Da Vinci Code 1
The Da Vinci Code Karya Dan Brown Bagian 1
FAKTA Biarawan Sion adalah organisasi nyata - sebuah masyarakat rahasia Eropa yang
didirikan pada tahun 1099. Pada tahun 1975, Perpustakaan Nasional di Paris
menemukan sebuah perkamen yang Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah dikenal
anggota sebagai Les Dossiers Biarawan Sion, yang mencakup nama-nama seperti Sir
Isaac Newton, Botdcelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci. Prelatur Vatikan
yang dikenal sebagai Opus Dei adalah sebuah sekte Katolik yang amat taat, yang
telah menjadi bahan kontroversi baru-baru ini berkenaan dengan adanya berbagai
laporan mengenai kegiatan cuci otak, pemaksaan, dan sebuah praktik berbahaya
yang dikenal sebagai corporal mortification, "penistaan jasmaniah". Opus Dei
baru saja menyelesaikan pembangunan Markas Besar Nasional seharga $ 47 juta di
243 Lexington Avenue, New York.
Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel
ini adalah akurat. PROLOG Museum Louvre, Paris 10:46 Malam KURATOR TERKENAL Jacques Sauni?re menatap jauh melintasi selasar berongga Galeri
Agung Museum Louvre. Ia menerjang lukisan terdekat yang dapat ia lihat, lukisan
Caravaggio. Dengan mencengkeram bingkai bersepuh emas itu, lelaki berusia 76 itu
merenggutkan mahakarya itu ke arah dirinya. Lukisan itu terlepas dari dinding,
dan Sauni?re terjengkang di bawah kanvas. Seperti yang telah ia perkirakan,
gerbang besi jatuh bergemuruh di dekatnya, menghalangi pintu masuk ke
ruangansuite itu. Lantai parket bergetar. Di kejauhan, sebuah alarm mulai
berdering. Sang kurator terbaring sebentar, tersengal-sengal, mengumpulkan tenaga. Aku
masih hidup. Ia merangkak keluar dari bawah kanvas, dan memindai ruangan seperti
gua itu, mencari-cari tempat untuk sembunyi. Seseorang bicara, dekat dan
mengerikan. "Jangan bergerak!" Dengan bersitumpu pada tumit dan tangannya, sang
kurator membeku, perlahan memalingkan kepalanya ke arah suara itu. Hanya lima
belas kaki jauhnya, di luar gerbang yang tertutup, sebuah siluet raksasa dari
penyerangnya menatap menembus jeruji besi. Lelaki itu sangat lebar dan tinggi,
dengan kulit sepucat hantu, dan uban tipis di rambutnya. Bola matanya tampak
merah. muda, dengan pupil berwarna merah gelap. Si albino mencabut pistol dan
jasnya, dan membidikkan moncongnya melewati jeruji, langsung kepada sang
kurator. "Kau mestinya tau Ian." Aksennya sukar ditentukan dari mana asalnya.
"Sekarang, katakan di mana." "Sudah kukatakan," sang kurator tergagap, berlutut
tak berdaya di lantai galeri. "Aku sama sekali tak mengerti apa yang
kaubicarakan!" "Kau bohong." Lelaki albino itu menatapnya, benar-benar tak bergerak, kecuali
gerakan matanya yang seperti hantu. "Kau dan kelompok persaudaraanmu memiliki
sesuatu yang bukan hak kalian."
Sang kurator merasakan desiran adrenalin. Bagaimanamungkiniatahuhal ini"
"Malam ini, para pengawal yang benar-benar berhak akan dipulihkan hak haknya.
Katakan di mana benda itu tersembunyi, dan kau akan hidup." Lelaki itu memakukan
pistolnya ke arah kepala sang kurator. "Apakah itu sebuah rahasia yang mesti kau
jaga sampai mati?" Sauni?re tak dapat bernapas. Lelaki itu memiringkan
kepalanya, mengintip lewat barel pistolnya. Sauni?re menyilangkan tangannya,
mencoba melindungi diri. "Tunggu," katanya perlahan. "Akan kuberi tahu apa yang
ingin kautahu." Sang kurator lalu mengucapkan kata-kata berikumya dengan hati-
hati. Kebohongan yang Ia ucapkan itu telah dilatihnya berulang-ulang ... setiap
kali melatihnya, ia berdoa agar tak akan pernah menggunakannya.
Ketika sang kurator usai bicara, penyerangnya tersenyum dengan angkuh. "Ya. ini
persis seperti kata yang lain padaku." Sauni?re menggigil.Yanglain" "Aku
menemukan yang lain juga," lelaki besar itu menggoda. "Ketiga
tiganya. Mereka membenarkan apa yang baru saja kaukatakan." Takmungkin!
Identitas sejati sang kurator, bersama dengan identitas ketiga s?n?chaux-nya,
nyaris sama sucinya dengan rahasia kuno yang mereka jaga. Sauni?re kini
menyadari bahwa para s?nechaux-nya, dengan menaati sebuah prosedur yang ketat,
telah memberikan dusta yang sama sebelum mati. Ini adalah bagian dari protokol.
Si penyerang itu mengarahkan pistolnya lagi. "Ketika kau mati, aku akan menjadi
satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran tersebut."
Kebenaran. Dalam sekejap, sang kurator menyadari kengerian sesungguhnya dari
situasi ini. Jika aku mati, kebenaran akan lenyap selamanya. Secara instingtif,
ia mencoba untuk merangkak dan, mencari perlindungan.
Pistol menyalak, dan sang kurator merasakan panas yang menyengat ketika peluru
itu membenam ke dalam perutnya. Ia tersungkur ... berjuang melawan rasa sakit.
Perlahan, Sauni?re berguling dan menatap balik pada penyerangnya melalui jeruji
besi. Si penyerang kini berancang-ancang rneletupkan tembakan mematikan ke kepala
Sauni?re. Sauni?re menutup matanya. Pikirannya adalah pusaran beliung rasa takut dan
sesal. Suara klik dari magasin yang kosong bergema melintasi koridor. Mata sang
kurator membuka cepat. Si lelaki besar melirik senjatanya, memandangnya dengan
hampir-hampir terhibur. Ia menjangkau Hip kedua, tapi kemudian tampak menimbang
ulang, menyeringai dengan tenang pada isi perut Sauni?re. "Aku sudah selesai."
Sang kurator memandang ke bawah, dan melihat lubang peluru pada kemeja linen
putihnya. Lubang itu dikitani oleh sebuah lingkaran darah yang kecil, beberapa
inci di bawah tulang dadanya.Perutku. Peluru itu meleset dari jantungnya.
Sebagai seorang veteran dari la Guerre d'alg?rie, sang kurator telah menyaksikan
kematian yang mengerikan seperti ini. Ia akan bertahan selama lima belas menit,
ketika asam-asam lambungnya merembes ke dalam rongga dadanya, meracuninya dari
dalam perlahan-lahan. "Rasa sakit itu baik,Monsieur," ujar si lelaki besar.
Kemudian dia pergi. Kini sendirian, Jacques Sauni?re memalingkan lagi tatapannya
ke gerbang besi. Dia terperangkap, dan pintu-pintu tak akan dapat dibuka kembali
paling tidak untuk dua puluh menit lagi. Saat siapa pun mencapai tubuhnya, ia
sudah mati. Namun demikian, rasa takut yang sekarang mencengkeram dirinya jauh
lebih besar daripada rasa takut akan kematiannya sendiri.
Akuharusmewariskanrahasiaini. Sambil menatap kakinya, dia seperkumpulannya yang
telah mati. generasi yang telah hidup sebelum
membayangkan ketiga saudara Dia berpikir tentang generasi demi mereka ...
tentang misi yang telah dipercayakan kepada dirinya dan para saudaranya itu.
Sebuahrantaipengetahuanyangtakpernahputus. Kini, lepas dari segala tindakan
berjaga-jaga ... lepas dari segala pengamanan data... Jacques Sauni?re tiba-tiba
telah menjadi satu-satunya mata rantai yang tersisa, satu-satunya penjaga dari
sebuah rahasia paling kuat yang pernah ada. Gemetar, dia merengkuh kakinya.
Akuharusmenemukansebuahcara. Ia terperangkap di dalam Galeri Agung, dan hanya
ada satu orang di muka bumi yang dapat ia wariskan obor rahasia ini. Sauni?re
menatap ke atas, ke dinding-dinding dan penjaranya yang luar biasa ini. Sebuah
koleksi dari lukisan-lukisan paling terkenal di dunia tampak seakan tersenyum
menatap ke bawah, kepada dirinya, bagai sahabat-sahabat lama.
Dengan mengatupkan geraham menahan sakit, ia menghimpun segala daya dan kekuatan
yang masih dia miliki. Dia tahu, tugas yang mendesak di hadapannya membutuhkan
setiap detik dari sisa hidupnya.
I ROBERT LANGDON berangsur-angsur terjaga. Sebuah telepon berdering dalam
kegelapan - deringnya samping tempat tidur dan lirih, tak biasa. Dia meraba-raba
lampu di menyalakannya. Dengan mata menyipit, dia mengamati sekitarnya, dan
melihat ruang tidur mewah bergaya Renaissance dengan perabotan dari zaman Raja
Louis XVI, dinding yang dicat dengan tarigan, dan ranjang sangat besar juga luas
yang terbuat dari kayu mahogani. Dimanageranganaku" Mantel mandi dari bahan
tenunan bergantung di ujung tempat tidurnya dari
her-monogram HOTEL RITZ PARIS. Perlahan, kabut mulai terkuak. Langdon mengangkat
gagang telepon itu. "Halo?" "Monsieur Langdon?" kata suara seorang lelaki. "Semoga saya tidak
membangunkan Anda." Dengan linglung Langdon menatap jam di sisi tempat tidur.
Pukul 12:32 dini hari. Berarti baru satu jam dia tidur, namun seperti mati saja
rasanya. "Saya petugas penerima tamu, Monsieur. Maaf telah mengganggu, tetapi ada tamu
untuk Anda. Dia memaksa, dan katanya ini sangat mendesak"
Langdon masih merasa bingung. Seorang tamu" Matanya Sekarang menatap kertas
selebaran yang kusut di atas meja sisi tempat tidur.
THE AMERICAN UNIVERSITY OF PARIS Denganbanggamempersembahkan Semalam bersama
ROBERT LANGDON Profesor Simbologi Agama, Universitas Harvard.
Langdon menggeram. Ceramahnya malam tadi - sebuah pertunjukan slide tentang
simbolisme penyembah berhala yang tersembunyi dalam dinding batu Katedral
Chartres - mungkin telah menggelitik beberapa penonton konservatif yang perasa.
Sangat mungkin, beberapa sarjana religius telah mengikutinya pulang untuk
menantangnya berkelahi. "Maaf" ujar Langdon, "tetapi saya sangat letih dan - "
"Mais monsieur," penerima tamu itu memaksa, seraya merendahkan
suaranya menjadi bisikan yang mendesak. "Tetapi tamu Anda orang penting."
Langdon agak ragu. Buku-bukunya tentang lukisan-lukisan bernapaskan agama dan
simbologi cara pemujaan telah menjadikannya, mau tidak mau, seorang pesohor
dalam dunia kesenian. Ketenarannya dalam melihat kasus telah berlipat ratusan
kali setelah ia terlibat dalam insiden di Vatikan tahun lalu yang tersiar luas
itu. Sejak itu, seolah tak pernah berhenti, para ahli sejarah yang punya
kepentingan pribadi, dan para pencinta seni, berduyun-duyun mendatangi rumahnya.
"Tolonglah, Tuan yang baik," kata Langdon, sesopan mungkin, "tanyakan nama orang
tersebut dan nomor teleponnya, dan katakan juga bahwa saya akan menghubunginya
sebelum saya meninggalkan Paris hari Selasa. Terima kasih." Dia meletakkan
teleponnya sebelum penerima tamu itu memprotesnya.
Duduk tegak di tepi ranjangnya, dahi Langdon berkerut membaca Guest
RelationsHandbook, yang sampulnya berbual : TIDUR NYENYAK BAGAI BAYI DI KOTA
PENUH CAHAYA. TIDURLAH DI RITZ, PARIS. Dia memutar tubuhnya dan menatap dengan
letih pada cermin setinggi tubuh di kamar itu. Lelaki dalam cermin yang balas
menatapnya itu adalah seorang asing - berantakan dan loyo.
Kaubutuhliburan,Robert. Tahun lalu memang telah membuatnya sangat letih, tetapi
dia tak mau mengakui dirinya tampak seperti lelaki dalam cermin itu. Matanya
yang biasanya tampak biru dan tajam tampak kabur dan lesu malam ini. Berewok
yang mulai tumbuh menghitami rahang kuat dan dagu belahnya. Di sekitar
pelipisnya, tampak kilatan rambut-rambut putih muncul menjorok semakin jauh ke
bagian yang masih berambut hitam kasar. Walau teman-teman perempuannya
meyakinkannya bahwa ubannya itu semakin mempertegas daya tariknya sebagai
pencinta buku, Langdon tahu yang sebenarnya. Kalausaja Boston
Magazinedapatmelihatkusaatini. Bulan lalu, Boston Magazine membuatnya sangat
malu, karena memasukkannya ke dalam daftar sepuluh orang tokoh paling menggoda -
sebuah penghormatan meragukan yang membuatnya diolok habis-habisan oleh teman-
teman Harvard-nya. Malam tadi, tiga ribu mil dari rumah, penghargaan itu muncul
kembali, menghantuinya pada saat dia menyampaikan ceramah.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak ..." pembawa acara mengumumkan kepada para hadirin yang
memenuhi ruangan Pavillon Dauphine di Universitas Amerika Paris tadi. "Tamu kita
malam ini tak perlu diperkenalkan lagi. Beliau adalah penulis dari sejumlah
buku: The Symbology of Secret Sects, The Art of Illuminati---The Lost Language
of Ideograms, dan beliau juga menulis buku Religious Iconology. Banyak dari Anda
yang menggunakan buku-bukunya di kelas." Para mahasiswa yang hadir mengangguk,
antusias. "Saya ingin memperkenalkan beliau lebih jauh lagi dengan menceritakan riwayat
hidupnya yang sangat mengesankan. Namun demikian ..." perempuan pembawa acara
itu mengerling penuh canda pada Langdon, yang duduk di atas pentas, "seorang
hadirin baru saja memberikan cara perkenalan yang, katakanlah ... jauh lebih
menggoda." Pembawa acara mengangkat tinggi-tinggi sebuah terbitan majalah Boston
Magazine. Langdon mengernyit.Darimanadiadapatmajalahitu" Pembawa acara itu mulai
membaca kutipan-kutipan pilihan dari artikel di majalah tersebut, sementara
Langdon merasa semakin tenggelam lebih dalam lagi di kursinya. Tiga puluh detik
kemudian, para hadirin mulai menyeringai, dan para perempuan tampak tak tahan
diri pula. "Dan penolakan Pak Langdon untuk bercerita kepada publik tentang
peran istimewanya di Vatikan tahun lalu betul-betul menambahkan beberapa nilai
pada tamu kita yang sangat menggoda ini." Pembawa acara itu menggiring para
hadirin. "Anda ingin mendengar lebih banyak lagi?" Para hadirin bertepuk tangan.
Tolong hentikan perempuan itu, Langdon memohon dalam hati ketika
pembawa acara itu mulai membacakan artikel itu lagi. "Walau Profesor Langdon
tidak terlalu tampan seperti para tokoh pilihan kami yang lebih muda, ilmuwan
berusia sekitar empat puluhan ini memiliki lebih dari sekadar daya pikat
keilmuan. Penampilan menawannya lebih diperjelas dengan suaranya yang istimewa
saat memberi kuliah. Suaranya rendah, bariton, sehingga para mahasiswinya
menyebut suara itu seperti 'permen coklat di telinga'." Ruangan besar itu
seperti meledak karena tawa riuh para hadirin. Langdon memaksakan senyuman kaku.
Dia tahu apa yang akan keluar setelah ini - kalimat-kalimat dungu tentang
"Harrison Ford dalam jas wol keluaran Harris" - dan karena malam ini dia sudah
kadung mengenakan jas Harris dan t-shirt berleher tinggi keluaran Burberry, dia
memutuskan untuk segera bertindak.
"Terima kasih, Monique," ujar Langdon, sambil berdiri sebelum waktunya, dan
berjalan perlahan mendekati Monique di podium. "Boston Magazine benar-benar
memiliki keahlian dalam menulis fiksi." Dia menghadap ke hadirin dengan desah
malu. "Dan jika saya tahu siapa di antara Anda yang memberikan artikel ini, saya
akan meminta konsulat untuk mendeportasinya." Para hadirin tertawa lagi.
"Baiklah, kawan-kawan, seperti yang telah Anda ketahui, saya di sini
malam ini untuk berbicara tentang kekuatan dari simbol-simbol... Sambil mengerang
tak percaya, dia mengangkat telepon itu. Seperti yang telah diduganya, penelepon
itu adalah penerima tamu tadi. "Pak Langdon, kembali saya minta maaf. Saya
menelepon untuk memberi tahu bahwa tamu Anda sedang menuju kamar Anda sekarang.
Saya pikir saya harus memberi tahu Anda."
Langdon sudah benar-benar terjaga sekarang. "Anda membiarkan orang datang ke
kamar saya?" "Saya mohon maaf, Monsieur, tetapi orang seperti beliau ini saya tak kuasa
menghentikannya." "Siapa sebenarnya dia?" Tetapi penerima tamu itu telah
memutuskan hubungan. Tak lama kemudian, sebuah kepalan tangan menggedor pintu
kamar Langdon. Dengan ragu, Langdon melorot turun dari ranjangnya, dan merasakan kedua
kakinya tenggelam dalam permadani. Dia mengenakan mantel kamar mandinya dan
melangkah ke arah pintu. "Siapa?"
"Pak Langdon" Saya perlu bicara dengan Anda." Bahasa Inggris lelaki itu beraksen
perintah yang sangat tegas. "Nama saya Letnan J?rome Collet.
DirectionCepurtalePoliceJudiciaire."
Langdon berhenti. Polisi Judisial" DCPJ kira-kira sama dengan FBI di Amerika.
Langdon membiarkan rantai pengaman pintu tetap menyangkut, kemudian membuka
pintu beberapa inci. Wajah yang menatapnya itu tirus dan rusak. Lelaki itu
sangat kurus, berpakaian seragam biru yang tampak resmi. "Boleh masuk?" agen itu
bertanya. Langdon ragu-ragu. Dia merasa bimbang ketika mata agen itu menatapnya
menyelidik. "Ada masalah apa?" "Capitaine saya membutuhkan keahlian Anda untuk
urusan pribadi." "Sekarang?" Langdon bertanya. "Tengah malam begini?" "Betulkah
Anda dijadwalkan bertemu dengan seorang kurator dari
Museum Louvre malam ini" Tiba-tiba Langdon merasa tak nyaman. Dia dan seorang
kurator terhormat, Jacques Sauni?re, telah dijadwalkan untuk minum bersama
setelah ceramahnya malam ini. Namun Sauni?re tak muncul. "Ya. Bagaimana Anda
tahu?" "Kami menemukan nama Anda dalamdailyplanner-nya." "Tidak ada masalah,
bukan?" Agen itu mendesah tak sabar, dan menyisipkan selembar foto Polaroid
melalui celah sempit pintu itu. Ketika Langdon melihat foto itu, seluruh
tubuhnya menjadi kaku. "Foto itu diambil kurang dari satu jam yang lalu. Di
dalam Museum Louvre."
Sementara Langdon menatap foto ganjil itu, reaksi pertamanya adalah kemarahan
yang memuncak. "Siapa yang tega melakukan ini!"
"Kami harap Anda dapat membantu kami menjawab pertanyaan itu, mengingat keahlian
Anda dan rencana Anda untuk bertemu dengannya."
Langdon menatap foto itu. Kengeriannya sekarang bertambah dengan ketakutan.
Gambar itu mengerikan dan betul-betul aneh, dan menimbulkan bayangan seperti
sebuahdejavu yang merisaukan. Kira-kira setahun yang lalu, Langdon pernah
menerima selembar foto mayat dan permintaan pertolongan yang sama, dan 24 jam
kemudian dia hampir kehilangan nyawanya di dalam kota Vatikan. Foto ini sama
sekali berbeda, namun skenarionya terasa sama. Agen itu melihat jam
tangannya."Capitaine saya menunggu, Pak." Langdon hampir tak mendengarnya.
Matanya masih tetap terpaku pada gambar itu. "Simbolnya di sini dan keadaan
tubuhnya sangat aneh ...."
"Sengaja diatur posisinya?" mengangguk, merasa menggigil agen itu mencoba
menolong. Langdon ketika dia mendongak. "Aku tak dapat membayangkan ada orang
yang tega melakukan ini."
Agen itu tampak muram. "Anda tidak mengerti, Pak Langdon. Apa yang Anda lihat
dalam foto ini ...." dia berhenti."Monsieur Sauni?re melakukannya sendiri."
2
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BERJARAK SATU mil dari Hotel Ritz, seorang albino bernama Silas berjalan
terpincang-pincang melalui pintu bertubuh kekar gerbang depan sebuah tempat
tinggal mewah di Jalan Rue La Bruyere. Sabuk berduri cilice yang dikenakan ketat
pada pahanya menghunjam ke dalam dagingnya, namun jiwanya bernyanyi dengan penuh
kepuasan akan baktinya pada Tuhan. Sakititubaik. Mata merahnya menyapu lobi
ketika dia memasuki rumah itu. Kosong. Dia menaiki tangga dengan tak berisik
karena tidak ingin membangunkan rekan anggota sekelompoknya. Pintu kamar
tidurnya terbuka; di sini kunci adalah terlarang. Dia masuk dan menutup
pintunya. Ruangan itu berkesan spartan - berlantai kayu keras, lemari dan kayu pinus, kasur
kanvas di sudut yang digunakan sebagai pembaringannya. Dia adalah tamu di sini
minggu ini, namun selama bertahun-tahun dia telah diberkahi dengan tempat
tinggal serupa di New York City.
Tuhantelahmemberikutempatberlindungdantujuandalamhidupku. Malam ini, akhirnya,
Silas mulai merasa telah membayar hutangnya. Dia bergegas ke lemari pakaiannya,
mengambil sebuah telepon selular yang tersembunyi di dasar lacinya, lantas
menghubungi seseorang. "Ya?" suara seorang lelaki menjawabnya. "Guru, aku telah
kembali." "Bicaralah," suara itu memerintah, terdengar senang mendengar suara
Silas. "Keempatnya mati. Tigas?n?chaux ... dan mahagurunya sendiri." Senyap
sejenak, seolah untuk berdoa. "Kalau begitu, kusimpulkan, kau
punya informasi itu." "Keempatnya berkata sama. Secara terpisah." "Dan kau
memercayai mereka?" "Persamaan kata-kata mereka terlalu berlebihan untuk
dianggap kebetulan belaka." Terdengar napas memburu. "Bagus. Tadi aku khawatir reputasi kelompok
persaudaraan untuk menjaga kerahasiaan itu akan mereka pertahankan." "Bayangan
kematian adalah motivasi yang kuat." "Jadi, muridku, ceritakan apa yang harus
kutahu." Silas tahu bahwa sedikit informasi yang telah dia kumpulkan dari
korbannya akan mengejutkan. "Guru, keempatnya meyakinkan tentang adanya
clefdevoute ...batukunci yang legendaris itu."
Silas mendengar tarikan napas cepat melalui teleponnya dan dia dapat merasakan
kegembiraan gurunya. "Batu kunci itu. Betul-betul seperti yang kita perkirakan."
Menurut cerita turun-temurun, kelompok persaudaraan itu telah menciptakan sebuah
peta batu - sebuahclefdevo?te ... atau batu kunci - sebuah batu ceper melengkung
berukir yang mengungkap tempat peristirahatan terakhir dan rahasia besar
kelompok persaudaraan itu ... informasi yang sangat berharga sehingga untuk
melindunginyalah kelompok persaudaraan itu dibentuk.
"Saat kita memiliki batu kunci itu," ujar Guru, "kita akan hanya kurang satu
langkah lagi." "Kita sudah lebih dekat dari yang Anda kira. Batu kunci itu di sini, di Paris."
"Paris" Luar biasa. Hampir terlalu mudah." Silas kemudian menceritakan kejadian-
kejadian sebelumnya malam itu ... bagaimana keempat korbannya, pada saat
mendekati kematian, telah mencoba mendapatkan kembali kehidupan tak bertuhan
mereka dengan cara menceritakan rahasia mereka. Masing-masing telah menyampaikan
kepada Silas cerita yang betul-betul sama, bahwa batu kunci tersebut memang
tersembunyi di sebuah tempat yang pasti, di dalam salah satu gereja tua di Paris
- Gereja Saint-Sulpice. "Di dalam rumah Tuhan," seru Guru. "Mereka betul-betul memperolokkan kita!"
Selama berabad-abad. Guru terdiam, seolah membiarkan kemenangan saat itu meresap
dalam dirinya. Akhirnya, dia berbicara. "Kau telah melakukan pelayanan besar
bagi Tuhan. Kita telah menunggunya selama berabad-abad. Kau harus menemukan batu
kunci itu untukku. Segera. Malam ini. Kau tahu risikonya."
Silas tahu, risikonya sangat tak terhingga. Walaupun demikian, apa yang diminta
Guru terasa sangat tidak mungkin. "Gereja itu merupakan sebuah benteng, terutama
pada malam hari. Bagaimana aku dapat memasukinya?"
Dengan suara yang sangat meyakinkan dari seorang yang sangat berpengaruh, Guru
menjelaskan apa yang harus dilakukan Silas.
Ketika Silas menutup teleponnya, kulitnya merinding karena harapan.
Satu jam, katanya pada dirinya sendiri, bersyukur karena Guru memberinya
kesempatan untuk melakukan penebusan dosa sebelum memasuki rumah
Tuhan.Akuharusmembersihkandiridaridosa-dosakuhariini. Dosadosanya hari ini
bertujuan suci. Perang melawan musuh-musuh Tuhan telah dilakukan selama berabad-
abad. Pengampunan sudah terjamin. Namun demikian, Silas tahu, pengampunan
menuntut pengorbanan. Setelah menarik tirai, dia menelanjangi dirinya dan
berlutut di tengah kamarnya. Dia melihat ke bawah, memeriksa ikat pinggang
berduricilice-nya yang melingkar ketat pada pahanya. Semua pengikut The Way yang
setia mengenakan peralatan itu - sebuah pengikat dari kulit, ditaburi mata kail
dan metal tajam yang menancap ke daging sebagai pengingat yang tak putus akan
penderitaan Kristus. Rasa sakit yang diakibatkan oleh alat tersebut juga
membantu menghilangkan nafsu jasmaniah.
Hari ini Silas telah mengenakan cilice-nya lebih lama dari yang diharuskan,
yaitu dua jam. Dia tahu, hari ini bukanlah hari biasa. Silas menggenggam kepala
ikat pinggangnya, mempereratnya satu lubang lagi, dan meringis ketika mata kail
menusuk lebih dalam ke dagingnya. Dia menghembuskan napasnya perlahan, menikmati
rasa sakit yang merupakan ritual pembersihan dirinya.
Sakit itu baik, Silas berbisik, mengulang-ulang mantra kudus Bapa Josemaria
Escriv? - Guru Para Guru. Walau Escriv? telah meninggal pada tahun 1975,
kebijakannya tetap hidup, kata-katanya masih tetap dibisikkan oleh ribuan
pelayan setia di seluruh dunia ketika mereka berlutut di atas lantai dan
melakukan tindakan kudus yang dikenal sebagai "pematian raga".
Silas mengalihkan perhatiannya sekarang pada tali berat bersimpul yang tergulung
rapi di lantai di sampingnya. Disiplin itu. Simpul-simpul itu berlumuran darah
kering. Silas begitu bersemangat akan hasil pembersihan dirinya melalui
penderitaannya. Dia mengucap doa dengan cepat. Kemudian, dengan menggenggam
ujung tali itu, dia menutup matanya dan mengayunkan tali itu dengan keras
melalui bahunya, sehingga dia merasakan pukulan simpul itu pada punggungnya. Dia
melecutkannya lagi ke bahunya, mengiris dagingnya. Lagi dan lagi, dia mencambuki
dirinya.Castigocorpusmeum. Akhirnya, dia merasakan darah mulai mengalir.
3 CUACA BULAN April yang segar dan kering mengalir melewati jendela yang terbuka
di dalam Citro?n ZX. Mobil itu meluncur ke selatan melewati Gedung Opera dan
menyeberangi Place Vend?me. Di tempat duduk penumpang, Robert Langdon merasa
kota ini melaju dengan cepat melewatinya ketika ia berusaha menjernihkan
pikirannya. Mandi cepat dengan pancuran dan bercukur telah menolong penampilan
Langdon menjadi cukup pantas, namun perasaan cemasnya tak begitu berkurang.
Gambar jasad kurator yang menakutkan tadi masih menancap di otaknya.
JacquesSauni?remati. Langdon merasa sangat kehilangan atas kematian kurator itu.
Walaupun selalu bersikap seperti pertapa, dedikasi Sauni?re pada seni membuat
dirinya dihormati. Buku-bukunya tentang kode-kode rahasia yang tersembunyi dalam
lukisan-lukisan Poussin dan Teniers adalah buku-buku teks kesukaan Langdon dalam
kuliahnya. Pertemuan mereka malam ini telah sangat dinanti-nantikan Langdon, dan
dia sangat kecewa ketika kurator itu tidak datang.
Kembali gambaran mayat kurator itu berkelebat dalam benaknya. Jacques Sauni?re
melakukan itu pada dirinya sendiri" Langdon menoleh dan melihat ke luar jendela,
mengusir bayangan itu dari pikirannya.
Di luar, kota itu baru saja memulai kegiatannya - para penjaja mendorong kereta
gula-gula amandes, para pelayan membawa kantong sampah ke tepi jalan, sepasang
kekasih yang kemalaman berjalan sambil saling bergelayut supaya tetap hangat
diterpa angin berarorna kembang melati. Mobil Citro?n mengatasi kekacauan kota
itu dengan yakin. Sirene dua nadanya membelah lalu-lintas seperti pisau tajam.
"Le capitaine senang ketika dia tahu Anda masih berada di Paris malam ini," ujar
agen itu sambil mengemudi, untuk pertama kalinya berbicara sejak mereka
meninggalkan hotel. "Kebetulan yang menguntungkan."
Langdon sama sekali tidak merasa beruntung, dan kebetulan adalah sebuah konsep
yang sama sepanjang hidupnya sekali tidak dipercayainya. Sebagai seseorang yang
meneliti, saling keterkaitan yang tersembunyi antara emblem-emblem dan ideologi-
ideologi, Langdon melihat dunia sebagai sebuah sarang laba-laba yang terbentuk
dan saling terkaitnya sejarah-sejarah dan kejadian-
kejadian.Hubunganitumungkinsajatakterlihat, begitu dia ajarkan di depan kelas
simbologi di Harvard, tetapi hubungan tersebut selalu ada,
terkuburtepatdibawahpermukaan. "Universitas Amerika Paris memberi tahu tempat
saya menginap, bukan?" kata Langdon. Agen itu menggelengkan kepalanya. "Interpol." Interpol,
pikirnya.Tentusaja. Dia lupa bahwa permintaan yang tampak sepele akan
pemeriksaan paspor saatchek-in di semua hotel di Eropa ternyata lebih dari
sekadar formalitas sepele - itu peraturan hukum. Pada sembarang malam, di seluruh
Eropa, agen interpol sanggup melacak dengan pasti siapa sedang tidur di mana.
Menemukan Langdon tidur di Ritz mungkin hanya butuh waktu lima detik.
Begitu Citro?n itu mempercepat lajunya ke arah selatan membelah kota, Menara
Eiffel yang anggun mulai tampak, menjulang ke angkasa, di arah kanan. Saat
menatapnya, Langdon teringat pada Vittoria; dia terkenang janji main-main mereka
untuk selalu bertemu enam bulan sekali di tempat-tempat romantis di seluruh
dunia. Menara Eiffel, perkiraan Langdon, ada juga dalam daftar mereka.
Sayangnya, ciuman terakhir Langdon pada Vittoria adalah ketika mereka di Roma
lebih dari setahun yang lalu.
"Anda pernah menaiki perempuanini?" tanya agen itu sambil menatap menara itu.
Langdon melihat ke atas, jelas dirinya tak mengerti. "Maaf?" "Dia sangat cantik,
bukan?" ujar agen itu lagi sambil mengarah ke
Menara Eiffel. "Sudah pernah menaikinya?" Langdon menggulung matanya ke atas.
"Belum. Saya belum pernah
menaiki menara itu." "Menara itu simbol Prancis. Menurutku, menara itu sempurna"
Langdon mengangguk begitu saja. Simbologi sering mengungkap bahwa Prancis - negeri
yang terkenal akan kesan jantan dan hidung belang, juga pemimpin-pemimpin mereka
yang kecil dan pencemas, Napoleon dan Pepin si Pendek - seolah tak dapat memilih
simbol yang lebih baik daripada sekadar sebuah lingga setinggi seribu kaki. Saat
mereka tiba di persimpangan di Rue de Rivoli, lampu lalu lintas menyala merah,
namun Citro?n itu tak memperlambat lajunya. Agen itu mengarahkan sedannya
menyeberangi persimpangan itu dan meluncur cepat ke arah area berpepohonan, Rue
Castiglione~ yang merupakan gerbang utara masuk ke Taman Tuileries yang tersohor
itu - ini adalah Central Park ala Paris. Umumnya para turis salah menerjemahkan
Jardines des Tuileries sebagai sebuah taman penuh dengan ribuan tulip mekar,
namunTuileries sebenarnya berkaitan dengan sesuatu yang sangat kurang romantis.
Taman ini dulunya merupakan penggalian sumur besar yang sangat tercemar. Dari
sinilah para kontraktor paris menambang tanah liat untuk membuat genteng merah
yang sangat terkenal untuk kota itu, atautuiles.
Ketika mereka memasuki taman yang sunyi itu, agen itu merogoh ke bawah dasbor
untuk mematikan sirene yang meraung. Langdon menghembuskan napasnya, menikmati
kesenyapan yang tiba-tiba itu. Di luar mobil, sinar lampu mobil yang pucat jatuh
ke atas jalan kerikil di taman itu; derak-derak ban mobil di atasnya seperti
alunan yang menghipnotis. Langdon selalu memandang Tuileries sebagai tanah suci.
Ini adalah taman tempat Claude Monet bereksperiman dengan bentuk dan warna, dan
memberinya inspirasi pada aliran lukisannya, impresionisme. Namun, malam ini
taman ini beraura penuh firasat yang aneh.
Citro?n membelok ke kiri sekarang, mengarah ke barat ke bulevar pusat taman ini.
Mengelilingi kolam bulat, pengemudi itu memotong jalan terpencil dan memasuki
lapangan segi empat. Sekarang Langdon dapat melihat ujung Taman Tuileries,
ditandai dengan gerbang batu. Arc du Carrousel. Walau dulu ritual orgi pernah
diadakan di Arc du Carrousel ini, para pencinta kesenian memuja tempat ini
karena alasan yang betul-betul lain. Dari tanah lapang di ujung taman ini bisa
terlihat empat museum kesenian terindah di dunia ... satu di setiap mata angin.
Dari jendela sebelah kanan, ke arah selatan menyeberangi Sungai Seine dan Quai
Voltaire, Langdon dapat melihat cahaya lampu bagian muka stasiun kereta api tua -
sekarang menjadi Mus?e d'Orsay yang anggun. Mengerling ke kiri, dia dapat
mencapai atap dan gedung ultra modern Pompidou Centre, yang merupakan Museum
Kesenian Modern. Langdon tahu, obelisk Ramses kuno Di belakangnya, ke arah
barat, menjulang melebihi pepohonan, menandai sebuah museum lagi, Mus?e du Jeu
de Paume. Dan, lurus ke depan, ke arah timur, melewati gerbang itu, Langdon dapat melihat
monolit istana Renaissance yang telah menjadi museum paling tersohor di dunia.
Musee du Louvre. Langdon merasa takjub ketika matanya tak mampu menangkap
keseluruhan bangunan besar itu. Di seberang sebuah plaza yang sangat luas,
bagian muka Museum Louvre yang mencolok tampak menjulang bagai benteng, ke
langit Paris. Berbentuk seperti tapal kuda raksasa, Louvre merupakan gedung
terpanjang di Eropa, merentang lebih panjang daripada tiga kali Eiffel yang
dibaringkan. Plaza terbuka seluas sejuta kaki di antara sayapsayap museum bahkan
tak dapat menyaingi luas bagian muka museum. Langdon pernah berjalan-jalan di
dalam Louvre, dan dia ternyata menempuh tiga mil perjalanan.
Diperkirakan, diperlukan kunjungan lima hari bagi seorang wisatawan untuk dapat
menikmati 65.300 benda seni di dalam gedung ini dengan saksama. Namun demikian,
umumnya wisatawan memilih pengalaman singkat yang Langdon sebut sebagai "Louvre
Lite" - yaitu kunjungan singkat ke museum itu yang Langsung menuju ke tiga objek
yang paling tersohor,Mona Lisa,VenusdeMilo, danWingedVictory. Art Buchwald
pernah membual bahwa dia melihat ketiga adikarya itu hanya dalam waktu 5 menit
dan 56 detik saja. Agen itu mengeluarkan walkie-talkie genggam dan berbicara dalam bahasa Prancis
dengan sangat cepat, memberitahukan bahwa Langdon telah tiba.
"MonsieurLangdonestarrive.Deuxminutes." Sebuah konfirmasi yang tak jelas
terdengar. Agen itu menyimpan kembali alat tadi, lalu menoleh kepada Langdon.
"Anda akan bertemu dengan Capitaine di pintu masuk utama." Agen itu mengabaikan
tanda larangan masuk di plaza, menyalakan kembali mesin mobil, dan menjalankan
Citro?n itu melintasi tepi jalan. Pintu masuk utama Louvre sudah terlihat kini,
muncul begitu saja di kejauhan, dikeliingi oleh tujuh kolam segi tiga dengan air
mancur yang diterangi cahaya. LaPyramide.
Hampir seperti orang Neanderthal, berpakaian jas double-breast berwama gelap
yang tampaknya menutupi kebidangan bahunya. Dia berjalan dengan tungkai-tungkai
sangat terlatih dalam berjongkok sehingga menjadi sangat kuat. Dia sedang
berbicara lewat telepon selularnya, namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba
di depan Langdon. Dia memberi isyarat kepada Langdon untuk masuk.
"Saya Bezu Fache," katanya ketika Langdon masuk melalui pintu putar. "Kapten
Central Directorate Judicial Police." Nada suaranya pas - bergumam parau ...
seperti badai yang hendak tiba.
Langdon mengangsurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Robert Langdon."
Tangan Fache yang besar membungkus tangan Langdon dengan sangat kuat.
"Aku sudah melihat foto itu," ujar Langdon. "Agen Anda mengatakan bahwa Jaques
Sauni?re sendiri yang melakukan - "
"Pak Langdon," mata hitam Fache menatap. "Apa yang Anda lihat di foto itu baru
awal dari apa yang dilakukan Sauni?re."
4 KAPTEN Bezu Fache bergaya seperti sapi jantan yang sedang marah, dengan bahu
bidang yang tertarik ke belakang dan dagu menempel kuat pada dadanya. Rambut
hitamnya disisir ke belakang dengan minyak, memperjelas anak rambut yang
meruncing seperti anak panah pada dahinya yang membagi keningnya yang menonjol
dan maju seperti haluan kapal perang. Ketika dia bergerak maju, matanya seperti
menghanguskan tanah di depannya, menyinarkan kejernihan yang berapi-api,
menggambarkan reputasi keberaniannya yang luar biasa dalam menghadapi segala
masalah. Langdon mengikuti kapten itu menuruni anak tangga pualam yang terkenal
itu ke dalam atrium di bawah piramid kaca. Saat mereka turun, mereka melewati
dua orang agen Polisi Judisial bersenapan mesin. Jelas sudah : tak seorang pun
dapat masuk atau keluar malam ini tanpa restu dari Kapten Fache.
Turun ke lantai dasar, Langdon melawan perasaan ragu. Penampilan Fache sama
sekali tidak ramah, dan Louvre sendiri beraura makam pada jam seperti ini.
Tangga itu, seperti gang gelap dalam gedung bioskop, disinari oleh lampu tapak
yang tak kentara yang ditanam pada setiap anak tangganya. Langdon dapat
mendengar bunyi langkahnya sendiri menggaung pada kaca di atas kepalanya. Ketika
dia melihat ke atas, dia melihat helai-helai kabut yang bersinar dan semprotan
air mancur di luar atap tembus pandang itu. "Anda suka?" tanya Fache, menunjuk
ke atas dengan dagu lebarnya. Landon mendesah, terlalu letih untuk bermain-main.
"Ya, piramid Anda luar biasa." Fache menggumam. "Merupakan bekas cakaran pada wajah Paris."
Kenakau! Langdon merasa bahwa tuan rumahnya adalah orang yang sulit diambil
hati. Dia bertanya-tanya apakah Fache tahu bahwa piramid ini, atas permintaan
tegas Presiden Mitterand, jendela - permintaan aneh yang selalu telah dibangun
dengan 666 kaca menjadi topik panas di kalangan penggemar konspirasi yang
menyatakan bahwa 666 adalah angka setan. Langdon memutuskan untuk tidak
membicarakannya. Ketika mereka tiba di serambi bawah tanah, ruangan yang
menganga berangsur-angsur muncul dari kegelapan. Dibangun di kedalaman 57 kaki
di bawah permukaan tanah, ruang lobi Louvre yang baru dibangun seluas 70.000
kaki persegi itu terentang seperti gua tak berujung. Didirikan dengan pualam
berwarna kuning tua yang hangat yang sangat sesuai dengan bebatuan berwarna madu
di bagian muka Louvre di atas, ruang bawah tanah ini biasanya hidup dengan
cahaya matahari dan para wisatawan. Malam ini, lobinya gelap dan mati, memberi
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesan seluruh ruangan ini menjadi dingin dan beratmosfer ruang bawah tanah. "Dan
para petugas keamanan museum yang biasa?" tanya Langdon. "En quarantaine," jawab
Fache, dengan suara seolah Langdon telah mempertanyakan integritas anggota
timnya. "Tentu saja, seseorang yang tidak boleh masuk telah berhasil masuk malam
ini. Semua penjaga malam Louvre sekarang sedang diinterogasi di Sayap Sully.
Agen-agenku sendiri telah mengambil alih keamanan museum malam ini." Langdon
mengangguk, bergerak cepat supaya tak tertinggal oleh Fache. "Sejauh mana Anda
mengenal Jacques Sauni?re?" tanya kapten itu. "Sebenarnya saya sama sekali tidak
mengenalnya. Kami belum pernah
bertemu." Fache tampak terkejut. "Pertemuan pertama kalian terjadi malam ini,
bukan?" "Kami berencana untuk bertemu di lobi penerima tamu Universitas America
setelah saya selesai memberikan ceramah, tetapi dia tak pernah muncul."
Fache menulis beberapa catatan dalam buku kecilnya. Ketika mereka berjalan,
Langdon melihat sekilas piramid Louvre yang tak banyak diketahui
orang,LaPyramideInvers?e - sebuah atap kaca tertelungkup yang besar sekali yang
tergantung di langit-langit seperti sebuah stalaktit di tengah sebuah mezanin.
Fache membawa Langdon menaiki tangga pendek ke arah mulut gerbang sebuah
terowongan. Di atasnya tertulis: DENON. Sayap Denon adalah salah satu dari tiga
bagian utama Louvre yang paling ternama.
"Siapa yang meminta pertemuan malam ini?" tanya Fache tiba-tjba. "Anda atau
dia?" Pertanyaan itu terdengar aneh. "Pak Sauni?re," jawab Langdon ketika mereka
memasuki terowongan itu. "Sekretarisnya menghubungiku beberapa minggu yang lalu
lewat e-mail. Katanya kurator itu telah mendengar bahwa saya akan memberikan
ceramah di Paris bulan ini dan ingin mendiskusikan sesuatu saat saya di sini."
"Mendiskusikan apa?" "Saya tidak tahu. Seni, kukira. Kami mempunyai minat yang
sama." Fache tampak ragu. "Anda tak tahu akan membicarakan apa pada pertemuan
itu?" Langdon memang tidak tahu. Dia juga sangat penasaran saat itu, namun
merasa tidak enak menanyakan secara rinci. Jacques Sauni?re terkenal suka hidup
sendiri dan hanya bertemu dengan orang lain beberapa kali saja; Langdon sudah
sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan bertemu dengannya.
"Pak Langdon, dapatkah Anda, setidaknya menerka, apa kiranya yang ingin
didiskusikan oleh korban dengan Anda pada malam dia terbunuh" Itu mungkin akan
sangat membantu." Pertanyaan yang menohok itu sangat membuat Langdon tidak nyaman. "Saya betul-
betul tidak dapat membayangkannya. Saya juga tidak menanyakannya. Saya sudah
merasa terhormat beliau menghubungi saya. Saya mengagumi karya beliau dan
menggunakan buku-buku beliau dalam kuliah saya." Fache mencatat itu dalam
bukunya. Kedua lelaki itu sekarang sudah separuh jalan memasuki terowongan Sayap
Den?n, dan Langdon dapat melihat eskalator kembar di kejauhan. Keduanya tak
bergerak. "Jadi Anda memiliki minat yang sama dengannya?" tanya Fache. "Ya.
Kenyataannya, tahun lalu banyak saya habiskan untuk menulis konsep sebuah buku
yang berhubungan dengan keahlian utama Pak Sauni?re. Saya menunggu bisa
mengambil otaknya." Fache menatapnya. "Maaf?" Tampaknya idiom itu tak dimengerti
sang kapten. "Saya menunggu
untuk dapat mempelajari pemikirannya pada topik tersebut." "O, begitu. Dan apa
topiknya?" Langdon ragu-ragu, tak yakin bagaimana dia akan mengatakannya. "Pada
intinya, naskah itu tentang ikonografi pemujaan para dewi - konsep kesucian
perempuan dan seni serta simbol-simbol yang terkait dengannya."
Fache mengusap rambutnya dengan tangan gemuknya. "Dan Sauni?re tahu banyak
tentang ini?" "Tak ada yang tahu lebih banyak daripada dia." "O, begitu."
Langdon merasa bahwa sesungguhnya Fache tidak mengerti sama sekali. Jacques
Sauni?re dipandang sebagai ahli ikonografi para dewi yang utama di bumi ini.
Sauni?re tidak hanya memiliki semangat pribadi akan benda-benda keramat yang
berkaitan dengan kesuburan, pemujaan dewi, Wicca, dan perempuan suci. Dalam dua
puluh tahun masa jabatannya sebagai kurator, Sauni?re telah membantu Museum
Louvre mengumpulkan koleksi terbesar akan seni dewi di muka bumi - kampak-kampak
labrys dari para pendeta Yunani suci tertua di Delphi, tongkat-tongkat tabib
dari emas, ratusan Tjet ankhs yang menyerupai malaikat-malaikat kecil berdiri,
perkusi Mesir kuno yang digunakan untuk mengusir roh-roh jahat, dan kumpulan
patung yang menggambarkan Horns sedang disusui oleh Dewi Isis.
"Mungkin Jacques memberikan masukan. Sauni?re tahu tentang naskah Anda?" Fache
"Dan dia menjadwalkan pertemuan ini untuk membantu Anda dalam penulisan buku
itu." Langdon menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya belum ada yang tahu tentang naskah
saya itu. Masih dalam bentuk konsep, dan saya belum memperlihatkannya kepada
siapa pun, kecuali editor saya." Fache terdiam. . Langdon tidak menambahkan
alasan mengapa dia tidak memperlihatkan naskah tersebut kepada orang lain.
Konsep setebal tiga ratus halaman itu - sementara ini
berjudulSymbolsoftheLostSacredFeminine - mengemukakan beberapa interpretasi yang
sangat nonkonvensional dan ikonografi reigius yang baku. Buku ini pasti akan
menjadi kontroversial. Sekarang, ketika Langdon mendekati eskalator yang tak bergerak tadi, dia
berhenti, menyadari bahwa Fache sudah tak bersamanya lagi. Dia memutar tubuhnya,
dan menemukan Fache sedang berdiri beberapa yard darinya, di depan lift yang
berfungsi. "Kita naik lift saja," ujar Fache ketika pintu lift terbuka. "Saya yakin, Anda
tahu letak galeri itu jauh jika kita berjalan kaki."
Walau dia tahu lift itu akan mempercepat perjalanan mereka ke dua tingkat ke
atas ke Sayap Denon, langdon tetap tak bergerak. "Ada masalah?" tanya Fache
menahan pintu, tampak tak sabar. Langdon menarik napas, menatap lagi dengan
penuh hasrat, ke eskalator dengan udara terbuka di
atasnya.Tidakadamasalahsamasekali, dia menipu dirinya sendiri, menyeret kakinya
menuju lift. Di masa kecilnya, Langdon pernah terjatuh ke dalam sumur sempit
yang sudah ditinggalkan dan hampir mati menjejak-jejakkan kakinya di air dalam
ruang sempit selama berjam-jam sebelum akhirnya diselamatkan. Sejak saat itu,
dia memiliki fobia akan ruangan tertutup - lift, kereta bawah tanah,
lapangansquash.Liftadalahmesin yang betul-betul aman, kata Langdon berkali-kali
pada dirinya sendiri, walau tanpa pernah
memercayainya.Ituhanyakotakmetalkeciltergantungdidalam lorong tertutup. Sambil
menahan napas, dia melangkah masuk, merasakan perasaan gelitik adrenalin yang
tak asing ketika pintu lift tertutup. Dualantai.Sepuluhdetik. "Anda dan Pak
Sauni?re," ujar Fache ketika lift mulai bergerak, "kalian sama sekali belum
pernah berbicara" Tak pernah bersurat-suratan" Tak pernah saling berkirim barang
lewat pos?" Pertanyaan aneh lagi. Langdon menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak pernah."
Fache menegakkan kepalanya, seolah mencatat fakta itu dalam hati. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi, dia hanya menatap pintu-pintu dari chrome itu.
Ketika mereka naik, Langdon mencoba memusatkan perhatiannya kepada apa saja
selain empat tembok yang mengeilinginya. Dalam pantulan pintu lift yang
mengilap, dia melihat jepit dasi sang kapten - sebuah salib perak dengan tiga
belas batu onyx hitam tertanam. Langdon agak heran. Simbol itu dikenal sebagai
sebuah crux gemmata - salib dengan tiga belas batu permata - ideogram Kristen bagi
Kristus dan dua betas rasul. Namun begitu, Langdon tak mengira seorang kapten
polisi Prancis akan memamerkan simbol keagamaan dengan begitu terbuka. Lagi
pula, ini Prancis; Kristen bukanlah sebuah agama disini, tidak seperti hak
lahir. "Ini sebuahcruxgemmata," kata Fache tiba-tiba. Kaget, Langdon mengerling
dan melihat mata Fache yang sedang
menatapnya pada pantulan pintu lift. Lift itu tersentak berhenti, dan pintunya
terbuka. Langdon melangkah keluar dengan cepat. Dia sangat ingin berada di
ruangan luas yang dihasilkan oleh langit-langit tinggi galeri-galeri Louvre yang
tersohor itu. Namun, ternyata dia melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda
dari yang dia perkirakan. Karena terkejut, Langdon segera berhenti. Fache
menatapnya. "Pak Langdon, saya kira Anda belum pernah melihat
Louvre pada jam tutup seperti ini. Bukan begitu?" Kukiratidak, pikir Langdon,
mencoba bersikap tenang. Biasanya, galeri-galeri Louvre disinari cahaya terang
benderang, namun malam ini begitu gelap. Alih-alih lampu tipis putih biasa yang
bersinar dari atas ke bawah, sebuah kilau merah yang bisu tampak memancar dari
atas, dari papan-papan potongan-potongan cahaya merah yang menimpa lantai
keramik. Ketika menatap koridor yang suram, La?gdon sadar, dia seharusnya sudah
memperkirakan pemandangan seperti ini. Sebenarnya, semua galeri besar
menggunakan lampu merah pada malam hari - ditempatkan dengan strategis, rendah,
tidak mencolok sinarnya sehingga cukup bagi penjaga malam untuk mengawasi lorong
namun sekaligus menjaga keawetan warna lukisan-lukisan sehingga tidak cepat
pudar karena terlalu banyak disinari cahaya. Malam ini, museum itu memiliki
kesan yang hampir menyesakkan napas. Bayanganbayangan panjang mengganggu di
mana-mana, dan langit-langit yang menjulang tinggi dan berkubah menjadi tampak
seperti ruang kosong hitam yang rendah.
"Ke sini," ujar Fache, membelok tajam ke kanan dan memperlihatkan serangkaian
galeri yang saling berhubungan.
Langdon mengikutinya. Matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Semua di
sekitarnya, lukisan-lukisan berukuran besar, mulai menjadi seperti foto-foto
yang diperbesar di depannya dalam sebuah ruang gelap yang sangat besar ... mata
mereka seperti mengikutinya ketika dia bergerak menyusuri ruanganruangan itu.
Dia dapat merasakan udara beraroma tajam khas museum - sebuah sari pelepasan ion
kering yang mengisyaratkan adanya karbon - sebuah produk industri, penyaring
arang untuk pencegahan kelembaban yang bekerja sepanjang hari untuk mengatasi
korosif karbon dioksida yang dihirup para pengunjung.
Kamera keamanan dipasang tinggi pada tembok, memberi tahu para pengunjung dengan
jelas:KamimelihatAnda..Jangansentuhapapun..
"Semua itu betul-betul kamera?" tanya Langdon sambil menunjuk pada kamera-kamera
itu. Fache menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak." Langdon tidak terkejut.
Pengawasan melalui video dalam museum sebesar ini berbiaya sangat mahal dan sama
sekali tidak efektif. Dengan galeri-galeri yang begitu luas, Louvre akan
memerlukan ratusan teknisi untuk memonitor video-video itu. Umumnya museum-
museum besar seperti ini sekarang menggunakan "pengamanan dengan cara
pengurungan". Lupakan pengusiran pencurikeluar.Kurungmerekadidalam. Pengurungan
diaktifkan setelah jam tutup, dan jika seorang pencuri memindahkan barang seni,
jalan-jalan keluar galeri itu akan segera tertutup, dan si pencuri sudah berada
di balik terali sebelum polisi datang.
Suara-suara terdengar bergema di sepanjang koridor marmer. Suara itu tampaknya
berasal dari sebuah ruangan istirahat yang besar yang berada di sebelah kanan
depan. Sinar terang memancar ke gang itu. "Ruang kerja kurator itu," kata sang
kapten. Ketika Fache dan Langdon bergerak mendekati ruangan itu, Langdon
mengamati dari gang pendek ke dalam ruang kerja Sauni?re yang mewah - berperabot
kayu yang hangar, lukisan-lukisan adikarya tua, dan sebuah meja antik besar
sekali yang di atasnya berdiri patung kesatria berbaju besi lengkap setinggi dua
kaki. Beberapa agen polisi sibuk menelepon dan mencatat di dalam ruangan itu.
Salah satunya duduk di meja Sauni?re, mengetik pada laptopnya. Tampaknya ruang
kerja pribadi kurator itu sudah menjadi pos komando DCPJ sementara untuk malam
ini. "Mesieurs," seru Fache, dan orang-orang itu menoleh."Nenowderangez
passowaucunpr?texte.Entendu?" Semua orang di ruangan itu mengerti dan mereka
mengangguk. Langdon telah cukup sering menggantungkan tanda NE PAS DERANGEZ di
pintu kamar hotel, sehingga dia mengerti apa maksud sang kapten. Fache dan
Langdon tidak boleh diganggu dengan alasan apa pun.
Mereka kemudian meninggalkan sekelompok polisi itu dan memasuki gang gelap. Tiga
puluh yard ke depan tampak pintu gerbang menuju ke bagian Louvre yang paling
tersohor, La Grande Galerie - sebuah koridor yang tampaknya tak berujung yang
berisi adikarya Italia yang paling berharga. Langdon sudah mengerti bahwa di
sinilah tubuh Sauni?re tergeletak; Lantai parket Galeri Agung yang terkenal itu
sama persis dengan yang dilihatnya di Polaroid.
Ketika mereka mendekat, Langdon melihat pintu masuk ditutup dengan jeruji besi
besar yang tampak seperti yang digunakan di benteng-benteng abad pertengahan
untuk menahan gerombolan perampok. "Keamanan pengurungan," ujar Fache, ketika
mereka mendekati jeruji itu. Bahkan dalam kegelapan, barikade itu tampak mampu
menahan serangan sebuah tank dari luar, Langdon mengamati melalui jeruji itu ke
dalam Galeri Agung yang tampak seperti gua-gua besar yang berpenerangan redup.
"Anda dulu, Pak Langdon," kata Fache. Langdon menoleh. "Saya dulu" Ke mana?"
Fache menunjuk, ke lantai pada dasar jeruji itu. Langdon melihat ke bawah. Dalam
kegelapan, dia tak dapat melihat. Barikade itu naik kira-kira dua kaki, sehingga
terbuka sedikit di bawah.
"Area ini masih terlarang bagi keamanan Louvre," kata Fache. "Tim saya dari
Police Technique et Scientique baru saja menyelesaikan penyidikan mereka." Dia
menunjuk ke celah di bawah. "Silakan menyelinap ke bawah."
Langdon menatap ke lowongan sempit di kakinya, dan kemudian pada jeruji
kokoh.Dia bercanda, kan" Barikade itu tampak sepertiguillotine yang siap
menghancurkan penyelinap.
Fache menggumam dalam bahasa Prancis dan melihat jam tangannya. Kemudian dia
berlutut dan merayap dengan tubuh besarnya di bawah jeruji itu. Tiba di
seberang, dia berdiri dan menatap Langdon melalui jeruji itu.
Langdon mendesah. Dengan meletakkan kedua telapak tangannya pada parket
berpelitur, ia berbaring pada perutnya dan merayap ke depan. Ketika dia
menerobos di bawah jeruji, kerah jas Harris-nya tersangkut jeruji dan
punggungnya menyentuh jeruji besi itu.
Halussekali,Robert, pikirnya, meraba-raba dan akhirnya berhasil merayap. Ketika
berdiri, Langdon mulai khawatir kalau ini akan menjadi malam yang panjang.
5 Murray Hill Place - markas pusat Opus Dei World yang baru dan pusat konferensi -
terletak di 243 Lexington Avenue di New York City. Dengan harga hanya sekitar 47
juta dolar Amerika, menara berluas 133.000 kaki persegi itu terbungkus oleh batu
bata merah dan batu kapur Indiana. Dirancang oleh May & Pinska, gedung itu
berisi seratus kamar tidur, enam ruang makan, perpustakaan-perpustakaan, ruang-
ruang duduk, ruang-ruang rapat, dan ruangruang kerja. Lantai 2, 8, dan 16
terdiri atas kapel-kapel, berornamen hiasanhjasan dan kayu dan pualam. Lantai 17
seluruhnya diperuntukican sebagai tempat tinggal. Laki-laki memasuki gedung itu
dari pintu-pintu masuk utama di Lexinton Avenue; perempuan masuk melalui jalan
sampig dan "dipisahkan secara akustik dan visual" dari lelaki selama berada di
dalam gedung itu. Di awal malam ini, di dalam tempat perlindungannya di apartemen penthouse-nya,
Uskup Manuel Aningarosa telah mengemas pakaiannya dalam tas bepergian kecil dan
mengenakan jubah hitam tradisionai. Biasanya dia mengenakan ikat pinggang ungu,
namun malam ini dia akan bepergian di tengah-tengah orang banyak, dan dia tidak
ingin menarik perhatian karena kedudukannya yang tinggi. Hanya orang bermata
jeli yang akan dapat meliliat cincin emas keuskupan 14 karat yang dipakainya,
dengan batu permata ametis ungu, berlian besar, dan songkokmitre-crozierappliqu?
buatan tangan. Sambil menyandang tas bepergian itu pada bahunya, Aringarosa
berdoa lirih dan meninggalkan apartemennya, turun ke lobi menemui sopirnya yang
akan mengantarnya ke bandara.
Sekarang, dia sudah duduk di dalam pesawat komersial yang akan membawanya ke
Roma. Aringarosa melongok ke luar jendela, ke Samudra Atlantik yang gelap.
Matahari telah tenggelam, tetapi Aringarosa tahu bahwa bintangnya sendiri tengah
terbit. Ma/am ini, perang itu akan kumenangkan, pikirnya, merasa kagum karena
hanya beberapa bulan yang lalu dia merasa begitu tak kuasa melawan tangan yang
berniat menghancurkan kerajaannya.
Sebagai Direktur Utama Opus Dei, Uskup Aringarosa telah menghabiskan satu dekade
dalam hidupnya menyebarkan pesan dan "Karya Tuhan" - secara harfiah,OpusDei.
Jemaatnya, didirikan pada tahun 1928 oleh pendeta Spanyol Josemaria F.scriv?,
mengembangkan sebuah gerakan kembali ke nilai Katolik konservatif dan mendorong
para pengikutnya untuk memperbanyak pengorbanan-pengorbanan dalam hidup mereka
sendiri sebagai usahanya menjalankan Karya Tuhan.
Filsafat Opus Dei pada mulanya berakar di Spanyol sebelum rezim Franco, namun
dengan dipublikasikannya buku spiritual Josemaria Escriv? pada tahun 1934
berjudulThe Way - berisi 999 butir meditasi untuk melaksanakan Karya Tuhan dalam
kehidupan seseorang - maka pesan Escriv? itu meledak di seluruh dunia. Sekarang,
dengan The Way terjual lebih dari empat juta kopi dalam 42 bahasa, Opus Dei
merupakan kekuatan yang mendunia. Balairungbalairungnya, pusat-pusat pengajaran
dan bahkan universitasuniversitasnya dapat dijumpai di kota-kota metropolitan
besar di dunia. Opus Dei merupakan organisasi Katolik yang berkembang paling
cepat dan terkaya di dunia. Sialnya, Aringarosa telah mempelajari, di era
kesinisan pada agama, cara pemujaan, dan khotbah-khotbah jarak jauh, peningkatan
kemakmuran dan kekuatan Opus Dei mengundang kecurigaan.
"Banyak orang menyebut Opus Dei sebagai perkumpulan pencucian otak," para
wartawan sering memancing pernyataan itu. "Yang lainnya lagi menyebut Anda
sebagai kelompok rahasia Kristen yang ultrakonservatif. Yang mana Anda
sebenarnya?" "Opus Dei bukan keduanya," uskup itu akan menjawabnya dengan sabar. "Kami adalah
Gereja Katolik. Kami adalah jemaat Katolik yang telah memilih, sebagai prioritas
kami, untuk mengikuti doktrin Katolik sekuat mungkin dalam kehidupan sehari-
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari" "Apakah Karya Tuhan harus memasukkan sumpah kesucian, berzakat, dan penebusan
dosa dengan cara mencambuk diri dan mengikat diri dengan cilice?"
"Anda hanya menggambarkan sebagian kecil dari populasi jemaat Opus. Dei," ujar
Aringarosa. "Ada banyak tingkat kepatuhan. Ribuan anggota Opus Dei menikah,
mempunyai keluarga, dan menjalankan Karya Tuhan dalam komunitas mereka masing-
masing. Yang lainnya memilih hidup ekstrem di dalam biara kami. Pilihan-pilihan
ini pribadi sifatnya, tetapi setiap orang di Opus Dei mempunyai tujuan yang
sama, yaitu memperbaiki dunia dengan cara menjalankan Karya Tuhan. Tentu saja
ini merupakan suatu pencarian yang sangat mulia."
Walau begitu, pertimbangan akal sehat jarang berhasil. Media massa selalu
cenderung ke arah skandal, dan Opus Dei, seperti juga umumnya organisasi besar
lainnya, mempunyai, di antara anggota-anggotanya, sedikit orang yang menyimpang
yang mengejar bayangan. Dua bulan yang lalu, suatu kelompok Opus Dei di sebuah
universitas di barat bagian tengah tertangkap basah membius pengikut barunya
dengan obat yang dapat menimbulkan halusinasi, dalam usaha mereka untuk membuat
orang itu mencapai keadaan eforia sehingga anggota baru itu akan merasakannya
sebagai pengalaman religius. Seorang mahasiswa lainnya telah menggunakan ikat
pinggang berduri cilice-nya lebih sering daripada yang dianjurkan, yaitu dua jam
dalam sehari, dan dia hampir saja terkena infeksi yang mematikan. Di Boston baru
saja terjadi, seorang investor bank yang masih muda menyumbangkan semua tabungan
hidupnya kepada Opus Dei sebelum membunuh dirinya. Domba yang salah bimbing,
pikir Aringarosa, dia sangat prihatin
karenanya. Tentu saja, aib terbesar adalah penyebarluasan persidangan seorang
agen mata-mata FBI Robert Hansen, yang ingin menjadi anggota Opus Dei yang
menonjol tapi ternyata berubah menjadi seorang hamba seks. Persidangannya
menguak bukti bahwa dia memiliki kamera video tersembunyi di kamar tidurnya agar
teman-temannya dapat menyaksikan saat dia bercinta dengan istrinya. "Sukar
dipercaya kalau dia tadinya penganut Katolik yang taat," kata hakim.
Sedihnya, semua peristiwa ini telah membantu berkembangnya sebuah organisasi
pengawas baru, dikenal dengan nama Opus Dei Awareness Network (ODAN), 'Jaringan
Waspada Opus Dei'. Web site kelompok ini - www.odan.org - - menyiarkan cerita-cerita
mengerikan dari mantan anggotaanggota Opus Dei yang memperingatkan bahayanya
bergabung dengan Opus Dei. Media sekarang menganggap Opus Dei sebagai "Mafia
Tuhan" klan "Pemuja Kristus".
Kita takut kepada apa yang kita tak mengerti, pikir Aringarosa, sambil bertanya-
tanya apakah para pengkritik ini tahu berapa banyak kehidupan yang telah
diperkaya oleh Opus Dei. Kelompok itu menikmati pengabsahan penuh dan restu dari
Vatikan.OpusDeimerupakansebuahperwaliangerejapribadi dariPaussendiri.
Walau begitu, akhir-akhir ini, Opus Dei telah menyadari bahwa mereka terancam
oleh sebuah kekuatan yang jauh lebih kuat daripada media ... sebuah musuh tak
terduga yang tak terhindarkan oleh Aringarosa. Lima bulan yang lalu, kalaedoskop
dari kekuatan itu telah mengguncangnya, dan Aringarosa masih limbung karena
pukulan itu. "Mereka tidak tahu peperangan macam apa yang telah mereka mulai," bisik
Aringarosa pada dirinya sendiri, sambil menatap keluar jendela pesawat terbang,
pada lautan yang gelap di bawahnya. Tiba-tiba, matanya kembali terpusat, terus
menatap pantulan wajahnya yang aneh - gelap dan berbentuk bujur, didominasi oleh
hidung pesek dan bengkok yang pernah ditinju di Spanyol ketika dia masih seorang
pendeta muda. Kekurangan pada tubuhnya sekarang hampir tak kentara. Dunia
Aringarosa adalah batiniah, bukan ragawi.
Ketika jet itu melewati pantai Portugal, telepon selular di dalam jubah
Aringarosa mulai bergetar karena dering bisu. Walaupun ada larangan untuk
menggunakan telepon selular selama penerbangan, narnun Aningarosa tahu, ini
panggilan yang tak boleh diabaikan. Hanya satu orang yang tahu nomor ini, orang
yang sekarang menelepon Aringarosa. Dengan gembira, uskup itu menjawab perlahan,
"Ya?" "Silas telah menemukan batu kunci itu," kata si penelpon. "Ada di Paris.
Di dalam gereja Saint-Sulpice." Uskup Aringarosa tersenyum. "Kalau begitu kita
sudah dekat." "Kita bisa mendapatkannya segera. Tetapi kita memerlukan
pengaruhmu." "Tentu saja. Katakan apa yang harus kulakukan." Ketika Aringarosa
mematikan teleponnya, jantungnya berdebar. Kembali dia menatap kekosongan malam,
merasa mengerdil karena kejadian yang telah dimulainya. Lima ratus mil dari
Aringarosa, Silas si albino berdiri di dekat baskom kecil berisi air dan
mengusapi darah dari punggungnya, sambil mengarnati pola-pola darahnya berputar
di dalam air. Bersihkan aku dengan daun hysop dan aku akan bersih, dia berdoa,
mengutip Mazmur.Cuci aku, dan aku akan menjadilebihputihdaripadasalju. Silas
merasakan sebuah peningkatan harapan yang belum pernah ia rasakan srpanjang
hidupnya. Itu mengejutkan dan menggetarkan dirinya. Sejak sepuluh tahun
trrakhir, dia telah mengikutiTheWay, membersihkan diri dari dosa-dosa
...membangun kembali hidupnya ... menghapus kekejaman masa lalunya. Namun malam
ini, semua itu seperti menyerbu datang kembali. Kebencian yang telah
diupayakannya dengan kuat untuk dikuburkan telah terkumpul kembali. Dia terkejut
betapa cepat masa lalunya muncul kembali. Dan bersama dengan itu, tentu saja,
datang juga keahliannya. Berkarat, namun masih bisa digunakan.
PesanYesusmerupakanpesankedamaian ... tanpakekerasan...cinta. Ini adalah pesan
yang diajarkan kepada Silas dari awal, dan pesan itu disimpannya dalam hati.
Namun, pesan ini jugalah yang akan dirusak oleh musuh Kristus. Siapa yang
mengancam Tuhan dengan kekuatan akan bertemu dengan
kekuatan.Taktergoyahkandantabah.
Selama dua milenium, tentara-tentara Kristen telah membela keyakinan mereka
melawan orang-orang yang mencoba menggantikannya. Malam ini, Silas telah
terpanggil untuk berperang.
Setelah mengeringkan lukanya, Silas mengenakan jubah hingga ke mata kakinya.
Jubahnya sederhana, terbuat dari wol gelap, mempertajam keputihan kulit dan
rambutnya. Dia mengencangkan kerudungnya sampai menutup kepala, dan ikat
pinggangnya, membiarkan mata menaikkan merahnya mengagumi pantulannya dalam
cermin.Roda-rodaitusedangbergerak.
6 SETELAH DIGENCET di bawah gerbang keamanan, Robert Langdon sekarang berdiri di
dalam, pintu masuk ke Galeri Agung. Dia melihat ke dalam mulut gang yang dalam
dan panjang. Pada sisi lain galeri ini, dinding kapur menjulang tiga puluh kaki,
seakan menguap ke dalam kegelapan di atasnya. Cahaya kemerahan dari lampu
mengarah ke atas, memberikan terang buatan ke arah koleksi lukisan yang
menggemparkan dari karya-karya Da Vinci, Titians, dan Caravaggio, yang
tergantung dengan kabel dari langit-langit. Lukisan alam benda, adegan-adegan
religius, dan pemandangan alam bersanding dengan potret para potret para
bangsawan dan politikus. Walau Galeri Agung menyimpan benda-benda seni Italia
yang paling tersohor, para pengunjung berpendapat bahwa bagian paling memesona
yang ditawarkan bagian sayap itu adalah lantai parketnya yang terkenal.
Terhampar dalam rancangan geometris yang mencengangkan, dengan potongan kayu ek
tipis dan panjang yang disusun secara diagonal, lantai itu membenikan ilusi
optik singkat - sebuah jaringan multi-dimensi mengambang di sepanjang galeri saat
para yang memberi perasaan pengunjung berjalan di permukaannya yang berganti-
ganti pada setiap langkah.
Ketika Langdon mulai menatap hamparan lantai itu, matanya berhenti pada sebuah
benda yang tak semestinya ada di atas lantai, tergeletak hanya beberapa yard di
sebelah kirinya, dikelilingi dengan pita polisi. Dia berputar ke arah Fache.
"Apakah itu sebuahCaravaggio tergeletak di lantai?" Fache mengangguk tanpa
melihatnya. Langdon menerka, harga lukisan itu tentulah lebih dari dua juta
dolar Amerika, dan tergeletak begitu saja di atas lantai seperti poster buangan.
"Mengapa tergeletak begitu saja di lantai!"
Fache menggeram, sama sekali tidak bereaksi. "ini tempat peristiwa kriminal, Pak
Langdon. Kami tidak boleh menyentuh apa pun. Kanvas itu diturunkan dari dinding
oleh kurator itu. Begitulah caranya mengaktifkan sistem pengamanan."
Langdon melihat lagi gerbang itu, mencoba membayangkan apa yang telah terjadi.
"Kurator itu telah diserang di kantornya, melarikan diri ke Galeri Agung, dan
mengaktifkan gerbang pengaman dengan cara menurunkan lukisan dari dinding.
Gerbang itu langsung turun, menutup semua jalan. Ini satu-satunya pintu keluar
dan masuk galeri ini."
Langdon merasa bingung. "Jadi kurator itu sebenarnya memerangkap penyerangnya di
dalam Galeri Agung?"
Fache menggelengkan kepalanya. "Gerbang itu memisahkan Sauni?re dari
penyerangnya. Si pembunuh terkunci di luar di gang dan menembak Sauni?re dari
gerbang itu." Fache menunjuk pada tanda berwarna jingga yang tergantung pada
salah satu jeruji pintu gerbang yang tadi mereka selusupi. "Tim PTS menemukan
residu dari senjata itu. Dia menembak melalui jeruji. Sauni?re tewas di sini
sendirian. Langdon mengingat foto mayat Sauni?re. Mereka mengatakan bahwa Sauniere
melakukan itu sendiri pada dirinya. Langdon melihat ke koridor besar di depan
mereka. "Jadi, di mana mayat itu tergeletak?"
Fache meluruskan penjepit dasi salibnya dan mulai berjalan lagi. "Seperti yang
mungkin sudah Anda tahu, Galeri Agung sangat panjang."
Panjang sesungguhnya, jika Langdon tak salah ingat, adalah sekitar 1.500 kaki,
sepanjang tiga kali Monumen Washington yang dibaringkan. Sama mengagumkannya
adalah lebar koridor ini, yang dengan mudah dapat dilewati oleh sepasang kereta
api berdampingan. Bagian tengah gang itu ditandai oleh patung kolosal atau
jambangan porselin, yang berfungsi sebagai pemisah yang indah dan menjaga lalu
lintas pengunjung agar tetap berjalan di masing-masing sisi tembok.
Fache bungkam sekarang, berjalan cepat pada sisi kanan koridor dengan tatapan
tetap ke depan. Langdon merasa agak kurang ajar karena hanya berjalan cepat
melewati begitu banyak adikarya tanpa berhenti, bahkan tidak untuk mengerling
pun. Bukannyaakubisamelihatdalampencahayaansepertiini, pikirnya. Pencahayaan remang-
remang ini sialnya, telah mengingatkannya kembali pada pengalamannya di ruang
redup di penyimpanan arsip rahasia, Vatikan Secret Archives. Keadaan seperti ini
sangat mirip dengan kejadian ketika dia hampir tewas di Roma. Bayangan Vittoria
berkelebat lagi. Vittoria telah menghilang dari mimpi-mimpinya selama beberapa
bulan terakhir ini. Langdon tak dapat percayai kalau Roma baru berlalu setahun;
rasanya seperti sudah satu dekade. Kehidupanyanglain. Surat-menyurat terakhirnya
dengan Vittoria adalah pada bulan Desember__selembar kartu pos mengatakan bahwa
Vittoria sedang menuju ke Laut Jawa, untuk melanjutkan penelitiannya dalam
fisika yang rumit ... tentang penggunaan satelit untuk mengikuti perpindahan
ikan paus manta yang besar. Langdon tak pernah membayangkan seorang perempuan
sepenti Vittoria Vetra dapat hidup bahagia bersamanya di asrama perguruan
tinggi, namun pertemuan mereka di Roma telah membuat Langdon merasakan hal yang
tak pernah ia bayangkan bisa ia rasakan. Kebahagiaan hidup melajang seumur
hidupnya dan kebebasan sederhana akhirnya tergoyahkan ... berganti dengan rasa
kekosongan yang tampaknya berkembang selama satu tahun ini.
Mereka melanjutkan berjalan cepat, tetapi Langdon belum juga melihat mayat itu.
"Jacques Sauni?re berjalansejauhini?"
"Pak Sauni?re menderita karena ada sebutir peluru di perutnya. Dia tewas
perlahan-lahan sekali. Mungkin lebih dari 15 sampai 20 menit. Dia pastilah
seorang lelaki yang kuat." Langdon menoleh, terkejut. "Petugas keamanan
membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke sini?" "Tentu saja tidak. Petugas keamanan Louvre
langsung bereaksi ketika alarm berbunyi, dan mendapatkan galeri itu terkunci.
Melalui gerbang itu, mereka dapat mendengar seseorang bergerak-gerak di ujung
gang dan di koridor, tetapi mereka tidak dapat melihat siapa dia. Mereka
berteriak, tetapi tak dijawab. Mereka mengira itu seorang penjahat. Mereka
mengikuti peraturan dan menelepon Polisi Judisial. Kami tiba di tempat dalam
waktu lima belas menit. Ketika kami tiba, kami menaikkan gerbang itu sedikit,
cukup untuk diterobos dari bawah, dan saya mengirim dua belas petugas bersenjata
ke dalam. Mereka memeriksa galeri ini untuk menangkap penyusup itu." "Dan?"
"Mereka tidak menemukan siapa pun di dalam. Kecuali..." Dia menunjuk
agak jauh ke dalam gang. "Dia." Langdon mengangkat pandangannya dan mengikuti
arah jari Fache. Pada mulanya, dia mengira Fache menunjuk pada patung pualam
besar di tengah gang. Ketika mereka bergerak lebih lanjut, Langdon mulai melihat
melewati patung itu. Tiga puluh yard di gang itu, sebuah lampu dengan tiang yang
dapat dipindah-pindahkan menyorot ke bawah, menciptakan bentuk pulau cahaya
putih di dalam galeri merah tua itu. Di tengah-tengah cahaya itu, layaknya
seekor serangga di bawah mikroskop, mayat sang kurator tergeletak bugil di atas
lantai parket. "Anda sudah melihat foto itu," ujar Fache, "jadi ini tidak mengejutkan lagi."
Langdon merasa menggigil ketika mereka mendekati mayat itu. Baginya, ini adalah
bayangan teraneh yang pernah dia lihat.
Mayat pucat Jacques Sauni?re tergeletak di atas lantai parket, persis seperti
yang. terlihat di foto. Ketika Langdon berdiri di dekat jenazah itu dan agak
memicingkan matanya karena sinar lampu yang terlalu terang, dia terpikir
sesuatu, dan heran juga, bahwa Sauni?re telah menggunakan beberapa menit di
akhir hidupnya untuk mengatur tubuhnya sendiri berpose begitu aneh.
Sauni?re tampak sangat sehat untuk lelaki seusianya ... dan semua ototnya
terlihat jelas. Dia telah menanggalkan setiap helai pakaiannya, meletakkannya
dengan rapi di atas lantai, dan berbaring terlentang di tengah-tengah koridor
yang lebar itu, tepat segaris dengan poros panjang ruangan itu. Tangan dan
tungkainya terentang lebar seperti sayap elang, seperti posisi malaikat salju
yang dibuat anak-anak ..,. atau, mungkin lebih tepat, seperti seorang lelaki
yang ditarik dan dipotong menjadi empat oleh kekuatan yang tak tampak.
Tepat di bawah tulang dada Sauni?re, noda darah menandai titik di mana peluru
itu menembus dagingnya. Anehnya, luka itu tak mengeluarkan banyak darah, hanya
membentuk kolam kecil darah kehitaman.
Jari telunjuk tangan kiri Sauni?re juga berdarah, tampaknya telah dimasukkan ke
lubang tempat peluru menembus untuk menciptakan aspek yang paling mengguncangkan
dari kematiannya yang sangat m?ngerikan itu; menggunakan darahnya sendiri
sebagai tinta, dan memakai perut bugilnya sebagai kanvas, Sauni?re telah
menggambar sebuah simbol sederhana di atas jasadnya - lima garis lurus saling
berpotongan membentuk sebuah bintang lima titik.
Bintang berdarah itu, yang terpusat pada pusar Sauni?re, memberi aura perampok
kubur yang jelas pada mayatnya. Foto yang telah dilihat Langdon cukup
menggigilkan, tetapi, sekarang, melihat sendiri kejadian itu, Langdon merasa
sangat gelisah. Diamelakukansendiripadadirinya. "Pak Langdon"' mata hitam Fache
menatapnya lagi. "Ini pentakel," ujar Langdon, suaranya terdengar kosong dalam
ruangan besar ini. "Salah satu simbol tertua di dunia. Digunakan lebih dari
empat ribu tahun sebelum Masehi." "Dan artinya?" Langdon selalu ragu-ragu ketika
dia menerima pertanyaan seperti itu. Mengatakan kepada seseorang apa arti simbol
itu seperti mengatakan bagaimana sebuah lagu seharusnya memengaruhi perasaan
orang - itu berbeda bagi setiap orang. Kerudung topeng putih Ku Klux Klan
menimbulkan gambaran kebencian dan rasisme di Amerika Serikat, namun kostum yang
sama membawa arti keyakinan religius di Spanyol.
"Simbol mengandung arti yang berbeda pada tempat yang berbeda," kata Langdon.
"Pada awalnya pentakel adalah simbol religius untuk kaum pagan." Fache
mengangguk. "Pemuja setan." "Bukan," Langdon memperbaiki, langsung menyadari
pemilihan kosa katanya harus lebih jelas. Sekarang ini katapagan telah hampir disamakan dengan
pemujaan setan - salah konsep yang ngawur. Akar katanya adalah dari bahasa Latin
paganus, artinya penduduk negeri. "Kaum pagan" secara harfiah berarti orang-
orang desa yang tidak terindoktrinasi yang berpegang teguh pada agama pedesaan
tua yang memuja Alam. Kenyataannya, Gereja begitu takut akan orang-orang yang
tinggal di pedesaan atau villes, sehingga kata yang dulu sama sekali tak
berbahaya yang artinya "penduduk desa", yaitu villain, menjadi berarti jiwa
jahat. "Pentakel itu," Langdon menjelaskan, "merupakan simbol dari zaman sebelum
Masehi, yang berkaitan dengan pemujaan Alam. Para nenek moyang melihat dunia ini
sebagai dua bagian - lelaki dan perempuan. Para dewa dan dewi mereka bekerja untuk
menjaga keseimbangan kekuatan. Yin dan Yang. Ketika lelaki dan perempuan
seimbang, muncul harmoni di dunia ini. Jika mereka tidak seimbang, muncul
kekacauan." Langdon menunjuk pada perut Sauni?re. "Pentakel ini mewakili bagian
perempuan - sebuah konsep yang oleh para ahli sejarah religius disebut sebagai
"perempuan suci" atau "dewi yang hebat". Sauni?re, juga semua orang,
mengetahuinya." "Sauni?re menggambar simbol seorang dewi pada perutnya?" Langdon harus mengakui,
itu kelihatannya aneh. "Pada interpretasi yang paling khusus, pentakel
menyimbolkan Venus - dewi seks, cinta, dan kecantikan perempuan." Fache menatap
mayat lelaki bugil itu, dan menggerutu. "Agama yang pertama berdasarkan pada
tatanan suci Alam. Dewi Venus dan planet Venus adalah satu dan sama. Dewi itu
memiliki tempat di langit waktu malam, dan dikenal dengan banyak nama: Venus,
Bintang Timur, Ishtar, Astarte - semuanya merupakan konsep perempuan yang kuat
dengan ikatan kepada Alam dan Ibu Bumi."
Fache tampak semakin bingung, seakan dia lebih menyukai gagasan pemujaan setan.
Langdon memutuskan untuk tidak berbicara lebih banyak tentang kekayaan yang
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paling mengagumkan dari pentakel - asal usul grafik dan keterikatannya dengan
Venus. Sebagai seorang mahasiswa astronomi yang masih muda, Langdon pernah
begitu terpesona saat tahu bahwa planet venus berjalan mengikuti pentakel yang
sempurna menyeberangi langit eklip setiap delapan tahun. Para leluhur dulu
begitu terpesona menyelidiki fenomena ini, bahwa Venus dan pentakelnya menjadi
simbol dari kesempurnaan, kecantikan, dan kualitas peredaran dari cinta seksual.
Sebagai penghormatan pada kesaktian Venus, orang-orang Yunani menggunakan siklus
delapan tahunnya itu untuk mengorganisasi olimpiade mereka Sedikit saja orang
sekarang yang tahu bahwa siklus empat tahun olimpiade modern masih mengikuti
setengah siklus Venus. Bahkan, lebih sedikit orang yang tahu bahwa bintang segi
lima hampir telah menjadi segel resmi olimpiade namun sudah dimodifikasi pada
akhirnya - lima titiknya ditukar dengan lima lingkaran yang saling memotong untuk
merefleksikan dengan lebih baik jiwa permainan, yaitu keterbukaan dan harmoni.
"Pak Langdon," kata Fache tiba-tiba. "Jelas, pentakel itu mestinya ada
hubungannya dengan setan. Film horor Amerika Anda menjelaskan begitu dengan
sangat jelas." Langdon mengerutkan dahinya. Terima kasih, Hollywood. Bintang bersisi lima
sekarang merupakan sebuah klise virtual dalam film-film pembunuhan berantai
berlatar setan. Gambar bintang seperti itu biasanya dicoretkan pada dinding
apartemen seorang pemuja setan bersama dengan simbol-simbol lain yang diduga
bersifat setan. Langdon selalu frustrasi ketika melihat simbol dalam konteks
ini; sesungguhnya simbol pentakel bersifat sangat ketuhanan.
"Saya yakinkan Anda," ujar Langdon. "Lepas dari yang Anda lihat dalam film,
interpretasi pentakel sebagai simbol setan adalah salah secara historis. Makna
femininnya yang asli adalah benar, tetapi simbolisme pentakel telah dirusak
selama lebih dari seribu tahun. Dalam kasus ini, dirusak dengan cor?tan darah."
"Saya tidak yakin mengerti Anda." Langdon mengerling pada tanda salib Fache, tak
yakin bagaimana dia akan mengatakan pikiran berikutnya. "Gereja, Pak. Simbol-
simbol sangat kental, tetapi pentakel diubah oleh Gereja Katolik Roma awal.
Sebagai bagian dari kampanye Vatikan untuk membasmi agama pagan dan
mengembalikan rakyat ke agama Kristen, Gereja mengadakan kampanye fitnahan
melawan pemuja dewa dan dewi, menjadikan simbol-simbol ketuhanan pagan sebagai
kejahatan." "Teruskan." "Ini sangat biasa pada masa kekacauan," Langdon
melanjutkan. "Sebuah kekuatan baru yang muncul akan mengambil alih simbol-simbol
yang sudah ada dan merendahkannya secara berangsur-angsur dengan maksud
menghapus arti simbol-simbol tersebut. Dalam peperangan antara simbol pagan dan
simbol Kristen, pagan kalah; tombak bermata tiga milik Poseidon menjadi garpu
setan, topi bijak yang meruncing ke atas menjadi simbol tukang sihir, dan
pentakel Venus menjadi tanda setan." Langdon berhenti. "Sialnya, militer Amerika
Serikat juga menyesatkan arti pentakel; sekarang simbol yang paling disukai
untuk perang adalah pentakel. Kami memasangnya pada jet-jet tempur dan
menggantungnya pada bahu para jenderal." Ini sangat keterlaluan bagi
dewicintadankecantikan. "Menarik." Fache mengangguk pada mayat yang terentang seperti elang terbang itu.
"Dan bagaimana dengan posisi tubuh ini" Apa yang dapat Anda baca dari situ?"
Langdon menggerakan bahunya. "Posisi itu hanya memperjelas hubungan dengan
pentakel dan perempuan suci." Ekspresi wajah Fache menggelap. "Maaf?"
"Replikasi. Mengulang sebuah simbol memperkuat artinya. Jacques Sauni?re telah
adalah cara termudah untuk memosisikan dirinya seperti bintang lima
titik."Jikasatupentakelbaik,dualebihbaiklagi.
Mata Fache mengikuti lima titik pada kedua tangan, tungkai, dan kepala Sauni?re
sambil sekali lagi dia mengusapkan tangannya pada rambut licinnya. "Analisa yang
menarik" Dia terdiam. "Dan kebugilannya?" Dia menggumam ketika mengucapkan kata-
kata itu, tampak tak suka melihat tubuh lelaki tua itu. "Mengapa dia melepas
bajunya?" Pertanyaan yang sangat bagus, pikir Langdon. Dia sendiri sudah
mempertanyakan hal itu sejak melihat Polaroid itu. Terkaan terbaiknya adalah
bahwa bentuk tubuh bugil seseorang merupakan penjelasan bagi Venus--dewi
seksualitas manusia. Walau budaya modern banyak menghapus keterkaitan Venus pada
penyatuan fisik lelaki/perempuan, sebuah mata tajam etimologi dapat melihat sisa
arti asli Venus dalam kata venereal yang artinya penyakit kotor. Langdon
memutuskan untuk tidak berbicara ke arah sana. "Pak Fache, saya betul-betul tak
dapat mengatakan mengapa Pak Sauni?re menggambar dirinya dengan simbol itu atau
menempatkan dirinya seperti ini, tetapi saya dapat mengatakan pada Anda bahwa
lelaki seperti Jacques Sauni?re akan menganggap pentakel itu tanda dari
ketuhanan perempuan. Hubungan antara simbol ini dan perempuan suci banyak diketahui oleh ahli sejarah seni dan ahli simbol." "Baik. Dan
penggunaan darah sebagai tintanya?" "Jelas dia tidak punya bahan yang lain untuk
menulis." Fache terdiam sejenak. "Sesungguhnya saya percaya dia menggunakan
darah supaya polisi akan mengikuti prosedur forensik tertentu." "Maaf?" "Lihat
tangan kirinya." Langdon mengamati sepanjang lengan pucat kurator itu sampai ke
tangan kirinya, namun tak melihat apa pun. Karena tak yakin, dia mengelilingi
mayat im dan bahkan berjongkok. Sekarang dia melihat, dengan terkejut, bahwa
kurator itu menggenggam sebuahmarker besar berujungfelt.
"Sauni?re menggenggamnya ketika kami menemukannya," ujar Fache sambil
meninggalkan Langdon dan bergerak beberapa yard mendekati meja yang dapat
dipindah-pindahkan, yang tertutup dengan peralatan investigasi, kabel-kabel, dan
berbagai macam peralatan elektronik. "Seperti yang saya katakan kepada Anda,"
ujarnya sambil mengobrak-abrik di sekitar meja itu, "kami tidak menyentuh apa
pun. Anda sering melihat pena semacam itu?" Langdon berlutut untuk melihat
mereknya. STYLO DE LUMIERE NOIRE. Dia melihat ke atas dengan terkejut. Pena
sinar hitam atau watermark stylus merupakan sebuah pena berujung felt istimewa,
pertama kali dirancang oleh museum-museum, para ahli restorasi lukisan, dan
polisi bagian pemalsuan untuk memberikan tanda tak terlihat pada benda-benda.
Spidol ini dapat dituliskan dengan tinta nonkorosif, tinta pijar berbahan dasar
alkohol sehingga hanya dapat dilihat dalam sinar hitam. Kini petugas-petugas
pemeliharaan museum membawa marker seperti ini pada hari-hari tugasnya untuk
memberi tanda pada bingkai dan lukisan yang memerlukan restorasi.
Ketika Langdon berdiri, Fache berjalan ke lampu sorot dan mematikannya. Galeri
itu tiba-tiba menjadi sangat gelap.
Langdon seperti buta sesaat, dan merasa tak yakin. Bayangan Fache muncul,
disinari cahaya ungu terang.. Dia mendekat membawa lampu senter, yang
menyelubunginya dengan sinar ungu.
"Mungkin Anda tahu," ujar Fache, matanya bercahaya dalam sinar ungu, "polisi
menggunakan penerangan cahaya hitam untuk mencari bercak darah pada tempat
kejadian kriminal dan bukti-bukti forensik lainnya. Jadi Anda dapat membayangkan
keterkejutan kami ...." Dengan tiba-tiba, dia mengarahkan cahaya itu ke mayat
Sauni?re. Langdon melihat ke bawah dan terloncat ke belakang karena sangat terguncang.
Jantungnya berdebar cepat ketika dia menangkap sinar aneh yang sekarang berkilau
di depannya di atas lantai parket. Goresan cakar ayam yang ternyata adalah
tulisan tangan, dan merupakan pesan terakhir kurator itu, berkilauan ungu di
samping mayatnya. Ketika Langdon menatap tulisan berkilauan itu, dia merasa
kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal. Langdon membaca pesan
itu lagi dan menatap Fache. "Apa artinya ini?" Mata Fache bersinar putth."Itu,
Monsieur, adalah pertanyaan yang harus Anda jawab di sini."
Tak jauh dari situ, di dalam kantor Sauni?re, Letnan Collet telah kembali ke
Louvre dan mengutak-kutik seperangkat audio console di atas meja kurator yang
besar sekali itu. Walau patung kesatria abad pertengahan yang seperti robot dan
mengerikan itu seolah menatapnya dari sudut meja Sauni?re, Collet tampak nyaman
saja. Dia mengatur headphone AKG-nya dan memeriksa input level pada perangkat
keras sistem perekam itu. Semua sistem berfungsi. Mikrofon-mikrofon berfungsi
sempurna, dan pengeras suaranya sejernih kristal. Lemomentdeverit?, katanya
dalam hati. Sambil tersenyum, dia memejamkan matanya dan bersiap menikmati sisa
percakapan dari Galeri Agung yang sekarang direkam.
7 KEHIDUPAN SEDERHANA di dalam Gereja SaintSulpice berada di lantai dua dalam
gereja itu sendiri, di sebelah kiri balkon paduan suara. Suite dua kamar dengan
lantai batu dan berperabotan minim telah menjadi rumah bagi Suster Sandrine
Bieil selama lebih dari sepuluh tahun. Biara yang berada di dekat gereja
merupakan tempat tinggal resminya, jika ada yang bertany?, tetapi dia lebih
senang dengan ketenangan di dalam gereja dan merasa nyaman di lantai atas dengan
satu pembaringan, telepon, dan piring panas.
Sebagai conservative d'affair dari gereja tersebut, Suster Sandrine bertanggung
jawab untuk mengawasi segala aspek nonreligus dari kegiatan gereja - perawatan
umum gereja, menyewa tenaga bantuan dan pemandu, mengamankan gedung pada jam
tutup, dan memesan pasokan seperti anggur komuni dan wafer. Malam ini, saat
tidur di atas pembaringannya yang kecil, dia terbangun karena teleponnya. Dengan
letih, dia mengangkat teleponnya. "SouerSandrine,EgliseSaint-Suplice." "Halo,
Suster," sapa seseorang dalam bahasa Prancis. Suster Sandrine duduk
tegak.Jamberapasekarang" Walau dia mengenali suara pimpinannya, dalam lima belas
tahun ini dia tak pernah dibangunkan oleh suaranya. Abb? atau kepala biara
wanita itu adalah seorang lelaki yang betul-betul saleh yang langsung pulang
setelah misa. "Aku minta maaf jika membangunkanmu, Suster," kata pimpinannya itu, suaranya
sendiri terdengar bergetar dan gugup. "Aku ingin minta tolong. Aku baru saja
menerima telepon dari seorang uskup penting Amerika. Mungkin kau mengenalnya"
Manuel Aringarosa?" "Pimpinan Opus Dei?" Tentu saja aku mengenalnya. Siapa di lingkungan gereja yang
tak mengenalnya" Prelatur konservatif Aringarosa telah berkembang semakin kuat
dalam tahun-tahun terakhir ini. Rel kehormatan mereka melompat pada tahun 1982
ketika Paus Johanes Paulus II secara tak terduga mengangkat mereka menjadi
"prelatur pribadi Paus", yang secara resmi mendukung semua kegiatan mereka.
Keadaan itu menjadi mencurigakan karena kenaikan Opus Dei terjadi bersamaan
dengan kejadian sekte kaya itu mentransfer satu juta dolar ke Institut Vatikan
untuk Kegiatan Religius - umumnya dikenal kebangkrutan yang sebagai Vatikan Bank -
untuk melindunginya dari memalukan. Dalam manuvernya yang kedua, yang membuat
orang mengangkat alis, Paus menempatkan pendiri Opus Dei di "jalur cepat" untuk
menjadi orang suci. Seharusnya untuk dinobatkan menjadi Santo harus menunggu
selama satu abad, namun yang ini dipercepat menjadi dua puluh tahun. Suster
Sandrine tak bisa lain kecuali merasa bahwa keberadaan Opus Dei di Roma itu
mencurigakan, namun tak ada yang dapat menentang Holy See.
"Uskup Aringarosa menelepon untuk meminta bantuanku," abb? berkata kepada
Sandrine, suaranya terdengar panik. "Salah satu anggotanya berada di Paris malam
ini ...." Ketika Suster Sandrine mendengar permintaan aneh itu, dia merasa bingung sekali.
"Maaf, Anda mengatakan kunjungan salah satu anggota Opus Dei tak dapat ditunda
hingga besok pagi?" "Aku khawatir demikian. Pesawatnya berangkat sangat awal. Dia selalu memimpikan
untuk melihat Saint-Sulpice."
"Tetapi gereja ini jauh lebih menarik pada siang hari. Sinar matahari yang
menerobos melalui oculus, bayangan yang terbagi-bagi pada gnomon, inilah yang
membuat Saint-Sulpice unik"
"Suster, aku setuju, tetapi aku ingin menganggap ini sebagai permintaan pribadi,
jika kau bisa membiarkannya masuk malam ini. Dia akan berada di sana pada
pukul ... mungkin pukul satu" Berarti dalam dua puluh menit ini." Suster
Sandrine mengerutkan alisnya. "Tentu saja. Dengan senang hati." Abb? berterima
kasih dan menutup teleponnya. Dengan kebingungan, Suster Sandrine masih tetap
duduk di atas pembaringannya yang hangat, mencoba mengusir sisa-sisa tidurnya.
Tubuh enam puluh tahunnya tidak dapat terjaga secepat dulu, walau telepon malam
ini betul-betul membangunkan pikirannya. Opus Dei selalu membuatnya tak tenang.
Di luar kesetiaan prelatur itu pada ritual rahasia pematian raga, pandangan Opes
Dei pada perempuan tak terlalu baik. Suster Sandrine sangat terkejut mengetahui
bahwa anggota perempuan dipaksa membersihkan tempat tinggal anggota lelaki tanpa
dibayar sementara anggota-anggota lelaki melakukan misa; anggota perempuan tidur
di atas pembaringan kayu keras, sementara anggota lelaki tidur di atas kasur
jerami; dan anggota perempuan juga dipaksa melaksanakan ritus pematian raga
tambahan ... semua itu sebagai hukuman atas dosa asal. Tampaknya kesalahan Eva
(Hawa) memakan buah apel tanpa sepengetahuannya telah menjadi hutang perempuan
yang harus dibayar selamanya. Sedihnya, saat Gereja Katolik pada umumnya
berangsurangsur bergerak ke arah kanan dengan menghargai hak kaum perempuan,
Opus Dei berlaku sebaliknya. Walaupun demikian, Suster Sandrine harus
melaksanakan perintah tadi.
Dengan mengayun tungkainya dari atas pembaringannya, perlahan-lahan Suster
Sandrine berdiri, menggigil karena dinginnya lantai bari pada kaki telanjangnya.
Ketika dingin itu naik ke seluruh tubuhnya, dia merasakan ketakutan yang tak
dimengertinya. Intuisiperempuan" Sebagai hamba Tuhan, Suster Sandrine telah
belajar menemukan kedamaian dalam suara yang menenangkan dan dalam jiwanya.
Malam itu, suara-suara itu sesenyap gereja kosong di sekitarnya.
8 LANGDON tak dapat mengalihkan matanya dari tulisan cakar ayam yang bersinar ungu
di atas lantai parket. Komunikasi terakhir Jacques Sauni?re tampak bukan seperti
kata perpisahan yang dapat dibayangkan Langdon. Pesan itu seperti ini:
13-3-2-21-1-1-8-5 0, Draconian devil! Oh, lame saint!
Walau Langdon tak punya gambaran sedikit pun apa arti tulisan itu, dia mengerti
insting Fache bahwa pentakel ada hubungannya dengan pemujaan setan.
0,setanDraconia! Sauni?re telah meninggalkan rujukan literer atas setan. Sama
anehnya adalah deretan angka-angka itu. "Sebagian tampak seperti kode angka."
"Ya," kata Fache. "Ahli kode angka kami telah mulai menanganinya. Kami percaya,
mungkin nomor-nomor ini merupakan kunci ke arah siapa yang membunuhnya. Mungkin
nomor telepon atau semacam identitas sosial. Apakah menurut Anda nomor-nomor itu
mempunyai arti simbolis?"
Langdon menatap lagi angka-angka itu. Dia merasa akan membutuhkan waktu berjam-
jam untuk mencari arti simbolis dari deretan itu. Jika Sauni?re memang
menginginkannya begitu. Bagi Langdon, deretan nomor itu tampak betul-betul
deretan acak. Dia terbiasa dengan deret simbolis yang memuat beberapa kemiripan
yang bermakna, tetapi segalanya di sini - bintang pentakel, teks itu, angka-angka -
tampak terpisah secara mendasar.
"Anda mengatakan tadi," ujar Fache, "bahwa tindakan Sauni?re di sini adalah
usahanya untuk mengirimkan semacam pesan...pemujaan dewi atau sesuatu dalam darah
itu" Lalu bagaimana dengan pesan ini?"
Langdon tahu pertanyaan itu retoris. Cara berkomunikasi seperti ini jelas tidak
cocok sama sekali dengan skenario Langdon tentang pemujaan pada dewi.
0,setanDraconia"Oh,orangsuciyanglemah" Fache berkata, "Teks ini tampaknya
merupakan semacam tuduhan. Betul?" Langdon mencoba untuk membayangkan keadaan
kurator itu pada menitmenit terakhirnya: terjebak sendiri di dalam Galeri Agung,
dan tahu dia akan segera mati. Kelihatannya logis saja. "Tuduhan terhadap
pembunuhnya, memang masuk akal, saya pikir."
"Pekerjaan saya adalah menentukan nama dari pembunuh ini. Izinkan saya
menanyakan hal ini kepada Anda, Pak Langdon. Menurut yang Anda lihat, di luar
nomor-nomor itu, apa yang paling aneh dari pesan ini?"
Paling aneh" Seseorang yang sekarat telah melindungi dirinya sendiri di dalam
galeri ini, menggambar bintang pentakel di atas tubuhnya, dan mencoretkan sebuah
tuduhan di atas lantai. Apakah skenario ini tidak aneh juga"
"Kata draconia?" Langdon mulai, dengan hal pertama yang melintas dalam
pikirannya. Langdon agak yakin bahwa yang berkaitan dengan nama Draco - seorang
politisi terkejam di abad ketujuh sebelum Masehi - sepertinya tidak mengacu pada
gagasan kematian. "Setan Draconia" sepertinya pilihan kosa kata yang aneh.
"Draconia?" nada suara Fache terdengar tak sabar sekarang. "pilihan kosa kata
Sauni?re sepertinya bukan hal yang utama disini."
Langdon tak yakin mana pokok persoalan yang ada dalam benak Fache, namun dia
mulai menduga bahwa Draco dan Fache pastilah akan cocok satu sama lain.
"Sauni?re orang Prancis," kata Fache datar. "Tinggal di Paris. Tetapi dia
memilih menulis pesan ini..."
"Dalam bahasa Inggris," maksud sang kapten. kata Langdon, sekarang dia mulai
mengerti "Pr?cisement. Anda mengerti mengapa?" Langdon tahu, Fache berbahasa Inggris
dengan sempurna, namun alasan Sauniere memilih bahasa Inggris untuk menulis
pesan terakhirnya luput dari pengamatan Langdon. Dia menggerakkan bahunya.
Fache menunjuk lagi pada pentakel di atas perut Sauni?re. "Ini tidak ada
hubungannya dengan pemujaan setan" Anda masih yakin dengan itu?"
Langdon sekarang tak yakin pada apa pun "Simbologi dan teks tak terlihat seperti
ada hubungan. Maaf saya tak dapat menolong lagi."
"Mungkin ini akan menjelaskan." Fache mundur dari mayat itu dan mengangkat sinar
hitam itu lagi, membiarkan pancaran sinarnya menyebar lebih luas. "Dan
sekarang?" Langdon sangat tercengang, karena sebuah lingkaran tak sempurna bersinar
mengeliingi mayat itu. Sauni?re tampaknya sebelum meninggal telah berbaring dan
mengayunkan spidol itu membuat beberapa kali garis lengkung mengelilingi
dirinya, Sedemikian rupa sehingga dia berada di dalam sebuah lingkaran. Secepat
kilat, semuanya menjadi jelas. "Manusia Vitruvian," Langdon tersengal. Sauni?re
telah menciptakan tiruan dari sketsa Leonardo da Vinci yang paling tersohor,
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seukuran manusia. Dianggap sebagai gambar yang paling tepat secara anatomi pada
zamannya, gambar Da VinciTheVitruvianMan telah menjadi ikon kultur zaman modern,
karena kini gambar itu muncul pada poster-poster, tatakan mouse, dan T-shirt di
seluruh dunia. Lukisan terkenal itu terdiri atas sebuah lingkaran sempurna, di
dalamnya ada seorang lelaki bugil ... kedua lengan dan tungkainya terentang
seperti elang telanjang. Da Vinci. Langdon menggigil karena takjub. Kejernihan niat Sauni?re tak dapat
disangkal. Di saat terakhir hidupnya, kurator itu telah menanggalkan semua
pakaiannya dan mengatur tubuhnya sedemikan rupa sehingga merupakan sebuah
gambaran jelas dari Vitruvian Man karya Leonardo da Vinci.
Lingkarannya merupakan elemen kritis yang hilang. Sebagai simbol feminin dan
perlindungan, lingkaran di luar tubuh bugil seorang lelaki itu melengkapi pesan
yang dimaksud Da Vinci - keharmonisan antara lelaki dan perempuan. Pertanyaannya
sekarang, mengapa Sauni?re meniru gambar tersohor itu.
"Pak Langdon," ujar Fache, "seorang seperti Anda, tentu saja, sadar bahwa
Leonardo da Vinci mempunyai kecenderungan ke arah seni yang lebih gelap."
Langdon terkejut akan pengetahuan Fache tentang Da Vinci, dan itu tentu saja
menjelaskan alasan sang kapten atas kecurigaannya pada pemujaan setan. Da Vinci
selalu merupakan bahan pembicaraan aneh para sejarawan, terutama dalam sejarah
tradisi Kristen. Walau Da Vinci merupakan seorang pelamun genius, dia juga
seorang homoseksual yang flamboyan dan pemuja hukum suci Alam. Kedua hal itu
membuat dirinya berdosa di hadapan Tuhan selamanya. Tambahan pula, keanehan-
keanehan yang mengerikan dari Da Vinci menonjolkan aura kesetanan yang tak
terbantahkan: Da Vinci mengambil mayat manusia dari kuburan untuk mempelajari
anatominya; dia menulis buku harian misterius dalam tulisan tangan yang tak
terbaca; dia percaya memiliki kekuatan alkemi untuk mengubah metal menjadi emas
dan bahkan dia bisa mencurangi Tuhan dengan menciptakan eliksir untuk menunda
kematian; dan penemuannya mencakup senjata menakutkan, atau alat penyiksa yang
belum pernah terbayangkan. Salahpengertiandapatmengakibatkanketidakpercayaan,
pikir Langdon. Bahkan sumbangan besar Da Vinci pada seni Kristiani yang sangat
mengagumkan hanyalah semakin memperburuk reputasi seniman itu karena kemunafikan
spiritual. Dengan menerima komisi-komisi yang menguntungkan dari Vatikan, Da
Vinci melukis tema-tema Kristiani tidak sebagai ekspresi yang dipercayainya
namun lebih sebagai tindakan komensial saja - sebuah cara untuk mengongkosi gaya
hidup yang mewah. Sialnya, Da Vinci merupakan orang yang suka berolok-olok yang
senang menggerogoti tangan yang memberinya makan, yaitu gereja umumnya merupakan
simbolisme Vatikan. Lukisan-lukisan tersembunyi yang hanya Kristianinya
menyangkut Kristen - penghormatan pada kepercayaannya sendiri dan sebuah olok-olok
untuk Gereja. Langdon sendiri pernah memberikan kuliah di National Gallery di
London dengan judul: "Kehidupan Rahasia Leonardo da Vinci: Simbolisme Pagan
dalam Seni Kristiani."
"Saya mengerti maksud Anda," ujar Langdon. "tetapi Da Vinci tidak pernah betul-
betul melakukan kesenian gelap. Dia sangat spiritual, sekalipun sering bercekcok
dengan Gereja." Selagi Langdon mengatakan ini, sebuah pikiran aneh muncul dalam
benaknya. Dia menatap ke bawah pada pesan di atas lantai lagi. 0,setanDraconia!
Oh,orangsuciyanglemah! "Ya?" tanya Fache. Dengan berhati-hati Langdon
mempertimbangkan kata-katanya. "Saya baru saja berpikir bahwa Sauni?re mempunyai
banyak kesamaan ideologi dengan Da Vinci, termasuk keprihatinannya pada
penyisihan perempuan suci dari agama modern. Mungkin, dengan meniru gambar Da
Vinci yang tersohor, Sauni?re hanya mengulang kekecewaan bersama mereka pada
setanisasi sang dewi oleh Gereja modern." Tatapan mata Fache mengeras. "Anda
pikir Sauni?re menyebut Gereja sebagai orang suci yang lemah dan setan
Draconia?" Langdon harus mengakui bahwa itu terlalu jauh, namun pentakel itu mendukung
gagasan ini pada beberapa hal. "Maksud saya, Pak Sauni?re mengabdikan hidupnya
untuk mempelajari Sejarah dewi, dan dia tidak ingin meniadakan sejarah itu,
seperti yang dilakukan Gereja Katolik. Tampaknya masuk akal saja bahwa Sauni?re
telah memilih untuk mengungkapkan kekecewaannya dalam pesan perpisahannya."
"Kekecewaan?" tanya Fache, terdengar bermusuhan sekarang. "Pesan ini terdengar
lebih sebagaimarah daripada kecewa, bukan begitu?"
Langdon kehilangan kesabarannya. "Kapten, Anda meminta pendapat saya berdasarkan
insting saya, tentang apa yang Sauni?re coba katakan di situ, dan itulah kata
insting saya." "Bahwa ini adalah sebuah tuduhan kepada Gereja?" geraham Fache merapat ketika
dia berbicara dengan gigi-gigi saling merapat. "Pak Langdon, saya telah melihat
banyak kematian dalam pekerjaan saya, dan izinkan saya mengatakan sesuatu.
Ketika seseorang dibunuh oleh orang lain, saya tidak percaya bahwa pikiran
terakhirnya adalah untuk menulis pernyataan kabur yang takkan dimengerti oleh
siapa pun. Saya percaya, dia hanya memikirkan satu soal saja." Desis suara Fache
mengiris udara. "La vengeance. Saya percaya Sauni?re menulis ini semua untuk
mengatakan siapa pembunuhnya." Langdon menatap. "Tetapi, itu sama sekali tidak
masuk akal." "Tidak?" "Tidak," dia balas berseru, letih dan putus asa. "Anda
mengatakan bahwa Sauni?re diserang oleh seseorang yang diundangnya dalam kantornya." "Jadi,
tampaknya masuk akal jika disimpulkan bahwa kurator itumengenal
penyerangnya." Fache mengangguk. "Teruskan." "Jadi, jika Sauni?re mengenal
penyerangnya, tuduhan apa ini" Dia menunjuk ke lantai. "Kode-kode angka" Orang-
orang yang lemah" Setan-setan Draconian" Pentakel pada perutnya" ini semua
terlalu samar." Fache mengerutkan dahinya seolah gagasan itu tak pernah muncul dalam benaknya.
"Anda benar." "Mengingat keadaan-keadaanny?," Langdon berkata, "saya akan mengatakan, jika
Sauni?re ingin mengatakan siapa pembunuhnya, dia akan menuliskan nama orang
itu." Ketika Langdon mengucapkan kata-kata itu, senyum simpul tersungging pada wajah
Fache untuk pertama kalinya semalaman ini. "Pr?cisement," katanya. "Tepat
sekali." Aku menjadi saksi pekerjaan seorang pakar, Letnan Collet merenung sambil
menyentuh perlengkapan audionya dan mendengarkan suara Fache masuk melalui
headphone. Agent sup?riur itu tahu bahwa saat-saat seperti inilah yang telah
mengangkat kaptennya ke tingkat puncak kedudukan penyelenggara hukum di Prancis.
Facheakanmelakukanapayangtakseorangpunberanilakukan. Kehalusan seni cajoler
merupakan keahlian yang hilang dari penyelenggaraan hukum modern, yaitu
kemampuan seseorang untuk tetap bersikap tenang dalam keadaan yang menekan.
Hanya sedikit orang yang memiliki ketenangan yang penting ini untuk menjalankan
operasi seperti ini, namun Fache seolah dilahirkan untuk itu. Kepandaiannya
menguasai diri dan kesabarannya hampir seperti robot.
Hanya perasaan Fache malam ini tampak menjadi ketetapan hati yang kuat, seolah
penangkapan ini sangat pribadi sifatnya. Pengarahan Fache kepada anggota-
anggotanya satu jam yang lalu, tak seperti biasanya, sangat ringkas dan
meyakinkan. Aku tahu Siapa yang membunuh Sauni?re, kata Fache tadi. Kalian tahu
apa yang harus kalian kerjakan. Jangan buat kesalahan malam ini. Dan sejauh ini,
tak ada kesalahan yang mereka perbuat. Collet belum dilibatkan dalam bukti-bukti
yang telah memperkuat keyakinan Fache tentang orang yang diduga bersalah, namun
Collet tahu, dia tak perlu mempertanyakan insting Sang Banteng. Intuisi Fache
kadang-kadang tampaknya hampir mendekati supranatural. Tuhan berbisik pada
telinganya, ujar seorang agen dengan yakin setelah dia menyaksikan pameran indra
keenam Fache yang sangat mengesankan itu. Collet harus mengakui, jika ada Tuhan,
Bezu Fache pastilah terdaftar pada daftar A-Nya. Sang kapten menghadiri misa dan
pengakuan dengan sangat teratur - kehadirannya jauh lebih banyak daripada yang
diharuskan pada hari-hari suci seperti yang dilakukan oleh para petugas lainnya,
yang melakukan itu supaya mendapat pujian saja. Ketika Paus mengunjungi Paris
beberapa tahun yang lalu, Fache berusaha sekerasnya untuk mendapat kunjungan
kehormatan dari Paus. Selembar foto Fache bersama Paus sekarang tergantung di
kantornya. SangBantengpenerusPaus, begitu diam-diam para anggotanya menyebutnya.
Narnun ironis bagi Collet, bahwa salah satu pendapat Fache yang jarang terdengar
di publik adalah justru reaksi lantangnya terhadap skandal pedophilia dalam
gereja Katolik. Para pastor itu seharusnya digantung dua kali! Fache menyatakan
dengan keras. Satu untuk kejahatan mereka terhadap anak-anak, dan satu lagi atas
nama Gereja Katolik. Collet mempunyai perasaan aneh, bahwa yang kedualah yang
membuat Fache marah sekali.
Sekarang Collet kembali pada layar laptopnya. Dia mulai mengerjakan separuh
kewajibannya malam ini - sistem pelacakan GPS. Gambar pada Iayar menampakkan
gambar rinci ruangan Sayap Denon, sebuah skema struktural yang diambil dari
kantor keamanan Museum Louvre. Collet membiarkan matanya melacak jaringan jalan
yang ruwet dari galeri-galeri dan gang-gang, sampai akhirnya dia mendapatkan apa
yang dicarinya. Jauh di tengah Galeri Agung, sebuah titik merah kecil berkedip. Lamarque.
Fache telah mengendalikan mangsanya dengan tali kekang yang ketat rnalam ini.
Begitu bijaksananya sehingga Robert Langdon telah membuktikan dirinya sendiri
sebagai "pelanggan" yang tenang.
9 UNTUK meyakinkan bahwa percakapannya dengan Langdon takkan terganggu, Bezu Fache
telah mematikan telepon selularnya. Sialnya, telepon selularnya merupakan model
yang mahal dengan fitur radio dua jalur sehingga hasilnya justru berlawanan
dengan apa yang diharapkannya. Salah satu agennya masih bisa menghubunginya,
yaitu Collet. "Captaine?" Telepon itu berbunyi serak seperti sebuahwalkie-
talkie. Fache merasa gigi-geliginya membayangkan ini seharusnya merapat kuat
karena marah. Dia dapat tidak terlalu penting, namun Collet menelponnya juga dan
mengganggu surveillance cache ini - terutama pada saat genting seperti ini.
Dia menatap Langdon untuk minta maaf. "Sebentar, ya." Dia menarik teleponnya
dari ikat pinggang dan menekan tombol penerima. "Oui?" "Capitaine,
unagentduDeparrementtieCryptograhieesrarriv?." Kemarahan Fache mereda sejenak.
Seorang kryptografer datang" Walaupun ini bukan waktu yang tepat, namun mungkin
saja ini merupakan berita bagus. Fache, setelah menemukan teks tak jelas yang
merupakan pesan terakhir Sauni?re di atas lantai, mengirim semua gambar di
tempat kejadian kriminal tersebut ke Departemen Kriptografi dengan harapan ada
seseorang yang dapat mengatakan kepadanya apa sebenarnya yang Sauni?re
maksudkan. Jika seorang pemecah kode kini telah tiba, berarti sudah ada orang
yang memecahkan kode pesan Sauni?re.
"Aku sedang sibuk sekarang," jawabnya dengan nada kesal karena larangannya
dilanggar. "Katakan kepada kriptografer itu untuk menungguku di pos komando. Aku
akan berbicara kepada lelaki itu jika aku sudah selesai." "Perempuan," suara itu
mengoreksi. "Ini Agen Neveu." Kemarahan Fache karena telepon itu semakin
menjadi. Sophie Neveu adalah salah satu kesalahan terbesar DCPJ. Sophie adalah
seorang perempuan muda Paris dechiffreuse yang belajar kriptografi di Inggris
pada Royal Holloway. Sophie Neveu telah disisipkan di departemen Fache dua tahun
yang lalu sebagai bagian dari program menteri untuk lebih banyak menggunakan
tenaga kerja perempuan di kepolisian. Pemaksaan kementerian dengan tujuan
politik itu, menurut Fache, telah memperlemah departemennya. Perempuan tidak
hanya lemah tubuhnya untuk pekerjaan seorang polisi, tetapi penampilan mereka
merupakan pengganggu konsentrasi kerja yang berbahaya bagi lelaki di lapangan.
Seperti yang dikhawatirkan Fache, Sophie Neveu tengah membuktikan bahwa dia
merupakan pengganggu yang luar biasa.
Sebagai perempuan 32 tahun, Sophie sangat keras kepala. Semangatnya untuk
mengadopsi metodologi kriptologi baru Inggris terus-menerus merepotkan para
kriptografer veteran Prancis yang berada di atasnya. Dan yang paling mengganggu
Fache adalah sebuah kebenaran universal yang tak dapat dihindari, bahwa di
sebuah kantor yang penuh lelaki separuh baya, seorang perempuan cantik selalu
mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan yang tengah dihadapi.
Orang di telepon itu berkata lagi, "Agen Neveu berkeras untuk berbicara dengan
Anda segera, Kapten. Saya mencoba menghalanginya, tetapi dia sekarang sedang
menuju ke sana." Fache tersentak, tak percaya. "Tidak bisa! Aku sudah
menegaskan..." Untuk sesaat Langdon mengira bahwa Bezu Fache terkena stroke. Kalimatnya
terputus ketika gerahamnya berhenti bergerak dan matanya terbelalak. Tatapan
berapi-apinya tampak terpaku pada sesuatu di belakang Langdon. Sebelum Langdon
dapat memutar tubuhnya untuk melihatnya, dia mendengar suara seorang perempuan
bergema di belakangnya. "Excusez-moi,messieurs." Langdon melihat seorang
perempuan muda berjalan mendekat. Dia melangkah di galeri itu dengan ayunan
panjang, mengalir gayanya sungguh tak terlupakan. Berbusana menarik dan tampak
santai, dalam sweter Irlandia sepanjang lutut, dia berusia sekitar tiga puluhan.
Rambut merah kecoklatannya yang lebat jatuh begitu saja di atas bahunya,
membingkai wajahnya yang hangat. Tak seperti perempuan berambut pirang yang suka
berpura-pura yang menghiasi dinding asrama Harvard, perempuan ini sehat dengan
kecantikan yang tak perlu riasan dan kemurniannya memancarkan rasa percaya diri
yang memesona. Langdon terkejut karena perempuan itu langsung berjalan kearahnya dan
mengulurkan tangannya dengan sopan."Monsieur Langdon, saya Agen Neveu dari
Departemen Kriptologi DCPJ." Kata-katanya meliuk indah di dalam aksen campuran
Anglo - Franconya. "Senang berkenalan dengan Anda."
Langdon menjabat tangan lembut itu dan sadar bahwa dia terpaku sejenak pada
tatapan kuat perempuan itu. Matanya berwarna hijau buah zaitun - tajam dan bening.
Fache menarik napas kemurkaan, jelas bersiap untuk marah. "Kapten," ujar Sophie,
sambil berpaling cepat dan membuat Fache
terkesiap, "maafkan gangguan ini, tetapi - " "Cen'estpaslemoment!" sembur Fache.
"Saya mencoba menelepon Anda," lanjut Sophie dalam bahasa Inggris,
untuk menghormati Langdon. "Tetapi handphone Anda dimatikan." "Aku mematikannya
karena ada alasan," Fache mendesis. "Aku sedang
berbicara dengan Pak Langdon." "Saya sudah memecahkan kode angka itu," ujar
Sophie datar. Jantung Langdon berdebar semakin cepat karena kegirangan. Dia
memecahkankodeitu" Fache tampak tak yakin bagaimana menanggapinya. "Sebelum saya
menjelaskan," kata Sophie, "saya punya pesan penting
untuk Pak Langdon." Tarikan wajah Fache berubah menjadi perhatian. "Untuk Pak
Langdon?" Sophie mengangguk, kembali berpaling ke arah Langdon. "Anda harus
menghubungi Kedutaan Besar Amerika Serikat, Pak. Mereka mempunyai pesan untuk
Pendekar Bego 5 Raja Petir 15 Api Di Suraloka Siluman Gurun Setan 2
FAKTA Biarawan Sion adalah organisasi nyata - sebuah masyarakat rahasia Eropa yang
didirikan pada tahun 1099. Pada tahun 1975, Perpustakaan Nasional di Paris
menemukan sebuah perkamen yang Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah dikenal
anggota sebagai Les Dossiers Biarawan Sion, yang mencakup nama-nama seperti Sir
Isaac Newton, Botdcelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci. Prelatur Vatikan
yang dikenal sebagai Opus Dei adalah sebuah sekte Katolik yang amat taat, yang
telah menjadi bahan kontroversi baru-baru ini berkenaan dengan adanya berbagai
laporan mengenai kegiatan cuci otak, pemaksaan, dan sebuah praktik berbahaya
yang dikenal sebagai corporal mortification, "penistaan jasmaniah". Opus Dei
baru saja menyelesaikan pembangunan Markas Besar Nasional seharga $ 47 juta di
243 Lexington Avenue, New York.
Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel
ini adalah akurat. PROLOG Museum Louvre, Paris 10:46 Malam KURATOR TERKENAL Jacques Sauni?re menatap jauh melintasi selasar berongga Galeri
Agung Museum Louvre. Ia menerjang lukisan terdekat yang dapat ia lihat, lukisan
Caravaggio. Dengan mencengkeram bingkai bersepuh emas itu, lelaki berusia 76 itu
merenggutkan mahakarya itu ke arah dirinya. Lukisan itu terlepas dari dinding,
dan Sauni?re terjengkang di bawah kanvas. Seperti yang telah ia perkirakan,
gerbang besi jatuh bergemuruh di dekatnya, menghalangi pintu masuk ke
ruangansuite itu. Lantai parket bergetar. Di kejauhan, sebuah alarm mulai
berdering. Sang kurator terbaring sebentar, tersengal-sengal, mengumpulkan tenaga. Aku
masih hidup. Ia merangkak keluar dari bawah kanvas, dan memindai ruangan seperti
gua itu, mencari-cari tempat untuk sembunyi. Seseorang bicara, dekat dan
mengerikan. "Jangan bergerak!" Dengan bersitumpu pada tumit dan tangannya, sang
kurator membeku, perlahan memalingkan kepalanya ke arah suara itu. Hanya lima
belas kaki jauhnya, di luar gerbang yang tertutup, sebuah siluet raksasa dari
penyerangnya menatap menembus jeruji besi. Lelaki itu sangat lebar dan tinggi,
dengan kulit sepucat hantu, dan uban tipis di rambutnya. Bola matanya tampak
merah. muda, dengan pupil berwarna merah gelap. Si albino mencabut pistol dan
jasnya, dan membidikkan moncongnya melewati jeruji, langsung kepada sang
kurator. "Kau mestinya tau Ian." Aksennya sukar ditentukan dari mana asalnya.
"Sekarang, katakan di mana." "Sudah kukatakan," sang kurator tergagap, berlutut
tak berdaya di lantai galeri. "Aku sama sekali tak mengerti apa yang
kaubicarakan!" "Kau bohong." Lelaki albino itu menatapnya, benar-benar tak bergerak, kecuali
gerakan matanya yang seperti hantu. "Kau dan kelompok persaudaraanmu memiliki
sesuatu yang bukan hak kalian."
Sang kurator merasakan desiran adrenalin. Bagaimanamungkiniatahuhal ini"
"Malam ini, para pengawal yang benar-benar berhak akan dipulihkan hak haknya.
Katakan di mana benda itu tersembunyi, dan kau akan hidup." Lelaki itu memakukan
pistolnya ke arah kepala sang kurator. "Apakah itu sebuah rahasia yang mesti kau
jaga sampai mati?" Sauni?re tak dapat bernapas. Lelaki itu memiringkan
kepalanya, mengintip lewat barel pistolnya. Sauni?re menyilangkan tangannya,
mencoba melindungi diri. "Tunggu," katanya perlahan. "Akan kuberi tahu apa yang
ingin kautahu." Sang kurator lalu mengucapkan kata-kata berikumya dengan hati-
hati. Kebohongan yang Ia ucapkan itu telah dilatihnya berulang-ulang ... setiap
kali melatihnya, ia berdoa agar tak akan pernah menggunakannya.
Ketika sang kurator usai bicara, penyerangnya tersenyum dengan angkuh. "Ya. ini
persis seperti kata yang lain padaku." Sauni?re menggigil.Yanglain" "Aku
menemukan yang lain juga," lelaki besar itu menggoda. "Ketiga
tiganya. Mereka membenarkan apa yang baru saja kaukatakan." Takmungkin!
Identitas sejati sang kurator, bersama dengan identitas ketiga s?n?chaux-nya,
nyaris sama sucinya dengan rahasia kuno yang mereka jaga. Sauni?re kini
menyadari bahwa para s?nechaux-nya, dengan menaati sebuah prosedur yang ketat,
telah memberikan dusta yang sama sebelum mati. Ini adalah bagian dari protokol.
Si penyerang itu mengarahkan pistolnya lagi. "Ketika kau mati, aku akan menjadi
satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran tersebut."
Kebenaran. Dalam sekejap, sang kurator menyadari kengerian sesungguhnya dari
situasi ini. Jika aku mati, kebenaran akan lenyap selamanya. Secara instingtif,
ia mencoba untuk merangkak dan, mencari perlindungan.
Pistol menyalak, dan sang kurator merasakan panas yang menyengat ketika peluru
itu membenam ke dalam perutnya. Ia tersungkur ... berjuang melawan rasa sakit.
Perlahan, Sauni?re berguling dan menatap balik pada penyerangnya melalui jeruji
besi. Si penyerang kini berancang-ancang rneletupkan tembakan mematikan ke kepala
Sauni?re. Sauni?re menutup matanya. Pikirannya adalah pusaran beliung rasa takut dan
sesal. Suara klik dari magasin yang kosong bergema melintasi koridor. Mata sang
kurator membuka cepat. Si lelaki besar melirik senjatanya, memandangnya dengan
hampir-hampir terhibur. Ia menjangkau Hip kedua, tapi kemudian tampak menimbang
ulang, menyeringai dengan tenang pada isi perut Sauni?re. "Aku sudah selesai."
Sang kurator memandang ke bawah, dan melihat lubang peluru pada kemeja linen
putihnya. Lubang itu dikitani oleh sebuah lingkaran darah yang kecil, beberapa
inci di bawah tulang dadanya.Perutku. Peluru itu meleset dari jantungnya.
Sebagai seorang veteran dari la Guerre d'alg?rie, sang kurator telah menyaksikan
kematian yang mengerikan seperti ini. Ia akan bertahan selama lima belas menit,
ketika asam-asam lambungnya merembes ke dalam rongga dadanya, meracuninya dari
dalam perlahan-lahan. "Rasa sakit itu baik,Monsieur," ujar si lelaki besar.
Kemudian dia pergi. Kini sendirian, Jacques Sauni?re memalingkan lagi tatapannya
ke gerbang besi. Dia terperangkap, dan pintu-pintu tak akan dapat dibuka kembali
paling tidak untuk dua puluh menit lagi. Saat siapa pun mencapai tubuhnya, ia
sudah mati. Namun demikian, rasa takut yang sekarang mencengkeram dirinya jauh
lebih besar daripada rasa takut akan kematiannya sendiri.
Akuharusmewariskanrahasiaini. Sambil menatap kakinya, dia seperkumpulannya yang
telah mati. generasi yang telah hidup sebelum
membayangkan ketiga saudara Dia berpikir tentang generasi demi mereka ...
tentang misi yang telah dipercayakan kepada dirinya dan para saudaranya itu.
Sebuahrantaipengetahuanyangtakpernahputus. Kini, lepas dari segala tindakan
berjaga-jaga ... lepas dari segala pengamanan data... Jacques Sauni?re tiba-tiba
telah menjadi satu-satunya mata rantai yang tersisa, satu-satunya penjaga dari
sebuah rahasia paling kuat yang pernah ada. Gemetar, dia merengkuh kakinya.
Akuharusmenemukansebuahcara. Ia terperangkap di dalam Galeri Agung, dan hanya
ada satu orang di muka bumi yang dapat ia wariskan obor rahasia ini. Sauni?re
menatap ke atas, ke dinding-dinding dan penjaranya yang luar biasa ini. Sebuah
koleksi dari lukisan-lukisan paling terkenal di dunia tampak seakan tersenyum
menatap ke bawah, kepada dirinya, bagai sahabat-sahabat lama.
Dengan mengatupkan geraham menahan sakit, ia menghimpun segala daya dan kekuatan
yang masih dia miliki. Dia tahu, tugas yang mendesak di hadapannya membutuhkan
setiap detik dari sisa hidupnya.
I ROBERT LANGDON berangsur-angsur terjaga. Sebuah telepon berdering dalam
kegelapan - deringnya samping tempat tidur dan lirih, tak biasa. Dia meraba-raba
lampu di menyalakannya. Dengan mata menyipit, dia mengamati sekitarnya, dan
melihat ruang tidur mewah bergaya Renaissance dengan perabotan dari zaman Raja
Louis XVI, dinding yang dicat dengan tarigan, dan ranjang sangat besar juga luas
yang terbuat dari kayu mahogani. Dimanageranganaku" Mantel mandi dari bahan
tenunan bergantung di ujung tempat tidurnya dari
her-monogram HOTEL RITZ PARIS. Perlahan, kabut mulai terkuak. Langdon mengangkat
gagang telepon itu. "Halo?" "Monsieur Langdon?" kata suara seorang lelaki. "Semoga saya tidak
membangunkan Anda." Dengan linglung Langdon menatap jam di sisi tempat tidur.
Pukul 12:32 dini hari. Berarti baru satu jam dia tidur, namun seperti mati saja
rasanya. "Saya petugas penerima tamu, Monsieur. Maaf telah mengganggu, tetapi ada tamu
untuk Anda. Dia memaksa, dan katanya ini sangat mendesak"
Langdon masih merasa bingung. Seorang tamu" Matanya Sekarang menatap kertas
selebaran yang kusut di atas meja sisi tempat tidur.
THE AMERICAN UNIVERSITY OF PARIS Denganbanggamempersembahkan Semalam bersama
ROBERT LANGDON Profesor Simbologi Agama, Universitas Harvard.
Langdon menggeram. Ceramahnya malam tadi - sebuah pertunjukan slide tentang
simbolisme penyembah berhala yang tersembunyi dalam dinding batu Katedral
Chartres - mungkin telah menggelitik beberapa penonton konservatif yang perasa.
Sangat mungkin, beberapa sarjana religius telah mengikutinya pulang untuk
menantangnya berkelahi. "Maaf" ujar Langdon, "tetapi saya sangat letih dan - "
"Mais monsieur," penerima tamu itu memaksa, seraya merendahkan
suaranya menjadi bisikan yang mendesak. "Tetapi tamu Anda orang penting."
Langdon agak ragu. Buku-bukunya tentang lukisan-lukisan bernapaskan agama dan
simbologi cara pemujaan telah menjadikannya, mau tidak mau, seorang pesohor
dalam dunia kesenian. Ketenarannya dalam melihat kasus telah berlipat ratusan
kali setelah ia terlibat dalam insiden di Vatikan tahun lalu yang tersiar luas
itu. Sejak itu, seolah tak pernah berhenti, para ahli sejarah yang punya
kepentingan pribadi, dan para pencinta seni, berduyun-duyun mendatangi rumahnya.
"Tolonglah, Tuan yang baik," kata Langdon, sesopan mungkin, "tanyakan nama orang
tersebut dan nomor teleponnya, dan katakan juga bahwa saya akan menghubunginya
sebelum saya meninggalkan Paris hari Selasa. Terima kasih." Dia meletakkan
teleponnya sebelum penerima tamu itu memprotesnya.
Duduk tegak di tepi ranjangnya, dahi Langdon berkerut membaca Guest
RelationsHandbook, yang sampulnya berbual : TIDUR NYENYAK BAGAI BAYI DI KOTA
PENUH CAHAYA. TIDURLAH DI RITZ, PARIS. Dia memutar tubuhnya dan menatap dengan
letih pada cermin setinggi tubuh di kamar itu. Lelaki dalam cermin yang balas
menatapnya itu adalah seorang asing - berantakan dan loyo.
Kaubutuhliburan,Robert. Tahun lalu memang telah membuatnya sangat letih, tetapi
dia tak mau mengakui dirinya tampak seperti lelaki dalam cermin itu. Matanya
yang biasanya tampak biru dan tajam tampak kabur dan lesu malam ini. Berewok
yang mulai tumbuh menghitami rahang kuat dan dagu belahnya. Di sekitar
pelipisnya, tampak kilatan rambut-rambut putih muncul menjorok semakin jauh ke
bagian yang masih berambut hitam kasar. Walau teman-teman perempuannya
meyakinkannya bahwa ubannya itu semakin mempertegas daya tariknya sebagai
pencinta buku, Langdon tahu yang sebenarnya. Kalausaja Boston
Magazinedapatmelihatkusaatini. Bulan lalu, Boston Magazine membuatnya sangat
malu, karena memasukkannya ke dalam daftar sepuluh orang tokoh paling menggoda -
sebuah penghormatan meragukan yang membuatnya diolok habis-habisan oleh teman-
teman Harvard-nya. Malam tadi, tiga ribu mil dari rumah, penghargaan itu muncul
kembali, menghantuinya pada saat dia menyampaikan ceramah.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak ..." pembawa acara mengumumkan kepada para hadirin yang
memenuhi ruangan Pavillon Dauphine di Universitas Amerika Paris tadi. "Tamu kita
malam ini tak perlu diperkenalkan lagi. Beliau adalah penulis dari sejumlah
buku: The Symbology of Secret Sects, The Art of Illuminati---The Lost Language
of Ideograms, dan beliau juga menulis buku Religious Iconology. Banyak dari Anda
yang menggunakan buku-bukunya di kelas." Para mahasiswa yang hadir mengangguk,
antusias. "Saya ingin memperkenalkan beliau lebih jauh lagi dengan menceritakan riwayat
hidupnya yang sangat mengesankan. Namun demikian ..." perempuan pembawa acara
itu mengerling penuh canda pada Langdon, yang duduk di atas pentas, "seorang
hadirin baru saja memberikan cara perkenalan yang, katakanlah ... jauh lebih
menggoda." Pembawa acara mengangkat tinggi-tinggi sebuah terbitan majalah Boston
Magazine. Langdon mengernyit.Darimanadiadapatmajalahitu" Pembawa acara itu mulai
membaca kutipan-kutipan pilihan dari artikel di majalah tersebut, sementara
Langdon merasa semakin tenggelam lebih dalam lagi di kursinya. Tiga puluh detik
kemudian, para hadirin mulai menyeringai, dan para perempuan tampak tak tahan
diri pula. "Dan penolakan Pak Langdon untuk bercerita kepada publik tentang
peran istimewanya di Vatikan tahun lalu betul-betul menambahkan beberapa nilai
pada tamu kita yang sangat menggoda ini." Pembawa acara itu menggiring para
hadirin. "Anda ingin mendengar lebih banyak lagi?" Para hadirin bertepuk tangan.
Tolong hentikan perempuan itu, Langdon memohon dalam hati ketika
pembawa acara itu mulai membacakan artikel itu lagi. "Walau Profesor Langdon
tidak terlalu tampan seperti para tokoh pilihan kami yang lebih muda, ilmuwan
berusia sekitar empat puluhan ini memiliki lebih dari sekadar daya pikat
keilmuan. Penampilan menawannya lebih diperjelas dengan suaranya yang istimewa
saat memberi kuliah. Suaranya rendah, bariton, sehingga para mahasiswinya
menyebut suara itu seperti 'permen coklat di telinga'." Ruangan besar itu
seperti meledak karena tawa riuh para hadirin. Langdon memaksakan senyuman kaku.
Dia tahu apa yang akan keluar setelah ini - kalimat-kalimat dungu tentang
"Harrison Ford dalam jas wol keluaran Harris" - dan karena malam ini dia sudah
kadung mengenakan jas Harris dan t-shirt berleher tinggi keluaran Burberry, dia
memutuskan untuk segera bertindak.
"Terima kasih, Monique," ujar Langdon, sambil berdiri sebelum waktunya, dan
berjalan perlahan mendekati Monique di podium. "Boston Magazine benar-benar
memiliki keahlian dalam menulis fiksi." Dia menghadap ke hadirin dengan desah
malu. "Dan jika saya tahu siapa di antara Anda yang memberikan artikel ini, saya
akan meminta konsulat untuk mendeportasinya." Para hadirin tertawa lagi.
"Baiklah, kawan-kawan, seperti yang telah Anda ketahui, saya di sini
malam ini untuk berbicara tentang kekuatan dari simbol-simbol... Sambil mengerang
tak percaya, dia mengangkat telepon itu. Seperti yang telah diduganya, penelepon
itu adalah penerima tamu tadi. "Pak Langdon, kembali saya minta maaf. Saya
menelepon untuk memberi tahu bahwa tamu Anda sedang menuju kamar Anda sekarang.
Saya pikir saya harus memberi tahu Anda."
Langdon sudah benar-benar terjaga sekarang. "Anda membiarkan orang datang ke
kamar saya?" "Saya mohon maaf, Monsieur, tetapi orang seperti beliau ini saya tak kuasa
menghentikannya." "Siapa sebenarnya dia?" Tetapi penerima tamu itu telah
memutuskan hubungan. Tak lama kemudian, sebuah kepalan tangan menggedor pintu
kamar Langdon. Dengan ragu, Langdon melorot turun dari ranjangnya, dan merasakan kedua
kakinya tenggelam dalam permadani. Dia mengenakan mantel kamar mandinya dan
melangkah ke arah pintu. "Siapa?"
"Pak Langdon" Saya perlu bicara dengan Anda." Bahasa Inggris lelaki itu beraksen
perintah yang sangat tegas. "Nama saya Letnan J?rome Collet.
DirectionCepurtalePoliceJudiciaire."
Langdon berhenti. Polisi Judisial" DCPJ kira-kira sama dengan FBI di Amerika.
Langdon membiarkan rantai pengaman pintu tetap menyangkut, kemudian membuka
pintu beberapa inci. Wajah yang menatapnya itu tirus dan rusak. Lelaki itu
sangat kurus, berpakaian seragam biru yang tampak resmi. "Boleh masuk?" agen itu
bertanya. Langdon ragu-ragu. Dia merasa bimbang ketika mata agen itu menatapnya
menyelidik. "Ada masalah apa?" "Capitaine saya membutuhkan keahlian Anda untuk
urusan pribadi." "Sekarang?" Langdon bertanya. "Tengah malam begini?" "Betulkah
Anda dijadwalkan bertemu dengan seorang kurator dari
Museum Louvre malam ini" Tiba-tiba Langdon merasa tak nyaman. Dia dan seorang
kurator terhormat, Jacques Sauni?re, telah dijadwalkan untuk minum bersama
setelah ceramahnya malam ini. Namun Sauni?re tak muncul. "Ya. Bagaimana Anda
tahu?" "Kami menemukan nama Anda dalamdailyplanner-nya." "Tidak ada masalah,
bukan?" Agen itu mendesah tak sabar, dan menyisipkan selembar foto Polaroid
melalui celah sempit pintu itu. Ketika Langdon melihat foto itu, seluruh
tubuhnya menjadi kaku. "Foto itu diambil kurang dari satu jam yang lalu. Di
dalam Museum Louvre."
Sementara Langdon menatap foto ganjil itu, reaksi pertamanya adalah kemarahan
yang memuncak. "Siapa yang tega melakukan ini!"
"Kami harap Anda dapat membantu kami menjawab pertanyaan itu, mengingat keahlian
Anda dan rencana Anda untuk bertemu dengannya."
Langdon menatap foto itu. Kengeriannya sekarang bertambah dengan ketakutan.
Gambar itu mengerikan dan betul-betul aneh, dan menimbulkan bayangan seperti
sebuahdejavu yang merisaukan. Kira-kira setahun yang lalu, Langdon pernah
menerima selembar foto mayat dan permintaan pertolongan yang sama, dan 24 jam
kemudian dia hampir kehilangan nyawanya di dalam kota Vatikan. Foto ini sama
sekali berbeda, namun skenarionya terasa sama. Agen itu melihat jam
tangannya."Capitaine saya menunggu, Pak." Langdon hampir tak mendengarnya.
Matanya masih tetap terpaku pada gambar itu. "Simbolnya di sini dan keadaan
tubuhnya sangat aneh ...."
"Sengaja diatur posisinya?" mengangguk, merasa menggigil agen itu mencoba
menolong. Langdon ketika dia mendongak. "Aku tak dapat membayangkan ada orang
yang tega melakukan ini."
Agen itu tampak muram. "Anda tidak mengerti, Pak Langdon. Apa yang Anda lihat
dalam foto ini ...." dia berhenti."Monsieur Sauni?re melakukannya sendiri."
2
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BERJARAK SATU mil dari Hotel Ritz, seorang albino bernama Silas berjalan
terpincang-pincang melalui pintu bertubuh kekar gerbang depan sebuah tempat
tinggal mewah di Jalan Rue La Bruyere. Sabuk berduri cilice yang dikenakan ketat
pada pahanya menghunjam ke dalam dagingnya, namun jiwanya bernyanyi dengan penuh
kepuasan akan baktinya pada Tuhan. Sakititubaik. Mata merahnya menyapu lobi
ketika dia memasuki rumah itu. Kosong. Dia menaiki tangga dengan tak berisik
karena tidak ingin membangunkan rekan anggota sekelompoknya. Pintu kamar
tidurnya terbuka; di sini kunci adalah terlarang. Dia masuk dan menutup
pintunya. Ruangan itu berkesan spartan - berlantai kayu keras, lemari dan kayu pinus, kasur
kanvas di sudut yang digunakan sebagai pembaringannya. Dia adalah tamu di sini
minggu ini, namun selama bertahun-tahun dia telah diberkahi dengan tempat
tinggal serupa di New York City.
Tuhantelahmemberikutempatberlindungdantujuandalamhidupku. Malam ini, akhirnya,
Silas mulai merasa telah membayar hutangnya. Dia bergegas ke lemari pakaiannya,
mengambil sebuah telepon selular yang tersembunyi di dasar lacinya, lantas
menghubungi seseorang. "Ya?" suara seorang lelaki menjawabnya. "Guru, aku telah
kembali." "Bicaralah," suara itu memerintah, terdengar senang mendengar suara
Silas. "Keempatnya mati. Tigas?n?chaux ... dan mahagurunya sendiri." Senyap
sejenak, seolah untuk berdoa. "Kalau begitu, kusimpulkan, kau
punya informasi itu." "Keempatnya berkata sama. Secara terpisah." "Dan kau
memercayai mereka?" "Persamaan kata-kata mereka terlalu berlebihan untuk
dianggap kebetulan belaka." Terdengar napas memburu. "Bagus. Tadi aku khawatir reputasi kelompok
persaudaraan untuk menjaga kerahasiaan itu akan mereka pertahankan." "Bayangan
kematian adalah motivasi yang kuat." "Jadi, muridku, ceritakan apa yang harus
kutahu." Silas tahu bahwa sedikit informasi yang telah dia kumpulkan dari
korbannya akan mengejutkan. "Guru, keempatnya meyakinkan tentang adanya
clefdevoute ...batukunci yang legendaris itu."
Silas mendengar tarikan napas cepat melalui teleponnya dan dia dapat merasakan
kegembiraan gurunya. "Batu kunci itu. Betul-betul seperti yang kita perkirakan."
Menurut cerita turun-temurun, kelompok persaudaraan itu telah menciptakan sebuah
peta batu - sebuahclefdevo?te ... atau batu kunci - sebuah batu ceper melengkung
berukir yang mengungkap tempat peristirahatan terakhir dan rahasia besar
kelompok persaudaraan itu ... informasi yang sangat berharga sehingga untuk
melindunginyalah kelompok persaudaraan itu dibentuk.
"Saat kita memiliki batu kunci itu," ujar Guru, "kita akan hanya kurang satu
langkah lagi." "Kita sudah lebih dekat dari yang Anda kira. Batu kunci itu di sini, di Paris."
"Paris" Luar biasa. Hampir terlalu mudah." Silas kemudian menceritakan kejadian-
kejadian sebelumnya malam itu ... bagaimana keempat korbannya, pada saat
mendekati kematian, telah mencoba mendapatkan kembali kehidupan tak bertuhan
mereka dengan cara menceritakan rahasia mereka. Masing-masing telah menyampaikan
kepada Silas cerita yang betul-betul sama, bahwa batu kunci tersebut memang
tersembunyi di sebuah tempat yang pasti, di dalam salah satu gereja tua di Paris
- Gereja Saint-Sulpice. "Di dalam rumah Tuhan," seru Guru. "Mereka betul-betul memperolokkan kita!"
Selama berabad-abad. Guru terdiam, seolah membiarkan kemenangan saat itu meresap
dalam dirinya. Akhirnya, dia berbicara. "Kau telah melakukan pelayanan besar
bagi Tuhan. Kita telah menunggunya selama berabad-abad. Kau harus menemukan batu
kunci itu untukku. Segera. Malam ini. Kau tahu risikonya."
Silas tahu, risikonya sangat tak terhingga. Walaupun demikian, apa yang diminta
Guru terasa sangat tidak mungkin. "Gereja itu merupakan sebuah benteng, terutama
pada malam hari. Bagaimana aku dapat memasukinya?"
Dengan suara yang sangat meyakinkan dari seorang yang sangat berpengaruh, Guru
menjelaskan apa yang harus dilakukan Silas.
Ketika Silas menutup teleponnya, kulitnya merinding karena harapan.
Satu jam, katanya pada dirinya sendiri, bersyukur karena Guru memberinya
kesempatan untuk melakukan penebusan dosa sebelum memasuki rumah
Tuhan.Akuharusmembersihkandiridaridosa-dosakuhariini. Dosadosanya hari ini
bertujuan suci. Perang melawan musuh-musuh Tuhan telah dilakukan selama berabad-
abad. Pengampunan sudah terjamin. Namun demikian, Silas tahu, pengampunan
menuntut pengorbanan. Setelah menarik tirai, dia menelanjangi dirinya dan
berlutut di tengah kamarnya. Dia melihat ke bawah, memeriksa ikat pinggang
berduricilice-nya yang melingkar ketat pada pahanya. Semua pengikut The Way yang
setia mengenakan peralatan itu - sebuah pengikat dari kulit, ditaburi mata kail
dan metal tajam yang menancap ke daging sebagai pengingat yang tak putus akan
penderitaan Kristus. Rasa sakit yang diakibatkan oleh alat tersebut juga
membantu menghilangkan nafsu jasmaniah.
Hari ini Silas telah mengenakan cilice-nya lebih lama dari yang diharuskan,
yaitu dua jam. Dia tahu, hari ini bukanlah hari biasa. Silas menggenggam kepala
ikat pinggangnya, mempereratnya satu lubang lagi, dan meringis ketika mata kail
menusuk lebih dalam ke dagingnya. Dia menghembuskan napasnya perlahan, menikmati
rasa sakit yang merupakan ritual pembersihan dirinya.
Sakit itu baik, Silas berbisik, mengulang-ulang mantra kudus Bapa Josemaria
Escriv? - Guru Para Guru. Walau Escriv? telah meninggal pada tahun 1975,
kebijakannya tetap hidup, kata-katanya masih tetap dibisikkan oleh ribuan
pelayan setia di seluruh dunia ketika mereka berlutut di atas lantai dan
melakukan tindakan kudus yang dikenal sebagai "pematian raga".
Silas mengalihkan perhatiannya sekarang pada tali berat bersimpul yang tergulung
rapi di lantai di sampingnya. Disiplin itu. Simpul-simpul itu berlumuran darah
kering. Silas begitu bersemangat akan hasil pembersihan dirinya melalui
penderitaannya. Dia mengucap doa dengan cepat. Kemudian, dengan menggenggam
ujung tali itu, dia menutup matanya dan mengayunkan tali itu dengan keras
melalui bahunya, sehingga dia merasakan pukulan simpul itu pada punggungnya. Dia
melecutkannya lagi ke bahunya, mengiris dagingnya. Lagi dan lagi, dia mencambuki
dirinya.Castigocorpusmeum. Akhirnya, dia merasakan darah mulai mengalir.
3 CUACA BULAN April yang segar dan kering mengalir melewati jendela yang terbuka
di dalam Citro?n ZX. Mobil itu meluncur ke selatan melewati Gedung Opera dan
menyeberangi Place Vend?me. Di tempat duduk penumpang, Robert Langdon merasa
kota ini melaju dengan cepat melewatinya ketika ia berusaha menjernihkan
pikirannya. Mandi cepat dengan pancuran dan bercukur telah menolong penampilan
Langdon menjadi cukup pantas, namun perasaan cemasnya tak begitu berkurang.
Gambar jasad kurator yang menakutkan tadi masih menancap di otaknya.
JacquesSauni?remati. Langdon merasa sangat kehilangan atas kematian kurator itu.
Walaupun selalu bersikap seperti pertapa, dedikasi Sauni?re pada seni membuat
dirinya dihormati. Buku-bukunya tentang kode-kode rahasia yang tersembunyi dalam
lukisan-lukisan Poussin dan Teniers adalah buku-buku teks kesukaan Langdon dalam
kuliahnya. Pertemuan mereka malam ini telah sangat dinanti-nantikan Langdon, dan
dia sangat kecewa ketika kurator itu tidak datang.
Kembali gambaran mayat kurator itu berkelebat dalam benaknya. Jacques Sauni?re
melakukan itu pada dirinya sendiri" Langdon menoleh dan melihat ke luar jendela,
mengusir bayangan itu dari pikirannya.
Di luar, kota itu baru saja memulai kegiatannya - para penjaja mendorong kereta
gula-gula amandes, para pelayan membawa kantong sampah ke tepi jalan, sepasang
kekasih yang kemalaman berjalan sambil saling bergelayut supaya tetap hangat
diterpa angin berarorna kembang melati. Mobil Citro?n mengatasi kekacauan kota
itu dengan yakin. Sirene dua nadanya membelah lalu-lintas seperti pisau tajam.
"Le capitaine senang ketika dia tahu Anda masih berada di Paris malam ini," ujar
agen itu sambil mengemudi, untuk pertama kalinya berbicara sejak mereka
meninggalkan hotel. "Kebetulan yang menguntungkan."
Langdon sama sekali tidak merasa beruntung, dan kebetulan adalah sebuah konsep
yang sama sepanjang hidupnya sekali tidak dipercayainya. Sebagai seseorang yang
meneliti, saling keterkaitan yang tersembunyi antara emblem-emblem dan ideologi-
ideologi, Langdon melihat dunia sebagai sebuah sarang laba-laba yang terbentuk
dan saling terkaitnya sejarah-sejarah dan kejadian-
kejadian.Hubunganitumungkinsajatakterlihat, begitu dia ajarkan di depan kelas
simbologi di Harvard, tetapi hubungan tersebut selalu ada,
terkuburtepatdibawahpermukaan. "Universitas Amerika Paris memberi tahu tempat
saya menginap, bukan?" kata Langdon. Agen itu menggelengkan kepalanya. "Interpol." Interpol,
pikirnya.Tentusaja. Dia lupa bahwa permintaan yang tampak sepele akan
pemeriksaan paspor saatchek-in di semua hotel di Eropa ternyata lebih dari
sekadar formalitas sepele - itu peraturan hukum. Pada sembarang malam, di seluruh
Eropa, agen interpol sanggup melacak dengan pasti siapa sedang tidur di mana.
Menemukan Langdon tidur di Ritz mungkin hanya butuh waktu lima detik.
Begitu Citro?n itu mempercepat lajunya ke arah selatan membelah kota, Menara
Eiffel yang anggun mulai tampak, menjulang ke angkasa, di arah kanan. Saat
menatapnya, Langdon teringat pada Vittoria; dia terkenang janji main-main mereka
untuk selalu bertemu enam bulan sekali di tempat-tempat romantis di seluruh
dunia. Menara Eiffel, perkiraan Langdon, ada juga dalam daftar mereka.
Sayangnya, ciuman terakhir Langdon pada Vittoria adalah ketika mereka di Roma
lebih dari setahun yang lalu.
"Anda pernah menaiki perempuanini?" tanya agen itu sambil menatap menara itu.
Langdon melihat ke atas, jelas dirinya tak mengerti. "Maaf?" "Dia sangat cantik,
bukan?" ujar agen itu lagi sambil mengarah ke
Menara Eiffel. "Sudah pernah menaikinya?" Langdon menggulung matanya ke atas.
"Belum. Saya belum pernah
menaiki menara itu." "Menara itu simbol Prancis. Menurutku, menara itu sempurna"
Langdon mengangguk begitu saja. Simbologi sering mengungkap bahwa Prancis - negeri
yang terkenal akan kesan jantan dan hidung belang, juga pemimpin-pemimpin mereka
yang kecil dan pencemas, Napoleon dan Pepin si Pendek - seolah tak dapat memilih
simbol yang lebih baik daripada sekadar sebuah lingga setinggi seribu kaki. Saat
mereka tiba di persimpangan di Rue de Rivoli, lampu lalu lintas menyala merah,
namun Citro?n itu tak memperlambat lajunya. Agen itu mengarahkan sedannya
menyeberangi persimpangan itu dan meluncur cepat ke arah area berpepohonan, Rue
Castiglione~ yang merupakan gerbang utara masuk ke Taman Tuileries yang tersohor
itu - ini adalah Central Park ala Paris. Umumnya para turis salah menerjemahkan
Jardines des Tuileries sebagai sebuah taman penuh dengan ribuan tulip mekar,
namunTuileries sebenarnya berkaitan dengan sesuatu yang sangat kurang romantis.
Taman ini dulunya merupakan penggalian sumur besar yang sangat tercemar. Dari
sinilah para kontraktor paris menambang tanah liat untuk membuat genteng merah
yang sangat terkenal untuk kota itu, atautuiles.
Ketika mereka memasuki taman yang sunyi itu, agen itu merogoh ke bawah dasbor
untuk mematikan sirene yang meraung. Langdon menghembuskan napasnya, menikmati
kesenyapan yang tiba-tiba itu. Di luar mobil, sinar lampu mobil yang pucat jatuh
ke atas jalan kerikil di taman itu; derak-derak ban mobil di atasnya seperti
alunan yang menghipnotis. Langdon selalu memandang Tuileries sebagai tanah suci.
Ini adalah taman tempat Claude Monet bereksperiman dengan bentuk dan warna, dan
memberinya inspirasi pada aliran lukisannya, impresionisme. Namun, malam ini
taman ini beraura penuh firasat yang aneh.
Citro?n membelok ke kiri sekarang, mengarah ke barat ke bulevar pusat taman ini.
Mengelilingi kolam bulat, pengemudi itu memotong jalan terpencil dan memasuki
lapangan segi empat. Sekarang Langdon dapat melihat ujung Taman Tuileries,
ditandai dengan gerbang batu. Arc du Carrousel. Walau dulu ritual orgi pernah
diadakan di Arc du Carrousel ini, para pencinta kesenian memuja tempat ini
karena alasan yang betul-betul lain. Dari tanah lapang di ujung taman ini bisa
terlihat empat museum kesenian terindah di dunia ... satu di setiap mata angin.
Dari jendela sebelah kanan, ke arah selatan menyeberangi Sungai Seine dan Quai
Voltaire, Langdon dapat melihat cahaya lampu bagian muka stasiun kereta api tua -
sekarang menjadi Mus?e d'Orsay yang anggun. Mengerling ke kiri, dia dapat
mencapai atap dan gedung ultra modern Pompidou Centre, yang merupakan Museum
Kesenian Modern. Langdon tahu, obelisk Ramses kuno Di belakangnya, ke arah
barat, menjulang melebihi pepohonan, menandai sebuah museum lagi, Mus?e du Jeu
de Paume. Dan, lurus ke depan, ke arah timur, melewati gerbang itu, Langdon dapat melihat
monolit istana Renaissance yang telah menjadi museum paling tersohor di dunia.
Musee du Louvre. Langdon merasa takjub ketika matanya tak mampu menangkap
keseluruhan bangunan besar itu. Di seberang sebuah plaza yang sangat luas,
bagian muka Museum Louvre yang mencolok tampak menjulang bagai benteng, ke
langit Paris. Berbentuk seperti tapal kuda raksasa, Louvre merupakan gedung
terpanjang di Eropa, merentang lebih panjang daripada tiga kali Eiffel yang
dibaringkan. Plaza terbuka seluas sejuta kaki di antara sayapsayap museum bahkan
tak dapat menyaingi luas bagian muka museum. Langdon pernah berjalan-jalan di
dalam Louvre, dan dia ternyata menempuh tiga mil perjalanan.
Diperkirakan, diperlukan kunjungan lima hari bagi seorang wisatawan untuk dapat
menikmati 65.300 benda seni di dalam gedung ini dengan saksama. Namun demikian,
umumnya wisatawan memilih pengalaman singkat yang Langdon sebut sebagai "Louvre
Lite" - yaitu kunjungan singkat ke museum itu yang Langsung menuju ke tiga objek
yang paling tersohor,Mona Lisa,VenusdeMilo, danWingedVictory. Art Buchwald
pernah membual bahwa dia melihat ketiga adikarya itu hanya dalam waktu 5 menit
dan 56 detik saja. Agen itu mengeluarkan walkie-talkie genggam dan berbicara dalam bahasa Prancis
dengan sangat cepat, memberitahukan bahwa Langdon telah tiba.
"MonsieurLangdonestarrive.Deuxminutes." Sebuah konfirmasi yang tak jelas
terdengar. Agen itu menyimpan kembali alat tadi, lalu menoleh kepada Langdon.
"Anda akan bertemu dengan Capitaine di pintu masuk utama." Agen itu mengabaikan
tanda larangan masuk di plaza, menyalakan kembali mesin mobil, dan menjalankan
Citro?n itu melintasi tepi jalan. Pintu masuk utama Louvre sudah terlihat kini,
muncul begitu saja di kejauhan, dikeliingi oleh tujuh kolam segi tiga dengan air
mancur yang diterangi cahaya. LaPyramide.
Hampir seperti orang Neanderthal, berpakaian jas double-breast berwama gelap
yang tampaknya menutupi kebidangan bahunya. Dia berjalan dengan tungkai-tungkai
sangat terlatih dalam berjongkok sehingga menjadi sangat kuat. Dia sedang
berbicara lewat telepon selularnya, namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba
di depan Langdon. Dia memberi isyarat kepada Langdon untuk masuk.
"Saya Bezu Fache," katanya ketika Langdon masuk melalui pintu putar. "Kapten
Central Directorate Judicial Police." Nada suaranya pas - bergumam parau ...
seperti badai yang hendak tiba.
Langdon mengangsurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Robert Langdon."
Tangan Fache yang besar membungkus tangan Langdon dengan sangat kuat.
"Aku sudah melihat foto itu," ujar Langdon. "Agen Anda mengatakan bahwa Jaques
Sauni?re sendiri yang melakukan - "
"Pak Langdon," mata hitam Fache menatap. "Apa yang Anda lihat di foto itu baru
awal dari apa yang dilakukan Sauni?re."
4 KAPTEN Bezu Fache bergaya seperti sapi jantan yang sedang marah, dengan bahu
bidang yang tertarik ke belakang dan dagu menempel kuat pada dadanya. Rambut
hitamnya disisir ke belakang dengan minyak, memperjelas anak rambut yang
meruncing seperti anak panah pada dahinya yang membagi keningnya yang menonjol
dan maju seperti haluan kapal perang. Ketika dia bergerak maju, matanya seperti
menghanguskan tanah di depannya, menyinarkan kejernihan yang berapi-api,
menggambarkan reputasi keberaniannya yang luar biasa dalam menghadapi segala
masalah. Langdon mengikuti kapten itu menuruni anak tangga pualam yang terkenal
itu ke dalam atrium di bawah piramid kaca. Saat mereka turun, mereka melewati
dua orang agen Polisi Judisial bersenapan mesin. Jelas sudah : tak seorang pun
dapat masuk atau keluar malam ini tanpa restu dari Kapten Fache.
Turun ke lantai dasar, Langdon melawan perasaan ragu. Penampilan Fache sama
sekali tidak ramah, dan Louvre sendiri beraura makam pada jam seperti ini.
Tangga itu, seperti gang gelap dalam gedung bioskop, disinari oleh lampu tapak
yang tak kentara yang ditanam pada setiap anak tangganya. Langdon dapat
mendengar bunyi langkahnya sendiri menggaung pada kaca di atas kepalanya. Ketika
dia melihat ke atas, dia melihat helai-helai kabut yang bersinar dan semprotan
air mancur di luar atap tembus pandang itu. "Anda suka?" tanya Fache, menunjuk
ke atas dengan dagu lebarnya. Landon mendesah, terlalu letih untuk bermain-main.
"Ya, piramid Anda luar biasa." Fache menggumam. "Merupakan bekas cakaran pada wajah Paris."
Kenakau! Langdon merasa bahwa tuan rumahnya adalah orang yang sulit diambil
hati. Dia bertanya-tanya apakah Fache tahu bahwa piramid ini, atas permintaan
tegas Presiden Mitterand, jendela - permintaan aneh yang selalu telah dibangun
dengan 666 kaca menjadi topik panas di kalangan penggemar konspirasi yang
menyatakan bahwa 666 adalah angka setan. Langdon memutuskan untuk tidak
membicarakannya. Ketika mereka tiba di serambi bawah tanah, ruangan yang
menganga berangsur-angsur muncul dari kegelapan. Dibangun di kedalaman 57 kaki
di bawah permukaan tanah, ruang lobi Louvre yang baru dibangun seluas 70.000
kaki persegi itu terentang seperti gua tak berujung. Didirikan dengan pualam
berwarna kuning tua yang hangat yang sangat sesuai dengan bebatuan berwarna madu
di bagian muka Louvre di atas, ruang bawah tanah ini biasanya hidup dengan
cahaya matahari dan para wisatawan. Malam ini, lobinya gelap dan mati, memberi
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesan seluruh ruangan ini menjadi dingin dan beratmosfer ruang bawah tanah. "Dan
para petugas keamanan museum yang biasa?" tanya Langdon. "En quarantaine," jawab
Fache, dengan suara seolah Langdon telah mempertanyakan integritas anggota
timnya. "Tentu saja, seseorang yang tidak boleh masuk telah berhasil masuk malam
ini. Semua penjaga malam Louvre sekarang sedang diinterogasi di Sayap Sully.
Agen-agenku sendiri telah mengambil alih keamanan museum malam ini." Langdon
mengangguk, bergerak cepat supaya tak tertinggal oleh Fache. "Sejauh mana Anda
mengenal Jacques Sauni?re?" tanya kapten itu. "Sebenarnya saya sama sekali tidak
mengenalnya. Kami belum pernah
bertemu." Fache tampak terkejut. "Pertemuan pertama kalian terjadi malam ini,
bukan?" "Kami berencana untuk bertemu di lobi penerima tamu Universitas America
setelah saya selesai memberikan ceramah, tetapi dia tak pernah muncul."
Fache menulis beberapa catatan dalam buku kecilnya. Ketika mereka berjalan,
Langdon melihat sekilas piramid Louvre yang tak banyak diketahui
orang,LaPyramideInvers?e - sebuah atap kaca tertelungkup yang besar sekali yang
tergantung di langit-langit seperti sebuah stalaktit di tengah sebuah mezanin.
Fache membawa Langdon menaiki tangga pendek ke arah mulut gerbang sebuah
terowongan. Di atasnya tertulis: DENON. Sayap Denon adalah salah satu dari tiga
bagian utama Louvre yang paling ternama.
"Siapa yang meminta pertemuan malam ini?" tanya Fache tiba-tjba. "Anda atau
dia?" Pertanyaan itu terdengar aneh. "Pak Sauni?re," jawab Langdon ketika mereka
memasuki terowongan itu. "Sekretarisnya menghubungiku beberapa minggu yang lalu
lewat e-mail. Katanya kurator itu telah mendengar bahwa saya akan memberikan
ceramah di Paris bulan ini dan ingin mendiskusikan sesuatu saat saya di sini."
"Mendiskusikan apa?" "Saya tidak tahu. Seni, kukira. Kami mempunyai minat yang
sama." Fache tampak ragu. "Anda tak tahu akan membicarakan apa pada pertemuan
itu?" Langdon memang tidak tahu. Dia juga sangat penasaran saat itu, namun
merasa tidak enak menanyakan secara rinci. Jacques Sauni?re terkenal suka hidup
sendiri dan hanya bertemu dengan orang lain beberapa kali saja; Langdon sudah
sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan bertemu dengannya.
"Pak Langdon, dapatkah Anda, setidaknya menerka, apa kiranya yang ingin
didiskusikan oleh korban dengan Anda pada malam dia terbunuh" Itu mungkin akan
sangat membantu." Pertanyaan yang menohok itu sangat membuat Langdon tidak nyaman. "Saya betul-
betul tidak dapat membayangkannya. Saya juga tidak menanyakannya. Saya sudah
merasa terhormat beliau menghubungi saya. Saya mengagumi karya beliau dan
menggunakan buku-buku beliau dalam kuliah saya." Fache mencatat itu dalam
bukunya. Kedua lelaki itu sekarang sudah separuh jalan memasuki terowongan Sayap
Den?n, dan Langdon dapat melihat eskalator kembar di kejauhan. Keduanya tak
bergerak. "Jadi Anda memiliki minat yang sama dengannya?" tanya Fache. "Ya.
Kenyataannya, tahun lalu banyak saya habiskan untuk menulis konsep sebuah buku
yang berhubungan dengan keahlian utama Pak Sauni?re. Saya menunggu bisa
mengambil otaknya." Fache menatapnya. "Maaf?" Tampaknya idiom itu tak dimengerti
sang kapten. "Saya menunggu
untuk dapat mempelajari pemikirannya pada topik tersebut." "O, begitu. Dan apa
topiknya?" Langdon ragu-ragu, tak yakin bagaimana dia akan mengatakannya. "Pada
intinya, naskah itu tentang ikonografi pemujaan para dewi - konsep kesucian
perempuan dan seni serta simbol-simbol yang terkait dengannya."
Fache mengusap rambutnya dengan tangan gemuknya. "Dan Sauni?re tahu banyak
tentang ini?" "Tak ada yang tahu lebih banyak daripada dia." "O, begitu."
Langdon merasa bahwa sesungguhnya Fache tidak mengerti sama sekali. Jacques
Sauni?re dipandang sebagai ahli ikonografi para dewi yang utama di bumi ini.
Sauni?re tidak hanya memiliki semangat pribadi akan benda-benda keramat yang
berkaitan dengan kesuburan, pemujaan dewi, Wicca, dan perempuan suci. Dalam dua
puluh tahun masa jabatannya sebagai kurator, Sauni?re telah membantu Museum
Louvre mengumpulkan koleksi terbesar akan seni dewi di muka bumi - kampak-kampak
labrys dari para pendeta Yunani suci tertua di Delphi, tongkat-tongkat tabib
dari emas, ratusan Tjet ankhs yang menyerupai malaikat-malaikat kecil berdiri,
perkusi Mesir kuno yang digunakan untuk mengusir roh-roh jahat, dan kumpulan
patung yang menggambarkan Horns sedang disusui oleh Dewi Isis.
"Mungkin Jacques memberikan masukan. Sauni?re tahu tentang naskah Anda?" Fache
"Dan dia menjadwalkan pertemuan ini untuk membantu Anda dalam penulisan buku
itu." Langdon menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya belum ada yang tahu tentang naskah
saya itu. Masih dalam bentuk konsep, dan saya belum memperlihatkannya kepada
siapa pun, kecuali editor saya." Fache terdiam. . Langdon tidak menambahkan
alasan mengapa dia tidak memperlihatkan naskah tersebut kepada orang lain.
Konsep setebal tiga ratus halaman itu - sementara ini
berjudulSymbolsoftheLostSacredFeminine - mengemukakan beberapa interpretasi yang
sangat nonkonvensional dan ikonografi reigius yang baku. Buku ini pasti akan
menjadi kontroversial. Sekarang, ketika Langdon mendekati eskalator yang tak bergerak tadi, dia
berhenti, menyadari bahwa Fache sudah tak bersamanya lagi. Dia memutar tubuhnya,
dan menemukan Fache sedang berdiri beberapa yard darinya, di depan lift yang
berfungsi. "Kita naik lift saja," ujar Fache ketika pintu lift terbuka. "Saya yakin, Anda
tahu letak galeri itu jauh jika kita berjalan kaki."
Walau dia tahu lift itu akan mempercepat perjalanan mereka ke dua tingkat ke
atas ke Sayap Denon, langdon tetap tak bergerak. "Ada masalah?" tanya Fache
menahan pintu, tampak tak sabar. Langdon menarik napas, menatap lagi dengan
penuh hasrat, ke eskalator dengan udara terbuka di
atasnya.Tidakadamasalahsamasekali, dia menipu dirinya sendiri, menyeret kakinya
menuju lift. Di masa kecilnya, Langdon pernah terjatuh ke dalam sumur sempit
yang sudah ditinggalkan dan hampir mati menjejak-jejakkan kakinya di air dalam
ruang sempit selama berjam-jam sebelum akhirnya diselamatkan. Sejak saat itu,
dia memiliki fobia akan ruangan tertutup - lift, kereta bawah tanah,
lapangansquash.Liftadalahmesin yang betul-betul aman, kata Langdon berkali-kali
pada dirinya sendiri, walau tanpa pernah
memercayainya.Ituhanyakotakmetalkeciltergantungdidalam lorong tertutup. Sambil
menahan napas, dia melangkah masuk, merasakan perasaan gelitik adrenalin yang
tak asing ketika pintu lift tertutup. Dualantai.Sepuluhdetik. "Anda dan Pak
Sauni?re," ujar Fache ketika lift mulai bergerak, "kalian sama sekali belum
pernah berbicara" Tak pernah bersurat-suratan" Tak pernah saling berkirim barang
lewat pos?" Pertanyaan aneh lagi. Langdon menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak pernah."
Fache menegakkan kepalanya, seolah mencatat fakta itu dalam hati. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi, dia hanya menatap pintu-pintu dari chrome itu.
Ketika mereka naik, Langdon mencoba memusatkan perhatiannya kepada apa saja
selain empat tembok yang mengeilinginya. Dalam pantulan pintu lift yang
mengilap, dia melihat jepit dasi sang kapten - sebuah salib perak dengan tiga
belas batu onyx hitam tertanam. Langdon agak heran. Simbol itu dikenal sebagai
sebuah crux gemmata - salib dengan tiga belas batu permata - ideogram Kristen bagi
Kristus dan dua betas rasul. Namun begitu, Langdon tak mengira seorang kapten
polisi Prancis akan memamerkan simbol keagamaan dengan begitu terbuka. Lagi
pula, ini Prancis; Kristen bukanlah sebuah agama disini, tidak seperti hak
lahir. "Ini sebuahcruxgemmata," kata Fache tiba-tiba. Kaget, Langdon mengerling
dan melihat mata Fache yang sedang
menatapnya pada pantulan pintu lift. Lift itu tersentak berhenti, dan pintunya
terbuka. Langdon melangkah keluar dengan cepat. Dia sangat ingin berada di
ruangan luas yang dihasilkan oleh langit-langit tinggi galeri-galeri Louvre yang
tersohor itu. Namun, ternyata dia melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda
dari yang dia perkirakan. Karena terkejut, Langdon segera berhenti. Fache
menatapnya. "Pak Langdon, saya kira Anda belum pernah melihat
Louvre pada jam tutup seperti ini. Bukan begitu?" Kukiratidak, pikir Langdon,
mencoba bersikap tenang. Biasanya, galeri-galeri Louvre disinari cahaya terang
benderang, namun malam ini begitu gelap. Alih-alih lampu tipis putih biasa yang
bersinar dari atas ke bawah, sebuah kilau merah yang bisu tampak memancar dari
atas, dari papan-papan potongan-potongan cahaya merah yang menimpa lantai
keramik. Ketika menatap koridor yang suram, La?gdon sadar, dia seharusnya sudah
memperkirakan pemandangan seperti ini. Sebenarnya, semua galeri besar
menggunakan lampu merah pada malam hari - ditempatkan dengan strategis, rendah,
tidak mencolok sinarnya sehingga cukup bagi penjaga malam untuk mengawasi lorong
namun sekaligus menjaga keawetan warna lukisan-lukisan sehingga tidak cepat
pudar karena terlalu banyak disinari cahaya. Malam ini, museum itu memiliki
kesan yang hampir menyesakkan napas. Bayanganbayangan panjang mengganggu di
mana-mana, dan langit-langit yang menjulang tinggi dan berkubah menjadi tampak
seperti ruang kosong hitam yang rendah.
"Ke sini," ujar Fache, membelok tajam ke kanan dan memperlihatkan serangkaian
galeri yang saling berhubungan.
Langdon mengikutinya. Matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Semua di
sekitarnya, lukisan-lukisan berukuran besar, mulai menjadi seperti foto-foto
yang diperbesar di depannya dalam sebuah ruang gelap yang sangat besar ... mata
mereka seperti mengikutinya ketika dia bergerak menyusuri ruanganruangan itu.
Dia dapat merasakan udara beraroma tajam khas museum - sebuah sari pelepasan ion
kering yang mengisyaratkan adanya karbon - sebuah produk industri, penyaring
arang untuk pencegahan kelembaban yang bekerja sepanjang hari untuk mengatasi
korosif karbon dioksida yang dihirup para pengunjung.
Kamera keamanan dipasang tinggi pada tembok, memberi tahu para pengunjung dengan
jelas:KamimelihatAnda..Jangansentuhapapun..
"Semua itu betul-betul kamera?" tanya Langdon sambil menunjuk pada kamera-kamera
itu. Fache menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak." Langdon tidak terkejut.
Pengawasan melalui video dalam museum sebesar ini berbiaya sangat mahal dan sama
sekali tidak efektif. Dengan galeri-galeri yang begitu luas, Louvre akan
memerlukan ratusan teknisi untuk memonitor video-video itu. Umumnya museum-
museum besar seperti ini sekarang menggunakan "pengamanan dengan cara
pengurungan". Lupakan pengusiran pencurikeluar.Kurungmerekadidalam. Pengurungan
diaktifkan setelah jam tutup, dan jika seorang pencuri memindahkan barang seni,
jalan-jalan keluar galeri itu akan segera tertutup, dan si pencuri sudah berada
di balik terali sebelum polisi datang.
Suara-suara terdengar bergema di sepanjang koridor marmer. Suara itu tampaknya
berasal dari sebuah ruangan istirahat yang besar yang berada di sebelah kanan
depan. Sinar terang memancar ke gang itu. "Ruang kerja kurator itu," kata sang
kapten. Ketika Fache dan Langdon bergerak mendekati ruangan itu, Langdon
mengamati dari gang pendek ke dalam ruang kerja Sauni?re yang mewah - berperabot
kayu yang hangar, lukisan-lukisan adikarya tua, dan sebuah meja antik besar
sekali yang di atasnya berdiri patung kesatria berbaju besi lengkap setinggi dua
kaki. Beberapa agen polisi sibuk menelepon dan mencatat di dalam ruangan itu.
Salah satunya duduk di meja Sauni?re, mengetik pada laptopnya. Tampaknya ruang
kerja pribadi kurator itu sudah menjadi pos komando DCPJ sementara untuk malam
ini. "Mesieurs," seru Fache, dan orang-orang itu menoleh."Nenowderangez
passowaucunpr?texte.Entendu?" Semua orang di ruangan itu mengerti dan mereka
mengangguk. Langdon telah cukup sering menggantungkan tanda NE PAS DERANGEZ di
pintu kamar hotel, sehingga dia mengerti apa maksud sang kapten. Fache dan
Langdon tidak boleh diganggu dengan alasan apa pun.
Mereka kemudian meninggalkan sekelompok polisi itu dan memasuki gang gelap. Tiga
puluh yard ke depan tampak pintu gerbang menuju ke bagian Louvre yang paling
tersohor, La Grande Galerie - sebuah koridor yang tampaknya tak berujung yang
berisi adikarya Italia yang paling berharga. Langdon sudah mengerti bahwa di
sinilah tubuh Sauni?re tergeletak; Lantai parket Galeri Agung yang terkenal itu
sama persis dengan yang dilihatnya di Polaroid.
Ketika mereka mendekat, Langdon melihat pintu masuk ditutup dengan jeruji besi
besar yang tampak seperti yang digunakan di benteng-benteng abad pertengahan
untuk menahan gerombolan perampok. "Keamanan pengurungan," ujar Fache, ketika
mereka mendekati jeruji itu. Bahkan dalam kegelapan, barikade itu tampak mampu
menahan serangan sebuah tank dari luar, Langdon mengamati melalui jeruji itu ke
dalam Galeri Agung yang tampak seperti gua-gua besar yang berpenerangan redup.
"Anda dulu, Pak Langdon," kata Fache. Langdon menoleh. "Saya dulu" Ke mana?"
Fache menunjuk, ke lantai pada dasar jeruji itu. Langdon melihat ke bawah. Dalam
kegelapan, dia tak dapat melihat. Barikade itu naik kira-kira dua kaki, sehingga
terbuka sedikit di bawah.
"Area ini masih terlarang bagi keamanan Louvre," kata Fache. "Tim saya dari
Police Technique et Scientique baru saja menyelesaikan penyidikan mereka." Dia
menunjuk ke celah di bawah. "Silakan menyelinap ke bawah."
Langdon menatap ke lowongan sempit di kakinya, dan kemudian pada jeruji
kokoh.Dia bercanda, kan" Barikade itu tampak sepertiguillotine yang siap
menghancurkan penyelinap.
Fache menggumam dalam bahasa Prancis dan melihat jam tangannya. Kemudian dia
berlutut dan merayap dengan tubuh besarnya di bawah jeruji itu. Tiba di
seberang, dia berdiri dan menatap Langdon melalui jeruji itu.
Langdon mendesah. Dengan meletakkan kedua telapak tangannya pada parket
berpelitur, ia berbaring pada perutnya dan merayap ke depan. Ketika dia
menerobos di bawah jeruji, kerah jas Harris-nya tersangkut jeruji dan
punggungnya menyentuh jeruji besi itu.
Halussekali,Robert, pikirnya, meraba-raba dan akhirnya berhasil merayap. Ketika
berdiri, Langdon mulai khawatir kalau ini akan menjadi malam yang panjang.
5 Murray Hill Place - markas pusat Opus Dei World yang baru dan pusat konferensi -
terletak di 243 Lexington Avenue di New York City. Dengan harga hanya sekitar 47
juta dolar Amerika, menara berluas 133.000 kaki persegi itu terbungkus oleh batu
bata merah dan batu kapur Indiana. Dirancang oleh May & Pinska, gedung itu
berisi seratus kamar tidur, enam ruang makan, perpustakaan-perpustakaan, ruang-
ruang duduk, ruang-ruang rapat, dan ruangruang kerja. Lantai 2, 8, dan 16
terdiri atas kapel-kapel, berornamen hiasanhjasan dan kayu dan pualam. Lantai 17
seluruhnya diperuntukican sebagai tempat tinggal. Laki-laki memasuki gedung itu
dari pintu-pintu masuk utama di Lexinton Avenue; perempuan masuk melalui jalan
sampig dan "dipisahkan secara akustik dan visual" dari lelaki selama berada di
dalam gedung itu. Di awal malam ini, di dalam tempat perlindungannya di apartemen penthouse-nya,
Uskup Manuel Aningarosa telah mengemas pakaiannya dalam tas bepergian kecil dan
mengenakan jubah hitam tradisionai. Biasanya dia mengenakan ikat pinggang ungu,
namun malam ini dia akan bepergian di tengah-tengah orang banyak, dan dia tidak
ingin menarik perhatian karena kedudukannya yang tinggi. Hanya orang bermata
jeli yang akan dapat meliliat cincin emas keuskupan 14 karat yang dipakainya,
dengan batu permata ametis ungu, berlian besar, dan songkokmitre-crozierappliqu?
buatan tangan. Sambil menyandang tas bepergian itu pada bahunya, Aringarosa
berdoa lirih dan meninggalkan apartemennya, turun ke lobi menemui sopirnya yang
akan mengantarnya ke bandara.
Sekarang, dia sudah duduk di dalam pesawat komersial yang akan membawanya ke
Roma. Aringarosa melongok ke luar jendela, ke Samudra Atlantik yang gelap.
Matahari telah tenggelam, tetapi Aringarosa tahu bahwa bintangnya sendiri tengah
terbit. Ma/am ini, perang itu akan kumenangkan, pikirnya, merasa kagum karena
hanya beberapa bulan yang lalu dia merasa begitu tak kuasa melawan tangan yang
berniat menghancurkan kerajaannya.
Sebagai Direktur Utama Opus Dei, Uskup Aringarosa telah menghabiskan satu dekade
dalam hidupnya menyebarkan pesan dan "Karya Tuhan" - secara harfiah,OpusDei.
Jemaatnya, didirikan pada tahun 1928 oleh pendeta Spanyol Josemaria F.scriv?,
mengembangkan sebuah gerakan kembali ke nilai Katolik konservatif dan mendorong
para pengikutnya untuk memperbanyak pengorbanan-pengorbanan dalam hidup mereka
sendiri sebagai usahanya menjalankan Karya Tuhan.
Filsafat Opus Dei pada mulanya berakar di Spanyol sebelum rezim Franco, namun
dengan dipublikasikannya buku spiritual Josemaria Escriv? pada tahun 1934
berjudulThe Way - berisi 999 butir meditasi untuk melaksanakan Karya Tuhan dalam
kehidupan seseorang - maka pesan Escriv? itu meledak di seluruh dunia. Sekarang,
dengan The Way terjual lebih dari empat juta kopi dalam 42 bahasa, Opus Dei
merupakan kekuatan yang mendunia. Balairungbalairungnya, pusat-pusat pengajaran
dan bahkan universitasuniversitasnya dapat dijumpai di kota-kota metropolitan
besar di dunia. Opus Dei merupakan organisasi Katolik yang berkembang paling
cepat dan terkaya di dunia. Sialnya, Aringarosa telah mempelajari, di era
kesinisan pada agama, cara pemujaan, dan khotbah-khotbah jarak jauh, peningkatan
kemakmuran dan kekuatan Opus Dei mengundang kecurigaan.
"Banyak orang menyebut Opus Dei sebagai perkumpulan pencucian otak," para
wartawan sering memancing pernyataan itu. "Yang lainnya lagi menyebut Anda
sebagai kelompok rahasia Kristen yang ultrakonservatif. Yang mana Anda
sebenarnya?" "Opus Dei bukan keduanya," uskup itu akan menjawabnya dengan sabar. "Kami adalah
Gereja Katolik. Kami adalah jemaat Katolik yang telah memilih, sebagai prioritas
kami, untuk mengikuti doktrin Katolik sekuat mungkin dalam kehidupan sehari-
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari" "Apakah Karya Tuhan harus memasukkan sumpah kesucian, berzakat, dan penebusan
dosa dengan cara mencambuk diri dan mengikat diri dengan cilice?"
"Anda hanya menggambarkan sebagian kecil dari populasi jemaat Opus. Dei," ujar
Aringarosa. "Ada banyak tingkat kepatuhan. Ribuan anggota Opus Dei menikah,
mempunyai keluarga, dan menjalankan Karya Tuhan dalam komunitas mereka masing-
masing. Yang lainnya memilih hidup ekstrem di dalam biara kami. Pilihan-pilihan
ini pribadi sifatnya, tetapi setiap orang di Opus Dei mempunyai tujuan yang
sama, yaitu memperbaiki dunia dengan cara menjalankan Karya Tuhan. Tentu saja
ini merupakan suatu pencarian yang sangat mulia."
Walau begitu, pertimbangan akal sehat jarang berhasil. Media massa selalu
cenderung ke arah skandal, dan Opus Dei, seperti juga umumnya organisasi besar
lainnya, mempunyai, di antara anggota-anggotanya, sedikit orang yang menyimpang
yang mengejar bayangan. Dua bulan yang lalu, suatu kelompok Opus Dei di sebuah
universitas di barat bagian tengah tertangkap basah membius pengikut barunya
dengan obat yang dapat menimbulkan halusinasi, dalam usaha mereka untuk membuat
orang itu mencapai keadaan eforia sehingga anggota baru itu akan merasakannya
sebagai pengalaman religius. Seorang mahasiswa lainnya telah menggunakan ikat
pinggang berduri cilice-nya lebih sering daripada yang dianjurkan, yaitu dua jam
dalam sehari, dan dia hampir saja terkena infeksi yang mematikan. Di Boston baru
saja terjadi, seorang investor bank yang masih muda menyumbangkan semua tabungan
hidupnya kepada Opus Dei sebelum membunuh dirinya. Domba yang salah bimbing,
pikir Aringarosa, dia sangat prihatin
karenanya. Tentu saja, aib terbesar adalah penyebarluasan persidangan seorang
agen mata-mata FBI Robert Hansen, yang ingin menjadi anggota Opus Dei yang
menonjol tapi ternyata berubah menjadi seorang hamba seks. Persidangannya
menguak bukti bahwa dia memiliki kamera video tersembunyi di kamar tidurnya agar
teman-temannya dapat menyaksikan saat dia bercinta dengan istrinya. "Sukar
dipercaya kalau dia tadinya penganut Katolik yang taat," kata hakim.
Sedihnya, semua peristiwa ini telah membantu berkembangnya sebuah organisasi
pengawas baru, dikenal dengan nama Opus Dei Awareness Network (ODAN), 'Jaringan
Waspada Opus Dei'. Web site kelompok ini - www.odan.org - - menyiarkan cerita-cerita
mengerikan dari mantan anggotaanggota Opus Dei yang memperingatkan bahayanya
bergabung dengan Opus Dei. Media sekarang menganggap Opus Dei sebagai "Mafia
Tuhan" klan "Pemuja Kristus".
Kita takut kepada apa yang kita tak mengerti, pikir Aringarosa, sambil bertanya-
tanya apakah para pengkritik ini tahu berapa banyak kehidupan yang telah
diperkaya oleh Opus Dei. Kelompok itu menikmati pengabsahan penuh dan restu dari
Vatikan.OpusDeimerupakansebuahperwaliangerejapribadi dariPaussendiri.
Walau begitu, akhir-akhir ini, Opus Dei telah menyadari bahwa mereka terancam
oleh sebuah kekuatan yang jauh lebih kuat daripada media ... sebuah musuh tak
terduga yang tak terhindarkan oleh Aringarosa. Lima bulan yang lalu, kalaedoskop
dari kekuatan itu telah mengguncangnya, dan Aringarosa masih limbung karena
pukulan itu. "Mereka tidak tahu peperangan macam apa yang telah mereka mulai," bisik
Aringarosa pada dirinya sendiri, sambil menatap keluar jendela pesawat terbang,
pada lautan yang gelap di bawahnya. Tiba-tiba, matanya kembali terpusat, terus
menatap pantulan wajahnya yang aneh - gelap dan berbentuk bujur, didominasi oleh
hidung pesek dan bengkok yang pernah ditinju di Spanyol ketika dia masih seorang
pendeta muda. Kekurangan pada tubuhnya sekarang hampir tak kentara. Dunia
Aringarosa adalah batiniah, bukan ragawi.
Ketika jet itu melewati pantai Portugal, telepon selular di dalam jubah
Aringarosa mulai bergetar karena dering bisu. Walaupun ada larangan untuk
menggunakan telepon selular selama penerbangan, narnun Aningarosa tahu, ini
panggilan yang tak boleh diabaikan. Hanya satu orang yang tahu nomor ini, orang
yang sekarang menelepon Aringarosa. Dengan gembira, uskup itu menjawab perlahan,
"Ya?" "Silas telah menemukan batu kunci itu," kata si penelpon. "Ada di Paris.
Di dalam gereja Saint-Sulpice." Uskup Aringarosa tersenyum. "Kalau begitu kita
sudah dekat." "Kita bisa mendapatkannya segera. Tetapi kita memerlukan
pengaruhmu." "Tentu saja. Katakan apa yang harus kulakukan." Ketika Aringarosa
mematikan teleponnya, jantungnya berdebar. Kembali dia menatap kekosongan malam,
merasa mengerdil karena kejadian yang telah dimulainya. Lima ratus mil dari
Aringarosa, Silas si albino berdiri di dekat baskom kecil berisi air dan
mengusapi darah dari punggungnya, sambil mengarnati pola-pola darahnya berputar
di dalam air. Bersihkan aku dengan daun hysop dan aku akan bersih, dia berdoa,
mengutip Mazmur.Cuci aku, dan aku akan menjadilebihputihdaripadasalju. Silas
merasakan sebuah peningkatan harapan yang belum pernah ia rasakan srpanjang
hidupnya. Itu mengejutkan dan menggetarkan dirinya. Sejak sepuluh tahun
trrakhir, dia telah mengikutiTheWay, membersihkan diri dari dosa-dosa
...membangun kembali hidupnya ... menghapus kekejaman masa lalunya. Namun malam
ini, semua itu seperti menyerbu datang kembali. Kebencian yang telah
diupayakannya dengan kuat untuk dikuburkan telah terkumpul kembali. Dia terkejut
betapa cepat masa lalunya muncul kembali. Dan bersama dengan itu, tentu saja,
datang juga keahliannya. Berkarat, namun masih bisa digunakan.
PesanYesusmerupakanpesankedamaian ... tanpakekerasan...cinta. Ini adalah pesan
yang diajarkan kepada Silas dari awal, dan pesan itu disimpannya dalam hati.
Namun, pesan ini jugalah yang akan dirusak oleh musuh Kristus. Siapa yang
mengancam Tuhan dengan kekuatan akan bertemu dengan
kekuatan.Taktergoyahkandantabah.
Selama dua milenium, tentara-tentara Kristen telah membela keyakinan mereka
melawan orang-orang yang mencoba menggantikannya. Malam ini, Silas telah
terpanggil untuk berperang.
Setelah mengeringkan lukanya, Silas mengenakan jubah hingga ke mata kakinya.
Jubahnya sederhana, terbuat dari wol gelap, mempertajam keputihan kulit dan
rambutnya. Dia mengencangkan kerudungnya sampai menutup kepala, dan ikat
pinggangnya, membiarkan mata menaikkan merahnya mengagumi pantulannya dalam
cermin.Roda-rodaitusedangbergerak.
6 SETELAH DIGENCET di bawah gerbang keamanan, Robert Langdon sekarang berdiri di
dalam, pintu masuk ke Galeri Agung. Dia melihat ke dalam mulut gang yang dalam
dan panjang. Pada sisi lain galeri ini, dinding kapur menjulang tiga puluh kaki,
seakan menguap ke dalam kegelapan di atasnya. Cahaya kemerahan dari lampu
mengarah ke atas, memberikan terang buatan ke arah koleksi lukisan yang
menggemparkan dari karya-karya Da Vinci, Titians, dan Caravaggio, yang
tergantung dengan kabel dari langit-langit. Lukisan alam benda, adegan-adegan
religius, dan pemandangan alam bersanding dengan potret para potret para
bangsawan dan politikus. Walau Galeri Agung menyimpan benda-benda seni Italia
yang paling tersohor, para pengunjung berpendapat bahwa bagian paling memesona
yang ditawarkan bagian sayap itu adalah lantai parketnya yang terkenal.
Terhampar dalam rancangan geometris yang mencengangkan, dengan potongan kayu ek
tipis dan panjang yang disusun secara diagonal, lantai itu membenikan ilusi
optik singkat - sebuah jaringan multi-dimensi mengambang di sepanjang galeri saat
para yang memberi perasaan pengunjung berjalan di permukaannya yang berganti-
ganti pada setiap langkah.
Ketika Langdon mulai menatap hamparan lantai itu, matanya berhenti pada sebuah
benda yang tak semestinya ada di atas lantai, tergeletak hanya beberapa yard di
sebelah kirinya, dikelilingi dengan pita polisi. Dia berputar ke arah Fache.
"Apakah itu sebuahCaravaggio tergeletak di lantai?" Fache mengangguk tanpa
melihatnya. Langdon menerka, harga lukisan itu tentulah lebih dari dua juta
dolar Amerika, dan tergeletak begitu saja di atas lantai seperti poster buangan.
"Mengapa tergeletak begitu saja di lantai!"
Fache menggeram, sama sekali tidak bereaksi. "ini tempat peristiwa kriminal, Pak
Langdon. Kami tidak boleh menyentuh apa pun. Kanvas itu diturunkan dari dinding
oleh kurator itu. Begitulah caranya mengaktifkan sistem pengamanan."
Langdon melihat lagi gerbang itu, mencoba membayangkan apa yang telah terjadi.
"Kurator itu telah diserang di kantornya, melarikan diri ke Galeri Agung, dan
mengaktifkan gerbang pengaman dengan cara menurunkan lukisan dari dinding.
Gerbang itu langsung turun, menutup semua jalan. Ini satu-satunya pintu keluar
dan masuk galeri ini."
Langdon merasa bingung. "Jadi kurator itu sebenarnya memerangkap penyerangnya di
dalam Galeri Agung?"
Fache menggelengkan kepalanya. "Gerbang itu memisahkan Sauni?re dari
penyerangnya. Si pembunuh terkunci di luar di gang dan menembak Sauni?re dari
gerbang itu." Fache menunjuk pada tanda berwarna jingga yang tergantung pada
salah satu jeruji pintu gerbang yang tadi mereka selusupi. "Tim PTS menemukan
residu dari senjata itu. Dia menembak melalui jeruji. Sauni?re tewas di sini
sendirian. Langdon mengingat foto mayat Sauni?re. Mereka mengatakan bahwa Sauniere
melakukan itu sendiri pada dirinya. Langdon melihat ke koridor besar di depan
mereka. "Jadi, di mana mayat itu tergeletak?"
Fache meluruskan penjepit dasi salibnya dan mulai berjalan lagi. "Seperti yang
mungkin sudah Anda tahu, Galeri Agung sangat panjang."
Panjang sesungguhnya, jika Langdon tak salah ingat, adalah sekitar 1.500 kaki,
sepanjang tiga kali Monumen Washington yang dibaringkan. Sama mengagumkannya
adalah lebar koridor ini, yang dengan mudah dapat dilewati oleh sepasang kereta
api berdampingan. Bagian tengah gang itu ditandai oleh patung kolosal atau
jambangan porselin, yang berfungsi sebagai pemisah yang indah dan menjaga lalu
lintas pengunjung agar tetap berjalan di masing-masing sisi tembok.
Fache bungkam sekarang, berjalan cepat pada sisi kanan koridor dengan tatapan
tetap ke depan. Langdon merasa agak kurang ajar karena hanya berjalan cepat
melewati begitu banyak adikarya tanpa berhenti, bahkan tidak untuk mengerling
pun. Bukannyaakubisamelihatdalampencahayaansepertiini, pikirnya. Pencahayaan remang-
remang ini sialnya, telah mengingatkannya kembali pada pengalamannya di ruang
redup di penyimpanan arsip rahasia, Vatikan Secret Archives. Keadaan seperti ini
sangat mirip dengan kejadian ketika dia hampir tewas di Roma. Bayangan Vittoria
berkelebat lagi. Vittoria telah menghilang dari mimpi-mimpinya selama beberapa
bulan terakhir ini. Langdon tak dapat percayai kalau Roma baru berlalu setahun;
rasanya seperti sudah satu dekade. Kehidupanyanglain. Surat-menyurat terakhirnya
dengan Vittoria adalah pada bulan Desember__selembar kartu pos mengatakan bahwa
Vittoria sedang menuju ke Laut Jawa, untuk melanjutkan penelitiannya dalam
fisika yang rumit ... tentang penggunaan satelit untuk mengikuti perpindahan
ikan paus manta yang besar. Langdon tak pernah membayangkan seorang perempuan
sepenti Vittoria Vetra dapat hidup bahagia bersamanya di asrama perguruan
tinggi, namun pertemuan mereka di Roma telah membuat Langdon merasakan hal yang
tak pernah ia bayangkan bisa ia rasakan. Kebahagiaan hidup melajang seumur
hidupnya dan kebebasan sederhana akhirnya tergoyahkan ... berganti dengan rasa
kekosongan yang tampaknya berkembang selama satu tahun ini.
Mereka melanjutkan berjalan cepat, tetapi Langdon belum juga melihat mayat itu.
"Jacques Sauni?re berjalansejauhini?"
"Pak Sauni?re menderita karena ada sebutir peluru di perutnya. Dia tewas
perlahan-lahan sekali. Mungkin lebih dari 15 sampai 20 menit. Dia pastilah
seorang lelaki yang kuat." Langdon menoleh, terkejut. "Petugas keamanan
membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke sini?" "Tentu saja tidak. Petugas keamanan Louvre
langsung bereaksi ketika alarm berbunyi, dan mendapatkan galeri itu terkunci.
Melalui gerbang itu, mereka dapat mendengar seseorang bergerak-gerak di ujung
gang dan di koridor, tetapi mereka tidak dapat melihat siapa dia. Mereka
berteriak, tetapi tak dijawab. Mereka mengira itu seorang penjahat. Mereka
mengikuti peraturan dan menelepon Polisi Judisial. Kami tiba di tempat dalam
waktu lima belas menit. Ketika kami tiba, kami menaikkan gerbang itu sedikit,
cukup untuk diterobos dari bawah, dan saya mengirim dua belas petugas bersenjata
ke dalam. Mereka memeriksa galeri ini untuk menangkap penyusup itu." "Dan?"
"Mereka tidak menemukan siapa pun di dalam. Kecuali..." Dia menunjuk
agak jauh ke dalam gang. "Dia." Langdon mengangkat pandangannya dan mengikuti
arah jari Fache. Pada mulanya, dia mengira Fache menunjuk pada patung pualam
besar di tengah gang. Ketika mereka bergerak lebih lanjut, Langdon mulai melihat
melewati patung itu. Tiga puluh yard di gang itu, sebuah lampu dengan tiang yang
dapat dipindah-pindahkan menyorot ke bawah, menciptakan bentuk pulau cahaya
putih di dalam galeri merah tua itu. Di tengah-tengah cahaya itu, layaknya
seekor serangga di bawah mikroskop, mayat sang kurator tergeletak bugil di atas
lantai parket. "Anda sudah melihat foto itu," ujar Fache, "jadi ini tidak mengejutkan lagi."
Langdon merasa menggigil ketika mereka mendekati mayat itu. Baginya, ini adalah
bayangan teraneh yang pernah dia lihat.
Mayat pucat Jacques Sauni?re tergeletak di atas lantai parket, persis seperti
yang. terlihat di foto. Ketika Langdon berdiri di dekat jenazah itu dan agak
memicingkan matanya karena sinar lampu yang terlalu terang, dia terpikir
sesuatu, dan heran juga, bahwa Sauni?re telah menggunakan beberapa menit di
akhir hidupnya untuk mengatur tubuhnya sendiri berpose begitu aneh.
Sauni?re tampak sangat sehat untuk lelaki seusianya ... dan semua ototnya
terlihat jelas. Dia telah menanggalkan setiap helai pakaiannya, meletakkannya
dengan rapi di atas lantai, dan berbaring terlentang di tengah-tengah koridor
yang lebar itu, tepat segaris dengan poros panjang ruangan itu. Tangan dan
tungkainya terentang lebar seperti sayap elang, seperti posisi malaikat salju
yang dibuat anak-anak ..,. atau, mungkin lebih tepat, seperti seorang lelaki
yang ditarik dan dipotong menjadi empat oleh kekuatan yang tak tampak.
Tepat di bawah tulang dada Sauni?re, noda darah menandai titik di mana peluru
itu menembus dagingnya. Anehnya, luka itu tak mengeluarkan banyak darah, hanya
membentuk kolam kecil darah kehitaman.
Jari telunjuk tangan kiri Sauni?re juga berdarah, tampaknya telah dimasukkan ke
lubang tempat peluru menembus untuk menciptakan aspek yang paling mengguncangkan
dari kematiannya yang sangat m?ngerikan itu; menggunakan darahnya sendiri
sebagai tinta, dan memakai perut bugilnya sebagai kanvas, Sauni?re telah
menggambar sebuah simbol sederhana di atas jasadnya - lima garis lurus saling
berpotongan membentuk sebuah bintang lima titik.
Bintang berdarah itu, yang terpusat pada pusar Sauni?re, memberi aura perampok
kubur yang jelas pada mayatnya. Foto yang telah dilihat Langdon cukup
menggigilkan, tetapi, sekarang, melihat sendiri kejadian itu, Langdon merasa
sangat gelisah. Diamelakukansendiripadadirinya. "Pak Langdon"' mata hitam Fache
menatapnya lagi. "Ini pentakel," ujar Langdon, suaranya terdengar kosong dalam
ruangan besar ini. "Salah satu simbol tertua di dunia. Digunakan lebih dari
empat ribu tahun sebelum Masehi." "Dan artinya?" Langdon selalu ragu-ragu ketika
dia menerima pertanyaan seperti itu. Mengatakan kepada seseorang apa arti simbol
itu seperti mengatakan bagaimana sebuah lagu seharusnya memengaruhi perasaan
orang - itu berbeda bagi setiap orang. Kerudung topeng putih Ku Klux Klan
menimbulkan gambaran kebencian dan rasisme di Amerika Serikat, namun kostum yang
sama membawa arti keyakinan religius di Spanyol.
"Simbol mengandung arti yang berbeda pada tempat yang berbeda," kata Langdon.
"Pada awalnya pentakel adalah simbol religius untuk kaum pagan." Fache
mengangguk. "Pemuja setan." "Bukan," Langdon memperbaiki, langsung menyadari
pemilihan kosa katanya harus lebih jelas. Sekarang ini katapagan telah hampir disamakan dengan
pemujaan setan - salah konsep yang ngawur. Akar katanya adalah dari bahasa Latin
paganus, artinya penduduk negeri. "Kaum pagan" secara harfiah berarti orang-
orang desa yang tidak terindoktrinasi yang berpegang teguh pada agama pedesaan
tua yang memuja Alam. Kenyataannya, Gereja begitu takut akan orang-orang yang
tinggal di pedesaan atau villes, sehingga kata yang dulu sama sekali tak
berbahaya yang artinya "penduduk desa", yaitu villain, menjadi berarti jiwa
jahat. "Pentakel itu," Langdon menjelaskan, "merupakan simbol dari zaman sebelum
Masehi, yang berkaitan dengan pemujaan Alam. Para nenek moyang melihat dunia ini
sebagai dua bagian - lelaki dan perempuan. Para dewa dan dewi mereka bekerja untuk
menjaga keseimbangan kekuatan. Yin dan Yang. Ketika lelaki dan perempuan
seimbang, muncul harmoni di dunia ini. Jika mereka tidak seimbang, muncul
kekacauan." Langdon menunjuk pada perut Sauni?re. "Pentakel ini mewakili bagian
perempuan - sebuah konsep yang oleh para ahli sejarah religius disebut sebagai
"perempuan suci" atau "dewi yang hebat". Sauni?re, juga semua orang,
mengetahuinya." "Sauni?re menggambar simbol seorang dewi pada perutnya?" Langdon harus mengakui,
itu kelihatannya aneh. "Pada interpretasi yang paling khusus, pentakel
menyimbolkan Venus - dewi seks, cinta, dan kecantikan perempuan." Fache menatap
mayat lelaki bugil itu, dan menggerutu. "Agama yang pertama berdasarkan pada
tatanan suci Alam. Dewi Venus dan planet Venus adalah satu dan sama. Dewi itu
memiliki tempat di langit waktu malam, dan dikenal dengan banyak nama: Venus,
Bintang Timur, Ishtar, Astarte - semuanya merupakan konsep perempuan yang kuat
dengan ikatan kepada Alam dan Ibu Bumi."
Fache tampak semakin bingung, seakan dia lebih menyukai gagasan pemujaan setan.
Langdon memutuskan untuk tidak berbicara lebih banyak tentang kekayaan yang
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paling mengagumkan dari pentakel - asal usul grafik dan keterikatannya dengan
Venus. Sebagai seorang mahasiswa astronomi yang masih muda, Langdon pernah
begitu terpesona saat tahu bahwa planet venus berjalan mengikuti pentakel yang
sempurna menyeberangi langit eklip setiap delapan tahun. Para leluhur dulu
begitu terpesona menyelidiki fenomena ini, bahwa Venus dan pentakelnya menjadi
simbol dari kesempurnaan, kecantikan, dan kualitas peredaran dari cinta seksual.
Sebagai penghormatan pada kesaktian Venus, orang-orang Yunani menggunakan siklus
delapan tahunnya itu untuk mengorganisasi olimpiade mereka Sedikit saja orang
sekarang yang tahu bahwa siklus empat tahun olimpiade modern masih mengikuti
setengah siklus Venus. Bahkan, lebih sedikit orang yang tahu bahwa bintang segi
lima hampir telah menjadi segel resmi olimpiade namun sudah dimodifikasi pada
akhirnya - lima titiknya ditukar dengan lima lingkaran yang saling memotong untuk
merefleksikan dengan lebih baik jiwa permainan, yaitu keterbukaan dan harmoni.
"Pak Langdon," kata Fache tiba-tiba. "Jelas, pentakel itu mestinya ada
hubungannya dengan setan. Film horor Amerika Anda menjelaskan begitu dengan
sangat jelas." Langdon mengerutkan dahinya. Terima kasih, Hollywood. Bintang bersisi lima
sekarang merupakan sebuah klise virtual dalam film-film pembunuhan berantai
berlatar setan. Gambar bintang seperti itu biasanya dicoretkan pada dinding
apartemen seorang pemuja setan bersama dengan simbol-simbol lain yang diduga
bersifat setan. Langdon selalu frustrasi ketika melihat simbol dalam konteks
ini; sesungguhnya simbol pentakel bersifat sangat ketuhanan.
"Saya yakinkan Anda," ujar Langdon. "Lepas dari yang Anda lihat dalam film,
interpretasi pentakel sebagai simbol setan adalah salah secara historis. Makna
femininnya yang asli adalah benar, tetapi simbolisme pentakel telah dirusak
selama lebih dari seribu tahun. Dalam kasus ini, dirusak dengan cor?tan darah."
"Saya tidak yakin mengerti Anda." Langdon mengerling pada tanda salib Fache, tak
yakin bagaimana dia akan mengatakan pikiran berikutnya. "Gereja, Pak. Simbol-
simbol sangat kental, tetapi pentakel diubah oleh Gereja Katolik Roma awal.
Sebagai bagian dari kampanye Vatikan untuk membasmi agama pagan dan
mengembalikan rakyat ke agama Kristen, Gereja mengadakan kampanye fitnahan
melawan pemuja dewa dan dewi, menjadikan simbol-simbol ketuhanan pagan sebagai
kejahatan." "Teruskan." "Ini sangat biasa pada masa kekacauan," Langdon
melanjutkan. "Sebuah kekuatan baru yang muncul akan mengambil alih simbol-simbol
yang sudah ada dan merendahkannya secara berangsur-angsur dengan maksud
menghapus arti simbol-simbol tersebut. Dalam peperangan antara simbol pagan dan
simbol Kristen, pagan kalah; tombak bermata tiga milik Poseidon menjadi garpu
setan, topi bijak yang meruncing ke atas menjadi simbol tukang sihir, dan
pentakel Venus menjadi tanda setan." Langdon berhenti. "Sialnya, militer Amerika
Serikat juga menyesatkan arti pentakel; sekarang simbol yang paling disukai
untuk perang adalah pentakel. Kami memasangnya pada jet-jet tempur dan
menggantungnya pada bahu para jenderal." Ini sangat keterlaluan bagi
dewicintadankecantikan. "Menarik." Fache mengangguk pada mayat yang terentang seperti elang terbang itu.
"Dan bagaimana dengan posisi tubuh ini" Apa yang dapat Anda baca dari situ?"
Langdon menggerakan bahunya. "Posisi itu hanya memperjelas hubungan dengan
pentakel dan perempuan suci." Ekspresi wajah Fache menggelap. "Maaf?"
"Replikasi. Mengulang sebuah simbol memperkuat artinya. Jacques Sauni?re telah
adalah cara termudah untuk memosisikan dirinya seperti bintang lima
titik."Jikasatupentakelbaik,dualebihbaiklagi.
Mata Fache mengikuti lima titik pada kedua tangan, tungkai, dan kepala Sauni?re
sambil sekali lagi dia mengusapkan tangannya pada rambut licinnya. "Analisa yang
menarik" Dia terdiam. "Dan kebugilannya?" Dia menggumam ketika mengucapkan kata-
kata itu, tampak tak suka melihat tubuh lelaki tua itu. "Mengapa dia melepas
bajunya?" Pertanyaan yang sangat bagus, pikir Langdon. Dia sendiri sudah
mempertanyakan hal itu sejak melihat Polaroid itu. Terkaan terbaiknya adalah
bahwa bentuk tubuh bugil seseorang merupakan penjelasan bagi Venus--dewi
seksualitas manusia. Walau budaya modern banyak menghapus keterkaitan Venus pada
penyatuan fisik lelaki/perempuan, sebuah mata tajam etimologi dapat melihat sisa
arti asli Venus dalam kata venereal yang artinya penyakit kotor. Langdon
memutuskan untuk tidak berbicara ke arah sana. "Pak Fache, saya betul-betul tak
dapat mengatakan mengapa Pak Sauni?re menggambar dirinya dengan simbol itu atau
menempatkan dirinya seperti ini, tetapi saya dapat mengatakan pada Anda bahwa
lelaki seperti Jacques Sauni?re akan menganggap pentakel itu tanda dari
ketuhanan perempuan. Hubungan antara simbol ini dan perempuan suci banyak diketahui oleh ahli sejarah seni dan ahli simbol." "Baik. Dan
penggunaan darah sebagai tintanya?" "Jelas dia tidak punya bahan yang lain untuk
menulis." Fache terdiam sejenak. "Sesungguhnya saya percaya dia menggunakan
darah supaya polisi akan mengikuti prosedur forensik tertentu." "Maaf?" "Lihat
tangan kirinya." Langdon mengamati sepanjang lengan pucat kurator itu sampai ke
tangan kirinya, namun tak melihat apa pun. Karena tak yakin, dia mengelilingi
mayat im dan bahkan berjongkok. Sekarang dia melihat, dengan terkejut, bahwa
kurator itu menggenggam sebuahmarker besar berujungfelt.
"Sauni?re menggenggamnya ketika kami menemukannya," ujar Fache sambil
meninggalkan Langdon dan bergerak beberapa yard mendekati meja yang dapat
dipindah-pindahkan, yang tertutup dengan peralatan investigasi, kabel-kabel, dan
berbagai macam peralatan elektronik. "Seperti yang saya katakan kepada Anda,"
ujarnya sambil mengobrak-abrik di sekitar meja itu, "kami tidak menyentuh apa
pun. Anda sering melihat pena semacam itu?" Langdon berlutut untuk melihat
mereknya. STYLO DE LUMIERE NOIRE. Dia melihat ke atas dengan terkejut. Pena
sinar hitam atau watermark stylus merupakan sebuah pena berujung felt istimewa,
pertama kali dirancang oleh museum-museum, para ahli restorasi lukisan, dan
polisi bagian pemalsuan untuk memberikan tanda tak terlihat pada benda-benda.
Spidol ini dapat dituliskan dengan tinta nonkorosif, tinta pijar berbahan dasar
alkohol sehingga hanya dapat dilihat dalam sinar hitam. Kini petugas-petugas
pemeliharaan museum membawa marker seperti ini pada hari-hari tugasnya untuk
memberi tanda pada bingkai dan lukisan yang memerlukan restorasi.
Ketika Langdon berdiri, Fache berjalan ke lampu sorot dan mematikannya. Galeri
itu tiba-tiba menjadi sangat gelap.
Langdon seperti buta sesaat, dan merasa tak yakin. Bayangan Fache muncul,
disinari cahaya ungu terang.. Dia mendekat membawa lampu senter, yang
menyelubunginya dengan sinar ungu.
"Mungkin Anda tahu," ujar Fache, matanya bercahaya dalam sinar ungu, "polisi
menggunakan penerangan cahaya hitam untuk mencari bercak darah pada tempat
kejadian kriminal dan bukti-bukti forensik lainnya. Jadi Anda dapat membayangkan
keterkejutan kami ...." Dengan tiba-tiba, dia mengarahkan cahaya itu ke mayat
Sauni?re. Langdon melihat ke bawah dan terloncat ke belakang karena sangat terguncang.
Jantungnya berdebar cepat ketika dia menangkap sinar aneh yang sekarang berkilau
di depannya di atas lantai parket. Goresan cakar ayam yang ternyata adalah
tulisan tangan, dan merupakan pesan terakhir kurator itu, berkilauan ungu di
samping mayatnya. Ketika Langdon menatap tulisan berkilauan itu, dia merasa
kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal. Langdon membaca pesan
itu lagi dan menatap Fache. "Apa artinya ini?" Mata Fache bersinar putth."Itu,
Monsieur, adalah pertanyaan yang harus Anda jawab di sini."
Tak jauh dari situ, di dalam kantor Sauni?re, Letnan Collet telah kembali ke
Louvre dan mengutak-kutik seperangkat audio console di atas meja kurator yang
besar sekali itu. Walau patung kesatria abad pertengahan yang seperti robot dan
mengerikan itu seolah menatapnya dari sudut meja Sauni?re, Collet tampak nyaman
saja. Dia mengatur headphone AKG-nya dan memeriksa input level pada perangkat
keras sistem perekam itu. Semua sistem berfungsi. Mikrofon-mikrofon berfungsi
sempurna, dan pengeras suaranya sejernih kristal. Lemomentdeverit?, katanya
dalam hati. Sambil tersenyum, dia memejamkan matanya dan bersiap menikmati sisa
percakapan dari Galeri Agung yang sekarang direkam.
7 KEHIDUPAN SEDERHANA di dalam Gereja SaintSulpice berada di lantai dua dalam
gereja itu sendiri, di sebelah kiri balkon paduan suara. Suite dua kamar dengan
lantai batu dan berperabotan minim telah menjadi rumah bagi Suster Sandrine
Bieil selama lebih dari sepuluh tahun. Biara yang berada di dekat gereja
merupakan tempat tinggal resminya, jika ada yang bertany?, tetapi dia lebih
senang dengan ketenangan di dalam gereja dan merasa nyaman di lantai atas dengan
satu pembaringan, telepon, dan piring panas.
Sebagai conservative d'affair dari gereja tersebut, Suster Sandrine bertanggung
jawab untuk mengawasi segala aspek nonreligus dari kegiatan gereja - perawatan
umum gereja, menyewa tenaga bantuan dan pemandu, mengamankan gedung pada jam
tutup, dan memesan pasokan seperti anggur komuni dan wafer. Malam ini, saat
tidur di atas pembaringannya yang kecil, dia terbangun karena teleponnya. Dengan
letih, dia mengangkat teleponnya. "SouerSandrine,EgliseSaint-Suplice." "Halo,
Suster," sapa seseorang dalam bahasa Prancis. Suster Sandrine duduk
tegak.Jamberapasekarang" Walau dia mengenali suara pimpinannya, dalam lima belas
tahun ini dia tak pernah dibangunkan oleh suaranya. Abb? atau kepala biara
wanita itu adalah seorang lelaki yang betul-betul saleh yang langsung pulang
setelah misa. "Aku minta maaf jika membangunkanmu, Suster," kata pimpinannya itu, suaranya
sendiri terdengar bergetar dan gugup. "Aku ingin minta tolong. Aku baru saja
menerima telepon dari seorang uskup penting Amerika. Mungkin kau mengenalnya"
Manuel Aringarosa?" "Pimpinan Opus Dei?" Tentu saja aku mengenalnya. Siapa di lingkungan gereja yang
tak mengenalnya" Prelatur konservatif Aringarosa telah berkembang semakin kuat
dalam tahun-tahun terakhir ini. Rel kehormatan mereka melompat pada tahun 1982
ketika Paus Johanes Paulus II secara tak terduga mengangkat mereka menjadi
"prelatur pribadi Paus", yang secara resmi mendukung semua kegiatan mereka.
Keadaan itu menjadi mencurigakan karena kenaikan Opus Dei terjadi bersamaan
dengan kejadian sekte kaya itu mentransfer satu juta dolar ke Institut Vatikan
untuk Kegiatan Religius - umumnya dikenal kebangkrutan yang sebagai Vatikan Bank -
untuk melindunginya dari memalukan. Dalam manuvernya yang kedua, yang membuat
orang mengangkat alis, Paus menempatkan pendiri Opus Dei di "jalur cepat" untuk
menjadi orang suci. Seharusnya untuk dinobatkan menjadi Santo harus menunggu
selama satu abad, namun yang ini dipercepat menjadi dua puluh tahun. Suster
Sandrine tak bisa lain kecuali merasa bahwa keberadaan Opus Dei di Roma itu
mencurigakan, namun tak ada yang dapat menentang Holy See.
"Uskup Aringarosa menelepon untuk meminta bantuanku," abb? berkata kepada
Sandrine, suaranya terdengar panik. "Salah satu anggotanya berada di Paris malam
ini ...." Ketika Suster Sandrine mendengar permintaan aneh itu, dia merasa bingung sekali.
"Maaf, Anda mengatakan kunjungan salah satu anggota Opus Dei tak dapat ditunda
hingga besok pagi?" "Aku khawatir demikian. Pesawatnya berangkat sangat awal. Dia selalu memimpikan
untuk melihat Saint-Sulpice."
"Tetapi gereja ini jauh lebih menarik pada siang hari. Sinar matahari yang
menerobos melalui oculus, bayangan yang terbagi-bagi pada gnomon, inilah yang
membuat Saint-Sulpice unik"
"Suster, aku setuju, tetapi aku ingin menganggap ini sebagai permintaan pribadi,
jika kau bisa membiarkannya masuk malam ini. Dia akan berada di sana pada
pukul ... mungkin pukul satu" Berarti dalam dua puluh menit ini." Suster
Sandrine mengerutkan alisnya. "Tentu saja. Dengan senang hati." Abb? berterima
kasih dan menutup teleponnya. Dengan kebingungan, Suster Sandrine masih tetap
duduk di atas pembaringannya yang hangat, mencoba mengusir sisa-sisa tidurnya.
Tubuh enam puluh tahunnya tidak dapat terjaga secepat dulu, walau telepon malam
ini betul-betul membangunkan pikirannya. Opus Dei selalu membuatnya tak tenang.
Di luar kesetiaan prelatur itu pada ritual rahasia pematian raga, pandangan Opes
Dei pada perempuan tak terlalu baik. Suster Sandrine sangat terkejut mengetahui
bahwa anggota perempuan dipaksa membersihkan tempat tinggal anggota lelaki tanpa
dibayar sementara anggota-anggota lelaki melakukan misa; anggota perempuan tidur
di atas pembaringan kayu keras, sementara anggota lelaki tidur di atas kasur
jerami; dan anggota perempuan juga dipaksa melaksanakan ritus pematian raga
tambahan ... semua itu sebagai hukuman atas dosa asal. Tampaknya kesalahan Eva
(Hawa) memakan buah apel tanpa sepengetahuannya telah menjadi hutang perempuan
yang harus dibayar selamanya. Sedihnya, saat Gereja Katolik pada umumnya
berangsurangsur bergerak ke arah kanan dengan menghargai hak kaum perempuan,
Opus Dei berlaku sebaliknya. Walaupun demikian, Suster Sandrine harus
melaksanakan perintah tadi.
Dengan mengayun tungkainya dari atas pembaringannya, perlahan-lahan Suster
Sandrine berdiri, menggigil karena dinginnya lantai bari pada kaki telanjangnya.
Ketika dingin itu naik ke seluruh tubuhnya, dia merasakan ketakutan yang tak
dimengertinya. Intuisiperempuan" Sebagai hamba Tuhan, Suster Sandrine telah
belajar menemukan kedamaian dalam suara yang menenangkan dan dalam jiwanya.
Malam itu, suara-suara itu sesenyap gereja kosong di sekitarnya.
8 LANGDON tak dapat mengalihkan matanya dari tulisan cakar ayam yang bersinar ungu
di atas lantai parket. Komunikasi terakhir Jacques Sauni?re tampak bukan seperti
kata perpisahan yang dapat dibayangkan Langdon. Pesan itu seperti ini:
13-3-2-21-1-1-8-5 0, Draconian devil! Oh, lame saint!
Walau Langdon tak punya gambaran sedikit pun apa arti tulisan itu, dia mengerti
insting Fache bahwa pentakel ada hubungannya dengan pemujaan setan.
0,setanDraconia! Sauni?re telah meninggalkan rujukan literer atas setan. Sama
anehnya adalah deretan angka-angka itu. "Sebagian tampak seperti kode angka."
"Ya," kata Fache. "Ahli kode angka kami telah mulai menanganinya. Kami percaya,
mungkin nomor-nomor ini merupakan kunci ke arah siapa yang membunuhnya. Mungkin
nomor telepon atau semacam identitas sosial. Apakah menurut Anda nomor-nomor itu
mempunyai arti simbolis?"
Langdon menatap lagi angka-angka itu. Dia merasa akan membutuhkan waktu berjam-
jam untuk mencari arti simbolis dari deretan itu. Jika Sauni?re memang
menginginkannya begitu. Bagi Langdon, deretan nomor itu tampak betul-betul
deretan acak. Dia terbiasa dengan deret simbolis yang memuat beberapa kemiripan
yang bermakna, tetapi segalanya di sini - bintang pentakel, teks itu, angka-angka -
tampak terpisah secara mendasar.
"Anda mengatakan tadi," ujar Fache, "bahwa tindakan Sauni?re di sini adalah
usahanya untuk mengirimkan semacam pesan...pemujaan dewi atau sesuatu dalam darah
itu" Lalu bagaimana dengan pesan ini?"
Langdon tahu pertanyaan itu retoris. Cara berkomunikasi seperti ini jelas tidak
cocok sama sekali dengan skenario Langdon tentang pemujaan pada dewi.
0,setanDraconia"Oh,orangsuciyanglemah" Fache berkata, "Teks ini tampaknya
merupakan semacam tuduhan. Betul?" Langdon mencoba untuk membayangkan keadaan
kurator itu pada menitmenit terakhirnya: terjebak sendiri di dalam Galeri Agung,
dan tahu dia akan segera mati. Kelihatannya logis saja. "Tuduhan terhadap
pembunuhnya, memang masuk akal, saya pikir."
"Pekerjaan saya adalah menentukan nama dari pembunuh ini. Izinkan saya
menanyakan hal ini kepada Anda, Pak Langdon. Menurut yang Anda lihat, di luar
nomor-nomor itu, apa yang paling aneh dari pesan ini?"
Paling aneh" Seseorang yang sekarat telah melindungi dirinya sendiri di dalam
galeri ini, menggambar bintang pentakel di atas tubuhnya, dan mencoretkan sebuah
tuduhan di atas lantai. Apakah skenario ini tidak aneh juga"
"Kata draconia?" Langdon mulai, dengan hal pertama yang melintas dalam
pikirannya. Langdon agak yakin bahwa yang berkaitan dengan nama Draco - seorang
politisi terkejam di abad ketujuh sebelum Masehi - sepertinya tidak mengacu pada
gagasan kematian. "Setan Draconia" sepertinya pilihan kosa kata yang aneh.
"Draconia?" nada suara Fache terdengar tak sabar sekarang. "pilihan kosa kata
Sauni?re sepertinya bukan hal yang utama disini."
Langdon tak yakin mana pokok persoalan yang ada dalam benak Fache, namun dia
mulai menduga bahwa Draco dan Fache pastilah akan cocok satu sama lain.
"Sauni?re orang Prancis," kata Fache datar. "Tinggal di Paris. Tetapi dia
memilih menulis pesan ini..."
"Dalam bahasa Inggris," maksud sang kapten. kata Langdon, sekarang dia mulai
mengerti "Pr?cisement. Anda mengerti mengapa?" Langdon tahu, Fache berbahasa Inggris
dengan sempurna, namun alasan Sauniere memilih bahasa Inggris untuk menulis
pesan terakhirnya luput dari pengamatan Langdon. Dia menggerakkan bahunya.
Fache menunjuk lagi pada pentakel di atas perut Sauni?re. "Ini tidak ada
hubungannya dengan pemujaan setan" Anda masih yakin dengan itu?"
Langdon sekarang tak yakin pada apa pun "Simbologi dan teks tak terlihat seperti
ada hubungan. Maaf saya tak dapat menolong lagi."
"Mungkin ini akan menjelaskan." Fache mundur dari mayat itu dan mengangkat sinar
hitam itu lagi, membiarkan pancaran sinarnya menyebar lebih luas. "Dan
sekarang?" Langdon sangat tercengang, karena sebuah lingkaran tak sempurna bersinar
mengeliingi mayat itu. Sauni?re tampaknya sebelum meninggal telah berbaring dan
mengayunkan spidol itu membuat beberapa kali garis lengkung mengelilingi
dirinya, Sedemikian rupa sehingga dia berada di dalam sebuah lingkaran. Secepat
kilat, semuanya menjadi jelas. "Manusia Vitruvian," Langdon tersengal. Sauni?re
telah menciptakan tiruan dari sketsa Leonardo da Vinci yang paling tersohor,
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seukuran manusia. Dianggap sebagai gambar yang paling tepat secara anatomi pada
zamannya, gambar Da VinciTheVitruvianMan telah menjadi ikon kultur zaman modern,
karena kini gambar itu muncul pada poster-poster, tatakan mouse, dan T-shirt di
seluruh dunia. Lukisan terkenal itu terdiri atas sebuah lingkaran sempurna, di
dalamnya ada seorang lelaki bugil ... kedua lengan dan tungkainya terentang
seperti elang telanjang. Da Vinci. Langdon menggigil karena takjub. Kejernihan niat Sauni?re tak dapat
disangkal. Di saat terakhir hidupnya, kurator itu telah menanggalkan semua
pakaiannya dan mengatur tubuhnya sedemikan rupa sehingga merupakan sebuah
gambaran jelas dari Vitruvian Man karya Leonardo da Vinci.
Lingkarannya merupakan elemen kritis yang hilang. Sebagai simbol feminin dan
perlindungan, lingkaran di luar tubuh bugil seorang lelaki itu melengkapi pesan
yang dimaksud Da Vinci - keharmonisan antara lelaki dan perempuan. Pertanyaannya
sekarang, mengapa Sauni?re meniru gambar tersohor itu.
"Pak Langdon," ujar Fache, "seorang seperti Anda, tentu saja, sadar bahwa
Leonardo da Vinci mempunyai kecenderungan ke arah seni yang lebih gelap."
Langdon terkejut akan pengetahuan Fache tentang Da Vinci, dan itu tentu saja
menjelaskan alasan sang kapten atas kecurigaannya pada pemujaan setan. Da Vinci
selalu merupakan bahan pembicaraan aneh para sejarawan, terutama dalam sejarah
tradisi Kristen. Walau Da Vinci merupakan seorang pelamun genius, dia juga
seorang homoseksual yang flamboyan dan pemuja hukum suci Alam. Kedua hal itu
membuat dirinya berdosa di hadapan Tuhan selamanya. Tambahan pula, keanehan-
keanehan yang mengerikan dari Da Vinci menonjolkan aura kesetanan yang tak
terbantahkan: Da Vinci mengambil mayat manusia dari kuburan untuk mempelajari
anatominya; dia menulis buku harian misterius dalam tulisan tangan yang tak
terbaca; dia percaya memiliki kekuatan alkemi untuk mengubah metal menjadi emas
dan bahkan dia bisa mencurangi Tuhan dengan menciptakan eliksir untuk menunda
kematian; dan penemuannya mencakup senjata menakutkan, atau alat penyiksa yang
belum pernah terbayangkan. Salahpengertiandapatmengakibatkanketidakpercayaan,
pikir Langdon. Bahkan sumbangan besar Da Vinci pada seni Kristiani yang sangat
mengagumkan hanyalah semakin memperburuk reputasi seniman itu karena kemunafikan
spiritual. Dengan menerima komisi-komisi yang menguntungkan dari Vatikan, Da
Vinci melukis tema-tema Kristiani tidak sebagai ekspresi yang dipercayainya
namun lebih sebagai tindakan komensial saja - sebuah cara untuk mengongkosi gaya
hidup yang mewah. Sialnya, Da Vinci merupakan orang yang suka berolok-olok yang
senang menggerogoti tangan yang memberinya makan, yaitu gereja umumnya merupakan
simbolisme Vatikan. Lukisan-lukisan tersembunyi yang hanya Kristianinya
menyangkut Kristen - penghormatan pada kepercayaannya sendiri dan sebuah olok-olok
untuk Gereja. Langdon sendiri pernah memberikan kuliah di National Gallery di
London dengan judul: "Kehidupan Rahasia Leonardo da Vinci: Simbolisme Pagan
dalam Seni Kristiani."
"Saya mengerti maksud Anda," ujar Langdon. "tetapi Da Vinci tidak pernah betul-
betul melakukan kesenian gelap. Dia sangat spiritual, sekalipun sering bercekcok
dengan Gereja." Selagi Langdon mengatakan ini, sebuah pikiran aneh muncul dalam
benaknya. Dia menatap ke bawah pada pesan di atas lantai lagi. 0,setanDraconia!
Oh,orangsuciyanglemah! "Ya?" tanya Fache. Dengan berhati-hati Langdon
mempertimbangkan kata-katanya. "Saya baru saja berpikir bahwa Sauni?re mempunyai
banyak kesamaan ideologi dengan Da Vinci, termasuk keprihatinannya pada
penyisihan perempuan suci dari agama modern. Mungkin, dengan meniru gambar Da
Vinci yang tersohor, Sauni?re hanya mengulang kekecewaan bersama mereka pada
setanisasi sang dewi oleh Gereja modern." Tatapan mata Fache mengeras. "Anda
pikir Sauni?re menyebut Gereja sebagai orang suci yang lemah dan setan
Draconia?" Langdon harus mengakui bahwa itu terlalu jauh, namun pentakel itu mendukung
gagasan ini pada beberapa hal. "Maksud saya, Pak Sauni?re mengabdikan hidupnya
untuk mempelajari Sejarah dewi, dan dia tidak ingin meniadakan sejarah itu,
seperti yang dilakukan Gereja Katolik. Tampaknya masuk akal saja bahwa Sauni?re
telah memilih untuk mengungkapkan kekecewaannya dalam pesan perpisahannya."
"Kekecewaan?" tanya Fache, terdengar bermusuhan sekarang. "Pesan ini terdengar
lebih sebagaimarah daripada kecewa, bukan begitu?"
Langdon kehilangan kesabarannya. "Kapten, Anda meminta pendapat saya berdasarkan
insting saya, tentang apa yang Sauni?re coba katakan di situ, dan itulah kata
insting saya." "Bahwa ini adalah sebuah tuduhan kepada Gereja?" geraham Fache merapat ketika
dia berbicara dengan gigi-gigi saling merapat. "Pak Langdon, saya telah melihat
banyak kematian dalam pekerjaan saya, dan izinkan saya mengatakan sesuatu.
Ketika seseorang dibunuh oleh orang lain, saya tidak percaya bahwa pikiran
terakhirnya adalah untuk menulis pernyataan kabur yang takkan dimengerti oleh
siapa pun. Saya percaya, dia hanya memikirkan satu soal saja." Desis suara Fache
mengiris udara. "La vengeance. Saya percaya Sauni?re menulis ini semua untuk
mengatakan siapa pembunuhnya." Langdon menatap. "Tetapi, itu sama sekali tidak
masuk akal." "Tidak?" "Tidak," dia balas berseru, letih dan putus asa. "Anda
mengatakan bahwa Sauni?re diserang oleh seseorang yang diundangnya dalam kantornya." "Jadi,
tampaknya masuk akal jika disimpulkan bahwa kurator itumengenal
penyerangnya." Fache mengangguk. "Teruskan." "Jadi, jika Sauni?re mengenal
penyerangnya, tuduhan apa ini" Dia menunjuk ke lantai. "Kode-kode angka" Orang-
orang yang lemah" Setan-setan Draconian" Pentakel pada perutnya" ini semua
terlalu samar." Fache mengerutkan dahinya seolah gagasan itu tak pernah muncul dalam benaknya.
"Anda benar." "Mengingat keadaan-keadaanny?," Langdon berkata, "saya akan mengatakan, jika
Sauni?re ingin mengatakan siapa pembunuhnya, dia akan menuliskan nama orang
itu." Ketika Langdon mengucapkan kata-kata itu, senyum simpul tersungging pada wajah
Fache untuk pertama kalinya semalaman ini. "Pr?cisement," katanya. "Tepat
sekali." Aku menjadi saksi pekerjaan seorang pakar, Letnan Collet merenung sambil
menyentuh perlengkapan audionya dan mendengarkan suara Fache masuk melalui
headphone. Agent sup?riur itu tahu bahwa saat-saat seperti inilah yang telah
mengangkat kaptennya ke tingkat puncak kedudukan penyelenggara hukum di Prancis.
Facheakanmelakukanapayangtakseorangpunberanilakukan. Kehalusan seni cajoler
merupakan keahlian yang hilang dari penyelenggaraan hukum modern, yaitu
kemampuan seseorang untuk tetap bersikap tenang dalam keadaan yang menekan.
Hanya sedikit orang yang memiliki ketenangan yang penting ini untuk menjalankan
operasi seperti ini, namun Fache seolah dilahirkan untuk itu. Kepandaiannya
menguasai diri dan kesabarannya hampir seperti robot.
Hanya perasaan Fache malam ini tampak menjadi ketetapan hati yang kuat, seolah
penangkapan ini sangat pribadi sifatnya. Pengarahan Fache kepada anggota-
anggotanya satu jam yang lalu, tak seperti biasanya, sangat ringkas dan
meyakinkan. Aku tahu Siapa yang membunuh Sauni?re, kata Fache tadi. Kalian tahu
apa yang harus kalian kerjakan. Jangan buat kesalahan malam ini. Dan sejauh ini,
tak ada kesalahan yang mereka perbuat. Collet belum dilibatkan dalam bukti-bukti
yang telah memperkuat keyakinan Fache tentang orang yang diduga bersalah, namun
Collet tahu, dia tak perlu mempertanyakan insting Sang Banteng. Intuisi Fache
kadang-kadang tampaknya hampir mendekati supranatural. Tuhan berbisik pada
telinganya, ujar seorang agen dengan yakin setelah dia menyaksikan pameran indra
keenam Fache yang sangat mengesankan itu. Collet harus mengakui, jika ada Tuhan,
Bezu Fache pastilah terdaftar pada daftar A-Nya. Sang kapten menghadiri misa dan
pengakuan dengan sangat teratur - kehadirannya jauh lebih banyak daripada yang
diharuskan pada hari-hari suci seperti yang dilakukan oleh para petugas lainnya,
yang melakukan itu supaya mendapat pujian saja. Ketika Paus mengunjungi Paris
beberapa tahun yang lalu, Fache berusaha sekerasnya untuk mendapat kunjungan
kehormatan dari Paus. Selembar foto Fache bersama Paus sekarang tergantung di
kantornya. SangBantengpenerusPaus, begitu diam-diam para anggotanya menyebutnya.
Narnun ironis bagi Collet, bahwa salah satu pendapat Fache yang jarang terdengar
di publik adalah justru reaksi lantangnya terhadap skandal pedophilia dalam
gereja Katolik. Para pastor itu seharusnya digantung dua kali! Fache menyatakan
dengan keras. Satu untuk kejahatan mereka terhadap anak-anak, dan satu lagi atas
nama Gereja Katolik. Collet mempunyai perasaan aneh, bahwa yang kedualah yang
membuat Fache marah sekali.
Sekarang Collet kembali pada layar laptopnya. Dia mulai mengerjakan separuh
kewajibannya malam ini - sistem pelacakan GPS. Gambar pada Iayar menampakkan
gambar rinci ruangan Sayap Denon, sebuah skema struktural yang diambil dari
kantor keamanan Museum Louvre. Collet membiarkan matanya melacak jaringan jalan
yang ruwet dari galeri-galeri dan gang-gang, sampai akhirnya dia mendapatkan apa
yang dicarinya. Jauh di tengah Galeri Agung, sebuah titik merah kecil berkedip. Lamarque.
Fache telah mengendalikan mangsanya dengan tali kekang yang ketat rnalam ini.
Begitu bijaksananya sehingga Robert Langdon telah membuktikan dirinya sendiri
sebagai "pelanggan" yang tenang.
9 UNTUK meyakinkan bahwa percakapannya dengan Langdon takkan terganggu, Bezu Fache
telah mematikan telepon selularnya. Sialnya, telepon selularnya merupakan model
yang mahal dengan fitur radio dua jalur sehingga hasilnya justru berlawanan
dengan apa yang diharapkannya. Salah satu agennya masih bisa menghubunginya,
yaitu Collet. "Captaine?" Telepon itu berbunyi serak seperti sebuahwalkie-
talkie. Fache merasa gigi-geliginya membayangkan ini seharusnya merapat kuat
karena marah. Dia dapat tidak terlalu penting, namun Collet menelponnya juga dan
mengganggu surveillance cache ini - terutama pada saat genting seperti ini.
Dia menatap Langdon untuk minta maaf. "Sebentar, ya." Dia menarik teleponnya
dari ikat pinggang dan menekan tombol penerima. "Oui?" "Capitaine,
unagentduDeparrementtieCryptograhieesrarriv?." Kemarahan Fache mereda sejenak.
Seorang kryptografer datang" Walaupun ini bukan waktu yang tepat, namun mungkin
saja ini merupakan berita bagus. Fache, setelah menemukan teks tak jelas yang
merupakan pesan terakhir Sauni?re di atas lantai, mengirim semua gambar di
tempat kejadian kriminal tersebut ke Departemen Kriptografi dengan harapan ada
seseorang yang dapat mengatakan kepadanya apa sebenarnya yang Sauni?re
maksudkan. Jika seorang pemecah kode kini telah tiba, berarti sudah ada orang
yang memecahkan kode pesan Sauni?re.
"Aku sedang sibuk sekarang," jawabnya dengan nada kesal karena larangannya
dilanggar. "Katakan kepada kriptografer itu untuk menungguku di pos komando. Aku
akan berbicara kepada lelaki itu jika aku sudah selesai." "Perempuan," suara itu
mengoreksi. "Ini Agen Neveu." Kemarahan Fache karena telepon itu semakin
menjadi. Sophie Neveu adalah salah satu kesalahan terbesar DCPJ. Sophie adalah
seorang perempuan muda Paris dechiffreuse yang belajar kriptografi di Inggris
pada Royal Holloway. Sophie Neveu telah disisipkan di departemen Fache dua tahun
yang lalu sebagai bagian dari program menteri untuk lebih banyak menggunakan
tenaga kerja perempuan di kepolisian. Pemaksaan kementerian dengan tujuan
politik itu, menurut Fache, telah memperlemah departemennya. Perempuan tidak
hanya lemah tubuhnya untuk pekerjaan seorang polisi, tetapi penampilan mereka
merupakan pengganggu konsentrasi kerja yang berbahaya bagi lelaki di lapangan.
Seperti yang dikhawatirkan Fache, Sophie Neveu tengah membuktikan bahwa dia
merupakan pengganggu yang luar biasa.
Sebagai perempuan 32 tahun, Sophie sangat keras kepala. Semangatnya untuk
mengadopsi metodologi kriptologi baru Inggris terus-menerus merepotkan para
kriptografer veteran Prancis yang berada di atasnya. Dan yang paling mengganggu
Fache adalah sebuah kebenaran universal yang tak dapat dihindari, bahwa di
sebuah kantor yang penuh lelaki separuh baya, seorang perempuan cantik selalu
mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan yang tengah dihadapi.
Orang di telepon itu berkata lagi, "Agen Neveu berkeras untuk berbicara dengan
Anda segera, Kapten. Saya mencoba menghalanginya, tetapi dia sekarang sedang
menuju ke sana." Fache tersentak, tak percaya. "Tidak bisa! Aku sudah
menegaskan..." Untuk sesaat Langdon mengira bahwa Bezu Fache terkena stroke. Kalimatnya
terputus ketika gerahamnya berhenti bergerak dan matanya terbelalak. Tatapan
berapi-apinya tampak terpaku pada sesuatu di belakang Langdon. Sebelum Langdon
dapat memutar tubuhnya untuk melihatnya, dia mendengar suara seorang perempuan
bergema di belakangnya. "Excusez-moi,messieurs." Langdon melihat seorang
perempuan muda berjalan mendekat. Dia melangkah di galeri itu dengan ayunan
panjang, mengalir gayanya sungguh tak terlupakan. Berbusana menarik dan tampak
santai, dalam sweter Irlandia sepanjang lutut, dia berusia sekitar tiga puluhan.
Rambut merah kecoklatannya yang lebat jatuh begitu saja di atas bahunya,
membingkai wajahnya yang hangat. Tak seperti perempuan berambut pirang yang suka
berpura-pura yang menghiasi dinding asrama Harvard, perempuan ini sehat dengan
kecantikan yang tak perlu riasan dan kemurniannya memancarkan rasa percaya diri
yang memesona. Langdon terkejut karena perempuan itu langsung berjalan kearahnya dan
mengulurkan tangannya dengan sopan."Monsieur Langdon, saya Agen Neveu dari
Departemen Kriptologi DCPJ." Kata-katanya meliuk indah di dalam aksen campuran
Anglo - Franconya. "Senang berkenalan dengan Anda."
Langdon menjabat tangan lembut itu dan sadar bahwa dia terpaku sejenak pada
tatapan kuat perempuan itu. Matanya berwarna hijau buah zaitun - tajam dan bening.
Fache menarik napas kemurkaan, jelas bersiap untuk marah. "Kapten," ujar Sophie,
sambil berpaling cepat dan membuat Fache
terkesiap, "maafkan gangguan ini, tetapi - " "Cen'estpaslemoment!" sembur Fache.
"Saya mencoba menelepon Anda," lanjut Sophie dalam bahasa Inggris,
untuk menghormati Langdon. "Tetapi handphone Anda dimatikan." "Aku mematikannya
karena ada alasan," Fache mendesis. "Aku sedang
berbicara dengan Pak Langdon." "Saya sudah memecahkan kode angka itu," ujar
Sophie datar. Jantung Langdon berdebar semakin cepat karena kegirangan. Dia
memecahkankodeitu" Fache tampak tak yakin bagaimana menanggapinya. "Sebelum saya
menjelaskan," kata Sophie, "saya punya pesan penting
untuk Pak Langdon." Tarikan wajah Fache berubah menjadi perhatian. "Untuk Pak
Langdon?" Sophie mengangguk, kembali berpaling ke arah Langdon. "Anda harus
menghubungi Kedutaan Besar Amerika Serikat, Pak. Mereka mempunyai pesan untuk
Pendekar Bego 5 Raja Petir 15 Api Di Suraloka Siluman Gurun Setan 2