Pencarian

Dibalik Keheningan Salju 2

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 2


Anda takut kepada Tuhan. Dan, inilah pertanyaan yang telah saya bayangkan akan
saya tanyakan kepada Anda selanjutnya. Pak. Dengan segala hormat. Profesor Nuri
Yilmaz j ika memang Anda takut kepada Tuhan, j ika Anda yakin bahwa Alquran yang
Suci adalah Sabda Tuhan, mari kita dengar pandangan Anda tentang ayat ke-31 yang indah dari surat
'An-Nuur'." "Ya, memang benar. Ayat ini menyatakan dengan sangat jelas bahwa
wanita harus menutup kepala dan bahkan wajah mereka." "Selamat, Pak! Itu adalah
jawaban yang bagus dan tepat. Dan sekarang, jika Anda mengizinkan. Pak, saya
ingin menanyakan hal lain. Bagaimana Anda bisa melalaikan perintah Tuhan dan
mengambil keputusan untuk melarang gadis-gadis berjilbab memasuki kelas?" "Kita
hidup di sebuah negara sekuler. Negara sekulerlah yang telah melarang gadis-
gadis berjilbab bersekolah dan memasuki ruang kelas." "Maafkan saya, Pak.
Bolehkah saya menanyakan satu pertanyaan" Bisakah hukum yang ditetapkan oleh
negara mengalahkan hukum yang ditetapkan oleh Tuhan?" "Itu pertanyaan yang
sangat bagus. Tetapi, di dalam sebuah negara sekuler permasalahan seperti itu
dipisahkan." "Itu jawaban yang bagus dan tepat, Pak. Bolehkah saya mencium
tangan Anda" Saya mohon. Pak, jangan takut. Ulurkanlah tangan Anda. Ulurkanlah
tangan Anda dan saksikanlah betapa saya akan menciumnya dengan penuh rasa
hormat. Oh, alhamdulillah. Terima kasih. Sekarang, Anda mengetahui betapa saya
menghormati Anda. Bolehkah saya menanyakan sebuah pertanyaan lain. Pak?"
"Silakan. Tanyakan saja." "Inilah pertanyaan saya. Pak. Apakah kata 'sekuler'
dapat diartikan sebagai 'tanpa Tuhan'?" "Tidak." "Kalau begitu, bagaimanakah
Anda akan menjelaskan mengapa
negara ini melarang begitu banyak gadis bersekolah atas nama sekularisme, jika
yang dilakukan oleh gadis-gadis itu hanyalah mengikuti aturan agama mereka?"
"Sejujurnya, Nak. Mendebat tentang hal ini tidak akan membawamu ke mana-mana.
Banyak orang mempertanyakan hal yang sama sepanjang siang dan malam di televisi
Istanbul, dan ke manakah semua itu membawa kita" Para gadis itu masih menolak
mencopot jilbab mereka, dan negara masih melarang mereka bersekolah." "Jika
begitu. Pak, bolehkah saya menanyakan sebuah pertanyaan lain" Saya harap Anda
memaafkan saya, namun saat saya memikirkan tentang gadis-gadis kita yang malang
dan giat belajar itu, yang dilarang menuntut ilmu, yang begitu sopan dan rajin,
dan yang telah tunduk hanya Tuhan yang tahu entah pada berapa banyak peraturan
.... Pertanyaan yang harus saya lontarkan adalah ini: Bagaimanakah hubungan semua
ini dengan apa yang dikatakan oleh undang-undang kita mengenai kebebasan
menuntut ilmu dan menjalankan agama" Saya mohon. Pak, jelaskanlah kepada saya.
Tidakkah hati nurani Anda terusik karenanya?" "Jika gadis-gadis itu memang taat
seperti katamu, mereka akan mencopot jilbab mereka. Siapakah namamu, Nak" Di
manakah tempat tinggalmu" Apakah pekerjaanmu?" "Saya bekerja di Kedai Teh Teman
Bahagia, yang terletak di dekat Hamam Kunang-Kunang yang terkenal di Tokat. Saya
bertugas mengurus kompor-kompor dan poci-poci
teh. Nama saya tidak penting. Saya mendengarkan Radio Bendera sepanjang hari.
Sesekali, saya menjadi sangat marah gara-gara apa yang saya dengar, tentang
ketidakadilan yang menimpa orang yang beriman. Dan, karena saya hidup di sebuah
negara demokrasi, karena saya kebetulan adalah orang merdeka yang dapat
melakukan apa pun yang saya inginkan, kadangkadang saya naik bus dan bepergian
ke berbagai daerah di Turki untuk mencari pelaku kejahatan di mana pun dia
berada dan membuat perhitungan dengannya, secara empat mata. Jadi, saya mohon.
Pak, jawablah pertanyaan saya. Manakah yang lebih penting, peraturan dari Ankara
ataukah peraturan dari Tuhan?" "Diskusi ini tidak akan membawa kita ke mana-
mana, Nak. Di hotel manakah kau menginap?" "Apa apakah Anda berpikir untuk ?melaporkan saya ke polisi" Jangan takut kepada saya, Pak. Saya tidak berasal
dari organisasi keagamaan mana pun. Saya mengutuk terorisme. Saya meyakini kasih
sayang Tuhan dan kebebasan untuk saling bertukar pendapat. Karena itulah saya
tidak pernah mengakhiri pertukaran pendapat dengan kekerasan, meskipun saya
pemarah. Saya hanya ingin Anda menjawab pertanyaan ini. Jadi, mohon maafkan
saya. Pak, namun ketika Anda memikirkan t e nt ang b e t ap a ke j i nya Anda
memp e r1akukan gadis-gadis malang itu di institusi Anda ketika Anda mengingat
bahwa gadis-gadis itu hanya mematuhi Perintah Tuhan yang begitu jelas disebutkan
di dalam Alquran, surah al-Ahzab dan
al-Nur tidakkah hati nurani Anda terusik sama sekali?" "Nak, dalam Alquran juga
disebutkan bahwa tangan pencuri harus dipotong. Tapi, negara tidak
menjalankannya. Mengapa kau tidak mempertanyakan hal itu?" "Itu jawaban yang
sangat bagus, Pak. Izinkanlah saya mencium tangan Anda lagi. Tetapi, bagaimana
mungkin Anda menyamakan tangan seorang pencuri dengan kehormatan wanita-wanita
kita" Menurut statistik yang dirilis oleh seorang muslim berkulit hitam dari Amerika, Profesor
Marvin King, kasus pemerkosaan di negara-negara Islam yang para wanitanya
mengenakan jilbab begitu rendah hingga bisa dibilang tidak pernah terjadi, dan
pelecehan seksual adalah sesuatu yang tidak pernah terdengar. Ini karena seorang
wanita yang mengenakan jilbab berarti telah membuat pernyataan. Melalui pilihan
busananya, dia mengatakan, "Jangan lecehkan aku." Jadi, saya mohon. Pak,
bolehkah saya menanyakan sesuatu kepada Anda" Apakah kita benar-benar ingin
mendorong wanita-wanita berjilbab kita ke dalam keterbelakangan dengan memupus
hak mereka untuk mendapatkan pendidikan" Jika kita tetap memuji-muji wanita yang
mencopot jilbabnya di atas segalanya, tidakkah kita menurunkan derajat para
wanita kita seperti yang bisa kita lihat terjadi pada begitu banyak wanita di
Eropa selama masa kebangkitan revolusi seksual" Dan, jika kita berhasil
menurunkan derajat wanita kita, tidakkah kita juga maafkan bahasa saya mengubah
diri kita menjadi mucikari?"/
"Kueku sudah habis, Nak. Kurasa aku harus pergi."/ "Tetaplah duduk di kursi
Anda, Pak. Tetaplah duduk, supaya saya tidak perlu me nggunakan ini. Ap akah
Anda bisa me1ihatnya, Pak?" "Ya. Kau membawa pistol." "Anda benar. Pak. Saya
harap Anda tidak keberatan. Saya datang jauh-jauh untuk menemui Anda. Saya tidak
bodoh. Sudah terpikir oleh saya bahwa Anda mungkin tidak akan mau mendengar
saya. Karena itulah saya mempersiapkan segalanya dengan baik." "Siapa namamu.
Nak?" "Vahit Suzme. Salim Femekkan. Sesungguhnya, Pak, apa bedanya" Saya adalah
seorang pembela tak bernama dari para pahlawan tak bernama yang ditindas saat
berusaha menegakkan keimanan beragama di dalam sebuah masyarakat yang tunduk
pada materialisme sekuler. Saya bukan anggota dari organisasi mana pun. Saya
menghormati hak asasi manusia dan menentang penggunaan kekerasan. Karena itulah
saya menyimpan pistol saya di saku. Karena itulah saya hanya menginginkan Anda
menjawab pertanyaan saya." "Baiklah." "Kalau begitu, marilah kita kembali ke
awal. Pak. Mari kita mengingat apa yang telah Anda lakukan kepada gadis-gadis
yang selama bertahuntahun dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah
cahaya di mata orangtua mereka. Mereka ada1ah anak-anak yang p intar. Mereka
ada1ah pelajar yang rajin. Mereka mendapatkan peringkat tertinggi di kelas
mereka. Ketika perintah datang dari Ankara, Anda menyangkal keberadaan mereka.
Jika salah seorang di antara
mereka menuliskan namanya di daftar absen. Anda akan menghapusnya hanya karena
dia mengenakan jilbab. Jika ada tujuh orang gadis duduk bersama guru mereka.
Anda akan berpura-pura tidak melihat seorang di antara mereka, yang mengenakan
jilbab, dan hanya memesan enam cangkir teh. Tahukah Anda apa yang telah Anda
lakukan kepada gadis-gadis itu" Anda membuat mereka menangis. Tetapi, masalahnya
tidak berhenti di situ. Tak lama kemudian, turunlah perintah langsung dari
Ankara, dan setelah itu Anda melarang mereka memasuki kelas. Anda membiarkan
mereka terlantar di koridor, lalu mengusir mereka dari koridor, dan menendang
mereka ke jalanan. Setelah itu, ketika segelintir pahlawan wanita ini berkumpul
sambil gemetaran di depan gerbang sekolah, memohon supaya suara mereka didengar.
Anda mengangkat telepon dan memanggil polisi." "Bukan kami yang memanggil
polisi." "Saya tahu bahwa Anda takut pada pistol di saku saya. Tetapi, saya
mohon. Pak, jangan berbohong. Pada malam hari setelah Anda meminta polisi
menyeret dan menahan gadis-gadis itu, apakah Anda bisa memejamkan mata" Itulah
pertanyaan saya." "Tentu saja, pertanyaan yang sesungguhnya adalah seberapa
banyak penderitaan yang harus dipikul oleh kaum wanita kita karena kita
menjadikan jilbab sebagai simbol dan menggunakan wanita sebagai pion dalam
sebuah permainan politik." "Bagaimana mungkin Anda menyebut hal ini sebagai
permainan, Pak" Ketika
gadis yang harus memilih antara kehormatan atau pendidikannya betul-betul tragis
tenggelam dalam depresi dan melakukan bunuh diri. Apakah itu permainan?" "Kau
sangat marah. Nak. Tapi, tidakkah pernah terpikir olehmu bahwa kekuatan luar
negeri mungkin ada di balik semua ini" Tidakkah kau melihat bahwa mungkin saja
mereka momilitisasikan isu jilbab untuk memperlemah dan memecah belah bangsa
Turki?" "Seandainya Anda membiarkan gadis-gadis itu kembali bersekolah. Pak, isu
jilbab tidak akan pernah ada." "Apakah keputusan itu ada di tanganku" Perintah
itu turun dari Ankara. Istriku sendiri memakai jilbab." "Berhentilah berusaha
menenangkan saya. Jawab saja pertanyaan yang baru saja saya berikan."
"Pertanyaan yang manakah itu?" "Tidakkah nurani Anda terusik?" "Nak, aku juga
seorang ayah. Tentu saja aku kasihan melihat gadis-gadis itu." "Dengar. Saya
sangat pintar menguasai diri. Tapi, sekalinya kemarahan saya meledak, saya tidak
akan bisa mengendalikan diri. Waktu di penjara, saya pernah menghajar seseorang
hanya karena dia lupa menutupi mulut saat menguap. Oh ya, saya memiliki peran
penting di sana. Saya menyembuhkan semua orang di penjara itu dari kebiasaan
buruk mereka. Saya bahkan menjadikan mereka rajin bersembahyang. Jadi, jangan
berusaha menarik perhatian orang lain. Mari kita dengar jawaban dari pertanyaan
saya." "Apakah yang kautanyakan. Nak" Turunkanlah senjatamu." "Saya bisa
memberitahukan kepada Anda apa yang tidak saya tanyakan. Saya tidak menanyakan apakah Anda memiliki
anak perempuan, atau apakah Anda merasa kasihan." "Maafkan aku. Nak. Apa yang
sesungguhnya kautanyakan?" "Jangan sok bersikap baik kepada saya, hanya karena
Anda takut pada pistol ini. Ingat saja apa yang saya tanyakan." (Heningj/
"Apakah pertanyaanmu?" "Aku menanyakan, tidakkah nuranimu terusik, dasar
munafik!" "Tentu saja nuraniku terusik."/
"Jadi, mengapa kau tidak mengubah sikapmu" Apakah karena kau tidak tahu malu?"/
"Nak, aku adalah seorang guru. Aku cukup tua untuk menjadi ayahmu. Tidakkah
terdapat larangan untuk menghina dan mengacungkan senjata kepada orang yang
lebih tua di dalam Alquran?"/ "Jangan berani-berani menyebut Alquran dengan
bibirmu itu. Kaudengar aku" Dan berhentilah
menoleh-noleh ke belakang seolaholah kau butuh pertolongan. Kalau kau berteriak
minta tolong, aku tidak akan ragu lagi. Aku akan menembak. Paham?"/ "Ya, aku
paham."/ "Sekarang, jawablah pertanyaan ini: Apakah keuntungan yang didapatkan
oleh negara ini jika para wanita mencopot jilbab mereka" Berikanlah satu saja
contoh yang bagus untukku. Katakanlah, sesuatu yang kauyakini sepenuh hat i.
Katakan1ah, misalnya, bahwa dengan mencopot jilbab, para wanita kita akan mulai
diperlakukan secara manusiawi oleh orang Eropa. Setidaknya, dengan begitu aku
akan memahami motifmu dan tidak akan
menembakmu. Aku akan melepaskanmu."/ "Anakku, aku sendiri memiliki anak
perempuan. Dia tidak memakai jilbab. Aku tidak turut campur dalam keputusannya,
sama seperti aku tidak ikut campur ketika istriku memutuskan untuk memakai
jilbab." "Kenapa putrimu memutuskan untuk tidak memakai jilbab" Apa dia ingin
menjadi bintang film?" "Dia tidak pernah mengatakan yang semacam itu kepadaku.
Sekarang dia ada di Ankara, kuliah di bidang humas. Tapi, dia memberikan
dukungan yang luar biasa kepadaku sejak aku mendapat tekanan akibat isu jilbab
ini. Kapan pun aku merasa risau akibat perkataan orang lain, kapan pun aku
dicecar ataupun diancam, kapan pun aku harus menghadapi kemarahan musuh-musuhku
atau orang-orang sepertimu yang memang berhak untuk marah, dia meneleponku dari
Ankara dan ...." "Dan dia mengatakan, 'Tak perlu banyak bicara. Yah. Aku akan
menjadi bintang film terkenal.'" "Tidak, Nak, dia tidak berkata seperti itu. Dia
mengatakan, 'Ayahku tersayang, j ika ada sebuah kelas yang penuh berisi gadis
berjilbab, aku tidak akan berani masuk ke dalamnya tanpa memaka i j ilbab. Aku
akan mengenakan j ilbab meskipun aku sesungguhnya tidak
menginginkannya.'" "Memangnya apa urusannya kalau dia tidak mau memakai jilbab
apa bahayanya?" "Sejujurnya, aku tidak bisa mengatakannya kepadamu. Kau
menyuruhku memberimu alasan."/ "Jadi, katakanlah kepadaku. Munafik, itukah yang ada dalam
pikiranmu ketika kau membiarkan polisi menggebuki gadis-gadis taat yang menutup kepala mereka
atas perintah Tuhan" Apa kau berusaha mengatakan kepadaku bahwa kau mendorong
mereka untuk melakukan bunuh diri hanya untuk membuat anakmu senang?"/ "Ada
sangat banyak wanita Turki yang berpikiran seperti anakku." "Jika sembilan puluh
persen wanita di negeri ini berjilbab, sulit untuk melihat siapa yang
sesungguhnya ingin disasar oleh para bintang film ini. Kau mungkin bangga
melihat anakmu memamerkan badannya, Munafik, tapi pikir baik-baik. Aku mungkin
bukan profesor, tapi aku tahu lebih banyak tentang masalah ini daripada dirimu."
"Anakku yang baik, kumohon, jangan todongkan senjatamu kepadaku. Kau sedang
sangat marah. Jika pistol itu meledak, kau akan menyesalinya seumur hidupmu."
"Kenapa aku harus menyesalinya" Untuk apa aku menghabiskan dua hari dalam badai
salju yang parah ini jika tidak untuk menghabisi seorang munafik" Seperti yang
disebutkan dalam Alquran, tugasku adalah membunuh setiap tiran yang melakukan
kekejaman kepada orang-orang yang beriman. Tapi, karena aku kasihan kepadamu,
aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Berikanlah satu alasan saja
kepadaku untuk menjelaskan kenapa nalurimu tidak terusik saat kau memerintah
para wanita berjilbab untuk mencopot jilbab mereka, dan aku bersumpah tidak akan
menembakmu." "Ketika seorang wanita mencopot jilbabnya, dia mendapatkan
kedudukan yang lebih nyaman dan
terhormat di dalam masyarakat" "Itulah yang mungkin dipikirkan oleh anakmu yang
bintang film itu. Tapi, yang benar justru kebalikannya. Jilbab melindungi wanita
dari pelecehan, pemerkosaan, dan penyepelean. Karena jilbablah wanita
mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang nyaman di dalam masyarakat. Kita sudah
mendengar tentang hal ini dari begitu banyak wanita yang memilih untuk
mengenakan jilbab pada hari tua mereka. Wanita seperti si penari perut uzur itu,
Melahat Sandra. Kerudung menyelamatkan wanita dari insting hewani para pria di
jalanan. Kerudung menyelamatkan mereka dari siksaan akibat mengikuti kontes
kecantikan untuk bersaing dengan para wanita lain. Mereka tidak harus hidup
layaknya objek seks, mereka tidak harus memakai rias wajah sepanjang hari.
Seperti yang dikatakan oleh Profesor Marvin King, seandainya saja seorang
bintang film terkenal seperti Elizabeth Taylor memakai jilbab selama dua puluh
tahun terakhir ini, dia tidak akan perlu mengkhawatirkan soal kegemukan. Dia
tidak akan berakhir di rumah sakit jiwa. Dia mungkin akan bahagia. Maafkan saya.
Pak. Bolehkah saya menanyakan satu hal" Mengapa Anda tertawa. Pak" Apakah Anda
me nganggap s ay a s e dang me1awak" (Hening.) Ayo, katakanlah kepada saya,
dasar ateis tak tahu malu. Kenapa kau tertawa?" "Anakku yang baik, kumohon,
percayalah kepadaku, aku tidak tertawa! Atau, j ika aku memang tertawa, itu
adalah tawa gugup, "/ "Tidak! Kau tertawa untuk
menghinaku."/ "Kumohon, percayalah kepadaku, aku hanya merasakan kasih sayang
kepada semua orang di negara ini orang sepertimu, seperti para gadis berjilbab
itu yang menderita akibat masalah ini." "Aku sudah mengatakan kepadamu, katakata
manis tidak akan membawamu ke mana-mana. Aku tidak menderita sedikit pun. Tapi,
kaulah yang sekarang akan menderita akibat menertawakan gadis-gadis yang
melakukan bunuh diri. Dan sekarang, karena kau sudah menertawakan mereka, kau
tidak lagi punya kesempatan untuk menunjukkan penyesalan. Maka, sekarang aku
akan memberitahukan kepadamu tentang kedudukanmu. Sudah cukup lama sejak
kelompok Pejuang Kebebasan untuk Keadilan Islam memberikan fatwa mati untukmu.
Mereka menarik keputusan di Tokat lima hari yang lalu dan mengirimku ke sini
untuk menjadi algojo bagimu. Seandainya kau tidak tertawa, aku mungkin akan
berubah pikiran dan memaafkanmu. Sekarang, ambil kertas ini. Kita akan mendengar
dirimu membacakan vonis matimu .... (Hening.) Berhentilah menangis seperti
perempuan. Bacalah fatwa ini dengan suara yang lantang dan jelas. Cepatlah,
dasar idiot tak tahu malu. Kalau kau tidak cepat-cepat membacanya, aku akan
menembakmu." "'Saya, Profesor Nuri Yilmaz, seorang ateis ... . ' Anakku, aku bukan
ateis." "Teruslah membaca." "Anakku, kau tidak akan menembakku saat aku sedang
membaca, bukan?" "Kalau kau tidak membaca, aku akan menembakmu." "'Saya mengakui
bahwa saya adalah pion bagi
sebuah rencana rahasia untuk menjauhkan kaum muslim Republik Turki yang sekuler
dari agama dan kehormatan mereka, dan pada akhirnya menjadikan mereka budak bagi
dunia Barat. Mengenai gadis-gadis yang tidak mau mencopot jilbab mereka, karena
mereka patuh dan taat pada peraturan yang tercantum dalam Alquran, saya
melakukan kekejaman yang tiada tara kepada mereka, sehingga salah seorang dari
mereka tidak mampu menanggungnya lagi dan akhirnya melakukan bunuh diri ... . '
Anakku, kalau kau berkenan, aku ingin menyampaikan keberatan di bagian ini. Aku
akan sangat bersyukur kalau kau mau menyampaikannya pada komite yang mengirimmu
kemar i. Gadis ini t idak menggantung diri karena d i us i r dar i ke1as. Dia j
uga t idak me1akukannya karena tekanan dari ayahnya. Seperti yang dikatakan oleh
MIT kepada kami, dia menderita akibat patah hati." "Bukan itu yang dikatakannya
dalam surat bunuh dirinya." "Kumohon, ampunilah aku. Anakku, kupikir kau harus
tahu kumohon, turunkanlah senjatamu bahwa sebelum dia menikah, gadis yang tidak
berpendidikan ini cukup naif sehingga mau menyerahkan dirinya kepada seorang
polisi yang berumur dua puluh lima tahun lebih tua darinya. Dan ini memang
sangat memalukan baru ketika pria itu mengatakan kepadanya bahwa dia telah


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki istri dan tidak berniat menikahinya ...." "Diam, Jahanam! Anakmu yang
pelacur itulah yang bakal bertingkah seperti itu." "Jangan lakukan ini. Anakku.
Anakku, jangan lakukan ini. Dengan menembakku, kau menodai masa depanmu sendiri." "Katakan
bahwa kau me nye sal." "Aku menyesal, Anakku. Jangan t emb ak aku." "Buka
mu1utmu. Aku akan menjejalkan moncong pistolku ke dalamnya. Lalu, letakkanlah
jarimu di atas jariku, dan tekanlah pelatuk pistol ini sendiri. Kau masih akan
menjadi orang munafik, tapi setidaknya kau mati dengan kehormatan." (Heningj
"Anakku, lihatlah apa jadinya diriku. Orang seumurku, menangis. Aku memohon
kepadamu, kasihanilah diriku. Kasihanilah dirimu sendiri. Kau masih sangat muda.
Dan kau akan menjadi seorang pembunuh."/ "Makanya, tariklah sendiri pelatuknya.
Rasakanlah sendiri betapa bunuh diri menyakitkan."/ "Anakku, aku adalah seorang
muslim. Aku menentang tindakan bunuh diri." "Buka mulutmu." (Hening.) Jangan
menangis seperti itu. Apa tidak pernah terlintas di benakmu bahwa akan tiba hari
saat kau harus menebus perbuatanmu" Berhentilah menangis, atau aku akan
menembakmu." (Suara si pelayan tua di kejauhan.) "Apakah Anda mau saya
membawakan teh ke meja Anda, Pak?" "Tidak, terima kasih. Saya akan pergi
sebentar lagi." "Jangan melihat pelayan itu. Teruskan membaca vonis matimu."
"Anakku, kumohon, ampunilah aku. " "Aku menyuruhmu membaca."/ "'Saya merasa malu
memikirkan semua perbuatan saya. Saya tahu bahwa saya layak mati dan dengan
harapan Tuhan Yang Mahakuasa akan mengampuni saya .... ' " "Teruslah membaca."
"Anakku, Anakku yang baik.
Biarkanlah pria tua ini menangis sejenak. Biarkanlah aku memikirkan istri dan
anakku untuk terakhir kalinya."/ "Pikirkanlah tentang gadis-gadis yang
kehidupannya telah kauhancurkan. Satu orang menjadi gila, empat orang dikeluarkan dari sekolah pada
tahun ketiga. Satu orang bunuh diri. Pikirkanlah gadis-gadis yang berdiri
gemetar di luar gerbang sekolahmu. Mereka semua menderita demam dan harus
berbaring di ranjang. Kehidupan mereka telah hancur." "Aku teramat sangat
menyesal. Anakku. Anakku yang baik. Tapi, apa bagusnya jika kau menembakku dan
menjadikan dirimu sebagai pembunuh" Pikirkanlah hal itu." "Baiklah. Aku akan
memikirkannya. (Hening.) Aku sudah memikirkannya. Pak. Dan, ini lah keputusanku.
" "Apa" " "Aku sudah berkeliaran di jalanan Kars yang menyedihkan selama dua
hari, tanpa tiba di mana-mana. Lalu, aku memutuskan bahwa memang itulah
takdirku, dan aku pun membeli tiket untuk pulang ke Tokat. Aku sedang meminum
segelas teh terakhirku ketika ...." "Anakku, kalau kau berpikir dapat membunuhku
lalu melarikan diri dari Kars dengan bus terakhir, aku akan memperingatkanmu:
semua ruas jalan ditutup akibat salju. Bus pukul enam tidak jadi diberangkatkan.
Jangan sampai kehidupanmu kauhabiskan untuk menyesali hal ini." "Tepat saat aku
menoleh. Tuhan mengirimmu ke Toko Kue Hidup Baru. Dan, jika Tuhan tidak hendak
memaafkanmu, untuk apa aku memaafkanmu" Ucapkanlah katakata terakhirmu.
Katakanlah, 1 Tuhan Mahabesar.1" "Duduklah, Nak. Aku memperingatkanmu, negara
kita akan menangkap kalian semua. Dan menggantung kalian semua." "Katakanlah, 1
Tuhan Mahabesar. 1 " "Tenanglah, Anakku. Diamlah sejenak. Duduklah. Pikirkanlah
semua ini sekali lagi. Jangan tarik pelatuk pistolmu. Jangan. (Bunyi tembakan.
Bunyi kursi terdorong.) Jangan, Anakku!" (Dua kali tembakan lagi. Hening.
Erangan. Suara televisi. Satu kali tembakan lagi. Hening.) []
Cinta, Agama, dan Puisi Kisah Sedih Muhtar DI PINTU gerbang Pasar Halil Pasa, setelah berpisah dengan Ypek yang langsung
kembali ke hotel, dia terdiam sejenak sebelum menaiki tangga menuju lantai kedua
bangunan itu, tempat markas cabang Partai Kemakmuran berada. Dia berlama-lama
berbasa-basi dengan para kader partai, para pengangguran, dan kaum duafa yang
berkeliaran di koridor-koridor lantai pertama. Di dalam benaknya, Ka terus-
menerus melihat direktur Institut Pendidikan terbaring di lantai, meregang
nyawa. Merana oleh penyesalan dan rasa bersalah karena tidak berbuat apa pun, Ka
mengingatkan dirinya untuk menelepon beberapa kenalan yang didapatnya pagi itu
si asisten kepala polisi, mungkin, atau seseorang di Istanbul, atau bagian
pemberitaan di Republican. Tetapi, meskipun pasar tempatnya berada dipadati
kedai teh dan kios tukang cukur, Ka tidak menemukan satu pun tempat yang
memiliki sambungan telepon.
Ketika sedang mencari-cari itulah Ka melihat sebuah ruangan dengan pintu
bertulisan "Masyarakat Penggemar Binatang". Di dalamnya ada sebuah pesawat
telepon, namun sedang digunakan seseorang. Dan, pada saat itu, Ka sudah tidak yakin lagi
apakah dirinya memang ingin menelepon. Dia pun terus berjalan melewati arena
terbuka dengan dinding yang ditempeli gambar-gambar ayam jantan; di bagian
tengah arena tersebut terdapat lingkaran kecil yang digunakan untuk menyabung
ayam. Ketika itulah Ka menyadari bahwa dia mencintai Ypek. Dan, merasakan bahwa
cinta ini akan menentukan sisa hidupnya, Ka bergidik ngeri.
Di antara orang-orang kaya penggemar binatang yang menikmati kegiatan sabung
ayam, terdapatlah seorang pria yang akan sangat mengingat bagaimana Ka memasuki
arena ketika itu, duduk lunglai di salah satu bangku kosong di area penonton dan
tampak tenggelam dalam pikirannya. Ka meneguk segelas teh sembari membaca
peraturan permainan yang ditulis di dinding dengan huruf-huruf besar:
* Dilarang menyentuh ayam jago tanpa izin pemiliknya.
* Ayam jago yang kalah hingga tiga kali berturut-turut dan tidak mematukkan
paruhnya akan dianggap kalah.
* Pemiik ayam jago mendapatkan waktu tiga menit untuk merawat taji yang terluka
dan satu menit untuk merawat kuku yang patah.
* Jika salah satu ayam jago terjatuh dan ayam jago lawan menginjak lehernya,
ayam yang jatuh akan diberdirikan dan permainan akan dilanjutkan.
* Jika terjadi pemadaman listrik, permainan akan dihentikan selama lima belas
menit, dan jika setelah jangka waktu itu listrik belum juga menyala, permainan
akan dibatalkan. Ketika meninggalkan Masyarakat Penggemar Binatang pada pukul dua lewat lima
belas menit, Ka masih berusaha memikirkan rencana untuk memikat Ypek sehingga
mau meninggalkan Kars bersamanya. Lampu-lampu di kantor Muzaffer Bey Ka baru
menyadari bahwa tempat itu hanya berjarak tiga pintu dari kantor Partai
Kemakmuran dipisahkan oleh Kedai Teh Kawan dan Penjahit Hijau. Begitu banyak hal
telah terjadi pada Ka sejak dia mengunjungi si pengacara pagi itu, sehingga saat
memasuki markas cabang Partai Kemakmuran, dia tidak percaya bahwa saat ini
dirinya menginjak kembali lantai yang sama.
Telah dua belas tahun Ka tidak berjumpa dengan Muhtar. Setelah memeluk dan
mencium kedua pipinya, Ka memerhatikan perut Muhtar telah membuncit, rambutnya
telah menipis dan beruban, namun Ka sudah dapat memperkirakannya. Sejak masa
kuliah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhtar. Sekarang, malam itu, sebatang
rokok dia merokok layaknya kereta api menggantung di sudut mulutnya.
"Mereka membunuh direktur Institut Pendidikan," kata Ka.
"Dia masih hidup. Baru saja ada pengumumannya di radio," kata Muhtar. "Bagaimana
kau bisa tahu tentang kejadian ini?"
"Dia duduk di dekat kami, di tempat Ypek meneleponmu tadi," kata Ka. "Toko Kue
Hidup Baru." Ka menceritakan seluruh kejadian yang dilihatnya kepada Muhtar.
"Apa kau menelepon polisi?" tanya Muhtar. "Apa yang kaulakukan?"
Ka mengatakan bahwa Ypek langsung kembali ke hotel, dan dia sendiri langsung
pergi ke kantor Muhtar. "Pemiihan tinggal lima hari lagi. Semua orang tahu
bahwa kami akan menang, sehingga negara melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Mereka bersedia mengatakan apa pun untuk menjatuhkan kami,1 kata Muhtar. "Di
seluruh Turki, dukungan kami untuk para gadis berjilbab adalah ekspresi kunci
pandangan politik kami. Sekarang, seseorang mencoba membunuh keparat yang
melarang para gadis itu melewati gerbang Institut Pendidikan; dan sekarang,
seorang pria yang ada di tempat kejadian perkara langsung mendatangi markas
partai kami tanpa berhenti dahulu untuk menelepon polisi.1 Muhtar terdiam
sejenak untuk menenangkan diri, lalu menambahkan, dengan berwibawa, "Aku akan
sangat menghargai kalau kaumau menelepon polisi sekarang. Kumohon, ceritakanlah
semua yang kausaksikan kepada mereka.1 Dia mengulurkan gagang telepon kepada Ka,
bagaikan seorang tuan rumah yang menawarkan kue-kue untuk tamunya. Setelah Ka
menerimanya, Muhtar menekan nomor telepon.
"Aku sudah bertemu dengan si asisten kepala polisi. Namanya Kasim Bey,1 kata Ka.
"Dari mana kau mengenal dia"1 tanya Muhtar dengan nada curiga yang membuat Ka
jengkel. "Dialah orang pertama yang kutemui pagi ini bersama Serdar Bey, si pemiik surat
kabar,1 jawab Ka. Sebelum dapat melanjutkan penjelasannya, Ka telah tersambung dengan si asisten
kepala polisi. Dengan se-detail-detailnya, Ka menceritakan kejadian yang
disaksikannya di Toko Kue Hidup Baru. Muhtar cepat-cepat mendekatinya dan,
dengan gaya canggung yang membuat Ka risih, menekankan telinganya di dekat
telinga Ka, berusaha turut mendengarkan. Supaya Muhtar dapat mendengar secara
lebih jelas, Ka sedikit menjauhkan gagang telepon dari telinganya dan
mendekatkannya ke telinga Muhtar. Sekarang, mereka berdiri begitu berdekatan
sehingga saling merasakan embusan napas masing-masing. Meskipun Ka tidak
memahami mengapa Muhtar ingin diibatkan dalam percakapan dengan asisten kepala
polisi, instingnya mengatakan bahwa dia lebih baik tidak bertanya. Setelah
menjelaskan bahwa dirinya tidak melihat wajah si pembunuh, dan hanya bisa
mengatakan bahwa pria itu bertubuh kecil, Ka mengulangi penjelasannya sekali
lagi. "Kami ingin Anda datang kemari supaya kami dapat mencatat kesaksian Anda,1 kata
si asisten kepala polisi dengan ramah.
"Saya sedang berada di markas Partai Kemakmuran,1 kata Ka. "Saya bisa secepatnya
ke kantor Anda.1 Sejenak, keheningan menyusul ucapan Ka. "Tunggu sebentar,1 kata
Kasim Bey. Ka dan Muhtar dapat mendengar pria itu menutup gagang telepon dan berbisik
dengan rekannya. "Saya harap Anda tidak keberatan, namun kami akan mengirim mobil patroli untuk
menjemput Anda,1 lanjut polisi itu. "Hujan salju semakin lebat. Kami dapat
mengirim mobil dalam beberapa menit. Anak buah saya akan menjemput Anda dari
markas partai.1 "Memang lebih baik kau memberitahukan kepada mereka bahwa kau ada di sini,1 kata
Muhtar setelah Ka menutup telepon. "Sebenarnya, mereka sudah tahu. Mereka punya
alat penyadap di mana-mana. Dan aku tidak mau mereka salah paham dan menganggap
apa yang kukatakan kepadamu sebagai sesuatu yang mencurigakan.1
Gelombang kemarahan menerpa Ka: ini mengingatkannya pada masalah-masalah politik
pertamanya selama hari-hari borjuisnya di Ni?anta?. Permainan yang marak
ketika itu adalah sebisa mungkin membuat orang lain saling melontarkan tuduhan
sebagai informan. Ketakutan terhadap mobil patroli dan ketakutan terjebak di
dalam sebuah situasi sehingga dia terpaksa mengatakan kepada polisi tentang
rumah-rumah mana saja yang harus dirazia itulah yang membuat Ka memutuskan untuk
selamanya menjauhkan diri dari dunia politik. Sekarang, di sinilah Muhtar, yang
sedang berlaga bersama golongan fundamentalis Islam sesuatu yang akan
dianggapnya sangat nista sepuluh tahun sebelumnya dan di sinilah Ka, yang masih
membuat alasan untuk hal ini dan begitu banyak hal lainnya. Mereka seolaholah
terlempar kembali ke sekolah, dengan anak-anak berandalan yang mencubiti pantat
mereka, saling membuang muka supaya tidak dianggap sebagai banci.
Telepon berdering. Muhtar duduk dengan gaya berwibawa dan mulai melakukan
penawaran dengan seseorang dari Kars Border Television untuk harga penayangan
iklan usaha peralatan rumah tangga miik keluarganya di siaran langsung malam
ini. Setelah pembicaraan di telepon berakhir, Muhtar dan Ka tenggelam dalam
keheningan, bagaikan dua bocah cilik yang tidak saling mengenal. Selama itu, Ka
membayangkan mereka mengobrolkan segala sesuatu yang terjadi pada mereka selama
dua belas tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Pertama-tama, dia
membayangkan mereka mengatakan apa yang ada dalam benak mereka masing-masing:
"Sekarang, setelah kita berdua dipaksa hidup dalam pengasingan, tanpa memiliki
prestasi yang berarti atau meraih kesuksesan dalam bidang apa pun, atau bahkan
menemukan kebahagiaan, setidaknya kita dapat sama-sama menyetujui bahwa
kehidupan itu berat! Menjadi penyair pun tidak cukup .... Karena itulah politik
masih membayangi kehidupan kita." Tetapi, bahkan setelah mengatakan hal ini,
tidak seorang pun dari mereka akan mendapatkan keberanian untuk melontarkan
sesuatu yang tidak dapat mereka akui, bahkan pada diri mereka sendiri:
"Kegagalan kita untuk menemukan kebahagiaan di dalam puisilah yang membuat kita
sekarang ini bersembunyi di balik bayang-bayang politik." Sekarang, Ka makin
membenci Muhtar. Tetapi, Ka segera teringat bahwa Muhtar mungkin telah menemukan sedikit
kebahagiaan karena mampu membawa dirinya ke ujung kemenangan dalam pemilihan
wali kota, seperti dirinya sendiri, Ka, yang berhasil mendapatkan reputasi
sedang sebagai seorang penyair. Dan, reputasi sedang masih lebih baik daripada
tidak memiliki reputasi sama sekali. Tetapi, karena keduanya tidak akan pernah
mengakui kebahagiaan yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut, mereka tidak dapat
membicarakan sebuah topik besar, kenyataan pahit yang ada di antara mereka. Yang
terburuk adalah, mereka berdua telah terbiasa dengan kekalahan dan ketidakadilan
yang semena-mena dalam kehidupan. Ka merasa khawatir dengan kemungkinan mereka
berdua mendambakan Ypek hanya untuk melarikan diri dari pola pikir pecundang
ini. "Kudengar kau akan membacakan puisi terbarumu di teater kota malam ini," kata
Muhtar sambil tersenyum tipis.
Sejenak, Ka memandang tajam sepasang mata indah berwarna hijaukecokelatan miik
pria yang pernah menikah dengan Ypek itu. Dia tidak melihat sedikit pun jejak
senyuman di sana. "Apa kau bertemu dengan Fahir saat di Istanbul?"
tanya Muhtar, kali ini sambil melebarkan senyumannya, hampir menyeringai.
Sekarang, Ka dapat tersenyum bersamanya, dan dengan tulus: Ka menghormati Fahir.
Pria itu adalah teman mereka yang paling kontemporer, yang selama dua puluh
tahun ini telah menjadi pembela setia puisi modernis Barat. Dia belajar di St.
Joseph, sebuah sekolah menengah Prancis, dan sekali dalam setiap tahun mengeruk
warisan dari neneknya yang gila namun kaya yang gosipnya pernah menjadi selir
Sultan dan pergi ke Paris. Di kota itu, dia akan menjejali kopernya dengan buku-
buku kumpulan puisi yang dijual oleh para pedagang buku di St. Germain.
Sekembalinya di Istanbul, dia akan menerjemahkan puisipuisi itu ke dalam bahasa
Turki, untuk diterbitkan entah di majalah yang didanainya atau sebagai bagian
dari buku-buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh penerbit yang didanainya.
Dia juga memberikan akomodasi yang setara untuk karya-karyanya sendiri dan
karya-karya para penyair modernis Turki. Tetapi, meskipun semua orang menghargai
upayanya, puisipuisi Fahir sendiri yang ditulis seolaholah di bawah pengaruh
puisipuisi yang diterjemahkannya ke dalam bahasa "Turki murni" yang berlebihan
secara umum, jika bisa dikatakan begitu, kurang menginspirasi, atau, seburuk-
buruknya, sulit dimengerti.
Ka memberi tahu Muhtar bahwa dia tidak sempat menemui Fahir saat di Istanbul.
"Ada masanya ketika aku sangat berharap Fahir menyukai puisiku," kata Muhtar.
"Sayangnya, dia membenci penyair sepertiku, yang tertarik bukan pada puisi murni
melainkan pada kisah rakyat dan 'keindahan tanah air'. Tahuntahun berlalu,
militer berkuasa, dan kita semua dijebloskan ke penjara. Dan, seperti semua
orang lain, setelah dilepaskan, aku menjadi kebingungan seperti orang bodoh.
Orang-orang yang dahulu pernah kutiru telah berubah; orang-orang yang restunya
pernah kucari telah menghilang; dan tidak satu pun impianku terwujud, baik dalam
dunia puisi maupun dalam kehidupan. Maka, daripada hidup miskin dan mengenaskan
di Istanbul, aku pulang ke Kars untuk mengambil alih toko ayahku, yang dahulu
membuatku sangat malu. Tapi, bahkan dengan seluruh perubahan ini, aku masih juga
tidak bahagia. Aku tidak bisa menganggap serius orang-orang di sini, dan saat
memandang mereka, aku berubah menjadi Fahir yang sedang memandang puisi-puisiku:
aku mengernyitkan hidung. Bagiku, Kota Kars dan seluruh penduduknya seolaholah
tidak nyata. Semua orang ingin mati atau pergi dari sini. Tapi, aku tidak punya
tempat lain untuk dituju. Sepertinya aku sudah dihapus dari sejarah, diasingkan
dari peradaban. Dunia yang beradab sepertinya berada begitu jauh sehingga aku
bahkan tak bisa menggapainya. Tuhan bahkan tak berkenan memberiku anak yang akan
melakukan semua hal yang tidak kulakukan, yang akan mengangkatku dari
penderitaan dengan menjadi individu modern, kebarat-baratan, dan menghargai diri
sendiri, seperti yang selalu kucita-citakan."
Ka terkesan melihat Muhtar sesekali mengolok-olok dirinya sendiri dengan
senyuman tipis yang sepertinya muncul begitu saja dari dalam tubuhnya.
"Aku minum-minum pada malam hari dan, untuk menghindari pertengkaran dengan Ypek
ku yang cantik, aku pulang larut malam. Sekali waktu, pada salah satu malam di
Kars saat segalanya, bahkan burung-burung di langit, sepertinya membeku, malam
telah sangat larut dan aku menjadi pelanggan terakhir yang meninggalkan Restoran
Pastura Hijau. Aku sedang menuju Jalan Prajurit, tempatku tinggal bersama Ypek
ketika itu, yang bisa ditempuh hanya dalam sepuluh menit berjalan kaki, namun
dianggap jauh dalam standar Kars. Raki yang kuminum sudah larut di kepalaku,
sehingga aku langsung tak mampu bergerak lagi setelah berjalan dua langkah.
Tidak ada seorang pun di jalan; Kars terlihat seperti kota mati, seperti yang
selalu terjadi pada malam-malam sedingin itu. Aku berusaha mengetuk pintu sebuah


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah, namun tidak ada yang menjawab, entah karena rumah itu adalah rumah
Armenia yang sudah ditinggalkan pemiliknya selama delapan puluh tahun, atau
karena penghuninya begitu nyenyak tertidur di bawah berlapis-lapis selimut dan,
seperti binatang yang sedang berhibernasi, enggan meninggalkan kehangatan liang
mereka. "Entah mengapa, aku justru merasa senang melihat kota ini begitu sepi dan
terbengkalai. Seketika itu, sekujur tubuhku dialiri perasaan menggelitik yang
manis, sensasi yang muncul akibat perpaduan antara minuman dan udara yang
dingin. Dalam hati aku memutuskan untuk meninggalkan kehidupan ini, sehingga aku
mengambil tiga atau mungkin empat langkah lagi sebelum membaringkan tubuh di
trotoar, di bawah sebatang pohon, menantikan kantuk dan kematian menghampiriku.
Dalam keadaan mabuk dan udara sedingin itu, seseorang mungkin hanya akan mampu
bertahan selama tiga atau mungkin lima menit sebelum mati beku. Ketika perasaan
menggelitik yang lembut mengalir di pembuluh darahku, aku melihat bayangan anak
yang tak pernah kumiiki. Betapa bahagianya melihat anak ini, laki-laki, tumbuh
dewasa, dan berdasi, namun sama sekali tidak bertingkah seperti birokrat-
birokrat berdasi di negara kita ini. Tidak, anakku ini adalah seorang Eropa
sejati. Tepat ketika dia hendak mengatakan sesuatu kepadaku, dia terdiam dan
mencium tangan seorang pria tua. Cahaya memancar ke segala arah dari tubuh pria
itu. Pada saat yang sama, seberkas cahaya menimpa tempatku berbaring, tepat
menyinari mataku, menembus tubuhku, dan menggugahku. Merasa malu sekaligus
mendapatkan harapan baru, aku bangkit dan menatap ke sekeliing-ku. Tepat di
seberangku, aku melihat cahaya memancar dari sebuah pintu, tempat banyak orang
keluar dan masuk. Suara di dalam kepalaku menyuruhku mengikuti orang-orang itu
melewati pintu. Aku diterima dalam sebuah kelompok dan dibawa ke sebuah rumah
kecil yang terang dan hangat. Orang-orang di dalam rumah itu sama sekali tidak
tampak seperti penduduk Kars yang putus asa dan merana: mereka bahagia dan, yang
lebih luar biasa lagi, mereka semua berasal dari kota ini. Aku bahkan mengenal
beberapa orang di antaranya. Seketika itu aku menyadari bahwa tempat tersebut
adalah pondok rahasia milik Yang Mulia Saadettin Effendi, seorang syekh Kurdi.
Aku pernah mendengar begitu banyak desas-desus tentang beliau: bahwa beliau
memiliki banyak pengikut, baik dari kalangan penduduk kaya maupun rakyat biasa;
bahwa jumlah pengikutnya senantiasa meningkat; dan bahwa, dengan undangan
mereka, beliau turun dari desanya di pegunungan untuk memimpin ritual bagi para
pengangguran yang marah di kota ini. Tapi, mengetahui bahwa polisi tidak akan
pernah memberikan izin bagi kegiatan republiken semacam ini, aku tidak pernah
memerhatikan cerita-cerita itu. Tapi, di sanalah aku berada malam itu, mendaki
satu demi satu anak tangga sang syekh, air mataku mengalir deras. Sesuatu yang
secara diamdiam kudambakan sejak lama telah terjadi, sesuatu yang dalam
tahuntahun ateisku akan kuanggap sebagai kelemahan dan kemunduran: aku kembali
ke dalam pelukan Islam. Kau tahu, karikatur-karikatur tentang para syekh yang
mengenakan jubah panjang dan berjanggut rapi" Sebenarnya aku takut kepada
mereka; karena itulah, saat menaiki tangga itu dengan kehendakku sendiri, aku
mulai menangis. "Sang syekh ternyata baik hati. Beliau menanyakan mengapa aku menangis. Tentu
saja, aku tidak akan mengatakan, 'Saya menangis karena saya terjebak di antara
para syekh reaksioner dan pengikut mereka.' Aku betul-betul malu karena aroma
raki memancar keluar dari mulutku seperti asap yang membubung dari cerobong
asap. Maka, aku mengatakan bahwa kunciku hilang. Sesungguhnya aku menjatuhkan
kunciku di tempatku berbaring menunggu maut. Mendengar perkataanku itu, para
pengikut setia sang syekh malah mendiskusikan mengenai kemungkinan makna
metafora dari kata "kunci", namun sang syekh langsung menyuruh mereka mencari
kunciku yang sebenarnya. Ketika hanya tinggal kami berdua di tempat itu, beliau
tersenyum manis kepadaku, dan aku baru menyadari bahwa beliau adalah pria tua
baik hati yang muncul dalam mimpiku. Seketika itu, aku merasa tenang.
"Aku tercengang melihat pria terhormat dengan tatapan suci itu, sehingga aku
mencium tangannya. Lalu, beliau melakukan sesuatu yang sangat membuatku kaget:
beliau balas mencium tanganku. Perasaan damai langsung menyebar di seluruh
tubuhku. Aku tidak pernah merasa seperti ini selama bertahuntahun, dan ketika
itulah aku memahami bahwa dapat membicarakan tentang apa pun kepada beliau,
menceritakan kepada beliau tentang kehidupanku. Dan, beliau akan membawaku
kembali ke jalan yang selalu kuyakini, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, meskipun aku seorang
ateis: jalan Tuhan Yang Mahakuasa. Harapan akan keselamatan mendatangkan
kebahagiaan di dalam hatiku.
"Sementara itu, kunciku telah ditemukan. Aku pergi dari sana, pulang dan tidur,
dan pagi harinya, aku mengingat apa yang telah terjadi dan merasa sangat malu.
Ingatanku hanya samar-samar, sedikitnya karena aku tidak ingin mengingat apa
yang telah terjadi. Aku berjanji kepada diriku untuk tidak pernah lagi
mendatangi pondok sang syekh, tapi aku khawatir memikirkan apa yang akan terjadi
jika aku bertemu dengan salah satu pengikutnya yang melihatku berada di sana.
"Kemudian, pada suatu malam, lagi-lagi dalam perjalananku pulang dari Restoran
Pastura Hijau, kakiku membawaku kembali ke pondok itu. Dan, meskipun rasa malu
membebaniku, hal ini terus-menerus terjadi, malam demi malam. Sang syekh akan
menyuruhku duduk di sampingnya; saat mendengarkan keluh kesahku, dia mengisi
hatiku dengan kasih sayang Tuhan. Aku tak henti-hentinya menangis, yang
membuatku merasakan kedamaian. Pada siang hari, aku akan menyimpan rahasia
pondok dengan membawa-bawa koran Republican, koran yang paling sekuler di Turki,
ke mana pun aku pergi. Selain itu, aku juga menentang para pemuka agama yang
menguasai negeri ini dan menjadi musuh republik. Aku bahkan mempertanyakan
mengapa Asosiasi Pemikiran Atatiirk tidak mengadakan pertemuan di sini lagi.
"Kehidupan gandaku terus berlanjut hingga pada suatu malam Ypek menanyakan
kepadaku apakah aku berhubungan dengan wanita lain. Aku langsung menangis dan
menceritakan segalanya kepadanya. Dia juga menangis. "Sekarang, karena kau telah
beriman, apakah kau akan menyuruhku memakai jilbab?" tanyanya. Aku berjanji
kepadanya bahwa diriku tidak akan memintanya melakukan hal semacam itu. Dan,
karena aku khawatir dia mengira aku berubah akibat alasan ekonomi, aku cepat-
cepat meyakinkannya bahwa segala sesuatu di toko berjalan lancar. Meskipun
pemadaman listrik sering terjadi di kota ini, angka penjualan penanak nasi
Argelik baru di toko kami tetap tinggi. Aku mengatakan semua ini untuk
menenangkan Ypek. Sejujurnya, aku bahagia karena sekarang aku dapat menunaikan
salat di rumah. Aku membeli sebuah buku panduan salat di toko buku. Kehidupan baruku terbentang
di hadapanku. "Tak lama kemudian, aku merasa dibanjiri inspirasi dan menulis sebuah puisi
penting. Aku menggambarkan keseluruhan krisis yang kualami, rasa maluku, kasih
sayang Tuhan yang tumbuh di dalam diriku, kedamaian, perasaanku ketika mendaki
tangga sang syekh untuk pertama kalinya, bahkan makna nyata dan metaforis dari
kunciku. Sebagai sebuah puisi, karyaku itu tak bercela. Aku bersumpah padamu,
puisiku itu sebagus puisipuisi Barat modern yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki oleh Fahir. Aku langsung mengirimkan puisiku itu bersama sebuah surat
pemberitahuan untuk Fahir. Aku menunggu hingga enam bulan, namun puisiku tak
pernah muncul di majalahnya ketika itu, Tinta Achiiies. Selama setengah tahun
itu, aku mengirim puisi-puisiku kepadanya. Selama setahun, aku menunggu dengan
gelisah, namun dia tidak pernah memuat satu pun puisiku.
"Ketidakbahagiaanku saat ini tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa kami tidak
dikaruniai anak, atau dengan Ypek yang terus-menerus menutup diri dari ajaran
Islam, atau bahkan dengan cercaan teman-teman lamaku yang sekuler dan menganut
paham kiri, yang menertawakanku karena menjadi beragama. Omong-omong, banyak di
antara mereka yang sekarang juga melakukan hal serupa denganku, dengan ketaatan
yang membuat mereka tidak punya waktu lagi untuk memerhatikanku. Tidak, yang
paling membuatku kecewa adalah kenyataan bahwa tidak satu pun puisi yang
kukirimkan ke Istanbul dimuat. Setiap awal bulan, bersama dengan terbitan baru
Tinta Achiiies, waktu seolaholah berhenti. Setiap waktu, aku mengatakan kepada
diriku sendiri bahwa bulan ini, akhirnya, mereka akan memuat puisiku. Kejujuran
yang tersirat dalam puisipuisi itu patut disejajarkan dengan kejujuran dalam
puisipuisi Barat. Dalam pandanganku, satu-satunya orang di Turki yang dapat
membuat hal ini terjadi adalah Fahir.
"Aku menganggapnya bersikap tidak adil karena tidak pernah menunjukkan minat
pada karyaku, dan amarah pun mulai menodai kebahagiaan yang kutemukan melalui
Islam. Kemarahanku begitu menggelegak hingga aku memikirkan Fahir saat sedang
bersembahyang di masjid. Sekali lagi, aku merasa merana. Pada suatu malam, aku
memutuskan untuk mencurahkan kesedihanku kepada sang syekh, namun beliau tidak
tahu apa-apa soal puisi modernis, Rene Char, pemenggalan kalimat, Mallarme,
Joubert, keheningan sebuah baris kosong. Hal ini menggoyahkan keyakinanku kepada
sang syekh. Lagi pula, dia tidak menawarkan sesuatu pun yang baru kepadaku untuk
waktu yang cukup lama, kecuali "Jagalah hatimu supaya tetap bersih, dan kasih
sayang Tuhan akan menjauhkanmu dari kemalangan," dan delapan atau sepuluh petuah
serupa. Aku tidak mau bersikap tidak adil; dia bukan seorang pria sederhana,
hanya saja, pendidikannya memang sederhana.
"Pada saat itulah setan yang berada di dalam diri-ku yang setengah praktis,
setengah rasionalis sisa-sisa dari hari-hari ateisku, mulai menggodaku. Orang-
orang sepertiku hanya mendapatkan kedamaian ketika berjuang untuk mencapai
sesuatu di dalam sebuah partai politik bersama orang-orang yang sepikiran.
Karena itulah aku bergabung dengan partai ini aku tahu bahwa hal ini akan
memberiku kehidupan spiritual yang lebih mendalam dan bermakna daripada yang
kudapatkan bersama orang-orang di pondok. Partai ini, lagi pula, adalah sebuah
partai agama, sebuah partai yang menghargai sisi spiritual. Pengalamanku sebagai
kader partai selama tahuntahun Marxis-ku telah mempersiapkanku untuk masa ini.1 "Dalam hal apa"1 tanya Ka.
Lampu padam. Keheningan panjang menyusul. "Listrik padam,1 akhirnya Muhtar
berkata dengan suara yang terdengar misterius.
Ka tidak menjawabnya. Dia hanya duduk di dalam kegelapan, bergeming. []
"Islamis Politik" Hanyalah Nama yang Dilekatkan Penganut Paham Barat dan
Sekularis kepada Kami Di Markas Partai, di Kantor Polisi, dan Sekali Lagi di Jalanan
DUDUK DALAM kegelapan dan keheningan yang mencekam memang mengerikan, namun Ka
lebih menyukainya daripada duduk di ruangan terang benderang dan berbincang-
bincang dengan Muhtar, seolaholah mereka adalah sahabat lama. Sekarang, kesamaan
di antara mereka hanyalah Ypek. Dan, meskipun sebagian dari diri Ka sangat
bersemangat untuk membicarakannya, sebagian yang lain sama bersemangatnya untuk
menutupi perasaannya. Ka juga khawatir Muhtar akan menuturkan kepadanya lebih
banyak lagi cerita yang akan membuat mantan suami Ypek itu tampak lebih bodoh
daripada yang sudah terlihat saat ini. Jika hal itu terjadi, Ka akan terpaksa
memikirkan mengapa Ypek dapat bertahan dalam pernikahan dengan pria ini selama
bertahuntahun, dan dia sama sekali tidak berminat menemukan alasan pengabdian
tak sepadan yang dilakukan Ypek.
Karena itulah Ka merasa lega ketika Muhtar, yang sudah bosan pada ceritanya
sendiri, beralih membicarakan teman-teman sayap kiri dan para buangan politik
yang melarikan diri ke Jerman. Ka tersenyum dan menceritakan
kabar yang didengarnya mengenai Tufan, teman mereka yang berambut keriting dan
berasal dari Malatya, yang pernah menulis tentang "isu-isu Dunia Ketiga" untuk
berbagai media: dia menjadi gila. Ka terakhir kali melihatnya di stasiun utama
di Stuttgart, memegang gagang panjang dengan kain pel di ujungnya, maju dan
mundur mengepel lantai, bersiul sambil bekerja. Lalu, Muhtar menanyakan tentang
Mahmut. Sebagai seseorang yang selalu berkata blak-blakan, Mahmut pernah membuat
banyak orang marah. Ka menceritakan kepada Muhtar bahwa Mahmut bergabung dengan
kelompok fundamentalis Hayrullah Efendi; sekarang, dia mengabdikan diri pada
perdebatan internal kelompoknya, dengan keganasan argumentatif yang pernah ia
tunjukkan saat menjadi aktivis sayap kiri, hanya saja, sekarang isu yang
dibahasnya adalah siapa yang sebaiknya mengendalikan masjid yang mana. Ka
tersenyum saat menceritakan bagaimana Suleyman yang menyenangkan hidup dengan
mengandalkan santunan dari gereja untuk banyak buangan politik dari Dunia
Ketiga. Tetapi, karena merasa bosan dengan kehidupan kota kecil di Traunstein,
Suleyman kembali ke Turki meskipun dia tahu betul bahwa penjara telah menantinya
begitu dirinya tiba di tanah airnya.
Ka melanjutkan dengan cerita tentang Hikmet, yang meninggal secara misterius
saat sedang bekerja sebagai sopir di Berlin; dan Fadil, yang menikah dengan
seorang janda prajurit Nazi tua dan sekarang mengelola sebuah hotel kecil
bersama istrinya; dan 'Tarik si teoretis', yang menjadi kaya karena bekerja
untuk mafia Turki di Hamburg. Sedangkan Sadik yang, bersama Muhtar, Ka, dan
Ypek, pernah menjadi pelipat koran yang baru keluar dari mesin cetak sekarang
memimpin sebuah geng yang menyelundupkan imigran gelap melewati Pegunungan Alpen
hingga tiba di Jerman. Muharrem, yang terkenal sebagai pemarah, sekarang
menjalani kehidupan bawah tanah yang bahagia bersama keluarganya di metro
Berlin, di salah satu stasiun bayangan yang terbengkalai sejak masa Perang
Dingin dan Tembok Berlin. Ketika kereta melaju dari Stasiun Kreuzberg menuju
Stasiun Alexanderplatz, para pensiunan sosialis Turki yang ada di dalamnya akan
berdiri memerhatikan, sama seperti bandit-bandit tua dari Istanbul yang akan
memberi hormat kapan pun mereka melewati Arnavutkby, memandang air beriak tempat
seorang gangster legendaris pernah tercebur ke dalamnya. Meskipun tidak saling
mengenal, para buangan politik yang berdiri dan memandang ke luar di dalam
kereta akan diamdiam memandang ke sekeliling mereka untuk melihat apakah ada
penumpang lain yang juga sedang memberi hormat kepada pahlawan legendaris
mereka. Di dalam kereta metro semacam inilah Ka berjumpa dengan Rahi, yang
pernah melontarkan kritik pedas kepada teman-teman sayap kiri mereka karena
mereka menolak psikologi. Di sana pulalah Ka mengetahui bahwa sekarang ini Ruhi
bekerja sebagai objek tes dalam kajian efektivitas kampanye iklan untuk pizza
pas-trami jenis baru yang dipasarkan bagi para pekerja Turki dari kelas menengah
ke bawah. Dari semua buangan politik yang dijumpai Ka di Jerman, yang paling bahagia
adalah Ferhat. Dia bergabung dengan PKK, dan sekarang menyerang berbagai divisi
di Turkish Airlines dengan kegarangan revolusioner. Dia juga pernah muncul di
CNN, melemparkan bom Molotov ke konsulat Turki. Rupanya, sekarang dia
mempelajari bahasa Kurdi dan memimpikan karier kedua sebagai penyair Kurdi.
Muhtar bertanya tentang beberapa orang lagi, dengan sirat kepedulian yang aneh
dalam suaranya, namun Ka sudah lama melupakan tentang mereka. Dia hanya dapat
menduga bahwa mereka telah mengikuti jalan banyak buangan politik lainnya, yang
bergabung dengan geng-geng kecil, bekerja untuk dinas rahasia, mengambil peranan
di pasar gelap, atau bisa jadi lenyap begitu saja atau menghilang di bawah
tanah. Beberapa di antara mereka tak pelak berakhir dengan cara diamdiam namun
menyakitkan di dasar kanal.
Teman lamanya menyalakan sebatang korek api sekarang, sehingga Ka dapat melihat
perabot suram di markas cabang partai ini, dan setelah mengetahui letak meja
kopi tua dan tungku pemanas gas, dia berdiri dan melangkah ke jendela, lalu
memandang lekat-lekat salju yang turun dari langit.
Betapa besarnya kepingan salju itu. Ka melihat keanggunan yang menenangkan dalam
gerakannya yang lambat, warna putihnya yang cerah, yang tampak semakin cerah
saat tersorot cahaya biru yang datang entah dari mana. Ingatannya melayang pada
malam-malam bersalju saat dirinya kanakkanak, ketika badai menyebabkan listrik
padam, dan di seluruh rumah akan terdengar bisikan penuh ketakutan: "Semoga
Tuhan menyelamatkan orang-orang miskin itu!" Hati kanakkanaknya akan berdegup
lebih kencang, dan dia merasa sangat lega karena memiliki keluarga. Ka memandang
sedih pada kuda penarik dokar yang berjuang menembus salju. Dalam kegelapan, dia
hanya dapat melihat kepala kuda gemetar itu berayun ke kanan dan ke kiri.
"Muhtar, apa kau masih menemui syekh itu?"
"Maksudmu, Yang Mulia Saadetin Efendi?" tanya
Muhtar. "Ya, aku masih menemui beliau, sesekali. Kenapa kau bertanya?"
"Apa yang ditawarkan orang ini kepadamu?" "Sedikit persahabatan dan, meskipun
ini mungkin tidak akan berakhir lama, sedikit kasih sayang. Dia sangat pintar.1
Alih-alih mendengar ketulusan, Ka justru dapat mengenali kekecewaan dalam suara
Muhtar. "Aku hidup sendirian di Jerman,1 kata Ka, sebisa mungkin menjaga supaya
pembicaraan mereka terus mengalir. "Saat aku melihat atap-atap bangunan di
Frankfurt pada tengah malam buta, aku merasakan bahwa dunia dan kehidupanku
ternyata memiliki tujuan. Aku mendengar berbagai macam suara di dalam diriku.1
"Suara macam apa"1
"Mungkin ini berhubungan dengan ketakutan akan menua dan mati,1 kata Ka malu-
malu. "Seandainya aku penulis dan Ka adalah karakter dalam bukuku, aku akan
mengatakan, 'Salju mengingatkan Ka kepada Tuhan!' Tapi, aku tidak yakin apakah
tepat begitu. Yang mende-katkanku kepada Tuhan adalah keheningan salju.'
"Hak untuk beragama, muslim konservatif di negeri ini ...' Muhtar meracau,
seolaholah membiarkan dirinya hanyut dalam harapan palsu. "Setelah tahuntahun
yang kuhabiskan menjadi ateis kiri, aku menganggap orang-orang ini sebagai
sumber kelegaan besar. Kau sebaiknya pergi menemui mereka. Aku yakin kau juga
akan merasakan kehangatan mereka.'
"Apa kau bersungguh-sungguh mengira begitu"'
"Yah, salah satu alasannya adalah orang-orang beriman ini rendah hati, lembut,
dan penuh pengertian. Berbeda dengan orang Turki yang kebarat-baratan, mereka
tidak semaunya bersikap sinis pada orang lain. Mereka saling bersimpati dan
berempati di antara sesama. Jika mereka mengenalmu, mereka akan menyukaimu.
Tidak akan ada katakata tajam yang terlontar.1


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti yang selalu diketahui Ka, di bagian dunia ini, keimanan kepada Tuhan
bukanlah sesuatu yang didapatkan dengan renungan dan pengerahan daya kreatif
seseorang hingga batas tertentu; keimanan juga bukan sesuatu yang dapat
dilakukan sendirian. Di sini, keimanan berarti pergi ke masjid, menjadi bagian
dari sebuah komunitas. Meskipun begitu, Ka masih kecewa karena Muhtar dapat
berbicara begitu banyak tentang kelompoknya tanpa sekali pun menyebut-nyebut
Tuhan atau keimanan pribadinya. Lebih daripada kecewa, sesungguhnya Ka membenci
Muhtar karenanya. Tetapi, ketika menempelkan kening ke jendela, sesuatu
mendorongnya untuk mengatakan hal yang sepenuhnya berbeda.
"Muhtar, jika aku mulai percaya kepada Tuhan, kau akan kecewa, dan kupikir kau
akan membenciku." "Kenapa begitu?"
"Gagasan tentang individu soliter dan kebarat-baratan yang memiiki keimanan
pribadi kepada Tuhan sangat mengancam bagimu. Seorang ateis yang menjadi bagian
dari sebuah komunitas jauh lebih mudah kaupercayai daripada seorang soliter yang
beriman kepada Tuhan. Bagimu, seorang soliter jauh lebih nista dan bergelimang
dosa daripada seorang kafir."
"Aku seorang soliter," kata Muhtar.
Fakta bahwa Muhtar dapat mengucapkan katakata itu dengan ketulusan dan keyakinan
diri membuat Ka merasa sebal sekaligus kasihan kepadanya. Ka merasa kegelapan
seolaholah menjadikan mereka berdua mendapatkan rasa percaya diri tinggi
layaknya pemabuk. "Aku tahu bahwa aku tidak akan menjadi seperti itu, tapi
misalnya saja aku menjadi semacam orang beriman yang bersembahyang lima kali
dalam sehari, kenapa kau terganggu karenanya" Mungkin karena kau hanya dapat
memeluk agama dan komunitasmu jika seorang sekularis yang tidak percaya Tuhan
sepertiku mengendalikan bisnis dan pemerintahan. Seseorang hanya dapat berdoa
dengan khusyuk di negara ini karena dia dapat mengandalkan efisiensi para ateis
yang ahli dalam berurusan dengan dunia Barat dan seluruh aspek lain urusan
duniawi.1 "Tapi, kau bukan pebisnis yang tidak percaya Tuhan. Aku bisa mengantarmu menemui
Yang Mulia kapan pun kaumau.1
"Sepertinya polisi kita yang baik sudah datang,1 kata
Ka. Melalui jendela yang berlapis es, mereka melihat dua orang polisi berpakaian
preman berjuang keluar dari mobil patroli yang diparkir di bawah pintu gerbang
pasar. "Aku ingin meminta pertolonganmu sekarang,1 kata Muhtar. "Sebentar lagi, para
polisi itu akan naik dan membawa kita ke kantor mereka. Mereka tidak akan
menahanmu. Mereka hanya akan mencatat pernyataanmu dan membiarkanmu pergi. Kau
bisa pulang ke hotelmu, lalu malamnya, Turgut Bey akan mengundangmu makan malam,
dan kau akan duduk semeja dengannya. Tentu saja, putrinya yang berbakti akan ada
di sana juga. Aku ingin kau mengatakan hal berikut ini kepada Ypek. Apa kau
mendengarkanku" Katakanlah kepada Ypek bahwa aku ingin menikahinya lagi. Aku
bersalah karena menyuruhnya memakai jilbab sesuai syariat. Katakanlah kepadanya
bahwa aku tidak akan lagi bertingkah seperti seorang suami
kampungan yang cemburuan; aku merasa malu karena hal itu, dan aku menyesal
karena telah menekannya selama pernikahan kami.1
"Apa kau belum pernah mengatakan semua itu kepada Ypek"1
"Tentu saja pernah, tapi sia-sia saja. Mungkin dia tidak memercayaiku, mengingat
aku adalah ketua Partai Kemakmuran di distrik ini. Tapi, kau berbeda denganku.
Kau datang jauh-jauh dari Istanbul, bahkan dari Jerman. Kalau kau mengatakan hal
ini kepadanya, dia akan percaya."
"Mengingat kau adalah ketua Partai Kemakmuran di distrik ini, apakah secara
politis kau tidak akan kerepotan jika istrimu tidak berjilbab?"
"Jika Tuhan mengizinkan, aku akan memenangi pemilihan empat hari lagi dan
menjadi wali kota," kata Muhtar. "Tapi, jauh lebih penting bagiku jika kaumau
memberitahukan kepada Ypek betapa menyesalnya aku. Kalau kau melakukannya, aku
mungkin masih memiiki harapan. Saudaraku, maukah kau melakukannya untukku?"
Ka terdiam sejenak sebelum mengatakan, "Aku akan melakukannya."
Muhtar memeluk Ka erat-erat dan mencium kedua pipinya. Ka merasakan perpaduan
antara perasaan kasihan dan jijik; dia membenci dirinya sendiri karena tidak
bisa bersikap jujur dan terbuka seperti Muhtar.
"Dan, aku akan sangat berterima kasih kalau kaumau membawa puisi ini ke Istanbul
dan menyerahkannya sendiri kepada Fahir," kata Muhtar. "Ini puisi yang baru saja
kuceritakan kepadamu. Judulnya 'Tangga'."
Ka mengantungi puisi itu tepat ketika tiga orang polisi berpakaian preman
memasuki ruangan yang gelap; dua
orang dari mereka memegang senter besar. Dari gerakan mereka yang cepat dan
efisien, jelas terlihat bahwa mereka dari MYT, dan sikap mereka menunjukkan
bahwa mereka tahu betul apa yang sedang dilakukan oleh Ka bersama Muhtar. Mereka
bersikeras ingin memeriksa kartu identitas Ka dan menanyakan urusannya. Sekali
lagi, Ka mengatakan bahwa dia mengunjungi Kars untuk meliput pemilihan wali kota
dan kasus bunuh diri para gadis bagi koran Republican.
"Gadis-gadis itu terpancing untuk melakukan bunuh diri gara-gara orang-orang
seperti Anda menulis tentang mereka di koran-koran Istanbul,' kata salah seorang
polisi dengan nada garang.
"Tentu saja tidak,' tukas Ka dengan keras kepala. "Jadi, kalau begitu, apa
penjelasan Anda"' "Mereka bunuh diri karena merasa tidak bahagia.' "Kami juga tidak bahagia, tapi
kami tidak bunuh diri.' Sementara percakapan ini berlangsung, para polisi itu menyisir seluruh markas
cabang dengan senter mereka, membuka lemari-lemari, menariki laci-laci,
menuangkan isi laci ke meja, dan membuka-buka berbagai macam arsip. Mereka
membalik meja Muhtar untuk mencari senjata yang disimpan di bawahnya, lalu
menggeser sebuah lemari arsip yang berat untuk memeriksa bagian belakangnya.
Perlakuan mereka kepada Ka jauh lebih baik daripada kepada Muhtar.
"Setelah Anda melihat direktur Institut Pendidikan ditembak, mengapa Anda datang
kemari alih-alih langsung pergi ke kantor polisi"'
"Karena saya sudah berjanji akan datang kemari.' "Mengapa begitu"'
"Kami teman lama dari universitas,' kata Muhtar dengan nada penuh penyesalan.
"Dan putri pemilik Hotel Istana Salju, tempatnya menginap, adalah mantan istri
saya. Tepat sebelum insiden itu terjadi, mereka menelepon saya dan berjanji
untuk datang ke sini. Pesawat telepon di markas partai ini sudah disadap, jadi
Anda tidak akan kesulitan memeriksanya.1
"Tahu apa Anda soal operasi penyadapan kami"1 "Maafkan saya,1 kata Muhtar tanpa
sedikit pun terlihat marah. "Saya memang tidak yakin saya hanya mendugaduga.
Bisa jadi saya salah.1 Dalam hal ini, Ka menghormati Muhtar, yang bersikap berani dalam menghadapi para
petugas galak tersebut; yang menerima sikap kasar mereka dengan tenang; yang,
seperti seluruh penduduk Kars, tidak lagi memedulikan pemadaman listrik dan
keadaan jalanan yang becek penuh lumpur.
Setelah menggeledah setiap sudut markas cabang, menumpahkan isi setiap laci, dan
mengosongkan setiap lemari arsip, para polisi itu mengikat setumpuk kertas
dengan tali plastik, menyitanya untuk dimasukkan dalam laporan resmi, dan
melemparkannya ke dalam tas. Setelah itu, mereka membawa Ka dan Muhtar ke mobil
patroli. Mereka duduk di bagian belakang mobil bersama seorang petugas, seperti seorang
ibu bersama dua anaknya yang nakal. Ka memandang kedua tangan Muhtar, yang
terlipat kaku di atas pangkuannya, tampak besar dan putih, mirip anjing tua yang
gemuk. Sementara mobil patroli itu bergerak perlahan-lahan menembus jalan yang
gelap dan tertimbun salju, Ka dan Muhtar menatap murung pada cahaya oranye
remang-remang yang menyorot dari sela-sela tirai sebuah rumah Armenia tua, pada
pria tua yang berjalan tertatih-tatih sambil menenteng tas plastik di
trotoar berlapis es, pada rumah-rumah tua yang kosong dan sunyi, yang tampak
bagaikan hantu-hantu kesepian. Di papan pengumuman yang terpasang di depan
Teater Nasional, sebuah poster mengumumkan tentang pementasan malam itu. Para
pekerja masih berada di jalanan, memasang kabel untuk keperluan siaran langsung.
Calon-calon penumpang yang berkerumun di sekitar terminal bus tampak lebih tidak
sabaran daripada biasanya akibat jalan-jalan masih ditutup.
Kepingankepingan salju yang turun sekarang tampak sebesar badai salju yang
dimainkan Ka semasa kanakkanak. Ketika mobil polisi beringsut menembus salju, Ka
membayangkan dirinya berada di dalam sebuah kubah plastik. Karena si sopir
sangat berhati-hati, perjalanan pendek itu menghabiskan waktu sepanjang tujuh
atau delapan menit. Tetapi, sepanjang waktu itu, Ka hanya sekali bertukar
tatapan dengan Muhtar. Dari tatapan pasrah mengibakan yang ditunjukkan oleh
Muhtar, Ka tahu bahwa teman lamanya itu menyadari dirinya akan dipukuli,
sementara Ka akan dibiarkan begitu saja.
Ka membaca sesuatu yang lain dalam tatapan Muhtar, dan hal ini akan diingatnya
selama bertahuntahun: Muhtar menganggap dirinya layak dipukuli. Sepertinya dia
berpikir: Aku layak dipukuli, bukan hanya karena aku bersikeras untuk menetap di
kota mengenaskan ini, melainkan karena sekali lagi aku terjerat dalam nafsu
meraih kekuasaan. Aku tidak akan membiarkan mereka mematahkan semangatku, namun
aku masih membenci diriku sendiri karena mengetahui semua ini, dan karenanyalah
aku merasa rendah di hadapanmu. Maka, kumohon, jika kau menatap mataku, jangan
tunjukkan bahwa kau tahu jika aku merasa malu.
Meskipun para petugas tidak memisahkan Ka dari Muhtar setelah memarkir mobil
patroli di bagian dalam halaman kantor polisi, tidak dapat disangkal lagi bahwa
mereka berdua mendapatkan perlakuan berbeda. Ka adalah seorang jurnalis dari
Istanbul yang mampu, seandainya dia menulis kritikan pedas, menjerumuskan para
polisi itu ke dalam masalah besar. Karena itulah mereka memperlakukannya sebagai
seorang saksi yang ada di sana untuk menolong mereka dengan menjawab beberapa
pertanyaan. Jika para petugas itu menunjukkan sikap meremehkan, Ka mengira hal
itu disebabkan karena mereka tidak memahami mengapa seorang pria seperti dirinya
mau bergaul dengan seseorang seperti Muhtar. Tetapi, dengan Muhtar, sikap yang
ditunjukkan oleh polisi-polisi itu bukan sekadar "Lagi-lagi kamu!" Dengan
polosnya, Ka mengasumsikan bahwa jawaban-jawaban berani Muhtarlah yang
menyebabkan para detektif itu menganggapnya, di satu sisi, bodoh ("Apa kau
benar-benar berpikir bahwa mereka akan membiarkan orang-orang sepertimu
menguasai negara ini?") atau, di sisi lain, bingung ("Sebaiknya kau mengurus
kehidupanmu sendiri dahulu!"). Lama kemudian, Ka baru mengetahui bahwa ketika
itu polisi sedang mempertimbangkan sesuatu yang jauh lebih serius.
Berharap Ka akan dapat mengidentifikasi pria kecil yang menembak direktur
Institut Pendidikan, polisi membawanya ke ruangan kecil untuk mencermati sebuah
arsip berisi sekitar seratus lembar foto hitam putih. Foto-foto itu menunjukkan
semua Islamis politis dari Kars dan wilayah sekitarnya yang pernah ditahan oleh
polisi. Sebagian besar di antaranya adalah pemuda Kurdi, warga kampung atau
pengangguran, namun ada pula foto-foto pedagang kaki lima, pelajar sekolah
menengah atau mahasiswa agama, guru, dan orang Turki penganut paham Sunni. Saat
melihat foto demi foto pemuda murung yang menatap iba ke kamera polisi, Ka
merasa pernah melihat dua orang remaja saat berjalan-jalan berkeliling kota pagi
itu, namun dia tidak melihat seorang pun yang menyerupai si pria kecil dan yang
dapat dikatakannya dari bentuk punggung si pembunuh lebih dewasa yang menembak
direktur Institut Pendidikan itu.
Ka dibawa kembali ke ruang interogasi, tempat dia menemukan Muhtar duduk
membungkuk di sebuah kursi; hidungnya berdarah dan salah satu matanya tampak
merah. Satu atau dua kali, Muhtar bergerak-gerak jengah sebelum menyembunyikan
wajahnya di balik saputangan. Dalam keheningan, Ka membayangkan bahwa Muhtar
merasakan penebusan dalam pemukulan ini, bahwa deraan fisik ini mungkin
membebaskannya dari rasa bersalah dan siksaan spiritual yang membebaninya akibat
kemeranaan dan ketololan negaranya. Dua hari kemudian, tepat sebelum menerima
kabar terburuk dalam hidupnya dan terjerumus ke dalam keadaan yang sama dengan
Muhtar Ka akan memiliki alasan untuk menyebut pikiran ini sebagai khayalan
bodoh. Beberapa saat setelah mereka berdua dipertemukan kembali, Ka dipindahkan lagi ke
ruang sebelah untuk membuat pernyataan. Duduk di hadapan seorang polisi muda
yang menggunakan mesin tik Remington, sama seperti yang digunakan oleh ayah Ka
saat membawa pulang pekerjaannya ke rumah, Ka menceritakan kembali perihal
penyerangan terhadap si direktur. Ketika sedang berbicara, baru terpikir olehnya
bahwa polisi memperlihatkan keadaan Muhtar kepadanya sebelum mengambil
pernyataannya agar dia ketakutan dan mengatakan kebenaran.
Tak lama kemudian, Ka dipersilakan pergi, namun wajah lebam Muhtar menempel
dalam ingatannya hingga lama berselang. Pada masa lalu, para polisi di daerah
tidak segarang itu dalam memperlakukan para aktivis-agama konservatif. Tetapi,
Muhtar bukan berasal dari golongan partai sayap tengah kanan yang angin-anginan;
dia tokoh Islam radikal. Sekali lagi, Ka memikirkan apakah keadaan ini ada
kaitannya dengan kepribadian Muhtar.
Ka berlama-lama berjalan menembus hujan salju. Di ujung Jalan Prajurit, dia
duduk di tembok dan mengisap sebatang rokok, selama beberapa waktu memerhatikan
sekelompok anak-anak yang sedang bermain di bawah tiang lampu di seberang jalan.
Kemiskinan dan kekerasan yang dia lihat sepanjang hari itu membuatnya letih,
namun dia terbuai oleh harapan bahwa, dengan cinta Ypek, dia akan dapat memulai
sebuah kehidupan baru. Selanjutnya, masih saat berjalan di tengah salju, Ka berhenti di trotoar di
seberang Toko Kue Hidup Baru. Jendela toko itu pecah. Lampu biru tua berkilatan
dari atas mobil patroli polisi yang diparkir di depannya. Pendar lampu itu
menerangi orang-orang berkerumun di dekat mobil, membuat mereka nyaris tampak
suci, dan hujan salju mengingatkan Ka untuk tetap bersikap sabar. Dia bergabung
dengan kerumunan, dan melihat bahwa polisi masih menginterogasi si pelayan tua.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Ka dengan ragu-ragu. "Bapak Ka, ya" Penyair
itu, benarkah?" Dia adalah seorang remaja laki-laki bermata hijau lebar dan
berwajah ramah kekanak-kanakan. "Nama saya Necip. Saya tahu bahwa Bapak datang
ke Kars untuk meliput pemilihan wali kota dan kasus pembunuhan para gadis bagi
koran Republican, dan Bapak sudah bertemu dengan
beberapa orang di sini. Tapi, ada satu lagi orang penting di Kars yang
seharusnya Bapak temui." "Siapa?"
"Bisakah kita minggir sedikit?"
Ka menyukai aura misterius remaja itu. Mereka berpindah ke depan Prasmanan
Modern, dengan papan nama mencorongnya: "Sorbet dan buah-buahan kering paling
termahsyur sedunia."
"Menurut perintah yang saya dapatkan, saya tidak boleh menyebutkan nama orang
itu, kecuali jika Bapak mau menemuinya."
"Bagaimana mungkin aku mau menemui seseorang tanpa mengetahui siapa dia"1
"Bapak benar,1 kata Necip. "Tapi, orang ini sedang berada dalam persembunyian.
Saya tidak bisa mengatakan dari siapa beliau bersembunyi, kecuali jika Bapak
bersedia menemuinya.1 "Baiklah, aku bersedia menemuinya,1 kata Ka. Berpose seperti tokoh dalam komik
petualangan, dia menambahkan, "Kuharap ini bukan jebakan.1
"Kalau Bapak tidak bisa memercayai orang lain, kehidupan Bapak akan begitu-
begitu saja,1 kata Necip, juga sambil berpose seperti tokoh komik.
"Aku percaya padamu,1 kata Ka. "Siapa orang yang harus kutemui ini"1
"Setelah mengetahui namanya, Bapak akan menemuinya. Tapi, Bapak juga harus mau
merahasiakan tempat persembunyiannya. Nah, pikirkanlah sekali lagi tentang hal
ini. Haruskah saya memberitahukan siapa beliau kepada Bapak"1
"Ya,1 kata Ka. "Kau juga harus memercayaiku.1 "Nama orang ini adalah Lazuardi,1
kata Necip dengan nada penuh kekaguman. Dia tampak kecewa saat melihat Ka tidak menunjukkan reaksi
apa-apa. "Apa Bapak belum pernah mendengar tentang dirinya saat di Jerman" Di
Turki, beliau sangat terkenal.1
"Aku tahu,1 kata Ka dengan nada menenangkan. "Aku siap menemuinya.1
"Tapi, saya tidak tahu di mana beliau berada,1 kata Necip. "Terlebih lagi, saya
sendiri belum pernah sekali pun menemuinya.1
Sejenak, mereka saling melempar senyuman curiga.
"Ada orang lain yang akan membawa Bapak menemui Lazuardi. Tugas saya hanyalah
menghubungkan Bapak dengan orang itu.1
Bersama-sama, mereka menyusuri Jalan Kazimbey Kecil, melewati berbagai macam
spanduk dan poster kampanye. Ada sesuatu dalam tubuh kerempeng Necip, juga
sikapnya yang gugup dan kekanak-kanakan, yang mengingatkan Ka pada dirinya
sendiri saat remaja. Karena itulah dia menyukai anak itu. Sesaat Ka berusaha
membayangkan bagaimana rupa dunia dari kacamata Necip.
"Apa yang Bapak dengar tentang Lazuardi di Jerman?" tanya Necip.
"Aku membaca di koran Turki bahwa dia adalah seorang Islamis politis militan,"
kata Ka. "Aku juga membaca banyak hal buruk tentangnya."
Necip cepat-cepat menyela. '"Islamis Politis' hanyalah nama yang dilekatkan
penganut paham Barat dan sekularis kepada kami, kaum muslim yang siap berjuang
untuk agama kami," katanya. "Bapak seorang sekularis, tapi tolonglah, jangan
sampai Bapak memercayai kebohongan-kebohongan tentang Lazuardi yang disebarkan
oleh pers sekuler. Beliau tidak pernah membunuh siapa pun, bahkan
saat di Bosnia, tempatnya berjihad untuk saudara-saudara kami sesama muslim,
bahkan saat di Grozny, tempat bom Rusia melukai kaki beliau hingga cacat."
Mereka tiba di sudut jalan, dan Necip menghentikan


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ka. "Bapak lihat toko di seberang jalan itu" Toko Buku Komunikasi" Pemiiknya adalah
Penganut, tapi semua Islamis di Kars menggunakannya sebagai tempat pertemuan.
Polisi mengetahui tentang hal ini, begitu pula semua orang di sini. Beberapa
pegawai toko itu menjadi mata-mata polisi. Saya adalah murid di sebuah madrasah
aliah. Saya akan dianggap melanggar peraturan jika masuk ke sana. Saya akan
diskors jika nekat masuk ke sana, tapi saya akan memberi tahu orang-orang di
dalam bahwa Bapak ada di sini. Dalam tiga menit, Bapak akan melihat seorang
pemuda berjanggut yang memakai kopiah merah keluar dari pintu itu. Ikuti saja
dia. Jika kalian sudah melewati dua ruas jalan dan tidak ada polisi berpakaian
preman yang menguntit, dia akan mendekat dan membawa Bapak ke tempat Lazuardi.
Bapak mengerti" Semoga Tuhan melindungi Bapak."
Dengan ucapan itu, Necip menghilang di balik gumpalan salju. Hati Ka melayang
bersamanya.[] Gadis-Gadis yang Melakukan Bunuh Diri Bukanlah Muslim
Lazuardi dan Riistem KA BERDIRI di seberang Toko Buku Komunikasi. Hujan salju semakin menderas, dan
Ka mulai lelah menunggu sambil menepis-nepiskan salju yang menempeli kepala,
mantel, dan sepatunya. Ka telah berniat untuk kembali ke hotel ketika dia
memandang ke seberang jalan dan menangkap sosok pemuda jangkung dan berjanggut
melenggang di trotoar. Ketika dia menyadari bahwa salju menjadikan kopiah merah
pemuda itu tampak berwarna putih, jantung Ka mulai berdegup kencang. Tanpa
membuang-buang waktu, Ka bergegas mengikutinya.
Setelah berjalan di sepanjang Jalan Kazim Karabekir yang oleh kandidat wali kota
dari Partai Ibu Pertiwi, mengikuti tren yang sedang marak di Istanbul,
dijanjikan akan diubah menjadi pusat keramaian untuk pejalan kaki mereka
berbelok ke kanan menuju Jalan Faikbey dan sekali lagi berbelok ke kanan hingga
tiba di Alun-Alun Stasiun. Patung Kazim Karabekir di tengah lapangan sekarang
terkubur dan tampak seperti es krim raksasa. Dalam kegelapan, Ka melihat sosok
anak muda berjanggut yang diikutinya memasuki halaman stasiun; dia bergegas
menyusul. Karena tidak mendapati siapa pun di ruang tunggu stasiun, Ka mengira
pemuda itu tentunya telah keluar ke peron, sehingga dia pun melakukan hal yang
sama. Di ujung peron, Ka melihat seseorang bergerak di tengah kegelapan
bayangan. Melawan keraguannya, Ka mengikuti jejak sosok itu. Tepat ketika Ka
merasa ketakutan dirinya akan ditembak mati di tempat ini, dan mayatnya mungkin
baru akan ditemukan saat musim semi, si pemuda berjanggut tiba-tiba berdiri di
hadapannya. "Tidak ada yang mengikuti kita,1 kata pemuda itu. "Meskipun begitu, Bapak masih
boleh berubah pikiran. Tapi, kalau Bapak memutuskan untuk ikut dengan saya,
sejak dari sini Bapak harus merahasiakan semuanya. Bapak tidak boleh mengatakan
kepada siapa pun bagaimana Bapak sampai di sini. Hukuman bagi pengkhianatan
adalah kematian.1 Ancaman ini tidak membuat Ka takut, hanya karena suara melengking bernada
sumbang pemuda itu membuat katakata yang diucapkannya terdengar lucu.
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati sebuah lumbung dan berbelok ke Jalan
Dirgantara, yang berada tepat di dekat barak miiter. Di sinilah si pemuda
berjanggut, dengan suara melengkingnya, menunjuk sebuah bangunan apartemen dan
memberi tahu Ka bel mana yang harus dibunyikannya. "Jangan bersikap kasar pada
Guru,1 katanya. "Jangan menyela beliau. Dan, jika urusan Bapak sudah selesai,
jangan berlama-lama tinggal di sana, segeralah pergi dari sana.1
Dengan cara inilah Ka mengetahui bahwa Lazuar di juga dikenal dengan sebutan
"Guru1 oleh para pengagumnya. Tetapi, hanya fakta inilah yang diketahui Ka
tentang Lazuardi di samping kabar bahwa pria itu adalah seorang
Islamis politis bereputasi buruk. Ka ingat pernah membaca di salah satu koran
Turki di Jerman, bertahuntahun yang lalu, bahwa Lazuardi terlibat dalam sebuah
pembunuhan. Tetap saja, ada banyak teroris Islam yang melakukan pembunuhan,
namun hanya beberapa saja yang terkenal. Kemasyhuran Lazuardi muncul dari fakta
bahwa dia dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan seorang bintang TV
ekshibisionis kemayu bernama Giiner Bener, pemandu sebuah kuis berhadiah uang
tunai yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi kecil. Giiner Bener gemar
mengenakan setelan berwarna mencolok, suka mengucapkan katakata tidak senonoh,
dan sering melontarkan lelucon tentang orang-orang "tak berpendidikan". Suatu
hari, dalam sebuah siaran langsung, ahli sarkasme berwajah berbintikbintik ini
sedang mengolok-olok salah satu kontestan kuisnya yang malang dan canggung
ketika, entah disengaja atau tidak, dia mengatakan sesuatu yang tidak pantas
tentang Nabi Muhammad. Kejadian ini mungkin hanya disadari oleh beberapa pemeluk
Islam taat yang sedang terkantuk-kantuk di depan pesawat televisi, dan sebagian
besar mungkin akan langsung melupakannya begitu mereka mendengarnya, namun
Lazuardi mengirim surat ke koran-koran Istanbul, mengancam akan membunuh si
pemandu acara kecuali dia meminta maaf secara formal di pertunjukan mendatangnya
dan berjanji tidak akan melontarkan lelucon semacam itu lagi. Pers Istanbul
menerima ancaman semacam ini setiap waktu, sehingga wajar jika surat Lazuardi
terabaikan. Tetapi, karena stasiun televisi yang menyiarkan acara kuis tersebut
memiliki komitmen terhadap lini sekularisnya yang provokatif dan untuk
menunjukkan betapa kasarnya para Islamis politis para manajernya mengundang
Lazuardi untuk tampil di acara mereka. Lazuardi menggunakan kesempatan ini untuk melontarkan ancaman yang
lebih kejam, dan dia begitu pantas menggambarkan "Islamis bermata nyalang yang
mengacungacungkan pedang" sehingga dia diundang untuk tampil kembali di saluran
yang berbeda. Pada sekitar waktu itu, jaksa penuntut yang mewakili masyarakat mengeluarkan
surat perintah penahanan bagi Lazuardi yang dianggap telah membuat ancaman
pembunuhan di hadapan umum, dan untuk pertama kalinya nama Lazuardi melambung
saat dia bersembunyi untuk menghindari penangkapan. Sementara itu, Giiner Bener,
yang proftlnya menjamur di mana-mana seperti Lazuardi, tampil di acara TV
hariannya, menggembar-gemborkan diri sebagai calon korban pembunuhan, dalam
salah satu kesempatan bahkan menyatakan dengan kemarahan meledak-ledak bahwa dia
"tidak takut pada "jahanam antirepubliken pembenci Atatiirk". Keesokan harinya,
di kamar hotel mewah tempatnya tinggal selama menjadi pemandu acara di Izmir,
polisi menemukannya tewas dicekik menggunakan dasi meriah bergambar bola voli
pantai yang dikenakannya selama pengambilan gambar.
Lazuardi memiiki alibi dia sedang menghadiri sebuah konferensi di Manisa untuk
mendukung para gadis berjilbab namun dia tetap bersembunyi untuk menghindari
kejaran pers, yang pada saat itu mulai memastikan supaya seluruh negeri
mengetahui tentang kematian Giiner Bener, dan Lazuardi mengambil bagian di
dalamnya. Beberapa pers Islamis menyerang Lazuardi sepedas pers sekularis.
Mereka menuduh Lazuardi "menodai tangan Islam politis dengan darah", membiarkan
dirinya menjadi mainan pers sekularis, menikmati ketenaran medianya dengan cara
yang tidak layak bagi seorang muslim, dan menerima bayaran dari CIA. Inilah yang
mungkin menjelaskan mengapa Lazuardi memilih untuk bersembunyi sejak saat itu.
Tak lama kemudian, tersebarlah berita di kalangan Islamis bahwa Lazuardi telah
pergi ke Bosnia untuk melawan Serbia dan mendapatkan luka secara heroik saat
melawan Rusia di Grozny, namun ada pula yang mengklaim bahwa rumor ini hanya
isapan jempol semata. Siapa yang tertarik untuk mengetahui hal ini dari sudut
pandang Lazuardi sendiri dapat membaca otobiografi singkatnya, Eksekusiku.
Detail-detailnya dapat ditemukan di halaman kelima dari bab ketiga puluh lima
buku itu, dengan judul "Aku Bukan Agen bagi Siapa Pun1, dan dengan subjudul "Ka
Bersama Lazuardi di Selnya1, meskipun mustahil untuk mengetahui seberapa banyak
kebenaran yang terkandung dalam cerita itu.
Tentu saja, banyak kebohongan yang tersebar mengenai Lazuardi. Faktanya,
beberapa di antaranya justru semakin menjadikannya legenda. Dapat dikatakan,
Lazuardi menjadi besar karena reputasi misteriusnya. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa, dengan berdiam diri, Lazuardi secara tersirat mengiyakan semua
tuduhan yang ditimpakan kepadanya oleh beberapa kalangan Islamis. Banyak orang
bahkan berpendapat bahwa seorang muslim yang begitu sering muncul di media
sekularis, Zionis, dan burjois layak menerima nasib seperti dirinya.
Mengenai alasannya berada di Kars, seperti yang sering kali menyebar di kota-
kota kecil, banyak teori yang dengan cepat menyebar namun tidak dapat diyakini
kebenarannya. Beberapa pihak mengatakan bahwa dia berada di Kars untuk
merencanakan operasi lokal sebuah kelompok Islamis Kurdi: akibat penutupan pusat
operasi nasional di Diyarbakir oleh pemerintah, Lazuardi dikabarkan berangkat ke
Kars untuk "mengamankan rahasia-rahasia organisasi1. Beberapa pihak lain
meragukan teori ini karena faksi yang dimaksud tidak memiiki anggota di Kars
kecuali satu atau dua orang gila.
Beberapa pihak mengatakan bahwa Lazuardi datang ke Kars untuk memperbaiki
hubungan antara golongan Marxis revolusioner Kurdi dan Islamis Kurdi. Konflik
yang terus memanas meletup di antara mereka di kota-kota wilayah Timur dan,
menurut gosip yang beredar, Lazuardi sedang berupaya menciptakan atmosfer
militan yang cinta damai dan berkelakuan baik. Ketegangan antara Islamis Kurdi
dan Marxis revolusioner Kurdi dimulai dengan perdebatan tajam, pertukaran
hinaan, pemukulan, dan perkelahian jalanan, namun di banyak kota, masalah
semakin meruncing menjadi penyerangan menggunakan pisau lipat dan pisau daging.
Dalam beberapa bulan terakhir, para partisan saling menembak, menyandera, dan
menginterogasi sandera di bawah siksaan (kedua pihak menggunakan metode yang
sudah umum seperti menuangkan plastik panas ke kulit tahanan atau meremas
testikel mereka). Terdapat pula laporan tentang tindak pencekikan. Menurut kabar
yang beredar, telah dibentuk sebuah kelompok mediator rahasia yang meyakini
bahwa konflik faksional ini dikendalikan oleh negara. Dalam upaya mengakhiri
pertikaian ini, mereka mengutus Lazuardi menjadi duta, namun, menurut musuhnya,
masa lalunya yang kelam dan masa mudanya yang tidak jelas menjadikannya tidak
layak menjalankan misi sepenting itu.
Di antara rumor-rumor lainnya, yang disebarkan oleh kalangan Islamis muda,
adalah bahwa Lazuardi datang ke Kars untuk "meluruskan" Hakan Ozge, pembawa
acara Kars Border Television yang flamboyan dan gemar mengenakan pakaian
bernuansa mengilap, yang pernah melontarkan lelucon yang menghina Islam, dan
sekarang tak henti-hentinya menyebut-nyebut Tuhan dan salat dalam acaranya.
Pihak-pihak lain masih memegang teori bahwa Lazuardi adalah tokoh penghubung
jaringan teroris Islamis internasional. Kabarnya, agen-agen intelijen dan unit-
unit keamanan di Kars menganggap serius rumor tentang adanya jaringan yang
didukung oleh Saudi, yang merencanakan pembunuhan terhadap beberapa ribu wanita
dari bekas Uni Soviet yang membanjiri Turki untuk melacurkan diri.
Lazuardi tidak melakukan apa pun untuk menyangkal rumor-rumor tersebut.
Penolakannya untuk menanggapi kabar-kabar yang beredar tentang dirinya, ditambah
dengan keteguhannya untuk tetap bersembunyi, memberinya aura misterius yang
memikat para pelajar madrasah aliah dan pemuda pada umumnya. Dia tidak hanya
bersembunyi dari polisi: dia menjauhi jalanan untuk melambungkan legenda tentang
dirinya, dan dia tidak ragu-ragu untuk membiarkan orang lain terus mendugaduga
apakah dia memang berada di kota mereka atau tidak.
Ka membunyikan bel yang dimaksud oleh si pemuda berkopiah. Ketika pintu terbuka,
dia langsung mengenali pria bertubuh pendek yang berada di dalam sebagai orang
yang telah menembak direktur Institut Pendidikan di Toko Kue Hidup Baru. Jantung
Ka mulai berdegup lebih kencang.
"Saya harap Anda tidak tersinggung," kata pria kecil itu, mengangkat kedua
tangannya sebagai isyarat supaya Ka melakukan hal yang sama. "Selama dua tahun
terakhir ini, Guru sudah tiga kali berhadapan dengan percobaan pembunuhan, jadi
saya harus menggeledah Anda."
Ka mengangkat kedua tangannya supaya pria itu
dapat menggeledahnya ini membuatnya teringat kembali pada masa-masa kuliahnya.
Sementara tangan si pria kecil meraba-raba di atas bajunya, Ka merasa cemas
ketegangannya akan tercium. Tetapi, setelah penggeledahan itu selesai, Ka merasa
tenang dan detak jantungnya pun kembali normal. Sekarang dia menyadari bahwa
pria ini bukanlah penembak direktur Institut Pendidikan. Pria setengah baya yang
tampak menyenangkan dan agak mirip Edward G. Robinson ini sepertinya tidak cukup
garang ataupun kuat untuk menembak siapa pun.
Ka mendengar rengekan bayi dan suara merdu seorang ibu yang berusaha dengan
lembut menenangkannya. "Haruskah saya membuka sepatu"1 tanya Ka, langsung membuka sepatunya tanpa
menantikan jawaban. "Kami tamu di sini,1 kata sebuah suara kedua. "Kami tidak
ingin membebani tuan rumah kami.1
Meskipun Ka langsung mengetahui bahwa suara itu berasal dari Lazuardi sendiri,
sebagian dari dirinya merasa kebingungan, barangkali karena dia berharap
pertemuan ini akan jauh lebih mendebarkan. Dia mengikuti Lazuardi memasuki
sebuah ruangan yang tampak longgar, dengan sebuah pesawat televisi hitam-putih
yang masih menyala. Di ruangan ini, seorang ibu sedang berbisik-bisik
menenangkan dalam bahasa Kurdi sambil mengganti popok bayi mungilnya, yang
menjejalkan kepalannya ke dalam mulut dan memandang sang ibu dengan tatapan
riang namun serius. Tatapan bayi itu segera teralih pada Lazuardi dan Ka saat
mereka memasuki ruangan. Tetapi, mereka tidak berdiam di ruangan itu: mereka
hanya melewatinya dan memasuki sebuah ruangan lain di dekatnya.
Pikiran Ka tertuju pada Lazuardi. Dia melihat sebuah ranjang yang tertata begitu
rapi sehingga akan dapat lolos dalam pemeriksaan militer sekalipun, dan sepasang piama yang terlipat rapi
di samping bantal. Di meja terdapat sebuah asbak bertulisan "Ersin Electric1. Di
dinding terpajang kalender dengan gambar pemandangan Venisia. Sebuah jendela
besar menunjukkan pemandangan melankolis kota yang berselimut salju. Lazuardi
menutup kerai jendela dan berbalik menghadapi Ka.
Matanya biru kelam hampir sebiru langit malam warna yang tak pernah bisa ditemui
di Turki. Dia berambut cokelat dan tidak berjanggut, jauh lebih muda daripada
yang diduga Ka; hidungnya mancung dan kulit pucatnya tampak menawan. Dia juga
luar biasa tampan, kepercayaan dirinya menghadirkan keanggunan. Dalam sikap,
ekspresi, dan penampilannya tidak sedikit pun terlihat kesan fundamentalis
garang, berjanggut, dan kampungan yang selalu digambarkan oleh pers sekuler,
lengkap dengan bedil di salah satu tangan dan tasbih di tangan yang lain.
"Sudahlah, tak perlu melepas mantel Anda sampai ruangan ini terasa hangat.
Mantel yang indah. Di manakah Anda membelinya"1
"Di Frankfurt.1 "Frankfurt ... Frankfurt,1 Lazuardi menggumam, lalu melirik ke langit-langit dan
tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia menjelaskan bahwa "beberapa waktu yang lalu1, dia divonis bersalah akibat
pelanggaran Pasal 163 Hukum Pidana karena melakukan penyebaran prinsip agama
tertentu ke seluruh negeri dan oleh karenanya harus melarikan diri ke Jerman.
Ka tidak menjawab. Dia tahu bahwa dia sebaiknya menggunakan kesempatan ini untuk
memupuk hubungan baik dengan Lazuardi, sehingga ketika pikirannya kosong,
dia mulai panik. Dia merasa Lazuardi berbicara untuk menenangkan dirinya
sendiri. "Waktu saya di Jerman, di asosiasi muslim mana pun yang kebetulan saya datangi,
di kota mana pun bisa saja di Frankfurt, atau di Koin, di suatu tempat di antara
katedral dan stasiun, atau di salah satu lingkungan elite di Hamburg ke mana pun
saya kebetulan berjalan, selalu ada satu orang Jerman yang tampak mencolok di
tengah-tengah kerumunan dan menarik perhatian saya. Yang terpenting bukanlah apa
yang saya pikirkan tentangnya, melainkan apa yang saya pikir mungkin dia
pikirkan tentang saya. Saya berusaha melihat melalui matanya dan membayangkan
apa yang mungkin dipikirkannya tentang penampilan saya, pakaian saya, cara
berjalan saya, sejarah saya, dari mana saya berasal dan akan ke mana saya pergi,
siapa saya. Cara berpikir seperti ini memang menyusahkan, tapi akhirnya menjadi
kebiasaan saya. Saya lambat laun terbiasa merasa rendah dan dapat memahami
bagaimana perasaan saudara-saudara saya. Lebih sering, bukan orang Eropa yang
meremehkan kita. Apa yang terjadi saat kita memandang merekalah yang membuat
kita merasa remeh. Kita naik haji bukan hanya untuk membebaskan diri dari tirani
di tanah air kita, melainkan juga untuk menggapai kedalaman jiwa kita. Akan
datang hari ketika mereka yang bersalah harus kembali untuk menyelamatkan mereka
yang tak bisa menemukan keberanian untuk pergi. Mengapa Anda kembali?"
Ka tetap diam. Ruangan yang luas, dengan dinding telanjang tanpa cat dan lapisan
semen yang mulai mengelupas, tidak mendatangkan kepercayaan dirinya; begitu pula
bohlam yang menggantung di langit-langit, yang memancarkan cahaya menyilaukan
mata. "Saya tak ingin membuat Anda bosan dengan pertanyaan-pertanyaan saya," kata
Lazuardi. "Ketika almarhum Mullah Kasym Ensari menerima tamu di perkampungan
sukunya di pinggir Sungai Tigris, inilah kalimat pertama yang selalu
diucapkannya: "Saya senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Tuan, dan sekarang,
maukah Anda mengatakan kepada saya untuk siapakah Anda menjadi mata-mata"1
"Saya menjadi mata-mata untuk Republican,' kata
Ka. "Sejauh itulah yang saya dengar. Tapi, saya masih harus menanyakan mengapa
mereka begitu tertarik pada Kars sehingga mau repot-repot mengirim seseorang
jauh-jauh kemari"1 "Saya mengajukan diri. Saya juga mendengar bahwa teman-teman lama saya, Muhtar
dan istrinya, tinggal di sini.1
"Tapi mereka sudah berpisah,1 Lazuardi mengoreksi, menatap langsung ke mata Ka.
"Apakah Anda belum mendengarnya"1


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya sudah mendengarnya,1 kata Ka. Dia tersipu malu. Memikirkan segalanya yang
mungkin dilihat oleh Lazuardi sekarang ini membuat Ka membencinya. "Apakah
Muhtar dipukuli di kantor polisi"1 "Ya, benar.1
"Apakah dia memang layak dipukuli"1 pancing Lazuardi.
"Tidak, tentu saja tidak,1 jawab Ka dengan jengkel. "Kalau begitu, mengapa
mereka tidak memukuli Anda" Apakah Anda puas dengan diri Anda sendiri"1 "Saya
tidak tahu mengapa mereka tidak memukuli saya.1
"Tentu saja Anda tahu alasannya Anda berasal dari kalangan borjuis Istanbul.
Siapa pun dapat mengatakannya, hanya dengan melihat kulit Anda dan cara Anda
membawa diri. 'Dia pasti punya teman di kalangan atas' itulah yang saling mereka
bisikkan, tidak ada keraguan lagi tentangnya. Sedangkan Muhtar, hanya dengan
sekali pandang saja, semua orang tahu bahwa dia tidak punya koneksi, sama sekali
bukan orang penting. Faktanya, Muhtar menggeluti politik hanya untuk dapat membuat orang lain
terkesima, sama seperti jika mereka melihat Anda. Tapi, bahkan jika dia
memenangi pemilihan, untuk merebut hati rakyat, dia masih harus membuktikan
bahwa dia adalah jenis pemimpin yang tahan terhadap tekanan negara. Karena
itulah mungkin dia justru senang mendapatkan pemukulan.' Lazuardi tidak
tersenyum; ekspresi wajahnya bahkan sedih.
"Tidak ada orang yang senang dipukuli,' kata Ka, merasa biasa dan bodoh di dekat
Lazuardi. Ekspresi wajah Lazuardi mengatakan: Mari kita mengalihkan pembicaraan ke topik
yang memang layak kita bicarakan. "Anda sudah bertemu dengan keluarga para gadis
yang melakukan bunuh diri,' katanya. "Mengapa Anda ingin berbicara dengan
mereka"' "Untuk melakukan riset bagi artikel saya.'
"Untuk koran-koran di Barat"'
"Ya, untuk koran-koran di Barat,' kata Ka dengan bangga, meskipun dia tidak
memiliki hubungan dengan pers Jerman. "Dan juga di Turki, untuk Republican,'
tambahnya dengan malu. "Pers Turki tertarik pada masalah-masalah negeri ini hanya jika pers Barat sudah
tertarik,' kata Lazuardi. "Jika tidak begitu, pembahasan tentang kemiskinan dan
bunuh diri akan dianggap sebagai kelancangan. Pers Turki membicarakan tentang
hal-hal ini seolaholah peristiwanya
terjadi di negeri yang belum beradab. Dengan kata lain, Anda juga akan terpaksa
memublikasikan artikel Anda di Eropa. Karena itulah saya ingin menemui Anda:
Anda tidak akan menulis kasus bunuh diri para gadis itu untuk koran Turki
ataupun koran Eropa! Bunuh diri adalah dosa besar! Bunuh diri adalah penyakit
yang akan tumbuh semakin parah jika kita semakin membahasnya! Terutama kasus
yang baru saja terjadi. Jika Anda menulis bahwa pelaku bunuh diri itu adalah
seorang gadis muslim yang berusaha membuat pernyataan politis tentang jilbab,
ini lebih mematikan daripada racun.'
"Tetapi ini benar,' kata Ka. "Sebelum melakukan bunuh diri, gadis itu berwudu
dan bersembahyang. Saya dapat memahami mengapa para gadis berjilbab
menghormatinya karena tindakannya itu.'
"Gadis-gadis yang melakukan bunuh diri bukanlah muslim,' tukas Lazuardi. "Dan,
mereka tidak melakukan bunuh diri gara-gara masalah jilbab. Jika Anda
memublikasikan kebohongan semacam ini, Anda hanya akan semakin menyebarkan
desas-desus tentang pertikaian antargadis-gadis berjilbab, tentang jiwa-jiwa
malang yang terpaksa memakai wig, tentang bagaimana mereka hancur akibat tekanan
yang diberikan oleh polisi dan orangtua mereka. Untuk hal itukah Anda datang
kemari" Untuk mendorong lebih banyak lagi gadis malang melakukan bunuh diri"
Gadis-gadis yang, demi Tuhan, mendapati diri mereka terjepit di antara sekolah
dan keluarga ini begitu merana dan kesepian. Mereka tidak tahu harus berbuat apa
lagi, sehingga akhirnya mengikuti jejak orang lain dan melakukan bunuh diri.'
"Deputi gubernur mengatakan bahwa kasus-kasus bunuh diri di Kars terlalu
dibesar-besarkan.' "Untuk apa Anda menemui deputi gubernur"1
"Untuk alasan yang sama saya menemui polisi: supaya mereka tidak merasa
berkewajiban menguntit saya sepanjang hari.1
"Saat mendengar berita bahwa 'gadis-gadis berjilbab yang dikeluarkan dari
sekolah melakukan bunuh diri', mereka sangat senang,' kata Lazuardi.
"Saya akan menulis apa yang saya lihat,' kata Ka. "Pendapat Anda tidak hanya
berlawanan dengan pernyataan negara dan deputi gubernur, tetapi juga pernyataan
saya. Saat Anda mengatakan, 'Baik pemerintahan sekuler maupun Islamis politis
tidak menginginkan adanya penulisan tentang gadis-gadis yang melakukan bunuh
diri,' saya tahu bahwa Anda berusaha memprovokasi saya.'
"Ya, memang betul begitu.'
"Gadis itu tidak melakukan bunuh diri karena dikeluarkan dari sekolah. Dia
melakukan bunuh diri karena masalah cinta. Tapi, jika Anda menulis bahwa seorang
gadis berjilbab melakukan bunuh diri berdosa di hadapan Tuhan hanya karena patah
hati, para pemuda di madrasah aliah akan marah besar. Kars hanyalah sebuah kota
kecil.' "Saya berharap bisa mendiskusikan semua ini dengan gadis-gadis yang lain.'
"Baiklah,1 kata Lazuardi. "Mengapa Anda tidak menanyakan kepada para gadis ini
apakah mereka suka jika Anda menulis untuk pers Jerman tentang saudari-saudari
mereka yang, untuk menegakkan hak mengenakan jilbab, merasa begitu tertindas
oleh peraturan sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan dunia ini dalam
keadaan berdosa.' "Saya akan sangat senang jika bisa bertanya sendiri kepada mereka,' Ka
bersikeras, meskipun dia mulai merasa
takut. "Ada alasan lain mengapa saya mengundang Anda ke sini,' kata Lazuardi. "Beberapa
jam yang lalu, Anda menjadi saksi penembakan direktur Institut Pendidikan. Ini
adalah efek langsung dari kemarahan orang-orang beriman di negeri ini gara-gara
kekejaman yang diberlakukan oleh negara kepada gadis-gadis berjilbab kita. Tapi,
tentu saja, semua ini adalah sebuah plot yang disusun oleh negara. Pertama-tama,
mereka memanfaatkan direktur yang malang ini untuk memaksakan peraturan keji
mereka; setelah itu, mereka mendorong seorang oknum gila untuk mencoba
membunuhnya, supaya mereka bisa menimpakan kesalahan pada kaum muslim."
"Apakah Anda mengklaim bertanggung jawab ataukah Anda mengutuk penembakan ini?"
tanya Ka, dengan tajam, seolaholah dirinya benar-benar wartawan.
"Saya datang ke Ka bukan untuk alasan politis," kata Lazuardi. "Saya datang,
mungkin, untuk menghentikan wabah bunuh diri ini." Tiba-tiba, dia meletakkan
tangannya di bahu Ka, menarik tubuhnya, dan mencium kedua pipinya. "Anda adalah
seorang darwis modern. Anda menarik diri dari dunia untuk mengabdikan diri pada
puisi. Anda tidak akan mau menjadi pion orang-orang yang berbuat semena-mena
kepada kaum muslim yang tidak bersalah. Tepat ketika saya memutuskan untuk
memercayai Anda, Anda pun memutuskan untuk memercayai saya dan Anda bersedia
melewati hujan salju yang lebat itu supaya kita dapat berjumpa. Sekarang, untuk
menunjukkan rasa syukur saya, saya akan menceritakan sebuah kisah penuh hikmah
kepada Anda." Sekali lagi, dia memandang tepat ke mata Ka. "Bolehkah saya
menceritakan kisah ini?"
"Ceritakanlah kisah itu kepada saya."
"Pada zaman dahulu kala, tersebutlah seorang pahlawan gagah berani tiada tara
yang tinggal di Iran. Semua orang yang mengenalnya akan menyukainya. Orang-orang
memanggilnya RCistem, dan kita pun begitu. Suatu hari, ketika sedang berburu,
dia tersesat. Lalu, ketika dia tertidur di tendanya malam itu, kudanya yang
bernama Raksh menghilang. RCistem mencari Raksh hingga tiba di Turan, negara
yang sedang berseteru dengan Iran. Tetapi, karena reputasinya yang baik telah
tersiar ke mana-mana, penduduk Turan memperlakukannya dengan baik. Syah Turan
menyambutnya layaknya tamu dan menyelenggarakan pesta penghormatan untuknya.
Seusai pesta, putri Syah mendatangi RCistem di kamarnya untuk menyatakan cinta.
Gadis itu mengatakan bahwa dia berharap dapat memiiki anak, lalu menggoda
RCistem dengan kecantikan dan katakata manisnya, dan tak lama kemudian mereka
pun bercinta. Keesokan paginya, RCistem kembali ke negerinya sendiri, namun dia
meninggalkan sebuah perhiasan sebuah gelang untuk calon anaknya.
"Anak itu lahir dan dinami Suhrab, jadi kita pun akan menyebutnya dengan nama
itu. Bertahuntahun kemudian, sang ibu mengatakan bahwa ayah Suhrab tak lain dan
tak bukan adalah RCistem yang legendaris. Anak itu mengatakan, 'Aku akan pergi
ke Iran untuk menggulingkan Syah Keykavus yang jahat dan mengangkat ayahku
sebagai penggantinya. Setelah itu, aku akan kembali ke Turan dan melakukan hal
yang sama kepada Syah Efra-siyab yang jahat, dan mengangkat diriku sendiri
sebagai penggantinya1. Kemudian, aku dan ayahku akan memerintah Iran dan Turan,
dan dengan kata lain seluruh dunia!"
"Begitulah impian Suhrab yang polos dan berhati mulia, tidak menyadari bahwa
musuh-musuhnya jauh lebih
licik dan lihai daripada dirinya. Meskipun setuju untuk meminjamkan pasukannya
dalam perang melawan Iran, Efra-siyab, Syah Turan, juga menempatkan mata-mata di
dalam pasukan itu untuk memastikan supaya Suhrab tidak mengenali ayahnya.
Setelah berulang kali berselisih jalan, ditambah berbagai kelokan nasib dan
kebetulan (yang diatur, setahu Suhrab, oleh Yang Mahakuasa), tibalah hari saat
RCistem dan putranya Suhrab saling bertatap muka di medan perang, memimpin
pasukan mereka masing-masing. Mereka tidak saling mengenal wajah, lagi pula baju
besi membalut tubuh mereka dari ujung kepala hingga ujung kaki. RCistem memang
memanfaatkan baju besinya untuk membuatnya tidak dikenali, karena siapa pun
lawan yang dihadapinya tentu akan menyerang dengan penuh keganasan jika
mengetahui siapa dirinya. Sedangkan Suhrab, hatinya yang kekanak-kanakan hanya
memungkinkannya membayangkan satu hal dirinya dan ayahnya bersama-sama menduduki
takhta Iran sehingga dia tak pernah sejenak pun memikirkan siapa lawan yang
mungkin dihadapinya. Maka, dua orang pahlawan hebat dan berhati mulia, ayah dan
anak itu, akhirnya berhadapan, memimpin pasukan mereka yang termasyhur, saling
mendekat dan menghunus pedang."
Lazuardi terdiam. Sebelum menatap mata Ka, dia menambahkan dengan nada kekanak-
kanakan: "Meskipun sudah membaca kisah ini ratusan kali, saya selalu bergidik
saat tiba di bagian ini, dan jantung saya rasanya berhenti berdetak. Entah
mengapa, tapi untuk beberapa alasan, saya mengidentifikasikan diri saya dengan
Suhrab yang se-dang bersiap-siap membunuh ayahnya. Anak mana yang ingin membunuh
ayahnya sendiri" Jiwa macam apa yang mampu menanggung kepedihan akibat kejahatan
sebesar itu, beban dosa itu" Terutama Suhrab, dengan hatinya yang murni. Satu-
satunya harapan dalam titik ini adalah Suhrab akan membunuh lawannya tanpa
mengetahui identitasnya. "Saat pikiran teresebut berkelebatan di benak saya, kedua pejuang kita mulai
bertempur. Dalam pertarungan yang berlangsung selama berjam-jam itu, tidak
seorang pun meraih kemenangan. Basah kuyup oleh peluh dan didera keletihan,
mereka berdua menyarungkan pedang. Ketika malam turun pada hari pertama
pertempuran ini, saya tak berani lagi memikirkan apa yang akan terjadi pada
Suhrab ataupun ayahnya. Lalu, ketika melanjutkan kisahnya, saya merasa
seolaholah baru membacanya untuk pertama kalinya. Saya memberanikan diri untuk
mengangan-angankan ayah dan anak itu gagal saling membunuh dan akhirnya dapat
menemukan jalan keluar dari keruwetan yang membelit mereka.
"Pada hari kedua, masing-masing pasukan kembali berhadapan, dan sekali lagi ayah
dan anak itu saling bertatapan dari balik baju besi mereka dan terlibat dalam
pertempuran dahsyat. Setelah pertarungan yang berlangsung sangat lama,
keberuntungan menghinggapi Suhrab tapi, apakah kita bisa menyebutnya
keberuntungan" sehingga dia mampu menjatuhkan RCistem dari punggung kudanya dan
menguncinya di tanah. Suhrab mencabut belatinya. Tetapi, saat dia bersiap-siap
menurunkan senjata itu ke leher ayahnya, ajudannya berkata: "Di Iran, tidak ada
tradisi bagi seorang pahlawan untuk memenggal kepala lawannya pada kesempatan
pertama. Jangan bunuh dia ini terlalu kejam." Maka, Suhrab pun tidak membunuh
ayahnya. "Saat membaca bagian ini, saya menjadi sangat kebingungan. Saya sangat
menyayangi Suhrab. Jalan nasib seperti apakah yang diatur oleh Tuhan bagi ayah
dan anaknya ini?" "Hari ketiga pertempuran adalah bagian yang saya tunggu-tunggu dengan penuh
ketegangan, namun, berlawanan dengan seluruh perkiraan saya, bagian ini begitu
cepat berakhir. RCistem menjatuhkan Suhrab dari kudanya dan, melompat maju,
menusukkan pedang dan langsung membunuh putranya. Sungguh mengerikan,
mengagetkan, mengikuti betapa cepatnya peristiwa ini berlangsung. Lalu, RCistem
melihat gelang yang dikenakan Suhrab dan menyadari bahwa dia telah membunuh
putranya sendiri. RCistem berlutut, mengangkat mayat putranya yang berO simbah
darah ke pangkuannya, dan meratap.
"Setibanya di bagian ini, saya juga selalu menangis, bukan hanya karena saya
dapat merasakan kesedihan RCistem, melainkan karena saya sekarang memahami makna
kematian Suhrab: kasih sayang Suhrab kepada ayah-nyalah yang membuatnya
terbunuh. Tetapi, sekarang saya telah dapat melihat lebih jauh dari cinta mulia
dan kekanak-kanakan Suhrab untuk ayahnya. Yang paling akut saya rasakan saat ini
adalah kepedihan yang jauh lebih mendalam dan terhormat dari seorang ayah yang
berjuang untuk menghargai putranya dan prinsip-prinsip yang melatarbelakangi
dirinya. Simpati saya, yang sebelumnya tercurah pada Suhrab, si pemberontak
individualis, berpindah ke RCistem, seorang ayah yang teguh dan bertanggung
jawab, yang selalu menjadi dirinya sendiri.1
Lazuardi terdiam sejenak, dan Ka merasa sangat iri dengan kemampuannya
menyampaikan cerita ini, atau sejatinya cerita mana pun, secara sangat memikat.
"Tetapi, saya tidak menceritakan kisah menawan ini
kepada Anda untuk menunjukkan maknanya bagi saya, atau bagaimana saya
menghubungkannya dengan kehidupan saya. Saya menceritakannya untuk menegaskan
bahwa kisah berumur seribu tahun ini, yang tercantum dalam buku Shahnamah karya
Firdevsi, sekarang telah terlupakan,1 kata Lazuardi. "Suatu ketika, jutaan orang
menghafalnya dari Tabriz hingga Istanbul, dari Bosnia hingga Trabzon dan ketika
menceritakan kembali kisah ini, mereka menemukan maknanya dalam kehidupan mereka
sendiri. Kisah ini berbicara kepada mereka dengan cara seperti pembunuhan
Oedipus terhadap ayahnya atau obsesi Macbeth dengan kekuasaan dan kematian
berbicara kepada orang-orang di dunia Barat. Tetapi sekarang, karena tergiur
impian Barat, kita justru melupakan kisah-kisah kita sendiri. Kisah-kisah lama
tidak bisa lagi ditemukan dalam buku pelajaran anak-anak. Sekarang ini, Anda
tidak akan bisa menemukan satu pun toko buku di seluruh Istanbul yang menjual
Shahnamah! Bagaimanakah Anda bisa menjelaskan hal ini?" Ka tidak menjawab.
"Biarkan saya menebak pikiran Anda," kata Lazuardi. "Apakah kisah ini sedemikian
indahnya hingga seseorang bersedia membunuh untuk mendengarnya" Itulah yang Anda
pikirkan, bukan?" "Entahlah," kata Ka.
"Kalau begitu, pikirkanlah," kata Lazuardi seraya meninggalkan ruangan. []
Apakah Kamu Seorang Ateis"
Seorang Kafir yang Tidak Ingin Bunuh
Diri SETELAH LAZUARDI keluar, Ka tidak yakin harus berbuat apa. Awalnya, dia berpikir
Lazuardi akan kembali untuk menanyakan tentang "pikiran-pikirannya". Namun, Ka
segera menyadari bahwa dia salah membaca pria ini. Dengan caranya yang unik dan
meyakinkan, Lazuardi menyampaikan sebuah pesan kepadanya. Atau sebuah ancaman"
Entah apa maksudnya, bukan bahaya yang dirasakan oleh Ka ketika dia duduk
menanti Lazuardi kembali, melainkan perasaan bahwa dirinya tidak selayaknya
berada di ruangan itu. Ruangan tempat Ka melihat ibu dan bayinya sekarang telah
kosong; ruang tamu juga tampak sunyi. Ketika menutup pintu di belakangnya, Ka
merasa sangat salah tempat, sehingga yang dapat dia lakukan hanyalah bergegas
menuruni tangga. Ketika memandang ke langit, yang mula-mula hinggap disadari oleh Ka adalah salju
yang telah berhenti turun: saat memandang kepingankepingan salju yang sepertinya
melayang di udara, dia merasakan waktu seolah berhenti. Ka juga merasa
seolaholah begitu banyak hal
telah berubah dan begitu lama waktu telah berlalu. Tetapi, pertemuan Ka dengan
Pendekar Guntur 6 Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Pedang Golok Yang Menggetarkan 8
^