Pencarian

Da Vinci Code 9

The Da Vinci Code Karya Dan Brown Bagian 9


dan meninggalkan yang lainnya. Bimbingan spiritual seperti apa yang ditawarkan
Gereja?" "Hukum yang berusia tiga abad," kardinal kedua berkata, "tidak dapat digunakan
lagi oleh pengikut Kristus modern. Hukum-hukum tersebut tidak lagi berlaku dalam
masyarakat sekarang." "Tetapi hukum tersebut berlaku bagi Opus Dei!" "Uskup
Aringarosa," kata sekretaris itu, suaranya terdengar menyimpulkan. "Dengan rasa
hormat pada hubungan organisasimu dengan paus sebelumnya, Paus memberikan waktu
enam bulan bagi Opus Dei untuk melepaskan diri secarasukarela dari Vatikan. Aku
sarankan kau menyatakan perbedaan pendapatmu dengan Keuskupan Suci dan
menetapkan diri sebagai organisasi Kristen sendiri."
"Aku menolak!" kata Aringarosa. "Dan aku akan mengatakan padanya secara
pribadi!" "Aku kira Paus tidak mau berternu denganmu lagi." Aringarosa berdiri.
"Dia tidak akan berani meniadakan seorang prelatur
pribadi yang dikukuhkan oleh paus terdahulu!" "Maaf" Mata sekretaris itu tidak
berkedip. "Tuhan memberikan, dan
Tuhan mengambil kembali." Aringarosa meninggalkan Sekembalinya ke New York,
pertemuan itu dengan bingung dan panik. Aringarosa menatap langit dengan kecewa
selama berhari-hari, sangat sedih memikirkan masa depan Kristen.
Beberapa minggu kemudian, dia menerima telepon yang mengubah segalanya.
Penelepon itu terdengar beraksen Prancis dan memperkenalkan dirinya sebagai Guru
- sebuah gelar yang umum dalam kependetaan yang tinggi. Dia mengaku tahu tentang
rencana Vatikan untuk menarik dukungannya pada Opus Dei.
Bagaimanadiabisatahuitu" Aringarosa bertanya-tanya. Sebelumnya, dia mengira
bahwa hanya beberapa orang makelar kekuasaan saja yang tahu tentang rencana
penarikan dukungan Vatikan itu. Tampaknya informasi itu telah bocor. Memang,
jika menyangkut desas-desus, tidak ada dinding di dunia ini yang semudah-tembus
dinding Vatikan City. "Aku punya telinga di mana-mana, Uskup," Guru berbisik, "dan dengan telinga-
telinga itu aku telah mendapatkan pengetahuan tertentu. Dengan bantuanmu, aku
dapat menyibak tempat tersembunyi benda-benda suci yang dapat memberikan
kekuasaan yang sangat besar ... cukup bertenaga untuk membuat Vatikan membungkuk
di depanmu. Cukup sakti untuk menyelamatkan Iman." Dia terdiam sejenak. "Tidak
saja untuk Opus Dei. Tetapi untuk kita semua."
Tuhan mengambil ... dan Tuhan memberi. Aringarosa merasakan sinar harapan yang
benderang. "Ceritakan rencanamu."
Uskup Aringarosa tidak sadar ketika pintu-pintu Rumah Sakit St. Maria mendesis
terbuka. Silas berjalan cepat memasuki gang masuk, agak mengigau karena letih.
Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis minta tolong. Semua orang yang
berada di ruang penerima pasien terkesiap terheran-heran karena melihat seorang
lelaki setengah telanjang menggendong seorang pendeta yang berlumuran darah.
Dokter yang menolong Silas mengangkat uskup yang demam itu ke atas troli tampak
muram ketika dia meraba nadi Aringarosa. "Dia kehilangan banyak darah. Aku tidak
terlalu berharap." Mata Aringarosa berkedip. Dia sadar sesaat, dan matanya menemukan Silas. "Anakku
...." Jiwa Silas bergemuruh dengan penyesalan dan kemarahan. "Bapa, jika aku harus
mengorbankan jiwaku, aku akan menemukan orang yang menipu kita, dan aku akan
membunuhnya." Aringarosa menggelengkan kepalanya, tampak sedih ketika para petugas rumah sakit
bersiap untuk membawanya pergi. "Silas ... jika kau belum belajar apa-apa
dariku, ... harap kau ingat ini." Dia mengambil tangan Silas dan menggenggamnya
erat. "Maaf adalah karunia Tuhan yang terbesar." "Tetapi Bapa ..." Aringarosa
menutup matanya. "Silas, kau harus berdoa."
101 ROBERT LANGDON berdiri di bawah kubah tinggi di dalam Chapter House yang sunyi
dan menatap laras pistol Leigh Teabing.
Robert,kaubersamakuataumelawanku" Kata-kata Sejarawan Bangsawan itu menggema di
dalam benak sunyi Langdon.
Tidak ada jawaban yang tepat, Langdon tahu. Jika dia menjawab ya, itu artinya
dia mengkhianati Sophie. Jika dia menjawab tidak, maka Teabing tidak punya
pilihan kecuali membunuh mereka berdua.
Selama bertahun-tahun Langdon menuntut ilmu, dia tidak mendapat pelajaran untuk
menghadapi konfrontasi di bawah todongan senjata. Tetapi di dalam kelas, Langdon
telah belajar tentang bagaimana menjawab pertanyaan paradoks. Jika pertanyaan
itu tidak mempunyai jawaban yang betul, hanya ada satu jawaban jujur. Area abu-
abu antara ya dan tidak. Diam. Sambil menatap crptex dalam tangannya, Langdon
akhirnya memilih untuk menjauh. Tanpa mengalihkan tatapan matanya, Langdon melangkah mundur,
menjauh ke arah yang lebih kosong di ruangan yang luas sekali ini. Daerah
netral. Dia berharap tatapan matanya membuat Teabing berpikir bahwa dia yang
terpusat pada cryptex akan sedang mempertimbangkan untuk bekerja sama dengannya.
Sementara bagi Sophie, kebungkamannya semoga mengisyaratkan bahwa dia tidak
meninggalkannya. Semuanyaberjalansambilmengulurwaktuuntukberpikir. Langdon
mengira, tindakannya berpikir berul-betul diinginkan oleh Teabing. Karena itulah
dia memberikan cryptex ini kepadaku. Sehingga aku dapat merasakan beratnya
keputusanku. Sejarawan Inggris itu berharap, dengan menyentuh cryptex ciptaan
Sang Mahaguru, Langdon akan merasa betul-betul terenggut oleh daya magnit
isicryptex itu, membuat rasa ingin tahu akademisnya menguasai segalanya,
memaksanya untuk menyadari bahwa kegagalan membuka batu kunci itu akan berarti
kehilangan sejarah itu sendiri.
Dengan Sophie dalam todongan senjata di ruangan ini juga, Langdon merasa bahwa
menemukan kata kunci cryptex yang sukar dipahami itu akan menjadi satu-satunya
cara untuk menukar kebebasan Sophie. Jika aku dapat mengeluarkan peta itu,
Teabing akan mau bernegosiasi. Langdon memaksakan diri untuk menyelesaikan
tugasnya. Dia berjalan perlahan ke arah jendela yang agak jauh dari mereka ...
lalu membiarkan pikirannya terisi dengan sejumlah gambar astrologi yang terdapat
pada makam Newton. Kaumencaribola yangseharusnyaadadiatasmakamnya.
ItumenyatakanragaRosydan rahimyangterbuahi.
Langdon memutar punggungnya ke arah yang lainnya. Lalu dia berjalan ke arah
jendela yang tinggi, mencari inspirasi dalam kaca-kaca mozaik berwarnawarni. Dia
tidak mendapatkan apa pun.
Tempatkan dirimu pada pikiran Sauni?re, Langdon memaksa dirinya sendiri, sambil
menatap ke arah Taman College di luar. Apa bola yang seharusnya ada di makam
Newton yang dipercayai Sauni?re" Gambar bintang-bintang, komet-komet, dan
planet-planet berkedipan dalam derasnya hujan, namun Langdon mengabaikan itu
semua. Sauni?re bukan seorang ilmuwan. Dia seorang humanis, seniman,
sejarawan.Perempuansuci ...cawan ...Mawar...MariaMagdalenayangterbuang
...menghilangnyadewi ...Holy Grail.
Legenda telah selalu menggambarkan Grail sebagai perempuan jahat, yang menari
tak terlihat dalam kegelapan, berbisik pada telingamu, memikatmu satu langkah
lagi dan kemudian menghilang dalam kabut.
Langdon menatap pepohonan yang mendesir di Taman College, merasakan kehadiran
Grail yang menggoda. Tanda-tanda itu ada di mana-mana. Seperti siluet yang
mengejek keluar dari kabut, ranting-ranting pohon apel yang tertua di Inggris
itu memekarkan kuntum-kuntum bunga berkelopak lima, semuanya berkilau seperti
Venus. Sang Dewi ada di taman sekarang. Ia menari dalam hujan, menyanyikan lagu
kuno, melihat ranting yang penuh kuncup bunga dari belakang, seakan mengingatkan
Langdon bahwa buah ilmu pengetahuan sedang tumbuh dalam jangkauannya.
Di dalam ruangan itu juga, Sir Leigh Teabing mengawasi dengan yakin ketika
Langdon menatap keluar jendela seolah tersihir. Betul-
betulsepertiyangkuharapkan, pikir Teabing.Diaakan bersamaku. Setelah beberapa
saat, Teabing menduga Langdon mungkin sudah mendapatkan kunci ke Grail. Bukanlah
kebetulan jika Teabing menjalankan rencananya pada malam yang sama dengan malam
di mana Langdon dijadwalkan bertemu dengan Sauniere. Dari apa yang didengarnya
dari kurator itu, Teabing yakin bahwa keinginan lelaki tua itu untuk bertemu
dengan Langdon secara pribadi pastilah berarti satu hal
saja.NaskahmisteriusLagdon telah menyinggung Biarawan secara lancang. Langdon
telah menemukan kebenaran,danSauni?retakuthalituakandibuka. Teabing yakin,
mahaguru itu mengundang Langdon untuk diminta bungkam.
Kebenaranitutelahdibungkamcukuplama! Teabing tahu, dia harus bertindak cepat.
Serangan Silas akan menyelesaikan dua tujuan: mencegah Sauni?re membujuk Langdon
untuk bungkam, dan memastikan bahwa begitu batu kunci ada di tangan Teabing,
Langdon akan berada di Paris untuk direkrut kalau-kalau Teabing membutuhkannya.
Mengatur pertemuan antara Silas dan Sauni?re bisa dikatakan sangat
mudah.AkupunyainformasidaridalamtentangkekhawatiranSauni?reyang palingdalam.
Kemarin sore, Silas menelepon kurator itu dan bertindak sebagai seorang pendeta
yang bingung sekali. "Monsieur Sauni?re, maafkan saya. Saya harus berbicara
dengan Anda segera. Saya tidak akan melanggar kesucian pengakuan, tetapi dalam
hal ini, saya merasa harus. Saya baru saja menerima pengakuan dari seorang
lelaki yang mengaku telah membunuh anggotaanggota keluarga Anda."
Sauni?re sangat terkejut tetapi waspada. "Keluargaku meninggal dalam kecelakaan
mobil. Laporan polisi sudah meyakinkan."
"Ya, sebuah kecelakaan mobil," kata Silas memberi umpan pada kailnya. "Lelaki
yang berbicara pada saya berkata, dia menggiring mobil itu hingga keluar jalan
dan masuk sungai." Sauni?re terdiam. "Monsieur Sauni?re, saya tidak akan
menelepon Anda langsung jika lelaki ini tidak berkomentar yang membuat saya
khawatir akan keselamatan Anda." Dia terdiam, "Lelaki itu juga menyebut cucu
perempuan Anda, Sophie."
Penyebutan nama Sophie merupakan pemicu. Kurator itu segera bertindak. Dia
meminta Silas untuk datang dan menemuinya segera di tempat yang paling aman yang
diketahui Sauni?re - kantornya di Louvre. Kemudian Sauni?re menelepon Sophie untuk
memperingatkannya bahwa dia mungkin dalam bahaya. Pertemuan dengan Langdon untuk
minum-minum segera dibatalkannya. Sekarang, dengan posisi Langdon yang terpisah
dari Sophie di sisi yang berjauhan, Teabing merasa dia telah berhasil memisahkan
dua sahabat itu satu dari yang lain. Sophie Neveu tetap menentang, namun Langdon
jelas melihat lebih jauh. Dia sedang berusaha menemukan kata kunci itu. Dia tahu
pentingnyamenemukanGraildanmembebaskanSophie.
"Dia tidak akan membukanya untukmu," kata Sophie dingin. "Walaupun dia sanggup."
Teabing menatap Langdon sambil tetap mengarahkan pistolnya pada Sophie. Dia
hampir yakin akan terpaksa menggunakan pistolnya. Walau pikiran itu
mengganggunya, Teabing tahu dia tidak akan ragu jika itu memang diperlukan. Aku
sudah memberi perempuan itu kesempatan untuk melakukan
halyangbenar.Graillebihbesardaripadakitasemua.
Pada saat itu, Langdon menoleh dari jendela. "Makam itu ..." katanya tiba tiba,
menghadap mereka dengan sinar harapan yang samar dalam matanya. "Aku tahu di
mana harus mencari pada makam Newton. Ya, kupikir aku dapat menemukanpassword
itu!" Hati Teabing membubung tinggi. "Di mana, Robert. Katakan!" Sophie
terdengar ketakutan. "Robert, jangan! Kau tidak akan menolongnya, bukan?"
Langdon mendekat dengan langkah mantap, sambil memegangi cryptex itu di depan
tubuhnya. "Tidak," katanya, matanya menajam ketika menatap Teabing. "Tidak,
sampai dia membiarkanmu pergi."
Rasa optimisme Teabing memudar. "Kita sudah sangat dekat, Robert. Jangan
bermain-main denganku!"
"Aku tidak main-main," kata Langdon. "Biarkan dia pergi. Lalu aku akan membawamu
ke makam Newton. Kita akin membukacryptex ini bersama."
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana," kata Sophie, matanya menyipit karena marah.
"Cryptex itu diberikan kepadaku oleh kakekku. Kau tidak berhak membukanya."
Langdon berjalan, tampak khawatir. "Sophie. kumohon! Kau dalam bahaya. Aku
mencoba menolongmu!"
"Bagaimana caranya" Dengan membuka rahasia yang dilindungi kakekku hingga
kematiannya" Dia mempercayaimu, Robert. Dan aku juga percaya padamu!"
Mata biru Langdon tampak panik sekarang. Teabing tidak dapat menahan senyuman
melihat keduanya bertengkar. Pada ambang penguakan salah satu rahasia terbesar
sejarah, Langdon membingungkan dirinya dengan seorang perempuan yang telah
membuktikan sendiri bahwa dirinya tidak pantas menerimanya. "Sophie," Langdon
memohon. "Kumohon ... kauharuspergi." Sophie menggelengkan kepalanya. "Tidak,
kecuali kau menyerahkan cryptex itu padaku atau membantingnya ke lantai." "Apa?" Langdon terkesiap.
"Robert, kakekku pasti akan lebih senang rahasianya hilang untuk selamanya
daripada melihatnya berada di tangan pembunuhnya." Mata Sophie tampak seolah
akan dibanjiri air mata, namun tidak. Dia menatap lagi pada Teabing. "Tembak aku
jika kau memang harus. Aku tidak akan meninggalkan warisan kakekku dalam
tanganmu." Baiklah. Teabing mengarahkan senjatanya. "Jangan!" Langdon berteriak,
sambil menaikkan tangannya dan menggantungkancryptex itu dengan berbahaya ke
arah lantai batu yang keras. "Leigh, walau kau hanya menggertak, aku akan
menjatuhkannya." Teabing tertawa. "Bualan itu berhasil pada R?my. Tidak padaku. Aku mengenalmu
lebih baik dari itu." "Benarkah, Leigh?" Ya. Wajah pokermu perlu latihan,
temanku. Aku hanya butuh beberapa detik untuk melihat bahwa kau berbohong. Kau
sesungguhnya tidak tahu, di bagian makam Newton yang mana rahasia itu berada.
"Betulkah, Robert" Kautahu di bagian mana rahasia itu harus dicari?" "Betul, aku
tahu." Kebimbangan di mata Langdon hanya sekilas, namun Teabing melihatnya. Ada
kebohongan di sana. Cara yang menyedihkan dan sangat putus asa untuk
menye1amatkan Sophie. Teabing merasakan kekecewaan yang mendalam pada diri
Robert Langdon. Aku adalah kesatria tunggal, dikelilingi oleh jiwa-jiwa tak berharga. Aku
akanmemecahkankodebatukunciitusendirian.
Langdon dan Neveu hanyalah ancaman bagi Teabing sekarang ... dan bagi Grail. Walau
solusi itu akan menyakitkan, dia tahu, dia dapat melaksanakannya dengan nurani
yang bersih. Satu-satunya tantangan adalah membujuk Langdon untuk meletakkan
batu kunci itu sehingga Teabing dapat dengan selamat mengakhiri permainan ini.
"Pertunjukan keyakinan," kata Teabing, menurunkan senjatanya dari Sophie.
"Turunkan batu kunci itu dan kita akan bicara."
Langdon tahu kebohongannya telah gagal.
Dia dapat melihat tekad yang gelap pada wajah Teabing dan tahu bahwa momennya
ada pada mereka. Begitu aku meletakkan ini, dia akan menembak kami. Bahkan tanpa
melihat ke arah Sophie, Langdon tahu, jantung Sophie memohonnya dengan putus
asa. Robert, lelaki ini tidak berhak atas Grail.
Kumohon,janganberikanpadanya.Apapunyangakanterjadi.
Langdon telah membuat keputusan beberapa menit yang lalu, ketika berdiri
sendirian di dekat jendela memandang ke Taman College. LindungiSophie.
LindungiGrail. Langdon hampir berteriak karena putus
asa.Tetapiakutidaktahucaranya! Saat-saat kekecewaan yang dalam telah membawa
serta kejelasan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. Kebenaran itu ada tepat
di depan matamu, Robert. Dia tidak tahu dari mana bisikan itu datang. Grail
tidak bergurau denganmu.Diasedang menyerukepada jiwayangberhak.
Sekarang, Langdon membungkuk seperti sebuah patung beberapa yard di depan Leigh
Teabing. Dia menurunkan cryptex itu hingga beberapa inci dari atas lantai batu
"Ya, Robert," Teabing berbisik, sambil mengarahkan pistol itu kepada Langdon.
"Letakkan di bawah."
Mata Langdon bergerak ke atas, ke arah celah terbuk?, kubah Chapter House.
Sambil berjongkok lebih rendah, Langdon menurunkan tatapannya pada pistol
Teabing yang terarah tepat padanya. "Maafkan aku, Leigh." Dalam satu gerakan
ringan, Langdon meloncat, sambil mengayunkan tangannya ke atas,
melemparkancryptex itu ke atas ke arah kubah. Leigh Teabing tidak merasa menarik
pelatuk pistolnya, namun Medusa itu meledak dengan suara menggelegar. Posisi
tubuh Langdon yang tadi berjongkok, sekarang sudah menjadi vertikal, hampir
terbang, dan peluru itu meledak di lantai dekat kaki Langdon. mengarahkan
bidikannya dan menembak Setengah otak Teabing ingin lagi dengan kemarahan,
tetapi kekuatan yang lebih besar menarik matanya ke atas, ke kubah.
Batukunciitu! Waktu seolah membeku, berubah menjadi mimpi dalam gerak lambat
ketika keseluruhan dunia Teabing menjadi batu kunci yang melayang itu. Dia
menatapnya naik hingga ke puncak pendakiannya di atas ... melayang-layang sesaat
pada ruang kosong di atas kemudian meluncur ke bawah, terus dan terus, ke arah
lantai batu. Segala harapan dan mimpi Teabing sedang terjungkir-jungkir ke arah
bumi.Tidakbolehmenghantamlantai! Akudapatmeraihnya! Tubuh Teabing bergerak
secara naluri. Dia melepaskan pistolnya dan mengangkat dirinya ke depan,
menjatuhkan tongkatnya ketika dia hendak meraih batu kunci dengan tangannya yang
lembut terawat. Teabing merentangkan tangan dan jemarinya, menyambar batu kunci
itu dari udara. Teabing jatuh ke depan sambil menggenggam batu kunci dalam tangannya. Lelaki
berkaki lemah itu tahu, dia jatuh terlalu cepat. Tanpa ada yang memperlambat
jatuhnya, tangannya yang meregang menimpa lantai lebih dulu, dancryptex itu
terhempas keras di lantai batu. Terdengar suara kerkah menyakitkan dari kaca di
dalamnya. Satu detik penuh, Teabing tidak bernapas. Terentang di atas lantai,
sambil menatap lengan-lengannya yang terulur dengan silinder pualam pada telapak
tangannya, Teabing berharap botol kaca di dalam silinder itu tidak pecah. Lalu


The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bau tajam cairan cuka memotong udara, dan Teabing merasakan dinginnya cairan
yang mengalir keluar dari putaran silinder ke telapak tangannya.
Kepanikan luar biasa menyergapnya. TIDAK! Cuka itu sekarang mengalir, dan
Teabing membayangkan papirus yang hancur di dalamnya. Robert, kau
tolol.Rahasiaituhilangsudah!
Teabing menangis tak terkendali. Grailitusudahhilang.Segalanyahancur. Dengan
marah karena apa yang telah dilakukan Langdon, Teabing mencoba memisahkan
silinder itu, sangat ingin melihat sejarah walau sekilas saja, sebelum larut
selamanya. Namun Teabing terkejut sekali, ketika dia menarik ujung-ujung batu
kunci itu, slinder itu terpisah begitu saja.
Dia terkesiap dan melongok ke dalamnya. Kosong, kecuali pecahan kaca yang basah.
Tidak ada papirus yang larut. Teabing berguling dan menatap Langdon. Sophie
berdiri di samping Langdon, sambil menodongkan senjata pada Teabing.
Dengan bingung Teabing melihat kembali batu kunci itu dan menangkap sesuatu.
Lempengan-lempengan pada silinder tidak lagi acak. Lempenganlempengan itu sudah
teratur membentuk kata lima huruf : APPLE. "Bola yang dimakan Eva," kata Langdon
dingin. "membangkitkan kemarahan suci Tuhan. Dosa asal. Simbol kejatuhan
perempuan suci. Teabing merasa kebenaran itu datang dan menerpanya dalam ketegangan yang
menyiksa. Bola yang seharusnya ada di makam Newton, tidak bisa tidak, pastilah
buah apel Rosy yang jatuh dari langit, memukul Newton tepat pada kepalanya, dan
mengilhami karya seumur hidupnya. Hasil kerjanya! Raga
Rosydenganrahimyangterbuahi! "Robert," bentak Teabing. "Kau membukanya. Di mana
... peta itu?" Tanpa berkedip, Langdon merogoh saku dada jas wolnya dan dengan
berhati-hati dia menarik keluar sebuah gulungan kertas papirus yang halus. Hanya
beberapa yard dari tempat Teabing terbaring, Langdon membuka gulungan itu dan
melihatnya. Setelah lama menatap, sebuah senyuman pengertian terkembang pada
wajah Langdon. Dia tahu! Jantung Teabing sangat menginginkan pengetahuan itu. Mimpi seumur
hidupnya ada tepat di depannya. "Katakan padaku!" perintah Teabing. "Kumohon!
Oh, Tuhan, kumohon! Ini belum terlambat!"
Ketika suara derap langkah berat terdengar di aula menuju ke Chapter House,
Langdon dengan tenang menggulung lagi kertas papirus itu dan memasukkan kembali
ke dalam sakunya. "Tidak!" Teabing berteriak, sambil mencoba berdiri namun
gagal. Ketika pintu terbuka dengan kasar, Bezu Fache masuk seperti seekor
banteng memasuki arena. Mata buasnya mengamati dan menemukan sasarannya
tergeletak tak berdaya di atas lantai---Leigh Teabing. Sambil menghembuskan
napas lega, Fache menyimpan kembali pistol Manurhin-nya dan menoleh pada Sophie.
"Agen Neveu, aku senang kau dan Pak Langdon selamat. Kau seharusnya datang
ketika kuminta." Polisi Inggris masuk mengikuti Fache, menangkap tahanan yang
tampak menderita itu dan membelenggunya. Sophie tampak terpaku melihat Fache.
kami?" Fache menunjuk pada Teabing. "Dia "Bagaimana kau menemukan
membuat kesalahan dengan memperlihatkan ID, kartu identitasnya, ketika memasuki
biara ini. Para penjaga mendengar pengumuman polisi bahwa kami sedang mencari
Sir Leigh Teabing." "Ada di dalam saku Langdon!" Teabing berteriak seperti orang gila. "Peta ke Holy
Grail!" Ketika mereka mengangkat Teabing dan membawanya keluar, Teabing masih dapat
menoleh dan berteriak. "Robert! Katakan di mana itu disembunyikan!"
Begitu Teabing melewati mereka, Langdon menatap mata Teabing. "Hanya yang berhak
yang menemukan Grail, Leigh. Kau mengajarkan itu padaku."
102 HALIMUN telah turun di Taman Kensington ketika Silas terpincang-pincang memasuki
sebuah lembah sunyi tak terlihat. Dia lalu berlutut di atas rumput basah dan
merasakan aliran hangat dari darahnya yang mengalir dan luka peluru di bawah
tulang iganya. Namun, dia masih sanggup menatap lurus ke depan. Kabut membuat
taman itu seperti surga. Silas mengangkat tangannya yang berlumuran darah untuk
berdoa. Dia mengamati air hujan mengusapi jemarinya, sehingga jemarinya menjadi
putih lagi. Ketika tetes hujan menjadi semakin keras menimpa punggung dan
bahunya, dia dapat merasakan tubuhnya menghilang sedikit demi sedikit ke dalam
kabut. Akuhantu. Angin bertiup menerpanya, membawa aroma tanah basah dan kehidupan
baru. Dengan setiap sel yang hidup dalam tubuh rusaknya, Silas berdoa. Dia
berdoa mohon pengampunan. Dia berdoa mohon belas kasihan. Dan yang terpenting,
dia berdoa untuk mentornya ... Uskup Aringarosa ... supaya Tuhan tidak
mengambilnya sebelum waktunya.Diamasih harus mengerjakanbanyakhal.
Kabut mengitarinya sekarang, dan Silas merasa begitu ringan sampai sampai dia
yakin tiupan angin mampu menerbangkannya. Dengan menutup matanya, dia
mengucapkan doa terakhirnya.
Dari suatu tempat di tengah-tengah halimun itu, suara Manuel Aringarosa berbisik
kepadanya. TuhankitaadalahTuhanyangbaikdanpengasih. Rasa sakit Silas mulai
memudar, dan dia tahu uskup itu benar.
103 AKHIRNYA Matahari muncul pada sore hari. London pun mulai kering. Bezu Fache
merasa letih ketika keluar dari ruang interogasi dan memanggil taksi. Sir Leigh
Teabing telah menyatakan dengan sangat riuh bahwa dirinya tidak bersalah, namun
dari kata-kata tingginya yang membingungkan tentang Holy Grail, dokumen-dokumen
rahasia, dan persaudaraan-persaudaraan misterius, Fache menduga bahwa sejarawan
pandai ini sedang mengatur para pengacaranya untuk mengajukan pernyataan
ketidakwarasan dalam pembelaan mereka. Tentu, pikir Fache. Tidak waras. Teabing
telah memaparkan sebuah rencana yang betul-betul sangat teliti dalam
pengaturannya sehingga dapat melindungi dirinya pada setiap dakwaan. Sejarawan
ini telah memperalat baik Vatikan maupun Opus Dei, dua kelompok yang akhirnya
dinyatakan tidak bersalah. Pekerjaan kotor Teabing telah dilaksanakan secara
tidak sadar oleh seorang biarawan fanatik dan seorang uskup yang putus asa.
Lebih cerdik lagi, Teabing telah meletakkan peralatan penyadapannya pada tempat
yang tak mungkin ter jangkau oleh seorang penyandang cacat polio. Penyadapan itu
dilaksanakan oleh pelayannya, Remy - satu-satunya orang yang tahu identitas
Teabing yang sebenarnya - yang telah meninggal karena reaksi alerginya.
Hampir tidak dapat dikatakan sebagai hasil pekerjaan seseorang dengan
cacatmental, pikir Fache.
Informasi dari Collet yang masih berada di Puri Villette mengatakan bahwa
kecerdikan Teabing sangat luar biasa sehingga Fache sendiri merasa dapat
mempelajari sesuatu darinya. Untuk menyembunyikan alat penyadap dengan rapi di
dalam kantor orang-orang yang sangat berpengaruh di Paris, sejarawan Inggris itu
meniru cara orang Yunani kuno. Kuda-kuda Troya. Beberapa sasaran yang ditujunya
mendapat hadiah barang seni mewah, yang di dalamnya sudah disisipkan alat
penyadapan itu. Pada kasus Sauni?re, kurator ini telah mendapat undangan makan
malam ke Puri Villette untuk membicarakan kemungkinan Teabing membiayai
pembangunan Sayap Da Vinci yang baru di Louvre. Undangan kepada Sauni?re juga
berisi catatan tentang kekaguman Teabing pada robot kesatria yang, konon, telah
dirakit Sauni?re sendiri. Bawalah ke acara makan malam kita, begitu usul
Teabing. Tampaknya Sauni?re menurutinya dan meninggalkan kesatria besi itu tanpa
pengawasan cukup lama, sehingga R?my Legaludec mempunyai cukup waktu untuk
menyisipkan penyadap tanpa mencurigakan.
Sekarang Fache duduk di bangku belakang taksi. Dia menutup matanya.
Satuhallagiyangharusdikerjakansebelumaku pulangkeParis.
Cahaya matahari memenuhi ruang pemulihan Rumah Sakit St. Maria.
"Anda telah membuat kami semua kagum," kata seorang perawat sambil tersenyum.
"Ini keajaiban yang jarang terjadi." Uskup Aringarosa tersenyum lemah. "Aku
selalu diberkati, dari dulu." Perawat itu menyelesaikan pekerjaannya, lalu
meninggalkan uskup itu sendirian. Sinar matahari tampak ramah dan hangat di
wajah Aringarosa. Tadi malam merupakan malam tergelap dalam hidupnya..
Dengan hati remuk, dia memikirkan Silas yang tubuhnya ditemukan di taman.
Kumohon,maafkanaku,anakku. Aringarosa memang menginginkan Silas untuk terlibat
dalam rencana kejayaannya itu. Kemarin malam, Aringarosa menerima telepon dari
Bezu Fache. Kapten Polisi itu bertanya tentang kemungkinan keterlibatannya dalam
pembunuhan seorang biarawati di Saint-Sulpice. Aringarosa pun sadar bahwa malam
itu telah berubah menjadi malam yang menakutkan. Berita tentang terbunuhnya
empat orang lagi mengubah ketakutannya menjadi penderitaan. Silas, apa yang
telah kaulakukan! Karena Aringarosa tidak dapat menghubungi Guru, dia tahu, dia
telah disingkirkan dari misi itu.Digunakan. Satu-satunya cara untuk menghentikan
rantai peristiwa mengerikan yang secara tak disadarinya telah dibantunya itu
adalah dengan cara mengakui segalanya kepada Fache. Mulai saat itu, Aringarosa
dan Fache berusaha keras menghubungi Silas sebelum Guru membujuknya untuk
melakukan pembunuhan lagi.
Aringarosa merasa sangat letih tulang-belulangnya. Dia lalu memejamkan matanya
dan mendengarkan berita di televisi tentang penangkapan seorang kesatria Inggris
yang terkenal, Sir Leigh Teabing. Guru terungkap untuk disaksikan oleh semua
orang. Teabing telah mendengar kabar angin bahwa Vatikan berencana untuk
memutuskan hubungan dengan Opus Dei. Kemudian dia memilih Aringarosa sebagai
pion sempurna untuk melaksanakan rencananya. Betapapun, siapa lagi yang mau
meloncat dengan membuta mengejar Holy Grail selain orang seperti diriku ini yang
mau mempertaruhkan segalanya" Grail akan memberikan kekuasaan yang sangat
besarbagisiapasajayangmemilikinya. Leigh Teabing telah melindungi idenntasnya
dengan cerdik - berpura-pura dengan menggunakan aksen Prancis dan hati yang saleh,
dan hanya meminta sebagai bayaran sesuatu yang tak di butuhkan Aringarosa - uang.
Aringarosa saat itu terlalu bersemangat sehingga tidak sempat curiga. Harga 20
juta euro yang harus dibayarnya terasa tidak ada artinya dibandingkan dengan
nilai yang akan diperolehnya dari Grail, apalagi dengan adanya cicilan Vatikan
karena pemutusan hubungan dengan Opus Dei itu. Orang buta melihat apa yang
mereka ingin lihat. Penghinaan Teabing terbesar, tentu saja, adalah dia meminta
pembayaran itu berupa obligasi Vatikan, sehingga jika ada kegagalan,
penyelidikan polisi akan langsung ke Roma. "Saya senang melihat Anda tampak
lebih baik, Tuan." Aringarosa mengenali suara keras dan kasar itu yang terdengar
di ambang pintu, tetapi wajah pemilik suara itu tak terduga - keras, tampak
berkuasa, rambut hitam licin dan leher lebar yang tampak kaku di dalam jas
gelapnya. "Kapten Fache?" tanya Aringarosa. Perasaan simpati dan perhatian yang
diperlihatkan Fache ketika Aringarosa berjanji tadi malam telah membuat
Aningarosa membayangkan sesosok yang lebih lembut.
Sang Kapten mendekati tempat tidur dan menaikkan sebuah tas hitam berat yang
dikenali Aringarosa ke atas kursi. "Saya yakin ini milik Anda?"
Aringarosa menatap tas yang penuh berisi obligasi itu, lalu segera mengalihkan
tatapannya, karena sangat malu. "Ya, ... terima kasih." Dia terdiam sementara
jemarinya menyentuh lipatan kain tempat tidurnya, lalu dia melanjutkan. "Kapten,
saya telah merenungkannya, dan saya perlu minta bantuan Anda." "Tentu saja."
"Keluarga-keluarga di Paris yang telah Silas ..." Dia terdiam, menahan
perasaannya. "Saya sadar, sejumlah uang tidak akan mungkin menggantikan
kehilangan mereka, namun jika Anda mau berbaik hati untuk membagi isi tas itu
kepada mereka ... keluarga-keluarga korban."
Mata hitam Fache lama mengamati Aringarosa. "Sebuah tindakan luhur, Yang Mulia.
Saya akan memastikan keinginan Anda terlaksana." Kemudian ruangan itu menjadi
sangat sunyi. Di televisi, seorang petugas polisi Prancis yang kurus sedang
memberikan konperensi pers di depan sebuah rumah yang berantakan. Fache melihat
siapa polisi itu lalu mengalihkan perhatiannya pada layar televisi.
"Letnan Collet," seorang wartawan perempuan dari BBC berkata, nada suaranya
menuduh. "Tadi malam, kapten Anda menuduh dua orang tak bersalah karena
pembunuhan, di depan umum. Apakah Robert Langdon dan Sophie Neveu akan meminta
pertanggungjawaban pada polisi" Apakah ini akan mengakibatkan dipecatnya Kapten
Fache?" Letnan Collet tersenyum letih, namun tetap tenang. "Menurut pengalaman saya,
Kapten Bezu Fache jarang membuat kesalahan. Saya belum sempat berbicara dengan
beliau tentang hal ini, tetapi dengan mengetahui bagaimana cara kerja beliau,
saya kira pengejaran polisi pada Agen Neveu dan Pak Robert Langdon secara
terbuka itu hanyalah bagian dari usahanya untuk memancing munculnya pembunuh
yang sesungguhnya." Para wartawan saling pandang, keheranan. Lalu Collet
melanjutkan. "Apakah Pak Langdon dan Agen Neveu terlibat dalam kasus ini, saya
tidak tahu. Kapten Fache cenderung menyimpan metode kreatifnya sendiri. Apa yang
dapat saya tegaskan pada saat ini adalah bahwa Kapten telah berhasil menangkap
orang yang bertanggung jawab, dan bahwa Pak Langdon dan Agen Neveu sama-sama
tidak bersalah dan selamat."
Fache tersenyum kecil ketika dia menoleh lagi pada Aringarosa. "Collet orang
balk." Beberapa saat berlalu. Akhirnya Fache mengusap dahinya, meluruskan lagi rambut
hitamnya ketika dia menatap Aringarosa yang terbaring. "Yang Mulia, sebelum saya
kembali ke Paris, ada satu hal terakhir yang ingin saya bicarakan - penerbangan
Anda ke London yang begitu mendadak. Anda menyuap pilot itu untuk mengubah arah.
Dengan berbuat demikian, Anda telah melanggar beberapa hukum internasional."
Aringarosa menyesal. "Saya sangat putus asa." "Ya. Demikian juga pilot itu
ketika kami menginterogasinya." Lalu Fache merogoh sakunya dan mengeluarkan
sebentuk cincin bermata batu kecubung dengan ikatan emas yang dibuat tangan.
Aringarosa merasa air matanya mengambang pada matanya ketika dia menerima
kembali cincin itu dan memasukkannya kembali pada jarinya. "Anda baik sekali."
Lalu dia mengulurkan, tangannya dan menjabat tangan Fache. "Terima kasih."
Fache mengangkat tangannya, lalu berjalan ke jendela dan menatap kota itu.
Benaknya melayang jauh. Ketika dia menoleh, ada ketidakpastian pada dirinya.
"Yang Mulia, Anda mau ke mana dari sini?"
Aringarosa pernah ditanya hal yang sama ketika dia meninggalkan Puri Gandolfo
kemarin malam. "Saya kira jalan saya sama tidak pastinya dengan jalan Anda."
"Ya." Fache terdiam. "Saya kira, saya akan pensiun lebih awal." Aringarosa
tersenyum. "Sedikit keyakinan dapat membuat keajaibankeajaiban, Kapten. Sedikit
keyakinan." 104 KAPEL Rosslyn---sering disebut Katedral Kode-Kode---berdiri tujuh mil ke selatan
Edinburgh, Skotlandia, di situs kuil kuno Mithrajc. Dibangun oleh Templar pada
tahun 1446, kapel itu diukir dengan deretan simbol-simbol yang mengejutkan dari
tradisi-tradisi Yahudi, Kristen, Mesir, Masonik, dan pagan.
Koordinat geografis kapel ini berada tepat pada meridian utara-selatan yang
menjalar melalui Glastonbury. Garis Mawar longitudinal ini merupakan tanda
tradisional dari Isle of Avalon-nya Raja Arthur dan dianggap sebagai pilar pusat
dari geometri suci Inggris. Dari Garis Mawar (Rose Line) inilah nama Rosslyn -
aslinya ditulis Roslin - diambil.
Puncak menara kasar Rosslyn menangkap bayangan malam yang panjang ketika Langdon
dan Sophie Neveu memarkir mobil sewaan mereka di area parkir berumput di kaki
tebing tempat kapel itu berdiri. Penerbangan pendek mereka dari London ke
Edinburgh berlangsung tenang, walau tidak ada yang tertidur karena ketegangan
menghadapi apa yang akan mereka temui nanti. Saat menatap bangunan besar di
depan langit yang tersapu awan, Langdon merasa seperti Alice (di negeri dongeng)
yang terjatuh ke lubang kelinci. Ini pasti mimpi. Namun dia tahu teks yang
ditulis Sauni?re sebagai pesan terakhirnya sudah sangat jelas.
Holy Grail menanti di bawah Roslin kuno.
Langdon telah membayangkan bahwa "peta Grail" Sauni?re akan merupakan sebuah
diagram - sebuah gambar dengan sebuah X menandai tempat itu - namun ternyata rahasia
terakhir Biarawan itu telah terungkap dengan cara yang sama seperti cara
Sauni?re berbicara kepada mereka sejak awal. Bait sederhana. Empat baris tegas
yang menunjukkan tanpa ragu ke tempat ini. Sebagai tambahan untuk mengenali nama
Rosslyn, bait itu membuat rujukan ke beberapa ciri arsitektural yang ternama
dari kapel itu. Walau pesan terakhir Sauni?re begitu jelas, Langdon kini merasa lebih bingung
lagi. Baginya, Kapel Rosslyn tampak lebih jelas tempatnya. Selama empat abad,
kapel batu ini telah menggaungkan bisik-bisik tentang kehadiran Holy Grail.
Bisik-bisik itu menjadi teriakan pada sepuluh tahun terakhir ini ketika radar
penembus tanah menemukan adanya struktur mengagumkan di bawah kapel - sebuah kamar
raksasa bawah tanah. Bukan hanya ruang bawah tanah itu lebih besar daripada
kapel di atasnya, tapi juga tampaknya tidak memiliki pintu masuk dan keluar.
Para arkeolog memohon untuk dapat meledakkannya melalui batuan dasarnya untuk
mencapai ruangan misterius itu, namun Perserikatan Rosslyn dengan tegas melarang
segala penggalian pada situs suci itu. Tentu saja, ini hanya semakin menyulut
api spekulasi. Perserikatan Rosslyn mencoba menyembunyikan apa"
Rosslyn sekarang menjadi situs ziarah bagi para pencari misteri. Beberapa orang
mengaku bahwa mereka ditarik ke sini oleh kekuatan magnit yang berasal dari
koordinat ini, tanpa dapat menjelaskannya. Beberapa yang lainnya mengaku, mereka
datang untuk meneliti sisi bukit untuk mencari pintu masuk yang tersembunyi
mengaku datang ke ruang bawah tanah itu. Tetapi kebanyakan orang hanya untuk
berjalan-jalan di atasnya dan menyerap pengetahuan tentang Holy Grail.
Walaupun Langdon belum pernah ke Rosslyn. dia selalu tertawa ketika mendengar
kapel ini digambarkan sebagai rumah terkini Holy Grail. Diakui, Rosslyn mungkin
pernah menjadi rumah bagi Grail, sudah lama sekali ... tetapi tidak lama.
Kehadiran Grail di sana terlalu banyak menarik perhatian pada dekade-dekade


The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu, dan cepat atau lambat seseorang akan menemukan jalan menuju ke ruang bawah
tanah itu. Para peneliti Grail yang sesungguhnya setuju bahwa Rosslyn hanyalah sebuah umpan
- salah satu jalan buntu yang berliku-liku yang dibuat Biarawan dengan begitu
meyakinkan. Malam ini, walau membawa batu kunci Biarawan yang memberikan sebuah
bait yang menunjuk langsung pada tempat ini, Langdon tetap tidak merasa begitu
puas. Sebuah pertanyaan membingungkannya sepanjang hari: Mengapa Sauni?re mau
bersusah payah untuk memandu kita ke tempat yangbegitunyata" Tampaknya hanya ada
satu jawaban masuk akal. AdasesuatupadaRosslynyangmasihharuskitamengerti.
"Robert?" panggil Sophie yang sudah berdiri di luar mobil, sambil melihat
Robert. "Kau ikut?" Sophie memegang kotak kayu mawar, yang dikembalikan Kapten
Fache. Di dalamnya, keduacryptex telah disatukan lagi dan diletakkan seperti
ketika ditemukan. Kertas papirus telah tergulung dan disimpan dengan aman di
dalamnya - tanpa botol cuka yang telah hancur.
Keduanya lalu berjalan di sepanjang jalan berbatu. Mereka melintasi dinding
barat yang terkenal dari kapel itu. Para pengunjung biasa mengira bahwa dinding
yang menonjol keluar dengan aneh ini merupakan bagian dari kapel yang belum
selesai. Sesungguhnya, Langdon ingat, itu merupakan bagian yang lebih menggoda.
IniadalahdindingbaratdariKuilSalomo. Templar telah merancang Kapel Rosslyn
betul-betul serupa dengan cetak biru arsitektur Kuil Salomo di Jerusalem - lengkap
dengan sebuah dinding barat, sebuah tempat berlindung yang sempit, dan sebuah
ruang bawah tanah seperti Ruang Mahakudus, tempat sembilan kesatria menanam
harta benda mereka untuk pertama kalinya. Langdon harus mengakui, ada sebuah
simetri yang menggoda dalam gagasan Templar membangun tempat pe.nyimpanan modern
bagi Grail yang menggemakan tempat persembunyian Grail yang sesungguhnya.
Pintu masuk Kapel Rosslyn lebih sederhana daripada yang Langdon kira. Pintu kayu
kecilnya memiiki dua engsel besi dan sebuah tanda dari kayu ek.
ROSLIN Ejaan kuno ini, Langdon menjelaskan kepada Sophie, berasal dari meridian "Rose
Line" tempat kapel ini berdiri; atau, seperti yang lebih dipercaya oleh para
peneliti Grail, dari the "Line of Rose" - garis keturunan kuno Maria Magdalena.
Kapel ini sudah hampir tutup. Ketika Langdon menarik-buka pintunya, udara hangat
keluar dari dalam ruangan, seolah gedung kuno ini mendesah berat karena
kelelahan pada akhir hari yang panjang. Pintu masuk lengkungnya dihiasi dengan
ukiran lima kelopak. Mawar.Rahimdewi. Langdon dan Sophie memasuki kapel itu.
Mata Langdon segera melihat ke ujung sanktuarinya yang terkenal. Walau dia telah
membaca soal ukiran batu kapel Rosslyn yang menawan, melihatnya langsung memberi
Langdon pengalaman yang luar biasa. Surgasimbologi, salah satu teman Langdon
menyebumya demikian. Setiap permukaan kapel ini telah diukir dengan simbol-
simbol - salib-salib Kristen, bintang-bintang Yahudi, gambar-gambar astrologi,
tumbuhan, sayuran, bintang lima sudut, dan mawar. Templar merupakan ahli ukir
batu. Mereka telah mendirikan gereja di seluruh Eropa, tetapi Rosslyn dianggap
sebagai hasil karya cinta dan pemujaan mereka yang paling luhur. Para ahli batu
itu tidak meninggalkan satu batu pun yang tak terukir. Kapel Rosslyn merupakan
tempat suci bagi semua keyakinan ... semua tradisi ... dan, yang terutama, bagi
alam dan dewi. Sanktuari gereja itu kosong, kecuali sedikit pengunjung yang mendengarkan
seorang lelaki muda memberikan tur terakhir hari ini. Lelaki muda itu memimpin
mereka dalam satu barisan mengikuti sebuah rute terkenal pada lantai - sebuah
garis jalan-kecil tak terlihat yang menghubungkan enam kunci titik arsitektur di
dalam sanktuari. Para pengunjung dari generasi ke generasi telah menapaki garis-
garis ini, menghubungkan titik-titik itu, dan jejak kaki mereka yang tak
terhitung telah mengukir sebuah simbol yang besar di atas lantai.
BintangDavid, pikir Langdon.Tidakadakebetulandisana. Juga dikenal sebagai Segel
Salomo, heksagram ini pernah menjadi simbol rahasia bagi pendeta-pendeta penarap
bintang. Belakangan simbol ini diambil oleh raja-raja Israel - David dan Salomo.
Pemandu wisata itu telah melihat Langdon dan Sophie masuk. Walaupun sekarang
sudah waktunya tutup, dia masih tersenyum ramah dan memberi isyarat kepada
mereka untuk bebas melihat-lihat ke sekeliing.
Langdon mengangguk berterima kasih dan mulai bergerak masuk lebih dalam ke
sanktuari. Sophie masih berdiri terpaku pada ambang pintu. Kebingungan tampak
pada wajahnya. "Ada apa?" tanya Langdon. Sophie menatap kapel itu. "Rasanya ...
aku pernah ke sini." Langdon heran. "Tadi kaubilang bahkan belum pernah
mendengar nama Rosslyn." "Aku memang belum pernah..." Dia mengamati sanktuari gereja itu, tampak
tidak yakin. "Pastilah kakekku pernah membawaku ke sini ketika aku masih sangat
kecil. Aku tidak tahu. Rasanya ini kukenal." Ketika matanya mengamati ruangan
itu, dia mulai mengangguk-angguk lebih yakin. "Ya." Lalu Sophie menunjuk pada
bagian muka ruang gereja itu. "Kedua pilar itu ... aku pernah melihatnya."
Langdon meihat pasangan pilar yang dipahat rumit pada ujung sanktuari. Pilar-
pilar itu - ditempatkan pada posisi altar biasanya berada - merupakan pasangan yang
aneh. Pilar di sebelah kiri diukir dengan garis-garis vertikal sederhana,
sementara pilar kanan dihiasi dengan sebuah spiral berbungabunga.
Sophie bergerak ke arah kedua pilar itu. Langdon bergegas mengikutinya. Ketika
mereka tiba di sana, Sophie mengangguk dengan ketidakpercayaan bahwa dia betul-
betul sudah pernah ke sini. "Ya, aku yakin, aku sudah pernah melihat ini!"
"Aku yakin kau pernah melihatnya," kata Langdon, "tetapi itu tidak harus
disini." Sophie menoleh pada Langdon. "Apa maksudmu?" "Kedua pilar ini merupakan
struktur arsitektur yang paling banyak ditiru di
dalam sejarah. Tiruan selalu ada di mana-mana di seluruh dunia ini." "Tiruan
Rosslyn?" Sophie tampak ragu. "Bukan. Tiruan pilar. Kauingat sebelumnya ketika
aku mengatakan bahwa Rosslyn sendiri merupakan tiruan dari Kuil Salomo?" Langdon
lalu menunjuk pada pilar di sebelah kiri. "Itu disebutBoaz - atau Pilar Mason.
Yang lainnya dinamakan Jachin--atau Pilar Murid." Dia terdiam sejenak.
"Sebenarnya, semua kuil Mason memiliki dua pilar seperti ini."
Langdon sudah pernah menjelaskan kepada Sophie tentang ikatan sejarah yang kuat
antara Templar dengan perkumpulan rahasia Mason di zaman sekarang, yang
tingkatan-tingkatan awalnya - Apprentice Freemason, Fellowchart Freemason, dan
Master Mason - berhubungan dengan masa-masa awal Templar. Puisi terakhir kakek
Sophie merujuk langsung ke Master Mason yang menghiasi Rosslyn dengan sajian
ukiran artistik mereka. Puisi itu juga berkaitan dengan bagian tengah Rosslyn,
yang tertutup dengan ukiran bintangbintang dan planet-planet.
"Aku belum pernah pergi ke Kuil Mason," kata Sophie, sambil masih menatap pilar-
pilar itu. "Aku hampir yakin, aku melihat ini di sini." Dia menoleh kembali ke
kapel itu, seolah mencari hal lain lagi yang dapat mengingatkannya.
Pengunjung yang lain sekarang sudah pergi, dan pemandu muda itu bergerak
melintasi kapel ke arah mereka dengan senyuman ramahnya. Lelaki tampan itu
berusia kira-kira akhir dua puluhan, dengan aksen Skotlandia dan rambut pirang
strawberi. "Aku akan tutup sebentar lagi. Bisa kubantu menemukan sesuatu?"
BagaimanamenemukanHolyGrail" Hampir saja Langdon mengatakan itu. "Kode itu,"
kata Sophie, tiba-tiba seperti mendapat wahyu. "Ada kode di
sana!" Petugas gereja itu tampak senang melihat Sophie begitu antusias. "Ya,
memang ada, Bu." "Ada di langit-langit," kata Sophie, menoleh ke dinding di
sebelah kanannya. "Di sana." Petugas itu tersenyum. "Ini bukan kunjunganmu yang pertama
tampaknya." Kode itu, pikir Langdon. Dia telah lupa dengan pelajaran kecil itu.
Salah satu dari banyak misteri Rosslyn adalah sebuah ruang beratap kubah, dari
mana ratusan balok bartu menonjol, bergantungan ke bawah membentuk permukaan
multifaset yang aneh. Setiap balok diukir dengan sebuah simbol, tampaknya secara
acak, menciptakan sebuah sandi dari bagian yang tak terduga. Beberapa orang
percaya, kode itu akan membuka pintu masuk ke ruang bawah tanah kapel. Yang
lainnya percaya, kode itu akan menceritakan legenda Grail yang sesungguhnya.
Selama berabad-abad, para kriptografer telah mencoba untuk mengartikannya.
Hingga hari ini, Perserikatan Rosslyn menawarkan hadiah besar bagi siapa saja
yang mengungkap arti rahasia itu, tetapi kode itu tetap menjadi misteri. "Aku
akan senang memperlihatkan..." Suara petugas gereja itu terhenti. Kodepertamaku,
pikir Sophie, sambil berjalan sendirian setengah sadar ke arah ruang di bawah
atap kubah yang berkode itu. Karena dia telah menyerahkan kotak kayu tadi kepada
Langdon, untuk sementara dia dapat melupakan segalanya tentang Holy Grail,
Biarawan Sion, dan segala misteri kemarin. Ketika dia tiba di bawah langit-
langit yang berkode dan melihat simbol-simbol di atasnya, kenangan itu datang
membanjir. Dia ingat kunjungan pertamanya ke sini, dan anehnya kenangan itu
membuatnya sedih secara tak terduga.
Saat itu Sophie masih kecil ... kira-kira satu tahun setelah keluarganya
meninggal. Kakeknya membawanya ke Skotlandia pada saat liburan pendek. Mereka
mengunjungi Kapel Rosslyn sebelum kembali ke Paris. Saat itu sudah sore, dan
kapel sudah tutup. Tetapi mereka masih berada di dalam.
"Kita bisa pulang sekarang, Grand-p?re?" Sophie memohon karena merasa letih.
"Segera, sayang, sebentar lagi." Suara kakeknya terdengar sedih. "Masih ada satu
hal yang harus kukerjakan di sini. Bagaimana jika kau menunggu di mobil?" "Kau
akan melakukan pekerjaan orang dewasa lagi?" Kakeknya mengangguk. "Aku akan
cepat. Aku berjanji." "Aku boleh menebak kode ruang beratap kubah itu lagi"
Soalnya asyik." "Aku tidak tahu. Aku harus keluar. Kau tidak takut di sini
sendirian?" "Tentu saja tidak!" katanya dengan gusar. "Ini belum gelap!"
Kakeknya tersenyum. "Baiklah jika begitu." Lalu Sauni?re mengantarnya ke ruang
yang besar itu yang telah diperlihatkannya sebelumnya.
Sophie langsung menjatuhkan diri di atas lantai batu, lalu membaringkan tubuhnya
dan menatap lekukan potongan teka-teki di atasnya. "Aku akan memecahkan kode ini
sebelum kau kembali!"
"Kalau begitu, kita berlomba." Sauni?re membungkuk dan mengecup dahi cucunya,
lalu berjalan ke arah pintu di dekatnya. "Aku di luar. Aku akan membiarkan pintu
terbuka. Jika kau membutuhkan Kemudian Sauni?re masuk ke sinar lembut malam.
Sophie berbaring di atas lantai, menatap kode aku, panggil saja."
itu. Matanya terasa mengantuk. Setelah beberapa menit, simbol-simbol itu menjadi
pudar, dan kemudian menghilang. Ketika Sophie terbangun, lantai itu terasa
dingin. "Grand-p?re?" Tidak ada jawaban. Lalu Sophie berdiri dan membersihkan
pakaiannya. Pintu keluar masih terbuka. Malam mulai menjadi lebih gelap. Dia
berjalan keluar dan dapat melihat kakeknya berdiri di beranda rumah batu yang
berada tepat di belakang gereja. Kakeknya sedang berbicara dengan seseorang yang
hampir tidak terlihat di balik pintu berkasa. "Grand-pere?" Sophie memanggil.
Kakeknya menoleh dan melambaikan tangannya, memberi isyarat padanya untuk
menunggu sebentar lagi. mengucapkan kata-kata terakhirnya Kemudian, perlahan-
lahan, kakeknya kepada orang di balik pintu itu dan melayangkan ciuman ke arah
pintu berkasa. Kakeknya datang dengan mata penuh air mata. "Mengapa kau
menangis,Grand-p?re?" Sauni?re mengangkatnya dan mendekapnya erat. "Oh, Sophie,
tahun ini kau dan aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada banyak orang.
Sulit sekali." Sophie ingat pada kecelakaan itu, pada ucapan selamat tinggal kepada ibu, ayah,
nenek, dan adik lelakinya yang masih bayi. "Kau tadi mengucapkan selamat tinggal
kepada orang lain lagi?"
"Kepada seorang teman dekat yang sangat kucintai," dia menjawab, suaranya berat
karena penuh perasaan. "Dan aku takut tidak akan bertemu lagi dengannya untuk
jangka waktu yang lama." Berdiri di samping pemandu, Langdon telah mengamati
dinding-dinding kapel dan mulai merasa menemui jalan buntu. Sophie telah
berjalan pergi untuk melihat kode itu dan meninggalkan Langdon memegangi kotak
kayu mawar, yang berisi peta Grail yang tampaknya tidak berguna lagi sekarang.
Walau puisi Sauni?re dengan jelas menunjukkan Rosslyn, Langdon tidak yakin apa
yang harus dilakukannya sekarang setelah mereka tiba di sini. Puisi itu
menyebut-nyebut "mata pedang dan cawan", yang tak terlihat oleh Langdon di mana
pun di kapel ini. HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno.
Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.
Lagi, Langdon merasa masih ada beberapa segi dari misteri ini yang akan
terbuka sendiri. "Aku benci mencampuri urusan orang lain," kata pemandu itu,
sambil menatap kotak kayu mawar di tangan Langdon. "Tetapi kotak itu ... boleh
aku tahu di mana kau mendapatkannya?" Langdon tertawa letih. "Ceritanya sangat
panjang." Lelaki muda itu ragu. Matanya kembali menatap kotak itu lagi. "Aneh.
Nenekku juga memiliki sebuah kotak yang betul-betul sama - kotak perhiasan. Kayu
mawarnya diplitur sama persis, ukiran mawarnya sama, bahkan kuncinya juga tampak
sama." Langdon tahu, lelaki muda itu pasti salah lihat. Jika ada kotak yang hanya satu-
satunya, itu adalah kotak ini - kotak yang dibuat sesuai pesanan untuk menyimpan
batu kunci Biarawan. "Kedua kotak itu mungkin saja sama tetapi - "
Pintu samping tertutup dengan keras, membuat Langdon dan pemuda itu menoleh ke
sana. Sophie telah keluar tanpa pamit dan sekarang berjalan ke lereng ke arah
rumah batu di dekat gereja. Langdon menatapnya.Maukemana dia" Sophie telah
berlaku aneh sejak mereka memasuki gedung ini. Langdon menoleh kepada pemandu.
"Kau tahu itu rumah apa?"
Pemuda itu mengangguk dan tampak bingung juga melihat Sophie berjalan ke sana.
"Itu rumah pendeta kapel ini. Kurator kapel tinggal di sana. Dia juga ketua
Perserikatan Rosslyn." Dia terdiam sesaat. "Dan juga nenekku." "Nenekmu
mengetuai Perserikatan Rosslyn?" Pemuda itu mengangguk. "Aku tinggal bersama
nenekku di rumah rektori itu sambil membantu merawat kapel dan memandu turis."
Dia menggerakkan bahunya. "Aku hidup di sini seumur hidupku. Nenekku membesarkan
aku di rumah itu." Karena memikirkan Sophie, Langdon melintasi ruangan itu ke pintu kapel lalu
memanggilnya. Sesuatu yang baru saja dikatakan pemuda itu memberi arti tertentu.
Nenekkumembesarkanaku. Langdon melihat Sophie di tebing, kemudian menatap kotak
kayu mawar dalam tangannya. Tidak mungkin. Langdon menoleh pada pemuda itu. "Kau
tadi bilang nenekmu memiliki sebuah kotak yang sama dengan ini?" "Hampir
identik." "Di mana dia mendapatkannya?" "Kakekku membuatkan untuknya. Dia
meninggal ketika aku masih bayi, tetapi nenekku masih sering membicarakannya.
Kata Nenek, Kakek seorang jenius dengan keterampilan tangannya. Dia membuat
berbagai macam barang."
Langdon melihat munculnya sebuah hubungan yang tak terbayangkan. "Kaukatakan
tadi nenekmu membesarkanmu. Maaf jika aku bertanya, apa yang terjadi dengan
orang tuamu?" Pemuda itu tampak terkejut. "Mereka meninggal ketika aku masih kecil." Dia
terdiam. "Pada hari yang sama dengan kakekku." Jantung Langdon berdebar keras.
"Dalam kecelakaan mobil?" Pemandu itu tersentak. Ada kebingungan dalam mata
zaitunnya. "Ya, dalam kecelakaan mobil. Seluruh keluargaku meninggal hari itu.
Aku kehilangan kakekku, kedua orang tuaku, dan ...." Dia ragu-ragu sambil
menatap lantai. "Kakak perempuanmu." Lanjut Langdon.
Sophie berdiri di tebing. Rumah batu itu sama dengan yang diingatnya. Malam
tiba, dan rumah itu memancarkan aura hangat dan mengundang. Harum roti berhembus
melalui pintu berkasa yang terbuka, dan cahaya keemasan bersinar dari jendela
ketika Sophie mendekat, dia dapat mendengar isak tangis lembut dari dalam.
Melalui pintu berkasa, Sophie melihat seorang perempuan tua di ruang masuk.
Perempuan itu membelakangi pintu, tetapi Sophie dapat melihat dia menangis.
Perempuan itu berambut keperakan yang panjang dan tebal, yang membangkitkan
gumpalan kenangan yang tak terduga. Sophie secara tak sadar bergerak mendekat.
Dia melangkah hingga ke tangga beranda. Perempuan itu sedang memegang sebuah
foto-berbingkai seorang lelaki dan mengusapkan jemarinya pada wajah dalam foto
itu dengan penuh kasih dan kesedihan. Sophie mengenal wajah dalam foto itu.
Grand-p?re. Pastilah perempuan itu baru saja mendengar berita sedih tentang
kematiannya kemarin malam. Sebuah papan berderit di bawah kaki Sophie, dan
perempuan itu menoleh perlahan. Mata sedihnya bertemu dengan mata Sophie. Sophie
ingin berlari, namun dia hanya berdiri terpaku. Tatapan perempuan itu kuat tak
berkedip ketika dia meletakkan foto itu dan mendekati pintu berkasa. Waktu
seperti berjalan sangat lambat ketika keduanya saling menatap melalui kasa tipis
itu. Kemudian, seperti ombak lautan yang membesar, wajah perempuan itu berubah
dari ketidakpastian ... menjadi tidak percaya ... berharap .... dan akhirnya,
kegembiraan yang memuncak.
Dia lalu mendorong pintu itu, keluar, mengulurkan tangan lembutnya, dan memeluk
Sophie yang sangat terkejut. "Oh, sayangku ...!"
Walau Sophie tidak mengenalinya, dia tahu siapa perempuan itu. Dia mencoba
berbicara, tetapi bahkan bernapas pun dia tak mampu. "Sophie," perempuan itu
terisak, lalu mencium dahi Sophie. Kata-kata Sophie keluar sebagai bisikan yang
tersendat. "Tetapi ...Grand
p?re mengatakan, kau ...." "Aku tahu." Perempuan itu meletakkan tangan lembutnya
pada bahu Sophie dan menatapnya dengan tatapan ramah. "Kakekmu dan aku telah
dipaksa untuk mengatakan banyak hal. Kami melakukan apa yang kami pikir benar.
Aku sangat menyesal. Itu hanya untuk keamananmu, Putri."
Sophie mendengar kata terakhir perempuan itu, lalu dia langsung berpikir tentang
kakeknya, yang telah selalu memanggilnya putri selama bertahuntahun. Suara
kakeknya sekarang seperti menggema dalam batu-batu kuno Rosslyn, menembus tanah
lalu bergetar dalam lubang yang tak dikenal di bawah.
Perempuan itu melingkarkan lengannya pada Sophie. Air matanya bercucur lebih
deras. "Kakekmu sangat ingin mengatakan segalanya kepadamu, tetapi urusan antara
kau dan kakekmu menjadi sulit. Dia mencoba dengan keras. Ada banyak hal yang


The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu dijelaskan. Sangat banyak." Dia mencium dahi Sophie sekali lagi, kemudian
berbisik pada telinganya. "Tidak ada lagi rahasia, Putri. Sudah waktunya kau
mengetahui yang sebenarnya tentang keluarga kita."
Sophie dan neneknya sedang duduk di anak tangga di beranda sambil berpelukan dan
menangis ketika pemandu muda itu bengegas melintasi halaman rumput. Matanya
bersinar penuh harap dan tak percaya. "Sophie?" Sambil berurai air mata, Sophie
mengangguk dan berdiri. Dia tidak mengenali wajah pemuda itu, tetapi ketika
mereka saling berpelukan, dia dapat merasakan kekuatan dari aliran darah yang
mengaliri nadi pria itu ... darah yang sekarang Sophie tahu mereka miliki
bersama. Ketika Langdon berjalan melintasi halaman dan bergabung hersama mereka,
Sophie tak dapat membayangkan bahwa baru kemarin dia merasa begitu sendirian di
dunia. Dan sekarang, di tempat asing ini, dengan ditemani oleh tiga orang yang
hampir tak dikenalnya, dia merasa nyaman seperti di rumah.
105 MALAM TELAH turun menyelimuti Rosslyn.
Robert Langdon berdiri sendirian di beranda rumah batu itu, menikmati suara tawa
dari pertemuan kembali yang mengalir melalui pintu berkasa di belakangnya. Mug
berisi kopi Brazil yang keras dalam tangannya membuat keletihannya yang semakin
memuncak itu sedikit tertangguhkan, namun dia tahu penangguhan itu hanya sesaat.
"Kau diam-diam keluar," suara di belakangnya terdengar. Langdon menoleh. Nenek
Sophie muncul. Rambut peraknya bercahaya di kegelapan malam. Selama dua puluh
tahun terakhir, nama nenek Sophie adalah Marie Chauvel.
Langdon tersenyum letih. "Aku ingin memberi keluargamu waktu untuk bersama-
sama." Lewat jendela, Langdon dapat melihat Sophie sedang berbincang dengan
adiknya. Marie mendekat dan berdiri di samping Langdon. "Pak Langdon, ketika aku pertama
kali mendengar kematian Jacques, aku sangat ketakutan akan keselamatan Sophie.
Saat melihatnya berdiri di ambang pintu tadi adalah saat paling lega sepanjang
hidupku. Aku sangat berterima kasih padamu."
Langdon tidak tahu bagaimana menanggapinya. Walau dia telah memberi Sophie dan
neneknya kesempatan untuk berbicara berdua saja, Marie memintanya untuk masuk
dan ikut mendengarkan juga. Suamiku betul-betul
mempercayaimu,PakLangdon,begitu.juga aku.
Berdiri di sebelah Sophie, Langdon dengan diam dan heran mendengarkan Marie
bercerita tentang mendiang orang tua Sophie. Luar biasa, ternyata keduanya
berasal dari keluarga Merovingian - keturunan langsung Maria Magdalena dan Yesus
Kristus. Orang tua Sophie dan nenek moyangnnya, demi perlindungan, telah
mengganti nama keluarga Plantard dan Saint-Clair menjadi nama lainnya. Anak-anak
mereka merupakan darah biru yang paling murni yang hidup, dan karena itu mereka
dijaga dengan sangat hati-hati oleh Biarawan. Ketika dua orang tua Sophie
terbunuh dalam kecelakaan mobil yang akibatnya tak dapat dipastikan itu,
Biarawan mengira identitas keturunan bangsawan ini telah diketahui.
"Kakekmu dan aku," Marie menjelaskan dengan suara tersendat karena kesedihan,
"harus menerima telepon. membuat keputusan yang menyedihkan begitu kami Mobil
orang tua kalian ditemukan di sungai." Marie mengusap air matanya. "Semuanya,
kami berenam - termasuk kalian, dua cucu kami - seharusnya malam itu pergi bersama-
sama dalam mobil itu. Untunglah kami mengubah rencana ketika akan berangkat, dan
kedua orang tua kalian saja yang pergi. Waktu mendengar kecelakaan itu, Jacques
dan aku tidak punya jalan untuk tahu apa sesungguhnya yang terjadi ... atau
apakah ini betulbetul sebuah kecelakaan." Marie menatap Sophie. "Kami tahu, kami
harus melindungi cucu-cucu kami, dan kami melakukan apa yang kami pikir terbaik.
Jacques melaporkan kepada polisi bahwa adikmu dan aku juga ada di-mobil itu ...
dan jenazah kami mungkin terbawa arus. Kemudian adikmu dan aku hidup di tempat
terpencil, bersembunyi bersama Biarawan. Jacques, karena menjadi orang penting,
tidak dapat menghilang begitu saja. Jadi, sewajarnyalah jika Sophie, sebagai
cucu tertua, tinggal di Paris, dididik dan dibesarkan oleh Jacques, dekat dengan
jantung dan perlindungan Biarawan." Suara Marie menjadi bisikan. "Memisahkan
keluarga merupakan hal terberat yang har?s kami lakukan. Jacques dan aku bertemu
sangat jarang, dan selalu di tempat yang sangat rahasia ... di bawah
perlindungan Biarawan. Ada upacaraupacara tertentu yang selalu dihadiri anggota
persaudaraan itu dengan setia."
Langdon merasa cerita itu makin dalam, namun dia juga merasa tidak berhak
mendengarnya. Maka, dia melangkah keluar. Sekarang, sambil menatap menara kapel
Rosslyn, Langdon masih belum dapat membebaskan diri dari misteri Rosslyn yang
belum terungkap.ApakahGrailmemangbenar ada di Rosslyn" Dan jika begitu, di mana
mata pedang dan cawan yang disebutkanSauni?redalampuisinya?"
"Aku akan membawanya," kata Marie sambil menunjuk ke tangan Langdon.
"Oh, terima kasih," kata Langdon sambil menyodorkan cangkir kopinya yang sudah
kosong. Marie menatapnya. "Maksudku, yang di tangan satu lagi, Pak Langdon."
Langdon melihat ke bawah dan menyadari bahwa dia sedang memegang lembaran
papirus Sauni?re. Dia telah mengambilnya dari dalam cryptex itu sekali lagi
dengan harapan akan melihat sesuatu yang tak dilihatnya tadi. "Tentu saja,
maaf." Marie tampak senang ketika dia mengambil gulungan kertas itu. "Aku mengenal
seorang lelaki di bank di Paris yang mungkin sangat berhasrat melihat kembalinya
kotak kayu mawar ini. Andr? Vernet adalah sahabat Jacques, dan Jacques sangat
mempercayainya. Andr? akan melakukan apa saja untuk menghormati permintaan
Jacques menjaga kotak ini." Termasuk menembakku, kenang Langdon, seraya
memutuskan untuk tidak mengatakan bahwa mungkin saja dia telah mematahkan hidung
pria malang itu. Berpikir tentang Paris, Langdon teringat pada tiga s?n?chaux
yang terbunuh kemarin malam. "Dan bagaimana dengan Biarawan" Apa nasibnya
sekarang?" "Roda itu sudah berputar lagi, Pak Langdon. Perkumpulan itu sudah bertahan
selama berabad-abad, dan akan tetap bertahan kali ini. Selalu ada yang menunggu
untuk menggantikan dan membangun kembali."
Sepanjang malam ini, Langdon telah menduga bahwa nenek Sophie berhubungan erat
dengan kegiatan Biarawan. Lagi pula, Biarawan selalu punya anggota perempuan.
Empat dari mahaguru adalah perempuan. S?n?chaux biasanya memang lelaki - para
penjaga - namun perempuan menduduki status yang jauh lebih terhormat di dalam
Biarawan dan dapat naik ke posisi tertinggi dari tingkatan mana pun.
Langdon ingat pada Leigh Teabing dan Biara Westminster. Langdon merasa kejadian
itu seperti sudah lama sekali. "Apakah Gereja memaksa suamimu untuk tidak
membuka dokumen-dokumen Sangreal pada Hari Akhir?"
"Ya ampun, tidak. Hari Akhir adalah legenda orang-orang yang berpikiran
paranoid. Dalam doktrin Biarawan, tidak ada hari tertentu yang mengharuskan
dibukanya Grail. Kenyataannya, Biarawan selalu menjaga sehingga Grailtidak
akanpernah diungkap." "Tidak akan pernah?" "Misterinya dan keanehan itulah yang
bermanfaat bagi jiwa kita, bukan Grail itu sendiri. Keindahan Grail terdapat
pada kehalusannya." Marie Chauval menatap ke kapel Rosslyn sekarang. "Bagi
beberapa orang, Grail adalah cawan yang akan memberikan kehidupan abadi bagi
mereka. Bagi yang lainnya, itu merupakan pencarian dokumen-dokumen yang hilang
dan sejarah rahasia. Dan bagi kebanyakan orang, aku menduga Holy Grail hanya
merupakan gagasan mulia ... harta yang megah dan tak dapat diraih yang
memberikan inspirasi bagi kita walau di dunia yang penuh kekacauan ini."
"Tetapi jika dokumen-dokumen Sangreal tetap tersembunyi, kisah tentang Maria
Magdalena akan hilang selamanya," kata Langdon.
"Betulkah" Lihat di sekitarmu. Kisahnya diceritakan melalui seni, musik, dan
buku-buku. Makin banyak setiap hari. Pendulum berayun. Kita mulai merasakan
bahaya sejarah kita ... dan jalan kita yang destruktif. Kita mulai merasakan
perlunya memperbaiki perempuan suci." Dia terdiam. "Kau tadi mengatakan sedang
menulis naskah tentang simbol-simbol perempuan suci, bukan?" "Betul." Marie
tersenyum. "Selesaikanlah, Pak Langdon. Nyanyikan lagu Maria
Magdalena. Dunia memerlukan troubadour modern." Langdon terdiam, merasakan beban
dari pesan perempuan tua itu. Di seberang area terbuka, bulan baru muncul di
atas. garis pepohonan. Sambil mengalihkan tatapannya pada Rosslyn, Langdon
merasakan gelitik kekanakannya untuk tahu rahasia perempuan itu. Jangan
bertanya, katanya pada diri sendiri. Ini bukan waktu yang tepat. Dia menatap
kertas papirus dalam tangan Marie, kemudian kembali ke Rosslyn.
"Tanyakan saja, Pak Langdon," kata Marie, tampak senang. "Kau berhak atas
kebenaran itu." Langdon merasa malu. "Kau ingin tahu apakah Grail ada di
Rosslyn?" "Kau dapat memberi tahu aku?" Marie mendesah, pura-pura jengkel.
membiarkan Grail berisitirahat?" Lalu "Mengapa orang tidak dapat Marie tertawa,
merasa senang menggoda Langdon. "Mengapa kau merasa dia ada di sini?".
Langdon menunjuk papirus pada tangan Marie. "Puisi suamimu menyebut Rosslyn
secara khusus, walau juga menyebutkan bahwa sebuah mata pedang dan cawan menjaga
Grail. Aku tidak melihat adanya simbol mata pedang dan cawan di sana."
"Mata pedang dan cawan?" tanya Marie. "Seperti apa persisnya simbol itu?"
Langdon merasa Marie sedang bercanda dengannya, tetapi Langdon meladeninya luga.
Dia mendeskripsikan simbol-simbol itu dengan cepat.
Sebuah kenangan samar-samar tampak muncul pada wajah Marie. "Ah, ya, tentu saja.
Mata pedang mewakili segala yang maskulin. Aku yakin bentuknya seperti ini,
bukan?" Dengan menggunakan jari telunjuknya, Marie menggoreskan sebuah bentuk
pada telapak tangannya. "Ya," kata Langdon. Marie baru saja menggambarkan bentuk "tertutup" pedang yang
jarang dikenali, walau Langdon pernah melihat simbol itu digambarkan dengan
bentuk terbuka juga. "Dan kebalikannya," lanjut Marie, lalu menggambarkan lagi di telapak tangannya,
"adalah cawan, yang mewakili perempuan."
"Tepat," kata Langdon. "Dan tadi kau bilang bahwa dari simbol yang ada di Kapel
Rosslyn, tidak ada bentuk seperti ini?" "Aku tidak melihatnya." "Dan jika aku memperlihatkannya
padamu, kau akan tidur?" Sebelum Langdon dapat menjawabnya, Marie Chauvel sudah
melangkah keluar beranda rumahnya menuju ke kapel. Langdon segera bergegas
menyusulnya. Ketika memasuki gedung kuno itu, Marie menyalakan lampu dan
menunjuk pada bagian tengah lantai sanktuari. "Itu dia, Pak Langdon. Mata pedang
dan cawan itu." Langdon menatap lantai batu yang lecet-lecet itu. Dia tidak
melihat apa apa. "Tidak ada apa-apa di sini ...." Marie mendesah dan mulai menapaki garis
jalan yang terkenal di atas lantai kapel, jalan yang sama yang dilihat Langdon
ketika para turis menapakinya tadi. Ketika matanya akhirnya melihat simbol
raksasa itu, dia masih saja merasa bingung. "Tetapi itu adalah Bintang Dav - "
Langdon tiba-tiba terdiam, bungkam kagum ketika dia mulai mengerti.
Matapedangdancawan. Menyatu. Bintang David ... penyatuan sempurna dari lelaki
dan perempuan ... Segel Salomo ... menandai Ruang Mahakudus, tempit lelaki dan
perempuan yang bersifat ketuhanan - Yahweh dan Shekinah - diperkirakan tinggal.
Langdon memerlukan satu menit untuk menemukan kata-katanya. "Puisi itu menunjuk
ke Rosslyn di sini. Lengkap. Sempurna." Marie tersenyum. "Rupanya begitu."
Implikasinya menakutkan bagi Langdon. "Jadi, Holy Grail berada dalam
ruang bawah tanah di bawah kita?" Marie tertawa. "Hanya dalam semangat. Satu
dari tugas Biarawan yang paling kuno adalah mengembalikan Grail ke rumahnya di
Prancis, tempat dia dapat beristirahat selamanya. Selama berabad-abad, demi
keselamatannya, Grail telah diseret-seret melintasi berbagai daerah pedalaman.
Sangat tidak terhormat. Tugas Jacques ketika dia menjadi mahaguru adalah
memulihkan kehormatan Grail dengan cara mengembalikannya ke Prancis dan
membangun tempat istirahat yang sesuai untuk seorang ratu." "Dan dia berhasil?"
Sekarang wajah Marie menjadi serius. "Pak Langdon, mengingat apa yang telah
kaulakukan malam ini, dan kedudukanku sebagai kurator Perserikatan Rosslyn, aku
dapat mengatakan dengan pasti bahwa Grail tidak ada lagi di sini."
Langdon memutuskan untuk mendesak. "Tetapi batu kunci seharusnya menunjukkan di
mana Holy Grail disembunyikan sekarang. Mengapa puisi itu menunjuk ke Rosslyn?"
"Mungkin kau salah membaca artinya. Ingat, Grail dapat memperdayakan. Seperi
juga mendiang suamiku."
"Tetapi seberapa jelas lagi dia dapat mengatakannya?" gugat Langdon. "Kita
sekarang sedang berdiri di atas sebuah ruang bawah tanah yang ditandai oleh
simbol mata pedang dan cawan, di bawah langit-langit penuh bintang, dikelilingi
oleh seni ciptaan para Master Mason. Semuanya mengacu ke Rosslyn."
"Baiklah, biarkan aku melihat puisi misterius itu lagi." Marie membuka gulungan
kertas papirus itu dan membaca puisi itu keras-keras dengan nada yang jelas.
HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno. Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.
Berhiaskanadikaryaparasenimanulung,Diamembujur.
Diabersemayamdibawahangkasapenuhbintang.
Ketika Marie selesai, dia terdiam beberapa detik, hingga akhirnya sebuah
senyuman pemahaman terkembang pada bibirnya. "Ah, Jacques." Langdon menatapnya
penuh harap. "Kaumengerti ini?" "Seperti yang telah kaulihat pada lantai kapel,
Pak Langdon, ada banyak cara untuk melihat hal-hal sederhana."
Langdon mulai mengerti. Segalanya tentang Jacques Sauni?re tampak memiliki arti
ganda, namun Langdon tidak dapat melihat lebih jauh lagi.
Marie menguap letih. "Pak Langdon, aku akan mengaku. Aku tidak pernah secara
resmi mengetahui letak Grail sekarang. Tetapi, tentu saja, aku dulu menikah
dengan seorang yang sangat berpengaruh ... dan naluri perempuanku kuat." Langdon
mau bicara, tetapi Marie melanjutkan. "Aku ikut prihatin, karena setelah kerja
kerasmu, kau akan meninggalkan Rosslyn tanpa jawaban yang meyakinkan. Namun, aku
yakin, kau akhirnya akan menemukan apa yang kaucari. Suatu hari kelak, ia akan
menyingsing di hadapanmu." Marie tersenyum. "Dan ketika itu terjadi, aku percaya
bahwa kau, di antara banyak orang, dapat menyimpan rahasia."
Ada suara orang datang di ambang pintu. "Kalian berdua menghilang," kata Sophie
sambil melangkah masuk. "Aku baru mau pergi," jawab neneknya, berjalan melewati Sophie di pintu.
"Selamat malam, Putri." Dia lalu mencium dahi Sophie. "Jangan sampai Pak Langdon
kemalaman di sini." Langdon dan Sophie menatap Marie berjalan kembali ke rumahnya. Ketika Sophie
menoleh pada Langdon, matanya bersinar penuh emosi. "Sama sekali tak kuduga
kalau akhirnya begini."
Aku juga merasa begitu, pikir Langdon. Langdon dapat melihat Sophie sangat
gembira. Berita yang diterimanya malam ini telah mengubah segalanya dalam
kehidupannya. "Kau tidak apa-apa" Ini luar biasa."
Sophie tersenyum tenang. "Aku punya keluarga. Dari situ aku mau mulai. Siapa
kita dan dari mana kita berasal akan memerlukan waktu." Langdon tetap diam. "Kau
mau tinggal bersama kami malam ini?" tanya Sophie. "Paling tidak untuk beberapa
hari?" Langdon mendesah, tidak mau apa-apa lagi: "Kau memerlukan waktu
bersama keluargamu, Sophie. Aku akan kembali ke Paris besok pagi." Sophie
terlihat kecewa tetapi tampak mengerti bahwa itu memang yang harus dilakukan
Langdon. Untuk beberapa saat, tidak seorang pun dari mereka berbicara. Akhirnya
Sophie mengulurkan tangannya, meraih tangan Langdon, dan menariknya keluar
kapel. Mereka berjalan ke arah gundukan kecil di tebing. Dari sini, pedesaan
Skotlandia terbentang di depan mereka, berselimut sinar pucat rembulan yang
bergeser melewati awan yang terkuak. Mereka berdiri, diam, saling berpegangan
tangan, sama-sama berjuang melawan rasa letih yang memuncak.
Gemintang baru saja bermunculan, tetapi di timur, sebuah titik bersinar lebih
terang dari yang lainnya. Langdon tersenyum ketika melihatnya. Itu Venus. Dewi
kuno itu tersenyum ke bawah dengan sinarnya yang tetap dan sabar.
Malam semakin dingin. Angin sepoi-sepoi bergulung naik dari dataran rendah.
Setelah sesaat, Langdan menatap Sophie. Mata Sophie tertutup, bibirnya tenang
dengan senyum puas. Langdon dapat merasakan matanya sendiri semakin berat.
Dengan "Sophie?" Perlahan, Sophie membqka enggan, dia mengusap tangan Sophie.
matanya dan menoleh pada Langdon. Wajahnya cantik dalam sinar rembulan. Dia
tersenyum mengantuk pada Langdon. "Hai."
Tak disangka, Langdon merasa sedih karena harus kembali ke Paris tanpa Sophie.
"Aku mungkin sudah pergi sebelum kau bangun besok pagi." Lalu dia terdiam,
tenggorokannya tercekat. "Maaf aku tidak terlalu pandai - "
Sophie mengulurkan tangan lembutnya dan meletakkannya pada wajah Langdon.
Kemudian, dia maju ke depan dan mencium pipi Langdon dengan lembut. "Kapan aku
dapat bertemu lagi denganmu?"
Langdon terhuyung sesaat, tenggelam dalam tatapan mata hijau Sophie. "Kapan?"
Dia terdiam, penasaran apakah Sophie tahu bahwa dia juga menanyakan hal yang
sama. "Well, bulan depan aku akan memberi ceramah pada sebuah konferensi di
Florence. Aku akan berada di sana selama sawtuminggu tanpa banyak pekerjaan."
"Apakah ini sebuah undangan?" "Kita akan hidup
Brunelleschi." Sophie tersenyum Langdon." mewah. Mereka memberiku sebuah kamar
di jenaka. "Kau terlalu cepat menyimpulkan, Pak
Langdon menyeringai mendengar nada kata-kata Sophie. "Maksudku - " "Tak ada yang
lebih kusukai daripada bertemu denganmu di Florence, Robert. Tetapi dengan satu
syarat." Nadanya serius. "Tidak ada museum, tidak ada gereja, tidak ada makam,
tidak ada seni, tidak ada barang peninggalan." "Di Florence" Selama satu minggu"
Tidak ada lagi yang dikerjakan." Sophie mencondongkan tubuhnya ke depan dan
mencium Langdon lagi, sekarang pada .... Lembut pada awalnya, tapi kemudian ....
Ketika Sophie menarik din, matanya penuh janji. "Baik," kata Langdon akhirnya.
"Ini sebuah kencan."
EPILOG

The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ROBERT LANGDON terbangun dengan terkejut. Dia telah bermimpi. Mantel mandinya di
sisi tempat tidurnya bermonogram HOTEL RITZ PARIS. Dia melihat lampu redup
menyelinap dari balik tirai. Ini sore atau fajar"
Tubuh Langdon terasa hangat dan sangat puas. Dia telah tidur dengan lebih baik
sejak dua hari yang lalu. Sambil duduk perlahan di atas pembaringannya, sekarang
dia sadar apa yang telah membangunkannya ... pikiran yang paling aneh. Selama
berhari-hari dia telah berusaha memilah informasi yang datang bertubi-tubi,
tetapi sekarang Langdon merasa yakin akan sesuatu yang tak pernah dia
perhitungkan sebelumnya. Mungkinkah itu" Dia tetap tak bergerak untuk waktu
lama. Lalu dia bergerak turun, kemudian berjalan ke kamar mandi pualam. Langdon
melangkahkan kakinya memasuki bilik, membiarkan cucuran air yang deras memijat
punggungnya. Namun, pikiran itu masih mengganggunya. Tidak mungkin. Dua puluh
menit kemudian, Langdon keluar dari Hotel Ritz memasuki Place Vend?me. Malam
turun. Tidur berhari-hari telah membuatnya agak kacau ... namun pikirannya
terasa encer, anehnya. Dia telah bertekad akan berhenti di lobi hotel untuk
minum kopi susu supaya pikirannya menjadi jernih, namun ternyata kakinya
langsung membawanya ke pintu depan dan menyatu dengan malam Paris.
Berjalan ke arah timur ke Rue des Petits Champs, Langdon merasa tambah
bersemangat. Lalu dia berbelok ke selatan memasuki Rue Richelieu. Di sana udara
terasa semerbak oleh aroma melati dari taman-tam?n di Palais Royal.
Dia terus berjalan ke arah utara hingga dia melihat apa yang dicarinya - gang
beratap yang megah dan terkenal itu - sebuah pualam hitam berkilap yang luas.
Masuk ke dalamnya, Langdon mengamati permukaan di bawah kakinya. Dalam beberapa
detik, dia menemukan apa yang dia tahu memang ada di sana - beberapa medali
perunggu yang ditanam di lantai, disusun menjadi garis lurus sempurna. Setiap
cakram berdiameter lima inci dan diembos dengan huruf N dan S. Nord. Sud. Utara.
Selatan Langdon harus berbelok ke selatan, membiarkan matanya mengikuti garis
yang tertera yang terbentuk dari deretan medali-medali tersebut. Dia lalu
bergerak lagi, mengikuti jalan itu, sambil mengamati tepian jalan. Ketika dia
memotong ke sudut ComedyFran?ais, ada medali perunggu lain lagi yang
dilangkahinya. Ya! Langdon telah tahu sejak beberapa tahun yang lalu, jalan-jalan di Paris dihiasi
135 penanda dari perunggu ini, yang ditanam di tepi-tepi jalan, halaman-halaman
bertembok, dan jalan-jalan, pada poros utara-selatan kota itu. Dia pernah
mengikuti garis itu dari Sacr?-Coeur, menyeberangi Sungai Seine, dan akhirnya ke
Observatorium Paris kuno. Di sana dia menemukan sesuatu yang penting dari jalan
suci itu. Meridianutamabumiyangasli. Bujurnolpertamadidunia. GarisMawarkunoParis.
Sekarang, ketika bergegas menyeberangi Rue de Rivoli, Langdon dapat
merasakan tujuannya sudah dekat. Kurang dari satu blok lagi.
HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno. Kesadaran itu kini datang bergelombang.
Pengejaan kuno atas Roslin yang
dibuat Sauni?re ... mata pedang dan cawan ... makam yang dihiasi seni para
pakar. Apakah karena itu Sauni?re merasa perlu berbicara denganku" Apakah tanpa
kusadari aku telah menebak kebenaran itu"
Langdon berlari kecil, sambil merasakan Garis Mawar di bawah kakinya, memandunya
dan mendorongnya ke tujuannya. Ketika dia memasuki terowongan panjang Passage
Richelieu, bulu lehernya mulai merinding karena harapan. Langdon tahu, pada
ujung terowongan ini berdiri monumen Paris yang paling misterius - dibangun dan
diresmikan pada tahun 1980 oleh Sang Sphynx sendiri, Fran?ois Mitterand, orang
yang digosipkan bergerak dalam lingkaran rahasia, seorang lelaki yang warisan
terakhirnya bagi Paris dikunjungi Langdon beberapa hari yang lalu. Kehidupan
yang lain. Dengan sisa tenaga terakhimya, Langdon berlari dari jalan terusan itu
memasuki halaman yang sudah dikenalinya, lalu berhenti. Tersengal-sengal, dia
menaikkan matanya, perlahan, tidak percaya, ke bangunan yang berkilauan di
depannya. Piramid Louvre. Berkilauan dalam kegelapan. Dia mengaguminya hanya
sesaat. Dia lebih tertarik pada apa yang ada di sebelah kanannya. Saat berbelok,
Langdon merasakan kakinya menapaki lagi garis jalan yang tak terlihat, Garis
Mawar kuno. Garis itu membawanya menyeberang ke Carrousel du Louvre - bundaran
besar yang dikelilingi oleh pagar tumbuhan yang dipotong rapi - yang dulu pernah
menjadi tempat melaksanakan pesta-pesta pemujaan alam pada zaman purbakala ...
ritus-ritus gembira untuk merayakan kesuburan dari Dewi.
Langdon merasa seolah sedang melintasi dunia lain ketika dia melangkah melintasi
semak ke area berumput di dalamnya. Tanah keramat ini sekarang ditandai oleh
salah satu monumen yang paling dahsyat di kota itu. Di bagian tengahnya,
menempel pada bumi seperti ngarai kristal, menganga piramid kaca raksasa yang
terbalik, yang sudah dilihatnya beberapa malam lalu ketika dia memasuki ruang
bawah tanah Louvre. La Pyramide Invers?e. Dengan gemetar, Langdon berjalan ke
tepi dan melongok ke bawah ke dalam kompleks bawah tanah Louvre itu, dengan
cahaya berwarna kekuningan. Matanya terlatih tidak saja pada piramid terbalik
yang besar itu, tetapi juga pada apa yang terletak tepat di bawahnya. Di sana,
pada lantai ruangan di bawahnya, berdiri sebuah bangunan terkecil ... sebuah
struktur yang telah disebutkan Langdon dalam naskahnya.
Langdon merasa dirinya sekarang sudah siap sepenuhnya menghadapi kemungkinan
kejadian menggetarkan yang tak terduga. Dia menaikkan matanya lagi ke Louvre,
merasakan bagian sayap museum itu membungkusnya ... ruang masuk yang berhiaskan
seni-seni terbaik dunia. Da Vinci ... Botticelli
Berhiaskanadikaryaparasenimanulung,Diamembujur.
Langdon tersadar dengan keheranan, lalu dia melihat ke bawah lagi,
melalui piramid kaca, ke struktur kecil di bawahnya. Aku harus turun ke sana.
Lalu Langdon keluar dari lingkaran itu dan bergegas melintasi halaman, kembali
ke pintu masuk Louvre berbentuk piramid yang menjulang. Para pengunjung terakhir
hari itu sedikit-sedikit keluar dari museum.
Langdon mendorong pintu putar, lalu menuruni tangga lengkung masuk ke piramid
itu. Dia dapat merasakan udara menjadi semakin dingin. Ketika tiba di dasar, dia
memasuki terowongan panjang yang terentang di bawah halaman Louvre, kembali ke
arah La Pyramide Invers?e', piramid terbalik itu.
Di ujung terowongan, dia tiba di sebuah ruangan besar. Tepat di depannya,
tergantung dari atas, berkilauanlah piramid terbalik yang sangat mengagumkan dan
berbentuk V dari kaca. Cawan. Mata Langdon mengikuti bentuk menyempit ke bawah
hingga ke ujungnya, tergantung hanya enam kaki dari atas lantai. Di sana, tepat
di bawahnya, berdiri sebuah stuktur kecil.
Sebuah miniatur piramid. Hanya setinggi tiga kaki. Satu-satunnya bangunan dalam
kompleks bangunan kolosal ini yang berukuran kecil.
Naskah Langdon, saat membicarakan koleksi kesenian dewi milik Museum Louvre,
telah membuat catatan sambil lalu tentang piramid sederhana ini. "Bangunan
miniatur itu sendiri menonjol ke atas dari lantai seolah merupakan puncak gunung
es - puncak dari ruang bawah tanah berbentuk piramid yang besar sekali, melesak ke
bawah seperti ruang tersembunyi."
Disinari oleh cahaya lembut dalam ruangan masuk yang sunyi, kedua piramid itu
saling menunjuk; tubuh keduanya sejajar dengan sempurna, punc?k-puncaknya hampir
bersentuhan. Cawandiatas.Matapedangdibawah.
Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.
Langdon mendengar kata-kata Marie Chauvel. Suatu hari nanti ia akan
menyingsing di hadapanmu. Dia sedang berdiri di bawah Garis Mawar kuno,
dikelilingi oleh karya seni para pakar. Tempat mana lagi yang terbaik bagi
Sauni?re untuk menjaganya" Sekarang, akhirnya, dia merasa telah mengerti arti
sebenarnya puisi Mahaguru. Dia menaikkan matanya ke atas, menatap ke atas
melintasi kaca ke langit malam yang penuh bintang.
Diabersemayamdibawahangkasapenuhbintang.
Seperti gumam dari jiwa-jiwa dalam kegelapan, kata-kata yang terlupakan
menggema. Pencarian Holy Grail adalah pencarian untuk berlutut di depan tulang
belulang Maria Magdalena. Sebuah perjalanan untuk berdoa pada kaki sang
terbuang. Dengan petunjuk yang tiba-tiba muncul itu, Robert Langdon jatuh
berlutut. Untuk sesaat, dia mengira telah mendengar suara seorang perempuan ...
sebuah kearifan kuno ... berbisik dari jurang bumi.
UCAPANTERIMAKASIH PERTAMA-TAMA dan yang utama, bagi sahabat dan editorku, Jason Kaufman, karena
telah bekerja amat berat untuk proyek ini dan telah memahami dengan sungguh-
sungguh makna dari buku ini. Dan bagi Heide Latige yang tiada banding - jawara
tanpa lelah dari The Da Vinci Code, agen luar biasa, dan sahabat yang
terpercaya. Aku tak dapat sepenuhnya mengungkapkan rasa terima kasihku pada tim luar biasa
di Doubleday, atas kemurahan hati, kepercayaan, dan panduan yang hebat dari
mereka. Terima kasih secara khusus bagi Bill Thomas dan Steve Rubin, yang
menaruh kepercayaan kepada buku ini sejak awalnya. Terima kasihku juga kepada
para anggota inti pertama dan pendukung awal in-house, dikepalai oleh Michael
Palgon, Suzanne Hen, Janelle Moburg, Jackie Everly, dan Adrienne Sparks, juga
kepada orang-orang berbakat dari divisi penjualan Doubleday, dan juga bagi
Michael Windsor untuk cover jaketnya yang mengagumkan.
Untuk bantuan murah hati di dalam riset bagi buku ini, aku hendak memberi
penghargaan kepada Museum Louvre, Kementerian Budaya Prancis, Project Gutenberg,
Biblioth?que Department of Paintings Study Nationale, Gnostic and Documentation
Society Library; the Service di Louvre, Chatoiw World News, Royal Observatory
Greeviwch, London Record Society; dan the Muniment Collection di Biara
Westminster, John Pike, dan the Federation of American Scientists, serta kelima
anggota Opus Dei (tiga masih aktif, dua telah mantan) yang membagikan kisah
mereka, baik yang positif maupun yang negatif, sehubungan dengan pengalaman
mereka di dalam Opus Dei.
Rasa terima kasih tak terhingga juga kepada toko buku Water Street yang telah
menelisik begitu banyak buku riset saya, untuk ayahku Richard Brown - guru
matematika dan pengarang - atas bantuannya dalam hal Proporsi Agung dan Deret
Fibonacci, untuk Stan Planton, Sylvie Baudeloque, Peter McGuigan, Francis
Mclnerney, Margie Wachtel, Andre Vernet, Ken Kelleher di Anchorball Web Media,
Cara Sottak, Karyn Popham, Esther Sung, Mitiam Abramowitz, William Tunstall-
Pedoe, dan Griffin Wooden Brown.
Dan akhirnya, ..dalam sebuah novel yang amat banyak mengambil ilham dari konsep
sacred feminine atau perempuan suci, akan sangat tak layak jika aku tak
menyebutkan jasa dua orang menyentuh hidupku. Pertama, ibuku, perempuan luar
biasa yang telah Connie Brown - sesama penulis, pembimbing, musisi, dan teladanku.
Yang kedua adalah istriku, Blythe - sejarawan seni, pelukis, editor jajaran
depan, dan, tanpa ragu, perempuan yang bakatnya paling menakjubkan yang pernah
kukenal. Pendekar Mata Keranjang 20 Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Pendekar Setia 3
^