Pencarian

Semester Pertama Di Malory 2

Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 2


yang berani mengakui kesalahannya. Berani minta maaf untuk kesalahan itu dan
tidak mencari-cari alasan untuk kesalahan tersebut. Tentu saja dengan sikap
seperti ini semua orang mau tak mau terpaksa merasa suka padanya!
"Ya, kukira kau memang tak bisa mengendalikan dirimu tadi," kata Katherine.
"Kupikir Gwendoline memang sudah sewajarnya memperoleh hukuman, Darrell, tetapi
bukan kau yang harus menghukumnya. Akulah yang punya hak untuk menegurnya, atau
Pamela, atau bahkan Nona Potts. Bukan kau. Bisa kaubayangkan, betapa kacaunya
suasana kalau setiap anak di sekolah ini diperbolehkan menampari anak lain
sesuanya!" "Aku tahu, hal itu juga terpikir olehku," kata Darrell. "Aku juga sangat malu
pada perbuatanku tadi, Katherine. Sudah pantas bila kau menggusariku. Aku harap
kau percaya padaku."
"Aku percaya," kata Katherine. "Tetapi kurasa ada sesuatu hal yang harus
kaulakukan. Sesuatu yang mungkin sangat tidak menyenangkan hatimu, sebelum
perkara ini bisa kita anggap selesai."
"Oh, apa itu?" tanya Darrell, tampak sangat takut.
"Begini. Kau harus minta maaf pada Gwendoline," kata Katherine hati-hati,
mengira setiap saat Darrell akan meledak marah lagi.
"Minta maaf pada Gwendoline" Oh, itu sudah kulakukan," kata Darrell dengan
perasaan lega. "Kukira kau akan menyuruh aku melakukan sesuatu yang tak
menyenangkan. Aku selalu menyesal segera setelah marahku reda, seperti kataku
tadi. Dan karenanya aku selalu langsung minta maaf!"
Anak-anak makin tercengang. Mereka memperhatikan Darrell yang mengibaskan rambut
hitamnya serta menatap Katherine dengan mata jernih jujur. Kalau begitu...
sesungguhnya mereka tak perlu mengadaan rapat ini! Mereka tak perlu bersepakat
untuk mengadili Darrell dan menyuruhnya minta maaf. Agaknya Darrell bisa
mengadili dirinya sendiri, serta bisa memperbaiki tingkahnya yang salah. Semua
memandang Darrell dengan rasa kagum. Mary-Lou tak bisa diam di tempat duduknya.
Betapa hebatnya Darrell! "Tentu saja aku masih berpendapat bahwa Gwendoline telah berbuat keji kepada
Mary-Lou. Dan aku berpendapat sungguh patut disayangkan bahwa Mary-Lou tidak
berusaha membela diri sehingga anak berhati keji seperti Gwendoline tidak kapok-
kapoknya menggoda dia," kata Darrell.
Mary-Lou melemas di kursinya. Oh, Darrell ternyata menganggapnya anak lemah tak
punya daya dan tak punya keberanian. Dan itu memang benar Ia tahu tentang
dirinya sendiri. Ia tahu bahwa seorang anak yang kuat dan mengagumkan seperti
Darrell takkan pernah betul-betul menyukai seorang anak lemah seperti Mary-Lou.
Alangkah senangnya kalau ia bisa membuat Darrell bersahabat dengannya!
Gwendoline membuka pintu dan masuk, membuat wajahnya sesedih mungkin. Rambutnya
telah dibuatnya berurai ke punggungnya dan ia membayangkan dirinya seorang
malaikat yang baru saja disiksa oleh sesuatu kekuatan jahat - atau begitulah
kira-kira. Didengarnya kalimat terakhir Darrell- "... anak berhati keji seperti Gwendoline
tidak kapok-kapoknya menggoda dia." ltulah yang didengarnya.
"Oh, Gwendoline," Katherine menyambutnya dengan suara yang agak tajam. "Lain
kali kalau kau ingin membuat anak lain terkejut, carilah seseorang yang bisa
membela diri. Dan kuharap kau minta maaf pada Mary-Lou. Kau telah membuatnya
sangat ketakutan. Darrell telah minta maaf padamu, maka sekarang giliranmu untuk
minta maaf." "Oh - jadi Darrell berkata bahwa dia telah minta maaf padaku, ya?" tanya
Gwendoline. "Aku tak menganggapnya sebagai permintaan maaf!"
"Apa?" seru Darrell heran. Ia berpaling pada anak-anak lain "Pokoknya aku sudah
minta maaf padanya! Kalian boleh percaya padaku, atau percaya pada Gwendoline.
Pokoknya aku telah minta maaf padanya, secara langsung pula!"
Katherine berpaling dari muka Darrell yang merah padam ke muka Gwendoline yang
tersenyum mengejek. "Kami percaya padamu, Darrell," katanya dengan suara tenang.
Kemudian suaranya menjadi tajam lagi saat ia berkata pada Gwendoline, "Dan kini,
Gwendoline, di depan kita semua, agar kami semua bisa mendengar, kuharap kau mau
minta maaf pada Mary-Lou."
Gwendoline terpaksa mengatakan ia menyesal. Suaranya gemetar, tergagap-gagap.
Sebetulnya ia tak sudi mendapat hinaan seperti itu, tetapi mata kawan-kawannya
yang menatapnya tajam membuatnya tak bisa menghindar. Belum pernah sepanjang
hidupnya ia menyatakan menyesal atas sesuatu yang dilakukannya. Ia jadi benci
sekali pada Darrell yang dianggapnya sebagai biang keladi ini semua. Ya, ia juga
benci pada si Tolol Mary-Lou itu!
Hampir menangis ia meninggalkan ruangan itu. Semuanya bernapas lega begitu
Gwendoline keluar. "Untunglah semuanya sudah selesai," kata Irene yang tak suka
melihat pertengkaran. "Aku akan pergi ke ruang berlatih. Kurasa dengan
mendengarkan musik maka kejadian ini bisa kulupakan. "
Ia pergi ke salah satu ruang berlatih. Ia pasti akan segera melupakan apa yang
telah terjadi, tenggelam dalam indahnya lagu yang dimainkannya di piano. Tetapi
anak-anak lain tak begitu mudah melupakan kejadian itu. Mereka mengerti bahwa
tak baik bagi Darrell untuk begitu ringan tangan, tetapi mereka juga mengerti
bahwa Gwendoline memang patut menerima tamparan itu.
Mereka membandingkan cara Darrell meminta maaf - sangat wajar, tak mencari-cari
alasan, sepenuh hati. Sementara Gwendoline tampak berat sekali menyatakan
penyesalannya kepada Mary-Lou yang kemalu-maluan. Agaknya Gwendoline boleh
dikata kalah dalam peristiwa ini. Dan ia sendiri mengetahui hal ini. Ia merasa
terhina. Ah, untuk apa begitu ribut hanya karena ia ingin bercanda sedikit! Toh
anak-anak lain juga sering bermain saling membenamkan! Betapapun, ia akan
menulis surat tentang hal ini pada ibunya. Ya, akan dikatakannya betapa kejinya
Darrell menamparinya! Biar tahu rasa anak-anak lain yang ikut menyalahkan
dirinya itu. Ia kembali ke ruang rekreasi, membuka lacinya. Kertas suratnya ada di situ.
DiambiInya selembar dan ia duduk untuk menulis surat seperti yang
direncanakannya. Biasanya ia tak suka menulis. surat pada ibunya. Rasanya
membosankan! Ia bahkan tak pernah menulis surat pada Nona Winters semenjak ia
berada di Malory Towers, walaupun guru pribadinya itu telah menulis surat
padanya tiga kali dalam seminggu. Gwendoline memang cenderung untuk meremehkan
orang-orang yang menyukainya, serta membenci orang-orang yang tak menyukainya.
"Aku akan menulis surat pada ibuku," ia berkata pada anak-anak di sekelilingnya.
Beberapa orang sedang menjahit, beberapa membaca. Saat itu memang jam bebas
sebelum waktu makan malam. Tak ada yang memperhatikan kata-kata Gwendoline tadi,
kecuali Jean. "Bukan hari yang biasa untuk menulis surat, kan?" tanyanya pada Gwendoline.
"Kenapa kau, Gwendoline, menulis surat di pertengahan minggu" Padahal setiap
hari Minggu kau selalu membuat kami menutup telinga karena keluh kesahmu menulis
surat, yang katamu merupakan pekerjaan paling membosankan di dunia."
"Aku akan menulis surat pada Ibu tentang bagaimana Darrell menampar aku!" kata
Gwendoline dengan suara keras agar semua mendengarnya. "Aku tak mau tinggal diam
diperlakukan seperti itu. Dan Ibu juga pasti tak akan tinggal diam. "
Katherine bangkit. "Aku gembira kau mengatakan pada kami semua tentang maksudmu
itu," atanya. "Aku akan menulis surat juga kalau begitu. Aku yakin kau tak akan
bercerita pada ibumu tentang apa yang menyebabkan Darrell menamparmu. Nah,
akulah yang akan menceritakan hal itu pada ibumu."
Gwendolie membanting penanya dengan marah. Diremasnya kertas surat yang baru
saja ditulisnya. "Baiklah," katanya. "Aku tak akan menulis surat itu. Aku tak mau kau
memutarbalikkan keadaan tentang diriku pada keluargaku! Sungguh sekolah jahanam
sekolah ini! Tak heran Ibu sesungguhnya tak mau mengirimkan aku kemari."
"Gwendoline sayang," kata Alicia saat Gwendoline dengan marah lari ke luar, "ia
sama sekali tak bisa melakukan apa saja yang diingininya! Aku yakin, justru
Malory Towers inilah yang akan menyembuhkan dirinya dari sifat-sifat buruknya
itu." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, untuk kesekian kalinya.
Darrell heran memandangnya.
"Kenapa kau ini?" tanya Darrell.
"Kukira telingaku kemasukan air," kata Alicia. "Rasanya buntu. Wah - jangan-
jangan besok aku jadi tuli. Memang pernah aku jadi tuli dulu, setelah menyelam
lama sekali." "Oh, Alicia, betapa lucunya besok kalau kau betul-betul tuli dalam pelajaran
Mam'zelle!" kata Darrell tertawa geli. "Oh, ya ampun! Aku tak bisa membayangkan
apa yang terjadi bila itu terjadi!"
"Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi," gumam Alicia, kecut. "Mudah-
mudahan telingaku besok sembuh!"
9. ALICIA DAlAM KESULITAN
PERISTIWA kolam renang membawa berbagai akibat. Pertama, peristiwa itu membuat
Mary-Lou mengikuti ke mana pun Darrell pergi, seperti kesetiaan seekor anjing
pada tuannya.Ia selalu siap mengambilkan atau membawakan barang-barang Darrell.
Ia selalu membersihkan meja Darrell. Ia merapikan peti pakaian Darrell, dan
bahkan menawarkan diri untuk merapikan tempat tidurnya setiap pagi.
Tetapi Darrell tak mau diperlakukan seperti itu.
"Jangan!" katanya selalu pada Mary-Lou. "Aku bisa melakukan apa saja sendiri.
Untuk apa kau merapikan tempat tidurku" Kau tahu, kita masing-masing memang
harus merapikan tempat tidur sendiri-sendiri. Jangan begitu tolol, Mary-Lou!"
"Aku tidak tolol," kata Mary-Lou, memandang Darrell dengan matanya yang bulat
besar. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu untukmu... untuk membalas budimu...
menyelamatkan diriku dari bahaya terbenam."
"Itu tidak benar. Sesungguhnya tak kutolong pun kau tak akan apa-apa. Aku kini
tahu itu. Lagi pula, aku hanya menampar Gwendoline Jadi tak ada hubungan apa-apa
denganmu." Tetapi tak peduli apa yang dikatakan Darrell, Mary-Lou tetap saja memujanya dan
selalu siap membantunya, atau membuatnya senang. Darrell mulai sering sekali
menemukan permen cokelat di lad mejanya. Dan tiap pagi terdapat satu vas bunga
di meja hiasnya. Ini bahkan membuatnya guar.Ia tak sadar bahwa Mary-Lou sedang
mencoba keluar dari dirinya sendiri yang selalu tertutup selama ini. Ia
merindukan suatu persahabatan yang mungkin akan menyembuhkannya dari rasa
takutnya. Mary-Lou begitu lemah. Ia memerlukan seseorang yang dianggapnya kuat sebagai
sahabat. Baginya, Darrell-lah orang yang diperlukannya, anak terbaik yang pernah
dikenalnya. Anak-anak yang lain selalu menggoda Darrell tentang hal ini. "Apakah anjing
kecilmu sudah mengibaskan ekor untukmu hari ini?" Alicia sering bertanya.
"Alangkah senangnya bisa mendapat bunga cantik-cantik di meja hiasku selalu,"
kata Irene. "Dasar Darrell! Pasti dialah yang minta dilayani seperti itu oleh Mary-Lou!"
dengus Gwendoline yang sangat iri atas perhatian Mary-Lou pada Darrell.
"Jangan berkata begitu," tukas Katherine. "Darrell sendiri tak suka diperlakukan
seperti itu oleh Mary-Lou."
Akibat kedua dari peristiwa kolam renang itu adalah bahwa kini Gwendoline betul-
betul sangat benci pada Darrell. Selama hidupnya ia belum pernah dipukul oleh
siapa pun. Jadi ia tak pernah melupakan pukulan Darrell itu. Sesungguhnya akan
baik bagi Gwendoline kalau sewaktu kecil ia dipukul sekali dua kali. Tetapi ia
sangat dimanja. Tak ada yang berani memukulnya di rumah. Jadi kini pukulan
Darrell tidak bisa dianggap sebagai ledakan suatu kemarahan baginya, melainkan
suatu penghinaan yang harus dibalas dan tak boleh dilupakan.
"Suatu hari aku pasti membalasnya," geram Gwendoline dalam hati. "Tak peduli
kapan, tapi pasti kubalas."
Akibat ketiga adalah: Alicia betul-betul jadi tuli karena menyelam terlalu lama
waktu itu. Bukan tuli selamanya, dan tidak untuk waktu yang lama. Kadang-kadang
telinganya terasa 'plong' dan ia bisa mendengar dengan jelas. Tetapi lebih
sering ia hampir tak bisa mendengar apa-apa - dan celakanya ini terjadi sehabis
dia berpura-pura tuli di kelas Mam'zelle! Apakah Mam'zelle akan percaya padanya"
Sialnya, Alicia duduk di bangku nomor dua dari belakang. Dengan pendengaran
normal, maka dari tempat itu bisa terdengar jelas apa kata guru. Tetapi pada
saat-saat telinga Alicia 'buntu', maka sangat sulit baginya untuk bisa mendengar
dengan jelas. Lebih sial lagi, ternyata di hari berikutnya yang mengajar bahasa Prancis
bukanlah Mam'zelle Dupont, tetapi Mam'zelle Rougier, yang kurus tinggi.
jangkung. Ia jarang sekali bersikap ramah seperti yang ditunjukkan oleh kedua
bibirnya yang tipis dan selalu terkatup keras itu. Sungguh aneh, pikir Alicia,
orang pemarah biasanya berbibir tipis.
Mam 'zelle Rougier suaranya lembut, tetapi bila ia marah suara tersebut jadi
serak dan keras sekali. Anak-anak sangat membenci suara serak itu.
Hari itu ia mulai mengajarkan permulaan suatu sandiwara berbahasa Prancis. Tiap
semester memang selalu ada sebuah sandiwara Prancis yang dimainkan oleh anak-
anak Malory Towers dan tiap anak mendapat bagian peranan. Kadang-kadang beberapa
kelas memainkannya cukup bagus sehingga dipertunjukkan pada pertunjukan sekolah.
Tetapi lebih sering permainan mereka dianggap hanya cukup baik di depan kelas
saja. "Kini," kata Mam'zelle Rougier. "kita akan memperbincangkan sandiwara itu. Dan
mungkin akan kita tentukan siapa-siapa yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam
sandiwara tersebut. Mungkin satu-dua murid baru cukup baik bahasa Prancisnya.
hingga bisa memainkan peran-peran utama. Itu akan baik sekali. Aku kira, anak-
anak lama tak akan keberatan."
Tentu saja mereka takkan keberatan! Makin kecil peranan yang mereka peroleh.
makin sedikit yang harus dihapalkan. Anak-anak baru terpaksa tersenyum gelisah.
Mereka berpendapat kata-kata Mam'zelle Rougier ini terlalu menyudutkan mereka.
"Kini coba kita lihat. siapa-siapa yang memegang peran utama di sandiwara
semester yang lalu," kata Mam'zelle. "Kau. Alicia, peran apa yang kaupegang?"
Alicia tak mendengar, karenanya ia tak menjawab. Betty menggamitnya dan bertanya
keras. "Peran apa yang kaupegang di sandiwara semester lalu?"
"Oh, maaf. Mam'zelle. aku tak mendengar apa yang Anda katakan," kata Alicia.
"Aku menjadi gembala."
"Kukira itu di semester yang sebelumnya lagi," kata Mam'zelle. Alicia tak
mendengar lagi kata-katanya. Betty mengulangi keras-keras. "KATA MAm'ZELLE. ITU
SEMESTER YANG SEBElUMNYA!"
Mam'zelle tercengang. Mengapa Betty harus mengulang setiap perkataannya seperti
itu" Kemudian tiba-tiba ia teringat akan cerita Mam'zelle Dupont tentang Alicia
- ah, ya. ia seorang anak yang sangat nakal! Ia telah berpura-pura tuli, bukan"
Dan kini agaknya ia akan menjalankan muslihat yang sama padanya!
"Ah. Tidak, tidak, tidak!" kata Mam'zelle Rougier pada dirinya sendiri dengan
marah. "Ini sudah keterlaluan! Aku tak mau dipermainkan!"
"Alicia," katanya sambil mengusap gelung kecil di bagian belakang kepalanya.
"Kau memang lucu dan banyak berbuat kelucuan. Tetapi kadang-kadang aku juga lucu
dan berbuat kelucuan pula. Kau tak keberatan. bukan" Nah, aku ingin kau menulis
dengan tulisanmu yang terbaik dan dalam bahasa Prncis yang terbaik, lima puluh
kali. 'Aku tak boleh tuli pada jam pelajaran Mam'zelle Rougier."
"Anda berkata apa. Mam'zelle?" tanya Alicia yang hanya mendengar namanya disebut
di awal kalimat itu tadi. "Aku tak begitu jelas mendengar Anda."
"Ah. cette mechante cille!*" seru Mam'zelle Rougier tiba-tiba marah seperti
biasanya. "Alicia, ecoutez bien! Dengar baik-baik! Kau harus menulis. 'Aku tak
boleh tuli pada jam pelajaran Mam'zelle Rougier' SERATUS KALI!"
"Tetapi baru saja Anda berkata lima puluh kali!" tukas Betty.
"Dan kau," kata Mam'zelle pada Betty. "kau harus menulis seratus kali 'Aku tak
boleh menyela pembicaraan guru'!" Kelas itu hening seketika.
Mereka tahu benar tabiat Mam'zelle bila sedang marah. Ia akan menghambur-
hamburkan hukuman pada siapa saja! Sungguh ia guru yang paling mengesalkan bagi
anak-anak. Betty berbisik pada Alicia begitu Mam'zelle berpaling ke papan tulis untuk
menuliskan sesuatu. Tetapi karena Alicia tak bisa mendengar apa-apa. ia
menuliskan pesan pada secarik kertas. "Kau harus menulis seratus kali untuknya.
Lebih baikkau jangan berkata kau tak bisa mendengar apa pun. Bisa-bisa
hukutnanmu dinaikkan menjadi seribu. Ia sedang sangat marah!"
Alicia mengangguk. Dan bila mana Mam'zelle bertanya padanya apakah ia mendengar
apa yang dikatakannya. ia menjawab dengan sopan. "Ya. terima kasih, Mam'zelle,"
dengan harapan hukumannya akan diperingan atau diampuni.
Pada pelajaran berikutnya Nona Potts masuk. Dan di pintu Mam'zelle menyempatkan
diri untuk berkata pada wali kelas itu dengan pandang masih murka. "Wah, Nona
Potts, salah satu murid Anda. Alicia. tuli lagi telinganya. Sungguh sayang,
bukan" Padahal ia begitu sehat!"
Nona Potts tercengang. Beberapa saat tertegun di pintu sampai Mam'zelle hilang.
Ia kemudian berpaling pada Alicia.
"Alicia. kukira kau tak begitu tolol untuk melakukan muslihat yang sama dua
kali." katanya dengan nada dingin. Alicia yang malang. Ia tak mendengar apa pun
yang dikatakan Nona Potts!
Dengan pandang bertanya ia memperhatikan Nona Potts.
"Tinggalkan bangkumu. dan pindah ke salah satu meja di depan," perintah Nona
Potts. "Jean, tukar tempat dengan Alicia. Nanti waktu istirahat kalian harus


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memindahkan isi meja kalian!"
Jean berdiri. sangat gembira bisa meninggalkan tempatnya di depan. di mana ia
selalu jadi sasaran pandangan mata Nona Potts. Gembira sekali ia bisa pindah ke
barisan belakang, tempat yang
memang diinginkan oleh hampir setiap murid. Di belakang mudah berbisik-bisik,
tukar-menukar catatan atau bercanda. Sementara itu Alicia tak bergerak karena ia
memang tak bisa mendengar apa pun
"Kau harus pindah. Tolol!" bisik Betty keras-keras. "Ayo! Ke bangku Jean!"
Alicia sadar apa yang terjadi. Dia sungguh kecewa. Apa, meninggalkan tempat yang
paling disukainya itu" Meninggalkan Betty" Pindah ke tempat yang tepat berada di
bawah mata guru" Semua tahu. tak enak duduk di depan.
"Oh, Nona Potts," katanya kecewa. "aku betul-betul tuli! Aku tuli karena terlalu
lama menyelam!" "Beberapa hari yang lalu kau mengira atau berpura-pura dirimu tuli," kata Nona
Potts tanpa ampun. "Bagaimana aku bisa mengetahui kapan kau tuli dan kapan kau
tidak tuli. Alicia?"
"Tetapi kali ini aku betul-betul tuli. Nona Potts!" kata Alicia, mengharapkan
agar telinganya tiba-tiba 'plong'. "Biarlah aku tinggal di sini terus."
"Alicia, dengarkan aku!" kata Nona Potts dengan suara keras dan terang.
"Dengarkan dan katakan kau setuju tidak. Kalau kau sesungguhnya tidak tuli tapi
hanya in gin mengganggu pelajaran, sungguh tepatlah bila kau kududukkan di mana
aku bisa mengawasimu dengan baik. Kalau kau tuli dan karenanya tak bisa
mendengar di bangku belakang, maka masuk akal bila kau duduk di bangku paling
depan ini agar kau bisa mendengarkan kata-kataku. Nah. bagaimana pendapatmu?"
Tentu saja mau tak mau Alicia harus setuju. Dengan agak cemberut ia duduk di
bekas tempat duduk Jean. Dan memang di tempat itu ia bisa mendengar lebih jelas.
Dan kemudian sesuatu terjadi, salah satu kupingnya terasa berbunyi 'plong'.
disusul oleh telinga satunya. Bagus! Kini kedua telinganya bisa mendengar dengan
baik! Ia begitu gembira sehingga ia langsung berbisik pada Mary-Lou di bangku
sebelahnya. "Telingaku telah plong! Aku bisa mendengar lagi."
Nona Potts pendengarannya sangat tajam. Ia mendengar bisikan tadi dan cepat
berpaling dari papan tulis. "Sudikah kau mengatakan kembali apa yang baru
kaukatakan pada Mary-Lou?"
"Aku berkata. 'Telingaku telah plong! Aku bisa mendengar lagi'"
"Bagus." kata Nona Potts. "Sudah kukira dari tadi, bahwa begitu kau pindah
tempat duduk, pastilah pendengaranmu beres."
"Tetapi, Nona Potts, aku...," kata Alicia.
"Cukup," kata Nona Potts. "Mari kita mulai pelajaran ini tanpa membuang-buang
waktu dengan memperbincangkan telingamu. apakah tuli atau tidak."
Alicia gusar karena Jean dan dia harus saling tukar isi laci meja di waktu
istirahat nanti. Ia juga gusar karena harus duduk di depan. Sebaliknya Jean
sangat gembira sekali karena perubahan itu
"Aku memang sudah berharap dengan sangat semoga dipindahkan ke belakang," kata
Jean. "Dan harapanku itu terkabul."
"Ini tidak adil." gerutu Alicia. "Aku memang tuli pagi tadi. Dan tiba-tiba
telingaku 'plong'. Nona Potts seharusnya percaya padaku!"
Darrell yang membantu Alicia memindahkan barang-barangnya tertawa terpingkal.
Alicia yang sedang gusar itu jadi makin cemberut karena ditertawakan.
"Oh. Alicia, aku tahu sungguh kelewatan aku menertawakan kesialanmu ini," kata
Darrell. "Tetapi ini betul-betul lucu! Pertama. kau pura- tuli dan berhasil
menipu Mam'zelle. Kemudian kau betul-betul tuli, dan tak ada yang percaya
padamu! Ini seperti dongeng tentang anak gembala yang berteriak 'Sergala!
Serigala!' pada saat tak ada serigala, sehingga orang-orang yang datang padanya
menjadi kesal. Dan ketika ada serigala betulan. kemudian ia berteriak minta
tolong, tak seorang pun yang mau datang, mengkal karena sebelumnya mereka
tertipu." "Kukira kau sahabatku. tak kusangka kau tega berkhotbah seperti ini padaku!"
kata Alicia kaku. "Oh, aku tak berkhotbah padamu," kata Darrell. "Begini saja, Alicia. Aku tahu
kau paling benci menulis. Biarlah kubantu kau menuliskan hukumanmu separuhnya,
lima puluh baris. Aku kan suka menulis!"
"Baiklah. terima kasih banyak!" kata Alicia menjadi sedikit gembira.
Begitulah. Mam'zelle Rougier menerima hukuman Alicia malam itu - lima puluh
baris ditulis dengan halus dan indah, lima puluh lagi tak keruan rupanya.
"Sungguh aneh, anak ini menulis indah di satu sisi, dan tulisan buruk di sisi
lainnya. Bagaimana ia bisa melakukannya?" gumam
Mam 'zelle heran. Untunglah rasa heran Mam 'zelle hanya sampai di situ, tidak
diteruskan dengan pemeriksaan yang mendalam.
10. PERSAHABATAN YANG ANEH
UDARA terasa selalu panas. Anak-anak Malory Towers boleh dikata menghabiskan
seagian besar waktu mereka di kolam renang. Mereka berkeluh kesah bila pasang
surut. yang berarti air di kolam renang juga ikut surut dan mereka tak bisa
mandi. Untunglah koram renang itu besar sekali sehingga bisa dipakai bersama-
sama oleh seluruh isi sekolah itu bila perlu.
Darrell paling suka main tenis, kemudian berlari menuruni tebing langsung terjun
ke dalam kesejukan kolam renang. Oh. betapa nikmatnya rasa sejuk itu! Ia sama
sekali tak bisa mengerti, mengapa Gwendoline atau Mary-Lou tak suka mandi di
kolam renang itu. Mereka berdua bersikeras bahwa makin panas udara makin dingin
air terasa. "Tetapi itulah enaknya berenang," kata Darrell. "Merasakan rasa yang begitu
dingin setelah rasa yang begitu panas Kalau saja kau bisa memberanikan diri
untuk langsung terjun dan tidak masuk ke kolam sedikit demi sedikit. kau pasti
akan menyukainya. Kalian berdua ini sungguh keterlaluan penakutnya."
Baik Mary-Lou maupun Gwendoline tidak suka dikatakan pengecut. Terutama Mary-
Lou. ia sangat tersinggung bila Darrell menganggapnya satu golongan dengan
Gwendoline, apalagi kalau terang-terangan mengatakannya penakut. Ia berusaha
keras untuk membuat Darrell senang dengan semakin giat melakukan segala hal yang
sesungguhnya akan dikerjakan Darrell. Bahkan kini ia malah ikut-ikut
membersihkan lemari kecil milik Darrell di ruang rekreasi. Ini justru membuat
Darrell kesal, sebab Mary-Lou mengubah susunan barang-barang di lemari itu,
sehingga ia tak bisa dengan cepat menemukan barang-barang yang dikehendakinya.
"Di mana permenku?" sering Darrell harus berseru gusar. "Aku yakin aku telah
maruhnya di depan sini. Dan mana kertas suratku" Sialan! Padhal aku sedang
tergesa-gesa nih!" Dengan geram dibongkarnya isi lacinya. dilemparkannya ke sana kemari. Mary-Lou
dengan sedih memandang semua itu.
"Oh, padahal tadi sudah kuatur begitu rapi," katanya.
"Tak usah kausentuh barang-barangku!" geram Darrell. "Mengapa tak kauganggu
punya orang lain saja" Selalu milikku saja yang kauganggu. Kau agaknya tergila-
gila untuk merapikan barang dan menyimpannya. Mengapa tak kaucoba merapikan
lemari Alicia" Lemarinya jauh tak keruan daripada punyaku!"
"Aku melakukannya hanya untuk membantumu." gumam Mary-Lou. Sungguh sedih untuk
memuja seseorang dan ternyata orang itu malah merasa kesal karenanya. Mungkin
Darrell memang ingin agar ia merapikan lemari Alicia! Ya, terpikir hal itu oleh
Mary-Lou. Darrell tampaknya sangat menyukai Alicia. Mungkin sekali Darrell
benar-benar ingin agar ia membantu Alicia merapikan barang-barangnya!
Tetapi sama seperti Darrell. Alicia juga tak mau dicampuri urusan merapikan meja
dan lemarinya. Ia bahkan sangat marah karena Mary-Lou menjatuhkan potret ibunya.
hingga kaca bingkai potret itu pecah berantakan.
"Jangan ganggu aku lagi." bentak Alicia. "Tak tahukah kau bahwa kami tak ingin
anak bayi macam kau berkeliaran terus di sekitar kami" Lihat potret ,ibuku itu!
Hancur berantakan karena ulahmu!"
Mary-Lou menangis. Ia selalu ketakutan bila ada orang memarahinya. Ia keluar
dari ruang rekreasi, dan hampir bertubrukan dengan Gwendoline.
"Halo! Menangis lagi" Ada apa kini?" tanya Gwendoline yang selalu tertarik akan
pertengkaran orang lain, walaupun tak pernah berminat untuk mendamaikan mereka.
"Tak apa-apa. hanya... Alicia dan Darrell selalu bersikap keras padaku. padahal
aku ingin membantu mereka," tangis Mary-Lou. tersedu-sedu terharu akan dirinya
sendiri. "Oh. tentu saja! Apa yang kau bisa harapkan dari anak seperti Alicia. Darrell.
dan... ya, Betty juga!" kata Gwendoline. begitu gembira bisa mengata-ngatai
musuh-musuhnya itu. "Mereka sangat angkuh, lidah mereka tajam. Aku tak mengerti.
mengapa kau ingin berteman dengan mereka."
"Aku baru memecahkan potret ibu Alicia." kata Mary-Lou. mengusap matanya.
"Itulah yang jadi gara-gra. "
"Yah. tentu saja. Mary-Lou. Alicia pasti tak akan mau memaafkan kau!" sahut
Gwendoline membakar. "Ia pasti akan membalas dendam. Ia begitu memuja ibunya.
Tak ada seorang anak pun yang boleh memegang Potret itu. Kau pasti tak akan
diampuninya, Mary-Lou!"
Tiba-tiba ia mendapat suatu ilham hebat. Tertegun sesaat Gwendoline memikirkan
pikiran yang tiba-tiba muncul itu. Saat itu juga ia mendapat cara yang tepat
untuk membalas den dam pada Alicia dan Darrell. Ya. bahkan ia bisa menghantam
Mary-Lo yang tolol ini juga! Mary-Lou memandang heran padanya "Ada apa.
Gwendoline?" tanyanya.
"Tak apa. Hanya tiba-tiba saja timbul suatu pikiran padaku," jawab Gwendoline.
Dan Mary-Lou semakin heran sewaktu anak itu menggandeng tangannya dengan ramah
sekali. "Jadilah sahabatku," kata Gwendoline dengan suara sangat merdu. "Aku takkan
memperlakukanmu seperti yang dilakukan oleh Darrell atau Alicia. Aku toh tak
pernah memarahimu. seperti yang dilakukan Alicia. Aku tak akan melotot padamu
seperti Darrell. Mengapa kau tak bersahabat denganku saja" Aku takkan pernah
mengejekmu karena kau mau membantuku, misalnya. Pasti itu!"
Mary-Lou ragu-ragu memandang Gwendoline. Ia tak suka pada anak ini, tetapi
Gwendoline tersenyum begitu inanis padanya. Mau tak mau Mary-Lou merasa cukup
lega masih ada yang mau bermuka man is padanya. Memang Darrell dan Alicia malah
masam mukanya bila ia berusaha membantu mereka. Tapi tiba-tiba ia teringat bahwa
Gwendoline pernah mencoba untuk membenamkan dirinya.
Dilepaskannya tangannya dari tangan Gwendoline. "Tidak, aku tak bisa bersahabat
denganmu, Gwendoline," katanya. "Kau begitu jahat padaku. hari itu di kolam
renang. Aku sampai sering bermimpi buruk tentang itu."
Dalam hati Gwendoline begitu marah mengetahui bahwa bahkan si Lemah Mary-Lou ini
menolak untuk bersahabat dengannya. Tetapi dipaksanya untuk tersenyum terus, dan
dipegangnya tangan Mary-Lou lagi.
"Kau tahu, waktu itu aku hanya bercanda," katanya. "Hanya bergurau. Toh anak-
anak lain juga banyak yang main benam-benaman. Aku menyesal telah membenamkan
kau. Aku tak tahu bahwa kau bisa begitu ketakutan."
Gwendoline bisa berkeras hati bila ia sudah bertekad untuk mencapai sesuatu.
Mary-Lou merasa tak punya alasan untuk menghindarinya. Dan seperti biasa ia
menyerah saja akhirnya. "Ya...," katanya ragu-ragu, "kalau kau memang tak bermaksud untuk mencelakakanku
waktu itu Gwendoline, baiklah. Aku mau bersahabat denganmu. Tetapi aku takkan
mau kauajak memusuhi Darrell atau Alicia."
Gwendoline meremas lembut tangan Mary-Lou dan tersenyum manis lagi. Ia pun
meninggalkan anak kecil itu kebingungan, sementara ia sendiri merasa begitu
gembira berhasil menemukan suatu siasat yang sangat cemerlang.
"Hebat sekali!" pikirnya. "Semua anak tahu betapa muaknya Darrell pada Mary-Lou,
karena dnak itu selalu mengikutinya. Semua juga pasti akan tahu bahwa Alicia
sangat marah pada Mary-Lou karena Mary-Lou memecahkan potret ibunya. Jadi, kalau
aku mempermainkan Mary-Lou, semua akan mengira bahwa itu perbuatan Darrell atau
Alicia. Dan oh, betapa untung bagiku bahwa kini Alicia terpaksa harus duduk
sebangku dengan Mary-Lou!"
Ia duduk di Taman Dalam untuk menyempurnakan rencananya. Ia bermaksud membalas
dendam pada tiga orang ana yang paling tidak disukainya. Ia akan membuat Mary-
Lou ketakutan setengah mati dengan cara sedemikian rupa sehingga semua orang
akan menyalahkan Darrel dan Alicia! Ia akan membuat kedua anak itu dimarahi.
kemudian dihukum! Baru tahu rasa mereka.
"Dan sementara itu akan kutunjukkan pada semua orang bahwa aku dan Mary-Lou
bersahabat akrab," pikir Gwendoline. "Dengan begitu tak seorang pun akan menduga
bahwa akulah yang menjebak dia. Wah, sesungguhnya aku ini berotak cemerlang! Tak
akan ada seorang pun di kelas satu yang bisa merencanakan sesuatu secerdik ini!"
Ia benar. Tak akan ada anak lain sampai memikirkan rencana seperti itu. Bukan
karena mereka tak mampu. tetapi karena mereka tak cukup berhati keji untuk
rencana tersebut! Gwendoline tak mengerti tentang itu. Ia bahkan tak tahu bahwa yang direncanakan
itu suatu perbuatan keji. Ia hanya tertarik pada satu hal: membalas dendam pada
Darrell! Diaturnya rencananya hati-hati sekali. Ia akan menunggu sampai Alicia dan
Darrell mendapat giliran piket - membersihkan kelas serta mengisi vas-vas
kembang dengan air. Dengan begitu semua akan tahu bahwa hanya kedua orang anak
tersebutlah yang berada di dalam kelas sebelum anak lain masuk, bahwa hanya
kedua anak itulah punya kesempatan untuk memasukkdn atau mengambil sesuatu dari
atau ke dalam laci seseorang.
Ya, ia akan memasukkan seekor kumbang hitam ke laci Mary-Lou. Atau beberapa ekor
cacing. Atau bahkan seekor tikus kalau ia bisa menangkapnya. Tetapi tidak. Ia
sendiri takut pada tikus. Juga kumbang hitam rasanya terlalu menjijikkan. Apa
lagi cacing. Kalau saja ia bisa menangkap mereka dengan bantuan sebuah kotak,
mungkin ia takkan begitu jijik.
Ya, ia akan menangkap kumbang atau cacing dengan sebuah kotak korek api.
Kemudian memasukkannya ke laci Mary-Lou. Atau ia bisa mengambil pinsil-pinsil
kesayangan Mary-Lou dan menaruhnya di laci Alicia. Wah, itu pikiran cerdik!
Mungkin ia bisa menyembunyikan beberapa buku Mary-Lou di laci Darrell. Dan ia
akan bersikap sangat menghibur serta membeIa Mary-Lou bila rencananya itu mulai
jalan. Gwendoline pergi ke kebun, mengaduk-aduk tanah untuk melihat serangga apa yang
bisa dipakainya. Jean. yang sangat senang dan ahli berkebun, serta paling.
senang bekerja di kebun sekolah. merasa sangat heran melihat Gwendoline berada
di kebun itu. Dan Gwendoline mengaduk-dduk tanah dengan sekop kecil!
"Hei. apa yang kaulakukan?" Jean bertanya. "Mencari tulang yang kausembunyikan?"
"Jangan tolol!" geram Gwendoline. marah sekali bahwa ternyata Jean memergokinya.
"Aku hanya berkebun. Masa hanya kau yang boleh berkebun."
"Berkebun apa kau?" Jean biasa selalu mengejar bila bertanya, ingin mengetahui
sampai ke persoalan yang paling kecil dari peristiwa apa pun yang membangkitkan
rasa ingin tahunya. "Menggali-gali saja," jawab Gwendoline. "Membuat gembur tanah. Di sini tanah
begitu kering." Jean mendengus. Ia mempunyai kumpulan berbagai macam dengusan. Semuanya khusus
untuk Gwendoline, Mary-Lou dan Sally. Dengan geram Gwendoline menggali tanah.
Alangkah senangnya kalau ia bisa memperoleh beberapa ekor cacing untuk
dimasukkan ke punggung Jean. Tetapi Jean mungkin tak akan merasa jijik sedikit
pun. Gwendoline akhirnya tak jadi mencari cacing. Ia memutuskan untuk mencari labah-
labah saja. Tetapi ketika ia menemukan seekor labah-labah di gudang kayu. hampir
saja ia lari tunggang langgang. Labah-labah itu besar sekali sungguh menakutkan!
Tapi tunggu. Bukankah ia memang mencari labah-labah yang menakutkan" Ini tepat
sekali untuk dimasukkan ke dalam laci Mary-Lou. Pasti labah-labah tersebut bisa
berlarian di dalam laci dan membuat Mary-Lou tak berhenti-hentinya menjerit
-jerit. Entah bagaimana. Gwendoline akhirnya berhasil menangkap labah-labah itu dengan
menangkup kan sebuah pot bunga di atasnya. Gemetar juga ia, dan dengan susah
payah akhirnya dapat memasukkan labah-labah tersebut ke dalam sebuah kotak
karton. Dan dengan rasa bangga ia masuk kembali ke ruang rekreasi. dengan maksud
menyembunyikan kotak berisi labah-labah tadi dalam lemarinya sampai saat yang
tepat. Malam itu di ruang rekreasi Gwendoline, mengalihkan pembicaraan pada labah-
labah. "Tanganku terperangkap jaring labah-labah di gudang hari ini," ia berkata. "Oh,
jijik sekali rasanya. Aku sangat benci pada labah-labah"
"Adikku, si Sam, pernah punya seekor labah-labah jinak," kata Alicia yang tak
pernah kekurangan cerita tentang apa saja. "Binatang itu
tinggal di bawah pakis di kebun kami. Setiap sore ia keluar bila Ibu menyirami
pakis itu. Dan ia minum dirnya!"
"Oooh! Pasti pingsan aku melihatnya!" kata Mary-Lou gemetar. "Aku tak pernah
tahan melihat labah-labah."
"Dasar anak tolol," kata Alicia yang masih marah karena Mary-Lou memecahkan
potret ibunya. "Takut ini, takut itu... sungguh merana hidupmu, Mary-Lou. Tunggu
saja. kapan-kapan akan kutangkapkan seekor labah-labah dan kumasukkan ke dalam
bajumu!" Mary-Lou pucat pasi seketika. Memikirkan tentang ancaman Alicia saja membuat ia
begitu ketakutan. "Oh, pasti aku mati ketakutan kalau itu kaulakukan!" katanya


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemas. "Pengecut!" kata Alicia. "Baiklah. kalau begitu aku pasti akan mencari labah-
labah untukmu." Gwendoline tak berkata apa-apa. Tetapi dalam hati ia bersorak gembira! Segalanya
berjalan jauh lebih lancar dari rencananya! Alicia telah mengucapkan sesuatu
yang pasti akan diingat oleh semua anak kelas satu yang hadir di situ - sebuah
ancaman untuk memberi Mary-Lou seekor labah-labah! Bagus sekali!
"Aku akan menunggu sampai Senin. saat Alicia dan Darrell piket di kelas,"
pikirnya. "Dan akan kumasukkan labah-labah itu ke dalam laci Mary-Lou. Mereka
patut mendapat pelajaran!"
Maka ketika hari Senin tiba, Gwendoline mencari-cari kesempatan yang baik. Ia
dan Mary-Lou selalu bersama-sama, membuat heran semua teman mereka. Terutama
Darrell, Alicia, dan Betty. Bagaimana Mary-Lou bisa bersahabat dengan Gwendoline
yang keji itu" Lupakah ia akan peristiwa di kolam renang itu" Dan mengapa
Gwendoline begitu manis terhadap Mary-Lou"
Sungguh sebuah persahabatan yang aneh.
Gwendoline memperoleh kesempatan yang ditunggunya. Ia diperintahkan untuk
mengambil sesuatu dari ruang rekreasi di asramanya, sepuluh menit sebelum masa
sekolah sore. Ia berlari ke asrama, mengambil barang yang harus diambilnya, dan
juga kotak karton tempat labah-labah itu.
Ia masuk ke kelas yang pada saat itu kosong. Dibukanya kotak karton tadi di
dalam laci Mary-Lou. Dengan langkah cepat labah-labah besar itu berlari ke luar.
langsung bersembunyi di sudut tergelap di dalam laci tersebut.
Gwendoline bergegas keluar. Ia yakin tak seorang pun melihatnya masuk tadi. Dua
menit kemudian Alicia. dan Darrell tiba untuk mengisi vas-vas bunga dengan air.
Ah. agaknya Gwendoline kali ini beruntung!
11. PERISTIWA LABAH-LABAH
PElAJARAN pertama sore itu adalah mencongak. Semuanya berkeluh kesah memeras
otak, kecuali beberapa anak - misalnya Irene, yang bisa menjawab dengan cepat
dan tepat, seolah-olah tanpa berusaha sama sekali. Tetapi itu berarti tak dda
yang membuka laci. sebab semuanya dilakukan secara lisan.
Untung Nona Potts agak lunak pada anak-anak kelas satu, sebab udara saat itu
terasa sangat panas. Darrell cukup bersyukur karena Nona Potts tidak begitu
teliti. Berhitung mencongak bukanlah pelajaran di mana ia cukup kuat.
Pelajaran berikutnya adalah pelajaran bahasa Prancis. Kali ini Mam'zelle Dupont
lagi, dan anak-anak akan diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan ,Mam'zelle
itu. Mam'zelle Dupont menggantikan Nona Potts, dengan wajah agak muram. Tidak
cerah seperti biasanya, sebab ia begitu gemuk hingga tak bisa menikmati
hangatnya udara. Keringat menitik dan bersinar di dahinya saat ia duduk di meja
besar menghadap murid-muridnya di kelas itu.
"Asseyez-vous, "* katanya, dan anak-anak dengan lega duduk kembali. Mereka
merasa bahwa pada saat seperti itu pelajaran yang mereka sukai hanyalah
pelajaran berenang. Pelajaran bahasa Prancis berlangsung begitu lamban dan tersendat-sendat. Arus
pembicaraan dalam bahasa Prancis sama sekali tidak lancar. Dan anak-anak yang
ditanyai oleh Mam 'zelle begitu lama berpikir, sehingga akhirnya Mam'zelle
sangat marah. "Ah, sudahlah!" ia berseru. "Agaknya hari ini terlalu panas untuk bercakap-cakap
dengan anak-anak tolol seperti kalian ini. Keluarkan buku tata bahasa, dan akan
kuterangkan beberapa hal yang bisa membantu kalian bercakap-cakap, kalau saja
kalian bisa memasukkannya ke dalam kepala kalian yang begitu bodoh!"
Semua membuka laci untuk mengeluarkan buku tata bahasa. Gwendoline menunggu
dengan berdebar-debar, bagaimana kalau Mary-Lou membuka lacinya. Tetapi ternyata
tak apa-apa. Mary-Lou tak melihat labah-labah itu, dan labah-labah tersebut juga masih
bersembunyi diam di sudutnya. Mary-Lou menutup kembali lacinya dengan aman.
Semua membuka buku tata bahasa pada halaman yang ditunjukkan oleh Mam'zelle.
Ternyata Mary-Lou telah mengeluarkan buku tata bahasa Inggris, bukannya Prancis!
Maka ia terpaksa membuka kembali lacinya untuk mengambil buku yang benar.
"Que {aUes vous, Mary-Lou?" tanya Mam'zelle yang tak suka mendengar laci dibuka
dan ditutup begitu sering. "Apa yang kaulakukan?"
Mary-Lou melemparkan buku tata bahasa Inggrisnya ke dalam lad dan menarik ke
luar buku tata bahsa Prancis. Si labah-labah, yang hampir terlempar oleh buku
Mary-Lou, ketakutan lari dari persembunyiannya. Dan tiba-tiba saja begitu dekat
lengan Mary-Lou! Terkejut Mary-Lou melepaskan tutup laci meja hingga berdebam
keras sambil menjerit dengn sekuat suaranya!
Semua terlompat terkejut. Mam'zelle begitu terkejut, sehingga setumpukan buku di
mejanya terlempar jatuh. Ia melotot pada Mary-Lou.
"lens! Suara apa itu" Mary-Lou sudah gila kah kau?"
Mary-Lou tak bisa berbicara. Teringat olehnya betapa labah-labah besar itu
hampir merambati lengannya! Ia mundur dari kursinya. Matanya terus membelalak,
seolah-olah labah-labah itu bisa meloncat menembus tutup mejanya.
"Mary-Lou! Katakan kau ini kenapa!" bentak mam'zelle. "Harus kaukatakan padaku!"
"Oh, Mam'zelle... ada... ada labah-labah besar ... Ia bah-Ia bah raksasa... di
dalam laci mejaku! Mary-Lou menjawab tergagap-gagap. Wajahnya pucat pasi.
"Labah-labah?" tanya Mam'zelle. "Hanya labah-labah dan kau melompat" Kau
menjerit" Kau membuat semua terkejut" Mary-Lou, kau harus malu! Aku marah
padamu! Duduk!" "Oh... aku... aku tak berani...," Mary-Lou gemetar. "Labah-labah itu bisa
keluar.... Labah labah itu besar sekalil"
Mam'zelle tak bisa memutuskan, apakah ia percaya pada kata-kata Mary-Lou atau
tidak. Kalau mengingat Alicia yang pura-pura tuli itu, lalu ini..
Irene tertawa terkikik. Mam'zelle melotot pada nya. "Baiklah," katanya kemudian,
"kita lihat apakah labah-labah ini ada atau tidak. Dan kuperingatkan padamu,
Mary-Lou, kalau ini hanya tipuan lagi, kau langsung harus menghadap pada Nona
Potts. Aku cuci tangan darimu!"
Mam'zelle mendekati meja Mary-Lou. Dengan penuh gaya dibukanya tutup laci meja
itu Mary-Lou melompat mundur, mencoba melihat ke dalam laci.
Tetapi tak ada seekor labah-labah pun keluar Labah-labah tersebut telah
bersembunyi di sudut yang tergelap. Mam'zelle memeriksa meja itu sesaat dan
berpaling pada Mary-Lou yang malang itu.
"Anak nakal!" ia berkata menghentakkan kaki. "Kau tampaknya saja pendiam dan
baik. Tapi ternyata kaujuga berani menipuku! Aku Mam'zell yang malang ini! Aku
tak mau terima ini!"
"Mam'zelle, percayalah!" pinta Mary-Lou, putus asa. Ia takut sekali dimarahi
guru. "Tadi ada labah-labah di situ. Besar sekali."
Mam 'zelle memasukkan tangannya ke dalam laci Mary-Lou dan mengaduk-aduk isinya.
"Tak ada labah-labah! Tak ada satu pun! Lihatlah! Apa labah-labah itu sudah
pergi" Ayo, katakanlah!"
Labah-labah itu jadi ketakutan oleh gerakan tangan Mam'zelle. Tiba-tiba ia lari
dari sudut, dan langsung merayapi tangan Mam'zelle!
Sesaat Mam'zelle ternganga. Matanya melotot seolah tak percaya. Kemudian ia
menjeril, jauh lebih keras dari jeritan Mary-Lou tadi. Ia juga sangat takut pada
labah-labah, dan yang lari merayapi tangannya adalah seekor labah-labah raksasa!
Tawa Irene bagaikan meledak. Ini seakan suatu isyarat bagi anak-anak lain untuk
ikut serta ramai-ramai. Hampir serentak mereka berlompat-lompatan mengerumuni
Mam'zelle. "Ah, di mana makhluk jahat itu" Anak-anak, cepat cari! Cepat cari!" seru
Mam'zelle. "Ini.. ini!" seru Alicia yang nakal. Jari-jarinya berlari di punggung Mam'zelle.
Mam'zelle menjerit lagi keras-keras, mengira jari-jari Alicia itu labah-labah.
"Cepat ambil! Cepat ambil, Alicia! cepat!"
"Wah, lari masuk ke punggung Anda, Mam'zelle!" teriak Betty, membuat Mam'zelle
bagaikan gila. Mam'zelle merasa labah-labah itu berlarian di dalam gaunnya! Mam'zelle gemetar
tak keruan. Alicia menggelitik tengkuknya, dan Mam'zelle meloncat tinggi. "Oh la
la! Oh, la la! Keterlaluan makhluk ini menyiksaku! Mana dia, Anak-anak" mana
dia?" Ribut tak keruan di kelas itu. Nona Potts yang saat itu sekali lagi sedang
mengajar di kelas dua merasa sangat heran. Apa lagi yang terjadi di kelas yang
menjadi tanggung jawabnya itu" Apakah mereka ditinggalkan Matn'zelle dan kelas
belajar sendiri" Ataukah semuanya telah gila"
"Teruskan dengan peta kalian," katanya pada murid-murid kelas dua yang saling
pandang keheranan. Nona Potts meninggalkan kelas itu dan cepat-cepat pergi ke
kelas satu. Dibukanya pintu kelas satu. Suara ribut menyambutnya bagaikan suatu tamparan
keras. Lebih ribut dari seluruh sekolah saat beristirahat Mula-mula ia tak
melihat ada guru di situ. Kemudian terlihat olehnya kepala Mam 'zelle di antara
kerumunan anak-anak. Apa yang terjadi"
"Anak-anak!" katanya. Tapi tak seorang pun mendengar suaranya. "ANAK-ANAK!"
Irene tiba-tiba melihatnya. Ia cepat menggamit kawan-kawannya dan berbisik,
"Ssst! Ada Potty!"
Anak-anak itu langsung bubar meninggalkan Mam'zelle. Sekejap saja semua sudah
kembali ke tempat duduk masing-masing. Mam'zelle berdiri sendiri, diam, gemetar,
heran karena tiba-tiba semua anak meninggalkannya. Di mana labah-labah raksasa
itu" "Mam'zelle!" kata Nona Potts ketus, hampir saja lupa pada peraturan bahwa guru-
guru tak boleh saling memberi teguran peringatan di depan anak-anak. "Aku sama
sekali tak mengerti, Apa yang terjadi di kelas ini setiap Anda mengajar."
Mam'zelle mengerdip-ngerdipkan matanya tertegun. "Oh, anu, ada labah-labah!"
katanya akhirnya. "Besar sekali. Raksasa. Lari di lenganku, dan hilang. Ahhhh...
rasanya masuk ke dalam bajuku!"
"Labah-labah tak akan menyakiti Anda," kata Nona Potts. "Apakah Anda ingin
keluar sebentar untuk menenangkan diri, Mam'zelle, sementara aku menegur kelas
satu ini?" "Ah, tidak, tidak usah," kata Mam 'zelle. "Kelas ini baik. Anak-anak membantuku
untuk mengusir labah-labah itu. Begitu besar, Nona Potts!"
Nona Potts memandang tak percaya pada lengan Mam'zelle yang diangkat untuk
menggambarkan betapa besarnya labah-labah itu. Kalau melihat tangan Mam'zelle
tersebut, pastilah labah-labah itu sebesar dua buah tinju orang dewasa dijadikan
satu. Anak-anak begitu gembira mendapat selingan ini. Hebat sekali pelajaran bahasa
Prancis kali ini. Gwendoline juga merasa gembira karena dialah yang menjadi
penyebabnya, walaupun tak ada yang mengetahui hal itu. Ia pura-pura bersikap
tenang, memperhatikan kedua guru itu.
Dan tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang merambati kakinya. Ia melihat ke bawah.
Labah-labah itu! Ternyata binatang tersebut telah meninggalkan tubuh Mam'zelle
dan bersembunyi di bawah meja, takut terinjak kaki yang begitu banyak. Kini,
saat keadaan mulai tenang, labah-labah tersebut meninggalkan tempat itu untuk
mencari tempat sembunyi yang lebih baik. Ia berlari, merayapi sepatu Gwendoline, merambat ke
atas lewat kaus kakinya, dan merayapi lututnya!
Tak tertahan lagi Gwendoline menjerit melengking keras sekali. Semua
terperanjat, dan Nona Potts dengan marah berpaling padanya.
"Gwendoline, keluar kau!" katanya gusar. "Berani betul kau menjerit seperti itu!
Tidak! Jangan katakan padaku bahwa kau juga melihat seekor labah-labah! Aku
bosan mendengar labah-labah saja yang jadi alasan. Kalian sungguh memalukan!"
Gwendoline gemetar, tak berani menjerit. Tetapi ia merasa sangat ketakutan,
kalau-kalau labah-labah itu merayapi tubuhnya!
"Labah-labah itu... labah-labah itu...," suaranya begitu lemah.
"GWENDOLlNE!'" bentak Nona Potts. "Kau-dengar kataku" Aku tak ingin mendengar
kata labah-labah lagi! Ayo, keluar! Seluruh isi kelas ini akan menerima hukuman
tidur satu jam lebih awal. Dan Gwendoline, khusus untukmu: dua-jam lebih awal!"
Sambil menangis Gwendoline lari ke luar. Ternyata labah-labah itu sungguh
menjengkelkan. Mengapa ia tidak memilih anak lain saja! Dengan gemetar
Gwendoline memeriksa seluruh badannya. kalau-kalau labah-labah itu masih ikut
dengannya. Ia sungguh bersyukur ketika dilihatnya labah-labah itu melarikan diri
ke lantai, meninggalkannya.
Gwendoline bersandar di tembok di luar kelasnya. Sialan! Kini ia malah mendapat
hukuman ganda! Tapi tak apa, nanti ia akan mengalihkan persoalan sehingga semua
anak dan guru akan menyalahkan Darrell dan Alicia, menuduh merekalah yang
memasukkan labah-labah itu ke laci Mary-Lou. Keterlaluan Nona Potts itu,
seenaknya memberikan hukuman. Toh ia tak bisa melarang labah-labah itu
mendekatinya! Tetapi bisa juga suatu hal yang menguntungkan bahwa Nona Potts ikut campur.
Beliau dengan begitu tahu apa yang terjadi. Mungkin nanti Gwendoline bisa
memberi kesan bahwa yang berbuat nakal adalah Alicia dan Darrell!
Nona Potts keluar dari ruang kelas, melirik tajam pada Gwendoline.
"Nona Potts, labah-labah itu lari ke arah sana." Gwendoline menuding, bersikap
manis sekali agar Nona Potts mau memaafkannya.
Tetapi Nona Potts tak memperhatikannya. Ia bergegas memasuki kelas dua dan
menutup pintunya. Gwendoline kebingungan Apa yang akan dilakukannya kini"
Berdiri saja di sini atau menyelinap masuk ke dalam kelas" Kalau berdiri terus
di sini, bisa-bisa ia terpergok oleh Nona Grayling yang pasti akan memarahinya
lagi. Lebih baik nekat saja masuk. Dibukanya pintu dan ia menyelinap masuk.
"Ha! Kau kembali lagi!" kata Mam 'zelle, kini malu akan apa yang dilakukannya
tadi. "Siapa yang menyuruhmu masuk?" ia membentak lagi untuk menyalurkan
perasaan mengkalnya. "Kau menjerit dan membuat Nona Potts sangat marah!"
"Tapi, Mam'zelle, Anda pun menjerit tadi," kata Gwendline dengan perasaan
tersinggung. "Bahkan jeritan Anda jauh lebih keras dari jeritanku!"
Mam'zelle berdiri. Dan walaupun tubuhnya kecil, bila sedang marah tubuhnya
serasa raksasa yang akan menelan Gwendoline.
"Kau berani kurang ajar padaku, Mam'zelle Dupont! Kau berani menentang kata-
kataku, ya" Aku yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengajar di sini! Kau...
kau...." Gwendoline berpaling dan lari ke luar. Lebih baik berdiri di depan ruang kelas
sepanjang hari daripada menghadapi Mam'zelle pada saat kemarahannya seperti itu!
12. KATA-KATA TAJAM SEBELUM hari itu lewat, peristiwa labah-labah sudah didengar oleh seluruh isi
sekolah itu, dan selalu membuat semua pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal.
Ketika Mam'zelle Rougier mendengarnya, ia mencibirkan bibirnya dan berkata
dengan nada mengejek, "Keterlaluan! Masa seorang wanita Prancis begitu tolol!
Kalau aku, aku takkan takut pada binatang apa pun! Labah-labah, serangga, bahkan
ular! Mestinya Mam 'zelle Dupont harus malu telah bertingkah seperti itu!"
Anak-anak kelas satu tak bosan-bosannya membicarakan peristiwa itu. Tiap kali
mereka tertawa tergelak-gelak lagi bila mengingat betapa Mary-Lou, Gwendoline,
dan Mam'zelle Dupont menjadi korban labah-labah tersebut.
"Sungguh pandai labah-labah itu," kata Irene. "Ia bisa memilih tiga orang yang
sangat takut padanya di dalam kelas. Betul-betul luar biasa!"
"Aku tak tahu mengapa binatang itu memilih mejaku," kata Mary-Lou.
"Ya, alangkah anehnya," kata Gwendoline.
"Kasihan kau, Mary-Lou. Pastilah kau sangat terkejut saat pertama kau
melihatnya. Entah siapa yang begitu keji menaruhnya di lacimu."
Seketika semua diam. Untuk pertama kalinya anak-anak kelas satu itu sadar bahwa
labah-labah tadi tak bisa begitu saja masuk ke laci Mary-Lou. Mungkin ada yang
memasukkannya. Mereka saling pandang.
"Sungguh keji orang yang menaruhnya di laci Mary-Lou," kata Jean. "Semua kan
tahu bahwa ia sangat penakut. Bisa pingsan ia kalau terkejut lagi seperti tadi
itu. Kukira semua anak di kelas kita cukup tahu diri, dan kalaupun ada yang
ingin bermain takut-takutan dengan labah-labah, mestinya masukkan saja ke laci
Alicia." "Kecuali kalau yang bawa labah-labah itu Alicia sendiri," sebuah suara licik
terdengar. "Kau kan suka mengganggu orang, Alicia" Kau dan Darrell berada di
dalam kelas sebelum pelajaran sore dimulai. Dan kukira semua ingat kau pernah
berkata ingin memasukkan seekor labah-labah ke dalam gaun Mary-Lou."
Yang berbicara itu adalah Gwendoline. Alicia melirik tajam padanya. "Pokoknya
bukan aku yang melakukannya," katanya. "Dan Darrell juga tidak. Maaf untuk
mengecewakanmu, Gwendoline sayang, tetapi kami tidak tahu-menahu tentang labah-
labah tersebut. Kalau ada orang sekeji itu, maka aku yakin orang itu adalah
kau!" "Mary-Lou adalah sahabatku," bantah Gwendoline. "Tak mungkin aku melakukan hal
itu." "Wah, kalau sekali kau mampu membenamkan dirinya, kukira tak sulit bagimu untuk
menaruh labah-labah di lacinya," kata Darrell.
"Sungguh aneh bahwa hanya kau dan Alicia yang berada di dalam kelas sebelum
pelajaran sore," Gwendoline mengejar terus, merasa gusar karena ternyata tak
seorang pun mendukung gagasannya.
"Sudahlah!" tukas Katherine. "Kita semua tahu bahwa yang melakukan hal itu
bukannya Alicia ataupun Darrell, sebab mereka mengatakan hal itu dan kata-kata
mereka bisa dipercaya. Kita anggap saja labah-labah itu secara kebetulan
memasuki laci Mary-Lou."


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kupikir..." Gwendoline akan mulai lagi, tetapi anak-anak sekelas langsung
memutuskan pembicaraannya dengan berseru-seru berlagu,
"Diam Gwendoline, Gwendoline diam! Diam Gwendoline, Gwendoline diam! Diam
Gwendoline, Gwendoline diam."
Terpaksa Gwendoline diam. Gwendoline sangat marah dalam hati. Rencananya
berjalan begitu baik, tetapi ternyata dialah yang mendapat hukuman! Dikeluarkan
dari kelas, dimarahi, dan tak ada yang berhasil diyakinkannya bahwa Alicia dan
Darrell-Iah yang bertanggung jawab! Ia juga dihukum dua jam lebih awal harus
tidur! Yang lain memang dihukum tidur satu jam lebih awal, tetapi mereka
melakukannya tanpa perasaan mengkal. Mereka bahkan sepakat, hukuman tersebut
cukup sesuai dengan kegembiraan yang telah mereka rasakan.
Gwendoline begitu mendendam oleh kegagalannya. Ia memutuskan untuk tidak putus
asa oleh kegagalan pertama ini. Ia akan terus mengganggu Mary-Lou secara diam-
diam, hingga akhirnya yang lain yakin Alicia dan Darrell-lah yang berbuat.
Ia juga bermaksud untuk memberi kesan pada Nona Potts, bahwa Alicia dan Darrell
menjadi biang keladi peristiwa labah-labah itu. Tetapi ternyata rencananya yang
terakhir itu tak memberi hasil sesuai dengan harapannya. Kesempatan melakukan
rencananya tadi diperolehnya saat ia harus menghadap Nona Potts untuk
menunjukkan pembetulan pekerjaan rumahnya, di kamar yang ditempati Nona Potts
bersama Mam'zelle Dupont Sambil menunggu Nona Potts memeriksa pekerjaannya,
Gwendoline berkata, "Nona Potts, aku sangat menyesal akan peristiwa labah-labah
waktu itu. Aku tak tahu siapa yang berbuat. Tetapi hari itu adalah hari piket
Alicia dan Darrell. Mereka berada di dalam ruang kelas sebelum pelajaran sore.
Mungkin mereka tahu esuatu. Dan Alicia perna berkata...."
Nona Potts mengangkat muka. "Apakah kau bermaksud memfitnah?" tanyanya dingin.
"Atau dengan kata yang lebih halus - menggunjingkan seseorang" Jangan coba-coba
padaku. Di sekolahku dulu, Gwendoline, ada hukuman khusus bagi dnak yang suka
memfitnah. Semua anak yang satu asrama dengan anak itu diharuskan memukulnya
sekali pada pantatnya, dengan menggunakan bagian belakang sikat rambut. Entah
apa hukuman untuk kesalahan serupa itu di sini. Aku akan menanyakannya pada
anak-anak di sini." Merah padam muka Gwendoline. Memfitnah! Keterlaluan Nona Potts menjulukinya.
Masa memberi suatu petunjuk kecil saja memfitnah! Gwendoline tak tahu harus
berbuat apa. Mau rasanya ia menangis, tetapi Nona Potts selalu sangat galak
terhadap seorang anak yang terlalu cengeng. Ia meninggalkan kamar Nona Potts
dengan keinginan untuk membanting pintu keras-keras seperti biasa dilakukannya
di rumah. Tentu saja ia tak berani melakukannya di sini. Ia merasa iba pada dirinya
sendiri. Kalau saja ibunya tahu betapa sekolah ini begitu kejam padanya, pasti
beliau segera mengambilnya kembali. Nona Winters pasti juga sangat gusar atas
perlakuan anak-anak pada murid kesayangannya itu. Tetapi Gwendoline tak begitu
yakin tentang ayahnya. Kadang-kadang ayahnya mengucapkan kata-kata seperti yang
sering diucapkan Nona Pot padanya.
Minggu itu pun berlalu. Minggu yang cukup menyenangkan. Udara panas, namun
sering bertiup angin sejuk yang membuat berolahraga, terutama berenang, lebih
menyenangkan dan biasanya. Alicia dan Betty berlatih keras untuk pertandingan-
pertandingan sekolah nanti. Kedua nya merupakan perenang pilihan serta peloncat
indah unggulan. Darrell selalu mencoba mengejar keduanya. Hasil yang dicapainya
cukup lumayan, tetapi belum sebaik hasil Alicia dan Betty. Kelebihan Darrell
adalah keberaniannya. Ia berani terjun dari menara loncat tertinggi, berani
meluncur dengan gaya yang aneh-aneh.
Yang pling sedih minggu itu adalah Mary-Lou. Berkali-kali ia mendapat kesulitan
karena beberapa peristiwa kecil. Misalnya, baju-bajunya di kamar ganti telah
dibuang oleh seseorang ke air sehingga basah semua. Ia terpaksa membawanya ke
Ibu Asrama untuk dikeringkan.
Ibu Asrama sangat marah. "Mary-Lou! Tak dapatkah kau menggantungkan pakaianmu
dengan baik" Kau tahu, di kamar ganti selalu saja ada air tergenang karena anak-
anak yang baru berenang selalu basah kuyup."
"Aku telah menggantungnya dengan baik, Ibu," kata Mary-Lou lemah. "Aku yakin
itu." Kemudian raket tenis Mary-Lou ternyata kedapatan putus senarnya, tiga helai.
Jelas putus karena dipotong oleh seseorang. Mary-Lou kesal sekali.
"Raket baruku!" katanya. "Lihat, Gwendoline, masa raket baru begitu mudah putus
senarnya!" "Tak mungkin," kata Gwendoline, pura-pura mengamat-amati raket tersebut. "Senar
ini telah dipotong oleh seseorang, Mary-Lou. Seseorang telah mempermainkanmu
dengan keterlaluan!"
Mary-Lou bingung. Ia tak percaya dirinya punya musuh. Tetapi ketika didapatinya
pakaiannya yang terbaik hilang beberapa kancingnya, ia terpaksa yakin bahwa
seseorang memang telah berlaku kejam padanya. Gwendoline menghiburnya.
"Tak apa, Mary-Lou, akan kujahitkan untukmu. Aku tak suka menjahit, tetapi
untukmu tak apalah!"
Dan dengan berusaha agar semua anak melihat, suatu malam Gwendoline menjahitkan
keenam kancing pakaian Mary-Lou itu. Anak-anak melihatnya dengan heran. Mereka
tahu Gwendoline tak pernah dengan suka rela menjahit sesuatu.
"Bagaimana kancing-kancing itu bisa copot?" tanya Jean.
"Itulah yang ingin kuketahui," kata Gwendoline penuh arti. "Enam buah, dan
semuanya copot! Aku menjahitkannya untuk Mary-Lou sebab aku merasa kasihan
padanya. Sungguh keji anak yang mengganggunya seperti ini. Aku juga ingin tahu,
siapa yang telah memutuskan senar raketnya."
Anak-anak saling pandang. Memang aneh hal-hal yang terjadi pada Mary-Lou. Bahkan
buku doanya hilang. Begitu juga beberapa batang pensilnya. Memang betul pensil-
pensil itu diketemukannya kembali di laci Alicia, tetapi semua mengira hal itu
hanyalah suatu kebetulan. Kini anak-anak mulai berpikir bahwa memang ada
seseorang yang mempermainkan Mary-Lou. Pasti bukan Alicia. Alicia tidak akan
sekeji itu. Pasti ada orang lain.
Tengah semester makin dekat Banyak anak yang menantikan saat itu dengan penuh
harapan. Menurut rencana, orang-orang tua mereka akan datang berkunjung. Memang
orang-orang tua yang tinggal tak terlalu jauh dari sekolah biasanya datang pada
tengah semester. Tetapi Darreil luar biasa gembiranya mengetahui bahwa bahkan
ayah-ibunya akan datang, walaupun mereka tanggal di tempat yang sangat jauh.
Keduanya memastikan untuk berlibur di Cornwall, agar berada dekat dengan Malory
Towers pada saat tengah semester.
Anak-anak mulai sering membicarakan keluarga mereka. "Wah, alangkah senangnya
kalau ketiga kakakku bisa datang," kata Alicia. "Mereka sungguh menyenangkan!"
"Aku ingin adik perempuanku datang kemari, akan kupamerkan padanya Malory Towers
ini," kata Jean. "Apakah ibumu akan datang, Sally?" tanya Mary-Lou.
"Tidak, ia tinggal terlalu jauh dari sekolah ini," kata Sally.
Darrell teringat sesuatu yang disebutkan ibunya di surat kira-kira seminggu yang
lalu. Ibunya telah bertemu dengan ibu Sally Hope, Nyonya Hope. Menurut surat
itu, ibu Darrell menyukai Nyonya Hope. Ia bahkn telah melihat bayi Nyonya Hope,
adik Sally, yang baru berumur tiga bulan. Tadinya Darrell ingin mengatakan
berita ini pada Sally tetapi lupa. Kini ia ingat.
"Oh, Sally, mungkin ibumu tak bisa datang karena harus mengurus bayinya,"
katanya. Sally seketika tampak tegang. Ia memperhatikan Darrell, seolah-olah tak mengerti
apa yang dikatakannya. Wajahnya jadi pucat, suaranya gemetar, "Apa katamu" Bayi
apa" Kami tak punya bayi! Ibuku tidak dapat datang karena rumahnya terlalu
jauh!" Darrell heran. "Tetapi Sally... ibuku berkata dalam suratnya bahwa ia telah
melihat adikmu yang masih bayi! Tiga bulan!"
"Aku tak punya adik!" desis Sally dengan suara aneh. "Aku anak tunggal. Aku dan
ibuku begitu saling menyayang, dan sering kami tinggal berdua di rumah, sebab
Ayah sering harus pergi untuk beberapa lama. Aku tak punya adik!"
Anak-anak memperhatikan Sally dengan rasa heran. Sungguh aneh kata-katanya.
Kenapa anak ini" "Baiklah," kata Darrell akhirnya, "tentu saja kau lebih tahu. Lagi pula, kau
pasti menyayangi adikmu kalau kau memang punya adik. Jadi kau tak usah begitu
ngotot membantahnya kalau sesungguhnya kau punya adik. Senang lho punya adik!"
"Aku tak mau punya adik!" kata Sally. "Aku tak ingin ibu membagi kasih sayangnya
pada anak lain." Sally cepat keluar dari ruangan itu, dengan wajah tetap kaku. Anak-anak saling
pandang dengan heran. "Aneh sekali dia," kata Irene. "Biasanya tak pernah
berbicara sepatah kata pun! Selalu tertutup. Tetapi orang-orang yang tertutup
seperti itu sering kali tiba-tiba meledak. Dan kalau itu terjadi - hati-
hatilah!" "Aku akan menulis surat pada Ibu bahwa beliau telah keliru tentang adik Sally
itu," kata Darrell. Dan saat itu juga ia melakukannya. Ketika kemudian ia
bertemu Sally, ia mengatakan hal tersebut pada Sally.
"Maaf tentang kekeliruanku mengatakan kau punya adik," kata Darrell. "Aku telah
menulis surat pada Ibu bahwa kau sesungguhnya tak punya adik. Mungkin ia keliru
menerima kata-kata ibumu."
Sally terpaku dan tampak marah. "Kenapa sih kau selalu ikut campur urusan orang
lain?" katanya ketus. "Jangan urus keluargaku!"
Darrell jadi gusar juga. "Aku tak mau ikut campur urusan keluarga orang, tapi
jangan terlalu kasar berbicara, Sally! Apa sih yang kau ributkan" Kau punya adik
atau tidak sesungguhnya aku tak peduli!"
"Dan katakan pada ibumu tak usah dia ikut campur urusan keluargaku!" kata Sally
pula. "Untuk apa menulis surat tentang ibuku segala?"
"Oh, sialan!" Darrell jadi marah, ibunya diikut sertakan dalam kegusaran Sally.
"Rahasia apa sih yang disembunyikan keluargamu" Sudahlah. Kita tunggu saja
balasan suratku nanti, dan akan kukatakan padamu apa yang ditulis ibuku."
"Aku tak ingin mengetahuinya! Aku tak mau!" kata Sally hampir berteriak. "Aku
benci padamu, Darrell Rivers! Kau dan ibumu yang membuatmu congkak karena dia
mengantarkanmu ke stasiun, mengirimkan berbagai benda, mengirimkan surat
panjang-panjang, dan akan menjengukmu di tengah semester... aku benci padamu!
Kau memamerkan itu semua untuk menyakiti hatiku! Kau sungguh keji! Sungguh
kejam!" Darrell terperangah. Apa maksud Sally" Dengan heran diperhatikannya Sally yang
dengan gusar sekali meninggalkan ruang kelas. Kebingungan Darrell duduk di
sebuah kursi. 13. TENGAH SEMESTER MURID-MURID Malory Towers begitu gembira di awal minggu tengah semester. Di hari
Sabtunya banyak yang akan bertemu dengan orang tua mereka - dan Nona Remmington,
guru olahraga, muncul dengan gagasan mengadakan beberapa perlombaan di air.
Untuk dipamerkan pada orang tua murid. Dan memang setiap orang yang berkunjung
ke Malory Towers biasanya kagum akan kolam renang mereka.
"Kukira tambahan acara itu sangat tepat," kata Nona Remmington. "Udara begini
panas, dan di sekitar kolam bertiup angin sejuk. Para tamu tidak saja akan
melihat keindahan kolam renang kita, tetapi mereka juga akan bisa menyaksikan
ketangkasan putri-putri mereka berenang atau loncat indah. Setelah pertandingan,
semua akan dijamu dengan strawberry dan teh krim, dengan es."
Hebat sekali! Darrell tak sabar menanti saat itu tiba. Ia kini sudah pandai
dalam berenang dan loncat indah. Ia yakin ayah-ibunya akan bangga padanya. Dan
setelah itu, es krim! Alangkah nikmatnya!
Tetapi ia tertegun kecewa di hari Rabu, saat urutan tingkatan angka rapor
dibacakan. Tadinya ia menduga ia akan menempati urutan ketiga atau keempat
Tetapi ternyata ia berada pada urutan kesepuluh dari bawah! Ia hampir tak
percaya akan telinganya. Di puncak urutan, Katherine. Alicia pada urutan kelima.
Betty keempat belas. Gwendoline paling bawah. Mary-Lou enam tingkat di atas
Gwendoline. Tak begitu jauh di bawah Darrell!
Darrell tak berani bergerak sedikit pun karena kecewanya. Kelas satu terdiri
dari sekitar tiga puluh anak. Jadi sedikitnya ada dua puluh anak yang nilainya
jauh lebih baik darinya! Pastilah ada kekeliruan!
Sehabis jam pelajaran, ia menemui Nona Potts untuk menanyakan hal itu. "Nona
Potts," katanya agak takut, sebab Nona Potts tampak sedang sibuk memeriksa
pekerjaan murid-muridnya. "Nona Potts, maaf aku mengganggu. Bolehkah aku
menanyakan sesuatu?"
"Ada apa?" tanya Nona Potts sementara pensil birunya menelusuri sebaris kata-
kata di kertas yang diperiksanya.
"Tentang urutan di kelas," kata Darrell. "Apakah aku memang begitu rendah?"
"Tunggu, kau di tingkat berapa" Ya, begitu rendah" kata Nona Potts memeriksa
daftarnya. "Benar. Aku juga heran. Dan kecewa. Dua minggu pertama nilaimu begitu bagus."
"Tetapi, Nona Potts..." Darrell akan berkata lagi, tetapi tertegun tak tahu
bagaimana ia harus bertanya. Ia ingin berkata bahwa ia merasa lebih pandai
daripada hampir separuh teman-temannya sekelas. Lalu mengapa ia begitu rendah"
Tapi rasanya kalau ia bertanya begitu, kedengarannya ia sombong.
Tetapi ternyata Nona Potts yang tanggap itu agaknya mengerti apa yang
dipikirkannya. "Kau ingin bertanya mengapa kau begitu dekat dengan kedudukan
terbawah, padahal kau merasa bisa berada di antara mereka yang berada di
tingkat-tingkat teratas?" tanyanya. "Begini, Darrell. Ada orang yang seperti
Alicia. Dia nakal, suka mengganggu anak lain, suka menghabiskan waktunya dengan
bercanda, tetapi masih tetap bisa bekerja dengan baik dan dengan hasil cukup
baik. Dan ada pula orang yang seperti kau, yang juga suka bergurau, bermain,
membuang-buang waktu - tetapi tak bisa menjaga hasil kerjanya. Hasil kerjamu
terpengaruh karena kurang belajar dan kau melorot ke bawah. Kau mengerti?"
Pipi Darrell merah padam. Malu sekali dia, dan mau rasanya terbenam di lantai.
Ia mengangguk. "Ya, terima kasih," katanya lemah. Dipandangnya Nona Potts dengan matanya yang
cokelat bening. "Kalau aku tahu bahwa perbuatanku itu akan mempengaruhi
pekerjaanku hingga aku begitu rendah, tentulah aku takkan melakukannya,"
katanya. "Kupikir... kupikir aku cukup cerdas dan daya ingatku cukup kuat hingga
aku merasa bermain-main sedikit takkan apa-apa. Ayah dan Ibu pastilah sangat
kecewa nanti." "Tentu," kata Nona Potts, mengambil pensil birunya lagi. "Kalau aku engkau, maka
aku takkan terlalu meniru tingkah laku Alicia dan Betty. Kau akan lebih berhasil
kalau kau tidak meniru siapa-siapa. Sebab sifatmu adalah melakukan apa saja yang
ingin kaulakukan dengan sepenuh hati Kau tak bisa membagi perhatianmu. Kalau kau
sedang senang bercanda, maka bercanda saja yang kaupikirkan, tak bisa memikirkan
pekerjaan mu. Karena itu pekerjaanmu jadi menurun. Alici lain. Alicia bisa
melakukan satu, dua, atau tiga hal sekaligus, dalam waktu yang bersamaan dan
dengan hasil yang baik semuanya. Itu memang suatu kelebihan. Tetapi orang-orang
terbaik di dunia ini kebanyakan adalah orang-orang yang biasa melakukan sesuatu
dengan sepenuh hatinya, tanpa pikiran yang bercabang. Mereka menjadi sangat
berhasil bila dapat memilih satu saja hal yang paling tepat untuk mereka."
"Yah, kukira begitulah," gumam Darrell. "Seperti ayahku. Ia selalu tekun akan
suatu hal. Ia seorang ahli bedah. Dan ia hanya punya satu tujuan mengembalikan
kesepatan dan kebahagiaan orang yang dirawatnya. Dan ternyata ia kini termasuk
salah seorang ahli bedah yang terbaik!"
"Tepat!" kata Nona Potts. "Itu takkan terjadi kalau ia membagi dirinya -
misalnya berusaha untuk menjadi baik dalam dua belas hal sekaligus. Ia mungkin
takkan bisa menjadi ahli bedah yang begitu cemerlang. Seperti beliau, lebih baik
kau memilih salah satu hal saja yang kausukai - apakah itu menjadi dokter, guru,
penulis, pelukis, atau apa saja, kemudian kau tekuni bidang yang kaupilih itu.
Dengan cara itu kau akan lebih berhasil. Beda dengan orang-orang yang katakanlah
bisa dianggap kelas dua atau tiga. Orang-orang macam itu bisa berhasil baik
dalam beberapa hal sekaligus, tetapi tidak akan menonjol sama sekali. Orang yang
punya bakat untuk menjadi orang kelas satu haruslah memilih salah satu saja
suatu pekerjaan yang diutamakan, mempelajarinya dengan tekun dan sepenuh hati,
dan dengan begitu ia akan menonjol dan cemerlang."
Darrell tak berani bertanya, apakah ia termasuk mereka yang berbakat untuk
menjadi orang kelas satu. Dalam hati ia hanya bisa berharap, dan dengan murung
ia meninggalkan ruang kerja Nona Potts. Sayang sekali dahulu ia tak mencurahkan
seluruh perhatiannya pada pelajarannya. Sayang sekali ia malahan begitu tekun
untuk bersenang-senang saja bersama Alicia dan Betty. Ia merasa mampu untuk
berada di antara yang teratas, dan bukannya meluncur ke bawah seperti saat ini.
Gwendoline menurut rencana akan dikunjungi oleh ibunya dan guru pribadinya, Nona
Winters. Ia begitu menantikan kedatangan kedua orang tersebut, ingin memamerkan
apa saja yang ada di sekolahnya serta apa saja yang dicapainya - walaupun
sebagian besar hanyalah khayalannya sendiri. Ia pasti akan bisa menunjukkan pada
Nona Winters, bahwa mungkin ia telah jauh lebih pintar daripada guru pribadinya
itu. Ayah-ibu Mary-Lou tak bisa datang. Ia begitu kecewa. Gwendoline menghiburnya
dengan berkata, "Tak apalah, Mary-Lou. Kau boleh ikut dengan aku, ibuku, dan
Nona Winters. Aku takkan membuatmu kesepian di hari besar ini."
Sesungguhnya Mary-Lou tak ingin berdua saja dengan Gwendoline. Ia bosan selalu
dibelai-belai oleh anak itu, bosan selalu harus mendengar berbagai kisah tentang
keluarga Gwendoline di mana Gwendoline selalu tampil begitu cemerlang, selalu


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan berbagai perbuatan yang luar biasa.
Tetapi Gwendoline sangat menyukai seorang pendengar yang begitu pendiam,
walaupun dalam hati ia memandang rendah pada Mary-Lou yang lemah itu.
Ketika Darrell mendengar bahwa ayah-ibu Mary-Lou tak bisa datang, ia segera
menemuinya. "Maukah kau bersama aku dan ayah-ibuku selama sehari itu?" tanyanya. "Mereka
akan membawaku makan siang di luar. Pasti sangat menyenangkan!"
Hati Mary-Lou melonjak. Dipandangnya Darrell dengan pandang penuh terima kasih.
Bayangkan - diajak oleh Darrell untuk bersama dalam hari libur tengah semester!
Apa lagi yang lebih hebat dari itu" Akhir-akhir ini Darrell begitu sering gusar
padanya, tetapi agaknya kini ia ingin mengubah kelakuannya itu dan berbaik
padanya. Tetapi kemudian Mary-Lou teringat akan undangan Gwe!ldoline untuk bersamanya di
hari tersebut. Rasa gembiranya lenyap. "Oh, tetapi Gwendoline telah memintaku
untuk menemaninya," katanya. "Dan aku telah menyatakan setuju."
"Kalau begitu bilang padanya bahwa aku memintamu menemaniku, dan ayah serta
ibuku sangat ingin bertemu denganmu," kata Darrell. "Kukira, ia tak akan
keberatan melepaskanmu."
"Entahlah... aku tak berani mengatakan hal itu pada Gwendoline," kata Mary-Lou.
"Mungkin ia malah marah. Kau tahu, ia tak suka padamu."
"Jadi itu berarti kau lebih suka pergi dengan Gwendoline daripada denganku,"
kata Darrell tajam. Ia selalu gusar bila Mary-Lou menunjukkan air muka ketakutan
seperti itu. "Kalau begitu, ya sudah. "
"Darrell! Jangan begitu! Sesungguhnya aku... aku... aku lebih suka pergi
denganmu!" Mary-Lou hampir menangis.
"Kalau memang begitu, berterus teranglah pada Gwendoline," kata Darrell. "Kau
harus berani menentukan apa yang kausukai apa yang tidak. Betul-betul pengecut
kau." "Aku mengerti, tapi jangan selalu berkata begitu padaku." Mary-Lou kebingungan.
"Kalau kau selalu menggusariku, aku akan jadi semakin takut. Tolong kaulah yang
mengatakan pada Gwendoline, Darrell."
"Enaknya!" dengus Darrell "Aku tak mau melakukan apa yang kau sendiri tak mau
melakukannya. Lagi pula, kupikir-pikir takkan menyenangkan bagiku untuk berdua
bersama seorang penakut seperti kau di hari gembira itu."
Dengan gemas ia meninggalkan Mary-Lou. Jean yang kebetulan mendengarkan
percakapannya tadi merasa kasihan pada Mary-Lou dan ia segera menyusul Darrell.
"Darrell, kukira kau terlalu keras padanya," katanya dengan suara Skots-nya yang
begitu nyata. "Tapi itu untuk kebaikannya," kata Darrell. "Kalau ia bisa kupaksa agar menjadi
sedikit berani, pastilah kelak ia berterima kasih padaku. Sengaja aku berkata
begitu kejam padanya, agar ia merasa malu dan berani menentang Gwendoline."
"Kau memang telah membuatnya merasa malu, tetapi dengan akibat yang jauh dari
dugaanmu. Ia begitu malu hingga malahan tak berani berbuat apa-apa! Kau
memberinya malu yang membuat orang putus asa!"
Jean benar. Mary-Lou bahkan merasa putus asa. Semakin ia merancangkan untuk
berkata pada Gwendoline bahwa ia akan pergi dengan Darrell, semakin ketakutan
ia. Memang akhirnya ia pergi menemui Gwendoline, tetapi ia tak berani berkata
apa-apa. Ini membuat ia dalam hati semakin putus asa. Kasihan sekali Mary-Lou.
Gwendoline mendengar juga entah dari siapa bahwa Darrell telah meminta Mary-Lou
untuk menemaninya. Ia begitu gembira karena ternyata Mary-Lou masih tetap ingin
pergi dengannya. "Keterlaluan betul Darrell itu, ya?" ia berkata pada Mary-Lou. "Ia kan sudah
tahu bahwa aku telah memintamu menemaniku. Aku gembira kau berani menolak
ajakannya, Mary-Lou. Aku mengerti. Kau pasti takkan mau pergi dengan seorang
anak seperti itu, yang selalu menganggapmu sebagai seekor cacing saja."
Mary-Lou tak bisa berkata apa-apa. Kalau saja ia bisa mengumpulkan keberanian
untuk mengatakan sesuatu yang menentang Gwendoline, mungkin segalanya akan
beres! Hari besar yang begitu dinantikan telah tiba. Fajar menyingsing menjanjikan hari
yang cerah dan cemerlang. Laut berseri-seri di bawah cahaya matahari, tenang
bagaikan cermin. Jam dua siang nanti pasang akan naik hingga kolam renang akan
menyenangkan airnya. Untung sekali!
Anak-anak mengangkut kursi-kursi lipat ke tepi kolam renang, menempatkannya di
batu-batu karang yang tidak tercapai oleh air laut sekitar kolam renang itu. Di
tempat itulah para penonton bisa duduk dengan nyaman. Darrell tak henti-hentinya
bernyanyi gembir. Ia akan bertemu ayah-ibunya! Mary-Lou tak ikut bernyanyi.
Tampak murung wajahnya. Sally Hope tampak murung juga. Wajahnya lebih tertutup
dari biasanya, pikir Darrell.
Alicia sebaliknya, tampak riang gembira. Ayah-ibunya beserta salah satu
saudaranya akan datang. Ayah-ibu Betty tIdak datang, maka Betty akan menyertai Alicia.
Darrell melihat Sally Hope menunduk mendaki tebing setelah membawa kursi-kursi
lipat ke kolam renang. Melihat betapa sedih air muka anak itu, Darrell langsung
memanggilnya, "Hai, Sally! Sally Hope! Ayah-ibumu tidak datang, kan" Bagaimana
kalau kau menyertaiku dengan ayah-ibu-ku?"
"Terima kasih, tidak saja," kata Sally agak kaku dan bergegas meninggalkan
Darrell. "Wah, aneh sekali dia," pikir Darrell. Ia sedikit gusar sebab dua kali ia
mengajak temannya, dan dua kali tak berhasil. Ia harus mencari seseorang untuk
menemaninya, sebab ibunya telah menulis bahwa beliau ingin diperkenalkan dengan
seseorang yang menjadi sahabat akrabnya, kalau dapat.
Tetapi Darrell belum punya sahabat akrab. Ia ingin memilih Alicia, tetapi Alicia
sudah punya Betty. Ia menyukai Irene, tetapi Irene agaknya tidak memerlukan
seorang sahabat. Baginya musik adalah segala-galanya.
"Oh, ya sudah... Bagaimana kalau Emily?" pikirnya. Sesungguhnya ia tak tertarik
sama sekali pada Emily yang begitu pendiam dan terlalu rajin itu, yang tak
pernah lupa mengerjakan jahitan setiap malam. Tetapi ayah-ibu Emily tidak akan
datang dan belum ada yang mengajak Emily untuk bersama-sama di hari besar itu.
Tak ada pilihan lain. Darrell menyampaikan permintaannya pada Emily. Emily tentu
saja sangat girang hatinya dan langsung setuju. Ia juga tampak heran, mengapa
justru dirinyalah yang diminta Darrell. Mary-Lou mau menangis rasanya melihat
Darrell dan Emily bersiap-siap menunggu kedatangan ayah-ibu Darrell.Ia tak tahan
melihat Emily memperoleh kesempatan yang begitu diinginkannya itu. Tetapi ia
memang tak punya keberanian untuk meraih kesempatan itu.
14. SUATU HARt YANG tNDAH
HALAMAN besar Malory Towers mulai ramai oleh kedatangan berbagai jenis mobil.
Orang-orang tua murid muncul dari mobil-mobil itu dan langsung disambut oleh
teriakan-teriakan di sana-sini.
"Ibu Ayah! Senang sekali aku, Ayah dan Ibu datang begini awal!"
"Ayah! Ibu! Oh, senang sekali aku'"
Riuh rendah suara mobil dan teriakan anak-anak itu. Darrell berdebar-debar
menunggu kedatangan ayah-ibunya. Dan akhirnya muncul juga mobil hitam milik
keluarganya, yang dikemudikan sendiri oleh ayahnya. Dan itu ibunya! Betapa
cantiknya beliau, dalam pakaian baru, duduk di samping ayahnya, dan tampaknya
tak sabar untuk bisa segera bertemu Darrell!
Darrell meleset turun ke halaman, berlari begitu cepat hingga hampir membuat
Gwendoline jatuh terjungkal tertubruk olehnya. Ia langsung menubruk dan memeluk
ibunya. "Ibu! Aku sudah menunggu dari tadi! Oh, senang sekali bertemu Ibu lagi!
Halo, Ayah! Ayah mengemudikan mobil ini langsung dari rumah?"
"Halo, Sayang," kata Nyonya Rivers, memperhatikan putrinya. Kulit Darrell
kecoklatan kini, sehat berseri. Matanya cemerlang tampak bahagla. Kedua orang
tuanya sangat gembira melihat keadaan putri mereka ini.
Darrell menuntun mereka memasuki gedung sekolahnya, tak henti-hentinya berbicara
dengan suara keras sekali. "Ibu harus melihat tempat tidurku. Ibu harus melihat
kamarku! Dan lihat nanti pemandangan di luar jendelaku. Begitu indah!"
Dalam kegembiraannya ia sampai lupa pada Emily yang dengan sabar berdiri
menunggu di sampingnya. Tetapi tiba-tiba Darrell melihatnya dan menghentikan
celotehnya. "Oh, Emily! Ibu, Ibu bilang aku boleh mengajak seorang temanku untuk menyertai
kita. Dan ini Emily Lake, dia sekelas denganku."
Nyonya Rivers berjabat tangan dengan Emily. Ia heran juga. Sama sekali tak
dikiranya Darrell akan memilih teman yang tampaknya begitu pendiam. Ia tak tahu
bahwa Darrell memang belum punya teman yang tetap dan akrab.
Setelah berbicara sebentar dengan Nyonya Rivers, Emily terpaksa diam saja
mendengar bicara Darrell yang tak pernah putus-putusnya, serta jawaban atau
tanggapan orang tuanya yang sering kali cukup lucu terdengar. Emily menyukai
kedua orang tua Darrell ini. Ibunya cantik, menyenangkan, dan tampaknya pandai.
Sedangkan ayahnya, ya, begitu mantap dan terpercaya, pikir Emily Wajahnya
tampan, pandang matanya jemih tajam, dengan alis dan mata berwarna hitam gelap
seperti Darrell. Darrell begitu bangga akan kedua orang tuanya. Ingin ia memamerkan mereka pada
siapa saja. Dilihatnya Gwendoline berbicara dengan dua orang wanita - seorang
pastilah ibunya, dengan rambut emas seperti Gwendoline, dan wajah yang agak
kekanak-kanakan serta kosong seperti Gwendoline pula. Yang satu lagi agaknya
Nona Winters, guru pribadinya, pikir Darrell. Nona Winters tak begitu
menyenangkan tampaknya. Nona Winters wajahnya dan penampilannya terlalu
sederhana, dan agaknya ingin selalu menyenangkan orang lain. Ia sangat memuja
Gwendoline yang cantik dan anggun, dan ia tak bisa melihat betapa di balik
kecantikan itu anak tersebut terlalu manja, mementingkan diri sendiri, dan tak
begitu cerdas. Mary-Lou berada bersama mereka, berusaha untuk tersenyum selalu tetapi
sesungguhnya merasa begitu tertekan. Ia tak menyukai Nyonya Lacey maupun Nona
Winters. Dan ia mulai muak akan bualan Gwendoline.
"Boleh dibilang akulah juara tenis di kelasku," kata Gwendoline, "dan Mungkin
sekali aku akan dimasukkan menjadi anggota regu tenis sekolah."
"Oh, Sayangku, kau begitu pandai," kata Nyonya Lacey kagum. Mary-Lou ternganga
memandang Gwendoline. Wah! Padahal semua anak tahu bahwa Gwendoline tak bisa
berbuat apa-apa di permainan apa pun!
"Dan Mam'zelle begitu senang akan bahasa Prancisku," kata Gwendoline lagi. "Aku
yakin aku akan bisa mencapai nilai tertinggi nanti. Kata Mam'zelle, lagu
bahasaku sungguh bagus."
Nona Winters berseri-seri. "Oh, Gwen sayang, bagus sekali kau. Kuharap itu semua
karena dasar yang telah kuberikan, walaupun aku takut karena rasanya tak banyak
yang telah kuberikan padamu, sebab aku belum pernah pergi ke Prancis."
Mary-Lou ingin sekali berkata bahwa Gwendoline selalu memperoleh angka terendah
dalam bahasa Prancis. Tetapi ia tak berani! Bagaimana Gwendoline bisa seenaknya
saja mengatakan dusta itu" Dan bag aim ana ibunya percaya padanya"
"Apakah kau akan ikut berenang sore ini?" tanya Nyonya Lacey dengan pandang
menyayang pada Gwendoline yang sore ini membiarkan rambutnya yang lembut
mengkilap terjurai di punggungnya, sangat mirip seorang bidadari.
"Rasanya tidak, Ibu. Kurasa lebih baik bila aku memberi kesempatan pada anak
lain untuk menang," kata Gwendoline. "Terlalu sering aku mengalahkan anak-anak
lain dalam berbagai pertandingan. Biarlah di renang ini mereka dapat giliran!"
"Oh, Gwendoline, sungguh baik hatimu," puji Nyonya Lacey. Mary-Lou tak tahu
harus berbuat apa. Kemudian Darrell mengacaukan suasana manis itu. Ia melintas di dekat mereka
dengan ayah dan ibunya. Nyonya Lacey begitu tertarik akan wajah Darrell yang
begitu manis dan bahagia itu.
"Oh, lihat, manis sekali anak itu!" kata Nyonya Lacey pada Gwendoline. "Apakah
dia teman sekelasmu" Aku ingin bicara dengannya."
"Oh, dia tak terlalu akrab denganku," kata Gwendoline. Tetapi Mary-Lou yang
begitu gembira karena Darrell dipuji, segera berseru memanggil
"Darrell! Darrell! Nyonya Lacey ingin berbicara denganmu!"
Darrell segera mendekat dan dengan agak cemberut diperkenalkan oleh Gwendoline.
"Apakah kau akan ikut bertanding dalam olahraga renang nanti?" tanya Nyonya
Lacey. "Kudengar Gwendoline dengan murah hati memberi kesempatan pada kalian
untuk menang, dengan tidak ikut bertanding."
"Gwendoline" Oh, mengayunkan tangan saja ia tak bisa," kata Darrell. "Tiap kali
pelajaran berenang, dia paling takut air. Untuk masuk ke air saja ia memerlukan
waktu lima menit dan kami harus meneriakinya dulu. Bukankah begitu,
Gwendoline ?" Semua ini diucapkan Darrell dengan nada gembira dan bercanda. Tetapi Gwendoline
mau rasanya saat itu mendorong Darrell sampai jatuh ke laut. Mukanya langsung
merah malu. Nyonya Lacey mengira Darrell hanyalah bergurau. Maka ia tertawa terkikik-kikik,
cara tertawa yang dianggapnya sangat manis terdengar. "Ah, tapi Gwendoline sudah
sering mengalahkan yang lain, bukan?" tanyanya lagi. "Seperti di tenis
misalnya." Darrell tercengang memandang Gwendoline yang sebaliknya menatap padanya dengan
wajah merah. "Wah, aku yakin Gwendoline telah banyak membual tentang dirinya
kepada Anda!" kata Darrell tertawa kemudian menyusul ayah dan Ibunya.
"Betapa terus terangnya anak itu berbicara!" kata Nona Winters dengan wajah
kuatir dan heran. Gwendoline cepat menguasai dirinya kembali.
"Oh, dia termasuk anak-anak yang agak tertinggal di kelas," katanya. "Nakal, dan
tak banyak yang menyukainya. Ia bahkan tak punya kawan yang betul-betul kawan
akrab. Terang saja, sifatnya begitu... suka menjatuhkan anak lain dengan
berbicara yang tidak-tidak. Mungkin karena iri. Tak usah perhatikan kata-
katanya, Ibu. Tanya saja Mary-Lou ini. Ia akan mengatakan pada ibu bahwa aku
betul-betul juara dalam tenis dan olahraga lainnya."
Tetapi Mary-Lou tak sanggup mengatakan hal itu. Ia tampak semakin ketakutan, dan
dengan suara lemah ia menggumamkan sesuatu tentang Mam zelle - Ia berkata bahwa
ia harus menemui guru bahasa Prancis itu. Tanpa menunggu jawaban Nyonya Lacey,
Mary-Lou bergegas meninggalkan Gwendoline dan ibunya.
Setelah menunjukkan semua sudut sekolahnya pada ayah-Ibunya, Darrell mengajak
mereka kembali ke mobil. Dan saat itulah Nyonya Rivers melihat Sally Hope.
"Hei, bukankah itu Sally Hope?" tanyanya. "Aku yakin dia Sally Hope. Aku pernah
melihat potretnya di ruang tamu keluarganya waktu aku mengunjungi Nyonya Hope."
"Ya, memang itu Sally," kata Darrell. "Ibu ingin bicara dengannya?"
"Ya, ada pesan dari ibunya," kata Nyonya Rivers.
Maka Darrell berteriak dengan suara lantang dan nyaring, "Sally! Sally Hope!
Datanglah kemari sebentar!"
Sally pastilah mendengar teriakan itu. Beberapa orang anak yang lebih jauh dari
Sally juga menoleh. Tetapi Sally tak mau berpaling pada Darrell. Ia malah
memasuki semak-semak bunga di taman dan lenyap.
"Sial!" seru Darrell. "Mestinya ia dapat mendengar teriakanku tadi. Aku juga
telah mengajaknya ikut dengan kita, Ibu, tetapi ia menolak."
"Ayo masuk." Ayah Darrell membukakan pintu mobil. "Kita akan mengikuti jalan
yang menyusuri tebing ini, kemudian kita akan masuk ke sebuah jalan kecil yang
kuketemukan, yang menuju ke sebuah teluk kecil. Di sana nanti kita makan siang."
Darrell dan Emily masuk. Emily senang sekali. Nyonya Rivers begitu manis dan
ramah, menanyainya tentang berbagai hal tentang dirinya. Biasanya Emily tak
begitu bisa berbicara dan tak banyak yang mau mengajaknya berbicara. Tetapi
karena Nyonya Rivers menyangka ia sahabat akrab Darrell, maka tak henti-hentinya
ia mengajaknya bercakap-cakap.
Nyonya Rivers segera mengetahui bahwa Emily sangat suka jahit-menjahit. Darrell
sampai heran melihat Emily begitu lancar berbicara. Ia sampai tidak dapat
kesempatan! Dengarkan, betapa pandainya Emily menerangkan tentang sarung bantal
yang sedang dikerjakannya - warnanya, jenis jahitannya, apa saja!
"Aku selalu kecewa bahwa Darrell tak begitu suka jahit-menjahit, menyulam, dan
merenda," kata Nyonya Rivers. "Padahal aku sangat menyukai pekerjaan itu. Semua
tempat duduk di kursi-kursi di rumahku kukerjakan sendiri, kusulam sendiri!"
"Oh, betulkah?" Emily berseru kagum. "Aku juga mencoba membuat sarung tempat
duduk kursi. Tetapi sampai sekarang baru bisa membuat dua buah. Aku suka sekali
menyulam." "Mungkin kau bisa membuat Darrell tertarik pada jahit-menjahit," kata Nyonya
Rivers, tertawa. "Kalau tidak terpaksa sekali, takkan sudi dia memegang jarum!"
"Kalau Darrell mau, bisa kuajar dia menjahit, menyulam, dan merenda," kata Emily
yang ingin membuat senang hati Nyonya Rivers.
Darrell terkejut. Wah! Ia tak menyangka bahwa Emily akan seberani itu
menjanjikan sesuatu pada ibunya! Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan sebelum
ibunya menyuruhnya menerima tawaran Emily tadi. Ia berbicara tentang Gwendoline
dan betapa anak itu telah berdusta pada ibunya tentang dirinya sendiri.
Tak lama mereka telah sampai di tempat yang dikatakan ayah Darrell tadi. Mereka
makan makanan yang luar biasa lezatnya - terutama bagi Darrell yang sudah sekian
lama harus puas dengan hidangan asramanya - ayam dingin dan acar... acar! Belum
pernah acar dihidangkan di asrama. Ditambah puladengan selada segar serta saus
mayonais. Sedap! Kue selai, dan es krim cokelat juga! Sungguh hebat makanan
mereka saat itu. "Dan bir jahe sebagai minumnya," kata Nyonya Rivers, mengisi gelas-gelas mereka.


Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayam lagi, Darrell" Masih banyak."
Selesai makan mereka kembali ke sekolah untuk menonton pertandingan. Emily tidak
ikut bertanding, karena itu ia terus menemani ayah-ibu Darrell, mencari tempat
duduk, dan menonton pertandingan yang berlangsung. Darrell meninggalkan mereka
untuk berganti pakaian. Sungguh menyenangkan hari itu. Semua orang tampak gembira, tertawa, saling sapa,
bergurau ria. Bahkan kedua Mam 'zelle yang biasa bermusuhan itu, hari itu
bergandengan tangan dengan penuh persahabatan.
Pertandingan olahraga air begitu mengasyikkan. Nyonya Rivers begitu bangga
melihat gerakan renang Darrell yang kuat tetapi anggun itu. Darrell juga begitu
berani dalam nomor-nomor terjun. Ia termasuk yang terbaik di antara peserta-
peserta kelas satu. Di kelas yang lebih tinggi terdapat peloncat-peloncat indah
yang begitu mengagumkan, terutama Marilyn, anak kelas enam yang menjadi ketua
seksi olahraga Malory Towers. Semua bersorak ramai saat Marilyn meloncat dengan
anggun dari papan loncat yang tertinggi.
"Apakah kau bisa melakukan itu semua, Sayangku?" Darrell mendengar Nyonya Lacey
bertanya pada Gwendoline. Gwendoline yang duduk dekat Darrell dan beberapa orang
anak lainnya terpaksa tak berani segera menjawab. Ia melihat berkeliling, dan
dengan hati-hati akhirnya berkata, "Bisa sih bisa, tetapi tidak semua."
"Ah, kau selalu rendah hati, Gwen sayang," puji Nona Winters, menepuk punggung
Gwendoline. Hampir saja Darrell tertawa mendengar Gwendoline dikatakan rendah hati. Dan ia
jadi benci pada Mary-Lou yang kini telah duduk di samping Gwendoline. Bagaimana
anak itu bisa mendengarkan bualan anak yang lebih besar darinya itu tanpa
membantah sekali pun"
Pada acara minum teh, Darrell dan Emily mengisi penuh-penuh piring-pirng kedua
orang tua Darrell dengan strawberry, krim, dan es krim berlimpah. Untuk mereka
sendiri sudah tentu hampir sama banyaknya. Betapa nikmatnya makanan mereka -
ditambah dengan berbagai kue, roti, dan biskuit berbagai macam. Malory Towers
memang tahu bagaimana cara menjamu anak-anak dan orang tua mereka itu.
"Ibu, itu Sally Hope lagi,?" seru Darrell tiba-tiba, di kejauhan ia melihat
kepala Sally. "Akan kukejar dia. Oh, ya, Ibu belum bercerita padaku, bagaimana
Ibu mengira bayi di rumah Sally itu adiknya. Sally tak punya adik."
"Tetapi, Darrell - percayalah! Sally punya adik! Aku sendiri telah melihatnya!"
Ibunya heran. "Wah, entahlah apa sesungguhnya maksud Sally," kata Darrell. "Aku akan
menemuinya dan membicarakan hal ini."
15. PERTENGKARAN TETAPI Sally tak mudah diketemukan. Entah pergi ke mana, tak ada yang tahu.
Timbul juga pertanyaan di hati Darrell, apakah Sally menghindarinya. Tidak.
Untuk apa" Sama sekali tak ada alasan untuk itu.
Dicarinya ke mana-mana. Tak ada yang bisa memberinya penjelasan tentang Sally.
Sungguh aneh. Darrell kembali ke ayah-ibunya, karena ingin selama mungkin berada
bersama mereka selama waktu masih memungkinkan hal itu.
"Entah Sally ke mana," katanya. "Lenyap. Tapi tak apalah. Akan kusampaikan pesan
ibunya. Apa sih pesan itu?"
"Oh, ibunya sedikit kuatir tentang Sally. Sebab ini adalah pertama kali ia
berada di sekolah berasrama. Dan surat-surat Sally begitu kaku!" kata Nyonya
Rivers. "Kutunjukkan pada Nyonya Hope beberapa suratmu, Sayang. Aku tahu kau tak
akan keberatan. Nyonya Hope berkata surat-surat Sally tidak seceria suratmu,
penuh berita dan menggambarkan kegembiraan. Ia merasa ia tak punya hubungan lagi
dengan Sally. Suratnya begitu dingin! Ia jadi sangat kuatir. Ia ingin aku
berbicara dengan Sally dan menyampaikan salam sayang serta minta maaf karena ia
tak bisa datang. Ia juga berkata adik Sally mengirimkan cium mesra!"
"Akan kukatakan padanya," kata Darrell agak bingung. "Tetapi, Ibu, Sally agaknya
aneh. Ia bersikeras mengatakan padaku bahwa ia tak punya adik. Ia marah karena
aku berbicara tentang ibunya. Ia bilang aku sok tahu dan suka ikut campur urusan
keluarganya." "Mungkin ia bergurau saja," kata Nyonya Rivers, juga heran. "Sally tahu bahwa ia
punya adik. Itulah salah satu sebab mengapa ia harus bersekolah yang berasrama
seperti ini. Adiknya agak lemah dan harus mendapat perhatian penuh dari Nyonya
Hope. Kasihan sekali bayi itu."
"Bagaimana, marahmu sudah pernah meledak?" tanya ayah Darrell dengan
mengerjapkan mata. Darrell merah mukanya.
"Yah... sekali," katanya. "Padahal aku sudah berjanji untuk selalu bisa
mengendalikan diriku!"
"Oh, Darrell! Kuharap saja kau tak berlaku keterlaluan!" kata ibunya kuatir.
Emily yang menjawab untuk Darrell. "Oh, ia hanya menampar seorang anak yang
keterlaluan sikapnya. Di kolam renang! Dan tamparan itu begitu keras sampai
terdengar di menara sekolah".
"Darrell!" Nyonya Rivers sangat terkejut. Darrell menyeringai.
"Aku tahu! Aku memang tak bisa diatur, bukan?" katanya. "Aku tak akan
melakukannya lagi. Aku kini bisa mengendalikan amarahku."
"Sesungguhnya hampir semua anak ingin menampar anak yang ditampar Darrell itu,"
kata Emily. "Karenanya dalam hati kami girang juga Darrell melakukan hal itu
untuk kami." Mereka tertawa. Darrell begitu bahagia sehingga ia yakin ia tak akan kelepasan
tangan lagi. Sayang sekali hari yang begitu menggembirakan itu akhirnya harus
berakhir. Sekitar jam enam sore satu demi satu mobil-mobil mulai meninggalkan halaman
sekolah. Anak-anak melambaikan tangan, dan suara-suara ramai makin lama makin
reda. Anak-anak kembali ke asrama masing-masing untuk membicarakan hari yang
baru saja mereka nikmati itu. Setelah beberapa saat Darrell teringat akan pesan
yang harus disampaikannya pada Saliy Hope. Ia melihat berkeliling ruang rekreasi
itu. Sally tak ada. Di mana dia" Kenapa ia selalu lenyap"
"Di mana Sally Hope?" tanya Darrell.
"Mungkin ia di kamar musik," kata Katherine. "Entah kenapa hari seperti ini Ia
berlatih. Padahal semua diliburkan!"
"Akan kucari dia," kata Darrell, dan ia keluar ruangan. Ia pergi ke ruang musik,
serangkaian kamar-kamar kecil yang masing-masing berisi sebuah piano, kursi
piano, dan sebuah kursi biasa. Di kamar-kamar inilah anak-anak berlatih.
Dua di antara kamar-kamar tersebut memancarkan musik. Darrell mengintip kamar
yang pertama. Irene bermain di dalamnya, memainkan sebuah lagu lembut dengan
penuh perhatian, hingga tak melihat atau mendengar pintu kamarnya dibuka oleh
Darrell. Darrell tersenyum dan menutup pintu itu. Irene memang gila musik.
Ia mengintip ke kamar di mana terdengar musik yang satu lagi. Di sini yang
terdengar bukanlah lagu merdu seperti permainan Irene tadi. Yang terdengar
adalah latihan lima jari yang dimainkan berulang-ulang, berulang-ulang, hampir
dalam nada kemarahan. Darrell membuka pintu. Ya, yang main itu Sally. Bagus. Darrell masuk dan menutup
pintu. Sally berpaling, cemberut.
"Aku sedang berlatih," katanya. "Keluarlah!"
"Kenapa sih kau ini?" tanya Darrell, langsung merasa tersinggung. "Kau tak usah
membentakku seperti itu. Aku telah mencarimu sehari ini. Ibuku ingin bicara
denganmu." "Aku tak ingin bicara dengan ibumu!" tukas Sally dan mulai menghantam tuts piano
keras-keras, berulang-ulang naik-turun tangga nada.
"Mengapa kau tak ingin bicara dengan ibuku?" teriak Darrell marah. "Ada pesan
dari ibumu!" Sally tidak menjawab. Tangannya semakin keras menghantam tuts piano dengan lagu
yang bukan lagu itu, makin lama makin keras. Darrell tak bisa menguasai diri
lagi. "Berhentilah bermain!" ia berteriak. "Kau ini kenapa sih?"
Sally menekan pedal pengeras suara dan suara pianonya kini semakin memekakkan
telinga. Agaknya ia memang tak ingin mendengar sepatah kata pun dari Darrell.
Darrell mendekatinya, dan menjerit di telinganya,
"Mengapa kau bilang tak punya adik" Padahal kau punya, bukan" Dan itulah
sebabnya ibumu tak bisa datang, karenanya ia hanya bisa berkirim salam sayang
padamu dan..." Sally memutar tubuhnya, menghadapinya dengan wajah sangat pucat dan aneh. "Tutup
mulutmu!" ia berteriak. "Kau sok tahu, sok ikut campur urusan orang... pergi!
Hanya karena kau begitu dimanjakan ibumu, jangan kaupikir kau bisa mengejekku
seperti ini. Pergi! Aku benci padamu!"
"Kau gila!" tangan Darrell menghempas ke tuts piano, membuat suara ganjil dan
keras. "Kau tak mau mendengarkan bila kukatakan sesuatu padamu! Tetapi kau harus
mendengarkan kini! Ibumu berkata pada ibuku bahwa surat-suratmu begitu dingin,
dan beliau..." "Aku tak mau mendengarkanmu!" jerit Sally dengan suara tertahan serak, bangkit
dari kursinya. Dengan gusar ia mendorong Darrell ke pinggir.
Tetapi Darrell selalu tak bisa tinggal diam bila disentuh pada saat ia marah.
Tanpa berpikir lagi ia membalas mendorong Sally keras-keras. Sally terpelanting
menubruk kursi dan terjatuh di situ.
Beberapa sa at ia terdiam di sana. Kemudian ia memegang perutnya, mengaduh-aduh.
"Aduh! Sakit sekali! Kau sungguh jahat, Darrell!"
Darrell masih gemetar karena marah saat Sally terhuyung keluar dari kamar itu.
Tetapi rasa marah Darrell segera lenyap, berganti rasa takut dan kecewa.
Bagaimana ia bisa bertindak begitu kasar"
Sally memang aneh sikapnya, tetapi itu tak berarti ia boleh menggunakan seluruh
kekuatannya untuk menyakiti anak itu! Wah! Ia tak bisa mengendalikan dirinya
lagi, padahal ia baru saja berjanji pada kedua orang tuanya bahwa hal itu tak
akan terjadi! Ia lari ke pintu, ingin mengejar Sally dan minta maaf padanya. Tetapi Sally
telah lenyap. Darrell berlari ke ruang rekreasi. Sally tak ada di sana. Darrell
duduk lemas, menggosok dahinya yang penuh keringat. Betapa memalukan kelakuannya
tadi! Mengapa ia tak bisa menguasai diri"
"Kenapa?" tanya Alicia.
"Oh, tak apa-apa. Sally aneh sekali kelakuannya. Dan aku tiba-tiba marah," kata
Darrell. "Tolol sekali!" kata Alicia. "Lalu kauapakan dia" Tampar" Atau kaupijit-pijit
saja?" Darrell tak bisa tersenyum. Ia bahkan ingin sekali menangis. Betapa buruknya
akhir hari yang indah ini! Setelah begitu penuh semangat bergembira ria, dan
kemudian bertengkar ini, ia merasa lemas, lelah. Ia tak begitu gembira saat
Emily datang dengan membawa jahitannya.
"Ayah-ibumu sungguh menyenangkan," kata Emily dan mulai berbicara tak putus-
putus. Suatu hal yang jarang dilakukannya. Betapa membosankan! Darrell ingin
sekali menyuruh Emily tutup mulut. Kalau saja ia Alicia, pasti hal itu
dilakukannya. Tetapi dalam hati ia tak pernah merasa tega, takkan bisa berbuat
seperti Alicia yang berlidah tajam itu. Ia tak mau melukai perasaan hati
seseorang. Terpaksa ia melayani pembicaraan Emily dengan menahan diri.
Dari seberang ruangan Mary-Lou memperhatikannya. Ingin sekali ia bergabung
dengan Emily dan Darrell. Tetapi di sampingnya Gwendoline sedang mencurahkan
sejarah keluarganya yang tak kunjung habis padanya. Ia terpaksa diam
mendengarkan. Dan lagi, mungkin saja Darrell tak mau menerimanya bila ia
mendekatinya. Darrell menunggu kemunculan Sally. Kalau Sally datang mungkin ia bisa mendekat
dan mengatakan penyesalannya. Ia sungguh malu akan kelakuannya. Ia ingin
memperbaiki kesalahannya itu. Sial sungguh punya sifat pemarah seperti ini!
Apakah ia kelak bisa menguasainya" Sally tak juga muncul.
Tak lama lonceng makan malam berbunyi. Anak-anak pergi ke ruang makan. Darrell
mencari-cari Sally. Tetapi Sally tak ada. Sungguh aneh.
Nona Potts melihat ada kursi yang kosong.
"Siapa tidak datang?" tanyanya.
"Sally Hope," kata Darrell. "Tadi kulihat dia di ruang latihan. Satu jam yang
lalu" "Kalau begitu, jemput dia," kata Nona Potts tak sabar.
"Oh, dia telah meninggalkan ruang latihan itu waktu aku di sana," kata Darrell.
"Aku tak tahu ia pergi ke mana."
"Kalau begitu dia harus kita tinggal," kata Nona Potts. "Aku yakin dia bisa
mendengar lonceng makan kita."
Anak-anak itu masih ramai membicarakan hari besar yang baru saja mereka nikmati.
Hanya Darrell yang diam saja. Apakah Sally masih sangat marah padanya" Kenapa
dia" Mengapa ia begitu aneh" Apakah ia sedih karena sesuatu hal"
Mary-Lou mendengus keras karena sedikit pilek kini. "Di mana sapu tanganmu?"
tanya Nona Potts. "Kau tak bawa" Oh, Mary-Lou, kau tahu semua anak harus membawa
sapu tangan. Pergi ke asramamu, cepat, dan ambil sapu tanganmu. Aku tak tahan
mendengar suara dengusan seperti itu."
Mary-Lou menyelinap keluar dari ruang makan dan berlari menaiki tangga. Lama
juga ia pergi sehingga Nona Potts jadi tak sabar.
"Masa mengambil sapu tangan saja semalaman, si Mary-Lou itu!" katanya.
Terdengar suara kaki berlari menuruni tangga. Dan pintu ruang makan terbuka
dengan keras. Mary-Lou berlari masuk dengan wajah lebih ketakutan dari biasanya.
"Nona Potts! Oh, Nona Potts! Aku menemukan Sally. Ia terbaring di tempat
tidurnya, di kamar. Ia mengeluarkan suara yang sangat mengerikan!"
"Suara apa?" Nona Potts tergesa bangkit.
"Suara seperti mengerang, dan ia memegang terus perutnya sambil mengaduh
'Perutku, perutku!'," Mary-Lou tak tertahan lagi, menangis. "Oh, Nona Potts!
Cepat lihat dial Dia bahkan tak mau berbicara denganku!"
"Anak-anak, teruskan makan kalian," kata Nona Potts tegas. "Agaknya Sally
terlalu banyak makan strawberry dan es krim. Katherine, panggil Ibu Asrama,
minta beliau datang ke kamar kalian di atas. "
Nona Potts bergegas keluar. Anak-anak itu langsung ramai berbicara, semua
menanyai Mary-Lou. Hanya Darrell yang terdiam. Rasa takut mulai merayapi
hatinya. Ia telah mendorong Sally hingga terjatuh. Mungkin perutnya terbentur kursi.
Pasti sakit! Ia ingat apa kata Sally waktu itu, "Aduh! Sakit sekali!"
Tidak. Pasti sakit Sally bukan karena strawberry dan es krim. Kemarahan Darrell-
Kereta 450 Dari Paddington 2 Animorphs - 33 Ilusi The Illusion Bangau Sakti 43
^