ada juga yang tidak dapat bergerak di air karena pakaian yang mereka kenakan.
Carmack memandang seorang gadis muda yang menggapai-gapai di atas air dan
kemudian tenggelam akibat mantel bulu yang dikenakannya.
Dalam beberapa menit mereka semua menghilang. Kedua polisi tersebut memandang
tempat orang-orang yang tadi berjalan ke laut.
"Sampai kapan kejadian ini akan berlangsung?" tanya Reordon.
"Kurasa sampai tidak ada satupun yang tersisa," jawab Carmack.
"Mengapa?" "Kau pernah membaca tentang lemming?" tanya Carmack.
"Tidak." "Lemming adalah sejenis binatang pengerat yang tinggal di negara-negara
Skandinavia. Mereka terus berkembang biak sampai sumber makanan mereka habis.
Lalu mereka bergerak dari satu negara ke negara lain dan menghancurkan apa saja
yang ada di hadapan. Ketika mereka sampai di laut mereka terus saja maju. Mereka
berenang sampai kekuatan mereka habis. Jumlah lemming itu mencapai jutaan."
"Kau pikir mereka juga seperti itu?" tanya Reordon.
"Mungkin," jawab Carmack.
"Manusia 'kan bukan binatang pengerat!" sahut Reordon marah.
Carmack tidak menjawab. Mereka berdiri sambil menunggu di tepi jalan , tetapi tidak ada seorangpun yang
nampak. "Dimana mereka?" tanya Reodon.
"Mungkin semua sudah masuk ke air," jawab Carmack.
"Semuanya?" "Kejadian ini sudah berlangsung seminggu lebih," jawab Carmack. "Orang-orang
dari berbagai pelosok datang kesini. Lagipula, 'kan ada danau."
Reordon menggigil. "Semua," katanya.
"Mana kutahu," jawab Carmack, "tetapi mereka masih terus saja datang sampai
sekarang." "Ya Tuhan." Carmack mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Well, sekarang bagaimana?"
Reordon menghembuskan nafas dengan keras. "Kita?"tanyanya.
"Kau pergilah," kata Carmack. "Aku akan menunggu sejenak kalau-kalau masih ada
orang lagi yang datang."
"Baiklah." Reordon mengulurkan tangannya. "Selamat tinggal, Carmack," ujarnya.
Mereka berjabatan tangan . "Selamat tinggal, Reordon," jawab Carmack.
Dia berdiri sambil merokok dan mengawasi sahabatnya berjalan menapaki pasir
pantai abu-abu dan masuk ke dalam air sampai air tersebut melampaui kepalanya.
Dilihatnya Reordon berenang beberapa meter sebelum akhirnya menghilang.
Beberapa menit kemudian dia mematikan rokok dan memandang sekeliling. Sampai
akhirnya dia ikut menceburkan diri ke dalam air.
Sejuta mobil membisu dalam kekosongan mereka di sepanjang jalan pantai.[]
RATU PUTIH Idris Seabright "Aku rasa kau sama sekali tidak menginginkan sendok-sendok tehku yang sudah
rusak itu, kan?" kata Miss Smith tajam
Tajam memang, tetapi suaranya terdengar serak-serak basah dan merdu, layaknya
aktris BBC yang sedang berperan sebagai seorang perempuan tua, seorang aktris
BBC belia; dan Carson melihat, teriepas dari kekesalannya karena tertangkap
basah dengan harta temuannya itu - dia pasti memiliki sepasang mata di belakang
kepalanya - harapan bahwa nenek ini sebenarnya seorang perempuan muda yang
karena alasan-alasan tertentu yang bersifat pribadi, memilih untuk berpakaian
dan berlagak seperti perempuan tua bangka. Menganggapnya sebagai perempuan muda
yang sedang menyamar membuat si nenek tidak sebegitu menakutkan daripada
sebaliknya: mengandaikannya sebagai nenek yang bertingkah laku dan bicara
layaknya gadis duapuluhan.
Siapapun nenek itu, dia bukan seorang korban yang lembut, bodoh dan dicintai
sebagaimana yang diinginkan. Sebaliknya, dia seseorang dengan bahu warna ungu
muda dan lengan berurat-nadi kebiruan. Dia bertemu nenek itu di jalanan, salah
satu tempat perburuan nenek tua nan baik kesukaannya. Tidak terlalu sulit
baginya untuk memancing mereka mengundangnya ke acara minum teh.
Sekarang yang dilihatnya dari nenek itu bukan sebagai nenek tua maupun nenek
baik. Dan nama yang diambilnya adalah sebuah ejekan.
Miss Mary Smith - anonimitas titik akhir.
"Kenapa kau menyeringai begitu?" tanyanya. Lalu berubah jadi paksaan. "Kemarikan
sendok tehku." Dijangkaunya saku mantel tanpa suara dan mengeluarkan lima sendok teh dari sana.
Si nenek benar, dia tidak memerlukan uang si nenek. Barang-barang yang dicurinya
dari orang-orang tua seusia si nenek hampir tidak laku dijual, kalaupun bisa
uangnya akan dia gunakan untuk membayar tagihan-tagihan yang berlainan dan tidak
tersentuh. Itu adalah sesuatu yang membuatnya ketakutan, tidak lebih baik
daripada masokisme moral, tetapi lebih baik dari apapun yang pernah terpikirkan
olehnya. Dia menikmatinya dan belum mau menyingkirkan kebiasaan itu.
Diletakkannya sendok-sendok tersebut di meja teh di hadapan si nenek dan kembaii
menenggelamkan diri di kursi. Si nenek menghitung. Kakinya - datar dan bersandal
rata - diketuk-ketukkan ke lantai. "Cuma lima. Harusnya ada enam. Aku
menginginkan yang satu lagi."
Dengan malas-malasan diberikannya sendok terakhir si nenek. Sendok itulah yang
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbaik diantara yang lain, asli dan kuno, dengan bentuk yang imut, dan sekarang
nilainya pasti tidak lebih mahal dari ketika pertama kali sendok itu dibuat.
Cekungannya penuh lubang-lubang kecil dan halus seakan seorang bayi yang baru
tumbuh gigi, yang sezaman dengan Washington dan Jefferson, telah menggigit-gigit
bagian tersebut. Bayi yang menyedihkan - pinggirannya yang tajam dan bergerigi
itu pasti sudah mencabik gusinya.
Si nenek merampas sendok itu dan menggosoknya keras-keras dengan taplak meja
teh. Lalu si nenek mengembalikan sendok itu ke tamunya. "Lihat ke dalam cekungan
sendok." Carson melakukan apa yang diperintahkan si nenek. Miss... Smith kelihatannya
tidak akan menghubungi polisi, sementara itu dia hanya merasa tidak nyaman,
bukan takut. "Well?" katanya, meletakkan kembali sendok itu di meja.
"Tidakkah kau lihat sesuatu?"
"Hanya bayangan diriku sendiri, terbalik. Seperti biasa."
"Hanya itu?" ujarnya kaget. "Kembalikan lukisan cat airku, sementara aku
berpikir. Barang itu nilainya bahkan lebih murah ketimbang sendok-sendok tadi."
Si nenek tidak mungkin melihatnya mengambil lukisan cat air itu. Dia sedang
membuat teh, membelakangi Carson, dan tidak ada cermin atau apapun dengan
permukaan mengkilat di dekatnya. Dia bahkan tidak mungkin memperhatikan jarak
dimana lukisan cat air tersebut tergeletak, karena benda itu berada diantara
pernak-pernik lain yang jelek dan tidak berharga.
"Lebih baik kita minum teh," ujarnya, menarik lukisan cat air yang didapatnya
kembali dan meletakkan ke tempatnya semula.
Dibingkaipun, lukisan itu tidak lebih besar daripada sebuah kartupos Eropa. Ada
gambar pohon palem, sebuah pulau, air, semuanya seakan-akan cair dengan gaya
yang meniru Winslow Homery. Tidak heran jika Carson sampai memutuskan bahwa
benda tersebut patut dicuri. "Kau mau sedikit campuran gin dalam teh" Rasanya
agak sedikit membantu."
"Ya, terima kasih."
i Nenek menuang sesuatu dari botol kotak ke dalam poci teh dan kemudian
meletakkannya di meja. Mereka minum. Teh itu panas membakar, dan Carson hanya
bisa mengatasi penderitaan itu dengan cara memasukkan gula banyak-banyak ke
dalam cangkir. Miss Smith meletakkan cangkirnya sendiri pada tatakan. Dia batuk dan kemudian
membersihkan hidungnya dengan saputangan katun untuk pria. "Lebih baik kau
masuk," katanya, sambil mengetuk-ngetukkan jari tengahnya ke permukaan lukisan
cat air itu, "dan melihat seberapa pantas kau berada di dalamnya."
Wuuuush, wuuush, pluk. Carson sudah berada dalam lukisan cat air, duduk di sebuah pulau dengan pohon-
pohon palem bergaya Winslow-Homer
Rerumputannya lengket sekali dan tempat itu sangat berisik seolah sedang terjadi
kerusuhan. Ombaknya, butiran petak-petak menyerpih berwarna biru, mencapai
pantai dengan suara keras bagai piring keramik membentur batu, camar laut
memekik seperti alat musik tiup dari Inggris, dan daun-daun palem yang bergerigi
mengeluarkan suara seperti lempengan seng.
Tetapi Carson tidak terlalu terganggu untuk menerima kenyataan yang dikatakan
Miss Smith bahwa pulau itu lumayan cocok untuknya. Suara yang dia dengar
mengaburkan semuanya; dia tidak perduli apa ada lemari pajangan seorang nenek,
dimanapun dia berada, menyimpan pernak-pernik yang cukup untuk dimasukkan ke
dalam saku. Dia terlalu lelah dan nyaman seolah sedang berada dalam rengkuhan
hangat Miss Smith dan bersandar di bahunya yang lembut.
Yu-hu. Pasti karena pengaruh gin. Dia tertidur.
Ketika dia bangun semuanya masih sama.
Camar, ombak dan pohon palem mengeluarkan suara bersahut-sahutan. Disana, dimana
ombak kaku bikinan lemari pendingin itu terbentuk, air bergolak dengan sebentuk
berwarna biru tua berputar dibawahnya. Apakah itu sudah ada disana sebelumnya"
Pasti. Tapi dia tidak yakin.
Itu bisa saja disebabkan karena banyak hal - hiu yang sedang naik ke permukaan,
kura-kura raksasa, gurita seperti dalam cerita Jules Verne. Bisa saja. Tidak.
Tidak. Carson memekik lirih ketakutan.
Plup. Dia kembali duduk di depan Miss Smith, terpisah oleh meja teh. Si nenek
itu telah menudungi poci tehnya dengan penutup kain, tapi tampaknya itu masih
poci teko yang sama. Dia mengoleskan mentega ke biskuit dan memasukkannya utuh ke dalam mulut. "Apa
kau suka berada di pulau itu?" tanyanya sambil mengunyah.
"Pertama sih lumayan," jawabnya dengan agak terpaksa. "Tapi kemudian ada sesuatu
yang berenang di bawah air dan aku tidak suka itu."
"Menarik." Si nenek menyeringai. "Kau tidak peduli pada kebisingan, kau tidak
peduli pada keterasingan. Tapi ada sesuatu yang bergerak di bawah air dan tidak
dapat kau lihat yang kau... tidak sukai."
Apa yang sedang direncanakannya "
Apakah dia sedang mencoba semacam analisa mulia terhadapnya" Mencoba, dengan
cara yang disetujui para psikiater, mencari tahu apa yang membuatnya takut
sehingga dia dapat menghilangkannya" Tidak. Lebih tepatnya, dia sedang memetakan
kontur ketakutannya sehingga dia dapat memasukkan, menguasai, kedalamnya.
"Mengapa Anda kelihatannya sangat tertarik?" tanya Carson. Dia mencoba
mengoleskan mentega pada biskuit, tapi tangannya bergetar sangat keras sehingga
dia harus meletakkan pisaunya.
"Jarang sekali ada orang yang mau mencuri apapun dariku."
Tidak. Tidak akan ada yang mau mencuri darinya. Hanya Carson, yang diantara
semua nenek di seluruh dunia yang dapat dipilihnya, hanya Carson yang harus
terlibat dengan seseorang bernama Isis, Rhea, Cybele - ada banyak nama-nama dewi
yang bisa dipilih - Anatha, Dindymene, Astarte. Atau Neith.
Carson menjilat bibirnya. "Bagaimana jika kita minum teh lagi?" usulnya. "Dan
sedikit gin" Pasti teh itu akan jadi minuman yang menyegarkan."
"Kurasa gin yang kutuang tadi sudah cukup banyak."
Tetapi nenek itu tidak protes ketika Carson membuka tudung poci dan mengambil
botol kotaknya. Kelihatannya dia bahkan tidak melihat Carson melakukannya.
Carson tadi telah dibodohi dengan cara seperti itu, dan si nenek mungkin saja
melihatnya. Tetapi dia bisa membalas perlakuannya bila si nenek dengan kekuatan
serupa dewi ini mabuk. Dia meletakkan kembali botol itu di meja dengan label menghadap ke si nenek agar
dia tidak tahu seberapa banyak Carson menuangnya. "Anda yang menuang."
Bergetarkah tangan yang sedang memegang poci teh itu" Dia tidak yakin betul. "Ya
Tuhan, kau membuat teh ini jadi keras sekali," katanya.
"Menyegarkan!" Dia berusaha tersenyum. "Ayo, disambi biskuitnya. Saat-saat
seperti ini biasanya orang kurang bersemangat, sore-sore begini."
"Ya." Badan si nenek agak bergetar karena batuk. Sebutir remah biskuit mungkin
menyangkut di tenggorokannya. Dia berharap si nenek tersedak dan mati.
Si nenek mendorong remahan itu dengan tegukan terakhir dari cangkirtehnya.
"Sekarang aku menginginkan pemberat kertasku."
Itu adalah harta karun terakhir yang dimilikinya. Itu adalah benda yang paling
dia sukai diantara benda-benda yang lain. Dengan sedih dia mengambil bulatan itu
dari saku dan memberikannya ke si nenek.
Dia mengetukkan jari. Salju tiruan turun dari atas kubah dan jatuh perlahan ke
bagian dasar yang berhiaskan pemandangan musim dingin.
"Cantik," kata si dewi memuji. "Salju yang cantik."
"Ya. Saya mengaguminya."
"... sudah larut untuk mencobamu ke yang lain lagi. Lagipula, aku tahu pasti apa
yang kau inginkan. Kau adalah jenis orang yang tidak tahan untuk menunggu
sesuatu yang tidak menyenangkan." Poci tehnya tidak sengaja menyentuh cangkir.
Suara si nenek makin samar terdengar. Dia meninggalkan tetes teh di taplak
sebelum meletakkan poci teh kembali ke tempatnya.
Sekaranglah saatnya, jika memang saat yang tepat itu ada.
"Terimakasih untuk sore yang menyenangkan," katanya sambil menggeser kursi ke
belakang, kemudian berdiri. "Mungkin kita bisa mengadakan acara seperti ini lagi
kapan-kapan." Mulut si nenek terbuka. Seuntai ludah berkilau diantara bibirnya dan kemudian
jatuh. "Dasar busuk. Masuk ke dalam kau, mahluk bodoh."
Pemberat kertas itu menerima tubuhnya.
Rasanya seperti menembus angin ribut, seperti berenang, tapi dia bisa bernafas
dengan baik. Carson berusaha berjalan melintasi cairan itu - gliserin kah" - menuju dinding
kaca dan mengintip keluar.
Miss Smith menjentikkan jari. Bibirnya bergerak. Dia mulai berdiri. Lalu jatuh
ke lantai. Cangkirnya jatuh dari jemarinya yang lemah dan turun perlahan di sampingnya.
Miss Smith benar-benar mabuk berat.
Setelah beberapa saat, Carson mulai berpikir.
Rasanya dia melihat tubuh si nenek berkedut.
Setidaknya dia yakin bahwa si nenek tidak pergi keluar. Dia mati.
Sekitar pukul delapan pagi seseorang datang dan menemukannya. Banyak orang lalu-
lalang sebelum akhirnya para petugas yang membawa brankas datang. Cangkir teh
itu tetap tinggal di lantai.
Mereka bahkan tidak mau bersusah-susah menutup tirai jendela. Cahaya bulan
berkilauan dalam penjara kaca dan menyinari salju di dasarnya dengan sangat
cemerlang. Andaikan itu salju sungguhan! Dia sangat menginginkan sebuah ceruk
nyaman yang bisa dia buat sendiri dalam rinai salju, pondokan hangat bergaya
Steffanson yang dapat dinikmatinya dalam kandangnya yang empuk. Sebagaimana
pertama kali dia datang, Carson mengapung vertikal di malam hari, menderita
karena insomnia, dan merasa sangat tidak nyaman bagai batang asparagus di atas
wajan. Akhirnya malam berganti. Dia tidak tahu apa dia menyesal atas kematian Miss
Smith atau tidak. Apakah kepercayaan yang tidak masuk akal tentang adanya
kemurahan hati yang potensial pada diri si nenek itu masih menghantuinya"
Setelah kejadian dengan pulau itu dan sekarang ini"
Pagi berlangsung cepat ketika dengan masuknya seorang perempuan yang bertugas
membersihkan rumah. Dia seorang perempuan yang masih muda, dengan bibir merah
dan rambut kuning flamboyan.
Perempuan itu menancapkan kabel penghisap debu dan mulai membersihkan lantai.
Dilepasnya taplak meja teh dan mencuci semua perabot yang ada di atasnya.
Kemudian dia mengambil pemberat kertas dengan pemandangan musim salju itu.
Pemberat itu diguncang dengan kasar.
Salju buatan mulai turun di sekeliling Carson.
Si perempuan menekan hidungnya ke kaca agar bisa melihat lebih jelas ke dalam.
Matanya sangat, sangat besar. Tidak mungkin dia tidak melihat Carson.
Dia menyeringai. Carson mengenalinya.
Miss Smith. Mestinya dia tahu, Neith tidak akan mati begitu saja.
Si perempuan mengguncang pemberat itu sekali lagi. Kemudian dia meletakkannya
dengan kasar ke atas meja.
Untuk sesaat Carson berpikir gadis itu akan melemparnya ke dinding perapian.
Tapi itu akan terjadi nanti.
Dia mungkin akan membiarkan Carson hidup selama beberapa hari. Dia bisa
meletakkannya di bawah terik matahari, membekukannya di lemari pendingin,
mengguncangnya berulang-ulang sampai dia merasa mabuk laut bagai janin yang
tidak diinginkan... banyak kemungkinan yang akan terjadi. Dan pada akhirnya akan
terjadi benturan. Si gadis itu memain-mainkan jarinya dengan membuat garis melintang di
tenggorokannya. Dicabutnya kabel penghisap debu, kemudian pergi keluar.[]
TERIAKAN MINTA TOLONG Robert Arthur Untuk keberapa puluh kalinya hari itu, dengan suara sedikit gemetar, Martha
Halsey membaca artikel di harian Dellville Weekly Call dengan suara keras:
Firma real estat Boggs and Boggs hari ini menyatakan penjualan rumah tua
keluarga Halsey yang berlokasi di seberang pengadilan.
Rumah tersebut, yang merupakan milik Miss Martha dan Louise Halsey, putri
almarhum Hakim Hiram A. Halsey, telah diperintahkan untuk dijual oleh kemenakan
mereka, Mrs. Ellen Halsey Baldwin.
Kali ini, Louise, dengan tangan dipenuhi urat nadi kebiru-biruan dan sedang
mengibaskan potongan-potongan perca untuk dibuat selimut tebal yang sedang
dikerjakannya di atas kursi roda, diam membisu. Hanya suara angin New England
yang menjawab, seakan melengking dan memekik gembira saat meniup tanaman
merambat di atap rumah kuno itu, terasing dari kebisingan dan kesibukan kota.
Sepanjang hari itu, sejak Ellen membawa masuk koran yang didapat dari kotak
surat, tepat sebelum sarapan pagi, mereka telah membaca dan membaca lagi
beberapa kali sambil membahas semuanya dari berbagai sudut. Mulanya Louise yakin
ini adalah kesalahan. Tetapi dengusan Martha bagai mengejek gagasan itu. Lalu
Louise ingin menghubungi Ellen dan bertanya tentang hal ini.
Tetapi ada perasaan waspada yang selama ini terbengkalai dalam kehidupannya yang
membuat Martha berkata tidak.
Dan sekarang , setelah sehari penuh mereka saling bicara, berspekulasi dan
meletihkan diri dengan berbagai perkiraan, jawaban itu terbit dalam pikirannya.
Hanya itu satu-satunya jawaban yang memungkinkan, dan dengan kejadian-kejadian
yang diterimanya tanpa prasangka selama enam bulan terakhir ini - termasuk
kematian si malang Queenie seminggu sebelumnya - tiba-tiba saja semuanya jelas
terpampang. Martha menarik nafas sebelum bicara. Lalu, dengan tenang dan perlahan, dia mulai
men-jabarkan kebenaran pada Louise.
"Louise, aku yakin betul Ellen dan Roger menginginkan kita mati."
"Mati?" Louise menatapnya dari kursi roda dengan pandangan kaget dan raut wajah
tidak percaya terpancar dari sana. "Oh, tidak, Martha!"
"Tidak ada jawaban lain," kata Martha.
Garis wajahnya bagaikan granit New England yang ditempa cuaca, keras. Di usia
yang sudah delapan puluh tahun itu mata birunya menyala.
"Sekarang aku mengerti mengapa Roger dan Ellen memaksa kita menjual rumah di
kota dan tinggal di pinggiran sini bersama mereka," katanya. "Juga mengapa
mereka merayu untuk memberi kuasa hukum pada mereka sehingga Ellen bisa
mengurusi apa yang diistilahkan Roger sebagai detil-detil minor yang melelahkan
dan ada hubungannya dengan tanah kita."
"Kebenarannya cukup sederhana jika kau mencermati kenyataan-kenyataan yang
terjadi dalam sudut pandang yang tepat. Pertama Roger dan Ellen mengasingkan
kita dari semua sahabat dan tetangga. Dan sekarang mereka cukup berani menjual
tanah kita. Nanti, sebentar lagi, mereka pasti berharap dapat mewarisi saham dan
surat obligasi yang kita miliki."
"Tetapi mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali jika kita meninggal!" sahut
Louise dengan suara agak tergagap.
"Itulah maksudku."
Martha berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju jendela kamar tidur yang juga
berfungsi sebagai ruang duduk tempat mereka tinggal, berjalan dengan sangat
hati-hati agar sakit pinggulnya tidak bertambah parah. Angin musim gugur New
England menggerakkan dahan-dahan pohon meranggas yang mengelilingi rumah kuno
bergaya Kolonial itu. Martha mengangkat daun jendela, memeluk tubuhnya sendiri
melawan angin yang meniup dingin.
"Toby, Toby!" panggilnya. "Kesini, Toby!"
Tidak ada sahutan meooong, tidak ada gumpalan berbulu coklat-kuning melompat ke
dalam. Dibantingnya daun jendela sampai menutup dan berjalan tertatih kembali ke
lingkaran terang yang dipancarkan oleh lampu minyak tanah yang besar di meja
tengah, dekat kursi roda kakaknya.
"Pertama Queenie," lanjutnya sedih, "Sekarang Toby! Aku beritahu kamu, Louise,
besok atau lusa Roger akan membawa Toby dalam keadaan dingin dan kaku, dan
berpura-pura sedih - sebagaimana yang dia lakukan sewaktu membawa masuk Queenie
minggu lalu. Diracun, tentu."
Martha memandang dengan tajam ke arah kakaknya dan sepasang mata Louise mendadak
berkabut. "Queenie yang malang," bisiknya. "Kata Roger dia pasti telah menemukan umpan
yang dipasang para petani di luar sana. Itu memang benar, Martha. Para petani
itu memang - " "Apakah Queenie akan makan makanan seperti itu setelah mendapatkan makanan layak
darimu selama delapan tahun?" sahut Martha menegaskan. "Queenie itu kucing
pemilih. Aku beritahu kau siapa yang meracuninya. Roger, tidak lain dan tidak
bukan." Louise memandang adiknya dan angin bersiul di sekeliling sayap rumah kuno itu.
"Tapi mengapa?"
"Pikirkan kembali apa yang terjadi sebulan terakhir. Mantra yang sedang mengenai
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu ini. Sehari kau merasa lemah dan sakit. Besoknya kau merasa lebih baik.
Dan beberapa hari kemudian kau kembali lemah kembali. Penjelasan apa yang bisa
kau katakan mengenai kondisimu itu?"
"Setelah seseorang melampaui usia tujuh puluh lima tahun - "
"Tidak mungkin. Kau tidak pernah mengalami hal-hal semacam ini ketika kita
berada di rumah kita sendiri."
"Tidak... Itu benar. Aku tidak pernah seperti itu."
"Well ! Dan aku tidak perlu mengingatkanmu bahwa sebagai apoteker Roger memiliki
akses kemanapun mengenai obat-obatan - termasuk racun."
"Oh, Martha, tidak!"
"Roger itu sangat pintar. Dia melakukannya sodikit demi sedikit, jadi kita hanya
akan merasa sakit pelan-pelan dan suatu saat nanti kita akan mati - karena sebab
yang wajar." Martha seperti mendesiskan kata-kata terakhirnya.
"Semua gejala penyakitmu itu, Louise, adalah akibat keracunan kronis, sepertinya
racun arsenikum. Queenie diberi makan dari piringmu. Tetapi dia hanya menjadi
semakin kurus dan kurus lalu mati, sementara kau hanya menjadi semakin sakit.
Dan Roger membawanya kesini sambil mengarang-ngarang cerita tentang Queenie yang
memakan umpan yang dipasang para petani."
Martha menarik nafas dalam-dalam, paru-parunya dipenuhi dengan kebencian. "Lalu
Roger menyadari bahwa hal yang sama bisa saja terjadi pada Toby. Hanya saja Toby
dia biarkan sakit bersama-sama dengan kita disini, tetapi kita telah curiga
bagaimana cerita sebenarnya. Jadi dia memutuskan untuk melenyapkan Toby
selamanya. Dan kini Toby kita tersayang namun malang telah tiada."
"Oh, jahat sekali," kata Louise menggeragap. "Tapi bagaimana kau bisa yakin?"
"Berdasarkan bukti, termasuk mobil baru yang dibeli Roger kemarin."
"Tapi itu kan bukan mobil yang benar-benar baru," sanggah Louise. "Itu mobil
bekas. Dan Roger memang membutuhkannya, karena musim dingin yang akan datang."
"Itulah tujuan sebenarnya. Kebutuhan. Roger dan Ellen sangat memerlukan uang.
Kau tahu betapa sedikit gaji yang diterima Roger di apotik Mr. Jebway. Kau hanya
perlu mencermati semua fakta-fakta yang ada. Dua tahun yang lalu Roger datang
kemari tanpa tahu dari mana dia berasal - orang asing. Dia bertemu Ellen dan
tanpa pikir panjang akhirnya Ellen mau menikah dengannya. Tapi coba lihat, Ellen
itu biasa-biasa saja. Mengapa Roger tertarik padanya" Aku sebenarnya heran saat
itu. Kini aku tahu. Itu semua karena Ellen adalah pewaris tunggal kita,
kemenakan kita. Dan kita punya rumah megah, juga saham dan surat obligasi yang
ditinggalkan ayah untuk kita. Kemudian Roger melihat kesempatan ini. Dia
menikahi Ellen dan mengira bahwa suatu saat nanti dia akan menguasai harta kita
dengan cepat - dengan cara meracun kita berdua."
"Semua hal yang kau bicarakan tentang Ellen memang benar," kata Louise, dan raut
wajahnya yang mungil dan keriput menunjukkan keraguannya. "Dia itu amat sangat
biasa-biasa saja. Tapi sifatnya yang manis, dan seorang lelaki tidak selalu
menikahi perempuan karena melihat penampilannya saja."
Martha mengacungkan jari telunjuknya yang kurus kering kearah kakaknya. "Kau
tahu, menurutku Ellen sudah berubah. Kau merasakannya bukan, bagaimana dia
menjadi penuh rahasia sekarang ini. Bagaimana dia selalu menghindar saat kita
sedang bicara masalah rumah" Bagaimana Roger dan Ellen diam-diam saling
berpandangan saat mereka pikir kita tidak melihat mereka" Dan bagaimana mereka,
saat kita membicarakan masalah uang, selalu mengalihkan pembicaraan?"
Martha mencondongkan tubuh ke depan, memelankan suaranya.
"Aku lupa. Mereka mungkin mendengarkan pembicaraan kita dari luar pintu.
Sebagaimana yang aku katakan tadi, pertimbangkan semua kenyataannya. Kita
bahagia di rumah kita di kota. Lalu musim panas yang lalu Ellen dan Roger
membuat kita yakin dengan kekhawatiran mereka atas kondisi kesehatan kita.
Karena sakit pinggulku dan arthritismu, mereka bilang kita tidak bisa mengurus
diri dengan benar. Tidak masuk akal! Kita bisa saja menjual beberapa saham kita
dan membayar seorang tukang masak dan pembantu. Tapi tidak. Layaknya nenek-nenek
bodoh kita setuju saja memberi kuasa hukum pada Ellen dan pindah kesini bersama
mereka. Sekarang kita benar-benar terasing. Kita tidak pernah bertemu orang lain
sama sekali, dan bisa dibilang kita tidak pernah meninggalkan rumah. Kita tidak
pernah mendapat surat sepucukpun. Bahkan Hakim Beck juga tidak datang menjenguk
kita, dan aku menulis kepadanya tiga hari yang lalu, memintanya - tidak, memohon
padanya - untuk datang mengunjungi kita. Kukatakan bahwa kita ingin membicarakan
sesuatu yang penting."
"Kau menyurati Hakim Beck?" seru Louise. "Kau tidak mengatakannya kepadaku."
"Karena aku tidak ingin membuatmu khawatir dengan kecurigaanku. Tapi sekarang
aku yakin, dan aku akan menyampaikan semuanya ke pak hakim. Kalau kita bisa
bertemu dengannya, Aku yakin Roger tidak pernah menyampaikan suratku kepadanya."
Bibir Martha menegang. "Kita harus menghadapinya dengan tabah. Roger jadi tidak
sabaran. Kelihatan sekali dia berencana untuk menghabisimu dulu. Kemudian aku.
Dan tidak ada seorangpun yang akan curiga sedikitpun."
"Oh, Martha!" sepasang mata Louise yang pucat kebiruan mengerjap cemas.
"Aku akan memanggil mereka dan mencari tahu bagaimana sikap mereka. Oh, aku
bukannya mau menuduh mereka. Tapi dari cara mereka menjawab pertanyaanku, kita
bisa tahu seberapa banyak yang harus mereka tutupi."
Martha berjalan pincang ke pintu yang menuju ke selasar penghubung ke bagian
rumah utama. Sambil membuka pintu, dia berteriak, "Roger! Ellen!"
"Ya, Bibi?" sahut suara seorang perempuan muda.
Martha kembali ke tempat duduknya dan Ellen segera datang menghampiri. Ia adalah
seorang perempuan muda dengan mata menonjol, dagu tipis dan raut muka khawatir.
Dia masuk, mengelap tangannya ke celemek, dan tersenyum.
"Sebentar lagi makan malam siap," katanya. "Daging bakar. Bagaimana?"
"Bagus sekali, Ellen," sahut Martha, "tetapi kami ingin bicara dengan Roger."
"Apa ada yang memanggilku?" Suara langkah kaki yang beratterdengardi lorong dan
Roger muncul di belakang Ellen. Roger bertubuh pendek, dengan rambut kaku dan
raut wajah cerah, hanya saja garis-garis di sekitar mulut dan kacamata tebal
yang dia kenakan tidak membuatnya tampak menyenangkan.
"Ini aku, Bibi, lengkap." Dia tertawa seperti baru saja menceritakan gurauan.
"Bibi perlu bantuanku?"
Dia melingkarkan tangan di sekeliling pinggang istrinya dan wajahnya berseri-
seri. Di atas bibir yang sedang tersenyum itu sepasang mata dibalik kacamatanya
terlihat bertambah besar dan menyiratkan pikiran rahasia dari benaknya.
"Tiga gadis kesayanganku, semua berada dalam satu atap. Harem kecil rahasia
milikku." Sambil bicara begitu, dia meremas lengan Ellen dengan lembut.
"Roger, aku penasaran mengapa aku belum mendapat surat balasan dari Hakim Beck,"
kata Martha. "Apa kau sudah memberikan suratku padanya?"
"Well, belum,"jawab Roger ragu-ragu. "Aku meninggalkan surat itu pada sekretaris
Hakim Beck. Sebenarnya aku baru akan memberitahukan Bibi malam ini. Hakim Beck
sedang keluar kota."
"Keluar kota?" tanya Louise. Matanya menatap Roger.
Roger berdehem, dan Louise bisa melihat bagaimana Roger dan Ellen saling
melirik. "Beliau pergi ke Boston karena ada kasus di sana. Menurut sekretarisnya, kasus
itu lumayan penting."
"Tetapi Pak Hakim tidak punya klien di Boston," sahut Martha tegas.
"Beliau pergi atas permintaan klien lokal," sambung Roger. Raut wajahnya yang
tidak tenang semakin terlihat.
"Kapan beliau kembali" Pak Hakim itu benci Boston."
"Mungkin satu atau dua hari lagi," sahut Roger cepat. "Segera setelah beliau
kembali, surat Bibi akan segera dibaca."
"Mmm." Martha memandang penuh arti ke arah Louise dan Louise membalas dengan
anggukan yang mengisyaratkan bahwa dia juga bisa melihat pengingkaran Roger.
"Ada berita di koran Call hari ini, Roger, yang mengatakan bahwa Ellen telah
rumah kami ke Boggs untuk dijual. Tentu saja, menggunakan kuasa hukum yang kami
serahkan padanya. Itu pasti tidak benar."
Lagi-lagi mereka melihat Roger dan Ellen saling berpandangan secara diam-diam.
Kepercayaan diri Roger hilang pelan-pelan.
"Well, tidak, Bibi Martha," katanya. "Rumah itu perlu perbaikan dimana-mana.
Kami pikir Bibi berdua bahagia tinggal bersama kami dan - well, kami pikir rumah
itu memang harus dijual."
"Roger!" Martha bangkit, bersandar pada penyangganya kemudian berdiri berhadapan
dengan Roger yang tidak berani menatap matanya. "Kau ingat, kami setuju untuk
tinggal di sini asal kami bisa kembaii ke rumah kami kapanpun kami mau. Bukan
begitu, Ellen?" "Ya, tentu saja, Bibi Martha," sahut Ellen sambil memilin-milin celemeknya.
"Dan maksud dari pernyataan tersebut adalah kami sama sekali tidak berniat
menjual rumah itu selama kami masih hidup."
"Kami ingin pindah kembaii," kata Louise dengan suara bergetar.
"Oh, Bibi Louise!" protes Ellen. "Bibi tidak boleh begitu!"
"Mengapa tidak" Apa alasannya?" tanya Martha.
"Sebentar lagi musim dingin," sambung Roger yang mendapatkan keyakinannya
kembali. "Rumah itu perlu membutuhkan pemanas yang baru, dan pemasangannya
memerlukan waktu lama dan mahal. Mungkin baru musim panas nanti kita bisa
memasangnya. Tidak ada yang lebih buruk daripada rumah yang dingin ketika cuaca
sedang bersalju, apalagi bila Bibi sedang sakit." Saat itu wajahnya hampir bisa
dikatakan menarik, meskipun garis-garis itu terlihat semakin dalam.
"Lagipula, seperti yang dikatakan Ellen, kami ingin Bibi tingal bersama kami.
Kami pikirakan menyenangkan bagi kita jika Bibi tidak hidup sendiri."
Dengan tatapannya Martha memperingatkan Louise untuk tidak protes. "Kami akan
memikirkannya dan membicarakan masalah ini dengan Hakim Beck," jawabnya.
"Itu baru gadisku! Well, Ellen, ayo kita makan malam. Aku harus kembali ke
apotik malam ini. Mr. Jebway kelihatannya agak flu saat ini."
Roger dan Ellen kembali ke bagian rumah yang mereka tempati.
Martha berpaling pada Louise. "Well" Kau setuju denganku sekarang?"
"Oh, ya, aku setuju," jawab Louise menggeragap. "Ya ampun, kelihatan sekali
kalau dia berbohong. Sistem pemanasan di rumah kita bekerja dengan sempuma. Kita
tidak pernah mengalami gangguan pemanas sejak Ayah memasangnya tiga puluh tujuh
tahun yang lalu." "Dan siapa klien lokal yang sampai mengutus Hakim Beck pergi ke Boston?" tanya
Martha dengan suara mencibir. Dia menatap lurus-lurus ke wajah kakaknya. "Apakah
kau lihat tadi Roger berkata dia harus kembali lagi ke apotik malam ini" Seakan-
akan dia hanya berpikir bagaimana cara melarikan diri dari sini sebelum kita
sempat bertanya-tanya lagi. Tampaknya dia perlu lebih banyak racun dari
persediaan obat Mr. Jebway."
"Martha!" seru Louise, dengan jemari refleks menutup bibirnya yang bergetar.
Malamnya dua bersaudara tersebut tidak dapat tidur nyenyak. Martha terbangun
beberapa kali dan berjalan tertatih-tatih ke jendela sambil memanggil Toby. Tapi
tetap saja suara sahutan meooong itu tidak kunjung datang.
"Toby mati," kata Martha pada Louise keesokan paginya. "Kita tidak akan pernah
melihat Toby lagi." "Toby yang malang." Mata Louise yang biru pucat berkaca-kaca. "Mereka itu
monster. Dulu kupikir Ellen gadis yang manis."
"Dulu memang begitu," sahut Martha.
"Roger telah mengubah seluruh sifatnya. Secara alami, perempuan biasa menuruti
perintah dan bimbingan suaminya."
"Tapi menuruti perintah Roger untuk membunuh kita - "
"Sejauh ini mereka hanya membunuhi kucing. Kita akan cari cara untuk mencegah
mereka membunuh kita. Aku punya rencana."
Nada suara Martha terdengar putus asa.
"Sebenarnya aku tidak suka jika aku harus melakukannya, tapi cara ini akan
kupergunakan bila terpaksa."
Terdengar langkah kaki di lorong, dan Ellen datang membawa nampan.
"Selamat pagi," katanya sambil meletakkan piring di atas meja.
Dilihat dari wajahnya pagi itu, kelihatannya Ellen tidak bisa tidur nyenyak
semalam. "Telur rebus, keik panas dan teh. Enak dan mengenyangkan. Tahukah Bibi,
ada butiran es di kandang ayam pagi ini."
"Kami sama sekali tidak bisa tidur nyenyak tadi malam," kata Martha pada Ellen.
"Kami mengkhawatirkan Toby."
"Ya ampun , dia belum kembali?" kekhawatiran Ellen tidak dibuat-buat. "Kuharap
dia belum - maksudku, kuharap dia tidak keluyuran kemana-mana. Tapi meskipun dia
melakukannya, Toby pasti akan kembali."
"Aku tidak bisa makan, sungguh, makanan ini tidak tertelan," sahut Louise sedih
setelah Ellen pergi. Dia hanya mengacak-acak keik panasnya yang berwarna coklat
keemasan. "Kita harus menjaga agar tubuh kita tetap kuat," kata Martha. "Makan saja
telurnya. Telur itu di dalam cangkang, jadi sangat aman dimakan. Dan minum
tehnya." "Aku coba." Louise akhirnya bisa memakan telur dan minum teh, meskipun dirasa
agak terlaiu kental. Martha memakan semua keik coklat dan telur di piringnya.
Tapi dia juga merasa teh pagi itu terlalu kental.
"Apakah kau bisa menyelinap keluar dan menelepon Hakim Beck?" tanya Louise
ketika mereka selesai sarapan.
"Kamu lupa!" Martha memandang kakaknya dengan serius. "Bulan lalu Roger mencabut
saluran telponnya." "Ya Tuhan, iya," seru Louise. "Katanya tagihan telpon terlalu mahal."
"Meskipun kita menawarkan diri untuk membayarnya. Itu cara pertama yang
dilakukannya untuk memutuskan hubungan kita dengan dunia luar."
"Sekarang kita tidak mungkin bisa minta tolong!" suara Louise bernada panik.
"Kita masih bisa. Seperti yang kukatakan tadi malam, aku benci melakukannya,
tapi akan kujakukan jika terpaksa. Sekarang, lanjutkan pekerjaanmu menjahit
selimut. Aku akan membacakan koran untukmu. Kita harus pura-pura sibuk. Apa yang
pertama harus kubaca?"
"Oh, berita kematian," kata Louise. "Kalau-kalau ada orang yang kita kenal
meninggal dunia." Wajahnya khawatir. "Kita tidak mendapatkan kabar lagi sekarang
ini. Mary Thompson biasanya memberitahu kita jika terjadi apa-apa, tapi dia
tidak punya mobil - " suara nafas Martha yang tertahan membuat Louise menghentikan
ucapannya. "Ada apa?"
"Mary Thompson!"
"Dia tidak mati kan?" tanya L o u i s e , waspada.
"Tidak," sahut Martha sambil memainkan mulutnya . "Tapi mungkin dia lebih baik
meninggal. Menurut berita, dia masuk Haven Home."
"Oh, tidak!" teriak Louise.
Martha mengangguk. "Perempuan malang itu memintanya sendiri. Bayangkan, orang
seusianya dipaksa tinggal di tempat tua dan mengerikan itu. Tempat itu dingin,
busuk, dan penuh tikus. Benar-benar Rumah Perlindungan! Nama yang bagus bukan
berarti tempatnya juga bagus. Tempat itu hanya sebuah rumah di desa dan sudah
rusak, mencoreng lingkungan! Baginya, itu sama saja dengan mati."
"Mary yang malang," ujar Louise sedih. "Oh, aku teringat pada acara minum teh,
dengan perapian yang sedang menyala dan kucing-kucing yang tidur di depannya,
dan Mary datang mengunjungi kita."
Raut wajahnya berubah bagai anak kecil yang kegirangan. "Jika kita bisa kembali
ke rumah kita yang lama Mary bisa tinggal bersama kita! Kita akan membayar
beberapa pembantu dan itu pasti akan menyenangkan!"
"Kita bisa," kata Martha berjanji. "Mary Thompson tidak akan melewati hari-hari
sepinya di tempat mengerikan itu selama kita masih punya cara untuk
membantunya." Harapan untuk mendapatkan rumah mereka kembali dan tinggal serumah dengan
sahabat lama mengangkat suasana hati Louise beberapa saat. Kemudian , saat
hendak menjahit potongan perca yang dua puluh tahun silam adalah gaun wol
terbaik yang biasa dipakai ke gereja di hari Minggu, tiba-tiba Louise tertegun.
"Aku - aku merasa tidak enak badan." Dia menunggu beberapa saat, kemudian menatap
adiknya dengan ngeri. "Aku sakit. Lebih baik aku tidur."
Martha membantunya naik ke ranjang dan memijat pergelangan tangan Louise. "Sudah
agak baikan?" tanyanya.
"Aku merasa aneh," jawab Louise berbisik.
" Lemah , tidak berdaya dan - dan kaget. Seperti - sepertinya aku diracun!" Kata-
kata terakhir itu keluar dalam bisikan putus asa dan ketakutan, dan ketika
terucap kedua kakak beradik itu bersitatap dengan sebuah pengertian yang tampak
jelas di mata mereka. "Tehnya," kata Martha. "Oh, pintar sekali Roger itu. Tapi aku tidak meminumnya
dan kau hanya minum sedikit - " dia mencengkeram pergelangan tangan Louise dengan
kuat. "Aku yakin kau tidak sakit parah. Kau hanya minum teh itu sedikit dan itu
tidak cukup untuk membuatmu keracunan. Lagipula, aku yakin Roger merencanakan
untuk melakukannya perlahan-lahan, untuk membuatnya terlihat seperti penyakit
yang bisa menyebabkan kematian. Tapi kita akan memaksa mereka untuk memanggil
dokter Roberts . Dan dia akan menyampaikan pesan kita ke Hakim Beck."
"Kamu memang cerdas, Martha," ujar Louise menggumam kagum.
"Sebelum kita bertemu Hakim Beck, kita harus merahasiakan kecurigaan kita
terhadap Roger dan Ellen. Kalau sampai terlihat, dia tidak akan menunggu lama-
lama."
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, tentu tidak."
Tetapi ketika Ellen masuk, dia tidak menyarankan agar mereka dijenguk oleh
dokter. Ellen hanya mondar-mandir mengurusi Louise dan menyarankan minum
aspirin, bikarbonat dan botol air panas. Bagaimanapun, Martha tetap memaksa dan
akhirnya, dengan malas, Ellen mengenakan mantel dan pergi ke rumah tetangga
terdekat yang jaraknya seperempat mil untuk menghubungi dokter Roberts lewat
telpon. Dia kembali, mengabarkan bahwa dokter Roberts sedang menangani
kelahiran, tapi akan datang secepatnya.
Waktu berjalan lambat. Louise tidak bertambah parah. Tetapi dia tetap tinggal di
kasur, selalu mengaduh dan mengeluh, sementara Martha memijat pergelangan
tangannya dan menyeka pelipisnya dengan minyak angin.
Mereka menolak makan siang dan hal ini membuat Ellen bertambah panik.
"Tapi Bibi harus makan," bujuknya "supaya Bibi tetap kuat."
"Aku sudah makan banyak tadi pagi," kata Martha. "Dan aku yakin Louise malah
akan bertambah parah jika dia makan dalam keadaan tegang seperti ini. Lebih baik
tidak makan apapun ketika perutmu sedang bermasalah."
Ellen yang kelihatan marah dan khawatir itu akhirnya membawa nampan makan siang
mereka keluar. Dokter Roberts datang sore-sore, agak kedinginan dan nafas berembun. Dia adalah
seorang lelaki pendek dan gempal dengan rambut-rambut halus berwama putih,
sedikit lebih muda dari kedua kakak-beradik itu.
"Ayo, ayo... ada apa ini?" tanya si dokter sambil duduk dan meraba denyut nadi
di pergelangan tangan Louise. "Mmm. Sepertinya kamu gelisah. Coba kuperiksa
lidahmu, gadis kecil."
Martha segera mendekat ketika dokter Roberts memasang stetoskop dan mendengar
denyut jantung Louise. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Louise?" tanyanya sambil mengelus dagunya. "Kata
Ellen kucingmu baru saja hilang?"
"Kucing itu diracun , " kata M a r t h a .
"Sekarang Toby sudah tidak ada. Kami khawatir kalau-kalau Toby juga diracun."
"Hmmm, hmmm. Gawat sekali. Menurutku kau terlalu mencemaskan binatang
peliharaanmu. Aku akan memberimu resep yang dapat dibeli Roger. Kau beruntung,
ada Roger yang bekerja di apotik. Kau bisa mengheat setengah harga obat.
Sekarang ini harga obat sangat mahal."
"Cemas!" seru Louise ketika dokter Roberts meraih buku resepnya. "Dokter, aku - "
Martha mengisyaratkan Louise untuk diam. Dokter Roberts, yang sedang sibuk
dengan resepnya, tidak memperhatikan kedua perempuan itu.
"Dokter," tanya Martha ketika dokter sedang melipat stetoskopnya , "bisakah Anda
menyampaikan pesan kami untuk Hakim Beck?"
"Tentu, tentu, Martha. Apa pesannya?"
Dokter Roberts berdiri dan memijit lembut puncak kepalanya yang botak.
"Tolong katakan pada Hakim Beck untuk datang kesini malam ini! Katakan padanya
ini amat sangat penting."
"Amat sangat penting. Hmmm.. aku tidak suka memintanya pergi malam-malam. Dia
sedang demam." "Jadi, dia tidak sedang di Boston?" tanya Louise.
"Boston" Darimana kalian tahu bahwa dia di Boston" Dia sedang sakit ketika
terakhir aku bertemu dengannya."
"Tolong minta padanya untuk datang malam ini," kata Martha memohon. "Katakan
padanya ini masalah hidup dan mati."
"Hidup dan mati" Hmmm." Dokter Roberts mengangkat alisnya yang putih dan tebal.
"Well, baiklah, baiklah, bila dia sudah cukup sehat. Dan jangan khawatir tentang
Toby dan Queenie. Peliharalah lagi beberapa anak kucing yang sehat dan kalian
akan merasa jadi perempuan baru."
"Saat kami kembali ke rumah kami di kota kami akan melakukannya," sahut Martha
tegas. "Pasti menyenangkan melihat kucing yang bermain-main di depan perapian."
"Rumah kalian di kota?" tanya si dokter keheranan. "Mengapa kalian ingin kembali
kesana" Tempat itu terlalu besar buat kalian - amat sangat besar. Kalian tidak
akan mampu menjaganya. Kusarankan lebih baik kalian tetap disini karena ada yang
akan merawat kalian."
Setelah dokter itu meninggalkan ruangan, Martha mendengar Ellen berbicara
dengannya di lorong. Martha melongokkan kepalanya keluar pintu untuk mencuri
dengar. Sesaat kemudian dia berjalan kembali ke samping Louise.
"Katanya kau hanya gelisah," bisiknya. "Dia meresepkan obat penenang."
"Obat penenang! Seharusnya tadi kita bilang kalau itu racun!"
"Dia tidak akan mendengarnya. Tidakkah kau lihat" Semua orang berpihak pada
Ellen dan Roger. Orang-orang semua mengira mereka adalah sepasang suami istri
yang manis dan menyenangkan yang merawat dua orang nenek tua yang tidak
berdaya." Martha melambaikan tangannya putus asa.
"Louise, meskipun Hakim Beck datang malam ini, dia pasti akan berpikiran sama.
Aku bisa menyimpulkannya sekarang. Kita berdua sudah berada di kuburan dalam
waktu sebulan dan semua orang akan bersedih untuk Roger dan Ellen."
"Kita berikan saja saham dan surat berharga kita pada mereka," bisik Louise. "
mereka tidak punya alasan untuk membunuh kita."
"Tentu saja tidak boleh." Mata Martha membelalak. "Mereka akan langsung membawa
kita ke Haven Home. Kau mau hari-harimu berakhir di tempat yang mengerikan itu?"
"Lebih baik aku mati. Tapi bila tak ada satupun yang mau mendengarkan kita - "
"Hanya ada satu cara, kita harus kabur."
"Martha!" Louise terduduk. "Kau tahu kita tidak bisa seperti itu. Kau bahkan
tidak akan sanggup berjalan setengah mil ke rumah keluarga lain, apalagi sambil
mendorong kursi rodaku. Kita akan mati kedinginan. Coba dengar angin di luar
sana!" Angin itu menggetarkan daun jendela sekan menegaskan pernyataan Louise. Tetapi
Martha mengangguk-angguk dengan raut wajah misterius.
"Kau akan lihat. Aku sudah mengatakannya, aku punya rencana. Kita akan kabur.
Jangan takut." "Tapi jika kita memang bisa kabur, mereka akan mengatakan kita ini nenek-nenek
yang tolol dan mereka pasti akan membawa kita kembali kesini lagi," sahut
Louise. "Aku juga sudah memikirkannya. Kita akan lari dan mereka akan membawa kita
kembali ke rumah lama. Tapi kita harus menunggu sampai Roger pulang."
Tanpa menghiraukan rasa penasaran Louise, Martha tetap bungkam mengenai
rencananya itu. Ketika hari beranjak sore, suhu mulai bertambah dingin, dan saat
malam mulai menjelang suhu dingin mulai terasa mendesak jendela-jendela tinggi
di rumah itu. Martha mulai memilah-milah perhiasan dan pernak-pernik berharga
yang mereka miliki dan mengumpulkannya menjadi satu dan dimasukkan dalam syal.
"Kita tidak bisa membawa banyak-banyak,"
katanya. "Kita harus meninggalkan pakaian kita disini. Tapi kita bisa menjual
saham kita dan membeli pakaian lagi."
Louise merasa lebih baik dan sekarang dia duduk. "Kuharap aku tahu lebih banyak
tentang rencanamu itu. Kau pasti tidak akan bisa berjalan sambil mendorongku
sejauh setengah mil. Kita akan membeku."
"Bantuan akan datang pada waktunya," sahut Martha berjanji. "Sekarang kau harus
ingat, Ellen dan Roger tidak boleh mencurigai hal ini karena mereka adalah
pembunuh. Mereka telah membunuh Queenie dan Toby mereka berencana membunuh kita
juga. Biarkan aku saja yang bicara."
"Baiklah," sahut Louise pasrah. "Tapi kita tentu tidak akan makan makanan
mereka, bukan?" "Tentu saja jangan. Sekarang sssttt - Roger sudah pulang, dan kurasa aku dengar
Ellen membawakan kita makan malam."
Terdengar suara piring berdentingan dan Ellen masuk membawa nampan berisi piring
dan peralatan makan perak. Roger berdiri di belakangnya, kacamata tebalnya
berkilat dalam cahaya lampu.
"Dr. Roberts memintaku untuk mebawakanmu obat istimewa, Bibi Louise," kata
Roger. Dia tersenyum lebar saat mengambil botol obat itu dari saku, melempar dan
menangkapnya kembali. "Debu emas murni mungkin lebih murah. Tetapi dengan obat
ini, dalam seminggu Bibi akan selincah anak kuda."
"Terima kasih, Roger. Aku akan meminumnya nanti."
"Sebelum makan, begitu resepnya. Ini. Ditelan, ya."
Dia memegang sebutir kapsul merah dan segelas air. Louise menatap Martha seolah
memohon padanya, kemudian menelan kapsul itu.
"Itu baru gadisku. Bibi harus meminumnya lagi sebelum tidur."
"Kau sudah menemukan Toby?" tanya Martha. "Dia masih belum pulang."
Roger membasahi bibirnya dan Ellen langsung menyela. "Toby" Tidak, tapi aku
yakin dia akan kembali. Dia hanya keluyuran di luar."
"Kukira aku mendengarnya di ruang bawah tanah. Kedengarannya dia lemah sekali."
Martha terlihat khawatir. "Tolonglah, Roger, maukah kau lihat ke bawah?"
"Di ruang bawah tanah?" Roger dan Ellen saling berpandangan tidak nyaman. "Aku
heran mengapa dia ada di bawah sana. Aku juga pernah mendengarnya mengeong
disana sebelum kejadian ini."
"Ayolah, Roger. Tolong dilihat. Kau juga mendengarnya bukan, Louise?"
"Oh, iya. Aku yakin dia ada di ruang bawah tanah," sahut Louise.
"Tidak ada salahnya melihat kesana," saran Ellen. "Mungkin dia menyelinap masuk
saat aku mengambil persediaan makanan kita dua hari yang lalu."
"Baiklah, aku pergi." Roger mengangkat bahunya dengan gaya berlebihan. "Ke ruang
bawah tanah untuk menemukan Toby."
Dia melangkah ke lorong dan mereka mendengarnya menuruni tangga dengan berisik.
Sesaat kemudian mereka mendengar gumaman di bawah lantai.
"Tidak ada tanda-tanda adanya kucing disini."
"Ellen, tolong, bantu Roger mencari Toby," pinta Martha. "Toby mungkin sembunyi di belakang tempat batu bara dan Roger tidak dapat melihatnya."
"Well, baiklah," sahut Ellen, dan pergi menyusul Roger di ruang bawah. "Kemari,
Toby." Mereka bisa mendengar suara Ellen dan Roger memanggil-manggil Toby.
Martha terpincang-pincang menuju lorong dan pelan-pelan menutup pintu ruang
bawah tanah. Kemudian didorongnya palang pintu yang berat itu ke tempatnya.
"Sudah!" kata Martha dengan suara penuh kemenangan. "Sekarang kita bisa kabur."
"Tapi kita akan kedinginan!" Louise memekik ketika Martha setengah menariknya
dari tempat tidur dan membantu mengenakan pakaian hangat. "Dan mereka akan
membawa kita kembali lagi kesini."
"Tidak. Mereka tidak akan mengirim kita kembali kesini."
Martha kemudian mengenakan mantel dan mengerudungi kepalanya dengan syal ,
kemudian mendudukkan Louise di kursi roda.
Saat itulah Roger dan Ellen sadar pintu ruangan sudah terkunci rapat dan mereka
menggedor-gedomya. "Bibi Martha!" teriak Ellen memanggil-manggil. "Buka pintu! Mengapa dikunci?"
"Hey Bibi!" teriak Roger. "Leluconnya bagus, sekarang biarkan kami keluar. Toby
tidak ada di bawah sini. Kami sudah mencarinya kemana-mana."
"Toby tidak ada di bawah karena mereka telah membunuhnya." Martha bergumam sinis
sambil menatap Louise. Dia mendorong kakaknya ke selasar yang menuju ke pintu depan dan keluar melalui
beranda. Malam menjelang, dan diluar sana gelap gulita. Angin dingin
menggoyangkan dahan-dahan pohon yang meranggas, suaranya berdengung lembut.
Louise memekik kaget ketika Martha membuat kursi rodanya tersandung satu anak
tangga dan Martha terus mendorong sampai ke jalan raya, seratus meter dari
rumah. Lalu dia memutar kursi itu dan mengunci rodanya.
"Sekarang kau tunggu sebentar," ujarnya.
"Aku tidak akan lama."
Martha berjalan tertatih-tatih dan masuk kembali ke dalam rumah, mengacuhkan
teriakan Roger dan Ellen yang memohon dari ruang bawah tanah yang terkunci
rapat. Terbungkus dalam syal dan mantel tebal, Louise menunggu dalam gelap di
luar rumah Angin mempermainkannya, menggigitinya bagai geligi kecil, dan Martha kembali,
membawa syal dengan perhiasan mereka di dalamnya.
"Martha!" teriak Lousie. "Aku kedinginan. Apa yang akan kau lakukan?"
"Kau akan lihat." Martha berhenti di sebelahnya, menggigil, dan membungkuk
bertelekan tongkat. "Kau akan lihat nanti, Louise. Perhatikan saja rumahnya."
Lousie memperhatikan. Di belakang jendela tepat di bagian sayap tempat tinggal
mereka terlihat semburat kuning cerah. Berkelap-kelip, kemudian menyembur. Dan
semburat kuning itu membesar dengan cepat dan berubah menjadi tirai api yang
menjilat-jilat melalui jendela yang setengah terbuka. Api terus bertambah besar,
menjadi lebih besar dan kuat seiring angin yang berhembus di sela-sela tanaman
rambatyang lebat. "Api!" Louise tersentak. "Rumah itu terbakar!"
"Aku memercikkan minyak tanah dari lampu ke sekitar ruangan," sahut Martha,
"ingat, Ellen dan Roger berencana membunuh kita. Mereka telah melakukannya pada
kucing-kucing kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri. Tidak ada jalan
lain." Suara Martha sedikit meninggi. "Tapi ingat. Kita tidak boleh membicarakan
rencana mereka ini kepada siapapun. Mereka keturunan kita. Tidak ada seorangpun
yang akan mempercayainya. Anggaplah semua ini adalah tragedi yang menyedihkan.
Kau mengerti?" "Oh, ya. Ya," sahut Louise, senang. "Kau sangat cerdas. Sekarang akan ada orang
yang melihat api itu dan memanggil pemadam kebakaran. Bukankah begitu?"
"Ya, kebakaran di desa selalu menarik perhatian orang. Begitulah cara kita
memanggil bantuan karena kita tidak berdaya. Setelah semua ini berakhir, kita
akan kembali ke rumah lama kita."
Kemudian mereka mengamati api itu dalam diam. Lidah api dari jendela semakin
besardan segera berubah menjadi obor raksasa. Setelah beberapa saat terdengar
raungan sirine yang sayup-sayup terdengar dari atap pemadam kebakaran di kota.
"Api ini lumayan hangat." Louise bergumam sambil mengulurkan tangannya ke arah
rumah. "Nyaman sekali rasanya."
Atap tempat tinggal mereka runtuh sambil memercikkan bara api, seiring datangnya
mobil pemadam kebakaran dan para petugas yang mengenakan helm yang saling teriak
satu sama lain. Tetapi rumah itu sudah diselimuti api dan para petugas tidak
bisa berbuat apa-apa. Perapian ruang tamu hakim Beck berderak menyenangkan. Martha dan Louise
memandangnya, dan melihat bayangan-bayangan indah disana.
"Kita akan berada di rumah kita sendiri secepatnya," gumam Louise.
"Dengan anak-anak kucing yang bermain di karpet dan Mary Thompson menemani kita.
Putri Mrs. Rogers bisa kita perbantukan dengan bayaran dua puluh lima dolar
seminggu. Kita mampu membayarnya dengan mudah."
"Harta kita akan bertahan selama kita masih hidup," jawab Martha menyetujui.
"Kurasa aku mendengar Pak Hakim datang."
Pintu terbuka, tetapi bukan seorang lelaki yang masuk melainkan seekor kucing
Siam yang menyelinap. Kucing itu melompat ke pangkuan Martha dan mengeong
senang. "Toby!" seru Louise.
"Toby!" ujar Martha mengikuti. "Darimana saja kau, kucing nakal?"
"Kukira dia akan menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan," sebuah suara kering
menyahut. Suara itu berasal dari Hakim Beck, seorang pria kurus, tinggi dan agak
bungkuk berusia enampuluhan, yang berjalan masuk di belakang si kucing. "Sesuatu
yang akan membuat hari-hari mendung ini sedikit berwarna. Salah satu petugas
pemadam kebakaran menemukannya semalam tidak jauh dari reruntuhan."
Dia menyalami masing-masing perempuan itu dengan genggaman tangan yang kuat,
kemudian meniup hidungnya dengan suara keras.
"Maaf," katanya. "Saya terserang demam ketika berada di Boston. Kota yang
buruk.Berangin, ribut."
" Anda - ke Boston " " tanya Martha. Bibirnya terasa kering tiba-tiba.
"Tiga hari. Dan bisa dibilang semuanya sia-sia saja."
Hakim itu duduk dan menggelengkan kepalanya.
"Ini adalah peristiwa yang sangat menyedihkan. Rumah-rumah kuno adalah perangkap
api yang mengerikan. Tapi kita tidak akan bicara masalah itu. Lebih baik kita
tidak membahasnya. Kita akan bicara tentang kalian, karena Roger dan Ellen -
well, tiada." "Oh, kami akan baik-baik saja," sahut Louise cepat. "Kami akan pindah kembali ke
rumah lama. Dan kami akan membawa serta Mary Thompson bersama kami. Dia tidak
boleh tinggal lebih lama seharipun di tempat mengerikan itu."
Hakim Beck meniup hidungnya kembali. Raut wajahnya terlihat sedih saat tanpa
sadar dia menelusuri lambang Mason di jam berantai emas miliknya.
"Martha, Louise - " Hakim Beck berhenti sesaat. Mereka memandangnya, sepasang mata
cerah di wajah antik itu. "Sulit bagiku untuk mengatakannya pada kalian.
Kunjunganku ke Boston sesungguhnya mengenai kalian."
"Mengenai kami?" tanya mereka beriringan.
"Sesungguhnya mengenai harta warisan ayah kalian, tepatnya. Sebagaimana yang
kalian ketahui, warisan itu terdiri dari sejumlah uang - yang sudah di
belanjakan - dan beberapa saham Rel Kereta Api di New England dan Toronto."
"Ya?" tanya Martha, dan mereka tetap saja menatapnya.
"Well, bisnis perkeretaapian sedang menurun belakangan ini dan New England dan
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Toronto menderita bangkrut musim panas yang lalu. Itulah alasan mengapa Ellen
dan Roger menginginkan kalian tinggal bersama mereka, agar bisa merawat kalian.
Ellen menginginkan kuasa hukum darimu untuk memudahkannya dan Roger mengurus
sisa harta yang ada tanpa kalian ketahui. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya,
tetapi mereka khawatir hal tersebut akan membuat kalian cemas. Karena itulah
kami tetap menutupi dan merahasiakannya. Sayang sekali, sekarang kalian harus
tahu, Martha dan Louise. Aku turut bersedih karena rumah kalian yang lama tidak
bisa ditempati. Bahkan kami tidak bisa menemukan orang yang mau membelinya.
Tidak ada dana untuk merenovasi. Bahkan tidak ada uang yang tersisa dari harta
warisan yang ditinggalkan ayahmu." Hakim Beck berhenti sesaat. Dengan lembut
Hakim Beck melanjutkan, "Kalian mungkin sering bertanya-tanya mengapa Ellen dan
Roger sering merasa tegang dan malu. kalian tahu. Percayalah , mereka tidak
keberatan. Mereka mencintai kalian."
Kedua bersaudara itu saling pandang, membisu dalam kengerian.
"The Haven Home." Suara Louise berbisik sangat pelan. Martha bahkan tidak bisa
berkata apa-apa.[] PERMAINAN Mike Marmer Matahari merah-jingga yang hampir terbenam di langit Jamaika tergantung rendah
di cakrawala Kepulauan Karibia seolah sengaja berada disana untuk bergaya.
Bayang-bayang senja memanjang sudah, miring, dengan warna hitam lembut di atas
semak bougenvil dan bunga sepatu yang berwarna cerah, dan ujung bayang-bayang
itu berakhir di bagian depan Hotel Dorando yang mewah dan terang di Montego Bay.
Pemandangan itu seperti yang terdapat pada gambar-gambar di kartu pos, ketika
tubuh George Farnham, dengan tangan menggapai-gapai liar dan teriakan yang makin
lama makin terdengar samar, melesat turun melewati dedaunan kelapa dan
terjerembab di beranda bawah.
Dua puluh menit kemudian, di kamar lantai dua belas di mana almarhum Mr. Farnham
memulai perjalanan jatuhnya ke beranda, jandanya duduk membisu di sofa, dengan
raut wajah kedukaan. Di seberangnya , Mr. Tibbie, Asisten Manager yang sedikit botak, duduk
bertengger seperti burung di pinggir kursi. Wajahnya menyiratkan dukacita,
selain perasaan tidak nyaman yang membebaninya selama seperempat jam terakhir
sejak janda Mr. Farnham berada dalam tanggungjawabnya.
Tibbie menggeleng-gelengkan kepala.
"Buruk sekali," ujarnya ke arah Mrs. Farnham.
"Kecelakaan yang buruk sekali," ulangnya.
Janda Mr. Farnham mendongak, mendapati raut wajah penuh simpati Mr. Tibbie yang
mengangguk samar, dan menundukkan kepalanya kembali.
Kecelakaan. Hal itu tidak pernah terlintas di benaknya, kematian George dianggap
sebagai kecelakaan. Dalam waktu sepersekian detik di teras tadi, dia hanya
memikirkan polisi, pemeriksaan dan pengadilan. Tetapi disini, untuk kesekian
kalinya dalam lima belas menit terakhir, Mr. Tibbie menyebutnya sebagai
kecelakaan. Dan sebelumnya , saat dia bergegas menuju beranda secepat mungkin dengan lift,
semua orang berbisik-bisik mengenai kecelakaan itu.
"Tragedi," bisik mereka.
"Kecelakaan yang mengerikan... perempuan yang menyenangkan... dengan dua anak-
anak yang cantik dan tampan... kecelakaan yang sangat buruk."
Apakah tidak ada seorangpun yang melihat kejadian di teras saat itu"
Priscilla Farnham adalah seorang perempuan lembut dan agak gemuk, dengan garis-
garis kecantikan masa remaja yang masih membayang di wajahnya. Selama ini tidak
pernah dia menganggap dirinya sebagai orang yang kuat dan cerdik, dan sekarang
dia terkejut mendapati kekuatan yang terdapat dalam dirinya untuk bisa tabah
menghadapi semua ini. Dia heran akan kemampuannya untuk tetap tenang dan tetap
mengenakan topeng sedih seorang janda yang baru ditinggal suaminya.
Perasaanya pada George sudah hilang sejak lama. Seingatnya, Priscilla hanya
merasa sedikit menyesal ketika dia memandang ke bawah dari balkon. Menurutnya,
George seperti sepotong bagian aneh dari sebuah gambar teka-teki yang terbingkai
di lempengan lantai batu.
Suara telpon membuyarkan lamunannya.
Tibbie, dengan pandangan minta maaf karena suara telpon yang mengganggu,
bergegas menjawabnya. Dia memperkenalkan siapa dirinya, mendengarkan , kemudian
mengatupkan sebelah tangannya ke telpon.
"Ini Pak Edmonds, dari kepolisian. Dia bilang, ada orang dari C.I.D yang
menunggu di lobi dan, bila Anda menyanggupi, dia akan datang kesini dan
mengajukan beberapa pertanyaan."
Tibbie tersenyum meyakinkan. "Saya yakin, ini hanya tugas rutin mereka. Anda
adalah pelancong di pulau ini. Dan menurut Pak Edmonds, dia akan membawa seorang
penyelidik bersamanya."
Wajah Priscilla pasti menunjukkan perubahan, karena Tibbie langsung menambahkan:
"Tapi bila Anda keberatan mengenai hal ini..."
"Tidak, tidak, mereka dipersilahkan untuk datang kemari," sahutnya.
Tibbie menyambungkan jawaban itu ke telpon, kemudian kembali menoleh ke
Priscilla. "Lima menit?" Priscilla mengangguk. "Lima menit bisa," kata Tibbie memberitahu Pak Edmonds lewat telpon, kemudian
meletakkan gagang telpon kembali ke tempatnya.
Matanya memandang Priscilla kembali. "Apa masih ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Saya akan sangat berterimakasih jika Anda sudi menjaga anak-anak."
Dengan wajah yang menunjukkan rasa terima kasih karena diperkenankan pergi, dia
bergegas menuju kamar tidur.
Anak-anak. Merekalah yang terpenting saat ini. Apa yang dapat mereka perbuat
tanpa dirinya" Dia membayangkan Mark, dengan rambut ikalnya yang legam dan bulu
mata yang panjang. Usianya baru sembilan tahun, tetapi sudah menunjukkan ciri
fisik tubuh yang tegap dan tampan saat dia dewasa nanti. Dan Amy, berbeda dua
tahun dari Mark, mewarisi kecantikan dan rambut pirang Priscilla dengan mata
violet yang besar. Berpikir untuk berpisah dengan mereka membuatnya kacau, dan
kecerdikan yang baru saja didapatnya itu tiba-tiba dibayangi rasa ketakutan.
Lima menit. Lima menit untuk membangun benteng pertahanannya. Untuk apa" Mungkin
pertanyaan-pertanyaannya nanti hanya formalitas belaka, penyelidikan tentang
peristiwa kecelakaan yang mengerikan, seperti yang diyakinkan oleh Mr. Tibbie,
dan tidak perlu persiapan berlebihan untuk menghadapinya.
Tetapi bila anggota C.I.D itu memeriksa lebih jauh , bila mereka bisa
mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, penyeiidikan tersebut akan berbeda
sama sekali. Pembunuhan! Priscilla menggigil mengingatnya, tetapi harus disebut apalagi selain
pembunuhan" Dia mengakui, kematian George bukan hal yang sudah "dipersiapkan";
tidak ada perencanaan matang dan berdarah dingin. Tapi tetap saja pikiran
tentang hal itu masih selalu ada, lima-sepuluh menit sesudahnya. Pembunuhan"
Mungkin. Akan ada banyak interpretasi mengenai tingkat pembunuhan itu sendiri,
tapi masing-masing memiliki hukuman khusus.
Tidak, dia harus mengambil arah lain. Pembenarankah" Apakah kematian George
adalah sesuatu yang dapat dibenarkan" Secara sah memang tidak; meskipun dalam
cara yang paling sederhana dan hampir primitif sekalipun Priscilla menganggap
itu adalah hal yang bisa dibenarkan. Dalam hal tertentu, semua ini salah George
sendiri. Dia yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini.
Tibbie kembali ke ruangan dan membuyarkan pemikirannya. Dia melaporkan keadaan
anak-anak, dan mereka baik-baik saja. Salah satu pegawai hotel yang diminta
Tibbie untuk menjaga mereka mengatakan anak-anak itu bersikap sangat baik.
" Kelihatannya mereka hanya mengkhawatirkan keadaan Anda, " Tibbie menambahkan
dengan senyuman menghibur.
"Saya katakan pada mereka, Anda akan kembali bersama mereka sebentar lagi."
Priscilla mengangguk berterimakasih.
"Kami memang sangat dekat," ujarnya pada Asisten Manager itu ketika dia kembali
duduk bertengger di kursi.
Sekarang semua sudah ditangani, begitu pikir Priscilla pada dirinya sendiri.
Semua hal untuk dapat terhindar dari tuduhan pembunuhan.
Apa yang akan ditanyakan oleh anggota C.I.D itu" Mereka tentu mencari motif.
Uang" Tidak, hal itu tidak berlaku disini. Cemburu" Dia segera menghilangkan
pikiran itu. Benci" Well, mereka memang sempat bertengkar sebelumnya, tetapi bukankah pertengkaran
adalah hal yang wajar terjadi, di keluarga yang paling harmonis sekalipun"
Tetapi, karena keluarga Farnham sedang berada di negara asing, tidakkah
penelitian akan berdasarkan pada keadaan mereka selama disini"
Harapannya segera kandas. Mereka memang bertengkar sebelumnya. Pertengkaran
hebat dan menyakitkan . Dan seingatnya, ketika semuanya memuncak, dia berpaling
dari George dan tiba-tiba melihat anak-anaknya berdiri disana, di ambang pintu
ruang tamu, dengan raut wajah yang menyiratkan ketakutan dan kepedulian. Dia
telah berusaha memperingatkan George, tetapi dia terus saja berteriak-teriak,
menumpahkan sumpah serapah yang menyakitkan untuk didengar.
Kemudian dia bergegas ke balkon, dan anak-anak berlari mendekat dan memeluk ibu
mereka erat-erat. Perlu waktu lima sampai sepuluh menit untuk merangkai kata-kata, membujuk George
membatalkan niatnya. Dia mengajak anak-anak untuk mengadakan Permainan.
Ketakutan dan kecemasan menghilang, dan mereka berlari ke ruang tamu untuk mulai
bermain. Aneh, pikirnya . Kalau saja George mengerti dan turut serta dalam Permainan itu,
maka semuanya akan lain. Kalau saja George mau turut serta dalam semua hal yang
melibatkan perasaan cinta dan saling berbagi, dia tidak akan terbaring di bawah
sana, tertutup taplak meja beranda konyol berwarna cerah.
Kejadian yang menyebabkan pemandangan di bawah sana dimulai sejak lama, ketika
George berubah. Awalnya dia seorang yang riang dan penuh perhatian saat mereka
masih pacaran. Tetapi ketika ayah Priscilla meninggal tidak lama setelah mereka
menikah, George mengambil alih perusahaan dan manajemen yang ditinggalkan ayah
Priscilla, dan perubahan itupun dimulai. Yang dipikirkan George hanya
perusahaan. Mereka tidak punya waktu lagi untuk bersenang-senang berdua.
Tidak ada lagi kejutan-kejutan berbentuk hadiah, coklat dan bunga yang datangnya
tak terduga. Tidak ada satupun barang bawaan di dalam mobil yang membuat
Priscilla terkejut dengan senang, tidak seperti George yang dulu.
Dia berusaha membuat George tertarik untuk mengikuti Permainan dan membuatnya
mengalami keasyikan dalam keceriaan dan kedekatan yang bisa ditemukan dalam
keluarganya sendiri. Seingatnya, George pernah mengikuti permainan itu sekali,
dengan terpaksa. Priscilla mendekat manja dan berkata, "coba tebak." George akan
menjawab sesuai peraturan Permainan: "Apa?" Kemudian Priscilla akan berkata:
"Coba tebak apa yang sudah kulakukan untukmu hari ini." Kemudian George harus
menerka dengan hal-hal konyol, seperti: "Kau menemukan emas seharga sejuta
dollar dan akan menyembunyikannya di bawah serbet makanku." Atau, "kau membuat
replika Taj Mahal dari tusuk gigi, dan besok kita akan pergi ke kota untuk
mengambil beberapa mebel." Lalu tebak-menebak itu akan semakin serius sampai
George bisa menebak dengan benar apa yang telah dilakukan Priscilla untuk
mengejutkannya; atau dia menyerah dan Priscilla mengatakan kejutannya.
Tapi biasanya George selalu berhenti setelah berkata "Apa?" Dia selalu bilang,
Permainan itu "konyol" dan Priscilla lebih konyol karena memainkannya.
Priscilla mengaku, Permainan itu memang konyol, tapi menyenangkan. Permainan itu
penuh dengan Kejutan, rasa Saling Memberi, Bermain, dan Cinta. Juga Romantis,
karena kejutannya hari itu adalah gaun tidur yang sangat menggoda.
Baik George maupun dirinya terus saja mengambang, dan satu-satunya yang
menyelamatkan pernikahan mereka adalah hadirnya anak-anak. Mark dan Amy
mewariskan paras dan semangat Priscilla. Mereka pergi tamasya, membuat kejutan-
kejutan, melakukan Permainan, dan menunjukkan rasa saling mengasihi sebagaimana
yang ditunjukkan sang ibu pada mereka. Dan itu membuat mereka sangat dekat
dengan Priscilla. Mungkin - Priscilla merasa sedikit kegetiran dalam hatinya - Priscilla terlalu
mencurahkan perhatiannya pada Mark dan Amy dan tidak pada George . Tetapi
Priscilla membela diri, kalau saja George mau menjadi bagian dari mereka...
kalau saja dia mau b e r b a g i perasaan saling mengerti yang menyenangkan
itu... kalau saja - Priscilla menghentikan lamunannya.
Ketukan pelan di pintu mengakhiri rentetan ingatannya dan membuat Tibbie
terlompat dari tempatnya bertengger. Dia berjalan ke pintu, membukanya, dan
menyapa Pak Edmonds dan seorang lelaki jangkung dengan pakaian preman.
Edmonds yang gilang-gemilang dalam seragam musim panas dengan seragam santai
berwama merah dan topi "Bobby", topi polisi yang layaknya dipakai anggota
kepolisian Inggris, memperkenalkan rekannya. Lalu dia mengangguk dan mundur
kembali ke lorong, menutup pintu di belakangnya.
Lelaki itu adalah Sersan Detektif Waring, berparas tangkas dengan sepasang mata
biru terang dan rambut sewarna pasir yang mulai memutih dan bertindak sebagai
penyelidik dari Pusat Penyelidikan Daerah untuk wilayah Teluk Montego.
"Saya minta maaf karena mengganggu Anda di saat seperti ini, Mrs. Farnham,"
sapanya patah-patah dalam bahasa Inggris berdialek British. "Jika Anda bersedia
untuk menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan, saya usahakan untuk
menyelesaikannya secepat mungkin."
"Saya akan memberi semua informasi yang Anda perlukan," jawabnya.
Sersan tersebut duduk di sebelah Tibbie dan mengambil sebuah buku notes kecil
dari saku jas. Tanpa sadar dia mencari pensil dan menemukannya, lalu membalik
lembaran buku itu, memandang sekilas dan kembali menatap Priscilla.
"Kita bisa muiai dengan apa yang Anda bisa ingat, semampu Anda, mengenai sesaat
sebelum... peristiwa tersebut terjadi."
"Saya tidak ingat banyak, sayang sekali.
Saya sedang berbaring di sofa - pikiran saya sedang kacau. Saya tidak ingat
apakah jeritan itu yang menyadarkan saya ataukah anak-anak. Yang saya ingat
hanya ketika mereka mengguncang saya, kemudian saya bangkit.
Kemudian kami ke balkon - saya melongok ke bawah " - Priscilla berusaha
mengatasi suaranya yang bergetar - "dan saya melihat suami saya."
Sersan Waring berdiri dan berjalan cepat ke balkon, memandang sebentar, kemudian
kembali ke kursinya. "Apakah suami Anda tampak tertekan belakangan ini" Apakah Anda merasa bahwa dia
mungkin sedang berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri?"
"Oh, tidak!" jawab Priscilla cepat, dan langsung menyesali jawabannya itu. Dia
tidak berpikir akan adanya kemungkinan bunuh diri.
Sekarang kemungkinan itu hilang.
Waring bertanya, "Apakah dia baik-baik saja?"
Priscilla agak bingung mendengarnya.
"Maksud saya, apakah dia sehat-sehat saja" Apakah dia pernah pingsan atau merasa
pusing atau semacamnya?"
"Ya," sahutnya. "Malahan, itu adalah salah satu alasan mengapa kami mengadakan
liburan kesini. Suami saya bekerja terlalu keras. Terlalu keras, menurut kami.
Dan terkadang dia mengeluh sakit kepala dan pusing. Saya merasa dia harus
terbebas dari semua itu... untuk santai. Karena itulah kami pergi ke Jamaika."
Priscilla heran, sungguh mengagumkan betapa mudahnya orang berbohong ketika apa
yang dipertaruhkan sangat besar.
Penyelidik itu membuat catatan di buku hitamnya.
"Saya mengerti betapa menegangkannya hal ini bagi Anda," lanjutnya. Ucapannya
bernada prihatin. "Jika Anda masih sanggup saya akan mengajukan beberapa
pertanyaan lagi selama beberapa menit. Saya yakin semuanya akan selesai. Kami
harus membuat beberapa penyelidikan mengenai kematian yang tidak wajar." Waring
berhenti beberapa saat, lalu melanjutkan. "Sebagaimana yang Anda tahu, disana
ada teralis setinggi tiga kaki yang mengelilingi teras di balkon. Sangat sulit
untuk memastikan seorang pria jatuh begitu saja dari teralis setinggi itu..."
Priscilla mulai merasa terganggu dengan kegugupannya sendiri.
"... kecuali bila memang dia mendadak terserang pusing dan terpeleset. Begini,
Mrs Farnham, seorang karyawan..." dia melirik ke buku catatannya"... seorang
pelayan bernama Parsons, sedang mempersiapkan meja di beranda untuk makan malam.
Kebetulan dia mendongak, atau mungkin teriakan suami Anda - yang juga Anda
dengar - yang membuatnya mendongak. Dan dia melihat suami Anda jatuh melampaui
teralis tersebut. Tapi Parsons bersikeras, dia merasa bahwa suami Anda tidak
terjatuh." Kejutan mendadak itu membuatnya kaget.
Seseorang telah melihat kejadian yang sebenarnya.
"Biasanya, kami akan meminta Parsons memastikan adanya orang lain disamping
suami Anda saat itu. Dan dia mengaku tidak melihat siapa-siapa."
"Tentu Anda tidak berpikir bahwa - "
"Tentu saja tidak," sahut Waring memotong cepat. "Tetapi kami harus
menindaklanjuti pernyataan apapun mengenai hal itu. Kami juga mendapati
pernyataan Parson ini tidak berarti apapun bagi kami. Lagipula, Parson berada
tepat di bawah balkon, jadi dia melihat lurus ke atas, dia tidak mungkin melihat
balkon Anda dengan jelas. Dan pernyataan Parsons tersebut membuat saya yakin
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa suami Anda seolah sedang berusaha menyeimbangkan posisinya.
Tangannya melambai-lambai di udara mencari pegangan. Karenanya dapat disimpulkan
bahwa..." Priscilla merasakan kehangatan yang merasukinya tiba-tiba dan meyakinkannya.
Mungkin dia bisa lolos dari tuduhan pembunuhan!
"...dan mungkin dia salah mengartikan gerakan suami Anda yang sedang
menyelamatkan diri itu sebagai hal lain," lanjut Sersan itu.
"Dan karena sekarang telah terbukti bahwa memang suami Anda sedang dalam keadaan
tidak sehat, kami dapat menyimpulkan bagaimana suami Anda terjatuh dari balkon."
Ketukan di pintu mengganggu mereka. Dia melangkah ke pintu, membukanya, dan
melihat topi Pak Edmonds menyembul ketika dia bicara cepat dengan suara pelan.
Waring melongokkan kepalanya kembali ke ruang tamu. Dia memandang dengan teliti
ke arah Priscilla sebelum berkata, "Saya permisi sebentar, hanya akan keluar
beberapa menit. Kelihatannya kita punya saksi mata yang lain." Keyakinannya
memudar. Priscilla duduk dengan bibir terkatup rapat dan pertanyaan demi
pertanyaan bermunculan di benaknya.
Jawaban itu datang ketika Waring masuk kembali ke ruangan itu dan berjalan ke
arahnya. Raut wajahnya berubah serius.
"Mrs. Farnham, apa Anda dan suami Anda sempat bertengkar sebelum dia tiada?"
"Ya," jawab Priscilla dengan suara pelan.
Waring mendesak. "Pasangan di kamar sebelah - keluarga Rinehart - berkata bahwa
mereka mendengar Anda dan suami bertengkar lumayan hebat. Suara Anda terdengar
keras, dan mereka mendengar suami Anda menyebut-nyebut tentang... mati."
"Semua ini terdengar seperti pertengkaran konyol sekarang - "
Sersan itu menatapnya, meminta penjelasan lebih lanjut.
"Maksud saya tidak benar-benar konyol,"
lanjutnya. "Sekarang semuanya terlihat... well, tidak penting lagi sekarang.
Suami saya ingin mengakhiri liburan ini dan pulang. Saya dan anak-anak masih
ingin tinggal disini setidaknya seminggu lagi. Liburan yang sudah kami
rencanakan mestinya baru berakhir minggu depan. Sayangnya, pertengkaran kami
memanas dan beberapa perkataan kasar terucap dari mulut kami. Lalu dia
mengatakan, saat dia mati nanti saya boleh melakukan apa yang saya mau. Tapi
sekarang, saat dia masih menjadi kepala keluarga, kami harus pulang."
Priscila menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum samar. "Itu adalah salah
satu ungkapan kesukaannya."
Dia kembali memandang Waring. Itu adalah kebisuan terlama yang pernah dialami
Priscilla. Wajah Sersan itu melembut. "Sepertinya hal itu menjelaskan apa yang didengar
keluarga Rineharts tanpa sengaja." Sekali lagi Waring melihat catatannya.
"Ada satu lagi, Mrs. Farnham," lanjutnya. "Anda bilang Anda sedang berbaring di
sofa ketika suami Anda jatuh."
Priscilla mengangguk. "Dan Anda juga mengatakan," sambungnya, "anak-anak membangunkan Anda segera
setelah Anda merasa mendengar teriakan suami Anda."
Dia kembali mengangguk. Waring menatapnya kembali dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. "Apa Anda
keberatan jika anak-anak dibawa masuk kesini dan bertanya pada mereka dimana
Anda berada ketika mereka memanggil" Ini semua sekedar formalitas saja.
Biasanya, kami tidak bisa bertanya pada mereka secara resmi; dan kami harus
mendapatkan persetujuan dari Anda. Tapi semua akan memperjelas laporan saya dan
akan menghentikan semua penyelidikan ini."
Priscilla mengangkat bahunya. "Baiklah," jawabnya. "Tapi tolong - "
Waring mengangguk menghargainya. Dia mengangguk ke Tibbie yang langsung pergi ke
kamartidur, kemudian kembali membawa Amy dan Mark.
Priscilla tidak menoleh ketika mereka masuk. Kemudian, ketika mereka dibimbing
ke arah Sersan Waring, perlahan dia menengadahkan wajahnya dan tersenyum.
Waring kembali ke tempat duduknya, sedikit membungkuk agar dia dan anak-anak
berada dalam jarak pandang yang sama. Dia bicara dengan lembut tapi tegas.
"Apakah kalian mengerti apa yang terjadi hari ini?"
Mark dan Amy mengangguk pelan.
"Bapak akan bertanya sesuatu pada kalian. Maukah kalian menjawabnya?"
Wajah mereka tetap sendu ketika mereka melempar pandangan bertanya-tanya ke arah
Priscilla. "Kalian harus menjawab pertanyaan bapak itu," ujarnya lembut. Ketika Priscilla
mengisyaratkan agar anak-anaknya kembali memperhatikan Waring, dia melihat
pandangan sersan itu yang terarah langsung padanya.
Tatapan pak polisi itu kembali terarah ke Amy dan Mark, lalu dia mulai dengan
sangat hati-hati. "Tadi, ketika kalian mendengar Ayah - berteriak... Apa kalian
ingat?" Mereka menatap balik ke arah si sersan.
Waring melanjutkan. "Kalian berteriak ketika kalian melihat ayah. Kalian
berteriak pada Ibu... dan mengguncangnya. Benar?"
Mereka mengangguk khidmat.
"Kalian ingat, dimana Ibu berada ketika kalian mengguncangnya?"
Mark menjawab, "tadi Ibu berada di tempatnya sekarang."
"Kau yakin?" "He eh," sahut Amy. "Kami sedang mengadakan Permainan."
"Permainan?" Priscilla menjelaskan, "Itu hanya permainan kecil yang kami mainkan - "
Kata-katanya terhenti saat Sersan mengangkat tangannya, memperingatkan untuk
diam. Ini adalah saat yang ditakuti Priscilla.
Bagaimanapun, dia merasa semuanya akan terungkap ketika mereka mengetahui
perihal Permainan ini. "Permainan apa" Apa yang kalian mainkan?"
Mark mengambil alih. "Itu semacam permainan yang kami mainkan bersama ibu.
Menyenangkan sekali. Kami membuat kejutan-kejutan kecil. Kami membeli... atau
membuat sesuatu... atau melakukan sesuatu. Lalu kami akan berkata, 'Coba
tebak!'" "'Coba tebak"'" ulang Sersan.
"lya," ujar Amy. Suaranya melengking pelan. "Ibu akan berkata, 'Coba tebak apa
yang Ibu lakukan untuk kalian,' dan kami akan mencoba menebak kejutannya."
"Atau kami akan berkata, 'Coba tebak apa yang kami lakukan untuk Ibu,' dan Ibu
akan menebaknya," Mark menambahkan. "Lanjutkan."
"Well, setelah Ayah dan Ibu" - suara Mark berubah pelan - "bertengkar, Ibu
berkata mari kita mengadakan permainan." Suaranya kembali ceria, kemudian
berpaling melihat adiknya. "Lalu Amy dan aku pergi ke kamar untuk memikirkan
kejutan apa yang akan kami buat untuk Ibu. Dan Ibu tetap tinggal disini
memikirkan kejutan untuk kami."
"Lalu, ketika kalian mendengar Ayah berteriak," tanya Waring hati-hati sekali,
"kalian langsung menghampiri Ibu. Dan Ibu berada disana, di sofa?"
"Oh, iya," ujar Amy riang. "Ibu sedang berbaring. Kami datang untuk
memberitahukan kejutan kami pada Ibu. Apa Bapak mau tahu kejutan apa yang kami
siapkan untuk Ibu?" "Tidak," sahut Sersan Waring sambil tertawa. "Rahasia adalah rahasia. Aku hanya
ingin bertanya apakah kalian masih ingat dimana Ibu kalian berada saat itu."
Dia kembali memandang Priscilla. "Saya rasa ini membuat semuanya menjadi jelas,
Mrs. Farnham. Dan nanti akan ada pemeriksaan post mortem, tapi itu adalah hal rutin."
"Haruskah anak-anak dilibatkan kembali?"
tanyanya. "Saya rasa tidak. Masalah ini sudah cukup berat bagi mereka."
Waring berjabat tangan dengan Amy dan Mark dan mengucapkan terima kasih.
"Saya turut prihatin, Mrs. Farnham," ujarnya. "Saya harap penyelidikan ini tidak
terlalu memberatkan Anda. Saya sadar, kecelakaan tragis yang menimpa suami Anda
sudah cukup membuat Anda sedih tanpa harus terganggu lagi dengan pertanyaan-
pertanyaan saya ini. Tapi ini adalah tugas saya."
"Saya mengerti, Sersan Waring. Dan terima kasih karena Anda sangat pengertian
menghadapi anak-anak."
"Oh, tidak masalah," sahutnya. "Saya juga punya anak." Sersan itu mengisyaratkan
Tibbie untuk mengikutinya keluar dan menutup pintu dengan lembut.
Priscilla duduk tanpa bergerak selama beberapa saat seakan tidak percaya
semuanya sudah berakhir. Lalu dia tersenyum pada anak-anaknya yang masih saja
berdiri tanpa suara. Amy, dengan raut muka sedikit marah, memecahkan keheningan diantara mereka.
"Ibu, Ibu belum bilang kejutan Ibu untuk kami."
Mark menambahkan dengan nada suara kecewa. "Ibu belum mengatakan apa yang Ibu
lakukan untuk kami. Ibu lupa ya?"
"Tidak, Ibu tidak lupa," jawab Priscilla.
Suaranya terdengar sedih.
Dia akan segera memberitahukan mereka apa yang dilakukannya. Ketika sudah
saatnya untuk duduk bersama dan menjelaskan bagaimana Permainan yang selama ini
mereka mainkan disalahgunakan hari itu.
Tidak, dia tidak lupa. Dia juga tidak akan lupa ketika Mark dan Amy
mengguncangnya dan berteriak, "Coba tebak!" Dalam keheranan-nya, Priscilla
bertanya, "Apa?" Dan anak-anaknya, berwajah cerah karena kejutan yang telah
mereka buat, menariknya ke teras di balkon dan menunjuk ke arah teralis kemudian
berteriak riang, "Coba tebak apa yang kami lakukan hari ini untuk Ibu!" []
KECELAKAAN Henry Slesar Fran keluar dari apartemen Lila, memasukkan kertas taruhan pacuan kuda berwama
hijau dalam kantung celemeknya. Lila, si gadis beruntung itu! Tiga kali menang
dalam seminggu! Fran menggeleng-gelengkan kepala sambil menaiki tangga kumuh ke apartemennya
sendiri di sebelah, cemburu dengan keberuntungan Lila dan sebal dengan ketidak-
beruntungannya sendiri. Ketika pintu terbanting di belakangnya, Fran bergegas ke meja dapurdan mendorong
sisa sarapan suaminya ke samping. Kertas taruhan kuda dikeluarkan, matanya turun
naik mencermati tulisan kecil-kecil dan membaca daftar pacuan ke empat besok.
"Sonny Boy, County Judge, Chicago Flyer, Marzipan, Goldenrod..."
Dibacanya semua nama itu keras-keras sambil jemarinya memain-mainkan sejumput
rambut coklat di keningnya. Lalu matanya tertutup dan kepalanya mendongak ke
atas. Seharusnya nama-nama berarti sesuatu, kalau tidak, sia-sia saja. Begitulah
caranya memilih. Memang tidak begitu banyak membantu, tetapi hanya begitulah caranya.
"Sonny Boy," bisiknya. Ed, suami Fran, sangat mengagumi Jolson. "Sonny Boy,"
teriaknya keras-keras. Dia berjalan menuju telepon dan dengan cepat memutar nomer yang dituju.
"Vito's," jawab suara seorang lelaki di ujung sana.
"Halo, apa Mr. Cooney ada disana?"
"Hey, Phill, untukmu."
"Halo?" jawab Cooney.
"Mr. Cooney" Ini Fran Holland. Bisakah Anda memasang taruhan lima dollar untukku
pada pacuan kuda besok" Aku ingin - "
"Tunggu, Mrs. Holland. Saya senang Anda menelpon. Begini, saya sudah berniat
mengunjungi Anda, Mrs. Holland. Segera setelah saya selesai bercukur."
"Mengunjungi saya?" Fran memandang aneh ke pesawat telpon.
"Ya, Mrs. Holland. Begini. Pertama, saya tidak diizinkan memasang taruhan untuk
Anda sampai semua urusan selesai, Mrs. Holland. Kedua, saya harus datang kesana
dan mungkin menagih hutang Anda. Semua jadi dua puluh lima dollar sekarang."
"Dua puluh lima dollar" Tapi itu banyak sekali. Maksud saya, sebesar itu?"
"Ya, Mrs. Holland. Anda mungkin tidak menyadarinya. Saya cuma resepsionis. Semua
ini bukan gagasan saya. Terlalu banyak simpang siur masalah uang disini, Anda
tahu kan maksud saya?"
"Tidak! Saya tidak tahu!" sahut Fran naik darah, layaknya ibu-ibu yang dibohongi
oleh tukang daging. "Well, saya akan datang kesana dan menjelaskan semuanya, Mrs. Holland. Kita
bertemu nanti." "Jangan! Tunggu sebentar - "
Tetapi lelaki bernama Cooney itu tidak mau menunggu. Suara klik di ujung sana
mengakhiri percakapan mereka.
Fran memandang tolol ke corong telpon yang berdengung sebelum meletakkan kembali
ke tempatnya. Dan berpikir tentang Cooney yang datang nanti - atau siapapun -
membuat Fran bertindak otomatis. Dia segera membersihkan sisa-sisa makanan
dipiring dan menumpuknya di bak cuci piring. Meja juga dibersihkan dari remah-
remah dengan sapuan tangannya, dan kotorannya dia masukkan ke dalam tas kertas
yang bersandar dekat kompor.
Fran segera melepaskan celemeknya dan melempar ke lemari dinding.
Di kamar, Fran berhenti dan membersihkan wajahnya sambil berkaca di meja rias.
Wajah itu masih terlihat muda, tetapi garis-garis ketuaan sedikit nampak di
sekitar matanya. Rambutnya mencuat ke segala arah dan Fran mengambil sisir lalu merapihkannya
dengan tarikan-tarikan menyakitkan.
Dia berencana menghubungi Lila, tetapi mengingat raut wajahnya yang ceria dan
senang membuatnya kesal. Tidak, dia akan membicarakan hal ini dengannya nanti,
saat mereka bersimpati pada kuda-kuda yang lambat.
Dia duduk di meja dapur dan menyalakan sebatang rokok. Sepuluh menit kemudian
bel pintu berbunyi. Dengan tenang Fran berjalan menuju pintu.
Cooney melepas topinya. Lingkaran topi itu lumayan kencang dan meninggalkan
bekas bulat di permukaan rambutnya yang baru dicukur. Dia tampak seperti agen
asuransi yang mulai beranjak tua, antusias untuk mendapatkan banyak nasabah.
"Selamat pagi, Mrs. Holland. Boleh masuk?"
"Tentu saja," sahut Fran.
Cooney melangkah masuk, mata kecilnya memeriksa apartemen tiga kamar itu. Dia
duduk di kursi tamu dan menggoyang-goyangkan abu rokok di asbak.
"Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Fran layaknya ibu-ibu yang sedang mengomel.
"Bukan masalah pribadi sebenarnya, Mrs.
Holland. Anda tahu, saya senang berbisnis dengan orang-orang seperti Anda. Hanya
saja pihak manajemen sedikit terganggu dengan laporan penerimaannya."
Fran hampir tersenyum. "Saya kira apa."
"Tidak, saya serius." Wajahnya terlihat sedih. "Anda kira berapa banyak
keuntungan yang kami dapatkan dengan menjalankan bisnis seperti ini" Begini,
orang-orang menengah bawah adalah motor penggerak bisnis kami ini. Tapi saat
Anda mengumpulkan banyak orang seperti itu, Mrs. Holland - "
"Saya menggunakan uang saya sendiri!
Anda jangan menuduh saya - "
"Siapa yang menuduh " Begini, Mrs. Holland, Anda telah berhutang dua puluh lima
dollar pada kami sejak - " Cooney merogoh saku jasnya dan mengambil buku neraca
berwama hitam, "20 Mei," ujarnya. "Ini sudah hampir dua bulan. Sekarang coba
Anda pikir, bagaimana perasaan seseorang atau bagaimana tindakan perusahaan jika
Anda melakukan hal itu, Mrs. Holland?"
"Dengar, Mr. Cooney. Anda tahu, kan, saya selalu bayar, cepat atau lambat. Sejak
saya mulai - " "Anda teman Mrs. Shank, bukan?" Pertanyaan itu datang tiba-tiba.
"Ya, dan Anda juga sudah tahu itu. Apakah Lila yang memberitahu - "
"Ya. Well, dia sebenarnya juga tidak lebih baik, Mrs. Holland. Bila ini membuat
Anda merasa lebih baik."
"Tapi dia baru saja menang - "
"Bagus baginya. Jika Mrs. Shank menang kami harus membayarnya secepat mungkin,
kalau tidak dia akan berteriak-teriak kesetanan. Tapi saat dia sedang tidak
beruntung - " Wajahnya merengut, dan itu membuat Fran tidak nyaman dengan situasi yang sedang
dia hadapi. "Baiklah," sahutnya getir. "Bila Anda bertingkah seperti itu maka saya akan
mencari orang lain."
"Silahkan. Anda boleh melakukan itu, Mrs. Holland." Cooney memasukkan kembali
buku itu ke sakunya. "Tapi yang dua puluh lima dollar itu tetap harus dibayar."
"Saya akan membayarnya minggu depan."
"Tidak, Mrs. Holland."
"Tidak bagaimana" Saya akan memberikan uangnya minggu depan. Suami saya baru
gajian minggu depan."
"Ya, Mrs. Holland."
Fran memandangnya. "Anda kenapa sih" Saya tidak mungkin memberi Anda sesuatu
yang tidak saya miliki. Anda mau mengharapkan apa lagi?"
"Dua puluh lima dollar, Mrs. Holland. Saya diperintah untuk itu. Anda bisa
meminjamnya, bukan" Dari Mrs. Shank, mungkin?"
"Jangan dia," ujar Fran pahit.
"Anda pasti punya sesuatu dalam rumah ini. Uang belanja."
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Saya hanya punya satu dollar lima puluh sen. Hanya itu! Hutang saya
dimana-mana - " Lelaki itu berdiri, kalau cahaya dalam ruangan itu tidak berubah, maka raut
wajah Mr. Cooney-lah yang berubah. Kelembutan menghilang dari wajahnya, dan raut
itu mengeras, walaupun tidak berbahaya.
"Saya harus dapat uangnya hari ini, Mrs. Holland. Dan kalau saya tidak
mendapatkannya sekarang - "
"Apa yang akan Anda lakukan?" Fran tidak percaya tingkah lakunya; selama ini
Cooney berlaku baik padanya.
"Saya akan datang kembali jam enam, Mrs. Holland."
"Kembali?" "Untuk menemui suami Anda."
Itu adalah kata-kata yang tidak pernah diucapkan Cooney, tidak pernah sama
sekali. Dia datang pagi-pagi dua kali dalam seminggu dalam tiga bulan terakhir.
Keberadaan Eddie membekas dimana-mana. Piring sarapan yang tandas karena nafsu
makan Eddie yang besar, pipa rokoknya yang butut tergeletak di rak piring, dan
kadang-kadang ada kemeja yang harus ditisik dan diletakkan di kursi dapur,
tetapi Cooney tidak pernah menyebutkan hal itu sebelumnya.
"Mengapa?" sahut Fran. "Mengapa Anda harus melakukannya" Saya sudah bilang,
Pendekar Penyebar Maut 5 Seruling Sakti Karya Didit S Andrianto Suramnya Bayang Bayang 34