Semester Pertama Di Malory 3
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 3
lah yang membuatnya sakit!
Darrell tak bisa meneruskan makanannya. Ia menyelinap ke luar, ke ruang
rekreasi. Apakah Sally sangat kesakitan" Mungkin tergores kursi. Mudah-mudahan
Nona Potts segera masuk dan berkata bahwa semuanya beres.
"Oh, semoga Sally lekas sembuh!" pikir Darrell yang malang itu. Tak sabar ia
menunggu suara sepatu Nona Potts mendatangi.
16. DARRELL MERASA WAS-WAS
ANAK-ANAK itu memasuki ruang rekreasi setelah selesai makan malam. Masih ada
waktu setengah jam lagi sebelum waktu tidur. Mereka begitu lelah setelah hari
yang penuh kegembiraan tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan sudah
mengantuk. Alicia memperhatikan Darrell sesaat dan bertanya, "Mengapa kau begitu muram?"
"Mmm... aku sedang memikirkan Sally," kata Darrell. "Mudah-mudahan saja sakitnya
tidak terlalu keras."
"Memang tak mungkin," kata Alicia. "Paling-paling karena terlalu banyak makan
strawberry. Ada orang yang tak tahan buah itu. Kakakku juga begitu."
Alicia langsung bercerita tentang satu segi dari keluarganya. Darrell dengan
rasa bersyukur mendengarkan cerita Alicia itu. Cerita Alicia selalu terdengar
segar, tak pernah menjago-jagokan dirinya sendiri seperti yang biasa dilakukan
Gwendoline. Cerita Alicia selalu lucu - tentang kehidupannya dengan kakak-kakak
lelakinya di rumah. Nakal sekali mereka, dan kalau memang cerita Alicia benar-
benar terjadi, pastilah ibu mereka sudah penuh uban memikirkan kenakalan anak-
anak itu. Tetapi ibu Alicia tampak tak beruban waktu Darrel melihatnya di hari
itu. Jam tidur tiba untuk anak-anak kelas satu dan dua. Anak-anak itu segera
menyimpan barang-barang mereka. Ibu Asrama biasanya tak sabaran pada anak-anak
yang tidak begitu cepat merapikan barang-barang mereka. Dan memang begitu banyak
anak-anak yang harus diburu-buru untuk pergi tidur!
Nona Potts tidak kembali ke ruang rekreasi itu. Darrell jadi was-was lagi.
Mungkin Ibu Asrama tahu apa yang terjadi. Ia akan segera bertanya nanti bila ibu
Asrama memeriksa kamar-kamar mandi.
Tetapi ternyata Ibu Asrama tidak datang. Yang datang ternyata Mam'zelle, yang
wajahnya berseri-seri, masih gembira merasakan kebahagiaan di hari itu.
"Halo, Mam'zelle!" seru Alicia heran. "Di mana Ibu Asrama?"
"Merawat Sally Hope," kata Mam'zelle. "Ah, kasihan sekali anak itu. Ia sangat
kesakitan!" Runtuh harapan Darrell. "Apakah... apakah ia dirawat di sana?" tanyanya. Anak-
anak yang sakit dirawat di sanatorium, alias san., beberapa kamar yang
menyenangkan di atas kamar Kepala Sekolah. Di san. terdapat seorang jururawat
khusus, selalu ramah tetapi selalu tegas menghadapi berbagai macam penyakit atau
kecelakaan serta berbagai macam tingkah anak-anak.
"Ya, tentu saja ia di san. Ia sangat sakit," kata Mam'zelle. Kemudian dengan
kesukaannya untuk menambah-nambah, ia berkata lagi. "Perutnya... ya, perutnya.
Sangat, sangat sakit di tempat itu."
Darrell semakin cemas. "Oh! Apakah... apakah jururawat tahu apa penyakitnya, Mam'zelle?" tanya Darrell.
"Apa penyebabnya?"
Mam'zelle "tak tahu. "Aku hanya tahu bahwa penyakit itu bukan karena banyak
makan strawberry dan es krim," katanya. "Sebab ternyata Sally tak makan apa-apa.
Ia mengatakan hal itu pada Ibu Asrama."
Darrell makin yakin. Pastilah karena dorongannya tadi Sally jadi begitu sa kit!
Lenyap sudah harapan Darrell. Ia begitu tampak lemas dan lesu sehingga Mam'zelle
juga melihatnya. Mam'zelle jadi ketakutan kalau-kalau ada lagi anak yang akan
sakit. "Kau tak apa-apa, Darrell kecilku?" tanyanya merayu.
"Oh, aku sehat, terima kasih!" Darrell tergagap. "Aku hanya... hanya merasa
lelah." Malam itu Darrell sukar sekali tidur. Ia ketakutan. Bagaimana ia bisa begitu
marah dan mendorong Sally, hingga Sally terjatuh dengan kera" Oh, betapa
kejamnya dirinya! Memang betul tingkah Sally aneh, tetapi itu toh bukan alasan
bagi Darrell untuk berbuat begitu kasar!
Kini Sally sakit. Apakah Sally mengatakan pada Ibu Asrama tentang tindakannya"
Tak terasa dingin kaki Darrell. Kalau sampai Kepala Sekolah tahu bahwa dialah
penyebab sakttnya Sally...
"Dan Nona Grayling pasti akan tahu, bagaimana aku telah menampar Gwendoline!"
pikirnya. "Aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini! Oh, Sally! Sally!
Cepatlah sembuh! Aku akan mengatakan padamu betapa menyesalnya aku. Aku akan
melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku itu!"
Akhirnya ia pun tertidur. Tetapi sewaktu lonceng bangun terdengar ia merasa
betapa lelah dirinya. Yang pertama terpikir olehnya adalah Sally. Dilihatnya
tempat tidur Sally kosong, dan ia menggeletar ketakutan. Betapa senangnya kalau
ternyata malam tadi Sally boleh tidur ditempatnya!
Ia berlari ke bawah mendahului kawan-kawannya. Dilihatnya Nona Potts dan ia
bertanya, "Maaf, Nona Potts, bagaimana keadaan Sally?"
Nona Potts berpikir betapa baiknya hati Darrell, lemperhatikan kawannya. "Sayang
sekali sakitnya tidak berkurang," katanya. "Dokter masih ragu tentang penyebab
sakitnya. Tetapi terlihat sekali anak itu kesakitan. Begitu tiba-tiba lagi -
kemarin dia toh masih sehat!"
Darrell berpaling. Tak keruan rasa hatinya. Ya, Sally masih sehat sewaktu ia
belum mendorongnya jatuh. Ia kini tahu, apa penyebab sakitnya tetapi orang lain
tak tahu! Sally pasti juga tahu, tetapi agaknya ia tak memberi tahu siapa pun
tentang pertengkarannya dengan Darrell waktu itu!
Hari itu hari Minggu. Darrell berdoa sepenuh hati untuk kesehatan Sally di
gereja. Ia merasa berdosa dan malu. Ia juga merasa sangat ketakutan. Ia merasa
ia harus mengaku pada Nona Potts atau Ibu Asrama tentang pertengkarannya serta
tentang bagaimana Sally didorong olehnya. Tetapi ia begitu ketakutan!
Ia sendiri merasa aneh bahwa dirinya bisa merasa takut. Ia betul-betul takut. Ia
takut kalau-kalau Sally sakit keras sehingga takkan bisa sembuh lagi, dan bahwa
itu semua hanya karena dirinya yang tak bisa mengendalikan kemarahannya!
Ia tak berani mengatakan pada siapa pun tentang kesalahannya. Semua orang akan
menuduhnya berhati jahat. Ia akan membuat malu ayah dan ibunya. Orang-orang akan
menunjuknya sebagai anak yang dikeluarkan dari Malory Towers karena membuat anak
lain sakit keras! Akan sangat memalukan untuk dikeluarkan secara tidak hormat dari Malory Towers.
Ia takkan bisa menanggung rasa malu itu. Ia tak tahan berdiam diri, tetapi ia
juga merasa yakin Nona Grayling langsung akan mengeluarkannya bila beliau tahu
ialah yang menyebabkan rasa sakit Sally.
"Aku tak bisa mengatakan pada siapa pun," pikir Darrell. "Jika ada yang tahu,
aku pasti dikeluarkan. Ayah dan Ibu pasti malu. Aku pengecut! Belum pernah aku
sadar bahwa sesungguhnya aku pengecut!"
Tiba-tiba ia teringat Mary-Lou yang sering disebutnya pengecut. Kasihan Mary-
Lou. Kini Darrell bisa merasakan, bagaimana rasa takut itu sebenarnya. Sungguh
perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Kita tak bisa lari dari perasaan itu.
Bagaimana ia bisa mengejek Mary-Lou" Merasa takut saja sudah tidak enak, apa
lagi bila ada seseorang yang mengejeknya!
Darrell merasa amat lelah dan tak berdaya. Ia memulai bersekolah di sini dengan
harapan dan semangat yang tinggi. Ia merasa bahwa ia pasti jadi nomor satu. Ia
merasa ia akan cemerlang di berbagai pelajaran dan membuat kedua orang tuanya
bangga. Ia bertekad akan mempunyai seorang sahabat akrab. Tetapi tidak satu pun
dari tekadnya itu dipenuhinya.
Tingkatannya di kelas begitu rendah. Ia tak punya sahabat. Ia keji pada Mary-Lou
yang dengan ketakutan telah mencoba bersahabat dengannya. Dan kini ia telah
berbuat sesuatu yang begitu kejam, sehingga ia tak berani menceritakannya pada
orang lain! Darrell begitu murung hari itu. Tak ada yang bisa membuatnya gembira. Nona Potts
yang bermata tajam melihat hal ini dan kuatir kalau-kalau Darrell juga sedang
sakit. Mary-Lou juga melihat kemurungan Darrell. Ia berusaha berada di dekat
Darrell untuk bisa segera membantunya bila dibutuhkan.
Dan sekali ini Darrell tidak begitu peduli, tidak mengusir Mary-Lou dari
dekatnya seperti biasa. Kali ini ia merasa bersyukur karena Mary-Lou tampak
ingin menghiburnya. Hari itu dua orang dokter datang untuk memeriksa Sally. Berita buruk tersebar di
Menara Utara. "Sally sakit keras! Bukan suatu penyakit yang menular sehingga
kita tak usah di karantina. Kasihan Sally. Tessie tadi pagi menemui Kepala
Sekolah. Dan katanya dari kantor Kepala Sekolah rintihan Sally terdengar jelas."
Darrell ingin sekali ibunya ada di dekatnya. Ia tak tahu dimana ayah-ibunya
tinggal saat itu. Mereka telah mengatakan suatu tempat tetapi karena begitu
gembira kemarin Darrell lupa tempat tersebut. Kini lenyap sudah kenangan gembira
hari Sabtu kemarin. Darrell menyendiri di pantai, duduk di batu karang, melamun.
Ia tak boleh terus-menerus menjadi pengecut. Makin lama makin tersiksa ia berada
di Malory Towers. Rasanya lebih baik rnengaku dan diusir dari Malory Towers
daripada tetap di Malory Towers dengan kesadaran bahwa dirinya pengecut. Tetapi
kepada siapa ia akan mengaku"
"Lebih baik kalau aku menulis surat pada ibu Sally tentang semua ini," pikir
Darrell akhirnya "Beliau orang yang paling dekat dengan Sally. Aku akan menulis
tentang pertengkaranku, dan bagaimana hal itu sampai terjadi. Aku akan
menceritakan semuanya. Aku akan mengatakan padanya bahwa Sally selalu berkata ia
tak punya adik Semua tingkah Sally sangat aneh, dan mudah mudahan Nyonya Hope
mengerti sesuatu tentang itu. Kemudian terserah Nyonya Hope, apa yang akan
dilakukannya. Mungkin ia akan lapor pada Kepala Sekolah. Ya ampun! Alangkah
senangnya bila nanti kukirimkan surat itu."
Ia meninggalkan tempat duduknya di pantai itu dan bergegas ke Menara Utara.
Diambilnya kertas uratnya, dan ia mulai menulis. Tak begitu mudah menulis surat
itu, tetapi Darrell sudah terbiasa menulis sural. Tak lama ia telah dengan
lancar menuliskan semuanya - tentang pertengkarannya, tentang penyebab
pertengkaran itu, bagaimana Sally tak ingin berbicara dengan Nyonya Rivers,
bagaimana Sally begitu muram selalu, bagaimana Sally tak mengakui punya adik
bayi. Sungguh mengherankan betapa banyak yang diketahuinya tentang Sally!
Ia segera merasa lega setelah surat itu selesai. Tanpa dibacanya lagi, surat
tersebut dimasukkannya ke pos. Nyonya Hope akan menerimanya besok pagi, tentu.
Berita baru menjalar di Menara Utara. "Sakit Sally semakin berat! Seorang dokter
ahli telah didatangkan. Keluarganya telah ditelegram untuk segera datang, dan
besok mereka akan datang!"
Darrell tak bisa makan apa pun hari itu. Rasanya hari itu adalah hari terpanjang
dalam hidupnya. Mary-Lou begitu ketakutan melihat wajah Darrell yang semakin
murung itu. Ia tak pernah meninggalkan sisi Darrell lagi - dan kali ini Darrell
tidak merasa muak oleh kehadirannya, malah merasa sedikit lega. Mary-Lou tak
tahu mengapa Darrell murung. Dan dia pun tak berani bertanya. Ia telah lupa
betapa Darrell begitu sering mengejek dan mengata-ngatainya. Ia hanya ingin
membantu Darrell. Anak-anak lain tak begitu memperhatikan Darrell. Mereka berjalan-jalan,
berenang, atau berjemur diri di hari Minggu yang tenang itu. Nona Potts masih
terus memperhatikan Darrell. Kenapa anak itu" Apakah sakit Sally yang membuatnya
tampak begitu cemas" Rasanya tak mungkin Darrell bukanlah sahabat akrab Sally.
Dan memang Sally tak pernah punya sahabat.
Akhirnya waktu tidur tiba. Ibu Asrama tidak membawa berita apa pun tentang
Sally, kecuali mengatakan bahwa anak itu belum membaik. Tak seorang pun
diizinkan menjenguknya. Ibu Asrama merasa heran karena Darrell telah memohon
agar ia diperbolehkan menjenguk Sally.
Darrell tak bisa tidur, berbaring di tempat tidurnya. Didengarnya waktu tidur
untuk kelas tiga dan empat. Kemudian untuk kelas lima dan akhirnya untuk kelas
enam. Setelah itu Ibu Asrama, Mam'zelle, dan Nona Potts juga pergi ke kamar
masing-masing. Darrell mendengar lampu-lampu di padamkan. Hari telah larut malam
di luar gelap. Semua orang sudah tidur. Kecuali Darrell.
"Aku tak bisa berbaring terus di sini, hanya berpikir, hanya merenung, hanya
melamun!" pikir Darrell. Gemas ia bangkit, membuang selimutnya. "Aku bisa gila
kalau diam saja di sini. Aku akan berjalan-jalan saja di Taman Dalam. Bunga-
bunga mawar semerbak di tempat itu. Mungkin aku bisa merasa sejuk dan mengantuk
nanti." Tanpa bersuara dipakainya gaun kamarnya, dan hati-hati ia ke luar kamar. Tak
seorang pun mendengar gerakannya. Ia merambat menuruni tangga dan keluar ke
Taman Dalam. Kemudian, dalam kesunyian malam itu, didengarnya suara sebuah mobil
mendaki bukit ke arah Malory Towers. Memasuki halaman sekolah! Siapa yang datang
pada larut malam begini"
Darrell menengadah menoleh ke arah jendela san. Cahaya cemerlang tampak di sana,
lebih terang dari biasanya. Pasti Sally tidak sedang tidur. Kalau dia tidur,
tentu lampu tidur yang suram yang dinyalakan. Apa yang sedang terjadi" Oh, kalau
saja ia bisa mengetahuinya!
Darrell menyelinap ke gapura yang menghubungkan Taman Dalam dengan halaman
depan. Ya, ada sebuah mobil di sana. di dalam bayang-bayang gedung sekolah. Kosong.
Tentu isinya telah masuk ke dalam gedung. Darrell bergegas menuju gedung tempat
Kepala Sekolah. Ternyata pintu masuk gedung itu terbuka, tak terkunci seperti biasanya. Darrell
masuk. Kini ia bisa mengetahui apa yang sedang terjadi.
17. KEJUTAN YANG MENGGEMBlRAKAN
DI lorong antara kamar-kamar masih ada lampu menyala. Tapi kamar tempat tinggal
Kepala Sekolah gelap. Agaknya Kepala Sekolah telah pergi ke san. Hati-hati
Darrell naik. Di lantai dua lampu menyala semua, terang benderang. Dan agak ada
suatu kesibukan luar biasa. Apa yang terjadl dengan Sally"
Darrell tak bisa mengerti. Pastilah Sally sakit parah sehingga begitu banyak
orang harus turun tangan untuk menolongnya. Di tengah malam, lagi. Darrell amat
kecut hatinya. Ia tak berani melangkah lebih jauh. Tapi ia juga tak mau kembali
setelah sejauh ini ia menyelidik. Tak mungkin ia kembali dengan pikiran damai
tanpa tahu apa yang terjadi. Kalau saja ia bisa membantu!
Ia duduk di bingkai jendela. Ditutupinya dirinya dengan tirai jendeIa yang tebal
dan berat itu. Ia takkan terlihat di situ, sementara telinganya bisa
mendengarkan betapa orang-orang bergegas dari satu kamar ke kamar lain di san.
itu. Dan suara orang berbicara. Itu suara Ibu Asrama. Itu suara jururawat.
Tegas, mantap, memberi perintah. Dan terdengar pula suara seorang lelaki.
Darrell menahan napas untuk bisa mendengarkan lebih jelas. Tetapi ia tak bisa
mengartikan apa pun yang idengarnya.
Oh, apa yang terjadi kalau ia ketahuan berada di tempat itu" Apalagi kalau orang
tahu bahwa Darrell-lah yang menjadi penyebab keributan ini! Darrell semakin
merapatkan tirai jendeIa tebal itu menyelimuti dirinya, dan tanpa bersuara ia
menangis menumpahkan air mata ke tirai sutra tebal itu.
Ia duduk di situ sekitar setengah jam. Dan tanpa terasa tiba-tiba ia tertidur
nyenyak. Terbungkus dalam tirai tebal hangat, begitu lelah, ia tak bisa
menguasai rasa kantuknya.
Ia tak tahu berapa lama ia tidur. Tahu-tahu ia mendengar beberapa suara. Ia
tersentak bangun. Bingung sesaat ia berada di mana. Kemudian ia ingat. Tentu
saja, ia berada di dekat san. Ia sedang lencari tahu apa yang terjadi dengan
Sally. Dan segera semua kecemasan dan ketakutan datang lagi. Ia merasa begitu sendiri,
sunyi. Dan ia teringat ibunya. Dipeluknya tirai yang menyelimutinya saat
terdengar beberapa suara datang mendekat Suara dokterkah" Jururawat" Atau
mungkin Kepala Sekolah"
Kemudian jantung Darrell seakan berhenti berdetak. Seseorang berjalan melewati
tempatnya bersembunyi, dan orang itu berbicara dengan suara yang begitu
dikenalnya dan dicintainya.
"Ia pasti sembuh," kata suara itu. "Untung aku datang tepat pada waktunya.
Kini..." Darrell ternganga. Suara itu... rasanya tak mungkin! Rasanya tak mungkin! Suara
ayahnya! Tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya bisa bergerak. Disingkirkannya tirainya, dan
ia menjenguk ke balik tirai itu. Ia melihat ayahnya berjalan bersama juru rawat,
membicarakan sesuatu dengan sangat bersungguh-sungguh. Ya, itu ayahnya!
"AYAH!" teriak Darrell, lupa segalanya kecuali bahwa ia telah melihat ayahnya,
yang tadinya dikiranya telah berada di tempat yang begitu jauh darinya. Ayahnya
berjalan di gang di hadapannya!
"Ayah! Oh, Ayah! Tunggu! Ini Darrell!"
Ayah berhenti bagaikan tertembak. Ia tak bisa mempercayai telinganya. Darrell
berlari kepadanya, melompat menubruknya bagaikan kilat, memelukOya erat-erat,
dan menangis tersedu-sedu.
"Kenapa kau, Darrell?" tanya ayahnya heran. "Mengapa kau ada di sini?"
Nona Grayling muncul, heran, dan agak gusar menegur Darrell. "Darrell! Untuk apa
kau kemari" Pak Rivers, silakan datang ke kamarku, di bawah."
Sambil memondong Darrell, Pak Rivers mengikuti Kepala Sekolah ke lantai bawah.
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jururawat mengikuti dari belakang, tak putusnya terheran-heran. Darrell memeluk
ayahnya erat-erat, seolah-olah tak akan mau melepaskannya lagi. Apakah ia
bermimpi" Mungkinkah ini benar-benar ayahnya, di tengah malam ini" Darrell tak
bisa membayangkan mengapa ayahnya berada di sekolahnya. Tapi tak apa. Yang
penting ayahnya ada. Pak Rivers duduk di kursi panjang di kamar Kepala Sekolah, dengan Darrell di
pangkuannya. Jururawat telah lenyap. Hanya Nona Grayling yang ada di situ,
memandang heran pada Darrell dan ayahnya. Ada sesuatu yang tak bisa
dimengertinya. "Menangislah sepuas hatimu, dan kemudian ceritakan apa yang terjadi," kata ayah
Darrell. "Baru kemarin aku melihatmu begitu bahagia. Dan sekarang... tapi tak
apa. Aku akan membereskan persoalanmu, apa pun yang kauhadapi."
"Tak mungkin," kata Darrell. "Aku telah begitu jahat. Aku telah marah lagi!
Ayah, salahkulah maka Sally sakit!"
"Anakku sayang, apa maksudmu?" Ayahnya semakin heran. Darrell merapatkan dirinya
pada dada ayahnya, dan rasa kuatirnya mulai lenyap. Ya, Ayah selalu bisa membuat
segalanya beres. Seperti juga Ibu. Sungguh suatu berkat Tuhan maka Ayah ada di
sini malam ini. Tetapi tiba-tiba Darrell mengangkat kepala, bertanya heran. "Tapi, Ayah, mengapa
Ayah ada di sini" Bukankah Ayah berada jauh dari sini?"
"Memang, aku dan ibumu menginap di kota Tetapi Nona Grayling meneleponku bahwa
Sally mendapat serangan radang usus buntu. Ahli bedah yang biasa menangani
pembedahan di daerah ini sedang sakit. Maka aku diminta untuk segera datang dan
melakukan operasi. Tentu saja aku datang. Aku tinggal naik mobil, pergi kemari,
dan kulihat segalanya sudah dipersiapkan dengan baik. Jadi kulakukan operasi
kecil itu, dan selesai sudah! Sally akan sembuh dan sehat walafiat lagi dalam
dua minggu ini." Suatu beban berat lenyap dari pikiran Darrell. Usus buntu! Itu sesuatu yang
memang bisa saja diderita oleh semua orang. Ayahnya begitu sering mengoperasi
usus buntu. Tapi dengan cemas ia bertanya, "Ayah... usus buntu tidak bisa
disebabkan oleh karena.... didorong, bukan" Atau jatuh?"
"Tentu saja tidak!" kata ayahnya. "Sesungguhnya sudah lama Sally merasakannya.
Aku yakin itu. Bahkan sebelum masuk kemari, ia telah menderita radang usus buntu
tersebut. Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Dan segalanya meluncur keluar - betapa anehya kelakuan Sally, betapa kasarnya
Sally, bagaimana Darrell kehilangan kesabarannya, bagaimana dengan marah Darrell
mendorong Sally sampai jatuh... semuanya!
"Dan aku begitu kuatir dan berkuatir terus," isak Darrell. "Aku pikir kalau Nona
Grayling tahu, aku pasti dikeluarkannya dari Malory Towers. Ayah dan Ibu pasti
malu sekali. Aku tak bisa tidur, keluar dari kamar dan..."
"Alangkah tololnya kau," kata ayahnya, mencium kepala Darrell. "Mungkin lebih
baik bila sekarang saja kau kubawa pulang, Darrell, kalau kau masih punya
pikiran setolol itu."
"Oh. tidak, jangan! Aku sangat senang berada di sini, Ayah!" seru Darrell. "Oh,
Ayah! Kalau saja Ayah tahu betapa leganya hatiku kini setelah tahu bahwa
sesungguhnya Sally memang telah sakit sebelum bertengkar denganku. Tetapi, ya
ampun, aku telah menceritakan semuanya pada Nyonya Hope dalam suratku! Apa
jadinya nanti?" Kemudian ia terpaksa bercerita tentang suratnya, tentang bagaimana ia
menceritakan keanehan tingkah Sally. Ayahnya dan Nona Grayling tampak sangat
heran, mengapa Sally tak mau mengaku punya adik.
"Ada sesuatu yang aneh yang harus segera dibereskan," kata Pak Rivers pada Nona
Grayling "Ini mungkin bisa menghalangi penyembuhan cepat yang kita inginkan pada
Sally. Kapankah ayah dan ibu Sally datang?"
"Besok," jawab Nona Grayling. "Aku akan memberi keterangan seperlunya pada
mereka. Nah, Pak Rivers, apakah Anda akan menginap di sini" Rasanya sudah
terlalu malam bagi Anda untuk pulang ke penginapan Anda."
"Oh, tidak," kata Pak Rivers. "Aku sudah terbiasa mengemudikan mobil di malam
hari. Terima kasih. Dan Darrell harus pergi tidur. Tak usah kuatir, Sayang.
Segalanya akan beres. Bukan doronganmu yang membuat usus buntu Sally kambuh,
walaupun mungkin sekali telah membuatnya lebih merasakan sakitnya. Pastilah anak
itu telah kesakitan sepanjang hari."
"Aku mendorongnya keras sekali," kata Darrell malu.
"Sungguh sedih aku memikirkan bahwa sifat pemarahku menurun padamu," kata
ayahnya. Darrell mempererat pelukannya.
"Tak usah kuatir. Ayah. Aku pasti bisa menguasai diriku," kata Darrell. "Aku
akan berusaha untuk seperti Ayah, menyalurkan semangat marahku untuk hal-hal
yang lebih perlu." "Baiklah. Selamat malam, Sayang." Ayahnya menciumnya. "Dan temuilah Sally segera
setelah kau diizinkan. Dengan begitu kau akan lebih merasa tenang."
"Aku lebih lega sekarang," kata Darrell, meluncur turun dari pangkuan ayahnya.
Matanya merah, tetapi ia kini tersenyum. Betapa berbeda perasaannya kini. Semua
kecemasannya lenyap. Ayahnya masuk ke dalam kegelapan, ke mobilnya. Nona Grayling sendiri yang
mengantar Darrel ke tempat tidur, menyelimutinya dengan rapi. Darrell sudah
tertidur sebelum Kepala Sekolah keluar dari kamarnya.
Dan di san. Sally juga tertidur lelap. Rasa sakitnya lenyap. Juru rawat
memperhatikannya terus, lega melihat pernapasan Sally yang teratur kini. Betapa
tangkasnya ayah Darrell bekerja - hanya tiga belas menit untuk operasi usus
buntu! Sungguh beruntung mereka bisa memperoleh ahli bedah yang begitu ahli.
Fajar menyingsing dengan cerah. Darrell terbangun oleh suara lonceng pagi. Ia
merasa lelah, tetapi sangat bahagia. Sesaat ia berbaring dan berpikir-pikir.
Hatinya penuh dengan rasa syukur. Sally pasti akan sembuh. Ayahnya sendiri yang
mengatakan hal itu. Dan ayahnya telah berkata bahwa sakit Sally bukan karena
ulah Darrell. Jadi semua kecemasannya selama ini sesungguhnya tak ada perlunya.
Tetapi ada juga perlunya. Akibat dari ia tidak bisa menahan marah ini begitu
berkesan, tak terlupakan. Rasanya kelak ia pasti akan teringat peristiwa ini
bila hampir kehabisan kesabaran. Ia mendapat pelajaran yang sangat berharga.
"Ingin aku mengerjakan sesuatu untuk menunjukkan betapa bersyukurnya aku bahwa
segalanya telah beres kini," pikir Darrell melompat turun dari tempat tidur.
"Tetapi tak ada yang bisa kulakukan. Entah bagaimana keadaan Sally hari ini."
Sally telah membaik. Ketika ia mendengar bahwa ayah dan ibunya akan datang ia
hampir tak percaya. "Betulkah Ibu akan datang?" tanyanya berulang kali. "Apakah Anda yakin Ibu akan
datang" Tetapi Sabtu kemarin ia toh tak bisa datang. Mengapa sekarang datang?"
Nona Grayling menyambut kedatangan Pak dan Nyonya Hope di ruang tamunya yang
besar. Pak Hope seorang yang bertubuh kokoh besar, terlihat sangat kuatir.
Nyonya Hope bertubuh kecil, berwajah manis.
"Sally belum siap untuk menerima Anda berdua sekarang," kata Nona Grayling. "Aku
hanya bisa merasa sangat bersyukur bahwa operasi atas dirinya telah berlangsung
dengan hasil gemilang. Dan keadaan Sally membaik dengan cepat. Pak Rivers,
seorang ahli bedah yang sangat berpengalaman, kebetulan menginap di hotel di
kota. Dan kami berhasil memintanya untuk datang kemari. Ia adalah ayah dari
salah seorang murid kami di sini. Darrell Rivers."
"Oh, Darrell Rivers," kata Nyonya Hope, mengeluarkan selembar surat dari tasnya.
"Aku menerima sepucuk surat yang sangat aneh darinya, Nona Grayling. Kuterima
pagi tadi. Coba bacalah. Agaknya ia berpendapat bahwa dialah yang menyebabkan
Sally sakit. Tetapi tentu saja kami tak percaya hal itu. Tetapi hal-hal lain
yang ditulisnya sungguh membuat kami cemas. Bisakah kami berbicara dengan
Darrell sebelum kami menemui Sally?"
Nona Grayling membaca surat Darrell dengan wajah bersungguh-sungguh. "Memang ada
yang sangat aneh di sini," katanya kemudian. "Mengapa Sally selalu mengatakan
bahwa ia tak punya adik. Padahal ia tahu bahwa ia punya adik, bukan?"
"Ya, kami tak mengerti sikap Sally itu," kata Nyonya Hope, sedih. "Dia bersikap
aneh sejak lahirnya Daphne. Ia tak mau melihat atau berbicara dengan adiknya
itu. Dan sekali, ketika ia tak tahu bahwa aku melihat, ia telah mencubit si
bayi. Padahal Sally tak pernah berlaku kejam sebelumnya."
"Apakah Anda punya putra lain?" tanya Nona Grayling. Nyonya Hope menggelengkan
kepala. "Tidak," katanya. "Sally berumur dua belas tahun saat Daphne lahir. Sebelum itu
ia anak tunggal. Kukira tadinya ia akan gembira punya adik. Kami tak pernah
memanjakannya, tetapi agaknya ia tak mau membagi kami dengan anak lain. Kadang-
kadang aku berpikir mungkin sekali ia... ia iri. "
"Kukira memang begitulah," kata Nona Grayling. "Menurut pendapatku, Nyonya Hope,
Sally sangat rapat dengan Anda. Ia memang tak mau Anda membagi cinta Anda dengan
anak lain. walaupun itu adiknya sendiri. Dan ia tak berani mengatakan
perasaannya ini, takut kalau Anda mengiranya bertabiat buruk."
"Ya, ia tak pernah berkata apa pun," kata Nyonya Hope. "Tiba-tiba saja sikapnya
berubah. Ia tidak lagi periang dan lincah. Ia tak lagi mendekat pada kami untuk
disayang. Dan tampak ia membenci si bayi. . Tadinya kukira ini semua akan
berakhir. Tetapi ketika ternyata tak habis-habis juga, kami memutuskan untuk
mengirimnya ke sekolah berasrama ini, sebab saat itu aku tak begitu sehat
sehingga aku tak bisa dengan baik membagi perhatian antara Sally dan adiknya.
Kami berusaha keras agar Sally merasa bahagia."
"Ya, kukira begitu," kata Nona Grayling. "Tetapi bagi Sally itu bisa diartikan
bahwa Anda tak lagi memerlukannya. Baginya, ia dikirim kemari agar si bayi bisa
mendapat tempat yang lebih luas di rumah, agar ia bisa memperoleh semua kasih
sayang serta rawatan Anda, Nyonya Hope. rasa iri terhadap adik yang baru lahir
seperti ini memang sudah biasa terjadi dan wajar. Anda tak usah menyalahkan
Sally. Tetapi Anda juga tak boleh tinggal diam. Kalau saja Anda bisa membuat
Sally percaya bahwa Anda masih tetap mencintainya seperti dahulu, pastilah ia
bisa mengerti. Nah bagaimana kalau kita panggil Darrell?"
Darrell dipanggil di tengah pelajaran matematika. Ia masuk ke ruang itu dengan
agak gugup, takut akan apa yang hendak dikatakan oleh Nyonya Hope. Tetapi ketika
pembicaraan berlangsung, ia jadi tenang, dan menjawab semua pertanyaan dengan
jelas. Nona Grayling kemudian berpaling pada Nyonya Hope. "Kukira lebih baik bila
Darrell menemui Sally lebih dahulu beberapa menit sebelum Anda berdua masuk,"
katanya. "Biarlah Darrell mengatakan pada Sally bahwa Anda berdua telah datang,
dan bahwa Anda, Nyonya Hope, begitu tergesa-gesa dan ingin segera menemui Sally
sehingga Anda meninggalkan si bayi. Hanya untuk bisa menemui Sally! Bisakah kau
mengatakan hal itu pada Sally?"
Darrell mengangguk. Tiba-tiba ia mengerti persoalan yang dihadapi Sally.
Ternyata Sally iri pada adiknya yang masih bayi! Begitu iri sehingga tak mau
mengaku bahwa ia punya adik! Alangkah lucunya, Sally! Tidakkah ia tahu bahwa
sungguh menyenangkan punya adik kecil. Sally tak tahu, betapa beruntung dia
sebenarnya! "Baiklah, akan kukatakan pada Sally," kata Darrell. "Dan nanti aku akan berusaha
untuk meyakinkan Sally bahwa sungguh senang punya adik. Aku memang ingin
melakukan sesuatu untuk Sally, jadi aku akan melakukan hal itu dengan sangat
senang hati." 18. DARRELL DAN SALLY DARRELL pergi ke san. di tingkat atas. Ia membawa sepucuk surat kecil dari
Kepala Sekolah untuk diberikan pada jururawat. Surat tersebut berbunyi;
'Harap Darrell diperbolehkan berkunjung pada Sally beberapa menit sebelum ibu
Sally datang.' Jururawat sangat heran membaca surat tersebut. Dan tampaknya ia tak setuju.
Tetapi pesan Kepala Sekolah harus ditaatinya. Dibukakannya pintu untuk Darrell.
Darrell berjingkat-jingkat masuk. Kamar di situ sangat menyenangkan. Luas,
dengan tiga buah tempat tidur putih, dan jendela-jendela lebar. Warna yang ada
hanyalah warna krem dan putih. Dan semuanya bersih rapi.
Di tempat tidur paling ujung, berbaring Sally. Mukanya pucat. namun matanya
cemerlang. "Hallo, Sally, aku begitu kuatir akan dirimu," kata Darrell. "Bagaimana
keadaanmu" Apakah ayahku membuatmu lebih baik?"
"Ya. aku senang pada beliau," jawab Sally. "Ia sangat baik hati. Perutku sakit
sekali hari Sabtu itu, Darrell. Tetapi aku tak berani mengatakannya pada siapa
pun, sebab semua orang sedang bersenang-senang. Aku tak ingin mengganggu
suasana." "Wah, kau sungguh tabah," kata Darrell. "Coba terka... siapa yang akan
mengunjungimu hari ini?"
"Apakah... apakah Ibu?" tanya Sally harap-harap cemas, dengan mata bersinar-
sinar. Darrell mengangguk. "Ya. Juga ayahmu. Dan tahukah kau, Sally, ibumu telah
meninggalkan adikmu yang bayi khusus untuk mengunjungimu kemari. Bayangkan!
Padahal biasanya ibu-ibu tak bisa berpisah dengan bayinya. Pastilah ibumu sangat
mencintaimu, Sally!"
Sally agaknya telah lupa bahwa ia pernah mengatakan tak punya adik pada Darrell.
Ia segera meraih tangan Darrell. "Betulkah Ibu tidak membawa Adik kemari?"
bisiknya. "Betulkah Ibu meninggalkan Adik di rumah?"
"Ya. Kasihan betul kan adikmu itu?" kata Darrell. "Pasti ia merasa kesepian
sendiri di rumah. Aku juga punya adik. Senang kan punya adik" Adikku selalu
bangga pada diriku, dikiranya aku bisa segala macam hal! Pasti adikmu kelak
begitu juga." Gambaran Sally tentang adik tampak segera berubah. Ia jadi sadar akan
hubungannya dengan adik dan ibunya.Ia tersenyum berterima kasih pada Darrell.
"Kau mau menjengukku kapan saja kau sempat, kan?" katanya. "Dan jangan katakan
apa pun tentang ketololanku dulu itu... maksudku ke teman-teman kita yang lain."
"Tentu saja. Dan sesungguhnya itu bukan ketololan. Hanya kau keliru mengerti
saja," kata Darrell. "Sekali lihat saja semua orang tahu bahwa ibumu sungguh
seorang yang penuh kasih. Dia pasti akan tetap mencintaimu, tak peduli berapa
pun putranya, atau apa pun yang kaulakukan. Ibumu betul-betul manis, kulihat."
"Memang," kata Sally menghembuskan napas panjang. "Aku menyesal telah berlaku
buruk padamu, Darrell".
"Dan aku sangat menyesal telah mendorongmu sampai jatuh, Sally, padahal kau
sedang sakit seperti itu," kata Darrell.
"Apakah kau mendorongku?" tanya Sally. "Aku sudah tak ingat. Lihat, jururawat
itu mau berkata apa?"
Ternyata jururawat memberi isyarat agar Darrell keluar. Ayah dan ibu Sally
agaknya telah datang. Darrell segera berpamitan pada Sally dan berjingkat-
jingkat ia meninggalkan anak itu.
Kedua orang tua Sally masuk. Darrell mendengar Sally berseru gembira menyambut
keduanya. Darrell merasa bagaikan bisa terbang. Begitu gembira ia berlari menuruni tangga
dan menyeberangi Taman Dalam untuk kembali ke kelasnya. Ia masuk tepat saat
lonceng ganti pelajaran berbunyi. Darrell menyelinap duduk di bangkunya. Teman-
teman sekelasnya semua memandangnya.
"Kau dari mana" Lama sekali! Kau bisa bebas hampir separuh pelajaran matematika!
Enak benar!" "Aku mengunjungi Sally," kata Darrell dengan nada penting.
"Bohong! Tak mungkin! Tak ada yang boleh mengunjunginya!" kata Irene.
"Betul! Dan Sally berkata bahwa ayahku telah membuatnya sembuh!" kata Darrell
dengan bangga. "Tadi malam beliau datang. Aku melihatnya!"
"Darrell Rivers! Kau pasti hanya berkhayal!" kata Alicia sangat heran.
"Tidak. Betul seperti yang kukatakan!" kata Darrell. "Aku juga bertemu dengan
ayah dan ibu Sally. Kini mereka menemui Sally. Mereka akan tinggal bersama Nona
Grayling sampai besok."
"Apakah Sally tercinta sudah mengetahui dia punya adik atau tidak?" tanya
Gwendoline mengejek. Hampir saja meledak marah Darrell. Tetapi ia cepat menahan diri. "Itu bukan
urusanmu. Sesungguhnya sayang sekali kau tak punya enam orang kakak yang akan
menindasmu begitu rupa sehingga kau bisa bersikap sedikit lebih baik. Tapi aku
yakin mereka hanya akan bisa mengajarkan sedikit saja kesopanan padamu."
"Sssh! Mam'zelle datang!" bisik anak yang berada di dekat pintu. Mam'zelle
masuk. Pagi ini ia berwajah muram karena ternyata anak kelas tiga bisa juga
menjadi luar biasa bodohnya. Darrell tak peduli akan kemarahan Mam'zelle ataupun
Nona Potts hari itu. Ia terus memikirkan kebahagiaan Sally, dan ingin segera
tahu perkembangan selanjutnya.
Sally, ayah, dan ibunya berbahagia bisa berkumpul bersama-sama. Dinding aneh
yang selama ini dirasakan Sally ada di antara dia dan ibunya telah lenyap, sebab
tiba-tiba rasa irinya lenyap. Ibunya telah meninggalkan si bayi untuk
menemuinya! Sally merasa lega. Bukannya ia ingin agar adiknya itu, Daphne,
ditinggalkan dengan orang-orang lain, tetapi itu berarti bahwa ibunya masih
mencintainya! Sungguh aneh Sally ini.
"Kami akan mengunjungimu lagi besok, sebelum kami pulang," kata Nyonya Hope saat
jururawat mengatakan sudah waktunya Sally ditinggal sendiri. "Tetapi bila kau
memang ingin ditunggui juga, maka biarlah Ayah pulang lebih dahulu, dan aku akan
terus di sini sampai kau betul-betul sembuh."
"Tak usah," kata Sally dengan lega kini. "Janganlah Adik ditinggal terlalu lama.
Dan kau tahu, pastilah Ayah ingin agar Ibu ikut pulang bersamanya. Aku sudah
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat membaik, Ibu. Aku akan segera sembuh - dan akan mengubah sikapku."
Nyonya Hope kini betul-betul yakin bahwa Sally akan kembali seperti Sally yang
dulu, sebelum punya adik. Dan ia pun gembira karenanya. Sungguh untung sekali
Darrell Rivers berkirim surat padanya. Kini segala perkara telah beres.
Darrell diizinkan mengunjungi Sally dua kali sehari, jauh sebelum anak-anak lain
boleh berkunjung. Dan Sally selalu menerima kedatangan Darrell dengan gembira.
Sally kini sangat berubah. Tidak lagi pendiam dan tertutup. Ia kini dengan
gembira mau berbicara tentang rumahnya, keluarganya, anjingnya, kebunnya, dan ia
pun banyak bertanya tentang pelajaran-pelajaran yang terpaksa tak bisa
diikutinya. Ia bertanya tentang tingkah laku Mam'zelle, tentang apa yang
dikatakan Nona Potts, dan tentang apakah Mary-Lou dan Gwendoline masih
bersahabat. "Tahukah Sally, bahwa ketika aku merasa begitu takut karena mengira bahwa akulah
penyebab penyakitmu, aku tiba-tiba bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi
seorang anak seperti Mary-Lou, yang selalu merasa ketakutan terhadap segala hal
yang terjadi di sekeIilingnya. Aku jadi begitu menyesal karena sering
menggodanya." "Benar, lebih baik bila mulai sekarang kita berlaku baik kepada Mary-Lou," kata
Sally. Dengan makin bertambahnya kekuatan dan kesehatan Sally, maka Sally merasa
bahwa ia harus berbuat baik pada siapa pun - bahkan kalau perlu terhadap
Gwendoline. "Katakanlah bahwa aku ingin ia mengunjungiku."
Mary-Lou tak terkira gembiranya oleh pesan dari Sally ini. Bayangkan, Sally
telah memilihnya sebagai salah satu yang boleh mengunjunginya lebih awal! Dengan
mempersenjatai diri dengan permen satu toples besar, Mary-Lou pergi ke san.
Sally tampak masih pucat, tetapi terlihat telah berbeda sikapnya Matanya
bersinar dan ia tersenyum. Ia menyambut kedatangan Mary-Lou dengan hangat.
Mereka berbicara akrab. Mary-Lou sedikit terbuka, lupa akan sifat penakutnya. Ia
tak takut pada Sally. Diceritakannya semua yang diketahuinya. Kemudian ia tampak
sedikit kuatir. "Begini, Sally. Aku merasa bahwa tak pada tempatnya Gwendoline selalu mengatakan
hal-hal yang tak baik tentang Darrell. Ia selalu berusaha meyakinkan aku bahwa
Darrell-lah yang melakukan berbagai muslihat untuk mencelakakan atau merugikan
aku. Atau kadang-kadang ia juga mengatakan mungkin Alicia yang berbuat. Kemarin,
misalnya, tinta tumpah di atlasku. Gwendoline berkata, pastilah itu Darrell yang
berbuat. Ia berkata hari itu ia melihat jari-jari Darrell penuh tinta."
"Tapi siapa yang akan percaya Darrell melakukan hal seperti itu?" tanya Sally.
"Bagaimana kau mau saja mendengarkan ocehan seperti itu dari Gwendoline, Mary-
Lou?" "Aku tak bisa menghentikannya," kata Mary-Lou. Wajah ketakutannya muncul
kembali. "Sebab, ia selalu berkata bahwa ia sahabatku dan aku sahabatnya, jadi
ia bisa mengatakan apa saja padaku. "
"Apakah kau sahabatnya?" tanya Sally mendesak.
"Tidak... ya, sesungguhnya tidak. Tetapi aku tak berani mengatakan padanya bahwa
aku tak mau menjadi sahabatnya. Jangan katakan aku penakut. Memang aku penakut,
tetapi aku tak bisa mengubah hal itu, bukan?"
"Waktumu habis, Mary-Lou," kata jururawat, menjenguk masuk. "Katakan pada
Darrell setengah jam lagi ia boleh berkunjung. Tetapi ia tak boleh membawa
permainan yang menyebabkan keributan. Bawa saja kartu."
Setengah jam kemudian Darrell datang membawa kartu kwartet. Tetapi ternyata ia
dan Sally tak jadi main kartu. Keduanya membicarakan Mary-Lou dan Gwendoline.
"Gwendoline sungguh jahat," kata Sally. "Ia selalu memfitnah kau dan Alicia,
seolah-olah kalianlah yang menggoda Mary-Lou dengan berbagai cara itu."
"Tapi, siapa sesungguhnya yang berbuat?" tanya Darrell. "Mungkinkah anak dari
menara lain" Bagaimana dengan Evelyn dari Menara Barat" Ia selalu melakukan
berbagai kenakalan."
"Tidak. Aku punya perasaan Gwendoline sendirilah yang berbuat," kata Sally,
merenungi kartu di tangannya.
Darrell heran. "Oh, rasanya tak mungkin!" katanya. "Gwendoline dan Mary-Lou kan
bersahabat!" "Begitulah kata Gwendoline. Tetapi kata Mary-Lou tidak begitu."
"Memang, tetapi... wah, rasanya tak mungkin ada anak yang berhati begitu jahat.
Pura-pura bersahabat, tetapi terus mengganggu sahabatnya itu dengan cara-cara
yang keji. Sungguh memuakkan!"
"Dan aku pikir Gwendoline memang memuakkan," kata Sally. "Aku tak pernah bisa
tahan mendengarkan kata-katanya dan melihat tingkah lakunya. Seorang yang betul-
betul bermuka dua, yang hanya mementingkan dirinya sendiri!"
Darrell menatap Sally "Kau sungguh cerdas. Kau tahu begitu banyak tentang orang
lain, bisa mengetahui isi hati mereka. Aku yakin kau juga mengerti tentang
pribadi Mary-Lou, lebih baik dari apa yang kuketahui."
"Aku suka pada Mary-Lou," kata Sally. "Kalau saja ia bisa kita bantu
meninggalkan sifat penakutnya, ia pasti menjadi anak yang sangat menyenangkan."
"Tetapi bagaimana caranya?" tanya Darrell sambil tanpa berpikir mengocok kartu
di tangannya. "Ya ampun! Lihat, kartuku telah kucampur lagi! Tapi tak apalah.
Kurasa lebih menyenangkan berbincang-bincang daripada main kartu. Bagaimana kita
bisa menyembuhkan Mary-Lou" Aku pernah mencoba menyakiti hatinya agar ia
tergugah untuk melawan, tetapi kurasa malah kebalikannya yang terjadi. Tak ada
gunanya membuatnya malu pada sifatnya itu."
"Tak tahukah kau bahwa sebenarnya ia sudah malu sendiri karena sifatnya itu?"
tukas Sally. "Tetapi karena malu saja ia takkan bisa mengumpulkan keberaniannya. Tak akan ada
yang bisa membuatnya berani kecuali dirinya sendiri."
"Yah, kalau begitu carilah cara agar ia bisa memberikan keberanian pada dirinya
sendiri," kata Darrell. "Aku yakin kau takkan mampu berbuat itu."
"Akan kupikirkan malam ini sebelum tidur," kata Sally. "Dan bila kau menjengukku
besok pagi, akan kuterangkan padamu. Aku yakin aku bisa mencari jalannya.
19. RENCANA SALLY SEPERTI biasanya, pada waktu istirahat pertama pagi hari, Darrell mengunjungi
Sally. Sally menyambutnya dengan gembira. "Aku telah memikirkan sesuatu. Sebuah
rencana yang sangat bagus. Ya, tidak terlalu sangat, tetapi kukira cukup bagus."
"Bagaimana rencanamu itu?" tanya Darrell, sementara dalam hati ia melihat betapa
cantiknya Sally yang biasanya sederhana itu di pagi tersebut, dengan pipinya
yang memerah dan mata yang bersinar.
"Dengarkan. Bagaimana kalau kau berpura-pura mendapat kesulitan di kolam renang"
Pada kesempatan pertama untuk itu, kau pura-pura menjerit dan minta tolong pada
Mary-Lou untuk mengambil ban penolong serta melemparkannya padamu," kata Sally.
"Jika ia melakukan hal itu, maka ia akan merasa telah berjasa besar menolong kau
dari bahaya tenggelam. Ia akan merasa dapat dorongan besar, merasa bahwa
sesungguhnya ia berani bertindak. Kita semua sudah diajari cara melempar ban
penyelamat, jadi ia pasti juga bisa melakukannya."
"Ya, suatu usul yang bagus," kata Darrell. "Akan kucoba besok. Akan kuberi tahu
anak-anak lain untuk tidak membantuku, dan memberi kesempatan pada Mary-Lou
sendiri untuk bertindak. Hanya anak-anak yang kupercaya saja yang akan kuberi
tahu. Tentu saja Gwendoline sayang tidak. Apakah kau yakin rencanamu itu bisa
membantu Mary-Lou untuk tidak merasa takut lagi?"
"Menurut pendapatku, Mary-Lou takkan punya keberanian untuk menghadapi sesuatu
kalau ia tak punya pikiran bahwa ia masih punya sedikit keberanian dan
kecerdasan untuk melakukannya!" kata Sally bersungguh-sungguh. "Kau takkan bisa
melakukan apa pun kalau kau sendiri tak yakin kau bisa melakukannya."
"Bagaimana kau tahu hal-hal seperti itu?" tanya Darrell dengan kagum. "Aku sama
sekali tak pernah memikirkannya."
"Oh, sesungguhnya hal seperti itu tak begitu sulit," kata Sally. "Yang
diperlukan hanyalah membayangkan dirimu sebagai orang yang ingin kaupelajari.
Kau harus bisa ikut merasakan perasaannya, ketakutannya, dan bagaimana caramu
untuk menyembuhkan hal itu kalau kau jadi orang itu. Kedengarannya memang
membingungkan. Aku tak bisa mengatakan dengan tepat apa yang ingin kukatakan."
"Oh, aku tahu apa yang kaumaksud," kata Darrell. "Kau mengatakan dengan tepat
sekali apa yang dikatakan ibuku. Cobalah masuki diri orang lain, dan rasakan apa
yang dirasakannya. Tetapi sering aku tak punya kesabaran untuk melakukan hal
itu. Aku telah sibuk dengan diriku sendiri. Kukira kau sangat cerdas, Sally."
Muka Sally merah. Tetapi ia tampak senang, walaupun tampak malu. "Aku tidak
cerdas, dan kalau tahu aku juga tidak baik hati, seperti yang terlihat pada
kelakuanku terhadap adikku. Tetapi terima kasih kau telah memujiku seperti itu.
Bagaimana" Dapatkah kau melakukan rencanaku tadi?"
"Oh, ya, tentu saja," kata Darrell. "Akan kucoba besok di kolam renang. Mary-Lou
sedikit pilek dan tidak diperkenankan ikut berenang. Tetapi ia toh harus berada
di kolam renang itu. Dengan mudah ia bisa mengambil dan melemparkan ban
penyelamat itu padaku. Oh, ia pasti heran oleh keberaniannya sendiri."
"Aku yakin ia merasa gembira terkena pilek minggu ini," kata Sally, tertawa
kecil. "Ia begitu benci air. Aku yakin ia takkan pernah bisa belajar berenang. "
"Sungguh lucu saat jururawat memutuskan bahwa Mary-Lou terkena pilek dan tak
boleh masuk ke kolam renang," kata Darrell, "segera saja Gwendoline sayang
sebentar-sebentar terisak-isak seolah-olah pilek juga, agar terdengar oleh Nona
Potts, agar Nona Potts kemudian melaporkannya pada jururawat, agar kemudian ia
juga tidak diperkenankan berenang. Ia kan jauh lebih takut air daripada Mary-
Lou!" "Lalu apa yang terjadi?" tanya Sally tertarik. "Oh, alangkah senangnya kalau aku
bisa masuk sekolah lagi. Di sini begitu membosankan berdiam diri terus. Kalau
kau tak datang serta bercerita, bisa lari aku dari sini...."
"Nona Potts ternyata malah marah oleh suara isakan Gwendoline, dan Gwendoline
dimarahinya habis-habisan," kata Darrell. "Gwendoline nekat, ia berkata mungkin
ia ketularan pilek Mary-Lou. Maka Nona Potts mengirimkannya ke jururawat. Dan
ternyata jururawat tidak memberinya kesempatan seperti Mary-Lou untuk tidak
menyentuh air, tetapi malahan memberinya obat yang sangat tidak enak rasanya!
Jururawat begitu tegas padanya. Ia bahkan menyuruh Gwendoline berenang, sebab
garam di air kolam renang itu bisa membuatnya lebih sehat. Dan kudengar
jururawat berkat pada Nona Potts bahwa Gwendoline suka membumbui ceritanya. Dan
rasanya sudah tepatlah bahwa ia menelan sedikit garam di kolam renang."
Sally tertawa terpingkal-pingkal. Ia bisa membayangkan betapa gusarnya
Gwendoline harus makan obat tidak enak padahal sesungguhnya ia tidak sakit apa-
apa. Darrell berdiri. "Itu lonceng masuk," katanya. "Sehabis makan siang nanti aku akan kembali lagi
dengan cerita-cerita lain Aku belum bercerita padamu bagaimana Alicia dan Betty
mengikatkan benang pada buku-buku Mam'zelle di mejanya dan di depan hidung
Mam'zelle buku-buku tersebut seolah-olah langsung meloncat sendiri! Irene
setengah mati tertawa geli. Kau tahu betapa ia selalu meledak bila tertawa."
"Oh, ya. Datanglah lagi dan ceritakan semuanya," kata Sally, semakin ingin
sering dikunjungi Darrell. "Aku senang mendengar kau berbicara."
Sungguh mengherankan perubahan yang terjadi pada diri Sally. Rasanya sulit untuk
membayangkan bahwa Sally yang penuh tawa, bersemangat, dan bermata ceria ini
adalah Sally yang dikenal Darrell dulu. Pemalu, pendiam, dan tertutup. Kini ia
begitu riang dan menyenangkan.
"Memang ia tidak terlalu menyenangkan seperti Alicia," pikir Darrell, "tetapi
kurasa ia lebih bisa dipercaya. Lidahnya tidak tajam, walaupun ia lebih cerdas
dalam hal menelaah pribadi seseorang."
Darrell dengan teliti merencanakan untuk menjebak Mary-Lou agar sadar bahwa ia
punya keberanian dan mampu bertindak. Tampaknya mudah saja. Ia akan minta agar
Alicia dan Betty membawa semua perenang lain ke ujung lain kolam renang itu.
Dengan demikian Darrell akan berada di ujung yang terdalam seorang diri.
Kemudian ia akan berbuat seolah-olah mendapat kejang kaki, berteriak minta
tolong. "Aku akan berteriak pada Mary-Lou 'Cepat! Cepat! Lemparkan ban pengaman!"
pikirnya. "Aku yakin Mary-Lou akan melakukannya. Kemudian aku akan berkata
padanya, 'Oh, Mary-Lou, kau telah menyelamatkan jiwaku.' Dengan begitu Mary-Lou
akan punya pandangan lain tentang dirinya. Kalau tidak, maka itu betul-betul
aneh. Sekali ia mengerti bahwa ia bisa melakukan sesuatu seperti itu, maka ia
bisa meyakinkan diri untuk menghadapi hal-hal yang selama ini membuatnya takut."
Rasanya siasat Sally itu sangatlah baik. Darrell menceritakannya pada Alicia dan
Betty. "Bagaimana pikiran kalian" Rencana Sally itu sangat bagus, kan?" tanyanya
kemudian. "Mmm... tetapi untuk apa kau memperhatikan si Bayi Mary-Lou itu?" tanya Alicia
heran. "Kau takkan bisa memperbaikinya. Ia sudah keterlaluan."
"Tetapi toh ada kemungkinan untuk membuatnya lebih baik dari sekarang," kata
Darrell, agak kecewa karena ternyata Alicia tampaknya tak terlalu bersemangat
menerima rencana itu. "Rasanya tak mungkin," kata Alicia. "Aku yakin yang akan terjadi adalah bahwa
Mary-Lou begitu ketakutan sehingga ia hanya terpaku diam di tepi kolam dan
berteriak-teriak ketakutan. Dan orang lain yang akan melemparkan ban penyelamat
itu padamu. Dan ini akan membuatnya semakin malu, sehingga tanggapannya atas
dirinya sendiri akan lebih buruk dari sekarang ini. Ia akan merasa semua orang
memandang rendah padanya."
"Oh," Darrell patah semangat. "Jika itu terjadi, sungguh berbahaya!" Aku belum
pernah memikirkan hal itu."
Darrell mengatakan pada Sally apa yang dikatakan Alicia. "Aku mengerti apa
maksudnya," katanya. "Dan memanq itu akan membuat Mary-Lou lebih buruk lagi
keadaannya sebab semua orang akan menertawakannya. Alicia sangat cermat bukan,
Sally" Kita tak pernah memikirkan kemungkinan itu."
"Ya, Alicia memang cermat. Tetapi ia melupakan suatu hal," kata Sally.
"Apa?" tanya Darrell.
"Ia melupakan kenyataan bahwa kaulah yang akan berteriak-teriak minta tolong.
Semua orang tahu bahwa Mary-Lou sangat memujamu. Mary-Lou akan melakukan apa
saja yang kauperintahkan, kalau kau mengizinkannya. Dan ini adalah sesuatu yang
bisa dilakukannya untuk menolongmu! Dan ia pasti akan melakukannya. Buktikan
saja nanti. Berilah Mary-Lou kesempatan ini, Darrell. Alicia memandangnya hanya
sebagai seorang bayi yang lemah dan cengeng. Tetapi aku yakin ia bisa melakukan
sesuatu yang luar biasa untuk orang yang disukainya.."
"Baiklah, Sally, akan kuberi dia kesempatan. Tetapi aku masih merasa bahwa
Alicia benar. Aku yakin dia memang bisa mengukur kemampuan orang lain. Alangkah
senangnya kalau dia mau bersahabat denganku, dan bukannya dengan Betty. Dia
begitu cerdas!" Sally tidak berkata apa-apa lagi. Mereka bermain domino dan Sally sedikit
pendiam. Kemudian jururawat datang dan menyuruh Darrell pergi.
"Aku akan mencoba rencana Sally pada Mary-Lou," kata Darrell pada Alicia.
"Kuharap kau dan Betty mengajak teman-teman ke daerah yang dangkal jika Mary-Lou
terlihat di tepi daerah yang dalam. Kemudian aku akan menjerit dan akan kita
lihat, apakah Mary-Lou punya keberanian untuk melemparkan ban penyelamat
padaku." "Bahkan pekerjaan sekecil itu akan terlalu berat baginya," kata Alicia, agak
kesal karena Darrell terus ingin melakukan rencana itu walaupun ia telah
menyatakan tidak setuju. "Tapi baiklah, akan kita lihat nanti."
Sore hari berikutnya, rencana itu dilaksanakan. Pada saatnya, anak-anak kelas
satu mulai menuruni tebing, berbicara ramai dengan berpakaian renang dan gaun
pantai. Gwendoline juga ikut, bermuka cemberut karena semua temannya menggodanya
terus tentang siasatnya berpura-pura sakit.
Mary-Lou tidak memakai pakaian renang, dan ia tarnpak gembira. Ia begitu benci
akan air! darrell berkata padanya, "Kau boleh melemparkan keping-keping uang
padaku, Mary-Lou. Dan aku akan menyelam untuk mencarinya di tempat yang dalam."
"Baiklah," kata Mary-Lou gembira. Ia menyiapkan uang-uang logam di sakunya.
Pileknya hampir sembuh. Sayang sekali. Padahal ia merasa senang bisa lolos dari
pelajaran renang. Tak lama anak-anak itu sudah ramai di kolam renang. Hanya Gwendoline yang masih
ragu-ragu, duduk di tangga di tepi kolam. Tapi ia pun segera masuk ke air sebab
tiba-tiba seseorang mendorongnya dari belakang. Menyembur-nyembur, terengah-
engah ia muncul ke permukaan air.
Tetapi tak ada anak di sekitarnya, hingga rasa marahnya tak dapat disalurkannya.
Ia hanya bisa punya dugaan bahwa yang mendorongnya tadi adalah Darrell atau
Alicia. Kurang ajar! Mary-Lou berada di tepi daerah yang terdalam, memperhatikan teman-teman
sekelasnya berenang. Paling tidak ia memperhatikan Darrell, mengagurni cara anak
itu berenang dengan begitu kuat, cepat, dan indah. Mary-Lou menggenggam uang-
uang logam yang telah disiapkannya. Ia sangat gembira bahwa Darrell telah
memintanya melakukan sesuatu. Memang ia selalu senang berbuat sesuatu untuk
Darrell, walaupun itu suatu tugas yang sangat kedl dan tak ada artinya.
"Ayo, pergi ke ujung sana, dan mari berlomba!" seru Alicia tiba-tiba. "Ayo,
Kawan-kawan... semuanya saja."
"Sebentar, aku akan tinggal di sini saja untuk mencari uang Mary-Lou," teriak
Darrell. "Aku juga sudah kehabisan napas untuk berlomba. Mulailah dulu. Aku akan
menyingkir bila kalian sudah kemari. Mary-Lou, uangmu siap?"
Alicia dan Betty saja yang tahu tentang rencana Darrell. Mereka menunggu dengan
berdebar-debar apa yang akan terjadi. Keduanya yakin bahwa Mary-Lou hanya akan
menangis tak bergerak bila Darrell berteriak minta tolong. Ia tak akan punya
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberanian untuk berlari mengambil ban penyelamat!
Anak-anak lain mulai berkumpul di ujung kolam, di daerah yang dangkal, siap
untuk berlomba. Di tepi ujung yang dalam Mary-Lou asyik melemparkan uang logam
dan melihat Darrell dengan gerakan anggun menyelam dan menangkap uang logam itu.
Darrell muncul sambil berseru bangga, menunjukkan sekeping uang logam. "Dapat!
Lempar lagi, Mary-Lou!" teriaknya. Plung! Sekeping uang logam masuk lagi ke air.
Darrell terjun dan langsung menyelam. Ia merasa kinilah saatnya untuk berpura-
pura mendapat kesulitan. Ia muncul ke permukaan air, terengah-engah.
"Tolong! Tolong!" teriaknya. "Aku kejang! Cepat, Mary-Lou! Ban penyelamat!
Talong! Cepat!" Darrell tampak meronta-ronta, tangannya menggelepar tak keruan, dan ia mulai
terbenam. Mary-Lou tertegun, terpaku. Alicia menggamit Betty di kejauhan. "Tepat
seperti yang kuduga," bisiknya. "Ia begitu lemah hingga memutuskan untuk
mengambil ban saja tak bisa."
"TOLONG!" teriak Darrell. Dua-tiga anak dari ujung kolam bergegas berenang
mendekat, mengira bahwa Darrell betul-betul mendapat kesulitan. Tetapi seseorang
telah mencapai Darrell lebih dahulu!
Terdengar suara mencebur keras, dan Mary-Lou, masih berpakaian lengkap, telah
masukke air. Dengan dibayangi ketakutan, anak itu mencoba mengingat-ingat
gerakan renang yang diketahuinya, berusaha keras untuk mencapai Darrell, dan
berhasil. Dipeluknya Darrell, ketakutan dan kebingungan dicobanya untuk
menariknya ke tepi. Darrell saat itu sudah berada di bawah air. Merasa ada yang memegang dirinya, ia
muncul ke permukaan. Alangkah terkejutnya ia melihat kepala Mary-Lou di
sampingnya! Beberapa saat ia ternganga.
"Peganglah aku, Darrell!" teriak Mary-Lou, terengah-engah. "Akan kutolong kau!"
20. BAGUS SEKALI, MARY-LOU!
KEMUDIAN dua atau tiga perenang datang mendekat. berseru, "Darrell! Kenapa kau"
Minggir, Mary-Lou!" Tetapi Mary-Lou tak dapat minggir. Ia telah mengerahkan semua kekuatan dan
keberanian yang ada padanya untuk terjun dan berenang mendapatkan Darrell. Kini
ia lemas, dan bajunya yang basah kuyup terasa begitu berat. Salah seorang teman
membawanya berenang ke pinggir.
Di pinggir kolam Mary-Lou berpegangan pada pagar kolam, terengah-engah
memperhatikan Darrell dari tempat itu. Agaknya Darrell telah sembuh, sebab kini
ia telah bisa berenang lagi dengan ayunan tangan yang kuat dan cepat, mendekati
Mary-Lou. "Mary-Lou! Kau terjun begitu saja ke air, padahal berenang saja kau hampir tak
bisa! Sungguh tolol! Tapi terus terang kau orang tolol yang paling berani yang
pernah kukenal!" teriak Darrell.
Seseorang membantu Mary-Lou yang menggeletar kedinginan itu keluar dari kolam.
Saat itu Nona Potts sedang menuruni tebing untuk menuju
kolam. Ia terkejut sekali melihat Mary-Lou basah kuyup dengan berpakaian
lengkap, dikerumuni anak-anak lain yang malahan hampir semua menepuk-nepuk
punggungnya serta memuji-mujinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Nona Potts. "Mary-Lou tercebur?"
Berebut anak-anak itu bercerita. "Ia terjun ke air untuk menolong Darrell!
Darrell kejang, dan berteriak minta tolong, minta ban pengaman. Mary-Lou
melompat langsung ke air dan menolongnya, padahal ia tak begitu bisa berenang!"
Nona Potts sama herannya seperti anak-anak itu. Mary-Lou! Betulkah" Mary-Lou
yang melihat kumbang saja begitu ketakutan" Sungguh mengherankan!
"Tetapi mengapa kau tidak melemparkan saja ban penyelamat?" tanya licia.
"Ban itu ttt... tiidak ada...," jawab Mary-Lou dengan gigi gemertak karena
kedinginan dan guncangan ketakutan. "Bbban... ittttu kkkan sedddang
dippperbaikkki... kkkau ttak tahhhu?"
Tidak. Tak seorang pun mengetahui bahwa memang tak ada ban penyelamat di situ.
Tak ada cara lain untuk menolong Darrell bagi Mary-Lou, kecuali terjun sendiri
ke air. Siapa yang mengira Mary-Lou punya keberanian seperti itu"
Nona Potts mengantar Mary-Lou yang menggeletar kedinginan itu menaiki tebing.
Darrell berkeling pada Alicia, matanya bersinar-sinar.
"Nah, siapa yang benar" Kau atau Sally" Mary-Lou begitu berani! Tak ada soal
baginya apakah ia tak suka pada air ataukah ia tidak bisa berenang. Ia sama
beraninya, oh, mungkin lebih berani dari kita-kita ini, sebab sebelum bertindak
itu pastilah ia juga merasa sangat ketakutan."
Alicia selalu berani mengaku kalah bila ia memang kalah. Ia mengangguk. "Ya, ia
memang sangat berani. Tak pernah kuduga ia akan seberani itu. Tetapi aku yakin
ia bertindak begitu karena yang ditolongnya adalah kau! Kalau orang lain mungkin
lain pula kejadiannya."
Darrell hampir tak sabaran menunggu waktu untuk bisa berkunjung ke Sally dan
menceritakan apa yang terjadi. Begitu diizinkan, ia bergegas menemui Sally
dengan wajah berseri-seri. "Sally! Ternyata siasatmu berhasil cemerlang! Sungguh
hebat! Kau tahu tidak, di kolam renang sore tadi ternyata tak ada ban
penyelamat. Dan apa yang terjadi" Mary-Lou sendiri terjun ke air, lengkap dengan
pakaiannya, untuk menolong aku!"
"Astaga!" Sally terkejut, tetapi wajahnya juga berseri-seri. "Aku tak peroah
berpikir sampai seperti itu! Heran! Tapi, Darrell, inilah kesempatan terbaik
kita untuk menangani Mary-Lou."
"Apa maksudmu?" tanya Darrell.
"Katakan padanya betapa beraninya dia, jauh di luar dugaan semua orang. Dan ia
akan tahu bahwa ia mampu berbuat sesuatu, bahwa sesungguhnya Ia punya
keberanian," kata Sally. "Mudah sekali. Sekali kautanamkan pada seseorang bahwa
ia mampu, maka segalanya akan beres."
"Kau sungguh bijaksana," kata Darrell kagum. "Aku tak akan pernah berpikir
sampai sejauh itu. Baiklah, aku akan berusaha sebaik mungkin. Dan bila Mary-Lou
menjengukmu, kau juga berusaha untuk menanamkan keberaniannya itu padanya."
Begitulah, Mary-Lou tiba-tiba saja menjadi pahlawan sekolah itu. Semua anak
mengetahui apa yang telah dilakukannya. Ia tanpa mengenal takut terjun ke air
untuk menolong Darrell. Mary-Lou sangat heran akan pujian yang terus-menerus datang dari berbagai orang
itu. Tapi ia juga merasa senang.
"Sekarang tak ada gunanya kau pura-pura merasa takut lagi," kata Darrell. "Semua
tahu bahwa kau sesungguhnya punya keberanian. Jadi semua mengharapkan kau
bertindak lebih berani dari biasanya."
"Oh, ya, tentu," kata Mary-Lou berseri-seri. "Akan kucoba. Kini aku tahu bahwa
aku bisa bertindak berani. Dan semuanya jadi berbeda, kurasa. Hanya kalau kita
merasa tak bisa melakukan sesuatu, itulah yang menyebabkan kita merasa begitu
tertekan. Aku takkan pernah berpikir untuk terjun begitu saja ke tempat yang
dalam. Dan ternyata hal itu kulakukan! Tanpa berpikir! Tetapi kurasa itu bukan
keberanian, sebab kurasa aku tak akan bisa mengumpulkan keberanian untuk apa
pun." Satu-satunya yang tak memuji Mary-Lou adalah Gwendoline. Pertama, ia iri karena
semua orang memuji Mary-Lou. Bahkan guru-guru pun tak mau ketinggalan, sebab
mereka semua melihat ini satu-satunya kesempatan untuk memulihkan rasa percaya
diri Mary-Lou. Mereka juga mengerti bahwa sekali Mary-Lou sadar ia bisa berbuat
sesuatu yang membutuhkan keberanian, maka ia bisa melakukan apa saja tanpa ragu-
ragu lagi. Gwendoline benci sekali pada begitu banyak perhatian yang dicurahkan pada Mary-
Lou. Dan penyebab rasa irinya yang kedua adalah bahwa Mary-Lou melakukan hal
luar biasa itu untuk Darrell!
"Heran juga ada orang yang mau membantu seseorang seperti Darrell itu," gerutu
Gwendoline, mengingat betapa kerasnya tamparan Darrell dulu. "Kalau aku,
kubiarkan saja ia meronta-ronta di air. Sungguh tolol Mary-Lou. Pasti kini ia
jadi sombong karena begitu banyak dipuji orang."
Tetapi Mary-Lou tidak menjadi sombong. Ia tetap agak pemalu, pendiam, walaupun
kini telah tampak bahwa ia punya keyakinan diri. Ia telah membuktikan bahwa
dirinya punya keberanian. Ia gembira dan bangga walaupun tak dipamerkannya
perasaannya itu seperti yang mungkin akan dilakukan oleh seseorang seperti
Gwendoline. Dan ini semakin membuat Gwendoline kesal, sebab kini Mary-Lou tidak begitu saja
menuruti kehendaknya. Apalagi ketika Sally sudah bisa bersekolah lagi, ternyata
Sally juga tak mau ikut-ikut saja dengan kemauan Gwendoline. Sally bahkan
terang-terangan membela Mary-Lou dan menegur Gwendoline dengan cara yang hampir
saja membuat Gwendoline menjerit-jerit karena marah.
Waktu kini terasa lewat dengan begitu cepat. Tinggal tiga minggu lagi dan
semester itu akan berakhir. Darrell sampai heran, betapa waktu semakin terasa
sempit baginya. Ia kini belajar lebih tekun, dan mencapai hasil-hasil yang cukup memuaskan.
Sekali ia bahkan berhasil mencapai tingkat kelima dalam nilai mingguan.
Gwendoline adalah satu-satunya yang tak beranjak dari tempat terbawah. Bahkan
Mary-Lou mulai merayap ke atas. Darrell tak mengerti, bagaimana Gwendoline nanti
menghadapi ayah-ibunya bila rapor semester itu dibaca mereka. Selama ini
Gwendoline selalu bercerita bahwa ia cemerlang dalam semua pelajaran, tetapi
rapor itu pasti mengatakan hal yang sebenarnya. Suatu hari Darrell mengatakan
hal itu pada Gwendoline. "Gwendoline, apa yang akan dikatakan oleh ayah-ibumu bila mereka melihat laporan
hasil pelajaranmu?" tanya Darrell.
"Laporan... laporan apa" Apa maksudmu?" Gwendoline tampak heran
"Wah, apakah kau tak pernah tahu apa yang dinamakan rapor?" tanya Darreillebih
heran lagi. "Tunggu, akan kutunjukkan buku raporku yang lama, dari sekolahku
dulu. Aku harus membawa buku rapor itu untuk Nona Potts."
Darrell mengambil buku rapornya dan menunjukkannya pada Gwendoline. Gwendoline
ternganga ketakutan. Di situ tertulis mata-mata pelajaran, nilai-nilai yang
dicapai untuk setiap mata pelajaran, tingkat kedudukannya di kelas, dan bahkan
catatan guru tentang pekerjaan-pekerjaan murid yang. bersangkutan! Gwendoline
bisa membayangkan apa yang tertulis di rapornya....
'Bahasa Prancis, sangat ketinggalan dan malas, Matematika. Tak berusaha sama
sekali. Harus mengambil pelajaran tambahan selama liburan. 'Olahraga. Sangat
buruk. Tak punya keahlian dan kerja sama yang bagus.'
Dan seterusnya. Kasihan Gwendoline. Tak pernah ia menduga bahwa semua hasil
buruk yang dicapainya akan dilaporkan ke ayah-ibunya dengan cara ini. Lemas ia
duduk di kursi, menatap Darrell.
"Apakah kau belum pernah menerima rapor sebelumnya?" tanya Darrell heran.
"Belum pernah," kata Gwendoline lemas.
"Sudah kukatakan, aku belum pernah bersekolah. Aku selalu diajar guru pribadiku,
Nona Winters. Dan ia tak pernah membuat laporan. Ia hanya mengatakan pada Ibu
bagaimana hasil pelajaranku. Dan Ibu percaya padanya. Nona Winters selalu
berkata bahwa hasil pelajaranku selalu hebat. Tak tahunya di sini aku banyak
tertinggal." "Aku yakin kedua orang tuamu akan sangat terkejut menerima rapormu," kata
Darrell terus terang. "Aku yakin rapormu akan menjadi rapor yang terburuk di
sekolah ini. Kau akan menyesal telah membual tentang hasil-hasil gemilang yang
pernah kaucapai, seperti yang kauceritakan pada ibumu dan Nona Winters di tengah
semester lalu." "Aku akan merobek raporku hingga ibuku takkan membacanya," kata Gwendoline
marah. "Tak kan mungkin bisa" Darrell tertawa. "Rapor itu dikirim dengan pos! Ha ha ha.
Aku senang sekali kau akan dimarahi ibumu di rumah. Mary-Lou berkata padaku
tentang apa saja yang kaukatakan di hari tengah semester yang lalu. Lucu sekali,
membual seperti itu sementara kau tahu otakmu tak lebih banyak dari otak tikus
dan itu pun tak pernah kaugunakan seluruhnya!"
Gwendoline sampai tak bisa berkata apa-apa. Kurang ajar benar Darrell, berani
berbicara seperti itu padanya. Dan kurang ajar benar Mary-Lou, berani mengatakan
hal-hal yang dikatakannya di tengah semester dulu itu pada anak-anak lain.
Sungguh anak yang dengki dan jahat! Ia harus dihajar! Gwendoline merasa ia harus
membalas dendam untuk kelancangan Mary-Lou itu. Misalnya dengan menginjak hancur
pulpen anak itu... ya, apa saja akan dilakukannya untuk menghajar Mary-Lou!
"Pada hal selama ini ia aku anggap sebagai sahabatku," pikir Gwendoline marah.
"Sungguh tidak punya rasa setial Aku benci padanya!"
Kemudian ia mulai memikirkan rapornya. Ia merasa takut bila membayangkan betapa
marah ayahnya nanti membaca rapornya. Sebab sesungguhnya itulah yang membuat
ayahnya memutuskan untuk mengirimkannya ke sekolah berasrama ini - ayahnya
menganggapnya terlalu malas dan terlalu bangga akan dirinya. Ayahnya telah
sering kali memarahinya. Gwendoline berusaha untuk melupakan kata-kata ayahnya
itu, tetapi kata-kata itu berulang-ulang muncul lagi dalam ingatannya.
Ia bisa saja membual, mengatakan apa saja yang dikarangnya sendiri. Tetapi
rapornya akan mengatakan lain - malas, tak bisa diandalkan, tak bertanggung
jawab, angkuh, bodoh - mungkin kata-kata itulah yang akan masuk ke dalam
rapornya. Dan ia tahu, sesungguhnya ia memang patut memperoleh kata-kata
tersebut. "Tinggal dua atau tiga minggu lagi," pikir Gwendoline dengan gugup. "Bisakah aku
membuat raporku bagus dalam waktu dua minggu" Aku harus berusaha keras. Mengapa
tidak dari dulu aku mengetahui tentang rapor itu" Kalau tahu dari dulu, aku bisa
berusaha lebih keras. Kini aku harus bekerja bagaikan budak!"
Dan semua orang jadi sangat heran akan perubahan pada Gwendoline. Terutama Nona
Potts dan Mam'zelle. Gwendoline mulai menunjukkan perhatiannya pada pelajaran!
Dan berusaha keras sekali! Ia tak segan-segan menulis berkali-kali hingga
mendapat hasil yang bagus dalam mengarang. Ia selalu penuh perhatian di dalam
kelas. "Apa yang terjadi pada Gwendoline?" tanya Nona Potts pada Mam'zelle. "Aku jadi
berpendapat bahwa sesungguhnya ia punya otak juga, walaupun sangat sedikit."
"Ya, aku pun berpendapat begitu," kata Mam'zelle. "Lihat ulangan bahasa Prancis
ini" Hanya salah satu! Belum pernah ini terjadi pada Gwendoline."
"Ya, hal-hal aneh terjadi di sini," kata Nona Potts. "Lihat saja Darrell. Kini
ia juga bekerja lebih keras. Dan Sally Hope sikapnya berbeda. Dan Mary-Lou, ia
berkembang menjadi anak yang penuh keyakinan kini, sejak ia terjun ke kolam
renang dulu itu. Tetapi Gwendoline paling mengesankan perubahannya. Kemarin ia
menulis karangan, cukup bagus, dan hanya salah eja enam buah. Biasanya salahnya
dua puluh. Aku kini bisa menulis 'Bisa menggunakan otaknya' di rapornya, dan
tidak lagi 'Tak pernah menggunakan otak'."
Gwendoline sesungguhnya tak suka bekerja begitu keras. Darrell selalu
menertawakan dirinya. Darrell juga telah mengatakan pada anak-anak lain mengapa
Gwendoline begitu berubah.
"Ia tak ingin ayah-ibunya mengetahui bahwa selama ini ia berdusta pada mereka,"
kata Darrell. "Betul kan, Mary-Lou" ltulah akibat dari membual, Gwendoline.
Suatu saat pasti kau terpaksa menanggung akibatnya."
Mary-Lou ikut tertawa. Ia makin berani kini walaupun biasanya itu dilakukan bila
ada Darrell dan Sally di dekatnya. Gwendoline melotot pada anak itu.
Pengkhianat! Tapi hari berikutnya Gwendoline mendapat kesempatan untuk membalas Mary-Lou.Ia
memasuki ruang rekreasi, dan ternyata di situ tak ada orang. Dan di meja Mary-
Lou tergeletak pulpen yang begitu dibanggakannya! Gwendoline langsung
membantingnya ke lantai. "Tahu rasa kau!" geram sekali Gwendoline meremukkan pulpen tersebut dengan
sepatunya. Pulpen itu hancur, tintanya menebar di lantai.
21. SUATU KEJUTAN BAGI DARRELL
JEAN yang pertama kali melihat pulpen yang hancur itu. Ia memasuki ruang
rekreasi untuk mengambil buku dan tertegun ketika melihat tinta di lantai serta
hancuran pulpen berantakan di sekitarnya.
"Ya ampun!" Jean berseru. "Siapa yang melakukan ini" Sungguh keji!"
Emily dan Katherine masuk. Jean menunjukkan pulpen tadi pada mereka. "Lihat,"
katanya. "Ini betul-betul suatu tindakan keji seseorang!"
"Ini pulpen Mary-Lou," kata Katherine, terkejut. 'Wah, berantakan begini...
siapa yang melakukannya" Ini pasti disengaja."
Mary-Lou datang dengan Violet yang pendiam. Ketika ia melihat pulpennya, ia
menjerit dan menangis, "Ya ampun! Siapa yang melakukan itu" Ini hadiah dari
ibuku. Dan kini hancur!"
Anak-anak lain datang berkerumun. Darrell dan Sally heran melihat kerumunan ini
ketika mereka juga datang. Dan mereka tak heran melihat Mary-Lou menangis
setelah tahu penyebabnya.
"Apa kata ibuku nanti" Ia telah menyuruhku hati-hati merawat pulpen itu!"
Alicia masuk sambil bersiul-siul. Ia tertegun ketika melihat pulpen yang hancur
serta anak-anak yang terdiam itu, dan Mary-Lou yang menangis. Betapa kejinya
anak yang melakukan perbuatan tersebut.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Alicia marah. "Ini harus dilaporkan pada Potty.
Aku yakin ini ulah Gwendoline - hanya dia yang sanggup berbuat sekeji ini!"
"Di mana Gwendoline?" tanya Katherine. Tak ada yang tahu. Tetapi sesungguhnya
Gwendoline ada di luar kamar. Ia hampir saja masuk, tetapi terhenti ketika
mendengar nada marah anak-anak di dalam. Tadinya ia akan masuk dan berpura-pura
terkejut, namun kini ia ragu-ragu, mendengarkan apa yang sedang dibicarakan di
dalam.
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, ada cara yang paling tepat untuk mencari siapa yang melakukan
perbuatan ini," kata Alicia.
"Bagaimana?" tanya Katherine.
"Begini. Siapa pun yang menginjak pulpen ini sampai hancur pastilah sepatunya
terkena tinta ungu seperti ini," Alicia berkata geram.
"Oh, ya, tentu saja," kata anak-anak itu.
"Kau benar, Alicia," kata Katherine. "Kita akan memeriksa semua sepatu yang ada
di Menara Utara ini. BiIa kita lihat ada yang terkena tinta ungu, pasti
pemiliknya yang menginjak pulpen Mary-Lou sampai hancur."
"Aku bisa tahu tanpa harus pakai cara itu," kata Darrell gemas. "Pasti
Gwendoline Di sini tak ada anak yang mampu berbuat sekeji ini kecuali dia."
Di luar Gwendoline gemetar marah dan takut. Tergesa-gesa ia melihat bagian bawah
sepatunya. Ya, memang sepatunya itu terkena tinta ungu! Cepat-cepat ia berlari
meninggalkan tempat tersebut ke ujung gang, ke sebuah gudang kecil.
Dari dalam gudang kecil tersebut diambilnya sebotol tinta ungu. Kemudian ia
berlari ke kamar tempat menyimpan pakaian luar, di mana terdapat juga lemari-
Iemari kecil untuk menyimpan sepatu. Ia harus bisa melaksanakan rencananya
sebelum terlambat! Waktu yang ada baginya ternyata cukup banyak. Sebab anak-anak lain sibuk
membersihkan lantai tempat pulpen Mary-Lou itu pecah. Gwendoline mengoleskan
sedikit tinta ungu ke bagian bawah sepatu Darrell dl lemari perbekalan Darrell.
Kemudian dibuangnya botol berisi tinta itu ke sebuah lemari barang-barang di
dekatnya. Sepatunya sendiri, yang terkena tinta, dimasukkannya pula ke dalam
lemari yang berisi berbagai macam barang itu. Di tempat itu pastilah sepatu tadi
tak akan diketemukan orang. Dan ia pun memakai sandal sebelum berlari ke luar,
ke Taman Dalam dan muncul di pintu ruang rekreai seolah-olah baru saja bermain-
main di taman. Ia muncul dengan sikap tenang dan seolah tak mengerti apa-apa.
Gwendoline memang pandai bersandiwara untuk keperluan dirinya sendiri.
'Ini dia Gwendoline! seru Alicia. "Gwendoline, kau tahu tentang pulpen Mary-
Lou?" "Pulpen Mary-Lou" Kenapa?" tanya Gwendoline seolah-olah tanpa dosa.
"Ada orang yang telah menginjaknya sampai hancur," kata Sally.
"Sungguh kejam!" kata Gwendoline, memperlihatkan muka gusar. "Siapa yang
melakukannya?" "Itulah yang ingin kita ketahui," kata Darrell yang gemas melihat wajah
kemenangan Gwendoline, "dan kita pasti akan menemukannya!"
"Kuharap begitulah," kata Gwendoline tersenyum mengejek. "Jangan melotot padaku
seperti itu, Darrell. Bukan aku yang berbuat. Malah aku kira pastilah kau!
Kuperhatikan akhir-akhir ini kau begitu iri, karena hanya Mary-Lou yang dipuji-
puji atas jasanya menolong kau dari kolam renang."
Semua tertegun. Bagaimana Gwendoline bisa menuduh Darrell seperti itu" Hampir
saja meledak amarah Darrell. Dirasanya darah menderas ke mukanya. Tapi untunglah
Sally melihat warna merah mulai membara di muka sahabatnja itu. Ia segera
memegang lengannya. "Sabarlah, Sobat," katanya lembul Dan marah Darrell mereda.
Hampir tak bisa bernapas ia menahan amarah itu.
"Gwendoline," kata Katherine, sambil terus menatap wajah anak itu, "kami
berpikir bahwa siapa pun yang menginjak hancur pulpen ini, sepatunya pastilah
terkena tinta ungu. Dan kini kami akan memeriksa sepatu-sepatu yang ada di sini
Dengan begitu kami akan bisa menemukan siapa yang telah berbuat."
Wajah Gwendoline tak memperlihatkan perubahan sedikit pun. "Itu suatu cara yang
bagus sekali," katanya dengan besemangat. "Sungguh cerdik. Aku yakin dengan cara
itu anak yang tak punya hati itu bisa ditemukan."
Semua tercengang mendengar perkataan Gwendoline. Anak-anak jadi sedikit ragu.
Kalau memang Gwendoline yang berbuat, apakah ia juga begitu bersemangat
mendukung pencarian siapa yang menginjak pulpen itu" Mungkinkah memang ia tak
berbuat" "Kalau kalian suka, boleh memeriksa sepatuku terlebih dahulu. Atau sandal ini,"
kata Gwendoline, dan ia benar-benar menunjukkan telapak sandalnya. Tentu saja
bersih. "Kami akan memeriksa sepatu-sepatu yang ada di lemari sepatu," kata Katherine.
"Tetapi baiklah, mula-mula kita periksa sepatu yang ada di sini. Coba kalian
satu per satu mengangkat kaki."
Semua sepatu diperiksa. Tak ada yang terlihat bertanda tinta ungu. Kemudian
tanpa banyak berbicara, anak-anak kelas satu Menara Utara itu pergi ke ruang
penyimpanan pakaian luar, di mana terdapat lemari-lemari sepatu.
Lemari sepatu Gwendoline diperiksa pertama kali, sebab Katherine, seperti juga
anak-anak lain, mempunyai dugaan bahwa kemungkinan besar salah satu sepatunya
akan berbekas tinta. Tetapi ternyata semuanya bersih.
Malah salah satu sepatu Darrell-lah yang elapaknya bertinta. Katherine yang
mengambilnya dari lemari tercengang tak bisa berbicara. Dan tanpa bersuara ia
menunjukkannya pada yang lain.
"Sepatumu!" kata Katherine akhirnya. "Oh, Darrell!"
Darrell ternganga. Dan ia melihat ke semua wajah anak yang mengelilinginya.
Beberapa di antaranya segera membuang muka. Alicia menatapnya dengan pandangan
marah. "Wah, wah, wah! Siapa mengira bahwa yang berbuat Darrell kita yang suka terus
terang ini?" desis Alicia dengan nada mengejek. "Aku sama sekaIi tak mengira,
Darrell!" Dengan wajah jijik ia berpaling. Darrell segera memegang lengannya.
"Alicia! Masa kau percaya aku yang menghancurkan pulpen Mary-Lou?" katanya
gugup. "Percayalah! Bukan aku yang melakukannya! Aku takkan sudi melakukan
perbuatan sekeji itu. Oh, Alicia, bagaimana kau bisa punya pikiran seperti itu
terhadapku?" "Pokoknya sepatumu yang berbekas tinta," kata Alicia. "Kau pastilah tak bisa
menguasai dirimu lagi, Darrell. Dan dalam marahmu kau menghempaskan dan
menginjak pulpen itu! Jangan tanya padaku, apa kau mampu berbuat sekeji itu atau
tidak. Sebab aku bukannya kau!"
"Tetapi Alicia... lalu apa alasanku berbuat itu?" seru Darrell. "Dan lagi aku
bukanlah seorang pendendam! Alicia, kukira kau sahabatku. Kau dan Betty selalu
mengajakku bersama. Masa kau tega menuduhku seperti ini?"
"Kau bukan sahabatkul" kata Alicia tegas, dan meninggalkan ruang itu.
"Ini pasti suatu kekeliruan!" kata Darrell putus asa. "Oh, jangan kalian percaya
bahwa aku yang melakukannya. Jangan percaya!"
"Aku tidak percaya kau yang melakukannya, Darrell!" kata Mary-Lou dengan air
mata mengalir di pipinya. Digandengnya tangan Darrell. "Aku yakin bukan kau. Aku
akan tetap bersahabat denganmu!"
"Dan aku juga," kata Sally dengan suara lembutnya. "Aku tak percaya kau yang
melakukannya, Darrell."
Darrell gembira bahwa di antara anak-anak yang memandangnya dengan pandang
dingin membenci, masih ada dua pasang mata yang begitu hangat memandangnya. Ia
sangat terharu dan hampir menangis. Sally menuntunnya keluar dari kamar itu.
Katherine memandang pada teman-teman di sekelilingnya. Wajahnya bingung. Dan
kecewa. "Aku juga tak percaya bahwa Darrell yang berbuat," katanya akhirnya. "Tetapi...
itu juga harus dibuktikan terlebih dahulu. Dan sebelum terbukti tidak bersalah,
kita terpaksa menganggapnya si pelaku perbuatan keji itu. Sayang sekali. Aku
tahu bahwa kita semua menyukai Darrell."
"Aku tak pernah menyukainya," kata Gwendoline dengan nada kemenangan. "Aku
selalu berpendapat bahwa ia mampu berbuat apa saja. Apalagi dengan sifat pemarah
seperti itu." "Tutup mulut!" tukas Jean agak kasar. Gwendoline tutup mulut. Tetapi ia puas
akan apa yang telah dikatakannya dan apa yang dilakukannya.
Sally dan Mary-Lou membuktikan kata-kata mereka. Mereka berdua tetap bersahabat
dengan Darrell, menemaninya, membantunya, membelanya dengan sikap teguh. Mary-
Lou malahan terang-terangan menentang Gwendoline. Tetapi suasana tetap saja
terasa sangat tidak menyenangkan bagi Darrell. Walaupun tak ada yang mengusulkan
hukuman apa yang harus dijatuhkan pada Darrell, tetapi Darrell merasa begitu
tertekan melihat ia seolah-olah dikucilkan oleh semua temannya - kecuali Sally
dan Mary-Lou. Mary-Lou sangat kuatir akan keadaan ini. Baginya, karena pulpennyalah Darrell
jadi begitu menderita. Ia yakin Darrell tak bersalah. Seperti Sally, ia yakin
akan sifat alami Darrell yang senang akan kejujuran dan penuh kebaikan. Keduanya
yakin, tak mungkin Darrell sampai hati berbuat seperti itu.
Tapi... lalu siapa yang berbuat" Pastilah seseorang yang mendendam baik pada
Mary-Lou dan Darrell. Dan orang itu - pastilah Gwendoline. Jadi, pasti
Gwendoline yang memberi tinta ungu pada sepatu Darrell.
Itu berarti sepatu Gwendoline haruslah berbekas tinta pula. Padahal sewaktu
diperiksa, semua sepatunya bersih!
Suatu malam Mary-Lou memikirkan semua ini. Ia tak bisa tidur karena begitu
kasihan pada Darrell. Bagaimana Gwendoline bisa melakukan siasat sekeji itu"
Bagaimana Gwendoline bisa tahu bahwa mereka akan memeriksa semua sepatu" Apakah
Gwendoline ada sewaktu mereka merundingkan hal itu" Tidak.
Tetapi mungkin saja ia berada di luar kamar dan mendengar pembicaraan tentang
itu! Dan pastilah ia kemudian bergegas ke lemari sepatu, mengolesi sepatu
Darrell dengan tinta, menyembunyikan sepatunya sendiri, kemudian kembali ke
ruang rekrasi dengan tenang dan aman.
Mary-Lou bangkit duduk. Dadanya berdebar keras. Tiba-tiba ia merasa mengerti apa
yang telah terjadi. Ia mulai gemetar sedikit seperti biasanya bila merasa tegang
atau ketakutan. Di mana kira-kira Gwendoline menyembunyikan sepatunya" Pastilah
de kat lemari-lemari sepatu itu. Apakah sudah dipindahkan dan disembunyikan di
tempat yang lebih aman, ataukah masih ada di tempat itu"
Malam telah larut. Di luar sangat gelap. Semua sudah tidur lelap. Mary-Lou
berpikir-pikir, beranikah ia pergi ke ruang penyimpanan pakaian luar dan
menyelidikinya" Ia sangat ingin agar perkara ini segera bisa diselesaikan dan
dijernihkan. Tetapi ia sangat takut akan kegelapan! Namun... dia dulu toh juga
sangat takut akan air, dan ternyata setelah terjun ke tempat dalam untuk
menolong Darrell kini ia tak begitu takut lagi. Mungkin ia juga tak akan merasa
takut pada kegelapan, kalau untuk menolong Darrell. Paling tidak ia aka mencoba
dulu. Mary-Lou merayap turun dari tempat tidur. Ia tak memakai gaun kamarnya. Tak
terpikirkan olehnya hal itu. Dengan berpakaian tidur, ia meraba-raba ke pintu,
keluar. Untung di gang ada sebuah lampu. Remang-remang cahayanya.
Menyeberangi gang, turun tangga, ke kamar-kamar di bawah. Ditemukannya ruang
penyimpanan pakaian luar . Ya ampun. Gelap sekali. Mary-Lou merasa sesuatu
seolah merambati punggungnya. Ia begitu ketakutan. Sesaat ia hampir saja
menjerit. Ya, ia akan menjerit!
"Ini untuk Darrell!" ia berpikir dan memantapkan hati. "Aku melakukan ini untuk
orang lain, dan sangat penting, harus kulakukan. Aku tak akan menjerit. Oh,
tetapi di mana tombol lampu?"
Ditemukannya tombol tersebut. Dinyalakannya lampu. Kamar itu jadi terang. Mary-
Lou bernapas lega. Kini ia takkan merasa takut Ia tidak lagi di dalam kegelapan.
Ia merasa bangga bahwa ia tadi tidak menjerit padahal sudah hampir saja
dilakukannya. Diperhatikannya lemari-lemari sepatu. Itu punya Gwendoline. Dibukanya,
dikeluarkannya semua sepatunya. Tidak, tak ada yang berbekas tinta. Lalu... di
mana sepatu yang bertinta itu di sembunyikan"
22. AKHIR SEMESTER MARY-LOU melihat lemari kecil di dekatnya. Ia tahu apa isinya. Bola, raket,
sepatu rusak.... pokoknya benda-benda yang sudah tak dipakai tapi pemiliknya
merasa sayang untuk membuangnya. Mungkin sepatu Gwendoline ada di situ! Hati-
hati ia membuka pintu lemari kecil tersebut: takut kalau-kalau ada labah-labah
atau binatang kecil lain keluar.
Diperiksanya berbagai benda rongsokan di dalamnya. Dengan takut ia memindah-
mindahkan barang-barang itu satu per satu. Ditariknya sebuah raket, dan sebuah
benda terjatuh dengan suara keras. Mary-Lou membeku seketika. Adakah orang yang
mendengar suara itu" Ia menahan napas dengan badan gemetar. Tidak, agaknya tak
ada. Ia mulai mencari-cari lagi.
Dan ditemukannya sepatu Gwendoline! Ditemukannya botol dengan tinta ungu. Itulah
yang jatuh dengan suara keras tadi. Mary-Lou memperhatikan botol tinta itu, dan
ia tahu digunakan untuk apa benda tersebut oleh Gwendoline. Diperhatikannya
sepatunya - dan di sepatu yang sebelah kanan terlihat bekas tinta ungu. Nyata
sekali! Dengan tangan gemetar Mary-Lou melihat nama yang tertulis di dalam
sepatu itu. Untuk meyakinkan diri. Ya, di situ tertulis dengan tulisan rapi Nona
Winters: Gwendoline Lacey.
"Jadi betul-betul Gwendoline!" pikir Mary-Lou. "Aku memang telah yakin bahwa
bukan Darrell yang berbuat. Aku akan segera membangunkan anak-anak... akan
kuceritakan sekarang juga. Ah, lebih baik jangan. Mungkin Katherine akan marah
aku keluyuran malam-malam begini."
Mary-Lou mengambil botol dan sepatu itu. Dipadamkannya lampu kamar. Ia berdiri
dalam kegelapan. Tetapi apakah dia takut" Sedikit pun tidak. Tak sekali pun ia
memikirkan kegelapan di sekelilingnya. Pikirannya dipenuhi oleh penemuannya yang
begitu berarti. Ia telah membuktikan bahwa bukan Darrell yang melakukan
perbuatan itu. Darrell tidak bersalah!
Mary-Lou bangun paling pagi. Ia langsung pergi ke tempat tidur Katherine.
Diguncangnya ketua kelasnya itu sehingga terbangun. "Bangun!" serunya. "Ada
sesuatu yang sangat penting yang harus kukatakan padamu. Bangunkan yang lain!"
Yang lain terbangun juga oleh keributan Mary-Lou. Mereka duduk di tempat tidur,
mengusap-usap mata masing-masing. Mary-Lou berdiri menghadap semua tempat tidur,
dan ia mengangkat sepatu Gwendoline dengan gaya penuh arti.
"Lihat! Telah kutemukan sepatu yang betul-betul terkena tinta. Dan kutemukan
pula satu botol tinta ungu. Lihat ini" Anak yang telah menghancurkan pulpenku
menyembunyikan sepatunya dan mengoles sepatu Darrell dengan tinta ungu ini.
Dengan demikian kalian semua menuduh Darrell yang berbuat."
"Tetapi sepatu siapa itu?" tanya Katherine heran. "Dan kau temukan di mana?"
"Malam tadi aku pergi ke bawah, dan menyelidiki di tempat penyimpanan barang-
barang yang tak terpakai," kata Mary-Lou bangga. Semua semakin heran. Mary-Lou
berani turun dalam kegelapan" Semua tahu bahwa Mary-Lou sangat takut di
kegelapan. "Kutemukan sepatu dan botol tinta ini di dalam lemari kecil di tempat itu," kata
Mary-Lou. "Dan apakah kalian ingin mengetahui sepatu siapakah ini" Aku tak akan
mengatakannya pada kalian. Tidak. Lihat saja ke seisi kamar ini. Dan kalian bisa
melihat dari gerak-gerik mukanya, nama siapa yang tertulis di dalam sepatu ini!"
Memang benar. Muka Gwendoline merah padam oleh rasa marah dan rasa ketakutan.
Dengan gusar dipelototinya Mary-Lou. Wah, jadinya dirinya tertangkap juga.
Mengapa tidak dibuangnya saja botol dan sepatu itu ke laut!
"Gwendoline!" bisik anak-anak itu. Mereka memandang dengan rasa marah dan jijik
pada anak yang kini wajahnya merah padam itu. Dan kali ini Gwendoline tidak
berusaha untuk menyangkal.
Ia merebahkan badan kembali ke tempat tidur, menyembunyikan mukanya di bantal.
Katherine memeriksa sepatu dan botol itu. Kemudian ia mendekati Darrell,
mengulurkan tangan minta maaf.
"Darrell, aku minta maaf karena telah berpikir bahwa kaulah yang berbuat,"
katanya. "Sesungguhnya aku tak meragukan kejujuranmu, tapi aku harus mempunyai
bukti nyata untuk itu."
"Oh, tak apa. Lupakanlah," kata Darrell dengan wajah berseri-seri. "Memang aku
sangat menderita karena sikap kalian, tetapi aku ternyata dapat mengandalkan dua
orang sahabat yang tak pernah meragukan aku... Sally dan Mary-Lou. Aku masih
beruntung. Gwendoline tak akan punya sahabat seperti keduanya itu."
Satu per satu anak-anak di kamar itu minta maaf pada Darrell. Alicia agak kaku
sikapnya, sebab ia betul-betul malu akan kata-kata keras yang diucapkannya dulu
itu. Namun memang begitulah sifat Alicia. Selalu keras dan tajam. Ia harus
mendapat banyak pelajaran sebelum bisa menguasai sifat kekerasannya itu dan
memperoleh pengertian dari orang-orang di dekatnya.
"Aku ingin bersahabat denganmu lagi," kata Alicia kikuk. "Bergabunglah dengan
Betty dan aku seperti dulu."
"Terima kasih," kata Darrell, dan ia menoleh pada wajah kecil penuh rasa setia,
Sally, di sampingnya. "Tapi kalau kau tak keberatan aku lebih suka bersahabat
dengan Mary-Lou dan Sally saja. Aku sering memperlakukan mereka dengan buruk,
tetapi ternyata mereka malah membelaku pada saat aku mendapat kesulitan. Kukira
merekalah sahabat-sahabat sejatiku."
"Oh, terima kasih, Darrell!" kata Mary-Lou dengan wajah bahagia.
Sally tak berkata apa-apa. Tetapi Darrell merasakan sebuah cubitan lembut di
lengannya. Darrell berpaling pada Sally dan tersenyum. Ia juga merasa sangat
bahagia kini. Segalanya telah selesai dan keadaan pasti akan baik terus sampai
akhir semester. Sagus. Ia melihat Gwendoline tengkurap di tempat tidurnya, menangis. Dalam
kebahagiaannya, Darrell bahkan tak bisa melihat musuhnya bersedih. Didekatinya
Gwendoline, dan diguncangkannya punggung anak itu perlahan.
"Gwendoline," katanya, "aku tak akan mengatakan peristiwa ini pada siapa pun.
Dan teman-teman di kamar ini juga akan berbuat yang sama, bila kuminta. Tapi kau
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus membelikan pulpen baru bagi Mary-Lou. Pulp en yang sama indahnya, sama
bagusnya dengan pulpen yang kauhancurkan. Bagaimana?"
"Baiklah," kata Gwendoline lemas, hampir tak terdengar. "Aku akan
membelikannya." Hanya itulah yang bisa dikatakan Gwendoline. Ia bahkan tak bisa berkata bahwa ia
menyesal. Ia bahkan tak bisa berkata minta maaf ketika akhirnya ia memberi Mary-
Lou sebuah pulpen baru dan sangat bagus. Ia lebih lemah dari Mary-Lou, sebab ia
tak punya kekuatan untuk mengalahkan dirinya sendiri.
"Ia tak akan bisa jadi baik kan, Katherine," tanya Darrell suatu hari pada
Katherine. Katherine tersenyum.
"Itu tergantung pada berapa lama ia berseolah di Malory Towers ini," jawabnya.
"Aneh juga, betapa semakin lama kita tinggal di sini, semakin baik pribadi kita.
Begitulah kata ibuku. Ia bersekolah di sini juga, dan banyak ceritanya tentang
anak-anak yang bertabiat buruk yang akhirnya menjadi baik karena kehidupan di
sini." "Tetapi kukira Gwendoline sudah tak bisa diperbaiki lagi," kata Darrell. "Kukira
lebih baik bila ia meninggalkan saja sekolah ini."
Gwendoline sendiri merasa bahwa ia lebih baik meninggalkan sekolah itu. Dua
minggu terkhir semester itu sangat tak menyenangkan baginya. Memang tak seorang
pun berbicara tentang peristiwa pulpen Mary-Lou itu, tetapi setiap anak selalu
memikirkan peristiwa itu dan memandang Gwendoline. Karenanya mereka selalu
menghindarinya, dan bicara dengannya hanya bila sangat perlu saja. Mereka juga
jadi yakin bahwa Gwendoline-lah yang melakukan perbuatan lainnya yang merugikan
Mary-Lou sebelum itu. Kasihan Gwendoline. Di samping menghadapi perasaan benci anak-anak di
sekitarnya, ia harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalann. Tetapi ini semua
adalah akibat dari ulahnya sendiri. Jadi ia tak bisa mengeluh terlalu dalam. Toh
yang salah adalah dirinya sendiri.
Selama akhir semester itu Darrell merasa sangat bahagia. Ia, Sally, dan Mary-Lou
selalu bersama-sama kini. Darrell tak lagi ingin menjadi sahabat erat Alicia.
Sally sudah menjadi sahabat yang sangat memuaskan hatinya. Sebab Sally yang
berhati sabar dan cerdas itu bisa membuatnya menahan diri. Dengan Sally di
dekatnya, rasanya tak mungkin Darrell akan kehilangan kesabarannya.
Ujian datang dan pergi. Darrell mencapai hasil-hasil yang sangat baik. Sally tak
begitu baik angkanya, karena ia pernah tak masuk selama dua atau tiga minggu
saat ia harus dirawat di san. dan lagi demi kesehatannya ia tak diperkenankan
mengambil seluruh pelajaran sepenuhnya.
Gwendoline cukup maju, di luar dugaan semua orang. "Itulah bukti bahwa kau
sesungguhnya bisa kalau kau mau mencobanya," kata Nona Potts padanya. "Aku tak
bisa mengerti mengapa kau baru mau menggunakan otakmu dua-tiga minggu sebelum
semester berakhir. Mungkin semester berikutnya kau sudi untuk sepenuhnya mencoba
dari awal semester?"
Gwendoline tak mengatakan pada Nona Potts apa yang membuatnya bekerja begitu
keras di minggu-minggu terakhir. Ia sangat berharap agar hasil kerjanya yang
ditulis di rapor cukup menyenangkan ayah-ibunya! Sungguh mengesalkan semester
ini. Mudah-mudahan ia tak usah kembali ke sekolah ini. Sebab semester yang akan
datang ia akan terpaksa berjuang agar anak-anak melupakan apa yang pernah
dilakukannya di semester ini.
Sebaliknya, Darrell merasa bahwa semester yang dijalaninya itu sungguh indah -
kecuali saat-saat Sally sakit dan dua-tiga hari saat anak-anak memusuhinya
karena perkara pulpen Mary-Lou. Tetapi Darrell jarang memikirkan hal itu.
Sifatnya bagaikan matahari, hanya melihat hal-hal yang terbaik saja dan
melupakan hal-hal yang kurang menyenangkan. Ia agak menyesal bahwa akhirnya
semester itu harus berakhir - tapi waktu liburan bisa juga menyenangkan.
Sally akan tinggal di rumahnya selama liburan ini, selama satu minggu. Kemudian
Darrell akan tinggal di rumah Sally selama satu minggu pula.
"Kau pasti akan menyukai adikku" kata Darrell. "Ia sungguh lincah!"
"Dan kau akan melihat adikku," kata Sally setengah malu. "Aku akan mengajarnya
agar suka berolahraga. suka bergerak, jujur dan menyenangkan seperti... kau."
Sayang Mary-Lou tidak tinggal di dekat rumah Sally atau Darrell. Sesungguhnya ia
juga ingin berlibur dengan mereka. Tapi tak apa. Toh mereka akan bertemu lagi semester yang
akan datang. Dan semester yang akan datang lagi. Dan semester yang akan datang
lagi... Mary-Lou sadar bahwa sesungguhnya sahabat akrab Darrell adalah Sally,
dan bukannya dirinya. Tetapi ia tak terlalu memikirkan hal itu. Toh Darrell
jelas juga suka padanya dan malahan mengaguminya juga. Itulah yang penting bagi
Mary-Lou. Betapa herannya nanti ibunya melihat Mary-Lou yang kini tak takut pada
kegelapan itu! Hari terakhir tiba. Ramai sekali, ribut dengan berbagai persiapan untuk
berangkat Bagaikan pasar malam saja. Hiruk-pikuk dan anak-anak dari keempat
menara campur aduk tak keruan.
"Selalu hari terakhir penuh dengan kegilaan," kata Mam'zelle terengah-engah
mencari jalan di antara begitu banyak anak. "Darrell! Sally! Tolong beri jalan!
Aku mau lewat! Ah, anak-anak Inggris ini sungguh gila semua!"
Nona Potts tampak tenang dan pasti di antara keributan itu memberikan tas-tas
kecil pada beberapa orang murid serta mencatat siapa-siapa yang sudah dijemput
oleh orang tua mereka, mengumpulkan barang-barang yang terjatuh atau terlupa
oleh pemiliknya. Biasanya memang hanya Nona Potts yang tampak waras di hari-hari
seperti itu. Bahkan Ibu Asrama juga tampak kebingungan mencari daftar pakaian
yang sebenarnya terselip di ikat pinggangnya.
Bis-bis datang. anak-anak semakin ribut. "Ayo, Darrell!" teriak Sally. "Ayo,
cari tempat duduk di depan! Di mana Mary-Lou?"
"Ia naik mobil!" teriak Darrell. "Hai, Mary-Lou! Selamat jalan! Kirim surat. ya!
Selamat jalan!" "Ayo, cepat! Cepat!" seru Nona Potts menggiring anak-anak masuk ke dalam bis.
"Di mana Alicia" Kalau dia hilang lagi bisa gila aku. Alicia! Cepat naik dan
jangan turun lagi! Selamat jalan. Anak-anak. Baik-baiklah selama liburan! Dan
jangan lupa bawa surat dokter kalau kembali kemari lagi!"
"Selamat tinggal Potty! Selamat tinggal, Potty!" teriak anak-anak dari bis-bis
yang sudah mulai berjalan. "Selamat tinggal. Potty!"
"Ya ampun!" seru Darrell terkejut. Belum pernah Nona Potts dipanggil 'Potty'
secara langsung begitu. "Berani benar mereka!"
"Inilah satu-satunya saat kita berani memanggilnya begitu," kata Alicia
menyeringai. "Di saat kita meninggalkannya. Dan biasanya dia tak marah. Lihat
saja itu, ia malah tersenyum."
Darrell menjulurkan badannya ke luar bis dan berteriak. "Selamat tinggal. Potty!
Selamat tinggal Malory Towers!" Dalam hati ia menambahkan.
"Sampai jumpa nanti di semester baru!"
Selamat jalan! Selamat tinggal! Selamat berpisah, Darrell, Sally, dan lain-
lainnya! Sampai jumpa lagi segera. Selamat jalan!
Pendekar Lembah Naga 5 Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Tobias Beraksi Kembali 3
lah yang membuatnya sakit!
Darrell tak bisa meneruskan makanannya. Ia menyelinap ke luar, ke ruang
rekreasi. Apakah Sally sangat kesakitan" Mungkin tergores kursi. Mudah-mudahan
Nona Potts segera masuk dan berkata bahwa semuanya beres.
"Oh, semoga Sally lekas sembuh!" pikir Darrell yang malang itu. Tak sabar ia
menunggu suara sepatu Nona Potts mendatangi.
16. DARRELL MERASA WAS-WAS
ANAK-ANAK itu memasuki ruang rekreasi setelah selesai makan malam. Masih ada
waktu setengah jam lagi sebelum waktu tidur. Mereka begitu lelah setelah hari
yang penuh kegembiraan tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan sudah
mengantuk. Alicia memperhatikan Darrell sesaat dan bertanya, "Mengapa kau begitu muram?"
"Mmm... aku sedang memikirkan Sally," kata Darrell. "Mudah-mudahan saja sakitnya
tidak terlalu keras."
"Memang tak mungkin," kata Alicia. "Paling-paling karena terlalu banyak makan
strawberry. Ada orang yang tak tahan buah itu. Kakakku juga begitu."
Alicia langsung bercerita tentang satu segi dari keluarganya. Darrell dengan
rasa bersyukur mendengarkan cerita Alicia itu. Cerita Alicia selalu terdengar
segar, tak pernah menjago-jagokan dirinya sendiri seperti yang biasa dilakukan
Gwendoline. Cerita Alicia selalu lucu - tentang kehidupannya dengan kakak-kakak
lelakinya di rumah. Nakal sekali mereka, dan kalau memang cerita Alicia benar-
benar terjadi, pastilah ibu mereka sudah penuh uban memikirkan kenakalan anak-
anak itu. Tetapi ibu Alicia tampak tak beruban waktu Darrel melihatnya di hari
itu. Jam tidur tiba untuk anak-anak kelas satu dan dua. Anak-anak itu segera
menyimpan barang-barang mereka. Ibu Asrama biasanya tak sabaran pada anak-anak
yang tidak begitu cepat merapikan barang-barang mereka. Dan memang begitu banyak
anak-anak yang harus diburu-buru untuk pergi tidur!
Nona Potts tidak kembali ke ruang rekreasi itu. Darrell jadi was-was lagi.
Mungkin Ibu Asrama tahu apa yang terjadi. Ia akan segera bertanya nanti bila ibu
Asrama memeriksa kamar-kamar mandi.
Tetapi ternyata Ibu Asrama tidak datang. Yang datang ternyata Mam'zelle, yang
wajahnya berseri-seri, masih gembira merasakan kebahagiaan di hari itu.
"Halo, Mam'zelle!" seru Alicia heran. "Di mana Ibu Asrama?"
"Merawat Sally Hope," kata Mam'zelle. "Ah, kasihan sekali anak itu. Ia sangat
kesakitan!" Runtuh harapan Darrell. "Apakah... apakah ia dirawat di sana?" tanyanya. Anak-
anak yang sakit dirawat di sanatorium, alias san., beberapa kamar yang
menyenangkan di atas kamar Kepala Sekolah. Di san. terdapat seorang jururawat
khusus, selalu ramah tetapi selalu tegas menghadapi berbagai macam penyakit atau
kecelakaan serta berbagai macam tingkah anak-anak.
"Ya, tentu saja ia di san. Ia sangat sakit," kata Mam'zelle. Kemudian dengan
kesukaannya untuk menambah-nambah, ia berkata lagi. "Perutnya... ya, perutnya.
Sangat, sangat sakit di tempat itu."
Darrell semakin cemas. "Oh! Apakah... apakah jururawat tahu apa penyakitnya, Mam'zelle?" tanya Darrell.
"Apa penyebabnya?"
Mam'zelle "tak tahu. "Aku hanya tahu bahwa penyakit itu bukan karena banyak
makan strawberry dan es krim," katanya. "Sebab ternyata Sally tak makan apa-apa.
Ia mengatakan hal itu pada Ibu Asrama."
Darrell makin yakin. Pastilah karena dorongannya tadi Sally jadi begitu sa kit!
Lenyap sudah harapan Darrell. Ia begitu tampak lemas dan lesu sehingga Mam'zelle
juga melihatnya. Mam'zelle jadi ketakutan kalau-kalau ada lagi anak yang akan
sakit. "Kau tak apa-apa, Darrell kecilku?" tanyanya merayu.
"Oh, aku sehat, terima kasih!" Darrell tergagap. "Aku hanya... hanya merasa
lelah." Malam itu Darrell sukar sekali tidur. Ia ketakutan. Bagaimana ia bisa begitu
marah dan mendorong Sally, hingga Sally terjatuh dengan kera" Oh, betapa
kejamnya dirinya! Memang betul tingkah Sally aneh, tetapi itu toh bukan alasan
bagi Darrell untuk berbuat begitu kasar!
Kini Sally sakit. Apakah Sally mengatakan pada Ibu Asrama tentang tindakannya"
Tak terasa dingin kaki Darrell. Kalau sampai Kepala Sekolah tahu bahwa dialah
penyebab sakttnya Sally...
"Dan Nona Grayling pasti akan tahu, bagaimana aku telah menampar Gwendoline!"
pikirnya. "Aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini! Oh, Sally! Sally!
Cepatlah sembuh! Aku akan mengatakan padamu betapa menyesalnya aku. Aku akan
melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku itu!"
Akhirnya ia pun tertidur. Tetapi sewaktu lonceng bangun terdengar ia merasa
betapa lelah dirinya. Yang pertama terpikir olehnya adalah Sally. Dilihatnya
tempat tidur Sally kosong, dan ia menggeletar ketakutan. Betapa senangnya kalau
ternyata malam tadi Sally boleh tidur ditempatnya!
Ia berlari ke bawah mendahului kawan-kawannya. Dilihatnya Nona Potts dan ia
bertanya, "Maaf, Nona Potts, bagaimana keadaan Sally?"
Nona Potts berpikir betapa baiknya hati Darrell, lemperhatikan kawannya. "Sayang
sekali sakitnya tidak berkurang," katanya. "Dokter masih ragu tentang penyebab
sakitnya. Tetapi terlihat sekali anak itu kesakitan. Begitu tiba-tiba lagi -
kemarin dia toh masih sehat!"
Darrell berpaling. Tak keruan rasa hatinya. Ya, Sally masih sehat sewaktu ia
belum mendorongnya jatuh. Ia kini tahu, apa penyebab sakitnya tetapi orang lain
tak tahu! Sally pasti juga tahu, tetapi agaknya ia tak memberi tahu siapa pun
tentang pertengkarannya dengan Darrell waktu itu!
Hari itu hari Minggu. Darrell berdoa sepenuh hati untuk kesehatan Sally di
gereja. Ia merasa berdosa dan malu. Ia juga merasa sangat ketakutan. Ia merasa
ia harus mengaku pada Nona Potts atau Ibu Asrama tentang pertengkarannya serta
tentang bagaimana Sally didorong olehnya. Tetapi ia begitu ketakutan!
Ia sendiri merasa aneh bahwa dirinya bisa merasa takut. Ia betul-betul takut. Ia
takut kalau-kalau Sally sakit keras sehingga takkan bisa sembuh lagi, dan bahwa
itu semua hanya karena dirinya yang tak bisa mengendalikan kemarahannya!
Ia tak berani mengatakan pada siapa pun tentang kesalahannya. Semua orang akan
menuduhnya berhati jahat. Ia akan membuat malu ayah dan ibunya. Orang-orang akan
menunjuknya sebagai anak yang dikeluarkan dari Malory Towers karena membuat anak
lain sakit keras! Akan sangat memalukan untuk dikeluarkan secara tidak hormat dari Malory Towers.
Ia takkan bisa menanggung rasa malu itu. Ia tak tahan berdiam diri, tetapi ia
juga merasa yakin Nona Grayling langsung akan mengeluarkannya bila beliau tahu
ialah yang menyebabkan rasa sakit Sally.
"Aku tak bisa mengatakan pada siapa pun," pikir Darrell. "Jika ada yang tahu,
aku pasti dikeluarkan. Ayah dan Ibu pasti malu. Aku pengecut! Belum pernah aku
sadar bahwa sesungguhnya aku pengecut!"
Tiba-tiba ia teringat Mary-Lou yang sering disebutnya pengecut. Kasihan Mary-
Lou. Kini Darrell bisa merasakan, bagaimana rasa takut itu sebenarnya. Sungguh
perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Kita tak bisa lari dari perasaan itu.
Bagaimana ia bisa mengejek Mary-Lou" Merasa takut saja sudah tidak enak, apa
lagi bila ada seseorang yang mengejeknya!
Darrell merasa amat lelah dan tak berdaya. Ia memulai bersekolah di sini dengan
harapan dan semangat yang tinggi. Ia merasa bahwa ia pasti jadi nomor satu. Ia
merasa ia akan cemerlang di berbagai pelajaran dan membuat kedua orang tuanya
bangga. Ia bertekad akan mempunyai seorang sahabat akrab. Tetapi tidak satu pun
dari tekadnya itu dipenuhinya.
Tingkatannya di kelas begitu rendah. Ia tak punya sahabat. Ia keji pada Mary-Lou
yang dengan ketakutan telah mencoba bersahabat dengannya. Dan kini ia telah
berbuat sesuatu yang begitu kejam, sehingga ia tak berani menceritakannya pada
orang lain! Darrell begitu murung hari itu. Tak ada yang bisa membuatnya gembira. Nona Potts
yang bermata tajam melihat hal ini dan kuatir kalau-kalau Darrell juga sedang
sakit. Mary-Lou juga melihat kemurungan Darrell. Ia berusaha berada di dekat
Darrell untuk bisa segera membantunya bila dibutuhkan.
Dan sekali ini Darrell tidak begitu peduli, tidak mengusir Mary-Lou dari
dekatnya seperti biasa. Kali ini ia merasa bersyukur karena Mary-Lou tampak
ingin menghiburnya. Hari itu dua orang dokter datang untuk memeriksa Sally. Berita buruk tersebar di
Menara Utara. "Sally sakit keras! Bukan suatu penyakit yang menular sehingga
kita tak usah di karantina. Kasihan Sally. Tessie tadi pagi menemui Kepala
Sekolah. Dan katanya dari kantor Kepala Sekolah rintihan Sally terdengar jelas."
Darrell ingin sekali ibunya ada di dekatnya. Ia tak tahu dimana ayah-ibunya
tinggal saat itu. Mereka telah mengatakan suatu tempat tetapi karena begitu
gembira kemarin Darrell lupa tempat tersebut. Kini lenyap sudah kenangan gembira
hari Sabtu kemarin. Darrell menyendiri di pantai, duduk di batu karang, melamun.
Ia tak boleh terus-menerus menjadi pengecut. Makin lama makin tersiksa ia berada
di Malory Towers. Rasanya lebih baik rnengaku dan diusir dari Malory Towers
daripada tetap di Malory Towers dengan kesadaran bahwa dirinya pengecut. Tetapi
kepada siapa ia akan mengaku"
"Lebih baik kalau aku menulis surat pada ibu Sally tentang semua ini," pikir
Darrell akhirnya "Beliau orang yang paling dekat dengan Sally. Aku akan menulis
tentang pertengkaranku, dan bagaimana hal itu sampai terjadi. Aku akan
menceritakan semuanya. Aku akan mengatakan padanya bahwa Sally selalu berkata ia
tak punya adik Semua tingkah Sally sangat aneh, dan mudah mudahan Nyonya Hope
mengerti sesuatu tentang itu. Kemudian terserah Nyonya Hope, apa yang akan
dilakukannya. Mungkin ia akan lapor pada Kepala Sekolah. Ya ampun! Alangkah
senangnya bila nanti kukirimkan surat itu."
Ia meninggalkan tempat duduknya di pantai itu dan bergegas ke Menara Utara.
Diambilnya kertas uratnya, dan ia mulai menulis. Tak begitu mudah menulis surat
itu, tetapi Darrell sudah terbiasa menulis sural. Tak lama ia telah dengan
lancar menuliskan semuanya - tentang pertengkarannya, tentang penyebab
pertengkaran itu, bagaimana Sally tak ingin berbicara dengan Nyonya Rivers,
bagaimana Sally begitu muram selalu, bagaimana Sally tak mengakui punya adik
bayi. Sungguh mengherankan betapa banyak yang diketahuinya tentang Sally!
Ia segera merasa lega setelah surat itu selesai. Tanpa dibacanya lagi, surat
tersebut dimasukkannya ke pos. Nyonya Hope akan menerimanya besok pagi, tentu.
Berita baru menjalar di Menara Utara. "Sakit Sally semakin berat! Seorang dokter
ahli telah didatangkan. Keluarganya telah ditelegram untuk segera datang, dan
besok mereka akan datang!"
Darrell tak bisa makan apa pun hari itu. Rasanya hari itu adalah hari terpanjang
dalam hidupnya. Mary-Lou begitu ketakutan melihat wajah Darrell yang semakin
murung itu. Ia tak pernah meninggalkan sisi Darrell lagi - dan kali ini Darrell
tidak merasa muak oleh kehadirannya, malah merasa sedikit lega. Mary-Lou tak
tahu mengapa Darrell murung. Dan dia pun tak berani bertanya. Ia telah lupa
betapa Darrell begitu sering mengejek dan mengata-ngatainya. Ia hanya ingin
membantu Darrell. Anak-anak lain tak begitu memperhatikan Darrell. Mereka berjalan-jalan,
berenang, atau berjemur diri di hari Minggu yang tenang itu. Nona Potts masih
terus memperhatikan Darrell. Kenapa anak itu" Apakah sakit Sally yang membuatnya
tampak begitu cemas" Rasanya tak mungkin Darrell bukanlah sahabat akrab Sally.
Dan memang Sally tak pernah punya sahabat.
Akhirnya waktu tidur tiba. Ibu Asrama tidak membawa berita apa pun tentang
Sally, kecuali mengatakan bahwa anak itu belum membaik. Tak seorang pun
diizinkan menjenguknya. Ibu Asrama merasa heran karena Darrell telah memohon
agar ia diperbolehkan menjenguk Sally.
Darrell tak bisa tidur, berbaring di tempat tidurnya. Didengarnya waktu tidur
untuk kelas tiga dan empat. Kemudian untuk kelas lima dan akhirnya untuk kelas
enam. Setelah itu Ibu Asrama, Mam'zelle, dan Nona Potts juga pergi ke kamar
masing-masing. Darrell mendengar lampu-lampu di padamkan. Hari telah larut malam
di luar gelap. Semua orang sudah tidur. Kecuali Darrell.
"Aku tak bisa berbaring terus di sini, hanya berpikir, hanya merenung, hanya
melamun!" pikir Darrell. Gemas ia bangkit, membuang selimutnya. "Aku bisa gila
kalau diam saja di sini. Aku akan berjalan-jalan saja di Taman Dalam. Bunga-
bunga mawar semerbak di tempat itu. Mungkin aku bisa merasa sejuk dan mengantuk
nanti." Tanpa bersuara dipakainya gaun kamarnya, dan hati-hati ia ke luar kamar. Tak
seorang pun mendengar gerakannya. Ia merambat menuruni tangga dan keluar ke
Taman Dalam. Kemudian, dalam kesunyian malam itu, didengarnya suara sebuah mobil
mendaki bukit ke arah Malory Towers. Memasuki halaman sekolah! Siapa yang datang
pada larut malam begini"
Darrell menengadah menoleh ke arah jendela san. Cahaya cemerlang tampak di sana,
lebih terang dari biasanya. Pasti Sally tidak sedang tidur. Kalau dia tidur,
tentu lampu tidur yang suram yang dinyalakan. Apa yang sedang terjadi" Oh, kalau
saja ia bisa mengetahuinya!
Darrell menyelinap ke gapura yang menghubungkan Taman Dalam dengan halaman
depan. Ya, ada sebuah mobil di sana. di dalam bayang-bayang gedung sekolah. Kosong.
Tentu isinya telah masuk ke dalam gedung. Darrell bergegas menuju gedung tempat
Kepala Sekolah. Ternyata pintu masuk gedung itu terbuka, tak terkunci seperti biasanya. Darrell
masuk. Kini ia bisa mengetahui apa yang sedang terjadi.
17. KEJUTAN YANG MENGGEMBlRAKAN
DI lorong antara kamar-kamar masih ada lampu menyala. Tapi kamar tempat tinggal
Kepala Sekolah gelap. Agaknya Kepala Sekolah telah pergi ke san. Hati-hati
Darrell naik. Di lantai dua lampu menyala semua, terang benderang. Dan agak ada
suatu kesibukan luar biasa. Apa yang terjadl dengan Sally"
Darrell tak bisa mengerti. Pastilah Sally sakit parah sehingga begitu banyak
orang harus turun tangan untuk menolongnya. Di tengah malam, lagi. Darrell amat
kecut hatinya. Ia tak berani melangkah lebih jauh. Tapi ia juga tak mau kembali
setelah sejauh ini ia menyelidik. Tak mungkin ia kembali dengan pikiran damai
tanpa tahu apa yang terjadi. Kalau saja ia bisa membantu!
Ia duduk di bingkai jendela. Ditutupinya dirinya dengan tirai jendeIa yang tebal
dan berat itu. Ia takkan terlihat di situ, sementara telinganya bisa
mendengarkan betapa orang-orang bergegas dari satu kamar ke kamar lain di san.
itu. Dan suara orang berbicara. Itu suara Ibu Asrama. Itu suara jururawat.
Tegas, mantap, memberi perintah. Dan terdengar pula suara seorang lelaki.
Darrell menahan napas untuk bisa mendengarkan lebih jelas. Tetapi ia tak bisa
mengartikan apa pun yang idengarnya.
Oh, apa yang terjadi kalau ia ketahuan berada di tempat itu" Apalagi kalau orang
tahu bahwa Darrell-lah yang menjadi penyebab keributan ini! Darrell semakin
merapatkan tirai jendeIa tebal itu menyelimuti dirinya, dan tanpa bersuara ia
menangis menumpahkan air mata ke tirai sutra tebal itu.
Ia duduk di situ sekitar setengah jam. Dan tanpa terasa tiba-tiba ia tertidur
nyenyak. Terbungkus dalam tirai tebal hangat, begitu lelah, ia tak bisa
menguasai rasa kantuknya.
Ia tak tahu berapa lama ia tidur. Tahu-tahu ia mendengar beberapa suara. Ia
tersentak bangun. Bingung sesaat ia berada di mana. Kemudian ia ingat. Tentu
saja, ia berada di dekat san. Ia sedang lencari tahu apa yang terjadi dengan
Sally. Dan segera semua kecemasan dan ketakutan datang lagi. Ia merasa begitu sendiri,
sunyi. Dan ia teringat ibunya. Dipeluknya tirai yang menyelimutinya saat
terdengar beberapa suara datang mendekat Suara dokterkah" Jururawat" Atau
mungkin Kepala Sekolah"
Kemudian jantung Darrell seakan berhenti berdetak. Seseorang berjalan melewati
tempatnya bersembunyi, dan orang itu berbicara dengan suara yang begitu
dikenalnya dan dicintainya.
"Ia pasti sembuh," kata suara itu. "Untung aku datang tepat pada waktunya.
Kini..." Darrell ternganga. Suara itu... rasanya tak mungkin! Rasanya tak mungkin! Suara
ayahnya! Tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya bisa bergerak. Disingkirkannya tirainya, dan
ia menjenguk ke balik tirai itu. Ia melihat ayahnya berjalan bersama juru rawat,
membicarakan sesuatu dengan sangat bersungguh-sungguh. Ya, itu ayahnya!
"AYAH!" teriak Darrell, lupa segalanya kecuali bahwa ia telah melihat ayahnya,
yang tadinya dikiranya telah berada di tempat yang begitu jauh darinya. Ayahnya
berjalan di gang di hadapannya!
"Ayah! Oh, Ayah! Tunggu! Ini Darrell!"
Ayah berhenti bagaikan tertembak. Ia tak bisa mempercayai telinganya. Darrell
berlari kepadanya, melompat menubruknya bagaikan kilat, memelukOya erat-erat,
dan menangis tersedu-sedu.
"Kenapa kau, Darrell?" tanya ayahnya heran. "Mengapa kau ada di sini?"
Nona Grayling muncul, heran, dan agak gusar menegur Darrell. "Darrell! Untuk apa
kau kemari" Pak Rivers, silakan datang ke kamarku, di bawah."
Sambil memondong Darrell, Pak Rivers mengikuti Kepala Sekolah ke lantai bawah.
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jururawat mengikuti dari belakang, tak putusnya terheran-heran. Darrell memeluk
ayahnya erat-erat, seolah-olah tak akan mau melepaskannya lagi. Apakah ia
bermimpi" Mungkinkah ini benar-benar ayahnya, di tengah malam ini" Darrell tak
bisa membayangkan mengapa ayahnya berada di sekolahnya. Tapi tak apa. Yang
penting ayahnya ada. Pak Rivers duduk di kursi panjang di kamar Kepala Sekolah, dengan Darrell di
pangkuannya. Jururawat telah lenyap. Hanya Nona Grayling yang ada di situ,
memandang heran pada Darrell dan ayahnya. Ada sesuatu yang tak bisa
dimengertinya. "Menangislah sepuas hatimu, dan kemudian ceritakan apa yang terjadi," kata ayah
Darrell. "Baru kemarin aku melihatmu begitu bahagia. Dan sekarang... tapi tak
apa. Aku akan membereskan persoalanmu, apa pun yang kauhadapi."
"Tak mungkin," kata Darrell. "Aku telah begitu jahat. Aku telah marah lagi!
Ayah, salahkulah maka Sally sakit!"
"Anakku sayang, apa maksudmu?" Ayahnya semakin heran. Darrell merapatkan dirinya
pada dada ayahnya, dan rasa kuatirnya mulai lenyap. Ya, Ayah selalu bisa membuat
segalanya beres. Seperti juga Ibu. Sungguh suatu berkat Tuhan maka Ayah ada di
sini malam ini. Tetapi tiba-tiba Darrell mengangkat kepala, bertanya heran. "Tapi, Ayah, mengapa
Ayah ada di sini" Bukankah Ayah berada jauh dari sini?"
"Memang, aku dan ibumu menginap di kota Tetapi Nona Grayling meneleponku bahwa
Sally mendapat serangan radang usus buntu. Ahli bedah yang biasa menangani
pembedahan di daerah ini sedang sakit. Maka aku diminta untuk segera datang dan
melakukan operasi. Tentu saja aku datang. Aku tinggal naik mobil, pergi kemari,
dan kulihat segalanya sudah dipersiapkan dengan baik. Jadi kulakukan operasi
kecil itu, dan selesai sudah! Sally akan sembuh dan sehat walafiat lagi dalam
dua minggu ini." Suatu beban berat lenyap dari pikiran Darrell. Usus buntu! Itu sesuatu yang
memang bisa saja diderita oleh semua orang. Ayahnya begitu sering mengoperasi
usus buntu. Tapi dengan cemas ia bertanya, "Ayah... usus buntu tidak bisa
disebabkan oleh karena.... didorong, bukan" Atau jatuh?"
"Tentu saja tidak!" kata ayahnya. "Sesungguhnya sudah lama Sally merasakannya.
Aku yakin itu. Bahkan sebelum masuk kemari, ia telah menderita radang usus buntu
tersebut. Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Dan segalanya meluncur keluar - betapa anehya kelakuan Sally, betapa kasarnya
Sally, bagaimana Darrell kehilangan kesabarannya, bagaimana dengan marah Darrell
mendorong Sally sampai jatuh... semuanya!
"Dan aku begitu kuatir dan berkuatir terus," isak Darrell. "Aku pikir kalau Nona
Grayling tahu, aku pasti dikeluarkannya dari Malory Towers. Ayah dan Ibu pasti
malu sekali. Aku tak bisa tidur, keluar dari kamar dan..."
"Alangkah tololnya kau," kata ayahnya, mencium kepala Darrell. "Mungkin lebih
baik bila sekarang saja kau kubawa pulang, Darrell, kalau kau masih punya
pikiran setolol itu."
"Oh. tidak, jangan! Aku sangat senang berada di sini, Ayah!" seru Darrell. "Oh,
Ayah! Kalau saja Ayah tahu betapa leganya hatiku kini setelah tahu bahwa
sesungguhnya Sally memang telah sakit sebelum bertengkar denganku. Tetapi, ya
ampun, aku telah menceritakan semuanya pada Nyonya Hope dalam suratku! Apa
jadinya nanti?" Kemudian ia terpaksa bercerita tentang suratnya, tentang bagaimana ia
menceritakan keanehan tingkah Sally. Ayahnya dan Nona Grayling tampak sangat
heran, mengapa Sally tak mau mengaku punya adik.
"Ada sesuatu yang aneh yang harus segera dibereskan," kata Pak Rivers pada Nona
Grayling "Ini mungkin bisa menghalangi penyembuhan cepat yang kita inginkan pada
Sally. Kapankah ayah dan ibu Sally datang?"
"Besok," jawab Nona Grayling. "Aku akan memberi keterangan seperlunya pada
mereka. Nah, Pak Rivers, apakah Anda akan menginap di sini" Rasanya sudah
terlalu malam bagi Anda untuk pulang ke penginapan Anda."
"Oh, tidak," kata Pak Rivers. "Aku sudah terbiasa mengemudikan mobil di malam
hari. Terima kasih. Dan Darrell harus pergi tidur. Tak usah kuatir, Sayang.
Segalanya akan beres. Bukan doronganmu yang membuat usus buntu Sally kambuh,
walaupun mungkin sekali telah membuatnya lebih merasakan sakitnya. Pastilah anak
itu telah kesakitan sepanjang hari."
"Aku mendorongnya keras sekali," kata Darrell malu.
"Sungguh sedih aku memikirkan bahwa sifat pemarahku menurun padamu," kata
ayahnya. Darrell mempererat pelukannya.
"Tak usah kuatir. Ayah. Aku pasti bisa menguasai diriku," kata Darrell. "Aku
akan berusaha untuk seperti Ayah, menyalurkan semangat marahku untuk hal-hal
yang lebih perlu." "Baiklah. Selamat malam, Sayang." Ayahnya menciumnya. "Dan temuilah Sally segera
setelah kau diizinkan. Dengan begitu kau akan lebih merasa tenang."
"Aku lebih lega sekarang," kata Darrell, meluncur turun dari pangkuan ayahnya.
Matanya merah, tetapi ia kini tersenyum. Betapa berbeda perasaannya kini. Semua
kecemasannya lenyap. Ayahnya masuk ke dalam kegelapan, ke mobilnya. Nona Grayling sendiri yang
mengantar Darrel ke tempat tidur, menyelimutinya dengan rapi. Darrell sudah
tertidur sebelum Kepala Sekolah keluar dari kamarnya.
Dan di san. Sally juga tertidur lelap. Rasa sakitnya lenyap. Juru rawat
memperhatikannya terus, lega melihat pernapasan Sally yang teratur kini. Betapa
tangkasnya ayah Darrell bekerja - hanya tiga belas menit untuk operasi usus
buntu! Sungguh beruntung mereka bisa memperoleh ahli bedah yang begitu ahli.
Fajar menyingsing dengan cerah. Darrell terbangun oleh suara lonceng pagi. Ia
merasa lelah, tetapi sangat bahagia. Sesaat ia berbaring dan berpikir-pikir.
Hatinya penuh dengan rasa syukur. Sally pasti akan sembuh. Ayahnya sendiri yang
mengatakan hal itu. Dan ayahnya telah berkata bahwa sakit Sally bukan karena
ulah Darrell. Jadi semua kecemasannya selama ini sesungguhnya tak ada perlunya.
Tetapi ada juga perlunya. Akibat dari ia tidak bisa menahan marah ini begitu
berkesan, tak terlupakan. Rasanya kelak ia pasti akan teringat peristiwa ini
bila hampir kehabisan kesabaran. Ia mendapat pelajaran yang sangat berharga.
"Ingin aku mengerjakan sesuatu untuk menunjukkan betapa bersyukurnya aku bahwa
segalanya telah beres kini," pikir Darrell melompat turun dari tempat tidur.
"Tetapi tak ada yang bisa kulakukan. Entah bagaimana keadaan Sally hari ini."
Sally telah membaik. Ketika ia mendengar bahwa ayah dan ibunya akan datang ia
hampir tak percaya. "Betulkah Ibu akan datang?" tanyanya berulang kali. "Apakah Anda yakin Ibu akan
datang" Tetapi Sabtu kemarin ia toh tak bisa datang. Mengapa sekarang datang?"
Nona Grayling menyambut kedatangan Pak dan Nyonya Hope di ruang tamunya yang
besar. Pak Hope seorang yang bertubuh kokoh besar, terlihat sangat kuatir.
Nyonya Hope bertubuh kecil, berwajah manis.
"Sally belum siap untuk menerima Anda berdua sekarang," kata Nona Grayling. "Aku
hanya bisa merasa sangat bersyukur bahwa operasi atas dirinya telah berlangsung
dengan hasil gemilang. Dan keadaan Sally membaik dengan cepat. Pak Rivers,
seorang ahli bedah yang sangat berpengalaman, kebetulan menginap di hotel di
kota. Dan kami berhasil memintanya untuk datang kemari. Ia adalah ayah dari
salah seorang murid kami di sini. Darrell Rivers."
"Oh, Darrell Rivers," kata Nyonya Hope, mengeluarkan selembar surat dari tasnya.
"Aku menerima sepucuk surat yang sangat aneh darinya, Nona Grayling. Kuterima
pagi tadi. Coba bacalah. Agaknya ia berpendapat bahwa dialah yang menyebabkan
Sally sakit. Tetapi tentu saja kami tak percaya hal itu. Tetapi hal-hal lain
yang ditulisnya sungguh membuat kami cemas. Bisakah kami berbicara dengan
Darrell sebelum kami menemui Sally?"
Nona Grayling membaca surat Darrell dengan wajah bersungguh-sungguh. "Memang ada
yang sangat aneh di sini," katanya kemudian. "Mengapa Sally selalu mengatakan
bahwa ia tak punya adik. Padahal ia tahu bahwa ia punya adik, bukan?"
"Ya, kami tak mengerti sikap Sally itu," kata Nyonya Hope, sedih. "Dia bersikap
aneh sejak lahirnya Daphne. Ia tak mau melihat atau berbicara dengan adiknya
itu. Dan sekali, ketika ia tak tahu bahwa aku melihat, ia telah mencubit si
bayi. Padahal Sally tak pernah berlaku kejam sebelumnya."
"Apakah Anda punya putra lain?" tanya Nona Grayling. Nyonya Hope menggelengkan
kepala. "Tidak," katanya. "Sally berumur dua belas tahun saat Daphne lahir. Sebelum itu
ia anak tunggal. Kukira tadinya ia akan gembira punya adik. Kami tak pernah
memanjakannya, tetapi agaknya ia tak mau membagi kami dengan anak lain. Kadang-
kadang aku berpikir mungkin sekali ia... ia iri. "
"Kukira memang begitulah," kata Nona Grayling. "Menurut pendapatku, Nyonya Hope,
Sally sangat rapat dengan Anda. Ia memang tak mau Anda membagi cinta Anda dengan
anak lain. walaupun itu adiknya sendiri. Dan ia tak berani mengatakan
perasaannya ini, takut kalau Anda mengiranya bertabiat buruk."
"Ya, ia tak pernah berkata apa pun," kata Nyonya Hope. "Tiba-tiba saja sikapnya
berubah. Ia tidak lagi periang dan lincah. Ia tak lagi mendekat pada kami untuk
disayang. Dan tampak ia membenci si bayi. . Tadinya kukira ini semua akan
berakhir. Tetapi ketika ternyata tak habis-habis juga, kami memutuskan untuk
mengirimnya ke sekolah berasrama ini, sebab saat itu aku tak begitu sehat
sehingga aku tak bisa dengan baik membagi perhatian antara Sally dan adiknya.
Kami berusaha keras agar Sally merasa bahagia."
"Ya, kukira begitu," kata Nona Grayling. "Tetapi bagi Sally itu bisa diartikan
bahwa Anda tak lagi memerlukannya. Baginya, ia dikirim kemari agar si bayi bisa
mendapat tempat yang lebih luas di rumah, agar ia bisa memperoleh semua kasih
sayang serta rawatan Anda, Nyonya Hope. rasa iri terhadap adik yang baru lahir
seperti ini memang sudah biasa terjadi dan wajar. Anda tak usah menyalahkan
Sally. Tetapi Anda juga tak boleh tinggal diam. Kalau saja Anda bisa membuat
Sally percaya bahwa Anda masih tetap mencintainya seperti dahulu, pastilah ia
bisa mengerti. Nah bagaimana kalau kita panggil Darrell?"
Darrell dipanggil di tengah pelajaran matematika. Ia masuk ke ruang itu dengan
agak gugup, takut akan apa yang hendak dikatakan oleh Nyonya Hope. Tetapi ketika
pembicaraan berlangsung, ia jadi tenang, dan menjawab semua pertanyaan dengan
jelas. Nona Grayling kemudian berpaling pada Nyonya Hope. "Kukira lebih baik bila
Darrell menemui Sally lebih dahulu beberapa menit sebelum Anda berdua masuk,"
katanya. "Biarlah Darrell mengatakan pada Sally bahwa Anda berdua telah datang,
dan bahwa Anda, Nyonya Hope, begitu tergesa-gesa dan ingin segera menemui Sally
sehingga Anda meninggalkan si bayi. Hanya untuk bisa menemui Sally! Bisakah kau
mengatakan hal itu pada Sally?"
Darrell mengangguk. Tiba-tiba ia mengerti persoalan yang dihadapi Sally.
Ternyata Sally iri pada adiknya yang masih bayi! Begitu iri sehingga tak mau
mengaku bahwa ia punya adik! Alangkah lucunya, Sally! Tidakkah ia tahu bahwa
sungguh menyenangkan punya adik kecil. Sally tak tahu, betapa beruntung dia
sebenarnya! "Baiklah, akan kukatakan pada Sally," kata Darrell. "Dan nanti aku akan berusaha
untuk meyakinkan Sally bahwa sungguh senang punya adik. Aku memang ingin
melakukan sesuatu untuk Sally, jadi aku akan melakukan hal itu dengan sangat
senang hati." 18. DARRELL DAN SALLY DARRELL pergi ke san. di tingkat atas. Ia membawa sepucuk surat kecil dari
Kepala Sekolah untuk diberikan pada jururawat. Surat tersebut berbunyi;
'Harap Darrell diperbolehkan berkunjung pada Sally beberapa menit sebelum ibu
Sally datang.' Jururawat sangat heran membaca surat tersebut. Dan tampaknya ia tak setuju.
Tetapi pesan Kepala Sekolah harus ditaatinya. Dibukakannya pintu untuk Darrell.
Darrell berjingkat-jingkat masuk. Kamar di situ sangat menyenangkan. Luas,
dengan tiga buah tempat tidur putih, dan jendela-jendela lebar. Warna yang ada
hanyalah warna krem dan putih. Dan semuanya bersih rapi.
Di tempat tidur paling ujung, berbaring Sally. Mukanya pucat. namun matanya
cemerlang. "Hallo, Sally, aku begitu kuatir akan dirimu," kata Darrell. "Bagaimana
keadaanmu" Apakah ayahku membuatmu lebih baik?"
"Ya. aku senang pada beliau," jawab Sally. "Ia sangat baik hati. Perutku sakit
sekali hari Sabtu itu, Darrell. Tetapi aku tak berani mengatakannya pada siapa
pun, sebab semua orang sedang bersenang-senang. Aku tak ingin mengganggu
suasana." "Wah, kau sungguh tabah," kata Darrell. "Coba terka... siapa yang akan
mengunjungimu hari ini?"
"Apakah... apakah Ibu?" tanya Sally harap-harap cemas, dengan mata bersinar-
sinar. Darrell mengangguk. "Ya. Juga ayahmu. Dan tahukah kau, Sally, ibumu telah
meninggalkan adikmu yang bayi khusus untuk mengunjungimu kemari. Bayangkan!
Padahal biasanya ibu-ibu tak bisa berpisah dengan bayinya. Pastilah ibumu sangat
mencintaimu, Sally!"
Sally agaknya telah lupa bahwa ia pernah mengatakan tak punya adik pada Darrell.
Ia segera meraih tangan Darrell. "Betulkah Ibu tidak membawa Adik kemari?"
bisiknya. "Betulkah Ibu meninggalkan Adik di rumah?"
"Ya. Kasihan betul kan adikmu itu?" kata Darrell. "Pasti ia merasa kesepian
sendiri di rumah. Aku juga punya adik. Senang kan punya adik" Adikku selalu
bangga pada diriku, dikiranya aku bisa segala macam hal! Pasti adikmu kelak
begitu juga." Gambaran Sally tentang adik tampak segera berubah. Ia jadi sadar akan
hubungannya dengan adik dan ibunya.Ia tersenyum berterima kasih pada Darrell.
"Kau mau menjengukku kapan saja kau sempat, kan?" katanya. "Dan jangan katakan
apa pun tentang ketololanku dulu itu... maksudku ke teman-teman kita yang lain."
"Tentu saja. Dan sesungguhnya itu bukan ketololan. Hanya kau keliru mengerti
saja," kata Darrell. "Sekali lihat saja semua orang tahu bahwa ibumu sungguh
seorang yang penuh kasih. Dia pasti akan tetap mencintaimu, tak peduli berapa
pun putranya, atau apa pun yang kaulakukan. Ibumu betul-betul manis, kulihat."
"Memang," kata Sally menghembuskan napas panjang. "Aku menyesal telah berlaku
buruk padamu, Darrell".
"Dan aku sangat menyesal telah mendorongmu sampai jatuh, Sally, padahal kau
sedang sakit seperti itu," kata Darrell.
"Apakah kau mendorongku?" tanya Sally. "Aku sudah tak ingat. Lihat, jururawat
itu mau berkata apa?"
Ternyata jururawat memberi isyarat agar Darrell keluar. Ayah dan ibu Sally
agaknya telah datang. Darrell segera berpamitan pada Sally dan berjingkat-
jingkat ia meninggalkan anak itu.
Kedua orang tua Sally masuk. Darrell mendengar Sally berseru gembira menyambut
keduanya. Darrell merasa bagaikan bisa terbang. Begitu gembira ia berlari menuruni tangga
dan menyeberangi Taman Dalam untuk kembali ke kelasnya. Ia masuk tepat saat
lonceng ganti pelajaran berbunyi. Darrell menyelinap duduk di bangkunya. Teman-
teman sekelasnya semua memandangnya.
"Kau dari mana" Lama sekali! Kau bisa bebas hampir separuh pelajaran matematika!
Enak benar!" "Aku mengunjungi Sally," kata Darrell dengan nada penting.
"Bohong! Tak mungkin! Tak ada yang boleh mengunjunginya!" kata Irene.
"Betul! Dan Sally berkata bahwa ayahku telah membuatnya sembuh!" kata Darrell
dengan bangga. "Tadi malam beliau datang. Aku melihatnya!"
"Darrell Rivers! Kau pasti hanya berkhayal!" kata Alicia sangat heran.
"Tidak. Betul seperti yang kukatakan!" kata Darrell. "Aku juga bertemu dengan
ayah dan ibu Sally. Kini mereka menemui Sally. Mereka akan tinggal bersama Nona
Grayling sampai besok."
"Apakah Sally tercinta sudah mengetahui dia punya adik atau tidak?" tanya
Gwendoline mengejek. Hampir saja meledak marah Darrell. Tetapi ia cepat menahan diri. "Itu bukan
urusanmu. Sesungguhnya sayang sekali kau tak punya enam orang kakak yang akan
menindasmu begitu rupa sehingga kau bisa bersikap sedikit lebih baik. Tapi aku
yakin mereka hanya akan bisa mengajarkan sedikit saja kesopanan padamu."
"Sssh! Mam'zelle datang!" bisik anak yang berada di dekat pintu. Mam'zelle
masuk. Pagi ini ia berwajah muram karena ternyata anak kelas tiga bisa juga
menjadi luar biasa bodohnya. Darrell tak peduli akan kemarahan Mam'zelle ataupun
Nona Potts hari itu. Ia terus memikirkan kebahagiaan Sally, dan ingin segera
tahu perkembangan selanjutnya.
Sally, ayah, dan ibunya berbahagia bisa berkumpul bersama-sama. Dinding aneh
yang selama ini dirasakan Sally ada di antara dia dan ibunya telah lenyap, sebab
tiba-tiba rasa irinya lenyap. Ibunya telah meninggalkan si bayi untuk
menemuinya! Sally merasa lega. Bukannya ia ingin agar adiknya itu, Daphne,
ditinggalkan dengan orang-orang lain, tetapi itu berarti bahwa ibunya masih
mencintainya! Sungguh aneh Sally ini.
"Kami akan mengunjungimu lagi besok, sebelum kami pulang," kata Nyonya Hope saat
jururawat mengatakan sudah waktunya Sally ditinggal sendiri. "Tetapi bila kau
memang ingin ditunggui juga, maka biarlah Ayah pulang lebih dahulu, dan aku akan
terus di sini sampai kau betul-betul sembuh."
"Tak usah," kata Sally dengan lega kini. "Janganlah Adik ditinggal terlalu lama.
Dan kau tahu, pastilah Ayah ingin agar Ibu ikut pulang bersamanya. Aku sudah
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat membaik, Ibu. Aku akan segera sembuh - dan akan mengubah sikapku."
Nyonya Hope kini betul-betul yakin bahwa Sally akan kembali seperti Sally yang
dulu, sebelum punya adik. Dan ia pun gembira karenanya. Sungguh untung sekali
Darrell Rivers berkirim surat padanya. Kini segala perkara telah beres.
Darrell diizinkan mengunjungi Sally dua kali sehari, jauh sebelum anak-anak lain
boleh berkunjung. Dan Sally selalu menerima kedatangan Darrell dengan gembira.
Sally kini sangat berubah. Tidak lagi pendiam dan tertutup. Ia kini dengan
gembira mau berbicara tentang rumahnya, keluarganya, anjingnya, kebunnya, dan ia
pun banyak bertanya tentang pelajaran-pelajaran yang terpaksa tak bisa
diikutinya. Ia bertanya tentang tingkah laku Mam'zelle, tentang apa yang
dikatakan Nona Potts, dan tentang apakah Mary-Lou dan Gwendoline masih
bersahabat. "Tahukah Sally, bahwa ketika aku merasa begitu takut karena mengira bahwa akulah
penyebab penyakitmu, aku tiba-tiba bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi
seorang anak seperti Mary-Lou, yang selalu merasa ketakutan terhadap segala hal
yang terjadi di sekeIilingnya. Aku jadi begitu menyesal karena sering
menggodanya." "Benar, lebih baik bila mulai sekarang kita berlaku baik kepada Mary-Lou," kata
Sally. Dengan makin bertambahnya kekuatan dan kesehatan Sally, maka Sally merasa
bahwa ia harus berbuat baik pada siapa pun - bahkan kalau perlu terhadap
Gwendoline. "Katakanlah bahwa aku ingin ia mengunjungiku."
Mary-Lou tak terkira gembiranya oleh pesan dari Sally ini. Bayangkan, Sally
telah memilihnya sebagai salah satu yang boleh mengunjunginya lebih awal! Dengan
mempersenjatai diri dengan permen satu toples besar, Mary-Lou pergi ke san.
Sally tampak masih pucat, tetapi terlihat telah berbeda sikapnya Matanya
bersinar dan ia tersenyum. Ia menyambut kedatangan Mary-Lou dengan hangat.
Mereka berbicara akrab. Mary-Lou sedikit terbuka, lupa akan sifat penakutnya. Ia
tak takut pada Sally. Diceritakannya semua yang diketahuinya. Kemudian ia tampak
sedikit kuatir. "Begini, Sally. Aku merasa bahwa tak pada tempatnya Gwendoline selalu mengatakan
hal-hal yang tak baik tentang Darrell. Ia selalu berusaha meyakinkan aku bahwa
Darrell-lah yang melakukan berbagai muslihat untuk mencelakakan atau merugikan
aku. Atau kadang-kadang ia juga mengatakan mungkin Alicia yang berbuat. Kemarin,
misalnya, tinta tumpah di atlasku. Gwendoline berkata, pastilah itu Darrell yang
berbuat. Ia berkata hari itu ia melihat jari-jari Darrell penuh tinta."
"Tapi siapa yang akan percaya Darrell melakukan hal seperti itu?" tanya Sally.
"Bagaimana kau mau saja mendengarkan ocehan seperti itu dari Gwendoline, Mary-
Lou?" "Aku tak bisa menghentikannya," kata Mary-Lou. Wajah ketakutannya muncul
kembali. "Sebab, ia selalu berkata bahwa ia sahabatku dan aku sahabatnya, jadi
ia bisa mengatakan apa saja padaku. "
"Apakah kau sahabatnya?" tanya Sally mendesak.
"Tidak... ya, sesungguhnya tidak. Tetapi aku tak berani mengatakan padanya bahwa
aku tak mau menjadi sahabatnya. Jangan katakan aku penakut. Memang aku penakut,
tetapi aku tak bisa mengubah hal itu, bukan?"
"Waktumu habis, Mary-Lou," kata jururawat, menjenguk masuk. "Katakan pada
Darrell setengah jam lagi ia boleh berkunjung. Tetapi ia tak boleh membawa
permainan yang menyebabkan keributan. Bawa saja kartu."
Setengah jam kemudian Darrell datang membawa kartu kwartet. Tetapi ternyata ia
dan Sally tak jadi main kartu. Keduanya membicarakan Mary-Lou dan Gwendoline.
"Gwendoline sungguh jahat," kata Sally. "Ia selalu memfitnah kau dan Alicia,
seolah-olah kalianlah yang menggoda Mary-Lou dengan berbagai cara itu."
"Tapi, siapa sesungguhnya yang berbuat?" tanya Darrell. "Mungkinkah anak dari
menara lain" Bagaimana dengan Evelyn dari Menara Barat" Ia selalu melakukan
berbagai kenakalan."
"Tidak. Aku punya perasaan Gwendoline sendirilah yang berbuat," kata Sally,
merenungi kartu di tangannya.
Darrell heran. "Oh, rasanya tak mungkin!" katanya. "Gwendoline dan Mary-Lou kan
bersahabat!" "Begitulah kata Gwendoline. Tetapi kata Mary-Lou tidak begitu."
"Memang, tetapi... wah, rasanya tak mungkin ada anak yang berhati begitu jahat.
Pura-pura bersahabat, tetapi terus mengganggu sahabatnya itu dengan cara-cara
yang keji. Sungguh memuakkan!"
"Dan aku pikir Gwendoline memang memuakkan," kata Sally. "Aku tak pernah bisa
tahan mendengarkan kata-katanya dan melihat tingkah lakunya. Seorang yang betul-
betul bermuka dua, yang hanya mementingkan dirinya sendiri!"
Darrell menatap Sally "Kau sungguh cerdas. Kau tahu begitu banyak tentang orang
lain, bisa mengetahui isi hati mereka. Aku yakin kau juga mengerti tentang
pribadi Mary-Lou, lebih baik dari apa yang kuketahui."
"Aku suka pada Mary-Lou," kata Sally. "Kalau saja ia bisa kita bantu
meninggalkan sifat penakutnya, ia pasti menjadi anak yang sangat menyenangkan."
"Tetapi bagaimana caranya?" tanya Darrell sambil tanpa berpikir mengocok kartu
di tangannya. "Ya ampun! Lihat, kartuku telah kucampur lagi! Tapi tak apalah.
Kurasa lebih menyenangkan berbincang-bincang daripada main kartu. Bagaimana kita
bisa menyembuhkan Mary-Lou" Aku pernah mencoba menyakiti hatinya agar ia
tergugah untuk melawan, tetapi kurasa malah kebalikannya yang terjadi. Tak ada
gunanya membuatnya malu pada sifatnya itu."
"Tak tahukah kau bahwa sebenarnya ia sudah malu sendiri karena sifatnya itu?"
tukas Sally. "Tetapi karena malu saja ia takkan bisa mengumpulkan keberaniannya. Tak akan ada
yang bisa membuatnya berani kecuali dirinya sendiri."
"Yah, kalau begitu carilah cara agar ia bisa memberikan keberanian pada dirinya
sendiri," kata Darrell. "Aku yakin kau takkan mampu berbuat itu."
"Akan kupikirkan malam ini sebelum tidur," kata Sally. "Dan bila kau menjengukku
besok pagi, akan kuterangkan padamu. Aku yakin aku bisa mencari jalannya.
19. RENCANA SALLY SEPERTI biasanya, pada waktu istirahat pertama pagi hari, Darrell mengunjungi
Sally. Sally menyambutnya dengan gembira. "Aku telah memikirkan sesuatu. Sebuah
rencana yang sangat bagus. Ya, tidak terlalu sangat, tetapi kukira cukup bagus."
"Bagaimana rencanamu itu?" tanya Darrell, sementara dalam hati ia melihat betapa
cantiknya Sally yang biasanya sederhana itu di pagi tersebut, dengan pipinya
yang memerah dan mata yang bersinar.
"Dengarkan. Bagaimana kalau kau berpura-pura mendapat kesulitan di kolam renang"
Pada kesempatan pertama untuk itu, kau pura-pura menjerit dan minta tolong pada
Mary-Lou untuk mengambil ban penolong serta melemparkannya padamu," kata Sally.
"Jika ia melakukan hal itu, maka ia akan merasa telah berjasa besar menolong kau
dari bahaya tenggelam. Ia akan merasa dapat dorongan besar, merasa bahwa
sesungguhnya ia berani bertindak. Kita semua sudah diajari cara melempar ban
penyelamat, jadi ia pasti juga bisa melakukannya."
"Ya, suatu usul yang bagus," kata Darrell. "Akan kucoba besok. Akan kuberi tahu
anak-anak lain untuk tidak membantuku, dan memberi kesempatan pada Mary-Lou
sendiri untuk bertindak. Hanya anak-anak yang kupercaya saja yang akan kuberi
tahu. Tentu saja Gwendoline sayang tidak. Apakah kau yakin rencanamu itu bisa
membantu Mary-Lou untuk tidak merasa takut lagi?"
"Menurut pendapatku, Mary-Lou takkan punya keberanian untuk menghadapi sesuatu
kalau ia tak punya pikiran bahwa ia masih punya sedikit keberanian dan
kecerdasan untuk melakukannya!" kata Sally bersungguh-sungguh. "Kau takkan bisa
melakukan apa pun kalau kau sendiri tak yakin kau bisa melakukannya."
"Bagaimana kau tahu hal-hal seperti itu?" tanya Darrell dengan kagum. "Aku sama
sekali tak pernah memikirkannya."
"Oh, sesungguhnya hal seperti itu tak begitu sulit," kata Sally. "Yang
diperlukan hanyalah membayangkan dirimu sebagai orang yang ingin kaupelajari.
Kau harus bisa ikut merasakan perasaannya, ketakutannya, dan bagaimana caramu
untuk menyembuhkan hal itu kalau kau jadi orang itu. Kedengarannya memang
membingungkan. Aku tak bisa mengatakan dengan tepat apa yang ingin kukatakan."
"Oh, aku tahu apa yang kaumaksud," kata Darrell. "Kau mengatakan dengan tepat
sekali apa yang dikatakan ibuku. Cobalah masuki diri orang lain, dan rasakan apa
yang dirasakannya. Tetapi sering aku tak punya kesabaran untuk melakukan hal
itu. Aku telah sibuk dengan diriku sendiri. Kukira kau sangat cerdas, Sally."
Muka Sally merah. Tetapi ia tampak senang, walaupun tampak malu. "Aku tidak
cerdas, dan kalau tahu aku juga tidak baik hati, seperti yang terlihat pada
kelakuanku terhadap adikku. Tetapi terima kasih kau telah memujiku seperti itu.
Bagaimana" Dapatkah kau melakukan rencanaku tadi?"
"Oh, ya, tentu saja," kata Darrell. "Akan kucoba besok di kolam renang. Mary-Lou
sedikit pilek dan tidak diperkenankan ikut berenang. Tetapi ia toh harus berada
di kolam renang itu. Dengan mudah ia bisa mengambil dan melemparkan ban
penyelamat itu padaku. Oh, ia pasti heran oleh keberaniannya sendiri."
"Aku yakin ia merasa gembira terkena pilek minggu ini," kata Sally, tertawa
kecil. "Ia begitu benci air. Aku yakin ia takkan pernah bisa belajar berenang. "
"Sungguh lucu saat jururawat memutuskan bahwa Mary-Lou terkena pilek dan tak
boleh masuk ke kolam renang," kata Darrell, "segera saja Gwendoline sayang
sebentar-sebentar terisak-isak seolah-olah pilek juga, agar terdengar oleh Nona
Potts, agar Nona Potts kemudian melaporkannya pada jururawat, agar kemudian ia
juga tidak diperkenankan berenang. Ia kan jauh lebih takut air daripada Mary-
Lou!" "Lalu apa yang terjadi?" tanya Sally tertarik. "Oh, alangkah senangnya kalau aku
bisa masuk sekolah lagi. Di sini begitu membosankan berdiam diri terus. Kalau
kau tak datang serta bercerita, bisa lari aku dari sini...."
"Nona Potts ternyata malah marah oleh suara isakan Gwendoline, dan Gwendoline
dimarahinya habis-habisan," kata Darrell. "Gwendoline nekat, ia berkata mungkin
ia ketularan pilek Mary-Lou. Maka Nona Potts mengirimkannya ke jururawat. Dan
ternyata jururawat tidak memberinya kesempatan seperti Mary-Lou untuk tidak
menyentuh air, tetapi malahan memberinya obat yang sangat tidak enak rasanya!
Jururawat begitu tegas padanya. Ia bahkan menyuruh Gwendoline berenang, sebab
garam di air kolam renang itu bisa membuatnya lebih sehat. Dan kudengar
jururawat berkat pada Nona Potts bahwa Gwendoline suka membumbui ceritanya. Dan
rasanya sudah tepatlah bahwa ia menelan sedikit garam di kolam renang."
Sally tertawa terpingkal-pingkal. Ia bisa membayangkan betapa gusarnya
Gwendoline harus makan obat tidak enak padahal sesungguhnya ia tidak sakit apa-
apa. Darrell berdiri. "Itu lonceng masuk," katanya. "Sehabis makan siang nanti aku akan kembali lagi
dengan cerita-cerita lain Aku belum bercerita padamu bagaimana Alicia dan Betty
mengikatkan benang pada buku-buku Mam'zelle di mejanya dan di depan hidung
Mam'zelle buku-buku tersebut seolah-olah langsung meloncat sendiri! Irene
setengah mati tertawa geli. Kau tahu betapa ia selalu meledak bila tertawa."
"Oh, ya. Datanglah lagi dan ceritakan semuanya," kata Sally, semakin ingin
sering dikunjungi Darrell. "Aku senang mendengar kau berbicara."
Sungguh mengherankan perubahan yang terjadi pada diri Sally. Rasanya sulit untuk
membayangkan bahwa Sally yang penuh tawa, bersemangat, dan bermata ceria ini
adalah Sally yang dikenal Darrell dulu. Pemalu, pendiam, dan tertutup. Kini ia
begitu riang dan menyenangkan.
"Memang ia tidak terlalu menyenangkan seperti Alicia," pikir Darrell, "tetapi
kurasa ia lebih bisa dipercaya. Lidahnya tidak tajam, walaupun ia lebih cerdas
dalam hal menelaah pribadi seseorang."
Darrell dengan teliti merencanakan untuk menjebak Mary-Lou agar sadar bahwa ia
punya keberanian dan mampu bertindak. Tampaknya mudah saja. Ia akan minta agar
Alicia dan Betty membawa semua perenang lain ke ujung lain kolam renang itu.
Dengan demikian Darrell akan berada di ujung yang terdalam seorang diri.
Kemudian ia akan berbuat seolah-olah mendapat kejang kaki, berteriak minta
tolong. "Aku akan berteriak pada Mary-Lou 'Cepat! Cepat! Lemparkan ban pengaman!"
pikirnya. "Aku yakin Mary-Lou akan melakukannya. Kemudian aku akan berkata
padanya, 'Oh, Mary-Lou, kau telah menyelamatkan jiwaku.' Dengan begitu Mary-Lou
akan punya pandangan lain tentang dirinya. Kalau tidak, maka itu betul-betul
aneh. Sekali ia mengerti bahwa ia bisa melakukan sesuatu seperti itu, maka ia
bisa meyakinkan diri untuk menghadapi hal-hal yang selama ini membuatnya takut."
Rasanya siasat Sally itu sangatlah baik. Darrell menceritakannya pada Alicia dan
Betty. "Bagaimana pikiran kalian" Rencana Sally itu sangat bagus, kan?" tanyanya
kemudian. "Mmm... tetapi untuk apa kau memperhatikan si Bayi Mary-Lou itu?" tanya Alicia
heran. "Kau takkan bisa memperbaikinya. Ia sudah keterlaluan."
"Tetapi toh ada kemungkinan untuk membuatnya lebih baik dari sekarang," kata
Darrell, agak kecewa karena ternyata Alicia tampaknya tak terlalu bersemangat
menerima rencana itu. "Rasanya tak mungkin," kata Alicia. "Aku yakin yang akan terjadi adalah bahwa
Mary-Lou begitu ketakutan sehingga ia hanya terpaku diam di tepi kolam dan
berteriak-teriak ketakutan. Dan orang lain yang akan melemparkan ban penyelamat
itu padamu. Dan ini akan membuatnya semakin malu, sehingga tanggapannya atas
dirinya sendiri akan lebih buruk dari sekarang ini. Ia akan merasa semua orang
memandang rendah padanya."
"Oh," Darrell patah semangat. "Jika itu terjadi, sungguh berbahaya!" Aku belum
pernah memikirkan hal itu."
Darrell mengatakan pada Sally apa yang dikatakan Alicia. "Aku mengerti apa
maksudnya," katanya. "Dan memanq itu akan membuat Mary-Lou lebih buruk lagi
keadaannya sebab semua orang akan menertawakannya. Alicia sangat cermat bukan,
Sally" Kita tak pernah memikirkan kemungkinan itu."
"Ya, Alicia memang cermat. Tetapi ia melupakan suatu hal," kata Sally.
"Apa?" tanya Darrell.
"Ia melupakan kenyataan bahwa kaulah yang akan berteriak-teriak minta tolong.
Semua orang tahu bahwa Mary-Lou sangat memujamu. Mary-Lou akan melakukan apa
saja yang kauperintahkan, kalau kau mengizinkannya. Dan ini adalah sesuatu yang
bisa dilakukannya untuk menolongmu! Dan ia pasti akan melakukannya. Buktikan
saja nanti. Berilah Mary-Lou kesempatan ini, Darrell. Alicia memandangnya hanya
sebagai seorang bayi yang lemah dan cengeng. Tetapi aku yakin ia bisa melakukan
sesuatu yang luar biasa untuk orang yang disukainya.."
"Baiklah, Sally, akan kuberi dia kesempatan. Tetapi aku masih merasa bahwa
Alicia benar. Aku yakin dia memang bisa mengukur kemampuan orang lain. Alangkah
senangnya kalau dia mau bersahabat denganku, dan bukannya dengan Betty. Dia
begitu cerdas!" Sally tidak berkata apa-apa lagi. Mereka bermain domino dan Sally sedikit
pendiam. Kemudian jururawat datang dan menyuruh Darrell pergi.
"Aku akan mencoba rencana Sally pada Mary-Lou," kata Darrell pada Alicia.
"Kuharap kau dan Betty mengajak teman-teman ke daerah yang dangkal jika Mary-Lou
terlihat di tepi daerah yang dalam. Kemudian aku akan menjerit dan akan kita
lihat, apakah Mary-Lou punya keberanian untuk melemparkan ban penyelamat
padaku." "Bahkan pekerjaan sekecil itu akan terlalu berat baginya," kata Alicia, agak
kesal karena Darrell terus ingin melakukan rencana itu walaupun ia telah
menyatakan tidak setuju. "Tapi baiklah, akan kita lihat nanti."
Sore hari berikutnya, rencana itu dilaksanakan. Pada saatnya, anak-anak kelas
satu mulai menuruni tebing, berbicara ramai dengan berpakaian renang dan gaun
pantai. Gwendoline juga ikut, bermuka cemberut karena semua temannya menggodanya
terus tentang siasatnya berpura-pura sakit.
Mary-Lou tidak memakai pakaian renang, dan ia tarnpak gembira. Ia begitu benci
akan air! darrell berkata padanya, "Kau boleh melemparkan keping-keping uang
padaku, Mary-Lou. Dan aku akan menyelam untuk mencarinya di tempat yang dalam."
"Baiklah," kata Mary-Lou gembira. Ia menyiapkan uang-uang logam di sakunya.
Pileknya hampir sembuh. Sayang sekali. Padahal ia merasa senang bisa lolos dari
pelajaran renang. Tak lama anak-anak itu sudah ramai di kolam renang. Hanya Gwendoline yang masih
ragu-ragu, duduk di tangga di tepi kolam. Tapi ia pun segera masuk ke air sebab
tiba-tiba seseorang mendorongnya dari belakang. Menyembur-nyembur, terengah-
engah ia muncul ke permukaan air.
Tetapi tak ada anak di sekitarnya, hingga rasa marahnya tak dapat disalurkannya.
Ia hanya bisa punya dugaan bahwa yang mendorongnya tadi adalah Darrell atau
Alicia. Kurang ajar! Mary-Lou berada di tepi daerah yang terdalam, memperhatikan teman-teman
sekelasnya berenang. Paling tidak ia memperhatikan Darrell, mengagurni cara anak
itu berenang dengan begitu kuat, cepat, dan indah. Mary-Lou menggenggam uang-
uang logam yang telah disiapkannya. Ia sangat gembira bahwa Darrell telah
memintanya melakukan sesuatu. Memang ia selalu senang berbuat sesuatu untuk
Darrell, walaupun itu suatu tugas yang sangat kedl dan tak ada artinya.
"Ayo, pergi ke ujung sana, dan mari berlomba!" seru Alicia tiba-tiba. "Ayo,
Kawan-kawan... semuanya saja."
"Sebentar, aku akan tinggal di sini saja untuk mencari uang Mary-Lou," teriak
Darrell. "Aku juga sudah kehabisan napas untuk berlomba. Mulailah dulu. Aku akan
menyingkir bila kalian sudah kemari. Mary-Lou, uangmu siap?"
Alicia dan Betty saja yang tahu tentang rencana Darrell. Mereka menunggu dengan
berdebar-debar apa yang akan terjadi. Keduanya yakin bahwa Mary-Lou hanya akan
menangis tak bergerak bila Darrell berteriak minta tolong. Ia tak akan punya
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberanian untuk berlari mengambil ban penyelamat!
Anak-anak lain mulai berkumpul di ujung kolam, di daerah yang dangkal, siap
untuk berlomba. Di tepi ujung yang dalam Mary-Lou asyik melemparkan uang logam
dan melihat Darrell dengan gerakan anggun menyelam dan menangkap uang logam itu.
Darrell muncul sambil berseru bangga, menunjukkan sekeping uang logam. "Dapat!
Lempar lagi, Mary-Lou!" teriaknya. Plung! Sekeping uang logam masuk lagi ke air.
Darrell terjun dan langsung menyelam. Ia merasa kinilah saatnya untuk berpura-
pura mendapat kesulitan. Ia muncul ke permukaan air, terengah-engah.
"Tolong! Tolong!" teriaknya. "Aku kejang! Cepat, Mary-Lou! Ban penyelamat!
Talong! Cepat!" Darrell tampak meronta-ronta, tangannya menggelepar tak keruan, dan ia mulai
terbenam. Mary-Lou tertegun, terpaku. Alicia menggamit Betty di kejauhan. "Tepat
seperti yang kuduga," bisiknya. "Ia begitu lemah hingga memutuskan untuk
mengambil ban saja tak bisa."
"TOLONG!" teriak Darrell. Dua-tiga anak dari ujung kolam bergegas berenang
mendekat, mengira bahwa Darrell betul-betul mendapat kesulitan. Tetapi seseorang
telah mencapai Darrell lebih dahulu!
Terdengar suara mencebur keras, dan Mary-Lou, masih berpakaian lengkap, telah
masukke air. Dengan dibayangi ketakutan, anak itu mencoba mengingat-ingat
gerakan renang yang diketahuinya, berusaha keras untuk mencapai Darrell, dan
berhasil. Dipeluknya Darrell, ketakutan dan kebingungan dicobanya untuk
menariknya ke tepi. Darrell saat itu sudah berada di bawah air. Merasa ada yang memegang dirinya, ia
muncul ke permukaan. Alangkah terkejutnya ia melihat kepala Mary-Lou di
sampingnya! Beberapa saat ia ternganga.
"Peganglah aku, Darrell!" teriak Mary-Lou, terengah-engah. "Akan kutolong kau!"
20. BAGUS SEKALI, MARY-LOU!
KEMUDIAN dua atau tiga perenang datang mendekat. berseru, "Darrell! Kenapa kau"
Minggir, Mary-Lou!" Tetapi Mary-Lou tak dapat minggir. Ia telah mengerahkan semua kekuatan dan
keberanian yang ada padanya untuk terjun dan berenang mendapatkan Darrell. Kini
ia lemas, dan bajunya yang basah kuyup terasa begitu berat. Salah seorang teman
membawanya berenang ke pinggir.
Di pinggir kolam Mary-Lou berpegangan pada pagar kolam, terengah-engah
memperhatikan Darrell dari tempat itu. Agaknya Darrell telah sembuh, sebab kini
ia telah bisa berenang lagi dengan ayunan tangan yang kuat dan cepat, mendekati
Mary-Lou. "Mary-Lou! Kau terjun begitu saja ke air, padahal berenang saja kau hampir tak
bisa! Sungguh tolol! Tapi terus terang kau orang tolol yang paling berani yang
pernah kukenal!" teriak Darrell.
Seseorang membantu Mary-Lou yang menggeletar kedinginan itu keluar dari kolam.
Saat itu Nona Potts sedang menuruni tebing untuk menuju
kolam. Ia terkejut sekali melihat Mary-Lou basah kuyup dengan berpakaian
lengkap, dikerumuni anak-anak lain yang malahan hampir semua menepuk-nepuk
punggungnya serta memuji-mujinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Nona Potts. "Mary-Lou tercebur?"
Berebut anak-anak itu bercerita. "Ia terjun ke air untuk menolong Darrell!
Darrell kejang, dan berteriak minta tolong, minta ban pengaman. Mary-Lou
melompat langsung ke air dan menolongnya, padahal ia tak begitu bisa berenang!"
Nona Potts sama herannya seperti anak-anak itu. Mary-Lou! Betulkah" Mary-Lou
yang melihat kumbang saja begitu ketakutan" Sungguh mengherankan!
"Tetapi mengapa kau tidak melemparkan saja ban penyelamat?" tanya licia.
"Ban itu ttt... tiidak ada...," jawab Mary-Lou dengan gigi gemertak karena
kedinginan dan guncangan ketakutan. "Bbban... ittttu kkkan sedddang
dippperbaikkki... kkkau ttak tahhhu?"
Tidak. Tak seorang pun mengetahui bahwa memang tak ada ban penyelamat di situ.
Tak ada cara lain untuk menolong Darrell bagi Mary-Lou, kecuali terjun sendiri
ke air. Siapa yang mengira Mary-Lou punya keberanian seperti itu"
Nona Potts mengantar Mary-Lou yang menggeletar kedinginan itu menaiki tebing.
Darrell berkeling pada Alicia, matanya bersinar-sinar.
"Nah, siapa yang benar" Kau atau Sally" Mary-Lou begitu berani! Tak ada soal
baginya apakah ia tak suka pada air ataukah ia tidak bisa berenang. Ia sama
beraninya, oh, mungkin lebih berani dari kita-kita ini, sebab sebelum bertindak
itu pastilah ia juga merasa sangat ketakutan."
Alicia selalu berani mengaku kalah bila ia memang kalah. Ia mengangguk. "Ya, ia
memang sangat berani. Tak pernah kuduga ia akan seberani itu. Tetapi aku yakin
ia bertindak begitu karena yang ditolongnya adalah kau! Kalau orang lain mungkin
lain pula kejadiannya."
Darrell hampir tak sabaran menunggu waktu untuk bisa berkunjung ke Sally dan
menceritakan apa yang terjadi. Begitu diizinkan, ia bergegas menemui Sally
dengan wajah berseri-seri. "Sally! Ternyata siasatmu berhasil cemerlang! Sungguh
hebat! Kau tahu tidak, di kolam renang sore tadi ternyata tak ada ban
penyelamat. Dan apa yang terjadi" Mary-Lou sendiri terjun ke air, lengkap dengan
pakaiannya, untuk menolong aku!"
"Astaga!" Sally terkejut, tetapi wajahnya juga berseri-seri. "Aku tak peroah
berpikir sampai seperti itu! Heran! Tapi, Darrell, inilah kesempatan terbaik
kita untuk menangani Mary-Lou."
"Apa maksudmu?" tanya Darrell.
"Katakan padanya betapa beraninya dia, jauh di luar dugaan semua orang. Dan ia
akan tahu bahwa ia mampu berbuat sesuatu, bahwa sesungguhnya Ia punya
keberanian," kata Sally. "Mudah sekali. Sekali kautanamkan pada seseorang bahwa
ia mampu, maka segalanya akan beres."
"Kau sungguh bijaksana," kata Darrell kagum. "Aku tak akan pernah berpikir
sampai sejauh itu. Baiklah, aku akan berusaha sebaik mungkin. Dan bila Mary-Lou
menjengukmu, kau juga berusaha untuk menanamkan keberaniannya itu padanya."
Begitulah, Mary-Lou tiba-tiba saja menjadi pahlawan sekolah itu. Semua anak
mengetahui apa yang telah dilakukannya. Ia tanpa mengenal takut terjun ke air
untuk menolong Darrell. Mary-Lou sangat heran akan pujian yang terus-menerus datang dari berbagai orang
itu. Tapi ia juga merasa senang.
"Sekarang tak ada gunanya kau pura-pura merasa takut lagi," kata Darrell. "Semua
tahu bahwa kau sesungguhnya punya keberanian. Jadi semua mengharapkan kau
bertindak lebih berani dari biasanya."
"Oh, ya, tentu," kata Mary-Lou berseri-seri. "Akan kucoba. Kini aku tahu bahwa
aku bisa bertindak berani. Dan semuanya jadi berbeda, kurasa. Hanya kalau kita
merasa tak bisa melakukan sesuatu, itulah yang menyebabkan kita merasa begitu
tertekan. Aku takkan pernah berpikir untuk terjun begitu saja ke tempat yang
dalam. Dan ternyata hal itu kulakukan! Tanpa berpikir! Tetapi kurasa itu bukan
keberanian, sebab kurasa aku tak akan bisa mengumpulkan keberanian untuk apa
pun." Satu-satunya yang tak memuji Mary-Lou adalah Gwendoline. Pertama, ia iri karena
semua orang memuji Mary-Lou. Bahkan guru-guru pun tak mau ketinggalan, sebab
mereka semua melihat ini satu-satunya kesempatan untuk memulihkan rasa percaya
diri Mary-Lou. Mereka juga mengerti bahwa sekali Mary-Lou sadar ia bisa berbuat
sesuatu yang membutuhkan keberanian, maka ia bisa melakukan apa saja tanpa ragu-
ragu lagi. Gwendoline benci sekali pada begitu banyak perhatian yang dicurahkan pada Mary-
Lou. Dan penyebab rasa irinya yang kedua adalah bahwa Mary-Lou melakukan hal
luar biasa itu untuk Darrell!
"Heran juga ada orang yang mau membantu seseorang seperti Darrell itu," gerutu
Gwendoline, mengingat betapa kerasnya tamparan Darrell dulu. "Kalau aku,
kubiarkan saja ia meronta-ronta di air. Sungguh tolol Mary-Lou. Pasti kini ia
jadi sombong karena begitu banyak dipuji orang."
Tetapi Mary-Lou tidak menjadi sombong. Ia tetap agak pemalu, pendiam, walaupun
kini telah tampak bahwa ia punya keyakinan diri. Ia telah membuktikan bahwa
dirinya punya keberanian. Ia gembira dan bangga walaupun tak dipamerkannya
perasaannya itu seperti yang mungkin akan dilakukan oleh seseorang seperti
Gwendoline. Dan ini semakin membuat Gwendoline kesal, sebab kini Mary-Lou tidak begitu saja
menuruti kehendaknya. Apalagi ketika Sally sudah bisa bersekolah lagi, ternyata
Sally juga tak mau ikut-ikut saja dengan kemauan Gwendoline. Sally bahkan
terang-terangan membela Mary-Lou dan menegur Gwendoline dengan cara yang hampir
saja membuat Gwendoline menjerit-jerit karena marah.
Waktu kini terasa lewat dengan begitu cepat. Tinggal tiga minggu lagi dan
semester itu akan berakhir. Darrell sampai heran, betapa waktu semakin terasa
sempit baginya. Ia kini belajar lebih tekun, dan mencapai hasil-hasil yang cukup memuaskan.
Sekali ia bahkan berhasil mencapai tingkat kelima dalam nilai mingguan.
Gwendoline adalah satu-satunya yang tak beranjak dari tempat terbawah. Bahkan
Mary-Lou mulai merayap ke atas. Darrell tak mengerti, bagaimana Gwendoline nanti
menghadapi ayah-ibunya bila rapor semester itu dibaca mereka. Selama ini
Gwendoline selalu bercerita bahwa ia cemerlang dalam semua pelajaran, tetapi
rapor itu pasti mengatakan hal yang sebenarnya. Suatu hari Darrell mengatakan
hal itu pada Gwendoline. "Gwendoline, apa yang akan dikatakan oleh ayah-ibumu bila mereka melihat laporan
hasil pelajaranmu?" tanya Darrell.
"Laporan... laporan apa" Apa maksudmu?" Gwendoline tampak heran
"Wah, apakah kau tak pernah tahu apa yang dinamakan rapor?" tanya Darreillebih
heran lagi. "Tunggu, akan kutunjukkan buku raporku yang lama, dari sekolahku
dulu. Aku harus membawa buku rapor itu untuk Nona Potts."
Darrell mengambil buku rapornya dan menunjukkannya pada Gwendoline. Gwendoline
ternganga ketakutan. Di situ tertulis mata-mata pelajaran, nilai-nilai yang
dicapai untuk setiap mata pelajaran, tingkat kedudukannya di kelas, dan bahkan
catatan guru tentang pekerjaan-pekerjaan murid yang. bersangkutan! Gwendoline
bisa membayangkan apa yang tertulis di rapornya....
'Bahasa Prancis, sangat ketinggalan dan malas, Matematika. Tak berusaha sama
sekali. Harus mengambil pelajaran tambahan selama liburan. 'Olahraga. Sangat
buruk. Tak punya keahlian dan kerja sama yang bagus.'
Dan seterusnya. Kasihan Gwendoline. Tak pernah ia menduga bahwa semua hasil
buruk yang dicapainya akan dilaporkan ke ayah-ibunya dengan cara ini. Lemas ia
duduk di kursi, menatap Darrell.
"Apakah kau belum pernah menerima rapor sebelumnya?" tanya Darrell heran.
"Belum pernah," kata Gwendoline lemas.
"Sudah kukatakan, aku belum pernah bersekolah. Aku selalu diajar guru pribadiku,
Nona Winters. Dan ia tak pernah membuat laporan. Ia hanya mengatakan pada Ibu
bagaimana hasil pelajaranku. Dan Ibu percaya padanya. Nona Winters selalu
berkata bahwa hasil pelajaranku selalu hebat. Tak tahunya di sini aku banyak
tertinggal." "Aku yakin kedua orang tuamu akan sangat terkejut menerima rapormu," kata
Darrell terus terang. "Aku yakin rapormu akan menjadi rapor yang terburuk di
sekolah ini. Kau akan menyesal telah membual tentang hasil-hasil gemilang yang
pernah kaucapai, seperti yang kauceritakan pada ibumu dan Nona Winters di tengah
semester lalu." "Aku akan merobek raporku hingga ibuku takkan membacanya," kata Gwendoline
marah. "Tak kan mungkin bisa" Darrell tertawa. "Rapor itu dikirim dengan pos! Ha ha ha.
Aku senang sekali kau akan dimarahi ibumu di rumah. Mary-Lou berkata padaku
tentang apa saja yang kaukatakan di hari tengah semester yang lalu. Lucu sekali,
membual seperti itu sementara kau tahu otakmu tak lebih banyak dari otak tikus
dan itu pun tak pernah kaugunakan seluruhnya!"
Gwendoline sampai tak bisa berkata apa-apa. Kurang ajar benar Darrell, berani
berbicara seperti itu padanya. Dan kurang ajar benar Mary-Lou, berani mengatakan
hal-hal yang dikatakannya di tengah semester dulu itu pada anak-anak lain.
Sungguh anak yang dengki dan jahat! Ia harus dihajar! Gwendoline merasa ia harus
membalas dendam untuk kelancangan Mary-Lou itu. Misalnya dengan menginjak hancur
pulpen anak itu... ya, apa saja akan dilakukannya untuk menghajar Mary-Lou!
"Pada hal selama ini ia aku anggap sebagai sahabatku," pikir Gwendoline marah.
"Sungguh tidak punya rasa setial Aku benci padanya!"
Kemudian ia mulai memikirkan rapornya. Ia merasa takut bila membayangkan betapa
marah ayahnya nanti membaca rapornya. Sebab sesungguhnya itulah yang membuat
ayahnya memutuskan untuk mengirimkannya ke sekolah berasrama ini - ayahnya
menganggapnya terlalu malas dan terlalu bangga akan dirinya. Ayahnya telah
sering kali memarahinya. Gwendoline berusaha untuk melupakan kata-kata ayahnya
itu, tetapi kata-kata itu berulang-ulang muncul lagi dalam ingatannya.
Ia bisa saja membual, mengatakan apa saja yang dikarangnya sendiri. Tetapi
rapornya akan mengatakan lain - malas, tak bisa diandalkan, tak bertanggung
jawab, angkuh, bodoh - mungkin kata-kata itulah yang akan masuk ke dalam
rapornya. Dan ia tahu, sesungguhnya ia memang patut memperoleh kata-kata
tersebut. "Tinggal dua atau tiga minggu lagi," pikir Gwendoline dengan gugup. "Bisakah aku
membuat raporku bagus dalam waktu dua minggu" Aku harus berusaha keras. Mengapa
tidak dari dulu aku mengetahui tentang rapor itu" Kalau tahu dari dulu, aku bisa
berusaha lebih keras. Kini aku harus bekerja bagaikan budak!"
Dan semua orang jadi sangat heran akan perubahan pada Gwendoline. Terutama Nona
Potts dan Mam'zelle. Gwendoline mulai menunjukkan perhatiannya pada pelajaran!
Dan berusaha keras sekali! Ia tak segan-segan menulis berkali-kali hingga
mendapat hasil yang bagus dalam mengarang. Ia selalu penuh perhatian di dalam
kelas. "Apa yang terjadi pada Gwendoline?" tanya Nona Potts pada Mam'zelle. "Aku jadi
berpendapat bahwa sesungguhnya ia punya otak juga, walaupun sangat sedikit."
"Ya, aku pun berpendapat begitu," kata Mam'zelle. "Lihat ulangan bahasa Prancis
ini" Hanya salah satu! Belum pernah ini terjadi pada Gwendoline."
"Ya, hal-hal aneh terjadi di sini," kata Nona Potts. "Lihat saja Darrell. Kini
ia juga bekerja lebih keras. Dan Sally Hope sikapnya berbeda. Dan Mary-Lou, ia
berkembang menjadi anak yang penuh keyakinan kini, sejak ia terjun ke kolam
renang dulu itu. Tetapi Gwendoline paling mengesankan perubahannya. Kemarin ia
menulis karangan, cukup bagus, dan hanya salah eja enam buah. Biasanya salahnya
dua puluh. Aku kini bisa menulis 'Bisa menggunakan otaknya' di rapornya, dan
tidak lagi 'Tak pernah menggunakan otak'."
Gwendoline sesungguhnya tak suka bekerja begitu keras. Darrell selalu
menertawakan dirinya. Darrell juga telah mengatakan pada anak-anak lain mengapa
Gwendoline begitu berubah.
"Ia tak ingin ayah-ibunya mengetahui bahwa selama ini ia berdusta pada mereka,"
kata Darrell. "Betul kan, Mary-Lou" ltulah akibat dari membual, Gwendoline.
Suatu saat pasti kau terpaksa menanggung akibatnya."
Mary-Lou ikut tertawa. Ia makin berani kini walaupun biasanya itu dilakukan bila
ada Darrell dan Sally di dekatnya. Gwendoline melotot pada anak itu.
Pengkhianat! Tapi hari berikutnya Gwendoline mendapat kesempatan untuk membalas Mary-Lou.Ia
memasuki ruang rekreasi, dan ternyata di situ tak ada orang. Dan di meja Mary-
Lou tergeletak pulpen yang begitu dibanggakannya! Gwendoline langsung
membantingnya ke lantai. "Tahu rasa kau!" geram sekali Gwendoline meremukkan pulpen tersebut dengan
sepatunya. Pulpen itu hancur, tintanya menebar di lantai.
21. SUATU KEJUTAN BAGI DARRELL
JEAN yang pertama kali melihat pulpen yang hancur itu. Ia memasuki ruang
rekreasi untuk mengambil buku dan tertegun ketika melihat tinta di lantai serta
hancuran pulpen berantakan di sekitarnya.
"Ya ampun!" Jean berseru. "Siapa yang melakukan ini" Sungguh keji!"
Emily dan Katherine masuk. Jean menunjukkan pulpen tadi pada mereka. "Lihat,"
katanya. "Ini betul-betul suatu tindakan keji seseorang!"
"Ini pulpen Mary-Lou," kata Katherine, terkejut. 'Wah, berantakan begini...
siapa yang melakukannya" Ini pasti disengaja."
Mary-Lou datang dengan Violet yang pendiam. Ketika ia melihat pulpennya, ia
menjerit dan menangis, "Ya ampun! Siapa yang melakukan itu" Ini hadiah dari
ibuku. Dan kini hancur!"
Anak-anak lain datang berkerumun. Darrell dan Sally heran melihat kerumunan ini
ketika mereka juga datang. Dan mereka tak heran melihat Mary-Lou menangis
setelah tahu penyebabnya.
"Apa kata ibuku nanti" Ia telah menyuruhku hati-hati merawat pulpen itu!"
Alicia masuk sambil bersiul-siul. Ia tertegun ketika melihat pulpen yang hancur
serta anak-anak yang terdiam itu, dan Mary-Lou yang menangis. Betapa kejinya
anak yang melakukan perbuatan tersebut.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Alicia marah. "Ini harus dilaporkan pada Potty.
Aku yakin ini ulah Gwendoline - hanya dia yang sanggup berbuat sekeji ini!"
"Di mana Gwendoline?" tanya Katherine. Tak ada yang tahu. Tetapi sesungguhnya
Gwendoline ada di luar kamar. Ia hampir saja masuk, tetapi terhenti ketika
mendengar nada marah anak-anak di dalam. Tadinya ia akan masuk dan berpura-pura
terkejut, namun kini ia ragu-ragu, mendengarkan apa yang sedang dibicarakan di
dalam.
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, ada cara yang paling tepat untuk mencari siapa yang melakukan
perbuatan ini," kata Alicia.
"Bagaimana?" tanya Katherine.
"Begini. Siapa pun yang menginjak pulpen ini sampai hancur pastilah sepatunya
terkena tinta ungu seperti ini," Alicia berkata geram.
"Oh, ya, tentu saja," kata anak-anak itu.
"Kau benar, Alicia," kata Katherine. "Kita akan memeriksa semua sepatu yang ada
di Menara Utara ini. BiIa kita lihat ada yang terkena tinta ungu, pasti
pemiliknya yang menginjak pulpen Mary-Lou sampai hancur."
"Aku bisa tahu tanpa harus pakai cara itu," kata Darrell gemas. "Pasti
Gwendoline Di sini tak ada anak yang mampu berbuat sekeji ini kecuali dia."
Di luar Gwendoline gemetar marah dan takut. Tergesa-gesa ia melihat bagian bawah
sepatunya. Ya, memang sepatunya itu terkena tinta ungu! Cepat-cepat ia berlari
meninggalkan tempat tersebut ke ujung gang, ke sebuah gudang kecil.
Dari dalam gudang kecil tersebut diambilnya sebotol tinta ungu. Kemudian ia
berlari ke kamar tempat menyimpan pakaian luar, di mana terdapat juga lemari-
Iemari kecil untuk menyimpan sepatu. Ia harus bisa melaksanakan rencananya
sebelum terlambat! Waktu yang ada baginya ternyata cukup banyak. Sebab anak-anak lain sibuk
membersihkan lantai tempat pulpen Mary-Lou itu pecah. Gwendoline mengoleskan
sedikit tinta ungu ke bagian bawah sepatu Darrell dl lemari perbekalan Darrell.
Kemudian dibuangnya botol berisi tinta itu ke sebuah lemari barang-barang di
dekatnya. Sepatunya sendiri, yang terkena tinta, dimasukkannya pula ke dalam
lemari yang berisi berbagai macam barang itu. Di tempat itu pastilah sepatu tadi
tak akan diketemukan orang. Dan ia pun memakai sandal sebelum berlari ke luar,
ke Taman Dalam dan muncul di pintu ruang rekreai seolah-olah baru saja bermain-
main di taman. Ia muncul dengan sikap tenang dan seolah tak mengerti apa-apa.
Gwendoline memang pandai bersandiwara untuk keperluan dirinya sendiri.
'Ini dia Gwendoline! seru Alicia. "Gwendoline, kau tahu tentang pulpen Mary-
Lou?" "Pulpen Mary-Lou" Kenapa?" tanya Gwendoline seolah-olah tanpa dosa.
"Ada orang yang telah menginjaknya sampai hancur," kata Sally.
"Sungguh kejam!" kata Gwendoline, memperlihatkan muka gusar. "Siapa yang
melakukannya?" "Itulah yang ingin kita ketahui," kata Darrell yang gemas melihat wajah
kemenangan Gwendoline, "dan kita pasti akan menemukannya!"
"Kuharap begitulah," kata Gwendoline tersenyum mengejek. "Jangan melotot padaku
seperti itu, Darrell. Bukan aku yang berbuat. Malah aku kira pastilah kau!
Kuperhatikan akhir-akhir ini kau begitu iri, karena hanya Mary-Lou yang dipuji-
puji atas jasanya menolong kau dari kolam renang."
Semua tertegun. Bagaimana Gwendoline bisa menuduh Darrell seperti itu" Hampir
saja meledak amarah Darrell. Dirasanya darah menderas ke mukanya. Tapi untunglah
Sally melihat warna merah mulai membara di muka sahabatnja itu. Ia segera
memegang lengannya. "Sabarlah, Sobat," katanya lembul Dan marah Darrell mereda.
Hampir tak bisa bernapas ia menahan amarah itu.
"Gwendoline," kata Katherine, sambil terus menatap wajah anak itu, "kami
berpikir bahwa siapa pun yang menginjak hancur pulpen ini, sepatunya pastilah
terkena tinta ungu. Dan kini kami akan memeriksa sepatu-sepatu yang ada di sini
Dengan begitu kami akan bisa menemukan siapa yang telah berbuat."
Wajah Gwendoline tak memperlihatkan perubahan sedikit pun. "Itu suatu cara yang
bagus sekali," katanya dengan besemangat. "Sungguh cerdik. Aku yakin dengan cara
itu anak yang tak punya hati itu bisa ditemukan."
Semua tercengang mendengar perkataan Gwendoline. Anak-anak jadi sedikit ragu.
Kalau memang Gwendoline yang berbuat, apakah ia juga begitu bersemangat
mendukung pencarian siapa yang menginjak pulpen itu" Mungkinkah memang ia tak
berbuat" "Kalau kalian suka, boleh memeriksa sepatuku terlebih dahulu. Atau sandal ini,"
kata Gwendoline, dan ia benar-benar menunjukkan telapak sandalnya. Tentu saja
bersih. "Kami akan memeriksa sepatu-sepatu yang ada di lemari sepatu," kata Katherine.
"Tetapi baiklah, mula-mula kita periksa sepatu yang ada di sini. Coba kalian
satu per satu mengangkat kaki."
Semua sepatu diperiksa. Tak ada yang terlihat bertanda tinta ungu. Kemudian
tanpa banyak berbicara, anak-anak kelas satu Menara Utara itu pergi ke ruang
penyimpanan pakaian luar, di mana terdapat lemari-lemari sepatu.
Lemari sepatu Gwendoline diperiksa pertama kali, sebab Katherine, seperti juga
anak-anak lain, mempunyai dugaan bahwa kemungkinan besar salah satu sepatunya
akan berbekas tinta. Tetapi ternyata semuanya bersih.
Malah salah satu sepatu Darrell-lah yang elapaknya bertinta. Katherine yang
mengambilnya dari lemari tercengang tak bisa berbicara. Dan tanpa bersuara ia
menunjukkannya pada yang lain.
"Sepatumu!" kata Katherine akhirnya. "Oh, Darrell!"
Darrell ternganga. Dan ia melihat ke semua wajah anak yang mengelilinginya.
Beberapa di antaranya segera membuang muka. Alicia menatapnya dengan pandangan
marah. "Wah, wah, wah! Siapa mengira bahwa yang berbuat Darrell kita yang suka terus
terang ini?" desis Alicia dengan nada mengejek. "Aku sama sekaIi tak mengira,
Darrell!" Dengan wajah jijik ia berpaling. Darrell segera memegang lengannya.
"Alicia! Masa kau percaya aku yang menghancurkan pulpen Mary-Lou?" katanya
gugup. "Percayalah! Bukan aku yang melakukannya! Aku takkan sudi melakukan
perbuatan sekeji itu. Oh, Alicia, bagaimana kau bisa punya pikiran seperti itu
terhadapku?" "Pokoknya sepatumu yang berbekas tinta," kata Alicia. "Kau pastilah tak bisa
menguasai dirimu lagi, Darrell. Dan dalam marahmu kau menghempaskan dan
menginjak pulpen itu! Jangan tanya padaku, apa kau mampu berbuat sekeji itu atau
tidak. Sebab aku bukannya kau!"
"Tetapi Alicia... lalu apa alasanku berbuat itu?" seru Darrell. "Dan lagi aku
bukanlah seorang pendendam! Alicia, kukira kau sahabatku. Kau dan Betty selalu
mengajakku bersama. Masa kau tega menuduhku seperti ini?"
"Kau bukan sahabatkul" kata Alicia tegas, dan meninggalkan ruang itu.
"Ini pasti suatu kekeliruan!" kata Darrell putus asa. "Oh, jangan kalian percaya
bahwa aku yang melakukannya. Jangan percaya!"
"Aku tidak percaya kau yang melakukannya, Darrell!" kata Mary-Lou dengan air
mata mengalir di pipinya. Digandengnya tangan Darrell. "Aku yakin bukan kau. Aku
akan tetap bersahabat denganmu!"
"Dan aku juga," kata Sally dengan suara lembutnya. "Aku tak percaya kau yang
melakukannya, Darrell."
Darrell gembira bahwa di antara anak-anak yang memandangnya dengan pandang
dingin membenci, masih ada dua pasang mata yang begitu hangat memandangnya. Ia
sangat terharu dan hampir menangis. Sally menuntunnya keluar dari kamar itu.
Katherine memandang pada teman-teman di sekelilingnya. Wajahnya bingung. Dan
kecewa. "Aku juga tak percaya bahwa Darrell yang berbuat," katanya akhirnya. "Tetapi...
itu juga harus dibuktikan terlebih dahulu. Dan sebelum terbukti tidak bersalah,
kita terpaksa menganggapnya si pelaku perbuatan keji itu. Sayang sekali. Aku
tahu bahwa kita semua menyukai Darrell."
"Aku tak pernah menyukainya," kata Gwendoline dengan nada kemenangan. "Aku
selalu berpendapat bahwa ia mampu berbuat apa saja. Apalagi dengan sifat pemarah
seperti itu." "Tutup mulut!" tukas Jean agak kasar. Gwendoline tutup mulut. Tetapi ia puas
akan apa yang telah dikatakannya dan apa yang dilakukannya.
Sally dan Mary-Lou membuktikan kata-kata mereka. Mereka berdua tetap bersahabat
dengan Darrell, menemaninya, membantunya, membelanya dengan sikap teguh. Mary-
Lou malahan terang-terangan menentang Gwendoline. Tetapi suasana tetap saja
terasa sangat tidak menyenangkan bagi Darrell. Walaupun tak ada yang mengusulkan
hukuman apa yang harus dijatuhkan pada Darrell, tetapi Darrell merasa begitu
tertekan melihat ia seolah-olah dikucilkan oleh semua temannya - kecuali Sally
dan Mary-Lou. Mary-Lou sangat kuatir akan keadaan ini. Baginya, karena pulpennyalah Darrell
jadi begitu menderita. Ia yakin Darrell tak bersalah. Seperti Sally, ia yakin
akan sifat alami Darrell yang senang akan kejujuran dan penuh kebaikan. Keduanya
yakin, tak mungkin Darrell sampai hati berbuat seperti itu.
Tapi... lalu siapa yang berbuat" Pastilah seseorang yang mendendam baik pada
Mary-Lou dan Darrell. Dan orang itu - pastilah Gwendoline. Jadi, pasti
Gwendoline yang memberi tinta ungu pada sepatu Darrell.
Itu berarti sepatu Gwendoline haruslah berbekas tinta pula. Padahal sewaktu
diperiksa, semua sepatunya bersih!
Suatu malam Mary-Lou memikirkan semua ini. Ia tak bisa tidur karena begitu
kasihan pada Darrell. Bagaimana Gwendoline bisa melakukan siasat sekeji itu"
Bagaimana Gwendoline bisa tahu bahwa mereka akan memeriksa semua sepatu" Apakah
Gwendoline ada sewaktu mereka merundingkan hal itu" Tidak.
Tetapi mungkin saja ia berada di luar kamar dan mendengar pembicaraan tentang
itu! Dan pastilah ia kemudian bergegas ke lemari sepatu, mengolesi sepatu
Darrell dengan tinta, menyembunyikan sepatunya sendiri, kemudian kembali ke
ruang rekrasi dengan tenang dan aman.
Mary-Lou bangkit duduk. Dadanya berdebar keras. Tiba-tiba ia merasa mengerti apa
yang telah terjadi. Ia mulai gemetar sedikit seperti biasanya bila merasa tegang
atau ketakutan. Di mana kira-kira Gwendoline menyembunyikan sepatunya" Pastilah
de kat lemari-lemari sepatu itu. Apakah sudah dipindahkan dan disembunyikan di
tempat yang lebih aman, ataukah masih ada di tempat itu"
Malam telah larut. Di luar sangat gelap. Semua sudah tidur lelap. Mary-Lou
berpikir-pikir, beranikah ia pergi ke ruang penyimpanan pakaian luar dan
menyelidikinya" Ia sangat ingin agar perkara ini segera bisa diselesaikan dan
dijernihkan. Tetapi ia sangat takut akan kegelapan! Namun... dia dulu toh juga
sangat takut akan air, dan ternyata setelah terjun ke tempat dalam untuk
menolong Darrell kini ia tak begitu takut lagi. Mungkin ia juga tak akan merasa
takut pada kegelapan, kalau untuk menolong Darrell. Paling tidak ia aka mencoba
dulu. Mary-Lou merayap turun dari tempat tidur. Ia tak memakai gaun kamarnya. Tak
terpikirkan olehnya hal itu. Dengan berpakaian tidur, ia meraba-raba ke pintu,
keluar. Untung di gang ada sebuah lampu. Remang-remang cahayanya.
Menyeberangi gang, turun tangga, ke kamar-kamar di bawah. Ditemukannya ruang
penyimpanan pakaian luar . Ya ampun. Gelap sekali. Mary-Lou merasa sesuatu
seolah merambati punggungnya. Ia begitu ketakutan. Sesaat ia hampir saja
menjerit. Ya, ia akan menjerit!
"Ini untuk Darrell!" ia berpikir dan memantapkan hati. "Aku melakukan ini untuk
orang lain, dan sangat penting, harus kulakukan. Aku tak akan menjerit. Oh,
tetapi di mana tombol lampu?"
Ditemukannya tombol tersebut. Dinyalakannya lampu. Kamar itu jadi terang. Mary-
Lou bernapas lega. Kini ia takkan merasa takut Ia tidak lagi di dalam kegelapan.
Ia merasa bangga bahwa ia tadi tidak menjerit padahal sudah hampir saja
dilakukannya. Diperhatikannya lemari-lemari sepatu. Itu punya Gwendoline. Dibukanya,
dikeluarkannya semua sepatunya. Tidak, tak ada yang berbekas tinta. Lalu... di
mana sepatu yang bertinta itu di sembunyikan"
22. AKHIR SEMESTER MARY-LOU melihat lemari kecil di dekatnya. Ia tahu apa isinya. Bola, raket,
sepatu rusak.... pokoknya benda-benda yang sudah tak dipakai tapi pemiliknya
merasa sayang untuk membuangnya. Mungkin sepatu Gwendoline ada di situ! Hati-
hati ia membuka pintu lemari kecil tersebut: takut kalau-kalau ada labah-labah
atau binatang kecil lain keluar.
Diperiksanya berbagai benda rongsokan di dalamnya. Dengan takut ia memindah-
mindahkan barang-barang itu satu per satu. Ditariknya sebuah raket, dan sebuah
benda terjatuh dengan suara keras. Mary-Lou membeku seketika. Adakah orang yang
mendengar suara itu" Ia menahan napas dengan badan gemetar. Tidak, agaknya tak
ada. Ia mulai mencari-cari lagi.
Dan ditemukannya sepatu Gwendoline! Ditemukannya botol dengan tinta ungu. Itulah
yang jatuh dengan suara keras tadi. Mary-Lou memperhatikan botol tinta itu, dan
ia tahu digunakan untuk apa benda tersebut oleh Gwendoline. Diperhatikannya
sepatunya - dan di sepatu yang sebelah kanan terlihat bekas tinta ungu. Nyata
sekali! Dengan tangan gemetar Mary-Lou melihat nama yang tertulis di dalam
sepatu itu. Untuk meyakinkan diri. Ya, di situ tertulis dengan tulisan rapi Nona
Winters: Gwendoline Lacey.
"Jadi betul-betul Gwendoline!" pikir Mary-Lou. "Aku memang telah yakin bahwa
bukan Darrell yang berbuat. Aku akan segera membangunkan anak-anak... akan
kuceritakan sekarang juga. Ah, lebih baik jangan. Mungkin Katherine akan marah
aku keluyuran malam-malam begini."
Mary-Lou mengambil botol dan sepatu itu. Dipadamkannya lampu kamar. Ia berdiri
dalam kegelapan. Tetapi apakah dia takut" Sedikit pun tidak. Tak sekali pun ia
memikirkan kegelapan di sekelilingnya. Pikirannya dipenuhi oleh penemuannya yang
begitu berarti. Ia telah membuktikan bahwa bukan Darrell yang melakukan
perbuatan itu. Darrell tidak bersalah!
Mary-Lou bangun paling pagi. Ia langsung pergi ke tempat tidur Katherine.
Diguncangnya ketua kelasnya itu sehingga terbangun. "Bangun!" serunya. "Ada
sesuatu yang sangat penting yang harus kukatakan padamu. Bangunkan yang lain!"
Yang lain terbangun juga oleh keributan Mary-Lou. Mereka duduk di tempat tidur,
mengusap-usap mata masing-masing. Mary-Lou berdiri menghadap semua tempat tidur,
dan ia mengangkat sepatu Gwendoline dengan gaya penuh arti.
"Lihat! Telah kutemukan sepatu yang betul-betul terkena tinta. Dan kutemukan
pula satu botol tinta ungu. Lihat ini" Anak yang telah menghancurkan pulpenku
menyembunyikan sepatunya dan mengoles sepatu Darrell dengan tinta ungu ini.
Dengan demikian kalian semua menuduh Darrell yang berbuat."
"Tetapi sepatu siapa itu?" tanya Katherine heran. "Dan kau temukan di mana?"
"Malam tadi aku pergi ke bawah, dan menyelidiki di tempat penyimpanan barang-
barang yang tak terpakai," kata Mary-Lou bangga. Semua semakin heran. Mary-Lou
berani turun dalam kegelapan" Semua tahu bahwa Mary-Lou sangat takut di
kegelapan. "Kutemukan sepatu dan botol tinta ini di dalam lemari kecil di tempat itu," kata
Mary-Lou. "Dan apakah kalian ingin mengetahui sepatu siapakah ini" Aku tak akan
mengatakannya pada kalian. Tidak. Lihat saja ke seisi kamar ini. Dan kalian bisa
melihat dari gerak-gerik mukanya, nama siapa yang tertulis di dalam sepatu ini!"
Memang benar. Muka Gwendoline merah padam oleh rasa marah dan rasa ketakutan.
Dengan gusar dipelototinya Mary-Lou. Wah, jadinya dirinya tertangkap juga.
Mengapa tidak dibuangnya saja botol dan sepatu itu ke laut!
"Gwendoline!" bisik anak-anak itu. Mereka memandang dengan rasa marah dan jijik
pada anak yang kini wajahnya merah padam itu. Dan kali ini Gwendoline tidak
berusaha untuk menyangkal.
Ia merebahkan badan kembali ke tempat tidur, menyembunyikan mukanya di bantal.
Katherine memeriksa sepatu dan botol itu. Kemudian ia mendekati Darrell,
mengulurkan tangan minta maaf.
"Darrell, aku minta maaf karena telah berpikir bahwa kaulah yang berbuat,"
katanya. "Sesungguhnya aku tak meragukan kejujuranmu, tapi aku harus mempunyai
bukti nyata untuk itu."
"Oh, tak apa. Lupakanlah," kata Darrell dengan wajah berseri-seri. "Memang aku
sangat menderita karena sikap kalian, tetapi aku ternyata dapat mengandalkan dua
orang sahabat yang tak pernah meragukan aku... Sally dan Mary-Lou. Aku masih
beruntung. Gwendoline tak akan punya sahabat seperti keduanya itu."
Satu per satu anak-anak di kamar itu minta maaf pada Darrell. Alicia agak kaku
sikapnya, sebab ia betul-betul malu akan kata-kata keras yang diucapkannya dulu
itu. Namun memang begitulah sifat Alicia. Selalu keras dan tajam. Ia harus
mendapat banyak pelajaran sebelum bisa menguasai sifat kekerasannya itu dan
memperoleh pengertian dari orang-orang di dekatnya.
"Aku ingin bersahabat denganmu lagi," kata Alicia kikuk. "Bergabunglah dengan
Betty dan aku seperti dulu."
"Terima kasih," kata Darrell, dan ia menoleh pada wajah kecil penuh rasa setia,
Sally, di sampingnya. "Tapi kalau kau tak keberatan aku lebih suka bersahabat
dengan Mary-Lou dan Sally saja. Aku sering memperlakukan mereka dengan buruk,
tetapi ternyata mereka malah membelaku pada saat aku mendapat kesulitan. Kukira
merekalah sahabat-sahabat sejatiku."
"Oh, terima kasih, Darrell!" kata Mary-Lou dengan wajah bahagia.
Sally tak berkata apa-apa. Tetapi Darrell merasakan sebuah cubitan lembut di
lengannya. Darrell berpaling pada Sally dan tersenyum. Ia juga merasa sangat
bahagia kini. Segalanya telah selesai dan keadaan pasti akan baik terus sampai
akhir semester. Sagus. Ia melihat Gwendoline tengkurap di tempat tidurnya, menangis. Dalam
kebahagiaannya, Darrell bahkan tak bisa melihat musuhnya bersedih. Didekatinya
Gwendoline, dan diguncangkannya punggung anak itu perlahan.
"Gwendoline," katanya, "aku tak akan mengatakan peristiwa ini pada siapa pun.
Dan teman-teman di kamar ini juga akan berbuat yang sama, bila kuminta. Tapi kau
Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus membelikan pulpen baru bagi Mary-Lou. Pulp en yang sama indahnya, sama
bagusnya dengan pulpen yang kauhancurkan. Bagaimana?"
"Baiklah," kata Gwendoline lemas, hampir tak terdengar. "Aku akan
membelikannya." Hanya itulah yang bisa dikatakan Gwendoline. Ia bahkan tak bisa berkata bahwa ia
menyesal. Ia bahkan tak bisa berkata minta maaf ketika akhirnya ia memberi Mary-
Lou sebuah pulpen baru dan sangat bagus. Ia lebih lemah dari Mary-Lou, sebab ia
tak punya kekuatan untuk mengalahkan dirinya sendiri.
"Ia tak akan bisa jadi baik kan, Katherine," tanya Darrell suatu hari pada
Katherine. Katherine tersenyum.
"Itu tergantung pada berapa lama ia berseolah di Malory Towers ini," jawabnya.
"Aneh juga, betapa semakin lama kita tinggal di sini, semakin baik pribadi kita.
Begitulah kata ibuku. Ia bersekolah di sini juga, dan banyak ceritanya tentang
anak-anak yang bertabiat buruk yang akhirnya menjadi baik karena kehidupan di
sini." "Tetapi kukira Gwendoline sudah tak bisa diperbaiki lagi," kata Darrell. "Kukira
lebih baik bila ia meninggalkan saja sekolah ini."
Gwendoline sendiri merasa bahwa ia lebih baik meninggalkan sekolah itu. Dua
minggu terkhir semester itu sangat tak menyenangkan baginya. Memang tak seorang
pun berbicara tentang peristiwa pulpen Mary-Lou itu, tetapi setiap anak selalu
memikirkan peristiwa itu dan memandang Gwendoline. Karenanya mereka selalu
menghindarinya, dan bicara dengannya hanya bila sangat perlu saja. Mereka juga
jadi yakin bahwa Gwendoline-lah yang melakukan perbuatan lainnya yang merugikan
Mary-Lou sebelum itu. Kasihan Gwendoline. Di samping menghadapi perasaan benci anak-anak di
sekitarnya, ia harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalann. Tetapi ini semua
adalah akibat dari ulahnya sendiri. Jadi ia tak bisa mengeluh terlalu dalam. Toh
yang salah adalah dirinya sendiri.
Selama akhir semester itu Darrell merasa sangat bahagia. Ia, Sally, dan Mary-Lou
selalu bersama-sama kini. Darrell tak lagi ingin menjadi sahabat erat Alicia.
Sally sudah menjadi sahabat yang sangat memuaskan hatinya. Sebab Sally yang
berhati sabar dan cerdas itu bisa membuatnya menahan diri. Dengan Sally di
dekatnya, rasanya tak mungkin Darrell akan kehilangan kesabarannya.
Ujian datang dan pergi. Darrell mencapai hasil-hasil yang sangat baik. Sally tak
begitu baik angkanya, karena ia pernah tak masuk selama dua atau tiga minggu
saat ia harus dirawat di san. dan lagi demi kesehatannya ia tak diperkenankan
mengambil seluruh pelajaran sepenuhnya.
Gwendoline cukup maju, di luar dugaan semua orang. "Itulah bukti bahwa kau
sesungguhnya bisa kalau kau mau mencobanya," kata Nona Potts padanya. "Aku tak
bisa mengerti mengapa kau baru mau menggunakan otakmu dua-tiga minggu sebelum
semester berakhir. Mungkin semester berikutnya kau sudi untuk sepenuhnya mencoba
dari awal semester?"
Gwendoline tak mengatakan pada Nona Potts apa yang membuatnya bekerja begitu
keras di minggu-minggu terakhir. Ia sangat berharap agar hasil kerjanya yang
ditulis di rapor cukup menyenangkan ayah-ibunya! Sungguh mengesalkan semester
ini. Mudah-mudahan ia tak usah kembali ke sekolah ini. Sebab semester yang akan
datang ia akan terpaksa berjuang agar anak-anak melupakan apa yang pernah
dilakukannya di semester ini.
Sebaliknya, Darrell merasa bahwa semester yang dijalaninya itu sungguh indah -
kecuali saat-saat Sally sakit dan dua-tiga hari saat anak-anak memusuhinya
karena perkara pulpen Mary-Lou. Tetapi Darrell jarang memikirkan hal itu.
Sifatnya bagaikan matahari, hanya melihat hal-hal yang terbaik saja dan
melupakan hal-hal yang kurang menyenangkan. Ia agak menyesal bahwa akhirnya
semester itu harus berakhir - tapi waktu liburan bisa juga menyenangkan.
Sally akan tinggal di rumahnya selama liburan ini, selama satu minggu. Kemudian
Darrell akan tinggal di rumah Sally selama satu minggu pula.
"Kau pasti akan menyukai adikku" kata Darrell. "Ia sungguh lincah!"
"Dan kau akan melihat adikku," kata Sally setengah malu. "Aku akan mengajarnya
agar suka berolahraga. suka bergerak, jujur dan menyenangkan seperti... kau."
Sayang Mary-Lou tidak tinggal di dekat rumah Sally atau Darrell. Sesungguhnya ia
juga ingin berlibur dengan mereka. Tapi tak apa. Toh mereka akan bertemu lagi semester yang
akan datang. Dan semester yang akan datang lagi. Dan semester yang akan datang
lagi... Mary-Lou sadar bahwa sesungguhnya sahabat akrab Darrell adalah Sally,
dan bukannya dirinya. Tetapi ia tak terlalu memikirkan hal itu. Toh Darrell
jelas juga suka padanya dan malahan mengaguminya juga. Itulah yang penting bagi
Mary-Lou. Betapa herannya nanti ibunya melihat Mary-Lou yang kini tak takut pada
kegelapan itu! Hari terakhir tiba. Ramai sekali, ribut dengan berbagai persiapan untuk
berangkat Bagaikan pasar malam saja. Hiruk-pikuk dan anak-anak dari keempat
menara campur aduk tak keruan.
"Selalu hari terakhir penuh dengan kegilaan," kata Mam'zelle terengah-engah
mencari jalan di antara begitu banyak anak. "Darrell! Sally! Tolong beri jalan!
Aku mau lewat! Ah, anak-anak Inggris ini sungguh gila semua!"
Nona Potts tampak tenang dan pasti di antara keributan itu memberikan tas-tas
kecil pada beberapa orang murid serta mencatat siapa-siapa yang sudah dijemput
oleh orang tua mereka, mengumpulkan barang-barang yang terjatuh atau terlupa
oleh pemiliknya. Biasanya memang hanya Nona Potts yang tampak waras di hari-hari
seperti itu. Bahkan Ibu Asrama juga tampak kebingungan mencari daftar pakaian
yang sebenarnya terselip di ikat pinggangnya.
Bis-bis datang. anak-anak semakin ribut. "Ayo, Darrell!" teriak Sally. "Ayo,
cari tempat duduk di depan! Di mana Mary-Lou?"
"Ia naik mobil!" teriak Darrell. "Hai, Mary-Lou! Selamat jalan! Kirim surat. ya!
Selamat jalan!" "Ayo, cepat! Cepat!" seru Nona Potts menggiring anak-anak masuk ke dalam bis.
"Di mana Alicia" Kalau dia hilang lagi bisa gila aku. Alicia! Cepat naik dan
jangan turun lagi! Selamat jalan. Anak-anak. Baik-baiklah selama liburan! Dan
jangan lupa bawa surat dokter kalau kembali kemari lagi!"
"Selamat tinggal Potty! Selamat tinggal, Potty!" teriak anak-anak dari bis-bis
yang sudah mulai berjalan. "Selamat tinggal. Potty!"
"Ya ampun!" seru Darrell terkejut. Belum pernah Nona Potts dipanggil 'Potty'
secara langsung begitu. "Berani benar mereka!"
"Inilah satu-satunya saat kita berani memanggilnya begitu," kata Alicia
menyeringai. "Di saat kita meninggalkannya. Dan biasanya dia tak marah. Lihat
saja itu, ia malah tersenyum."
Darrell menjulurkan badannya ke luar bis dan berteriak. "Selamat tinggal. Potty!
Selamat tinggal Malory Towers!" Dalam hati ia menambahkan.
"Sampai jumpa nanti di semester baru!"
Selamat jalan! Selamat tinggal! Selamat berpisah, Darrell, Sally, dan lain-
lainnya! Sampai jumpa lagi segera. Selamat jalan!
Pendekar Lembah Naga 5 Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Tobias Beraksi Kembali 3