Padang Bayang Kelabu 4
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon Bagian 4
"Kalian benar-benar beruntung," Marvin Seymour mengomel.
"Benar," Breslauer setuju. "Bagaimana kalau kami diberi kesempatan lagi besok?" Saya akan memberi kabar," kata Rizzoli.
Ketika mereka sudah pergi, Korontzis berseru, "Sungguh aku tak percaya. Dua ribu dolar!"
Rizzoli tertawa. "Itu makanan ayam. Kan aku sudah bilang, Otto paling terampil jika menyangkut masalah kartu. Orang-orang itu setengah mati ingin main lagi dengan kita. Kau mau?"
"Tentu saja." Korontzis menyeringai lebar. "Kukira aku baru saja membuat lelucon."
Malam berikutnya, Victor Korontzis menang ti-ga ribu d
olar. 255 "Fantastis!" katanya kepada Rizzoli. "Apa mereka tidak curiga?"
"Tentu saja tidak. Aku berani bertaruh mereka akan minta kita menaikkan nilai taruhan besok. Mereka pikir mereka akan bisa memenangkan uang mereka kembali. Kau akan ikut?"
"Pasti, Tony. Aku ikut."
Saat mereka duduk untuk bermain, Sal Prizzi berkata, "Begini, sampai saat ini kami sudah kalah banyak. Bagaimana kalau taruhannya di-naikkan?"
Tony Rizzoli melihat ke arah Korontzis dan
mengedipkan mata. "Aku setuju saja," kata Rizzoli. "Bagaimana
yang lain-lain?" Mereka semua mengangguk setuju.
Otto Dalton menyusun tumpukan-tumpukan chip. "Yang putih ini lima puluh dolar, yang biru seratus, merah lima ratus, hitam seribu."
Victor Korontzis melihat kepada Rizzoli dengan gelisah. Ia tidak siap untuk bertaruh dengan taruhan setinggi itu.
Rizzoli mengangguk kepadanya meyakinkan.
Permainan dimulai. Tak ada yang berubah. Tangan Victor Korontzis seakan mengandung tenaga gaib. Kartu apa pun yang dipegangnya selalu bisa mengalahkan yang lainnya. Tony Rizzoli juga menang, tapi tidak sebanyak itu.
256 "Kartu sialan!" Prizzi mengomel. "Mari kita ganti kartunya."
Otto Dalton dengan patuh mengeluarkan kartu-kartu baru.
Korontzis melihat ke arah Tony Rizzoli dan tersenyum. Ia tahu bahwa tak ada yang bisa mengubah keberuntungan mereka.
Saat tengah malam sandwich dihidangkan. Para pemain beristirahat selama lima belas menit.
Tony Rizzoli menarik Korontzis ke samping. "Kuberitahu Otto untuk sedikit memberi hati kepada mereka." bisiknya.
"Aku tidak mengerti."
"Biarkan mereka menang beberapa putaran. Kalau mereka kalah terus-menerus, mereka akan jadi enggan dan minta berhenti."
"Oh, begitu. Cerdik sekali itu."
"Kalau nanti mereka pikir mereka berada di atas angin, kita akan naikkan taruhannya lagi dan akan kita kuras mereka besar-besaran."
Victor Korontzis ragu-ragu. "Aku sudah menang banyak sekali, Tony. Apakah tidak kaupikir sebaiknya kita berhenti saja selagi kita masih?""
Tony Rizzoli memandangnya lurus-lurus dan berkata, "Victor, bagaimana kalau malam ini kau nanti pulang dengan lima puluh ribu dolar di sakumu?"
Ketika permainan dimulai lagi, Breslauer, Prizzi, dan Seymour mulai menang. Kartu Korontzis
257 masih bagus, tapi yang lain-lain lebih bagus lagi.
Otto Dalton memang jenius, pikir Korontzis. Diperhatikannya waktu ia membagi kartu, dan tak ada suatu gerakan pun yang nampak tidak wajar.
Permainan berlanjut dan Victor Korontzis terus kalah. Ia tidak kuatir. Beberapa menit lagi, setelah mereka"apa istilahnya tadi"diberi hati, ia dan Rizzoli dan Dalton akan bergerak untuk melakukan pembantaian terakhir.
Sal Prizzi mulai nampak tamak. "Well" katanya, "rupanya kalian sudah mulai mereda."
Tony Rizzoli menggelengkan kepala dengan memelas. "Ya memang, rupanya begitu." Ia melemparkan pandangan yang mengandung rahasia kepada Korontzis.
"Keberuntungan Anda tak bisa tanpa akhir,"
kata Marvin Seymour. Perry Breslauer berbicara, "Bagaimana kalau kita naikkan lagi taruhannya, supaya ada kesempatan bagi kami untuk benar-benar menebus kekalahan?"
Tony Rizzoli pura-pura mempertimbangkan hal itu. "Saya tidak tahu," katanya seakan berpikir. Ia menoleh kepada Victor Korontzis. "Bagaimana, Victor?"
Bagaimana kalau malam ini kau nanti pulang dengan lima puluh ribu dolar di sakumu" Aku akan bisa membeli rumah, dan mobil baru. Aku akan bisa membawa keluargaku berlibur" Korontzis hampir"
258 hampir gemetar karena luapan kegembiraan. Ia tersenyum. "Mengapa tidak?"
"Baiklah," Sal Prizzi berkata. "Kita akan bermain taruhan di atas meja. Tanpa batas."
Mereka bermain tarikan lima kartu. Kartu-kartu dibagi.
"Sekarang aku yang buka," kata Breslauer. "Mari kita buka dengan lima ribu dolar."
Setiap pemain meletakkan taruhannya.
Victor Korontzis mendapat dua queen. I a mencabut tiga kartu, dan salah satunya queen lagi.
Rizzoli melihat kartu-kartunya dan berkata, "Tambah seribu."
Marvin Seymour mengkaji kartu-kartunya. "Aku sekarang, tambah dua ribu."
Otto Dalton membuang kartu-kartunya. "Aku tidak ikut."
Sal Prizzi berkata, "Aku ikut."
Putaran itu dimenangkan total oleh Marvin Seymour.
Di putaran berikut, Victor Korontzis memperoleh kartu delapan, sembilan, sepuluh, dan jack hati. Tinggal kurang satu kartu saja untuk menjadi straight flush}.
"Aku minta seribu dolar," kata Dalton.
"Aku ikut, dan tambah seribu."
Sal Prizzi berkata, "Naikkan lagi seribu."
Sekarang giliran Korontzis. Ia begitu yakin bahwa straight flush akan mengalahkan kartu
259 siapa saja saat itu. Ia cuma kurang satu kartu saja.
"Aku ikut." Ia mencabut sebuah kartu, dan meletakkannya menghadap ke bawah, tak berani melihatnya.
Breslauer meletakkan kartunya terbuka di
atas meja. "Pair empat dan pair sepuluh."
Prizzi juga membuka kartunya. "Three tujuh."
Mereka lalu memandang Victor Korontzis. Ia menarik napas panjang, dan membuka kartu terakhirnya itu. Ternyata hitam. "Tewas," katanya. Ditutupnya kartunya.
Taruhan semakin menggila.
Tumpukan chip Victor Korontzis menurun terus sampai hampir tandas. Ia melihat ke arah Tony Rizzoli, gelisah.
Rizzoli tersenyum menenangkan, senyum yang artinya, Tak ada yang perlu dikuatirkan. Rizzoli membuka putaran berikutnya. Kartu-kartu dibagikan. "Kita taruh seribu dolar." Perry Breslauer, "Aku naikkan seribu lagi." Marvin Seymour, "Aku minta dua lagi." Sal Prizzi, "Mau tahu" Kukira kalian menggertak saja. Naikkan lima lagi."
Victor Korontzis belum lagi melihat kartu-kartunya. Kapan mereka akan berhenti memberi hati kepada pemain-pemain lainnya" "Victor?"
Korontzis memunguti kartu-kartunya pelan"
260 pelan dan menatanya satu per satu berbentuk kipas. Sebuah as, as lagi, dan as ketiga, tambah sebuah king dan sebuah kartu sepuluh. Darahnya mulai menggelegak. "Kau ikut?"
Ia tersenyum sendiri. Mereka tidak lagi memberi hati kepada pemain-pemain lainnya. Ia tahu ia pasti akan diberi satu king lagi supaya menjadi full house. Ia menyingkirkan kartu sepuluh itu dan mencoba mengendalikan suaranya seakan biasa-biasa saja. "Aku ikut. Tolong satu kartu lagi."
Otto Dalton berkata, "Aku ambil dua." Ia melihat kartu-kartunya. "Aku naikkan seribu."
Tony Rizzoli menggelengkan kepala. "Tak ku-at aku." Ia menutup kartu-kartunya.
"Aku ikut," kata Prizzi, "dan kunaikkan lima ribu."
Marvin Seymour menutup kartunya. "Aku ca-but."
Tinggal Victor Korontzis dan Sal Prizzi.
"Kau terus?" tanya Prizzi. "Untuk itu kau perlu lima ribu lagi."
Victor Korontzis melihat tumpukan chip-nya. Memang cuma tinggal lima ribu lagi. Tapi jika kumenangkan putaran ini" pikirnya. Ia melihat kartu-kartunya lagi. Tak terkalahkan. Ia meletakkan tumpukan chip-nya itu di tengah meja dan mencabut sebuah kartu. Lima. Tapi ia masih punya tiga as. Ia membuka kartunya di atas meja. "Tiga as."
261 Prizzi membeberkan kartu-kartunya. "Empat
kartu dua as." Korontzis duduk di situ, tertegun, menyaksikan Prizzi meraup taruhan di meja itu. Ia merasa seakan ia telah mengecewakan temannya Tony. Kalau saja aku tadi bisa menahan diri sedikit dan menunggu sampai angin berubah ke arah kami.
Kini giliran Prizzi. "Tarikan tujuh kartu," ia
mengumumkan. "Kita taruh seribu dolar di meja."
Para pemain meletakkan taruhannya di meja.
Victor Korontzis melihat ke arah Tony Rizzoli dengan tidak berdaya. "Aku tidak punya?"
"Tidak apa-apa," kata Rizzoli. Ia berbicara kepada yang lain, "Begini, teman-teman, Victor tadi tak ada kesempatan untuk membawa banyak uang kontan ke sini malam ini, tapi aku bisa menjamin bahwa ia akan sanggup membayar. Kita beri dia kredit, dan akan kita bereskan nanti malam kalau ini selesai."
Prizzi berkata, "Sebentar. Apa-apaan ini"kita ini lembaga kredit" Kita tidak tahu bagaimana Victor Korontzis ini nongol ke bumi. Bagaimana kita bisa yakin bahwa ia akan sanggup membayar?"
"Aku yang menjamin," Tony Rizzoli meyakinkan dia. "Otto juga akan setuju denganku."
Otto Dalton angkat bicara. "Kalau Tony bi-lang Mr Korontzis itu OK, maka dia pasti OK."
262 Sal Prizzi mengangkat bahu. "Well, kukira tidak apa-apa."
"Buatku tak ada masalah," kata Perry Breslauer.
Otto Dalton menoleh ke Victor Korontzis. "Berapa yang kauperlukan?"
"Beri dia sepuluh ribu," kata Tony Rizzoli.
Korontzis memandangnya dengan heran. Sepuluh ribu dolar adalah jumlah yang lebih banyak daripada yang bisa dihasilkannya selama dua tahun. Tapi Rizzoli pasti tahu apa yang dilakukannya.
Victor Korontzis menelan ludah. "Itu" itu cukup."
Setumpuk chip disorongkan ke depan Korontzis. ^"
Kartu-kartu malam itu menjadi musuh bagi Victor Korontzis. Sementara taruhan terus meningkat, tumpukan chip-nya yang baru itu terus me- " nyusut. Tony Rizzoli juga mulai kalah.
Pada jam 2.00 dini hari mereka beristirahat. Korontzis menarik Tony Rizzoli ke sudut.
"Apa yang terjadi?" Korontzis berbisik panik. "My God, tahukah kau aku sudah ketinggalan berapa?"
"Jangan kuatir, Victor. Aku juga sama. Aku sudah memberi isyarat kepada Otto. Jika nanti giliran dia untuk membagi, permainan ini akan berubah arah. Kita akan memukul mereka dengan telak."
263 Mereka semua duduk lagi. "Beri temanku ini dua puluh lima ribu dolar
lagi," kata Rizzoli.
Marvin Seymour mengerutkan dahi. "Kau ya-kin dia memang mau terus bermain?"
Rizzoli menoleh kepada Victor Korontzis.
"Terserah kau saja."
Korontzis ragu-ragu. Aku telah memberi isyarat kepada Otto. Permainan ini akan berubah arah.
"Aku ikut." "Okay."
Chip senilai dua puluh lima ribu dolar diletakkan di depan Korontzis. Ia memandang chip itu dan sekonyong-konyong merasa sangat beruntung.
Otto Dalton membagi. "Baiklah, Tuan-tuan. Permainan ini adalah tarikan lima kartu. Taruhan perdananya seribu dolar."
Para pemain menyorongkan chip mereka ke
tengah meja. Dalton membagikan lima kartu langsung kepada setiap pemain.
Korontzis tidak melihat kartu-kartunya. Aku akan menunggu, pikirnya. Pasti itu kartu-kartu bagus.
"Letakkan taruhan kalian."
Marvin Seymour, yang duduk di sebelah ka-nan Dalton, mengkaji kartu-kartunya sebentar. "Aku mundur." Ia menutup kartu-kartunya.
Berikutnya adalah Sal Prizzi. "Aku ikut, dan
264 tambah seribu." Ia menyorongkan chip-nya ke tengah meja.
Tony Rizzoli melihat kartu-kartunya dan mengangkat bahu. "Aku pas." Ia menutup kartu-kartunya.
Perry Breslauer melihat kartu-kartunya dan menyeringai. "Aku ikut tambahannya, dan tambah lagi lima ribu."
Victor Korontzis harus menyediakan enam ribu dolar jika mau tetap ikut putaran itu. Pelan-pelan ia memungut kartu-kartunya dan menatanya seperti kipas. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Kartunya ternyata pat straight flush (warna sama dengan nomor berurut)"lima, enam, tujuh, delapan, dan sembilan, semuanya gambar hati. Kartu yang sempurna! Jadi Tony berkata benar tadi. Thank God! Korontzis mencoba menyembunyikan rasa gembiranya yang meluap-luap. "Aku ikut tambahannya, dan tambah lagi lima ribu." Kartu-kartu inilah yang akan membuatnya kaya.
Dalton menutup kartunya. "Aku tidak ikut. Pas.-"
"Sekarang tinggal aku," kata Sal Prizzi. "Ku-kira kau hanya menggertak, kawan. Aku terus, dan tambah lima lagi."
Victor Korontzis merasakan jantungnya berdebar karena gembira. Ia mendapat kartu-kartu yang teramat langka. Ini akan menjadi jackpot terbesar sepanjang permainan ini.
Perry Breslauer menyimak kartu-kartunya.
265 "Well, kukira aku ikut, dan tambah lima ribu lagi, kawan-kawan."
Kini giliran Victor Korontzis lagi. Ia menarik napas panjang. "Aku ikut, dan tambah lagi lima ribu." Ia hampir-hampir gemetar karena luapan kegembiraan. Ia hampir tak bisa menahan dirinya untuk mengulurkan tangan dan meraup kumpulan taruhan di tengah meja itu.
Perry Breslauer membeberkan kartu-kartunya, wajahnya memancarkan kemenangan. "Tiga king."
Aku sudah menang! pikir Victor Korontzis. "Masih kurang itu," ia tersenyum. "Punyaku straight flush." Ia meletakkan kartu-kartunya di atas meja, dan dengan bersemangat menggapai tumpukan chip di tengah meja itu.
Tunggu dulu!" Sal Prizzi pelan-pelan menurunkan kartu-kartunya ke atas meja. "Aku kalahkan kau dengan royal flush. Kartu sepuluh sampai kartu as gambar sekop."
Victor Korontzis langsung pucat. Tiba-tiba ia merasa seolah akan pingsan, dan jantungnya
berdebar keras. "Astaga!" kata Tony Rizzoli. "Gila, sama-sama straight flush?" Ia menoleh kepada Korontzis. "Maafkan aku, Victor. Aku" aku tak tahu harus bilang apa."
Otto Dalton berkata, "Kurasa sampai di sini saja malam ini, Tuan-tuan." Ia memeriksa secarik kertas dan menoleh kepada Victor Korontzis. "Kau utang enam puluh lima ribu dolar."
266 Victor Korontzis memandang Tony Rizzoli, tercekam. Rizzoli mengangkat bahu tak berdaya. Korontzis mengeluarkan saputangan dan menyeka alisnya.
"Bagaimana akan kaubayar itu?" Dalton bertanya. "Cash atau cek?"
"Aku tidak menerima cek," kata Prizzi. Ia memandang Victor Korontzis. "Aku minta cash saja."
"Aku" aku?" Kata-katanya tertahan di tenggorokannya. Ia mendapati tubuhnya gemetar. "Aku" aku tak punya?"
Wajah Sal Prizzi menjadi gelap. "Kau apa?" ia membentak.
Tony Rizzoli cepat menukas, "Tunggu dulu. Maksud Victor ia tak membawanya sekarang. Tadi kan aku sudah bilang ia sanggup membayar."
"Itu tidak ada artinya buatku, Rizzoli. Aku mau lihat uangnya."
"Kau akan melihatnya," kata Rizzoli meyakinkan. "Kau akan mendapatkannya dalam beberapa hari ini."
Sal Prizzi meloncat berdiri. "Persetan dengan itu. Aku bukan badan sosial. Aku mau uang itu sudah ada besok."
"Jangan kuatir. Ia akan menyetornya."
Victor Korontzis terjebak di tengah mimpi bu-ruk di mana jalan keluar tidak ada. Ia duduk di situ, diam terpaku, hampir-hampir tidak sadar
267 bahwa yang lainnya sudah pergi. Tony dan Korontzis tinggal berdua saja.
Korontzis benar-benar panik. "Aku" aku tak akan pernah bisa mencari uang sebanyak itu," ia mengerang. "Tak akan pernah!"
Rizzoli meletakkan tangannya di pundak Korontzis. "Aku tak tahu harus mengatakan apa kepadamu, Victor. Aku tak tahu apanya yang salah tadi. Aku rasa aku juga kalah hampir sama banyaknya dengan kau malam ini."
Victor Korontzis mengusap matanya. "Tapi" tapi kau sanggup menanggung itu, Tony. Aku" aku tidak bisa. Aku harus menjelaskan kepada mereka bahwa aku tidak sanggup membayar."
Tony Rizzoli berkata, "Aku akan pikir dulu masak-masak kalau aku jadi kau, Victor. Sal Prizzi itu kepala Serikat Buruh Pelaut Pantai Timur. Kudengar mereka mainnya kasar."
"Bagaimana lagi" Kalau uangnya aku tak punya, ya tak punya. Aku mau diapakan olehnya?"
"Mari kujelaskan apa yang bisa dilakukan olehnya terhadapmu," kata Rizzoli bersungguh-sungguh. "Ia bisa saja menyuruh anak buahnya menembak tempurung lututmu. Kau tak akan pernah bisa berjalan lagi. Ia bisa juga menyuruh mereka menyiram matamu dengan air raksa. Kau tak akan pernah bisa melihat lagi. Kemudian, setelah kauperoleh semua penderitaan itu dan kau masih bisa bertahan, ia akan memutus-268
kan apakah akan membiarkan kau hidup seperti itu, atau membunuhmu."
Victor Korontzis menatapnya, wajahnya pu-cat. "Kau" kau bercanda."
"Kalau saja aku bisa. Memang semua salahku, Victor. Seharusnya aku tidak melibatkan kau bermain dengan orang seperti Sal Prizzi. Ia seorang pembunuh."
"Oh, my God. Apa yang harus kulakukan?"
"Apa kau ada jalan untuk menghimpun dana itu?"
Korontzis mulai tertawa histeris. "Tony" menunjang hidup keluargaku dengan gajiku saja aku hampir tidak bisa."
"Kalau begitu, satu-satunya jalan yang bisa kuusulkan adalah meninggalkan kota ini, Victor. Mungkin meninggalkan negeri ini. Pergilah ke suatu tempat di mana Prizzi tidak akan bisa menemukanmu."
"Itu tak bisa kulakukan," Victor Korontzis meratap. "Aku punya istri dan empat anak." Ia melihat kepada Tony Rizzoli dengan sikap menuduh. "Kaubilang permainan ini adalah perangkap, dan kita tak akan bisa kalah. Kaubilang?"
"Aku tahu itu. Dan aku benar-benar minta maaf. Biasanya selalu lancar. Satu-satunya kemungkinan yang bisa kupikirkan ialah bahwa Prizzi telah berbuat curang."
Wajah Korontzis berbinar penuh harap. "Nah, kalau ia curang, aku tak perlu membayarnya."
269 "Itu akan mengundang masalah, Victor," Rizzoli berkata dengan sabar. "Kalau kau menuduh dia curang, ia akan membunuhmu, dan kalau kau tak mau membayar ia akan membunuhmu juga."
"Oh, my God," Korontzis meratap. "Matilah aku."
"Aku benar-benar sedih sekali. Kau yakin tidak ada jalan lagi untuk mengumpulkan?""
"Aku harus mengulangi hidupku seratus kali. Seribu kali. Semua milikku sudah digadaikan. Dari mana aku akan bisa memperoleh?""
Dan pada saat itu, Tony Rizzoli mendapat inspirasi mendadak. "Tunggu dulu, Victor! Bukankah kaubilang bahwa benda-benda antik di museum itu nilainya sangat tinggi?"
"Ya, tapi apa hubungannya itu dengan?""
"Coba dengar dulu. Kaubilang bahwa tiruan-tiruannya sama baiknya dengan yang asli."
"Tentu saja tidak. Semua ahli akan bisa membedakan?"
"Whoa. Sebentar. Bagaimana kalau salah satu benda itu hilang dan tiruannya ditaruh di situ" Maksudku, waktu aku di museum tempo hari, banyak turis yang melihat-lihat. Apa mereka akan tahu bedanya?"
"Tidak, tapi" aku" aku tahu apa maksudmu. Tidak, aku tak akan pernah bisa melakukan itu."
Rizzoli berkata, menenangkan, "Aku mengerti, Victor. Aku hanya berpikir barangkali mu"
270 seum itu bisa menyisihkan satu benda kecil. Koleksinya begitu banyak."
Victor Korontzis menggelengkan kepala. "Aku telah menjadi kurator di museum itu selama dua puluh tahun. Aku tak pernah bisa memikirkan yang seperti itu."
"Maafkan aku. Mestinya tidak kuusulkan hal seperti itu. Alasan satu-satunya yang membuat aku berpikir begitu adalah karena barangkali itu akan bisa menyelamatkan hidupmu." Rizzoli berdiri dan menggeliat. "Well, sudah malam. Kurasa istrimu akan bertanya-tanya kau ke mana saja."
Victor Korontzis menatapnya. "Bisa menyelamatkan hidupku" Bagaimana?"
"Gampang saja. Kalau kauambil salah satu antique?"
"Antiquity" "..antiquity" dan memberikannya kepadaku, aku bisa membawanya ke luar negeri dan men-jualkannya untukmu, dan membayar utangmu kepada Prizzi. Kurasa aku bisa membujuknya untuk menunggu selama itu. Dan kau akan be-bas dari ancaman. Tak perlu kujelaskan bahwa aku akan menempuh risiko besar untukmu, se-bab kalau aku tertangkap akan cukup runyam juga. Tapi kutawarkan diriku untuk melakukan ini karena aku merasa berutang terhadapmu. Akulah yang salah sampai kau jadi kacau be-gini."
"Kau seorang teman yang baik," kata Victor
271 Korontzis. "Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu. Aku tidak seharusnya ikut bermain. Kau hanya ingin membantu aku."
"Aku tahu. Kalau saja semuanya tidak begird jadinya" Well, mari kita istirahat saja dulu. Aku akan berbicara lagi denganmu besok. Selamat malam, Victor."
"Selamat malam, Tony."
Telepon berdering di museum, pagi-pagi sekali keesokan harinya. "Korontzis?" "Ya?"
"Ini Sal Prizzi."
"Selamat pagi, Mr Prizzi."
"Aku menelepon untuk menanyakan tentang masalah kecil enam puluh lima ribu dolar itu. Jam berapa bisa kuambil?"
Victor Korontzis mulai berkeringat. "Saya" uangnya belum ada saat ini, Mr Prizzi."
Di ujung sana tak ada suara"diam tapi mencekam. "Permainan gila apa yang sedang kau-pertunjukkan di depanku?"
"Percayalah, saya tidak mau mempermainkan.
Saya?" " "Kalau begitu cepat sediakan uang itu. Jelas?" "Ya, sir."
"Jam berapa museummu tutup?" "Enam" jam enam."
"Aku akan datang. Sediakan uang itu, atau aku akan mengoyakkan wajahmu. Dan setelah itu, aku akan benar-benar menyakitimu."
272 Hubungan putus. Victor Korontzis duduk di situ dengan panik. Ia ingin bersembunyi. Tapi di mana" Ia dicekam oleh keputusasaan total, benaknya penuh dengan penyesalan dan ungkapan-ungkapan "kalau": Kalau saja aku tidak pergi ke kasino malam itu; kalau saja aku tidak bertemu dengan Tony Rizzoli; kalau saja kupegang janjiku pada istriku untuk tidak berjudi lagi. Ia menggelengkan kepalanya untuk melupakan semua itu. Harus kulakukan sesuatu"sekarang juga.
Dan tepat pada saat itu, Tony Rizzoli memasuki kantornya. "Selamat pagi, Victor."
Saat itu jam enam tiga puluh. Para karyawan sudah pulang, dan museum itu sudah tutup setengah jam yang lalu. Victor Korontzis dan Tony Rizzoli sedang memandang ke pintu depan.
Korontzis semakin tegang. "Bagaimana kalau ia menolak" Bagaimana kalau ia mau uangnya malam ini?"
"Serahkan kepadaku," kata Tony Rizzoli. "Biar aku yang bicara nanti."
"Bagaimana kalau ia tidak muncul" Bagaimana kalau ia lalu" mengirim orang untuk membunuhku" Menurut kau ia akan melakukan itu?"
"Tidak, selama ia masih punya peluang untuk mendapatkan uang itu," kata Rizzoli dengan ya-kin.
273 Pada jam tujuh, Sal Prizzi akhirnya muncul juga.
Korontzis bergegas menuju ke pintu dan membukanya. "Selamat malam," katanya.
Prizzi memandang Rizzoli. "Kau mau apa di sini?" Ia balik lagi menghadapi Victor Korontzis. "Ini cuma di antara kita berdua."
"Tenang dulu," kata Rizzoli. "Aku di sini untuk membantu."
"Aku tidak perlu bantuanmu." Prizzi menoleh
kepada Korontzis. "Mana uangku?"
"Saya" saya belum ada. Tapi?"
Prizzi mencengkeram lehernya. "Dengar kau,
brengsek. Kausetorkan uang itu nanti malam,
atau aku akan bikin kamu jadi makanan ikan.
Kau mengerti?" Tony Rizzoli berkata, "Hey, tenang, tenang.
Kau pasti akan dapat uangmu."
Prizzi menghadapi dia. "Aku sudah bilang jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu."
"Kubuat ini jadi urusanku. Aku teman Victor. Victor tidak punya uang kontan sekarang, tapi ia punya jalan untuk memperolehnya buat kau."
"Dia itu punya uang atau tidak, sih?"
"Dia punya dan dia tidak punya," kata Rizzoli.
"Jawaban gila macam apa itu?" Tangan Tony Rizzoli menunjuk berkeliling ruangan. "Uang itu ada di sana."
Sal Prizzi mengamati ruangan itu. "Di mana?"
274 "Di dalam peti-peti itu. Penuh dengan antique?"
"Antiquity," Korontzis secara otomatis mem-betulkan.
?"itu harta karun terpendam. Aku bicara soal jutaan dolar."
"Yeah?" Prizzi lalu mengamati peti-peti itu. "Apa gunanya bagiku jika itu terkunci rapat di museum ini" Aku mau uang kontan saja."
"Kau akan memperoleh uang kontan," kata Rizzoli menenangkan. "Dua kali lipat dari jum-lah yang terutang oleh teman kita ini. Kau cuma perlu sedikit sabar, cuma itu. Victor bukan orang yang ingkar. Tapi ia perlu sedikit waktu. Begird rencana dia, Victor akan mengambil salah satu antique ini" antiquity" dan akan menjualnya. Segera setelah uangnya didapat, ia akan membayarmu."
Sal Prizzi menggelengkan kepala. "Aku tidak suka itu. Aku tak tahu apa-apa tentang benda-benda antik ini."
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak perlu tahu. Victor adalah salah satu pakar terandal di dunia untuk itu." Tony Rizzoli menghampiri salah satu peti dan menunjuk ke sebuah pahatan kepala manusia dari * maimer. "Berapa taksiranmu untuk ini, Victor?"
Victor Korontzis menelan ludah. "Itu Dewi Hygea, abad keempat belas sebelum Masehi. Kolektor mana saja akan membayar dengan senang hati dua atau tiga juta dolar untuk itu."
275 Rizzoli menghadapi Sal Prizzi. "Nah, dengar itu. Kau tahu maksudku?"
Prizzi mengerutkan dahi. "Aku tak tahu. Berapa lama aku harus menunggu?"
"Kau akan dibayar dua kali lipat dalam waktu sebulan."
Prizzi berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Okay, tapi jika aku harus menunggu sebulan, aku mau lebih dari itu"yah, tambah dua ratus ribu dolar begitu."
Tony Rizzoli memandang ke arah Victor Korontzis.
Korontzis mengangguk dengan ber"semangat.
"Okay," kata Rizzoli. "Mufakat."
Sal Prizzi lalu menghampiri kurator bertubuh kecil itu. "Kau kuberi waktu tiga puluh hari. Kalau aku belum juga memperoleh uangku nanti, kau akan jadi makanan anjing. Sudah jelas itu?"
Korontzis menelan ludah. "Ya, sir."
"Ingat" tiga puluh hari."
Ia lalu memandang Tony Rizzoli, lama dan keras. "Aku tak suka kamu."
Mereka menyaksikan ketika Sal Prizzi berbalik dan berjalan keluar pintu.
Korontzis duduk lemas di kursinya, mengusap alisnya.
"Oh, my God," katanya. "Tadinya kukira ia akan membunuhku. Apa menurut kau kita bisa mendapatkan uang itu buat dia dalam waktu tiga puluh hari?"
276 "Tentu," Tony Rizzoli berjanji. "Yang perlu kaulakukan cuma mengambil salah satu benda dari dalam peti dan menaruhkan tiruannya ke tempat asalnya."
"Bagaimana kau akan mengeluarkannya dari negeri ini" Kau akan masuk penjara kalau tertangkap."
"Aku tahu," kata Tony Rizzoli dengan gagah. "Tapi itu risiko yang harus kutempuh. Aku harus menebus kesalahanku padamu, Victor."
Satu jam kemudian, Tony Rizzoli, Sal Prizzi, Otto Dalton, Perry Breslauer, dan Marvin Seymour minum-minum di kamar hotel Dalton.
"Mulus seperti sutera," kata Rizzoli dengan pongah. "Si sontoloyo itu terkencing-kencing ketakutan."
Sal Prizzi menyeringai. "Aku membuatnya ta-kut, eh?"
"Kau membuat aku takut," kata Rizzoli. "Kau mestinya menjadi aktor saja."
"Bagaimana kita atur sekarang?" tanya Marvin Seymour.
Rizzoli menjawab, "Begini. Ia akan memberi aku salah satu benda antik itu. Aku akan mencari jalan menyelundupkannya ke luar negeri dan menjualnya. Lalu aku akan memberikan ba-gian kalian masing-masing."
"Bagus," kata Perry Breslauer. "Aku suka itu."
Rasanya seperti punya tambang emas saja, pikir Rizzoli. Sekali Korontzis mau melakukannya, ia ter"
277 perangkap. Ia tak akan pernah lagi bisa mundur. Aku akan menyuruhnya menguras seluruh isi museum itu sampai tandas.
Marvin Seymour bertanya, "Bagaimana kau akan mengeluarkan barang itu ke luar negeri?" "Aku akan mencari jalan," kata Rizzoli. "Aku
akan mencari jalan."
Ia harus mencari )a\an. Dan segera. Alfredo Mancuso dan Gino Laveri menunggu.
278 Bab 13 Di markas besar kepolisian di Stadiou Street, sedang diadakan rapat darurat. Di ruang rapat itu tampak Kepala Polisi Dmitri, Inspektur Tinou, Inspektur Nicolino, Walt Kelly, agen dari Departemen Keuangan Amerika itu, dan sejumlah detektif. Suasananya amat berbeda dengan rapat sebelumnya.
Inspektur Nicolino berkata, "Sekarang kami punya alasan untuk percaya alas an untuk percaya bahwa info Anda itu benar, Mr Kelly. Sumber-sumber kami memberitahukan bahwa Tony Rizzoli sedang mencari jalan untuk menyelundupkan suatu kiriman heroin yang amat besar ke luar Athena. Kami sudah mulai memeriksa gudang-gudang yang mungkin dipakai-r.va untuk menyimpan barang itu."
"Apa Anda menyuruh dia diikuti?"
"Jumlah orangnya kami tambah pagi ini," kata Pak Kepala Dmitri.
Walt Kelly menarik napas. "Aku berdoa kepada Tuhan semoga belum terlambat."
279 Inspektur Nicolino menugaskan dua tim detektif untuk melakukan pengawasan terhadap Tony Rizzoli, tapi ia telah memandang enteng buru-annya ini. Saat hari sudah sore Rizzoli mulai sadar bahwa ia diikuti. Setiap kali ia meninggalkan hotel kecil tempatnya menginap, ia diikuti orang, dan saat ia kembali, selalu ada orang yang mondar-mandir di belakangnya dengan sikap tak acuh. Mereka benar-benar profesional. Rizzoli senang akan hal itu. Itu artinya ia cukup disegani.
Kini ia bukan hanya harus mencari jalan untuk mengeluarkan heroin itu dari Athena, tapi ia juga harus menyelundupkan benda antik yang tak ternilai itu. Alfredo Mancuso dan Gino ri ada di belakangku, dan polisi mengitariku seperti sebuah selimut basah. Aku harus menghubungi seseorang dengan segera. Satu-satunya nama yang muncul di benaknya adalah Ivo Bruggi, seorang pemilik kapal yang tidak terlalu sukses di Roma. Rizzoli pernah berbisnis dengan Bruggi dulu. Memang ini kecil kemungkinan ber-hasilnya, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Rizzoli yakin bahwa telepon di kamar hotelnya disadap. Aku harus mengatur supaya aku bisa menerima telepon di hotel. Ia duduk di situ, berpikir lama. Akhirnya, ia bangkit dan berjalan menuju ke sebuah kamar di seberang gang dan me"
280 ngetuk pintunya. Pintu itu dibuka oleh seorang pria agak tua yang wajahnya cemberut. "Yeah?"
Rizzoli menunjukkan sikap manis. "Permisi," katanya. "Maaf saya mengganggu. Saya tetangga Anda di seberang gang ini. Apa saya boleh masuk dan berbicara sebentar saja?"
Pria itu memperhatikannya dengan curiga. "Coba saya lihat Anda membuka pintu kamar Anda."
Tony Rizzoli tersenyum. "Tentu." Ia lalu berjalan menyeberangi gang, mengambil kuncinya, dan membuka pintu itu.
Pria itu mengangguk. "Baiklah. Silakan masuk."
Tony Rizzoli menutup pintu kamarnya dan masuk ke kamar di seberang gang itu.
"Apa yang Anda inginkan?"
"Ini sebenarnya masalah pribadi, dan saya merasa tidak enak mengganggu Anda, tapi" Well, terus terang saja, saya sedang dalam proses perceraian, dan istri saya menyuruh orang mengikuti saya." Ia menggelengkan kepala menunjukkan sikap jengkel. "Malahan ia juga me-nyadap telepon di kamar saya."
"Perempuan!" tetangganya itu menggeram. Terkutuk mereka. Saya menceraikan istri saya tahun lalu. Mestinya itu saya lakukan sepuluh tahun yang lalu."
"Oh, ya" Jadi begird, yang ingin saya tanyakan yaitu, apa sekiranya Anda berkenan mem"
281 bolehkan saya memberikan nomor Anda kepada beberapa teman supaya mereka bisa menelepon saya di sini. Saya berjanji tidak akan banyak telepon masuk."
Pria itu sudah akan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak mau terganggu?"
Rizzoli mengeluarkan selembar uang kertas seratus dolar dari sakunya. "Ini untuk kerepotan Anda."
Pria itu menjilat bibirnya. "Oh. Well, tentu," katanya. "Kukira itu boleh-boleh saja. Saya senang menolong orang yang sependeritaan."
"Anda sangat baik. Kalau ada telepon buat saya, tolong ketuk saja pintu saya. Saya kebanyakan tidak pergi."
"Baik." Esoknya, pagi-pagi sekali, Rizzoli berjalan menuju ke telepon umum untuk menghubungi Ivo Bruggi. Ia minta kode nomor negara 39, yaitu Italia, dan kode 6 untuk Roma.
"Signor Bruggi, per piacere."
"Non c"e in casa."
"Quando arrivera?""
"Non lo so." "Gli dica, di chiamare il Signor Rizzoli."
Rizzoli lalu memberikan nomor utama hotelnya dan nomor kamar tetangganya itu. Ia lalu kembali ke kamar hotelnya. Ia membenci kamar itu. Seseorang pernah mengatakan padanya bahwa kata Yunani untuk hotel adalah xenodochion,
282 yang artinya kontainer bagi orang-orang asing. Lebih mirip dengan sebuah penjara, pikir Rizzoli. Perabotannya jelek: sebuah sofa tua berwarna hijau, dua meja sudut rombeng yang berlampu, sebuah meja tulis kecil berlampu dan sebuah kursi, dan sebuah tempat tidur rancangan Tor-quemada.
Selama dua hari berikutnya, Tony Rizzoli tinggal diam di kamarnya, menunggu ketukan di pintunya, menyuruh bellboy membelikan makanan untuknya. Tak ada telepon. Sialan, di mana si Ivo Bruggi itu"
Tim pengawas melapor kepada Inspektur Nicolino dan Walt Kelly. "Rizzoli mendekam saja di kamarnya. Ia belum bergeser juga selama empat puluh delapan jam."
"Kalian yakin ia ada di dalam?"
"Ya, sir. Para pembantu wanita melihatnya di waktu pagi dan malam saat mereka membenahi kamarnya."
"Telepon bagaimana?"
"Satu pun tak ada. Apa yang harus kami lakukan?"
"Tetap awasi. Ia pasti akan bergerak, cepat atau lambat. Dan yakinkan bahwa penyadapan-nya bekerja dengan baik."
Hari berikutnya, telepon di kamar Rizzoli berdering. Shit! Bruggi tidak seharusnya meneleponnya ke kamar ini. Ia sudah meninggalkan
283 pesan untuk si tolol itu supaya meneleponnya melalui kamar tetangga. Ia harus berhati-hati. Rizzoli mengangkat gagang telepon. "Ya?"
Sebuah suara berkata, "Apa ini Tony Rizzoli?"
Bukan suara Ivo Bruggi. "Ini siapa?"
"Anda waktu itu datang ke kantor saya dengan suatu usulan bisnis, Mr Rizzoli. Saya telah menolaknya. Saya pikir barangkali Anda dan saya perlu membicarakannya lagi."
Tony Rizzoli sekonyong-konyong merasakan getaran kegembiraan. Spyros Lambrou! Jadi bandit itu akhirnya mau juga. Ia seakan tidak percaya akan nasib baiknya ini. Semua masalahku teratasi. Aku bisa mengirimkan heroin dan barang antik itu sekaligus.
"Yeah. Tentu. Saya senang membicarakannya lagi. Kapan kiranya Anda ingin bertemu?"
"Anda punya waktu sore ini?"
Jadi, ia tak sabar ingin bertransaksi. Orang-orang kaya sialan itu sama semuanya. Mereka tidak pernah merasa cukup. "Baik. Di mana?"
"Bagaimana kalau Anda datang ke kantor saya?"
"Saya akan ke sana." Tony Rizzoli meletakkan gagang telepon, hatinya berbunga-bunga.
Di lobi hotel itu, seorang detektif yang frustrasi sedang melapor ke markas besar. "Rizzoli baru saja menerima telepon. Ia akan menemui seseorang di kantornya, tapi orang itu tidak
284 menyebutkan nama dan kami gagal melacak ja-lur teleponnya."
"Baiklah. Awasi dia kalau dia meninggalkan hotel. Beritahu saya nanti ke mana ia pergi."
"Ya, sir." Sepuluh menit kemudian, Tony Rizzoli menyusup ke luar dari jendela basement yang menghadap ke gang di belakang hotel itu. Ia berganti taksi dua kali untuk meyakinkan bahwa ia tidak sedang diikuti, dan menuju ke kantor Spyros Lambrou.
Sejak hari ia mengunjungi Melina di rumah sakit, Spyros Lambrou bersumpah untuk membalas dendam buat adiknya. Tapi selama itu ia belum bisa menemukan hukuman yang cukup setimpal untuk Constantin Demiris. Kemudian, dengan kunjungan Georgios Lato, dan berita mengejutkan yang diberikan Madame Piris, ia seakan telah memegang senjata di tangannya untuk menghancurkan iparnya itu.
Sekretarisnya memberitahukan, "Mr Anthony Rizzoli ada di sini untuk bertemu dengan Anda, Mr Lambrou. Ia tidak punya appointment dan saya telah mengatakan kepadanya bahwa Anda tidak dapat?"
"Antar dia masuk."
"Ya, sir." Spyros Lambrou mengamati ketika Rizzoli masuk melalui pintu, tersenyum dan penuh percaya diri.
285 "Terima kasih untuk kedatangan Anda, Mr Rizzoli."
Tony Rizzoli menyeringai. "Terima kasih juga. Jadi, Anda sudah memutuskan bahwa Anda dan saya akan berbisnis bersama, eh?"
"Tidak." Senyum di wajah Tony Rizzoli memudar. "Anda bicara apa?"
"Saya bilang "Tidak." Saya tidak bermaksud untuk melakukan bisnis dengan Anda."
Tony Rizzoli menatapnya, bingung. "Kalau begitu buat apa Anda memanggil saya" Anda bilang Anda punya usulan buat saya dan?"
"Memang saya punya. Bagaimana kalau Anda memakai armada kapal milik Constantin Demiris?"
Tony Rizzoli menjatuhkan diri ke sebuah kur-si. "Constantin Demiris" Apa maksud Anda" Ia tak akan pernah?"
"Ya, ia mau. Saya bisa menjanjikan kepada Anda bahwa Mr Demiris akan mau memberikan apa saja yang Anda minta."
"Mengapa" Apa untungnya bagi dia?"
"Tidak ada." "Itu tidak masuk akal. Mengapa Demiris mau membuat transaksi seperti itu?"
"Saya gembira Anda bertanya." Lambrou menekan tombol interkom-nya, "Tolong minta ko-pi, ya." Ia melihat kepada Tony Rizzoli. "Anda mau kopi yang bagaimana?"
"Er"kental, tanpa gula."
286 "Kental, tanpa gula, untuk Mr Rizzoli."
Setelah kopi dihidangkan, dan sekretarisnya sudah meninggalkan kantor, Spyros Lambrou berkata, "Saya akan bercerita sedikit, Mr Rizzoli."
Tony Rizzoli memandangnya, waspada. "Saya siap."
"Constantin Demiris adalah suami adik perempuan saya. Bertahun-tahun yang lalu ia mempunyai seorang kekasih gelap. Namanya Noelle Page."
"Aktris itu, kan?"
"Ya. Perempuan itu mengkhianatinya dan membuat affair dengan Larry Douglas. Noelle dan Douglas diadili karena membunuh istri Douglas, sebab ia menolak untuk bercerai dengan Douglas. Constantin Demiris lalu menyewa seorang pengacara bernama Napoleon Chotas untuk membela Noelle."
"Saya ingat pernah membaca sedikit tentang peradilan itu."
"Ada hal-hal yang tidak diberitakan oleh surat kabar. Ternyata, ipar saya yang baik itu tidak ingin menyelamatkan hidup kekasihnya yang tidak setia itu. Ia ingin membalas dendam. Ia menyewa Napoleon Chotas untuk meyakinkan bahwa Noelle akhirnya dibuktikan bersalah. Ketika peradilan hampir berakhir, Napoleon Chotas mengatakan kepada para terdakwa bahwa ia telah membuat kesepakatan dengan para hakim jika mereka mau mengaku bersalah. Itu
287 dusta. Mereka mengaku bersalah. Dan mereka malahan dihukum mati."
"Barangkali si Chotas itu benar-benar mengira
bahwa?" "Biarkan saya selesaikan dulu. Jenazah Catherine Douglas tidak pernah ditemukan. Mengapa tidak pernah ditemukan, Mr Rizzoli, adalah karena ternyata ia masih hidup. Constantin Demiris menyembunyikan wanita itu."
Tony Rizzoli mengamati dia. "Sebentar. Demiris tahu bahwa ia masih hidup, dan ia membiarkan pacar gelapnya bersama kekasihnya itu dihukum mati karena membunuh wanita itu?"
"Persis. Saya tidak tahu pasti bagaimana hu-kum diterapkan, tapi saya yakin bahwa kalau rahasia ini terbongkar, ipar saya akan mendekam lama di penjara. Paling sedikit, itu pasti akan membuatnya berantakan."
Tony Rizzoli duduk di situ, merenungkan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak paham. "Mr Lambrou, mengapa Anda menceritakan ini kepada saya?"
Bibir-bibir Spyros Lambrou bergerak membentuk senyum simpul. "Karena saya berutang budi kepada ipar saya itu. Saya ingin Anda pergi menjumpainya. Saya punya firasat bahwa ia akan sangat senang memberikan kapal-kapal-nya untuk Anda pakai."
288 Bab 14 Ada kemurkaan yang berkobar-kobar di dalam dirinya yang tak kuasa dikendalikannya, titik pusat yang dingin jauh di dalam kalbunya, tanpa kenangan-kenangan hangat untuk mencair-kannya. Semua ini bermula setahun yang lalu, saat ia membalas dendam kepada Noelle. Tadinya ia mengira bahwa itu semua sudah berakhir, bahwa masa lalu telah terkubur. Ia tidak menyangka akan ada gema-gema dari masa lalu itu sampai, tanpa diduga, Catherine Alexander masuk kembali ke dalam kehidupannya. Itu yang membuatnya merasa perlu menyingkirkan Frederick Stavros dan Napoleon Chotas. Mereka telah memainkan permainan maut terhadap dirinya, dan akhirnya ia yang menang. Tapi, yang mengherankan Constantin Demiris ialah bahwa ia menikmati tindakan menempuh bahaya itu, tebing curam yang membangkitkan gairah itu. Bisnis memang mempesonakan, tapi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permainan mati-hidup itu. Aku seorang pembunuh, pikir Demiris. Bukan"bukan pembunuh. Seorang algojo.
289 Ia tidak merasa ngeri dengan kenyataan tersebut, ia malahan merasa itu sesuatu yang sangat menyenangkan.
Constantin Demiris menerima laporan ming-guan tentang kegiatan Catherine Alexander. Sampai sejauh ini, semuanya berjalan dengan sangat lancar. Kegiatan sosialnya terbatas pada orang-orang yang sepekerjaan dengannya. Menurut Evelyn, Catherine terkadang keluar dengan Kirk Reynolds. Tapi karena Reynolds bekerja pada Demiris, itu tidak menimbulkan masalah. Gadis yang malang itu pasti sudah ngebet, pikir Demiris. Reynolds orangnya membosankan. Ia tak bisa berbicara lain kecuali tentang hukum. Tapi justru itulah yang sebaiknya. Semakin Catherine merasa perlu teman, semakin mudah jadinya bagi Demiris. Aku benar-benar harus berterima kasih banyak-banyak kepada Reynolds.
Catherine makin sering bertemu dengan Reynolds, dan ia mendapati dirinya makin dekat dengan pria itu. Ia memang tidak tampan, tapi jelas ia menarik. Aku sudah kapok terlibat dengan lelaki tampan seperti Larry, pikir Catherine dengan masam. Pepatah kuno itu benar: Orang tampan belum tentu berperangai sejalan dengan ketam-panannya. Kirk Reynolds penuh perhatian dan bisa dipercaya. la orang yang bisa kuandalkan, pikir Catherine. Memang aku tidak merasakan nya-la yang membara di hatiku, tapi barangkali memang
290 tak akan pernah lagi. Larry telah mengambil itu dariku. Aku sudah cukup dewasa sekarang untuk mapan dan memberikan cintaku kepada pria yang kusegani, yang menghargai aku sebagai teman hidupnya, seseorang dengan siapa aku akan bisa menjalani hidup bersama yang nyaman dan sehat tanpa perlu kuatir dilempar dari puncak bukit, atau di-kubur dalam gua.
Mereka pergi ke bioskop untuk menonton The Lady"s Not For Burning oleh Christopher Fry, dan, di malam lain, September Tide, dengan Gertrude Lawrence. Mereka pergi ke nightclub-nightclub. Semua orkestra seakan-akan memainkan The Third Man dan "La Vie En Rose."
"Aku akan pergi ke St Moritz minggu depan," kata Kirk Reynolds kepada Catherine. "Sudahkah kau memikirkannya?"
Catherine sudah banyak sekali memikirkan itu. Ia merasa pasti bahwa Kirk Reynolds jatuh cinta kepadanya. Dan aku m"enyayanginya, pikir Catherine. Tapi menyayangi dan mencintai itu dua hal yang berbeda, bukan" Atau apakah aku sedang berlaku sebagai seorang romantis yang tolol" Sedang mencari apa aku ini"Larry yang lain?"orang yang akan membuatku tergila-gila, jatuh cinta kepada wanita lain, dan mencoba membunuhku" Kirk Reynolds akan menjadi suami yang hebat. Mengapa aku harus ragu-ragu"
Malam itu Catherine dan Kirk makan malam
291 di Mirabelle, dan ketika mereka sedang menikmati dessert, Kirk berkata, "Catherine, seandainya kau tidak tahu, aku jatuh cinta kepadamu. Aku ingin menikah denganmu."
Tiba-tiba ia merasa panik. "Kirk?" Dan ia tidak tahu harus mengatakan apa. Kata-kata yang akan kuucapkan ini, pikir Catherine, akan mengubah hidupku. Akan cukup mudah untuk mengatakan ya. Apa yang menahanku" Apakah ketakutan akan masa lalu" Apa aku akan takut terus sepanjang hidupku" Tak boleh kubiarkan itu terjadi. "Cathy?"
"Kirk"Mengapa kita tidak pergi saja ke St Moritz bersama-sama?"
Wajah Kirk berbinar. "Apa itu berarti?"" "Kita lihat nanti. Sekali kaulihat aku main ski, barangkali kau tak akan jadi memintaku menikah denganmu."
Kirk tertawa. "Tak ada di dunia ini yang bisa mencegah keinginanku untuk menikah denganmu. Kau telah membuatku merasa amat berbahagia. Kita berangkat tanggal lima Nopem-ber"Hari Guy Fawkes."
"Apa itu Hari Guy Fawkes?" "Ceritanya seru. King James dulu punya kebijaksanaan anti-Katolik yang keras, sehingga sekelompok pemuka Katolik Romawi bersekong-kol untuk menjatuhkan pemerintahan. Seorang serdadu bernama Guy Fawkes didatangkan dari Spanyol untuk memimpin pemberontakan itu. Ia mengatur supaya satu ton bubuk mesiu, yang
292 dimuat dalam tiga puluh enam drum, disembunyikan di basement House of Lords.-Tapi di pagi saat mana mereka akan meledakkan House of Lords itu, salah satu pemberontak melaporkan mereka dan mereka semua ditangkap. Guy Fawkes disiksa, tapi ia tidak mau bicara. Semuanya lalu dihukum mati. Sekarang, setiap tahun di Inggris, hari persekongkolan itu diketahui dirayakan dengan api unggun dan mer-con, dan anak-anak kecil membuat patung-pa-tung "Guys"."
Catherine menggelengkan kepala. "Itu hari li-bur yang sungguh menyedihkan."
Kirk tersenyum kepadanya, dan berkata pe-lan, "Aku berjanji liburan kita tak akan menyedihkan."
Malam sebelum mereka berangkat, Catherine mencuci rambutnya, mengepak barang-barang-nya dan membongkarnya kembali sampai dua kali, dan hatinya penuh dengan luapan kegembiraan. Ia hanya mengenal dua laki-laki dalam kehidupan seksualnya, William Fraser dan suaminya. Masihkah orang sering menggunakan kata-kata seperti "carnal?" Catherine bertanya-tanya dalam hati. My God, kuharap aku masih ingat bagaimana melakukan itu. Kata orang itu seperti mengendarai sepeda; sekali kau bisa, kau tak akan pernah lupa. Barangkali dia akan kecewa denganku nanti di tempat tidur. Barangkali aku akan kecewa dengan diriku sendiri nanti di tempat tidur. Barang-293
kali lebih baik aku singkirkan saja kekuatiran ini dan pergi tidur.
"Mr Demiris?" "Ya."
"Catherine Alexander pagi ini berangkat ke St
Moritz." Diam sebentar. "St Moritz?"
"Ya, sir." "Ia pergi sendirian?"
"Tidak, sir. Ia pergi dengan Kirk Reynolds." Kali ini ia diam lebih lama. "Terima kasih,
Evelyn." Kirk Reynolds! Rasanya tidak mungkin. Apa-nya yang menarik perhatian Catherine" Terlalu lama aku menunggu. Seharusnya aku bergerak lebih cepat. Harus kulakukan sesuatu tentang hal ini. Tak bisa kubiarkan dja"Suara sekretarisnya terdengar melalui interkom.
"Mr Demiris, ada orang bernama Anthony Rizzoli di sini ingin berjumpa dengan Anda. Ia tidak punya appointment dan?"
"Jadi kenapa kauganggu aku?" tanya Demiris. Ia mematikan interkom.
Interkom itu berbunyi lagi. "Maaf saya mengganggu Anda. Mr Rizzoli mengatakan bahwa ia membawa pesan untuk Anda dari Mr Lambrou. Katanya amat penting."
Pesan" Aneh. Mengapa iparnya tidak menyampaikan pesan itu sendiri" "Antar dia masuk."
294 "Ya, sir." Tony Rizzoli diantar masuk ke dalam kantor Constantin Demiris. Ia melihat sekeliling ruang kantor itu dengan penuh kekaguman. Kantor itu lebih mewah daripada kantor Spyros Lambrou. "Terima kasih Anda mau menemui saya, Mr Demiris."
"Anda punya dua menit."
"Spyros yang menyuruh saya ke sini. Ia berpendapat bahwa Anda dan saya sebaiknya berbicara."
"Oh, ya" Dan apa yang perlu kita bicarakan?" "Anda keberatan jika saya duduk?" "Saya kira Anda tak akan terlalu lama di sini."
Tony Rizzoli tetap saja duduk di kursi yang berhadapan dengan Demiris. "Saya punya pa-brik besar, Mr Demiris. Saya sering mengirim barang ke berbagai tempat di dunia."
"Begitu. Dan Anda ingin mencarter salah satu kapal saya."
"Tepat sekali."
"Mengapa Spyros mengirim Anda kepada saya" Mengapa Anda tidak mencarter kapalnya saja" Saat ini kebetulan dua kapalnya ngang-gur."
Tony Rizzoli mengangkat bahu. "Saya kira ia tidak suka dengan barang yang akan saya kirimkan."
"Saya tidak paham. Barang apa yang akan Anda kirim?"
295 "Obat bius," kata Tony Rizzoli dengan lembut. "Heroin."
Constantin Demiris menatap dia seakan tidak percaya. "Dan Anda minta saya untuk?" Keluar dari sini, sebelum saya panggil polisi."
Rizzoli menganggukkan kepalanya ke arah telepon. "Silakan lakukan itu."
Ia menyaksikan Demiris meraih telepon itu. "Saya juga ingin berbicara dengan mereka. Saya ingin menceritakan semuanya tentang peradilan Noelle Page dan Larry Douglas."
Constantin Demiris tertegun. "Anda ini bicara
apa?" "Saya bicara tentang dua orang yang dihukum mati karena membunuh seorang wanita yang kini masih hidup."
Wajah Constantin Demiris jadi pucat.
"Menurut Anda polisi mungkin akan tertarik dengan cerita itu, Mr Demiris" Jika mereka tidak tertarik, barangkali pers akan tertarik, eh" Saya sudah bisa membayangkan headline-headline itu sekarang"bisa Anda bayangkan juga" Bolehkah kupanggil kau Costa" Spyros bilang se-mua temanmu memanggilmu Costa, dan kukira kau dan aku akan menjadi teman baik. Kau tahu mengapa" Karena teman baik tidak akan saling mencelakai. Permainan kecilmu yang berbahaya itu akan kita simpan sebagai rahasia kita
berdua, ya?" Constantin Demiris duduk terpaku di kur"
296 sinya. Ketika ia berbicara, suaranya serak. "Apa maumu?"
"Tadi aku sudah bilang. Aku ingin mencarter salah satu kapalmu"dan, karena kau dan aku teman baik, kukira kau tak ingin menarik biaya dariku, kan" Katakan saja ini bantuan sebagai penukar suatu bantuan juga."
Demiris menghela napas panjang. "Aku tak bisa mengizinkanmu berbuat begitu. Kalau sam-pai ketahuan bahwa aku membolehkan obat bius diselundupkan dalam salah satu kapalku, aku bisa kehilangan seluruh armadaku."
"Tapi tak akan sampai ketahuan, kan" Dalam bisnisku ini, aku tidak pernah gembar-gembor. Kita akan melakukan ini dengan sangat diam-diam."
Ekspresi wajah Constantin Demiris mengeras. "Kau telah membuat kekeliruan besar. Kau tidak bisa memeras aku. Kau tahu aku ini siapa?"
"Yeah. Kau adalah partner baruku. Kau dan aku akan melakukan bisnis bersama unruk wak-tu yang lama, Costa baby, karena, kalau kau menolak, aku akan langsung ke polisi dan pers dan membocorkan seluruh cerita itu. Dan han-curlah reputasimu bersama kerajaan bisnismu ini, habis, tamat."
Demiris diam, lama dan menyakitkan.
"Bagaimana"bagaimana ipar saya bisa tahu itu?"
Rizzoli menyeringai. "Itu tidak penting. Yang penting kau sudah ada dalam genggamanku.
297 Kalau kucengkeram, tamat riwayatmu. Kau akan bernyanyi sopran selama sisa hidupmu, dan kau akan bernyanyi di dalam sel penjara." Tony Rizzoli melihat arlojinya. "Wah, wah, dua menitku sudah habis." Ia bangkit berdiri. "Sekarang kuberi kau waktu enam puluh detik untuk memutuskan apakah aku keluar dari sini sebagai partner-mu"atau keluar begitu saja."
Dalam sekejap, Constantin Demiris nampak sepuluh tahun lebih tua. Wajahnya pucat pasi. Tak bisa dibayangkannya apa yang akan terjadi jika kisah yang sebenarnya mengenai peradilan itu terbongkar. Pers akan memakannya hidup-hidup. Ia akan digambarkan sebagai monster, pembunuh. Mungkin bahkan akan dibuka pe-nyelidikan tentang kematian Stavros dan Chotas.
"Enam puluh detikmu sudah lewat."
Constantin Demiris mengangguk pelan. "Baiklah," ia berbisik, "baiklah."
Tony Rizzoli memandangnya dengan wajah berbinar. "Kau pintar."
Constantin Demiris dengan perlahan berdiri dari kursinya. "Sekali ini kuperbolehkan kau melakukannya," katanya. "Aku tidak mau tahu bagaimana kau melakukannya, atau kapan. Akan kutaruh seorang anak buahmu di atas salah satu kapalku. Sebegitu saja yang bisa kubantu."
"Mufakat," kata Tony Rizzoli. Pikirnya, Rupanya kau tidak terlalu pintar. Sekali saja kau me"
298 nyelundupkan heroin, kau terperosok, Costa" baby. Aku tak akan pernah melepaskanmu lagi. Dengan keras ia mengulangi, "Mufakat."
Dalam perjalanan pulang ke hotelnya, Tony Rizzoli penuh dengan luapan kegembiraan. Sukses besar. Agen-agen anti-narkotika itu tak pernah bermimpi akan berani menyentuh armada Constantin Demiris. Wah, mulai saat ini aku bisa memuati setiap kapalnya yang keluar dari sini. Uang akan mengalir deras. Horse dan antique"sorry, Victor, ia tertawa keras"antiquity.
Rizzoli menghampiri sebuah booth telepon umum di Stadiou Avenue dan melakukan dua hubungan telepon. Yang pertama adalah kepada Pete Lucca di Palermo.
"Kau boleh memanggil pulang dua gorilamu itu, Pete, dan kembalikan ke dalam kebun binatang tempat asalnya. Barangnya sudah siap berangkat. Dikirim dengan kapal laut."
"Kau yakin paket itu cukup aman?"
Rizzoli tertawa. "Lebih aman daripada Bank of England. Aku akan cerita nanti kalau kita bertemu. Dan aku punya kabar baik lainnya. Mulai saat ini kita akan bisa melakukan kiriman setiap minggu."
"Bagus sekali, Tony. Aku selalu tahu kau bisa diandalkan." Omong kosong, kau bajingan.
Hubungan telepon yang kedua adalah kepada
299 Spyros Lambrou. "Semua berjalan lancar. Ipar Anda dan saya akan melakukan bisnis bersama."
"Selamat. Saya sangat gembira mendengarnya, Mr Rizzoli."
Ketika Spyros Lambrou meletakkan gagang telepon, ia tersenyum. Pasukan anti-narkotika juga akan gembira.
Constantin Demiris masih berada di kantornya lewat tengah malam, duduk di depan meja tulisnya, merenungkan masalahnya yang baru ini. Ia telah membalas dendam terhadap Noelle Page, dan sekarang perempuan itu bangkit dari kuburnya untuk menghantuinya. Ia mengeluarkan dari salah satu laci meja tulisnya sebuah foto Noelle yang berpigura. Hello, sundal. God, ia begitu cantik! Jadi kaukira kau akan bisa menghancurkan aku. Well, akan kita lihat nanti. Akan kita lihat nanti.
300 Bab 15 St moritz adalah sebuah pesona. Ada bermil-mil jalur ski yang menuruni perbukitan, jalan-jalan setapak bagi para pendaki, kereta eret dan kere-ta salju, turnamen-turnamen polo dan banyak lagi kegiatan lainnya. Melingkari sebuah danau yang berbinar-binar di Lembah Engadine de-ngan tinggi 6000 kaki di lereng selatan Pegunungan Alpen, di antara Celerina dan Piz Nair, dusun kecil itu membuat napas Catherine tersentak karena luapan kegembiraan.
Catherine dan Kirk Reynolds check-in di Palace Hotel yang termasyhur itu. Lobinya penuh dengan turis dari berbagai penjuru dunia.
Kirk Reynolds berkata kepada petugas di ba-gian reception, "Reservation untuk Mr dan Mrs Reynolds," dan Catherine memalingkan mukanya. Mestinya aku memakai cincin kawin. Ia yakin semua orang di lobi mengamati dia, tahu apa yang sedang dilakukannya.
"Ya, Mr Reynolds. Suite dua lima belas." Si petugas memberikan kunci kepada bellboy, dan bellboy itu berkata, "Harap lewat sini."
301 Mereka diantarkan ke sebuah suite yang can-tik, perabotannya sederhana, dengan pemandangan yang luar biasa indah menatap pegunungan, dari setiap jendelanya.
Setelah bellboy itu pergi, Kirk Reynolds memeluk Catherine. "Tak bisa kukatakan betapa kau membuatku sangat bahagia, darling."
"Mudah-mudahan aku bisa," Catherine menjawab. "Aku" sudah lama sekali, Kirk."
"Jangan kuatir. Aku tak akan mendesakmu."
Ia begitu manis, pikir Catherine, tapi bagaimana
perasaannya terhadapku jika kuceritakan kepadanya
tentang masa laluku" Ia belum pernah menyebut
tentang Larry kepada Kirk, atau tentang peradilan kasus pembunuhan itu, atau yang mana
pun dari hal-hal buruk yang pernah terjadi atas
dirinya dulu. Ia ingin merasa dekat dengan
Kirk, mempercayainya, tapi ada sesuatu yang
menahannya. "Sebaiknya aku membongkar barang dulu,"
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Catherine. Ia membongkar dengan pelan"terlalu pelan
"dan tiba-tiba ia sadar bahwa ia sedang mengulur-ulur waktu, takut menyelesaikan apa yang sedang dikerjakannya karena ia kuatir akan apa yang akan terjadi setelah itu.
Dari kamar yang lain ia mendengar Kirk me"
manggilnya, "Catherine?"
Oh, my God, ia akan mengatakan mari kita menanggalkan pakaian dan pergi ke tempat tidur. Ca"
302 therine menelan ludah dan berkata dengan suara lirih, "Ya?"
"Bagaimana kalau kita pergi ke luar melihat-lihat?"
Catherine langsung lemas karena lega. "Itu gagasan bagus," katanya bersemangat. Kenapa aku ini" Aku berada di salah satu tempat yang paling romantis di dunia, bersama seorang pria menarik yang mencintaiku, tapi aku malahan panik.
Reynolds memandangnya dengan sedikit aneh. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa," kata Catherine ceria. "Aku tidak apa-apa."
"Kau tampak cemas."
"Tidak. Aku" aku sedang berpikir tentang" tentang main ski. Kata orang itu cukup berbahaya."
Reynolds tersenyum. "Jangan kuatir. Kau akan kubantu untuk mulai di lereng yang landai besok. Ayo kita pergi."
Mereka mengenakan sweater dan jaket berlapis dan melangkah ke luar menuju udara yang bersih dan jernih itu.
Catherine bernapas dalam-dalam. "Oh, indah sekali, Kirk. Aku sungguh senang di sini."
"Kau masih belum melihat apa-apa," ia menyeringai. "Dua kali lebih bagus pada musim panas."
Apa ia masih mau berkencan denganku musim panas nanti" Catherine bertanya-tanya dalam ha-ti. Atau aku akan membuatnya sangat kecewa nanti"
303 Mengapa tidak kuhilangkan saja rasa kuatir yang berlebihan ini"
Dusun bernama St Moritz itu merupakan sebuah pesona abad pertengahan yang sungguh memikat, yang dipenuhi oleh toko-toko dan restoran-restoran kuno dan chalet-chalet"rumah beratap condong"yang berserakan di antara Pegunungan Alpen yang megah itu.
Mereka berjalan-jalan seputar toko-toko itu, dan Catherine membeli cendera mata buat Evelyn dan Wim. Mereka berhenti di sebuah cafe dan memesan fondue"masakan dengan tungku di atas meja untuk menggoreng daging.
Sore harinya, Kirk Reynolds menyewa sebuah kereta salju yang ditarik kuda coklat, dan mereka mengendarainya lewat jalan-jalan kecil ber-selimut salju menuju ke perbukitan, bunyi salju gemeretak di bawah roda-roda besi.
"Senang?" tanya Reynolds.
"Oh, ya," Catherine memandang dia dan berpikir, Aku akan membuatmu sangat bahagia. Malam ini. Ya, malam ini. Aku akan membahagiakanmu malam ini.
Malam itu mereka bersantap di hotel, di restoran dengan suasana seperti penginapan pedesaan kuno yang diberi nama Stiibli.
"Ruang ini sudah ada sejak tahun em pat belas delapan puluh," kata Kirk.
"Kalau begitu kita jangan memesan roti."
304 "Apa?" "Cuma bercanda. Sorry."
Larry dulu selalu memahami senda gurauku; mengapa aku memikirkan dia" Karena aku tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam. Aku merasa seperti Marie Antoinette yang sedang menunggu hukuman mati. Aku tidak mau pesan cake untuk dessert.
Hidangannya istimewa, tapi Catherine terlalu tegang untuk bisa menikmatinya. Setelah mereka selesai, Reynolds berkata, "Kita ke atas" Aku sudah mengatur pelajaran ski untukmu besok pagi-pagi."
"O, ya. Baik. Bagus."
Mereka mulai menuju ke atas, dan Catherine merasa jantungnya berdebar-debar. Sebenarnya Kirk akan mengatakan, "Mari kita langsung ke tempat tidur." Dan kenapa tidak" Untuk itulah aku datang ke tempat ini, kan" Aku tidak bisa berpura-pura aku datang untuk main ski.
Mereka tiba di suite mereka, dan Reynolds membuka pintu dan menyalakan lampu. Mereka menuju ke tempat tidur dan Catherine menatap tempat tidur yang besar itu. Benda itu seakan memenuhi seluruh kamar.
Kirk sedang mengamati dia. "Catherine" kau kuatir tentang sesuatu?"
"Apa?" Tertawanya terdengar tidak lepas. Tentu saja tidak. Aku" aku cuma?"
"Cuma apa?" 305 Ia tersenyum cerah kepada Kirk. "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa."
"Bagus. Mari tanggalkan pakaian dan naik ke
tempat tidur." Tepat. seperti yang sudah kuperkirakan tadi, ia akan mengatakan itu. Tapi apa memang itu perlu dikatakannya" Kita seharusnya langsung saja dan melakukannya. Menuangkannya dalam kata-kata kedengaran begitu" begitu" bodoh.
"Apa yang kaukatakan?"
Catherine tidak sadar ia berbicara dengan ke-ras. "Tidak apa-apa."
Catherine sudah sampai di tempat tidur. Yang terbesar yang pernah dilihatnya. Itu tempat tidur yang memang dibuat untuk sepasang kekasih, hanya untuk mereka yang memadu cinta. Bukan tempat tidur untuk tidur. Itu tempat tidur untuk"
"Tidakkah kau akan menanggalkan pakaian,
darling?" Ya atau tidak" Sudah berapa lama sejak aku terakhir tidur dengan seorang pria" Lebih dari satu tahun. Dan ia adalah suamiku.
"Cathy?"" "Ya." Aku akan menanggalkan pakaian, dan aku akan naik ke tempat tidur, dan aku akan membuatmu kecewa. Aku tidak jatuh cinta padamu, Kirk. Aku tidak bisa tidur denganmu.
"Kirk?" Ia menghadapi wanita itu, setengah bertelanjang. "Ya?"
306 "Kirk, aku" Maafkan aku. Kau akan mem-benciku, tapi aku" aku tidak bisa. Aku sangat menyesal. Pasti kaupikir aku ini?"
Ia melihat ekspresi kecewa di wajah Kirk. Kirk memaksakan diri untuk tersenyum. "Cathy, aku sudah bilang aku akan bersabar. Kalau kau belum siap, aku" aku mengerti. Kita masih bisa bersenang-senang di sini."
Ia mencium pipi Kirk dengan penuh rasa terima kasih. "Oh, Kirk. Terima kasih. Aku merasa sangat malu. Aku tidak tahu kenapa aku ini."
"Tak ada apa-apa dengan dirimu," Kirk meyakinkan dia. "Aku mengerti."
Catherine memeluknya. "Terima kasih. Kau baik sekali."
"Sementara itu," Kirk menarik napas, "aku akan tidur di sofa di ruang duduk."
"Tidak, jangan," Catherine menyatakan. "Karena aku yang menyebabkan masalah konyol ini, sedikitnya aku harus yakin bahwa kau tidur enak. Aku akan tidur di sofa itu. Kau yang tidur di tempat tidur."
"Tidak." Catherine berbaring di tempat tidur, sama sekali tidak mengantuk, berpikir tentang Kirk Reynolds. Apa aku akan pernah bisa bercinta dengan pria lain" Atau Larry telah merampas itu dariku" Barangkali, secara tidak langsung, Larry telah ber-307
hasil juga membunuhku. Akhirnya, Catherine tertidur.
Kirk Reynolds terjaga di tengah malam oleh suara jeritan. Ia duduk tegak di sofa dan, ketika jeritan-jeritan itu terus berlanjut, ia bergegas menuju ke kamar tidur.
Catherine memukul-mukul ke udara di tempat tidurnya, matanya tertutup rapat. "Tidak," ia berteriak. "Jangan! Jangan! Tinggalkan aku sendiri!"
Reynolds berlutut dan merangkulkan tangannya ke tubuh Catherine dan memeluknya rapat-rapat. "Shhh," katanya. "Tidak apa-apa. Tidak
ada apa-apa." Tubuh Catherine berguncang keras dan ia ter-isak-isak. Kirk memegangnya erat-erat sampai tangisnya mereda.
"Mereka"mencoba menenggelamkan aku."
"Itu hanya mimpi," kata Kirk menghibur. "Kau baru saja mimpi buruk."
Catherine membuka matanya dan duduk tegak. Tubuhnya gemetar. "Bukan, bukan mimpi. Itu benar terjadi. Mereka memang mencoba membunuhku."
Kirk memandangnya dengan tanda tanya. "Si-apa yang mencoba membunuhmu?"
"Suami" suamiku dan kekasihnya."
Ia menggelengkan kepala. "Catherine, kau baru saja mimpi buruk, dan?"
"Aku berkata sebenarnya. Mereka mencoba
308 membunuhku, dan mereka telah dihukum mati karenanya."
Wajah Kirk dipenuhi rasa tidak percaya. "Catherine?"
"Aku tidak menceritakannya kepadamu sebelum ini, karena" karena sangat menyakitkan bagiku membicarakan hal itu."
Tiba-tiba Kirk sadar bahwa Catherine bersungguh-sungguh. "Apa yang telah terjadi?"
"Aku menolak untuk bercerai dengan Larry, dan dia" ia jatuh cinta kepada wanita lain, dan mereka memutuskan untuk membunuhku."
Kini Kirk mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kapan itu terjadi?"
"Setahun yang lalu."
"Apa yang terjadi atas diri mereka?"
"Mereka"mereka dihukum mati oleh Pengadilan Negeri."
Ia mengangkat tangannya. "Sebentar. Mereka dihukum mati karena percobaan pembunuhan terhadap dirimu?"
"Ya." Reynolds berkata, "Aku bukan ahli hukum Yunani, tapi aku berani bertaruh bahwa tak mungkin ada hukuman mati untuk percobaan pembunuhan. Pasti ada yang keliru. Aku kenal seorang pengacara di Athena. Bahkan ia bekerja di Pengadilan Negeri. Akan kutelepon dia besok pagi, dan menjernihkan masalah ini. Namanya Peter Demonides."
Catherine masih tidur ketika Kirk Reynolds ba"
309 ngun. Ia berpakaian dengan diam-diam dan ma-suk ke kamar tidur. Ia berdiri di situ sebentar, memandang Catherine. Aku begitu mencintainya. Harus kutemukan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan menghapuskan awan-awan gelap itu untuknya.
Kirk Reynolds turun menuju ke lobi hotel dan meminta sambungan telepon ke Athena. "To-long minta person to person, operator. Saya ingin berbicara dengan Peter Demonides."
Hubungan itu tersambung setelah setengah
jam. "Mr Demonides" Kirk Reynolds di sini. Saya tidak tahu apa Anda masih ingat saya, tapi?"
"Tentu saja saya masih ingat. Anda bekerja pada Constantin Demiris."
"Ya." "Apa yang bisa saya bantu, Mr Reynolds?"
"Maaf saya mengganggu. Saya sedikit bingung dengan info yang baru saja saya dapati. Ini menyangkut satu aspek dalam hukum Yu-nani."
"Saya tahu sedikit tentang hukum Yunani," kata Demonides dengan riang. "Saya akan se-nang jika bisa membantu."
"Apakah ada dalam kaidah hukum Anda yang memperbolehkan seseorang dihukum mati hanya karena suatu percobaan pembunuhan?"
Di ujung sana pembicaranya lama terdiam. "Bolehkah saya bertanya mengapa Anda tanyakan ini?"
310 "Saya sedang bersama seorang wanita bernama Catherine Alexander. Rupanya ia berpikir bahwa suaminya dan kekasih gelapnya dihukum mati oleh Pengadilan Negeri karena mencoba membunuhnya. Kedengarannya tidak logis. Anda paham maksud saya?"
"Ya." Suara Demonides kedengaran seakan ia sedang tepekur.
"Saya mengerti maksud Anda. Anda berada di mana, Mr Reynolds?"
"Saya tinggal di Palace Hotel di St Moritz."
"Saya akan mengeceknya, dan saya akan telepon Anda kembali."
"Saya akan sangat menghargai itu. Terus te-rang, saya kira Miss Alexander hanyalah ber-khayal saja, dan saya ingin meluruskan ini su-paya ia lega."
"Saya mengerti. Anda akan mendengar kabar dari saya lagi. Saya janji."
Udara cerah dan bersih, dan keindahan yang ada disekitamya membuat Catherine lupa akan teror yang dialaminya malam sebelumnya.
Berdua mereka makan pagi di dusun, dan setelah mereka selesai, Reynolds berkata, "Mari kita pergi ke lereng jalur ski dan mengubahmu menjadi seekor kelinci salju."
Ia lalu membawa Catherine ke lereng untuk pemula dan menyewa seorang instruktur buat dia.
Catherine memakai skinya, dan berdiri. Ia
311 memandang ke bawah ke kakinya. "Ini sungguh menggelikan. Seandainya dulu Tuhan bermaksud menciptakan kita seperti ini, nenek moyang kita pastilah pohon-pohon." "Apa?"
"Tidak apa-apa. Kirk."
Sang instruktur tersenyum. "Jangan kuatir. Dengan sangat cepat Anda akan meluncur dengan ski seperti seorang pro. Miss Alexander. Kita akan mulai di Corviglia Sass Ronsol. Itu lereng bagi para pemula."
"Kau akan heran nanti betapa cepatnya kau menguasainya," Reynolds meyakinkan Catherine.
Kirk memandang sebuah jalur ski di kejauhan, dan menoleh kepada instrukturnya. "Saya kira saya akan mencoba Fuorcla Grischa hari ini."
"Kedengarannya enak. Aku akan lebih suka jika dipanggang," kata Catherine.
Tak ada senyum. "Itu kan jalur ski, darling."
"Oh." Catherine malu untuk mengatakan kepadanya bahwa ia hanya bercanda. Aku tidak boleh begitu dengan dia, pikir Catherine.
Instruktur berkata, "Grischa jalurnya cukup curam. Anda bisa mulai di Corviglia Standard Marguns untuk pemanasan, Mr Reynolds."
"Gagasan bagus. Itu yang akan kulakukan. Catherine, kita bertemu di hotel nanti saat ma-kan siang."
"Baik." 312 Reynolds melambai dan berjalan pergi. "Semoga senang," seru Catherine. "Jangan lu-pa menulis surat, ya?"
"Well," kata instruktur itu. "Mari kita coba."
Di luar dugaan Catherine, ternyata pelajarannya sangat menyenangkan. Ia nervous pada mulanya. Ia merasa canggung dan menanjak lereng kecil itu dengan kurang luwes.
"Badan maju ke depan sedikit. Ski-skinya te-tap terarah ke depan."
"Katakan pada mereka. Mereka punya pikiran sendiri," Catherine menyatakan.
"Anda cukup baik. Kini kita akan menuruni lereng. Bengkokkan lutut. Jaga keseimbangan. Dorong!"
Ia terjatuh. "Sekali lagi. Anda cukup baik."
Ia terjatuh lagi. Dan lagi. Dan tiba-tiba, ia menemukan rasa keseimbangannya. Dan ia merasa seakan ia punya sayap. Ia meluncur mulus menuruni lereng itu, dan sungguh sangat menyenangkan. Hampir-hampir seperti terbang. Ia senang mendengar gemeretak salju di bawah ski-skirtya dan angin yang menerpa wajahnya.
"Saya senang sekali!" kata Catherine. "Tidak heran banyak orang jadi kecanduan main ski. Berapa lama lagi kita bisa mulai mencoba lereng besar?"
Instruktur itu tertawa. "Kita tetap mencoba ini dulu untuk hari ini. Besok pagi, Olympiade."
313 Secara keseluruhan, itu adalah pagi yang amat menyenangkan.
Ia sedang menunggu Kirk Reynolds di Grill Room ketika Kirk kembali dari main ski. Pipi lelaki itu nampak merah segar dan ia kelihatan bersemangat. Ia menghampiri meja Catherine dan duduk.
"Well," tanyanya. "Bagaimana tadi?" "Hebat. Tulangku tak ada yang patah. Aku hanya jatuh enam kali. Dan kau mau tahu?" katanya dengan bangga. "Ketika pelajaran ham-pir selesai aku cukup baik. Kurasa ia akan mendaftarkan aku ke Olympiade."
Reynolds tersenyum. "Bagiis." Ia sudah akan menyebutkan teleponnya ke Peter Demonides, namun kemudian memutuskan untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin melihat Catherine terguncang lagi.
Setelah makan siang mereka berjalan-jalan lama di salju, mampir ke beberapa toko untuk melihat-lihat. Catherine mulai merasa lelah.
"Kukira aku ingin kembali dulu ke kamar," katanya. "Kukira sebaiknya aku tidur sebentar."
"Gagasan bagus. Udara memang tipis di sini, dan jika kau belum terbiasa memang kau akan mudah merasa lelah."
"Apa yang akan kaulakukan. Kirk?"
Ia melihat ke atas ke sebuah lereng yang jauh. "Kurasa aku akan meluncur dengan ski di
314 Grischa. Belum pernah kulakukan sebelumnya. Rasanya seperti tantangan."
"Maksudmu"karena itu ada di sana."
"Apa?" "Tidak apa-apa. Kelihatannya sangat berbahaya."
Reynolds mengangguk. "Itulah makanya kukatakan tantangan."
Catherine memegang tangannya. "Kirk, mengenai semalam. Maafkan aku. Aku" aku akan mencoba bersikap lebih baik."
"Jangan pikirkan itu. Kembalilah ke hotel dan tidurlah sejenak."
"Baiklah." Catherine mengamati dia berjalan pergi dan berpikir, Ia pria yang sungguh baik. Aku heran apa yang dilihatnya dalam diri orang yang konyol seperti aku ini"
Catherine tidur sepanjang sore itu, dan kali ini ia tidak bermimpi. Ketika ia terbangun hari sudah hampir pukul enam. Kirk akan kembali sebentar lagi.
Catherine mandi dan berpakaian, berpikir tentang petang yang akan segera tiba. Bukan, bukan petang ini, ia berkata pada diri sendiri, malamnya. Aku akan memperbaiki kesalahanku terhadapnya.
Ia menghampiri jendela dan memandang ke luar. Hari sudah mulai gelap. Kirk pasti sangat senang, pikir Catherine. Ia melihat ke atas ke
315 lereng yang sangat besar di kejauhan. Itukah yang namanya Grischa" Aku tak tahu apa aku akan pernah bisa meluncur dengan ski menuruni lereng itu.
Jam tujuh Kirk Reynolds masih saja belum kembali. Senja telah berubah menjadi kegelapan yang pekat. Tak mungkin ia main ski di dalam gelap, pikir Catherine. Pasti ia ada di bar di bawah sedang minum.
Ia sudah akan melangkah ke pintu ketika telepon berdering.
Catherine tersenyum. Aku benar. Ia meneleponku untuk mengajakku menemaninya di bawah.
Ia mengangkat gagang telepon dan berkata dengan ceria, "Well, kau ketemu Sherpa atau tidak tadi?"
Sebuah suara yang asing baginya berkata, "Mrs Reynolds?"
Ia baru akan mengatakan bukan, lalu ingat bagaimana Kirk dulu mendaftarkan mereka di situ. "Ya. Ini Mrs Reynolds."
"Maaf, saya membawa kabar buruk untuk Anda. Suami Anda baru saja mengalami kecelakaan waktu main ski."
"Oh, tidak! Apakah" apakah parah?"
"Saya kuatir iya."
"Saya akan datang sekarang juga. Di mana?""
"Maaf saya harus memberitahu Anda, ia" ia telah meninggal, Mrs Reynolds. Ia meluncur dengan ski menuruni Lagalp dan lehernya patah."
316 Bab 16 Tony rizolli mengamati perempuan itu keluar dari kamar mandi, telanjang, dan berpikir, Mengapa wanita-wanita Yunani semua berpantat besar"
Perempuan itu lalu menyusup masuk ke tempat tidur di samping Rizzoli, merangkul dia dan berbisik, "Aku senang sekali kau memilih aku, poulaki. Aku naksir kamu sejak pertama kulihat kamu."
Tony Rizzoli hampir-hampir tidak tahan dan ingin tertawa keras-keras. Perempuan lacur ini terlalu banyak nonton film B.
"Tentu," katanya. "Aku juga merasa begitu, baby."
Ia memungut perempuan itu di The New Yorker, sebuah nightclub murahan di Kallari Street, di mana ia bekerja sebagai penyanyi. Ia adalah perempuan yang biasa disebut secara menghina oleh orang Yunani sebagai gavyeezee skilo, anjing menggonggong. Tak satu pun perempuan yang bekerja di club itu berbakat"yang jelas bukan
317 di bidang tarik suara"tapi jika ada imbalannya, mereka semua bisa dibawa ke rumah. Yang satu ini, Helena, lumayan menarik, bermata hitam, wajah yang sensual, dan tubuh yang padat dan sintal. Umurnya dua puluh empat, agak terlalu hia untuk selera Rizzoli, tapi ia tidak kenal banyak wanita di Athena, jadi ia tidak bisa terlalu memilih.
"Kau senang padaku?" Helena bertanya ter"
sipu-sipu. "Yeah. Saya benar-benar pazzo sama kamu." Ia mulai mengusap-usap perempuan itu, dan kemudian meremasnya. "Uh!"
"Terus k e bawah kepalamu, baby."
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak biasa begitu."
Rizzoli membelalak menatapnya. "Oh, ya?"
Lalu, dengan serta merta, dipegangnya ram-but perempuan itu, dan ditariknya.
Helena menjerit. "Parakalo!"
Rizzoli menampar wajahnya dengan keras. "Kau berani bersuara lagi dan lehermu kupatahkan."
Rizzoli menarik wajah perempuan itu ke bawah. "Nah, di situ, baby. Bikin dia senang."
"Lepaskan aku," ia merintih. "Kau menyakiti aku."
Rizzoli mengencangkan pegangannya di rambutnya. "Hey"kau tergila-gila padaku"ingat?" Ia melepaskan rambut perempuan itu, dan ia
318 menengadah melihat kepada Rizzoli, matanya berapi-api.
"Kau bisa pergi?"
Sinar mata Rizzoli mengurungkan niat perempuan itu. Ada sesuatu yang tak wajar pada diri laki-laki ini. Mengapa tadinya tidak dilihatnya ini"
"Kita tidak perlu bertengkar," kata Helena menenangkan. "Kau dan aku?"
Jemari Rizzoli menggerayangi lehernya. "Aku tidak membayarmu untuk berbincang-bincang." Tinjunya mendarat di pipi perempuan itu. "Tu-tup mulut dan lakukan tugasmu."
"Tentu saja, sweetheart" Helena merintih. "Tentu."
Hasrat Rizzoli seakan tak ada batasnya, dan ketika akhirnya dia sudah puas, Helena benar-benar lelah. Ia berbaring di sisi laki-laki itu sampai ia yakin bahwa partner-nya itu sudah tidur, lalu pelan-pelan ia menyusup ke luar tempat tidur dan berpakaian. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Rizzoli belum membayarnya, dan biasanya Helena akan mengambil sendiri dari dompet, ditambah tip yang cukup buat dirinya. Tapi kali ini nalurinya berkata lebih baik pergi saja tanpa mengambil uang.
Satu jam kemudian, Tony Rizzoli terbangun oleh suara ketukan keras di pintu kamarnya. Ia duduk tegak dan melihat arlojinya. Jam empat
319 pagi. Ia melihat ke sekelilingnya. Gadis itu sudah pergi.
"Siapa itu?" ia berseru.
"Tetangga Anda." Suara itu kedengaran ma-rah. "Ada telepon buat Anda."
Rizzoli mengusap dahinya dengan sebelah tangannya. "Saya akan segera ke sana."
Ia mengenakan jubah kamarnya dan berjalan melintasi kamar itu menuju ke tempat di mana celananya tergantung di sebuah kursi. Ia mengecek dompetnya. Uangnya masih utuh. Jadi, perempuan itu tidak bodoh. Ia mengeluarkan selembar uang kertas seratus dolar, berjalan menuju ke pintu dan membukanya.
Tetangganya itu berdiri di gang mengenakan jubah kamar dan sandal. "Tahukah Anda sekarang jam berapa?" ia bertanya dengan marah. "Anda bilang dulu?"
Rizzoli memberikan uang seratus dolar itu kepadanya. "Saya benar-benar minta maaf," katanya dengan sikap menyesal. "Tidak akan lama."
Laki-laki itu menelan ludah, kemarahannya hilang. "Tidak apa-apa. Pasti sangat penting sampai orang perlu membangunkan orang lain pada jam empat pagi."
Rizzoli berjalan menuju ke kamar di seberang gang dan mengangkat gagang telepon. "Rizzoli."
Sebuah suara terdengar, "Anda punya masalah, Mr Rizzoli."
"Ini siapa?" 320 "Spyros Lambrou minta saya menelepon Anda."
"Oh." Tiba-tiba ia mencium adanya ketidak-beresan. "Ada masalah apa?"
"Ini menyangkut Constantin Demiris." "Kenapa dia?"
"Salah satu tankernya, Thele, ada di Marseilles. Tertambat di dermaga di Bassin de la Grande Joliette."
"Jadi?" "Kami baru saja diberitahu bahwa Mr Demiris telah memerintahkan kapal itu dibawa menyim-pang menuju ke Athena. Kapal itu akan berlabuh di sana Minggu pagi, dan akan berlayar kembali Minggu malam. Constantin Demiris merencanakan untuk ikut dengan kapal itu."
"Apa?" "Ia melarikan diri."
"Tapi dia dan saya ada?"
"Mr Lambrou minta disampaikan kepada Anda bahwa Demiris merencanakan untuk bersembunyi di Amerika sampai ia menemukan jalan untuk menyingkirkan Anda."
Bajingan licikl "Baiklah. Ucapkan terima kasih kepada Mr"Lambrou dari saya. Katakan padanya terima kasih banyak."
"Dia senang melakukannya."
Rizzoli meletakkan telepon itu.
"Semuanya beres, Mr Rizzoli?"
"Ya" Yeah. Semuanya sangat baik." Dan memang begitu.
321 Semakin banyak Rizzoli memikirkan tentang be-rita telepon itu, semakin senang hatinya. Ia telah membuat Constantin Demiris lari ketakutan. Itu akan membuatnya semakin mudah untuk mengendalikan dia. Minggu. Ia punya dua hari untuk menyusun rencana.
Rizzoli tahu ia harus berhati-hati. Ia diikuti ke mana saja ia pergi. Keystone Kovs sialan itu, pikir Rizzoli dengan melecehkan. Kalau tiba waktunya nanti, kusikat mereka.
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Rizzoli berjalan menuju ke sebuah booth telepon umum di Kifissias Street dan memutar nomor Museum Negara Athena.
Dari pantulan di kaca Rizzoli melihat seorang pria berpura-pura melihat-lihat etalase toko, dan di seberang jalan seorang pria lain berbicara dengan penjual bunga. Kedua pria itu adalah bagian dari tim pengawas yang sedang mengamati dia. Semoga sukses, pikir Rizzoli.
"Kantor kurator di sini. Bisa saya bantu?"
"Victor" Tony di sini."
"Ada masalah?" Suara Korontzis langsung kedengaran panik.
"Tidak ada," kata Rizzoli menenangkan. "Semua berjalan baik. Victor, kau tahu vas cantik yang ada ukiran-ukiran merahnya?"
"The Ka amphora."
"Yeah. Aku akan mengambilnya malam ini." Ujung sana terdiam lama. "Malam ini" Aku"
322 aku tidak yakin, Tony." Suara Korontzis bergetar. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu nanti?"
"Okay, kawan, lupakan saja. Aku hanya mencoba membantumu. Kaubilang saja kepada Sal Prizzi uangnya tidak ada, dan biarkan dia melakukan apa saja?"
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Tony. Tunggu. Aku" aku?" Lalu di-am lagi. "Baiklah."
"Kau yakin kau mau, Victor" Sebab jika kau tak mau melakukannya, bilang saja begitu, dan aku akan segera pulang ke Amerika, di mana aku tak punya masalah seperti ini. Aku tidak butuh semua kerepotan ini, kau tahu. Aku bisa saja?"
"Tidak, tidak. Aku sangat menghargai semua yang kaulakukan buatku, Tony. Sungguh. Malam ini semua beres."
"Okay kalau begitu. Setelah museum tutup, kau hanya perlu mengganti vas yang asli itu dengan tiruannya."
"Penjaga akan memeriksa semua bungkusan yang keluar dari sini."
"Jadi" Apa para penjaga itu semua ahli benda seni?"
"Tidak. Tentu saja tidak, tapi?"
"Baiklah, Victor, dengarkan aku. Kauusahakan bon penjualan untuk satu tiruan benda itu dan tempelkan itu pada benda aslinya dalam sebuah kantong kertas. Kau mengerti?"
"Ya. Aku" aku mengerti. Di mana kita bertemu nanti?"
323 "Kita tidak akan bertemu. Tinggalkan museum pada jam enam. Akan ada taksi menunggu di depan. Bawa bungkusan itu. Bilang pada sopirnya untuk menuju ke Grande Bretagne Hotel. Minta dia menunggumu. Tinggalkan bungkusan itu di dalam taksi. Masuk ke bar di hotel itu dan pesanlah minuman. Setelah itu, pulang-lah."
"Tapi bungkusannya?"
"Jangan kuatir. Itu akan diurus."
Victor Korontzis berkeringat. "Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, Tony. Aku belum pernah mencuri apa pun. Seluruh hidupku?"
"Aku tahu," kata Rizzoli menenangkan. "Aku juga belum pernah. Ingat, Victor, aku menanggung semua risikonya, dan aku tidak mendapatkan untung apa-apa."
Suara Korontzis serak karena terharu. "Kau benar-benar teman baik, Tony. Teman paling baik yang pernah kupunyai." Ia meremas-remas tangannya. "Apa kau tahu kapan kira-kira uang itu bisa kuperoleh?"
"Dengan segera," Rizzoli meyakinkan dia. "Sekali kita lakukan ini, kau tak akan perlu merasa takut lagi." Dan aku juga tidak, pikir Rizzoli dengan senang. Tak akan pernah lagi.
Dua kapal penumpang berada di pelabuhan Piraeus sore itu dan karena itu museum penuh dikunjungi para turis. Biasanya Victor Korontzis
324 senang mengamati mereka, mencoba menduga-duga bagaimana kehidupan mereka. Ada orang Amerika dan orang Inggris, dan para pengun-jung dari berbagai negara lain. Kini, Korontzis terlalu panik untuk bisa memikirkan mereka.
Ia mengamati dua lemari kaca di mana tiruan benda-benda antik itu dijual. Banyak orang ber-kerumun di situ, dan kedua pramuniaga itu sedang sibuk melayani permintaan.
Barangkali akan terjual habis, pikir Korontzis penuh harap, dan aku tidak akan bisa melaksanakan rencana Rizzoli. Tapi ia tahu bahwa ia bersikap tidak realistis. Ada ratusan replika seperti itu yang disimpan di basement museum.
Vas yang diminta Tony untuk dicuri untuknya adalah salah satu harta paling bernilai dari museum itu. Itu berasal dari abad kelima belas sebelum Maseru, sebuah amphora dengan tokoh-tokoh mitologi berwarna merah yang dilukiskan di atas la tar hi tarn. Terakhir kali Victor Korontzis menyentuhnya adalah lima belas tahun sebelumnya saat ia menaruhnya di peti itu dengan sangat khusyuk untuk dikunci selamanya. Dan kini aku akan mencurinya, pikir Korontzis dengan merana. Tuhan mengampuni aku.
Dengan pikiran kacau, Korontzis melewati sore itu, ngeri memikirkan saat ia akan menjadi ma^ ling. Ia balik ke kantornya, menu tup pintunya, dan duduk di depan meja tulisnya, dirundung rasa putus asa. Aku tak bisa melakukan ini, pikir"
325 nya. Harus ada jalan keluar yang lain. Tapi apa" Ia tak bisa memikirkan cara lain untuk menyediakan uang sebanyak itu. Masih terngiang suara Prizzi. Kauberikan padaku uang itu malam ini, atau aku akan membuatmu jadi makanan ikan. Kau mengerti" Lelaki itu seorang pembunuh. Tidak, dia tak punya pilihan.
Beberapa menit sebelum jam enam, Korontzis keluar dari kantornya. Kedua wanita yang menjual replika benda-benda bersejarah itu sedang menutup lemari-lemari.
"Signomi," Korontzis menyapa. "Seorang teman saya berulang tahun. Saya pikir saya akan memberi dia sesuatu dari museum." Ia menghampiri lemari itu dan berpura-pura mengama-:::.va. Ada vas-vas dan patung-patung setengah badan, cawan-cawan dan buku-buku dan peta-peta. Ia mengamati lagi seakan-akan sedang mencoba memutuskan yang mana yang akan dipilih. Akhirnya, ia menunjuk tiruan amphora merah itu. "Saya rasa ia akan menyukai yang itu."
"Pasti," kata wanita itu. Ia mengambilnya dari lemari dan memberikannya kepada Korontzis.
"Bisa saya minta tanda terimanya?"
"Tentu, Mr Korontzis. Apakah Anda mau ka-mi bungkus ini dengan kertas kado?"
"Tidak, tidak," kata Korontzis dengan cepat. Masukkan saja langsung ke dalam kantong."
Ia menyaksikan replika itu beserta bonnya
326 dimasukkan ke dalam sebuah kantong kertas. Terima kasih."
"Saya harap teman Anda menyukainya."
"Saya yakin begitu." Korontzis mengambil kantong itu, tangannya gemetar, lalu berjalan balik ke kantornya.
Ia mengunci pintu, lalu mengeluarkan vas imitasi itu dari kantongnya dan meletakkannya di atas meja. Masih belum terlambat. pikir Korontzis. Aku belum melakukan kejahatan. Ia berada dalam ketidakpastian yang menyiksa. Serangkaian bayangan mengerikan melintas di benaknya. Aku bisa saja lari ke luar negeri dan meninggalkan anak-istriku. Atau aku bisa bunuh diri. Aku bisa juga pergi ke polisi dan melaporkan bahwa jiwaku terancam. Tapi jika faktanya terbongkar nanti, aku akan hancur. Tidak, tak ada jalan keluar. Kalau dia tidak membayar utangnya, ia tahu bahwa Prizzi akan membunuhnya. Syukurlah, pikirnya, aku punya teman Tony. Tanpa dia, aku pasti akan mati.
Ia melihat arlojinya. Saatnya untuk bergerak. Korontzis bangkit berdiri, kaki-kakinya terasa bergoyang. Ia berdiri di situ, berkali-kali menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tangannya basah oleh keringat. Ia menyekakan-nya pada kemejanya. Ia menaruh replika itu kembali di dalam kantong kertas, dan bergerak menuju ke pintu. Ada satu penjaga yang ditempatkan di pintu depan yang akan selesai ber-tugas pada jam enam, setelah museum tutup,
327 dan satu penjaga lagi yang berpatroli keliling, tapi ada enam ruangan yang harus diliputnya. Ia pasti sedang berada di ujung paling jauh museum itu saat ini.
Korontzis berjalan ke luar dari kantornya, dan bertabrakan dengan si penjaga. Ia bergerak dengan terkejut dan rasa bersalah.
"Maaf, Mr Korontzis. Saya tidak tahu Anda masih di sini."
"Ya. Saya" saya sedang siap-siap akan pulang."
"Tahukah Anda," kata penjaga itu dengan rasa kagum, "saya iri kepada Anda."
Kalau saja ia tahu. "Oh, ya" Mengapa?"
"Anda tahu begitu banyak tentang semua benda indah ini. Saya berjalan-jalan di sini dan saya mengamatinya dan benda-benda itu merupakan bagian-bagian dari sejarah, bukan" Saya tidak tahu banyak tentang ini. Barangkali suatu saat Anda mau menjelaskannya kepada saya. Saya benar-benar?"
Si goblok ini tidak juga berhenti berbicara. "Ya, tentu saja. Kapan-kapan. Saya akan senang melakukan itu." Di ujung lain dari ruangan itu, Korontzis bisa melihat lemari yang berisi vas yang bernilai tinggi itu. Ia harus bisa lepas dari penjaga ini.
"Rupanya" rupanya ada sedikit masalah dengan sirkuit alarm di basement. Maukah Anda mengeceknya?"
328 "Tentu. Saya tahu bahwa beberapa benda di sini berasal dari zaman?"
"Bisa tolong dicek sekarang" Saya tak enak mau pulang sebelum saya yakin bahwa semuanya sudah beres."
"Pasti, Mr Korontzis. Saya akan segera kembali."
Victor Korontzis berdiri di situ, menyaksikan penjaga itu berjalan menyusuri lorong, menuju ke arah basement. Begitu ia hilang dari penglihatan, Korontzis bergegas menghampiri peti yang berisi amphora merah itu. Ia mengeluarkan sebuah kunci, dan berpikir, Aku benar-benar melakukannya. Aku akan mencurinya. Kunci itu lepas dari genggamannya, dan jatuh bergemerincing di lantai. Apakah ini sebuah isyarat" Apakah Tuhan ingin mengatakan sesuatu" Keringatnya mengucur di sekujur tubuhnya. Ia membungkuk dan memungut kunci itu, dan menatap ke arah vas itu. Luar biasa indahnya. Vas itu telah dibuat dengan begitu sungguh-sungguh oleh para lelu-hurnya, beribu-ribu tahun yang lalu. Penjaga itu benar; ini adalah satu bagian dari sejarah, sesuatu yang tak akan pernah bisa diganti.
Korontzis memejamkan matanya sejenak dan bergidik. Ia melihat ke sekeliling untuk memastikan tak ada orang yang sedang memperhatikan, lalu membuka kunci peti itu dan dengan hati-hati mengangkat vas itu. Ia mengeluarkan replikanya dari kantong kertas dan meletakkan-329
nya dalam peti di tempat vas yang asli tadi berdiri.
Korontzis berdiri di situ, mengamatinya sebentar. Itu adalah hasil reproduksi seorang ahli tapi baginya meneriakkan kata Palsu. Begitu je-las nampak. Tapi hanya bagi mataku, pikir Korontzis, dan bagi mala beberapa ahli lain. Tak ada orang lain yang bisa melihat bedanya. Dan tak akan ada alasan orang akan memeriksanya dengan teliti. Korontzis menutup peti itu dan menguncinya, dan menaruhkan vas yang asli itu ke dalam kantong kertas bersama bon yang tadi.
Ia mengeluarkan saputangan dan menyeka wajah dan tangannya. Sudah selesai. Ia memandang arlojinya. Jam enam sepuluh. Ia harus bergegas. Ia berjalan ke pintu dan melihat penjaga datang ke arahnya.
"Saya tidak menemukan apa-apa yang salah pada sistem alarm itu, Mr Korontzis dan?"
"Bagus," kata Korontzis. "Tak ada salahnya berhati-hati."
Penjaga itu tersenyum. "Anda benar tentang itu. Pulang sekarang?"
"Ya. Selamat malam."
"Selamat malam."
Penjaga kedua ada di pintu depan, sudah bersiap-siap akan pulang. Ia melihat kantong kertas itu dan menyeringai. "Saya harus memeriksanya. Aturan Anda sendiri."
330 "Tentu," Korontzis dengan cepat berkata. Ia memberikan kantong itu kepada penjaga.
Penjaga itu melihat ke dalam kantong, mengeluarkan vas itu dan melihat bonnya.
"Hadiah untuk teman," Korontzis menjelaskan. "Ia seorang insinyur." Mengapa harus kukatakan itu" Apa pedulinya! Aku harus bersikap wajar.
"Bagus." Penjaga itu melemparkan vas itu kembali ke dalam kantong, dan untuk sesaat yang mendebarkan, Korontzis mengira benda itu akan pecah.
Korontzis mencengkeram kantong itu dan menempelkannya ke dadanya. "Kalispehra"
Penjaga itu membukakan pintu baginya. "Kalispehra."
Korontzis keluar ke udara malam yang sejuk, bernapas dengan berat dan berusaha melawan rasa mual di perutnya. Ia memegang sesuatu yang bernilai jutaan dolar di tangannya, tapi Korontzis tidak berpikir secara begitu. Yang di-pikirkannya yaitu bahwa ia sedang mengkhianati negerinya, mencuri suatu bagian sejarah dari Yunani yang dicintainya dan menjualnya kepada orang asing yang tidak dikenalnya.
Ia mulai menuruni undakan. Seperti yang telah dijanjikan Rizzoli, sebuah taksi sudah menunggu di depan museum. Korontzis menghampirinya, dan masuk ke dalamnya. "Grande Bretagne Hotel," katanya.
Ia menyandar lesu di tempat duduknya. Ia
331 merasa luluh dan lelah, seakan ia baru saja melakukan pertempuran yang dahsyat. Tapi menangkah dia atau kalahkah"
Ketika taksi itu berhenti di depan Grande Bretagne Hotel, Korontzis berkata kepada sopirnya, "Harap tunggu di sini." Ia memandang bungkusan berharga di jok belakang itu untuk yang terakhir kalinya, lalu keluar dan dengan cepat berjalan masuk ke dalam lobi hotel itu. Sampai di dalam, ia berbalik dan mengamati. Seorang pria sedang masuk ke dalam taksi itu. Sebentar kemudian taksi itu meluncur pergi.
Begitulah. Sudah selesai. Aku tak akan pernah berbuat seperti ini lagi, pikir Korontzis. Tidak lagi sepanjang hidupku. Mimpi buruk ini sudah lewat.
Jam tiga sore hari Minggu, Tony Rizzoli berjalan keluar dari hotelnya dan menuju ke arah Platia Omonia. Ia mengenakan jas merah terang kotak-kotak, celana hijau dan topi baret merah. Dua detektif mengikutinya. Salah satu berkata, "Ia pasti membeli pakaian-pakaian itu di sirkus."
Di Metaxa Street, Rizzoli memanggil taksi. Detektif itu berbicara melalui walkie-talkie-nya. "Subyek naik taksi menuju ke barat."
Sebuah suara menjawab, "Kami melihat dia. Kami sedang mengikuti. Kembalilah ke hotel."
"Baik." Sebuah mobil sedan tak bernomor mengikuti di belakang taksi itu, menjaga jarak dengan
332 hati-hati. Taksi itu menuju ke selatan, lewat Monastiraki. Di dalam sedan itu, sang detektif yang duduk di sebelah pengemudi mengambil mikrofon tangan.
"Sentral. Ini Unit Empat. Subyek ada di dalam taksi. Sedang meluncur di Philhellinon Street" Tunggu. Mereka baru saja belok ke ka-nan di Peta Street. Rupanya ia akan menuju ke Plaka. Kita bisa kehilangan dia di situ. Apa bisa seorang petugas diminta mengikuti dia dengan berjalan kaki?"
"Sebentar, Unit Empat." Beberapa detik kemudian, radio itu mengudara lagi. "Unit Empat. Kami sudah memperoleh bantuan. Kalau nanti dia turun di Plaka, ia akan terus di bawah pengawasan."
"Kala. Subyek mengenakan jas merah terang kotak-kotak, celana hijau dan baret merah. Gampang dilihat. Tunggu sebentar. Taksinya berhenti. Ia turun di Plaka."
"Kami akan meneruskan info ini. Ia sudah di-cover. Tugas Anda selesai. Out."
Di Plaka, dua detektif mengamati ketika pria yang jadi sasaran itu muncul dari taksi.
"Di mana sih dia membeli pakaiannya itu?" salah satu detektif bertanya dengan suara keras.
Mereka merapat di belakang orang itu dan mulai mengikutinya di tempat rumit yang penuh orang di wilayah tua kota itu. Sepanjang satu jam berikutnya, ia mondar-mandir tanpa
333 tujuan di jalan-jalan di situ, lewat taverna-taver-na, bar-bar, toko-toko cendera mata, dan galeri-galeri seni kecil. Ia berjalan menyusuri Ana-phiotika dan berhenti untuk melihat-lihat pasar loak yang penuh dengan pedang, belati, senapan kuno, panci masak, tempat lilin, lampu mi-nyak, dan teropong.
"Gila. Dia mau apa sebenarnya?"
"Rupanya dia cuma mau jalan-jalan sore saja. Sebentar. Itu dia belok."
Mereka mengikutinya ketika ia berbelok ke Aghiou Geronda dan terus menuju ke restoran Xinos. Kedua detektif itu berdiri di luar, di kejauhan, melihat ia sedang memesan makanan.
Para detektif itu mulai merasa bosan. "Kuharap ia segera bertindak. Aku ingin pulang. Aku bisa tidur sebentar."
"Tetap waspada. Kalau kita kehilangan dia, Nicolino akan mencaci maki kita."
"Tak mungkin kita bisa kehilangan dia. Ia begitu mencolok seperti menara api."
Detektif satunya menatapnya.
"Apa" Apa yang kaukatakan tadi?"
"Aku bilang?" "Sudahlah." Ada nada mendesak yang tiba-tiba dalam suaranya.
"Apa kau pernah mengamati wajahnya?" "Tidak."
"Aku juga tidak. Tiflo! Ayo." Kedua detektif itu bergegas menuju ke restoran itu dan menghampiri mejanya.
334 Mereka mendapati bahwa orang itu sama sekali bukan Tony Rizzoli.
Inspektur Nicolino benar-benar murka. "Aku menugaskan tiga tim untuk mengikuti Rizzoli. Bagaimana kalian bisa kehilangan dia?"
"Ia mengelabui kami, Inspektur. Tim pertama melihat dia masuk ke sebuah taksi dan?"
"Dan mereka kehilangan taksi itu?"
"Tidak, sir. Kami melihat dia keluar dari taksi itu. Atau paling tidak kami mengira itu dia. Ia mengenakan pakaian yang amat mencolok. Rizzoli menyembunyikan seorang penumpang lain di dalam taksi itu, dan keduanya lalu bertukar pakaian. Kami mengikuti orang yang salah."
"Dan Rizzoli kabur dengan taksi itu." "Ya, sir."
"Kalian catat nomor mobilnya?" "Well, tidak, sir. Kami kira tadinya itu tidak penting."
"Bagaimana dengan orang yang kalian tangkap itu?"
"Ia bellboy di hotel Rizzoli. Rizzoli bilang bahwa ia ingin bercanda dengan seseorang. Ia memberi anak itu seratus dolar. Cuma itu yang diketahui anak itu."
Inspektur Nicolino menghela napas panjang. "Dan aku rasa tak ada di antara kalian yang tahu di mana Mr Rizzoli saat ini berada?"
"Tidak, sir. Rupanya tidak ada."
335 Yunani memiliki tujuh pelabuhan penting" Thessaloniki, Patras, Volos, Igoumenitsa, Kavala, Iraklion, dan Piraeus.
Piraeus terletak tujuh mil sebelah barat daya pusat kota Athena, dan berperanan bukan hanya sebagai pelabuhan utama Yunani, tapi sebagai salah satu pelabuhan terpenting di Eropa. Kbmpleks pelabuhan itu terdiri dari empat dermaga, tiga di antaranya dipakai untuk kapal-kapal pesiar dan kapal-kapal samudera. Dermaga yang keempat, Herakles, dipakai khusus untuk kapal barang dengan lubang pintu terbuka yang langsung menempel di dermaga.
Thele sedang berlabuh di Herakles. Itu adalah sebuah tanker raksasa, dan dalam keadaan diam di dermaga yang gelap itu, kapal tersebut bagaikan makhluk raksasa yang siap menerkam.
Tony Rizzoli, didampingi empat orang, naik mobil menuju ke dermaga. Rizzoli mendongak melihat ke kapal raksasa itu dan berpikir, Jadi benda itu ada di sini. Mari kita lihat apa teman kita Demiris sudah ada di atas.
Ia menoleh kepada orang-orang yang menyer-tainya. "Aku mau dua dari kalian menunggu di sini. Yang dua lagi ikut denganku. Pastikan bahwa tak ada orang yang turun dari kapal."
"Baik." Rizzoli dan kedua orang itu menaiki tangga kapal. Ketika sampai di puncaknya, seorang awak kapal menghampiri mereka. "Bisa saya bantu?"
336 "Kami di sini untuk bertemu dengan Mr Demiris."
"Mr Demiris ada di kabin pemilik. Apakah ia menunggu Anda?"
Jadi infonya ternyata benar. Rizzoli tersenyum. "Yeah. Ia memang sedang menunggu kami. Jam berapa kapal akan berangkat?"
"Tengah malam nanti. Mari saya tunjukkan jalannya."
"Terima kasih."
Mereka mengikuti pelaut itu sepanjang dek sampai mereka sampai ke sebuah tangga yang menuju ke bawah. Ketiga orang itu mengikuti dia menuruni tangga itu dan sepanjang lorong sempit, melewati sejumlah kabin.
Ketika mereka tiba di kabin terakhir, pelaut itu mulai mengetuk pintunya. Rizzoli mendorongnya ke samping. "Kami akan memberitahukan kehadiran kami sendiri." Ia mendorong pintu itu terbuka dan melangkah masuk.
Kabin itu lebih besar daripada yang diperkirakan Rizzoli. Dilengkapi dengan sebuah tempat tidur dan sebuah sofa, sebuah meja tulis, dan dua kursi santai. Di belakang meja itu duduk Constantin Demiris.
Ketika ia mendongak dan melihat Rizzoli, Demiris mencoba dengan susah payah untuk berdiri. Wajahnya pucat. "Apa" apa yang kaulakukan di sini?" Suaranya terdengar seperti berbisik.
"Teman-teman dan aku memutuskan untuk
337 mengadakan sedikit kunjungan bon voyage, Costa."
"Bagaimana kau bisa tahu aku?" Maksudku" aku tidak menduga kau akan datang."
"Pasti kau tidak menduga," kata Rizzoli. Ia lalu menoleh kepada pelaut itu. "Terima kasih, Bung."
Macan Tutul Di Salju 7 Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu Misteri Lukisan Tengkorak 8
"Kalian benar-benar beruntung," Marvin Seymour mengomel.
"Benar," Breslauer setuju. "Bagaimana kalau kami diberi kesempatan lagi besok?" Saya akan memberi kabar," kata Rizzoli.
Ketika mereka sudah pergi, Korontzis berseru, "Sungguh aku tak percaya. Dua ribu dolar!"
Rizzoli tertawa. "Itu makanan ayam. Kan aku sudah bilang, Otto paling terampil jika menyangkut masalah kartu. Orang-orang itu setengah mati ingin main lagi dengan kita. Kau mau?"
"Tentu saja." Korontzis menyeringai lebar. "Kukira aku baru saja membuat lelucon."
Malam berikutnya, Victor Korontzis menang ti-ga ribu d
olar. 255 "Fantastis!" katanya kepada Rizzoli. "Apa mereka tidak curiga?"
"Tentu saja tidak. Aku berani bertaruh mereka akan minta kita menaikkan nilai taruhan besok. Mereka pikir mereka akan bisa memenangkan uang mereka kembali. Kau akan ikut?"
"Pasti, Tony. Aku ikut."
Saat mereka duduk untuk bermain, Sal Prizzi berkata, "Begini, sampai saat ini kami sudah kalah banyak. Bagaimana kalau taruhannya di-naikkan?"
Tony Rizzoli melihat ke arah Korontzis dan
mengedipkan mata. "Aku setuju saja," kata Rizzoli. "Bagaimana
yang lain-lain?" Mereka semua mengangguk setuju.
Otto Dalton menyusun tumpukan-tumpukan chip. "Yang putih ini lima puluh dolar, yang biru seratus, merah lima ratus, hitam seribu."
Victor Korontzis melihat kepada Rizzoli dengan gelisah. Ia tidak siap untuk bertaruh dengan taruhan setinggi itu.
Rizzoli mengangguk kepadanya meyakinkan.
Permainan dimulai. Tak ada yang berubah. Tangan Victor Korontzis seakan mengandung tenaga gaib. Kartu apa pun yang dipegangnya selalu bisa mengalahkan yang lainnya. Tony Rizzoli juga menang, tapi tidak sebanyak itu.
256 "Kartu sialan!" Prizzi mengomel. "Mari kita ganti kartunya."
Otto Dalton dengan patuh mengeluarkan kartu-kartu baru.
Korontzis melihat ke arah Tony Rizzoli dan tersenyum. Ia tahu bahwa tak ada yang bisa mengubah keberuntungan mereka.
Saat tengah malam sandwich dihidangkan. Para pemain beristirahat selama lima belas menit.
Tony Rizzoli menarik Korontzis ke samping. "Kuberitahu Otto untuk sedikit memberi hati kepada mereka." bisiknya.
"Aku tidak mengerti."
"Biarkan mereka menang beberapa putaran. Kalau mereka kalah terus-menerus, mereka akan jadi enggan dan minta berhenti."
"Oh, begitu. Cerdik sekali itu."
"Kalau nanti mereka pikir mereka berada di atas angin, kita akan naikkan taruhannya lagi dan akan kita kuras mereka besar-besaran."
Victor Korontzis ragu-ragu. "Aku sudah menang banyak sekali, Tony. Apakah tidak kaupikir sebaiknya kita berhenti saja selagi kita masih?""
Tony Rizzoli memandangnya lurus-lurus dan berkata, "Victor, bagaimana kalau malam ini kau nanti pulang dengan lima puluh ribu dolar di sakumu?"
Ketika permainan dimulai lagi, Breslauer, Prizzi, dan Seymour mulai menang. Kartu Korontzis
257 masih bagus, tapi yang lain-lain lebih bagus lagi.
Otto Dalton memang jenius, pikir Korontzis. Diperhatikannya waktu ia membagi kartu, dan tak ada suatu gerakan pun yang nampak tidak wajar.
Permainan berlanjut dan Victor Korontzis terus kalah. Ia tidak kuatir. Beberapa menit lagi, setelah mereka"apa istilahnya tadi"diberi hati, ia dan Rizzoli dan Dalton akan bergerak untuk melakukan pembantaian terakhir.
Sal Prizzi mulai nampak tamak. "Well" katanya, "rupanya kalian sudah mulai mereda."
Tony Rizzoli menggelengkan kepala dengan memelas. "Ya memang, rupanya begitu." Ia melemparkan pandangan yang mengandung rahasia kepada Korontzis.
"Keberuntungan Anda tak bisa tanpa akhir,"
kata Marvin Seymour. Perry Breslauer berbicara, "Bagaimana kalau kita naikkan lagi taruhannya, supaya ada kesempatan bagi kami untuk benar-benar menebus kekalahan?"
Tony Rizzoli pura-pura mempertimbangkan hal itu. "Saya tidak tahu," katanya seakan berpikir. Ia menoleh kepada Victor Korontzis. "Bagaimana, Victor?"
Bagaimana kalau malam ini kau nanti pulang dengan lima puluh ribu dolar di sakumu" Aku akan bisa membeli rumah, dan mobil baru. Aku akan bisa membawa keluargaku berlibur" Korontzis hampir"
258 hampir gemetar karena luapan kegembiraan. Ia tersenyum. "Mengapa tidak?"
"Baiklah," Sal Prizzi berkata. "Kita akan bermain taruhan di atas meja. Tanpa batas."
Mereka bermain tarikan lima kartu. Kartu-kartu dibagi.
"Sekarang aku yang buka," kata Breslauer. "Mari kita buka dengan lima ribu dolar."
Setiap pemain meletakkan taruhannya.
Victor Korontzis mendapat dua queen. I a mencabut tiga kartu, dan salah satunya queen lagi.
Rizzoli melihat kartu-kartunya dan berkata, "Tambah seribu."
Marvin Seymour mengkaji kartu-kartunya. "Aku sekarang, tambah dua ribu."
Otto Dalton membuang kartu-kartunya. "Aku tidak ikut."
Sal Prizzi berkata, "Aku ikut."
Putaran itu dimenangkan total oleh Marvin Seymour.
Di putaran berikut, Victor Korontzis memperoleh kartu delapan, sembilan, sepuluh, dan jack hati. Tinggal kurang satu kartu saja untuk menjadi straight flush}.
"Aku minta seribu dolar," kata Dalton.
"Aku ikut, dan tambah seribu."
Sal Prizzi berkata, "Naikkan lagi seribu."
Sekarang giliran Korontzis. Ia begitu yakin bahwa straight flush akan mengalahkan kartu
259 siapa saja saat itu. Ia cuma kurang satu kartu saja.
"Aku ikut." Ia mencabut sebuah kartu, dan meletakkannya menghadap ke bawah, tak berani melihatnya.
Breslauer meletakkan kartunya terbuka di
atas meja. "Pair empat dan pair sepuluh."
Prizzi juga membuka kartunya. "Three tujuh."
Mereka lalu memandang Victor Korontzis. Ia menarik napas panjang, dan membuka kartu terakhirnya itu. Ternyata hitam. "Tewas," katanya. Ditutupnya kartunya.
Taruhan semakin menggila.
Tumpukan chip Victor Korontzis menurun terus sampai hampir tandas. Ia melihat ke arah Tony Rizzoli, gelisah.
Rizzoli tersenyum menenangkan, senyum yang artinya, Tak ada yang perlu dikuatirkan. Rizzoli membuka putaran berikutnya. Kartu-kartu dibagikan. "Kita taruh seribu dolar." Perry Breslauer, "Aku naikkan seribu lagi." Marvin Seymour, "Aku minta dua lagi." Sal Prizzi, "Mau tahu" Kukira kalian menggertak saja. Naikkan lima lagi."
Victor Korontzis belum lagi melihat kartu-kartunya. Kapan mereka akan berhenti memberi hati kepada pemain-pemain lainnya" "Victor?"
Korontzis memunguti kartu-kartunya pelan"
260 pelan dan menatanya satu per satu berbentuk kipas. Sebuah as, as lagi, dan as ketiga, tambah sebuah king dan sebuah kartu sepuluh. Darahnya mulai menggelegak. "Kau ikut?"
Ia tersenyum sendiri. Mereka tidak lagi memberi hati kepada pemain-pemain lainnya. Ia tahu ia pasti akan diberi satu king lagi supaya menjadi full house. Ia menyingkirkan kartu sepuluh itu dan mencoba mengendalikan suaranya seakan biasa-biasa saja. "Aku ikut. Tolong satu kartu lagi."
Otto Dalton berkata, "Aku ambil dua." Ia melihat kartu-kartunya. "Aku naikkan seribu."
Tony Rizzoli menggelengkan kepala. "Tak ku-at aku." Ia menutup kartu-kartunya.
"Aku ikut," kata Prizzi, "dan kunaikkan lima ribu."
Marvin Seymour menutup kartunya. "Aku ca-but."
Tinggal Victor Korontzis dan Sal Prizzi.
"Kau terus?" tanya Prizzi. "Untuk itu kau perlu lima ribu lagi."
Victor Korontzis melihat tumpukan chip-nya. Memang cuma tinggal lima ribu lagi. Tapi jika kumenangkan putaran ini" pikirnya. Ia melihat kartu-kartunya lagi. Tak terkalahkan. Ia meletakkan tumpukan chip-nya itu di tengah meja dan mencabut sebuah kartu. Lima. Tapi ia masih punya tiga as. Ia membuka kartunya di atas meja. "Tiga as."
261 Prizzi membeberkan kartu-kartunya. "Empat
kartu dua as." Korontzis duduk di situ, tertegun, menyaksikan Prizzi meraup taruhan di meja itu. Ia merasa seakan ia telah mengecewakan temannya Tony. Kalau saja aku tadi bisa menahan diri sedikit dan menunggu sampai angin berubah ke arah kami.
Kini giliran Prizzi. "Tarikan tujuh kartu," ia
mengumumkan. "Kita taruh seribu dolar di meja."
Para pemain meletakkan taruhannya di meja.
Victor Korontzis melihat ke arah Tony Rizzoli dengan tidak berdaya. "Aku tidak punya?"
"Tidak apa-apa," kata Rizzoli. Ia berbicara kepada yang lain, "Begini, teman-teman, Victor tadi tak ada kesempatan untuk membawa banyak uang kontan ke sini malam ini, tapi aku bisa menjamin bahwa ia akan sanggup membayar. Kita beri dia kredit, dan akan kita bereskan nanti malam kalau ini selesai."
Prizzi berkata, "Sebentar. Apa-apaan ini"kita ini lembaga kredit" Kita tidak tahu bagaimana Victor Korontzis ini nongol ke bumi. Bagaimana kita bisa yakin bahwa ia akan sanggup membayar?"
"Aku yang menjamin," Tony Rizzoli meyakinkan dia. "Otto juga akan setuju denganku."
Otto Dalton angkat bicara. "Kalau Tony bi-lang Mr Korontzis itu OK, maka dia pasti OK."
262 Sal Prizzi mengangkat bahu. "Well, kukira tidak apa-apa."
"Buatku tak ada masalah," kata Perry Breslauer.
Otto Dalton menoleh ke Victor Korontzis. "Berapa yang kauperlukan?"
"Beri dia sepuluh ribu," kata Tony Rizzoli.
Korontzis memandangnya dengan heran. Sepuluh ribu dolar adalah jumlah yang lebih banyak daripada yang bisa dihasilkannya selama dua tahun. Tapi Rizzoli pasti tahu apa yang dilakukannya.
Victor Korontzis menelan ludah. "Itu" itu cukup."
Setumpuk chip disorongkan ke depan Korontzis. ^"
Kartu-kartu malam itu menjadi musuh bagi Victor Korontzis. Sementara taruhan terus meningkat, tumpukan chip-nya yang baru itu terus me- " nyusut. Tony Rizzoli juga mulai kalah.
Pada jam 2.00 dini hari mereka beristirahat. Korontzis menarik Tony Rizzoli ke sudut.
"Apa yang terjadi?" Korontzis berbisik panik. "My God, tahukah kau aku sudah ketinggalan berapa?"
"Jangan kuatir, Victor. Aku juga sama. Aku sudah memberi isyarat kepada Otto. Jika nanti giliran dia untuk membagi, permainan ini akan berubah arah. Kita akan memukul mereka dengan telak."
263 Mereka semua duduk lagi. "Beri temanku ini dua puluh lima ribu dolar
lagi," kata Rizzoli.
Marvin Seymour mengerutkan dahi. "Kau ya-kin dia memang mau terus bermain?"
Rizzoli menoleh kepada Victor Korontzis.
"Terserah kau saja."
Korontzis ragu-ragu. Aku telah memberi isyarat kepada Otto. Permainan ini akan berubah arah.
"Aku ikut." "Okay."
Chip senilai dua puluh lima ribu dolar diletakkan di depan Korontzis. Ia memandang chip itu dan sekonyong-konyong merasa sangat beruntung.
Otto Dalton membagi. "Baiklah, Tuan-tuan. Permainan ini adalah tarikan lima kartu. Taruhan perdananya seribu dolar."
Para pemain menyorongkan chip mereka ke
tengah meja. Dalton membagikan lima kartu langsung kepada setiap pemain.
Korontzis tidak melihat kartu-kartunya. Aku akan menunggu, pikirnya. Pasti itu kartu-kartu bagus.
"Letakkan taruhan kalian."
Marvin Seymour, yang duduk di sebelah ka-nan Dalton, mengkaji kartu-kartunya sebentar. "Aku mundur." Ia menutup kartu-kartunya.
Berikutnya adalah Sal Prizzi. "Aku ikut, dan
264 tambah seribu." Ia menyorongkan chip-nya ke tengah meja.
Tony Rizzoli melihat kartu-kartunya dan mengangkat bahu. "Aku pas." Ia menutup kartu-kartunya.
Perry Breslauer melihat kartu-kartunya dan menyeringai. "Aku ikut tambahannya, dan tambah lagi lima ribu."
Victor Korontzis harus menyediakan enam ribu dolar jika mau tetap ikut putaran itu. Pelan-pelan ia memungut kartu-kartunya dan menatanya seperti kipas. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Kartunya ternyata pat straight flush (warna sama dengan nomor berurut)"lima, enam, tujuh, delapan, dan sembilan, semuanya gambar hati. Kartu yang sempurna! Jadi Tony berkata benar tadi. Thank God! Korontzis mencoba menyembunyikan rasa gembiranya yang meluap-luap. "Aku ikut tambahannya, dan tambah lagi lima ribu." Kartu-kartu inilah yang akan membuatnya kaya.
Dalton menutup kartunya. "Aku tidak ikut. Pas.-"
"Sekarang tinggal aku," kata Sal Prizzi. "Ku-kira kau hanya menggertak, kawan. Aku terus, dan tambah lima lagi."
Victor Korontzis merasakan jantungnya berdebar karena gembira. Ia mendapat kartu-kartu yang teramat langka. Ini akan menjadi jackpot terbesar sepanjang permainan ini.
Perry Breslauer menyimak kartu-kartunya.
265 "Well, kukira aku ikut, dan tambah lima ribu lagi, kawan-kawan."
Kini giliran Victor Korontzis lagi. Ia menarik napas panjang. "Aku ikut, dan tambah lagi lima ribu." Ia hampir-hampir gemetar karena luapan kegembiraan. Ia hampir tak bisa menahan dirinya untuk mengulurkan tangan dan meraup kumpulan taruhan di tengah meja itu.
Perry Breslauer membeberkan kartu-kartunya, wajahnya memancarkan kemenangan. "Tiga king."
Aku sudah menang! pikir Victor Korontzis. "Masih kurang itu," ia tersenyum. "Punyaku straight flush." Ia meletakkan kartu-kartunya di atas meja, dan dengan bersemangat menggapai tumpukan chip di tengah meja itu.
Tunggu dulu!" Sal Prizzi pelan-pelan menurunkan kartu-kartunya ke atas meja. "Aku kalahkan kau dengan royal flush. Kartu sepuluh sampai kartu as gambar sekop."
Victor Korontzis langsung pucat. Tiba-tiba ia merasa seolah akan pingsan, dan jantungnya
berdebar keras. "Astaga!" kata Tony Rizzoli. "Gila, sama-sama straight flush?" Ia menoleh kepada Korontzis. "Maafkan aku, Victor. Aku" aku tak tahu harus bilang apa."
Otto Dalton berkata, "Kurasa sampai di sini saja malam ini, Tuan-tuan." Ia memeriksa secarik kertas dan menoleh kepada Victor Korontzis. "Kau utang enam puluh lima ribu dolar."
266 Victor Korontzis memandang Tony Rizzoli, tercekam. Rizzoli mengangkat bahu tak berdaya. Korontzis mengeluarkan saputangan dan menyeka alisnya.
"Bagaimana akan kaubayar itu?" Dalton bertanya. "Cash atau cek?"
"Aku tidak menerima cek," kata Prizzi. Ia memandang Victor Korontzis. "Aku minta cash saja."
"Aku" aku?" Kata-katanya tertahan di tenggorokannya. Ia mendapati tubuhnya gemetar. "Aku" aku tak punya?"
Wajah Sal Prizzi menjadi gelap. "Kau apa?" ia membentak.
Tony Rizzoli cepat menukas, "Tunggu dulu. Maksud Victor ia tak membawanya sekarang. Tadi kan aku sudah bilang ia sanggup membayar."
"Itu tidak ada artinya buatku, Rizzoli. Aku mau lihat uangnya."
"Kau akan melihatnya," kata Rizzoli meyakinkan. "Kau akan mendapatkannya dalam beberapa hari ini."
Sal Prizzi meloncat berdiri. "Persetan dengan itu. Aku bukan badan sosial. Aku mau uang itu sudah ada besok."
"Jangan kuatir. Ia akan menyetornya."
Victor Korontzis terjebak di tengah mimpi bu-ruk di mana jalan keluar tidak ada. Ia duduk di situ, diam terpaku, hampir-hampir tidak sadar
267 bahwa yang lainnya sudah pergi. Tony dan Korontzis tinggal berdua saja.
Korontzis benar-benar panik. "Aku" aku tak akan pernah bisa mencari uang sebanyak itu," ia mengerang. "Tak akan pernah!"
Rizzoli meletakkan tangannya di pundak Korontzis. "Aku tak tahu harus mengatakan apa kepadamu, Victor. Aku tak tahu apanya yang salah tadi. Aku rasa aku juga kalah hampir sama banyaknya dengan kau malam ini."
Victor Korontzis mengusap matanya. "Tapi" tapi kau sanggup menanggung itu, Tony. Aku" aku tidak bisa. Aku harus menjelaskan kepada mereka bahwa aku tidak sanggup membayar."
Tony Rizzoli berkata, "Aku akan pikir dulu masak-masak kalau aku jadi kau, Victor. Sal Prizzi itu kepala Serikat Buruh Pelaut Pantai Timur. Kudengar mereka mainnya kasar."
"Bagaimana lagi" Kalau uangnya aku tak punya, ya tak punya. Aku mau diapakan olehnya?"
"Mari kujelaskan apa yang bisa dilakukan olehnya terhadapmu," kata Rizzoli bersungguh-sungguh. "Ia bisa saja menyuruh anak buahnya menembak tempurung lututmu. Kau tak akan pernah bisa berjalan lagi. Ia bisa juga menyuruh mereka menyiram matamu dengan air raksa. Kau tak akan pernah bisa melihat lagi. Kemudian, setelah kauperoleh semua penderitaan itu dan kau masih bisa bertahan, ia akan memutus-268
kan apakah akan membiarkan kau hidup seperti itu, atau membunuhmu."
Victor Korontzis menatapnya, wajahnya pu-cat. "Kau" kau bercanda."
"Kalau saja aku bisa. Memang semua salahku, Victor. Seharusnya aku tidak melibatkan kau bermain dengan orang seperti Sal Prizzi. Ia seorang pembunuh."
"Oh, my God. Apa yang harus kulakukan?"
"Apa kau ada jalan untuk menghimpun dana itu?"
Korontzis mulai tertawa histeris. "Tony" menunjang hidup keluargaku dengan gajiku saja aku hampir tidak bisa."
"Kalau begitu, satu-satunya jalan yang bisa kuusulkan adalah meninggalkan kota ini, Victor. Mungkin meninggalkan negeri ini. Pergilah ke suatu tempat di mana Prizzi tidak akan bisa menemukanmu."
"Itu tak bisa kulakukan," Victor Korontzis meratap. "Aku punya istri dan empat anak." Ia melihat kepada Tony Rizzoli dengan sikap menuduh. "Kaubilang permainan ini adalah perangkap, dan kita tak akan bisa kalah. Kaubilang?"
"Aku tahu itu. Dan aku benar-benar minta maaf. Biasanya selalu lancar. Satu-satunya kemungkinan yang bisa kupikirkan ialah bahwa Prizzi telah berbuat curang."
Wajah Korontzis berbinar penuh harap. "Nah, kalau ia curang, aku tak perlu membayarnya."
269 "Itu akan mengundang masalah, Victor," Rizzoli berkata dengan sabar. "Kalau kau menuduh dia curang, ia akan membunuhmu, dan kalau kau tak mau membayar ia akan membunuhmu juga."
"Oh, my God," Korontzis meratap. "Matilah aku."
"Aku benar-benar sedih sekali. Kau yakin tidak ada jalan lagi untuk mengumpulkan?""
"Aku harus mengulangi hidupku seratus kali. Seribu kali. Semua milikku sudah digadaikan. Dari mana aku akan bisa memperoleh?""
Dan pada saat itu, Tony Rizzoli mendapat inspirasi mendadak. "Tunggu dulu, Victor! Bukankah kaubilang bahwa benda-benda antik di museum itu nilainya sangat tinggi?"
"Ya, tapi apa hubungannya itu dengan?""
"Coba dengar dulu. Kaubilang bahwa tiruan-tiruannya sama baiknya dengan yang asli."
"Tentu saja tidak. Semua ahli akan bisa membedakan?"
"Whoa. Sebentar. Bagaimana kalau salah satu benda itu hilang dan tiruannya ditaruh di situ" Maksudku, waktu aku di museum tempo hari, banyak turis yang melihat-lihat. Apa mereka akan tahu bedanya?"
"Tidak, tapi" aku" aku tahu apa maksudmu. Tidak, aku tak akan pernah bisa melakukan itu."
Rizzoli berkata, menenangkan, "Aku mengerti, Victor. Aku hanya berpikir barangkali mu"
270 seum itu bisa menyisihkan satu benda kecil. Koleksinya begitu banyak."
Victor Korontzis menggelengkan kepala. "Aku telah menjadi kurator di museum itu selama dua puluh tahun. Aku tak pernah bisa memikirkan yang seperti itu."
"Maafkan aku. Mestinya tidak kuusulkan hal seperti itu. Alasan satu-satunya yang membuat aku berpikir begitu adalah karena barangkali itu akan bisa menyelamatkan hidupmu." Rizzoli berdiri dan menggeliat. "Well, sudah malam. Kurasa istrimu akan bertanya-tanya kau ke mana saja."
Victor Korontzis menatapnya. "Bisa menyelamatkan hidupku" Bagaimana?"
"Gampang saja. Kalau kauambil salah satu antique?"
"Antiquity" "..antiquity" dan memberikannya kepadaku, aku bisa membawanya ke luar negeri dan men-jualkannya untukmu, dan membayar utangmu kepada Prizzi. Kurasa aku bisa membujuknya untuk menunggu selama itu. Dan kau akan be-bas dari ancaman. Tak perlu kujelaskan bahwa aku akan menempuh risiko besar untukmu, se-bab kalau aku tertangkap akan cukup runyam juga. Tapi kutawarkan diriku untuk melakukan ini karena aku merasa berutang terhadapmu. Akulah yang salah sampai kau jadi kacau be-gini."
"Kau seorang teman yang baik," kata Victor
271 Korontzis. "Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu. Aku tidak seharusnya ikut bermain. Kau hanya ingin membantu aku."
"Aku tahu. Kalau saja semuanya tidak begird jadinya" Well, mari kita istirahat saja dulu. Aku akan berbicara lagi denganmu besok. Selamat malam, Victor."
"Selamat malam, Tony."
Telepon berdering di museum, pagi-pagi sekali keesokan harinya. "Korontzis?" "Ya?"
"Ini Sal Prizzi."
"Selamat pagi, Mr Prizzi."
"Aku menelepon untuk menanyakan tentang masalah kecil enam puluh lima ribu dolar itu. Jam berapa bisa kuambil?"
Victor Korontzis mulai berkeringat. "Saya" uangnya belum ada saat ini, Mr Prizzi."
Di ujung sana tak ada suara"diam tapi mencekam. "Permainan gila apa yang sedang kau-pertunjukkan di depanku?"
"Percayalah, saya tidak mau mempermainkan.
Saya?" " "Kalau begitu cepat sediakan uang itu. Jelas?" "Ya, sir."
"Jam berapa museummu tutup?" "Enam" jam enam."
"Aku akan datang. Sediakan uang itu, atau aku akan mengoyakkan wajahmu. Dan setelah itu, aku akan benar-benar menyakitimu."
272 Hubungan putus. Victor Korontzis duduk di situ dengan panik. Ia ingin bersembunyi. Tapi di mana" Ia dicekam oleh keputusasaan total, benaknya penuh dengan penyesalan dan ungkapan-ungkapan "kalau": Kalau saja aku tidak pergi ke kasino malam itu; kalau saja aku tidak bertemu dengan Tony Rizzoli; kalau saja kupegang janjiku pada istriku untuk tidak berjudi lagi. Ia menggelengkan kepalanya untuk melupakan semua itu. Harus kulakukan sesuatu"sekarang juga.
Dan tepat pada saat itu, Tony Rizzoli memasuki kantornya. "Selamat pagi, Victor."
Saat itu jam enam tiga puluh. Para karyawan sudah pulang, dan museum itu sudah tutup setengah jam yang lalu. Victor Korontzis dan Tony Rizzoli sedang memandang ke pintu depan.
Korontzis semakin tegang. "Bagaimana kalau ia menolak" Bagaimana kalau ia mau uangnya malam ini?"
"Serahkan kepadaku," kata Tony Rizzoli. "Biar aku yang bicara nanti."
"Bagaimana kalau ia tidak muncul" Bagaimana kalau ia lalu" mengirim orang untuk membunuhku" Menurut kau ia akan melakukan itu?"
"Tidak, selama ia masih punya peluang untuk mendapatkan uang itu," kata Rizzoli dengan ya-kin.
273 Pada jam tujuh, Sal Prizzi akhirnya muncul juga.
Korontzis bergegas menuju ke pintu dan membukanya. "Selamat malam," katanya.
Prizzi memandang Rizzoli. "Kau mau apa di sini?" Ia balik lagi menghadapi Victor Korontzis. "Ini cuma di antara kita berdua."
"Tenang dulu," kata Rizzoli. "Aku di sini untuk membantu."
"Aku tidak perlu bantuanmu." Prizzi menoleh
kepada Korontzis. "Mana uangku?"
"Saya" saya belum ada. Tapi?"
Prizzi mencengkeram lehernya. "Dengar kau,
brengsek. Kausetorkan uang itu nanti malam,
atau aku akan bikin kamu jadi makanan ikan.
Kau mengerti?" Tony Rizzoli berkata, "Hey, tenang, tenang.
Kau pasti akan dapat uangmu."
Prizzi menghadapi dia. "Aku sudah bilang jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu."
"Kubuat ini jadi urusanku. Aku teman Victor. Victor tidak punya uang kontan sekarang, tapi ia punya jalan untuk memperolehnya buat kau."
"Dia itu punya uang atau tidak, sih?"
"Dia punya dan dia tidak punya," kata Rizzoli.
"Jawaban gila macam apa itu?" Tangan Tony Rizzoli menunjuk berkeliling ruangan. "Uang itu ada di sana."
Sal Prizzi mengamati ruangan itu. "Di mana?"
274 "Di dalam peti-peti itu. Penuh dengan antique?"
"Antiquity," Korontzis secara otomatis mem-betulkan.
?"itu harta karun terpendam. Aku bicara soal jutaan dolar."
"Yeah?" Prizzi lalu mengamati peti-peti itu. "Apa gunanya bagiku jika itu terkunci rapat di museum ini" Aku mau uang kontan saja."
"Kau akan memperoleh uang kontan," kata Rizzoli menenangkan. "Dua kali lipat dari jum-lah yang terutang oleh teman kita ini. Kau cuma perlu sedikit sabar, cuma itu. Victor bukan orang yang ingkar. Tapi ia perlu sedikit waktu. Begird rencana dia, Victor akan mengambil salah satu antique ini" antiquity" dan akan menjualnya. Segera setelah uangnya didapat, ia akan membayarmu."
Sal Prizzi menggelengkan kepala. "Aku tidak suka itu. Aku tak tahu apa-apa tentang benda-benda antik ini."
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak perlu tahu. Victor adalah salah satu pakar terandal di dunia untuk itu." Tony Rizzoli menghampiri salah satu peti dan menunjuk ke sebuah pahatan kepala manusia dari * maimer. "Berapa taksiranmu untuk ini, Victor?"
Victor Korontzis menelan ludah. "Itu Dewi Hygea, abad keempat belas sebelum Masehi. Kolektor mana saja akan membayar dengan senang hati dua atau tiga juta dolar untuk itu."
275 Rizzoli menghadapi Sal Prizzi. "Nah, dengar itu. Kau tahu maksudku?"
Prizzi mengerutkan dahi. "Aku tak tahu. Berapa lama aku harus menunggu?"
"Kau akan dibayar dua kali lipat dalam waktu sebulan."
Prizzi berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Okay, tapi jika aku harus menunggu sebulan, aku mau lebih dari itu"yah, tambah dua ratus ribu dolar begitu."
Tony Rizzoli memandang ke arah Victor Korontzis.
Korontzis mengangguk dengan ber"semangat.
"Okay," kata Rizzoli. "Mufakat."
Sal Prizzi lalu menghampiri kurator bertubuh kecil itu. "Kau kuberi waktu tiga puluh hari. Kalau aku belum juga memperoleh uangku nanti, kau akan jadi makanan anjing. Sudah jelas itu?"
Korontzis menelan ludah. "Ya, sir."
"Ingat" tiga puluh hari."
Ia lalu memandang Tony Rizzoli, lama dan keras. "Aku tak suka kamu."
Mereka menyaksikan ketika Sal Prizzi berbalik dan berjalan keluar pintu.
Korontzis duduk lemas di kursinya, mengusap alisnya.
"Oh, my God," katanya. "Tadinya kukira ia akan membunuhku. Apa menurut kau kita bisa mendapatkan uang itu buat dia dalam waktu tiga puluh hari?"
276 "Tentu," Tony Rizzoli berjanji. "Yang perlu kaulakukan cuma mengambil salah satu benda dari dalam peti dan menaruhkan tiruannya ke tempat asalnya."
"Bagaimana kau akan mengeluarkannya dari negeri ini" Kau akan masuk penjara kalau tertangkap."
"Aku tahu," kata Tony Rizzoli dengan gagah. "Tapi itu risiko yang harus kutempuh. Aku harus menebus kesalahanku padamu, Victor."
Satu jam kemudian, Tony Rizzoli, Sal Prizzi, Otto Dalton, Perry Breslauer, dan Marvin Seymour minum-minum di kamar hotel Dalton.
"Mulus seperti sutera," kata Rizzoli dengan pongah. "Si sontoloyo itu terkencing-kencing ketakutan."
Sal Prizzi menyeringai. "Aku membuatnya ta-kut, eh?"
"Kau membuat aku takut," kata Rizzoli. "Kau mestinya menjadi aktor saja."
"Bagaimana kita atur sekarang?" tanya Marvin Seymour.
Rizzoli menjawab, "Begini. Ia akan memberi aku salah satu benda antik itu. Aku akan mencari jalan menyelundupkannya ke luar negeri dan menjualnya. Lalu aku akan memberikan ba-gian kalian masing-masing."
"Bagus," kata Perry Breslauer. "Aku suka itu."
Rasanya seperti punya tambang emas saja, pikir Rizzoli. Sekali Korontzis mau melakukannya, ia ter"
277 perangkap. Ia tak akan pernah lagi bisa mundur. Aku akan menyuruhnya menguras seluruh isi museum itu sampai tandas.
Marvin Seymour bertanya, "Bagaimana kau akan mengeluarkan barang itu ke luar negeri?" "Aku akan mencari jalan," kata Rizzoli. "Aku
akan mencari jalan."
Ia harus mencari )a\an. Dan segera. Alfredo Mancuso dan Gino Laveri menunggu.
278 Bab 13 Di markas besar kepolisian di Stadiou Street, sedang diadakan rapat darurat. Di ruang rapat itu tampak Kepala Polisi Dmitri, Inspektur Tinou, Inspektur Nicolino, Walt Kelly, agen dari Departemen Keuangan Amerika itu, dan sejumlah detektif. Suasananya amat berbeda dengan rapat sebelumnya.
Inspektur Nicolino berkata, "Sekarang kami punya alasan untuk percaya alas an untuk percaya bahwa info Anda itu benar, Mr Kelly. Sumber-sumber kami memberitahukan bahwa Tony Rizzoli sedang mencari jalan untuk menyelundupkan suatu kiriman heroin yang amat besar ke luar Athena. Kami sudah mulai memeriksa gudang-gudang yang mungkin dipakai-r.va untuk menyimpan barang itu."
"Apa Anda menyuruh dia diikuti?"
"Jumlah orangnya kami tambah pagi ini," kata Pak Kepala Dmitri.
Walt Kelly menarik napas. "Aku berdoa kepada Tuhan semoga belum terlambat."
279 Inspektur Nicolino menugaskan dua tim detektif untuk melakukan pengawasan terhadap Tony Rizzoli, tapi ia telah memandang enteng buru-annya ini. Saat hari sudah sore Rizzoli mulai sadar bahwa ia diikuti. Setiap kali ia meninggalkan hotel kecil tempatnya menginap, ia diikuti orang, dan saat ia kembali, selalu ada orang yang mondar-mandir di belakangnya dengan sikap tak acuh. Mereka benar-benar profesional. Rizzoli senang akan hal itu. Itu artinya ia cukup disegani.
Kini ia bukan hanya harus mencari jalan untuk mengeluarkan heroin itu dari Athena, tapi ia juga harus menyelundupkan benda antik yang tak ternilai itu. Alfredo Mancuso dan Gino ri ada di belakangku, dan polisi mengitariku seperti sebuah selimut basah. Aku harus menghubungi seseorang dengan segera. Satu-satunya nama yang muncul di benaknya adalah Ivo Bruggi, seorang pemilik kapal yang tidak terlalu sukses di Roma. Rizzoli pernah berbisnis dengan Bruggi dulu. Memang ini kecil kemungkinan ber-hasilnya, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Rizzoli yakin bahwa telepon di kamar hotelnya disadap. Aku harus mengatur supaya aku bisa menerima telepon di hotel. Ia duduk di situ, berpikir lama. Akhirnya, ia bangkit dan berjalan menuju ke sebuah kamar di seberang gang dan me"
280 ngetuk pintunya. Pintu itu dibuka oleh seorang pria agak tua yang wajahnya cemberut. "Yeah?"
Rizzoli menunjukkan sikap manis. "Permisi," katanya. "Maaf saya mengganggu. Saya tetangga Anda di seberang gang ini. Apa saya boleh masuk dan berbicara sebentar saja?"
Pria itu memperhatikannya dengan curiga. "Coba saya lihat Anda membuka pintu kamar Anda."
Tony Rizzoli tersenyum. "Tentu." Ia lalu berjalan menyeberangi gang, mengambil kuncinya, dan membuka pintu itu.
Pria itu mengangguk. "Baiklah. Silakan masuk."
Tony Rizzoli menutup pintu kamarnya dan masuk ke kamar di seberang gang itu.
"Apa yang Anda inginkan?"
"Ini sebenarnya masalah pribadi, dan saya merasa tidak enak mengganggu Anda, tapi" Well, terus terang saja, saya sedang dalam proses perceraian, dan istri saya menyuruh orang mengikuti saya." Ia menggelengkan kepala menunjukkan sikap jengkel. "Malahan ia juga me-nyadap telepon di kamar saya."
"Perempuan!" tetangganya itu menggeram. Terkutuk mereka. Saya menceraikan istri saya tahun lalu. Mestinya itu saya lakukan sepuluh tahun yang lalu."
"Oh, ya" Jadi begird, yang ingin saya tanyakan yaitu, apa sekiranya Anda berkenan mem"
281 bolehkan saya memberikan nomor Anda kepada beberapa teman supaya mereka bisa menelepon saya di sini. Saya berjanji tidak akan banyak telepon masuk."
Pria itu sudah akan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak mau terganggu?"
Rizzoli mengeluarkan selembar uang kertas seratus dolar dari sakunya. "Ini untuk kerepotan Anda."
Pria itu menjilat bibirnya. "Oh. Well, tentu," katanya. "Kukira itu boleh-boleh saja. Saya senang menolong orang yang sependeritaan."
"Anda sangat baik. Kalau ada telepon buat saya, tolong ketuk saja pintu saya. Saya kebanyakan tidak pergi."
"Baik." Esoknya, pagi-pagi sekali, Rizzoli berjalan menuju ke telepon umum untuk menghubungi Ivo Bruggi. Ia minta kode nomor negara 39, yaitu Italia, dan kode 6 untuk Roma.
"Signor Bruggi, per piacere."
"Non c"e in casa."
"Quando arrivera?""
"Non lo so." "Gli dica, di chiamare il Signor Rizzoli."
Rizzoli lalu memberikan nomor utama hotelnya dan nomor kamar tetangganya itu. Ia lalu kembali ke kamar hotelnya. Ia membenci kamar itu. Seseorang pernah mengatakan padanya bahwa kata Yunani untuk hotel adalah xenodochion,
282 yang artinya kontainer bagi orang-orang asing. Lebih mirip dengan sebuah penjara, pikir Rizzoli. Perabotannya jelek: sebuah sofa tua berwarna hijau, dua meja sudut rombeng yang berlampu, sebuah meja tulis kecil berlampu dan sebuah kursi, dan sebuah tempat tidur rancangan Tor-quemada.
Selama dua hari berikutnya, Tony Rizzoli tinggal diam di kamarnya, menunggu ketukan di pintunya, menyuruh bellboy membelikan makanan untuknya. Tak ada telepon. Sialan, di mana si Ivo Bruggi itu"
Tim pengawas melapor kepada Inspektur Nicolino dan Walt Kelly. "Rizzoli mendekam saja di kamarnya. Ia belum bergeser juga selama empat puluh delapan jam."
"Kalian yakin ia ada di dalam?"
"Ya, sir. Para pembantu wanita melihatnya di waktu pagi dan malam saat mereka membenahi kamarnya."
"Telepon bagaimana?"
"Satu pun tak ada. Apa yang harus kami lakukan?"
"Tetap awasi. Ia pasti akan bergerak, cepat atau lambat. Dan yakinkan bahwa penyadapan-nya bekerja dengan baik."
Hari berikutnya, telepon di kamar Rizzoli berdering. Shit! Bruggi tidak seharusnya meneleponnya ke kamar ini. Ia sudah meninggalkan
283 pesan untuk si tolol itu supaya meneleponnya melalui kamar tetangga. Ia harus berhati-hati. Rizzoli mengangkat gagang telepon. "Ya?"
Sebuah suara berkata, "Apa ini Tony Rizzoli?"
Bukan suara Ivo Bruggi. "Ini siapa?"
"Anda waktu itu datang ke kantor saya dengan suatu usulan bisnis, Mr Rizzoli. Saya telah menolaknya. Saya pikir barangkali Anda dan saya perlu membicarakannya lagi."
Tony Rizzoli sekonyong-konyong merasakan getaran kegembiraan. Spyros Lambrou! Jadi bandit itu akhirnya mau juga. Ia seakan tidak percaya akan nasib baiknya ini. Semua masalahku teratasi. Aku bisa mengirimkan heroin dan barang antik itu sekaligus.
"Yeah. Tentu. Saya senang membicarakannya lagi. Kapan kiranya Anda ingin bertemu?"
"Anda punya waktu sore ini?"
Jadi, ia tak sabar ingin bertransaksi. Orang-orang kaya sialan itu sama semuanya. Mereka tidak pernah merasa cukup. "Baik. Di mana?"
"Bagaimana kalau Anda datang ke kantor saya?"
"Saya akan ke sana." Tony Rizzoli meletakkan gagang telepon, hatinya berbunga-bunga.
Di lobi hotel itu, seorang detektif yang frustrasi sedang melapor ke markas besar. "Rizzoli baru saja menerima telepon. Ia akan menemui seseorang di kantornya, tapi orang itu tidak
284 menyebutkan nama dan kami gagal melacak ja-lur teleponnya."
"Baiklah. Awasi dia kalau dia meninggalkan hotel. Beritahu saya nanti ke mana ia pergi."
"Ya, sir." Sepuluh menit kemudian, Tony Rizzoli menyusup ke luar dari jendela basement yang menghadap ke gang di belakang hotel itu. Ia berganti taksi dua kali untuk meyakinkan bahwa ia tidak sedang diikuti, dan menuju ke kantor Spyros Lambrou.
Sejak hari ia mengunjungi Melina di rumah sakit, Spyros Lambrou bersumpah untuk membalas dendam buat adiknya. Tapi selama itu ia belum bisa menemukan hukuman yang cukup setimpal untuk Constantin Demiris. Kemudian, dengan kunjungan Georgios Lato, dan berita mengejutkan yang diberikan Madame Piris, ia seakan telah memegang senjata di tangannya untuk menghancurkan iparnya itu.
Sekretarisnya memberitahukan, "Mr Anthony Rizzoli ada di sini untuk bertemu dengan Anda, Mr Lambrou. Ia tidak punya appointment dan saya telah mengatakan kepadanya bahwa Anda tidak dapat?"
"Antar dia masuk."
"Ya, sir." Spyros Lambrou mengamati ketika Rizzoli masuk melalui pintu, tersenyum dan penuh percaya diri.
285 "Terima kasih untuk kedatangan Anda, Mr Rizzoli."
Tony Rizzoli menyeringai. "Terima kasih juga. Jadi, Anda sudah memutuskan bahwa Anda dan saya akan berbisnis bersama, eh?"
"Tidak." Senyum di wajah Tony Rizzoli memudar. "Anda bicara apa?"
"Saya bilang "Tidak." Saya tidak bermaksud untuk melakukan bisnis dengan Anda."
Tony Rizzoli menatapnya, bingung. "Kalau begitu buat apa Anda memanggil saya" Anda bilang Anda punya usulan buat saya dan?"
"Memang saya punya. Bagaimana kalau Anda memakai armada kapal milik Constantin Demiris?"
Tony Rizzoli menjatuhkan diri ke sebuah kur-si. "Constantin Demiris" Apa maksud Anda" Ia tak akan pernah?"
"Ya, ia mau. Saya bisa menjanjikan kepada Anda bahwa Mr Demiris akan mau memberikan apa saja yang Anda minta."
"Mengapa" Apa untungnya bagi dia?"
"Tidak ada." "Itu tidak masuk akal. Mengapa Demiris mau membuat transaksi seperti itu?"
"Saya gembira Anda bertanya." Lambrou menekan tombol interkom-nya, "Tolong minta ko-pi, ya." Ia melihat kepada Tony Rizzoli. "Anda mau kopi yang bagaimana?"
"Er"kental, tanpa gula."
286 "Kental, tanpa gula, untuk Mr Rizzoli."
Setelah kopi dihidangkan, dan sekretarisnya sudah meninggalkan kantor, Spyros Lambrou berkata, "Saya akan bercerita sedikit, Mr Rizzoli."
Tony Rizzoli memandangnya, waspada. "Saya siap."
"Constantin Demiris adalah suami adik perempuan saya. Bertahun-tahun yang lalu ia mempunyai seorang kekasih gelap. Namanya Noelle Page."
"Aktris itu, kan?"
"Ya. Perempuan itu mengkhianatinya dan membuat affair dengan Larry Douglas. Noelle dan Douglas diadili karena membunuh istri Douglas, sebab ia menolak untuk bercerai dengan Douglas. Constantin Demiris lalu menyewa seorang pengacara bernama Napoleon Chotas untuk membela Noelle."
"Saya ingat pernah membaca sedikit tentang peradilan itu."
"Ada hal-hal yang tidak diberitakan oleh surat kabar. Ternyata, ipar saya yang baik itu tidak ingin menyelamatkan hidup kekasihnya yang tidak setia itu. Ia ingin membalas dendam. Ia menyewa Napoleon Chotas untuk meyakinkan bahwa Noelle akhirnya dibuktikan bersalah. Ketika peradilan hampir berakhir, Napoleon Chotas mengatakan kepada para terdakwa bahwa ia telah membuat kesepakatan dengan para hakim jika mereka mau mengaku bersalah. Itu
287 dusta. Mereka mengaku bersalah. Dan mereka malahan dihukum mati."
"Barangkali si Chotas itu benar-benar mengira
bahwa?" "Biarkan saya selesaikan dulu. Jenazah Catherine Douglas tidak pernah ditemukan. Mengapa tidak pernah ditemukan, Mr Rizzoli, adalah karena ternyata ia masih hidup. Constantin Demiris menyembunyikan wanita itu."
Tony Rizzoli mengamati dia. "Sebentar. Demiris tahu bahwa ia masih hidup, dan ia membiarkan pacar gelapnya bersama kekasihnya itu dihukum mati karena membunuh wanita itu?"
"Persis. Saya tidak tahu pasti bagaimana hu-kum diterapkan, tapi saya yakin bahwa kalau rahasia ini terbongkar, ipar saya akan mendekam lama di penjara. Paling sedikit, itu pasti akan membuatnya berantakan."
Tony Rizzoli duduk di situ, merenungkan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak paham. "Mr Lambrou, mengapa Anda menceritakan ini kepada saya?"
Bibir-bibir Spyros Lambrou bergerak membentuk senyum simpul. "Karena saya berutang budi kepada ipar saya itu. Saya ingin Anda pergi menjumpainya. Saya punya firasat bahwa ia akan sangat senang memberikan kapal-kapal-nya untuk Anda pakai."
288 Bab 14 Ada kemurkaan yang berkobar-kobar di dalam dirinya yang tak kuasa dikendalikannya, titik pusat yang dingin jauh di dalam kalbunya, tanpa kenangan-kenangan hangat untuk mencair-kannya. Semua ini bermula setahun yang lalu, saat ia membalas dendam kepada Noelle. Tadinya ia mengira bahwa itu semua sudah berakhir, bahwa masa lalu telah terkubur. Ia tidak menyangka akan ada gema-gema dari masa lalu itu sampai, tanpa diduga, Catherine Alexander masuk kembali ke dalam kehidupannya. Itu yang membuatnya merasa perlu menyingkirkan Frederick Stavros dan Napoleon Chotas. Mereka telah memainkan permainan maut terhadap dirinya, dan akhirnya ia yang menang. Tapi, yang mengherankan Constantin Demiris ialah bahwa ia menikmati tindakan menempuh bahaya itu, tebing curam yang membangkitkan gairah itu. Bisnis memang mempesonakan, tapi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permainan mati-hidup itu. Aku seorang pembunuh, pikir Demiris. Bukan"bukan pembunuh. Seorang algojo.
289 Ia tidak merasa ngeri dengan kenyataan tersebut, ia malahan merasa itu sesuatu yang sangat menyenangkan.
Constantin Demiris menerima laporan ming-guan tentang kegiatan Catherine Alexander. Sampai sejauh ini, semuanya berjalan dengan sangat lancar. Kegiatan sosialnya terbatas pada orang-orang yang sepekerjaan dengannya. Menurut Evelyn, Catherine terkadang keluar dengan Kirk Reynolds. Tapi karena Reynolds bekerja pada Demiris, itu tidak menimbulkan masalah. Gadis yang malang itu pasti sudah ngebet, pikir Demiris. Reynolds orangnya membosankan. Ia tak bisa berbicara lain kecuali tentang hukum. Tapi justru itulah yang sebaiknya. Semakin Catherine merasa perlu teman, semakin mudah jadinya bagi Demiris. Aku benar-benar harus berterima kasih banyak-banyak kepada Reynolds.
Catherine makin sering bertemu dengan Reynolds, dan ia mendapati dirinya makin dekat dengan pria itu. Ia memang tidak tampan, tapi jelas ia menarik. Aku sudah kapok terlibat dengan lelaki tampan seperti Larry, pikir Catherine dengan masam. Pepatah kuno itu benar: Orang tampan belum tentu berperangai sejalan dengan ketam-panannya. Kirk Reynolds penuh perhatian dan bisa dipercaya. la orang yang bisa kuandalkan, pikir Catherine. Memang aku tidak merasakan nya-la yang membara di hatiku, tapi barangkali memang
290 tak akan pernah lagi. Larry telah mengambil itu dariku. Aku sudah cukup dewasa sekarang untuk mapan dan memberikan cintaku kepada pria yang kusegani, yang menghargai aku sebagai teman hidupnya, seseorang dengan siapa aku akan bisa menjalani hidup bersama yang nyaman dan sehat tanpa perlu kuatir dilempar dari puncak bukit, atau di-kubur dalam gua.
Mereka pergi ke bioskop untuk menonton The Lady"s Not For Burning oleh Christopher Fry, dan, di malam lain, September Tide, dengan Gertrude Lawrence. Mereka pergi ke nightclub-nightclub. Semua orkestra seakan-akan memainkan The Third Man dan "La Vie En Rose."
"Aku akan pergi ke St Moritz minggu depan," kata Kirk Reynolds kepada Catherine. "Sudahkah kau memikirkannya?"
Catherine sudah banyak sekali memikirkan itu. Ia merasa pasti bahwa Kirk Reynolds jatuh cinta kepadanya. Dan aku m"enyayanginya, pikir Catherine. Tapi menyayangi dan mencintai itu dua hal yang berbeda, bukan" Atau apakah aku sedang berlaku sebagai seorang romantis yang tolol" Sedang mencari apa aku ini"Larry yang lain?"orang yang akan membuatku tergila-gila, jatuh cinta kepada wanita lain, dan mencoba membunuhku" Kirk Reynolds akan menjadi suami yang hebat. Mengapa aku harus ragu-ragu"
Malam itu Catherine dan Kirk makan malam
291 di Mirabelle, dan ketika mereka sedang menikmati dessert, Kirk berkata, "Catherine, seandainya kau tidak tahu, aku jatuh cinta kepadamu. Aku ingin menikah denganmu."
Tiba-tiba ia merasa panik. "Kirk?" Dan ia tidak tahu harus mengatakan apa. Kata-kata yang akan kuucapkan ini, pikir Catherine, akan mengubah hidupku. Akan cukup mudah untuk mengatakan ya. Apa yang menahanku" Apakah ketakutan akan masa lalu" Apa aku akan takut terus sepanjang hidupku" Tak boleh kubiarkan itu terjadi. "Cathy?"
"Kirk"Mengapa kita tidak pergi saja ke St Moritz bersama-sama?"
Wajah Kirk berbinar. "Apa itu berarti?"" "Kita lihat nanti. Sekali kaulihat aku main ski, barangkali kau tak akan jadi memintaku menikah denganmu."
Kirk tertawa. "Tak ada di dunia ini yang bisa mencegah keinginanku untuk menikah denganmu. Kau telah membuatku merasa amat berbahagia. Kita berangkat tanggal lima Nopem-ber"Hari Guy Fawkes."
"Apa itu Hari Guy Fawkes?" "Ceritanya seru. King James dulu punya kebijaksanaan anti-Katolik yang keras, sehingga sekelompok pemuka Katolik Romawi bersekong-kol untuk menjatuhkan pemerintahan. Seorang serdadu bernama Guy Fawkes didatangkan dari Spanyol untuk memimpin pemberontakan itu. Ia mengatur supaya satu ton bubuk mesiu, yang
292 dimuat dalam tiga puluh enam drum, disembunyikan di basement House of Lords.-Tapi di pagi saat mana mereka akan meledakkan House of Lords itu, salah satu pemberontak melaporkan mereka dan mereka semua ditangkap. Guy Fawkes disiksa, tapi ia tidak mau bicara. Semuanya lalu dihukum mati. Sekarang, setiap tahun di Inggris, hari persekongkolan itu diketahui dirayakan dengan api unggun dan mer-con, dan anak-anak kecil membuat patung-pa-tung "Guys"."
Catherine menggelengkan kepala. "Itu hari li-bur yang sungguh menyedihkan."
Kirk tersenyum kepadanya, dan berkata pe-lan, "Aku berjanji liburan kita tak akan menyedihkan."
Malam sebelum mereka berangkat, Catherine mencuci rambutnya, mengepak barang-barang-nya dan membongkarnya kembali sampai dua kali, dan hatinya penuh dengan luapan kegembiraan. Ia hanya mengenal dua laki-laki dalam kehidupan seksualnya, William Fraser dan suaminya. Masihkah orang sering menggunakan kata-kata seperti "carnal?" Catherine bertanya-tanya dalam hati. My God, kuharap aku masih ingat bagaimana melakukan itu. Kata orang itu seperti mengendarai sepeda; sekali kau bisa, kau tak akan pernah lupa. Barangkali dia akan kecewa denganku nanti di tempat tidur. Barangkali aku akan kecewa dengan diriku sendiri nanti di tempat tidur. Barang-293
kali lebih baik aku singkirkan saja kekuatiran ini dan pergi tidur.
"Mr Demiris?" "Ya."
"Catherine Alexander pagi ini berangkat ke St
Moritz." Diam sebentar. "St Moritz?"
"Ya, sir." "Ia pergi sendirian?"
"Tidak, sir. Ia pergi dengan Kirk Reynolds." Kali ini ia diam lebih lama. "Terima kasih,
Evelyn." Kirk Reynolds! Rasanya tidak mungkin. Apa-nya yang menarik perhatian Catherine" Terlalu lama aku menunggu. Seharusnya aku bergerak lebih cepat. Harus kulakukan sesuatu tentang hal ini. Tak bisa kubiarkan dja"Suara sekretarisnya terdengar melalui interkom.
"Mr Demiris, ada orang bernama Anthony Rizzoli di sini ingin berjumpa dengan Anda. Ia tidak punya appointment dan?"
"Jadi kenapa kauganggu aku?" tanya Demiris. Ia mematikan interkom.
Interkom itu berbunyi lagi. "Maaf saya mengganggu Anda. Mr Rizzoli mengatakan bahwa ia membawa pesan untuk Anda dari Mr Lambrou. Katanya amat penting."
Pesan" Aneh. Mengapa iparnya tidak menyampaikan pesan itu sendiri" "Antar dia masuk."
294 "Ya, sir." Tony Rizzoli diantar masuk ke dalam kantor Constantin Demiris. Ia melihat sekeliling ruang kantor itu dengan penuh kekaguman. Kantor itu lebih mewah daripada kantor Spyros Lambrou. "Terima kasih Anda mau menemui saya, Mr Demiris."
"Anda punya dua menit."
"Spyros yang menyuruh saya ke sini. Ia berpendapat bahwa Anda dan saya sebaiknya berbicara."
"Oh, ya" Dan apa yang perlu kita bicarakan?" "Anda keberatan jika saya duduk?" "Saya kira Anda tak akan terlalu lama di sini."
Tony Rizzoli tetap saja duduk di kursi yang berhadapan dengan Demiris. "Saya punya pa-brik besar, Mr Demiris. Saya sering mengirim barang ke berbagai tempat di dunia."
"Begitu. Dan Anda ingin mencarter salah satu kapal saya."
"Tepat sekali."
"Mengapa Spyros mengirim Anda kepada saya" Mengapa Anda tidak mencarter kapalnya saja" Saat ini kebetulan dua kapalnya ngang-gur."
Tony Rizzoli mengangkat bahu. "Saya kira ia tidak suka dengan barang yang akan saya kirimkan."
"Saya tidak paham. Barang apa yang akan Anda kirim?"
295 "Obat bius," kata Tony Rizzoli dengan lembut. "Heroin."
Constantin Demiris menatap dia seakan tidak percaya. "Dan Anda minta saya untuk?" Keluar dari sini, sebelum saya panggil polisi."
Rizzoli menganggukkan kepalanya ke arah telepon. "Silakan lakukan itu."
Ia menyaksikan Demiris meraih telepon itu. "Saya juga ingin berbicara dengan mereka. Saya ingin menceritakan semuanya tentang peradilan Noelle Page dan Larry Douglas."
Constantin Demiris tertegun. "Anda ini bicara
apa?" "Saya bicara tentang dua orang yang dihukum mati karena membunuh seorang wanita yang kini masih hidup."
Wajah Constantin Demiris jadi pucat.
"Menurut Anda polisi mungkin akan tertarik dengan cerita itu, Mr Demiris" Jika mereka tidak tertarik, barangkali pers akan tertarik, eh" Saya sudah bisa membayangkan headline-headline itu sekarang"bisa Anda bayangkan juga" Bolehkah kupanggil kau Costa" Spyros bilang se-mua temanmu memanggilmu Costa, dan kukira kau dan aku akan menjadi teman baik. Kau tahu mengapa" Karena teman baik tidak akan saling mencelakai. Permainan kecilmu yang berbahaya itu akan kita simpan sebagai rahasia kita
berdua, ya?" Constantin Demiris duduk terpaku di kur"
296 sinya. Ketika ia berbicara, suaranya serak. "Apa maumu?"
"Tadi aku sudah bilang. Aku ingin mencarter salah satu kapalmu"dan, karena kau dan aku teman baik, kukira kau tak ingin menarik biaya dariku, kan" Katakan saja ini bantuan sebagai penukar suatu bantuan juga."
Demiris menghela napas panjang. "Aku tak bisa mengizinkanmu berbuat begitu. Kalau sam-pai ketahuan bahwa aku membolehkan obat bius diselundupkan dalam salah satu kapalku, aku bisa kehilangan seluruh armadaku."
"Tapi tak akan sampai ketahuan, kan" Dalam bisnisku ini, aku tidak pernah gembar-gembor. Kita akan melakukan ini dengan sangat diam-diam."
Ekspresi wajah Constantin Demiris mengeras. "Kau telah membuat kekeliruan besar. Kau tidak bisa memeras aku. Kau tahu aku ini siapa?"
"Yeah. Kau adalah partner baruku. Kau dan aku akan melakukan bisnis bersama unruk wak-tu yang lama, Costa baby, karena, kalau kau menolak, aku akan langsung ke polisi dan pers dan membocorkan seluruh cerita itu. Dan han-curlah reputasimu bersama kerajaan bisnismu ini, habis, tamat."
Demiris diam, lama dan menyakitkan.
"Bagaimana"bagaimana ipar saya bisa tahu itu?"
Rizzoli menyeringai. "Itu tidak penting. Yang penting kau sudah ada dalam genggamanku.
297 Kalau kucengkeram, tamat riwayatmu. Kau akan bernyanyi sopran selama sisa hidupmu, dan kau akan bernyanyi di dalam sel penjara." Tony Rizzoli melihat arlojinya. "Wah, wah, dua menitku sudah habis." Ia bangkit berdiri. "Sekarang kuberi kau waktu enam puluh detik untuk memutuskan apakah aku keluar dari sini sebagai partner-mu"atau keluar begitu saja."
Dalam sekejap, Constantin Demiris nampak sepuluh tahun lebih tua. Wajahnya pucat pasi. Tak bisa dibayangkannya apa yang akan terjadi jika kisah yang sebenarnya mengenai peradilan itu terbongkar. Pers akan memakannya hidup-hidup. Ia akan digambarkan sebagai monster, pembunuh. Mungkin bahkan akan dibuka pe-nyelidikan tentang kematian Stavros dan Chotas.
"Enam puluh detikmu sudah lewat."
Constantin Demiris mengangguk pelan. "Baiklah," ia berbisik, "baiklah."
Tony Rizzoli memandangnya dengan wajah berbinar. "Kau pintar."
Constantin Demiris dengan perlahan berdiri dari kursinya. "Sekali ini kuperbolehkan kau melakukannya," katanya. "Aku tidak mau tahu bagaimana kau melakukannya, atau kapan. Akan kutaruh seorang anak buahmu di atas salah satu kapalku. Sebegitu saja yang bisa kubantu."
"Mufakat," kata Tony Rizzoli. Pikirnya, Rupanya kau tidak terlalu pintar. Sekali saja kau me"
298 nyelundupkan heroin, kau terperosok, Costa" baby. Aku tak akan pernah melepaskanmu lagi. Dengan keras ia mengulangi, "Mufakat."
Dalam perjalanan pulang ke hotelnya, Tony Rizzoli penuh dengan luapan kegembiraan. Sukses besar. Agen-agen anti-narkotika itu tak pernah bermimpi akan berani menyentuh armada Constantin Demiris. Wah, mulai saat ini aku bisa memuati setiap kapalnya yang keluar dari sini. Uang akan mengalir deras. Horse dan antique"sorry, Victor, ia tertawa keras"antiquity.
Rizzoli menghampiri sebuah booth telepon umum di Stadiou Avenue dan melakukan dua hubungan telepon. Yang pertama adalah kepada Pete Lucca di Palermo.
"Kau boleh memanggil pulang dua gorilamu itu, Pete, dan kembalikan ke dalam kebun binatang tempat asalnya. Barangnya sudah siap berangkat. Dikirim dengan kapal laut."
"Kau yakin paket itu cukup aman?"
Rizzoli tertawa. "Lebih aman daripada Bank of England. Aku akan cerita nanti kalau kita bertemu. Dan aku punya kabar baik lainnya. Mulai saat ini kita akan bisa melakukan kiriman setiap minggu."
"Bagus sekali, Tony. Aku selalu tahu kau bisa diandalkan." Omong kosong, kau bajingan.
Hubungan telepon yang kedua adalah kepada
299 Spyros Lambrou. "Semua berjalan lancar. Ipar Anda dan saya akan melakukan bisnis bersama."
"Selamat. Saya sangat gembira mendengarnya, Mr Rizzoli."
Ketika Spyros Lambrou meletakkan gagang telepon, ia tersenyum. Pasukan anti-narkotika juga akan gembira.
Constantin Demiris masih berada di kantornya lewat tengah malam, duduk di depan meja tulisnya, merenungkan masalahnya yang baru ini. Ia telah membalas dendam terhadap Noelle Page, dan sekarang perempuan itu bangkit dari kuburnya untuk menghantuinya. Ia mengeluarkan dari salah satu laci meja tulisnya sebuah foto Noelle yang berpigura. Hello, sundal. God, ia begitu cantik! Jadi kaukira kau akan bisa menghancurkan aku. Well, akan kita lihat nanti. Akan kita lihat nanti.
300 Bab 15 St moritz adalah sebuah pesona. Ada bermil-mil jalur ski yang menuruni perbukitan, jalan-jalan setapak bagi para pendaki, kereta eret dan kere-ta salju, turnamen-turnamen polo dan banyak lagi kegiatan lainnya. Melingkari sebuah danau yang berbinar-binar di Lembah Engadine de-ngan tinggi 6000 kaki di lereng selatan Pegunungan Alpen, di antara Celerina dan Piz Nair, dusun kecil itu membuat napas Catherine tersentak karena luapan kegembiraan.
Catherine dan Kirk Reynolds check-in di Palace Hotel yang termasyhur itu. Lobinya penuh dengan turis dari berbagai penjuru dunia.
Kirk Reynolds berkata kepada petugas di ba-gian reception, "Reservation untuk Mr dan Mrs Reynolds," dan Catherine memalingkan mukanya. Mestinya aku memakai cincin kawin. Ia yakin semua orang di lobi mengamati dia, tahu apa yang sedang dilakukannya.
"Ya, Mr Reynolds. Suite dua lima belas." Si petugas memberikan kunci kepada bellboy, dan bellboy itu berkata, "Harap lewat sini."
301 Mereka diantarkan ke sebuah suite yang can-tik, perabotannya sederhana, dengan pemandangan yang luar biasa indah menatap pegunungan, dari setiap jendelanya.
Setelah bellboy itu pergi, Kirk Reynolds memeluk Catherine. "Tak bisa kukatakan betapa kau membuatku sangat bahagia, darling."
"Mudah-mudahan aku bisa," Catherine menjawab. "Aku" sudah lama sekali, Kirk."
"Jangan kuatir. Aku tak akan mendesakmu."
Ia begitu manis, pikir Catherine, tapi bagaimana
perasaannya terhadapku jika kuceritakan kepadanya
tentang masa laluku" Ia belum pernah menyebut
tentang Larry kepada Kirk, atau tentang peradilan kasus pembunuhan itu, atau yang mana
pun dari hal-hal buruk yang pernah terjadi atas
dirinya dulu. Ia ingin merasa dekat dengan
Kirk, mempercayainya, tapi ada sesuatu yang
menahannya. "Sebaiknya aku membongkar barang dulu,"
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Catherine. Ia membongkar dengan pelan"terlalu pelan
"dan tiba-tiba ia sadar bahwa ia sedang mengulur-ulur waktu, takut menyelesaikan apa yang sedang dikerjakannya karena ia kuatir akan apa yang akan terjadi setelah itu.
Dari kamar yang lain ia mendengar Kirk me"
manggilnya, "Catherine?"
Oh, my God, ia akan mengatakan mari kita menanggalkan pakaian dan pergi ke tempat tidur. Ca"
302 therine menelan ludah dan berkata dengan suara lirih, "Ya?"
"Bagaimana kalau kita pergi ke luar melihat-lihat?"
Catherine langsung lemas karena lega. "Itu gagasan bagus," katanya bersemangat. Kenapa aku ini" Aku berada di salah satu tempat yang paling romantis di dunia, bersama seorang pria menarik yang mencintaiku, tapi aku malahan panik.
Reynolds memandangnya dengan sedikit aneh. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa," kata Catherine ceria. "Aku tidak apa-apa."
"Kau tampak cemas."
"Tidak. Aku" aku sedang berpikir tentang" tentang main ski. Kata orang itu cukup berbahaya."
Reynolds tersenyum. "Jangan kuatir. Kau akan kubantu untuk mulai di lereng yang landai besok. Ayo kita pergi."
Mereka mengenakan sweater dan jaket berlapis dan melangkah ke luar menuju udara yang bersih dan jernih itu.
Catherine bernapas dalam-dalam. "Oh, indah sekali, Kirk. Aku sungguh senang di sini."
"Kau masih belum melihat apa-apa," ia menyeringai. "Dua kali lebih bagus pada musim panas."
Apa ia masih mau berkencan denganku musim panas nanti" Catherine bertanya-tanya dalam ha-ti. Atau aku akan membuatnya sangat kecewa nanti"
303 Mengapa tidak kuhilangkan saja rasa kuatir yang berlebihan ini"
Dusun bernama St Moritz itu merupakan sebuah pesona abad pertengahan yang sungguh memikat, yang dipenuhi oleh toko-toko dan restoran-restoran kuno dan chalet-chalet"rumah beratap condong"yang berserakan di antara Pegunungan Alpen yang megah itu.
Mereka berjalan-jalan seputar toko-toko itu, dan Catherine membeli cendera mata buat Evelyn dan Wim. Mereka berhenti di sebuah cafe dan memesan fondue"masakan dengan tungku di atas meja untuk menggoreng daging.
Sore harinya, Kirk Reynolds menyewa sebuah kereta salju yang ditarik kuda coklat, dan mereka mengendarainya lewat jalan-jalan kecil ber-selimut salju menuju ke perbukitan, bunyi salju gemeretak di bawah roda-roda besi.
"Senang?" tanya Reynolds.
"Oh, ya," Catherine memandang dia dan berpikir, Aku akan membuatmu sangat bahagia. Malam ini. Ya, malam ini. Aku akan membahagiakanmu malam ini.
Malam itu mereka bersantap di hotel, di restoran dengan suasana seperti penginapan pedesaan kuno yang diberi nama Stiibli.
"Ruang ini sudah ada sejak tahun em pat belas delapan puluh," kata Kirk.
"Kalau begitu kita jangan memesan roti."
304 "Apa?" "Cuma bercanda. Sorry."
Larry dulu selalu memahami senda gurauku; mengapa aku memikirkan dia" Karena aku tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam. Aku merasa seperti Marie Antoinette yang sedang menunggu hukuman mati. Aku tidak mau pesan cake untuk dessert.
Hidangannya istimewa, tapi Catherine terlalu tegang untuk bisa menikmatinya. Setelah mereka selesai, Reynolds berkata, "Kita ke atas" Aku sudah mengatur pelajaran ski untukmu besok pagi-pagi."
"O, ya. Baik. Bagus."
Mereka mulai menuju ke atas, dan Catherine merasa jantungnya berdebar-debar. Sebenarnya Kirk akan mengatakan, "Mari kita langsung ke tempat tidur." Dan kenapa tidak" Untuk itulah aku datang ke tempat ini, kan" Aku tidak bisa berpura-pura aku datang untuk main ski.
Mereka tiba di suite mereka, dan Reynolds membuka pintu dan menyalakan lampu. Mereka menuju ke tempat tidur dan Catherine menatap tempat tidur yang besar itu. Benda itu seakan memenuhi seluruh kamar.
Kirk sedang mengamati dia. "Catherine" kau kuatir tentang sesuatu?"
"Apa?" Tertawanya terdengar tidak lepas. Tentu saja tidak. Aku" aku cuma?"
"Cuma apa?" 305 Ia tersenyum cerah kepada Kirk. "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa."
"Bagus. Mari tanggalkan pakaian dan naik ke
tempat tidur." Tepat. seperti yang sudah kuperkirakan tadi, ia akan mengatakan itu. Tapi apa memang itu perlu dikatakannya" Kita seharusnya langsung saja dan melakukannya. Menuangkannya dalam kata-kata kedengaran begitu" begitu" bodoh.
"Apa yang kaukatakan?"
Catherine tidak sadar ia berbicara dengan ke-ras. "Tidak apa-apa."
Catherine sudah sampai di tempat tidur. Yang terbesar yang pernah dilihatnya. Itu tempat tidur yang memang dibuat untuk sepasang kekasih, hanya untuk mereka yang memadu cinta. Bukan tempat tidur untuk tidur. Itu tempat tidur untuk"
"Tidakkah kau akan menanggalkan pakaian,
darling?" Ya atau tidak" Sudah berapa lama sejak aku terakhir tidur dengan seorang pria" Lebih dari satu tahun. Dan ia adalah suamiku.
"Cathy?"" "Ya." Aku akan menanggalkan pakaian, dan aku akan naik ke tempat tidur, dan aku akan membuatmu kecewa. Aku tidak jatuh cinta padamu, Kirk. Aku tidak bisa tidur denganmu.
"Kirk?" Ia menghadapi wanita itu, setengah bertelanjang. "Ya?"
306 "Kirk, aku" Maafkan aku. Kau akan mem-benciku, tapi aku" aku tidak bisa. Aku sangat menyesal. Pasti kaupikir aku ini?"
Ia melihat ekspresi kecewa di wajah Kirk. Kirk memaksakan diri untuk tersenyum. "Cathy, aku sudah bilang aku akan bersabar. Kalau kau belum siap, aku" aku mengerti. Kita masih bisa bersenang-senang di sini."
Ia mencium pipi Kirk dengan penuh rasa terima kasih. "Oh, Kirk. Terima kasih. Aku merasa sangat malu. Aku tidak tahu kenapa aku ini."
"Tak ada apa-apa dengan dirimu," Kirk meyakinkan dia. "Aku mengerti."
Catherine memeluknya. "Terima kasih. Kau baik sekali."
"Sementara itu," Kirk menarik napas, "aku akan tidur di sofa di ruang duduk."
"Tidak, jangan," Catherine menyatakan. "Karena aku yang menyebabkan masalah konyol ini, sedikitnya aku harus yakin bahwa kau tidur enak. Aku akan tidur di sofa itu. Kau yang tidur di tempat tidur."
"Tidak." Catherine berbaring di tempat tidur, sama sekali tidak mengantuk, berpikir tentang Kirk Reynolds. Apa aku akan pernah bisa bercinta dengan pria lain" Atau Larry telah merampas itu dariku" Barangkali, secara tidak langsung, Larry telah ber-307
hasil juga membunuhku. Akhirnya, Catherine tertidur.
Kirk Reynolds terjaga di tengah malam oleh suara jeritan. Ia duduk tegak di sofa dan, ketika jeritan-jeritan itu terus berlanjut, ia bergegas menuju ke kamar tidur.
Catherine memukul-mukul ke udara di tempat tidurnya, matanya tertutup rapat. "Tidak," ia berteriak. "Jangan! Jangan! Tinggalkan aku sendiri!"
Reynolds berlutut dan merangkulkan tangannya ke tubuh Catherine dan memeluknya rapat-rapat. "Shhh," katanya. "Tidak apa-apa. Tidak
ada apa-apa." Tubuh Catherine berguncang keras dan ia ter-isak-isak. Kirk memegangnya erat-erat sampai tangisnya mereda.
"Mereka"mencoba menenggelamkan aku."
"Itu hanya mimpi," kata Kirk menghibur. "Kau baru saja mimpi buruk."
Catherine membuka matanya dan duduk tegak. Tubuhnya gemetar. "Bukan, bukan mimpi. Itu benar terjadi. Mereka memang mencoba membunuhku."
Kirk memandangnya dengan tanda tanya. "Si-apa yang mencoba membunuhmu?"
"Suami" suamiku dan kekasihnya."
Ia menggelengkan kepala. "Catherine, kau baru saja mimpi buruk, dan?"
"Aku berkata sebenarnya. Mereka mencoba
308 membunuhku, dan mereka telah dihukum mati karenanya."
Wajah Kirk dipenuhi rasa tidak percaya. "Catherine?"
"Aku tidak menceritakannya kepadamu sebelum ini, karena" karena sangat menyakitkan bagiku membicarakan hal itu."
Tiba-tiba Kirk sadar bahwa Catherine bersungguh-sungguh. "Apa yang telah terjadi?"
"Aku menolak untuk bercerai dengan Larry, dan dia" ia jatuh cinta kepada wanita lain, dan mereka memutuskan untuk membunuhku."
Kini Kirk mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kapan itu terjadi?"
"Setahun yang lalu."
"Apa yang terjadi atas diri mereka?"
"Mereka"mereka dihukum mati oleh Pengadilan Negeri."
Ia mengangkat tangannya. "Sebentar. Mereka dihukum mati karena percobaan pembunuhan terhadap dirimu?"
"Ya." Reynolds berkata, "Aku bukan ahli hukum Yunani, tapi aku berani bertaruh bahwa tak mungkin ada hukuman mati untuk percobaan pembunuhan. Pasti ada yang keliru. Aku kenal seorang pengacara di Athena. Bahkan ia bekerja di Pengadilan Negeri. Akan kutelepon dia besok pagi, dan menjernihkan masalah ini. Namanya Peter Demonides."
Catherine masih tidur ketika Kirk Reynolds ba"
309 ngun. Ia berpakaian dengan diam-diam dan ma-suk ke kamar tidur. Ia berdiri di situ sebentar, memandang Catherine. Aku begitu mencintainya. Harus kutemukan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan menghapuskan awan-awan gelap itu untuknya.
Kirk Reynolds turun menuju ke lobi hotel dan meminta sambungan telepon ke Athena. "To-long minta person to person, operator. Saya ingin berbicara dengan Peter Demonides."
Hubungan itu tersambung setelah setengah
jam. "Mr Demonides" Kirk Reynolds di sini. Saya tidak tahu apa Anda masih ingat saya, tapi?"
"Tentu saja saya masih ingat. Anda bekerja pada Constantin Demiris."
"Ya." "Apa yang bisa saya bantu, Mr Reynolds?"
"Maaf saya mengganggu. Saya sedikit bingung dengan info yang baru saja saya dapati. Ini menyangkut satu aspek dalam hukum Yu-nani."
"Saya tahu sedikit tentang hukum Yunani," kata Demonides dengan riang. "Saya akan se-nang jika bisa membantu."
"Apakah ada dalam kaidah hukum Anda yang memperbolehkan seseorang dihukum mati hanya karena suatu percobaan pembunuhan?"
Di ujung sana pembicaranya lama terdiam. "Bolehkah saya bertanya mengapa Anda tanyakan ini?"
310 "Saya sedang bersama seorang wanita bernama Catherine Alexander. Rupanya ia berpikir bahwa suaminya dan kekasih gelapnya dihukum mati oleh Pengadilan Negeri karena mencoba membunuhnya. Kedengarannya tidak logis. Anda paham maksud saya?"
"Ya." Suara Demonides kedengaran seakan ia sedang tepekur.
"Saya mengerti maksud Anda. Anda berada di mana, Mr Reynolds?"
"Saya tinggal di Palace Hotel di St Moritz."
"Saya akan mengeceknya, dan saya akan telepon Anda kembali."
"Saya akan sangat menghargai itu. Terus te-rang, saya kira Miss Alexander hanyalah ber-khayal saja, dan saya ingin meluruskan ini su-paya ia lega."
"Saya mengerti. Anda akan mendengar kabar dari saya lagi. Saya janji."
Udara cerah dan bersih, dan keindahan yang ada disekitamya membuat Catherine lupa akan teror yang dialaminya malam sebelumnya.
Berdua mereka makan pagi di dusun, dan setelah mereka selesai, Reynolds berkata, "Mari kita pergi ke lereng jalur ski dan mengubahmu menjadi seekor kelinci salju."
Ia lalu membawa Catherine ke lereng untuk pemula dan menyewa seorang instruktur buat dia.
Catherine memakai skinya, dan berdiri. Ia
311 memandang ke bawah ke kakinya. "Ini sungguh menggelikan. Seandainya dulu Tuhan bermaksud menciptakan kita seperti ini, nenek moyang kita pastilah pohon-pohon." "Apa?"
"Tidak apa-apa. Kirk."
Sang instruktur tersenyum. "Jangan kuatir. Dengan sangat cepat Anda akan meluncur dengan ski seperti seorang pro. Miss Alexander. Kita akan mulai di Corviglia Sass Ronsol. Itu lereng bagi para pemula."
"Kau akan heran nanti betapa cepatnya kau menguasainya," Reynolds meyakinkan Catherine.
Kirk memandang sebuah jalur ski di kejauhan, dan menoleh kepada instrukturnya. "Saya kira saya akan mencoba Fuorcla Grischa hari ini."
"Kedengarannya enak. Aku akan lebih suka jika dipanggang," kata Catherine.
Tak ada senyum. "Itu kan jalur ski, darling."
"Oh." Catherine malu untuk mengatakan kepadanya bahwa ia hanya bercanda. Aku tidak boleh begitu dengan dia, pikir Catherine.
Instruktur berkata, "Grischa jalurnya cukup curam. Anda bisa mulai di Corviglia Standard Marguns untuk pemanasan, Mr Reynolds."
"Gagasan bagus. Itu yang akan kulakukan. Catherine, kita bertemu di hotel nanti saat ma-kan siang."
"Baik." 312 Reynolds melambai dan berjalan pergi. "Semoga senang," seru Catherine. "Jangan lu-pa menulis surat, ya?"
"Well," kata instruktur itu. "Mari kita coba."
Di luar dugaan Catherine, ternyata pelajarannya sangat menyenangkan. Ia nervous pada mulanya. Ia merasa canggung dan menanjak lereng kecil itu dengan kurang luwes.
"Badan maju ke depan sedikit. Ski-skinya te-tap terarah ke depan."
"Katakan pada mereka. Mereka punya pikiran sendiri," Catherine menyatakan.
"Anda cukup baik. Kini kita akan menuruni lereng. Bengkokkan lutut. Jaga keseimbangan. Dorong!"
Ia terjatuh. "Sekali lagi. Anda cukup baik."
Ia terjatuh lagi. Dan lagi. Dan tiba-tiba, ia menemukan rasa keseimbangannya. Dan ia merasa seakan ia punya sayap. Ia meluncur mulus menuruni lereng itu, dan sungguh sangat menyenangkan. Hampir-hampir seperti terbang. Ia senang mendengar gemeretak salju di bawah ski-skirtya dan angin yang menerpa wajahnya.
"Saya senang sekali!" kata Catherine. "Tidak heran banyak orang jadi kecanduan main ski. Berapa lama lagi kita bisa mulai mencoba lereng besar?"
Instruktur itu tertawa. "Kita tetap mencoba ini dulu untuk hari ini. Besok pagi, Olympiade."
313 Secara keseluruhan, itu adalah pagi yang amat menyenangkan.
Ia sedang menunggu Kirk Reynolds di Grill Room ketika Kirk kembali dari main ski. Pipi lelaki itu nampak merah segar dan ia kelihatan bersemangat. Ia menghampiri meja Catherine dan duduk.
"Well," tanyanya. "Bagaimana tadi?" "Hebat. Tulangku tak ada yang patah. Aku hanya jatuh enam kali. Dan kau mau tahu?" katanya dengan bangga. "Ketika pelajaran ham-pir selesai aku cukup baik. Kurasa ia akan mendaftarkan aku ke Olympiade."
Reynolds tersenyum. "Bagiis." Ia sudah akan menyebutkan teleponnya ke Peter Demonides, namun kemudian memutuskan untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin melihat Catherine terguncang lagi.
Setelah makan siang mereka berjalan-jalan lama di salju, mampir ke beberapa toko untuk melihat-lihat. Catherine mulai merasa lelah.
"Kukira aku ingin kembali dulu ke kamar," katanya. "Kukira sebaiknya aku tidur sebentar."
"Gagasan bagus. Udara memang tipis di sini, dan jika kau belum terbiasa memang kau akan mudah merasa lelah."
"Apa yang akan kaulakukan. Kirk?"
Ia melihat ke atas ke sebuah lereng yang jauh. "Kurasa aku akan meluncur dengan ski di
314 Grischa. Belum pernah kulakukan sebelumnya. Rasanya seperti tantangan."
"Maksudmu"karena itu ada di sana."
"Apa?" "Tidak apa-apa. Kelihatannya sangat berbahaya."
Reynolds mengangguk. "Itulah makanya kukatakan tantangan."
Catherine memegang tangannya. "Kirk, mengenai semalam. Maafkan aku. Aku" aku akan mencoba bersikap lebih baik."
"Jangan pikirkan itu. Kembalilah ke hotel dan tidurlah sejenak."
"Baiklah." Catherine mengamati dia berjalan pergi dan berpikir, Ia pria yang sungguh baik. Aku heran apa yang dilihatnya dalam diri orang yang konyol seperti aku ini"
Catherine tidur sepanjang sore itu, dan kali ini ia tidak bermimpi. Ketika ia terbangun hari sudah hampir pukul enam. Kirk akan kembali sebentar lagi.
Catherine mandi dan berpakaian, berpikir tentang petang yang akan segera tiba. Bukan, bukan petang ini, ia berkata pada diri sendiri, malamnya. Aku akan memperbaiki kesalahanku terhadapnya.
Ia menghampiri jendela dan memandang ke luar. Hari sudah mulai gelap. Kirk pasti sangat senang, pikir Catherine. Ia melihat ke atas ke
315 lereng yang sangat besar di kejauhan. Itukah yang namanya Grischa" Aku tak tahu apa aku akan pernah bisa meluncur dengan ski menuruni lereng itu.
Jam tujuh Kirk Reynolds masih saja belum kembali. Senja telah berubah menjadi kegelapan yang pekat. Tak mungkin ia main ski di dalam gelap, pikir Catherine. Pasti ia ada di bar di bawah sedang minum.
Ia sudah akan melangkah ke pintu ketika telepon berdering.
Catherine tersenyum. Aku benar. Ia meneleponku untuk mengajakku menemaninya di bawah.
Ia mengangkat gagang telepon dan berkata dengan ceria, "Well, kau ketemu Sherpa atau tidak tadi?"
Sebuah suara yang asing baginya berkata, "Mrs Reynolds?"
Ia baru akan mengatakan bukan, lalu ingat bagaimana Kirk dulu mendaftarkan mereka di situ. "Ya. Ini Mrs Reynolds."
"Maaf, saya membawa kabar buruk untuk Anda. Suami Anda baru saja mengalami kecelakaan waktu main ski."
"Oh, tidak! Apakah" apakah parah?"
"Saya kuatir iya."
"Saya akan datang sekarang juga. Di mana?""
"Maaf saya harus memberitahu Anda, ia" ia telah meninggal, Mrs Reynolds. Ia meluncur dengan ski menuruni Lagalp dan lehernya patah."
316 Bab 16 Tony rizolli mengamati perempuan itu keluar dari kamar mandi, telanjang, dan berpikir, Mengapa wanita-wanita Yunani semua berpantat besar"
Perempuan itu lalu menyusup masuk ke tempat tidur di samping Rizzoli, merangkul dia dan berbisik, "Aku senang sekali kau memilih aku, poulaki. Aku naksir kamu sejak pertama kulihat kamu."
Tony Rizzoli hampir-hampir tidak tahan dan ingin tertawa keras-keras. Perempuan lacur ini terlalu banyak nonton film B.
"Tentu," katanya. "Aku juga merasa begitu, baby."
Ia memungut perempuan itu di The New Yorker, sebuah nightclub murahan di Kallari Street, di mana ia bekerja sebagai penyanyi. Ia adalah perempuan yang biasa disebut secara menghina oleh orang Yunani sebagai gavyeezee skilo, anjing menggonggong. Tak satu pun perempuan yang bekerja di club itu berbakat"yang jelas bukan
317 di bidang tarik suara"tapi jika ada imbalannya, mereka semua bisa dibawa ke rumah. Yang satu ini, Helena, lumayan menarik, bermata hitam, wajah yang sensual, dan tubuh yang padat dan sintal. Umurnya dua puluh empat, agak terlalu hia untuk selera Rizzoli, tapi ia tidak kenal banyak wanita di Athena, jadi ia tidak bisa terlalu memilih.
"Kau senang padaku?" Helena bertanya ter"
sipu-sipu. "Yeah. Saya benar-benar pazzo sama kamu." Ia mulai mengusap-usap perempuan itu, dan kemudian meremasnya. "Uh!"
"Terus k e bawah kepalamu, baby."
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak biasa begitu."
Rizzoli membelalak menatapnya. "Oh, ya?"
Lalu, dengan serta merta, dipegangnya ram-but perempuan itu, dan ditariknya.
Helena menjerit. "Parakalo!"
Rizzoli menampar wajahnya dengan keras. "Kau berani bersuara lagi dan lehermu kupatahkan."
Rizzoli menarik wajah perempuan itu ke bawah. "Nah, di situ, baby. Bikin dia senang."
"Lepaskan aku," ia merintih. "Kau menyakiti aku."
Rizzoli mengencangkan pegangannya di rambutnya. "Hey"kau tergila-gila padaku"ingat?" Ia melepaskan rambut perempuan itu, dan ia
318 menengadah melihat kepada Rizzoli, matanya berapi-api.
"Kau bisa pergi?"
Sinar mata Rizzoli mengurungkan niat perempuan itu. Ada sesuatu yang tak wajar pada diri laki-laki ini. Mengapa tadinya tidak dilihatnya ini"
"Kita tidak perlu bertengkar," kata Helena menenangkan. "Kau dan aku?"
Jemari Rizzoli menggerayangi lehernya. "Aku tidak membayarmu untuk berbincang-bincang." Tinjunya mendarat di pipi perempuan itu. "Tu-tup mulut dan lakukan tugasmu."
"Tentu saja, sweetheart" Helena merintih. "Tentu."
Hasrat Rizzoli seakan tak ada batasnya, dan ketika akhirnya dia sudah puas, Helena benar-benar lelah. Ia berbaring di sisi laki-laki itu sampai ia yakin bahwa partner-nya itu sudah tidur, lalu pelan-pelan ia menyusup ke luar tempat tidur dan berpakaian. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Rizzoli belum membayarnya, dan biasanya Helena akan mengambil sendiri dari dompet, ditambah tip yang cukup buat dirinya. Tapi kali ini nalurinya berkata lebih baik pergi saja tanpa mengambil uang.
Satu jam kemudian, Tony Rizzoli terbangun oleh suara ketukan keras di pintu kamarnya. Ia duduk tegak dan melihat arlojinya. Jam empat
319 pagi. Ia melihat ke sekelilingnya. Gadis itu sudah pergi.
"Siapa itu?" ia berseru.
"Tetangga Anda." Suara itu kedengaran ma-rah. "Ada telepon buat Anda."
Rizzoli mengusap dahinya dengan sebelah tangannya. "Saya akan segera ke sana."
Ia mengenakan jubah kamarnya dan berjalan melintasi kamar itu menuju ke tempat di mana celananya tergantung di sebuah kursi. Ia mengecek dompetnya. Uangnya masih utuh. Jadi, perempuan itu tidak bodoh. Ia mengeluarkan selembar uang kertas seratus dolar, berjalan menuju ke pintu dan membukanya.
Tetangganya itu berdiri di gang mengenakan jubah kamar dan sandal. "Tahukah Anda sekarang jam berapa?" ia bertanya dengan marah. "Anda bilang dulu?"
Rizzoli memberikan uang seratus dolar itu kepadanya. "Saya benar-benar minta maaf," katanya dengan sikap menyesal. "Tidak akan lama."
Laki-laki itu menelan ludah, kemarahannya hilang. "Tidak apa-apa. Pasti sangat penting sampai orang perlu membangunkan orang lain pada jam empat pagi."
Rizzoli berjalan menuju ke kamar di seberang gang dan mengangkat gagang telepon. "Rizzoli."
Sebuah suara terdengar, "Anda punya masalah, Mr Rizzoli."
"Ini siapa?" 320 "Spyros Lambrou minta saya menelepon Anda."
"Oh." Tiba-tiba ia mencium adanya ketidak-beresan. "Ada masalah apa?"
"Ini menyangkut Constantin Demiris." "Kenapa dia?"
"Salah satu tankernya, Thele, ada di Marseilles. Tertambat di dermaga di Bassin de la Grande Joliette."
"Jadi?" "Kami baru saja diberitahu bahwa Mr Demiris telah memerintahkan kapal itu dibawa menyim-pang menuju ke Athena. Kapal itu akan berlabuh di sana Minggu pagi, dan akan berlayar kembali Minggu malam. Constantin Demiris merencanakan untuk ikut dengan kapal itu."
"Apa?" "Ia melarikan diri."
"Tapi dia dan saya ada?"
"Mr Lambrou minta disampaikan kepada Anda bahwa Demiris merencanakan untuk bersembunyi di Amerika sampai ia menemukan jalan untuk menyingkirkan Anda."
Bajingan licikl "Baiklah. Ucapkan terima kasih kepada Mr"Lambrou dari saya. Katakan padanya terima kasih banyak."
"Dia senang melakukannya."
Rizzoli meletakkan telepon itu.
"Semuanya beres, Mr Rizzoli?"
"Ya" Yeah. Semuanya sangat baik." Dan memang begitu.
321 Semakin banyak Rizzoli memikirkan tentang be-rita telepon itu, semakin senang hatinya. Ia telah membuat Constantin Demiris lari ketakutan. Itu akan membuatnya semakin mudah untuk mengendalikan dia. Minggu. Ia punya dua hari untuk menyusun rencana.
Rizzoli tahu ia harus berhati-hati. Ia diikuti ke mana saja ia pergi. Keystone Kovs sialan itu, pikir Rizzoli dengan melecehkan. Kalau tiba waktunya nanti, kusikat mereka.
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Rizzoli berjalan menuju ke sebuah booth telepon umum di Kifissias Street dan memutar nomor Museum Negara Athena.
Dari pantulan di kaca Rizzoli melihat seorang pria berpura-pura melihat-lihat etalase toko, dan di seberang jalan seorang pria lain berbicara dengan penjual bunga. Kedua pria itu adalah bagian dari tim pengawas yang sedang mengamati dia. Semoga sukses, pikir Rizzoli.
"Kantor kurator di sini. Bisa saya bantu?"
"Victor" Tony di sini."
"Ada masalah?" Suara Korontzis langsung kedengaran panik.
"Tidak ada," kata Rizzoli menenangkan. "Semua berjalan baik. Victor, kau tahu vas cantik yang ada ukiran-ukiran merahnya?"
"The Ka amphora."
"Yeah. Aku akan mengambilnya malam ini." Ujung sana terdiam lama. "Malam ini" Aku"
322 aku tidak yakin, Tony." Suara Korontzis bergetar. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu nanti?"
"Okay, kawan, lupakan saja. Aku hanya mencoba membantumu. Kaubilang saja kepada Sal Prizzi uangnya tidak ada, dan biarkan dia melakukan apa saja?"
Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Tony. Tunggu. Aku" aku?" Lalu di-am lagi. "Baiklah."
"Kau yakin kau mau, Victor" Sebab jika kau tak mau melakukannya, bilang saja begitu, dan aku akan segera pulang ke Amerika, di mana aku tak punya masalah seperti ini. Aku tidak butuh semua kerepotan ini, kau tahu. Aku bisa saja?"
"Tidak, tidak. Aku sangat menghargai semua yang kaulakukan buatku, Tony. Sungguh. Malam ini semua beres."
"Okay kalau begitu. Setelah museum tutup, kau hanya perlu mengganti vas yang asli itu dengan tiruannya."
"Penjaga akan memeriksa semua bungkusan yang keluar dari sini."
"Jadi" Apa para penjaga itu semua ahli benda seni?"
"Tidak. Tentu saja tidak, tapi?"
"Baiklah, Victor, dengarkan aku. Kauusahakan bon penjualan untuk satu tiruan benda itu dan tempelkan itu pada benda aslinya dalam sebuah kantong kertas. Kau mengerti?"
"Ya. Aku" aku mengerti. Di mana kita bertemu nanti?"
323 "Kita tidak akan bertemu. Tinggalkan museum pada jam enam. Akan ada taksi menunggu di depan. Bawa bungkusan itu. Bilang pada sopirnya untuk menuju ke Grande Bretagne Hotel. Minta dia menunggumu. Tinggalkan bungkusan itu di dalam taksi. Masuk ke bar di hotel itu dan pesanlah minuman. Setelah itu, pulang-lah."
"Tapi bungkusannya?"
"Jangan kuatir. Itu akan diurus."
Victor Korontzis berkeringat. "Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, Tony. Aku belum pernah mencuri apa pun. Seluruh hidupku?"
"Aku tahu," kata Rizzoli menenangkan. "Aku juga belum pernah. Ingat, Victor, aku menanggung semua risikonya, dan aku tidak mendapatkan untung apa-apa."
Suara Korontzis serak karena terharu. "Kau benar-benar teman baik, Tony. Teman paling baik yang pernah kupunyai." Ia meremas-remas tangannya. "Apa kau tahu kapan kira-kira uang itu bisa kuperoleh?"
"Dengan segera," Rizzoli meyakinkan dia. "Sekali kita lakukan ini, kau tak akan perlu merasa takut lagi." Dan aku juga tidak, pikir Rizzoli dengan senang. Tak akan pernah lagi.
Dua kapal penumpang berada di pelabuhan Piraeus sore itu dan karena itu museum penuh dikunjungi para turis. Biasanya Victor Korontzis
324 senang mengamati mereka, mencoba menduga-duga bagaimana kehidupan mereka. Ada orang Amerika dan orang Inggris, dan para pengun-jung dari berbagai negara lain. Kini, Korontzis terlalu panik untuk bisa memikirkan mereka.
Ia mengamati dua lemari kaca di mana tiruan benda-benda antik itu dijual. Banyak orang ber-kerumun di situ, dan kedua pramuniaga itu sedang sibuk melayani permintaan.
Barangkali akan terjual habis, pikir Korontzis penuh harap, dan aku tidak akan bisa melaksanakan rencana Rizzoli. Tapi ia tahu bahwa ia bersikap tidak realistis. Ada ratusan replika seperti itu yang disimpan di basement museum.
Vas yang diminta Tony untuk dicuri untuknya adalah salah satu harta paling bernilai dari museum itu. Itu berasal dari abad kelima belas sebelum Maseru, sebuah amphora dengan tokoh-tokoh mitologi berwarna merah yang dilukiskan di atas la tar hi tarn. Terakhir kali Victor Korontzis menyentuhnya adalah lima belas tahun sebelumnya saat ia menaruhnya di peti itu dengan sangat khusyuk untuk dikunci selamanya. Dan kini aku akan mencurinya, pikir Korontzis dengan merana. Tuhan mengampuni aku.
Dengan pikiran kacau, Korontzis melewati sore itu, ngeri memikirkan saat ia akan menjadi ma^ ling. Ia balik ke kantornya, menu tup pintunya, dan duduk di depan meja tulisnya, dirundung rasa putus asa. Aku tak bisa melakukan ini, pikir"
325 nya. Harus ada jalan keluar yang lain. Tapi apa" Ia tak bisa memikirkan cara lain untuk menyediakan uang sebanyak itu. Masih terngiang suara Prizzi. Kauberikan padaku uang itu malam ini, atau aku akan membuatmu jadi makanan ikan. Kau mengerti" Lelaki itu seorang pembunuh. Tidak, dia tak punya pilihan.
Beberapa menit sebelum jam enam, Korontzis keluar dari kantornya. Kedua wanita yang menjual replika benda-benda bersejarah itu sedang menutup lemari-lemari.
"Signomi," Korontzis menyapa. "Seorang teman saya berulang tahun. Saya pikir saya akan memberi dia sesuatu dari museum." Ia menghampiri lemari itu dan berpura-pura mengama-:::.va. Ada vas-vas dan patung-patung setengah badan, cawan-cawan dan buku-buku dan peta-peta. Ia mengamati lagi seakan-akan sedang mencoba memutuskan yang mana yang akan dipilih. Akhirnya, ia menunjuk tiruan amphora merah itu. "Saya rasa ia akan menyukai yang itu."
"Pasti," kata wanita itu. Ia mengambilnya dari lemari dan memberikannya kepada Korontzis.
"Bisa saya minta tanda terimanya?"
"Tentu, Mr Korontzis. Apakah Anda mau ka-mi bungkus ini dengan kertas kado?"
"Tidak, tidak," kata Korontzis dengan cepat. Masukkan saja langsung ke dalam kantong."
Ia menyaksikan replika itu beserta bonnya
326 dimasukkan ke dalam sebuah kantong kertas. Terima kasih."
"Saya harap teman Anda menyukainya."
"Saya yakin begitu." Korontzis mengambil kantong itu, tangannya gemetar, lalu berjalan balik ke kantornya.
Ia mengunci pintu, lalu mengeluarkan vas imitasi itu dari kantongnya dan meletakkannya di atas meja. Masih belum terlambat. pikir Korontzis. Aku belum melakukan kejahatan. Ia berada dalam ketidakpastian yang menyiksa. Serangkaian bayangan mengerikan melintas di benaknya. Aku bisa saja lari ke luar negeri dan meninggalkan anak-istriku. Atau aku bisa bunuh diri. Aku bisa juga pergi ke polisi dan melaporkan bahwa jiwaku terancam. Tapi jika faktanya terbongkar nanti, aku akan hancur. Tidak, tak ada jalan keluar. Kalau dia tidak membayar utangnya, ia tahu bahwa Prizzi akan membunuhnya. Syukurlah, pikirnya, aku punya teman Tony. Tanpa dia, aku pasti akan mati.
Ia melihat arlojinya. Saatnya untuk bergerak. Korontzis bangkit berdiri, kaki-kakinya terasa bergoyang. Ia berdiri di situ, berkali-kali menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tangannya basah oleh keringat. Ia menyekakan-nya pada kemejanya. Ia menaruh replika itu kembali di dalam kantong kertas, dan bergerak menuju ke pintu. Ada satu penjaga yang ditempatkan di pintu depan yang akan selesai ber-tugas pada jam enam, setelah museum tutup,
327 dan satu penjaga lagi yang berpatroli keliling, tapi ada enam ruangan yang harus diliputnya. Ia pasti sedang berada di ujung paling jauh museum itu saat ini.
Korontzis berjalan ke luar dari kantornya, dan bertabrakan dengan si penjaga. Ia bergerak dengan terkejut dan rasa bersalah.
"Maaf, Mr Korontzis. Saya tidak tahu Anda masih di sini."
"Ya. Saya" saya sedang siap-siap akan pulang."
"Tahukah Anda," kata penjaga itu dengan rasa kagum, "saya iri kepada Anda."
Kalau saja ia tahu. "Oh, ya" Mengapa?"
"Anda tahu begitu banyak tentang semua benda indah ini. Saya berjalan-jalan di sini dan saya mengamatinya dan benda-benda itu merupakan bagian-bagian dari sejarah, bukan" Saya tidak tahu banyak tentang ini. Barangkali suatu saat Anda mau menjelaskannya kepada saya. Saya benar-benar?"
Si goblok ini tidak juga berhenti berbicara. "Ya, tentu saja. Kapan-kapan. Saya akan senang melakukan itu." Di ujung lain dari ruangan itu, Korontzis bisa melihat lemari yang berisi vas yang bernilai tinggi itu. Ia harus bisa lepas dari penjaga ini.
"Rupanya" rupanya ada sedikit masalah dengan sirkuit alarm di basement. Maukah Anda mengeceknya?"
328 "Tentu. Saya tahu bahwa beberapa benda di sini berasal dari zaman?"
"Bisa tolong dicek sekarang" Saya tak enak mau pulang sebelum saya yakin bahwa semuanya sudah beres."
"Pasti, Mr Korontzis. Saya akan segera kembali."
Victor Korontzis berdiri di situ, menyaksikan penjaga itu berjalan menyusuri lorong, menuju ke arah basement. Begitu ia hilang dari penglihatan, Korontzis bergegas menghampiri peti yang berisi amphora merah itu. Ia mengeluarkan sebuah kunci, dan berpikir, Aku benar-benar melakukannya. Aku akan mencurinya. Kunci itu lepas dari genggamannya, dan jatuh bergemerincing di lantai. Apakah ini sebuah isyarat" Apakah Tuhan ingin mengatakan sesuatu" Keringatnya mengucur di sekujur tubuhnya. Ia membungkuk dan memungut kunci itu, dan menatap ke arah vas itu. Luar biasa indahnya. Vas itu telah dibuat dengan begitu sungguh-sungguh oleh para lelu-hurnya, beribu-ribu tahun yang lalu. Penjaga itu benar; ini adalah satu bagian dari sejarah, sesuatu yang tak akan pernah bisa diganti.
Korontzis memejamkan matanya sejenak dan bergidik. Ia melihat ke sekeliling untuk memastikan tak ada orang yang sedang memperhatikan, lalu membuka kunci peti itu dan dengan hati-hati mengangkat vas itu. Ia mengeluarkan replikanya dari kantong kertas dan meletakkan-329
nya dalam peti di tempat vas yang asli tadi berdiri.
Korontzis berdiri di situ, mengamatinya sebentar. Itu adalah hasil reproduksi seorang ahli tapi baginya meneriakkan kata Palsu. Begitu je-las nampak. Tapi hanya bagi mataku, pikir Korontzis, dan bagi mala beberapa ahli lain. Tak ada orang lain yang bisa melihat bedanya. Dan tak akan ada alasan orang akan memeriksanya dengan teliti. Korontzis menutup peti itu dan menguncinya, dan menaruhkan vas yang asli itu ke dalam kantong kertas bersama bon yang tadi.
Ia mengeluarkan saputangan dan menyeka wajah dan tangannya. Sudah selesai. Ia memandang arlojinya. Jam enam sepuluh. Ia harus bergegas. Ia berjalan ke pintu dan melihat penjaga datang ke arahnya.
"Saya tidak menemukan apa-apa yang salah pada sistem alarm itu, Mr Korontzis dan?"
"Bagus," kata Korontzis. "Tak ada salahnya berhati-hati."
Penjaga itu tersenyum. "Anda benar tentang itu. Pulang sekarang?"
"Ya. Selamat malam."
"Selamat malam."
Penjaga kedua ada di pintu depan, sudah bersiap-siap akan pulang. Ia melihat kantong kertas itu dan menyeringai. "Saya harus memeriksanya. Aturan Anda sendiri."
330 "Tentu," Korontzis dengan cepat berkata. Ia memberikan kantong itu kepada penjaga.
Penjaga itu melihat ke dalam kantong, mengeluarkan vas itu dan melihat bonnya.
"Hadiah untuk teman," Korontzis menjelaskan. "Ia seorang insinyur." Mengapa harus kukatakan itu" Apa pedulinya! Aku harus bersikap wajar.
"Bagus." Penjaga itu melemparkan vas itu kembali ke dalam kantong, dan untuk sesaat yang mendebarkan, Korontzis mengira benda itu akan pecah.
Korontzis mencengkeram kantong itu dan menempelkannya ke dadanya. "Kalispehra"
Penjaga itu membukakan pintu baginya. "Kalispehra."
Korontzis keluar ke udara malam yang sejuk, bernapas dengan berat dan berusaha melawan rasa mual di perutnya. Ia memegang sesuatu yang bernilai jutaan dolar di tangannya, tapi Korontzis tidak berpikir secara begitu. Yang di-pikirkannya yaitu bahwa ia sedang mengkhianati negerinya, mencuri suatu bagian sejarah dari Yunani yang dicintainya dan menjualnya kepada orang asing yang tidak dikenalnya.
Ia mulai menuruni undakan. Seperti yang telah dijanjikan Rizzoli, sebuah taksi sudah menunggu di depan museum. Korontzis menghampirinya, dan masuk ke dalamnya. "Grande Bretagne Hotel," katanya.
Ia menyandar lesu di tempat duduknya. Ia
331 merasa luluh dan lelah, seakan ia baru saja melakukan pertempuran yang dahsyat. Tapi menangkah dia atau kalahkah"
Ketika taksi itu berhenti di depan Grande Bretagne Hotel, Korontzis berkata kepada sopirnya, "Harap tunggu di sini." Ia memandang bungkusan berharga di jok belakang itu untuk yang terakhir kalinya, lalu keluar dan dengan cepat berjalan masuk ke dalam lobi hotel itu. Sampai di dalam, ia berbalik dan mengamati. Seorang pria sedang masuk ke dalam taksi itu. Sebentar kemudian taksi itu meluncur pergi.
Begitulah. Sudah selesai. Aku tak akan pernah berbuat seperti ini lagi, pikir Korontzis. Tidak lagi sepanjang hidupku. Mimpi buruk ini sudah lewat.
Jam tiga sore hari Minggu, Tony Rizzoli berjalan keluar dari hotelnya dan menuju ke arah Platia Omonia. Ia mengenakan jas merah terang kotak-kotak, celana hijau dan topi baret merah. Dua detektif mengikutinya. Salah satu berkata, "Ia pasti membeli pakaian-pakaian itu di sirkus."
Di Metaxa Street, Rizzoli memanggil taksi. Detektif itu berbicara melalui walkie-talkie-nya. "Subyek naik taksi menuju ke barat."
Sebuah suara menjawab, "Kami melihat dia. Kami sedang mengikuti. Kembalilah ke hotel."
"Baik." Sebuah mobil sedan tak bernomor mengikuti di belakang taksi itu, menjaga jarak dengan
332 hati-hati. Taksi itu menuju ke selatan, lewat Monastiraki. Di dalam sedan itu, sang detektif yang duduk di sebelah pengemudi mengambil mikrofon tangan.
"Sentral. Ini Unit Empat. Subyek ada di dalam taksi. Sedang meluncur di Philhellinon Street" Tunggu. Mereka baru saja belok ke ka-nan di Peta Street. Rupanya ia akan menuju ke Plaka. Kita bisa kehilangan dia di situ. Apa bisa seorang petugas diminta mengikuti dia dengan berjalan kaki?"
"Sebentar, Unit Empat." Beberapa detik kemudian, radio itu mengudara lagi. "Unit Empat. Kami sudah memperoleh bantuan. Kalau nanti dia turun di Plaka, ia akan terus di bawah pengawasan."
"Kala. Subyek mengenakan jas merah terang kotak-kotak, celana hijau dan baret merah. Gampang dilihat. Tunggu sebentar. Taksinya berhenti. Ia turun di Plaka."
"Kami akan meneruskan info ini. Ia sudah di-cover. Tugas Anda selesai. Out."
Di Plaka, dua detektif mengamati ketika pria yang jadi sasaran itu muncul dari taksi.
"Di mana sih dia membeli pakaiannya itu?" salah satu detektif bertanya dengan suara keras.
Mereka merapat di belakang orang itu dan mulai mengikutinya di tempat rumit yang penuh orang di wilayah tua kota itu. Sepanjang satu jam berikutnya, ia mondar-mandir tanpa
333 tujuan di jalan-jalan di situ, lewat taverna-taver-na, bar-bar, toko-toko cendera mata, dan galeri-galeri seni kecil. Ia berjalan menyusuri Ana-phiotika dan berhenti untuk melihat-lihat pasar loak yang penuh dengan pedang, belati, senapan kuno, panci masak, tempat lilin, lampu mi-nyak, dan teropong.
"Gila. Dia mau apa sebenarnya?"
"Rupanya dia cuma mau jalan-jalan sore saja. Sebentar. Itu dia belok."
Mereka mengikutinya ketika ia berbelok ke Aghiou Geronda dan terus menuju ke restoran Xinos. Kedua detektif itu berdiri di luar, di kejauhan, melihat ia sedang memesan makanan.
Para detektif itu mulai merasa bosan. "Kuharap ia segera bertindak. Aku ingin pulang. Aku bisa tidur sebentar."
"Tetap waspada. Kalau kita kehilangan dia, Nicolino akan mencaci maki kita."
"Tak mungkin kita bisa kehilangan dia. Ia begitu mencolok seperti menara api."
Detektif satunya menatapnya.
"Apa" Apa yang kaukatakan tadi?"
"Aku bilang?" "Sudahlah." Ada nada mendesak yang tiba-tiba dalam suaranya.
"Apa kau pernah mengamati wajahnya?" "Tidak."
"Aku juga tidak. Tiflo! Ayo." Kedua detektif itu bergegas menuju ke restoran itu dan menghampiri mejanya.
334 Mereka mendapati bahwa orang itu sama sekali bukan Tony Rizzoli.
Inspektur Nicolino benar-benar murka. "Aku menugaskan tiga tim untuk mengikuti Rizzoli. Bagaimana kalian bisa kehilangan dia?"
"Ia mengelabui kami, Inspektur. Tim pertama melihat dia masuk ke sebuah taksi dan?"
"Dan mereka kehilangan taksi itu?"
"Tidak, sir. Kami melihat dia keluar dari taksi itu. Atau paling tidak kami mengira itu dia. Ia mengenakan pakaian yang amat mencolok. Rizzoli menyembunyikan seorang penumpang lain di dalam taksi itu, dan keduanya lalu bertukar pakaian. Kami mengikuti orang yang salah."
"Dan Rizzoli kabur dengan taksi itu." "Ya, sir."
"Kalian catat nomor mobilnya?" "Well, tidak, sir. Kami kira tadinya itu tidak penting."
"Bagaimana dengan orang yang kalian tangkap itu?"
"Ia bellboy di hotel Rizzoli. Rizzoli bilang bahwa ia ingin bercanda dengan seseorang. Ia memberi anak itu seratus dolar. Cuma itu yang diketahui anak itu."
Inspektur Nicolino menghela napas panjang. "Dan aku rasa tak ada di antara kalian yang tahu di mana Mr Rizzoli saat ini berada?"
"Tidak, sir. Rupanya tidak ada."
335 Yunani memiliki tujuh pelabuhan penting" Thessaloniki, Patras, Volos, Igoumenitsa, Kavala, Iraklion, dan Piraeus.
Piraeus terletak tujuh mil sebelah barat daya pusat kota Athena, dan berperanan bukan hanya sebagai pelabuhan utama Yunani, tapi sebagai salah satu pelabuhan terpenting di Eropa. Kbmpleks pelabuhan itu terdiri dari empat dermaga, tiga di antaranya dipakai untuk kapal-kapal pesiar dan kapal-kapal samudera. Dermaga yang keempat, Herakles, dipakai khusus untuk kapal barang dengan lubang pintu terbuka yang langsung menempel di dermaga.
Thele sedang berlabuh di Herakles. Itu adalah sebuah tanker raksasa, dan dalam keadaan diam di dermaga yang gelap itu, kapal tersebut bagaikan makhluk raksasa yang siap menerkam.
Tony Rizzoli, didampingi empat orang, naik mobil menuju ke dermaga. Rizzoli mendongak melihat ke kapal raksasa itu dan berpikir, Jadi benda itu ada di sini. Mari kita lihat apa teman kita Demiris sudah ada di atas.
Ia menoleh kepada orang-orang yang menyer-tainya. "Aku mau dua dari kalian menunggu di sini. Yang dua lagi ikut denganku. Pastikan bahwa tak ada orang yang turun dari kapal."
"Baik." Rizzoli dan kedua orang itu menaiki tangga kapal. Ketika sampai di puncaknya, seorang awak kapal menghampiri mereka. "Bisa saya bantu?"
336 "Kami di sini untuk bertemu dengan Mr Demiris."
"Mr Demiris ada di kabin pemilik. Apakah ia menunggu Anda?"
Jadi infonya ternyata benar. Rizzoli tersenyum. "Yeah. Ia memang sedang menunggu kami. Jam berapa kapal akan berangkat?"
"Tengah malam nanti. Mari saya tunjukkan jalannya."
"Terima kasih."
Mereka mengikuti pelaut itu sepanjang dek sampai mereka sampai ke sebuah tangga yang menuju ke bawah. Ketiga orang itu mengikuti dia menuruni tangga itu dan sepanjang lorong sempit, melewati sejumlah kabin.
Ketika mereka tiba di kabin terakhir, pelaut itu mulai mengetuk pintunya. Rizzoli mendorongnya ke samping. "Kami akan memberitahukan kehadiran kami sendiri." Ia mendorong pintu itu terbuka dan melangkah masuk.
Kabin itu lebih besar daripada yang diperkirakan Rizzoli. Dilengkapi dengan sebuah tempat tidur dan sebuah sofa, sebuah meja tulis, dan dua kursi santai. Di belakang meja itu duduk Constantin Demiris.
Ketika ia mendongak dan melihat Rizzoli, Demiris mencoba dengan susah payah untuk berdiri. Wajahnya pucat. "Apa" apa yang kaulakukan di sini?" Suaranya terdengar seperti berbisik.
"Teman-teman dan aku memutuskan untuk
337 mengadakan sedikit kunjungan bon voyage, Costa."
"Bagaimana kau bisa tahu aku?" Maksudku" aku tidak menduga kau akan datang."
"Pasti kau tidak menduga," kata Rizzoli. Ia lalu menoleh kepada pelaut itu. "Terima kasih, Bung."
Macan Tutul Di Salju 7 Jangan Main Main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu Misteri Lukisan Tengkorak 8