Expected One 1
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan Bagian 1
A Novel by KATHLEEN McGOWAN
The Expected One Diterjemahkan dari The Expected One karya Kathleen McGowan Copyright " 2006,
Kathleen McGowan Hak cipta dilindungi undang-undang AU rights reserved Hak terjemahan ke dalam
Bahasa Indonesia ada pada UFUK Press
Pewajah Sampul: Expertoha Studio Pewajah Isi: Ahmad Bisri Penerjemah: Leinovar
Bahfeyn dan Lusia Nurdin Penyunting: Leinovar Bahfeyn
Cetakan I: Februari 2007 ISBN: 979-1238-26-X UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21-7976587, 79192866 Homepage:
www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email : info@ufukpress.com
Buku ini dipersembahkan kepada
Maria Magda/ena, sumber inspirasiku, leluhurku;
Peter McGowan, tiang kehidupanku; Orangtuaku, Donna dan Joe,
untuk kasih tak bersyarat dan genetika yang menarik; Dan kepada pangeran Grail
kami, Patrick, Conor, dan Shane,
untuk cinta, canda, dan inspirasi yang senantiasa mereka curahkan ke dalam
kehidupan kami Kepada sang perempuan terpilih dan anakanaknya, yang aku cintai
daiam kebenaran; dan bukan hanya aku, tapi juga semua yang mengetahui kebenaran;
karena kebenaranlah yang hidup di daiam diri kita dan akan bersama kita
selamanya. 2 John 1-2 Prolog ~ 15 Satu - 19 Dua "- 41 Tiga ?"" 61 Empat ~ 77 Lima 93 Enam 119 Tujuh
151 Delapan - 197 Sembilan 211 Sepuluh 241 Sebelas 267 Dua belas *> 305 Tiga Belas 337 Empat
Belas 365 Lima Belas - 383 Enam Belas - 401 Tujuh Belas ~ 413
Daftar Isi Delapan Belas ~ 483 Sembilan Belas *" 503 Dua Puluh ~ 591 Dua Puluh Satu ** 629
Dua Puluh Dua " 633 Penutup ** 637 Persembahan ~ 653
Expected One A Novel KATHLEEN McGOWAN UFUK Prolog Gait" Selatan Tahun 72
Tidak banyak waktu yang tersisa.
Perempuan tua itu menarik kerudung lusuh ke pundaknya. Tahun ini musim gugur
akan datang lebih cepat di pegunungan merah. Ini ia rasakan hingga ke sumsum
tulang. Perlahan dan hatihati diregangkannya jari jemarinya, berharap sendi yang
rematik itu melemas. Tangannya tak boleh membuatnya kecewa sekarang. Tidak
ketika begitu banyak yang ia pertaruhkan. Ia harus
menyelesaikan tulisan itu malam ini. Sebentar lagi Tamar akan datang membawa
toples-toples, dan semua harus siap.
Ia mengizinkan dirinya menghela napas panjang nan berat.
Aku sudah lelah sejak lama. Teramat, sangat lama. Ia tahu, pekerjaan yang tengah
ia lakoni adalah tugas terakhirnya di dunia. Kenangan yang ia ingat-ingat selama
beberapa hari terakhir telah menguras seluruh sisa hidup tubuh keriputnya.
Tulang belulang tuanya sarat dengan
kesedihan yang tak terbilang dan kepenatan yang dirasakan mereka yang ditinggal
mati oleh orangorang yang mereka cintai. Tuhan banyak memberinya cobaan, cobaan
yang pedih. Hanya Tamar, anak perempuan semata wayangnya dan anak terakhirnya yang hidup,
yang tersisa bersamanya. Tamar adalah rahmatnya, sepercik cahaya di antara saat
tergelap ketika ingatan yang lebih menakutkan dibandingkan mimpi buruk enggan
dijinakkan. Sekarang putrinya adalah satu di antara dua yang selamat dari Masa
Besar. Meski ia hanya seorang bocah kecil ketika mereka semua melakoni peran
masingmasing dalam sejarah kehidupan. Namun, tahu bahwa ada seseorang yang masih
hidup, yang ingat dan mengerti, tetaplah melegakan.
Vang lainnya telah pergi. Kebanyakan mati, menjadi martir lantaran manusia dan
cara yang terlalu brutal untuk bisa ditanggung. Beberapa lagi barangkali masih
hidup, tercerai-berai di berbagai penjuru bumi. Ia takkan pernah tahu.
Bertahuntahun telah berlalu semenjak ia mendengar kabar dari yang lain.
Namun ia tetap mendoakan mereka. Ia berdoa sejak terbit matahari hingga
terbenamnya pada masa-masa kala ingatannya sangat tajam. Dengan segenap hati dan
jiwa, ia berharap mereka menemukan kedamaian dan tidak membebaninya siksaan
beribu-ribu malam tanpa mampu memejamkan mata.
Ya, Tamarlah satusatunya tempat ia berlindung di tahun tahun terakhir ini. Anak
perempuan itu masih terlalu muda untuk mengingat detail-detail mengerikan di
Masa Kegelapan. Tapi ia cukup dewasa untuk mengingat keindahan dan keanggunan
orangorang yang dipilih Tuhan untuk menjalani jalan suciNya. Mempersembahkan
hidup untuk mengenang orangorang terpilih menjadikan perjalanan Tamar murni
dengan pengabdian dan kasih. Pengabdian anak perempuan itu yang semata-mata demi
menenteramkan ibunya di hari-hari belakangan ini sungguh luar biasa.
Tinggal satu persoalan berat yang mesti kulakukan: meninggalkan putri
tercintaku. Bahkan kini, saat kematian datang menghampiri, aku masih tidak
sanggup. Meskipun begitu... Perempuan itu mengintip dari gua yang telah menjadi rumahnya selama hampir empat
dasawarsa. Langit cerah saat ia mengangkat wajah keriputnya. Dinikmatinya keindahan bintang
gemintang. Takkan pernah ia berhenti mengagumi ciptaan Tuhan. Di sana, di atas
bintangbintang itu, jiwa-jiwa yang sangat dicintainya telah menanti. Ia bisa
merasakan mereka sekarang, lebih dekat dari sebelumnya.
Ia bisa merasakannya. "Kau akan terlaksana," bisiknya pada langit malam. Perlahan, dengan mantap,
perempuan tua itu membalikkan badan untuk kembali masuk. Sembari menghela napas
panjang, ia mengamati kertas kasar itu. Matanya menyipit dalam remang dan
buramnya cahaya lampu minyak.
Diangkatnya pena, kemudian ia kembali menulis dengan hatihati.
...Tahun demi tahun berlalu. Menuliskan Yudas hkariol ternyata tidak lebih mudah
dibandingkan dulu. saat masa-nusa gelap. Bukan karena aku menilai buruk dainya,
tapi justru karena aku tidak betparidangaii begitu.
Aku akan menceritakan kisah tentang Yudas dan berharap bisa melakukannya dengan
adil la seorang lelaki yang sangat teguh memegang prinsipnya. Mereka yang
mengikuti kami harus tahu
mi: ia tidak mengkhianati mmkaatau kamidemi sekantong perak. Sesungguhnya Yudas
adalah yang pahng setia di antara yang dua belas. Begitu ban yak alasan bagiku
untuk tersedih selama talttin-tahun belakangan. Namun hanya Satuyanglebili
kutaigisi dibandingkan Yudas.
Banyak orang yang ingin agar aku menuliskan Widas secara keji Agar aku
mengutuknya sebagai seorang penipu, sebagai seorang pengkhianat, sebagal seorang
yang buta akan kebenaran. Namun aku tidak sanggup, karena jika itu kulakukan
makagoresanku di atas kertas hanyalah kebohongan belaka.
Cukup sudah tulisan dusta tentang sejarah kami. Tuhan lelah menunjukkannya
padaku. Aku tidak akan menulis lebih banyak lagi.
Karena apalah tujuanku, jika bukan untuk menceritakan segala kebenaran tentang
segala yang terjadi saat ito"
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA.
KITAB PARA MURID Satu Marseille September 1997 Marseille adalah tempat yang indah untuk mati dan sudah seperti itu selama
berabadabad. Pelabuhan kapalnya yang legendaris memiliki reputasi sebagai sarang
bajak laut, penyelundup, dan pembunuh.
Itulah status yang telah disandang kota tersebut sejak bangsa Roma merebutnya
dari tangan Yunani di era sebelum Kristus.
Pada akhir abad 20, usaha pemutihan yang dilakukan pemerintah Prancis akhirnya
membuahkan hasil. Marseille menjadi tempat yang aman untuk menikmati bouillabaissei tanpa harus
takut dirampok. Tapi, tetap saja kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi penduduk
lokal. Kekacauan telah terpatri dalam sejarah dan genetika mereka.
Para nelayan tak sedikit pun berkedip saat jaring mereka menangkap sesuatu yang
tidak pantas untuk ditambahkan ke dalam sup ikan setempat.
1 Semacam kari yang setidaknya terbuat dari dua jenis ikan, biasanya lima atau
enam, ditambah bawang dan sayuran.
Roger-Bernard Gelis bukanlah penduduk asli Marseille. Ia lahir dan besar di kaki
bukit Pyrenees, dalam suatu komunitas yang berbangga bisa bertahan sebagai bukti
sejarah. Abad 20 belum merusak kebudayaannya yang mengagungkan kekuatan cinta
dan perdamaian melebihi segala urusan duniawi.
Namun, ia tetap lelaki paruh baya yang tidak sepenuhnya mengabaikan urusan
duniawi. Bagaimanapun juga, dialah pemimpin kaumnya. Dan meski komunitasnya samasama
bernaung dalam suatu kedamaian spiritual, tak urung mereka memiliki musuh.
Roger-Bernard gemar berkata bahwa cahaya terindah mengundang kegelapan terkelam.
Ia lelaki bertubuh raksasa. Sosoknya membuat orang orang yang belum mengenalnya
merasa terancam. Mereka yang belum mengenal kelembutan jiwa Roger-Bernard barangkali
akan keliru karena menyangka lelaki ini patut ditakuti. Namun belakangan
terbukti bahwa orangorang yang menyerangnya bukanlah orangorang yang tidak
mengenalnya. Seharusnya ia tahu peristiwa itu akan terjadi. Seharusnya ia sudah mengira bahwa
ia tak akan bisa memiliki sesuatu yang tak ternilai harganya dengan begitu
bebas. Bukankah hampir sejuta nenek moyangnya mati demi harta karun yang sama"
Tapi tembakan itu datang dari belakang, memecahkan kepalanya, bahkan sebelum ia
tahu musuhnya sudah dekat.
Bukti forensik dari peluru terbukti tak ada gunanya bagi polisi, karena para
pembunuh tidak menuntaskan perbuatan kotornya dengan sederhana. Kejahatan ini
pasti dilakukan oleh beberapa orang. Karena melihat ukuran dan berat tubuh
korban, dibutuhkan tenaga sangat besar untuk dapat menuntaskan tindakan
selanjutnya. Untungnya Roger-Bernard sudah mati sebelum ritual dimulai. Jika tidak, ia akan
mendengar caci maki para pembunuhnya selama mereka melaksanakan tugas yang
mengerikan. Terutama sang pemimpin, terlihat sangat bersemangat dengan kejadian
berikutnya. Ia melafazkan mantra kuno berisi kebencian sambil bekerja.
"Neca eos omnes. Neca eos omnes."
Memenggal kepala manusia dari posisi tubuhnya semula adalah pekerjaan yang
sangat kotor dan sulit. Diperlukan kekuatan, kegigihan, dan alat yang sangat tajam. Para pembunuh Roger-
Bernard Gelis memiliki semua ini, dan mereka menggunakannya dengan sangat
efisien. f Jasad itu sudah lama berada di laut, dihempas gelombang dan digerogoti penghuni-
penghuni laut yang lapar. Para penyidik putus asa melihat kondisi mayat yang
sedemikian rusak sehingga mereka tidak mengetahui ada bagian dari salah satu
tangan mayat yang hilang. Otopsi, yang kemudian
dikesampingkan pihak birokrasi dan barangkali juga yang lain hanya mencatat
bahwa jari telunjuk sebelah kanan terputus.
Yerusalem September 1997 Kota Tua di Yerusalem yang kuno dan ramai saat itu penuh dengan bermacam
aktivitas Jumat siang. Sejarah terasa kental di udara yang tipis dan suci sementara para pemeluk agama
bergegas menuju rumah-rumah ibadah
sebagai persiapan Hari Sabat. Umat Kristen menelusuri Via Dolorosa, Jalan
Penderitaan, seurutan jalan berliku dan berkerikil yang menandai jalur
penyaliban. Di sinilah Yesus Kristus yang terluka dan berdarah mengemban beban
berat, berjalan menuju sebuah takdir mulia di puncak bukit Golgotha.
Di sore musim gugur ini, Maureen Paschal, seorang penulis dari Amerika, tampak
tidak berbeda di antara para peziarah yang datang dari jauh dan berbagai pelosok
bumi. Angin kuat bulan September memadukan aroma daging kambing panggang dengan
harumnya minyak-minyak eksotis yang
berembus dari pasar kuno. Maureen melintasi sensasi yang terlampau kental khas
Israel, sambil mengempit buku panduan yang ia beli dari sebuah organisasi
Kristiani di Internet. Buku itu melukiskan arah Jalan Salib, lengkap dengan peta
dan petunjuk empat belas Posisi di jalan Kristus.
"Nona, Anda mau rosari" Kayunya dari Gunung Zaitun."
"Nona, Anda mau pemandu wisata" Anda tak akan tersesat. Saya akan tunjukkan
semuanya." Seperti kebanyakan perempuan Barat lain, ia dipaksa menolak perhatian para
pedagang jalanan Yerusalem yang tidak diharapkan. Sebagian di antara mereka
sangat gigih menjajakan barang atau jasa. Sebagian lainnya sekadar merasa
tertarik pada perempuan mungil berambut merah panjang dan berkulit pucat, sebuah
kombinasi eksotis di belahan dunia yang tengah ia pijak. Maureen menampik para
pengejarnya dengan ucapan "Tidak, terima kasih" yang sopan tapi tegas. Kemudian
ia memutus kontak mata dengan penjaja itu dan berjalan menjauh. Sepupu
lelakinya, Peter, seorang pakar kajian Timur Tengah, telah
membekalinya pengetahuan tentang kebudayaan Kota Tua itu. Maureen sangat teliti,
bahkan terhadap detail-detail terkecil pekerjaannya, dan ia telah mempelajari
perkembangan kebudayaan Yerusalem dengan seksama. Sejauh ini, pengetahuan itu
sangat bermanfaat. Dan Maureen bisa meminimalkan gangguan-gangguan sementara ia
fokus ke risetnya, menulis berbagai keterangan dan hasil observasi di buku
tulisnya yang bersampul kain tebal.
Saking terharu, air matanya menitik saat menyaksikan kemegahan dan keindahan
Kapel Fransiscan Pencambukan yang berumur 300 tahun. Di sanalah Yesus menjalani
hukuman cambuk. Reaksi emosional ini sangat tidak terduga karena Maureen datang ke Yerusalem bukan
sebagai seorang peziarah. Ia datang sebagai seorang pengamat investigatif,
sebagai seorang penulis yang mencari latar belakang sejarah yang akurat untuk
pekerjaannya. Meskipun Maureen berusaha mendapat pemahaman yang lebih mendalam
tentang kejadiankejadian seputar Jumat Agung, ia melakukan riset ini lebih
dengan akalnya ketimbang dengan hatinya.
Ia mengunjungi Biara Suster Sion, sebelum melanjutkan ke Kapel Hukuman di
sebelahnya. Di kapel yang bersejarah itulah Yesus menerima salib setelah hukuman
penyaliban diputuskan oleh Pontius Pilatus. Sekali lagi, tanpa ia sangka-sangka,
tenggorokannya terasa tercekat seiring perasaan sedih yang sangat saat ia
berjalan melewati gedung itu. Patung-patung berukuran seperti aslinya
menggambarkan kejadiankejadian di pagi yang mengerikan, 2000 tahun lalu. Maureen
berdiri, terkesima, melihat adegan dalam gambar yang begitu gamblang dan
menyentuh peri kemanusiaan: seorang murid lelaki
berusaha melindungi Maria, ibunda Yesus, agar ia tidak menyaksikan pemandangan
anaknya sedang mengemban salibNya. Air mata menggenang di balik mata Maureen
ketika berdiri di hadapan gambar itu. Seumur hidup, itulah kali pertama terpikir
olehnya bahwa figur-figur bersejarah ini adalah manusia yang nyata, semua itu
adalah penderitaan riil manusia akibat peristiwa yang pedihnya nyaris tak
terbayangkan. Merasa tibatiba pusing, Maureen menyeimbangkan diri dengan menopangkan sebelah
tangannya ke dinding batu kuno yang dingin. Ia berhenti sejenak untuk
mengembalikan konsentrasinya sebelum melanjutkan catatan tentang barangbarang
seni dan patung. Ia melanjutkan perjalanan, tetapi jalanjalan yang seperti labirin di Kota Tua
itu ternyata mengelabui. Meskipun di tangannya ada sebuah peta yang sangat jelas. Bangunanbangunan
penting di sana umumnya sudah tua, rusak termakan cuaca, dan mudah luput dari
penglihatan orang yang belum mengenal wilayah ini. Maureen mengumpat pelan saat
sadar bahwa ia tersesat lagi. Ia bernaung di depan pintu sebuah toko, berusaha
menghindari sinar matahari langsung. Panas yang menyengat, meski dengan semilir
angin, mengisyaratkan bahwa musim ini berlangsung lebih lama. Sambil berlindung
di balik buku panduan, ia melihat ke sekeliling, mencoba menentukan arah
tujuannya. "Posisi Salib Kedelapan. Pasti di sekitar sini," gumamnya dalam hati. Lokasi ini
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat menarik bagi Maureen yang tengah meneliti sejarah yang bertalian dengan
perempuan. Setelah merujuk buku panduan, ia kembali membaca sebuah paragraf
tentang Posisi Kedelapan dari Injil.
"Banyak orang mengikutinya, termasuk perempuan perempuan yang berduka dan
menangisinya. Yesus berkata, 'Jangan tangisi aku, anakanak perempuan Yerusalem, menangislah
untuk dirimu sendiri dan untuk anak-anakmu.1"
Maureen dikejutkan oleh sebuah ketukan keras pada jendela di belakangnya. Ia
menengok, mengira akan melihat sang empunya memelototkan mata dengan marah
karena ia menghalangi jalan masuk ke tokonya. Tapi yang ia lihat adalah wajah
yang menatapnya dengan ceria. Seorang lelaki Palestina berusia paruh baya yang
berpakaian rapi, membuka pintu toko barang antik itu, mengajaknya masuk.
Ia berbicara dalam bahasa Inggris yang baik, meski beraksen.
"Mari, silakan masuk. Selamat datang, saya Mahmoud. Apakah Anda tersesat?"
Maureen mengibaskan buku panduannya dengan loyo. "Saya sedang mencari Posisi
Kedelapan. Peta menunjukkan..."
Mahmoud mengesampingkan buku itu sambil tertawa. "Ya, ya. Posisi Kedelapan.
Yesus Bertemu Perempuan perempuan Suci Yerusalem. Letaknya di sebelah sini, di
sekitar sudut itu," tunjuknya.
"Tandanya adalah sebuah salib di bagian atas dinding batu, tapi Anda harus
melihat dengan teliti."
Mahmoud memerhatikan Maureen dengan seksama beberapa saat sebelum melanjutkan.
"Sama seperti semua yang lainnya di Yerusalem. Anda harus teliti melihat agar Anda
menemukan tempat yang Anda cari."
Maureen mengamati gerakgerik lelaki itu. Ia puas karena Maureen memahami
petunjuk-petunjuk yang ia berikan. Sambil tersenyum, Mauren berterima kasih dan
berbalik akan pergi. Namun langkahnya terhenti karena sesuatu di rak yang
berdiri di dekatnya menarik perhatiannya. Toko milik Mahmoud termasuk yang
berkelas di Yerusalem. Berbagai barang antik yang dijamin keasliannya, dijual di
sana. Di antaranya lampu minyak dari zaman Kristus dan uang logam berlambang
Pontius Pilatus. Suatu kilauan warna indah yang menembus jendela menarik
perhatian Maureen. "Itu perhiasan yang terbuat dari pecahan kaca Romawi," jelas Mahmoud sementara
Maureen mendekati rak yang memajang perhiasan perak dan emas berhiaskan batu permata.
"Cantik sekali," jawab Maureen sambil mengangkat sebuah kalung perak. Aneka
warna menembus keluar toko saat ia menghadapkan perhiasan itu ke cahaya,
menyinari imajinasinya sebagai seorang penulis. "Kira-kira, ada kisah apa di
balik kaca ini?" "Siapa yang tahu, benda apa ia dulunya?" Mahmud mengangkat bahu. "Botol parfum"
Toples bumbu" Pot bunga mawar atau lili?"
"Kalau dipikir-pikir, sungguh mengagumkan bahwa dua ribu tahun yang lalu ini
adalah benda sehari-hari yang terdapat di rumah seseorang. Mengagumkan."
Setelah mengamati toko dan isinya dengan lebih cermat, Maureen takjub dengan
kualitas dan keindahan benda-benda yang dipajang. Ia mengulurkan tangan untuk
menyentuh sebuah lampu minyak keramik. "Benarkah benda ini berumur dua ribu
tahun?" "Tentu saja. Sebagian barang dagangan saya bahkan lebih tua lagi."
Maureen menggelengkan kepala. "Bukankah barang antik seperti ini seharusnya
berada di museum?" Mahmoud tertawa, suaranya keras dan berat. "Sayangku, seluruh Yerusalem adalah
museum. Anda tidak pernah bisa menggali halaman rumah tanpa menemukan sesuatu
yang antik. Kebanyakan benda yang benarbenar berharga menjadi bagian koleksi
penting. Tapi tidak semuanya."
Maureen menghampiri sebuah lemari kaca yang penuh dengan perhiasan tembaga kuno
yang ditempa dan dioksidasi. Ia berhenti. Perhatiannya tertuju pada sebuah
cincin yang menyangga sebuah lempengan seukuran koin kecil. Mengikuti arah
pandangannya, Mahmoud mengambil cincin itu dari lemari, menyodorkannya ke
Maureen. Seberkas cahaya matahari dari jendela depan menerpa cincin itu,
menyinari dasarnya yang bundar dan memamerkan suatu pola berupa patrian sembilan
titik mengelilingi sebuah lingkaran di tengah.
"Pilihan yang sangat menarik," kata Mahmoud. Sifat gemar bercandanya langsung
berubah. Sekarang ia tegang dan serius, mengamati Maureen dengan seksama
sementara gadis itu bertanya tentang cincin itu.
"Berapa umurnya?"
"Sulit dipastikan. Sumber ahli saya mengatakan bahwa benda ini berasal dari
zaman Bizantium, barangkali abad 6 atau 7, tapi barangkali lebih tua lagi."
Maureen mengamati pola lingkaran-lingkaran itu lebih dekat.
"Pola ini sepertinya...tidak asing. Rasanya saya pernah melihatnya sebelum ini.
Tahukah Anda, simbol apakah ini?"
Ketegangan Mahmoud berkurang. "Saya tidak dapat mengatakan dengan pasti apa
tujuan kreasi seorang seniman pada seribu lima ratus tahun lalu. Tapi seseorang
pernah bercerita bahwa itu adalah cincin seorang kosmolog."
"Seorang kosmolog?"
"Seorang yang mengerti hubungan bumi dengan kosmos. Karena sebagaimana di atas,
begitu juga di bawah. Dan harus saya akui, saat pertama kali melihat, cincin itu
mengingatkan saya pada planet-planet yang menari-nari mengelilingi matahari."
Maureen menghitung titik-titik itu dengar suara keras. "Tujuh, delapan,
sembilan. Tapi di masa itu, tidak mungkin orang sudah tahu bahwa ada sembilan
planet, atau bahwa matahari pusat tata surya.
Mustahil, bukan?" "Kita tidak bisa berasumsi bahwa kita tahu apa yang dimengerti oleh orangorang
zaman dulu." Mahmoud mengangkat bahu. "Coba saja."
Mencium trik penjualan tengah dilancarkan, Maureen mengembalikan cincin itu ke
tangan Mahmoud. "Oh, tidak, terima kasih. Cincin itu memang indah sekali, tapi tadi saya hanya
ingin tahu. Dan saya sudah bertekad tak akan berbelanja hari ini."
"Tidak apa-apa," kata Mahmoud, besikeras tidak mau mengambil kembali cincin itu
dari Maureen. "Karena cincin ini memang tidak dijual."
"Tidak dijual?"
"Tidak. Sudah banyak orang yang menawar. Tapi saya tidak mau menjualnya. Jadi
Anda bebas mencobanya. Sekadar iseng saja."
Barangkali karena nada bicaranya yang berkelakar, Maureen tidak merasa
terbebani. Atau mungkin juga karena ia terpikat pola kuno di cincin yang masih
misterius. Yang jelas, sesuatu membuat Maureen mau memasangkan cincin tembaga
itu ke jari manis kanannya.
Ternyata pas sekali. Mahmoud mengangguk, kembali serius, berbisik ke dirinya sendiri, "Seolah cincin
itu memang diciptakan untukmu."
Maureen mengangkat cincin itu ke cahaya, mengamatinya di tangannya. "Aku tidak
bisa mengalihkan pandanganku dari perhiasan ini."
"Karena memang seharusnya kau memilikinya."
Maureen mengangkat kepalanya dengan perasaan curiga, kembali mencium trik
penjualan. Mahmoud boleh jadi lebih elegan dibandingkan pedagang jalanan. Namun
ia tetap seorang pedagang. "Saya pikir tadi Anda mengatakan cincin ini tidak
dijual." Maureen hendak melepas cincin itu. Perbuatannya itu sangat ditentang oleh sang
pemilik toko, ia mengangkat tangannya, tanda protes.
"Jangan. Saya mohon."
"Oke, oke. Sekarang kita tawar menawar, bukan" Berapa harganya?"
Mahmoud terlihat sangat tersinggung sebelum menjawab, "Anda salah paham. Cincin
itu dipercayakan pada saya, sampai saya menemukan tangan yang pantas untuk
mengenakannya. Tangan yang menjadi tujuan benda ini diciptakan. Sekarang saya menyaksikan
sendiri bahwa tangan itu adalah tangan Anda. Saya tidak bisa menjualnya kepada
Anda karena perhiasan itu memang milik Anda."
Maureen menunduk melihat ke cincin, lalu mendongak kembali ke Mahmoud, bingung.
"Saya tidak mengerti."
Mahmoud tersenyum bijak, dan bergerak menuju pintu depan toko. "Tidak, sekarang
Anda tidak mengerti. Tapi satu hari nanti Anda akan mengerti. Sekarang,
simpan saja cincin itu. Sebagai hadiah." "Saya tidak bisa ..."
"Anda bisa dan Anda akan menerimanya. Anda harus menerima. Kalau tidak, berarti
saya telah gagal. Anda tentu tidak menginginkannya."
Maureen menggelengkan kepala dengan bingung sambil berjalan mengikuti Mahmoud ke
pintu depan. Kemudian ia berhenti. "Saya benarbenar tidak tahu harus berkata apa, atau
bagaimana harus berterima kasih kepada Anda."
"Tidak perlu, tidak perlu. Tapi sekarang Anda harus pergi. Misteri-misteri
Yerusalem menunggu Anda."
Mahmoud membukakan pintu dan Maureen melangkah keluar. Ia berterima kasih lagi.
"Selamat berpisah, Magdalena," bisik Mahmoud saat Maureen berjalan keluar.
Maureen berhenti, segera berbalik kepadanya.
"Maaf?" Mahmoud tersenyum bijak dan misterius. "Saya bilang selamat berpisah, yang
mulia." Dan ia melambaikan tangan ke Maureen yang balas melambai sambil sekali
lagi melangkah keluar, berjalan di bawah teriknya matahari Timur Tengah.
f Maureen kembali ke Via Dolorosa. Di sana ia menemukan Posisi Kedelapan, seperti
yang ditunjukkan Mahmoud. Tapi ia gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi karena
merasa aneh setelah pertemuannya dengan sang pemilik toko. Saat kembali
meneruskan perjalanan, rasa pusing yang sebelumnya melanda, datang lagi. Kali
ini lebih kuat, sampai-sampai ia limbung. Ini hari pertamanya di Yerusalem, tentu ia tengah
mengalami jet lag. Penerbangan dari Los Angeles sangat lama dan melelahkan, ia tidak cukup tidur
semalam sebelumnya. Entah karena kombinasi panas, kelelahan, dan kelaparan, ataukah sesuatu yang
lain yang tak dapat dijelaskan, namun kejadian berikutnya sungguh di luar
dugaan. Setelah menemukan sebuah batu besar, Maureen duduk untuk beristirahat. Namun ia
kembali dihantam serangan pusing seiring kilatan cahaya menyilaukan yang berpijar dari
matahari yang tak kenal lelah, yang mengantarkan pikirannya ke suatu tempat.
Tibatiba ia berada di tengah sebuah kerusuhan. Sekelilingnya kacau balau.
Orangorang menjerit dan dorong mendorong, kericuhan di segala penjuru. Namun
Maureen masih cukup memiliki kecerdasan modernnya untuk menyadari bahwa badan-
badan yang berlalu lalang itu memakai pakaian kasar yang dijahit sendiri. Alas
kaki mereka adalah sandal yang sangat sederhana. Maureen melihatnya ketika salah
seorang di antara mereka menginjak kakinya dengan keras. Kebanyakan adalah
lelaki, berjanggut dan kotor. Teriknya matahari sore menimpa tubuh mereka,
bercampur dengan keringat dan debu di wajahwajah yang marah dan tersiksa di
sekitarnya. Ia sedang berada di pinggir sebuah jalan sempit ketika suatu
gerombolan di depan mulai saling mendorong dengan kuat. Lalu terciptalah sebuah
jalur kosong, dan sebuah kelompok kecil perlahan bergerak mengikuti jalan.
Kerusuhan itu tampaknya mengikuti kelompok ini. Ketika kerumunan itu bergerak
mendekat, Maureen melihat perempuan itu untuk pertama kalinya.
Sebuah wujud sendiri dan tenang di tengah keru -
sunan. Ia adalah satu di antara sedikit perempuan dalam keramaian itu. Namun
bukan itu yang membuatnya berbeda. Akan tetapi pembawaan dirinya, suatu sifat
keagungan yang menandakan bahwa ia adalah seorang ratu, meskipun tangan dan
kakinya penuh debu. Ia tampak sedikit lusuh, seuntai rambut tebal warna merah
kecokelatan terselip di bawah selubung merah yang menutupi paruh bawah wajahnya.
Secara naluriah Maureen tahu bahwa ia harus menghampiri perempuan ini. Bahwa ia
perlu berhubungan dengannya, menyentuhnya, berbicara dengannya. Tapi arak-arakan
itu menghalanginya, dan ia berjalan dengan gerak lambat dalam mimpinya yang
pekat. Sambil terus berusaha bergerak menuju perempuan itu, Maureen terpesona oleh
keelokan wajah yang tak mampu ia gapai. Perawakan perempuan itu sungguh anggun,
dengan bagianbagian wajah yang cantik lagi menawan. Tapi matanyalah yang merasuk
perasaan Maureen, lama setelah visi itu usai.
Mata perempuan itu besar dan terang dengan air mata yang tak terhapus,
memantulkan warna antara cokelat kekuningan dan hijau keabu-abuan. Sungguh suatu
warna cokelat kehijauan luar biasa yang menggambarkan kebijakan tak berbatas dan
kesedihan tak terhingga dalam satu campuran yang mengiris hati. Tatapan mata
perempuan itu yang menyentuh jiwa beradu dengan tatapan Maureen, untuk sesaat
dan selamanya. Tersirat dari tatapan itu sebuah pernyataan keputusasaan.
Kau harus menolongku. Maureen tahu bahwa pernyataan itu ditujukan kepadanya. Ia terkesima, kelu,
ketika matanya bertemu dengan mata perempuan itu. Momen itu terpecah ketika
tibatiba tatapan perempuan itu beralih ke seorang anak perempuan yang menarik
kuat tangannya. Anak itu mendongak dengan mata besarnya yang hijau keabuan, serupa dengan mata
ibunya. Dibela-kangnya berdiri seorang anak lelaki, lebih besar dan dengan warna
mata yang lebih gelap dibandingkan anak perempuan itu. Namun jelas, ia putra perempuan itu. Saat itu
juga Maureen tahu bahwa ia adalah satusatunya orang yang dapat menolong ratu
yang asing dan menderita ini beserta anakanaknya. Perasaan sangat bingung, dan
kesedihan, merasuki hatinya ketika ia menyadari hal ini.
Kemudian kerusuhan kembali bergolak, menenggelamkan Maureen dalam lautan
keringat dan kesedihan. f Maureen rnengerjapkan matanya dengan keras, dirapat-kannya kelopak matanya kuat-
kuat selama beberapa detik. Lalu ia menggelenggelengkan kepalanya dengan cepat
untuk menjernihkan penglihatannya. Sejenak ia tidak yakin sedang berada di mana. Melihat sekilas ke
celana jeans, tas punggung dari bahan mikrofiber, dan sepatu jalan Nikenya
membuatnya yakin bahwa ia berada di abad dua puluh. Kesibukan Kota Lama di
sekelilingnya berlanjut. Namun sekarang orangorang terlihat berpakaian model
kontemporer dan suarasuara yang terdengar pun berbeda. Radio Yordan
mengumandangkan lagu pop Amerika dari sebuah toko di seberang jalan bukankah itu
"Losing My Religion"nya R.E.M." Seorang anak muda Palestina mengikuti ketukan
irama lagu itu dengan menggendang di atas meja. Ia tersenyum pada Maureen
sambil terus menggendang.
Beranjak dari bangku batu, Maureen berusaha mengenyahkan visinya. Kalau pun itu
sebuah visi. Ia tidak yakin, apa yang baru saja ia alami, tapi juga tidak bisa
membiarkan dirinya terlarut di dalamnya.
Waktunya di Yerusalem terbatas dan ada 2000 tahun pemandangan yang harus ia
lihat. Sembari mengerahkan kedisiplinan penulisnya dan pengalaman seumur
hidupnya dalam memendam emosi, Maureen menyimpan visi itu sebagai "riset untuk
analisis selanjutnya" dan mendorong dirinya sendiri untuk terus berjalan.
Akhirnya, secara tidak sengaja Maureen tergabung dengan sekumpulan pelancong
Inggris saat mereka berbelok di tikungan. Rombongan itu dipimpin seorang pemandu
yang mengenakan kerah pendeta Anglikan. Ia mengumumkan kepada kelompok peziarah
itu bahwa mereka sedang mendekati lokasi suci umat Kristiani, Basilika Makam
Suci. Dari risetnya Maureen tahu bahwa Posisi-posisi Salib selebihnya berada di dalam
gedung yang diagungkan itu. Dengan luas beberapa blok, basilika itu mencakup
tempat penyaliban dan telah seperti itu sejak Permaisuri Helena bersumpah
melindungi tanah suci ini di abad ke-4. Berkat usaha-usahanya itu, Helena, yang
juga ibunda Kaisar Romawi Konstantin, kemudian ditahbiskan sebagai orang suci.
Perlahan dan ragu-ragu, Maureen menghampiri pintu masuk yang sangat besar.
Ketika berdiri di ambang pintu, ia sadar bahwa sudah bertahuntahun ia tidak
menginjakkan kaki ke gereja. Betapapun, ia tidak berpikir untuk mengubah status
itu sekarang. Dengan tegas ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa riset yang
membawanya ke Israel bersifat akademis, bukan spiritual. Selama ia tetap fokus
dengan pandangan itu, ia mampu melakukannya. Ia mampu melangkah melewati pintu
itu. Terlepas dari keengganannya, Maureen tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu
yang sungguh magnetis dan membangkitkan decak kagum dalam tempat ibadah yang
luar biasa besar ini. Saat melewati pintu besar itu, ia mendengar sang pendeta
Inggris berkata: "Di antara dinding-dinding ini, Anda akan melihat tempat Juru Selamat kita
melakukan pengorbanan terbesar. Tempat jubahNya dicampakkan, tempat Ia dipaku ke
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salib. Anda akan memasuki Posisi suci tempat raga-Nya dikebumikan.
Saudarasaudaraku dalam Kristus, sekali Anda memasuki tempat ini, hidup Anda tak
akan sama." f Aroma dupa yang khas dan menyengat berembus menerpa Maureen begitu ia masuk.
Peziarah dari segala jenis Kristiani memenuhi tempat ini dan memenuhi area luas
di dalam basilika. Maureen melewati sekelompok pendeta Kupti yang tengah
berdiskusi dengan suara pelan dan sopan. Dan ia melihat seorang rohaniwan Yunani
Ortodoks menyalakan sebuah lilin di salah satu kapel kecil. Paduan suara pria
menyanyi dalam dialek Timur yang eksotis bagi telinga orang Barat. Himne itu
bersumber dari suatu tempat tersembunyi di dalam gereja.
Maureen sedang menikmati bermacam pemandangan dan suara di tempat ini, merasa
agak linglung dengan begitu banyaknya kesan yang menerpa. Ia tidak melihat
lelaki kurus kecil hadir di sebelahnya sampai lelaki itu
menepuk pundaknya, membuatnya terkejut.
"Maaf, Nona. Maaf, Nona Mo-ree." Lelaki itu berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi
tidak seperti Mahmoud, si pemilik toko yang penuh teka-teki, aksen lelaki ini
sangat kentara. Keahliannya berbahasa Inggris paling banter sebatas dasar.
Karena itulah pada awalnya Maureen tidak mengerti bahwa lelaki itu sedang
memanggil namanya. Ia mengulangi lagi.
"Mo-ree. Nama Anda. Mo-ree, benar?"
Maureen bingung, mencoba memastikan bahwa lelaki kecil aneh ini benarbenar
memanggil namanya dan, kalau begitu, bagaimana ia bisa tahu. Keberadaan Maureen
di Yerusalem belum lagi dua puluh empat jam. Dan tidak ada orang selain petugas
resepsionis Hotel King David yang tahu namanya. Tapi lelaki ini tidak sabar, ia
bertanya kembali. "Mo-ree. Anda Mo-ree. Penulis. Anda menulis, benar" Moree?"
Mengangguk perlahan, Maureen menjawab. "Ya. Namaku Maureen. Tapi bagaimana Anda
bisa tahu?" Mengabaikan pertanyaan Maureen, lelaki itu menggamit tangannya dan menariknya
untuk melintasi lantai gereja. "Tidak ada waktu, tidak ada waktu. Mari. Kami
sudah lama menunggu. Mari, mari."
Untuk seorang lelaki bertubuh kecil ia lebih pendek dibandingkan Maureen, yang
memang sudah termasuk mungil gerakannya sangat cepat. Kaki-kaki pendek
membawanya melesat melintasi bagian tengah basilika, melewati antrean tempat
para peziarah menunggu giliran diberi izin masuk ke Posisi Kristus. Ia tetap
melesat dan mendadak berhenti saat mereka sampai di sebuah altar kecil, dekat
bagian belakang gedung. Daerah itu didominasi sebuah patung seorang perempuan
seukuran asli yang menjulurkan tangannya ke seorang lelaki dalam posisi memohon.
"Kapel Maria Magdalena. Magdalena. Anda datang untuknya, benar" Benar?"
Maureen mengangguk dengan hatihati, matanya menatap ke patung itu kemudian ke
plakat di bawahnya yang bertuliskan:
DI TEMPAT INI, MARIA MAGDALENA ADALAH ORANG PERTAMA YANG MENYAKSIKAN
KEBANGKITAN RAJA Ia membaca keraskeras tulisan pada plakat lain di bawah patung itu:
"Perempuan, mengapa kau menangis" Siapa yang kau cari?"
Maureen tidak punya banyak waktu untuk mencerna pertanyaan itu karena lelaki
kecil yang aneh itu menariknya kembali untuk menuju sudut gelap lain di basilika
itu, dengan langkah-langkah cepatnya yang aneh untuk lelaki seperti dia. "Ayo,
ayo." Mereka mengitari sebuah sudut dan berhenti di depan lukisan besar dan tua,
potret seorang perempuan. Waktu, dupa, dan sisa lilin yang berminyak yang
berusia ratusan tahun telah merusak barang seni itu, sehingga Maureen mesti
mendekati potret gelap itu, menyipitkan mata. Lelaki kecil itu bercerita dengan
suara yang sangat serius.
"Lukisan sangat tua. Yunani. Kau mengerti" Yunani. Paling penting bagi Maria.
Dia membutuhkanmu untuk menceritakan kisahnya. Itu sebabnya kau datang ke sini, Moree. Kami telah lama
menunggumu. Ia telah menunggu. Untukmu. Benar?"
Maureen mencermati lukisan itu, sebuah potret gelap, kuno, menggambarkan seorang
perempuan yang mengenakan jubah merah. Ia menengok ke lelaki kecil itu, merasa
sangat penasaran, ke mana arah semua pembicaraan ini. Tapi lelaki itu telah
pergi ia menghilang secepat ia datang.
"Tunggu!" Teriakan Maureen yang nyaring menggema dalam ruang gereja besar itu,
tapi tetap tak terjawab. Ia kembali memerhatikan lukisan itu.
Saat Maureen menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke potret itu, ia melihat
bahwa perempuan dalam lukisan itu mengenakan sebuah cincin di tangan kanannya:
sebuah lempeng tembaga berbentuk bulat, dengan pola sembilan lingkaran
mengelilingi bulatan di tengah.
Maureen mengangkat tangan kanannya, tangan dengan cincin baru, untuk
membandingkannya dengan lukisan itu.
Kedua cincin itu sama persis.
... Banyak yang akan dikatakan dan ditulis pada waktu yang akan datang tentang
Simon, sang Nelayan. Tentang mengapa ia dipanggil dengan nama Petrus. sang batu.
oleh Easa dan oleh diriku sendiri sententara orangorang memanggilnya Cephas,
panggilan dalam bahasa mereka sendiri. Dan seandainya sejarali itu adil. ia akan
bercerita tentang betapa Simon mencintai Easa dengan kekuatan dan kesetiaan yang
tak tertandingi. Dan banyak sudah cerita, atau kabaryang sampaikepadaku, tentang hubunganku
sendiri dengan Simon-Petrus. Ada yang
\ta menjuluki kami pesaing, musuh Mereka ingin percaya bah Petrus membenciku dan
kami bersaing di setiap kesempatan untuk memperoleh perhatian Easa. Adapula yang
menjuluki Petrussebagai seorang pembenci perempuantapi tuduhan ini tidak pantas
ditujukan kepada seorang pun pengikut Easa. Harap diketahui bahwa tidak ada satu
pun pengikut Easa yang pernah mengecilkan seorang perempuan atau meremehkan
nilainya dalam rencana Tuhan. Siapa pun lelaki yang melakukannya dan mengaku
Easa sebagai gurunya adalah pembohong.
Tuduhan-tuduhan terhadap fbtius tidaklah benar. Mereka yang menyaksikan
pencelaan fctrus terhadapku tidak tahu sejarah kami atau dari mana amarahnya
berasal. Tapi aku mengerti dan tidak akan pernah menghakiminya. Melebihi segala
yang lain. inilah yang diajarkan Easa kepadakudan aku berharap ia ajarkan pub
kepada yang lain Jangan menghakimi.
INJIL ARQUES MARIA MACDALENA KITAB PARA MURID
Dua Los Angeles Oktober 2QQ4 "Mari mulai dari awal: Marie Antoinette tidak pernah berkata, 'Biarkan mereka
makan kue,' Lucrezia Borgia tidak pernah meracuni siapa pun, dan Mary, Ratu
Skotlandia, bukan seorang pelacur berjiwa pembunuh. Meluruskan kesalahan-
kesalahan ini adalah langkah pertama kita untuk mengembalikan wanitawanita itu
ke tempat yang pantas dan terhormat dalam sejarah tempat yang telah diambil alih
oleh bergenerasi-generasi sejarawan dengan agenda politik tertentu."
Maureen berhenti sejenak saat desas-desus tanda persetujuan pecah di antara para
pelajar dewasa. Ber bicara ke sejumlah mahasiswa baru sama seperti malam
pembukaan di teater. Kesuksesan pertunjukan pertama menentukan efek keseluruhan
proyek. "Selama beberapa minggu ke depan, kita akan menganalisis kehidupan beberapa
perempuan paling terkenal, baik dalam sejarah maupun legenda. Perempuanperempuan
dengan kisah yang meninggalkan jejak permanen dalam evolusi kehidupan dan
pemikiran modern. Perempuanperempuan yang telah sangat disalahartikan
dan diwakilkan secara buruk oleh mereka yang telah mem bentuk sejarah dunia
Barat dengan menuliskan opiniopini mereka di kertas."
Ia sedang berapi-api dan enggan berhenti karena pertanyaan yang begitu dini
diajukan. Namun seorang mahasiswa lelaki dari baris depan telah melambaikan
tangan sejak awal ia berbicara. Kelihatannya lelaki itu seperti akan melompat
keluar dari kulitnya. Tapi selain itu, tidak ada yang istimewa dari
penampilannya. Kawan atau lawan" Penggemar atau fundamentalis" Itu selalu
menjadi pertanyaan. Maureen memanggilnya, tahu bahwa lelaki itu akan terus mengganggu sampai ia
meladeninya. "Apakah Anda menganggap penjelasan tadi sebagai pandangan feminis terhadap
sejarah?" Hanya itu saja" Maureen merasa sedikit lega dan ia menjawab pertanyaan yang
rutin diajukan itu. "Saya menganggapnya sebuah pandangan jujur terhadap sejarah. Saya tidak memiliki
tujuan apa pun selain memperoleh kebenaran."
Namun ia belum lagi lolos dari perangkap.
"Bagi saya, kesannya seperti serangan terhadap kaum lelaki."
"Sama sekali tidak. Saya suka laki-laki. Saya pikir setiap perempuan harus
memiliki seorang laki-laki." Maureen berhenti sejenak untuk membiarkan para
mahasiswi tertawa. "Saya bercanda. Tujuan saya tak lain untuk mengembalikan persoalan ke posisi
seimbang lewat cara pandang modern terhadap sejarah. Apakah Anda menjalani hidup
dengan cara yang sama seperti orang orang yang hidup seribu enam ratus tahun
lalu" Tidak. Jadi mengapa cara hidup kita di abad 21 ini mesti diatur
oleh hukum, kepercayaan, dan pemaknaan sejarah yang diputuskan pada Era
Kegelapan" Ini tidak masuk akal."
Mahasiswa itu menjawab. "Justru itu sebabnya saya berada di sini. Untuk mencari
tahu yang sebenarnya terjadi."
"Bagus. Kalau begitu saya mendukung Anda untuk berada di sini. Saya hanya
meminta Anda untuk tetap berpikiran terbuka. Bahkan saya ingin kalian semua
menghentikan apa pun yang sedang kalian lakukan, angkat tangan kanan kalian, dan
lafazkan sumpah berikut."
Kelompok mahasiswa malam itu berbisik-bisik lagi dan melihat ke sekeliling
ruangan, sambil tersenyum dan saling mengangkat bahu, untuk memastikan apakah
dosen mereka serius. Sang dosen, seorang penulis terlaris dan jurnalis
terhormat, berdiri di depan mereka dengan tangan kanan diangkat dan ekspresi
wajah menunggu. "Ayo," katanya besikeras. "Tangan di atas, dan ikuti ucapan saya."
Seluruh isi kelas mengikuti, mereka mengangkat tangan dan menunggu aba-aba.
"Saya setulusnya berjanji, sebagai seorang pelajar sejarah sejati..." Maureen
berhenti sejenak sementara para pelajar mengikuti dengan patuh, "untuk mengingat
sepanjang waktu bahwa semua katakata yang tertulis di kertas adalah tulisan
manusia." Ia berhenti sekali lagi sementara para mahasiswa mengulangi ucapannya dengan
patuh. "Dan, karena semua manusia dikuasai oleh emosi, pendapat, dan ikatan
politik serta agama, maka seluruh sejarah terdiri dari pendapat sebagaimana juga
fakta dan umumnya telah direkayasa agar sejalan dengan ambisi pribadi atau
tujuan tersembunyi sang penulis.
"Saya setulusnya berjanji untuk tetap berpikiran terbuka setiap saya berada di
ruangan ini. Inilah semboyan kami: Sejarah bukan sesuatu yang telah terjadi.
Sejarah adalah sesuatu yang dituliskan."
Ia mengangkat sebuah buku bersampul tebal dari podium di depannya dan
menunjukkannya kepada kelas.
"Apakah kalian sudah memiliki buku ini?" Anggukan kepala dan gumaman mengiakan
menyertai pertanyaan itu. Buku di tangan Maureen adalah buku kontroversial
ciptaannya sendiri. Judulnya Her Story: A Defense of History's Most Hated
Heroins (Kisahnya: Sebuah Pembelaan terhadap Perempuan Pahlawan yang Paling
Dibenci Sepanjang Sejarah). Inilah alasan mengapa ia mengisi penuh kelas-kelas
malam dan ruangan-ruangan kuliah setiap kali ia memutuskan untuk mengajar.
"Malam ini, kita akan mulai dengan sebuah diskusi mengenai perempuan dalam
Perjanjian Lama, leluhur leluhur perempuan dalam tradisi Kristiani dan Yahudi.
Minggu depan kita akan berpindah ke Perjanjian Baru. Kebanyakan sesi tersebut
akan kita gunakan untuk membahas seorang perempuan Maria Magdalena. Kita akan
menganalisis berbagai sumber dan materi mengenai kehidupannya, baik sebagai
seorang perempuan maupun sebagai seorang murid Kristus. Bacalah bab-bab yang
bersangkutan dengan topik ini sebagai persiapan diskusi minggu depan.
"Kita juga akan kedatangan seorang tamu khusus, Dr. Peter Healy. Barangkali
sebagian di antara kalian yang mengikuti program tambahan kuliah humaniora sudah
mengenalnya. Bagi kalian yang belum mendapat kesempatan mengikuti kuliah dari
doktor yang baik ini, ia juga dikenal sebagai Bapa Healy, seorang cendekiawan
Yesuit dan pakar studi Alkitab kaliber internasional."
Pelajar yang gigih di baris depan tadi mengangkat tangan lagi, tanpa menunggu
Maureen mempersilakan untuk bertanya, "Bukankah Anda memiliki hubungan keluarga dengan
Doktor Healy?" Maureen mengangguk. "Doktor Healy adalah sepupu saya. "Ia akan menyampaikan
perspektif Gereja tentang hubungan Maria Magdalena dengan Kristus dan
mengungkapkan bagaimana perkembangan pandangan seputar isu ini selama dua ribu
tahun," lanjut Maureen dengan perasaan gelisah karena ingin segera kembali ke
mata kuliahnya agar selesai tepat waktu. "Akan menjadi malam yang menarik, jadi
jangan sampai tidak datang.
"Tapi malam ini, kita akan memulai dengan salah seorang di antara sekian banyak
ibu yang menjadi leluhur kita. Ketika pertama kita bertemu Bathsheba, ia sedang
'menyucikan dirinya dari kenistaan...'" f Maureen bergegas keluar dari ruang kuliah sembari memohon maaf dan berjanji
bahwa minggu depan ia akan meluangkan waktu setelah kelas usai. Biasanya ia
menambahkan waktu sekitar setengah jam untuk berbincang-bincang dengan sejumlah
mahasiswa yang pasti tetap tinggal dalam ruangan setelah sesi kuliah berakhir.
Ia sangat menyukai saat kebersamaan dengan murid-murid seperti ini. Malah
mungkin lebih suka dibandingkan saat ia menyampaikan kuliah itu sendiri. Karena
mereka yang tetap tinggal usai sesi, tentulah para peminat mata kuliahnya. Para
mahasiswa seperti inilah yang membuatnya terus mengajar. Ia tentunya tidak
membutuhkan bayaran kecil yang diperoleh dengan mengajar di sekolah malam.
Maureen mengajar karena menyukai hubungan dan stimulasi yang diperoleh ketika ia
berbagi teoriteori yang diketahuinya dengan orang lain yang antusias dan berpikiran terbuka.
Ketukan hak sepatu di jalan menciptakan irama. Maureen mempercepat langkahnya,
melewati jalanjalan berpagar pohon di kampus utara. Ia sangat berharap Peter belum pergi.
Maureen menyesali gaya berpakaiannya, seandainya saja ia mengenakan sepatu yang
lebih cocok untuk berlari agar sampai di kantor Peter sebelum ia pergi. Seperti
biasanya, Maureen berpakaian sangat rapi. Sama seperti terhadap berbagai aspek
kehidupannya, ia sangat berhati-hati memilih busana. Baju resmi berpotongan
sempurna karya seorang perancang itu sangat pas di badannya yang mungil. Dan
warna pepohonan yang ia kenakan semakin menonjolkan matanya yang hijau. Sepasang
sepatu tinggi Manolo Blahnik menambah sedikit gaya pada pakaiannya yang jika
tidak terkesan konservatif, selain menambah tinggi untuk badannya yang hanya
setinggi satu setengah meter. Namun sepatu Manolo inilah yang menjadi sumber
frustrasinya. Terpikir olehnya untuk melempar saja sepatu itu ke seberang
lapangan. Tolong jangan pergi. Tolong tetap di sana. Ia berbicara pada Peter dalam hati
sembari bergegas. Uniknya mereka selalu tersambung, bahkan saat masih kanakkanak. Dan sekarang,
Maureen berharap entah bagaimana Peter bisa merasakan betapa ia perlu berbicara
dengan nya. Maureen sudah mencoba menghubungi Peter sebelumnya melalui caracara
yang lebih lazim, tapi tidak berhasil. Peter benci telepon genggam dan tidak mau
memilikinya meskipun Maureen telah membujuknya berkali kali selama
bertahuntahun. Dan Peter lebih sering menolak mengangkat telepon di kantornya
jika ia sedang asyik bekerja.
Maureen mencabut hak sepatu yang menjengkelkan itu dan memasukkannya ke dalam
tas kulit sambil berlari melintasi jarak terakhir untuk sampai ke tujuan. Sambil
menahan napas ketika membelok, Maureen mendongak ke jendela di lantai dua dan
menghitung dari kiri. Ia menghela napas lega ketika melihat cahaya di jendela
keempat. Peter belum pergi.
Perlahan Maureen menaiki tangga, mengambil waktu untuk bernapas. Di ujung gang,
ia berbelok ke kiri kemudian berhenti sebentar sesampainya di depan pintu
keempat dari kanan. Peter masih ada, serius melihat dokumen yang sudah menguning
dengan kaca pembesar. Ia merasakan ketimbang melihat Maureen di ambang pintu,
dan ketika ia mendongak, paras ramahnya menyunggingkan
senyum mengajak masuk. "Maureen! Kejutan yang indah. Aku tidak berpikir a-kan bertemu denganmu malam
ini." "Hai, Pete," balasnya sama hangat sambil memutari meja untuk memeluknya sekilas.
"Aku sangat senang kau ada di sini. Tadinya aku takut kau sudah pergi, padahal
aku sangat perlu bertemu denganmu."
Bapa Peter Healy menaikkan sebelah alisnya dan berpikir beberapa waktu sebelum
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas. "Kautahu, biasanya aku sudah pergi sejak berjamjam lalu. Entah mengapa, aku
merasa harus bekerja lembur malam ini."
Bapa Healy mengangkat bahu atas komentarnya sendiri dan menyunggingkan seulas
senyum penuh arti. Maureen membalas ekspresi itu. Ia pun tak pernah bisa
menjelaskan keterkaitannya dengan sang sepupu secara logis. Tapi sejak tiba di
Irlandia saat ia masih kecil, mereka telah akrab seperti sepasang anak kembar,
mampu berkomunikasi tanpa katakata.
Maureen merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah tas plastik biru, yang biasa
dipakai toko-toko barang impor di seluruh dunia. Di dalamnya ada sebuah kotak
kecil, yang kemudian diberikannya pada sang pendeta.
"Ahh. Label Emas Lyon. Pilihan yang bagus. Perutku masih tidak bisa mencerna teh
Amerika." Maureen mengernyit dan bergidik untuk menunjukkan bahwa ia pun tidak suka. "Air
sampah." "Sepertinya tekonya penuh, aku akan memanaskannya dan kita bisa menikmati
secangkir teh sebentar lagi." Maureen tersenyum sambil mengamati Peter bangkit
dari bangku kulit usang yang didapatnya dari universitas dengan penuh
perjuangan. Ketika menerima posisi di jurusan humaniora, Dr. Peter Healy yang
terkenal mendapat sebuah kantor berjendela dengan perabot modern, berikut meja
dan kursi praktis yang baru. Peter benci kepraktisan kalau itu berhubungan
dengan perabotannya, tapi ia lebih benci lagi yang serba modern. Menggunakan
pesona Gaelic-nya sebagai kekuatan tak
terkalahkan, ia berhasil membuat para pegawai yang biasanya bandel menjadi luar
biasa aktif. Bapa Healy bak pinang dibelah dua dengan aktor Irlandia, Gabriel
Byrne. Mereka berdua samasama tidak pernah gagal memotivasi perempuan, baik yang
berkerah rohaniwan maupun tidak. Para pegawai itu mencari di ruang-ruang bawah
tanah dan menyisir ruang-ruang kelas tak terpakai sampai mereka menemukan
perabot yang dicarinya: sebuah kursi kulit berpunggung tinggi yang telah usang
dan sangat nyaman, dan sebuah meja kayu tua yang setidaknya kelihatan antik. Perlengkapan-
perlengkapan modern yang menjadi pilihannya adalah: kulkas kecil di pojok
belakang meja, sebuah teko listrik kecil untuk merebus air, dan telepon yang
lebih sering tidak diacuhkan.
Maureen sudah lebih santai sekarang. Ia mengawasi Peter yang asyik membuat teh
ala Irlandia dengan perasaan aman karena kehadiran sang sepupu.
Peter berjalan kembali ke mejanya dan membungkuk ke kulkas yang terletak persis
di belakangnya. Ia mengeluarkan tempat susu dan meletakkannya di sebelah kotak
merah muda dan putih berisi gula di atas kulkas. "Harusnya ada sendok di sini
tunggu ini dia." Teko listriknya memuncratkan air sekarang, tanda isi di dalamnya sudah mendidih.
"Biar aku yang mengerjakan," Maureen menawarkan
diri. Ia berdiri dan mengambil kotak teh dari meja Peter, membuka bungkus plastik
dengan ujung kuku jempolnya. Dikeluarkannya dua kantong berbentuk bulat dan
dijatuhkannya ke dalam cangkircangkir yang berbeda warna dan bernoda teh.
Menurut Maureen, pandangan umum mengenai orang Irlandia dan alkohol terlalu
dibesar-besarkan. Sesungguhnya, orang Irlandia kecanduan minuman ini.
Maureen menyelesaikan proses itu dengan mahir dan memberikan sepupunya secangkir
teh panas kemudian duduk di kursi di seberang mejanya. Dengan cangkirnya sendiri
di tangan, Maureen menghirup perlahan beberapa saat, merasakan mata biru Peter
yang ramah menatap dirinya. Sekarang, setelah ia terburu-buru menemui lelaki
ini, ia tidak yakin harus mulai dari mana. Pendeta itulah yang akhirnya
memecahkan kebisuan. "Jadi, dia datang lagi?" tanyanya lembut. Maureen menghela nafas lega. Pada
saat-saat kala ia merasa benarbenar berada di ujung batas kewarasan, Peter hadir
untuknya. Ia sepupu, pendeta, sekaligus teman.
"Ya," balasnya, singkat, tidak seperti biasanya. "Ia datang lagi."
f Peter membolak-balikkan tubuh dengan gelisah di tempat tidur, tak bisa
memejamkan mata. Percakapan dengan Maureen telah membuatnya risau, lebih dibandingkan yang ia
perlihatkan pada sepupunya. Ia mengkhawatirkan Maureen. Baik sebagai kerabat
terdekat maupun sebagai penasihat spiritualnya. Ia tahu, mimpimimpi gadis itu
akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih kuat. Ia telah menanti waktu
kemunculannya, berjaga-jaga hingga waktunya tiba.
Kali pertama kembali dari Tanah Suci, Maureen telah diganggu dengan mimpimimpi
mengenai perempuan agung berselubung merah yang menderita, perempuan yang ia lihat di
Yerusalem. Mimpinya selalu sama: ia tenggelam dalam kekacauan di Via Dolorosa. Terkadang,
suatu mimpi sedikit berbeda dari mimpi lain atau berisi informasi tambahan, tapi
selalu menggambarkan penderitaan yang mendalam. Kehadiran mimpi yang begitu
jelas inilah yang mengganggu Peter, penjabaran Maureen begitu otentik. Hal
semacam ini di luar jangkauan, sesuatu yang dibangkitkan oleh Tanah Suci itu
sendiri. Sebuah perasaan yang pernah dialami Peter sendiri ketika sedang belajar
di Yerusalem. Perasaan seolah sedang berada sangat dekat
dengan para leluhur dengan orangorang suci.
Sepulangnya dari Tanah Suci, Maureen banyak menghabiskan waktu untuk bertelepon
jarak jauh dengan Peter, yang ketika itu sedang mengajar di Irlandia. Sepupunya
yang dipercaya dan mandiri itu mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Selain
itu, frekuensi dan kekuatan mimpimimpi itu mulai membuat Peter khawatir. Ia
meminta dipindahkan ke Loyola. Tahu bahwa permohonan itu akan langsung
dikabulkan, ia segera berangkat menuju Los Angeles agar lebih dekat dengan
sepupunya. Empat tahun kemudian, ia bertarung dengan pikirannya sendiri dan dengan kata
hatinya, tidak yakin bagaimanakah cara terbaik untuk menolong Maureen saat ini.
Ia ingin mempertemukan Maureen dengan atasannya di Gereja, namun ia tahu gadis
itu tidak akan setuju. Peter adalah penghubung terakhir dengan masa lalunya
sebagai penganut Katolik. Maureen memercayainya hanya karena ia adalah saudara
dan karena ia satusatunya orang dalam hidupnya yang tak pernah mengecewakannya.
Peter bangkit untuk duduk, merasa tak akan bisa tidur malam ini dan berusaha
mengenyahkan pikiran bahwa ada sekotak Marlboro di laci meja tempat lampu duduk
diletakkan. Ia telah mencoba
menghilangkan kebiasaan buruk ini. Bahkan inilah salah satu alasan mengapa ia
memilih tinggal sendirian di sebuah apartemen, bukan di perumahan Yesuit. Tapi
beban itu terlalu berat, dan ia menyerah terhadap dosa yang satu ini. Setelah
menyalakan sebatang rokok, ia menghirup napas dalam dalam dan memikirkan
persoalan yang sedang dihadapi Maureen.
Memang, selalu ada sesuatu yang istimewa jika menyangkut sepupu Amerikanya yang
mungil dan pemberani ini. Saat pertama tiba di Irlandia dengan ibunya, Maureen
adalah bocah tujuh tahun yang penakut dan penyendiri dengan logat bicara
penduduk wilayah rawa. Peter yang delapan tahun lebih tua, melindungi Maureen.
Ia mengenalkan gadis kecil itu ke anakanak di kampungnya dan tak segan-segan
meninju siapa pun yang berani mengolok-olok sang pendatang baru beraksen lucu,
hingga mata mereka lebam.
Tapi Maureen tidak membutuhkan waktu lama untuk berbaur ke dalam lingkungan
barunya. Dengan cepat ia melupakan trauma masa lalunya di Louisiana sementara
kabut Irlandia menyelimutinya dengan penerimaan. Ia menemukan perlindungan di
pedesaan. Peter dan saudarasaudara
perempuannya membawa Maureen menelusuri jalanjalan panjang, menunjukkan
kepadanya keindahan sungai dan lubang di rawa-rawa. Mereka melewati hari-hari
musim panas dengan memetik buah blackberry yang tumbuh liar di perkebunan
keluarga dan bermain sepak bola sampai matahari terbenam. Akhirnya, anakanak
setempat menerimanya seiring perasaannya yang kian nyaman dengan lingkungan baru
itu sehingga kepribadian sejatiya muncul.
Peter kerap bertanya-tanya tentang arti kata "karisma" yang sering digunakan
dalam konteks supranatural oleh gereja di masa lalu. Karisma: sebuah karunia
atau kekuatan yang diberikan oieh surga. Barangkali hal ini berlaku pada Maureen
dengan cara yang lebih gamblang dan lebih nyata dibandingkan segala yang
diimpikan. Peter menyimpan jurnal berisi percakapanpercakapannya dengan Maureen.
Kegiatan ini ia lakukan sejak
komunikasi lewat telepon jarak jauh yang pertama, dan ia mencatat pula makna
mimpimimpi itu berdasarkan pemahamannya. Dan ia berdoa setiap hari agar mendapat
petunjuk apakah Maureen adalah orang yang dipilih Tuhan untuk melakukan sebuah
tugas yang berhubungan dengan masa penderitaan, yang semakin diyakininya adalah
peristiwa yang disaksikan Maureen dalam mimpi-mimpinya. Ia jelas sangat
memerlukan bimbingan maksimal dari Sang Pencipta. Dan Gereja.
Chateau Pom me s Bleues Wilayah Languedoc, Prancis Oktober 2004
"Marie de Negre akan memilih waktu yang tepat bagi Dia Yang Dinantikan.
Perempuan yang terlahir dari domba Paschal ketika panjang siang dan malam tiada
berbeda. Perempuan yang adalah anak kebangkitan. Perempuan yang menyandang
Sangre-el akan diberikan kunci untuk mengungkapkan Hari Gelap Tengkorak.
Perempuan itu akan menjadi sang Gembala baru dan menunjukkan Jalan kepada kita."
Lord Berenger Sinclair menapaki lantai mengilap di perpustakaannya. Api dari
tungku batu yang sangat besar memancarkan nyala keemasan pada koleksi turun-
temurun berupa buku dan dokumen yang tak ternilai harganya. Sebuah umbul-umbul
usang tergantung dalam sebuah lemari kaca yang memanjang seukuran perapian
raksasa di seberangnya. Terlihat kain yang dulunya putih, namun kini menguning,
bergambar fieur-de-iis warna emas yang sudah pudar. Nama Jhesus-Maria tersulam
di kain kasar itu, tapi hanya dapat
dilihat oleh sedikit orang saja yang diberi kesempatan mendekati barang antik
ini. Sinclaire mengulang nubuat itu dengan keras berkali-kali dengan aksen
Skotlandianya sehingga huruf-huruf "r" dalam kalimat terdengar jelas. Berenger
hapal isi nubuat itu kata perkata. Ia telah mempelajarinya saat duduk di
pangkuan kakeknya ketika masih kecil. Ketika itu ia tidak mengerti artinya.
Sekadar kalimat-kalimat yang ia hapal saat bermain dengan sang kakek ketika ia
menghabiskan musim panasnya di sini, di tanah luas milik keluarganya, di
Prancis. Ia berhenti sejenak di depan sebuah gambar silsilah keturunan. Sebuah pohon
silsilah generasi-generasi selama ratusan tahun yang menutupi dinding luas mulai
dari lantai hingga langit-langit.
Sebuah gambar sangat besar yang menampilkan sejarah keturunan Berenger yang
flamboyan. Keturunan keluarga Sinclair termasuk yang tertua di Eropa. Awalnya dipanggil
Saint Clair, keluarga ini diusir dari Amerika lalu mengungsi ke Skotlandia pada
abad ke-13. Sejak itulah nama keluarga itu berubah menjadi seperti sekarang.
Para leluhur Berenger termasuk yang paling masyhur dalam sejarah Inggris. Di
antaranya James Pertama dari Inggris dan ibundanya yang terkenal, Mary, Ratu
Skotlandia. Keluarga Sinclair yang berpengaruh dan pandai berhasil melewati perang saudara
dan gejolak politik di Skotlandia. Mereka menduduki posisi penting di kedua sisi
kerajaan sepanjang sejarah negara yang penuh gejolak itu. Sebagai pemimpin
industri di abad ke-20, kakek Berenger berhasil membangun salah satu kekayaan
terbesar di Eropa, yakni sebuah perusahaan minyak Laut
Utara. Sedangkan Alistair Sinclair, biliuner dan petinggi Inggris yang memiliki
kedudukan di House of Lords, memiliki segala yang didambakan seorang manusia.
Namun ia tetap gelisah dan tak pernah puas, yang ia cari adalah sesuatu yang tak
dapat dibeli dengan kekayaan.
Kakek Alistair menjadi terobsesi dengan Prancis. Ia membeli sebuah chateaut di
luar desa Arques, di daerah barat daya. Sebuah wilayah berbatu dan misterius
yang dikenal dengan Languedoc. Rumah barunya ia namai Chateau des Pommes Bleues
Puri Apel Biru. Alasannya hanya diketahui oleh segelintir orang terdahulu.
Languedoc adalah wilayah pegunungan yang terkesan mistis. Legenda lokal tentang
harta karun dan prajurit-prajurit misterius di wilayah ini telah berumur
ratusan, bahkan ribuan tahun. Alistair Sinclair menjadi semakin terobsesi dengan
legenda Languedoc. Lelaki ini membeli tanah di daerah tersebut seluas yang bisa
ia dapatkan dan ia cari seiring kian kuatnya hasrat akan harta karun yang ia
percaya terpendam di daerah itu. Namun, koleksi yang ia cari tidak ada
hubungannya dengan emas atau kekayaan. Harta semacam itu telah dimilikinya dalam
jumlah berlimpah. Yang ia cari adalah sesuatu yang lebih berharga baginya, bagi
keluarganya, dan bagi dunia. Semakin usianya bertambah, semakin sedikit waktu
yang ia lewatkan di Skotlandia. Ia merasa berbahagia hanya ketika berada di
sini, di pegunungan merah Languedoc yang masih perawan. Alistair mengharuskan
cucu lelakinya menemani dirinya selama musimmusim panas. Dan pada akhirnya, ia
menurunkan kecintaannya pada daerah legendaris itu bahkan juga
1 Semacam puri yang banyak terdapat di daerah penghasil Anggur di Prancis.
obsesinya kepada Berenger muda.
Sekarang, di umur empat puluhan, Berenger Sinclair sekali lagi menghentikan
langkahnya kala mengelilingi perpustakaan besar itu. Kali ini di hadapan lukisan
kakeknya. Melihat bentuk wajah yang keras dan tegas, rambut hitam keriting, dan
sorot mata tajam itu, ia seolah sedang bercermin.
"Kau terlihat sangat mirip dengannya, Monsieur. Setiap hari, kau semakin mirip
dengannya, dalam banyak hal." Sinclair membalik untuk menjawab pelayan lelakinya
yang bertubuh sangat besar, Roland. Untuk seorang yang berbadan bongsor, Roland
luar biasa gesit dan sering muncul tibatiba.
"Apakah itu hal yang baik?" tanya Berenger hambar.
"Tentu. Monsieur Alistair adalah seorang lelaki yang baik, dicintai oleh
penduduk desa. Oleh ayahku, dan aku sendiri."
Sinclair mengangguk sambil tersenyum kecil. Tentu Roland akan berkata seperti
itu. Raksasa Prancis itu adalah putra Languedoc. Ayahnya sendiri berasal dari
sebuah keluarga lokal yang berakar sangat dalam di tanah legendaris ini, selain
telah menjadi orang kepercayaan Alistair di purinya. Roland dibesarkan di
lingkungan puri itu dan memahami keluarga Sinclair serta obsesi mereka yang
aneh. Ketika ayahnya meninggal secara mendadak, Roland mengambil alih posisi ayahnya
sebagai penjaga Chateau des Pommes Bleues. Ia adalah salah satu dari sedikit
orang di dunia yang dipercaya oleh Berenger Sinclair.
"Kalau kau tak berkeberatan dengan perkataanku, kami Jean Claude dan aku sedang
bekerja di ruang seberang dan mendengarmu. Kami mendengarmu mengucapkan isi
nubuatz itu." Ia melihat ke Sinclair dengan bingung. "Apakah ada masalah?"
Sinclair menyeberangi ruangan menuju sebuah meja kayu jati yang menutupi dinding
di belakangnya. "Tidak, Roland. Tidak ada masalah. Malah, kupikir pada akhirnya keadaan akan
menjadi sangat, sangat baik."
Ia mengambil sebuah buku berkulit tebal yang terletak di atas meja dan
menunjukkan sampul buku itu ke pelayannya. Sebuah sampul buku modern, non-fiksi,
berjudul: HerStory, subjudul: A Defense of History's Most Hated Heroines.
Roland melihat buku itu, bingung. "Aku tidak mengerti."
"Bukan, bukan. Balik bukunya. Lihat ini. Lihat dia."
Roland membalik buku itu untuk melihat potret sang penulis di sampul belakang
dengan teks Penuiis Maureen Paschal.
Penulis buku itu seorang perempuan menarik, berambut merah, usia tiga puluhan.
Ia berpose untuk foto itu dengan menyandarkan tangan di kursi yang ada di
depannya. Sinclair menggerakkan tangannya di atas sampul itu, berhenti tepat di
tangan sang penulis. Kecil, tapi jelas, di jari manis kanan, adalah cincin
tembaga antik dari Yerusalem, dengan gambar planet.
Roland mendongak dari buku dengan terkejut. "Sacre bleu."
"Betul," balas Sinclair. "Atau mungkin lebih tepat lagi, Sacre rouge."
Kedua lelaki itu diganggu oleh kedatangan seseorang di pintu masuk. Jean-Claude
de la Motte, seorang elit dan
2 Ramalan/prediksi ilmiah
anggota terpercaya di lingkaran dalam Pommes Bleues, melihat ke temantemannya
penuh tanda tanya. "Ada apa?" Sinclair memberi tanda kepada Jean-Claude untuk masuk. "Belum ada. Tapi
bagaimana pendapatmu tentang ini?"
Roland menyerahkan buku itu ke Jean-Claude dan menunjukkan cicin di tangan sang
penulis di sampul belakang.
Jean-Claude mengambil kacamata baca dari kantongnya dan mengamati gambar itu
beberapa saat sebelum bertanya dalam bisikan, "L'attenduel Dia Yang Dinantikan?"
Sinclair tertawa. "Ya, temanteman. Setelah bertahun tahun, akhirnya kita
menemukan sang Gembala."
... Aku lelah mengenal l\tiu\ sejak anal aku bisa mengingat, karma ayahnya dan
ayahku berteman, dan karma dia sangat dekat dengan kakak lelakiku. Utak rumah
Tuhan di Capemaeum sangat dekat dengan rumah ayah Simon-fotrus dan kami sering
mengunjunginya ketika kecil Aku ingat, kami bermain di tepi pantai di sana. Aku
jauh lebih muda dari lelaki-lelaki itu dan sering bermain sendiri, tapi aku
masih bisa mengingat suara tana mereka saat mereka bergulat satu sama lain.
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Petrus selalu lebih serius dibandingkan anak k lak i yang lain. Saudara kkkinya,
Andreas, lebih ceria. Meski begitu, mereka samasama memiliki selera humor saat masih nuda. Keceriaan
Petrus dan Andreas lenyap setelah Easa pergi. Dan mereka tidak bisa terlalu
bersa bar kepada siapa pundi antara kami yang terus meratapi musibah itu
sementara kami harus berjuangmempertahankan hidup.
Petrus sangat mirip kakak lelakiku karena ia sangat serius dengan tanggung
jawabnya terhadap keluarga. Dan setelah beranjak dewasa, ia memindahkan rasa
tanggung jawab itu pada pengajaranJalanNya. la memiliki keteguhan dan kebulatan tekad yang tak
tertandingi oleh siapa pun kecuah'para guru itu sendiri.
Itulah sebabnya ia sangat dipercaya. Tapi hagaimanapim. Easalah yang
mendidiknya. Petrus bertarung melawan kebiasaannya sendiri lebih keras
dibanditigkan yang diketahui banyak orang. Aku percaya, ia telah berkorban lebih
banyak dibandingkan yang lain. demi mengikuti JalanNya. Karena ajaran ini
menuntut banyak dari dirinya, memmtut banyak perubahan batin. Banyak orang yang
akan keliru menilainya, bahkan ada sebagian yang akan nvmbencinya. Tapi aku
tidak. Aku mencintai Petrus dan percaya padanya. Bahkan dengan putra sulungku.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID
Tiga McLean, Virginia Maret 2005
McLean, Virginia, adalah tempat yang menyenangkan, percampuran unik antara dunia
politik dan gaya hidup pinggiran kota. Keluar dari Beltway, tidak jauh dari
markas CIA, berdiri Tysons Corner, salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan
termewah di Amerika. McLean tidak dikenal sebagai sebuah pusat permukiman
spiritual. Setidaknya bagi kebanyakan orang.
Maureen Paschal sama sekali tidak memikirkan masalah masalah sakral saat ia
mengendarai mobil Ford Taurus sewaannya memasuki jalan panjang hotel Ritz-
Carlton di McLean. Jadwal besok pagi sangat padat: bangun pagi-pagi untuk
sarapan sekaligus bertemu dengan Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur,
selanjutnya kemunculan di sebuah toko besar di Tysons Corner dan memberikan
tanda tangan untuk para pembeli buku di sana.
Setelah itu, sebagian besar waktu Sabtu siang dan sore menjadi miliknya sendiri.
Bagus. Ia akan pergi melihat-lihat, seperti yang biasa ia lakukan saat berada di
sebuah kota baru. Tak peduli seberapa kecil atau sesederhana apa pun kota itu, jika Maureen belum
pernah mengunjunginya, tempat itu pasti memiliki pesona. Maureen tidak pernah gagal
menemukan batu permata di mahkota, keistimewaan di setiap tempat kunjungan yang
menjadikannya unik. Besok, ia akan menemukan permata McLean.
Menginap di hotel bukan perkara sulit. Penerbitnya telah menangani semua urusan.
Maureen hanya perlu menanda tangani selembar formulir dan mengambil kuncinya.
Kemudian naik lift dan masuk ke kamarnya yang indah, tempat ia memuaskan
kebutuhannya menjaga kerapian dengan segera
membongkar koper dan mengamati tingkat kekusutan baju-bajunya.
Maureen menyukai hotel mewah. Semua orang pasti begitu, pikirnya, tapi ia
bertingkah seperti anak kecil saat berada di hotel mewah. Dengan teliti ia
mengamati perlengkapan kamar, isi kulkas kecil, baju kamar yang bersulam indah
di belakang pintu kamar mandi, dan tersenyum saat melihat telepon sambungan di
samping toilet. Ia bersumpah tak akan pernah terlalu lelah hingga tak bisa menikmati kesenangan-
kesenangan kecil ini. Barangkali tahuntahun saat ia harus berhemat, makan mi
instan Top Ramen, Pop Tarts, dan roti selai kacang, saat proyek risetnya
menguras sisa tabungannya, ternyata baik untuknya. Pengalaman pengalaman awal
itu membantunya menghargai hal-hal kecil yang mulai dianugerahkan kepadanya.
Ia melihat ke sekeliling ruangan yang luas dan merasa sedikit menyesal di luar
kesuksesannya sekarang, tak ada orang yang bisa dijadikannya tempat untuk
berbagi segala yang telah dicapainya. Ia sendirian, selalu
sendirian, dan mungkin akan terus sendirian...
Maureen segera berhenti mengasihani diri sendiri, dan menengok ke sumber hiburan
terampuh untuk mengalihkan pikirannya dari hal yang mengganggu itu. Beberapa
pusat perbelanjaan paling menarik di Amerika telah menunggu di luar pintu. Ia
mengambil tas, memastikan apakah kartu-kartu kreditnya ada di sana, lalu
melangkah keluar untuk merayakan kebudayaan Tysons Corner.
f Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur melangsungkan acara sarapan pagi di
sebuah aula konferensi Ritz-Carlton di McLean. Maureen mengenakan "seragam"
andalannya sebuah setelan jas bermerek yang konservatif, sepatu berhak tinggi,
dan sepercik Chanel No.S. Tiba di aula tepat pukul 9:00 pagi, ia menolak untuk
makan dan meminta secangkir teh Irlandia untuk sarapan. Makan sebelum sesi
tanyajawab bukan ide baik bagi Maureen karena akan membuatnya mual,
Maureen merasa tak segugup biasanya pagi ini karena moderator acaranya adalah
seorang teman, perempuan bernama Jenna Rosenberg. Maureen telah berkomunikasi
dengannya selama beberapa minggu untuk mempersiapkan diri. Dan yang paling
penting, Jenna menggemari karya Maureen dan bisa mengutip karyanya secara rinci.
Itu saja sudah membuat Maureen tenang. Lagi pula, acaranya diselenggarakan
secara sederhana dengan meja-meja kecil yang berkumpul menyatu sehingga tidak
memerlukan mikrofon. Jenna memulai sesi tanyajawab dengan sebuah pertanyaan sederhana tapi penting.
"Apa yang menginspirasikan Anda menulis buku ini?" Maureen menaruh gelas tehnya
dan menjawab. "Saya pernah membaca bahwa bukubuku sejarah a-wal Inggris diterjemahkan oleh
sebuah sekte biarawan yang tidak percaya bahwa perempuan memiliki jiwa. Mereka
menganggap kejahatan bersumber dari perempuan. Merekalah yang pertama kali mengubah legenda King
Arthur dan sesuatu yang kita anggap sebagai Camelot. Guinevere menjadi seorang
penyeleweng licik alih-alih seorang ratu pejuang yang penuh kuasa. Morgan le Fey
menjadi saudara perempuan Arthur yang
menjerumuskannya hingga melakukan inses, alih-alih seorang pemimpin spiritual
bangsa, sebagaimana yang disebutkan legenda awal.
"Pemahaman itu mengejutkan dan membuat saya bertanya: apakah tulisan-tulisan
sejarah lainnya yang menggambarkan perempuan juga didasari sudut pandang yang
sangat bias seperti ini" Perspektif semacam itu jelas telah meluas dalam
sejarah. Ini membuat saya memikirkan perempuanperempuan yang mungkin telah
mendapat perlakuan seperti itu. Dari sanalah riset saya berawal."
Jenna memberi kesempatan para peserta yang menempati meja-meja di sekeliling
mereka untuk mengajukan pertanyaan. Setelah beberapa tanyajawab tentang
literatur feminis dan isuisu kesetaraan dalam industri penerbitan, muncul sebuah
pertanyaan dari seorang perempuan muda yang mengenakan salib emas kecil di atas
blus sutranya. "Bagi kami yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional, bab mengenai Maria
Magdalena sangat membuka mata. Anda melukiskannya sebagai seorang perempuan yang
jauh dari kesan seorang pelacur yang melakukan pertobatan, jauh dari kesan seorang perempuan nista. Tapi saya masih belum yakin
apakah gambaran itu bisa dipercaya."
Maureen mengangguk paham sebelum memberikan jawaban. "Vatikan pun menyimpulkan
bahwa Maria Magdalena bukan seorang pelacur dan bahwa kita tidak seharusnya terus
mengajarkan kebohongan itu di sekolah Minggu. Sudah lebih dari tiga puluh tahun sejak
Vatikan mengumumkan secara formal bahwa Maria bukanlah seorang perempuan nista
seperti yang disebutkan dalam injil Lukas. Dan bahwa Paus Gregorius yang Agung
telah rnenciptakan cerita itu demi meneruskan tujuannya sendiri pada Masa
Kegelapan. Tapi opini publik selama dua rnilenia sulit dihapuskan.
Pengakuan Vatikan atas kesalahan yang mereka lakukan pada tahun 1960an terbukti
tidak lebih efektif dibandingkan penarikan berita yang dicantumkan di halaman
terakhir surat kabar. Jadi pada dasarnya Maria Magdalena menjadi pendahulu para
perempuan yang disalahpahami. Dialah perempuan penting pertama yang riwayatnya
diubah dan dirusak secara sengaja dan tidak tanggung-tanggung oleh para penulis
sejarah. Padahal dia pengikut Kristus yang taat, bahkan mungkin pantas dianggap sebagai
seorang rasul. Meski begitu, namanya nyaris tak pernah disebut dalam injil-
injil." Jena menyela, jelas terlihat sangat tertarik dengan topik itu. "Tapi sekarang
ada begitu banyak spekulasi tentang Maria Magdalena. Misalnya bahwa ia memiliki
hubungan yang sangat dekat dengan Kristus."
Perempuan yang mengenakan salib mengernyit, tapi Jenna melanjutkan. "Anda tidak
membahas isuisu ini dalam buku Anda, saya ingin tahu bagaimana pendapat Anda
mengenai teoriteori tersebut."
"Saya tidak membahasnya karena saya tidak percaya ada bukti-bukti yang mendukung
klaim-klaim itu banyak yang menarik dan kemungkinan mengandung harapan, tapi
tidak ada bukti. Para teolog setuju dengan pendapat ini. Yang pasti, sebagai
seorang penulis yang menghargai diri sendiri, tidak ada yang bisa saya dukung
sebagai fakta yang kemudian saya kutip dalam buku saya. Walaupun begitu, bisa
saya katakan bahwa ada beberapa dokumen otentik yang mengisyaratkan kemungkinan
adanya hubungan dekat antara Yesus dan Maria Magdalena. Sebuah injil yang ditemukan di
Mesir tahun 1945 mengatakan 'teman Juru Selamat adalah Maria Magdalena. Ia lebih mencintainya
dibandingkan seluruh murid, dan sering menciumnya di bibir.'
"Tentu saja, i n j i Ii n j i I ini dipertanyakan pihak Gereja dan, seperti yang
kita ketahui, bisa saja merupakan National Enquirer versi abad kesatu. Menurut
saya, kita harus berhati-hati dalam hal ini, karena itulah saya menulis hanya
yang saya yakini. Dan saya yakin, Maria Magdalena bukan seorang pelacur, ia
adalah pengikut Yesus yang penting. Bahkan kemungkinan yang paling penting,
karena dialah orang pertama yang dipilih sang Raja untuk melihat kehadiranNya
setelah dibangkitkan. Lebih dari itu, saya tidak mau mereka-reka perannya dalam
kehidupan Dia. Karena itu berarti tidak bertanggung jawab."
Maureen menjawab pertanyaan itu dengan hatihati, seperti biasanya. Tapi ia
selalu berspekulasi bahwa jatuhnya Maria Magdalena kemungkinan karena ia terlalu
dekat dengan sang Pemimpin, sehingga para murid lelaki merasa cemburu dan
kemudian berusaha merusak namanya. Berdasarkan
dokumendokumen abad ke-2 yang
ditemukan di Mesir itu, Santo Petrus mencela dan memarahi Maria Magdalena secara
terang-terangan. Dan dalam tulisan-tulisan Santo Paulus yang muncul belakangan, tampaknya ia
menghilangkan seluruh referensi tentang pentingnya perempuan dalam kehidupan
Kristus secara terencana.
Sebagai akibatnya, cukup banyak waktu riset Maureen yang tersita untuk memilah
doktrin yang terkait dengan Paulus. Paulus, murid yang berubah menjadi menjadi
sosok penganiaya, telah membentuk pemikiran Kristiani dengan
observasiobservasinya. Meskipun terbentang jarak yang sangat jauh secara
filosofis dan harfiah antara dia dengan Yesus dan para pengikut terpilih serta
keluarga sang Juru Selamat. Ia tidak memiliki pengetahuan langsung tentang
ajaranajaran Kristus. Seorang "murid" yang begitu membenci perempuan dan
manipulatif secara politik tidak mungkin mengukir nama Maria Magdalena sebagai
pelayan Kristus yang paling berbakti.
Maureen bertekad membela Maria. Ia memandangnya sebagai contoh terbaik bagi
perempuan yang terkucilkan dalam sejarah, seorang ibu yang disalahpahami. Pada
dasarnya, jika tidak pada bentuknya, kisah Magdalena terulang di kehidupan
perempuanperempuan lain yang telah dipilih Maureen untuk dibela dalam HerStory.
Tapi Maureen merasa penting untuk menjaga bab-bab mengenai Magdalena tetap
sedekat mungkin dengan teori akademis yang bisa dibuktikan. Sedikit saja
indikasi "new age"
atau hipotesis lain tentang hubungan Maria dengan Yesus yang tak terbuktikan,
berpotensi membatalkan isi riset selebihnya dan merusak Citranya. Ia tergolong
orang yang terlalu berhati-hati dalam hidup dan pekerjaannya
untuk mengambil risiko itu. Terlepas dari nalurinya, Maureen menolak semua teori
alternatif mengenai Maria Magdalena. Ia memilih berpegang kepada fakta-fakta
yang tak tergoyahkan. Tak lama setelah ia mengambil pilihan itu, mimpimimpi itu kembali datang dengan
kuat. f Tangan kanannya sudah pegal sekali dan senyuman nyaris absen dari wajahnya, tapi
Maureen terus bekerja. Kehadirannya di toko buku dijadwalkan berlangsung selama
dua jam, termasuk istirahat dua puluh menit. Tapi ia sudah memasuki jam ketiga
sekarang, tanpa mengambil istirahat, dan besikeras untuk terus memberi tanda
tangan sampai pelanggan terakhir merasa puas. Mauren tak akan pernah menolak
seorang pembaca. Ia tak akan meremehkan publik pembeli buku yang telah mengubah
impiannya menjadi kenyataan.
Ia sangat bersyukur melihat banyaknya jumlah lelaki di antara kerumunan hari
ini. Topik permasalahan yang ia angkat mengindikasikan kalangan pembacanya kebanyakan
perempuan. Tapi ia berharap cara penulisannya akan memikat semua orang yang
memiliki pikiran terbuka dan akal sehat.
Tujuan utamanya menulis buku itu adalah membalas perlakuan keliru para sejarawan
pria terhadap perempuanperempuan kuat. Meskipun demikian, risetnya menunjukkan
bahwa motivasi di balik pengungkapan sejarah ke atas kertas dengan cara yang
begitu pilih bulu sebagian besar bersifat politis dan agamis. Gender menempati
urutan kedua. Maureen telah menjelaskan hal ini dalam sebuah
penampilan di televisi baru-baru ini. Ia menggambarkan Marie Antoinette sebagai
sebuah contoh yang mungkin paling jelas bagi teori sosio-politik itu karena
kebanyakan tulisan tentang Revolusi Prancis ditulis oleh para revolusioner.
Sedangkan sang ratu yang terkekang, secara umum dipersalahkan lantaran gaya
hidup keluarga kerajaan Prancis yang berlebihan. Padahal ia benarbenar tidak
tersangkut paut dengan munculnya tradisi tersebut. Bahkan sebenarnya Marie
Antoinette mewarisi caracara bangsawan Prancis ketika ia datang dari Austria
sebagai tunangan putra sulung raja, yang kelak menjadi Louis XVI. Meskipun ia
sendiri adalah anak perempuan Maria Theresa yang agung,
permaisuri Austria tersebut tidaklah terbiasa dengan kemewahan dan kemanjaan
kerajaan. Malahan, ia terbilang kejam dan pelit untuk seorang perempuan dengan
status seperti dia. Ia membesarkan anakanak perempuannya, termasuk Antoinette
yang masih kecil, dengan sangat tegas. Sang pewaris tahta yang masih belia
tentunya terpaksa beradaptasi dengan kebiasaan Prancis secepat mungkin demi
bertahan hidup. Istana Versailles, monumen yang menunjukkan kemegahan Prancis, telah dibangun
beberapa dasawarsa sebelum Marie Antoinette lahir. Meskipun demikian, bangunan itu
menjadi monumen penting legenda keserakahan Marie. Balasan terkenal atas ucapan
"Rakyat jelata kelaparan mereka tidak punya roti untuk dimakan" sesungguhnya
diucapkan seorang gundik kerajaan, seorang
perempuan yang telah lama mati, bahkan sebelum perempuan muda Austria ini tiba
di Paris. Tapi sampai hari ini, kalimat "Biarkan mereka makan kue" disebut
sebagai biang keladi meledaknya revolusi. Dengan satu kalimat itu, Pemerintahan
Teror dan semua pertumpahan darah dan
kejahatan yang menyusul jatuhnya Bastille menjadi terjustifikasi.
Padahal Marie Antoinette yang bernasib tragis tak pernah mengucapkan kalimat
berdarah itu. Maureen sangat bersimpati dengan ratu Prancis yang bernasib buruk itu. Dibenci
sebagai seorang asing sejak hari kedatangannya, Marie Antoinette adalah korban
rasisme yang kejam dan terarah.
Sangat mudah bagi para bangsawan Prancis abad ke-18 yang sangat etnosentrik
untuk menghubungkan segala keadaan politik dan sosial yang negatif dengan ratu
mereka yang lahir di Austria itu. Maureen sangat terkejut dengan sikap ini saat
kujungan risetnya ke Prancis. Pemandu wisata di Versailles yang berbicara dalam
bahasa Inggris masih memberi penjelasan sangat kejam tentang sang anggota
kerajaan yang dipenggal. Bukti sejarah yang membersihkan Marie Antoinette dari
banyak perbuatan perbuatan keji yang dituduhkan kepadanya tak digubris. Dan
semua ini masih di luar dari kenyataan bahwa sang ratu telah dipenggal secara
brutal dua ratus tahun lalu.
Kunjungan pertama ke Versailles memberi Maureen semangat dalam melakukan riset.
Telah begitu banyak buku yang ia baca, mulai dari deskripsi paling akademis
tentang Prancis pada abad ke-18
sampai novel-novel panjang yang menawarkan perspektif tentang ratu yang satu
ini. Gambaran keseluruhannya bervariatif, tapi tidak terlalu dramatis
dibandingkan karikatur yang telah luas diterima. Yakni, bahwa ia perempuan yang
dangkal, senang memanjakan diri, dan tidak terlalu pandai.
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maureen menolak potret ini. Bagaimana dengan Marie Antoinette sebagai seorang
ibu seorang perempuan yang berduka dengan kematian bayi perempuannya, dan
kemudian harus kehilangan anak lelaki kesayangannya pula" Dan ada Marie sebagai
seorang istri, yang ditukar bak sebuah barang pada meja catur politik yang
terkenal. Seorang anak perempuan berumur empat belas tahun yang dikawinkan
dengan seorang asing di sebuah tanah antah berantah lalu ditolak oleh keluarga
sang lelaki, dan kemudian juga oleh bawahan-bawahannya. Dan terakhir, ada Marie
sang kambing hitam, seorang perempuan yang menunggu dalam kurungan sementara
orangorang yang sangat dicintainya dibantai atas namanya sendiri. Sahabat karib
Marie, Puteri Lamballe, benarbenar dicabik-cabik hingga tubuhnya hancur oleh
pemberontak. Potongan badannya dan cabikan yang lain ditusuk dengan sebatang
tombak lalu dipertontonkan melewati jendela sel Marie.
Maureen telah bertekad untuk memberikan gambaran yang bersimpati, namun tetap
realistis, terhadap salah satu anggota kerajaan yang paling dibenci sepanjang
sejarah ini. Hasilnya sungguh luar biasa.
Salah satu bagian dalam HerStory karyanya mendapat perhatian besar dan
mengundang perdebatan. Tapi dari begitu banyak kontroversi tentang Marie, ia tetap menempati urutan
kedua setelah Maria Magdalena. Maureen sedang membicarakan daya tarik
supranatural Maria Magdalena dengan
seseorang berambut pirang yang berdiri di hadapannya.
"Tahukah Anda bahwa McLean dianggap sebagai sebuah tempat suci bagi para
pengikut Maria Magdalena?" tanya perempuan itu tibatiba.
Maureen membuka mulut untuk berbicara lalu menutupnya lagi sebelum berhasil
mengatakan, "Tidak, saya tidak tahu apa pun tentang hal itu." Itu dia lagi,
getaran listrik yang menyengatnya setiap kali ada hal aneh di sekitarnya.
Maureen dapat merasakannya datang lagi, bahkan di sini, di bawah sorotan lampu neon di sebuah
pusat perbelanjaan Amerika. Maureen menguatkan diri dengan menarik napas dalam-
dalam. "Oke, saya menyerah.
Bagaimana McLean, Virginia, memiliki keterkaitan dengan Maria Magdalena?"
Perempuan itu menyodorkan sebuah kartu bisnis kepada Maureen. "Saya tidak tahu
apakah Anda memiliki waktu luang selama berada di sini. Tapi jika ada, silakan
datang menemui saya." Kartu bisnis itu bertuliskan "Toko buku Cahaya Suci,
Rachel Martel, pemilik".
"Tokonya jauh dibandingkan ini, tentu saja," kata perempuan yang Maureen kira
adalah Rachel, menunjuk ke toko buku sangat besar tempat mereka berada. "Tapi
saya pikir, kami memiliki beberapa buku yang mungkin sangat menarik bagi Anda.
Ditulis oleh penduduk lokal dan diterbitkan sendiri.
Tentang Maria. Maria kita."
Maureen menelan ludah lagi, menegaskan apakah perempuan itu benar Rachel Martel,
lalu menanyakan alamat Cahaya Suci.
Samar terdengar suara batuk di sebelah kiri Maureen, ia mendongak dan
mendapatkan sang manajer toko buku memberi isyarat bahwa antrean harus terus
berjalan. Maureen melotot ke pria itu sebelum kembali ke Rachel.
"Apakah Anda akan berada di sana sore ini" Waktu luang saya hanya sore ini."
"Tentu saya ada di sana. Letak toko kami hanya masuk beberapa mil dari jalan
utama. McLean tidak begitu besar. Anda akan mudah menemukannya. Telepon saya
sebelum Anda pergi jika Anda
memerlukan panduan. Terima kasih untuk tanda tangannya, dan saya berharap
bertemu Anda nanti."
Saat memerhatikan perempuan itu berlalu dari mejanya, Maureen melirik manajer
toko. "Lagi pula, rasanya aku perlu beristirahat," katanya pelan.
Paris (Kota Administratif Pertama) Caveau des Mousqtietaires Maret 2005
Ruang batu bawah tanah yang tak berjendela di sebuah gedung kuno itu telah
dikenal sebagai Caveau des Mousquetaires selama orang bisa mengingat. Ketika
Louvre masih menjadi tempat tinggal raja-raja Prancis, lokasinya yang dekat
dengan museum itu menjadikannya tempat yang strategis, dan masih begitu hingga
zaman modern ini. Suatu tempat tersembunyi dalam bangunan itu menjadi terkenal
berkat karya Alexandre Dumas. Para jagoan di dalam novel Dumas diilhami
tokohtokoh sungguhan yang menjalani misi sungguhan pula. Ruangan ini adalah
tempat pertemuan rahasia pengawal ratu setelah Kardinal Richelieu yang sadis
memaksa mereka untuk menyingkir. Dalam kenyataannya, para Musketeer itu tidak
bersumpah demi melindungi Raja Prancis Louis XIII, tapi justru sang ratu. Anne
dari Austria adalah anak perempuan dari keturunan yang jauh lebih tua dan agung
dibandingkan suaminya. Dumas pasti akan gemetar dalam kuburnya jika tahu bahwa tempat yang dulunya suci
ini telah jatuh ke tangan musuh. Pada malam ini, ruangan bak gua itu menjadi
tempat pertemuan suatu perkumpulan rahasia yang lain. Organisasi yang sedang
menempatinya bukan saja 1500 tahun lebih tua dari para Musketeer, tapi juga
menentang misi mereka dengan sebuah ikrar sumpah mati.
Diterangi dua puluh empat lilin, bayangan-bayangan menari di dinding,
memantulkan warna dan siluet sekumpulan lelaki berjubah. Mereka berdiri
mengelilingi sebuah meja kotak yang telah usang.
Meskipun wajah mereka tak bisa dikenali dalam cahaya remang-remang, logo
Persekutuan mereka yang khas jelas terlihat pada pakaian mereka masingmasing
seuntai pita merah yang terikat erat di leher. Terdengar suarasuara pelan dalam
berbagai aksen: Inggris, Prancis, Italia, dan Amerika. Dan suara itu berhenti
begitu pemimpin mereka menempati kursinya di ujung meja. Di hadapannya, sebuah
tengkorak manusia yang mengilap, ditaruh di atas sebuah piring berlapis emas,
bersinar ditimpa cahaya lilin. Di satu sisi tengkorak terdapat sebuah gelas
anggur, berhiaskan lingkaran lingkaran emas dan bertatahkan batubatu permata
seperti yang terdapat di piring. Di sisi lain tengkorak, berdiri sebuah salib
berpatung Yesus hasil pahatan tangan, wajah Kristus menunduk.
Sang pemimpin menyentuh tengkorak itu dengan penuh hormat sebelum mengangkat
gelas emas berisi cairan merah. Ia berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Oxford.
"Darah sang Guru Keadilan."
Ia meneguk perlahan sebelum memberikan gelas itu ke lelaki di sebelah kirinya.
Lelaki itu mengambil gelas dengan sebuah anggukan, mengulangi moto itu dalam
bahasa Prancis, lalu meneguknya. Setiap anggota Persekutuan megulang ritual ini,
mengucap moto dalam bahasanya masingmasing, sampai gelas itu kembali ke ujung
meja. Sang pemimpin perlahan meletakkan gelas itu di
depannya. Kemudian ia mengangkat piring dan mengecup tengkorak itu dengan hormat
pada tulang alisnya. Sama seperti gelas tadi, ia menyodorkan tengkorak itu ke
sebelah kiri dan setiap anggota perkumpulan mengulangi tindakan yang ia lakukan.
Ritual ini dilakukan dalam keheningan, seolah terlalu suci untuk dinodai
katakata. Selesai dikelilingkan di antara para penyembah, tengkorak itu berakhir di tangan
sang pemimpin. Ia mengangkat piring itu tinggi-tinggi sebelum mengembalikannya
ke atas meja dengan bangga sambil mengucapkan, "Yang pertama. Satusatunya."
Sang pemimpin berhenti sejenak, lalu mengangkat salib kayu itu. Kemudian salib
itu diputar sehingga patung Yesus menghadapnya lalu ia meludahi muka Yesus
Kristus dengan penuh kebencian.
...Sarah-lamar string dalang dan membaca keaangan-kenanganku sementara aku
menulis, la mengingatkan bah ita aku beltunmenjelaskanperilial Petrus dan sesuatu yang
diketahui sebagai pengingkarannya.
Sehgianmngnrnilaiburiikdirinyadan menjulukinya Prtrus in Gallkantu Petnisyang
mengingkari. Tapi pandangan ini tidak adil. Ada sesuatu yang tidak bisa
diketahui okh mereka yang berpandangan seperti ini. yaitu bahwa fctrvs tidak
melakukan apa pun selain memenuhi keinginan Easa. Aku mendengar beberapa orang
di antara pengikut sekarang mengatakan bahwa frtrus memenuhi nubuat Easa. Bahwa
Easa berkata ke Petrus. "Kauakan mengingkariku, " dan Petrus berkala, 'Tidak,
aku tidak akan melakukannya. "
Inilah yang sebenarnya. Easamtnyvruh Petrusmengingkar inya. Ini bukanlah sebuah
nubuat Akan Mapi sebuah perinlah Easa tahu bahwa jika lial terburuk terjadi, ia
akan membutuhkan Rtrus. di antara sehmih murid yang paling dipercayainya, untuk
menjaga keselamatan. Dengan kegigihan Petrus.
ajaranajaran itu akan terus menyebar ke seluruh penjuru dunia seperti yang
selalu dimimpikan Easa. Dan kemudian Easa berkata kepadanya. ~Kau akan mengingkariku, 'tapi dengan
kepedihannya. Petrus berkata. 'Tidak, aku tidak bisa."
Tapi Easa melanjutkan. 'Kau harus nrngingkariku agar kau bisa selamat dan
ajaranajaran JalanNya akan berlanjut.'
Inilah kebenaran dari 'pengingkaran ' Petrus Sebenarnya bukanlah sebuah
pengingkaran, karena ia mematuhi perintah-perintah gurunya. Aku yakin akan hal
ini. karena aku berada di sana dan aku menyaksikan.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID
Empat McLean, Virginia Maret 2005
Detak jantung Maureen berdegup luar biasa cepat saat ia mengendarai mobilnya
melewati jalan utama di McLean. Ia sungguh tak siap memenuhi undangan aneh dari
Rachel Martel. Tapi pada saat yang sama, ia juga sangat tergetar karenanya.
Selalu seperti ini. Hidupnya terhubung dengan
kejadiankejadian aneh dan kadang mendebarkan. Kejadiankejadian tak terduga yang
akan memengaruhi hidupnya untuk selamanya. Akankah peristiwa ini menambah deretan
peristiwa supranatural itu" Maureen terutama penasaran, informasi apa, menyangkut Maria,
yang akan ia dapatkan. Penasaran" Bukan kata yang cukup kuat. Terobsesi" Lebih
tepat. Hubungannya dengan legenda Maria Magdalena telah menjadi kekuatan dominan dalam
kehidupannya sejak ia memulai risetnya untuk HerStory. Sejak visi pertama di
Yerusalem, Maureen mendapat sebuah kesan nyata tentang Maria Magdalena sebagai
seorang perempuan yang riil. Bahkan hampir seperti seorang teman. Saat
mengerjakan draf terakhir bukunya, Maureen merasa seolah-olah sedang berjuang
demi seorang teman yang telah dilecehkan oleh pers. Hubungannya dengan Maria sangat nyata. Atau mungkin
lebih tepatnya, di luar batas nyata.
Toko buku Cahaya Suci berukuran kecil, meskipun di depannya ada jendela besar
yang menjorok keluar, menampilkan malaikat-malaikat dalam segala deskripsi dan
praktis dalam segala bahan. Ada bukubuku tentang malaikat, patung-patung
malaikat, dan banyak kristal-kristal berkilau dikelilingi karya seni trendi yang
menggambarkan malaikat, dipajang di jendela itu. Maureen merasa Rachel sendiri
berpenampilan agak seperti malaikat: sedikit gemuk dengan rambut keriting yang
sangat pirang mengelilingi sebuah paras manis. Bahkan saat penandatanganan buku
tadi siang, ia menggunakan pakaian atas-bawah dari bahan putih tipis yang melayang.
Gemerincing lonceng mengumumkan kedatangan Maureen saat ia membuka pintu dan
melangkah memasuki versi lebih besar jendela yang memajang bukubuku tadi. Rachel Martel
sedang menunduk di belakang meja pajang, mengaduk-aduk isi suatu kotak untuk
menemukan perhiasan yang pas untuk seorang pelanggan. "Yang ini?" tanyanya
kepada seorang gadis muda, mungkin delapan belas atau sembilan belas tahun.
"Ya itu dia." Gadis itu mengulurkan tangan untuk mengamati ujung kristal, sebuah
batu ungu yang terpasang pada perak. "Ini amethyst, 'kan?"
"Sebenarnya ametrine," koreksi Rachel. Ia baru sadar Maureenlah yang membunyikan
lonceng di pintunya. Rachel tersenyum sekilas yang mengatakan "aku akan segera
bersamamu", sebelum melanjutkan percakapan dengan pelanggannya. "Ametrine adalah amethyst yang
mengandung sitrin. Coba, jika kau angkat di depan lampu, kau bisa melihat emas
cantik di tengahnya."
Pelanggan remaja itu menerawang batu kristal itu ke hadapan cahaya. "Cantik
sekali," serunya. "Tapi aku diberi tahu bahwa yang aku perlukan adalah amethyst.
Apakah ini fungsinya sama?"
"Ya, bahkan lebih," senyum Rachel dengan sabar. "Amethyst dipercaya dapat
memperluas alam spiritualmu, dan sitrin bagus untuk menyeimbangkan emosi dalam
raga. Secara keseluruhan, batu ini sebuah kombinasi yang ampuh. Tapi aku punya
amethyst murni di sebelah sini, kalau kau mau."
Maureen hanya setengah-setengah mendengarkan perbincangan itu. Ia jauh lebih
tertarik dengan bukubuku yang telah diceritakan Rachel. Rak-rak buku tampaknya
disusun menurut topik, Maureen menelusurinya dengan cepat. Ada bukubuku tentang
Penduduk Asli Amerika, ada pula seksi Celtici yang mungkin akan diamatinya lain
hari, dan ada seksi malaikat sesuatu yang banyak terlihat di ruangan ini.
Di sebelah kanan seksi ini adalah bukubuku tentang pemikiran Kristen. Aha, aku
pasti sudah dekat. Maureen terus mencari dan berhenti tibatiba. Di sana ada sebuah buku besar warna
putih dengan huruf tebal hitam MAGDALENA.
"Tampaknya kau sudah berhasil menemukannya tanpa bantuanku!"
Maureen melonjak kaget, tak mendengar kedatangan Rachel dari belakangnya.
Pelanggan muda itu membuat lonceng pintu berbunyi saat ia keluar dari toko,
1 Rumpun bahasa yang digunakan penduduk Inggris, Wales, Irlandia barat, dan
Dataran tinggi Skotlandia.
tangannya menggenggam tas kecil warna biru dan putih berisi kristal pilihannya.
"Ini salah satu di antara bukubuku yang aku ceritakan padamu. Bukubuku lainnya
lebih tipis. Ini, menurutku kau harus melihat yang satu ini."
Rachel mengambil sebuah buku tipis, tidak lebih tebal dibandingkan sebuah
pamflet, dari lemari setinggi mata. Sampulnya merah muda dan kelihatannya
dicetak dengan komputer rumahan. Mary in McLean, judulnya, tertulis dalam Times
New Roman, 24 poin. "Maria yang mana ini?" tanya Maureen. Saat menulis bukunya, ia telah menelusuri
sejumlah publikasi yang ternyata merujuk ke Bunda Maria, bukan Magdalena.
"Mariamu," kata Rachel sambil tersenyum penuh arti.
Maureen setengah tersenyum ke perempuan itu. Memang, Mariaku, la mulai merasa
seperti itu. "Tak perlu dijelaskan lagi, karena ditulis oleh seorang penduduk lokal.
Komunitas spiritual di Mclean tahu buku ini tentang Maria Magdalena. Seperti
yang telah aku katakan sebelumnya, dia memiliki pengikutnya sendiri di sini."
Rachel kemudian menjelaskan bahwa selama beberapa generasi, penduduk kota kecil
di Virginia ini telah melaporkan visivisi spiritual. "Yesus terlihat di sini
dalam hampir seratus kejadian yang terdokumentasi pada abad terakhir. Anehnya,
Ia sering terlihat berdiri di sisi jalan jalan utama yang kau lalui untuk sampai
ke sini. Beberapa di antara visi itu berupa Yesus yang mengemban salib, juga
terlihat di jalan utama. Ada juga yang mengatakan visi itu berupa Yesus yang
berjalan dengan seorang perempuan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa perempuan
itu bertubuh mungil dan berambut panjang."
Rachel membolak-balik buku itu, menunjukkan berbagai bab. "Visi pertama
didokumentasikan pada awal abad ke-20. Perempuan yang melihat visi itu adalah
Gwendolyn Maddox. Peristiwa itu terjadi di halaman belakangnya, di antara tempat
tempat lain. Ia yakin bahwa perempuan yang bersama Kristus adalah Maria
Magdalena, sementara pendeta gerejanya besikeras bahwa perempuan itu adalah
Perawan Maria. Memang, kita akan mendapat nilai lebih dari Vatikankalau kita
melihat Dia. Tapi Gwen tua itu berkeras bahwa yang dilihatnya itu Maria
Magdalena. Ia mengatakan tak tahu bagaimana ia tahu, ia tahu saja. Dan Gwen juga
mengatakan bahwa visi itu telah menyembuhkannya dari penyakit artritis rematoid
yang parah. Itulah sebabnya ia membuat tempat persembahan dan membuka
halamannya untuk publik. Sampai hari ini, penduduk lokal berdoa kepada Maria
Magdalena untuk mendapat kesembuhan.
"Yang juga menarik, tak ada keturunan Gwen yang menderita artritis rematoid,
padahal sepengetahuanku penyakit itu menurun. Aku merasa sangat bersyukur, sama seperti
ibu dan nenekku. Aku adalah cicit Gwen dolyn."
Maureen melihat buku di tangannya. Ia tidak membaca tulisan kecil di bagian
bawah pamflet itu tadi. Oleh: Rachel Maddox Martel.
Rachel menyerahkan buku itu ke Maureen. "Hadiah untukmu. Tulisan ini
menceritakan kisah Gwen, dan beberapa uraian tentang visivisi itu. Sekarang buku
yang satu ini" Rachel menunjuk buku besar warna putih dengan judul tebal warna
hitam MAGDALENA"\n\ juga ditulis oleh penduduk McLean.
Penulisnya cukup banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari visivisi Maria
Magdalena di wilayah ini. Selain itu ia juga banyak melakukan riset. Buku ini
membahas teoriteori tentang Magdalena. Jika boleh aku katakan, beberapa di
antaranya terlalu aneh, bahkan bagiku sendiri. Tapi bacaan ini menakjubkan, kau
tak akan menemukannya di tempat lain karena buku ini tidak
disebarluaskan."
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan aku ambil, pasti," Maureen sedikit melamun. Pikirannya melayang ke tempat
lain secara bersamaan. "Menurutmu, kenapa McLean" Maksudku, di antara semua
tempat di Amerika, kenapa ia datang ke sini?"
Rachel tersenyum dan mengangkat bahunya sedikit. "Aku tidak mempunyai jawaban
untuk itu. Barangkali peristiwa seperti ini juga terjadi di tempattempat lain di Amerika,
tapi mereka hanya menyimpannya. Atau mungkin tempat ini memiliki keistimewaan.
Yang aku tahu, orangorang yang memiliki minat spiritual terhadap kehidupan Maria
Magdalena cepat atau lambat cenderung datang ke McLean. Tak bisa aku katakan,
betapa banyak orang yang datang ke toko ini mencari bukubuku khusus tentang dia.
Dan sepertimu, sebelumnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mereka sadari
tentang keterkaitan Magdalena di kota ini. Tak mungkin hanya kebetulan, bukan"
Aku percaya Maria menarik\ pengikutnya ke sini, ke McLean."
Maureen memikirkan hal itu sejenak sebelum menjawab. "Kautahu...," ia memulai
perlahan, masih mengatur pikirannya. "Saat merencanakan perjalanan ini, semula
aku berniat menginap di D.C. Ada seorang teman baik di sana, dan lebih mudah
berkendara ke McLean untuk penandatanganan buku dari sana. Urusan penerbangan
pun membuatku memilih D.C, tapi pada menit terakhir, aku memutuskan untuk
menginap di sini." Rachel tersenyum selama mendengarkan Maureen menjelaskan perubahan rencana
perjalanannya. "Lihat. Maria membawamu ke sini. Berjanjilah padaku, jika kau melihatnya saat
mengemudikan mobil di McLean ini, jangan lupa menelepon dan menceritakannya
padaku." "Apakah kau pernah melihatnya?" Maureen harus
tahu. Rachel mengetuk buku tipis merah muda di tangan Maureen dengan ujung kukunya.
"Ya, dan buku ini sebenarnya adalah sebuah penjelasan bagaimana visivisi itu
diturunkan dalam keluargaku," jelasnya dengan nada yang begitu wajar. "Yang
pertama kali, aku masih sangat muda. Empat atau lima tahun, mungkin. Di kebun
nenekku, di tempat pemujaan itu. Maria sedang sendiri pertama kali aku
melihatnya. Visi kedua terjadi saat aku remaja. Di suatu 'pinggiran jalan,' itu
julukan yang kami berikan. Dan Maria terlihat bersama Yesus. Sangat aneh. Aku
berada dalam mobil yang penuh dengan anakanak perempuan, kami dalam perjalanan
pulang dari pertandingan sepak bola sekolah. Waktu itu Jumat malam. Kakak
perempuanku, Judith, yang mengemudikan mobil. Di belokan, kami melihat seorang
lelaki dan perempuan berjalan ke arah kami. Judy memperlambat mobil untuk
melihat apakah mereka memerlukan bantuan. Saat itulah kami sadar siapa mereka
sebenarnya. Mereka hanya berdiri di sana, membeku dalam waktu, tapi ada seberkas
sinar yang mengelilingi mereka.
"Judy sangat tersentuh dengan pemandangan ini dan mulai menangis. Lalu anak
perempuan yang di duduk di sampingnya, di kursi depan, menanyakan mengapa kami
berhenti. Ternyata tak ada yang melihat mereka selain aku dan kakakku.
"Sudah lama aku bertanya-tanya apakah genetika ada hubungannya dengan visivisi
itu. Banyak anggota keluargaku yang mengalaminya. Aku sendiri memiliki bukti
nyata bahwa kami dapat melihat visi yang tidak dilihat orang lain. Tapi aku
masih belum tahu apa sebabnya, sungguh. Tentu ada juga orang orang di McLean
sini yang tidak memiliki hubungan darah denganku, yang juga mengalami visivisi
itu." "Apakah semua visi itu dilihat oleh perempuan?"
"Oh, ya, aku lupa bagian itu. Sepengetahuanku, kapan pun Maria terlihat sendiri,
ia terlihat oleh seorang perempuan. Jika ia muncul bersama Yesus, ia terlihat
baik oleh lelaki maupun perempuan.
Tapi tetap saja, perempuan yang lebih sering melihatnya. Atau barangkali lelaki
melihatnya, tapi mereka cenderung tidak menceritakannya."
"Begitu." Maureen mengangguk. "Rachel, seberapa jelaskah kau melihat Maria"
Maksudku, dapatkah kau menjelaskan bagaimana wajahnya secara mendetail?"
Rachel terus tersenyum penuh arti yang secara a-neh membuat Maureen merasa
nyaman. Berbincang-bincang tentang visi seolah itu adalah hal paling lumrah di
dunia membuat Maureen merasa sangat aman. Setidaknya jika ia ternyata gila, ia
bersama seorang teman yang menyenangkan.
"Aku bisa lebih dari sekadar menjelaskan. Mari ke sini."
Rachel menggandeng tangan Maureen dengan lembut dan menuntunnya ke belakang
toko. Ia menunjuk ke dinding di belakang mesin kasir, tapi mata Maureen sudah menemukan
potret itu lebih dulu. Sebuah lukisan minyak, fokusnya adalah seorang perempuan
berambut merah - kecokelatan dengan wajah yang sangat indah dan mata cokelat yang paling luar
biasa. Rachel mengamati reaksi Maureen dengan seksama, dan menantinya berbicara. Ia
harus menunggu lama. Maureen membisu.
Rachel menggumam perlahan, "Aku tahu, kalian berdua telah bertemu sebelumnya."
f Seterkesimanya Maureen melihat wajah dalam pigura itu, ia lebih kaget lagi
dengan peristiwa yang terjadi selanjutnya. Setelah keterkejutan pertama ini, ia
mulai gemetar sebelum isaknya pecah Ia berdiri di sana dan menangis selama satu
menit, mungkin dua. Isakan itu mengguncang tubuh mungilnya selama beberapa detik
sebelum menjadi tangisan pelan. Ia merasakan sebuah kesedihan yang sangat buruk,
sebuah penderitaan yang sangat dalam dan menyakitkan, tapi ia tak yakin bahwa
kesedihan itu adalah miliknya sendiri. Seolah ia sedang mengalami penderitaan
perempuan di dalam potret itu. Namun kepedihan itu lalu berganti. Setelah reaksi
awal, tangisan Maureen lebih merupakan tangisan lega, dan ia pasrah di dalamnya.
Lukisan minyak itu mencerminkan sebuah validasi, membuat perempuan dalam mimpi
itu menjadi nyata. Perempuan dalam mimpi, yang ternyata adalah Maria Magdalena.
f Rachel berbaik hati dengan merebuskan teh herbal di ruang belakang toko. Ia
membiarkan Maureen duduk di gudang kecil untuk memberikan privasi. Sepasang
muda-mudi memasuki toko untuk mencari bukubuku astrologi, dan Rachel
meninggalkan Maureen untuk membantu mereka. Maureen duduk di sebuah meja kecil
di belakang, menyesap teh kamomil, dan berharap pernyataan di kotak teh,
"menenangkan saraf, bukan sekadar tipuan iklan.
Selesai dengan transaksi di toko depan, Rachel kembali ke belakang untuk
menengok Maureen. "Apakah kau baikbaik saja?"
Maureen mengangguk dan kembali menyesap teh, "Sekarang baik, terima kasih.
Rachel, aku sungguh minta maaf atas kelakuanku, aku cuma, ...apakah kau yang
Pemisahan Separation 2 Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Tabir Delapan Mayat 2
A Novel by KATHLEEN McGOWAN
The Expected One Diterjemahkan dari The Expected One karya Kathleen McGowan Copyright " 2006,
Kathleen McGowan Hak cipta dilindungi undang-undang AU rights reserved Hak terjemahan ke dalam
Bahasa Indonesia ada pada UFUK Press
Pewajah Sampul: Expertoha Studio Pewajah Isi: Ahmad Bisri Penerjemah: Leinovar
Bahfeyn dan Lusia Nurdin Penyunting: Leinovar Bahfeyn
Cetakan I: Februari 2007 ISBN: 979-1238-26-X UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21-7976587, 79192866 Homepage:
www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email : info@ufukpress.com
Buku ini dipersembahkan kepada
Maria Magda/ena, sumber inspirasiku, leluhurku;
Peter McGowan, tiang kehidupanku; Orangtuaku, Donna dan Joe,
untuk kasih tak bersyarat dan genetika yang menarik; Dan kepada pangeran Grail
kami, Patrick, Conor, dan Shane,
untuk cinta, canda, dan inspirasi yang senantiasa mereka curahkan ke dalam
kehidupan kami Kepada sang perempuan terpilih dan anakanaknya, yang aku cintai
daiam kebenaran; dan bukan hanya aku, tapi juga semua yang mengetahui kebenaran;
karena kebenaranlah yang hidup di daiam diri kita dan akan bersama kita
selamanya. 2 John 1-2 Prolog ~ 15 Satu - 19 Dua "- 41 Tiga ?"" 61 Empat ~ 77 Lima 93 Enam 119 Tujuh
151 Delapan - 197 Sembilan 211 Sepuluh 241 Sebelas 267 Dua belas *> 305 Tiga Belas 337 Empat
Belas 365 Lima Belas - 383 Enam Belas - 401 Tujuh Belas ~ 413
Daftar Isi Delapan Belas ~ 483 Sembilan Belas *" 503 Dua Puluh ~ 591 Dua Puluh Satu ** 629
Dua Puluh Dua " 633 Penutup ** 637 Persembahan ~ 653
Expected One A Novel KATHLEEN McGOWAN UFUK Prolog Gait" Selatan Tahun 72
Tidak banyak waktu yang tersisa.
Perempuan tua itu menarik kerudung lusuh ke pundaknya. Tahun ini musim gugur
akan datang lebih cepat di pegunungan merah. Ini ia rasakan hingga ke sumsum
tulang. Perlahan dan hatihati diregangkannya jari jemarinya, berharap sendi yang
rematik itu melemas. Tangannya tak boleh membuatnya kecewa sekarang. Tidak
ketika begitu banyak yang ia pertaruhkan. Ia harus
menyelesaikan tulisan itu malam ini. Sebentar lagi Tamar akan datang membawa
toples-toples, dan semua harus siap.
Ia mengizinkan dirinya menghela napas panjang nan berat.
Aku sudah lelah sejak lama. Teramat, sangat lama. Ia tahu, pekerjaan yang tengah
ia lakoni adalah tugas terakhirnya di dunia. Kenangan yang ia ingat-ingat selama
beberapa hari terakhir telah menguras seluruh sisa hidup tubuh keriputnya.
Tulang belulang tuanya sarat dengan
kesedihan yang tak terbilang dan kepenatan yang dirasakan mereka yang ditinggal
mati oleh orangorang yang mereka cintai. Tuhan banyak memberinya cobaan, cobaan
yang pedih. Hanya Tamar, anak perempuan semata wayangnya dan anak terakhirnya yang hidup,
yang tersisa bersamanya. Tamar adalah rahmatnya, sepercik cahaya di antara saat
tergelap ketika ingatan yang lebih menakutkan dibandingkan mimpi buruk enggan
dijinakkan. Sekarang putrinya adalah satu di antara dua yang selamat dari Masa
Besar. Meski ia hanya seorang bocah kecil ketika mereka semua melakoni peran
masingmasing dalam sejarah kehidupan. Namun, tahu bahwa ada seseorang yang masih
hidup, yang ingat dan mengerti, tetaplah melegakan.
Vang lainnya telah pergi. Kebanyakan mati, menjadi martir lantaran manusia dan
cara yang terlalu brutal untuk bisa ditanggung. Beberapa lagi barangkali masih
hidup, tercerai-berai di berbagai penjuru bumi. Ia takkan pernah tahu.
Bertahuntahun telah berlalu semenjak ia mendengar kabar dari yang lain.
Namun ia tetap mendoakan mereka. Ia berdoa sejak terbit matahari hingga
terbenamnya pada masa-masa kala ingatannya sangat tajam. Dengan segenap hati dan
jiwa, ia berharap mereka menemukan kedamaian dan tidak membebaninya siksaan
beribu-ribu malam tanpa mampu memejamkan mata.
Ya, Tamarlah satusatunya tempat ia berlindung di tahun tahun terakhir ini. Anak
perempuan itu masih terlalu muda untuk mengingat detail-detail mengerikan di
Masa Kegelapan. Tapi ia cukup dewasa untuk mengingat keindahan dan keanggunan
orangorang yang dipilih Tuhan untuk menjalani jalan suciNya. Mempersembahkan
hidup untuk mengenang orangorang terpilih menjadikan perjalanan Tamar murni
dengan pengabdian dan kasih. Pengabdian anak perempuan itu yang semata-mata demi
menenteramkan ibunya di hari-hari belakangan ini sungguh luar biasa.
Tinggal satu persoalan berat yang mesti kulakukan: meninggalkan putri
tercintaku. Bahkan kini, saat kematian datang menghampiri, aku masih tidak
sanggup. Meskipun begitu... Perempuan itu mengintip dari gua yang telah menjadi rumahnya selama hampir empat
dasawarsa. Langit cerah saat ia mengangkat wajah keriputnya. Dinikmatinya keindahan bintang
gemintang. Takkan pernah ia berhenti mengagumi ciptaan Tuhan. Di sana, di atas
bintangbintang itu, jiwa-jiwa yang sangat dicintainya telah menanti. Ia bisa
merasakan mereka sekarang, lebih dekat dari sebelumnya.
Ia bisa merasakannya. "Kau akan terlaksana," bisiknya pada langit malam. Perlahan, dengan mantap,
perempuan tua itu membalikkan badan untuk kembali masuk. Sembari menghela napas
panjang, ia mengamati kertas kasar itu. Matanya menyipit dalam remang dan
buramnya cahaya lampu minyak.
Diangkatnya pena, kemudian ia kembali menulis dengan hatihati.
...Tahun demi tahun berlalu. Menuliskan Yudas hkariol ternyata tidak lebih mudah
dibandingkan dulu. saat masa-nusa gelap. Bukan karena aku menilai buruk dainya,
tapi justru karena aku tidak betparidangaii begitu.
Aku akan menceritakan kisah tentang Yudas dan berharap bisa melakukannya dengan
adil la seorang lelaki yang sangat teguh memegang prinsipnya. Mereka yang
mengikuti kami harus tahu
mi: ia tidak mengkhianati mmkaatau kamidemi sekantong perak. Sesungguhnya Yudas
adalah yang pahng setia di antara yang dua belas. Begitu ban yak alasan bagiku
untuk tersedih selama talttin-tahun belakangan. Namun hanya Satuyanglebili
kutaigisi dibandingkan Yudas.
Banyak orang yang ingin agar aku menuliskan Widas secara keji Agar aku
mengutuknya sebagai seorang penipu, sebagai seorang pengkhianat, sebagal seorang
yang buta akan kebenaran. Namun aku tidak sanggup, karena jika itu kulakukan
makagoresanku di atas kertas hanyalah kebohongan belaka.
Cukup sudah tulisan dusta tentang sejarah kami. Tuhan lelah menunjukkannya
padaku. Aku tidak akan menulis lebih banyak lagi.
Karena apalah tujuanku, jika bukan untuk menceritakan segala kebenaran tentang
segala yang terjadi saat ito"
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA.
KITAB PARA MURID Satu Marseille September 1997 Marseille adalah tempat yang indah untuk mati dan sudah seperti itu selama
berabadabad. Pelabuhan kapalnya yang legendaris memiliki reputasi sebagai sarang
bajak laut, penyelundup, dan pembunuh.
Itulah status yang telah disandang kota tersebut sejak bangsa Roma merebutnya
dari tangan Yunani di era sebelum Kristus.
Pada akhir abad 20, usaha pemutihan yang dilakukan pemerintah Prancis akhirnya
membuahkan hasil. Marseille menjadi tempat yang aman untuk menikmati bouillabaissei tanpa harus
takut dirampok. Tapi, tetap saja kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi penduduk
lokal. Kekacauan telah terpatri dalam sejarah dan genetika mereka.
Para nelayan tak sedikit pun berkedip saat jaring mereka menangkap sesuatu yang
tidak pantas untuk ditambahkan ke dalam sup ikan setempat.
1 Semacam kari yang setidaknya terbuat dari dua jenis ikan, biasanya lima atau
enam, ditambah bawang dan sayuran.
Roger-Bernard Gelis bukanlah penduduk asli Marseille. Ia lahir dan besar di kaki
bukit Pyrenees, dalam suatu komunitas yang berbangga bisa bertahan sebagai bukti
sejarah. Abad 20 belum merusak kebudayaannya yang mengagungkan kekuatan cinta
dan perdamaian melebihi segala urusan duniawi.
Namun, ia tetap lelaki paruh baya yang tidak sepenuhnya mengabaikan urusan
duniawi. Bagaimanapun juga, dialah pemimpin kaumnya. Dan meski komunitasnya samasama
bernaung dalam suatu kedamaian spiritual, tak urung mereka memiliki musuh.
Roger-Bernard gemar berkata bahwa cahaya terindah mengundang kegelapan terkelam.
Ia lelaki bertubuh raksasa. Sosoknya membuat orang orang yang belum mengenalnya
merasa terancam. Mereka yang belum mengenal kelembutan jiwa Roger-Bernard barangkali
akan keliru karena menyangka lelaki ini patut ditakuti. Namun belakangan
terbukti bahwa orangorang yang menyerangnya bukanlah orangorang yang tidak
mengenalnya. Seharusnya ia tahu peristiwa itu akan terjadi. Seharusnya ia sudah mengira bahwa
ia tak akan bisa memiliki sesuatu yang tak ternilai harganya dengan begitu
bebas. Bukankah hampir sejuta nenek moyangnya mati demi harta karun yang sama"
Tapi tembakan itu datang dari belakang, memecahkan kepalanya, bahkan sebelum ia
tahu musuhnya sudah dekat.
Bukti forensik dari peluru terbukti tak ada gunanya bagi polisi, karena para
pembunuh tidak menuntaskan perbuatan kotornya dengan sederhana. Kejahatan ini
pasti dilakukan oleh beberapa orang. Karena melihat ukuran dan berat tubuh
korban, dibutuhkan tenaga sangat besar untuk dapat menuntaskan tindakan
selanjutnya. Untungnya Roger-Bernard sudah mati sebelum ritual dimulai. Jika tidak, ia akan
mendengar caci maki para pembunuhnya selama mereka melaksanakan tugas yang
mengerikan. Terutama sang pemimpin, terlihat sangat bersemangat dengan kejadian
berikutnya. Ia melafazkan mantra kuno berisi kebencian sambil bekerja.
"Neca eos omnes. Neca eos omnes."
Memenggal kepala manusia dari posisi tubuhnya semula adalah pekerjaan yang
sangat kotor dan sulit. Diperlukan kekuatan, kegigihan, dan alat yang sangat tajam. Para pembunuh Roger-
Bernard Gelis memiliki semua ini, dan mereka menggunakannya dengan sangat
efisien. f Jasad itu sudah lama berada di laut, dihempas gelombang dan digerogoti penghuni-
penghuni laut yang lapar. Para penyidik putus asa melihat kondisi mayat yang
sedemikian rusak sehingga mereka tidak mengetahui ada bagian dari salah satu
tangan mayat yang hilang. Otopsi, yang kemudian
dikesampingkan pihak birokrasi dan barangkali juga yang lain hanya mencatat
bahwa jari telunjuk sebelah kanan terputus.
Yerusalem September 1997 Kota Tua di Yerusalem yang kuno dan ramai saat itu penuh dengan bermacam
aktivitas Jumat siang. Sejarah terasa kental di udara yang tipis dan suci sementara para pemeluk agama
bergegas menuju rumah-rumah ibadah
sebagai persiapan Hari Sabat. Umat Kristen menelusuri Via Dolorosa, Jalan
Penderitaan, seurutan jalan berliku dan berkerikil yang menandai jalur
penyaliban. Di sinilah Yesus Kristus yang terluka dan berdarah mengemban beban
berat, berjalan menuju sebuah takdir mulia di puncak bukit Golgotha.
Di sore musim gugur ini, Maureen Paschal, seorang penulis dari Amerika, tampak
tidak berbeda di antara para peziarah yang datang dari jauh dan berbagai pelosok
bumi. Angin kuat bulan September memadukan aroma daging kambing panggang dengan
harumnya minyak-minyak eksotis yang
berembus dari pasar kuno. Maureen melintasi sensasi yang terlampau kental khas
Israel, sambil mengempit buku panduan yang ia beli dari sebuah organisasi
Kristiani di Internet. Buku itu melukiskan arah Jalan Salib, lengkap dengan peta
dan petunjuk empat belas Posisi di jalan Kristus.
"Nona, Anda mau rosari" Kayunya dari Gunung Zaitun."
"Nona, Anda mau pemandu wisata" Anda tak akan tersesat. Saya akan tunjukkan
semuanya." Seperti kebanyakan perempuan Barat lain, ia dipaksa menolak perhatian para
pedagang jalanan Yerusalem yang tidak diharapkan. Sebagian di antara mereka
sangat gigih menjajakan barang atau jasa. Sebagian lainnya sekadar merasa
tertarik pada perempuan mungil berambut merah panjang dan berkulit pucat, sebuah
kombinasi eksotis di belahan dunia yang tengah ia pijak. Maureen menampik para
pengejarnya dengan ucapan "Tidak, terima kasih" yang sopan tapi tegas. Kemudian
ia memutus kontak mata dengan penjaja itu dan berjalan menjauh. Sepupu
lelakinya, Peter, seorang pakar kajian Timur Tengah, telah
membekalinya pengetahuan tentang kebudayaan Kota Tua itu. Maureen sangat teliti,
bahkan terhadap detail-detail terkecil pekerjaannya, dan ia telah mempelajari
perkembangan kebudayaan Yerusalem dengan seksama. Sejauh ini, pengetahuan itu
sangat bermanfaat. Dan Maureen bisa meminimalkan gangguan-gangguan sementara ia
fokus ke risetnya, menulis berbagai keterangan dan hasil observasi di buku
tulisnya yang bersampul kain tebal.
Saking terharu, air matanya menitik saat menyaksikan kemegahan dan keindahan
Kapel Fransiscan Pencambukan yang berumur 300 tahun. Di sanalah Yesus menjalani
hukuman cambuk. Reaksi emosional ini sangat tidak terduga karena Maureen datang ke Yerusalem bukan
sebagai seorang peziarah. Ia datang sebagai seorang pengamat investigatif,
sebagai seorang penulis yang mencari latar belakang sejarah yang akurat untuk
pekerjaannya. Meskipun Maureen berusaha mendapat pemahaman yang lebih mendalam
tentang kejadiankejadian seputar Jumat Agung, ia melakukan riset ini lebih
dengan akalnya ketimbang dengan hatinya.
Ia mengunjungi Biara Suster Sion, sebelum melanjutkan ke Kapel Hukuman di
sebelahnya. Di kapel yang bersejarah itulah Yesus menerima salib setelah hukuman
penyaliban diputuskan oleh Pontius Pilatus. Sekali lagi, tanpa ia sangka-sangka,
tenggorokannya terasa tercekat seiring perasaan sedih yang sangat saat ia
berjalan melewati gedung itu. Patung-patung berukuran seperti aslinya
menggambarkan kejadiankejadian di pagi yang mengerikan, 2000 tahun lalu. Maureen
berdiri, terkesima, melihat adegan dalam gambar yang begitu gamblang dan
menyentuh peri kemanusiaan: seorang murid lelaki
berusaha melindungi Maria, ibunda Yesus, agar ia tidak menyaksikan pemandangan
anaknya sedang mengemban salibNya. Air mata menggenang di balik mata Maureen
ketika berdiri di hadapan gambar itu. Seumur hidup, itulah kali pertama terpikir
olehnya bahwa figur-figur bersejarah ini adalah manusia yang nyata, semua itu
adalah penderitaan riil manusia akibat peristiwa yang pedihnya nyaris tak
terbayangkan. Merasa tibatiba pusing, Maureen menyeimbangkan diri dengan menopangkan sebelah
tangannya ke dinding batu kuno yang dingin. Ia berhenti sejenak untuk
mengembalikan konsentrasinya sebelum melanjutkan catatan tentang barangbarang
seni dan patung. Ia melanjutkan perjalanan, tetapi jalanjalan yang seperti labirin di Kota Tua
itu ternyata mengelabui. Meskipun di tangannya ada sebuah peta yang sangat jelas. Bangunanbangunan
penting di sana umumnya sudah tua, rusak termakan cuaca, dan mudah luput dari
penglihatan orang yang belum mengenal wilayah ini. Maureen mengumpat pelan saat
sadar bahwa ia tersesat lagi. Ia bernaung di depan pintu sebuah toko, berusaha
menghindari sinar matahari langsung. Panas yang menyengat, meski dengan semilir
angin, mengisyaratkan bahwa musim ini berlangsung lebih lama. Sambil berlindung
di balik buku panduan, ia melihat ke sekeliling, mencoba menentukan arah
tujuannya. "Posisi Salib Kedelapan. Pasti di sekitar sini," gumamnya dalam hati. Lokasi ini
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat menarik bagi Maureen yang tengah meneliti sejarah yang bertalian dengan
perempuan. Setelah merujuk buku panduan, ia kembali membaca sebuah paragraf
tentang Posisi Kedelapan dari Injil.
"Banyak orang mengikutinya, termasuk perempuan perempuan yang berduka dan
menangisinya. Yesus berkata, 'Jangan tangisi aku, anakanak perempuan Yerusalem, menangislah
untuk dirimu sendiri dan untuk anak-anakmu.1"
Maureen dikejutkan oleh sebuah ketukan keras pada jendela di belakangnya. Ia
menengok, mengira akan melihat sang empunya memelototkan mata dengan marah
karena ia menghalangi jalan masuk ke tokonya. Tapi yang ia lihat adalah wajah
yang menatapnya dengan ceria. Seorang lelaki Palestina berusia paruh baya yang
berpakaian rapi, membuka pintu toko barang antik itu, mengajaknya masuk.
Ia berbicara dalam bahasa Inggris yang baik, meski beraksen.
"Mari, silakan masuk. Selamat datang, saya Mahmoud. Apakah Anda tersesat?"
Maureen mengibaskan buku panduannya dengan loyo. "Saya sedang mencari Posisi
Kedelapan. Peta menunjukkan..."
Mahmoud mengesampingkan buku itu sambil tertawa. "Ya, ya. Posisi Kedelapan.
Yesus Bertemu Perempuan perempuan Suci Yerusalem. Letaknya di sebelah sini, di
sekitar sudut itu," tunjuknya.
"Tandanya adalah sebuah salib di bagian atas dinding batu, tapi Anda harus
melihat dengan teliti."
Mahmoud memerhatikan Maureen dengan seksama beberapa saat sebelum melanjutkan.
"Sama seperti semua yang lainnya di Yerusalem. Anda harus teliti melihat agar Anda
menemukan tempat yang Anda cari."
Maureen mengamati gerakgerik lelaki itu. Ia puas karena Maureen memahami
petunjuk-petunjuk yang ia berikan. Sambil tersenyum, Mauren berterima kasih dan
berbalik akan pergi. Namun langkahnya terhenti karena sesuatu di rak yang
berdiri di dekatnya menarik perhatiannya. Toko milik Mahmoud termasuk yang
berkelas di Yerusalem. Berbagai barang antik yang dijamin keasliannya, dijual di
sana. Di antaranya lampu minyak dari zaman Kristus dan uang logam berlambang
Pontius Pilatus. Suatu kilauan warna indah yang menembus jendela menarik
perhatian Maureen. "Itu perhiasan yang terbuat dari pecahan kaca Romawi," jelas Mahmoud sementara
Maureen mendekati rak yang memajang perhiasan perak dan emas berhiaskan batu permata.
"Cantik sekali," jawab Maureen sambil mengangkat sebuah kalung perak. Aneka
warna menembus keluar toko saat ia menghadapkan perhiasan itu ke cahaya,
menyinari imajinasinya sebagai seorang penulis. "Kira-kira, ada kisah apa di
balik kaca ini?" "Siapa yang tahu, benda apa ia dulunya?" Mahmud mengangkat bahu. "Botol parfum"
Toples bumbu" Pot bunga mawar atau lili?"
"Kalau dipikir-pikir, sungguh mengagumkan bahwa dua ribu tahun yang lalu ini
adalah benda sehari-hari yang terdapat di rumah seseorang. Mengagumkan."
Setelah mengamati toko dan isinya dengan lebih cermat, Maureen takjub dengan
kualitas dan keindahan benda-benda yang dipajang. Ia mengulurkan tangan untuk
menyentuh sebuah lampu minyak keramik. "Benarkah benda ini berumur dua ribu
tahun?" "Tentu saja. Sebagian barang dagangan saya bahkan lebih tua lagi."
Maureen menggelengkan kepala. "Bukankah barang antik seperti ini seharusnya
berada di museum?" Mahmoud tertawa, suaranya keras dan berat. "Sayangku, seluruh Yerusalem adalah
museum. Anda tidak pernah bisa menggali halaman rumah tanpa menemukan sesuatu
yang antik. Kebanyakan benda yang benarbenar berharga menjadi bagian koleksi
penting. Tapi tidak semuanya."
Maureen menghampiri sebuah lemari kaca yang penuh dengan perhiasan tembaga kuno
yang ditempa dan dioksidasi. Ia berhenti. Perhatiannya tertuju pada sebuah
cincin yang menyangga sebuah lempengan seukuran koin kecil. Mengikuti arah
pandangannya, Mahmoud mengambil cincin itu dari lemari, menyodorkannya ke
Maureen. Seberkas cahaya matahari dari jendela depan menerpa cincin itu,
menyinari dasarnya yang bundar dan memamerkan suatu pola berupa patrian sembilan
titik mengelilingi sebuah lingkaran di tengah.
"Pilihan yang sangat menarik," kata Mahmoud. Sifat gemar bercandanya langsung
berubah. Sekarang ia tegang dan serius, mengamati Maureen dengan seksama
sementara gadis itu bertanya tentang cincin itu.
"Berapa umurnya?"
"Sulit dipastikan. Sumber ahli saya mengatakan bahwa benda ini berasal dari
zaman Bizantium, barangkali abad 6 atau 7, tapi barangkali lebih tua lagi."
Maureen mengamati pola lingkaran-lingkaran itu lebih dekat.
"Pola ini sepertinya...tidak asing. Rasanya saya pernah melihatnya sebelum ini.
Tahukah Anda, simbol apakah ini?"
Ketegangan Mahmoud berkurang. "Saya tidak dapat mengatakan dengan pasti apa
tujuan kreasi seorang seniman pada seribu lima ratus tahun lalu. Tapi seseorang
pernah bercerita bahwa itu adalah cincin seorang kosmolog."
"Seorang kosmolog?"
"Seorang yang mengerti hubungan bumi dengan kosmos. Karena sebagaimana di atas,
begitu juga di bawah. Dan harus saya akui, saat pertama kali melihat, cincin itu
mengingatkan saya pada planet-planet yang menari-nari mengelilingi matahari."
Maureen menghitung titik-titik itu dengar suara keras. "Tujuh, delapan,
sembilan. Tapi di masa itu, tidak mungkin orang sudah tahu bahwa ada sembilan
planet, atau bahwa matahari pusat tata surya.
Mustahil, bukan?" "Kita tidak bisa berasumsi bahwa kita tahu apa yang dimengerti oleh orangorang
zaman dulu." Mahmoud mengangkat bahu. "Coba saja."
Mencium trik penjualan tengah dilancarkan, Maureen mengembalikan cincin itu ke
tangan Mahmoud. "Oh, tidak, terima kasih. Cincin itu memang indah sekali, tapi tadi saya hanya
ingin tahu. Dan saya sudah bertekad tak akan berbelanja hari ini."
"Tidak apa-apa," kata Mahmoud, besikeras tidak mau mengambil kembali cincin itu
dari Maureen. "Karena cincin ini memang tidak dijual."
"Tidak dijual?"
"Tidak. Sudah banyak orang yang menawar. Tapi saya tidak mau menjualnya. Jadi
Anda bebas mencobanya. Sekadar iseng saja."
Barangkali karena nada bicaranya yang berkelakar, Maureen tidak merasa
terbebani. Atau mungkin juga karena ia terpikat pola kuno di cincin yang masih
misterius. Yang jelas, sesuatu membuat Maureen mau memasangkan cincin tembaga
itu ke jari manis kanannya.
Ternyata pas sekali. Mahmoud mengangguk, kembali serius, berbisik ke dirinya sendiri, "Seolah cincin
itu memang diciptakan untukmu."
Maureen mengangkat cincin itu ke cahaya, mengamatinya di tangannya. "Aku tidak
bisa mengalihkan pandanganku dari perhiasan ini."
"Karena memang seharusnya kau memilikinya."
Maureen mengangkat kepalanya dengan perasaan curiga, kembali mencium trik
penjualan. Mahmoud boleh jadi lebih elegan dibandingkan pedagang jalanan. Namun
ia tetap seorang pedagang. "Saya pikir tadi Anda mengatakan cincin ini tidak
dijual." Maureen hendak melepas cincin itu. Perbuatannya itu sangat ditentang oleh sang
pemilik toko, ia mengangkat tangannya, tanda protes.
"Jangan. Saya mohon."
"Oke, oke. Sekarang kita tawar menawar, bukan" Berapa harganya?"
Mahmoud terlihat sangat tersinggung sebelum menjawab, "Anda salah paham. Cincin
itu dipercayakan pada saya, sampai saya menemukan tangan yang pantas untuk
mengenakannya. Tangan yang menjadi tujuan benda ini diciptakan. Sekarang saya menyaksikan
sendiri bahwa tangan itu adalah tangan Anda. Saya tidak bisa menjualnya kepada
Anda karena perhiasan itu memang milik Anda."
Maureen menunduk melihat ke cincin, lalu mendongak kembali ke Mahmoud, bingung.
"Saya tidak mengerti."
Mahmoud tersenyum bijak, dan bergerak menuju pintu depan toko. "Tidak, sekarang
Anda tidak mengerti. Tapi satu hari nanti Anda akan mengerti. Sekarang,
simpan saja cincin itu. Sebagai hadiah." "Saya tidak bisa ..."
"Anda bisa dan Anda akan menerimanya. Anda harus menerima. Kalau tidak, berarti
saya telah gagal. Anda tentu tidak menginginkannya."
Maureen menggelengkan kepala dengan bingung sambil berjalan mengikuti Mahmoud ke
pintu depan. Kemudian ia berhenti. "Saya benarbenar tidak tahu harus berkata apa, atau
bagaimana harus berterima kasih kepada Anda."
"Tidak perlu, tidak perlu. Tapi sekarang Anda harus pergi. Misteri-misteri
Yerusalem menunggu Anda."
Mahmoud membukakan pintu dan Maureen melangkah keluar. Ia berterima kasih lagi.
"Selamat berpisah, Magdalena," bisik Mahmoud saat Maureen berjalan keluar.
Maureen berhenti, segera berbalik kepadanya.
"Maaf?" Mahmoud tersenyum bijak dan misterius. "Saya bilang selamat berpisah, yang
mulia." Dan ia melambaikan tangan ke Maureen yang balas melambai sambil sekali
lagi melangkah keluar, berjalan di bawah teriknya matahari Timur Tengah.
f Maureen kembali ke Via Dolorosa. Di sana ia menemukan Posisi Kedelapan, seperti
yang ditunjukkan Mahmoud. Tapi ia gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi karena
merasa aneh setelah pertemuannya dengan sang pemilik toko. Saat kembali
meneruskan perjalanan, rasa pusing yang sebelumnya melanda, datang lagi. Kali
ini lebih kuat, sampai-sampai ia limbung. Ini hari pertamanya di Yerusalem, tentu ia tengah
mengalami jet lag. Penerbangan dari Los Angeles sangat lama dan melelahkan, ia tidak cukup tidur
semalam sebelumnya. Entah karena kombinasi panas, kelelahan, dan kelaparan, ataukah sesuatu yang
lain yang tak dapat dijelaskan, namun kejadian berikutnya sungguh di luar
dugaan. Setelah menemukan sebuah batu besar, Maureen duduk untuk beristirahat. Namun ia
kembali dihantam serangan pusing seiring kilatan cahaya menyilaukan yang berpijar dari
matahari yang tak kenal lelah, yang mengantarkan pikirannya ke suatu tempat.
Tibatiba ia berada di tengah sebuah kerusuhan. Sekelilingnya kacau balau.
Orangorang menjerit dan dorong mendorong, kericuhan di segala penjuru. Namun
Maureen masih cukup memiliki kecerdasan modernnya untuk menyadari bahwa badan-
badan yang berlalu lalang itu memakai pakaian kasar yang dijahit sendiri. Alas
kaki mereka adalah sandal yang sangat sederhana. Maureen melihatnya ketika salah
seorang di antara mereka menginjak kakinya dengan keras. Kebanyakan adalah
lelaki, berjanggut dan kotor. Teriknya matahari sore menimpa tubuh mereka,
bercampur dengan keringat dan debu di wajahwajah yang marah dan tersiksa di
sekitarnya. Ia sedang berada di pinggir sebuah jalan sempit ketika suatu
gerombolan di depan mulai saling mendorong dengan kuat. Lalu terciptalah sebuah
jalur kosong, dan sebuah kelompok kecil perlahan bergerak mengikuti jalan.
Kerusuhan itu tampaknya mengikuti kelompok ini. Ketika kerumunan itu bergerak
mendekat, Maureen melihat perempuan itu untuk pertama kalinya.
Sebuah wujud sendiri dan tenang di tengah keru -
sunan. Ia adalah satu di antara sedikit perempuan dalam keramaian itu. Namun
bukan itu yang membuatnya berbeda. Akan tetapi pembawaan dirinya, suatu sifat
keagungan yang menandakan bahwa ia adalah seorang ratu, meskipun tangan dan
kakinya penuh debu. Ia tampak sedikit lusuh, seuntai rambut tebal warna merah
kecokelatan terselip di bawah selubung merah yang menutupi paruh bawah wajahnya.
Secara naluriah Maureen tahu bahwa ia harus menghampiri perempuan ini. Bahwa ia
perlu berhubungan dengannya, menyentuhnya, berbicara dengannya. Tapi arak-arakan
itu menghalanginya, dan ia berjalan dengan gerak lambat dalam mimpinya yang
pekat. Sambil terus berusaha bergerak menuju perempuan itu, Maureen terpesona oleh
keelokan wajah yang tak mampu ia gapai. Perawakan perempuan itu sungguh anggun,
dengan bagianbagian wajah yang cantik lagi menawan. Tapi matanyalah yang merasuk
perasaan Maureen, lama setelah visi itu usai.
Mata perempuan itu besar dan terang dengan air mata yang tak terhapus,
memantulkan warna antara cokelat kekuningan dan hijau keabu-abuan. Sungguh suatu
warna cokelat kehijauan luar biasa yang menggambarkan kebijakan tak berbatas dan
kesedihan tak terhingga dalam satu campuran yang mengiris hati. Tatapan mata
perempuan itu yang menyentuh jiwa beradu dengan tatapan Maureen, untuk sesaat
dan selamanya. Tersirat dari tatapan itu sebuah pernyataan keputusasaan.
Kau harus menolongku. Maureen tahu bahwa pernyataan itu ditujukan kepadanya. Ia terkesima, kelu,
ketika matanya bertemu dengan mata perempuan itu. Momen itu terpecah ketika
tibatiba tatapan perempuan itu beralih ke seorang anak perempuan yang menarik
kuat tangannya. Anak itu mendongak dengan mata besarnya yang hijau keabuan, serupa dengan mata
ibunya. Dibela-kangnya berdiri seorang anak lelaki, lebih besar dan dengan warna
mata yang lebih gelap dibandingkan anak perempuan itu. Namun jelas, ia putra perempuan itu. Saat itu
juga Maureen tahu bahwa ia adalah satusatunya orang yang dapat menolong ratu
yang asing dan menderita ini beserta anakanaknya. Perasaan sangat bingung, dan
kesedihan, merasuki hatinya ketika ia menyadari hal ini.
Kemudian kerusuhan kembali bergolak, menenggelamkan Maureen dalam lautan
keringat dan kesedihan. f Maureen rnengerjapkan matanya dengan keras, dirapat-kannya kelopak matanya kuat-
kuat selama beberapa detik. Lalu ia menggelenggelengkan kepalanya dengan cepat
untuk menjernihkan penglihatannya. Sejenak ia tidak yakin sedang berada di mana. Melihat sekilas ke
celana jeans, tas punggung dari bahan mikrofiber, dan sepatu jalan Nikenya
membuatnya yakin bahwa ia berada di abad dua puluh. Kesibukan Kota Lama di
sekelilingnya berlanjut. Namun sekarang orangorang terlihat berpakaian model
kontemporer dan suarasuara yang terdengar pun berbeda. Radio Yordan
mengumandangkan lagu pop Amerika dari sebuah toko di seberang jalan bukankah itu
"Losing My Religion"nya R.E.M." Seorang anak muda Palestina mengikuti ketukan
irama lagu itu dengan menggendang di atas meja. Ia tersenyum pada Maureen
sambil terus menggendang.
Beranjak dari bangku batu, Maureen berusaha mengenyahkan visinya. Kalau pun itu
sebuah visi. Ia tidak yakin, apa yang baru saja ia alami, tapi juga tidak bisa
membiarkan dirinya terlarut di dalamnya.
Waktunya di Yerusalem terbatas dan ada 2000 tahun pemandangan yang harus ia
lihat. Sembari mengerahkan kedisiplinan penulisnya dan pengalaman seumur
hidupnya dalam memendam emosi, Maureen menyimpan visi itu sebagai "riset untuk
analisis selanjutnya" dan mendorong dirinya sendiri untuk terus berjalan.
Akhirnya, secara tidak sengaja Maureen tergabung dengan sekumpulan pelancong
Inggris saat mereka berbelok di tikungan. Rombongan itu dipimpin seorang pemandu
yang mengenakan kerah pendeta Anglikan. Ia mengumumkan kepada kelompok peziarah
itu bahwa mereka sedang mendekati lokasi suci umat Kristiani, Basilika Makam
Suci. Dari risetnya Maureen tahu bahwa Posisi-posisi Salib selebihnya berada di dalam
gedung yang diagungkan itu. Dengan luas beberapa blok, basilika itu mencakup
tempat penyaliban dan telah seperti itu sejak Permaisuri Helena bersumpah
melindungi tanah suci ini di abad ke-4. Berkat usaha-usahanya itu, Helena, yang
juga ibunda Kaisar Romawi Konstantin, kemudian ditahbiskan sebagai orang suci.
Perlahan dan ragu-ragu, Maureen menghampiri pintu masuk yang sangat besar.
Ketika berdiri di ambang pintu, ia sadar bahwa sudah bertahuntahun ia tidak
menginjakkan kaki ke gereja. Betapapun, ia tidak berpikir untuk mengubah status
itu sekarang. Dengan tegas ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa riset yang
membawanya ke Israel bersifat akademis, bukan spiritual. Selama ia tetap fokus
dengan pandangan itu, ia mampu melakukannya. Ia mampu melangkah melewati pintu
itu. Terlepas dari keengganannya, Maureen tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu
yang sungguh magnetis dan membangkitkan decak kagum dalam tempat ibadah yang
luar biasa besar ini. Saat melewati pintu besar itu, ia mendengar sang pendeta
Inggris berkata: "Di antara dinding-dinding ini, Anda akan melihat tempat Juru Selamat kita
melakukan pengorbanan terbesar. Tempat jubahNya dicampakkan, tempat Ia dipaku ke
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salib. Anda akan memasuki Posisi suci tempat raga-Nya dikebumikan.
Saudarasaudaraku dalam Kristus, sekali Anda memasuki tempat ini, hidup Anda tak
akan sama." f Aroma dupa yang khas dan menyengat berembus menerpa Maureen begitu ia masuk.
Peziarah dari segala jenis Kristiani memenuhi tempat ini dan memenuhi area luas
di dalam basilika. Maureen melewati sekelompok pendeta Kupti yang tengah
berdiskusi dengan suara pelan dan sopan. Dan ia melihat seorang rohaniwan Yunani
Ortodoks menyalakan sebuah lilin di salah satu kapel kecil. Paduan suara pria
menyanyi dalam dialek Timur yang eksotis bagi telinga orang Barat. Himne itu
bersumber dari suatu tempat tersembunyi di dalam gereja.
Maureen sedang menikmati bermacam pemandangan dan suara di tempat ini, merasa
agak linglung dengan begitu banyaknya kesan yang menerpa. Ia tidak melihat
lelaki kurus kecil hadir di sebelahnya sampai lelaki itu
menepuk pundaknya, membuatnya terkejut.
"Maaf, Nona. Maaf, Nona Mo-ree." Lelaki itu berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi
tidak seperti Mahmoud, si pemilik toko yang penuh teka-teki, aksen lelaki ini
sangat kentara. Keahliannya berbahasa Inggris paling banter sebatas dasar.
Karena itulah pada awalnya Maureen tidak mengerti bahwa lelaki itu sedang
memanggil namanya. Ia mengulangi lagi.
"Mo-ree. Nama Anda. Mo-ree, benar?"
Maureen bingung, mencoba memastikan bahwa lelaki kecil aneh ini benarbenar
memanggil namanya dan, kalau begitu, bagaimana ia bisa tahu. Keberadaan Maureen
di Yerusalem belum lagi dua puluh empat jam. Dan tidak ada orang selain petugas
resepsionis Hotel King David yang tahu namanya. Tapi lelaki ini tidak sabar, ia
bertanya kembali. "Mo-ree. Anda Mo-ree. Penulis. Anda menulis, benar" Moree?"
Mengangguk perlahan, Maureen menjawab. "Ya. Namaku Maureen. Tapi bagaimana Anda
bisa tahu?" Mengabaikan pertanyaan Maureen, lelaki itu menggamit tangannya dan menariknya
untuk melintasi lantai gereja. "Tidak ada waktu, tidak ada waktu. Mari. Kami
sudah lama menunggu. Mari, mari."
Untuk seorang lelaki bertubuh kecil ia lebih pendek dibandingkan Maureen, yang
memang sudah termasuk mungil gerakannya sangat cepat. Kaki-kaki pendek
membawanya melesat melintasi bagian tengah basilika, melewati antrean tempat
para peziarah menunggu giliran diberi izin masuk ke Posisi Kristus. Ia tetap
melesat dan mendadak berhenti saat mereka sampai di sebuah altar kecil, dekat
bagian belakang gedung. Daerah itu didominasi sebuah patung seorang perempuan
seukuran asli yang menjulurkan tangannya ke seorang lelaki dalam posisi memohon.
"Kapel Maria Magdalena. Magdalena. Anda datang untuknya, benar" Benar?"
Maureen mengangguk dengan hatihati, matanya menatap ke patung itu kemudian ke
plakat di bawahnya yang bertuliskan:
DI TEMPAT INI, MARIA MAGDALENA ADALAH ORANG PERTAMA YANG MENYAKSIKAN
KEBANGKITAN RAJA Ia membaca keraskeras tulisan pada plakat lain di bawah patung itu:
"Perempuan, mengapa kau menangis" Siapa yang kau cari?"
Maureen tidak punya banyak waktu untuk mencerna pertanyaan itu karena lelaki
kecil yang aneh itu menariknya kembali untuk menuju sudut gelap lain di basilika
itu, dengan langkah-langkah cepatnya yang aneh untuk lelaki seperti dia. "Ayo,
ayo." Mereka mengitari sebuah sudut dan berhenti di depan lukisan besar dan tua,
potret seorang perempuan. Waktu, dupa, dan sisa lilin yang berminyak yang
berusia ratusan tahun telah merusak barang seni itu, sehingga Maureen mesti
mendekati potret gelap itu, menyipitkan mata. Lelaki kecil itu bercerita dengan
suara yang sangat serius.
"Lukisan sangat tua. Yunani. Kau mengerti" Yunani. Paling penting bagi Maria.
Dia membutuhkanmu untuk menceritakan kisahnya. Itu sebabnya kau datang ke sini, Moree. Kami telah lama
menunggumu. Ia telah menunggu. Untukmu. Benar?"
Maureen mencermati lukisan itu, sebuah potret gelap, kuno, menggambarkan seorang
perempuan yang mengenakan jubah merah. Ia menengok ke lelaki kecil itu, merasa
sangat penasaran, ke mana arah semua pembicaraan ini. Tapi lelaki itu telah
pergi ia menghilang secepat ia datang.
"Tunggu!" Teriakan Maureen yang nyaring menggema dalam ruang gereja besar itu,
tapi tetap tak terjawab. Ia kembali memerhatikan lukisan itu.
Saat Maureen menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke potret itu, ia melihat
bahwa perempuan dalam lukisan itu mengenakan sebuah cincin di tangan kanannya:
sebuah lempeng tembaga berbentuk bulat, dengan pola sembilan lingkaran
mengelilingi bulatan di tengah.
Maureen mengangkat tangan kanannya, tangan dengan cincin baru, untuk
membandingkannya dengan lukisan itu.
Kedua cincin itu sama persis.
... Banyak yang akan dikatakan dan ditulis pada waktu yang akan datang tentang
Simon, sang Nelayan. Tentang mengapa ia dipanggil dengan nama Petrus. sang batu.
oleh Easa dan oleh diriku sendiri sententara orangorang memanggilnya Cephas,
panggilan dalam bahasa mereka sendiri. Dan seandainya sejarali itu adil. ia akan
bercerita tentang betapa Simon mencintai Easa dengan kekuatan dan kesetiaan yang
tak tertandingi. Dan banyak sudah cerita, atau kabaryang sampaikepadaku, tentang hubunganku
sendiri dengan Simon-Petrus. Ada yang
\ta menjuluki kami pesaing, musuh Mereka ingin percaya bah Petrus membenciku dan
kami bersaing di setiap kesempatan untuk memperoleh perhatian Easa. Adapula yang
menjuluki Petrussebagai seorang pembenci perempuantapi tuduhan ini tidak pantas
ditujukan kepada seorang pun pengikut Easa. Harap diketahui bahwa tidak ada satu
pun pengikut Easa yang pernah mengecilkan seorang perempuan atau meremehkan
nilainya dalam rencana Tuhan. Siapa pun lelaki yang melakukannya dan mengaku
Easa sebagai gurunya adalah pembohong.
Tuduhan-tuduhan terhadap fbtius tidaklah benar. Mereka yang menyaksikan
pencelaan fctrus terhadapku tidak tahu sejarah kami atau dari mana amarahnya
berasal. Tapi aku mengerti dan tidak akan pernah menghakiminya. Melebihi segala
yang lain. inilah yang diajarkan Easa kepadakudan aku berharap ia ajarkan pub
kepada yang lain Jangan menghakimi.
INJIL ARQUES MARIA MACDALENA KITAB PARA MURID
Dua Los Angeles Oktober 2QQ4 "Mari mulai dari awal: Marie Antoinette tidak pernah berkata, 'Biarkan mereka
makan kue,' Lucrezia Borgia tidak pernah meracuni siapa pun, dan Mary, Ratu
Skotlandia, bukan seorang pelacur berjiwa pembunuh. Meluruskan kesalahan-
kesalahan ini adalah langkah pertama kita untuk mengembalikan wanitawanita itu
ke tempat yang pantas dan terhormat dalam sejarah tempat yang telah diambil alih
oleh bergenerasi-generasi sejarawan dengan agenda politik tertentu."
Maureen berhenti sejenak saat desas-desus tanda persetujuan pecah di antara para
pelajar dewasa. Ber bicara ke sejumlah mahasiswa baru sama seperti malam
pembukaan di teater. Kesuksesan pertunjukan pertama menentukan efek keseluruhan
proyek. "Selama beberapa minggu ke depan, kita akan menganalisis kehidupan beberapa
perempuan paling terkenal, baik dalam sejarah maupun legenda. Perempuanperempuan
dengan kisah yang meninggalkan jejak permanen dalam evolusi kehidupan dan
pemikiran modern. Perempuanperempuan yang telah sangat disalahartikan
dan diwakilkan secara buruk oleh mereka yang telah mem bentuk sejarah dunia
Barat dengan menuliskan opiniopini mereka di kertas."
Ia sedang berapi-api dan enggan berhenti karena pertanyaan yang begitu dini
diajukan. Namun seorang mahasiswa lelaki dari baris depan telah melambaikan
tangan sejak awal ia berbicara. Kelihatannya lelaki itu seperti akan melompat
keluar dari kulitnya. Tapi selain itu, tidak ada yang istimewa dari
penampilannya. Kawan atau lawan" Penggemar atau fundamentalis" Itu selalu
menjadi pertanyaan. Maureen memanggilnya, tahu bahwa lelaki itu akan terus mengganggu sampai ia
meladeninya. "Apakah Anda menganggap penjelasan tadi sebagai pandangan feminis terhadap
sejarah?" Hanya itu saja" Maureen merasa sedikit lega dan ia menjawab pertanyaan yang
rutin diajukan itu. "Saya menganggapnya sebuah pandangan jujur terhadap sejarah. Saya tidak memiliki
tujuan apa pun selain memperoleh kebenaran."
Namun ia belum lagi lolos dari perangkap.
"Bagi saya, kesannya seperti serangan terhadap kaum lelaki."
"Sama sekali tidak. Saya suka laki-laki. Saya pikir setiap perempuan harus
memiliki seorang laki-laki." Maureen berhenti sejenak untuk membiarkan para
mahasiswi tertawa. "Saya bercanda. Tujuan saya tak lain untuk mengembalikan persoalan ke posisi
seimbang lewat cara pandang modern terhadap sejarah. Apakah Anda menjalani hidup
dengan cara yang sama seperti orang orang yang hidup seribu enam ratus tahun
lalu" Tidak. Jadi mengapa cara hidup kita di abad 21 ini mesti diatur
oleh hukum, kepercayaan, dan pemaknaan sejarah yang diputuskan pada Era
Kegelapan" Ini tidak masuk akal."
Mahasiswa itu menjawab. "Justru itu sebabnya saya berada di sini. Untuk mencari
tahu yang sebenarnya terjadi."
"Bagus. Kalau begitu saya mendukung Anda untuk berada di sini. Saya hanya
meminta Anda untuk tetap berpikiran terbuka. Bahkan saya ingin kalian semua
menghentikan apa pun yang sedang kalian lakukan, angkat tangan kanan kalian, dan
lafazkan sumpah berikut."
Kelompok mahasiswa malam itu berbisik-bisik lagi dan melihat ke sekeliling
ruangan, sambil tersenyum dan saling mengangkat bahu, untuk memastikan apakah
dosen mereka serius. Sang dosen, seorang penulis terlaris dan jurnalis
terhormat, berdiri di depan mereka dengan tangan kanan diangkat dan ekspresi
wajah menunggu. "Ayo," katanya besikeras. "Tangan di atas, dan ikuti ucapan saya."
Seluruh isi kelas mengikuti, mereka mengangkat tangan dan menunggu aba-aba.
"Saya setulusnya berjanji, sebagai seorang pelajar sejarah sejati..." Maureen
berhenti sejenak sementara para pelajar mengikuti dengan patuh, "untuk mengingat
sepanjang waktu bahwa semua katakata yang tertulis di kertas adalah tulisan
manusia." Ia berhenti sekali lagi sementara para mahasiswa mengulangi ucapannya dengan
patuh. "Dan, karena semua manusia dikuasai oleh emosi, pendapat, dan ikatan
politik serta agama, maka seluruh sejarah terdiri dari pendapat sebagaimana juga
fakta dan umumnya telah direkayasa agar sejalan dengan ambisi pribadi atau
tujuan tersembunyi sang penulis.
"Saya setulusnya berjanji untuk tetap berpikiran terbuka setiap saya berada di
ruangan ini. Inilah semboyan kami: Sejarah bukan sesuatu yang telah terjadi.
Sejarah adalah sesuatu yang dituliskan."
Ia mengangkat sebuah buku bersampul tebal dari podium di depannya dan
menunjukkannya kepada kelas.
"Apakah kalian sudah memiliki buku ini?" Anggukan kepala dan gumaman mengiakan
menyertai pertanyaan itu. Buku di tangan Maureen adalah buku kontroversial
ciptaannya sendiri. Judulnya Her Story: A Defense of History's Most Hated
Heroins (Kisahnya: Sebuah Pembelaan terhadap Perempuan Pahlawan yang Paling
Dibenci Sepanjang Sejarah). Inilah alasan mengapa ia mengisi penuh kelas-kelas
malam dan ruangan-ruangan kuliah setiap kali ia memutuskan untuk mengajar.
"Malam ini, kita akan mulai dengan sebuah diskusi mengenai perempuan dalam
Perjanjian Lama, leluhur leluhur perempuan dalam tradisi Kristiani dan Yahudi.
Minggu depan kita akan berpindah ke Perjanjian Baru. Kebanyakan sesi tersebut
akan kita gunakan untuk membahas seorang perempuan Maria Magdalena. Kita akan
menganalisis berbagai sumber dan materi mengenai kehidupannya, baik sebagai
seorang perempuan maupun sebagai seorang murid Kristus. Bacalah bab-bab yang
bersangkutan dengan topik ini sebagai persiapan diskusi minggu depan.
"Kita juga akan kedatangan seorang tamu khusus, Dr. Peter Healy. Barangkali
sebagian di antara kalian yang mengikuti program tambahan kuliah humaniora sudah
mengenalnya. Bagi kalian yang belum mendapat kesempatan mengikuti kuliah dari
doktor yang baik ini, ia juga dikenal sebagai Bapa Healy, seorang cendekiawan
Yesuit dan pakar studi Alkitab kaliber internasional."
Pelajar yang gigih di baris depan tadi mengangkat tangan lagi, tanpa menunggu
Maureen mempersilakan untuk bertanya, "Bukankah Anda memiliki hubungan keluarga dengan
Doktor Healy?" Maureen mengangguk. "Doktor Healy adalah sepupu saya. "Ia akan menyampaikan
perspektif Gereja tentang hubungan Maria Magdalena dengan Kristus dan
mengungkapkan bagaimana perkembangan pandangan seputar isu ini selama dua ribu
tahun," lanjut Maureen dengan perasaan gelisah karena ingin segera kembali ke
mata kuliahnya agar selesai tepat waktu. "Akan menjadi malam yang menarik, jadi
jangan sampai tidak datang.
"Tapi malam ini, kita akan memulai dengan salah seorang di antara sekian banyak
ibu yang menjadi leluhur kita. Ketika pertama kita bertemu Bathsheba, ia sedang
'menyucikan dirinya dari kenistaan...'" f Maureen bergegas keluar dari ruang kuliah sembari memohon maaf dan berjanji
bahwa minggu depan ia akan meluangkan waktu setelah kelas usai. Biasanya ia
menambahkan waktu sekitar setengah jam untuk berbincang-bincang dengan sejumlah
mahasiswa yang pasti tetap tinggal dalam ruangan setelah sesi kuliah berakhir.
Ia sangat menyukai saat kebersamaan dengan murid-murid seperti ini. Malah
mungkin lebih suka dibandingkan saat ia menyampaikan kuliah itu sendiri. Karena
mereka yang tetap tinggal usai sesi, tentulah para peminat mata kuliahnya. Para
mahasiswa seperti inilah yang membuatnya terus mengajar. Ia tentunya tidak
membutuhkan bayaran kecil yang diperoleh dengan mengajar di sekolah malam.
Maureen mengajar karena menyukai hubungan dan stimulasi yang diperoleh ketika ia
berbagi teoriteori yang diketahuinya dengan orang lain yang antusias dan berpikiran terbuka.
Ketukan hak sepatu di jalan menciptakan irama. Maureen mempercepat langkahnya,
melewati jalanjalan berpagar pohon di kampus utara. Ia sangat berharap Peter belum pergi.
Maureen menyesali gaya berpakaiannya, seandainya saja ia mengenakan sepatu yang
lebih cocok untuk berlari agar sampai di kantor Peter sebelum ia pergi. Seperti
biasanya, Maureen berpakaian sangat rapi. Sama seperti terhadap berbagai aspek
kehidupannya, ia sangat berhati-hati memilih busana. Baju resmi berpotongan
sempurna karya seorang perancang itu sangat pas di badannya yang mungil. Dan
warna pepohonan yang ia kenakan semakin menonjolkan matanya yang hijau. Sepasang
sepatu tinggi Manolo Blahnik menambah sedikit gaya pada pakaiannya yang jika
tidak terkesan konservatif, selain menambah tinggi untuk badannya yang hanya
setinggi satu setengah meter. Namun sepatu Manolo inilah yang menjadi sumber
frustrasinya. Terpikir olehnya untuk melempar saja sepatu itu ke seberang
lapangan. Tolong jangan pergi. Tolong tetap di sana. Ia berbicara pada Peter dalam hati
sembari bergegas. Uniknya mereka selalu tersambung, bahkan saat masih kanakkanak. Dan sekarang,
Maureen berharap entah bagaimana Peter bisa merasakan betapa ia perlu berbicara
dengan nya. Maureen sudah mencoba menghubungi Peter sebelumnya melalui caracara
yang lebih lazim, tapi tidak berhasil. Peter benci telepon genggam dan tidak mau
memilikinya meskipun Maureen telah membujuknya berkali kali selama
bertahuntahun. Dan Peter lebih sering menolak mengangkat telepon di kantornya
jika ia sedang asyik bekerja.
Maureen mencabut hak sepatu yang menjengkelkan itu dan memasukkannya ke dalam
tas kulit sambil berlari melintasi jarak terakhir untuk sampai ke tujuan. Sambil
menahan napas ketika membelok, Maureen mendongak ke jendela di lantai dua dan
menghitung dari kiri. Ia menghela napas lega ketika melihat cahaya di jendela
keempat. Peter belum pergi.
Perlahan Maureen menaiki tangga, mengambil waktu untuk bernapas. Di ujung gang,
ia berbelok ke kiri kemudian berhenti sebentar sesampainya di depan pintu
keempat dari kanan. Peter masih ada, serius melihat dokumen yang sudah menguning
dengan kaca pembesar. Ia merasakan ketimbang melihat Maureen di ambang pintu,
dan ketika ia mendongak, paras ramahnya menyunggingkan
senyum mengajak masuk. "Maureen! Kejutan yang indah. Aku tidak berpikir a-kan bertemu denganmu malam
ini." "Hai, Pete," balasnya sama hangat sambil memutari meja untuk memeluknya sekilas.
"Aku sangat senang kau ada di sini. Tadinya aku takut kau sudah pergi, padahal
aku sangat perlu bertemu denganmu."
Bapa Peter Healy menaikkan sebelah alisnya dan berpikir beberapa waktu sebelum
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas. "Kautahu, biasanya aku sudah pergi sejak berjamjam lalu. Entah mengapa, aku
merasa harus bekerja lembur malam ini."
Bapa Healy mengangkat bahu atas komentarnya sendiri dan menyunggingkan seulas
senyum penuh arti. Maureen membalas ekspresi itu. Ia pun tak pernah bisa
menjelaskan keterkaitannya dengan sang sepupu secara logis. Tapi sejak tiba di
Irlandia saat ia masih kecil, mereka telah akrab seperti sepasang anak kembar,
mampu berkomunikasi tanpa katakata.
Maureen merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah tas plastik biru, yang biasa
dipakai toko-toko barang impor di seluruh dunia. Di dalamnya ada sebuah kotak
kecil, yang kemudian diberikannya pada sang pendeta.
"Ahh. Label Emas Lyon. Pilihan yang bagus. Perutku masih tidak bisa mencerna teh
Amerika." Maureen mengernyit dan bergidik untuk menunjukkan bahwa ia pun tidak suka. "Air
sampah." "Sepertinya tekonya penuh, aku akan memanaskannya dan kita bisa menikmati
secangkir teh sebentar lagi." Maureen tersenyum sambil mengamati Peter bangkit
dari bangku kulit usang yang didapatnya dari universitas dengan penuh
perjuangan. Ketika menerima posisi di jurusan humaniora, Dr. Peter Healy yang
terkenal mendapat sebuah kantor berjendela dengan perabot modern, berikut meja
dan kursi praktis yang baru. Peter benci kepraktisan kalau itu berhubungan
dengan perabotannya, tapi ia lebih benci lagi yang serba modern. Menggunakan
pesona Gaelic-nya sebagai kekuatan tak
terkalahkan, ia berhasil membuat para pegawai yang biasanya bandel menjadi luar
biasa aktif. Bapa Healy bak pinang dibelah dua dengan aktor Irlandia, Gabriel
Byrne. Mereka berdua samasama tidak pernah gagal memotivasi perempuan, baik yang
berkerah rohaniwan maupun tidak. Para pegawai itu mencari di ruang-ruang bawah
tanah dan menyisir ruang-ruang kelas tak terpakai sampai mereka menemukan
perabot yang dicarinya: sebuah kursi kulit berpunggung tinggi yang telah usang
dan sangat nyaman, dan sebuah meja kayu tua yang setidaknya kelihatan antik. Perlengkapan-
perlengkapan modern yang menjadi pilihannya adalah: kulkas kecil di pojok
belakang meja, sebuah teko listrik kecil untuk merebus air, dan telepon yang
lebih sering tidak diacuhkan.
Maureen sudah lebih santai sekarang. Ia mengawasi Peter yang asyik membuat teh
ala Irlandia dengan perasaan aman karena kehadiran sang sepupu.
Peter berjalan kembali ke mejanya dan membungkuk ke kulkas yang terletak persis
di belakangnya. Ia mengeluarkan tempat susu dan meletakkannya di sebelah kotak
merah muda dan putih berisi gula di atas kulkas. "Harusnya ada sendok di sini
tunggu ini dia." Teko listriknya memuncratkan air sekarang, tanda isi di dalamnya sudah mendidih.
"Biar aku yang mengerjakan," Maureen menawarkan
diri. Ia berdiri dan mengambil kotak teh dari meja Peter, membuka bungkus plastik
dengan ujung kuku jempolnya. Dikeluarkannya dua kantong berbentuk bulat dan
dijatuhkannya ke dalam cangkircangkir yang berbeda warna dan bernoda teh.
Menurut Maureen, pandangan umum mengenai orang Irlandia dan alkohol terlalu
dibesar-besarkan. Sesungguhnya, orang Irlandia kecanduan minuman ini.
Maureen menyelesaikan proses itu dengan mahir dan memberikan sepupunya secangkir
teh panas kemudian duduk di kursi di seberang mejanya. Dengan cangkirnya sendiri
di tangan, Maureen menghirup perlahan beberapa saat, merasakan mata biru Peter
yang ramah menatap dirinya. Sekarang, setelah ia terburu-buru menemui lelaki
ini, ia tidak yakin harus mulai dari mana. Pendeta itulah yang akhirnya
memecahkan kebisuan. "Jadi, dia datang lagi?" tanyanya lembut. Maureen menghela nafas lega. Pada
saat-saat kala ia merasa benarbenar berada di ujung batas kewarasan, Peter hadir
untuknya. Ia sepupu, pendeta, sekaligus teman.
"Ya," balasnya, singkat, tidak seperti biasanya. "Ia datang lagi."
f Peter membolak-balikkan tubuh dengan gelisah di tempat tidur, tak bisa
memejamkan mata. Percakapan dengan Maureen telah membuatnya risau, lebih dibandingkan yang ia
perlihatkan pada sepupunya. Ia mengkhawatirkan Maureen. Baik sebagai kerabat
terdekat maupun sebagai penasihat spiritualnya. Ia tahu, mimpimimpi gadis itu
akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih kuat. Ia telah menanti waktu
kemunculannya, berjaga-jaga hingga waktunya tiba.
Kali pertama kembali dari Tanah Suci, Maureen telah diganggu dengan mimpimimpi
mengenai perempuan agung berselubung merah yang menderita, perempuan yang ia lihat di
Yerusalem. Mimpinya selalu sama: ia tenggelam dalam kekacauan di Via Dolorosa. Terkadang,
suatu mimpi sedikit berbeda dari mimpi lain atau berisi informasi tambahan, tapi
selalu menggambarkan penderitaan yang mendalam. Kehadiran mimpi yang begitu
jelas inilah yang mengganggu Peter, penjabaran Maureen begitu otentik. Hal
semacam ini di luar jangkauan, sesuatu yang dibangkitkan oleh Tanah Suci itu
sendiri. Sebuah perasaan yang pernah dialami Peter sendiri ketika sedang belajar
di Yerusalem. Perasaan seolah sedang berada sangat dekat
dengan para leluhur dengan orangorang suci.
Sepulangnya dari Tanah Suci, Maureen banyak menghabiskan waktu untuk bertelepon
jarak jauh dengan Peter, yang ketika itu sedang mengajar di Irlandia. Sepupunya
yang dipercaya dan mandiri itu mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Selain
itu, frekuensi dan kekuatan mimpimimpi itu mulai membuat Peter khawatir. Ia
meminta dipindahkan ke Loyola. Tahu bahwa permohonan itu akan langsung
dikabulkan, ia segera berangkat menuju Los Angeles agar lebih dekat dengan
sepupunya. Empat tahun kemudian, ia bertarung dengan pikirannya sendiri dan dengan kata
hatinya, tidak yakin bagaimanakah cara terbaik untuk menolong Maureen saat ini.
Ia ingin mempertemukan Maureen dengan atasannya di Gereja, namun ia tahu gadis
itu tidak akan setuju. Peter adalah penghubung terakhir dengan masa lalunya
sebagai penganut Katolik. Maureen memercayainya hanya karena ia adalah saudara
dan karena ia satusatunya orang dalam hidupnya yang tak pernah mengecewakannya.
Peter bangkit untuk duduk, merasa tak akan bisa tidur malam ini dan berusaha
mengenyahkan pikiran bahwa ada sekotak Marlboro di laci meja tempat lampu duduk
diletakkan. Ia telah mencoba
menghilangkan kebiasaan buruk ini. Bahkan inilah salah satu alasan mengapa ia
memilih tinggal sendirian di sebuah apartemen, bukan di perumahan Yesuit. Tapi
beban itu terlalu berat, dan ia menyerah terhadap dosa yang satu ini. Setelah
menyalakan sebatang rokok, ia menghirup napas dalam dalam dan memikirkan
persoalan yang sedang dihadapi Maureen.
Memang, selalu ada sesuatu yang istimewa jika menyangkut sepupu Amerikanya yang
mungil dan pemberani ini. Saat pertama tiba di Irlandia dengan ibunya, Maureen
adalah bocah tujuh tahun yang penakut dan penyendiri dengan logat bicara
penduduk wilayah rawa. Peter yang delapan tahun lebih tua, melindungi Maureen.
Ia mengenalkan gadis kecil itu ke anakanak di kampungnya dan tak segan-segan
meninju siapa pun yang berani mengolok-olok sang pendatang baru beraksen lucu,
hingga mata mereka lebam.
Tapi Maureen tidak membutuhkan waktu lama untuk berbaur ke dalam lingkungan
barunya. Dengan cepat ia melupakan trauma masa lalunya di Louisiana sementara
kabut Irlandia menyelimutinya dengan penerimaan. Ia menemukan perlindungan di
pedesaan. Peter dan saudarasaudara
perempuannya membawa Maureen menelusuri jalanjalan panjang, menunjukkan
kepadanya keindahan sungai dan lubang di rawa-rawa. Mereka melewati hari-hari
musim panas dengan memetik buah blackberry yang tumbuh liar di perkebunan
keluarga dan bermain sepak bola sampai matahari terbenam. Akhirnya, anakanak
setempat menerimanya seiring perasaannya yang kian nyaman dengan lingkungan baru
itu sehingga kepribadian sejatiya muncul.
Peter kerap bertanya-tanya tentang arti kata "karisma" yang sering digunakan
dalam konteks supranatural oleh gereja di masa lalu. Karisma: sebuah karunia
atau kekuatan yang diberikan oieh surga. Barangkali hal ini berlaku pada Maureen
dengan cara yang lebih gamblang dan lebih nyata dibandingkan segala yang
diimpikan. Peter menyimpan jurnal berisi percakapanpercakapannya dengan Maureen.
Kegiatan ini ia lakukan sejak
komunikasi lewat telepon jarak jauh yang pertama, dan ia mencatat pula makna
mimpimimpi itu berdasarkan pemahamannya. Dan ia berdoa setiap hari agar mendapat
petunjuk apakah Maureen adalah orang yang dipilih Tuhan untuk melakukan sebuah
tugas yang berhubungan dengan masa penderitaan, yang semakin diyakininya adalah
peristiwa yang disaksikan Maureen dalam mimpi-mimpinya. Ia jelas sangat
memerlukan bimbingan maksimal dari Sang Pencipta. Dan Gereja.
Chateau Pom me s Bleues Wilayah Languedoc, Prancis Oktober 2004
"Marie de Negre akan memilih waktu yang tepat bagi Dia Yang Dinantikan.
Perempuan yang terlahir dari domba Paschal ketika panjang siang dan malam tiada
berbeda. Perempuan yang adalah anak kebangkitan. Perempuan yang menyandang
Sangre-el akan diberikan kunci untuk mengungkapkan Hari Gelap Tengkorak.
Perempuan itu akan menjadi sang Gembala baru dan menunjukkan Jalan kepada kita."
Lord Berenger Sinclair menapaki lantai mengilap di perpustakaannya. Api dari
tungku batu yang sangat besar memancarkan nyala keemasan pada koleksi turun-
temurun berupa buku dan dokumen yang tak ternilai harganya. Sebuah umbul-umbul
usang tergantung dalam sebuah lemari kaca yang memanjang seukuran perapian
raksasa di seberangnya. Terlihat kain yang dulunya putih, namun kini menguning,
bergambar fieur-de-iis warna emas yang sudah pudar. Nama Jhesus-Maria tersulam
di kain kasar itu, tapi hanya dapat
dilihat oleh sedikit orang saja yang diberi kesempatan mendekati barang antik
ini. Sinclaire mengulang nubuat itu dengan keras berkali-kali dengan aksen
Skotlandianya sehingga huruf-huruf "r" dalam kalimat terdengar jelas. Berenger
hapal isi nubuat itu kata perkata. Ia telah mempelajarinya saat duduk di
pangkuan kakeknya ketika masih kecil. Ketika itu ia tidak mengerti artinya.
Sekadar kalimat-kalimat yang ia hapal saat bermain dengan sang kakek ketika ia
menghabiskan musim panasnya di sini, di tanah luas milik keluarganya, di
Prancis. Ia berhenti sejenak di depan sebuah gambar silsilah keturunan. Sebuah pohon
silsilah generasi-generasi selama ratusan tahun yang menutupi dinding luas mulai
dari lantai hingga langit-langit.
Sebuah gambar sangat besar yang menampilkan sejarah keturunan Berenger yang
flamboyan. Keturunan keluarga Sinclair termasuk yang tertua di Eropa. Awalnya dipanggil
Saint Clair, keluarga ini diusir dari Amerika lalu mengungsi ke Skotlandia pada
abad ke-13. Sejak itulah nama keluarga itu berubah menjadi seperti sekarang.
Para leluhur Berenger termasuk yang paling masyhur dalam sejarah Inggris. Di
antaranya James Pertama dari Inggris dan ibundanya yang terkenal, Mary, Ratu
Skotlandia. Keluarga Sinclair yang berpengaruh dan pandai berhasil melewati perang saudara
dan gejolak politik di Skotlandia. Mereka menduduki posisi penting di kedua sisi
kerajaan sepanjang sejarah negara yang penuh gejolak itu. Sebagai pemimpin
industri di abad ke-20, kakek Berenger berhasil membangun salah satu kekayaan
terbesar di Eropa, yakni sebuah perusahaan minyak Laut
Utara. Sedangkan Alistair Sinclair, biliuner dan petinggi Inggris yang memiliki
kedudukan di House of Lords, memiliki segala yang didambakan seorang manusia.
Namun ia tetap gelisah dan tak pernah puas, yang ia cari adalah sesuatu yang tak
dapat dibeli dengan kekayaan.
Kakek Alistair menjadi terobsesi dengan Prancis. Ia membeli sebuah chateaut di
luar desa Arques, di daerah barat daya. Sebuah wilayah berbatu dan misterius
yang dikenal dengan Languedoc. Rumah barunya ia namai Chateau des Pommes Bleues
Puri Apel Biru. Alasannya hanya diketahui oleh segelintir orang terdahulu.
Languedoc adalah wilayah pegunungan yang terkesan mistis. Legenda lokal tentang
harta karun dan prajurit-prajurit misterius di wilayah ini telah berumur
ratusan, bahkan ribuan tahun. Alistair Sinclair menjadi semakin terobsesi dengan
legenda Languedoc. Lelaki ini membeli tanah di daerah tersebut seluas yang bisa
ia dapatkan dan ia cari seiring kian kuatnya hasrat akan harta karun yang ia
percaya terpendam di daerah itu. Namun, koleksi yang ia cari tidak ada
hubungannya dengan emas atau kekayaan. Harta semacam itu telah dimilikinya dalam
jumlah berlimpah. Yang ia cari adalah sesuatu yang lebih berharga baginya, bagi
keluarganya, dan bagi dunia. Semakin usianya bertambah, semakin sedikit waktu
yang ia lewatkan di Skotlandia. Ia merasa berbahagia hanya ketika berada di
sini, di pegunungan merah Languedoc yang masih perawan. Alistair mengharuskan
cucu lelakinya menemani dirinya selama musimmusim panas. Dan pada akhirnya, ia
menurunkan kecintaannya pada daerah legendaris itu bahkan juga
1 Semacam puri yang banyak terdapat di daerah penghasil Anggur di Prancis.
obsesinya kepada Berenger muda.
Sekarang, di umur empat puluhan, Berenger Sinclair sekali lagi menghentikan
langkahnya kala mengelilingi perpustakaan besar itu. Kali ini di hadapan lukisan
kakeknya. Melihat bentuk wajah yang keras dan tegas, rambut hitam keriting, dan
sorot mata tajam itu, ia seolah sedang bercermin.
"Kau terlihat sangat mirip dengannya, Monsieur. Setiap hari, kau semakin mirip
dengannya, dalam banyak hal." Sinclair membalik untuk menjawab pelayan lelakinya
yang bertubuh sangat besar, Roland. Untuk seorang yang berbadan bongsor, Roland
luar biasa gesit dan sering muncul tibatiba.
"Apakah itu hal yang baik?" tanya Berenger hambar.
"Tentu. Monsieur Alistair adalah seorang lelaki yang baik, dicintai oleh
penduduk desa. Oleh ayahku, dan aku sendiri."
Sinclair mengangguk sambil tersenyum kecil. Tentu Roland akan berkata seperti
itu. Raksasa Prancis itu adalah putra Languedoc. Ayahnya sendiri berasal dari
sebuah keluarga lokal yang berakar sangat dalam di tanah legendaris ini, selain
telah menjadi orang kepercayaan Alistair di purinya. Roland dibesarkan di
lingkungan puri itu dan memahami keluarga Sinclair serta obsesi mereka yang
aneh. Ketika ayahnya meninggal secara mendadak, Roland mengambil alih posisi ayahnya
sebagai penjaga Chateau des Pommes Bleues. Ia adalah salah satu dari sedikit
orang di dunia yang dipercaya oleh Berenger Sinclair.
"Kalau kau tak berkeberatan dengan perkataanku, kami Jean Claude dan aku sedang
bekerja di ruang seberang dan mendengarmu. Kami mendengarmu mengucapkan isi
nubuatz itu." Ia melihat ke Sinclair dengan bingung. "Apakah ada masalah?"
Sinclair menyeberangi ruangan menuju sebuah meja kayu jati yang menutupi dinding
di belakangnya. "Tidak, Roland. Tidak ada masalah. Malah, kupikir pada akhirnya keadaan akan
menjadi sangat, sangat baik."
Ia mengambil sebuah buku berkulit tebal yang terletak di atas meja dan
menunjukkan sampul buku itu ke pelayannya. Sebuah sampul buku modern, non-fiksi,
berjudul: HerStory, subjudul: A Defense of History's Most Hated Heroines.
Roland melihat buku itu, bingung. "Aku tidak mengerti."
"Bukan, bukan. Balik bukunya. Lihat ini. Lihat dia."
Roland membalik buku itu untuk melihat potret sang penulis di sampul belakang
dengan teks Penuiis Maureen Paschal.
Penulis buku itu seorang perempuan menarik, berambut merah, usia tiga puluhan.
Ia berpose untuk foto itu dengan menyandarkan tangan di kursi yang ada di
depannya. Sinclair menggerakkan tangannya di atas sampul itu, berhenti tepat di
tangan sang penulis. Kecil, tapi jelas, di jari manis kanan, adalah cincin
tembaga antik dari Yerusalem, dengan gambar planet.
Roland mendongak dari buku dengan terkejut. "Sacre bleu."
"Betul," balas Sinclair. "Atau mungkin lebih tepat lagi, Sacre rouge."
Kedua lelaki itu diganggu oleh kedatangan seseorang di pintu masuk. Jean-Claude
de la Motte, seorang elit dan
2 Ramalan/prediksi ilmiah
anggota terpercaya di lingkaran dalam Pommes Bleues, melihat ke temantemannya
penuh tanda tanya. "Ada apa?" Sinclair memberi tanda kepada Jean-Claude untuk masuk. "Belum ada. Tapi
bagaimana pendapatmu tentang ini?"
Roland menyerahkan buku itu ke Jean-Claude dan menunjukkan cicin di tangan sang
penulis di sampul belakang.
Jean-Claude mengambil kacamata baca dari kantongnya dan mengamati gambar itu
beberapa saat sebelum bertanya dalam bisikan, "L'attenduel Dia Yang Dinantikan?"
Sinclair tertawa. "Ya, temanteman. Setelah bertahun tahun, akhirnya kita
menemukan sang Gembala."
... Aku lelah mengenal l\tiu\ sejak anal aku bisa mengingat, karma ayahnya dan
ayahku berteman, dan karma dia sangat dekat dengan kakak lelakiku. Utak rumah
Tuhan di Capemaeum sangat dekat dengan rumah ayah Simon-fotrus dan kami sering
mengunjunginya ketika kecil Aku ingat, kami bermain di tepi pantai di sana. Aku
jauh lebih muda dari lelaki-lelaki itu dan sering bermain sendiri, tapi aku
masih bisa mengingat suara tana mereka saat mereka bergulat satu sama lain.
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Petrus selalu lebih serius dibandingkan anak k lak i yang lain. Saudara kkkinya,
Andreas, lebih ceria. Meski begitu, mereka samasama memiliki selera humor saat masih nuda. Keceriaan
Petrus dan Andreas lenyap setelah Easa pergi. Dan mereka tidak bisa terlalu
bersa bar kepada siapa pundi antara kami yang terus meratapi musibah itu
sementara kami harus berjuangmempertahankan hidup.
Petrus sangat mirip kakak lelakiku karena ia sangat serius dengan tanggung
jawabnya terhadap keluarga. Dan setelah beranjak dewasa, ia memindahkan rasa
tanggung jawab itu pada pengajaranJalanNya. la memiliki keteguhan dan kebulatan tekad yang tak
tertandingi oleh siapa pun kecuah'para guru itu sendiri.
Itulah sebabnya ia sangat dipercaya. Tapi hagaimanapim. Easalah yang
mendidiknya. Petrus bertarung melawan kebiasaannya sendiri lebih keras
dibanditigkan yang diketahui banyak orang. Aku percaya, ia telah berkorban lebih
banyak dibandingkan yang lain. demi mengikuti JalanNya. Karena ajaran ini
menuntut banyak dari dirinya, memmtut banyak perubahan batin. Banyak orang yang
akan keliru menilainya, bahkan ada sebagian yang akan nvmbencinya. Tapi aku
tidak. Aku mencintai Petrus dan percaya padanya. Bahkan dengan putra sulungku.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID
Tiga McLean, Virginia Maret 2005
McLean, Virginia, adalah tempat yang menyenangkan, percampuran unik antara dunia
politik dan gaya hidup pinggiran kota. Keluar dari Beltway, tidak jauh dari
markas CIA, berdiri Tysons Corner, salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan
termewah di Amerika. McLean tidak dikenal sebagai sebuah pusat permukiman
spiritual. Setidaknya bagi kebanyakan orang.
Maureen Paschal sama sekali tidak memikirkan masalah masalah sakral saat ia
mengendarai mobil Ford Taurus sewaannya memasuki jalan panjang hotel Ritz-
Carlton di McLean. Jadwal besok pagi sangat padat: bangun pagi-pagi untuk
sarapan sekaligus bertemu dengan Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur,
selanjutnya kemunculan di sebuah toko besar di Tysons Corner dan memberikan
tanda tangan untuk para pembeli buku di sana.
Setelah itu, sebagian besar waktu Sabtu siang dan sore menjadi miliknya sendiri.
Bagus. Ia akan pergi melihat-lihat, seperti yang biasa ia lakukan saat berada di
sebuah kota baru. Tak peduli seberapa kecil atau sesederhana apa pun kota itu, jika Maureen belum
pernah mengunjunginya, tempat itu pasti memiliki pesona. Maureen tidak pernah gagal
menemukan batu permata di mahkota, keistimewaan di setiap tempat kunjungan yang
menjadikannya unik. Besok, ia akan menemukan permata McLean.
Menginap di hotel bukan perkara sulit. Penerbitnya telah menangani semua urusan.
Maureen hanya perlu menanda tangani selembar formulir dan mengambil kuncinya.
Kemudian naik lift dan masuk ke kamarnya yang indah, tempat ia memuaskan
kebutuhannya menjaga kerapian dengan segera
membongkar koper dan mengamati tingkat kekusutan baju-bajunya.
Maureen menyukai hotel mewah. Semua orang pasti begitu, pikirnya, tapi ia
bertingkah seperti anak kecil saat berada di hotel mewah. Dengan teliti ia
mengamati perlengkapan kamar, isi kulkas kecil, baju kamar yang bersulam indah
di belakang pintu kamar mandi, dan tersenyum saat melihat telepon sambungan di
samping toilet. Ia bersumpah tak akan pernah terlalu lelah hingga tak bisa menikmati kesenangan-
kesenangan kecil ini. Barangkali tahuntahun saat ia harus berhemat, makan mi
instan Top Ramen, Pop Tarts, dan roti selai kacang, saat proyek risetnya
menguras sisa tabungannya, ternyata baik untuknya. Pengalaman pengalaman awal
itu membantunya menghargai hal-hal kecil yang mulai dianugerahkan kepadanya.
Ia melihat ke sekeliling ruangan yang luas dan merasa sedikit menyesal di luar
kesuksesannya sekarang, tak ada orang yang bisa dijadikannya tempat untuk
berbagi segala yang telah dicapainya. Ia sendirian, selalu
sendirian, dan mungkin akan terus sendirian...
Maureen segera berhenti mengasihani diri sendiri, dan menengok ke sumber hiburan
terampuh untuk mengalihkan pikirannya dari hal yang mengganggu itu. Beberapa
pusat perbelanjaan paling menarik di Amerika telah menunggu di luar pintu. Ia
mengambil tas, memastikan apakah kartu-kartu kreditnya ada di sana, lalu
melangkah keluar untuk merayakan kebudayaan Tysons Corner.
f Perkumpulan Wanita Penulis Wilayah Timur melangsungkan acara sarapan pagi di
sebuah aula konferensi Ritz-Carlton di McLean. Maureen mengenakan "seragam"
andalannya sebuah setelan jas bermerek yang konservatif, sepatu berhak tinggi,
dan sepercik Chanel No.S. Tiba di aula tepat pukul 9:00 pagi, ia menolak untuk
makan dan meminta secangkir teh Irlandia untuk sarapan. Makan sebelum sesi
tanyajawab bukan ide baik bagi Maureen karena akan membuatnya mual,
Maureen merasa tak segugup biasanya pagi ini karena moderator acaranya adalah
seorang teman, perempuan bernama Jenna Rosenberg. Maureen telah berkomunikasi
dengannya selama beberapa minggu untuk mempersiapkan diri. Dan yang paling
penting, Jenna menggemari karya Maureen dan bisa mengutip karyanya secara rinci.
Itu saja sudah membuat Maureen tenang. Lagi pula, acaranya diselenggarakan
secara sederhana dengan meja-meja kecil yang berkumpul menyatu sehingga tidak
memerlukan mikrofon. Jenna memulai sesi tanyajawab dengan sebuah pertanyaan sederhana tapi penting.
"Apa yang menginspirasikan Anda menulis buku ini?" Maureen menaruh gelas tehnya
dan menjawab. "Saya pernah membaca bahwa bukubuku sejarah a-wal Inggris diterjemahkan oleh
sebuah sekte biarawan yang tidak percaya bahwa perempuan memiliki jiwa. Mereka
menganggap kejahatan bersumber dari perempuan. Merekalah yang pertama kali mengubah legenda King
Arthur dan sesuatu yang kita anggap sebagai Camelot. Guinevere menjadi seorang
penyeleweng licik alih-alih seorang ratu pejuang yang penuh kuasa. Morgan le Fey
menjadi saudara perempuan Arthur yang
menjerumuskannya hingga melakukan inses, alih-alih seorang pemimpin spiritual
bangsa, sebagaimana yang disebutkan legenda awal.
"Pemahaman itu mengejutkan dan membuat saya bertanya: apakah tulisan-tulisan
sejarah lainnya yang menggambarkan perempuan juga didasari sudut pandang yang
sangat bias seperti ini" Perspektif semacam itu jelas telah meluas dalam
sejarah. Ini membuat saya memikirkan perempuanperempuan yang mungkin telah
mendapat perlakuan seperti itu. Dari sanalah riset saya berawal."
Jenna memberi kesempatan para peserta yang menempati meja-meja di sekeliling
mereka untuk mengajukan pertanyaan. Setelah beberapa tanyajawab tentang
literatur feminis dan isuisu kesetaraan dalam industri penerbitan, muncul sebuah
pertanyaan dari seorang perempuan muda yang mengenakan salib emas kecil di atas
blus sutranya. "Bagi kami yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional, bab mengenai Maria
Magdalena sangat membuka mata. Anda melukiskannya sebagai seorang perempuan yang
jauh dari kesan seorang pelacur yang melakukan pertobatan, jauh dari kesan seorang perempuan nista. Tapi saya masih belum yakin
apakah gambaran itu bisa dipercaya."
Maureen mengangguk paham sebelum memberikan jawaban. "Vatikan pun menyimpulkan
bahwa Maria Magdalena bukan seorang pelacur dan bahwa kita tidak seharusnya terus
mengajarkan kebohongan itu di sekolah Minggu. Sudah lebih dari tiga puluh tahun sejak
Vatikan mengumumkan secara formal bahwa Maria bukanlah seorang perempuan nista
seperti yang disebutkan dalam injil Lukas. Dan bahwa Paus Gregorius yang Agung
telah rnenciptakan cerita itu demi meneruskan tujuannya sendiri pada Masa
Kegelapan. Tapi opini publik selama dua rnilenia sulit dihapuskan.
Pengakuan Vatikan atas kesalahan yang mereka lakukan pada tahun 1960an terbukti
tidak lebih efektif dibandingkan penarikan berita yang dicantumkan di halaman
terakhir surat kabar. Jadi pada dasarnya Maria Magdalena menjadi pendahulu para
perempuan yang disalahpahami. Dialah perempuan penting pertama yang riwayatnya
diubah dan dirusak secara sengaja dan tidak tanggung-tanggung oleh para penulis
sejarah. Padahal dia pengikut Kristus yang taat, bahkan mungkin pantas dianggap sebagai
seorang rasul. Meski begitu, namanya nyaris tak pernah disebut dalam injil-
injil." Jena menyela, jelas terlihat sangat tertarik dengan topik itu. "Tapi sekarang
ada begitu banyak spekulasi tentang Maria Magdalena. Misalnya bahwa ia memiliki
hubungan yang sangat dekat dengan Kristus."
Perempuan yang mengenakan salib mengernyit, tapi Jenna melanjutkan. "Anda tidak
membahas isuisu ini dalam buku Anda, saya ingin tahu bagaimana pendapat Anda
mengenai teoriteori tersebut."
"Saya tidak membahasnya karena saya tidak percaya ada bukti-bukti yang mendukung
klaim-klaim itu banyak yang menarik dan kemungkinan mengandung harapan, tapi
tidak ada bukti. Para teolog setuju dengan pendapat ini. Yang pasti, sebagai
seorang penulis yang menghargai diri sendiri, tidak ada yang bisa saya dukung
sebagai fakta yang kemudian saya kutip dalam buku saya. Walaupun begitu, bisa
saya katakan bahwa ada beberapa dokumen otentik yang mengisyaratkan kemungkinan
adanya hubungan dekat antara Yesus dan Maria Magdalena. Sebuah injil yang ditemukan di
Mesir tahun 1945 mengatakan 'teman Juru Selamat adalah Maria Magdalena. Ia lebih mencintainya
dibandingkan seluruh murid, dan sering menciumnya di bibir.'
"Tentu saja, i n j i Ii n j i I ini dipertanyakan pihak Gereja dan, seperti yang
kita ketahui, bisa saja merupakan National Enquirer versi abad kesatu. Menurut
saya, kita harus berhati-hati dalam hal ini, karena itulah saya menulis hanya
yang saya yakini. Dan saya yakin, Maria Magdalena bukan seorang pelacur, ia
adalah pengikut Yesus yang penting. Bahkan kemungkinan yang paling penting,
karena dialah orang pertama yang dipilih sang Raja untuk melihat kehadiranNya
setelah dibangkitkan. Lebih dari itu, saya tidak mau mereka-reka perannya dalam
kehidupan Dia. Karena itu berarti tidak bertanggung jawab."
Maureen menjawab pertanyaan itu dengan hatihati, seperti biasanya. Tapi ia
selalu berspekulasi bahwa jatuhnya Maria Magdalena kemungkinan karena ia terlalu
dekat dengan sang Pemimpin, sehingga para murid lelaki merasa cemburu dan
kemudian berusaha merusak namanya. Berdasarkan
dokumendokumen abad ke-2 yang
ditemukan di Mesir itu, Santo Petrus mencela dan memarahi Maria Magdalena secara
terang-terangan. Dan dalam tulisan-tulisan Santo Paulus yang muncul belakangan, tampaknya ia
menghilangkan seluruh referensi tentang pentingnya perempuan dalam kehidupan
Kristus secara terencana.
Sebagai akibatnya, cukup banyak waktu riset Maureen yang tersita untuk memilah
doktrin yang terkait dengan Paulus. Paulus, murid yang berubah menjadi menjadi
sosok penganiaya, telah membentuk pemikiran Kristiani dengan
observasiobservasinya. Meskipun terbentang jarak yang sangat jauh secara
filosofis dan harfiah antara dia dengan Yesus dan para pengikut terpilih serta
keluarga sang Juru Selamat. Ia tidak memiliki pengetahuan langsung tentang
ajaranajaran Kristus. Seorang "murid" yang begitu membenci perempuan dan
manipulatif secara politik tidak mungkin mengukir nama Maria Magdalena sebagai
pelayan Kristus yang paling berbakti.
Maureen bertekad membela Maria. Ia memandangnya sebagai contoh terbaik bagi
perempuan yang terkucilkan dalam sejarah, seorang ibu yang disalahpahami. Pada
dasarnya, jika tidak pada bentuknya, kisah Magdalena terulang di kehidupan
perempuanperempuan lain yang telah dipilih Maureen untuk dibela dalam HerStory.
Tapi Maureen merasa penting untuk menjaga bab-bab mengenai Magdalena tetap
sedekat mungkin dengan teori akademis yang bisa dibuktikan. Sedikit saja
indikasi "new age"
atau hipotesis lain tentang hubungan Maria dengan Yesus yang tak terbuktikan,
berpotensi membatalkan isi riset selebihnya dan merusak Citranya. Ia tergolong
orang yang terlalu berhati-hati dalam hidup dan pekerjaannya
untuk mengambil risiko itu. Terlepas dari nalurinya, Maureen menolak semua teori
alternatif mengenai Maria Magdalena. Ia memilih berpegang kepada fakta-fakta
yang tak tergoyahkan. Tak lama setelah ia mengambil pilihan itu, mimpimimpi itu kembali datang dengan
kuat. f Tangan kanannya sudah pegal sekali dan senyuman nyaris absen dari wajahnya, tapi
Maureen terus bekerja. Kehadirannya di toko buku dijadwalkan berlangsung selama
dua jam, termasuk istirahat dua puluh menit. Tapi ia sudah memasuki jam ketiga
sekarang, tanpa mengambil istirahat, dan besikeras untuk terus memberi tanda
tangan sampai pelanggan terakhir merasa puas. Mauren tak akan pernah menolak
seorang pembaca. Ia tak akan meremehkan publik pembeli buku yang telah mengubah
impiannya menjadi kenyataan.
Ia sangat bersyukur melihat banyaknya jumlah lelaki di antara kerumunan hari
ini. Topik permasalahan yang ia angkat mengindikasikan kalangan pembacanya kebanyakan
perempuan. Tapi ia berharap cara penulisannya akan memikat semua orang yang
memiliki pikiran terbuka dan akal sehat.
Tujuan utamanya menulis buku itu adalah membalas perlakuan keliru para sejarawan
pria terhadap perempuanperempuan kuat. Meskipun demikian, risetnya menunjukkan
bahwa motivasi di balik pengungkapan sejarah ke atas kertas dengan cara yang
begitu pilih bulu sebagian besar bersifat politis dan agamis. Gender menempati
urutan kedua. Maureen telah menjelaskan hal ini dalam sebuah
penampilan di televisi baru-baru ini. Ia menggambarkan Marie Antoinette sebagai
sebuah contoh yang mungkin paling jelas bagi teori sosio-politik itu karena
kebanyakan tulisan tentang Revolusi Prancis ditulis oleh para revolusioner.
Sedangkan sang ratu yang terkekang, secara umum dipersalahkan lantaran gaya
hidup keluarga kerajaan Prancis yang berlebihan. Padahal ia benarbenar tidak
tersangkut paut dengan munculnya tradisi tersebut. Bahkan sebenarnya Marie
Antoinette mewarisi caracara bangsawan Prancis ketika ia datang dari Austria
sebagai tunangan putra sulung raja, yang kelak menjadi Louis XVI. Meskipun ia
sendiri adalah anak perempuan Maria Theresa yang agung,
permaisuri Austria tersebut tidaklah terbiasa dengan kemewahan dan kemanjaan
kerajaan. Malahan, ia terbilang kejam dan pelit untuk seorang perempuan dengan
status seperti dia. Ia membesarkan anakanak perempuannya, termasuk Antoinette
yang masih kecil, dengan sangat tegas. Sang pewaris tahta yang masih belia
tentunya terpaksa beradaptasi dengan kebiasaan Prancis secepat mungkin demi
bertahan hidup. Istana Versailles, monumen yang menunjukkan kemegahan Prancis, telah dibangun
beberapa dasawarsa sebelum Marie Antoinette lahir. Meskipun demikian, bangunan itu
menjadi monumen penting legenda keserakahan Marie. Balasan terkenal atas ucapan
"Rakyat jelata kelaparan mereka tidak punya roti untuk dimakan" sesungguhnya
diucapkan seorang gundik kerajaan, seorang
perempuan yang telah lama mati, bahkan sebelum perempuan muda Austria ini tiba
di Paris. Tapi sampai hari ini, kalimat "Biarkan mereka makan kue" disebut
sebagai biang keladi meledaknya revolusi. Dengan satu kalimat itu, Pemerintahan
Teror dan semua pertumpahan darah dan
kejahatan yang menyusul jatuhnya Bastille menjadi terjustifikasi.
Padahal Marie Antoinette yang bernasib tragis tak pernah mengucapkan kalimat
berdarah itu. Maureen sangat bersimpati dengan ratu Prancis yang bernasib buruk itu. Dibenci
sebagai seorang asing sejak hari kedatangannya, Marie Antoinette adalah korban
rasisme yang kejam dan terarah.
Sangat mudah bagi para bangsawan Prancis abad ke-18 yang sangat etnosentrik
untuk menghubungkan segala keadaan politik dan sosial yang negatif dengan ratu
mereka yang lahir di Austria itu. Maureen sangat terkejut dengan sikap ini saat
kujungan risetnya ke Prancis. Pemandu wisata di Versailles yang berbicara dalam
bahasa Inggris masih memberi penjelasan sangat kejam tentang sang anggota
kerajaan yang dipenggal. Bukti sejarah yang membersihkan Marie Antoinette dari
banyak perbuatan perbuatan keji yang dituduhkan kepadanya tak digubris. Dan
semua ini masih di luar dari kenyataan bahwa sang ratu telah dipenggal secara
brutal dua ratus tahun lalu.
Kunjungan pertama ke Versailles memberi Maureen semangat dalam melakukan riset.
Telah begitu banyak buku yang ia baca, mulai dari deskripsi paling akademis
tentang Prancis pada abad ke-18
sampai novel-novel panjang yang menawarkan perspektif tentang ratu yang satu
ini. Gambaran keseluruhannya bervariatif, tapi tidak terlalu dramatis
dibandingkan karikatur yang telah luas diterima. Yakni, bahwa ia perempuan yang
dangkal, senang memanjakan diri, dan tidak terlalu pandai.
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maureen menolak potret ini. Bagaimana dengan Marie Antoinette sebagai seorang
ibu seorang perempuan yang berduka dengan kematian bayi perempuannya, dan
kemudian harus kehilangan anak lelaki kesayangannya pula" Dan ada Marie sebagai
seorang istri, yang ditukar bak sebuah barang pada meja catur politik yang
terkenal. Seorang anak perempuan berumur empat belas tahun yang dikawinkan
dengan seorang asing di sebuah tanah antah berantah lalu ditolak oleh keluarga
sang lelaki, dan kemudian juga oleh bawahan-bawahannya. Dan terakhir, ada Marie
sang kambing hitam, seorang perempuan yang menunggu dalam kurungan sementara
orangorang yang sangat dicintainya dibantai atas namanya sendiri. Sahabat karib
Marie, Puteri Lamballe, benarbenar dicabik-cabik hingga tubuhnya hancur oleh
pemberontak. Potongan badannya dan cabikan yang lain ditusuk dengan sebatang
tombak lalu dipertontonkan melewati jendela sel Marie.
Maureen telah bertekad untuk memberikan gambaran yang bersimpati, namun tetap
realistis, terhadap salah satu anggota kerajaan yang paling dibenci sepanjang
sejarah ini. Hasilnya sungguh luar biasa.
Salah satu bagian dalam HerStory karyanya mendapat perhatian besar dan
mengundang perdebatan. Tapi dari begitu banyak kontroversi tentang Marie, ia tetap menempati urutan
kedua setelah Maria Magdalena. Maureen sedang membicarakan daya tarik
supranatural Maria Magdalena dengan
seseorang berambut pirang yang berdiri di hadapannya.
"Tahukah Anda bahwa McLean dianggap sebagai sebuah tempat suci bagi para
pengikut Maria Magdalena?" tanya perempuan itu tibatiba.
Maureen membuka mulut untuk berbicara lalu menutupnya lagi sebelum berhasil
mengatakan, "Tidak, saya tidak tahu apa pun tentang hal itu." Itu dia lagi,
getaran listrik yang menyengatnya setiap kali ada hal aneh di sekitarnya.
Maureen dapat merasakannya datang lagi, bahkan di sini, di bawah sorotan lampu neon di sebuah
pusat perbelanjaan Amerika. Maureen menguatkan diri dengan menarik napas dalam-
dalam. "Oke, saya menyerah.
Bagaimana McLean, Virginia, memiliki keterkaitan dengan Maria Magdalena?"
Perempuan itu menyodorkan sebuah kartu bisnis kepada Maureen. "Saya tidak tahu
apakah Anda memiliki waktu luang selama berada di sini. Tapi jika ada, silakan
datang menemui saya." Kartu bisnis itu bertuliskan "Toko buku Cahaya Suci,
Rachel Martel, pemilik".
"Tokonya jauh dibandingkan ini, tentu saja," kata perempuan yang Maureen kira
adalah Rachel, menunjuk ke toko buku sangat besar tempat mereka berada. "Tapi
saya pikir, kami memiliki beberapa buku yang mungkin sangat menarik bagi Anda.
Ditulis oleh penduduk lokal dan diterbitkan sendiri.
Tentang Maria. Maria kita."
Maureen menelan ludah lagi, menegaskan apakah perempuan itu benar Rachel Martel,
lalu menanyakan alamat Cahaya Suci.
Samar terdengar suara batuk di sebelah kiri Maureen, ia mendongak dan
mendapatkan sang manajer toko buku memberi isyarat bahwa antrean harus terus
berjalan. Maureen melotot ke pria itu sebelum kembali ke Rachel.
"Apakah Anda akan berada di sana sore ini" Waktu luang saya hanya sore ini."
"Tentu saya ada di sana. Letak toko kami hanya masuk beberapa mil dari jalan
utama. McLean tidak begitu besar. Anda akan mudah menemukannya. Telepon saya
sebelum Anda pergi jika Anda
memerlukan panduan. Terima kasih untuk tanda tangannya, dan saya berharap
bertemu Anda nanti."
Saat memerhatikan perempuan itu berlalu dari mejanya, Maureen melirik manajer
toko. "Lagi pula, rasanya aku perlu beristirahat," katanya pelan.
Paris (Kota Administratif Pertama) Caveau des Mousqtietaires Maret 2005
Ruang batu bawah tanah yang tak berjendela di sebuah gedung kuno itu telah
dikenal sebagai Caveau des Mousquetaires selama orang bisa mengingat. Ketika
Louvre masih menjadi tempat tinggal raja-raja Prancis, lokasinya yang dekat
dengan museum itu menjadikannya tempat yang strategis, dan masih begitu hingga
zaman modern ini. Suatu tempat tersembunyi dalam bangunan itu menjadi terkenal
berkat karya Alexandre Dumas. Para jagoan di dalam novel Dumas diilhami
tokohtokoh sungguhan yang menjalani misi sungguhan pula. Ruangan ini adalah
tempat pertemuan rahasia pengawal ratu setelah Kardinal Richelieu yang sadis
memaksa mereka untuk menyingkir. Dalam kenyataannya, para Musketeer itu tidak
bersumpah demi melindungi Raja Prancis Louis XIII, tapi justru sang ratu. Anne
dari Austria adalah anak perempuan dari keturunan yang jauh lebih tua dan agung
dibandingkan suaminya. Dumas pasti akan gemetar dalam kuburnya jika tahu bahwa tempat yang dulunya suci
ini telah jatuh ke tangan musuh. Pada malam ini, ruangan bak gua itu menjadi
tempat pertemuan suatu perkumpulan rahasia yang lain. Organisasi yang sedang
menempatinya bukan saja 1500 tahun lebih tua dari para Musketeer, tapi juga
menentang misi mereka dengan sebuah ikrar sumpah mati.
Diterangi dua puluh empat lilin, bayangan-bayangan menari di dinding,
memantulkan warna dan siluet sekumpulan lelaki berjubah. Mereka berdiri
mengelilingi sebuah meja kotak yang telah usang.
Meskipun wajah mereka tak bisa dikenali dalam cahaya remang-remang, logo
Persekutuan mereka yang khas jelas terlihat pada pakaian mereka masingmasing
seuntai pita merah yang terikat erat di leher. Terdengar suarasuara pelan dalam
berbagai aksen: Inggris, Prancis, Italia, dan Amerika. Dan suara itu berhenti
begitu pemimpin mereka menempati kursinya di ujung meja. Di hadapannya, sebuah
tengkorak manusia yang mengilap, ditaruh di atas sebuah piring berlapis emas,
bersinar ditimpa cahaya lilin. Di satu sisi tengkorak terdapat sebuah gelas
anggur, berhiaskan lingkaran lingkaran emas dan bertatahkan batubatu permata
seperti yang terdapat di piring. Di sisi lain tengkorak, berdiri sebuah salib
berpatung Yesus hasil pahatan tangan, wajah Kristus menunduk.
Sang pemimpin menyentuh tengkorak itu dengan penuh hormat sebelum mengangkat
gelas emas berisi cairan merah. Ia berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Oxford.
"Darah sang Guru Keadilan."
Ia meneguk perlahan sebelum memberikan gelas itu ke lelaki di sebelah kirinya.
Lelaki itu mengambil gelas dengan sebuah anggukan, mengulangi moto itu dalam
bahasa Prancis, lalu meneguknya. Setiap anggota Persekutuan megulang ritual ini,
mengucap moto dalam bahasanya masingmasing, sampai gelas itu kembali ke ujung
meja. Sang pemimpin perlahan meletakkan gelas itu di
depannya. Kemudian ia mengangkat piring dan mengecup tengkorak itu dengan hormat
pada tulang alisnya. Sama seperti gelas tadi, ia menyodorkan tengkorak itu ke
sebelah kiri dan setiap anggota perkumpulan mengulangi tindakan yang ia lakukan.
Ritual ini dilakukan dalam keheningan, seolah terlalu suci untuk dinodai
katakata. Selesai dikelilingkan di antara para penyembah, tengkorak itu berakhir di tangan
sang pemimpin. Ia mengangkat piring itu tinggi-tinggi sebelum mengembalikannya
ke atas meja dengan bangga sambil mengucapkan, "Yang pertama. Satusatunya."
Sang pemimpin berhenti sejenak, lalu mengangkat salib kayu itu. Kemudian salib
itu diputar sehingga patung Yesus menghadapnya lalu ia meludahi muka Yesus
Kristus dengan penuh kebencian.
...Sarah-lamar string dalang dan membaca keaangan-kenanganku sementara aku
menulis, la mengingatkan bah ita aku beltunmenjelaskanperilial Petrus dan sesuatu yang
diketahui sebagai pengingkarannya.
Sehgianmngnrnilaiburiikdirinyadan menjulukinya Prtrus in Gallkantu Petnisyang
mengingkari. Tapi pandangan ini tidak adil. Ada sesuatu yang tidak bisa
diketahui okh mereka yang berpandangan seperti ini. yaitu bahwa fctrvs tidak
melakukan apa pun selain memenuhi keinginan Easa. Aku mendengar beberapa orang
di antara pengikut sekarang mengatakan bahwa frtrus memenuhi nubuat Easa. Bahwa
Easa berkata ke Petrus. "Kauakan mengingkariku, " dan Petrus berkala, 'Tidak,
aku tidak akan melakukannya. "
Inilah yang sebenarnya. Easamtnyvruh Petrusmengingkar inya. Ini bukanlah sebuah
nubuat Akan Mapi sebuah perinlah Easa tahu bahwa jika lial terburuk terjadi, ia
akan membutuhkan Rtrus. di antara sehmih murid yang paling dipercayainya, untuk
menjaga keselamatan. Dengan kegigihan Petrus.
ajaranajaran itu akan terus menyebar ke seluruh penjuru dunia seperti yang
selalu dimimpikan Easa. Dan kemudian Easa berkata kepadanya. ~Kau akan mengingkariku, 'tapi dengan
kepedihannya. Petrus berkata. 'Tidak, aku tidak bisa."
Tapi Easa melanjutkan. 'Kau harus nrngingkariku agar kau bisa selamat dan
ajaranajaran JalanNya akan berlanjut.'
Inilah kebenaran dari 'pengingkaran ' Petrus Sebenarnya bukanlah sebuah
pengingkaran, karena ia mematuhi perintah-perintah gurunya. Aku yakin akan hal
ini. karena aku berada di sana dan aku menyaksikan.
INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID
Empat McLean, Virginia Maret 2005
Detak jantung Maureen berdegup luar biasa cepat saat ia mengendarai mobilnya
melewati jalan utama di McLean. Ia sungguh tak siap memenuhi undangan aneh dari
Rachel Martel. Tapi pada saat yang sama, ia juga sangat tergetar karenanya.
Selalu seperti ini. Hidupnya terhubung dengan
kejadiankejadian aneh dan kadang mendebarkan. Kejadiankejadian tak terduga yang
akan memengaruhi hidupnya untuk selamanya. Akankah peristiwa ini menambah deretan
peristiwa supranatural itu" Maureen terutama penasaran, informasi apa, menyangkut Maria,
yang akan ia dapatkan. Penasaran" Bukan kata yang cukup kuat. Terobsesi" Lebih
tepat. Hubungannya dengan legenda Maria Magdalena telah menjadi kekuatan dominan dalam
kehidupannya sejak ia memulai risetnya untuk HerStory. Sejak visi pertama di
Yerusalem, Maureen mendapat sebuah kesan nyata tentang Maria Magdalena sebagai
seorang perempuan yang riil. Bahkan hampir seperti seorang teman. Saat
mengerjakan draf terakhir bukunya, Maureen merasa seolah-olah sedang berjuang
demi seorang teman yang telah dilecehkan oleh pers. Hubungannya dengan Maria sangat nyata. Atau mungkin
lebih tepatnya, di luar batas nyata.
Toko buku Cahaya Suci berukuran kecil, meskipun di depannya ada jendela besar
yang menjorok keluar, menampilkan malaikat-malaikat dalam segala deskripsi dan
praktis dalam segala bahan. Ada bukubuku tentang malaikat, patung-patung
malaikat, dan banyak kristal-kristal berkilau dikelilingi karya seni trendi yang
menggambarkan malaikat, dipajang di jendela itu. Maureen merasa Rachel sendiri
berpenampilan agak seperti malaikat: sedikit gemuk dengan rambut keriting yang
sangat pirang mengelilingi sebuah paras manis. Bahkan saat penandatanganan buku
tadi siang, ia menggunakan pakaian atas-bawah dari bahan putih tipis yang melayang.
Gemerincing lonceng mengumumkan kedatangan Maureen saat ia membuka pintu dan
melangkah memasuki versi lebih besar jendela yang memajang bukubuku tadi. Rachel Martel
sedang menunduk di belakang meja pajang, mengaduk-aduk isi suatu kotak untuk
menemukan perhiasan yang pas untuk seorang pelanggan. "Yang ini?" tanyanya
kepada seorang gadis muda, mungkin delapan belas atau sembilan belas tahun.
"Ya itu dia." Gadis itu mengulurkan tangan untuk mengamati ujung kristal, sebuah
batu ungu yang terpasang pada perak. "Ini amethyst, 'kan?"
"Sebenarnya ametrine," koreksi Rachel. Ia baru sadar Maureenlah yang membunyikan
lonceng di pintunya. Rachel tersenyum sekilas yang mengatakan "aku akan segera
bersamamu", sebelum melanjutkan percakapan dengan pelanggannya. "Ametrine adalah amethyst yang
mengandung sitrin. Coba, jika kau angkat di depan lampu, kau bisa melihat emas
cantik di tengahnya."
Pelanggan remaja itu menerawang batu kristal itu ke hadapan cahaya. "Cantik
sekali," serunya. "Tapi aku diberi tahu bahwa yang aku perlukan adalah amethyst.
Apakah ini fungsinya sama?"
"Ya, bahkan lebih," senyum Rachel dengan sabar. "Amethyst dipercaya dapat
memperluas alam spiritualmu, dan sitrin bagus untuk menyeimbangkan emosi dalam
raga. Secara keseluruhan, batu ini sebuah kombinasi yang ampuh. Tapi aku punya
amethyst murni di sebelah sini, kalau kau mau."
Maureen hanya setengah-setengah mendengarkan perbincangan itu. Ia jauh lebih
tertarik dengan bukubuku yang telah diceritakan Rachel. Rak-rak buku tampaknya
disusun menurut topik, Maureen menelusurinya dengan cepat. Ada bukubuku tentang
Penduduk Asli Amerika, ada pula seksi Celtici yang mungkin akan diamatinya lain
hari, dan ada seksi malaikat sesuatu yang banyak terlihat di ruangan ini.
Di sebelah kanan seksi ini adalah bukubuku tentang pemikiran Kristen. Aha, aku
pasti sudah dekat. Maureen terus mencari dan berhenti tibatiba. Di sana ada sebuah buku besar warna
putih dengan huruf tebal hitam MAGDALENA.
"Tampaknya kau sudah berhasil menemukannya tanpa bantuanku!"
Maureen melonjak kaget, tak mendengar kedatangan Rachel dari belakangnya.
Pelanggan muda itu membuat lonceng pintu berbunyi saat ia keluar dari toko,
1 Rumpun bahasa yang digunakan penduduk Inggris, Wales, Irlandia barat, dan
Dataran tinggi Skotlandia.
tangannya menggenggam tas kecil warna biru dan putih berisi kristal pilihannya.
"Ini salah satu di antara bukubuku yang aku ceritakan padamu. Bukubuku lainnya
lebih tipis. Ini, menurutku kau harus melihat yang satu ini."
Rachel mengambil sebuah buku tipis, tidak lebih tebal dibandingkan sebuah
pamflet, dari lemari setinggi mata. Sampulnya merah muda dan kelihatannya
dicetak dengan komputer rumahan. Mary in McLean, judulnya, tertulis dalam Times
New Roman, 24 poin. "Maria yang mana ini?" tanya Maureen. Saat menulis bukunya, ia telah menelusuri
sejumlah publikasi yang ternyata merujuk ke Bunda Maria, bukan Magdalena.
"Mariamu," kata Rachel sambil tersenyum penuh arti.
Maureen setengah tersenyum ke perempuan itu. Memang, Mariaku, la mulai merasa
seperti itu. "Tak perlu dijelaskan lagi, karena ditulis oleh seorang penduduk lokal.
Komunitas spiritual di Mclean tahu buku ini tentang Maria Magdalena. Seperti
yang telah aku katakan sebelumnya, dia memiliki pengikutnya sendiri di sini."
Rachel kemudian menjelaskan bahwa selama beberapa generasi, penduduk kota kecil
di Virginia ini telah melaporkan visivisi spiritual. "Yesus terlihat di sini
dalam hampir seratus kejadian yang terdokumentasi pada abad terakhir. Anehnya,
Ia sering terlihat berdiri di sisi jalan jalan utama yang kau lalui untuk sampai
ke sini. Beberapa di antara visi itu berupa Yesus yang mengemban salib, juga
terlihat di jalan utama. Ada juga yang mengatakan visi itu berupa Yesus yang
berjalan dengan seorang perempuan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa perempuan
itu bertubuh mungil dan berambut panjang."
Rachel membolak-balik buku itu, menunjukkan berbagai bab. "Visi pertama
didokumentasikan pada awal abad ke-20. Perempuan yang melihat visi itu adalah
Gwendolyn Maddox. Peristiwa itu terjadi di halaman belakangnya, di antara tempat
tempat lain. Ia yakin bahwa perempuan yang bersama Kristus adalah Maria
Magdalena, sementara pendeta gerejanya besikeras bahwa perempuan itu adalah
Perawan Maria. Memang, kita akan mendapat nilai lebih dari Vatikankalau kita
melihat Dia. Tapi Gwen tua itu berkeras bahwa yang dilihatnya itu Maria
Magdalena. Ia mengatakan tak tahu bagaimana ia tahu, ia tahu saja. Dan Gwen juga
mengatakan bahwa visi itu telah menyembuhkannya dari penyakit artritis rematoid
yang parah. Itulah sebabnya ia membuat tempat persembahan dan membuka
halamannya untuk publik. Sampai hari ini, penduduk lokal berdoa kepada Maria
Magdalena untuk mendapat kesembuhan.
"Yang juga menarik, tak ada keturunan Gwen yang menderita artritis rematoid,
padahal sepengetahuanku penyakit itu menurun. Aku merasa sangat bersyukur, sama seperti
ibu dan nenekku. Aku adalah cicit Gwen dolyn."
Maureen melihat buku di tangannya. Ia tidak membaca tulisan kecil di bagian
bawah pamflet itu tadi. Oleh: Rachel Maddox Martel.
Rachel menyerahkan buku itu ke Maureen. "Hadiah untukmu. Tulisan ini
menceritakan kisah Gwen, dan beberapa uraian tentang visivisi itu. Sekarang buku
yang satu ini" Rachel menunjuk buku besar warna putih dengan judul tebal warna
hitam MAGDALENA"\n\ juga ditulis oleh penduduk McLean.
Penulisnya cukup banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari visivisi Maria
Magdalena di wilayah ini. Selain itu ia juga banyak melakukan riset. Buku ini
membahas teoriteori tentang Magdalena. Jika boleh aku katakan, beberapa di
antaranya terlalu aneh, bahkan bagiku sendiri. Tapi bacaan ini menakjubkan, kau
tak akan menemukannya di tempat lain karena buku ini tidak
disebarluaskan."
The Expected One Karya Kathleen Mcgowan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan aku ambil, pasti," Maureen sedikit melamun. Pikirannya melayang ke tempat
lain secara bersamaan. "Menurutmu, kenapa McLean" Maksudku, di antara semua
tempat di Amerika, kenapa ia datang ke sini?"
Rachel tersenyum dan mengangkat bahunya sedikit. "Aku tidak mempunyai jawaban
untuk itu. Barangkali peristiwa seperti ini juga terjadi di tempattempat lain di Amerika,
tapi mereka hanya menyimpannya. Atau mungkin tempat ini memiliki keistimewaan.
Yang aku tahu, orangorang yang memiliki minat spiritual terhadap kehidupan Maria
Magdalena cepat atau lambat cenderung datang ke McLean. Tak bisa aku katakan,
betapa banyak orang yang datang ke toko ini mencari bukubuku khusus tentang dia.
Dan sepertimu, sebelumnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mereka sadari
tentang keterkaitan Magdalena di kota ini. Tak mungkin hanya kebetulan, bukan"
Aku percaya Maria menarik\ pengikutnya ke sini, ke McLean."
Maureen memikirkan hal itu sejenak sebelum menjawab. "Kautahu...," ia memulai
perlahan, masih mengatur pikirannya. "Saat merencanakan perjalanan ini, semula
aku berniat menginap di D.C. Ada seorang teman baik di sana, dan lebih mudah
berkendara ke McLean untuk penandatanganan buku dari sana. Urusan penerbangan
pun membuatku memilih D.C, tapi pada menit terakhir, aku memutuskan untuk
menginap di sini." Rachel tersenyum selama mendengarkan Maureen menjelaskan perubahan rencana
perjalanannya. "Lihat. Maria membawamu ke sini. Berjanjilah padaku, jika kau melihatnya saat
mengemudikan mobil di McLean ini, jangan lupa menelepon dan menceritakannya
padaku." "Apakah kau pernah melihatnya?" Maureen harus
tahu. Rachel mengetuk buku tipis merah muda di tangan Maureen dengan ujung kukunya.
"Ya, dan buku ini sebenarnya adalah sebuah penjelasan bagaimana visivisi itu
diturunkan dalam keluargaku," jelasnya dengan nada yang begitu wajar. "Yang
pertama kali, aku masih sangat muda. Empat atau lima tahun, mungkin. Di kebun
nenekku, di tempat pemujaan itu. Maria sedang sendiri pertama kali aku
melihatnya. Visi kedua terjadi saat aku remaja. Di suatu 'pinggiran jalan,' itu
julukan yang kami berikan. Dan Maria terlihat bersama Yesus. Sangat aneh. Aku
berada dalam mobil yang penuh dengan anakanak perempuan, kami dalam perjalanan
pulang dari pertandingan sepak bola sekolah. Waktu itu Jumat malam. Kakak
perempuanku, Judith, yang mengemudikan mobil. Di belokan, kami melihat seorang
lelaki dan perempuan berjalan ke arah kami. Judy memperlambat mobil untuk
melihat apakah mereka memerlukan bantuan. Saat itulah kami sadar siapa mereka
sebenarnya. Mereka hanya berdiri di sana, membeku dalam waktu, tapi ada seberkas
sinar yang mengelilingi mereka.
"Judy sangat tersentuh dengan pemandangan ini dan mulai menangis. Lalu anak
perempuan yang di duduk di sampingnya, di kursi depan, menanyakan mengapa kami
berhenti. Ternyata tak ada yang melihat mereka selain aku dan kakakku.
"Sudah lama aku bertanya-tanya apakah genetika ada hubungannya dengan visivisi
itu. Banyak anggota keluargaku yang mengalaminya. Aku sendiri memiliki bukti
nyata bahwa kami dapat melihat visi yang tidak dilihat orang lain. Tapi aku
masih belum tahu apa sebabnya, sungguh. Tentu ada juga orang orang di McLean
sini yang tidak memiliki hubungan darah denganku, yang juga mengalami visivisi
itu." "Apakah semua visi itu dilihat oleh perempuan?"
"Oh, ya, aku lupa bagian itu. Sepengetahuanku, kapan pun Maria terlihat sendiri,
ia terlihat oleh seorang perempuan. Jika ia muncul bersama Yesus, ia terlihat
baik oleh lelaki maupun perempuan.
Tapi tetap saja, perempuan yang lebih sering melihatnya. Atau barangkali lelaki
melihatnya, tapi mereka cenderung tidak menceritakannya."
"Begitu." Maureen mengangguk. "Rachel, seberapa jelaskah kau melihat Maria"
Maksudku, dapatkah kau menjelaskan bagaimana wajahnya secara mendetail?"
Rachel terus tersenyum penuh arti yang secara a-neh membuat Maureen merasa
nyaman. Berbincang-bincang tentang visi seolah itu adalah hal paling lumrah di
dunia membuat Maureen merasa sangat aman. Setidaknya jika ia ternyata gila, ia
bersama seorang teman yang menyenangkan.
"Aku bisa lebih dari sekadar menjelaskan. Mari ke sini."
Rachel menggandeng tangan Maureen dengan lembut dan menuntunnya ke belakang
toko. Ia menunjuk ke dinding di belakang mesin kasir, tapi mata Maureen sudah menemukan
potret itu lebih dulu. Sebuah lukisan minyak, fokusnya adalah seorang perempuan
berambut merah - kecokelatan dengan wajah yang sangat indah dan mata cokelat yang paling luar
biasa. Rachel mengamati reaksi Maureen dengan seksama, dan menantinya berbicara. Ia
harus menunggu lama. Maureen membisu.
Rachel menggumam perlahan, "Aku tahu, kalian berdua telah bertemu sebelumnya."
f Seterkesimanya Maureen melihat wajah dalam pigura itu, ia lebih kaget lagi
dengan peristiwa yang terjadi selanjutnya. Setelah keterkejutan pertama ini, ia
mulai gemetar sebelum isaknya pecah Ia berdiri di sana dan menangis selama satu
menit, mungkin dua. Isakan itu mengguncang tubuh mungilnya selama beberapa detik
sebelum menjadi tangisan pelan. Ia merasakan sebuah kesedihan yang sangat buruk,
sebuah penderitaan yang sangat dalam dan menyakitkan, tapi ia tak yakin bahwa
kesedihan itu adalah miliknya sendiri. Seolah ia sedang mengalami penderitaan
perempuan di dalam potret itu. Namun kepedihan itu lalu berganti. Setelah reaksi
awal, tangisan Maureen lebih merupakan tangisan lega, dan ia pasrah di dalamnya.
Lukisan minyak itu mencerminkan sebuah validasi, membuat perempuan dalam mimpi
itu menjadi nyata. Perempuan dalam mimpi, yang ternyata adalah Maria Magdalena.
f Rachel berbaik hati dengan merebuskan teh herbal di ruang belakang toko. Ia
membiarkan Maureen duduk di gudang kecil untuk memberikan privasi. Sepasang
muda-mudi memasuki toko untuk mencari bukubuku astrologi, dan Rachel
meninggalkan Maureen untuk membantu mereka. Maureen duduk di sebuah meja kecil
di belakang, menyesap teh kamomil, dan berharap pernyataan di kotak teh,
"menenangkan saraf, bukan sekadar tipuan iklan.
Selesai dengan transaksi di toko depan, Rachel kembali ke belakang untuk
menengok Maureen. "Apakah kau baikbaik saja?"
Maureen mengangguk dan kembali menyesap teh, "Sekarang baik, terima kasih.
Rachel, aku sungguh minta maaf atas kelakuanku, aku cuma, ...apakah kau yang
Pemisahan Separation 2 Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Tabir Delapan Mayat 2