Serahkan Saja Pada Jennings 1
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge Bagian 1
SERAHKAN SAJA PADA JENNINGS
Ebook by Raynold 1. Yang Terbaik dari Dua Pilihan
PAK CARTER biasanya mengisi jam pelajaran terakhir pada hari Jumat siang dengan
membaca dan mendiskusikan karya-karya tulis yang dibuat anak-anak Kelas Tiga
satu seminggu sebelumnya.
Kadang-kadang pelajaran itu meledak bagaikan bom: diskusi berkembang dengan
begitu bersemangat dan seisi kelas begitu asyik mengikutinya, sehingga bunyi
lonceng tanda berakhirnya waktu bersekolah hari itu disambut dengan perasaan
sebal, karena perdebatan yang sedang seru-serunya itu mau tidak mau harus
dihentikan. Namun kadang-kadang bomnya melempem: silang pendapat berlangsung
secara simpang siur, sampai Pak Carter bertanya-tanya dalam hati, untuk apa
sebenarnya ia repot-repot memberikan dorongan kepada anak-anak Kelas Tiga untuk
berbicara, menyatakan pendapat mereka.
Pada awalnya, jam pelajaran pada suatu Jumat siang dalam bulan Oktober
menampakkan tanda-tanda akan bisa jadi asyik. Karangan Atkinson tentang Ulat-
ulat yang Saya Pelihara menimbulkan diskusi menarik, dan pemaparan Temple
tentang Perjumpaan dengan Seekor Dinosaurus berlanjut menjadi percakapan ramai
mengenai kehidupan pada zaman prasejarah.
Setelah itu perkembangan mulai memburuk.... Buku berikut yang diambil Pak Carter
dari tumpukan bertuliskan:
J.C.T. Jennings (Astronaut Pimpinan),
Stasiun Ruang Angkasa Bulan,
Bulan, Dekat Bumi. Sebenarnya, informasi tersebut tidak tepat. Karena pemilik buku itu adalah
seorang murid Kelas Tiga dengan jari-jari tangan berlepotan tinta, dengan alamat
Sekolah Linbury Court, Sussex, Inggris. Pak Carter membalik-balik halaman buku
tulis itu. Tidak lama kemudian ditemukannya hasil karya tulis terbaru murid itu.
Karya itu diberi judul Suatu Ekspedisi ke Ruang Angkasa, dan di bawahnya,
digarisbawahi dengan tinta ungu, tertulis kata-kata peringatan: ? Hak Cipta: J.C
T. Jennings. Karya tulis ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta dan tidak boleh
direproduksi tanpa izin tertulis dari penulisnya, termasuk untuk keperluan
pengolahan menjadi bahan film, televisi, dan radio teleskop.
Pandangan Pak Carter melintasi ruangan kelas. Ia memandang penulis yang hak-
haknya dilindungi dengan begitu lengkap. Di sebuah meja di barisan belakang
duduk seorang anak lelaki berumur sebelas tahun, dengan jari-jari tangan yang
tidak bisa diam dan mata besar berwarna cokelat yang memancarkan kesigapan.
Pak Carter melihat bahwa rambut anak itu sudah sangat perlu dipotong.
"Apa maksudnya segala peraturan hak cipta ini, Jennings?" tanya Pak Carter.
Suasana sunyi sesaat, sementara Jennings menyibakkan rambut yang menutupi
dahinya ke belakang sambil memandang berkeliling kelas untuk memastikan bahwa
semuanya menunggu jawabannya. Kemudian ia berkata
"Anu, Pak, saya cuma berjaga-jaga saja, siapa tahu karya tulis saya itu jatuh ke
tangan seseorang yang berniat curang."
"Oh, begitu!" "Ya, Pak. Memang begitu seharusnya, sebab jika Anda perhatikan, di halaman depan
sebuah buku Anda akan melihat bahwa pengarangnya membubuhkan sebuah lingkaran
dengan huruf besar C di tengahnya, di depan namanya sendiri. Tanda itu merupakan
bukti bahwa itu miliknya dan orang lain tidak diperbolehkan mencurinya."
Pak Carter tersenyum. "Menurutmu, adakah kemungkinan karyamu dicuri seseorang
yang tak mengenal sopan santun?"
"Ya, Pak." "Siapa orangnya?"
Jennings menatap mata pak Carter. "Anda, Pak!"
Seisi kelas membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang anak di bangku deretan
belakang itu dengan mulut ternganga.... Jennings itu rupanya memang perlu
diperiksa otaknya! Jika otaknya waras, mana berani ia melancarkan tuduhan seedan
itu, terhadap Pak Carter lagi! Guru senior di Linbury Court itu disukai dan
dihormati oleh semua murid. Orangnya ramah, berpenampilan muda, dan selalu
mengerti jalan pikiran anak-anak asuhnya; ia selalu bisa diandalkan, dan mau
mendengarkan keluh kesah mereka dengan perasaan simpati... Tidak seperti
beberapa guru lainnya, yang bisa mereka sebutkan nama-namanya. Misalnya saja Pak
Wilkins! Anak-anak Kelas Tiga pasti langsung percaya saja kalau terdengar desas-
desus yang bagai- manapun keterlaluannya mengena,i guru itu! Tapi kalau
menyangkut Pak Carter... tidak! Pak Carter kan lain!
Anak-anak membalikkan tubuh lagi, memandang ke arah meja guru, untuk melihat
tanggapan Pak Carter atas tuduhan berat itu, yaitu melakukan pembajakan karya
sastra. Tapi Pak Carter ternyata sama sekali tidak tersinggung. Ia masih tetap tersenyum
lebar. "Ini sangat menarik, Jennings," katanya mengomentari. "Apa yang
menyebabkan kau merasa bahwa aku hendak membajak hasil tulisanmu yang berlepotan
sebanyak satu setengah halaman ini, yang kaubuat cepat-cepat pada saat jam
belajar petang?" "Yah, mungkin tidak tepat jika dikatakan membajak, Pak," kata Jennings, "tapi
bisa saja Anda meminjamnya tanpa izin. Soalnya, semester yang lalu Anda memuat
sebagian besar dari karangan Venables mengenai pengamatan kehidupan burung dalam
majalah sekolah tanpa bertanya dulu padanya. Betul, kan, Pak?"
Pak Carter mengaku bersalah. "Tapi perlu kuketengahkan bahwa selama ini akan
merupakan suatu kehormatan bagi seorang anak apabila hasil karyanya dimuat dalam
majalah sekolah." "Ya, dan saya sama sekali tidak berkeberatan," kata Venables menimbrung. Anak
berumur dua belas tahun yang penampilannya acak-acakan, dengan ujung bawah
kemeja yang selalu tertarik keluar dari dalam celana serta tali sepatu yang
tidak pernah bisa tetap terikat rapi itu menyambung, "Saya bahkan senang sekali,
karena itu membuktikan bahwa hanya karangan saya saja yang layak dimuat."
"Bukan itu persoalannya," kata Jennings berkeras. "Tidak seorang pun
diperbolehkan menyalin apa saja yang kita tulis tanpa izin dari kita, maka hasil
tulisan kita itu diberi tanda rahasia khusus seperti yang kukatakan tadi."
Seisi kelas tertarik mendengarnya. "Apa saja yang kita tulis?" tanya Bromwich.
"Juga daftar kue atau surat ke rumah yang kita tulis setiap minggu?"
Jennings mengangguk. "Begitulah menurut undang-undangnya. Aku sendiri juga baru
saja mengetahuinya. Masih ada lagi yang perlu kalian ketahui, yaitu sama sekali
tidak ada ongkos yang perlu dikeluarkan untuk memberikan perlindungan hak cipta
pada hasil tulisan kita. Itu merupakan pelayanan gratis."
Bromwich senang sekali. "Nah, kalau begitu mulai sekarang catatan-catatan
pelajaran ilmu bumiku akan kuberi perlindungan hak cipta; begitu pula isi buku
harianku, dan daftar seleksi Kesebelasan Sepakbola Sedunia-ku, dan..."
Pak Carter mengangkat tangannya untuk menahan arus kata-kata yang mengalir dari
mulut Bromwich. Jika anak-anak dibiarkan terus, jangan-jangan sebentar lagi ada
anak yang menuntut hak cipta atas jadwal pelajaran sekolah.
"Pertama-tama, sebaiknya kita baca saja dulu hasil karya unggul ini untuk
melihat apakah isinya pantas membuat kita repot mengenai segala urusan
perlindungan hukum tadi." Dibacanya sekilas tulisan acak-acakan pada halaman
kertas yang terletak di depannya. "Hm! Kau tidak perlu cemas, Jennings. Takkan
ada yang mencuri naskah yang tulisannya sama sekali tidak terbaca ini."
"Ah, Anda pasti bisa membacanya, Pak," kata Jennings protes. "Waktu saya
menulis, ada selembar rambut menempel pada pena. Lalu entah bagaimana, rambut
itu jatuh ke kertas dan sewaktu saya mencoba menyingkirkannya dengan
saputangan..." "Ya, ya, baiklah, aku akan berusaha sebaik-baiknya," kata Pak Carter berjanji.
Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh kelas. "Kalian duduk baik-baik dan asah
otak kalian. Tidak setiap hari kita mendapat kehormatan dengan hadirnya seorang
penulis yang hasil karyanya dilindungi hak cipta."
Anak-anak Kelas Tiga nyengir, merapikan sikap duduk mereka, dan mengasah otak
masing-masing. Diskusi hari Jumat merupakan pelajaran yang paling populer,
dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya dalam seminggu; karena saat itu
anak-anak bisa dengan bebas mengomentari dan menyatakan pendapat dari segi apa
saja mengenai pokok persoalan yang sedang dibahas.
Darbishire, yang tingkah lakunya serba serius dan selalu berbicara dengan penuh
pertimbangan, mengelap lensa kacamatanya dengan saputangannya yang dekil. Dalam
hati ia sudah membulatkan tekad, akan membantah pendapat apa pun yang akan
diajukan Jennings-tidak peduli apakah pendapat itu masuk akal atau tidak.
Jennings adalah sahabat karibnya. Tapi meski begitu, ia tidak mau membiarkan
Jennings keluar sebagai pemenang dalam perdebatan tentang hak cipta yang
dilindungi itu, hanya karena kebetulan dia yang pertama-tama mendapat ide itu.
Darbishire mengerutkan keningnya, berusaha mencari-cari hal serupa itu yang bisa
diakuinya sebagai penemuannya. Apa lagi, ya, yang ada di buku-buku" ...Sebentar,
ia perlu mengingat-ingat dulu! Kadang-kadang di dalam buku ada ucapan
persembahan pada seseorang, atau bahkan pada beberapa orang. Mungkin itu bisa
diakuinya sebagai tanda khas untuk tulisan-tulisannya. Bagaimana jika karangan
ilmiah yang di tulisnya pada jam belajar petang diberinya persembahan: Untuk Pak
Wilkins-yang jika tidak karena desakannya karya besar ini takkan pernah dimulai,
apalagi diselesaikan! Darbishire memasang kacamatanya lagi lalu duduk dengan penuh perhatian di
bangkunya ketika Pak Carter membacakan pokok karangan Jennings.
Reaksi anak-anak datang dengan segera. Temple mengeluh dengan suara keras ketika
judul karangan dibacakan. "Aduh! Lagi-lagi suatu ekspedisi Jennings yang konyol
ke ruang angkasa," katanya dengan nada memprotes. "Ceritanya selalu begitu-
begitu terus! Selalu tentang makhluk-makhluk aneh dari Yupiter yang bermata
besar seperti serangga, dengan jidat menonjol dan sel-sel otak sehebat jumbo
jet." "Ya, kenapa tidak"!" kata pengarangnya membela diri. "Siapa tahu, kan mungkin
saja di ruang angkasa luar sana ada makhluk-makhluk yang memiliki kecerdasan
yang luar biasa. Makhluk yang jauh lebih cerdas daripada manusia, seperti kau
dan aku misalnya." Ia berhenti sebentar dan menatap Temple yang bertubuh gempal
dengan pandangan meremehkan. "Yah, setidak-tidaknya lebih cerdas dari dirimu."
Pak Carter berlagak tidak mendengar kata-kata saling menghina itu. Ia mulai
membaca, "Profesor Robinson, ilmuwan termasyhur itu, terpincang-pincang masuk ke
laboratoriumnya sambil bergumam pada dirinya sendiri dengan bergairah. Kepalanya
botak. Matanya cadok dan tuli sama sekali dengan satu kaki palsu dari kayu, tapi
meski begitu ia sangat termasyhur."
Darbishire mengacungkan tangannya. Ia menemukan suatu kesalahan besar.
"Pak, Pak, jika dia tuli sama sekali, kan tidak mungkin dia bisa mendengar apa
yang digumamkannya. Seharusnya ia bicara dengan berteriak-teriak!"
Jennings jengkel karena pembacaan karangannya dipotong. "Dia tidak perlu
berteriak-teriak. Ia pandai membaca gerak bibir. Ia belajar sendiri," katanya
menjelaskan. Tapi penjelasan itu tidak memuaskan Darbishire. "Kalau begitu ia perlu berdiri
di depan cermin agar bisa tahu apa yang dikatakannya."
Pak Carter menatap langit-langit kelas dengan perasaan pasrah. Silang pendapat
yang konyol ini menunjukkan gejala-gejala bahwa diskusi hari akan menjadi salah
satu yang tidak memuaskan.
"Baiklah, kalau begitu," kata Jennings. "Akan kutambahkan nanti bahwa di
laboratorium itu ada cermin, sehingga dia bisa melihat bayangan dirinya
menggerak-gerakkan bibir untuk mengetahui apa yang sedang dikatakannya."
"Nanti dulu! Bayangan yang nampak di cermin kan selalu terbalik. Jadi ada
kemungkinan dia akan melihat dirinya berbicara mundur dan... "
"Ah, diam kau, Darbi! Ini jauh lebih bagus daripada hasil karanganmu yang
membosankan tentang Pasar-pasar Desa." Jennings berpaling pada Pak Carter dengan
wajah berseri-seri. "Teruskan saja membacanya, Pak. Ceritanya makin lama makin
mengasyikkan." Dengan perasaan khawatir bahwa apa yang akan dibaca selanjutnya ternyata lebih
parah lagi, Pak Carter meneruskan, "Ketika profesor itu sedang melintasi
ruangan, pandangan matanya jatuh ada selembar kertas yang tergeletak di lantai,
maka ia pun membungkuk dan memungutnya."
Lagi-lagi Darbishire mengacungkan tangannya. "Pak, Pak, itu kan salah, ya"
Menurut cara Jennings menyusun kalimatnya, terdapat kesan bahwa profesor itu
memungut pandangan matanya yang jatuh."
Sekali ini Jennings sudah siap dengan jawaban. "Itu benar-memang itu yang
dilakukannya," katanya membenarkan. "Soalnya, selain mempunyai satu kaki palsu
dari kayu, satu matanya Juga palsu, terbuat dari kaca."
Dari segala penjuru kelas terdengar suara tertawa terpingkal-pingkal sebagai
reaksi atas jawaban itu. Tapi Pak Carter hanya mengeluh dalam hati, sambil
menutup buku yang dihadapinya. Sungguh, pikirnya, tidak ada gunanya melanjutkan
pembacaan apabila yang terbaik yang bisa dihasilkan seisi kelas hanya tanya-
jawab seperti itu, yang asal bunyi saja. Selain itu, ledakan suara tertawa tadi
menyebabkan buyarnya suasana penuh perhatian yang ada pada awal pelajaran tadi.
Untuk mengubah suasana, Pak Carter bangkit dari bangkunya lalu berjalan
berkeliling kelas, mencari-cari pokok bahasan yang lebih menarik untuk
dibicarakan. Selembar kertas pengumuman ditancapkan dengan paku payung pada pintu sebuah
lemari. Pengumumannya berbunyi: Malam Api Unggun. Iuran untuk Dana Pesta Kembang
Api Kelas Tiga harus diserahkan kepada Martin-Jones (Sekretaris) begitu uang
saku dibagikan. Pak Carter sudah mendengar desas-desus tentang Dana Pesta Kembang Api Kelas Tiga
itu. Setiap tahun menjelang tanggal5 November, anak-anak mengisi sebagian besar
dari waktu luang mereka dengan kesibukan mencari dan mengumpulkan kayu kering
dari semak belukar dan juga dahan-dahan untuk dijadikan api unggun tradisional,
untuk merayakan Hari Guy Fawkes. (Hari Guy Fawkes dirayakan untuk memperingati
kegagalan persekongkolan bubuk mesiu yang hendak meledakkan gedung Majelis
Tinggi Inggris sekian abad yang lalu. pelakunya, Guy Fawkes, kemudian dihukum
mati.) Malam api unggun tersebut merupakan suatu acara yang ditunggu-tunggu: saat jam
belajar petang dibatalkan dan sosok-sosok gelap memakai jas hujan dengan sepatu
bot yang larasnya tinggi sampai ke bawah lutut berjalan beriring-iring membawa
obor yang menyala, menuju sebidang tanah terbuka di ujung lapangan tempat
bermain. Selama satu jam lebih langit akan tampak terang karena nyala api yang berkobar-
kobar; lalu, apabila api sudah meredup, disusul acara makan-makan dengan
hidangan sosis panggang, kentang hangus, dan minuman cokelat yang suam-suam
kuku, yang dimasak di atas kayu yang masih membara. Kadang-kadang sebagian
hidangan pesta jatuh ke dalam abu panas dan terpaksa diselamatkan dengan jalan
mencongkelnya ke luar dengan tongkat. Hidangan yang jatuh itu lalu dibersihkan
dari abu yang menempel, sebelum dinyatakan layak untuk dimakan manusia.
Tapi kejadian seperti itu sama sekali bukan masalah bagi anak-anak yang sedang
berpesta! Sambil menjilat-jilat bibir, mereka antre untuk memperoleh tambahan
hidangan yang kalau dihidangkan pada saat makan malam di ruang makan sekolah
pasti akan mengakibatkan hujan protes.
Selain itu tentu saja masih ada pula pesta kembang api. Bertempat di belakang
api unggun, letusan, desisan, dan kilatan ledakan-ledakan kembang api akan
mengasyikkan mata dan memekakkan telinga, sampai bintang berwarna-warni dan
semburan hujan api keemasan yang terakhir lenyap di tengah kegelapan.... Malam
tanggal 5 November merupakan saat yang lama sekali melekat dalam ingatan!
Pak Carter memalingkan diri dari lemari tempat pengumuman dipasang dan berkata,
"Dana Pesta Kembang Api, ya" Ini menjelaskan desas-desus yang selama ini
kudengar bahwa kelas ini menabung sebagian uang saku mereka sejak awal semester
ini." "Itu betu!, Pak," kata Martin-Jones (Sekretaris) menegaskan. "Sekali ini kami
bergabung dan tidak sendiri-sendiri, dan kami punya tim khusus untuk memilih
jenis-jenis yang akan dibeli. Tentu saja kami nanti harus minta tolong pada
salah seorang guru untuk membelinya."
"Murid-murid kelas-kelas lainnya sekarang menyesal karena ide itu tak
terpikirkan oleh mereka ketika masih cukup waktu," kata Venables menambahkan.
"Dengan cara ini, kami akan bisa membeli roket-roket yang lebih besar dan bagus
daripada siapa pun juga."
Pak Carter mengangguk. Ia baru saja menemukan pokok bahasan yang sesuai untuk
didiskusikan. "Bagaimana kalian hendak membelanjakan uang kalian, itu tentu saja terserah pada
kalian sendiri," katanya. "Tapi apakah kita semua sependapat bahwa cara yang
terbaik adalah menonton uang itu lenyap begitu saja, terhambur berupa asap
ledakan mercon" Apalagi jika diingat bahwa ada anak-anak di kawasan-kawasan lain
di dunia ini yang tidak punya uang untuk membeli makanan-apalagi kembang api."
Seisi kelas berpandang-pandangan. Mereka tidak menduga bahwa persoalan itu akan
muncul. Namun ucapan Pak Carter memang benar, jadi sebaiknya mereka pikirkan
juga masalah itu. Atkinson mengatakan, "Jika kami secara langsung tahu ada seseorang yang
kelaparan atau menderita, Pak, tentu saja uang itu akan kami berikan pada orang-
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang seperti itu. Bagi kami lebih mudah mengambil keputusan apabila kami secara
langsung berjumpa dengan mereka. Misalnya saja, ketika sedang membeli kembang
api-lalu kami melihat seseorang yang lebih memerlukan uang itu daripada kami."
Seisi kelas diam selama beberapa saat, sementara anak-anak yang daya
imajinasinya lebih besar mengembangkan khayalan masing-masing berdasarkan ucapan
Atkinson tadi. Darbishire membayangkan dirinya sudah sampai di depan pintu toko desa, tapi ia
langsung berbalik sewaktu melihat seorang lelaki tua berpakaian compang-camping
berjalan tersaruk-saruk bertumpu pada dua tongkat penyangga. Tampak jelas lelaki
itu sudah nyaris mati karena kelaparan. "Kebutuhan Anda lebih besar daripada
kebutuhanku," gumam Darbishire dalam khayalannya, sambil meletakkan sekeping
uang ke dalam tangan lelaki yang kurus kering dan keriput itu. "Anda akan mereka
lebih bertenaga jika perut Anda sudah terisi sebungkus kentang goreng."
Venables, dalam imajinasinya, melihat seorang wanita tua sempoyongan menggendong
sebuntel cucian yang berat. Venables lantas berkeras membayarkan ongkos bus
untuk perjalanan pulang wanita itu. Temple menjumpai seekor kucing yang kurus
kering dan ia menghabiskan uang merconnya untuk membeli makanan kucing. Bromwich
membelikan sepatu untuk anak-anak yatim-piatu yang bertelanjang kaki dan bekerja
di sebuah pabrik abad kesembilan belas yang tidak jelas wujudnya. Sedangkan
Martin-Jones memberikan sup panas berpiring-piring kepada anak-anak yang
kelaparan di tengah hutan rimba yang panas dan pengap di Afrika.
Berbagai perbuatan baik melintas dalam pikiran para dermawan di kelas itu: dan
itu disusul oleh diskusi mengenai kebajikan sikap mengorbankan kepentingan
sendiri, dibandingkan dengan keasyikan menyalakan kembang api.
"Kita tidak bisa melakukan kedua-duanya," kata Temple menarik kesimpulan,
setelah diskusi berlangsung selama beberapa lama. "Kita harus memilih.
Pilihannya adalah menyerahkan dana untuk salah satu tujuan yang baik, atau kita
membelanjakannya untuk membeli kembang api, seperti rencana kita semula. Apa
yang akan kita lakukan?"
Selama itu Jennings tidak ikut dalam diskusi. Tapi kini ia bangkit dengan cepat.
Matanya berkilat-kilat. Rupanya ia baru saja mendapat ilham.
"Aku ada akal! Aku baru saja mendapat ide gemilang, perlindungan hak cipta akan
diajukan," serunya. "Kita akan melakukan kedua-duanya!"
Temple menggertakkan gerahamnya dengan kesal. "Kau ini, kenapa tidak mau
mendengarkan sih!" Baru saja kukatakan, kita tidak bisa melakukan kedua-duanya
karena..." "Bisa saja, jika kita melakukannya dengan caraku," kata Jennings berkeras.
"Mula-mula, kita belanjakan seluruh uang kita untuk membeli kembang api.
Kemudian kita undang seisi sekolah dan setiap orang di desa untuk menonton
pertunjukan kembang api raksasa yang istimewa. Sesudah itu..."--di wajah
Jennings, muncul cengiran bangga-"sesudah itu kita berkeliling membawa topi,
mengumpulkan sumbangan. Jika kita melakukannya dengan cara itu, uang kita pada
akhirnya akan lima puluh kali lebih banyak dari semula. Semuanya lantas kita
serahkan kepada Pak Carter, sebagai bantuan buat mereka yang kelaparan."
Seluruh murid Kelas Tiga memandang Jennings dengan perasaan kagum. Ini adalah
cara yang tidak mungkin meleset untuk mengambil satu pilihan tanpa harus
melepaskan pilihan lainnya. Mereka berpaling ke arah meja guru. Mereka
mengharapkan reaksi Pak Carter mengenai gagasan itu.
Pak Carter adalah seorang pendukung aktif sebuah organisasi yang bekerja demi
kesejahteraan anak-anak melarat di seluruh dunia. Setiap semester ia sibuk
mengumpulkan sumbangan guna membantu memerangi masalah kelaparan dan penyakit,
serta membuka peluang bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang hidup dalam
keadaan serba kekurangan untuk bisa bersekolah. Pada semester ini ia berniat
menjual kartu-kartu Natal dan stiker-stiker bingkisan... Tapi tidak ada alasan
baginya untuk menolak tawaran yang didasari kemauan baik.
"Serahkan saja pada Jennings, untuk memperoleh yang terbaik dari kedua pilihan,"
katanya sambil tersenyum. "Tapi, aku setuju sekali. Kedengarannya itu merupakan
cara yang sangat bagus untuk menolong kaum remaja yang tidak bernasib sebaik
kalian, anak-anak Kelas Tiga ini."
Lonceng berbunyi tanda waktu bersekolah hari itu selesai. Pak Carter
meninggalkan ruangan. Ia merasa puas, karena telah menyetujui suatu rencana yang
sudah pasti takkan merugikan, bahkan besar kemungkinannya akan mendatangkan
kebajikan besar. Dilihat dari satu sudut, pendapat Pak Carter itu memang benar. Namun di pihak
lain, ia seharusnya ingat bahwa dengan Jennings sebagai penanggung jawab proyek
itu, boleh dibilang apa pun bisa saja terjadi sebelum tugas itu terlaksana....
Dan dalam kenyataannya, memang banyak peristiwa yang terjadi sebelum Dana
Kembang Api Kelas Tiga memberikan sumbangannya demi tujuan yang lebih luas dan
jauh lebih layak diperjuangkan.
2. Fiksi Ilmiah di Mulut Gawang
LATIHAN sepakbola yang menurut rencana akan diadakan siang berikutnya luar biasa
penting maknanya bagi setiap anak yang ingin terpilih dalam Kesebelasan Kedua
Sekolah Linbury Court. Pak Wilkins, guru yang bertugas menangani kesebelasan junior sekolah itu,
diketahui sedang mencari pemain-pemain berbakat untuk menghadapi pertandingan
melawan Sekolah Bracebridge. Tapi ia sedikit pun tidak mau membuka mulut tentang
anak-anak mana saja yang terpilih dalam pikirannya. Jadi, usaha murid-murid
untuk meramal siapa-siapa yang akan dimasukkan ke dalam tim, didasarkan pada
harapan serta dugaan semata-mata.
Jennings dan Temple, keduanya pemain yang baik, dinilai besar kemungkinannya
akan terpilih; begitu pula Venables dan Martin-Jones, kalau kondisi mereka
sedang baik. Namun tidak seorang pun bisa merasa pasti akan terpilih, sampai
saat susunan kesebelasan diumumkan secara resmi.
Kecuali Darbishire, tentu saja! Baginya, tidak ada bedanya apakah ia sedang
berada dalam kondisi yang baik atau tidak. Soalnya, kemampuannya dalam permainan
apa pun begitu payah, sampai-sampai takkan ada yang mau memilihnya untuk
mewakili sekolah dalam permainan lempar gelang. Jadi apalagi untuk bermain
sepakbola. Bagi Darbishire, itu sih oke-oke saja. Ia gemar menonton pertandingan sepakbola,
tapi ia tidak suka ikut bermain. Dan semakin kecil kemungkinan bagi dirinya
untuk dipilih ikut bertanding, semakin besar peluangnya akan dipilih menjadi
penjaga garis. Sementara anak-anak masuk beramai-ramai ke ruang ganti pakaian untuk menyiapkan
diri, Jennings asyik berbicara tentang proyek pengumpulan dana yang
disarankannya pada sore hari kemarinnya.
"Jika kita mau melakukan rencana itu dengan baik, bagusnya kita membuat sebuah
orang-orangan. Kemudian orang-orangan itu kita bawa berkeliling desa, ditaruh di
kursi roda atau sesuatu semacam itu," katanya, sambil melepaskan sweternya dan
mencampakkannya ke tempat gantungan. "Dan lebih baik seminggu sebelum Malam Api
Unggun. Jika itu kita lakukan, kurasa akan lumayan banyak uang yang bisa kita
kumpulkan." "Pasti kita takkan diizinkan," kata Atkinson. "Kepala Sekolah tak mungkin
mengizinkan kita mengadakan pemungutan dana di jalan desa."
"Beliau takkan tahu. Kita berangkat dengan cara biasanya kalau mau pergi ke
desa. Orang-orangan itu kita bawa keluar dengan sembunyi-sembunyi."
"Lalu langsung kepergok salah seorang guru di luar toko-toko desa!" kata Temple.
Jennings enggan melepaskan rencananya untuk menambah dana itu, yang menurut
perasaannya takkan mungkin meleset. "Yah," katanya, "andaikan itu terjadi, pasti
tidak akan terjadi keributan besar, karena kita kan melakukannya demi amal." Ia
nyengir sambil membuka rompinya. "Apa saja bisa kita lakukan tanpa kena marah,
apabila kita buktikan bahwa tujuannya baik. "
"Matron pasti mau memberi kita beberapa lembar pakaian usang untuk mendandani
orang-orangan itu," kata Venables. "Dan kita bisa dengan mudah mengusahakan
jerami dan bahan-bahan lain untuk pengisi tubuhnya."
"Baiklah! Jadi itu yang akan kita lakukan," kata Jennings memutuskan.
Tidak ada waktu lagi untuk meneruskan pembicaraan proyek itu, karena tidak
sampai sepuluh menit lagi peluit akan sudah ditiup, tanda latihan sepakbola akan
dimulai. Saat itu Darbishire bergegas masuk ke ruang ganti. Tangan kanan dan kirinya
masing-masing memegang sebuah buku bersampul tebal, sementara dari kantong
celananya yang kiri dan kanan tersembu1 dua buku saku.
"He, Jen, bolehkah kupinjam buku cerita fiksi ilmiahmu ini?" tanyanya, sambi]
memperlihatkan salah satu buku yang dipegangnya kepada Jennings. "Katamu waktu
itu, aku boleh membacanya apabila kau sudah selesai."
Jennings mengangguk dan menunjuk ke arah buku yang satu lagi, yang diletakkan
oleh temannya itu. "Oke, tukaran dengan buku yang kaubawa itu, kalau ceritanya
asyik." "Wah, maaf, tidak bisa. Ini buku perpustakaan. Aku harus mengembalikannya
sesudah permainan sepakbola nanti." Karena terlambat datang, Darbi buru-buru
membuka pakaian sekolahnya, lalu mengenakan seragam sepakbola. Setelah itu
diambilnya kedua buku saku dari kantong celananya lalu diselipkannya ke balik
kaus kakinya. Venables mengamati perbuatannya dengan agak heran. "Aneh, menyimpan buku kok di
situ. Biasanya kan ditaruh di rak."
"Ini pelindung tulang kering ciptaanku sendiri yang termasyhur dan dijamin tahan
tebasan," kata Darbishire menjelaskan, sambil mengusap-usap bagian depan kaus
kakinya agar rata. "Sewaktu main kemarin tulang keringku kena tendangan. Sakit
sekali rasanya! Jadi mulai sekarang aku akan selalu memakai pelindung."
"Nanti, waktu kau berlari pasti akan lepas dan jatuh," kata Venables meramalkan.
"Selain itu, Pak Wilkie tidak suka melihat ada yang memakai pelindung tulang
kering." "Beliau takkan bisa melihatnya, karena tertutup kaus kaki. Kecuali itu, aku
ditempatkan beliau di gawang. Jadi aku tak perlu harus banyak berlari, jika
nasibku baik." Saat itu terdengar suara Pak Wilkins yang nyaring datang menghampiri di gang,
disertai bunyi langkahnya yang berat.
"Ayo, Anak-anak! Sudah waktunya kalian semua berada di lapangan," seru guru itu
dengan suaranya yang berat, sementara ia melangkah masuk. Ia memandang
berkeliling ruangan sambil mengerutkan dahi, melihat pakaian yang disangkutkan
dengan asal-asalan di tempat gantungan serta kaus-kaus kaki yang berserakan di
lantai. "Dan usahakan agar ruangan ini kalian tinggalkan dalam keadaan rapi. Ada
hukuman satu jam lebih lama di kelas bagi siapa pun yang tidak menggantung
pakaiannya dengan rapi."
"Aduh, Pak!" protes para pemain. Tapi mereka lantas sibuk membereskan barang-
barang mereka dengan sikap pura-pura bergegas.
"Bukan itu saja, nanti akan kusita apa saja yang ternyata dibiarkan tergeletak
sembarangan. Jadi kalian hati-hati sajalah!"
Pak Wilkins bertubuh besar dan gampang marah. Gerak-geriknya serba mau cepat,
sementara gaya bicaranya ketus. Seperti Pak Carter, ia sebenarnya suka pada
anak-anak didiknya, namun - dan ini lain dari rekannya itu - ia merasa jalan
pikiran anak-anak remaja sulit dimengerti bagi otak dewasa Pak L.P. Wilkins.
Baginya hal-hal yang dilakukan dan dikatakan anak-anak tampaknya seakan-akan
tanpa penalaran sama sekali.
Ia berbalik lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah seperti orang berbaris,
diikuti oleh anak-anak yang sudah selesai berganti pakaian dan siap bermain
sepakbola. Darbishire sudah hendak menyusul, tapi tidak jadi karena dipanggil Jennings.
"He, Darbie, kau tidak berniat meninggalkan buku fiksi ilmiahku di sini, kan"
Aku tak mau buku ini nanti disita Pak Wilkins."
Kedua buku bersampul tebal itu terletak di atas bangku duduk, tempat Darbishire
tadi menaruhnya. Buku-buku tidak boleh dibawa ke ruang ganti, dan
meninggalkannya di situ selama mereka bermain bola, sama saja artinya dengan
mencari perkara! "Nanti aku menyelinap sebentar ke dalam ruang duduk bersama dalam perjalanan ke
luar lalu menaruhnya di situ," kata Darbishire. Kedua buku itu disembunyikannya
di balik sweternya, agar tidak ketahuan oleh Pak Wilkins di dalam gang.
Siasatnya itu ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Pak Wilkins berdiri di dekat
pintu samping. Ia menyuruh anak-anak cepat-cepat menuju ke lapangan permainan,
sementara Jennings dan Darbishire bergegas menyusul di belakang. Ketika tinggal
sekitar lima meter dari pintu keluar, Darbishire berbelok dan bergegas naik
tangga. Maksudnya hendak menuju ke ruang duduk bersama.
"Darbishire! " Suara Pak Wilkins yang ketus menyebabkan anak itu tertegun pada anak tangga
ketiga. Ia berpaling sambil memeluk perut, menjaga jangan sampai buku-buku yang
ada di balik sweternya merosot dan jatuh.
"Ya, Pak?" "Keluar!" perintah Pak Wilkins. "Ayo cepat!"
"Ya, Pak. Saya tahu, Pak. Saya memang sudah hendak keluar, Pak. Tapi sebelumnya
saya masih ingin..."
"Tidak bisa! Apa pun urusanmu-itu harus ditangguhkan dulu. Aku menunggu untuk
memulai permainan." "Tapi, Pak, saya cuma sebentar saja. Paling-paling semenit, untuk..."
"Jangan coba-coba membantah," kata Pak Wilkins sambil menuding ambang pintu yang
terbuka. "Ayo keluar! Keluar!"
Sambil memegangi pinggir bawah sweternya erat-erat, Darbishire keluar lewat
pintu samping, menuju lapangan sepakbola kesebelasan junior. Ia terpaksa
berjalan dengan sangat berhati-hati, karena Pak Wilkins berjalan di belakangnya.
Soalnya, ia lupa mengenakan karet pengikat kaus kaki, sehingga kaus kakinya
rasanya seperti hendak merosot dan memperlihatkan sampul mengilat buku-buku saku
yang dijadikannya pelindung tulang kering.
Darbishire mengambil posisi di antara kedua tiang gawang. Sementara itu ia terus
sibuk berpikir. Di manakah ia harus menaruh buku-buku yang masih terus
dipeganginya di balik sweternya itu. Tanah di dalam gawang sangat becek, jadi ia
tidak bisa meletakkannya di situ. Lagi pula, jika itu dilakukannya, ada
kemungkinan Pak Wilkins nanti melihatnya. Untung baginya, ia menjadi penjaga
gawang kesebelasan yang lebih tangguh. Semoga saja bola takkan datang ke arahnya
sampai ia sudah berhasil menemukan penyelesaian untuk masalah yang dihadapinya.
Pak Wilkins sudah hendak memberi isyarat agar permainan dimulai ketika Jennings,
yang bermain pada posisi gelandang tengah,. datang berlari-lari menghampiri
sambil mengacungkan arloji yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangannya.
"Pak, Pak, bisakah ini saya titipkan pada Anda?" tanyanya. "Jika saya tetap
memakainya, nanti bisa rusak."
"Kau mestinya sudah melepaskannya sebelum kau keluar tadi," kata Pak Wilkins,
yang menjadi wasit, kepada Jennings.
"Ya, saya tahu, Pak. Biasanya memang saya lepas. Tapi karena tadi terburu-buru
saya lupa, dan... " "Baiklah, sini kusimpan." Pak Wilkins mengambil arloji itu lalu memasukkannya ke
dalam kantong. Kemudian ditiupnya peluit: pertandingan uji coba dimulai!
Kedua tim ternyata bermain tidak seimbang, karena Pak Wilkins memang sengaja
hendak menguji para pemain depan dan gelandang terbaik di satu pihak melawan
pemain-pemain belakang yang terbaik dan penjaga gawang pada pihak lainnya. Anak-
anak yang bermain pada posisi-posisi itu adalah "calon-calon kuatnya", sementara
posisi-posisi selebihnya diisi oleh "calon-calon yang mungkin terpilih". Kecuali
penjaga gawang yang kedua. Kalau dia itu, benar-benar payah!
Dengan demikian selama dua puluh menit pertama permainan, bola terus-menerus
berada di separo lapangan yang itu-itu saja. Darbishire, yang jauh dari bola dan
sendirian saja di depan gawangnya, tidak punya kesibukan apa pun juga kecuali
berdiri dan menonton sosok-sosok para pemain yang lari kian-kemari di sisi
seberang lapangan. Kalau melihat betapa para pemain depan kesebelasannya terus
melakukan tekanan, tampaknya sampai akhir permainan ia takkan pernah perlu
menyentuh bola. Selama beberapa saat ia melewatkan waktu dengan membuat pola-pola di tanah yang
becek dengan sol sepatu sepakbolanya. Kemudian ia bosan dengan kesibukan itu.
Edan! katanya pada diri sendiri. Kalau bola sampai sore tidak mendekat
kepadanya, berarti ia harus berdiri terus sepanjang siang. Padahal, selama itu
ia sebenarnya bisa saja duduk di perpustakaan, membaca buku yang asyik.
Misalnya saja membaca kisah fiksi ilmiah yang dipinjamkan Jennings padanya. ,Ia
meraba-raba tonjolan persegi empat yang ada di balik sweternya. Ia tentu saja
tidak bisa duduk dengan santai untuk membaca sepuas-puasnya. Tapi setidak-
tidaknya ia bisa membalik-balik halaman buku itu, untuk melihat apa ceritanya.
Ia memandang ke seberang lapangan. Saat itu salah seorang pemain kesebelasannya
sedang hendak melakukan satu tendangan pojok lagi. Sejak pertandingan dimulai,
kesebelasannya sudah beberapa kali melakukan tendangan pojok. Dan tampaknya akan
begitu terus sampai saat turun minum. Para pemain yang ada di seberang lapangan
pun terlalu sibuk menerima serangan-serangan timnya.
Darbishire mengeluarkan buku yang dipinjamnya dari balik sweter lalu membuka
sampulnya... Ancaman Jagoan Angkasa Luar. Kelihatannya ramai juga ceritanya. Ia
melihat bahwa di buku itu juga terdapat tanda hak cipta. Jadi pasti bagus!
Matanya bergerak, menelusuri alinea-alinea pembuka. Kemudian ia membalik halaman
dan melanjutkan membaca. Dengan segera ia sudah masuk ke dalam dunia ajaib fiksi
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmiah, sehingga lupa sama sekali bahwa ia seharusnya bertugas menjaga gawang.
Tidak ada yang orisinal tentang alur kisah Ancaman 'Jagoan Angkasa Luar' itu.
Pada akhir alinea kedua tokoh pahlawan dalam cerita itu, yang berumur dua belas
tahun, sudah melihat sebuah pesawat ruang angkasa, pada waktu sedang mengamati
kehidupan burung-burung di suatu tempat yang sunyi dan terpencil di sebuah
pedesaan di Inggris. Dua halaman selanjutnya pesawat itu mendarat di pinggir
sebuah hutan dan suatu makhluk kecil berwarna hijau menyapa tokoh pahlawan
dengan suara aneh, seperti suara logam. "Salam, manusia bumi! Kami datang dari
suatu galaksi yang sangat jauh. Kami datang dengan maksud damai. Antarkan aku ke
pemimpin kalian!" Darbishire berhenti membaca. Ia menatap jauh, ke seberang lapangan-lapangan
sepakbola, memandang hutan kecil di ujung pekarangan sekolah... Sunyi,
terpencil, dan di tengah-tengah daerah pedesaan! Tempat yang benar-benar cocok
bagi pendaratan sebuah piring terbang! Tapi itu tentu takkan terjadi. Tidak
mungkin! Tapi bagaimana jika ternyata terjadi juga! Bayangkan, mata C.E.J. Darbishire
yang tajam melihat sebuah benda terbang yang aneh mendarat di-ya katakanlah-di
sebidang tanah tak terawat di sebelah sana itu, di belakang lapangan sepakbola
Kesebelasan Pertama. Yang lain-lain takkan melihatnya, karena mereka semua
sedang sibuk melakukan tendangan pojok. Dan bayangkan, kemudian suatu makhluk
kecil hijau dengan kening besar menonjol datang menyelinap dari balik sudut
paviliun, menghampiri penjaga gawang yang sedang seorang diri dan berkata,
"Antarkan aku ke pemimpin kalian!"
Apakah yang akan dilakukannya" Kening Darbishire berkerut. Ia berpikir keras.
Siapakah sebenarnya pemimpinnya" Apakah ia harus mengantarkan makhluk kecil
hijau itu ke Pak Wilkins" Atau ke Kepala Sekolah" ...Atau barangkali ke Perdana
Menteri-atau bahkan dibawa menghadap Ratu"
Yah, kenapa tidak" Dalam benaknya, Darbishire membayangkan dirinya mengenakan
setelan jasnya yang paling bagus, pergi naik taksi menuju ke Istana Buckingham
bersama makhluk kecil hijau itu, yang memandang ke luar dengan terheran-heran.
"Tempat yang baru saja kita lewati tadi itu, namanya Trafalgar Square," kata
Darbishire menjelaskan. Ia berbicara dengan lambat dan jelas, agar tidak
membingungkan tamu dari angkasa luar itu. "Pria yang ada di ujung atas tiang
tadi, dia itu seorang pelaut bernama Nelson, tapi sekarang dia sudah meninggal
dunia." Ia menunjuk lurus ke depan. "Itu istana tempat tinggal pemimpin kami.
Anda bisa tahu bahwa dia ada di rumah, karena ada bendera berkibar di atas atap.
Aku sebenarnya belum mengadakan janji untuk bertemu dengannya, tapi jika dia
mendengar betapa pentingnya urusan ini, aku yakin ia akan... "
"Darbishire!" Teriakan-teriakan serak bernada cemas dan kesal yang datang dari tengah
lapangan, oleh Darbishire terdengar bagaikan tembakan pistol yang langsung
membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke depan. Dilihatnya Martin-Jones, penyerang tengah kesebelasan
lawan berhasil menerobos dan kini lari ke arahnya sambil menggiring bola. Ia
berhasil meninggalkan pemain belakang yang masih terus berusaha mengejar. Kini
Martin-Jones tengah mengambil ancang-ancang, untuk menendang bola dengan sangat
terarah ke gawang. Darbishire gugup. Ia berlari-lari kecil memasuki daerah penalti untuk mencegat
serangan yang datang. Tapi saat itu juga Martin-Jones sudah menendang bola ke
depan dengan sekuat tenaga.
Bola yang ditendang itu membentur perut Darbishire sehingga ia jatuh
terjengkang. Buku Ancaman Jagoan Angkasa Luar terpental dari tangannya dan
terbang melingkar di atas kepala; buku yang dipinjam dari perpustakaan merosot
keluar dari balik sweternya, sementara kedua kakinya yang menendang-nendang
menyebabkan kedua buku saku yang dijadikan pelindung tulang kering melesat
keluar dari balik kaus kaki dan jatuh ke lumpur, di sisi kiri dan kanan titik
penalti. Bolanya sendiri berguling masuk ke dalam gawang. Peluit berbunyi, tanda
bahwa bola itu masuk. Gol!
Darbishire bangkit untuk menghadapi hujan umpatan dari teman-teman setimnya,
yang menandak-nandak penuh kemarahan karena sikapnya yang dengan sengaja
mengabaikan kewajiban. Tapi kemarahan mereka masih belum apa-apa, dibandingkan
dengan keberangan Pak Wilkins. Guru yang menjadi wasit itu bergegas
menghampirinya untuk menyelidiki apa sebetulnya yang telah terjadi. Sewaktu
sampai di daerah penalti kakinya menginjak salah satu buku saku yang tergeletak
di situ. Punggung buku yang sudah sering berpindah tangan itu pecah dan halaman-
halamannya bertebaran ke mana-mana, bagaikan daun-daun kering pada musim rontok.
"Apa-apa-apa, demi guntur, yang terjadi di sini?" tukas wasit itu tergagap-
gagap, sementara Darbishire mengambil bola dari jaring gawang.
"Tidak ada apa-apa, Pak, cuma Martin-Jones saja berhasil mencetak gol. Saya
masih berusaha menyelamatkan, tapi tidak sempat merebut bola dan..."
"Masa bodoh tentang bola! Kenapa sampai ada buku-buku berserakan di sini?" Pak
Wilkins menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah begitu banyak bahan bacaan yang
terserak di sekitar kakinya. "Membaca di gawang! Belum pernah kudengar kelakuan
yang begitu keterlaluan! Ini kelihatan lebih mirip perpustakaan umum daripada
lapangan sepakbola!"
"Ya, saya tahu, Pak. Semuanya itu cuma berapa buku yang kebetulan saja ada di
balik sweter saya dan... eh... di tempat-tempat lain seperti itu. Saya sama
sekali tidak bermaksud hendak membacanya, Pak. Yah, cuma melihat-lihat isinya
saja sedikit." "Tapi kenapa kau membawanya ke lapangan?" Pak Wilkins sangat marah. "Kau ini
sudah sinting rupanya! Orang beradab tidak bermain sepakbola dengan membawa
buku-buku di balik sweternya. Coba lihat keadaannya sekarang! Berlumur lumpur,
dengan halaman-halaman yang terlepas bertebaran ke mana-mana, sampai ke tiang
pojok. Ayo, pungut semua sampah ini lalu langsung tinggalkan lapangan. Aku tidak
sudi mempertimbangkan siapa pun juga yang tidak bersikap serius untuk bisa ikut
dalam tim." Itu cuma ancaman kosong belaka, karena Darbishire memang tidak mungkin terpilih.
Menyadari kenyataan itu, Pak Wilkins lantas menyambung, "Dan kau juga kehilangan
peluangmu untuk menjadi penjaga garis."
"Aduh, Pak!" Tampang Darbishire langsung kecut. Ia tidak merasa keberatan
disuruh masuk. Tapi ia kepingin sekali bisa ikut ke Bracebridge bersama tim yang
akan bertanding di sana. "Itu memang sudah sepantasnya!" Pak Wilkins mendengus. "Menurutmu, kau itu nanti
akan jadi penjaga garis macam apa" Begitu diberi kesempatan sedikit saja, kau
pasti akan membuka kios buku di garis pinggir, dan bukannya memperhatikan
jalannya pertandingan!"
Ketika Darbishire sudah masuk ke gedung, Pak Wilkins memperkuat pihak yang lebih
lemah dan menukar posisi beberapa pemain. Tindakannya itu menyebabkan permainan
menjadi terbuka. Kedua tim memperoleh peluang yang lebih besar untuk
memperagakan kemampuan mereka.
Selama sebagian besar waktu dari paro kedua, Jennings bermain dengan tekun,
tanpa sedikit pun tampak menonjol. Kemudian, tidak lama sebelum peluit panjang
berbunyi, tahu-tahu ia sudah menggiring bola, memimpin serangan ke arah gawang
lawan. Dengan mempergunakan akal secara cepat serta pengoperan bola dengan
terampil, ia berhasil melewati penjagaan para pemain belakang lawan, langsung
menendang bola masuk ke dalam gawang.
Pak Wilkins mengangguk dengan sikap senang. Ia berkata, "Permainan bagus,
Jennings!" Itu merupakan pujian besar baginya, dan Jennings begitu senang atas
keberhasilannya sehingga ketika pertandingan usai ia langsung bergegas
meninggalkan lapangan. Ia tidak ingat untuk meminta kembali arlojinya yang tadi
dititipkannya pada Pak Wilkins.
Sayang sekali hal itu sampai terjadi, karena Pak Wilkins pun lupa akan arloji
yang dititipkan padanya itu-sampai segalanya sudah terlambat!
3. Sepasang Sepatu Aneh HARAPAN Jennings untuk ikut terpilih dalam Kesebelasan Kedua yang akan melawan
Kesebelasan Bracebridge terpenuhi ketika nama para pemain dipasang di papan
pengumuman pada saat istirahat pagi hari Rabu berikutnya.
Temple, Venables, Bromwich, dan Martin-Jones juga terpilih; tapi Darbishire-
seperti sudah diperkirakan-kehilangan posisinya sebagai penjaga garis,
digantikan oleh Atkinson.
"Kasihan Darbi! Tapi salahnya sendiri, kenapa membaca ketika sedang menjaga
gawang! Ia pasti sebal setengah mati kalau kita pulang nanti dan bercerita
padanya betapa sedap suguhan yang dihidangkan di sana untuk kita," kata Venables
di ruang ganti, sementara tim-tim yang akan bertanding sedang bersiap-siap. "Dan
kita mungkin nanti malam tidak punya waktu lagi untuk mengerjakan tugas-tugas,
kalau saja kita berlama-lama memakan suguhan mereka. Kita kan tidak perlu buru-
buru, apabila ada bus tersendiri yang disediakan untuk kita."
Segi pengaturan perjalanan inilah yang begitu menarik bagi Venables beserta
teman-temannya. Biasanya, kesebelasan sekolah berangkat naik mobil-mobil para guru atau
menggunakan jasa bus umum setempat. Tapi acara pertandingan yang sekarang
melibatkan tiga tim dari masing-masing sekolah: Kesebelasan Pertama bertanding
sebagai tuan rumah di Linbury, sementara Kesebelasan Kedua dan Ketiga bermain di
Bracebridge. Karena lebih dari dua lusin penumpang yang harus diangkut, Kepala
Sekolah lebih suka mencarter sebuah bus daripada mengandalkan jasa angkutan
umum. "Pak Wilkie dan Pak Hind akan memimpin rombongan dalam bus kita," kata Jennings
memberi tahu rekan-rekannya, sambil memasukkan baju sepakbolanya ke dalam tas
olahraga. "Itu berarti Pak Carter akan mewasiti pertandingan Kesebelasan Pertama
dan..." Ia berhenti sebentar, sementara keningnya berkerut. "Aduh, pancing peot, baru
saja aku teringat bahwa sweter putihku ketinggalan di paviliun sehabis
pertandingan uji coba kemarin. Bagaimana, ya... masih sempatkah aku pergi
mengambilnya?" "Kau harus mengambilnya! Pak Wilkins pasti meledak nanti kalau kau muncul
berlari-lari ke tengah lapangan tanpa mengenakannya," kata Venables
memperingatkan. "Dan cepatlah sedikit. Busnya akan tiba di sini sepuluh menit
lagi." Jennings buru-buru menutup tas olahraganya lalu bergegas meninggalkan ruangan
untuk mengambil sweternya. Paviliun pasti dalam keadaan terkunci pada saat yang
masih begitu siang. Jadi ia terpaksa harus mencari Pak Wilkins, untuk meminjam
anak kunci. Ia bergegas menaiki tangga, menuju ke ruang duduk guru, dengan harapan akan
menemukan Pak Wilkins di situ, sedang menikmati secangkir kopi yang biasa
diminumnya sesudah makan siang. Jennings berniat untuk sekaligus juga menanyakan
arlojinya. Sudah tiga kali ia menanyakan arlojinya sejak pertandingan latihan
minggu yang lalu, tapi setiap kali Pak Wilkins menjawab bahwa ia sedang sibuk
sekali, jadi tidak punya waktu untuk mencari di kamarnya.
Itu memang benar. Tapi kenyataan sebenarnya, Pak Wilkins tidak tahu dengan pasti
apa sebenarnya yang telah terjadi pada benda itu. Ia ingat bahwa ia
memasukkannya ke dalam saku jaket sportnya yang tua, yang selalu dipakainya pada
saat ia menjadi wasit permainan sepakbola tingkat junior. Namun sewaktu ia
memeriksa saku-saku jasnya itu kemudian, arloji Jennings sudah tidak ada lagi di
dalamnya. Tapi pada saat itu Pak Wilkins tidak merasa terlalu cemas mengenainya. Arloji
itu pasti ada di salah satu tempat di dalam kamarnya, dan ia bermaksud akan
melakukan pencarian secara saksama begitu ia punya waktu. Sementara itu Jennings
harus bersabar dulu. Cukup banyak jam di berbagai tempat di dalam gedung,
apabila anak itu hendak mengetahui waktu.
Tidak terdengar jawaban dari dalam sewaktu Jennings mengetuk pintu kamar kerja
Pak Wilkins. Karenanya ia menjenguk ke dalam, untuk memastikan bahwa tidak ada
siapa-siapa di situ. Saat itu ia melihat seberkas anak kunci tergantung di
dinding dekat jendela. Ia berjingkat-jingkat masuk lalu mengambil seberkas anak
kunci tersebut. Dengan harap-harap cemas diperiksanya anak-anak kunci itu satu
demi satu. Dengan cepat ia menemukan anak kunci model Yale (yang gampang dikenali karena
ada setitik cat hijau pada batangnya) yang sering dilihatnya dipakai untuk
membuka pintu paviliun. Jennings merasa bahwa pasti tidak ada salahnya meminjam anak kunci itu selama
beberapa menit-apalagi ia memang tidak sempat lagi mencari Pak Wilkins dulu!
Jika ditanya nanti, ia bisa memberikan alasannya. Tapi rasanya takkan ada
pertanyaan, kalau anak kunci itu sudah dikembalikan ke tempatnya sebelum ada
yang tahu bahwa anak kunci itu tadi lenyap. Jadi Jennings lalu melepaskan anak
kunci itu dari berkasnya, dan bergegas meninggalkan ruangan Pak Wilkins.
Kepala Sekolah, Pak Pemberton-Oakes, sedang bercakap-cakap dengan Pak Hind di
dekat pintu samping ketika Jennings sampai lagi di lantai dasar. Meski waktu
saat itu berharga, Jennings menyadari bahwa ia harus mengenakan sepatu untuk di
luar dulu sebelum melewati mereka. Soalnya, Kepala Sekolah pasti akan menegurnya
apabila ia mencoba pergi ke luar dengan memakai sepatu yang khusus untuk dipakai
di dalam gedung. Untungnya, ruang tempat penyimpanan sepatu tidak jauh letaknya dari situ.
Jennings buru-buru mengenakan sepatu lars karetnya. Ia berjalan dengan lambat-
lambat dan sopan melewati kedua guru itu, lalu melesat keluar lewat pintu
samping. Di luar, teman-teman seregunya sudah berkumpul di pelataran aspal. Mereka
memakai pakaian untuk bepergian serta menenteng tas olahraga. Semua sudah siap
untuk berangkat. Temple berseru, "He, cepatlah sedikit, Jen! Sebentar lagi busnya datang! Kau kan
tahu, Pak Wilkie takkan mau menunggu!"
Sesaat Jennings panik, membayangkan dirinya ditinggal. Tapi buru-buru ditekannya
perasaan itu. Mereka takkan mungkin pergi tanpa dia, katanya mengingatkan diri
sendiri dalam hati. Mana mungkin bertanding apabila kurang seorang pemain! Ia
berlari secepat-cepatnya menuju paviliun, membuka pintunya lalu mengambil
sweternya yang tergantung di sebuah sangkutan di pojok ruangan yang jauh dari
pintu. Ketika ia membanting pintu dalam perjalanan keluar, dilihatnya bus memasuki
pekarangan menuju ke arahnya, untuk menjemput para penumpang. Jennings sudah
bertekad hendak naik paling dulu agar ia bisa menempati bangku yang paling
disukai anak-anak, yaitu di sudut kanan bangku paling belakang.
Kini, satu-satunya kemungkinan untuk bisa mengambil tempat duduk itu adalah
dengan jalan mendului antrean. Jadi Jennings bukannya kembali ke pelataran,
melainkan lari menyongsong bus yang menuju ke arahnya. Di sudut jalan masuk, bus
tersebut memperlambat jalannya agar tidak keluar dari tikungan. Ketika kendaraan
besar itu sudah sampai di sisinya, Jennings meloncat naik ke tangga lalu
mendorong pintunya sehingga terbuka. Ia mengangguk dengan ramah ke arah
pengemudi bus, berjalan ke belakang, lalu menjatuhkan badannya di tempat duduk
di sudut. Ia tentu saja nanti harus turun lagi untuk mengambil perlengkapannya.
Tapi pokoknya, jika ia bisa mencadangkan tempat duduk itu untuk dirinya, teman-
teman yang lain pasti hanya bisa gigit jari.
Sekitar lima puluh meter lebih jauh, bus itu berhenti di sudut ruang olahraga.
Para penumpang berdesak-desak naik, yang masuk lebih dulu bersemangat hendak
menempati tempat duduk yang mereka sukai.
Bromwich, yang paling awal masuk, marah ketika melihat Jennings menduduki tempat
yang diingininya. "Apa-apaan ini"! Kok kau sudah ada di situ sebelum aku?" tanyanya dengan nada
heran bercampur sebal. Jennings menanggapi wajah Bromwich yang cemberut dengan senyum kemenangan. "Aku
sudah sejak berjam-jam ada di sini. Kau terlambat seratus tahun jika ingin duduk
di sini. Aku sudah lebih dulu mengetapnya."
Dengan cepat Bromwich melihat kelemahan Jennings. "Ah, tapi kau tidak membawa
perlengkapanmu. Mana tasmu" Mana mantel hujanmu" Lagi pula, kau takkan diizinkan
pergi dengan memakai sepatu lars karet."
"Aku memang akan turun untuk mengambil barang-barangku itu. Akan kutinggalkan
sweterku di sini, sebagai bukti bahwa ini tempat dudukku."
"Tidak bisa! Jika kau turun dan meninggalkannya..." Bromwich tidak melanjutkan
kalimatnya. Air mukanya berubah, tidak lagi cemberut. Sekarang ia nyengir.
"Baiklah kalau begitu, Jennings. Sana, pergi!ah mengambil perlengkapanmu. Akan
kujagakan tempat dudukmu selama itu."
Jennings merasa ragu., Sudah jelas, begitu ia meninggalkan tempat duduknya yang
di sudut itu, takkan ada harapan bisa mendapatkannya lagi kalau ia kembali
nanti. Ia melayangkan pandangan dengan kening berkerut ke luar lewat jendela.
Dilihatnya Darbishire ada di antara anak-anak yang berkumpul untuk mengucapkan
selamat bertanding kepada tim yang akan berangkat.
Jennings membuka jendela lalu berseru, "He, Darbi! Cepat, tolong aku sebentar.
Ini penting!" Darbishire meninggalkan anak-anak yang berkerumun, datang menghampiri jendela.
"Ada apa?" "Tolong ambilkan tas dan barang-barangku, ya" Semuanya tadi kuletakkan di
bangku, di ruang ganti pakaian. Aku tidak bisa pergi sendiri mengambilnya,
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena nanti ada anak brengsek merebut tempat dudukku."
Sementara Darbishire bergegas pergi, Jennings pun teringat bahwa ia saat itu
masih memakai sepatu lars. Karenanya ia berteriak, menyusulkan pesan, "Juga
sepatuku yang untuk di luar! Di dalam lemariku! Ayo, cepatlah sedikit! Sebentar
lagi bus akan berangkat."
Sambil tersenyum, Jennings merebahkan punggungnya ke sandaran tempat duduknya.
Bromo tertipu, pikirnya. Ia tertawa dalam hati, ketika melihat bahwa sekarang
Bromwich juga kehilangan tempat duduk di sudut yang satu lagi, karena sudah
ditempati Temple. Semua anak yang lain sudah mendapat tempat duduk dan kedua guru yang memimpin
rombongan juga sudah datang. Pak Hind, seorang pria muda bertubuh jangkung dan
kurus sudah naik ke dalam bus untuk mengecek daftar penumpang. Dia guru
menggambar dan musik. Sementara itu Pak Wilkins berdiri di pintu kendaraan,
bercakap-cakap dengan Pak Carter yang ikut menemaninya berjalan ke luar.
"Sudah waktunya kita berangkat," kata Pak Wilkins, setelah melirik arlojinya
sebentar. "Anak kunci pintu paviliun ada di kamar saya. Ada di gelang kunci
bersama seberkas anak kunci lainnya, tergantung dekat jendela."
"Pokoknya bereslah," kata Pak Carter. "Saya tunggu sampai kalian sudah berangkat
dan setelah itu akan saya keluarkan segala perlengkapan sebelum tamu-tamu kita
tiba." Kedua guru itu masih mengobrol selama berapa saat lagi. Sementara itu Darbishire
sudah muncul lagi, sambil membawa barang-barang Jennings, ia langsung menuju
jendela kanan belakang bus.
"Ini barang-barangmu!" katanya dengan napas tersengal-sengal. Ia berjingkat
dengan tangan terulur ke atas, sementara Jennings menjulurkan tubuhnya ke luar,
mengambil tasnya. "Dan ini sepatumu." Darbi membungkuk untuk memungut sepatu
Jennings yang diletakkannya di pelataran sebelum mengulurkan tas temannya itu ke
atas. Setelah membidik dengan saksama, dilambungkannya satu sepatu masuk ke dalam bus
lewat jendela. Sepatu yang satu lagi hendak disusulkannya ketika Jennings
berseru, "Tunggu sebentar, kupakai dulu! Nanti tolong bawakan sepatu larsku ke
dalam." Beberapa saat kemudian, sepatu lars Jennings yang sebelah kiri melayang keluar
lewat jendela dan jatuh di pelataran. Darbishire pergi mengambilnya. Ia baru
saja akan melambungkan sepatu luar Jennings yang satu lagi ketika tahu-tahu bus
mulai berangkat, tanpa ada tanda-tanda apa pun sebelumnya.
Karena tidak menduga hal itu akan terjadi, lemparan Darbishire meleset. Sepatu
yang dilambungkannya membentur kaca jendela belakang dan jatuh ke pelataran.
Darbi memungutnya lagi, namun sementara itu bus sudah berjalan sekitar dua puluh
meter menuju ke luar. Jennings juga bingung ketika bus tahu-tahu berangkat. "Pak, Pak, berhenti, Pak!"
serunya pada Pak Wilkins, yang baru saja menempati sebuah tempat duduk di depan.
"Penting sekali, Pak! Darbishire sedang membantu saya..."
"Diam, Jennings," seru Pak Wilkins dengan galak ke arah belakang. Karena tidak
tahu ada masalah dengan alas kaki Jennings, ia menyangka anak itu berteriak
hanya untuk menarik perhatian saja. "Kau setidak-tidaknya harus tahu sopan
santun dan menaruh perhatian kepada anak-anak yang mengantarkan kalian
berangkat." Sementara bus semakin laju jalannya, para penumpang menoleh ke belakang dan
melambaikan tangan ke arah teman-teman mereka yang mengantar. Teman-teman itu
membalas dengan melambaikan saputangan sambil bersorak-sorak, memberi semangat
kepada tim yang akan bertanding.
Darbishire tidak melambaikan saputangannya. Tangannya yang satu melambaikan
sepatu luar Jennings yang sebelah kanan, sementara tangan yang satu lagi
melambaikan sepatu lars kiri temannya yang kotor kena lumpur. Dasar Jennings,
katanya dalam hati. Jennings baru berhenti berkeluh kesah menyesali kesialannya ketika bus sudah
melewati desa Linbury dan menghampiri kota Dunhambury.
"Darbi brengsek! Anak itu perlu diperiksa otaknya, membiarkan aku berangkat
dengan keadaan begini," keluhnya pada Martin-Jones yang duduk di sampingnya.
"Satu sepatu luar dan satu sepatu lars! Huhh! Apa kata Pak Wilkie nanti jika ia
melihat kakiku!" Bromwich memutar tubuhnya di tempat duduk yang terpaksa diambilnya. Ia tertawa
senang. "Tahu rasa sekarang! Itulah, kalau serakah, buru-buru karena ingin
mendapat tempat duduk terbaik, dan bukannya mengurus barang-barangmu."
"Lagi pula, kau tidak bisa mempersalahkan Darbishire," kata Martin-Jones. "Jika
kau tadi tidak mengganti sepatu yang sebelah dulu, pasti masih cukup waktu untuk
melemparkan sepatu luarmu yang satu lagi."
"Dari mana aku tahu bahwa saat itu bus sudah hendak berangkat" Aku bahkan tidak
melihat Pak Wilkie masuk. Dan kemudian ketika aku minta agar bus berhenti
sebentar, beliau tidak mau mendengar. Ini sebenarnya kesalahan Pak Wilkie."
Jennings menatap ke luar dengan perasaan masih sebal ketika bus memasuki kawasan
pinggir kota Dunhambury. Jendela-jendela buram karena embun. Karenanya Jennings
hendak mengambil saputangannya untuk dipakai mengelap kaca jendela. Ketika
tangannya merogoh sakunya, terpegang olehnya sebuah benda pipih dan logam. Satu
sisinya terasa tidak rata, bergerigi.
Jennings tersentak. Itu kan anak kunci pintu paviliun. Ia merasa kecut, karena
menyadari bahwa ia telah melakukan satu kesalahan lagi.
Sedikit pun ia tidak teringat lagi pada anak kunci itu, begitu pintu paviliun
sudah ditutupnya kembali.
Dan sekarang, anak kunci itu ada di sakunya! Orang-orang di sekolah sekarang
pasti sibuk mencari-cari. Mereka tidak bisa mengambil bola-bola, tiang-tiang
pojok dengan bendera-benderanya, serta bangku-bangku untuk para penonton yang
tergolong orang-orang penting. Dan mereka harus mengusahakan tempat lain bagi
tim tamu dari Bracebridge untuk ganti pakaian. Namun sekarang sudah terlambat
untuk berbuat apa pun. Jennings memutuskan bahwa yang terbaik baginya adalah
tidak mengatakan apa-apa, dan nanti apabila sudah kembali ke sekolah diam-diam
akan dipulangkannya anak kunci itu ke tempat semula. Pak Carter atau Kepala
Sekolah, atau salah seorang, pasti punya anak kunci cadangan. Pokoknya, urusan
itu pasti bisa mereka bereskan!
Ia membersihkan kaca jendela di sampingnya dengan saputangannya lalu memandang
ke luar. Bus saat itu sedang berjalan dengan lambat di tengah arus lalu lintas
yang ramai di jalan utama kota Dunhambury. Lambatnya jalan kendaraan memberi
peluang bagi Jennings untuk memperhatikan jendela-jendela pajangan toko-toko
yang dilewati. Aneh, pikirnya, selama masa liburan, pada saat ia bisa sepuas-puasnya memandang
isi jendela-jendela pajang toko-toko kapan saja ia mau, ia hanya lewat saja di
depan jendela-jendela itu tanpa benar-benar memperhatikan isinya. Tapi pada
waktu bersekolah, saat ia terikat pada jadwal sekolah asrama, kawasan pusat
perbelanjaan yang ramai terasa begitu istimewa sehingga tanpa disadarinya ia
begitu asyik memperhatikan barang-barang dagangan yang sebenarnya sama sekali
tidak menarik baginya. Jennings menyikut Martin-Jones lalu memberi tahu, "Minggu ini ada potongan harga
sepuluh penny di pasar swalayan. Penawaran khusus!"
"Potongan sepuluh penny untuk apa?" tanya Martin-Jones ingin tahu.
"Aku tidak tahu, tapi apa pun juga, kedengarannya betul-betul murah. Banting
harga, begitu kubaca tadi. Belilah sekarang, selama persediaan masih ada!"
Jennings berpaling ke jendela lagi untuk mengagumi pajangan kembang api dan
topeng-topeng Guy Fawkes di sebuah jendela toko. Jennings lantas teringat bahwa
tidak lama lagi, tepatnya tanggal 5 November, akan ada perayaan Hari Guy Fawkes.
Sewaktu bus berhenti di lampu lalu lintas, Jennings menyikut Martin-Jones lagi
sambil berkata, "Kita bisa mendapat lima belas pound atau lebih, kalau mau jual
piano yang sudah tua di toko musik itu. Lumayan, ya"!"
Martin-Jones kurang percaya. "Lima belas pound" Meski pianonya sudah bobrok?"
"Itu yang tertulis di situ. Dalam kondisi seperti apa pun, begitu
pemberitahuannya." "Untuk apa itu kauceritakan padaku" Aku tidak punya piano tua."
"Aku juga tidak," kata Jennings. "Aku cuma mengandaikan aku punya, itu saja."
Pak Hind dan Pak Wilkins turun paling dulu ketika bus sampai di tujuan sepuluh
menit kemudian. Mereka bersalaman dengan Pak Parkinson, guru olahraga, yang
keluar menyambut kedatangan para tamu bersama serombongan murid pendukung tim
Bracebridge. Mereka semua berdiri menonton para anggota tim dari Linbury turun
satu per satu dari dalam bus.
Yang paling akhir turun adalah penumpang yang tadi duduk di tempat duduk sudut
kanan belakang. Ia muncul sambil tersenyum malu-malu, sementara matanya menatap
lurus ke depan dengan harapan bahwa sikapnya itu bisa mengalihkan perhatian
orang dari kakinya. Tapi siasatnya itu percuma saja. Pak Parkinon, seorang pria ramah bertubuh gemuk
dengan rambut kuning keputih-putihan yang sudah menipis serta kumis tebal,
memandang sekilas ke arah kaki tamu yang turun paling belakang itu lalu
mengatakan, "Wah, wah! Kaki yang satu memakai sepatu luar berwarna coklat,
sementara kaki yang lain terbungkus lars hitam. Rupanya ini suatu gaya baru
untuk seragam sekolah!" Senyumnya tampak seperti menyatakan bahwa murid-muridnya
sendiri takkan pernah membuatnya malu dengan penampilan yang begitu konyol di
depan umum. Kedua guru dari Linbury mengernyitkan muka karena malu. Kalau di sekolah
sendiri, mereka mungkin bisa lebih bersikap toleran terhadap gaya baru dalam
berbusana itu. Tapi di sini, di Bracebridge, penampilan semacam itu tidak bisa
dimaafkan. Begitulah Jennings, dia selalu memilih waktu dan tempat yang paling
tidak cocok, yang membuat dirinya sendiri menjadi bahan tertawaan orang! Dan
kenapa tidak ada yang memperhatikan bahwa rambut anak itu sudah perlu sekali
dipangkas, kata Pak Wilkins dalam hati dengan jengkel. Penampilan semacam itu
benar-benar menurunkan martabat sekolah!
Pak Wilkins menatap pemain sepakbola yang berambut gondrong dan memakai sepatu
yang berbeda kiri dan kanan itu dengan mata melotot, sementara bibirnya
memamerkan senyum yang diarahkannya pada Pak Parkinson serta para murid
Bracebridge yang menonton.
Pak Wilkins mendecak-decakkan lidahnya.
"Kau ini benar-benar konyol, Jennings," katanya sambil terus memaksa diri
tersenyum. "Mestinya kau kan bisa mengurus sendiri mana sepatu yang harus
dipakai." "Ya, saya tahu, Pak. Cuma soalnya, bus tahu-tahu mulai berjalan ketika saya
sedang menukarnya dan..."
"Ya, ya, sudahlah!" Pak Wilkins memutuskan. Saat itu lebih baik jika urusan itu
dibicarakan sesedikit mungkin. Masih cukup banyak waktu baginya nanti untuk
menyatakan pendapatnya mengenai ulah Jennings. Tunggu sampai kembali ke Linbury,
katanya dalam hati. Biar saja Jennings menunggu sampai mereka sudah kembali ke
sekolah! 4. Masalah Penyaluran Air
TIM-TIM Linbury diantarkan ke ruang ganti pakaian mereka di ruang olahraga.
Tempat itu merupakan sebuah gedung modern yang letaknya agak jauh dari bangunan
utama, tempat tim-tim tuan rumah sedang menyiapkan diri untuk bertanding.
Pada satu sisi ruang ganti itu ada pintu yang menuju ke ruang senam. Pintu yang
terdapat di sisi lainnya menuju ke sebuah gang yang bersebelahan dengan kolam
renang tertutup. Suatu keistimewaan kolam renang Sekolah Bracebridge itu adalah sistem pemanasan
airnya yang sangat baik. Sistem itu menjamin bahwa murid-murid tidak hanya bisa
berenang di situ pada musim panas saja (seperti di Linbury), tetapi juga pada
musim rontok. Pada hakikatnya, hanya karena pertimbangan biaya pemanasan air
sajalah kolam itu tidak bisa dipergunakan sepanjang tahun. Ruang ganti pakaian
di situ terang dan lapang, dilengkapi dengan pancuran untuk mandi serta bak-bak
untuk berendam sampai ke lutut. Perlengkapan yang begitu modern mencolok sekali
bila dibandingkan dengan dinding kayu yang catnya sudah bergores-gores serta
bangku-bangku duduk dari kayu kasar yang terdapat di kamar ganti yang suram di
ruang bawah tanah Sekolah Linbury Court.
Kedua kesebelasan tuan rumah sudah berada di lapangan, menendang-nendang bola,
sewaktu tim-tim tamu keluar dari kamar ganti. Pertandingan kemudian langsung
dimulai. Permainan tidak menimbulkan hal-hal tak terduga. Tidak ada aksi pemain yang
menonjol. Keempat tim yang bertanding bermain dengan baik. Kesebelasan-
kesebelasan Ketiga bermain dengan bersemangat padahal keterampilannya masih
kurang. Ketika peluit panjang berbunyi sebagai tanda usainya pertandingan,
Kesebelasan Kedua Linbury kalah satu gol, dengan hasil akhir 3-2 untuk
kesebelasan tuan rumah. Sementara kesebelasan ketiga sekolah mereka berhasil
menahan kesebelasan lawan, dengan hasil kacamata, 0-0. Tapi meski
pertandingannya berlangsung dengan biasa-biasa saja, suatu peristiwa susulan
yang tak terduga-duga menyajikan peristiwa puncak bagi kegiatan petang itu.
Begitu mereka sudah kembali berada di ruang ganti, anak-anak Linbury langsung
lari untuk mandi di bawah pancuran.
"Aku ingin mandi sepuas-puasnya," kata Temple sambil melepaskan kemejanya.
"Perlengkapan di sini lebih baik dari yang ada di tempat kita."
Keenam anak yang sudah paling dulu siap melangkah ke bawah pancuran, membuka
keran-lalu melompat mundur dengan napas tersentak-sentak sewaktu air dingin
memancur turun membasahi tubuh mereka.
"Tunggu saja dulu, sebentar lagi pasti panas," kata Bromwich. Ia menyodorkan
tangannya ke air dingin yang memancur lalu memutar keran air panas sampai
mentok. "Air panasnya memang selalu agak lambat keluarnya."
Mereka menunggu sambil menggigil, dengan tetes-tetes air sedingin es mengalir
turun di dada mereka. Tapi ketika sudah lewat waktu semenit, air dari pancuran
masih tetap saja dingin seperti tadi. "Bahkan jadi hangat pun tidak! Sama
dinginnya seperti sewaktu kita buka tadi," kata Venables mengeluh.
Jennings, yang sudah membuka sepatu dan kaus kaki sepakbolanya, tapi untuk
selebihnya masih mengenakan pakaian sepakbola, dengan santai datang menghampiri
untuk melihat apa yang diributkan oleh teman-temannya.
"Mereka lupa menghidupkan alat pemanas," katanya. "Sebentar, akan kucari
seseorang untuk membereskannya." Tanpa alas kaki, ia pergi ke gang, menuju ke
pintu depan bangunan. Tidak ada siapa-siapa di situ. Kedua tim dari Bracebridge berganti pakaian di
bangunan utama, sedangkan murid-murid lainnya sudah masuk ke gedung, dan Pak
Wilkins serta Pak Hind sedang dijamu di ruang duduk Kepala Sekolah.
Jennings memandang berkeliling pekarangan depan yang lengang. Ia tidak berniat
berjalan lebih jauh lagi tanpa alas kaki. Karenanya ia lantas kembali melalui
gang, untuk melaporkan kegagalan upayanya.
Di sisi kiri dan kanan gang yang sedang dilewatinya ada beberapa pintu. Pintu
pertama yang dibukanya ternyata tidak menuju ke ruang ganti seperti yang
disangkanya. Yang ada di belakang pintu itu sebuah bilik kecil tanpa jendela.
Lampu yang ada di situ langsung menyala secara otomatis begitu pintu dibuka. Di
sepanjang salah satu dinding bilik itu terdapat sebuah panel dengan sejumlah
keran, katup, dan meteran yang dihubungkan ke pipa-pipa bersimpang siur yang
menuju ke berbagai arah dan menghilang lewat lubang-lubang di lantai.
Jennings memandang segala keran dan pipa yang bersimpang siur itu. Ia berpikir.
Sudah jelas, ini pasti pusat pengendalian sistem saluran air leding yang
mengatur air panas untuk pancuran-pancuran di ruang sebelah. Mestinya salah satu
keran itu yang mengatur suhu air....
Betul, tapi yang mana" Karena tidak ada petunjuk sama sekali yang bisa dijadikan
pegangan, ia terpaksa memilih salah satu secara untung-untungan. Juga andaikan
yang diputarnya nanti ternyata bukan keran yang benar, itu takkan ada
pengaruhnya sama sekali, karena tidak mungkin menyebabkan air menjadi lebih
dingin dari keadaannya sekarang!
Pada satu ujung panel itu ada sebuah katup yang dilengkapi dengan roda dan dicat
hijau. Mungkin itu berhubungan dengan pengaturan air panas. Roda katup itu
berada pada posisi "tutup". Tapi dengan sekali putaran mantap ke arah yang
berlawanan dengan gerak jarum jam, roda akan berputar dan menyebabkan katup
terbuka. Apakah dengan begitu sudah beres"
Jennings bergegas kembali ke gang lalu masuk ke ruang ganti, untuk mengetahui
hasil percobaannya. Sementara itu anak-anak Linbury yang selebihnya sudah tidak lagi mengharapkan
bisa mandi dengan air hangat. Kebanyakan mereka sudah mengenakan pakaian dan
menunggu jemputan untuk pergi ke ruang makan.
"He, cepatlah sedikit, Jen!" kata Martin-Jones.
"Segeralah mengenakan pakaian, jika masih ingin ikut makan. Kau tidak punya
waktu lagi untuk mencuci badan."
"Tenang sajalah. Jangan panik. Aku baru saja mencoba mengotak-atik saluran air,"
kata Jennings menjelaskan sambil berjalan ke tempat pancuran lalu memutar keran
air panas. "Mestinya sekarang sudah beres."
Tapi ternyata tidak! Meski air dibiarkan terus mengucur selama ia mengenakan
pakaian, suhu airnya tetap saja sangat dingin.
Dua anak Bracebridge datang menjemput tim-tim tamu untuk diantarkan ke bangunan
utama ketika Jennings sedang mengenakan sweternya.
"Aku membawakan ini untukmu," kata anak Bracebridge yang lebih jangkung. Ia
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengayun-ayunkan sepasang sepatu rumah di atas kepalanya. Gayanya seperti sedang
mengayun-ayunkan kapak perang orang Indian. "Menurut Pak Parkinson, sebaiknya
kaupinjam saja ini karena tidak ada yang diperbolehkan masuk ke ruang makan
dengan sepatu lars-bahkan walaupun cuma sebelah saja tidak boleh."
Jennings mengambil sepatu rumah itu lalu memakainya. Sepatu rumah itu beberapa
nomor terlalu besar baginya. Satu-satunya cara untuk mencegah agar sepatu itu
tidak saban kali copot adalah dengan mencengkeramkan jari-jari kakinya.
Sementara ia mengikuti timnya keluar dari ruang ganti, tumit sepatu rumah yang
longgar berdetak-detak di lantai. Kedengarannya seperti penari fandango sedang
beraksi, melakukan tarian Spanyol itu.
Hidangan yang disajikan mengenyangkan perut anak-anak, terdiri atas sosis dan
bubur kentang. Sehabis makan, kedua tim dari sekolah Linbury keluar dan langsung
naik ke dalam bus untuk kembali pulang. Sementara itu hari sudah mulai gelap.
Jennings masih harus mengembalikan dulu alas kaki yang dipinjamnya. Karenanya ia
menunggu di serambi depan sampai anak yang meminjamkan sepatu rumah yang
kebesaran itu datang untuk mengambilnya kembali.
"Wow! Coba lihat, bagaimana keadaan tubuhku," kata Jennings pada anak itu,
sementara cahaya lampu-lampu gantung di serambi itu menerangi lututnya yang
berlumur lumpur. "Aku tadi tidak sempat mandi sehabis bertanding. Soalnya, aku
sibuk mencoba menyetel agar air panas bisa keluar dari pancuran kalian. Tapi
percuma." Anak Bracebridge itu berumur tiga belas tahun, bertubuh jangkung, berhidung
besar dan melengkung seperti paruh betet. Telinganya besar dan lebar, begitu
pula kakinya. Pada saat makan, Jennings mendengar bahwa anak itu oleh teman-
temannya sesekolah dijuluki Fliplugs, yang kurang lebih sama artinya dengan
"Kuping Kalong".
"Apa maksudmu-kau mencoba menyetel agar menjadi panas?" tanya anak itu. "Apa
yang kaulakukan?" "Yah aku menemukan sebuah bilik kecil di samping gang, yang di dalamnya terdapat
banyak keran dan macam-macam lagi. Kusangka salah satu dari keran itu mungkin
penyetel aliran air panas, jadi kuputar keran itu. Ternyata bukan itu kerannya."
"0, begitu. Sebenarnya dilarang masuk ke ruangan itu, tapi kurasa tidak apalah
karena kau cuma tamu di sini." Tapi tiba-tiba Fliplugs seperti teringat pada
sesuatu, karena ia menambahkan, "He, yang kauputar itu bukan roda yang di ujung
deretan, kan" Bukan itu yang kausentuh, kan?"
"Memang yang itu. Yang dicat hijau. Keran itu tertutup lalu kubuka, tapi itu
tidak menyebabkan air menjadi hangat."
Fliplugs menatap tamunya dengan wajah kecut, sementara mulutnya ternganga
sedikit. "Kau membukanya! Keran yang hijau itu! Wow! Mengertikah kau, apa yang telah
kaulakukan?" Jennings menggeleng. "Itu keran yang hanya dibuka untuk mengeluarkan air dari kolam, renang. Jika
selama kita makan tadi airnya mengucur terus, mestinya sekarang kolam itu sudah
hampir kosong." Jenning terkejut setengah mati mendengarnya.
"Astaga! Kau tahu pasti?" katanya sambil menelan ludah. "Aku sama sekali tidak
berniat menyebabkan hal semacam itu terjadi-sungguh! Aku cuma ingin agar air
untuk mandi di pancuran bisa jadi hangat."
"Kau takkan cuma akan merasa hangat saja nanti, jika kejadian ini ketahuan oleh
Pak Parkinson." Nada suara Fliplugs merupakan campuran antara perasaan seram dan
asyik. Ia senang melihat orang lain merasa bersalah karena menimbulkan suatu
bencana. "Kau belum kenal Pak Pinkie, sih! Beliau pasti akan marah sekali!
Beliau akan meledak! Mengisikan air ke dalam kolam itu memerlukan waktu berhari-hari, karena air yang dialirkan
masuk sekaligus harus dihangatkan. Dan menghangatkannya itu, ongkosnya mahal
sekali!" "Aduh, maaf berat deh! Aku sama sekali tidak bermaksud..."
"Tidak ada gunanya minta maaf padaku. Bukan aku yang harus membayar," kata
Fliplugs. "Tapi kau harus mengakui kesalahanmu sebelum pergi, karena kalau
tidak, ada kemungkinan beliau mengira salah seorang dari kami yang melakukannya.
" Jennings tegang karena merasa takut. Berusaha menjelaskan kejadian seperti ini
di sekolah sendiri saja sudah cukup mengerikan dan membuat hati kecut. Apalagi
membayangkan harus mengakui kesalahan pada seorang guru sekolah lain, yang
terkenal suka marah dan mengamuk! Itu saja sudah cukup membuat pikiran macet
karena panik, apalagi ditambah Pak Wilkins yang berdiri mendampingi, dengan
sikap kaku karena malu, sambil memikirkan berbagai kemungkinan hukuman luar
biasa yang nanti akan disusulkan apabila mereka sudah tiba lagi di sekolah
mereka sendiri. Jennings menabahkan dirinya. "Mungkin belum semua airnya mengucur keluar,"
katanya penuh harap. "Mungkin kita bisa menghentikannya, jika kita sekarang ini
juga ke sana." "Yah, tempat itu sebenarnya tidak boleh dimasuki," kata Fliplugs agak keberatan.
"Tapi kurasa kita bisa mencobanya, mengingat ini keadaan darurat."
Sambil mengatakan begitu, ia mendului berjalan keluar lewat pintu depan dan
melintasi lapangan tempat bermain, sementara Jennings membuntutinya.
Bus rombongan Linbury menunggu beberapa meter lebih jauh di jalan masuk dengan
lampu-lampu dinyalakan. Jennings melihat bahwa teman-temannya sudah ada di dalam
kendaraan itu, menunggu saat berangkat. Pak Hind juga sudah ada di dalam, sedang
Pak Wilkins berdiri di samping bus. Guru itu memicingkan mata, memandang dalam
keremangan petang, mencari-cari satu-satunya penumpang yang belum juga muncul.
Jennings cepat-cepat menyembunyikan diri di balik punggung Fliplugs sambil
merapatkan badannya pada anak itu, agar anak yang lebih jangkung itu menutupi
dirinya dari penglihatan Pak Wilkins. Apa pun yang akan terjadi nanti, saat itu
pemeriksaan kolam renang merupakan urusan yang paling dulu harus dilakukan.
Ruang olahraga gelap ketika kedua anak itu datang, tapi pintu tidak terkunci.
Kedua anak itu menyelinap masuk lalu pergi ke gang. Pintu ke kolam renang ada di
sisi kanan mereka. Pintu itu dibuka oleh Fliplugs, dan ia menyalakan lampu....
Kolam renang sudah kosong! Tidak ada air lagi di dalamnya.
Fliplugs mengernyitkan muka, berlagak menderita. "Wah! Habislah riwayatmu sekali
ini! Kau telah melakukan kesalahan yang benar-benar berat. Tunggu saja sampai
kau menerima tagihan untuk memanaskan air dua juta liter dengan harga lima penny
per unit-atau begitulah. Tunggu saja sampai..."
"Ya deh, ya deh! Tidak perlu kau mengoceh terus mengenainya," Jennings memotong.
Ia menatap kolam yang sudah tidak ada airnya lagi itu dengan pandangan tidak
percaya. Pasti nanti akan terjadi keributan yang luar biasa pada saat ia
mengakui kesalahannya. Tidak peduli disengaja atau tidak, apa yang telah
dilakukannya itu tidak bisa dimaafkan.
Dengan perasaan sangat tidak enak dalam dadanya, Jennings berbalik lalu kembali
ke pintu masuk gedung. Fliplugs berjalan meloncat-loncat di sampingnya, sambil
mencerocos terus, meramalkan berbagai keseraman yang akan menimpa orang-orang
yang begitu konyol, mengotak-atik keran penutup yang tidak diketahui gunanya.
Pak Wilkins melihat kedua anak itu, ketika mereka muncul dari ruang olahraga.
"Jennings!" panggilnya dengan suara mengguntur. "Kemari segera! Ayo, cepat!
Masih berapa lama lagi kau menyuruh kami menunggu?"
Jennings berlari-lari melintasi pelataran berlapis aspal dan berhenti dengan
cepat di samping bus. "Ke mana saja kau ini?" kata Pak Wilkins marah-marah. "Sudah sepuluh menit
lamanya kami menunggu. Ayo, cepat masuk ke dalam bus!"
Jennings ragu, tidak tahu bagaimana caranya harus menjelaskan.
"Anu, Pak, saya sebenarnya belum siap untuk berangkat," katanya dengan gugup.
"Itu tak adil bagi anak-anak Bracebridge. Nanti mereka yang disalahkan. "
Pak Wilkins menatap anak yang mengenakan sepatu yang berlainan sebelah kiri dan
kanan itu dengan bingung.
"Disalahkan!?" katanya. "Kau ini bicara tentang apa?"
"Yah, sayangnya, Pak, ada suatu peristiwa gawat yang terjadi," kata Jennings
memulai penjelasannya. "Saya tadi mencoba menghangatkan air pancuran untuk mandi
dengan jalan memutar sebuah keran yang saya jumpai, dan secara kebetulan saya-
yah, bisa dibilang secara tidak sengaja-mengosongkan air kolam renang."
"Kau melakukan apa?"!"
"Mengosongkan kolam renang, Pak. Habis semuanya, mengalir keluar. Tentu saja itu
tak sengaja. Saya melihat keran itu, lalu ketika saya memutarnya air kolam
langsung mengalir keluar."
"Beribu-ribu liter air terbuang sia-sia," Fliplugs menambahkan, maksudnya agar
Pak Wilkins bisa benar-benar menyadari gawatnya bencana itu.
"Padahal sudah dihangatkan sampai delapan puluh derajat Fahrenheit, dengan biaya
yang mahal sekali. "
Sesaat Pak Wilkins tidak mampu berkata apa-apa, dan Fliplugs (seorang ilmuwan
hebat!) memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan perincian tekniknya dengan
kata-kata yang oleh orang dewasa berotak tumpul pun bisa dimengerti.
"Itu bisa disamakan dengan menarik sumbat wastafel," katanya. "Perbedaannya,
yang ada bukan sumbat kecil dari karet di ujung rantai, melainkan katup beroda
dengan pintu saluran dan..."
Tetapi otak Pak Wilkins yang cerdas tidak memerlukan penjelasan ilmiah. Fakta-
faktanya sudah jelas. "Ini benar-benar keterlaluan!" teriaknya, sewaktu ia sudah mampu bicara lagi.
"Kau... kau ini bodoh, Jennings! Apa alasanmu melakukan perbuatan seperti itu?"
"Itu kekeliruan, Pak. Kan sudah saya katakan tadi. Air untuk mandi dingin, dan
saya mengira..." "Ya, ya, ya, tapi kenapa kau justru melakukannya di Bracebridge!" Seperti
Jennings sepuluh menit sebelumnya, Pak Wilkins merasa tubuhnya menjadi panas-
dingin, membayangkan dirinya harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang begitu
keterlaluan. Entah apa pikiran Pak Parkinson nanti tentang tim tamu yang
menyebabkan kekacauan yang begitu mahal" Bagaimana pendapatnya nanti tentang
guru yang memimpin mereka" "Tunggu saja sampai kita sudah tiba di sekolah lagi,"
katanya mengancam. "Perbuatanmu itu benar-benar keterlaluan. Kini kita harus
segera mencari Pak Parkinson dan melaporkan hasil perbuatanmu padanya."
Tapi mereka tidak perlu lagi mencari, karena saat itu tuan rumah berjalan dengan
santai melintasi pelataran untuk mengucapkan selamat jalan kepada tamu-tamunya.
"Sudah mau berangkat rupanya, ya," katanya dengan ramah.
Pak Wilkins membalas senyuman ramah tuan rumahnya dengan senyum kecut. "Begini,
Pak Parkinson, saya sangat menyesalinya, tapi ada suatu kecelakaan kecil-eh,
suatu kesialan. Anak konyol ini tadi melakukan sesuatu yang benar-benar bodoh.
Ia menyebabkan air mandi Anda mengucur keluar."
Pak Parkinson tampak agak bingung. "Air mandi saya! Tapi saya belum mau mandi-
setidak-tidaknya, sekarang ini belum. Saya hendak mengawasi murid-murid membuat
pekerjaan rumah dulu."
"Tidak, bukan air mandi yang biasa-air kolam renang. Anak ini mengatakan pada
saya bahwa ia menemukan sebuah keran kecil, lalu ia memutarnya. Dan tampaknya,
itu menyebabkan air kolam renang mengalir keluar semua. Tentu saja saya jamin
dia akan dikenai hukuman berat, dan tentu saja kami akan mengganti ongkos
pemanasan air apabila kolam sudah Anda isi kembali."
Dari air muka Pak Parkinson tampak bahwa segala penjelasan itu menyebabkan ia
bertambah bingung. Ia memonyongkan bibirnya, dan itu menyebabkan ujung-ujung
kumisnya mencuat ke depan, seperti gading gajah. Kemudian ia berkata, "Saya sama
sekali tidak mengerti. Apa yang menyebabkan Anda menyangka anak ini telah
mengosongkan kolam renang?"
"Tapi saya memang melakukannya, Pak," kata Jennings. "Saya tidak sengaja,
pokoknya itu terjadi begitu saja."
"Ya, itu benar, Pak," tegas Fliplugs, yang selama itu tetap berada di dekat
situ, asyik mengikuti pembicaraan. Ia bukannya tidak senang pada anak Linburg
yang bersalah itu, tapi jika anak malang itu nanti didamprat habis-habisan, ia
ingin ikut menyaksikan adegan itu. "Kami baru saja pergi memeriksanya. Tidak ada
air setetes pun lagi. Kolam renang itu benar-benar kosong."
Pak Parkinson mengangguk. "Tentu saja kosong! Aku yang menyuruhnya mengosongkan
kolam itu beberapa hari yang lalu, karena sebentar lagi kan sudah musim dingin."
Ia menatap muridnya dengan kening berkerut. "Kau ini rupanya tidak mendengarkan
sewaktu murid-murid berkumpul pada hari Kamis yang lalu, Hodges, sewaktu
kuumumkan bahwa dalam masa bersekolah sekarang ini kalian tidak bisa lagi
berenang." Hodges, yang dijuluki Fliplugs itu, melonjak seperti kambing gunung, sementara
tangannya bergerak menutupi mulut. Rupanya baru saat itu ia ingat lagi.
"Astaga! Ya, tentu saja. Anda memang mengumumkannya waktu itu, Pak. Saya lupa
sama sekali." "Lupa!" "Ya, Pak, tapi sekarang ingat lagi. Jelas sekali. Tidak ada lagi acara berenang,
kata Anda waktu itu."
Jennings benar-benar terkejut. "Maksud Anda, bukan saya yang mengosongkannya?"
katanya dengan perasaan lega. "Wow! Untung saja."
"Tapi kau akan telah mengosongkannya, jika kolam itu penuh," kata Fliplugs
berkeras. Di wajah Jennings tampak senyum lebar berseri-seri ketika ia berpaling kepada
Pak Wilkins. Ia mengatakan, "Anda dengar itu, Pak! Untung saja, kan" Dasar nasib
saya mujur!" Meski merasa lega, Pak Wilkins masih saja sangat jengkel. Ia merasa harga
dirinya turun. Sejak mereka tiba di sekolah itu, Jennings hanya merepotkan dan
menimbulkan perasan malu saja.
Ditatapnya anak itu sambil melotot. "Naik ke bus, Jennings, dan datang menghadap
padaku apabila kita sudah sampai nanti," katanya. "Kau sudah terlalu banyak
menimbulkan keributan sepanjang sore ini."
5. Kesialan dengan Cat Semprot
PAK CARTER sedang memberi tanda pada buku-buku di ruang guru ketika tim-tim
sepakbola kembali dari Bracebridge. Ia mendengar bunyi bus datang, disusul bunyi
langkah anak-anak turun dari kendaraan, dan kemudian suara Venables yang
melengking, mengumumkan hasil-hasil pertandingan kepada teman-teman yang
menjulurkan kepala mereka keluar dari jendela ruang duduk murid sambil berseru-
seru menanyakan prestasi kedua tim.
Beberapa menit kemudian, Pak Wilkins masuk ke ruang guru lalu langsung
mengenyakkan tubuh di kursi besarnya.
"Saya capek sekali," katanya. "Saya mengalami sore yang lumayan berat-dan itu
karena Jennings. Bagaimana pertandingan di sini tadi?"
"Kita kalah, 2-1," jawab Pak Carter. "Dan sore tadi kami juga cukup repot-berkat
L.P. Wilkins." "Karena saya"!" Pak Wilkins langsung meluruskan sikap duduknya. "Apa maksud
Anda?" "Kata Anda, anak kunci paviliun ada di gelang berkas kunci di kamar Anda, dan
ternyata itu tidak benar. Anak kunci itu tidak ada di situ! Dan karena Pak
Kepala pergi dengan membawa salah satu anak kunci cadangan, dan tukang yang
sudah selesai bekerja pulang juga dengan membawa anak kunci yang satu lagi, kami
lantas benar-benar bingung. Terpaksa kaca salah satu jendela dipecahkan, agar
kami bisa masuk." "Tapi itu mustahil! Tentu saja anak kunci itu ada di kamar saya," kata Pak
Wilkins berkeras. "Saya ingat sekali, saya masih sempat memastikan bahwa kunci-
kunci itu ada di situ sebelum saat makan siang."
"Yah, pokoknya tidak ada sesudah makan siang," kata rekannya. "Dan yang membuat
keadaan menjadi lebih repot, tim Bracebridge tiba ketika kami sedang sibuk
mencari-cari anak kunci lain yang mungkin bisa pas. Jadi kami tidak bisa
mempersilakan mereka masuk untuk berganti pakaian."
"Ya, tapi saya ingat sekali..."
"Bukan itu saja, kami pun jadi tidak punya bola dan bendera-bendera, serta
tiang-tiang pojok." Pak Carter menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap menyesali. "Anda benar-benar
keterlaluan, Wilkins, memberikan informasi seenaknya saja, tanpa terlebih dulu
memastikan kebenarannya. Kepala Sekolah tadi sewaktu kembali kedengarannya
sangat jengkel mengetahui ada kaca jendela yang pecah."
"Anak kunci itu harus ada di gelang kunci saya. Mungkin Anda yang tidak cukup
teliti mencarinya." Pak Wilkins bangkit lalu berjalan ke pintu. "Coba saya
periksa sendiri." Ketika ia tiba di ruang duduknya di lantai dua, dijumpainya Jennings berdiri di
depan pintu. Wah, sayang sekali Pak Wilkins tidak baru beberapa menit kemudian
muncul, karena saat itu Jennings mungkin sudah sempat menyelinap masuk tanpa
ketahuan dan mengembalikan anak kunci yang hilang itu.
Tapi apa boleh buat, bukan begitu kenyataannya. Jennings masih sempat mendengar
bunyi langkah yang datang, dan saat itu juga ia memutuskan untuk mengundurkan
niatnya dulu, sampai keadaan sudah aman lagi. Anak kunci pintu paviliun
dimasukkannya kembali ke dalam sakunya, dan ia mengarahkan pikirannya kepada
alasan lain dari kedatangannya ke situ.
"Ah, Anda rupanya, Pak," katanya. "Anda tadi mengatakan, saya harus menghadap
begitu kita sudah kembali."
Pak Wilkins membalas dengan dengusan, semen tara ia melangkah masuk ke dalam
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamarnya, meninggalkan Jennings di gang. Pak Wilkins langsung menuju paku kait
di dekat jendela lalu mencari-cari di antara berkas anak kuncinya. Anak kunci
pintu depan ada, begitu pula kunci starter mobil, serta beberapa anak kunci
lainnya; tapi anak kunci pintu paviliun tidak ada.
Aneh! Ia yakin masih melihatnya tadi pagi. Tapi i pihak lain, demikian pikirnya
sambil teringat pada anak yang berdiri di depan pintu kamarnya, ia juga sama
yakinnya bahwa ia memasukkan arloji Jennings ke saku jas sportnya yang tua
minggu lalu. Rupanya ia mulai pikun! Barangkali itu akibat beban mental,
mengajar anak-anak Kelas Tiga sebanyak empat belas kali seminggu!
Ia kembali ke pintu lalu memberi isyarat pada Jennings, agar masuk. "Sekarang
dengarkan baik-baik, katanya. "Kelakuanmu tadi sore sangat sembrono. Kau sangat
mempermalukan sekolahmu. Mulai sekarang, aku tidak mau lagi kelakuan seperti
itu." "Ya, Pak... tidak, Pak," kata Jennings bersungguh-sungguh. Ia bisa melihat
gelang kunci tergantung pada paku kait, di belakang bahu kiri Pak Wilkins. Coba
guru itu baru naik ke atas beberapa menit kemudian! Coba saat itu ia dipanggil,
karena ada telepon untuknya! Tapi itu cuma harapan kosong. Ia kembali
mengarahkan perhatiannya kepada kata-kata Pak Wilkins berusaha menangkap banjir
kata-kata yang memantul dan gendang telinganya.
Selama sepuluh menit Pak Wilkins berbicara dengan nada keras tentang tingkah
laku kekanak-kanakan. Ceramahnya itu diperjelas dengan menyinggung anak yang
pergi ke sekolah lain dengan mengenakan sepatu yang aneh-aneh, lalu mengacak-
acak sistem saluran air begitu sampai di sana. Jennings hanya bisa sekali-sekali
menyela dengan, "Ya, Pak... Tidak, Pak," dan berjanji akan berkelakuan baik
mulai saat itu. Ketika ceramah sudah berakhir, Pak Wilkins mengganti nada suaranya yang memarahi
dengan suara biasa, "Masih ada satu hal lagi, Jennings: tentang arlojimu yang
kautitipkan padaku waktu itu. Barang itu tentu saja aman, tapi sayangnya saat
ini aku tidak begitu ingat, di mana aku menaruhnya."
"Ah, itu tidak apa, Pak," kata Jennings menenangkan. "Arloji saya itu tidak
mahal harganya." "Bukan itu persoalannya. Mahal atau tidak, yang jelas kau menitipkannya padaku
dan aku pasti akan mengembalikannya dalam keadaan utuh. Cuma kau harus sabar
dulu sampai aku sempat mencarinya dengan teliti."
"Baik, Pak. Saya akan sabar, Pak. Itu tidak apa, Pak."
Setelah itu Jennings pergi. Ia merasa lega, karena ternyata hanya diomeli.
Kemarahan Pak Wilkie rupanya sudah agak mereda selama dalam perjalanan pulang,
katanya dalam hati. Ia jadi tidak perlu terlalu cemas dengan urusan pengembalian
anak kunci pintu paviliun. Pasti masih banyak kesempatan selama beberapa hari
mendatang, asal ia tetap waspada!
Malam itu, di ruang tidur, Darbishire merasa perlu bicara secara serius mengenai
urusan perayaan Malam Api Unggun.
"Kuharap kalian menyadari bahwa waktunya tidak sampai dua minggu lagi," katanya
kepada Jennings, ketika mereka berdua sedang berdiri di depan wastafel untuk
membersihkan badan. "Bagaimana dengan rencana hebatmu itu, mengundang orang-
orang untuk menonton kembang api lalu minta sumbangan dari mereka?"
"Ya, dan bagaimana dengan rencana hebatmu, hendak membuat orang-orangan dan
membawanya berkeliling desa?" tanya Atkinson dari ranjangnya di dekat pintu.
"Itu memerlukan pengaturan, kalau ingin dilakukan tanpa diketahui para guru."
Jennings mengatakan bahwa dalam beberapa hal rencana-rencana itu sudah
dikembangkan lebih lanjut. Martin-Jones, sebagai sekretaris proyek, sudah
menyusun daftar jenis-jenis kembang api yang akan dibeli dengan hasil
pengumpulan Dana Kembang Api Kelas Tiga, dan Pak Carter sudah mengatakan
bersedia mengundang beberapa penduduk setempat untuk menghadiri perayaan.
"Ia akan meminta serombongan orang tua, seperti Bu Thorpe, Dr. Furnival, dan
Pendeta untuk datang," kata Jennings kepada mereka.
"Itu rasanya akan meningkatkan jumlah sumbangan untuk proyeknya yang hebat dan
layak didukung itu."
"Tapi itu kan cuma tiga orang," kata Atkinson membantah. "Sebaiknya yang kita
lakukan adalah menembakkan panah api ke angkasa, lewat jendela perpustakaan.
Dengan begitu seluruh Barisan Pemadam Api Dunhambury akan muncul kemari, lalu
kita bisa minta sumbangan pada mereka pula."
Saran Atkinson itu ditolak, karena dianggap tidak praktis. Dan begitu anak-anak
sudah berada di ranjang masing-masing, mereka lantas mulai membicarakan hal-hal
yang lebih serius dari rencana itu.
"Kita mestinya membentuk panitia, untuk memastikan bahwa urusannya ditangani
dengan baik," kata Jennings memutuskan. "Martin-Jone beserta kawan-kawannya
sudah menangani urusan kembang api, tapi tidak ada yang bertanggung jawab atas
orang-orangan-yah, tidak secara resmi."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita berlima saja?" kata Darbishire. "Kita bisa
menamakan diri kita Subpanitia Aksi Khusus Dana Kembang Api Kelas Tiga. Kita
akan menjadi semacam kelompok aksi, itu jika kalian tahu apa yang kumaksud."
"Ide bagus," kata Temple. "Siapa setuju, angkat tangan."
Usul itu diterima dengan lima suara lawan nol, dan kelompok aksi itu dengan
segera mulai bekerja. Rasanya takkan sulit memperoleh bahan untuk membuat orang-orangan, demikian
pendapat mereka. Robinson, tukang yang melakukan berbagai pekerjaan di sekolah
itu, diketahui menyimpan setumpuk karung goni usang serta beberapa bal jerami di
gudang perkakasnya. Jika memintanya dengan sopan, pasti ia mau memberi bahan-
bahan yang diperlukan anak-anak untuk membuat tubuh, kaki, dan tangan orang-
orangan mereka. Selanjutnya, akan merupakan kehormatan bagi Matron untuk menyumbangkan celana
panjang, jas, topi, dan sepatu bot dari kumpulan pakaian bekas yang disimpannya
dalam sebuah lemari di ruang jahit.
"Aku melihat beberapa topeng Guy Fawkes yang bagus sekali di Dunhambury, sewaktu
kita lewat di sana tadi siang," kata Jennings kepada teman-temannya sekamar.
"Nanti jika ada yang ke kota, kita bisa minta tolong dibelikan satu."
Setelah berdebat sebentar, akhirnya diputuskan bahwa Venables dan Temple yang
harus menghubungi Robinson dan bertanggung jawab atas pembuatan tubuh orang-
orangan, sementara Jennings dan Darbishire harus memilih pakaian yang bergaya
untuk dipakaikan ke orang-orangan itu.
Sejauh itu, rencana mereka rasanya cukup sederhana. Tapi mereka sepakat bahwa
nanti mungkin akan timbul masalah, yaitu bagaimana menyelundupkan orang-orangan
itu keluar dari kompleks sekolah dan mengumpulkan sumbangan di jalan desa.
Darbishire lebih suka bila mereka minta izin saja untuk melakukannya. Tapi
Jennings keberatan, dengan alasan mungkin saja permintaan itu nanti ditolak-
meskipun itu bertujuan baik.
"Katakanlah, kita kepergok Kepala Sekolah atau seseorang yang lain sewaktu kita
sedang mengumpulkan sumbangan," katanya, "kita toh masih bisa mengatakan bahwa
kita mengira itu tidak apa-apa, tujuannya toh demi amal. Tapi bayangkan
keributan yang akan terjadi apabila kita tertangkap basah sesudah mereka
mengatakan kita tidak boleh melakukannya."
Penalaran itu rasanya masuk akal juga. Jadi mereka lantas sepakat bahwa proyek
pengumpulan sumbangan itu akan dilakukan dengan diam-diam, sebagai proyek yang
sangat dirahasiakan. Tapi sekaligus, mereka juga ingin semua orang tahu bahwa
ada orang-orangan sebagai salah satu atraksi Malam Kembang Api. Dengan
mempertimbangkan hal itu, Atkinson diangkat menjadi petugas hubungan masyarakat
bagi Guy Fawkes (almarhum).
Selama beberapa hari selanjutnya, Venables dan Temple menyelesaikan bagian tugas
mereka untuk proyek itu sejauh yang bisa mereka lakukan. Robinson memberi mereka
sebuah karung besar bekas tempat mengangkut kentang. Karung itu mereka isi
dengan jerami, lalu dibentuk sehingga sedikit-banyak menyerupai kepala dan tubuh
manusia. Setelah itu mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi, sampai Jennings
dan Darbishire telah melaksanakan bagian tugas mereka.
"Masih berapa lama lagi kita harus menunggu sampai pakaiannya ada?" keluh Temple
kepada Jennings sehabis makan sore pada hari Minggu. "Kami bahkan belum bisa
membuat tungkainya, karena belum ada celana panjang yang harus diisi jerami."
Tapi regu yang mengurus pakaian pun merasa frustrasi karena adanya kelambatan
itu. "Ini semuanya kesalahan Matron," keluh Jennings dengan getir. "Dia seakan-akan bukan
seperti manusia biasa, sulit sekali dibuat mengerti."
Matron itu seorang perawat yang masih muda dan berpenampilan menarik. Tugas
utamanya adalah menjaga kesehatan anak-anak. Tapi sebagai tambahan, ia juga
mengawasi pekerjaan di ruang jahit. Dalam kedudukannya itu, semua permintaan
pakaian bekas harus diajukan kepadanya.
"Ada barangkali sejuta kali aku sudah minta padanya," sambung Jennings.
"Katanya, kita bisa memperoleh beberapa potong pakaian usang, tapi kita harus
menunggu sampai dia punya waktu untuk menyeleksi."
"Kalau begitu bilang padanya, dia harus cepat sedikit," desak Temple. "Kami
ingin semua sudah siap untuk berkeliling desa Sabtu depan."
"Tapi Matron tak tahu itu," kata Jennings. "Matron menyangka kita baru
memerlukannya pada tanggal 5 November, dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa
tentang rencana kita berkeliling desa, karena itu kan rahasia."
Temple tampak lesu mendengar keterangan itu. "Yah," katanya, "kalau begitu
jangan sampai terulur-ulur terlalu lama. Coba kauminta lagi padanya besok."
Jennings dan Darbishire sudah menunggu di depan pintu ketika Matron tiba di
klinik pada hari Senin pagi.
"Aku tidak lupa tentang orang-orangan kalian," kata Matron pada mereka, sambil
mendului masuk. "Akan kucarikan sesuatu untuk keperluan kalian itu, minggu ini
juga." "Tapi urusannya mendesak, Matron. Kami ingin segera menyelesaikannya, dan Anda
menghambat arus produksi kami," kata Jennings berkeras.
Sambil tersenyum manis pada Matron, Darbishire menambahkan, "Anda tidak perlu
repot-repot memilih sendiri pakaian itu, Matron. Anda tinggal memberi kami izin,
lalu kami akan mencari dalam lemari dan. mengambil apa yang kami perlukan."
Matron bisa membayangkan keadaan di dalam lemari itu nanti, setelah kedua anak
itu selesai dengan pencarian mereka.
"Aku tidak mau ruang jahit tampak seperti gelanggang sapi-sapi jantan yang
berkelahi di tengah-tengah pasar amal," katanya dengan tegas. "Datanglah lagi
hari Rabu siang, nanti akan sudah kusediakan pakaian bekas yang kalian perlukan.
Tapi jangan-kuulangi, jangan-sentuh apa pun juga apabila aku sedang tidak ada di
sini. Kalau tidak kalian akan mengalami kesulitan berat."
"Ya, Matron. Tentu saja, Matron. Terima kasih banyak, Matron."
Kedua anak itu sudah beranjak hendak pergi ketika Matron memanggil Jennings
kembali. Dengan wajah yang menampakkan perasaan agak kaget, Matron memandang
rambut anak itu yang kusut dan bagian depannya sudah sampai di batas alis,
sehingga kepalanya kelihatan seperti tersungkup kap lampu berjumbai.
"Aku kan sudah menulis namamu di daftar tukang pangkas rambut minggu lalu," kata
Matron, "kenapa kau tidak memangkas rambutmu sewaktu Pak Hales datang kemari?"
Jennings ragu-ragu menjawab. Ia tidak ingin mengaku bahwa alasannya selalu
menghindari tukang pangkas rambut itu sejak awal masa bersekolah yang sekarang
adalah karena ia ingin tahu sampai seberapa panjang rambutnya bisa tumbuh.
"Saya... eh... saya hari Selasa yang lalu sibuk sekali, membereskan album
prangko saya, Matron, dan sewaktu saya turun ke ruang ganti ternyata sudah
terlambat. Pak Hales sudah pulang."
Matron mengernyitkan keningnya. Ia tidak begitu mempercayai kebenaran alasan
itu. "Dan sebelum itu?"
Jennings mencari-cari alasan lagi. "Yah, waktu itu saya agak pilek, dan saya
rasa jika tukang pangkas itu memotong rambut saya sampai pendek sekali lalu
cuaca menjadi sangat dingin, ada kemungkinan saya akan kena..."
Sisa kalimatnya tak terdengar jelas, karena dikalahkan suara Matron yang tertawa
geli. "Aku sudah cukup sering mendengar alasan yang macam-macam selama ini, tapi
yang ini benar-benar sudah keterlaluan. pokoknya, aku tidak ingin melihatmu
berkeliaran dengan penampilan seperti anjing gembala Inggris yang gondrong,
hanya karena alasan sehingga kau nanti bisa mengatakan kaulah pemegang rekor di
Kelas Tiga dalam menghindari tukang pangkas rambut. Akan kuawasi sehingga itu
tidak bisa kaulakukan kembali kalau Pak Hales datang lagi."
Rambut Jennings yang gondrong itu menjadi bahan percakapan pada saat staf
sekolah makan malam hari itu.
"Menjijikkan," kata Pak Peberton-Oakes sambil menyendokkan kuah daging ke
piringnya. "Sudah melewati kerahnya. Sebentar lagi akan mencapai punggung,
apabila tidak segera diambil tindakan. "
"Saya sudah mengancam akan memangkasnya sendiri," kata Pak Wilkins. "Dia
kelihatan seperti yak, sapi gondrong yang hidup di Tibet itu."
Matron memang baik hati. Ia tidak mengatakan alasan sebenarnya, kenapa Jennings
selama itu selalu menghindari tukang pangkas rambut.
"Saya setiap kali selalu menulis namanya dalam daftar, tapi dia itu kelihatannya
selalu sedang sibuk dengan salah satu urusan," katanya. "Sayangnya, Pak Hales
baru dua minggu lagi datang kemari, jadi..."
"Dua minggu!" Pak Pemberton-Oakes sangat kaget. "Saya tidak mau melihat ada
tumpukan jerami berjalan di sekolah ini selama dua minggu ini." Ia menggeleng-
Pedang 3 Dimensi 12 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Gelang Kemala 3
SERAHKAN SAJA PADA JENNINGS
Ebook by Raynold 1. Yang Terbaik dari Dua Pilihan
PAK CARTER biasanya mengisi jam pelajaran terakhir pada hari Jumat siang dengan
membaca dan mendiskusikan karya-karya tulis yang dibuat anak-anak Kelas Tiga
satu seminggu sebelumnya.
Kadang-kadang pelajaran itu meledak bagaikan bom: diskusi berkembang dengan
begitu bersemangat dan seisi kelas begitu asyik mengikutinya, sehingga bunyi
lonceng tanda berakhirnya waktu bersekolah hari itu disambut dengan perasaan
sebal, karena perdebatan yang sedang seru-serunya itu mau tidak mau harus
dihentikan. Namun kadang-kadang bomnya melempem: silang pendapat berlangsung
secara simpang siur, sampai Pak Carter bertanya-tanya dalam hati, untuk apa
sebenarnya ia repot-repot memberikan dorongan kepada anak-anak Kelas Tiga untuk
berbicara, menyatakan pendapat mereka.
Pada awalnya, jam pelajaran pada suatu Jumat siang dalam bulan Oktober
menampakkan tanda-tanda akan bisa jadi asyik. Karangan Atkinson tentang Ulat-
ulat yang Saya Pelihara menimbulkan diskusi menarik, dan pemaparan Temple
tentang Perjumpaan dengan Seekor Dinosaurus berlanjut menjadi percakapan ramai
mengenai kehidupan pada zaman prasejarah.
Setelah itu perkembangan mulai memburuk.... Buku berikut yang diambil Pak Carter
dari tumpukan bertuliskan:
J.C.T. Jennings (Astronaut Pimpinan),
Stasiun Ruang Angkasa Bulan,
Bulan, Dekat Bumi. Sebenarnya, informasi tersebut tidak tepat. Karena pemilik buku itu adalah
seorang murid Kelas Tiga dengan jari-jari tangan berlepotan tinta, dengan alamat
Sekolah Linbury Court, Sussex, Inggris. Pak Carter membalik-balik halaman buku
tulis itu. Tidak lama kemudian ditemukannya hasil karya tulis terbaru murid itu.
Karya itu diberi judul Suatu Ekspedisi ke Ruang Angkasa, dan di bawahnya,
digarisbawahi dengan tinta ungu, tertulis kata-kata peringatan: ? Hak Cipta: J.C
T. Jennings. Karya tulis ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta dan tidak boleh
direproduksi tanpa izin tertulis dari penulisnya, termasuk untuk keperluan
pengolahan menjadi bahan film, televisi, dan radio teleskop.
Pandangan Pak Carter melintasi ruangan kelas. Ia memandang penulis yang hak-
haknya dilindungi dengan begitu lengkap. Di sebuah meja di barisan belakang
duduk seorang anak lelaki berumur sebelas tahun, dengan jari-jari tangan yang
tidak bisa diam dan mata besar berwarna cokelat yang memancarkan kesigapan.
Pak Carter melihat bahwa rambut anak itu sudah sangat perlu dipotong.
"Apa maksudnya segala peraturan hak cipta ini, Jennings?" tanya Pak Carter.
Suasana sunyi sesaat, sementara Jennings menyibakkan rambut yang menutupi
dahinya ke belakang sambil memandang berkeliling kelas untuk memastikan bahwa
semuanya menunggu jawabannya. Kemudian ia berkata
"Anu, Pak, saya cuma berjaga-jaga saja, siapa tahu karya tulis saya itu jatuh ke
tangan seseorang yang berniat curang."
"Oh, begitu!" "Ya, Pak. Memang begitu seharusnya, sebab jika Anda perhatikan, di halaman depan
sebuah buku Anda akan melihat bahwa pengarangnya membubuhkan sebuah lingkaran
dengan huruf besar C di tengahnya, di depan namanya sendiri. Tanda itu merupakan
bukti bahwa itu miliknya dan orang lain tidak diperbolehkan mencurinya."
Pak Carter tersenyum. "Menurutmu, adakah kemungkinan karyamu dicuri seseorang
yang tak mengenal sopan santun?"
"Ya, Pak." "Siapa orangnya?"
Jennings menatap mata pak Carter. "Anda, Pak!"
Seisi kelas membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang anak di bangku deretan
belakang itu dengan mulut ternganga.... Jennings itu rupanya memang perlu
diperiksa otaknya! Jika otaknya waras, mana berani ia melancarkan tuduhan seedan
itu, terhadap Pak Carter lagi! Guru senior di Linbury Court itu disukai dan
dihormati oleh semua murid. Orangnya ramah, berpenampilan muda, dan selalu
mengerti jalan pikiran anak-anak asuhnya; ia selalu bisa diandalkan, dan mau
mendengarkan keluh kesah mereka dengan perasaan simpati... Tidak seperti
beberapa guru lainnya, yang bisa mereka sebutkan nama-namanya. Misalnya saja Pak
Wilkins! Anak-anak Kelas Tiga pasti langsung percaya saja kalau terdengar desas-
desus yang bagai- manapun keterlaluannya mengena,i guru itu! Tapi kalau
menyangkut Pak Carter... tidak! Pak Carter kan lain!
Anak-anak membalikkan tubuh lagi, memandang ke arah meja guru, untuk melihat
tanggapan Pak Carter atas tuduhan berat itu, yaitu melakukan pembajakan karya
sastra. Tapi Pak Carter ternyata sama sekali tidak tersinggung. Ia masih tetap tersenyum
lebar. "Ini sangat menarik, Jennings," katanya mengomentari. "Apa yang
menyebabkan kau merasa bahwa aku hendak membajak hasil tulisanmu yang berlepotan
sebanyak satu setengah halaman ini, yang kaubuat cepat-cepat pada saat jam
belajar petang?" "Yah, mungkin tidak tepat jika dikatakan membajak, Pak," kata Jennings, "tapi
bisa saja Anda meminjamnya tanpa izin. Soalnya, semester yang lalu Anda memuat
sebagian besar dari karangan Venables mengenai pengamatan kehidupan burung dalam
majalah sekolah tanpa bertanya dulu padanya. Betul, kan, Pak?"
Pak Carter mengaku bersalah. "Tapi perlu kuketengahkan bahwa selama ini akan
merupakan suatu kehormatan bagi seorang anak apabila hasil karyanya dimuat dalam
majalah sekolah." "Ya, dan saya sama sekali tidak berkeberatan," kata Venables menimbrung. Anak
berumur dua belas tahun yang penampilannya acak-acakan, dengan ujung bawah
kemeja yang selalu tertarik keluar dari dalam celana serta tali sepatu yang
tidak pernah bisa tetap terikat rapi itu menyambung, "Saya bahkan senang sekali,
karena itu membuktikan bahwa hanya karangan saya saja yang layak dimuat."
"Bukan itu persoalannya," kata Jennings berkeras. "Tidak seorang pun
diperbolehkan menyalin apa saja yang kita tulis tanpa izin dari kita, maka hasil
tulisan kita itu diberi tanda rahasia khusus seperti yang kukatakan tadi."
Seisi kelas tertarik mendengarnya. "Apa saja yang kita tulis?" tanya Bromwich.
"Juga daftar kue atau surat ke rumah yang kita tulis setiap minggu?"
Jennings mengangguk. "Begitulah menurut undang-undangnya. Aku sendiri juga baru
saja mengetahuinya. Masih ada lagi yang perlu kalian ketahui, yaitu sama sekali
tidak ada ongkos yang perlu dikeluarkan untuk memberikan perlindungan hak cipta
pada hasil tulisan kita. Itu merupakan pelayanan gratis."
Bromwich senang sekali. "Nah, kalau begitu mulai sekarang catatan-catatan
pelajaran ilmu bumiku akan kuberi perlindungan hak cipta; begitu pula isi buku
harianku, dan daftar seleksi Kesebelasan Sepakbola Sedunia-ku, dan..."
Pak Carter mengangkat tangannya untuk menahan arus kata-kata yang mengalir dari
mulut Bromwich. Jika anak-anak dibiarkan terus, jangan-jangan sebentar lagi ada
anak yang menuntut hak cipta atas jadwal pelajaran sekolah.
"Pertama-tama, sebaiknya kita baca saja dulu hasil karya unggul ini untuk
melihat apakah isinya pantas membuat kita repot mengenai segala urusan
perlindungan hukum tadi." Dibacanya sekilas tulisan acak-acakan pada halaman
kertas yang terletak di depannya. "Hm! Kau tidak perlu cemas, Jennings. Takkan
ada yang mencuri naskah yang tulisannya sama sekali tidak terbaca ini."
"Ah, Anda pasti bisa membacanya, Pak," kata Jennings protes. "Waktu saya
menulis, ada selembar rambut menempel pada pena. Lalu entah bagaimana, rambut
itu jatuh ke kertas dan sewaktu saya mencoba menyingkirkannya dengan
saputangan..." "Ya, ya, baiklah, aku akan berusaha sebaik-baiknya," kata Pak Carter berjanji.
Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh kelas. "Kalian duduk baik-baik dan asah
otak kalian. Tidak setiap hari kita mendapat kehormatan dengan hadirnya seorang
penulis yang hasil karyanya dilindungi hak cipta."
Anak-anak Kelas Tiga nyengir, merapikan sikap duduk mereka, dan mengasah otak
masing-masing. Diskusi hari Jumat merupakan pelajaran yang paling populer,
dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya dalam seminggu; karena saat itu
anak-anak bisa dengan bebas mengomentari dan menyatakan pendapat dari segi apa
saja mengenai pokok persoalan yang sedang dibahas.
Darbishire, yang tingkah lakunya serba serius dan selalu berbicara dengan penuh
pertimbangan, mengelap lensa kacamatanya dengan saputangannya yang dekil. Dalam
hati ia sudah membulatkan tekad, akan membantah pendapat apa pun yang akan
diajukan Jennings-tidak peduli apakah pendapat itu masuk akal atau tidak.
Jennings adalah sahabat karibnya. Tapi meski begitu, ia tidak mau membiarkan
Jennings keluar sebagai pemenang dalam perdebatan tentang hak cipta yang
dilindungi itu, hanya karena kebetulan dia yang pertama-tama mendapat ide itu.
Darbishire mengerutkan keningnya, berusaha mencari-cari hal serupa itu yang bisa
diakuinya sebagai penemuannya. Apa lagi, ya, yang ada di buku-buku" ...Sebentar,
ia perlu mengingat-ingat dulu! Kadang-kadang di dalam buku ada ucapan
persembahan pada seseorang, atau bahkan pada beberapa orang. Mungkin itu bisa
diakuinya sebagai tanda khas untuk tulisan-tulisannya. Bagaimana jika karangan
ilmiah yang di tulisnya pada jam belajar petang diberinya persembahan: Untuk Pak
Wilkins-yang jika tidak karena desakannya karya besar ini takkan pernah dimulai,
apalagi diselesaikan! Darbishire memasang kacamatanya lagi lalu duduk dengan penuh perhatian di
bangkunya ketika Pak Carter membacakan pokok karangan Jennings.
Reaksi anak-anak datang dengan segera. Temple mengeluh dengan suara keras ketika
judul karangan dibacakan. "Aduh! Lagi-lagi suatu ekspedisi Jennings yang konyol
ke ruang angkasa," katanya dengan nada memprotes. "Ceritanya selalu begitu-
begitu terus! Selalu tentang makhluk-makhluk aneh dari Yupiter yang bermata
besar seperti serangga, dengan jidat menonjol dan sel-sel otak sehebat jumbo
jet." "Ya, kenapa tidak"!" kata pengarangnya membela diri. "Siapa tahu, kan mungkin
saja di ruang angkasa luar sana ada makhluk-makhluk yang memiliki kecerdasan
yang luar biasa. Makhluk yang jauh lebih cerdas daripada manusia, seperti kau
dan aku misalnya." Ia berhenti sebentar dan menatap Temple yang bertubuh gempal
dengan pandangan meremehkan. "Yah, setidak-tidaknya lebih cerdas dari dirimu."
Pak Carter berlagak tidak mendengar kata-kata saling menghina itu. Ia mulai
membaca, "Profesor Robinson, ilmuwan termasyhur itu, terpincang-pincang masuk ke
laboratoriumnya sambil bergumam pada dirinya sendiri dengan bergairah. Kepalanya
botak. Matanya cadok dan tuli sama sekali dengan satu kaki palsu dari kayu, tapi
meski begitu ia sangat termasyhur."
Darbishire mengacungkan tangannya. Ia menemukan suatu kesalahan besar.
"Pak, Pak, jika dia tuli sama sekali, kan tidak mungkin dia bisa mendengar apa
yang digumamkannya. Seharusnya ia bicara dengan berteriak-teriak!"
Jennings jengkel karena pembacaan karangannya dipotong. "Dia tidak perlu
berteriak-teriak. Ia pandai membaca gerak bibir. Ia belajar sendiri," katanya
menjelaskan. Tapi penjelasan itu tidak memuaskan Darbishire. "Kalau begitu ia perlu berdiri
di depan cermin agar bisa tahu apa yang dikatakannya."
Pak Carter menatap langit-langit kelas dengan perasaan pasrah. Silang pendapat
yang konyol ini menunjukkan gejala-gejala bahwa diskusi hari akan menjadi salah
satu yang tidak memuaskan.
"Baiklah, kalau begitu," kata Jennings. "Akan kutambahkan nanti bahwa di
laboratorium itu ada cermin, sehingga dia bisa melihat bayangan dirinya
menggerak-gerakkan bibir untuk mengetahui apa yang sedang dikatakannya."
"Nanti dulu! Bayangan yang nampak di cermin kan selalu terbalik. Jadi ada
kemungkinan dia akan melihat dirinya berbicara mundur dan... "
"Ah, diam kau, Darbi! Ini jauh lebih bagus daripada hasil karanganmu yang
membosankan tentang Pasar-pasar Desa." Jennings berpaling pada Pak Carter dengan
wajah berseri-seri. "Teruskan saja membacanya, Pak. Ceritanya makin lama makin
mengasyikkan." Dengan perasaan khawatir bahwa apa yang akan dibaca selanjutnya ternyata lebih
parah lagi, Pak Carter meneruskan, "Ketika profesor itu sedang melintasi
ruangan, pandangan matanya jatuh ada selembar kertas yang tergeletak di lantai,
maka ia pun membungkuk dan memungutnya."
Lagi-lagi Darbishire mengacungkan tangannya. "Pak, Pak, itu kan salah, ya"
Menurut cara Jennings menyusun kalimatnya, terdapat kesan bahwa profesor itu
memungut pandangan matanya yang jatuh."
Sekali ini Jennings sudah siap dengan jawaban. "Itu benar-memang itu yang
dilakukannya," katanya membenarkan. "Soalnya, selain mempunyai satu kaki palsu
dari kayu, satu matanya Juga palsu, terbuat dari kaca."
Dari segala penjuru kelas terdengar suara tertawa terpingkal-pingkal sebagai
reaksi atas jawaban itu. Tapi Pak Carter hanya mengeluh dalam hati, sambil
menutup buku yang dihadapinya. Sungguh, pikirnya, tidak ada gunanya melanjutkan
pembacaan apabila yang terbaik yang bisa dihasilkan seisi kelas hanya tanya-
jawab seperti itu, yang asal bunyi saja. Selain itu, ledakan suara tertawa tadi
menyebabkan buyarnya suasana penuh perhatian yang ada pada awal pelajaran tadi.
Untuk mengubah suasana, Pak Carter bangkit dari bangkunya lalu berjalan
berkeliling kelas, mencari-cari pokok bahasan yang lebih menarik untuk
dibicarakan. Selembar kertas pengumuman ditancapkan dengan paku payung pada pintu sebuah
lemari. Pengumumannya berbunyi: Malam Api Unggun. Iuran untuk Dana Pesta Kembang
Api Kelas Tiga harus diserahkan kepada Martin-Jones (Sekretaris) begitu uang
saku dibagikan. Pak Carter sudah mendengar desas-desus tentang Dana Pesta Kembang Api Kelas Tiga
itu. Setiap tahun menjelang tanggal5 November, anak-anak mengisi sebagian besar
dari waktu luang mereka dengan kesibukan mencari dan mengumpulkan kayu kering
dari semak belukar dan juga dahan-dahan untuk dijadikan api unggun tradisional,
untuk merayakan Hari Guy Fawkes. (Hari Guy Fawkes dirayakan untuk memperingati
kegagalan persekongkolan bubuk mesiu yang hendak meledakkan gedung Majelis
Tinggi Inggris sekian abad yang lalu. pelakunya, Guy Fawkes, kemudian dihukum
mati.) Malam api unggun tersebut merupakan suatu acara yang ditunggu-tunggu: saat jam
belajar petang dibatalkan dan sosok-sosok gelap memakai jas hujan dengan sepatu
bot yang larasnya tinggi sampai ke bawah lutut berjalan beriring-iring membawa
obor yang menyala, menuju sebidang tanah terbuka di ujung lapangan tempat
bermain. Selama satu jam lebih langit akan tampak terang karena nyala api yang berkobar-
kobar; lalu, apabila api sudah meredup, disusul acara makan-makan dengan
hidangan sosis panggang, kentang hangus, dan minuman cokelat yang suam-suam
kuku, yang dimasak di atas kayu yang masih membara. Kadang-kadang sebagian
hidangan pesta jatuh ke dalam abu panas dan terpaksa diselamatkan dengan jalan
mencongkelnya ke luar dengan tongkat. Hidangan yang jatuh itu lalu dibersihkan
dari abu yang menempel, sebelum dinyatakan layak untuk dimakan manusia.
Tapi kejadian seperti itu sama sekali bukan masalah bagi anak-anak yang sedang
berpesta! Sambil menjilat-jilat bibir, mereka antre untuk memperoleh tambahan
hidangan yang kalau dihidangkan pada saat makan malam di ruang makan sekolah
pasti akan mengakibatkan hujan protes.
Selain itu tentu saja masih ada pula pesta kembang api. Bertempat di belakang
api unggun, letusan, desisan, dan kilatan ledakan-ledakan kembang api akan
mengasyikkan mata dan memekakkan telinga, sampai bintang berwarna-warni dan
semburan hujan api keemasan yang terakhir lenyap di tengah kegelapan.... Malam
tanggal 5 November merupakan saat yang lama sekali melekat dalam ingatan!
Pak Carter memalingkan diri dari lemari tempat pengumuman dipasang dan berkata,
"Dana Pesta Kembang Api, ya" Ini menjelaskan desas-desus yang selama ini
kudengar bahwa kelas ini menabung sebagian uang saku mereka sejak awal semester
ini." "Itu betu!, Pak," kata Martin-Jones (Sekretaris) menegaskan. "Sekali ini kami
bergabung dan tidak sendiri-sendiri, dan kami punya tim khusus untuk memilih
jenis-jenis yang akan dibeli. Tentu saja kami nanti harus minta tolong pada
salah seorang guru untuk membelinya."
"Murid-murid kelas-kelas lainnya sekarang menyesal karena ide itu tak
terpikirkan oleh mereka ketika masih cukup waktu," kata Venables menambahkan.
"Dengan cara ini, kami akan bisa membeli roket-roket yang lebih besar dan bagus
daripada siapa pun juga."
Pak Carter mengangguk. Ia baru saja menemukan pokok bahasan yang sesuai untuk
didiskusikan. "Bagaimana kalian hendak membelanjakan uang kalian, itu tentu saja terserah pada
kalian sendiri," katanya. "Tapi apakah kita semua sependapat bahwa cara yang
terbaik adalah menonton uang itu lenyap begitu saja, terhambur berupa asap
ledakan mercon" Apalagi jika diingat bahwa ada anak-anak di kawasan-kawasan lain
di dunia ini yang tidak punya uang untuk membeli makanan-apalagi kembang api."
Seisi kelas berpandang-pandangan. Mereka tidak menduga bahwa persoalan itu akan
muncul. Namun ucapan Pak Carter memang benar, jadi sebaiknya mereka pikirkan
juga masalah itu. Atkinson mengatakan, "Jika kami secara langsung tahu ada seseorang yang
kelaparan atau menderita, Pak, tentu saja uang itu akan kami berikan pada orang-
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang seperti itu. Bagi kami lebih mudah mengambil keputusan apabila kami secara
langsung berjumpa dengan mereka. Misalnya saja, ketika sedang membeli kembang
api-lalu kami melihat seseorang yang lebih memerlukan uang itu daripada kami."
Seisi kelas diam selama beberapa saat, sementara anak-anak yang daya
imajinasinya lebih besar mengembangkan khayalan masing-masing berdasarkan ucapan
Atkinson tadi. Darbishire membayangkan dirinya sudah sampai di depan pintu toko desa, tapi ia
langsung berbalik sewaktu melihat seorang lelaki tua berpakaian compang-camping
berjalan tersaruk-saruk bertumpu pada dua tongkat penyangga. Tampak jelas lelaki
itu sudah nyaris mati karena kelaparan. "Kebutuhan Anda lebih besar daripada
kebutuhanku," gumam Darbishire dalam khayalannya, sambil meletakkan sekeping
uang ke dalam tangan lelaki yang kurus kering dan keriput itu. "Anda akan mereka
lebih bertenaga jika perut Anda sudah terisi sebungkus kentang goreng."
Venables, dalam imajinasinya, melihat seorang wanita tua sempoyongan menggendong
sebuntel cucian yang berat. Venables lantas berkeras membayarkan ongkos bus
untuk perjalanan pulang wanita itu. Temple menjumpai seekor kucing yang kurus
kering dan ia menghabiskan uang merconnya untuk membeli makanan kucing. Bromwich
membelikan sepatu untuk anak-anak yatim-piatu yang bertelanjang kaki dan bekerja
di sebuah pabrik abad kesembilan belas yang tidak jelas wujudnya. Sedangkan
Martin-Jones memberikan sup panas berpiring-piring kepada anak-anak yang
kelaparan di tengah hutan rimba yang panas dan pengap di Afrika.
Berbagai perbuatan baik melintas dalam pikiran para dermawan di kelas itu: dan
itu disusul oleh diskusi mengenai kebajikan sikap mengorbankan kepentingan
sendiri, dibandingkan dengan keasyikan menyalakan kembang api.
"Kita tidak bisa melakukan kedua-duanya," kata Temple menarik kesimpulan,
setelah diskusi berlangsung selama beberapa lama. "Kita harus memilih.
Pilihannya adalah menyerahkan dana untuk salah satu tujuan yang baik, atau kita
membelanjakannya untuk membeli kembang api, seperti rencana kita semula. Apa
yang akan kita lakukan?"
Selama itu Jennings tidak ikut dalam diskusi. Tapi kini ia bangkit dengan cepat.
Matanya berkilat-kilat. Rupanya ia baru saja mendapat ilham.
"Aku ada akal! Aku baru saja mendapat ide gemilang, perlindungan hak cipta akan
diajukan," serunya. "Kita akan melakukan kedua-duanya!"
Temple menggertakkan gerahamnya dengan kesal. "Kau ini, kenapa tidak mau
mendengarkan sih!" Baru saja kukatakan, kita tidak bisa melakukan kedua-duanya
karena..." "Bisa saja, jika kita melakukannya dengan caraku," kata Jennings berkeras.
"Mula-mula, kita belanjakan seluruh uang kita untuk membeli kembang api.
Kemudian kita undang seisi sekolah dan setiap orang di desa untuk menonton
pertunjukan kembang api raksasa yang istimewa. Sesudah itu..."--di wajah
Jennings, muncul cengiran bangga-"sesudah itu kita berkeliling membawa topi,
mengumpulkan sumbangan. Jika kita melakukannya dengan cara itu, uang kita pada
akhirnya akan lima puluh kali lebih banyak dari semula. Semuanya lantas kita
serahkan kepada Pak Carter, sebagai bantuan buat mereka yang kelaparan."
Seluruh murid Kelas Tiga memandang Jennings dengan perasaan kagum. Ini adalah
cara yang tidak mungkin meleset untuk mengambil satu pilihan tanpa harus
melepaskan pilihan lainnya. Mereka berpaling ke arah meja guru. Mereka
mengharapkan reaksi Pak Carter mengenai gagasan itu.
Pak Carter adalah seorang pendukung aktif sebuah organisasi yang bekerja demi
kesejahteraan anak-anak melarat di seluruh dunia. Setiap semester ia sibuk
mengumpulkan sumbangan guna membantu memerangi masalah kelaparan dan penyakit,
serta membuka peluang bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang hidup dalam
keadaan serba kekurangan untuk bisa bersekolah. Pada semester ini ia berniat
menjual kartu-kartu Natal dan stiker-stiker bingkisan... Tapi tidak ada alasan
baginya untuk menolak tawaran yang didasari kemauan baik.
"Serahkan saja pada Jennings, untuk memperoleh yang terbaik dari kedua pilihan,"
katanya sambil tersenyum. "Tapi, aku setuju sekali. Kedengarannya itu merupakan
cara yang sangat bagus untuk menolong kaum remaja yang tidak bernasib sebaik
kalian, anak-anak Kelas Tiga ini."
Lonceng berbunyi tanda waktu bersekolah hari itu selesai. Pak Carter
meninggalkan ruangan. Ia merasa puas, karena telah menyetujui suatu rencana yang
sudah pasti takkan merugikan, bahkan besar kemungkinannya akan mendatangkan
kebajikan besar. Dilihat dari satu sudut, pendapat Pak Carter itu memang benar. Namun di pihak
lain, ia seharusnya ingat bahwa dengan Jennings sebagai penanggung jawab proyek
itu, boleh dibilang apa pun bisa saja terjadi sebelum tugas itu terlaksana....
Dan dalam kenyataannya, memang banyak peristiwa yang terjadi sebelum Dana
Kembang Api Kelas Tiga memberikan sumbangannya demi tujuan yang lebih luas dan
jauh lebih layak diperjuangkan.
2. Fiksi Ilmiah di Mulut Gawang
LATIHAN sepakbola yang menurut rencana akan diadakan siang berikutnya luar biasa
penting maknanya bagi setiap anak yang ingin terpilih dalam Kesebelasan Kedua
Sekolah Linbury Court. Pak Wilkins, guru yang bertugas menangani kesebelasan junior sekolah itu,
diketahui sedang mencari pemain-pemain berbakat untuk menghadapi pertandingan
melawan Sekolah Bracebridge. Tapi ia sedikit pun tidak mau membuka mulut tentang
anak-anak mana saja yang terpilih dalam pikirannya. Jadi, usaha murid-murid
untuk meramal siapa-siapa yang akan dimasukkan ke dalam tim, didasarkan pada
harapan serta dugaan semata-mata.
Jennings dan Temple, keduanya pemain yang baik, dinilai besar kemungkinannya
akan terpilih; begitu pula Venables dan Martin-Jones, kalau kondisi mereka
sedang baik. Namun tidak seorang pun bisa merasa pasti akan terpilih, sampai
saat susunan kesebelasan diumumkan secara resmi.
Kecuali Darbishire, tentu saja! Baginya, tidak ada bedanya apakah ia sedang
berada dalam kondisi yang baik atau tidak. Soalnya, kemampuannya dalam permainan
apa pun begitu payah, sampai-sampai takkan ada yang mau memilihnya untuk
mewakili sekolah dalam permainan lempar gelang. Jadi apalagi untuk bermain
sepakbola. Bagi Darbishire, itu sih oke-oke saja. Ia gemar menonton pertandingan sepakbola,
tapi ia tidak suka ikut bermain. Dan semakin kecil kemungkinan bagi dirinya
untuk dipilih ikut bertanding, semakin besar peluangnya akan dipilih menjadi
penjaga garis. Sementara anak-anak masuk beramai-ramai ke ruang ganti pakaian untuk menyiapkan
diri, Jennings asyik berbicara tentang proyek pengumpulan dana yang
disarankannya pada sore hari kemarinnya.
"Jika kita mau melakukan rencana itu dengan baik, bagusnya kita membuat sebuah
orang-orangan. Kemudian orang-orangan itu kita bawa berkeliling desa, ditaruh di
kursi roda atau sesuatu semacam itu," katanya, sambil melepaskan sweternya dan
mencampakkannya ke tempat gantungan. "Dan lebih baik seminggu sebelum Malam Api
Unggun. Jika itu kita lakukan, kurasa akan lumayan banyak uang yang bisa kita
kumpulkan." "Pasti kita takkan diizinkan," kata Atkinson. "Kepala Sekolah tak mungkin
mengizinkan kita mengadakan pemungutan dana di jalan desa."
"Beliau takkan tahu. Kita berangkat dengan cara biasanya kalau mau pergi ke
desa. Orang-orangan itu kita bawa keluar dengan sembunyi-sembunyi."
"Lalu langsung kepergok salah seorang guru di luar toko-toko desa!" kata Temple.
Jennings enggan melepaskan rencananya untuk menambah dana itu, yang menurut
perasaannya takkan mungkin meleset. "Yah," katanya, "andaikan itu terjadi, pasti
tidak akan terjadi keributan besar, karena kita kan melakukannya demi amal." Ia
nyengir sambil membuka rompinya. "Apa saja bisa kita lakukan tanpa kena marah,
apabila kita buktikan bahwa tujuannya baik. "
"Matron pasti mau memberi kita beberapa lembar pakaian usang untuk mendandani
orang-orangan itu," kata Venables. "Dan kita bisa dengan mudah mengusahakan
jerami dan bahan-bahan lain untuk pengisi tubuhnya."
"Baiklah! Jadi itu yang akan kita lakukan," kata Jennings memutuskan.
Tidak ada waktu lagi untuk meneruskan pembicaraan proyek itu, karena tidak
sampai sepuluh menit lagi peluit akan sudah ditiup, tanda latihan sepakbola akan
dimulai. Saat itu Darbishire bergegas masuk ke ruang ganti. Tangan kanan dan kirinya
masing-masing memegang sebuah buku bersampul tebal, sementara dari kantong
celananya yang kiri dan kanan tersembu1 dua buku saku.
"He, Jen, bolehkah kupinjam buku cerita fiksi ilmiahmu ini?" tanyanya, sambi]
memperlihatkan salah satu buku yang dipegangnya kepada Jennings. "Katamu waktu
itu, aku boleh membacanya apabila kau sudah selesai."
Jennings mengangguk dan menunjuk ke arah buku yang satu lagi, yang diletakkan
oleh temannya itu. "Oke, tukaran dengan buku yang kaubawa itu, kalau ceritanya
asyik." "Wah, maaf, tidak bisa. Ini buku perpustakaan. Aku harus mengembalikannya
sesudah permainan sepakbola nanti." Karena terlambat datang, Darbi buru-buru
membuka pakaian sekolahnya, lalu mengenakan seragam sepakbola. Setelah itu
diambilnya kedua buku saku dari kantong celananya lalu diselipkannya ke balik
kaus kakinya. Venables mengamati perbuatannya dengan agak heran. "Aneh, menyimpan buku kok di
situ. Biasanya kan ditaruh di rak."
"Ini pelindung tulang kering ciptaanku sendiri yang termasyhur dan dijamin tahan
tebasan," kata Darbishire menjelaskan, sambil mengusap-usap bagian depan kaus
kakinya agar rata. "Sewaktu main kemarin tulang keringku kena tendangan. Sakit
sekali rasanya! Jadi mulai sekarang aku akan selalu memakai pelindung."
"Nanti, waktu kau berlari pasti akan lepas dan jatuh," kata Venables meramalkan.
"Selain itu, Pak Wilkie tidak suka melihat ada yang memakai pelindung tulang
kering." "Beliau takkan bisa melihatnya, karena tertutup kaus kaki. Kecuali itu, aku
ditempatkan beliau di gawang. Jadi aku tak perlu harus banyak berlari, jika
nasibku baik." Saat itu terdengar suara Pak Wilkins yang nyaring datang menghampiri di gang,
disertai bunyi langkahnya yang berat.
"Ayo, Anak-anak! Sudah waktunya kalian semua berada di lapangan," seru guru itu
dengan suaranya yang berat, sementara ia melangkah masuk. Ia memandang
berkeliling ruangan sambil mengerutkan dahi, melihat pakaian yang disangkutkan
dengan asal-asalan di tempat gantungan serta kaus-kaus kaki yang berserakan di
lantai. "Dan usahakan agar ruangan ini kalian tinggalkan dalam keadaan rapi. Ada
hukuman satu jam lebih lama di kelas bagi siapa pun yang tidak menggantung
pakaiannya dengan rapi."
"Aduh, Pak!" protes para pemain. Tapi mereka lantas sibuk membereskan barang-
barang mereka dengan sikap pura-pura bergegas.
"Bukan itu saja, nanti akan kusita apa saja yang ternyata dibiarkan tergeletak
sembarangan. Jadi kalian hati-hati sajalah!"
Pak Wilkins bertubuh besar dan gampang marah. Gerak-geriknya serba mau cepat,
sementara gaya bicaranya ketus. Seperti Pak Carter, ia sebenarnya suka pada
anak-anak didiknya, namun - dan ini lain dari rekannya itu - ia merasa jalan
pikiran anak-anak remaja sulit dimengerti bagi otak dewasa Pak L.P. Wilkins.
Baginya hal-hal yang dilakukan dan dikatakan anak-anak tampaknya seakan-akan
tanpa penalaran sama sekali.
Ia berbalik lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah seperti orang berbaris,
diikuti oleh anak-anak yang sudah selesai berganti pakaian dan siap bermain
sepakbola. Darbishire sudah hendak menyusul, tapi tidak jadi karena dipanggil Jennings.
"He, Darbie, kau tidak berniat meninggalkan buku fiksi ilmiahku di sini, kan"
Aku tak mau buku ini nanti disita Pak Wilkins."
Kedua buku bersampul tebal itu terletak di atas bangku duduk, tempat Darbishire
tadi menaruhnya. Buku-buku tidak boleh dibawa ke ruang ganti, dan
meninggalkannya di situ selama mereka bermain bola, sama saja artinya dengan
mencari perkara! "Nanti aku menyelinap sebentar ke dalam ruang duduk bersama dalam perjalanan ke
luar lalu menaruhnya di situ," kata Darbishire. Kedua buku itu disembunyikannya
di balik sweternya, agar tidak ketahuan oleh Pak Wilkins di dalam gang.
Siasatnya itu ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Pak Wilkins berdiri di dekat
pintu samping. Ia menyuruh anak-anak cepat-cepat menuju ke lapangan permainan,
sementara Jennings dan Darbishire bergegas menyusul di belakang. Ketika tinggal
sekitar lima meter dari pintu keluar, Darbishire berbelok dan bergegas naik
tangga. Maksudnya hendak menuju ke ruang duduk bersama.
"Darbishire! " Suara Pak Wilkins yang ketus menyebabkan anak itu tertegun pada anak tangga
ketiga. Ia berpaling sambil memeluk perut, menjaga jangan sampai buku-buku yang
ada di balik sweternya merosot dan jatuh.
"Ya, Pak?" "Keluar!" perintah Pak Wilkins. "Ayo cepat!"
"Ya, Pak. Saya tahu, Pak. Saya memang sudah hendak keluar, Pak. Tapi sebelumnya
saya masih ingin..."
"Tidak bisa! Apa pun urusanmu-itu harus ditangguhkan dulu. Aku menunggu untuk
memulai permainan." "Tapi, Pak, saya cuma sebentar saja. Paling-paling semenit, untuk..."
"Jangan coba-coba membantah," kata Pak Wilkins sambil menuding ambang pintu yang
terbuka. "Ayo keluar! Keluar!"
Sambil memegangi pinggir bawah sweternya erat-erat, Darbishire keluar lewat
pintu samping, menuju lapangan sepakbola kesebelasan junior. Ia terpaksa
berjalan dengan sangat berhati-hati, karena Pak Wilkins berjalan di belakangnya.
Soalnya, ia lupa mengenakan karet pengikat kaus kaki, sehingga kaus kakinya
rasanya seperti hendak merosot dan memperlihatkan sampul mengilat buku-buku saku
yang dijadikannya pelindung tulang kering.
Darbishire mengambil posisi di antara kedua tiang gawang. Sementara itu ia terus
sibuk berpikir. Di manakah ia harus menaruh buku-buku yang masih terus
dipeganginya di balik sweternya itu. Tanah di dalam gawang sangat becek, jadi ia
tidak bisa meletakkannya di situ. Lagi pula, jika itu dilakukannya, ada
kemungkinan Pak Wilkins nanti melihatnya. Untung baginya, ia menjadi penjaga
gawang kesebelasan yang lebih tangguh. Semoga saja bola takkan datang ke arahnya
sampai ia sudah berhasil menemukan penyelesaian untuk masalah yang dihadapinya.
Pak Wilkins sudah hendak memberi isyarat agar permainan dimulai ketika Jennings,
yang bermain pada posisi gelandang tengah,. datang berlari-lari menghampiri
sambil mengacungkan arloji yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangannya.
"Pak, Pak, bisakah ini saya titipkan pada Anda?" tanyanya. "Jika saya tetap
memakainya, nanti bisa rusak."
"Kau mestinya sudah melepaskannya sebelum kau keluar tadi," kata Pak Wilkins,
yang menjadi wasit, kepada Jennings.
"Ya, saya tahu, Pak. Biasanya memang saya lepas. Tapi karena tadi terburu-buru
saya lupa, dan... " "Baiklah, sini kusimpan." Pak Wilkins mengambil arloji itu lalu memasukkannya ke
dalam kantong. Kemudian ditiupnya peluit: pertandingan uji coba dimulai!
Kedua tim ternyata bermain tidak seimbang, karena Pak Wilkins memang sengaja
hendak menguji para pemain depan dan gelandang terbaik di satu pihak melawan
pemain-pemain belakang yang terbaik dan penjaga gawang pada pihak lainnya. Anak-
anak yang bermain pada posisi-posisi itu adalah "calon-calon kuatnya", sementara
posisi-posisi selebihnya diisi oleh "calon-calon yang mungkin terpilih". Kecuali
penjaga gawang yang kedua. Kalau dia itu, benar-benar payah!
Dengan demikian selama dua puluh menit pertama permainan, bola terus-menerus
berada di separo lapangan yang itu-itu saja. Darbishire, yang jauh dari bola dan
sendirian saja di depan gawangnya, tidak punya kesibukan apa pun juga kecuali
berdiri dan menonton sosok-sosok para pemain yang lari kian-kemari di sisi
seberang lapangan. Kalau melihat betapa para pemain depan kesebelasannya terus
melakukan tekanan, tampaknya sampai akhir permainan ia takkan pernah perlu
menyentuh bola. Selama beberapa saat ia melewatkan waktu dengan membuat pola-pola di tanah yang
becek dengan sol sepatu sepakbolanya. Kemudian ia bosan dengan kesibukan itu.
Edan! katanya pada diri sendiri. Kalau bola sampai sore tidak mendekat
kepadanya, berarti ia harus berdiri terus sepanjang siang. Padahal, selama itu
ia sebenarnya bisa saja duduk di perpustakaan, membaca buku yang asyik.
Misalnya saja membaca kisah fiksi ilmiah yang dipinjamkan Jennings padanya. ,Ia
meraba-raba tonjolan persegi empat yang ada di balik sweternya. Ia tentu saja
tidak bisa duduk dengan santai untuk membaca sepuas-puasnya. Tapi setidak-
tidaknya ia bisa membalik-balik halaman buku itu, untuk melihat apa ceritanya.
Ia memandang ke seberang lapangan. Saat itu salah seorang pemain kesebelasannya
sedang hendak melakukan satu tendangan pojok lagi. Sejak pertandingan dimulai,
kesebelasannya sudah beberapa kali melakukan tendangan pojok. Dan tampaknya akan
begitu terus sampai saat turun minum. Para pemain yang ada di seberang lapangan
pun terlalu sibuk menerima serangan-serangan timnya.
Darbishire mengeluarkan buku yang dipinjamnya dari balik sweter lalu membuka
sampulnya... Ancaman Jagoan Angkasa Luar. Kelihatannya ramai juga ceritanya. Ia
melihat bahwa di buku itu juga terdapat tanda hak cipta. Jadi pasti bagus!
Matanya bergerak, menelusuri alinea-alinea pembuka. Kemudian ia membalik halaman
dan melanjutkan membaca. Dengan segera ia sudah masuk ke dalam dunia ajaib fiksi
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmiah, sehingga lupa sama sekali bahwa ia seharusnya bertugas menjaga gawang.
Tidak ada yang orisinal tentang alur kisah Ancaman 'Jagoan Angkasa Luar' itu.
Pada akhir alinea kedua tokoh pahlawan dalam cerita itu, yang berumur dua belas
tahun, sudah melihat sebuah pesawat ruang angkasa, pada waktu sedang mengamati
kehidupan burung-burung di suatu tempat yang sunyi dan terpencil di sebuah
pedesaan di Inggris. Dua halaman selanjutnya pesawat itu mendarat di pinggir
sebuah hutan dan suatu makhluk kecil berwarna hijau menyapa tokoh pahlawan
dengan suara aneh, seperti suara logam. "Salam, manusia bumi! Kami datang dari
suatu galaksi yang sangat jauh. Kami datang dengan maksud damai. Antarkan aku ke
pemimpin kalian!" Darbishire berhenti membaca. Ia menatap jauh, ke seberang lapangan-lapangan
sepakbola, memandang hutan kecil di ujung pekarangan sekolah... Sunyi,
terpencil, dan di tengah-tengah daerah pedesaan! Tempat yang benar-benar cocok
bagi pendaratan sebuah piring terbang! Tapi itu tentu takkan terjadi. Tidak
mungkin! Tapi bagaimana jika ternyata terjadi juga! Bayangkan, mata C.E.J. Darbishire
yang tajam melihat sebuah benda terbang yang aneh mendarat di-ya katakanlah-di
sebidang tanah tak terawat di sebelah sana itu, di belakang lapangan sepakbola
Kesebelasan Pertama. Yang lain-lain takkan melihatnya, karena mereka semua
sedang sibuk melakukan tendangan pojok. Dan bayangkan, kemudian suatu makhluk
kecil hijau dengan kening besar menonjol datang menyelinap dari balik sudut
paviliun, menghampiri penjaga gawang yang sedang seorang diri dan berkata,
"Antarkan aku ke pemimpin kalian!"
Apakah yang akan dilakukannya" Kening Darbishire berkerut. Ia berpikir keras.
Siapakah sebenarnya pemimpinnya" Apakah ia harus mengantarkan makhluk kecil
hijau itu ke Pak Wilkins" Atau ke Kepala Sekolah" ...Atau barangkali ke Perdana
Menteri-atau bahkan dibawa menghadap Ratu"
Yah, kenapa tidak" Dalam benaknya, Darbishire membayangkan dirinya mengenakan
setelan jasnya yang paling bagus, pergi naik taksi menuju ke Istana Buckingham
bersama makhluk kecil hijau itu, yang memandang ke luar dengan terheran-heran.
"Tempat yang baru saja kita lewati tadi itu, namanya Trafalgar Square," kata
Darbishire menjelaskan. Ia berbicara dengan lambat dan jelas, agar tidak
membingungkan tamu dari angkasa luar itu. "Pria yang ada di ujung atas tiang
tadi, dia itu seorang pelaut bernama Nelson, tapi sekarang dia sudah meninggal
dunia." Ia menunjuk lurus ke depan. "Itu istana tempat tinggal pemimpin kami.
Anda bisa tahu bahwa dia ada di rumah, karena ada bendera berkibar di atas atap.
Aku sebenarnya belum mengadakan janji untuk bertemu dengannya, tapi jika dia
mendengar betapa pentingnya urusan ini, aku yakin ia akan... "
"Darbishire!" Teriakan-teriakan serak bernada cemas dan kesal yang datang dari tengah
lapangan, oleh Darbishire terdengar bagaikan tembakan pistol yang langsung
membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke depan. Dilihatnya Martin-Jones, penyerang tengah kesebelasan
lawan berhasil menerobos dan kini lari ke arahnya sambil menggiring bola. Ia
berhasil meninggalkan pemain belakang yang masih terus berusaha mengejar. Kini
Martin-Jones tengah mengambil ancang-ancang, untuk menendang bola dengan sangat
terarah ke gawang. Darbishire gugup. Ia berlari-lari kecil memasuki daerah penalti untuk mencegat
serangan yang datang. Tapi saat itu juga Martin-Jones sudah menendang bola ke
depan dengan sekuat tenaga.
Bola yang ditendang itu membentur perut Darbishire sehingga ia jatuh
terjengkang. Buku Ancaman Jagoan Angkasa Luar terpental dari tangannya dan
terbang melingkar di atas kepala; buku yang dipinjam dari perpustakaan merosot
keluar dari balik sweternya, sementara kedua kakinya yang menendang-nendang
menyebabkan kedua buku saku yang dijadikan pelindung tulang kering melesat
keluar dari balik kaus kaki dan jatuh ke lumpur, di sisi kiri dan kanan titik
penalti. Bolanya sendiri berguling masuk ke dalam gawang. Peluit berbunyi, tanda
bahwa bola itu masuk. Gol!
Darbishire bangkit untuk menghadapi hujan umpatan dari teman-teman setimnya,
yang menandak-nandak penuh kemarahan karena sikapnya yang dengan sengaja
mengabaikan kewajiban. Tapi kemarahan mereka masih belum apa-apa, dibandingkan
dengan keberangan Pak Wilkins. Guru yang menjadi wasit itu bergegas
menghampirinya untuk menyelidiki apa sebetulnya yang telah terjadi. Sewaktu
sampai di daerah penalti kakinya menginjak salah satu buku saku yang tergeletak
di situ. Punggung buku yang sudah sering berpindah tangan itu pecah dan halaman-
halamannya bertebaran ke mana-mana, bagaikan daun-daun kering pada musim rontok.
"Apa-apa-apa, demi guntur, yang terjadi di sini?" tukas wasit itu tergagap-
gagap, sementara Darbishire mengambil bola dari jaring gawang.
"Tidak ada apa-apa, Pak, cuma Martin-Jones saja berhasil mencetak gol. Saya
masih berusaha menyelamatkan, tapi tidak sempat merebut bola dan..."
"Masa bodoh tentang bola! Kenapa sampai ada buku-buku berserakan di sini?" Pak
Wilkins menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah begitu banyak bahan bacaan yang
terserak di sekitar kakinya. "Membaca di gawang! Belum pernah kudengar kelakuan
yang begitu keterlaluan! Ini kelihatan lebih mirip perpustakaan umum daripada
lapangan sepakbola!"
"Ya, saya tahu, Pak. Semuanya itu cuma berapa buku yang kebetulan saja ada di
balik sweter saya dan... eh... di tempat-tempat lain seperti itu. Saya sama
sekali tidak bermaksud hendak membacanya, Pak. Yah, cuma melihat-lihat isinya
saja sedikit." "Tapi kenapa kau membawanya ke lapangan?" Pak Wilkins sangat marah. "Kau ini
sudah sinting rupanya! Orang beradab tidak bermain sepakbola dengan membawa
buku-buku di balik sweternya. Coba lihat keadaannya sekarang! Berlumur lumpur,
dengan halaman-halaman yang terlepas bertebaran ke mana-mana, sampai ke tiang
pojok. Ayo, pungut semua sampah ini lalu langsung tinggalkan lapangan. Aku tidak
sudi mempertimbangkan siapa pun juga yang tidak bersikap serius untuk bisa ikut
dalam tim." Itu cuma ancaman kosong belaka, karena Darbishire memang tidak mungkin terpilih.
Menyadari kenyataan itu, Pak Wilkins lantas menyambung, "Dan kau juga kehilangan
peluangmu untuk menjadi penjaga garis."
"Aduh, Pak!" Tampang Darbishire langsung kecut. Ia tidak merasa keberatan
disuruh masuk. Tapi ia kepingin sekali bisa ikut ke Bracebridge bersama tim yang
akan bertanding di sana. "Itu memang sudah sepantasnya!" Pak Wilkins mendengus. "Menurutmu, kau itu nanti
akan jadi penjaga garis macam apa" Begitu diberi kesempatan sedikit saja, kau
pasti akan membuka kios buku di garis pinggir, dan bukannya memperhatikan
jalannya pertandingan!"
Ketika Darbishire sudah masuk ke gedung, Pak Wilkins memperkuat pihak yang lebih
lemah dan menukar posisi beberapa pemain. Tindakannya itu menyebabkan permainan
menjadi terbuka. Kedua tim memperoleh peluang yang lebih besar untuk
memperagakan kemampuan mereka.
Selama sebagian besar waktu dari paro kedua, Jennings bermain dengan tekun,
tanpa sedikit pun tampak menonjol. Kemudian, tidak lama sebelum peluit panjang
berbunyi, tahu-tahu ia sudah menggiring bola, memimpin serangan ke arah gawang
lawan. Dengan mempergunakan akal secara cepat serta pengoperan bola dengan
terampil, ia berhasil melewati penjagaan para pemain belakang lawan, langsung
menendang bola masuk ke dalam gawang.
Pak Wilkins mengangguk dengan sikap senang. Ia berkata, "Permainan bagus,
Jennings!" Itu merupakan pujian besar baginya, dan Jennings begitu senang atas
keberhasilannya sehingga ketika pertandingan usai ia langsung bergegas
meninggalkan lapangan. Ia tidak ingat untuk meminta kembali arlojinya yang tadi
dititipkannya pada Pak Wilkins.
Sayang sekali hal itu sampai terjadi, karena Pak Wilkins pun lupa akan arloji
yang dititipkan padanya itu-sampai segalanya sudah terlambat!
3. Sepasang Sepatu Aneh HARAPAN Jennings untuk ikut terpilih dalam Kesebelasan Kedua yang akan melawan
Kesebelasan Bracebridge terpenuhi ketika nama para pemain dipasang di papan
pengumuman pada saat istirahat pagi hari Rabu berikutnya.
Temple, Venables, Bromwich, dan Martin-Jones juga terpilih; tapi Darbishire-
seperti sudah diperkirakan-kehilangan posisinya sebagai penjaga garis,
digantikan oleh Atkinson.
"Kasihan Darbi! Tapi salahnya sendiri, kenapa membaca ketika sedang menjaga
gawang! Ia pasti sebal setengah mati kalau kita pulang nanti dan bercerita
padanya betapa sedap suguhan yang dihidangkan di sana untuk kita," kata Venables
di ruang ganti, sementara tim-tim yang akan bertanding sedang bersiap-siap. "Dan
kita mungkin nanti malam tidak punya waktu lagi untuk mengerjakan tugas-tugas,
kalau saja kita berlama-lama memakan suguhan mereka. Kita kan tidak perlu buru-
buru, apabila ada bus tersendiri yang disediakan untuk kita."
Segi pengaturan perjalanan inilah yang begitu menarik bagi Venables beserta
teman-temannya. Biasanya, kesebelasan sekolah berangkat naik mobil-mobil para guru atau
menggunakan jasa bus umum setempat. Tapi acara pertandingan yang sekarang
melibatkan tiga tim dari masing-masing sekolah: Kesebelasan Pertama bertanding
sebagai tuan rumah di Linbury, sementara Kesebelasan Kedua dan Ketiga bermain di
Bracebridge. Karena lebih dari dua lusin penumpang yang harus diangkut, Kepala
Sekolah lebih suka mencarter sebuah bus daripada mengandalkan jasa angkutan
umum. "Pak Wilkie dan Pak Hind akan memimpin rombongan dalam bus kita," kata Jennings
memberi tahu rekan-rekannya, sambil memasukkan baju sepakbolanya ke dalam tas
olahraga. "Itu berarti Pak Carter akan mewasiti pertandingan Kesebelasan Pertama
dan..." Ia berhenti sebentar, sementara keningnya berkerut. "Aduh, pancing peot, baru
saja aku teringat bahwa sweter putihku ketinggalan di paviliun sehabis
pertandingan uji coba kemarin. Bagaimana, ya... masih sempatkah aku pergi
mengambilnya?" "Kau harus mengambilnya! Pak Wilkins pasti meledak nanti kalau kau muncul
berlari-lari ke tengah lapangan tanpa mengenakannya," kata Venables
memperingatkan. "Dan cepatlah sedikit. Busnya akan tiba di sini sepuluh menit
lagi." Jennings buru-buru menutup tas olahraganya lalu bergegas meninggalkan ruangan
untuk mengambil sweternya. Paviliun pasti dalam keadaan terkunci pada saat yang
masih begitu siang. Jadi ia terpaksa harus mencari Pak Wilkins, untuk meminjam
anak kunci. Ia bergegas menaiki tangga, menuju ke ruang duduk guru, dengan harapan akan
menemukan Pak Wilkins di situ, sedang menikmati secangkir kopi yang biasa
diminumnya sesudah makan siang. Jennings berniat untuk sekaligus juga menanyakan
arlojinya. Sudah tiga kali ia menanyakan arlojinya sejak pertandingan latihan
minggu yang lalu, tapi setiap kali Pak Wilkins menjawab bahwa ia sedang sibuk
sekali, jadi tidak punya waktu untuk mencari di kamarnya.
Itu memang benar. Tapi kenyataan sebenarnya, Pak Wilkins tidak tahu dengan pasti
apa sebenarnya yang telah terjadi pada benda itu. Ia ingat bahwa ia
memasukkannya ke dalam saku jaket sportnya yang tua, yang selalu dipakainya pada
saat ia menjadi wasit permainan sepakbola tingkat junior. Namun sewaktu ia
memeriksa saku-saku jasnya itu kemudian, arloji Jennings sudah tidak ada lagi di
dalamnya. Tapi pada saat itu Pak Wilkins tidak merasa terlalu cemas mengenainya. Arloji
itu pasti ada di salah satu tempat di dalam kamarnya, dan ia bermaksud akan
melakukan pencarian secara saksama begitu ia punya waktu. Sementara itu Jennings
harus bersabar dulu. Cukup banyak jam di berbagai tempat di dalam gedung,
apabila anak itu hendak mengetahui waktu.
Tidak terdengar jawaban dari dalam sewaktu Jennings mengetuk pintu kamar kerja
Pak Wilkins. Karenanya ia menjenguk ke dalam, untuk memastikan bahwa tidak ada
siapa-siapa di situ. Saat itu ia melihat seberkas anak kunci tergantung di
dinding dekat jendela. Ia berjingkat-jingkat masuk lalu mengambil seberkas anak
kunci tersebut. Dengan harap-harap cemas diperiksanya anak-anak kunci itu satu
demi satu. Dengan cepat ia menemukan anak kunci model Yale (yang gampang dikenali karena
ada setitik cat hijau pada batangnya) yang sering dilihatnya dipakai untuk
membuka pintu paviliun. Jennings merasa bahwa pasti tidak ada salahnya meminjam anak kunci itu selama
beberapa menit-apalagi ia memang tidak sempat lagi mencari Pak Wilkins dulu!
Jika ditanya nanti, ia bisa memberikan alasannya. Tapi rasanya takkan ada
pertanyaan, kalau anak kunci itu sudah dikembalikan ke tempatnya sebelum ada
yang tahu bahwa anak kunci itu tadi lenyap. Jadi Jennings lalu melepaskan anak
kunci itu dari berkasnya, dan bergegas meninggalkan ruangan Pak Wilkins.
Kepala Sekolah, Pak Pemberton-Oakes, sedang bercakap-cakap dengan Pak Hind di
dekat pintu samping ketika Jennings sampai lagi di lantai dasar. Meski waktu
saat itu berharga, Jennings menyadari bahwa ia harus mengenakan sepatu untuk di
luar dulu sebelum melewati mereka. Soalnya, Kepala Sekolah pasti akan menegurnya
apabila ia mencoba pergi ke luar dengan memakai sepatu yang khusus untuk dipakai
di dalam gedung. Untungnya, ruang tempat penyimpanan sepatu tidak jauh letaknya dari situ.
Jennings buru-buru mengenakan sepatu lars karetnya. Ia berjalan dengan lambat-
lambat dan sopan melewati kedua guru itu, lalu melesat keluar lewat pintu
samping. Di luar, teman-teman seregunya sudah berkumpul di pelataran aspal. Mereka
memakai pakaian untuk bepergian serta menenteng tas olahraga. Semua sudah siap
untuk berangkat. Temple berseru, "He, cepatlah sedikit, Jen! Sebentar lagi busnya datang! Kau kan
tahu, Pak Wilkie takkan mau menunggu!"
Sesaat Jennings panik, membayangkan dirinya ditinggal. Tapi buru-buru ditekannya
perasaan itu. Mereka takkan mungkin pergi tanpa dia, katanya mengingatkan diri
sendiri dalam hati. Mana mungkin bertanding apabila kurang seorang pemain! Ia
berlari secepat-cepatnya menuju paviliun, membuka pintunya lalu mengambil
sweternya yang tergantung di sebuah sangkutan di pojok ruangan yang jauh dari
pintu. Ketika ia membanting pintu dalam perjalanan keluar, dilihatnya bus memasuki
pekarangan menuju ke arahnya, untuk menjemput para penumpang. Jennings sudah
bertekad hendak naik paling dulu agar ia bisa menempati bangku yang paling
disukai anak-anak, yaitu di sudut kanan bangku paling belakang.
Kini, satu-satunya kemungkinan untuk bisa mengambil tempat duduk itu adalah
dengan jalan mendului antrean. Jadi Jennings bukannya kembali ke pelataran,
melainkan lari menyongsong bus yang menuju ke arahnya. Di sudut jalan masuk, bus
tersebut memperlambat jalannya agar tidak keluar dari tikungan. Ketika kendaraan
besar itu sudah sampai di sisinya, Jennings meloncat naik ke tangga lalu
mendorong pintunya sehingga terbuka. Ia mengangguk dengan ramah ke arah
pengemudi bus, berjalan ke belakang, lalu menjatuhkan badannya di tempat duduk
di sudut. Ia tentu saja nanti harus turun lagi untuk mengambil perlengkapannya.
Tapi pokoknya, jika ia bisa mencadangkan tempat duduk itu untuk dirinya, teman-
teman yang lain pasti hanya bisa gigit jari.
Sekitar lima puluh meter lebih jauh, bus itu berhenti di sudut ruang olahraga.
Para penumpang berdesak-desak naik, yang masuk lebih dulu bersemangat hendak
menempati tempat duduk yang mereka sukai.
Bromwich, yang paling awal masuk, marah ketika melihat Jennings menduduki tempat
yang diingininya. "Apa-apaan ini"! Kok kau sudah ada di situ sebelum aku?" tanyanya dengan nada
heran bercampur sebal. Jennings menanggapi wajah Bromwich yang cemberut dengan senyum kemenangan. "Aku
sudah sejak berjam-jam ada di sini. Kau terlambat seratus tahun jika ingin duduk
di sini. Aku sudah lebih dulu mengetapnya."
Dengan cepat Bromwich melihat kelemahan Jennings. "Ah, tapi kau tidak membawa
perlengkapanmu. Mana tasmu" Mana mantel hujanmu" Lagi pula, kau takkan diizinkan
pergi dengan memakai sepatu lars karet."
"Aku memang akan turun untuk mengambil barang-barangku itu. Akan kutinggalkan
sweterku di sini, sebagai bukti bahwa ini tempat dudukku."
"Tidak bisa! Jika kau turun dan meninggalkannya..." Bromwich tidak melanjutkan
kalimatnya. Air mukanya berubah, tidak lagi cemberut. Sekarang ia nyengir.
"Baiklah kalau begitu, Jennings. Sana, pergi!ah mengambil perlengkapanmu. Akan
kujagakan tempat dudukmu selama itu."
Jennings merasa ragu., Sudah jelas, begitu ia meninggalkan tempat duduknya yang
di sudut itu, takkan ada harapan bisa mendapatkannya lagi kalau ia kembali
nanti. Ia melayangkan pandangan dengan kening berkerut ke luar lewat jendela.
Dilihatnya Darbishire ada di antara anak-anak yang berkumpul untuk mengucapkan
selamat bertanding kepada tim yang akan berangkat.
Jennings membuka jendela lalu berseru, "He, Darbi! Cepat, tolong aku sebentar.
Ini penting!" Darbishire meninggalkan anak-anak yang berkerumun, datang menghampiri jendela.
"Ada apa?" "Tolong ambilkan tas dan barang-barangku, ya" Semuanya tadi kuletakkan di
bangku, di ruang ganti pakaian. Aku tidak bisa pergi sendiri mengambilnya,
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena nanti ada anak brengsek merebut tempat dudukku."
Sementara Darbishire bergegas pergi, Jennings pun teringat bahwa ia saat itu
masih memakai sepatu lars. Karenanya ia berteriak, menyusulkan pesan, "Juga
sepatuku yang untuk di luar! Di dalam lemariku! Ayo, cepatlah sedikit! Sebentar
lagi bus akan berangkat."
Sambil tersenyum, Jennings merebahkan punggungnya ke sandaran tempat duduknya.
Bromo tertipu, pikirnya. Ia tertawa dalam hati, ketika melihat bahwa sekarang
Bromwich juga kehilangan tempat duduk di sudut yang satu lagi, karena sudah
ditempati Temple. Semua anak yang lain sudah mendapat tempat duduk dan kedua guru yang memimpin
rombongan juga sudah datang. Pak Hind, seorang pria muda bertubuh jangkung dan
kurus sudah naik ke dalam bus untuk mengecek daftar penumpang. Dia guru
menggambar dan musik. Sementara itu Pak Wilkins berdiri di pintu kendaraan,
bercakap-cakap dengan Pak Carter yang ikut menemaninya berjalan ke luar.
"Sudah waktunya kita berangkat," kata Pak Wilkins, setelah melirik arlojinya
sebentar. "Anak kunci pintu paviliun ada di kamar saya. Ada di gelang kunci
bersama seberkas anak kunci lainnya, tergantung dekat jendela."
"Pokoknya bereslah," kata Pak Carter. "Saya tunggu sampai kalian sudah berangkat
dan setelah itu akan saya keluarkan segala perlengkapan sebelum tamu-tamu kita
tiba." Kedua guru itu masih mengobrol selama berapa saat lagi. Sementara itu Darbishire
sudah muncul lagi, sambil membawa barang-barang Jennings, ia langsung menuju
jendela kanan belakang bus.
"Ini barang-barangmu!" katanya dengan napas tersengal-sengal. Ia berjingkat
dengan tangan terulur ke atas, sementara Jennings menjulurkan tubuhnya ke luar,
mengambil tasnya. "Dan ini sepatumu." Darbi membungkuk untuk memungut sepatu
Jennings yang diletakkannya di pelataran sebelum mengulurkan tas temannya itu ke
atas. Setelah membidik dengan saksama, dilambungkannya satu sepatu masuk ke dalam bus
lewat jendela. Sepatu yang satu lagi hendak disusulkannya ketika Jennings
berseru, "Tunggu sebentar, kupakai dulu! Nanti tolong bawakan sepatu larsku ke
dalam." Beberapa saat kemudian, sepatu lars Jennings yang sebelah kiri melayang keluar
lewat jendela dan jatuh di pelataran. Darbishire pergi mengambilnya. Ia baru
saja akan melambungkan sepatu luar Jennings yang satu lagi ketika tahu-tahu bus
mulai berangkat, tanpa ada tanda-tanda apa pun sebelumnya.
Karena tidak menduga hal itu akan terjadi, lemparan Darbishire meleset. Sepatu
yang dilambungkannya membentur kaca jendela belakang dan jatuh ke pelataran.
Darbi memungutnya lagi, namun sementara itu bus sudah berjalan sekitar dua puluh
meter menuju ke luar. Jennings juga bingung ketika bus tahu-tahu berangkat. "Pak, Pak, berhenti, Pak!"
serunya pada Pak Wilkins, yang baru saja menempati sebuah tempat duduk di depan.
"Penting sekali, Pak! Darbishire sedang membantu saya..."
"Diam, Jennings," seru Pak Wilkins dengan galak ke arah belakang. Karena tidak
tahu ada masalah dengan alas kaki Jennings, ia menyangka anak itu berteriak
hanya untuk menarik perhatian saja. "Kau setidak-tidaknya harus tahu sopan
santun dan menaruh perhatian kepada anak-anak yang mengantarkan kalian
berangkat." Sementara bus semakin laju jalannya, para penumpang menoleh ke belakang dan
melambaikan tangan ke arah teman-teman mereka yang mengantar. Teman-teman itu
membalas dengan melambaikan saputangan sambil bersorak-sorak, memberi semangat
kepada tim yang akan bertanding.
Darbishire tidak melambaikan saputangannya. Tangannya yang satu melambaikan
sepatu luar Jennings yang sebelah kanan, sementara tangan yang satu lagi
melambaikan sepatu lars kiri temannya yang kotor kena lumpur. Dasar Jennings,
katanya dalam hati. Jennings baru berhenti berkeluh kesah menyesali kesialannya ketika bus sudah
melewati desa Linbury dan menghampiri kota Dunhambury.
"Darbi brengsek! Anak itu perlu diperiksa otaknya, membiarkan aku berangkat
dengan keadaan begini," keluhnya pada Martin-Jones yang duduk di sampingnya.
"Satu sepatu luar dan satu sepatu lars! Huhh! Apa kata Pak Wilkie nanti jika ia
melihat kakiku!" Bromwich memutar tubuhnya di tempat duduk yang terpaksa diambilnya. Ia tertawa
senang. "Tahu rasa sekarang! Itulah, kalau serakah, buru-buru karena ingin
mendapat tempat duduk terbaik, dan bukannya mengurus barang-barangmu."
"Lagi pula, kau tidak bisa mempersalahkan Darbishire," kata Martin-Jones. "Jika
kau tadi tidak mengganti sepatu yang sebelah dulu, pasti masih cukup waktu untuk
melemparkan sepatu luarmu yang satu lagi."
"Dari mana aku tahu bahwa saat itu bus sudah hendak berangkat" Aku bahkan tidak
melihat Pak Wilkie masuk. Dan kemudian ketika aku minta agar bus berhenti
sebentar, beliau tidak mau mendengar. Ini sebenarnya kesalahan Pak Wilkie."
Jennings menatap ke luar dengan perasaan masih sebal ketika bus memasuki kawasan
pinggir kota Dunhambury. Jendela-jendela buram karena embun. Karenanya Jennings
hendak mengambil saputangannya untuk dipakai mengelap kaca jendela. Ketika
tangannya merogoh sakunya, terpegang olehnya sebuah benda pipih dan logam. Satu
sisinya terasa tidak rata, bergerigi.
Jennings tersentak. Itu kan anak kunci pintu paviliun. Ia merasa kecut, karena
menyadari bahwa ia telah melakukan satu kesalahan lagi.
Sedikit pun ia tidak teringat lagi pada anak kunci itu, begitu pintu paviliun
sudah ditutupnya kembali.
Dan sekarang, anak kunci itu ada di sakunya! Orang-orang di sekolah sekarang
pasti sibuk mencari-cari. Mereka tidak bisa mengambil bola-bola, tiang-tiang
pojok dengan bendera-benderanya, serta bangku-bangku untuk para penonton yang
tergolong orang-orang penting. Dan mereka harus mengusahakan tempat lain bagi
tim tamu dari Bracebridge untuk ganti pakaian. Namun sekarang sudah terlambat
untuk berbuat apa pun. Jennings memutuskan bahwa yang terbaik baginya adalah
tidak mengatakan apa-apa, dan nanti apabila sudah kembali ke sekolah diam-diam
akan dipulangkannya anak kunci itu ke tempat semula. Pak Carter atau Kepala
Sekolah, atau salah seorang, pasti punya anak kunci cadangan. Pokoknya, urusan
itu pasti bisa mereka bereskan!
Ia membersihkan kaca jendela di sampingnya dengan saputangannya lalu memandang
ke luar. Bus saat itu sedang berjalan dengan lambat di tengah arus lalu lintas
yang ramai di jalan utama kota Dunhambury. Lambatnya jalan kendaraan memberi
peluang bagi Jennings untuk memperhatikan jendela-jendela pajangan toko-toko
yang dilewati. Aneh, pikirnya, selama masa liburan, pada saat ia bisa sepuas-puasnya memandang
isi jendela-jendela pajang toko-toko kapan saja ia mau, ia hanya lewat saja di
depan jendela-jendela itu tanpa benar-benar memperhatikan isinya. Tapi pada
waktu bersekolah, saat ia terikat pada jadwal sekolah asrama, kawasan pusat
perbelanjaan yang ramai terasa begitu istimewa sehingga tanpa disadarinya ia
begitu asyik memperhatikan barang-barang dagangan yang sebenarnya sama sekali
tidak menarik baginya. Jennings menyikut Martin-Jones lalu memberi tahu, "Minggu ini ada potongan harga
sepuluh penny di pasar swalayan. Penawaran khusus!"
"Potongan sepuluh penny untuk apa?" tanya Martin-Jones ingin tahu.
"Aku tidak tahu, tapi apa pun juga, kedengarannya betul-betul murah. Banting
harga, begitu kubaca tadi. Belilah sekarang, selama persediaan masih ada!"
Jennings berpaling ke jendela lagi untuk mengagumi pajangan kembang api dan
topeng-topeng Guy Fawkes di sebuah jendela toko. Jennings lantas teringat bahwa
tidak lama lagi, tepatnya tanggal 5 November, akan ada perayaan Hari Guy Fawkes.
Sewaktu bus berhenti di lampu lalu lintas, Jennings menyikut Martin-Jones lagi
sambil berkata, "Kita bisa mendapat lima belas pound atau lebih, kalau mau jual
piano yang sudah tua di toko musik itu. Lumayan, ya"!"
Martin-Jones kurang percaya. "Lima belas pound" Meski pianonya sudah bobrok?"
"Itu yang tertulis di situ. Dalam kondisi seperti apa pun, begitu
pemberitahuannya." "Untuk apa itu kauceritakan padaku" Aku tidak punya piano tua."
"Aku juga tidak," kata Jennings. "Aku cuma mengandaikan aku punya, itu saja."
Pak Hind dan Pak Wilkins turun paling dulu ketika bus sampai di tujuan sepuluh
menit kemudian. Mereka bersalaman dengan Pak Parkinson, guru olahraga, yang
keluar menyambut kedatangan para tamu bersama serombongan murid pendukung tim
Bracebridge. Mereka semua berdiri menonton para anggota tim dari Linbury turun
satu per satu dari dalam bus.
Yang paling akhir turun adalah penumpang yang tadi duduk di tempat duduk sudut
kanan belakang. Ia muncul sambil tersenyum malu-malu, sementara matanya menatap
lurus ke depan dengan harapan bahwa sikapnya itu bisa mengalihkan perhatian
orang dari kakinya. Tapi siasatnya itu percuma saja. Pak Parkinon, seorang pria ramah bertubuh gemuk
dengan rambut kuning keputih-putihan yang sudah menipis serta kumis tebal,
memandang sekilas ke arah kaki tamu yang turun paling belakang itu lalu
mengatakan, "Wah, wah! Kaki yang satu memakai sepatu luar berwarna coklat,
sementara kaki yang lain terbungkus lars hitam. Rupanya ini suatu gaya baru
untuk seragam sekolah!" Senyumnya tampak seperti menyatakan bahwa murid-muridnya
sendiri takkan pernah membuatnya malu dengan penampilan yang begitu konyol di
depan umum. Kedua guru dari Linbury mengernyitkan muka karena malu. Kalau di sekolah
sendiri, mereka mungkin bisa lebih bersikap toleran terhadap gaya baru dalam
berbusana itu. Tapi di sini, di Bracebridge, penampilan semacam itu tidak bisa
dimaafkan. Begitulah Jennings, dia selalu memilih waktu dan tempat yang paling
tidak cocok, yang membuat dirinya sendiri menjadi bahan tertawaan orang! Dan
kenapa tidak ada yang memperhatikan bahwa rambut anak itu sudah perlu sekali
dipangkas, kata Pak Wilkins dalam hati dengan jengkel. Penampilan semacam itu
benar-benar menurunkan martabat sekolah!
Pak Wilkins menatap pemain sepakbola yang berambut gondrong dan memakai sepatu
yang berbeda kiri dan kanan itu dengan mata melotot, sementara bibirnya
memamerkan senyum yang diarahkannya pada Pak Parkinson serta para murid
Bracebridge yang menonton.
Pak Wilkins mendecak-decakkan lidahnya.
"Kau ini benar-benar konyol, Jennings," katanya sambil terus memaksa diri
tersenyum. "Mestinya kau kan bisa mengurus sendiri mana sepatu yang harus
dipakai." "Ya, saya tahu, Pak. Cuma soalnya, bus tahu-tahu mulai berjalan ketika saya
sedang menukarnya dan..."
"Ya, ya, sudahlah!" Pak Wilkins memutuskan. Saat itu lebih baik jika urusan itu
dibicarakan sesedikit mungkin. Masih cukup banyak waktu baginya nanti untuk
menyatakan pendapatnya mengenai ulah Jennings. Tunggu sampai kembali ke Linbury,
katanya dalam hati. Biar saja Jennings menunggu sampai mereka sudah kembali ke
sekolah! 4. Masalah Penyaluran Air
TIM-TIM Linbury diantarkan ke ruang ganti pakaian mereka di ruang olahraga.
Tempat itu merupakan sebuah gedung modern yang letaknya agak jauh dari bangunan
utama, tempat tim-tim tuan rumah sedang menyiapkan diri untuk bertanding.
Pada satu sisi ruang ganti itu ada pintu yang menuju ke ruang senam. Pintu yang
terdapat di sisi lainnya menuju ke sebuah gang yang bersebelahan dengan kolam
renang tertutup. Suatu keistimewaan kolam renang Sekolah Bracebridge itu adalah sistem pemanasan
airnya yang sangat baik. Sistem itu menjamin bahwa murid-murid tidak hanya bisa
berenang di situ pada musim panas saja (seperti di Linbury), tetapi juga pada
musim rontok. Pada hakikatnya, hanya karena pertimbangan biaya pemanasan air
sajalah kolam itu tidak bisa dipergunakan sepanjang tahun. Ruang ganti pakaian
di situ terang dan lapang, dilengkapi dengan pancuran untuk mandi serta bak-bak
untuk berendam sampai ke lutut. Perlengkapan yang begitu modern mencolok sekali
bila dibandingkan dengan dinding kayu yang catnya sudah bergores-gores serta
bangku-bangku duduk dari kayu kasar yang terdapat di kamar ganti yang suram di
ruang bawah tanah Sekolah Linbury Court.
Kedua kesebelasan tuan rumah sudah berada di lapangan, menendang-nendang bola,
sewaktu tim-tim tamu keluar dari kamar ganti. Pertandingan kemudian langsung
dimulai. Permainan tidak menimbulkan hal-hal tak terduga. Tidak ada aksi pemain yang
menonjol. Keempat tim yang bertanding bermain dengan baik. Kesebelasan-
kesebelasan Ketiga bermain dengan bersemangat padahal keterampilannya masih
kurang. Ketika peluit panjang berbunyi sebagai tanda usainya pertandingan,
Kesebelasan Kedua Linbury kalah satu gol, dengan hasil akhir 3-2 untuk
kesebelasan tuan rumah. Sementara kesebelasan ketiga sekolah mereka berhasil
menahan kesebelasan lawan, dengan hasil kacamata, 0-0. Tapi meski
pertandingannya berlangsung dengan biasa-biasa saja, suatu peristiwa susulan
yang tak terduga-duga menyajikan peristiwa puncak bagi kegiatan petang itu.
Begitu mereka sudah kembali berada di ruang ganti, anak-anak Linbury langsung
lari untuk mandi di bawah pancuran.
"Aku ingin mandi sepuas-puasnya," kata Temple sambil melepaskan kemejanya.
"Perlengkapan di sini lebih baik dari yang ada di tempat kita."
Keenam anak yang sudah paling dulu siap melangkah ke bawah pancuran, membuka
keran-lalu melompat mundur dengan napas tersentak-sentak sewaktu air dingin
memancur turun membasahi tubuh mereka.
"Tunggu saja dulu, sebentar lagi pasti panas," kata Bromwich. Ia menyodorkan
tangannya ke air dingin yang memancur lalu memutar keran air panas sampai
mentok. "Air panasnya memang selalu agak lambat keluarnya."
Mereka menunggu sambil menggigil, dengan tetes-tetes air sedingin es mengalir
turun di dada mereka. Tapi ketika sudah lewat waktu semenit, air dari pancuran
masih tetap saja dingin seperti tadi. "Bahkan jadi hangat pun tidak! Sama
dinginnya seperti sewaktu kita buka tadi," kata Venables mengeluh.
Jennings, yang sudah membuka sepatu dan kaus kaki sepakbolanya, tapi untuk
selebihnya masih mengenakan pakaian sepakbola, dengan santai datang menghampiri
untuk melihat apa yang diributkan oleh teman-temannya.
"Mereka lupa menghidupkan alat pemanas," katanya. "Sebentar, akan kucari
seseorang untuk membereskannya." Tanpa alas kaki, ia pergi ke gang, menuju ke
pintu depan bangunan. Tidak ada siapa-siapa di situ. Kedua tim dari Bracebridge berganti pakaian di
bangunan utama, sedangkan murid-murid lainnya sudah masuk ke gedung, dan Pak
Wilkins serta Pak Hind sedang dijamu di ruang duduk Kepala Sekolah.
Jennings memandang berkeliling pekarangan depan yang lengang. Ia tidak berniat
berjalan lebih jauh lagi tanpa alas kaki. Karenanya ia lantas kembali melalui
gang, untuk melaporkan kegagalan upayanya.
Di sisi kiri dan kanan gang yang sedang dilewatinya ada beberapa pintu. Pintu
pertama yang dibukanya ternyata tidak menuju ke ruang ganti seperti yang
disangkanya. Yang ada di belakang pintu itu sebuah bilik kecil tanpa jendela.
Lampu yang ada di situ langsung menyala secara otomatis begitu pintu dibuka. Di
sepanjang salah satu dinding bilik itu terdapat sebuah panel dengan sejumlah
keran, katup, dan meteran yang dihubungkan ke pipa-pipa bersimpang siur yang
menuju ke berbagai arah dan menghilang lewat lubang-lubang di lantai.
Jennings memandang segala keran dan pipa yang bersimpang siur itu. Ia berpikir.
Sudah jelas, ini pasti pusat pengendalian sistem saluran air leding yang
mengatur air panas untuk pancuran-pancuran di ruang sebelah. Mestinya salah satu
keran itu yang mengatur suhu air....
Betul, tapi yang mana" Karena tidak ada petunjuk sama sekali yang bisa dijadikan
pegangan, ia terpaksa memilih salah satu secara untung-untungan. Juga andaikan
yang diputarnya nanti ternyata bukan keran yang benar, itu takkan ada
pengaruhnya sama sekali, karena tidak mungkin menyebabkan air menjadi lebih
dingin dari keadaannya sekarang!
Pada satu ujung panel itu ada sebuah katup yang dilengkapi dengan roda dan dicat
hijau. Mungkin itu berhubungan dengan pengaturan air panas. Roda katup itu
berada pada posisi "tutup". Tapi dengan sekali putaran mantap ke arah yang
berlawanan dengan gerak jarum jam, roda akan berputar dan menyebabkan katup
terbuka. Apakah dengan begitu sudah beres"
Jennings bergegas kembali ke gang lalu masuk ke ruang ganti, untuk mengetahui
hasil percobaannya. Sementara itu anak-anak Linbury yang selebihnya sudah tidak lagi mengharapkan
bisa mandi dengan air hangat. Kebanyakan mereka sudah mengenakan pakaian dan
menunggu jemputan untuk pergi ke ruang makan.
"He, cepatlah sedikit, Jen!" kata Martin-Jones.
"Segeralah mengenakan pakaian, jika masih ingin ikut makan. Kau tidak punya
waktu lagi untuk mencuci badan."
"Tenang sajalah. Jangan panik. Aku baru saja mencoba mengotak-atik saluran air,"
kata Jennings menjelaskan sambil berjalan ke tempat pancuran lalu memutar keran
air panas. "Mestinya sekarang sudah beres."
Tapi ternyata tidak! Meski air dibiarkan terus mengucur selama ia mengenakan
pakaian, suhu airnya tetap saja sangat dingin.
Dua anak Bracebridge datang menjemput tim-tim tamu untuk diantarkan ke bangunan
utama ketika Jennings sedang mengenakan sweternya.
"Aku membawakan ini untukmu," kata anak Bracebridge yang lebih jangkung. Ia
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengayun-ayunkan sepasang sepatu rumah di atas kepalanya. Gayanya seperti sedang
mengayun-ayunkan kapak perang orang Indian. "Menurut Pak Parkinson, sebaiknya
kaupinjam saja ini karena tidak ada yang diperbolehkan masuk ke ruang makan
dengan sepatu lars-bahkan walaupun cuma sebelah saja tidak boleh."
Jennings mengambil sepatu rumah itu lalu memakainya. Sepatu rumah itu beberapa
nomor terlalu besar baginya. Satu-satunya cara untuk mencegah agar sepatu itu
tidak saban kali copot adalah dengan mencengkeramkan jari-jari kakinya.
Sementara ia mengikuti timnya keluar dari ruang ganti, tumit sepatu rumah yang
longgar berdetak-detak di lantai. Kedengarannya seperti penari fandango sedang
beraksi, melakukan tarian Spanyol itu.
Hidangan yang disajikan mengenyangkan perut anak-anak, terdiri atas sosis dan
bubur kentang. Sehabis makan, kedua tim dari sekolah Linbury keluar dan langsung
naik ke dalam bus untuk kembali pulang. Sementara itu hari sudah mulai gelap.
Jennings masih harus mengembalikan dulu alas kaki yang dipinjamnya. Karenanya ia
menunggu di serambi depan sampai anak yang meminjamkan sepatu rumah yang
kebesaran itu datang untuk mengambilnya kembali.
"Wow! Coba lihat, bagaimana keadaan tubuhku," kata Jennings pada anak itu,
sementara cahaya lampu-lampu gantung di serambi itu menerangi lututnya yang
berlumur lumpur. "Aku tadi tidak sempat mandi sehabis bertanding. Soalnya, aku
sibuk mencoba menyetel agar air panas bisa keluar dari pancuran kalian. Tapi
percuma." Anak Bracebridge itu berumur tiga belas tahun, bertubuh jangkung, berhidung
besar dan melengkung seperti paruh betet. Telinganya besar dan lebar, begitu
pula kakinya. Pada saat makan, Jennings mendengar bahwa anak itu oleh teman-
temannya sesekolah dijuluki Fliplugs, yang kurang lebih sama artinya dengan
"Kuping Kalong".
"Apa maksudmu-kau mencoba menyetel agar menjadi panas?" tanya anak itu. "Apa
yang kaulakukan?" "Yah aku menemukan sebuah bilik kecil di samping gang, yang di dalamnya terdapat
banyak keran dan macam-macam lagi. Kusangka salah satu dari keran itu mungkin
penyetel aliran air panas, jadi kuputar keran itu. Ternyata bukan itu kerannya."
"0, begitu. Sebenarnya dilarang masuk ke ruangan itu, tapi kurasa tidak apalah
karena kau cuma tamu di sini." Tapi tiba-tiba Fliplugs seperti teringat pada
sesuatu, karena ia menambahkan, "He, yang kauputar itu bukan roda yang di ujung
deretan, kan" Bukan itu yang kausentuh, kan?"
"Memang yang itu. Yang dicat hijau. Keran itu tertutup lalu kubuka, tapi itu
tidak menyebabkan air menjadi hangat."
Fliplugs menatap tamunya dengan wajah kecut, sementara mulutnya ternganga
sedikit. "Kau membukanya! Keran yang hijau itu! Wow! Mengertikah kau, apa yang telah
kaulakukan?" Jennings menggeleng. "Itu keran yang hanya dibuka untuk mengeluarkan air dari kolam, renang. Jika
selama kita makan tadi airnya mengucur terus, mestinya sekarang kolam itu sudah
hampir kosong." Jenning terkejut setengah mati mendengarnya.
"Astaga! Kau tahu pasti?" katanya sambil menelan ludah. "Aku sama sekali tidak
berniat menyebabkan hal semacam itu terjadi-sungguh! Aku cuma ingin agar air
untuk mandi di pancuran bisa jadi hangat."
"Kau takkan cuma akan merasa hangat saja nanti, jika kejadian ini ketahuan oleh
Pak Parkinson." Nada suara Fliplugs merupakan campuran antara perasaan seram dan
asyik. Ia senang melihat orang lain merasa bersalah karena menimbulkan suatu
bencana. "Kau belum kenal Pak Pinkie, sih! Beliau pasti akan marah sekali!
Beliau akan meledak! Mengisikan air ke dalam kolam itu memerlukan waktu berhari-hari, karena air yang dialirkan
masuk sekaligus harus dihangatkan. Dan menghangatkannya itu, ongkosnya mahal
sekali!" "Aduh, maaf berat deh! Aku sama sekali tidak bermaksud..."
"Tidak ada gunanya minta maaf padaku. Bukan aku yang harus membayar," kata
Fliplugs. "Tapi kau harus mengakui kesalahanmu sebelum pergi, karena kalau
tidak, ada kemungkinan beliau mengira salah seorang dari kami yang melakukannya.
" Jennings tegang karena merasa takut. Berusaha menjelaskan kejadian seperti ini
di sekolah sendiri saja sudah cukup mengerikan dan membuat hati kecut. Apalagi
membayangkan harus mengakui kesalahan pada seorang guru sekolah lain, yang
terkenal suka marah dan mengamuk! Itu saja sudah cukup membuat pikiran macet
karena panik, apalagi ditambah Pak Wilkins yang berdiri mendampingi, dengan
sikap kaku karena malu, sambil memikirkan berbagai kemungkinan hukuman luar
biasa yang nanti akan disusulkan apabila mereka sudah tiba lagi di sekolah
mereka sendiri. Jennings menabahkan dirinya. "Mungkin belum semua airnya mengucur keluar,"
katanya penuh harap. "Mungkin kita bisa menghentikannya, jika kita sekarang ini
juga ke sana." "Yah, tempat itu sebenarnya tidak boleh dimasuki," kata Fliplugs agak keberatan.
"Tapi kurasa kita bisa mencobanya, mengingat ini keadaan darurat."
Sambil mengatakan begitu, ia mendului berjalan keluar lewat pintu depan dan
melintasi lapangan tempat bermain, sementara Jennings membuntutinya.
Bus rombongan Linbury menunggu beberapa meter lebih jauh di jalan masuk dengan
lampu-lampu dinyalakan. Jennings melihat bahwa teman-temannya sudah ada di dalam
kendaraan itu, menunggu saat berangkat. Pak Hind juga sudah ada di dalam, sedang
Pak Wilkins berdiri di samping bus. Guru itu memicingkan mata, memandang dalam
keremangan petang, mencari-cari satu-satunya penumpang yang belum juga muncul.
Jennings cepat-cepat menyembunyikan diri di balik punggung Fliplugs sambil
merapatkan badannya pada anak itu, agar anak yang lebih jangkung itu menutupi
dirinya dari penglihatan Pak Wilkins. Apa pun yang akan terjadi nanti, saat itu
pemeriksaan kolam renang merupakan urusan yang paling dulu harus dilakukan.
Ruang olahraga gelap ketika kedua anak itu datang, tapi pintu tidak terkunci.
Kedua anak itu menyelinap masuk lalu pergi ke gang. Pintu ke kolam renang ada di
sisi kanan mereka. Pintu itu dibuka oleh Fliplugs, dan ia menyalakan lampu....
Kolam renang sudah kosong! Tidak ada air lagi di dalamnya.
Fliplugs mengernyitkan muka, berlagak menderita. "Wah! Habislah riwayatmu sekali
ini! Kau telah melakukan kesalahan yang benar-benar berat. Tunggu saja sampai
kau menerima tagihan untuk memanaskan air dua juta liter dengan harga lima penny
per unit-atau begitulah. Tunggu saja sampai..."
"Ya deh, ya deh! Tidak perlu kau mengoceh terus mengenainya," Jennings memotong.
Ia menatap kolam yang sudah tidak ada airnya lagi itu dengan pandangan tidak
percaya. Pasti nanti akan terjadi keributan yang luar biasa pada saat ia
mengakui kesalahannya. Tidak peduli disengaja atau tidak, apa yang telah
dilakukannya itu tidak bisa dimaafkan.
Dengan perasaan sangat tidak enak dalam dadanya, Jennings berbalik lalu kembali
ke pintu masuk gedung. Fliplugs berjalan meloncat-loncat di sampingnya, sambil
mencerocos terus, meramalkan berbagai keseraman yang akan menimpa orang-orang
yang begitu konyol, mengotak-atik keran penutup yang tidak diketahui gunanya.
Pak Wilkins melihat kedua anak itu, ketika mereka muncul dari ruang olahraga.
"Jennings!" panggilnya dengan suara mengguntur. "Kemari segera! Ayo, cepat!
Masih berapa lama lagi kau menyuruh kami menunggu?"
Jennings berlari-lari melintasi pelataran berlapis aspal dan berhenti dengan
cepat di samping bus. "Ke mana saja kau ini?" kata Pak Wilkins marah-marah. "Sudah sepuluh menit
lamanya kami menunggu. Ayo, cepat masuk ke dalam bus!"
Jennings ragu, tidak tahu bagaimana caranya harus menjelaskan.
"Anu, Pak, saya sebenarnya belum siap untuk berangkat," katanya dengan gugup.
"Itu tak adil bagi anak-anak Bracebridge. Nanti mereka yang disalahkan. "
Pak Wilkins menatap anak yang mengenakan sepatu yang berlainan sebelah kiri dan
kanan itu dengan bingung.
"Disalahkan!?" katanya. "Kau ini bicara tentang apa?"
"Yah, sayangnya, Pak, ada suatu peristiwa gawat yang terjadi," kata Jennings
memulai penjelasannya. "Saya tadi mencoba menghangatkan air pancuran untuk mandi
dengan jalan memutar sebuah keran yang saya jumpai, dan secara kebetulan saya-
yah, bisa dibilang secara tidak sengaja-mengosongkan air kolam renang."
"Kau melakukan apa?"!"
"Mengosongkan kolam renang, Pak. Habis semuanya, mengalir keluar. Tentu saja itu
tak sengaja. Saya melihat keran itu, lalu ketika saya memutarnya air kolam
langsung mengalir keluar."
"Beribu-ribu liter air terbuang sia-sia," Fliplugs menambahkan, maksudnya agar
Pak Wilkins bisa benar-benar menyadari gawatnya bencana itu.
"Padahal sudah dihangatkan sampai delapan puluh derajat Fahrenheit, dengan biaya
yang mahal sekali. "
Sesaat Pak Wilkins tidak mampu berkata apa-apa, dan Fliplugs (seorang ilmuwan
hebat!) memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan perincian tekniknya dengan
kata-kata yang oleh orang dewasa berotak tumpul pun bisa dimengerti.
"Itu bisa disamakan dengan menarik sumbat wastafel," katanya. "Perbedaannya,
yang ada bukan sumbat kecil dari karet di ujung rantai, melainkan katup beroda
dengan pintu saluran dan..."
Tetapi otak Pak Wilkins yang cerdas tidak memerlukan penjelasan ilmiah. Fakta-
faktanya sudah jelas. "Ini benar-benar keterlaluan!" teriaknya, sewaktu ia sudah mampu bicara lagi.
"Kau... kau ini bodoh, Jennings! Apa alasanmu melakukan perbuatan seperti itu?"
"Itu kekeliruan, Pak. Kan sudah saya katakan tadi. Air untuk mandi dingin, dan
saya mengira..." "Ya, ya, ya, tapi kenapa kau justru melakukannya di Bracebridge!" Seperti
Jennings sepuluh menit sebelumnya, Pak Wilkins merasa tubuhnya menjadi panas-
dingin, membayangkan dirinya harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang begitu
keterlaluan. Entah apa pikiran Pak Parkinson nanti tentang tim tamu yang
menyebabkan kekacauan yang begitu mahal" Bagaimana pendapatnya nanti tentang
guru yang memimpin mereka" "Tunggu saja sampai kita sudah tiba di sekolah lagi,"
katanya mengancam. "Perbuatanmu itu benar-benar keterlaluan. Kini kita harus
segera mencari Pak Parkinson dan melaporkan hasil perbuatanmu padanya."
Tapi mereka tidak perlu lagi mencari, karena saat itu tuan rumah berjalan dengan
santai melintasi pelataran untuk mengucapkan selamat jalan kepada tamu-tamunya.
"Sudah mau berangkat rupanya, ya," katanya dengan ramah.
Pak Wilkins membalas senyuman ramah tuan rumahnya dengan senyum kecut. "Begini,
Pak Parkinson, saya sangat menyesalinya, tapi ada suatu kecelakaan kecil-eh,
suatu kesialan. Anak konyol ini tadi melakukan sesuatu yang benar-benar bodoh.
Ia menyebabkan air mandi Anda mengucur keluar."
Pak Parkinson tampak agak bingung. "Air mandi saya! Tapi saya belum mau mandi-
setidak-tidaknya, sekarang ini belum. Saya hendak mengawasi murid-murid membuat
pekerjaan rumah dulu."
"Tidak, bukan air mandi yang biasa-air kolam renang. Anak ini mengatakan pada
saya bahwa ia menemukan sebuah keran kecil, lalu ia memutarnya. Dan tampaknya,
itu menyebabkan air kolam renang mengalir keluar semua. Tentu saja saya jamin
dia akan dikenai hukuman berat, dan tentu saja kami akan mengganti ongkos
pemanasan air apabila kolam sudah Anda isi kembali."
Dari air muka Pak Parkinson tampak bahwa segala penjelasan itu menyebabkan ia
bertambah bingung. Ia memonyongkan bibirnya, dan itu menyebabkan ujung-ujung
kumisnya mencuat ke depan, seperti gading gajah. Kemudian ia berkata, "Saya sama
sekali tidak mengerti. Apa yang menyebabkan Anda menyangka anak ini telah
mengosongkan kolam renang?"
"Tapi saya memang melakukannya, Pak," kata Jennings. "Saya tidak sengaja,
pokoknya itu terjadi begitu saja."
"Ya, itu benar, Pak," tegas Fliplugs, yang selama itu tetap berada di dekat
situ, asyik mengikuti pembicaraan. Ia bukannya tidak senang pada anak Linburg
yang bersalah itu, tapi jika anak malang itu nanti didamprat habis-habisan, ia
ingin ikut menyaksikan adegan itu. "Kami baru saja pergi memeriksanya. Tidak ada
air setetes pun lagi. Kolam renang itu benar-benar kosong."
Pak Parkinson mengangguk. "Tentu saja kosong! Aku yang menyuruhnya mengosongkan
kolam itu beberapa hari yang lalu, karena sebentar lagi kan sudah musim dingin."
Ia menatap muridnya dengan kening berkerut. "Kau ini rupanya tidak mendengarkan
sewaktu murid-murid berkumpul pada hari Kamis yang lalu, Hodges, sewaktu
kuumumkan bahwa dalam masa bersekolah sekarang ini kalian tidak bisa lagi
berenang." Hodges, yang dijuluki Fliplugs itu, melonjak seperti kambing gunung, sementara
tangannya bergerak menutupi mulut. Rupanya baru saat itu ia ingat lagi.
"Astaga! Ya, tentu saja. Anda memang mengumumkannya waktu itu, Pak. Saya lupa
sama sekali." "Lupa!" "Ya, Pak, tapi sekarang ingat lagi. Jelas sekali. Tidak ada lagi acara berenang,
kata Anda waktu itu."
Jennings benar-benar terkejut. "Maksud Anda, bukan saya yang mengosongkannya?"
katanya dengan perasaan lega. "Wow! Untung saja."
"Tapi kau akan telah mengosongkannya, jika kolam itu penuh," kata Fliplugs
berkeras. Di wajah Jennings tampak senyum lebar berseri-seri ketika ia berpaling kepada
Pak Wilkins. Ia mengatakan, "Anda dengar itu, Pak! Untung saja, kan" Dasar nasib
saya mujur!" Meski merasa lega, Pak Wilkins masih saja sangat jengkel. Ia merasa harga
dirinya turun. Sejak mereka tiba di sekolah itu, Jennings hanya merepotkan dan
menimbulkan perasan malu saja.
Ditatapnya anak itu sambil melotot. "Naik ke bus, Jennings, dan datang menghadap
padaku apabila kita sudah sampai nanti," katanya. "Kau sudah terlalu banyak
menimbulkan keributan sepanjang sore ini."
5. Kesialan dengan Cat Semprot
PAK CARTER sedang memberi tanda pada buku-buku di ruang guru ketika tim-tim
sepakbola kembali dari Bracebridge. Ia mendengar bunyi bus datang, disusul bunyi
langkah anak-anak turun dari kendaraan, dan kemudian suara Venables yang
melengking, mengumumkan hasil-hasil pertandingan kepada teman-teman yang
menjulurkan kepala mereka keluar dari jendela ruang duduk murid sambil berseru-
seru menanyakan prestasi kedua tim.
Beberapa menit kemudian, Pak Wilkins masuk ke ruang guru lalu langsung
mengenyakkan tubuh di kursi besarnya.
"Saya capek sekali," katanya. "Saya mengalami sore yang lumayan berat-dan itu
karena Jennings. Bagaimana pertandingan di sini tadi?"
"Kita kalah, 2-1," jawab Pak Carter. "Dan sore tadi kami juga cukup repot-berkat
L.P. Wilkins." "Karena saya"!" Pak Wilkins langsung meluruskan sikap duduknya. "Apa maksud
Anda?" "Kata Anda, anak kunci paviliun ada di gelang berkas kunci di kamar Anda, dan
ternyata itu tidak benar. Anak kunci itu tidak ada di situ! Dan karena Pak
Kepala pergi dengan membawa salah satu anak kunci cadangan, dan tukang yang
sudah selesai bekerja pulang juga dengan membawa anak kunci yang satu lagi, kami
lantas benar-benar bingung. Terpaksa kaca salah satu jendela dipecahkan, agar
kami bisa masuk." "Tapi itu mustahil! Tentu saja anak kunci itu ada di kamar saya," kata Pak
Wilkins berkeras. "Saya ingat sekali, saya masih sempat memastikan bahwa kunci-
kunci itu ada di situ sebelum saat makan siang."
"Yah, pokoknya tidak ada sesudah makan siang," kata rekannya. "Dan yang membuat
keadaan menjadi lebih repot, tim Bracebridge tiba ketika kami sedang sibuk
mencari-cari anak kunci lain yang mungkin bisa pas. Jadi kami tidak bisa
mempersilakan mereka masuk untuk berganti pakaian."
"Ya, tapi saya ingat sekali..."
"Bukan itu saja, kami pun jadi tidak punya bola dan bendera-bendera, serta
tiang-tiang pojok." Pak Carter menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap menyesali. "Anda benar-benar
keterlaluan, Wilkins, memberikan informasi seenaknya saja, tanpa terlebih dulu
memastikan kebenarannya. Kepala Sekolah tadi sewaktu kembali kedengarannya
sangat jengkel mengetahui ada kaca jendela yang pecah."
"Anak kunci itu harus ada di gelang kunci saya. Mungkin Anda yang tidak cukup
teliti mencarinya." Pak Wilkins bangkit lalu berjalan ke pintu. "Coba saya
periksa sendiri." Ketika ia tiba di ruang duduknya di lantai dua, dijumpainya Jennings berdiri di
depan pintu. Wah, sayang sekali Pak Wilkins tidak baru beberapa menit kemudian
muncul, karena saat itu Jennings mungkin sudah sempat menyelinap masuk tanpa
ketahuan dan mengembalikan anak kunci yang hilang itu.
Tapi apa boleh buat, bukan begitu kenyataannya. Jennings masih sempat mendengar
bunyi langkah yang datang, dan saat itu juga ia memutuskan untuk mengundurkan
niatnya dulu, sampai keadaan sudah aman lagi. Anak kunci pintu paviliun
dimasukkannya kembali ke dalam sakunya, dan ia mengarahkan pikirannya kepada
alasan lain dari kedatangannya ke situ.
"Ah, Anda rupanya, Pak," katanya. "Anda tadi mengatakan, saya harus menghadap
begitu kita sudah kembali."
Pak Wilkins membalas dengan dengusan, semen tara ia melangkah masuk ke dalam
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamarnya, meninggalkan Jennings di gang. Pak Wilkins langsung menuju paku kait
di dekat jendela lalu mencari-cari di antara berkas anak kuncinya. Anak kunci
pintu depan ada, begitu pula kunci starter mobil, serta beberapa anak kunci
lainnya; tapi anak kunci pintu paviliun tidak ada.
Aneh! Ia yakin masih melihatnya tadi pagi. Tapi i pihak lain, demikian pikirnya
sambil teringat pada anak yang berdiri di depan pintu kamarnya, ia juga sama
yakinnya bahwa ia memasukkan arloji Jennings ke saku jas sportnya yang tua
minggu lalu. Rupanya ia mulai pikun! Barangkali itu akibat beban mental,
mengajar anak-anak Kelas Tiga sebanyak empat belas kali seminggu!
Ia kembali ke pintu lalu memberi isyarat pada Jennings, agar masuk. "Sekarang
dengarkan baik-baik, katanya. "Kelakuanmu tadi sore sangat sembrono. Kau sangat
mempermalukan sekolahmu. Mulai sekarang, aku tidak mau lagi kelakuan seperti
itu." "Ya, Pak... tidak, Pak," kata Jennings bersungguh-sungguh. Ia bisa melihat
gelang kunci tergantung pada paku kait, di belakang bahu kiri Pak Wilkins. Coba
guru itu baru naik ke atas beberapa menit kemudian! Coba saat itu ia dipanggil,
karena ada telepon untuknya! Tapi itu cuma harapan kosong. Ia kembali
mengarahkan perhatiannya kepada kata-kata Pak Wilkins berusaha menangkap banjir
kata-kata yang memantul dan gendang telinganya.
Selama sepuluh menit Pak Wilkins berbicara dengan nada keras tentang tingkah
laku kekanak-kanakan. Ceramahnya itu diperjelas dengan menyinggung anak yang
pergi ke sekolah lain dengan mengenakan sepatu yang aneh-aneh, lalu mengacak-
acak sistem saluran air begitu sampai di sana. Jennings hanya bisa sekali-sekali
menyela dengan, "Ya, Pak... Tidak, Pak," dan berjanji akan berkelakuan baik
mulai saat itu. Ketika ceramah sudah berakhir, Pak Wilkins mengganti nada suaranya yang memarahi
dengan suara biasa, "Masih ada satu hal lagi, Jennings: tentang arlojimu yang
kautitipkan padaku waktu itu. Barang itu tentu saja aman, tapi sayangnya saat
ini aku tidak begitu ingat, di mana aku menaruhnya."
"Ah, itu tidak apa, Pak," kata Jennings menenangkan. "Arloji saya itu tidak
mahal harganya." "Bukan itu persoalannya. Mahal atau tidak, yang jelas kau menitipkannya padaku
dan aku pasti akan mengembalikannya dalam keadaan utuh. Cuma kau harus sabar
dulu sampai aku sempat mencarinya dengan teliti."
"Baik, Pak. Saya akan sabar, Pak. Itu tidak apa, Pak."
Setelah itu Jennings pergi. Ia merasa lega, karena ternyata hanya diomeli.
Kemarahan Pak Wilkie rupanya sudah agak mereda selama dalam perjalanan pulang,
katanya dalam hati. Ia jadi tidak perlu terlalu cemas dengan urusan pengembalian
anak kunci pintu paviliun. Pasti masih banyak kesempatan selama beberapa hari
mendatang, asal ia tetap waspada!
Malam itu, di ruang tidur, Darbishire merasa perlu bicara secara serius mengenai
urusan perayaan Malam Api Unggun.
"Kuharap kalian menyadari bahwa waktunya tidak sampai dua minggu lagi," katanya
kepada Jennings, ketika mereka berdua sedang berdiri di depan wastafel untuk
membersihkan badan. "Bagaimana dengan rencana hebatmu itu, mengundang orang-
orang untuk menonton kembang api lalu minta sumbangan dari mereka?"
"Ya, dan bagaimana dengan rencana hebatmu, hendak membuat orang-orangan dan
membawanya berkeliling desa?" tanya Atkinson dari ranjangnya di dekat pintu.
"Itu memerlukan pengaturan, kalau ingin dilakukan tanpa diketahui para guru."
Jennings mengatakan bahwa dalam beberapa hal rencana-rencana itu sudah
dikembangkan lebih lanjut. Martin-Jones, sebagai sekretaris proyek, sudah
menyusun daftar jenis-jenis kembang api yang akan dibeli dengan hasil
pengumpulan Dana Kembang Api Kelas Tiga, dan Pak Carter sudah mengatakan
bersedia mengundang beberapa penduduk setempat untuk menghadiri perayaan.
"Ia akan meminta serombongan orang tua, seperti Bu Thorpe, Dr. Furnival, dan
Pendeta untuk datang," kata Jennings kepada mereka.
"Itu rasanya akan meningkatkan jumlah sumbangan untuk proyeknya yang hebat dan
layak didukung itu."
"Tapi itu kan cuma tiga orang," kata Atkinson membantah. "Sebaiknya yang kita
lakukan adalah menembakkan panah api ke angkasa, lewat jendela perpustakaan.
Dengan begitu seluruh Barisan Pemadam Api Dunhambury akan muncul kemari, lalu
kita bisa minta sumbangan pada mereka pula."
Saran Atkinson itu ditolak, karena dianggap tidak praktis. Dan begitu anak-anak
sudah berada di ranjang masing-masing, mereka lantas mulai membicarakan hal-hal
yang lebih serius dari rencana itu.
"Kita mestinya membentuk panitia, untuk memastikan bahwa urusannya ditangani
dengan baik," kata Jennings memutuskan. "Martin-Jone beserta kawan-kawannya
sudah menangani urusan kembang api, tapi tidak ada yang bertanggung jawab atas
orang-orangan-yah, tidak secara resmi."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita berlima saja?" kata Darbishire. "Kita bisa
menamakan diri kita Subpanitia Aksi Khusus Dana Kembang Api Kelas Tiga. Kita
akan menjadi semacam kelompok aksi, itu jika kalian tahu apa yang kumaksud."
"Ide bagus," kata Temple. "Siapa setuju, angkat tangan."
Usul itu diterima dengan lima suara lawan nol, dan kelompok aksi itu dengan
segera mulai bekerja. Rasanya takkan sulit memperoleh bahan untuk membuat orang-orangan, demikian
pendapat mereka. Robinson, tukang yang melakukan berbagai pekerjaan di sekolah
itu, diketahui menyimpan setumpuk karung goni usang serta beberapa bal jerami di
gudang perkakasnya. Jika memintanya dengan sopan, pasti ia mau memberi bahan-
bahan yang diperlukan anak-anak untuk membuat tubuh, kaki, dan tangan orang-
orangan mereka. Selanjutnya, akan merupakan kehormatan bagi Matron untuk menyumbangkan celana
panjang, jas, topi, dan sepatu bot dari kumpulan pakaian bekas yang disimpannya
dalam sebuah lemari di ruang jahit.
"Aku melihat beberapa topeng Guy Fawkes yang bagus sekali di Dunhambury, sewaktu
kita lewat di sana tadi siang," kata Jennings kepada teman-temannya sekamar.
"Nanti jika ada yang ke kota, kita bisa minta tolong dibelikan satu."
Setelah berdebat sebentar, akhirnya diputuskan bahwa Venables dan Temple yang
harus menghubungi Robinson dan bertanggung jawab atas pembuatan tubuh orang-
orangan, sementara Jennings dan Darbishire harus memilih pakaian yang bergaya
untuk dipakaikan ke orang-orangan itu.
Sejauh itu, rencana mereka rasanya cukup sederhana. Tapi mereka sepakat bahwa
nanti mungkin akan timbul masalah, yaitu bagaimana menyelundupkan orang-orangan
itu keluar dari kompleks sekolah dan mengumpulkan sumbangan di jalan desa.
Darbishire lebih suka bila mereka minta izin saja untuk melakukannya. Tapi
Jennings keberatan, dengan alasan mungkin saja permintaan itu nanti ditolak-
meskipun itu bertujuan baik.
"Katakanlah, kita kepergok Kepala Sekolah atau seseorang yang lain sewaktu kita
sedang mengumpulkan sumbangan," katanya, "kita toh masih bisa mengatakan bahwa
kita mengira itu tidak apa-apa, tujuannya toh demi amal. Tapi bayangkan
keributan yang akan terjadi apabila kita tertangkap basah sesudah mereka
mengatakan kita tidak boleh melakukannya."
Penalaran itu rasanya masuk akal juga. Jadi mereka lantas sepakat bahwa proyek
pengumpulan sumbangan itu akan dilakukan dengan diam-diam, sebagai proyek yang
sangat dirahasiakan. Tapi sekaligus, mereka juga ingin semua orang tahu bahwa
ada orang-orangan sebagai salah satu atraksi Malam Kembang Api. Dengan
mempertimbangkan hal itu, Atkinson diangkat menjadi petugas hubungan masyarakat
bagi Guy Fawkes (almarhum).
Selama beberapa hari selanjutnya, Venables dan Temple menyelesaikan bagian tugas
mereka untuk proyek itu sejauh yang bisa mereka lakukan. Robinson memberi mereka
sebuah karung besar bekas tempat mengangkut kentang. Karung itu mereka isi
dengan jerami, lalu dibentuk sehingga sedikit-banyak menyerupai kepala dan tubuh
manusia. Setelah itu mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi, sampai Jennings
dan Darbishire telah melaksanakan bagian tugas mereka.
"Masih berapa lama lagi kita harus menunggu sampai pakaiannya ada?" keluh Temple
kepada Jennings sehabis makan sore pada hari Minggu. "Kami bahkan belum bisa
membuat tungkainya, karena belum ada celana panjang yang harus diisi jerami."
Tapi regu yang mengurus pakaian pun merasa frustrasi karena adanya kelambatan
itu. "Ini semuanya kesalahan Matron," keluh Jennings dengan getir. "Dia seakan-akan bukan
seperti manusia biasa, sulit sekali dibuat mengerti."
Matron itu seorang perawat yang masih muda dan berpenampilan menarik. Tugas
utamanya adalah menjaga kesehatan anak-anak. Tapi sebagai tambahan, ia juga
mengawasi pekerjaan di ruang jahit. Dalam kedudukannya itu, semua permintaan
pakaian bekas harus diajukan kepadanya.
"Ada barangkali sejuta kali aku sudah minta padanya," sambung Jennings.
"Katanya, kita bisa memperoleh beberapa potong pakaian usang, tapi kita harus
menunggu sampai dia punya waktu untuk menyeleksi."
"Kalau begitu bilang padanya, dia harus cepat sedikit," desak Temple. "Kami
ingin semua sudah siap untuk berkeliling desa Sabtu depan."
"Tapi Matron tak tahu itu," kata Jennings. "Matron menyangka kita baru
memerlukannya pada tanggal 5 November, dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa
tentang rencana kita berkeliling desa, karena itu kan rahasia."
Temple tampak lesu mendengar keterangan itu. "Yah," katanya, "kalau begitu
jangan sampai terulur-ulur terlalu lama. Coba kauminta lagi padanya besok."
Jennings dan Darbishire sudah menunggu di depan pintu ketika Matron tiba di
klinik pada hari Senin pagi.
"Aku tidak lupa tentang orang-orangan kalian," kata Matron pada mereka, sambil
mendului masuk. "Akan kucarikan sesuatu untuk keperluan kalian itu, minggu ini
juga." "Tapi urusannya mendesak, Matron. Kami ingin segera menyelesaikannya, dan Anda
menghambat arus produksi kami," kata Jennings berkeras.
Sambil tersenyum manis pada Matron, Darbishire menambahkan, "Anda tidak perlu
repot-repot memilih sendiri pakaian itu, Matron. Anda tinggal memberi kami izin,
lalu kami akan mencari dalam lemari dan. mengambil apa yang kami perlukan."
Matron bisa membayangkan keadaan di dalam lemari itu nanti, setelah kedua anak
itu selesai dengan pencarian mereka.
"Aku tidak mau ruang jahit tampak seperti gelanggang sapi-sapi jantan yang
berkelahi di tengah-tengah pasar amal," katanya dengan tegas. "Datanglah lagi
hari Rabu siang, nanti akan sudah kusediakan pakaian bekas yang kalian perlukan.
Tapi jangan-kuulangi, jangan-sentuh apa pun juga apabila aku sedang tidak ada di
sini. Kalau tidak kalian akan mengalami kesulitan berat."
"Ya, Matron. Tentu saja, Matron. Terima kasih banyak, Matron."
Kedua anak itu sudah beranjak hendak pergi ketika Matron memanggil Jennings
kembali. Dengan wajah yang menampakkan perasaan agak kaget, Matron memandang
rambut anak itu yang kusut dan bagian depannya sudah sampai di batas alis,
sehingga kepalanya kelihatan seperti tersungkup kap lampu berjumbai.
"Aku kan sudah menulis namamu di daftar tukang pangkas rambut minggu lalu," kata
Matron, "kenapa kau tidak memangkas rambutmu sewaktu Pak Hales datang kemari?"
Jennings ragu-ragu menjawab. Ia tidak ingin mengaku bahwa alasannya selalu
menghindari tukang pangkas rambut itu sejak awal masa bersekolah yang sekarang
adalah karena ia ingin tahu sampai seberapa panjang rambutnya bisa tumbuh.
"Saya... eh... saya hari Selasa yang lalu sibuk sekali, membereskan album
prangko saya, Matron, dan sewaktu saya turun ke ruang ganti ternyata sudah
terlambat. Pak Hales sudah pulang."
Matron mengernyitkan keningnya. Ia tidak begitu mempercayai kebenaran alasan
itu. "Dan sebelum itu?"
Jennings mencari-cari alasan lagi. "Yah, waktu itu saya agak pilek, dan saya
rasa jika tukang pangkas itu memotong rambut saya sampai pendek sekali lalu
cuaca menjadi sangat dingin, ada kemungkinan saya akan kena..."
Sisa kalimatnya tak terdengar jelas, karena dikalahkan suara Matron yang tertawa
geli. "Aku sudah cukup sering mendengar alasan yang macam-macam selama ini, tapi
yang ini benar-benar sudah keterlaluan. pokoknya, aku tidak ingin melihatmu
berkeliaran dengan penampilan seperti anjing gembala Inggris yang gondrong,
hanya karena alasan sehingga kau nanti bisa mengatakan kaulah pemegang rekor di
Kelas Tiga dalam menghindari tukang pangkas rambut. Akan kuawasi sehingga itu
tidak bisa kaulakukan kembali kalau Pak Hales datang lagi."
Rambut Jennings yang gondrong itu menjadi bahan percakapan pada saat staf
sekolah makan malam hari itu.
"Menjijikkan," kata Pak Peberton-Oakes sambil menyendokkan kuah daging ke
piringnya. "Sudah melewati kerahnya. Sebentar lagi akan mencapai punggung,
apabila tidak segera diambil tindakan. "
"Saya sudah mengancam akan memangkasnya sendiri," kata Pak Wilkins. "Dia
kelihatan seperti yak, sapi gondrong yang hidup di Tibet itu."
Matron memang baik hati. Ia tidak mengatakan alasan sebenarnya, kenapa Jennings
selama itu selalu menghindari tukang pangkas rambut.
"Saya setiap kali selalu menulis namanya dalam daftar, tapi dia itu kelihatannya
selalu sedang sibuk dengan salah satu urusan," katanya. "Sayangnya, Pak Hales
baru dua minggu lagi datang kemari, jadi..."
"Dua minggu!" Pak Pemberton-Oakes sangat kaget. "Saya tidak mau melihat ada
tumpukan jerami berjalan di sekolah ini selama dua minggu ini." Ia menggeleng-
Pedang 3 Dimensi 12 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Gelang Kemala 3