Pencarian

Si Badung Jadi Pengawas 1

Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton Bagian 1


SI BADUNG JADI PENGAWAS by: Enid Blyton Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002
Djvu: kiageng80 Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAFTAR ISI 1. Arabella 2. Kembali ke Whyteleafe 3. Empat Orang Anak Baru 4. Rapat Besar 5. Arabella Terlibat Kesulitan
6. Arabella Melapor 7. Rapat Besar Memutuskan
8. Elizabeth Memasang Jebakan
9. Kejutan untuk Elizabeth
10. Pertengkaran 11. Muslihat Julian 12. Elizabeth Mendapat Malu
13. Rahasia Arabella 14. Obat Bersin 15. Rapat yang Mengguncangkan
16. Elizabeth Menghadap Rita dan William
17. Berhati Emas 18. Julian Berlaku Sangat Lucu
19. Julian Mendapat Guncangan Batin
20. Julian Berikrar 21. Pengakuan Martin 22. Martin Semakin Mengherankan
23. Pertandingan Sekolah dan Hal-hal Lain
24. Martin Memperoleh Kesempatan
25. Pengalaman Elizabeth 26. Akhir yang Membahagiakan
1. Arabella Pertengahan liburan Natal, Elizabeth sudah hampir bosan. Ia telah menonton
pantomim, sirkus, tiga kali menghadiri pesta.... Ia sudah ingin kembali ke
sekolahnya, Sekolah Whyteleafe.
Setelah terbiasa tinggal di asrama, maka kehidupan di rumah sebagai anak tunggal
memang membuatnya sangat kesepian. Ia rindu pada suara tawa dan senda gurau riuh
rendah yang terjadi pada setiap pertandingan apa pun.
"Ibu, aku memang senang tinggal di rumah," katanya pada ibunya, Nyonya Allen.
"Tetapi aku sudah sangat rindu pada Kathleen, Belinda, Nora, Harry, John, dan
Richard. Masih untung Joan agak sering kemari. Tetapi kini kemenakannya datang
mengunjunginya, jadi takkan mungkin ia datang lagi."
Dan Ibu memberinya suatu berita yang tak terduga.
"Aku tahu kau kesepian," kata Ibu, "karenanya telah kuatur agar seseorang akan
datang kemari, menemanimu selama dua minggu terakhir dari masa liburan ini."
"Oh, Ibu! Siapa?" seru Elizabeth heran. "Seseorang yang kukenal?"
"Bukan," jawab Ibu. "Seorang anak yang akan bersekolah pula di Sekolah
Whyteleafe semester depan ini. Namanya Arabella Buckley Aku yakin kau akan
menyukainya." "Ceriterakanlah tentang dia," kata Elizabeth, masih keheran-heranan. "Mengapa
Ibu tidak bercerita sebelum ini?"
"Keputusan tentang itu saja baru dibuat, tergesa-gesa!" kata Ibu. "Kau tahu
Nyonya Peters, bukan" Nah. Saudara perempuannya akan pergi ke Amerika, tetapi
anaknya akan ditinggal di sini. Ia ingin agar anak itu di asramakan saja selama
setahun atau mungkin lebih lama."
"Dan ia memilih Sekolah Whyteleafe!" seru Elizabeth. "Tepat sekali. Itulah
sekolah terbaik di dunia ini, menurut pendapatku."
"Aku pun berkata begitu pada Nyonya Peters," kata Ibu, "dan ia bercerita pada
saudaranya - Nyonya Buckley. Nyonya Buckley langsung menemui kedua guru kepala
di sekolahmu, Bu Belle dan Bu Best...."
"The Beauty and the Beast," kata Elizabeth sambil menyeringai.
"Dan jadilah, Arabella akan bersekolah di Whyteleafe semester ini," kata Ibu.
"Karena Nyonya Buckley harus segera berangkat ke Amerika, aku mengusulkan agar
untuk sementara Arabella tinggal di sini saja - selain agar bisa menemani kau,
juga agar kau bisa berceritera padanya tentang Sekolah Whyteleafe."
"Ibu, kuharap saja ia seorang anak yang menyenangkan," kata Elizabeth.
Menghabiskan liburan dengan seseorang hanyalah menggembirakan kalau kita senang
pada orang itu." "Oh, aku telah melihat Arabella," kata Ibu. "Cantik sekali, tingkah lakunya juga
sangat halus, sopan santun. Pakaiannya selalu rapi dan bagus-bagus."
"Oh," kata Elizabeth, yang sering sekali tak rapi berpakaian dan terlalu tak
sabaran untuk bisa berlaku sopan. "Ibu, kukira aku takkan bisa menyukainya.
Biasanya anak yang terlalu bagus berpakaian tak bisa melakukan suatu permainan
atau kegiatan lainnya."
"Tunggu saja nanti," kata Ibu. "Bagaimanapun, dia akan datang besok. Sambutlah
ia baik-baik dan ceriterakanlah tentang Whyteleafe padanya. Ia pasti senang
mendengarkannya." Mau tak mau Elizabeth mengharap-harap juga kedatangan Arabella, walaupun anak
itu kedengarannya sok aksi. Elizabeth menaruh bunga di kamar yang akan ditempati
Arabella, dan di samping tempat tidurnya diletakkannya beberapa buah buku
kesayangannya. "Alangkah senangnya menceritakan tentang Sekolah Whyteleafe kepada seseorang,"
pikir Elizabeth. "Aku begitu bangga akan Whyteleafe. Sungguh asyik sekolah di
sana. Dan oh- semester depan ini aku akan jadi Pengawas!"
Si Penaik Darah yang tak sabaran itu memang telah terpilih untuk jadi Pengawas
dalam semester yang akan datang. Ini di luar dugaannya, dan membuatnya sangat
bahagia. Sering ia memikirkan hal itu. Diam-diam ia merencanakan akan menjadi
Pengawas yang baik, bijaksana, dan terpercaya dalam semester yang akan datang
itu. "Aku takkan bertengkar dengan siapa pun, tak akan berandalan, tak boleh
mengamuk!" Elizabeth berjanji dalam hati. Ia tahu benar sifat-sifatnya sendiri.
Dan memang setiap anak di Sekolah Whyteleafe belajar untuk mengenali diri mereka
sendiri lebih baik, agar bisa memperbaiki bila mereka memiliki sifat-sifat yang
tidak baik - tanpa mengetahui sifat-sifat seseorang, bagaimana kita bisa tahu
ada hal yang harus diperbaiki"
Keesokan harinya Elizabeth menunggu kedatangan Arabella dari balik jendela.
Menjelang sore hari, sebuah mobil yang tampak mewah memasuki pekarangan dan
berhenti di depan pintu. Sopirnya keluar, membukakan pintu belakang. Dan
keluarlah seorang gadis kecil yang lebih mirip seorang putri daripada seorang
murid. "Astaga!" seru Elizabeth pada dirinya sendiri, memperhatikan seragam biru yang
dipakainya. "Astaga! Aku takkan pernah bisa menandingi Arabella!"
Arabella memakai mantel biru yang indah, dengan leher berlapis bulu putih
lembut. Ia memakai sarung tangan bulu, dan topi bulu berwarna putih pula
menutupi kepalanya yang berambut pirang ikal. Matanya sangat biru, bulu matanya
lentik melengkung ke atas. Gayanya agak angkuh saat ia melangkah keluar dari
mobil. Ia melihat rumah Elizabeth seolah-olah rumah tersebut tak berkenan di hatinya.
Sopir membunyikan bel, dan meletakkan sebuah ko-por besar dan sebuah tas di
depan pintu. Tadinya Elizabeth merencanakan untuk berlari turun dan menyambut hangat
Arabella. Tadinya ia merencanakan untuk memanggil Arabella "Bella", sebab ia
berpikir Arabella sebuah nama yang agak tolol, mirip nama boneka. Tetapi kini ia
mengubah pikirannya. Rasanya tak patut Arabella dipanggil "Bella".
"Arabella lebih pantas," pikir Elizabeth. "Ia memang agak mirip boneka dengan
rambut keemasan, mata biru, mantel indah, dan topinya. Kukira aku takkan
menyukainya. Terus terang saja - aku sedikit takut padanya!"
Aneh. Biasanya Elizabeth tak pernah takut pada apa pun atau siapa pun. Tetapi
memang ia belum pernah bertemu seseorang seperti Arabella Buckley.
"Walaupun ia tak lebih tua dariku, ia tampak seperti orang dewasa, berjalan
seperti orang dewasa, dan aku tahu pasti ia juga berbicara seperti orang dewasa.
Oh, tidak! Aku tak mau menjemputnya!" pikir Elizabeth.
Elizabeth tidak turun menjemput Arabella. Seorang pelayan membukakan pintu.
Kemudian Nyonya Allen bergegas keluar untuk menyambut tamu itu.
Nyonya Allen mencium Arabella, dan bertanya apakah perjalanannya melelahkan.
"Oh, tidak, terima kasih," jawab Arabella dengan suara jelas dan ucapan
sempurna. "Mobil kami sangat nyaman dan aku membawa cukup penganan untuk makan
di perjalanan. Sungguh baik hati Anda mau menerimaku di sini, Nyonya Allen.
Kudengar Nyonya memiliki seorang anak sebaya dengan aku."
"Ya," kata Nyonya Allen, "mestinya ia sudah turun untuk menyambutmu. Elizabeth!
Elizabeth, di mana engkau" Arabella sudah tiba!"
Elizabeth terpaksa turun. Ia berlari menuruni tangga seperti kebiasaannya, dua-
dua, dan mengentakkan kaki keras-keras sewaktu tiba di lantai bawah.
Diulurkannya tangannya pada Arabella yang seakan sangat terkejut oleh
kemunculannya yang begitu tiba-tiba.
"Elizabeth, cobalah biasakan dirimu turun tangga dengan baik," kata Nyonya
Allen. Setiap hari paling sedikit Nyonya Allen harus mengucapkan kalimat itu dua
belas kali. Elizabeth selalu melupakannya, selalu tak bisa naik atau turun atau
pergi ke mana pun di dalam rumah tanpa mengeluarkan suara ribut. Nyonya Allen
berharap agar Arabella yang manis, sopan, serta lembut ini bisa menularkan
kesopanan serta kelembutannya pada Elizabeth.
"Halo!" sapa Elizabeth. Arabella mengulurkan lemah tangannya.
"Selamat sore," katanya. "Apa kabar?"
"Ya ampun," pikir Elizabeth. "Rasanya seolah-olah ia itu seorang putri yang
sedang mengunjungi salah seorang rakyatnya yang melarat! Jangan-jangan sehabis
ini ia akan menganugerahkan semangkuk sup hangat dan syal tebal untukku!"
Tetapi mungkin juga kekakuan itu hanya karena Elizabeth merasa malu. Elizabeth
berpikir lebih baik ia memberi Arabella kesempatan untuk menunjukkan pribadinya
sebelum menjatuhkan keputusan.
"Kan sudah sering aku menentukan bagaimana pribadi seseorang yang kukenal dan
ternyata dugaanku itu sangat meleset," pikirnya lagi. "Aku sudah berbuat begitu
banyak kesalahan dalam menilai pribadi orang, di masa dua semesterku di
Whyteleafe. Kini aku akan hati-hati."
Maka ia hanya tersenyum pada Arabella, dan mengajaknya ke atas, ke kamarnya,
untuk mencuci muka, dan bercakap-cakap.
"Aku yakin kau sangat bersedih ditinggalkan ibumu ke Amerika," kata Elizabeth
ramah. "Sayang sekali kau tak ikut, ya. Tetapi untung juga kau akan bersekolah
di Whyteleafe. Aku yakin kau akan senang di sana."
"Aku bisa menentukan sendiri apakah aku senang di sana atau tidak nanti bila aku
sudah di sana," kata Arabella. "Kuharap saja anak-anak di sana cukup baik."
"Tentu saja, walaupun misalnya ada yang datang ke Whyteleafe dengan tabiat
buruk, biasanya tak lama bersama-sama kami berhasil mengubah tabiat buruk itu,"
kata Elizabeth. "Dulu, misalnya, ada satu-dua anak cowok yang nakal. Tapi kini
mereka telah menjadi sahabat baikku."
"Anak cowok?" seru Arabella seolah sangat takut. "Kukira Whyteleafe itu khusus
untuk anak perempuan saja! Aku benci pada anak-anak cowok!"
"Memang... Sekolah Whyteleafe sekolah campuran, anak laki-laki dan perempuan
jadi satu," kata Elizabeth. "Cukup menyenangkan. Kau takkan membenci anak cowok
bila sudah terbiasa."
"Kalau ibuku tahu Whyteleafe sekolah campuran, pasti aku takkan dikirimkannya ke
sana," kata Arabella dengan suaranya yang jernih bernada angkuh. "Anak-anak
cowok hanyalah makhluk-makhluk bertabiat kasar, tidak sopan, kotor, tidak rapi,
dan selalu heboh." "Oh, ya, tetapi anak perempuan kadang-kadang begitu juga," kata Elizabeth sabar.
"Soal heboh itu, tunggu saja nanti. Lihat aku kalau sedang menonton
pertandingan. Aku akan lebih heboh dari anak cowok!"
"Kedengarannya sekolah itu sungguh mengerikan," kata Arabella. "Tadinya aku
sudah berharap Ibu akan mengirimkan aku ke Grey Towers. Sekolah yang bagus. Dua
orang temanku bersekolah di sana. Mereka mempunyai kamar tidur yang indah.
Makanan yang enak. Pokoknya mereka diperlakukan sebagai putri!"
"Kalau kau beranggapan kau akan diperlakukan sebagai putri di Whyteleafe, maka
kau salah besar," kata Elizabeth tajam. "Kau akan diperlakukan sewajarnya,
seperti apa adanya, seperti seorang anak yang bersekolah karena ingin belajar!
Dan kalau kau sok aksi di sana, kau akan segera menyesal, Nona Besar."
"Kau sungguh tidak sopan berkata begitu padaku, padahal aku baru saja datang,"
kata Arabella mengangkat muka dengan gaya yang membuat Elizabeth merasa sangat
marah. "Kalau begitu tingkah laku yang diajarkan di Whyteleafe, aku yakin aku
takkan tahan di sana. Mungkin takkan sampai satu semester."
"Aku harap kau takkan sampai seminggu di sana," tukas Elizabeth, tetapi ia
segera menyesal karena kehilangan kesabaran.
"Ya ampun!" pikirnya. "Sungguh suatu permulaan buruk bagiku. Aku harus hati-
hati!" 2. Kembali ke Whyteleafe Arabella dan Elizabeth ternyata memang tidak cocok menjadi teman dekat. Tak ada
yang disukai Elizabeth pada diri Arabella, dan agaknya bagi Arabella, Elizabeth
adalah makhluk yang wajib dibenci segala-galanya.
Sialnya Nyonya Allen sangat menyukai Arabella dan harus diakui gadis cilik itu
memang tingkah lakunya sangat sopan. Bila Nyonya Allen memasuki kamar di mana ia
berada, Arabella cepat-cepat berdiri menghormat, membukakan atau menutupkan
pintu untuknya, mengambilkan atau membawakan barang-barangnya dengan memberi
kesan sangat manis serta sopan.
Semakin sopan Arabella, semakin kasar tingkah laku Elizabeth. Dan melihat itu
Nyonya Allen mulai menegurnya dan ini membuatnya sangat marah.
"Kalau saja kau mau meniru tingkah laku sopan santun Arabella, anakku," kata
Nyonya Allen. Atau, "Kuharap tingkahmu lebih halus, seperti Arabella itu,
Elizabeth, dan tidak selalu ribut saja." Atau "Kuharap kau sudi menungguku
sampai selesai berbicara, tidak memotong begitu saja...,"
Semua ini membuat Elizabeth geram, muram, murung. Ini dilihat oleh Arabella, dan
sengaja ia mempertajam perbedaan dirinya dengan Elizabeth, dengan tingkahnya
yang lemah-lembut serta sangat sopan.
Seminggu berlalu. Semua orang di rumah Elizabeth sangat menyukai Arabella.
Bahkan Nyonya Jenks juga, juru masak yang biasanya sangat pemarah.
"Nyonya Jenks menyukaimu hanya karena kau menjilat dia," kata Elizabeth cemberut
saat Arabella datang dari dapur dan berkata bahwa juru masak itu sedang
membuatkan dia kue kesukaannya.
"Aku tidak menjilat," kata Arabella dengan lagu suara lemah lembut seperti
biasanya. "Dan Elizabeth, kurasa sangat tidak sopan berbicara seperti itu.
Menjilat! Benar-benar suatu perkataan yang sangat menjijikkan!"
"Oh, tutup mulutmu!" tukas Elizabeth dengan kasar.
Arabella menghela napas panjang. "Sungguh menyesal aku diharuskan masuk
Whyteleafe. Kalau semua muridnya seperti kau, aku yakin aku takkan senang
tinggal di sana." Elizabeth bangkit. "Dengar, Arabella," katanya, "aku akan berceritera tentang
sekolahku itu. Dengar baik-baik agar kau tahu benar apa yang akan kaualami nanti
di sana. Aku yakin kau takkan menyukai sekolahku, dan sekolahku pun takkan
menyukaimu. Maka kuharap kau sudah cukup merasa kuperingatkan, agar kau bisa
lebih mempersiapkan diri,"
"Baik. Coba ceriterakan, " kata Arabella, tampak agak ketakutan.
"Apa yang akan kuceriterakan pasti akan membuat banyak anak senang," kata
Elizabeth. "Semuanya serba masuk akal dan adil. Tetapi aku yakin Nona Besar
seperti kamu tak akan menyukai semuanya."
"Jangan panggil aku seperti itu!" kata Arabella gusar.
"Pokoknya dengarkanlah," kata Elizabeth. "Di Whyteleafe ada seorang Ketua Murid
Laki-laki, yaitu William, dan seorang Ketua Murid Perempuan, bernama Rita.
Mereka anak-anak yang cerdas dan pandai serta berkelakuan sangat baik. Kemudian
ada juga dua belas orang Pengawas."
"Siapa mereka itu?" Arabella mendengus seakan-akan para Pengawas itu menyiarkan
bau yang tak enak "Para Pengawas adalah anak-anak yang dipilih oleh murid-murid seluruh sekolah
untuk menjadi pemimpin," kata Elizabeth. "Mereka dipilih karena dipercaya, dan
dianggap baik hati dan bijaksana. Mereka mengawasi agar murid-murid lain
mengikuti semua peraturan yang ada. Mereka juga mengikuti peraturan-peraturan
tersebut dan mereka membantu William dan Rita untuk memutuskan hukuman atau
hadiah yang diberikan pada murid-murid dalam setiap Rapat Besar."
"Apakah Rapat Besar itu?" Arabella membelalakkan mata keheranan.


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semacam DPR atau Parlemen sekolah. Kami mengadakan sidang setiap minggu. Semua
murid harus hadir," Elizabeth bangga sekali bisa berceritera pada Arabella. "Dan
dalam tiap sidang kami memasukkan semua uang kami ke sebuah kotak uang....
Begitulah peraturannya...."
"Apa" Memasukkan semua uang kita pada kotak uang sekolah?" Arabella sangat
heran. "Uangku banyak sekali. Aku takkan mau memberikan semua uangku...! Sungguh
peraturan gila!" "Memang bisa saja kaupikir begitu, mula-mula...," kata Elizabeth, teringat
betapa ia juga sangat membenci peraturan tersebut pada mulanya. "Tetapi
sesungguhnya itu suatu peraturan yang sangat baik. Sungguh tidak adil bukan,
kalau ada murid-murid yang punya uang saku banyak sekali, sementara murid yang
lain hampir tak punya sama sekali?"
"Mengapa tidak adil, kan itu uang kita sendiri," bantah Arabella, yang tahu
benar ia pasti termasuk di antara beberapa orang anak yang terkaya di sekolah
itu. "Kita membuat peraturan yang sangat adil," kata Elizabeth. "Semua uang kita
kumpulkan, kemudian tiap minggu kita akan diberi uang saku masing-masing dua
shilling, diambilkan dan kotak uang tadi. Kita boleh membelanjakannya semau
kita. Dan dengan begitu semua murid punya uang saku yang sama."
"Hanya dua shilling"!" seru Arabella sangat ngeri.
"Kalau kau memerlukan untuk suatu keperluan yang sangat mendesak, maka kau mesti
mengatakannya pada ketua murid. Mereka memutuskan apakah keperluanmu itu memang
bisa mereka setujui. Bila disetujui, maka kau akan menerima uang yang
kauperlukan, bila tidak, yah, kau takkan memperolehnya."
"Apa lagi yang kaulakukan dalam Rapat Besar itu?" tanya Arabella. "Kedengarannya
kok semakin mengerikan. Apakah guru kepala menentukan sesuatu?"
"Kalau kita minta," kata Elizabeth. "Para guru memang ingin agar kita membuat
peraturan kita sendiri, merencanakan hukuman yang harus dilakukan atau
penghargaan yang harus diberikan. Misalnya saja, Arabella, misalnya kau bersikap
terlalu angkuh untuk apa saja... maka kami akan mencoba menyembuhkanmu dengan
jalan...." "Jangan coba-coba menyembuhkanku atau berbuat sesuatu padaku," tukas Arabella.
"Kaulah sesungguhnya yang harus disembuhkan dari banyak hal. Heran, mengapa
tidak dari dulu para Pengawas itu menyembuhkanmu. Mungkin semester ini mereka
akan tahu tentang dirimu."
"Aku telah dipilih menjadi Pengawas," kata Elizabeth bangga. "Aku salah satu
anggota dewan juri. Kalau sampai ada keluhan tentang dirimu, maka aku punya
kekuasaan untuk mempertimbangkan keluhan tersebut, serta ikut menentukan apakah
kau harus dihukum atau tidak...."
"Anak berandalan seperti kau mengadili aku?" Arabella merah mukanya. "Kau tak
tahu cara berjalan yang baik, kau tak mengerti sopan santun, kau tertawa terlalu
keras...." "Oh, tutup mulutmu," kata Elizabeth. "Memang aku tidak selemah lembut dan
sehalus kau, tapi aku tidak menjilat pada semua orang dewasa yang kujumpai, aku
tidak suka berpura-pura hanya untuk mengambil hati orang, aku tidak bertingkah
dan berpakaian berlebihan seperti boneka yang berkata 'Mama' setiap kali kita
tarik talinya...." "Elizabeth Allen!" seru Arabella. "Kalau saja aku berandalan seperti kamu, sudah
pasti kulempar kepalamu karena berkata seperti itu!" Ia mengentakkan kaki marah.
"Aku lebih suka kalau kau melempar kepalaku," kata Elizabeth. "Bagiku kau lebih
bagus jadi apa saja, kecuali boneka kesayangan Mama seperti sekarang ini."
Arabella menghambur ke luar kamar, dan untuk pertama kalinya lupa sopan santun,
mengempaskan pintu keras-keras. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya
sebelumnya. Elizabeth menyeringai. Tetapi kemudian ia termenung berpikir-pikir.
"Kau harus hati-hati, Elizabeth Allen," ia berkata pada dirinya sendiri. "Kau
paling pandai mencari musuh, tetapi kau tahu benar bahwa bermusuhan hanyalah
memberikan pertengkaran serta kesedihan. Arabella memang anak tolol-angkuh,
dungu, tak berotak- tetapi biarkan Whyteleafe menanganinya, jangan mencoba
bertindak sendiri. Cobalah bersikap bersahabat dengannya. Bantulah dia."
Maka Elizabeth mencoba melupakan bahwa ia sangat tidak senang pada si Angkuh
Arabella, boneka hidup yang selalu bersolek itu. Tetapi tak urung ia merasa
sangat lega waktu tiba hari berangkat ke sekolah. Sungguh tak menyenangkan untuk
setiap hari berteman dengan seseorang seperti Arabella. Di sekolah ia akan
dikelilingi oleh lusinan anak lain, yang gembira ria bersahabat. Di sekolah ia
takkan terpaksa harus berbicara dengan Arabella seorang.
"Ia lebih tua dariku," pikir Elizabeth sambil mengenakan seragamnya dengan
gembira. "Mungkin ia akan masuk ke kelas yang lebih tinggi dariku." Seragamnya
sangat apik rasanya. Mantel biru tua dengan tepi bergaris kuning pada ujung
lengan serta leher. Topinya juga biru tua berpita kuning. Stocking-nya berwarna
cokelat, demikian pula sepatunya.
"Menyebalkan sekali seragam berwarna gelap begini ini," kata Arabella seakan
jijik. "Suram benar! Di Grey Towers, sekolah yang sesungguhnya sangat
kuinginkan, semua anak perempuannya diperbolehkan memakai apa saja yang mereka
sukai." "Betapa tololnya peraturan itu," dengus Elizabeth. Diperhatikannya Arabella.
Dengan memakai seragam sekolah, dan bukannya pakaian mewah indah seperti
biasanya, Arabella tampak lebih manis dan segar.
"Aku lebih suka melihatmu memakai seragam," kata Elizabeth. "Dengan memakai
seragam kau seperti anak-anak biasa."
"Elizabeth, kau selalu berkata aneh," Arabella berkata dengan wajah heran. "Aku
toh memang anak biasa...."
"Kukira tidak begitu," kata Elizabeth memandang tajam pada Arabella. "Kau yang
asli tersembunyi di balik tingkah laku sopan santun yang kaubuat-buat itu.
Bahkan aku tak yakin apakah kau punya pribadi atau tidak."
"Kau ini sungguh aneh!" kata Arabella.
"Anak-anak... kalian sudah siap?" seru Nyonya Allen. "Mobil sudah menunggu
kalian di pintu gerbang!"
Mereka turun ke lantai bawah, membawa tas-tas jinjingan. Semua murid memang
terpaksa membawa tas* jinjingan kecil berisi pakaian yang segera mereka
perlukan, sebab kopor besar mereka pasti baru akan selesai dibuka dan diambil
isinya keesokan harinya. Mereka juga menjinjing tongkat lacrosse dan hockey,
walaupun Arabella sesungguhnya berharap agar ia tak wajib melakukan kedua
permainan itu. Ia memang tidak menyukai permainan olahraga apa pun.
Mereka naik kereta api ke London. Dan di stasiun besar kota itu mereka bertemu
dengan murid-murid Whyteleafe yang juga akan kembali ke sekolah. Bu Ranger, wali
kelas Elizabeth, telah berada di situ juga dan menyapa Elizabeth.
"Ini Arabella Buckley," Elizabeth memperkenalkan Arabella. Semua berpaling
memperhatikan Arabella. Betapa rapi dan manisnya anak itu. Tak selembar rambut
pun keluar dari jalurnya, tak ada satu kerutan pun di stocking-nya, tak ada
setitik noda pun di pipinya.
"Halo, Elizabeth!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru. Joan! Dan sahabat
Elizabeth itu langsung merangkulnya.
"Halo, Elizabeth! Halo, Elizabeth!"
Satu per satu para sahabat akrab Elizabeth muncul, menyapanya dengan riang.
Mereka sangat girang bertemu kembali dengan si cewek yang dahulu pernah menjadi
cewek paling badung di sekolah. Harry menepuk punggungnya. Begitu juga Robert.
John bertanya apakah ia berkebun selama liburan ini. Kathleen mendekat dengan
pipi kemerah-merahan serta lesung pipit yang tampak manis. Richard melambaikan
tangan padanya, saat ia memasuki gerbang dengan membawa tempat biolanya.
"Oh, sungguh senang kembali ke sekolah," pikir Elizabeth. "Dan dalam semester
ini... aku jadi Pengawas! Aku harus lebih berhasil lagi. Akan kubuat si Sok Aksi
Arabella itu meng-hormatiku."
"Ayo, cepat naik ke gerbong!" seru Bu Ranger. "Cepat berpamitan dan masuk
semua!" Petugas meniup peluit. Kereta mendesis bergerak. Mereka berangkat ke Whyteleafe!
3. Empat Orang Anak Baru Salah satu hal yang paling menarik di awal suatu semester adalah pertanyaan:
apakah ada anak baru" Siapa mereka" Bagaimanakah pribadi mereka" Masuk ke kelas
berapa" Semua murid lama mencari-cari anak baru. Arabella, tentu. Dan ada tiga orang
lagi, dua laki-laki dan seorang perempuan.
Elizabeth sebagai seorang Pengawas merasa bahwa adalah salah satu tugasnya untuk
membuat anak-anak baru itu segera merasa betah tinggal di Whyteleafe. Begitu
mereka semua tiba di Whyteleafe, ia segera mengatur segalanya.
"Kathleen, tunjukkan kamar tidur Arabella, dan katakan padanya peraturan-
peraturan yang ada. Aku akan membantu ketiga anak lainnya itu. Robert, kau bisa
membantuku, bukan" Hari ini kau harus mengurus dua orang anak baru."
"Baiklah," jawab Robert, menyeringai. Tampaknya ia tumbuh dengan cepat selama
liburan ini. Kini ia bertubuh tinggi dan besar. Ia sangat gembira kembali ke
Whyteleafe, sebab di sini ia bisa merawat kuda-kuda yang sangat dicintainya. Ia
berharap semester ini ia diperbolehkan merawat kuda-kuda tersebut seperti pada
semester sebelumnya. Elizabeth berpaling pada anak-anak baru. Arabella telah pergi dengan Kathleen,
dengan tampak sedikit ketakutan. Tiga orang anak baru lainnya berkumpul kikuk.
Salah seorang di antaranya menirukan ayam berkotek. Persis sekali!
"Hei, sungguh-sungguh seperti ayam!" seru Elizabeth heran. "Seolah-olah kau baru
saja bertelur!" Anak itu tersenyum. "Aku bisa menirukan hampir semua suara binatang," katanya.
"Namaku Julian Holland. Kau siapa?"
"Elizabeth Allen," kata Elizabeth. Ia sangat tertarik pada anak baru itu.
Seorang yang paling tidak rapi yang pernah dilihatnya! Rambutnya panjang tak
terurus, terjurai ke dahi, matanya hijau tua, bersinar-sinar bagaikan mata
kucing. "Tampaknya ia sangat cerdas," pikir Elizabeth. "Aku yakin dengan mudah ia bisa
merebut nomor satu, bila berada di kelas Bu Ranger."
Julian menirukan suara ayam kalkun. Pak Lewis guru musik, yang kebetulan lewat,
tampak sangat terkejut, melihat ke sana kemari. Julian menirukan suara biola
sedang dicoba, dan Pak Lewis bergegas ke ruang latihan, mengira ada yang bermain
biola di tempat itu. Elizabeth tertawa terpingkal-pingkal. "Oh, kau sungguh pandai!" katanya. "Mudah-
mudahan kau sekelas denganku."
Anak baru yang seorang lagi, Martin, sangat berlawanan dengan Julian. Martin
tampak begitu bersih dan rapi. Rambutnya disisir rapi, matanya biru jernih. Mata
tersebut letaknya berdekatan, tetapi memberi kesan menyenangkan. Elizabeth
segera menyukainya. "Namaku Martin Follet," Martin memperkenalkan diri dengan suara yang
menyenangkan. "Dan aku Rosemary Wing," kata anak baru yang perempuan, malu-malu. Wajahnya
cantik, bibirnya seakan selalu tersenyum, tetapi matanya sedikit kekecilan serta
tampaknya tak berani menatap pandangan anak lain. Elizabeth mengira pastilah
anak ini sangat pemalu. Tetapi hal itu pasti akan segera hilang di sini.
"Robert, tolong antar Julian dan Martin ke asrama putra," kata Elizabeth. "Aku
akan mengantarkan Rosemary. Terangkan segala sesuatunya pada mereka, jangan
tinggalkan mereka sampai keduanya mengerti arah-arah yang benar di sini,
misalnya tempat ruang makan dan hal-hal seperti itu...."
"Baiklah, Pengawas," Robert menyeringai lebar. Elizabeth merasa bangga. Sungguh
hebat rasanya jadi Pengawas.
"Oh, apakah kau seorang Pengawas?" tanya Rosemary, berlari-lari kecil di samping
Elizabeth. "Itu suatu kedudukan khusus, bukan?"
"Ya, begitulah," kata Elizabeth. "Aku adalah Pengawasmu, Rosemary. Jadi kalau
kau mendapat kesulitan atau persoalan, datanglah padaku. Aku akan mencoba dan
berusaha untuk membantumu."
"Bukankah kita harus membawa persoalan kita ke Rapat Besar?" tanya Rosemary yang
agaknya telah mendengar tentang itu dari percakapan di kereta api tadi.
"Oh, ya, tetapi lebih baik kalau sebelum kaubawa ke Rapat Besar, kaurundingkan
dulu dengan aku," kata Elizabeth. "Sebab kita hanya boleh membawa persoalan yang
benar-benar sulit ke Rapat Besar. Lagi pula, bukannya pengaduan karena sakit
hati. misalnya. Mungkin kau tak bisa membedakan mana yang bisa diajukan dan mana
yang tidak." "Benar juga. Kukira itu cukup baik bagiku," kata Rosemary.
"Manis benar anak ini," pikir Elizabeth, sementara ia mengajari anak itu di mana
dan bagaimana harus menyimpan barang-barangnya di kamar tidur. "Di atas meja
rias tak boleh ada benda lebih dari enam buah. Ingat itu, Rosemary. Kau harus
memilih mana yang akan kautaruh di atasnya."
Sungguh menyenangkan bahwa kini dialah yang menuturkan berbagai peraturan.
Elizabeth teringat saat dulu Nora, Pengawasnya, menerangkan berbagai peraturan
tersebut dan bagaimana ia langsung berusaha untuk melanggarnya. Misalnya saja,
ia menaruh sebelas benda di meja rias, dan bukannya enam! Betapa tololnya dia
waktu itu, betapa beraninya memberontak!
"Baik, Elizabeth," kata Rosemary sambil mulai mengatur barang-barangnya.
Di kamar tidur sebelah, Kathleen sedang mendapat kesulitan dari Arabella yang
sama sekali tak mau menerima semua peraturan yang ada.
"Toh tak banyak peraturan yang harus kau turuti," kata Kathleen kemudian. "Dan
lagi kita sendirilah yang membuat semua peraturan tersebut, jadi kita harus
mematuhinya. Kalau perlu biar kupanggilkan Elizabeth. Ia seorang Pengawas, dan
pasti bisa lebih jelas lagi menerangkan semuanya."
"Aku tak ingin bertemu dengan Elizabeth," kata Arabella segera. "Sudah lebih
dari cukup aku tinggal bersamanya liburan ini. Mudah-mudahan ia tak sekelas
denganku." Kathleen sangat mengagumi Elizabeth, walaupun semester sebelumnya ia pernah
sangat membenci anak itu. Mendengar kata-kata Arabella itu, meluap juga perasaan
Kathleen. "Jangan bicara seperti itu tentang para Pengawas," katanya tajam. "Kami memilih
mereka berdasarkan rasa senang serta kekaguman kami pada mereka. Lagi pula,
sungguh kau tak tahu adat berkata seperti itu tentang orang yang pernah
kautemui." Belum pernah Arabella dikatakan tak tahu adat, maka sekejap itu juga wajahnya
jadi pucat dan tak tahu harus berkata apa. Dipandangnya Kathleen dan dalam hati
ia memutuskan tak mau berkawan dengan anak itu. Sesungguhnya, tak ada seorang
pun di sekolah ini yang patut menjadi kawannya. Kecuali si Kecil Manis Rosemary
yang juga anak baru itu. Arabella merasa yakin Rosemary akan kagum pada cerita
tentang kekayaannya. Tentang pakaian yang indah-indah dan liburan di luar
negeri. Hari-hari pertama berlalu cepat. Murid-murid baru mulai betah. Pada mulanya
beberapa orang memang begitu rindu rumah, tetapi Sekolah Whyteleafe mengerti
sekali akan kebutuhan semua muridnya. Lagi pula persahabatan di antara mereka
begitu erat, sehingga tak lama anak-anak baru mulai merasa betah juga. Tak lama
suara tawa dan percakapan hangat terdengar di mana-mana.
Semua anak baru ternyata masuk ke kelas Elizabeth. Bagus! Sungguh senang punya
kawan baru. Dan dengan menjadi seorang Pengawas, Elizabeth merasa akan bisa
membuat anak-anak baru itu kagum padanya. Joan telah naik kelas, sehingga yang
menjadi Pengawas di kelas itu tinggal Elizabeth.
Bu Ranger, wali kelas, segera menilai anak-anak baru tadi dan membicarakannya
dengan Mam'zelle. "Julian anak malas," katanya. "Sungguh sayang, sebenarnya ia berotak cemerlang.
Banyak yang bisa dilakukannya, di luar pelajarannya. Tangannya bisa membuat apa
saja. Pernah saya lihat ia memamerkan pesawat terbang kecil yang dibuatnya bisa
terbang melayang dengan indah! Kapal terbang itu mutlak hasil karyanya sendiri,
dari pemikiran awal sampai pembuatannya. Tak ada yang mencontoh sedikit pun!
Begitulah. Berjam-jam ia menghabiskan waktu untuk membuat permainan. Tetapi
untuk menghabiskan satu menit saja untuk belajar ilmu bumi atau sejarah, ia tak
mau!" "Ah si Julian itu," kata Mam'zelle dengan gaya putus asa, "saya tak suka
padanya. Selalu membuat suara-suara aneh."
"Suara aneh?" Bu Ranger heran. "Sampai saat ini ia belum pernah bersuara aneh
dalam pelajaran saya, tetapi saya yakin suatu saat ia akan melakukannya juga di
kelas saya." "Kemarin, waktu pelajaran saya, tiba-tiba terdengar suara seperti anak kucing
tersesat," kata Mam'zelle. '"Ah, kasihan sekali,' kata saya, 'anak kucing itu
tersesat masuk ke kelas kita,' Dan selama sepuluh menit saya mencarinya. Tetapi
ternyata yang mengeong adalah si Julian itu."
"Apa betul?" tanya Bu Ranger, sambil dalam hati berpikir bahwa ia takkan memberi
kesempatan pada Julian melakukan hal itu di kelasnya. "Terima kasih atas
keterangan Anda. Saya akan memberi perhatian khusus pada Julian."
Pembicaraan beralih pada Arabella. "Ia bagaikan sebuah boneka yang kepalanya
kosong," kata Bu Ranger. "Saya berharap kita bisa mengubah pribadinya dan
menuntunnya agar menjadi anak pandai. Dari usianya seharusnya ia sudah berada di
kelas yang lebih tinggi. Tetapi cara berpikirnya agak lambat, sehingga harus
didorong dahulu agar bisa mengikuti pelajaran di kelas selanjutnya. Agaknya ia
juga sangat bangga akan penampilannya. Selalu merapikan rambut atau pakaian.


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau memamerkan tingkah laku sopannya."
"Tetapi ia tak begitu buruk," kata Mam'zelle yang sangat senang pada Arabella,
karena Arabella pernah tinggal di Prancis dan dapat berbahasa Prancis dengan
baik "Di negeriku, Bu Ranger, anak-anak bertingkah lebih sopan daripada anak-
anak di sini. Dan sungguh senang untuk melihat ada anak yang sesopan Arabella."
"Hmm," kata Bu Ranger, yang tahu bahwa Mam'zelle jarang sekali berbicara tidak
baik tentang anak-anak yang bisa berbahasa Prancis dengan baik. "Bagaimana
pendapat Anda tentang Martin... dan Rosemary?"
"Oh, mereka manis-manis," kata Mam'zelle, yang sangat senang akan sikap Rosemary
yang selalu ingin membuat senang gurunya dengan mematuhi apa saja yang
diperintahkan padanya. "Si Martin kecil itu... ia begitu baik, selalu berusaha
keras." "Aku tak begitu yakin tentang dia," kata Bu Ranger. "Kalau Rosemary, ya. Tetapi
ia berkepribadian lemah. Akan buruk akibatnya kalau ia mempunyai sahabat yang
tidak baik. Mudah-mudahan ia bersahabat dengan Elizabeth Allen atau Jenny."
Begitulah. Guru-guru menilai murid baru. Murid lama juga berbuat serupa. Julian
sangat berhasil dalam pergaulan. Ia seorang yang pemberani dengan berbagai macam
kepandaian yang bisa digunakannya kapan saja ia mau. Otaknya cemerlang, cerdas
dan sering menemukan hal-hal yang baru. Selalu ada saja ulah yang dilakukannya
di kelas, yang membuat seisi kelas tergelak-gelak atau terheran-heran.
"Sayang sekali dalam hal nilai pelajaran kau begitu rendah, Julian," kata
Elizabeth di akhir minggu itu. "Kau sesungguhnya sangat pandai. Seharusnya kau
berada di kedudukan puncak."
Julian menatap Elizabeth dengan mata hijaunya yang bersinar. "Untuk apa?"
katanya. "Siapa yang sudi menghapalkan tanggal-tanggal peristiwa yang sudah
lewat" Toh kelak bila aku dewasa aku takkan bisa hidup dengan pelajaran sejarah,
misalnya. Untuk apa aku mempelajari gunung tertinggi di dunia" Toh aku takkan
mendakinya. Semua pelajaran tak ada gunanya. Membosankan semua."
Elizabeth teringat bahwa ia seorang Pengawas. Ia berkata sungguh-sungguh pada
Julian, "Kau harus rajin belajar, Julian. Cobalah untuk mengejar ketinggalanmu."
Julian tertawa. "Kau mengatakan hal itu hanya karena kau merasa bahwa dirimu
seorang Pengawas! Kau takkan bisa menjeratku dengan nasihat muluk-muluk. Kau
harus memberikan suatu alasan yang bisa kumengerti, mengapa aku harus bekeja
keras, baru kemudian aku akan bekerja keras."
Merah wajah Elizabeth. Ia tak senang dikatakan memberi nasihat muluk-muluk. Ia
berpaling meninggalkan Julian
Julian mengejarnya. "Jangan marah, aku hanya menggodamu," katanya. "Dengar,
Elizabeth. Joan, sahabat karibmu, telah pindah ke kelas di atas kita. Bagaimana
kalau aku menggantikan sebagai sahabatmu" Otakmu paling cerdas di kelas kita,
setelah otakku, tentu. Dan kau menyenangkan. Jadilah sahabatku."
"Baiklah," kata Elizabeth, sedikit bangga karena Julian yang cerdas dan luar
biasa ini ingin jadi sahabatnya. 'Baiklah. Jadilah sahabatku. Pasti menyenangkan
bersahabat denganmu."
Memang menyenangkan bersahabat dengan Julian. Tetapi di samping itu juga
mengundang banyak persoalan!
4. Rapat Besar Arabella dan anak-anak baru lainnya menunggu Rapat Besar mereka yang pertama
dengan berdebar-debar. Di sekolah mereka sebelumnya mereka tak mengenal parlemen
sekolah seperti yang ada di Whyteleafe ini, di mana anak-anak mengatur sendiri
kehidupan di sekolah mereka. Tak habis-habisnya mereka membayangkan dan mengira-
ngira bagaimana Rapat Besar itu.
"Kukira ini suatu peraturan yang bagus," kata Martin.
"Benar," kata Rosemary dengan suaranya yang lembut. Ia selalu membenarkan kata
orang lain, tak peduli apa sesungguhnya yang mereka katakan.
"Peraturan tolol," tukas Arabella. Ia selalu meremehkan apa saja yang ada di
Whyteleafe, karena sesungguhnya ia lebih senang pergi ke sekolah mewah yang
dikunjungi oleh sahabat-sahabatnya dulu. Baginya Whyteleafe yang menganut tata
cara menurut akal waras itu sama sekali tak masuk hitungan.
Di luar dugaan, Julian menyetujui pendapat Arabella. Biasanya ia sama sekali tak
ambil pusing tentang Arabella, dengan keangkuhan dan tingkah sombongnya.
"Harus kukatakan di sini, aku sama sekali tak peduli pada Rapat Besar itu," kata
Julian. "Tak ada bedanya bagiku, apa pun yang diputuskan. Asal aku bisa
melakukan apa yang kuiingini, aku takkan menghalangi anak lain melakukan
kesenangannya." "Oh, Julian, kau pasti tak bermaksud seperti itu," kata Kathleen. "Kau kan mesti
marah bila ada seseorang merusak barang-barang buatanmu. Kau pasti marah kalau
seseorang memfitnahmu. Kau pasti mengamuk!"
Julian tak senang bila pendapatnya dibantah. Dikibaskannya rambutnya yang
panjang, dikerutkannya hidungnya seperti biasa dilakukannya bila ia gusar. Saat
itu ia sedang membuat sebuah perahu dengan sepotong kayu kecil. Bagaikan sulap
saja benda itu muncul di tangannya.
"Aku tak peduli ada anak yang memfitnah aku," kata Julian. "Aku tak peduli
tentang apa pun, asalkan aku bisa melakukan apa saja yang kusukai."
"Kau memang lucu, dan aneh," kata Jenny. "Kalau tidak jadi anak yang paling
bodoh, kau pasti jadi anak yang paling pandai - cuma hal ini jarang sekali. Tak
pernah kau setengah-setengah."
"Pernahkah ia benar-benar jadi yang terpandai?" tanya Joan yang kini tidak
sekelas dengan mereka itu.
"Waktu itu sedang pelajaran mencongak," Jenny bercerita, "dan di pelajaran
matematika ini biasanya Julian tak pernah menjawab dengan benar. Tapi entah
kenapa, mungkin sedang ingin pamer, saat itu ia menjawab semua soal dengan tepat
dan cepat. Begitu Bu Ranger selesai mengucapkan soalnya, langsung Julian
menjawab. Sampai-sampai anak lain tak mendapat kesempatan!"
"Ya... dan Bu Ranger jadi sangat heran," kata Belinda. "Beliau lalu membuat
soal-soal yang makin lama makin sulit, soal-soal yang biasanya baru bisa kita
jawab setelah berpikir dua-tiga menit. Tetapi Julian masih juga bisa menjawab
dengan cepat. Sungguh aneh waktu itu."
"Tetapi justru karena itulah Bu Ranger marah besar padanya. Karena di mata
pelajaran matematika berikutnya, ia sama sekali tak bisa menjawab satu soal
pun!" kata Kathleen.
Julian menyeringai. Ia memang anak luar biasa. Semua anak menyukainya. Ada-ada
saja ulahnya. Semua memintanya untuk menirukan suatu suara di mata pelajaran Bu
Ranger, tapi ia menolaknya.
"Bu Ranger sudah bersiap-siap untuk itu," katanya. "Aku tahu itu. Sungguh tak
menyenangkan untuk berbuat sesuatu bila orang segera tahu bahwa yang berbuat itu
aku. Sebaliknya bila orang sama sekali tak tahu... nah, itu baru lucu. Seperti
waktu pelajaran Mam'zelle dulu itu. Tunggu dululah. Suatu hari aku akan berbuat
sesuatu untuk Bu Ranger. Setiap ulahku harus tepat dengan siapa orang yang jadi
sasaran." Elizabeth juga mengharap kedatangan Rapat Besar pertama itu. Ia ingin sekali
berjalan menuju meja juri, kemudian duduk di meja itu bersama para Pengawas
lainnya, di hadapan seluruh isi sekolah. Bukannya ia sombong, melainkan ia
sangat bangga. Dan itu wajar.
"Bukankah itu suatu kehormatan," pikirnya. "Artinya aku dipercayai oleh seluruh
murid, dan semua berpendapat bahwa aku patut menjadi Pengawas. Oh, semoga
semester ini berjalan dengan baik-baik saja, tanpa persoalan apa-apa."
Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Anak-anak mulai mengalir memasuki bangsal
senam. Dan masuklah kedua belas Pengawas yang dengan wajah bersungguh-sungguh
duduk di meja juri, di depan anak-anak lain. Dengan rasa benci Arabella melirik
pada Elizabeth. Si Berandal tak tahu adat itu jadi Pengawas! Sungguh sinting!
Kemudian masuklah William dan Rita, Ketua Murid yang akan bertindak sebagai
hakim. Semua anak berdiri memberi hormat.
Di tempat duduk paling belakang duduklah pimpinan sekolah: Bu Best, Bu Belle,
dan salah seorang guru, Pak Johns. Mereka selalu tertarik pada apa yang terjadi
di Rapat Besar, tetapi mereka tak pernah ikut campur. Ini rapat anak-anak- Di
sini berlaku peraturan yang dibuat anak-anak. Dan anak-anak juga yang memberi
hukuman atau penghargaan bagi mereka yang patut menerimanya.
Tak banyak yang harus dibicarakan di Rapat Besar pertama itu. Setiap anak
diberitahu untuk memasukkan semua uang yang mereka punyai ke dalam kotak uang
sekolah. Dengan penuh perhatian Elizabeth melihat pada Arabella, saat ia
mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang. Ia ingat Arabella pernah berkata
takkan mau menyerahkan uangnya. Apakah itu yang akan dilakukannya nanti"
Arabella duduk angkuh tak peduli. Waktu kotak uang itu sampai padanya, ia
memasukkan selembar uang sepuluh-shilling dan dua-shilling. Ia sama sekali tidak
melihat pada Elizabeth. Sebagian besar anak-anak itu mempunyai uang cukup banyak. Memang begitu biasanya
pada awal semester. Anak-anak pergi ke sekolah dibekali hadiah uang dari
orangtua, bibi, atau paman mereka. Kotak uang terasa cukup berat waktu dibawa
kembali oleh Elizabeth ke depan, diberikan pada William dan Rita.
"Terima kasih," kata William. Anak-anak kini agak ribut berbicara. William
mengetuk meja. Semua segera hening. Tetapi... terdengar suara air menggelegak!
Suara tersebut seolah-olah datang dari dekat Jenny, Julian, dan Kathleen.
William tampak keheran-heranan. Ia mengetuk mejanya sekali lagi. Tetapi suara
tadi masih terdengar. Malah lebih keras.
Elizabeth segera tahu bahwa suara tadi ulah Julian. Dipandangnya anak itu.
Tetapi Julian tampak tenang-tenang saja, dan mulutnya tak bergerak sama sekali.
Bagaimana ia bisa bersuara tanpa menggerakkan mulut" Elizabeth hampir tak bisa
menahan geli. "Aku tak boleh tertawa pada saat duduk di sini sebagai Pengawas," katanya dalam
hati. "Ampun! Semoga Julian segera berhenti. Suaranya persis air mendidih!"
Satu-dua anak mulai tertawa. William mengetuk meja lebih keras. Elizabeth
bertanya-tanya dalam hati, apakah lebih baik ia mengatakan bahwa Julian yang
mengganggu rapat itu. "Tetapi tak mungkin. Dia sahabatku. Aku tak mau dia mendapat hukuman, walaupun
aku adalah Pengawasnya," katanya dalam hati. Ia mencoba menarik perhatian
Julian, agar anak itu berpaling padanya. Dan berhasil. Julian melihat Elizabeth.
Elizabeth melotot padanya, kemudian mengerutkan kening.
Sekali lagi Julian membuat suara air mendidih. Kemudian diam. William sama
sekali tak tahu siapa yang membuat gaduh tadi. Ia melihat berkeliling.
"Cukup lucu juga untuk mengganggu jalannya Rapat Besar sekali saja," katanya,
"tetapi bila diulang maka sudah tidak lucu lagi. Kini kita sampai pada acara
pembagian uang." Masing-masing murid maju untuk mengambil uang saku mereka yang dua shilling dari
para Pengawas. William telah membawa banyak sekali uang kecil dan menukarnya
dengan uang kertas yang ada di kotak uang.
Setelah semua menerima bagiannya, William berkata lagi, "Anak-anak baru mestinya
sudah mengetahui bahwa dengan uang mereka yang dua shilling itu mereka boleh
membeli prangko, permen, pita rambut, kertas, atau apa saja yang mereka
kehendaki. Jika mereka memerlukan uang tambahan, maka mereka harus menyatakan
untuk apa uang tambahan tersebut. Apakah ada yang minta uang tambahan?"
John Terry berdiri. Ia mendapat tugas mengurus kebun sekolah, dan ia sangat
rajin serta tekun bekerja. Dengan dibantu beberapa orang anak, John melengkapi
keperluan sekolah dalam hal sayur-mayur dan bunga-bungaan. Semua sangat kagum
akan hasil pekerjaan John.
"William, kami memerlukan gerobak dorong kecil," kata John. "Di semester ini ada
beberapa orang anak kecil yang menyediakan diri untuk bekerja di kebun. Dan bagi
mereka, gerobak dorong besar terlalu berat."
"Berapakah harga gerobak dorong kecil?" tanya William. "Saat ini memang uang
kita banyak, tetapi kita tak bisa terlalu banyak membelanjakannya."
John mengeluarkan selembar daftar harga. Dibacanya harga beberapa gerobak
dorong. "Cukup mahal juga, yah," kata William. "Kalau begitu mungkin aku akan
mengusulkan agar kita menunggu dulu, John. Kau tahu anak-anak kecil. Suatu saat
mereka penuh semangat, pada saat lain mereka telah bosan. Buang uang percuma
saja kalau kita membeli gerobak dorong dan ternyata akhirnya tak ada yang
menggunakannya." John tampak agak kecewa. "Ya, terserahlah, William," katanya. "Tetapi aku yakin
anak-anak itu bersungguh-sungguh. Paling tidak aku yakin Peter bersungguh-
sungguh. Aku tak bisa berbuat banyak tanpa bantuannya sekarang. Dan ia telah
mengajak dua orang temannya untuk membantu.
Si Kecil Peter sungguh bangga mendapat pujian dari John seperti itu. Dan kedua
orang temannya langsung memutuskan untuk terus bekerja di kebun agar John juga
senang pada pekerjaan mereka dan memuji mereka seperti Peter.
"Ada pendapat lain tentang gerobak dorong itu?" tanya Rita. Tak ada yang
menjawab sampai terdengar suara Julian yang bernada berat. "Ya Cukup wajar bila
anak-anak kecil itu memperoleh sebuah gerobak dorong. Biarlah aku yang
membuatnya." Julian tidak berdiri. Enak saja duduk bermalas-malasan di kursinya.
"Berdirilah bila kau berbicara," kata Rita. Beberapa saat Julian tampaknya mau
bersikeras duduk. Tetapi akhirnya ia berdiri dan mengulangi tawarannya.
"Aku akan membuat gerobak dorong ukuran kecil," katanya. "Kalau aku boleh masuk
gudang, maka bisa kucari sendiri bahan-bahannya. Dengan begitu kita takkan
mengeluarkan uang sedikit pun."
Semua merasa tertarik. Dan Elizabeth segera berkata, "Oh, benar juga, William.
Biarkan Julian membuat gerobak itu. Ia pandai sekali. Ia bisa membuat apa saja!"
"Baiklah. Terima kasih, Julian," kata William. "Kerjakan pekerjaan itu segera
setelah kau bisa. Kini... ada hal lain yang bisa kita bicarakan?"
Tak ada. William menutup Rapat Besar, dan anak-anak pun bubar.
"Bagus, Julian," kata Elizabeth menggandeng tangan sahabatnya itu. "Aku yakin
gerobak dorong yang kaubuat nanti akan menjadi gerobak yang paling bagus di
dunia!" 5. Arabella Terlibat Kesulitan
Anak-anak baru mulai merasa betah, saat hari-hari mulai berlalu. Julian memulai
pembuatan gerobaknya seakan ia tukang kayu berpengalaman. Diselidikinya semua
gudang yang ada. Dan ia antara lain menemukan sebuah roda karet yang dahulunya
adalah roda sepeda roda tiga. Dan dengan membawa bahan-bahan lainnya, papan
serta tetek bengek lain, ia pergi ke ruang pertukangan kayu.
Dari luar anak-anak mendengar ia bersiul-siul, sementara palunya berdentam-
dentam. Dan tak lama terdengar suara gerobak dorong berjalan hilir mudik.
"Astaga! Cepat benar ia bekerja!" Harry berpandangan dengan yang lain, sangat
keheranan. "Sungguh ajaib!"
Tetapi ternyata yang bersuara tadi bukannya gerobak melainkan mulut si Julian.
Julian tertawa waktu anak-anak mengintip di pintu. Anak-anak itu pun tertawa,
mengelilinginya dengan rasa kagum.
"Julian! Pandai sekali kau! Aku yakin gerobak yang kau buat juga sangat bagus
nanti!" "Siapa bilang aku pandai?" Julian tertawa. "Aku jadi juru kunci minggu ini.
Apakah kau tak tahu itu?"
"Tetapi gerobak ini pasti bagus, sebagus gerobak yang dijual orang," kata
Belinda penuh keyakinan. Julian tidak peduli akan pujian ataupun celaan. Ia menawarkan diri membuat
gerobak itu bukan karena merasa kasihan pada anak-anak yang bekerja di kebun. Ia
membuatnya hanya karena ia tahu ia bisa, dan ia tahu ia akan merasa senang
mengerjakannya. Julian sangat disukai, walaupun ia selalu bersikap tak peduli. Tetapi Arabella
ternyata kurang mendapat sambutan. Agaknya ia juga tak mau sembarangan
bersahabat. Yang dipilihnya hanyalah si Lembut Hati Rosemary. Bagi Rosemary,
Arabella yang selalu cantik dan sopan santun itu adalah seorang putri.
Diikutinya terus ke mana saja, didengarnya baik-baik semua ceritanya, dan
disetujuinya semua pendapatnya.
"Kupikir ini sekolah tolol," berulang kali Arabella berkata pada Rosemary.
"Pikirkan saja betapa gilanya peraturan yang ada. Lebih gila lagi karena
peraturan-peraturan itu dibuat sendiri oleh murid-muridnya!"
Sebelum itu Rosemary berpendapat bahwa Sekolah Whyteleafe sangat baik karena
semua peraturannya dibuat sendiri oleh murid-murid. Tetapi karena Arabella
berkata begitu, maka ia setuju saja.
"Ya. Memang ini sekolah tolol!" katanya.
"Terutama peraturan yang mengharuskan mengumpulkan semua uang kita untuk
keperluan bersama," kata Arabella.
Sesungguhnya peraturan yang ini juga tak banyak berarti bagi Rosemary yang hanya
punya uang dua shilling dan enam penny untuk dimasukkan ke dalam kotak uang.
Memang keluarganya tak begitu berada dan tak bisa memberinya banyak uang. Jadi
walaupun peraturan itu menguntungkannya karena ia akan menerima dua shilling
setiap minggu, tapi tetap saja ia setuju dengan pendapat Arabella.
"Ya, sungguh tolol," katanya, "terutama bagi anak seperti kau, Arabella, yang
terpaksa menyumbangkan begitu banyak! Kulihat kau memasukkan sepuluh-shilling
dan uang logam dua-shilling. Banyak sekali!"
Arabella menatap Rosemary, dalam hati bertanya-tanya apakah ia bisa mempercayai
anak ini. Sebab sesungguhnya Arabella punya suatu rahasia: ia tidak memasukkan
semua uangnya! Masih ada uangnya, selembar uang pounds-terling. Jadi kini
uangnya, dengan uang saku mingguan dari sekolah, ada dua puluh dua shilling!


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takkan diberikannya pada siapa pun, disembunyikan dengan rapi di dalam lipatan
saputangannya, di dalam kotak saputangan.
"Tidak," pikir Arabella, "aku takkan mengatakannya pada Rosemary. Ia belum
kukenal dengan baik. Walaupun ia sahabatku, kadang-kadang sikapnya sungguh
tolol. Tidak. Lebih baik rahasiaku itu tetap rahasia."
Maka ia tak bercerita pada siapa pun. Tetapi hari itu ia dan Rosemary turun ke
desa untuk membeli prangko, dan Rosemary ingin membeli jepit rambut. Dan
Arabella tak tahan untuk tidak membelanjakan uangnya!
"Pergilah ke kantor pos dulu, untuk membeli prangko. Aku akan membeli cokelat di
toko kue," Arabella berkata pada Rosemary. Ia tak ingin Rosemary tahu ia membeli
cokelat yang mahal. Maka sementara Rosemary pergi ke kantor pos, Arabella masuk ke dalam toko kue
yang terbesar dan membeli setengah kilo permen cokelat kegemarannya.
Ia juga membeli permen. Wah, enak sekali! Dan karena Rosemary belum juga datang,
ia pun masuk ke toko sebelah untuk membeli buku bacaan.
Kedua anak itu kemudian berjalan-jalan beberapa saat sebelum pulang ke sekolah.
"Ini salah satu peraturan tolol lagi," kata Arabella, menggandeng tangan
Rosemary. "Apa untungnya melarang anak-anak turun ke desa sendirian" Mengapa
harus pergi berdua, kalau kita bukan seorang Pengawas atau sudah di kelas
tertinggi?" "Sungguh tolol," kata Rosemary setuju. Arabella membuka bungkusan besar permen
cokelatnya, menawarkannya pada Rosemary, "Ambillah."
"Ooooh, Arabella! Betapa indahnya cokelat-cokelat ini!" seru Rosemary sangat
kagum. "Astaga, pasti telah kauhabiskan uangmu yang dua shilling itu, hanya
untuk sekali belanja!"
Sambil mengunyah permen cokelat, mereka memasuki halaman sekolah. Sungguh enak
memang. Arabella menutup kantong permen itu dan memasukkannya ke dalam saku
mantel musim dinginnya. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa ia punya begitu banyak
permen. Ia takut kalau ada yang curiga dan mengetahui bahwa uangnya lebih dari
dua shilling. Waktu ia akan menyimpan topi dan mantel, Jenny muncul untuk memakai mantelnya.
Dilihatnya buku yang baru dibeli Arabella di bangku dekat mereka. Jenny
mengambil buku tersebut. "Wah, inilah buku yang ingin kubaca. Aku pinjam, ya, Arabella?" pinta Jenny.
"Aku belum membacanya," kata Arabella. "Baru saja kubeli tadi."
Jenny melihat harga buku yang tercetak di sampul depan.
"Wbw! Buku ini harganya tiga setengah shil-ling. Bagaimana kau bisa membelinya
dengan uang sakumu?" tanyanya heran.
"Aku membelinya di toko barang bekas" kata Arabella setelah tertegun beberapa
saat. Wajahnya memerah seketika dan ini tampak oleh Jenny yang bermata tajam.
Jenny tak berkata apa-apa lagi, meninggalkan tempat itu.
"Si Jahat itu," pikirnya, "pasti ia tak memasukkan semua uangnya ke dalam
kotak!" Kesulitan Arabella bertambah ketika tak sengaja Rosemary memberitahukan pada
semua anak bahwa Arabella baru membeli permen cokelat. Tentu saja ini tak
sengaja. Anak-anak itu sedang berkumpul di ruang bermain saat pembicaraan
berkisar pada permen dan kembang gula. Mereka berbicara tentang apa saja yang
mereka beli dengan uang mingguan mereka.
"Kukira permen lunak paling murah kalau dihitung-hitung," kata Jenny.
"Oh, tidak... permen bening jauh lebih tahan lama," kata Belinda.
"Tidak, kalau kau mengunyahnya," kata Harry. "Permen lunak bila hanya dikulum
saja, tanpa dikunyah sedikit pun, bisa lama sekali. Begitupun permen bening.
Asalkan tidak dikunyah, akan sulit menentukan mana yang lebih tahan lama."
"Kalau begitu mari kita buktikan, kita buat pertandingan," kata John.
"Asal jangan aku saja yang harus bertanding," kata Jenny. "Aku selalu mengunyah
apa saja dan langsung kutelan."
"Aku yakin yang paling murah adalah permen cokelat," kata Rosemary tiba-tiba,
dengan suaranya yang lembut.
Semua tertawa mengejek. "Tolol," kata Julian. "Enam pence hanya dapat lima, masa itu murah" Permen
cokelat paling mahal!"
"Tak mungkin," kata Rosemary. "Arabella, coba tunjukkan pada mereka permen
cokelat yang kaubeli tadi. Satu kantong besar!"
Tentu saja Arabella tak mau memenuhi permintaan Rosemary itu. Dengan pandang
marah ia melotot pada Rosemary.
"Omong kosong!" katanya. "Aku cuma dapat beberapa butir. Memang mahal."
Rosemary tercengang. Bukankah tadi ia mengambil sendiri dari sebuah kantong
besar yang penuh permen" Ia membuka mulut akan mengatakan sesuatu, tetapi tak
jadi melihat pandang marah Arabella.
Yang lain memperhatikan ini semua. Mereka menarik kesimpulan bahwa Arabella
membelanjakan sejumlah besar uang untuk permen cokelat itu. Dan Jenny teringat
akan buku baru Arabella. Ia memandang tajam pada anak itu.
Tetapi kini Arabella telah bersikap tenang. Bahkan angkuh.
"Kau cuma pura-pura saja sopan santun," pikir Jenny, "tetapi hatimu pendusta!
Aku yakin permen cokelat itu kau sembunyikan di suatu tempat, agar anak lain tak
tahu bahwa kau telah membelanjakan uang lebih dari uang sakumu. Dan aku pasti
dapat menemukan permen tersebut!"
Tak lama setelah itu, Arabella bangkit dan keluar. Dan segera pula ia masuk
kembali dengan membawa sekantong kertas berisi enam atau tujuh butir permen
cokelat. "Inilah yang kubeli tadi," katanya. "Sayang sekali takkan cukup untuk
semua orang. Tetapi kita bisa membaginya separo-separo."
Tetapi tak ada yang mau menerima tawaran Arabella itu, kecuali Rosemary. Ada
semacam peraturan tak tertulis di Whyteleafe yang mengatakan bahwa bila kau tak
menyukai seseorang, maka kau tak pantas menerima apa pun dari dia. Rosemary yang
mengambil satu merasa heran. Apakah ia salah lihat" Tadi kantong permen itu
begitu besar.... Jenny menyeringai diam-diam. Agaknya Arabella mengira semua anak yang di situ
tolol semua, percaya saja bahwa ia hanya membeli sedikit permen karena yang
ditunjukkan hanyalah sedikit. Tetapi si tolol Rosemary itu tak bisa berdusta,
dan pasti perkataannya tadi benar. Di mana Arabella menyembunyikan permennya"
Jenny yakin ia tahu. Arabella ikut pelajaran musik dan ia mempunyai tas musik
yang besar sekali. Sore tadi Jenny melihat Arabella masuk ke ruang musik,
padahal waktu itu bukan waktu pelajaran musik. Dan Arabella juga tidak berlatih.
Mengapa" "Pasti ia ke ruang musik untuk menyimpan permennya," pikir Jenny, Ia menyelinap
keluar, ke ruang musik Diambilnya tas Arabella, diintipnya isinya. Benar juga.
Banyak sekali permen di dalamnya. Agaknya Arabella tergesa-gesa menuangkan
permen cokelatnya Tepat saat itu Richard masuk.
"Lihat, Richard," kata Jenny dengan nada gusar, "Arabella ternyata tidak
menyerahkan semua uangnya. Dia membeli begini banyak permen. Dan sebuah buku
mahal. Berdusta lagi."
"Laporkan saja ke Rapat Besar," kata Richard tak acuh, mengambil tasnya dan
keluar. Jenny tertegun sejenak "Apakah laporan tentang ini nanti bisa dianggap fitnah?"
pikirnya. Ia harus bertanya dulu pada yang lain. Mestinya ia harus bertanya pada
Elizabeth, karena ia Pengawasnya. Tetapi Arabella pernah tinggal di rumah
Elizabeth, pastilah Pengawas baru itu tak bebas bertindak terhadap Arabella.
Tidak. Lebih baik Elizabeth jangan diberitahu lebih dahulu.
Jenny mengatakan penemuannya kepada yang lain, pada saat Elizabeth, Arabella,
dan Rosemary tidak ada. Mereka semua merasa gusar.
"Aku yakin ini termasuk pengaduan yang sah," kata Harry. "Tetapi memang kurang
menyenangkan bila seorang anak baru langsung mendapat tuduhan berat di awal
semester. Lebih baik kita tunjukkan pada Arabella bahwa tindakannya itu salah,
bahwa kelakuannya sungguh sangat busuk. Ia bisa mengira-ngira apa sebabnya. Dan
aku yakin ia akan sadar, sehingga di Rapat Besar mendatang ia menyerahkan
uangnya." Demikianlah. Arabella mulai mengalami kesulitan. Untuk pertama kalinya dalam
hidupnya, ia merasakan betapa buruknya berada di antara anak-anak yang tidak
menyukainya serta tidak merasa ragu-ragu untuk menunjukkan kebencian itu!
6. Arabella Melapor Sejak semula Arabella memandang rendah pada semua murid Whyteleafe. Ia pernah
berkata pada Rosemary bahwa ia tak peduli apakah mereka menyukainya atau tidak
Tetapi sulit juga untuk tidak peduli bila ternyata semua anak mencibir padanya!
Bagi Arabella, ia merasa punya kedudukan lebih tinggi dari semua anak, karena ia
memandang rendah mereka. Tetapi perasaan itu jadi berubah kalau dialah yang
dipandang rendah oleh semua anak
Dan anak-anak itu sesungguhnya tidak sepenuh hati mengucilkan Arabella. Tetapi
tingkah Arabella sebelumnya sudah sangat keterlaluan, sehingga kini mereka
menganggap perlakuan itu semacam tindakan balas dendam.
"Mereka memperlakukanku seolah-olah aku berbau busuk!" keluh Arabella pada
Rosemary yang setia. "Bahkan si Goblok Julian itu betul-betul menekap hidungnya
bila aku lewat!" Ini memang betul. Setiap kali dekat dengan Arabella, Julian selalu menekap
hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Ini membuat Arabella sangat gusar.
Ia sudah terbiasa dikagumi dan dihormati oleh anak-anak lain, begitu sering
dipuji-puji oleh orang dewasa. Ia tak mengerti mengapa kini seperti itu
tanggapan anak-anak. Ini membuatnya sangat marah.
Arabella sama sekali tidak bisa menduga mengapa anak-anak itu bersikap begitu.
Tak terlintas pada pikirannya bahwa itu karena ketidakjujurannya. Ia merasa
dirinya sudah serapi mungkin menyembunyikan rahasianya. Ia tak tahu bahwa Jenny
telah memeriksa tas musiknya serta melihat permen cokelatnya.
Jenny menambah lagi cara menggoda Arabella dengan jalan menirukan cara tutur
sapa gadis itu. Tepat seperti Arabella, dengan lagu yang dibuat-buat, ia
berceritera tentang kekayaannya, tentang masa-masa liburannya.
Jenny sangat pandai menirukan suara dan gerak-gerik seseorang, cara berkata
maupun cara tertawa. Anak-anak lain tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya sewaktu
ia menirukan cara Arabella berbicara-bahkan pada waktu Arabella hadir di tempat
itu. "Dan, teman-temanku sayang," kata Jenny, "liburan kemarin paling menarik!
Bayangkan saja, kami terpaksa membawa tiga buah mobil-mobil yang terakhir khusus
hanya membawa pakaian-pakaian pestaku. Oh, dan harus kuceritakan pada kalian
tentang waktu aku tinggal di rumah nenekku. Beliau mengizinkan aku mengikuti jam
makan malam resmi, untuk orang dewasa! Ya ampun!
"Dan tiap malam beliau mengadakan makan malam yang mirip pesta besar. Bayangkan
saja, kalau makan malam paling sedikit ada lima belas hidangan yang berbeda-
beda, dan empat jenis... empat jenis rasa limun...."
Semua tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Jenny dan kata-katanya. Hanya
Arabella saja yang tidak tertawa. Ia sama sekali tak tahu di mana letak lucunya.
Sungguh anak-anak ini anak udik semua! Di sekolahnya yang dulu setiap anak
dengan senang hati dan penuh kagum, selalu mendengarkan cerita tentang pesta dan
liburannya. Kenapa di sekolah sialan ini anak-anak malah mengejeknya"
Ada lagi yang membuat kesal Arabella. Bila kebetulan ia sedang ikut duduk di
ruang bermain, entah menjahit atau membaca atau menulis, tiba-tiba saja Jenny
atau seseorang lainnya berkata minta perhatian, misalnya, "Lihat! Ada pesawat
terbang!" atau, "Hei, binatang apa ini?" atau apa saja, menunjukkan sesuatu di
luar jendela, di atap, di langit-langit-pokoknya di suatu tempat yang agak jauh.
Anak-anak lain segera berpaling atau berkerumun ke arah yang dikatakan tadi.
Arabella juga, sebab ia tak ingin ketinggalan dalam menyaksikan sesuatu.
Celakanya, bila kemudian ia berpaling pada pekerjaannya kembali... selalu ada
saja alat-alat yang sedang dipakainya lenyap. Entah gunting, pena, atau
kertas... apa saja. Ia jadi kebingungan mencari benda-benda tadi, heran
bagaimana ia bisa lupa. Sampai kemudian seseorang mulai tertawa diikuti oleh
yang lain. Barulah ia tahu bahwa ia telah dipermainkan. Barang-barangnya itu
disembunyikan seseorang pada waktu ia sibuk ikut melihat apa yang kebetulan
ditunjukkan. Akhirnya tak tahan juga Arabella, dan berkata pada Rosemary tentang itu semua.
Rosemary mendengarkan penuh perhatian, kemudian berkata, "Kasihan betul, kau,
Arabella. Aku tak tahu mengapa mereka berbuat seperti itu."
"Tanyakan saja pada mereka," tanya Arabella. "Tetapi ingat, jangan sampai mereka
tahu bahwa aku yang menyuruhmu bertanya."
Suatu kali ketika Arabella tidak berada di ruang bermain, Rosemary mengumpulkan
keberanian dan bertanya pada Jenny.
"Mengapa sih kalian begitu jahat pada Arabella?"
"Karena ia pantas diperlakukan begitu," jawab Jenny. "Pantas bagaimana?"
"Apakah kau tak merasa betapa palsunya pribadinya?" tanya Jenny kembali. "Aku
tahu kau selalu mengikutinya bagaikan anjing peliharaannya, tetapi mestinya kau
tahu juga bukan, bahwa sungguh tidak jujur untuk menyimpan uang sendiri, dan tak
menyerahkannya ke kotak sekolah" Membelanjakan uang tersebut dan kemudian
berdusta tentangnya?"
Mata Jenny yang tajam menatap Rosemary yang pemalu. Rosemary terpaksa
menundukkan muka tak berani membalas pandangan tersebut. Ia terlalu lemah untuk
membela sahabatnya, atau paling sedikit mengatakan ia tak tahu apa-apa tentang
perbuatan Arabella itu. Atau, ia masih tidak bisa memutuskan apakah perbuatan
Arabella itu melanggar peraturan atau tidak.
"Ya, memang ia salah," akhirnya terpaksa Rosemary berkata, tak tahan dipandang
terus oleh Jenny. "Apakah karena itu kalian memperlakukannya sedemikian buruk?"
"Seharusnya ia tahu hal itu," kata Jenny tidak sabar. "Kukira ia tidak begitu
bodoh sehingga tak mengerti mengapa kami mengucilkannya."
Rosemary tak berani mengatakan pada Jenny bahwa Arabella benar-benar tak tahu
mengapa dirinya dimusuhi. Tetapi ia juga tak berani mengatakan pada Arabella
alasan sebenarnya anak-anak itu memusuhinya. Rosemary memang bagaikan daun
melayang-layang ditiup angin sebentar ke sana, sebentar kemari. "Mestikah aku
berterus terang pada Arabella?" tanyanya dalam hati. "Lebih baik, ya. Ah. Tidak.
Ia akan marah padaku. Lebih baik tak kukatakan padanya. Tetapi bagaimana nanti"
Mestinya kukatakan padanya. Tapi...."
Akhirnya Rosemary tak mengatakan hal sebenarnya pada Arabella. Ia hanya
menggelengkan kepala waktu Arabella bertanya tentang hasil penyelidikannya.
"Mereka... mereka menggodamu hanya karena menganggap godaan mereka itu suatu
lelucon," katanya. "Kukira itu semua karena pada dasarnya mereka memang anak
nakal." "Oh!" merah padam wajah Arabella. "Kalau begitu aku akan melaporkan mereka pada
Rapat Besar. Aku tak bisa berdiam diri begitu saja."
"Oh, Arabella, jangan lakukan itu," Rosemary ketakutan. "Kau akan dianggap
mengadu biasa saja, dan kau akan mendapat kesulitan yang lebih besar lagi.
Bicarakan lebih dulu pada Pengawas kita, apakah hal itu patut kauajukan ke Rapat
Besar." "Jelas aku takkan sudi membawa persoalan ini pada Elizabeth!" geram Arabella.
"Minta nasihat dari dia" Nggak usah, ya!"
Begitulah. Tanpa memikirkan apa yang bisa terjadi pada dirinya, hati Arabella
menggelegak menanti datangnya saat Rapat Besar. Ia merasa begitu yakin bisa
membalas perlakuan tak baik dari anak-anak itu.
Akhirnya Rapat Besar tiba. Dengan bibir terkatup keras Arabella memandang geram
pada anak-anak lain. "Tunggu saja nanti," matanya yang membara bagaikan berkata.
"Tunggu saja nanti, dan kalian akan tahu rasa!"
Kotak uang sekolah diedarkan. Tak banyak yang memasukkan uang. Arabella tak
memasukkan sama sekali. Uang saku dibagikan. Kemudian acara biasa dimulai.
"Ada permintaan tambahan?"
"Bolehkah aku mendapat tambahan lima penny, William?" tanya Belinda, berdiri.
"Aku menerima surat dari bibiku minggu ini. Agaknya ia lupa menempelkan prangko.
Karenanya aku disuruh membayar denda biaya prangko, dua kali lipat. Dan aku
harus membayar lima penny."
"Lima penny untuk Belinda," kata William. "Bukan salahnya dia harus membayar
denda." Lima penny diberikan pada Belinda yang kemudian duduk dengan perasaan puas.
"Bolehkah aku memperoleh tambahan enam penny untuk membeli bola?" tanya seorang
anak kecil yang berdiri dengan malu. "Bolaku terguling ke jalan kereta api dan
kami tak boleh memasuki tempat itu."
"Pergilah ke Eileen," kata William. "Ia akan menjual bola-bola bekas milik
sekolah dengan harga dua penny untuk satu bola. Bayarlah dengan uangmu sendiri."
Tak ada permintaan lagi. Anak-anak mulai berbisik-bisik William mengetuk meja.
Semua hening. "Ada keluhan, pengaduan, atau laporan?"
Arabella dan seorang anak perempuan lain berdiri hampir bersamaan.
"Duduklah Arabella, Pamela lebih dulu. Apa yang ingin kauutarakan, Pamela?"
tanya Rita. "Sesungguhnya ini keluhan tolol," kata Pamela. "Tetapi terpaksa kuajukan juga.
Soalnya cukup mengganggu. Begini. Bilik tidurku terletak dekat jendela besar di
kamar tidur kami. Pengawasku berkata jendela itu harus dibuka bila kami tidak
berada di kamar. Dan tentu saja aku patuhi peraturan itu. Tetapi bila angin


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiup kencang, maka semua benda yang ada di meja riasku tertiup ke luar.
Selalu saja aku. terpaksa mendapat teguran karena barang-barangku berada di luar
kamar." Semua tertawa. Rita dan William tersenyum. Joan yang sekelas dengan Pamela dan
menjadi Pengawas di kelas itu, berbisik pada Rita, "Pamela benar. Dari dulu
jendela tersebut memang menjadi pengganggu bagi anak yang tinggal di bilik itu.
Tetapi kukira kita bisa memindahkah tempat meja riasnya. Kalau Ibu Asrama
setuju, tentu." "Baiklah. Akan kita tanyakan pada Ibu Asrama apakah meja rias itu boleh dipindah
menjauhi jendela," kata Rita. Pamela duduk.
"Kini giliranmu, Arabella," kata William yang melihat betapa di wajah Arabella
tergambar rasa marah saat menunggu giliran. Arabella bangkit berdiri, tak
melupakan gerakan lemah gemulai sopan santunnya walaupun ia sedang marah besar.
"Begini, William," ucapnya dengan suara lemah lembut, namun kini sedikit gemetar
oleh kegugupan dan kemarahan. "Aku ingin mengajukan suatu pengaduan berat."
Hening seketika ruangan itu. Ini mungkin sesuatu yang sangat menarik. Pengaduan
berat patut didengarkan dengan teliti. Teman-teman sekelas Arabella saling
pandang. Apakah Arabella akan mengadukan mereka" Sungguh tolol! Sebab dengan
begitu segala keburukannya akan tersiar!
"Apakah yang ingin kauadukan, Arabella?" tanya William.
"Begini," kata Arabella, "sejak kedatanganku di sekolah ini, semua murid di
kelasku-semua, kecuali Rosemary - berlaku sangat buruk padaku. Bahkan aku tak
tega menerangkan bagaimana perlakuan mereka kepadaku."
"Tetapi harus kaukatakan di sini," kata William. "Sebab kalau tidak, kami tidak
bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa percaya bahwa seluruh kelasmu
memperlakukan kau dengan buruk."
"Tetapi memang begitu!" Arabella hampir menangis. "Julian yang paling buruk.
Tiap kali lewat di dekatku ia menutup hidungnya!"
Beberapa orang tertawa. Julian bahkan tertawa terbahak-bahak. Arabella melotot
padanya. Elizabeth yang duduk di meja Pengawas terkejut. Ia satu-satunya anak di
kelasnya yang tak tahu apa yang terjadi dengan Arabella. Ia berpendapat sungguh
tolol anak itu untuk membawa persoalan seperti itu ke Rapat Besar. Ia tak tahu
bahwa di balik perlakuan buruk terhadap Arabella ada sebuah alasan besar. Ia,
Pengawas kelasnya, tak tahu!
Arabella melanjutkan pengaduannya, "kemudian Jenny. Ia selalu menirukan gerak-
gerikku. Aku di sini anak baru. Jadi sungguh kejam untuk menggodaku seperti itu.
Aku akan terpaksa menulis surat pada ibuku tentang ini semua. Aku akan..."
"Sudah!" tukas Rita tegas, melihat bahwa Arabella sudah mulai merengek-rengek.
"Diamlah dulu, duduklah. Akan kita selidiki perkara ini dengan teliti. Kau nanti
akan memperoleh kesempatan untuk berbicara lagi. Tetapi sebelum itu, bolehkah
kutanya, apakah kau sudah membicarakan hal ini dengan Pengawasmu?"
"Tidak," kata Arabella cemberut, "sebab dia juga membenciku."
Elizabeth merah mukanya. Memang benar. Ia telah menunjukkan dengan tingkah
lakunya bahwa ia membenci Arabella. Dan karena itu Arabella tidak mau meminta
nasihat padanya! Oh. Sungguh ini suatu kesalahan besar di pihaknya, sebagai
seorang Pengawas. "Oh," Rita melirik pada Elizabeth. "Baiklah. Sekarang kita akan mendengarkan
Jenny lebih dahulu. Jenny, bisakah kauterangkan mengapa kau bertindak buruk
terhadap Arabella" Apakah ada alasan bagimu untuk berbuat serupa itu?"
Jenny berdiri. Yah. Arabella sendiri yang memulai ini. Dan ia sendiri yang akan
menanggung akibatnya. Ia - Jenny akan menceritakan segalanya!
7. Rapat Besar Memutuskan
"Begini," kata Jenny, "sebetulnya ini semua gara-gara Arabella sendiri. Ia tidak
mematuhi peraturan sekolah kita. Kami tahu itu. Maka kami tidak menyukainya. Dan
kami menggodanya." "Fitnah! Aku mematuhi semua peraturan!" tukas Arabella.
"Arabella, diamlah," kata William. "Siapakah Pengawas Arabella" Oh, kau,
Elizabeth Allen. Coba katakan, menurut pendapatmu, apakah Arabella mematuhi
peraturan kita?" "Elizabeth tak tahu apa yang kami ketahui," Jenny menyela. "Kami tahu kepalsuan
Arabella, Elizabeth tak tahu."
Elizabeth gelisah. Bagaimana ia bisa tak mengetahui apa yang terjadi di
kelasnya" Ia berkata pada William.
"Menyesal sekali, aku memang tak tahu apa yang dikatakan Jenny," katanya.
"Semestinya aku tahu, sebab aku seorang Pengawas dan wajib mengetahui apa yang
terjadi di kelasku. Tetapi aku tak tahu tentang hal ini."
"Terima kasih," kata William, berpaling lagi kepada Jenny. "Apa yang ingin
kauadukan tentang Arabella, Jenny?"
Arabella tampak bagaikan akan meledak karena marah. Kini ia sangat ketakutan
pula. Apa yang akan dikatakan Jenny" Yang membuat pengaduan ini adalah dia,
Arabella, tetapi kini agaknya keadaan berbalik: ia jadi yang diadukan!
Dan terbukalah rahasia Arabella.
"Arabella tidak memasukkan semua uangnya di "kotak uang," kata Jenny. "Kami tahu
itu karena kami lihat Arabella membeli buku seharga tiga setengah shilling, dan
banyak sekali permen cokelat yang mahal-mahal. Permen tersebut disembunyikannya
di dalam tas musik. Ia mengira kami tidak tahu. Ia berdusta pula tentang permen
itu. Jadi, William, karenanya kami tidak menyukainya. Dan kami menunjukkan
perasaan kami padanya. Kami kira dengan begitu ia akan merasa bahwa kami tahu
rahasianya, dan ia akan menjadi jujur serta menyerahkan semua uangnya pada Rapat
Besar berikutnya." "O, begitu?" kata William. "Duduklah, Jenny."
Semua kini menoleh pada Arabella. Arabella tak tahu harus berkata apa. Ia
menyesal telah mengajukan pengaduan. Kini dialah yang jadi terdakwa!
"Arabella, bagaimana ini" Apakah betul apa yang dikatakan Jenny?" tanya Rita.
Arabella diam saja. Tak bergerak sedikit pun. Setitik air mata muncul. Mengalir
di pipinya. Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri. Mengapa ibunya
mengirimkannya ke sekolah yang keji ini" Eh mana setiap minggu diadakan Rapat
dan setiap kesalahan bisa diungkapkan di depan umum"
"Arabella, berdirilah," kata Rita. "Dan jawablah."
Kaki Arabella gemetar. Tetapi ia berhasil memaksakan diri untuk berdiri. "Ya,"
katanya hampir tak kedengaran, "beberapa di antaranya benar. Tidak semua.
Soalnya... aku tidak begitu mengerti mengapa aku harus menyerahkan semua uangku.
Maka kuserahkan saja sebagian besar dari uangku. Aku ingin bertanya tentang hal
ini pada Pengawas-ku, Elizabeth. Juga tentang banyak hal lain. Tetapi agaknya ia
juga membenciku... dan... dan...."
Elizabeth marah. Arabella agaknya ingin menimpakan kesalahan padanya. Ia
memandang marah pada Arabella dan semakin tidak menyukai anak itu.
"Itu omong kosong," kata Rita tegas. "Elizabeth akan selalu menerangkan apa saja
yang kauingini, tak peduli apakah ia senang atau tidak padamu. Kini dengarlah,
Arabella, kau telah berlaku salah dan sesungguhnya kau sendirilah yang
menyebabkan perlakuan buruk atas dirimu itu. Kau harus berusaha segalanya jadi
beres kembali." Ketua Murid Perempuan itu berpaling pada William. Keduanya berunding beberapa
saat dengan berbisik-bisik. William mengangguk. Rita berbicara lagi.
"Memang kadang-kadang sangat sulit bagi anak-anak baru untuk mengerti serta
memahami peraturan kita," kata Rita dengan suara jernih. "Tetapi setelah mereka
berada di sini agak lama, biasanya cepat sekali mereka menyesuaikan diri. Toh
semua peraturan itu adalah buatan kita sendiri, untuk kita sendiri. Tak mungkin
bukan kita membuat peraturan yang tidak baik" Lagi pula tak begitu banyak
peraturan kita. Tak sulit untuk mengikutinya."
"Aku mengerti sekarang," kata Arabella yang masih juga berdiri, "aku menyesal
telah melanggar peraturan, Rita. Kalau saja anak-anak yang lain langsung
menegurku, sudah pasti aku akan segera memperbaiki kesalahanku. Tetapi mereka
tidak menegurku. Mereka hanya berlaku buruk padaku. Mana aku bisa mengerti apa
kesalahanku?" "Sehabis Rapat Besar ini kau harus menemui Pengawasmu, menyerahkan semua uang
yang ada padamu padanya. Minggu ini kau hanya diperbolehkan menerima enam penny
untuk membeli prangko. Toh kamu sudah punya uang banyak sekali minggu lalu."
Arabella duduk. Pipinya merah padam lagi. Memberikan semua uangnya pada
Elizabeth! Oh, betapa malunya!
Rita belum selesai. Dengan tajam ia berbicara kepada seluruh kelas satu kini,
kelas Elizabeth. "Tak ada perlunya bagi kalian untuk menangani sendiri semua persoalan, apalagi
menjatuhkan hukuman," katanya. "Toh kalian punya Pengawas untuk memberi nasihat,
dan kita punya Rapat Besar untuk memutuskan segalanya. Kalian dari kelas satu
belum cukup bijaksana untuk menangani perkara seperti ini. Mestinya kalian pergi
ke Elizabeth." Anak-anak kelas satu jadi gelisah malu-malu.
"Sesungguhnya ini berpangkal pada suatu perkara kecil," kata William. "Arabella
anak baru dan tak mengerti betapa pentingnya peraturan-peraturan kita. Kini dia
telah mengerti dan akan mematuhinya."
Masih ada beberapa persoalan lagi, kemudian Rapat Besar dibubarkan. Elizabeth
segera menemui Jenny. "Mengapa kau tak menceritakan padaku tentang Arabella?" tanyanya. "Aku merasa
bagaikan orang tolol saja duduk di depan, di meja Pengawas, tak tahu apa pun
tentang yang terjadi di kelasku!"
"Ya, mestinya kami mengatakannya padamu," kata Jenny. "Maaf, tapi kami tahu
Arabella tinggal bersamamu waktu liburan, jadi kami kira dia sahabat baikmu.
Kami takut kalau kau akan tersinggung bila kami katakan dia berbuat curang."
"Dia bukan sahabatku," kata Elizabeth dengan gusar. "Aku tak tahan melihat
tingkah lakunya. Ia merusakkan liburanku yang dulu itu,"
"Ssst, tutup mulut," bisik Kathleen. Arabella muncul, dan pasti bisa mendengar
apa yang dikatakan Elizabeth tadi.
"Arabella, lebih baik kauambil uangmu sekarang dan berikan padaku," kata
Elizabeth cepat-cepat, sambil berharap mudah-mudahan Arabella tak mendengar apa
katanya tadi, "sementara kotak uang masih berada di luar."
Arabella sedikit pucat. Ia tak berkata sepatah pun, bergegas ke kamarnya.
Diambilnya semua uangnya yang disembunyikannya di berbagai tempat.
Kemudian ia turun. Elizabeth mengulurkan tangan dengan kikuk. Arabella
mengempaskan semua uangnya ke tangan Elizabeth. Sakit terasa dan beberapa keping
uang logam jatuh. "Nih, anak jahat!" kata Arabella ketus dan marah, sementara matanya berkaca-
kaca. "Aku yakin kau gembira melihat aku dipermalukan di Rapat Besar. Tapi kau
sendiri mestinya malu-kau satu-satunya anak yang tak tahu apa-apa! Sayang sekali
aku merusak liburanmu, tapi harus kauketahui bahwa aku sama sekali tak suka
berlibur di rumahmu. Aku benci rumahmu dan apa saja yang ada di dalamnya,
terutama kamu!" Elizabeth tertegun. Dan amat marah. Dibelalakkannya matanya pada Arabella dan ia
berkata tajam, "Ambil uang yang jatuh itu. Dan jangan berkata dengan sikap
begitu bila berhadapan dengan seorang Pengawas. Walaupun kita saling membenci,
paling tidak kau bisa bersikap wajar!"
"Heran sekali anak sekurang ajar kau bisa jadi Pengawas!" dengus Arabella.
"Berandal jahat, aku benci padamu!"
Arabella bergegas keluar, mengempaskan pintu keras-keras. Elizabeth terpaksa
memunguti uang yang jatuh dan memasukkannya ke dalam kotak uang. Ia sangat heran
akan kegalakan Arabella. Dan ia pun merasa khawatir.
"Ya ampun, sulit benar jadi Pengawas di kelas satu, bila perkara seperti ini
sering terjadi," pikirnya.
Sewaktu berlari ke lorong ruangan, Arabella bertemu dengan Rita. Ketua murid itu
melihat wajah Arabella yang penuh air mata dan menghentikannya, mencoba
menghiburnya dengan lembut, "Arabella, kita semua bisa saja berbuat salah.
Apalagi pada awal suatu keadaan. Jangan terlalu dalam memikirkannya, dan
biasakan pergi ke Pengawas-mu bila memperoleh kesulitan. Elizabeth seorang yang
sangat bijaksana, walaupun masih kecil. Ia bisa bersikap tepat dan adil. Aku
yakin dia akan bisa membantumu."
Pada mulanya Arabella sangat gembira Rita menghiburnya. Tetapi pujian terhadap
Elizabeth kembali membuat harinya sakit. Ia tak sudi pergi ke Elizabeth untuk
meminta nasihat. Rita melanjutkan perjalanannya. Ia sangat khawatir memikirkan Arabella Gadis itu
tampaknya tidak begitu menyesali kesalahannya. Kalau seseorang tahu dirinya
bersalah dan menyesal karenanya, maka ia akan bisa memperbaiki kesalahannya itu.
Tetapi kalau ia tidak menyesal, hanya merasa marah karena kesalahannya ketahuan,
maka keadaannya akan semakin buruk.
Elizabeth menemui Julian. "Hei, mestinya kau memberiku peringatan tentang
Arabella," katanya. "Mengapa hal itu tak kaulakukan?"
"Untuk apa" Aku tak peduli apakah ia memasukkan uangnya ke dalam kotak uang atau
tidak," kata Julian. "Dan aku juga tidak peduli apakah ia digoda anak banyak
atau tidak. Aku hanya melakukan apa saja yang kebetulan aku sukai, tak mau ikut
campur urusan orang lain. Biarkanlah orang lain berbuat semau mereka."
"Tetapi, Julian, kau harus tahu bahwa kita tak bisa melakukan apa saja yang kita
senangi sendiri, sebab kita hidup bersama banyak sekali anak lain... dan
lagi...." "Sudahlah, jangan sok aksi dengan nasihatmu!" kata Julian segera. "Ada satu hal
yang tak kusenangi pada dirimu, Elizabeth, yaitu bahwa kau seorang Pengawas.
Agaknya dengan begitu kau merasa berhak untuk memberiku kuliah atau petuah atau
nasihat. Kau merasa berhak untuk mengubah aku menjadi anak baik-anak baik yang
berarti aku harus memenuhi apa saja yang kauinginkan."
Kecewa Elizabeth memperhatikan Julian. "Julian! Keterlaluan kau! Aku merasa
bangga menjadi seorang Pengawas. Keterlaluan kau kalau kau berkata bahwa kau
membenciku karena jabatan Pengawas itu. Padahal jabatan itulah yang paling
kubanggakan." "Aku lebih senang kalau mengenalmu saat kau masih menjadi si Badung Bandel
Bengal. Aku yakin aku akan lebih menyukaimu bila kau masih senakal dulu."
"Tak mungkin," tukas Elizabeth. "Waktu itu aku begitu tolol. Lagi pula, toh dulu
atau sekarang aku sama saja. Hanya sekarang aku lebih bijaksana, karena aku jadi
Pengawas." "Mulai lagi," Julian mengeluh panjang. "Kau tak pernah bisa melupakan bahwa kau
salah satu di antara anak-anak yang begitu agung, perkasa, bijaksana-seorang
Pengawas!" Dengan gusar Julian pergi. Elizabeth lama terpaku di tempatnya, marah. Sungguh
tolol seseorang yang sangat membenci apa yang dibanggakan sahabatnya. Julian
kadang-kadang memang keterlaluan menjengkelkannya.
8. Elizabeth Memasang Jebakan
Kehidupan sekolah berlangsung menyenangkan pada semester Paskah itu. Berbagai
pertandingan dilakukan. Ada yang dimenangkan oleh Whyteleafe, ada yang kalah.
Mereka yang suka berkuda tiap pagi menjelajahi bukit sebelum sarapan. Robert
selalu berkuda berdua dengan Elizabeth, bercakap-cakap terus sepanjang
perjalanan. "Kau senang jadi Pengawas, Elizabeth?" tanya Robert suatu pagi, tak lama setelah
Rapat Besar kedua. "Mhhh," Elizabeth tak segera menjawab. "Lucu juga, Robert, dahulu aku sangat
bangga karena terpilih menjadi Pengawas. Sekarang pun aku masih bangga. Tetapi
rasanya menjadi Pengawas membuatku tak bebas bergaul dengan yang lain. Dan ini
aku tak suka. Seperti Julian itu, ia selalu mengatakan aku sok aksi saja jadi
Pengawas." "Aku tahu kau bukannya pasang aksi saja," kata Robert menyeringai. "Tetapi
begini, Elizabeth. Aku memang belum pernah jadi Pengawas atau pemimpin apa pun.
Tetapi sering kudengar dari pamanku bahwa bila kita mempunyai kedudukan yang
menonjol, yang memisahkan kita dari yang lain, memang kita akan merasa gelisah-
sampai nanti kau terbiasa oleh kedudukan barumu itu."
"Aku tak senang merasa dikucilkan dalam perkara Arabella itu," kata Elizabeth.
"Aku merasa dikucilkan! Kalau saja aku bukan Pengawas, maka aku akan berada di
tengah kalian dan paling tidak bisa mencium adanya ketidakberesan itu. Mestinya
seseorang memberi-tahu aku tentang itu."
"Lain kali kau pasti kami beritahu," kata Robert.
Elizabeth bekerja keras di kebun sekolah, membantu John Terry. Bunga-bunga
krokus yang mereka tanam dahulu, kini telah berkembang. Ratusan muncul di awal
musim semi. Indah sekali. Mula-mula yang kuning muncul. Terbuka menyambut sinar
matahari. Kemudian disusul oleh yang ungu dan putih.
Gerobak dorong Julian sangat membantu. Memang bentuknya aneh, tetapi kuat dan
bagus buatannya. Anak-anak kecil yang membantu John Terry sangat suka
memakainya. "Terima kasih, Julian," kata John. "Hasil karyamu menghemat pengeluaran kita.
Aku akan minta bantuanmu lagi bila ada sesuatu yang kami perlukan."
Semester itu banyak sekali pekerjaan di kebun. Memang begitu di musim semi. Luas
sekali tanah yang harus digali. Banyak sekali yang harus ditanam. Di bawah
pengawasan John, anak-anak mulai menanamkan benih-benih kacang lebar.
"Ya ampun, apakah kita memang harus menanam begitu banyak, John" Ribuan
jumlahnya!" keluh si kecil Peter, meluruskan punggungnya.
"Semua murid sangat menyukai kacang lebar," kata John. "Cukup menyenangkan,


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan, menanam sesuatu yang disukai orang banyak?"
Murid-murid Whyteleafe diperbolehkan memelihara binatang, kecuali kucing dan
anjing yang tak bisa dipelihara di dalam sangkar. Setiap anak yang memelihara
binatang harus memelihara baik-baik. Kalau tidak, maka binatang peliharaan itu
diambil dari mereka. Tapi ini jarang terjadi. Anak-anak itu sayang sekali pada
peliharaan mereka dan bangga mempunyai tanggung jawab.
Minggu-minggu pertama berlalu, dan Arabella tidak membuat persoalan lagi dengan
Elizabeth. Tetapi ia juga tidak berbicara bila tidak sangat diperlukan. Ia
selalu berdua dengan Rosemary, atau kadang-kadang dengan Martin Follett. Julian
bersahabat dengan semua anak-atau lebih tepat: semua anak ingin bersahabat
dengannya. Ia tak peduli apakah disenangi anak lain atau tidak. Anak-anak itulah
yang menganggapnya sangat menyenangkan dan sangat cerdas.
Sahabatnya yang sebenarnya adalah Elizabeth. Keduanya bisa tertawa dan bercanda
sesering mungkin. Julian tak pernah lagi menggoda Elizabeth tentang kedudukannya
sebagai Pengawas. Dan Elizabeth mulai terbiasa dengan kedudukannya yang memang
harus berada di luar lingkungan anak-anak yang lain sebagai Pengawas. Tetapi
memang makin lama ia makin sering lupa bahwa ia mempunyai kedudukan unik itu.
Ia baru teringat akan hal tersebut saat Rosemary suatu hari mendatanginya dan
berkata, "Elizabeth, bolehkah aku berbicara denganmu berdua?"
"Oh, tentu saja," kata Elizabeth, segera teringat bahwa ia Pengawas dan harus
menolong serta bertindak bijaksana.
"Aku... aku sering kehilangan uang," kata Rosemary takut-takut.
"Kehilangan uang?" tanya Elizabeth. "Kehilangan bagaimana?"
"Mula-mula kukira hilang karena aku lalai," kata Rosemary. "Kukira sakuku
berlubang atau yang semacam itu. Tetapi setelah kuperiksa, tak ada sakuku yang
berlubang. Minggu lalu aku kehilangan dua penny. Kemarin enam penny. Dan kau
tahu, itu cukup banyak bila diingat uang sakuku hanya dua shilling. Hari ini
satu penny hilang dari mejaku.
Elizabeth sangat heran. Dipandangnya Rosemary, seakan tak percaya akan
telinganya. "Tetapi, Rosemary," katanya akhirnya, "kau tidak menuduh bahwa seseorang
mengambil uangmu, bukan?"
"Terpaksa aku berpikir begitu, Elizabeth," kata Rosemary. "Walaupun sesungguhnya
rasanya itu tak mungkin. Sekarang aku tak punya uang lagi, tinggal tiga penny.
Itu harus kupakai sampai Rapat Besar mendatang. Padahal aku masih harus membeli
prangko." "Sungguh buruk ini," kata Elizabeth. "Ini suatu pencurian, Rosemary. Apakah kau
merasa sangat yakin akan apa yang kaukatakan?"
"Ya," kata Rosemary. "Apakah aku boleh membawa persoalan ini ke Rapat Besar
mendatang?" "Tidak," jawab Elizabeth, merasa ini suatu kesempatan untuk membuktikan
kebijaksanaannya. "Mungkin perkara ini bisa kuselesaikan sendiri. Nanti kalau
sudah kita selesaikan, baru kita bawa ke Rapat Besar dan kita katakan bahwa
perkaranya sudah selesai."
"Baiklah," kata Rosemary yang merasa takkan sanggup berdiri dan berbicara di
depan anak banyak. "Bagaimana caramu menyelesaikan perkara ini?"
"Kita akan memasang jebakan," kata Elizabeth. "Akan kupikirkan nanti. Jangan
katakan hal ini pada siapa pun."
"Aku... aku telah berkata pada Martin Follett," kata Rosemary. "Terpaksa, sebab
pada waktu aku sedang sibuk mencari uangku yang enam penny kemarin, ia datang
dan bertanya. Ia baik hati. Ia ikut membantuku mencari. Lama sekali. Kemudian ia
memberiku uang dua penny, sekadar untuk bisa kupakai dulu. Terpaksa aku
ceritakan padanya apa yang terjadi dengan uangku. Tetapi belum pernah
kuceritakan pada anak lainnya."
"Jangan ceritakan," kata Elizabeth. "Kita harus memasang jebakan pada waktu tak
seorang pun menduganya. Sungguh baik hati Martin memberimu dua penny."
"Ya, ia memang pemurah," kata Rosemary "Ia juga telah membelikan satu pak benih
kacang kerdil untuk John Terry. Katanya ia tak bisa bekerja di kebun, tetapi
ingin membantu sedapat-dapatnya."
"Siapa kira-kira yang begitu keji hingga berani mencuri?" pikir Elizabeth saat
Rosemary telah pergi. "Jahat benar! Ini baru soal besar, dan harus kuselesaikan.
Aku seorang Pengawas. Harus bisa kuputuskan."
Ia berpikir keras. Ia harus menangkap si pencuri. Kemudian si pencuri akan
diurusnya sebijaksana mungkin, untuk membuktikan bahwa ia memang patut jadi
Pengawas. Tetapi bagaimana cara menangkapnya"
"Aku tahu!" kata Elizabeth dalam hati. "Akan kutunjukkan uang shilling-ku yang
kuterima dari kotak uang kemarin. Uang itu sangat baru. Akan kupamerkan pada
semua anak. Kemudian akan kutaruh di mejaku. Tetapi kuberi tanda lebih dahulu.
Jadi bila kemudian uang itu hilang, tinggal melihat di tangan siapa uang
tersebut muncul." Keesokan harinya saat istirahat, anak-anak harus bermain di ruang senam. Di luar
hari hujan. Elizabeth mengeluarkan keping uang shilling-nya dan memperlihatkan
pada kawan-kawannya. "Lihat! Mengilap sekali, bukan?" katanya. "Mungkin baru
saja keluar dari pabrik uang minggu lalu."
Ruth juga mengeluarkan uangnya, sekeping uang penny yang mengilap bagaikan emas.
Robert ikut memamerkan uang tiga penny-nya.
"Sayang sekali kalau uangku ini hilang, lolos dari lubang sakuku, misalnya,"
kata Elizabeth. "Biar kusimpan saja di meja, di bawah tempat tinta. Aman di
tempat itu." Sebelum ditaruhnya di tempat tersebut, Elizabeth memberi tanda silang dengan
tinta Cina hitam pada mata uang tadi. Kemudian ditaruhnya di tempat botol tinta,
di hadapan anak-anak lain, tepat sebelum Bu Ranger masuk ke dalam kelas.
Ia melirik pada Rosemary. Gadis pemalu itu mengangguk, tanda mengerti apa yang
dilakukan Elizabeth. "Kini kita tinggal menunggu," kata Elizabeth dalam hati, melihat berkeliling,
untuk kesekian kalinya mengira-ngira siapa gerangan yang begitu jahat sehingga
mau mencuri. Selesai pelajaran pagi, anak-anak berlarian ke kebun, bermain-main di sana
sampai waktu untuk mencuci tangan dan makan siang.
Elizabeth berlari ke kelasnya untuk melihat apakah uangnya masih ada. Dibukanya
mejanya. Ya. Uang tersebut masih ada. Ia senang. Mungkin Rosemary salah terka.
Pada waktu pelajaran sore, uang tersebut juga masih ada. Rosemary memandang ke
arahnya. Elizabeth mengangguk sebagai tanda bahwa uang itu masih ada. Bagaimana
kalau si pencuri sengaja tidak mengambilnya" Elizabeth harus merancang jebakan
lainnya. Sehabis minum teh, uang itu juga masih ada. Rosemary mendekati Elizabeth,
berkata, "Tak usah kautaruh lagi uangmu di tempat itu. Jangan-jangan hilang
betulan dan kau takkan memperolehnya kembali. Satu shilling hilang pasti sangat
mengecewakan bagimu."
"Kita tunggu saja sampai besok pagi," kata Elizabeth, "dan kita lihat hasilnya."
Keesokan paginya, gadis cilik itu menyelinap masuk ke dalam ruang kelasnya.
Dibukanya mejanya, diraba-rabanya tempat ia menyembunyikan uangnya.
Uang tersebut tidak ada. Hilang. Walaupun ia setengah mengharapkan hal ini akan
terjadi, tak urung Elizabeth terkejut juga. Jadi benar-benar ada pencuri di
dalam kelas. Pencuri yang begitu jahat" Siapa"
Yah. Tinggal tunggu saja. Di tangan siapa uang yang telah ia beri tanda. Dan ia
bisa menentukan siapa pencurinya.
9. Kejutan untuk Elizabeth
Mudah saja memberi tanda pada sekeping mata uang untuk mengenalinya lagi bila
muncul kembali. Tetapi memerlukan suatu perencanaan lagi untuk bisa menemukan
keping mata uang tersebut! Tak habis-habisnya Elizabeth berpikir bagaimana ia
bisa melakukan itu. Sehabis minum teh hari itu, hujan masih turun. Anak-anak berkumpul di ruang
bermain masing-masing kelas. Sebuah ruangan cerah dengan jendela lebar, perapian
besar, gramofon, radio, dan laci-laci tempat anak-anak bisa menyimpan barang-
barang mereka. Sore itu meriah suasananya. Radio berbunyi keras. Gramofon berbunyi keras.
Berulang kali ada anak yang ingin membaca terpaksa mengecilkan atau mematikan
kedua benda tersebut, tetapi tak lama seseorang akan menghidupkannya kembali.
Akhirnya dibiarkan saja keduanya saling bersuara keras.
"Hei, mari kita membuat suatu permainan," seseorang berseru. "Di sini ada lomba
pacu kuda. Ayo, siapa ikut! Ada dua belas ekor kuda yang berlomba!"
"Ayo! Aku ikut!" semua berseru gembira, memperhatikan Ruth membuka tempat pacu
kudanya. Besar sekali, sehingga menutup seluas meja. Ribut sebentar saat para
pemain berebut kuda, kemudian perlombaan pun mulai.
Sungguh menyenangkan bermain bersama-sama seperti ini. Ramai sekali kuda-kuda
saling mengejar di papan perlombaan yang luas itu.
"Sial!" seru Harry, "kudaku masuk selokan. Aku harus mundur enam langkah. Satu-
dua-tiga-empat-lima-enam!"
Permainan itu makin seru, dan akhirnya Belinda yang menang, memperoleh hadiah
sebatang cokelat. Kemudian Kathleen mengeluarkan permainannya, permainan gasing.
Ada banyak sekali gasing kecil, berwarna-warni. Bisa berputar dengan sangat
indah, sambil mengeluarkan bunyi merdu. Anak-anak itu beradu memutarkan gasing,
adu lama berputar. Melihat gasing-gasing itu berputar, Elizabeth mendapat ilham. Ia mengetuk meja
dan berkata, "Sekarang kita adu lama memutar uang! Siapa yang akan menang?"
Anak-anak itu langsung mengambil uang dari saku masing-masing. Ada yang
mengeluarkan uang penny. Ada yang setengah penny. Ada yang setengah shilling.
Dan satu-dua diantara mereka mengeluarkan uang satu shilling.
Sampai saat ini Julian menjadi juara dalam pemutaran gasing. Gasingnya bisa
berlompat-lompatan di atas meja dengan cara yang amat aneh. Kini ia akan
menunjukkan bahwa dalam memutar uang ia juga juara.
"Lihat, uang pennyku meloncat-loncat," serunya. Dengan tangkas ia memutarkan
uang tersebut di muka meja yang licin. Uang tadi berloncatan, kemudian berputar
cepat sekali. Tak ada yang bisa menirukan gaya bermain Julian ini.
"Sekarang, lihat aku memutar uang shilling di atas gelas," kata Julian. "Tolong
ambilkan gelas.... Suaranya aneh nanti."
Sebuah gelas segera muncul. Semua memperhatikan. Mata hijau Julian bersinar-
sinar merasakan begitu banyak pandangan kagum ditujukan padanya. Gelas tadi
diletakkan terbalik. Dan Julian memutar uangnya pada alas gelas. Terdengar
sebuah suara lucu! "Seperti suara nyanyian," kata Ruth. "Biarkan aku mencoba, Julian."
Uang shilling itu jatuh. Ruth mengambilnya, mencoba memutarnya seperti Julian
tadi. Tapi uang tersebut langsung jatuh dari gelas, menggelinding di atas
permukaan meja dan jatuh di dekat Elizabeth. Elizabeth mengambilnya.
Sekeping uang shilling yang sangat baru Elizabeth memperhatikannya. Aneh, ada
uang shilling yang baru lagi. Dan saat diperhatikannya lagi-Elizabeth sangat
terkejut. Dilihatnya tanda silang yang pernah dibuatnya. Kecil dan hitam. Tak salah lagi.
Seketika ia merasa kecewa. Ini uangnya. Uang yang dahulu ditunjukkannya pada
semua temannya. Yang kemudian ditaruhnya di mejanya. Dan kemudian hilang.
"Ayo, Elizabeth berikan uangnya!" kata Ruth tak sabar. "Dari caramu melihat,
seperti kau belum pernah melihat uang shilling saja!"
Elizabeth melemparkan uang tersebut kepada Ruth. Tangannya gemetar. Julian!
Julian yang kini memiliki uangnya. Tetapi Julian sahabatnya. Tak mungkin ia yang
mengambil - tetapi uang tadi betul berada di tangannya, tadi ia mengambilnya
dari sakunya! Sedih sekali Elizabeth memperhatikan Julian yang sedang
memperhatikan Ruth dengan rambut terurai di dahinya seperti biasanya.
Rosemary telah memperhatikan wajah Elizabeth. Ia melihat Elizabeth memperhatikan
keping mata uang itu. Ia tahu pastilah itu keping yang telah diberi tanda. Dan
dengan heran ia pun memperhatikan Julian.
Elizabeth tak ingin langsung menanyai Julian. Dengan tak sabar ia menunggu
kesempatan agar ia bisa berbicara berdua saja dengannya. Ia menunggu terus malam
itu, sambil terus memikirkan apa yang akan dilakukannya.
"Tentu saja, seperti kata Julian ia bisa saja melakukan apa pun yang
disukainya," pikir Elizabeth. "Ia sama sekali tak peduli tentang apa pun atau
siapa pun. Tetapi aku toh sahabatnya. Semestinya ia peduli akan apa yang
dilakukannya padaku. Kalau saja ia memintanya, pasti akan kuberikan. Bagaimana
ia bisa berlaku seperti itu?"
Tepat sebelum waktu tidur, saat yang ditunggunya itu tiba. Julian sedang dalam
perjalanan dari perpustakaan, dan Elizabeth bertemu dengannya di gang.
"Julian," tanya Elizabeth, "dari mana kauperoleh uang shilling yang baru dan
mengilap itu?" "Dari kotak uang sekolah, minggu lalu," kata Julian langsung. "Kenapa?"
"Kau yakin?" tanya Elizabeth. "Oh, Julian, apakah kau benar-benar yakin tentang
itu?" "Tentu saja, tolol, dari mana lagi aku bisa memperoleh uang?" tanya Julian
heran. "Mengapa kau tampak gelisah" Ada yang tidak beres dengan uangku itu?"
Elizabeth hampir saja berkata bahwa uang itu sebenarnya uangnya. Tetapi tidak Ia
tak boleh mengatakan hal itu langsung. Itu sama saja dengan menuduh Julian
mengambilnya. Ia sahabatnya. Tak boleh ia menuduh Julian dengan tuduhan begitu
keji. Ia tak boleh memikirkan kemungkinan itu.
"Tak apa-apa," katanya kemudian, merasakan betapa anehnya si Julian ini.
"Baiklah kalau begitu, jangan bersikap aneh begitu," kata Julian
tak sabar. "Uang itu uangku. Kudapat dan kotak uang sekolah. Begitulah."
Dengan setengah gusar Julian meninggalkan Elizabeth. Agak lama Elizabeth
termenung. Pikirannya kacau. Dari seluruh teman sekelasnya, satu-satunya yang
Telapak Emas Beracun 1 Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan Suling Emas Dan Naga Siluman 10
^