Pencarian

Dibalik Keheningan Salju 1

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 1


Salju mulai lunin kclika seorang wartawan dan penyair bernama Ka tiba di Kars, i
sebuah kota kecil di perbatasan Turki, 'l Diawali keinginannya untuk menyelidiki
Lisus bunuh diri yang semakin mewabah di kalangan wanita muda kota itu, juga
hasrat untuk menemukan cinta masa lalunya, tanpa sadar Ka terseret di dalam
gejolak kemelut Kars. Konflik antargerakan Islam, pertikaian antara agama dan
sekularisme, serta aparat penguasa yang bertindak sewenang-wenang hanyalah
segelintir persoalan di lengah gunung es masalah di kota yang terisolasi selama
berkecamuknya badai salju yang ganas itu.
Snow adalah sebuah kisah tentang kesulitan yang dihadapi oleh sebuah bangsa yang
terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Di tangan Pamuk, seluruh
permasalahan itu tersaji menjadi sebuah kisah thriller politik yang mencekam dan
meninggalkan kesan mendalam.
"Sebuah novel yang secara tepat menggambarkan keadaan masa kini." The Times
"Mendalam dan sangat cemerlang ... Memberikan pencerahan tentang pertentangan
antara dunia Islam radikal dan sekuler secara jauh lebih baik daripada buku
nonftksi mana pun New Statesman "Pamuk menyajikan begitu banyak warna dalam novel ini
sehingga kita tak akan mampu memisahkan masalah pokok keagamaan
dengan problematika kehidupan Turki modern, percikan-percikan
dalam hubungan Timur-Barat, dan hakikat keseruan."
Spectator ISBN: 978-979-024-015-5 'ini! t*"." 5789796840155 ORHAN PAMUK Penulis My Name is Red S now Di Malik Keheningan Salju
SNOW "Bacaan penting bagi zaman kita." Margaret Atwood?Orhan Pamuk, yang dianggap sebagai "salah satu suara ter segar dan terorisinal
dalam dunia fiksi kontemporer" (Inde pendent on Sunday) telah menulis banyak
buku, termasuk The White Castle, The Black Book dan The New Life. Pada 2DD3, dia
memenangi International IMPAC Award untuk My Name is Red dan Nobel Sastra pada
2006. Buku terbarunya adalah Istanbul, sebuah sejarah personal dan kebudayaan
kota kelahirannya. "Salah satu penulis terbaik di dunia saat ini." -Independent
a i t a menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi, yang cerdas sekaligus
melipur SNOW Di Balik Keheningan Salju
ORHAN PAMUK Penulis My Name is Red "2004, Orhan Pamuk Diterjemahkan dari Snow, karangan Orhan Pamuk, terbitan Faber and Faber, London,
2005 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Berliani M. Nugrahani Penyerasi: Navis Rahman Pewajah Isi: Subhan
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id: www.cerita-utama.serambi.co.id info'g'sera m bi.co.id
Cetakan I: April 2008 ISBN: 978-979-024-012-5
Kita tertarik pada sisi berbahaya setiap hal. Pencuri yang jujur, pembunuh yang
lembut, ateis yang beriman. Robert Browning, "Bishop Biougram's Apology"?Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-
tengah sebuah konser, sebuah
tindakan kejam yang mustahil diabaikan. Kita hendak
membicarakan sebuah urusan kelam. Stendhal, The Charterhouse of Parma
?Baiklah, jika begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, paksa
mereka untuk diam. Karena Pencerahan Eropa jauh lebih penting daripada manusia.
Fyodor Dostoevsky, Notebooks for The Brothers Karamazov
?Orang Barat di dalam diriku telah membusuk Joseph Conrad, Under Western Eyes
?Catatan Pelafalan Sebagian besar abjad Turki dilafalkan sama seperti dalam bahasa Inggris.
Perkecualiannya adalah sebagai berikut:
c - dilafalkan seperti "j" dalam jelly
g - dilafalkan seperti "ch" dalam chill
B - merupakan abjad diam yang berfungsi untuk
memperpanjang vokal yang mendahuluinya y - dilafalkan seperti "u" dalam cranium
b - dilafalkan seperti "ew" dalam jewel 0 - dilafalkan seperti
"sh" dalam sheep u - dilafalkan seperti "u" pertama dalam usual
Keheningan Salju Perjalanan Menuju Kars KEHENINGAN SALJU, pikir pria yang duduk di belakang sopir bus. Jika keadaan ini
adalah awal sebuah puisi, dia akan menyebut perasaannya "keheningan salju1.
Seandainya terlambat beberapa detik saja, pria itu mungkin tidak akan berada di
dalam bus yang berangkat dari Erzurum menuju Kars ini. Dia baru saja tiba di
terminal dengan menumpang sebuah bus lain dari Istanbul perjalanan yang ditempuh
selama dua hari dalam badai dan hujan salju dan sedang berjalan terburu-buru di
koridor yang basah dan kotor, menyeret tasnya, mencari-cari bus yang tepat,
ketika seseorang memberitahunya bahwa ada sebuah bus yang akan segera berangkat
ke Kars. Dia berhasil menemukan bus yang dimaksud, sebuah Magirus kuno, namun kondektur
bus itu baru saja menutup bagasi, dan, karena sedang "terburu-buru1, si
kondektur tidak mau lagi membuka bagasi untuknya. Karena itulah petualang kita
membawa tasnya ke dalam bus: sebuah koper merah tua yang sekarang terimpit di
antara kedua kakinya. Pria itu duduk di dekat jendela,
mengenakan mantel tebal hitam kelam yang dibelinya di Frankfurt Kaufhof lima
tahun berselang. Siapa pun yang melihatnya langsung mengetahui bahwa mantel
selembut dan seindah itu akan memberinya rasa malu dan resah selama hari-harinya
di Kars nanti, meskipun benda itu juga akan memberinya perasaan aman.
Segera setelah bus melaju, petualang kita melayangkan pandangan ke jendela di
sampingnya. Mungkin berharap dapat melihat sesuatu yang baru, dia mengamati
sejumlah kios kumuh, toko roti, dan kedai kopi murahan yang berjajar di
sepanjang jalan-jalan pinggiran kota Erzurum. Dan, salju pun mulai turun, lebih
lebat daripada yang dilihatnya dalam perjalanan dari Istanbul ke Erzurum.
Seandainya dia tidak selelah ini, seandainya dia memberikan perhatian lebih pada
kepingan salju yang menari-nari di langit bagaikan helaian bulu, dia mungkin
akan menyadari bahwa dirinya sedang menyongsong badai hebat; dia mungkin akan
melihat sejak dini bahwa dirinya telah memulai sebuah perjalanan yang akan
selamanya mengubah kehidupannya; dia mungkin akan mundur. Tetapi, pikiran itu
sama sekali tidak terlintas di benaknya. Malam tiba, dan dia tenggelam dalam
temaram cahaya yang masih tersisa di langit. Alih-alih memperingatkannya tentang
kedatangan badai, keping-keping salju yang menari semakin liar bersama deru
angin justru menghadirkan sebuah harapan, sebuah pertanda yang mengingatkannya
pada kebahagiaan dan kepolosan yang dikenalnya pada masa kanakkanak.
Petualang kita melewati tahuntahun kebahagiaan dan masa kanakkanaknya di
Istanbul; dia kembali ke kota itu seminggu sebelumnya, kali pertamanya setelah
dua belas tahun berlalu, untuk menghadiri upacara pemakaman ibunya. Setelah
tinggal di sana selama empat hari, dia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke
Kars. Bertahuntahun kemudian, dia masih dapat mengingat pesona salju malam itu:
kenikmatan yang dihadirkannya jauh lebih besar daripada apa pun yang dia kenal
di Istanbul. Petualang kita adalah seorang penyair. Seperti yang pernah
ditulisnya dalam sebuah puisi lamanya yang belum banyak diketahui oleh para
penikmat puisi di Turki salju hanya turun sekali dalam mimpi kita.
Ketika menyaksikan salju di luar jendela turun selembut dan sehening salju dalam
mimpinya, si petualang terhanyut dalam lamunan yang begitu mendayu; terbebas
dari kenangan akan kepolosan, optimismenya membuncah, dan dia berani meyakini
bahwa dirinya bermakna bagi dunia ini. Sejenak kemudian, dia melakukan hal lain
yang tidak pernah dilakukannya selama bertahuntahun dan jatuh terlelap di
kursinya. Maka, sementara petualang kita tertidur, ada baiknya kita menggunakan waktu
untuk saling berbisik mengenai beberapa detail biografis. Meskipun telah
menghabiskan waktu sepanjang dua belas tahun dalam pengasingan politik di
Jerman, petualang kita tidak pernah betul-betul menjadi seorang aktivis. Gairah
sejatinya, minat utamanya, adalah puisi. Dia berumur 42 tahun, lajang, dan belum
pernah menikah. Meskipun sulit dibuktikan, karena saat ini dia sedang duduk
meringkuk di kursinya, dia dapat dianggap jangkung untuk ukuran orang Turki.
Rambutnya cokelat dan kulitnya pucat, bahkan semakin pucat selama perjalanan
ini. Dia pemalu dan senang menyendiri. Seandainya dia mengetahui apa yang akan
terjadi segera setelah dirinya terlelap mengikuti getaran bus, pertama-tama
kepalanya akan tersandar di bahu pria di sampingnya, lalu di dadanya tentu saja
dia akan sangat malu. Sang petualang, yang tanpa sengaja menyandarkan kepala ke
tubuh teman sebangkunya, adalah seorang pria yang jujur, beritikad baik, dan
juga melankolis seperti tokoh-tokoh dalam drama Chekov yang terlalu bermoral
sehingga tidak pernah berhasil meraih sukses dalam kehidupan. Kita akan
membicarakan lebih dalam lagi tentang sifat melankolisnya nanti. Tetapi, karena
dia hanya akan tertidur dalam posisi seperti itu untuk waktu yang tidak terlalu
lama, untuk saat ini, lebih baik kita memuaskan diri dengan membicarakan namanya
saja, yaitu Kerim Alakupoctlu; dia tidak menyukai nama itu dan lebih suka
dipanggil menggunakan inisialnya, yaitu Ka; dan, aku akan menuruti keinginannya
itu dalam buku ini. Bahkan pada masa sekolahnya, tokoh kita ini bersikeras
menulis nama "Ka" di lembaran-lembaran PR dan ujiannya; dia menggunakan nama Ka
saat mengisi formulir pendaftaran universitas; dia menyambar setiap kesempatan
untuk menegakkan haknya dalam menggunakan nama ini, meskipun itu berarti dirinya
harus terlibat konflik dengan para guru dan pihak yang berwenang. Ibunya,
keluarganya, dan teman-temannya memanggilnya Ka. Dan, setelah berhasil
menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi dengan nama ini, dia menikmati
sekelumit kepopuleran enigmatis sebagai Ka, baik di Turki maupun di kalangan
penduduk Turki di Jerman. Itu saja yang bisa kita ungkap untuk saat ini, dan,
seiring dengan keberangkatan bus dari terminal Erzurum, mengiringi ucapan
selamat menikmati perjalanan dari sopir bus untuk para penumpangnya, aku juga
ingin menambahkan beberapa patah kata: "Semoga jalanmu terbuka, Ka yang baik ...."
Tetapi, aku tidak ingin membingungkan-mu: Aku adalah teman lama Ka, dan aku
memulai kisah ini dengan pengetahuan mengenai semua peristiwa yang akan dialaminya selama waktu
yang dia lalui di Kars. SETELAH MELEWATI Horasan, bus berbelok ke utara, mengarah langsung ke Kars.
Ketika melewati jalan yang berkelok-kelok, si sopir secara mendadak menginjak
rem untuk menghindari seekor kuda penarik gerobak yang seolaholah muncul begitu
saja dari salah satu tikungan tajam, dan Ka pun sontak terbangun. Kecemasan
telah begitu mencekam para penumpang bus, dan sejenak kemudian melanda Ka.
Meskipun duduk di belakang sopir, Ka bertindak sama seperti penumpang di
belakangnya: setiap kali bus melambat untuk melewati sebuah tikungan tajam atau
menghindari tonjolan tebing, dia berdiri supaya dapat melihat secara lebih
jelas; jika seorang penumpang bersemangat, yang secara sukarela menolong si
sopir mengelap embun di kaca depan bus, luput melihat sebuah belokan, Ka akan
mengacung-ngacungkan telunjuknya kepada orang itu (meskipun orang itu tidak
memedulikannya); dan, ketika badai semakin dahsyat sehingga wiper tak mampu lagi
menghapus salju yang menumpuk di kaca, Ka turut berusaha menerka-nerka letak
jalan bersama si sopir. Rambu-rambu lalu lintas tertutup oleh timbunan salju sehingga mustahil terbaca.
Ketika badai salju mulai menggila, si sopir menyalakan seluruh lampu sorot dan
meredupkan lampu-lampu di dalam bus, berharap ruas jalan dapat terlihat lebih
jelas jika bagian dalam bus lebih gelap daripada di luar. Seluruh penumpang
seketika terdiam akibat dicekam kecemasan, memusatkan perhatian pada pemandangan
di luar; salju yang menumpuk di jalanan desa-desa kumuh; rumah-rumah berlantai
satu yang bobrok dan berpenerangan remang-remang; ruas-ruas jalan menuju desa-
desa terpencil yang telah diblokir; dan jurang curam yang nyaris tak terlihat di
bawah penerangan ala kadarnya dari lampu-lampu jalan. Kalaupun berbicara, para
penumpang melakukannya dalam bisikan.
Maka, dengan bisikan terlirih pulalah teman sebangku Ka menanyainya mengenai
tujuannya pergi ke Kars. Jelas terlihat bahwa Ka bukanlah penduduk setempat.
"Saya wartawan," Ka balas berbisik. Dia berbohong. "Saya tertarik untuk meliput
pemilihan di sana juga tentang para wanita yang melakukan bunuh diri." Dia
berkata jujur. "Waktu walikota Kars dibunuh, semua koran di Istanbul mengangkat beritanya,"
jawab teman sebangku Ka. "Begitu pula waktu para wanita di sana bunuh diri."
Sulit bagi Ka untuk menebak apakah kebanggaan ... atau rasa malu yang tersirat
dalam suara pria itu. Tiga hari kemudian, ketika sedang berdiri di tengah-tengah
salju di Jalan Halitpasa, dengan air mata bercucuran, Ka akan bertemu kembali
dengan penduduk desa yang ramping dan tampan ini.
Berkat pembicaraan tanpa tujuan yang berlangsung sepanjang perjalanan bus, Ka
mengetahui bahwa pria itu baru saja mengantar ibunya ke Erzurum karena rumah
sakit di Kars kurang layak; bahwa dia adalah pedagang hewan ternak dengan
jangkauan wilayah desa-desa di sekitar Kars; bahwa dia tidak menjadi pemberontak
meskipun turut mengalami masa-masa berat; bahwa untuk alasanalasan misterius
yang tidak diungkapkannya kepada Ka dia menyesali, bukan dirinya melainkan
negaranya; dan bahwa dia senang melihat seorang pria terpelajar dan berwawasan
luas seperti Ka mau bersusah payah melakukan perjalanan jauh dari Turki untuk
meliput masalah-masalah di Kars. Ada kebijaksanaan dalam cara berbicaranya yang
sederhana dan kepercayaan dirinya, dan karena itulah Ka menghormatinya.
Keberadaan pria itu menenangkan Ka. Tidak sekali pun selama dua belas tahun
hidup di Jerman Ka mendapatkan kedamaian hati seperti ini: sudah sangat lama
sejak dia menikmati pembicaraan menyenangkan dengan seseorang yang lebih lemah
daripada dirinya. Ka teringat bagaimana dirinya berusaha memandang dunia dari
mata seorang pria yang dapat merasakan cinta dan kasih sayang. Ketika dia
melakukan hal yang sama sekarang, dia tidak lagi merasa cemas dan ketakutan
akibat badai salju yang tak berkesudahan, karena dia tahu bahwa mereka tidak
ditakdirkan untuk jatuh terguling ke dalam jurang: bus yang mereka tumpangi akan
telat tiba di Kars, namun mereka akan sampai dengan selamat.
Ketika, tepat pada pukul sepuluh, tiga jam lebih lambat dari jadwal, bus mulai
merayap di jalanan Kars yang berselimut salju, Ka sama sekali tidak mengenali
kota itu. Kepulan asap knalpot membuatnya tidak dapat lagi mengenali terminal
bus tempatnya tiba dua puluh tahun silam, juga tanda-tanda keberadaan hotel
tempat sopirnya membawanya hari itu setelah tur keliling kota Hotel Republik,
dengan "telepon di setiap kamar". Seolaholah segalanya telah terhapus, atau
hilang diterpa salju. Ka melihat sisa-sisa masa lalu pada kereta-kereta kuda
yang masih terlihat di sana-sini, tersimpan di garasi-garasi, namun kota itu
sendiri tampak lebih kumuh dan menyedihkan daripada yang melekat dalam
kenangannya. Memandang ke luar melalui jendela bus yang beku oleh salju, Ka
melihat apartemen-apartemen beton yang menjamur di seluruh Turki selama sepuluh
tahun terakhir, dengan panel-panel plexiglass serupa. Dia juga melihat,
terbentang di atas setiap ruas jalan, spanduk-spanduk berisi slogan-slogan
kampanye. Ka melangkah turun dari bus. Kakinya melesak ke dalam kelembutan selimut salju.
Udara dingin menusuk tulang merayap masuk melalui lubang pergelangan kaki celana
panjangnya. Ka telah memesan sebuah kamar di Hotel Istana Salju. Ketika
menanyakan lokasi hotel itu kepada kondektur bus, dia merasa mengenali beberapa
wajah di antara para penumpang yang sedang menunggu bawaan mereka dikeluarkan
dari bagasi, namun karena salju yang turun begitu lebat dan deras, dia tidak
dapat melihat mereka dengan jelas. Dia kembali melihat mereka di Restoran
Pastura Hijau, yang dikunjunginya setelah mendaftarkan diri di hotel: seorang
pria yang letih dan lesu namun tetap tampak tampan menawan, bersama seorang
wanita gemuk ceriwis yang mungkin istrinya.
Ka pernah melihat pertunjukan mereka di Istanbul pada tahun tujuh puluhan,
ketika pasangan itu masih menjadi sosok mentereng di dunia teater revolusioner.
Pria itu bernama Sunay Zaim. Ka membiarkan pikirannya berkelana sementara
matanya memandang pasangan itu, hingga akhirnya dia menyadari bahwa wanita itu
mengingatkannya kepada salah seorang teman sekelasnya di sekolah dasar. Ada
sejumlah pria lain di meja mereka, dan semuanya bertampang pucat khas orang-
orang yang menghabiskan kehidupan di atas panggung: apakah, pikir Ka, yang
dilakukan kelompok teater kecil ini di sebuah kota terlantar pada malam bersalju
di bulan Februari" Sebelum meninggalkan restoran, yang dua puluh tahun lalu


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipenuhi pejabat pemerintah yang mengenakan setelan jas berdasi, Ka merasa
melihat salah seorang pahlawan miitan era tujuh puluhan duduk di meja yang lain.
Tetapi, selimut salju sepertinya telah menutupi ingatannya akan pria itu, sama
seperti yang terjadi pada restoran dan Kota Kars yang kumuh dan merana.
Apakah jalanan di sana lengang karena salju, ataukah trotoar beku itu selalu
sehening ini" Sembari berjalan, Ka mengamati tulisan-tulisan di tembok poster-
poster pemilihan, iklaniklan sekolah dan restoran, dan poster-poster baru yang
dibuat oleh pemerintah kota dengan harapan dapat mengakhiri epidemi bunuh diri.
Melalui jendelajendela beku sebuah kedai teh yang setengah kosong, Ka melihat
sekelompok pria berkerumun di depan sebuah pesawat televisi. Ka merasa sedikit
senang setelah melihat rumah-rumah batu bergaya Rusia ini masih berdiri. Dalam
ingatannya, bangunan-bangunan itulah yang menjadikan Kars istimewa di hatinya.
Hotel Istana Salju merupakan salah satu bangunan elegan bergaya Baltik di Kars.
Gedung tersebut terdiri dari dua lantai, dengan jendelajendela panjang dan
sempit yang mengarah ke halaman dan gerbang melengkung yang mengarah langsung ke
jalan. Gerbang itu telah berumur 110 tahun dan cukup tinggi untuk dilewati
kereta kuda. Ka merasakan getaran menyenangkan saat lewat di bawahnya, namun dia
terlalu letih untuk memikirkan alasannya. Katakan saja, getaran itu berhubungan
dengan salah satu alasan Ka kembali ke Kars. Tiga hari sebelumnya, Ka
mengunjungi kantor Republican cabang Istanbul untuk menemui seorang teman
lamanya. Temannya itulah, Taner, yang memberi tahunya tentang pemilihan kepala
daerah yang akan segera berlangsung dan bagaimana seperti di Kota Batman epidemi
bunuh diri melanda sejumlah besar gadis muda di Kars. Taner mengatakan bahwa
jika Ka ingin menulis topik ini dan melihat bagaimana Turki yang sesungguhnya
setelah dua puluh tahun ditinggalkannya, dia sebaiknya berangkat ke Kars. Karena
tidak ada orang lain untuk melaksanakan tugas ini, Taner bersedia memberikan
kartu tanda pengenal pers yang sah untuk Ka; dan terlebih lagi, kata Taner, Ka
mungkin tertarik untuk mencari tahu tentang salah seorang teman sekelas mereka
dahulu, si jelita Ypek, yang sekarang tinggal di Kars. Meskipun telah berpisah
dari suaminya, Muh-tar, Ypek masih tinggal bersama ayah dan adik perempuannya di
kota itu, tepatnya di Hotel Istana Salju. Mendengarkan omongan Taner, penulis
komentar-komentar politik untuk Republican, Ka terkenang akan betapa jelitanya
Ypek. Cavit, resepsionis hotel, sedang duduk menonton televisi di lobi yang berlangit-
langit tinggi. Dia menyerahkan kunci kamar kepada Ka dan mengantarnya ke lantai
kedua, ke Kamar 203. Setelah menutup pintu di belakangnya, Ka merasa lebih
tenang. Dia mencermati perasaannya sendiri dan menyimpulkan bahwa, di luar
ketakutan yang menjalannya selama perjalanan menuju Kars, baik hati maupun
otaknya tidak terganggu oleh kemungkinan keberadaan Ypek di hotel ini. Seumur
hidup Ka, seluruh pengalaman cintanya selalu disaput rasa malu dan derita,
sehingga kemungkinan jatuh cinta lagi membuatnya begitu tegang.
Larut malam, sebelum tidur, Ka melintasi ruangan dalam balutan piyama dan
membuka tirai jendela. Dia menyaksikan hujan salju yang lebat turun tanpa henti.
[] Kota Kami Adalah Tempat yang Damai
Distrik-Distrik Pinggi ran
SELAIN MENYELIMUTI tanah, lumpur, dan kegelapan, salju akan senantiasa bercerita
tentang kemurnian kepada Ka; namun setelah hari pertamanya di Kars, salju tidak
lagi menjanjikan kepolosan. Salju di tempat ini begitu menjemukan, mengusik,
mengancam. Hujan salju turun sepanjang malam. Hujan salju masih turun pada pagi
hari, ketika Ka berkeliaran di jalanan untuk memainkan perannya sebagai wartawan
gagah berani singgah ke kedaikedai kopi yang dijejali pengangguran Kurdi,
mewawancarai para pemiih, mencatat berbagai macam hal dan kemudian, ketika dia
menyusuri jalanan yang landai dan beku untuk mewawancarai wali kota yang telah
uzur, para pejabat pemerintah, dan keluarga para gadis yang melakukan bunuh
diri. Tetapi, kenangannya tidak lagi melayang menuju jalanan bersalju pada masa
kecilnya. Khayalannnya tidak lagi terbang seperti saat dirinya masih kanakkanak,
berdiri di balik jendelajendela rumah-rumah kokoh di Ni? anta? ke negeri
dongeng. Dirinya tidak terlontar kembali ke tempat dia dapat menikmati kehidupan
kelas menengah yang teramat dirindukannya, bahkan dalam mimpi-mimpinya. Saat
ini, salju hanya mengabarkan ihwal keputusasaan dan penderitaan.
Pada pagi buta, sebelum kota terbangun dan sebelum salju berhasil
menaklukkannya, Ka sempat berjalan-jalan sejenak melewati wilayah kumuh di dekat
Bulevar Ataturk menuju bagian termiskin di Kars, hingga akhirnya tiba di sebuah
wilayah yang dikenal dengan Kalealti. Pemandangan yang diihatnya ketika dia
bergegas lewat di bawah batang-batang pohon sycamore dan zaitun Rusia yang
tertutup es bangunan-bangunan Rusia yang telah tua dan bobrok, dengan pipa-pipa
tungku pemanas yang menyembul dari setiap jendelanya; gereja Armenia berusia
seribu tahun yang menjulang di antara gudang-gudang berdinding kayu dan
generator-generator listrik; sekawanan anjing yang menyalaki setiap pejalan kaki
dari atas jembatan batu berumur 500 tahun, sementara salju jatuh menimpa air
sungai yang hitam dan setengah beku di bawahnya; semburat asap tipis yang
mengepul dari atap gubuk-gubuk kumuh Kalealti yang tampak seolaholah mati di
balik selimut salju mendatangkan kesedihan yang membuat air matanya merebak. Di
seberang sungai, sepasang bocah laki-laki dan perempuan berangkat untuk membeli
roti sepagi mungkin. Memandang kedua anak itu, yang melompat-lompat dengan riang
gembira, saling berebut buntalan roti hangat, lalu memeluk buntalan tersebut
erat-erat, tampak begitu bahagia, senyuman Ka merekah. Bukan kemiskinan maupun
ketidakberdayaan yang membuat hati Ka terasa miris, melainkan sesuatu yang akan
dilihatnya selama berhari-hari mendatang; di jendelajendela kosong toko-toko
peralatan fotografi, di jendelajendela beku kedaikedai teh ramai tempat para
pengangguran kota itu menghabiskan waktu dengan bermain
kartu, dan di alun-alun kota yang sunyi dan tertutup salju. Pemandangan-
pemandangan itu mengisahkan rasa kesepian yang aneh dan kuat. Ka merasa
seolaholah berada di suatu tempat yang telah dilupakan oleh dunia; seolaholah
salju turun di ujung dunia.
Keberuntungan berpihak pada Ka sepanjang pagi itu. Ketika orang-orang mendengar
jawabannya setelah melontarkan pertanyaan tentang jati dirinya, mereka ingin
menjabat tangannya; mereka memperlakukannya seolaholah dirinya seorang jurnalis
terkenal dari Istanbul; mereka semua dari pejabat pemerintahan hingga penduduk
termiskin membuka pintu untuknya dan menyambutnya dengan ramah. Dia dibawa
berjalan-jalan berkeliling kota oleh Serdar Bey, pengelola koran Border City
News (oplah: tiga ratus dua puluh eksemplar), yang pernah sesekali mengirimkan
berita-berita lokal ke koran Republican di Istanbul (meskipun sebagian besar
tidak dimuat). Sesuai saran, Ka "menemui koresponden lokal kami1 pada pagi hari,
segera setelah dia meninggalkan hotel, dan ketika melihat jurnalis uzur itu
duduk nyaman di kantornya, Ka langsung menyadari bahwa pria ini mengetahui semua
yang harus diketahui tentang Kars. Serdar Beylah yang pertama kali melontarkan
pertanyaan yang akan ratusan kali didengarnya kembali sepanjang tiga hari yang
dilaluinya di kota itu: "Selamat datang di kota perbatasan kami, Pak. Tapi, mengapa Anda datang ke sini"
1 Ka menjelaskan bahwa dia datang untuk meliput pemilihan lokal dan mungkin
menulis soal gadis-gadis yang bunuh diri.
"Seperti di Batman, cerita tentang gadis-gadis yang bunuh diri itu terlalu
dibesar-besarkan,1 kata si jurnalis.
"Mari kita menemui Kasim Bey, asisten kepala polisi. Mereka harus diberi tahu
tentang kedatangan Anda untuk berjagajaga saja.1
Keharusan bagi semua pendatang baru, termasuk jurnalis, untuk melapor ke kantor
polisi adalah peraturan daerah yang telah ada sejak tahun empat puluhan. Karena
Ka adalah tahanan politik yang baru saja kembali ke negara ini setelah menjalani
pengasingan selama bertahuntahun, dan karena meskipun tidak seorang pun
menyebutkannya dia merasakan keberadaan gerilyawan separatis Kurdi (PKK) di
Kars, dia tidak merasa keberatan atas peraturan ini.
Mereka berjalan menembus badai, melintasi pasar buah-buahan, juga toko-toko yang
menjual onderdil mesin dan peralatan berat di Jalan Kazim Karabekir, melewati
kedaikedai teh tempat para pengangguran murung duduk-duduk menonton televisi
atau mengamati salju yang turun dari langit, melewati toko hasil peternakan
dengan etalase yang memamerkan sebongkah besar keju kuning. Mereka membutuhkan
lima belas menit untuk memotong kota secara diagonal.
Di jalan, Serdar Bey berhenti sejenak untuk menunjukkan kepada Ka tempat wali
kota yang lama dibunuh. Menurut salah satu rumor yang terdengar, pria itu
ditembak akibat sebuah silang pendapat sederhana tentang penyingkiran sebuah
balkon yang dibangun secara ilegal. Polisi berhasil menangkap si pembunuh tiga
hari kemudian, di desa tempat orang itu melarikan diri; mereka menemukannya
bersembunyi di dalam lumbung, masih menggenggam senjatanya. Tetapi, begitu
banyak gosip tersebar sepanjang tiga hari sebelum penangkapan tersebut, sehingga
tidak seorang pun mau memercayai bahwa pria itu
memang si pelaku pembunuhan: kesederhanaan motif tindakannya sungguh
mengecewakan. Kantor Polisi Kars berupa bangunan panjang dan berlantai tiga di Jalan Faikbey,
tempat bangunan-bangunan batu tua yang dulunya milik orang-orang kaya
berkebangsaan Rusia dan Armenia sekarang kebanyakan digunakan sebagai kantor
pemerintahan. Sementara duduk menunggu datangnya asisten kepala polisi, Serdar
Bey menunjuk langit-langit tinggi berornamen dan menjelaskan bahwa antara 1877
dan 1918, selama Rusia menduduki kota ini, bangunan berkamar empat puluh yang
awalnya dimiiki seorang Armenia kaya raya ini difungsikan sebagai rumah sakit
Rusia. Kasim Bey, asisten kepala polisi yang berperut buncit, muncul dari koridor dan
menggiring mereka ke ruangannya. Ka langsung dapat melihat bahwa mereka sedang
berhadapan dengan seorang pria yang tidak pernah membaca surat kabar nasional
semacam Republican, karena menganggap media semacam itu terlalu sayap kiri;
Kasim Bey juga tidak terlalu terkesan saat melihat Serdar Bey memuji seseorang
yang menjadi penyair; tetapi, Kasim Bey merasa segan dan menaruh hormat kepada
Serdar Bey sebagai pemiik sebuah penerbit surat kabar ternama di daerahnya.
Begitu Serdar Bey selesai berbicara, asisten kepala polisi itu berpaling kepada
Ka dan bertanya, "Apakah Anda menginginkan perlindungan?"
"Maaf?" "Saya hanya bisa memberikan satu orang petugas berpakaian preman. Supaya Anda
merasa tenang." "Apakah saya memang memerlukannya?" tanya Ka, terdengar bagaikan seorang pria
yang baru saja diberi tahu oleh dokternya bahwa dia harus mulai berjalan dengan
bantuan tongkat. "Kota kami adalah tempat yang damai. Kami sudah menangkap semua teroris yang
memecah belah kami. Tapi, saya masih merekomendasikan perlindungan untuk Anda,
hanya untuk berjagajaga."
"Jika Kars memang tempat yang damai maka saya tidak membutuhkan perlindungan,"
kata Ka. Secara diamdiam, dia berharap supaya si asisten kepala polisi
menggunakan kesempatan ini untuk sekali lagi meyakinkannya bahwa Kars memang
tempat yang damai, namun Kasim Bey tidak mengatakan apa-apa.
Mereka pergi ke utara, menuju Kalealti dan Bay ram-pasa, lingkungan termiskin di
Kars. Tempat-tempat tinggal di sana hanyalah berupa gubuk dari batu, batako, dan
seng. Bersama salju yang tak henti-hentinya turun, mereka mendatangi rumah demi
rumah, dan, jika seorang wanita membukakan pintu untuk mereka, Serdar Bey akan
meminta untuk dipertemukan dengan anggota keluarga pria di rumah itu. Jika
penghuni rumah mengenalinya, dengan suara penuh percaya diri, dia akan
mengatakan bahwa rekannya, seorang jurnalis terkenal, datang jauh-jauh ke Kars
dari Istanbul untuk melaporkan jalannya pemilihan, dan juga untuk mempelajari
lebih dalam mengenai kota mereka; misalnya, mengapa ada begitu banyak wanita di
sana yang melakukan bunuh diri" Penduduk yang mau membagi kekhawatiran mereka
dianggap telah memberikan sumbangsih positif bagi Kars. Beberapa orang
memberikan sambutan ramah, mungkin karena mengira Ka dan Serdar Bey membawakan
berkaleng-kaleng minyak bunga matahari, berkotak-kotak sabun, atau parsel berisi
kue dan pasta untuk mereka. Jika meeka merasa penasaran, atau murni karena
kebaikan hati, dan memutuskan untuk mengundang kedua pria itu masuk, hal yang
selanjutnya mereka lakukan adalah memberi tahu Ka supaya tidak takut pada anjing
peliharaan mereka. Beberapa orang membuka pintu dengan gelisah, berasumsi,
setelah bertahuntahun menjadi korban intimidasi pihak kepolisian, bahwa rumah
mereka akan dirazia; bahkan setelah mengetahui bahwa tamu mereka bukanlah pihak
yang berwenang, mereka tetap menutup mulut. Jumlah penghuni dari satu rumah ke
rumah yang lain sepertinya senantiasa bertambah; Ka dan Serdar Bey harus
melewati bocah-bocah yang menendang-nendang rongsokan mobil-mobilan plastik,
boneka berlengan satu, botol-botol kosong atau kotak pembungkus teh dan obat-
obatan. Seluruh keluarga para gadis yang melakukan bunuh diri (Ka mendengar bahwa telah
terjadi enam insiden bunuh diri dalam waktu yang singkat) bersikeras bahwa
putri-putri mereka tidak pernah menyusahkan, sehingga semuanya merasa syok dan
gundah ketika mengetahui apa yang telah terjadi. Kedua pria itu dibawa melihat
dipan-dipan tua dan kursi-kursi reot di dalam kamar sempit dan dingin, dengan
lantai tanah telanjang atau tertutup karpet murahan. Duduk di dekat tungku
pemanas yang tidak memancarkan kehangatan kecuali jika diaduk terus-menerus atau
pemanas listrik yang dinyalakan dengan daya listrik cantolan, juga pesawat
televisi bisu yang tak pernah dimatikan, mereka mendengar tentang derita tanpa
akhir di Kars. Mereka mendapatkan informasi tentang tingginya angka pengangguran
dan semakin mewabahnya kasus bunuh diri. Mereka mendengarkan para ibu yang
bercerita sambil berurai air mata tentang anak-anak lelaki mereka yang
menganggur atau dipenjara, juga
para pelayan permandian yang meskipun telah bekerja selama dua belas jam sehari
di hamam tetap tidak mampu menyokong kebutuhan keluarga yang beranggotakan
delapan orang. Mereka menyimak keluh kesah para pria pengangguran yang tidak
mampu lagi membayar tagihan kedai teh. Orang-orang itu menyambat dan mengeluh
tentang nasib malang mereka, juga tentang dewan kota dan pemerintah menimpakan
setiap masalah yang mereka hadapi pada bangsa dan negara.
Mendengar kisah-kisah kekerasan hidup ini, datanglah saat ketika, meskipun
cahaya terang menerobos melalui jendela, Ka merasa seolaholah telah memasuki
sebuah dunia berselimut bayangan. Ruangan-ruangan yang dimasukinya begitu gelap
sehingga dia tak dapat melihat bentuk-bentuk perabot di dalamnya. Ketika melihat
salju di luar, matanya seolaholah buta. Seakan-akan, sehelai tirai tulle
terbentang di depan matanya; dirinya seakan-akan memasuki keheningan salju
supaya dapat melarikan diri dari cerita-cerita tentang penderitaan dan
kemiskinan ini. Tetapi, cerita tentang bunuh diri yang didengarnya hari itu akan menghantuinya
seumur hidupnya. Bukan kemiskinan, ketidakberdayaan, ataupun kebodohan yang
mengagetkan Ka dalam cerita-cerita tersebut. Bukan pula pemukulan yang terus
dilakukan kepada para gadis yang dimaksud; atau pemikiran konservatif ayah-ayah
mereka, yang bahkan tidak membiarkan mereka pergi ke luar; atau pengawasan ketat
dari suami-suami pencemburu; atau kurangnya uang. Yang membuat Ka kaget dan
ngeri adalah cara para gadis itu mengakhiri nyawa mereka: secara mendadak, tanpa
ritual ataupun peringatan, di tengah-tengah kegiatan rutin mereka.
Ada seorang gadis, contohnya, yang dipaksa menikah dengan seorang pemiik kedai
teh yang telah berumur. Dia sempat makan malam bersama ibu, ayah, tiga orang
saudara, dan neneknya, seperti yang dia lakukan setiap malam. Setelah
membersihkan meja sambil cekikikan dan saling bercanda bersama adik-adik
perempuannya, gadis itu keluar dari dapur, pergi ke kebun untuk memetik buah-
buahan sebagai pencuci mulut, dan setelah itu, dia memanjat jendela untuk
memasuki kamar orangtuanya, tempat dia menembak dirinya sendiri menggunakan
senapan berburu. Sang nenek mendengar ledakan senapan dan segera berlari ke
atas, hanya untuk mendapati cucunya, yang disangkanya ada di dapur, terkapar
tanpa nyawa di atas genangan darah di lantai kamar orangtuanya. Wanita tua itu
tidak dapat memahami bagaimana cucunya bisa berpindah dari dapur ke kamar,
apalagi alasan gadis itu melakukan bunuh diri.
Ada pula gadis 16 tahun lain yang bertengkar dengan dua orang adiknya soal
siaran televisi dan akhirnya berhasil merebut remote control. Ayah mereka datang
melerai dan memberikan dua pukulan keras pada gadis itu. Kemudian, si gadis
langsung berlari ke kamarnya, menemukan sebotol besar obat ternak, Mortalin, dan
menenggak isinya seperti meminum soda.
Seorang gadis lain, yang telah menikah dengan bahagia pada umur 15 tahun,
memiiki bayi berumur enam bulan. Merasa terancam oleh pemukulan suaminya yang
pengangguran, dia mengunci diri di dapur setelah pertengkaran rutin dengan pria
itu. Si suami mencium gelagat buruk istrinya, namun sebelumnya si istri telah
menyiapkan tali dan cantolan di langit-langit, sehingga dia berhasil menggantung
diri sebelum suaminya mendobrak pintu.
Ka terpana saat mengetahui betapa cepatnya gadis-gadis tersebut menjerumuskan
diri dari kehidupan menuju kematian. Persiapan matang mereka cantolan yang telah
disekrup di langit-langit, senapan yang telah diisi peluru, botol-botol obat
yang telah dipindahkan dari lemari obat ke kamar menunjukkan bahwa mereka
memikirkan tentang percobaan bunuh diri sepanjang waktu.
Cerita-cerita pertama mengenai kasus bunuh diri semacam itu datang dari sebuah
kota bernama Batman, yang berjarak seratus kilometer dari Kars. Di seluruh
dunia, angka bunuh diri pria lebih banyak hingga tiga atau empat kali lipat


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada wanita. Tersebutlah seorang pegawai negeri sipil muda di Badan
Statistik Nasional di Ankara yang pertama kali menyebutkan bahwa di Batman,
kasus bunuh diri yang tiga kali lebih besar dilakukan oleh wanita daripada oleh
pria, dan empat kali lebih besar daripada rata-rata angka kasus bunuh diri
wanita di seluruh dunia. Tetapi, ketika seorang teman pegawai itu yang bekerja
di Republican memublikasikan hasil analisis ini dalam rubrik "Kilasan Berita1,
tidak seorang pun di Turki memedulikannya. Namun, sejumlah koresponden untuk
surat-surat kabar Prancis dan Jerman justru mengangkat masalah ini. Setelah
mereka mengunjungi Batman dan mengangkat cerita-cerita bunuh diri ini di koran
mereka, pers Turki baru menunjukkan minat: beberapa orang reporter Turki
melakukan perjalanan ke kota itu. Menurut pemerintah, ketertarikan pers justru
semakin memicu kecenderungan bunuh diri para gadis di sana.
Deputi gubernur di Kars mengatakan kepada Ka bahwa secara statistik, kasus bunuh
diri di kota itu tidak separah di Batman. "Untuk saat ini1, dia tidak keberatan
jika Ka mewawancarai keluarga-keluarga yang ditinggalkan,
tetapi dia meminta Ka untuk tidak terlalu sering menggunakan frase "bunuh diri'
ketika berbicara dengan orang-orang itu, dan agar dia tidak membesar-besarkan
kisah mereka ketika menulis laporan untuk Republican. Sebuah komite yang terdiri
atas para ahli kasus bunuh diri beranggotakan sejumlah psikolog, polisi, hakim,
dan utusan dari Departemen Agama bersiap-siap pindah dari Batman ke Kars.
Sebagai langkah awal, Departemen Agama telah menempelkan poster-poster yang
dilihat Ka sehari sebelumnya di seluruh penjuru kota. Mereka memasyarakatkan
slogan "Manusia adalah ciptaan tertinggi Tuhan, dan bunuh diri adalah sebuah
dosa besar.1 Kantor gubernur segera mendistribusikan pamfiet dengan judul slogan
tersebut. Meskipun begitu, deputi gubernur masih merasa khawatir tindakan ini
justru akan memberikan hasil berlawanan dari yang diharapkan.
"Yang pasti, gadis-gadis itu melakukan bunuh diri karena mereka sangat tidak
bahagia. Kami sama sekali tidak meragukan alasan itu," kata si deputi gubernur
kepada Ka. "Tapi, jika ketidakbahagiaan menjadi alasan utama tindakan bunuh
diri, maka setengah dari seluruh wanita di Turki akan bunuh diri." Pria berwajah
mirip tupai itu, dengan kumis layaknya sikat, terus berbicara tentang para
wanita yang mungkin lebih bernafsu melakukan bunuh diri karena para pria ayah,
imam, negara terus-menerus menyerukan: "Jangan bunuh diri!" Hal ini, katanya
dengan nada bangga kepada Ka, adalah alasan dia menulis permohonan ke Ankara
supaya Komite Propaganda Anti Bunuh Diri memiiki setidaknya seorang anggota
wanita. Pemikiran bahwa bunuh diri dapat menular bagaikan wabah pertama kali muncul
setelah seorang gadis melakukan perjalanan dari Batman ke Kars hanya untuk
melakukan bunuh diri. Keluarganya tidak mempersilakan Ka dan Serdar Bey masuk ke
rumah, namun paman dari pihak ibu gadis itu bersedia berbicara dengan mereka di
luar. Sambil merokok, duduk di bawah pohon oleander di sebuah kebun berselimut
salju di Distrik Ataturk, si paman bercerita tentang keponakannya. Si keponakan
telah menikah dua tahun berselang. Dia dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga
sepanjang siang dan malam, dan terus-menerus dicerca oleh ibu mertuanya karena
tidak kunjung hamil. Si paman meyakini bahwa hal ini saja belum cukup untuk
menjadi alasan utama keponakannya melakukan bunuh diri, sehingga jelas baginya
bahwa keponakannya meniru para wanita lain yang melakukan bunuh diri di Batman.
Almarhumah sepertinya sangat bahagia ketika mengunjungi keluarganya di Kars,
sehingga seluruh anggota keluarganya sangat syok saat pada pagi buta sebelum dia
dijadwalkan kembali ke Batman menemukan selembar surat di ranjangnya yang
mengatakan bahwa dia telah menelan dua botol pil tidur.
Sebulan sesudah gagasan bunuh diri itu tercetus jika memang benar begitu
menginfeksi Kars, sepupu almarhumah, seorang gadis remaja berumur 16 tahun,
melakukan bunuh diri "copycat". Berbekal bujukan si paman, dan setelah
mendapatkan janji Ka untuk mengungkapkan kisah ini secara lengkap dalam
laporannya, dengan berurai air mata, orangtua gadis itu menjelaskan bahwa putri
mereka terdorong untuk melakukan bunuh diri setelah dituduh tidak perawan oleh
gurunya. Ketika desas-desus itu tersebar di Kars, tunangan si gadis memutuskan
pertunangan, dan seorang pemuda lain yang telah berulang kali datang ke rumah
gadis cantik itu untuk mempersunting-nya, meskipun dia telah bertunangan dengan
pria lain juga berhenti menghubunginya. Pada titik itu, nenek si gadis mulai
mengatakan, "Yah, sepertinya kau tak akan pernah mendapatkan suami." Lalu, pada
suatu malam, ketika seluruh keluarga sedang menonton sebuah adegan upacara
pernikahan di televisi, dan ayah si gadis, yang sedang mabuk, mulai menangis, si
gadis mencuri obat tidur neneknya dan menelan semuanya (terbukti, bukan hanya
gagasan untuk melakukan bunuh diri yang menular, melainkan juga metodenya).
Ketika hasil otopsi menunjukkan bahwa gadis itu masih perawan, sang ayah
menyalahkan bukan hanya guru anaknya, yang telah menyebarkan gosip, melainkan
juga keponakannya, yang datang dari Batman dan melakukan bunuh diri di Kars.
Keinginan menepis gosip tidak berdasar tentang keperawanan anak mereka dan niat
untuk memojokkan guru yang telah menyebarkan kebohongan nista itulah yang
membuat keluarga tersebut memutuskan untuk mengungkapkan kisah selengkapnya
kepada Ka. Ka merasa masygul ketika mengetahui bahwa gadis-gadis pelaku bunuh diri tersebut
tidak memiliki privasi atau waktu yang cukup, bahkan untuk melakukan bu-nuh
diri. Bahkan setelah menenggak obat tidur, bahkan ketika sedang berbaring
sekarat, mereka harus berbagi ruangan dengan orang lain. Ka dibesarkan di
Ni?anta?, dibekali dengan bacaan-bacaan Barat, dan dalam khayalannya, ruang dan
waktu adalah faktor amat penting untuk bunuh diri: setidaknya, seseorang yang
hendak bunuh diri membutuhkan sebuah ruangan yang bisa ditinggali selama
berhari-hari tanpa ada orang lain mengetuk-ngetuk pintunya. Dalam khayalannya,
bunuh diri adalah upacara khidmat yang melibatkan pil tidur dan wiski,
sebuah tindakan penghabisan yang dilakukan sendirian dan dengan penuh kesadaran.
Setiap kali niat bunuh diri datang menghampirinya, kesepian mendalamlah yang
kemudian membuatnya ketakutan; karena itulah dia harus mengakui, dirinya tidak
pernah benar-benar serius berniat melakukan bunuh diri.
Satu-satunya kasus bunuh diri yang membuat Ka teringat pada rasa kesepian
dilakukan oleh seorang gadis lima minggu sebelumnya. Pelaku bunuh diri kali ini
adalah salah seorang dari "gadis-gadis jilbab" yang terkenal. Ketika pihak yang
berwenang melarang pemakaian jilbab di institusi-institusi pendidikan di seluruh
negeri, banyak wanita dan remaja putri menolak aturan ini. Aksi pemberontakan di
Institut Pendidikan di Kars pertama-tama terjadi di dalam kelas, kemudian,
menyusul dikeluarkannya undang-undang di Ankara, melanda seluruh institusi. Di
antara keluarga-keluarga yang ditemui Ka, keluarga "si gadis jilbab" bisa
dianggap paling kaya. Sang ayah yang merana memiliki sebuah toko kecil yang
menjual bahan makanan. Pria itu menghidangkan sebotol Coca-Cola dari kulkas
tokonya dan bercerita tentang putrinya. Mengenai jilbab, jelas bahwa si gadis
mengikuti suri teladan ibunya, yang juga memakai jilbab, dan didukung oleh
seluruh keluarganya. Tetapi, tekanan yang sesungguhnya datang dari teman-teman
sekolah si gadis, yang melancarkan kampanye menentang pengeluaran murid-murid
berjilbab dari sekolah. Tentu saja, merekalah yang mengajarkan kepada si gadis
untuk menganggap jilbab sebagai simbol "Islam politis". Maka, meskipun
orangtuanya menyuruhnya mencopot jilbab, si gadis menolak. Karena itulah dia
dipastikan akan dikeluarkan dari sekolah, meskipun waktunya belum ditetapkan.
Ketika si gadis melihat beberapa
orang temannya menyerah dan mencopot jilbab mereka, sementara beberapa temannya
yang lain mengganti jilbab dengan wig, dia mulai mengatakan kepada ayahnya
tentang betapa tidak berartinya dunia ini dan bahwa dirinya tidak ingin lagi
melanjutkan kehidupan. Dia juga membicarakan perasaannya dengan teman-temannya.
Tetapi, karena ketika itu Departemen Agama dan golongan Islamis telah bersatu
padu mengutuk tindakan bunuh diri, menyebutnya sebagai salah satu dosa terbesar,
dan terdapat begitu banyak poster di seluruh Kars yang menyerukan hal serupa,
tidak seorang pun menyangka gadis lugu itu akan melakukan bunuh diri.
Gadis itu, Teslime, menghabiskan malam terakhirnya dengan tanpa bersuara
menonton serial berjudul Marianna. Setelah menyeduh teh dan menyajikannya untuk
orangtuanya, dia masuk ke kamarnya, berwudu dan bersiap-siap menunaikan salat.
Sesudah salat, dia bersujud di atas sajadahnya, sejenak menenggelamkan diri
dalam doa dan renungan, lalu mengikatkan jilbabnya ke cantolan lampu dan
menggantung diri.[J Berikanlah Suaramu untuk Partai Tuhan
Kemiskinan dan Sejarah DIBESARKAN DI Istanbul dan dikelilingi oleh kenyamanan kehidupan kelas menengah
Ni?anta? ayah yang bekerja sebagai pengacara, ibu yang menjadi ibu rumah tangga,
kakak perempuan yang penuh kasih sayang, seorang pembantu yang berbakti, sebuah
radio, kamar-kamar berperabot lengkap, jendelajendela bertirai Ka tidak tahu
apa-apa soal kemiskinan; kemiskinan berada di luar rumahnya, di luar dunianya.
Terselubung kegelapan yang berbahaya dan tak tertembus, dunia lain ini menjadi
faktor metafisis dalam imajinasi masa kecil Ka. Meskipun dunia itu tetap
memukaunya setelah dia dewasa, Ka masih sulit memercayai bahwa keputusan
mendadaknya untuk melakukan perjalanan kembali ke Kars sebagian dipicu oleh
hasrat untuk kembali ke masa kecilnya. Kembali ke Istanbul setelah dua belas
tahun tinggal di Frankfurt, bertemu dengan teman-teman lama dan mendatangi
kembali jalan-jalan, toko-toko, dan gedung bioskop tempat bermain mereka semasa
kanakkanak, Ka nyaris tidak menemukan sesuatu pun yang masih diingatnya. Nyawa
telah meninggalkan bangunan-bangunan yang belum runtuh. Tetapi, meskipun telah
tinggal di luar negeri selama lebih dari satu dekade, Ka masih ingat bahwa Kars
adalah sudut Turki yang paling miskin dan terlupakan. Karena alasan inilah,
ketertarikan Ka untuk kembali mungkin dipicu oleh hasrat menggali masa
kanakkanak dan kemurnian secara lebih mendalam: jika dunia yang dikenalnya di
Istanbul tak lagi dapat ditemukan, perjalanannya ke Kars dapat dilihat sebagai
sebuah upaya untuk melangkah keluar dari batasan didikan kelas menengahnya,
untuk akhirnya menjelajahi dunia lain yang selalu membuatnya penasaran.
Nyatanya, ketika mendapati etalase-etalase toko di Kars memajang benda-benda
yang diingatnya dari masa kecilnya, benda-benda yang tidak mungkin lagi
ditemukan di Istanbul sepatu olah raga Gislaved, kompor Vesuv, dan (hal pertama
yang dikenal oleh seorang anak di Kars) kemasan keju khas kota itu, yang
berbentuk lingkaran yang terbagi enam Ka merasa cukup bahagia sehingga melupakan
para gadis pelaku bunuh diri: Kars mendatangkan kembali kepadanya kedamaian jiwa
yang pernah dikenalnya. Menjelang siang, setelah berpisah dengan Serdar Bey, Ka bertemu dengan juru
bicara dari Partai Kesetaraan Manusia dan Azeri; dan, setelah kedua wawancara
ini berakhir, Ka kembali menembus badai salju sungguh hebat badai kali ini untuk
berjalan-jalan sendirian di kota. Melewati anjing-anjing yang masih menyalak di
Jalan Ataturk, dia melangkah dengan murung, bertekad mendatangi lingkungan
termiskin di Kars, menembus keheningan yang hanya dipecahkan oleh gonggongan
anjing. Ketika salju menutupi gunung-gunung terjal yang tidak terlihat lagi di
kejauhan, menutupi kastel Seljuk dan gubuk-gubuk kumuh yang tersebar di antara
reruntuhannya, Ka merasa seolaholah tersedot ke dalam sebuah dunia lain, sebuah
du-nia yang tidak mengenal waktu. Ketika terpikir oleh Ka bahwa dirinya mungkin
adalah satu-satunya orang yang dikenalnya di tempat itu, air mata membasahi
pelupuknya. Dia melewati sebuah taman di Yusuf Pasa yang dipenuhi oleh ayunan
dan pe-osotan rusak; kemudian, dia melewati sebuah lapangan tempat sekelompok
remaja laki-laki sedang bermain sepak bola. Lampu-lampu bertiang tinggi di dekat
gudang batu bara memberikan cukup penerangan, dan Ka pun berhenti sejenak untuk
menonton anak-anak itu bermain bola. Mendengarkan anak-anak itu saling berseru
dan mengumpat, menonton mereka meluncur di atas hamparan salju, memandang langit
yang putih dan pendar kuning lampu jalanan, Ka merasakan terpaan luar biasa dari
kemurungan dan keterpencilan tempat ini, hingga dia dapat merasakan Tuhan di
dalam dirinya. Pada titik ini, perasaannya hanya menyerupai sebuah bayangan samar-samar, tidak
ada yang dapat dipastikan: rasanya seperti berusaha mengingat lukisan tertentu
setelah berjalan-jalan sejenak di dalam sebuah galeri. Semakin kita berusaha
mengingat-ingat kembali lukisan itu, kita justru semakin melupakannya. Bukan
sekali ini saja Ka merasakan sensasi serupa. Dia dibesarkan di dalam sebuah
keluarga republiken sekularis dan tidak pernah mempelajari ilmu agama di luar
sekolah. Meskipun sesekali pernah melihat pemandangan serupa selama beberapa
tahun terakhir, Ka tidak pernah merasakan dorongan kegelisahan atau terpaan
inspirasi puitis. Biasanya, dia hanya akan merasa bahagia karena dapat mengagumi
keindahan dunia. Setelah kembali ke kamar hotelnya untuk beristirahat dan mencari kehangatan, Ka
dengan senang hati membaca literatur sejarah Kars yang dibawanya dari Istanbul,
memadukan apa yang dibacanya dengan cerita-cerita yang telah didengarnya
sepanjang hari, juga dengan kisah-kisah dari masa kecilnya yang luput disebutkan
dalam buku. Dahulu kala di Kars terdapat banyak penduduk kelas menengah yang cukup kaya,
dan, meskipun masa itu sangat jauh dari dunia Ka, keberadaannya bertautan dengan
semua ritual yang diingat oleh Ka dari masa kecilnya: pesta-pesta dansa mewah
pernah dilangsungkan di rumah-rumah besar di Kars, keriaan yang berlangsung
selama berhari-hari. Kars adalah terminal penting di rute perdagangan menuju
Georgia, Tabriz, dan Kaukasus; dan, karena berada di perbatasan antara dua
mantan kekaisaran, Utsmani dan Rusia, kota bergunung-gunung itu juga mereguk
keuntungan dari perlindungan yang secara ber-giiran diberikan oleh pasukan kedua
negara tersebut. Selama periode Utsmani, banyak penduduk dari berbagai bangsa
tinggal di Kars. Sebuah komunitas Armenia berskala besar pernah terdapat di
Kars; komunitas itu sudah tidak ada lagi sekarang, namun gereja-gerejanya yang
telah berumur ribuan tahun masih berdiri dengan agung. Sejumlah besar orang
Persia melarikan diri dari Mughal, dan kemudian pasukan Iran menduduki Kars
selama bertahuntahun. Ada penduduk berkebangsaan Yunani yang memiliki akar dari
periode Byzantine dan Pontus. Ada pula penduduk dari berbagai suku bangsa
Georgia, Kurdi, dan Kirghizia. Sebagian penduduk muslim terpaksa menyingkir
ketika pada 1878, pasukan Rusia menduduki kastil berumur 500 tahun yang ada di
kota itu, lalu merebut rumah-rumah mewah dan hamam milik Pasha. Kemudian,
bangunan-bangunan Utsmani yang berdiri di lereng bukit di bawah kastil pun
dibiarkan ambruk dengan sendirinya. Kars masih tampak kaya dan unik ketika para
arsitek Tsar bekerja di sepanjang sisi selatan Sungai Kars, membangun sebuah
kota baru yang menawan dengan ciri khas berupa lima ruas jalan besar yang
berjajar sempurna, dengan ruas-ruas jalan yang lebih kecil membelah ruas-ruas
jalan besar tersebut pada sudut yang tepat, sesuatu yang belum pernah ditemui di
Timur. Tsar Alexander datang ke Kars untuk berburu dan untuk berkencan secara
diamdiam dengan gundiknya. Bagi Rusia, Kars adalah pintu gerbang menuju Selatan
dan Mediterania, dan, untuk mengawasi jalur-jalur perdagangan yang melewatinya,
mereka menanamkan investasi besar untuk pembangunan kota. Hal-hal tersebutlah
yang membuat Ka sangat terkesan selama kunjungannya ke Kars dua puluh tahun lalu
ruas-ruas jalan dan trotoar batu yang lebar, pohon-pohon sycamore dan oleander
yang ditanam setelah Republik Turki berdiri. Semua itu menebarkan aura
melankolis bagi kota itu, yang membuatnya berbeda dengan kota-kota Utsmani
lainnya, dengan rumah-rumah kayu yang habis dibakar selama tahuntahun perjuangan
nasionalisme dan perang antar suku.
Setelah perang, pemberontakan, pembantaian, dan kekacauan yang tak kunjung usai,
Kars secara bergantian jatuh ke tangan pasukan Armenia dan Rusia; dan bahkan,
meskipun hanya sebentar, ke tangan pasukan Inggris. Untuk sesaat, ketika pasukan
Rusia dan Utsmani meninggalkan kota akibat Perang Dunia Pertama, Kars menjadi
wilayah yang merdeka; kemudian, pada Oktober 1920, pasukan Turki, di bawah
pimpinan Kazim Karabekir, sang jenderal yang saat ini dapat dilihat patungnya di
halaman Alun-Alun Stasiun, merebut kota itu. Generasi baru Turki ini meneruskan
sebagian besar rencana yang telah disusun oleh para arsitek Tsar empat puluh
tiga tahun sebelumnya: kebudayaan yang diusung Rusia ke Kars berpadu secara
sempurna dengan proyek westernisasi yang sedang diupayakan oleh Republik Turki.
Tetapi, ketika harus mengganti nama lima ruas jalan besar Rusia, mereka tidak
dapat memikirkan cukup banyak nama besar yang bukan miik tentara dari sejarah
Kars, sehingga akhirnya nama lima orang pasha termasyhur diabadikan di kelima
ruas jalan tersebut. Itulah tahuntahun westernisasi kota ini, begitulah kata Muzaffer Bey, mantan
wali kota dari Partai Rakyat dengan penuh rasa bangga sekaligus marah. Dia
membicarakan pesta-pesta dansa mewah di balai kota dan kompetisi seluncur es
yang diselenggarakan di bawah jembatan besi yang sekarang telah bobrok dan
berkarat, yang dilewati oleh Ka saat berjalan-jalan pada pagi hari. Ketika
sebuah kelompok teater dari Ankara datang untuk mementaskan Oedipus Rex, kaum
borjuis Kars menyambutnya dengan penuh suka cita, meskipun perang dengan Yunani
belum dua puluh tahun berlalu. Dalam balutan mantel berkerah bulu, orang-orang
kaya pergi keluar menggunakan kereta salju yang ditarik oleh kuda-kuda Hungaria
ceria yang diikat dengan tali-tali perak berhias bunga mawar. Di Taman Nasional,
pesta dansa diselenggarakan di bawah pohon-pohon akasia untuk mendukung tim
sepak bola, dan penduduk Kars akan berdansa di tempat terbuka dengan iringan
piano, akordeon, dan klarinet. Saat musim panas, gadis-gadis dapat mengenakan
baju berlengan pendek dan bersepeda berkeliling kota tanpa ada yang mengusik.
Banyak siswa /y cee sekolah menengah yang meluncur di atas es saat berangkat ke
sekolah, mengekspresikan semangat patriotisme mereka dengan mengenakan dasi
kupu-kupu. Pada masa mudanya, Muzaffer Bey merupakan salah seorang di antara
mereka. Kemudian, setelah menjadi pengacara dan dengan senang hati pulang


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kampung untuk membuka kantor di Kars, dia kembali mengenakan dasi kupu-kupu.
Kader-kader partainya menganggap gaya berpakaian ini menghambat datangnya suara,
membuat para pemilih menganggapnya mencari-cari perhatian dengan gaya kunonya,
namun Muzaffer Bey tidak mau mendengarkan.
Sekarang, semuanya telah hilang, musim dingin tanO pa akhir tersebut, dan,
menurut Muzaffer Bey, kehilangan ini seolaholah dapat menjelaskan kejatuhan kota
ini ke dalam kepapaan, keputusaasaan, dan kehancuran. Setelah menggambarkan
keindahan musim-musim dingin tersebut berlama-lama menyebutkan tentang wajah-
wajah berbedak para aktor setengah telanjang yang datang jauh-jauh dari Ankara
untuk mementaskan sandiwara Yunani wali kota uzur itu melanjutkan dengan
bercerita mengenai bagaimana pada akhir tahun empat puluhan dia sendiri pernah
mengundang sekelompok pemuda untuk mementaskan sandiwara revolusioner di balai
kota. "Sandiwara ini mengisahkan seorang gadis muda yang sepanjang hidupnya
harus mengenakan jilbab hitam," katanya. "Pada akhir cerita, dia mencopot
jilbabnya dan membakarnya." Pada akhir tahun empat puluhan, mereka harus
menyisir seluruh kota untuk mencari jilbab hitam yang digunakan dalam drama;
pada akhirnya, mereka harus menelepon ke Erzurum untuk meminta kiriman dari
sana. "Tapi, sekarang jalanan dipenuhi oleh wanita berjilbab berbagai warna,"
Muzaffer Bey menambahkan. "Dan sekarang, karena diusir dari kelas akibat
memamerkan simbol Islam politis ini, mereka mulai melakukan bunuh diri."
Ka menahan diri dari melontarkan pertanyaan, seperti yang akan dilakukannya
selama dirinya berada di Kars, kapan pun seseorang menyebutkan tentang
kebangkitan Islam politis atau mempertanyakan soal jilbab. Dia juga menahan diri
dari menanyakan mengapa, jika tidak satu pun jilbab dapat ditemukan di Kars pada
akhir tahun empat puluhan, sekelompok pemuda merasa perlu mementaskan sebuah
sandiwara revolusioner yang intinya mendorong supaya wanita tidak mengenakan
penutup kepala. Ketika berjalan-jalan di kota pada hari itu, Ka tidak terlalu
memerhatikan jilbab-jilbab yang diihatnya dan tidak berusaha membedakan jilbab
yang politis dari yang tulus; dia baru seminggu kembali ke negara ini, dan dia
belum memiiki cukup keahlian sekuler untuk mendeteksi motif politik setiap kali
melihat seorang wanita berjilbab melintas di jalan. Tetapi, tidak bisa
disangkal, sejak kecil dirinya memang tidak punya kebiasaan memerhatikan wanita
berjilbab. Dalam lingkup pergaulan kelas menengah atas ketika Ka menghabiskan
masa muda di Istanbul, seorang wanita berjilbab tentu berasal dari kampung dari
perkebunan anggur Kartal, misalnya, yang datang untuk menjual anggur. Atau istri
tukang susu. Atau orang lain dari kelas bawah.
Nantinya, aku juga akan mendengar banyak cerita tentang para mantan pemiik Hotel
Istana Salju, tempat Ka tinggal. Salah satunya adalah seorang profesor
berpandangan kebarat-baratan yang diasingkan ke Kars oleh Tsar (alternatif yang
lebih ringan daripada Siberia); seorang lagi adalah pedagang hewan ternak dari
Armenia; kemudian, bangunan hotel itu sempat digunakan sebagai
panti asuhan Yunani. Pemilik pertama membeli bangunan berumur 110 tahun ini
lengkap dengan semacam sistem pemanas tipikal banyak rumah di Kars pada masa
itu: tungku "pech" yang diletakkan di balik dinding supaya dapat memancarkan
kehangatan ke keempat ruangan di sekelilingnya. Baru ketika Kars menjadi bagian
dari Republik Turki, dan muncullah pemilik pertama yang berkebangsaan Turki,
bangunan ini dialihfungsikan sebagai hotel; tetapi, karena tidak tahu cara
mengoperasikan sistem pemanas Rusia, si pemiik memasang tungku kuningan besar
dibalik pintu menuju halaman. Lama kemudian, dia baru beralih ke sistem pemanas
sentral. Ka sedang berbaring di ranjangnya, masih mengenakan mantel, tenggelam dalam
lamunan, ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya. Dia langsung melompat untuk
membuka pintu dan melihat Cavit, resepsionis hotel yang lebih banyak
menghabiskan hari-harinya dengan duduk menonton televisi di dekat tungku
pemanas. "Saya lupa mengatakan pada Anda waktu memberikan kunci," kata Cavit. "Serdar
Bey, pemilik Border City Gazette, ingin secepatnya menemui Anda."
Ka hendak keluar dari lobi saat langkahnya seketika terhenti; tepat pada saat
itu, melewati pintu di belakang meja resepsionis, adalah Ypek, tampak jauh lebih
cantik daripada sosok yang ada dalam kenangan Ka. Dia telah melupakan betapa
menawannya Ypek ketika masih kuliah. Dadanya mulai berdebardebar. Ya, benar
secantik itulah Ypek. Pertama-tama, mereka berjabatan tangan dengan gaya kaum
borjuis Istanbul yang kebarat-baratan, namun setelah ragu-ragu sejenak, mereka
mendekatkan kepala, berpelukan tanpa menyentuhkan badan, dan saling mencium
pipi. "Aku tahu kau datang kemari," kata Ypek sambil mundur selangkah. Ka terkejut
mendengarnya berbicara begitu terbuka. "Taner memberitahuku di telepon." Ypek
menatap lekat-lekat mata Ka saat mengatakannya.
"Aku ke sini untuk meliput pemilihan dan bunuh diri di kalangan gadis-gadis."
"Berapa lama kau akan tinggal di sini?" tanya Ypek. "Aku sedang sibuk dengan
ayahku sekarang, tapi ada sebuah tempat bernama Toko Kue Hidup Baru, tepat di
sebelah hotel Asia. Kita bisa bertemu di sana pukul setengah dua siang nanti
kita bisa mengobrol nanti."
Seandainya mereka berpapasan di Istanbul di suatu tempat di BeyoSIu, misalnya
percakapan seperti ini akan terasa normal. Tetapi, karena terjadi di Kars,
percakapan ini terasa begitu aneh. Ka tidak yakin seberapa besar kegelisahannya
berhubungan dengan kecantikan Ypek. Setelah berjalan-jalan di tengah salju
selama beberapa waktu, dia mendapati dirinya berpikir: aku bersyukur karena
membeli mantel ini. Dalam perjalanan menuju kantor surat kabar, hati Ka menampilkan satu atau dua
hal yang tidak dapat diterima oleh benaknya: pertama, dengan kembali ke Istanbul
dari Frankfurt untuk pertama kalinya dalam waktu dua belas tahun, tujuan Ka
bukan hanya untuk menghadiri pemakaman ibunya, melainkan juga untuk menemukan
seorang gadis Turki yang bisa dijadikan istri; kedua, karena secara diamdiam Ka
berharap bahwa gadis yang dimaksud adalah Ypek, maka dia pun melakukan
perjalanan jauh dari Istanbul menuju Kars.
Jika seorang teman dekat mengungkapkan kemungkinan kedua ini, Ka tidak akan
pernah memaafkannya; tetapi, kebenaran yang terkandung di dalam kemungkinan
itu akan menimbulkan rasa bersalah dan malu sepanjang sisa hidupnya. Ka, seperti
yang terlihat, adalah salah satu moralis yang percaya bahwa kebahagiaan terbesar
akan datang jika dia tidak bertindak demi kebahagiaan pribadinya. Terlebih lagi,
menurutnya, seorang pria berpendidikan, kebarat-baratan, dan berwawasan luas
seperti dirinya tidak layak menikah dengan seseorang yang tidak terlalu
dikenalnya. Meskipun hatinya risau, Ka merasa agak puas ketika tiba di kantor
Border City Gazette. Ini disebabkan oleh pertemuan pertamanya dengan Ypek
peristiwa yang telah diimpikannya sejak dia melangkahkan kaki ke dalam bus di
Istanbul berlangsung jauh lebih mulus daripada yang diperkirakannya.
Border City Gazette berada di Jalan Faikbey, berjarak satu ruas jalan dari hotel
Ka. Kantor dan peralatan cetaknya memakan tempat yang hanya sedikit lebih luas
dibandingkan kamar hotel Ka yang sempit. Tempat itu terdiri dari dua ruangan
dengan partisi kayu yang juga digunakan untuk menggantungkan foto-foto Atatiirk,
kalender, contoh-contoh kartu nama dan undangan pernikahan (sebagai pekerjaan
sampingan), dan foto-foto si pemiik surat kabar bersama pejabat-pejabat
pemerintah dan orang-orang Turki terkenal yang pernah berkunjung ke Kars.
Terdapat pula bingkai berisi satu eksemplar edisi pertama koran itu, yang
diterbitkan empat puluh tahun berselang. Samar-samar, terdengarlah bunyi mesin
cetak; berumur 110 tahun, dibuat di Leipzig oleh Baumann Company untuk pemiik
pertamanya di Hamburg. Setelah menggunakannya selama seperempat abad, mereka
menjualnya ke sebuah penerbit surat kabar di Istanbul; peristiwa itu terjadi
pada 1910, selama periode kebebasan pers yang menyusul ditetapkannya undang-
undang mo-narki kedua. Pada 1955 sebelum mesin cetak itu dijual sebagai
rongsokan besi tua almarhum ayah Serdar Bey membeli dan mengirimnya ke Kars. Ka
mendapati putra Serdar Bey yang berumur 22 tahun membasahi jemarinya dengan
ludah, hendak memasukkan selembar kertas bersih ke dalam mesin dengan tangan
kanannya, sementara tangan kirinya dengan tangkas menarik lembaran kertas yang
telah tercetak; baki penampung hasil cetakan telah rusak dalam sebuah
pertengkaran dengan adiknya sebelas tahun berselang. Meskipun sambil melakukan
manuver rumit tersebut, pemuda itu masih dapat melambai kepada Ka. Putra kedua
Serdar Bey duduk di depan sebuah meja berwarna hitam kelam dengan kompartemen
kecil yang tak terhitung banyaknya di permukaannya, dan dikelilingi oleh deretan
abjad timah, cetakan, dan plat logam. Si putra tertua mirip dengan ayahnya,
namun ketika memerhatikan si putra kedua, Ka melihat sosok ibu pemuda itu,
dengan mata sipit, wajah bulat, dan tubuh pendek gempal. Membuat seting secara
manual untuk iklaniklan yang akan ditampilkan dalam edisi tiga hari mendatang,
pemuda ini menunjukkan kesabaran luar biasa, bagaikan seorang seniman kaligrafi
yang telah berhasil memukau dunia dengan hasil karyanya.
"Jadi, sekarang Anda melihat sendiri bagaimana kami di percetakan Anatolia Timur
harus bekerja keras,1 kata Serdar Bey.
Tepat pada saat itu, listrik padam. Ketika mesin cetak seketika berhenti bekerja
dan seluruh ruangan gelap gulita, Ka semakin terpesona menatap betapa putih dan
memesonanya hujan salju di luar.
"Berapa eksemplar yang sudah berhasil kaucetak"1 tanya Serdar Bey. Setelah
menyalakan liin, dia mempersilakan Ka duduk di sebuah kursi di ruang depan.
"Sudah seratus enam puluh, Yah.1
"Kalau listrik sudah menyala, lanjutkan lagi sampai tiga ratus empat puluh.
Penjualan kita seharusnya meningkat, apalagi dengan adanya kunjungan kelompok
teater.1 Border City Gazette hanya dijual di sebuah kios, di seberang Teater Nasional,
dan kios ini berhasil menjual rata-rata dua puluh eksemplar untuk setiap edisi,
tetapi, termasuk langganan, sirkulasi koran ini mencapai tiga ratus dua puluh
eksemplar, sebuah fakta yang membuat Serdar Bey bangga. Dua ratus eksemplar di
antaranya masuk ke kantor-kantor pemerintahan dan pusat-pusat bisnis Serdar Bey
melaporkan prestasinya ini sesering mungkin. Seratus eksemplar lainnya dibaca
oleh "orang-orang berpengaruh yang terpandang dan jujur1, yang telah pindah ke
Istanbul namun masih menjaga hubungan mereka dengan kota ini.
Ketika listrik kembali menyala, Ka melihat urat-urat amarah berdenyut-denyut di
kening Serdar Bey. "Setelah kita berpisah, Anda menemui orang-orang yang salah, dan orang-orang itu
mengatakan hal-hal yang salah tentang kota perbatasan kami kepada Anda,1 kata
Serdar Bey. "Bagaimana Anda bisa tahu ke mana saya pergi"1 tanya Ka.
"Tentu saja, polisi mengikuti Anda,1 kata si pemilik surat kabar. "Dan, untuk
alasan profesional, kami mendengarkan komunikasi polisi memakai radio transistor
ini. Sembilan puluh persen dari berita yang kami cetak berasal dari Kantor
Gubernur dan Kantor Polisi Kars. Semua polisi di Kars tahu bahwa Anda menanyakan
kepada semua orang mengapa Kars begitu miskin dan terbelakang, dan mengapa begitu banyak
wanita muda di sini melakukan bunuh diri.1
Ka sudah mendengar cukup banyak penjelasan mengenai mengapa Kars terjerumus
dalam kemunduran yang parah. Bisnis dengan Uni Soviet terhambat selama Perang
Dingin, kata beberapa orang. Gerilyawan komunis yang menggerogoti kota selama
tahun tujuh puluhan telah menghambur-hamburkan kekayaan kota; orang-orang kaya
menarik kembali sebanyak mungkin modal mereka dan pindah ke Istanbul atau
Ankara. Seluruh bangsa telah melupakan Kars, begitu pula Tuhan. Dan, kita tidak
boleh melupakan perselisihan tanpa akhir antara Turki dan Armenia ....
"Saya sudah memutuskan untuk menceritakan kisah yang sesungguhnya kepada Anda,1
kata Serdar Bey. Dengan kejernihan pikiran dan optimisme yang tidak pernah dirasakannya selama
bertahuntahun, Ka langsung melihat bahwa inti permasalahan ini sesungguhnya
adalah rasa malu. Dia sendiri juga pernah merasakannya, selama tahun-tahunnya di
Jerman, namun dia menyembunyikannya dari dirinya sendiri. Baru sekarang, setelah
menemukan harapan akan kebahagiaan, dia merasa cukup kuat untuk mengakuinya pada
dirinya sendiri. "Dahulu kala, kita semua bersaudara," kata Serdar Bey. Dia berbicara seolaholah
sedang membocorkan sebuah rahasia. "Tapi, dalam beberapa tahun terakhir ini,
semua orang mulai berkata, 'Aku orang Azeri, aku orang Kurdi, aku orang
Terekemi.' Tentu saja, penduduk di sini berasal dari dari semua bangsa. Orang
Terekemi, yang juga kami sebut orang Karapapak, bersaudara dengan orang Azeri.
Orang Kurdi, yang lebih kami anggap sebagai suku, dahulu justru tidak tahu bahwa
mereka orang Kurdi. Dan, pada periode Ottoman pun masih seperti itu keadaannya; tidak seorang pun
yang memilih untuk tinggal di sini berkeliaran sambil menepuk-nepuk dada dan
berseru, 'Kami orang Utsmani!' Orang Turkmenistan, orang Posof Laz, orang Jerman
yang diasingkan ke sini oleh Tsar semuanya ada di sini, tapi tidak seorang pun
membanggakan diri dan menyatakan sebagai bangsa dengan derajat yang berbeda.
Komunis dan Radio Tiflis merekalah yang menyebarkan isu tentang kebanggaan suku,
dan mereka melakukannya karena ingin memecah belah dan menghancurkan Turki.
Sekarang, semua orang semakin sombong dan miskin."
Merasa yakin maksudnya dipahami oleh Ka, Serdar Bey mengalihkan pembicaraan ke
topik yang lain. "Sekarang, para Islamis ini. Secara berkelompok, mereka pergi
dari pintu ke pintu, melakukan kunjungan rumah: mereka menghadiahkan panci dan
wajan untuk para wanita, juga alat untuk memeras jeruk, berkotak-kotak tepung
terigu, sabun mandi, dan sabun deterjen. Mereka berkonsentrasi di daerah-daerah
miskin, mereka mendekatkan diri dengan para wanita, mereka membawa jarum berkait
dan menjahit benang emas ke pundak anak-anak untuk melindungi mereka dari
kejahatan. Mereka berkata, 'Berikanlah suaramu untuk Partai Kemakmuran,
partainya Tuhan. Kita sengsara karena tidak mengikuti jalan Tuhan.' Laki-laki
bicara dengan laki-laki, perempuan bicara dengan perempuan. Mereka berhasil
merebut kepercayaan para pengangguran yang marah dan jengah; mereka duduk
bersama para istri, yang tidak tahu harus mendapatkan makanan dari mana lagi,
dan menyuntikkan harapan; mereka menjanjikan lebih banyak hadiah dan menyuruh
orang-orang miskin itu berjanji untuk memberikan suara sebagai balasan. Yang
sedang kita bicarakan ini bukan hanya yang ternista dari yang nista. Bahkan
orang-orang yang memiliki pekerjaan sekalipun bahkan para pedagang menghormati
mereka, karena para Islamis ini lebih giat, lebih jujur, dan lebih rendah hati
daripada orang lain."
Pemilik Border City Gazette melanjutkan dengan mengatakan bahwa wali kota yang
baru saja terbunuh dibenci oleh semua orang. Bukan karena pria ini memutuskan
untuk melarang penggunaan kereta kuda karena menganggapnya terlalu kuno. (Tentu
saja, setelah dia meninggal, rencana ini pun terlupakan.) Bukan, Serdar Bey
menegaskan bahwa penduduk Kars membenci wali kota ini karena dia mau menerima
suap dan tidak memiiki visi yang jelas. Tetapi, partai-partai republiken di
kanan kirinya gagal memanfaatkan kebencian ini: mereka sendiri terpecah belah
akibat perselisihan keluarga, isu-isu etnis, dan persaingan sengit, sehingga
gagal untuk memilih seorang kandidat yang mantap. "Satu-satunya kandidat yang
berhasil merebut kepercayaan masyarakat berasal dari partai Tuhan," kata Serdar
Bey. "Dan, kandidat itu adalah Muhtar Bey, mantan suami Ypek Hanym, putri Turgut
Bey, pemiik hotel yang Anda tinggali. Muhtar tidak begitu pintar, tapi dia orang
Kurdi, dan ada empat puluh persen Kurdi di seluruh populasi kami. Wali kota yang
baru akan berasal dari partai Tuhan."
Di luar, hujan salju turun semakin lebat dan deras: hanya dengan memandangnya,
Ka merasa kesepian. Dia juga khawatir memikirkan kemungkinan dunia kebarat-
baratan yang dikenalnya sebagai seorang bocah di Istanbul akan hancur. Ketika
berada di Istanbul, dia terkenang kembali pada jalanan dari masa kecilnya,
memandang bangunan-bangunan tua dan elegan yang pernah menjadi
tempat tinggalnya dan teman-temannya, bangunan-bangunan yang didirikan pada awal
abad kedua puluh, dan sebagian di antaranya telah diruntuhkan. Pepohonan dari
masa kecilnya telah layu atau ditebang; gedung bioskop, yang sudah ditutup
selama sepuluh tahun, masih berdiri, dikeliingi oleh deretan toko-toko pakaian
kecil yang tampak suram. Tetapi, bukan hanya dunia dari masa kecilnya yang
sedang sekarat, melainkan juga impiannya untuk pada suatu hari pulang dan
menetap di Turki. Jika negara ini dikuasai pemerintahan Islam garis keras, pikir
Ka sekarang, maka adiknya sendiri pun tidak akan bisa keluar rumah tanpa
mengenakan penutup kepala.
Lampu neon Border City Gazette yang terpasang di luar menghasilkan cahaya
remang-remang di kegelapan malam. Kepingan salju besar yang berayun perlahan
melewati pendar cahaya mengingatkan Ka pada kisah-kisah dari negeri dongeng.
Dan, sembari memandang hujan salju yang tak kunjung reda, Ka membayangkan
dirinya bersama Ypek di Frankfurt: mereka sedang berada di Kaufhof, tempatnya
membeli mantel kelabu batu bara yang saat ini membalut erat tubuhnya; mereka
berbelanja bersama di lantai kedua, di bagian sepatu wanita.
"Ini semua adalah perbuatan gerakan Islamis internasional yang ingin menjadikan
Turki sebagai Iran yang lain
"Begitu pulakah halnya dengan gadis-gadis yang melakukan bunuh diri?" tanya Ka.
"Sekarang ini, kami sedang mengumpulkan pendapat dari orang-orang yang
beranggapan bahwa gadis-gadis itu memiiki cara berpikir yang salah, namun karena
tidak ingin memberikan tekanan tambahan pada gadis-gadis itu, yang mungkin akan
lebih mendorong mereka melakukan
bunuh diri, kami belum mencetak satu pun pendapat itu. Mereka mengatakan bahwa
Biru, teroris Islam terkenal itu, ada di kota kami; dialah yang memengaruhi para


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis berjilbab, dan juga gadis-gadis pelaku bunuh diri itu."
"Bukankah Islamis menentang tindakan bunuh diri?"
Serdar Bey tidak menjawab pertanyaan ini.
Ketika mesin cetak berhenti bekerja dan kesunyian kembali menyelimuti ruangan,
Ka kembali melayangkan pandangan ke salju yang indah. Kesadaran bahwa dirinya
akan segera menemui Ypek membuatnya gugup. Masalah-masalah Kars untuk sesaat
berhasil menjadi pengalih perhatian, namun sekarang Ka hanya ingin memikirkan
Ypek dan bersiap-siap untuk pertemuan mereka di toko kue. Sekarang pukul satu
lewat dua puluh menit. Dengan lagak resmi, layaknya sedang mempersembahkan hadiah yang teramat
berharga, Serdar Bey menyerahkan kepada Ka satu eksemplar halaman depan
korannya, yang baru saja dicetak oleh putranya. Mata Ka, yang telah terbiasa
mencari namanya di dalam jurnal-jurnal sastra, langsung melihat sebuah berita
kecil di bagian sudut. KA, PENYAIR TERKENAL KITA, BERKUNJUNG KE KARS
KA, penyair yang saat ini terkenal di seluruh penjuru Turki, berkenan
mengunjungi kota perbatasan kita. Dia pertama kali merebut perhatian seluruh
negeri dengan dua buku kumpulan puisinya yang berjudul Kelabu dan Jingga dan
Surat-Surat Malam. Penyair muda kita, yang juga pemenang Penghargaan Behget
Necatigil, datang ke Kars mewakili harian Republican untuk meliput
pemilihan wali kota. Selama bertahun tahun, sang penyair KA mempelajari
puisipuisi Barat di Frankfurt.
"Nama saya tercetak salah,1 kata Ka. "Seharusnya Anda menggunakan 'A1 kecil.1
Dia langsung menyesal karena mengatakan hal ini. "Tapi kelihatannya bagus,1 Ka
buru-buru menambahkan, seolaholah untuk memperbaiki sikap buruknya.
"Maafkan kami, justru karena kami tidak yakin bagaimana menulis nama Anda, maka
kami berusaha menghubungi Anda,1 kata Serdar Bey. "Nak, kemarilah, Nak, kau
salah mencetak nama penyair kita.1 Tetapi, meskipun memelototi putranya, tidak
ada nada terkejut dalam suara Serdar Bey. Ka menduga, dirinya bukanlah orang
pertama yang melihat kesalahan penulisan nama di koran ini. "Perbaiki, sekarang
juga.1 "Tidak perlu,1 kata Ka. Pada saat yang sama, dia melihat namanya dicetak dengan
benar di paragraf terakhir sebuah berita lain.
MALAM KEJAYAAN BAGI PARA AKTOR SUNAY ZAIM DI TEATER NASIONAL
Kelompok Teater Sunay Zaim, yang dikenal di seluruh Turki karena pementasan
teater yang dipersembahkan untuk Ataturk, republik, dan Pencerahan, tampil dan
memukau penonton yang antusias di Teater Nasional kemarin malam. Pementasan
tersebut, yang berlangsung hingga tengah malam dan dihadiri oleh deputi
gubernur, kandidat wali kota, dan para penduduk terpandang di Kars, mendapatkan
sambutan gegap gempita. Masyarakat Kars, yang telah lama mendambakan pertunjukan
artistik sekaliber ini, dapat menonton bukan hanya dari auditorium yang penuh
sesak, melainkan juga dari rumah-rumah di sekitar gedung Teater Nasional. Kars
Border Television bekerja tanpa lelah untuk mengorganisir siaran langsung
pertama dalam sejarah dua tahunnya, supaya seluruh penduduk Kars dapat melihat
pementasan menakjubkan ini. Meskipun belum memiliki kendaraan transmisi siaran
langsung, Kars Border Television berhasil membentangkan kabel kamera sejauh dua
ruas jalan dari kantor mereka di Jalan Halitpasa hingga Teater Nasional. Para
penduduk Kars yang budiman menyambut baikniat mulia ini, sehingga beberapa orang
di antara mereka bahkan membawa masuk kabel tersebut ke dalam rumah untuk
menghindarkannya dari kerusakan akibat salju. (Sebagai contoh, dokter gigi kita,
Fadil Bey beserta keluarga, mengizinkan kru televisi memasukkan kabel mereka
dari jendela di balkon depan rumahnya dan mengeluarkannya kembali di kebun
belakang rumahnya.) Saat ini, penduduk Kars berharap mendapatkan kembali
kesempatan untuk menikmati siaran langsung yang sukses semacam ini. Pihak
manajemen Kars Border Television juga mengumumkan bahwa untuk mendukung siaran
langsung pertama di kota ini, seluruh pusat kegiatan di Kars bersedia memasang
iklan. Pertunjukan teater tersebut, yang disaksikan oleh seluruh
populasi kota ini, menampilkan guyonan republiken, adegan-adegan yang teramat
indah dari karya-karya artistik terpenting Pencerahan Barat, sketsa-sketsa
teatrikal untuk mengkritisi iklaniklan yang dipercaya bertujuan menggerogoti
kebudayaan kita, pealangan Vural, sang penjaga gawang ternama, dan puisipuisi
yang memuji Ataturk dan bangsa kita. Ka, seorang penyair ternama, yang kebetulan
sedang berada di kota kita, membacakan puisi terbarunya yang berjudul "Salju".
Penutup pagelaran malam itu adalah pembacaan puis Tanah Airku atau Syalku,
mahakarya Pencerahan dari tahuntahun awal republik, dalam interpretasi baru yang
berjudul Tanah Airku atau Jilbabku.
"Saya tidak punya puisi berjudul 'Salju1, dan saya ti-dak pergi ke teater malam
ini. Koran Anda akan kelihatan membuat kesalahan."
"Jangan seyakin itu. Banyak orang mencerca kami karena kami menulis berita
sebelum peristiwanya terjadi; kami membuat mereka gentar, bukan karena kami
jurnalis, melainkan karena kami dapat meramalkan masa depan. Anda seharusnya
melihat bagaimana mereka terheran-heran ketika ternyata keadaan terjadi tepat
seperti yang kami tulis. Dan, ada banyak hal yang justru terjadi karena kami
telah menulisnya. Inilah yang namanya jurnalisme modern. Saya tahu, Anda tidak akan mencegah
kami menjadi modern Anda tidak ingin menghancurkan hati kami dan karena itulah
saya yakin Anda akan menulis sebuah puisi berjudul 'Salju', lalu datang ke
teater malam ini untuk membacanya."
Ketika membaca cepat keseluruhan isi surat kabar itu pengumuman tentang berbagai
kegiatan kampanye, berita tentang vaksin baru dari Erzurum yang sekarang
diberikan untuk murid-murid sekolah dasar di Kars, sebuah artikel penuh semangat
yang membahas bagaimana kota memberikan tambahan waktu selama dua bulan kepada
seluruh penduduk untuk membayar tagihan air mereka Ka melihat sebuah berita yang
sebelumnya terlewat olehnya.
SEMUA JALAN MENUJU KARS DITUTUP
Hujan salju yang telah turun selama dua hari saat ini menutup seluruh jalan yang
menghubungkan kota kita dengan dunia luar. Jalan Ardahan ditutup kemarin pagi,
dan jalan menuju Sarykamyh) tidak bisa dilewati lagi siang ini. Karena timbunan
salju dan es di wilayah-wilayah tertentu, penutupan sejumlah ruas jalan memaksa
sebuah bus yang dimiliki oleh Perusahaan Yilmaz berputar kembali ke Kars. Badan
pemantau cuaca mengumumkan bahwa angin dingin yang bertiup langsung dari
Siberia, disertai oleh hujan salju yang lebat, akan terus menerpa kota kita
hingga tiga hari lagi. Dan, selama tiga hari, tidak ada yang bisa dilakukan oleh
penduduk Kota Kars kecuali melakukan kegiatan musim dingin seperti pada masa
lalu berdiam di kota. Kesempatan ini dapat kita pergunakan untuk menata kembali
rumah kita. Ketika Ka berdiri untuk bersiap-siap pergi, Serdar Bey melompat dari kursinya
dan menahan pintu untuk memastikan supaya kata-katanya didengar oleh Ka.
"Soal Turgut Bey dan putrinya siapa yang tahu apa yang akan mereka katakan pada
Anda?" katanya. "Seperti saya, mereka adalah orang berpendidikan yang menemui
banyak teman pada malam hari, tapi jangan lupakan: mantan suami Ypek Hanym
adalah kandidat wali kota dari Partai Tuhan. Ayah Ypek Hanym adalah seorang
komunis. Dan, yang lebih mengherankan, adiknya, yang datang kemari untuk
menyelesaikan sekolahnya, digosipkan sebagai pemimpin kelompok gadis berjilbab.
Tidak seorang pun di Kars yang mengerti mengapa mereka memilih untuk datang ke
sini empat tahun lalu, pada hari-hari terburuk kota kami."
Meskipun merasakan hatinya terempas saat mendengar berita yang merisaukan ini,
Ka tidak menunjukkan sedikit pun emosi. []
Benarkah Kau Datang Kemari untuk Meliput Pemilihan dan Kasus Bunuh Diri" Ka
Menemui Ypek di Toko Kue Hidup
Baru MESKIPUN BARU saja mendengar kabar buruk, mengapa senyuman tipis tersungging di
wajah Ka ketika dia berjalan menembus hujan salju dari Jalan Faikbey ke Toko Kue
Hidup Baru" Seseorang memainkan "Roberta" karya Peppino di Capri, sebuah lagu
pop melodramatis dari tahun enam puluhan. Saat mendengarnya, Ka merasa seperti
seorang jagoan romantis yang murung dalam sebuah novel karya Turgenev, berangkat
untuk menemui wanita yang telah berkelebat di dalam mimpi-mimpinya selama
bertahuntahun. Tetapi, sebaiknya kita jujur saja: Ka menyukai Turgenev dan
novel-novelnya yang elegan; dan, seperti penulis Rusia itu, Ka yang sudah jenuh
dengan kemunduran dan muak dengan masalah abadi yang melanda negerinya tetap
merasakan kecintaan dan kerinduan yang mendalam pada tanah airnya setelah dia
pindah ke Eropa. Dan, bukan hanya Ypek yang menghantui Ka, meskipun sosok wanita
yang begitu mirip dengan Ypek selalu membayangi benaknya. Bayangan Ypek mungkin
memang berulang kali berkelebat dalam pikirannya, namun baru ketika mendengar
tentang perceraiannya, Ka mulai memikirkan wanita itu. Memang, tentunya karena
Ka tidak banyak memimpikan Ypek, maka sekarang dia membiarkan perasaannya
terbuai oleh musik dan romantisisme Turgenev.
Tetapi, begitu Ka memasuki toko kue dan mendatangi Ypek di sebuah meja, semua
pikiran tentang romantisisme Turgenev melayang begitu saja. Karena sekarang Ypek
sepertinya jauh lebih cantik daripada ketika di hotel; lebih memesona daripada
ketika di universitas. Kecantikan sejatinya bibirnya yang merah muda, kulitnya
yang pucat, matanya yang bercahaya, tatapannya yang terbuka dan akrab membuat Ka
gelisah. Dia tidak mengharapkan sambutan sehangat ini, dan dia takut
ketenangannya akan goyah. Inilah yang paling ditakutinya, selain menulis puisi
yang buruk. "Dalam perjalanan ke sini, aku melihat para pekerja menarik kabel transmisi dari
Border City Television sampai Teater Nasional. Mereka membentangkan kabelnya
seperti tali jemuran," kata Ka, berharap dapat memecah kecanggungan. Tetapi,
tidak ingin tampak sinis dalam memandang kehidupan di daerah, Ka mengucapkan
komentarnya tanpa tersenyum.
Dibutuhkan usaha untuk melancarkan percakapan, namun mereka berdua menjalankan
tugas ini dengan tekad yang mengagumkan. Setidaknya, mereka dapat membicarakan
salju dengan santai. Dan, ketika sudah bosan dengan topik ini, mereka
mengalihkan pembicaraan pada kemiskinan di Kars. Setelah itu, pada mantel Ka.
Lalu, baik Ka maupun Ypek sama-sama saling mengakui bahwa mereka mendapati lawan
bicara mereka tidak berubah, dan bahwa mereka berdua sama-sama tidak bisa
berhenti merokok. Topik selanjutnya adalah teman-teman mereka: Ka
bertemu dengan sebagian di antara mereka di Istanbul .... Tetapi, mereka kian
akrab setelah mereka saling mengetahui bahwa ibu mereka sama-sama telah
meninggal dan dikuburkan di Pemakaman Ferikdy di Istanbul. Ketika mendapati
bahwa mereka memiiki zodiak yang sama, Ka dan Ypek merasakan entah nyata atau
tidak getaran yang semakin mengakrabkan mereka. Setelah merasa santai, mereka
dapat mengobrol (secara singkat) tentang ibu mereka dan (secara panjang lebar)
tentang perobohan stasiun kereta api tua di kota. Topik pembicaraan pun segera
beralih ke toko kue tempat mereka berada: tempat itu digunakan sebagai gereja
Ortodoks hingga 1967, ketika daun pintunya dilepas dan diserahkan ke museum.
Satu bagian dari museum itu menjelaskan tentang Pembantaian Armenia. Seperti
yang bisa ditebak, kata Ypek, turis-turis datang dan berharap mendapatkan
pengetahuan tentang pembantaian yang dilakukan orang Turki pada orang Armenia,
sehingga mereka selalu terkejut ketika mendapati bahwa di museum itu, kisahnya
justru sebaliknya. Topik selanjutnya adalah satu-satunya pelayan di toko kue
itu, yang setengah tuli, setengah hantu. Lalu, harga kopi yang tidak dijual lagi
di kedai teh di kota karena terlalu mahal bagi para pelanggan yang tak punya
pekerjaan. Mereka juga mendiskusikan pandangan politik pemilik surat kabar yang
telah menemani Ka berkeliing kota, juga berbagai surat kabar lokal lainnya
(semuanya pendukung miiter dan pemerintang yang berkuasa) dan edisi Border City
Gazette esok hari, yang langsung dikeluarkan oleh Ka dari sakunya.
Ketika menyaksikan Ypek membaca halaman pertama koran itu, Ka merasa gelisah
memikirkan bahwa, seperti teman-teman lamanya di Istanbul, Ypek juga terlalu
tenggelam dalam masalah internal Turki dan intrik-intrik politik yang
menyedihkan, sehingga dia tidak akan pernah mempertimbangkan untuk pindah ke
Jerman. Ka berlama-lama memandang kedua tangan mungil Ypek dan wajahnya yang
anggun kecantikan Ypek masih membuatnya terpana.
"Mereka menuduhmu melanggar pasal yang mana, dan berapa lamakah hukumanmu?"
Ka memberi tahu Ypek. Pada akhir tahun tujuh puluhan, dalam koran-koran politik
kecil-kecilan, semua orang dapat menikmati kebebasan berpendapat, dengan porsi
yang jauh lebih besar daripada yang diizinkan oleh Undang-Undang. Setiap orang
yang berusaha dan dianggap bersalah dalam "penghinaan terhadap negara" cenderung
merasa bangga, dan tidak seorang pun berakhir di penjara karena polisi tidak
bersungguh-sungguh mengejar para editor, penulis, maupun penerjemah yang
melanggar hukum di lokasi mereka yang selalu berpindah-pindah. Tetapi, setelah
terjadinya kudeta militer pada 1980, pihak yang berwenang berangsur-angsur
melacak semua orang yang sebelumnya dapat menghindar dari penjara hanya dengan
mengganti-ganti alamat. Pada periode inilah Ka, yang dituduh telah mencetak
artikel politik yang bahkan tidak ditulisnya, melarikan diri ke Jerman.
"Apakah berat, kehidupanmu di Jerman?" tanya Ypek.
"Aku selamat karena tidak belajar bahasa Jerman," kata Ka. "Tubuhku menolak
bahasa itu, dan karena itulah aku mampu menjaga kemurnian dan jiwaku."
Ka tiba-tiba merasa takut telah mempermalukan dirinya sendiri, namun karena
senang memiliki seorang pendengar seperti Ypek, dia mengatakan sesuatu yang
tidak pernah dikatakannya kepada orang lain tentang keheningan yang terkubur di
dalam dirinya, keheningan yang
mencegahnya menulis sebuah puisi pun dalam empat tahun terakhir.
"Aku menyewa sebuah tempat kecil di dekat stasiun; di sana ada sebuah jendela
yang memperlihatkan atap-atap bangunan di Frankfurt. Pada malam hari, ketika aku
merenungkan kembali hariku, aku mendapati bahwa kenangan-kenanganku diselubungi
oleh semacam keheningan. Seiring waktu, aku mulai dikenal sebagai penyair di
Turki. Mulai saat itulah aku mendapatkan undangan-undangan untuk membacakan
puisi-puisiku. Pengundangku adalah imigran-imigran Turki, balai kota,
perpustakaan, dan sekolah swasta murahan yang berharap dapat mengambil hati
warga Turki, juga orang-orang Turki yang ingin memperkenalkan puisi berbahasa
Turki kepada anak-anak mereka."
Maka, ketika mendapatkan undangan untuk membacakan puisinya, Ka akan menumpang
kereta api Jerman yang selalu tepat waktu, angkutan umum yang begitu
dikaguminya; melalui jendela bersaput asap, dia menyaksikan menara-menara gereja
yang indah menjulang tinggi di desa-desa yang jauh. Dia mengintip ke hutan-hutan
pinus, mengamati kegelapan di dalamnya. Dia melihat anak-anak yang riang gembira
berlarian pulang dengan memanggul ransel di punggung, dan pada saat yang sama
keheningan akan menghampirinya. Karena tidak dapat memahami bahasa mereka, Ka
merasa aman, merasa nyaman, seolaholah dia sedang duduk di rumahnya sendiri, dan
pada saat seperti inilah dia menulis puisi. Pada hari-hari ketika dia tidak
melakukan perjalanan, dia akan keluar rumah pada pukul delapan pagi, berjalan-
jalan di sepanjang Kaisertrasse, pergi ke perpustakaan di Zeil dan membaca
berbagai macam buku: "Ada banyak buku berbahasa Inggris di sana yang mungkin
akan mencukupiku hingga dua puluh kali kehidupan." Di tempat ini, dia membaca
novel-novel hebat dari abad kesembilan belas, puisipuisi Inggris yang romantis,
sejarah ilmu teknik dan topik-topik lain yang berhubungan dengannya, juga
katalog-katalog museum. Ypek dan wajahnya yang anggun kecantikan Ypek masih membuatnya terpana.
"Mereka menuduhmu melanggar pasal yang mana, dan berapa lamakah hukumanmu?"
Ka memberi tahu Ypek. Pada akhir tahun tujuh puluhan, dalam koran-koran politik
kecil-kecilan, semua orang dapat menikmati kebebasan berpendapat, dengan porsi
yang jauh lebih besar daripada yang diizinkan oleh Undang-Undang. Setiap orang
yang berusaha dan dianggap bersalah dalam "penghinaan terhadap negara" cenderung
merasa bangga, dan tidak seorang pun berakhir di penjara karena polisi tidak
bersungguh-sungguh mengejar para editor, penulis, maupun penerjemah yang
melanggar hukum di lokasi mereka yang selalu berpindah-pindah. Tetapi, setelah
terjadinya kudeta militer pada 1980, pihak yang berwenang berangsur-angsur
melacak semua orang yang sebelumnya dapat menghindar dari penjara hanya dengan
mengganti-ganti alamat. Pada periode inilah Ka, yang dituduh telah mencetak
artikel politik yang bahkan tidak ditulisnya, melarikan diri ke Jerman.
"Apakah berat, kehidupanmu di Jerman?" tanya Ypek.
"Aku selamat karena tidak belajar bahasa Jerman," kata Ka. "Tubuhku menolak
bahasa itu, dan karena itu-lah aku mampu menjaga kemurnian dan jiwaku."
Ka tiba-tiba merasa takut telah mempermalukan dirinya sendiri, namun karena
senang memiliki seorang pendengar seperti Ypek, dia mengatakan sesuatu yang
tidak pernah dikatakannya kepada orang lain tentang keheningan yang terkubur di
dalam dirinya, keheningan yang mencegahnya menulis sebuah puisi pun dalam empat
tahun terakhir. "Aku menyewa sebuah tempat kecil di dekat stasiun; di sana ada sebuah jendela
yang memperlihatkan atap-atap bangunan di Frankfurt. Pada malam hari, ke-tika
aku merenungkan kembali hariku, aku mendapati bahwa kenangan-kenanganku
diselubungi oleh semacam keheningan. Seiring waktu, aku mulai dikenal sebagai
penyair di Turki. Mulai saat itulah aku mendapatkan undangan-undangan untuk
membacakan puisi-puisiku. Pengundangku adalah imigran-imigran Turki, balai kota,
perpustakaan, dan sekolah swasta murahan yang berharap dapat mengambil hati
warga Turki, juga orang-orang Turki yang ingin memperkenalkan puisi berbahasa
Turki kepada anak-anak mereka."
Maka, ketika mendapatkan undangan untuk membacakan puisinya, Ka akan menumpang
kereta api Jerman yang selalu tepat waktu, angkutan umum yang begitu
dikaguminya; melalui jendela bersaput asap, dia menyaksikan menara-menara gereja


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang indah menjulang tinggi di desa-desa yang jauh. Dia mengintip ke hutan-hutan
pinus, mengamati kegelapan di dalamnya. Dia melihat anak-anak yang riang gembira
berlarian pulang dengan memanggul ransel di punggung, dan pada saat yang sama
keheningan akan menghampirinya. Karena tidak dapat memahami bahasa mereka, Ka
merasa aman, merasa nyaman, seolaholah dia sedang duduk di rumahnya sendiri, dan
pada saat seperti inilah dia menulis puisi. Pada hari-hari ketika dia tidak
melakukan perjalanan, dia akan keluar rumah pada pukul delapan pagi, berjalan-
jalan di sepanjang Kaisertrasse, pergi ke perpustakaan di Zeil dan membaca berbagai macam
buku: "Ada banyak buku berbahasa Inggris di sana yang mungkin akan mencukupiku
hingga dua puluh kali kehidupan." Di tempat ini, dia membaca novel-novel hebat
dari abad kesembilan belas, puisipuisi Inggris yang romantis, sejarah ilmu
teknik dan topik-topik lain yang berhubungan dengannya, juga katalog-katalog
museum. Dia membaca apa pun yang ingin dibacanya, dan dia membaca semuanya dengan
kebahagiaan layaknya bocah yang menganggap kematian adalah hal yang terlalu jauh
untuk dibayangkan. Saat duduk di perpustakaan, membuka halaman demi halaman
buku, berhenti sesekali untuk menikmati ilustrasi di dalam ensiklopedia tua,
membaca ulang novel-novel Turgenev dari awal hingga akhir, Ka dapat menghalau
kebisingan kota; dia diiputi oleh keheningan, seperti ketika berada di dalam
kereta api. Bahkan pada malam hari ketika dia mengambil rute yang berbeda,
berjalan di depan Museum Yahudi di sepanjang Sungai Main bahkan pada akhir
pekan, ketika dia berjalan dari ujung ke ujung kota, keheningan masih akan
menyelimutinya. "Lama-kelamaan, keheningan merenggut seluruh kehidupanku. Aku membutuhkan
keributan. Hanya di tengah keheningan aku mampu menulis puisi," kata Ka. "Tapi,
sekarang aku hidup dalam keheningan total. Aku tidak bisa berbicara dengan orang
Jerman. Dan, hubunganku dengan orang Turki juga tidak baik mereka menganggapku
orang pintar yang ringkih dan setengah gila. Aku tidak pernah bertemu dengan
siapa pun. Aku tidak bicara dengan siapa pun. Dan, aku tidak menulis puisi
lagi." "Tapi, di koran ini disebutkan bahwa kau akan membacakan puisi terbarumu malam
ini." "Aku tidak punya puisi terbaru, jadi bagaimana mungkin aku bisa membacakannya?"
Hanya ada dua orang pembeli lain di toko kue itu. Mereka duduk di sebuah meja di
sisi lain ruangan, di sudut dekat jendela. Yang seorang adalah pria muda
bertubuh kecil; rekannya, seorang pria tua, kurus, dan tampak letih, sedang
berusaha menjelaskan sesuatu dengan sabar kepadanya. Di belakang mereka, di
balik jendela kaca, kepingankepingan salju besar jatuh dalam kegelapan: lampu
neon toko kue memberikan pendar merah jambu pada salju. Di depan latar belakang
ini, kedua pria itu berbincang-bincang secara serius di sudut toko kue, terlihat
seperti tokoh-tokoh dalam film hitam putih tua.
"Adikku, Kadife, belajar di universitas di Istanbul, tapi dia gagal dalam ujian
akhir tahun pertamanya,1 giiran Ypek yang berbicara. "Dia berhasil melakukan
transfer ke Institut Pendidikan di Kars sini. Laki-laki kurus yang duduk di
belakangku, di belakang sana itu, dia adalah direktur institut itu. Ketika ibuku
meninggal dalam kecelakaan mobil, ayahku, yang sangat menyayangi adikku dan tak
ingin sendirian, memutuskan untuk pindah ke sini dan mengajaknya tinggal bersama
kami. Tapi, tak lama setelah ayahku pindah kemari ini terjadi tiga tahun yang
lalu aku dan Muhtar berpisah. Maka, sekarang kami bertiga hidup bersama. Kami
memiliki hotel bersama beberapa orang kerabat; tempat itu penuh hantu dan jiwa-
jiwa tersiksa. Kami menempati tiga kamar di sana.1
Selama tahuntahun mereka menjadi pelajar, Ka dan Ypek tidak saling berhubungan.
Ketika, pada usia 17 tahun, Ka pertama kali memasuki koridor berlangit-langit
tinggi di Fakultas Sastra, dia tidak langsung mengistime -
wakan Ypek ada begitu banyak gadis lain yang secantik dia. Ketika mereka
berjumpa setahun kemudian, Ypek telah menjadi istri Muhtar. Muhtar adalah teman
penyair Ka, dan juga anggota kelompok politik yang sama; Kars adalah kampung
halamannya, sama seperti Ypek.
"Muhtar mewarisi bisnis ayahnya, menjadi distributor peralatan rumah tangga
Argelik dan Aygaz,1 kata Ypek. "Dan, setelah kami menetap di sini, aku berusaha
hamil. Ketika tidak ada yang terjadi, dia mulai membawaku menemui dokter di
Erzurum dan Istanbul, dan karena aku tetap tidak kunjung hamil, kami berpisah.
Tapi, alih-alih menikah lagi dengan orang lain, Muhtar mendalami agama."
"Mengapa ada begitu banyak orang yang tiba-tiba berpaling ke agama?" tanya Ka.
Ypek tidak menjawab. Selama beberapa saat, mereka hanya memandang televisi hitam
putih di dinding. "Mengapa semua orang di kota ini melakukan bunuh diri?" tanya Ka.
"Tidak semua orang melakukan bunuh diri, hanya para gadis dan wanita dewasa,"
kata Ypek. "Para pria mengabdikan diri pada agama, dan para wanita bunuh diri."
"Mengapa?" Pandangan Ypek memberi tahu Ka bahwa pertanyaannya sia-sia saja. Ka merasa telah
melanggar batas. Mereka berdua kembali terdiam.
"Aku harus bicara dengan Muhtar, sebagai bagian dari liputan pemilihanku,"
akhirnya Ka berkata. Ypek tiba-tiba berdiri, berjalan ke kasir, dan menelepon. "Dia ada di markas
cabang partai sampai pukul lima," katanya setelah kembali ke meja. "Dia menunggu
kedatanganmu nanti."
Ketika keheningan sekali lagi melanda, Ka mulai merasa panik. Jika jalan-jalan
tidak ditutup, dia akan langsung melompat ke bus selanjutnya yang keluar dari
Kars. Dia merasakan terpaan keputusasaan untuk kota yang merana dan penduduknya
yang terabaikan ini. Tanpa dia sadari, pandangannya kembali melayang ke salju.
Untuk waktu yang lama, dia dan Ypek memandang salju tanpa bernafsu, seolaholah
mereka memiliki seluruh waktu di alam semesta ini dan tidak perlu memedulikan
dunia. Ka merasa tak berdaya.
"Benarkah kau datang kemari untuk meliput pemilihan dan kasus bunuh diri para
gadis?" tanya Ypek. "Tidak," jawab Ka. "Saat di Istanbul, aku mendengar bahwa kau dan Muhtar telah
berpisah. Aku datang kemari untuk menikahimu."
Ypek tergelak seolaholah Ka baru saja melontarkan sebuah lelucon yang cerdas,
namun tak berapa lama kemudian, wajahnya tampak merah padam. Selama keheningan
panjang yang menyusul, Ka menatap mata Ypek dan menyadari bahwa Ypek
memahaminya: "Jadi, kau bahkan tidak mau bersabar untuk mengenalku lebih dalam,"
mata Ypek berkata kepadanya. "Kau bahkan tak mau menghabiskan beberapa menit
saja untuk menggodaku. Kau sangat tidak sabaran sehingga sama sekali tak bisa
menyembunyikan keinginanmu. Dan, jangan berusaha berpura-pura kau datang ke sini
karena kau selalu mencintaiku dan tak mampu menyingkirkanku dari benakmu. Kau
datang ke sini karena kau mendengar tentang perceraianku dan teringat betapa
cantiknya aku, lalu kau berpikir bahwa aku akan lebih mudah didekati saat aku
terperangkap di Kars begini."
Saat ini, Ka merasa sangat malu karena harapannya akan kebahagiaan, dan dia
bertekad untuk menghukum dirinya karena kelancangannya, hingga dia membayangkan Ypek melontarkan
kebenaran yang terkeji: "Satu-satunya hal yang menyatukan kita adalah fakta
bahwa kita berdua merendahkan harapan kita akan kehidupan." Tetapi, ketika
akhirnya bersuara, Ypek tidak mengatakan hal itu.
"Aku selalu tahu bahwa kau berbakat menjadi penyair yang baik," katanya. "Aku
ingin mengucapkan selamat untuk buku-bukumu."
Dinding toko kue itu, seperti dinding setiap kedai teh, restoran, dan lobi hotel
di kota itu, dihiasi dengan foto-foto pemandangan pegunungan. Bukan gunung-
gunung cantik di Kars, melainkan gunung-gunung di Swiss. Baki-baki berisi
cokelat dan kue-kue tertata di etalase; lapisan minyak di permukaan kue-kue dan
pembungkusnya berkilauan di bawah cahaya pucat lampu toko. Pelayan tua yang baru
saja menghidangkan teh untuk mereka sekarang duduk di dekat mesin kasir,
menghadap ke arah Ka dan Ypek, memunggungi pembeli yang lain, dengan penuh minat
menonton televisi yang tergantung di dinding. Ka, yang sedang berusaha
menghindari tatapan Ypek, mencurahkan perhatiannya pada film yang sedang diputar
di TV. Seorang aktris Turki yang berambut pirang dan berbikini sedang berlari
melintasi pantai, sementara seorang pria berkumis tebal mengejarnya. Tepat pada
saat itu, pria kecil yang duduk di meja sudut toko kue berdiri dan menodongkan
pistol ke arah direktur Institut Pendidikan, menggumamkan katakata yang tak bisa
didengar oleh Ka. Pria itu tentunya menembakkan senjatanya ketika si direktur
sedang berbicara, namun tidak ada ledakan yang terdengar. Baru ketika melihat
tubuh si direktur berguncang hebat dan jatuh dari kursinya, Ka menyadari
bahwa pria itu telah ditembak di bagian dadanya.
Ketika itu, Ypek juga menoleh dan melihat kejadian tersebut.
Ka menoleh ke tempat si pelayan berada sesaat sebelumnya, namun pria itu tidak
tampak lagi. Si pria kecil, masih berdiri di tempatnya, masih mengacungkan
pistol tepat ke arah si direktur yang tergeletak diam di lantai. Si direktur
berusaha mengatakan sesuatu kepadanya, namun suara televisi yang begitu nyaring
membuat perkataannya tidak dapat dimengerti. Sesaat setelah menembakkan tiga
peluru lagi ke tubuh korbannya, si pria kecil berjalan ke pintu di belakangnya
dan menghilang. Ka tidak melihat wajahnya.
"Ayo pergi," kata Ypek. "Kita sebaiknya tidak berdiam di sini."
"Tolong!" seru Ka, parau. Lalu dia menambahkan, "Mari kita menelepon polisi."
Tapi dia tak mampu menggerakkan satu pun ototnya.
Beberapa saat kemudian, Ka berlari di belakang Ypek. Saat terburu-buru menerobos
pintu ganda toko kue dan menuruni tangga menuju jalan, mereka tidak melihat
siapa-siapa. Sesampainya di trotoar, mereka mulai berjalan dengan sangat cepat. "Tidak
seorang pun melihat kita meninggalkan tempat itu," Ka berkata kepada dirinya
sendiri, dan kesadaran ini mendatangkan sedikit kenyamanan baginya, karena saat
ini dia merasa seolaholah dirinyalah yang telah melakukan pembunuhan. Inilah
yang didapatkannya yang layak didapatkannya karena melamar Ypek. Ingatan akan
kejadian itu membuatnya mengernyitkan wajah lantaran malu. Dia tidak berani
memandang mata siapa pun.
Ketakutan Ka belum sedikit pun berkurang saat mereka mencapai sudut Jalan Kazym
Karabekir, namun penembakan itu menelurkan sebuah rahasia yang mereka bagi
bersama, dan dia merasa senang karena dapat tenggelam di dalam keheningan yang
intim bersama Ypek. Tetapi, di bawah lampu-lampu yang menerangi peti-peti jeruk
dan apel di luar Pasar Halil Pa?a, juga cahaya bohlam yang terpantul di cermin
tukang cukur, Ka tertegun menatap air mata yang menggenangi pelupuk mata Ypek.
"Direktur Institut Pendidikan tidak mengizinkan gadis berjilbab memasuki kelas,"
Ypek menjelaskan. "Karena itulah mereka membunuh pria malang itu."
"Mari kita melapor ke polisi," kata Ka, meskipun dia ingat bahwa dahulu, ketika
dia masih menjadi mahasiswa sayap kiri, gagasan seperti itu sungguh tidak
terbayang-kan. "Tidak perlu, mereka akan mengetahuinya. Mereka mungkin sudah tahu tentang
semuanya saat ini. Markas cabang Partai Kemakmuran ada di lantai kedua." Ypek
menunjuk pintu masuk pasar. "Ceritakanlah kepada Muhtar apa yang baru saja
kaulihat, sehingga dia tidak akan terkejut saat MYT meminta keterangan darinya.
Dan, ada hal lain yang harus kuberitahukan kepadamu: Muhtar ingin rujuk
denganku. Jadi, berhati-hatilah dengan perkataanmu." []
Maaf, Pak Percakapan Pertama dan Terakhir Antara Pembunuh dan Korbannya
KETIKA, DI bawah kesaksian langsung Ka dan Ypek, pria kecil di Toko Kue Hidup
Baru menembaknya di kepala dan dada, direktur Institut Pendidikan membawa sebuah
alat perekam. Perangkat itu sebuah Grundig impor ditempelkan dengan lakban di
dadanya oleh para agen pintar dari badan intelijen nasional MYT cabang Kars.
Sang direktur telah menerima banyak ancaman setelah melarang gadis-gadis
berjilbab memasuki kelas. Ketika para agen yang terus melacak aktivitas kelompok
fundamentalis mengonfirmasikan bahwa ancaman-ancaman ini serius, cabang Kars
memutuskan bahwa telah tiba saatnya untuk menawarkan perlindungan kepada calon
korban potensial. Tetapi, si direktur tidak ingin ada seorang agen yang
menguntitnya seperti gajah. Meskipun dia mengidentifikasi dirinya dengan kamp
politik sekuler, dia percaya pada takdir, seperti layaknya seorang beriman. Dia
lebih suka merekam ancaman pembunuhan, berharap dapat menjadikannya sebagai
bukti untuk memberatkan pihak yang bersalah di waktu yang akan datang. Dia
memasuki Toko Kue Hidup Baru tanpa rencana, untuk membeli kue isi kenari yang
sangat digemarinya. Ketika melihat seorang pria asing mendekatinya, dia
menyalakan alat perekamnya, karena hanya itulah yang bisa dilakukannya dalam
situasi seperti ini. Dua butir pelur mengenai perangkat itu tidak cukup untuk
menyelamatkan nyawanya namun kaset di dalamnya tetap utuh. Bertahuntahun
kemudian, aku berhasil mendapatkan transkrip dari janda si direktur (matanya tak
kunjung mengering) dan putrinya, yang sudah menjadi seorang model terkenal.
"Permisi, Pak. Apakah Anda mengenali saya?"/ "Tidak, sepertinya saya tidak
mengenal Anda." "Saya sudah menyangka Anda akan berkata begitu. Pak. Karena kita
tidak pernah bertemu sebelumnya. Saya mencoba menemui Anda tadi malam, lalu
mencoba lagi tadi pagi. Kemarin, polisi mengusir saya dari gerbang sekolah. Pagi
ini, saya berhasil masuk, namun sekretaris Anda tidak mengizinkan saya menemui
Anda. Saya ingin me nge j ar Anda s eb e1um Anda masuk ke1as. Ket ika itulah
Anda melihat saya. Apakah sekarang Anda mengingat saya, Pak?" "Tidak, saya tidak
ingat." "Apakah Anda tidak mengingat saya, ataukah Anda tidak ingat pernah
melihat saya?" "Apa keperluan Anda sebenarnya?"/ "Untuk mengatakan kebenaran
kepada Anda, saya ingin berbicara kepada Anda selama berjam-jam, bahkan berhari-
hari, tentang segalanya yang ada di bawah matahari. Anda adalah seorang pria
terhormat, terbuka, dan terpelajar. Sayangnya, saya sendiri tidak pernah bisa
me nge j ar i lmu h i ngga t ar a " yang t i ngg i. Tap i, ada satu topik yang
saya ketahui luar dan dalam. Dan, topik itulah yang saya harap dapat kita
diskusikan. Maafkan saya, Pak. Saya harap saya tidak menyia-nyiakan waktu
Anda?"/ "Sama sekali tidak." "Permisi, Pak, apakah Anda keberatan jika saya
duduk" Kita harus membicarakan b anyak ha1." "S i1akan. Jangan ma1u-malu."
(Suara seseorang menarik kursi.)/ "Saya lihat Anda memilih kue berisi kenari.
Ada banyak po-hon kenar i di Tokat. Apakah Anda pernah s inggah di Tokat?"
"Sayang sekali, saya belum pernah ke sana." "Sayang sekali. Pak. Jika kapan-
kapan Anda berkunjung ke sana, Anda harus menginap di rumah saya. Sepanjang
hidup saya, saya tinggal di Tokat. Sudah tiga puluh enam tahun. Tokat adalah
tempat yang sangat indah. Turki juga sangat indah. Tetapi, sayang sekali kita
tidak banyak tahu tentang negara kita sendiri, hingga hati kita bahkan tidak
dapat mencintai sesama orang Turki. Alih-alih, kita justru mengagumi orang-orang
yang menghina negara kita dan mengkhianati rakyatnya. Saya harap Anda tidak
keberatan jika saya menanyakan satu hal kepada Anda, Pak. Anda tidak ateis,
bukan?" "Tidak." "Orang-orang mengatakan bahwa Anda ate is, tapi saya sendiri
tidak yakin orang dengan pendidikan setinggi Anda akan jangan sampai menyangkal
keberadaan Tuhan. Tetapi, Anda juga bukan Yahudi, ya?" "Bukan." "Anda adalah
seorang muslim."/ "Ya.
Alhamdulillah. Saya memang muslim."/ "Anda
tersenyum, Pak. Saya harap Anda menganggap pertanyaan saya serius dan
menjawabnya dengan sungguh-sungguh. Karena saya sudah melakukan perjalanan jauh
dari Tokat di tengah musim dingin yang ganas hanya untuk mendengar Anda menjawab
pertanyaan ini. " "Bagaimana Anda bisa mendengar tentang saya di Tokat?" "Tidak
ada berita apa pun di koran-koran Istanbul, Pak, tentang keputusan Anda untuk
menolak memberikan pendidikan bagi gadis-gadis yang mengenakan jilbab, seperti
yang diperintahkan agama dan Kitab Suci mereka. Yang dipedulikan oleh koran-
koran itu hanyalah skandal yang melibatkan model-model busana. Tetapi, di Tokat
yang indah, kami memiliki stasiun radio muslim bernama "Bendera", yang tak
henti-hentinya melaporkan kepada kami tentang ketidakadilan yang menimpa orang-
orang beriman di seluruh penjuru negeri." "Saya tidak akan pernah memperlakukan
orang-orang beriman secara tidak adil. Saya sendiri takut kepada Tuhan." "Saya
butuh dua hari untuk tiba di sini. Pak. Dua hari di jalan yang penuh salju dan
dilanda badai. Saat duduk di dalam bus, hanya Anda yang ada dalam pikiran saya,
dan, percayalah, saya sudah tahu bahwa Anda akan mengatakan kepada saya betapa
Jodoh Si Mata Keranjang 7 Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal Kutunggu Di Pintu Neraka 2
^