Pencarian

Sibadung Jadi Pahlawan 2

Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton Bagian 2


dimainkannya, sesuatu yang memang pantas diterima cowok itu. Kini Elizabeth
harus menjadi lawan main Daniel. Pasti bakal membosankan. Ia begitu ingin
bermain sandiwara bersama Julian.
"Kenapa kau begitu bodoh?" ia menyerang Julian selesai pelajaran, segera setelah
mereka hanya berdua. "Sekarang Daniel yang mendapat peranmu! Kau dan suara
bodohmu. Kau telah merusak segalanya!"
Mata hijau Julian berkilau sesaat.
"Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman yang baik, Elizabeth."
"Aku harus berpendapat bagaimana lagi?" Elizabeth meledak. "Bahkan persahabatan
pun ada batasnya." "Ada seseorang yang ingin membuatmu terkena masalah dan orang itu bukan aku,"
sahut Julian dengan tenang. "Aku malah berusaha mengeluarkanmu dari masalah
tadi." "Oh, begitu" Tapi tak seorang pun di kelas dapat melempar suara seperti kau,
Julian. Please, jangan membuatku tambah jengkel!"
Kini kemarahan Julian meledak.
"Kalau begitu, berarti memang hanya ada satu penjelasan, bukan" Hanya itu satu-
satunya..." "Apa?" "Bahwa Miss Ranger memang benar. Kau sudah kelewat gembira sehingga bertingkah
kurang ajar di hadapannya. Begitu senangnya, sampai-sampai kau tak sadar telah
melakukannya sendiri!"
"Beraninya kau!"
Elizabeth membalikkan badan membelakangi Julian dan meninggalkannya.
"Kalau pendapatmu begitu, tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu."
"Aku juga," sembur Julian ketika berputar dan bergegas melangkah ke arah yang
berlawanan. Betul-betul pertengkaran yang hebat.
Dalam hari-hari berikutnya, Elizabeth memikirkan hal itu berulang kali. Tapi ia
selalu saja sampai pada kesimpulan yang sama. Julian-lah yang harus bertanggung
jawab atas seruan konyol itu. Tak ada penjelasan lain! Mungkin kini Julian sudah
menyadari bahwa tingkah lakunya memang sangat bodoh. Apakah harga diri Julian
terlalu tinggi sehingga cowok itu tak mau mengaku dan meminta maaf supaya mereka
bisa berteman lagi" Tapi Julian jahat karena mencoba meyakinkan Elizabeth bahwa dialah yang telah
bertingkah bodoh, kelewat senang sampai-sampai tak tahu lagi apa yang
dilakukannya! Itu artinya, Elizabeth-lah yang membuat Julian kehilangan peran
dalam sandiwara! Ia memutuskan takkan berbicara dengan Julian lagi sampai cowok itu minta maaf
padanya. Julian merasakan hal yang persis sama dengan Elizabeth.
Bab 8 Pemilik Kancing Ditemukan
Dalam beberapa hari kemudian, Elizabeth merasa tidak gembira. Rasanya janggal
tidak berbicara dengan Julian. Ia punya teman-teman lain di kelas satu tapi
sahabat karibnya adalah Julian. Ia ingin lebih sering berjumpa dengan Joan
selama masa-masa sulit ini. Tapi hal itu tidak mungkin karena dua anak itu
berbeda kelas. Arabella cepat mengambil kesempatan dalam situasi itu. Anak cewek yang telah
gagal itu tak tahu kenapa secara misterius Elizabeth dan Julian bermusuhan, tapi
hal itu membuatnya merasa puas. Ia sudah bosan melihat semua anak menyukai
Elizabeth dan tak ada yang menyukainya.
"Kita memang cuma pemeran pengganti, Julian," kata Arabella pada Julian, "tapi
kita tetap harus melatih peran kita. Tugas sebagai pemeran pengganti amat
penting. Kalau terjadi sesuatu, kita harus siap dipanggil." Ia melemparkan
senyum kemenangan. "Aku sangat bodoh dalam menghafalkan dialog. Bantu aku, ya"
Kita bisa melatih beberapa adegan bersama-sama. Aku akan senang kalau kau mau
mengujiku dan aku sendiri dengan senang hati bersedia mengujimu."
Suatu malam, Elizabeth berjalan ke ruang rekreasi dan melihat mereka berdua
sedang melatih beberapa adegan sandiwara bersama. Rosemary menjadi juru bisik
mereka. Arabella terkikik-kikik gembira.
"Oh, Julian, kau nakal. Kau mengintip naskah tadi, aku melihatmu melakukannya.
Kau masih juga belum mempelajarinya."
Elizabeth berputar dan berjalan keluar lagi. Menyebalkan sekali. Arabella tampak
lebih menikmati posisinya sebagai pemeran pengganti daripada dirinya yang pemain
utama! Bahkan Julian mengizinkan cewek itu untuk membantunya memecahkan misteri
kancing yang hilang. Misteri yang masih belum terungkap.
Sebagian besar semangat Elizabeth untuk tampil telah hilang.
Tes-tes peran berikutnya sudah dilaksanakan dan semua pemain telah dipilih.
Rosemary jadi juru bisik. Elizabeth senang ketika Belinda, Kathleen, dan Jenny
mendapat peran yang bagus dalam sandiwara. John McTavish terpilih sebagai Mr.
Grasshopper yang banyak mengucapkan kalimat lucu. Dan Patrick, dari sekian
banyak orang, terpilih untuk memerankan Mr. Badger yang lemah dan sakit-sakitan.
Belum apa-apa ia sudah tampak senang, khususnya karena Julian kini telah didepak
dari sandiwara. Elizabeth bertekad untuk menyingkirkan Julian dari pikirannya dan menyiapkan
diri untuk berlatih sandiwara dengan sungguh-sungguh. Lagi pula, Daniel cukup
baik berperan sebagai Jonkin saat memakai topeng lucu itu.
Tapi sejak latihan pertama, semangat Elizabeth merosot. Semuanya karena
kesalahan Daniel. Cowok pirang itu ingat betul kalimat-kalimat yang harus
diucapkannya. Ia pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris dan tidak bermasalah
dalam belajar dengan menghafal. Tapi aktingnya tidak sepenuh hati! Pikirannya
selalu melayang-layang ke tempat lain. Elizabeth tak dapat menjalin hubungan
dengannya. Dalam adegan-adegan yang harus mereka lakukan bersama, Daniel tak mau
bertemu pandang dengan Elizabeth, matanya selalu beralih ke mana-mana.
Yang paling buruk, ia terus-menerus minta maaf.
"Aku minta maaf karena kau terpaksa bermain denganku, Elizabeth," ia berkata
dalam latihan pertama mereka, yang diadakan sepulang sekolah di teras. "Aku
merasa tidak enak karena peran utama yang tadinya akan dimainkan Julian telah
dirampas darinya." "Aku takkan membuang tenaga merasa tak enak untuk Julian," sembur Elizabeth
tajam. "Dia memang pantas menerimanya."
Tapi anak cowok itu tetap tampak merasa bersalah dan permintaan maaf terus
mengalir dari mulutnya. "Maaf, aku kurang bagus. Aku yakin Julian akan melakukannya dengan jauh lebih
baik..." Pada latihan ketiga, Elizabeth telah siap membentak.
"Kalau kau menyebut-nyebut Julian lagi, aku akan menjerit! Berhentilah
bertingkah seperti pecundang, Daniel. Kita harus berusaha agar sandiwara ini
sukses! Aku mulai berpikir bahwa kita akan mempermalukan diri kita sendiri di
hadapan seluruh sekolah. Curahkan semangatmu, please..."
Apa masalah cowok ini"
Ini akhir minggu dan Elizabeth merasa begitu lekas marah.
Dalam perjalanan menuju latihan, ia melihat Julian, Harry, dan Arabella
berbicara dengan beberapa anak junior. Di Rapat Besar minggu ini, William dan
Rita telah meminta semua anak untuk meningkatkan usaha mereka dalam menemukan
orang yang telah merusak tanaman stroberi. Elizabeth akan senang membantu Julian
menyelidiki misteri kancing jaket itu. Tapi ternyata, cowok itu dan Harry telah
mengizinkan Arabella untuk membantu mereka.
Sebetulnya Julian hanya mengisi waktu. Diam-diam, ia masih sakit hati dan marah
atas sikap Elizabeth dan juga bingung. Pada saat melihatnya melintas, Julian
bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menunggu sebelum cewek itu memakai akal
sehat dan meminta maaf padanya.
Selesai latihan di teras, dengan langkah lunglai Elizabeth kembali ke sekolah,
semangatnya hampir mendekati titik nol. Ia menyesal karena telah kehilangan
kesabaran dalam menghadapi Daniel. Kata-kata yang telah dilontarkannya pada
cowok itu betul-betul jahat! Ia bodoh sekali karena telah menakut-nakuti Daniel
seperti itu. Setidaknya cowok itu telah berhasil menahan diri untuk tidak
menyebut-nyebut nama Julian lagi. Namun penampilannya seperti kelinci beku.
Kurasa drama ini takkan menyenangkan sama sekali, Elizabeth menyimpulkan. Ia
memutuskan untuk naik dan membaca buku. Ia sedang berjalan ke arah asrama ketika
tiba-tiba mendengar namanya dipanggil.
"Sejak tadi aku mencari-carimu, Elizabeth."
Asisten Ibu Asrama keluar dari ruang jahit kecil dan menyapa Elizabeth di
koridor. Ia membawa jaket mungil yang disampirkan di lengan. Elizabeth mengenali
bercak selai stroberi di bagian depannya!
Itu jaketnya - jaket miliknya yang telah kekecilan dan diserahkannya di awal
semester. Sekarang ia memiliki jaket yang jauh lebih besar yang diharapkannya
akan dapat bertahan lebih lama.
"Aku sedang memeriksa semua seragam bekas pada minggu ini, Elizabeth," Asisten
Ibu Asrama tersenyum. "Dan aku berniat mengirimkan semua ke penatu minggu depan.
Kami ingin semua seragam tampak bagus pada acara penjualan seragam sekolah di
akhir semester ini!"
Penjualan pakaian bekas ramai dikunjungi di akhir tahun ajaran ketika para
orangtua murid datang untuk menjemput anak-anak mereka di Whyteleafe. Seragam
baru sangat mahal, lagi pula anak-anak tumbuh amat cepat. Sebagian orangtua murid
selalu senang mendapatkan kesempatan untuk membeli seragam bekas yang masih
bagus untuk tahun ajaran yang akan datang.
Elizabeth menatap jaket pertamanya sambil melamun. Sekarang rasanya ia begitu
sayang pada jaketnya itu. Ia teringat pada guru privatnya. Miss Scott, yang
membawanya ke toko besar untuk membeli baju seragam baru dan setelah itu
menjahitkan kancingnya kembali dengan benang biru yang kuat. "Kau biasa
memperlakukan bajumu dengan kasar, Elizabeth," Miss Scott berkata. "Aku tak
ingin kalau kancingnya sampai copot."
Saat itu Elizabeth dengan lancang berkata pada Miss Scott bahwa ia takkan berada
di Sekolah Whyteleafe cukup lama untuk menunggu hal itu terjadi. Ia tak ingin
bersekolah di sekolah asrama yang amat menjengkelkan itu dan akan memastikan
bahwa ia akan sesegera mungkin dipulangkan! Betapa tolol dan kekanak-kanakannya
ia waktu itu, pikir Elizabeth. Kini ia amat menyukai baju seragamnya dan amat
bangga memakainya. Elizabeth menyadari bahwa Asisten Ibu Asrama sedang menatapnya dengan penuh
harap. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elizabeth sopan.
"Kancingnya, Elizabeth! Kau berjanji untuk memberikannya padaku beberapa minggu
yang lalu." Elizabeth langsung menutup mulutnya dengan tangan.
Setelah menyerahkan jaket kekecilan yang sudah tidak lagi nyaman dipakai itu, ia
terlupa akan kancingnya! Karena jaket itu kesempitan, kancing tengahnya copot,
sekalipun Miss Scott telah menjahitnya dengan kuat. Elizabeth menyimpan kancing
itu di tempat yang aman, namun ia segera melupakannya. Sekarang ia meminta maaf.
"Saya akan segera mencarinya. Rasanya saya ingat di mana saya meletakkannya."
"Aku harus pergi ke desa sekarang," ujar Asisten Ibu Asrama, sambil terse nyum.
"Letakkan saja di mesin jahitku begitu kau menemukannya, Elizabeth."
"Baiklah. Saya berjanji."
Ia buru-buru memasuki gedung asrama dan menuju ke kamarnya.
Lemari laci putih terletak di sana dengan gagang tarikan dari kayu berwarna
biru. Semua anak perempuan mempunyai satu yang seperti ini, di sebelah tempat
tidur mereka. Di atasnya, di bagian belakang, ada mangkuk keramik kecil, tempat
Elizabeth meletakkan barang-barang tetek-bengeknya. Sekeping uang logam dari
negara lain, beberapa jepit rambut, sabun mandi bekas pakai. Ia hampir yakin
kancing itu juga diletakkannya di situ agar tersimpan dengan aman beberapa
minggu yang lalu. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan benda itu sekarang. Elizabeth melihat ke
dalam mangkuk itu dengan bingung. Di mana ia meletakkannya" Ia mulai mencari-
cari ke dalam laci-laci di bawahnya, membongkar isinya satu demi satu.
"Kehilangan sesuatu, Elizabeth?" tanya Kathleen riang ketika masuk.
Di saat yang sama, Arabella lewat di depan pintu yang terbuka. Ia berhenti dan
mengintip ke dalam, melihat sekilas pada Elizabeth. Arabella baru saja
dimanjakan khayalan yang menyenangkan. Sahabat setianya, Rosemary,
memberitahunya bahwa penampilan Daniel dan Elizabeth dalam latihan hari ini
amatlah buruk. Elizabeth telah membentak Daniel, dan Miss Ranger tampak tak
begitu senang. Pastinya tinggal menunggu waktu saja sampai ia dan Julian diminta untuk maju
menggantikan mereka, kan" Bukannya kegagalan, tapi pentas sandiwara bakal meraih
kesuksesan besar! Dalam mata batin Arabella, matahari bersinar dengan cerah. Ia
dan Julian bergandengan tangan, penonton berdiri dan menghujani mereka dengan
tepuk tangan meriah... Kini Arabella mendengar Elizabeth berkata dengan kesal pada Kathleen, "Aku cuma
mencari kancing konyol! Aku yakin telah menaruhnya di mangkuk kecilku ini.
Asisten Ibu Asrama membutuhkannya! OK Kathleen, bantu aku mencarinya. Kancing
itu kancing perak jaket dengan potongan benang biru terang menyangkut padanya."
Arabella nyaris memekik keras.
Ia buru-buru berjingkat ke arah koridor, merasa terkejut dan senang. Ia harus
mengatakan hal ini pada Rosemary dan mereka harus memikirkan apa yang harus
dilakukan. Kurang dari setengah jam kemudian, Jenny datang.
Elizabeth kelihatan marah dan terganggu. Rasanya hari ini adalah salah satu hari
paling mengesalkan, ketika segalanya jadi serbasalah. Ia dan Kathleen telah
mengobrak-abrik kamar itu. Mereka bahkan telah memindahkan lemari laci itu
menjauh dari dinding, dan itu bukanlah tugas yang ringan, untuk melihat kalau-
kalau kancing itu terjatuh di belakangnya. Mereka juga telah mencari di bawah
karpet biru Elizabeth. Bahkan mereka merangkak ke bawah tempat tidur. Kancing
itu tak bisa ditemukan di mana pun.
Kehilangan kancing, sepertinya membuat Elizabeth jadi merasa cemas, walaupun ia
tak tahu kenapa. Dan sekarang Jenny muncul di ambang pintu, memandangnya dengan
tatapan aneh. "Bisakah kau turun sebentar ke ruang rekreasi, Elizabeth?" ia bertanya, dengan
sedih. "Ada sesuatu yang penting."
Ketika Elizabeth memasuki ruang rekreasi, Arabella tengah duduk di salah satu
meja kecil. Beberapa teman sekelasnya duduk di dekatnya, mengamati dengan
tertarik. Suasana penuh tanda tanya terasa dalam ruangan itu.
Sesuatu tergeletak di atas meja. Arabella mengambilnya dan meletakkannya di atas
telapak tangan. Lalu dengan gaya dibuat-buat, ia menjulurkannya pada Elizabeth.
"Ini yang kaucari?"
Elizabeth maju untuk melihat benda itu lebih jelas. Ternyata itu kancing perak
jaket dengan potongan benang biru terang menggantung pada lubangnya.
"Kancingku!" ia berseru. "Di mana kautemukan ini, Arabella?"
"Dari William dan Rita," ujar Arabella dengan pandangan penuh arti. "Rosemary
dan aku mendengarmu mencari kancing ini, maka kami langsung pergi ke ruang kerja
mereka dan meminjamnya dari mereka!"
"Ini kancing yang ditemukan John di rumpun tanaman stroberi!" sahut Rosemary
serius. "Kita semua telah diminta untuk menemukan pemiliknya, ingat" Dan kini
pencarian telah berakhir!"
Elizabeth memandang kancing itu dengan amat terkejut.
"Kalian tak berpikir bahwa akulah anak yang telah mencoba mencuri stroberi-
stroberi itu, kan?" pekik Elizabeth.
"Kita semua suka stroberi," sahut Arabella sambil memonyongkan bibir.
"Aku tak pernah lagi memakai jaket lamaku sejak berminggu-minggu yang lalu!
Tanya Asisten Ibu Asrama kalau kalian tidak percaya!" tangkis Elizabeth,
darahnya mendidih. "Setidaknya, aku tak pernah memakai jaket ke kebun sekolah.
Aku tak tahu bagaimana kancing ini bisa sampai di sana! Aku menaruhnya di
mangkuk kecil di atas lemari laciku, berminggu-minggu yang lalu, dan itu adalah
kali terakhir aku melihatnya!"
"Barangkali kau hanya berniat melakukannya," Arabella berkata. "Mungkin kau
malah menaruhnya di saku bajumu dan terjatuh suatu hari ketika kau merusak di
kebun..." "Beraninya kau!" cetus Elizabeth.
Sebelum ia sempat menerkam Arabella, Rosemary berdiri di antara mereka. Ia
berbicara dengan tenang. "Tak ada gunanya marah pada Arabella, Elizabeth. William dan Rita bilang, kalau
kau mengenali kancing ini, maka kau diminta menemui mereka di ruang kerja ketua
murid pada jam empat. Saat itu kau akan dapat kesempatan untuk memberikan
penjelasan lengkap pada mereka."
"Pasti akan kulakukan itu!"
Elizabeth pun menyerbu keluar dari ruang rekreasi.
Bab 9 Dengan Julian Jadi Berlima
Walaupun terkenal akan keberaniannya, Elizabeth tetap merasa ciut tatkala
melangkah ke ambang pintu ruang kerja William dan Rita pada pukul empat.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana mungkin kancingnya bisa berada di sana" Rasanya menyebalkan dicurigai
seperti ini. Pasti kedua ketua murid itu sudah mengenal dirinya cukup baik untuk
percaya bahwa Elizabeth takkan merusak tanaman-tanaman yang masih muda itu, kan"
Tentunya mereka juga tahu, kalaupun Elizabeth sampai tergoda untuk memetik buah
stroberi matang, ia takkan mungkin mencabuti tanaman-tanaman stroberi muda untuk
mencari buahnya! Itu tindakan bodoh dan tak berperasaan.
"Masuklah, Elizabeth."
Masih dengan gemetar, Elizabeth berjalan memasuki ruang kerja kecil yang nyaman.
William dan Rita telah menunggunya.
Ada orang lain di ruangan itu bersama mereka, duduk di kursi berlengan untuk
tamu. Orang itu John Terry.
Elizabeth merasa ragu tatkala melihat John berdiri dan menawarkan kursi itu
padanya. Namun ia duduk juga. Semua orang tampak tenang.
"John baru saja bercerita pada kami tentang bagaimana kau telah membantunya
memasang net di atas rumpun tanaman stroberi setelah tanaman itu dirusak," ujar
William dengan nada menyetujui. "Tapi kau memang mengenali kancing itu?"
Elizabeth mengangguk. "Kami tahu bahwa kau adalah salah satu pembantu terbaik John," Rita memulai.
"Oleh sebab itu kami pikir, sebaiknya kami membicarakan masalah kancing ini
bersama John dulu." "Tak usah khawatir, Elizabeth," senyum William. "Tak seorang pun dari kami
berpikir bahwa kaulah yang telah mencabuti tanaman-tanaman itu."
"Oh, terima kasih," sahut Elizabeth.
"Tapi apakah kau punya ide kenapa kancingmu bisa tergeletak di sana?" tanya
Rita. "Barangkali kau telah meminjamkannya pada seseorang?"
"Jelas tidak" sahut Elizabeth, menggeleng keras. "Maksudku, siapa yang mau
meminjam kancing jaket tua" Lagi pula, aku harus menyimpannya dengan aman,
soalnya aku telah berjanji untuk menyerahkannya pada Asisten Ibu Asrama. Hanya
saja aku telah melupakan soal itu, sampai beliau menanyakannya padaku hari ini."
Elizabeth menjelaskan tentang menyerahkan jaket tuanya tanpa kancing tengah.
"Kancing yang hilang itu seharusnya ada di dalam mangkuk kecil di atas lemari
laciku," ia menyelesaikan.
Mendengar itu Rita tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kau pasti telah teledor, Elizabeth. Pasti! Sekarang coba pikir dengan benar.
Kau lupa menyerahkan kancing itu pada Asisten Ibu Asrama. Apakah mungkin bahwa
kau juga telah lupa menyimpannya di tempat yang aman" Dan kau telah membawa-
bawanya di dalam sakumu?"
"Yah..." Elizabeth mengernyit. Ia yakin telah meletakkan kancing itu di dalam
mangkuk. "Kurasa tidak. Tapi..."
"Tapi itu mungkin, kan?" ujar William. Ia tampak amat lega. "Well, kurasa itulah
awal dan akhir keterlibatanmu. John bilang pada kami, betapa seringnya kau
membantu di kebun. Kau pasti tengah menyiangi tanaman pada suatu hari ketika
kancing itu terjatuh dari kantongmu! Semuanya serba kebetulan dan tak ada
hubungannya dengan kenyataan bahwa kemudian ada seseorang yang merusak tanaman."
"Ku-kurasa begitu," sahut Elizabeth enggan. Ia masih tetap mengernyit. Kapan ia
pernah bekerja di bagian kebun yang itu"
"Kau telah memberikan petunjuk yang salah pada kami ketika menyerahkan kancing
itu, John!" ujar Rita.
"Aku memang salah karena terlalu cepat menyimpulkan," John menyetujui sambil
menyeringai. Ia menggaruk-garuk kepala. "Tadinya kupikir aku telah menemukan
petunjuk utama, tapi ternyata aku tak menemukan apa-apa."
Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berpikir keras. Tadinya John begitu
yakin bahwa kancing dan tanaman rusak itu punya hubungan langsung. Tapi kalau
dua benda itu ternyata tak berhubungan... yah, mungkin selama ini ia telah
mengikuti jejak yang salah. Ia harus mulai lagi pasang mata dan telinga...
Ketika Elizabeth pergi untuk minum teh, ia merasa lega karena William, Rita, dan
John mempercayainya. Itu membuat perasaannya agak membaik.
Namun saat berjalan memasuki aula makan, ia dapat merasakan suasana tegang
ketika banyak anak memandang ke arahnya. Gosip telah menyebar dengan cepat.
Misteri kancing jaket telah terungkap! Kancing itu milik si Cewek Paling Badung.
Ia baru saja diseret ke depan kedua ketua murid!
Teman-teman sekelasnya tidak berceloteh seramai biasanya. Tapi sahabat
Elizabeth, Joan, terus memandang ke arahnya dari meja seberang, melemparkan
senyuman dan lambaian padanya, untuk menunjukkan rasa setia kawan.
Perut Elizabeth mulai terasa mual. Semua orang pasti punya pandangan buruk,
kancing jaketnya ditemukan di tempat tanaman yang dirusak! Yang lebih buruk
lagi, ia merasa bahwa ada orang yang telah meletakkannya di sana secara sengaja.
Semakin memikirkannya, ia semakin yakin telah menyimpan kancing itu di dalam
mangkuk, kejadiannya tidak mungkin seperti dugaan William dan Rita.
Di ujung meja, Julian tengah melahap santapannya. Ia tampak berpikir keras, raut
wajahnya murung. Elizabeth kehilangan selera makan. Ia harus memaksa diri untuk menelan salad
ikan tuna padahal makanan itu salah satu kegemarannya. Ia tidak menyentuh
yoghurt raspberry-nya. Elizabeth mulai merasakan tusukan rasa panas di belakang
matanya. Lalu begitu mereka diizinkan meninggalkan meja, ia langsung berlari.
Elizabeth terburu-buru pergi keluar menuju lapangan sekolah, pandangannya kabur
karena air mata. Ia tak menyadari ada langkah kaki mengikutinya. Ia sampai ke
rimbunan pohon kayu ash yang indah, tempat Pentas Drama Musim Panas akan
digelar. Ia menyusup ke bawah kanopi rahasia daun-daun yang menjuntai mencapai
tanah. Ia ingin bersembunyi, seperti binatang yang terluka.
Elizabeth duduk bersandar pada batang pohon dan membenamkan wajah ke telapak
tangan. Semua serbasalah! Segalanya dimulai ketika Julian mengeluarkan suara konyol! Sejak itu tak ada
yang berjalan lancar. Dan Julian masih juga belum mengaku dan meminta maaf.
Elizabeth sangat berharap Julian akan melakukannya. Saat ini ia amat membutuhkan
sahabatnya itu. "Elizabeth?"
Terkejut, ia menengadah dan melihat Julian membungkuk di bawah rimbunan dedaunan
dan menghampirinya. "Halo, cewek bandel. Kini, akhirnya, kuharap kau mau mempercayaiku!"
Ia duduk dan melingkarkan lengan ke pundak Elizabeth untuk menenangkannya. "Tak
ada yang perlu ditangisi."
"Ada! Tentu ada! William, Rita, dan John mempercayaiku, begitu pula Joan. Tapi
cuma mereka berempat dari seluruh sekolah. Anak-anak lain sepertinya meragu-
kanku." "Cuma berempat?" ujar Julian. "Maksudmu berlima?"
"Lima?" "Ya. kau lupa menghitung aku. Aku mempercayaimu."
Elizabeth menatap Julian dengan lega. Ia mengusap air matanya.
"Sungguh" Tapi, Julian, apa maksudmu bicara seperti itu tadi-"
"Elizabeth, ada orang yang mencoba membuatmu kena masalah! Aku sudah bilang
padamu seminggu yang lalu. Dan sekarang mungkin - akhirnya - kau percaya
padaku!" Elizabeth terkesiap ketika meresapi apa maksud kata-kata Julian.
"Dengar, Elizabeth. Bukan aku yang mengeluarkan suara konyol itu! Ada orang lain
yang melakukannya. Dan kancing itu tidak mungkin bisa berjalan sendiri ke kebun
sekolah. Seseorang meletakkannya di sana. Nah, kau percaya padaku sekarang?"
tanyanya segera. "Ya," sahut Elizabeth, dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Ya, aku
percaya." Pikirannya kalut. Ia masih belum bisa menebak siapa lagi di kelasnya yang bisa
melemparkan suara selihai itu. Namun kini ia yakin bahwa pelakunya bukan Julian.
Aku berusaha MENGELUARKAN-mu dari masalah, itu yang dikatakan Julian waktu itu.
Dan Elizabeth tidak mau mempercayainya! Kalau itu pendapatmu, kau bukan teman
yang baik, Elizabeth, katanya dengan marah.
Kini ia menoleh ke arah Julian, pipinya terasa panas karena malu.
"Kau benar, aku bukan teman yang baik, Julian," ia mengakui. Elizabeth merasa
sangat marah pada dirinya sendiri yang telah salah menilai Julian. "Kau
disalahkan demi menyelamatkan peranku dalam sandiwara - dan mengorbankan peranmu
sendiri. Dan itulah balasan yang kaudapatkan dariku! Oh, Julian, aku tak tahu
kapan kau akan memaafkanku. Kenapa aku begitu cepat marah" Aku tak heran kalau
kau lebih menyukai Arabella daripada aku. Terkadang aku bisa begitu
menyebalkan!" Julian menatap wajah Elizabeth yang tampak sangat sedih, la berdiri, lalu meraih
tangan cewek itu dan menariknya sampai berdiri.
"Ayo berdiri, Elizabeth. Berhentilah mengeluh. Kau tak pantas bersikap begini.
Tidak pantas untuk cewek bandel seperti kau! Arabella" Jangan bercanda!" ujarnya
riang. Ia telah lama menunggu permintaan maaf Elizabeth dan kini keinginannya
terkabul. Semua sudah beres kembali. "Ayolah, ayo kita lihat apakah ada kuda
poni yang tak terpakai, mungkin kita bisa berkuda. Berkuda akan menjernihkan
otak dan membantu kita berpikir."
Ketika mereka berjalan ke arah istal, angin hangat berembus di antara
rerumputan, dan Elizabeth merasa seperti manusia baru.
"Jengkel rasanya memikirkan ada orang yang berniat buruk pada diriku," ujar
Elizabeth ketika mereka memasang sadel pada kuda-kuda. "Tapi tak ada yang terasa
begitu buruk lagi sekarang, Julian. Oh, aku gembira sekali kita berbaikan!"
"Tak lama lagi kita bakal bisa membongkar masalah aneh ini," sahut Julian dengan
percaya diri. Pada saat itu, Robert muncul bersama Daniel.
"Karena kau tidak bisa berkuda, maukah kau mengajak Captain berjalan-jalan
berkeliling lapangan rumput?" Robert berkata pada cowok berambut pirang itu.
"Aku harus pergi untuk membantu Patrick berlatih tenis sekarang."
"Boleh saja" jawab Daniel tak bersemangat.
"Betapa anehnya cowok itu," Elizabeth berkomentar pada Julian ketika mereka
berangkat. "Kita berkuda di lintasan kuda saja, ya" Daniel masih belum tertarik
untuk belajar menunggang kuda. Sudah ribut-ribut ingin membantu di istal, tapi
sepertinya ia tak begitu menikmati pekerjaannya! Ia juga tidak begitu menikmati
perannya dalam drama! Oh, Julian, kita harus menemukan siapa yang telah bersikap
kurang ajar pada Miss Ranger - dan Miss Ranger harus mengakui bahwa beliau telah
salah menilai. Miss Ranger salah karena berpikir kita akan berlebihan bila
sampai bermain bersama-sama dalam sandiwara! Miss Ranger harus mengembalikan
peranmu!" "Oh, aku tidak mencemaskan itu," Julian mengangkat bahu. Ia hanya mencantumkan
namanya agar Patrick jengkel!
"Well, akulah yang cemas!" seru Elizabeth. "Sulit sekali berlatih dengan
Daniel." "Kurasa ia akan membaik" kata Julian.
Mereka menunggang kuda dengan gembira dan membicarakan misteri yang sedang
terjadi. Sungguh-sungguh membingungkan. Elizabeth membenci pemikiran bahwa ada
orang yang dendam pada dirinya. Ia tak bisa menduga siapa orangnya.
"Satu-satunya orang yang punya alasan untuk melakukan itu adalah Arabella,"
Elizabeth merenung. "Ia begitu menginginkan peranku dalam pentas drama. Tapi aku
yakin bukan dia pelakunya."
"Aku juga," Julian setuju. "Ia tak bisa melemparkan suara. Dan aku bisa melihat
bahwa ia begitu terkejut soal kancing jaket itu."
Dalam perjalanan kembali, mereka berkuda melintasi lapangan rumput.
Daniel sedang duduk dekat pagar tanaman, membaca buku, sementara Captain
merumput diam-diam di dekatnya. Seekor burung bertengger di punggung Captain,
mematuk-matuk bulu kuda tua itu.
"Kau seharusnya menjaga dia!" Elizabeth memarahi Daniel, ketika mereka melintas
di depannya. "Bisakah kau mengusir burung gagak itu?"
"Captain menyukainya" Daniel menggerutu, tanpa mengangkat mata dari buku.
"Daniel betul-betul tak tertolong, ya?" Elizabeth menggerutu, ketika mereka
sudah mencapai jarak di mana pembicaraan mereka sudah tidak mungkin terdengar.
"Sama sekali tak mau menurunkan bukunya barang sebentar pun. Bagaimana mungkin
dia bilang Captain menyukainya!"
"Tapi dia benar!" Julian tertawa. "Kuda-kuda berterima kasih kalau ada anggota
keluarga gagak bertengger di punggung mereka! Kurasa yang tadi itu jenis gagak
rook." "Berterima kasih" Untuk apa?" seru Elizabeth.
"Burung-burung itu mencari serangga kecil dan parasit pada bulu kuda, itulah
sebabnya," sahut Julian, masih merasa geli melihat kemarahan Elizabeth.
"Elizabeth, aku mulai berpikir bahwa kau membenci Daniel. Di matamu anak malang
itu tak dapat melakukan apa pun dengan benar."
Belakangan, ketika mereka menyikat kuda-kuda poni mereka, Elizabeth berkata,
"Aku tidak sungguh-sungguh membenci Daniel. Cowok itu bisa menyenangkan kalau
tidak bertingkah laku aneh. Tapi ia betul-betul tak dapat diharapkan dalam
berakting, Julian! Kita harus memastikan bahwa kaulah yang akan berperan sebagai
Jonkin dan bukan dia"
"Kau telah mendapatkan peranmu, Elizabeth," jawab Julian, puas. "Itu yang paling
penting. Kau akan menjadi bintang, aku yakin!"
Tapi Julian berbicara terlalu dini.
Di malam yang sama, kekacauan kembali menyerang hidup Elizabeth.
Bab 10 Kebakaran! Kebakaran! Lama baru Elizabeth tertidur. Ia berguling dan berbalik, mendengarkan napas
lembut anak-anak perempuan lain di kamar asrama nomor enam. Ia begitu tak sabar
menghadapi pentas drama, apalagi ketika teringat kata-kata Julian bahwa ia akan
menjadi bintang. Tapi ia juga takut. Kenapa ada orang yang sampai hati berusaha
menjebloskannya ke dalam masalah" Siapa gerangan orang itu"
Tak lama kemudian, di luar suasana menjadi gelap dan semua anak segera jatuh
tertidur. Akhirnya Elizabeth mulai merasa mengantuk.
Matanya terpejam. Ia mulai terhanyut ke dalam tidur yang lelap dan tenang... Kemudian-seruan parau
menggema di dalam kepalanya- Kebakaran! Kebakaran!
Apakah ia tengah bermimpi buruk"
Kebakaran! Kebakaran! Terdengar lagi! Kedengarannya suara itu datang dari luar. Seseorang sedang
menjerit-jerit memperingatkan. Ada kebakaran di sekolah!
Setengah tertidur dan setengah terjaga, Elizabeth bangun dari tempat tidurnya
dengan panik. "Bangun, semua! Ayo bangun dong! Ada kebakaran!"
Ia tergopoh-gopoh keluar ke koridor dan memencet bel tanda kebakaran.
KRING! KRING! KRING! KRING!
Bel tanda kebakaran berdering ke seluruh gedung.
Terjadi kegemparan ketika anak-anak yang masih mengantuk bermunculan dari kamar-
kamar mereka dengan mengenakan kimono, sambil menggosok-gosok mata.
"Kebakaran!" teriak Elizabeth. "Ada kebakaran di sekolah!"
Anak-anak membentuk barisan, sesuai petunjuk yang mereka dapatkan dalam latihan
kebakaran, lalu meninggalkan gedung melalui pintu darurat.
Elizabeth memimpin mereka.
"Tetap tenang, teman-teman!" serunya. "Pastikan semua anak sudah keluar dari
kamar masing-masing."
Mereka berdesak-desakan di sekeliling lapangan rumput di luar dan berceloteh
dengan gaduh. Mana apinya" Mereka tak melihat asap! Tapi pasti ada kebakaran di
suatu tempat. Elizabeth telah memencet bel kebakaran! Oh, syukurlah, sepertinya
yang terjadi hanya kebakaran kecil...
Sekarang para guru bermunculan. Tak satu pun dari mereka telah tidur. Mereka
masih berpakaian lengkap.
"Ada kebakaran di suatu tempat, Miss Ranger!" seru Elizabeth. "Saya mendengar
seseorang berteriak-"
"Kau yakin, Elizabeth?"
Ketika anak-anak menunggu di luar, di lapangan rumput yang dingin, para guru
memeriksa bangunan beserta halaman sekolah dengan saksama.
Tak ada kebakaran. Mr. Johns kembali dan berbicara pada para murid yang menggerombol.
"Kembali ke tempat tidur, semuanya! Dengan senang kuumumkan bahwa tadi itu hanya
tanda bahaya yang keliru. Berbarislah dan kembalilah ke asrama masing-masing
dengan tenang. Tak ada tanda-tanda adanya api di mana pun. Kalian aman."
Ketika Elizabeth sampai di kamar nomor enam, ia mendapati Miss Ranger sudah
menunggunya. Saat melihat raut wajah gurunya itu, Elizabeth mendapat firasat
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Cepat kembali ke tempat tidur, Elizabeth. Betul-betul lelucon konyol. Aku akan
menemuimu besok pagi, setelah berbicara dengan Miss Belle dan Miss Best."
Keesokan harinya, walaupun sudah berulang kali memprotes, peran Elizabeth dalam
pentas drama sekolah dicabut.
"Aku betul-betul terkejut dengan kelakuanmu, Elizabeth. Aku bisa menerima kata-
katamu soal kau tidak secara sengaja membuat lelucon. Namun daya khayalmu betul-
betul keterlaluan. Sejak kau mendapatkan peran utama dalam pentas drama, tingkah


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakumu jadi berlebihan. Memang menyedihkan, namun aku telah memutuskan untuk
memberikan kesempatan pada Arabella. Aku yakin ia akan lebih bisa berpikiran
jernih. Kau yang akan menjadi pemeran penggantinya."
Air mata menggenangi pelupuk mata Elizabeth. Tapi kali ini air matanya keluar
karena marah. Ia pergi untuk mencari Julian
"Aku berani bersumpah aku tidak mengkhayalkan teriakan itu. Kedengarannya begitu
nyata. Oh, Julian, tidakkah kau mengerti" Seseorang pasti juga mendengarnya.
Bukan cuma aku." "Ya, itu sudah pasti," Julian setuju. "Dan pasti ada orang yang mengeluarkan
suara itu. Dari arah mana suara itu terdengar" Bisakah kau mengingat-ingat?"
"Aku setengah tertidur..."
"Coba pikirkan lebih keras," bujuk Julian.
Elizabeth mengernyit berkonsentrasi.
"Well, jendelaku terbuka. Suara itu berasal dari suatu tempat di luar... tapi
agak dari atas. Seolah-olah ada kebakaran di lantai atas dan seseorang melongok
keluar jendela atas dan menjerit-jerit ke bawah ke arahku dengan panik."
"Lantai loteng, ya?" ujar Julian dengan tenang. "Baiklah, kita akan menanyai
semua anak yang tidur di kamar sepuluh, letaknya di atas, kan?"
"Ya," Elizabeth berkata dengan penuh semangat. "Dan tiga atau empat anak punya
kamar-kamar kecil pribadi di situ. Oh, pastinya seseorang di atas sana telah
mendengar sesuatu, kan?"
"Untung sekarang hari Minggu. Tak ada pelajaran. Kita bisa mengadakan
penyelidikan sehari penuh. Kita akan dapat membongkar masalah ini, Elizabeth,
jangan khawatir," ia berkata ringan.
Begitu menenangkan rasanya bisa bersama Julian hari itu. Joan juga amat setia
kawan. "Aku yakin kau akan terbebas dari tuduhan ini, Elizabeth," ujar Joan manis.
"Pasti ada orang lain yang juga mendengar, seperti katamu. Ada yang bisa
kubantu" Apakah kau mau aku menanyai anak-anak kelas dua?"
"Oh, maukah kau melakukan itu, Joan" Itu akan amat membantu. Julian dan aku akan
menanyai anak-anak yang tidur di lantai atas. Kurasa jeritan itu berasal dari
atas. Tapi tentu saja, aku tak yakin"
Sebagian besar teman-teman sekelas Elizabeth mengagumi ketulusan hati cewek itu
ketika mereka melihat ia berkeliling bersama Julian untuk berbicara dengan anak-
anak lain. Mereka bingung harus bagaimana menanggapi kejadian itu, seperti
halnya dengan kasus kancing jaket. Mereka berharap semua akan terselesaikan
dengan baik pada akhirnya, demi kebaikan Cewek Paling Badung. Seru sekali
mendengar bel kebakaran berdering seperti semalam! Tapi tentu saja para guru
tidak menganggapnya begitu. Dan kini Elizabeth telah kehilangan perannya dalam
pentas drama. Arabella seharusnya merasa gembira hari itu. Tapi ia malah tampak tertekan dan
marah. Ia jengkel melihat Julian dan Elizabeth yang secara misterius bertengkar,
kini telah berbaikan secara misterius pula.
Ia merasa meraih kemenangan besar ketika Miss Ranger berkata padanya bahwa ia
akan memainkan peran Fay dalam Petualangan di Hutan Ajaib dan memintanya untuk
berakting sebaik mungkin agar pentas drama itu sukses. Arabella sungguh-sungguh
mengharapkan teman-teman sekelasnya ada yang datang menemuinya, memberinya
selamat, dan mendoakannya. Namun ia menunggu dengan percuma. Mereka tampak lebih
tertarik pada keadaan genting Elizabeth dan penyelidikan yang dilakukannya
bersama Julian. Menjelang siang, Kathleen dan Harry juga ikut bergabung untuk
membantu Elizabeth. "Kau mendengar orang menjerit 'Kebakaran!', Arabella?" tanya Kathleen.
"Tentu saja tidak!" sahut
Arabella pedas. "Elizabeth hanya mengada-ada."
"Hanya membuang-buang waktu!" Rosemary setuju.
"Kita harus berlatih drama sebentar lagi," kata Arabella. "Kau mau datang untuk
mendukungku, tidak" Aku agak gelisah, soalnya Rosemary bilang Daniel aktor yang
amat buruk. Kau takkan menemukan orang yang mendengar jeritan di malam hari,
soalnya memang tak ada orang yang melakukannya."
Setidaknya untuk hal itu, Arabella benar.
Elizabeth dan Julian menanyai semua anak yang tidur di lantai atas, satu per
satu. Tugas yang melelahkan. Semua anak sedang berada di luar dan menikmati
berbagai kegiatan akhir minggu mereka. Selain itu, tugas ini juga sia-sia.
Setiap anak menggelengkan kepala saat ditanyai.
"Pikir baik-baik, James," Julian mendesak. Kamarnya, seperti halnya kamar
Daniel, berada tepat di atas jendela kamar Elizabeth. "Apa kau mendengar
seseorang menjerit" Mengigau mungkin" Anak yang bermimpi tentang kebakaran?"
"Tidurku nyenyak sekali," ujar James. "Aku tidak mendengar apa-apa-kecuali bel
kebakaran. Bahkan pada awalnya aku juga tidak mendengar suara bel itu."
Semua punya jawaban yang sama.
"Kenapa kau tak coba menanyai Daniel?" James mengusulkan. "Aku sering mendengar
suara gerakan dari kamarnya setelah lampu dimatikan. Kurasa ia membaca di tempat
tidur." Setelah itu, Elizabeth dan Julian pergi mencari Daniel. Anak itulah harapan
terakhir mereka. Tapi mereka tidak melihat anak itu seharian.
"Kurasa dia sedang membaca buku di istal" Julian berkomentar. "Akhir-akhir ini
dia sering melakukannya."
"Atau jangan-jangan tertidur di bawah tumpukan jerami, seperti si Little Boy
Blue!" ujar Elizabeth menghina.
Daniel tidak ditemukan di mana pun.
"Jangan-jangan ia menghabiskan waktu sepanjang hari di kamar?" usul Elizabeth,
tiba-tiba. "Ia terkadang melakukan hal itu. Sekalipun di luar cuaca sedang cerah
seperti hari ini." Dan ternyata benar, mereka menemukan Daniel di dalam kamar kecilnya di loteng.
Ia bahkan tidak sedang membaca. Ia berbaring di tempat tidur, memandangi langit-
langit kamar. Salinan naskahnya tergeletak di atas lantai.
"Daniel!" seru Elizabeth. "Dasar pemalas!"
Anak cowok itu langsung terduduk tegak, merasa bersalah.
"A-aku sedang menghafal dialogku," ujarnya pelan. Ia meraih salinan naskah dari
lantai dan berpura-pura membolak-baliknya. "Apa yang kalian inginkan?"
Entah kenapa, wajah Daniel tampak pucat.
"Aku tak mendengar apa pun, tidak!" semburnya, begitu Julian menanyainya. Ia
tampak gemetaran dan gelisah. "Aku tertidur lelap. Sumpah."
Rasa ingin tahu Julian meningkat. Ia yakin Daniel jujur. Tapi kenapa ia tampak
begitu gelisah" "Tapi kau punya gagasan tentang siapa yang melakukannya?" tanyanya menyelidik.
"Bi-bisa jadi..." Daniel mulai berbicara.
"Ya?" tanya Elizabeth bersemangat.
"Aku tak tahu," ujarnya khawatir. "Itu bisa jadi apa pun, kurasa."
Pada saat itu Rosemary menyerbu masuk ke dalam kamar.
"Jadi kau ada di sini, Daniel! Miss Ranger menyuruhku mencarimu. Kau seharusnya
hadir pada latihan drama!"
"Haruskah?" ia bertanya dengan merana. "Dapatkah Julian menggantikanku" Aku
sedang tak ingin berlatih hari ini."
"Jangan tolol!" ujar Rosemary. Ia menyambar lengan Daniel. "Kau telah membuat
semua orang menunggu."
Ketika Rosemary menggiring Daniel keluar kamar, Julian dan Elizabeth mengikuti
mereka menuruni tangga. Julian bersenandung riang untuk dirinya sendiri.
"Kurasa akhirnya kita telah sampai di satu titik terang," ujarnya. "Kurasa
Daniel mengetahui sesuatu."
"Ya," Elizabeth setuju. "Aku juga merasa begitu."
Sekali lagi Elizabeth sulit tertidur di malam itu. Kejadian-kejadian dramatis di
akhir minggu ini berputar-putar di dalam kepalanya. Namun kini ia mulai melihat
setitik cerah harapan. Arabella dan Daniel takkan bertahan lama dalam pentas drama itu! Ia diberitahu
Kathleen bahwa latihan hari ini sangat tidak lancar!
Secara mendadak, kepercayaan diri Daniel benar-benar lenyap. Dan Arabella tak
sanggup membantunya karena ia sendiri punya setumpuk kegelisahan. Arabella
sering salah mengucapkan dialog. Sekembalinya dari latihan wajah cewek itu
tertutup awan mendung. Lambat laun akhirnya Arabella menyadari betapa sulitnya
bermain sandiwara dan betapa kegagalan ada di depan mata.
Sementara itu, pikir Elizabeth, ia dan Julian hampir dapat membongkar misteri
yang sedang berlangsung. Mereka telah mencoba mendesak Daniel lagi malam ini,
tanpa hasil. Namun sudah jelas kalau ia mengetahui siapa pelakunya. Ia
melindungi seseorang! Mereka harus bersabar, tapi kebenaran akan segera
terungkap, kan" Setelah itu, ia dan Julian akan dapat membersihkan nama mereka.
Peran-peran dalam pentas drama akan dikembalikan pada mereka!
Elizabeth baru saja hampir tertidur ketika terdengar suara gedoran di pintu. Ia
terduduk tegak di atas tempat tidurnya. Terdengar lagi suara gedoran itu,
disusul dengan suara entakan...
Kali ini ia betul-betul telah terjaga!
Kebakaran! Kebakaran! terdengar jeritan memekik. Kedengarannya dari arah
koridor. Suara yang sungguh mengerikan!
"Orang itu mencoba mempermainkanku lagi!" ia terkesiap. "Kali ini dia ada di
dalam gedung asrama. Dia berharap aku membunyikan bel kebakaran lagi!"
Dengan gemetaran, Elizabeth menyusup keluar dari tempat tidurnya. Ia mengenakan
kimono dan berjingkat-jingkat ke arah pintu. Tek... tek... tek. Terdengar suara
itu lagi. Elizabeth ketakutan. Tapi ia yakin akan satu hal, aku takkan tertipu
untuk yang kedua kalinya! Aku tahu betul bahwa tak ada kebakaran! ia memutuskan.
Aku harus menangkapnya, siapa pun dia!
Bab 11 Cewek Paling Badung Jadi Pahlawan
Saat menggeser pintu sampai terbuka, Elizabeth mendengar gerakan tergesa-gesa di
luar. Ia mengintip ke koridor yang remang-remang. Tak ada seorang pun di sana.
Orang itu pasti telah menyusuri koridor dan menghilang di sudut. Elizabeth masih
dapat mendengar suara gedebuk dan entakan datang dari arah tangga menuju loteng.
Ia berlari untuk mengejar, membelok di sudut, dan melompati beberapa anak tangga
pertama dalam gelap. Tiba-tiba bersamaan dengan suara mendesis dan mengepak, sesosok bayangan hitam
menubruk kakinya dan mencoba mematuk-matuk keduanya.
Kaaaooook! Kaaaooook! Kebakaran! Kebakaran! sosok itu berseru.
Gagak! Elizabeth terkesiap. Gagak hitam besar! Bagaimana ia bisa masuk ke sini"
Ada apa dengan burung ini"
Kejadian itu salah satu saat paling mengejutkan dalam hidup Elizabeth. Burung
itu betul-betul gelisah. Ia masih terus mencoba mematuki kaki Elizabeth.
Kaaaooook! Kebakaran! Betul-betul aneh betapa mirip suaranya dengan suara manusia.
Setelah sempat kaget, Elizabeth mendadak merasa lega. "Musuh"-nya pada malam
yang lalu ternyata tak lebih dari gagak hitam konyol ini! Gagak yang bisa
mengeluarkan suara seperti manusia. Ia pasti telah hinggap sebentar di ambang
jendelanya malam yang lalu. Tepat di jendelanya yang terbuka. Tak heran kalau
tak ada seorang anak pun yang sedang tertidur mendengar suara gagak itu.
Aku harus segera menemui guru-guru! Elizabeth memutuskan. Mereka akan membantu
mengeluarkan burung ini dari gedung asrama. Dan mereka akan bisa melihat bahwa
aku tidak hanya berkhayal!
Pada saat ia hendak pergi, gagak itu terbang ke kakinya lagi.
"Hentikan-!" Elizabeth memulai dengan geram. Lalu ia terdiam.
Segumpal asap kecil bergulung-gulung turun dari arah loteng. Lalu lagi. Dan
lagi. Samar-samar ia mencium aroma yang tidak sedap...
Ada kebakaran di atas sana! ia menyadari dengan ketakutan. Memang benar-benar
ada kebakaran! Ia buru-buru melompati anak-anak tangga sampai yang paling atas. Saat Elizabeth
melakukannya, si burung gagak terus-menerus mengepak-ngepakkan sayap dan terbang
di sekeliling kepalanya sambil ber-kuak keras. Kaook! Kaook! Kaook! Kaoook!
Asap itu berasal dari kamar Daniel! ia menyadari.
Pintu kamarnya hanya terbuka sedikit, tapi meskipun begitu, dari celah sempit
itu saja bau asap terasa begitu menusuk. Bau yang menakutkan, seperti zat kimia
yang terbakar... Elizabeth mendorong pintu itu sampai terbuka lalu mundur. Tak ada api, tapi
kamar itu dipenuhi asap yang membuat sesak napas. Anak cowok berambut pirang itu
terbaring lemas di atas tempat tidur, tak berdaya karena bau asap yang
menyengat. Daniel pingsan! pikirnya. Aku harus membawanya keluar dari sini secepat mungkin.
Tapi bau asap yang menusuk itu telah mulai memenuhi mulut dan hidung Elizabeth.
Ia sendiri merasa seperti akan pingsan juga. Ia menutup pintu kamar Daniel untuk
sesaat dan buru-buru memasuki kamar mandi di kamar sebelah. Ia memegangi handuk
di bawah keran hingga handuk itu basah dengan air dingin.
Kemudian dengan handuk basah membungkus erat wajahnya, Elizabeth kembali ke
kamar yang penuh asap dan menarik Daniel ke lantai. Matanya tidak terlindungi
handuk sehingga mulai terasa pedih. Ia mencoba mengabaikan rasa pedih itu. Di
atas kepala mereka, burung yang panik itu membubung tinggi ke atap yang terbuka.
Si gagak terbang tinggi ke langit dan menjauh. Atap yang terbuka itu-jadi dari
sanalah burung itu masuk! Elizabeth menyadari.
"Tiarap, Daniel!" Ia terengah-engah. "Dengan begitu kita berada di bawah
asap..." Tapi anak itu masih juga belum sadarkan diri.
Merayap mundur perlahan ke arah pintu, Elizabeth menarik Daniel, semeter demi
meter, melintas di atas lantai kayu mengilap. Sebetulnya hanya memakan waktu
kurang dari semenit, tapi satu menit terasa seperti satu jam. Beberapa kali
Elizabeth merasa sesak napas. Ia kini harus sungguh-sungguh memejamkan matanya.
Ia mulai merasa takut, kalau-kalau ia juga akan kehilangan kesadaran sebelum
sempat membawa Daniel keluar.
Kemudian, pada akhirnya, mereka aman di luar.
Ia membanting pintu kamar yang penuh asap itu sampai menutup. Ia tahu kalau hal
itu dapat membantu menahan api. Ia menyeka handuk basah itu ke matanya yang
pedih dan ke wajah Daniel, mencoba menyadarkannya.
"Daniel, Daniel. Kau tak apa-apa?"
Wajah Daniel berkerenyit.
"Di mana aku" Apa yang terjadi?"
"Kau pingsan!" bisik Elizabeth di sela-sela batuknya. "Ada semacam kebakaran
dahsyat di kamarmu. Burung itu datang padaku untuk memberitahukan tentang
kebakaran itu. Gagak hitam-"
Mata Daniel membuka lebar.
"Maksudmu Rookie" Ia datang dan menjemputmu" Kalau begitu memang Rookie-lah
pelakunya. Tadinya aku belum yakin betul. Dan malam ini sungguh-sungguh ada
kebakaran-?" "Rookie?" tanya Elizabeth terkejut. Tampaknya Daniel mengetahui segala sesuatu
tentang burung itu! "Kenapa kau memanggilnya begitu?"
"Dia hewan piaraanku. Dia gagak rook yang jinak. Dia burung paling cerdas dan
makhluk nakal yang paling hebat di dunia.
Daniel menelan ludah. "Tapi aku malu sekali Elizabeth. Ia selalu membawa kesulitan bagimu dan Julian.
Dan kini aku tak dapat merahasiakannya lagi, para guru akan mengusirnya pergi.
Ia harus pergi, ya?"
"Firasatku mengatakan bahwa dia sudah pergi sebelum diusir," bisik Elizabeth.
Tiba-tiba ia mendengar suara-suara dari bawah dan langkah kaki yang tergesa-
gesa. Para guru telah melihat asap yang bergulung-gulung keluar dari atap kamar
Daniel. Dan kini dengan membawa alat pemadam kebakaran, mereka berlari menaiki
tangga. "Apa yang terjadi" Kau tak apa-apa, Daniel?" tanya Mr. Warlow.
"Kami akan segera memadamkan apinya!" seru Mr. Johns, mengaktifkan alat pemadam
kebakaran. "Jangan, Mr. Johns, apinya belum ada," Elizabeth memperingatkan, "cuma semacam
asap yang beracun. Anda akan memerlukan handuk basah untuk menutupi wajah."
Nasihat yang bagus. Nasihat itu terbukti berguna ketika kedua guru tersebut
menyerbu masuk ke kamar Daniel dan menyemprotkan cairan pemadam kebakaran ke
mainan yang mengepulkan asap dari dalam rak di samping tempat tidur. Lalu mereka
cepat-cepat keluar. Kini tak ada risiko api akan menyebar. Mereka telah
menemukan penyebab asap itu.
Membawa mainan berisi busa itu melanggar peraturan sekolah, namun Daniel telah
membawa boneka beruang dari rumah tanpa mengetahui boneka itu berisi bahan-bahan
terlarang. Membaca setelah lampu dimatikan juga melanggar peraturan sekolah. Lebih
melanggar lagi bila membaca dengan penerangan lilin. Daniel melakukan keduanya.
Ia lupa meniup lilinnya. Pada saat ia tertidur, lilin yang masih menyala itu
terjatuh. Lilin itu terjatuh ke atas boneka beruang dan membuatnya meleleh,
sehingga kamar kecil itu dipenuhi asap dengan bau tak sedap.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak bisa tidur di kamar itu malam ini, Daniel," Mr. Johns berkata pada anak
itu. "Butuh berjam-jam untuk menjernihkan udara di sana."
Ibu Asrama memutuskan agar Daniel dan Elizabeth tidur di sanatorium malam itu.
Ia ingin menjaga mereka. "Daniel telah bertindak begitu ceroboh dan Elizabeth begitu berani," Ibu Asrama
memulai. "Namun keduanya baru saja mengalami shock luar biasa. Yang mereka
perlukan sekarang adalah minum obat dan beristirahat tenang."
Keesokan harinya kedua anak itu telah sehat kembali.
Dan James, yang terbangun dengan terkejut karena keributan di lantai atas,
segera menyebarkan berita menggemparkan itu ke seluruh sekolah.
Elizabeth mendengar jeritan itu lagi! Bahkan kali ini ia sendiri juga
mendengarnya. Suara-suara itu telah membangunkannya. Dan kali ini memang
sungguh-sungguh ada kebakaran. Di kamar Daniel Carter. Daniel jatuh pingsan
dalam kepulan asap. Ia bisa saja mati!
Elizabeth menyeretnya untuk menyelamatkannya.
Cewek Paling Badung jadi pahlawan!
"Kau pasti telah mendapat firasat pada hari Sabtu malam, Elizabeth," bisik
Kathleen terpesona, ketika Elizabeth muncul pada pelajaran Bahasa Prancis.
"Aneh, ya?" "Tolong jangan mengobrol dalam pelajaranku, Kathleen!" seru Mam'zelle. "Harap
tenang, s'il vous plait"
Elizabeth dan Julian diam-diam saling melemparkan senyum.
Di sela-sela sarapan pagi lezat yang telah disiapkan Ibu Asrama pagi itu, Daniel
menceritakan semuanya pada Elizabeth. Setelah itu, ia tidak membuang-buang waktu
untuk mencari Julian. Julian telah dengan cepat dapat menerka bahwa Daniel
mencoba melindungi seseorang. Kini Elizabeth bisa memberitahu siapa "orang"-nya!
Tak lama lagi, seluruh sekolah pun akan mengetahuinya.
Bab 12 William dan Rita Bercerita
Tak biasanya Rapat Besar diadakan pada jam makan malam. Namun rapat ini memang
tidak biasa. "Kita harus memutuskan untuk menghukum seseorang," William berkata pada deretan
murid-murid yang menggerombol. "Tapi pertama-tama kami ingin bercerita pada
kalian." "Konon," Rita memulai, "ada anak laki-laki yang tidak terlalu senang bersekolah
di sekolah asramanya. Ia amat suka membaca dan menyendiri. Bahkan kedua
orangtuanya meminta pihak sekolah agar memberikan kamar pribadi untuk anak
tersebut. Tapi ternyata bersamaan dengan berjalannya waktu, diketahui bahwa itu
bukanlah gagasan yang bagus..."
Para hadirin mendengarkan, terkagum-kagum, pada saat ketua murid laki-laki
mengambil alih cerita itu.
"Dia suka pulang ke rumah pada hari libur, dan liburan Paskah baru-baru ini
adalah yang paling dinikmatinya. Tahukah kalian, pada hari pertama liburannya,
dia menemukan bayi burung yang terjatuh dari sarangnya. Dia membawanya ke dalam
rumah dan merawatnya sampai pulih. Itu bayi gagak rook, maka dia memanggilnya
Rookie. Dia mengasuh burung itu. Pada awalnya dia memberinya makan roti dan
susu. Namun dengan cepat burung itu membutuhkan makanan lebih banyak, sehingga
anak ini setiap hari ke luar menggali tanah dan mencari cacing untuk burungnya.
Burung itu pun tumbuh pesat... Giliranmu, Rita."
Ketua murid perempuan itu tersenyum pada anak-anak yang terpesona.
Di bagian paling belakang aula, Miss Belle, Miss Best, dan Mr. Johns
mendengarkan dengan diam. Mereka telah memberi izin agar kisah Daniel
diceritakan. "Anggota keluarga gagak tak bisa benar-benar dijinakkan. Rookie bukanlah
pengecualian. Tak lama kemudian dia mulai mengacaukan segalanya, melompat ke
dalam tempat mentega di dapur, mematuk-matuki sabun di kamar mandi. Di luar, ia
akan menukik masuk ke api unggun di taman, berusaha menyerang asap! Keluarga
tuannya akan berseru Kebakaran! untuk melarangnya. Tak seperti magpie-burung
gagak berwarna hitam-putih, jay-burung yang ribut bunyinya dan berwarna cerah,
ataupun hooded crow-gagak bertudung, rook dapat mengeluarkan berbagai macam
suara kalau dia ingin, bukan cuma suara kaok-kaok yang biasa kita dengar," Rita
menjelaskan. Ia tersenyum lagi. "Segera saja Rookie dapat berteriak Kebakaran!
Tapi si gagak tetap saja selalu menyerang asap api unggun dengan caranya yang
konyol!" "Akhirnya si gagak bisa disembuhkan dari kebiasaan itu," William memotong,
"ketika pada suatu hari dia terbang terlalu dekat dengan api dan bulunya nyaris
terbakar. Setelah itu si gagak lebih menghormati asap! Sementara itu, pemiliknya
telah kembali ke sekolah asrama untuk semester musim panas."
"Kalau anak laki-laki itu berada jauh di sekolah, dia selalu memikirkan Rookie"
Rita melanjutkan. "Dia amat menyayangi hewan piaraannya yang nakal itu. Dia
merindukannya. Dia hampir tak sanggup menunggu sampai tengah semester. Ketika
pulang, dia mendapati Rookie telah tumbuh dewasa dan menjadi amat cerewet.
Bahkan tak dapat diatur. Burung itu biasa menunggu tukang pos di halaman depan
dan mencoba mematuki kakinya! Lalu pada minggu tengah semester itu, sesuatu yang
mengerikan terjadi. Rookie jadi suka dengan buah stroberi muda yang tumbuh di
halaman tetangga sebelah. Ia selalu mencabuti tanaman itu dari tanah. Tetangga
sebelah akan dengan senang hati menembaknya!"
Beberapa murid menahan napas. Kisah ini semakin menegangkan. Tanaman stroberi!
Burung yang bisa mengeluarkan pekikan peringatan! Sekarang mereka yakin betul
akan maksud cerita ini. "Lalu apa yang terjadi?" seru beberapa anak junior.
"Yang terjadi sesudah itu," sahut William muram, "kedua orangtua anak laki-laki
itu menyadari bahwa mereka tak dapat lagi mempertahankan Rookie. Pada akhir
liburan tengah semester, sebelum mereka mengantar si anak ke sekolah, mereka
berkata bahwa anak itu harus mengucapkan selamat tinggal pada Rookie. Untuk
selamanya. Tak lama setelannya, mereka melepaskan burung itu di suatu tempat di
perbatasan kota, mengembalikannya ke alam liar.
"Maka di hari pertama kembali ke sekolah, si anak laki-laki itu amatlah sedih,
kalian bisa membayangkan... Sampai pada suatu siang di dekat istal, seekor
burung terbang turun dari atas pohon di dekat situ dan hinggap di pundak si anak
laki-laki. Burung itu Rookie! Si gagak telah mengikuti mobilnya ke sekolah dan
secara diam-diam bersarang di sekolah tuan mudanya!"
Rita mengakhiri kisah itu.
"Anak laki-laki itu amat gembira. Si gagak menyayanginya! Dia tak mau dipisahkan
dari tuannya! Anak laki-laki itu memberanikan diri. Pada Rapat Besar pertama,
dia bermaksud untuk minta izin memelihara Rookie di sekolah. Dia hampir
mengatakan permintaannya dalam rapat itu. Ketika..."
Rita menyapukan pandangan ke sekeliling aula. "Apa yang terjadi?"
Anak-anak junior menyerukan jawaban-jawabannya.
"Kalian bercerita tentang tanaman stroberi!"
"Daniel pasti tahu bahwa Rookie-lah pelakunya!"
"Ia takut Rookie diusir. Maka dia mengajukan permintaan asal-asalan untuk
menjadi pembantu di istal!"
"Dia tahu Rookie tinggal di dekat istal dan ingin bersamanya sekali-sekali."
Ketua murid perempuan itu mengangguk.
"Si gagak pasti telah terbang ke ambang jendela Elizabeth suatu hari dan mencuri
kancingnya" Rita menjelaskan. "Kemudian dia melihat tanaman stroberi yang lebih
menarik untuk dijadikan mainan."
"Maka dia menjatuhkan kancing itu di sana!" William mengakhiri.
Dengungan percakapan memenuhi aula.
Duduk di belakang, John Terry menggaruk-garuk kepala dan tersenyum sendiri. Ia
begitu yakin kancing jaket berhubungan dengan perusakan itu dan ternyata ia
memang benar! Ketika kancing itu tampak seolah-olah tak berhubungan dengan
kasusnya, ia mulai berpikir tentang kemungkinan seekor burung besar atau bahkan
binatang lain yang bertanggung jawab. Sejak itu ia telah membuka mata untuk
membuktikan dugaannya, tapi tak menemukan apa-apa. Jadi ternyata ia telah dua
kali mengikuti jejak yang benar namun gagal menghubungkan jejak-jejak itu!
Ketika suara gaduh di aula mulai meningkat, William memukulkan palu kecilnya di
atas meja. "Harap tenang. Semua orang tenang. Kalian pasti telah menebak siapa yang kami
ceritakan tadi. Dan kini Daniel sendiri akan maju untuk berbicara dengan kita
semua." Elizabeth melihat anak cowok berambut pirang itu dengan gelisah membuka dan
menutup kepalan tangannya. Ia berdiri perlahan. Lalu ia menarik napas dalam-
dalam. Ia berbicara dengan malu-malu.
"Aku ingin mengatakan pada semua orang bahwa aku minta maaf atas segala hal
buruk yang telah kulakukan. Aku tahu kita tidak diizinkan menyimpan korek api
atau lilin dan bahwa dengan mudah aku bisa saja menyebabkan kebakaran di
sekolah. Aku amat malu telah melakukannya. Aku juga amat malu..."
Ia menelan ludah dan menatap Elizabeth. Suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Elizabeth memberinya dukungan dengan mengangguk. Teruskan, Daniel.
"...Karena aku telah begitu licik. Begitu inginnya aku mempertahankan Rookie di
sekolah, sehingga aku tidak mau buka mulut dan membuat orang lain menderita.
Kurasa Rookie-lah yang telah membuat suara-suara di luar jendela kelas kami.
Kurasa dia sedang mencariku. Suara itu salah satu suara nakalnya yang mirip
manusia. Tapi aku membiarkan Julian disalahkan! Dan semakin buruk lagi ketika
Elizabeth juga mendapat masalah saat dia membunyikan bel kebakaran! Aku tidak
yakin, tapi kurasa dia telah mendengar suara Rookie. Tapi aku tidak mengakuinya.
Aku merasa sedih dengan semua itu. Itulah sebabnya aku duduk sepanjang hari di
kamar. Dan hal terburuk dari segalanya adalah berlatih akting untuk Pentas Drama
Musim Panas! Bagaimana mungkin aku bisa menikmati drama itu kalau aku telah
menjadi penyebab anak-anak lain kehilangan perannya?"
Ia buru-buru duduk dan membenamkan wajah ke dalam telapak tangannya.
Setelah itu William meminta Elizabeth dan Julian untuk berdiri.
"Kalian berdualah yang paling merasakan akibat buruk dari perilaku Daniel,"
ujarnya. "Terutama Elizabeth. Dapatkah kau, Elizabeth, mengusulkan pada Rapat
Besar tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan?"
Terdengar suara-suara sstt di sekeliling aula untuk mendiamkan semua orang
ketika Elizabeth membuka mulut untuk bicara. Seluruh sekolah menunggu apa yang
akan diucapkannya. Bab 13 Pentas Drama Musim Panas dan Setelahnya
Elizabeth sebelumnya telah berkonsultasi dengan Julian. Kedua sahabat itu telah
mendiskusikan segala hal dengan amat berhati-hati sebelum Rapat Besar
berlangsung. Pada akhir pelajaran di pagi itu, mereka pergi bersama Daniel ke istal sekolah
untuk membantunya menemukan Rookie. Namun burung hitam mengilap dengan warna
putih terang di atas paruhnya itu tak ada di sana. Mereka amat sedih melihat
Daniel berjalan berkeliling dan memandang ke atas pohon, memanggil-manggil,
"Rookie?" berkali-kali.
"Kau benar, Elizabeth," ia berkata, sambil menangis. "Dia telah pergi. Dan
kurasa dia takkan kembali lagi."
Julian melingkarkan lengannya ke sekeliling pundak Daniel ketika mereka bertiga
berjalan lambat-lambat kembali ke sekolah untuk makan siang.
"Mungkin sulit bagimu untuk menerima kenyataan ini, Daniel. Tapi akan lebih baik
kalau dia tak pernah kembali lagi. Gagak rook tak bisa hidup sendirian. Tak
heran kalau dia jadi sangat nakal! Gagak suka hidup bersama dengan gagak-gagak
lain, dalam kelompok. Kepergiannya berarti dia telah diterima kembali dalam
kelompoknya." Kini Elizabeth berbicara dalam Rapat Besar.
"Daniel memang harus dihukum karena telah menyebabkan kebakaran dalam kamarnya
semalam," katanya. "Tapi dia telah mendapatkan hukumannya. Hukuman paling buruk
yang pernah ada. Burungnya sangat ketakutan. Kebakaran dan segala keributan
kemarin telah membuat Rookie ketakutan! Dia telah pergi. Daniel juga telah
dihukum karena kesalahannya yang lain. Dia tak pernah lagi merasa tenang setelah
Julian dan aku kehilangan peran kami dalam pentas drama. Rasa bersalahnya telah
membuatnya tersiksa!"
Elizabeth duduk, kehabisan napas.
Beberapa saat hening. Lalu tiba-tiba semua orang bertepuk tangan menyambut pidato pendek Elizabeth. Ia
telah bersikap begitu adil. Ia mengatakan hal-hal yang benar.
Kedua ketua murid mengangguk sebagai tanda setuju. Begitu juga dengan para
pengawas di panggung. Joan merasa amat bangga pada Elizabeth.
William mengangkat tangan untuk mendiamkan aula. Ia memandang pada Daniel dengan
tenang dan ramah. "Mencintai buku adalah hal yang baik, Daniel. Buku cerita kesukaan sama seperti
sahabat. Tapi rasa cinta itu tak boleh menggantikan rasa sayang pada orang-orang
sungguhan. Tenggelam dalam buku ceritamu semalam, menyalakan lilin, kau tak
memikirkan anak-anak lain di sini, di Whyteleafe, dan kemungkinan bahaya
kebakaran." Daniel menundukkan kepala.
"Dan menyayangi burung serta binatang. Itu juga hal yang amat baik," William
mengakhiri. "Tapi itu juga tak boleh menggantikan kepedulian terhadap orang
lain. Demi keinginan mempertahankan Rookie, kau telah membiarkan orang-orang
lain menderita. Kau telah menyebabkan Elizabeth, khususnya, merasakan kepedihan
dan kesedihan." "Please, William, aku tahu kata-katamu itu benar, tapi sungguh mengagumkan bahwa
Rookie amat menyayangiku!" Daniel berkata. "Caranya mengikuti mobil sepanjang
jalan dari desa kami supaya dia bisa bersamaku! Lagi pula," ia menggeleng-
gelengkan kepala, "masalahnya dengan 'orang sungguhan' adalah mereka tampaknya
tidak terlalu menyukaiku."
Elizabeth buru-buru melompat berdiri dengan marah.
"Itu tidak benar, William. Julian dan aku menyukai Daniel. Kami benar-benar
menyukainya!" Ia duduk lagi, merasa malu.
Lalu dengan acuh tak acuh, Julian berdiri.
"Ada satu hal lagi yang harus dibereskan," ia berkata dengan santai. "Tentang
aku yang dianggap menderita karena peranku dalam pentas drama dicabut. Itu tidak
benar. Bagian peran Jonkin banyak sekali. Pastinya aku tidak mungkin diharapkan
untuk mulai mempelajarinya sekarang, kan" Aku lebih suka kalau Daniel
mempertahankan peran itu."
"Hanya Miss Ranger yang bisa memutuskan itu, Julian," sahut Rita ramah.
"Beliaulah penyelenggara pentas drama. Miss Belle dan Miss Best juga punya
andil. Karena bagaimanapun, mereka kan penulisnya."
Namun kedua kepala sekolah dan Mr. Johns telah menganggukkan kepala mereka
sebagai tanda persetujuan. Hal ini memang yang selama ini diinginkan oleh para
guru untuk Daniel. Mereka khawatir anak itu tak dapat membaur dengan yang lain.
Dugaan Julian ternyata tepat. Lebih jauh lagi, seharusnya sejak awal Daniel
tidak diizinkan punya kamar pribadi, kedua kepala sekolah memutuskan. Mereka
harus mengkaji kembali masalah itu.
Elizabeth kecewa. Julian tidak menjadi pasangannya dalam Pentas Drama Musim
Panas. Tapi setidaknya Arabella harus mengembalikan peran Elizabeth.
Namun penampilan Daniel semakin lama semakin membaik.
Sekalipun ia masih merindukan burungnya, namun anak itu mulai memusatkan diri
pada latihan. Senang juga karena John McTavish ikut dalam sandiwara, sebagai Mr.
Grasshopper. Sejak Daniel pindah bersama John, dalam kamar yang lebih besar,
mereka berdua jadi teman baik.
Julian berada di asrama yang sama dan ia banyak memberikan petunjuk akting pada
Daniel. Tak diragukan ini juga membantu cowok itu.
Dan yang terbaik dari semua itu, Daniel tak ingin mengecewakan Elizabeth.
Tak lama kemudian, Elizabeth pun mulai dapat mengatasi kekecewaannya.
Acara besar itu diadakan di malam pertengahan musim panas yang indah.
Petualangan di Hutan Ajaib digelar di sudut taman sekolah yang paling cantik.
Pohon ash rimbun dengan daun-daunnya yang menjuntai menjadi latar belakang indah
untuk Jonkin dan Ratu Peri. Semua orang menyukai penampilan anak-anak bertopeng
"hewan-hewan hutan ajaib" yang muncul, menghilang, dan muncul lagi di sela-sela
sesemakan. Seluruh sekolah duduk dan memusatkan perhatian pada pentas drama, demikian pula
Miss Belle dan Miss Best. Mereka telah bekerja keras menulis cerita untuk Pentas
Drama Musim Panas agar selesai pada waktunya untuk dipentaskan oleh murid-murid
kelas satu pada tahun ini. Dan betapa bagusnya permainan mereka! Sandiwara yang
sukses. Elizabeth jadi bintang pertunjukan itu. Ia harus beberapa kali kembali ke
panggung untuk menerima tepuk tangan para hadirin. Begitu juga Daniel karena
penampilannya bagus. Si Beauty dan si Beast pun menyukai penampilan mereka berdua.
Elizabeth tetap berada di tempat pentas lama setelah itu. Ia tak ingin malam ini
berakhir. Begitu juga dengan Daniel. Anak itu berdiri di dekat jam matahari di bagian
tertinggi lapangan rumput itu. Tiba-tiba ia menengadah ke langit.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halo, Dan. Kau melihat apa?"
Ia menunjuk. Sekelompok gagak terbang di atas awan. Seekor burung tertinggal di
belakang. Burung itu berputar-putar beberapa kali di atas kepalanya.
Kedua anak itu menahan napas mereka dan menunggu.
Kemudian burung itu melambaikan satu sayap pada mereka seolah-olah mengucapkan
selamat tinggal, lalu melesat terbang untuk menyusul kawanannya.
Elizabeth dan Daniel terus mengamati kawanan burung itu terbang menuju kejauhan.
Tak lama kemudian, gerombolan itu berubah menjadi titik kecil di depan matahari
merah yang makin merendah. Lalu burung-burung itu lenyap dan yang tertinggal
hanyalah matahari. -END- Djvu by: k80 Jar, txt, pdf by: inzomnia
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Elang Terbang Di Dataran Luas 12 Wiro Sableng 186 Jenazah Simpanan Misteri Bayangan Ungu 1
^