Pencarian

Kutukan Lumba Lumba 1

Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton Bagian 1


Kutukan Lumba-Lumba Judul Asli: The Curse of The Dolphin
Pengarang: Beth Swinnerton
Penerbit: C Publishing Cetakan Pertama, Tahun 2006
Buku ini dibuat dalam format ebook oleh Yayasan Mitra Netra
Typist: Fia Mirtasari --------------------------------------------------------------------------------
Perhatian! Buku ini dibuat dalam format ebook hanya untuk kepentingan tunanetra.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dilarang menggandakan, memperjualbelikan, atau menyebarluaskannya di luar perpustakaan khusus tunanetra.
Pasal 15 Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebut atau dicantumkan maka tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
Penggunaan ...; Pengambilan ...; Pengambilan ...; Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non komersial, semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
Perubahan ...; Pembuatan .... --------------------------------------------------------------------------------
Daftar Isi satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan sepuluh sebelas duabelas | lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SATU Sungguh sangatsulit, apakah aku harus menyalahkan ibu dan ayahku, ataukah hamster-nya Olly.
Kau tahu, jika buku matematikaku tidak hilang pada saat yang bersamaan dengan proyek IPA-ku yang tertelan oleh makhluk itu, kami tidak akan mendapat pekerjaan rumah ekstra, kemudian kami tidak akan pernah berurusan dengan lumba-lumba.
Aku akan memulai dengan buku matematikaku. Bukuku hilang karena rumah kami adalah rumah yang paling berantakan yang pernah kau lihat. Kedua orangtuaku benar-benar kerepotan mengatur barang-barang, dan keadaan menjadi sepuluh kali lebih parah dengan memiliki enam orang anak.
Orang-orang sering berkata kepadaku, "Ah ... lima saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan! Wah, pasti sangat MENYENANGKAN, memiliki keluarga besar seperti keluargamu!"
Menyenangkan"! Uh! Mereka tidak tahu bagaimana rasanya. Seharusnya mereka mencobanya sendiri.
Mau contohnya" Tengoklah saat kami sarapan. Benar-benar kacau dan menjengkelkan! Tidak pernah ada tempat kosong di meja makan untuk meletakkan semua peralatan, dan ke mana pun matamu memandang, selalu saja ada seseorang (mereka saudara-saudaraku) yang melakukan sesuatu yang bisa menjadi sebuah kekacauan.
Seperti Jumat pagi ini, Leo dan Joe sedang berkelahi, seperti biasanya.
"Bu! Leo menendangku!"
Ibu sedang berdiri di dekat meja, mencoba mendengarkan berita di radio.
"Shhh ... DIAM Joe!" teriaknya. "Luke! LUKE!!! Airnya sudah mendidih."
Luke sedang membaca majalah dan memakai headphones di telinganya.
"Dia mencakarku!" jerit Leo. "Dia mencakarku padahal aku tidak melakukan apa-apa."
"Kau memuntahkan makananmu di atas rotiku! Yah! Rotiku penuh dengan kuman!"
"Luke!" Ibu berjalan mendekati Luke, dan menarik headphones-nya hingga terlepas.
"Hey ... oh ... apa ?" katanya pelan.
"Ketelnya, Luke. Cepat angkat sana."
Luke beranjak dari kursinya, menurunkan ketel dari kompor, mematikannya, kemudian kembali ke kursinya. Duduk dan membaca majalahnya.
"LUKE!!! Ibu berteriak. "Setelah kau turunkan ketelnya, kau harus membuat teh! Bukannya langsung duduk lagi seperti itu!"
"Aku tidak meludah!" teriak Leo membela diri. "Aku batuk! Kau lihat! Aku, kan, tidak bisa menahan untuk tidak batuk. Memangnya kau bisa menahan batuk ketika kau akan batuk" Huh!"
"Bu! Leo memasukkan jarinya yang bau ke dalam corn flakes-ku. Iyaaaks! Aku sudah tidak berselera makan lagi sekarang. Ayah!"
"Apa"!" Ayah sedang mengerjakan tugasnya yang menggunung di hadapannya " Ayahku seorang guru. Anna sedang duduk di dekatnya, dan setiap kali ia mengetuk-ngetukkan sendoknya ke dalam mangkuk bubur, segumpal bubur muncrat dan mengenai tumpukan kertas pekerjaan Ayah. Ayah hanya bisa berkata, "Oh Anna."
Yakin, murid-murid Ayah pasti sering bertanya-tanya kenapa selalu ada ceceran Soggabix di buku mereka. Mereka pasti berpikir bahwa ayah adalah orang yang sangat jorok, makan saja sampai berlepotan dan tercecer ke mana-mana seperti itu. Hiii ....
Di seberangku, berhadap-hadapan denganku, Harriet dengan sangat genit sedang menyisir rambutnya di atas rotinya. Iyaaaks. Seakan hal itu belum cukup " padahal menurutku itu sangat menjengkelkan, ia membubuhkan sesuatu di sekitar matanya. Sesuatu berwarna hitam, pekat dan cair seperti krim. Mengerikan. Aku kemudian membangun benteng pertahanan dengan karton bekas sereal, jadi aku tidak akan melihatnya.
"Harriet?" kata Ayah tiba-tiba. "Kenapa kau memakai make up seperti itu ke sekolah" Kau tidak diperbolehkan memakainya ke sekolah.
Harriet menghela napas panjang dan melengos.
"Ayah benar. Aku akan memakainya sebelum ke sekolah."
"Lalu untuk apa kau memakainya" Lagi pula kau masih terlalu kecil untuk memakainya."
"Ini wajahku sendiri dan aku bisa melakukan apa saja pada wajahku," kata Harriet ketus. Dia memang selalu kasar.
Luke tiba-tiba menoleh, menyeringai.
"Aku tahu! Dia melakukan itu untuk seseorang di bus sekolah, benar begitu, Harry" Dia ingin menarik perhatian seseorang. Hmmm ... kira-kira orang itu siapa, ya?"
Pipi Harriet memerah. Leo berhenti mengoleskan selai ke telur Joe. "Harriet jatuh cinta!" ia berteriak gembira.
"Yaaaks!" Leo tertawa meledak, dan mereka berdua (Leo dan Joe) jatuh terguling dari kursinya, dan tertawa terbahak-bahak.
"Aku tahu siapa orangnya," kata Luke. "Colin Davis, kan?"
"Bukan!" jerit Harriet.
"Kau membuang waktumu. Colin bilang padaku, menurutnya kau jelek."
Harriet langsung menangis begitu mendengar ucapan Luke. "Aku benci keluarga ini!"jeritnya, kemudian ia lari ke atas.
"Luke!" tegur ibu. Ia selalu membela Harriet. "Apa yang kau katakan sungguh kejam dan tak berperasaan, Luke. Apakah benar Colin mengatakan hal itu tentang Harriet?"
Luke mengedikkan bahunya. "Ehm ... mungkin saja. Aku tidak tahu. Aku, kan, tidak pernah berbicara dengannya."
"Pergi ke atas, dan jelaskan padanya yang sebenarnya. Sekarang juga!"
"Kenapa" Itu salahnya sendiri karena ingin menarik perhatian Colin."
"Bagaimana kau bisa tahu seperti apa Colin sebenarnya jika kau tidak pernah berbicara dengannya"
Sekarang pergi ke atas dan minta maaf pada Harriet!" kata ibu dengan tegas.
"Aku bisa mengatakan bahwa dia memang bodoh hanya dengan melihat wajahnya," kata Luke membela diri. "Baiklah ... baiklah ... aku akan ke atas," katanya setelah melihat wajah ibu.
Di lantai atas, di kamarnya, Harriet menghidupkan CD playernya dengan volume maksimum dan membiarkan pintu kamarnya terbuka.
"Leo! Joe!" teriak ibu mengatasi suara ribut di ruang makan. "Cepat ambil buku-buku bacaan kalian!"
"Joe tidak menemukan bukunya," Leo tersenyum puas. "Anna membuangnya ke bak mandi."
"Buku yang dibuang Anna itu adalah bukumu. Jadi, kasihan deh kamu ..." ejek Joe. "Bukuku yang berwarna hijau dan jika Miss melihatnya, kau akan dimarahi dan kau akan ...."
"LEKAS AMBIL BUKU-BUKU KALIAN!" ibu meledak marah dan mereka berdua segera berdiri, dan pergi ke lantai atas dengan masih tetap berdebat.
Anna mulai bermain dengan boks plastik dari kursi tingginya. Ketika ia mengangkat boks itu, mangkuknya yang berisi bubur tersenggol dan tergelincir jatuh di meja, dan ia mencoba untuk meraihnya. Gedubrak! Ia terpeleset dan wajahnya terbenam ke dalam mangkuk. Ia mengangkat wajahnya, wajah dan rambutnya berlumuran bubur.
"Oh Anna ...," kata Ibu dengan gembira.
Ayah menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Aku akan mengurusnya." Ibu lalu membawa Anna di bawah lengannya, dan pergi ke lantai atas dengan bergegas. Lantai atas sepuluh kali lebih buruk dan berantakan.
Harriet sedang menjerit marah pada Luke. Kemudian ia membanting pintu kamarnya sehingga menimbulkan suara berdebam, tetapi kau masih bisa mendengar suara musik dari kamar Harriet. Luke pergi ke kamarnya dan memainkan gitar listriknya sekuat tenaga untuk menyaingi suara musik dari kamar Harriet. Kemudian sekonyong-konyong ada suara tangisan keras. "Leo membuang sepatu olahragaku ke dalam toilet! Bu! BUUU!"
Ayah mengambil pulpen merah dan menyilangi seluruh halaman dari kertas-kertas pekerjaannya. "Aku menyerah," ia bergumam lemah. "Aku menghabiskan waktu hampir SATU JAM untuk mengerjakan pekerjaan ini kemarin. Entahlah kenapa aku mau melakukan hal ini?"
Bagiku adalah sebuah misteri kenapa pekerjaan rumah ditemukan. Aku tahu betapa guru-guru sebenarnya membenci pekerjaan rumah karena Ayah sering kali mengeluh tentang betapa banyaknya pekerjaan rumah yang harus diperiksa dan diberi nilai. Aku tahu murid-murid membenci pekerjaan rumah karena aku adalah salah satu di antaranya. Berpikir mengenai pekerjaan rumah, tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum mengerjakan PR-ku. Aku hanya mempunyai waktu mengerjakannya sebelum aku berangkat ke sekolah. Dan ternyata ada kejutan. Yup, kejutan, kejutan. Ketika aku mencari buku matematikaku dari rak di bawah jendela tempat aku meletakkannya, buku itu tidak ada di sana. "Yah, apakah Ayah melihat buku matematikaku?" tanyaku pada Ayah.
"Judulnya apa?"
"Fun with Maths (Bersenang-senang dengan Matematika)." Siapa pun yang menamai buku itu seharusnya berpikir dua kali bagaimana bisa bersenang-senang dengan matematika"! Bersenang-senang adalah bersenang-senang, sedangkan matematika adalah matematika"kau bisa melakukan yang satu atau yang satunya lagi, tetapi kalau keduanya sekaligus dalam waktu yang bersamaan, ehmm ... lebih baik tidak usah.
"Aku rasa Joe membawa buku itu tadi malam. Kau bisa tanya dia," saran Ayah.
Aku kemudian berlari ke atas, dan aku menemukan Joe di kamar mandi. Ia sedang mengisi tempat pensil Leo dengan pasta gigi. Joe mengatakan padaku kalau Leo memakai buku matematikaku untuk membuat slide di mobil-mobilannya. Leo mengatakan padaku bahwa ia meletakkan buku itu di tumpukan koran, Ibu berkata bahwa Luke membersihkan tumpukan itu. Dan Luke bilang kalau ia membawa tumpukan koran itu ke garasi di sebuah kotak, tetapi ia tidak melihat buku matematikaku.
Aku segera ke garasi. Tidak ada kotak yang berisi koran. Di luar, aku bisa mendengarAyah menghidupkan mobilnya. Aku segera berlari keluar melambaikan tanganku, Ayah menurunkan kacajendela mobilnya. "Apalagi sekarang" Ayah sudah terlambat!"
"Di garasi seharusnya ada kotak penuh koran, Ayah tahu ke mana koran-koran itu?"
"Ya, aku membawanya ke tem pat daur ulang sampah di Spendo's."
"Apa"! Tidak! Buku matematikaku bersama dengan koran-koran itu! Bisakah Ayah mengantarku ke sana?" pintaku dengan sangat memelas.
"Kau bercanda rupanya, tidakkah kau lihat bahwa aku sedang bersiap berangkat kerja saat ini" Lagipula sudah tidak ada gunanya lagi kau ke sana, mereka sudah mengosongkan tempat sampahnya ketika aku tinggalkan tadi."
"Jadi, buku matematikaku sudah berubah menjadi tisu toilet sekarang" Terima kasih banyak!!"
"Ini kesalahanmu sendiri. Kau seharusnya meletakkannya di dalam ranselmu," Ayah mulai menghidupkan mobilnya.
"Ransel apa?" kataku. "Leo merobekkannya minggu lalu. Ia memakai ranselku untuk tempat peralatan renangnya, dan ia meninggalkannya di kamar mandi."
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
DUA Di luar, aku hampir saja bertabrakan dengan Olly Jacobs, sahabatku.
"Hei ... ada apa denganmu?" ia bertanya dengan ceria.
"Ayahku! Dia membuang buku matematikaku di tempat sampah di Spendo's, lalu ia mengatakan kepadaku bahwa itu semua adalah kesalahanku!"
Olly mengerutkan keningnya. "Oh ... itu adalah sebuah penderitaan. Padahal kau tahu, aku akan menyalin PR-mu."
"Hah! Padahal aku akan menyalin PR-mu," kataku sinis. "Kenapa kau belum mengerjakannya?" "Bukuku tertinggal di sekolah."
"Hebat!" dasar Olly. "Bagaimana dengan proyek IPA kita. Kau bawa, kan?"
Olly mengerutkan hidungnya. "Ada sedikit masalah. Goldie memakan seluruh kacangnya."
Goldie adalah hamster piaraan Olly, dan kacang-kacang itu adalah proyek IPA kami. Kami seharusnya meletakkan kacang-kacang itu dalam sebuah pot, dan menaruhnya di sebuah tempat khusus kemudian menulis tentang apa yang terjadi dengan kacang-kacang itu. Semua hal yang berkaitan dengan kacang-kacang itu tidak menjadi masalah, tetapi kadang aku tidak habis pikir, bagaimana kacang-kacang itu menjadi snack untuk seekor hamster"
"Kenapa kau membiarkan Goldie memakan semua kacang itu?" tanyaku.
"Aku tidak membiarkan Goldie memakannya," Olly mencoba membela diri. "Aku sudah meletakkan kacang-kacang itu di kamarku dan siap untuk mencatat, saat itu Goldie ada di kamarku. Kemudian ibuku memanggilku untuk minum teh, ketika aku kembali ke kamarku, semua kacang itu " sedikit " hilang." Ia menghela napas panjang. Sedih. "Paling tidak, percobaan kita berhasil. Maksudku, kacang-kacang itu tumbuh menjadi tanaman yang aneh seperti seharusnya."
"Apa maksudmu dengan tanaman aneh" Kau masih ingat bagaimana bentuk tanaman kacang itu?"
"Ehm ... aku rasa beberapa di antaranya memiliki sejumlah daun," kata Olly sambil mengerutkan dahinya mencoba mengingat.
"Oh ... sungguh ide cemerlang!" kataku kasar "Penemuan baru. Terobosan baru dalam ilmu pengetahuan! Dua orang anak menemukan tanaman yang memiliki daun! Attila akan mengamuk ketika ia mengetahui kita belum mengerjakan PR dan proyek IPA itu."
"Sudahlah, tidak apa-apa," kata Olly. "Maksudku, jika kita akan mengerjakan PR matematika, lebih baik kita juga mengerjakan proyek itu dalam waktu bersamaan. Mungkin saja suasana hatinya sedang baik. Kita bisa mengatakan kepadanya bahwa kita telah membantu menyelamatkan lingkungan."
Kau tahu, Attila (terkenal sebagai Mr. Pringle, guru kelas kami) benar-benar terobsesi dengan lingkungan. Bukan hanya dia saja, seiuruh sekolah juga. Contohnya, murid-murid kelas satu. Mereka mengubah kelas mereka menjadi hutan hujan. Ya ... mereka membuatnya dengan parasut tua dan banyak sekali kardus karton bekas cornflake. Yang ingin kuketahui adalah, apakah mereka pikir apa yang mereka buat itu bagus" Tidak ada satu pun hewan langka yang akan bersedia membangun sarangnya di kelas satu kecuali: tikus, tentu saja, dan mereka menjadi hewan langka karena selalu ada enam orang balita mencoba memeluk dan memegangnya. Aku tidak berpikir bahwa memiliki beo yang terbuat dari plastis bahan plastis yang lembut yang bertengger di atas kandang tikus akan membuat semua menjadi lebih baik.
"Bagaimana dengan kita?" tanyaku pada Olly.
"Apa?" "Bagaimana kita membantu lingkungan?"
"Kita sudah menghemat energi dengan tidak mengerjakan PR dan buku matematikamu sudah didaur ulang menjadi sesuatu yang berguna. Dan aku telah menolong menyelamatkan satwa dengan memberi makan Goldie."
Aku menghela napas panjang. Aku merasa, Atiila tidak akan melihat hal-hal tersebut seperti kami melihatnya. Dan ketika aku menoleh, semua yang kupikirkan itu ternyata benar.
Attila masuk kelas dengan langkah panjangnya, dan meletakkan setumpuk gambar di atas mejanya. "Seperti yang sudah kalian ketahui," katanya. "Rabu besok sekolah mengadakan konser. Mrs. Robinson telah memutuskan bahwa semua kelas akan memajang pekerjaan dan hasil karya anak-anak."
Jelas sekali bahwa suasana hati Attila sedang tidak bagus. Ketika suasana hatinya sedang baik, ia akan berjalan berkeliling ruangan sambil tertawa atas leluconnya sendiri. Ketika suasana hatinya sedang jelek, ia hanya akan berdiri di depan kelas dan memberikan perintah seperti orang gila.
la menatap tumpukan gambar di hadapannya dan memeriksanya satu per satu. "Aku hanya berharap," tambahnya. "Mrs. Robinson akan membunyikan sirine ambulans karena ketika orangtua kalian melihat gambar-gambar ini, salah satu di antara mereka akan membutuhkan perawatan medis"
Ia mengambil salah satu gambar dari tumpukan di hadapannya dan melambaikannya di hadapan anak-anak. "Lihat ini!"
Aku tersenyum bangga. Itu adalah gambar untuk proyek Indian kami, dan gambar itu adalah salah satu usaha terbaikku. Salah satu dari Indian itu baru saja memanah Indian yang lain, Membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk menyempurnakan gambar itu.
Attila membalik gambar itu dan memicingkan matanya.
"Jack Harrison! Gambar ini seharusnya adalah gambar Indian sedang mendirikan tepee (rumah tradisional orang-orang Indian, berbentuk tenda)."
"Memang, Sir." Attila memeriksa gambar itu sekali lagi. "Lalu di manakah tepee-nya?"
"Mereka belum mendirikannya, Sir. Mereka sedang beradu pendapat tentang di mana sebaiknya tenda itu didirikan."
Attila mendengus keras dan menjatuhkan kertas itu di atas tumpukan gambar.
"Nah, sekarang," katanya. "Apakah ada yang sudah menyelesaikan pertumbuhan?"
Tangan Matthew terangkat ke atas. "Maaf, Sir. Saya belum selesai tumbuh. Ibu saya berkata, saya akan tumbuh sampai saya kira-kira berumur delapan belas tahun dan mungkin saya akan setinggi
"Terima kasih, Matthew." Attila memotong perkataan Matthew. Sebagian besar anak-anak di kelas tertawa sumbang, tetapi Matthew menampakkan wajah yang tidak bersalah. "Mungkin kalian ingat, kita pernah mempelajari keadaan tanaman yang sedang tumbuh,"maksudnya adalah proyek kacang itu. "Jika kalian sudah selesai, bawa ke depan juga buku matematika kalian. Aku akan mengambil pekerjaan kalian. Jamil, bisakah kau pergi ke kantor Mrs. Robinson meminta beberapa buah paku payung untuk menempelkan kertas?"
Agaknya, hal itu menjelaskan mengapa suasana hatinya sedang jelek. Biasanya ia menyukai kegiatan menempel karya anak-anak dan membuat display. Ia akan meletakkan gambar dan benda-benda di atas kertas besar, dan mencoba menempelkannya di dinding dengan paku payung. Ketika ia menempel salah satu sisinya, sisi lainnya akan jatuh. Lizzy Murray yakin bahwa Attila mempunyai hati yang hangat, karena katanya jika seseorang memiliki hati yang hangat maka ia pasti akan memiliki tangan yang dingin, dan itulah mengapa paku payungnya tidak mau menempel dengan benar. Lizzy Murray selalu saja sedikit aneh seperti itu.
"Apakah menurutmu kita sudah berhenti tumbuh?" tanyaku pada Olly ragu-ragu.
"Aku seharusnya berpikir bahwa kita telah melakukannya sebisa kita. Sebaiknya kita mengerjakan matematika. Kau bisa memakai bukuku. Kita berbagi."
Olly dan aku saling meyakinkan bahwa kami selalu berada di halaman yang sama dari buku matematika tersebut, jadi kami bisa mengerjakannya bersama-sama. Lagi pula, dua kepala akan lebih baik dari pada hanya satu kepala saja. Selama dua kepala tersebut berada di tubuh yang berbeda, tentu saja. Jika tidak, pasti akan sangat sakit sekali jika kau mencoba memakai kaosmu.
Ketika Olly mencari buku matematikanya, Jamil sudah kembali dari kantor Mrs. Robinson. Ia terkenal dengan nama Lethal Ruler dan dia adalah kepala sekolah kami yang baru.
Kadang ia mengajar kami, tetapi pekerjaannya yang sesungguhnya adalah mencegah para guru mengambil apa pun dari persediaan yang ada di sekolah. Ia sungguh hebat dalam hal itu.
"Mana paku payungnya, jamil?" tanya Attila.
"Saya tidak mendapatkannya, Sir. Mrs. Robinson berkata bahwa Anda sudah menggunakan seluruh persediaan paku payung sampai tahun dua ribu tujuh."
"Baiklah kalau begitu," kata Attila menahan marah. "Maukah kamu kembali ke kantor Mrs. Robinson dan bertanya kepadanya, apakah aku bisa minta selotip dalam gulungan kecil?"
Olly akhirnya menemukan buku matematikanya, dan membukanya tepat di halaman berikutnya. Pecahan. Aku menyerah.
"Pak, halaman berikutnya adalah pecahan, dan saya tidak bisa mengerjakannya. Pak, apakah tidak sebaiknya saya melompati halaman ini?"
"Jangan mengada-ada!" bentakAttila. "Jika kalian tidak bisa mengerjakannya, yang kalian butuhkan adalah PERBANYAK LATIHAN! Kerjakan halaman itu."
Attila sepertinya berpikir bahwa ketika kau tidak bisa melakukan sesuatu, maka banyak latihan akan membuatmu ahli dalam hal itu, dan membuatmu mengerjakannya dengan tanpa cela. Yang sering kali terjadi adalah kau melakukan kesalahan seribu kali lebih sering. Baiklah, aku mulai dari soal pertama.
Jamil kembali, "Pak" Mrs. Robinson berkata bahwa kita tidak diizinkan memakai selotip karena itu akan merusak cat dinding, dan sekolah tidak mampu membeli cat untuk mengecat dinding, Pak."
"Ya Tuhan!" kata Attila dengan gemas. "Charlotte, bisakah kau pergi ke kantor Mrs. Robinson, dan minta kepadanya apakah ia bisa berbaik hati memberiku pin gambar?" Charlotte bergegas ke kantor Mrs. Robinson.
Aku pikir pecahan mungkin akan lebih mudah jika aku menggunakan kalkulator. Masalahnya adalah, kalkulatorku tidak terlalu bagus jika digunakan untuk menghitung pecahan. Setelah sekitar sepuluh menit barulah kalkulator itu menunjukkan jawabannya: - 207.
Jika seseorang memberi sesuatu yang tidak bisa mereka kerjakan, ia seharusnya memberi pertolongan. Transplantasi otak mungkin, atau jawaban. Sepertinya Attila tidak akan melakukan salah satu dari keduanya bahkan tidak keduanya, jadi aku mencari cara lain. Hal lain yang terbaik. Hal lainnya ada di atas meja.
"Nomor satu apa jawabanmu?" tanyaku pada Olly.
"Hmm ..." ia mengerutkan keningnya. "Aku rasa tiga lebih sedikit, tapi aku tidak yakin lebihnya."
Jonathan si wajah badut menoleh. Jonathan seharusnya menjadi pembawa pesan kesehatan dari pemerintah. Dia sungguh berbahaya. Ia pikir dirinya sangat hebat.
"Sedikit bukanlah pecahan!" cibirnya.
"Baiklah, jika kau sangat pintar, lalu berapa jawabannya?" tanyaku padanya.
Jonathan mendengus. "Apa bukumu?"
"Four of The Hards."
"Huh! Aku menyelesaikan buku itu tiga tahun yang lalu!"
"Terima kasih banyak Snotto. Matthew, apakah kau sudah mengerjakan soal pecahan ini?"
"Maaf aku sibuk." Matthew sedang memegang rautan pensilnya yang di ujungnya terdapat pensil yang sudah diraut dan bentuknya luar biasa.
"Aku rasa aku mungkin sudah mengalahkan rekor dunia," katanya sambil memutar rautannya dan meletakkan pensil yang sudah dirautnya di atas meja kami. "Ehm ... aku hanya sampai pada buku Dua."
Anak lain yang ada di meja kami adalah Daisy. Ia mempunyai rambut keriting dan mata berwarna biru cerah, ia hebat sekali dalam bermain catur. Nama sebenarnya adalah David, tetapi semua orang memanggilnya Daisy sejak Loopy Lewis di kelas satu memanggilnya 'Bangun Daisy Daydream!' Ketika itu David bertanya kepadanya, siapa ratu Inggris, dan dijawabnya 'Kuda Melangkah ke Menteri II.' Aku rasa Daisy tidak keberatan dipanggil Daisy. Coba pikir, aku rasa ia sendiri malah tidak menyadari kalau semua orang memanggilnya Daisy. Satu hal mengenai Daisy, tubuhnya datang ke sekolah setiap hari, tetapi kesadarannya entah di mana. Kamu tidak pernah bisa menebak Daisy. Selama tiga tahun ia tetap membaca buku bacaan yang sama, seperti dulu ketika ia masih balita dan mulai belajar membaca. Lalu pada suatu hari di suatu pagi, ia membaca seluruh bacaan di buku itu. Aku menatap wajahnya.
"Halo, apakah ada orang di rumah?" Daisy berkedip dan menatap sekeliling ruangan. Hal itu merupakan pertanda bahwa ia sudah mendarat di bumi. "Hari ini hari yang sangat cerah!" gumamnya. "Seperti satu hari ketika kau sungguh bahagia menjadi sebatang pohon."
Hmm ... tampaknya sama saja.
Charlotte masuk ke kelas dengan bergegas.
"Ke mana saja, kau?" tanya Attila. "Aku baru saja akan mengirimkan Tim SAR untuk mencarimu."
"Mrs. Robinson berkata bahwa dia tidak mempunyai push pin jadi dia menyuruh saya untuk mencari push pin yang tersisa di papan pengumuman. Nah, saya menemukan ini."
Charlotte mengulurkan tangannya.
"Hanya tiga"! Dua di antaranya sudah bengkok. Ini sungguh konyol, tidak bisa dimaafkan." Gerutu Attila. "Ya sudah tidak apa-apa, Charlotte. Ini bukan kesalahanmu. Kita lihat saja nanti apa yang bisa kulakukan setelah istirahat."
Aku pikir mungkin kalkulatorku rusak, jadi aku meminjam penjepit rambut Rehana dan mulai membuka kalkulatorku. Aku sedang mencoba menyatukannya kembali ketika Attila mulai berjalan ke arahku.
"Nah sekarang. Jonathan, bagaimana pekerjaan rumahmu" Coba berikan padaku. Hmm ... ya bagus.
Sangat bagus." Ia membubuhkan tanda merah di tas pekerjaan Jonathan sementara itu Jonathan kembali duduk sambil tersenyum puas. "Sempurna, Jonathan," puji Attila. "Matthew, apa yang sedang kau lakukan?"
"Saya sedang berusaha memecahkan rekor dunia menyerut pensil, Sir. Coba lihat, 25 sentimeter!"
"Kau seharusnya mengerjakan soal matematikamu, Matthew!"
"Mengukur ADALAH matematika, Sir. Benar begitu"!"
Attila mendengus, "Matthew, aku rasa pensilmu sudah cukup runcing sekarang. Setelah ini kau bisa menggunakannya untuk mengerjakan matematika di bukumu."
"Oh, ini bukan pensil untuk MENULIS, Sir. Ini pensil saya yang runcing. INI baru pensil untuk menulis." Matthew mengeluarkan bendatumpul sekitar dua centimeter panjangnya.
"Aku tidak peduli pensil mana yang akan kau gunakan. Matthew, selama kau mencoba dan mendapatkan sesuatu, paling tidak SEDIKIT hal berguna dari yang kau kerjakan."
Matthew menatap pensil runcingnya dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menggunakannya untuk menulis!" katanya keras kepala. "Lihat ujungnya. Itu bisa sangat BERBAHAYA!"
Attila menelan ludah, menahan marah dan kemudian ia berbalik menghadap ke arahku.
"Apa yang sedang kau lakukan dengan kalkulator itu?"
"Kalkulator ini rusak, dan saya berusaha memperbaikinya."
"Ini sudah benar-benar rusak!" Attila memukul meja dan mengambil buku matematikaku. "Apa ini?"
"Itu pekerjaan saya, Sir, matematika."
"Jadi ini yang kau kerjakan selama tiga puluh menit ini" Oliver, coba lihat pekerjaanmu!"
Olly mendorong bukunya sehingga Attila bisa melihatnya. Ketika ia melihat pekerjaan Olly, wajahnya berubah menjadi seperti hiu putih besar yang sedang marah.
"Ini sangat keterlaluan!" katanya gemetar. "Aku mengajarkan ini padamu baru dua hari yang lalu! Dan kenapa kalian belum menyerahkan proyek IPA kalian?" Olly menjelaskan pada Attila bagaimana kami membantu menyelamatkan lingkungan.
"Begitu rupanya," desis Attila ketika Olly selesai bicara. "Jadi sebelum kau sampai ke sekolah...." "KAU!" " ia menatapku bengis " "telah merencanakan untuk kehilangan buku matematika yang sangat penting itu, dan KAU!" " ia menatap Olly dengan memberengut marah. Sangat marah. " "telah merencanakan untuk menghancurkan hasil kerja selama dua minggu. Sekarang kalian benar-benar ada di sini, dan yang kalian kerjakan hanyalah merusak hampir semua benda milik sekolah .... Dan ini ..." " ia melambaikan buku latihan kami di udara " "Ini SAMPAH!"
"Baik kalau begitu," lanjutnya. "Kalian berdua bisa tinggal di kelas setelah makan malam, dan menyalin pekerjaan Jonathan. Semuanya. Lalu kalian akan kuberi PR tentang pecahan ini, aku ingin kalian membawanya Senin pagi. Dan jika pekerjaan kalian tidak memuaskan, maka akan ada surat peringatan untuk orangtua kalian. Aku sudah capek dan bosan dengan kalian berdua!"
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
TIGA Attila pastilah sudah merazia semua balok-balok kayu yang ada di toko selama waktu istirahat, karena ketika kami datang ia sedang berada di atas tangga, badannya bergoyang-goyang. Ia sedang memaku karya murid-murid di dinding sambil bergumam sendirian.
Loopy Lewis, guru kelas satu, berjalan bergegas melewati kelas kami. Kedua tangannya memegang kotak kardus. "Ya Tuhan, Mr. Pringle!" tegurnya. Suaranya seperti burung yang berkicau. "Apa yang sedang Anda lakukan" Bukankah lebih baik jika menempelkannya dengan Blu-Tack, bukan begitu, Anak-anak" Anda harus datang ke kelas satu. Kami mempunyai banyak sekali Blu-Tack di kelas karena kami selalu MENYIMPANnya di tempat khusus. KOTAK BLU-TACK bukankah begitu anak-anak?"
Attila memukul jarinya dengan palu dan berteriak.
"Oh, bukankah itu kata yang nakal, Anak-anak" Palu dan paku sungguh BERBAHAYA. Lain kali, kalian harus mengingatkan Mr. Pringle untuk menggunakan paku payung! Bisakah aku mengganggu sebentar" Aku membawa berita yang sangat menggembirakan."
Mengajar anak-anak telah membuat Miss Lewis sedikit terobsesi. Ia pikir semua orang berusia empat tahun, meskipun sebenarnya tidak apa-apa jika kau memang berusia empat tahun, tetapi tetap saja aneh menurutku.
Loopy Lewis membuka kotak kardus yang dibawanya dan mengeluarkan sebuah benda: berwarna perak berbentuk ikan. Entah ikan apa. "Akhirnya, sampai juga piala ini. Piala St. Ethelred. Bukankah benda ini sangat BAGUS?"
"Maaf Miss, benda apakah itu?"
Miss Lewis tersenyum lebar. "Ini adalah lumba-lumba! Bendaini akan dihadiahkan kepada anak yang telah berusaha keras. Ehm ... sangat keras untuk membantu perjuangan kita menyelamatkan lingkungan.
Aku tahu beberapa di antara kalian, anak-anak dari kelas yang lebih tinggi, telah bekerja SANGAT KERAS untuk menolong PLANET KITA YANG SANGAT INDAH ini. Bukankah begitu Mr. Pringle?"
"Benar," angguk Attila seraya menatap tajam ke arahku dan Olly. "Ada beberapa anak di sini yang telah membuat usaha yang LUAR BIASA untuk menyelamatkan lingkungan."
"Yang kita butuhkan sekarang adalah mengukir patung lumba-lumba ini," lanjut Loopy. "Kita bisa MEMAjANGNYA saat konser sekolah Rabu nanti. Bukankah ini sangat MENARIK" Kami di kelas satu SANGAT SENANG dengan segala hal ini."
"Apa maksudnya mengukir lumba-lumba itu, Miss?"
"Seseorang dengan PENA KHUSUS akan menulis di atas logam seperti ini, dan akan mengukir semua pesan yang ingin kita sampaikan di atas patung ini. Bukankah itu sungguh MENYENANGKAN" Aku akan mengedarkan patung ini berkeliling agar kalian bisa memerhatikannya baik-baik."
Ketika lumba-lumba itu sampal di meja kami, bagiku lumba-lumba itu mempunyai senyum yang sama dengan senyum Anna ketika ia terjerembab di atas Soggabix dan seluruh rambutnya penuh dengan bubur itu. Aku tahu bahwa itu, sama artinya dengan masalah. Aku mengembalikan lumba-lumba itu kepada Loopy.
Ia memasukkan kembali lumba-lumba itu ke kotak kardus dan memandang ke arah Attila yang telah menyelesaikan pekerjaannya, memasang display. "Ya ampun!" celotehnya ribut. "Mr. Pringle berpikir kalau ia ada di Australia, benar begitu, Anak-anak" Ia menempelkan gambar-gambar itu TERBALIK. Sungguh aneh!"
Loopy Lewis tersenyum ceria dan bergegas kembali ke kelas satu.
Kami menghabiskan sisa hari itu dengan membaca.
Sepulang sekolah, Olly dan aku berjalan menuju rumahnya. Kami biasa pergi ke sana karena makanan di sana sungguh enak. Semuanya terasa lebih baik. Ayah dan ibu Olly benar-benar orangtua yang mengerti kebutuhan anaknya. Ia mempunyai kamar sendiri, mainan yang tak terhitung jumlahnya dan lima macam snack yang berbeda setiap hari.
Aku yakin, ibu dan ayahku akan menjadi orangtua yang baik, tetapi aku rasa mereka tidak punya cukup waktu. Mereka terlalu sibuk mengurus anak.
Ibu Olly seorang koki yang sangat hebat, ia membuat banyak sekali kue dan biskuit. Dan juga, ia sangat senang ketika orang memakan kue buatannya. Tidak seperti di rumahku, satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan biskuit adalah dengan merangkak di bawah kursi Anna dan menangkapi biskuit yang ia lemparkan ke samping kiri kanannya.
"Apakah kau yakin untuk tidak menambah tehmu lagi, Jack?" tanya ibu Olly sambil mengulurkan padaku potongan kue cokelat ketiga.
"Ini sudah cukup Mrs. Jacobs," kataku meyakinkannya. "Aku sungguh selalu berselera ketika makan."
"Ayo kita pergi ke rumahmu sekarang," kata Olly ketika kami sudah selesai makan sebanyak yang kami mampu. Kurasa Olly aneh. Ia tidak sadar betapa beruntung dirinya memiiiki rumah yang tenang, damai seperti ini " ia selalu ingin pergi ke rumahku.
"Kau diperbolehkan meloncat-loncat di atas tempat tidur dan membuat gua di dalam kamarmu," jelasnya. "Dan kau tidak selalu ditanyai orang-orang tentang bagaimana sekolahmu, dan menyuruhmu minum vitamin setiap hari. Ibu dan ayahku tidak pernah membiarkanku sendirian!"
Sudah jelas apa maksudnya. Di rumahnya, ada dua orangtua untuk satu anak. Di rumahku, dua orang tua dan enam orang anak. Jadi, satu orangtua untuk tiga orang anak. Lalu kami bertanya pada ibu Olly apakah Olly bisa pergi ke rumahku.
"Baiklah, Sayang," ujarnya setuju. "Asalkan kau sudah kembali di rumah pukul setengah tujuh untuk mengerjakan PR-mu.
Ketika kami sudah berada di luar rumah, Olly terlihat sedang berpikir. "PR," katanya. "Bukan masalah serius. Buku matematikaku ketinggalan di sekolah lagi, jika ayahku sampai mendapatkan surat dari Attila, berarti selamat tinggal uang saku."
"Kau gila, ya"!!" kataku marah. "Aku sudah mengingatkanmu untuk mengambil buku matematika itu ketika kita berada di kamar mandi tadi."
"Ya aku tahu, tetapi kemudian tadi aku bertengkar dengan Simon Miller tentang game komputer, dan tiba-tiba saja aku lupa. Mungkin ini seperti kehilangan ingatan sementara karena kaget."
"Oh bagus!! Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Jangan khawatir. Kita akan ke sana, dan mengambilnya kembali. Penjaga sekolah biasanya masih ada di sekolah jika kita cepat. Hanya butuh waktu sepuluh menit menuju sekolah."
"Apakah kau benar-benar yakin kalau penjaga sekolah masih ada di sana, dan mengizinkan kita masuk?" tanyaku ragu-ragu.
"Tentu saja! Aku pernah masuk ke sekolah malam-malam untuk mengambil barang-barangku yang ketinggalan. Dia selalu mengizinkan aku masuk. Tidak masalah."
"Baiklah. Memang lebih baik kita mencobanya," aku setuju, tetapi dengan penuh keraguan. Dan kami pun berjalan menuju sekolah. Ketika kami sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaan mobil penjaga sekolah, dan pintu depan sudah dikunci.
Ini adalah ciri khas rencana Olly yang sangat terkenal itu. Kelihatannya bagus ketika diucapkan, tetapi ketika rencana tersebut dilaksanakan, selalu saja ada sesuatu yang salah dan tidak beres. "Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanyaku padanya.
"Tenang. Jendela kelas satu terbuka. Kita bisa membukanya dan masuk lewat jendela."
Aku tidak terlalu senang mendengar rencananya itu. "Kita tidak bisa melakukannya! Itu seperti pencuri. Merusak jendela dan masuk ke dalam tanpa izin. Itu melanggar peraturan."
"Tentu saja tidak. Kita tidak melanggar apa pun dan tidak merusak apa pun."
"Ya, tapi kita tidak bisa masuk begitu saja. Ini melanggar hukum."
Olly menatapku dengan penuh keheranan. "Kau gila! Masuk ke dalam sekolahmu sendiri TIDAK melanggar hukum!"
"Ya aku tahu, tapi itu di siang hari pada saat jam sekolah. Tapi sekarang jam berapa"! Sekarang sudah lebih dari pukul setengah empat!"
"Omong kosong. Sudahlah jangan bicara macam-macam!" tegas Olly keberatan. "Kau tidak bisa memberlakukan hukum bergantung dari jam berapa sekolah tutup. Bisa kau bayangkan itu?" lalu ia berpura-pura meniru polisi, lengkap dengan suara dan aksennya. "Hmmm ... ada apa ini" Oh, ada perampokan. Apa kau bilang" Ini pukul setengah sepuluh" Baguslah kalau begitu. Teruskan saja, gasak semua barang yang ada," Olly memperagakannya dengan mimik muka lucu, dan memang lucu.
"Baiklah," akhirnya aku setuju, meski dengan berat hati. "Tapi kau yang masuk pertama."
Olly menarik tubuhnya ke atas ambang jendela dan memutar tubuhnya masuk melalui jendela. "Ayo!" panggilnya. "Tidak ada orang di sini."
Agak lebih susah bagiku untuk melewati jendela karena aku cukup besar untuk anak laki-laki seumurku, dan Olly cukup kecil sehingga bisa dengan mudah masuk melalui jendela. Tetapi akhirnya aku membulatkan tekad, dan kami berada di dalam kelas satu.
Olly menatap pohon yang terbuat dari kardus dan sulur-suluran yang menjalar yang terbuat dari kertas krep. "Lumayan bagus juga di sini, benar, kan?" katanya. "Jika kau memejamkan matamu, kau hampir bisa merasakan bahwa kau benar-benar berada di hutan."
"Jika kau datang ke sini saat mereka bermain air, maka kau BERADA di hutan yang sesungguhnya!" kataku dengan gemas. "Aku pernah datang ke sini untuk mengantarkan pesan buat Loopy, akhirnya aku bisa keluar hidup-hidup. Beberapa anak sungguh ganas!"
Olly sedang tidak mendengarkan kata-kataku. Dia sedang memeriksa beberapa gambar yang tertempel di papan. "Taruhan, kau tidak akan bisa menebak apa ini!" teriaknya gernbira dengan lengan menutupi gambar paling bawah di papan itu.
Aku terbelalak. Gambar itu menampilkan orang-orang berwajah oranye cerah yang sedang menyeringai, dengan dua helai rambut dan sekumpulan jari-jari berukuran raksasa.
"Dokter bedah untuk alien?" tebakku. "Mimpi buruk di Elm Street?"
Olly menyingkirkan tangannya dari gambar itu. "My Famlee buy Joe Harisson (Keluargaku membeli Joe Harisson)" tertulis dengan huruf besar yang miring ke sana-kemari di bawah gambar.
"Lihat dirimu! Mirip sekali denganmu!" Olly sampai tidak bisa bernapas karena tertawa terbahak-bahak, ia menunjuk pada salah satu gambar orang yang ada di situ.
"Apa yang bisa kau harapkan dari seseorang yang bahkan tidak mampu mengeja namanya sendiri?" kataku membela diri. "Bukankah kita di sini seharusnya mencari buku matematikamu itu, dan bukan melakukan pemeriksaan seperti ini."


Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," kata Olly. "Kau tetap di sini untuk berjaga-jaga selagi aku mengambil bukuku. Bersiul jika melihat seseorang datang."
Olly keluar sesaat sebelum aku ingat bahwa aku tidak bisa bersiul. Aku menatap keluar jendela dengan khawatir. Bagaimana jika salah seorang guru tiba-tiba muncul" Aku mendengar gema suara langkah kaki Olly di koridor ketika kulihat van putih masuk ke halaman sekolah dan berhenti di sana. Dua orang laki-laki keluar dan membuka pintu depan.
"Cepat!" desisku kepada Olly ketika ia kembali masuk. "Ada van di luar. Aku rasa seseorang masuk ke sekolah!"
Satu hal yang berguna dari hutan hujan, adalah di sana banyak sekali tempat untuk bersembunyi. Kami berlutut di belakang monyet dari kardus, dan mengawasi dari balik kerimbunan daun-daun dan sulursuluran dari kertas krep hijau.
Dua orang laki-laki masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke meja Loopy. Laki-laki yang lebih tua mengambil kotak kardus yang berisi lumba-lumba itu dan membukanya. "Ini dia," kemudian ditutupnya kembali kotak itu dan memandang ke seluruh ruangan, tersenyum.
"Semua sudah berubah sejak hari-hariku di sini," katanya pada laki-laki yang lebih muda. "Kami tidak memiliki hal-hal seperti ini. Tunggu sebentar, aku penasaran apakah ruang kelasku masih tetap sama. Lucu, bukan" Kita akan mengambil piala itu nanti."
Mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Aku dan Olly hanya saling menatap, terbelalak.
"Piala itu!" teriak Olly. "Mereka pasti perampok dan mereka akan mencuri lumba-lumba itu!"
"Mereka tidak tampak seperti perampok," aku keberatan. "Aku rasa, seharusnya perampok memakai kaos bergaris dan penutup kepala."
"Tapi mereka sedang menyamar!"
"Tapi mereka memakai pakaian biasa!"
"Itu namanya MENYAMAR. Mereka mungkin memakai penutup kepala saat berada di rumah, tapi ketika pergi keluar rumah untuk merampok, mereka harus menyamar sebagai orang biasa. Lagi pula, sudah jelas bahwa mereka adalah perampok."
"Benar sekali," kataku setuju. "Mereka mungkin tampak normal, tapi bagaimana jika mereka bersenjata" Ayo, pergi dari sini."
"Kau bercanda, ya"!" Olly menatapku tidak suka. "Kita tidak bisa hanya melarikan diri, dan membiarkan mereka pergi begitu saja dengan membawa lumba-lumba itu. Ini sebuah tindakan yang tercela, mencuri piala untuk anak-anak!"
"Baiklah, lalu apa yang akan kau lakukan" Membuat surat penahanan?"
"Tidak. Itu terlalu membosankan," tukas Olly. "Begini, aku punya rencana. Rencana pertama, selamatkan lumba-lumba itu," ia lalu berjalan menuju kotak kardus itu, membukanya dan menyelipkan lumba-lumba itu di bawah kaosnya. Kemudian ia melihat ke sekeiiling ruangan. "Sekarang aku memerlukan sesuatu yang beratnya sama dengan benda ini ... aha ... sudah kudapatkan!" ia mengambil burung beo dari plastis di atas kandang tikus, memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Tikus-tikus yang berada di dalam kandang tampak lega. Olly menyeringai.
"Beres. Rencana hebat nomor dua, kita pergi dari sini!"
"Ayo cepat!" kataku bersemangat, gembira karena rencana nomor dua sepertinya adalah pulang. Ini bukan karena aku pengecut, ini hanya .... ehm..., baiklah ... aku memang pengecut. Tapi Olly ternyata belum selesai dengan rencana nomor dua itu. Ia berlari menuju van, dan mencoba membuka pintu belakang. Ternyata terbuka. Keberuntungan yang membawa celaka.
"Ayo!" katanya sambil.menyambar lenganku. "Naik cepat!"
"Kau gila!!!" protesku. "Aku tidak akan naik."
Tidak bisa, aku tidak akan mendekat .... Awgggh!! Itu adalah suaraku ketika Olly menarik kepala dan bahuku masuk ke dalam van dan kakiku setelahnya.
Ia melompat masuk di sebelahku dan menutup pintu. Ada seperti dinding pemisah antara kami dan bagian sopir, jadi di sini benar-benar gelap. Kami mendengar pintu mobil depan dibuka, kemudian terdengar bunyi pintu ditutup dan suara mesin dihidupkan. Kami pergi meninggalkan tempat itu.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
EMPAT Van yang kami tumpangi tidak pergi terlalu jauh. Meski demikian, tetap saja tidak nyaman terguncang-guncang di dalamnya di tengah kegelapan seperti sepasang tulang belulang. Setelah kira-kira lima menit, kami merasa van yang kami tumpangi melambat dan terayun dengan pelan mengitari sebuah bundaran lalu mesin mobil dimatikan. Kemudian kami mendengar suara pintu depan dibuka dan ditutup kembali.
"Kurasa kita baik-baik saja," bisik Olly. "Aku akan keluar sebentar untuk memeriksa keadaan. Pegang ini," ia memasukkan lumba-lumba itu ke dalam genggaman tanganku, kemudian melorotkan tubuhnya keluar dari van. Sedetik kemudian, ia sudah menghilang di sebelah van. Beberapa saat kemudian, ia sudah muncul kembali"masih lengkap dengan kedua tangan dan kakinya", ia terlihat kesal.
"Itu seperti rumah biasa!" katanya dengan nada marah. "Sungguh jujur saja, rumah itu mirip seperti rumahku. Ya ... tidak mirip benar sih. Warna pintunya berbeda dan di sana sepertinya ada bagian seperti teras."
"Apa yang kau harapkan?" tanyaku. "Mereka harus hidup di gua, begitu maksudmu?"
"Nggak, sih," ujarnya. "Tapi, sekarangaku tanya kepadamu! Pertama, mereka berpakaian seperti orang biasa, kemudian mereka ternyata pulang ke sebuah rumah yang nyata-nyata bahwa rumah itu adalah rumah orang normal. Bagaimana bisa polisi menangkap mereka" Perampok zaman sekarang!" ia menggeleng-gelengkan kepala, marah.
"Cukup sampai di sini 'kuliah pencegahan terhadap kejahatan'," potongku dengan gusar. "Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka menemukan beo dari plastis itu."
Kami mengendap-endap keluar dari van dan merangkak menuju gerombolan tanaman di dekat pagar di sebelah jalan masuk. Lumba-lumba itu masih berada di balik kaosku.
"Halo, Anak-anak!"
Aku kaget setengah mati. Jantungku nyaris copot. Seorang perempuan berdiri di luar garasi yang ada di samping rumah. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi kemarahan atau keterkejutan karena melihat kami mengendap-endap seperti itu. Malah sebaliknya, ia tersenyum ramah kepada kami. "Kalian pasti anak-anak pramuka yang datang untuk mengambil barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal. Benar begitu?" tanyanya. "Kebetulan sekali, aku baru saja selesai memilih barang-barang yang bisa kalian bawa. Barang-barang itu sekarang ada di garasi."
Olly dan aku hanya berdiri di tempat semula. Terbengong seperti sepasang pisang yang terlalu masak.
Perempuan itu menarik pintu garasi. "Ayo, sini. Silakan saja ambil," ia tersenyum.
Kami mengikutinya masuk ke garasi. Tempat itu seperti toko perhiasan. Penuh dengan jam dinding, medali, piala, jam tangan, mangkuk perak dan peralatan makan berbagai bentuk dan berbagai macam benda-benda berharga lainnya. Istri si perampok ini"atau siapa pun dia"menunjuk ke arah sebuah troli. Troli itu hampir penuh dengan baju-baju tua, buku-buku dan barang-barang bekas yang biasa dijual di pasar murah, tetapi di tumpukan paling atas terdapat beberapa barang curian " mangkuk kaca, sebuah jam tangan dan sepasang cangkir perak. Istri si perampok ini bahkan tidak menunjukkan rasa malu ketika ia memperlihatkan barang-barang curian itu kepada kami.
"Ada beberapa benda berharga di sini "aku memilihkan benda-benda terbaik untuk koleksi kalian," katanya sambil tersenyum lebar. "Kalian berdua tampaknya anak yang kuat," tambahnya bersemangat. "Aku yakin kalian bisa membawa benda-benda ini sampai ke aula gereja. Jangan khawatir tentang trolinya. Besok aku bisa mengambilnya di sana. Tinggalkan saja di sana. Setuju" Kalian kuat mendorongnya sampai ke gereja, kan?"
"Kau hanya perlu mendorong troli ini," bisikku pada Olly. "Aku sudah mendapatkan lumba-lumba itu."
Olly menarik troli itu dan mendorongnya dengan gontai melalui trotoar. Aku mengikutinya dari belakang.
"Anak-anak, sungguh kalian bisa membawanya" Apakah barang-barang itu terlalu berat untuk kalian?" panggil istri si perampok itu.
"Tidak apa-apa. Kami kuat membawanya. Terima kasih! Selamat tinggal!" sahut Olly terengah-engah.
"Aku tidak mengerti soal ini," kataku ketika kami sudah cukup jauh dari rumah itu. "Kenapa bersusah payah mencuri barang-barang seperti itu, tapi kemudian memberikan separuh dari barang curian itu kepada orang lain begitu saja" Gila! Mereka gila!"
"Jangan tanya aku," kata Olly sambil mengedikkan bahu dan melepaskan pegangan troli itu dan menghapus keringatdari dahinya. "Mungkin mereka seperti Robin Hood. Mereka mencuri sesuatu dari orang kaya, kemudian memberikannya kepada orang-orang miskin melalui pasar murah."
"Kalau begitu, mereka sedikit bingung!" kataku. "Sekolah, kan, tidak benar-benar kaya. Kenapa mereka mencuri barang di sekolah" Seharusnya mereka mendengar bagaimana ayahku mengeluh tentang sekolah yang bahkan tidak mampu membeli pensil."
"Oh ... itu ... hanya beberapa guru yang mengatakan demikian agar mereka bisa menghabiskan seluruh uang tersebut untuk diri sendiri. Maksudku, apakah kau pernah masuk ke ruang guru di sekolah kita?"
"Tentu saja tidak! Kita, kan, tidak diperbolehkan masuk ke sana."
"Tepat sekali!" kata Olly penuh kemenangan. "Dan kau tahu kenapa kita tidak boleh masuk ke ruang guru" Karena di sana memang diperuntukkan bagi guru-guru dan penuh dengan barang-barang mewah. Aku bisa membayangkannya. Sofa besar, perapian, berkotak-kotak cokelat. Lethal Ruler bahkan tidak mau membelikan komputer untuk kita, tapi aku berani bertaruh, setiap guru memiliki komputer pribadi di mejanya. Terbuat dari emas barangkali."
"Aku rasa komputer yang terbuat dari emas tidak akan bekerja dengan baik," kataku keberatan. "Listrik harus melaluinya dan menurutku sepertinya itu tidak mungkin."
"Berhentilah sok pintar!" potong Olly. "Kau bisa mengeluarkan lumba-lumba itu sekarang dan kau bisa mulai mendorong benda ini. Berat sekali ternyata."
Aku mengeluarkan lumba-lumba itu dari balik kaosku dan menyelipkannya di bawah sepasang jeans di dasar troli. Sekarang aku mengerti apa yang dimaksudkan Olly dengan 'berat' itu. "Di mana gereja yang seharusnya kita tuju itu?"
Olly menatapku dengan penuh keheranan. "Kau tidak berpikir bahwa kita akan membawa barang-barang ini ke sana, kan?"
"Kenapa tidak?" tanyaku. "Kita bisa menaruh barang-barang ini di sana kemudian mengembalikan lumba-lumba itu ke sekolah."
"Benar-benar khas dirimu!" ujar Olly kesal. "Kita telah menangkap basah dua orang penjahat ketika mereka sedang menjalankan aksinya, mengikuti mereka sampai ke tempat persembunyian mereka, dan coba tebak apa yang ingin Jack lakukan" Pulang ke rumah dan minum secangkir teh!! Tidak peduli dengan semua orang yang mungkin saja telah menjadi korban perampokan atau bahkan terbunuh! Jujur saja Jack, kau menyedihkan!!"
"Menurutku mereka tidak tampak berbahaya. Paling tidak bagiku," gumamku membela diri. "Aku lebih khawatir dengan apa yang kita lakukan dengan barang-barang ini. Aku tidak mampu lagi mendorong benda ini lebih dari beberapa meter, kita bahkan tidak tahu ke mana kita harus pergi!"
"Dorong saja troli iitu mengelilingi bundaran sebelah sana itu," perintah Olly. "Aku akan mencari telepon umum. Aku selalu ingin menelepon 999!"
Aku mendorong troli yang sangat berat itu dengan terengah-engah, sementara itu Olly berlari dengan bergegas mencari telepon umum. Tak lama setelah ia pergi dan lenyap dari pandangan, aku mendengar suara mengerikan yang tidak asing lagi di telingaku.
"Ya Tuhan! Jack Harrison! Dengan troli besar di dekatnya! Kau benar-benar anak yang sangat KUAT!"
Loopy Lewis!! Apa yang ia lakukan di sini" Aku beringsut pelan mendekat ke arah troli untuk memastikan lumba-lumba itu tidak terlihat olehnya.
"Sepertinya kau baru saja dari rumah Mr. Roberts." cerocosnya. "Kalau aku boleh menebak, kau sedang mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal. Benar, kan?"
"Ehm ... er ... ya, Miss," jawabku ragu.
Loopy melihat ke arah troli dan mengangguk-anggukkan kepala, "Sungguh sangat mengherankan betapa banyak orang ingin mengukirkan barang-barang mereka, tapi kemudian meninggalkannya begitu saja. Tapi tak apa, ini adalah benda-benda yang layak untuk pasar murah."
"Diukir?" tanyaku. Aku tidak memiliki petunjuk apa pun mengenai apa yang dibicarakannya, tetapi ia adalah seorang guru, jadi tidak ada yang baru dengan hal itu.
"Ya. Mr. Roberts adalah seorang pemahat. Aku kan, sudah menceritakan pada kalian tadi pagi. Aku meminjaminya kunci cadangan sekolah. Ia akan mengambil lumba-lumba itu setelah sekolah usai. Jadi kupikir aku akan meneleponnya untuk memastikan bahwa ia menemukan lumba-lumba itu."
Otakku tiba-tiba seperti tersambar petir, dan kembali bekerja. Aku tersadar dengan apa yang sedang kami lakukan. Pemahat. Bukan perampok seperti yang kami sangka. Pergi ke sekolah untuk mengambil lumba-lumba. Mencoba mengukir lumba-lumba itu. Menemukan beo dari plastis di dalam kotak. WHOOPS!!!
"Semua beres Miss. Mr. Roberts sudah pergi ke sekolah," kataku cepat.
"Oh ... baguslah kalau begitu. Jadi, aku tidak perlu mengganggunya."
Loopy memasukkan kunci mobilnya dan bersiap untuk pergi. "Ngomong-ngomong ..." panggilnya. "Aku SANGAT senang melihatmu membantu pasar murah. Apakah yang kau lakukan ini untuk sebuah ALASAN YANG SANGAT BAGUS, benar begitu" Pengumpulan dana untuk perlindungan satwa liar di taman! Aku selalu bersemangat jika memikirkan tentang proyek perlindungan satwa liar! Kami semua di kelas satu SANGAT MENYUKAI satwa liar!"
Kalian semua penghuni kelas satu memang satwa liar gumamku dalam hati, tetapi aku tidak mengatakan nya.
"Sampai jumpa, Jack!" Loopy Lewis melambaikan tangannya dari dalam mobil, dan meluncur pergi.
"Sampai jumpa, Miss Lewis."
Aku bersandar lemah di troli. Sekarang apa yang akan kami lakukan" Bagaimana kami bisa mengembalikan lumba-lumba itu kepada Mr. Roberts tanpa harus mengatakan bahwa kami telah mengambilnya tanpa izin, menyelinap masuk ke dalam mobilnya" Ia akan sangat marah jika ia tahu kami berpikir bahwa ia adalah seorang perampok, tetapi jika kami tidak mengatakan yang sebenarnya kepadanya, bagaimana kami tidak mencuri lumba-lumba itu" Aku sedang merasa putus asa memikirkan jalan keluar dari masalah ini ketika sesosok tubuh muncul dari tikungan jalan, melambai-lambaikan tangannya.
"Olly!" panggilku. "Kau tidak menelepon 999, kan?"
"Tidak." Jawab Olly. "Aku tidak jadi menelepon 999 karena
"Ada masalah besar," potongku. "Aku baru saja bertemu dengan Loopy Lewis. Lumba-lumba itu tidak dicuri. Laki-laki itu bukanlah perampok. Dia adalah Mr. Roberts, seorang pemahat. Itulah mengapa semua barang-barang itu ada di garasinya. Ia seharusnya membawa lumba-lumba itu supaya bisa diukirnya."
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Apa yang dilakukan Loopy di sini?"
"Aku baru saja memberitahumu. Kau ingat, kan, tadi pagi ia sudah memberitahu kelas kita bahwa ia akan meminta orang untuk mengukir lumba-lumba itu" Kau ingat, tadi pagi ia mengedarkan lumba-lumba itu di kelas agar kita bisa melihatnya."
"Ya, tapi apa hubungannya dengan
"Dengarkan aku! Laki-laki itu seorang pemahat. Loopy memintanya pergi ke sekolah untuk mengambil lumba-lumba itu. Dia baru saja datang untuk meyakinkan Mr. Roberts apakah ia menemukan lumba-lumba itu!!"
"Maksudmu ... ya ampun! Oh, tidak!" Olly menutup mulutnya dengan tanganny,:'. "Di mana Loopy sekarang?"
"Tenang ... dia sudah pergi. Ia tidak melihat lumba-lumba itu, aku tidak membiarkannya melihat ke dalam trolil. Syukurlah kau tidak menelepon 999. Polisi akan mengira kita gila!"
"Sebenarnya ... alasanku tidak menelepon 999 karena memangtidak perlu, ... aku menemukan polisi yang sedang berpatroli di jalan sana, dan " di sinilah dia sekarang."
Sesosok laki-laki tinggi berseragam biru muncul dari kegelapan. "Ya Tuhan, Nak. Kau seharusnya ikut London Marathon! Aku kira kehilangan jejakmu di sana. Nah, apakah semua ini berkaitan dengan perampok?"
"Perampok" Perampok?" ulang Olly. Ia seperti baru tersadar. Ekspresinya seperti orang yang telah mendengar hal itu sebelumnya, tetapi tidak terlalu mengerti apa artinya.
"Ya ... kau baru saja mendatangiku, dan berteriak memberitahuku mengenai perampok yang tinggal di daerah sekitar sini.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ide cemerlang.
"Bukan!" ucapku tiba-tiba. "Ia tidak mengatakan perampok. Ia mengatakan 'ROBERTS. Mr. ROBERTS tinggal di sekitar sini.
"Benar" kata Olly bersemangat. "Aku tadi mengatakan 'Mr. Roberts tinggal di sekitar sini.' Di sana, tepatnya," ia menudingkan jarinya ke arah sebuah rumah.
Polisi itu menoleh mengikuti arah yang ditunjuk Olly. "Benar. Dia dan putranya memiliki usaha pemahatan dan pengukiran," katanya. "Tapi aku tidak terlalu mengerti apakah ini ada kaitannya dengan urusan polisi?"
"Ah ..." Olly sedang menjalankan rencananya sekarang. "Anda tahu, kami baru saja dari sana, dan ia mempunyai banyak sekali barang berharga di garasinya. Banyak sekali dan semuanya hanya berserakan begitu saja. Ia bisa saja dirampok kapan saja!"
"Memang benar, saat ini kejahatan meningkat," kata polisi itu setuju.
"Jadi kupikir mungkin Anda bersedia untuk... umm menyediakan sepasukan polisi untuk menjaga toko Mr. Roberts atau apalah," Olly meneruskan rencananya.
"Kau sungguh bijaksana, Nak," ucap polisi itu sungguh-sungguh. "Tapi aku rasa Mr. Roberts sudah memiliki alarm dan sistem keamanan sendiri. Lagi pula lingkungan dan tetangga-tetangganya sudah cukup untuk mengamankannya saat ini." Ia melihat dengan saksama ke dalam troli. "Kau sepertinya harus pergi dengan benda ini."
"Maaf?" "Kalian sepertinya melarikan diri dengan barang-barang rampokan kalian. Mobil kalian sudah menunggu," polisi itu menyentuh troli dan tertawa karena leluconnya. "Barang-barang ini pasti akan dijual di bazar amal."
"Benar. Ngomong-ngomong, bisakah Anda menunjukkan pada kami arah ke aula gereja" Saya rasa kami sedikit tersesat."
"Tentu saja. Aku akan mengantar kalian ke sana " aula gereja searah dengan kantor polisi. Sini aku saja yang-mendorong trolinya!"
Polisi itu bergumam sendiri dengan gembira ketika ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan sambil mendorong troli yang berat itu.
"Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" bisikku pada Olly. "Meminta pengawalan polisi! " kita tidak bisa mendapatkan lumba-lumba itu selagi ia bersama kita!"
"Shhh ... jangan panik!" Olly balas berbisik kepadaku. "Ketika kita sampai di aula gereja, ia akan kembali ke kantor polisi dan kita bisa mengambil lumba-lumba itu."
Tetapi ternyata polisi itu punya ide lain. Aula gereja itu ternyata mempunyai beberapa anak tangga dan ia bersikeras membantu kami menaikkan troli sampai di depan pintu dan mengetuk keras pintu.
Seorang perempuan bertubuh besar dan berwajah ceria membuka pintu dan melongokkan kepalanya. "Oh! Constable (Sebutan untuk perwira polisi yang berpangkat rendah.) Johnson! Bertambah lagi barang-barang untuk bazar amal " cantik sekali. Anda bisa meletakkan troli itu di sini " kami akan memilah-milahnya nanti."
"Ini dari Mr. Roberts." jelas Constable Johnson. Saya baru saja menolong anak-anak ini. Sekarang kalian sudah sampai ke tujuan kalian, aku akan kembali ke posku kalau begitu. Semoga berhasil dengan bazar amalnya besok. Selamat tinggal."
"Selamat tinggal," perempuan itu lalu berbalik ke arah kami. "Kami tidak terlalu membutuhkan bantuan saat ini. Terima kasih telah membawakan barang-barang ini ke sini."
"Tidak apa-apa," kata Olly. "Hanya saja ... umm ... ada sesuatu di dalam troli yang kami inginkan."
"Di dalam troli" Apakah itu?"
Olly memasukkan tangannya ke dalam troli dan menarik keluar lumba-lumba itu. "Ini dia! Kami harus memilikinya!"
"Aku tahu, Nak ..., aku tidak menyalahkan kalian jika kalian menginginkan benda itu. Benda itu sangat bagus, kan" Bagaimana jika aku memesankan benda itu untuk kalian. Kalian datang ke sini besok kapan saja setelah jam sepuluh dan bilang saja kalian mencari Mrs. Humbert. Aku akan memastikan benda ini untuk kalian " bagaimana jika satu pound?"
"Satu pound?" ulang Olly.
"Aku bertaruh lumba-lumba itu berharga lebih dari itu. Jika aku membiarkan kalian memilikinya tanpa harus membayar, Mrs. Evans akan sangat marah dan menghukumku!"
"Ya, aku tahu. Maksudku, tidak ada masalah dengan satu pound. Terima kasih banyak," kata Olly.
Ketika kami sudah berada di luar, aku marah sekali dan memakinya. "Kau dan rencana-rencanamu! Kau sungguh bodoh! Kau memang tidak boleh dibiarkan berkeliaran!"
"Ada masalah?" tanya Olly tidak mengerti.
"Ada masalah"!!!" ulangku penuh keheranan akan sikapnya, juga jengkel. "Kita terjebak di sini tanpa tahu bagaimana caranya pulang, kita harus kembali lagi ke sini besok dan menghabiskan uang satu pound membeli lumba-lumba bodoh itu hanya untuk membawanya kembali ke sekolah dimana benda itu seharusnya berada jika ini semua bukan karena dirimu!"
"Ya ... ya ... aku tahu. Pertama-tama yang akan kukatakan adalah, kita tidak tersesat. Lihat, gedung bioskop ada di sana. Kita pasti sudah dekat dengan taman. Kita hanya membutuhkan dua puluh menit jalan kaki untuk sampai ke rumah."
"Baiklah. Lalu bagaimana dengan uang satu pound itu" Aku tidak memiliki uang bahkan jika aku memiliki uang yang tidak kumiliki karena aku berutang pada Luke dan aku harus membayarnya untuk uang yang kupinjam yang kemudian kuberikan padamu ketika kau lupa membawa uang sakumu dan sampai sekarang belum kau kembalikan."
"Jangan panik. Aku akan mendapatkan uang sakuku kembali segera setelah aku mengerjakan PR-ku," kata Olly marah. "Oh! Tidak!"
"Ada apa?" "Aku tidak bisa mengerjakan PR-ku."
"Kenapa?" "Karena aku belum menemukan buku matematika itu."
"Tapi itu alasan kita yang utama pergi ke sekolah!"
Olly berpikir keras. "Aku tahu. Masalahnya adalah aku merasa telah meletakkannya di suatu tempat ketika sedang berusaha menyelamatkan lumba-lumba itu."
"Kau letakkan di mana?"
"Di suatu tempat di sekolah. Maukah kau ke sana, melihat apakah buku matematikaku masih ada di sana?"
"Kau bercanda, ya"!"
Kami kembali berjalan, dalam diam.
Olly menghilang di balik pintu depan rumahnya dan aku meneruskan langkahku kembali ke rumah.
"Halo, Jack," kata ibuku ketika aku masuk ke dalam rumah. "Ada apa denganmu?"
"Kami punya PR matematika dan Olly sudah pergi, ia kehilangan bukunya jadi sekarang kami tidak dapat mengerjakannya dan kami akan menerima hukuman dari Attila jika tidak mengerjakannya.
"Mengapa kau tidak menggunakan bukumu sendiri?"
"Nah masalahnya di situ. Aku tidak bisa. Bukuku hilang. Tadi pagi, ayah membuangnya di tempat sampah di Spendo's."
"Buku matematikamu" Tentu saja ia tidak membuangnya di tempat sampah. Leo meletakkannya di atas tumpukan koran tadi malam lalu aku mengambilnya untukmu. Ini bukumu."
Aku tidak percaya hal ini. Buku matematikaku ternyata ada di rumah selama ini. Jadi kami tidak perlu kembali lagi ke sekolah untuk mencari buku matematika milik Olly. Petualangan bersama lumba-lumba sungguh sangat membuang waktu.
"Menurutku, kau sebaiknya mengucapkan terima kasih," kata Ibu.
"Terima kasih, Bu," kataku. Aku berpikir apakah aku harus menelepon Olly segera bahwa aku mendapatkan buku matematikaku kembali. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Olly, tetapi sebelum itu aku merebahkan tubuhku sebentar di sofa. Aku butuh istirahat sejenak sebelum aku melihat Olly lagi.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
LIMA Pagi hari berikutnya adalah Sabtu. jadi selain buku-buku sekolah di atas meja makan, Ayah mempunyai daftar belanjaan di depannya.
"Bisakah kalian pikirkan tentang sesuatu yang kita butuhkan dari Spendo's?" tanyanya.
"Kue cokelat," usulku penuh harap. "Es krim, pie apel, tart."
"Jangan bodoh, jack," potong ibuku dari bak cuci piring. "Bagaimana dengan kentang" Wortel" Dan popok. Ah, ya! Jangan lupa membeli popok!"
"Aku menang!" teriak Leo gembira dari bagian lain meja makan.
"Itu hanya karena kamu besar, gendut dan curang! Si curang yang bau!" sembur Joe marah.
Mereka berdua duduk berdekatan satu sama lain, membungkuk di atas baskom yang mereka letakkan di hadapan mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Ayah.
"Kami berlomba siapa yang ludahnya paling cepat menyentuh dasar baskom maka dia yang menang. Kau harus melihat ludah siapa yang pertama kali menyentuh baskom itu. Ludahku lebih cepat sampai ke dasar baskom, dan aku menang!"
"Itu karena kau curang! Kau minum susu sebelumnya. Aku melihatmu dan bisa membuktikannya karena ludahmu berwarna putih. Seharusnya LUDAH TIDAK BERWARNA atau milikmu tidak dihitung sama sekali!"
"Ini benar-benar menjijikkan!" kata ibu dari bak cuci piring dengan marah, kemudian ia mengambil baskom itu. "Leo, cuci baskom ini sampai BERSIH! Joe, bersihkan semua kotoran dari atas meja. Oya, Yah," ucapnya pada Ayah. "Leo dan Joe diundang ke pesta temannya sore ini, jadi tolong beli sekalian hadiah untuk teman mereka ini."
"Pesta siapa?" tanya Leo.
Ibu melihat ke arah papan tempel. "Sebentar ... James Miller."
"Tidak! Bukan James Miller! Kami tidak akan datang ke pestanya!" teriak Joe.
"Kenapa tidak?" tanya ibu.
"Dia menyebalkan. Sungguh, Bu. Tidak ada seorang pun yang menyukainya."
"Omong kosong! Dia mungkin seorang anak yang baik. Jika kalian bersikap baik kepadanya, aku yakin ia akan bersikap baik pula."
Jika ibu berpikiran demikian, sudah jelas bahwa ibu tidak pernah bertemu dengan James Miller sebelumnya. Satu-satunya anak di sekolah yang jauh lebih buruk kelakuannya dari dia adalah kakak besarnya, Simon Miller yang kebetulan sekelas denganku. Orangtua mereka pastilah menaruh sesuatu yang aneh pada makanan mereka yang membuat mereka tumbuh membesar seperti raksasa. James sebesar aku, sedangkan Simon hampir sebesar Attila. Dan hal yang mereka lakukan di sekolah hanyalah berjalan berkeliling dan menantang siapa saja berkelahi. Mereka memiliki tubuh yang besar, tetapi otak mereka hampir tidak ada " hampir mirip dengan dinosaurus. Hanya saja, sayangnya, mereka tidak punah seperti dinosaurus.
"Apakah kami harus datang ke pestanya?" raung Joe marah.
"Apakah yang harus kubeli sebagai hadiah?" tanya Ayah. "Benda apa yang disukainya?"
"Ia suka memukuli orang."
"Baiklah jika begitu," kata Ayah. "Aku akan membelikannya sebuah berangus (Biasanya digunakan untuk menutup mulut anjing supaya anjing tersebut tidak menggigit orang.)." Ia kemudian melipat catatan belanjanya dan memasukkannya ke saku celana. "Sekarang siapa yang membutuhkan tumpangan sampai ke kota?"
"Aku," kataku. "Bisakah kita menjemput Olly sekalian?"
"Oya, jangan lupa Harriet juga sekalian," tambah ibu. "Dia sedang mengerjakan proyek pencarian dana untuk membantu Kelompok Perlindungan Panda di alun-alun pusat kota."
"Baiklah, di mana dia sekarang?"
"Sedang bersiap-siap mungkin. Harriet!" Ibu memanggilnya. "Turun sekarang jika kau ingin tumpangan!"
Harriet turun dengan melompati anak tangga dan tampak marah ketika masuk ke dapur. Ia memakai rok panjang berwarna hitam dan ia menambahkan sesuatu yang aneh pada rambutnya.
"Wow!" kataku tercengang. "Kau seperti tukang sihir!" dan memang demikian adanya.
"Aaaggghhh ... ada penyihir!!!" teriak Leo. "Cepat sembunyi!" Ia dan Joe segera merangkak dan bersembunyi di bawah meja.
"Kami sangat ketakutan!" teriak Joe. "Penyihiryang menakutkan akan mengubah kita menjadi kotoran!!"
"Diam kalian," kata Ibu. "Sudah, tidak usah kau pedulikan mereka Harry. Kau sangat cantik."
"Namaku bukan Harry, tapi Harriet!!!" jerit Harriet dan kembali ke atas.
"Ya ampun!" kata Ayah.
Ketika kami sampai di pusat kota, Olly dan aku segera berjalan ke arah bazar amal.
"Kau sudah bawa uangnya, kan?" tanyaku pada Ol ly.
"Kurasa." Olly meraba saku celananya, "Ya, ada di sini."
Kami bertanya pada laki-laki di pintu depan, di mana kami bisa menemui Mrs. Humbert, dan ia menunjukkan kepada kami sebuah meja di sisi ruangan, tetapi di sana tidak tampak tanda-tanda kehadiran perempuan yang bertemu dengan kami kemarin malam dan juga lumba-lumba itu.
"Maaf," Olly mendekati perempuan kurus yang sedang duduk di belakang meja. "Kami mencari Mrs. Humbert."
"Ia pergi sebentar membeli susu," jawab perempuan itu pendek. "Apa yang kalian inginkan darinya?" "Kemarin ia sudah berjanji menyimpankan sesuatu untuk kami."
"Aku rasa seharusnya ia tidak melakukan hal itu. Kami tidak diizinkan untuk memesankan dan menyimpankan barang. Aku kira kami sudah sepakat mengenai hal itu."
"Ya, kami tahu, tapi benda itu adalah benda yang sangat kami inginkan."
"Benda apakah itu?"
"Seekor lumba-lumba. Maksudku, patung seekor lumba-lumba " berwarna perak " sebesar itu," kata Olly sambil menunjuk kotak yang ada di meja. Perempuan itu membungkuk, mengambil sebuah kotak dari bawah meja dan aku merasa lega ketika ia mengeluarkan lumba-lumba yang kami cari itu dari dalam kotak.
"Ya, benar " itu!" teriak Olly gembira.
"Aku rasa benda ini memang pantas untuk kalian. Nah kalau begitu dua pounds saja."
"Tapi Mrs.Humbert mengatakan kalau harganya hanya satu pounds!" protes Olly.
"Mrs. Humbert tidak terlalu pintar memberi harga dibandingkan aku. Ia tidak tahu apa-apa," dengus perempuan itu dengan tidak sabar. "Dua pounds " itu sungguh sangat murah."
"Tapi kami hanya punya satu pounds," kata Olly.
"Sebaiknya kalian pergi dan mencari tambahan lagi," kata perempuan itu ketus.
"Baiklah, tapi apakah Anda bisa menyimpan benda ini sampai kami kembali?"
Perempuan itu menghela napas, kesal. "Aku akan menyimpannya sampai pukul satu," katanya dengan malas. "Tapi setelah lebih dari jam satu, siapa yang pertama kali datang maka dia yang akan mendapatkan benda itu."
"Aku tidak percaya ini!" kataku ketika kami sudah berada di luar aula. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Mencari tambahan uang satu pounds itu. Ada ide?"
"Jika kita pergi Spendo's saat ini, kita mungkin bisa mencari ayahku dan aku rasa, dia bisa meminjami kita uang." Itu sepertinya tidak mungkin, tetapi patut dicoba karena kami sudah tidak punya pilihan. Kami segera berjalan ke pusat kota. Ketika kami sampai di alun-alun kota, kami melihat Harriet sedang melakukan sesuatu yang agaknya berhubungan dengan proyek perlindungan panda itu. Ia sedang berdiri di depan sebuah layar yang ditutupi oleh gambar-gambar panda dan di sebelahnya berdiri sesosok tubuh mengenakan kostum panda sedang berjingkrak-jingkrak.
"Lihat! Itu kakakmu! Mungkin kita bisa meminjam uang kepadanya!"
"Huh! Coba saja. Ayolah kita pergi ke Spendo's saja."
Terlambat. "Hai, Harriet!" sapa Olly sambil melambaikan tangan kepadanya.
Harriet melihat ke arah kami dan sesuatu yang sangat aneh terjadi. Alih-alih menjerit marah dan mengusir kami pergi, ia malah balas melambaikan tangannya dan memanggil kami, kemudian terlihat berbicara dengan cepat pada panda di sebelahnya.
"Ayolah, kita ke sana. Kita lihat apa yang diinginkannya."
Olly berlari mendekat ke arah Harriet dan panda itu, sedangkan aku mengikutinya dari belakang dengan curiga.
Sesuatu yang ganjil terjadi pada wajah Harriet. Bibirnya ditarik ke sudut-sudut mulutnya " oh " tidak! " ini tidak mungkin! Harriet sedang tersenyum kepadaku.
"Hai, Jack. Hai, Olly."
Aku menatapnya heran. Panda itu menjulurkan tangannya ke belakang dan meraih semacam reslueting di belakang kepalanya dan membukanya. Kemudian ia melepaskan kepalanya, dan ternyata panda itu adalah Colin Davis. "Fiuh! Sedikit panas di dalam sini," ujarnya.
"Col dan aku hanya ingin tahu apakah kalian bersedia menolong kami sebentar," kata Harriet dengan manis.
Aku sedang berada dalam keadaan terkejut, sangat terkejut melihat sikap Harriet yang sangat manis seperti itu " sehingga aku tidak mampu berkata apa-apa ataupun bereaksi seperti biasanya, tetapi ternyata Olly memiliki ide lain.
"Yah ... seperti apa dulu"!"
"Kami ingin pergi sebentar untuk minum kopi dan kami membutuhkan bantuan seseorang untuk menggantikan kami melakukan pengumpulan uang ini. Hanya satu setengah jam kok."
"Ehm ... boleh. Masalahnya adalah, kami ini sedang tidak punya uang sepeser pun " jadi " ...."
"Tidak masalah," potong Colin. "Bagaimana kalau satu pounds?"
"Mmmm ... bagaimana ya ... " dua, aku baru setuju!" kata Olly cepat.
"Baiklah." Colin melepaskan kostum pandanya dan memberikan dua pounds dari saku jeansnya pada Olly.
"Pastikan salah satu dari kalian memakai baju panda ini," teriak Harriet ketika ia dan Colin melangkah pergi. "Sampai jumpa satu setengah jam lagi!"
"Hebat!" kata Olly sambil berjingkrak senang.
"Kita mendapatkan tambahan satu pounds untuk lumba-lumba itu dan satu pounds untuk disisihkan! Ayo cepat pakai kostumnya!"
"Aku?" aku tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Olly. "Kenapa harus aku yang memakainya" Ini, kan, idemu. Seharusnya kau yang memakai kostum sialan ini, bukan aku!"
"Aku tidak bisa. Kostum ini untuk seseorang yang seukuran Colin. Aku, kan, lebih kecil darimu"!"
"Tapi aku akan tampak konyol memakai kostum panda ini."
"Lalu kenapa" Tidak ada seorang pun yang akan mengenalimu dengan kostum panda itu. Pikirkan aku! Aku harus berjalan berkeliling, mengedarkan kaleng ini pada orang-orang, dan setiap orang bisa melihat bahwa itu adalah aku."
Tak ada gunanya berdebat dengan Olly maka jadilah aku memakai kostum panda itu. Olly mengancingkannya. "Kau kelihatan hebat," katanyasambil menepuk bahuku. "Kostum ini cocok sekali denganmu."
Aku mungkin merasa agak sedikit marah ketika memakai kostum ini, tetapi aku pasti sangatlah lucu karena tidak lama kemudian, banyak anak kecil menarik orangtua mereka untuk mendekat ke arahku. Aku memutuskan untuk berbuat sebaik mungkin, jadi aku menepuk kepala mereka dan menjabat tangan mereka dengan hangat. Kemudian orangtua mereka memasukkan uang ke dalam kaleng yang dibawa Olly. Aku sedang berusaha menikmati menjadi panda ketika sosok yang sangat kukenal datang mendekat.
"Oliver!" sapanya. "Dan siapa yang bersembunyi di balik kostum LUCU ini" Pasti Jack sahabatmu. Benar, kan?"
"Ya Miss," jawab Olly sambil menghela napas.
"Aku sangat bangga pada KALIAN BERDUA," celoteh Loopy Lewis. "Kalian melakukan apa yang kalian bisa untuk menolong panda-panda yang MALANG itu. Sekarang mari kita lihat apa yang kupunya di dalam sini."
Loopy membuka dompet merah muda, berbulu-bulu itu dan melihat ke dalamnya.
"Kalian tahu, aku SANGAT bangga pada kalian berdua, dan aku akan memberi panda-panda itu hadiah SPESIAL," ia memasukkan lima pounds ke dalam kaleng Harriet.
"Wow, terima kasih, Miss!" kata Olly.
"Oh ... jangan berterima kasih kepadaku, Oliver. AKU yang seharusnya BERTERIMA KASIH. Sebenarnya aku hendak membeli parfum, tapi kalian menunjukkan kepadaku betapa egoisnya aku. Sekarang aku tahu, aku telah melakukan sesuatu hal yang meskipun kecil tapi berguna untuk menolong panda-panda itu dan aku merasakan sesuatu yang HANGAT di dalam hatiku," Loopy menghapus air matanya dan segera bergegas pergi meninggalkan kami.
"Aku tidak tahu mengapa ia menangis," kata Olly. "Kurasa, ia suka menyelamatkan binatang."
Aku mulai merasa sedikit gerah dan panas di dalam kostum panda ini.
"Kira-kira kita sudah mendapatkan berapa?" tanyaku pada Olly.
"Mmmm "Mungkin kita bisa membeli minuman dingin atau es krim atau apalah."
"Baiklah. Aku akan membeli minuman dulu. Tolong kau jaga kaleng itu sebentar"
Olly memercayakan kaleng itu dan meletakkannya di kakiku. Ia segera berlari ke jalan. Dalam beberapa menit ia sudah kembali membawa dua batang es lilin yang mulai mencair. "Hanya ini yang bisa kudapatkan " rasa permen karet."
"Terima kasih " er " tunggu dulu " bagaimana aku makan jika begini keadaannya?"
"Coba pakai mulutmu," saran Olly kasar dan tak berperasaan.
"Mulut apa" Tidak ada lubang di sini!"
Olly memandang wajahku dengan saksama. "Oh ... memang tidak ada lubang di sini. Menurutku suaramu tidak terlalu jelas. Lepas kepalamu dulu. Sini, kupegang esmu."
Aku meraih bagian belakang kepalaku dan menarik resleting-nya, tetapi tidak terbuka.
"Aku tidak bisa menariknya. Bisa bantu aku?" "Baiklah. Pegang esnya." Olly segera menarik resleting di belakang leherku.
"Cepat! Esnya meleieh!"
"Sabar. Pegang dulu! Resletingnya agak macet. Uh!" "Ada apa dengan resleting-nya?"
"Aku tidak tahu. Sepertinya tidak bisa bergerak. Mengunci."
"Bagus sekali! Lalu apa yang harus kulakukan?"
"Kau harus menunggu sampai kakakmu kembali. Dia mungkin bisa memperbaikinya."
"Bagaimana dengan esku?"
"Sayang jika dibiarkan saja. Berikan saja padaku. Jadi aku makan dua."
"Tidak bisa! Aku sangat haus! Pasti ada cara supaya aku bisa memakannya."
Olly menatap wajahku dengan saksama sekali lagi. "Tidak ada lubang kecuali lubangtempat matamu berada .... Tunggu sebentar, di sini ada dua lubang kecil. Aku bisa memegang esmu dan kau bisa mengisapnya kuat-kuat melalui lubang itu ..."
"Terima kasih banyak " aku rasa tidak, deh."
"Ya sudah kalau begitu," kata Olly sambil menjilati esnya.
"Tunggu dulu! Jika aku tidak bisa melepaskan kepala ini, bagaimana aku makan" Aku bisa mati kelaparan di dalam sini jika begitu!"
Olly mengangguk-anggukkan kepalanya dan mulai berpikir. "Mmm ... benar juga. Kau hanya bisa makan sesuatu yang tipis panjang dan yang bisa melalui lubang kecil itu," ujarnya. "Seperti spaghetti. Aku bisa memasukkan sejumput spaghetti dengan tanganku melalui salah satu lubang itu, kemudian kau bisa menemukan ujungnya dan mengisapnya."


Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kita, kan, tidak punya spaghetti."
"Memang tidak."
"Jadi apa yang bisa kulakukan" Aku mungkin tidak akan pernah bisa melepas kepala ini. Aku mungkin akan menghabiskan sepanjang sisa hidupku menjadi seekor panda raksasa!"
"Jangan panik," kata Olly menenangkanku. "Paling tidak ada banyak restoran cina di sekitar sini. Kita selalu bisa mendapatkan batang bambu untukmu." Olly sepertinya menganggap bahwa ini semua merupakan hal yang lucu dan ia tertawa terbahak-bahak sampai hampir tersedak oleh esnya.
"Ini benar-benar seperti kebiasaanmu!!" kataku marah. "Bagaimana bisa kau makan es itu, sementara aku harus memakai kostum konyol ini dan terperangkap di dalamnya"!!"
"Tetap pakai kostummu. Kakakmu seharusnya sudah kembali. Ia pergi lama sekali."
"Jam berapa sekarang?"
Olly melihat jam tangannya. "Ya ampun! Tidak! Pukul satu kurang lima menit! Perempuan itu berkata dia hanya menyimpan lumba-lumba itu sampai pukul satu. Kita harus pergi ke sana!"
"Lalu bagaimana dengan kaleng ini dan juga kostum panda ini?"
"Kita akan mengembalikannya nanti. Ayo cepat!"
Olly mulai berlari menyusuri High Street, aku mengikutinya dengan terengah-engah di belakangnya. Di dalam kostum ini, aku merasa seperti dipanggang. Bertambah panas dan gerah setiap menitnya. Aku tidak terlalu memikirkan pada orang-orang yang menatapku dan menunjuk ke arahku dan beberapa di antara mereka tertawa, tetapi saat ini aku sedang tidak terlalu peduli.
Ketika kami sampai ke aula gereja, jam sudah menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Kami berjalan bergegas menembus kerumunan sampai ke meja tempat lumba-lumba itu tadi berada. Mrs. Humbert ada di sana kali ini dan juga Mrs. Grumpy.
"Ya?" tanyanya.
"Kami datang untuk mengambil lumba-lumba itu. Kami sudah mendapatkan uang tambahan," kata Olly.
"Oh, ini adalah salah seorang anak yang membawakan barang-barang sumbangan dari Mrs. Roberts kemarin," kata Mrs. Humbert tersenyum. "Dan yang memakai kostum itu, apakah itu temanmu" Halo, Anak-anak?"
"Halo. Kami datang untuk membeli lumba-lumba itu," kata Olly.
"Sayang sekali. Kalian terlambat. Lumba-lumba itu sudah terjual," sela Mrs. Grumpy.
"Kau mengatakan padaku kalau anak-anak ini tidak menginginkannya," kata Mrs. Humbert marah.
"Aku mengatakan pada mereka untuk datang jam satu. Mereka terlambat. Jadi salah mereka sendiri."
Mrs. Humbert terlihat ikut bersedih dan bersimpati pada kami. "Sayang sekali. Kalian terlambat. Baru saja lumba-lumba itu dibeli oleh seseorang dari Bill's Bargains."
"Bill's Bargains?" ulang Olly.
"Kau tahu kan, toko barang bekas di High Street. Mungkin akan ada obral di sana jika kau masih menginginkannya."
"Benar. Ayo!" Olly menarik tanganku.
"Tunggu sebentar." Mrs. Humbert menahan kami. "Toko itu tidak buka sampai besok Senin. Lagipula kalau kalian pergi sekarang, kalian melewatkan perlombaan kostum. Acaranya baru akan dimulai kok, lihat."
Di panggung di ujung ruangan, seorang laki-laki pendek berwajah merah menepuk kedua tangannya dan seluruh ruangan terdiam, sunyi, semua orang melihat ke arah panggung.
"Para hadirin yang terhormat. Inilah saat yang kita tunggu " perlombaan kostum terbaik! Kami memiliki kostum-kostum istimewa tahun ini, seperti biasa. Perlombaan ini benar-benar memberiku pekerjaan tambahan dan sakit kepala tentu saja!" ia berhenti sebentar sementara sebagian penonton tertawa sopan.
"Nah, sekarang," lanjutnya sambil membuka amplop dan mengambil kertas di dalamnya. "Langsung saja. Juara ketiga " seseorang dengan kostum tempat pembuatan kompos! Di mana dirimu?"
Seorang bocah laki-laki kecil yang sebagian tubuhnya ditutupi rumput kering, naik ke atas panggung dan pembawa acara memberinya sekotak permen.
"Dia tidak boleh makan permen!" seru ibunya dari bawah panggung sementara itu si anak membuka tutup kotak dan mulai memasukkan permen-permen itu ke mulutnya, kertas dan semuanya. Ketika ibunya naik ke panggung dari satu sisi, ia melompat ke bawah dari sisi yang lain dan segera berlari melewati kerumunan.
"Sebaiknya kita lanjutkan acara ini. juara kedua " seseorang dengan kostum peri!"
Kali ini seorang gadis dengan rok penuh kerut dan mahkota berwarna perak naik ke atas panggung dengan diseret oleh ayahnya.
"Ini tidak adil!" jeritnya. "Aku seharusnya yang naik pertama kali!"
Pembawa acara itu memberikan hadiah berupa boneka dengan cepat; anak itu mendelik marah padanya.
"Kemarilah, Sayang, ucapkan terima kasih," kata ayahnya dengan semangat, tetapi gadis kecil itu tidak mudah menyerah.
"Aku tidak suka boneka! Aku mau permen!" jeritnya sambil mencakar dan menendang pembawa acara tepat di tulang keringnya, sebelum ayahnya menyeretnya turun dari panggung.
"Dan sekarang " juara pertama!" pembawa acara mengumumkannya cepat-cepat. Wajahnya yang berwarna merah menjadi semakin merah. "Dan pemenangnya adalah " panda raksasa!"
"Itu kan, kamu. Ayo cepat naik ke panggung!" Olly mendorongku ke panggung dan sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain naik ke panggung.
"Tahun ini hadiah untuk pemenang pertama disumbang oleh kelompok pramuka. Pisau lipat serba guna!
"Terima kasih banyak," kataku lega karena pembawa acara tidak memberiku boneka. Setelah menerima hadiahku, aku bergegas turun dari panggung, melewati si peri yang masih menangis menjerit-jerit, melewati si tempat kompos yang sedang bersembunyi di antara kaki orang-orang menghindari ibunya yang sibuk mencarinya, dan aku keluar dari pintu diikuti Olly di belakangku.
"Pisau lipat ini bagus sekali," katanya antusias. "Mari kita lihat."
"Pisau ini benar-benar mengagumkan." Ujarku. "Karena pisau ini bisa untuk memotong. Jangan hanya berdiri saja di situ sementara aku di dalam sini hampir mati kehabisan napas. Gunakan pisau itu untuk membuka resletingdan potong kepala panda ini!"
Ketika kami kembali ke plaza kota, proyek perlindungan panda itu ternyata sudah diberesi. Harriet dan Coffin sedang duduk bersebelahan di anak tangga di dekat patung. Aku memberikan kaleng dan kostum panda itu kepada Harriet dan mengatakan padanya mengenai resleting yang rusak itu.
"Aku mengerti," katanya tidak peduli ketika aku menyelesaikan kata-kataku. Aku rasa ia tidak mendengar sepatah kata pun yang kuucapkan.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
ENAM Sabtu sore itu, untuk sepuluh menit rumahku terasa begitu sepi dan tenang. Luke sedang pergi, Anna sedang tidur siang, Ayah sedang mengoreksi pekerjaan murid-muridnya, dan Ibu sedang menjahit kostum panda itu. Menyatukannya kembali. Harriet benar-benar bersikap aneh. Ia masuk rumah dan mengucapkan 'halo' tanpa berteriak atau menangis seperti biasanya. Ia kemudian berjalan dengan tenang menuju kamarnya di lantai atas, dan ia menutup pintu dengan pelan tanpa membantingnya seperti biasanya.
Aku merasa lebih nyaman setelah aku menghabiskan sebuah sandwich dan segelas besar air. Bahkan aku berpikir untuk segera mengerjakan PR matematikaku ketika pintu depan terbuka, lalu Leo dan Joe masuk ke dalam.
Kemelut Blambangan 1 Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Api Di Bukit Menoreh 15
^