Dibalik Keheningan Salju 8
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 8
oleh apa yang akan dilakukan Fazyl kemudian.
"Tidak ada yang boleh bicara tentang bunuh diri di kota ini!" seru Lazuardi, dan
dia menghambur keluar bahkan tanpa berhenti untuk memandang Kadife. Dengan ini,
pertemuan pun langsung berakhir dan, sambil tetap membicarakan kejadian yang
baru saja mereka lihat, orang-orang itu keluar dari kamar dalam hitungan detik.
[] Itu Mustahil Terjadi Selama Saya Memiliki Dua Jiwa dalam Tubuh Saya
Tentang Cinta, Kesepelean, dan Menghilangnya Lazuardi
PADA PUKUL lima kurang seperempat, Ka keluar dari Hotel Istana Salju. Turgut Bey
dan Kadife belum kembali dari pertemuan di Hotel Asia, dan Ka masih memiliki
lima belas menit sebelum waktu yang disepakatinya untuk bertemu dengan Fazyl,
namun dia terlalu bahagia sehingga tidak bisa duduk tenang. Dia berbelok ke kiri
di Jalan Ataturk dan berjalan hingga tiba di Sungai Kars, sesekali berhenti
untuk melihat-lihat etalase-etalase toko, studio foto, dan kedaikedai teh yang
dijejali para pria yang ingin menonton televisi. Ketika tiba di jembatan besi,
Ka menghabiskan dua batang rokok Marlboro dengan cepat. Kepalanya dipenuhi
khayalan hidup bahagia selama-lamanya bersama Ypek di Frankfurt, dan dia sama
sekali tidak merasa kedinginan. Di seberang sungai, terdapat sebuah taman,
tempat yang sering didatangi oleh keluarga-keluarga kaya di Kars untuk menonton
aksi para peseluncur es. Sekarang, tempat itu tampak gelap gulita.
Fazyl terlambat tiba di jembatan besi, dan saat dia muncul dari kegelapan, untuk
sesaat lagi-lagi Ka salah menyangkanya sebagai Necip. Bersama-sama, mereka
pergi ke Kedai Teh Mujur Bersaudara, tempat Fazyl melaporkan semua yang bisa
diingatnya dari pertemuan di Hotel Asia. Saat dia tiba di bagian ketika dirinya
menyatakan bahwa sejarah kota kecilnya telah menyatu dengan sejarah dunia, Ka
menyuruhnya diam, seperti seseorang yang menyuruh orang lain diam supaya dia
dapat mendengar berita di radio. Kemudian, Ka menulis puisi yang berjudul
"Seluruh Umat Manusia dan Bintang-Bintang".
Dalam catatan yang dibuatnya kemudian, Ka mendeskripsikan tema puisi itu sebagai
kesedihan sebuah kota yang dilupakan oleh dunia luar dan diasingkan dari
sejarah. Baris-baris pertamanya menceritakan sebuah adegan yang terinspirasi
dari bagian pembukaan film-film Hollywood yang disukainya semasa kanakkanak.
Saat judul ditayangkan, terdapat gambar bumi yang berputar perlahan, yang
dilihat dari luar angkasa. Saat kamera mendekat, lebih banyak detail terlihat,
hingga akhirnya tampaklah sebuah kota. Tentu saja sama seperti dalam film-film
khayalan yang diputar di dalam kepala Ka sejak masa kanakkanaknya negara yang
terlihat adalah Turki. Kamera semakin mendekat, dan tampaklah Laut Marmara,
Selat Bosphorus, dan Laut Hitam; setelah itu tampaklah Istanbul, dan Ni?anta?
dari masa kanakkanak Ka, dengan polisi lalu lintas yang bertugas di Jalan
Te?vikiye, Jalan Nigar si Penyair Wanita, dan pepohonan serta atap-atap rumah
(betapa indahnya semua itu dilihat dari atas!). Lalu, perlahan-lahan, tampaklah
deretan pakaian di tali tali jemuran, sebuah baliho yang mengiklankan makanan
kalengan Tamek, talang-talang air berkarat, dan trotoar bernoda tanah, sebelum
kamera berhenti untuk menyoroti jendela kamar Ka. Dari balik jendela itu,
tampaklah kamar Ka yang penuh berisi buku, perabot dan karpet berdebu,
dan Ka yang duduk di balik meja, menghadap ke jendela di sisi lain kamar. Dari
balik bahunya, kamera memperlihatkan selembar kertas di atas meja, dan akhirnya,
tampaklah katakata terakhir dari pesan yang sedang ditulisnya, sehingga kita pun
bisa membacanya: "ALAMAT HARI KETIKA AKU MEMASUKI SEJARAH PUISI: PENYAIR Ka,
JALAN NIGAR SI PENYAIR WANITA NO. 16/8, NIaANTAa, ISTANBUL, TURKI". Seperti yang
telah dipahami oleh para pembaca yang pintar, puisi ini, meskipun terletak di
pucuk "Logika", juga berkedudukan cukup dekat dengan pucuk "Imajinasi" untuk
memberikan pengakuan terhadap pengaruhnya.
Kekhawatiran utama Fazyl terlihat jelas setelah dia menyelesaikan ceritanya: dia
sangat gelisah memikirkan fakta bahwa dirinya telah mengancam untuk bunuh diri
jika Kadife mencopot jilbabnya. "Dan, bukan hanya karena bunuh diri sama
buruknya dengan kehilangan keimanan. Tapi juga karena saya tidak bermaksud
begitu. Untuk apa saya mengatakan sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak
memercayainya?" Fazyl mengatakan, bahwa setelah mengucapkan nazar itu, dia
mengatakan, "Ampunilah hamba, Tuhan, hamba tidak akan berkata begitu lagi!"
Tetapi kemudian, setelah saling bertatap mata dengan Kadife di pintu, dia
gemetar bagaikan daun yang tertiup angin. "Apakah, menurut Bapak, Kadife
menyangka saya jatuh cinta kepadanya?" dia bertanya kepada Ka.
"Apakah kau jatuh cinta kepadanya?"
"Bapak sudah tahu yang sesungguhnya. Saya jatuh cinta kepada Teslime, semoga dia
beristirahat dengan tenang. Sahabat saya Necip, semoga dia juga beristirahat
dengan tenang, yang jatuh cinta kepada Kadife. Saya merasa sangat malu pada diri
saya sendiri karena jatuh
cinta pada gadis yang sama, bahkan sebelum lewat sehari dari kematian sahabat
saya. Dan saya tahu bahwa hanya ada satu penjelasan. Ini juga membuat saya
ketakutan. Katakanlah, mengapa Bapak begitu yakin bahwa Necip telah meninggal!"
"Aku melihat sendiri lubang tempat peluru memasuki keningnya sebelum aku
memegang bahunya dan menciumnya."
"Bisa jadi jiwa Necip sekarang hidup di dalam tubuh saya," kata Fazyl. "Dengar,
saya tidak mau menghadiri acara semalam. Saya bahkan tidak menonton televisi.
Saya pergi tidur sebelum larut malam dan langsung terlelap. Baru kemudian saya
mendengar tentang hal-hal buruk yang menimpa Necip saat saya sedang tidur.
Kemudian, para prajurit merazia asrama kami, dan saya pun menjadi yakin bahwa
kabar yang saya dengar memang benar adanya. Ketika melihat Bapak di
perpustakaan, saya sudah tahu bahwa Necip memang telah meninggal, karena jiwanya
sudah berada dalam tubuh saya sejak pagi buta. Para prajurit yang datang untuk
mengosongkan asrama tidak melihat saya, sehingga saya bermalam di Jalan Pasar,
di rumah salah seorang teman ayah saya saat beliau bertugas sebagi tentara
beliau berasal dari Varto. Saat saya berbaring di atas tempat tidur tamu, kepala
saya tiba-tiba mulai berputar, dan sebuah perasaan yang dalam dan tidak
terlukiskan menerpa saya: sahabat saya kembali berada di sisi saya; dia ada di
dafam diri saya. Sama seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab kuno nyawa
seseorang meninggalkan tubuhnya enam jam setelah ajal menjemputnya. Menurut
Suyuti, pada saat itu jiwa seseorang menjadi sesuatu yang gaib dan dapat
berpindah-pindah, dan ia harus tinggal di alam Barzakh hingga Hari
Kiamat datang. Tetapi, jiwa Necip justru memilih untuk memasuki tubuh saya. Saya
yakin tentang hal ini. Saya juga sangat takut, karena hal seperti ini tidak
pernah disebutkan dalam Alquran. Tapi, tidak ada cara lain untuk menjelaskan
mengapa saya bisa jatuh cinta secepat itu kepada Kadife. Jadi, gagasan untuk
melakukan bunuh diri itu juga bukan milik saya. Menurut Bapak, benarkah jiwa
Necip telah mengambil alih tubuh saya?"
"Jika memang itu yang kauyakini," ujar Ka, berhati-hati.
"Hanya kepada Bapaklah saya menceritakan hal ini. Kepada Bapak pula, Necip
menceritakan rahasia-rahasia yang tak pernah diungkapkannya kepada orang lain.
Tidak sekali pun dia pernah memberi tahu saya bahwa godaan ateisme telah menarik
hatinya. Tapi, dia bisa saja telah menyebutkannya kepada Bapak. Saya mohon,
katakanlah yang sejujurnya kepada saya. Apakah Necip pernah mengatakan kepada
Bapak bahwa dia semoga Tuhan mengampuninya meragukan keberadaan Tuhan?"
"Sekarang, hal yang sama terjadi pada saya," kata Fazyl. "Saya tidak meragukan
lagi bahwa Necip telah menanamkan pikiran-pikiran ini dalam kepala saya."
"Tapi, kebimbangan ini tidak bisa disamakan dengan ateisme."
"Tapi saya menjadi berpihak pada para gadis pelaku bunuh diri," ujar Fazyl
sedih. "Baru beberapa menit yang lalu, saya mengatakan bahwa saya sendiri siap
melakukan bunuh diri. Saya enggan memercayai bahwa almarhum sahabat tersayang
saya adalah seorang ateis. Tetapi sekarang, saya mendengar suara seorang ateis
di dalam diri saya, dan ini membuat saya sangat ketakutan. Saya tidak tahu
apakah keadaannya sama bagi Bapak. Tapi,
Bapak pernah berada di Eropa, Bapak pernah bertemu dengan orang-orang pintar dan
para alkoholik pecandu obat tidur di sana. Jadi, saya mohon, katakanlah sekali
lagi kepada saya, bagaimanakah rasanya menjadi seorang ateis?"
"Yah, orang ateis memang tidak pernah berfantasi tanpa henti tentang bunuh
diri." "Saya tidak berfantasi tanpa henti, tapi kadangkadang saya memikirkannya."
"Kenapa?" "Karena Kadife. Saya tak bisa menyingkirkannya dari benak saya! Saya memejamkan
mata, dan dia ada di sana, berkilauan di depan mata saya. Saat saya sedang
belajar, menonton televisi, menantikan datangnya malam, semuanya mengingatkan
saya kepada Kadife, bahkan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengannya, dan
ini membuat saya sangat kesakitan. Ini mulai terjadi sebelum Necip meninggal.
Sejujurnya, saya tidak pernah sungguh-sungguh mencintai Teslime; saya selalu
mencintai Kadife. Tapi, karena sahabat saya juga mencintai Kadife, saya
menyembunyikan perasaan saya. Sesungguhnya, Necip sendirilah yang memicunya,
dengan berbicara tanpa henti tentang Kadife. Saat para prajurit merazia asrama
kami, saya tahu bahwa ada kemungkinan mereka telah membunuh Necip, dan, ya,
pikiran ini membuat saya merasa lega. Dan itu bukan karena saya melihat
kesempatan untuk membuat perasaan cinta saya menghilang, melainkan karena saya
berpikir dia telah melakukan hal yang benar dengan memicu munculnya perasaan
cinta saya. Necip sudah meninggal sekarang, dan saya bebas, dan itu hanya
berarti saya dapat lebih mencintai Kadife daripada sebelumnya. Saya memikirkan
Kadife sejak terbangun pagi
ini, dan dia semakin banyak mengisi kepala saya. Sebegitu rupa sehingga saya tak
bisa memikirkan yang lain dan oh, Tuhan saya tidak tahu harus berbuat apa."
Fazyl membenamkan wajah di kedua tangannya dan mulai terisak. Ka menyalakan
sebatang Marlboro saat gelombang pengabaian menerpanya. Tetapi, dia tetap
mengulurkan tangan untuk menenangkan pemuda itu dan, untuk waktu yang sangat
lama, membelai kepalanya. Saf-fet, detektif yang ditugaskan membuntuti mereka,
duduk di sisi lain kedai teh, menyaksikan mereka, sementara salah satu matanya
tetap tertuju ke layar televisi.
Sekarang, dia berdiri dan menghampiri meja mereka. "Katakan pada pemuda ini
untuk berhenti menangis. Saya tidak menyerahkan kartu identitasnya ke markas.
Kartu itu masih saya bawa." Saat ucapannya tidak menghentikan tangis Fazyl, si
detektif merogohkan tangan ke saku dan mengeluarkan kartu identitas pemuda itu;
Ka mengulurkan tangan dan mengambilnya. "Mengapa dia menangis?" tanya Saffet,
setengah karena rasa penasaran profesional, dan setengah karena kasihan.
"Dia sedang jatuh cinta," jawab Ka.
Si detektif langsung terlihat lega. Ka melihatnya meninggalkan kedai teh dan
menghilang dalam kegelapan malam.
Selanjutnya, Fazyl menanyakan tentang apa yang harus dilakukannya untuk menarik
perhatian Kadife. Ketika itulah dia menyebutkan bahwa seluruh Kars mengetahui
bahwa Ka mencintai Ypek, kakak Kadife. Semangat Fazyl sepertinya telah pupus dan
mustahil terangkat lagi, sehingga Ka menanyakan kepada dirinya sendiri apakah
cintanya kepada Ypek akan berakhir dengan nasib buruk yang sama. Sementara Fazyl
terisakisak, Ka dengan sendu mengulang nasihat yang diberikan oleh Ypek kepadanya: "Jadilah dirimu
sendiri." "Itu mustahil terjadi selama saya memiliki dua jiwa dalam tubuh saya," kata
Fazyl. "Terutama selama jiwa ateis Necip perlahan-lahan mengambil alih diri
saya. Selama bertahuntahun, saya menganggap teman-teman saya salah karena ikut
campur dalam politik, dan sekarang saya tiba-tiba ingin bergabung dengan Islamis
dan melakukan sesuatu untuk menentang kudeta militer ini. Tetapi, meskipun
begitu, saya rasa motivasi saya yang sesungguhnya adalah menarik perhatian
Kadife. Saya ketakutan karena hanya Kadife sajalah yang bersemayam di dalam
kepala saya. Bukan hanya karena saya tidak mengenal dia. Karena ini adalah bukti
bahwa saya seorang ateis tipikal: saya tidak memedulikan apa pun kecuali cinta
dan kebahagiaan." Ketika tangis Fazyl kembali pecah, Ka berpikir apakah dia sebaiknya memberi tahu
Fazyl bahwa alangkah bijaknya jika dia menyimpan sendiri perasaannya kepada
Kadife, karena dia akan mendapatkan masalah besar jika Lazuardi mendengar
tentang hal ini. Jika semua orang tahu tentang hubungannya sendiri dengan Ypek,
Ka berpikir, maka semua orang tentu juga tahu tentang hubungan Kadife dengan
Lazuardi. Dan, jika hal itu adalah sebuah rahasia umum, maka cinta Fazyl yang
menggebu-gebu akan menjadi tantangan langsung bagi hierarki Islamis di Kars.
"Kami miskin dan sepele," kata Fazyl dengan nada marah yang terdengar janggal
dalam suaranya. "Kehidupan merana kami tidak mendapatkan tempat dalam sejarah
manusia. Suatu hari nanti, semua orang yang ada di Kars akan mati dan pergi.
Tidak seorang pun akan mengingat kami; tidak seorang pun akan memedulikan apa
yang terjadi kepada kami. Kita menghabiskan waktu di sini dengan memperdebatkan
jilbab macam apa yang seharusnya dipakai para wanita, dan tidak seorang pun akan
memedulikan kami yang sedang tenggelam dalam pertikaian dangkal dan tolol. Saat
melihat begitu banyak orang di sekeliling saya menjalani kehidupan dengan cara
konyol dan kemudian lenyap tanpa jejak, saya merasa sangat marah karena saya
tahu bahwa tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan ini kecuali cinta. Dan,
saat memikirkan tentang hal itu, perasaan saya terhadap Kadife menjadi semakin
tak tertanggungkan lagi sangat menyakitkan saat saya menyadari bahwa satu-
satunya hal yang dapat membuat saya bahagia adalah menghabiskan sisa kehidupan
saya dengan Kadife dalam pelukan saya."
"Ya," tukas Ka dengan nada kasar. "Itu memang pikiran orang ateis."
Fazyl mulai menangis lagi. Ka mungkin tidak mengingat lagi apa yang kemudian
mereka bicarakan, atau dia memilih untuk tidak mencatatnya, karena tidak ada
catatan mengenai akhir percakan mereka dalam bukunya. Di layar televisi,
sekelompok anak-anak Amerika sedang bertingkah di depan kamera, menjatuhkan
kursi-kursi, lalu memukul-mukul akuarium, dan akhirnya mereka semua berguling-
guling di lantai sambil tertawa terbahak-bahak. Seperti semua orang di kedai teh
itu, Fazyl dan Ka melupakan masalah-masalah mereka dan duduk menertawakan anak-
anak Amerika yang menggila.
Ketika Zahide memasuki kedai teh, Ka dan Fazyl sedang menyaksikan sebuah truk
berjalan cepat menembus hutan. Zahide menyerahkan sepucuk amplop kuning kepada
Ka, dan Fazyl sama sekali tidak memedulikannya. Ka
membuka amplop itu dan membaca pesan di dalamnya: dari Ypek. Dia dan Kadife
meminta Ka menemui mereka dua puluh menit lagi di Toko Kue Hidup Baru. Ternyata,
Zahide mendengar bahwa Ka ada di Kedai Teh Mujur Bersaudara dari Saffet si
detektif. Saat Zahide pergi, Fazyl mengatakan, "Cucunya teman sekelas kami. Anak itu mabuk
judi. Jika ada sabung ayam atau sabung anjing, dia selalu bertaruh."
Ka menyerahkan kartu pelajar Fazyl yang diterimanya dari Saffet. "Mereka
menyuruhku pulang ke hotel untuk makan malam," katanya sambil berdiri.
"Apakah Bapak akan bertemu dengan Kadife?" tanya Fazyl dengan nada putus asa.
Ekspresi kasihan sekaligus jengkel di wajah Ka membuatnya tersipu malu. Saat Ka
keluar dari kedai teh, Fazyl berseru, "Saya ingin bunuh diri. Jika Bapak bertemu
dengannya, katakanlah, jika dia mencopot jilbabnya, saya akan bunuh diri. Tapi,
saya tidak akan melakukannya karena dia mencopot jilbabnya. Saya akan bunuh diri
untuk menjaga kehormatannya."
Untuk menghabiskan waktu sebelum janji temu selanjutnya, Ka memutuskan untuk
berjalan-jalan. Saat menyusuri Jalan Kanal, dia melihat kedai teh tempatnya
menulis "Jalan-Jalan dalam Mimpi" pagi itu. Baru ketika memasuki tempat itu, Ka
menyadari bahwa dirinya tidak ditakdirkan untuk menulis puisi berikutnya di
kedai teh yang setengah kosong namun penuh asap rokok itu, sehingga dia pun
bergegas melintasi bagian dalamnya dan keluar dari pintu belakang. Dia berjalan
di halaman yang berselimut salju, melompati tembok pendek yang nyaris tidak
terlihat karena hari telah gelap, dan melewati seekor anjing berisik yang juga
dilihatnya pagi itu saat menuruni tiga anak tangga menuju ruang bawah tanah.
Lampu remang-remang menerangi bagian dalam ruangan. Selain bau batu bara dan
kasur usang, aroma raki juga tercium di sana. Ka dapat melihat siluet beberapa
orang berkumpul di dekat tungku yang berdengung. Ketika melihat si agen MYT
berhidung bengkok minum raki bersama si wanita Georgia berpenyakit TBC, Ka sama
sekali tidak terkejut. Mereka pun sepertinya tidak terkejut saat melihat Ka.
Wanita itu mengenakan sebuah topi merah yang trendi. Dia menawarkan telur rebus
dan roti pitta, dan suaminya menuangkan segelas raki untuk Ka. Saat Ka mengupas
telurnya, si agen MYT berhidung bengkok mengatakan kepadanya bahwa ruang pemanas
ini bukan sekadar tempat terhangat di Kars tempat ini adalah Surga.
Puisi yang ditulis Ka selama keheningan yang mnyu-sul, tanpa sedikit pun jeda
atau katakata yang terlewat, akan dijuduli "Surga". Meskipun menempatkan puisi
ini di pucuk "Imajinasi" dalam kepingan saljunya, jauh dari inti, di bagian
paling atas, Ka tidak berpendapat bahwa Surga adalah masa depan yang kita
impikan: bagi Ka, Surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan.
Saat mengingat puisi ini bertahuntahun kemudian, rangkaian kenangan, satu per
satu, akan mendatangi Ka: liburan musim panas pada masa kanakkanaknya, hari-hari
yang dihabiskannya di rumah, saat-saat ketika dia dan kakaknya tidur di ranjang
orangtua mereka, berbagai gambar yang dibuatnya saat dia masih bocah, juga malam
saat dia berkencan dan memberanikan diri mencium seorang gadis yang ditemuinya
di pesta sekolah. Saat berjalan menuju Toko Kue Hidup Baru, benak Ka dipenuhi bayangan Ypek. Saat
dia tiba, Ypek dan Kadife telah menanti. Ypek tampak sangat cantik, dan Ka
merasa sangat bahagia saat melihatnya, hingga air mata
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggenangi pelupuk matanya (meskipun bisa saja reaksi ini ada hubungannya
dengan raki yang diminumnya saat perutnya kosong). Duduk di meja bersama dua
orang wanita cantik tidak sekadar membuatnya bahagia. Dia merasa bangga: dia
memikirkan para penjaga toko Turki yang kelelahan, yang menyapanya setiap pagi
dan malam, dan membayangkan apa yang akan mereka pikirkan seandainya mereka
melihat dirinya bersama dua orang wanita ini sekarang. Hari ini, tidak ada yang
menyaksikan dirinya; tidak seorang pun ada di tempat itu kecuali si penjaga toko
tua yang juga sedang bertugas saat direktur Institut Pendidikan ditembak di
sana. Tetapi, meskipun sedang duduk di Toko Kue Hidup Baru bersama Ypek dan
Kadife, Ka menganggap adegan ini sebagai foto yang diambil dari luar. Foto itu
memperlihatkan dirinya sedang duduk bersama dua orang wanita cantik meskipun
salah seorang di antaranya menyembunyikan rambutnya di balik jilbab.
Sementara Ka sangat tenang, kedua wanita itu sangat gelisah. Setelah Ka
menjelaskan bahwa Fazyl sudah memberinya laporan menyeluruh mengenai pertemuan
di Hotel Asia, Ypek angkat bicara.
"Lazuardi marah besar saat meninggalkan pertemuan itu. Dan, Kadife sekarang
menyesali apa yang dikatakannya di sana. Kami menyuruh Zahide pergi ke tempat
persembunyian Lazuardi, namun dia tidak ada di sana. Kami tak bisa menemukan
Lazuardi di mana pun." Ypek berbicara dengan gaya anak sulung yang berusaha
menolong adiknya yang sedang kesusahan, namun sejenak kemudian, jelas terlihat
bahwa dirinya sendiri juga sangat cemas.
"Jika kalian menemukannya, apakah yang hendak kalian tanyakan kepadanya?"
"Kami ingin memastikan mereka tidak menangkap dia; yang terpenting, kami harus
mengetahui apakah dia masih hidup," kata Ypek. Dia melirik Kadife, yang
sepertinya bisa menangis sewaktu-waktu. "Jadi, tolong cari dia dan tanyakanlah
kepadanya apakah ada yang ingin disampaikannya kepada kami. Katakanlah kepadanya
bahwa Kadife siap melakukan apa pun yang dimintanya."
"Kau jauh lebih mengenal Kars daripada aku."
"Sekarang sudah gelap, dan kami hanya dua orang wanita," kata Ypek. "Kau
tentunya sudah mengenal jalan-jalan di kota ini sekarang. Cobalah cari dia di
kedai teh Manusia Bulan dan Cahaya Suci kedua tempat itu sering didatangi para
siswa madrasah aliah dan mahasiswa Islamis. Keduanya dipenuhi polisi yang
menyamar sekarang ini, dan orang-orang di sana suka bergosip. Jika ada hal buruk
yang menimpa Lazuardi, mereka tentu akan membicarakannya di sana."
Kadife mengeluarkan sehelai sapu tangan dan mengusap hidungnya. Menurut Ka,
gadis itu masih berusaha menahan tangisnya.
"Bawakanlah kabar tentang Lazuardi kepada kami," kata Ypek. "Jika kami terlalu
lama di sini, ayah kami akan khawatir. Dia menantimu untuk makan malam."
"Jangan lupa juga untuk mencarinya di kedai teh di Jalan Bayrampa?a!" kata
Kadife sambil bangkit dari kursinya. Suaranya mulai pecah.
Bagi Ka, kedua wanita itu sepertinya ketakutan setengah mati dan dengan cepat
kehilangan harapan. Dia merasa tidak enak karena harus meninggalkan mereka dalam
keadaan seperti itu, sehingga dia mengantar mereka hingga setengah jalan menuju
Hotel Istana Salju. Meskipun dia merasa ketakutan akan kehilangan Ypek,
kesadaran bahwa dirinya telah bersekongkol dengan mereka, menolong mereka
melakukan sesuatu di belakang punggung ayah mereka, mengikatkan diri kepada
mereka berdua. Saat mereka berjalan, Ka membayangkan bahwa suatu hari nanti,
saat dia dan Ypek telah tinggal di Frankfurt dan Kadife datang berkunjung,
mereka bertiga akan mencoba kafe-kafe di Jalan Berliner, sesekali berhenti untuk
melihat etalase-etalase toko.
Tetapi, sejenak kemudian Ka mulai meragukan apakah dirinya akan berhasil dalam
menjalankan misi mereka. Dia tidak kesulitan menemukan Kedai Teh Manusia Bulan,
sebuah tempat yang sangat biasa dan membosankan, sehingga Ka langsung melupakan
alasannya berada di sana. Untuk waktu yang lama, dia duduk sendirian dan
menonton televisi. Ada beberapa orang pria yang sepertinya cukup muda untuk
menjadi mahasiswa, tetapi, meskipun Ka telah berusaha memancing percakapan dengan beberapa komentar tentang
pertandingan sepak bola yang sedang disiarkan di televisi, tidak seorang pun
menanggapinya. Trik yang digunakan Ka selanjutnya adalah mengeluarkan rokoknya,
bersiap-siap menawarkannya kepada siapa pun yang mendekatinya; dia bahkan
meletakkan geretannya di atas meja. Meskipun begitu, saat menyadari bahwa tidak
seorang pun, bahkan pria juling yang duduk di dekatnya, bersedia berbicara
dengannya, Ka segera berpindah ke Cahaya Suci, tempatnya menemukan beberapa
orang pemuda menonton pertandingan sepak bola yang sama di pesawat televisi
hitam putih. Seandainya Ka tidak menghampiri dinding untuk melihat potongan-
potongan berita dari koran dan jadwal semua pertandingan tim sepak bola Karsspor
musim itu, dia tidak akan ingat bahwa di kedai teh inilah, baru sehari
sebelumnya, dia dan Necip membicarakan tentang keberadaan Tuhan dan makna
kehidupan. Ketika membaca kembali puisi asal-asalan yang ditulis seseorang di
poster Karsspor, dan melihat bahwa seorang penyair lain telah menambahkan
beberapa baris di bawahnya, Ka mengeluarkan buku catatan dan menyalinnya:
Maka jelas sudah: ibu kami takkan kembali dari Surga,
Takkan pernah iagi kami merasakan pelukannya, Tapi, tak peduli betapa pukulan
ayah kami membuatnya menderita,
Dia masih menghangatkan hati dan mengembuskan kehidupan ke jiwa kami, Karena
itulah takdir kami, Dan bau tahi tempat kami tenggelam sangatlah busuknya sehingga Kota Kars pun
tampak mirip Surga. "Apakah Bapak sedang menulis puisi?" tanya seorang pemuda di dekatnya.
"Selamat," ujar Ka. "Katakanlah padaku, apa kau bisa membaca tulisan terbalik?"
"Tidak, Pak, saya bahkan tidak bisa membaca tulisan tegak. Saya kabur dari
sekolah. Jadi, saya tak pernah bisa membaca. Tapi, semua itu sudah saya anggap
sebagai masa lalu." "Siapakah yang menulis puisi baru di dinding ini?"
"Setengah dari para pemuda yang sering datang ke sini adalah penyair."
"Kenapa mereka tidak ada di sini sekarang?"
"Karena para prajurit memburu mereka semua. Sebagian dari mereka ada dalam
tahanan sekarang, dan sebagian lagi bersembunyi. Tanya saja orang-orang yang ada
di sana kalau Bapak mau. Mereka agen yang menyamar, jadi seharusnya mereka
tahu." Pemuda itu menunjuk dua orang pria muda yang sedang berdebat dengan penuh
semangat tentang pertandingan sepak bola.
Tetapi, alih-alih menghampiri mereka untuk menanyakan tentang para penyair yang
menghilang, Ka langsung menuju pintu. Dia senang saat melihat hujan salju
kembali turun. Dia yakin tidak akan mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan
Lazuardi di kedaikedai teh Jalan Bayrampa?a. Meskipun tenggelam dalam
melankolisme malam yang mulai menyelimuti kota, Ka masih merasa bahagia. Gambar-
gambar silih berganti bermunculan di depan matanya saat dia menanti kedatangan
puisinya yang selanjutnya: sebuah mimpi yang seolaholah nyata tentang bangunan-
bangunan semen yang tampak buruk, mobil-mobil yang terkubur salju, kedaikedai
teh, para tukang cukur dan pedagang sayuran yang tampak tersembunyi di balik
jendelajendela berlapis es, halaman tempat anjing-anjing telah menyalak serempak
sejak zaman kekuasaan Rusia, berbagai toko yang masing-masing menjual suku
cadang traktor, perangkat kereta kuda, atau keju. Ka tersentak oleh kepastian
bahwa semua detail kecil yang dilihatnya spanduk dukungan terhadap Partai Ibu
Pertiwi, tirai yang tertutup rapat di balik jendelajendela mungil, secarik
kertas yang ditempelkan oleh seseorang di jendela Apotek Pengetahuan sejak
berbulan-bulan yang lalu, mengumumkan bahwa "suntikan untuk penyakit flu Jepang"
akhirnya tersedia, poster antibunuh diri yang berwarna kuning akan menyertainya
sepanjang hidupnya. Di antara hal-hal kecil tersebut, muncullah bayangan
dengan kekuatan luar biasa: merasa yakin bahwa "semua hal di muka bumi ini
saling berhubungan, bahwa aku juga terhubung langsung dengan dunia yang dalam
dan indah ini", Ka menyimpulkan bahwa sebuah puisi baru sedang mendatanginya,
dan dia pun langsung memasuki salah satu kedai teh di Jalan Atatiirk. Tetapi,
puisi itu tak pernah datang. []
Seorang Pria Kafir di Kars
Ketakutan akan Ditembak TIDAK LAMA setelah Ka meninggalkan kedai teh dan menjejakkan kaki ke trotoar
yang berselimut salju, dia bertatapan muka dengan Muhtar. Pria itu sedang
berjalan tergesa-gesa dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat pertama kali
melihat Ka dari balik pusaran kepingankepingan salju besar, sepertinya Muhtar
tidak mengenalinya, dan selama sesaat Ka tergoda untuk menghindar. Kemudian,
mereka saling menyongsong dan berpelukan erat bagaikan sepasang sahabat yang
telah lama terpisah. "Apakah kau sudah menyampaikan pesanku kepada Ypek?"
"Ya." "Apa katanya" Ayo, mari kita duduk di kedai teh di sana itu, dan kau bisa
menceritakannya kepadaku." Meskipun mendapatkan dampak langsung dari kudeta,
pemukulan di kantor polisi, dan pembatalan pemilihan, Muhtar sepertinya tetap
bersemangat. "Jadi, menurutmu kenapa mereka tidak menahanku" Karena saat salju
mencair, dan jalan-jalan dibuka kembali, dan para prajurit dikirim kembali ke
barak mereka, tanggal pemilihan yang baru akan
segera ditetapkan itulah alasannya. Ingatlah untuk menyampaikan hal ini kepada
Vpek," ujarnya segera setelah mereka duduk.
Ka meyakinkan Muhtar bahwa dia akan menyampaikan pesan itu. Lalu, dia menanyakan
kabar mengenai Lazuardi. "Akulah yang pertama kali mengundangnya ke Kars. Awalnya, dia selalu
menghabiskan waktu bersamaku," Muhtar mengatakan dengan bangga. "Tapi, setelah
pers Istanbul mengecapnya teroris, dia tidak ingin menempatkan partai di posisi
yang sulit, sehingga sekarang, setiap kali dia mendatangi kota ini, kami tak
pernah saling berkomunikasi. Aku selalu menjadi orang terakhir yang mengetahui
rencananya. Apa kata Ypek saat kau menyampaikan pesanku?"
Ka memberi tahu Muhtar bahwa Ypek sepertinya tidak terlalu terkesan pada tawaran
supaya mereka rujuk kembali.
Tetapi, Muhtar mengatakan bahwa mantan istrinya adalah seorang wanita yang
teramat sensitif, tulus, dan penuh pengertian; dia menekankannya seolaholah
untuk menjelaskan perkataannya sebelumnya. Setelah itu, dia mengungkapkan
kembali penyesalannya karena telah memperlakukan Ypek dengan buruk selama dia
melewati krisis dalam kehidupannya sendiri. "Saat kau kembali ke Istanbul, kau
akan membawa puisi yang kuberikan kepadamu dan mengantarkannya sendiri kepada
Fahir, bukan?" tanyanya kemudian.
Ka berjanji, mengusahakan supaya ekspresi wajahnya menyerupai seorang paman yang
sedih dan berhati lembut. Rasa malu Ka telah digantikan oleh sesuatu yang
merupakan perpaduan antara keibaan dan kemuakan, ketika Muhtar mengeluarkan
surat kabar dari sakunya.
"Seandainya aku dirimu, aku tidak akan sesantai itu berkeliaran di jalanan,"
ujar Muhtar dengan nada senang.
Ka menyambar edisi esok hari dari Border City Gazette, yang tintanya belum lagi
mengering. Dia membaca sekilas judul-judulnya: "Revolusioner Teater Mengambil
Alih Kota di Tengah Badai Salju", "Hari-Hari Bahagia telah Kembali ke Kars",
"Pemilihan Ditunda", "Penduduk Kota Menyambut Gembira Revolusi" .... Kemudian, Ka
mencurahkan perhatiannya pada artikel yang ditunjukkan oleh Muhtar:
SEORANG PRIA KAFIR DI KARS PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG Ka, SI PENYAIR GADUNGAN
Apakah alasan ka memilih mengunjungi kota kita dalam masa susah seperti ini"
Kemarin, kami memperkenalkan seorang penyair gadungan kepada penduduk Kars. Hari
ini, kami melaporkan tentang kecurigaan para pembaca kami terhadap dirinya.
Kita telah mendengar banyak desas-desus mengenai penyair gadungan yang nyaris
berhasil menghancurkan penampilan menawan Kelompok Teater Sunay Zaim kemarin,
saat dia naik ke atas panggung di tengah-tengah perayaan AtatCirk dan Republik,
dan merenggut keceriaan dan kedamaian penonton dengan membombardir telinga
mereka melalui sebuah puisi yang menyedihkan dan tak bermakna. Meskipun
penduduk Kars pernah hidup berdampingan dalam harmoni yang membahagiakan, selama
bertahuntahun terakhir ini, kekuatan dari luar telah memicu per-pertikaian antar
saudara, dengan perseteruan antara Islamis dan sekularis, suku Kurdi, suku Turki
dan Azeri, yang memecah belah persatuan untuk alasan yang seolaholah benar, dan
membangkitkan kembali tuduhan lama mengenai pembantaian Armenia yang seharusnya
telah terkubur sejak lama berselang. Maka, wajar saja jika penduduk Kars
mempertanyakan apakah tokoh yang mencurigakan ini, yang melarikan diri dari
Turki bertahuntahun silam dan sekarang tinggal di Jerman, memilih untuk
memberikan penghormatan kepada kita dengan kehadirannya karena sesungguhnya
dirinya adalah seorang mata-mata. Benarkah upayanya untuk memicu sebuah insiden
di madrasah aliah kita berujung pada komentar yang dilontarkannya kepada para
pemuda yang bercakap-cakap dengannya dua hari yang lalu: "Aku seorang ateis. Aku
tidak memercayai Tuhan, tapi bukan berarti aku akan bunuh diri, karena
bagaimanapun, Tuhan semoga Tuhan mengampuninya tidak ada." Mungkinkah katakata
tersebut memang diucapkan olehnya" Dan, saat dia mengatakan bahwa "tugas seorang
intelektual adalah menentang kesucian", apa-kah dia sedang menyangkal keberadaan
Tu-han, dan, jika memang begitulah adanya, apakah berarti dia sedang
mengekspresikan pandangan Eropa mengenai kemerdekaan berpikir" Hanya karena
Jerman menyokong kehidupan Anda, bukan berarti Anda memiliki hak untuk menghina
keyakinan kami! Apakah karena
Anda malu menjadi orang Turki, maka Anda menyembunyikan nama asli Anda di balik
nama Ka, sebuah nama samaran palsu yang terkesan asing" Sejumlah besar pembaca
kami menelepon kantor kami untuk mengungkapkan bahwa mereka menyayangkan mengapa
pria kafir yang gemar meniru orang Eropa ini memutuskan untuk mengunjungi kota
kita dalam masa-masa susah ini, dan mereka merasa khawatir saat mengetahui bahwa
sang penyair telah berkeliaran di wilayah-wilayah kumuh kota kita, mengetuk
pintu rumah-rumah terbobrok untuk membangkitkan pemberontakan melawan negara
kita, dan bahkan, di depan mata kita, dia berani menjulurkan lidah untuk
menghina negara, juga AtatCirk yang agung, bapak Republik kita. Para pemuda Kars
tahu betul cara menghadapi para penista agama yang tidak mengakui keberadaan
Tuhan dan Nabi Muhammad! (SAS)
"Saat aku melewati kantor surat kabar dua puluh menit yang lalu, kedua putra
Serdar baru saja mulai mencetak edisi ini," ujar Muhtar, yang, alih-alih
menunjukkan simpati kepada Ka, justru tampak ceria, seolaholah baru saja
menyampaikan sebuah topik baru yang memancing tawa.
Setelah membaca artikel itu untuk kedua kalinya dan secara lebih saksama, Ka
merasa teramat sangat terasing.
Lama berselang, ketika pertama kali memimpikan masa depan yang cemerlang di
dunia sastra, Ka meramalkan bahwa inovasi modernis yang akan diperkenalkannya
pada puisi Turki (konsep itu sendiri sekarang sepertinya sangat berjiwa
nasionalis) akan memancing kritik keras
dan serangan pribadi terhadap dirinya. Tetap saja, dia mengasumsikan bahwa
reputasi sebagai anak nakal dalam dunia sastra setidaknya akan memunculkan aura
tertentu. Meskipun bertahuntahun kemudian namanya belum bisa dianggap besar, dia
tidak pernah menjadi korban kritikan pedas, dan sekarang dia merasa sakit hati
saat disebut sebagai seorang penyair "gadungan".
Setelah memperingatkan Ka supaya tidak berkeliaran di jalanan "seperti target
bergerak", Muhtar meninggalkannya sendirian, dan Ka diterpa ketakutan bahwa dia
akan ditembak saat itu juga. Dia buru-buru meninggalkan kedai teh dan
berkeliaran di tengah hujan salju, tenggelam dalam pikirannya sendiri; kepingan
kepingan salju besar yang melayang turun dari langit bergerak begitu cepat
sehingga tampak memesona.
Sewaktu muda, Ka sangat meyakini bahwa tidak ada yang lebih terhormat selain
mati akibat alasan politik intelektual, atau untuk membela apa yang telah
ditulisnya. Pada usia tiga puluhan, dia telah melihat begitu banyak sahabat dan
mantan teman sekelasnya disiksa karena mereka membela prinsip-prinsip yang
konyol, bahkan buruk; lalu, ada pula teman-temannya yang ditembak mati saat
berusaha merampok sebuah bank, atau yang mati karena ledakan bom yang dirakitnya
sendiri. Setelah melihat sendiri kekacauan yang timbul dari gagasan-gagasan
muluk-muluk ini dalam kehidupan nyata, Ka perlahan-lahan menjauhkan diri dari
teman-temannya. Dan, tahuntahun yang dihabiskannya sebagai buangan di Jerman
akibat keyakinan politik yang tak lagi dipegangnya akhirnya menghancurkan
hubungan antara politik dan pengorbanan pribadi. Setiap kali memungut surat
kabar Turki di Jerman dan membaca bahwa seorang penulis kolom ini
atau itu telah ditembak karena alasan politik, "kemungkinan besar" oleh Islamis
politis, Ka memberikan penghormatan kepada si korban sebagai seorang korban
pembunuhan, namun bukan karena kekaguman tertentu karena si korban terbunuh
sebagai seorang penulis. Di persimpangan antara Jalan Halitpa?a dan Jalan Kazim Karabekir, Ka melihat
sebatang pipa menyembul dari sebuah lubang berselimut es pada sebentuk tembok
tanpa jendela, dan dia membayangkannya sebagai moncong senjata yang dibidikkan
langsung ke arahnya. Dalam benaknya, dia melihat dirinya terbaring tanpa nyawa
di atas trotoar berselimut salju. Apakah yang akan ditulis pers Istanbul
mengenai dirinya" Kemungkinan besar, pemerintah daerah atau kantor cabang MYT
akan menutupnutupi dimensi politiknya; dan, jika pers Istanbul tidak mengetahui
bahwa dirinya adalah seorang penyair, mereka mungkin tidak akan memberitakan
insiden ini. Bahkan jika teman-temannya di dunia puisi dan di Republican
mengusahakan apa pun sepenuh daya mereka untuk menyoroti sisi politik dari
peristiwa ini (dan, siapakah yang akan menulis artikel itu" Fahir" Orhan"), nama
Ka di dunia sastra justru akan semakin memudar. Sama halnya, jika seseorang
berhasil menulis sebuah puisi yang menempatkan dirinya sebagai seorang penyair
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penting, kematiannya akan diumumkan di halaman sastra, dan tidak seorang pun
akan membacanya. Seandainya seorang jurnalis Jerman bernama Hans Hansen memang
ada, dan Ka betul-betul temannya, Frankfurter Rundschau mungkin akan memuat
berita mengenai pembunuhan atas dirinya, namun koran ini pun akan menjadi satu-
satunya media Barat yang melakukannya. Sejenak, Ka membayangkan bahwa puisi-
puisinya seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman dan dimuat di Azkent, namun seandainya begitu, dia masih sangat yakin
bahwa seandainya artikel di Border City Gazette ini memang memicu pembunuhan
atas dirinya, terjemahan puisinya tidak akan memiliki makna apa pun. Akhirnya,
yang paling membuatnya ketakutan adalah pikiran tentang kematian hanya
menyurutkan harapannya untuk hidup bahagia selama-lamanya bersaO ma Ypek di
Frankfurt. Sejumlah penulis yang terbunuh oleh peluru Islamis selama bertahuntahun terakhir
berkelebatan di depan mata Ka: yang pertama adalah seorang imam tua yang menjadi
ateis, yang berusaha membuktikan adanya "ketidak konsistenan" dalam Alquran
(mereka menembaknya dari belakang, di kepala); lalu, seorang penulis kolom
bereputasi baik, yang kecintaannya terhadap positivisme memicunya untuk menyebut
gadis berjilbab sebagai "kecoa" dalam sejumlah artikelnya (mereka membunuh pria
itu dan sopirnya menggunakan bom mobil pada pagi hari saat dia berangkat ke
tempat kerjanya); dan akhirnya, ada seorang jurnalis investigasi yang
berpendirian teguh, yang tanpa kenal lelah berusaha mengungkapkan hubungan
antara gerakan Islamis Turki dan Iran (saat sedang memutar kunci, dia terlontar
ke langit bersama mobilnya). Bahkan, meskipun Ka mengenang korban-korban ini
dengan penuh kesedihan, dia tahu bahwa mereka naif. Semua orang tahu bahwa pers
Istanbul, seperti halnya pers Barat, tidak terlalu tertarik pada para penulis
kolom garang ini, dan mereka tentu jauh lebih tidak akan tertarik pada jurnalis
yang ditembak di kepala di sebuah gang di suatu kota Anatolia terpencil gara-
gara alasan yang sama. Tetapi, Ka menyalahkan semua ini pada masyarakat yang
dengan mudahnya melupakan para penulis dan penyair mereka: untuk alasan ini,
menurutnya hal terbaik yang harus dilakukannya adalah menyendiri dan berusaha
mendapatkan sedikit kebahagiaan.
Setibanya di kantor Border City Gazette di Jalan Faikbey, Ka melihat koran edisi
keesokan harinya telah ditempelkan di balik jendela kaca yang baru dibersihkan
lapisan esnya. Dia sekali lagi membaca artikel mengenai dirinya sebelum
melangkahkan kaki ke dalam. Salah seorang dari kedua putra sibuk Serdar Bey,
yang lebih tua, sedang mengikat dengan tali rafia tumpukan surat kabar yang baru
keluar dari mesin cetak. Ka membuka topinya supaya mereka dapat melihat siapa
dirinya dan membersihkan salju yang menumpuk di bahu mantelnya.
"Ayah tidak ada di sini!" Ini diucapkan oleh anak yang lebih muda, yang baru
saja memasuki ruangan sambil membawa serbet yang digunakannya untuk mengelap
mesin cetak. "Bapak mau minum teh?"
"Siapakah yang menulis artikel tentangku dalam edisi besok?"
"Apakah ada artikel tentang Bapak di situ?" kata si anak yang lebih muda,
mengangkat alis. "Ya, ada," kata si anak yang lebih tua, menyunggingkan senyuman hangat dan ceria
untuk Ka. Pemuda itu berbibir tebal, sama seperti adiknya. "Ayahlah yang menulis
semua artikelnya hari ini."
"Jika kalian mengedarkan koran ini besok pagi ..." ujar Ka. Dia terdiam sejenak
untuk berpikir. "Dampaknya akan buruk untukku."
"Kenapa begitu?" tanya si anak yang lebih tua. Dia memiliki wajah yang lembut
dan memancarkan kebaikan, dan sorot mata yang polos dan tulus.
Ketika itu Ka menyadari bahwa jika dia berbicara kepada mereka dengan suara
lembut dan ramah, dan hanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek seperti
kepada anak-anak, dia akan bisa mengorek informasi dari mereka. Maka, tak lama
kemudian, kedua bersaudara itu telah membocorkan kepadanya bahwa hingga saat
itu, baru ada tiga orang yang telah membeli koran edisi besok: Muhtar Bey,
seorang bocah suruhan kantor cabang Partai Ibu Pertiwi, dan seorang pensiunan
guru sastra bernama Nuriye Hanym, yang selalu mampir ke kantor mereka setiap
malam. Biasanya, mereka akan mengirim masing-masing setumpuk koran ke Istanbul
dan Ankara, namun karena jalan-jalan masih ditutup, pengiriman edisi besok ini
harus ditunda hingga salju mencair. Kedua pemuda itu akan mengedarkan koran
mereka besok pagi dan, jika ayah mereka menghendakinya, tentu saja, mereka dapat
mencetak sebuah edisi baru untuk hari itu. Ayah mereka, kata mereka kepada Ka,
baru saja meninggalkan kantor dan mengatakan kepada mereka bahwa dia akan
kembali tepat waktu untuk makan malam. Ka menolak tawaran mereka untuk minum teh
bersama; dia membeli satu kopi surat kabar dan keluar menyongsong malam
mematikan di Kars. Entah bagaimana, kepolosan kedua pemuda itu menenangkan Ka. Saat berjalan
perlahan-lahan di antara kepingankepingan salju yang terus berjatuhan dari
langit, Ka mulai merasa malu apakah dia salah karena begitu ketakutan" Tetapi,
di sudut lain pikirannya, Ka tahu bahwa dia akan memiliki nasib yang sama dengan
begitu banyak penulis malang lain yang mati akibat berbagai macam luka tembakan
setelah menghadapi dilema yang serupa dan memilih, entah akibat harga diri atau
keberanian, untuk tidak berbuat apa-apa, atau begitu banyak penulis
yang kehilangan nyawa karena, menyangka telah mendapatkan bingkisan gula-gula
dari salah seorang penggemar berat, membuka dengan penuh semangat paket yang
diterimanya tanpa menyadari bahwa kiriman itu berisi bom. Sebagai contoh,
seorang penyair bernama Nurettin mengagumi segala sesuatu yang bersifat Eropa
namun tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan pada dunia politik hingga
sebuah surat kabar Islamis radikal memuat sesuatu yang telah ditulisnya
bertahuntahun silam sebuah esai tentang kesenian dan agama dan mencekalnya
dengan tuduhan telah "menghina keyakinan kita". Setelah dicap sebagai pengecut,
Nurettin kembali mengusung gagasan-gagasan lamanya dan dengan penuh semangat
menggalakkannya; pers sekuler yang dilindungi militer menyambut hangat katakata
Kemalisnya dan menggembar-gemborkan peranannya seolaholah dirinya adalah
pahlawan mereka. Hingga kemudian, pada suatu pagi, sebuah bom dalam kantong
plastik yang digantungkan di ban depan mobilnya menghancurkan tubuhnya
berkeping-keping hingga serombongan besar pelayat yang mengantarkan kepergiannya
harus berbaris mengiringi sebuah peti mati kosong. Ada pula versi kota kecil
dari kisah yang serupa seorang dokter materialis, dan seorang jurnalis sayap
kiri tua dari sebuah surat kabar daerah yang, ketika dihadapkan pada tuduhan
yang sama, menanggapi dengan retorika anti-agama yang pedas, hanya supaya "tidak
seorang pun dapat mengatakan bahwa kami ketakutan". Beberapa penulis mungkin
memiliki harapan hampa untuk menarik perhatian seluruh dunia, "seperti Salman
Rushdie"; tetapi, yang akan mendengarkan katakata mereka hanyalah para fanatik
muda penuh kemarahan di lingkungan mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki
waktu untuk membayangkan rencana ledakan bom seperti rekan-rekan mereka di kota,
atau bahkan sekadar rencana penembakan. Seperti yang sangat diketahui Ka dari
berita-berita kecil tanpa nyawa yang dilihatnya di halaman belakang koran-koran
Turki di perpustakaan kota Frankfurt, para Islamis lebih memilih menusuk orang-
orang kafir ini di gang-gang sepi atau mencekik mereka dengan tangan kosong.
Ka masih berusaha memikirkan cara menyelamatkan nyawa sekaligus kehormatannya
jika Border City Gazette memberinya kesempatan untuk membela diri ("Saya memang
seorang ateis, namun saya tidak pernah menghina sang Nabi?" "Saya tidak beragama
namun saya tidak pernah sekali pun melecehkan agama?") ketika tiba-tiba dia
mendengar seseorang berjalan cepat di belakangnya. Dia merasakan hawa dingin
menjalari tulang belakangnya saat dia berbalik dan melihat manajer perusahaan
bus yang ditemuinya sehari sebelumnya pada waktu yang sama di pondok Yang Mulia
Syekh Saadettin. Baru terpikir oleh Ka bahwa pria ini dapat menyampaikan
kesaksian bahwa dirinya bukanlah seorang ateis; seketika itu juga pikiran itu
membuatnya malu. Ka melanjutkan menyeret kakinya di sepanjang Jalan Ataturk, melambatkan langkah
saat melewati sudutsudut jalan yang berlapis es, dan berulang kali berhenti
untuk mengagumi bongkahan-bongkahan besar salju, pengulangan tanpa akhir dari
sebuah keajaiban kecil. Selama tahuntahun berikutnya, Ka akan sering mengenang
kembali pemandangan-pemandangan indah yang dilihatnya saat berkeliaran di jalan-
jalan berselimut salju di kota ini (ketiga tiga orang bocah menarik papan luncur
di seruas jalan sempit, jendelajendela Studio Foto Istana Cahaya memantulkan
lampu hijau dari satu-satunya lampu lalu
lintas di Kars) dan memikirkan mengapa dia mengusung gambar-gambar yang
menghadirkan kesedihan ini ke mana pun dirinya melangkah.
Ka melihat sebuah truk patroli tentara dan dua orang prajurit menjaga pintu toko
penjahit tua yang digunakan Sunay sebagai pangkalan operasinya. Ka mengatakan
bahwa dirinya ingin menemui Sunay kepada para prajurit yang berkumpul di depan
toko itu, berusaha menghindari terpaan salju, tapi mereka memperlakukannya
seperti seorang petani miskin yang datang dari kampung untuk menyampaikan petisi
kepada sang pemimpin. Ka berharap Sunay bisa mencegah peredaran surat kabar yang
memuat tentang dirinya. Jika ingin memahami amarah yang dengan cepat menguasai Ka, sebelumnya kita harus
mengerti tentang sengatan penolakan yang dirasakannya. Yang pertama tersembul
dalam benaknya adalah berlari menembus salju dan bersembunyi di hotel, namun
sebelum mencapai persimpangan, dia justru berbelok dan memasuki Kafe Persatuan.
Di tempat itu, dia menduduki meja di antara dinding dan tungku pemanas, lalu
menulis sebuah puisi yang nantinya dijuduli "Ditembak dan Mati". Seperti yang
kemudian ditulisnya dalam buku catatan, puisi ini adalah sebuah ekspresi
"ketakutan murni", sehingga dia meletakkannya di antara pucuk "Kenangan" dan
"Imajinasi" dalam kepingan salju berpucuk enamnya, dan kemudian memalingkan muka
dari ramalan ini. Segera setelah selesai menulis puisi ini, Ka meninggalkan Kafe Persatuan. Waktu
menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit ketika dia tiba di Hotel Istana
Salju. Dia berbaring telentang di ranjangnya, memandang kepingankepingan salju
yang melayang melintasi berkas-berkas cahaya lampu jalanan dan huruf "K" merah
jambu yang berkedip-kedip di jendela seberang jalan. Dia berusaha meredam
kepanikannya yang semakin besar dengan membayangkan kehidupan bahagia yangakan
dijalaninya bersama Ypek di Frankfurt. Sepuluh menit kemudian, dia dihinggapi
hasrat untuk menemui Ypek. Dia menuruni tangga dan menemukan seluruh keluarga
Ypek duduk mengelilingi meja makan bersama tamu mereka malam itu, dan hatinya
melambung saat dia melihat rambut Ypek berkilauan di tengah pancaran uap hangat
dari mangkuk sup yang diletakkan Zahide di hadapannya. Saat Ypek menyuruhnya
duduk di sampingnya, Ka merasa sangat bangga melihat semua orang di meja itu
mengetahui bahwa mereka saling jatuh cinta. Di hadapannya, duduklah Serdar Bey,
pemilik Border City Gazette.
Saat Serdar Bey mengulurkan tangan, senyumnya begitu ramah sehingga Ka mulai
meragukan apa yang telah dibaca oleh matanya sendiri di koran yang tersimpan di
sakunya. Setelah mengambil sup untuk dirinya sendiri, Ka meraih ke bawah meja
dan meletakkan tangannya di pangkuan Ypek; dia mendekatkan kepalanya ke kepala
Ypek, menghirup aroma dan menyelami kehadirannya, kemudian dia membisikkan
permintaan maaf karena sejauh ini dirinya belum juga mendapatkan kabar tentang
Lazuardi. Ka belum selesai berbicara ketika matanya bertemu dengan mata Kadife,
yang duduk di sebelah Serdar Bey. Kekaguman sekaligus kemarahan menerpanya saat
dia mengetahui bahwa meskipun tanpa berkata-kata, Ypek telah menyampaikan kabar
ini kepada Kadife. Meskipun benaknya dipenuhi pikiran tentang Serdar Bey, Ka berhasil menenangkan
perasaannya dan memberikan perhatian kepada Turgut Bey, yang sedang mengeluh
tentang pertemuan di Hotel Asia yang justru memperkeruh suasana. Turgut Bey lalu
menambahkan bahwa polisi mengetahui segala sesuatu tentang pertemuan itu. "Tapi
aku sama sekali tidak menyesal telah mengambil bagian dalam peristiwa bersejarah
ini," katanya. "Aku senang karena dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri
seberapa dalam derajat politik kita telah tersuruk baik tua maupun muda sama
saja, semuanya tak punya harapan. Aku menghadiri pertemuan itu untuk memprotes
kudeta, tapi sekarang kupikir tentara benar karena ingin menyingkirkan mereka
dari kancah politik. Mereka adalah aib bagi masyarakat, orang-orang paling
bodoh, mengenaskan, dan menyusahkan di kota ini. Aku senang karena tentara tidak
tinggal diam dan membiarkan kita menyerahkan masa depan kepada para sampah
masyarakat yang tak kenal malu ini. Aku akan mengatakannya sekali lagi, Kadife,
sebelum turut campur dalam politik nasional, pertimbangkanlah setiap tindakanmu
dengan baik." Saat Ka mengeluarkan edisi Border City Gazette miliknya, mereka telah duduk
bersama selama dua puluh menit, dan, meskipun televisi menyala di latar
belakang, ruangan itu terasa hening.
"Saya hendak mengatakannya sendiri," kata Serdar Bey. "Tapi saya tak bisa
memutuskan; saya pikir Anda akan salah paham."
"Serdar, Serdar, siapa yang memberimu perintah kali ini?" kata Turgut Bey. "Ka,
kau tidak adil terhadap tamu kita. Berikanlah koran itu kepadanya supaya dia
bisa melihat sendiri betapa buruk perbuatannya."
"Pertama-tama, saya harus menjelaskan bahwa saya tidak memercayai sepatah kata
pun yang telah saya tulis," kata Serdar Bey sambil menerima surat kabar dari Ka.
"Jika Anda mengira saya memercayainya, Anda menghancurkan hati saya. Saya mohon,
pahamilah bahwa ini bukan masalah pribadi. Tolonglah, Turgut Bey, bantu aku
menjelaskan mengapa seorang jurnalis di Kars bisa diperintah untuk menulis hal-
hal semacam ini." "Serdar selalu mendapatkan perintah untuk menjelek-jelekkan seseorang," Turgut
Bey menjelaskan. "Jadi, sebaiknya kita dengar artikel ini."
"Saya tidak memercayai sepatah kata pun di dalamnya," ulang Serdar Bey dengan
bangga. "Para pembaca kami juga tidak akan memercayainya. Karena itulah Anda
tidak perlu takut." Dia membacakan artikel itu dengan nada sarkastis, berhenti
di sana-sini untuk memberikan efek dramatis. "Anda lihat sendiri, tidak ada yang
perlu ditakuti!" ujarnya sambil tersenyum lebar.
"Apakah kau seorang ateis?" Turgut Bey bertanya kepada Ka.
"Bukan itu intinya, Ayah," tukas Ypek dengan jengkel. "Jika koran ini diedarkan,
mereka akan menembaknya di jalan besok."
"Omong kosong," kata Serdar Bey. "Aku meyakinkan kalian, tidak ada yang perlu
ditakuti. Para prajurit sudah merazia semua Islamis radikal dan reaksioner di
kota ini." Dia berpaling ke arah Ka. "Saya dapat melihat di mata Anda bahwa Anda
tidak tersinggung, dan Anda tahu betapa saya menghormati karya Anda dan juga
kekaguman saya kepada Anda sebagai manusia. Saya mohon, jangan kecam saya dengan
menerapkan standar Eropa yang tidak pernah sesuai untuk kita. Izinkanlah saya
mengatakan kepada Anda apa yang terjadi pada orang-orang tolol yang berkeliaran
di Kars, bertingkah seperti orang Eropa dan Turgut Bey juga tahu tentang hal ini
sebaik saya. Tiga hari, hanya itulah waktu yang diperlukan, tiga hari dan mereka akan mati,
pergi, ditembak, dilupakan. Pers Anatolia Timur sedang menghadapi masalah berat.
Rata-rata pembaca kami di Kars malas membaca koran. Nyaris semua pelanggan kami
adalah kantor-kantor pemerintahan. Jadi, tentu saja, kami akan menurunkan jenis
berita yang ingin dibaca oleh para pelanggan kami. Di seluruh dunia bahkan di
Amerika surat-surat kabar memuat berita yang sesuai dengan selera pembaca
mereka. Dan, jika pembaca Anda tidak menginginkan apa pun selain kebohongan dari
Anda, siapa memangnya yang mau menjual surat kabar yang memberitakan kebenaran"
Jika kebenaran dapat meningkatkan oplah surat kabar saya, mana mungkin saya
menolak untuk menuliskan kebenaran" Selain itu, polisi juga tidak akan
membiarkan saya mencetak kebenaran. Di Istanbul dan Ankara, kami memiliki
seratus lima puluh pembaca yang punya keterkaitan dengan Kars. Untuk memuaskan
mereka, kami selalu menggembar-gemborkan betapa kaya dan suksesnya mereka di
sana; kami membesar-besarkan segalanya, karena, jika kami tidak melakukannya,
mereka akan berhenti berlangganan. Dan, Anda tahu, mereka bahkan memercayai
kebohongan yang kami tulis tentang mereka. Tapi, itu masalah lain." Dia
tergelak. "Dan, siapakah yang memerintahkan kepadamu untuk menurunkan artikel ini" Ayo,
katakanlah kepadanya," kata Turgut Bey.
"Tuan rumahku! Seperti yang kau sendiri ketahui dengan baik, prinsip pertama
dari jurnalisme Barat adalah perlindungan terhadap narasumber."
"Anak-anak perempuanku sangat menyukai kehadiranmu sebagai tamu kami di sini,"
kata Turgut Bey. "Jika
kau mengedarkan koran ini besok, mereka tak akan pernah memaafkanmu. Jika
seorang fundamentalis sinting menembak dia, apa kau tidak akan merasa
bertanggung jawab?" "Apakah Anda setakut itu?" Serdar tersenyum sambil menoleh pada Ka. "Jika Anda
memang setakut itu, sebaiknya Anda menjauhkan diri dari jalan besok."
"Akan lebih baik jika koran itu yang dilenyapkan daripada Ka harus melenyapkan
diri," kata Turgut Bey. "Sudahlah, jangan edarkan edisi ini."
"Itu akan membuat para pelangganku marah."
"Baiklah, kalau begitu," kata Turgut Bey. Dia mendapatkan sebuah gagasan.
"Berikan saja edisi ini kepada siapa pun yang memesan artikel itu. Sedangkan
untuk pembaca lainnya, kusarankan supaya kau menyingkirkan artikel bermasalah
itu dan mencetak sebuah edisi baru." Ypek dan Kadife juga menganggap ini adalah
solusi terbaik. "Aku tersanjung melihat surat kabar saya dianggap serius," kata Serdar Bey.
"Tapi, siapakah yang akan membayar ongkos cetakan baru ini" Itulah yang sekarang
harus kalian katakan kepadaku."
"Ayah akan membawa Bapak dan kedua anak Bapak makan malam di Restoran Pastura
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hijau," kata Ypek. "Aku menerimanya, kalau kau juga ikut," kata Serdar Bey. "Tapi, sebaiknya kita
menunggu sampai jalan-jalan dibuka dan kelompok pemain sandiwara itu pergi dari
sini! Kadife juga harus ikut. Kadife Hanym, aku berpikir, apa kau bisa
menolongku menulis artikel baru untuk menggantikan artikel yang kita singkirkan
itu" Jika kau bisa mengatakan sesuatu tentang kudeta ini, coup de theatre ini,
aku yakin para pembaca kami akan sangat senang."
"Tidak, dia tidak bisa. Jangan pernah memikirkannya," kata Turgut Bey. "Apa kau
tidak mengenal putriku?"
"Kadife Hanym, apakah menurut Anda angka bunuh diri di Kars akan meningkat
akibat gejolak kudeta teater ini" Saya yakin para pembaca kami ingin mendengar
pandangan Anda tentang hal ini terutama karena mereka tahu bahwa Anda menentang
tindakan bunuh diri gadis-gadis muslim ini."
"Aku tidak lagi menentang tindakan bunuh diri!"
"Tapi, tidakkah dengan begitu kau menjadi ateis?" tanya Serdar Bey. Meskipun dia
mungkin berharap ucapannya ini akan membelokkan arah diskusi mereka, dia cukup
sadar untuk melihat bahwa semua orang di meja itu memelototinya, sehingga dia
pun mengalah. "Baiklah, kalau begitu, aku berjanji, aku tidak akan mengedarkan
edisi ini." "Apa kau akan mencetak edisi baru?" "Segera setelah aku meninggalkan meja ini,
sebelum aku pulang."
"Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak, kalu begitu," kata Ypek.
Keheningan panjang dan janggal menyusul. Ka menganggapnya sangat menenangkan:
untuk pertama kalinya sejak bertahuntahun, dia merasa sebagai bagian dari sebuah
keluarga. Meskipun terdapat kesulitan dan tanggung jawab yang menyertai kata
"keluarga", dia sekarang dapat merasakan kebahagiaan yang timbul dari sebuah
kebersamaan, dan dia menyesal karena tidak mengetahui lebih banyak tentang hal
ini dalam kehidupannya. Dapatkah dia mendapatkan kebahagiaan yang bertahan lama
bersama Ypek" Tetapi, kebahagiaan bukanlah yang diburunya Ka menyadari betul hal
ini setelah menghabiskan tiga gelas raki; dia bahkan berani mengatakan bahwa
dirinya lebih memilih untuk tidak bahagia. Yang terpenting adalah membagi
keputusasaan, menciptakan sebuah sarang mungil tempat sepasang manusia dapat
hidup bersama, memisahkan diri dari dunia. Sekarang, Ka berpikir bahwa dirinya
dan Ypek dapat menciptakan ruang semacam itu, hanya dengan bercinta selama
berbulan-bulan. Duduk di meja bersama dua orang wanita cantik ini, mengetahui
bahwa dia telah bercinta dengan salah seorang di antaranya siang itu, melihat
kelembutan kulit mereka, mengetahui bahwa dirinya tidak akan sendirian malam itu
.... Saat gairahnya menggelegak, Ka membiarO kan dirinya meyakini bahwa surat
kabar itu tidak akan diedarkan, dan semangatnya pun melambung tinggi.
Kebahagiaan Ka menumpulkan berbagai macam cerita dan desas-desus yang kemudian
didengarnya. Kabar buruk tak lagi merisaukan hatinya; semua itu terdengar
seperti bagian menegangkan dalam sebuah epik kuno. Salah satu bocah yang bekerja
di dapur memberi tahu Zahide bahwa sebagian tahanan telah dibawa ke stadion
sepak bola. Di tengah-tengah salju yang menumpuk hingga menutupi setengah tiang
gawang, para tahanan itu dijemur seharian supaya mereka sakit atau mungkin
bahkan tewas; katanya, beberapa di antara mereka dibawa ke ruang ganti dan
diberondong dengan peluru untuk menakut-nakuti para tahanan lainnya. Ada pula
laporan dari saksi mata, yang mungkin dibesar-besarkan, tentang teror yang
disebarkan oleh Z Demirkol dan kawan-kawannya sepanjang hari di seluruh kota.
Mereka menjarah Asosiasi Mesopotamia, sebuah yayasan yang didirikan oleh
sejumlah pemuda nasionalis Kurdi untuk memajukan "kisah rakyat dan sastra".
Kebetulan, tidak seorang pun anggota asosiasi itu ada di tempat ketika itu,
sehingga mereka menculik pria tua yang bertugas membuat teh di kantor itu seseorang yang tidak
tahu apa-apa tentang politik dan memukulinya. Lalu, terdapat tiga orang pria dua
di antaranya adalah tukang cukur, yang ketiga seorang pengangguran yang dituduh
terlibat dalam sebuah insiden enam bulan sebelumnya, saat sekelompok orang yang
tidak dikenal menumpahkan air limbah berwarna ke sekujur patung Ataturk yang
berdiri di depan Pangkalan Kerja Atatiirk. Meskipun ketiga pria ini telah
menjalani penyelidikan berkaitan dengan kejahatan tersebut, mereka tak pernah
dipenjarakan. Tetapi, setelah menjalani pemukulan selama semalaman, mereka
mengaku bertanggung jawab terhadap sejumlah insiden anti-Ataturk lainnya di kota
itu: memalu hidung patung yang berdiri di depan taman Sekolah Perdagangan dan
Industri, menulis coretan mesum di poster yang menempel di dinding Kafe Lima
Sekawan, bergabung dengan komplotan kapak yang menghancurkan patung di luar
kantor pemerintahan. Tidak lama setelah kudeta berlangsung, Z Demirkol dan para
pengikutnya menembak dan membunuh dua orang pemuda Kurdi yang tertangkap basah
oleh mereka sedang menulis slogan-slogan di tembok Jalan Halitpa?a. Setelah
membekuk pemuda kedua, mereka memukulinya hingga pingsan. Lalu, ada pula seorang
pemuda pengangguran yang mereka bawa ke madrasah aliah untuk membersihkan
grafiti di dinding. Saat pemuda itu mencoba melarikan diri, mereka menembak
kakinya. Menurut sejumlah informan yang berbeda, orang-orang yang mencela para
prajurit dan aktor, dan menyebarkan rumor tak berdasar mengenai mereka di
kedaikedai teh di kota seluruhnya telah ditangkap. Tetapi, seperti yang wajar
terjadi dalam keadaan semencekam ini, banyak tersebar desas-desus dan
kabar yang dibesar-besarkan, dari para pemuda Kurdi yang mati dengan bom di
tangan mereka, hingga gadis-gadis berjilbab yang bunuh diri untuk memprotes
kudeta, hingga truk berisi dinamit yang dihentikan saat mendekati Kantor Polisi
Ynonii. Meskipun Ka tiba-tiba memerhatikan saat mereka menyebut-nyebut tentang truk yang
memuat bahan peledak (dia mendengar orang lain membicarakan tentang serangan bom
bunuh diri sebelumnya), dia nyaris tidak melakukan apa-apa lagi malam itu
kecuali menikmati setiap saat yang dihabiskannya dengan duduk penuh kedamaian di
samping Ypek. Lama kemudian, saat Serdar Bey berdiri dan bersiap-siap pergi, dan Turgut Bey
beserta kedua putrinya berdiri untuk melepas kepergiannya sebelum masuk ke kamar
mereka masing-masing, terpikir oleh Ka bahwa Ypek akan ikut dengannya ke
kamarnya. Tetapi, dia tidak siap menghadapi bayangan yang mungkin akan menutupi
kebahagiaannya jika Ypek menolak, sehingga dia pun naik tanpa sedikit pun
menunjukkan apa yang diinginkannya.[]
Kadife Tidak Akan Pernah Menyetujuinya
Sang Mediator KA BERDIRI di jendela kamarnya, mengisap rokok. Hujan salju telah berhenti, dan
akhirnya, ketika cahaya pucat lampu-lampu jalanan berpendar di halaman sunyi
yang berselimut salju, kebekuan pemandangan mendatangkan kedamaian baginya.
Tetapi, kedamaian yang dirasakannya lebih berhubungan dengan cinta daripada
dengan keindahan salju. Dia begitu bahagia sehingga bahkan dapat mengakui bahwa
kedamaiannya sebagian berasal dari perasaan hebat yang dimilikinya karena dia
menyadari bahwa dirinya berasal dari Istanbul dan Frankfurt.
Ketukan terdengar di pintu. Saat membukanya, Ka terpana melihat Ypek berdiri di
hadapannya. "Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tak bisa tidur," kata Ypek sambil
melangkah memasuki kamar Ka.
Seketika itu juga, Ka mengetahui bahwa mereka akan bercinta hingga pagi tiba,
bahkan meskipun Turgut Bey tidur di bawah atap yang sama. Kekagetan yang
mendalam menguasai Ka karena dirinya dapat memeluk Ypek erat-erat tanpa harus
melalui siksaan menunggu. Malam panjang yang mereka habiskan dengan bercinta
menghanyutkan Ka ke sebuah tempat yang jauh melampaui kebahagiaan, atau
setidaknya apa yang dianggapnya sebagai kebahagiaan. Dia terlempar dari waktu,
dilumpuhkan oleh gairah; satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia telah
menghabiskan kehidupannya selama ini tanpa menemukan surga ini. Kedamaian yang
dirasakannya jauh melampaui apa pun yang pernah dialaminya. Dia melupakan
fantasi-fantasi seksual dan gambar-gambar porno dari majalah yang senantiasa
tersimpan di sudut belakang benaknya. Saat bercinta bersama Ypek, Ka dapat
mendengar musik mengalun di dalam dirinya, musik yang belum pernah didengarnya,
dan dengan mengikuti harmoninya, dia melakukan apa yang harus dilakukannya. Dari
waktu ke waktu, dia tertidur dan memimpikan liburan-liburan musim panas
bermandikan cahaya; dia berlarian bebas seolaholah dirinya abadi; pesawat yang
ditumpanginya akan jatuh dari langit, namun dia masih menikmati sebutir apel.
Sebutir apel yang tidak akan pernah dihabiskannya, sebutir apel yang akan
dinikmatinya selama-lamanya. Lalu, dia terbangun dan mencium aroma apel di kulit
Ypek. Dipandu oleh cahaya bulan dan pendar kuning temaram lampu-lampu jalanan,
Ka mendekatkan matanya ke mata Ypek dan berusaha melihat ke dalamnya. Saat
melihat bahwa Ypek terjaga dan secara diamdiam memandangnya, Ka membayangkan
mereka berdua sebagai sepasang ikan paus yang sedang berenang perlahan-lahan di
perairan dangkal. Baru ketika itulah dia menyadari bahwa mereka saling
berpegangan tangan. Tepat ketika itu, saat mereka berdua terjaga dan mendapati diri mereka saling
memandang lekat-lekat, Ypek mengatakan, "Aku akan berbicara dengan ayahku. Aku
akan ikut denganmu ke Jerman."
Lama sesudah itu, Ka tak kunjung dapat memejamkan mata. Alih-alih, dia melihat
kehidupannya terbentang di hadapannya, bagaikan sebuah film bahagia.
DI SUATU tempat di kota, sebuah ledakan terjadi. Ledakan itu cukup keras
sehingga ranjang, kamar, dan hotel berguncang. Mereka mendengar rentetan
tembakan senapan mesin di kejauhan. Kebisingan itu teredam oleh salju yang masih
menyelimuti seluruh Kars. Mereka saling berpelukan dan menunggu dalam
keheningan. Ketika mereka terbangun lagi, ledakan sudah tidak terdengar. Ka dua kali bangkit
dari ranjang yang hangat dan mengisap rokok, menikmati angin dingin yang masuk
melalui jendela terbuka, menyejukkan tubuhnya yang bersimbah peluh. Tidak satu
pun puisi menghampiri benaknya. Dia tenggelam dalam kebahagiaan yang jauh lebih
besar daripada yang pernah dirasakannya.
Saat Ka terbangun oleh ketukan pintu pada pagi harinya, Ypek sudah pergi dari
sisinya. Dia tidak tahu pukul berapa ketika itu, atau apa saja yang sudah
dibicarakannya dengan Ypek, atau pukul berapa baku tembak berakhir.
Cavit, sang resepsionis, berdiri di depan pintu. Dia datang untuk memberi tahu
Ka bahwa seorang petugas menantinya di bawah untuk menyampaikan undangan dari
Sunay Zaim: Ka diperintahkan untuk melapor ke markas pada saat itu juga; si
petugas menunggu untuk mengawalnya. Ka menyempatkan diri untuk bercukur sebelum
turun. Jalanan sunyi di Kars tampak lebih indah, lebih menawan, daripada pagi sehari
sebelumnya. Di Jalan Atatiirk, Ka melihat sebuah rumah dengan kaca jendela,
pintu hancur lebur, dan dinding depan dipenuhi lubang peluru.
Di toko penjahit, Sunay mengatakan kepadanya bahwa telah terjadi sebuah
percobaan bom bunuh diri. "Pria malang itu memorak-porandakan rumahnya sendiri,
dan alih-alih datang ke sini, dia menyerang sebuah bangunan di atas bukit,"
jelasnya. "Dia meledakkan dirinya sendiri hingga hancur menjadi bubur, membuat
kami tidak dapat menentukan apakah dia mati untuk membela Islam atau PKK."
Ka terhenyak oleh gaya kekanak-kanakan yang ditampilkan oleh seorang aktor yang
menganggap dirinya sendiri hebat ini. Wajah Sunay tercukur bersih. Penampilannya
tampak segar, tulus, dan penuh semangat.
"Kami sudah menangkap Lazuardi," katanya. Dia menatap tajam mata Ka.
Ka berusaha sekeras-kerasnya menahan kegembiraannya saat mendengar kabar ini,
namun Sunay tidak mudah dikelabui.
"Dia memang penjahat," kata Sunay. "Jelas sudah bahwa dia adalah dalang di balik
pembunuhan direktur Institut Pendidikan. Dia menggembar-gemborkan kepada semua
orang bahwa dia menentang tindakan bunuh diri, sementara dia sendiri sibuk
membentuk para remaja miskin berotak udang menjadi pelaku bom bunuh diri. MYT
yakin dia datang ke sini membawa cukup banyak bahan peledak yang bisa mengubah
seluruh Kota Kars menjadi asap. Pada malam revolusi, dia berhasil meloloskan
diri dari orang-orang yang kami tugaskan mengintai dirinya. Tidak seorang pun
tahu di mana dia bersembunyi. Tentu saja, kautahu banyak tentang pertemuan
konyol yang terjadi kemarin di Hotel Asia."
Karena mereka seolaholah berada di atas panggung, memerankan sebuah adegan, Ka
mengangguk dengan gaya dramatis untuk menanggapi perkataan Sunay.
"Tujuan kehidupanku bukanlah menghukum makhluk-makhluk jahanam ini, para
reaksioner dan teroris yang berkeliaran di sekitar kita ini," kata Sunay. "Ada
sebuah drama yang sudah kudambakan untuk kuperankan selama bertahuntahun; itulah
alasan sesungguhnya mengapa aku berada di sini. Ada seorang penulis Inggrisyang
dikenal dengan nama Thomas Kyd. Menurut cerita yang beredar, Shakespeare mencuri
Hamlet darinya. Aku menemukan kecurangan yang lain, sebuah drama yang telah
terlupakan dari Kyd, berjudul The Spanish Tragedy. Ceritanya tentang pertikaian
berdarah dalam suatu keluarga, sebuah tragedi yang berakhir dengan tindakan
bunuh diri. Aku dan Funda telah menunggu kesempatan seperti ini selama lima
belas tahun." Ketika Funda Eser memasuki ruangan, memamerkan sebuah penahan rokok bertangkai
panjang elegan, Ka menyambutnya dengan membungkukkan badan secara berlebihan,
sebuah tindakan yang jelas-jelas membuat wanita itu senang. Tanpa merasa
terganggu oleh kehadiran Ka, kedua aktor itu langsung mendiskusikan drama yang
dimaksud oleh Sunay. "Kami ingin orang-orang kita menikmati jalannya drama ini, merasa terhibur, dan,
sejauh ini, aku sudah menyederhanakan alur ceritanya," kata Sunay. "Kami
berencana mementaskannya besok di Teater Nasional, di depan banyak penonton,
dan, tentu saja, televisi akan menyiarkannya secara langsung sehingga seluruh
kota dapat melihatnya."
"Saya juga sangat ingin melihatnya," kata Ka.
"Kami ingin Kadife berperan di dalamnya. Funda akan
berperan sebagai saingannya yang jahat. Kadife akan muncul di panggung memakai
jilbabnya. Lalu, untuk menentang adat istiadat tolol yang memicu pertikaian
berdarah di antara keluarganya, dia mencopot jilbabnya di depan semua orang."
Dengan lagak teatrikal, Sunay mencopot jilbab khayalan di kepalanya dan berpura-
pura merobek-robeknya. "Ini hanya akan memunculkan masalah lain!" sergah
Ka. "Jangan khawatir tidak akan ada masalah lain. Jangan lupa, sekarang tentara
berkuasa di kota ini."
"Dan, tentu saja, Kadife tidak akan menyetujuinya," lanjut Ka.
"Kami tahu Kadife mencintai Lazuardi," ujar Sunay. "Jika Kadife mau mencopot
jilbabnya, aku akan langsung melepaskan Lazuardi. Mereka bisa melarikan diri
bersama ke sebuah negeri asing dan hidup bahagia selama-lamanya."
Wajah Funda Eser berseri-seri, seperti seorang bibi baik hati dan penyayang
dalam drama Turki, yang tersenyum saat menyaksikan sepasang kekasih berangkat
untuk mencari kebahagiaan di negeri antah berantah. Sejenak, Ka membayangkan
kisah kasihnya sendiri bersama Ypek akan menghadirkan senyuman yang sama di
bibir Funda Eser. "Saya tetap yakin bahwa Kadife tidak akan mau mencopot jilbabnya dalam siaran
langsung televisi," kata Ka.
"Dalam situasi ini, kami menganggap hanya dirimu seoranglah yang mampu membujuk
Kadife supaya mau melakukannya," kata Sunay. "Menawar kami sama saja menawar
setan terbesar di dunia. Dia tahu bahwa kau
telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk memusingkan gadis-gadis berjilbab
itu. Dan, kau mencintai kakaknya."
"Masalahnya bukan hanya Kadife. Anda juga harus membujuk Lazuardi. Tapi, Kadife
harus didekati terlebih dahulu," kata Ka, masih merasakan sengatan akibat ucapan
terakhir Sunay yang terdengar brutal di telinganya.
"Kau boleh melakukannya dengan cara apa pun yang kausukai," kata Sunay. "Aku
memberimu wewenang untuk melakukan apa pun yang perlu kaulakukan, dan satu truk
tentara akan mengawalmu. Kau mendapatkan izin untuk bernegosiasi atas namaku."
Keheningan menyusul, dan Sunay melihat keengganan Ka.
"Saya tidak ingin terlibat dalam hal ini," akhirnya Ka berkata.
"Dan, mengapa begitu?"
"Yah, bisa jadi karena saya takut. Saya sedang sangat bahagia sekarang ini. Saya
tidak mau diri saya jadi target bagi Islamis. Ketika mereka melihat Kadife
mencopot jilbabnya, para pelajar itu akan langsung beranggapan bahwa sayalah
ateis yang mengatur pertunjukan. Dan, kalaupun saya berhasil meloloskan diri ke
Jerman, mereka akan melacak saya seseorang akan menembak saya saat saya berjalan
sendirian pada suatu malam."
"Mereka akan menembakku terlebih dahulu," kata Sunay dengan bangga. "Tapi, aku
mengagumi keberanian-mu dalam mengakui bahwa kau ketakutan. Akulah pengecut
terbesar di antara semua pengecut kumohon, percayalah. Hanya orang pengecut yang
bisa bertahan di negara ini. Tapi, tidak ada seorang pun pengecut di dunia ini
yang memimpikan tentang hari saat dia mendapati dirinya memiliki keberanian
besar tidakkah kau setuju?"
"Saya sedang sangat bahagia sekarang ini," ulang Ka. "Saya tidak berminat
menjadi pahlawan. Mimpimimpi heroik adalah tempat berpaling bagi mereka yang
tidak bahagia. Lagi pula, jika orang-orang seperti kita menjadi heroik, artinya
kita harus saling membunuh atau melakukan bunuh diri."
"Ya," Sunay bersikeras, "tapi tidak adakah suara lirih di suatu ruang di dalam
dirimu yang mengingatkanmu bahwa kebahagiaanmu ditakdirkan untuk tidak
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung terlalu lama?"
"Kenapa kau suka sekali menakut-nakuti tamu kita?" kata Funda Eser.
"Tidak ada kebahagiaan yang berlangsung terlalu lama, saya tahu itu," kata Ka
dengan penuh perenungan. "Tapi, saya tidak berminat melakukan tindakan heroik
yang akan menyebabkan saya terbunuh hanya karena saya mengetahui bahwa mungkin
saya akan menjadi tidak bahagia lagi entah kapan pada masa depan."
"Jika kau tidak mau terlibat, mereka tidak akan menunggu hingga kau tiba di
Jerman sebelum membunuhmu. Mereka akan membunuhmu di sini. Apa kau sudah melihat
koran hari ini?" "Apakah di situ dikatakan bahwa saya akan terbunuh hari ini?" Ka tersenyum.
Sunay mengeluarkan Border City Gazette, membuka halaman terakhir, dan
menunjukkan artikel yang telah dibaca Ka pada malam sebelumnya.
"Seorang pria kafir di Kars!" baca Funda Eser dengan suara menggelegar.
"Itu surat kabar yang dicetak pertama kemarin," ujar Ka dengan nada santai.
"Malam harinya, Serdar Bey memutuskan untuk meralat kesalahan dalam artikel ini
dan mencetak sebuah edisi baru."
"Tidak, dia tak bisa melakukannya. Edisi inilah yang beredar pagi ini. Jangan
pernah memegang janji seorang jurnalis begitu saja. Tapi, kami akan
melindungimu. Para fundamentalis itu tidak ada apa-apanya di hadapan militer,
jadi tentu saja mereka tidak akan menembak seorang mata-mata Barat begitu saja."
"Andakah yang menyuruh Serdar menulis artikel ini?" tanya Ka.
Mengangkat alisnya, mengatupkan bibirnya, Sunay memelototi Ka, memainkan peran
sebagai seorang pria yang kehormatannya terusik, namun Ka masih dapat menangkap
jejak seorang politikus lihai di sosoknya.
"Jika Anda bersedia melindungi saya, saya bersedia menjadi mediator Anda," ujar
Ka. Sunay berjanji dan, masih dalam gaya revolusioner, memeluk Ka, menyelamatinya,
dan meyakinkannya bahwa dua orang pria yang diberi tugas untuk mengawal Ka tidak
akan pergi dari sisinya. "Jika diperlukan, mereka bahkan akan melindungimu dari dirimu sendiri!" serunya.
Mereka duduk untuk membicarakan detail-detail misi Ka, masing-masing menghirup
secangkir teh wangi untuk menyegarkan pikiran. Funda Eser senantiasa tersenyum,
seolaholah seorang aktris brilian ternama baru saja bergabung dengan mereka.
Selama beberapa waktu, dia membicarakan kekuatan The Spanish Tragedy, namun
pikiran Ka berada di tempat lain: dia sedang memandang berkas-berkas cahaya
putih memukau yang masuk melalui jendelajendela tinggi di toko penjahit itu.
Impian Ka berakhir seketika saat, setelah meninggalkan toko, dia bertemu dengan
dua orang pria gagah bersenjata yang akan menjadi pengawalnya. Semula dia
berharap salah satu dari mereka setidaknya seorang detektif berpakaian preman
dengan penampilan yang wajar. Bertahuntahun sebelumnya, seorang penulis terkenal
tampil di televisi dan mengatakan bahwa penduduk Turki adalah orang-orang bodoh,
dan bahwa dia tidak memercayai Islam. Ka pernah melihatnya bersama dua orang
pengawal yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melindunginya hingga akhir
hayatnya: mereka bersikap sangat sopan dan mengenakan pakaian bergaya. Mereka
bersikeras melakukan pelayanan yang menurut Ka memang pantas diberikan kepada
penulis-penulis radikal terkenal: mereka tidak hanya membawakan tas pria itu,
tetapi juga membukakan pintu untuknya, bahkan mengapitnya saat sedang menaiki
tangga untuk melindunginya dari penggemar ataupun musuh yang mungkin
melewatinya. Para prajurit yang duduk di samping Ka di truk tentara sama sekali
berbeda: mereka bertingkah seperti sipir, bukan pelindung.
Saat Ka berjalan ke hotel, dia merasa sama bahagianya seperti pagi saat dia
terbangun. Bagaimanapun, meskipun mendambakan untuk dapat melihat Ypek pada saat
itu juga, Ka cemas karena harus menyembunyikan sesuatu darinya. Dia takut Ypek
akan menganggap apa yang dilakukannya sebagai pengkhianatan, dan, meskipun hal
ini tampak sepele di tengah rencana besar yang melingkupinya, Ka masih khawatir
hal ini dapat melenyapkan cinta mereka. Akan lebih baik, pikirnya, jika dia
dapat mencari cara untuk menemui Kadife terlebih dahulu. Tapi, dia justru
berpapasan dengan Ypek di lobi.
"Kau jauh lebih cantik daripada yang kuingat!" ujar Ka kepada Ypek, terpesona.
"Sunay mengundangku untuk
sebuah pertemuan. Dia ingin aku menjadi mediatornya." "Untuk apa?"
"Mereka menangkap Lazuardi. Kejadiannya kemarin malam," Ka menjelaskan. "Kenapa
kau melihatku seperti itu" Kita tidak berada dalam bahaya. Ya, Kadife akan
sedih, tapi menurut pandanganku, ini justru melegakan, percayalah padaku."
Secepat mungkin, Ka mengulang perkataan Sunay kepadanya, menjelaskan keributan
yang mereka dengar malam itu, baku senjata, semuanya. "Jangan khawatir, aku akan
mengurus semuanya, tidak akan ada yang mimisan sekalipun gara-gara masalah ini.
Kita akan pergi ke Frankfurt, kita akan berbahagia. Apa kau sudah bicara dengan
ayahmu?" Ypek tidak menjawab, namun Ka tetap berbicara, mengatakan bahwa dirinya
bertugas untuk menegosiasikan sebuah kesepakatan, dan dia akan segera berbicara
dengan Lazuardi. Tetapi, pertama-tama, dia harus berbicara dengan Kadife. Ka
melihat kekhawatiran mendalam di mata Ypek sebagai tanda bahwa wanita itu
mencemaskannya, dan itu membuat hatinya berbunga-bunga.
"Aku akan menyuruh Kadife naik ke kamarmu sebentar lagi," kata Ypek sebelum
berlalu. Setibanya di kamar, Ka melihat ranjangnya telah tertata rapi. Kamar tempatnya
menghabiskan malam paling membahagiakan dalam kehidupannya telah berubah:
putihnya salju di luar memberikan aspek baru bagi ranjang, meja, dan tirai yang
berwarna pucat; bahkan keheningan dalam kamar itu tampak berbeda. Tetapi, aroma
percintaan mereka masih tertinggal, dan Ka masih dapat menghirupnya. Dia
berbaring di ranjangnya dan, memandang langit-langit, memikirkan semua masalah
yang akan dihadapinya jika dia tidak berhasil mengajak Kadife dan
Lazuardi bekerja sama. Kadife menghambur memasuki kamar. "Ceritakan semua yang kauketahui tentang
penangkapan Lazuardi kepadaku," tuntutnya. "Apa mereka mengasahnya?"
"Jika mereka mengasahnya, mereka tidak akan menyuruhku menemuinya," jawab Ka.
"Mereka akan membawaku ke tempatnya dalam beberapa menit. Mereka menangkapnya
setelah pertemuan di hotel itu; hanya itu yang aku tahu."
Kadife melayangkan pandangan ke luar jendela pada jalan berselimut salju di
bawah. "Jadi, sekarang kau yang bahagia, dan aku yang menderita. Begitu banyak
yang telah berubah sejak pertemuan kita di kamar kardus itu."
Ka mengingat pertemuan mereka di Kamar 217, tempat Kadife menodongkan sebuah
pistol kepadanya dan menyuruhnya membuka baju sebelum mereka pergi. Peristiwa
itu menjadi kenangan indah yang menyatukan mereka.
"Itu bukan keseluruhan ceritanya, Kadife," ujar Ka. "Teman-teman Sunay yakin
bahwa Lazuardi memiliki peranan dalam pembunuhan direktur Institut Pendidikan.
Terlebih lagi, berkas kasusnya yang berhubungan dengan penyiar TV itu sepertinya
juga sudah mencapai Kars."
"Siapa 'teman-teman' Sunay yang kaumaksud?"
"Beberapa orang dari MYT cabang Kars .... Ditambah satu atau dua orang tentara
yang punya hubungan dengan Sunay. Tapi, jangan sangka Sunay hanyalah biduk
tentara. Sunay juga punya ambisi artistik yang dikejarnya sendiri. Dia punya
tawaran untukmu. Malam ini, dia berencana mementaskan sebuah drama di Teater
Nasional, dan dia ingin kau berperan di dalamnya. Jangan mencibir begitu
dengarkan aku! Pertunjukan itu juga akan disiarkan secara langsung, dan seluruh
Kars akan menontonnya lagi. Jika kau bersedia memainkan peran ini, dan jika
Lazuardi dapat meyakinkan para murid madrasah aliah untuk datang dan duduk
tenang memenonton drama itu, untuk bersikap sopan dan bertepuk tangan pada saat
yang semestinya, Sunay akan membebaskannya.
Lalu, kita akan bisa melupakan semua ini dan pergi tanpa kehilangan apa pun.
Mereka memintaku untuk menjadi mediator."
"Tentang apakah drama itu?"
Ka menceritakan semua yang diketahuinya tentang Thomas Kyd dan The Spanish
Tragedy kepada Kadife, juga menjelaskan bahwa Sunay telah merombak drama itu
supaya lebih relevan dengan keadaan mereka. "Sama saja seperti ketika mereka
menghabiskan tahuntahun panjang untuk mengelilingi Anatolia, menjadikan karya-
karya Cor-neille, Shakespeare, dan Brecht lebih relevan dengan menambahkan tahan
perut dan lagu-lagu mesum."
"Dan kurasa dia ingin menjadikanku pemicu pertikaian keluarga itu dengan
memberiku peran gadis yang diperkosa dalam siaran langsung televisi."
"Tidak. Kau akan menjadi seorang wanita Spanyol sopan yang berjilbab, namun
karena kau sudah muak dengan pertikaian berdarah, dalam gejolak kemarahan, kau
mencopot jilbabmu untuk menjadi seorang pahlawan pemberontak."
"Untuk menjadi seorang pahlawan pemberontak di Turki, kau tidak mencopot jilbab.
Kau justru memakainya." "Ini hanya sandiwara, Kadife. Dan, karena ini hanya
sandiwara, tidak akan menjadi masalah kalau kau mencopot jilbabmu."
"Sekarang aku tahu apa yang mereka inginkan dari-ku. Tapi, meskipun ini hanya
sandiwara, aku tetap tidak mau mencopot jilbabku."
"Dengar, Kadife, salju akan mencair dalam dua hari, jalan-jalan akan dibuka
kembali, dan orang-orang yang sekarang meringkuk di penjara akan diserahkan
kepada petugas-petugas baru yang tidak mengenal belas kasihan. Jika itu terjadi,
kau tidak akan bisa melihat Lazuardimu lagi sepanjang sisa hidupmu. Apa kau
sudah memikirkannya baik-baik?"
"Aku takut jika aku memikirkannya, aku akan menyetujuinya."
"Jangan lupa: kau bisa memakai wig di bawah jilbabmu. Dengan begitu, tidak
seorang pun akan melihat rambut aslimu."
"Jika aku memang ingin memakai wig, aku tentu sudah melakukannya sejak lama,
seperti banyak wanita lain yang kukenal. Dan aku akan bersekolah kembali."
"Ini bukan masalah berunjuk rasa di depan kampus dan berusaha membela
kehormatanmu. Kau akan melakukan ini untuk menyelamatkan Lazuardi."
"Yah, lihat saja apakah Lazuardi mau aku menyelamatkannya dengan cara mencopot
jilbabku." "Tentu saja dia mau," kata Ka. "Kau tidak akan melukai harga dirinya dengan
mencopot jilbabmu. Lagi pula, tidak seorang pun tahu kalian berhubungan."
Ka dapat langsung melihat dari kilatan marah di mata Kadife, bahwa dia telah
menemukan titik lemahnya, namun kemudian Kadife menyunggingkan senyuman aneh
yang membuat Ka resah ... dan cemburu. Dia takut Kadife akan mengatakan sesuatu
yang buruk tentang Ypek kepadanya. "Kita tidak punya banyak waktu, Kadife," ujar
Ka. Dia dapat mendengar nada ketakutan yang aneh dalam suaranya sendiri. "Aku
tahu kau cukup pintar dan sensitif untuk dapat melewati semua ini dengan penuh
keanggunan. Aku mengatakan hal ini kepadamu sebagai seseorang yang telah
menghabiskan bertahuntahun menjadi buangan politik. Dengarkan aku: kehidupan
bukan melulu soal prinsip; kehidupan adalah soal mencari kebahagiaan."
"Tapi, kalau kau tak punya prinsip, dan kalau kau tak punya keimanan, kau tidak
akan bisa bahagia sama sekali," kata Kadife.
"Memang betul. Tapi, di negara brutal seperti tempat kita ini, tempat nyawa
manusia dianggap 'murah1, menghancurkan diri atas nama keyakinanmu adalah
sesuatu yang bodoh. Keyakinan" Idealisme tinggi" Hanya orang-orang di negara
kaya yang bisa menikmati kemewahan seperti itu."
"Sesungguhnya, justru sebaliknya. Di sebuah negara miskin, sumber ketenangan
utama masyarakat adalah keyakinan mereka."
Ka ingin mengatakan, "Tapi, hal-hal yang mereka yakini tidaklah benar," namun
dia berhasil menahan diri. Alih-alih, dia mengatakan, "Tapi, kau bukan orang
miskin, Kadife. Kau berasal dari Istanbul."
"Karena itulah aku melakukan apa yang kuyakini. Aku tidak suka berpura-pura.
Jika aku memutuskan untuk mencopot jilbabku, aku tidak akan melakukannya secara
setengah-setengah. Aku akan bersungguh-sungguh melakukannya."
"Baiklah, kalau begitu, bagaimana pendapatmu tentang hal ini" Bagaimana jika
mereka tidak menyiarkan pertunjukan itu secara langsung" Bagaimana jika mereka
hanya merekamnya, dan para penduduk Kars hanya akan melihatnya sekali saja"
Jadi, saat tiba di adegan ledakan kemarahanmu, yang mereka lihat hanyalah
tanganmu yang sedang mencopot jilbab. Setelah itu, mereka bisa menggantimu
dengan orang lain yang mirip denganmu, dan yang akan terlihat di televisi
hanyalah rambut yang terurai, disorot dari belakang."
"Itu bahkan lebih curang daripada jika aku memakai wig," kata Kadife. "Dan, pada
akhirnya, saat kudeta berakhir, semua orang akan mengira aku telah benar-benar
mencopot jilbabku." "Manakah yang lebih penting menghormati hukum Tuhan atau mencemaskan pendapat
orang tentangmu" Yang terpenting adalah, jika kita menjalankan usulku itu, kau
tidak akan bersungguh-sungguh mencopot jilbabmu.
Tapi, kalau kau sebegitu mencemaskan pendapat orang padamu, bukan masalah juga,
karena setelah semua omong kosong ini berakhir, kita bisa memastikan supaya
semua orang tahu tentang penggantian pada detik-detik terakhir itu. Jika beredar
kabar bahwa kau siap melakukan semua ini untuk menyelamatkan Lazuardi, para
murid madrasah aliah itu justru akan lebih mengagumimu."
"Pernahkah terpikir olehmu bahwa jika sedang berusaha sebisa mungkin untuk
meyakinkan seseorang supaya mau melakukan sesuatu," kata Kadife, nada bicaranya
mendadak berubah, "kau mengatakan hal-hal yang kau sendiri tidak memercayainya?"
"Itu bisa saja benar. Tapi yang terjadi sekarang bukan begitu."
"Tapi, jika memang itu benar, dan akhirnya kau berhasil meyakinkan orang ini,
tidakkah kau merasa bersalah karena sudah mengibulinya" Maksudku, karena kau
tidak memberinya dukungan."
"Aku bukannya tidak mendukungmu, Kadife. Aku hanya menyarankan supaya kau
menggunakan kepalamu dan mencoba memahami bahwa ini adalah satu-satunya pilihan
yang ada. Orang-orang Sunay suka bertingkah seenaknya. Jika sudah memutuskan
untuk menggantung Lazuardi, mereka tidak akan segan-segan melakukannya. Tapi,
kau tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu, bukan?"
"Jadi, misalnya saja aku mau mencopot jilbabku di depan semua orang itu sama
saja dengan mengakui kekalahan. Dan, apakah jaminan mereka akan melepaskan
Lazuardi setelah aku berperan dalam drama itu" Untuk apa aku memercayai janji
yang berasal dari pemerintah Turki?"
"Kau benar. Aku akan mendiskusikannya dengan mereka."
"Dengan siapa" Dan kapan?"
"Pertama-tama, aku akan menemui Lazuardi. Setelah itu, aku akan kembali
berbicara dengan Sunay."
Dalam keheningan panjang yang menyusul, jelas terlihat bahwa Kadife sedikit
banyak tertarik untuk mengikuti rencana itu. Tetapi, Ka merasa masih harus
meyakinkannya, sehingga dia bertingkah memandang jam tangannya berkali-kali.
"Siapakah yang menahan Lazuardi?" tanya Kadife. "MYT atau tentara?"
"Entahlah. Lagi pula, mungkin tidak ada bedanya." "Jika tentara yang menahannya,
mungkin dia tidak akan disiksa," kata Kadife. Dia terdiam. "Aku ingin kau
memberikan ini untuknya." Dia menyerahkan sebuah geretan kuno dengan lapisan
berkilauan dan sekotak rokok
Marlboro. "Geretan ini milik ayahku. Lazuardi akan senang bisa menyalakan rokok
dengan benda ini." Ka mengambil rokok namun mengembalikan geretan itu. "Jika aku memberikan geretan
ini kepada Lazuardi, dia akan tahu bahwa aku berbicara denganmu terlebih
dahulu." "Memangnya kenapa" Kenapa dia tidak boleh tahu?"
"Karena dia akan mengetahui apa yang kita bicarakan dan dia akan ingin tahu
tentang keputusanmu. Aku tidak berencana memberitahunya bahwa aku menemuimu
terlebih dahulu, atau bahwa kau siap mencopot jilbabmu, kalau memang kau mau,
untuk menyelamatkan dia."
"Apakah karena kautahu bahwa dia tidak akan menyetujuinya?"
"Tidak. Dia seorang pria pintar dan rasional, dan dia tentu akan setuju kau
melakukan sesuatu seperti mencopot jilbabmu untuk menyelamatkannya dari ancaman
maut. Kautahu itu, dan aku juga tahu. Hanya saja, dia tak akan pernah bisa
menerima mengapa aku menemuimu terlebih dahulu alih-alih langsung menemuinya."
"Tapi, ini bukan sekadar masalah politik; ini juga masalah pribadi antara aku
dan dia. Lazuardi akan memahaminya."
"Itu mungkin saja, Kadife, tapi kautahu bahwa dia ingin menjadi pendengar
pertama. Dia adalah seorang pria Turki. Dan seorang Islamis politis. Aku tak
bisa mendatanginya dan mengatakan, 'Dengar, Kadife telah memutuskan untuk
mencopot jilbabnya supaya kau bisa keluar dari sini.' Dia harus yakin bahwa
dialah yang mengambil keputusan. Aku akan menanyakan pendapatnya tentang
berbagai macam pilihan apakah kau harus memakai wig atau menggunakan pemeran
pengganti pada detik-detik terakhir. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa
hal ini akan menyelamatkan kehormatannya dan memecahkan masalahnya. Percayalah
kepadaku, yang berlaku sekarang ini adalah gagasannya1 tentang penegakan
kehormatan, bukan gagasanmu. Jika kau hendak mencopot jilbabmu, dia tentu ingin
semua orang tahu bahwa dialah yang me-merintahkanmu untuk melakukannya."
"Kau cemburu kepada Lazuardi. Kau membenci dia," kata Kadife. "Kau bahkan tidak
mau memandangnya sebagai manusia. Kau sama seperti semua sekularis republiken:
siapa pun yang tidak kebarat-baratan kauanggap sebagai bajingan primitif kelas
bawah. Batinmu pasti mengatakan bahwa pemukulan akan menjadikan Lazuardi
manusia. Apakah kau menikmati bisa melihatku menjilat tentara untuk
menyelamatkan kulit Lazuardi" Tidak senonoh sekali kalau kau menikmati hal
semacam itu, tapi kau bahkan tidak berusaha menyembunyikannya."
Kebencian terpancar dari mata Kadife. "Dan, omong-omong, jika memang Lazuardi
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang harus mengambil keputusan, dan jika kau memang seorang pria Turki yang
sangat pintar, kenapa kau tidak langsung pergi menemuinya setelah meninggalkan
Sunay" Aku akan mengatakan alasannya: kau ingin melihatku mengambil keputusan
untuk mempermalukan diriku sendiri. Ini membuatmu merasa unggul di hadapan
Lazuardi pria yang membuatmu ketakutan setengah mati."
"Ya, kau benar, dia memang membuatku ketakutan setengah mati. Tapi, semua yang
kaukatakan itu tidak adil, Kadife. Misalkan saja aku menemui Lazuardi terlebih
dahulu, lalu aku menemuimu untuk mengabarkan keputusannya bahwa kau harus
mencopot jilbabmu. Kau akan menganggapnya sebagai perintah, dan kau pasti akan
menolaknya." "Kau bukan seorang mediator. Kau bekerja sama dengan tiran."
"Satu-satunya ambisiku adalah keluar dari kota ini secara utuh. Kau tidak perlu
menganggap kudeta ini seserius aku. Kau sudah lebih dari cukup membuktikan
kepada penduduk Kars bahwa dirimu adalah seorang wanita pemberani, cerdas, dan
sopan. Setelah kita keluar dari jerat ini, aku dan kakakmu akan pergi ke
Frankfurt. Kami berharap akan dapat menemukan kebahagiaan di sana. Aku
menasihatimu untuk melakukan hal yang sama lakukanlah apa pun yang harus
kaulakukan untuk mencari kebahagiaan. Jika kau dan Lazuardi berhasil meloloskan
diri, aku yakin kalian akan hidup bahagia selama-lamanya sebagai buangan politik
di sekian banyak kota di Eropa. Dan, aku yakin ayahmu pasti bersedia ikut
denganmu. Tapi, sebelum semua ini dapat terwujud, kau harus mau memercayaiku."
Omongan panjang lebar Ka tentang kebahagiaan ini menyebabkan air mata mengalir
ke pipi Kadife. Dia menyunggingkan senyuman yang membuat Ka waspada dan cepat-
cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Apakah kau yakin kakakku
sudah siap meninggalkan Kars?"
"Sangat yakin," jawab Ka, meskipun sirat keraguan terdengar jelas dalam
suaranya. "Aku tidak akan memaksamu untuk memberikan geretan ini kepada Lazuardi ataupun
mengatakan kepadanya bahwa kau menemuiku terlebih dahulu," kata Kadife.
Sekarang, dia berbicara seperti seorang putri yang angkuh namun sabar. "Tapi,
sebelum aku mencopot jilbabku di depan semua orang, aku harus mendapatkan
kepastian bahwa mereka memang akan membebaskannya. Aku butuh lebih dari sekadar jaminan
dari Sunay ataupun salah satu kroninya. Kita semua tahu nilai sebuah janji dari
negara Turki." "Kau memang wanita teramat pintar, Kadife. Tidak seorang pun di Kars layak
mendapatkan kebahagiaan me-lebihimu," tanggap Ka. Dia bermaksud untuk
menambahkan, "Kecuali Necip," namun langsung menepiskan pikiran itu. "Jika kau memberikan
geretan itu kepadaku sekarang, aku juga bisa memberikannya kepada Lazuardi.
Tapi, tolonglah, cobalah untuk memercayaiku."
Kadife mencondongkan tubuh untuk menyerahkan geretan itu, lalu mereka berdua
berpelukan dengan kehangatan yang membuat keduanya terkejut. Selama sesaat, Ka
menikmati getaran yang muncul saat dia menyentuh tubuh Kadife, yang jauh lebih
ringan dan ramping daripada tubuh kakaknya, namun dia berhasil mencegah
keinginannya untuk mencium gadis itu. Sesaat kemudian, saat ketukan keras
terdengar di pintu, Ka membatin, bagus sekali aku bisa menahan diri.
Ypek berdiri di depan pintu, mengabarkan kepada Ka bahwa sebuah truk tentara
telah menantinya. Ypek berdiri di sana dan memandang dengan lembut, mencari-
cari, ke dalam mata mereka, seolaholah berusaha memahami keputusan Ka dan
Kadife. Ka pergi tanpa mencium Ypek, namun dia merasa tidak perlu melakukannya:
Ypek sudah menjadi miliknya sekarang. Di ujung koridor, dia berpaling untuk
menyelami kekuasaan yang sekarang dipegangnya atas kedua bersaudara itu, hanya
untuk melihat mereka sedang berpelukan erat.[J
Saya Bukan Agen Siapa-Siapa
Ka Bersama Lazuardi di Selnya
BAYANGAN KADIFE dan Ypek yang sedang berpelukan di koridor bermain-main di benak
Ka. Duduk di sebelah sopir truk tentara, di persimpangan antara Jalan Atatiirk
dan Jalan Halitpa?a, menantikan satu-satunya lampu lalu lintas di kota itu
berubah warna, Ka berada cukup tinggi di atas jalan sehingga dapat melihat
jendela lantai kedua salah satu rumah Armenia tua; seseorang membuka jendela itu
untuk membiarkan udara segar masuk ke dalam rumah. Saat angin sepoi-sepoi meniup
kerai dan mengibas-ngibaskan tirai, Ka langsung mengetahui bahwa dirinya sedang
menyaksikan sebuah pertemuan politik rahasia. Kesadarannya akan apa yang terjadi
di dalam rumah itu sangat mengusiknya, sehingga dia merasa seperti seorang
dokter yang sedang mengamati foto hasil sinar X. Karena itulah, meskipun seorang
wanita yang tampak pucat dan ketakutan segera menghampiri jendela dan menutup
tirai, Ka telah dapat menduga dengan ketepatan tingkat tinggi tentang apa yang
sedang terjadi di dalam ruangan yang terang benderang itu: dua orang militan
Kurdi paling kawakan sedang berbicara dengan seorang pemuda
yang abangnya terbunuh dalam sebuah razia pada malam kudeta. Si pemuda sekarang
duduk membungkuk, berkeringat, di dekat tungku pemanas, membalut lukaluka di
tubuh abangnya, sementara kedua militan kawakan itu meyakinkannya bahwa memasuki
kantor polisi di Jalan Faikbey dan meledakkan bom di sana adalah sebuah
pekerjaan sepele. Meskipun begitu, Ka justru tidak bisa menebak ke mana dirinya akan dibawa. Alih-
alih membawanya ke kantor polisi yang sama atau berbelok di alun-alun tua yang
telah berdiri sejak awal masa republik, tempat markas MYT berada, truk tentara
yang ditumpangi Ka melewati persimpangan Jalan Faikbey, melewati Jalan Ataturk,
dan akhirnya berbelok ke kompleks militer di pusat kota. Pada 1960an, terdapat
rencana untuk mengubah wilayah ini menjadi taman, namun setelah kudeta militer
pada awal tujuh puluhan, tentara membangun tembok di sekelilingnya, dan tak lama
kemudian, wilayah itu telah berubah menjadi pangkalan militer yang terdiri atas
barakbarak, pusat komando baru, dan lapangan untuk latihan militer. Bocah-bocah
yang bosan bersepeda di antara pohon-pohon poplar. Menurut Bangsa Merdeka, surat
kabar pro-tentara, berkat militerlah rumah yang ditinggali Pushkin selama
kunjungannya ke Kars, begitu juga istal Cossacks yang dibangun oleh Tsar empat
puluh tahun silam, selamat dari penghancuran.
Sel tempat mereka menahan Lazuardi terletak tepat di sebelah istal. Truk tentara
menurunkan Ka di luar sebuah bangunan batu indah yang berdiri di bawah sebuah
pohon oleander tua; cabang-cabang pohon tersebut, Ka memerhatikan, condong ke
bawah akibat timbunan salju. Dua orang pria gagah, yang segera diketahui Ka
sebagai agen MYT, telah menanti. Mereka mengeluarkan segulung plester dan sebuah alat
perekam (yang terlihat sangat kuno, mengingat ketika itu sudah tahun sembilan
puluhan), dan setelah menempelkan alat perekam itu menggunakan plester ke dada
Ka, mereka menunjukkan padanya cara menekan tombol on/off. Saat membicarakan
tentang tahanan di bawah, mereka sepertinya menyesal karena telah menangkapnya,
sehingga mereka ingin menolongnya. Pada saat yang sama, mereka tidak
menutupnutupi bahwa mereka berharap Ka akan dapat mengorek pengakuan Lazuardi,
terutama yang bersangkutan dengan pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukannya
atau diperintahkannya. Tidak terpikir oleh Ka bahwa mereka mungkin tidak
mengetahui alasan sesungguhnya dirinya berada di sana.
Pada masa kejayaan Tsar, ketika pasukan kavaleri Rusia menjadikan bangunan
mungil ini sebagai markas, seruas tangga batu dingin akan membawa pengunjung ke
sebuah ruangan luas tanpa jendela tempat para prajurit yang melanggar
kedisiplinan dihukum. Setelah Republik Turki berdiri, sel yang sama pernah
digunakan sebagai gudang peralatan, dan kemudian, selama kepanikan nuklir pada
masa Perang Dunia II, tempat itu digunakan sebagai bunker perlindungan. Tempat
itu jauh lebih bersih dan nyaman daripada yang dikira oleh Ka.
Ruangan itu dilengkapi dengan penghangat Argelik (yang disumbangkan beberapa
tahun sebelumnya oleh Muhtar, distributor utama di wilayah itu, dalam upaya
memopulerkan diri), namun Lazuardi, yang berada di ranjang dan membaca sebuah
buku, masih merasa perlu menutupi tubuhnya dengan sehelai selimut tentara
bersih. Saat melihat Ka, dia berdiri dan memakai sepatunya, yang sudah diambil
talinya. Bersikap resmi namun masih menyunggingkan senyum, dia menjabat tangan
Ka, dan, dengan kesigapan seseorang yang siap membicarakan urusan bisnis,
menunjuk sebuah meja Formica yang terletak menempel ke dinding. Ketika mereka
sudah duduk berhadap-hadapan di meja itu, Ka menatap sebuah asbak yang penuh
puntung rokok, sehingga dia pun mengeluarkan sekotak Marlboro dari sakunya dan
memberikannya kepada Lazuardi sambil melontarkan komentar tentang betapa
nyamannya tempat itu. Lazuardi mengatakan kepada Ka bahwa dia tidak disiksa;
kemudian, Lazuardi menyalakan sebatang korek api dan menyulutkan rokok Ka
sebelum menyulut rokoknya sendiri. "Jadi, katakanlah kepada saya, Pak, untuk
siapakah Anda menjadi mata-mata hari ini?"
"Saya sudah berhenti menjadi mata-mata," ujar Ka. "Sekarang ini, saya menjadi
mediator." "Itu bahkan lebih buruk. Para mata-mata saling bertukar potongan informasi yang
tidak terlalu berguna untuk siapa pun, dan sebagian besar dari mereka
melakukannya untuk uang. Para mediator, sebaliknya yah, mereka hanyalah orang-
orang bodoh yang sok pintar, yang mengira mereka dapat turut campur dalam
masalah pribadi orang lain karena mengira diri mereka 'netral1. Jadi, apakah
permainan Anda di sini" Apakah hasil yang ingin Anda dapatkan dari semua ini?"
"Supaya dapat keluar dari kota ini secara utuh."
"Melihat keadaan hari ini, hanya ada satu orang di kota ini yang mampu
memberikan perlindungan kepada seorang ateis yang kabur dari Barat untuk memata-
matai kami, dan orang itu adalah Sunay."
Perkataan ini menjadikan Ka mengetahui bahwa Lazuardi telah melihat halaman belakang Border City
Gazette. Betapa dia membenci senyuman yang terbentuk di bawah kumis Lazuardi.
Bagaimana mungkin Islamis militan yang telah menghabiskan setengah kehidupannya
untuk melarikan diri dari negara Turki yang tak kenal ampun, dan yang sekarang
meringkuk di sel penjara karena dituduh terlibat dalam pembunuhan yang berbeda,
bisa setenang dan seceria itu" Sekarang, lebih daripada sebelumnya, Ka dapat
melihat mengapa Kadife tergilagila kepada pria itu. Hari itu Lazuardi tampak
luar biasa tampan. "Jadi, apakah yang harus Anda mediasikan di sini?"
"Saya datang untuk mengatur pembebasan Anda," jawab Ka, dan dengan suara yang
sangat tenang, dia menjabarkan usulan Sunay. Dia tidak menyebutkan kemungkinan
Kadife mengenakan wig ataupun berbagai trik yang mungkin dilakukan selama siaran
langsung dia menyimpannya terlebih dahulu untuk digunakan jika dia harus
melakukan penawaran lebih lanjut. Saat menjelaskan tentang betapa beratnya
situasi ini, dan tekanan keras untuk sesegera mungkin menggantung Lazuardi yang
diterima Sunay dari berbagai pihak, Ka merasakan kesenangan tertentu, namun saat
rasa bersalah mengikutinya, dia melanjutkan dengan menyebut Sunay sebagai orang
gila yang bisa mengakhiri segala kegilaan dan meyakinkan Lazuardi bahwa segera
setelah salju mencair, semuanya akan kembali normal. Nantinya, Ka akan
menanyakan Kepada dirinya sendiri apakah dia mengatakan hal ini hanya untuk
menyenangkan para agen MYT yang menunggu di atas.
"Jadi, semua ini berarti bahwa satu-satunya kesempatan bagi saya untuk
mendapatkan kebebasan adalah dengan mengambil bagian dalam rencana gila terbaru
Sunay," kata Lazuardi. "Ya, betul."
"Kalau begitu, sampaikanlah jawaban saya kepadanya: saya menolak usulannya. Saya
berterima kasih kepada Anda yang telah repot-repot datang kemari." Ka mengira
Lazuardi akan berdiri, menjabat tangannya, dan mengantarnya ke pintu, namun pria
itu tetap duduk di kursinya. Dia menaikkan kaki depan kursinya dan mengayun-
ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang.
"Tapi, jika usaha mediasi Anda sia-sia, dan Anda tidak bisa keluar dari kota ini
dalam keadaan utuh, jangan salahkan saya," akhirnya Lazuardi berkata. "Itu semua
gara-gara kesombongan dan omong besar ateis Anda. Satu-satunya waktu yang tepat
bagi orang-orang di negara ini untuk menyombongkan keateisannya adalah saat
tentara mendukung mereka."
"Saya bukan jenis orang yang bangga karena menjadi ateis."
"Saya senang mendengarnya."
Kedua pria itu sekali lagi terdiam, mengisap rokok mereka. Mencari alasan untuk
berdiri dan pergi dari sana, Ka bertanya, "Tidakkah Anda takut mati?"
"Jika itu ancaman, maka jawabannya adalah tidak, saya tidak takut mati. Jika
Anda menanyakan hal itu sebagai teman, jawabannya ya, saya sangat takut. Tapi,
apa pun yang saya lakukan sekarang, para tiran ini akan tetap ingin menggantung
saya. Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya."
Lazuardi menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Pesan yang didapatkan Ka
adalah, "Dengar, aku berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk daripada dirimu,
tapi aku menghadapinya dengan cara yang lebih
baik!" Rasa malu memaksa Ka untuk mengakui kepada dirinya sendiri bahwa
kepanikan dan kegelisahannya bercabang dari harapan manis dan menyakitkan akan
kebahagiaan yang telah melandanya sejak dia jatuh cinta kepada Ypek. Apakah
Lazuardi sudah kebal terhadap harapan semacam itu" "Aku akan menghitung sampai
sembilan, dan setelah itu aku akan berdiri dan pergi dari sini," Ka membatin.
"Satu, dua Ketika tiba di angka Lima, dia menyadari bahwa jika dia gagal
mengelabui Lazuardi, dia tak akan pernah bisa membawa Ypek bersamanya ke Jerman.
Sebuah gagasan mendadak menghampirinya, dan Ka mulai berbicara, mengungkapkan
apa pun yang ada di kepalanya. Dia mulai dengan menceritakan seorang mediator
malang yang diingatnya dari sebuah film Amerika hitam-putih pada masa
kanakkanaknya. Dia mengingatkan Lazuardi bahwa saat segala hal telah kembali
normal dia akan dapat memastikan pernyataan Hotel Asia dicetak di Jerman.
Setelah itu, dia berkomentar tentang orang-orang yang membuat keputusan buruk
dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian
seumur hidup menyesalinya. Ka mencontohkan ketika, akibat dorongan kemarahan,
dia berhenti dari tim bola basket dan berniat untuk tidak pernah kembali lagi.
Waktu yang seharusnya dapat dihabiskannya di lapangan basket disia-siakannya
dengan berkeliaran di Bosphorus, memandangi laut selama berjam-jam. Ka sendiri
tidak tahu mengapa dia tidak bisa mencegah dirinya menceritakan kepada Lazuardi
tentang betapa dia mencintai Istanbul, dan betapa indahnya kota kecil Bebek di
Bosphorus pada malam musim semi yang cerah. Sepanjang waktu, dia berjuang
menghindari tatapan berdarah dingin Lazuardi yang
mencoba membungkamnya. Dia merasa seperti berada dalam sebuah kunjungan terakhir
sebelum Lazuardi dihukum mati.
"Bahkan jika kita berhasil mematahkan semua presiden dan melakukan apa pun yang
mereka minta, mereka akan mengingkari janji," kata Lazuardi. Dia menunjuk kertas
dan pena yang tergeletak di atas meja. "Mereka menyuruh saya menuliskan kisah
hidup saya setiap tindak kriminal yang pernah saya perbuat. Jika saya
melakukannya, dan mereka menganggap saya jujur, mereka dapat mengampuni saya
atas dasar Undang-Undang Pengampunan. Saya selalu mengasihani orang orang tolol
yang tertipu pada katakata manis semacam itu hanya untuk menghabiskan hari-hari
terakhir mereka di pengadilan, menyesal karena telah mengkhianati diri mereka
sendiri. Tapi, karena pada akhirnya saya juga akan mati, saya ingin memastikan
supaya orang-orang mendengar beberapa hal yang nyata tentang saya." Di atas meja
terdapat beberapa lembar kertas yang telah berisi tulisan tangan, dan Lazuardi
mengangkat salah satu di antaranya. Dengan ekspresi suram dan sikap yang agak
berlebihan yang digunakannya untuk menyampaikan "kutipan" pada pers Jerman, dia
mulai membaca: "'Berkenaan dengan hukuman mati yang ditimpakan kepada saya, saya ingin
menjelaskan bahwa saya tidak menyesali apa pun yang telah saya perbuat pada masa
lalu, termasuk pada hari ini, 20 Februari. Ayah saya adalah seorang pensiunan
pegawai biasa di Departemen Keuangan Istanbul, dan saya adalah putra kedua
beliau. Selama masa kanakkanak dan awal remaja saya, ayah saya menjadi anggota
sebuah organisasi rahasia di Cerrahi, dan saya tumbuh dengan didikan membumi
beliau. Ketika beranjak dewasa, saya melakukan pemberontakan kepada beliau
dengan menjadi seorang aktivis ateis sayap kiri, dan saat memasuki universitas,
saya bergabung dengan para militan muda lainnya untuk melempari dengan batu para
pelaut yang turun dari kapal induk Amerika. Pada masa itu, saya menikah;
kemudian, kami bercerai, dan saya berhasil melepaskan diri dari krisis rumah
tangga saya. Selama bertahuntahun, tidak seorang pun memerhatikan saya. Saya
berhasil menjadi seorang insinyur elektronika. Akibat kebencian saya terhadap
Barat, saya menjadi pengagum sejati revolusi di Iran. Saya kembali ke jalan
Islam. Ketika Ayatollah Khomeini mengatakan bahwa 'Yang terpenting untuk
dilakukan sekarang ini bukanlah menunaikan salat atau berpuasa melainkan
melindungi Islam,' saya meyakininya sepenuh hati. Saya mendapatkan inspirasi
dari pembahasan Frantz Fanton tentang kekerasan, dari protes para peziarah
Seyyid Qutub untuk menentang penindasan, dari Seyyid Qutub juga tentang gagasan
perpindahan tempat, dan dari Ali Syariati. Saya melarikan diri ke Jerman setelah
kudeta militer terjadi. Kemudian, saya kembali ke Turki. Saya terluka saat
melawan Grozny bersama pasukan Chechen yang sedang bertikai dengan Rusia, dan,
akibat luka itu, kaki kanan saya pincang. Ketika saya berada di Bosnia selama
serangan Serbia, saya menikahi seorang gadis Bosnia yang bernama Merzuka dan
memboyongnya ke Istanbul. Karena kewajiban politik dan gagasan tentang ziarah
Penyakit Sickness 1 Kampung Setan Karya Khulung Pendekar Misterius 7
oleh apa yang akan dilakukan Fazyl kemudian.
"Tidak ada yang boleh bicara tentang bunuh diri di kota ini!" seru Lazuardi, dan
dia menghambur keluar bahkan tanpa berhenti untuk memandang Kadife. Dengan ini,
pertemuan pun langsung berakhir dan, sambil tetap membicarakan kejadian yang
baru saja mereka lihat, orang-orang itu keluar dari kamar dalam hitungan detik.
[] Itu Mustahil Terjadi Selama Saya Memiliki Dua Jiwa dalam Tubuh Saya
Tentang Cinta, Kesepelean, dan Menghilangnya Lazuardi
PADA PUKUL lima kurang seperempat, Ka keluar dari Hotel Istana Salju. Turgut Bey
dan Kadife belum kembali dari pertemuan di Hotel Asia, dan Ka masih memiliki
lima belas menit sebelum waktu yang disepakatinya untuk bertemu dengan Fazyl,
namun dia terlalu bahagia sehingga tidak bisa duduk tenang. Dia berbelok ke kiri
di Jalan Ataturk dan berjalan hingga tiba di Sungai Kars, sesekali berhenti
untuk melihat-lihat etalase-etalase toko, studio foto, dan kedaikedai teh yang
dijejali para pria yang ingin menonton televisi. Ketika tiba di jembatan besi,
Ka menghabiskan dua batang rokok Marlboro dengan cepat. Kepalanya dipenuhi
khayalan hidup bahagia selama-lamanya bersama Ypek di Frankfurt, dan dia sama
sekali tidak merasa kedinginan. Di seberang sungai, terdapat sebuah taman,
tempat yang sering didatangi oleh keluarga-keluarga kaya di Kars untuk menonton
aksi para peseluncur es. Sekarang, tempat itu tampak gelap gulita.
Fazyl terlambat tiba di jembatan besi, dan saat dia muncul dari kegelapan, untuk
sesaat lagi-lagi Ka salah menyangkanya sebagai Necip. Bersama-sama, mereka
pergi ke Kedai Teh Mujur Bersaudara, tempat Fazyl melaporkan semua yang bisa
diingatnya dari pertemuan di Hotel Asia. Saat dia tiba di bagian ketika dirinya
menyatakan bahwa sejarah kota kecilnya telah menyatu dengan sejarah dunia, Ka
menyuruhnya diam, seperti seseorang yang menyuruh orang lain diam supaya dia
dapat mendengar berita di radio. Kemudian, Ka menulis puisi yang berjudul
"Seluruh Umat Manusia dan Bintang-Bintang".
Dalam catatan yang dibuatnya kemudian, Ka mendeskripsikan tema puisi itu sebagai
kesedihan sebuah kota yang dilupakan oleh dunia luar dan diasingkan dari
sejarah. Baris-baris pertamanya menceritakan sebuah adegan yang terinspirasi
dari bagian pembukaan film-film Hollywood yang disukainya semasa kanakkanak.
Saat judul ditayangkan, terdapat gambar bumi yang berputar perlahan, yang
dilihat dari luar angkasa. Saat kamera mendekat, lebih banyak detail terlihat,
hingga akhirnya tampaklah sebuah kota. Tentu saja sama seperti dalam film-film
khayalan yang diputar di dalam kepala Ka sejak masa kanakkanaknya negara yang
terlihat adalah Turki. Kamera semakin mendekat, dan tampaklah Laut Marmara,
Selat Bosphorus, dan Laut Hitam; setelah itu tampaklah Istanbul, dan Ni?anta?
dari masa kanakkanak Ka, dengan polisi lalu lintas yang bertugas di Jalan
Te?vikiye, Jalan Nigar si Penyair Wanita, dan pepohonan serta atap-atap rumah
(betapa indahnya semua itu dilihat dari atas!). Lalu, perlahan-lahan, tampaklah
deretan pakaian di tali tali jemuran, sebuah baliho yang mengiklankan makanan
kalengan Tamek, talang-talang air berkarat, dan trotoar bernoda tanah, sebelum
kamera berhenti untuk menyoroti jendela kamar Ka. Dari balik jendela itu,
tampaklah kamar Ka yang penuh berisi buku, perabot dan karpet berdebu,
dan Ka yang duduk di balik meja, menghadap ke jendela di sisi lain kamar. Dari
balik bahunya, kamera memperlihatkan selembar kertas di atas meja, dan akhirnya,
tampaklah katakata terakhir dari pesan yang sedang ditulisnya, sehingga kita pun
bisa membacanya: "ALAMAT HARI KETIKA AKU MEMASUKI SEJARAH PUISI: PENYAIR Ka,
JALAN NIGAR SI PENYAIR WANITA NO. 16/8, NIaANTAa, ISTANBUL, TURKI". Seperti yang
telah dipahami oleh para pembaca yang pintar, puisi ini, meskipun terletak di
pucuk "Logika", juga berkedudukan cukup dekat dengan pucuk "Imajinasi" untuk
memberikan pengakuan terhadap pengaruhnya.
Kekhawatiran utama Fazyl terlihat jelas setelah dia menyelesaikan ceritanya: dia
sangat gelisah memikirkan fakta bahwa dirinya telah mengancam untuk bunuh diri
jika Kadife mencopot jilbabnya. "Dan, bukan hanya karena bunuh diri sama
buruknya dengan kehilangan keimanan. Tapi juga karena saya tidak bermaksud
begitu. Untuk apa saya mengatakan sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak
memercayainya?" Fazyl mengatakan, bahwa setelah mengucapkan nazar itu, dia
mengatakan, "Ampunilah hamba, Tuhan, hamba tidak akan berkata begitu lagi!"
Tetapi kemudian, setelah saling bertatap mata dengan Kadife di pintu, dia
gemetar bagaikan daun yang tertiup angin. "Apakah, menurut Bapak, Kadife
menyangka saya jatuh cinta kepadanya?" dia bertanya kepada Ka.
"Apakah kau jatuh cinta kepadanya?"
"Bapak sudah tahu yang sesungguhnya. Saya jatuh cinta kepada Teslime, semoga dia
beristirahat dengan tenang. Sahabat saya Necip, semoga dia juga beristirahat
dengan tenang, yang jatuh cinta kepada Kadife. Saya merasa sangat malu pada diri
saya sendiri karena jatuh
cinta pada gadis yang sama, bahkan sebelum lewat sehari dari kematian sahabat
saya. Dan saya tahu bahwa hanya ada satu penjelasan. Ini juga membuat saya
ketakutan. Katakanlah, mengapa Bapak begitu yakin bahwa Necip telah meninggal!"
"Aku melihat sendiri lubang tempat peluru memasuki keningnya sebelum aku
memegang bahunya dan menciumnya."
"Bisa jadi jiwa Necip sekarang hidup di dalam tubuh saya," kata Fazyl. "Dengar,
saya tidak mau menghadiri acara semalam. Saya bahkan tidak menonton televisi.
Saya pergi tidur sebelum larut malam dan langsung terlelap. Baru kemudian saya
mendengar tentang hal-hal buruk yang menimpa Necip saat saya sedang tidur.
Kemudian, para prajurit merazia asrama kami, dan saya pun menjadi yakin bahwa
kabar yang saya dengar memang benar adanya. Ketika melihat Bapak di
perpustakaan, saya sudah tahu bahwa Necip memang telah meninggal, karena jiwanya
sudah berada dalam tubuh saya sejak pagi buta. Para prajurit yang datang untuk
mengosongkan asrama tidak melihat saya, sehingga saya bermalam di Jalan Pasar,
di rumah salah seorang teman ayah saya saat beliau bertugas sebagi tentara
beliau berasal dari Varto. Saat saya berbaring di atas tempat tidur tamu, kepala
saya tiba-tiba mulai berputar, dan sebuah perasaan yang dalam dan tidak
terlukiskan menerpa saya: sahabat saya kembali berada di sisi saya; dia ada di
dafam diri saya. Sama seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab kuno nyawa
seseorang meninggalkan tubuhnya enam jam setelah ajal menjemputnya. Menurut
Suyuti, pada saat itu jiwa seseorang menjadi sesuatu yang gaib dan dapat
berpindah-pindah, dan ia harus tinggal di alam Barzakh hingga Hari
Kiamat datang. Tetapi, jiwa Necip justru memilih untuk memasuki tubuh saya. Saya
yakin tentang hal ini. Saya juga sangat takut, karena hal seperti ini tidak
pernah disebutkan dalam Alquran. Tapi, tidak ada cara lain untuk menjelaskan
mengapa saya bisa jatuh cinta secepat itu kepada Kadife. Jadi, gagasan untuk
melakukan bunuh diri itu juga bukan milik saya. Menurut Bapak, benarkah jiwa
Necip telah mengambil alih tubuh saya?"
"Jika memang itu yang kauyakini," ujar Ka, berhati-hati.
"Hanya kepada Bapaklah saya menceritakan hal ini. Kepada Bapak pula, Necip
menceritakan rahasia-rahasia yang tak pernah diungkapkannya kepada orang lain.
Tidak sekali pun dia pernah memberi tahu saya bahwa godaan ateisme telah menarik
hatinya. Tapi, dia bisa saja telah menyebutkannya kepada Bapak. Saya mohon,
katakanlah yang sejujurnya kepada saya. Apakah Necip pernah mengatakan kepada
Bapak bahwa dia semoga Tuhan mengampuninya meragukan keberadaan Tuhan?"
"Sekarang, hal yang sama terjadi pada saya," kata Fazyl. "Saya tidak meragukan
lagi bahwa Necip telah menanamkan pikiran-pikiran ini dalam kepala saya."
"Tapi, kebimbangan ini tidak bisa disamakan dengan ateisme."
"Tapi saya menjadi berpihak pada para gadis pelaku bunuh diri," ujar Fazyl
sedih. "Baru beberapa menit yang lalu, saya mengatakan bahwa saya sendiri siap
melakukan bunuh diri. Saya enggan memercayai bahwa almarhum sahabat tersayang
saya adalah seorang ateis. Tetapi sekarang, saya mendengar suara seorang ateis
di dalam diri saya, dan ini membuat saya sangat ketakutan. Saya tidak tahu
apakah keadaannya sama bagi Bapak. Tapi,
Bapak pernah berada di Eropa, Bapak pernah bertemu dengan orang-orang pintar dan
para alkoholik pecandu obat tidur di sana. Jadi, saya mohon, katakanlah sekali
lagi kepada saya, bagaimanakah rasanya menjadi seorang ateis?"
"Yah, orang ateis memang tidak pernah berfantasi tanpa henti tentang bunuh
diri." "Saya tidak berfantasi tanpa henti, tapi kadangkadang saya memikirkannya."
"Kenapa?" "Karena Kadife. Saya tak bisa menyingkirkannya dari benak saya! Saya memejamkan
mata, dan dia ada di sana, berkilauan di depan mata saya. Saat saya sedang
belajar, menonton televisi, menantikan datangnya malam, semuanya mengingatkan
saya kepada Kadife, bahkan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengannya, dan
ini membuat saya sangat kesakitan. Ini mulai terjadi sebelum Necip meninggal.
Sejujurnya, saya tidak pernah sungguh-sungguh mencintai Teslime; saya selalu
mencintai Kadife. Tapi, karena sahabat saya juga mencintai Kadife, saya
menyembunyikan perasaan saya. Sesungguhnya, Necip sendirilah yang memicunya,
dengan berbicara tanpa henti tentang Kadife. Saat para prajurit merazia asrama
kami, saya tahu bahwa ada kemungkinan mereka telah membunuh Necip, dan, ya,
pikiran ini membuat saya merasa lega. Dan itu bukan karena saya melihat
kesempatan untuk membuat perasaan cinta saya menghilang, melainkan karena saya
berpikir dia telah melakukan hal yang benar dengan memicu munculnya perasaan
cinta saya. Necip sudah meninggal sekarang, dan saya bebas, dan itu hanya
berarti saya dapat lebih mencintai Kadife daripada sebelumnya. Saya memikirkan
Kadife sejak terbangun pagi
ini, dan dia semakin banyak mengisi kepala saya. Sebegitu rupa sehingga saya tak
bisa memikirkan yang lain dan oh, Tuhan saya tidak tahu harus berbuat apa."
Fazyl membenamkan wajah di kedua tangannya dan mulai terisak. Ka menyalakan
sebatang Marlboro saat gelombang pengabaian menerpanya. Tetapi, dia tetap
mengulurkan tangan untuk menenangkan pemuda itu dan, untuk waktu yang sangat
lama, membelai kepalanya. Saf-fet, detektif yang ditugaskan membuntuti mereka,
duduk di sisi lain kedai teh, menyaksikan mereka, sementara salah satu matanya
tetap tertuju ke layar televisi.
Sekarang, dia berdiri dan menghampiri meja mereka. "Katakan pada pemuda ini
untuk berhenti menangis. Saya tidak menyerahkan kartu identitasnya ke markas.
Kartu itu masih saya bawa." Saat ucapannya tidak menghentikan tangis Fazyl, si
detektif merogohkan tangan ke saku dan mengeluarkan kartu identitas pemuda itu;
Ka mengulurkan tangan dan mengambilnya. "Mengapa dia menangis?" tanya Saffet,
setengah karena rasa penasaran profesional, dan setengah karena kasihan.
"Dia sedang jatuh cinta," jawab Ka.
Si detektif langsung terlihat lega. Ka melihatnya meninggalkan kedai teh dan
menghilang dalam kegelapan malam.
Selanjutnya, Fazyl menanyakan tentang apa yang harus dilakukannya untuk menarik
perhatian Kadife. Ketika itulah dia menyebutkan bahwa seluruh Kars mengetahui
bahwa Ka mencintai Ypek, kakak Kadife. Semangat Fazyl sepertinya telah pupus dan
mustahil terangkat lagi, sehingga Ka menanyakan kepada dirinya sendiri apakah
cintanya kepada Ypek akan berakhir dengan nasib buruk yang sama. Sementara Fazyl
terisakisak, Ka dengan sendu mengulang nasihat yang diberikan oleh Ypek kepadanya: "Jadilah dirimu
sendiri." "Itu mustahil terjadi selama saya memiliki dua jiwa dalam tubuh saya," kata
Fazyl. "Terutama selama jiwa ateis Necip perlahan-lahan mengambil alih diri
saya. Selama bertahuntahun, saya menganggap teman-teman saya salah karena ikut
campur dalam politik, dan sekarang saya tiba-tiba ingin bergabung dengan Islamis
dan melakukan sesuatu untuk menentang kudeta militer ini. Tetapi, meskipun
begitu, saya rasa motivasi saya yang sesungguhnya adalah menarik perhatian
Kadife. Saya ketakutan karena hanya Kadife sajalah yang bersemayam di dalam
kepala saya. Bukan hanya karena saya tidak mengenal dia. Karena ini adalah bukti
bahwa saya seorang ateis tipikal: saya tidak memedulikan apa pun kecuali cinta
dan kebahagiaan." Ketika tangis Fazyl kembali pecah, Ka berpikir apakah dia sebaiknya memberi tahu
Fazyl bahwa alangkah bijaknya jika dia menyimpan sendiri perasaannya kepada
Kadife, karena dia akan mendapatkan masalah besar jika Lazuardi mendengar
tentang hal ini. Jika semua orang tahu tentang hubungannya sendiri dengan Ypek,
Ka berpikir, maka semua orang tentu juga tahu tentang hubungan Kadife dengan
Lazuardi. Dan, jika hal itu adalah sebuah rahasia umum, maka cinta Fazyl yang
menggebu-gebu akan menjadi tantangan langsung bagi hierarki Islamis di Kars.
"Kami miskin dan sepele," kata Fazyl dengan nada marah yang terdengar janggal
dalam suaranya. "Kehidupan merana kami tidak mendapatkan tempat dalam sejarah
manusia. Suatu hari nanti, semua orang yang ada di Kars akan mati dan pergi.
Tidak seorang pun akan mengingat kami; tidak seorang pun akan memedulikan apa
yang terjadi kepada kami. Kita menghabiskan waktu di sini dengan memperdebatkan
jilbab macam apa yang seharusnya dipakai para wanita, dan tidak seorang pun akan
memedulikan kami yang sedang tenggelam dalam pertikaian dangkal dan tolol. Saat
melihat begitu banyak orang di sekeliling saya menjalani kehidupan dengan cara
konyol dan kemudian lenyap tanpa jejak, saya merasa sangat marah karena saya
tahu bahwa tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan ini kecuali cinta. Dan,
saat memikirkan tentang hal itu, perasaan saya terhadap Kadife menjadi semakin
tak tertanggungkan lagi sangat menyakitkan saat saya menyadari bahwa satu-
satunya hal yang dapat membuat saya bahagia adalah menghabiskan sisa kehidupan
saya dengan Kadife dalam pelukan saya."
"Ya," tukas Ka dengan nada kasar. "Itu memang pikiran orang ateis."
Fazyl mulai menangis lagi. Ka mungkin tidak mengingat lagi apa yang kemudian
mereka bicarakan, atau dia memilih untuk tidak mencatatnya, karena tidak ada
catatan mengenai akhir percakan mereka dalam bukunya. Di layar televisi,
sekelompok anak-anak Amerika sedang bertingkah di depan kamera, menjatuhkan
kursi-kursi, lalu memukul-mukul akuarium, dan akhirnya mereka semua berguling-
guling di lantai sambil tertawa terbahak-bahak. Seperti semua orang di kedai teh
itu, Fazyl dan Ka melupakan masalah-masalah mereka dan duduk menertawakan anak-
anak Amerika yang menggila.
Ketika Zahide memasuki kedai teh, Ka dan Fazyl sedang menyaksikan sebuah truk
berjalan cepat menembus hutan. Zahide menyerahkan sepucuk amplop kuning kepada
Ka, dan Fazyl sama sekali tidak memedulikannya. Ka
membuka amplop itu dan membaca pesan di dalamnya: dari Ypek. Dia dan Kadife
meminta Ka menemui mereka dua puluh menit lagi di Toko Kue Hidup Baru. Ternyata,
Zahide mendengar bahwa Ka ada di Kedai Teh Mujur Bersaudara dari Saffet si
detektif. Saat Zahide pergi, Fazyl mengatakan, "Cucunya teman sekelas kami. Anak itu mabuk
judi. Jika ada sabung ayam atau sabung anjing, dia selalu bertaruh."
Ka menyerahkan kartu pelajar Fazyl yang diterimanya dari Saffet. "Mereka
menyuruhku pulang ke hotel untuk makan malam," katanya sambil berdiri.
"Apakah Bapak akan bertemu dengan Kadife?" tanya Fazyl dengan nada putus asa.
Ekspresi kasihan sekaligus jengkel di wajah Ka membuatnya tersipu malu. Saat Ka
keluar dari kedai teh, Fazyl berseru, "Saya ingin bunuh diri. Jika Bapak bertemu
dengannya, katakanlah, jika dia mencopot jilbabnya, saya akan bunuh diri. Tapi,
saya tidak akan melakukannya karena dia mencopot jilbabnya. Saya akan bunuh diri
untuk menjaga kehormatannya."
Untuk menghabiskan waktu sebelum janji temu selanjutnya, Ka memutuskan untuk
berjalan-jalan. Saat menyusuri Jalan Kanal, dia melihat kedai teh tempatnya
menulis "Jalan-Jalan dalam Mimpi" pagi itu. Baru ketika memasuki tempat itu, Ka
menyadari bahwa dirinya tidak ditakdirkan untuk menulis puisi berikutnya di
kedai teh yang setengah kosong namun penuh asap rokok itu, sehingga dia pun
bergegas melintasi bagian dalamnya dan keluar dari pintu belakang. Dia berjalan
di halaman yang berselimut salju, melompati tembok pendek yang nyaris tidak
terlihat karena hari telah gelap, dan melewati seekor anjing berisik yang juga
dilihatnya pagi itu saat menuruni tiga anak tangga menuju ruang bawah tanah.
Lampu remang-remang menerangi bagian dalam ruangan. Selain bau batu bara dan
kasur usang, aroma raki juga tercium di sana. Ka dapat melihat siluet beberapa
orang berkumpul di dekat tungku yang berdengung. Ketika melihat si agen MYT
berhidung bengkok minum raki bersama si wanita Georgia berpenyakit TBC, Ka sama
sekali tidak terkejut. Mereka pun sepertinya tidak terkejut saat melihat Ka.
Wanita itu mengenakan sebuah topi merah yang trendi. Dia menawarkan telur rebus
dan roti pitta, dan suaminya menuangkan segelas raki untuk Ka. Saat Ka mengupas
telurnya, si agen MYT berhidung bengkok mengatakan kepadanya bahwa ruang pemanas
ini bukan sekadar tempat terhangat di Kars tempat ini adalah Surga.
Puisi yang ditulis Ka selama keheningan yang mnyu-sul, tanpa sedikit pun jeda
atau katakata yang terlewat, akan dijuduli "Surga". Meskipun menempatkan puisi
ini di pucuk "Imajinasi" dalam kepingan saljunya, jauh dari inti, di bagian
paling atas, Ka tidak berpendapat bahwa Surga adalah masa depan yang kita
impikan: bagi Ka, Surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan.
Saat mengingat puisi ini bertahuntahun kemudian, rangkaian kenangan, satu per
satu, akan mendatangi Ka: liburan musim panas pada masa kanakkanaknya, hari-hari
yang dihabiskannya di rumah, saat-saat ketika dia dan kakaknya tidur di ranjang
orangtua mereka, berbagai gambar yang dibuatnya saat dia masih bocah, juga malam
saat dia berkencan dan memberanikan diri mencium seorang gadis yang ditemuinya
di pesta sekolah. Saat berjalan menuju Toko Kue Hidup Baru, benak Ka dipenuhi bayangan Ypek. Saat
dia tiba, Ypek dan Kadife telah menanti. Ypek tampak sangat cantik, dan Ka
merasa sangat bahagia saat melihatnya, hingga air mata
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggenangi pelupuk matanya (meskipun bisa saja reaksi ini ada hubungannya
dengan raki yang diminumnya saat perutnya kosong). Duduk di meja bersama dua
orang wanita cantik tidak sekadar membuatnya bahagia. Dia merasa bangga: dia
memikirkan para penjaga toko Turki yang kelelahan, yang menyapanya setiap pagi
dan malam, dan membayangkan apa yang akan mereka pikirkan seandainya mereka
melihat dirinya bersama dua orang wanita ini sekarang. Hari ini, tidak ada yang
menyaksikan dirinya; tidak seorang pun ada di tempat itu kecuali si penjaga toko
tua yang juga sedang bertugas saat direktur Institut Pendidikan ditembak di
sana. Tetapi, meskipun sedang duduk di Toko Kue Hidup Baru bersama Ypek dan
Kadife, Ka menganggap adegan ini sebagai foto yang diambil dari luar. Foto itu
memperlihatkan dirinya sedang duduk bersama dua orang wanita cantik meskipun
salah seorang di antaranya menyembunyikan rambutnya di balik jilbab.
Sementara Ka sangat tenang, kedua wanita itu sangat gelisah. Setelah Ka
menjelaskan bahwa Fazyl sudah memberinya laporan menyeluruh mengenai pertemuan
di Hotel Asia, Ypek angkat bicara.
"Lazuardi marah besar saat meninggalkan pertemuan itu. Dan, Kadife sekarang
menyesali apa yang dikatakannya di sana. Kami menyuruh Zahide pergi ke tempat
persembunyian Lazuardi, namun dia tidak ada di sana. Kami tak bisa menemukan
Lazuardi di mana pun." Ypek berbicara dengan gaya anak sulung yang berusaha
menolong adiknya yang sedang kesusahan, namun sejenak kemudian, jelas terlihat
bahwa dirinya sendiri juga sangat cemas.
"Jika kalian menemukannya, apakah yang hendak kalian tanyakan kepadanya?"
"Kami ingin memastikan mereka tidak menangkap dia; yang terpenting, kami harus
mengetahui apakah dia masih hidup," kata Ypek. Dia melirik Kadife, yang
sepertinya bisa menangis sewaktu-waktu. "Jadi, tolong cari dia dan tanyakanlah
kepadanya apakah ada yang ingin disampaikannya kepada kami. Katakanlah kepadanya
bahwa Kadife siap melakukan apa pun yang dimintanya."
"Kau jauh lebih mengenal Kars daripada aku."
"Sekarang sudah gelap, dan kami hanya dua orang wanita," kata Ypek. "Kau
tentunya sudah mengenal jalan-jalan di kota ini sekarang. Cobalah cari dia di
kedai teh Manusia Bulan dan Cahaya Suci kedua tempat itu sering didatangi para
siswa madrasah aliah dan mahasiswa Islamis. Keduanya dipenuhi polisi yang
menyamar sekarang ini, dan orang-orang di sana suka bergosip. Jika ada hal buruk
yang menimpa Lazuardi, mereka tentu akan membicarakannya di sana."
Kadife mengeluarkan sehelai sapu tangan dan mengusap hidungnya. Menurut Ka,
gadis itu masih berusaha menahan tangisnya.
"Bawakanlah kabar tentang Lazuardi kepada kami," kata Ypek. "Jika kami terlalu
lama di sini, ayah kami akan khawatir. Dia menantimu untuk makan malam."
"Jangan lupa juga untuk mencarinya di kedai teh di Jalan Bayrampa?a!" kata
Kadife sambil bangkit dari kursinya. Suaranya mulai pecah.
Bagi Ka, kedua wanita itu sepertinya ketakutan setengah mati dan dengan cepat
kehilangan harapan. Dia merasa tidak enak karena harus meninggalkan mereka dalam
keadaan seperti itu, sehingga dia mengantar mereka hingga setengah jalan menuju
Hotel Istana Salju. Meskipun dia merasa ketakutan akan kehilangan Ypek,
kesadaran bahwa dirinya telah bersekongkol dengan mereka, menolong mereka
melakukan sesuatu di belakang punggung ayah mereka, mengikatkan diri kepada
mereka berdua. Saat mereka berjalan, Ka membayangkan bahwa suatu hari nanti,
saat dia dan Ypek telah tinggal di Frankfurt dan Kadife datang berkunjung,
mereka bertiga akan mencoba kafe-kafe di Jalan Berliner, sesekali berhenti untuk
melihat etalase-etalase toko.
Tetapi, sejenak kemudian Ka mulai meragukan apakah dirinya akan berhasil dalam
menjalankan misi mereka. Dia tidak kesulitan menemukan Kedai Teh Manusia Bulan,
sebuah tempat yang sangat biasa dan membosankan, sehingga Ka langsung melupakan
alasannya berada di sana. Untuk waktu yang lama, dia duduk sendirian dan
menonton televisi. Ada beberapa orang pria yang sepertinya cukup muda untuk
menjadi mahasiswa, tetapi, meskipun Ka telah berusaha memancing percakapan dengan beberapa komentar tentang
pertandingan sepak bola yang sedang disiarkan di televisi, tidak seorang pun
menanggapinya. Trik yang digunakan Ka selanjutnya adalah mengeluarkan rokoknya,
bersiap-siap menawarkannya kepada siapa pun yang mendekatinya; dia bahkan
meletakkan geretannya di atas meja. Meskipun begitu, saat menyadari bahwa tidak
seorang pun, bahkan pria juling yang duduk di dekatnya, bersedia berbicara
dengannya, Ka segera berpindah ke Cahaya Suci, tempatnya menemukan beberapa
orang pemuda menonton pertandingan sepak bola yang sama di pesawat televisi
hitam putih. Seandainya Ka tidak menghampiri dinding untuk melihat potongan-
potongan berita dari koran dan jadwal semua pertandingan tim sepak bola Karsspor
musim itu, dia tidak akan ingat bahwa di kedai teh inilah, baru sehari
sebelumnya, dia dan Necip membicarakan tentang keberadaan Tuhan dan makna
kehidupan. Ketika membaca kembali puisi asal-asalan yang ditulis seseorang di
poster Karsspor, dan melihat bahwa seorang penyair lain telah menambahkan
beberapa baris di bawahnya, Ka mengeluarkan buku catatan dan menyalinnya:
Maka jelas sudah: ibu kami takkan kembali dari Surga,
Takkan pernah iagi kami merasakan pelukannya, Tapi, tak peduli betapa pukulan
ayah kami membuatnya menderita,
Dia masih menghangatkan hati dan mengembuskan kehidupan ke jiwa kami, Karena
itulah takdir kami, Dan bau tahi tempat kami tenggelam sangatlah busuknya sehingga Kota Kars pun
tampak mirip Surga. "Apakah Bapak sedang menulis puisi?" tanya seorang pemuda di dekatnya.
"Selamat," ujar Ka. "Katakanlah padaku, apa kau bisa membaca tulisan terbalik?"
"Tidak, Pak, saya bahkan tidak bisa membaca tulisan tegak. Saya kabur dari
sekolah. Jadi, saya tak pernah bisa membaca. Tapi, semua itu sudah saya anggap
sebagai masa lalu." "Siapakah yang menulis puisi baru di dinding ini?"
"Setengah dari para pemuda yang sering datang ke sini adalah penyair."
"Kenapa mereka tidak ada di sini sekarang?"
"Karena para prajurit memburu mereka semua. Sebagian dari mereka ada dalam
tahanan sekarang, dan sebagian lagi bersembunyi. Tanya saja orang-orang yang ada
di sana kalau Bapak mau. Mereka agen yang menyamar, jadi seharusnya mereka
tahu." Pemuda itu menunjuk dua orang pria muda yang sedang berdebat dengan penuh
semangat tentang pertandingan sepak bola.
Tetapi, alih-alih menghampiri mereka untuk menanyakan tentang para penyair yang
menghilang, Ka langsung menuju pintu. Dia senang saat melihat hujan salju
kembali turun. Dia yakin tidak akan mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan
Lazuardi di kedaikedai teh Jalan Bayrampa?a. Meskipun tenggelam dalam
melankolisme malam yang mulai menyelimuti kota, Ka masih merasa bahagia. Gambar-
gambar silih berganti bermunculan di depan matanya saat dia menanti kedatangan
puisinya yang selanjutnya: sebuah mimpi yang seolaholah nyata tentang bangunan-
bangunan semen yang tampak buruk, mobil-mobil yang terkubur salju, kedaikedai
teh, para tukang cukur dan pedagang sayuran yang tampak tersembunyi di balik
jendelajendela berlapis es, halaman tempat anjing-anjing telah menyalak serempak
sejak zaman kekuasaan Rusia, berbagai toko yang masing-masing menjual suku
cadang traktor, perangkat kereta kuda, atau keju. Ka tersentak oleh kepastian
bahwa semua detail kecil yang dilihatnya spanduk dukungan terhadap Partai Ibu
Pertiwi, tirai yang tertutup rapat di balik jendelajendela mungil, secarik
kertas yang ditempelkan oleh seseorang di jendela Apotek Pengetahuan sejak
berbulan-bulan yang lalu, mengumumkan bahwa "suntikan untuk penyakit flu Jepang"
akhirnya tersedia, poster antibunuh diri yang berwarna kuning akan menyertainya
sepanjang hidupnya. Di antara hal-hal kecil tersebut, muncullah bayangan
dengan kekuatan luar biasa: merasa yakin bahwa "semua hal di muka bumi ini
saling berhubungan, bahwa aku juga terhubung langsung dengan dunia yang dalam
dan indah ini", Ka menyimpulkan bahwa sebuah puisi baru sedang mendatanginya,
dan dia pun langsung memasuki salah satu kedai teh di Jalan Atatiirk. Tetapi,
puisi itu tak pernah datang. []
Seorang Pria Kafir di Kars
Ketakutan akan Ditembak TIDAK LAMA setelah Ka meninggalkan kedai teh dan menjejakkan kaki ke trotoar
yang berselimut salju, dia bertatapan muka dengan Muhtar. Pria itu sedang
berjalan tergesa-gesa dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat pertama kali
melihat Ka dari balik pusaran kepingankepingan salju besar, sepertinya Muhtar
tidak mengenalinya, dan selama sesaat Ka tergoda untuk menghindar. Kemudian,
mereka saling menyongsong dan berpelukan erat bagaikan sepasang sahabat yang
telah lama terpisah. "Apakah kau sudah menyampaikan pesanku kepada Ypek?"
"Ya." "Apa katanya" Ayo, mari kita duduk di kedai teh di sana itu, dan kau bisa
menceritakannya kepadaku." Meskipun mendapatkan dampak langsung dari kudeta,
pemukulan di kantor polisi, dan pembatalan pemilihan, Muhtar sepertinya tetap
bersemangat. "Jadi, menurutmu kenapa mereka tidak menahanku" Karena saat salju
mencair, dan jalan-jalan dibuka kembali, dan para prajurit dikirim kembali ke
barak mereka, tanggal pemilihan yang baru akan
segera ditetapkan itulah alasannya. Ingatlah untuk menyampaikan hal ini kepada
Vpek," ujarnya segera setelah mereka duduk.
Ka meyakinkan Muhtar bahwa dia akan menyampaikan pesan itu. Lalu, dia menanyakan
kabar mengenai Lazuardi. "Akulah yang pertama kali mengundangnya ke Kars. Awalnya, dia selalu
menghabiskan waktu bersamaku," Muhtar mengatakan dengan bangga. "Tapi, setelah
pers Istanbul mengecapnya teroris, dia tidak ingin menempatkan partai di posisi
yang sulit, sehingga sekarang, setiap kali dia mendatangi kota ini, kami tak
pernah saling berkomunikasi. Aku selalu menjadi orang terakhir yang mengetahui
rencananya. Apa kata Ypek saat kau menyampaikan pesanku?"
Ka memberi tahu Muhtar bahwa Ypek sepertinya tidak terlalu terkesan pada tawaran
supaya mereka rujuk kembali.
Tetapi, Muhtar mengatakan bahwa mantan istrinya adalah seorang wanita yang
teramat sensitif, tulus, dan penuh pengertian; dia menekankannya seolaholah
untuk menjelaskan perkataannya sebelumnya. Setelah itu, dia mengungkapkan
kembali penyesalannya karena telah memperlakukan Ypek dengan buruk selama dia
melewati krisis dalam kehidupannya sendiri. "Saat kau kembali ke Istanbul, kau
akan membawa puisi yang kuberikan kepadamu dan mengantarkannya sendiri kepada
Fahir, bukan?" tanyanya kemudian.
Ka berjanji, mengusahakan supaya ekspresi wajahnya menyerupai seorang paman yang
sedih dan berhati lembut. Rasa malu Ka telah digantikan oleh sesuatu yang
merupakan perpaduan antara keibaan dan kemuakan, ketika Muhtar mengeluarkan
surat kabar dari sakunya.
"Seandainya aku dirimu, aku tidak akan sesantai itu berkeliaran di jalanan,"
ujar Muhtar dengan nada senang.
Ka menyambar edisi esok hari dari Border City Gazette, yang tintanya belum lagi
mengering. Dia membaca sekilas judul-judulnya: "Revolusioner Teater Mengambil
Alih Kota di Tengah Badai Salju", "Hari-Hari Bahagia telah Kembali ke Kars",
"Pemilihan Ditunda", "Penduduk Kota Menyambut Gembira Revolusi" .... Kemudian, Ka
mencurahkan perhatiannya pada artikel yang ditunjukkan oleh Muhtar:
SEORANG PRIA KAFIR DI KARS PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG Ka, SI PENYAIR GADUNGAN
Apakah alasan ka memilih mengunjungi kota kita dalam masa susah seperti ini"
Kemarin, kami memperkenalkan seorang penyair gadungan kepada penduduk Kars. Hari
ini, kami melaporkan tentang kecurigaan para pembaca kami terhadap dirinya.
Kita telah mendengar banyak desas-desus mengenai penyair gadungan yang nyaris
berhasil menghancurkan penampilan menawan Kelompok Teater Sunay Zaim kemarin,
saat dia naik ke atas panggung di tengah-tengah perayaan AtatCirk dan Republik,
dan merenggut keceriaan dan kedamaian penonton dengan membombardir telinga
mereka melalui sebuah puisi yang menyedihkan dan tak bermakna. Meskipun
penduduk Kars pernah hidup berdampingan dalam harmoni yang membahagiakan, selama
bertahuntahun terakhir ini, kekuatan dari luar telah memicu per-pertikaian antar
saudara, dengan perseteruan antara Islamis dan sekularis, suku Kurdi, suku Turki
dan Azeri, yang memecah belah persatuan untuk alasan yang seolaholah benar, dan
membangkitkan kembali tuduhan lama mengenai pembantaian Armenia yang seharusnya
telah terkubur sejak lama berselang. Maka, wajar saja jika penduduk Kars
mempertanyakan apakah tokoh yang mencurigakan ini, yang melarikan diri dari
Turki bertahuntahun silam dan sekarang tinggal di Jerman, memilih untuk
memberikan penghormatan kepada kita dengan kehadirannya karena sesungguhnya
dirinya adalah seorang mata-mata. Benarkah upayanya untuk memicu sebuah insiden
di madrasah aliah kita berujung pada komentar yang dilontarkannya kepada para
pemuda yang bercakap-cakap dengannya dua hari yang lalu: "Aku seorang ateis. Aku
tidak memercayai Tuhan, tapi bukan berarti aku akan bunuh diri, karena
bagaimanapun, Tuhan semoga Tuhan mengampuninya tidak ada." Mungkinkah katakata
tersebut memang diucapkan olehnya" Dan, saat dia mengatakan bahwa "tugas seorang
intelektual adalah menentang kesucian", apa-kah dia sedang menyangkal keberadaan
Tu-han, dan, jika memang begitulah adanya, apakah berarti dia sedang
mengekspresikan pandangan Eropa mengenai kemerdekaan berpikir" Hanya karena
Jerman menyokong kehidupan Anda, bukan berarti Anda memiliki hak untuk menghina
keyakinan kami! Apakah karena
Anda malu menjadi orang Turki, maka Anda menyembunyikan nama asli Anda di balik
nama Ka, sebuah nama samaran palsu yang terkesan asing" Sejumlah besar pembaca
kami menelepon kantor kami untuk mengungkapkan bahwa mereka menyayangkan mengapa
pria kafir yang gemar meniru orang Eropa ini memutuskan untuk mengunjungi kota
kita dalam masa-masa susah ini, dan mereka merasa khawatir saat mengetahui bahwa
sang penyair telah berkeliaran di wilayah-wilayah kumuh kota kita, mengetuk
pintu rumah-rumah terbobrok untuk membangkitkan pemberontakan melawan negara
kita, dan bahkan, di depan mata kita, dia berani menjulurkan lidah untuk
menghina negara, juga AtatCirk yang agung, bapak Republik kita. Para pemuda Kars
tahu betul cara menghadapi para penista agama yang tidak mengakui keberadaan
Tuhan dan Nabi Muhammad! (SAS)
"Saat aku melewati kantor surat kabar dua puluh menit yang lalu, kedua putra
Serdar baru saja mulai mencetak edisi ini," ujar Muhtar, yang, alih-alih
menunjukkan simpati kepada Ka, justru tampak ceria, seolaholah baru saja
menyampaikan sebuah topik baru yang memancing tawa.
Setelah membaca artikel itu untuk kedua kalinya dan secara lebih saksama, Ka
merasa teramat sangat terasing.
Lama berselang, ketika pertama kali memimpikan masa depan yang cemerlang di
dunia sastra, Ka meramalkan bahwa inovasi modernis yang akan diperkenalkannya
pada puisi Turki (konsep itu sendiri sekarang sepertinya sangat berjiwa
nasionalis) akan memancing kritik keras
dan serangan pribadi terhadap dirinya. Tetap saja, dia mengasumsikan bahwa
reputasi sebagai anak nakal dalam dunia sastra setidaknya akan memunculkan aura
tertentu. Meskipun bertahuntahun kemudian namanya belum bisa dianggap besar, dia
tidak pernah menjadi korban kritikan pedas, dan sekarang dia merasa sakit hati
saat disebut sebagai seorang penyair "gadungan".
Setelah memperingatkan Ka supaya tidak berkeliaran di jalanan "seperti target
bergerak", Muhtar meninggalkannya sendirian, dan Ka diterpa ketakutan bahwa dia
akan ditembak saat itu juga. Dia buru-buru meninggalkan kedai teh dan
berkeliaran di tengah hujan salju, tenggelam dalam pikirannya sendiri; kepingan
kepingan salju besar yang melayang turun dari langit bergerak begitu cepat
sehingga tampak memesona.
Sewaktu muda, Ka sangat meyakini bahwa tidak ada yang lebih terhormat selain
mati akibat alasan politik intelektual, atau untuk membela apa yang telah
ditulisnya. Pada usia tiga puluhan, dia telah melihat begitu banyak sahabat dan
mantan teman sekelasnya disiksa karena mereka membela prinsip-prinsip yang
konyol, bahkan buruk; lalu, ada pula teman-temannya yang ditembak mati saat
berusaha merampok sebuah bank, atau yang mati karena ledakan bom yang dirakitnya
sendiri. Setelah melihat sendiri kekacauan yang timbul dari gagasan-gagasan
muluk-muluk ini dalam kehidupan nyata, Ka perlahan-lahan menjauhkan diri dari
teman-temannya. Dan, tahuntahun yang dihabiskannya sebagai buangan di Jerman
akibat keyakinan politik yang tak lagi dipegangnya akhirnya menghancurkan
hubungan antara politik dan pengorbanan pribadi. Setiap kali memungut surat
kabar Turki di Jerman dan membaca bahwa seorang penulis kolom ini
atau itu telah ditembak karena alasan politik, "kemungkinan besar" oleh Islamis
politis, Ka memberikan penghormatan kepada si korban sebagai seorang korban
pembunuhan, namun bukan karena kekaguman tertentu karena si korban terbunuh
sebagai seorang penulis. Di persimpangan antara Jalan Halitpa?a dan Jalan Kazim Karabekir, Ka melihat
sebatang pipa menyembul dari sebuah lubang berselimut es pada sebentuk tembok
tanpa jendela, dan dia membayangkannya sebagai moncong senjata yang dibidikkan
langsung ke arahnya. Dalam benaknya, dia melihat dirinya terbaring tanpa nyawa
di atas trotoar berselimut salju. Apakah yang akan ditulis pers Istanbul
mengenai dirinya" Kemungkinan besar, pemerintah daerah atau kantor cabang MYT
akan menutupnutupi dimensi politiknya; dan, jika pers Istanbul tidak mengetahui
bahwa dirinya adalah seorang penyair, mereka mungkin tidak akan memberitakan
insiden ini. Bahkan jika teman-temannya di dunia puisi dan di Republican
mengusahakan apa pun sepenuh daya mereka untuk menyoroti sisi politik dari
peristiwa ini (dan, siapakah yang akan menulis artikel itu" Fahir" Orhan"), nama
Ka di dunia sastra justru akan semakin memudar. Sama halnya, jika seseorang
berhasil menulis sebuah puisi yang menempatkan dirinya sebagai seorang penyair
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penting, kematiannya akan diumumkan di halaman sastra, dan tidak seorang pun
akan membacanya. Seandainya seorang jurnalis Jerman bernama Hans Hansen memang
ada, dan Ka betul-betul temannya, Frankfurter Rundschau mungkin akan memuat
berita mengenai pembunuhan atas dirinya, namun koran ini pun akan menjadi satu-
satunya media Barat yang melakukannya. Sejenak, Ka membayangkan bahwa puisi-
puisinya seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman dan dimuat di Azkent, namun seandainya begitu, dia masih sangat yakin
bahwa seandainya artikel di Border City Gazette ini memang memicu pembunuhan
atas dirinya, terjemahan puisinya tidak akan memiliki makna apa pun. Akhirnya,
yang paling membuatnya ketakutan adalah pikiran tentang kematian hanya
menyurutkan harapannya untuk hidup bahagia selama-lamanya bersaO ma Ypek di
Frankfurt. Sejumlah penulis yang terbunuh oleh peluru Islamis selama bertahuntahun terakhir
berkelebatan di depan mata Ka: yang pertama adalah seorang imam tua yang menjadi
ateis, yang berusaha membuktikan adanya "ketidak konsistenan" dalam Alquran
(mereka menembaknya dari belakang, di kepala); lalu, seorang penulis kolom
bereputasi baik, yang kecintaannya terhadap positivisme memicunya untuk menyebut
gadis berjilbab sebagai "kecoa" dalam sejumlah artikelnya (mereka membunuh pria
itu dan sopirnya menggunakan bom mobil pada pagi hari saat dia berangkat ke
tempat kerjanya); dan akhirnya, ada seorang jurnalis investigasi yang
berpendirian teguh, yang tanpa kenal lelah berusaha mengungkapkan hubungan
antara gerakan Islamis Turki dan Iran (saat sedang memutar kunci, dia terlontar
ke langit bersama mobilnya). Bahkan, meskipun Ka mengenang korban-korban ini
dengan penuh kesedihan, dia tahu bahwa mereka naif. Semua orang tahu bahwa pers
Istanbul, seperti halnya pers Barat, tidak terlalu tertarik pada para penulis
kolom garang ini, dan mereka tentu jauh lebih tidak akan tertarik pada jurnalis
yang ditembak di kepala di sebuah gang di suatu kota Anatolia terpencil gara-
gara alasan yang sama. Tetapi, Ka menyalahkan semua ini pada masyarakat yang
dengan mudahnya melupakan para penulis dan penyair mereka: untuk alasan ini,
menurutnya hal terbaik yang harus dilakukannya adalah menyendiri dan berusaha
mendapatkan sedikit kebahagiaan.
Setibanya di kantor Border City Gazette di Jalan Faikbey, Ka melihat koran edisi
keesokan harinya telah ditempelkan di balik jendela kaca yang baru dibersihkan
lapisan esnya. Dia sekali lagi membaca artikel mengenai dirinya sebelum
melangkahkan kaki ke dalam. Salah seorang dari kedua putra sibuk Serdar Bey,
yang lebih tua, sedang mengikat dengan tali rafia tumpukan surat kabar yang baru
keluar dari mesin cetak. Ka membuka topinya supaya mereka dapat melihat siapa
dirinya dan membersihkan salju yang menumpuk di bahu mantelnya.
"Ayah tidak ada di sini!" Ini diucapkan oleh anak yang lebih muda, yang baru
saja memasuki ruangan sambil membawa serbet yang digunakannya untuk mengelap
mesin cetak. "Bapak mau minum teh?"
"Siapakah yang menulis artikel tentangku dalam edisi besok?"
"Apakah ada artikel tentang Bapak di situ?" kata si anak yang lebih muda,
mengangkat alis. "Ya, ada," kata si anak yang lebih tua, menyunggingkan senyuman hangat dan ceria
untuk Ka. Pemuda itu berbibir tebal, sama seperti adiknya. "Ayahlah yang menulis
semua artikelnya hari ini."
"Jika kalian mengedarkan koran ini besok pagi ..." ujar Ka. Dia terdiam sejenak
untuk berpikir. "Dampaknya akan buruk untukku."
"Kenapa begitu?" tanya si anak yang lebih tua. Dia memiliki wajah yang lembut
dan memancarkan kebaikan, dan sorot mata yang polos dan tulus.
Ketika itu Ka menyadari bahwa jika dia berbicara kepada mereka dengan suara
lembut dan ramah, dan hanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek seperti
kepada anak-anak, dia akan bisa mengorek informasi dari mereka. Maka, tak lama
kemudian, kedua bersaudara itu telah membocorkan kepadanya bahwa hingga saat
itu, baru ada tiga orang yang telah membeli koran edisi besok: Muhtar Bey,
seorang bocah suruhan kantor cabang Partai Ibu Pertiwi, dan seorang pensiunan
guru sastra bernama Nuriye Hanym, yang selalu mampir ke kantor mereka setiap
malam. Biasanya, mereka akan mengirim masing-masing setumpuk koran ke Istanbul
dan Ankara, namun karena jalan-jalan masih ditutup, pengiriman edisi besok ini
harus ditunda hingga salju mencair. Kedua pemuda itu akan mengedarkan koran
mereka besok pagi dan, jika ayah mereka menghendakinya, tentu saja, mereka dapat
mencetak sebuah edisi baru untuk hari itu. Ayah mereka, kata mereka kepada Ka,
baru saja meninggalkan kantor dan mengatakan kepada mereka bahwa dia akan
kembali tepat waktu untuk makan malam. Ka menolak tawaran mereka untuk minum teh
bersama; dia membeli satu kopi surat kabar dan keluar menyongsong malam
mematikan di Kars. Entah bagaimana, kepolosan kedua pemuda itu menenangkan Ka. Saat berjalan
perlahan-lahan di antara kepingankepingan salju yang terus berjatuhan dari
langit, Ka mulai merasa malu apakah dia salah karena begitu ketakutan" Tetapi,
di sudut lain pikirannya, Ka tahu bahwa dia akan memiliki nasib yang sama dengan
begitu banyak penulis malang lain yang mati akibat berbagai macam luka tembakan
setelah menghadapi dilema yang serupa dan memilih, entah akibat harga diri atau
keberanian, untuk tidak berbuat apa-apa, atau begitu banyak penulis
yang kehilangan nyawa karena, menyangka telah mendapatkan bingkisan gula-gula
dari salah seorang penggemar berat, membuka dengan penuh semangat paket yang
diterimanya tanpa menyadari bahwa kiriman itu berisi bom. Sebagai contoh,
seorang penyair bernama Nurettin mengagumi segala sesuatu yang bersifat Eropa
namun tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan pada dunia politik hingga
sebuah surat kabar Islamis radikal memuat sesuatu yang telah ditulisnya
bertahuntahun silam sebuah esai tentang kesenian dan agama dan mencekalnya
dengan tuduhan telah "menghina keyakinan kita". Setelah dicap sebagai pengecut,
Nurettin kembali mengusung gagasan-gagasan lamanya dan dengan penuh semangat
menggalakkannya; pers sekuler yang dilindungi militer menyambut hangat katakata
Kemalisnya dan menggembar-gemborkan peranannya seolaholah dirinya adalah
pahlawan mereka. Hingga kemudian, pada suatu pagi, sebuah bom dalam kantong
plastik yang digantungkan di ban depan mobilnya menghancurkan tubuhnya
berkeping-keping hingga serombongan besar pelayat yang mengantarkan kepergiannya
harus berbaris mengiringi sebuah peti mati kosong. Ada pula versi kota kecil
dari kisah yang serupa seorang dokter materialis, dan seorang jurnalis sayap
kiri tua dari sebuah surat kabar daerah yang, ketika dihadapkan pada tuduhan
yang sama, menanggapi dengan retorika anti-agama yang pedas, hanya supaya "tidak
seorang pun dapat mengatakan bahwa kami ketakutan". Beberapa penulis mungkin
memiliki harapan hampa untuk menarik perhatian seluruh dunia, "seperti Salman
Rushdie"; tetapi, yang akan mendengarkan katakata mereka hanyalah para fanatik
muda penuh kemarahan di lingkungan mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki
waktu untuk membayangkan rencana ledakan bom seperti rekan-rekan mereka di kota,
atau bahkan sekadar rencana penembakan. Seperti yang sangat diketahui Ka dari
berita-berita kecil tanpa nyawa yang dilihatnya di halaman belakang koran-koran
Turki di perpustakaan kota Frankfurt, para Islamis lebih memilih menusuk orang-
orang kafir ini di gang-gang sepi atau mencekik mereka dengan tangan kosong.
Ka masih berusaha memikirkan cara menyelamatkan nyawa sekaligus kehormatannya
jika Border City Gazette memberinya kesempatan untuk membela diri ("Saya memang
seorang ateis, namun saya tidak pernah menghina sang Nabi?" "Saya tidak beragama
namun saya tidak pernah sekali pun melecehkan agama?") ketika tiba-tiba dia
mendengar seseorang berjalan cepat di belakangnya. Dia merasakan hawa dingin
menjalari tulang belakangnya saat dia berbalik dan melihat manajer perusahaan
bus yang ditemuinya sehari sebelumnya pada waktu yang sama di pondok Yang Mulia
Syekh Saadettin. Baru terpikir oleh Ka bahwa pria ini dapat menyampaikan
kesaksian bahwa dirinya bukanlah seorang ateis; seketika itu juga pikiran itu
membuatnya malu. Ka melanjutkan menyeret kakinya di sepanjang Jalan Ataturk, melambatkan langkah
saat melewati sudutsudut jalan yang berlapis es, dan berulang kali berhenti
untuk mengagumi bongkahan-bongkahan besar salju, pengulangan tanpa akhir dari
sebuah keajaiban kecil. Selama tahuntahun berikutnya, Ka akan sering mengenang
kembali pemandangan-pemandangan indah yang dilihatnya saat berkeliaran di jalan-
jalan berselimut salju di kota ini (ketiga tiga orang bocah menarik papan luncur
di seruas jalan sempit, jendelajendela Studio Foto Istana Cahaya memantulkan
lampu hijau dari satu-satunya lampu lalu
lintas di Kars) dan memikirkan mengapa dia mengusung gambar-gambar yang
menghadirkan kesedihan ini ke mana pun dirinya melangkah.
Ka melihat sebuah truk patroli tentara dan dua orang prajurit menjaga pintu toko
penjahit tua yang digunakan Sunay sebagai pangkalan operasinya. Ka mengatakan
bahwa dirinya ingin menemui Sunay kepada para prajurit yang berkumpul di depan
toko itu, berusaha menghindari terpaan salju, tapi mereka memperlakukannya
seperti seorang petani miskin yang datang dari kampung untuk menyampaikan petisi
kepada sang pemimpin. Ka berharap Sunay bisa mencegah peredaran surat kabar yang
memuat tentang dirinya. Jika ingin memahami amarah yang dengan cepat menguasai Ka, sebelumnya kita harus
mengerti tentang sengatan penolakan yang dirasakannya. Yang pertama tersembul
dalam benaknya adalah berlari menembus salju dan bersembunyi di hotel, namun
sebelum mencapai persimpangan, dia justru berbelok dan memasuki Kafe Persatuan.
Di tempat itu, dia menduduki meja di antara dinding dan tungku pemanas, lalu
menulis sebuah puisi yang nantinya dijuduli "Ditembak dan Mati". Seperti yang
kemudian ditulisnya dalam buku catatan, puisi ini adalah sebuah ekspresi
"ketakutan murni", sehingga dia meletakkannya di antara pucuk "Kenangan" dan
"Imajinasi" dalam kepingan salju berpucuk enamnya, dan kemudian memalingkan muka
dari ramalan ini. Segera setelah selesai menulis puisi ini, Ka meninggalkan Kafe Persatuan. Waktu
menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit ketika dia tiba di Hotel Istana
Salju. Dia berbaring telentang di ranjangnya, memandang kepingankepingan salju
yang melayang melintasi berkas-berkas cahaya lampu jalanan dan huruf "K" merah
jambu yang berkedip-kedip di jendela seberang jalan. Dia berusaha meredam
kepanikannya yang semakin besar dengan membayangkan kehidupan bahagia yangakan
dijalaninya bersama Ypek di Frankfurt. Sepuluh menit kemudian, dia dihinggapi
hasrat untuk menemui Ypek. Dia menuruni tangga dan menemukan seluruh keluarga
Ypek duduk mengelilingi meja makan bersama tamu mereka malam itu, dan hatinya
melambung saat dia melihat rambut Ypek berkilauan di tengah pancaran uap hangat
dari mangkuk sup yang diletakkan Zahide di hadapannya. Saat Ypek menyuruhnya
duduk di sampingnya, Ka merasa sangat bangga melihat semua orang di meja itu
mengetahui bahwa mereka saling jatuh cinta. Di hadapannya, duduklah Serdar Bey,
pemilik Border City Gazette.
Saat Serdar Bey mengulurkan tangan, senyumnya begitu ramah sehingga Ka mulai
meragukan apa yang telah dibaca oleh matanya sendiri di koran yang tersimpan di
sakunya. Setelah mengambil sup untuk dirinya sendiri, Ka meraih ke bawah meja
dan meletakkan tangannya di pangkuan Ypek; dia mendekatkan kepalanya ke kepala
Ypek, menghirup aroma dan menyelami kehadirannya, kemudian dia membisikkan
permintaan maaf karena sejauh ini dirinya belum juga mendapatkan kabar tentang
Lazuardi. Ka belum selesai berbicara ketika matanya bertemu dengan mata Kadife,
yang duduk di sebelah Serdar Bey. Kekaguman sekaligus kemarahan menerpanya saat
dia mengetahui bahwa meskipun tanpa berkata-kata, Ypek telah menyampaikan kabar
ini kepada Kadife. Meskipun benaknya dipenuhi pikiran tentang Serdar Bey, Ka berhasil menenangkan
perasaannya dan memberikan perhatian kepada Turgut Bey, yang sedang mengeluh
tentang pertemuan di Hotel Asia yang justru memperkeruh suasana. Turgut Bey lalu
menambahkan bahwa polisi mengetahui segala sesuatu tentang pertemuan itu. "Tapi
aku sama sekali tidak menyesal telah mengambil bagian dalam peristiwa bersejarah
ini," katanya. "Aku senang karena dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri
seberapa dalam derajat politik kita telah tersuruk baik tua maupun muda sama
saja, semuanya tak punya harapan. Aku menghadiri pertemuan itu untuk memprotes
kudeta, tapi sekarang kupikir tentara benar karena ingin menyingkirkan mereka
dari kancah politik. Mereka adalah aib bagi masyarakat, orang-orang paling
bodoh, mengenaskan, dan menyusahkan di kota ini. Aku senang karena tentara tidak
tinggal diam dan membiarkan kita menyerahkan masa depan kepada para sampah
masyarakat yang tak kenal malu ini. Aku akan mengatakannya sekali lagi, Kadife,
sebelum turut campur dalam politik nasional, pertimbangkanlah setiap tindakanmu
dengan baik." Saat Ka mengeluarkan edisi Border City Gazette miliknya, mereka telah duduk
bersama selama dua puluh menit, dan, meskipun televisi menyala di latar
belakang, ruangan itu terasa hening.
"Saya hendak mengatakannya sendiri," kata Serdar Bey. "Tapi saya tak bisa
memutuskan; saya pikir Anda akan salah paham."
"Serdar, Serdar, siapa yang memberimu perintah kali ini?" kata Turgut Bey. "Ka,
kau tidak adil terhadap tamu kita. Berikanlah koran itu kepadanya supaya dia
bisa melihat sendiri betapa buruk perbuatannya."
"Pertama-tama, saya harus menjelaskan bahwa saya tidak memercayai sepatah kata
pun yang telah saya tulis," kata Serdar Bey sambil menerima surat kabar dari Ka.
"Jika Anda mengira saya memercayainya, Anda menghancurkan hati saya. Saya mohon,
pahamilah bahwa ini bukan masalah pribadi. Tolonglah, Turgut Bey, bantu aku
menjelaskan mengapa seorang jurnalis di Kars bisa diperintah untuk menulis hal-
hal semacam ini." "Serdar selalu mendapatkan perintah untuk menjelek-jelekkan seseorang," Turgut
Bey menjelaskan. "Jadi, sebaiknya kita dengar artikel ini."
"Saya tidak memercayai sepatah kata pun di dalamnya," ulang Serdar Bey dengan
bangga. "Para pembaca kami juga tidak akan memercayainya. Karena itulah Anda
tidak perlu takut." Dia membacakan artikel itu dengan nada sarkastis, berhenti
di sana-sini untuk memberikan efek dramatis. "Anda lihat sendiri, tidak ada yang
perlu ditakuti!" ujarnya sambil tersenyum lebar.
"Apakah kau seorang ateis?" Turgut Bey bertanya kepada Ka.
"Bukan itu intinya, Ayah," tukas Ypek dengan jengkel. "Jika koran ini diedarkan,
mereka akan menembaknya di jalan besok."
"Omong kosong," kata Serdar Bey. "Aku meyakinkan kalian, tidak ada yang perlu
ditakuti. Para prajurit sudah merazia semua Islamis radikal dan reaksioner di
kota ini." Dia berpaling ke arah Ka. "Saya dapat melihat di mata Anda bahwa Anda
tidak tersinggung, dan Anda tahu betapa saya menghormati karya Anda dan juga
kekaguman saya kepada Anda sebagai manusia. Saya mohon, jangan kecam saya dengan
menerapkan standar Eropa yang tidak pernah sesuai untuk kita. Izinkanlah saya
mengatakan kepada Anda apa yang terjadi pada orang-orang tolol yang berkeliaran
di Kars, bertingkah seperti orang Eropa dan Turgut Bey juga tahu tentang hal ini
sebaik saya. Tiga hari, hanya itulah waktu yang diperlukan, tiga hari dan mereka akan mati,
pergi, ditembak, dilupakan. Pers Anatolia Timur sedang menghadapi masalah berat.
Rata-rata pembaca kami di Kars malas membaca koran. Nyaris semua pelanggan kami
adalah kantor-kantor pemerintahan. Jadi, tentu saja, kami akan menurunkan jenis
berita yang ingin dibaca oleh para pelanggan kami. Di seluruh dunia bahkan di
Amerika surat-surat kabar memuat berita yang sesuai dengan selera pembaca
mereka. Dan, jika pembaca Anda tidak menginginkan apa pun selain kebohongan dari
Anda, siapa memangnya yang mau menjual surat kabar yang memberitakan kebenaran"
Jika kebenaran dapat meningkatkan oplah surat kabar saya, mana mungkin saya
menolak untuk menuliskan kebenaran" Selain itu, polisi juga tidak akan
membiarkan saya mencetak kebenaran. Di Istanbul dan Ankara, kami memiliki
seratus lima puluh pembaca yang punya keterkaitan dengan Kars. Untuk memuaskan
mereka, kami selalu menggembar-gemborkan betapa kaya dan suksesnya mereka di
sana; kami membesar-besarkan segalanya, karena, jika kami tidak melakukannya,
mereka akan berhenti berlangganan. Dan, Anda tahu, mereka bahkan memercayai
kebohongan yang kami tulis tentang mereka. Tapi, itu masalah lain." Dia
tergelak. "Dan, siapakah yang memerintahkan kepadamu untuk menurunkan artikel ini" Ayo,
katakanlah kepadanya," kata Turgut Bey.
"Tuan rumahku! Seperti yang kau sendiri ketahui dengan baik, prinsip pertama
dari jurnalisme Barat adalah perlindungan terhadap narasumber."
"Anak-anak perempuanku sangat menyukai kehadiranmu sebagai tamu kami di sini,"
kata Turgut Bey. "Jika
kau mengedarkan koran ini besok, mereka tak akan pernah memaafkanmu. Jika
seorang fundamentalis sinting menembak dia, apa kau tidak akan merasa
bertanggung jawab?" "Apakah Anda setakut itu?" Serdar tersenyum sambil menoleh pada Ka. "Jika Anda
memang setakut itu, sebaiknya Anda menjauhkan diri dari jalan besok."
"Akan lebih baik jika koran itu yang dilenyapkan daripada Ka harus melenyapkan
diri," kata Turgut Bey. "Sudahlah, jangan edarkan edisi ini."
"Itu akan membuat para pelangganku marah."
"Baiklah, kalau begitu," kata Turgut Bey. Dia mendapatkan sebuah gagasan.
"Berikan saja edisi ini kepada siapa pun yang memesan artikel itu. Sedangkan
untuk pembaca lainnya, kusarankan supaya kau menyingkirkan artikel bermasalah
itu dan mencetak sebuah edisi baru." Ypek dan Kadife juga menganggap ini adalah
solusi terbaik. "Aku tersanjung melihat surat kabar saya dianggap serius," kata Serdar Bey.
"Tapi, siapakah yang akan membayar ongkos cetakan baru ini" Itulah yang sekarang
harus kalian katakan kepadaku."
"Ayah akan membawa Bapak dan kedua anak Bapak makan malam di Restoran Pastura
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hijau," kata Ypek. "Aku menerimanya, kalau kau juga ikut," kata Serdar Bey. "Tapi, sebaiknya kita
menunggu sampai jalan-jalan dibuka dan kelompok pemain sandiwara itu pergi dari
sini! Kadife juga harus ikut. Kadife Hanym, aku berpikir, apa kau bisa
menolongku menulis artikel baru untuk menggantikan artikel yang kita singkirkan
itu" Jika kau bisa mengatakan sesuatu tentang kudeta ini, coup de theatre ini,
aku yakin para pembaca kami akan sangat senang."
"Tidak, dia tidak bisa. Jangan pernah memikirkannya," kata Turgut Bey. "Apa kau
tidak mengenal putriku?"
"Kadife Hanym, apakah menurut Anda angka bunuh diri di Kars akan meningkat
akibat gejolak kudeta teater ini" Saya yakin para pembaca kami ingin mendengar
pandangan Anda tentang hal ini terutama karena mereka tahu bahwa Anda menentang
tindakan bunuh diri gadis-gadis muslim ini."
"Aku tidak lagi menentang tindakan bunuh diri!"
"Tapi, tidakkah dengan begitu kau menjadi ateis?" tanya Serdar Bey. Meskipun dia
mungkin berharap ucapannya ini akan membelokkan arah diskusi mereka, dia cukup
sadar untuk melihat bahwa semua orang di meja itu memelototinya, sehingga dia
pun mengalah. "Baiklah, kalau begitu, aku berjanji, aku tidak akan mengedarkan
edisi ini." "Apa kau akan mencetak edisi baru?" "Segera setelah aku meninggalkan meja ini,
sebelum aku pulang."
"Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak, kalu begitu," kata Ypek.
Keheningan panjang dan janggal menyusul. Ka menganggapnya sangat menenangkan:
untuk pertama kalinya sejak bertahuntahun, dia merasa sebagai bagian dari sebuah
keluarga. Meskipun terdapat kesulitan dan tanggung jawab yang menyertai kata
"keluarga", dia sekarang dapat merasakan kebahagiaan yang timbul dari sebuah
kebersamaan, dan dia menyesal karena tidak mengetahui lebih banyak tentang hal
ini dalam kehidupannya. Dapatkah dia mendapatkan kebahagiaan yang bertahan lama
bersama Ypek" Tetapi, kebahagiaan bukanlah yang diburunya Ka menyadari betul hal
ini setelah menghabiskan tiga gelas raki; dia bahkan berani mengatakan bahwa
dirinya lebih memilih untuk tidak bahagia. Yang terpenting adalah membagi
keputusasaan, menciptakan sebuah sarang mungil tempat sepasang manusia dapat
hidup bersama, memisahkan diri dari dunia. Sekarang, Ka berpikir bahwa dirinya
dan Ypek dapat menciptakan ruang semacam itu, hanya dengan bercinta selama
berbulan-bulan. Duduk di meja bersama dua orang wanita cantik ini, mengetahui
bahwa dia telah bercinta dengan salah seorang di antaranya siang itu, melihat
kelembutan kulit mereka, mengetahui bahwa dirinya tidak akan sendirian malam itu
.... Saat gairahnya menggelegak, Ka membiarO kan dirinya meyakini bahwa surat
kabar itu tidak akan diedarkan, dan semangatnya pun melambung tinggi.
Kebahagiaan Ka menumpulkan berbagai macam cerita dan desas-desus yang kemudian
didengarnya. Kabar buruk tak lagi merisaukan hatinya; semua itu terdengar
seperti bagian menegangkan dalam sebuah epik kuno. Salah satu bocah yang bekerja
di dapur memberi tahu Zahide bahwa sebagian tahanan telah dibawa ke stadion
sepak bola. Di tengah-tengah salju yang menumpuk hingga menutupi setengah tiang
gawang, para tahanan itu dijemur seharian supaya mereka sakit atau mungkin
bahkan tewas; katanya, beberapa di antara mereka dibawa ke ruang ganti dan
diberondong dengan peluru untuk menakut-nakuti para tahanan lainnya. Ada pula
laporan dari saksi mata, yang mungkin dibesar-besarkan, tentang teror yang
disebarkan oleh Z Demirkol dan kawan-kawannya sepanjang hari di seluruh kota.
Mereka menjarah Asosiasi Mesopotamia, sebuah yayasan yang didirikan oleh
sejumlah pemuda nasionalis Kurdi untuk memajukan "kisah rakyat dan sastra".
Kebetulan, tidak seorang pun anggota asosiasi itu ada di tempat ketika itu,
sehingga mereka menculik pria tua yang bertugas membuat teh di kantor itu seseorang yang tidak
tahu apa-apa tentang politik dan memukulinya. Lalu, terdapat tiga orang pria dua
di antaranya adalah tukang cukur, yang ketiga seorang pengangguran yang dituduh
terlibat dalam sebuah insiden enam bulan sebelumnya, saat sekelompok orang yang
tidak dikenal menumpahkan air limbah berwarna ke sekujur patung Ataturk yang
berdiri di depan Pangkalan Kerja Atatiirk. Meskipun ketiga pria ini telah
menjalani penyelidikan berkaitan dengan kejahatan tersebut, mereka tak pernah
dipenjarakan. Tetapi, setelah menjalani pemukulan selama semalaman, mereka
mengaku bertanggung jawab terhadap sejumlah insiden anti-Ataturk lainnya di kota
itu: memalu hidung patung yang berdiri di depan taman Sekolah Perdagangan dan
Industri, menulis coretan mesum di poster yang menempel di dinding Kafe Lima
Sekawan, bergabung dengan komplotan kapak yang menghancurkan patung di luar
kantor pemerintahan. Tidak lama setelah kudeta berlangsung, Z Demirkol dan para
pengikutnya menembak dan membunuh dua orang pemuda Kurdi yang tertangkap basah
oleh mereka sedang menulis slogan-slogan di tembok Jalan Halitpa?a. Setelah
membekuk pemuda kedua, mereka memukulinya hingga pingsan. Lalu, ada pula seorang
pemuda pengangguran yang mereka bawa ke madrasah aliah untuk membersihkan
grafiti di dinding. Saat pemuda itu mencoba melarikan diri, mereka menembak
kakinya. Menurut sejumlah informan yang berbeda, orang-orang yang mencela para
prajurit dan aktor, dan menyebarkan rumor tak berdasar mengenai mereka di
kedaikedai teh di kota seluruhnya telah ditangkap. Tetapi, seperti yang wajar
terjadi dalam keadaan semencekam ini, banyak tersebar desas-desus dan
kabar yang dibesar-besarkan, dari para pemuda Kurdi yang mati dengan bom di
tangan mereka, hingga gadis-gadis berjilbab yang bunuh diri untuk memprotes
kudeta, hingga truk berisi dinamit yang dihentikan saat mendekati Kantor Polisi
Ynonii. Meskipun Ka tiba-tiba memerhatikan saat mereka menyebut-nyebut tentang truk yang
memuat bahan peledak (dia mendengar orang lain membicarakan tentang serangan bom
bunuh diri sebelumnya), dia nyaris tidak melakukan apa-apa lagi malam itu
kecuali menikmati setiap saat yang dihabiskannya dengan duduk penuh kedamaian di
samping Ypek. Lama kemudian, saat Serdar Bey berdiri dan bersiap-siap pergi, dan Turgut Bey
beserta kedua putrinya berdiri untuk melepas kepergiannya sebelum masuk ke kamar
mereka masing-masing, terpikir oleh Ka bahwa Ypek akan ikut dengannya ke
kamarnya. Tetapi, dia tidak siap menghadapi bayangan yang mungkin akan menutupi
kebahagiaannya jika Ypek menolak, sehingga dia pun naik tanpa sedikit pun
menunjukkan apa yang diinginkannya.[]
Kadife Tidak Akan Pernah Menyetujuinya
Sang Mediator KA BERDIRI di jendela kamarnya, mengisap rokok. Hujan salju telah berhenti, dan
akhirnya, ketika cahaya pucat lampu-lampu jalanan berpendar di halaman sunyi
yang berselimut salju, kebekuan pemandangan mendatangkan kedamaian baginya.
Tetapi, kedamaian yang dirasakannya lebih berhubungan dengan cinta daripada
dengan keindahan salju. Dia begitu bahagia sehingga bahkan dapat mengakui bahwa
kedamaiannya sebagian berasal dari perasaan hebat yang dimilikinya karena dia
menyadari bahwa dirinya berasal dari Istanbul dan Frankfurt.
Ketukan terdengar di pintu. Saat membukanya, Ka terpana melihat Ypek berdiri di
hadapannya. "Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tak bisa tidur," kata Ypek sambil
melangkah memasuki kamar Ka.
Seketika itu juga, Ka mengetahui bahwa mereka akan bercinta hingga pagi tiba,
bahkan meskipun Turgut Bey tidur di bawah atap yang sama. Kekagetan yang
mendalam menguasai Ka karena dirinya dapat memeluk Ypek erat-erat tanpa harus
melalui siksaan menunggu. Malam panjang yang mereka habiskan dengan bercinta
menghanyutkan Ka ke sebuah tempat yang jauh melampaui kebahagiaan, atau
setidaknya apa yang dianggapnya sebagai kebahagiaan. Dia terlempar dari waktu,
dilumpuhkan oleh gairah; satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia telah
menghabiskan kehidupannya selama ini tanpa menemukan surga ini. Kedamaian yang
dirasakannya jauh melampaui apa pun yang pernah dialaminya. Dia melupakan
fantasi-fantasi seksual dan gambar-gambar porno dari majalah yang senantiasa
tersimpan di sudut belakang benaknya. Saat bercinta bersama Ypek, Ka dapat
mendengar musik mengalun di dalam dirinya, musik yang belum pernah didengarnya,
dan dengan mengikuti harmoninya, dia melakukan apa yang harus dilakukannya. Dari
waktu ke waktu, dia tertidur dan memimpikan liburan-liburan musim panas
bermandikan cahaya; dia berlarian bebas seolaholah dirinya abadi; pesawat yang
ditumpanginya akan jatuh dari langit, namun dia masih menikmati sebutir apel.
Sebutir apel yang tidak akan pernah dihabiskannya, sebutir apel yang akan
dinikmatinya selama-lamanya. Lalu, dia terbangun dan mencium aroma apel di kulit
Ypek. Dipandu oleh cahaya bulan dan pendar kuning temaram lampu-lampu jalanan,
Ka mendekatkan matanya ke mata Ypek dan berusaha melihat ke dalamnya. Saat
melihat bahwa Ypek terjaga dan secara diamdiam memandangnya, Ka membayangkan
mereka berdua sebagai sepasang ikan paus yang sedang berenang perlahan-lahan di
perairan dangkal. Baru ketika itulah dia menyadari bahwa mereka saling
berpegangan tangan. Tepat ketika itu, saat mereka berdua terjaga dan mendapati diri mereka saling
memandang lekat-lekat, Ypek mengatakan, "Aku akan berbicara dengan ayahku. Aku
akan ikut denganmu ke Jerman."
Lama sesudah itu, Ka tak kunjung dapat memejamkan mata. Alih-alih, dia melihat
kehidupannya terbentang di hadapannya, bagaikan sebuah film bahagia.
DI SUATU tempat di kota, sebuah ledakan terjadi. Ledakan itu cukup keras
sehingga ranjang, kamar, dan hotel berguncang. Mereka mendengar rentetan
tembakan senapan mesin di kejauhan. Kebisingan itu teredam oleh salju yang masih
menyelimuti seluruh Kars. Mereka saling berpelukan dan menunggu dalam
keheningan. Ketika mereka terbangun lagi, ledakan sudah tidak terdengar. Ka dua kali bangkit
dari ranjang yang hangat dan mengisap rokok, menikmati angin dingin yang masuk
melalui jendela terbuka, menyejukkan tubuhnya yang bersimbah peluh. Tidak satu
pun puisi menghampiri benaknya. Dia tenggelam dalam kebahagiaan yang jauh lebih
besar daripada yang pernah dirasakannya.
Saat Ka terbangun oleh ketukan pintu pada pagi harinya, Ypek sudah pergi dari
sisinya. Dia tidak tahu pukul berapa ketika itu, atau apa saja yang sudah
dibicarakannya dengan Ypek, atau pukul berapa baku tembak berakhir.
Cavit, sang resepsionis, berdiri di depan pintu. Dia datang untuk memberi tahu
Ka bahwa seorang petugas menantinya di bawah untuk menyampaikan undangan dari
Sunay Zaim: Ka diperintahkan untuk melapor ke markas pada saat itu juga; si
petugas menunggu untuk mengawalnya. Ka menyempatkan diri untuk bercukur sebelum
turun. Jalanan sunyi di Kars tampak lebih indah, lebih menawan, daripada pagi sehari
sebelumnya. Di Jalan Atatiirk, Ka melihat sebuah rumah dengan kaca jendela,
pintu hancur lebur, dan dinding depan dipenuhi lubang peluru.
Di toko penjahit, Sunay mengatakan kepadanya bahwa telah terjadi sebuah
percobaan bom bunuh diri. "Pria malang itu memorak-porandakan rumahnya sendiri,
dan alih-alih datang ke sini, dia menyerang sebuah bangunan di atas bukit,"
jelasnya. "Dia meledakkan dirinya sendiri hingga hancur menjadi bubur, membuat
kami tidak dapat menentukan apakah dia mati untuk membela Islam atau PKK."
Ka terhenyak oleh gaya kekanak-kanakan yang ditampilkan oleh seorang aktor yang
menganggap dirinya sendiri hebat ini. Wajah Sunay tercukur bersih. Penampilannya
tampak segar, tulus, dan penuh semangat.
"Kami sudah menangkap Lazuardi," katanya. Dia menatap tajam mata Ka.
Ka berusaha sekeras-kerasnya menahan kegembiraannya saat mendengar kabar ini,
namun Sunay tidak mudah dikelabui.
"Dia memang penjahat," kata Sunay. "Jelas sudah bahwa dia adalah dalang di balik
pembunuhan direktur Institut Pendidikan. Dia menggembar-gemborkan kepada semua
orang bahwa dia menentang tindakan bunuh diri, sementara dia sendiri sibuk
membentuk para remaja miskin berotak udang menjadi pelaku bom bunuh diri. MYT
yakin dia datang ke sini membawa cukup banyak bahan peledak yang bisa mengubah
seluruh Kota Kars menjadi asap. Pada malam revolusi, dia berhasil meloloskan
diri dari orang-orang yang kami tugaskan mengintai dirinya. Tidak seorang pun
tahu di mana dia bersembunyi. Tentu saja, kautahu banyak tentang pertemuan
konyol yang terjadi kemarin di Hotel Asia."
Karena mereka seolaholah berada di atas panggung, memerankan sebuah adegan, Ka
mengangguk dengan gaya dramatis untuk menanggapi perkataan Sunay.
"Tujuan kehidupanku bukanlah menghukum makhluk-makhluk jahanam ini, para
reaksioner dan teroris yang berkeliaran di sekitar kita ini," kata Sunay. "Ada
sebuah drama yang sudah kudambakan untuk kuperankan selama bertahuntahun; itulah
alasan sesungguhnya mengapa aku berada di sini. Ada seorang penulis Inggrisyang
dikenal dengan nama Thomas Kyd. Menurut cerita yang beredar, Shakespeare mencuri
Hamlet darinya. Aku menemukan kecurangan yang lain, sebuah drama yang telah
terlupakan dari Kyd, berjudul The Spanish Tragedy. Ceritanya tentang pertikaian
berdarah dalam suatu keluarga, sebuah tragedi yang berakhir dengan tindakan
bunuh diri. Aku dan Funda telah menunggu kesempatan seperti ini selama lima
belas tahun." Ketika Funda Eser memasuki ruangan, memamerkan sebuah penahan rokok bertangkai
panjang elegan, Ka menyambutnya dengan membungkukkan badan secara berlebihan,
sebuah tindakan yang jelas-jelas membuat wanita itu senang. Tanpa merasa
terganggu oleh kehadiran Ka, kedua aktor itu langsung mendiskusikan drama yang
dimaksud oleh Sunay. "Kami ingin orang-orang kita menikmati jalannya drama ini, merasa terhibur, dan,
sejauh ini, aku sudah menyederhanakan alur ceritanya," kata Sunay. "Kami
berencana mementaskannya besok di Teater Nasional, di depan banyak penonton,
dan, tentu saja, televisi akan menyiarkannya secara langsung sehingga seluruh
kota dapat melihatnya."
"Saya juga sangat ingin melihatnya," kata Ka.
"Kami ingin Kadife berperan di dalamnya. Funda akan
berperan sebagai saingannya yang jahat. Kadife akan muncul di panggung memakai
jilbabnya. Lalu, untuk menentang adat istiadat tolol yang memicu pertikaian
berdarah di antara keluarganya, dia mencopot jilbabnya di depan semua orang."
Dengan lagak teatrikal, Sunay mencopot jilbab khayalan di kepalanya dan berpura-
pura merobek-robeknya. "Ini hanya akan memunculkan masalah lain!" sergah
Ka. "Jangan khawatir tidak akan ada masalah lain. Jangan lupa, sekarang tentara
berkuasa di kota ini."
"Dan, tentu saja, Kadife tidak akan menyetujuinya," lanjut Ka.
"Kami tahu Kadife mencintai Lazuardi," ujar Sunay. "Jika Kadife mau mencopot
jilbabnya, aku akan langsung melepaskan Lazuardi. Mereka bisa melarikan diri
bersama ke sebuah negeri asing dan hidup bahagia selama-lamanya."
Wajah Funda Eser berseri-seri, seperti seorang bibi baik hati dan penyayang
dalam drama Turki, yang tersenyum saat menyaksikan sepasang kekasih berangkat
untuk mencari kebahagiaan di negeri antah berantah. Sejenak, Ka membayangkan
kisah kasihnya sendiri bersama Ypek akan menghadirkan senyuman yang sama di
bibir Funda Eser. "Saya tetap yakin bahwa Kadife tidak akan mau mencopot jilbabnya dalam siaran
langsung televisi," kata Ka.
"Dalam situasi ini, kami menganggap hanya dirimu seoranglah yang mampu membujuk
Kadife supaya mau melakukannya," kata Sunay. "Menawar kami sama saja menawar
setan terbesar di dunia. Dia tahu bahwa kau
telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk memusingkan gadis-gadis berjilbab
itu. Dan, kau mencintai kakaknya."
"Masalahnya bukan hanya Kadife. Anda juga harus membujuk Lazuardi. Tapi, Kadife
harus didekati terlebih dahulu," kata Ka, masih merasakan sengatan akibat ucapan
terakhir Sunay yang terdengar brutal di telinganya.
"Kau boleh melakukannya dengan cara apa pun yang kausukai," kata Sunay. "Aku
memberimu wewenang untuk melakukan apa pun yang perlu kaulakukan, dan satu truk
tentara akan mengawalmu. Kau mendapatkan izin untuk bernegosiasi atas namaku."
Keheningan menyusul, dan Sunay melihat keengganan Ka.
"Saya tidak ingin terlibat dalam hal ini," akhirnya Ka berkata.
"Dan, mengapa begitu?"
"Yah, bisa jadi karena saya takut. Saya sedang sangat bahagia sekarang ini. Saya
tidak mau diri saya jadi target bagi Islamis. Ketika mereka melihat Kadife
mencopot jilbabnya, para pelajar itu akan langsung beranggapan bahwa sayalah
ateis yang mengatur pertunjukan. Dan, kalaupun saya berhasil meloloskan diri ke
Jerman, mereka akan melacak saya seseorang akan menembak saya saat saya berjalan
sendirian pada suatu malam."
"Mereka akan menembakku terlebih dahulu," kata Sunay dengan bangga. "Tapi, aku
mengagumi keberanian-mu dalam mengakui bahwa kau ketakutan. Akulah pengecut
terbesar di antara semua pengecut kumohon, percayalah. Hanya orang pengecut yang
bisa bertahan di negara ini. Tapi, tidak ada seorang pun pengecut di dunia ini
yang memimpikan tentang hari saat dia mendapati dirinya memiliki keberanian
besar tidakkah kau setuju?"
"Saya sedang sangat bahagia sekarang ini," ulang Ka. "Saya tidak berminat
menjadi pahlawan. Mimpimimpi heroik adalah tempat berpaling bagi mereka yang
tidak bahagia. Lagi pula, jika orang-orang seperti kita menjadi heroik, artinya
kita harus saling membunuh atau melakukan bunuh diri."
"Ya," Sunay bersikeras, "tapi tidak adakah suara lirih di suatu ruang di dalam
dirimu yang mengingatkanmu bahwa kebahagiaanmu ditakdirkan untuk tidak
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung terlalu lama?"
"Kenapa kau suka sekali menakut-nakuti tamu kita?" kata Funda Eser.
"Tidak ada kebahagiaan yang berlangsung terlalu lama, saya tahu itu," kata Ka
dengan penuh perenungan. "Tapi, saya tidak berminat melakukan tindakan heroik
yang akan menyebabkan saya terbunuh hanya karena saya mengetahui bahwa mungkin
saya akan menjadi tidak bahagia lagi entah kapan pada masa depan."
"Jika kau tidak mau terlibat, mereka tidak akan menunggu hingga kau tiba di
Jerman sebelum membunuhmu. Mereka akan membunuhmu di sini. Apa kau sudah melihat
koran hari ini?" "Apakah di situ dikatakan bahwa saya akan terbunuh hari ini?" Ka tersenyum.
Sunay mengeluarkan Border City Gazette, membuka halaman terakhir, dan
menunjukkan artikel yang telah dibaca Ka pada malam sebelumnya.
"Seorang pria kafir di Kars!" baca Funda Eser dengan suara menggelegar.
"Itu surat kabar yang dicetak pertama kemarin," ujar Ka dengan nada santai.
"Malam harinya, Serdar Bey memutuskan untuk meralat kesalahan dalam artikel ini
dan mencetak sebuah edisi baru."
"Tidak, dia tak bisa melakukannya. Edisi inilah yang beredar pagi ini. Jangan
pernah memegang janji seorang jurnalis begitu saja. Tapi, kami akan
melindungimu. Para fundamentalis itu tidak ada apa-apanya di hadapan militer,
jadi tentu saja mereka tidak akan menembak seorang mata-mata Barat begitu saja."
"Andakah yang menyuruh Serdar menulis artikel ini?" tanya Ka.
Mengangkat alisnya, mengatupkan bibirnya, Sunay memelototi Ka, memainkan peran
sebagai seorang pria yang kehormatannya terusik, namun Ka masih dapat menangkap
jejak seorang politikus lihai di sosoknya.
"Jika Anda bersedia melindungi saya, saya bersedia menjadi mediator Anda," ujar
Ka. Sunay berjanji dan, masih dalam gaya revolusioner, memeluk Ka, menyelamatinya,
dan meyakinkannya bahwa dua orang pria yang diberi tugas untuk mengawal Ka tidak
akan pergi dari sisinya. "Jika diperlukan, mereka bahkan akan melindungimu dari dirimu sendiri!" serunya.
Mereka duduk untuk membicarakan detail-detail misi Ka, masing-masing menghirup
secangkir teh wangi untuk menyegarkan pikiran. Funda Eser senantiasa tersenyum,
seolaholah seorang aktris brilian ternama baru saja bergabung dengan mereka.
Selama beberapa waktu, dia membicarakan kekuatan The Spanish Tragedy, namun
pikiran Ka berada di tempat lain: dia sedang memandang berkas-berkas cahaya
putih memukau yang masuk melalui jendelajendela tinggi di toko penjahit itu.
Impian Ka berakhir seketika saat, setelah meninggalkan toko, dia bertemu dengan
dua orang pria gagah bersenjata yang akan menjadi pengawalnya. Semula dia
berharap salah satu dari mereka setidaknya seorang detektif berpakaian preman
dengan penampilan yang wajar. Bertahuntahun sebelumnya, seorang penulis terkenal
tampil di televisi dan mengatakan bahwa penduduk Turki adalah orang-orang bodoh,
dan bahwa dia tidak memercayai Islam. Ka pernah melihatnya bersama dua orang
pengawal yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melindunginya hingga akhir
hayatnya: mereka bersikap sangat sopan dan mengenakan pakaian bergaya. Mereka
bersikeras melakukan pelayanan yang menurut Ka memang pantas diberikan kepada
penulis-penulis radikal terkenal: mereka tidak hanya membawakan tas pria itu,
tetapi juga membukakan pintu untuknya, bahkan mengapitnya saat sedang menaiki
tangga untuk melindunginya dari penggemar ataupun musuh yang mungkin
melewatinya. Para prajurit yang duduk di samping Ka di truk tentara sama sekali
berbeda: mereka bertingkah seperti sipir, bukan pelindung.
Saat Ka berjalan ke hotel, dia merasa sama bahagianya seperti pagi saat dia
terbangun. Bagaimanapun, meskipun mendambakan untuk dapat melihat Ypek pada saat
itu juga, Ka cemas karena harus menyembunyikan sesuatu darinya. Dia takut Ypek
akan menganggap apa yang dilakukannya sebagai pengkhianatan, dan, meskipun hal
ini tampak sepele di tengah rencana besar yang melingkupinya, Ka masih khawatir
hal ini dapat melenyapkan cinta mereka. Akan lebih baik, pikirnya, jika dia
dapat mencari cara untuk menemui Kadife terlebih dahulu. Tapi, dia justru
berpapasan dengan Ypek di lobi.
"Kau jauh lebih cantik daripada yang kuingat!" ujar Ka kepada Ypek, terpesona.
"Sunay mengundangku untuk
sebuah pertemuan. Dia ingin aku menjadi mediatornya." "Untuk apa?"
"Mereka menangkap Lazuardi. Kejadiannya kemarin malam," Ka menjelaskan. "Kenapa
kau melihatku seperti itu" Kita tidak berada dalam bahaya. Ya, Kadife akan
sedih, tapi menurut pandanganku, ini justru melegakan, percayalah padaku."
Secepat mungkin, Ka mengulang perkataan Sunay kepadanya, menjelaskan keributan
yang mereka dengar malam itu, baku senjata, semuanya. "Jangan khawatir, aku akan
mengurus semuanya, tidak akan ada yang mimisan sekalipun gara-gara masalah ini.
Kita akan pergi ke Frankfurt, kita akan berbahagia. Apa kau sudah bicara dengan
ayahmu?" Ypek tidak menjawab, namun Ka tetap berbicara, mengatakan bahwa dirinya
bertugas untuk menegosiasikan sebuah kesepakatan, dan dia akan segera berbicara
dengan Lazuardi. Tetapi, pertama-tama, dia harus berbicara dengan Kadife. Ka
melihat kekhawatiran mendalam di mata Ypek sebagai tanda bahwa wanita itu
mencemaskannya, dan itu membuat hatinya berbunga-bunga.
"Aku akan menyuruh Kadife naik ke kamarmu sebentar lagi," kata Ypek sebelum
berlalu. Setibanya di kamar, Ka melihat ranjangnya telah tertata rapi. Kamar tempatnya
menghabiskan malam paling membahagiakan dalam kehidupannya telah berubah:
putihnya salju di luar memberikan aspek baru bagi ranjang, meja, dan tirai yang
berwarna pucat; bahkan keheningan dalam kamar itu tampak berbeda. Tetapi, aroma
percintaan mereka masih tertinggal, dan Ka masih dapat menghirupnya. Dia
berbaring di ranjangnya dan, memandang langit-langit, memikirkan semua masalah
yang akan dihadapinya jika dia tidak berhasil mengajak Kadife dan
Lazuardi bekerja sama. Kadife menghambur memasuki kamar. "Ceritakan semua yang kauketahui tentang
penangkapan Lazuardi kepadaku," tuntutnya. "Apa mereka mengasahnya?"
"Jika mereka mengasahnya, mereka tidak akan menyuruhku menemuinya," jawab Ka.
"Mereka akan membawaku ke tempatnya dalam beberapa menit. Mereka menangkapnya
setelah pertemuan di hotel itu; hanya itu yang aku tahu."
Kadife melayangkan pandangan ke luar jendela pada jalan berselimut salju di
bawah. "Jadi, sekarang kau yang bahagia, dan aku yang menderita. Begitu banyak
yang telah berubah sejak pertemuan kita di kamar kardus itu."
Ka mengingat pertemuan mereka di Kamar 217, tempat Kadife menodongkan sebuah
pistol kepadanya dan menyuruhnya membuka baju sebelum mereka pergi. Peristiwa
itu menjadi kenangan indah yang menyatukan mereka.
"Itu bukan keseluruhan ceritanya, Kadife," ujar Ka. "Teman-teman Sunay yakin
bahwa Lazuardi memiliki peranan dalam pembunuhan direktur Institut Pendidikan.
Terlebih lagi, berkas kasusnya yang berhubungan dengan penyiar TV itu sepertinya
juga sudah mencapai Kars."
"Siapa 'teman-teman' Sunay yang kaumaksud?"
"Beberapa orang dari MYT cabang Kars .... Ditambah satu atau dua orang tentara
yang punya hubungan dengan Sunay. Tapi, jangan sangka Sunay hanyalah biduk
tentara. Sunay juga punya ambisi artistik yang dikejarnya sendiri. Dia punya
tawaran untukmu. Malam ini, dia berencana mementaskan sebuah drama di Teater
Nasional, dan dia ingin kau berperan di dalamnya. Jangan mencibir begitu
dengarkan aku! Pertunjukan itu juga akan disiarkan secara langsung, dan seluruh
Kars akan menontonnya lagi. Jika kau bersedia memainkan peran ini, dan jika
Lazuardi dapat meyakinkan para murid madrasah aliah untuk datang dan duduk
tenang memenonton drama itu, untuk bersikap sopan dan bertepuk tangan pada saat
yang semestinya, Sunay akan membebaskannya.
Lalu, kita akan bisa melupakan semua ini dan pergi tanpa kehilangan apa pun.
Mereka memintaku untuk menjadi mediator."
"Tentang apakah drama itu?"
Ka menceritakan semua yang diketahuinya tentang Thomas Kyd dan The Spanish
Tragedy kepada Kadife, juga menjelaskan bahwa Sunay telah merombak drama itu
supaya lebih relevan dengan keadaan mereka. "Sama saja seperti ketika mereka
menghabiskan tahuntahun panjang untuk mengelilingi Anatolia, menjadikan karya-
karya Cor-neille, Shakespeare, dan Brecht lebih relevan dengan menambahkan tahan
perut dan lagu-lagu mesum."
"Dan kurasa dia ingin menjadikanku pemicu pertikaian keluarga itu dengan
memberiku peran gadis yang diperkosa dalam siaran langsung televisi."
"Tidak. Kau akan menjadi seorang wanita Spanyol sopan yang berjilbab, namun
karena kau sudah muak dengan pertikaian berdarah, dalam gejolak kemarahan, kau
mencopot jilbabmu untuk menjadi seorang pahlawan pemberontak."
"Untuk menjadi seorang pahlawan pemberontak di Turki, kau tidak mencopot jilbab.
Kau justru memakainya." "Ini hanya sandiwara, Kadife. Dan, karena ini hanya
sandiwara, tidak akan menjadi masalah kalau kau mencopot jilbabmu."
"Sekarang aku tahu apa yang mereka inginkan dari-ku. Tapi, meskipun ini hanya
sandiwara, aku tetap tidak mau mencopot jilbabku."
"Dengar, Kadife, salju akan mencair dalam dua hari, jalan-jalan akan dibuka
kembali, dan orang-orang yang sekarang meringkuk di penjara akan diserahkan
kepada petugas-petugas baru yang tidak mengenal belas kasihan. Jika itu terjadi,
kau tidak akan bisa melihat Lazuardimu lagi sepanjang sisa hidupmu. Apa kau
sudah memikirkannya baik-baik?"
"Aku takut jika aku memikirkannya, aku akan menyetujuinya."
"Jangan lupa: kau bisa memakai wig di bawah jilbabmu. Dengan begitu, tidak
seorang pun akan melihat rambut aslimu."
"Jika aku memang ingin memakai wig, aku tentu sudah melakukannya sejak lama,
seperti banyak wanita lain yang kukenal. Dan aku akan bersekolah kembali."
"Ini bukan masalah berunjuk rasa di depan kampus dan berusaha membela
kehormatanmu. Kau akan melakukan ini untuk menyelamatkan Lazuardi."
"Yah, lihat saja apakah Lazuardi mau aku menyelamatkannya dengan cara mencopot
jilbabku." "Tentu saja dia mau," kata Ka. "Kau tidak akan melukai harga dirinya dengan
mencopot jilbabmu. Lagi pula, tidak seorang pun tahu kalian berhubungan."
Ka dapat langsung melihat dari kilatan marah di mata Kadife, bahwa dia telah
menemukan titik lemahnya, namun kemudian Kadife menyunggingkan senyuman aneh
yang membuat Ka resah ... dan cemburu. Dia takut Kadife akan mengatakan sesuatu
yang buruk tentang Ypek kepadanya. "Kita tidak punya banyak waktu, Kadife," ujar
Ka. Dia dapat mendengar nada ketakutan yang aneh dalam suaranya sendiri. "Aku
tahu kau cukup pintar dan sensitif untuk dapat melewati semua ini dengan penuh
keanggunan. Aku mengatakan hal ini kepadamu sebagai seseorang yang telah
menghabiskan bertahuntahun menjadi buangan politik. Dengarkan aku: kehidupan
bukan melulu soal prinsip; kehidupan adalah soal mencari kebahagiaan."
"Tapi, kalau kau tak punya prinsip, dan kalau kau tak punya keimanan, kau tidak
akan bisa bahagia sama sekali," kata Kadife.
"Memang betul. Tapi, di negara brutal seperti tempat kita ini, tempat nyawa
manusia dianggap 'murah1, menghancurkan diri atas nama keyakinanmu adalah
sesuatu yang bodoh. Keyakinan" Idealisme tinggi" Hanya orang-orang di negara
kaya yang bisa menikmati kemewahan seperti itu."
"Sesungguhnya, justru sebaliknya. Di sebuah negara miskin, sumber ketenangan
utama masyarakat adalah keyakinan mereka."
Ka ingin mengatakan, "Tapi, hal-hal yang mereka yakini tidaklah benar," namun
dia berhasil menahan diri. Alih-alih, dia mengatakan, "Tapi, kau bukan orang
miskin, Kadife. Kau berasal dari Istanbul."
"Karena itulah aku melakukan apa yang kuyakini. Aku tidak suka berpura-pura.
Jika aku memutuskan untuk mencopot jilbabku, aku tidak akan melakukannya secara
setengah-setengah. Aku akan bersungguh-sungguh melakukannya."
"Baiklah, kalau begitu, bagaimana pendapatmu tentang hal ini" Bagaimana jika
mereka tidak menyiarkan pertunjukan itu secara langsung" Bagaimana jika mereka
hanya merekamnya, dan para penduduk Kars hanya akan melihatnya sekali saja"
Jadi, saat tiba di adegan ledakan kemarahanmu, yang mereka lihat hanyalah
tanganmu yang sedang mencopot jilbab. Setelah itu, mereka bisa menggantimu
dengan orang lain yang mirip denganmu, dan yang akan terlihat di televisi
hanyalah rambut yang terurai, disorot dari belakang."
"Itu bahkan lebih curang daripada jika aku memakai wig," kata Kadife. "Dan, pada
akhirnya, saat kudeta berakhir, semua orang akan mengira aku telah benar-benar
mencopot jilbabku." "Manakah yang lebih penting menghormati hukum Tuhan atau mencemaskan pendapat
orang tentangmu" Yang terpenting adalah, jika kita menjalankan usulku itu, kau
tidak akan bersungguh-sungguh mencopot jilbabmu.
Tapi, kalau kau sebegitu mencemaskan pendapat orang padamu, bukan masalah juga,
karena setelah semua omong kosong ini berakhir, kita bisa memastikan supaya
semua orang tahu tentang penggantian pada detik-detik terakhir itu. Jika beredar
kabar bahwa kau siap melakukan semua ini untuk menyelamatkan Lazuardi, para
murid madrasah aliah itu justru akan lebih mengagumimu."
"Pernahkah terpikir olehmu bahwa jika sedang berusaha sebisa mungkin untuk
meyakinkan seseorang supaya mau melakukan sesuatu," kata Kadife, nada bicaranya
mendadak berubah, "kau mengatakan hal-hal yang kau sendiri tidak memercayainya?"
"Itu bisa saja benar. Tapi yang terjadi sekarang bukan begitu."
"Tapi, jika memang itu benar, dan akhirnya kau berhasil meyakinkan orang ini,
tidakkah kau merasa bersalah karena sudah mengibulinya" Maksudku, karena kau
tidak memberinya dukungan."
"Aku bukannya tidak mendukungmu, Kadife. Aku hanya menyarankan supaya kau
menggunakan kepalamu dan mencoba memahami bahwa ini adalah satu-satunya pilihan
yang ada. Orang-orang Sunay suka bertingkah seenaknya. Jika sudah memutuskan
untuk menggantung Lazuardi, mereka tidak akan segan-segan melakukannya. Tapi,
kau tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu, bukan?"
"Jadi, misalnya saja aku mau mencopot jilbabku di depan semua orang itu sama
saja dengan mengakui kekalahan. Dan, apakah jaminan mereka akan melepaskan
Lazuardi setelah aku berperan dalam drama itu" Untuk apa aku memercayai janji
yang berasal dari pemerintah Turki?"
"Kau benar. Aku akan mendiskusikannya dengan mereka."
"Dengan siapa" Dan kapan?"
"Pertama-tama, aku akan menemui Lazuardi. Setelah itu, aku akan kembali
berbicara dengan Sunay."
Dalam keheningan panjang yang menyusul, jelas terlihat bahwa Kadife sedikit
banyak tertarik untuk mengikuti rencana itu. Tetapi, Ka merasa masih harus
meyakinkannya, sehingga dia bertingkah memandang jam tangannya berkali-kali.
"Siapakah yang menahan Lazuardi?" tanya Kadife. "MYT atau tentara?"
"Entahlah. Lagi pula, mungkin tidak ada bedanya." "Jika tentara yang menahannya,
mungkin dia tidak akan disiksa," kata Kadife. Dia terdiam. "Aku ingin kau
memberikan ini untuknya." Dia menyerahkan sebuah geretan kuno dengan lapisan
berkilauan dan sekotak rokok
Marlboro. "Geretan ini milik ayahku. Lazuardi akan senang bisa menyalakan rokok
dengan benda ini." Ka mengambil rokok namun mengembalikan geretan itu. "Jika aku memberikan geretan
ini kepada Lazuardi, dia akan tahu bahwa aku berbicara denganmu terlebih
dahulu." "Memangnya kenapa" Kenapa dia tidak boleh tahu?"
"Karena dia akan mengetahui apa yang kita bicarakan dan dia akan ingin tahu
tentang keputusanmu. Aku tidak berencana memberitahunya bahwa aku menemuimu
terlebih dahulu, atau bahwa kau siap mencopot jilbabmu, kalau memang kau mau,
untuk menyelamatkan dia."
"Apakah karena kautahu bahwa dia tidak akan menyetujuinya?"
"Tidak. Dia seorang pria pintar dan rasional, dan dia tentu akan setuju kau
melakukan sesuatu seperti mencopot jilbabmu untuk menyelamatkannya dari ancaman
maut. Kautahu itu, dan aku juga tahu. Hanya saja, dia tak akan pernah bisa
menerima mengapa aku menemuimu terlebih dahulu alih-alih langsung menemuinya."
"Tapi, ini bukan sekadar masalah politik; ini juga masalah pribadi antara aku
dan dia. Lazuardi akan memahaminya."
"Itu mungkin saja, Kadife, tapi kautahu bahwa dia ingin menjadi pendengar
pertama. Dia adalah seorang pria Turki. Dan seorang Islamis politis. Aku tak
bisa mendatanginya dan mengatakan, 'Dengar, Kadife telah memutuskan untuk
mencopot jilbabnya supaya kau bisa keluar dari sini.' Dia harus yakin bahwa
dialah yang mengambil keputusan. Aku akan menanyakan pendapatnya tentang
berbagai macam pilihan apakah kau harus memakai wig atau menggunakan pemeran
pengganti pada detik-detik terakhir. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa
hal ini akan menyelamatkan kehormatannya dan memecahkan masalahnya. Percayalah
kepadaku, yang berlaku sekarang ini adalah gagasannya1 tentang penegakan
kehormatan, bukan gagasanmu. Jika kau hendak mencopot jilbabmu, dia tentu ingin
semua orang tahu bahwa dialah yang me-merintahkanmu untuk melakukannya."
"Kau cemburu kepada Lazuardi. Kau membenci dia," kata Kadife. "Kau bahkan tidak
mau memandangnya sebagai manusia. Kau sama seperti semua sekularis republiken:
siapa pun yang tidak kebarat-baratan kauanggap sebagai bajingan primitif kelas
bawah. Batinmu pasti mengatakan bahwa pemukulan akan menjadikan Lazuardi
manusia. Apakah kau menikmati bisa melihatku menjilat tentara untuk
menyelamatkan kulit Lazuardi" Tidak senonoh sekali kalau kau menikmati hal
semacam itu, tapi kau bahkan tidak berusaha menyembunyikannya."
Kebencian terpancar dari mata Kadife. "Dan, omong-omong, jika memang Lazuardi
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang harus mengambil keputusan, dan jika kau memang seorang pria Turki yang
sangat pintar, kenapa kau tidak langsung pergi menemuinya setelah meninggalkan
Sunay" Aku akan mengatakan alasannya: kau ingin melihatku mengambil keputusan
untuk mempermalukan diriku sendiri. Ini membuatmu merasa unggul di hadapan
Lazuardi pria yang membuatmu ketakutan setengah mati."
"Ya, kau benar, dia memang membuatku ketakutan setengah mati. Tapi, semua yang
kaukatakan itu tidak adil, Kadife. Misalkan saja aku menemui Lazuardi terlebih
dahulu, lalu aku menemuimu untuk mengabarkan keputusannya bahwa kau harus
mencopot jilbabmu. Kau akan menganggapnya sebagai perintah, dan kau pasti akan
menolaknya." "Kau bukan seorang mediator. Kau bekerja sama dengan tiran."
"Satu-satunya ambisiku adalah keluar dari kota ini secara utuh. Kau tidak perlu
menganggap kudeta ini seserius aku. Kau sudah lebih dari cukup membuktikan
kepada penduduk Kars bahwa dirimu adalah seorang wanita pemberani, cerdas, dan
sopan. Setelah kita keluar dari jerat ini, aku dan kakakmu akan pergi ke
Frankfurt. Kami berharap akan dapat menemukan kebahagiaan di sana. Aku
menasihatimu untuk melakukan hal yang sama lakukanlah apa pun yang harus
kaulakukan untuk mencari kebahagiaan. Jika kau dan Lazuardi berhasil meloloskan
diri, aku yakin kalian akan hidup bahagia selama-lamanya sebagai buangan politik
di sekian banyak kota di Eropa. Dan, aku yakin ayahmu pasti bersedia ikut
denganmu. Tapi, sebelum semua ini dapat terwujud, kau harus mau memercayaiku."
Omongan panjang lebar Ka tentang kebahagiaan ini menyebabkan air mata mengalir
ke pipi Kadife. Dia menyunggingkan senyuman yang membuat Ka waspada dan cepat-
cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Apakah kau yakin kakakku
sudah siap meninggalkan Kars?"
"Sangat yakin," jawab Ka, meskipun sirat keraguan terdengar jelas dalam
suaranya. "Aku tidak akan memaksamu untuk memberikan geretan ini kepada Lazuardi ataupun
mengatakan kepadanya bahwa kau menemuiku terlebih dahulu," kata Kadife.
Sekarang, dia berbicara seperti seorang putri yang angkuh namun sabar. "Tapi,
sebelum aku mencopot jilbabku di depan semua orang, aku harus mendapatkan
kepastian bahwa mereka memang akan membebaskannya. Aku butuh lebih dari sekadar jaminan
dari Sunay ataupun salah satu kroninya. Kita semua tahu nilai sebuah janji dari
negara Turki." "Kau memang wanita teramat pintar, Kadife. Tidak seorang pun di Kars layak
mendapatkan kebahagiaan me-lebihimu," tanggap Ka. Dia bermaksud untuk
menambahkan, "Kecuali Necip," namun langsung menepiskan pikiran itu. "Jika kau memberikan
geretan itu kepadaku sekarang, aku juga bisa memberikannya kepada Lazuardi.
Tapi, tolonglah, cobalah untuk memercayaiku."
Kadife mencondongkan tubuh untuk menyerahkan geretan itu, lalu mereka berdua
berpelukan dengan kehangatan yang membuat keduanya terkejut. Selama sesaat, Ka
menikmati getaran yang muncul saat dia menyentuh tubuh Kadife, yang jauh lebih
ringan dan ramping daripada tubuh kakaknya, namun dia berhasil mencegah
keinginannya untuk mencium gadis itu. Sesaat kemudian, saat ketukan keras
terdengar di pintu, Ka membatin, bagus sekali aku bisa menahan diri.
Ypek berdiri di depan pintu, mengabarkan kepada Ka bahwa sebuah truk tentara
telah menantinya. Ypek berdiri di sana dan memandang dengan lembut, mencari-
cari, ke dalam mata mereka, seolaholah berusaha memahami keputusan Ka dan
Kadife. Ka pergi tanpa mencium Ypek, namun dia merasa tidak perlu melakukannya:
Ypek sudah menjadi miliknya sekarang. Di ujung koridor, dia berpaling untuk
menyelami kekuasaan yang sekarang dipegangnya atas kedua bersaudara itu, hanya
untuk melihat mereka sedang berpelukan erat.[J
Saya Bukan Agen Siapa-Siapa
Ka Bersama Lazuardi di Selnya
BAYANGAN KADIFE dan Ypek yang sedang berpelukan di koridor bermain-main di benak
Ka. Duduk di sebelah sopir truk tentara, di persimpangan antara Jalan Atatiirk
dan Jalan Halitpa?a, menantikan satu-satunya lampu lalu lintas di kota itu
berubah warna, Ka berada cukup tinggi di atas jalan sehingga dapat melihat
jendela lantai kedua salah satu rumah Armenia tua; seseorang membuka jendela itu
untuk membiarkan udara segar masuk ke dalam rumah. Saat angin sepoi-sepoi meniup
kerai dan mengibas-ngibaskan tirai, Ka langsung mengetahui bahwa dirinya sedang
menyaksikan sebuah pertemuan politik rahasia. Kesadarannya akan apa yang terjadi
di dalam rumah itu sangat mengusiknya, sehingga dia merasa seperti seorang
dokter yang sedang mengamati foto hasil sinar X. Karena itulah, meskipun seorang
wanita yang tampak pucat dan ketakutan segera menghampiri jendela dan menutup
tirai, Ka telah dapat menduga dengan ketepatan tingkat tinggi tentang apa yang
sedang terjadi di dalam ruangan yang terang benderang itu: dua orang militan
Kurdi paling kawakan sedang berbicara dengan seorang pemuda
yang abangnya terbunuh dalam sebuah razia pada malam kudeta. Si pemuda sekarang
duduk membungkuk, berkeringat, di dekat tungku pemanas, membalut lukaluka di
tubuh abangnya, sementara kedua militan kawakan itu meyakinkannya bahwa memasuki
kantor polisi di Jalan Faikbey dan meledakkan bom di sana adalah sebuah
pekerjaan sepele. Meskipun begitu, Ka justru tidak bisa menebak ke mana dirinya akan dibawa. Alih-
alih membawanya ke kantor polisi yang sama atau berbelok di alun-alun tua yang
telah berdiri sejak awal masa republik, tempat markas MYT berada, truk tentara
yang ditumpangi Ka melewati persimpangan Jalan Faikbey, melewati Jalan Ataturk,
dan akhirnya berbelok ke kompleks militer di pusat kota. Pada 1960an, terdapat
rencana untuk mengubah wilayah ini menjadi taman, namun setelah kudeta militer
pada awal tujuh puluhan, tentara membangun tembok di sekelilingnya, dan tak lama
kemudian, wilayah itu telah berubah menjadi pangkalan militer yang terdiri atas
barakbarak, pusat komando baru, dan lapangan untuk latihan militer. Bocah-bocah
yang bosan bersepeda di antara pohon-pohon poplar. Menurut Bangsa Merdeka, surat
kabar pro-tentara, berkat militerlah rumah yang ditinggali Pushkin selama
kunjungannya ke Kars, begitu juga istal Cossacks yang dibangun oleh Tsar empat
puluh tahun silam, selamat dari penghancuran.
Sel tempat mereka menahan Lazuardi terletak tepat di sebelah istal. Truk tentara
menurunkan Ka di luar sebuah bangunan batu indah yang berdiri di bawah sebuah
pohon oleander tua; cabang-cabang pohon tersebut, Ka memerhatikan, condong ke
bawah akibat timbunan salju. Dua orang pria gagah, yang segera diketahui Ka
sebagai agen MYT, telah menanti. Mereka mengeluarkan segulung plester dan sebuah alat
perekam (yang terlihat sangat kuno, mengingat ketika itu sudah tahun sembilan
puluhan), dan setelah menempelkan alat perekam itu menggunakan plester ke dada
Ka, mereka menunjukkan padanya cara menekan tombol on/off. Saat membicarakan
tentang tahanan di bawah, mereka sepertinya menyesal karena telah menangkapnya,
sehingga mereka ingin menolongnya. Pada saat yang sama, mereka tidak
menutupnutupi bahwa mereka berharap Ka akan dapat mengorek pengakuan Lazuardi,
terutama yang bersangkutan dengan pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukannya
atau diperintahkannya. Tidak terpikir oleh Ka bahwa mereka mungkin tidak
mengetahui alasan sesungguhnya dirinya berada di sana.
Pada masa kejayaan Tsar, ketika pasukan kavaleri Rusia menjadikan bangunan
mungil ini sebagai markas, seruas tangga batu dingin akan membawa pengunjung ke
sebuah ruangan luas tanpa jendela tempat para prajurit yang melanggar
kedisiplinan dihukum. Setelah Republik Turki berdiri, sel yang sama pernah
digunakan sebagai gudang peralatan, dan kemudian, selama kepanikan nuklir pada
masa Perang Dunia II, tempat itu digunakan sebagai bunker perlindungan. Tempat
itu jauh lebih bersih dan nyaman daripada yang dikira oleh Ka.
Ruangan itu dilengkapi dengan penghangat Argelik (yang disumbangkan beberapa
tahun sebelumnya oleh Muhtar, distributor utama di wilayah itu, dalam upaya
memopulerkan diri), namun Lazuardi, yang berada di ranjang dan membaca sebuah
buku, masih merasa perlu menutupi tubuhnya dengan sehelai selimut tentara
bersih. Saat melihat Ka, dia berdiri dan memakai sepatunya, yang sudah diambil
talinya. Bersikap resmi namun masih menyunggingkan senyum, dia menjabat tangan
Ka, dan, dengan kesigapan seseorang yang siap membicarakan urusan bisnis,
menunjuk sebuah meja Formica yang terletak menempel ke dinding. Ketika mereka
sudah duduk berhadap-hadapan di meja itu, Ka menatap sebuah asbak yang penuh
puntung rokok, sehingga dia pun mengeluarkan sekotak Marlboro dari sakunya dan
memberikannya kepada Lazuardi sambil melontarkan komentar tentang betapa
nyamannya tempat itu. Lazuardi mengatakan kepada Ka bahwa dia tidak disiksa;
kemudian, Lazuardi menyalakan sebatang korek api dan menyulutkan rokok Ka
sebelum menyulut rokoknya sendiri. "Jadi, katakanlah kepada saya, Pak, untuk
siapakah Anda menjadi mata-mata hari ini?"
"Saya sudah berhenti menjadi mata-mata," ujar Ka. "Sekarang ini, saya menjadi
mediator." "Itu bahkan lebih buruk. Para mata-mata saling bertukar potongan informasi yang
tidak terlalu berguna untuk siapa pun, dan sebagian besar dari mereka
melakukannya untuk uang. Para mediator, sebaliknya yah, mereka hanyalah orang-
orang bodoh yang sok pintar, yang mengira mereka dapat turut campur dalam
masalah pribadi orang lain karena mengira diri mereka 'netral1. Jadi, apakah
permainan Anda di sini" Apakah hasil yang ingin Anda dapatkan dari semua ini?"
"Supaya dapat keluar dari kota ini secara utuh."
"Melihat keadaan hari ini, hanya ada satu orang di kota ini yang mampu
memberikan perlindungan kepada seorang ateis yang kabur dari Barat untuk memata-
matai kami, dan orang itu adalah Sunay."
Perkataan ini menjadikan Ka mengetahui bahwa Lazuardi telah melihat halaman belakang Border City
Gazette. Betapa dia membenci senyuman yang terbentuk di bawah kumis Lazuardi.
Bagaimana mungkin Islamis militan yang telah menghabiskan setengah kehidupannya
untuk melarikan diri dari negara Turki yang tak kenal ampun, dan yang sekarang
meringkuk di sel penjara karena dituduh terlibat dalam pembunuhan yang berbeda,
bisa setenang dan seceria itu" Sekarang, lebih daripada sebelumnya, Ka dapat
melihat mengapa Kadife tergilagila kepada pria itu. Hari itu Lazuardi tampak
luar biasa tampan. "Jadi, apakah yang harus Anda mediasikan di sini?"
"Saya datang untuk mengatur pembebasan Anda," jawab Ka, dan dengan suara yang
sangat tenang, dia menjabarkan usulan Sunay. Dia tidak menyebutkan kemungkinan
Kadife mengenakan wig ataupun berbagai trik yang mungkin dilakukan selama siaran
langsung dia menyimpannya terlebih dahulu untuk digunakan jika dia harus
melakukan penawaran lebih lanjut. Saat menjelaskan tentang betapa beratnya
situasi ini, dan tekanan keras untuk sesegera mungkin menggantung Lazuardi yang
diterima Sunay dari berbagai pihak, Ka merasakan kesenangan tertentu, namun saat
rasa bersalah mengikutinya, dia melanjutkan dengan menyebut Sunay sebagai orang
gila yang bisa mengakhiri segala kegilaan dan meyakinkan Lazuardi bahwa segera
setelah salju mencair, semuanya akan kembali normal. Nantinya, Ka akan
menanyakan Kepada dirinya sendiri apakah dia mengatakan hal ini hanya untuk
menyenangkan para agen MYT yang menunggu di atas.
"Jadi, semua ini berarti bahwa satu-satunya kesempatan bagi saya untuk
mendapatkan kebebasan adalah dengan mengambil bagian dalam rencana gila terbaru
Sunay," kata Lazuardi. "Ya, betul."
"Kalau begitu, sampaikanlah jawaban saya kepadanya: saya menolak usulannya. Saya
berterima kasih kepada Anda yang telah repot-repot datang kemari." Ka mengira
Lazuardi akan berdiri, menjabat tangannya, dan mengantarnya ke pintu, namun pria
itu tetap duduk di kursinya. Dia menaikkan kaki depan kursinya dan mengayun-
ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang.
"Tapi, jika usaha mediasi Anda sia-sia, dan Anda tidak bisa keluar dari kota ini
dalam keadaan utuh, jangan salahkan saya," akhirnya Lazuardi berkata. "Itu semua
gara-gara kesombongan dan omong besar ateis Anda. Satu-satunya waktu yang tepat
bagi orang-orang di negara ini untuk menyombongkan keateisannya adalah saat
tentara mendukung mereka."
"Saya bukan jenis orang yang bangga karena menjadi ateis."
"Saya senang mendengarnya."
Kedua pria itu sekali lagi terdiam, mengisap rokok mereka. Mencari alasan untuk
berdiri dan pergi dari sana, Ka bertanya, "Tidakkah Anda takut mati?"
"Jika itu ancaman, maka jawabannya adalah tidak, saya tidak takut mati. Jika
Anda menanyakan hal itu sebagai teman, jawabannya ya, saya sangat takut. Tapi,
apa pun yang saya lakukan sekarang, para tiran ini akan tetap ingin menggantung
saya. Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya."
Lazuardi menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Pesan yang didapatkan Ka
adalah, "Dengar, aku berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk daripada dirimu,
tapi aku menghadapinya dengan cara yang lebih
baik!" Rasa malu memaksa Ka untuk mengakui kepada dirinya sendiri bahwa
kepanikan dan kegelisahannya bercabang dari harapan manis dan menyakitkan akan
kebahagiaan yang telah melandanya sejak dia jatuh cinta kepada Ypek. Apakah
Lazuardi sudah kebal terhadap harapan semacam itu" "Aku akan menghitung sampai
sembilan, dan setelah itu aku akan berdiri dan pergi dari sini," Ka membatin.
"Satu, dua Ketika tiba di angka Lima, dia menyadari bahwa jika dia gagal
mengelabui Lazuardi, dia tak akan pernah bisa membawa Ypek bersamanya ke Jerman.
Sebuah gagasan mendadak menghampirinya, dan Ka mulai berbicara, mengungkapkan
apa pun yang ada di kepalanya. Dia mulai dengan menceritakan seorang mediator
malang yang diingatnya dari sebuah film Amerika hitam-putih pada masa
kanakkanaknya. Dia mengingatkan Lazuardi bahwa saat segala hal telah kembali
normal dia akan dapat memastikan pernyataan Hotel Asia dicetak di Jerman.
Setelah itu, dia berkomentar tentang orang-orang yang membuat keputusan buruk
dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian
seumur hidup menyesalinya. Ka mencontohkan ketika, akibat dorongan kemarahan,
dia berhenti dari tim bola basket dan berniat untuk tidak pernah kembali lagi.
Waktu yang seharusnya dapat dihabiskannya di lapangan basket disia-siakannya
dengan berkeliaran di Bosphorus, memandangi laut selama berjam-jam. Ka sendiri
tidak tahu mengapa dia tidak bisa mencegah dirinya menceritakan kepada Lazuardi
tentang betapa dia mencintai Istanbul, dan betapa indahnya kota kecil Bebek di
Bosphorus pada malam musim semi yang cerah. Sepanjang waktu, dia berjuang
menghindari tatapan berdarah dingin Lazuardi yang
mencoba membungkamnya. Dia merasa seperti berada dalam sebuah kunjungan terakhir
sebelum Lazuardi dihukum mati.
"Bahkan jika kita berhasil mematahkan semua presiden dan melakukan apa pun yang
mereka minta, mereka akan mengingkari janji," kata Lazuardi. Dia menunjuk kertas
dan pena yang tergeletak di atas meja. "Mereka menyuruh saya menuliskan kisah
hidup saya setiap tindak kriminal yang pernah saya perbuat. Jika saya
melakukannya, dan mereka menganggap saya jujur, mereka dapat mengampuni saya
atas dasar Undang-Undang Pengampunan. Saya selalu mengasihani orang orang tolol
yang tertipu pada katakata manis semacam itu hanya untuk menghabiskan hari-hari
terakhir mereka di pengadilan, menyesal karena telah mengkhianati diri mereka
sendiri. Tapi, karena pada akhirnya saya juga akan mati, saya ingin memastikan
supaya orang-orang mendengar beberapa hal yang nyata tentang saya." Di atas meja
terdapat beberapa lembar kertas yang telah berisi tulisan tangan, dan Lazuardi
mengangkat salah satu di antaranya. Dengan ekspresi suram dan sikap yang agak
berlebihan yang digunakannya untuk menyampaikan "kutipan" pada pers Jerman, dia
mulai membaca: "'Berkenaan dengan hukuman mati yang ditimpakan kepada saya, saya ingin
menjelaskan bahwa saya tidak menyesali apa pun yang telah saya perbuat pada masa
lalu, termasuk pada hari ini, 20 Februari. Ayah saya adalah seorang pensiunan
pegawai biasa di Departemen Keuangan Istanbul, dan saya adalah putra kedua
beliau. Selama masa kanakkanak dan awal remaja saya, ayah saya menjadi anggota
sebuah organisasi rahasia di Cerrahi, dan saya tumbuh dengan didikan membumi
beliau. Ketika beranjak dewasa, saya melakukan pemberontakan kepada beliau
dengan menjadi seorang aktivis ateis sayap kiri, dan saat memasuki universitas,
saya bergabung dengan para militan muda lainnya untuk melempari dengan batu para
pelaut yang turun dari kapal induk Amerika. Pada masa itu, saya menikah;
kemudian, kami bercerai, dan saya berhasil melepaskan diri dari krisis rumah
tangga saya. Selama bertahuntahun, tidak seorang pun memerhatikan saya. Saya
berhasil menjadi seorang insinyur elektronika. Akibat kebencian saya terhadap
Barat, saya menjadi pengagum sejati revolusi di Iran. Saya kembali ke jalan
Islam. Ketika Ayatollah Khomeini mengatakan bahwa 'Yang terpenting untuk
dilakukan sekarang ini bukanlah menunaikan salat atau berpuasa melainkan
melindungi Islam,' saya meyakininya sepenuh hati. Saya mendapatkan inspirasi
dari pembahasan Frantz Fanton tentang kekerasan, dari protes para peziarah
Seyyid Qutub untuk menentang penindasan, dari Seyyid Qutub juga tentang gagasan
perpindahan tempat, dan dari Ali Syariati. Saya melarikan diri ke Jerman setelah
kudeta militer terjadi. Kemudian, saya kembali ke Turki. Saya terluka saat
melawan Grozny bersama pasukan Chechen yang sedang bertikai dengan Rusia, dan,
akibat luka itu, kaki kanan saya pincang. Ketika saya berada di Bosnia selama
serangan Serbia, saya menikahi seorang gadis Bosnia yang bernama Merzuka dan
memboyongnya ke Istanbul. Karena kewajiban politik dan gagasan tentang ziarah
Penyakit Sickness 1 Kampung Setan Karya Khulung Pendekar Misterius 7