Pengabdian Dokter Perempuan 7
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 7
yang telah mengorbankan nyawa mereka demi perjuangan. Juga kepada mereka yang
menderita dalam penjara-penjara Israel, kepada anak-anak yang akan menulis babak
baru sejarah Palestina, kepada teman-teman di seluruh dunia yang terus
menunjukkan solidaritas kepada rakyat Palestina dalam keadaan yang paling sulit
sekali pun. Dan kepada penduduk Shatila, yang tak punya atap untuk melindungi
kepala mereka dari datangnya musim dingin Lebanon, yang tetap kuat bertahan
menghadapi serangan-serangan dan pembantaian demi pembantaian. Terima kasih atas
penghargaan Anda, tetapi saya tahu kepada siapa penghargaan ini seharusnya
diberikan, yaitu kepada orang-orang yang tindakan mereka terus menginspirasi
kami setiap hari, dan saya hanya bersedia menerimanya karena mereka tidak hadir
di sini untuk menerimanya, karena keadaan mereka hari ini ...." Aku kesulitan
untuk melanjutkannya, tetapi sang Ketua melingkarkan lengannya ke bahuku untuk
menenangkanku. Malam itu, aku teringat bagaimana orang-orang Palestina selalu berusaha untuk
berterima kasih kepada teman-teman mereka, bahkan pada saat mereka sebenarnya
tidak perlu melakukannya. Mereka juga tidak perlu memberikan penghargaan maupun
penghormatan kepadaku. Keyakinan dan kepercayaan mereka terhadapku melebihi apa
pun yang dapat kuminta. Dengan menganugerahiku Bintang Palestina, Arafat
sebenarnya telah memberiku
status sebagai warga Palestina. Aku menerka-nerka, apakah ia tahu bahwa ia
memberikan penghargaan ini kepada seorang buangan dari negara lain, yaitu
Singapura. Selama berada di Eropa untuk mengusahakan publikasi tentang keadaan di kamp, aku
tetap mengikuti perkembangan situasi di sana. Suhu udara menurun sejak Oktober.
Kemudian, tibalah bulan November, hujan mulai mengguyur dan kamp-kamp
kebanjiran. Bangunan-bangunan yang setengah hancur terkena bom akhirnya roboh
menimpa anak-anak serta melukai mereka. Langit pun kelabu, dan suasana mental di
kamp terasa lebih suram. Udara terasa dingin dan lembap setiap waktu. Tidak satu
pun bangunan di kamp Shatila yang kedap air. Derasnya air hujan mengguyur
melalui lubang-lubang bekas bom, air juga terus-menerus menetes dari lubang-
lubang bekas terkena peluru. Ke mana pun aku pergi di Eropa, aku berusaha
menggugah orang-orang supaya memedulikan hak-hak para warga Palestina untuk
mendapatkan atap yang dapat melindungi kepala mereka dari cuaca buruk.
Sejauh ini, bangunan rumah sakit adalah yang paling kecil kerusakannya
dibandingkan bangunan-bangunan lain yang hancur di Shatila. Namun, dr. Kiran,
salah seorang sukarelawan ahli anestesi dari MAP yang bekerja di Shatila, tidur
di lantai yang basah dengan matras yang tembus air. Media massa sudah tak
menaruh perhatian pada kamp. Tidak ada lagi pemberitaan tentang kamp. Jauh dari
sorotan kamera dan kaset rekaman, tersembunyi dari
para wartawan, para warga Palestina terus menanggung penderitaan dalam
keheningan, diabaikan oleh dunia yang tak kenal belas kasihan.
Sekali lagi aku kembali ke Beirut, setelah gagal mengumpulkan bantuan
internasional untuk mewujudkan pembangunan kembali kamp-kamp. Seperti halnya
setiap orang di dalam kamp, aku menjadi sangat tertekan.
Kemudian, sesuatu terjadi. Pada suatu hari yang suram dan lembap di bulan
Desember, ketika banjir di kamp Shatila telah mencapai betis, kami mendapat
kabar bahwa para warga Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki Israel di Gaza
dan Tepi Barat telah bangkit melawan pasukan Israel. Hari itu adalah tanggal 9
Desember 1987. Buletin berita itu menyebutkan bahwa para warga Palestina di
wilayah-wilayah yang diduduki Israel tengah berdemonstrasi menentang pendudukan
Israel, dan anak-anak kecil melempari batu ke arah para tentara Israel yang
bersenjata lengkap. Berita ini bagaikan udara segar yang berembus di tengah-
tengah kamp Beirut yang sedang dalam keadaan tertekan. Tiba-tiba, setiap orang
di Shatila membicarakan "Perlawanan di Wilayah-wilayah Pendudukan".
Belum lama berselang, aku telah menyaksikan anak-anak di kamp menggambar mayat-
mayat di dinding dengan gentian vioiet semacam iotion antiseptik untuk kulit
yang mereka ambil dari klinik Susan Wighton. Gambar-gambar tersebut merupakan
bukti terampasnya masa kecil mereka. Tapi,
sekarang semua anak itu berkumpul seraya mendengarkan dengan penuh semangat
orang-orang dewasa yang membicarakan perlawanan di wilayah-wilayah pendudukan
Israel. Mereka mengacungkan tanda "Y" dengan jari mereka di tiap-tiap lorong
pada setiap orang yang lewat.
Aku selalu yakin bahwa orang-orang Palestina di pembuangan dan orang-orang
Palestina di wilayah yang diduduki adalah dua bagian dari satu tubuh yang
terpisah, mereka ingin bersatu kembali. Kemenangan satu pihak akan mengilhami
pihak lainnya. Sekarang keyakinanku terbukti. Orang-orang buangan yang berada di
kamp-kamp Lebanon menjadi bangkit dan terilhami dengan apa yang sedang terjadi
di wilayah-wilayah yang diduduki Israel. Mereka mendengar perkembangan gerakan
perlawanan saudara-saudari mereka yang hidup di bawah pendudukan Israel. Mereka
bersukacita. Dua puluh tahun sudah pendudukan Israel berlangsung di Tepi Barat dan Jalur
Gaza. Rakyat Palestina hidup di bawah kekuasaan Israel, dalam kepiluan dan
kesengsaraan, selama dua dekade. Namun, sekarang mereka berdiri tegak dan
mengatakan kepada para penjajah itu bahwa mereka takkan lagi mengalah.
Seperti kebanyakan orang Palestina yang berada di kamp-kamp Lebanon, aku tak
dapat mengunjungi wilayah-wilayah pendudukan Israel. Tapi aku ingin mengetahui
wilayah-wilayah itu, dan aku telah mendengar cerita orang-orang yang telah
mengunjungi atau berasal dari wilayah-wilayah tersebut
dan telah mengalami kehidupan di bawah kekuasaan Israel. Aku menanyakan pada
seorang kawan perempuan Palestina yang berasal dari Jalur Gaza, bagaimana
keadaan di sana. Menurutnya, kehidupan di sana sangat sulit. Selain kondisi
kehidupan yang sangat keras rumah-rumah yang berdempetan, sanitasi yang buruk,
dan kemiskinan mereka pun harus menghadapi penindasan para penjajah. Israel
memberlakukan jam malam, menahan orang-orang, membatasi gerak, mengancam menutup
kamp-kamp, dan menghancurkan dengan sewenang-wenang rumah-rumah penduduk. Ia
sudah bertunangan dengan seorang pria Palestina yang tinggal di luar negeri,
tapi permohonannya untuk meninggalkan Gaza supaya dapat menikah dengan pria itu
ditolak. Sering kali, pemerintah Israel memanggilnya untuk diinterogasi
terkadang hanya untuk melecehkan atau mengancamnya, terkadang untuk membuatnya
berharap-harap bahwa ia akan diizinkan pergi, dan mereka tertawa-tawa melihat
kekecewaannya ketika ia diberi tahu bahwa semua itu bohong.
Suatu hari, ia menerima pesan dari pemerintah Israel supaya datang ke kantor
mereka untuk mendapatkan izin ke luar negeri. Ia mengira hal itu bohong belaka
sehingga ia benar-benar tidak siap ketika diberi tahu agar meninggalkan wilayah
pendudukan Gaza melalui jalan darat menyeberangi Gurun Sinai, menuju Mesir. Ia
juga diberi tahu bahwa ia tak boleh kembali ke keluarganya di Gaza selamanya.
Kawanku itu mengatakan padaku bahwa ia
harus segera pergi sebelum izin ke luar negerinya dicabut oleh penguasa Israel.
Setelah empat tahun menunggu, ia harus pergi sedemikian tergesa-gesa sehingga
bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada semua teman dan
keluarganya. Ia hanya mendapatkan tiket sekali jalan dari wilayah yang diduduki
Israel ke tempat pembuangan bersama suaminya.
Lahan-lahan yang terbaik telah diambil alih oleh Israel. Dari seorang kawan
lainnya, aku mendengar bahwa rakyat Palestina di Tepi Barat yang berusaha
mempertahankan lahan leluhur mereka diusir melalui berbagai penindasan. Sebagian
rumah penduduk dihancurkan, sedangkan rumah-rumah lainnya disegel oleh tentara
Israel, dan keluarga-keluarga yang terusir terpaksa tinggal di tenda-tenda.
Untuk mengeringkan lahan pertanian dan pohon-pohon zaitun milik warga Palestina,
tentara Israel mengebor sumur-sumur yang sangat dalam sehingga menyedot semua
air di tanah. Mereka membelokkannya untuk mengairi taman-taman bermain dan
kebun-kebun milik para pendatang baru yang berasal dari Amerika Serikat dan
Eropa. Setiap orang Palestina tidak diizinkan melakukan pengeboran sumur, dan
mereka dipaksa untuk membeli air yang dicuri pemerintah Israel dari mereka.
Setiap pukul empat pagi, para pemuda Palestina yang bertubuh kekar akan
dikumpulkan di berbagai pusat industri untuk menunggu seleksi. Para pemilik
pabrik, proyek-proyek pembangunan, dan pertanian Israel akan datang untuk
memilih buruh Palestina yang akan mereka pekerjakan pada hari itu, membawa pergi orang-orang Arab yang
telah mereka pilih bagaikan pemilik-pemilik budak di Abad Pertengahan. Para
pemilik budak di Abad Pertengahan harus memelihara budak mereka, tetapi
pemerintah Israel akan mengembalikan para pekerja itu pada penghujung hari,
setelah para pengusaha itu menguras tenaga mereka. Lebih dari seratus ribu orang
tenaga kerja dipilih setiap harinya. Jadi, orang-orang Palestina, selain
dirampas rumah dan tanah mereka, kini juga dijadikan budak-budak upahan harian
untuk mengolah lahan yang merupakan tanah mereka sendiri. Lalu, ke mana perginya
kesusilaan, moral, dan ketuhanan" Apa jadinya dengan perintah Tuhan kepada
bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, mengenai hubungan mereka dengan orang-orang
di luar bangsa mereka, "Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu
seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri,
karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir, akulah Tuhan, Aliahmu"
(Imamat 19: 34). Segala sesuatu yang berhubungan dengan Palestina dilarang. Orang-orang yang
diketahui memiliki barang-barang yang bercorak warna bendera Palestina akan
dipenjara, tak peduli apakah mereka pendukung PLO atau tidak. Anak-anak berusia
tiga atau empat tahun juga akan dipenjara jika bersikap anti-Israel. Kebanyakan
orang Palestina yang pernah ditawan di penjara-penjara Israel menuturkan kisah-
kisah serupa tentang cara-cara penyiksaan yang dilakukan orang-orang Israel di
dalam penjara. Banyak dari mereka, termasuk anak-anak, juga mengalami pelecehan seksual oleh
para penginterogasi Israel. Kawan-kawanku itu bisa tak habis-habisnya
menggambarkan kekejian orang-orang Israel terhadap orang-orang Palestina.
Ketika mencoba memahami bagaimana bisa orang-orang Palestina bertahan menghadapi
kekejaman seperti ini, aku diberi tahu sebuah kata bahasa Arab yang merupakan
bagian dari kosakata keseharian warga Palestina yang hidup di wilayah pendudukan
sumud. Artinya ketabahan, kesabaran. Bagiku, semangat ini sangat jelas terungkap
dari terjemahan lirik lagu ini, yang mengungkapkan perasaan orang-orang
Palestina ketika mereka dipukuli, ketika rumah-rumah mereka diledakkan oleh
pasukan Israel, ketika tanah-tanah mereka dirampas, ketika mereka diusir dan
diancam dibunuh: AKU BERTAHAN Aku bertahan, dengan tabah, aku bertahan
Di tanah airku, aku bertahan
Jika mereka merampas rotiku, aku bertahan
Jika mereka membunuh anak-anakku, aku
bertahan Jika mereka meledakkan rumahku, oh rumahku Dalam bayang-bayang dinding-
dindingmu, aku bertahan. Dengan harga diri, aku bertahan
Dengan sebatang tongkat, sebilah pisau, aku
bertahan Dengan selembar bendera di tanganku, aku bertahan
Dan jika mereka memotong tanganku serta benderaku
Dengan tanganku yang lain, aku bertahan.
Dengan tanahku, dan kebunku, aku bertahan Dengan keteguhan imanku, aku bertahan
Dengan kuku-kukuku dan gigiku, aku bertahan Dan jika luka-luka di tubuhku
bertambah Dengan luka-luka dan darahku, aku bertahan.
Ini adalah lagu yang dinyanyikan para warga Palestina yang hidup di bawah
pendudukan Israel, mereka yang harus berhadapan dengan pasukan yang
dipersenjatai paling lengkap di dunia, hanya bersenjatakan tubuh mereka dan
batu-batu. Namun, setelah Desember 1987, televisi di rumah-rumah di seluruh
penjuru Eropa Barat dan Amerika Serikat menayangkan gambar-gambar anak-anak
Palestina yang dengan gagah berani melemparkan batu ke arah tank-tank dan mobil-
mobil lapis baja Israel. Saat penyerangan Israel ke Lebanon pada 1982, aku sudah
menganggapnya sebagai pertempuran antara David dan Goliath. Namun, sekarang
sepertinya situasi ini benar-benar pengulangan dari kisah David melawan si
raksasa Goliath dengan hanya bersenjatakan batu. Semakin Israel berusaha memukul
mundur orang-orang Palestina, semakin kuat perlawanan mereka. Gambar-gambar
memuak-kan yang memperlihatkan para tentara Israel memukuli orang-orang
Palestina dan dengan sengaja mematahkan tungkai mereka, wanita-wanita Palestina
yang tengah hamil ditendangi, penggunaan gas air mata terhadap para demonstran
anti-pendu-dukan, dan penggunaan amunisi untuk melawan orang-orang Palestina
yang tak bersenjata, mengejutkan dunia Barat yang beradab baru dua puluh tahun
setelah serangan pertama dimulai.
Orang-orang Israel beraliran liberal menyatakan keprihatinan atas tingkat
kekerasan yang terjadi di wilayah-wilayah pendudukan mereka takut para tentara
itu akan menjadi bertambah brutal setelah memukuli para wanita dan anak-anak.
Seperti jika seseorang memukuli binatang, orang itu akan menjadi bertambah
brutal seiring ia melakukannya berulang-ulang.
Hingga baru-baru ini, seperti kebanyakan orang, aku percaya bahwa Angkatan
Bersenjata Israel yang superefisien itu tidak akan melakukan kekerasan sekejam
itu, aku mengira mereka tidak akan sanggup melakukannya. Pada awal 1983, ketika
pertama kali kembali ke London setelah pembantaian Sabra dan Shatila, aku
diwawancarai oleh seorang editor sebuah majalah Arab Saudi. Ia seorang yang
sangat pendiam dan mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata yang
kuucapkan. Pada akhir wawancara, ia bertanya padaku, "Apakah Anda pernah
menangis ketika memikirkan orang-orang Palestina?"
"Demi Tuhan, tentu saja," kataku. "Jika saya
tidak menangis, berarti saya binatang."
"Saya tahu itu, Dokter," sahutnya. "Terima kasih telah menjadi teman kami."
Kemudian ia menggulung lengan kemejanya, dan di lengannya terlihat luka lama
yang lebar akibat tembakan senapan mesin. "Saya berusia sepuluh tahun ketika
peristiwa itu terjadi," jelasnya. "Para tentara Israel itu mendatangi rumah saya
di Tepi Barat." Tidak ada kamera televisi di Tepi Barat pada waktu itu sehingga kekejaman terus
berjalan tanpa ada yang merekamnya. Barulah dua puluh tahun kemudian, media
massa Barat memublikasikan kekejian yang menimpa warga Palestina di wilayah
pendudukan Tepi Barat dan Gaza. Barulah setelah timbulnya perlawanan besar-
besaran yang dimulai pada 1987, wajah sebenarnya dari pendudukan Israel pun
tampak.[] Tiga Puluh Saat itu adalah musim dingin yang panjang dan tidak menyenangkan. Pada suatu
pagi, aku terbangun di dalam klinik Bourj elBrajneh. Ketika kubuka mataku,
kulihat wajah Dolly Fong yang tersenyum. "Selamat pagi, Swee. Tidurmu nyenyak?"
Ia menyambutku dengan secangkir kopi. Hari Minggu yang normal, tidak ada kerjaan
rutin, tapi jika kamp diserang, klinik akan menjadi pusat resusitasi bagi para
korban. Kecuali pada saat-saat ketika Susan Wighton kembali, Dollylah satu-
satunya orang asing di klinik ini. Ia telah mengurus klinik ini sejak Juli 1987.
Penduduk kamp selalu menyebut klinik ini sebagai klinik Suzy, atau klinik Dolly,
sesuai dengan nama dua orang dokter asing sukarelawan yang melayani mereka.
Namun, nama sebenarnya adalah Klinik Samir al-Khatib. PRCS membangun klinik ini
pada 1985 dan menamainya dengan nama seorang dokter mereka yang tewas di tangan
Israel. Dolly Fong termasuk salah seorang dari 11 sukarelawan medis yang dikirim warga
Malaysia untuk bertugas di Lebanon. Bagiku, para sukarelawan asal Malaysia ini
sangat istimewa. Mereka pekerja keras dan tidak menuntut macam-macam, dan juga
secara naluriah merasakan penderitaan orang-orang
Palestina. Banyak dari mereka yang melepaskan kesempatan kerja atau bisnis untuk
bertugas di Lebanon. Ada Mathina Gulam Mydin, seorang perawat Malaysia yang bekerja di daerah selatan
untuk melayani orang-orang Palestina maupun kaum Syi'ah Lebanon. Aku masih ingat
malam ketika ia menerima kabar bahwa neneknya meninggal. Mathina sangat dekat
dengan neneknya dan merasa takut ia takkan pernah melihatnya lagi setelah pergi
ke Lebanon. Ketakutannya itu terbukti, tetapi ia tidak menyesal kehilangan
kesempatan mengucapkan selamat tinggal kepada neneknya. Meskipun sangat sedih,
ia bisa menguasai dirinya dengan baik. Oleh karena keesokan harinya ia bekerja
seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sangat sedikit dari kami yang tahu bahwa ia
duduk sambil menangis sepanjang malam.
Lalu ada Tengku Mustapha Tengku Mansoor, seorang ahli farmasi Malaysia yang juga
adalah seorang pangeran. Namun, meskipun seorang pangeran, ia tak pernah
memanfaatkan uang yang diperolehnya berkat statusnya itu. Ia bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk menafkahi istri dan anak-anaknya serta
lima belas ekor kucingnya. Ketika mendengar seruan dibutuhkannya para petugas
medis di Lebanon, Tengku meninggalkan keluarga dan apoteknya, dan bergabung
dengan kami. Para penduduk kamp menyayanginya. Aku masih ingat dengan jelas
malam-malam saat ia bertugas. Pada pukul satu atau dua dini hari, teman-teman
Palestinanya biasa memanggil melalui
kaca-kaca jendela Rumah Sakit yang retak, "Mustapha, Amir Mustapha, kemarilah
dan minum kopi bersama kami." Amir adalah bahasa Arab untuk menyebut "pangeran".
Yang lainnya, juru rawat Pok Lui, dr. Naidu, dr. Hor, juru rawat Hamidah, juru
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rawat Hadji Rosnah, dr. Yussef, dan petugas paramedis Buddit dan Ahmed, mereka
semua adalah orang-orang berhati emas. Orang-orang Palestina senang sekali
bertemu dengan orang-orang dari negara Dunia Ketiga yang bersimpati kepada
bangsa Palestina, karena mereka tidak memiliki semangat paternalistik yang
terkadang ditunjukkan oleh para sukarelawan Eropa. Aku tidak sekadar merasa
bangga akan hal itu. Aku dilahirkan di Pulau Penang yang indah di Malaysia. Riam
sungai yang jernih, Ayer Itam, mengalir dekat rumah kami, kemudian bergabung
dengan sungai besar nan tenang yang bermuara ke lautan. Taman milik Kakek
dipenuhi semak-semak gardenia yang lebar, pohon-pohon buah yang tinggi, dan
tanaman berbunga merah dan biru yang tak pernah kuketahui namanya. Aku dan adik
laki-lakiku paling suka pohon-pohon asam. Saat kanak-kanak, kami dilarang
mendekati pohon mangga, cempedak, rambutan, dan belimbing, tapi kami boleh
sebebas-bebasnya mendekati pohon asam. Buahnya terlalu masam untuk dimakan, dan
kami selalu menyerahkan se-genggam buah asam kepada orang-orang dewasa untuk
digunakan memasak di penghujung hari. Seperti itulah rumahku semasa kanak-kanak,
sebuah surga tropis. Sebelas tahun lamanya aku hidup di
pengasingan, jauh dari Asia Tenggara, aku bahkan tidak dapat mengunjungi rumah
kakekku di Penang. Kini, orang-orang Palestina telah membawa kembali orang-orang
Palestina, Dolly dan Suzy bertekad untuk mengubah sisa-sisa bangunan menjadi
sebuah rumah. Sehingga, lantai atas yang terkena bom itu pun disulap menjadi
taman. Saat memangkas cabang-cabang mawar itu, aku memikirkan kamp Rasyidiyah di
Lebanon Selatan dan bagaimana selama pengepungan dan pengeboman para warga
Palestina bisa membangun sebisa dilakukan, namun setelah secara sembunyi-
sembunyi memasuki kamp Rasyidiyah, aku melihat rumah sakit yang baru dibangun
tersebut. Batu bata dan semen telah dibawa masuk ke dalam kamp tepat sebelum
pengepungan dimulai. Pengepungan kamp Rasyidiyah sama parahnya dengan yang
terjadi di kamp-kamp di Beirut, tetapi para penduduk Rasyidiyah berhasil
membangun sebuah rumah sakit dengan tangan mereka sendiri saat kamp tengah
diserang dan dikepung. Jadi, sebuah taman bunga mawar untuk Klinik Samir al-
Khatib tidaklah aneh, sebaliknya sangat masuk akal.
Pada Januari 1988, lebih dari dua setengah tahun setelah serangan pertama
pasukan Amal ke kamp-kamp pengungsi, Nabih Berri, pemimpin mereka, bangan
ditunda selama enam jam. Sampai di London, secara kebetulan aku bertemu dengan
Mike Holmes dan Susan Rae di Bandara Heathrow. Susan adalah penggalang dana
untuk kantor MAP di Skotlandia. Keduanya hendak melakukan perjalanan
ke wilayah-wilayah pendudukan, dan ini adalah perjalanan pertama Mike ke Timur
Tengah. Hampir seratus orang Palestina telah terbunuh sejak dimulainya
perlawanan, yaitu enam minggu sebelumnya, dan ratusan orang lagi terluka. Mike
membawa sumbangan dalam bentuk tunai untuk membantu para korban membayar biaya
rumah sakit. Setiap kali seorang warga Palestina mendaftarkan diri untuk
mendapat perawatan rumah sakit, para pegawai Israel mengenakan biaya lebih dari
seribu dolar Amerika Serikat sebagai deposito awal. Orang-orang Palestina yang
tak mampu membayarnya tidak akan mendapat perawatan.
Ketika melihat paspor Mike yang baru, aku tertawa. "Bagaimana kamu akan
meyakinkan para tentara Israel itu bahwa kamu seorang turis tulen, bukan seorang
pendukung Palestina yang pergi ke sana karena adanya perlawanan?" tanyaku,
karena aku tahu bahwa Mike sama sekali tak bisa berbohong.
Lucu juga menyaksikan Susan dan Mike memasuki bagian keberangkatan Bandara
Heathrow bersama serombongan orang Israel dan peziarah Kristen yang akan
berangkat ke Tel Aviv. Saat melambaikan tangan kepada mereka, aku berteriak,
"Sampaikan salam ciumku untuk Jerusalem!" Segelintir orang Israel menoleh dan
memandangku mereka pasti bertanyatanya, apa urusan wanita Cina ini dengan
Jerusalem. Mereka dijemput oleh Susan Wighton di bandara Tel Aviv. Suzy, yang sebelumnya
pernah bertugas di wilayah-wilayah pendudukan, sangat mengkhawatirkan teman-teman
Palestinanya ketika mendengar kekejaman tentara Israel dan pembunuhan terhadap
orang-orang Palestina, jadi ia pergi mendahului teman-temannya untuk mengunjungi
warga di sana. Oleh karena aku tak dapat mengunjungi wilayah-wilayah pendudukan, dengan putus
asa aku menunggu Mike kembali untuk mendengar perkembangan peristiwa di sana.
Buletin-buletin berita di London menunjukkan kekejian Israel terhadap para
demonstran Palestina, tetapi aku ingin tahu semangat para pelaku perlawanan
tersebut. Jika tak dapat berada di sana bersama mereka, aku ingin merasakan
semangat mereka. Di kepalaku tersirat berbagai pertanyaan. Berapa lama orang-orang Palestina yang
berada di bawah pendudukan Israel itu akan sanggup meneruskan gerakan perlawanan
mereka" Berapa lama mereka dapat bertahan dipukuli, dipenjara, dan kelaparan"
Jika pemogokan massal terus dijalankan, bagaimana mereka bisa bertahan hidup"
Siapa yang akan membawakan susu bagi anak-anak Palestina" Apakah orang-orang ini
sekuat dan setangguh penduduk kamp Shatila" Apa yang dapat kami lakukan untuk
mendukung mereka" Oleh karena aku sangat ingin mendengar laporan Mike tentang perjalanannya, aku
membuat janji bertemu dengannya di kantor MAP London. Kantor Mike juga merupakan
ruangan teleks, dan karena ia adalah petugas MAP bagian publikasi,
maka teleponnya sering berdering. Ia juga menerapkan kebijakan pintu terbuka
sehingga para sukarelawan bebas keluar-masuk kantornya.
Aku mendapatkan saran dari para wartawan yang pernah mewawancaraiku untuk selalu
menggunakan tape recorder, jadi aku membawa sebuah tape recorder. Kami duduk di
kantornya dan aku menyetel tape recorderku. Mike menceritakan bahwa hari
pertamanya di wilayah pendudukan bagaikan "pembaptisan dengan api". Ia
mengatakan kepadaku bahwa ia lebih banyak memahami pendudukan Israel dan
keberanian bangsa Palestina dari pengalaman-pengalaman yang berlangsung selama
dua puluh empat jam tersebut, daripada yang pernah didapatnya seumur hidupnya.
Ia dan Susan Rae tiba di Bandara Tel Aviv pada pukul lima pagi, tanggal 17
Januari 1988. Ketika waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, mereka meluncur
menuju kota tua Nablus, yang dinamakan demikian setelah berlangsungnya serangan
pasukan Napoleon. Saat itu, para penduduk kota ini melawan, dan sejak saat itu
menjadi "kota yang tidak bisa dirampas Napoleon".
Dalam perjalanan, mereka hampir saja terjebak dalam sebuah demonstrasi warga
Palestina, sementara para tentara Israel menembakkan senapan mereka ke arah
kerumunan massa. Ketika menceritakan hal itu kepadaku, Mike bergidik. Ia
mengatakan bahwa untuk sesaat ia mengira mereka berdua akan terperangkap dalam
demonstrasi tersebut dan akan dipukuli, ditembak, serta ditangkap seperti yang
lainnya. Untungnya, demonstrasi itu berarak
menjauh ke arah yang berlawanan, diikuti oleh para tentara Israel itu, dan
mereka melanjutkan perjalanan ke Nablus.
"Bagaimana pendapat kamu tentang Nablus?" tanyaku.
"Aku pertama kali terkena gas air mata di sana, dan itu sangat tidak
menyenangkan. Tapi orang-orang Palestina itu sama sekali tidak takut," sahut
Mike. "Ketika kami sampai di Nablus, para tentara Israel menyemburkan gas itu ke
rumah-rumah warga Palestina. Itu bukan semata-mata gas sianida sulfat biasa,
tapi versi baru gas itu CSS1S, CS560, lebih berbahaya daripada gas yang asli."
Ia menunjukkan kepadaku foto sebuah kaleng gas air mata. "Lihat, ini dibuat di
Pennsylvania," ujarnya. "Lihat tanggalnya. Tertulis 1988. Bahkan jika kaleng itu
keluar dari pabrik pada Tahun Baru, berarti kaleng itu hanya butuh waktu kurang
dari tiga minggu untuk tiba di Israel dan ditembakkan ke para demonstran
Palestina." Mike jelas sekali tampak kesal dan berhenti sebentar untuk menyulut
sebatang rokok sebelum melanjutkan kisahnya.
"Tak lama setelah kami sampai di sana, para warga Palestina keluar untuk menemui
kami, dan salah satu yang mereka perlihatkan kepada kami adalah koleksi peluru
karet mereka. Orang-orang mengira peluru karet tidak terlalu berbahaya. Tapi
sebenarnya peluru karet tidak seaman yang dikira. Ketika kami di sana, seorang
bocah laki-laki empat tahun tertembak di kepalanya oleh sebutir peluru karet. Ia
tidak sadarkan diri dan satu pupilnya mulai
melebar. Para dokter Palestina mengatakan bahwa peluru karet tersebut telah
menyebabkan pendarahan dalam di otak, dan ia harus dipindahkan ke Rumah Sakit
Hadassah untuk menjalani operasi bedah otak." Rumah sakit ini adalah rumah sakit
yang kukunjungi pada 1982 bersama Paul Morris dan Ellen Siegel, setelah
memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kahan Israel. Aku tahu itu rumah sakit
yang bagus, dan aku menanyakan pada Mike bagaimana hasil operasinya.
"Aku tak tahu apakah anak itu selamat. Setidaknya butuh waktu satu jam untuk
pergi dari Nablus ke Hadassah. Seandainya aku mempunyai kepala yang terluka
parah, yang tengah mengalami pendarahan dalam, hal terakhir yang kuinginkan
adalah diangkut di sepanjang jalanan yang rusak selama satu jam. Dan banyak
waktu terbuang percuma karena dokter Palestina harus menelepon dokter Israel
lama sekali untuk memintanya menerima pasien itu. Bukannya meminta pasien segera
dikirim ke rumah sakit, sang dokter di Rumah Sakit Hassadah bersikeras agar
kerabat si anak membawa 1.200 shekel Israel sebagai deposito awal. Jika tidak,
anak itu akan dikembalikan ke kamp."
Cara pembayaran ditempat semacam ini membuat Mike berang, terutama karena bocah
itu ditembak oleh tentara Israel.
Setelah itu, Clare Moran, salah seorang pegawai kami yang paling cakap dan dapat
diandalkan, masuk ke ruangan dan mulai mengetik dengan kecepatan enam puluh kata
per menit menggunakan mesin tik di kantor Mike. Kami menyerah dan pindah duduk di sebelah mesin
penyeduh kopi yang terletak di bawah tangga, berharap mendapatkan ketenangan
untuk bercakap-cakap. "Kami masih di Nablus," lanjut Mike, "dan diundang untuk mengunjungi kantor
Federasi Umum Perserikatan Perdagangan. Mereka punya daftar nama para korban,
dan ingin tahu apakah MAP dapat membantu perawatan mereka. Saat kami sedang
berbincang-bincang, aku benar-benar mengira dinding bangunan tersebut akan
ambruk ke arahku. Aku kaget, tetapi orang-orang Palestina itu tertawa itu hanya
suara pesawat terbang Israel yang melampaui ambang suara. Mereka melakukan itu
setiap waktu untuk menekan orang-orang Palestina." Mike mulai tertawa. Ia masih
agak malu karena tak dapat membedakan suara ledakan bom dengan suara pesawat-
pesawat yang melaju melampaui ambang batas suara.
"Kemudian, kami pergi mengunjungi rumah yang lain, tetapi sayangnya para tentara
Israel itu melihat kami. Mereka tahu kami orang asing dan mereka ingin
menghentikan kami. Lalu sekelompok anak-anak Palestina mengantarkan kami ke
dalam sebuah rumah dan sang pemiliknya mengunci pintu agar para tentara itu
tidak dapat mengejar kami. Tapi mereka tetap berdiri di luar, menggedor pintu,
dan berbicara melalui walkie-talkie mereka. Setelah sekitar sepuluh menit
berlalu, mereka pergi dan anak-anak mengetuk pintu dan mengatakan kepada kami
bahwa keadaan sudah aman sehingga kami
bisa pergi. Anak-anak itu telah berpindah ke belakang rumah dan mulai
melemparkan batu-batu tentara Israel. Tentara-tentara itu lalu mengejar anak-
anak itu dan melupakan kami! Kami diselamatkan oleh anak-anak Palestina! Mereka
sungguh ajaib. Mereka ada di mana-mana dan tidak takut terhadap apa pun."
"Jadi kamu telah jatuh hati kepada anak-anak Palestina, Mike?" tanyaku.
"Mengapa tidak" Mereka telah menyelamatkan kami," jawabnya seraya tersenyum.
Lalu lanjutnya, "Kami mengunjungi keluarga-keluarga Palestina, banyak dari
mereka yang hidup dalam kemelaratan. Seorang pria berkata pada kami, 'Lihatlah
keadaan yang mengenaskan ini. Saya melahirkan anak-anak saya ke dunia demi
Palestina. Lihatlah putra-putra dan putri-putri saya tubuh mereka memar dan luka
gara-gara dipukuli tentara Israel. Tapi ketika perban itu dibuka, mereka akan
kembali lagi keluar rumah untuk berdemonstrasi menentang para penjajah. Saya
sangat bangga kepada mereka. Dan ketika kami berbicara kepada anak-anak itu,
mereka mengatakan hal yang sama tentang orangtua mereka."
Saat pembicaraan kami tiba di situ, tiga orang mahasiswa bergabung bersama kami.
Merekalah yang dengan sukarela membantu kami mendapatkan mobil ambulans baru.
Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda yang sangat kusayangi, sangat
senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia menghambur ke arahku, membentur mesin
penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape recorderku mati.
Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian kami semua
terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia melanjutkan
kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan, sementara aku
terus merekamnya. "Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya. "Kami melihat betapa kehidupan orang-
orang di sana sangat menderita akibat pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang
menganga dan baunya sangat menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa
mencium bau busuk. Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk
tidak diperbolehkan menutup selokan-selokan tersebut. Tapi, orang-orang
Palestina tidak memendam rasa permusuhan terhadap rakyat jelata Israel. Kami
bertemu dengan seorang lelaki yang telah dideportasi beberapa minggu lalu. Istri
serta anak perempuannya telah dipukuli yang dengan sukarela membantu kami
mendapatkan mobil ambulans baru. Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda
yang sangat kusayangi, sangat senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia
menghambur ke arahku, membentur mesin penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape
recorderku mati. Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian
kami semua terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia
melanjutkan kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan,
sementara aku terus merekamnya.
"Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya.
"Kami melihat betapa kehidupan orang-orang di sana sangat menderita akibat
pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang menganga dan baunya sangat
menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa mencium bau busuk.
Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk tidak diperbolehkan
menutup selokan-selokan tersebut. Tapi, orang-orang Palestina tidak memendam
rasa permusuhan terhadap rakyat jelata Israel. Kami bertemu dengan seorang
lelaki yang telah dideportasi beberapa minggu lalu. Istri serta anak
perempuannya telah dipukuli yang dengan sukarela membantu kami mendapatkan mobil
ambulans baru. Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda yang sangat
kusayangi, sangat senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia menghambur ke
arahku, membentur mesin penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape recorderku
mati. Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian kami semua
terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia melanjutkan
kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan, sementara aku
terus merekamnya. "Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya. "Kami melihat betapa kehidupan orang-
orang di sana sangat menderita akibat pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang
menganga dan baunya sangat menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa
mencium bau busuk. Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk
tidak diperbolehkan menutup selokan-selokan tersebut. Tapi,
orang-orang Palestina tidak memendam rasa permusuhan terhadap rakyat jelata
Israel. Kami bertemu dengan seorang lelaki yang telah dideportasi beberapa
minggu lalu. Istri serta anak perempuannya telah dipukuli oleh para tentara. Ia
mengatakan bahwa mereka tidak membenci orang Inggris maupun Amerika, mereka
bahkan tidak membenci Yahudi. Katanya, 'Mereka bukanlah musuh kami. Musuh kami
adalah para tentara dan penjajah yang menduduki negeri kami. Usirlah mereka,
maka kami akan hidup damai sebagaimana dulu. Ia benar-benar seorang yang
berlapang dada!" Aku pun punya pendapat yang sama. Selama bertahun-tahun, rakyat Palestina
digambarkan sebagai orang-orang yang dipenuhi kebencian. Seperti Mike, aku
menemukan fakta yang berkebalikan dengan itu. Banyak orang Palestina yang
kutemui siap untuk memaafkan dan melupakan kesalahan bangsa Israel. Terkadang,
saat aku terus-menerus mengungkit-ungkit pembantaian Sabra dan Shatila, kawan-
kawan Palestinaku memintaku untuk melupakannya dan melangkah menuju kehidupan
yang membentang di hadapan kita. Namun, aku menemukan sebuah kutipan hebat bagi
mereka di Yad Vas-hem, Israel. Kutipan itu berbunyi, "Kealpaan mengarah pada
pengasingan, sedangkan kenangan adalah rahasia keselamatan." Aku mendesak mereka
untuk mempelajari kata-kata bijak Yahudi ini.
Kadang-kadang, ketika Mike menceritakan orang-orang Palestina yang membuatnya
tergugah, ia akan berkata seperti ini, "Kau tahu, ketika mendengar pria itu
bertutur, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku."
Aku mencatat kata-kata itu di pinggir catatanku" sesuatu yang tersangkut di
tenggorokan" agar ketika nanti menulis ulang catatan itu, aku ingat bahwa pada
bagian itu Mike nyaris menangis.
"Sang ibu Palestina yang cemas ini harus pergi menghadap Petugas Keamanan Israel
untuk meminta pembebasan putranya yang berusia sembilan tahun, yang telah
ditangkap gara-gara melemparkan batu. Tak lama sebelumnya, ayah sang anak
ditawan oleh pasukan Israel, dan ia masih tercatat dalam daftar orang yang
dicari. Jadi, sang ayah itu tak dapat pergi meminta pembebasan anaknya dan
terpaksa mengutus istrinya. Istrinya itu adalah seorang guru. Tentara Israel itu
berkata kepadanya, 'Anda seorang guru. Anda tidak seharusnya mengajari putra
Anda yang masih berusia sembilan tahun untuk membenci kami.' Ia membalas,
'Seorang bocah sembilan tahun seharusnya tidak membenci siapa pun. Penjajahan
ini telah mengajarinya untuk membenci tentara, saya tidak mengajarinya begitu.
Hentikan penjajahan ini, dan biarkan putra saya belajar untuk mencintai rakyat
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalian.' "Anak-anak Palestina bermunculan di mana-mana, membuat tanda kemenangan dengan
jemari mereka yang mungil. Anak-anak ini tidak kenal takut. Para tentara Israel
menahan bocah tiga tahun karena melempari mereka dengan batu, dan mereka
mengancamnya, 'Kamu baru tiga tahun dan seharusnya tidak tahu cara melempar batu
ke arah kami. Seseorang pasti telah mengajarimu. Katakan kepada kami siapa yang mengajarimu,
kalau tidak ....' Anak itu menjawab, 'Kakakku.' Begitulah. Serombongan tentara
bersenjata lengkap menggiring si bocah dan mengempasnya masuk ke rumah untuk
mencari kakaknya. Mereka menemukan kakaknya di pojok sedang bermain ia hanya
setahun lebih tua dari adik laki-lakinya!"
Semakin Mike terlarut dalam emosinya, semakin kental terdengar aksen
Skotlandianya. Terkadang aku harus menghentikan penuturannya dan memintanya
mengulangi apa yang dikatakannya. Ia akan menggerakkan tangannya dengan putus
asa, menyebutku "dasar orang asing" dan mengulanginya lagi.
Rombongan Mike meneruskan perjalanan ke Gaza dan mengunjungi rumah sakit serta
beberapa klinik. Mike kesulitan memperkirakan kebutuhan obat-obatan di sana
karena ia bukan petugas medis. Namun, ia berusaha memperkirakan jenis-jenis luka
yang ia lihat. Luka-luka para korban perlawanan tampak sangat parah. Sebagian
besar dari mereka tidak mendapatkan perawatan yang layak. Para tentara Israel
dengan sengaja mematahkan tungkai orang-orang Palestina itu sehingga mereka akan
pincang dalam waktu lama. Sebuah tungkai yang patah membutuhkan waktu berbulan-
bulan untuk sembuh, dan membutuhkan jangka waktu yang sama untuk melatihnya agar
dapat kembali berfungsi seperti sediakala. Sebagai seorang dokter bedah
ortopedis (bedah tulang), aku tahu bahwa tak ada
cara untuk mempercepat proses penyembuhan tulang. Jika empat tungkai seseorang
patah semua, ia akan tak berdaya selama setahun. Sementara itu, jika ia satu-
satunya pemberi nafkah, keluarganya akan kelaparan.
"Rumah Sakit Shifa di ibu kota Gaza dipenuhi para korban Palestina," ujar Mike
padaku. "Tempat itu dipenuhi orang-orang yang luka memar dan le-bam. Orang-orang
dengan lengan yang patah, kaki yang patah, dada dan perut yang remuk. Seorang
pemuda tujuh belas tahun yang sedang dalam perjalanan mengunjungi bibinya,
tertembak di salah satu kakinya dan dikejar-kejar pasukan Israel yang
melemparkan gas air mata ke arahnya. Seolah-olah itu tidak cukup, mereka
menggerebek rumah sakit dan mematahkan kaki yang satunya. Ketika dibaringkan di
tempat tidur, pemuda itu berteriak, 'Aku benci tentara Israel. Mereka harus
meninggalkan Pelestina dan memberikan hak-hak warga Palestina!' Ia terbaring di
samping seorang pria Palestina berusia empat puluh lima tahun yang kedua
testisnya remuk akibat perlakuan tentara Israel. Di samping pria empat puluh
lima tahun itu terbaring putranya yang berusia tiga belas tahun, kedua lengannya
patah gara-gara tentara Israel.
"Satu hal yang sering dikatakan orang-orang Palestina kepada kami adalah, 'Jika
Shatila dapat bertahan selama tiga tahun penyerangan dan pengepungan yang terus-
menerus, kami juga bisa bertahan menghadapi pendudukan ini."
Lalu ia menunjukkan kliping sebuah artikel di
koran lokal berbahasa Inggris. Di sana, dalam tulisan bercetak tebal, tertulis
kisah yang baru saja disampaikannya kepadaku. Bagiku, penuturannya itu
menjelaskan situasi yang sebenarnya kisah itu menunjukkan bahwa perjuangan
bangsa Palestina yang berada di pengasingan dan bangsa Palestina yang hidup di
wilayah pendudukan memiliki hubungan yang sangat erat. Apakah orang-orang ini
sama kuat dan teguhnya seperti para penduduk kamp Shatila" Sekarang aku punya
jawabannya. Momentum perlawanan tersebut terbentuk oleh keteguhan orang-orang
Palestina di Lebanon. Shatila telah mengarungi perjalanan dari tempat
pengasingan ke tanah air mereka, dari Beirut menuju Jerusalem.[]
Tiga Puluh Satu Seandainya aku sedang menulis suatu kisah romantis tentang para warga Palestina
dan menginginkan sebuah akhir cerita yang bahagia, maka bab ini tidak perlu
ditulis. Akan jauh lebih memuaskan secara emosional, baik bagi pembaca maupun
aku, untuk mengakhiri buku ini dengan kisah gerakan perlawanan yang telah meraih
perhatian khalayak dunia, seperti yang kutulis pada bab sebelumnya. Sayangnya,
ini tidak mungkin. Tragedi yang menimpa warga Palestina di Lebanon terus
berlanjut. Sebagai kawan mereka, kami masih tinggal bersama mereka, di dalam
rumah-rumah dan kehidupan mereka yang porak-poranda. Terdapat setengah juta
orang Palestina di Lebanon. Setelah membaca buku ini, Anda sudah mengetahui
penderitaan mereka. Gerakan perlawanan tersebut memberi mereka martabat dan
makna baru dalam hidup. Namun, seiring tahun 1988 terbentang di hadapan mata,
penderitaan yang serupa masih berlanjut. Pengepungan kembali dijalankan seiring
sirnanya perhatian media massa. Para sukarelawan medis MAP di Lebanon
melanjutkan tugas mereka secara diam-diam di dalam kamp-kamp pengungsi dan
tempat-tempat perlindungan. Mereka juga mulai bertanya padaku,
"Berapa lama lagi?"
Musim semi tiba kembali di Lebanon. Saat itu April 1988. Aku kembali lagi ke
Beirut untuk keenam kalinya. Kali ini untuk kunjungan singkat, terutama untuk
mengamati keadaan di sana, sehingga MAP dapat memanfaatkan sebaik-baiknya sumber
daya yang terbatas. Aku juga ingin menemui para sukarelawan kami dan berbicara
dengan mereka. Banyak dari mereka yang telah tinggal di sana untuk waktu yang
lama, dalam kondisi kamp yang mengenaskan, bertahan menghadapi serangan-serangan
udara, tembakan meriam dan bom, serta ketiadaan tempat tinggal bersama-sama para
warga Palestina selama musim dingin yang panjang.
Penderitaan yang memilukan selama musim dingin 1987-1988 hanya benar-benar bisa
dipahami oleh mereka yang tinggal di dalam kamp. Dinding-dinding kamp yang penuh
dengan lubang besar bekas serangan bom ditutup seadanya dengan guntingan-
guntingan kecil plastik polythene. Hujan dan embusan angin dingin menerobos
masuk. Pintu kayu serta daun jendela yang tersisa dibakar selama berlangsungnya
musim dingin yang menusuk tulang, ketika para warga kehabisan bensin dan kayu
bakar. Setahun telah berlalu, tetapi perbaikan dan pembangunan kembali rumah-
rumah yang hancur masih sepenuhnya dilarang. Sehingga, jendela-jendela masih
saja tidak memiliki daun jendela. Meskipun demikian, setahun lagi telah berlalu.
Pada perjalanan kali ini, aku melakukan banyak sekali kunjungan, termasuk ke
lembah Beka'a, Beirut, dan Lebanon Selatan. Kamp terbesar di Beka'a adalah Bar Elias, yang
diawasi oleh para tentara Suriah. Sebagian besar warga Palestina datang kemari
dari Lebanon Selatan atau Beirut, terutama setelah serangan 1982 dan peperangan
kamp tahun 1985 hingga 1988. Beberapa orang dari kami menemui kepala PRCS di
sana untuk mendiskusikan bagaimana MAP dapat memberikan dukungan yang terbaik
bagi mereka. Aku terkesan melihat betapa rumah sakit di sana telah difungsikan
dengan baik walaupun kekurangan fasilitas dan peralatan. Terdapat sekitar
seratus ribu orang warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal, mereka hidup
di tempat-tempat penampungan di sekitar kamp, dalam kondisi yang terus memburuk.
Tepat di atas jalan raya terdapat Anjar, pusat penahanan yang dikontrol oleh
pasukan Intelijen Suriah. Di sana, para tawanan Palestina diinterogasi dan
disiksa sebelum akhirnya diangkut ke Suriah.
Pada musim semi, hujan deras telah berhenti dan matahari menghangatkan kembali
pegunungan dan pantai. Namun, di Beirut, tak ada yang mengingatkan kami akan
keindahan musim semi selain mungkin senyum Rita yang menyinari hati kami. Rita
Montanas adalah seorang petugas kesehatan masyarakat asal Jerman yang berusia
tujuh puluh lima tahun. Ia adalah orang terakhir yang bergabung dengan MAP. Ia
memulai rutinitas hariannya dengan membagi-bagikan susu kepada para pengungsi
yang hidup di tempat-tempat perlindungan di sepanjang kota yang porak-poranda.
Kegiatan pembangunan kembali masih dilarang di kamp-kamp yang hancur lebur,
blokade pengiriman bahan-bahan material terus berlanjut dan para penduduk tetap
tak punya tempat tinggal. Tahun Internasional Perlindungan bagi Tunawisma, 1987,
telah datang dan pergi. Selain berbagai resolusi yang diputuskan pada
konferensi-konferensi tingkat internasional, tidak ada hasil yang konkret.
Resolusi-resolusi yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai tempat
tinggal itu tak punya arti apa pun bagi orang-orang yang hanya punya pilihan
antara tinggal di puing-puing kamp mereka dan di tempat-tempat penampungan
pengungsi yang porak-poranda di luar kamp di jalanan Kota Beirut.
Orang-orang di tempat penampungan pengungsi menjuluki Rita "Mama Halib". Halib
berarti susu dalam bahasa Arab. Mereka kemudian memanggilnya "Mama Rita" ketika
menyadari bahwa ia membawakan lebih dari sekadar susu bagi anak-anak mereka. Ia
juga membawakan baju-baju, buku-buku, obat-obatan dan terutama, ia membawa rasa
persahabatan yang dibutuhkan di tempat-tempat penampungan yang suram dan
terabaikan itu. Aku tahu Tuhan telah memberi Rita kehangatan hati serta senyum
untuk membawa secercah kebahagiaan di tempat-tempat penampungan yang porak-
poranda. Ia juga mempunyai kesabaran yang luar biasa ia bekerja selama mungkin
untuk melayani orang-orang. Laila Syahid, kawan Palestinaku, pernah berkata
kepadaku, "Terkadang, ketika menatap teman-teman yang dimiliki bangsa Palestina,
aku percaya bahwa Tuhan tahu kami telah terlalu banyak menderita. Pada saat-saat yang sangat
buruk sekali pun, kami dianugerahi teman-teman yang sangat istimewa."
Tempat-tempat penampungan itu sangat tak bermartabat, benar-benar suatu
penghinaan bagi para warga Palestina. Mereka telah mengubah tenda-tenda menjadi
rumah-rumah, kamp-kamp menjadi kota-kota buangan. Kini, kota-kota mereka
dihancurkan, identitas mereka dihilangkan, dan mereka dipaksa untuk berjongkok
di tempat-tempat penampungan semacam ini. Setiap ruang disekat dengan tirai-
tirai hitam menjadi ruang-ruang kecil untuk setiap keluarga kecil. Sebuah ruang
seluas 15x15 meter digunakan untuk menampung beberapa ratus orang. Di dalam
tempat pengungsian yang berpenerangan buruk ini, tak pernah ada cukup cahaya
untuk bisa melihat. Tetapi, kita dapat mengetahui betapa sesaknya ruangan ini
dari baunya. Over produksi karbondioksida, kelembapan, serta depresi para
penghuninya menciptakan suasana penuh tekanan. Aku teringat sebuah buku yang
ditulis temanku, Rosemary Sayigh, berjudul Palestinians, from Peasants to
Revolutionaries (Bangsa Palestina, dari Petani Menjadi Pejuang Revolusioner).
Tempat-tempat penampungan itu membuatku sangat sedih dan terpikir untuk menulis
sebuah buku b e rj u d u I: Pales tinians, from Re volu tionaries to Refugees
(Orang-Orang Palestina, dari Pejuang Revolusioner Menjadi Pengungsi). Di dalam
tempat penampungan seperti ini, tanah air Palestina tampak
sungguh jauh. Di sini, perjuangan tampak terhenti, begitu pula kehidupan.
Namun, aku keliru. Mereka hanya tampak tak berdaya saja, tetapi sebenarnya tidak
demikian. Ketika pos-pos pemeriksaan itu ditiadakan, para penduduk di tempat-
tempat penampungan kembali ke kamp-kamp yang hancur lebur untuk hidup di sana!
Daripada menjadi pengungsi tanpa identitas, mereka lebih memilih menjadi tahanan
yang bermartabat di dalam puing-puing serta reruntuhan kamp Palestina. Orang-
orang di dalam tempat penampungan tidak lupa bahwa mereka adalah bangsa
Palestina. Lagi-lagi ini menjadi awal dari proses transformasi tempat
pengungsian menjadi tempat pengasingan. Populasi penduduk kamp Shatila, Bourj
elBrajneh, dan Rashidiyah lagi-lagi meningkat. Toko-toko mulai dibuka, anak-anak
meminta untuk pergi ke sekolah. Para wanita mulai membuat kain-kain bordir khas
Palestina semua kembali berjalan seperti dulu.
PRCS ikut membangun kembali kamp-kamp itu. Mereka mulai lagi memperbaiki rumah
sakit-rumah sakit serta klinik-klinik mereka. Rumah Sakit Shatila dan Rumah
Sakit Haifa sedang diperbarui.
Aku ingin mengunjungi Rumah Sakit Rasyidiyah dan menemui tim MAP yang bertugas
di sana. Oyvind dan aku naik ambulans yang penuh berisi berbagai persediaan
obat-obatan dan barang-barang lain. Kami melaju ke selatan, menuju kamp
Rasyidiyah. Rute perjalanan kami menempuh jalan raya bergelombang yang sama yang
pernah ku - lewati bersama Ellen Siegel, Paul Morris, dan Angkatan Bersenjata Israel ketika
hendak menuju Jerusalem pada 1982. Di sebelah kanan kami, ombak Laut Tengah
berdebur dengan malas di sepanjang pesisir pantai. Di sebelah kiri kami, padang
rumput dipenuhi bunga anggrek yang kembali tumbuh setelah invasi 1982. Kini
terlihat bentangan hijau dihiasi titik-titik buah jeruk dan jeruk limau. Aroma
pepohonan jeruk yang tengah berbuah dan bunga-bunga melati yang bermekaran
mengharumkan udara sekitar. Padang rumput itu diselimuti bunga-bunga aster yang
berwarna kuning cerah. Terletak di dekat Kota Sour, Rasyidiyah berjarak tiga jam
perjalanan dari Beirut, asalkan pos-pos pemeriksaan di sepanjang jalan tidak
terlalu banyak menimbulkan masalah.
Meskipun sejak 1982 telah berpindah tangan, pos-pos pemeriksaan itu tetap saja
ada. Dari Beirut hingga Sungai Awali, tepat di sebelah utara Saida, pos-pos
pemeriksaan itu kini dijaga oleh pasukan Suriah. Dari Awali hingga persis di
sebelah selatan Saida, pos-pos pemeriksaan dijaga oleh pasukan kum Lebanon-Sunni
yang merupakan anggota partai Mustafa Saad. Mulai dari sana, pos-pos pemeriksaan
di semua jalur menuju Kota Sour dijaga oleh pasukan Amal. Lebih jauh lagi ke
selatan adalah wilayah di bawah kontrol pasukan Unifil, dan kemudian wilayah-
wilayah pendudukan Israel.
Selain Rasyidiyah, terdapat pula kamp-kamp lainnya di dekat Sour. Kamp-kamp yang
lebih kecil adalah Qasmieh, Al-Bas, dan Bourj el-Shemali. Meskipun kamp-kamp ini
tidak dikepung, warga Palestina yang tinggal di sana tidak merasa aman karena
sering terjadi penculikan dan pembunuhan.
Kamp Rasyidiyah berjarak sekitar tujuh belas kilometer dari perbatasan Israel,
atau "Wilayah Palestina yang Diduduki" begitu orang-orang di kamp menyebutnya.
Tidak seperti kamp Shatila, kamp tersebut sangat luas. Penduduk di sana dapat
menanam sayur-mayur, buah-buahan, dan bunga-bunga di dalam kamp. Salah satu
garis batasnya adalah Laut Tengah, dengan bentangan pantainya yang berpasir.
Garis batas lainnya adalah tanaman anggrek, jeruk, serta lemon. Berkat adanya
pohon-pohon jeruk serta berbagai tanaman lainnya, kamp Rasyidiyah tidak mati
kelaparan selama terjadinya pengepungan pasukan musuh.
Seperti kamp Ain al-Halwah di Saida, Rasyidiyah dihancurkan oleh pasukan Israel
pada 1982, seperti Ain al-Halwah, kamp itu kini dibangun kembali. Kamp itu
pernah dibom oleh pasukan Amal hingga hancur selama perang kamp terakhir yang
berlangsung dari Oktober 1986 hingga April 1987, dan jalan masuk ke sana masih
dijaga oleh para tentara Amal. Para penduduk Rasyidiyah telah mulai memunguti
serpihan-serpihan reruntuhan. Puing-puing dari rumah-rumah yang menjadi korban
ledakan dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bangunan untuk memperbaiki area-
area yang hancur. Pria, wanita, dan anak-anak sibuk bekerja di ladang. Tanaman
sayur-sayuran mulai tumbuh. Kios-kios mulai dibuka. Di dalam kamp ini, Anda
lebih baik menggunakan sepeda untuk bepergian daripada berjalan kaki karena jarak
antarbangunan cukup jauh. Sebagian besar bangunan asli Rasyidiyah dibangun di
atas dataran tinggi, tetapi ada bangunan-bangunan baru di daerah dekat pantai,
berupa deretan rumah-rumah bata berlantai satu yang telah rusak parah akibat
dibom. Di luar kawasan itu terdapat pantai berpasir halus di sepanjang pesisir
Laut Tengah. Pada masa sebelum perang, kegiatan memancing, berenang, dan
berjemur di bawah cahaya matahari sangat mungkin dilakukan. Namun, perang telah
menghancurkan potensi bahan pangan dan rekreasi di sini. Daerah itu dipenuhi
para penembak jitu yang berjaga-jaga setiap waktu.
Dr. Salah, Direktur PRCS di Rasyidiyah, tengah sibuk membantu mengecat rumah
sakit yang hampir siap digunakan. Seperti warga pria Palestina lainnya, dr.
Salah telah terjebak dalam pengepungan untuk waktu yang sangat lama. Karena
pengepungan kamp Rasyidiyah terjadi sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka,
dr. Salah baru mengetahui bahwa ialah satu-satunya dokter di kamp yang dikepung
itu. Padahal, saat peperangan terakhir itu, kamp tersebut dihuni oleh tujuh
belas ribu penduduk. Ia merawat para korban yang terluka, menangani orang-orang
yang sakit, ikut berperan dalam pembangunan rumah sakit selama masa pengepungan,
dan mengurusi kebutuhan obat-obatan kamp. Ia terlihat betul-betul lelah, tapi
tetap ramah dan sabar. Ia telah berhasil meraih rasa hormat para penghuni kamp,
termasuk para sukarelawan MAP.
Para sukarelawan MAP adalah dr. Kiran Gargesh dan Susan Bernard, seorang perawat
bangsal rumah sakit. Kiran adalah seorang ahli anestesi berkebangsaan India yang
pertama kali bergabung dengan MAP pada 1986. PRCS nyaris putus asa mencari orang
untuk mendirikan layanan anestesi di dalam rumah sakit yang baru dibangun di
kamp Ain al-Halwah. Aku ingat betul pertemuan pertama kami. Kiran adalah seorang
dokter pria vegetarian yang lembut. Ia datang ke kantor MAP London untuk
menemuiku. Saat itu ia sedang terserang flu yang parah, begitu pula aku. Namun,
meskipun aku sedang sakit, aku bisa melihat ada sesuatu pada dirinya yang
membuatku yakin bahwa ia memiliki sifat tak mementingkan diri sendiri sifat yang
jarang dimiliki orang. Ia pergi ke Lebanon pada 1986, dan sejak saat itu bekerja
tanpa mengenal lelah dan sama sekali tak pernah mengeluh. Ia tidak hanya
membaktikan diri sebagai seorang ahli anestesi, tetapi juga sebagai seorang
pengajar anestesi. Ia telah bertugas di kamp Ain al-Halwah dan Shatila. Sekarang
ia bertugas di Rasyidiyah.
Kiran dan Susan berhasil memasuki kamp Rasyidiyah ketika pengepungan kamp agak
dikendurkan. Mereka ingin membantu PRCS mendirikan sebuah bangsal operasi di
dalam kamp. Susan telah berangkat dari kantor MAP di London menuju Lebanon untuk
menjalani masa tugas tiga bulan. Namun, ia merasa berat untuk kembali ke London
dan memilih tinggal di Rasyidiyah. Ia sekarang sibuk membangun bangsal operasi
tersebut. Kiran sekali lagi mulai
melatih para teknisi anestesi untuk bekerja bagi PRCS di Rasyidiyah. Aku ikut
bergabung dalam salah satu sesi pelatihan dan menikmati setiap menit pengajaran
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diberikannya. Aku merasa senang dapat berbicara lagi dengan Kiran. Jiwanya luar biasa stabil,
dan aku jadi sangat tenang melihat orang yang berjiwa sangat stabil sekalipun
bisa jatuh cinta pada warga Palestina. Aku sering berpikir bahwa aku sudah gila
ini pastilah satu-satunya cara untuk menjelaskan obsesiku terhadap orang-orang
Palestina. Pada musim panas 1987, aku kembali ke Beirut bersama empat orang
sukarelawan medis baru asal Malaysia. Kami transit di Siprus dan menginap di
hotel sambil menunggu penerbangan ke Beirut. Sang manajer hotel mengenaliku dan
menyapaku, "Anda takkan kembali ke Lebanon lagi, kan, bersama para sukarelawan
baru ini" Mengapa Anda terus-terusan kembali" Anda tahu, semua orang di Lebanon
itu gila, dan di sana sangat berbahaya."
Para sukarelawan Malaysia kemudian menatapku mereka telah diberi pembekalan
tentang bahaya yang mungkin akan mereka hadapi di Lebanon. Setelah hening
sebentar, aku menjawab, "Ya, saya tahu mereka semua gila. Tapi kami juga gila."
Meledaklah tawa sang manajer, lalu ia memesankan minuman untuk kami semua.
Selama para dokter dan perawat dari seluruh dunia melupakan kepentingan diri
mereka sendiri dan terus menawarkan hidup dan keahlian mereka demi orang-orang
di Lebanon, aku akan terus terilhami dengan kegilaan
ini. Namun, Kiran selalu bersikap tenang ia selalu bersikap layaknya seorang
dokter, sepenuhnya yakin akan kehidupan, dan memberi cinta kepada warga
Palestina. Tak peduli betapa berat keadaan di sana seperti pada masa-masa
pengepungan, atau selama terjadinya serangan udara pasukan Israel, atau ketika
teman-temannya gugur dalam peperangan ia tetap tenang dan penuh percaya diri.
Mungkin itu disebabkan ajaran filosofi India yang dianutnya, aku tak tahu pasti,
tapi aku sangat berterima kasih atas pembawaannya yang begitu tenang.
Kami semua dijamu oleh para warga Palestina di kamp Rasyidiyah dengan cara
tersendiri. PRCS serta Serikat Umum Wanita Palestina duduk bersama-sama dan
menyuguhi kami makan malam. Para perwakilan komite masyarakat kamp juga
bergabung dalam acara makan malam tersebut. Kami membicarakan perlawanan,
perlunya tanah air bagi bangsa Palestina, masa depan warga Palestina di Lebanon.
Makanannya enak dan merupakan hasil olahan kamp sendiri. Menunya adalah terung
goreng yang garing, salad yang lezat, roti pitta Arab yang baru dipanggang, nasi
yang dimasak dengan bawang putih, jahe cardamom, kacang almond, dan jeruk lemon
segar. Sebagai minumannya adalah teh mint serta kopi Arab. Juga ada permen-
permen khas Arab dan puding sebagai hidangan penutup, tetapi aku tidak
mencicipinya karena aku tidak suka makanan manis. Kami terus berbincang-bincang
hingga larut, kemudian berpisah. Tak ada listrik di Rasyidiyah, jadi aku harus
menggunakan senter. Namun, Kiran dan Susan telah terbiasa bergerak dengan gesit
dalam kegelapan. Kami kembali ke flat untuk sukarelawan medis di Rasyidiyah. Flat ini terletak di
lantai atas sebuah bangunan yang telah dibom dan terdapat lubang-lubang besar
bekas tembakan peluru di dinding-dindingnya. Namun, penginapan ini masih memadai
dalam keadaan darurat seperti ini. Susan membuatkan kami kopi lagi kali ini
Nescafe. Udara sangat dingin dan kami membersihkan badan dengan menggunakan air
dingin yang ditimba menggunakan ember-ember plastik dari sumur terdekat.
Penerangannya menggunakan lampu kerosin berukuran kecil. Kompornya adalah sebuah
perkakas yang dibawa Susan dari Swedia. Saat itu, membuat secangkir kopi adalah
pekerjaan yang cukup sulit, karena Susan harus memompa selama setengah jam untuk
mendapatkan tekanan yang cukup agar parafinnya terbakar. Namun, alat-alat yang
mereka miliki sangat sederhana. Kami duduk sambil mengobrol hingga kami tak kuat
lagi menahan kantuk. Aku telah belajar bahwa saat-saat seperti ini sungguh
berharga, dan sungguh menyebalkan karena kami harus tidur.
Penembakan dan pengeboman terhadap Rasyidiyah sangatlah dahsyat. Terdapat sebuah
pekubu-ran luas yang baru dibuat untuk mengebumikan mereka yang berkorban nyawa
selama terjadinya perang terakhir. Terlebih lagi, kamp ini adalah salah satu
kamp yang diserang oleh pasukan udara Israel.
Terkadang hanya berupa suara pesawat mereka yang memecahkan ambang batas suara
untuk menakut-nakuti penduduknya, terkadang mereka juga menjatuhkan bom-bom ke
atas kamp. Kamp tersebut rusak berat selama terjadinya serangan terakhir, tapi
penduduknya tetap bertahan. Rasyidiyah masih tegak berdiri. Pasukan Israel telah
sering mengebom kamp Rasyidiyah tetapi setiap kali terjadi, kamp itu kembali
dibangun. Anak-anak kamp Rasyidiyah berdiri dan berpose di hadapanku dengan
penuh kemenangan sebagaimana kawan-kawannya di kamp Shatila.
Peringatan peristiwa pembantaian dan peperangan datang bergantian, kalender
bangsa Palestina penuh dengan berbagai peristiwa. Kami memperingati dan
mengenang kawan-kawan kami. Pada sekitar pukul tujuh pagi, tanggal 6 April 1988,
aku berada di flat NORWAC di Hamra. Aku baru saja tiba pada malam sebelumnya
dari kamp-kamp pengungsi dan sudah bersiap pergi menuju Bourj elBrajneh. Seorang
kawan Palestina tiba di flat sesaat sebelum aku berangkat. "Kamu mendengar kabar
terbaru?" tanya pria itu padaku.
"Kabar apa?" aku balik bertanya. Aku tidak mendengarkan siaran BBC pagi itu.
Sahutnya, "Lebih baik kamu mendengarnya dariku sebelum kamu pergi ke luar hari
ini. Abu Jihad telah dibunuh."
Aku tak tahu harus memercayainya atau tidak. Aku belum pernah bertemu dengan
pemimpin Palestina, Abu Jihad. Namun, aku pernah bertemu
dengan istrinya, Ummu Jihad, pada sebuah pertemuan dalam suatu konferensi
internasional di Je-newa. Kami menyetel radio dan mendengarkan berita. Para pria
bersenjata telah menggerebek rumah Abu Jihad di Tunis dan telah membunuhnya
serta tiga orang lainnya di hadapan istri serta putranya yang berusia tiga
tahun. Para pembunuh itu bahkan merekam peristiwa pembunuhan itu. Bayangan bahwa
keluarganya harus hidup dengan dibayang-bayangi peristiwa semacam itu membuatku
muak. Setiap orang di Lebanon terkejut PRCS, orang-orang baik di dalam maupun di luar
kamp, warga Palestina maupun Lebanon. Mereka menjadi tak berdaya selama beberapa hari.
Orang-orang Israel menuduh Abu Jihad sebagai pemimpin gerakan perlawanan di
wilayah-wilayah pendudukan. Rakyat Palestina menuduh bahwa Israel membunuhnya
demi menghentikan gerakan perlawanan. Bagi orang-orang Palestina di Lebanon,
yang moral mereka bangkit seiring terjadinya perlawanan di wilayah-wilayah
pendudukan sejak akhir 1987, gugurnya Abu Jihad merupakan sebuah pukulan telak.
Aku menemui Ummu Walid pada hari tersiarnya berita pembunuhan tersebut. Saat itu
adalah pertama kalinya kami berdua duduk bersama selama lebih dari satu jam
tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menangis dan aku menatapnya dalam diam.
Seperti warga Palestina lainnya yang terperangkap di dalam kamp-kamp di Lebanon
yang setengah dikepung, ia bahkan tak dapat menghadiri pemakamannya. Di mana Abu
Jihad akan dikuburkan" Tak seorang pun yang tahu. Abu Jihad tetap menjadi
seorang buangan, baik saat hidup maupun mati. Para penduduk di kamp Bourj
elBrajneh meminjam sebuah meja lebar dari klinik Samir al-Khatib dan
menghamparkan sehelai bendera Palestina di atasnya, serta mengadakan upacara
mengheningkan cipta. Pidato-pidato dan doa-doa yang dipanjatkan disiarkan
melalui alat pengeras suara masjid.
Semakin sering aku berbicara kepada para warga Palestina, semakin jelas pesan
yang muncul. Orang-orang Israel mengira hanya ada satu Abu Jihad. Namun, orang-
orang Palestina memberitahuku, "Di dalam kamp-kamp pengungsi di Lebanon dan di
dalam gerakan perlawanan massal di wilayah-wilayah pendudukan, kami semua adalah
Abu Jihad." Orang-orang di wilayah-wilayah pendudukan menjawab aksi pembunuhan itu dengan
cara meningkatkan perlawanan. Semakin banyak yang terbunuh, terluka, dan
tertawan oleh pasukan Israel, tapi semakin banyak yang bangkit melawan Israel.
Orang-orang Palestina di kamp Shatila mengatakan kepadaku bahwa MAP harus
memprioritaskan gerakan perlawanan tersebut. Mereka ingin semua bantuan
dialirkan ke wilayah-wilayah pendudukan, bahkan meskipun harus mengorbankan
penduduk Shatila. Sangat pedih bagiku mendengarnya, karena aku tahu betapa
mereka sangat menderita dan betapa mereka sangat membutuhkan dukungan kami. Aku
tahu berapa banyak yang mereka butuhkan untuk pembangunan kembali rumah-rumah
mereka. Semangat juang mereka berkurang karena pengepungan tak kunjung dihentikan tiga
tahun setelah dimulainya pengepungan tersebut dan hampir enam bulan setelah
Berri mengumumkan bahwa penarikan pasukan pengepungan tengah dilakukan. Biarpun
begitu, para penduduk kamp ingin menyumbangkan sisa-sisa kekuatan mereka demi
gerakan perlawanan saudara-saudara mereka di wilayah-wilayah pendudukan.
Kemudian, suatu dimensi lain muncul. Suriah mengizinkan jenazah Abu Jihad
dikuburkan di negara itu. Lusinan bus berisi penuh penumpang berangkat dari
Beirut menuju Suriah untuk menghadiri pemakamannya. Apakah ini berarti permulaan
sebuah dialog baru antara Suriah dan Palestina" Dalam waktu kurang dari sebulan,
masa tahanan temanku, Kazim Hassan Baddawi, selama setahun di penjara Suriah
akan berakhir. Aku sering terpikir untuk mengunjungi istri dan putra mereka yang
masih kecil, tapi belum juga kulaksanakan aku takut ia akan menyalahkanku atas
penahanannya. Kazim bukan satu-satunya orang Palestina yang dipenjara,
setidaknya terdapat dua ribu orang warga Palestina yang dipenjara sebagai
tahanan politik oleh pasukan keamanan Suriah. Akankah mereka akhirnya
dibebaskan" Namun, berbagai harapan pernah pupus sebelumnya, dan aku telah
belajar bahwa kita harus mampu menanggung kekecewaan.
Pesawat-pesawat pengebom Israel memecahkan ambang batas suara di Lebanon
Selatan. Desa-desa di selatan, sebagaimana kamp-kamp pengungsi Palestina,
diserang. Pada Mei 1988, dua ribu tentara Israel menyeberang ke Lebanon Selatan.
Orang-orang di Lebanon memberitahuku, "Tentara Israel gagal melumpuhkan gerakan
perlawanan di wilayah-wilayah pendudukan, jadi mereka melampiaskannya kepada
kami dengan cara mengancam akan menyerang Lebanon lagi."
Serangan itu dilancarkan dari berbagai jurusan, dengan sasaran warga Palestina
di Lebanon. Saida dan Lebanon Selatan dibom pesawat-pesawat Israel dan ditembaki
dari laut oleh kapal-kapal perang Israel. Kamp-kamp Beirut diserang dari arah
pegunungan, tidak hanya oleh pasukan Israel, tetapi juga oleh pasukan anti-PLO.
Kamp Shatila dan Bourj elBrajneh digempur tanpa henti sejak Mei 1988. Kedua kamp
tersebut diratakan, rumah-rumah serta rumah sakit dibumi hanguskan.
Kamp Shatila akhirnya runtuh pada 27 Juni 1988, diikuti kamp Bourj elBrajneh
beberapa hari kemudian. Aku mendengar berita mengenai kejatuhan kamp Shatila di
London, setibanya aku dari kunjungan penggalangan dana di negara-negara Teluk.
Para penduduk di seluruh negara Teluk ingin mendukung gerakan perlawanan dan
pembangunan rumah sakit serta klinik agar dapat merawat para korban Palestina.
Aku bisa bilang apa" Setiap kali memikirkan Shatila, aku masih menangis. Hampir
enam tahun telah berlalu sejak pertama kali aku bertemu dengan penduduk Sabra
dan Shatila. Pemahamanku akan rakyat Palestina tumbuh seiring aku hidup bersama-
sama dengan mereka. Mereka itulah yang
mengajariku, seorang dokter bedah wanita yang lugu, arti keadilan. Mereka itulah
yang menginspirasiku untuk berjuang tanpa henti demi terciptanya dunia yang
lebih baik. Setiap kali aku merasa ingin menyerah, mereka akan menguatkanku
dengan menunjukkan teladan tindakan mereka.
Kenangan akan serangan Israel pada 1982, hari-hari setelah evakuasi pasukan PLO,
ketika aku berbagi harapan-harapan dengan mereka untuk menata kembali kehidupan
mereka, hanya untuk dihancurkan kembali dengan terjadinya pembantaian Shabra-
Shatila, tahun-tahun pengepungan di kamp-kamp, setiap kali tertoreh sebuah luka
baru yang dalam dan berdarah yang tak dapat diobati oleh seorang dokter bedah
hal-hal semacam ini kini adalah bagian dari kesadaran diriku setiap hari.
Kadang-kadang aku bertanyatanya, mengapa hidup ini sangat menyakitkan. Kadang-
kadang aku membayangkan, mengapa aku tidak dikuburkan di kuburan massal itu, di
dalam puing-puing, bersama orang-orang lain pada 1982. Pada waktu yang lain, aku
membayangkan jika aku tertembak mati pada 1987, saat sedang mengusahakan memasok
barang-barang kebutuhan ke dalam kamp, aku bisa saja dikuburkan di samping
kawan-kawanku di Masjid Shatila.
Namun, ini hanyalah angan-angan belaka. Aku masih hidup, dan aku tahu bahwa
selama aku masih hidup, masih banyak hal yang harus kukerjakan. Hidup atau mati,
aku hanya ingin bersikap jujur kepada rakyat Palestina. Sekarang, setelah kamp
Shatila lenyap, cahaya itu telah padam. Ia telah bertahan hingga titik
penghabisan. Pasukan Israel telah gagal menghancurkan Shatila, selama tiga tahun
pasukan Amal di bawah kepemimpinan Nabih Berri telah mencoba, dan juga gagal.
Namun, enam tahun serangan gencar dari faksi-faksi dukungan Suriah akhirnya
meratakan apa yang tersisa di atas petak tanah berukuran dua ratus yard luasnya
ini. Ketika kamp dirobohkan, delapan orang menolak untuk menyerahkan diri. Di
antara mereka adalah Amni, Ketua Serikat Umum Wanita Palestina di Shatila. Ia
adalah salah seorang dari mereka di Shatila yang memintaku untuk mendukung
gerakan perlawanan. Kejatuhan kamp Shatila merupakan pukulan berat bagi kami. Namun, hal itu takkan
meruntuhkan gerakan perlawanan dan tuntutan akan diberikannya tanah air bangsa
Palestina. Pada 1982, aku telah menyaksikan pembantaian warga Palestina di
Beirut. Dari 1985 hingga 1988, aku telah menyaksikan kebangkitan mereka kembali.
Aku telah melihat semangat mereka yang tak terkalahkan dalam mempertahankan
martabat mereka di dalam kamp-kamp yang dikepung di Lebanon. Hari ini, mereka
telah membawa kembali ke tanah air leluhur mereka, perjuangan demi
mempertahankan keberadaan Palestina. Aku tidak lagi takut atau pesimistis. Aku
ingat Amni yang mengatakan kepada para penduduk di Jalur Gaza bahwa penduduk
Shatila tengah berjuang demi Gaza. Para penduduk Gaza menjawab bahwa mereka
tengah berjuang demi rakyat Shatila.
Setelah memantapkan dasar gerakan perlawanan ini, Shatila pun hancur. Akan
tetapi, keberadaan kamp Shatila secara fisik tidaklah penting. Shatila tetap
hidup di hati kami semua. Suatu hari, kami akan membangunnya kembali di atas
tanah air bangsa Palestina. Sampai hari itu tiba, kami akan memberikan
penghormatan kepada para syuhada Shatila, dengan terus-menerus memberikan
dukungan kepada rakyat yang tengah berjuang dalam gerakan perlawanan.
Berapa lama rakyat Palestina yang hidup dalam pendudukan mampu bertahan dalam
gerakan tersebut" Pertanyaan itu tidaklah penting untuk saat ini. Yang penting
adalah perlawanan itu telah dimulai.
Suatu generasi baru Palestina telah tumbuh di wilayah-wilayah pendudukan dan di
kamp-kamp Lebanon, dalam keadaan paling buruk sekalipun. Mereka telah melupakan
apa itu rasa takut. Mereka telah memilih untuk mati berdiri daripada hidup
berlutut di hadapan musuh. Sebuah lagu diciptakan Mustafa al-Kurd di medan
perjuangan di wilayah-wilayah pendudukan, berjudul "Batu dan Bawang". Bersama
sebongkah batu untuk menghadapi pasukan militer Israel, serta sebutir bawang
untuk mengurangi efek gas air mata, para demonstran Palestina telah menaklukkan
rasa takut. Lagu itu berbunyi:
Telah mati rasa takut yang bersemayam di hati kami
Rasa takut yang membunuh harapan dan
menghadang langkah kami Yang memadamkan cahaya Rasa takut itu mati dan aku menguburnya
dengan tanganku sendiri Rasa takut adalah monster yang menindas kami
Yang menganiaya kami Yang memecahkan guci dan menumpahkan isinya
Rasa takut itu mati dan aku menguburnya dengan tanganku sendiri
Mereka punya sebuah mimpi. Dan aku berbagi mimpi itu dengan mereka, mimpi
tentang sebuah dunia yang tampak jelas di tengah-tengah semburan gas air mata
dan reruntuhan yang berasap di kamp-kamp pengungsi. Sebuah dunia tempat seorang
bocah sebelas tahun tak perlu belajar cara menggunakan sepucuk Kalashnikov atau
mesin peluncur roket untuk membela keluarganya. Sebuah dunia yang damai, adil,
dan aman, tempat aku tak perlu mengatakan kepada seorang anak, "Pergilah ke
sekolah," hanya untuk mengetahui bahwa sekolahnya telah dibom, atau mengatakan
kepada seorang gadis, "Bantulah ibumu menyiapkan makan malam," hanya untuk
melihatnya kembali kepadaku dan mengatakan bahwa ibu dan keluarganya telah
dibunuh. Sebuah dunia tempat kami tak perlu lagi takut terkubur hidup-hidup di
dalam puing-puing. Sebuah dunia tempat aku tak perlu lagi memperbaiki bagian-
bagian tubuh yang patah hanya untuk
melihatnya dipatahkan lagi, atau memeluk tubuh remuk seorang bocah dengan
tanganku dan bertanya, "Mengapa?" atau mendengar orang-orang bertanya, "Berapa
lama lagi?" Sebuah dunia tanpa penjara, tanpa penyiksaan, tanpa rasa sakit,
tanpa kelaparan, dan tanpa kartu-kartu identitas pengungsi, tempat aku dapat
berteduh di rumahku sendiri dan mendengarkan nyanyian ibuku seraya menutup mata
di penghujung hari. Tempat itu adalah mimpi kami, Jerusalem kami.[J
CATATAN PENUTUP Dua puluh tahun pasca-pembantaian Sabra-Shatila 2002 Dari Beirut menuju Jerusalem adalah mimpi abadi setiap orang Palestina di
pengasingan. Diusir dan dibuang ke pengasingan sejak tanah air Palestina diubah
menjadi Israel pada 1948, jutaan warga yang merana di kamp-kamp pengungsi di
seluruh Lebanon, Suriah, Yordania, dan negara-negara /ainnya tak pernah berhenti
berharap untuk dapat pulang dan memperoleh hak kembali ke tanah air mereka. Jika
bukan tahun ini, maka tahun depan mereka akan tiba di Jerusalem.
Bagi teman-teman dan keluarga mereka yang tertinggal di Gaza dan Tepi Barat dan
hidup di bawah pendudukan sejak 1967, Palestina juga merupakan sebuah gagasan
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang takkan mati. Mereka semua sangat sadar akan sejarah mereka yang menyakitkan
dan panggilan untuk berkorban lebih banyak lagi demi Palestina yang merdeka dan
damai. Sejak kanak-kanak, setiap orang Palestina dapat menceritakan
ketidakadilan yang mereka terima pembantaian, pengusiran, penyerbuan,
pendudukan, kematian, dan penghancuran.
Dua puluh tahun yang lalu, terjadi pembantaian Sabra-Shatila. Aku sedang
bertugas di kamp, baru tiba sebulan sebelumnya sebagai sukarelawan dokter bedah
untuk merawat para korban selama serangan pasukan Israel di Lebanon.
Pembantaian anak-anak, wanita, orang tua,
dan orang-orang lemah yang tak bersenjata sungguh menyentakkanku. Aku merasa
sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani
dan murah hati melalui kematian mereka. Hingga saat itu, aku tak pernah tahu
bahwa para pengungsi Palestina itu ada. Sebagai seorang Kristen fundamentalis,
dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai
teroris yang harus dikutuk dan ditakuti.
Pengalamanku di Sabra-Shatila membuatku sadar bahwa orang Palestina adalah
manusia. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi untuk menjelek-jelekkan
mereka, pupus sudah. Bagaimana mungkin mereka adalah orang jahat, jika mereka
adalah korban ketidakadilan yang amat besar" Seperti orang-orang lain, aku harus
menghadapi kenyataan yang pahit, aku harus bertobat kebodohan dan prasangkaku
telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina.
Mereka yang selamat mendorongku untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi
Penyelidikan Kahan bentukan pemerintah Israel. Dan, dalam perjalanan melintasi
perbatasan Lebanon menuju Jerusalem, aku sadar sedang menempuh perjalanan yang
diimpikan oleh para pengungsi. Tanpa disengaja, aku sedang melakukan ziarah ke
tanah air mereka dan "pulang ke rumah".
Buku ini adalah kesaksianku. Pada tahun-tahun berikutnya, berulang kali aku
kembali ke Lebanon dan wilayah-wilayah pendudukan untuk melanjutkan tugasku
sebagai dokter bedah yang merawat para korban. Melalui organisasi-organisasi
amal seperti MAP yang dibentuk oleh sebagian dari kami, kami menyeru masyarakat
Inggris dan masyarakat lainnya untuk menyumbangkan dukungan materi berupa obat-
obatan bagi institusi-institusi kesehatan Palestina yang tengah terkepung. Aku
tak pernah berkata "tidak" terhadap setiap kesempatan untuk berbicara tentang
mereka demi mereka yang telah gugur maupun yang bertahan dalam pertemuan-
pertemuan yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia.
Momen peringatan memang penting. Momen semacam itu membuat kita mengingat
tragedi itu, momen tersebut juga merupakan saat-saat untuk berharap. Dengan
tidak pernah melupakan peringatan-peringatan seperti ini, berarti kita mengambil
langkah awal menuju keselamatan. Kami ingat peristiwa "penyaliban" mereka, dan
kami menegaskan keyakinan kami akan "kebangkitan" mereka.
Pada peringatan yang pertama, beberapa dari kami, para dokter dan perawat, pergi
ke Amerika Serikat untuk berbicara di hadapan rakyat Amerika. Orang-orang di
Barat harus menghadapi kenyataan tentang pembantaian tersebut untuk pertama
kalinya, mereka harus mengakui bahwa rakyat Palestina adalah korban
ketidakadilan yang sangat berat.
Pada peringatan yang ke-10, kami membawa serta para imam, rabi, dan pendeta
untuk melakukan kebaktian di gereja-gereja di London, untuk memberikan
penghormatan kepada para korban
yang gugur dalam peristiwa Sabra-Shatila. Sebuah pertemuan yang sederhana,
tetapi 1992 adalah tahun optimisme dalam keheningan, seiring dijalankannya
perundingan-perundingan damai.
Intifada perlawanan yang pertama di Gaza dan Tepi Barat telah berkobar sejak
1987. Liputan media massa mengenai peristiwa itu menunjukkan ribuan anak-anak
Palestina yang tak bersenjata melawan keganasan tentara Israel. Itu adalah
perang batu melawan tank-tank Daud (David) kecil melawan raksasa Goliath. Akibat
yang ditimbulkan sungguh tak sebanding, ratusan warga Palestina gugur, ribuan
lagi terluka, penawanan besar-besaran, pemberlakuan tahanan rumah serta jam
malam terhadap seluruh penduduk, penghancuran rumah-rumah secara sewenang-
wenang, penutupan sekolah-sekolah, penggeledahan rumah sakit-rumah sakit.
Kekejaman yang dilakukan demi menumpas gerakan perlawanan telah melanggar hukum
internasional, dilakukan di wilayah pendudukan, dan sebenarnya pendudukan itu
sendiri ilegal. Selama Intifada yang pertama, aku bertugas di rumah sakit Al Ahli di Gaza ?sebagai konsultan dokter bedah PBB dan telah merawat banyak dari mereka yang
terluka. Bangunan rumah sakitku itu sering diserang dari udara oleh para tentara
yang memburu para pemuda, bangsal-bangsal ibu-ibu hamil diserbu oleh para
tentara Israel yang bersenjata lengkap suatu penghinaan terhadap ibu-ibu yang
tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja-meja operasiku diancam.
Seorang kru televisi BBC memfilmkan "Kehidupan di Bawah Pendudukan", menampilkan beberapa orang dari
kami yang sedang bertugas di bawah kondisi-kondisi yang tak terperikan seperti
itu. Para juru rawat pria menghabiskan dua tahun di penjara menyusul perekaman
film itu. Para tentara itu membuat masa tugasku di Gaza menjadi tak tertahankan,
dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum aku dapat kembali.
Gerakan perlawanan menentang serangan Israel pada 1982 di Lebanon mengilhami
gerakan Intifada. Tanpa Sabra-Shatila, takkan ada simpati masyarakat
internasional untuk Intifada. Singkat kata, Sabra-Shatila adalah pemicu dan
katalisator bagi gerakan Intifada.
Pada 1992, proses perdamaian yang dimulai di Madrid diulur-ulur, tahun 1993,
pembicaraan rahasia di Oslo menawarkan beberapa hak otonomi bagi Palestina.
Meskipun ada keraguan mendalam terhadap kebebasan baru ini, banyak yang berharap
ini akan menjadi langkah maju menuju kembalinya kebangsaan mereka. Paling tidak,
mereka ditawari masa istirahat sehingga sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah
sakit, serta institusi-institusi sosial dapat dibuka dan dibangun kembali.
Mungkin keamanan akan kembali di bumi mereka. Tank-tank diharapkan akan pergi
dan jam-jam pengawasan akan dihapuskan agar anak-anak dapat keluar menikmati
sinar matahari dan bermain-main lagi.
Harapan-harapan seperti ini tentunya terlalu optimistik. Pembangunan permukiman
Israel, yang ilegal menurut undang-undang internasional, dipercepat. Tidak ada
yang dapat pindah antara Gaza dan Tepi Barat, dan di dalam kota-kota di Tepi
Barat, tanpa persetujuan Israel. Jerusalem Timur tetap dicaplok. Masih tak ada
hak kembali bagi jutaan orang buangan di pengasingan.
Pada Oktober 2000, gerakan provokatif Ariel Sharon di Masjid Al-Aqsa dengan
mengerahkan 2.000 tentara Israel, menyulut Intifada kedua. Penindasan yang
datang kemudian bahkan lebih parah daripada yang dihadapi Intifada pertama.
Lebih banyak lagi kematian dan kehancuran, jumlahnya pun terus bertambah. Pada
November 2002, Amnesti Internasional memublikasikan hasil-hasil penyelidikannya
dan menuduh Israel telah melakukan pembunuhan ilegal, penyiksaan, serta
penggunaan rakyat Palestina sebagai tameng manusia. Di antara "pelanggaran-
pelanggaran berat" terhadap hukum internasional adalah perlakuan buruk terhadap
para tahanan, penghancuran tanpa dasar rumah-rumah penduduk, terkadang sekaligus
dengan penghuni di dalamnya, serta pemblokiran bantuan medis bagi para korban.
Mereka menghimbau Inggris beserta negara-negara penanda-tangan Konvensi Jenewa
lainnya agar mengadili para tentara Israel karena "bertanggung jawab atas
kejahatan perang di Jenin dan Nablus".
Tahun 2002 adalah peringatan peristiwa Sabra-Shatila yang ke-20. Aku melakukan
kunjungan ke Lebanon dan wilayah Palestina yang diduduki. Pada bulan Mei, aku
melihat kehancuran besar-besaran yang dialami rakyat Palestina di Gaza
dan Tepi Barat sebagaimana yang digambarkan dalam laporan Amnesti Internasional.
Rumah-rumah dibom dan dilindas dengan buldoser, mobil-mobil ambulans yang
mengangkut para pasien dalam kondisi kritis ditembaki, sekolah-sekolah juga
dibom. Pada saat aku berada di sana, hampir empat puluh wanita hamil harus
melahirkan di pos-pos pemeriksaan Israel karena jalan menuju rumah sakit
diblokir. Hasilnya, beberapa ibu dan bayi meninggal. Baik Gaza maupun Tepi Barat
dibagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang dikepung tank-tank, jam-jam malam
diberlakukan kembali dan diperpanjang. Meskipun begitu, rakyat Palestina tetap
tabah. BBC ingin aku kembali mengunjungi kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila di
Lebanon untuk mengundang para korban yang selamat agar berbicara tentang hari-
hari traumatis pada September 1982. Setelah kunjungan yang memupuskan semangatku
ke Wilayah-wilayah Pendudukan, aku takut dengan apa yang akan kulihat di Beirut.
Aku tahu kondisi fisik mereka telah compang-camping. Apakah dunia sudah
melupakannya" Banyak hal yang terjadi di tempat-tempat lainnya, tapi adakah
perubahan bagi para pengungsi itu" Apakah mereka masih bercita-cita untuk
kembali ke Palestina"
Walaupun demikian, sekali lagi Beirut membuatku bangkit kembali. Dalam dunia
mereka yang terlantar, dalam kamp Shatila yang hanya berisi tumpukan puing, aku
bertemu pemuda-pemuda yang lahir setelah peristiwa pembantaian. Sebuah generasi
baru telah tumbuh dewasa. Anak-anak yang
selamat dari pembantaian Sabra dan Shatila kini telah mempunyai anak mereka
sendiri. Para orangtua kini menjadi kakek dan nenek. Orang-orang Palestina
buangan ini kini telah terpisah dari tanah air mereka selama empat generasi,
namun anak-anak mereka yang masih kecil dapat mendengar cerita yang sama dari
orangtua mereka tentang tempat-tempat seperti Ramallah, Hebron, Akka, Haifa,
Gaza, Al-Quds. Banyak dari mereka pernah pergi ke Lebanon Selatan untuk
memandang perbatasan yang menuju Galilee, tempat keluarga-keluarga mereka
dipaksa untuk mengungsi pada 1948. Meskipun tak ada kepastian akan masa depan,
mereka tahu, suatu hari mereka akan kembali. Dan jauh dalam lubuk hatiku, aku
berdoa bersama mereka dari Beirut menuju Jerussalem, tahun depan mereka akan
kembali ke Palestina. dr. Ang Swee Chai November 2DD2 Iblis Hutan Tengkorak 2 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Topeng 2
yang telah mengorbankan nyawa mereka demi perjuangan. Juga kepada mereka yang
menderita dalam penjara-penjara Israel, kepada anak-anak yang akan menulis babak
baru sejarah Palestina, kepada teman-teman di seluruh dunia yang terus
menunjukkan solidaritas kepada rakyat Palestina dalam keadaan yang paling sulit
sekali pun. Dan kepada penduduk Shatila, yang tak punya atap untuk melindungi
kepala mereka dari datangnya musim dingin Lebanon, yang tetap kuat bertahan
menghadapi serangan-serangan dan pembantaian demi pembantaian. Terima kasih atas
penghargaan Anda, tetapi saya tahu kepada siapa penghargaan ini seharusnya
diberikan, yaitu kepada orang-orang yang tindakan mereka terus menginspirasi
kami setiap hari, dan saya hanya bersedia menerimanya karena mereka tidak hadir
di sini untuk menerimanya, karena keadaan mereka hari ini ...." Aku kesulitan
untuk melanjutkannya, tetapi sang Ketua melingkarkan lengannya ke bahuku untuk
menenangkanku. Malam itu, aku teringat bagaimana orang-orang Palestina selalu berusaha untuk
berterima kasih kepada teman-teman mereka, bahkan pada saat mereka sebenarnya
tidak perlu melakukannya. Mereka juga tidak perlu memberikan penghargaan maupun
penghormatan kepadaku. Keyakinan dan kepercayaan mereka terhadapku melebihi apa
pun yang dapat kuminta. Dengan menganugerahiku Bintang Palestina, Arafat
sebenarnya telah memberiku
status sebagai warga Palestina. Aku menerka-nerka, apakah ia tahu bahwa ia
memberikan penghargaan ini kepada seorang buangan dari negara lain, yaitu
Singapura. Selama berada di Eropa untuk mengusahakan publikasi tentang keadaan di kamp, aku
tetap mengikuti perkembangan situasi di sana. Suhu udara menurun sejak Oktober.
Kemudian, tibalah bulan November, hujan mulai mengguyur dan kamp-kamp
kebanjiran. Bangunan-bangunan yang setengah hancur terkena bom akhirnya roboh
menimpa anak-anak serta melukai mereka. Langit pun kelabu, dan suasana mental di
kamp terasa lebih suram. Udara terasa dingin dan lembap setiap waktu. Tidak satu
pun bangunan di kamp Shatila yang kedap air. Derasnya air hujan mengguyur
melalui lubang-lubang bekas bom, air juga terus-menerus menetes dari lubang-
lubang bekas terkena peluru. Ke mana pun aku pergi di Eropa, aku berusaha
menggugah orang-orang supaya memedulikan hak-hak para warga Palestina untuk
mendapatkan atap yang dapat melindungi kepala mereka dari cuaca buruk.
Sejauh ini, bangunan rumah sakit adalah yang paling kecil kerusakannya
dibandingkan bangunan-bangunan lain yang hancur di Shatila. Namun, dr. Kiran,
salah seorang sukarelawan ahli anestesi dari MAP yang bekerja di Shatila, tidur
di lantai yang basah dengan matras yang tembus air. Media massa sudah tak
menaruh perhatian pada kamp. Tidak ada lagi pemberitaan tentang kamp. Jauh dari
sorotan kamera dan kaset rekaman, tersembunyi dari
para wartawan, para warga Palestina terus menanggung penderitaan dalam
keheningan, diabaikan oleh dunia yang tak kenal belas kasihan.
Sekali lagi aku kembali ke Beirut, setelah gagal mengumpulkan bantuan
internasional untuk mewujudkan pembangunan kembali kamp-kamp. Seperti halnya
setiap orang di dalam kamp, aku menjadi sangat tertekan.
Kemudian, sesuatu terjadi. Pada suatu hari yang suram dan lembap di bulan
Desember, ketika banjir di kamp Shatila telah mencapai betis, kami mendapat
kabar bahwa para warga Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki Israel di Gaza
dan Tepi Barat telah bangkit melawan pasukan Israel. Hari itu adalah tanggal 9
Desember 1987. Buletin berita itu menyebutkan bahwa para warga Palestina di
wilayah-wilayah yang diduduki Israel tengah berdemonstrasi menentang pendudukan
Israel, dan anak-anak kecil melempari batu ke arah para tentara Israel yang
bersenjata lengkap. Berita ini bagaikan udara segar yang berembus di tengah-
tengah kamp Beirut yang sedang dalam keadaan tertekan. Tiba-tiba, setiap orang
di Shatila membicarakan "Perlawanan di Wilayah-wilayah Pendudukan".
Belum lama berselang, aku telah menyaksikan anak-anak di kamp menggambar mayat-
mayat di dinding dengan gentian vioiet semacam iotion antiseptik untuk kulit
yang mereka ambil dari klinik Susan Wighton. Gambar-gambar tersebut merupakan
bukti terampasnya masa kecil mereka. Tapi,
sekarang semua anak itu berkumpul seraya mendengarkan dengan penuh semangat
orang-orang dewasa yang membicarakan perlawanan di wilayah-wilayah pendudukan
Israel. Mereka mengacungkan tanda "Y" dengan jari mereka di tiap-tiap lorong
pada setiap orang yang lewat.
Aku selalu yakin bahwa orang-orang Palestina di pembuangan dan orang-orang
Palestina di wilayah yang diduduki adalah dua bagian dari satu tubuh yang
terpisah, mereka ingin bersatu kembali. Kemenangan satu pihak akan mengilhami
pihak lainnya. Sekarang keyakinanku terbukti. Orang-orang buangan yang berada di
kamp-kamp Lebanon menjadi bangkit dan terilhami dengan apa yang sedang terjadi
di wilayah-wilayah yang diduduki Israel. Mereka mendengar perkembangan gerakan
perlawanan saudara-saudari mereka yang hidup di bawah pendudukan Israel. Mereka
bersukacita. Dua puluh tahun sudah pendudukan Israel berlangsung di Tepi Barat dan Jalur
Gaza. Rakyat Palestina hidup di bawah kekuasaan Israel, dalam kepiluan dan
kesengsaraan, selama dua dekade. Namun, sekarang mereka berdiri tegak dan
mengatakan kepada para penjajah itu bahwa mereka takkan lagi mengalah.
Seperti kebanyakan orang Palestina yang berada di kamp-kamp Lebanon, aku tak
dapat mengunjungi wilayah-wilayah pendudukan Israel. Tapi aku ingin mengetahui
wilayah-wilayah itu, dan aku telah mendengar cerita orang-orang yang telah
mengunjungi atau berasal dari wilayah-wilayah tersebut
dan telah mengalami kehidupan di bawah kekuasaan Israel. Aku menanyakan pada
seorang kawan perempuan Palestina yang berasal dari Jalur Gaza, bagaimana
keadaan di sana. Menurutnya, kehidupan di sana sangat sulit. Selain kondisi
kehidupan yang sangat keras rumah-rumah yang berdempetan, sanitasi yang buruk,
dan kemiskinan mereka pun harus menghadapi penindasan para penjajah. Israel
memberlakukan jam malam, menahan orang-orang, membatasi gerak, mengancam menutup
kamp-kamp, dan menghancurkan dengan sewenang-wenang rumah-rumah penduduk. Ia
sudah bertunangan dengan seorang pria Palestina yang tinggal di luar negeri,
tapi permohonannya untuk meninggalkan Gaza supaya dapat menikah dengan pria itu
ditolak. Sering kali, pemerintah Israel memanggilnya untuk diinterogasi
terkadang hanya untuk melecehkan atau mengancamnya, terkadang untuk membuatnya
berharap-harap bahwa ia akan diizinkan pergi, dan mereka tertawa-tawa melihat
kekecewaannya ketika ia diberi tahu bahwa semua itu bohong.
Suatu hari, ia menerima pesan dari pemerintah Israel supaya datang ke kantor
mereka untuk mendapatkan izin ke luar negeri. Ia mengira hal itu bohong belaka
sehingga ia benar-benar tidak siap ketika diberi tahu agar meninggalkan wilayah
pendudukan Gaza melalui jalan darat menyeberangi Gurun Sinai, menuju Mesir. Ia
juga diberi tahu bahwa ia tak boleh kembali ke keluarganya di Gaza selamanya.
Kawanku itu mengatakan padaku bahwa ia
harus segera pergi sebelum izin ke luar negerinya dicabut oleh penguasa Israel.
Setelah empat tahun menunggu, ia harus pergi sedemikian tergesa-gesa sehingga
bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada semua teman dan
keluarganya. Ia hanya mendapatkan tiket sekali jalan dari wilayah yang diduduki
Israel ke tempat pembuangan bersama suaminya.
Lahan-lahan yang terbaik telah diambil alih oleh Israel. Dari seorang kawan
lainnya, aku mendengar bahwa rakyat Palestina di Tepi Barat yang berusaha
mempertahankan lahan leluhur mereka diusir melalui berbagai penindasan. Sebagian
rumah penduduk dihancurkan, sedangkan rumah-rumah lainnya disegel oleh tentara
Israel, dan keluarga-keluarga yang terusir terpaksa tinggal di tenda-tenda.
Untuk mengeringkan lahan pertanian dan pohon-pohon zaitun milik warga Palestina,
tentara Israel mengebor sumur-sumur yang sangat dalam sehingga menyedot semua
air di tanah. Mereka membelokkannya untuk mengairi taman-taman bermain dan
kebun-kebun milik para pendatang baru yang berasal dari Amerika Serikat dan
Eropa. Setiap orang Palestina tidak diizinkan melakukan pengeboran sumur, dan
mereka dipaksa untuk membeli air yang dicuri pemerintah Israel dari mereka.
Setiap pukul empat pagi, para pemuda Palestina yang bertubuh kekar akan
dikumpulkan di berbagai pusat industri untuk menunggu seleksi. Para pemilik
pabrik, proyek-proyek pembangunan, dan pertanian Israel akan datang untuk
memilih buruh Palestina yang akan mereka pekerjakan pada hari itu, membawa pergi orang-orang Arab yang
telah mereka pilih bagaikan pemilik-pemilik budak di Abad Pertengahan. Para
pemilik budak di Abad Pertengahan harus memelihara budak mereka, tetapi
pemerintah Israel akan mengembalikan para pekerja itu pada penghujung hari,
setelah para pengusaha itu menguras tenaga mereka. Lebih dari seratus ribu orang
tenaga kerja dipilih setiap harinya. Jadi, orang-orang Palestina, selain
dirampas rumah dan tanah mereka, kini juga dijadikan budak-budak upahan harian
untuk mengolah lahan yang merupakan tanah mereka sendiri. Lalu, ke mana perginya
kesusilaan, moral, dan ketuhanan" Apa jadinya dengan perintah Tuhan kepada
bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, mengenai hubungan mereka dengan orang-orang
di luar bangsa mereka, "Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu
seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri,
karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir, akulah Tuhan, Aliahmu"
(Imamat 19: 34). Segala sesuatu yang berhubungan dengan Palestina dilarang. Orang-orang yang
diketahui memiliki barang-barang yang bercorak warna bendera Palestina akan
dipenjara, tak peduli apakah mereka pendukung PLO atau tidak. Anak-anak berusia
tiga atau empat tahun juga akan dipenjara jika bersikap anti-Israel. Kebanyakan
orang Palestina yang pernah ditawan di penjara-penjara Israel menuturkan kisah-
kisah serupa tentang cara-cara penyiksaan yang dilakukan orang-orang Israel di
dalam penjara. Banyak dari mereka, termasuk anak-anak, juga mengalami pelecehan seksual oleh
para penginterogasi Israel. Kawan-kawanku itu bisa tak habis-habisnya
menggambarkan kekejian orang-orang Israel terhadap orang-orang Palestina.
Ketika mencoba memahami bagaimana bisa orang-orang Palestina bertahan menghadapi
kekejaman seperti ini, aku diberi tahu sebuah kata bahasa Arab yang merupakan
bagian dari kosakata keseharian warga Palestina yang hidup di wilayah pendudukan
sumud. Artinya ketabahan, kesabaran. Bagiku, semangat ini sangat jelas terungkap
dari terjemahan lirik lagu ini, yang mengungkapkan perasaan orang-orang
Palestina ketika mereka dipukuli, ketika rumah-rumah mereka diledakkan oleh
pasukan Israel, ketika tanah-tanah mereka dirampas, ketika mereka diusir dan
diancam dibunuh: AKU BERTAHAN Aku bertahan, dengan tabah, aku bertahan
Di tanah airku, aku bertahan
Jika mereka merampas rotiku, aku bertahan
Jika mereka membunuh anak-anakku, aku
bertahan Jika mereka meledakkan rumahku, oh rumahku Dalam bayang-bayang dinding-
dindingmu, aku bertahan. Dengan harga diri, aku bertahan
Dengan sebatang tongkat, sebilah pisau, aku
bertahan Dengan selembar bendera di tanganku, aku bertahan
Dan jika mereka memotong tanganku serta benderaku
Dengan tanganku yang lain, aku bertahan.
Dengan tanahku, dan kebunku, aku bertahan Dengan keteguhan imanku, aku bertahan
Dengan kuku-kukuku dan gigiku, aku bertahan Dan jika luka-luka di tubuhku
bertambah Dengan luka-luka dan darahku, aku bertahan.
Ini adalah lagu yang dinyanyikan para warga Palestina yang hidup di bawah
pendudukan Israel, mereka yang harus berhadapan dengan pasukan yang
dipersenjatai paling lengkap di dunia, hanya bersenjatakan tubuh mereka dan
batu-batu. Namun, setelah Desember 1987, televisi di rumah-rumah di seluruh
penjuru Eropa Barat dan Amerika Serikat menayangkan gambar-gambar anak-anak
Palestina yang dengan gagah berani melemparkan batu ke arah tank-tank dan mobil-
mobil lapis baja Israel. Saat penyerangan Israel ke Lebanon pada 1982, aku sudah
menganggapnya sebagai pertempuran antara David dan Goliath. Namun, sekarang
sepertinya situasi ini benar-benar pengulangan dari kisah David melawan si
raksasa Goliath dengan hanya bersenjatakan batu. Semakin Israel berusaha memukul
mundur orang-orang Palestina, semakin kuat perlawanan mereka. Gambar-gambar
memuak-kan yang memperlihatkan para tentara Israel memukuli orang-orang
Palestina dan dengan sengaja mematahkan tungkai mereka, wanita-wanita Palestina
yang tengah hamil ditendangi, penggunaan gas air mata terhadap para demonstran
anti-pendu-dukan, dan penggunaan amunisi untuk melawan orang-orang Palestina
yang tak bersenjata, mengejutkan dunia Barat yang beradab baru dua puluh tahun
setelah serangan pertama dimulai.
Orang-orang Israel beraliran liberal menyatakan keprihatinan atas tingkat
kekerasan yang terjadi di wilayah-wilayah pendudukan mereka takut para tentara
itu akan menjadi bertambah brutal setelah memukuli para wanita dan anak-anak.
Seperti jika seseorang memukuli binatang, orang itu akan menjadi bertambah
brutal seiring ia melakukannya berulang-ulang.
Hingga baru-baru ini, seperti kebanyakan orang, aku percaya bahwa Angkatan
Bersenjata Israel yang superefisien itu tidak akan melakukan kekerasan sekejam
itu, aku mengira mereka tidak akan sanggup melakukannya. Pada awal 1983, ketika
pertama kali kembali ke London setelah pembantaian Sabra dan Shatila, aku
diwawancarai oleh seorang editor sebuah majalah Arab Saudi. Ia seorang yang
sangat pendiam dan mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata yang
kuucapkan. Pada akhir wawancara, ia bertanya padaku, "Apakah Anda pernah
menangis ketika memikirkan orang-orang Palestina?"
"Demi Tuhan, tentu saja," kataku. "Jika saya
tidak menangis, berarti saya binatang."
"Saya tahu itu, Dokter," sahutnya. "Terima kasih telah menjadi teman kami."
Kemudian ia menggulung lengan kemejanya, dan di lengannya terlihat luka lama
yang lebar akibat tembakan senapan mesin. "Saya berusia sepuluh tahun ketika
peristiwa itu terjadi," jelasnya. "Para tentara Israel itu mendatangi rumah saya
di Tepi Barat." Tidak ada kamera televisi di Tepi Barat pada waktu itu sehingga kekejaman terus
berjalan tanpa ada yang merekamnya. Barulah dua puluh tahun kemudian, media
massa Barat memublikasikan kekejian yang menimpa warga Palestina di wilayah
pendudukan Tepi Barat dan Gaza. Barulah setelah timbulnya perlawanan besar-
besaran yang dimulai pada 1987, wajah sebenarnya dari pendudukan Israel pun
tampak.[] Tiga Puluh Saat itu adalah musim dingin yang panjang dan tidak menyenangkan. Pada suatu
pagi, aku terbangun di dalam klinik Bourj elBrajneh. Ketika kubuka mataku,
kulihat wajah Dolly Fong yang tersenyum. "Selamat pagi, Swee. Tidurmu nyenyak?"
Ia menyambutku dengan secangkir kopi. Hari Minggu yang normal, tidak ada kerjaan
rutin, tapi jika kamp diserang, klinik akan menjadi pusat resusitasi bagi para
korban. Kecuali pada saat-saat ketika Susan Wighton kembali, Dollylah satu-
satunya orang asing di klinik ini. Ia telah mengurus klinik ini sejak Juli 1987.
Penduduk kamp selalu menyebut klinik ini sebagai klinik Suzy, atau klinik Dolly,
sesuai dengan nama dua orang dokter asing sukarelawan yang melayani mereka.
Namun, nama sebenarnya adalah Klinik Samir al-Khatib. PRCS membangun klinik ini
pada 1985 dan menamainya dengan nama seorang dokter mereka yang tewas di tangan
Israel. Dolly Fong termasuk salah seorang dari 11 sukarelawan medis yang dikirim warga
Malaysia untuk bertugas di Lebanon. Bagiku, para sukarelawan asal Malaysia ini
sangat istimewa. Mereka pekerja keras dan tidak menuntut macam-macam, dan juga
secara naluriah merasakan penderitaan orang-orang
Palestina. Banyak dari mereka yang melepaskan kesempatan kerja atau bisnis untuk
bertugas di Lebanon. Ada Mathina Gulam Mydin, seorang perawat Malaysia yang bekerja di daerah selatan
untuk melayani orang-orang Palestina maupun kaum Syi'ah Lebanon. Aku masih ingat
malam ketika ia menerima kabar bahwa neneknya meninggal. Mathina sangat dekat
dengan neneknya dan merasa takut ia takkan pernah melihatnya lagi setelah pergi
ke Lebanon. Ketakutannya itu terbukti, tetapi ia tidak menyesal kehilangan
kesempatan mengucapkan selamat tinggal kepada neneknya. Meskipun sangat sedih,
ia bisa menguasai dirinya dengan baik. Oleh karena keesokan harinya ia bekerja
seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sangat sedikit dari kami yang tahu bahwa ia
duduk sambil menangis sepanjang malam.
Lalu ada Tengku Mustapha Tengku Mansoor, seorang ahli farmasi Malaysia yang juga
adalah seorang pangeran. Namun, meskipun seorang pangeran, ia tak pernah
memanfaatkan uang yang diperolehnya berkat statusnya itu. Ia bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk menafkahi istri dan anak-anaknya serta
lima belas ekor kucingnya. Ketika mendengar seruan dibutuhkannya para petugas
medis di Lebanon, Tengku meninggalkan keluarga dan apoteknya, dan bergabung
dengan kami. Para penduduk kamp menyayanginya. Aku masih ingat dengan jelas
malam-malam saat ia bertugas. Pada pukul satu atau dua dini hari, teman-teman
Palestinanya biasa memanggil melalui
kaca-kaca jendela Rumah Sakit yang retak, "Mustapha, Amir Mustapha, kemarilah
dan minum kopi bersama kami." Amir adalah bahasa Arab untuk menyebut "pangeran".
Yang lainnya, juru rawat Pok Lui, dr. Naidu, dr. Hor, juru rawat Hamidah, juru
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rawat Hadji Rosnah, dr. Yussef, dan petugas paramedis Buddit dan Ahmed, mereka
semua adalah orang-orang berhati emas. Orang-orang Palestina senang sekali
bertemu dengan orang-orang dari negara Dunia Ketiga yang bersimpati kepada
bangsa Palestina, karena mereka tidak memiliki semangat paternalistik yang
terkadang ditunjukkan oleh para sukarelawan Eropa. Aku tidak sekadar merasa
bangga akan hal itu. Aku dilahirkan di Pulau Penang yang indah di Malaysia. Riam
sungai yang jernih, Ayer Itam, mengalir dekat rumah kami, kemudian bergabung
dengan sungai besar nan tenang yang bermuara ke lautan. Taman milik Kakek
dipenuhi semak-semak gardenia yang lebar, pohon-pohon buah yang tinggi, dan
tanaman berbunga merah dan biru yang tak pernah kuketahui namanya. Aku dan adik
laki-lakiku paling suka pohon-pohon asam. Saat kanak-kanak, kami dilarang
mendekati pohon mangga, cempedak, rambutan, dan belimbing, tapi kami boleh
sebebas-bebasnya mendekati pohon asam. Buahnya terlalu masam untuk dimakan, dan
kami selalu menyerahkan se-genggam buah asam kepada orang-orang dewasa untuk
digunakan memasak di penghujung hari. Seperti itulah rumahku semasa kanak-kanak,
sebuah surga tropis. Sebelas tahun lamanya aku hidup di
pengasingan, jauh dari Asia Tenggara, aku bahkan tidak dapat mengunjungi rumah
kakekku di Penang. Kini, orang-orang Palestina telah membawa kembali orang-orang
Palestina, Dolly dan Suzy bertekad untuk mengubah sisa-sisa bangunan menjadi
sebuah rumah. Sehingga, lantai atas yang terkena bom itu pun disulap menjadi
taman. Saat memangkas cabang-cabang mawar itu, aku memikirkan kamp Rasyidiyah di
Lebanon Selatan dan bagaimana selama pengepungan dan pengeboman para warga
Palestina bisa membangun sebisa dilakukan, namun setelah secara sembunyi-
sembunyi memasuki kamp Rasyidiyah, aku melihat rumah sakit yang baru dibangun
tersebut. Batu bata dan semen telah dibawa masuk ke dalam kamp tepat sebelum
pengepungan dimulai. Pengepungan kamp Rasyidiyah sama parahnya dengan yang
terjadi di kamp-kamp di Beirut, tetapi para penduduk Rasyidiyah berhasil
membangun sebuah rumah sakit dengan tangan mereka sendiri saat kamp tengah
diserang dan dikepung. Jadi, sebuah taman bunga mawar untuk Klinik Samir al-
Khatib tidaklah aneh, sebaliknya sangat masuk akal.
Pada Januari 1988, lebih dari dua setengah tahun setelah serangan pertama
pasukan Amal ke kamp-kamp pengungsi, Nabih Berri, pemimpin mereka, bangan
ditunda selama enam jam. Sampai di London, secara kebetulan aku bertemu dengan
Mike Holmes dan Susan Rae di Bandara Heathrow. Susan adalah penggalang dana
untuk kantor MAP di Skotlandia. Keduanya hendak melakukan perjalanan
ke wilayah-wilayah pendudukan, dan ini adalah perjalanan pertama Mike ke Timur
Tengah. Hampir seratus orang Palestina telah terbunuh sejak dimulainya
perlawanan, yaitu enam minggu sebelumnya, dan ratusan orang lagi terluka. Mike
membawa sumbangan dalam bentuk tunai untuk membantu para korban membayar biaya
rumah sakit. Setiap kali seorang warga Palestina mendaftarkan diri untuk
mendapat perawatan rumah sakit, para pegawai Israel mengenakan biaya lebih dari
seribu dolar Amerika Serikat sebagai deposito awal. Orang-orang Palestina yang
tak mampu membayarnya tidak akan mendapat perawatan.
Ketika melihat paspor Mike yang baru, aku tertawa. "Bagaimana kamu akan
meyakinkan para tentara Israel itu bahwa kamu seorang turis tulen, bukan seorang
pendukung Palestina yang pergi ke sana karena adanya perlawanan?" tanyaku,
karena aku tahu bahwa Mike sama sekali tak bisa berbohong.
Lucu juga menyaksikan Susan dan Mike memasuki bagian keberangkatan Bandara
Heathrow bersama serombongan orang Israel dan peziarah Kristen yang akan
berangkat ke Tel Aviv. Saat melambaikan tangan kepada mereka, aku berteriak,
"Sampaikan salam ciumku untuk Jerusalem!" Segelintir orang Israel menoleh dan
memandangku mereka pasti bertanyatanya, apa urusan wanita Cina ini dengan
Jerusalem. Mereka dijemput oleh Susan Wighton di bandara Tel Aviv. Suzy, yang sebelumnya
pernah bertugas di wilayah-wilayah pendudukan, sangat mengkhawatirkan teman-teman
Palestinanya ketika mendengar kekejaman tentara Israel dan pembunuhan terhadap
orang-orang Palestina, jadi ia pergi mendahului teman-temannya untuk mengunjungi
warga di sana. Oleh karena aku tak dapat mengunjungi wilayah-wilayah pendudukan, dengan putus
asa aku menunggu Mike kembali untuk mendengar perkembangan peristiwa di sana.
Buletin-buletin berita di London menunjukkan kekejian Israel terhadap para
demonstran Palestina, tetapi aku ingin tahu semangat para pelaku perlawanan
tersebut. Jika tak dapat berada di sana bersama mereka, aku ingin merasakan
semangat mereka. Di kepalaku tersirat berbagai pertanyaan. Berapa lama orang-orang Palestina yang
berada di bawah pendudukan Israel itu akan sanggup meneruskan gerakan perlawanan
mereka" Berapa lama mereka dapat bertahan dipukuli, dipenjara, dan kelaparan"
Jika pemogokan massal terus dijalankan, bagaimana mereka bisa bertahan hidup"
Siapa yang akan membawakan susu bagi anak-anak Palestina" Apakah orang-orang ini
sekuat dan setangguh penduduk kamp Shatila" Apa yang dapat kami lakukan untuk
mendukung mereka" Oleh karena aku sangat ingin mendengar laporan Mike tentang perjalanannya, aku
membuat janji bertemu dengannya di kantor MAP London. Kantor Mike juga merupakan
ruangan teleks, dan karena ia adalah petugas MAP bagian publikasi,
maka teleponnya sering berdering. Ia juga menerapkan kebijakan pintu terbuka
sehingga para sukarelawan bebas keluar-masuk kantornya.
Aku mendapatkan saran dari para wartawan yang pernah mewawancaraiku untuk selalu
menggunakan tape recorder, jadi aku membawa sebuah tape recorder. Kami duduk di
kantornya dan aku menyetel tape recorderku. Mike menceritakan bahwa hari
pertamanya di wilayah pendudukan bagaikan "pembaptisan dengan api". Ia
mengatakan kepadaku bahwa ia lebih banyak memahami pendudukan Israel dan
keberanian bangsa Palestina dari pengalaman-pengalaman yang berlangsung selama
dua puluh empat jam tersebut, daripada yang pernah didapatnya seumur hidupnya.
Ia dan Susan Rae tiba di Bandara Tel Aviv pada pukul lima pagi, tanggal 17
Januari 1988. Ketika waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, mereka meluncur
menuju kota tua Nablus, yang dinamakan demikian setelah berlangsungnya serangan
pasukan Napoleon. Saat itu, para penduduk kota ini melawan, dan sejak saat itu
menjadi "kota yang tidak bisa dirampas Napoleon".
Dalam perjalanan, mereka hampir saja terjebak dalam sebuah demonstrasi warga
Palestina, sementara para tentara Israel menembakkan senapan mereka ke arah
kerumunan massa. Ketika menceritakan hal itu kepadaku, Mike bergidik. Ia
mengatakan bahwa untuk sesaat ia mengira mereka berdua akan terperangkap dalam
demonstrasi tersebut dan akan dipukuli, ditembak, serta ditangkap seperti yang
lainnya. Untungnya, demonstrasi itu berarak
menjauh ke arah yang berlawanan, diikuti oleh para tentara Israel itu, dan
mereka melanjutkan perjalanan ke Nablus.
"Bagaimana pendapat kamu tentang Nablus?" tanyaku.
"Aku pertama kali terkena gas air mata di sana, dan itu sangat tidak
menyenangkan. Tapi orang-orang Palestina itu sama sekali tidak takut," sahut
Mike. "Ketika kami sampai di Nablus, para tentara Israel menyemburkan gas itu ke
rumah-rumah warga Palestina. Itu bukan semata-mata gas sianida sulfat biasa,
tapi versi baru gas itu CSS1S, CS560, lebih berbahaya daripada gas yang asli."
Ia menunjukkan kepadaku foto sebuah kaleng gas air mata. "Lihat, ini dibuat di
Pennsylvania," ujarnya. "Lihat tanggalnya. Tertulis 1988. Bahkan jika kaleng itu
keluar dari pabrik pada Tahun Baru, berarti kaleng itu hanya butuh waktu kurang
dari tiga minggu untuk tiba di Israel dan ditembakkan ke para demonstran
Palestina." Mike jelas sekali tampak kesal dan berhenti sebentar untuk menyulut
sebatang rokok sebelum melanjutkan kisahnya.
"Tak lama setelah kami sampai di sana, para warga Palestina keluar untuk menemui
kami, dan salah satu yang mereka perlihatkan kepada kami adalah koleksi peluru
karet mereka. Orang-orang mengira peluru karet tidak terlalu berbahaya. Tapi
sebenarnya peluru karet tidak seaman yang dikira. Ketika kami di sana, seorang
bocah laki-laki empat tahun tertembak di kepalanya oleh sebutir peluru karet. Ia
tidak sadarkan diri dan satu pupilnya mulai
melebar. Para dokter Palestina mengatakan bahwa peluru karet tersebut telah
menyebabkan pendarahan dalam di otak, dan ia harus dipindahkan ke Rumah Sakit
Hadassah untuk menjalani operasi bedah otak." Rumah sakit ini adalah rumah sakit
yang kukunjungi pada 1982 bersama Paul Morris dan Ellen Siegel, setelah
memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kahan Israel. Aku tahu itu rumah sakit
yang bagus, dan aku menanyakan pada Mike bagaimana hasil operasinya.
"Aku tak tahu apakah anak itu selamat. Setidaknya butuh waktu satu jam untuk
pergi dari Nablus ke Hadassah. Seandainya aku mempunyai kepala yang terluka
parah, yang tengah mengalami pendarahan dalam, hal terakhir yang kuinginkan
adalah diangkut di sepanjang jalanan yang rusak selama satu jam. Dan banyak
waktu terbuang percuma karena dokter Palestina harus menelepon dokter Israel
lama sekali untuk memintanya menerima pasien itu. Bukannya meminta pasien segera
dikirim ke rumah sakit, sang dokter di Rumah Sakit Hassadah bersikeras agar
kerabat si anak membawa 1.200 shekel Israel sebagai deposito awal. Jika tidak,
anak itu akan dikembalikan ke kamp."
Cara pembayaran ditempat semacam ini membuat Mike berang, terutama karena bocah
itu ditembak oleh tentara Israel.
Setelah itu, Clare Moran, salah seorang pegawai kami yang paling cakap dan dapat
diandalkan, masuk ke ruangan dan mulai mengetik dengan kecepatan enam puluh kata
per menit menggunakan mesin tik di kantor Mike. Kami menyerah dan pindah duduk di sebelah mesin
penyeduh kopi yang terletak di bawah tangga, berharap mendapatkan ketenangan
untuk bercakap-cakap. "Kami masih di Nablus," lanjut Mike, "dan diundang untuk mengunjungi kantor
Federasi Umum Perserikatan Perdagangan. Mereka punya daftar nama para korban,
dan ingin tahu apakah MAP dapat membantu perawatan mereka. Saat kami sedang
berbincang-bincang, aku benar-benar mengira dinding bangunan tersebut akan
ambruk ke arahku. Aku kaget, tetapi orang-orang Palestina itu tertawa itu hanya
suara pesawat terbang Israel yang melampaui ambang suara. Mereka melakukan itu
setiap waktu untuk menekan orang-orang Palestina." Mike mulai tertawa. Ia masih
agak malu karena tak dapat membedakan suara ledakan bom dengan suara pesawat-
pesawat yang melaju melampaui ambang batas suara.
"Kemudian, kami pergi mengunjungi rumah yang lain, tetapi sayangnya para tentara
Israel itu melihat kami. Mereka tahu kami orang asing dan mereka ingin
menghentikan kami. Lalu sekelompok anak-anak Palestina mengantarkan kami ke
dalam sebuah rumah dan sang pemiliknya mengunci pintu agar para tentara itu
tidak dapat mengejar kami. Tapi mereka tetap berdiri di luar, menggedor pintu,
dan berbicara melalui walkie-talkie mereka. Setelah sekitar sepuluh menit
berlalu, mereka pergi dan anak-anak mengetuk pintu dan mengatakan kepada kami
bahwa keadaan sudah aman sehingga kami
bisa pergi. Anak-anak itu telah berpindah ke belakang rumah dan mulai
melemparkan batu-batu tentara Israel. Tentara-tentara itu lalu mengejar anak-
anak itu dan melupakan kami! Kami diselamatkan oleh anak-anak Palestina! Mereka
sungguh ajaib. Mereka ada di mana-mana dan tidak takut terhadap apa pun."
"Jadi kamu telah jatuh hati kepada anak-anak Palestina, Mike?" tanyaku.
"Mengapa tidak" Mereka telah menyelamatkan kami," jawabnya seraya tersenyum.
Lalu lanjutnya, "Kami mengunjungi keluarga-keluarga Palestina, banyak dari
mereka yang hidup dalam kemelaratan. Seorang pria berkata pada kami, 'Lihatlah
keadaan yang mengenaskan ini. Saya melahirkan anak-anak saya ke dunia demi
Palestina. Lihatlah putra-putra dan putri-putri saya tubuh mereka memar dan luka
gara-gara dipukuli tentara Israel. Tapi ketika perban itu dibuka, mereka akan
kembali lagi keluar rumah untuk berdemonstrasi menentang para penjajah. Saya
sangat bangga kepada mereka. Dan ketika kami berbicara kepada anak-anak itu,
mereka mengatakan hal yang sama tentang orangtua mereka."
Saat pembicaraan kami tiba di situ, tiga orang mahasiswa bergabung bersama kami.
Merekalah yang dengan sukarela membantu kami mendapatkan mobil ambulans baru.
Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda yang sangat kusayangi, sangat
senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia menghambur ke arahku, membentur mesin
penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape recorderku mati.
Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian kami semua
terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia melanjutkan
kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan, sementara aku
terus merekamnya. "Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya. "Kami melihat betapa kehidupan orang-
orang di sana sangat menderita akibat pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang
menganga dan baunya sangat menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa
mencium bau busuk. Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk
tidak diperbolehkan menutup selokan-selokan tersebut. Tapi, orang-orang
Palestina tidak memendam rasa permusuhan terhadap rakyat jelata Israel. Kami
bertemu dengan seorang lelaki yang telah dideportasi beberapa minggu lalu. Istri
serta anak perempuannya telah dipukuli yang dengan sukarela membantu kami
mendapatkan mobil ambulans baru. Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda
yang sangat kusayangi, sangat senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia
menghambur ke arahku, membentur mesin penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape
recorderku mati. Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian
kami semua terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia
melanjutkan kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan,
sementara aku terus merekamnya.
"Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya.
"Kami melihat betapa kehidupan orang-orang di sana sangat menderita akibat
pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang menganga dan baunya sangat
menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa mencium bau busuk.
Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk tidak diperbolehkan
menutup selokan-selokan tersebut. Tapi, orang-orang Palestina tidak memendam
rasa permusuhan terhadap rakyat jelata Israel. Kami bertemu dengan seorang
lelaki yang telah dideportasi beberapa minggu lalu. Istri serta anak
perempuannya telah dipukuli yang dengan sukarela membantu kami mendapatkan mobil
ambulans baru. Salah seorang dari mereka, seorang gadis muda yang sangat
kusayangi, sangat senang melihatku kembali dari Lebanon. Ia menghambur ke
arahku, membentur mesin penyeduh kopi milik Mike, dan membuat tape recorderku
mati. Gadis yang malang itu merasa sangat malu, tapi sesaat kemudian kami semua
terbahak. Mike dan aku pergi ke ruang mesin fotokopi, dan ia melanjutkan
kisahnya yang mengharukan tentang wilayah-wilayah pendudukan, sementara aku
terus merekamnya. "Kami mengunjungi kamp Ballata," ucapnya. "Kami melihat betapa kehidupan orang-
orang di sana sangat menderita akibat pendudukan. Terdapat selokan-selokan yang
menganga dan baunya sangat menjijikkan. Para penonton televisi tidak akan bisa
mencium bau busuk. Berdasarkan hukum yang ditetapkan penjajah, para penduduk
tidak diperbolehkan menutup selokan-selokan tersebut. Tapi,
orang-orang Palestina tidak memendam rasa permusuhan terhadap rakyat jelata
Israel. Kami bertemu dengan seorang lelaki yang telah dideportasi beberapa
minggu lalu. Istri serta anak perempuannya telah dipukuli oleh para tentara. Ia
mengatakan bahwa mereka tidak membenci orang Inggris maupun Amerika, mereka
bahkan tidak membenci Yahudi. Katanya, 'Mereka bukanlah musuh kami. Musuh kami
adalah para tentara dan penjajah yang menduduki negeri kami. Usirlah mereka,
maka kami akan hidup damai sebagaimana dulu. Ia benar-benar seorang yang
berlapang dada!" Aku pun punya pendapat yang sama. Selama bertahun-tahun, rakyat Palestina
digambarkan sebagai orang-orang yang dipenuhi kebencian. Seperti Mike, aku
menemukan fakta yang berkebalikan dengan itu. Banyak orang Palestina yang
kutemui siap untuk memaafkan dan melupakan kesalahan bangsa Israel. Terkadang,
saat aku terus-menerus mengungkit-ungkit pembantaian Sabra dan Shatila, kawan-
kawan Palestinaku memintaku untuk melupakannya dan melangkah menuju kehidupan
yang membentang di hadapan kita. Namun, aku menemukan sebuah kutipan hebat bagi
mereka di Yad Vas-hem, Israel. Kutipan itu berbunyi, "Kealpaan mengarah pada
pengasingan, sedangkan kenangan adalah rahasia keselamatan." Aku mendesak mereka
untuk mempelajari kata-kata bijak Yahudi ini.
Kadang-kadang, ketika Mike menceritakan orang-orang Palestina yang membuatnya
tergugah, ia akan berkata seperti ini, "Kau tahu, ketika mendengar pria itu
bertutur, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku."
Aku mencatat kata-kata itu di pinggir catatanku" sesuatu yang tersangkut di
tenggorokan" agar ketika nanti menulis ulang catatan itu, aku ingat bahwa pada
bagian itu Mike nyaris menangis.
"Sang ibu Palestina yang cemas ini harus pergi menghadap Petugas Keamanan Israel
untuk meminta pembebasan putranya yang berusia sembilan tahun, yang telah
ditangkap gara-gara melemparkan batu. Tak lama sebelumnya, ayah sang anak
ditawan oleh pasukan Israel, dan ia masih tercatat dalam daftar orang yang
dicari. Jadi, sang ayah itu tak dapat pergi meminta pembebasan anaknya dan
terpaksa mengutus istrinya. Istrinya itu adalah seorang guru. Tentara Israel itu
berkata kepadanya, 'Anda seorang guru. Anda tidak seharusnya mengajari putra
Anda yang masih berusia sembilan tahun untuk membenci kami.' Ia membalas,
'Seorang bocah sembilan tahun seharusnya tidak membenci siapa pun. Penjajahan
ini telah mengajarinya untuk membenci tentara, saya tidak mengajarinya begitu.
Hentikan penjajahan ini, dan biarkan putra saya belajar untuk mencintai rakyat
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalian.' "Anak-anak Palestina bermunculan di mana-mana, membuat tanda kemenangan dengan
jemari mereka yang mungil. Anak-anak ini tidak kenal takut. Para tentara Israel
menahan bocah tiga tahun karena melempari mereka dengan batu, dan mereka
mengancamnya, 'Kamu baru tiga tahun dan seharusnya tidak tahu cara melempar batu
ke arah kami. Seseorang pasti telah mengajarimu. Katakan kepada kami siapa yang mengajarimu,
kalau tidak ....' Anak itu menjawab, 'Kakakku.' Begitulah. Serombongan tentara
bersenjata lengkap menggiring si bocah dan mengempasnya masuk ke rumah untuk
mencari kakaknya. Mereka menemukan kakaknya di pojok sedang bermain ia hanya
setahun lebih tua dari adik laki-lakinya!"
Semakin Mike terlarut dalam emosinya, semakin kental terdengar aksen
Skotlandianya. Terkadang aku harus menghentikan penuturannya dan memintanya
mengulangi apa yang dikatakannya. Ia akan menggerakkan tangannya dengan putus
asa, menyebutku "dasar orang asing" dan mengulanginya lagi.
Rombongan Mike meneruskan perjalanan ke Gaza dan mengunjungi rumah sakit serta
beberapa klinik. Mike kesulitan memperkirakan kebutuhan obat-obatan di sana
karena ia bukan petugas medis. Namun, ia berusaha memperkirakan jenis-jenis luka
yang ia lihat. Luka-luka para korban perlawanan tampak sangat parah. Sebagian
besar dari mereka tidak mendapatkan perawatan yang layak. Para tentara Israel
dengan sengaja mematahkan tungkai orang-orang Palestina itu sehingga mereka akan
pincang dalam waktu lama. Sebuah tungkai yang patah membutuhkan waktu berbulan-
bulan untuk sembuh, dan membutuhkan jangka waktu yang sama untuk melatihnya agar
dapat kembali berfungsi seperti sediakala. Sebagai seorang dokter bedah
ortopedis (bedah tulang), aku tahu bahwa tak ada
cara untuk mempercepat proses penyembuhan tulang. Jika empat tungkai seseorang
patah semua, ia akan tak berdaya selama setahun. Sementara itu, jika ia satu-
satunya pemberi nafkah, keluarganya akan kelaparan.
"Rumah Sakit Shifa di ibu kota Gaza dipenuhi para korban Palestina," ujar Mike
padaku. "Tempat itu dipenuhi orang-orang yang luka memar dan le-bam. Orang-orang
dengan lengan yang patah, kaki yang patah, dada dan perut yang remuk. Seorang
pemuda tujuh belas tahun yang sedang dalam perjalanan mengunjungi bibinya,
tertembak di salah satu kakinya dan dikejar-kejar pasukan Israel yang
melemparkan gas air mata ke arahnya. Seolah-olah itu tidak cukup, mereka
menggerebek rumah sakit dan mematahkan kaki yang satunya. Ketika dibaringkan di
tempat tidur, pemuda itu berteriak, 'Aku benci tentara Israel. Mereka harus
meninggalkan Pelestina dan memberikan hak-hak warga Palestina!' Ia terbaring di
samping seorang pria Palestina berusia empat puluh lima tahun yang kedua
testisnya remuk akibat perlakuan tentara Israel. Di samping pria empat puluh
lima tahun itu terbaring putranya yang berusia tiga belas tahun, kedua lengannya
patah gara-gara tentara Israel.
"Satu hal yang sering dikatakan orang-orang Palestina kepada kami adalah, 'Jika
Shatila dapat bertahan selama tiga tahun penyerangan dan pengepungan yang terus-
menerus, kami juga bisa bertahan menghadapi pendudukan ini."
Lalu ia menunjukkan kliping sebuah artikel di
koran lokal berbahasa Inggris. Di sana, dalam tulisan bercetak tebal, tertulis
kisah yang baru saja disampaikannya kepadaku. Bagiku, penuturannya itu
menjelaskan situasi yang sebenarnya kisah itu menunjukkan bahwa perjuangan
bangsa Palestina yang berada di pengasingan dan bangsa Palestina yang hidup di
wilayah pendudukan memiliki hubungan yang sangat erat. Apakah orang-orang ini
sama kuat dan teguhnya seperti para penduduk kamp Shatila" Sekarang aku punya
jawabannya. Momentum perlawanan tersebut terbentuk oleh keteguhan orang-orang
Palestina di Lebanon. Shatila telah mengarungi perjalanan dari tempat
pengasingan ke tanah air mereka, dari Beirut menuju Jerusalem.[]
Tiga Puluh Satu Seandainya aku sedang menulis suatu kisah romantis tentang para warga Palestina
dan menginginkan sebuah akhir cerita yang bahagia, maka bab ini tidak perlu
ditulis. Akan jauh lebih memuaskan secara emosional, baik bagi pembaca maupun
aku, untuk mengakhiri buku ini dengan kisah gerakan perlawanan yang telah meraih
perhatian khalayak dunia, seperti yang kutulis pada bab sebelumnya. Sayangnya,
ini tidak mungkin. Tragedi yang menimpa warga Palestina di Lebanon terus
berlanjut. Sebagai kawan mereka, kami masih tinggal bersama mereka, di dalam
rumah-rumah dan kehidupan mereka yang porak-poranda. Terdapat setengah juta
orang Palestina di Lebanon. Setelah membaca buku ini, Anda sudah mengetahui
penderitaan mereka. Gerakan perlawanan tersebut memberi mereka martabat dan
makna baru dalam hidup. Namun, seiring tahun 1988 terbentang di hadapan mata,
penderitaan yang serupa masih berlanjut. Pengepungan kembali dijalankan seiring
sirnanya perhatian media massa. Para sukarelawan medis MAP di Lebanon
melanjutkan tugas mereka secara diam-diam di dalam kamp-kamp pengungsi dan
tempat-tempat perlindungan. Mereka juga mulai bertanya padaku,
"Berapa lama lagi?"
Musim semi tiba kembali di Lebanon. Saat itu April 1988. Aku kembali lagi ke
Beirut untuk keenam kalinya. Kali ini untuk kunjungan singkat, terutama untuk
mengamati keadaan di sana, sehingga MAP dapat memanfaatkan sebaik-baiknya sumber
daya yang terbatas. Aku juga ingin menemui para sukarelawan kami dan berbicara
dengan mereka. Banyak dari mereka yang telah tinggal di sana untuk waktu yang
lama, dalam kondisi kamp yang mengenaskan, bertahan menghadapi serangan-serangan
udara, tembakan meriam dan bom, serta ketiadaan tempat tinggal bersama-sama para
warga Palestina selama musim dingin yang panjang.
Penderitaan yang memilukan selama musim dingin 1987-1988 hanya benar-benar bisa
dipahami oleh mereka yang tinggal di dalam kamp. Dinding-dinding kamp yang penuh
dengan lubang besar bekas serangan bom ditutup seadanya dengan guntingan-
guntingan kecil plastik polythene. Hujan dan embusan angin dingin menerobos
masuk. Pintu kayu serta daun jendela yang tersisa dibakar selama berlangsungnya
musim dingin yang menusuk tulang, ketika para warga kehabisan bensin dan kayu
bakar. Setahun telah berlalu, tetapi perbaikan dan pembangunan kembali rumah-
rumah yang hancur masih sepenuhnya dilarang. Sehingga, jendela-jendela masih
saja tidak memiliki daun jendela. Meskipun demikian, setahun lagi telah berlalu.
Pada perjalanan kali ini, aku melakukan banyak sekali kunjungan, termasuk ke
lembah Beka'a, Beirut, dan Lebanon Selatan. Kamp terbesar di Beka'a adalah Bar Elias, yang
diawasi oleh para tentara Suriah. Sebagian besar warga Palestina datang kemari
dari Lebanon Selatan atau Beirut, terutama setelah serangan 1982 dan peperangan
kamp tahun 1985 hingga 1988. Beberapa orang dari kami menemui kepala PRCS di
sana untuk mendiskusikan bagaimana MAP dapat memberikan dukungan yang terbaik
bagi mereka. Aku terkesan melihat betapa rumah sakit di sana telah difungsikan
dengan baik walaupun kekurangan fasilitas dan peralatan. Terdapat sekitar
seratus ribu orang warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal, mereka hidup
di tempat-tempat penampungan di sekitar kamp, dalam kondisi yang terus memburuk.
Tepat di atas jalan raya terdapat Anjar, pusat penahanan yang dikontrol oleh
pasukan Intelijen Suriah. Di sana, para tawanan Palestina diinterogasi dan
disiksa sebelum akhirnya diangkut ke Suriah.
Pada musim semi, hujan deras telah berhenti dan matahari menghangatkan kembali
pegunungan dan pantai. Namun, di Beirut, tak ada yang mengingatkan kami akan
keindahan musim semi selain mungkin senyum Rita yang menyinari hati kami. Rita
Montanas adalah seorang petugas kesehatan masyarakat asal Jerman yang berusia
tujuh puluh lima tahun. Ia adalah orang terakhir yang bergabung dengan MAP. Ia
memulai rutinitas hariannya dengan membagi-bagikan susu kepada para pengungsi
yang hidup di tempat-tempat perlindungan di sepanjang kota yang porak-poranda.
Kegiatan pembangunan kembali masih dilarang di kamp-kamp yang hancur lebur,
blokade pengiriman bahan-bahan material terus berlanjut dan para penduduk tetap
tak punya tempat tinggal. Tahun Internasional Perlindungan bagi Tunawisma, 1987,
telah datang dan pergi. Selain berbagai resolusi yang diputuskan pada
konferensi-konferensi tingkat internasional, tidak ada hasil yang konkret.
Resolusi-resolusi yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai tempat
tinggal itu tak punya arti apa pun bagi orang-orang yang hanya punya pilihan
antara tinggal di puing-puing kamp mereka dan di tempat-tempat penampungan
pengungsi yang porak-poranda di luar kamp di jalanan Kota Beirut.
Orang-orang di tempat penampungan pengungsi menjuluki Rita "Mama Halib". Halib
berarti susu dalam bahasa Arab. Mereka kemudian memanggilnya "Mama Rita" ketika
menyadari bahwa ia membawakan lebih dari sekadar susu bagi anak-anak mereka. Ia
juga membawakan baju-baju, buku-buku, obat-obatan dan terutama, ia membawa rasa
persahabatan yang dibutuhkan di tempat-tempat penampungan yang suram dan
terabaikan itu. Aku tahu Tuhan telah memberi Rita kehangatan hati serta senyum
untuk membawa secercah kebahagiaan di tempat-tempat penampungan yang porak-
poranda. Ia juga mempunyai kesabaran yang luar biasa ia bekerja selama mungkin
untuk melayani orang-orang. Laila Syahid, kawan Palestinaku, pernah berkata
kepadaku, "Terkadang, ketika menatap teman-teman yang dimiliki bangsa Palestina,
aku percaya bahwa Tuhan tahu kami telah terlalu banyak menderita. Pada saat-saat yang sangat
buruk sekali pun, kami dianugerahi teman-teman yang sangat istimewa."
Tempat-tempat penampungan itu sangat tak bermartabat, benar-benar suatu
penghinaan bagi para warga Palestina. Mereka telah mengubah tenda-tenda menjadi
rumah-rumah, kamp-kamp menjadi kota-kota buangan. Kini, kota-kota mereka
dihancurkan, identitas mereka dihilangkan, dan mereka dipaksa untuk berjongkok
di tempat-tempat penampungan semacam ini. Setiap ruang disekat dengan tirai-
tirai hitam menjadi ruang-ruang kecil untuk setiap keluarga kecil. Sebuah ruang
seluas 15x15 meter digunakan untuk menampung beberapa ratus orang. Di dalam
tempat pengungsian yang berpenerangan buruk ini, tak pernah ada cukup cahaya
untuk bisa melihat. Tetapi, kita dapat mengetahui betapa sesaknya ruangan ini
dari baunya. Over produksi karbondioksida, kelembapan, serta depresi para
penghuninya menciptakan suasana penuh tekanan. Aku teringat sebuah buku yang
ditulis temanku, Rosemary Sayigh, berjudul Palestinians, from Peasants to
Revolutionaries (Bangsa Palestina, dari Petani Menjadi Pejuang Revolusioner).
Tempat-tempat penampungan itu membuatku sangat sedih dan terpikir untuk menulis
sebuah buku b e rj u d u I: Pales tinians, from Re volu tionaries to Refugees
(Orang-Orang Palestina, dari Pejuang Revolusioner Menjadi Pengungsi). Di dalam
tempat penampungan seperti ini, tanah air Palestina tampak
sungguh jauh. Di sini, perjuangan tampak terhenti, begitu pula kehidupan.
Namun, aku keliru. Mereka hanya tampak tak berdaya saja, tetapi sebenarnya tidak
demikian. Ketika pos-pos pemeriksaan itu ditiadakan, para penduduk di tempat-
tempat penampungan kembali ke kamp-kamp yang hancur lebur untuk hidup di sana!
Daripada menjadi pengungsi tanpa identitas, mereka lebih memilih menjadi tahanan
yang bermartabat di dalam puing-puing serta reruntuhan kamp Palestina. Orang-
orang di dalam tempat penampungan tidak lupa bahwa mereka adalah bangsa
Palestina. Lagi-lagi ini menjadi awal dari proses transformasi tempat
pengungsian menjadi tempat pengasingan. Populasi penduduk kamp Shatila, Bourj
elBrajneh, dan Rashidiyah lagi-lagi meningkat. Toko-toko mulai dibuka, anak-anak
meminta untuk pergi ke sekolah. Para wanita mulai membuat kain-kain bordir khas
Palestina semua kembali berjalan seperti dulu.
PRCS ikut membangun kembali kamp-kamp itu. Mereka mulai lagi memperbaiki rumah
sakit-rumah sakit serta klinik-klinik mereka. Rumah Sakit Shatila dan Rumah
Sakit Haifa sedang diperbarui.
Aku ingin mengunjungi Rumah Sakit Rasyidiyah dan menemui tim MAP yang bertugas
di sana. Oyvind dan aku naik ambulans yang penuh berisi berbagai persediaan
obat-obatan dan barang-barang lain. Kami melaju ke selatan, menuju kamp
Rasyidiyah. Rute perjalanan kami menempuh jalan raya bergelombang yang sama yang
pernah ku - lewati bersama Ellen Siegel, Paul Morris, dan Angkatan Bersenjata Israel ketika
hendak menuju Jerusalem pada 1982. Di sebelah kanan kami, ombak Laut Tengah
berdebur dengan malas di sepanjang pesisir pantai. Di sebelah kiri kami, padang
rumput dipenuhi bunga anggrek yang kembali tumbuh setelah invasi 1982. Kini
terlihat bentangan hijau dihiasi titik-titik buah jeruk dan jeruk limau. Aroma
pepohonan jeruk yang tengah berbuah dan bunga-bunga melati yang bermekaran
mengharumkan udara sekitar. Padang rumput itu diselimuti bunga-bunga aster yang
berwarna kuning cerah. Terletak di dekat Kota Sour, Rasyidiyah berjarak tiga jam
perjalanan dari Beirut, asalkan pos-pos pemeriksaan di sepanjang jalan tidak
terlalu banyak menimbulkan masalah.
Meskipun sejak 1982 telah berpindah tangan, pos-pos pemeriksaan itu tetap saja
ada. Dari Beirut hingga Sungai Awali, tepat di sebelah utara Saida, pos-pos
pemeriksaan itu kini dijaga oleh pasukan Suriah. Dari Awali hingga persis di
sebelah selatan Saida, pos-pos pemeriksaan dijaga oleh pasukan kum Lebanon-Sunni
yang merupakan anggota partai Mustafa Saad. Mulai dari sana, pos-pos pemeriksaan
di semua jalur menuju Kota Sour dijaga oleh pasukan Amal. Lebih jauh lagi ke
selatan adalah wilayah di bawah kontrol pasukan Unifil, dan kemudian wilayah-
wilayah pendudukan Israel.
Selain Rasyidiyah, terdapat pula kamp-kamp lainnya di dekat Sour. Kamp-kamp yang
lebih kecil adalah Qasmieh, Al-Bas, dan Bourj el-Shemali. Meskipun kamp-kamp ini
tidak dikepung, warga Palestina yang tinggal di sana tidak merasa aman karena
sering terjadi penculikan dan pembunuhan.
Kamp Rasyidiyah berjarak sekitar tujuh belas kilometer dari perbatasan Israel,
atau "Wilayah Palestina yang Diduduki" begitu orang-orang di kamp menyebutnya.
Tidak seperti kamp Shatila, kamp tersebut sangat luas. Penduduk di sana dapat
menanam sayur-mayur, buah-buahan, dan bunga-bunga di dalam kamp. Salah satu
garis batasnya adalah Laut Tengah, dengan bentangan pantainya yang berpasir.
Garis batas lainnya adalah tanaman anggrek, jeruk, serta lemon. Berkat adanya
pohon-pohon jeruk serta berbagai tanaman lainnya, kamp Rasyidiyah tidak mati
kelaparan selama terjadinya pengepungan pasukan musuh.
Seperti kamp Ain al-Halwah di Saida, Rasyidiyah dihancurkan oleh pasukan Israel
pada 1982, seperti Ain al-Halwah, kamp itu kini dibangun kembali. Kamp itu
pernah dibom oleh pasukan Amal hingga hancur selama perang kamp terakhir yang
berlangsung dari Oktober 1986 hingga April 1987, dan jalan masuk ke sana masih
dijaga oleh para tentara Amal. Para penduduk Rasyidiyah telah mulai memunguti
serpihan-serpihan reruntuhan. Puing-puing dari rumah-rumah yang menjadi korban
ledakan dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bangunan untuk memperbaiki area-
area yang hancur. Pria, wanita, dan anak-anak sibuk bekerja di ladang. Tanaman
sayur-sayuran mulai tumbuh. Kios-kios mulai dibuka. Di dalam kamp ini, Anda
lebih baik menggunakan sepeda untuk bepergian daripada berjalan kaki karena jarak
antarbangunan cukup jauh. Sebagian besar bangunan asli Rasyidiyah dibangun di
atas dataran tinggi, tetapi ada bangunan-bangunan baru di daerah dekat pantai,
berupa deretan rumah-rumah bata berlantai satu yang telah rusak parah akibat
dibom. Di luar kawasan itu terdapat pantai berpasir halus di sepanjang pesisir
Laut Tengah. Pada masa sebelum perang, kegiatan memancing, berenang, dan
berjemur di bawah cahaya matahari sangat mungkin dilakukan. Namun, perang telah
menghancurkan potensi bahan pangan dan rekreasi di sini. Daerah itu dipenuhi
para penembak jitu yang berjaga-jaga setiap waktu.
Dr. Salah, Direktur PRCS di Rasyidiyah, tengah sibuk membantu mengecat rumah
sakit yang hampir siap digunakan. Seperti warga pria Palestina lainnya, dr.
Salah telah terjebak dalam pengepungan untuk waktu yang sangat lama. Karena
pengepungan kamp Rasyidiyah terjadi sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka,
dr. Salah baru mengetahui bahwa ialah satu-satunya dokter di kamp yang dikepung
itu. Padahal, saat peperangan terakhir itu, kamp tersebut dihuni oleh tujuh
belas ribu penduduk. Ia merawat para korban yang terluka, menangani orang-orang
yang sakit, ikut berperan dalam pembangunan rumah sakit selama masa pengepungan,
dan mengurusi kebutuhan obat-obatan kamp. Ia terlihat betul-betul lelah, tapi
tetap ramah dan sabar. Ia telah berhasil meraih rasa hormat para penghuni kamp,
termasuk para sukarelawan MAP.
Para sukarelawan MAP adalah dr. Kiran Gargesh dan Susan Bernard, seorang perawat
bangsal rumah sakit. Kiran adalah seorang ahli anestesi berkebangsaan India yang
pertama kali bergabung dengan MAP pada 1986. PRCS nyaris putus asa mencari orang
untuk mendirikan layanan anestesi di dalam rumah sakit yang baru dibangun di
kamp Ain al-Halwah. Aku ingat betul pertemuan pertama kami. Kiran adalah seorang
dokter pria vegetarian yang lembut. Ia datang ke kantor MAP London untuk
menemuiku. Saat itu ia sedang terserang flu yang parah, begitu pula aku. Namun,
meskipun aku sedang sakit, aku bisa melihat ada sesuatu pada dirinya yang
membuatku yakin bahwa ia memiliki sifat tak mementingkan diri sendiri sifat yang
jarang dimiliki orang. Ia pergi ke Lebanon pada 1986, dan sejak saat itu bekerja
tanpa mengenal lelah dan sama sekali tak pernah mengeluh. Ia tidak hanya
membaktikan diri sebagai seorang ahli anestesi, tetapi juga sebagai seorang
pengajar anestesi. Ia telah bertugas di kamp Ain al-Halwah dan Shatila. Sekarang
ia bertugas di Rasyidiyah.
Kiran dan Susan berhasil memasuki kamp Rasyidiyah ketika pengepungan kamp agak
dikendurkan. Mereka ingin membantu PRCS mendirikan sebuah bangsal operasi di
dalam kamp. Susan telah berangkat dari kantor MAP di London menuju Lebanon untuk
menjalani masa tugas tiga bulan. Namun, ia merasa berat untuk kembali ke London
dan memilih tinggal di Rasyidiyah. Ia sekarang sibuk membangun bangsal operasi
tersebut. Kiran sekali lagi mulai
melatih para teknisi anestesi untuk bekerja bagi PRCS di Rasyidiyah. Aku ikut
bergabung dalam salah satu sesi pelatihan dan menikmati setiap menit pengajaran
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diberikannya. Aku merasa senang dapat berbicara lagi dengan Kiran. Jiwanya luar biasa stabil,
dan aku jadi sangat tenang melihat orang yang berjiwa sangat stabil sekalipun
bisa jatuh cinta pada warga Palestina. Aku sering berpikir bahwa aku sudah gila
ini pastilah satu-satunya cara untuk menjelaskan obsesiku terhadap orang-orang
Palestina. Pada musim panas 1987, aku kembali ke Beirut bersama empat orang
sukarelawan medis baru asal Malaysia. Kami transit di Siprus dan menginap di
hotel sambil menunggu penerbangan ke Beirut. Sang manajer hotel mengenaliku dan
menyapaku, "Anda takkan kembali ke Lebanon lagi, kan, bersama para sukarelawan
baru ini" Mengapa Anda terus-terusan kembali" Anda tahu, semua orang di Lebanon
itu gila, dan di sana sangat berbahaya."
Para sukarelawan Malaysia kemudian menatapku mereka telah diberi pembekalan
tentang bahaya yang mungkin akan mereka hadapi di Lebanon. Setelah hening
sebentar, aku menjawab, "Ya, saya tahu mereka semua gila. Tapi kami juga gila."
Meledaklah tawa sang manajer, lalu ia memesankan minuman untuk kami semua.
Selama para dokter dan perawat dari seluruh dunia melupakan kepentingan diri
mereka sendiri dan terus menawarkan hidup dan keahlian mereka demi orang-orang
di Lebanon, aku akan terus terilhami dengan kegilaan
ini. Namun, Kiran selalu bersikap tenang ia selalu bersikap layaknya seorang
dokter, sepenuhnya yakin akan kehidupan, dan memberi cinta kepada warga
Palestina. Tak peduli betapa berat keadaan di sana seperti pada masa-masa
pengepungan, atau selama terjadinya serangan udara pasukan Israel, atau ketika
teman-temannya gugur dalam peperangan ia tetap tenang dan penuh percaya diri.
Mungkin itu disebabkan ajaran filosofi India yang dianutnya, aku tak tahu pasti,
tapi aku sangat berterima kasih atas pembawaannya yang begitu tenang.
Kami semua dijamu oleh para warga Palestina di kamp Rasyidiyah dengan cara
tersendiri. PRCS serta Serikat Umum Wanita Palestina duduk bersama-sama dan
menyuguhi kami makan malam. Para perwakilan komite masyarakat kamp juga
bergabung dalam acara makan malam tersebut. Kami membicarakan perlawanan,
perlunya tanah air bagi bangsa Palestina, masa depan warga Palestina di Lebanon.
Makanannya enak dan merupakan hasil olahan kamp sendiri. Menunya adalah terung
goreng yang garing, salad yang lezat, roti pitta Arab yang baru dipanggang, nasi
yang dimasak dengan bawang putih, jahe cardamom, kacang almond, dan jeruk lemon
segar. Sebagai minumannya adalah teh mint serta kopi Arab. Juga ada permen-
permen khas Arab dan puding sebagai hidangan penutup, tetapi aku tidak
mencicipinya karena aku tidak suka makanan manis. Kami terus berbincang-bincang
hingga larut, kemudian berpisah. Tak ada listrik di Rasyidiyah, jadi aku harus
menggunakan senter. Namun, Kiran dan Susan telah terbiasa bergerak dengan gesit
dalam kegelapan. Kami kembali ke flat untuk sukarelawan medis di Rasyidiyah. Flat ini terletak di
lantai atas sebuah bangunan yang telah dibom dan terdapat lubang-lubang besar
bekas tembakan peluru di dinding-dindingnya. Namun, penginapan ini masih memadai
dalam keadaan darurat seperti ini. Susan membuatkan kami kopi lagi kali ini
Nescafe. Udara sangat dingin dan kami membersihkan badan dengan menggunakan air
dingin yang ditimba menggunakan ember-ember plastik dari sumur terdekat.
Penerangannya menggunakan lampu kerosin berukuran kecil. Kompornya adalah sebuah
perkakas yang dibawa Susan dari Swedia. Saat itu, membuat secangkir kopi adalah
pekerjaan yang cukup sulit, karena Susan harus memompa selama setengah jam untuk
mendapatkan tekanan yang cukup agar parafinnya terbakar. Namun, alat-alat yang
mereka miliki sangat sederhana. Kami duduk sambil mengobrol hingga kami tak kuat
lagi menahan kantuk. Aku telah belajar bahwa saat-saat seperti ini sungguh
berharga, dan sungguh menyebalkan karena kami harus tidur.
Penembakan dan pengeboman terhadap Rasyidiyah sangatlah dahsyat. Terdapat sebuah
pekubu-ran luas yang baru dibuat untuk mengebumikan mereka yang berkorban nyawa
selama terjadinya perang terakhir. Terlebih lagi, kamp ini adalah salah satu
kamp yang diserang oleh pasukan udara Israel.
Terkadang hanya berupa suara pesawat mereka yang memecahkan ambang batas suara
untuk menakut-nakuti penduduknya, terkadang mereka juga menjatuhkan bom-bom ke
atas kamp. Kamp tersebut rusak berat selama terjadinya serangan terakhir, tapi
penduduknya tetap bertahan. Rasyidiyah masih tegak berdiri. Pasukan Israel telah
sering mengebom kamp Rasyidiyah tetapi setiap kali terjadi, kamp itu kembali
dibangun. Anak-anak kamp Rasyidiyah berdiri dan berpose di hadapanku dengan
penuh kemenangan sebagaimana kawan-kawannya di kamp Shatila.
Peringatan peristiwa pembantaian dan peperangan datang bergantian, kalender
bangsa Palestina penuh dengan berbagai peristiwa. Kami memperingati dan
mengenang kawan-kawan kami. Pada sekitar pukul tujuh pagi, tanggal 6 April 1988,
aku berada di flat NORWAC di Hamra. Aku baru saja tiba pada malam sebelumnya
dari kamp-kamp pengungsi dan sudah bersiap pergi menuju Bourj elBrajneh. Seorang
kawan Palestina tiba di flat sesaat sebelum aku berangkat. "Kamu mendengar kabar
terbaru?" tanya pria itu padaku.
"Kabar apa?" aku balik bertanya. Aku tidak mendengarkan siaran BBC pagi itu.
Sahutnya, "Lebih baik kamu mendengarnya dariku sebelum kamu pergi ke luar hari
ini. Abu Jihad telah dibunuh."
Aku tak tahu harus memercayainya atau tidak. Aku belum pernah bertemu dengan
pemimpin Palestina, Abu Jihad. Namun, aku pernah bertemu
dengan istrinya, Ummu Jihad, pada sebuah pertemuan dalam suatu konferensi
internasional di Je-newa. Kami menyetel radio dan mendengarkan berita. Para pria
bersenjata telah menggerebek rumah Abu Jihad di Tunis dan telah membunuhnya
serta tiga orang lainnya di hadapan istri serta putranya yang berusia tiga
tahun. Para pembunuh itu bahkan merekam peristiwa pembunuhan itu. Bayangan bahwa
keluarganya harus hidup dengan dibayang-bayangi peristiwa semacam itu membuatku
muak. Setiap orang di Lebanon terkejut PRCS, orang-orang baik di dalam maupun di luar
kamp, warga Palestina maupun Lebanon. Mereka menjadi tak berdaya selama beberapa hari.
Orang-orang Israel menuduh Abu Jihad sebagai pemimpin gerakan perlawanan di
wilayah-wilayah pendudukan. Rakyat Palestina menuduh bahwa Israel membunuhnya
demi menghentikan gerakan perlawanan. Bagi orang-orang Palestina di Lebanon,
yang moral mereka bangkit seiring terjadinya perlawanan di wilayah-wilayah
pendudukan sejak akhir 1987, gugurnya Abu Jihad merupakan sebuah pukulan telak.
Aku menemui Ummu Walid pada hari tersiarnya berita pembunuhan tersebut. Saat itu
adalah pertama kalinya kami berdua duduk bersama selama lebih dari satu jam
tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menangis dan aku menatapnya dalam diam.
Seperti warga Palestina lainnya yang terperangkap di dalam kamp-kamp di Lebanon
yang setengah dikepung, ia bahkan tak dapat menghadiri pemakamannya. Di mana Abu
Jihad akan dikuburkan" Tak seorang pun yang tahu. Abu Jihad tetap menjadi
seorang buangan, baik saat hidup maupun mati. Para penduduk di kamp Bourj
elBrajneh meminjam sebuah meja lebar dari klinik Samir al-Khatib dan
menghamparkan sehelai bendera Palestina di atasnya, serta mengadakan upacara
mengheningkan cipta. Pidato-pidato dan doa-doa yang dipanjatkan disiarkan
melalui alat pengeras suara masjid.
Semakin sering aku berbicara kepada para warga Palestina, semakin jelas pesan
yang muncul. Orang-orang Israel mengira hanya ada satu Abu Jihad. Namun, orang-
orang Palestina memberitahuku, "Di dalam kamp-kamp pengungsi di Lebanon dan di
dalam gerakan perlawanan massal di wilayah-wilayah pendudukan, kami semua adalah
Abu Jihad." Orang-orang di wilayah-wilayah pendudukan menjawab aksi pembunuhan itu dengan
cara meningkatkan perlawanan. Semakin banyak yang terbunuh, terluka, dan
tertawan oleh pasukan Israel, tapi semakin banyak yang bangkit melawan Israel.
Orang-orang Palestina di kamp Shatila mengatakan kepadaku bahwa MAP harus
memprioritaskan gerakan perlawanan tersebut. Mereka ingin semua bantuan
dialirkan ke wilayah-wilayah pendudukan, bahkan meskipun harus mengorbankan
penduduk Shatila. Sangat pedih bagiku mendengarnya, karena aku tahu betapa
mereka sangat menderita dan betapa mereka sangat membutuhkan dukungan kami. Aku
tahu berapa banyak yang mereka butuhkan untuk pembangunan kembali rumah-rumah
mereka. Semangat juang mereka berkurang karena pengepungan tak kunjung dihentikan tiga
tahun setelah dimulainya pengepungan tersebut dan hampir enam bulan setelah
Berri mengumumkan bahwa penarikan pasukan pengepungan tengah dilakukan. Biarpun
begitu, para penduduk kamp ingin menyumbangkan sisa-sisa kekuatan mereka demi
gerakan perlawanan saudara-saudara mereka di wilayah-wilayah pendudukan.
Kemudian, suatu dimensi lain muncul. Suriah mengizinkan jenazah Abu Jihad
dikuburkan di negara itu. Lusinan bus berisi penuh penumpang berangkat dari
Beirut menuju Suriah untuk menghadiri pemakamannya. Apakah ini berarti permulaan
sebuah dialog baru antara Suriah dan Palestina" Dalam waktu kurang dari sebulan,
masa tahanan temanku, Kazim Hassan Baddawi, selama setahun di penjara Suriah
akan berakhir. Aku sering terpikir untuk mengunjungi istri dan putra mereka yang
masih kecil, tapi belum juga kulaksanakan aku takut ia akan menyalahkanku atas
penahanannya. Kazim bukan satu-satunya orang Palestina yang dipenjara,
setidaknya terdapat dua ribu orang warga Palestina yang dipenjara sebagai
tahanan politik oleh pasukan keamanan Suriah. Akankah mereka akhirnya
dibebaskan" Namun, berbagai harapan pernah pupus sebelumnya, dan aku telah
belajar bahwa kita harus mampu menanggung kekecewaan.
Pesawat-pesawat pengebom Israel memecahkan ambang batas suara di Lebanon
Selatan. Desa-desa di selatan, sebagaimana kamp-kamp pengungsi Palestina,
diserang. Pada Mei 1988, dua ribu tentara Israel menyeberang ke Lebanon Selatan.
Orang-orang di Lebanon memberitahuku, "Tentara Israel gagal melumpuhkan gerakan
perlawanan di wilayah-wilayah pendudukan, jadi mereka melampiaskannya kepada
kami dengan cara mengancam akan menyerang Lebanon lagi."
Serangan itu dilancarkan dari berbagai jurusan, dengan sasaran warga Palestina
di Lebanon. Saida dan Lebanon Selatan dibom pesawat-pesawat Israel dan ditembaki
dari laut oleh kapal-kapal perang Israel. Kamp-kamp Beirut diserang dari arah
pegunungan, tidak hanya oleh pasukan Israel, tetapi juga oleh pasukan anti-PLO.
Kamp Shatila dan Bourj elBrajneh digempur tanpa henti sejak Mei 1988. Kedua kamp
tersebut diratakan, rumah-rumah serta rumah sakit dibumi hanguskan.
Kamp Shatila akhirnya runtuh pada 27 Juni 1988, diikuti kamp Bourj elBrajneh
beberapa hari kemudian. Aku mendengar berita mengenai kejatuhan kamp Shatila di
London, setibanya aku dari kunjungan penggalangan dana di negara-negara Teluk.
Para penduduk di seluruh negara Teluk ingin mendukung gerakan perlawanan dan
pembangunan rumah sakit serta klinik agar dapat merawat para korban Palestina.
Aku bisa bilang apa" Setiap kali memikirkan Shatila, aku masih menangis. Hampir
enam tahun telah berlalu sejak pertama kali aku bertemu dengan penduduk Sabra
dan Shatila. Pemahamanku akan rakyat Palestina tumbuh seiring aku hidup bersama-
sama dengan mereka. Mereka itulah yang
mengajariku, seorang dokter bedah wanita yang lugu, arti keadilan. Mereka itulah
yang menginspirasiku untuk berjuang tanpa henti demi terciptanya dunia yang
lebih baik. Setiap kali aku merasa ingin menyerah, mereka akan menguatkanku
dengan menunjukkan teladan tindakan mereka.
Kenangan akan serangan Israel pada 1982, hari-hari setelah evakuasi pasukan PLO,
ketika aku berbagi harapan-harapan dengan mereka untuk menata kembali kehidupan
mereka, hanya untuk dihancurkan kembali dengan terjadinya pembantaian Shabra-
Shatila, tahun-tahun pengepungan di kamp-kamp, setiap kali tertoreh sebuah luka
baru yang dalam dan berdarah yang tak dapat diobati oleh seorang dokter bedah
hal-hal semacam ini kini adalah bagian dari kesadaran diriku setiap hari.
Kadang-kadang aku bertanyatanya, mengapa hidup ini sangat menyakitkan. Kadang-
kadang aku membayangkan, mengapa aku tidak dikuburkan di kuburan massal itu, di
dalam puing-puing, bersama orang-orang lain pada 1982. Pada waktu yang lain, aku
membayangkan jika aku tertembak mati pada 1987, saat sedang mengusahakan memasok
barang-barang kebutuhan ke dalam kamp, aku bisa saja dikuburkan di samping
kawan-kawanku di Masjid Shatila.
Namun, ini hanyalah angan-angan belaka. Aku masih hidup, dan aku tahu bahwa
selama aku masih hidup, masih banyak hal yang harus kukerjakan. Hidup atau mati,
aku hanya ingin bersikap jujur kepada rakyat Palestina. Sekarang, setelah kamp
Shatila lenyap, cahaya itu telah padam. Ia telah bertahan hingga titik
penghabisan. Pasukan Israel telah gagal menghancurkan Shatila, selama tiga tahun
pasukan Amal di bawah kepemimpinan Nabih Berri telah mencoba, dan juga gagal.
Namun, enam tahun serangan gencar dari faksi-faksi dukungan Suriah akhirnya
meratakan apa yang tersisa di atas petak tanah berukuran dua ratus yard luasnya
ini. Ketika kamp dirobohkan, delapan orang menolak untuk menyerahkan diri. Di
antara mereka adalah Amni, Ketua Serikat Umum Wanita Palestina di Shatila. Ia
adalah salah seorang dari mereka di Shatila yang memintaku untuk mendukung
gerakan perlawanan. Kejatuhan kamp Shatila merupakan pukulan berat bagi kami. Namun, hal itu takkan
meruntuhkan gerakan perlawanan dan tuntutan akan diberikannya tanah air bangsa
Palestina. Pada 1982, aku telah menyaksikan pembantaian warga Palestina di
Beirut. Dari 1985 hingga 1988, aku telah menyaksikan kebangkitan mereka kembali.
Aku telah melihat semangat mereka yang tak terkalahkan dalam mempertahankan
martabat mereka di dalam kamp-kamp yang dikepung di Lebanon. Hari ini, mereka
telah membawa kembali ke tanah air leluhur mereka, perjuangan demi
mempertahankan keberadaan Palestina. Aku tidak lagi takut atau pesimistis. Aku
ingat Amni yang mengatakan kepada para penduduk di Jalur Gaza bahwa penduduk
Shatila tengah berjuang demi Gaza. Para penduduk Gaza menjawab bahwa mereka
tengah berjuang demi rakyat Shatila.
Setelah memantapkan dasar gerakan perlawanan ini, Shatila pun hancur. Akan
tetapi, keberadaan kamp Shatila secara fisik tidaklah penting. Shatila tetap
hidup di hati kami semua. Suatu hari, kami akan membangunnya kembali di atas
tanah air bangsa Palestina. Sampai hari itu tiba, kami akan memberikan
penghormatan kepada para syuhada Shatila, dengan terus-menerus memberikan
dukungan kepada rakyat yang tengah berjuang dalam gerakan perlawanan.
Berapa lama rakyat Palestina yang hidup dalam pendudukan mampu bertahan dalam
gerakan tersebut" Pertanyaan itu tidaklah penting untuk saat ini. Yang penting
adalah perlawanan itu telah dimulai.
Suatu generasi baru Palestina telah tumbuh di wilayah-wilayah pendudukan dan di
kamp-kamp Lebanon, dalam keadaan paling buruk sekalipun. Mereka telah melupakan
apa itu rasa takut. Mereka telah memilih untuk mati berdiri daripada hidup
berlutut di hadapan musuh. Sebuah lagu diciptakan Mustafa al-Kurd di medan
perjuangan di wilayah-wilayah pendudukan, berjudul "Batu dan Bawang". Bersama
sebongkah batu untuk menghadapi pasukan militer Israel, serta sebutir bawang
untuk mengurangi efek gas air mata, para demonstran Palestina telah menaklukkan
rasa takut. Lagu itu berbunyi:
Telah mati rasa takut yang bersemayam di hati kami
Rasa takut yang membunuh harapan dan
menghadang langkah kami Yang memadamkan cahaya Rasa takut itu mati dan aku menguburnya
dengan tanganku sendiri Rasa takut adalah monster yang menindas kami
Yang menganiaya kami Yang memecahkan guci dan menumpahkan isinya
Rasa takut itu mati dan aku menguburnya dengan tanganku sendiri
Mereka punya sebuah mimpi. Dan aku berbagi mimpi itu dengan mereka, mimpi
tentang sebuah dunia yang tampak jelas di tengah-tengah semburan gas air mata
dan reruntuhan yang berasap di kamp-kamp pengungsi. Sebuah dunia tempat seorang
bocah sebelas tahun tak perlu belajar cara menggunakan sepucuk Kalashnikov atau
mesin peluncur roket untuk membela keluarganya. Sebuah dunia yang damai, adil,
dan aman, tempat aku tak perlu mengatakan kepada seorang anak, "Pergilah ke
sekolah," hanya untuk mengetahui bahwa sekolahnya telah dibom, atau mengatakan
kepada seorang gadis, "Bantulah ibumu menyiapkan makan malam," hanya untuk
melihatnya kembali kepadaku dan mengatakan bahwa ibu dan keluarganya telah
dibunuh. Sebuah dunia tempat kami tak perlu lagi takut terkubur hidup-hidup di
dalam puing-puing. Sebuah dunia tempat aku tak perlu lagi memperbaiki bagian-
bagian tubuh yang patah hanya untuk
melihatnya dipatahkan lagi, atau memeluk tubuh remuk seorang bocah dengan
tanganku dan bertanya, "Mengapa?" atau mendengar orang-orang bertanya, "Berapa
lama lagi?" Sebuah dunia tanpa penjara, tanpa penyiksaan, tanpa rasa sakit,
tanpa kelaparan, dan tanpa kartu-kartu identitas pengungsi, tempat aku dapat
berteduh di rumahku sendiri dan mendengarkan nyanyian ibuku seraya menutup mata
di penghujung hari. Tempat itu adalah mimpi kami, Jerusalem kami.[J
CATATAN PENUTUP Dua puluh tahun pasca-pembantaian Sabra-Shatila 2002 Dari Beirut menuju Jerusalem adalah mimpi abadi setiap orang Palestina di
pengasingan. Diusir dan dibuang ke pengasingan sejak tanah air Palestina diubah
menjadi Israel pada 1948, jutaan warga yang merana di kamp-kamp pengungsi di
seluruh Lebanon, Suriah, Yordania, dan negara-negara /ainnya tak pernah berhenti
berharap untuk dapat pulang dan memperoleh hak kembali ke tanah air mereka. Jika
bukan tahun ini, maka tahun depan mereka akan tiba di Jerusalem.
Bagi teman-teman dan keluarga mereka yang tertinggal di Gaza dan Tepi Barat dan
hidup di bawah pendudukan sejak 1967, Palestina juga merupakan sebuah gagasan
Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang takkan mati. Mereka semua sangat sadar akan sejarah mereka yang menyakitkan
dan panggilan untuk berkorban lebih banyak lagi demi Palestina yang merdeka dan
damai. Sejak kanak-kanak, setiap orang Palestina dapat menceritakan
ketidakadilan yang mereka terima pembantaian, pengusiran, penyerbuan,
pendudukan, kematian, dan penghancuran.
Dua puluh tahun yang lalu, terjadi pembantaian Sabra-Shatila. Aku sedang
bertugas di kamp, baru tiba sebulan sebelumnya sebagai sukarelawan dokter bedah
untuk merawat para korban selama serangan pasukan Israel di Lebanon.
Pembantaian anak-anak, wanita, orang tua,
dan orang-orang lemah yang tak bersenjata sungguh menyentakkanku. Aku merasa
sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani
dan murah hati melalui kematian mereka. Hingga saat itu, aku tak pernah tahu
bahwa para pengungsi Palestina itu ada. Sebagai seorang Kristen fundamentalis,
dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai
teroris yang harus dikutuk dan ditakuti.
Pengalamanku di Sabra-Shatila membuatku sadar bahwa orang Palestina adalah
manusia. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi untuk menjelek-jelekkan
mereka, pupus sudah. Bagaimana mungkin mereka adalah orang jahat, jika mereka
adalah korban ketidakadilan yang amat besar" Seperti orang-orang lain, aku harus
menghadapi kenyataan yang pahit, aku harus bertobat kebodohan dan prasangkaku
telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina.
Mereka yang selamat mendorongku untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi
Penyelidikan Kahan bentukan pemerintah Israel. Dan, dalam perjalanan melintasi
perbatasan Lebanon menuju Jerusalem, aku sadar sedang menempuh perjalanan yang
diimpikan oleh para pengungsi. Tanpa disengaja, aku sedang melakukan ziarah ke
tanah air mereka dan "pulang ke rumah".
Buku ini adalah kesaksianku. Pada tahun-tahun berikutnya, berulang kali aku
kembali ke Lebanon dan wilayah-wilayah pendudukan untuk melanjutkan tugasku
sebagai dokter bedah yang merawat para korban. Melalui organisasi-organisasi
amal seperti MAP yang dibentuk oleh sebagian dari kami, kami menyeru masyarakat
Inggris dan masyarakat lainnya untuk menyumbangkan dukungan materi berupa obat-
obatan bagi institusi-institusi kesehatan Palestina yang tengah terkepung. Aku
tak pernah berkata "tidak" terhadap setiap kesempatan untuk berbicara tentang
mereka demi mereka yang telah gugur maupun yang bertahan dalam pertemuan-
pertemuan yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia.
Momen peringatan memang penting. Momen semacam itu membuat kita mengingat
tragedi itu, momen tersebut juga merupakan saat-saat untuk berharap. Dengan
tidak pernah melupakan peringatan-peringatan seperti ini, berarti kita mengambil
langkah awal menuju keselamatan. Kami ingat peristiwa "penyaliban" mereka, dan
kami menegaskan keyakinan kami akan "kebangkitan" mereka.
Pada peringatan yang pertama, beberapa dari kami, para dokter dan perawat, pergi
ke Amerika Serikat untuk berbicara di hadapan rakyat Amerika. Orang-orang di
Barat harus menghadapi kenyataan tentang pembantaian tersebut untuk pertama
kalinya, mereka harus mengakui bahwa rakyat Palestina adalah korban
ketidakadilan yang sangat berat.
Pada peringatan yang ke-10, kami membawa serta para imam, rabi, dan pendeta
untuk melakukan kebaktian di gereja-gereja di London, untuk memberikan
penghormatan kepada para korban
yang gugur dalam peristiwa Sabra-Shatila. Sebuah pertemuan yang sederhana,
tetapi 1992 adalah tahun optimisme dalam keheningan, seiring dijalankannya
perundingan-perundingan damai.
Intifada perlawanan yang pertama di Gaza dan Tepi Barat telah berkobar sejak
1987. Liputan media massa mengenai peristiwa itu menunjukkan ribuan anak-anak
Palestina yang tak bersenjata melawan keganasan tentara Israel. Itu adalah
perang batu melawan tank-tank Daud (David) kecil melawan raksasa Goliath. Akibat
yang ditimbulkan sungguh tak sebanding, ratusan warga Palestina gugur, ribuan
lagi terluka, penawanan besar-besaran, pemberlakuan tahanan rumah serta jam
malam terhadap seluruh penduduk, penghancuran rumah-rumah secara sewenang-
wenang, penutupan sekolah-sekolah, penggeledahan rumah sakit-rumah sakit.
Kekejaman yang dilakukan demi menumpas gerakan perlawanan telah melanggar hukum
internasional, dilakukan di wilayah pendudukan, dan sebenarnya pendudukan itu
sendiri ilegal. Selama Intifada yang pertama, aku bertugas di rumah sakit Al Ahli di Gaza ?sebagai konsultan dokter bedah PBB dan telah merawat banyak dari mereka yang
terluka. Bangunan rumah sakitku itu sering diserang dari udara oleh para tentara
yang memburu para pemuda, bangsal-bangsal ibu-ibu hamil diserbu oleh para
tentara Israel yang bersenjata lengkap suatu penghinaan terhadap ibu-ibu yang
tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja-meja operasiku diancam.
Seorang kru televisi BBC memfilmkan "Kehidupan di Bawah Pendudukan", menampilkan beberapa orang dari
kami yang sedang bertugas di bawah kondisi-kondisi yang tak terperikan seperti
itu. Para juru rawat pria menghabiskan dua tahun di penjara menyusul perekaman
film itu. Para tentara itu membuat masa tugasku di Gaza menjadi tak tertahankan,
dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum aku dapat kembali.
Gerakan perlawanan menentang serangan Israel pada 1982 di Lebanon mengilhami
gerakan Intifada. Tanpa Sabra-Shatila, takkan ada simpati masyarakat
internasional untuk Intifada. Singkat kata, Sabra-Shatila adalah pemicu dan
katalisator bagi gerakan Intifada.
Pada 1992, proses perdamaian yang dimulai di Madrid diulur-ulur, tahun 1993,
pembicaraan rahasia di Oslo menawarkan beberapa hak otonomi bagi Palestina.
Meskipun ada keraguan mendalam terhadap kebebasan baru ini, banyak yang berharap
ini akan menjadi langkah maju menuju kembalinya kebangsaan mereka. Paling tidak,
mereka ditawari masa istirahat sehingga sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah
sakit, serta institusi-institusi sosial dapat dibuka dan dibangun kembali.
Mungkin keamanan akan kembali di bumi mereka. Tank-tank diharapkan akan pergi
dan jam-jam pengawasan akan dihapuskan agar anak-anak dapat keluar menikmati
sinar matahari dan bermain-main lagi.
Harapan-harapan seperti ini tentunya terlalu optimistik. Pembangunan permukiman
Israel, yang ilegal menurut undang-undang internasional, dipercepat. Tidak ada
yang dapat pindah antara Gaza dan Tepi Barat, dan di dalam kota-kota di Tepi
Barat, tanpa persetujuan Israel. Jerusalem Timur tetap dicaplok. Masih tak ada
hak kembali bagi jutaan orang buangan di pengasingan.
Pada Oktober 2000, gerakan provokatif Ariel Sharon di Masjid Al-Aqsa dengan
mengerahkan 2.000 tentara Israel, menyulut Intifada kedua. Penindasan yang
datang kemudian bahkan lebih parah daripada yang dihadapi Intifada pertama.
Lebih banyak lagi kematian dan kehancuran, jumlahnya pun terus bertambah. Pada
November 2002, Amnesti Internasional memublikasikan hasil-hasil penyelidikannya
dan menuduh Israel telah melakukan pembunuhan ilegal, penyiksaan, serta
penggunaan rakyat Palestina sebagai tameng manusia. Di antara "pelanggaran-
pelanggaran berat" terhadap hukum internasional adalah perlakuan buruk terhadap
para tahanan, penghancuran tanpa dasar rumah-rumah penduduk, terkadang sekaligus
dengan penghuni di dalamnya, serta pemblokiran bantuan medis bagi para korban.
Mereka menghimbau Inggris beserta negara-negara penanda-tangan Konvensi Jenewa
lainnya agar mengadili para tentara Israel karena "bertanggung jawab atas
kejahatan perang di Jenin dan Nablus".
Tahun 2002 adalah peringatan peristiwa Sabra-Shatila yang ke-20. Aku melakukan
kunjungan ke Lebanon dan wilayah Palestina yang diduduki. Pada bulan Mei, aku
melihat kehancuran besar-besaran yang dialami rakyat Palestina di Gaza
dan Tepi Barat sebagaimana yang digambarkan dalam laporan Amnesti Internasional.
Rumah-rumah dibom dan dilindas dengan buldoser, mobil-mobil ambulans yang
mengangkut para pasien dalam kondisi kritis ditembaki, sekolah-sekolah juga
dibom. Pada saat aku berada di sana, hampir empat puluh wanita hamil harus
melahirkan di pos-pos pemeriksaan Israel karena jalan menuju rumah sakit
diblokir. Hasilnya, beberapa ibu dan bayi meninggal. Baik Gaza maupun Tepi Barat
dibagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang dikepung tank-tank, jam-jam malam
diberlakukan kembali dan diperpanjang. Meskipun begitu, rakyat Palestina tetap
tabah. BBC ingin aku kembali mengunjungi kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila di
Lebanon untuk mengundang para korban yang selamat agar berbicara tentang hari-
hari traumatis pada September 1982. Setelah kunjungan yang memupuskan semangatku
ke Wilayah-wilayah Pendudukan, aku takut dengan apa yang akan kulihat di Beirut.
Aku tahu kondisi fisik mereka telah compang-camping. Apakah dunia sudah
melupakannya" Banyak hal yang terjadi di tempat-tempat lainnya, tapi adakah
perubahan bagi para pengungsi itu" Apakah mereka masih bercita-cita untuk
kembali ke Palestina"
Walaupun demikian, sekali lagi Beirut membuatku bangkit kembali. Dalam dunia
mereka yang terlantar, dalam kamp Shatila yang hanya berisi tumpukan puing, aku
bertemu pemuda-pemuda yang lahir setelah peristiwa pembantaian. Sebuah generasi
baru telah tumbuh dewasa. Anak-anak yang
selamat dari pembantaian Sabra dan Shatila kini telah mempunyai anak mereka
sendiri. Para orangtua kini menjadi kakek dan nenek. Orang-orang Palestina
buangan ini kini telah terpisah dari tanah air mereka selama empat generasi,
namun anak-anak mereka yang masih kecil dapat mendengar cerita yang sama dari
orangtua mereka tentang tempat-tempat seperti Ramallah, Hebron, Akka, Haifa,
Gaza, Al-Quds. Banyak dari mereka pernah pergi ke Lebanon Selatan untuk
memandang perbatasan yang menuju Galilee, tempat keluarga-keluarga mereka
dipaksa untuk mengungsi pada 1948. Meskipun tak ada kepastian akan masa depan,
mereka tahu, suatu hari mereka akan kembali. Dan jauh dalam lubuk hatiku, aku
berdoa bersama mereka dari Beirut menuju Jerussalem, tahun depan mereka akan
kembali ke Palestina. dr. Ang Swee Chai November 2DD2 Iblis Hutan Tengkorak 2 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Topeng 2