Pencarian

Sang Penebus 10

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 10


roda depan truk. "Bannya masih bagus," katanya. "Jalannya licin tadi malam?"
Aku mengangkat bahu. Dia bisa membaca laporan polisi kalau dia mau tahu. Di
belakang orang asuransi itu, Leo pura-pura menyetir dan me-niru-kanku tertidur.
Berengsek. Tak punya otak .... Terkenal seperti apa" Apa Joy piala bergilir" Apa
dia jalang" Apa yang membuat Leo ahli dalam menilai pacav-ku"
Orang asuransi itu bersandar ke truk dan mengguncangnya. Suaranya berkeriut.
"Temanku punya rumah di sana di dekat reservasi Indian," katanya. "Dia baru saja
menjual rumah pertanian orangtuanya ke suku Indian seharga satu setengah juta
dolar." Dia menggeleng. "Mereka pasti punya banyak uang melihat cara mereka
membeli tanah. Mendapatkan dana dari miliarder investor dari Korea. Itu yang
kudengar." "Malaysia," kataku.
"Apa?" "Investor Malaysia. Ada di koran." "Yah, mereka pasti dapat uang itu dari suatu
tempat," celetuk Leo. "Sa-lah satu kepala suku datang ke showroom beberapa hari
lalu, dia dan dua asistennya. Tuan VIP. Tak mau bertemu siapa pun kalau bukan
General Manajernya. Mereka membeli New Yorker terbaru dan membayarnya tunai.
Mobil itu aksesorinya sangat lengkap, sehingga dia bisa melakukan apa pun di
situ kecuali mengelap pantatnya."
Penyelidik itu berjalan ke mobil Firebirdnya, mengeluarkan clipboard dan
beberapa lembar formulir. "Seperti yang terjadi di Manhattan," katanya.
"Bagaimana orang-orang Jepang membeli seluruh kota itu, termasuk Radio City
Music Hall." "Hei, ngomong-ngomong tentang New York," kata Leo. "Aku baru saja ke sana minggu
lalu. Rapat dengan produserku."
Tapi Tuan Asuransi itu tidak termakan umpan Leo. "Kalau kasino itu jadi
dibangun," katanya. "Kudengar mereka akan membangun resort, lapangan golf,
hingga hole kesembilan. Dan setiap inci tanahnya bebas pajak. Itu yang membuatku
jengkel." "Aku seorang aktor," kata Leo.
Penyelidik itu mengintip ke bawah mobil, mengotak-atik bagian bawah. "Kau dan
aku bayar pajak, bukan?" katanya. "Tak seorang pun yang memberikan tumpangan
gratis ke kita." Di tasnya menempel stiker Power lifters give good thrust (Atlet
Angkat Berat Punya Dorongan Kuat).
Aku memasukkan tanganku ke saku kemeja, meraba tiga kapsul penahan rasa sakit
yang ada di sana. Saat itulah Big Gene datang dengan mobil LeBaron peraknya.
Dengan wajah masam seperti biasanya, melihat truk Ponderosaku. Dia mengerem
ketika melewati kami. Jendelanya membuka. "Hei, Gene," kataku. "Apa kabar?"
Dia mengacuhkanku dan membentak Leo, "Mana topimu?"
"Di sini, Pop," kata Leo, melambaikan topinya. "Aku baru saja melepaskannya dua
detik lalu. Biar kepalaku bisa bernapas sebentar, sumpah Demi Tuhan."
"Pakai lagi! Kita lagi promosi!" Halo juga untukmu Gene. Nggak apa-apa aku
sedikit terguncang, tapi aku baik-baik saja. Terima kasih karena mengabaikanku,
kau sialan. Dia yang menceraikan aku, ingat" ... Kadang, aku tak tahu bagaimana
Leo bisa tahan bekerja di sana,?dimarahi setiap saat seperti anak umur tujuh tahun.
Leo tiba-tiba terlihat lebih tua daripada usianya, meski dia memakai setelan ma-
hal dan dapat peran di film, juga potongan rambutnya yang seharga empat puluh
dolar. "Hei, kau bisa bilang apa saja yang kau inginkan tentang orang-orang
Indian itu," kata Leo, "tapi semua akan menjadi lebih buruk kalau Angkatan Laut
membatalkan kontrak Seawolf itu dan EB mem-PHK karyawan seperti yang mereka
perkirakan. Kudengar mereka akan mempekerjakan sekitar dua ribu orang di kasino
itu kalau sudah buka nanti."
"Angkatan Laut tidak akan membatalkan kontrak kapal selam itu," kata agen Mutual
of America. "Tidak dengan situasi Teluk Persia sekarang. Lihat saja. Rusia akan
ikut campur di sana dan Bush tak punya pilihan se-lain perang. Electric Boat
akan kebanjiran pesanan kapal selam." Dia menghitung di kalkulatornya, dan
menulis di notanya. "Kalau Saddam macam-macam di Kuwait, Bush akan menendang
pantatnya seperti dia menendang Noriega. Bush berkuasa, teman tak sia-sia dia
pernah mengepalai CIA."
"Hei, ngomong-ngomong berapa umurmu?" tanyaku. Aku tak tahan lagi. Leo
menggemerincingkan uang receh di sakunya.
Orang Mutual of America itu mengangkat kepala. "Apa?"
"Berapa usiamu" Dua puluh tiga" Dua puluh empat?"
"Aku dua puluh delapan," katanya. "Kenapa?"
"Karena kau belum melihat hal-hal yang dilihat orang-orang seusia kami."
"Seperti apa misalnya?" Jangan tersenyum sinis padaku, berengsek.
"Seperti Vietnam. Hal terakhir yang dibutuhkan negara ini adalah Bush mengubah
Kuwait menjadi Vietnam kedua." Leo mengisyaratkan padaku untuk tutup mulut. Tapi
aku tak mau tutup mulut. Tuan Angkat Berat. Tuan Tukang Nongkrong di Klub
Berusaha Membuat Semua Wanita Terkesan. Ketika dia tertawa, anting merahnya
berkilau terkena matahari.
"Vietnam, Vietnam, Vietnam," katanya. "Bukan maksudku untuk kasar, tapi itu
seperti kaset yang rusak. Lupakanlah."
Aku teringat para veteran Vietnam dengan baju militer yang sekarang di Hatch.
Unit Enam. Orang-orang yang otaknya dirusak oleh Vietnam. "Kami tak bisa,"
kataku. "Kami tak bisa melupakannya. Itulah masalahnya."
Mengapa aku melakukan ini cari gara-gara dengan orang yang akan merugikan atau ?menguntungkanku mengenai asuransi mobil ini" Mengapa aku tak bisa tutup mulut"
Leo pasti merasakan suasana hatiku karena dia menempatkan diri di antara orang
Mutual of America itu dengan aku, dan mulai mengoceh panjang lebar. "Kau tadi
bilang tentang orang Indian ya. Heh heh .... Yang kutahu adalah industri
pertahanan mulai bangkrut di sekitar sini, setengah pen-du-duk negara bagian ini
akan datang ke kasino itu mencari
pekerjaan. Siapa tahu" Mungkin orang-orang Wequonnoc akan menguliti kepala kita
dan me-nye-lamatkan kita pada saat bersamaan. Kau tahu maksudku?" Leo berpaling
padaku. "Hei, Birdsey, bukannya kau tadi bilang mau menelepon Ray" Memintanya
menjemputmu" Pergi sana, gunakan teleponmu. Tekan sembilan dulu."
Aku menunggu sebentar, lalu mulai berjalan ke arah showroom. Aku masih bisa
mendengar potongan pembicaraan Leo: "Pria yang malang itu sudah berada dalam
banyak tekanan ... kakaknya sakit ... kuharap kau bisa mempermainkan sedikit
angkanya demi dia." Di dalam, aku melewati meja Omar. Melewati kantor Gene. Dia melengos ketika aku
mengangguk menyapanya. Persetan kau, Gene! Putrimu-lah yang mau mengakhiri
perkawinan itu. Bukan aku.
Aku kembali ke kamar mandi dan menguncinya. Menunggu tubuhku berhenti gemetar.
Aku tak tahu berapa banyak lagi yang bisa kutahan. Itulah yang menakutkanku:
Dominick, si pria tangguh, si kembar yang waras ... aku mulai hancur pelan-pelan.
Aku memasukkan tangan ke saku, meraba tiga pil Tylox itu. "Bapa," kataku.
"Putra." Aku membuka mulut dan menelan dua pil. Dan memutuskan untuk menyimpan
pil Roh Kudus untuk nanti.
Ketika aku keluar kamar mandi, aku berdiri di belakang tulisan God Bless
America! di jendela dan memencet nomor telepon ayah tiriku. Melihat si Tuan
Angkat Berat itu lewat huruf O di kata GOD. Aku ingin tahu apakah dia pernah
bermain-main dengan pacarku" Aku mendengarkan telepon di ujung lain berdering di rumah dupleks Hollyhock
Avenue. Menjepit telepon di leherku yang sakit. Di luar, angin tiba-tiba
menerbangkan topi bodoh itu dari kepala Leo dan menerbangkan foto-foto polaroid
si Mutual of America. Mereka berdua sibuk mengejar ba-rang-barang mereka yang
tertiup angin. Berengsek, pikirku. Idiot.
Telepon di ujung sana diangkat. '"Lo?"
Ketika aku kembali keluar, penyelidik asuransi bilang dia akan meng-hi-tung
total kerusakan trukku. Lebih baik begitu, katanya padaku. Dia bilang akan
mencoba menambah angkanya sedikit; ada sedikit permainan, tapi tak ba-nyak. Dia
mungkin bisa menambahkan lima ratus dolar ganti rugi untukku dibandingkan dengan
nilai bukunya. Itulah yang bisa dia lakukan.
"Lumayan," kataku. "Oh, ini lebih baik daripada lumayan," katanya. "Salam untuk
Joy dariku." "Oke." "Jangan lupa." Dia menjabat tangan Leo, masuk lagi ke Firebirdnya dan pergi. Leo dan aku
berdiri memandang hingga dia menghilang. "Kau baik-baik saja, Dominick?" kata
Leo. Kukatakan padanya kalau aku akan tetap hidup. Terima kasih.
Dia mengibaskan tangan. "Terima kasih untuk apa" Aku tak melakukan apa-apa. Apa
yang sudah kulakukan?"
Dua Puluh Delapan GOD BLESS AMERICA! tulisan setinggi lima kaki itu terpasang di sepanjang jendela
showroom Constantine's Motors. Terjemahannya: buktikan patriotismemu dengan uang
mukamu. Beli mobil dan hantamkan ke mu-ka Saddam.
Aku duduk di kursi depan meja Leo, menunggu orang asuransi datang. Begitu keluar
dari rumah sakit aku langsung ke telepon terus-menerus memencet tombol Redial ?hingga akhirnya seseorang dari perusahaan asuransi Mutual of America mengangkat
telepon. Mereka mencoba menunda mencoba membuatkan perjanjian untukku dengan
?penerima klaim minggu depan. Tapi aku bilang, "Dengar, Nyonya, aku mencari uang
dengan truk itu. Bagaimanapun caranya harus ada orang yang melihat mobil itu
hari ini!" Jadi begitulah ceritanya, aku duduk menunggu di Constantine Chrysler
Dodge Isuzu dan bukannya melepas penutup jendela di rumah Rood seperti yang aku
janjikan. Aku seharusnya mempelajari argumenku dengan Dewan Kajian beberapa kali
lagi dan bukannya duduk di sini. Dengan enam belas jahitan dan kebanyakan dosis
obat penahan rasa sakit Tylox.
Omar si mantan atlet duduk di meja sales di
seberang ruangan, berbicara di telepon. "Uh-huh. Uh-huh. Aku mengerti itu, Cari.
Tapi kau membicarakan mobil dalam bentuk abstrak dan aku bicara tentang Dakota
biru kobalt yang sedang kulihat di showroom saat ini." Dia mengenakan kemeja,
dasi, dan topi bisbol warna merah biru. "Lagi pula, kalau kau memutuskan
sekarang, kau akan mendapatkan keuntungan tambahan dari promosi God Bless
America kami. * God Biess America1.
Aku memotongnya untuk menyembuhkan bangsa ini! ...
Tanganku yang dijahit mulai terasa sakit lagi. Sekarang leherku juga sakit.
Dokter di ruang gawat darurat mencoba memasangkan penahan leher padaku, tapi aku
menolak. Tapi aku menerima resep pil penahan rasa sakitnya tiga pil di kantong ?kertas cokelat kecil dan resep untuk selusin lagi. Aku ingin minum satu
sekarang, tapi aku menahan diri. Kalau penerima klaim dari perusahaan asuransi
itu mencoba mencurangiku, aku tak mau kelebihan dosis penahan rasa sakit dan tak
bisa apa-apa. Trukku. Mata pencaharianku ....
Aku memandang Omar dan memergoki dia baru saja memandangiku. Memar, diperban,
duduk merosot di kursi: aku pasti terlihat sama menyedihkannya dengan trukku.
"Ke mana kau ingin menderek mobil ini?" tanya polisi sesaat setelah kecelakaan
yang kualami. "Ke Constantine Motors," kataku menjawab otomatis.
?Perutku mual. Tanganku, kakiku mulai gemetar.
Aku tak mau kehilangan kendali diri di depan Omar, maka aku berdeham dan
berdiri. "Bilang ... uh ... bilang ke Leo aku pergi ke toilet," kataku.
Omar memandangku seakan-akan tadi dia tak sadar aku di sana. "Huh" Yeah, tentu."
Aku berdiri dan pergi ke kamar kecil.
Aku mengunci pintunya dan memandang wajahku di cermin. Aku terlihat seperti
gambaran tokoh film Night of The Living Dead. Perutku mual lagi; keringat
dingin. Kusandarkan kepalaku ke dinding dan mengingat hal-hal yang harus
kulakukan: trukku, pemindahan kakakku, rumah Rood.
Kita akan punya bayi, Dominick. Kau dan aku
Aku teringat penampilan Joy ketika dia datang ke ruang gawat darurat pagi ini:
tanpa make-up, rambut berantakan. "Peluk aku," katanya. Menangis di depan semua
orang. Menangis di pelukanku. Selama hampir dua tahun bersama, mungkin itu
adalah kali kedua atau ketiga aku melihat Joy menangis. Air mata itu menunjukkan
bahwa pasti ada sesuatu di antara kami, bukan" Bahwa dia merasakan sesuatu
padaku, walaupun dia selingkuh dengan orang lain. Benar bukan"
Ketika tubuhku berhenti gemetaran, aku berdiri dan membasuh muka dengan air
dingin, dan menghindari cermin. Aku keluar lagi ke showroom yang bersih dan
terang. Saat itulah aku melihat balon-balon patriotik di meja manajer lantai, banyak
sekali. Membuat meja itu terlihat seperti altar. Atas nama bapa, anak,
dan dolar. Leo berjalan ke arahku dari arah berlawanan dengan dua cangkir kopi.
Dia mengenakan setelan Armaninya dan topi God Bless Ame-ricaf seperti Omar.
Setiap karyawan di sini mengenakan topi itu, bahkan juga Paman Costas dan para
sekretaris. Mereka mempunyai tema utama, langsung dari Kuwait.
"Nih, Birdsey," kata Leo mengulurkan secangkir kopi padaku. "Pukul berapa orang
itu bilang dia akan datang?"
"Setengah sebelas," aku melihat ke jam dinding untuk kesekian kalinya, pukul
sepuluh lima puluh lima menit.
Leo duduk, mengangkat kakinya ke meja, tangannya bersilang di belakang kepala.
"Dan sidang kakakmu, kapan?"
"Pukul empat sore nanti."
"Bagaimana menurutmu" Kau akan bisa mengeluarkan dia?"
Aku mengangkat bahu. Ingin mengganti topik pembicaraan. "Buat apa topi bodoh
itu?" Leo melepas topinya, melemparkannya ke filing cabinet di sebelah mejanya. "Ini
ide Pak Tua. Dia memberikan banyak hadiah langsung. Sabtu ini, kami akan
mengadakan reli Desert Shield. Tenda, hot dog panggang, uang muka nol persen."
Aku memutar mataku. "Topi itu membekas di kepalamu," kataku.
"Apa?" "Bekas topi," aku menunjuk garis bekas topi murahan itu di potongan rambutnya
yang seharga empat puluh dolar. Itulah setidaknya yang dia bilang padaku tentang potongan
rambutnya: empat puluh dolar.
Leo mengambil cermin kecil dari laci mejanya dan mencoba menata rambutnya.
Itulah masalah terbesar Leo: garis bekas topi di rambutnya. "Hei, Big Gene akan
menggali kuburan Patton dan memasang tengkoraknya di jendela kalau dia merasa
itu akan membuat mobil terjual." Leo mencondongkan tubuh ke depan. "Dengan
ekonomi selesu ini dan Electric Boat merencanakan perampingan lagi, tak ada yang
beli apa pun. September adalah bulan terburuk kami, sejak krisis BBM."
Aku akan memikirkannya nanti, pikirku dan melihat jam lagi. Pukul sebelas lewat
tiga menit. Ke mana si orang asuransi itu"
Aku memandang mata Leo mengamati rekan kerjanya Lorna yang berjalan menyeberangi
ruang penjualan. "Hei, kau tahu apa yang kutemukan kemarin?" bisiknya. "Tentang
cewek binal itu?" Leo mengambil pulpen dari mejanya dan mengeluarkan terus
memasukkannya, keluar masuk, keluar masuk ke tempat pulpen. "Dia dan Omar. Salah
satu mekanik memergoki mereka lembur di kursi belakang Caravan. Pak Tua akan
ngamuk kalau tahu. Kau tahu bagaimana dia benci percampuran hitam dan putih."
Sudahlah Leo, kataku dalam hati. Aku mencoba menengokkan leherku dari sisi ke
sisi: rasanya lebih sakit ketika aku berpaling ke kanan daripada ke kiri.
Betapa bodohnya aku menolak penopang leher itu.
"Jadi, Birds," kata Leo. "Kau tahu berapa lama sidangmu sore ini akan
berlangsung" Aku punya janji pukul lima tiga puluh. Kalau sidang mulainya pukul
empat, aku bisa kembali ke sini pukul lima tiga puluh, kan?"
Kakiku bergerak-gerak. Jari-jariku mengetukngetuk meja. Aku bilang padanya kalau
Ray bisa mengantarku. "Aku akan mengantarmu," katanya. "Aku tak keberatan
mengantarmu. Aku Cuma"
"Aku tak tahu berapa lama sidangnya," tukasku. "Aku belum pernah melakukan hal
semacam itu sebelumnya. Oke" Akan lebih mudah kalau Ray mengantarku."
"Hei, jangan marah.Bukan aku yang ketiduran saat menyetir."
Selanjutnya, Leo mulai mengoceh tentang film bodohnya mengatakan bahwa dia ?sedang menunggu kiriman naskah dan selanjutnya adalah bla, bla, bla.
Aku melihat jam lagi. Berhitung dalam hati. Kalau si bodoh dari asuransi itu
tidak muncul dalam lima belas atau dua puluh menit lagi, aku mungkin masih bisa
menyisihkan waktu satu jam di rumah Rood. Setidaknya melepaskan beberapa penutup
jendela, sehingga aku bisa membawanya pulang dan memperbaikinya. Memang sulit
dengan tangan diperban seperti ini tapi aku bisa melakukannya .... Hanya saja,
bagaimana aku bisa ke rumah sialan itu tanpa trukku" Berengsek.
"Tapi jangan khawatir, Dominick," kata Leo. "Pak
Tua dan aku akan mengurusmu. Agar kau bisa mendapat kredit sebuah mobil Dodge
atau Isuzu five-speed, nggak masalah. Truk kecil Isuzu yang di sana itu. Kau mau
melihat-lihat sembari menunggu?"
Aku bilang, aku ragu kalau orang asuransi akan datang dan melihat trukku. Kami
berdua memandang truk yang rusak itu dan Leo menggelengkan kepalanya. "Truk itu
sudah tamat, Sobat," katanya. "Mobil itu sudah SEKARAT."
Pukul 11.12. Tanganku mulai terasa sakit seperti yang kuperkirakan. Kalau aku
menggerakkan kepala ke kanan, rasa sakit menjalar di leherku. Oke, ini yang akan
kulakukan, pikirku; aku akan minum satu pil penahan rasa sakit itu setelah aku
selesai berurusan dengan orang asuransi, pergi ke Rood dan melepas penutup
jendela dan cari tahu apakah Ray bisa meminjam truk Eddie Banas. Lalu aku akan ?pulang dan tidur dua jam. Memasang alarm satu jam untuk bersiap-siap dan
?membaca catatanku lagi. Kalau tanganku sesakit ini sore nanti, aku harus
mengabaikannya hingga sidang selesai. Ka-lau tidak; akan bagus sekali kesannya


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau aku berdiri di depan Dewan Kajian dan tak sadar karena morfin.
Aku bertanya pada Leo apakah aku bisa menggunakan teleponnya lagi. "Tekan
sembilan dulu," katanya.
"Mutual America. Anda mau menghubungi siapa?"
Itu adalah wanita yang sama yang kutemui selama tiga kali aku menelepon
perusahaan asuransi itu. Dia menjadi semakin tak sopan dalam setiap telepon.
"Dengar, Nyonya," kataku. "Aku menghabiskan setengah malam di rumah sakit, aku
punya seribu hal lain yang harus kukerjakan hari ini, aku tak mau menghabiskan
sepanjang hari menunggu wakil perusahaanmu muncul." Wanita itu bilang padaku,
tak ada yang bisa dia lakukan, tapi dia bersimpati padaku. "Yeah, simpatimu tak
ada gunanya bagiku," tukasku. Membanting telepon lebih keras sehingga membuat
diriku agak terkejut. Setiap topi God Bless America! di showroom memandang ke
arahku. "Hei, Birdsey, tenanglah sedikit," kata Leo. "Kau membuatku stres, Sobat."
Aku berdiri, berjalan ke ujung lain showroom dan balik lagi. Duduk. "Pukul
berapa Pak Tua biasanya datang ke sini?" tanyaku.
"Gene" Hari apa ini Rabu" Tak lama lagi."
?"Bagus," kataku. "Tepat seperti yang aku butuhkah: bertemu dengan Ayah
Tersayang." "Yeah, orang itu benar-benar kelewatan berani muncul di tempat bisnisnya
sendiri, ya?" Leo mengangkat kedua tangannya. "Aku cuma bergurau, Birdsey. Aku
bergurau." Sebuah Firebird putih mengilat masuk ke tempat parkir dan masuk ke body shop.
Seorang pria muda dengan kacamata hitam keluar, berjalan mengelilingi trukku dan
berjongkok di depannya. Begitu datang, orang asuransi itu langsung ke bisnis
tanpa basa-basi. "Aku akan keluar sebentar lagi," kata Leo. "Aku mau menelepon produserku lagi.
Aku mau tanya apa dia tahu kapan mereka akan mengirim naskahnya."
Penyelidik asuransi itu mengarahkan kameranya ke trukku. Dia menjepret, dan
lembar polaroid keluar dari kamera. "Kau orang dari klaim asuransi?" kataku.
"Benar." Ketika dia berbalik, aku mengenalinya: salah satu dari mereka yang
sering berlatih angkat berat di klub kesehatan. Dia bisa dibilang tinggal di
sana. "Shawn Tudesco. Mutual of America." Dia mengulurkan tangan yang bersih
bermanikur padaku untuk berjabat tangan dan menariknya kembali ketika dia ?melihat tangan-/cu yang diperban. Di klub Harbodies si brengsek ini mondar-
mandir seperti ayam jago yang sok. "Kau telat," kataku.
"Benar lagi," balasnya. Itu saja yang kudapatkan darinya tanpa ada permintaan
maaf. Dia meletakkan kamera Polaroidnya di lipatan bumperku yang penyok, membidik dan
mengambil foto lagi. Ketiga. Keempat. Rambutnya disisir ke belakang dan
diminyaki gaya Pat Riley, anting merah kecil di salah satu telinga. Beberapa
kali aku pernah melihatnya berdiri di depan counter resepsionis, mengobrol
dengan Joy. Pria Spandex anugerah Tuhan bagi para wanita. Kukira dia minum
?steroid. "Apa ini?" tanyanya padaku.
Aku mengikuti jarinya yang menunjuk ke noda lengket di kaca depan. "Itu" ...
telur." Dia memiringkan kepalanya. "Telur?"
"Anak-anak tadi malam. Merayakan Halloween sehari lebih awal."
"Yeah?" Dia berdiri saja memandangku. Aku melengos.
Pria itu memakai sepasang sarung tangan plastik dan mengambil beberapa serpihan
dari kaca depan. Ada noda cokelat di tempat di mana tanganku menghantam dan
menembus kaca, darah kering di kap yang dia lihat dengan saksama. Apa yang dia
lakukan" Bekerja sambilan sebagai agen FBI atau apa"
Leo keluar dari showroom dan menyeberangi tempat parkir ke arah kami sembari
bersiul. Dia tidak memakai topi patriotnya, tetapi memegangi topi itu di
tangannya. "Ngomong-ngomong, kecelakaannya terjadi di mana?" tanya si orang asuransi.
"Rute 22. Di dekat tempat orang-orang Indian membangun kasino."
Leo mendekat, meletakkan tangannya di punggungku. "Si Gila ini pergi ke sana
untuk bermain Black Jack dengan Tonto dan anak-anak. Dia tak sadar kalau mereka
belum jinak." Dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan penyelidik
asuransi itu. "Leo Blood."
"Shawn Tudesco. Mutual of America."
Leo mengangguk. "Kau berolahraga di Hardbodies, bukan?" tanyanya. "Angkat
berat?" "Yeah, benar," katanya. "Kau pergi ke sana?"
"Aku dan dia. Kami main racquetbaii," kata Leo.
"Pacarnya kerja di sana."
"Benarkah?" kata orang asuransi itu. "Siapa" Patti?"
Patti: perut buncitnya menonjol keluar dari celana ketatnya, rambut gaya
Geraldine Ferraro. Joy pernah bilang padaku kalau dia berharap Patti bisa
menjalani menopause tanpa membuat orang lain gila. "Joy," kataku.
"Joy" Benarkah?" Dia memandang padaku untuk pertama kalinya memandangku dari ?atas ke bawah seakan-akan akulah mobil yang penyok. "Aku kenal Joy," katanya.
"Setiap orang kenal Joy," celetuk Leo. "Dia terkenal."
Penyelidik itu mengangguk ke arah Leo, lalu memandangku lagi. Tersenyum. Aku
melihat senyum mereka berubah menjadi seringai, sambil menahan sakit karena
tangan kananku yang menggenggam. Apa maksudnya "Joy terkenal?" Bagaimana aku
harus mengartikan celetukan itu"
Pria Mutual of America itu berjongkok dan mengusapkan jarinya di salah satu roda
depan truk. "Bannya masih bagus," katanya. "Jalannya licin tadi malam?"
Aku mengangkat bahu. Dia bisa membaca laporan polisi kalau dia mau tahu. Di
belakang orang asuransi itu, Leo pura-pura menyetir dan menirukanku tertidur.
Berengsek. Tak punya otak .... Terkenal seperti apa" Apa Joy piala bergilir" Apa
dia jalang" Apa yang membuat Leo ahli dalam menilai pacar-kul
Orang asuransi itu bersandar ke truk dan mengguncangnya. Suaranya berkeriut.
"Temanku punya rumah di sana di dekat reservasi Indian," katanya. "Dia baru saja
menjual rumah pertanian orangtuanya ke suku Indian seharga satu setengah juta
dolar." Dia menggeleng. "Mereka pasti punya banyak uang melihat cara mereka
membeli tanah. Mendapatkan dana dari miliarder investor dari Korea. Itu yang
kudengar." "Malaysia," kataku.
"Apa?" "Investor Malaysia. Ada di koran."
"Yah, mereka pasti dapat uang itu dari suatu tempat," celetuk Leo. "Salah satu
kepala suku datang ke showroom beberapa hari lalu, dia dan dua asistennya. Tuan
VIP. Tak mau bertemu siapa pun kalau bukan General Manajernya. Mereka membeli
New Yorker terbaru dan membayarnya tunai. Mobil itu aksesorinya sangat lengkap,
sehingga dia bisa melakukan apa pun di situ kecuali mengelap pantatnya."
Penyelidik itu berjalan ke mobil Firebirdnya, mengeluarkan clipboard dan
beberapa lembar formulir. "Seperti yang terjadi di Manhattan," katanya.
"Bagaimana orang-orang Jepang membeli seluruh kota itu, termasuk Radio City
Music Hall." "Hei, ngomong-ngomong tentang New York," kata Leo. "Aku baru saja ke sana minggu
lalu. Rapat dengan produserku."
Tapi Tuan Asuransi itu tidak termakan umpan Leo. "Kalau kasino itu jadi
dibangun," katanya. "Kudengar mereka akan membangun resort, lapangan golf, hingga hole kesembilan.
Dan setiap inci tanahnya bebas pajak. Itu yang membuatku jengkel."
"Aku seorang aktor," kata Leo.
Penyelidik itu mengintip ke bawah mobil, mengotak-atik bagian bawah. "Kau dan
aku bayar pajak, bukan?" katanya. "Tak seorang pun yang memberikan tumpangan
gratis ke kita." Di tasnya menempel stiker Power lifters give good thrust (Atlet
Angkat Berat Punya Dorongan Kuat).
Aku memasukkan tanganku ke saku kemeja, meraba tiga kapsul penahan rasa sakit
yang ada di sana. Saat itulah Big Gene datang dengan mobil LeBaron peraknya.
Dengan wajah masam seperti biasanya, melihat truk Ponderosaku. Dia mengerem
ketika melewati kami. Jendelanya membuka. "Hei, Gene," kataku. "Apa kabar?"
Dia mengacuhkanku dan membentak Leo, "Mana topimu?"
"Di sini, Pop," kata Leo, melambaikan topinya. "Aku baru saja melepaskannya dua
detik lalu. Biar kepalaku bisa bernapas sebentar, sumpah Demi Tuhan."
"Pakai lagi! Kita lagi promosi!"
Halo juga untukmu Gene. Nggak apa-apa aku sedikit terguncang, tapi aku baik-baik
saja. Terima kasih karena mengabaikanku, kau sialan. Dia yang menceraikan aku,
ingat" ... Kadang, aku tak tahu bagaimana Leo bisa tahan bekerja di sana, ?dimarahi setiap saat seperti anak umur tujuh tahun.
Leo tiba-tiba terlihat lebih tua daripada usianya, meski dia memakai setelan
mahal dan dapat peran di film, juga potongan rambutnya yang seharga empat puluh
dolar. "Hei, kau bisa bilang apa saja yang kau inginkan tentang orang-orang
Indian itu," kata Leo, "tapi semua akan menjadi lebih buruk kalau Angkatan Laut
membatalkan kontrak Seawolf itu dan EB mem-PHK karyawan seperti yang mereka
perkirakan. Kudengar mereka akan mempekerjakan sekitar dua ribu orang di kasino
itu kalau sudah buka nanti."
"Angkatan Laut tidak akan membatalkan kontrak kapal selam itu," kata agen Mutual
of America. "Tidak dengan situasi Teluk Persia sekarang. Lihat saja. Rusia akan
ikut campur di sana dan Bush tak punya pilihan selain perang. Electric Boat akan
kebanjiran pesanan kapal selam." Dia menghitung di kalkulatornya, dan menulis di
notanya. "Kalau Saddam macam-macam di Kuwait, Bush akan menendang pantatnya
seperti dia menendang Noriega. Bush berkuasa, teman tak sia-sia dia pernah
mengepalai CIA." "Hei, ngomong-ngomong berapa umurmu?" tanyaku. Aku tak tahan lagi. Leo
menggemerincingkan uang receh di sakunya.
Orang Mutual of America itu mengangkat kepala. "Apa?"
"Berapa usiamu" Dua puluh tiga" Dua puluh empat?"
"Aku dua puluh delapan," katanya. "Kenapa?" "Karena kau belum melihat hal-hal
yang dilihat orang-orang seusia kami."
"Seperti apa misalnya?" Jangan tersenyum sinis padaku, berengsek.
"Seperti Vietnam. Hal terakhir yang dibutuhkan negara ini adalah Bush mengubah
Kuwait menjadi Vietnam kedua." Leo mengisyaratkan padaku untuk tutup mulut. Tapi
aku tak mau tutup mulut. Tuan Angkat Berat. Tuan Tukang Nongkrong di Klub
Berusaha Membuat Semua Wanita Terkesan. Ketika dia tertawa, anting merahnya
berkilau terkena matahari.
"Vietnam, Vietnam, Vietnam," katanya. "Bukan maksudku untuk kasar, tapi itu
seperti kaset yang rusak. Lupakanlah."
Aku teringat para veteran Vietnam dengan baju militer yang sekarang di Hatch.
Unit Enam. Orang-orang yang otaknya dirusak oleh Vietnam. "Kami tak bisa,"
kataku. "Kami tak bisa melupakannya. Itulah masalahnya."
Mengapa aku melakukan ini cari gara-gara dengan orang yang akan merugikan atau
?menguntungkanku mengenai asuransi mobil ini" Mengapa aku tak bisa tutup mulut"
Leo pasti merasakan suasana hatiku karena dia menempatkan diri di antara orang
Mutual of America itu dengan aku, dan mulai mengoceh panjang lebar. "Kau tadi
bilang tentang orang Indian ya. Heh heh .... Yang kutahu adalah industri
pertahanan mulai bangkrut di sekitar sini, setengah penduduk negara bagian ini
akan datang ke kasino itu mencari pekerjaan. Siapa tahu" Mungkin orang-orang
Wequonnoc akan menguliti kepala kita dan menyelamatkan kita pada saat bersamaan.
Kau tahu maksudku?" Leo berpaling padaku. "Hei, Birdsey, bukannya kau tadi
bilang mau menelepon Ray" Memintanya menjemputmu" Pergi sana, gunakan teleponmu.
Tekan sembilan dulu."
Aku menunggu sebentar, lalu mulai berjalan ke arah showroom. Aku masih bisa
mendengar potongan pembicaraan Leo: "Pria yang malang itu sudah berada dalam
banyak tekanan ... kakaknya sakit ... kuharap kau bisa mempermainkan sedikit
angkanya demi dia." Di dalam, aku melewati meja Omar. Melewati kantor Gene. Dia melengos ketika aku
mengangguk menyapanya. Persetan kau, Gene! Putrimu-lah yang mau mengakhiri
perkawinan itu. Bukan aku.
Aku kembali ke kamar mandi dan menguncinya. Menunggu tubuhku berhenti gemetar.
Aku tak tahu berapa banyak lagi yang bisa kutahan. Itulah yang menakutkanku:
Dominick, si pria tangguh, si kembar yang waras ... aku mulai hancur pelan-pelan.
Aku memasukkan tangan ke saku, meraba tiga pil Tylox itu. "Bapa," kataku.
"Putra." Aku membuka mulut dan menelan dua pil. Dan memutuskan untuk menyimpan
pil Roh Kudus untuk nanti.
Ketika aku keluar kamar mandi, aku berdiri di belakang tulisan God Bless
America! di jendela dan memencet nomor telepon ayah tiriku. Melihat si Tuan
Angkat Berat itu lewat huruf O di kata GOD. Aku ingin tahu apakah dia pernah
bermain-main dengan pacarku"
Aku mendengarkan telepon di ujung lain berdering di rumah dupleks Hollyhock
Avenue. Menjepit telepon di leherku yang sakit. Di luar, angin tiba-tiba
menerbangkan topi bodoh itu dari kepala Leo dan menerbangkan foto-foto polaroid
si Mutual of America. Mereka berdua sibuk mengejar barang-barang mereka yang
tertiup angin. Berengsek, pikirku. Idiot.
Telepon di ujung sana diangkat. '"Lo?"
Ketika aku kembali keluar, penyelidik asuransi bilang dia akan menghitung total
kerusakan trukku. Lebih baik begitu, katanya padaku. Dia bilang akan mencoba
menambah angkanya sedikit; ada sedikit permainan, tapi tak banyak. Dia mungkin
bisa menambahkan lima ratus dolar ganti rugi untukku dibandingkan dengan nilai
bukunya. Itulah yang bisa dia lakukan.
"Lumayan," kataku.
"Oh, ini lebih baik daripada lumayan," katanya. "Salam untuk Joy dariku." "Oke."
"Jangan lupa." Dia menjabat tangan Leo, masuk lagi ke Firebirdnya dan pergi. Leo dan aku
berdiri memandang hingga dia menghilang. "Kau baik-baik saja, Dominick?" kata
Leo. Kukatakan padanya kalau aku akan tetap hidup. Terima kasih.
Dia mengibaskan tangan. "Terima kasih untuk
apa" Aku tak melakukan apa-apa. Apa yang sudah kulakukan?"
Dua Puluh Sembilan Leo mendekati ayah tiriku, mengulurkan tangan. "Bagaimana kabar Anda, Mr.
Birdsey?" katanya. "Lama tak jumpa. Bukan berarti aku kangen."
"Dari mana kau dapat setelan murahan itu?" balas Ray. "Kau merampok imigran dari
Puerto Rico atau apa?" Itu adalah cara mereka bergaul. Selama bertahun-tahun
ini, anehnya, ayah tiriku dan Leo mulai bisa saling menghargai.
Ray berjalan mengelilingi trukku, bersiul melihat bagian depannya. "Selamat,"
katanya padaku. "Kau benar-benar memecahkan rekor untuk dirimu sendiri. Noda apa
di kaca depan itu?" "Telur," kataku.
"Telur?" Ray mengerem pelan-pelan, hati-hati, melewati polisi tidur di jalur keluar
tempat parkir diler mobil. "Kau tak bilang saat di telepon kalau kau terluka,"
katanya. "Tanganmu kenapa?"
Aku menceritakan tujuh belas jahitan yang kualami, rasa sakit di leherku. Dua
pil Tylox tadi mulai terasa pengaruhnya. Sakit itu masih terasa; tapi aku tak
peduli lagi. Bahkan bermobil dengan
Ray pun terasa menyenangkan.
Ray berbelok ke jalan raya, menginjak gas dengan mulus. "Dia bersama kamu saat
kecelakaan terjadi?" Dia. Tak pernah menyebut namanya. Tak ada cinta antara Joy
dan Ray. "Nggak," aku merasakan Ray memandangiku.
"Bagaimana dengan asuransi" Asuransimu beres, kan?"
Aku mengangguk. "Jadi, apa yang akan kau gunakan untuk transportasimu sementara ini?"
Aku bilang belum memikirkan itu bahwa Leo mencoba membujukku membeli Isuzu.?"Omong kosong!" kata Ray. Dia membuka jendela dan meludah ke luar. "Kenapa kau
harus beli barang tak berguna bikinan Jepang" Agar kau bisa menjejalkan uangmu
ke kantong mertuamu?" Mantan mertua, Ray. Orang itu bahkan tak mau bicara padaku
lagi. "Beli saja Chevrolet," katanya. "Atau Ford. Truk Ford bagus."
"God Biess America," gumamku.
"Apa?" "Nggak." Kami diam selama beberapa saat. Di lampu merah, aku merasa Ray memandangiku
lagi. "Kenapa kau tak bilang di telepon kalau kau terluka?"
"Kau tak bertanya."
"Aku tak harus bertanya," katanya. "Kau anakku, kan?" Ray mencari-cari di
kantong jaketnya, mengeluarkan dua permen. "Mau?"
Aku bilang tidak, terima kasih. Bertanya mengapa dia makan permen padahal punya
diabetes. Permen ini tanpa gula, katanya.
Aku memandang ke luar jendela melihat kota Three Rivers berkelebat di luar. Kau
?anakku, kan" Meski aku benci mengakuinya, kata-kata Ray itu lebih terasa benar
daripada tak benar secara de facto. Dia ada di sini, aku menelepon dan dia
?mengangkat teleponnya. Datang dan menjemputku.
"Mengapa mereka tak memasangkan penahan leher untukmu di rumah sakit, kalau
lehermu sakit?" "Aku baik-baik saja, Ray," kataku. "Aku sehat."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, kau tidak terlihat sehat. Kau terlihat berantakan. Sudah sarapan?"
Kubilang aku tidak lapar aku cuma ingin menebus resepku lalu pergi ke Gillete ?Street melepas penutup jendela, lalu pulang. Tidur siang kalau sempat,
membersihkan diri lalu bersiap untuk pergi ke sidang. Ray mengomeliku tentu
saja bagaimana aku bisa melepas penutup jendela dengan leher yang sakit dan
?tangan diperban" Aku memejamkan mata, mengulang kata-kataku bahwa aku akan baik-baik saja.
Ray bilang dia tak bisa membantuku hari ini dia punya janji ke dokter tapi dia
? ?bisa membantuku besok. Aku bilang bahwa dokter yang menjahitku tidak bilang apa-
apa tentang mengurangi kegiatanku.
"Mungkin dia mengira kau punya akal sehat untuk mengetahui itu sendiri,"
katanya. "Dengar, Ray," kataku padanya. "Aku akan merasa lebih baik kalau aku bisa
menyelesaikan sesuatu di sana, oke" Sepanjang minggu ini aku mencoba untuk datang ke rumah
itu. Aku bilang ke mereka saat penandatanganan kontrak bahwa pekerjaan itu akan
selesai pada akhir musim panas, dan sekarang sudah Halloween."
"Jangan ingatkan hal itu padaku," katanya. "Hari perayaan yang bodoh." Memangnya
aku ingin tahu apa yang dia lakukan saat Halloween" Mematikan lampu dan tidur.
Dia tak mau terus-menerus berdiri dan membuka pintu sepanjang malam, dan
memboroskan mesin pemanas. Dia sudah tak mau membuka pintu pada malam Halloween
sejak dua, tiga tahun lalu ketika para orangtua mulai memegangkan kantong
?permen untuk anak-anak mereka. Biar mereka mencari permen gratis di tempat lain.
Dia tak peduli kalau seluruh orang di negara ini sibuk dengan kantong-
kantongnya. Di tengah-tengah omelannya, aku teringat kalau besok adalah ulang tahun Ray.
Satu November. Hari Para Santa .... Betapa menyebalkan hari itu pada masa kanak-
kanak kami: setelah kesenangan malam Halloween, si kembar harus pergi ke
gereja hari suci yang wajib dan harus menghormati seseorang yang paling kubenci
?di dunia. Lupakan itu, kataku dalam hati. Itu sudah berlalu. "Besok kau ulang tahun, kan?"
kataku. Benarkah" Mungkin dia baru ingat ketika aku mengatakan itu. Dia tak pernah
memikirkannya. "Ngomong-ngomong, berapa usiamu sekarang?" tanyaku.
"Tiga puluh sembilan," katanya. "Sama seperti
Jack Benny." "Yang benar. Enam puluh tujuh, kan?" Tidak ada jawaban. "Kau akan merayakannya"
Mengajak seorang cewek berkencan dan berdansa?" Ray mencemooh gagasan itu. Ma
dan Thomaslah yang selalu ribut dalam hal ulang tahun. Setelah Ma meninggal,
Dessa yang mengambil alih semua remeh-temeh itu memanggang kue, membeli hadiah,
?kartu ucapan. Setelah Dessa pergi, tak satu pun dari kami berdua yang peduli.
"Berapa banyak lagi pekerjaan yang harus kau lakukan di rumah horor itu?" tanya
Ray. "Karena kalau kau mau, aku bisa membantumu pada pagi hari. Membantumu
menyelesaikannya." Aku bilang tidak usah, terima kasih. Dia pasti punya banyak pekerjaan.
Seharusnya dia sedikit santai dan bukannya menambah pekerjaan dengan melakukan
pekerjaan orang lain. "Kalau kupikir aku tak bisa melakukannya, aku tak akan menawarkan bantuan,"
tukasnya. "Aku masih bisa bekerja dan jangan kau lupa itu." Ray menyalakan
radio. Mematikannya lagi. Kalau mereka meneruskan restrukturisasi di Electric
Boat, katanya, dia mungkin harus mencari kerja iagi. Mungkin dia bisa membantuku
seharian. Dia menurunkan jendela dan meludah lagi. Matanya berkedut. Di apotik
mana aku ingin menebus resepku"
Kubilang di mana saja boleh. Price-Aid juga boleh.
"Price-Aid" Mereka mahal sekali. Kau sebaiknya
pergi ke Colburn's. Bob Colburn akan mengurusmu dengan baik."
"Baiklah," kataku. "Ayo kita ke Colburn's." Aku memejamkan mata. Menarik napas
panjang dua kali. Kalau dia memang ingin ke Colburn's buat apa dia tadi tanya
aku. "Dengar," kata Ray. "Kau tahu apa masalahmu" Kau terlalu membebani dirimu
sendiri." Kukatakan padanya kalau aku baik-baik saja.
Benarkah" Kalau aku memang baik-baik saja, "mengapa aku menabrakkan trukku pada
tengah malam?" Itu tidak terdengar "baik-baik saja" baginya.
"Siapa bilang aku menabrakkannya pada tengah malam?" kataku.
"Sobatmu itu. Si Mulut Besar di diler mobil. Dia mengajakku bicara sebentar
tadi. Bilang kalau dia khawatir tentang kamu juga. Kau mencoba melakukan terlalu
banyak hal menjalankan bisnis sendirian, mengurusi kakakmu di rumah gila. Dan ?kau tidak banyak dapat bantuan dari cewek yang tinggal bersamamu. Aku tak
melihatnya membantumu."
Aku menutup mulutku. Apa yang kulakukan bersama Joy bukanlah urusannya.
Sedangkan tentang Thomas, siapa lagi yang akan mengurusinya di Hatch kalau bukan
aku" Apa dia mau menawarkan diri secara sukarela untuk mengurusinya"
"Aku tahu, kau terbebani oleh semua itu," tambah Ray. "Semua masalah dengan
Thomas di sana. Membawa bebanmu dan beban dia. Dan bebanku
juga kurasa." Aku menunggu, mendengarkan. "Tentu saja, semua berbeda saat ibumu masih hidup.
Dia dulu biasa mengurusinya ... aku tak tahu. Membesarkan kamu dan dia, itu tak
sama. Kalian sangat mirip satu sama lain, tapi sifat kalian bertolak belakang
seperti siang dan malam ... aku kadang kesal juga, kalau kau mau tahu yang
sebenarnya: melihat bagaimana ibumu selalu memanjakan dia ... aku tak tahu. Dia
dan aku, kami tak pernah akur."
Yang benar saja, Ray. Aku juga di sana, ingat" Ketika aku membuka mata, aku
melihat buku-buku jari Ray menegang menggenggam setir.
"Tapi Yesus Kristus, kenapa dia harus memotong tangannya" Aku tak peduli dia
gila seperti apa. Itulah yang membuat-Au sedih ... kalian berdua beruntung. Kalian
tak harus pergi perang seperti aku. Perang mengubahmu. Kau pulang, dan kau tak
ingin membicarakannya, tetapi ... pokoknya perang mengubahmu. Itu saja. Hal-hal
yang kau lihat, yang kau lakukan, dan kau kembali menjadi orang sipil dan ....
Ketika aku ditempatkan di Italia aku melihat seseorang meledak hancur tepat di
depanku. Terpotong jadi dua di pinggang .... Jadi, setiap kali aku memikirkan
bagaimana dia datang ke rumah dan mengambil pisauku yang tergantung di dinding.
Memotong tangannya dengan sukarela ... di perpustakaan lagi. Aku tahu dia gila.
Aku tahu dia tak bisa menahannya. Tapi Yesus ...."
Semua itu mengejutkanku mendengar Ray
? menceritakan bagaimana perasaannya atas perbuatan Thomas. Pengakuannya yang
tiba-tiba bahwa di balik perisai bajanya ada sosok yang rapuh. Aku melihat ke
luar jendela karena kau tak akan bisa memandangnya dalam keadaan seperti itu.
"Biarkan aku membantumu mengecat rumah itu, oke?" katanya. "Karena itulah yang
bisa kulakukan sekarang .... Itu saja yang bisa kusumbangkan."
Aku berdeham. "Yeah, terima kasih," kataku. "Kita lihat nanti."
Kami diam beberapa lama satu mil atau lebih. "Benar-benar mengesalkan," kata ?Ray akhirnya. "Di Electric Boat. Kau memberikan seluruh hidupmu di galangan
kapal itu dan kemudian mereka berpaling dan menendangmu keluar pintu. Mencoba
macam-macam dengan pensiunmu lagi."
Aku bilang padanya kalau mereka tak mungkin memecat kambing tua seperti
dirinya bahwa tempat itu mungkin tak bisa jalan tanpa dia.
?"Jangan menipu dirimu sendiri, Bocah," katanya. "Justru kami kambing tua ini
yang mereka kirim ke rumah jagal kali ini. Bangsat korporat. Hati mereka adalah
sebongkah es tak berperasaan."
Aku bergeser di tempat dudukku. "Jadi, kenapa kau mau pergi ke dokter?" kataku.
"Apa" .... Tak apa-apa."
"Apa?" "Tak ada apa-apa. Cuma sedikit kesemutan di kaki, itu saja. Memangnya siapa
kamu, Dr. Kildare?" Berbelok, Ray melihatnya sebelum aku seorang wanita berlari menyeberangi jalan.
?Dia membanting setir, menginjak rem. Walaupun aku sudah menelan dua butir Tylox, rasa sakit
menjalar hebat di leherku.
Ray menurunkan jendelanya. "Kau mau mati ya, Suzie Q!" teriaknya. Dan si "Suzie
Q" mengangkat lengannya tinggi-tinggi ke udara, jari tengahnya teracung.
Hei, pikirku tiba-tiba. Itu Nedra Frank!
Tapi setelah kami lewat, aku berhasil menengokkan leherku yang sakit ke belakang
dan melihat bahwa wanita itu bukan Nedra. Tak mirip sama sekali wajah maupun
?bodinya. "Yesus Kristus, lihat itu!" kata Ray. "Kau lihat itu" Itu adalah hal yang tak
mungkin kau lihat dilakukan wanita dulu mengacungkan jari tengahnya seperti
?itu. Dia seperti Gloria Steinberg. Itulah sumbangan terbesarnya pada
masyarakat." Aku terlalu lelah untuk menanggapinya .... Dan lagi pula, pikirku sembari memijat
leherku, kalaupun itu tadi memang Nedra yang sedang joging bahkan kalaupun dia
?muncul suatu hari nanti, kalau aku berjalan dan menabrak wanita jalang itu itu
?tidak berarti dia masih menyimpan manuskrip kakekku. Dia benar-benar mengamuk
malam itu tidak rasional dan marah besar. Dia mungkin ngebut ke rumah di tengah
?badai salju waktu itu dan langsung membuang kisah sialan itu. Menghancurkan
sejarah Domenico, lembar demi lembar ....
* Ray membangunkanku. Kami sudah parkir di depan
Colburn's Pharmacy. Apa aku ingin dibelikan penahan leher?"
"Apa" .... Uh, tidak."
Di kaca spion samping aku melihat wajah kakakku sebagaimana dia biasa terlihat ?ketika kami membangunkannya dari tidur siang. Ma dan aku. Thomas selalu tidur
lebih lama daripadaku terbangun dan terlihat bingung. Sepertinya tadi dia
?bukannya tidur siang, melainkan habis melakukan perjalanan ke dimensi lain ....
Aku tiba-tiba teringat mimpi yang kualami malam kemarin, sebelum aku kecelakaan:
Ibu Ma, mengambang di balik es, matanya memohon sesuatu padaku ....
Jendela depan Colburn's didekorasi dalam suasana Halloween .... Apa besok itu Hari
Para Arwah atau Hari Para Santa" Aku tak bisa membedakannya. Tak bisa ingat
kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki ke gereja ... aku tak suka agama, aku
mendengar diriku sendiri mengatakan itu pada Dokter Patel. Itu urusan si kembar
Birdsey satunya .... Aku benar-benar berpikir untuk menghentikan pertemuanku
dengan Patel: semua urusan tentang menggali sejarah masa lalu. Untuk apa" Apa
yang bisa kau lakukan tentang masa lalu" Tak ada .... Aku teringat Thomas dan aku
masih kecil saat Halloween. Setiap tahun, dua gelandangan memakai sarung bantal,
dengan mantel dan pakaian sehari-hari tanpa kostum, wajah kami dihitamkan dengan
jelaga. Saat itu Ray masih menoleransi Halloween, tapi dia tak mau
membuang-buang uang untuk membeli jubah drakula, tangan monster dari karet. Dan
kami tak usah sibuk-sibuk merengek. Pulang pukul setengah sembilan tepat. Besok
ke gereja. Halloween lalu Hari Para Santa" Hari Para Arwah" Ulang tahun Ray ....
"Ulang tahun Ray!" Thomas biasanya mengulang-ulang, berminggu-minggu sebelum
waktunya. "Aku tahu. Aku sudah tahu. Berhenti membicarakannya!"
Sungguh menyedihkan. Aku sudah empat puluh tahun dan aku masih bisa mengingat
daftar hadiah ulang tahun yang dibeli kakakku untuk Ray. Gergaji; senter besar;
peralatan semir sepatu deluxe, lengkap dengan sikat bergagang kayu, kain
penghalus, dan kaleng semir. Thomas biasanya membungkus hadiah untuk Ray
seminggu sebelumnya membuat sendiri kartu "Ayah Terbaik di Dunia" yang dia
?warnai sendiri dan disembunyikan di laci pakaian Ray.
Aku tidak begitu. Setiap tanggal satu November, aku terburu-buru sebelum ke
gereja, mengambil dua batang cokelat yang aku beli malam sebelumnya,
membungkusnya dengan halaman kartun koran minggu dari tumpukan koran tua.
Menulis 'Selamat Ulang Tahun' di selembar kertas dan menempelkannya dengan
selotip di bungkusan hadiahku. Dan mengulurkannya pada Ray. "Nih."
Hal yang lucu adalah lebih tepat menyedihkan sebenarnya adalah bahwa Ray tak
? ?pernah terlihat memerhatikan perbedaan usaha kami dalam mempersiapkan hadiah ulang tahun
untuknya. "Yeah, oke, makasih," katanya pada kami berdua kurasa dia malu
?menjadi orang yang ulang tahun dan menerima hadiah. Lalu, Ray, Ma, Thomas, dan
aku akan tergesa-gesa masuk mobil dan berangkat ke misa pagi. Mereka mengapit
kami di bangku gereja, Ma di ujung satu dan Ray di ujung lainnya. Thomas dan aku
di tengah-tengah. Kami duduk dalam posisi yang sama setiap kali .... Dengan sebal
sekaligus merasa bersalah, aku berlutut, berdiri, berlutut lagi diam-diam
?memasukkan permen Halloween dari saku mantelku ke mulut. Makan permen di gereja,
di bawah hidung ayah tiriku. Ray Birdsey, orang yang beralih ke religius, orang
sesat yang berubah menjadi super Katolik: setiap kuluman permen yang kulakukan
adalah ejekan pada Ray dan Tuhan. Berisiko menyebabkan kemarahan mereka ....
Tapi yang tertangkap justru Thomas, bukan aku. Saat kami kelas lima terakhir
?kali kami boleh pergi main trick or treat saat Halloween menurut peraturan Ray.
Sejam sebelum Misa pagi itu, kakakku menghadiahkan sebuah radio transistor pada
Ray. Dia mendapat ide itu musim panas sebelumnya dan mencari uang dengan
mengajak jalan anjing cocker spanie\ Mrs. Pusateri selama berbulan-bulan. Mata
Ray terpejam, wajahnya tersembunyi di balik tangannya yang tertangkup; Ma
memegang rosarinya, berdoa di dalam tangkupan tangannya yang menutupi bibirnya
yang sumbing. Aku diam-diam meletakkan satu wafer Necro ke tangan kakakku. Aku tak
suka wafer Necro, jadi aku tak segan memberikannya pada Thomas. Berdosalah
denganku, Thomas, ajak tanganku padanya. Aku meletakkan wafer itu ke telapak
tangannya dan menekannya. Menggodanya. Makanlah di gereja seperti aku.
Suara keresek pembungkus wafer itu didengar Ray. Dia mengangkat kepala dan
melihat ke samping. Itulah susahnya dengan Thomas: dia tak pernah bisa menguasai
teknik sembunyi-sembunyi tak pernah belajar bagaimana membenci Ray begitu dalam ?sehingga bisa menipunya dengan sukses. Ray mengulurkan tangan melewatiku dan
merampas wafer Necro Thomas memperlihatkannya sebagai bukti ke ibuku. Dia
?melotot ke Thomas tak henti-henti. Memelototi Thomas sepanjang sisa misa. Dan
?ketika Pater Frigault telah memberkati roti sebagai daging, dan anggur sebagai
darah Kristus, seluruh tubuh kakakku gemetaran karena takut akan hukuman yang
akan dia terima setelah misa.
Ray berdiri untuk menerima komuni dan menunggu di ujung bangku. Ibuku dan aku
berdiri dan berjalan melewatinya. Thomas juga berdiri, lalu duduk lagi didorong
?oleh pelototan Ray yang tak berhenti.
"Tubuh Kristus," kata Pater Frigault, memegang roti tipis itu di depan wajahku
saat aku berlutut di depannya.
"Amin," jawabku dan menjulurkan lidahku yang
berlumuran cokelat untuk menerima roti tipis tak berasa itu, yang ukuran dan
bentuknya tidak sebesar wafer Necro. Dengan lidahku, aku menempelkan ekaristi
itu di langit-langit mulutku, membasahinya dengan ludahku yang manis cokelat dan
menelannya. Aku kembali ke bangku dan berlutut di sebelah kakakku, yang sekarang
tidak hanya gemetaran, tapi juga mulai merengek.
Penebusan dosa Thomas dimulai di tempat parkir, ketika dia akan membuka pintu
belakang mobil station wagon kami. Tangan Ray tiba-tiba menjangkau dan
mencengkeram pergelangan kakakku dan mulai memukulinya dengan tangan satunya.
"Dominick," kata Ma, "masuk mobil."
Kami duduk, Ma duduk di kursi depan, aku di belakang. Kami menunggu dengan tubuh
kaku, diam, sementara di luar, Thomas tersedu-sedu sembari merengek minta maaf,
menggeliat-geliat seperti ikan dipancing. Umat gereja St. Anthony lewat,
beberapa orang dari mereka memandangi kami, yang lain melengos tak mau ikut
campur dalam sesuatu yang bukan urusan mereka. Keluarga Birdsey: wanita miskin
pendiam dengan bibir sumbing, kedua anak haramnya, dan mantan pelaut yang sudah
cukup baik mau menjadi ayah mereka. Pria malang, dia harus mengurus mereka
semua. Bekerja di Electric Boat dan membantu membersihkan halaman gereja pada
akhir pekan. Pasti tak mudah dengan istri pendiam seperti itu yang bahkan takut
dengan bayangannya sendiri, dan dua anak bandel itu. Apa pun yang dilakukan
oleh anak itu yang membuat ayahnya marah besar, pasti perbuatan yang sangat
buruk. Ray diam saja selama perjalanan pulang dari gereja St. Anthony ke Hollyhock
Avenue. Kami semua diam, kecuali Thomas, yang terus gemetaran.
Ray meneruskan menghukum kakakku dalam lingkup privasi rumah kami. "Kau adalah
kotoran! Kau sampah! Namamu lumpur!" Thomas meraung dan berjongkok di lantai
dapur dalam posisi tiarap-dan-berlindung seperti yang kami pelajari di sekolah.
"Kau membuat malu ibumu dan aku! Babi rakus!" Untuk penutupnya, Ray mengambil
radio transistornya yang baru, dan melemparkannya sekuat tenaga ke dinding.
Radio itu pecah, baterainya terbang ke seberang ruangan. "Rasakan itu babi! Itu
untukmu! Kau suka?" Malam itu, Ma menyalakan lilin di kue ulang tahun Ray dengan tangan gemetaran.
Dengan suara bergetar, dia mengajak kami menyanyi "Happy Birthday" dan "For He's
A Jolly Good Fellow". Saat Ray tak mau meniup lilinnya, Ma membungkuk dan
meniupnya sendiri. Telah berjanji menikahi Ray Birdsey dalam kondisi suka maupun
duka, Ma bertekad untuk percaya pada kebaikan Ray, tak peduli bukti menunjukkan
kebalikannya. Tak peduli apa yang kami rasakan. "Sepotong kecil saja, please,"
kata Thomas. "Tanpa es krim, please." Ray berdiri dan keluar ruangan, tanpa
menyentuh kue dan es krimnya.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thomas tak pernah mengadukan aku tak pernah bilang pada Ray bahwa akulah, bukan?dia, yang
menyelundupkan permen ke misa. Dan aku juga tak pernah mengaku tak pernah
?merasakan konsekuensi dari apa yang sebenarnya terjadi pagi itu. Itulah
ironisnya, pil pahit yang harus kutelan selama hidupku semenjak itu: bahwa
akulah yang bersalah, yang seharusnya menerima kemarahan Ray. Tapi dia selalu
mengejar Thomas. Thomaslah yang selalu dimarahi Ray.
"Nih," kataku pada Thomas malam itu setelah kejadian di ulang tahun ayah tiri
kami. "Aku tak mau barang ini. Ambil saja. "Aku melemparkan permen Milky Wars,
Skybars, dan Butterfingers ke ranjangnya."
Thomas menggeleng. "Aku juga tak mau."
"Kenapa tidak?"
Dia menangis. "Karena aku kotoran. Karena aku babi rakus."
Ray selalu menunggu. Berusaha menangkap basah Thomas dalam setiap kesempatan,
setiap perayaan Hari Ayah, setiap ulang tahun, dan Natal: 'Untuk Ayah Terbaik di
Dunia!' Semua itu sudah berlalu, pikirku saat duduk di mobil Galaxy Ray di luar
Colburn's Pharmacy, setengah tak sadar karena Tylox. Semua itu sejarah masa
lalu. Mengapa harus menggali masa lalu" Mengapa aku harus duduk di kantor Patel
itu setiap minggu dan mengatakan padanya kisah sedihku"
* Sesampai di rumah Rood, Ray bilang padaku kalau dia akan mampir dan menjemputnya segera setelah dia pulang dari dokter. "Mungkin aku akan
mampir di apotik dulu dan membelikanmu penopang leher," katanya. "Siapa tahu kau
ingin memakainya nanti. Aku juga akan membelikan rantai untukmu dan kerah
antilalat." Aku turun dari mobil. Ray memperingatkan aku jangan terlalu memaksakan diri. Dia
bisa membantuku besok, katanya mengingatkan. Kalau suami istri Rood tak mau
menunggu sehari lagi, persetan dengan mereka.
Aku sudah berada di rumah Rood sekitar setengah jam sudah melepas sebagian ?besar penutup jendela di lantai bawah ketika Ruth Rood muncul di jendela. Dia
?melambai dan aku membalas.
Aku kesulitan bekerja dengan satu tangan: benar-benar menyakitkan. Ray benar:
kedatanganku di sini untuk bekerja adalah ide yang bodoh. Darah mulai merembes
ke perbanku tak banyak, hanya sedikit. Paling hanya beberapa jahitan yang
?terbuka lagi. Tanganku sakit. Dan lagi pula, bagaimana caranya aku membawa
penutup jendela ini ke rumah" Ini tak akan bisa masuk ke mobil Galaxy Leo dan
aku lupa untuk memintanya meminjam truk Eddie. Mungkin Leo bisa mengurus kredit
di diler. Atau mungkin Labanara mau meminjamkan truknya padaku. Aku tak bisa
minum penahan rasa sakit lagi sebelum aku selesai
mengikuti sidang Thomas pukul empat nanti. Begitu penahan rasa sakit yang
kuminum tadi habis pengaruhnya, tangan dan leherku pasti akan terasa sakit
sekali. Ruth Rood keluar ke beranda memakai jubah mandi. Dia berdiri saja, tangannya
meremas-remas serbet seperti yang dilakukan Ma saat dia gugup. Ruth sepertinya
ingin mengatakan sesuatu.
"Apa kabar?" kataku. Aku terus bekerja berusaha melepaskan sebuah mur yang
karatan. "Aku tak mendengar kau datang," katanya. Aku berkata padanya kalau aku diantar.
"Aku mengalami kecelakaan tadi malam," katanya. "Menghancurkan trukku." Matanya
kosong. Kesehatanku rupanya sama sekali tak masuk ke pikirannya.
Ruth berjalan ke ujung beranda dan berdiri di sana selama beberapa saat dan
berjalan lagi mendekatiku. Apa dia menangis" "Sebenarnya ini bukan hari yang
baik untukmu berada di sini," katanya.
"Henry sedang mengalami waktu yang buruk sekarang. Dia tidak sehat."
Aku berhenti. Memandangnya. "Dia tertekan," katanya.
Henry tidak sehat" Henry tertekan" Perkataannya itu membuatku sa-ngat marah,
dengan cepatnya sehingga obengku yang tadi susah bergerak karena mur karatan
mulai menekan dan berputar. Bukankah dia dan Henry selama tiga minggu ini terus-
menerus menelepon menyuruhku ke
sini" Kalau aku mengingat kembali setiap pesan telepon mereka ....
"Aku tak lama kok," kataku. "Aku hanya akan melepaskan semua penutup jendela
saja, seperti yang kubilang di telepon. Paling tak sampai satu jam."
"Mungkin lebih baik kau pulang sekarang," katanya. "Bisakah ... bisakah kau
pergi?" Aku mengingatkannya bahwa aku baru saja menghancurkan trukku bahwa aku tak bisa
?pergi sebelum jemputanku datang. Ya Tuhan, aku benci orang-orang ini.
"Baiklah," katanya. Dia berbalik dan masuk rumah.
Aku marah. Tak peduli tangan dan leherku sakit, aku mulai menyeret, menarik, dan
menaikkan tanggaku hingga ke lantai dua. Dengan satu tangan, aku mencengkeram
satu sisi tangga dan mulai naik. Ada baiknya juga bekerja saat marah: itu
membuat adrenalinemu naik tajam. Bahkan meskipun susah payah naik turun tangga,
aku berhasil melepaskan penutup jendela lantai dua lebih cepat daripada lantai
bawah. Meski sakit, meski murnya karatan, aku bekerja dengan cepat. Keringat
bercucuran. Untuk pertama kalinya sejak kemarin aku tidak memikirkan trukku,
kakakku atau siapa pun yang telah meniduri pacarku.
Setelah satu jam, aku mulai kelelahan. Aku sudah memindahkan dan menata semua
penutup jendela di lantai satu dan dua. Sekalian saja dua jendela di lantai tiga
itu. Aku meletakkan tanganku
yang sehat di atas mataku dan memicingkan mata ke arah jendela loteng, dengan
atap sirap itu. Sebenarnya lebih masuk akal kalau aku menekan bel pintu dan naik
lewat rumah, lalu keluar lewat jendela loteng itu. Tapi, hei, bukankah aku
sebaiknya tidak mengganggu Henry yang malang saat dia tertekan, iya kan" Tidak
ketika Henry yang malang mengalami hari yang buruk. Dia seharusnya bertukar
tempat denganku kalau dia ingin tahu seperti apa hari yang buruk itu. Bertukar
tempat dengan kakakku. Itu pasti akan menyembuhkan depresinya. Sejauh yang
kutahu, si Henry tua hidup enak.
Aku berjalan ke trotoar dan melihat ke sepanjang Gillette Street. Berpaling ke
arah sebaliknya. Tak ada tanda-tanda Ray. Mungkin dia telah pergi karena ingin
membelikanku penopang leher sialan itu. Itu, atau dia masih di dokter. Aku harus
pulang membaca lagi catatan untuk sidang. Apa pun yang membuat Ray terlambat, ?sepertinya aku tak akan sempat tidur siang.
Aku duduk di pagar depan rumah Rood. Memandang ke arah dua jendela lantai atas
itu. Aku bisa membantumu pagi hari. Itu akan bagus sekali: bertemu dengan Ray
setiap hari saat kerja. Mendengarkan dia menceramahi-ku tentang bagaimana dia
melakukan sesuatu tentang caraku yang selalu salah .... Hanya sedikit kesemutan
?di kaki. Itu tepat seperti yang kubutuhkan: dia naik tangga dan kakinya mati
rasa. Apa sih, penyebab kesemutannya itu" Karena diabetesnya" Aku
bahkan tak bertanya padanya tadi.
Tanganku mulai terasa sangat sakit. Ray masih belum muncul. Aku memasukkan
tangan ke saku, mengeluarkan pil penahan rasa sakitku yang terakhir. Kalau aku
menelannya sekarang, kepalaku pasti sudah jernih pukul empat nanti. Bagaimana
aku bisa pulang dan tidur kalau aku kesakitan seperti ini" Tapi Sheffer pasti
menyukainya: aku datang ke sidang dalam keadaan tak sadar karena pengaruh pil
penghilang rasa sakit. Kalau ada orang yang bisa meyakinkan Dewan Kajian untuk
melepaskan kakakmu, orang itu adalah kamu ....
Aku melihat jendela di lantai tiga itu lagi. Persetan, pikirku. Lagi pula aku
cuma duduk-duduk menunggu. Kalau aku bisa melepaskan dua penutup jendela
terakhir itu, maka itu akan jadi pekerjaanku yang terakhir. Mungkin aku bisa
membawanya ke Willard dan meminta mereka membersihkannya daripada aku
melakukannya sendirian. Sekalian saja. Aku sudah merugi melakukan pekerjaan ini.
Aku menggeser tangga lipatku yang mencapai tiga puluh kaki ke jendela itu.
Sebenarnya lebih mudah melepaskan jendela lantai tiga itu dibanding lantai dua:
aku hanya perlu naik ke jeruji dan naik balkon di depannya. Sebenarnya ini bukan
hari yang baik untukmu berada di sini. Berani sekali dia mengatakan itu ... aku
naik, terus hingga ke jeruji.
Dari lantai tiga, aku bisa melihat hingga ke ujung Gillette Street dan menuju
Oak Street. Hingga garis keperakan sungai. Masih tak ada tanda-tanda Ray.
Padahal aku harus pulang: mempelajari lagi catatan
untuk sidang. Mandi; aku pasti bau sekali sekarang. Dokter bilang agar aku
menjaga perban supaya tidak basah memasang tas plastik saat mandi atau
?semacamnya. Aku tak mau kalau Joy ada di rumah dan membantuku nanti .... Cepatlah
Ray. Penutup jendela bagian kiri mudah sekali lepasnya: kosen jendelanya sudah sangat
lapuk, sehingga aku bisa menarik keluar murnya dengan tangan setelah memutarnya
beberapa kali. Mungkin akan sulit sekali memasang penutup jendela itu nanti,
tapi melepasnya tidak ada masalah. Aku mengangkatnya, berhati-hati sehingga aku
bisa membawanya turun ke jeruji, lalu ke tanggaku.
Sesuatu menabrak tanganku gerakan sayap berbulu di pergelanganku. "Yesus!" ?umpatku, melepaskan penutup jendela yang kubawa. Benda itu menghantam jeruji,
terpental dan jatuh ke samping.
Aku melihatnya pecah berantakan di bawah ketika benda hitam itu terbang kembali
ke arahku. Selama sedetik kukira itu adalah bagian dari penutup
jendela serpihan atau apa. Lalu aku menyadari apa itu. Melihat dari dekat:
?kelelawar sialan. "Pergi dari sini!" teriakku, mengusirnya. Sialan, aku benci kelelawar; aku takut
pada mereka. Kalau kau ingin bukti bahwa ada setan di dunia, lihatlah kelelawar
dari dekat. Kelelawar itu kembali ke tempat dia tidur tadi, berputar-putar mencari
perlindungan dari penutup jendela yang sudah tak ada. Lalu ia hinggap di
ambang jendela, tiga kaki dari wajahku.
Aku memandangnya dan ia balas memandangku memiringkan kepalanya yang sebesar
?kacang walnut dan mengamatiku. Ketika binatang itu membuka rahangnya dan
berdesis, aku cukup dekat untuk melihat bagian dalam mulutnya yang berwarna
merah jambu, gigi-giginya yang runcing. Jantungku berhenti. Keluar keringat
dingin .... Si kecil berengsek ini bisa saja membunuhku tadi. Bisa saja kau yang
pecah berantakan di bawah sana tadi dan bukannya penutup jendela itu.
Kelelawar itu terus menggerakkan kepalanya, memandang. Mengamatiku. Aku meraih
sabuk peralatanku, mengambil beberapa mur dan mulai melempari kelelawar itu.
Kelelawar itu berdesis lagi, mengepakkan sayapnya dan terbang ke pohon terdekat.
"Dan tetap di situ!" kataku. Aku lalu bersandar ke dinding rumah beberapa saat
untuk menenangkan diri. Saat itulah aku melihatnya. Henry Rood. Dia berdiri di depan jendela loteng,
memandang ke luar. Apa dia memandang-Zcu" Atau melewatiku" Menakutkan melihat
caranya memandang. Dan aku juga melihat bayanganku di kaca jendela menutupinya.
"Apa?" kataku. "Apa yang kau inginkan?" Pergi dariku, man. Kataku dalam hati.
Berhentilah memandangiku. Berhenti memandangku. Rood. Memasukkan pistol ke
mulutnya. Aku kaget dan spontan melangkah mundur.
Terjatuh. Tak ada suara yang kudengar saat aku terjatuh
ke bawah. Aku bisa melihat mereka berdua dalam gerakan lambat dan
?bersinar putriku dan ibuku. Angela berputar-putar di atasku. Dia mengenakan
?gaun putih bersih. T i g a Puluh "Bawa mayatnya," kata sang monyet.
"Mayat yang mana?"
"Yang tergantung di pohon cedar."
Laiu aku melihatnya, tali melingkari lehernya, tubuhnya yang telanjang bergoyang
ke depan, ke belakang, depan dan belakang. Aku mendekatinya pelan-pelan, dan
mayat itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan hendak memelukku. Tangannya
yang terpotong sudah tumbuh kembali.
"Tapi dia masih hidup," kataku.
"Bunuh dia," kata sang monyet. "Bawa mayatnya. "
Jantungku berdegup kencang. Aku tak berani menolak. Ketika aku naik ke atas
batu, dia dan aku saling berpandangan. Aku berpaling dari matanya yang memohon.
Mengangkat karung hingga ke atas kepala dan menariknya. Dia memberontak,
menggeliat, berkedut. Lalu diam.
Aku menurunkan dia dari pohon. Menggotongnya di atas bahuku, terhuyung-huyung
menuju suara air terjun. Dan ketika aku melihat air terjun, bebanku jadi ringan
dan aku sadar bahwa aku tak lagi membawa mayat kakakku, tapi mayat sang monyet.
"Maafkan aku," bisik mayat itu, bibirnya bergerak-gerak di dekat telingaku. Aku
berhenti berjalan, terkejut melihat mayat bisa bicara.
"Memaafkanmu untuk apa?"
Monyet itu mengeluh. * Miguel, perawat jaga malam, menunjuk ke kantong yang tergantung di tiang di
dekat ranjangku. "Itu bukan karena kamu, Teman," katanya. "Itu karena morfin.
Banyak pasien yang mengigau karena diberi ini."
Aku mengangkat kedua tanganku untuk melihatnya yang dijahit dan yang satunya. ?Aku telah mengecewakan kakakku merasa seakan-akan aku telah meninggalkannya.
?"Mimpi itu terasa sangat nyata," kataku.
Miguel menangkupkan tangannya di bawah es loli yang kujilati sejak tadi dan
memegangnya di depanku. Aku menggigitnya sekali lagi. "Itulah masalahnya dengan
halusinasi, iya kan?" katanya. "Apakah itu nyata atau apakah itu karena Memorex"
Kau pernah pakai LSD?"
Aku menggeleng, dengan susah payah gara-gara penopang leher.
"Aku pernah menggunakannya beberapa kali dulu saat masih muda, sebelum Istri
?Nomor Dua memergokiku dan memarkirku di program rehabilitasi. Suatu kali saat
aku tripping, aku mengira sedang berlari dengan sekelompok anjing liar. Aku kira
aku sudah berubah jadi anjing. Aku berani bersumpah itu terasa sangat nyata .... Hei,
kau mau ini lagi" Yang ini sudah mulai mencair."
Aku bilang tidak. Mengulurkan tangan dan memegang tiang yang tergantung di atas
ranjangku. Menggeser posisiku sedikit. "Ngomong-ngomong ini untuk apa?" tanyaku
sembari menepuk gips di bahuku.
"Otot trapeziusmu robek terbentur pojok balkon saat kau jatuh, kukira. Aku
?bicara dengan perawat yang memasukkanmu. Orang ini pergi ke gereja yang sama
denganku. Dia menceritakan kejadiannya padaku. Dia bilang mereka berusaha
menolongmu selama lima menit penuh sebelum mereka sadar kalau mereka mengurusi
orang yang salah .... Hei, bagaimana katetermu?"
"Lebih baik," kataku.
"Kau yakin?" Ketika dia mengangkat selimut untuk melihatnya, aku mengangkat
kepalaku. Melihat kakiku yang dijepit dengan gips, telapak kakiku yang membiru
bengkak. "Yesus, berantakan sekali," kataku. Aku berpaling dan gemetar.
"Bisa lebih buruk lagi, Teman," kata Miguel. "Bisa lebih buruk."
Menurut Miguel, ketika paramedis datang ke Gillette Street nomor 207 merespons
telepon dari Ruth Rood yang histeris, mereka menemukanku pingsan di halaman
depan, di antara pecahan penutup jendela. Paramedis langsung membuat dua
kesimpulan yang salah: bahwa aku adalah Henry Rood dan kejatuhanku dari loteng
merupakan usaha bunuh diri yang diteriakkan histeris lewat telepon oleh Mrs. Rood. Kaki kiriku
tertekuk di bawah tubuhku; telapak kakiku bergeser ke kanan. Tulang keringku
terlepas dari sendinya, patah dan mencuat keluar. Mereka membiusku dan bersiap
untuk membawaku ke rumah sakit sebelum akhirnya seseorang berhasil memahami
teriakan histeris Ruth tentang loteng, suaminya, dan pistol yang dia tembakkan
ke kepala. Aku ingat jatuh, tapi tak ingat bagaimana aku mendarat. Kilasan-kilasan setelah
aku jatuh kembali kuingat: seekor anjing menggonggong di antara orang-orang yang
berkerumun di trotoar, seseorang berteriak marah ketika paramedis mencoba
melepaskan sepatu bot kerjaku. (Apa yang berteriak itu aku") Aku bilang pada
Miguel aku tak ingat merasa sakit. "Itu karena otak manusia berfungsi seperti
sekering listrik," kata Miguel. "Ketika terjadi sesuatu yang terlalu
menegangkan, sekering itu putus dan membuatmu tak sadar." Ia membolak-balikkan
tangannya untuk mendemonstrasikan maksudnya. "Mereka bilang komputer ini hebat, komputer ini
anu," katanya. "Kalau kau mau tahu teknologi canggih, lihat saja tubuh manusia."
Henry Rood dinyatakan meninggal setibanya di Shanley Memorial, kata Miguel,
meski sebenarnya mungkin dia sudah mati sesaat setelah dia menekan pelatuk.
Menurut cerita paramedis teman Miguel, setengah bagian belakang kepala Rood
muncrat ke dinding dan lantai. Aku dibawa ke Shanley tak lama
setelah Rood, di ambulans kedua dengan trio paramedis kedua pula. Dr. William
Spencer, kepala bedah ortopedi ditelepon dari turnamen golf ayah-dan-anak di
ujung lain negara bagian dan tiba di Shanley sekitar pukul enam sore. Dialah
yang memutuskan kalau kakiku yang remuk, pergelangan dan tulang yang patah dan
terlepas di tungkai bagian bawahku membutuhkan operasi segera. Malam itu juga.
Operasi sekitar pukul tujuh lewat hingga lewat tengah malam, saat itu sekitar
empat belas tulang dan retakan tulang kakiku telah disambungkan dengan mur dan
plastik juga dua pin metal. Kata Miguel, di kakiku sekarang banyak sekali metal
sehingga mungkin bisa menghantarkan listrik.
Aku bertanya bagaimana kondisi Mrs. Rood apa dia mendengar sesuatu.?Miguel mengangkat bahu. "Pemakamannya hari Senin. Aku membacanya di koran. Hei,
kalau boleh aku permisi sebentar. Aku harus mengecek sobatmu di sana itu." Dia
berjingkat ke sisi lain ruangan dan menghilang di balik gorden pemisah.
Ketika aku kembali memejamkan mata, di mataku melintas Henry Rood di depan
jendela loteng, memandang ke luar. Dia mati dengan marah, itu yang pasti. Aku
pernah membaca kalau mereka mati dan meninggalkan banyak urusan di dunia, maka
mereka akan mendapat siksaan setimpal. Mungkin dia marah pada Ruth: mungkin dia


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru saja marah-marah pada istri kecilnya yang malang. Tapi mengapa dia menyeret
aku dalam masalah ini" Pergi ke atas sana dan memandang-Zcu dengan mata
setannya sebelum dia menembak kepalanya sendiri" Tubuhku mulai gemetar, awalnya
sedikit saja lalu jadi tak terkontrol.
"Miguel" ... Hei, Miguel?"
Kepala perawat itu menyembulkan kepalanya dari balik gorden. "Ada apa" Kau
kedinginan?" Dia bilang harus mengecek beberapa hal, tapi akan datang sebentar
lagi membawakan selimut. Dan dia keluar ruangan.
Aku memejamkan mata dan mencoba melupakan bayangan Rood. Kenanganku kembali ke
mimpiku barusan. Monyet di atas pohon cedar .... Ya Tuhan, aku mencekik kakakku
sendiri: tak peduli apakah aku dalam pengaruh morfin atau tidak, bajingan macam
apa yang memiliki mimpi sekejam itu" Perutku tiba-tiba mual. Aku berusaha meraih
nampan plastik di meja, tapi gagal, dan seluruh isi perutku tumpah di pangkuan.
Ketika Miguel kembali, dia membersihkan muntahanku dan mengganti celanaku.
"Bagaimana rasanya sekarang?" tanyanya. "Kau merasa lebih baik?"
Aku tersenyum lemah. "Bisakah kau .... Apa kau
benar-benar sibuk?" "Apa yang kau butuhkan, Teman?"
"Aku ... aku ingin tahu apakah kau bisa duduk di
sini. Menemaniku sebentar saja, aku hanya ... aku ii
"Yeah, baiklah," katanya. "Malam ini lumayan sepi. Kurasa aku bisa menemanimu
sebentar." Dia duduk di sebelah ranjangku.
"Sekarang hari apa?" tanyaku. "Aku bahkan tak tahu sekarang hari apa."
"Sabtu," katanya. Dia memutar lehernya untuk melihat jam di lorong. "Pukul
1.35." "Sabtu" Kok sudah Sabtu?"
"Karena kemarin Jumat, Teman. Kau sudah tak sadar selama dua hari. Malam pertama
kau datang, kau adalah pasien paling bandel yang pernah kulihat. Kau selalu
mencoba untuk turun dari ranjang, melepaskan infusmu. Pasti bagus sekali, bukan"
Kau dengan kondisi seperti ini turun dari ranjang dan mencoba berjalan dengan
kakimu itu" Walaupun sudah mengalami pembedahan, diterapi dengan Percoset dan
diinfus morfin, kau benar-benar"
Aku mulai paham: aku tak datang ke sidang Thomas. Aku mengecewakan kakakku.
"Tanggal ... hari ini tanggal berapa?"
"Tanggal" Hari ini" Tiga November."
Aku melihat Thomas, dengan karung di atas kepalanya. Aku meraih pembatas ranjang
dan mencoba bangun. "Aku harus menelepon," kataku. "Tolong. Aku harus tahu apa
yang terjadi padanya."
Miguel memandangku, mengira aku berhalusinasi lagi. "Apa yang terjadi pada
siapa?" "Kakakku. Apa kau dengar sesuatu" Tentang apa yang terjadi padanya?"
Miguel mengangkat bahu. "Aku mendengar apa yang terjadi pada trukmu. Aku tak
dengar apa-apa tentang kakakmu. Kenapa" Apa yang terjadi padanya?"
Kubilang itu terlalu rumit untuk diceritakan aku cuma harus menelepon.?"Siapa yang akan kau telepon pada pukul setengah dua dini hari" Dengar, kau agak
bingung, itu saja. Itu biasa terjadi kalau kau terus terbaring di ranjang selama
dua, tiga hari. Kalau kau menelepon seseorang sekarang, mereka pasti akan datang
ke sini dan mematahkan kakimu yang satu lagi. Kau tak berpikir Teman. Kau harus
menunggu hingga pagi."
Sebelumnya aku pasti akan melawan. Marah besar padanya. Tapi aku sudah tak punya
tenaga lagi. Aku merasa tak berdaya, putus asa. Air mataku mengalir begitu saja.
"Hei, hombre," kata Migueal. "Ayolah. Semuanya akan baik-baik saja. Ini cuma
karena pengaruh morfin." Dia mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. Aku
bisa menelepon siapa pun yang kumau besok pagi, janjinya. Kalau dia masih
bertugas, dia akan memencetkan nomornya untukku. Dia terus menggenggam tanganku
hingga sedu sedanku berhenti.
Miguel bilang kalau dia kerja dua shift malam kemarin. Dia telah bertemu dengan
keluargaku. Dia bertanya apakah kakakku adalah pria tinggi yang datang ke sini
dengan ayahku dan istriku.
Dia mengunjungiku" Thomas" Kalau begitu apa mereka telah melepaskannya"
"Apa dia .... Kami kembar," kataku. "Apa dia mirip aku?"
Miguel mengangkat bahu. "Pria itu tinggi, agak
gemuk. Rambutnya gelap seperti rambutmu, tapi tidak, tak mirip kau. Dia bilang
kalau akan main film."
Aku memejamkan mata. "Itu temanku," kataku. "Leo."
Apa tadi dia baru bilang kalau istriku menjenguk" Aku tak ingat dijenguk siapa
pun. "Aku pernah melihat orang itu di suatu tempat. Aku cuma tak ingat di mana.Apa
dia benar akan main film, atau dia cuma mengibuliku?"
"Aku tak tahu," kataku. "Istri .... Kau bilang istriku ke sini?"
Dia mengangguk, tersenyum lebar. "Hei, kalau kau tak keberatan aku bilang,
istrimu sangat cantik. Kau dan dia akan punya anak, bukan" Mei" Dia mengatakan
semuanya padaku." Joy. Joy yang menjengukku. Bukan Dessa.
"Hei, bayangkan saja: saat anakmu keluar dari perut nanti, kau sudah akan bisa
berjalan, dan berlari-lari seperti dulu. Ikut mengganti popok dan sebagainya."
Aku memejamkan mataku lagi. Menahan rasa merinding yang mulai menjalar.
"Aku dan istriku baru punya bayi bulan lalu," katanya. "Anak ketiga. Plus aku
punya anak perempuan dari pernikahan pertama. Blanca. Aku punya empat anak.
Blanca sudah sembilan belas. Aku bahkan tak percaya waktu berlalu begitu cepat."
Miguel mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan foto-foto mereka padaku.
Anak di perut .... "Hei, ayolah, Sobat," kata Miguel. "Kau harus
berpikir positif. Lihat. Ini foto istriku." Jempolnya menunjuk foto seorang
perempuan montok berambut cokelat panjang yang ada di tengah foto keluarga.
Meskipun mataku buram oleh air mata, aku terpesona oleh pandangannya yang tajam
langsung ke kamera. Aku menggumamkan basa-basi menyatakan dia wanita yang
cantik. "Yeah, dan dia juga tak mau menerima omong kosong dari siapa pun.
Terutama aku. Dia tiga perempat keturunan Prancis Kanada dan seperempat
Wequonnoc. Kau tak akan main-main dengan campuran macam itu. Kau tahu kan, apa
maksudku?" Aku mengembalikan foto-fotonya. Membuang ingus. Berdeham. "Menikah dengan
seorang Wequonnoc, ya?" kataku. "Begitu kasino besar itu dibangun kau mungkin
harus berhenti bekerja dan di rumah saja menghitung seluruh uangmu."
Miguel tertawa. "Hei, aku suka itu, Man. Mungkin beberapa tahun lagi kau aku
akan menjadi Donald Trumpnya orang Puerto Rico. Siapa tahu, iya kan?"
Kami diam selama beberapa menit. Hening, kecuali suara desir mesin IV, dengkur
pasien di sebelah, di balik gorden.
"Dia pacarku," kataku.
"Hmm?" "Dia pacarku, Joy. Bukan istriku."
"Yeah" Kalau kalian berdua akan punya anak, itu sama saja. Kau dan dia sama saja
seperti menikah begitu tesnya menyatakan 'positif, kau tahu maksudku, kan" Ini
anak pertamamu?" Aku memalingkan mata. "Anak pertamanya," kataku. "Yeah?"
"Aku ... pernah punya anak. Perempuan." "Kok seperti kau tak akan ketemu dia
lagi." Aku menggeleng.
"Pasti berat, Teman. Tak bisa bertemu dengan anakmu. Itulah yang kusepakati
dengan mantan istriku. Kami mengaturnya sehingga aku bisa bertemu dengan Blanca
setiap akhir pekan. Dan itu juga sangat berharga, karena dia jadi anak baik. Dia
sekarang belajar untuk jadi sekretaris hukum .... Jadi, di mana sekarang putrimu"
Dia tinggal di negara bagian lain?"
"Dia meninggal."
Miguel terdiam beberapa menit. Tak biasanya aku berterus terang seperti
itu tentang Angela. Tapi aku terlalu capek untuk pura-pura.?"Wow, pasti berat sekali," kata Miguel akhirnya. "Tak ada yang lebih berat dari
itu .... Tapi, sudahlah, kau akan punya anak lagi bukan" Kau harus berpikir
positif. Dan aku serius pacarmu itu wanita yang cantik. Kalau aku pasti akan
?senang sekali punya pacar seperti dia, kau tahu" Aku tak bermaksud kurang ajar."
"Apa ... apa ada orang lain yang mengunjungiku?"
"Orang lain?" Miguel menggeleng. "Tidak saat aku jaga. Setahuku tidak. Hanya
pacarmu, ayahmu, dan pria itu si bintang film."
?* Resepsionis Rumah Sakit Jiwa Three Rivers menjawab teleponku tepat pukul 7.00
pagi dan meneruskan teleponku ke pos keamanan di Hatch, Unit Dua. Tidak, kata
penjaga yang menjawab telepon, kami tak diberi izin memberikan informasi tentang
pasien lewat telepon. Tidak, dia tak bisa memberikan nomor telepon rumah Lisa
Sheffer, meski ini kondisi darurat. Hal terbaik yang dapat dia lakukan adalah
mengontaknya dan menyampaikan pesanku.
Ray tidak menjawab teleponku. Dan ketika aku menelepon rumah, yang kudengar
adalah suaraku di mesin penjawab, mengoceh tentang jasa pengecatan: perkiraan
gratis, kepuasan dijamin. Lima menit kemudian, telepon di sebelah ranjangku
berdering. "Dominick?" terdengar suara Sheffer. "Bagaimana kabarmu" Aku sangat kaget ketika
tahu apa yang terjadi."
Aku bertanya apakah mereka menunda sidangnya.
Sheffer terdiam. "Begini saja," katanya. "Aku akan datang ke sana. Kurasa akan
lebih baik kalau kita bertemu langsung. Apa kau sudah merasa baik untuk
dijenguk?" "Katakan saja," kataku. "Apakah mereka menunda sidangnya atau meneruskannya?"
"Mereka terus."
"Di mana dia?" "Di mana dia" Sekarang" Dia di Hatch, Dominick. Dengar, biar aku minta temanku
menjaga Jesse selama sejam atau lebih, dan aku akan ke sana sesegera mungkin. Oke?"
Aku meletakkan gagang telepon ke tempatnya, tapi aku menjatuhkan teleponnya
ketika akan meletakkannya kembali ke meja di samping ranjangku. Aku tak berhasil
menarik kabelnya. Ketika aku berpaling ke ranjang sebelah, aku melihat teman
sekamarku berbaring miring, terbangun, memandangku. "Kau mau aku ambilkan itu ?untukmu?" katanya.
Dia bangkit dari ranjang, sambil kentut keras dan panjang. "Whoops, maaf,"
katanya. Kakinya yang berselop menyeberangi ruangan. "Itu tadi salah satu efek
samping diet yang mereka terapkan padaku. Membuatku kebanyakan gas."
Pria itu mengambil telepon. Berdiri di samping ranjangku, menggerak-gerakkan
kakinya. "Senang melihatmu kembali ke dunia orang hidup," katanya. Dia sekitar
lima puluh tahun rambut beruban, berjanggut, dan perutnya yang buncit mengintip
?dari jubahnya yang kekecilan. Aku ingin bilang padanya, kembali ke ranjangmu.
Aku tak mau bergaul. Tinggalkan aku sendiri.
Dia memandang ke kakiku. "Ya ampun, itu bagus sekali," katanya. "Bagaimana
rasanya?" Aku mengangkat bahu. "Lumayan. Mereka memberiku cukup banyak morfin."
"Yeah ... kalau tidak bagaimana kau bisa tahan, benar, kan" ... Mereka
menceritakannya padaku para perawat saat kau datang dua hari lalu. Jatuhmu
? ?lumayan juga, ya?"
"Begitu yang kudengar."
"Aku di sini karena perutku luka," katanya. "Infeksi usus." Dia menepuk
perutnya. "Tapi menurut mereka sudah terkontrol. Mereka cuma ingin mengawasiku
selama akhir pekan ini, aku mungkin keluar Senin nanti."
"Uh-huh. Bagus." Aku memejamkan mata. Mendengarkan langkah kakinya kembali ke
ranjangnya. Mengapa Sheffer tak mengatakan saja padaku lewat telepon apa yang terjadi"
Karena itu berita buruk, pasti itulah sebabnya. Katakan dengan lembut pada si
orang malang itu .... Si Usus Berdarah tadi akan keluar kapan" Senin" Berapa lama aku akan terjebak di
sini" Dan berapa lama aku tak bisa bekerja setelah aku keluar" Aku harus bicara
dengan dokter bedah itu. Dokter siapa ..." Yesus, orang itu telah mengoperasiku
selama lima jam dan aku bahkan tak bisa mengingat namanya. Tak bisa membayangkan
wajahnya. Aku mungkin harus menunggu hingga Senin untuk bisa bicara dengannya,
aku tak yakin dokter bedah itu mau datang ke rumah sakit pada akhir pekan.
"Bersabarlah Sayang," suara Ma terngiang di kepalaku. Kau harus lebih sabar
menghadapi orang-orang. Dan berapa banyak aku harus keluar uang untuk semua masalah ini" Trukku, operasi
selama lima jam, tinggal di hotel Club Med ini. Aku sudah mengeluarkan biaya
lumayan banyak bulan September lalu sebelum peristiwa besar Thomas di
?perpustakaan dan bahkan saat itu pun aku
?memperkirakan hanya akan mendapatkan sekitar dua puluh dua, dua puluh tiga ribu
dolar setahun ini, dengan beberapa pekerjaan sampingan pada bulan November dan
Desember. Tentu saja aku tak bisa melakukan pekerjaan sampingan pada bulan-bulan
itu sekarang. Dan bagaimana kalau aku tak bisa lagi naik turun tangga" Aku tak
bisa berhenti bekerja .... Asuransiku pasti menanggungku kali ini, bukan" Aku
harus menunggu sampai Senin untuk tahu itu. Dan aku ragu kalau aku bisa mengerti
tetek bengek kebijakan ruwet yang tertulis di polis asuransiku. Hanya
membayangkan aku harus menelepon asuransi membuatku lelah. Kalau Anda ingin
mengajukan klaim personal, tekan satu. Kalau Anda ingin mengajukan klaim bisnis,
tekan dua. Kalau seluruh hidup Anda hancur berantakan, silakan tunggu ....
Aku membayangkan rumah horor di Gillette Street itu masih diperancah, catnya ?dikorek, dan diampelas kayu-kayunya, menunggu dipernis dan dicat. Yesus Kristus,
rumah itu seperti kutukan. Mungkin aku bisa membujuk Labanara agar mau
menyelesaikan pekerjaan itu. Atau Thayer Kitchen di Easterly. Kitchen biasanya
membersihkan dinding saja, tapi kadang dia juga mengecat. Siapa pun yang akan
menyelesaikan pekerjaan itu, aku harus membayarnya dari kantongku sendiri.
Biarlah. Daripada aku yang harus ke sana lagi ....
Aku bertanya-tanya bagaimana kabar Ruth Rood. Benar-benar mengerikan: naik ke
loteng dan menemukan otak suaminya berceceran di
mana-mana. Siapa yang mendapatkan kehormatan membersihkan loteng itu" Bukan
Ruth, kuharap. Si bangsat Rood. Begitu dia bisa melewati syoknya, Ruth akan
lebih baik tanpa dia. Siapa yang tak akan ketagihan minuman, kalau menikah
dengan orang seperti itu"
Lebih baik tanpanya: persis seperti kata-kata ayah Dessa ketika Dessa
mengumumkan pada keluarganya bahwa dia akan bercerai denganku. Leo mengatakan
itu padaku. Gene mengatakan itu setelah piknik Empat Juli tahunan diler mobil
Gene di rumah Constantine setelah semua karyawan pulang dan hanya keluarga yang
?ada. Saat itu, aku dan Dessa sudah berpisah selama dua bulan .... Tapi demi Tuhan,
itu masih menyakitkan: mendengar dari Leo bahwa Pak Tua mengatakan itu. Lebih
baik tanpanya. Padahal, kami dulunya lumayan akrab Gene dan aku. Kami saling
?menghargai. Lagi pula, kami bertambah akrab ketika sering bersama setelah
kematian bayiku dan Dessa, ketika Dessa terus-menerus menelepon ibunya,
memintanya datang. Big Gene juga selalu datang. Dan kami biasanya duduk berdua,
dia dan aku, memandang ke TV bodoh itu dan berharap waktu segera berlalu.
Menunggu Dessa berhenti menangis dan menyadari bahwa kematian Angela bukanlah
kesa\ahar-nya. Kesalahan kami .... Hei, hingga sekarang aku juga berjuang
mengatasi perasaan itu. Hingga sekarang malah; kalau saja aku melakukan ini,
seandainya aku melakukan itu. "Kau seperti seorang putra bagiku, Dominick," kata
Gene suatu kali saat kami menunggu di bawah, di depan TV. Salah satu dari kami
pastinya telah mematikan TV, dan Gene mungkin merasa dia harus mengatakan
sesuatu. "Seperti seorang putra yang tak pernah kupunyai." Dan aku percaya
itu memercayai Big Gene yang mencari uang dengan menjual separuh kebenaran dan
?janji-janji palsu pada pembeli mobil. Seolah aku tak pernah mencari ayah
kandungku sendiri .... Tapi memangnya apa yang kuharapkan" Bahwa dia akan
memilihku dibandingkan putri kandungnya" Yang memberinya kebanggaan dan
kebahagiaan" Apa yang kutahu tentang kasih sayang seorang ayah" Aku punya contoh
yang baik dalam hal itu, lihat saja pria yang menghamili ibuku. Tak pernah
muncul, meninggalkan ibuku mengandung anak kembar. Terkait dengan ayah, tak ada
yang mau mengakuiku. Aku dan kakakku ditinggalkan selamanya. Beban kembar Ray
?Birdsey .... Dan senyampang aku berbaring di sini, tidak membohongi diriku sendiri, aku
sebaiknya mengakui: Big Gene benar. Dessa lebih baik tanpa aku. Aku dan seluruh
bebanku masa kanak-kanak yang suram, kakak yang gila, bahkan dengan vasektomi
?yang kulakukan. Mensterilkan diriku sendiri tanpa mendiskusikan dengannya dulu.
Mengendapendap di belakang punggungnya dan melakukannya saat Dessa pergi
sehingga ... sehingga ... kemarahanmu meracuni segaia sesuatu yang baik tentang
dirimu, kata Dessa pagi itu ketika dia bilang akan meninggalkanku. Aku pergi
karena kau mengisap semua oksigen di sekitar kita, Dominick. Karena aku harus bernapas ... dan dia
juga benar. Berbaring di sini, tak bisa bergerak karena jatuh dari atap rumah
Rood, aku akhirnya bisa mengerti. Mengerti apa yang dimaksud Dessa. Menjalani
vasektomi seperti itu, menghilangkan semua kemungkinan untuk punya anak ... aku
pasti sangat-sangat marah hingga melakukan hal seperti itu. Dan bagaimana
tentang kesetiaan seorang ayah yang selalu kupermasalahkan" Bagaimana dengan
itu, Birdsey" Apanya yang setia kalau seorang ayah pergi menjalani vasektomi
tanpa pikir panjang. Menghilangkan kemungkinan untuk mempunyai anak lagi. Itu
pasti ayah yang sangat setia bukan, Dominick" Setia pada istrimu, pada
pernikahanmu, pada anak yang mungkin bisa saja lahir kemudian .... Itulah sebabnya


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dessa pergi ke Yunani. Untuk menentukan apakah dia mau mencoba lagi. Dan dia
kembali, tahu kalau dia ingin mencoba lagi .... Jadi akui saja, Birdsey. Jangan
mengelak lagi. Kau lebih berperan dalam mengakhiri pernikahanmu ketimbang dia.
Dessa mungkin memang yang pergi karena dia tak bisa "bernapas", tapi kaulah yang
meng-akhirinya. Kau yang mengisap semua oksigen dari ruangan. Membunuh
kemungkinan, harapan untuk punya anak lagi .... Dan semua bayangan tentang rujuk
yang kau buat untuk menipu dirimu sendiri kebiasaanmu pergi melewati rumah ?pertanian tempatnya tinggal dengan pacarnya yang sekarang. Itu giia, man .... Aku
seperti hantu yang menginginkan apa yang
telah kami punya dan hilangkan. Dan bukannya menerima dengan pasrah, aku malah
pergi ke sana dan menabrakkan trukku. Aku sudah melakukan semua omong kosong ini
selama bertahun-tahun. Bertahun-tahun ....Sayang sekali aku tidak mati saat
menabrakkan trukku. Atau mungkin aku memang sudah mati. Mungkin aku sudah
membunuh diriku sendiri pada hari ketika aku pergi ke dokter dan meminta
vasektomi. "Inilah aku, potong saja aku. Hilangkan pilihan yang mungkin
kupunya." Mati. Itu seperti ... bahwa kematian Angela adalah kecelakaan terbesar
dan terburuk dalam perkawinan kami. Dan Dessa ... Dessa berhasil bangun dan
menerimanya. Berjalan pergi darinya, melanjutkan hidup. Dan aku belum. Aku mati
tertabrak. Terlindas. Jangan menangis. Bertahan! Bertahan!
Persetan. Aku terlalu capek bermain sok tangguh. Aku tak peduli apakah Tuan Usus
Berdarah di sebelah mendengarku atau tidak. Aku capek. Habis. Kalau aku ingin
menangis, biarkan saja ....
Aku bertanya-tanya apakah Ruth Rood punya keluarga yang mendukungnya. Beberapa
teman yang mengunjungi dan menemaninya" Dia bukanlah wanita yang jahat. Dia
ramah padaku, meskipun aku bermasalah dengan rumah mereka .... Aku teringat Henry
Rood di depan jendela itu lagi bagaimana ia berdiri di sana memandang ke luar
?padaku. Mengapa aku, Henry" Mengapa kau harus naik ke loteng itu dan memandang
seperti itu pada-ku" Apa yang kau lakukan, Bangsat mengajakku mati"
?Ya Tuhan, aku tak tahan hanya berbaring di
?sini dan berpikir. Tapi apa yang bisa kulakukan" Turun dari ranjang dan berjalan
pergi" Melompat ke trukku yang rusak dan pergi" Miguel pernah bilang tentang
memberikan sesuatu yang membantuku tidur. Itulah yang kuinginkan: tidur hingga
akhir hidupku yang menyedihkan. Bangun setelah semua orang yang kukenal mati dan
bayi yang menurut Joy bayiku itu telah dewasa dan tak mengenaliku. Bangunkan aku
ketika semua ini selesai. Bangunkan aku ketika ajal menjelang. Hanya saja
masalahnya kalau aku tidur masih akan ada mimpi. Monyet mati, kakakku yang mati.
Yesus .... Jadi, coba lihat, Dominick. Kau tak mau tidur, tapi kau juga tak mau
terbangun. Jadi yang tinggal hanyalah pilihan ketiga. Kematian .... Dan kalau aku
memilih itu, apa yang akan terjadi" Aku takut memikirkannya, tapi juga sedikit
tertarik. Setidaknya aku tahu satu hal: aku tak akan membuat semua berantakan
seperti yang dilakukan Henry Rood. Tak seorang pun pantas mendapatkan masalah
yang kutinggalkan. Jadi, dia memang tidur dengan pria lain di belakangku.
Membuat dirinya hamil. Itu tidak membuatku berhak membuatnya susah sepanjang
sisa hidupnya. Teman sekamarku kentut lagi. "Whoops," katanya. "Maafkan aku lagi." Aku mencoba
mengabaikannya. Mungkin aku tak harus susah-susah bunuh diri. Mungkin yang harus
kulakukan hanyalah berbaring di sini dan mati menghirup gas yang dikeluarkannya.
"Hei, kau mau baca koran?" katanya. "Aku punya
Record dan New York Post. Aku sudah selesai." Sebelum aku sempat menolak, dia
sudah turun dan berjalan ke arahku.
"Makasih," kataku. "Aku akan membacanya nanti." "Terserah kau," katanya. "Aku
tak butuh lagi. Hei, aku benar-benar minta maaf tentang semua gas yang
kukeluarkan ini. Ini karena diet yang mereka terapkan. Aku tak bisa apa-apa."
"Nggak masalah," kataku. Dalam hati aku berkata; oke sekarang kembalilah ke
ranjangmu dan tutup mulut. Aku tak ingin jadi sobatmu di rumah sakit. Biarkan
aku berbaring di sini dan berpikir tentang mati.?"Ngomong-ngomong, namaku Steve," katanya. "Steve Felice." "
Dia menunggu. Terus memandangku. "Dominick Birdsey."
"Tukang cat, kan?"
Aku mengangkat bahu. "Dulunya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi sekarang.
Dengan kakiku seperti itu." Dia hanya berdiri di sana, menunggu. "Apa ... apa
pekerjaanmu?" "Aku" Bagian pembelian. Di EB." Dia bilang padaku kalau nasib kami berdua sama.
Benar-benar mengerikan tak tahu bulan demi bulan kapan PHK akan memangsamu. Itu
?akan membuatmu tertekan setelah beberapa lama. Itulah bagaimana dia mengalami
radang usus karena khawatir setiap akhir tahun apakah masih bisa bekerja atau
?tidak. Sebelum semua ini, dia adalah orang yang santai. Lumayan santai,
setidaknya. Menurutnya memang
begitu. Tapi persetan, katanya. Dia dengan orang-orang Indian akan mulai mencari
pekerja musim semi nanti. Mereka pasti butuh agen pembelian bukan" Apalagi usaha
besar semacam itu" Mereka pasti butuh memesan barang-barang. Membeli barang-
barang. Atau mungkin akan pergi ke kasino itu dan mencoba sesuatu yang
lain membagikan kartu blackjack mungkin, atau mencoba memanajeri salah satu
?restoran yang mereka buka di sana. Begitulah hidup, bukan" Mengambil kesempatan"
Memainkan kartu sedikit"
Aku bilang padanya, ayah tiriku bekerja di Electric Boat.
"Yeah," katanya. "Big Ray. Kami ngobrol lama dua hari terakhir ini, dia dan aku.
Dia datang ke sini tiga atau empat kali menjengukmu."
Benarkah" "Dia pasti senang melihatmu hari ini. Kau tahu, sudah sadar kembali normal.
?Kemarin kau agak kacau. Dia mengkhawatirkanmu."
"Benarkah?" "Yah, tentu saja. Katanya, dia tiba di tempat kau kerja tepat ketika mereka
memasukkanmu ke ambulans. Dia menjemputmu, kan" Benar-benar mengerikan: melihat
anakmu dinaikkan ke ambulans, berteriak-teriak, dan kau tak bisa apa-apa. Tentu
saja, dia khawatir. Dua anakku sudah dewasa dan keluar dari rumah sekarang, tapi
aku masih saja khawatir. Itu tak akan berhenti. Tunggu saja sampai kau punya
anak sendiri. Kapan istrimu melahirkan" Mei?"
Apa yang telah dilakukan Joy berdiri di atas kursi dan membuat pengumuman ke
?semua orang" "Lihat saja. Kau akan khawatir tentang anakmu, kapan saja." Naik kembali ke
ranjang, Steve kentut lagi. "Whoops," katanya. "Nongol lagi. Pardone."
Aku meraih telepon. Menelepon Ray. Aku bermaksud memberikan laporan medisku
padanya: bahwa aku sudah kembali ke Planet Bumi. Tapi tak ada jawaban di sana.
Aku menelepon rumahku lagi. Kali ini Joy menjawab; suaranya serak baru bangun
tidur. "Ini aku," kataku. "Kembali dari kematian." Diam di ujung sana.
"Dominick?" "Yeah. Kau belum menguangkan polis asuransiku, kan?"
Joy terdengar lega, kurasa begitu. Dia terus-menerus memanggil namaku. Dia
mungkin saja menangis dia bukan wanita cengeng, tapi mungkin saja dia menangis.?Kami berbicara selama sekitar setengah jam. Saling memberikan kabar. Joy yang
lebih banyak bicara. Ketika aku menutup telepon, dia sudah memberitahuku tentang
bagaimana dia berjaga selama tiga hari di rumah sakit, bagaimana Ray membuatnya
gila, dan bagaimana dia mulai merasa mual-mual. Dia akhirnya berhasil
menghubungi Dr. Spencer tadi malam, katanya.
Itulah nama dokter bedah itu: Spencer, Dr. Spencer ....
Dokter itu bilang semuanya akan diketahui setelah bengkakku kempis sebelum itu,
?yang bisa dilakukan hanyalah menunggu, tapi dia optimistis meski tetap waspada.
Dia agak khawatir tentang
dosis penahan rasa sakit yang diberikan padaku. Tak baik memang, tapi
diperlukan, katanya, karena tulang-tulangku remuk parah-remuk. Tapi Dr. Spencer
tak mau aku jadi kecanduan obat. Ini akan menjadi hal yang sulit untuk dilewati.
Delapan hing-ga sepuluh hari perawatan di rumah sakit, mungkin terapi fisik
?terbatas dimulai hari Senin. Aku mungkin harus menjalani terapi fisik setidaknya
selama enam bulan. Mereka masih belum pasti tentang kerusakan permanennya; semua
kemungkinan masih terbuka. Aku mungkin harus menjalani pembedahan lagi dalam
?rentang waktu enam sampai sembilan bulan mungkin. "Katanya ini adalah patah
tulang paling parah yang pernah dia operasi," kata Joy. "Dia mungkin akan
menulis tentang ini di jurnal medis. Dia ingin kau menandatangani surat izin
sehingga-" "Bagaimana dengan Thomas?" kataku. "Apa kau dengar sesuatu" Bagaimana kabarnya?"
Tarikan napas panjang. Diam lama. "Dominick," katanya. "Mengapa kau tidak
mengkhawatirkan dirimu sendiri untuk sekali ini, dan bukannya kakakmu" Mungkin
kalau kau mengurus dirimu sendiri dan bukannya lari ke mana-mana seperti ayam
yang kepalanya terpotong selama beberapa hari"
"Aku tak datang ke sidang, Joy. Aku mengecewakannya."
"Demi Tuhan, Dominick. Dengar aku. Kau harus berhenti mencoba menjadi
penyelamatnya dan mulai mengurus Dominick saja. Menurutmu mengapa
semua ini terjadi" Bagaimana kau selalu terburu-buru ke sana setiap dua detik,
tak tidur, terlalu tegang memikirkan kakakmu" Pikirkanlah dirimu sendiri,
Dominick. Pikirkanlah aku. Tentang bayi kita."
Bayi kita: bagaimana dia bisa melakukannya" Berbohong mentah-mentah seperti itu.
Karena pada dasarnya dia adalah pembohong. Karena kejujuran tak pernah ada dalam
diri Joy. Dan apakah aku seharusnya terus menerima kebohongannya" Menjadi orang
bodoh dan berpura-pura akulah ayah bayi itu" Menjadi seperti Ray, ayah pengganti
yang kubenci selama hidupku"
Joy bilang dia akan datang menjengukku segera setelah membersihkan diri dan
makan. Kalau dia bisa makan. Perutnya tak mau menerima apa pun kecuali Slim-Fast
rasa stroberi. "Makanan sampah itu?" kataku. "Itu saja yang kau makan?"
Joy bilang jangan mengomelinya tentang itu bahwa itu lebih baik daripada tak
? makan apa-apa, bukan" Apa aku butuh sesuatu" Apakah aku ingin dia melakukan
sesuatu untukku" "Yeah," kataku. "Telepon Ray. Katakan aku sudah baikan." Diam. Lima, enam, tujuh
detik. "Apa?" "Aku hanya .... Kenapa bukan kau saja yang meneleponnya" Aku yakin dia lebih
senang mendengarnya langsung darimu daripada dari aku." Aku bilang yeah,
baiklah, aku akan meneleponnya. Bilang padanya tak perlu tergesa-gesa.
Menyuruhnya mencoba makan telur sebelum pergi.
"Telur?" katanya. Mengerang. Aku bilang santai saja, aku nggak akan ke mana-
mana. "Aku cinta padamu, Dominick," katanya. "Aku tak yakin aku menyadari betapa aku
mencintaimu hingga beberapa hari terakhir ini." Joy bilang dia tak bermaksud
marah-marah padaku tentang kakakku. Hanya saja, beberapa hari ini sangat berat
baginya. Ya Tuhan, dia merasa muat.
"Oke," kataku akhirnya. "Sampai jumpa di sini." Dan cepat-cepat menutup telepon.
Yesus, pikirku. Si Felice di sebelahku pasti berpikir aku adalah lelaki
tercengeng yang pernah dilahirkan. Lagi pula, buat apa aku menangis" Karena Joy
bilang bahwa dia mencintaiku" Karena aku tak bisa membalasnya" Aku berharap bisa
mengambil kunci trukku dan pergi dari sini. Lari, seperti yang selalu kulakukan.
Tapi aku tak bisa ke mana-mana. Aku terjebak.
Dari pojok mataku, aku melihat si Usus Berdarah pura-pura tak melihatku. Dia
turun dari ranjangnya lagi. Berjalan ke jendela. Bersiul .... Mereka khawatir aku
kecanduan penahan rasa sakit" Tidak mungkin, kalau salah satu efek sampingnya
adalah halusinasi seperti yang kualami pada tengah malam kemarin .... Mencekik
kakakku sendiri. Yesus, Dr. Patel akan senang sekali menganalisis mimpi itu
kalau saja aku mau kembali ke kantornya buang-buang waktu saja. Mengingat ?kembali masa kanak-kanakmu seperti menyeret mayat. Dan lalu apa" Apa gunanya"...
Bawa mayatnya. Tapi dia masih hidup. Bunuh dia.
Apa itu yang dialami Thomas selama dua puluh satu tahun terakhir ini" Suara-
suara monyet yang bisa bicara" Apakah morfin telah membuatku bisa sedikit
merasakan apa yang terjadi di dalam otak kakakku" Aku tak ingat bagaimana suara
monyet itu tapi aku ingat bagaimana suara itu membuatku takluk. Aku bahkan tak
?bertanya apa-apa aku melakukan apa yang dikatakannya .... Mungkin Miguel salah.
?Mungkin itu bukan karena morfin. Aku tak pernah membaca ada skizofrenia yang
muncul setelah usia empat puluh tahun, tapi itu tak berarti apa-apa. Mungkin aku
tak lama lagi akan terbaring di ranjang sebelah Thomas di Hatch. Ranjang kembar
untuk skizofrenik kembar. Suara-suara monyet, stereo. Kecuali bahwa aku tak akan
membiarkannya sejauh itu. Tak akan.
"Yeah, kau harusnya mendengar kami berdua ngobrol kemarin, ayahmu dan aku," kata
Felice. "Kami berdua mengeluh tentang The Boat." Dia berdiri di depan pintu
sekarang menggerak-gerakkan kakinya,
?memandang orang lalu-lalang.
Dia bukan ayahku, aku ingin berkata begitu. Dia ayah tiriku. Tapi aku diam saja.
Biarkan, Dominick. Kau selalu mengoreksi setiap orang selama ini dan satu-
satunya orang yang peduli pada fakta itu hanyalah kamu.
"Benar-benar kejam melihat apa yang mereka lakukan pada pria tua seperti ayahmu,
ya" Mencoba menipu pensiunnya" Maksudku, aku sudah bekerja di sana selama tujuh belas tahun.
Itu sudah buruk. Tapi ayahmu mulai bekerja di sana sejak kapan lima puluh dua" ?Lima puluh tiga" Dia memberikan hampir empat puluh tahun hidupnya dan itu saja
yang dia terima?" Felice berjalan lagi ke ranjangnya dan duduk. "Bisnis
besar apa peduli mereka" Jabatan dan catatan kerjamu tak lebih daripada sekadar
?pion catur bagi mereka: selalu seperti itu. Kau kira Henry Ford peduli tentang
seorang karyawan di bidang perakitan" Kau kira, siapa namanya yang di Atlanta
itu" Ted Turner" Kau kira dia peduli tentang si malang yang menyapu lantai di
? ?CNN?" Dia mengangkat kakinya ke ranjang. Kentut lagi. "Hei, apakah kau akan
terganggu kalau aku menyalakan TV" Bukannya ada yang bisa ditonton Sabtu pagi
begini, tapi aku mulai merasa agak gila di sini. Kadang, kau bisa menonton
program memancing atau boling atau semacamnya."
"Nyalakan saja," kataku.
"Kau suka memancing?"
Aku bilang padanya kalau aku dulu sering memancing tapi aku tak pernah lagi
?sejak mulai bisnis mengecat.
"Yeah, begitulah kalau kau bekerja untukmu sendiri. Itu sisi kerugiannya .... Aku
suka mancing. Dan berhasil membujuk pacarku untuk menyukainya juga. Ketika kami
dulu baru berkenalan dia bahkan tak tahu bagaimana memegang tongkat pancing.
Sekarang dia menyukainya. Sekitar sebulan lalu, dia berhasil menangkap ikan
trout sepanjang lenganku.
Aku hampir kena hernia membantu dia mengangkat ikan besar itu dari air. Aku
punya fotonya di meja kerjaku, dia dan ikan itu."
"Aku sering memancing saat kecil," kataku. "Kakakku dan aku. Kami sering pergi
di hilir The Falls dan memancing ikan snapper blues."
"Benarkah" Serius" Di hilir The Falls bagian mana?"
Aku tak ingin melakukan ini: mengoceh tentang memancing dengan si ramah itu. "Di
... uh ... dekat kuburan Indian," kataku. "Ada tiga pohon birch putih berjejer.
Melewati" "Kau tak akan percaya ini!" kata Felice. "Kami juga sering pergi ke sana.
Ayahku, pamanku, dan aku. Aku tahu tepatnya tempat yang kau bicarakan. Yah,
mungkin kita pernah ketemu di sana, kau dan aku, dan kita tak ingat. Dunia
memang kecil, ya?" Dia menyalakan TV. "Ngomong-ngomong, namaku Steve. Steve
Felice." "Ya, kau sudah bilang padaku."
"Benarkah" Ya Tuhan otakku jadi suntuk di sini. Kurang rangsangan kurasa. Diam
saja seperti ini membuatku gila. Pacarku bilang kalau aku jadi kasar itu berarti
pertanda baik. Aku bukan tipe orang yang duduk saja, kau tahu" Cuci mobil,
memotong rumput aku harus selalu melakukan sesuatu, baik diperlukan atau tidak.
?Kau tahu maksudku?"
Felice mencari-cari saluran TV kartun, The Frugal Gourmet, si George Will yang
?sombong. Felice akhirnya memilih program flora fauna singa gunung yang
?mengendapendap akan memangsa
antelop. "Ia menerkam," terdengar suara narator yang beraksen Inggris. "Ia
menerkam tenggorokannya. "
"Oh, hei, aku lupa bilang padamu," kata Felice. "Tunanganku bilang dia kenal
kamu." "Hmm?" Aku berpaling padanya.
"Pacarku. Dia ke sini kemarin. Dia bilang kenal kamu di suatu tempat. Awalnya
dia tak mengenalimu, tapi kemudian dia ingat."
"Yeah?" Hal sopan hal yang seharusnya kulakukan adalah menanyakan nama ? ?tunangannya, kembali mengatakan padanya kalau dunia ini memang kecil. Tapi aku
tak ingin bersikap sopan. Aku tak peduli siapa pacarnya. Aku memejamkan mata
agar dia diam .... Mungkin aku bisa menghubungi Dr. Spencer pada akhir pekan,
pikirku. Dan kapan Sheffer akan datang ke-mari" Untuk orang yang bilang dia akan
segera datang, dia benar-benar lamban.
"Yeah, lucu juga," kata Felice. "Kalau kau bilang padaku setahun lalu bahwa
sebaiknya aku menikah lagi, aku pasti bertanya apa kau lagi mabuk. Istri
pertamaku dan pengacaranya membuatku bangkrut. Kau tahu kan, maksudku" Dan aku
bukan hanya bilang tentang barang-barang yang berhasil dia rampas dariku rumah,
?mobil yang lebih bagus. Aku juga bicara tentang pahitnya. Sisi emosionalnya.
Saat bercerai, aku bilang pada diriku sendiri. Uh-uh. Nggak lagi. Bukan aku. Aku
bahkan menulis janji itu di kartu indeks dan menempelkannya ke kotak obat: tak
akan lagi. Itulah yang kutulis. Dan sekarang,
aku malah berencana menikah lagi. Di Utah, mungkin. Kami pergi ke sana musim


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panas lalu. Kau pernah ke Barat?"
Aku memejamkan mataku. "Kau tahu apa yang kulakukan dengan pacarku dua pekan lalu" Kami keluar dan
membeli sepasang baju Western senada topi, bot jaket. Dan juga tidak murah.
?Mereka tak menggratiskan barang-barang itu. Tapi aku tak tahu. Kami cocok, dia
dan aku. Dan itu agak aneh, karena dalam banyak hal kami ini seperti siang dan
malam .... Tapi kalaupun aku berhenti dari The Boat dan berakhir di kasino
membagikan kartu blackjack, hidup tetap berjalan, bukan" Kau harus mengambil
kesempatan yang datang atau kau tak ada bedanya dengan orang mati. Coba saja,
dan lihat apa kau masih termasuk orang yang hidup."
Aku tak menjawabnya. "Kau tahu di mana kami bertemu?"
Aku pura-pura tidur. "Di Partners. Kau tahu restoran steik kecil di rute 4" Kakakku dan suaminya
meneleponku suatu malam, dan mengajakku makan malam di luar, dan ke sanalah kami
pergi. Awalnya, kami pergi ke tempat lain ke Homestead tapi tempat itu tutup
? ?karena dipesan untuk sebuah pesta pribadi. Jadi, kami berdiri di pintu dan
berkata, "Oke kita bisa pergi ke mana lagi?" dan aku bilang, "Ayo, coba ke
tempat itu, Partners." Jangan tanya kenapa aku bilang begitu, tapi akulah yang
menyarankan, maksudku aku bisa saja mengatakan nama tempat
yang lain, bukan" Tapi aku bilang, "Partners". Dan ke sanalah kami pergi.
"Saat itu Kamis malam. Dan di sana ada acara dansa bersama." Felice berhenti,
kentut. Menarik napas lega. "Kalau setahun lalu kau bilang padaku bahwa aku
bertemu dengan istriku di acara dansa bersama, aku pasti bilang kau sudah gila.
Tapi hidup tak bisa diduga itulah keindahannya. Aku tak mau susah-susah
?memikirkannya. Membuatmu sakit maag. Aku mulai percaya pada nasib saat aku
berumur lima puluh tahun sadar bahwa aku tak mungkin jadi penguasa dunia. Apa
?yang dibilang anak-anak muda sekarang" 'Ikut arus saja'... Tapi ngomong-ngomong,
?kata pacarku dia kenal kami. "Dari kehidupan sebelumnya," katanya. Tak masuk
akal juga kami bisa bersama kami sama sekali tak mirip. Yah, kurasa kami
?sekarang mulai mirip. Istri pertamaku, Maureen, pasti akan marah besar melihatku
memakai baju koboi itu. Tapi siapa peduli dia. Aku hanya ikut arus saja."
Suara auman terdengar di TV yang dipasang di dinding, disusul suara kaki
binatang berlarian. "Tapi antelop yang lincah bukannya tak punya akal, "kata
sang narator. Rantai manusia yang panjang berdiri berpegangan tangan di padang rumput. Di
barisan paling depan, Ray memegangi kakiku. Aku mengambang di udara, hanya
ditahan oleh cengkeraman erat ayah tiriku. Kalau pegangannya lepas, kalau kakiku
lepas dan jatuh ke tanah, aku akan naik ke langit seperti balon helium ....
Aku membuka mata. Perawat montok berkulit hitam berdiri di samping ranjangku,
memeriksa nadiku. "Aku Vonette," katanya. "Aku akan menjagamu hari ini. Oke?"
Aku menggeliat. Mengedip-ngedipkan mata. "Oke."
"Kau sudah tahu kalau kau dijenguk?"
Sheffer mendekati ranjang, tersenyum. "Oh," kataku. "Hai."
"Hai." Dia memegang pot bunga krisan kuning dan kado kecil. "Ini untukmu,"
katanya. "Yang kecil dari Dr. Patel; bunganya dari aku." Dia meletakkan semuanya
ke meja di samping ranjangku.
Kami berbasa-basi sebentar sementara perawat menyelesaikan memeriksa kondisiku.
Di luar Hatch, Sheffer terlihat lebih kurus. Dan sedikit bodoh: celana monyet,
topi rajutan ditarik hingga hampir menutupi matanya. Aku langsung melihat
bibirnya: memar yang berusaha ditutupi dengan bedak. Ketika dia memergokiku
memandang bibirnya, dia menutupkan tangan ke mulutnya. Menyembunyikan bibir luka
dengan tangan, sama seperti Ma.
"Aku akan kembali lagi untuk mengganti infusmu sekitar setengah jam lagi," kata
Vonette. "Kita tak mau kau mati sebelum makan siangmu datang, bukan?"
"Yeah, apa makannya?" kataku. "Ayam ala pasta rasa kertas dinding?"
Vonette berpaling ke Sheffer, menggelengkan
kepala. "Pasti sudah mau sembuh," katanya. "Selalu begitu kalau mereka mulai
mengeluh tentang makanannya."
Aku memandang ke arah ranjang Steve Felice. Kosong, selimutnya berantakan. TV
Prahara Darah Biru 2 Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai Wanita Iblis 23
^