Pencarian

Konspirasi Langit 5

Konspirasi Langit Karya Unknown Bagian 5


Saat hendak dijebloskan ke penjara federal untuk seumur hidup pada pertengahan tahun sembilang puluhan, ia diselamatkan oleh teman lamanya, Michael, dan akhirnya bekerja di Columbia secara legal. Seperti para hacker lainnya, ia menjadi sah secara hukum dengan menjadi konsultan bagi hampir setiap organisasi yang pernah menjadi mangsanya, termasuk AT&T, FBI, CIA, Chase Bank, Bank of America, dan favoritnya, Wal-Mart. Menurut Kornitzer, Wal-Mart pada dasarnya adalah perusahaan paling berbahaya di dunia, berkat ide pendirinya, Sam Walton, untuk menguasai dunia dengan penjualan retail.
Pada tahun 1983, inovatif seperti biasanya, Wal-Mart menghabiskan modal yang sangat besar untuk sebuah sistem satelit pribadi yang dapat melacak truk pengirim, transaksi cepat dengan kartu kredit, dan transmisi sinyal audio dan video selain juga data penjualan. Pada tahun 1990 Wal-Mart adalah pembeli utama barang-barang produksi Amerika, dan pada tahun 2002 sudah melebarkan sayapnya hingga ke Cina sebelum Cina dapat melakukan hal yang sama ke Amerika. Kornitzer menyatakan bahwa Pinky and the Brain-nya Steven Spielberg diambil dari prototipe Sam Walton. Banyak yang berpikir bahwa Barrie Kornitzer sudah gila. Sebaliknya banyak juga yang berpikir lain: Barrie sama sekali waras dan memiliki visi sosioekonomi-teknologis.
Kornitzer kaya, botak, gemuk, serta mengenakan baju corduroy dan dasi dari wol yang berwarna cerah. Satu-satunya komputer di ruangannya adalah Dell yang lamban namun terhubung ke komputer Bull Nova-Scale 9000 yang digunakan oleh Lab Sistem Komputer di Universitas Columbia, beberapa blok dari Perpustakaan Low Memorial. Bull, menurut Kornitzer, adalah salah satu dari sekian komputer yang paling kuat di dunia. Barrie Kornitzer tak pernah menikah, dan sepanjang yang Michael ketahui, belum pernah berhubungan intim dengan siapa pun di planet ini"pria, wanita, hewan, tumbuhan, ataupun mineral. Valentine tahu pula bahwa sahabatnya itu tak memakan apa pun selain kacang panggang kalengan selama satu dekade terakhir ini, menolak memakan apa pun yang memiliki bahkan hanya sedikit kemampuan untuk mendengar, melihat, dan merasa. Ia mungkin waras, namun sangat aneh.
"Jadi, apa masalahmu sekarang?" tanya Kornitzer sambil duduk di balik mejanya, salah satu tangannya bergerak maju mundur diatas keyboard, yang satunya memilin-milin alis kirinya.
"Beberapa fakta yang tak pada tempatnya."
"Jadi, tak ada yang berhubungan?"
"Beberapa hal, tapi tak ada yang khusus."
"Seperti?" Ia mulai menulis di atas buku catatan kuning. Finn memerhatikan bahwa walau ia menulis dengan satu tangan, tangan lainnya tetap bergerak di atas keyboard. Seakan-akan kedua tangannya itu diperintah oleh hal yang berbeda, seakan-akan seseorang telah membelah dua otak pria itu. Ia ingat buku yang ia lihat di kantor ibunya di Columbus: The Origin of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind karya seorang pria bernama Julian Jaynes. Ia suka judulnya tapi pernah membacanya. Mungkin itulah yang dimiliki Kornitzer"pikiran bicameral. Wajahnya agar kasar, namun anehnya walaupun begitu ia menarik.
"Seni." "Ada yang khusus?"
"Curian. Rampasan. Perang Dunia Kedua."
"Ada lagi?" "Nama-nama. Orang-orang, Pembunuhan."
"Menarik. Sebutkan nama-nama itu."
Valentine menyebutkan beberapa. Finn menambahkan sisanya. Kornitzer menatap buku catatannya. Ia mulai mencoret-coret di pinggirnya, tangan satunya masih diatas keyboard.
"Hmm ...," gumam Kornitzer. Ia bersandar pada kursi eksekutif kulit warna hitamnya dan menatap pemandangan di dinding di belakang kepala Finn. "Kau cantik," katanya, sambil tersenyum.
"Maaf?" kata Finn.
"Kau cantik," ualng Kornitzer. Finn terlihat agak bingung. Ia melihat ke arah Valentine, yang sama sekali tak membantunya. Ia hanya tersenyum. Finn harus berjuang sendiri. "Bukan pujian kok. Aku hanya mengungkapkan fakta yang ada. Kau tak keberatan, kan" Cukup membantu di kala aku mencoba memikirkan sesuatu."
?"Oh." "Aku tak banyak bertemu wanita cantik. Mereka sepertinya tidak tertarik pada hal-hal seperti ini." Ia berhenti. "Yang sebenarnya aneh, menurut sejarah tentu saja, wanita selalu menjadi analis pemecah kode yang terbaik."
"Aku tak tahu itu," ujar Finn.
"Sungguh." Kornitzer mengangguk. Ia melihat ke arah Valentine dan tersenyum. Ia terlihat seperti anak kecil. "Aku tak prenah bohong, kan, Michael?"
"Sepertinya tidak."
Pria gemuk itu berkedip seakan baru terbangun dari khayalan. Ia menatap langit-langit, "Ada hal lain yang bisa kau katakan padaku?"
"Tidak juga," Valentine menjawab. "Kecuali sepertinya paling tidak terdapat dua garis besar, dua vektor, dan keduanya seperti tak saling berhubungan satu sama lain. Ada kelompok atau perkumpulan bernama Carduss atau apa pun itu, yang berhubungan dengan Akedemi Greyfriars di satu sisi, dan karya seni curian di sisi yang lain. Jika dilihat secara murni dari sisi faktualnya, maka satu-satunya faktor penghubung adalah James Cornwall. Dari apa yang telah kami temukan, kematiannya tampak wajar saja."
Kornitzer mengangkat bahu. "Kita coba lihat di MAGIC dan lihat hasilnya."
"MAGIC?" tanya Finn.
"Multiple Arc-Generated Intelligence Comparison," jelas Kornitzer. "Sebuah peranti lunak yang awalnya dibuat oleh perusahaan-perusahaan asuransi untuk membantu penganalisis aktuaria dan risiko dalam memprediksi masalah. Program ini membandingkan informasi, menganalisis persentase perbandingan tersebut"suka ke suka, tak suka ke tak suka, lalu menyatukan semua itu untuk memberikan gambaran yang lebih jelas akan apa yang sedang terjadi. Program ini dapat memeriksa miliaran entri di mesin pencari seperti Google dan menyuguhkan analisis dalam beberapa detik. Untuk dapat memeriksa semua mesin pencari"termasuk entri offline yang pribadi dan milik pemerintah"ia membutuhkan waktu sekitar lima belas menit."
"Oh, begitu," ujar Finn seakan mengerti walaupun sebenarnya tidak sama sekali.
"Aku mengadaptasinya untuk digunakan orang-orang di Fort Mcade dalam membandingkan isi telepon, frekuensi kalimat-kalimat atau kata-kata tertentu dalam periode waktu tertentu untuk melacak teroris."
"Seperti penyelidik intelijen," tambah Valentine.
"Semacam itulah." Kornitzer mengangguk, tersenyum dengan ramahnya dari seberang meja. Ia menggenggam perutnya dengan santai. Finn tertawa. Ia seperti ulat di Alice in Wonderland-nya Walt Disney.
"Tak terdengar seperti magic," kata Finn.
Senyum Kornitzer melebar. "Andai ada banyak orang sepertimu di sini," ujarnya dengan sungguh-sungguh. "Semua orang berpikir bahwa komputer adalah benda yang dingin. Hitam dan putih. Mereka tidak begitu. Mungkin peranti kerasnya begitu, namun peranti lunaknya tak dapat disangkal lagi tergantung pada orang yang menciptakannya. Kadang bahkan aneh." Finn tidak yakin, namun ia pikir ia mendengar aksen Inggris.
"Deus ex machina." Valentine tertawa.
"Tuhan dalam bentuk mesin." Kornitzer tersenyum.
"Kalian berdua gila," kata Finn.
"Terima kasih," kata Kornitzer. "Kadang-kadang aku juga ingin diapresiasi karena kegilaanku." Ia menengok ke arah Valentine sejenak. "Kebanyakan orang takut untuk mengatakan bahwa aku sama sekali tidak waras." Kedua matanya berkedip-kedip di balik kaca mata tebalnya. "Mereka pikir aku mencuri uang dari rekening bank mereka atau mengatakan kepada pasangan mereka dengan siapa mereka menyeleweng."
"Kau memang telah melakukan kedua hal itu pada masa jayamu," kata Valentine.
"Memang betul," kata Kornitzer, "tapi ak utak pernah dendam karenanya. Semuanya dilakukan dalam sehari, seperti yang sering dikatakan para superhero." Ia menggelengkan kepalanya dengan sedih dan menoleh untuk melihat ke arah jendela. Pemandangannya adalah lautan bangunan universitas. "Kadang aku berharap bisa kembali ke masa lalu. Superman, Lois Lane, Batman dan Robin." Ia mendesah. "Green Arrow si Panah Hijau adalah favoritku. Aku dulu sering bermimpi membuat panahku sendiri, panah bagus yang dapat melakukan segala macam hal, membasmi penjahat. Andai aku dapat mengingat nama aslinya."
"Oliver Queen," gumam Michael Valentine. "Nama temannya adalah Speedy si Cepat."
"Aku tak tahu kalau kau suka juga."
"Memang tak suka. Tapi aku kan punya toko buku, lupa ya?"
"Aku rasa itu bukan toko buku," Kornitzer mengatakannya sambil tertawa.
Finn menginterupsi, "Bagus juga ... dua orang kolot mengingat kenangan masa lalu. Mungkin sebentar lagi kalian akan membahas Woodstock, tapi ingatlah ada serangkaian pembunuhan yang harus kita pecahkan ..."
"Kenapa kalian berdua tidak keliling kampus saja?" kata Kornitzer. "Ada Starbucks di One Fourtheenth dan Broadway. Belikan aku cappuccino, dobel yang rendah lemak, pakai pemanis buatan. Sekitar setengah jam lagi aku seharusnya sudah menemukan sesuatu untuk kalian. Aku butuh waktu selama itu untuk memasukkan data."
"Baiklah." Valentine mengangguk dan beranjak.
"Cappuccino, dobel, rendah lemak, pemanis buatan, setengah jam."
"Dobel." "Dobel." "Harus tepat dobel." Kornitzer tersenyum pada sahabatnya lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada layar datar dan keyboard-nya.
Next41 Sersan itu berdiri di dapur besar dari rumah peternakan itu, api menyala di perapian yang terbuat dari batu besar untuk mengurangi rasa dingin. Di sana terdapat tujuh belas orang yang selamat dari penyerangan, sembilan dari mereka benar-benar rakyat sipil, dua diantaranya perempuan, satu anak kecil. Kebanyakan dari tentara Amerika berada di luar menjaga beberapa tentara Jerman yang masih tertinggal, atau mengawasi luar bangunan, mengawasi keadaan sekitar. Sang sersan, Cornwall, Taggart dan McPhail, hanya mereka yang berada di dalam rumah peternakan. Hanya sang sersan yang bersenjata, menjaga keamanan dengan senapan mesin yang diambilnya dari orang Jerman yang mereka temukan di tengah reruntuhan menara biara.
Cornwall sedang membuat daftar.
"Sebutkan nama dan posisimu."
"Franz Ebert, Direktur Museum Linz," kata seorang pria bertubuh kecil berkacamata mengenakan baju hanyat berwarna gelap dan sepatu bot tentara.
"Wolfgang Kress, Einzatstab Rosenberg, divisi Paris," jawab pria besar dengan wajah kemerah-merahan di awal tiga puluhan tahun. Seorang birokrat.
"Kurt Behr, juga termasuk ERR."
"Anna Tomford, juga dari Museum Linz." Berambut gelap, muda, terlihat ketakutan.
"Hans Wirth, ERR di Amsterdam."
"Dr. Martin Zeiss, Museum Dresden." Orang tua berbadan besar yang berjanggung. Enam puluh tahun atau lebih, terlihat sakit dan pucat, wajahnya berbintik-bintik seperti keju yang sudah lama. Serangan jantung berjalan, pikir sang sersan.
"Siapa anak kecil ini?" tanya Cornwall. Anak laki-laki berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Sejauh ini ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia cukup tinggi untuk anak seumurnya, dengan rambutnya yang sangat gelap, matanya yang besar dan berbentuk almond, kulitnya yang cokelat yang kekuning-kuningan, hidungnya yang besar dan seperti hidung keturunan bangsawan Romawi, lebih terlihat seperti orang Italia ketimbang Jerman. Wanita yang bersamanya mulai bicara tetapi Direktur Museum Linz, Ebert, menyelanya.
Ia seorang anak yatim piatu yang tidak mempunyai tabungan, Nona Kurovsky yang mengurusnya."
"Kurovsky, orang Polandia?" tanya Cornwall.
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nein, Sudetenland, Bohemia, dekat dengan Polandia. Keluarga saya keturunan Jerman."
"Dari mana datangnya anak ini?"
"Kami menemukannya di utara kota Munich," tambah Ebert.
"Kami memutuskan untuk membawanya bersama kami."
"Murah hati sekali," kata Cornwall.
"Saya tidak mengerti." Ebert menanggapinya.
"Edelmutig ... hochherzig," kata sersan.
"Oh." Ebert mengangguk.
"Cornwall memandang sepintas kepada sang sersan. "Wow, mengesankan."
Sang sersan mengangkat bahu. "Nenek saya berasal dari Jerman"kami menggunakan bahasanya ketika berada di rumahnya."
"Aku terkesan kau mengetahui kata bahasa Inggris itu ... murah hati," kata Cornwall dengan tak acuh.
"Anda mungkin terkejut," kata sang seran.
"Tentu saja," kata Cornwall.
"Sebenarnya kami tidak begitu ... murah hati seperti yang Anda ucapkan," kata Ebert. "Hanya hal kecil yang memang harus dilakukan. Lagi pula, ia kelaparan, ya kan?" Ia melihat ke arah wanita dan anak kecil itu.
"Saya rasa ia tidak bisa bicara bahasa Inggris."
"Ia tidak bicara sama sekali," kata wanita itu.
Cornwall melihat sebuah paket dokumen yang berada di atas meja yang terbuat dari kulit pohon yang halus berwarna abu-abu dihadapannya. "Semua dokumen ini mempunyai tanda Vatikan. Laissez-passers dari sekretaris Paus di perwakilan Berlin."
"Itu benar," Ebert mengangguk.
"Tampaknya agak aneh."
"Mungkin bagi Anda." Ebert mengangkat bahunya. "Saya tidak peduli pada apa pun yang berkenaan dengan politik. Saya hanya ingin memastikan bwha karya-karya dibawah kepengurusan saya bisa aman."
"Karya-karya milik pemerintah Jerman."
"Tidak. Karya milik beberapa museum Jerman, karya milik semua orang Jerman."
"Enam truk." "Ya." "Menuju perbatasan Swiss."
"Ya." "Dengan segel Vatikan."
"Ya." "Sulit sekali memercayaimu," kata Cornwall.
"Saya tidak peduli jika Anda percaya atau tidak," kata Ebert. "Ini adalah yang sebenarnya."
"Kenapa kau punya pengawal SS?" tanya McPhail, berbicara untuk pertama kalinya. McPhail lulusan dari Bowdoin dan telah menjadi junior kurator di Museum Fogg di Boston sebelum bergabung dengan OSS dan unit karya seni. Bisa dibilang ia merasa penting dan lebih hebat dari Cornwall. Secara pribadi, sang sersan justru merasa ia adalah bangsat kecil yang lemah. Laki-laki itu mengisap pipa dan bersiul ala Broadway. Tidak ada kata murah hati dalam kamusnya"itu sudah pasti. McPhail mendengus. "Saya terkesan bahwa SS memiliki sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan daripada menjaga Volkskultur." Ia mengeluarkan kata-kata itu bersamaan dengan seringainya.
Kress, si pria besar, berbicara, seringainya semakin jelas, "Mungkin kau tidak tahu bahwa Einzatstab Rosenberg adalah bagian dari SS, dan maka dari itu sangat masuk akal jika kami memiliki pengawal semacam itu."
"Dengan panji Feldgendarmerie?" cecar sang sersan.
"Saya rasa kau bukan bagian dari interogasi, Sersan," kata McPhail, dengan suara dingin.
"Kalau begitu, tanyakan pertanyaan sialan itu padanya ... Letnan."
"Lalu?" Cornwall bertanya, berbicara kepada Kress. Pria itu diam.
"Apa yang kau ingin coba katakan?" tanya McPhail kepada sang sersan.
"Saya ingin mengatakan bahwa tidak ada yang masuk akal. Bukan SS. Para pasukan di luar mengenakan seragam SS, tetapi saya memeriksa beberapa orang dan mereka tidak mempunyai tato darah di ketiak mereka. SS tidak ada hubungannya dengan polisi militer, Feldgendarmerie. Truk itu juga ... dari mana mereka mendapatkan bensin" Orang Jerman tidak pernah memiliki bensin semenjak Bulge"mereka hanya memiliki diesel dan tidak banyak. Saya tidak tahu tentang karya seni, tetapi saya tahu tentang orang Jerman."
"Berikan senjatamu kepada Letnan McPhail, Sersan," kata Cornwall tiba-tiba, ia berdiri. "Lalu, mari pergi ke luar dengan saya untuk merokok."
"Baiklah." Sang sersan memberikan senapan mesinnya kepada McPhail lalu mengikuti Cornwall keluar menuju cahaya matahari pagi. Sang letnan berkedip di balik kaca matanya dan mengeluarkan sebungkus Jasmatsis Jerman dari kantong bajunya dan menawarkannya kepada sang sersan. Sang sersan menggelengkan kepalanya dan menyulut Lucky Strike-nya sendiri.
"Apa yang terjadi di sini, Sersan?"
"Entahlah." "Kau pasti tahu."
"Mereka aneh." "Apa artinya." "Seperti yang saya katakan, ini tidak masuk akal."
"Jadi, bagaimana caranya agar masuk akal?"
"Anda menanyakan pendapat saya?"
"Ya." "Mereka semua adalah penjahat."
"Penjahat?" "Tentu. Truk-truk tersebut penuh dengan barang-barang rampasan. Orang-orang ini tahu bahwa barang-barang tersebut telah dicuri, tidak ada catatan, tidak ada apa pun. Jadi, mereka merampoknya kembali. Maksud saya, siapa yang akan melaporkan mereka?"
"Menarik." "Truk-truk tersebut disembunyikan. Tidak dari kita, tetapi dari pihak mereka sendiri. Tentang bagaimana mereka dapat melewati blokade jalan di Jerman ... Orang-orang Jerman takut pada polisi militer dan pasukan SS, bahkan hingga sekarang. Bukan kumpulan orang yang bisa diajak main-main."
"Bagaimana dengan anak kecil itu?"
"Mereka berbohong tentang anak itu"itu sudah pasti."
"Kenapa?" "Mungkin ia salah seorang yang penting."
"Segel Vatikan bagaimana?"
"Mungkin palsu. Atau seseorang di Roma ikut terlibat dalam aksi ini."
"Apakah kau tak menyukai semua orang, Sersan?"
"Ini bukan masalah menyukai atau tidak menyukai seseorang. Ini masalah mengetahui apa yang saya ketahui. Ada banyak karya seni curian di dalam truk di seberang lapangan. Orang-orang Jerman itu tidak mengetahui apa pun, orang-orang Anda juga tidak mengetahui apa pun, dan orang-orang saya tidak akan peduli meski mereka mengetahuinya."
"Apa maksudmu, Sersan?"
"Saya hanya mengungkapkan apa yang sedang Anda pikirkan."
"Kau seorang pembaca pikiran?"
"Ini sebuah peperangan yang panjang. Setelah beberapa lama, kita belajar bagaimana membaca pikiran orang."
"Dan apa yang kau baca di sini, Sersan?"
"Kesempatan seumur hidup ..."
Next42 Ketika akhirnya jawaban itu datang, ia datang dengan cepat, Barrie Kornitzer menggunakan ujung jempolnya untuk menyeka busa di kumisnya yang berada di atas bibirnya, memerhatikan layar komputer yang terdapat di hadapannya.
"Hal yang menarik," katanya, berkedip.
"Jangan membuat kami gelisah," kata Valentine.
"Dari mana kau ingin mulai?"
"Dari awal akan lebih baik."
"Berarti dari kelompok Carduss di Akademi Greyfriars."
"Baiklah." "Dimulai pada tahun 1895, tahun dimana sekolah tersebut dibangun. Pada saat itulah kelompok dan perkumpulan rahasia di sekolah mulai subur. Nama itu berasal dari tanaman liar berduri yang ada di tebing sekolah." Ia tersenyum lebar kepada Valentine. "Hampir sama dengan tempat kau dan aku bersekolah, Michael, ingat?"
"Dengan jelas."
"Carduss berarti tanaman liar berduri, seperti yang berada di Skotlandia," kata Finn.
"Benar. Pendeknya, para anggota Carduss terinspirasi oleh English Order of the Garter, yang punya tanaman liar berduri pada lambangnya. Dua belas ksatria, dua belas pengikut. Dua belas anggota klub."
"Tetapi mereka berkembang menjadi kelompok yang berbeda."
"Ya. Pada awal tahun 1900 dengan kelas lulusan pertamanya, klub itu berubah menjadi perkumpulan seperti Skull and Bones di Yale. Apabila kau seorang pegawai bank, kau akan meminjamkan uang kepada sesama anggota yang bergerak di bidang real estate. Apabila kau berada di dalam pemerintahan, kau menerabas hukum agar dapat membantu sesama anggota untuk mengembangkan bisnisnya."
"Suatu bentuk awal dari jaringan pertemanan yang bagus," kata Finn.
"Seperti itu." Kornitzer berhenti. "Pada akhirnya terdapat dua belas anggota klub yang asli yang membawa sekolah keluar dari kebangkrutan selama masa Depresi. Karena beberapa alasan, mereka memilih bergerak di bawah tanah setelah Perang Dunia II ... perusahaan Delaware itu. Mereka memakai firma pengacara mereka untuk membeli perusahaan yang juga memiliki entitas yang disebut McSkimming Art Trust di Chicago. Mereka mengganti namanya menjadi Yayasan Grange, yang memiliki kantor di sini di New York. Stl. Luke"s Place di Greenwich Village."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Kelihatannya tidak ada. Mereka tidak mempunyai kewajiban hukum. Ini adalah dana amanat pribadi. Tidak harus membuat laporan apa pun kecuali kepada IRS. Menurut catatan pajak, organisasi tersebut bukan sebuah organisasi yang mencari keuntungan. Mereka memfasilitasi museum dan riset galeri hingga karya seni khusus dan seniman. Apa yang mreka lakukan adalah sebagai agen karya seni. Sejauh yang dapat dikatakan MAGIC mereka memiliki beberapa pelanggan utama, khususnya keuskupan New York dan Museum Seni Parker-Hale. Dari apa yang MAGIC katakan kepadaku, hampir setiap transaksi yang telah ditangani secara komersial oleh Galeri Hoffman, yang berkantor pusat di Berne, Swiss."
"Kita semakin dekat."
"Terus mendekat. James Cornwall merupakan anggota pendiri Carduss sebelum perang. Begitu juga dengan Gatty, dan pria yang bernama McPhail. Cornwall dan McPhail merupakan anggota di G5, salah satu divisi OSS. Mereka bagian dari kelompok ahli yang berhubungan dengan unit Monumen, Karya Seni dan Arsip di Jerman pada akhir peperangan."
"Dan Gatty adalah penghubung OSS di Swiss, bekerja untuk Dulles."
"Semakin jelas. Menurut MAGIC, catatan OSS menunjukkan bahwa Gatty mengorganisasi pergerakan Cornwall dan orang-orangnya melalui jalur tikus Vatikan. Ia juga membawa mereka keluar Italia melalui pelabuhan Sestri Ponente, sedikit di luar Genoa, dengan Bacini Padre, yang kemudian diganti namanya menjadi USS Swivel. Kau dapat menelusuri mereka hingga ke sebuah alamat di Jalan Hudson dan sebuah perusahaan bernama American Mercantile."
"Jadi lebih aneh," kata Finn.
"Perusahaan American Mercantile berkembang pada tahun 1934. Mereka membuat pakaian kerja. Gedungnya kosong dari awalnya. Perusahaan real estate menyewakannya sebagai gudang." Ia tersenyum lebar. "Tanyakan alamat di Jalan Hudson itu kepadaku."
"Tentu. Apa alamatnya?"
"Empat dua satu. Sebuah kondominium sekarang, berseberangan jalan dengan taman James J. Walker. Dibangun pada tahun 1800-an."
"Aku tidak mengerti," kata Finn. "Kenapa hal itu sangat penting?"
"Karena jalan yang menghadap ke taman dari sisi selatan adalah St. Luke"s Place"rumah yayasan Grange, ini tidak terjadi secara kebetulan," kata Valentine.
"Oh tidak, bukan kebetulan," kata Kornitzer. Ia menekan tombol dan memandang layar monitor. "Arsip Departemen Quartermaster Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengiriman yang dijamin oleh Gatty berakhir di 421 Hudson dan disimpan di lantai utama gedung tersebut, disegel dan diawasi selama delapan belas hari dari tanggal 27 Juli sampai tanggal 15 Agustus tahun 1945. Sejak tanggal 16 Agustus 1945 tak dijaga lagi. Setelah itu tak ada lagi catatan pengiriman barang." Ia berhenti lagi. "Apa pun yang Gatty telah kirimkan ke Cornwall telah lenyap."
"Seberapa besar pengiriman tu?"
"Dua ratus dua puluh tujuh ton. Terdiri atas beberapa peti kayu dan boks."
"Dua ratus dua puluh tujuh ton apa?"
"Tak disebutkan disini." Hacker gemuk itu mengangkat bahunya. "Catatan dari kelompok yang melewati jalur tikus Vatikan menyebutkan enam truk yang tertutup bergerak dari Swiss menuju Italia, lalu ke Genoa, hanya itu."
"Kereta Emas," Valetine bergumam.
"Apa itu?" Finn bertanya.
"Salah satu cerita dari Perang Dunia II yang tidak semua orang memercayainya," ia menjelaskan. "Sebuah buku membahas hal itu beberapa tahun yang lalu. Berdasarkan buku tersebut ada sebuah pengiriman barang curian yang berharga yang diletakkan di dalam kereta, dibawa menuju Budapest pada akhir peparangan oleh seseorang bernama Arpad Toldi, seorang komisaris SS bidang Jewish Affairs di Hungaria. Ia meyakinkan bahwa tidak ada barang-barang yang terbuat dari bahan itu di dalam kereta"emas seharga tiga atau empat miliar dolar"dan mengirim kereta tersebut ke Jerman. Kereta itu justru jatuh ke tangan pasukan Amerika."
"Lalu, apa yang terjadi?" Finn bertanya.
"Menghilang," kata Valentine. "Seperti enam truk muatan Cornwall. Semua itu bagian dari mitologi barang-barang berharga Nazi dari Perang Dunia II. Tidak semua dapat dibuktikan."
"Ada lagi," kata Kornitzer.
"Katakan." "Kau ingat seseorang bernama Licio Gelli?"
"Seseorang yang terlibat dalam skandal Bank Vatikan."
Kornitzer memerhatikan layar sambil menggigit ujung pensil. "Namanya terdapat di semua dokumen Vatikan. Ada hubungan langsung dengan Dulles juga. Kalau tidak salah disebut Operasi "Yang Ditinggalkan". Gelli membantu Nazi untuk keluar dari kota pada tahun 1945. Kemudian ia terlibat sesuatu yang disebut Propaganda Due, P2, sejenis kelompok neo-fasis di Vatikan. Ini ada hubungannya."
Setelah Perang Dunia II, Soviet dan blok Barat mengejar penjahat perang Nazi, atau merekrut intelijen dan aset lainnya. Vatikan menggunakan sumber dayanya untuk menyediakan paspor, uang, dan bantuan lainnya. Kereta bawah tanah yang dioperasikan gereja mengangkut para mantan Nazi dan simpatisannya untuk keluar Eropa, menuju tempat yang lebih aman di Timur Tengah, Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Organisasi seperti ODESSA (Organization of Former Officers of the SS) dan Der Spinne atau Laba-laba, mengambil keuntungan dari pelayanan ini. Dari beberapa rekening, jalur Vatikan menyediakan bantuan bagi sekitar 30 ribu Nazi. Mereka yang menerima kemurahan hati Paus diantaranya adalah mantan Gestapo, Klaus Barbie; Adoplh Eichmann; Dr. Joseph Mengele, si Malaikat Putih atau Malaikat Maut dari kamp Auschwitz; Gustav Wagner, deputi komandan kamp Sobibor; dan Franz Stangl dari fasilitas pembasmian Treblinka. Anggota-anggota dari Waffen SS "Divisi Galician" juga diungsikan.
"Di mana Gelli sekarang?"
"Ia meninggal dunia di dalam penjara. Terkena serangan jantung. Banyak orang yang mengatakan bahwa ia dibunuh ... oversodis stimulan jantung, sama seperti Paus John."
"Sepertinya kita sedang bergerak menuju wilayahnya Dan Brown ... pemujaan aneh, konspirasi Katolik, kode di lukisan Leonardo Da Vinci."
"Terserah kau ingin menyebutnya apa, tapi ada yang menjalankan semua informasi ini seperti alur yang tidak dapat terlihat, bahkan itu MAGIC tak dapat menembusnya, dan itu pasti ada apa-apanya, percayalah padaku."
"Berikan dugaan terbaikmu kepadaku."
"Aku tidak punya. Tak ada yang bisa diraba kecuali semacam rasa gatal yang tak bisa kau ketahui tempatnya. Hal lainnya terus berlanjut, hal yang berada di bawah hal-hal yang lainnya lagi."
"Sang pembunuh," kata Finn, tiba-tiba memahami segalanya. Pertanyaan kenapa dan dimana dapat dijawab kemudian, namun di luar bayang-bayang keraguan, ia tahu bahwa rasa gatal yang disebut Kornitzer barusan, alur yang sedang mereka coba pecahkan adalah identitas sang pembunuh.
"Jelaskan," kata Valentine.
"Aku tidak bisa. Tetapi aku berani bertaruh jika kau memerhatikannya dengan sungguh-sungguh, memerhatikan nama orang-orang ini, kau akan melihat lebih banyak kematian, pembunuhan. Entah bagaimana caranya ia mengetahui Michelangelo, tahu bahwa Crawley memecatku, tahu bahwa itu dapat memulai sebuah rangkaian peristiwa yang akan mengakibatkan jati dirinya terungkap, dan karena itulah Peter dibunuh. Target sebenarnya adalah aku."
"Tidak masuk akal," kata Kornitzer. "Ia membunuh kekasihmu, tetapi ia merekrut seseorang untuk membunuhmu ... anak kecil keturunan Asia yang bersepeda yang kau sebut-sebut itu?"
"Bisa jadi masuk akal jika terdapat lebih dari satu pembunuh," Valentine berkata pelan.
"Aku sering berurusan dengan matematika tingkat tinggi. Yang barusan kau sebut tak dapat diperhitungkan."
"Tentu saja tidak bisa, tidak secara matematika, tetapi aku telah melihat cukup banyak pembunuhan," kata Valentine. "Bagaimana jika Finn benar" Bagaimana jika Pembunuh Nomor Satu telah membunuh orang-orang lainnya jauh sebelum membunuh Crawley. Sejauh ini kita telah memiliki empat kematian, empat pembunuhan"Crawley, Peter kekasih Finn, Gatty, dan Kressman di Alabama, semuanya berhubungan dengan karya seni ... karya seni curian. Kematian kekasih Finn terlihat seperti menyalakan mercusuar, sebuah tanda bahwa ada yang tak beres, pembunuh itu membuat dirinya diketahui. Lalu muncullah Pembunuh Nomor Dua, yang mencoba untuk menutupinya dengan menghabisi Gatty dan Kressman, mungkin untuk menutup mulut mereka. Jika semua ini kembali ke pengiriman barang itu, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk, lebih banyak lagi bahaya. Yang pasti motifnya cukup untuk membunuh."
"Hipotesis yang bagus tetapi aku tidak sependapat," kata Kornitzer, menggelengkan kepalanya. "Terlalu banyak kejadian yang terjadi secara kebetulan."
"Apakah ada cara agar kita bisa tahu jika ada orang lain di daftar tersebut yang meninggal dunia tidak secara alami?" tanya Finn.
Kornitzer mengangkat bahunya. "Aku mungkin bisa mencari tahu bagaimana caranya. Tapi butuh waktu lebih dari satu setengah jam."
"Mulailah mencari tahu," kata Valentine. "Kita dikejar waktu."
Next43 Woodside, yang kadang-kadang masih disebut Surganya Bunuh Diri, karena rel ketiga dan kereta-cepat bawah tanahnya, berada di kota New York, terletak di antara dua pemakaman di Queens bagian utara"St. Michael di utara dan pemakaman Calvary di selatan. Bandar udara La Guardia hanya terletak satu mil dari batas utara lingkungan itu dan seluruh area di lewati oleh jalur kereta. Katolik Irlandia dulu pernah sangat mendominasi populasi lingkungan itu, sekarang populasi lingkungan itu beragam, mulai dari orang-orang Korea, Asia Selatan, Meksiko, Dominika, hingga Ekuador. Terdapat pub dimana-mana.
Sang pendeta mengendarai mobil sewaannya menuju ke Queens dan akhirnya tiba di St. Sebastian"s, sebuah pemakaman yang besar dan tak berjendela dengan batu bata kuning bergaya basilica seperti gereja-gereja Country Cork. Pegawai gereja di sana, seorang laki-laki bernama Wibberley, seseorang yang secara suka rela berada di sana untuk waktu yang sangat lama sehingga ia pikir ia memiliki tempat ini, membawa laki-laki dari Roma tersebut menuju catatan-catatan tua. Baik catatan-catatan itu ataupun ingatannya dapat mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan Frederico Botte ataupun kedua orang tua angkatnya, Sersan Thorpe dan istrinya. Freddie kecil tidak pernah menjadi anak mimbar, jemaah gereja, atau bahan menjadi anggota tim bola basket gereja atau bahkan menjadi anggota tim bola basket gereja yang sangat terkenal. Satu-satunya tempat yang menurut Wibberley mungkin dapat memberi informasi lebih banyak adalah rumah duka yang terletak beberapa blok di utara sepanjang 58th Street, institusi Woodside semenjakawal tahun 1900-an, ketika semua area tersebut masih benar-benar sebuah pedesaan.
Rumah duka tersebut memang benar telah memakamkan Tuan Brian Thorpe pada tanggal 18 Maret 1963. Beberapa pertanyaan dan makan siang membawanya ke Sunnyside dan arsip Woodside Herald, sebuah koran komunitas Queens yang telah beroperasi semenjak Perang Dunia II. Berdasarkan salinan film mikro dari edisi Minggu tanggal 20 Maret 1963, Brian Thorpe, seorang anggota pasukan Amerika, seorang veteran yang telah mendapatkan tanda jasa dan seorang pemilik toko peralatan D and D, dibunuh saat ia sedang berjalan pulang menuju rumahnya pada malam hari di Donovan"s di Roosevelt Avenue. Menurut catatan kepolisian ia ditikam berulang kali. Tidak ada senjata yang ditemukan di tempat kejadian perkara. Ia hidup bersama istrinya Annalise dan anaknya Frederick. Alamat istrinya tercatat di jalan Woodside.
Sang pendeta memeriksa buku telepon daerah Queens tetapi tidak terdapat nama Anna atau Annalise Thorpe. Karena tidak memiliki pilihan lain ia mengendarai mobilnya kembali ke wilayah itu dan menemukan bahwa alamat yang tertera di Woodside Herald adalah sebuah apartemen di atas salon Chez Diamond. Nama yang tertera pada pintu yang menakutkan dan kotor itu adalah A. Kurovsky. Akhirnya, lingkaran tertutup: Annalise Kurovsky, wanita yang telah membawa Frederico Botte keluar Jerman dan masuk Amerika, menikah dengan laki-laki yang telah dibunuh"dengan cara ditikam. Ia memencet bel. Hampir pada saat itu juga terdengar suara kunci pintu dibuka secara otomatis, seakan kedatangannya memang telah diharapkan. Ia pun masuk dan naik melalui deretan tangga yang gelap menuju ke lantai atas apartemen itu.
Bagaimanapun penampilannya dulu, Annalise Kurovsky kini kurus kering. Pada umur delapan puluh tahun dagingnya telah mengerut hingga akhirnya hanya tinggal kulit dan tulang. Wajahnya telah menekuk ke bawah dan bergelambir, ditandai noda matahari dan warna kemerahan. Ia memiliki sepasang mata yang hitam, terlihat marah, memancarkan intelegensi dan kesedihan yang mendalam. Jalan yang telah ia tempuh hingga kini berakhir diatas salon di Queens benar-benar sebuah perjalanan yang panjang dan sangat menyulitkan.
Ruang tamu warna itu gelap dan berantakan. Sebuah barisan rak buku yang tidak beraturan bersandar pada dinding, dimana berjejalan perhiasan-perhiasan kecil dan foto-foto. Foto lainnya terpasang ditembok yang dilapisi dengan kertas pelapis tembok bermotif titik-titik bersama dengan piring dekorasi dan beberapa piring porselen yang terlihat resmi. Di tengah itu semua, tergantung lukisan aneh dari cat minyak di atas perapian. Lukisan itu besar dengan bingkai yang penuh dengan hiasa, lukisan yang menggambarkan Maria menunduk sedang menggendong Yesus yang masih bayi dalam buaiannya, sementara beberapa malaikat melihat dari sudut kiri atas. Lukisan tersebut, dan pelukisnya, dapat langsung dikenali.
"Anda tahu itu apa?" tanya sang pendeta.
"Tentu saja," wanita tersebut menyela, suaranya sekering kulitnya yang tipis. "Ini adalah karya Rembrandt. Sketsa awal dari Keluarga Suci, dilukis pada tahun 1645. Karya utuhnya terpajang di Museum Hermitage di St. Petersburg."
"Dari mana Anda mendapatkannya?"
"Suami saya yang memberikannya."
"Dari mana ia mendapatkannya?"
"Saya rasa ini bukan urusan Anda."
"Tidak, mungkin juga tidak."
"Anda datang ke sini bukan untuk membicarakan lukisan ini. Anda datang untuk menanyakan tentang anak saya Frederico, bukan?"
"Mungkin." "Jangan malu-malu." Wanita tua itu tersenyum. Ia duduk di sofa usang yang terletak di bawah jendela. Pendeta tersebut memilih tempat duduk di mana ia bisa melihat karya Rembrandt yang membuatnya terkejut.
"Ya, saya datang untuk mendapat informasi tentang anak itu."
"Saya telah menanti Anda sejak lama."
"Menanti saya?"
"Tentu saja. Dengan semua pembicaraan itu yang mengusulkan Pacelli menjadi santo."
"Anda tahu banyak."
"Aku mengetahui segalanya," kata wanita tersebut. "Seluruh kisahnya. Ini adalah sebuah kisah yang harus diceritakan, dan saya akan menceritakannya."
Pendeta itu tersenyum. "Bukan Anda dan tidak sekarang."
"Siapa yang akan menghentikan saya?" wanita itu bertanya, ia menyela. "Saya punya kewajiban pada anak saya!"
"Saya akan menghentikan Anda," kata pendeta itu perlahan. "Dan kewajiban Anda telah selesai."
Laki-laki dari Roma tersebut telah berpikir untuk menggunakan senjatanya tetapi ia kemudian berdiri, berjalan di sekitar meja kopi yang berantakan yang memisahkan mereka, lalu menunduk, meletakkan telapak tangannya dibawah dagu wanita tersebut, memaksa memutar kepalanya ke belakang dan mematahkan lehernya yang sudah lemah. Ia membiarkan wajah wanita itu jatuh ke depan, membuat hidungnya patah terkena meja kopi. Ia memeriksa denyut nadi wanita itu, tidak terasa apa-apa. Ia mulai menggeledah apartemen tersebut.
Next44 Finn Ryan duduk di bangku yang mengarah langsung ke rumah no. 11 di St. Luke"s Place di Greenwich Village dan memutuskan bahwa Michael benar: mengetuk pintu Yayasan Grange untuk menanyakan apa yang sedang mereka lakukan adalah ide yang bodoh. Bukan hanya itu, tindakan itu berbahaya, bahkan bisa berakhir fatal. Sebaliknya, program MAGIC Barrie Kornitzer hanya dapat membawa mereka sejauh ini. Sebenarnya batasan-batasan pada program itulah yang membuat tempat-tempat seperti Ex Libris menjadi sangat penting: pada akhirnya, internet hanyalah sekedar keriuhan, Cuma seonggok panci besar yang berisi hanya setengah kebenaran, pendapat, kebohongan, dan kegilaan. Ia adalah twilight zone"zona yang membingungkan. Kadang kala"dan kenyataannya lebih sering begitu"kau harus langsung mendatangi sumbernya.
Dan disanalah tempatnya, tepat di sebelah rumah Huxtable dari Cosby Show, salah satu dari gedung cokelat tiga lantai di jalan tiga lajur. Di blok bagian barat adalah Hudson Street, dan nomor 421 dulunya sebuah gudang, sekarang menjadi sebuah gedung apartemen dengan dinding berbata kuning, yang satu ini atapnya di penuhi banyak parabola. Terdapat sebuah rumah makan di sudut antara Hudson dan St. Luke"s, namun selebihnya jalan itu adalah daerah perumahan. Dari dua blok di selatan ia dapat mendengar suara yang berasal dari Hudson Street. Ia berani bertaruh di sana ada lima puluh tempat, yang jaraknya hanya sejauh lompatan ludah yang keluar dari mulutmu, di mana kau dapat membeli secangkir kopi seharga lima dolar.
St. Luke"s Place no. 11 sama seperti tetangga-tetangganya: jendela berbingkai hitam, pagar besi hitam di sekitar lorong yang menuju ke pintu ruang bawah tanah, sebuah unit pengatur udara yang terletak di luar, dan pengetuk pintu berbahan kuningan di bawah batu hiasan klasik di pintu depan. Khusus untuk no. 11 terdapat pula lempengan kecil dengan bahan kuningan, yang digosok dengan asal-asalan. Bahkan dari tempatnya duduk ia dapat melihat alat pemanggang dari besi dari jendela ruang bawah tanah. Mobil-mobil di depan gedung diantaranya Lexus hijau gelap, Mercedes perak, dan Jaguar hitam.
Ia telah duduk di sana selama setengah jam, menatap rumah dan menebak-nebak sendiri. Bila lebih lama lagi, maka pastilah akan ada orang yang melihat keluar jendela dan menemukannya di sana. Ia menarik napas dalam, mengeluarkannya dan berdiri. Ia merapikan rok pendek hitamnya, kemeja putihnya, dan menggantungkan tas kulitnya di bahu. Ia merasa seakan ia mengenakan seragam sekolah paroki. Ia menghabiskan waktu beberapa detik untuk mengikat-kuda rambutnya dan meloloskannya ke belakang topi LA Dodgers berwarna abu-abu dan biru kemudian menyeberangi St. Luke"s Place. Ia menelan ludah dan menaiki tangga yang curam itu lalu berhenti sejenak. Di lempengan kuningan itu tertulis:
Yayasan Grange McSkimming Art Trust PRIBADI Walaupun sudah diperingatkan oleh kata PRIBADI di lempengan itu, Finn tidak mengetuk melainkan memutar pegangan pintunya. Tak ada yang terjadi. Ia menyadari terdapat sebuah lempengan besar yang dipaku ke pintu, di cat hitam agar menyatu dengan warna kayu. Di sudut batu hiasan ia mendapati sebuah kamera. Sepertinya masuk tanpa mengetuk pintu bukan sebuah pilihan. Ia mengangkat lingkaran besi hitam yang tergantung pada mulut singa dari besi hitam itu dan mengetukannya tiga kali. Tak ada reaksi selama hampir sepuluh detik, lalu terdengar suara gemeretak entah dari mana dan menanyakan apa yang ia inginkan.
"On Time." "Maaf?" "On Time. Perusahaan kurir On Time. Saya harus mengambil sesuatu." Itulah rencana yang ia dan Valentine telah rancang malam sebelumnya. Sepertinya tak berjalan dengan baik. Tak ada reaksi lagi selama beberapa saat, cukup lama, kemudian suara itu muncul lagi.
"Tak ada yang harus diambil."
Ini adalah pelancar rencana mereka. "Topping, Halliwel & Whiting." Firma hukum di Chicago yang telah memberikan awal bagi Yayasan Grange.
"Maaf?" "Itu nama yang mereka berikan pada saya."
"Siapa yang memberikannya padamu?"
"Bagian pengiriman." Ia menghela napas dalam seakan benar-benar kesusahan. "Dengar, saya hanya pergi ke tempat yang mereka suruh"tak ada yang diambil, saya tak masalah. Sampai jumpa." Ia melambaikan tangannya ke arah kamera. "Selamat tinggal." Ia berbalik, sambil menahan napasnya. Kakinya sudah melangkah di tangga teratas ketika suara itu muncul lagi.
"Tunggu." Bingo. "Saya harus tanya dulu. Tunggu."
"Saya tak mau berdiri saja di luar sini."
Sepertinya orang itu berpikir dulu sejenak, dan akhirnya terdengar juga suara klik dari lempengan pintu itu.
"Masuk." "Terima kasih banyak." Finn memutar pegangan pintu dan mendorong pintu yang berat itu, mencoba untuk tetap terlihat bosan, tak tertarik, dan kesal.
Setelah melewati ambang pintu, ia berada di sebuah ruangan yang kosong dengan sebuah pintu lagi di hadapannya. Setelah terdengar suara klik di pintu di belakangnya, kemudian terdengar suara yang sama namun lebih lemah di pintu di hadapannya dan kemudian pintu itu pun terbuka. Kamera kedua mengarah padanya dari bingkai pintu. Ruangan itu semacam jebakan bagi orang yang mereka anggap beresiko.
Finn melalui pintu dihadapannya dan memasuki sebuah ruang penerimaan tamu yang luasa yang berfunitur dengan satu set meja kerja Stickley asli, sebuah kursi, sepasang kursi berpegangan tangan, dan sebuah kursi kayu panjang lengkap dengan bantal-bantal bersarung kulit. Lantainya merah tua. Pada dinding berwarna krem di belakang kepala pria penerima tamu itu terdapat lukisan yang terlihat seperti salah satu dari seri karya Monet yang berjudul Garden at Giverny (Taman di Giverny). Jika memang asli, mungkin berharga sekitar dua puluh juta dolar.
Sang penerima tamu berambut hitam tipis, berbahu lebar, berkemeja putih dengan dasi sutra biru dan sepertinya pakaian keluaran Hugo Boss yang tidak terlalu menyembunyikan gelembung besar di bawah bahu kirinya dan tali kulit yang menahannya. Finn sudah terlalu jauh untuk membatalkan misinya: tipuannya harus dilanjutkan.
"Tunggu di sini," kata si Hugo Boss dengan sarung pistolnya yang semakin terlihat jelas saja.


Konspirasi Langit Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Finn melakukan apa yang disuruh orang itu, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, menatap seluruh isi ruangan. Di balik furnitur mahal dan lukisan Monet itu bisa saja terdapat kantor seorang profesional yang berselera tinggi"pengacara, akuntan, konsultan. Terdapat dua pintu di ujung ruangan, satu pintu lipat menuju kloset, yang satu lagi menuju bagian dalam gedung itu. Entah di bagian mana di belakang sana, Finn dapat mendengar suara mesin foto kopi dan suara printer laser. Ia melihat sekeliling dengan cermat. Pesawat telepon di meja penerima tamu memiliki setengah lusin saluran telepon, empat diantaranya terpakai. Sekali lagi, tak ada yang luar biasa di sana.
Si Hugo Boss kembali. "Tak ada apa-apa disini yang bisa kau ambil. Dan kami tak memakai perusahaan kurir yang bernama On Time. Kurir yang biasa kami pakai bernama Citywide."
"Betul sekali," kata Finn, berusaha mengambil kesempatan. "Hanya saja jika Citywide banyak pengiriman mereka melempar salju pada kami."
"Melempar salju?"
"Memberikan order pada kami. Dan seperti saya sudah katakan, saya hanya mengambil lalu mengantarkan. Kau bilang tak ada, ya tak ada. Tak masalah." Ia menarik topi Dodgers-nya lebih ke bawah menutup kepalanya lalu berbalik, hendak pergi. Pada detik terakhir ia berhenti dan menunjukkan pada si Hugo wajah cemasnya yang seakan berkata, "Aku hanya gadis pemalu dari desa yang tersesat di kota besar." "Hm ... boleh saya minta tolong?"
"Apa?" "Saya benar-benar ingin pipis." Sebenarnya ini bukan hanya akal-akalan; si Hugo dan senjata yang dibawanya membuat Finn takut setengah mati.
"Kami tak punya WC umum."
"Hanya sebentar kok, janji. Kau bisa ambil mengecek barang yang harus kuambil itu sekali lagi."
Si Hugo Boss berhenti sejenak dan mengernyitkan kening, Finn semakin menunjukkan wajah memohon yang biasa digunakannya di sekolah jika ia tak membuat pekerjaan rumah.
"Baiklah," kata si Hugo. "Lewat sini. Pintu pertama di kanan." Ia menunjukkan jalannya. Finn berlari ke ujung ruangan, melirik dari ujung matanya ketika si Hugo mengangkat telepon diatas meja. Ia masuk dan menatap pintu di belakangnya. Ia brada di koridor pendek di antara bagian depan dan belakang rumah itu. Di sebelah kirinya ada ruang foto kopi, asal suara mesin foto kopi. Di kanannya ada pintu yang bertuliskan KAMAR KECIL. Di hadapannya terdapat jalan menuju ruang kerja yang terletak di bagian dalam. Dua wanita dan seorang pria sedang duduk di hadapan komputer dalam sebuah ruangan terang tanpa jendela. Sederetan anak tangga yang sempit menuju lantai atas. Namun ada pintu lain yang menyambungkan ke bagian yang lebih dalam lagi dari rumah tersebut, mungkin menuju tampat yang dulunya adalah sebuah dapur. Tak ada seorang pun yang menyadari keberadaannya, sehingga Finn mengabaikan kamar kecil itu untuk sesaat dan masuk ke ruang foto kopi. Terdapat sebuah mesin foto kopi digital merek Canon yang tersender pada dinding, sebuah mesin faks, dan sebuah mesin scanner besar, selain juga sebuah alat pembuat kopi dan tempat menggantung mantel. Seseorang telah meninggalkan serenceng kunci di sebelah mesin foto kopi, dan tanpa berpikir lagi Finn mengambilnya dan meletakannya dalam tas punggungnya. Ia meninggalkan ruangan itu, masuk ke kamar kecil dan duduk, dengan napas tersengal-sengal. Ia membutuhkan waktu beberapa detik untuk menenangkan diri, menyiram toilet, menyalakan air, dan berlari keluar menuju ruangan si Hugo lagi.
"Ada?" tanyanya pada Hugo, tahu apa jawabannya.
Sang penerima tamu sedang menelepon. Ia menggelengkan kepala.
"Terima kasih ya, untuk kamar kecilnya," Finn berbisik, tersenyum pada si Hugo. Ia melambaikan tangan, lalu berlalu dengan cepat. Beberapa menit kemudian ia sudah berada di Hudson Street.
Next45 Michael Valentine bergerak di antara tumpukan berkas Ex Libris, mengikuti sistem notasi rahasianya sendiri. Ia sudah mengerjakannya hampir sepanjang pagi dan setengah siang, memeriksa selusin ensiklopedia New York yang berbeda-beda, buku-buku asuransi tua, cetak biru kuno kereta bawah tanah, catatan setengah lusin paroki gereja dan sebuah buku sosiologi yang rumit tentang Greenwich Village dari tahun 1930-an yang berisi setiap tempat usaha dan institusi, jalan-jalan di setiap wilayah. Setelah membuka-buka sederetan buku dan catatan itu, Valentine mulai menyatukan potongan-potongan fakta tentang bagaimana dulunya wilayah di sekitar Hudson Street nomor 421 itu.
Awalnya tentu saja wilayah itu adalah bagian terpinggir New York yang terletak di daerah pinggiran Greenwich di tepi sungai Hudson. Pada awal 1800-an, daerah yang dimiliki oleh keluarga Voorhis itu dijual ke Gereja Trinitas, yang kemudian menyewakan properti tersebut pada Perkumpulan St. Mary Madgalene Benevolent. Pada saat itu properti yang dibatasi oleh Hudson Street, Clarkson, Morton, dan Varick telah dipergunakan sebagai pemakaman Gereja Episkopal St. Luke yang terletak di wilayah yang agak ke utara. Pada tahun 1820, sebuah Gereja Katolik Roma, Holy Remedeer, dibangun diatas properti tersebut dan sebuah biara serta rumah yang kaku dan berbata merah bagi gadis-gadis "kurang beruntung" dibangun di Hudson Street. Pada saat itulah Edgar Allan Poe tinggal di wilayah itu, perawakannya yang bungkuk sering terlihat berjalan-jalan diantara batu nisan di pemakaman itu. Seiring dengan waktu, pemakaman itu dibagi dua dan pemukiman pertama di tempat yang kemudian menjadi St. Luke"s Place itu pun dibangun, jalannya merupakan lanjutan Le Roy Street ke arah barat dan menuju Varick. Gereja Holy Redeemer terbakar pada tahun 1865 dan pemakaman di wilayah itu diambil alih oleh St. Paul"s di selatan dan St. Luke"s di utara. Pada tahun 1870-an kereta muncul, melalui properti biara, nomor 421. Kebakaran pada tahun 1877 memaksa penutupan gedung tersebut dan penghancuran di lakukan pada tahun 1881 untuk memberi tempat pada bangunan gudang delapan lantai yang sampai sekarang menduduki wilayah itu. Pada tahun 1900 tak ada lagi jejak bekas biara, gereja, ataupun pemakaman itu. Pemakaman itu menjadi taman, St. Luke"s Place menjadi rumah Walikota New York, dan mobil-mobil menderu di Hudson Street.
Tak ada yang istimewa dari gedung itu, namun pasti ada alasan bagi Cornwall dan teman-temannya di Yayasan Grange sehingga memilihnya sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang hendak mereka kirim. Jelas ada hubungannya dengan kantor yang dipilih yayasan itu. Namun menurut data-data yang ada"direktori Manhattan yang kuno dan berdebu"yayasan itu tak pindah ke tempat itu lama setelah barang kiriman itu tak ada.
Setelah membawa kembali setengah lusin buku referensi ke dalam kantornya, Valentine duduk di kursinya dan menutup kedua belah matanya, mencoba memahami permasalahan itu dengan urutan yang masuk akal. Apa yang diketahui Cornwall tentang lokasi itu yang tak langsung dapat dilihat oleh seseorang yang mencari tahu melalui buku-buku sejarah, atau tepatnya melalui ribuan jilid referensi dan buku catatan yang mengelilinginya sekarang ini" Kesal karena tak dapat memahaminya, ia kembali ke komputernya, menyalakan kembali program ISPY yang khusus dibuat Barrie untuknya dan memasukkan nama Cornwall. Biografi singkatnya hampir langsung muncul di hadapannya.
Nama: Cornwall, James Cosburn
Tanggal Lahir: 1904 Tempat Lahir: Baltimore, Maryland
Tanggal Kematian: 2001 Tempat Kematian: New York, NY
Penjelasan: Cornwall adalah anak dari Martin dan Lois Cornwall, ayahnya seorang pi"ata ruang yang terkemuka dan ibunya guru di Sekolah Seni Baltimore. Cornwall muda bersekolah di sekolah swasta di mana ia langsung tertarik pada arsitektur biara dan gereja. Ia bersekolah di Eropa sebelum kuliah selama dua tahun di Ecole Sebastien di Paris. Pada tahun 1922 ia kembali ke Amerika Serikat, masuk ke Universitas Yale setahun kemudian. Ia lulus dari Yale dengan predikat cum laude pada tahun 1927 dan bergabung dengan Museum Parker-Hale pada tahun yang sama sebagai asisten di departemen seni dekoratif. Ia kemudian menjadi asisten kurator pada tahun 1929-32 sebelum dipromosikan menjadi kurator rekanan. Mulai tahun 1930, ia bekerja bersama dengan direktur Parker-Hale, Joseph Teague (1885 " 1933) dalam perencanaan penambahan karya abad pertengahan yang baru di museum itu. Cornwall menjadi kurator departemen abad pertengahan pada tahun yang sama. Ia menikahi Khaterine Metcalfe pada tahun 1942. Pada tahun 1943 ia bergabung dengan militer dan langsung diangkat menjadi letnan di Divisi Ketujuh, Divisi Monumen, Seni, dan Arsip Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, Distrik Militer Barat. Tugas-tugas utamanya adalah penemuan dan pemeliharaan karya seni yang sangat berharga yang disembunyikan oleh Nazi. Cornwall bertanggung jawab atas penyitaan, diantaranya, koleksi rampasan Goering, Goebbles dan Alfred Rosenberg. Kembali ke Parker-Hale, ia menjadi direktur pada tahun 1955. Pada bulan Juni 2001 ia mendapatkan serangan jantung yang fatal setelah rapat dewan yang penuh perselisihan dan digantikan oleh bawahannya, Alexander Crawley (q.v.).
Biografi itu tidak banyak menjelaskan hal-hal yang tidak diketahuinya, namun bibliografi karya tulis Cornwall terbuka lebar dihadapannya. Referensi tesis PhD-nya di Yale: "Giovanni Battista de Rossi dan Catacombs of San Callisto: Sebuah Evaluasi Biografis dan Arsitektur."
Menggunakannya sebagai titik awal, Valentine menelusuri internet mencari informasi untuk menyusun teka-teki itu. Ketertarikan Cornwall akan dunia bawah tanah membawanya pada gelar doktor. Selama bertahun-tahun ia telah menerbitkan selusin artikel dengan topik itu, mengedit dan menyatukan beberapa karya ilmiah dan pernah menjadi penasihat dalam serial program acara Saluran Sejarah tentang gereja makam, mauseloum, pemakaman, dan makam bawah tanah di seluruh dunia. Acara terakhir dari serial itu bertajuk "New York Mati."
Dalam satu jam teka-teki itu sudah dapat disusun dan ia punya jawabannya. Ia mencari hingga ke sejarah sosiologis Greenwich Village untuk mengonfirmasikan teorinya.
"Ya Tuhan," bisiknya, saat alasan Cornwall memilih gudang di Hudson Street menjadi semakin jelas.
Tempat yang sekarang menjadi taman di mana anak-anak bermain-main pernah menyembunyikan makam bawah tanah Gereja Holy Redeemer, terhubung dengan biara di bagian lain jalan itu dengan sebuah lorong bawah tanah bernama "lubang pendeta" sehingga para biarawati dan gadis yang "kurang beruntung" tak perlu terlihat jika ingin pergi berdoa. Cornwall dan teman konspirasinya, bersama dengan 227 peti dan kotak"enam truk penuh barang hasil rampasan"telah menghilang di bawah jalan-jalan di New York.
Dan semua itu masih berada disana.
Next46 Pendeta gadungan itu bergerak di antara kamar-kamar yang berantakan di apartemen di Ludlow Street yang lembap dan tampak kotor itu. Ia memeriksa kamar-kamar yang menyedihkan itu sambil membawa Baretta bersamanya. Apartemen wanita tua di Queens itulah yang membawanya kesini, namun tempat ini kosong. Hanya ada hantu-hantu menyebalkan dan sedikit kenangan yang tersisa. Lantainya penuh dengan noda. Langit-langitnya amblas, seperti akan membelah diri layaknya buah yang sudah terlalu matang. Di setiap langkah ia menemukan kecoa-kecoa yang mengkilap berlarian ke arah lemari papan yang terbuka, dan rayap pun berlarian di bwah potongan karpet yang tersebar disana-sini.
Tak diragukan lagi,ini adalah tempat persembunyian orang gila. Semen dan kertas dinding tua bermotif bunga-bunga yang sudah mengelupas ditutupi kliping surat kabar, gambar-gambar, foto-foto dari majalah, peta-peta yang dipenuhi catatan, surat yang ditulis dengan tulisan cakar ayam yang amat kecil sehingga hampir sama sekali tak dapat dibaca, repro lukisan, dan di sana sini banyak berceceran pecahan patung santo dan malaikat yang terbuat dari semen atau plastik, dilem, dipin, dipaku, atau hanya diletakkan begitu saja di lubang tempat patung di dinding yang berlumut itu. Tempat itu adalah museum yang didedikasikan bagi hati yang terobsesi, obsesi yang tak mungkin ditembus atau dianalisis, obsesi yang berhubungan dengan perang dimasa lampau dan orang-orang yang terlibat didalamnya, seniman, seni, serta kematian ratusan orang tak bersalah.
Di sana terdapat banyak ruangan, jauh lebih banyak dari yang ia perkirakan, seakan dua atau bahkan tiga apartemen digabungkan jadi satu. Satu-satunya hal baru yang berada di sana adalah pintu depan dan kunci yang terbuat dari besi. Dapur terletak di tengah-tengah apartemen dengan gaya zaman dulu, dengan jalan tembus menuju ruang duduk. Sungguh menakutkan, tempat cuci piring yang pecah memperlihatkan pipa saluran airnya yang tak tertutup, penuh dengan onggokan piring plastik yang sudah berkerak, juga mangkuk dan cangkir, botol selai anggur yang terbuka dan berjamur di sisinya bersama dengan sekotak emping jagung, sekotak susu yang sudah masam dan mug yang setengahnya berisi kopi. Sebuah alat jebakan lalat tergantung pada lampu yang menempel di langit-langit. Dengan ibu jari dan telunjuknya pendeta gadungan itu mencoba meraih tali yang jika ditarik mestinya dapat menyalakan lampu itu, namun tak ada yang terjadi.
Ia berjalan menuju ruang duduk. Sebuah karpet tua, cokelat dan salah satu sisinya tergulung. Sebuah gambar guratan tinta tepat berada di sisi kiri dinding: sang Kristus diatas awan, dibawahnya Calvary (tempat penyaliban Yesus), dan ada kalimat ini di bawah tiga salib:
KAU AKAN MENUNJUKKAN JALAN KEHIDUPAN
PADAKU KEHADIRANMU MEMBUNCAHKAN KEBAHAGIAAN
DI TANGAN KANANMU TERDAPAT KESENANGAN
UNTUK SELAMA-LAMANYA Dengan melihat lebih dekat, pendeta gadungan itu menyadari bahwa orang-orang di ketiga salib itu adalah wanita, mengeluarkan darah dari mata dan dada mereka, serta ada prasasti di lingkaran di atas kepala Kristus, samar-samar dan sulit dipahami.
Setelah itu terdapat lorong pendek, kemudian sebuah pintu lainnya lagi, tua dan menakutkan namun dicat dengan warna cerah dan segar: warna biru telur asin. Di pintu itu hanya ada satu kata:
TSIDKEFNU Kata dalam Perjanjian Lama untuk "Kebenaran", salah satu dari seribu nama Tuhan.
Pria dari Roma itu mengambil kembali Baretta-nya, menarik napas dan menggenggamnya. Ia membua pintu dengan mendorongnya dan masuk ke ruang lain, akhir perjalanannya di apartemen itu. Ia segera menutupi matanya yang silau dengan satu tangannya.
Next47 Dari belakang mereka, dari Taman James J. Walker, Finn dan Valentine dapat mendengar samar-samar suara anak-anak yang bermain lompat tali sambil menyanyikan lagu yang ritmenya semakin cepat sesuai dengan lompatan mereka.
"Aku adalah Bayi Yesus,
Menuju salib kuberjalan. Aku adalah Bayi Yesus, Ayahku adalah Pimpinan. "Kau yakin kita sebaiknya melakukan ini?" tanya Finn, sambil duduk di kursi taman di sebelah Valentine. Diantara kedua kaki Valentine terdapat sebuah tas penuh peralatan. Mereka berdua mengenakan pakaian lari yang kasual. Saat itu jam setengah delapan malam, kemacetan di Hudson Street sudah berkurang.
"Kan kau yang tadi siang masuk ke sana dan mengambil kunci-kunci itu." Valentine tersenyum. "Lagi pula, jika kita memang ingin mendapat kesimpulan yang memuaskan para penguasa, kita harus punya bukti. Sekarang semuanya kurang jelas, hanya sebatas paranoid di internet dan teori-teori konspirasi."
"Aku hanya ingin tahu siapa yang membunuh Peter."
"Kita akan segera mengetahuinya," kata Valentine. "Aku berjanji." Sementara itu kedua matanya menatap lurus ke arah rumah itu. Lampu-lampu sudah dimatikan dan sesaat kemudian muncullah si Hugo Boss, mengunci pintu. Kamera Panasonic kecil yang dibawa Finn dalam tas punggungnya ketika ia masuk ke rumah itu siang tadi memberikan cukup informasi yang Valentine butuhkan tentang bagian dalam rumah itu termauk panel keamanan di bagian dalam pintu depan. Sepertinya hanya sebuah sistem ADT sederhana dengan sebuah saluran telepon ke pusat keamanan. Sistem itu sudah berusia sepuluh tahun dan hanya dengan menelepon Barrie Kornitzer ia akan mendapatkan kode sandi sistem itu dalam lima menit saja. Pencurian Finn atas kunci-kunci itu lebih mempermudah segalanya; setelah menggandakannya di Carmine Street, ia menggunakan alarm mobil pada pegangan kunci yang asli untuk mengetahui pada mobil yang mana kunci itu bekerja, dan akhirnya ia menemukan sebuah Toyota Camry di Varick Street. Setelah itu ia meletakkan kunci-kunci itu dibawah kursi depan dan mengunci pintu mobil secara manual. Ketika sang pemilik kunci menemukannya ia akan berasumsi bahwa kunci-kunci itu tertinggal ketika ia keluar dari mobil pagi tadi.
"Aku adalah Bayi Yesus,
Aku melihat setiap dosa. Aku adalah Bayi Yesus, Dan aku selalu jadi juara."
Valentine menatap jam tangannya, kemudian rumah di seberang sana yang semakin gelap itu. Semua tenang, tak ada yang bergoyang selain dedaunan di pepohonan. Terdengar suara dengungan lalu lintas yang datang dari blok sebelah. Finn dapat samar-samar mengingat beberapa baris soneta Edgar Allan Poe tentang matinya cinta dengan cara yang menyeramkan. Ia berusaha tak memikirkan apa yang terpendam di bawahnya, terbenam dalam tanah di taman itu. Rahasia lama. Tulang-tulang yang bahkan jauh lebih tua lagi.
"Sudah waktunya."
"Baiklah." "Aku sudah mengatakan pada Barrie semua yang kita ketahui. Jika aku tak meneleponnya hingga tengah malam, ia akan memberitahukan salah seorang temannya di Biro akan apa yang kita temukan ini."
"Wah, itu sangat menenangkan," kata Finn yang diiringi tawa palsunya. Keduanya berdiri dan beranjak menuju seberang jalan. Di belakang mereka, hilang dalam kegelapan, anak-anak itu masih melompat-lompat.
Next48 Mereka memasuki rumah yang gelap itu. Di depan mereka, agak ke kanan, terdapat panel ADT. Sebuah lampu kecil merah berkelap-kelip. Valentine memencet beberapa nomor. Lampu berwarna merah itu berubah menjadi hijau.
"Mudah juga ya?" bisik Finn.
"Itu bukan film pencurian teknologi tinggi," jawab Valentine. "Setelah beberapa lama orang-orang mulai tak berhati-hati dan tak peduli." Ia mengangkat bahu. "Lagi pula, kenapa juga ada yang ingin masuk ke tempat seperi ini" Yang orang tahu, semua ini hanyalah sekumpulan kertas."
"Ya, mungkin memang sekumpulan kertas," kata Finn. "Mungkin kita salah."
"Kau bilang si resepsionis yang berpakaian mahal itu punya senjata."
"Aku yakin sekali."
"Kalau begitu kita tidak salah. Orang tak memerlukan senjata kalau hanya untuk menjaga kertas."
Valentine berhenti sejenak untuk memeriksa lukisan di belakang meja. "Orang juga tak memerlukan senjata untuk menjaga benda seperti itu."
Dengan cepat mereka berjalan melewati ruangan penerima tamu dan lorong untuk menuju area terbuka di tengah rumah itu. Finn menjatuhkan tas yang berisi peralatan pada salah satu meja yang ada dan membukanya. Valentine mengambl sebuah lampu senter yang berat dan menyalakannya, mengarahkan cahayanya ke sekitar ruangan. Semuanya tak berbeda dengan apa yang ia lihat dari kamera Finn: sebuah ruangan berbentuk empat persegi panjang tanpa jendela dengan tangga menuju empat persegi panjang tanpa jendela dengan tangga menuju dinding yang berada di kanan. Terdapat tiga meja dan sebaris rak penyimpan data. Sebuah ambang pintu di ujung ruangan menuju sebuah ruang rapat yang nyaman dengan sebuah meja panjang dan setengah lusin kursi. Terdapat sebuah klukisan di atas rak perapian yang bergaya lama di kiri. Terlalu gelap untuk dapat melihat dengan jelas; hanya pemandangan yang hening. Sebuah pintu lagi menuju bagian belakang rumah itu. Terkunci. Finn bergerak maju dengan kunci-kuncinya dan mencoba semuanya hingga akhirnya ia menemukan satu yang cocok. Ia dapat membuka pintu itu. Mereka pun masuk.
"Ini baru menarik," gumam Valentine.
Ruangan itu sama sekali kosong. Sebuah jendela di dinding yang jauh sudah di semen dan pintu belakang yang asli telah diganti dengan yang terlihat seperti sebuah pintu mekanik yang bisanya ditemukan di garasi. Sementara lantai ruangan sebelumnya berwarna seperti cherry, di sini justru dilapisi dengan papan ek yang besar, yang sudah gelap dimakan waktu. Itulah lantai yang asli.
"Tempat muatan." kata Valentine. "Buku asuransi menujukkan ada sebuah jalan kecil di belakang dengan pintu masuk di ujung Varick Street. Pasti ke sanalah arah ruangan ini."
"Tak masuk akal," kata Finn.
"Lihat." Valentine menunjuk. Di tengah pintu itu terdapat kotak dari papan. Ia melayangkan cahaya lampu senternya ke seluruh ruangan. Di sisi pintu mekanik itu terdapat sebuah tombol besar, semacam tombol lift di Ex Libris. "Tekan saja."
Finn menghampiri dan menekannya. Terdengar suara berdengung dan sebuah bagian dari lantai yang terletak enam kaki di sisi mereka tiba-tiba terangkat dengan perlahan. Sebuah benda semcam kerangkeng atau kandang pun muncul dan berhenti dengan sentakan yang cukup keras.
"Apa itu?" kata Finn.
Valentine mengarahkan cahaya ke sana, tulisan pada sebuah piringan metal yang menempel di sana mengatakan OTIS BROTHERS YONKERS NY 1867.
"Aku tak tahu sama sekali pemilik awal gedung ini, namun bisa saja tempat ini dulunya sebuah losmen atau penginapan. Ini bisa saja lift barang yang mereka gunakan untuk membawa bir dan makanan dari tempat penyimpanan dibawah sana. "Valentine memasuki benda itu dan melayangkan cahayanya ke sekitarnya. Ia menemukan sebuah tombol di bagian kanan ats benda itu. "Kelihatannya aman."
Finn menatapnya dengan ketakutan. "Kita akan turun dengan menggunakan benda itu?"
"Aku tak melihat ada kemungkinan lainnya." Ia mempersilakan Finn naik ke benda itu. Dengan ragu-ragu Finn melangkah diatas lantai lift yang terbuat dari baja tua dan Valentine menekan tombolnya. Lift itu turun dengan lamban. Pada saat mereka tiba di lantai bawah, mereka dilingkup kegelapan. Mereka keluar dari lift itu dan Valentine kembali melayangkan cahaya ke sekelilingnya. Mereka sepertinya berada dalam sebuah ruangan bawah tanah yang modern yang dipenuhi dengan kotak dan kerat. Valentine menemukan sebuah tombol lampu dan menyalakannya.
Ruang bawah tanah itu sama besarnya dengan seluruh rumah, sebuah ruangan yang panjang dan sempit dengan fasilitas pengepakan yang lengkap, juga tempat penyimpanan barang-barang bekas, beberapa gergaji, meja-meja kerja, dan satu area yang dikhususkan untuk mengikat. Semua sangat efisien. Terdengar bunyi alat pencegah kelembagaan yang menempel pada salah satu dinding. Ruangan itu memang dingin dan kering. Setengah lusin kotak berukuran sedang telah diatur dekat dengan lift barang, diberi label dan barcode dengan sangat rapi. Semuanya dialamatkan ke beberapa outlet Galeri Hoffman di seluruh dunia, dan masing-masing diberi plastik yang dilekatkan di salah satu sisi kotak itu lengkap dengan surat-surat bea cukainya. Di sudut ruangan itu terdapat meja besi dengan sebuah komputer dan printer besar. Valentine mengambil sebuah cutter dari tasnya dan membuka salah satu plastik itu.
"Formulir 4457, hanya surat jalan barang. Salah satu keuntungan terbesar berurusan dengan karya seni dan benda antik adalah: tak ada pajak. Seakan-akan pengiriman berjuta-juta dolar ke seluruh dunia hanya sekedar mengedipkan mata."
Valentine menemukan sebuah alat pembuka pada meja kerja dan mulai membuka salah satu kotak kecil. Bagian atas kotak itu pun akhirnya terbuka dan ia dengan hati-hati mengangkat isinya."
"Rembrandt. The raising of Lazarus. Karya ini telah hilang semenjak tahun 1942. Benda ini di curi dari seorang Yahudi pedagang karya seni di Amesterdam."
"Apakah ini bisa jadi bukti yang cukup?"
"Tidak. Kita harus menemukan yang lainnya."
"Tak ada di sini."
Valentine melihat ke sekeliling ruangan. "Pertama-tama kita harus dapat menentukan apa yang sebenarnya berada "di sini"." Ia berjalan lebih jauh lagi ke bagian belakang ruang bawah tanah itu dan menatap dinding. Seperti ruangan lainnya yang sempit dan panjang, ruangan itu sepertinya terbuat dari batu bata solid. Tak ada satu pun dindingnya yang dapat menutupi sebuah pintu keluar rahasia.
"Pasti ada di sini. Kita sedang mengarah ke taman." Ia melihat ke kanan dan ke kiri. "Dinding ini menyatu dengan gedung sebelah dan dinding belakang ini menghadap ke arah yang salah." Ia memeriksa lantai dengan seksama, mencari-cari tanda yang menunjukkan bahwa paru-paru ini ada benda yang dibawa keluar dari balik dinding itu. Namun sia-sia saja.
Valentine berdiri diatas lututnya, dengan hati-hati memeriksa sambungan antara dinding depan dan lantai. Finn berbalik dan melihat ke arah jalan masuk mereka, mengingat-ingat kantor di Ex Libris dan Sherlock Holmes. Ketika kemungkinan yang ada mulai berkurang ...
Keseluruhan dinding belakang ditutupi oleh sebaris unit rak penyimpanan dari bahan besi yang dipenuhi barang-barang yang sudah dipak. Meninggalkan Valentine yang tengah mencermati lantai, Finn kembali ke utara dan menatap dinding. Enam baris rak pada dinding itu hampir setinggi langit-langit. Rak-rak itu naik setengah inci dari lantai dengan kaki-kaki yang terbuat dari besi. Kesemuanya dicat dengan warna hijau dan terlihat sudah sangat tua. Finn berbalik lagi. Lift barang tua itu dua atau lima belas kaki diatasnya. Terdapat lebih banyak lagi rak di dinding sebelah kiri namun di kanan tak ada sama sekali. Dinding itu justru digantungi sebuah potongan besar papan untuk tempat meletakkan berbagai peralatan. Ia terus memandang, berpikir, ia tahu ada yang salah. Lalu ia memahaminya.
"Michael," panggilnya.
Michael berdiri dan menghampirinya. "Apa?"
"Kurasa aku baru saja menemukan sesuatu."
"Dimana?" Ia menatap sekeliling ruang bawah tanah yang berlangit-langit rendah itu.
"Lihat," serunya, sambil menunjuk ketika Michael berjalan ke arahnya. "Papan itu."
"Ada apa dengan papan itu?" Itu adalah dinding yang menyatu."
"Tak ada apa-apa diatasnya."
"Aku tidak mengerti."
"Semua peralatan itu berada di rak sebelah sana, tak ada yang digantung, jadi apa guna papan ini?"
Valentine terdiam sesaat. Ia bergerak maju dan memeriksa papan itu, mengetuk-ngetuk dengan ruas jarinya, lalu memeriksa tempat di mana dinding itu dan dinding belakang tadi bertemu. Setelah beberapa saat ia memegang rak yang tengah dari dinding terdekat dan menariknya kuat-kuat. Awalnya tak ada yang terjadi, kemudian dengan lembut hampir bisa dibilang dengan diam-diam, dua unit yang terdekat dengan dinding penyatu itu menderu ke arah depan hingga kedua rak besar itu bergeser dua kaki dari dinding belakang. Kemudian bergeser dua kaki dari dinding belakang. Kemudian keduanya berhenti bersamaan. Valentine mendorong rak itu ke kiri, jauh dari dinding penyatu itu yang akhirnya menampakkan pintu masuk yang gelap dan tersembunyi.
Ia mengambil lampu senternya dan menuruni daerah yang landai dan luas itu yang mengarah ke sebuah ruangan itu terbuat dari granit penerimaan tamu. Dinding di ruangan itu terbuat dari granit Pound Ridge, bebatuan antik yang digunakan oleh gedung pencakar langit New York. Valentine menyentuhnya. Dingin dan kering, tempat yang sempurna untuk mengubur anak sejarah terfavorit kota itu dan menyimpan rahasia-rahasia lainnya dari mata yang suka mengintip. Edgar Allan Poe.
"Dengar! Kematian telah mendudukkan dirinya sendiri ke singgana.
Di sebuah kota aneh terbaring sendiri saja.
Jauh di keremangan belahan Barat.
Dimana yang baik dan buruk, terburuk dan terbaik.
Telah pergi menuju tempat peristirahatan terakhir mereka."
"Kadang-kadang kau bisa juga menakutkan, Michael," gerutu Finn. Ia mengikuti cahaya lampu. Dua rel baja di bagian kiri. Terdapat sebuah kotak tombol sakelar di dinding dan sebuah garis yang terpisah yang mengarah ke lubang. Valentine memencet tombol itu dan cahaya yang berasal dari bola-bola lampu pun muncul, tak terlalu menerangi lorong di hadapan mereka. Ia mematikan lampu senternya. Lorong itu setinggi tujuh atau delapan kaki dan di depan sana lebih lagi. Dinding-dindingnya dibangun dengan bebatuan yang sama dengan tempat penerimaan tamu dan lantainya ditutupi kerikil kecil-kecil tebal.
"Ke mana kira-kira tujuannya ya?" Valentine berkata perlahan. Ia berjalan ke arah lorong.
"Aku tak yakin ingin tahu," kata Finn, namun walau begitu ia tetap mengikuti Valentine.
Semenjak mereka memasukinya, lorong itu sudah membelok dan menikung sebanyak enam kali. Di sana-sini terdapat kerukan sempit pada dinding, namun situs pemakaman tua itu telah kosong. Rel yang mereka lewati dengan berjalan kaki tampak tak sesuai berada di tempat yang mati itu, begitu pula bola lampu yang dekat sekali dengan kepala mereka. Finn mencoba untuk tidak memikirkan beratnya bumi yang berada persis diatas kepalanya; mencoba untuk tetap bernapas dengan normal dalam perjalanan yang gelap dan menegangkan ini. Neraka tidak panas, seperti inilah"kosong dan terkubur di bawah tanah. Terkubur hidup-hidup.
Mereka seakan sudah berjalan disana sepanjang hidup mereka hingga akhirnya mereka tiba pada sebuah tempat semacam ruang penerimaan tamu yang agak besar lagi. Rel itu menuju pintu besi. Pintu itu seperti pohon besar yang gelap, engsel-engselnya setua batu-batu di dinding tempatnya dipasangkan. Sepasang tugu telah diukir dengan rapinya pada kedua belah sisi pintu itu, lalu terdapat pula tulisan yang tua, gelap dan agak tersembunyi.
"Keheningan, Kematian, Anda memasuki Kerajaan Maut," Finn membaca dengan lantang. "Bagus juga." Ia melihat ke arah pintu lalu ke arah Valentine. "Kita masuk atau tidak?"
"Sepertinya kita sudah terlalu jauh untuk mundur," jawab Valentine. Ia menghentak-hentak rel itu dengan sepatu botnya. "Mereka tidak menggunakan semua ini untuk membawa jenazah. Ini lebih seperti gudang ketimbang makam." Ia melangkah maju dan menggenggam pegangan pitu yang terbuat dari besi tempat itu. Ia menariknya untuk membuka pintu dan melangkah maju.
Terdengar erangan berat dan dalam seperti suara hewan yang terluka, lalu semua lampu pun padam. Finn berteriak kencang, bau darah segar tiba-tiba tercium. Ia berteriak lagi, merasakan udara bergemuruh dalam dadanya. Dari kajauhan, bergema, terdengar suara tembakan yang sangat kencang.
Next49 Selama beberapa saat dalam ketakutan, Finn merasa kehilangan kesadaran dan bayangan terakhir kali ia melihat wajah Peter muncul di pelupuk matanya. Jantungnya berdetak kencang, ia membungkuk bertumpu pada tangan dan lututnya lalu berdiri diatas kedua kakinya. Ia terantuk ke depan dan meneriakkan nama Valentine, kedua tangannya direntangkan, jari-jarinya mencakar udara yang kosong. Ia menggelinding ketika sesuatu menghantam pinggulnya dan ia merasa pipinya terhempas ke pintu yang kasar permukaannya. Ia kehilangan keseimbangan dan berguling-guling, mencium bau darah dan bau menyengat yang tidak enak dari sesuatu yang menyerupai kolonye atau aftershave. Rasanya seperti tersentuh oleh ingatan samar-samar yang muncul dari sisi kesadaran pikiran yang kemudian lenyap sama sekali. Dari sebelahnya ia mendengar suara napas yang tersengal-sengal dan suara kepalan tangan memukul tubuh seseorang. Ia terjatuh lagi, bersandar pada lututnya, menyadari bahwa lantai di bawahnya halus, bukan batu kerikil. Anehnya, dari atas kepalanya ia mendengar anak-anak kecil bermain di taman.
"Aku adalah Bayi Yesus.
Aku tak pernah, sama sekali tak pernah berdusta.
Aku adalah Bayi Yesus. Dan jika kau tak percaya.
Kau pasti akan diberangus."
Suara anak-anak kecil itu datang dari ventilasi tua yang membawa udara segar turun ke pemakaman bawah tanah itu, yang berarti masih berhubungan dengan permukaan. Sambil berusaha berdiri diatas kedua kakinya untuk kedua kali, kedua tangannya direnggangkan kembali, lalu Finn meraih dinding yang halus dalam kegelapan dan menelusurinya, merasa sangat ingin menemukan sebuah sakelar lampu. Bau darah telah tergantikan dengan sesuatu yang lainnya: bau bensin tumpah yang sangat menusuk hidung. Terdengar suara desahan yang sangat menakutkan lalu suara benda berat yang jatuh ke tanah. Ia merasakan sakelar plastik di bawah tangannya lalu ia menjentikkannya ke atas. Lampu menyala dan ia dapat melihat dimana ia berada.
Ruang bawah tanah yang berbentuk sebuah bangunan melengkung dan sangat besar, paling tidak sepanjang seratus kaki di satu sisinya, dipenuhi tumpukan berderet-deret kotak dan boks kayu, koper tua, koper besar, dan peti besi yang setinggi langit-langit, dua puluh kaki diatas tanah, dipenuhi dengan balok baja penyangga untuk menjaga batu-batu tua agar tidak runtuh. Peti papan yang panjang terbuka dan di dalamnya terdapat sebuah mahakarya, lukisan wajah oleh pelukis asal Belanda Franz Hals. Label di peti tersebut telah hilang, mungkin terhapus, dan terdapat tulisan Nazi SS. Di sebelahnya terdapat sebuah peti yang terbuka terisi ribuan bingkai kacamata bergaya lama yang terbuat dari emas yang kedua lensanya telah lepas. Selebihnya tercium bau menusuk hidung yang berasal dari cairan bensin. Dari sudut matanya Finn melihat lima galon wadah plastik berwarna merah yang tidak asing lagi baginya. Jalur rel kembar di sepanjang ruangan itu berakhir pada sebuah penyangga yang terbuat dari batang pohon ek. Jeremy ditumpukkan diatas kayu tersebut: sebuah cara yang sederhana untuk membawa barang rampasan dari ruang bawah tanah menuju sebuah tempat penyimpanan bawah tanah di rumah di St. Luke"s Place.
"Michael!" "Di sini!" Suara tersebut datang dari belakang peti yang besar. Di depannya ia melihat jejak darah segar. Ia berlari maju, mendorong peti yang menutup jalannya. Valentine mendorong tubuhnya tegak ke atas, meraih tumpukan peti untuk membantunya berdiri. Di bawah kakinya terbaring tubuh seorang laki-laki, masih hidup, mencengkeram perutnya, merintih, menggenggam erat sebuah gagang pisau berburu. Pria itu berambut abu-abu, berumur sekitar enam puluh tahun dan menggunakan pakaian berwarna cokelat seperti lumpur"warna seragam"seragam sersan infanteri Perang Dunia II, terlalu besar untuk ukuran seorang pria yang bertubuh kecil. Finn langsung mengenalinya.
"Dia Fred!" Valentine bersungut-sungut, langsung berdiri. "Siapa?"
"Dari museum. Ia adalah penjaga keamanan," Finn menjawab dengan suara pelan. "Aku pernah menyapanya. Hanya seorang pria tua yang pemalu." Ia menatap bahu Valentine. "Apa kau baik-baik saja?"
"Hanya tergores. Aku baik-baki saja." Ia menunduk diatas tubuh pria yang tergeletak di lantai itu. "Aku tidak yakin dengan keadaannya."
"Apa yang dilakukannya di sini"bagaimana ia mengetahui tempat ini?"
"Mungkin ia melakukan apa yang kita lakukan. Kelihatannya, ia akan menerangkannya," jawab Valentine. "Hanya Tuhan yang tahu kenapa, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang dilakukannya." Ia melihat ke arah seragam yang dikenakan pria tersebut. Terdapat sebuah tambalan yang telah hilang di bahunya. Sebuah tangga piramid yang berwarna emas dan merah dengan latar belakang berwarna biru. Unit Cornwall. Valentine memandang sepintas ruang bawah tanah yang besar itu dan menggelengkan kepalanya, lalu meraih tangan yang berdarah dan menyentuh leher pria itu dengan jarinya. "Lemah," katanya. "Jika kita ingin mendapatkan jawaban dari semua ini, lebih baik kita menolongnya terlebih dahulu." Valentine berdiri lagi, bergerak sedikit, bersandar kepada sebuah peti disampingnya untuk menyangga tubuhnya. "Pergilah. Telepon 911. Panggil polisi dan ambulans." Ia melihat ke arah ruangan itu lagi. "Kita telah mendapatkan bukti yang kita butuhkan sekarang. Ini akan membongkar semuanya: Yayasan, Cornwall, Crawley, Gatty, nama-nama yang lainnya. Semua yang ambil bagian turut menyimpan rahasia ini. Lebih banyak orang yang melihat semua ini lebih baik."
"Kau yakin akan baik-baik saja?"
"Aku akan baik-baik saja. Pergilah."
Finn berbalik dan berlari.
Next50 Finn berlari melewati jalan yang memutar, napasnya tersengal-sengal, pikirannya berputar-putar diantara ribuan pikiran gambar-gambar lainnya sementara ia mencoba untuk berkonsentrasi dengan apa yang terjadi pada saat itu. Ia gagal berkonsentrasi dan ketika ia kembali ke ruang bawah tanah gedung Yayasan Grange, yang ada di kepalanya adalah wajah cemas dan pucat pria yang sedang sekarat diatas lantai di ruang penyimpanan bawah tanah, pisau yang menghunjam bagian atas perutnya, darah yang hitam dan mengental yang keluar dari depan kemeja putihnya, jarinya yang kurus, jari seorang pemain piano yang menggenggam gagang pisau yang tipis.
Ia sampai di ujung lorong dan secara kebetulan masuk ke ruang bundar di balik pintu yang tersembunyi di dalam ruang bawah tanah rumah di St. Luke"s Place. Ia berhenti, melihat ke belakang, matanya membelalak. Letnan Vincent Delaney dari Kepolisian New York sedang berjongkok di depan tubuh seorang pria yang jatuh merosot bersandar pada dinding batu di ruangan tersebut. Seorang pria yang setengah wajahnya tenggelam dalam darah kental yang menyerupai bubar. Tidak ada petunjuk kecuali kerah bajunya berwarna putih, berdarah di sekeliling lehernya. Seorang pendeta. Seorang pendeta dengan senjata otomatis ditangannya. Ketika Finn berhenti, dengan napasnya yang tersengal-sengal, polisi itu berdiri dan berbalik, pistol Glock yang telah membunuh laki-laki tersebut masih berada di tangannya"suara tembakan yang ia dengar beberapa waktu lalu ketika berada di ujung lain lorong itu.
"Nona Ryan," ia berbicara perlahan, "Aku yakin akhirnya kau datang. Masih bersama temanmu, Valentine?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira."
"Kenapa kau ada di sini?" Finn berdiri di hadapan mayat pendeta itu. "Apa yang telah terjadi?"
"Apakah Valentine bersamamu?"
"Apa yang pendeta ini lakukan disini?"
"Ia bukan seorang pendeta. Ia seorang pembunuh bayaran. Seorang pembunuh."
"Apakah ia yang membunuh Peter?" kepala Finn mulai terasa berputar, semua kemungkinan yang berusaha ia hubung-hubungkan satu sama lain mulai berpencar-pencar dan terbang ke segala arah, rasa dan logika mulai melenyap.
"Bukan. Yang terjadi dengan Peter adalah sebuah kecelakaan. Kaulah target sebenarnya."
"Kenapa?" "Karena kau menemukan gambar itu. Jika kau melanjutkan pencarianmu, kau akhirnya akan menemukan jalanmu menuju tempat ini. Kau harus dihentikan." Ia berhenti. "Saya barusan bertanya. Apakah Valentine bersamamu?"
"Ya." "Anak kecil itu?"
"Anak kecil yang mana?" Ini tak masuk akal.
"Botte. Frederico. Yang sekarang sudah tua."
"Fred" Si penjaga keamanan?"
"Ia selalu disebut anak kecil. Semua orang pernah menjadi anak kecil. Yang satu ini sudah sangat berbahaya sejak saat ia dilahirkan."
"Kau gila," bisik Finn. "Apa maksudmu" Di belakang sana ada ruangan yang penuh dengan karya seni curian, rampasan! Miliaran dolar! Sejumlah orang telah dibunuh untuk menutupi kejadian ini ... untuk menjaga kelangsungannya. Apa hubungannya dengan lelaki tua itu" Apa yang telah kau lakukan padanya?" Finn menunduk mendekat ke jenazah yang bersandar pada dinding. "Dan pada dia?"
"Aku lebih dari sekedar seorang polisi, Nona Ryan," kata Delaney perlahan. "Dan orang-rang yang mempekerjakanku mempunyai rahasia untuk disimpan"rahasia tua. Tak pernah ada hubungannya dengan seni. Semua ini selalu tentang anak kecil itu. Kami berpikir bahwa kami telah mendapatkannya, lalu kami kehilangan dirinya. Ia mulai membunuh kembali. Apabila ia ditnagkap oleh pihak yang salah, maka kebenaran akan terbuka. Itu tidak boleh terjadi. Gereja cukup dapat masalah karena kejadian ini. Semua ini harus diakhir" Ia mengangguk ke arah mayat laki-laki tersebut. "Ia bekerja untuk golongan lain yang mementingkan diri sendiri yang merasa bhwa kematianmu pun cukup, seseorang yang lebih mendambakan kekuasan dibandingkan dengan keamanan. Untuk mencuri kembali karya seni curian itu, mereka rela mengambil risiko apa pun."
"Fred coba menghancurkannya," bisik Finn. "Ribuan tahun kecantikan yang sangat berharga dan ia akan membakarnya semua." Ia berhenti, merasa kebingungan menatap polisi itu. "Siapa dia?"
"Anak Eugenio Pacelli. Anak haram seorang paus. Seorang paus yang diperas Nazi, memberikan jasanya kepada mereka, membantu pencurian barang-barang berharga yang akhirnya jatuh ke tangan James Cornwall dan kelompok pencurinya sendiri, gerombolan Nazinya sendiri: gerombolan Amerika."
"Carduss. Freyfriars. Yayasan Grange."
"Itu dulu. Sekarang lebih dari itu."
"Bagaimana kau menemukan tempat ini?"
"Aku mengikuti pendeta itu. Aku tahu akhirnya ia akan membawaku ke anak kecil itu. Pendeta gadungan ini mencari tahu di mana orang gila itu tinggal, tetapi ia telah pergi."
"Orang gila, orang yang kau bilang gila itu telah mati," kata Valentine, keluar dari lorong. Mengejutkan, Delaney berbalik, Glock dikeluarkan, mengarah ke tengah dada Valentine. "Semua sudah berakhir."
"Tidak juga," kata Delaney. "Tinggal sedikit beres-beres."
"Kita akan beres-beres?" kata Finn.
"Maksudnya pembunuhan," jelas Valentine. "Ia tidak bisa pergi meninggalkan kita hidup-hidup. Ia tahu bahwa tidak semua dari kejadian ini dapat dipublikasikan. Ia benar. Eugenio Pacelli, Pius XII, akan dimasukkan ke daftar santo. Sudah cukup buruk ia disebut pausnya Hitler, tetapi menjadi ayah seorang anak" Mata-mata dan pembunuh dari Vatikan tidak akan terlihat bagus jika terpampang di halaman depan surat kabar New York Times." Valentine berjalan setengah langkah, memutar badannya sedikit, memperkecil ruang target penembakan Delaney.
"Seperti itulah."
Pada saat itu Finn tahu secara jelas apa yang akan terjadi. Setiap detik mulai dari sekarang, Valentine, secara menakjubkan dan dengan sifat ksatrianya yang konyo, dengan satu gerakan, mengalihkan perhatian polisi itu dan memberikan Finn sedikit kemungkinan untuk kabur keluar. Finn berusaha mengingat-ingat apa kata-kata lucu yang biasanya dikatakan ibunya. Hati yang lemah tidak pernah mendapatkan wanita yang cantik. Kadang-kadang, ia heran bagaimana dunia tetap terus bergulir di mata orang yang berpikir demikian.
Tidak hari ini, ia berkata pada dirinya sendiri. Tidak hari ini dan tidak dengan versinya. Ia menyadari bahwa ia telah memiliki kunci duplikat di tangannya dan tentunya dengan hati-hati ia mengeluarkan kunci berujung kasar milik mobil Toyota itu ke dalam genggamannya, dengan ujung kunci di luar genggaman. Ia ragu-ragu untuk beberapa detik, menelan ludah, mengedipkan matanya ke arah Valentine, mengetahui dengan segenap keputusasaan atau kebodohan, kemarahan atau bahkan naluri alamiah untuk menjaga dirinya. Oh Tuhan! Ia dari Ohio! Kejadian seperti ini tidak terjadi disana! Ia seorang gadis.
"Omong kosong!" bisiknya. Delaney berbalik, matanya menatap Finn lagi, melotot sementara Finn melakukan gerakan seakan berdansa menuju Delaney sebuah gambaran yang membutakan akan lukisan wanita Michelangelo dengan gerakan Finn, dan dalam sekejap saja polisi itu terpaku, tidak dapat bergerak.
Finn memukulkan kepalan tangannya ke leher polisi itu dan senjatanya pun terlepas, meremukkan lampu di atas kepalanya dan melempar Finn ke dalam kegelapan untuk kedua kalinya, pecahan kaca berserakan di mana-mana. Ia dapat merasakan kunci mobil yang panjang merobek daging Delaney, benda kasar dari besi itu menikam dan merobek urat nadinya, darah tiba-tiba terpompa keluar dan muncrat mengenai pipi Finn. Glock ditembakkan lagi, peluru melesat melewati telinganya, cahaya dari mulut pistol itu menerangi luka di leher Delaney yang Finn buat dengan kunci mobil. Delaney pun berjalan terhuyung-huyung, tangannya menepuk luka yang menganga itu. Ia terjatuh dan berlutut di hadapan tubuh laki-laki dari Roma itu, roh mengalir keluar dalam hitungan denyut nadi ketika ia jatuh dan dirinya pun tergulung lagi dalam kegelapan.
Next51 Ia duduk di depan rumah tua yang anggun di St. Luke"s Place dan melihat taman di seberangnya melalui pohon yang daunnya bergemerisik. Anak-anak masih meloncat-loncat walau kegelapan telah datang. Cahaya malam berpendar di semua tempat. Ia dapat mendengar suara Valentine, menelepon semua orang yang berhubungan dengan surat kabar. Polisi dalam perjalanan, begitu juga dengan FBI. Valentine menghubungi Barrie Kornitzer, seseorang yang sekarang mulai sibuk menyebarkan berita melalui jaringan dunia internet yang luas.
Beberapa jam dan hari ke depan akan menjadi sebuah mimpi buruk, tetapi paling tidak pembunuhan telah usai, dan secara perlahan, sangat perlahan, perasaan takut yang terpendam mulai menghilang. Setelah beberapa saat ia berhasil menemukan cara untuk menghubungi ibunya dan mulai mengatakan kepadanya paling tidak apa yang telah terjadi, mungkin sedikit tentang Michael Valentine dan gambar yang ia temukan dari buku catatan Michelangelo. Tetapi bukan sekarang. Apa yang ia inginkan sekarang adalah istirahat. Ia mendengar suara anak-anak kecil yang tidak terlihat, menyanyikan sebuah lagu pujian:
"Matius, Markus, Lukas dan Yohanes,
Dulu mereka disana, tetapi kini telah pergi.
Yudas, Andreas, mereka telah mati.
Lalu datang Paulus, yang kehilangan kepalanya."
Akhirnya, ia menelungkupkan kepalanya diatas tangannya yang terlipat. Dari kejauhan suara sirene mulai meraung. Saat ini semuanya telah usai,tetapi ia tahu sebenarnya ini baru saja dimulai. Di belakangnya, dari pintu yang terbuka ia dapat mendengar suara Valentie berbicara di telepon. Di taman, di seberang pohon, suara anak-anak kecil tenggelam di dalam mimpi yang gelap.
"Simon seorang yang sederhana.
Andreas datang dengan sedih.
Tomas adalah peragu. Yudas seorang pencuri."
Finn tersenyum kepada dirinya sendiri dan menutup matanya, lalu dalam sekejap, ia tertidur.
NextCatatan Penulis Banyak informasi yang terkandung dalam novel ini benar-benar terjadi. Eugenio Pacelli yang kemudian dikenal sebagai paus Pius XII, diketahui memiliki hubungan yang erat dengan kemenakannya. Katherine Annunzio, ketika menjabat sebagai Uskup Nuncio di Berlin dan kemudian sebagai sekretaris Vatikan, jabatan yang didudukinya hingga tahun 1930, ketika ia dipilih sebagai Paus. Diketahui juga bahwa kemenakannya itu melahirkan anak lelaki dibiara yang terletak di utara Italia dan langsung bunuh diri setelah kelahiran anaknya itu. Tak ada bukti yang pasti bagaimana nasib anak itu selanjutnya meskipun beberapa sejarawan Vatikan berspekulasi bahwa sahabat Pacelli, Uskup Agung Francis Joseph, Kardinal Spellmand di New York, mungkin telah membantu usaha pemindahan anak itu ke Amerika Serikat. Spellman, pendeta di Angkatan Laut Amerika Serikat, berada di Roma selama hari-hari terakhir Perang Dunia II.
Diketahui pula bahwa terdapat hubungna langsung antara Pacelli dan hilangnya apa yang disebut dengan Kereta Emas, sebagaimana juga enam truk yang penuh dengan karya seni hasil rampasan yang dibajak oleh orang-orangnya Gerhard Utikal, direktur ERR unit di Paris yang mengatur pencurian karya seni dari Prancis, Belgia, dan Belanda. Nasib Utikal, paling tidak secara resmi, masih merupakan misteri meskipun terdapat sejumlah bukti bahwa ia melarikan diri ke Amerika Serikat melalui apa yang disebut jalur tikus Vatikan.
Karya seni dalam jumlah besar, termasuk sejumlah karya gereja, sekarang ini banyak ditemui di Amerika Serikat. Jumlah terbesar biasanya dihubungkan dengan Harta Terpendam Quedlingburg yang sekarang telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah.
Pasar dunia tahunan untuk karya seni dan benda antik curian, rampasan, dan yang dianggap telah hilang, termasuk yang diadakan oleh museum dan galeri publik mencapai lebih dari lima miliar dolar. Sebagian besar karya seni rampasan selama masa Hitler tak pernah berhasil ditemukan. Karya seni rampasan yang disebutkan dalam cerita seperti lukisan Juan Gris Rembrandt (Raising of Lazarus) adalah nyata.
Memang benar ada biara atau rumah bersalin di 421 Hudson Street di New York, dan taman bermain anak-anak yang terletak di seberang jalan dulunya benar-benar merupakan taman pemakaman yang meliputi dua blok di Greenwich Village, termasuk taman gereja yang disukai oleh Edgar Allan Poe dalam ocehannya di tengah malam. Tak ada nomor 11 di St. Luke"s Place. Tampak depan rumah nomor 10 digunakan seolah-olah sebagai tempat tinggal keluarga Huxtable di Bill Cosby show pada tahun 1980-an.
Buku catatan yang dikenal sebagai catatan Michelangelo untuk gambar-gambar anatomi tubuh tak pernah ditemukan.
End Gajah Kencana 6 Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Kitab Naga Jonggrang 2
^