Dibalik Keheningan Salju 7
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 7
"Ayah, tolonglah, jangan pergi,1 Ypek menggoda Ka; bahkan saat Kadife berbicara
tentang pernyataan bersama dan rasa cintanya kepada ayahnya, Ka dapat melihat
bahwa gadis itu sedang mengungkapkan rasa cintanya kepada Lazuardi.
Dengan adanya semua ini di dalam benaknya, Ka memasuki tahap yang kemudian akan
disebutnya sebagai "percakapan paling bermakna ganda dalam kehidupanku1. Ka
memiiki firasat kuat bahwa jika dia tidak dapat membuat Turgut Bey meninggalkan
hotel sekarang, maka dia tak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk tidur bersama Ypek; dan, karena
tantangan yang dilihatnya di mata Ypek semakin memperkuat dugaannya ini, Ka
meyakinkan dirinya bahwa inilah kesempatan terakhir untuk meraih kebahagiaan
dalam kehidupannya. Ketika mulai berbicara, dia menggunakan katakata dan
gagasan-gagasan yang telah menghancurkan kehidupannya. Tetapi, saat meyakinkan
Turgut Bey untuk meninggalkan hotel karena penting baginya untuk bertindak demi
kepentingan rakyat banyak, untuk bertanggung jawab atas kemiskinan negaranya dan
turut berjuang bersama rakyat; karena dia berada di pihak masyarakat, dan
karenanya dia berkewajiban untuk berjuang melawan kekuatan kegelapan, bahkan
meskipun tindakannya sepertinya sepele Ka bahkan meyakini sebagian dari
perkataannya sendiri. Dia teringat akan perasaannya saat menjadi seorang pemuda
aktivis sayap kiri, saat dia begitu bertekad untuk keluar dari kalangan borjuis
Turki, saat yang diinginkannya hanya duduk di dalam sebuah ruangan sambil
membaca buku-buku hebat dan memikirkan gagasan-gagasan hebat. Maka, dengan
semangat pemuda berumur dua puluh tahun inilah dia menyebutkan kembali buah-buah
pikiran dan idealisme yang pernah membuat ibunya sangat marah. Ibunya, yang
bersikap benar karena berharap Ka tak akan pernah menjadi seorang penyair, suatu
profesi yang kemudian menjerumuskannya dalam lubang tikus pengasingan di
Frankfurt. Sementara itu, Ka menyadari betul pengaruh kekuatan kata-katanya bagi
Ypek: "Dengan gairah seperti inilah aku ingin bercinta denganmu." Ka berpikir,
setidaknya katakata manis dari masa mudanya, yang telah menghancurkan
kehidupannya, akhirnya bermanfaat juga: berkat katakata itu, dia akan dapat
bercinta dengan wanita yang menjadi sumber hasratnya. Meskipun begitu, pada saat
yang sama, Ka kehilangan kepercayaan pada kata-katanya sendiri. Sekarang dia
mengetahui bahwa kebahagiaan terbesar dalam kehidupan dapat didapatkan dengan
memeluk erat-erat seorang wanita pintar dan cantik, juga dengan duduk menulis
puisi di sudut ruangan. Turgut Bey mengumumkan bahwa dia akan pergi "sa at itu juga" untuk menghadiri
pertemuan di Hotel Asia. Dia masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, ditemani
oleh Kadife. Ka menghampiri Ypek, yang masih duduk di tempatnya menonton televisi bersama
ayahnya. Dari posisi duduknya, dia tampak seolaholah masih menyandarkan kepala
ke dada ayahnya. "Aku akan menunggumu di kamarku," bisik Ka.
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Ypek.
"Aku sangat mencintaimu."
"Betulkah itu?"
"Sangat betul."
Sejenak, mereka berdua terdiam. Ypek memandang ke luar jendela, dan Ka melakukan
hal yang sama. Hujan salju kembali turun. Lampu-lampu jalanan di depan hotel
telah menyala meskipun hari belum gelap, sehingga cahaya yang menyinari
kepingankepingan salju besar menimbulkan efek yang sangat dramatis.
"Pergilah ke kamarmu," kata Ypek. "Segera setelah ayahku pergi, aku akan naik
menyusulmu."[] Perbedaan Antara Cinta dan Siksaan Menunggu
Ka Bersama Ypek di Kamar Hotel
TETAPI, IPEK tidak segera naik. Dan menunggu adalah sebuah siksaan yang terburuk
sepengetahuan Ka. Sekarang Ka teringat bahwa kepedihan inilah, siksaan saat
menanti inilah, yang membuatnya takut jatuh cinta. Sesampainya di kamar, dia
membaringkan diri di ranjang, hanya untuk berdiri kembali dan merapikan bajunya.
Dia mencuci tangan, merasakan darahnya mengalir meninggalkan lengan, jemari, dan
bibirnya. Dengan tangan gemetar, dia menyisir rambut; kemudian, melihat
bayangannya sendiri di jendela, dia mengacak-acak rambutnya lagi. Semua ini
hanya memakan sangat sedikit waktu, dan akhirnya dia mengarahkan perhatian dan
kecemasannya pada pemandangan di luar jendela.
Dia berharap akan melihat Turgut Bey meninggalkan hotel bersama Kadife. Mungkin
mereka keluar saat dia berada di kamar mandi. Tetapi, jika memang itu yang
terjadi, ipek tentunya sudah ada di kamarnya sekarang. Mungkin ipek berada di
kamar yang dilihatnya kemarin malam, membedaki wajahnya dan mengolesi lehernya
dengan parfum. Membuang-buang sedikit waktu yang
mereka miiki bersama saja! Tidakkah ipek memahami betapa Ka mencintainya" Apa
pun yang sedang dilakukan ipek, itu tidak sepadan dengan kepedihan yang
dirasakan Ka saat ini; Ka akan mengatakan semuanya kepada ipek jika wanita itu
akhirnya muncul. Tetapi, akankah ipek datang" Bersama setiap waktu yang berlalu,
Ka menjadi semakin yakin bahwa ipek telah berubah pikiran.
Ka melihat sebuah kereta kuda mendekati hotel; dikawal oleh Zahide Hanim dan
Cavit si resepsionis, Turgut Bey dan Kadife memanjat naik, lalu menutup lapisan
terpal di kereta itu. Tetapi, kereta itu tak kunjung bergerak. Ka memandang
lapisan salju di atap kereta bertambah tebal dan tebal; di bawah cahaya lampu-
lampu jalanan, setiap kepingan salju tampak semakin membesar. Saat itulah Ka
merasa waktu seolaholah berhenti; ini membuatnya gila. Tepat ketika itu, Zahide
berlari ke luar dan memasukkan sesuatu yang tidak terlihat oleh Ka ke dalam
kereta. Kendaraan itu pun mulai bergerak, dan jantung Ka berdegup semakin
kencang. Tetapi, ipek tak kunjung datang.
Apakah perbedaan antara cinta dan siksaan menunggu" Seperti cinta, siksaan
menunggu muncul dari otot-otot yang terletak di suatu tempat di bagian atas
perut, namun sensasi itu segera menyebar ke dada, ke paha, dan ke kening,
sebelum kemudian menguasai seluruh tubuh dengan kekuatan yang melumpuhkan. Ka
mendengarkan suara-suara dari bagian lain hotel, berusaha mendugaduga apa yang
sedang dilakukan ipek. Ka melihat seorang wanita di jalan, dan, meskipun
sosoknya sama sekali berbeda dengan ipek, dia berpikir bahwa wanita itu tentu
ipek. Betapa cantiknya salju yang sedang jatuh dari langit!
Saat dirinya masih kecil, saat dia dan teman-teman sekelasnya berduyun-duyun
memasuki kantin sekolah untuk mendapatkan suntikan, saat aroma makanan yang
bercampur dengan aroma iodin berputar-putar di dalam kepalanya, perutnya terasa
mulas seperti ini, dan dia ingin mati saja. Dia mendambakan rumahnya, kamarnya
sendiri. Sekarang, dia ingin berada di kamar mengenaskannya di Frankfurt. Datang
ke Kars adalah sebuah kesalahan besar! Puisipuisi baru pun sudah tidak lagi
mendatanginya sekarang. Dia sangat kesakitan. Meskipun begitu, dia berusaha
menenangkan diri dengan berdiri di dekat jendela yang hangat, menyaksikan hujan
salju; setidaknya ini lebih baik daripada meregang nyawa. Tetapi, jika ipek
tidak segera datang, mau tidak mau dia akan mati. Lampu-lampu seketika padam.
Ini adalah pertanda, pikir ipek, yang dikirim khusus untuknya. Mungkin ipek
tidak datang karena dia mengetahui tentang pemadaman listrik yang akan terjadi.
Ka memandang ke jalan yang gelap di bawahnya, mencari tanda-tanda kehidupan,
sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa ipek tidak datang. Dia melihat sebuah truk
apakah itu truk tentara" Bukan, pikirannya menipunya. Begitu pula bunyi langkah
kaki di tangga yang didengarnya. Tidak ada yang datang. Ka meninggalkan jendela
dan berbaring kaku di ranjang. Rasa nyeri yang dimuali di perutnya sekarang
telah menyebar ke jiwanya; dia sendirian di dunia ini, dan tak ada yang bisa
disalahkan kecuali dirinya sendiri. Kehidupannya sia-sia; dia akan mati di sini,
dalam keadaan menderita dan kesepian. Kali ini, dia bahkan tidak memiiki
kekuatan untuk berlari seperti tikus ke lubangnya di Frankfurt. Ketidakbahagiaan
yang begitu parah membuatnya berduka dan putus asa. Lebih buruk lagi, dia
tahu bahwa, seandainya dia mengambil tindakan yang lebih pintar, hidupnya akan
jauh lebih bahagia. Dan, yang terburuk adalah mengetahui bahwan tidak seorang
pun melihat ketakutan, penderitaan, dan kesepian yang dirasakannya. Seandainya
ipek mengetahui hal ini, dia akan langsung naik tanpa menunda-nunda! Seandainya
ibunya melihatnya dalam keadaan ini .... Hanya ibunyalah satu-satunya orang di
dunia ini yang akan memahaminya; wanita itu akan membelai rambutnya dan
menenangkannya. Es di jendela mengeluarkan pendar oranye dari cahaya lampu jalanan dan lampu-
lampu bangunan di sekitar hotel. Biar saja salju terus turun, pikir Ka. Biar
saja salju turun berhari-hari dan berbulan-bulan. Biar saja salju mengubur Kota
Kars sehingga tidak ada lagi yang bisa menemukannya. Dia ingin tidur di
ranjangnya dan baru terbangun saat matahari bersinar cerah pada suatu pagi, dan
dia kembali menjadi anak-anak, bersama ibunya.
Terdengarlah ketukan di pintu. Jika sudah begini, Ka mengatakan kepada dirinya
sendiri, bisa saja yang mengetuk pintunya adalah seseorang dari dapur. Tetapi,
dia menghambur ke pintu, dan saat membukanya, dia dapat merasakan keberadaan
ipek. "Dari mana saja kamu?"
"Apakah aku terlambat?"
Tetapi, Ka seolaholah tidak mendengar katakata ipek. Dia langsung memeluk ipek
dengan sekuat tenaga; dia menempelkan kepala ke leher ipek dan membenamkan wajah
ke rambutnya; dan dia berdiam di sana, tidak menggerakkan sedikit pun ototnya.
Ka merasakan kebahagiaan yang begitu besar, sehingga siksaan menunggu yang baru
saja menderanya sekarang terasa absurd. Tetapi, siksaan itu telah
menggerogotinya sebegitu rupa, sehingga, Ka berpikir, karena itulah dia bisa sangat mensyukuri
kehadiran ipek. Dan, untuk apakah dia menuntut penjelasan ipek tentang
keterlambatannya: bahkan meskipun mengetahui bahwa dirinya tidak berhak
melakukan hal itu, Ka terus-menerus mengeluh. Tetapi, ipek bersikeras bahwa
dirinya naik segera setelah ayahnya pergi. Memang, dia berhenti sebentar di
dapur untuk memberikan satu atau dua perintah berkenaan dengan makan malam
kepada Zahide, tapi itu hanya memakan waktu satu menit. Maka, Ka pun menjadi
pihak yang lebih bergairah dan rapuh di antara mereka berdua. Bahkan sejak awal
hubungan mereka, Ka telah membiarkan ipek memegang kendali. Dan, bahkan jika
ketakutan Ka akan terlihat lemah menggerakkannya untuk menutupnutupi dampak
perasaan tersiksa yang disebabkan oleh ipek, dia masih harus berurusan dengan
rasa tidak amannya. Lagi pula, bukankah cinta berarti berbagi segalanya" Apakah
cinta jika bukan hasrat untuk membagi semua pikiran kita" Dia membeberkan
rentetan pikirannya kepada ipek dengan napas tertahan, seolaholah sedang
membocorkan sebuah rahasia gelap.
"Sekarang, singkirkanlah semua itu dari kepalamu," kata ipek. "Aku datang ke
sini untuk bercinta denganmu."
Mereka berciuman. Dengan kelembutan yang mendatangkan kenyamanan bagi Ka, mereka
menjatuhkan diri ke ranjang. Bagi Ka, yang telah empat tahun tidak bercinta,
rasanya seperti mendapatkan mukjizat. Maka, meskipun kenikmatan melanda
tubuhnya, pikiran sadarnya masih bisa mengingatkannya bahwa dia sedang berada
dalam momen yang indah. Sama seperti pengalaman seksualnya yang pertama, bukan
hanya tindakan dan pikiran tentang bercinta yang menguasai dirinya. Selama
sesaat, kesadarannya melindunginya dari semangat yang meledak-ledak. Detail-detail dari
film-film porno yang membuatnya kecanduan di Frankfurt membanjiri kepalanya,
menciptakan sebuah aura fantasi yang sepertinya jauh dari logika. Tetapi, dia
tidak membayangkan adegan-adegan itu untuk membuat dirinya terangsang; dia
sedang merayakan fakta bahwa pada akhirnya dia dapat mewujudkan berbagai macam
fantasi yang selama ini bermain-main di dalam pikirannya. Maka, bukan hanya ipek
seorang yang membuat Ka terangsang, melainkan juga bayangan-bayangan porno; dan,
mukjizat yang dirasakannya tidak berasal dari keberadaan ipek tetapi dari fakta
bahwa dia dapat mewujudkan fantasinya di atas ranjang bersama ipek.
Baru ketika Ka melepas baju ipek dengan kecanggungan yang nyaris mendekati
kekasaran, dia melihat diri ipek yang sesungguhnya. Payudaranya yang ranum,
kulit leher dan bahunya yang sangat lembut, aroma tubuhnya yang terasa aneh dan
asing. Ka menyaksikan sorot lampu putih di tubuh ipek. Kadangkadang, mata ipek
berbinar, dan itu membuat Ka ketakutan. Kedua mata itu memancarkan keyakinan
yang mendalam: Ka khawatir ipek tidak serapuh yang diinginkannya. Karena itulah
Ka menjambak rambut ipek, supaya ipek merasa kesakitan; karena itulah dia
menikmati kesakitan ipek sehingga dia kembali menjambak rambut ipek; karena
itulah dia menyuruh ipek melakukan beberapa tindakan lain yang juga berasal dari
film porno yang masih berlangsung di dalam kepalanya; dan, karena itulah dia
memperlakukan ipek dengan sangat kasar untuk mengimbangi musik di dalam
kepalanya, yang sangat dalam dan primitif. Saat melihat bahwa ipek menikmati
kekasarannya, perasaan unggul yang mendatangi
Ka memunculkan kasih sayang yang hangat. Dia memeluk ipek erat-erat; sekarang,
dia tidak hanya berharap dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari penderitaan
Kars, dia juga ingin menyelamatkan ipek. Tetapi, saat menyadari bahwa reaksi
ipek sepadan dengan gairahnya sendiri yang menggebu-gebu, Ka segera
melepaskannya. Di dalam benaknya, dia dapat memegang kendali dan melakukan
berbagai gerakan akrobatik seksual itu dengan keluwesan yang mengagetkan.
Tetapi, saat entah bagaimana pikirannya menjauh, dia dapat merengkuh ipek dengan
gairah yang sangat mendekati kekejaman; dan pada saat seperti itu, Ka ingin
menyakiti ipek. Menurut catatan yang dibuat Ka tentang caranya bercinta catatan yang kurasa
harus kubagi dengan para pembacaku hasratnya akhirnya terlampiaskan, dan mereka
saling berpelukan begitu erat sehingga dunia seolaholah tidak ada lagi dalam
ingatan mereka. Catatan yang sama juga mengungkapkan bahwa ipek menangis
tersedu-sedu saat semua itu berakhir.
Paranoia mendera Ka saat sekarang dia memikirkan apakah ini alasan dia diberi
kamar yang terletak di sudut paling terpencil di hotel ini. Kenikmatan yang
mereka rasakan saat saling menyakiti sekarang mendatangkan kembali rasa kesepian
yang telah mereka akrabi. Dalam bayangan Ka, kamar terpencil di koridor
terpencil ini telah melepaskan diri dari hotel dan melayang menuju sudut paling
terpencil di kota yang sunyi ini. Dan, Kota Kars tampak begitu hening sehingga
dunia sepertinya telah tiba di titik akhir. Dan, hujan salju terus turun.
Mereka berbaring lama di ranjang, berdampingan, memandang salju tanpa berkata-
kata. Dari waktu ke waktu, Ka menolehkan kepala untuk menyaksikan hujan
Aku Tidak Hanya Kehilangan Dirimu
Di Frankfurt EMPAT TAHUN telah berlalu sejak kunjungan Ka ke Kars, dan empat puluh dua hari
telah berlalu sejak kematiannya, saat aku melihat apartemen kecil di Frankfurt,
tempat Ka menghabiskan delapan tahun terakhir kehidupannya. Siang pada bulan
Februari itu dingin dan berangin. Saat aku tiba di Frankfurt menggunakan
penerbangan pagi hari dari Istanbul, kota itu tampak lebih kusam daripada gambar
dalam kartu-kartu pos yang dikirimkan Ka kepadaku selama enam belas tahun.
Kecuali mobil-mobil bercat gelap yang melintasi jalanan, trem-trem yang muncul
entah dari mana bagaikan hantu untuk kemudian lenyap sesaat kemudian, dan ibu-
ibu rumah tangga berpayung yang berjalan cepat-cepat di trotoar, jalanan tampak
kosong. Saat itu tengah hari, tetapi, dari balik kabut yang tebal dan gelap, aku
hanya dapat memandang pendar kuning pucat lampu jalanan.
Tetap saja, aku merasa senang saat melihat di jalanan sekitar stasiun kereta api
utama, di sepanjang trotoar yang dipenuhi restoran doner-kebab, agen perjalanan,
kedai es krim, dan toko peralatan seks tanda-tanda energi yang menghidupkan
kota-kota besar. Setelah singgah di hotelku dan menelepon penikmat sastra Turki-
Jerman berusia muda yang telah (berdasarkan permintaanku) mengatur supaya aku
mendapatkan kesempatan untuk berbicara di balai kota, aku pergi ke sebuah kafe
Italia di stasiun untuk menemui Tarkut Olgiin. Di Istanbul, kakak perempuan Ka
memberiku nomor telepon pria ini. Pria layu dan baik hati yang telah berusia
enam puluhan ini adalah kenalan terdekat Ka selama bertahuntahun masa tinggalnya
di Frankfurt. Pria ini memberikan pernyataan kepada polisi saat penyelidikan
kematian Ka dilakukan. Dialah yang menghubungi keluarga Ka di Istanbul dan
membantu mengurus pengiriman mayat Ka ke Turki. Saat itu, aku masih berharap
dapat menemukan hasil ketikan kumpulan puisi yang menurut Ka telah dikerjakannya
secara serius sekembalinya dia dari Kars empat tahun berselang dan baru saja
diselesaikannya, sehingga aku menanyakan kepada ayah dan kakaknya tentang apa
yang terjadi pada barang-barang milik Ka. Karena merasa tidak cukup kuat untuk
melakukan perjalanan ke Jerman, mereka memintaku mengumpulkan barang-barang
berharga milik Ka dan membersihkan apartemennya.
Tarkut Olgiin datang ke Jerman dalam gelombang imigrasi pertama pada awal tahun
enam puluhan. Selama bertahuntahun, dia bekerja sebagai guru dan petugas sosial
yang melayani sejumlah asosiasi dan yayasan Turki. Sambil mengeluarkan foto-foto
putra dan putrinya yang diahirkan di Jerman, dia menceritakan dengan bangga
kepadaku bahwa dia berhasil menyekolahkan mereka berdua ke universitas. Meskipun
Tarkut adalah seorang sosok terpandang di komunitas Turki di Frankfurt, di
wajahnya masih terlihat sirat kesepian dan kekalahan yang jamak
terlihat di wajah setiap imigran dan buangan politik generasi pertama.
Benda pertama yang diberikan oleh Tarkut Olgun kepadaku adalah sebuah tas kecil
yang dibawa Ka saat dirinya tertembak. Polisi meminta Tarkut menandatangani
sebuah formulir sebelum menyerahkan tas itu kepadanya. Aku langsung membukanya
dan cepat-cepat mengaduk-aduk isinya. Di dalamnya, aku menemukan piama yang
dibeli Ka di Ni?anta? delapan belas tahun berselang, sebuah sweter hijau,
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peralatan bercukur, sebuah sikat gigi, sepasang kaos kaki, satu stel pakaian
dalam bersih, sejumlah majalah sastra yang kukirim dari Istanbul, namun tidak
ada tanda-tanda keberadaan buku catatan puisi hijaunya.
Kemudian, saat duduk sambil menghirup kopi dan mengamati stasiun yang hiruk
pikuk, tempat dua pria Turki uzur sedang mengobrol dan tertawa-tawa sambil
mengepel lantai, Tarkut berkata, "Orhan Bey, kawan Anda Ka Bey adalah seorang
pria penyendiri. Tidak seorang pun di Frankfurt kecuali saya yang tahu banyak
mengenai apa yang sedang dikerjakannya." Dia berjanji akan mengatakan semua yang
diketahuinya kepadaku. Kami berjalan ke bagian belakang stasiun, melewati barakbarak miiter tua dan
bangunan-bangunan pabrik yang telah berusia seratus tahun menuju blok apartemen
di dekat Gutleustrasse, tempat Ka tinggal selama delapan tahun terakhir. Tetapi,
ketika kami tiba, si pemilik gedung tidak kunjung muncul untuk membukakan pintu
depan dengan cat yang telah mengelupas dan mempersilakan kami masuk. Saat
berdiri menunggu di jalan, aku mengenali banyak hal yang diceritakan oleh Ka
kepadaku dalam surat-suratnya dan beberapa kali teleponnya. (Sebagai
seorang penderita paranoia akut, Ka curiga seseorang menguping semua pembicaraan
teleponnya ke Turki, sehingga dia tidak suka menggunakan telepon.) Apartemen Ka
menghadap ke sebuah lapangan kecil dengan sebuah area bermain, sebuah taman
kecil yang terbengkalai, dan sebuah toko bahan makanan. Saat mataku menjelajah
lebih jauh, memandang jendelajendela gelap toko-toko yang menjual alkohol dan
surat kabar, aku merasa seperti sedang memandang kenanganku sendiri. Ayunan dan
jungkat-jungkit di area bermain, begitu pula bangku-bangku tempat Ka
menghabiskan malam-malam musim panasnya untuk minum bir bersama para tetangganya
buruh-buruh dari Italia dan Yugoslavia sekarang berselimut salju tipis dan
basah. Setelah lelah menunggu, kami kembali ke stasiun, melewati rute yang biasa
diambil Ka setiap pagi untuk pergi ke perpustakaan kota selama tahuntahun
terakhir kehidupannya. Dia suka berjalan menembus kerumunan orang yang sedang
terburu-buru menuju tempat kerja mereka, dan kami mengikuti jejaknya ke stasiun,
lalu turun menuju sebuah pasar bawah tanah. Setelah itu, kami muncul kembali di
atas tanah dan mengikuti rute trem, melewati sejumlah toko peralatan seks, toko
cendera mata, toko kue, dan apotek di Kaisertrasse hingga tiba di Lapangan
Hauptwache. Tarkut Olgiin bertemu dengan banyak orang Turki yang dikenalnya di
berbagai kedai doner, restoran kebab, dan kios sayuran yang kami lewati, dan,
sambil melambai ke arah mereka, dia memberitahuku bahwa jika orang-orang yang
sama ini melihat Ka sedang berjalan menuju perpustakaan kota setiap pagi pada
waktu yang selalu sama, mereka berseru, "Selamat pagi, Profesor!" Saat kami tiba
di Lapangan Hauptwache, dia menunjuk sebuah toko besar di seberang lapangan Kauthof. Aku mengatakan
kepadanya bahwa di tempat itulah Ka membeli mantel yang dipakainya di Kars,
namun aku menolak tawarannya untuk menemaniku melihat-lihat di dalam.
Tujuan terakhir Ka setiap hari, perpustakaan kota, adalah sebuah bangunan modern
yang tidak tampak mencolok. Di dalamnya terdapat berbagai jenis orang yang
selalu dapat ditemukan di perpustakaan semacam itu: ibu rumah tangga, lansia
yang ingin menghabiskan waktu, pria-pria pengangguran, satu atau dua orang Turki
dan Arab, pelajar-pelajar yang mengerjakan tugas sambil tertawa-tawa, dan
berbagai macam manusia lainnya, dari yang gemuk, yang lemah, hingga yang cacat
mental. Salah seorang pemuda cacat mental mengangkat kepala dari buku bergambar
yang sedang dibacanya, meneteskan air liur, dan menjulurkan lidahnya kepadaku.
Pemanduku tidak tertarik pada buku, sehingga aku meninggalkannya di kantin di
bawah dan mencari rak-rak tempat menyimpan koleksi buku puisi berbahasa Inggris.
Di sini, aku melihat kartu katalog yang terselip di balik sampul belakang setiap
buku untuk mencari nama temanku. Kapan pun aku membuka buku Auden, Browning,
atau Coleridge untuk mencari tanda tangan Ka, aku menangis untuknya, untuk
tahuntahun yang dia habiskan di perpustakaan ini.
Aku menghentikan pencarianku, yang melemparkanku ke dalam kesedihan. Setelah
itu, aku dan teman pemanduku melangkah menyusuri jalan-jalan yang sama tanpa
berkata-kata. Kami berbelok ke kiri di suatu tempat di tengah-tengah
Kaiserstrasse tepat di depan sebuah tempat yang bernama World Sex Centre, atau
sesuatu yang seabsurd itu dan dari sana kami menyusuri seruas
jalan menuju Munchenerstrasse, tempatku melihat lebih banyak lagi kios-kios buah
dan sayuran serta restoran kebab miik orang Turki, begitu pula kios-kios tukang
cukur yang kosong. Saat itu, aku sudah bisa menduga apa yang hendak ditunjukkan
kepadaku, sehingga jantungku berdegup kencang. Aku mengalihkan pandangan dari
tumpukan kucai dan jeruk di luar kios pedagang sayuran pada seorang pria berkaki
satu yang mengemis di dekat kios, lalu pada kilatan lampu di seberang
jendelajendela berembun di Hotel Eden, lalu pada langit yang kelabu, dan di
sana, menyinarkan cahaya merah jambu cerah, berdiri sendiri dengan penuh
keagungan, tampaklah sebuah neon berbentuk "K'.
"Di sinilah kejadiannya,1 kata Tarkut Olgiin. "Ya, saya rasa di sini. Mereka
menemukan mayat Ka di sini.1
Aku menatap lesu ke tanah. Dua bocah laki-laki berlari dari arah kios sayuran,
saling menarik dan mendorong. Saat mereka berlari, salah satunya menginjak
kubangan di trotoar, tempat Ka terbaring sekarat dengan tiba butir peluru
bersarang di tubuhnya. Lampu-lampu merah dari truk yang diparkir di depan kami
memantul di trotoar. Selama beberapa menit, Ka meregang nyawa di trotoar ini,
namun dia meninggal sebelum ambulans tiba. Sejenak, aku mengangkat kepala untuk
mencari bagian langit yang dilihatnya pada saat-saat terakhirnya: di antara
bangunan-bangunan tua yang suram, yang ditempati oleh kedaikedai doner, agen-
agen perjalanan, kios-kios tukang cukur, kedaikedai bir, di sela-sela lampu-
lampu jalanan dan kabel-kabel listrik, tampaklah secercah langit.
Ka ditembak pada sekitar tengah malam. Tarkut Olgiin mengatakan kepadaku bahwa
pada waktu itu, beberapa orang pelacur jalanan masih berkeliaran di jalan ini.
Daerah pelacuran yang sesungguhnya berjarak satu ruas jalan dari sana, di
sepanjang Kaiserstrasse, namun pada malam-malam sibuk dan akhir pekan, atau
selama salah satu festival perdagangan, para wanita itu akan menyebar hingga ke
jalan ini. "Mereka tidak menemukan apa pun,1 katanya saat melihatku memandang ke
kanan dan ke kiri, seolaholah sedang mencari petunjuk. "Dan, polisi Jerman tidak
seperti polisi kita di Turki mereka bekerja dengan baik.1
Tetapi, saat aku mulai bertanya kepada para penjaga toko di sekitar tempat itu,
pria baik hati ini memutuskan untuk membantuku. Gadis-gadis di salon
mengenalnya, dan, setelah berbasa-basi sejenak, dia menanyakan apakah mereka
melihat sesuatu. Tetapi, tentu saja, mereka tidak ada di tempat itu saat
pembunuhan terjadi, dan mereka juga tidak pernah mendengar apa pun soal kejadian
itu. "Satu-satunya yang diajarkan oleh keluarga Turki kepada anak-anak gadisnya
di sini adalah cara menata rambut,1 dia memberitahuku saat kami telah kembali
berada di luar. "Ada ratusan penata rambut Turki di Frankfurt.1
Orang-orang Kurdi di kios pedagang sayur, sebaliknya, tahu betul tentang
pembunuhan itu dan penyelidikan polisi yang dilakukan sesudahnya. Ini dapat
menjelaskan mengapa mereka tampak sangat sebal saat bertemu dengan kami.
Pelayan baik hati di Holiday Kebab House sedang mengelap meja-meja Formica di
tempat itu pada sekitar pukul dua belas malam ketika dia mendengar ledakan
pistol. Dia menggunakan lap kotor yang sama seperti yang digunakannya saat ini.
Pada malam penembakan itu, dia menunggu sejenak sebelum keluar dan menjadi orang
terakhir yang diihat Ka. Setelah meninggalkan restoran kebab, aku berjalan cepat melewati gang pertama
yang kutemukan dan berhenti di halaman belakang sebuah bangunan suram. Aku
mengikuti Tarkut Bey menuruni dua anak tangga, melewati sebuah pintu, memasuki
sebuah ruangan gelap seukuran hangar, yang dahulu pernah digunakan sebagai
gudang. Dunia bawah tanah ini seluas jalanan di atas. Tempat ini sekarang
digunakan sebagai masjid, tempat lima puluh hingga enam puluh jemaat
bersembahyang Isya di hamparan karpet di bagian tengah ruangan. Tempat itu
dikelilingi toko-toko gelap dan kotor, sama seperti di pasar-pasar bawah tanah
di Istanbul. Aku melihat seorang pedagang perhiasan yang berpenampilan
menyedihkan dan seorang pedagang sayur yang bertubuh sangat kecil hingga nyaris
menyerupai kurcaci. Kios tukang daging di sebelahnya penuh sesak, namun pria di
kios makanan duduk diam menonton televisi di kedai kopi, dikeliingi oleh untaian
sosis bawang. Di sudut kedai kopi, tampaklah timbunan kardus berisi jus buah
Turki kemasan, makaroni Turki, makanan kaleng Turki, dan buku-buku agama, dan
jelas terlihat bahwa kedai itu jauh lebih ramai daripada masjid di dekatnya.
Udara di tempat itu sesak oleh asap rokok; para pria yang duduk di meja-mejanya
tampak lesu; sebagian besar dari mereka menonton film Turki yang diputar di TV,
namun sesekali salah seorang dari mereka akan menghampiri pancuran air. Setelah
mengisi sebuah ember plastik dengan air pancuran, dia akan berwudu dan bergabung
bersama para jemaat di luar. "Pada hari Jumat atau hari raya, Anda bisa melihat
dua ribu orang memenuhi tempat ini,1 Tarkut Bey memberitahuku. Orang-orang
membanjiri tempat ini hingga tangga
dan halaman belakang.1 Aku menghampiri kios yang menjual buku dan majalah, dan
tanpa alasan khusus membeli satu eksemplar majalah Communication.
Sesudahnya, kami memasuki sebuah kedai bir bergaya Munich yang ada tepat di atas
tempat itu. "Masjid itu dimiliki oleh aliran Suleyman,1 ujar Tarkut Olgiin,
menunjuk lantai yang kami injak. "Mereka teokrat, tapi mereka sama sekali tidak
terkait dengan terorisme. Mereka tidak sama dengan Advokat Nasional atau Harimau
Cema-lettin mereka juga tidak mau mengangkat senjata melawan Turki." Mungkin
merasa tidak enak melihat kecurigaan di wajahku dan perhatianku yang tercurah
pada Communication, seolaholah sedang mencari petunjuk dalam majalah itu,
sekarang Tarkut Olgiin menceritakan segala yang diketahuinya tentang pembunuhan
Ka kepadaku, juga apa yang kemudian diketahuinya dari polisi dan pers. Pada
pukul setengah dua belas malam, tepat empat puluh dua hari sebelum kunjunganku,
Ka kembali dari Hamburg, tempatnya ambil bagian dalam sebuah acara malam puisi.
Perjalanan itu membutuhkan waktu enam jam, namun saat tiba di stasiun, dia tidak
melewati pintu keluar selatan dan langsung pulang ke apartemennya di
Gutleustrasse. Alih-alih, dia melewati pintu keluar utara menuju Kaiserstrasse
dan menghabiskan dua puluh lima menit selanjutnya untuk berkeliaran di tengah
para turis, pemabuk, pria penyendiri, dan pelacur jalanan yang sedang menunggu
pelanggan. Dia sudah berjalan-jalan selama setengah jam sebelum berbelok ke
kanan di World Sex Centre. Dia ditembak saat melintasi Munchenerstrasse.
Dia mungkin sedang dalam perjalanan menuju Toko Buah Big Antalya untuk membeli
jeruk tangerine yang baru saja datang. Toko ini adalah satu-satunya toko sayuran
dan buah-buahan yang masih buka pada waktu selarut itu dan pelayan di sana ingat
bahwa Ka sering mampir ke tempat itu untuk membeli jeruk tangerine. Karena
pelayan itu mengakui tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan Ka, polisi yang
curiga menahan pria itu untuk diinterogasi, namun mereka melepaskannya keesokan
harinya karena tidak mendapatkan keterangan apa pun.
Polisi tidak dapat menemukan seorang pun saksi mata pembunuhan Ka. Pelayan Rumah
Kebab Holiday mendengar ledakan senjata, namun karena keributan dari televisi
menyala dan para pelanggan di sana, dia tidak bisa mengatakan berapa tembakan
yang didengarnya. Dan, mustahil untuk melihat melalui jendelajendela yang
tertutup embun di kedai bir tepat di atas masjid. Seorang pelacur jalanan yang
sedang merokok di sela-sela pekerjaannya melaporkan melihat seorang pria pendek,
berkulit gelap, "bertampang Turki1, dan berpakaian hitam berlari ke arah
Kaiserstrasse pada sekitar tengah malam, namun dia tak bisa menggambarkan lebih
mendetail pria itu kepada polisi. Seorang Jerman, yang kebetulan sedang berdiri
di balkon apartemennya saat Ka roboh ke tanah, langsung menelepon ambulans,
namun dia pun tidak melihat si pembunuh.
Peluru pertama menghantam kepala Ka dan menembus keluar dari mata kirinya. Dua
butir peluru yang lain menghancurkan pembuluh darah utama di sekitar jantung dan
hatinya, menembus bagian depan dan belakang mantel kelabu tuanya, yang basah
bersimbah darah. "Dia ditembak dari belakang, sehingga kemungkinan pembunuhan ini telah
direncanakan,1 simpul detektif uzur yang banyak bicara dan sering terbatuk-
batuk, yang ditugaskan menyelidiki kasus ini. Si pembunuh mungkin sudah
mengikuti Ka sejak dari Hamburg. Polisi memperhitungkan berbagai macam motif:
segalanya, dari kecemburuan seksual hingga pertikaian politik yang sering
terjadi dalam komunitas Turki. Ka tidak memiiki hubungan dengan dunia bawah
tanah yang beroperasi di lingkungan sekitar stasiun. Saat polisi menunjukkan
fotonya kepada orang-orang yang bekerja di sekitar tempat kejadian perkara,
beberapa orang ingat pernah berulang kali melihatnya di toko-toko peralatan
seks, dan beberapa orang yang lain ingat bahwa dia sering menggunakan bilik-biik
kecil di belakang untuk menonton film-film porno. Tetapi, tidak ada pernyataan
dari saksi mata, baik yang benar maupun yang salah; dan tidak ada tekanan dari
atas untuk menemukan si pembunuh; juga tidak ada gembar-gembor di media.
Saat mewawancarai teman-teman Ka, si detektif cerewet kadangkadang melupakan
inti penyelidikannya; dan akhirnya, justru pria inilah yang lebih banyak bicara.
Dari pria yang menyukai orang Turki inilah Tarkut Olgiin pertama kali mendengar
tentang dua orang wanita yang mengisi kehidupan Ka selama delapan tahun sebelum
kunjungannya ke Kars. Salah satunya seorang Jerman, dan satu lagi seorang Turki
(dengan saksama, aku mencatat nama mereka di notesku). Selama empat tahun sejak
dia kembali dari Kars, Ka sama sekali tidak berhubungan dengan wanita mana pun.
Karena penyelidikan kasus ini tidak mendapatkan kemajuan yang berarti, polisi
akhirnya menundanya. AKu DAN Tarkut kembali menyongsong hujan salju di luar. Saat berjalan kembali ke
apartemen Ka, tidak seorang pun dari kami berkata-kata. Kali ini, kami bertemu
dengan si pemilik gedung yang gemuk dan ramah, meskipun sedikit menjengkelkan.
Dia mengizinkan kami memasuki gedung, yang agak dingin dan berbau jelaga, lalu
membawa kami ke apartemen di lantai atas, yang, katanya dengan gusar, akan
disewakannya lagi. Jika ada rongsokan yang tidak kami bawa, dia akan membuangnya
saja. Setelah mengatakan hal itu, dia meninggalkan kami. Air mataku menetes saat
aku menginjakkan kaki ke dalam ruangan-ruangan sempit, gelap, dan berlangit-
langit tinggi tempat Ka menghabiskan delapan tahun terakhir kehidupannya: aroma
samar-samar yang tersisa di tempat itu melemparkanku ke masa kanakkanak kami.
Aku mengasosiasikan aroma itu dengan tas sekolahnya, kamarnya di rumah, dan
sweternya yang dirajutkan oleh ibunya. Kurasa aroma itu berasal dari sabun Turki
yang tak pernah kuingat merknya, dan tak pernah terpikir olehku untuk
menanyakannya. Selama tahuntahun awal Ka di Jerman, dia pernah bekerja sebagai portir, kuli
angkut, dan tukang cat, dan dia juga memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada
sesama imigran Turki. Tetapi, setelah secara resmi dinyatakan sebagai "buangan
politik" dan diberi tunjangan suaka, dia memutuskan hubungan dengan para komunis
Turki yang mengendalikan pusat-pusat keramaian dan yang, hingga saat itu,
memastikan dirinya selalu mendapatkan pekerjaan. Rekan-rekannya sesama buangan
politik menganggap Ka terlalu penyendiri, dan juga terlalu borjuis. Selama dua
belas tahun terakhirnya di Jerman, Ka mendapatkan tambahan penghasilan dengan
membaca puisi di perpustakaan-perpustakaan kota, pusat-pusat kebudayaan, dan
asosiasi-asosiasi Turki. Hanya orang Turki yang menghadiri pembacaan puisinya,
dan jumlah penontonnya jarang melebihi dua puluh orang. Meskipun begitu, jika
dapat melakukan tiga pembacaan puisi dalam sebulan, dia memperoleh tambahan
penghasilan sebanyak seratus lima puluh mark, yang, jika digabung dengan
tunjangan suakanya, memungkinkan dirinya hidup nyaman di Jerman.
Tetapi, jelas bagiku sekarang bahwa bulan-bulan seperti itu sangat jarang
terjadi. Kursi-kursi di apartemen Ka telah bobrok, asbak-asbaknya retak-retak,
dan kompor listriknya penuh karat. Masih tersinggung oleh ancaman si pemiik
gedung saat dia membiarkan kami masuk, aku ingin menjejalkan semua barang milik
Ka ke dalam sebuah koper tua dan beberapa kantong plastik, lalu pergi selamanya
dari sana. Aku ingin membawa semuanya: bantal di ranjang yang masih menguarkan
bau rambutnya, ikat pinggang dan dasi yang kuingat dipakainya saat di SMA,
sepatu Bally yang (menurut surat-suratnya) dipakainya sebagai "sandal rumah"
setelah ibu jarinya menyembul ke luar; gelas kotor yang digunakannya untuk
menyimpan sikat gigi dan odol; koleksi bukunya yang berjumlah sekitar tiga ratus
lima puluh buah; pesawat televisi; perekam video yang tak pernah diceritakannya
kepadaku; jaket usang dan kemeja-kemeja lusuhnya; dan piama yang dibawanya dari
Turki delapan belas tahun sebelumnya. Tetapi, saat aku mencari-cari di meja
kerjanya dan gagal menemukan benda yang paling kuinginkan, yang ketika itu baru
kusadari sebagai alasan utamaku datang ke Frankfurt, aku merasakan semangatku
melayang. Dalam surat terakhirnya dari Frankfurt, Ka dengan senang menyebutkan bahwa,
setelah empat tahun bekerja keras, akhirnya dia berhasil menyelesaikan sebuah
buku baru yang membahas puisi. Judulnya Salju, tulisnya. Sebagian besar puisinya
berlatar belakang kenangan-kenangan masa kecil yang mendatanginya dalam kilasan -
kilasan selama kunjungannya ke Kars, dan dia mencatat semua inspirasi ini secara
teratur dalam buku catatan hijaunya. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya segera
setelah dia meninggalkan Kars, dia mengatakan kepadaku bahwa dia yakin buku yang
akan ditulisnya memiiki struktur dasar yang "dalam dan misterius". Dia
menghabiskan empat tahun terakhir kehidupannya di Frankfurt untuk "mengisi
kekosongan" dalam rancangan tersembunyi ini. Untuk alasan yang sangat pelik
inilah dia menarik diri dari dunia, meninggalkan kesenangan duniawi bagaikan
seorang darwis. Di Kars, dia merasa seperti cenayang, seolaholah seseorang
membisikkan puisipuisi ke telinganya; tetapi, sekembalinya di Frankfurt, dia
sama sekali tak mampu lagi mendengar suara-suara itu.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun begitu, dia tetap bekerja keras untuk mengungkapkan apa yang
diyakininya merupakan logika tersembunyi dari pernyataan ini terhadap bayangan-
bayangan dan inspirasi-inspirasi yang didapatkannya di Kars. Dalam surat
terakhirnya, dia mengatakan bahwa karena tugas beratnya itu telah selesai, dia
akan menguji karya-karyanya dalam pembacaan puisi di beberapa kota di Jerman.
Dia tidak memiliki salinan dari versi tulisan tangannya di buku catatan hijau,
katanya kepadaku, namun dia akan mengetik dan mengopinya segera setelah dia
yakin semua telah ada di tempat yang tepat. Dia berencana mengirimkan satu kopi
untukku dan satu lagi ke penerbitnya di Istanbul. Maukah aku menulis beberapa
kata untuk sampul belakang dan mengirimkannya ke penerbitnya kepada teman baik
kami, Fahir" Atap-atap bangunan Frankfurt yang berselimut salju, pemandangan yang tampak dari
meja kerja Ka, sekarang tampak gelap seiring malam yang mulai turun. Meja
kerja Ka sendiri, yang tertutup taplak hijau, secara mengejutkan tampak rapi
untuk ukuran seorang penyair. Di sebelah kanan terdapat catatan-catatan harian
tempat Ka mendeskripsikan kunjungannya ke Kars dan puisipuisi yang mendatanginya
di sana; di bagian kiri terdapat tumpukan buku dan majalah yang tengah
dibacanya. Tepat di tengah meja terdapat sebuah lampu perunggu dan sebuah
pesawat telepon. Aku mengaduk-aduk laci untuk mencari buku catatannya; aku
menyisir buku-buku, catatan-catatan harian, dan koleksi kliping surat kabar yang
sepertinya selalu ada dalam kamar seorang buangan politik. Dengan kepanikan yang
semakin menggunung, aku mengaduk-aduk lemari pakaiannya, ranjangnya, lemari-
lemari di dapurnya, kulkasnya, kamar mandinya, keranjang cucian mungilnya, dan
setiap sudut apartemen tempat seseorang terpikir untuk menyembunyikan buku
catatannya. Menolak untuk menerima bahwa buku itu mungkin telah hilang, aku
mengulangi sekali lagi memeriksa tempat-tempat yang sama, sementara Tarkut
Olgiin berdiri merokok dan memandang salju yang turun di Frankfurt. Jika buku
catatan itu tidak ada di koper yang dibawanya ke Hamburg, maka buku itu
seharusnya ada di sini, di apartemen ini. Ka tidak pernah membuat salinan
puisinya hingga setiap kata telah tepat berada di tempatnya dia menganggap hal
itu sebagai pemancing bala. Tetapi, dia pernah mengatakan sendiri kepadaku bahwa
buku itu sudah selesai ditulis dan siap diterbitkan. Jadi, di manakah buku itu
sekarang" Dua jam kemudian, masih menolak menerima bahwa buku catatan hijau tempat Ka
menulis puisi-puisinya telah hilang, aku meyakinkan diriku bahwa buku tersebut
ada di sini, di suatu tempat, di depan mataku, dan aku tidak melihatnya hanya
karena aku membiarkan diriku tenggelam dalam kepanikan. Ketika si pemiik gedung
yang mulai kehilangan kesabaran menggedor-gedor pintu, aku meraup semua buku
catatan yang ada di laci Ka dan menjejalkan-nya ke dalam kantong plastik,
bersama setiap kertas bertulisan tangan yang bisa kutemukan. Setelah itu, aku
mengumpulkan kaset-kaset video porno yang ditumpuk tinggi di sekeliing VCR bukti
bahwa dia tidak pernah menerima tamu di tempat ini dan menjejalkan semuanya ke
dalam tas belanjaan dari Kaufhof. Lalu, bagaikan seseorang yang hendak melakukan
perjalanan panjang dan membutuhkan kenang-kenangan dari kehidupan sehari-hari
yang ditinggalkannya, aku menggeledah kamar Ka untuk mencari sebuah benda
sederhana yang bisa mengingatkanku kepadanya. Tetapi, aku tak dapat memutuskan,
dan sebelum menyadarinya, aku sudah mengisi tas plastik di tanganku dengan
sebuah asbak bersama puntung-puntung rokok yang ada di mejanya, sebilah pisau
yang digunakannya sebagai pembuka amplop, jam beker di meja samping ranjangnya,
jaket lusuh yang telah dipakainya di luar piamanya selama dua puluh lima tahun
dan sekarang masih menguarkan aroma tubuhnya, dan sebuah foto dirinya dan kakak
perempuannya yang sedang berdiri di dermaga Dolmabahge. Saat itu, aku menjadi
kurator dari keinginanku sendiri. Merasa bahwa itulah kesempatan terakhirku, aku
mengumpulkan hampir semua barang di kamar itu; dan hampir semuanya berharga,
mulai dari kaos kaki kotornya hingga saputangan yang tak pernah dipakainya, dari
sendok sayur hingga kotak rokok kosong di keranjang sampah kering. Dalam salah
satu dari pertemuan terakhir kami di Istanbul, Ka bertanya tentang rencana-
rencanaku untuk novel baruku, dan aku menceritakan kepadanya tentang Museum
Kepolosan, sebuah gagasan yang hingga saat itu kurahasiakan dari semua orang.
Sekembalinya aku ke kamar hotel, setelah berpisah dengan pemanduku, aku
melanjutkan analisisku terhadap benda-benda miik Ka. Pada saat itu, aku telah
memutuskan untuk menjadi profesional dan menyingkirkan kenangan tentang temanku
setidaknya untuk malam itu, sebelum keputusasaan menghancurkanku. Tugas pertama
yang kubebankan kepada diriku adalah memeriksa video-video porno milik Ka. Tidak
ada VCR di kamarku, namun dari tulisan tangan Ka di sampul kaset-kaset video
itu, jelas bahwa dia sangat menyukai seorang bintang porno Amerika bernama
Melinda. Selanjutnya, aku membaca buku-buku catatan tempat Ka menulis tentang puisipuisi
yang mendatanginya di Kars. Mengapakah dia tidak pernah menyebut-nyebut tentang
kisah asmaranya, juga tentang teror yang disaksikannya" Aku akan menemukan
jawabannya dalam sebuah map yang kuambil dari salah satu laci Ka. Saat aku
membuka map itu, sekitar empat puluh buah surat cinta jatuh ke pangkuanku;
semuanya ditujukan untuk Vpek; tidak satu pun pernah dikirimkan. Semua surat itu
dimulai dengan katakata yang sama persis "Sayangku, aku telah berpikir panjang
dan keras tentang apakah aku harus menulis untuk memberitahukan hal ini kepadamu
namun kemudian Ka melanjutkannya dengan membahas berbagai pengalamannya di Kars,
setiap kali menambahkan detail baru yang menyayat hati dan mengubah pemahamanku
mengenai hubungan asmaranya dengan Ypek. Ada pula cerita-ceritanya mengenai
kehidupan sehari-harinya di Frankfurt (anjing lesu yang dilihatnya di Taman Von
Bethmann dan meja-meja seng di Museum Yahudi, seperti yang juga disebutkannya
dalam surat-suratnya kepadaku, keduanya adalah sumber kekesalannya). Ka tidak
melipat satu pun surat cinta itu, sehingga aku tahu tentang keraguannya untuk
mengirimnya, yang membuatnya bahkan tidak berani memasukkan surat-surat itu ke
dalam amplop. "Katakan saja kepadaku, dan aku akan menjemputmu,1 dia menulis dalam salah satu
suratnya; meskipun, dalam suratnya yang lain, dia menyatakan bahwa dirinya
"tidak akan pernah kembali ke Kars, karena aku tidak mau kau salah paham
terhadapku lagi1. Salah satu surat menyebut tentang sebuah puisi (yang tidak
terlampir), dan salah satu surat yang lain membuat seseorang mengira bahwa Ypek
telah mengirim surat kepada Ka: "Maafkan aku jika kau salah paham terhadap
suratku.1 Malam itu, aku menggelar semua barang Ka di atas ranjang dan di setiap bidang
datar yang ada di kamarku, lalu memeriksa semuanya dengan mata forensik. Dan,
aku mendapatkan keyakinan bahwa Ka tak pernah menerima sepucuk pun surat dari
Ypek. Jadi, untuk apakah Ka berpura-pura membalas suratnya, bahkan meskipun dia
tahu bahwa dirinya juga tidak akan mengirim sepucuk pun surat untuk Ypek"
Di sinilah, mungkin, kita tiba pada inti kisah kita ini. Seberapa banyakkah kita
dapat mengetahui tentang cinta dan kepedihan dalam hati orang lain" Seberapa
banyakkah kita dapat berharap untuk memahami mereka yang telah mengalami
penderitaan yang lebih dalam, kekurangan yang lebih besar, dan kekecewaan yang
lebih dahsyat daripada yang selama ini kita ketahui" Bahkan jika orang-orang
yang kaya dan berkuasa di dunia ini mencoba meletakkan diri mereka di posisi
orang lain, seberapa banyakkah mereka akan benar-benar memahami penderitaan
jutaan orang lain di sekitar mereka" Maka, ketika Orhan si penulis novel
melongok ke sudutsudut gelap kehidupan susah dan penuh penderitaan kawan
penyairnya: seberapa banyakkah yang dapat benar-benar dilihatnya"
"Sepanjang hidupku, aku merasa tersesat dan kesepian seperti seekor binatang
terluka," tulis Ka. "Mungkin jika aku tidak merengkuhmu sekeras itu, aku tidak
akan membuatmu sebegitu marah, dan mungkin aku tidak akan menghancurkan kerja
kerasku selama dua belas tahun, hingga aku berakhir tepat di tempatku memulai.
Tapi, di sinilah aku, terabaikan dan terlupakan. Aku mengusung bekas luka dari
penderitaanku yang tak tertanggungkan di setiap inci dari tubuhku. Kadangkadang,
aku yakin bahwa aku tidak hanya kehilangan dirimu, tetapi juga segalanya di
dunia ini." Sekarang, apakah hanya dengan membaca katakata ini aku kemudian
dapat memahaminya" Larut malam, setelah pikiranku terasa ringan akibat wiski yang kuambil dari
minibar, aku kembali ke Kaiserstrasse untuk menyelidiki Melinda.
Gadis itu memiliki mata besar berwarna hijau zai-tun yang sedikit juling.
Kulitnya mulus, tungkainya panjang, bibirnya yang mungkin akan disamakan dengan
buah ceri oleh seorang penyair Utsmani mungil namun ranum. Dia juga cukup
terkenal: aku hanya butuh dua puluh menit untuk menemukan enam film yang
dibintangi olehnya di bagian video World Sex Centre. Aku menyelundupkan semua
video itu ke Istanbul, dan hanya dengan sekali menontonnya, aku mulai dapat
merasakan apa yang mungkin dirasakan Ka. Seperti apa pun pria yang dihadapinya
bisa saja yang terkasar dan terburuk rupa di dunia Melinda
selalu menanggapi erangan kenikmatannya dengan cara yang sama: wajah pucatnya
melembut dan memancarkan kasih sayang yang unik, seperti seorang ibu. Tak peduli
seprovokatif apa pun kostumnya (entah sebagai seorang wanita pengusaha yang
tidak sabaran, seorang pramugari bodoh, atau seorang ibu rumah tangga yang muak
dengan suaminya yang loyo), dia selalu tampak rapuh dan tak berdaya saat
telanjang. Seperti yang kemudian kuketahui dalam kunjunganku sendiri ke Kars,
ada kesan Ypek dalam sikap Melinda, yang paling terlihat dari mata besarnya dan
lekuk-lekuk tubuhnya. Aku tahu bahwa aku mungkin menyinggung jiwa-jiwa merana yang tetap bersikeras
memandang para penyair sebagai orang suci atau ahli filsafat saat aku
menyebutkan bahwa temanku menghabiskan empat tahun terakhir kehidupannya untuk
tenggelam dalam jenis hiburan untuk orang dewasa ini. Tetapi, saat berkeliaran
di World Sex Centre untuk memburu video-video Melinda, aku menyadari bahwa Ka
memiiki satu kesamaan dengan semua pria merana lainnya, yang kesepian bagaikan
hantu, yang membaca buku-bukuku. Mereka semua melampiaskan rasa bersalah dengan
menghilang dalam kegelapan bayangan untuk menonton film-film semacam ini. Di
gedung-gedung bioskop di seputaran 42nd Street di New York, di Kaiserstrasse di
Frankfurt, dan di jalan-jalan tikus di BeyoSIu, para pria yang tersesat dan
kesepian itu menonton film porno dengan penuh rasa malu dan kebencian terhadap
diri sendiri, berusaha menghindari tatapan mata orang lain saat berpapasan dan,
tanpa memedulikan stereotip nasional dan perbedaan antropologinya, semua tampak
sama persis. Aku meninggalkan World Sex Centre sambil menenteng tas plastik
hitam yang penuh berisi video Melinda,
lalu menyusuri jalanan yang kosong, menembus hujan salju, hingga tiba di
hotelku. Aku menenggak dua gelas wiski lagi di bar kecil yang ada di lobi, dan sambil
menunggu munculnya efek minuman itu, aku memandang hujan salju di luar. Setelah
merasakan pikiranku mulai melayang, aku memutuskan untuk melupakan sejenak
tentang melinda dan buku-buku catatan Ka. Tetapi, segera setelah aku tiba di
kamarku, aku mengambil salah satu buku catatan Ka secara acak. Tanpa berganti
pakaian, aku berbaring di ranjang dan mulai membaca. Pada halaman ketiga, aku
menemukan gambar sebuah kepingan salju yang tampak sebagai berikut:
IMAJINASI "Uc.mfcu.uirt TU B* 4kf* LOGIKA
Kapankah Kita Bisa Bertemu Kembali"
Mantra Pendek untuk Kebahagiaan
SETELAH KA dan Ypek bercinta, mereka saling berpelukan di atas ranjang; selama
beberapa waktu, tidak seorang pun bergerak. Dunia diliputi keheningan, dan
kebahagiaan Ka begitu meledak-ledak sehingga pelukan mereka terasa begitu lama.
Hal ini sendiri menjelaskan mengapa dia tiba-tiba mendapatkan dorongan untuk
melompat turun dari ranjang dan melongok ke luar jendela. Nantinya, dia akan
menganggap keheningan yang mereka rasakan berdua itu sebagai kenangan
terindahnya, sehingga dia akan mempertanyakan kepada dirinya sendiri mengapa dia
harus menghancurkan kenikmatan tiada tara itu dengan tiba-tiba melepaskan diri
dari pelukan Ypek. Jawabannya adalah, dia membiarkan kepanikan menguasai
dirinya: seolaholah sesuatu akan segera terjadi di sisi Lain jendela, di jalan
berselimut salju, dan dia harus bersiaga di dekat jendela sebelum peristiwa itu
terjadi. Tetapi, tak ada yang bisa dilihat di sisi lain jendela kecuali hujan salju.
Listrik masih padam, namun sebatang lilin menyala di jendela dapur yang berlapis
es di bawah, memendarkan cahaya oranye pada hujan salju lebat di luar. Lama
kemudian, akan terpikir oleh Ka bahwa dia memotong begitu saja momen paling
bahagia dalam kehidupannya karena dia tidak tahan menjadi sebahagia itu.
Awalnya, saat berbaring di ranjang dalam pelukan Ypek, dia tidak tahu bahwa dia
sedang sangat berbahagia.
Tetapi, dia memang merasakan kedamaian dengan dunia, dan kedamaian ini terasa
begitu alami sehingga dia kesulitan mengingat mengapa begitu banyak hal dalam
kehidupannya hingga saat itu terasa sangat membingungkan dan penuh kesedihan.
Kedamaian yang menyelimutinya bagaikan keheningan yang mengawali kedatangan
sebuah puisi, namun pada masa itu, sebelum sebuah puisi mendatanginya, dia akan
melihat makna kehidupannya terbentang dengan gamblang, menjadi sebuah
pemandangan yang mendatangkan rasa senang. Ada begitu banyak momen pencerahan
dalam kenangan indah mengenai Ypek ini. Di dalamnya terdapat kemurnian dan
kesederhanaan seorang bocah seperti seorang bocah yang menyimpan katakata di
ujung lidahnya untuk menjelaskan makna kehidupan.
Satu demi satu, Ka mengingat kembali fakta tentang kepingan salju yang dibacanya
di perpustakaan siang itu. Dia pergi ke sana untuk mempersiapkan diri, untuk
berjagajaga jika sebuah puisi bertema salju mendatanginya.
Tetapi, tidak ada puisi di dalam kepalanya sekarang. Meskipun puisi-puisinya
mendatanginya satu per satu, sekarang dia melihat bahwa semuanya menyatu dengan
susunan serapi gambar kekanak-kanakan kepingan salju berpucuk enam di dalam
ensiklopedia. Pada saat ini, dia pertama kali menyadari bahwa semua puisinya
adalah bagian dari sebuah rancangan besar.
"Apakah yang sedang kaulakukan di situ?" tanya
Ypek. "Aku sedang melihat salju, Sayang."
Sepertinya Ka merasa bahwa, entah bagaimana, Ypek tahu bahwa dirinya dapat
melihat lebih banyak daripada sekadar keindahan dalam geometri kepingan salju,
namun pada saat yang sama, Ka juga tahu bahwa ini tidak mungkin. Sebagian dari
dirinya tahu bahwa Ypek tidak senang melihat perhatiannya terbelah ke tempat
lain. Hingga saat itu, Ka menjadi pengejar, dan gairahnya yang jelas terlihat
membuatnya merasa rapuh dan tidak nyaman, sehingga sekarang dia senang karena
kedudukan telah berbalik: dari sini, dia menyimpulkan bahwa bercinta memberinya
sedikit keuntungan. "Apakah yang sedang kaupikirkan?" tanya Ypek.
"Aku sedang memikirkan ibuku," ujar Ka, yang menyadari untuk pertama kalinya:
karena, meskipun sudah meninggal, ibunya selalu berada jauh dari pikirannya.
Tetapi kemudian, saat mengingat kembali momen ini, dia akan menjelaskannya
dengan mengatakan, "Ibuku selalu ada dalam pikiranku selama kunjunganku ke
Kars." "Jadi, apakah yang kauingat dari ibumu?"
"Aku ingat saat kami berdiri di dekat jendela pada suatu malam musim dingin,
memandang salju di luar, dan dia membelai rambutku."
"Apakah kau bahagia saat masih kanakkanak?"
"Kita tidak menyadari saat kita berbahagia, setidaknya saat kebahagiaan itu
berlangsung. Baru bertahuntahun kemudian aku memutuskan bahwa masa kanak-kanakku bahagia; tapi,
kenyataannya, aku tidak bahagia.
Sebaliknya, aku justru bahagia, tidak seperti sebelumnya, selama bertahuntahun
kemudian. Aku hanya tidak tertarik pada kebahagiaan saat masih kecil."
"Jadi, kapankah kau mulai tertarik?"
Ka sangat tergoda untuk mengatakan "tidak pernah", namun dia mengurungkannya,
sebagian karena itu tidak benar, dan sebagian karena itu tampak terlalu agresif.
Dia masih tergoda, bukan hanya karena itu akan membuat Ypek terkesan, melainkan
karena ada hal-hal yang lebih berbobot dalam pikirannya saat itu, yang dapat
membuat Ypek terkesan. "Ada masanya saat aku begitu tidak bahagia sehingga aku tak bisa lagi bergerak,
dan pada saat itulah aku mulai memikirkan tentang kebahagiaan," kata Ka kepada
Ypek. Apakah itu hal yang tepat untuk dikatakannya" Keheningan Ypek membuat Ka tidak
nyaman. Jika dia menceritakan kepada Ypek betapa tidak bahagianya dirinya saat
berada di Frankfurt, bagaimana mungkin dia akan meyakinkan Ypek untuk pergi ke
sana bersamanya" Ketika angin kencang berembus dan mengacak-acak
kepingankepingan salju di luar, serangan rasa panik yang telah menguasai Ka
sebelumnya kembali dengan kekuatan lebih besar, membuat perutnya jauh lebih
mulas daripada saat dirinya berurusan dengan cinta dan siksaan menunggu.
Kebahagiaan yang baru dirasakannya beberapa saat telah berubah menjadi kepastian
buruk bahwa dia tidak akan bahagia. Di tempat kebahagiaannya semula berada,
keraguannya mulai menggunung. Dia ingin menanyakan kepada Ypek, "Maukah kau
pergi bersamaku ke Frankfurt?" namun dia terlalu ketakutan untuk menerima
jawaban yang tidak diinginkannya. Ka kembali ke ranjang, menekankan tubuh ke
punggung Ypek dan memeluk wanita itu sekuat tenaganya. "Ada sebuah toko di
pasar," katanya. "Toko itu memutar sebuah lagu sangat tua yang berjudul 'Roberta1, dinyanyikan
oleh Peppino di Capri. Di manakah menurutmu mereka mendapatkan lagu itu?"
"Masih ada beberapa keluarga tua yang bertahan di Kars," kata Ypek. "Pada
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya, para orangtua dalam keluarga-keluarga itu akan meninggal, lalu anak-
anak mereka menjual rumah dan kepemilikan mereka sebelum meninggalkan kota ini.
Jadi, benda-benda semacam itu bisa ditemukan di pasar, benda-benda yang
sepertinya tidak tepat berada di kota miskin yang kita lihat sekarang ini.
Dahulu ada pembeli barang loakan yang datang dari Istanbul setiap musim semi dan
membeli semuanya dengan harga murah, lalu mengangkutnya. Tapi sekarang, bahkan
dia pun berhenti datang."
Sejenak, Ka menyangka dirinya telah mendapatkan kembali kenikmatan tiada
taranya, namun perasaannya berbeda dengan sebelumnya. Sekali lagi, dia didera
rasa takut bahwa kebahagiaan akan meninggalkannya selamanya. Segala yang ada di
depan matanya membuatnya semakin panik. Dia tidak akan pernah meyakinkan Ypek
untuk pergi ke Frankfurt bersamanya, itu sudah pasti.
"Jadi, Sayang, kurasa sekarang sudah saatnya aku bangun."
Bahkan saat Ypek menggunakan kata "sayang", bahkan saat dia mencium Ka dengan
manis, Ka tetap tidak menemukan kedamaian.
"Kapankah kita bisa bertemu lagi?"
"Aku mengkhawatirkan ayahku. Polisi mungkin mengikutinya."
"Aku juga mengkhawatirkan mereka," ujar Ka. "Tapi, sekarang aku ingin tahu kapan
kita bisa bertemu lagi."
"Aku tidak akan memasuki kamar ini jika ayahku ada
di hotel." "Tapi, segalanya telah berubah sekarang," ujar Ka. Bagaimanapun, saat
menyaksikan keheningan Ypek yang berpakaian dalam kegelapan, Ka didera ketakutan
bahwa tidak ada yang telah berubah. "Bagaimana kalau aku pindah ke hotel lain,
jadi kita bisa bertemu di sana," katanya.
Keheningan yang menyesakkan menyusul. Sekarang, gelombang kepanikan baru
menggulung Ka. Kecemburuan tanpa batas membanjirinya. Dia memikirkan kemungkinan
Ypek memiliki kekasih lain. Sebagian dari dirinya masih cukup waras untuk
mengingat bahwa kecemburuan semacam ini wajar terjadi dalam tahap awal hubungan
asmara yang belum teruji, namun sebuah suara batin yang lebih kuat menyuruhnya
untuk memeluk Ypek dengan sekuat daya yang dimilikinya, dan mengerahkan seluruh
energinya untuk menaklukkan setiap rintangan yang masih berdiri di antara
mereka. Ka tahu bahwa ini masalah kepentingan. Namun dia juga tahu bahwa jika
dia bertindak terlalu terburu-buru, dia akan menempatkan dirinya dalam situasi
canggung, sehingga meskipun ragu-ragu, dia memilih untuk diam saja.[J
Kami Tidak Bodoh! Kami Hanya Miskin!
Pertemuan Rahasia di Hotel Asia
SAAT ZAHIDE bergegas menghampiri kereta kuda yang akan membawa Turgut Bey dan
Kadife ke pertemuan rahasia di Hotel Asia, senja mulai turun, sehingga Ka, yang
menyaksikan dari balik jendela, tidak dapat melihat dengan cukup jelas apa yang
dibawa pelayan setia itu. Zahide membawa sepasang sarung tangan wol tua. Tidak
yakin akan memakai pakaian apa ke pertemuan yang hendak dihadirinya, Turgut Bey
mengeluarkan dua buah jas yang dimilikinya sejak dia masih mengajar yang satu
berwarna hitam, yang satu lagi kelabu dan menggelarnya di atas ranjang bersama
topi yang hanya dia kenakan saat hari besar nasional atau jika ada kunjungan
dari pengawas sekolah, serta sebuah dasi bermotif kotak-kotak yang telah
bertahuntahun tidak dipakainya, kecuali untuk menghibur anak laki-laki Zahide.
Dia akan menghabiskan waktu lebih lama untuk memilih pakaian lain yang ada di
lemari dan lacinya; tetapi, melihatnya bertingkah seperti seorang gadis pemimpi
yang tidak yakin ayahnya akan mengizinkan dia memakai pakaian apa ke sebuah
pesta dansa, Kadife turun tangan untuk memilihkan bajunya. Setelah mengancingkan
kemeja ayahnya, Kadife memakaikan jas dan mantelnya; setelah itu, dia berjuang
memasang sepasang sarung tangan kulit anjing putih ke kedua tangan mungil
ayahnya. Saat inilah Turgut Bey teringat pada sarung tangan wol tuanya; dan,
dengan gigih, dia bersikeras ingin mengenakan sarung tangan itu, sehingga dia
menyuruh Ypek dan Kadife mencari-cari ke seluruh rumah, mengaduk-aduk semua
lemari dan laci, dari yang teratas hingga terbawah. Ketika akhirnya menemukan
sarung tangan itu dan melihat betapa banyaknya lubang ngengat yang ada di sana,
mereka langsung menyingkirkannya. Tetapi, setelah duduk di dalam kereta, Turgut
Bey sekali lagi bersikeras tidak mau pergi tanpa sarung tangan itu.
Bertahuntahun silam, dia menjelaskan, saat aktivitas sayap kiri menjerumuskannya
ke penjara, almarhumah istri tercintanya membawakan sarung tangan hasil rajutan
sendiri itu untuknya. Kadife, yang lebih mengenal ayahnya daripada pria itu
mengenal dirinya sendiri, dapat melihat masalah ini secara lebih jelas: jika
pria tua itu bersikeras memakai sarung tangan ini sebagai jimat, berarti dia
benar-benar ketakutan. Setelah sarung tangan itu diantarkan dan kereta berjalan menembus salju, Kadife
meminta ayahnya untuk bercerita lebih banyak tentang hari-harinya di penjara.
Dia mendengarkan kisah-kisah itu (bagaimana ayahnya menangis setiap kali
menerima surat dari istrinya; bagaimana ayahnya berusaha sendiri untuk belajar
bahasa Prancis; bagaimana ayahnya mengenakan sarung tangan wol itu untuk tidur
selama malam-malam musim dingin) dengan sangat saksama, seolaholah dia baru
mendengarnya untuk pertama kalinya, sesekali menyela untuk mengatakan, "Ayah
memang pria yang sangat pemberani!"
Lalu, Turgut Bey melakukan apa yang selalu dilakukannya saat mendengar kedua
putrinya mengutarakan katakata itu (yang, selama beberapa tahun terakhir sangat
jarang terjadi): menahan air matanya, Turgut Bey memeluk Kadife dan mencium
kedua pipinya dengan tubuh gemetar.
Saat melangkah keluar dari kereta, Turgut Bey mengatakan, "Lihatlah semua toko
baru itu. Ayo kita mampir untuk melihat apa yang mereka jual."
Kadife tahu bahwa ayahnya ketakutan, sehingga dia tidak berusaha memburu-
burunya. Turgut Bey mengusulkan supaya mereka mampir sejenak ke kedai teh untuk
menikmati teh /inden jika seorang detektif membuntuti mereka, katanya, mereka
sebaiknya menguras dompetnya sekalian. Maka, mereka pun memasuki sebuah kedai
teh, tempat mereka menyaksikan siaran balapan di TV tanpa berkata-kata. Tepat
sebelum mereka hendak pergi, Turgut Bey melihat tukang cukur tua langganannya di
meja di dekat mereka, dan dia bersikeras supaya mereka tinggal lebih lama di
kedai teh. Dia tidak ingin seseorang yang mengenalnya melihatnya dalam
perjalanan menghadiri pertemuan bersama Lazuardi.
"Apa menurutmu kita sudah terlambat sekarang?" Turgut Bey bertanya kepada
Kadife. "Apa menurutmu dia akan tersinggung jika kita tidak datang?"
Karena tukang cukur gemuk itu sepertinya menguping, Turgut Bey berbisik-bisik
kepada Kadife. Dia menggamit lengan Kadife, namun alih-alih membawanya langsung
ke halaman belakang, dia mengajak putrinya itu ke toko alat tulis, tempatnya
membeli sebuah pena biru tua. Ketika mereka akhirnya tiba di halaman belakang
Toko Peralatan Listrik dan Pipa Ersin dan menghampiri pintu bercat gelap yang
merupakan pintu belakang Hotel Asia,
Kadife melihat wajah ayahnya menjadi pucat pasi. Tidak ada yang mengagetkan,
namun mereka tetap bergandengan erat untuk menebalkan tekad. Tidak seorang pun
membuntuti mereka. Mereka masuk ke dalam beberapa langkah, namun tempat itu
begitu gelap sehingga Kadife harus meraba-raba untuk mencari jalan menuju tangga
yang membawa mereka ke lobi. "Jangan lepaskan tanganku," kata Turgut Bey.
Lobi hotel itu remang-remang, jendelajendela tingginya tertutup tirai tebal.
Tetapi, terdapat sebuah lampu meja dekil yang memendarkan cukup cahaya sehingga
mereka dapat melihat wajah berambut acak-acakan milik si resepsionis yang
berdiri di belakang meja. Dalam kegelapan di sekeliling meja, mereka dapat
melihat siluet beberapa sosok yang lalu lalang di lobi dan naik turun tangga.
Mereka bisa saja polisi berpakaian preman, pedagang pasar gelap yang sedang
melakukan jual beli hewan ternak atau kayu, atau para pekerja ilegal yang
menyelundupkan diri di perbatasan.
Delapan puluh tahun sebelumnya, hotel ini terkenal di kalangan pengusaha Rusia.
Setelah revolusi, pelanggannya kebanyakan orang Istanbul dan para agen dari
kalangan aristokrat Inggris, yang sedang menuju Armenia untuk memata-matai Uni
Soviet. Sekarang, tempat itu dipenuhi wanita yang datang dari Georgia dan
Ukraina untuk bekerja sebagai pelacur dan penyelundup kelas teri. Pada umumnya,
para pria dari desa-desa di sekitar Kars menyewa kamar di hotel ini untuk
mendapatkan jasa para wanita itu. Mereka tinggal bersama di hotel ini selama
siang hari, hampir menyerupai pasangan suami istri, lalu kembali ke desa tempat
tinggal mereka dengan minibus terakhir. Setelah para pria itu pergi, para wanita
akan turun untuk minum kopi dan konyak di bar hotel yang gelap.
Saat berjalan dengan hati-hati di antara kursi-kursi kayu yang dahulu berlapis
kain merah, Turgut Bey dan Kadife berpapasan dengan salah seorang wanita pirang
berpenampilan seronok itu. Turgut Bey berpaling ke arah Kadife dan berbisik,
"Hotel Grand, tempat Ismet Pasha menginap saat menandatangani Kesepakatan
Lausanne, sama kosmopolitannya dengan tempat ini," dan, sambil berbicara, dia
mengeluarkan pena yang baru saja dibelinya dari saku. "Dan aku akan melakukan
apa yang dilakukan Ismet Pasha di Lausanne aku akan menandatangani pernyataan
dengan sebuah pena baru."
Untuk waktu yang sangat lama, Turgut Bey berdiri diam. Kadife tidak tahu apakah
ayahnya sedang menunda-nunda atau mendengarkan suara-suara di tangga. Tetapi,
akhirnya pria itu menaiki tangga. Saat mereka tiba di Kamar 3D7, Turgut Bey
berkata, "Mari kita membubuhkan tanda tangan dan pergi dari sini."
Kamar itu begitu ramai sehingga pada awalnya Kadife mengira mereka salah
memasuki ruangan. Melihat La-zuar-di duduk bersungut-sungut di dekat jendela
bersama dua orang militan Islamis lain, dia menggandengayahnya melintasi ruangan
dan duduk di dekat mereka. Sebuah bohlam menggantung dari langit-langit; di atas
meja terdapat sebuah lampu berbentuk ikan; tetapi, ruangan itu tetap gelap. Ikan
itu terbuat dari plastik Bakelite; ekornya mencuat ke atas, sebuah bohlam
tersimpan di mulutnya. Sebuah mikrofon milik negara tersembunyi di dalam salah
satu matanya. Fazyl juga ada di dalam ruangan itu. Saat melihat Kadife, pemuda itu serta merta
berdiri, bahkan sebelum orang lain juga berdiri untuk memberikan penghormatan kepada Turgut Bey. Fazyl
tampak terperangah, seolaholah seseorang baru saja memantrai dia. Beberapa orang
di dalam ruangan itu mengiranya hendak menyampaikan sesuatu. Tetapi, Kadife sama
sekali tidak memedulikannya. Matanya tertuju pada Lazuardi dan Turgut Bey, yang
sedang saling memandang. Atmosfer dalam ruangan itu penuh ketegangan.
Lazuardi telah memutuskan bahwa dunia Barat akan menganggap pernyataan mereka
dengan lebih serius jika nasionalis Kurdi yang menandatanganinya juga seorang
ateis. Tetapi, remaja kerempeng dan pucat yang dengan enggan bersedia
berpartisipasi sekarang menentang pendapat kedua rekan nasionalis Kurdinya
mengenai isi persetujuan itu. Mereka bertiga menantikan giliran berbicara dengan
wajah cemberut. Karena asosiasi pemuda pemarah, putus asa, dan pengangguran yang
diketahui mengagumi gerilyawan Kurdi dari pegunungan memiliki kecenderungan
untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu anggotanya, dan karena pemimpin
asosiasi itu sering ditangkap, dipukuli, dan disiksa dalam razia yang mengiringi
setiap pertemuan tersebut, sulit untuk mencari pemuda semacam itu setelah kudeta
terjadi. Tetapi, tiga orang pemuda Kurdi yang hadir di sana ketika itu memiliki
masalah yang jauh lebih mendesak: para pejuang gunung bisa jadi akan mengetahui
kehadiran mereka di kamar ini dan menjadi curiga. Mereka mungkin akan menganggap
sikap ketiga pemuda itu akan dengan mudah melunak di kamar hotel yang hangat ini
dan menuduh mereka bekerja sama dengan Republik Turki. Bahkan, fakta bahwa
asosiasi pemuda itu tidak mengirim cukup banyak anggota untuk dijadikan
gerilyawan di pegunungan pun telah mengecilkan
hati segelintir anggota yang belum tertangkap.
Yang juga hadir dalam pertemuan itu adalah dua orang "sosialis" model lama,
keduanya berusia tiga puluhan. Kemungkinan adanya sebuah pernyataan bersama yang
akan dimuat di pers Jerman disampaikan kepada mereka oleh para pemuda Kurdi,
yang mendatangi para sosialis itu untuk sedikit menyombong sekaligus meminta
nasihat. Kemilitanan sosialis pernah cukup lama membayangi Kars, namun semua itu
hanyalah masa lalu; sekarang ini, tidak seorang pun sosialis berani
mengorganisasi serangan, membunuh seorang polisi, ataupun mengirim paket berisi
bom tanpa terlebih dahulu mencari restu dan dukungan dari gerilyawan Kurdi.
Sebagai hasilnya, kegarangan kaum sosialis melunak akibat kemandekan ekonomi dan
depresi yang semakin meluas. Dua orang militan model lama ini menghadiri
pertemuan meskipun tidak diundang karena mereka mendengar bahwa Marxisme marak
di Eropa. Pria yang lebih tua di antara mereka berdua, yang duduk di pojok
kamar, tampak bosan. Di sebelahnya, rekannya yang berwajah mulus dan bersikap
santai dengan sangat bersemangat mengumpulkan detail-detail yang akan
disampaikannya pada kantor cabang MYT. Niatnya tidak berbahaya: dia melakukan
hal ini supaya kelompoknya terbebas dari cecaran polisi. Dia akan melaporkan
setiap aktivitas yang tidak disukainya ke negara sesungguhnya, sebagian besar di
antaranya sepertinya tidak penting tetapi, di lubuk hatinya yang terdalam, dia
merasa bangga akan adanya pemberontakan untuk menegakkan kebenaran; saking
bangganya, dia bahkan menggembar-gemborkan tentang penembakan, penculikan,
pengeboman, dan pembunuhan kepada siapa pun yang mau mendengarkan ocehannya.
Pada awalnya, tidak seorang pun mau berbicara. Mereka sangat yakin bahwa kamar
itu disadap dan ada beberapa orang informan di antara mereka. Dan, yang akhirnya
memecahkan kesunyian adalah anggukan ke arah jendela untuk mengatakan bahwa
hujan salju masih turun, atau ntuk memperingatkan seseorang yang membuang
puntung rokok ke lantai. Keadaan ini berlangsung lama, hingga akhirnya seorang
nenek-nenek Kurdi, yang kehadirannya tidak disadari oleh siapa pun hingga saat
itu, berdiri dan menuturkan kisah tentang menghilangnya anak laki-lakinya.
(Mereka mengetuk pintu rumahnya pada tengah malam buta dan membawa pergi anaknya
begitu saja.) Meskipun tidak terlalu memerhatikan cerita menghilangnya anak laki-laki si
nenek, Turgut Bey merasa tidak enak. Dia merasa prihatin saat mendengar tentang
penculikan dan pembunuhan terhadap para pemuda Kurdi pada tengah malam buta
sekaligus merasa marah saat mendengar mereka disebut "tidak berdosa".
Menggenggam erat tangan ayahnya, Kadife berusaha memahami ekspresi jijik dan
meremehkan yang dapat dilihatnya diwajah Lazuardi. Blue merasa dirinya telah
masuk ke dalam jebakan, tetapi, mencemaskan apa yang akan dikatakan oleh orang-
orang jika dia pergi begitu saja, dia tetap tinggal di sana, meskipun akal
sehatnya melarangnnya. Kemudian:
1. Pemuda Islamis yang duduk di dekat Fazyl, dan yang keterkaitannya dengan
pembunuhan direktur Institut Pendidikan akan terbukti berbulan-bulan kemudian,
mulai menyampaikan pendapatnya bahwa si direktur dibunuh oleh seorang agen
pemerintah. 2. Para revolusioner di kamar itu secara panjang lebar mengumumkan tentang aksi
mogok makan yang dilakukan rekan-rekan mereka di penjara. 3. Tiga orang pemuda
dari asosiasi Kurdi membacakan pernyataan yang jauh lebih panjang, yang mencakup
ancaman mereka untuk tidak menandatangani pernyataan bersama kecuali Frankfurter
Rundschau dapat menjamin akan memuatnya, sehingga mereka akan dapat mengangkat
kebudayaan dan sastra Kurdi ke tempat yang layak dalam sejarah dunia.
Ketika si nenek, yang datang untuk membubuhkan tanda tangan atas nama anaknya
yang hilang, menanyakan tentang keberadaan "jurnalis Jerman" yang dimaksud,
Kadife segera bangkit untuk menjelaskan dengan suara meyakinkan bahwa Ka masih
ada di Kars, namun dia memilih untuk tidak menghadiri pertemuan itu karena
keberadaannya akan menimbulkan keraguan mengenai "kenetralan" pernyataan mereka.
Karena orang-orang di sana tidak terbiasa melihat seorang wanita berbicara
dengan penuh kepercayaan diri dalam sebuah pertemuan politik, Kadife langsung
mendapatkan kehormatan dari mereka. Si nenek yang anaknya menghilang memeluk
Kadife dan mulai menangis, dan, saat mendengar bahwa Kadife akan melakukan apa
pun yang bisa dilakukannya supaya kisah si nenek dimuat oleh pers Jerman, wanita
tua itu memberikan selembar kertas bertuliskan nama putranya kepada Kadife.
Informan militan sayap-kiri yang beritikad baik menggunakan kesempatan ini untuk
mempresentasikan rancangan pertamanya untuk pernyataan ini, yang ditulisnya di
dalam buku catatannya. Saat membacakannya, dia sebisa mungkin berusaha menahan
supaya ekspresi wajahnya tetap datar.
Judul pernyataan itu adalah "Sebuah Pengumuman bagi Bangsa Eropa Perihal
Kejadian di Kars". Hampir semua orang menyambut baik usulan itu. Mengenang apa
yang dirasakannya ketika itu, nantinya Fazyl akan tersenyum dan memberi tahu Ka
bahwa "Baru ketika itulah terpikir oleh saya bahwa pada suatu hari nanti, kota
kecil kami ini mungkin akan memainkan peran dalam sejarah dunia." Ka akan
menggunakan katakata Fazyl tersebut dalam puisinya "Seluruh Umat Manusia dan
Bintang-Bintang". Hanya Lazuardi seoranglah yang dengan keras menentang judul itu. "Kita tidak
sedang berbicara pada Eropa," katanya. "Kita berbicara kepada seluruh umat
manusia. Teman-teman kita tidak akan terkejut saat mengetahui bahwa kita tidak
bisa menampilkan pernyataan kita bukan hanya di Kars dan Istanbul, melainkan
juga di Frankfurt. Orang Eropa bukan teman kita. Mereka adalah musuh kita. Dan,
bukan karena kita musuh mereka namun karena secara naluriah, mereka membenci
kita." Seseorang dari pihak sayap kiri yang membuat rancangan pertama pernyataan
tersebut menyela untuk mengatakan bahwa bukan seluruh umat manusia yang membenci
mereka, melainkan hanya kaum borjuis Eropa. Orang-orang miskin dan pengangguran
adalah saudara mereka, dia mengingatkan, namun tidak seorang pun, kecuali rekan
sosialisnya, yang merasa tergugah.
"Tidak seorang pun di Eropa yang semiskin kita," salah seorang dari tiga remaja
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurdi menyanggah dengan suara melengking.
"Anakku, apa kau pernah pergi ke Eropa?" Turgut Bey bertanya.
"Saya belum mendapatkan kesempatan itu, tapi paman saya menjadi buruh di
Jerman." Pernyataan ini memancing gelak tawa.
Turgut Bey meluruskan kursinya. "Meskipun kata itu sangat berarti bagi saya,
saya sendiri belum pernah pergi ke Eropa," katanya. "Ini bukan bahan tertawaan.
Siapa pun di ruangan ini yang pernah pergi ke Eropa, silakan mengacungkan
tangan." Selain Lazuardi, yang pernah tinggal selama bertahuntahun di Jerman, tidak
seorang pun mengacungkan tangan.
"Tapi, kita semua tahu apa arti Eropa," lanjut Turgut Bey. "Eropa adalah masa
depan kita, juga masa depan kemanusiaan kita. Maka, jika pria terhormat ini" dia
menunjuk ke arah Lazuardi "berpendapat bahwa kita sebaiknya mengatakan 'seluruh
umat manusia1 alih-alih 'Eropa1, sebaiknya kita menurutinya dan mengubah
pernyataan kita." "Eropa bukanlah masa depan saya," kata Lazuardi sambil tersenyum. "Selama saya
bernyawa, saya tidak akan meniru mereka ataupun membenci diri saya sendiri
karena berbeda dengan mereka."
"Bukan hanya Islamis yang memiliki kebanggaan terhadap negeri ini. Republiken
juga merasakan hal yang sama," kata Turgut Bey. "Jika kita mengatakan 'seluruh
umat manusia' alih-alih 'Eropa', apakah yang kita dapatkan?"
'"Sebuah Pengumuman bagi Seluruh Umat Manusia Perihal Kejadian di Kars'," kata
pemuda yang bertugas menulis pernyataan. "Kedengarannya mungkin terlalu muluk-
muluk." Diskusi lebih lanjut pun bergulir. Mereka mempertimbangkan untuk mengganti
"seluruh umat manusia" menjadi "dunia Barat", namun pria berwajah
berbintikbintik di sebelah Lazuardi mengajukan keberatan kepada pemuda Kurdi
bersuara melengking ini, dan mengusulkan supaya judul pernyataan itu cukup
"Sebuah Pengumuman" saja. Semua orang menyetujui usul ini.
Berkebalikan dengan perkiraan semua orang, rancangan pernyataan itu ternyata
sangat singkat. Isinya menyatakan bahwa sebuah kudeta telah "digelar" ketika
jelas terlihat bahwa kandidat-kandidat dari kalangan Islamis dan Kurdi akan
menang dalam pemilihan yang akan segera dilangsungkan. Hanya Turgut Bey yang
menyampaikan keberatan, mengatakan bahwa argumenmereka sepenuhnya didasarkan
pada pendapat kebanyakan semata, dan hal ini tidak akan dianggap meyakinkan oleh
para pembaca Eropa. Menurutnya, mereka mengetahui bahwa pada hari pemilihan
ataupun dalam perjalanan menuju tempat pemilihan, semua orang dapat seketika
berubah pikiran dan memutuskan untuk memberikan suara pada partai yang
menggalakkan apa pun yang mereka tentang sebelumnya. Untuk alasan ini, Turgut
Bey berpendapat bahwa sebaiknya mereka tidak menyiratkan bahwa hasil pemilihan
sudah dapat diduga secara pasti.
Sebagai tanggapan, informan militan sayap kiri yang bertugas menulis rancangan
mengatakan, "Semua orang tahu bahwa kudeta ini dilakukan sebelum pemilihan untuk
mencegah orang-orang tertentu memenanginya."
"Anda harus ingat bahwa kita berurusan dengan sebuah kelompok teater," kata
Turgut Bey. "Satu-satunya alasan mereka berhasil melakukan kudeta ini adalah
karena jalan-jalan ditutup. Semuanya akan kembali normal dalam hitungan hari."
"Jika Anda tidak menentang kudeta, untuk apa Anda datang kemari?" tanya seorang
pria berwajah merah padam yang duduk di samping Lazuardi.
Turgut Bey tidak menjawab, namun Kadife langsung berdiri (dia adalah satu-
satunya orang yang berdiri saat menyampaikan pendapat, meskipun tidak seorang
pun, terutama dirinya sendiri, menganggap hal ini sebagai sesuatu yang aneh).
Dengan mata memancarkan kemarahan, dia mengatakan ke seluruh ruangan bahwa
ayahnya telah menghabiskan bertahuntahun kehidupannya di dalam penjara akibat
keyakinan politiknya, sehingga sekarang dia bertekad untuk menentang segala
bentuk penindasan yang didukung oleh negara.
Turgut Bey cepat-cepat melepas jasnya dan mengisyaratkan kepada putrinya untuk
duduk kembali. "Jawaban saya untuk pertanyaan Anda adalah ini," katanya: "Saya
menghadiri pertemuan ini karena ingin membuktikan kepada orang-orang Eropa bahwa
di Turki, ada pula orang-orang yang memegang teguh akal sehat dan demokrasi."
"Jika sebuah surat kabar besar dari Jerman memberi saya ruangan untuk menulis
dua kalimat saja, pernyataan Anda itu bukanlah hal pertama yang hendak saya
tekankan," ujar si pria berwajah merah dengan nada meremehkan. Dia hendak
mengatakan lebih banyak lagi, namun Lazuardi memegangi lengannya.
Hal itu cukup memberikan alasan bagi Turgut Bey untuk menyesali keputusaannya
menghadiri pertemuan ini. Dia menutupi kekecewaannya dengan mengatakan kepada
dirinya bahwa dia hanya mampir ke tempat ini dalam perjalanan menuju tempat
lain. Bersikap seperti seseorang yang memikirkan masalah lain di luar ruangan
ini, Turgut Bey bangkit dan berjalan beberapa langkah ke pintu; tetapi, melihat
salju semakin menumpuk di Jalan KaradaS,
dia menghampiri jendela. Kadife memegangi lengan ayahnya sebegitu rupa sehingga
seolaholah Turgut Bey tidak mampu berjalan tanpa bantuannya. Untuk waktu yang
lama, ayah dan anak itu berdiri di dekat jendela seperti anak-anak murung yang
berusaha melupakan masalah mereka, menyaksikan sebuah kereta kuda bergerak
perlahan di jalan. Salah seorang pemuda Kurdi yang bersuara melengking merasa penasaran dan
bergabung dengan mereka di dekat jendela. Orang lain di kamar itu memandang
mereka dengan campuran rasa hormat dan khawatir. Saat mereka memikirkan
kemungkinan adanya razia, ketegangan di kamar itu semakin bertambah. Berbagai
faksi yang ada cemas jika mereka tidak sempat lagi mengambil kesepakatan tentang
bagian lain dari pernyataan itu. Mereka setuju bahwa kudeta militer yang telah
terjadi digerakkan oleh segelintir petualang. Lazuardilah yang mengatakan hal
ini. Saat yang lain mengusulkan sebuah definisi yang lebih luas, Lazuardi
menegaskan bahwa memberikan kesan pada Barat bahwa militer telah mengambil alih
kekuasaan di seluruh Turki adalah sebuah kesalahan. Pada akhirnya, semua setuju
untuk menyebut peristiwa kudeta itu sebagai sebuah "kudeta lokal yang didukung
oleh Ankara". Secara singkat disebutkan pula tentang orang-orang Kurdi yang
ditembak atau diculik dari rumah mereka dan ditembak di suatu tempat, juga
tentang penyiksaan dan intimidasi pada para pelajar madrasah aliah. "Penyerangan
massal terhadap penduduk kota" diubah menjadi "Penyerangan terhadap penduduk
kota, semangat masyarakat, dan agama". Mereka juga mengganti baris terakhir
pernyataan, memberikan imbauan bukan hanya kepada orang Eropa melainkan juga
manusia di seluruh dunia untuk bersatu-padu dalam protes menentang Republik
Turki. Saat membaca baris terakhir ini, Turgut Bey memandang mata Lazuardi dan
melihat sirat kepuasan di sana. Sekali lagi, pria tua itu menyesal karena telah
menghadiri pertemuan. "Jika tidak ada lagi yang keberatan, mari kita segera membubuhkan tanda tangan,"
kata Lazuardi, "karena razia bisa terjadi kapan saja."
Pada tahap itu, pernyataan mereka masih berbentuk rangkaian katakata penuh
coretan, tanda panah, dan lingkaran-lingkaran yang menunjukkan perubahan, namun
ini tidak mencegah semua orang untuk menghambur ke tengah ruangan, tempat mereka
berjejalan dengan tujuan yang sama: membubuhkan tanda tangan dan kemudian pergi
sejauh mungkin dari sana. Beberapa orang sudah berjalan ke pintu ketika Kadife
tiba-tiba berseru: "Berhenti! Ayah saya ingin menyampaikan sesuatu kepada
kalian!" Hal ini menambah kepanikan, namun Lazuardi memerintahkan kepada si pemuda
berwajah merah untuk menjaga pintu. "Tidak seorang pun boleh keluar," katanya.
"Biarkanlah Turgut Bey menyampaikan keberatannya."
"Saya tidak akan menyampaikan keberatan," kata pria tua itu. "Tapi, sebelum saya
membubuhkan namasaya dalam pernyataan ini, ada sesuatu yang saya inginkan dari
pemuda di sana." Dia terdiam sejenak untuk berpikir. "Dan bukan hanya dari dia
dari semua orang di kamar ini." Dia menunjuk pemuda berwajah merah yang
sebelumnya mendebatnya dan sekarang berdiri menjaga pintu. "Saya ingin
memberikan sebuah pertanyaan, dan saya menginginkan jawaban, pertama-tama dari
pemuda itu, lalu dari Anda semua. Jika saya tidak mendapatkan jawaban, saya
tidak akan menandatangani pernyataan ini." Dia menoleh
ke arah Lazuardi untuk menegaskan ucapannya.
"Baiklah, silakan saja, katakanlah pertanyaan Anda," kata Lazuardi. "Jika kami
bisa menjawabnya, kami akan dengan senang hati memberikannya kepada Anda."
"Baru beberapa saat yang lalu, kalian menertawakan saya. Jadi, sekarang saya
menginginkan kalian semua menjawab pertanyaan ini. Jika sebuah surat kabar besar
di Jerman memberikan dua baris bagi masing-masing dari kalian, apakah yang akan
kalian katakan pada Barat" Saya ingin pemuda di sana menjawab terlebih dahulu."
Remaja berwajah merah itu kuat dan pintar, juga memiliki pendapat untuk segala
sesuatu, namun dia tidak siap menghadapi pertanyaan semacam itu. Dia
mencengkeram pegangan pintu keras-keras dan memandang Lazuardi untuk meminta
pertolongan. "Katakan saja apa yang ada dalam pikiranmu jika kau memiliki dua baris untuk
diisi. Setelah itu kita semua bisa pulang," kata Lazuardi, memaksakan sebuah
senyuman. "Jika kau terlalu lama berpikir, bisa-bisa polisi datang untuk
merazia." Remaja itu berulang kali menarik napas sambil mengolah otaknya seperti seorang
bocah yang berjuang menghadapi pertanyaan ujian yang jawabannya diketahuinya
sehari sebelumnya namun sekarang dilupakannya.
Karena remaja itu tidak kunjung menjawab, Lazuardi berkata, "Baiklah, biarkanlah
saya menjawab terlebih dahulu. Saya tidak peduli dengan orang-orang Eropa yang
Anda kagumi. Jika menyangkut mereka, yang ingin saya lakukan hanyalah melangkah
keluar dari bayang-bayang mereka. Tetapi, pada kenyataannya, kita semua hidup di
bawah bayang-bayang."
"Jangan berusaha menolong dia, biarkanlah dia mengutarakan isi hatinya sendiri,"
kata Turgut Bey. "Anda boleh mengambil giliran terakhir." Turgut Bey tersenyum
pada si remaja berwajah merah, yang masih tampak kebingungan. "Ini adalah sebuah
keputusan yang sulit. Ini adalah sebuah masalah yang rumit. Ini bukan sekadar
dilema yang bisa dipecahkan begitu saja."
"Dia mencari-cari alasan!" seseorang berseru dari bagian belakang kamar.
"Sebenarnya dia tidak mau menandatangani pernyataan!"
Mereka semua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.
Beberapa orang beringsut menghampiri jendela, menyaksikan sebuah kereta kuda
bergoyang-goyang saat berjalan perlahan di jalan. Nantinya, pada malam yang
sama, saat menceritakan tentang "keheningan memukau" yang menyelimuti seluruh
ruangan, Fazyl mengatakan kepada Ka bahwa "sepertinya secara tiba-tiba kami
semua menjadi bersaudara, seolaholah kami merasa lebih dekat satu sama lain
daripada sebelumnya". Suara pertama yang memecahkan keheningan itu datang dari
pesawat yang melintasi langit malam di atas mereka. Semua orang memasang
telinga. "Itu pesawat kedua yang lewat hari ini," bisik Lazuardi.
"Aku akan keluar sekarang!" seseorang berseru.
Pria itu, yang berwajah pucat dan berusia tiga puluhan, mengenakan jas yang
warnanya telah pudar. Tidak seorang pun memerhatikannya hingga saat itu. Dia
adalah salah seorang dari tiga orang perwakilan buruh yang ada di ruangan itu,
bekerja sebagai tukang masak di Rumah Sakit Jaminan Sosial, dan tak henti-
hentinya melihat jam tangannya. Dia menghadiri pertemuan itu bersama keluarga-
keluarga orang hilang. Menurut laporan yang nantinya
dibuat, abang pria itu, seorang aktivis politik, diangkut ke kantor polisi untuk
ditanyai dan tidak pernah pulang lagi. Menurut kabar yang beredar, tukang masak
berwajah pucat itu ingin meminta surat kematian dari negara supaya dia dapat
menikahi istri cantik dari abangnya yang hilang. Dia pernah membuat permohonan
resmi setahun setelah abangnya menghilang, namun polisi, MYT, kejaksaan, dan
pangkalan militer mengabaikannya begitu saja. Dia bergabung dengan perkumpulan
keluarga orang hilang dua bulan sebelum pertemuan itu, bukan karena dorongan
untuk membalas dendam, melainkan karena hanya orang-orang itulah yang mau
mendengarkannya. "Kalian akan menyebutku pengecut di belakang punggungku. Tapi, kalian semualah
pengecut yang sesungguhnya. Dan, orang-orang Eropa pujaan kalian itu, merekalah
pengecut terbesar. Silakan kutip kata-kataku itu." Dia menendang pintu hingga
terbuka dan menghambur ke luar.
Pada saat inilah seseorang menanyakan tentang siapa sebenarnya "Hans Hansen Bey"
ini. Kadife mulai panik, tetapi, yang membuatnya terkejut, Lazuardi dengan
tenang menjelaskan bahwa Hans Hansen adalah seorang jurnalis Jerman beritikad
baik yang menaruh perhatian mendalam pada masalah-masalah Turki.
"Berhati-hatilah pada orang Jerman yang beritikad baik!" seru seseorang.
Seorang pria berjas hitam yang berdiri di dekat jendela menanyakan apakah surat
kabar akan memuat pernyataan bersama itu dengan menambahkan kutipan-kutipan dari
mereka. "Teman-teman, jangan sampai kita mengerut ketakutan seperti anak sekolah yang
menunggu anak lain menjawab terlebih dahulu," kata seseorang.
"Saya anak sekolah," seru salah seorang pemuda Kurdi. "Saya tahu apa yang akan
saya katakan bahkan sebelum saya sampai di sini."
"Apa kau hendak mengatakan bahwa kau sudah tahu akan tiba hari saat kau diundang
untuk memberikan pernyataan pada sebuah surat kabar Jerman?"
"Ya, tepat sekali," kata si remaja. Suaranya mungkin terdengar tenang, namun
wajahnya terbakar semangat yang berapi-api. "Saya selalu memimpikan datangnya
hari saat saya mendapatkan kesempatan untuk membagikan gagasan-gagasan saya
dengan dunia dan begitu pula semua orang di dalam kamar ini."
"Aku tak pernah berpikir seperti itu
"Yang ingin saya katakan sangatlah sederhana," kata pemuda penuh semangat itu.
"Saya ingin surat kabar Frankfurt memuat katakata ini: "Kami tidak bodoh! Kami
hanya miskin! Dan kami berhak untuk menuntut diakuinya perbedaan ini."
"Katakata yang sangat sederhana!"
"Siapakah yang kaumaksud, Anakku, saat kau mengatakan 'kami'?" tanya seorang
pria lain. "Apakah yang kaumaksud orang Turki" Orang Kurdi" Orang Kaukasia"
Penduduk Kars" Siapakah sebenarnya yang kaumaksud?"
"Karena kesalahan terbesar umat manusia," lanjut remaja penuh semangat itu,
mengabaikan pertanyaan yang muncul, "penipuan terbesar selama ribuan tahun
terakhir adalah ini: menyamakan kemiskinan dengan kebodohan."
"Apa sebenarnya yang dia maksud dengan 'kebodohan'?" Dia harus menerangkan
tentang istilah ini, kata seseorang.
"Sepanjang sejarah, para pemimpin agama dan orang-orang yang dianggap terpandang
selalu memperingatkan kita tentang persamaan yang memalukan ini. Mereka
mengingatkan kita bahwa orang miskin juga memiliki hati, pikiran, kemanusiaan,
dan kebijaksanaan, sama seperti semua orang lain. Saat Hans Hansen melihat orang
miskin, belas kasihannya akan muncul. Dalam sekejap, dia akan menganggap pria
itu sebagai orang bodoh yang telah menghancurkan kesempatannya sendiri, atau
seorang pemabuk yang sudah kehilangan semangat hidup."
"Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan oleh Hans Hansen, tapi semua orang akan
berpikir begitu saat melihat orang miskin."
"Tolonglah, dengarkanlah apa yang hendak saya katakan," kata pemuda Kurdi penuh
semangat itu. "Saya tidak akan berbicara panjang lebar. Orang-orang tertentu
mungkin merasa kasihan pada seseorang yang hidup dalam kemiskinan, tapi saat
melihat suatu bangsa yang miskin, seluruh dunia akan langsung menganggap semua
penduduk bangsa itu tidak punya otak, malas, jorok, dan bebal. Alih-alih merasa
kasihan, orang-orang itu justru ingin tertawa. Semuanya lelucon kebudayaan
mereka, sikap mereka, cara hidup mereka. Seiring waktu, sebagian dari seluruh
dunia itu akan mulai merasa malu karena berpikir seperti ini, lalu saat mereka
menengok ke sekeliling mereka dan melihat imigran-imigran dari negara miskin itu
mengepel lantai mereka dan melakukan segala macam pekerjaan berbayaran terendah,
wajar saja jika mereka mengkhawatirkan tentang apa yang akan terjadi jika para
buruh itu bangkit untuk menentang mereka suatu hari nanti. Maka, untuk menjaga
supaya keadaan tetap aman, mereka mulai memberikan perhatian pada kebudayaan
para imigran itu, dan kadangkadang mereka bahkan berpura-pura menganggap para
imigran itu memiliki kedudukan yang setara dengan mereka."
"Sudah saatnya dia memberi tahu kita bangsa mana yang sedang dia bicarakan."
"Saya ingin menambahkan sesuatu," kata si Kurdi bersuara melengking sebelum
temannya menanggapi. "Umat manusia tidak mau lagi menertawakan mereka yang membunuh dan menindas
orang lain. Inilah yang saya pelajari dari paman saya saat beliau datang ke Kars
dari Jerman musim panas lalu. Dunia sudah kehilangan kesabaran dengan negara-
negara penindas." "Apa benar dugaan kami bahwa kalian memberikan ancaman atas nama Barat?"
"Seperti yang sudah saya katakan," lanjut si Kurdi penuh semangat, "ketika
seorang Barat menjumpai seseorang dari sebuah negara miskin, yang pertama
dirasakannya adalah belas kasihan yang mendalam. Dia berpikir bahwa orang itu
menjadi sedemikian miskin tentunya karena berasal dari sebuah negara yang penuh
berisi orang tolol. Yang selanjutnya ada dalam benak orang Barat itu adalah
bahwa kepala si orang miskin tentunya penuh omong kosong yang menjerumuskan
negaranya ke dalam kemiskinan dan keputusasaan."
"Dan, jika memang begitu, dia tidak akan meleset terlalu jauh, bukan?"
"Jika kalian seperti si penyair sombong yang menganggap kita bodoh, berdiri dan
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyatakanlah sikap kalian. Ateis kafir itu akan berakhir di Neraka, tapi
setidaknya dia menunjukkan keberanian. Dia tampil dalam siaran langsung di TV,
memandang mata semua orang di negara ini dan mengatakan ke wajah kita bahwa kita
bodoh." "Maaf, tapi orang yang tampil di TV tidak bisa melihat mata para penontonnya."
"Anak itu tidak mengatakan dia 'melihat' mata penonton. Dia mengatakan
'memandang'." "Teman-teman! Tolonglah! Jangan sampai pertemuan kita ini berubah menjadi ajang
debat kusir," seorang aktivis sayap kiri memohon dengan gelisah. "Dan tolonglah,
jangan bicara terlalu cepat."
"Jika dia tidak cukup berani untuk mengatakan bangsa mana yang sedang
dibicarakannya, aku tidak mau diam. Kita harus tahu betul tentang bahayanya
memberikan pernyataan yang justru akan melecehkan bangsa kita sendiri."
"Saya bukan pengkhianat. Saya setuju dengan Anda," ujar pemuda Kurdi penuh
semangat itu, bangkit dari tempat duduknya. "Karena itulah saya ingin mengatakan
pada surat kabar Jerman ini bahwa meskipun suatu hari nanti saya mendapatkan
kesempatan untuk pergi ke Jerman, meskipun mereka memberikan visa untuk saya,
saya tidak akan mau menginjakkan kaki ke negara itu."
"Mana mungkin mereka mau memberikan visa kepada pengangguran kecil yang bukan
siapa-siapa sepertimu."
"Lupakan saja soal visa. Negara kita sendiri tak akan mau memberi dia paspor."
"Kalian benar, mereka tidak akan memberikannya," pemuda penuh semangat namun
rendah hati itu mengakui.
"Tapi, misalkan saja mereka mau memberikannya dan saya pergi ke Jerman, dan
orang Barat pertama yang berpapasan dengan saya di jalan ternyata baik dan tidak
membenci saya. Saya tetap saja tidak akan memercayainya, hanya karena dia orang
Barat. Saya masih akan khawatir pria ini memandang rendah kepada saya. Karena
orang Jerman memandang orang Turki dengan cara yang berbeda. Tidak ada gunanya
menghindar dari rasa malu kecuali dengan membuktikan dalam kesempatan pertama
bahwa jalan pikiran kita sama persis dengan mereka.
Tapi, ini mustahil, dan mencoba melakukannya dapat menghancurkan harga diri
kita." "Kau memulai dengan cara yang buruk, Anakku, tapi kau mengakhirinya di tempat
yang tepat," kata seorang jurnalis Azeri tua. "Tapi, aku masih berpendapat kita
tidak perlu menyampaikan hal ini pada pers Jerman, karena ini akan membuka celah
bagi mereka untuk mengolok-olok kita." Dia terdiam sejenak, lalu dengan lihai
menambahkan, "Jadi, bangsa apakah yang sedang kaubicarakan itu?"
Saat remaja Kurdi itu duduk tanpa menjawab, putra si jurnalis tua, yang duduk di
sebelah ayahnya, berseru, "Dia takut!"
"Memangnya kenapa kalau dia takut," seseorang bergumam, sementara beberapa orang
lain berbisik, "Dia tidak mengantri tunjangan pemerintah sepertimu."
Baik si jurnalis maupun putranya tidak tersinggung saat mendengar komentar ini.
Semua orang berbicara bersamaan, tapi tidak dengan nada frustrasi: bersenda
gurau, saling menggoda, dan mencatat skor menjadikan atmosfer di dalam ruangan
itu sangat meriah dan menyatukan mereka semua. Nantinya, setelah mendengar
cerita Fazyl tentang pertemuan itu, Ka akan mencatat di bukunya bahwa pertemuan
politik semacam ini dapat berlangsung selama berjam-jam, dan bahwa para pria
beralis tebal, berkumis melengkung, dan pengisap rokok yang menghadirinya
menikmati keramaian suasana, meskipun tidak menyadari bahwa mereka sedang
bersenang-senang. "Kita tak akan pernah menjadi orang Eropa!" seru
seorang pemuda Islamis yang angkuh. "Silakan saja jika mereka mau menggilas kita
dengan tank, menghujani kita dengan peluru, dan membunuh kita semua. Tapi,
mereka tak bisa mengubah jiwa kita."
"Kau mungkin bisa menguasai tubuhku, tapi tak akan pernah bisa menyentuh
jiwaku," kata pemuda Kurdi yang bersuara melengking. Dia mengucapkan katakata
itu dengan gaya melodrama Turki.
Semua orang tertawa, termasuk pemuda yang baru saja berbicara.
"Sekarang, saya hendak mengatakan sesuatu," kata salah seorang pemuda yang duduk
di dekat Lazuardi. "Tak peduli betapa kerasnya teman-teman kita di sini berusaha menarik garis di
antara mereka dengan orang-orang hina yang meniru cara-cara orang Barat, saya
masih bisa mendengar nada penyesalan. Seolaholah, mereka mengatakan, 'Sayang
sekali aku bukan orang Barat.'
Dia berpaling ke arah pria berjaket kulit yang terus menerus melihat jam. "Saya
mohon, Bapak, abaikan saja sambutan dari saya ini!" Sikapnya seperti seorang
penjahat sopan. "Inilah yang saya inginkan untuk ditulis: Saya bangga dengan
bagian dari diri saya yang tidak bersifat Eropa. Saya bangga dengan berbagai hal
dalam diri saya yang dianggap kekanak-kanakan, brutal, dan primitif oleh orang
Eropa. Jika orang Eropa rupawan, saya ingin menjadi buruk rupa; jika mereka
pintar, saya lebih suka menjadi bodoh; jika mereka hidup dengan cara modern,
biarkan saya tetap hidup sederhana."
Tidak seorang pun di ruangan itu mendukung pernyataan tersebut. Tetapi, gelak
tawa yang menyusul menumbuhkan semangat baru bagi pertemuan itu, dan semua yang
disebutkan di sana memancing lelucon baru. Meskipun begitu, seseorang lepas
kendali dengan mengatakan, "Tapi, kau memang bodoh!" Untungnya, pada saat itu,
kedua aktivis sayap kiri yang ada di sana terbatuk-batuk hebat secara bersamaan,
sehingga tidak seorang pun yakin siapa yang melontarkan katakata hinaan tadi.
Remaja berwajah merah yang menjaga pintu menyerukan sebuah puisi. Baris-baris
pertamanya berbunyi seperti ini:
Eropa, Oh Eropa Mari berhenti dan memandangnya Saat bersama-sama daiam mimpi kita Jangan biarkan
ibiis berkuasa .... Fazyl kesulitan mendengar keseluruhan puisi itu akibat batuk hebat dari kedua
pria Kurdi di dekatnya. Tapi, meskipun dia melupakan katakata di dalamnya, dia
masih ingat garis besar temanya. Tertulis di kertas yang sama, yang memuat
catatannya tentang berbagai pernyataan dua baris untuk Barat adalah potongan-
potongan reaksi yang akhirnya muncul dalam "Seluruh Umat Manusia dan Bintang-
Bintang", puisi yang ditulis Ka segera setelah berbicara dengannya:
1. "Jangan takut dengan mereka; tak ada apa pun di sana yang perlu ditakuti,"
seru salah seorang militan sayap kiri.
2. si jurnalis Azeri tua yang tak henti-hentinya bertanya, "Bangsa apa yang
kaumaksud?" mengatakan, "Jangan sampai kita mengorbankan ke Turki an kita
demi agama." Lalu, menanggapi pidato panjang lebarnya tentang Perang Salib,
Holocaust, pembantaian Amerika terhadap Indian, dan pembantaian Prancis terhadap
muslim Algeria, seseorang yang berpandangan negatif di antara kerumunan dengan
culas menanyakan, "Dan, apa pula yang terjadi pada jutaan orang Armenia yang
dahulu tinggal di segala penjuru Anatolia, termasuk Kars?" Merasa kasihan pada
pria ini, si sekretaris-informan tidak menulis namanya. 3. "Tidak seorang pun
yang menggunakan akal sehatnya akan mau menerjemahkan puisi sepanjang dan
sebodoh itu, dan Hans Hansen tidak akan pernah mau memuatnya di koran." Ucapan
ini dilontarkan oleh salah seorang penyair yang ada di dalam ruangan itu (ada
tiga orang penyair di sana). Mereka mengambil kesempatan ini untuk mengeluhkan
tentang pencekalan bagi para penyair Turki di panggung internasional.
Setelah selesai membacakan puisi yang dianggap tolol dan primitif oleh semua
orang yang hadir, pemuda berwajah merah itu bersimbah peluh. Beberapa orang
meme-nepukinya dengan ogah-ogahan. Sebagian besar orang di sana sepertinya
setuju bahwa menampilkan puisi ini di surat kabar Jerman bukanlah tindakan
bijaksana, karena celah untuk mengolok-olok "kita" akan lebih terbuka lebar.
Pemuda Kurdi yang memiliki paman di Jerman paling menyampaikan pendapatnya
secara berapi-api: "Para penulis puisi atau penyanyi di Barat berbicara untuk
seluruh umat manusia. Mereka adalah manusia tapi kita hanya umat muslim. Jika
kita menulis sesuatu, karya kita hanya akan disebut sebagai puisi etnik."
"Pesan saya adalah ini. Mohon dicatat," kata seorang pria berjas hitam. "Jika
orang Eropa benar, dan mereka memang satu-satunya masa depan kita, dan satu
satunya harapan bagi kita adalah menjadi lebih menyerupai mereka, maka sungguh
bodoh jika kita membuang-buang waktu untuk membicarakan apa yang membuat kita
menjadi diri kita." "Ah, dari semua yang sudah kita dengar sejauh ini, ucapan itulah yang akan
paling efektif untuk meyakinkan orang Eropa bahwa kita memang idiot."
"Tolonglah, sekali ini saja, nyatakanlah dengan jelas bangsa manakah yang akan
terlihat idiot?" "Dan, di sinilah kita, bertingkah seolaholah kita jauh lebih pintar dan berharga
daripada orang Barat, tetapi, Bapak-Bapak, saya menekankan kepada Anda semua
bahwa seandainya Jerman membuka konsulat di Kars hari ini dan mulai membagi-
bagikan visa gratis, kota ini akan kosong dalam waktu seminggu."
"Itu hanya isapan jempol semata. Lagi pula, teman kita di sana baru saja memberi
tahu kita bahwa dia tidak akan pergi kalaupun mereka memberinya kesempatan.
Saya juga tidak akan pergi. Saya akan melakukan hal yang terhormat dan tetap
tinggal di sini." "Dan banyak orang lainnya juga akan memilih untuk tetap tinggal di sini, Pak
jangan salah. Semua yang tidak akan pergi, silakan acungkan tangan supaya kami
bisa melihat." Beberapa orang mengacungkan tangan. Beberapa orang pemuda melihatnya, namun
mereka belum bisa menjatuhkan pilihan. "Memangnya kenapa dia menganggap kedua
orang yang memilih untuk pergi itu bersikap tidak terhormat?" tanya pria yang
berjas hitam. "Memang sulit memberikan penjelasan pada orang-orang yang belum paham," kata
seseorang yang berpenampilan misterius.
Fazyl melihat Kadife berpaling dan memandang murung ke jendela. Jantung pemuda
itu mulai berdegup kencang. Hamba mohon Tuhan, batinnya mengatakan, tolonglah
supaya saya dapat menjaga kemurnian saya; melindungi pikiran saya dari
kebingungan. Terpikir olehnya bahwa Kadife mungkin akan menyukai katakata itu.
Terpikir olehnya untuk menjadikan katakata ini sebagai pernyataan dua barisnya
ke Barat. Tetapi, karena begitu banyak orang sekarang berbicara bersama-sama,
tidak mungkin kata-katanya akan didengar.
Satu-satunya orang yang suaranya tetap terdengar di tengah hiruk pikuk itu
adalah pemuda Kurdi yang bersuara nyaring. Dia mengusulkan untuk menceritakan ke
surat kabar Jerman tentang sebuah mimpi yang baru saja didapatkannya. Berhenti
sesekali untuk bergidik, dia menjelaskan bahwa dalam mimpi ini, dia duduk
sendirian di Teater Nasional untuk menonton sebuah film.
Film itu buatan Eropa, sehingga semua pemerannya berbicara dalam bahasa asing,
tapi hal ini tidak membuatnya menjadi jengah: entah bagaimana, dia memahami
semua yang mereka ucapkan. Kemudian, dalam sekejap mata, dia sendiri sudah
berada di dalam film itu. Dia tiba-tiba berada di ruang duduk sebuah keluarga
Kristen. Di sana, di depan matanya, makanan terhidang hingga memenuhi meja. Dia
tak sabar lagi ingin mengisi perutnya,tetapi dia menahan diri karena takut akan
berbuat salah. Jantungnya mulai berdebardebar: di sana, di hadapannya,
berdirilah seorang wanita cantik berambut pirang, dan saat melihat wanita itu,
dia ingat bahwa dia telah jatuh cinta pada si wanita selama bertahuntahun.
Wanita itu lebih hangat dan lembut daripada yang pernah dibayangkannya. Dia memuji pakaian dan
tingkah lakunya, mencium kedua pipinya, dan membelai rambutnya. Pemuda itu
sangat senang sampai tak mampu berkata-kata. Sebelum dia menyadarinya, wanita
itu telah memangkunya dan menunjuk makanan di meja. Ketika itulah si pemuda
menyadari bahwa dirinya masih bocah. Air mata sekarang membasahi mata pemuda
Kurdi itu. Wanita itu sangat menyukainya hanya karena dia masih anak-anak.
Mimpi ini sepertinya muncul dari ketakutan yang terpendam begitu dalam. Si
jurnalis tua memecah keheningan. "Tidak mungkin ada orang yang bisa bermimpi
seperti itu," katanya. "Bocah Kurdi ini mengarangnya supaya orang Jerman bisa
mengolok-olok kita."
Untuk membuktikan keaslian mimpinya, remaja Kurdi itu mengungkapkan sebuah
detail yang semula tidak dikatakannya: setiap kali dia terbangun setelah
mendapatkan mimpi itu, dia bisa mengingat wanita berambut pirang tersebut. Dia
pertama kali melihat wanita itu lima tahun yang lalu, keluar dari bus, sebagai
salah seorang anggota kelompok wisatawan yang mengunjungi gereja-gereja Armenia.
Wanita itu mengenakan gaun biru yang memamerkan bahunya. Dia mengenakan gaun
yang sama dalam mimpi si pemuda.
Tambahan cerita ini justru memicu ledakan tawa. "Kita semua sudah pernah melihat
wanita Eropa yang seperti itu," kata seseorang, "dan kita semua sudah pernah
digoda oleh Iblis." Yang lain menyambar kesempatan ini untuk menceritakan beberapa anekdot nakal,
melontarkan lelucon mesum, atau menyerukan komentar panjang lebar penuh
kemarahan pada wanita-wanita Barat. Seorang pemuda
jangkung, kerempeng, dan agak tampan yang diam saja hingga saat itu mulai
memaparkan sebuah cerita: Seorang Barat dan seorang muslim bertemu di sebuah
stasiun kereta api. Sayangnya, kereta api yang mereka tunggu tak kunjung datang.
Di ujung peron yang sama, mereka melihat seorang wanita Prancis cantik menunggu
kereta yang sama .... Siapa pun yang pernah menjadi siswa sekolah khusus laki-laki atau bergabung
dengan militer akan langsung menyadari bahwa cerita ini menghubungkan keahlian
seksual dengan kebudayaan nasional. Tidak ada katakata kasar dalam cerita itu,
karena kemesumannya tersembunyi dalam balutan kalimat yang berbunga-bunga.
Tetapi, sesaat kemudian, sebuah perasaan baru, yang sangat tepat digambarkan
dalam sebuah kalimat dari laporan Fazyl, menyelimuti semua orang dalam ruangan
itu: "Hati saya terasa berat karena rasa malu!"
Turgut Bey berdiri. "Baiklah, Anakku, itu sudah cukup," katanya. "Bawa kemari
pernyataan itu supaya aku bisa menandatanganinya."
Turgut Bey mengeluarkan pena barunya, dan urusan itu pun selesai sudah.
Kebisingan dan asap rokok dalam kamar itu membuatnya lelah, dan dia membutuhkan
bantuan Kadife untuk berdiri.
"Sekarang, dengarkan saya sebentar," kata Kadife. "Kalian semua sepertinya tidak
sedikit pun merasa malu, tapi wajah saya memerah akibat apa yang baru saja saya
dengar. Saya menutupi kepala dengan jilbab ini supaya kalian tak bisa melihat
rambut saya, dan mungkin kalian mengira jilbab ini menjadikan kehidupan saya
lebih berat, tapi" "Kau tidak memakai jilbab karena kami!" seseorang
berbisik dengan suara keras. "Kau memakainya untuk Tuhan, untuk membuktikan
keimananmu!" "Saya juga punya beberapa hal untuk dikatakan pada surat kabar Jerman itu.
Silakan catat ini." Kadife cukup pintar berpura-pura, dan dia tahu bahwa para
penontonnya setengah membenci dan setengah mengaguminya. "'Seorang wanita muda
di Kars' bukan, jangan tulis itu, katakan saja, 'Seorang gadis muslim yang
tinggal di Kars' 'mengenakan jilbab bukan hanya untuk alasanalasan keagamaan
pribadi, melainkan juga sebagai simbol keimanannya. Pada suatu hari, gadis ini
mendapatkan dorongan mendadak yang begitu kuat dan dia mencopot jilbabnya.'
Orang-orang Barat akan menganggap hal ini sebagai kabar gembira. Jika kita
mencantumkannya, Hans Hansen akan langsung mencetak pandangan-pandangan kita.
'Saat mencopot jilbabnya, gadis ini berkata, 'Hamba mohon Tuhan, ampunilah
hamba, karena hamba harus menyendiri. Dunia ini begitu penuh dengan kenistaan,
dan hamba begitu tidak berdaya dan kebencian memenuhi hati hamba sehingga"
"Kadife," bisik Fazyl. "Tolonglah, aku memohon padamu, jangan copot jilbabmu.
Kita semua ada di sini sekarang, kita semua. Termasuk aku dan Necip. Ini akan
membunuh kami, membunuh kami semua."
Semua orang di ruangan itu sepertinya bingung mendengar katakata Fazyl. "Jangan
meracau," kata seseorang, lalu seseorang yang lain menambahkan, "Tapi, tentu
saja dia sebaiknya tidak mencopot jilbabnya." Orang-orang lain di dalam ruangan
itu menunggu Kadife bertindak, setengah berharap dia akan melakukan sesuatu yang
mengagetkan dan layak diberitakan, dan setengah mendugaduga siapa yang mengatur
melodrama ini, juga siapa berpihak dengan siapa.
"Dua baris pernyataan yang saya ingin berikan pada surat kabar Jerman adalah
sebagai berikut," kata Fazyl. Bisikan-bisikan di dalam ruangan itu terdengar
semakin nyaring. "'Saya berbicara tidak hanya atas nama pribadi, tetapi juga
untuk sahabat saya Necip, yang menjadi martir pada malam revolusi: Kadife, kami
sangat mencintaimu. Jika kau mencopot jilbabmu, aku akan bunuh diri, jadi
kumohon, kumohon jangan lakukan itu."
Menurut laporan beberapa orang, Fazyl tidak mengatakan "kami mencintaimu" tetapi
"aku mencintaimu", meskipun mungkin saja ingatan para saksi mata ini terpengaruh
Pendekar Cacad 18 Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Pedang Kunang Kunang 7
"Ayah, tolonglah, jangan pergi,1 Ypek menggoda Ka; bahkan saat Kadife berbicara
tentang pernyataan bersama dan rasa cintanya kepada ayahnya, Ka dapat melihat
bahwa gadis itu sedang mengungkapkan rasa cintanya kepada Lazuardi.
Dengan adanya semua ini di dalam benaknya, Ka memasuki tahap yang kemudian akan
disebutnya sebagai "percakapan paling bermakna ganda dalam kehidupanku1. Ka
memiiki firasat kuat bahwa jika dia tidak dapat membuat Turgut Bey meninggalkan
hotel sekarang, maka dia tak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk tidur bersama Ypek; dan, karena
tantangan yang dilihatnya di mata Ypek semakin memperkuat dugaannya ini, Ka
meyakinkan dirinya bahwa inilah kesempatan terakhir untuk meraih kebahagiaan
dalam kehidupannya. Ketika mulai berbicara, dia menggunakan katakata dan
gagasan-gagasan yang telah menghancurkan kehidupannya. Tetapi, saat meyakinkan
Turgut Bey untuk meninggalkan hotel karena penting baginya untuk bertindak demi
kepentingan rakyat banyak, untuk bertanggung jawab atas kemiskinan negaranya dan
turut berjuang bersama rakyat; karena dia berada di pihak masyarakat, dan
karenanya dia berkewajiban untuk berjuang melawan kekuatan kegelapan, bahkan
meskipun tindakannya sepertinya sepele Ka bahkan meyakini sebagian dari
perkataannya sendiri. Dia teringat akan perasaannya saat menjadi seorang pemuda
aktivis sayap kiri, saat dia begitu bertekad untuk keluar dari kalangan borjuis
Turki, saat yang diinginkannya hanya duduk di dalam sebuah ruangan sambil
membaca buku-buku hebat dan memikirkan gagasan-gagasan hebat. Maka, dengan
semangat pemuda berumur dua puluh tahun inilah dia menyebutkan kembali buah-buah
pikiran dan idealisme yang pernah membuat ibunya sangat marah. Ibunya, yang
bersikap benar karena berharap Ka tak akan pernah menjadi seorang penyair, suatu
profesi yang kemudian menjerumuskannya dalam lubang tikus pengasingan di
Frankfurt. Sementara itu, Ka menyadari betul pengaruh kekuatan kata-katanya bagi
Ypek: "Dengan gairah seperti inilah aku ingin bercinta denganmu." Ka berpikir,
setidaknya katakata manis dari masa mudanya, yang telah menghancurkan
kehidupannya, akhirnya bermanfaat juga: berkat katakata itu, dia akan dapat
bercinta dengan wanita yang menjadi sumber hasratnya. Meskipun begitu, pada saat
yang sama, Ka kehilangan kepercayaan pada kata-katanya sendiri. Sekarang dia
mengetahui bahwa kebahagiaan terbesar dalam kehidupan dapat didapatkan dengan
memeluk erat-erat seorang wanita pintar dan cantik, juga dengan duduk menulis
puisi di sudut ruangan. Turgut Bey mengumumkan bahwa dia akan pergi "sa at itu juga" untuk menghadiri
pertemuan di Hotel Asia. Dia masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, ditemani
oleh Kadife. Ka menghampiri Ypek, yang masih duduk di tempatnya menonton televisi bersama
ayahnya. Dari posisi duduknya, dia tampak seolaholah masih menyandarkan kepala
ke dada ayahnya. "Aku akan menunggumu di kamarku," bisik Ka.
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Ypek.
"Aku sangat mencintaimu."
"Betulkah itu?"
"Sangat betul."
Sejenak, mereka berdua terdiam. Ypek memandang ke luar jendela, dan Ka melakukan
hal yang sama. Hujan salju kembali turun. Lampu-lampu jalanan di depan hotel
telah menyala meskipun hari belum gelap, sehingga cahaya yang menyinari
kepingankepingan salju besar menimbulkan efek yang sangat dramatis.
"Pergilah ke kamarmu," kata Ypek. "Segera setelah ayahku pergi, aku akan naik
menyusulmu."[] Perbedaan Antara Cinta dan Siksaan Menunggu
Ka Bersama Ypek di Kamar Hotel
TETAPI, IPEK tidak segera naik. Dan menunggu adalah sebuah siksaan yang terburuk
sepengetahuan Ka. Sekarang Ka teringat bahwa kepedihan inilah, siksaan saat
menanti inilah, yang membuatnya takut jatuh cinta. Sesampainya di kamar, dia
membaringkan diri di ranjang, hanya untuk berdiri kembali dan merapikan bajunya.
Dia mencuci tangan, merasakan darahnya mengalir meninggalkan lengan, jemari, dan
bibirnya. Dengan tangan gemetar, dia menyisir rambut; kemudian, melihat
bayangannya sendiri di jendela, dia mengacak-acak rambutnya lagi. Semua ini
hanya memakan sangat sedikit waktu, dan akhirnya dia mengarahkan perhatian dan
kecemasannya pada pemandangan di luar jendela.
Dia berharap akan melihat Turgut Bey meninggalkan hotel bersama Kadife. Mungkin
mereka keluar saat dia berada di kamar mandi. Tetapi, jika memang itu yang
terjadi, ipek tentunya sudah ada di kamarnya sekarang. Mungkin ipek berada di
kamar yang dilihatnya kemarin malam, membedaki wajahnya dan mengolesi lehernya
dengan parfum. Membuang-buang sedikit waktu yang
mereka miiki bersama saja! Tidakkah ipek memahami betapa Ka mencintainya" Apa
pun yang sedang dilakukan ipek, itu tidak sepadan dengan kepedihan yang
dirasakan Ka saat ini; Ka akan mengatakan semuanya kepada ipek jika wanita itu
akhirnya muncul. Tetapi, akankah ipek datang" Bersama setiap waktu yang berlalu,
Ka menjadi semakin yakin bahwa ipek telah berubah pikiran.
Ka melihat sebuah kereta kuda mendekati hotel; dikawal oleh Zahide Hanim dan
Cavit si resepsionis, Turgut Bey dan Kadife memanjat naik, lalu menutup lapisan
terpal di kereta itu. Tetapi, kereta itu tak kunjung bergerak. Ka memandang
lapisan salju di atap kereta bertambah tebal dan tebal; di bawah cahaya lampu-
lampu jalanan, setiap kepingan salju tampak semakin membesar. Saat itulah Ka
merasa waktu seolaholah berhenti; ini membuatnya gila. Tepat ketika itu, Zahide
berlari ke luar dan memasukkan sesuatu yang tidak terlihat oleh Ka ke dalam
kereta. Kendaraan itu pun mulai bergerak, dan jantung Ka berdegup semakin
kencang. Tetapi, ipek tak kunjung datang.
Apakah perbedaan antara cinta dan siksaan menunggu" Seperti cinta, siksaan
menunggu muncul dari otot-otot yang terletak di suatu tempat di bagian atas
perut, namun sensasi itu segera menyebar ke dada, ke paha, dan ke kening,
sebelum kemudian menguasai seluruh tubuh dengan kekuatan yang melumpuhkan. Ka
mendengarkan suara-suara dari bagian lain hotel, berusaha mendugaduga apa yang
sedang dilakukan ipek. Ka melihat seorang wanita di jalan, dan, meskipun
sosoknya sama sekali berbeda dengan ipek, dia berpikir bahwa wanita itu tentu
ipek. Betapa cantiknya salju yang sedang jatuh dari langit!
Saat dirinya masih kecil, saat dia dan teman-teman sekelasnya berduyun-duyun
memasuki kantin sekolah untuk mendapatkan suntikan, saat aroma makanan yang
bercampur dengan aroma iodin berputar-putar di dalam kepalanya, perutnya terasa
mulas seperti ini, dan dia ingin mati saja. Dia mendambakan rumahnya, kamarnya
sendiri. Sekarang, dia ingin berada di kamar mengenaskannya di Frankfurt. Datang
ke Kars adalah sebuah kesalahan besar! Puisipuisi baru pun sudah tidak lagi
mendatanginya sekarang. Dia sangat kesakitan. Meskipun begitu, dia berusaha
menenangkan diri dengan berdiri di dekat jendela yang hangat, menyaksikan hujan
salju; setidaknya ini lebih baik daripada meregang nyawa. Tetapi, jika ipek
tidak segera datang, mau tidak mau dia akan mati. Lampu-lampu seketika padam.
Ini adalah pertanda, pikir ipek, yang dikirim khusus untuknya. Mungkin ipek
tidak datang karena dia mengetahui tentang pemadaman listrik yang akan terjadi.
Ka memandang ke jalan yang gelap di bawahnya, mencari tanda-tanda kehidupan,
sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa ipek tidak datang. Dia melihat sebuah truk
apakah itu truk tentara" Bukan, pikirannya menipunya. Begitu pula bunyi langkah
kaki di tangga yang didengarnya. Tidak ada yang datang. Ka meninggalkan jendela
dan berbaring kaku di ranjang. Rasa nyeri yang dimuali di perutnya sekarang
telah menyebar ke jiwanya; dia sendirian di dunia ini, dan tak ada yang bisa
disalahkan kecuali dirinya sendiri. Kehidupannya sia-sia; dia akan mati di sini,
dalam keadaan menderita dan kesepian. Kali ini, dia bahkan tidak memiiki
kekuatan untuk berlari seperti tikus ke lubangnya di Frankfurt. Ketidakbahagiaan
yang begitu parah membuatnya berduka dan putus asa. Lebih buruk lagi, dia
tahu bahwa, seandainya dia mengambil tindakan yang lebih pintar, hidupnya akan
jauh lebih bahagia. Dan, yang terburuk adalah mengetahui bahwan tidak seorang
pun melihat ketakutan, penderitaan, dan kesepian yang dirasakannya. Seandainya
ipek mengetahui hal ini, dia akan langsung naik tanpa menunda-nunda! Seandainya
ibunya melihatnya dalam keadaan ini .... Hanya ibunyalah satu-satunya orang di
dunia ini yang akan memahaminya; wanita itu akan membelai rambutnya dan
menenangkannya. Es di jendela mengeluarkan pendar oranye dari cahaya lampu jalanan dan lampu-
lampu bangunan di sekitar hotel. Biar saja salju terus turun, pikir Ka. Biar
saja salju turun berhari-hari dan berbulan-bulan. Biar saja salju mengubur Kota
Kars sehingga tidak ada lagi yang bisa menemukannya. Dia ingin tidur di
ranjangnya dan baru terbangun saat matahari bersinar cerah pada suatu pagi, dan
dia kembali menjadi anak-anak, bersama ibunya.
Terdengarlah ketukan di pintu. Jika sudah begini, Ka mengatakan kepada dirinya
sendiri, bisa saja yang mengetuk pintunya adalah seseorang dari dapur. Tetapi,
dia menghambur ke pintu, dan saat membukanya, dia dapat merasakan keberadaan
ipek. "Dari mana saja kamu?"
"Apakah aku terlambat?"
Tetapi, Ka seolaholah tidak mendengar katakata ipek. Dia langsung memeluk ipek
dengan sekuat tenaga; dia menempelkan kepala ke leher ipek dan membenamkan wajah
ke rambutnya; dan dia berdiam di sana, tidak menggerakkan sedikit pun ototnya.
Ka merasakan kebahagiaan yang begitu besar, sehingga siksaan menunggu yang baru
saja menderanya sekarang terasa absurd. Tetapi, siksaan itu telah
menggerogotinya sebegitu rupa, sehingga, Ka berpikir, karena itulah dia bisa sangat mensyukuri
kehadiran ipek. Dan, untuk apakah dia menuntut penjelasan ipek tentang
keterlambatannya: bahkan meskipun mengetahui bahwa dirinya tidak berhak
melakukan hal itu, Ka terus-menerus mengeluh. Tetapi, ipek bersikeras bahwa
dirinya naik segera setelah ayahnya pergi. Memang, dia berhenti sebentar di
dapur untuk memberikan satu atau dua perintah berkenaan dengan makan malam
kepada Zahide, tapi itu hanya memakan waktu satu menit. Maka, Ka pun menjadi
pihak yang lebih bergairah dan rapuh di antara mereka berdua. Bahkan sejak awal
hubungan mereka, Ka telah membiarkan ipek memegang kendali. Dan, bahkan jika
ketakutan Ka akan terlihat lemah menggerakkannya untuk menutupnutupi dampak
perasaan tersiksa yang disebabkan oleh ipek, dia masih harus berurusan dengan
rasa tidak amannya. Lagi pula, bukankah cinta berarti berbagi segalanya" Apakah
cinta jika bukan hasrat untuk membagi semua pikiran kita" Dia membeberkan
rentetan pikirannya kepada ipek dengan napas tertahan, seolaholah sedang
membocorkan sebuah rahasia gelap.
"Sekarang, singkirkanlah semua itu dari kepalamu," kata ipek. "Aku datang ke
sini untuk bercinta denganmu."
Mereka berciuman. Dengan kelembutan yang mendatangkan kenyamanan bagi Ka, mereka
menjatuhkan diri ke ranjang. Bagi Ka, yang telah empat tahun tidak bercinta,
rasanya seperti mendapatkan mukjizat. Maka, meskipun kenikmatan melanda
tubuhnya, pikiran sadarnya masih bisa mengingatkannya bahwa dia sedang berada
dalam momen yang indah. Sama seperti pengalaman seksualnya yang pertama, bukan
hanya tindakan dan pikiran tentang bercinta yang menguasai dirinya. Selama
sesaat, kesadarannya melindunginya dari semangat yang meledak-ledak. Detail-detail dari
film-film porno yang membuatnya kecanduan di Frankfurt membanjiri kepalanya,
menciptakan sebuah aura fantasi yang sepertinya jauh dari logika. Tetapi, dia
tidak membayangkan adegan-adegan itu untuk membuat dirinya terangsang; dia
sedang merayakan fakta bahwa pada akhirnya dia dapat mewujudkan berbagai macam
fantasi yang selama ini bermain-main di dalam pikirannya. Maka, bukan hanya ipek
seorang yang membuat Ka terangsang, melainkan juga bayangan-bayangan porno; dan,
mukjizat yang dirasakannya tidak berasal dari keberadaan ipek tetapi dari fakta
bahwa dia dapat mewujudkan fantasinya di atas ranjang bersama ipek.
Baru ketika Ka melepas baju ipek dengan kecanggungan yang nyaris mendekati
kekasaran, dia melihat diri ipek yang sesungguhnya. Payudaranya yang ranum,
kulit leher dan bahunya yang sangat lembut, aroma tubuhnya yang terasa aneh dan
asing. Ka menyaksikan sorot lampu putih di tubuh ipek. Kadangkadang, mata ipek
berbinar, dan itu membuat Ka ketakutan. Kedua mata itu memancarkan keyakinan
yang mendalam: Ka khawatir ipek tidak serapuh yang diinginkannya. Karena itulah
Ka menjambak rambut ipek, supaya ipek merasa kesakitan; karena itulah dia
menikmati kesakitan ipek sehingga dia kembali menjambak rambut ipek; karena
itulah dia menyuruh ipek melakukan beberapa tindakan lain yang juga berasal dari
film porno yang masih berlangsung di dalam kepalanya; dan, karena itulah dia
memperlakukan ipek dengan sangat kasar untuk mengimbangi musik di dalam
kepalanya, yang sangat dalam dan primitif. Saat melihat bahwa ipek menikmati
kekasarannya, perasaan unggul yang mendatangi
Ka memunculkan kasih sayang yang hangat. Dia memeluk ipek erat-erat; sekarang,
dia tidak hanya berharap dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari penderitaan
Kars, dia juga ingin menyelamatkan ipek. Tetapi, saat menyadari bahwa reaksi
ipek sepadan dengan gairahnya sendiri yang menggebu-gebu, Ka segera
melepaskannya. Di dalam benaknya, dia dapat memegang kendali dan melakukan
berbagai gerakan akrobatik seksual itu dengan keluwesan yang mengagetkan.
Tetapi, saat entah bagaimana pikirannya menjauh, dia dapat merengkuh ipek dengan
gairah yang sangat mendekati kekejaman; dan pada saat seperti itu, Ka ingin
menyakiti ipek. Menurut catatan yang dibuat Ka tentang caranya bercinta catatan yang kurasa
harus kubagi dengan para pembacaku hasratnya akhirnya terlampiaskan, dan mereka
saling berpelukan begitu erat sehingga dunia seolaholah tidak ada lagi dalam
ingatan mereka. Catatan yang sama juga mengungkapkan bahwa ipek menangis
tersedu-sedu saat semua itu berakhir.
Paranoia mendera Ka saat sekarang dia memikirkan apakah ini alasan dia diberi
kamar yang terletak di sudut paling terpencil di hotel ini. Kenikmatan yang
mereka rasakan saat saling menyakiti sekarang mendatangkan kembali rasa kesepian
yang telah mereka akrabi. Dalam bayangan Ka, kamar terpencil di koridor
terpencil ini telah melepaskan diri dari hotel dan melayang menuju sudut paling
terpencil di kota yang sunyi ini. Dan, Kota Kars tampak begitu hening sehingga
dunia sepertinya telah tiba di titik akhir. Dan, hujan salju terus turun.
Mereka berbaring lama di ranjang, berdampingan, memandang salju tanpa berkata-
kata. Dari waktu ke waktu, Ka menolehkan kepala untuk menyaksikan hujan
Aku Tidak Hanya Kehilangan Dirimu
Di Frankfurt EMPAT TAHUN telah berlalu sejak kunjungan Ka ke Kars, dan empat puluh dua hari
telah berlalu sejak kematiannya, saat aku melihat apartemen kecil di Frankfurt,
tempat Ka menghabiskan delapan tahun terakhir kehidupannya. Siang pada bulan
Februari itu dingin dan berangin. Saat aku tiba di Frankfurt menggunakan
penerbangan pagi hari dari Istanbul, kota itu tampak lebih kusam daripada gambar
dalam kartu-kartu pos yang dikirimkan Ka kepadaku selama enam belas tahun.
Kecuali mobil-mobil bercat gelap yang melintasi jalanan, trem-trem yang muncul
entah dari mana bagaikan hantu untuk kemudian lenyap sesaat kemudian, dan ibu-
ibu rumah tangga berpayung yang berjalan cepat-cepat di trotoar, jalanan tampak
kosong. Saat itu tengah hari, tetapi, dari balik kabut yang tebal dan gelap, aku
hanya dapat memandang pendar kuning pucat lampu jalanan.
Tetap saja, aku merasa senang saat melihat di jalanan sekitar stasiun kereta api
utama, di sepanjang trotoar yang dipenuhi restoran doner-kebab, agen perjalanan,
kedai es krim, dan toko peralatan seks tanda-tanda energi yang menghidupkan
kota-kota besar. Setelah singgah di hotelku dan menelepon penikmat sastra Turki-
Jerman berusia muda yang telah (berdasarkan permintaanku) mengatur supaya aku
mendapatkan kesempatan untuk berbicara di balai kota, aku pergi ke sebuah kafe
Italia di stasiun untuk menemui Tarkut Olgiin. Di Istanbul, kakak perempuan Ka
memberiku nomor telepon pria ini. Pria layu dan baik hati yang telah berusia
enam puluhan ini adalah kenalan terdekat Ka selama bertahuntahun masa tinggalnya
di Frankfurt. Pria ini memberikan pernyataan kepada polisi saat penyelidikan
kematian Ka dilakukan. Dialah yang menghubungi keluarga Ka di Istanbul dan
membantu mengurus pengiriman mayat Ka ke Turki. Saat itu, aku masih berharap
dapat menemukan hasil ketikan kumpulan puisi yang menurut Ka telah dikerjakannya
secara serius sekembalinya dia dari Kars empat tahun berselang dan baru saja
diselesaikannya, sehingga aku menanyakan kepada ayah dan kakaknya tentang apa
yang terjadi pada barang-barang milik Ka. Karena merasa tidak cukup kuat untuk
melakukan perjalanan ke Jerman, mereka memintaku mengumpulkan barang-barang
berharga milik Ka dan membersihkan apartemennya.
Tarkut Olgiin datang ke Jerman dalam gelombang imigrasi pertama pada awal tahun
enam puluhan. Selama bertahuntahun, dia bekerja sebagai guru dan petugas sosial
yang melayani sejumlah asosiasi dan yayasan Turki. Sambil mengeluarkan foto-foto
putra dan putrinya yang diahirkan di Jerman, dia menceritakan dengan bangga
kepadaku bahwa dia berhasil menyekolahkan mereka berdua ke universitas. Meskipun
Tarkut adalah seorang sosok terpandang di komunitas Turki di Frankfurt, di
wajahnya masih terlihat sirat kesepian dan kekalahan yang jamak
terlihat di wajah setiap imigran dan buangan politik generasi pertama.
Benda pertama yang diberikan oleh Tarkut Olgun kepadaku adalah sebuah tas kecil
yang dibawa Ka saat dirinya tertembak. Polisi meminta Tarkut menandatangani
sebuah formulir sebelum menyerahkan tas itu kepadanya. Aku langsung membukanya
dan cepat-cepat mengaduk-aduk isinya. Di dalamnya, aku menemukan piama yang
dibeli Ka di Ni?anta? delapan belas tahun berselang, sebuah sweter hijau,
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peralatan bercukur, sebuah sikat gigi, sepasang kaos kaki, satu stel pakaian
dalam bersih, sejumlah majalah sastra yang kukirim dari Istanbul, namun tidak
ada tanda-tanda keberadaan buku catatan puisi hijaunya.
Kemudian, saat duduk sambil menghirup kopi dan mengamati stasiun yang hiruk
pikuk, tempat dua pria Turki uzur sedang mengobrol dan tertawa-tawa sambil
mengepel lantai, Tarkut berkata, "Orhan Bey, kawan Anda Ka Bey adalah seorang
pria penyendiri. Tidak seorang pun di Frankfurt kecuali saya yang tahu banyak
mengenai apa yang sedang dikerjakannya." Dia berjanji akan mengatakan semua yang
diketahuinya kepadaku. Kami berjalan ke bagian belakang stasiun, melewati barakbarak miiter tua dan
bangunan-bangunan pabrik yang telah berusia seratus tahun menuju blok apartemen
di dekat Gutleustrasse, tempat Ka tinggal selama delapan tahun terakhir. Tetapi,
ketika kami tiba, si pemilik gedung tidak kunjung muncul untuk membukakan pintu
depan dengan cat yang telah mengelupas dan mempersilakan kami masuk. Saat
berdiri menunggu di jalan, aku mengenali banyak hal yang diceritakan oleh Ka
kepadaku dalam surat-suratnya dan beberapa kali teleponnya. (Sebagai
seorang penderita paranoia akut, Ka curiga seseorang menguping semua pembicaraan
teleponnya ke Turki, sehingga dia tidak suka menggunakan telepon.) Apartemen Ka
menghadap ke sebuah lapangan kecil dengan sebuah area bermain, sebuah taman
kecil yang terbengkalai, dan sebuah toko bahan makanan. Saat mataku menjelajah
lebih jauh, memandang jendelajendela gelap toko-toko yang menjual alkohol dan
surat kabar, aku merasa seperti sedang memandang kenanganku sendiri. Ayunan dan
jungkat-jungkit di area bermain, begitu pula bangku-bangku tempat Ka
menghabiskan malam-malam musim panasnya untuk minum bir bersama para tetangganya
buruh-buruh dari Italia dan Yugoslavia sekarang berselimut salju tipis dan
basah. Setelah lelah menunggu, kami kembali ke stasiun, melewati rute yang biasa
diambil Ka setiap pagi untuk pergi ke perpustakaan kota selama tahuntahun
terakhir kehidupannya. Dia suka berjalan menembus kerumunan orang yang sedang
terburu-buru menuju tempat kerja mereka, dan kami mengikuti jejaknya ke stasiun,
lalu turun menuju sebuah pasar bawah tanah. Setelah itu, kami muncul kembali di
atas tanah dan mengikuti rute trem, melewati sejumlah toko peralatan seks, toko
cendera mata, toko kue, dan apotek di Kaisertrasse hingga tiba di Lapangan
Hauptwache. Tarkut Olgiin bertemu dengan banyak orang Turki yang dikenalnya di
berbagai kedai doner, restoran kebab, dan kios sayuran yang kami lewati, dan,
sambil melambai ke arah mereka, dia memberitahuku bahwa jika orang-orang yang
sama ini melihat Ka sedang berjalan menuju perpustakaan kota setiap pagi pada
waktu yang selalu sama, mereka berseru, "Selamat pagi, Profesor!" Saat kami tiba
di Lapangan Hauptwache, dia menunjuk sebuah toko besar di seberang lapangan Kauthof. Aku mengatakan
kepadanya bahwa di tempat itulah Ka membeli mantel yang dipakainya di Kars,
namun aku menolak tawarannya untuk menemaniku melihat-lihat di dalam.
Tujuan terakhir Ka setiap hari, perpustakaan kota, adalah sebuah bangunan modern
yang tidak tampak mencolok. Di dalamnya terdapat berbagai jenis orang yang
selalu dapat ditemukan di perpustakaan semacam itu: ibu rumah tangga, lansia
yang ingin menghabiskan waktu, pria-pria pengangguran, satu atau dua orang Turki
dan Arab, pelajar-pelajar yang mengerjakan tugas sambil tertawa-tawa, dan
berbagai macam manusia lainnya, dari yang gemuk, yang lemah, hingga yang cacat
mental. Salah seorang pemuda cacat mental mengangkat kepala dari buku bergambar
yang sedang dibacanya, meneteskan air liur, dan menjulurkan lidahnya kepadaku.
Pemanduku tidak tertarik pada buku, sehingga aku meninggalkannya di kantin di
bawah dan mencari rak-rak tempat menyimpan koleksi buku puisi berbahasa Inggris.
Di sini, aku melihat kartu katalog yang terselip di balik sampul belakang setiap
buku untuk mencari nama temanku. Kapan pun aku membuka buku Auden, Browning,
atau Coleridge untuk mencari tanda tangan Ka, aku menangis untuknya, untuk
tahuntahun yang dia habiskan di perpustakaan ini.
Aku menghentikan pencarianku, yang melemparkanku ke dalam kesedihan. Setelah
itu, aku dan teman pemanduku melangkah menyusuri jalan-jalan yang sama tanpa
berkata-kata. Kami berbelok ke kiri di suatu tempat di tengah-tengah
Kaiserstrasse tepat di depan sebuah tempat yang bernama World Sex Centre, atau
sesuatu yang seabsurd itu dan dari sana kami menyusuri seruas
jalan menuju Munchenerstrasse, tempatku melihat lebih banyak lagi kios-kios buah
dan sayuran serta restoran kebab miik orang Turki, begitu pula kios-kios tukang
cukur yang kosong. Saat itu, aku sudah bisa menduga apa yang hendak ditunjukkan
kepadaku, sehingga jantungku berdegup kencang. Aku mengalihkan pandangan dari
tumpukan kucai dan jeruk di luar kios pedagang sayuran pada seorang pria berkaki
satu yang mengemis di dekat kios, lalu pada kilatan lampu di seberang
jendelajendela berembun di Hotel Eden, lalu pada langit yang kelabu, dan di
sana, menyinarkan cahaya merah jambu cerah, berdiri sendiri dengan penuh
keagungan, tampaklah sebuah neon berbentuk "K'.
"Di sinilah kejadiannya,1 kata Tarkut Olgiin. "Ya, saya rasa di sini. Mereka
menemukan mayat Ka di sini.1
Aku menatap lesu ke tanah. Dua bocah laki-laki berlari dari arah kios sayuran,
saling menarik dan mendorong. Saat mereka berlari, salah satunya menginjak
kubangan di trotoar, tempat Ka terbaring sekarat dengan tiba butir peluru
bersarang di tubuhnya. Lampu-lampu merah dari truk yang diparkir di depan kami
memantul di trotoar. Selama beberapa menit, Ka meregang nyawa di trotoar ini,
namun dia meninggal sebelum ambulans tiba. Sejenak, aku mengangkat kepala untuk
mencari bagian langit yang dilihatnya pada saat-saat terakhirnya: di antara
bangunan-bangunan tua yang suram, yang ditempati oleh kedaikedai doner, agen-
agen perjalanan, kios-kios tukang cukur, kedaikedai bir, di sela-sela lampu-
lampu jalanan dan kabel-kabel listrik, tampaklah secercah langit.
Ka ditembak pada sekitar tengah malam. Tarkut Olgiin mengatakan kepadaku bahwa
pada waktu itu, beberapa orang pelacur jalanan masih berkeliaran di jalan ini.
Daerah pelacuran yang sesungguhnya berjarak satu ruas jalan dari sana, di
sepanjang Kaiserstrasse, namun pada malam-malam sibuk dan akhir pekan, atau
selama salah satu festival perdagangan, para wanita itu akan menyebar hingga ke
jalan ini. "Mereka tidak menemukan apa pun,1 katanya saat melihatku memandang ke
kanan dan ke kiri, seolaholah sedang mencari petunjuk. "Dan, polisi Jerman tidak
seperti polisi kita di Turki mereka bekerja dengan baik.1
Tetapi, saat aku mulai bertanya kepada para penjaga toko di sekitar tempat itu,
pria baik hati ini memutuskan untuk membantuku. Gadis-gadis di salon
mengenalnya, dan, setelah berbasa-basi sejenak, dia menanyakan apakah mereka
melihat sesuatu. Tetapi, tentu saja, mereka tidak ada di tempat itu saat
pembunuhan terjadi, dan mereka juga tidak pernah mendengar apa pun soal kejadian
itu. "Satu-satunya yang diajarkan oleh keluarga Turki kepada anak-anak gadisnya
di sini adalah cara menata rambut,1 dia memberitahuku saat kami telah kembali
berada di luar. "Ada ratusan penata rambut Turki di Frankfurt.1
Orang-orang Kurdi di kios pedagang sayur, sebaliknya, tahu betul tentang
pembunuhan itu dan penyelidikan polisi yang dilakukan sesudahnya. Ini dapat
menjelaskan mengapa mereka tampak sangat sebal saat bertemu dengan kami.
Pelayan baik hati di Holiday Kebab House sedang mengelap meja-meja Formica di
tempat itu pada sekitar pukul dua belas malam ketika dia mendengar ledakan
pistol. Dia menggunakan lap kotor yang sama seperti yang digunakannya saat ini.
Pada malam penembakan itu, dia menunggu sejenak sebelum keluar dan menjadi orang
terakhir yang diihat Ka. Setelah meninggalkan restoran kebab, aku berjalan cepat melewati gang pertama
yang kutemukan dan berhenti di halaman belakang sebuah bangunan suram. Aku
mengikuti Tarkut Bey menuruni dua anak tangga, melewati sebuah pintu, memasuki
sebuah ruangan gelap seukuran hangar, yang dahulu pernah digunakan sebagai
gudang. Dunia bawah tanah ini seluas jalanan di atas. Tempat ini sekarang
digunakan sebagai masjid, tempat lima puluh hingga enam puluh jemaat
bersembahyang Isya di hamparan karpet di bagian tengah ruangan. Tempat itu
dikelilingi toko-toko gelap dan kotor, sama seperti di pasar-pasar bawah tanah
di Istanbul. Aku melihat seorang pedagang perhiasan yang berpenampilan
menyedihkan dan seorang pedagang sayur yang bertubuh sangat kecil hingga nyaris
menyerupai kurcaci. Kios tukang daging di sebelahnya penuh sesak, namun pria di
kios makanan duduk diam menonton televisi di kedai kopi, dikeliingi oleh untaian
sosis bawang. Di sudut kedai kopi, tampaklah timbunan kardus berisi jus buah
Turki kemasan, makaroni Turki, makanan kaleng Turki, dan buku-buku agama, dan
jelas terlihat bahwa kedai itu jauh lebih ramai daripada masjid di dekatnya.
Udara di tempat itu sesak oleh asap rokok; para pria yang duduk di meja-mejanya
tampak lesu; sebagian besar dari mereka menonton film Turki yang diputar di TV,
namun sesekali salah seorang dari mereka akan menghampiri pancuran air. Setelah
mengisi sebuah ember plastik dengan air pancuran, dia akan berwudu dan bergabung
bersama para jemaat di luar. "Pada hari Jumat atau hari raya, Anda bisa melihat
dua ribu orang memenuhi tempat ini,1 Tarkut Bey memberitahuku. Orang-orang
membanjiri tempat ini hingga tangga
dan halaman belakang.1 Aku menghampiri kios yang menjual buku dan majalah, dan
tanpa alasan khusus membeli satu eksemplar majalah Communication.
Sesudahnya, kami memasuki sebuah kedai bir bergaya Munich yang ada tepat di atas
tempat itu. "Masjid itu dimiliki oleh aliran Suleyman,1 ujar Tarkut Olgiin,
menunjuk lantai yang kami injak. "Mereka teokrat, tapi mereka sama sekali tidak
terkait dengan terorisme. Mereka tidak sama dengan Advokat Nasional atau Harimau
Cema-lettin mereka juga tidak mau mengangkat senjata melawan Turki." Mungkin
merasa tidak enak melihat kecurigaan di wajahku dan perhatianku yang tercurah
pada Communication, seolaholah sedang mencari petunjuk dalam majalah itu,
sekarang Tarkut Olgiin menceritakan segala yang diketahuinya tentang pembunuhan
Ka kepadaku, juga apa yang kemudian diketahuinya dari polisi dan pers. Pada
pukul setengah dua belas malam, tepat empat puluh dua hari sebelum kunjunganku,
Ka kembali dari Hamburg, tempatnya ambil bagian dalam sebuah acara malam puisi.
Perjalanan itu membutuhkan waktu enam jam, namun saat tiba di stasiun, dia tidak
melewati pintu keluar selatan dan langsung pulang ke apartemennya di
Gutleustrasse. Alih-alih, dia melewati pintu keluar utara menuju Kaiserstrasse
dan menghabiskan dua puluh lima menit selanjutnya untuk berkeliaran di tengah
para turis, pemabuk, pria penyendiri, dan pelacur jalanan yang sedang menunggu
pelanggan. Dia sudah berjalan-jalan selama setengah jam sebelum berbelok ke
kanan di World Sex Centre. Dia ditembak saat melintasi Munchenerstrasse.
Dia mungkin sedang dalam perjalanan menuju Toko Buah Big Antalya untuk membeli
jeruk tangerine yang baru saja datang. Toko ini adalah satu-satunya toko sayuran
dan buah-buahan yang masih buka pada waktu selarut itu dan pelayan di sana ingat
bahwa Ka sering mampir ke tempat itu untuk membeli jeruk tangerine. Karena
pelayan itu mengakui tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan Ka, polisi yang
curiga menahan pria itu untuk diinterogasi, namun mereka melepaskannya keesokan
harinya karena tidak mendapatkan keterangan apa pun.
Polisi tidak dapat menemukan seorang pun saksi mata pembunuhan Ka. Pelayan Rumah
Kebab Holiday mendengar ledakan senjata, namun karena keributan dari televisi
menyala dan para pelanggan di sana, dia tidak bisa mengatakan berapa tembakan
yang didengarnya. Dan, mustahil untuk melihat melalui jendelajendela yang
tertutup embun di kedai bir tepat di atas masjid. Seorang pelacur jalanan yang
sedang merokok di sela-sela pekerjaannya melaporkan melihat seorang pria pendek,
berkulit gelap, "bertampang Turki1, dan berpakaian hitam berlari ke arah
Kaiserstrasse pada sekitar tengah malam, namun dia tak bisa menggambarkan lebih
mendetail pria itu kepada polisi. Seorang Jerman, yang kebetulan sedang berdiri
di balkon apartemennya saat Ka roboh ke tanah, langsung menelepon ambulans,
namun dia pun tidak melihat si pembunuh.
Peluru pertama menghantam kepala Ka dan menembus keluar dari mata kirinya. Dua
butir peluru yang lain menghancurkan pembuluh darah utama di sekitar jantung dan
hatinya, menembus bagian depan dan belakang mantel kelabu tuanya, yang basah
bersimbah darah. "Dia ditembak dari belakang, sehingga kemungkinan pembunuhan ini telah
direncanakan,1 simpul detektif uzur yang banyak bicara dan sering terbatuk-
batuk, yang ditugaskan menyelidiki kasus ini. Si pembunuh mungkin sudah
mengikuti Ka sejak dari Hamburg. Polisi memperhitungkan berbagai macam motif:
segalanya, dari kecemburuan seksual hingga pertikaian politik yang sering
terjadi dalam komunitas Turki. Ka tidak memiiki hubungan dengan dunia bawah
tanah yang beroperasi di lingkungan sekitar stasiun. Saat polisi menunjukkan
fotonya kepada orang-orang yang bekerja di sekitar tempat kejadian perkara,
beberapa orang ingat pernah berulang kali melihatnya di toko-toko peralatan
seks, dan beberapa orang yang lain ingat bahwa dia sering menggunakan bilik-biik
kecil di belakang untuk menonton film-film porno. Tetapi, tidak ada pernyataan
dari saksi mata, baik yang benar maupun yang salah; dan tidak ada tekanan dari
atas untuk menemukan si pembunuh; juga tidak ada gembar-gembor di media.
Saat mewawancarai teman-teman Ka, si detektif cerewet kadangkadang melupakan
inti penyelidikannya; dan akhirnya, justru pria inilah yang lebih banyak bicara.
Dari pria yang menyukai orang Turki inilah Tarkut Olgiin pertama kali mendengar
tentang dua orang wanita yang mengisi kehidupan Ka selama delapan tahun sebelum
kunjungannya ke Kars. Salah satunya seorang Jerman, dan satu lagi seorang Turki
(dengan saksama, aku mencatat nama mereka di notesku). Selama empat tahun sejak
dia kembali dari Kars, Ka sama sekali tidak berhubungan dengan wanita mana pun.
Karena penyelidikan kasus ini tidak mendapatkan kemajuan yang berarti, polisi
akhirnya menundanya. AKu DAN Tarkut kembali menyongsong hujan salju di luar. Saat berjalan kembali ke
apartemen Ka, tidak seorang pun dari kami berkata-kata. Kali ini, kami bertemu
dengan si pemilik gedung yang gemuk dan ramah, meskipun sedikit menjengkelkan.
Dia mengizinkan kami memasuki gedung, yang agak dingin dan berbau jelaga, lalu
membawa kami ke apartemen di lantai atas, yang, katanya dengan gusar, akan
disewakannya lagi. Jika ada rongsokan yang tidak kami bawa, dia akan membuangnya
saja. Setelah mengatakan hal itu, dia meninggalkan kami. Air mataku menetes saat
aku menginjakkan kaki ke dalam ruangan-ruangan sempit, gelap, dan berlangit-
langit tinggi tempat Ka menghabiskan delapan tahun terakhir kehidupannya: aroma
samar-samar yang tersisa di tempat itu melemparkanku ke masa kanakkanak kami.
Aku mengasosiasikan aroma itu dengan tas sekolahnya, kamarnya di rumah, dan
sweternya yang dirajutkan oleh ibunya. Kurasa aroma itu berasal dari sabun Turki
yang tak pernah kuingat merknya, dan tak pernah terpikir olehku untuk
menanyakannya. Selama tahuntahun awal Ka di Jerman, dia pernah bekerja sebagai portir, kuli
angkut, dan tukang cat, dan dia juga memberikan pelajaran bahasa Inggris kepada
sesama imigran Turki. Tetapi, setelah secara resmi dinyatakan sebagai "buangan
politik" dan diberi tunjangan suaka, dia memutuskan hubungan dengan para komunis
Turki yang mengendalikan pusat-pusat keramaian dan yang, hingga saat itu,
memastikan dirinya selalu mendapatkan pekerjaan. Rekan-rekannya sesama buangan
politik menganggap Ka terlalu penyendiri, dan juga terlalu borjuis. Selama dua
belas tahun terakhirnya di Jerman, Ka mendapatkan tambahan penghasilan dengan
membaca puisi di perpustakaan-perpustakaan kota, pusat-pusat kebudayaan, dan
asosiasi-asosiasi Turki. Hanya orang Turki yang menghadiri pembacaan puisinya,
dan jumlah penontonnya jarang melebihi dua puluh orang. Meskipun begitu, jika
dapat melakukan tiga pembacaan puisi dalam sebulan, dia memperoleh tambahan
penghasilan sebanyak seratus lima puluh mark, yang, jika digabung dengan
tunjangan suakanya, memungkinkan dirinya hidup nyaman di Jerman.
Tetapi, jelas bagiku sekarang bahwa bulan-bulan seperti itu sangat jarang
terjadi. Kursi-kursi di apartemen Ka telah bobrok, asbak-asbaknya retak-retak,
dan kompor listriknya penuh karat. Masih tersinggung oleh ancaman si pemiik
gedung saat dia membiarkan kami masuk, aku ingin menjejalkan semua barang milik
Ka ke dalam sebuah koper tua dan beberapa kantong plastik, lalu pergi selamanya
dari sana. Aku ingin membawa semuanya: bantal di ranjang yang masih menguarkan
bau rambutnya, ikat pinggang dan dasi yang kuingat dipakainya saat di SMA,
sepatu Bally yang (menurut surat-suratnya) dipakainya sebagai "sandal rumah"
setelah ibu jarinya menyembul ke luar; gelas kotor yang digunakannya untuk
menyimpan sikat gigi dan odol; koleksi bukunya yang berjumlah sekitar tiga ratus
lima puluh buah; pesawat televisi; perekam video yang tak pernah diceritakannya
kepadaku; jaket usang dan kemeja-kemeja lusuhnya; dan piama yang dibawanya dari
Turki delapan belas tahun sebelumnya. Tetapi, saat aku mencari-cari di meja
kerjanya dan gagal menemukan benda yang paling kuinginkan, yang ketika itu baru
kusadari sebagai alasan utamaku datang ke Frankfurt, aku merasakan semangatku
melayang. Dalam surat terakhirnya dari Frankfurt, Ka dengan senang menyebutkan bahwa,
setelah empat tahun bekerja keras, akhirnya dia berhasil menyelesaikan sebuah
buku baru yang membahas puisi. Judulnya Salju, tulisnya. Sebagian besar puisinya
berlatar belakang kenangan-kenangan masa kecil yang mendatanginya dalam kilasan -
kilasan selama kunjungannya ke Kars, dan dia mencatat semua inspirasi ini secara
teratur dalam buku catatan hijaunya. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya segera
setelah dia meninggalkan Kars, dia mengatakan kepadaku bahwa dia yakin buku yang
akan ditulisnya memiiki struktur dasar yang "dalam dan misterius". Dia
menghabiskan empat tahun terakhir kehidupannya di Frankfurt untuk "mengisi
kekosongan" dalam rancangan tersembunyi ini. Untuk alasan yang sangat pelik
inilah dia menarik diri dari dunia, meninggalkan kesenangan duniawi bagaikan
seorang darwis. Di Kars, dia merasa seperti cenayang, seolaholah seseorang
membisikkan puisipuisi ke telinganya; tetapi, sekembalinya di Frankfurt, dia
sama sekali tak mampu lagi mendengar suara-suara itu.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun begitu, dia tetap bekerja keras untuk mengungkapkan apa yang
diyakininya merupakan logika tersembunyi dari pernyataan ini terhadap bayangan-
bayangan dan inspirasi-inspirasi yang didapatkannya di Kars. Dalam surat
terakhirnya, dia mengatakan bahwa karena tugas beratnya itu telah selesai, dia
akan menguji karya-karyanya dalam pembacaan puisi di beberapa kota di Jerman.
Dia tidak memiliki salinan dari versi tulisan tangannya di buku catatan hijau,
katanya kepadaku, namun dia akan mengetik dan mengopinya segera setelah dia
yakin semua telah ada di tempat yang tepat. Dia berencana mengirimkan satu kopi
untukku dan satu lagi ke penerbitnya di Istanbul. Maukah aku menulis beberapa
kata untuk sampul belakang dan mengirimkannya ke penerbitnya kepada teman baik
kami, Fahir" Atap-atap bangunan Frankfurt yang berselimut salju, pemandangan yang tampak dari
meja kerja Ka, sekarang tampak gelap seiring malam yang mulai turun. Meja
kerja Ka sendiri, yang tertutup taplak hijau, secara mengejutkan tampak rapi
untuk ukuran seorang penyair. Di sebelah kanan terdapat catatan-catatan harian
tempat Ka mendeskripsikan kunjungannya ke Kars dan puisipuisi yang mendatanginya
di sana; di bagian kiri terdapat tumpukan buku dan majalah yang tengah
dibacanya. Tepat di tengah meja terdapat sebuah lampu perunggu dan sebuah
pesawat telepon. Aku mengaduk-aduk laci untuk mencari buku catatannya; aku
menyisir buku-buku, catatan-catatan harian, dan koleksi kliping surat kabar yang
sepertinya selalu ada dalam kamar seorang buangan politik. Dengan kepanikan yang
semakin menggunung, aku mengaduk-aduk lemari pakaiannya, ranjangnya, lemari-
lemari di dapurnya, kulkasnya, kamar mandinya, keranjang cucian mungilnya, dan
setiap sudut apartemen tempat seseorang terpikir untuk menyembunyikan buku
catatannya. Menolak untuk menerima bahwa buku itu mungkin telah hilang, aku
mengulangi sekali lagi memeriksa tempat-tempat yang sama, sementara Tarkut
Olgiin berdiri merokok dan memandang salju yang turun di Frankfurt. Jika buku
catatan itu tidak ada di koper yang dibawanya ke Hamburg, maka buku itu
seharusnya ada di sini, di apartemen ini. Ka tidak pernah membuat salinan
puisinya hingga setiap kata telah tepat berada di tempatnya dia menganggap hal
itu sebagai pemancing bala. Tetapi, dia pernah mengatakan sendiri kepadaku bahwa
buku itu sudah selesai ditulis dan siap diterbitkan. Jadi, di manakah buku itu
sekarang" Dua jam kemudian, masih menolak menerima bahwa buku catatan hijau tempat Ka
menulis puisi-puisinya telah hilang, aku meyakinkan diriku bahwa buku tersebut
ada di sini, di suatu tempat, di depan mataku, dan aku tidak melihatnya hanya
karena aku membiarkan diriku tenggelam dalam kepanikan. Ketika si pemiik gedung
yang mulai kehilangan kesabaran menggedor-gedor pintu, aku meraup semua buku
catatan yang ada di laci Ka dan menjejalkan-nya ke dalam kantong plastik,
bersama setiap kertas bertulisan tangan yang bisa kutemukan. Setelah itu, aku
mengumpulkan kaset-kaset video porno yang ditumpuk tinggi di sekeliing VCR bukti
bahwa dia tidak pernah menerima tamu di tempat ini dan menjejalkan semuanya ke
dalam tas belanjaan dari Kaufhof. Lalu, bagaikan seseorang yang hendak melakukan
perjalanan panjang dan membutuhkan kenang-kenangan dari kehidupan sehari-hari
yang ditinggalkannya, aku menggeledah kamar Ka untuk mencari sebuah benda
sederhana yang bisa mengingatkanku kepadanya. Tetapi, aku tak dapat memutuskan,
dan sebelum menyadarinya, aku sudah mengisi tas plastik di tanganku dengan
sebuah asbak bersama puntung-puntung rokok yang ada di mejanya, sebilah pisau
yang digunakannya sebagai pembuka amplop, jam beker di meja samping ranjangnya,
jaket lusuh yang telah dipakainya di luar piamanya selama dua puluh lima tahun
dan sekarang masih menguarkan aroma tubuhnya, dan sebuah foto dirinya dan kakak
perempuannya yang sedang berdiri di dermaga Dolmabahge. Saat itu, aku menjadi
kurator dari keinginanku sendiri. Merasa bahwa itulah kesempatan terakhirku, aku
mengumpulkan hampir semua barang di kamar itu; dan hampir semuanya berharga,
mulai dari kaos kaki kotornya hingga saputangan yang tak pernah dipakainya, dari
sendok sayur hingga kotak rokok kosong di keranjang sampah kering. Dalam salah
satu dari pertemuan terakhir kami di Istanbul, Ka bertanya tentang rencana-
rencanaku untuk novel baruku, dan aku menceritakan kepadanya tentang Museum
Kepolosan, sebuah gagasan yang hingga saat itu kurahasiakan dari semua orang.
Sekembalinya aku ke kamar hotel, setelah berpisah dengan pemanduku, aku
melanjutkan analisisku terhadap benda-benda miik Ka. Pada saat itu, aku telah
memutuskan untuk menjadi profesional dan menyingkirkan kenangan tentang temanku
setidaknya untuk malam itu, sebelum keputusasaan menghancurkanku. Tugas pertama
yang kubebankan kepada diriku adalah memeriksa video-video porno milik Ka. Tidak
ada VCR di kamarku, namun dari tulisan tangan Ka di sampul kaset-kaset video
itu, jelas bahwa dia sangat menyukai seorang bintang porno Amerika bernama
Melinda. Selanjutnya, aku membaca buku-buku catatan tempat Ka menulis tentang puisipuisi
yang mendatanginya di Kars. Mengapakah dia tidak pernah menyebut-nyebut tentang
kisah asmaranya, juga tentang teror yang disaksikannya" Aku akan menemukan
jawabannya dalam sebuah map yang kuambil dari salah satu laci Ka. Saat aku
membuka map itu, sekitar empat puluh buah surat cinta jatuh ke pangkuanku;
semuanya ditujukan untuk Vpek; tidak satu pun pernah dikirimkan. Semua surat itu
dimulai dengan katakata yang sama persis "Sayangku, aku telah berpikir panjang
dan keras tentang apakah aku harus menulis untuk memberitahukan hal ini kepadamu
namun kemudian Ka melanjutkannya dengan membahas berbagai pengalamannya di Kars,
setiap kali menambahkan detail baru yang menyayat hati dan mengubah pemahamanku
mengenai hubungan asmaranya dengan Ypek. Ada pula cerita-ceritanya mengenai
kehidupan sehari-harinya di Frankfurt (anjing lesu yang dilihatnya di Taman Von
Bethmann dan meja-meja seng di Museum Yahudi, seperti yang juga disebutkannya
dalam surat-suratnya kepadaku, keduanya adalah sumber kekesalannya). Ka tidak
melipat satu pun surat cinta itu, sehingga aku tahu tentang keraguannya untuk
mengirimnya, yang membuatnya bahkan tidak berani memasukkan surat-surat itu ke
dalam amplop. "Katakan saja kepadaku, dan aku akan menjemputmu,1 dia menulis dalam salah satu
suratnya; meskipun, dalam suratnya yang lain, dia menyatakan bahwa dirinya
"tidak akan pernah kembali ke Kars, karena aku tidak mau kau salah paham
terhadapku lagi1. Salah satu surat menyebut tentang sebuah puisi (yang tidak
terlampir), dan salah satu surat yang lain membuat seseorang mengira bahwa Ypek
telah mengirim surat kepada Ka: "Maafkan aku jika kau salah paham terhadap
suratku.1 Malam itu, aku menggelar semua barang Ka di atas ranjang dan di setiap bidang
datar yang ada di kamarku, lalu memeriksa semuanya dengan mata forensik. Dan,
aku mendapatkan keyakinan bahwa Ka tak pernah menerima sepucuk pun surat dari
Ypek. Jadi, untuk apakah Ka berpura-pura membalas suratnya, bahkan meskipun dia
tahu bahwa dirinya juga tidak akan mengirim sepucuk pun surat untuk Ypek"
Di sinilah, mungkin, kita tiba pada inti kisah kita ini. Seberapa banyakkah kita
dapat mengetahui tentang cinta dan kepedihan dalam hati orang lain" Seberapa
banyakkah kita dapat berharap untuk memahami mereka yang telah mengalami
penderitaan yang lebih dalam, kekurangan yang lebih besar, dan kekecewaan yang
lebih dahsyat daripada yang selama ini kita ketahui" Bahkan jika orang-orang
yang kaya dan berkuasa di dunia ini mencoba meletakkan diri mereka di posisi
orang lain, seberapa banyakkah mereka akan benar-benar memahami penderitaan
jutaan orang lain di sekitar mereka" Maka, ketika Orhan si penulis novel
melongok ke sudutsudut gelap kehidupan susah dan penuh penderitaan kawan
penyairnya: seberapa banyakkah yang dapat benar-benar dilihatnya"
"Sepanjang hidupku, aku merasa tersesat dan kesepian seperti seekor binatang
terluka," tulis Ka. "Mungkin jika aku tidak merengkuhmu sekeras itu, aku tidak
akan membuatmu sebegitu marah, dan mungkin aku tidak akan menghancurkan kerja
kerasku selama dua belas tahun, hingga aku berakhir tepat di tempatku memulai.
Tapi, di sinilah aku, terabaikan dan terlupakan. Aku mengusung bekas luka dari
penderitaanku yang tak tertanggungkan di setiap inci dari tubuhku. Kadangkadang,
aku yakin bahwa aku tidak hanya kehilangan dirimu, tetapi juga segalanya di
dunia ini." Sekarang, apakah hanya dengan membaca katakata ini aku kemudian
dapat memahaminya" Larut malam, setelah pikiranku terasa ringan akibat wiski yang kuambil dari
minibar, aku kembali ke Kaiserstrasse untuk menyelidiki Melinda.
Gadis itu memiliki mata besar berwarna hijau zai-tun yang sedikit juling.
Kulitnya mulus, tungkainya panjang, bibirnya yang mungkin akan disamakan dengan
buah ceri oleh seorang penyair Utsmani mungil namun ranum. Dia juga cukup
terkenal: aku hanya butuh dua puluh menit untuk menemukan enam film yang
dibintangi olehnya di bagian video World Sex Centre. Aku menyelundupkan semua
video itu ke Istanbul, dan hanya dengan sekali menontonnya, aku mulai dapat
merasakan apa yang mungkin dirasakan Ka. Seperti apa pun pria yang dihadapinya
bisa saja yang terkasar dan terburuk rupa di dunia Melinda
selalu menanggapi erangan kenikmatannya dengan cara yang sama: wajah pucatnya
melembut dan memancarkan kasih sayang yang unik, seperti seorang ibu. Tak peduli
seprovokatif apa pun kostumnya (entah sebagai seorang wanita pengusaha yang
tidak sabaran, seorang pramugari bodoh, atau seorang ibu rumah tangga yang muak
dengan suaminya yang loyo), dia selalu tampak rapuh dan tak berdaya saat
telanjang. Seperti yang kemudian kuketahui dalam kunjunganku sendiri ke Kars,
ada kesan Ypek dalam sikap Melinda, yang paling terlihat dari mata besarnya dan
lekuk-lekuk tubuhnya. Aku tahu bahwa aku mungkin menyinggung jiwa-jiwa merana yang tetap bersikeras
memandang para penyair sebagai orang suci atau ahli filsafat saat aku
menyebutkan bahwa temanku menghabiskan empat tahun terakhir kehidupannya untuk
tenggelam dalam jenis hiburan untuk orang dewasa ini. Tetapi, saat berkeliaran
di World Sex Centre untuk memburu video-video Melinda, aku menyadari bahwa Ka
memiiki satu kesamaan dengan semua pria merana lainnya, yang kesepian bagaikan
hantu, yang membaca buku-bukuku. Mereka semua melampiaskan rasa bersalah dengan
menghilang dalam kegelapan bayangan untuk menonton film-film semacam ini. Di
gedung-gedung bioskop di seputaran 42nd Street di New York, di Kaiserstrasse di
Frankfurt, dan di jalan-jalan tikus di BeyoSIu, para pria yang tersesat dan
kesepian itu menonton film porno dengan penuh rasa malu dan kebencian terhadap
diri sendiri, berusaha menghindari tatapan mata orang lain saat berpapasan dan,
tanpa memedulikan stereotip nasional dan perbedaan antropologinya, semua tampak
sama persis. Aku meninggalkan World Sex Centre sambil menenteng tas plastik
hitam yang penuh berisi video Melinda,
lalu menyusuri jalanan yang kosong, menembus hujan salju, hingga tiba di
hotelku. Aku menenggak dua gelas wiski lagi di bar kecil yang ada di lobi, dan sambil
menunggu munculnya efek minuman itu, aku memandang hujan salju di luar. Setelah
merasakan pikiranku mulai melayang, aku memutuskan untuk melupakan sejenak
tentang melinda dan buku-buku catatan Ka. Tetapi, segera setelah aku tiba di
kamarku, aku mengambil salah satu buku catatan Ka secara acak. Tanpa berganti
pakaian, aku berbaring di ranjang dan mulai membaca. Pada halaman ketiga, aku
menemukan gambar sebuah kepingan salju yang tampak sebagai berikut:
IMAJINASI "Uc.mfcu.uirt TU B* 4kf* LOGIKA
Kapankah Kita Bisa Bertemu Kembali"
Mantra Pendek untuk Kebahagiaan
SETELAH KA dan Ypek bercinta, mereka saling berpelukan di atas ranjang; selama
beberapa waktu, tidak seorang pun bergerak. Dunia diliputi keheningan, dan
kebahagiaan Ka begitu meledak-ledak sehingga pelukan mereka terasa begitu lama.
Hal ini sendiri menjelaskan mengapa dia tiba-tiba mendapatkan dorongan untuk
melompat turun dari ranjang dan melongok ke luar jendela. Nantinya, dia akan
menganggap keheningan yang mereka rasakan berdua itu sebagai kenangan
terindahnya, sehingga dia akan mempertanyakan kepada dirinya sendiri mengapa dia
harus menghancurkan kenikmatan tiada tara itu dengan tiba-tiba melepaskan diri
dari pelukan Ypek. Jawabannya adalah, dia membiarkan kepanikan menguasai
dirinya: seolaholah sesuatu akan segera terjadi di sisi Lain jendela, di jalan
berselimut salju, dan dia harus bersiaga di dekat jendela sebelum peristiwa itu
terjadi. Tetapi, tak ada yang bisa dilihat di sisi lain jendela kecuali hujan salju.
Listrik masih padam, namun sebatang lilin menyala di jendela dapur yang berlapis
es di bawah, memendarkan cahaya oranye pada hujan salju lebat di luar. Lama
kemudian, akan terpikir oleh Ka bahwa dia memotong begitu saja momen paling
bahagia dalam kehidupannya karena dia tidak tahan menjadi sebahagia itu.
Awalnya, saat berbaring di ranjang dalam pelukan Ypek, dia tidak tahu bahwa dia
sedang sangat berbahagia.
Tetapi, dia memang merasakan kedamaian dengan dunia, dan kedamaian ini terasa
begitu alami sehingga dia kesulitan mengingat mengapa begitu banyak hal dalam
kehidupannya hingga saat itu terasa sangat membingungkan dan penuh kesedihan.
Kedamaian yang menyelimutinya bagaikan keheningan yang mengawali kedatangan
sebuah puisi, namun pada masa itu, sebelum sebuah puisi mendatanginya, dia akan
melihat makna kehidupannya terbentang dengan gamblang, menjadi sebuah
pemandangan yang mendatangkan rasa senang. Ada begitu banyak momen pencerahan
dalam kenangan indah mengenai Ypek ini. Di dalamnya terdapat kemurnian dan
kesederhanaan seorang bocah seperti seorang bocah yang menyimpan katakata di
ujung lidahnya untuk menjelaskan makna kehidupan.
Satu demi satu, Ka mengingat kembali fakta tentang kepingan salju yang dibacanya
di perpustakaan siang itu. Dia pergi ke sana untuk mempersiapkan diri, untuk
berjagajaga jika sebuah puisi bertema salju mendatanginya.
Tetapi, tidak ada puisi di dalam kepalanya sekarang. Meskipun puisi-puisinya
mendatanginya satu per satu, sekarang dia melihat bahwa semuanya menyatu dengan
susunan serapi gambar kekanak-kanakan kepingan salju berpucuk enam di dalam
ensiklopedia. Pada saat ini, dia pertama kali menyadari bahwa semua puisinya
adalah bagian dari sebuah rancangan besar.
"Apakah yang sedang kaulakukan di situ?" tanya
Ypek. "Aku sedang melihat salju, Sayang."
Sepertinya Ka merasa bahwa, entah bagaimana, Ypek tahu bahwa dirinya dapat
melihat lebih banyak daripada sekadar keindahan dalam geometri kepingan salju,
namun pada saat yang sama, Ka juga tahu bahwa ini tidak mungkin. Sebagian dari
dirinya tahu bahwa Ypek tidak senang melihat perhatiannya terbelah ke tempat
lain. Hingga saat itu, Ka menjadi pengejar, dan gairahnya yang jelas terlihat
membuatnya merasa rapuh dan tidak nyaman, sehingga sekarang dia senang karena
kedudukan telah berbalik: dari sini, dia menyimpulkan bahwa bercinta memberinya
sedikit keuntungan. "Apakah yang sedang kaupikirkan?" tanya Ypek.
"Aku sedang memikirkan ibuku," ujar Ka, yang menyadari untuk pertama kalinya:
karena, meskipun sudah meninggal, ibunya selalu berada jauh dari pikirannya.
Tetapi kemudian, saat mengingat kembali momen ini, dia akan menjelaskannya
dengan mengatakan, "Ibuku selalu ada dalam pikiranku selama kunjunganku ke
Kars." "Jadi, apakah yang kauingat dari ibumu?"
"Aku ingat saat kami berdiri di dekat jendela pada suatu malam musim dingin,
memandang salju di luar, dan dia membelai rambutku."
"Apakah kau bahagia saat masih kanakkanak?"
"Kita tidak menyadari saat kita berbahagia, setidaknya saat kebahagiaan itu
berlangsung. Baru bertahuntahun kemudian aku memutuskan bahwa masa kanak-kanakku bahagia; tapi,
kenyataannya, aku tidak bahagia.
Sebaliknya, aku justru bahagia, tidak seperti sebelumnya, selama bertahuntahun
kemudian. Aku hanya tidak tertarik pada kebahagiaan saat masih kecil."
"Jadi, kapankah kau mulai tertarik?"
Ka sangat tergoda untuk mengatakan "tidak pernah", namun dia mengurungkannya,
sebagian karena itu tidak benar, dan sebagian karena itu tampak terlalu agresif.
Dia masih tergoda, bukan hanya karena itu akan membuat Ypek terkesan, melainkan
karena ada hal-hal yang lebih berbobot dalam pikirannya saat itu, yang dapat
membuat Ypek terkesan. "Ada masanya saat aku begitu tidak bahagia sehingga aku tak bisa lagi bergerak,
dan pada saat itulah aku mulai memikirkan tentang kebahagiaan," kata Ka kepada
Ypek. Apakah itu hal yang tepat untuk dikatakannya" Keheningan Ypek membuat Ka tidak
nyaman. Jika dia menceritakan kepada Ypek betapa tidak bahagianya dirinya saat
berada di Frankfurt, bagaimana mungkin dia akan meyakinkan Ypek untuk pergi ke
sana bersamanya" Ketika angin kencang berembus dan mengacak-acak
kepingankepingan salju di luar, serangan rasa panik yang telah menguasai Ka
sebelumnya kembali dengan kekuatan lebih besar, membuat perutnya jauh lebih
mulas daripada saat dirinya berurusan dengan cinta dan siksaan menunggu.
Kebahagiaan yang baru dirasakannya beberapa saat telah berubah menjadi kepastian
buruk bahwa dia tidak akan bahagia. Di tempat kebahagiaannya semula berada,
keraguannya mulai menggunung. Dia ingin menanyakan kepada Ypek, "Maukah kau
pergi bersamaku ke Frankfurt?" namun dia terlalu ketakutan untuk menerima
jawaban yang tidak diinginkannya. Ka kembali ke ranjang, menekankan tubuh ke
punggung Ypek dan memeluk wanita itu sekuat tenaganya. "Ada sebuah toko di
pasar," katanya. "Toko itu memutar sebuah lagu sangat tua yang berjudul 'Roberta1, dinyanyikan
oleh Peppino di Capri. Di manakah menurutmu mereka mendapatkan lagu itu?"
"Masih ada beberapa keluarga tua yang bertahan di Kars," kata Ypek. "Pada
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya, para orangtua dalam keluarga-keluarga itu akan meninggal, lalu anak-
anak mereka menjual rumah dan kepemilikan mereka sebelum meninggalkan kota ini.
Jadi, benda-benda semacam itu bisa ditemukan di pasar, benda-benda yang
sepertinya tidak tepat berada di kota miskin yang kita lihat sekarang ini.
Dahulu ada pembeli barang loakan yang datang dari Istanbul setiap musim semi dan
membeli semuanya dengan harga murah, lalu mengangkutnya. Tapi sekarang, bahkan
dia pun berhenti datang."
Sejenak, Ka menyangka dirinya telah mendapatkan kembali kenikmatan tiada
taranya, namun perasaannya berbeda dengan sebelumnya. Sekali lagi, dia didera
rasa takut bahwa kebahagiaan akan meninggalkannya selamanya. Segala yang ada di
depan matanya membuatnya semakin panik. Dia tidak akan pernah meyakinkan Ypek
untuk pergi ke Frankfurt bersamanya, itu sudah pasti.
"Jadi, Sayang, kurasa sekarang sudah saatnya aku bangun."
Bahkan saat Ypek menggunakan kata "sayang", bahkan saat dia mencium Ka dengan
manis, Ka tetap tidak menemukan kedamaian.
"Kapankah kita bisa bertemu lagi?"
"Aku mengkhawatirkan ayahku. Polisi mungkin mengikutinya."
"Aku juga mengkhawatirkan mereka," ujar Ka. "Tapi, sekarang aku ingin tahu kapan
kita bisa bertemu lagi."
"Aku tidak akan memasuki kamar ini jika ayahku ada
di hotel." "Tapi, segalanya telah berubah sekarang," ujar Ka. Bagaimanapun, saat
menyaksikan keheningan Ypek yang berpakaian dalam kegelapan, Ka didera ketakutan
bahwa tidak ada yang telah berubah. "Bagaimana kalau aku pindah ke hotel lain,
jadi kita bisa bertemu di sana," katanya.
Keheningan yang menyesakkan menyusul. Sekarang, gelombang kepanikan baru
menggulung Ka. Kecemburuan tanpa batas membanjirinya. Dia memikirkan kemungkinan
Ypek memiliki kekasih lain. Sebagian dari dirinya masih cukup waras untuk
mengingat bahwa kecemburuan semacam ini wajar terjadi dalam tahap awal hubungan
asmara yang belum teruji, namun sebuah suara batin yang lebih kuat menyuruhnya
untuk memeluk Ypek dengan sekuat daya yang dimilikinya, dan mengerahkan seluruh
energinya untuk menaklukkan setiap rintangan yang masih berdiri di antara
mereka. Ka tahu bahwa ini masalah kepentingan. Namun dia juga tahu bahwa jika
dia bertindak terlalu terburu-buru, dia akan menempatkan dirinya dalam situasi
canggung, sehingga meskipun ragu-ragu, dia memilih untuk diam saja.[J
Kami Tidak Bodoh! Kami Hanya Miskin!
Pertemuan Rahasia di Hotel Asia
SAAT ZAHIDE bergegas menghampiri kereta kuda yang akan membawa Turgut Bey dan
Kadife ke pertemuan rahasia di Hotel Asia, senja mulai turun, sehingga Ka, yang
menyaksikan dari balik jendela, tidak dapat melihat dengan cukup jelas apa yang
dibawa pelayan setia itu. Zahide membawa sepasang sarung tangan wol tua. Tidak
yakin akan memakai pakaian apa ke pertemuan yang hendak dihadirinya, Turgut Bey
mengeluarkan dua buah jas yang dimilikinya sejak dia masih mengajar yang satu
berwarna hitam, yang satu lagi kelabu dan menggelarnya di atas ranjang bersama
topi yang hanya dia kenakan saat hari besar nasional atau jika ada kunjungan
dari pengawas sekolah, serta sebuah dasi bermotif kotak-kotak yang telah
bertahuntahun tidak dipakainya, kecuali untuk menghibur anak laki-laki Zahide.
Dia akan menghabiskan waktu lebih lama untuk memilih pakaian lain yang ada di
lemari dan lacinya; tetapi, melihatnya bertingkah seperti seorang gadis pemimpi
yang tidak yakin ayahnya akan mengizinkan dia memakai pakaian apa ke sebuah
pesta dansa, Kadife turun tangan untuk memilihkan bajunya. Setelah mengancingkan
kemeja ayahnya, Kadife memakaikan jas dan mantelnya; setelah itu, dia berjuang
memasang sepasang sarung tangan kulit anjing putih ke kedua tangan mungil
ayahnya. Saat inilah Turgut Bey teringat pada sarung tangan wol tuanya; dan,
dengan gigih, dia bersikeras ingin mengenakan sarung tangan itu, sehingga dia
menyuruh Ypek dan Kadife mencari-cari ke seluruh rumah, mengaduk-aduk semua
lemari dan laci, dari yang teratas hingga terbawah. Ketika akhirnya menemukan
sarung tangan itu dan melihat betapa banyaknya lubang ngengat yang ada di sana,
mereka langsung menyingkirkannya. Tetapi, setelah duduk di dalam kereta, Turgut
Bey sekali lagi bersikeras tidak mau pergi tanpa sarung tangan itu.
Bertahuntahun silam, dia menjelaskan, saat aktivitas sayap kiri menjerumuskannya
ke penjara, almarhumah istri tercintanya membawakan sarung tangan hasil rajutan
sendiri itu untuknya. Kadife, yang lebih mengenal ayahnya daripada pria itu
mengenal dirinya sendiri, dapat melihat masalah ini secara lebih jelas: jika
pria tua itu bersikeras memakai sarung tangan ini sebagai jimat, berarti dia
benar-benar ketakutan. Setelah sarung tangan itu diantarkan dan kereta berjalan menembus salju, Kadife
meminta ayahnya untuk bercerita lebih banyak tentang hari-harinya di penjara.
Dia mendengarkan kisah-kisah itu (bagaimana ayahnya menangis setiap kali
menerima surat dari istrinya; bagaimana ayahnya berusaha sendiri untuk belajar
bahasa Prancis; bagaimana ayahnya mengenakan sarung tangan wol itu untuk tidur
selama malam-malam musim dingin) dengan sangat saksama, seolaholah dia baru
mendengarnya untuk pertama kalinya, sesekali menyela untuk mengatakan, "Ayah
memang pria yang sangat pemberani!"
Lalu, Turgut Bey melakukan apa yang selalu dilakukannya saat mendengar kedua
putrinya mengutarakan katakata itu (yang, selama beberapa tahun terakhir sangat
jarang terjadi): menahan air matanya, Turgut Bey memeluk Kadife dan mencium
kedua pipinya dengan tubuh gemetar.
Saat melangkah keluar dari kereta, Turgut Bey mengatakan, "Lihatlah semua toko
baru itu. Ayo kita mampir untuk melihat apa yang mereka jual."
Kadife tahu bahwa ayahnya ketakutan, sehingga dia tidak berusaha memburu-
burunya. Turgut Bey mengusulkan supaya mereka mampir sejenak ke kedai teh untuk
menikmati teh /inden jika seorang detektif membuntuti mereka, katanya, mereka
sebaiknya menguras dompetnya sekalian. Maka, mereka pun memasuki sebuah kedai
teh, tempat mereka menyaksikan siaran balapan di TV tanpa berkata-kata. Tepat
sebelum mereka hendak pergi, Turgut Bey melihat tukang cukur tua langganannya di
meja di dekat mereka, dan dia bersikeras supaya mereka tinggal lebih lama di
kedai teh. Dia tidak ingin seseorang yang mengenalnya melihatnya dalam
perjalanan menghadiri pertemuan bersama Lazuardi.
"Apa menurutmu kita sudah terlambat sekarang?" Turgut Bey bertanya kepada
Kadife. "Apa menurutmu dia akan tersinggung jika kita tidak datang?"
Karena tukang cukur gemuk itu sepertinya menguping, Turgut Bey berbisik-bisik
kepada Kadife. Dia menggamit lengan Kadife, namun alih-alih membawanya langsung
ke halaman belakang, dia mengajak putrinya itu ke toko alat tulis, tempatnya
membeli sebuah pena biru tua. Ketika mereka akhirnya tiba di halaman belakang
Toko Peralatan Listrik dan Pipa Ersin dan menghampiri pintu bercat gelap yang
merupakan pintu belakang Hotel Asia,
Kadife melihat wajah ayahnya menjadi pucat pasi. Tidak ada yang mengagetkan,
namun mereka tetap bergandengan erat untuk menebalkan tekad. Tidak seorang pun
membuntuti mereka. Mereka masuk ke dalam beberapa langkah, namun tempat itu
begitu gelap sehingga Kadife harus meraba-raba untuk mencari jalan menuju tangga
yang membawa mereka ke lobi. "Jangan lepaskan tanganku," kata Turgut Bey.
Lobi hotel itu remang-remang, jendelajendela tingginya tertutup tirai tebal.
Tetapi, terdapat sebuah lampu meja dekil yang memendarkan cukup cahaya sehingga
mereka dapat melihat wajah berambut acak-acakan milik si resepsionis yang
berdiri di belakang meja. Dalam kegelapan di sekeliling meja, mereka dapat
melihat siluet beberapa sosok yang lalu lalang di lobi dan naik turun tangga.
Mereka bisa saja polisi berpakaian preman, pedagang pasar gelap yang sedang
melakukan jual beli hewan ternak atau kayu, atau para pekerja ilegal yang
menyelundupkan diri di perbatasan.
Delapan puluh tahun sebelumnya, hotel ini terkenal di kalangan pengusaha Rusia.
Setelah revolusi, pelanggannya kebanyakan orang Istanbul dan para agen dari
kalangan aristokrat Inggris, yang sedang menuju Armenia untuk memata-matai Uni
Soviet. Sekarang, tempat itu dipenuhi wanita yang datang dari Georgia dan
Ukraina untuk bekerja sebagai pelacur dan penyelundup kelas teri. Pada umumnya,
para pria dari desa-desa di sekitar Kars menyewa kamar di hotel ini untuk
mendapatkan jasa para wanita itu. Mereka tinggal bersama di hotel ini selama
siang hari, hampir menyerupai pasangan suami istri, lalu kembali ke desa tempat
tinggal mereka dengan minibus terakhir. Setelah para pria itu pergi, para wanita
akan turun untuk minum kopi dan konyak di bar hotel yang gelap.
Saat berjalan dengan hati-hati di antara kursi-kursi kayu yang dahulu berlapis
kain merah, Turgut Bey dan Kadife berpapasan dengan salah seorang wanita pirang
berpenampilan seronok itu. Turgut Bey berpaling ke arah Kadife dan berbisik,
"Hotel Grand, tempat Ismet Pasha menginap saat menandatangani Kesepakatan
Lausanne, sama kosmopolitannya dengan tempat ini," dan, sambil berbicara, dia
mengeluarkan pena yang baru saja dibelinya dari saku. "Dan aku akan melakukan
apa yang dilakukan Ismet Pasha di Lausanne aku akan menandatangani pernyataan
dengan sebuah pena baru."
Untuk waktu yang sangat lama, Turgut Bey berdiri diam. Kadife tidak tahu apakah
ayahnya sedang menunda-nunda atau mendengarkan suara-suara di tangga. Tetapi,
akhirnya pria itu menaiki tangga. Saat mereka tiba di Kamar 3D7, Turgut Bey
berkata, "Mari kita membubuhkan tanda tangan dan pergi dari sini."
Kamar itu begitu ramai sehingga pada awalnya Kadife mengira mereka salah
memasuki ruangan. Melihat La-zuar-di duduk bersungut-sungut di dekat jendela
bersama dua orang militan Islamis lain, dia menggandengayahnya melintasi ruangan
dan duduk di dekat mereka. Sebuah bohlam menggantung dari langit-langit; di atas
meja terdapat sebuah lampu berbentuk ikan; tetapi, ruangan itu tetap gelap. Ikan
itu terbuat dari plastik Bakelite; ekornya mencuat ke atas, sebuah bohlam
tersimpan di mulutnya. Sebuah mikrofon milik negara tersembunyi di dalam salah
satu matanya. Fazyl juga ada di dalam ruangan itu. Saat melihat Kadife, pemuda itu serta merta
berdiri, bahkan sebelum orang lain juga berdiri untuk memberikan penghormatan kepada Turgut Bey. Fazyl
tampak terperangah, seolaholah seseorang baru saja memantrai dia. Beberapa orang
di dalam ruangan itu mengiranya hendak menyampaikan sesuatu. Tetapi, Kadife sama
sekali tidak memedulikannya. Matanya tertuju pada Lazuardi dan Turgut Bey, yang
sedang saling memandang. Atmosfer dalam ruangan itu penuh ketegangan.
Lazuardi telah memutuskan bahwa dunia Barat akan menganggap pernyataan mereka
dengan lebih serius jika nasionalis Kurdi yang menandatanganinya juga seorang
ateis. Tetapi, remaja kerempeng dan pucat yang dengan enggan bersedia
berpartisipasi sekarang menentang pendapat kedua rekan nasionalis Kurdinya
mengenai isi persetujuan itu. Mereka bertiga menantikan giliran berbicara dengan
wajah cemberut. Karena asosiasi pemuda pemarah, putus asa, dan pengangguran yang
diketahui mengagumi gerilyawan Kurdi dari pegunungan memiliki kecenderungan
untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu anggotanya, dan karena pemimpin
asosiasi itu sering ditangkap, dipukuli, dan disiksa dalam razia yang mengiringi
setiap pertemuan tersebut, sulit untuk mencari pemuda semacam itu setelah kudeta
terjadi. Tetapi, tiga orang pemuda Kurdi yang hadir di sana ketika itu memiliki
masalah yang jauh lebih mendesak: para pejuang gunung bisa jadi akan mengetahui
kehadiran mereka di kamar ini dan menjadi curiga. Mereka mungkin akan menganggap
sikap ketiga pemuda itu akan dengan mudah melunak di kamar hotel yang hangat ini
dan menuduh mereka bekerja sama dengan Republik Turki. Bahkan, fakta bahwa
asosiasi pemuda itu tidak mengirim cukup banyak anggota untuk dijadikan
gerilyawan di pegunungan pun telah mengecilkan
hati segelintir anggota yang belum tertangkap.
Yang juga hadir dalam pertemuan itu adalah dua orang "sosialis" model lama,
keduanya berusia tiga puluhan. Kemungkinan adanya sebuah pernyataan bersama yang
akan dimuat di pers Jerman disampaikan kepada mereka oleh para pemuda Kurdi,
yang mendatangi para sosialis itu untuk sedikit menyombong sekaligus meminta
nasihat. Kemilitanan sosialis pernah cukup lama membayangi Kars, namun semua itu
hanyalah masa lalu; sekarang ini, tidak seorang pun sosialis berani
mengorganisasi serangan, membunuh seorang polisi, ataupun mengirim paket berisi
bom tanpa terlebih dahulu mencari restu dan dukungan dari gerilyawan Kurdi.
Sebagai hasilnya, kegarangan kaum sosialis melunak akibat kemandekan ekonomi dan
depresi yang semakin meluas. Dua orang militan model lama ini menghadiri
pertemuan meskipun tidak diundang karena mereka mendengar bahwa Marxisme marak
di Eropa. Pria yang lebih tua di antara mereka berdua, yang duduk di pojok
kamar, tampak bosan. Di sebelahnya, rekannya yang berwajah mulus dan bersikap
santai dengan sangat bersemangat mengumpulkan detail-detail yang akan
disampaikannya pada kantor cabang MYT. Niatnya tidak berbahaya: dia melakukan
hal ini supaya kelompoknya terbebas dari cecaran polisi. Dia akan melaporkan
setiap aktivitas yang tidak disukainya ke negara sesungguhnya, sebagian besar di
antaranya sepertinya tidak penting tetapi, di lubuk hatinya yang terdalam, dia
merasa bangga akan adanya pemberontakan untuk menegakkan kebenaran; saking
bangganya, dia bahkan menggembar-gemborkan tentang penembakan, penculikan,
pengeboman, dan pembunuhan kepada siapa pun yang mau mendengarkan ocehannya.
Pada awalnya, tidak seorang pun mau berbicara. Mereka sangat yakin bahwa kamar
itu disadap dan ada beberapa orang informan di antara mereka. Dan, yang akhirnya
memecahkan kesunyian adalah anggukan ke arah jendela untuk mengatakan bahwa
hujan salju masih turun, atau ntuk memperingatkan seseorang yang membuang
puntung rokok ke lantai. Keadaan ini berlangsung lama, hingga akhirnya seorang
nenek-nenek Kurdi, yang kehadirannya tidak disadari oleh siapa pun hingga saat
itu, berdiri dan menuturkan kisah tentang menghilangnya anak laki-lakinya.
(Mereka mengetuk pintu rumahnya pada tengah malam buta dan membawa pergi anaknya
begitu saja.) Meskipun tidak terlalu memerhatikan cerita menghilangnya anak laki-laki si
nenek, Turgut Bey merasa tidak enak. Dia merasa prihatin saat mendengar tentang
penculikan dan pembunuhan terhadap para pemuda Kurdi pada tengah malam buta
sekaligus merasa marah saat mendengar mereka disebut "tidak berdosa".
Menggenggam erat tangan ayahnya, Kadife berusaha memahami ekspresi jijik dan
meremehkan yang dapat dilihatnya diwajah Lazuardi. Blue merasa dirinya telah
masuk ke dalam jebakan, tetapi, mencemaskan apa yang akan dikatakan oleh orang-
orang jika dia pergi begitu saja, dia tetap tinggal di sana, meskipun akal
sehatnya melarangnnya. Kemudian:
1. Pemuda Islamis yang duduk di dekat Fazyl, dan yang keterkaitannya dengan
pembunuhan direktur Institut Pendidikan akan terbukti berbulan-bulan kemudian,
mulai menyampaikan pendapatnya bahwa si direktur dibunuh oleh seorang agen
pemerintah. 2. Para revolusioner di kamar itu secara panjang lebar mengumumkan tentang aksi
mogok makan yang dilakukan rekan-rekan mereka di penjara. 3. Tiga orang pemuda
dari asosiasi Kurdi membacakan pernyataan yang jauh lebih panjang, yang mencakup
ancaman mereka untuk tidak menandatangani pernyataan bersama kecuali Frankfurter
Rundschau dapat menjamin akan memuatnya, sehingga mereka akan dapat mengangkat
kebudayaan dan sastra Kurdi ke tempat yang layak dalam sejarah dunia.
Ketika si nenek, yang datang untuk membubuhkan tanda tangan atas nama anaknya
yang hilang, menanyakan tentang keberadaan "jurnalis Jerman" yang dimaksud,
Kadife segera bangkit untuk menjelaskan dengan suara meyakinkan bahwa Ka masih
ada di Kars, namun dia memilih untuk tidak menghadiri pertemuan itu karena
keberadaannya akan menimbulkan keraguan mengenai "kenetralan" pernyataan mereka.
Karena orang-orang di sana tidak terbiasa melihat seorang wanita berbicara
dengan penuh kepercayaan diri dalam sebuah pertemuan politik, Kadife langsung
mendapatkan kehormatan dari mereka. Si nenek yang anaknya menghilang memeluk
Kadife dan mulai menangis, dan, saat mendengar bahwa Kadife akan melakukan apa
pun yang bisa dilakukannya supaya kisah si nenek dimuat oleh pers Jerman, wanita
tua itu memberikan selembar kertas bertuliskan nama putranya kepada Kadife.
Informan militan sayap-kiri yang beritikad baik menggunakan kesempatan ini untuk
mempresentasikan rancangan pertamanya untuk pernyataan ini, yang ditulisnya di
dalam buku catatannya. Saat membacakannya, dia sebisa mungkin berusaha menahan
supaya ekspresi wajahnya tetap datar.
Judul pernyataan itu adalah "Sebuah Pengumuman bagi Bangsa Eropa Perihal
Kejadian di Kars". Hampir semua orang menyambut baik usulan itu. Mengenang apa
yang dirasakannya ketika itu, nantinya Fazyl akan tersenyum dan memberi tahu Ka
bahwa "Baru ketika itulah terpikir oleh saya bahwa pada suatu hari nanti, kota
kecil kami ini mungkin akan memainkan peran dalam sejarah dunia." Ka akan
menggunakan katakata Fazyl tersebut dalam puisinya "Seluruh Umat Manusia dan
Bintang-Bintang". Hanya Lazuardi seoranglah yang dengan keras menentang judul itu. "Kita tidak
sedang berbicara pada Eropa," katanya. "Kita berbicara kepada seluruh umat
manusia. Teman-teman kita tidak akan terkejut saat mengetahui bahwa kita tidak
bisa menampilkan pernyataan kita bukan hanya di Kars dan Istanbul, melainkan
juga di Frankfurt. Orang Eropa bukan teman kita. Mereka adalah musuh kita. Dan,
bukan karena kita musuh mereka namun karena secara naluriah, mereka membenci
kita." Seseorang dari pihak sayap kiri yang membuat rancangan pertama pernyataan
tersebut menyela untuk mengatakan bahwa bukan seluruh umat manusia yang membenci
mereka, melainkan hanya kaum borjuis Eropa. Orang-orang miskin dan pengangguran
adalah saudara mereka, dia mengingatkan, namun tidak seorang pun, kecuali rekan
sosialisnya, yang merasa tergugah.
"Tidak seorang pun di Eropa yang semiskin kita," salah seorang dari tiga remaja
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurdi menyanggah dengan suara melengking.
"Anakku, apa kau pernah pergi ke Eropa?" Turgut Bey bertanya.
"Saya belum mendapatkan kesempatan itu, tapi paman saya menjadi buruh di
Jerman." Pernyataan ini memancing gelak tawa.
Turgut Bey meluruskan kursinya. "Meskipun kata itu sangat berarti bagi saya,
saya sendiri belum pernah pergi ke Eropa," katanya. "Ini bukan bahan tertawaan.
Siapa pun di ruangan ini yang pernah pergi ke Eropa, silakan mengacungkan
tangan." Selain Lazuardi, yang pernah tinggal selama bertahuntahun di Jerman, tidak
seorang pun mengacungkan tangan.
"Tapi, kita semua tahu apa arti Eropa," lanjut Turgut Bey. "Eropa adalah masa
depan kita, juga masa depan kemanusiaan kita. Maka, jika pria terhormat ini" dia
menunjuk ke arah Lazuardi "berpendapat bahwa kita sebaiknya mengatakan 'seluruh
umat manusia1 alih-alih 'Eropa1, sebaiknya kita menurutinya dan mengubah
pernyataan kita." "Eropa bukanlah masa depan saya," kata Lazuardi sambil tersenyum. "Selama saya
bernyawa, saya tidak akan meniru mereka ataupun membenci diri saya sendiri
karena berbeda dengan mereka."
"Bukan hanya Islamis yang memiliki kebanggaan terhadap negeri ini. Republiken
juga merasakan hal yang sama," kata Turgut Bey. "Jika kita mengatakan 'seluruh
umat manusia' alih-alih 'Eropa', apakah yang kita dapatkan?"
'"Sebuah Pengumuman bagi Seluruh Umat Manusia Perihal Kejadian di Kars'," kata
pemuda yang bertugas menulis pernyataan. "Kedengarannya mungkin terlalu muluk-
muluk." Diskusi lebih lanjut pun bergulir. Mereka mempertimbangkan untuk mengganti
"seluruh umat manusia" menjadi "dunia Barat", namun pria berwajah
berbintikbintik di sebelah Lazuardi mengajukan keberatan kepada pemuda Kurdi
bersuara melengking ini, dan mengusulkan supaya judul pernyataan itu cukup
"Sebuah Pengumuman" saja. Semua orang menyetujui usul ini.
Berkebalikan dengan perkiraan semua orang, rancangan pernyataan itu ternyata
sangat singkat. Isinya menyatakan bahwa sebuah kudeta telah "digelar" ketika
jelas terlihat bahwa kandidat-kandidat dari kalangan Islamis dan Kurdi akan
menang dalam pemilihan yang akan segera dilangsungkan. Hanya Turgut Bey yang
menyampaikan keberatan, mengatakan bahwa argumenmereka sepenuhnya didasarkan
pada pendapat kebanyakan semata, dan hal ini tidak akan dianggap meyakinkan oleh
para pembaca Eropa. Menurutnya, mereka mengetahui bahwa pada hari pemilihan
ataupun dalam perjalanan menuju tempat pemilihan, semua orang dapat seketika
berubah pikiran dan memutuskan untuk memberikan suara pada partai yang
menggalakkan apa pun yang mereka tentang sebelumnya. Untuk alasan ini, Turgut
Bey berpendapat bahwa sebaiknya mereka tidak menyiratkan bahwa hasil pemilihan
sudah dapat diduga secara pasti.
Sebagai tanggapan, informan militan sayap kiri yang bertugas menulis rancangan
mengatakan, "Semua orang tahu bahwa kudeta ini dilakukan sebelum pemilihan untuk
mencegah orang-orang tertentu memenanginya."
"Anda harus ingat bahwa kita berurusan dengan sebuah kelompok teater," kata
Turgut Bey. "Satu-satunya alasan mereka berhasil melakukan kudeta ini adalah
karena jalan-jalan ditutup. Semuanya akan kembali normal dalam hitungan hari."
"Jika Anda tidak menentang kudeta, untuk apa Anda datang kemari?" tanya seorang
pria berwajah merah padam yang duduk di samping Lazuardi.
Turgut Bey tidak menjawab, namun Kadife langsung berdiri (dia adalah satu-
satunya orang yang berdiri saat menyampaikan pendapat, meskipun tidak seorang
pun, terutama dirinya sendiri, menganggap hal ini sebagai sesuatu yang aneh).
Dengan mata memancarkan kemarahan, dia mengatakan ke seluruh ruangan bahwa
ayahnya telah menghabiskan bertahuntahun kehidupannya di dalam penjara akibat
keyakinan politiknya, sehingga sekarang dia bertekad untuk menentang segala
bentuk penindasan yang didukung oleh negara.
Turgut Bey cepat-cepat melepas jasnya dan mengisyaratkan kepada putrinya untuk
duduk kembali. "Jawaban saya untuk pertanyaan Anda adalah ini," katanya: "Saya
menghadiri pertemuan ini karena ingin membuktikan kepada orang-orang Eropa bahwa
di Turki, ada pula orang-orang yang memegang teguh akal sehat dan demokrasi."
"Jika sebuah surat kabar besar dari Jerman memberi saya ruangan untuk menulis
dua kalimat saja, pernyataan Anda itu bukanlah hal pertama yang hendak saya
tekankan," ujar si pria berwajah merah dengan nada meremehkan. Dia hendak
mengatakan lebih banyak lagi, namun Lazuardi memegangi lengannya.
Hal itu cukup memberikan alasan bagi Turgut Bey untuk menyesali keputusaannya
menghadiri pertemuan ini. Dia menutupi kekecewaannya dengan mengatakan kepada
dirinya bahwa dia hanya mampir ke tempat ini dalam perjalanan menuju tempat
lain. Bersikap seperti seseorang yang memikirkan masalah lain di luar ruangan
ini, Turgut Bey bangkit dan berjalan beberapa langkah ke pintu; tetapi, melihat
salju semakin menumpuk di Jalan KaradaS,
dia menghampiri jendela. Kadife memegangi lengan ayahnya sebegitu rupa sehingga
seolaholah Turgut Bey tidak mampu berjalan tanpa bantuannya. Untuk waktu yang
lama, ayah dan anak itu berdiri di dekat jendela seperti anak-anak murung yang
berusaha melupakan masalah mereka, menyaksikan sebuah kereta kuda bergerak
perlahan di jalan. Salah seorang pemuda Kurdi yang bersuara melengking merasa penasaran dan
bergabung dengan mereka di dekat jendela. Orang lain di kamar itu memandang
mereka dengan campuran rasa hormat dan khawatir. Saat mereka memikirkan
kemungkinan adanya razia, ketegangan di kamar itu semakin bertambah. Berbagai
faksi yang ada cemas jika mereka tidak sempat lagi mengambil kesepakatan tentang
bagian lain dari pernyataan itu. Mereka setuju bahwa kudeta militer yang telah
terjadi digerakkan oleh segelintir petualang. Lazuardilah yang mengatakan hal
ini. Saat yang lain mengusulkan sebuah definisi yang lebih luas, Lazuardi
menegaskan bahwa memberikan kesan pada Barat bahwa militer telah mengambil alih
kekuasaan di seluruh Turki adalah sebuah kesalahan. Pada akhirnya, semua setuju
untuk menyebut peristiwa kudeta itu sebagai sebuah "kudeta lokal yang didukung
oleh Ankara". Secara singkat disebutkan pula tentang orang-orang Kurdi yang
ditembak atau diculik dari rumah mereka dan ditembak di suatu tempat, juga
tentang penyiksaan dan intimidasi pada para pelajar madrasah aliah. "Penyerangan
massal terhadap penduduk kota" diubah menjadi "Penyerangan terhadap penduduk
kota, semangat masyarakat, dan agama". Mereka juga mengganti baris terakhir
pernyataan, memberikan imbauan bukan hanya kepada orang Eropa melainkan juga
manusia di seluruh dunia untuk bersatu-padu dalam protes menentang Republik
Turki. Saat membaca baris terakhir ini, Turgut Bey memandang mata Lazuardi dan
melihat sirat kepuasan di sana. Sekali lagi, pria tua itu menyesal karena telah
menghadiri pertemuan. "Jika tidak ada lagi yang keberatan, mari kita segera membubuhkan tanda tangan,"
kata Lazuardi, "karena razia bisa terjadi kapan saja."
Pada tahap itu, pernyataan mereka masih berbentuk rangkaian katakata penuh
coretan, tanda panah, dan lingkaran-lingkaran yang menunjukkan perubahan, namun
ini tidak mencegah semua orang untuk menghambur ke tengah ruangan, tempat mereka
berjejalan dengan tujuan yang sama: membubuhkan tanda tangan dan kemudian pergi
sejauh mungkin dari sana. Beberapa orang sudah berjalan ke pintu ketika Kadife
tiba-tiba berseru: "Berhenti! Ayah saya ingin menyampaikan sesuatu kepada
kalian!" Hal ini menambah kepanikan, namun Lazuardi memerintahkan kepada si pemuda
berwajah merah untuk menjaga pintu. "Tidak seorang pun boleh keluar," katanya.
"Biarkanlah Turgut Bey menyampaikan keberatannya."
"Saya tidak akan menyampaikan keberatan," kata pria tua itu. "Tapi, sebelum saya
membubuhkan namasaya dalam pernyataan ini, ada sesuatu yang saya inginkan dari
pemuda di sana." Dia terdiam sejenak untuk berpikir. "Dan bukan hanya dari dia
dari semua orang di kamar ini." Dia menunjuk pemuda berwajah merah yang
sebelumnya mendebatnya dan sekarang berdiri menjaga pintu. "Saya ingin
memberikan sebuah pertanyaan, dan saya menginginkan jawaban, pertama-tama dari
pemuda itu, lalu dari Anda semua. Jika saya tidak mendapatkan jawaban, saya
tidak akan menandatangani pernyataan ini." Dia menoleh
ke arah Lazuardi untuk menegaskan ucapannya.
"Baiklah, silakan saja, katakanlah pertanyaan Anda," kata Lazuardi. "Jika kami
bisa menjawabnya, kami akan dengan senang hati memberikannya kepada Anda."
"Baru beberapa saat yang lalu, kalian menertawakan saya. Jadi, sekarang saya
menginginkan kalian semua menjawab pertanyaan ini. Jika sebuah surat kabar besar
di Jerman memberikan dua baris bagi masing-masing dari kalian, apakah yang akan
kalian katakan pada Barat" Saya ingin pemuda di sana menjawab terlebih dahulu."
Remaja berwajah merah itu kuat dan pintar, juga memiliki pendapat untuk segala
sesuatu, namun dia tidak siap menghadapi pertanyaan semacam itu. Dia
mencengkeram pegangan pintu keras-keras dan memandang Lazuardi untuk meminta
pertolongan. "Katakan saja apa yang ada dalam pikiranmu jika kau memiliki dua baris untuk
diisi. Setelah itu kita semua bisa pulang," kata Lazuardi, memaksakan sebuah
senyuman. "Jika kau terlalu lama berpikir, bisa-bisa polisi datang untuk
merazia." Remaja itu berulang kali menarik napas sambil mengolah otaknya seperti seorang
bocah yang berjuang menghadapi pertanyaan ujian yang jawabannya diketahuinya
sehari sebelumnya namun sekarang dilupakannya.
Karena remaja itu tidak kunjung menjawab, Lazuardi berkata, "Baiklah, biarkanlah
saya menjawab terlebih dahulu. Saya tidak peduli dengan orang-orang Eropa yang
Anda kagumi. Jika menyangkut mereka, yang ingin saya lakukan hanyalah melangkah
keluar dari bayang-bayang mereka. Tetapi, pada kenyataannya, kita semua hidup di
bawah bayang-bayang."
"Jangan berusaha menolong dia, biarkanlah dia mengutarakan isi hatinya sendiri,"
kata Turgut Bey. "Anda boleh mengambil giliran terakhir." Turgut Bey tersenyum
pada si remaja berwajah merah, yang masih tampak kebingungan. "Ini adalah sebuah
keputusan yang sulit. Ini adalah sebuah masalah yang rumit. Ini bukan sekadar
dilema yang bisa dipecahkan begitu saja."
"Dia mencari-cari alasan!" seseorang berseru dari bagian belakang kamar.
"Sebenarnya dia tidak mau menandatangani pernyataan!"
Mereka semua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.
Beberapa orang beringsut menghampiri jendela, menyaksikan sebuah kereta kuda
bergoyang-goyang saat berjalan perlahan di jalan. Nantinya, pada malam yang
sama, saat menceritakan tentang "keheningan memukau" yang menyelimuti seluruh
ruangan, Fazyl mengatakan kepada Ka bahwa "sepertinya secara tiba-tiba kami
semua menjadi bersaudara, seolaholah kami merasa lebih dekat satu sama lain
daripada sebelumnya". Suara pertama yang memecahkan keheningan itu datang dari
pesawat yang melintasi langit malam di atas mereka. Semua orang memasang
telinga. "Itu pesawat kedua yang lewat hari ini," bisik Lazuardi.
"Aku akan keluar sekarang!" seseorang berseru.
Pria itu, yang berwajah pucat dan berusia tiga puluhan, mengenakan jas yang
warnanya telah pudar. Tidak seorang pun memerhatikannya hingga saat itu. Dia
adalah salah seorang dari tiga orang perwakilan buruh yang ada di ruangan itu,
bekerja sebagai tukang masak di Rumah Sakit Jaminan Sosial, dan tak henti-
hentinya melihat jam tangannya. Dia menghadiri pertemuan itu bersama keluarga-
keluarga orang hilang. Menurut laporan yang nantinya
dibuat, abang pria itu, seorang aktivis politik, diangkut ke kantor polisi untuk
ditanyai dan tidak pernah pulang lagi. Menurut kabar yang beredar, tukang masak
berwajah pucat itu ingin meminta surat kematian dari negara supaya dia dapat
menikahi istri cantik dari abangnya yang hilang. Dia pernah membuat permohonan
resmi setahun setelah abangnya menghilang, namun polisi, MYT, kejaksaan, dan
pangkalan militer mengabaikannya begitu saja. Dia bergabung dengan perkumpulan
keluarga orang hilang dua bulan sebelum pertemuan itu, bukan karena dorongan
untuk membalas dendam, melainkan karena hanya orang-orang itulah yang mau
mendengarkannya. "Kalian akan menyebutku pengecut di belakang punggungku. Tapi, kalian semualah
pengecut yang sesungguhnya. Dan, orang-orang Eropa pujaan kalian itu, merekalah
pengecut terbesar. Silakan kutip kata-kataku itu." Dia menendang pintu hingga
terbuka dan menghambur ke luar.
Pada saat inilah seseorang menanyakan tentang siapa sebenarnya "Hans Hansen Bey"
ini. Kadife mulai panik, tetapi, yang membuatnya terkejut, Lazuardi dengan
tenang menjelaskan bahwa Hans Hansen adalah seorang jurnalis Jerman beritikad
baik yang menaruh perhatian mendalam pada masalah-masalah Turki.
"Berhati-hatilah pada orang Jerman yang beritikad baik!" seru seseorang.
Seorang pria berjas hitam yang berdiri di dekat jendela menanyakan apakah surat
kabar akan memuat pernyataan bersama itu dengan menambahkan kutipan-kutipan dari
mereka. "Teman-teman, jangan sampai kita mengerut ketakutan seperti anak sekolah yang
menunggu anak lain menjawab terlebih dahulu," kata seseorang.
"Saya anak sekolah," seru salah seorang pemuda Kurdi. "Saya tahu apa yang akan
saya katakan bahkan sebelum saya sampai di sini."
"Apa kau hendak mengatakan bahwa kau sudah tahu akan tiba hari saat kau diundang
untuk memberikan pernyataan pada sebuah surat kabar Jerman?"
"Ya, tepat sekali," kata si remaja. Suaranya mungkin terdengar tenang, namun
wajahnya terbakar semangat yang berapi-api. "Saya selalu memimpikan datangnya
hari saat saya mendapatkan kesempatan untuk membagikan gagasan-gagasan saya
dengan dunia dan begitu pula semua orang di dalam kamar ini."
"Aku tak pernah berpikir seperti itu
"Yang ingin saya katakan sangatlah sederhana," kata pemuda penuh semangat itu.
"Saya ingin surat kabar Frankfurt memuat katakata ini: "Kami tidak bodoh! Kami
hanya miskin! Dan kami berhak untuk menuntut diakuinya perbedaan ini."
"Katakata yang sangat sederhana!"
"Siapakah yang kaumaksud, Anakku, saat kau mengatakan 'kami'?" tanya seorang
pria lain. "Apakah yang kaumaksud orang Turki" Orang Kurdi" Orang Kaukasia"
Penduduk Kars" Siapakah sebenarnya yang kaumaksud?"
"Karena kesalahan terbesar umat manusia," lanjut remaja penuh semangat itu,
mengabaikan pertanyaan yang muncul, "penipuan terbesar selama ribuan tahun
terakhir adalah ini: menyamakan kemiskinan dengan kebodohan."
"Apa sebenarnya yang dia maksud dengan 'kebodohan'?" Dia harus menerangkan
tentang istilah ini, kata seseorang.
"Sepanjang sejarah, para pemimpin agama dan orang-orang yang dianggap terpandang
selalu memperingatkan kita tentang persamaan yang memalukan ini. Mereka
mengingatkan kita bahwa orang miskin juga memiliki hati, pikiran, kemanusiaan,
dan kebijaksanaan, sama seperti semua orang lain. Saat Hans Hansen melihat orang
miskin, belas kasihannya akan muncul. Dalam sekejap, dia akan menganggap pria
itu sebagai orang bodoh yang telah menghancurkan kesempatannya sendiri, atau
seorang pemabuk yang sudah kehilangan semangat hidup."
"Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan oleh Hans Hansen, tapi semua orang akan
berpikir begitu saat melihat orang miskin."
"Tolonglah, dengarkanlah apa yang hendak saya katakan," kata pemuda Kurdi penuh
semangat itu. "Saya tidak akan berbicara panjang lebar. Orang-orang tertentu
mungkin merasa kasihan pada seseorang yang hidup dalam kemiskinan, tapi saat
melihat suatu bangsa yang miskin, seluruh dunia akan langsung menganggap semua
penduduk bangsa itu tidak punya otak, malas, jorok, dan bebal. Alih-alih merasa
kasihan, orang-orang itu justru ingin tertawa. Semuanya lelucon kebudayaan
mereka, sikap mereka, cara hidup mereka. Seiring waktu, sebagian dari seluruh
dunia itu akan mulai merasa malu karena berpikir seperti ini, lalu saat mereka
menengok ke sekeliling mereka dan melihat imigran-imigran dari negara miskin itu
mengepel lantai mereka dan melakukan segala macam pekerjaan berbayaran terendah,
wajar saja jika mereka mengkhawatirkan tentang apa yang akan terjadi jika para
buruh itu bangkit untuk menentang mereka suatu hari nanti. Maka, untuk menjaga
supaya keadaan tetap aman, mereka mulai memberikan perhatian pada kebudayaan
para imigran itu, dan kadangkadang mereka bahkan berpura-pura menganggap para
imigran itu memiliki kedudukan yang setara dengan mereka."
"Sudah saatnya dia memberi tahu kita bangsa mana yang sedang dia bicarakan."
"Saya ingin menambahkan sesuatu," kata si Kurdi bersuara melengking sebelum
temannya menanggapi. "Umat manusia tidak mau lagi menertawakan mereka yang membunuh dan menindas
orang lain. Inilah yang saya pelajari dari paman saya saat beliau datang ke Kars
dari Jerman musim panas lalu. Dunia sudah kehilangan kesabaran dengan negara-
negara penindas." "Apa benar dugaan kami bahwa kalian memberikan ancaman atas nama Barat?"
"Seperti yang sudah saya katakan," lanjut si Kurdi penuh semangat, "ketika
seorang Barat menjumpai seseorang dari sebuah negara miskin, yang pertama
dirasakannya adalah belas kasihan yang mendalam. Dia berpikir bahwa orang itu
menjadi sedemikian miskin tentunya karena berasal dari sebuah negara yang penuh
berisi orang tolol. Yang selanjutnya ada dalam benak orang Barat itu adalah
bahwa kepala si orang miskin tentunya penuh omong kosong yang menjerumuskan
negaranya ke dalam kemiskinan dan keputusasaan."
"Dan, jika memang begitu, dia tidak akan meleset terlalu jauh, bukan?"
"Jika kalian seperti si penyair sombong yang menganggap kita bodoh, berdiri dan
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyatakanlah sikap kalian. Ateis kafir itu akan berakhir di Neraka, tapi
setidaknya dia menunjukkan keberanian. Dia tampil dalam siaran langsung di TV,
memandang mata semua orang di negara ini dan mengatakan ke wajah kita bahwa kita
bodoh." "Maaf, tapi orang yang tampil di TV tidak bisa melihat mata para penontonnya."
"Anak itu tidak mengatakan dia 'melihat' mata penonton. Dia mengatakan
'memandang'." "Teman-teman! Tolonglah! Jangan sampai pertemuan kita ini berubah menjadi ajang
debat kusir," seorang aktivis sayap kiri memohon dengan gelisah. "Dan tolonglah,
jangan bicara terlalu cepat."
"Jika dia tidak cukup berani untuk mengatakan bangsa mana yang sedang
dibicarakannya, aku tidak mau diam. Kita harus tahu betul tentang bahayanya
memberikan pernyataan yang justru akan melecehkan bangsa kita sendiri."
"Saya bukan pengkhianat. Saya setuju dengan Anda," ujar pemuda Kurdi penuh
semangat itu, bangkit dari tempat duduknya. "Karena itulah saya ingin mengatakan
pada surat kabar Jerman ini bahwa meskipun suatu hari nanti saya mendapatkan
kesempatan untuk pergi ke Jerman, meskipun mereka memberikan visa untuk saya,
saya tidak akan mau menginjakkan kaki ke negara itu."
"Mana mungkin mereka mau memberikan visa kepada pengangguran kecil yang bukan
siapa-siapa sepertimu."
"Lupakan saja soal visa. Negara kita sendiri tak akan mau memberi dia paspor."
"Kalian benar, mereka tidak akan memberikannya," pemuda penuh semangat namun
rendah hati itu mengakui.
"Tapi, misalkan saja mereka mau memberikannya dan saya pergi ke Jerman, dan
orang Barat pertama yang berpapasan dengan saya di jalan ternyata baik dan tidak
membenci saya. Saya tetap saja tidak akan memercayainya, hanya karena dia orang
Barat. Saya masih akan khawatir pria ini memandang rendah kepada saya. Karena
orang Jerman memandang orang Turki dengan cara yang berbeda. Tidak ada gunanya
menghindar dari rasa malu kecuali dengan membuktikan dalam kesempatan pertama
bahwa jalan pikiran kita sama persis dengan mereka.
Tapi, ini mustahil, dan mencoba melakukannya dapat menghancurkan harga diri
kita." "Kau memulai dengan cara yang buruk, Anakku, tapi kau mengakhirinya di tempat
yang tepat," kata seorang jurnalis Azeri tua. "Tapi, aku masih berpendapat kita
tidak perlu menyampaikan hal ini pada pers Jerman, karena ini akan membuka celah
bagi mereka untuk mengolok-olok kita." Dia terdiam sejenak, lalu dengan lihai
menambahkan, "Jadi, bangsa apakah yang sedang kaubicarakan itu?"
Saat remaja Kurdi itu duduk tanpa menjawab, putra si jurnalis tua, yang duduk di
sebelah ayahnya, berseru, "Dia takut!"
"Memangnya kenapa kalau dia takut," seseorang bergumam, sementara beberapa orang
lain berbisik, "Dia tidak mengantri tunjangan pemerintah sepertimu."
Baik si jurnalis maupun putranya tidak tersinggung saat mendengar komentar ini.
Semua orang berbicara bersamaan, tapi tidak dengan nada frustrasi: bersenda
gurau, saling menggoda, dan mencatat skor menjadikan atmosfer di dalam ruangan
itu sangat meriah dan menyatukan mereka semua. Nantinya, setelah mendengar
cerita Fazyl tentang pertemuan itu, Ka akan mencatat di bukunya bahwa pertemuan
politik semacam ini dapat berlangsung selama berjam-jam, dan bahwa para pria
beralis tebal, berkumis melengkung, dan pengisap rokok yang menghadirinya
menikmati keramaian suasana, meskipun tidak menyadari bahwa mereka sedang
bersenang-senang. "Kita tak akan pernah menjadi orang Eropa!" seru
seorang pemuda Islamis yang angkuh. "Silakan saja jika mereka mau menggilas kita
dengan tank, menghujani kita dengan peluru, dan membunuh kita semua. Tapi,
mereka tak bisa mengubah jiwa kita."
"Kau mungkin bisa menguasai tubuhku, tapi tak akan pernah bisa menyentuh
jiwaku," kata pemuda Kurdi yang bersuara melengking. Dia mengucapkan katakata
itu dengan gaya melodrama Turki.
Semua orang tertawa, termasuk pemuda yang baru saja berbicara.
"Sekarang, saya hendak mengatakan sesuatu," kata salah seorang pemuda yang duduk
di dekat Lazuardi. "Tak peduli betapa kerasnya teman-teman kita di sini berusaha menarik garis di
antara mereka dengan orang-orang hina yang meniru cara-cara orang Barat, saya
masih bisa mendengar nada penyesalan. Seolaholah, mereka mengatakan, 'Sayang
sekali aku bukan orang Barat.'
Dia berpaling ke arah pria berjaket kulit yang terus menerus melihat jam. "Saya
mohon, Bapak, abaikan saja sambutan dari saya ini!" Sikapnya seperti seorang
penjahat sopan. "Inilah yang saya inginkan untuk ditulis: Saya bangga dengan
bagian dari diri saya yang tidak bersifat Eropa. Saya bangga dengan berbagai hal
dalam diri saya yang dianggap kekanak-kanakan, brutal, dan primitif oleh orang
Eropa. Jika orang Eropa rupawan, saya ingin menjadi buruk rupa; jika mereka
pintar, saya lebih suka menjadi bodoh; jika mereka hidup dengan cara modern,
biarkan saya tetap hidup sederhana."
Tidak seorang pun di ruangan itu mendukung pernyataan tersebut. Tetapi, gelak
tawa yang menyusul menumbuhkan semangat baru bagi pertemuan itu, dan semua yang
disebutkan di sana memancing lelucon baru. Meskipun begitu, seseorang lepas
kendali dengan mengatakan, "Tapi, kau memang bodoh!" Untungnya, pada saat itu,
kedua aktivis sayap kiri yang ada di sana terbatuk-batuk hebat secara bersamaan,
sehingga tidak seorang pun yakin siapa yang melontarkan katakata hinaan tadi.
Remaja berwajah merah yang menjaga pintu menyerukan sebuah puisi. Baris-baris
pertamanya berbunyi seperti ini:
Eropa, Oh Eropa Mari berhenti dan memandangnya Saat bersama-sama daiam mimpi kita Jangan biarkan
ibiis berkuasa .... Fazyl kesulitan mendengar keseluruhan puisi itu akibat batuk hebat dari kedua
pria Kurdi di dekatnya. Tapi, meskipun dia melupakan katakata di dalamnya, dia
masih ingat garis besar temanya. Tertulis di kertas yang sama, yang memuat
catatannya tentang berbagai pernyataan dua baris untuk Barat adalah potongan-
potongan reaksi yang akhirnya muncul dalam "Seluruh Umat Manusia dan Bintang-
Bintang", puisi yang ditulis Ka segera setelah berbicara dengannya:
1. "Jangan takut dengan mereka; tak ada apa pun di sana yang perlu ditakuti,"
seru salah seorang militan sayap kiri.
2. si jurnalis Azeri tua yang tak henti-hentinya bertanya, "Bangsa apa yang
kaumaksud?" mengatakan, "Jangan sampai kita mengorbankan ke Turki an kita
demi agama." Lalu, menanggapi pidato panjang lebarnya tentang Perang Salib,
Holocaust, pembantaian Amerika terhadap Indian, dan pembantaian Prancis terhadap
muslim Algeria, seseorang yang berpandangan negatif di antara kerumunan dengan
culas menanyakan, "Dan, apa pula yang terjadi pada jutaan orang Armenia yang
dahulu tinggal di segala penjuru Anatolia, termasuk Kars?" Merasa kasihan pada
pria ini, si sekretaris-informan tidak menulis namanya. 3. "Tidak seorang pun
yang menggunakan akal sehatnya akan mau menerjemahkan puisi sepanjang dan
sebodoh itu, dan Hans Hansen tidak akan pernah mau memuatnya di koran." Ucapan
ini dilontarkan oleh salah seorang penyair yang ada di dalam ruangan itu (ada
tiga orang penyair di sana). Mereka mengambil kesempatan ini untuk mengeluhkan
tentang pencekalan bagi para penyair Turki di panggung internasional.
Setelah selesai membacakan puisi yang dianggap tolol dan primitif oleh semua
orang yang hadir, pemuda berwajah merah itu bersimbah peluh. Beberapa orang
meme-nepukinya dengan ogah-ogahan. Sebagian besar orang di sana sepertinya
setuju bahwa menampilkan puisi ini di surat kabar Jerman bukanlah tindakan
bijaksana, karena celah untuk mengolok-olok "kita" akan lebih terbuka lebar.
Pemuda Kurdi yang memiliki paman di Jerman paling menyampaikan pendapatnya
secara berapi-api: "Para penulis puisi atau penyanyi di Barat berbicara untuk
seluruh umat manusia. Mereka adalah manusia tapi kita hanya umat muslim. Jika
kita menulis sesuatu, karya kita hanya akan disebut sebagai puisi etnik."
"Pesan saya adalah ini. Mohon dicatat," kata seorang pria berjas hitam. "Jika
orang Eropa benar, dan mereka memang satu-satunya masa depan kita, dan satu
satunya harapan bagi kita adalah menjadi lebih menyerupai mereka, maka sungguh
bodoh jika kita membuang-buang waktu untuk membicarakan apa yang membuat kita
menjadi diri kita." "Ah, dari semua yang sudah kita dengar sejauh ini, ucapan itulah yang akan
paling efektif untuk meyakinkan orang Eropa bahwa kita memang idiot."
"Tolonglah, sekali ini saja, nyatakanlah dengan jelas bangsa manakah yang akan
terlihat idiot?" "Dan, di sinilah kita, bertingkah seolaholah kita jauh lebih pintar dan berharga
daripada orang Barat, tetapi, Bapak-Bapak, saya menekankan kepada Anda semua
bahwa seandainya Jerman membuka konsulat di Kars hari ini dan mulai membagi-
bagikan visa gratis, kota ini akan kosong dalam waktu seminggu."
"Itu hanya isapan jempol semata. Lagi pula, teman kita di sana baru saja memberi
tahu kita bahwa dia tidak akan pergi kalaupun mereka memberinya kesempatan.
Saya juga tidak akan pergi. Saya akan melakukan hal yang terhormat dan tetap
tinggal di sini." "Dan banyak orang lainnya juga akan memilih untuk tetap tinggal di sini, Pak
jangan salah. Semua yang tidak akan pergi, silakan acungkan tangan supaya kami
bisa melihat." Beberapa orang mengacungkan tangan. Beberapa orang pemuda melihatnya, namun
mereka belum bisa menjatuhkan pilihan. "Memangnya kenapa dia menganggap kedua
orang yang memilih untuk pergi itu bersikap tidak terhormat?" tanya pria yang
berjas hitam. "Memang sulit memberikan penjelasan pada orang-orang yang belum paham," kata
seseorang yang berpenampilan misterius.
Fazyl melihat Kadife berpaling dan memandang murung ke jendela. Jantung pemuda
itu mulai berdegup kencang. Hamba mohon Tuhan, batinnya mengatakan, tolonglah
supaya saya dapat menjaga kemurnian saya; melindungi pikiran saya dari
kebingungan. Terpikir olehnya bahwa Kadife mungkin akan menyukai katakata itu.
Terpikir olehnya untuk menjadikan katakata ini sebagai pernyataan dua barisnya
ke Barat. Tetapi, karena begitu banyak orang sekarang berbicara bersama-sama,
tidak mungkin kata-katanya akan didengar.
Satu-satunya orang yang suaranya tetap terdengar di tengah hiruk pikuk itu
adalah pemuda Kurdi yang bersuara nyaring. Dia mengusulkan untuk menceritakan ke
surat kabar Jerman tentang sebuah mimpi yang baru saja didapatkannya. Berhenti
sesekali untuk bergidik, dia menjelaskan bahwa dalam mimpi ini, dia duduk
sendirian di Teater Nasional untuk menonton sebuah film.
Film itu buatan Eropa, sehingga semua pemerannya berbicara dalam bahasa asing,
tapi hal ini tidak membuatnya menjadi jengah: entah bagaimana, dia memahami
semua yang mereka ucapkan. Kemudian, dalam sekejap mata, dia sendiri sudah
berada di dalam film itu. Dia tiba-tiba berada di ruang duduk sebuah keluarga
Kristen. Di sana, di depan matanya, makanan terhidang hingga memenuhi meja. Dia
tak sabar lagi ingin mengisi perutnya,tetapi dia menahan diri karena takut akan
berbuat salah. Jantungnya mulai berdebardebar: di sana, di hadapannya,
berdirilah seorang wanita cantik berambut pirang, dan saat melihat wanita itu,
dia ingat bahwa dia telah jatuh cinta pada si wanita selama bertahuntahun.
Wanita itu lebih hangat dan lembut daripada yang pernah dibayangkannya. Dia memuji pakaian dan
tingkah lakunya, mencium kedua pipinya, dan membelai rambutnya. Pemuda itu
sangat senang sampai tak mampu berkata-kata. Sebelum dia menyadarinya, wanita
itu telah memangkunya dan menunjuk makanan di meja. Ketika itulah si pemuda
menyadari bahwa dirinya masih bocah. Air mata sekarang membasahi mata pemuda
Kurdi itu. Wanita itu sangat menyukainya hanya karena dia masih anak-anak.
Mimpi ini sepertinya muncul dari ketakutan yang terpendam begitu dalam. Si
jurnalis tua memecah keheningan. "Tidak mungkin ada orang yang bisa bermimpi
seperti itu," katanya. "Bocah Kurdi ini mengarangnya supaya orang Jerman bisa
mengolok-olok kita."
Untuk membuktikan keaslian mimpinya, remaja Kurdi itu mengungkapkan sebuah
detail yang semula tidak dikatakannya: setiap kali dia terbangun setelah
mendapatkan mimpi itu, dia bisa mengingat wanita berambut pirang tersebut. Dia
pertama kali melihat wanita itu lima tahun yang lalu, keluar dari bus, sebagai
salah seorang anggota kelompok wisatawan yang mengunjungi gereja-gereja Armenia.
Wanita itu mengenakan gaun biru yang memamerkan bahunya. Dia mengenakan gaun
yang sama dalam mimpi si pemuda.
Tambahan cerita ini justru memicu ledakan tawa. "Kita semua sudah pernah melihat
wanita Eropa yang seperti itu," kata seseorang, "dan kita semua sudah pernah
digoda oleh Iblis." Yang lain menyambar kesempatan ini untuk menceritakan beberapa anekdot nakal,
melontarkan lelucon mesum, atau menyerukan komentar panjang lebar penuh
kemarahan pada wanita-wanita Barat. Seorang pemuda
jangkung, kerempeng, dan agak tampan yang diam saja hingga saat itu mulai
memaparkan sebuah cerita: Seorang Barat dan seorang muslim bertemu di sebuah
stasiun kereta api. Sayangnya, kereta api yang mereka tunggu tak kunjung datang.
Di ujung peron yang sama, mereka melihat seorang wanita Prancis cantik menunggu
kereta yang sama .... Siapa pun yang pernah menjadi siswa sekolah khusus laki-laki atau bergabung
dengan militer akan langsung menyadari bahwa cerita ini menghubungkan keahlian
seksual dengan kebudayaan nasional. Tidak ada katakata kasar dalam cerita itu,
karena kemesumannya tersembunyi dalam balutan kalimat yang berbunga-bunga.
Tetapi, sesaat kemudian, sebuah perasaan baru, yang sangat tepat digambarkan
dalam sebuah kalimat dari laporan Fazyl, menyelimuti semua orang dalam ruangan
itu: "Hati saya terasa berat karena rasa malu!"
Turgut Bey berdiri. "Baiklah, Anakku, itu sudah cukup," katanya. "Bawa kemari
pernyataan itu supaya aku bisa menandatanganinya."
Turgut Bey mengeluarkan pena barunya, dan urusan itu pun selesai sudah.
Kebisingan dan asap rokok dalam kamar itu membuatnya lelah, dan dia membutuhkan
bantuan Kadife untuk berdiri.
"Sekarang, dengarkan saya sebentar," kata Kadife. "Kalian semua sepertinya tidak
sedikit pun merasa malu, tapi wajah saya memerah akibat apa yang baru saja saya
dengar. Saya menutupi kepala dengan jilbab ini supaya kalian tak bisa melihat
rambut saya, dan mungkin kalian mengira jilbab ini menjadikan kehidupan saya
lebih berat, tapi" "Kau tidak memakai jilbab karena kami!" seseorang
berbisik dengan suara keras. "Kau memakainya untuk Tuhan, untuk membuktikan
keimananmu!" "Saya juga punya beberapa hal untuk dikatakan pada surat kabar Jerman itu.
Silakan catat ini." Kadife cukup pintar berpura-pura, dan dia tahu bahwa para
penontonnya setengah membenci dan setengah mengaguminya. "'Seorang wanita muda
di Kars' bukan, jangan tulis itu, katakan saja, 'Seorang gadis muslim yang
tinggal di Kars' 'mengenakan jilbab bukan hanya untuk alasanalasan keagamaan
pribadi, melainkan juga sebagai simbol keimanannya. Pada suatu hari, gadis ini
mendapatkan dorongan mendadak yang begitu kuat dan dia mencopot jilbabnya.'
Orang-orang Barat akan menganggap hal ini sebagai kabar gembira. Jika kita
mencantumkannya, Hans Hansen akan langsung mencetak pandangan-pandangan kita.
'Saat mencopot jilbabnya, gadis ini berkata, 'Hamba mohon Tuhan, ampunilah
hamba, karena hamba harus menyendiri. Dunia ini begitu penuh dengan kenistaan,
dan hamba begitu tidak berdaya dan kebencian memenuhi hati hamba sehingga"
"Kadife," bisik Fazyl. "Tolonglah, aku memohon padamu, jangan copot jilbabmu.
Kita semua ada di sini sekarang, kita semua. Termasuk aku dan Necip. Ini akan
membunuh kami, membunuh kami semua."
Semua orang di ruangan itu sepertinya bingung mendengar katakata Fazyl. "Jangan
meracau," kata seseorang, lalu seseorang yang lain menambahkan, "Tapi, tentu
saja dia sebaiknya tidak mencopot jilbabnya." Orang-orang lain di dalam ruangan
itu menunggu Kadife bertindak, setengah berharap dia akan melakukan sesuatu yang
mengagetkan dan layak diberitakan, dan setengah mendugaduga siapa yang mengatur
melodrama ini, juga siapa berpihak dengan siapa.
"Dua baris pernyataan yang saya ingin berikan pada surat kabar Jerman adalah
sebagai berikut," kata Fazyl. Bisikan-bisikan di dalam ruangan itu terdengar
semakin nyaring. "'Saya berbicara tidak hanya atas nama pribadi, tetapi juga
untuk sahabat saya Necip, yang menjadi martir pada malam revolusi: Kadife, kami
sangat mencintaimu. Jika kau mencopot jilbabmu, aku akan bunuh diri, jadi
kumohon, kumohon jangan lakukan itu."
Menurut laporan beberapa orang, Fazyl tidak mengatakan "kami mencintaimu" tetapi
"aku mencintaimu", meskipun mungkin saja ingatan para saksi mata ini terpengaruh
Pendekar Cacad 18 Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Karya Kho Ping Hoo Pedang Kunang Kunang 7