Pencarian

Kisah Cinta Abadi 4

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 4


mereka. Dengan sabar, sekali dua kali, mereka mengingatkannya tentang hal itu.
Kuil itu sedang dibangun, batu bata demi batu bata, perlahan-lahan, secara
rahasia. Jauh di dalam sebuah hutan kecil yang gelap, di luar batas kota, kuil
itu mulai berdiri. Tanahnya sudah diberi sesaji, puja-puja dialunkan oleh
seorang pendeta, permohonan berkah dilantunkan kepada dewa-dewa, dan tanpa diragukan lagi, berkah
itu telah diterima. Sang Sultan Shah Jahan dengan penuh kepedulian menyumbangkan
batu bata dan marmer. Bahan-bahan itu dibeli untuk pembangunan makam yang
berdiri di tepi Jumna, tetapi disalurkan kepada mereka. Sang kontraktor, seorang
Hindu dari Delhi, bercucuran keringat tegang ketika secara diam-diam dia
melakukan setiap transaksi untuk kuil tersebut. Hal itu bukanlah kejahatan,
tetapi berbahaya. Kerajaan Muslim besar telah mempraktikkan toleransi, dan Shah
Jahan pun demikian. Tetapi, dua kali, dengan dipanas-panasi oleh para mullah,
dia menghancurkan kuil Hindu di Varanasi dan Orcha. Malapetaka itu sudah
berlalu, tetapi entah untuk berapa lama, hanya dewa-dewa yang tahu, sebuah kuil
yang dibangun tepat di bawah hidungnya pasti akan kembali menyulut kemarahannya.
Rambuj, bagaimanapun, tidak mengkhawatirkan jika setiap hari dia mendekati
kematian. Dia menghamburkan bahan-bahan untuk makam itu. Bukannya membeli
bongkah-bongkah marmer yang harganya sangat mahal, dia malah membeli sebuah
panel, dan membayar dastur kepada tukang batu. Di sana-sini, mereka akan
membangun dengan batu bata dan melapisinya dengan marmer, mengumpulkan satu
rupee di sini, satu rupee lagi di sana. Jika ketahuan, praktik korupsi ini pasti
akan mendapatkan hukuman berat.
Sebuah visi muncul: Durga yang sedang bangkit, duduk di seekor singa yang sudah
dijinakkan, sedang tersenyum. Dia adalah bentuk mematikan dari Devi, istri Syiwa, dan
delapan tangannya menggenggam petir untuk menghancurkan. Murthi pernah memahat
patung Durga sebelumnya, sekali. Akan tetapi, dia tidak bisa membuat duplikatnya
karena kedudukannya hanya sebgai seorang Acharya, dan meskipun bentuk dewa-dewi
tidak berubah, setiap batu harus menunjukkan perbedaan samar suatu pose ataukah
ekspresi. Di sudut gubuk, terbungkus karung goni, tergeletak sebongkah marmer. Murthi
membungkusnya dengan hati-hati. Bentuknya kotak dan kasar; setiap sisinya
seukuran panjang buku jari Murthi hingga sikunya. Setelah memperhitungkan secara
hati-hati, dia memilih sisi paling halus dan menyapu serpihan-serpihan yang
lepas. "Air." Sita memberinya sebuah lota kuningan. Murthi menuangkan air, kemudian menggosok
permukaan itu hingga bersih dengan sabut kelapa dan pasir. Bongkahan marmer itu
sempurna, dipilih dengan teliti. Benda itu didatangkan dari Makrana di
Rajputana, tempat orang-orang menggali siang dan malam, membuat sebuah lubang
dalam dan mengisinya dengan bubuk mesiu, lantas meledakkan seluruh sisi bukit.
Dari sana, bongkahan marmer ditarik oleh kereta-kereta gajah dan kerbau ke Agra.
Proses itu tidak pernah berhenti.
Saat sisi marmer itu telah mengering, Murthi memilih sebuah kuas runcing,
sepanci kecil cat hitam, dan setelah ragu-ragu lama sekali-di mana
dia harus memulai"-dan suatu doa lain untuk menuntunnya, dia memulai gambar
Durga yang sangat mendetail. Pasti dibutuhkan waktu berhari-hari hingga dia
merasa puas; berminggu-minggu akan berlalu sebelum dia memilih sebuah pahat dan
memotong keping pertama. Dia mengingat bagaimana dia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memindahkan
gambar jali ke permukaan marmer yang tidak rata. Satu kesalahan saja, satu garis
atau lengkung yang tidak beraturan, pasti akan merusak batu dan menyesatkan
tangannya yang ahli. Rancangan aslinya telah terbentuk secara detail: sebatang
tanaman merambat yang berdiri dalam sebuah bingkai, dan di dalam bingkai itu,
dia telah memahat bunga-bunga dan dedaunan satu lapis di bawah permukaan batu.
Ini akan dipenuhi oleh pasta-pasta berwarna yang akhirnya akan membeku sekeras
marmer. Bagian kecil karyanya sendiri untuk jali-banyak pekerja yang mengerjakan
panel-panel lain-akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk dipahat. Suatu hari,
keseluruhan struktur akan dipasang di sekeliling makam sang Permaisuri. Dia
tahu, bisa saja dia sudah meninggal saat pekerjaan itu selesai, tetapi Gopi akan
meneruskannya, dan setiap hari dia mempelajari keahlian ayahnya. Murthi mencari
kesempurnaan, dan berdoa untuk mendapatkannya. Dharmanya mengharuskan dia untuk
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk memahat jali ini. Jika dewa-dewi
tidak mengaturnya, dia pasti akan tetap tinggal di
desanya saat ini. Baldeodas mengawasi pekerjaan para perajinnya. Dia tidak menyangkal bahwa dia
yang berjasa merancang jali itu. Inilah yang dia inginkan; dia adalah pemahat
kepala. Rancangan itu harus diterapkan dengan detail yang tepat pada setiap
panel jali: tidak boleh ada satu daun pun, atau dahan, atau bunga, yang boleh
berbeda. Anak-anak buahnya mengetahui hal itu. Dia berpindah dari satu batu ke
batu yang lain, bersikap sangat keras dan kritis. Dia telah mengizinkan Murthi
yang pertama kali menggambar polanya. Miliknya adalah model acuan dan para
pemahat lain mereproduksinya dengan keterampilan seniman yang sudah lama menjadi
tradisi. Mereka tidak membuat jali-jali itu berbeda, tetapi mengendalikan tangan
mereka, nafsu mereka, sehingga tidak ada yang bisa menentukan siapa yang memahat
jali tertentu. Tetapi, ini membutuhkan waktu. Baldeodas mengetahui salah satu
kalimat dari Quran: "Kesabaran adalah sifat Tuhan; ketergesa-gesaan adalah sifat
iblis". Dia berdoa kepada dewa-dewanya. Jika ada ketidaksempurnaan, sedikit
cacat saja, dia akan berlutut di depan para algojo Shah Jahan. Keringatnya
bercucuran karena terasa dekatnya kematian. Ghat-ghat berasap di Sungai Jumna,
abu orang-orang mati membuat udara menjadi kelabu dan berbau busuk.
Baldeodas paling menyukai Murthi; pria kecil ini pendiam, tangguh, dan penuh
kebanggaan. Pekerjaannya akan sempurna, karena dia tidak
memberi toleransi terhadap ketidaksempurnaan. Dia tidak begitu yakin
dibandingkan dengan para pemahat lain. Mereka hanya peniru dan mungkin
kehilangan minat, konsentrasi, dan membuat pahat terpeleset, merusak simetrinya.
"Kau harus memulai," Baldeodas memerintahkan Murthi.
Murthi berjongkok di atas bongkah marmernya. Peralatannya tergeletak teratur di
tanah, dengan tanda kum-kum di kepala pahatnya. Semua sudah diberkati. Murthi
memilih pahat pertamanya, mengetes ujungnya, mengapitnya di antara telapak
tangan dan menundukkan kepala untuk berdoa. Doanya singkat saja: "Maha Wishnu,
tuntunlah tanganku dalam perjalanan panjang ini". Gopi menyerahkan dengan lembut
sebuah palu kepadanya, Murthi meletakkan pahat di marmer itu, di sudut kiri atas
di dalam batas yang dia gambar, kemudian menatah serpihan pertama marmernya.
mim Shah Jahan tertawa. Tawanya terdengar tidak ceria, hanya mengekspresikan
kepuasan yang hampa. Dia sudah diberi tahu jika fondasinya sudah selesai dan
saat ini pekerjaan makam sendiri akan segera dimulai. Makam itu akan menjulang
hingga tujuh puluh empat meter dari lantai hingga ke puncak atap, dan tingginya
akan terus bertambah seiring pertambahan lebarnya, sebanyak tujuh belas meter.
Bangunan itu dirancang berbentuk bujur sangkar, setiap sisinya berukuran lima
puluh tujuh meter, tetapi dinding-dinding sempit yang menghubungkan dua dinding yang tegak
lurus, selebar sebelas meter di setiap sudutnya, akan membuatnya tampak
berbentuk oktagonal. Butuh waktu lima tahun untuk membangun di permukaan tanah
dari lubang dalam yang telah digali. Masih ada tiang-tiang tinggi yang harus
diselesaikan setelah mereka menyelesaikan pembangunan makam. Lagi-lagi, tiang-
tiang itu akan membuat ilusi-bahwa makam itu melayang di udara. Dan memang
benar, semua ini hanyalah ilusi. Shah Jahan berharap bisa melihat makam itu
selesai dibangun saat masih hidup. Harus begitu; dia tidak bisa mati sementara
makam belum selesai. Tidak ada orang lain yang mencintai Arjumand sebesar
cintanya. Tidak ada orang lain.
"Ismail Afandi menunggu, Padishah," Isa memberi tahunya.
Sultan memberi isyarat agar Ismail Afandi mendekat; sang Perancang Kubah
melakukan kornish. Di belakangnya, sebuah model dibawa oleh seorang perancang
magang dan disusun dengan hati-hati di hadapan Sultan. Itu adalah sebuah kubah,
setinggi 6D sentimeter. "Shabash," Shah Jahan berkata. "Ini sempurna, Afandi. Kau mengerti instruksiku."
"Ya, Padishah."
Shah Jahan bangkit dari dipan dan mengelilingi kubah. Dia tampak puas, tetapi
kemudian wajahnya menjadi suram. "Kubah ini indah, tetapi bagaimana bangunan ini
menahan bebannya sendiri" Dengan
kayu, semua tampak mudah, tetapi jika terbuat dari marmer" Pasti akan goyah dan
roboh!" "Padishah," Afandi merasa puas karena bisa menampilkan kepandaiannya. "Lihat."
Dia mengangkat kubah untuk memperlihatkan sebuah kubah lagi di dalamnya. "Untuk
mencapai keinginan yang Padishah inginkan, kita harus membangun dua kubah.
Bagian dalam akan menahan bagian luar, menahan bebannya. Dari dasar ke puncak
atap, tingginya empat puluh empat meter. Belum pernah ada satu pun bangunan yang
dibangun setinggi ini."
Sang Sultan menepuk punggung Afandi. Afandi tersenyum gugup dengan gembira. Dia
tidak mengungkapkan seluruh kebenaran tentang rancangan itu, tetapi ini tidak
penting. Dia harus meneruskan penjelasannya, tetapi sang Sultan tersenyum lebar
dan ini membuatnya merinding. Shah Jahan mengawasinya dengan
sungguh-sungguh, hingga matanya memicing.
"Kau memang pandai, Afandi. Memang benar; tidak ada bangunan yang pernah
dibangun setinggi ini. Tapi, aku telah memerhatikan makam Sikander Lodi di Delhi
dan kuil berkubah di Purjarpali. Kubah ganda makam Lodi terinspirasi dari kubah
kuil itu. Orang-orang Hindu yang pertama kali merancang kubah ganda. Makam kakek
buyutku juga menggunakan konstruksi yang sama, aku yakin."
"Itu memang benar, Padishah," Afandi berbisik. "Saya telah mempelajari bangunan-
bangunan itu. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa mencapai ketinggian
tersebut." "Bagus. Kita belajar dari orang lain."
1048/1638 Masehi "Cepat," dia berbisik.
Dia sedang duduk di diwan-i-khas, mengamati para pekerjanya melakukan tugas. Dia
merasa gelisah, tidak sabar. Tatapannya terpaku ke makam kecil yang terbuat dari
batu bata, peristirahatan terakhir Arjumand. Kubah kecilnya yang polos tampak
merunduk dan jelek. Hatinya pedih ketika memikirkan Arjumand di sana, saat ini
berada di dalam jangkauan, tetapi jauh, bagaikan awal kisah cinta mereka. Takdir
terus memainkan siasat-siasat kejamnya.
Selama sekejap, dia berharap bahwa Arjumand bisa melihat Taj Mahal berdiri. Pada
siang hari, bangunan itu akan lebih indah daripada matahari; pada malam hari,
kecantikannya akan mengalihkan pandangan manusia dari bulan. Sekali lagi, dia
merasakan kesepiannya yang hampa. Sambil mengenang ke belakang, dia tidak bisa
mengingat secara tepat kalimat yang telah dia katakan kepada Arjumand di taman
istana pada malam pernikahan ayahnya. Dia ingat telah mengatakan bahwa dunia ini
bagaikan gurun pasir tanpa Arjumand, hidupnya hanyalah berupa jejak-jejak kaki
yang berdebu. Saat ini, dia sudah meninggal, dan dia tidak akan pernah lepas
dari gurun pasir itu. Banyak yang menyarankan agar dia mencari pendamping baru,
tentu saja; tetapi, tidak ada yang bisa menggantikan kedudukan Arjumand. Shah
Jahan tersenyum muram karena ironi tersebut: dia adalah penguasa kesultanan dan dia
tidak bahagia, sendirian.
Dia duduk di dipan untuk memerhatikan sinar matahari sore bergerak ke dinding-
dinding berkisi keemasan sebelum jatuh ke pola-pola gelap di lantai. Saat
matahari terbenam, cahaya akan mengubah ruangan ini. Ruangan ini akan menjadi
merah, tampak penuh keajaiban. Sudah lama sekali, dia pernah berdebat keras
dengan ayahnya di sini. Jahangir sedang mabuk dan terganggu oleh cintanya kepada
Mehrunissa, dan permohonan Shah Jahan tidak didengar olehnya. Dalam
kemarahannya, Shah Jahan telah bersumpah untuk mengubah dinding-dinding merah
ruangan ini, yang membosankan. Memang, dia sudah melakukan itu, tetapi itu
hanyalah sebuah kemenangan sepele. Yang sedang dibangun di dekat sungai adalah
pencapaian yang sebenarnya. Namanya akan dikenang selama berabad-abad. Mereka
akan berkata: Shah Jahan, Penakluk Dunia, Mughal Agung, yang membangunnya. Atau,
mungkin mereka akan berkata: di sini terbaring permaisurinya, Arjumand.
Arjumand! Dia menangis, terkejut karena menyadari bahwa air mata masih mengalir
dengan mudah. "Aku menghancurkannya, aku menghancurkannya."
Kalimat itu berputar-putar dalam benaknya, di luar keinginannya, seakan-akan dia
berharap untuk tidak mengetahui apa yang melukai hatinya selama ini. Tetapi, air mata tidak
bisa meringankan kepedihannya.
Dia berbicara dengan keras, dan Isa mendengarnya, tetapi tidak memperlihatkan
tanda-tanda mendengar kalimatnya itu.
"Padishah, Mir Bakshi memohon pertemuan."
Sang penasihat keuangan masuk, membungkuk, melihat jejak air mata dan
mengalihkan pandangan, dengan ketidaksabaran yang tersembunyi. Pikiran sang
Sultan masih terganggu, waktunya tidak tepat, tetapi Mir Bakshi tidak dapat
menunggu. Sejak fajar hingga senja, bahkan dalam tidurnya, tidak diragukan lagi,
Sultan terobsesi dengan makam itu. Tak jelas lagi waktu yang dia gunakan untuk
mengurus negaranya" Masalah-masalah itu terabaikan, sementara awan kerusakan
semakin menyebar. Menteri-menterinya berusaha tanpa tuntunan sang Sultan.
"Padishah," Mir Bakshi berbicara dengan terpaksa, tanpa kata-kata pembuka.
"Deccan. Tikus-tikus menggerogoti. Kita harus bertindak cepat. Akbar berkata,
sebuah monarki tidak boleh berhenti menaklukkan. Kita tidak melakukan apa-apa,
dan sekarang mereka bangkit melawan kita."
"Kau selalu berbicara tentang Akbar, Jahangir, Babur," Shah Jahan menggerutu.
"Apakah masalah ini begitu penting?"
"Ya. Kita harus berbaris ke selatan segera."
"Aku tidak bisa meninggalkan Agra," sang Sultan
membentak. Nada suaranya membuat Mir Bakshi berhenti memprotes.
"Kalau begitu, siapa yang akan memimpin pasukan, jika bukan Sultan?" Mir Bakshi
bertanya dengan sopan. "Kehadiran Sultan akan menaklukkan tikus-tikus itu.
Mereka akan kehilangan keberanian saat melihat Sultan dalam posisi pemimpin
kekuatannya." "Aku tidak bisa pergi," Shah Jahan menjawab. "Aurangzeb yang akan pergi."
"Seharusnya putra tertua Anda yang memimpin bala tentara, Padishah. Dara.
Gerombolan Deccan akan berpikir bahwa Aurangzeb terlalu muda, belum
berpengalaman. Mereka tidak akan
menghormatinya, begitu juga Mughal Agung."
"Aku sudah mengatakan, aku tidak bisa pergi," Shah Jahan berkata dengan kesal,
kehilangan kesabaran. "Aurangzeb akan pergi dan Dara tetap tinggal di sini. Dara
adalah putra kesayanganku. Aku tidak bisa membiarkannya pergi berperang.
Arjumand juga sangat mencintainya. Dia tidak akan memaafkanku jika Dara terluka.
Dia akan menjadi sultan penerusku." Shah Jahan terdiam sebentar. "Siapkan bala
tentara untuk berbaris ke sana dalam waktu sebulan. Aurangzeb akan memimpin."
Mir Bakshi mundur beberapa langkah, tidak senang, tetapi lega karena sebuah
keputusan akhirnya telah dicapai. Aurangzeb, anak lelaki ganjil yang pendiam,
tidak pernah mengungkapkan pikirannya dan tampil hanya sebagai bayangan yang
menjelajahi istana. Dara dicintai oleh semua orang;
dia pasti akan menjadi komandan yang baik. Tetapi, Sultan telah memutuskan bahwa
Aurangzeb yang akan memimpin pasukan Mughal. Mir Bakshi mengangkat bahu: ini
akan memberi anak lelaki itu sedikit pengalaman.
^m Sita berdiri di antrean dalam kerumunan, menunggu upah hariannya. Dia tidak
bersemangat, kelelahan, pikirannya melayang, dan dia gemetaran. Musim dingin
sudah lama berlalu, tetapi dia masih merasa kedinginan. Malam itu udara kusam
karena debu, mengubah sinar Jingga matahari menjadi cahaya kecokelatan.
Keringatnya mendingin, pakaiannya menempel ke tubuhnya; dia akan mandi sebelum
menyiapkan makan malam. Dia berdiri dengan sabar, terlalu lelah untuk mendorong
dan menyikut agar bisa maju. Dia pasti akan mendapatkan upahnya.
mim Dalam waktu-waktu tertentu, Sita merasa tidak pernah meninggalkan desa kecilnya,
tetap tinggal di sana, meskipun hanya dalam pikirannya. Tidak ada yang berubah;
gubuk-gubuk, tangki-tangki, kuil-kuil di kejauhan. Ibu dan ayahnya juga masih
sama. Pada saat senja, saat pohon kelapa membuat bayangan panjang yang ramping,
dan sapi kurus perlahan-lahan kembali dari pemerahan susu, dia akan membantu
ibunya menyiapkan makan malam di dapur. Mereka akan berbicara dengan lembut
tentang hari itu, tentang pernikahan, kematian,
kelahiran, rayuan, panen, permusuhan turun-temurun, dan masa depan Sita sendiri.
Masih ada beberapa tahun lagi untuk dinantikan, tetapi pilihan-pilihan sementara
telah ditentukan diam-diam oleh Sita dan ibunya. Sejak Sita lahir, ibunya telah
memerhatikan para pria muda di desa itu hingga akhirnya mengambil suatu
keputusan. Anak lelaki itu berasal dari kasta yang sama, tampan, ceria, dan juga
memerhatikan Sita. Dengan malu-malu, mereka saling mengamati satu sama lain saat
berpapasan, tidak pernah berbicara, bahagia karena dituntun oleh nasib. Kedua


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga mereka senang. Kemudian, tiba-tiba, dia menghilang, tidak ada yang tahu
ke mana dia pergi. Suatu hari, dia sedang membawa sapi-sapi menuju padang
penggembalaan, dan ternak-ternak kembali tanpa dirinya. Seluruh desa berusaha
mencarinya, tetapi tidak ada jejak yang bisa ditemukan. Mereka bilang, seekor
binatang buas menyergapnya. Sita merasa bagaikan terjatuh dari sebuah tebing.
Dia meratap dengan pedih dan dengan rela menerima pilihan kedua: adik lelakinya,
Murthi. Kerumunan itu sudah hampir bubar, sang petugas menatapnya. Tumpukan
koinnya semakin tipis dan bukunya penuh oleh catatan.
"Kau adalah ..." dia bertanya dengan kasar.
"Sita, istri Murthi."
Si petugas memeriksa catatannya, menemukan namanya, berhenti, kemudian menatap
Sita. Dia cukup cantik, tetapi tatapannya jauh dan penuh kelelahan. Kulitnya
berlumpur, warna cokelat pudar
dari lumpur Jumna yang menyapu Agra. Sungai itu berarus lemah dan mengalir
perlahan, bagaikan denyut nadi seorang manusia sekarat. Perempuan yang berdiri
di hadapannya mengingatkan si petugas akan keadaan itu.
"Kau sempat tidak bekerja selama beberapa waktu."
"Aku sedang tidak sehat," Sita menjawab perlahan. "Aku melahirkan bayi. Lelaki.
Tapi dia meninggal. Aku sakit dalam waktu yang cukup lama."
"Ah," si petugas mendesah penuh simpati.
Dia melihat catatannya dan mengetuk-ngetuk giginya yang berwarna karena daun
sirih. Ada catatan di sebelah nama perempuan ini yang membuatnya bingung. Siapa
yang tertarik kepada jiwa manusia ini" Dia hanya orang desa biasa. Mereka
berkeliaran di atas bumi dan tidak meninggalkan catatan, seperti jenazah bayi si
perempuan yang dihanguskan oleh api. Tetapi, dia tidak bisa tidak mematuhi
perintah di catatannya. Dia menghitung, dua kali, setumpuk koin dan dengan
lembut mendorong tumpukan itu ke arah si perempuan. Perempuan itu menatap koin-
koin itu dengan penuh kebingungan, hampir ketakutan.
"Aku hanya bekerja satu hari, Sahib. Ini adalah hari pertamaku."
"Uang ini milikmu," kata si petugas, kemudian berpikir lagi dan meletakkan
tangannya di atas tumpukan. "Kau istri Murthi, sang Acharya?"
"Ya." "Kalau begitu, ambillah. Ini upah untuk hari-hari
istirahatmu. Jangan bilang siapa-siapa tentang ini."
"Anda sangat baik, Sahib. Tapi, aku khawatir Anda akan terlibat masalah."
"Aku bisa mengatasinya sendiri," dia berkata dengan datar, sedikit membual,
meskipun sesaat sebelumnya, dia merasa terhibur dengan pikiran menahan uang itu
untuk dirinya sendiri. Perempuan itu tidak akan pernah tahu siapa yang
memerintahkannya untuk membayar, tetapi pikiran jika tindakan itu ketahuan
membuatnya takut. Jadi, biarkan saja perempuan ini berpikir bahwa dia yang murah
hati. Sambil gemetaran, Sita menalikan koin-koin itu di dalam simpul sarinya dan
menyelipkannya kembali ke stagennya. Dia mencoba berdiri, tetapi kegembiraan
membuatnya pusing dan terjatuh.[]
Kisah Cinta 1022/1612 Masehi Isa Bagaikan bumi, wajah kita merefleksikan amarah atau kelembutan hati alam, tetapi
jiwa kita tersembunyi. Ketika terdiam atau tertidur, wajah Arjumand memancarkan
kesepian abadi, kesedihan yang menyakitkan, yang merekah bagaikan embun pagi
dari jiwanya. Kepedihan memberinya kecantikan yang bercahaya, dengan getaran
yang mematahkan hati. Tetapi, pada beberapa waktu tertentu, aku juga melihat
kilatan sesaat, seperti tembakan jezail pada malam hari, binar di matanya:
sekilas harapan. Dia telah memasrahkan diri untuk kehilangan, meskipun sejak
pertemuan mereka di taman istana, sekali lagi harapan menguat kembali. Takdir
mengguncang dan mendorongnya ke sana kemari.
Kemudian, seperti seorang pemimpi yang terbangun, wajahnya berubah cerah,
terhibur karena kenyamanan dari kenangan singkat akan Shah Jahan, dan
melanjutkan hidupnya. Dia bergerak dari
jam ke jam, dari hari ke hari, menenggelamkan dirinya dalam segala aktivitas:
menunggang kuda, melukis, menulis puisi, mengunjungi rumah sakit yang dia bangun
bagi orang-orang miskin dengan uang yang Shah Jahan bayarkan untuk perhiasannya-
seakan-akan berpura-pura tidak peduli bahwa dia bisa menyiasati takdir dengan
menyerah, dan menang dari pergulatan nasib yang dia ratapi.
Seminggu sekali, orang-orang miskin berbaris di jalanan, berjongkok di tembok
kanal antara saluran pembuangan dan dinding rumah. Mereka menderita lepra,
buntung, cacat, pincang, merintih-rintih, dan masing-masing memegang sebuah
mangkuk. Karena suatu keberuntungan, aku bisa lolos dari nasib serupa beberapa
tahun yang lalu, dan saat ini aku berharap untuk tidak harus berhubungan dengan
mereka sama sekali. Tetapi, aku berjalan perlahan di belakang Arjumand, dan
setiap dia membungkuk, aku menarik ghararanya menjauh dari mereka dengan
tongkatku, tidak ingin-bahkan meskipun tidak sengaja-untuk menyentuh mereka.
"Berhentilah melakukan itu, Isa."
"Agachi, mereka kotor. Kau akan tertular penyakit mereka."
"Ini hanya pakaianku." Dengan kesal, dia menarik bajunya dari jangkauanku, dan
kembali melakukan tindakan sebelumnya. Sambil membawa makanan di panci-panci
keramik yang berat, para pelayan lain melangkah di samping kami. Arjumand
memasukkan sendok ke dalam setiap panci dan menuangkan
isinya ke mangkuk-mangkuk, pada saat yang sama menyerahkan chapati ke tangan si
pengemis. "Kau menyalahkan mereka karena ketidakberuntungan mereka, betulkah,
Isa?" "Ya, Agachi. Kebanyakan dari mereka itu badmash. Mereka bahkan bisa hidup lebih
layak daripada pedagang rempah-rempah."
"Jika kau salah seorang dari mereka, bukankah kau ingin diberi makanan?"
"Ya, Agachi, tapi Dia mengabaikan protesku, seperti biasanya. Jika Arjumand bersikukuh akan suatu
masalah, tidak ada orang, bahkan ibunya atau kakeknya sendiri, yang bisa
mengubahnya. Dia bisa saja menugaskan aku sendiri, atau bahkan Muneer, untuk
pekerjaan amalnya ini. Tetapi, dia bersikeras untuk melakukannya sendiri. Dalam
aroma busuk dan menyengat dari tubuh para pengemis itu, aku manahan napas,
berharap untuk tidak menghirup bibit penyakit mereka. Hal itu menyesakkan udara.
Arjumand tampaknya tidak berkeberatan, tetapi sibuk menyendoki makanan, dan
bergerak terus hingga ke akhir barisan. Lalat-lalat berdengung, diam, lalu
berdengung lagi. Beatilha melindungi wajah Arjumand dari gangguan mereka.
"Di mana kau tidur?" Arjumand bertanya kepada seorang perempuan muda. Dia adalah
seorang gadis yang cukup cantik, tetapi kehilangan sebelah lengannya, dan
bajunya yang koyak hampir tidak bisa menutupi tubuhnya.
"Di mana-mana."
"Saat ini hangat, Agachi," aku berbicara dengan dingin. "Bintang-bintang sudah
cukup untuk menjadi atap tempat tinggal. Tak terhitung lamanya, aku juga
tertidur .." "Tapi kau tidak lagi bernasib demikian," dia menoleh dan mengangkat sendok
besarnya. "Aku bertanya kepada mereka, bukan kepadamu, Isa. Dan tolonglah,
jangan bersungut-sungut. Hanya aku yang berhak begitu."
"Tapi kau jarang melakukannya, Agachi."
Dia tertawa. Ini membuat si pengemis tersenyum lebar, seperti mendengar lelucon
konyol. Jika aku tidak ada di sana untuk melindunginya, mungkin ada sesuatu yang
bisa terjadi. Aku tidak bisa mengerti sepenuhnya akan kepedulian Arjumand
terhadap para pecundang ini, meskipun sekali waktu dia pernah menjelaskan
kepadaku. "Kakekku dulu juga miskin," dia duduk di Osebuah bangku batu di bawah pohon
peepul dan menggambar pola-pola dengan kakinya yang bersandal di atas debu. "Aku
tidak pernah merasakan kehidupan selain yang bernama kenyamanan. Aku merasa
sedih ketika melihat orang-orang tinggal di jalanan, kelaparan dan miskin.
Sesuatu harus dilakukan untuk menolong mereka."
"Hal itu ada dalam kekuasaan Padishah."
"Sultan dan para pejabat tidak melihat hal-hal seperti ini," dia menjawab dengan
datar. "Lalu, mengapa kau harus peduli, Agachi" Mereka tidak akan memasuki taman indah
ini." "Aku memikirkan kisah yang diceritakan kakekku kepadaku. Setelah dia disergap
dan dirampok dalam perjalanan kemari, dia tidak makan selama berhari-hari.
Cerita itu sangat menyeramkan, tetapi tanpa penderitaan, kisah ini tidak akan
berarti. Apakah sakit karena cinta begitu berbeda dari sakit karena kelaparan"
Mereka sama-sama menimbulkan rasa lapar dalam tubuh, yang harus dipuaskan.
Seperti orang-orang ini, aku juga telah dikalahkan. Perut mereka merintih
meminta makanan, sementara hatiku menginginkan cinta. Apakah kau pernah merasa
lapar akan keduanya, Isa?"
Dia memiringkan kepala, berjongkok di hadapan sinar matahari yang menyelinap di
antara dedaunan, dan mengawasiku dengan hati-hati. Seperti bibinya, dia memiliki
kemampuan menyebalkan untuk memberi kesan bisa membaca pikiran seseorang.
"Aku juga sering merasa lapar. Tubuhku menolak untuk mati. Selain itu, aku
mencuri saat merasa tidak mampu lagi menahan lapar."
"Sultan pertama, Rabur, melakukan hal yang sama denganmu. Dan bagaimana dengan
cinta?" "Dua kali, Agachi."
"Dan kau menyerah. Sungguh memalukan, Isa. Seharusnya kau berusaha."
"Takdirku mengharuskan aku menyerah. Yang pertama aku kehilangan, yang kedua aku
tidak bisa meraihnya. Seiring waktu, cinta bisa memudar, tetapi tidak akan
pernah hilang. Cinta akan tetap ada bersamaku, seperti rasa lapar orang-orang
miskin. Agachi, aku bisa melakukan pekerjaan ini untukmu, jika kau
memerintahkanku. Keluargamu, seperti seharusnya, tinggal di rumah."
"Aku ingin melakukannya sendiri, bukan memerintahkanmu untuk melakukannya. Quran
berkata, kita harus memberi sedekah dan bersikap baik terhadap orang miskin."
"Tetapi, mereka tidak seluruhnya Muslim."
"Memang hanya sedikit," dia menjawab dengan tajam. "Kita memerhatikan mereka
setelah kaum kita sendiri. Quran tidak berkata kita tidak boleh memberi makan
orang-orang selain Muslim." Dia menoleh dan menatapku, dan melihat binar Jenaka
di matanya. "Itu kan tidak benar, Isa?"
"Benar, Agachi."
"Apakah kau benar-benar seorang Muslim?" "Oh ya, Agachi."
Jawabanku membuatnya tertawa, seolah-olah dia mengetahui sebuah rahasia yang tak
akan pernah terungkap. Aku sangat berterima kasih karena kesetiakawanannya
kepadaku. Dialah satu-satunya orang yang berani bertanya demikian, karena
kadang-kadang dia juga seberani bibinya. Tetapi, aku tidak bisa membayangkan
bibinya, yang saat ini sudah menjadi Permaisuri Nur Jehan, memberi sedekah di
antara orang-orang miskin yang bau di bawah terik matahari.
Saat itu siang hari. Kami sedikit terpisah dari kawanan kami dan orang-orang
miskin, di tengah kebingungan kecil. Beberapa anjing liar, dengan tulang dibalut
kulit dan bulu, mencari-cari sisa
makanan. Dua penunggang kuda mendekati kami dalam udara yang berdebu. Kuda-
kudanya berderap, bernoda tanah, menendang awan debu yang perlahan-lahan jatuh
kembali ke jalan. Para penunggang kuda mengenakan pakaian yang tidak akrab
denganku: piama-piama ketat, jiba yang menyelubungi, dan kaki mereka terbungkus
kulit dari jari hingga ke lutut. Wajah mereka segelap wajahku, tetapi aku tahu,
itu bukan warna kulit asli mereka. Kulit mereka mungkin berwarna jauh lebih
terang, karena ada noda merah terbakar di wajah hitam mereka. Sikap mereka
tampak kasar, seolah-olah tidak sedang menunggang kuda, tetapi sedang berada di
atas awan. Ketika mereka mendekat, mereka menatap kami dengan tajam. Merasakan
ketidaknyamananku, Arjumand mendongak dari pekerjaannya. "Siapa mereka?"
"Para feringhi." Mereka berjalan lambat dan aku melihat pedang-pedang berat yang
mereka kenakan. "Aku pernah mendengarnya," kata Arjumand. "Mereka terus-menerus membuat kakekku
khawatir karena sering kali curang dalam perdagangan. Dia sama sekali tidak
menyukai mereka. Kakekku bilang, mereka penuh muslihat dan tidak jujur, dan
sering melanggar janji. Mereka terus-menerus memprotes, menginginkan dunia untuk
bergerak ke arah mereka, kata kakekku. Saat Padishah meminta agar mereka tidak
terus-menerus memberi stempel gambar perempuan yang mereka puja kepada rombongan
Muslim yang akan berziarah ke Makkah dengan
kapal-kapal mereka, mereka menolak mendengarkan. Abaikan saja mereka." "Ya,
Agachi." Dia kembali menekuni pekerjaannya. Hanya tinggal tiga pengemis lagi yang harus
diberi makan, tetapi aku tidak bisa mematuhi perintahnya dengan mudah. Feringhi
itu bergoyang-goyang di atas sadel mereka, dan dari sikap mereka, aku tahu
mereka baru meminum arak. Mata kelabu mereka kemerahan, wajah mereka bengkak.
Mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa yang aneh, seakan-akan kata-kata
mereka keluar dari sisi mulut, mengalir bersama ludah mereka. Mereka tertawa
saat berbicara, dan salah seorang dari mereka mengarahkan kudanya kepadaku.
Mereka menatap, bukan menatapku, tetapi lekuk-lekuk tubuh Arjumand. Aku
merasakan ketidakberesan. Matahari bersinar menembus pakaian Arjumand yang
terang, dan tubuhnya yang langsing dan kencang terbentuk samar. Aku berdiri di
antara Arjumand dan mata mereka, tetapi, tanpa peringatan, pria kekar yang
berkuda di depan memacu tunggangannya dan mendorongku hingga terjatuh. Saat aku
sadar, aku langsung menyambar belatiku ..
Arjumand Aku mendengar peringatan Isa dan menoleh.
Dia telah terjatuh hampir di bawah kaki-kaki kuda. Aku terburu-buru menolongnya,
tetapi feringhi yang gempal menghalangi kami dengan
kudanya. Aku bisa mencium keringat kuda, dan lebih menyebalkan lagi, keringat si
lelaki-pahit dan kotor, tercemar debu. Baunya tak tertahankan. Hawa panas
menetapkan hukumnya sendiri, bahwa setiap orang harus mandi setiap hari. Dia
bukan berasal dari negeri ini, dan mempraktikkan kebiasaannya sendiri, dengan
mandi hanya setahun sekali. Satu-satunya senjata yang kupegang hanya sendok
panjang dan aku mendorong kuda dengan benda itu. Sendok itu patah di tanganku.
"Pergi sana!" Perintahku hanya membuat lelaki-lelaki itu geli. Mereka tertawa
terbahak-bahak. Pria kedua lebih besar, sama jeleknya, giginya kuning dan kotor.
Aku mencoba mundur, tetapi para pengemis menahan langkahku, kelaparan mereka
lebih dahsyat daripada ketakutan mereka. Para pelayan menatap dengan mulut
menganga, dan Isa yang malang berusaha bangkit, tetapi si penunggang kuda terus
menahannya agar tetap terbaring. "Tinggalkan kami."
"Kami tak akan pergi hingga bisa melihat wajahmu yang cantik," si pria gempal
berbicara dengan bahasa kami, tetapi berlogat kasar. Tanpa peringatan, dia
membungkuk dan menyambar beatilhaku, merobek kainnya, dan mengekspos wajahku ke
matanya yang liar. Aku merasa seperti ditusuk; tidak pernah aku merasa sesakit
ini. Aku belum pernah berpengalaman menghadapi lelaki seperti ini. Hidupku, yang
terkurung dan terlindung, membuatku merasa tidak berdaya saat ini. Aku gemetar
karena terkejut, karena para lelaki ini bisa
bertindak kasar, dan malu karena dilihat oleh makhluk-makhluk yang kasar ini.
Tidak pernah ada orang asing yang pernah melihat wajahku, dan saat ini aku
berdiri dalam tatapan para pengemis dan feringhi yang jahat ini. Mereka tertawa
dan mencemooh, tetapi dalam kebingungan, aku tak bisa mendengar mereka. Rasa
maluku berubah cepat menjadi amarah. Aku merasa dipermalukan dan dihina.
"Pergi!" "Dia cantik." Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku yang damai, aku merasakan emosi baru
yang tidak menyenangkan: rasa murka. Perasaan itu membakar secepat kilat,
seperti api yang menyelubungi perasaanku. Aku ingin membunuh mereka saat ini,
tetapi satu-satunya senjata yang ada dalam jangkauanku hanyalah lathi milik Isa.
Aku memungutnya, dan menusuk paha salah seorang penunggang kuda. Dia
mendengking, dan kudanya menjauh. Aku menusuk kuda, menusuknya, menusuk yang
lain. Si feringhi gempal menyambar ujung lathi dan merenggutnya dari peganganku,
seolah-olah akan merobohkanku dalam kemarahannya.
"Kalian tahu siapa aku" Bibiku adalah Permaisuri Nur Jehan."
Nama itu membawa keajaiban. Pria yang mencengkeram lathi menjatuhkannya seakan-
akan benda itu membakar tangannya. Tawa mereka menghilang, mereka membisu
ketakutan. Tanpa berkata-kata lagi, mereka membalikkan kuda mereka
dan memacunya di jalan, tanpa menoleh ke belakang. Aku mengawasi hingga mereka
hilang dari pandangan, berharap bisa mengingat setiap detail. Isa terbaring di
jalan, sambil menangis. Air mata membentuk jejak di wajahnya yang kotor. Aku
menghampirinya dan membantunya berdiri. Dia ragu-ragu untuk berdiri, dan
kepalanya masih tertunduk.
"Aku gagal melindungimu, Agachi."
"Kau sangat berani. Usaha melawan dua lelaki itu sudah cukup. Seka wajahmu."
"Aku akan membunuh mereka."
"Jangan. Dan jangan beri tahu keluargaku. Aku tidak ingin mereka mengetahui
kejadian ini." "Tapi, Agachi, jika kau memberi tahu bibimu, dia akan memberi tahu Padishah.
Sultan akan memerintahkan untuk menghukum mati mereka segera."
"Tidak, Isa. Aku sudah berkata kepadamu. Keluargaku tidak akan pernah
mengizinkanku keluar lagi jika mendengar hal ini. Aku tidak akan pernah


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan apa yang mereka lakukan-tidak akan pernah. Suatu hari, mereka akan
dibawa ke hadapanku."
Setelah itu, di kamar aku menangis tak terkendali. Air mataku mengalir karena
amarah, rasa malu, dan aku tidak bisa mengerti mengapa perasaan itu masih
menguasaiku. Aku juga gemetar, bagaikan terserang demam. Aku berharap untuk
tidak bertemu siapa-siapa, menyembunyikan rasa sakitku. Tetapi, ibuku datang dan
menyentuh dahiku; suhu badanku panas dan dia meninggalkanku sendirian di kamarku yang
gelap. Aku merintih dan menderita karena sakit, sebuah rasa sakit yang tidak
seperti rasa sakit biasa. Aku merasa seakan-akan ada sebuah luka yang terinfeksi
jauh di dalam tubuhku, dan semakin parah. Aku tidak ingin membenci siapa pun.
Pikiran itu tidak pernah terbersit di benakku hingga hari ini. Betapa beraninya
mereka mempermalukan diriku! Apakah aku seorang devadasi" Gadis pelacur murahan
yang bisa diperlakukan dengan sekehendak hati mereka" Apakah semua feringhi
seperti itu" Dari kata-kata kakekku tentang mereka, aku mengira bahwa memang
begitu. Tuhan melindungiku dari orang-orang yang tidak beriman.
Manusia, bukan Tuhan, adalah tumpuan terakhir keadilan. Aku memercayai bisikan
peringatan Khusrav: Ladilli, Ladilli. Nama itu membebaniku bagaikan batu. Dari
keterpanaan, perasaanku berubah menjadi putus asa. Itu memang mungkin.
Mehrunissa tidak dapat menghadapiku dengan mudah dalam segala keinginannya,
tetapi dia bisa mengendalikan Ladilli, dan melalui Ladilli, mengendalikan Shah
Jahan. Otakku terasa demam dan aliran darahku berdenyut begitu kencang sehingga
membuatku tidak bisa tidur. Kekasihku telah memberi janji kepadaku, tetapi
nasibnya, seperti nasibku, berada di luar kendali.
Ayahku adalah seorang penasihat masalah keuangan bagi sang Sultan. Aku memohon
kepadanya dan kakekku. Tentu saja, sang Sultan akan mendengar suara mereka di
atas bisikan Mehrunissa. Tetapi, mereka berdua sama-sama jauh dari keberadaanku
setiap hari, dan lebih memedulikan masalah-masalah yang jauh lebih penting
daripada hancurnya hati seorang gadis sederhana, atau kebandelan seorang anak
perempuan yang kehadirannya terus mengusik ibunya, karena pria-pria lain yang
diajukan selalu ia tolak.
Ini adalah masalah konspirasi, bukan diskusi. Aku menunggu setiap hari, menanti
mereka sendirian, mencoba untuk tidak menarik perhatian ibuku. Tidak diragukan
lagi, ibuku juga menyadari apa yang kurencanakan, karena satu malam, dia
langsung meninggalkan mereka berdua dengan minuman anggur dan huqqa mereka.
Mereka duduk bersandar di bantal, berbincang perlahan tentang masalah negara.
Posisi Mehrunissa memperkuat posisi mereka; sang Sultan saat ini mendengar tiga
suara; yang mengungkapkan satu harmoni pemikiran yang sama.
"Masuklah, Arjumand. Duduklah di sebelahku." Ayahku menepuk dipan. Kakekku
tersenyum dengan ramah. Mereka berdua menatapku penuh kepedulian. Ekspresi
mereka yang sama membuat mereka semakin mirip, kecuali ayahku lebih muda dan
lebih tinggi, hanya bahu kakekku yang membungkuk hingga membuatnya tampak lebih
pendek. Selain rambut-rambut putih yang tumbuh di janggutnya, dia masih memiliki
semangat dan energi yang sama dengan ayahku.
"Ayah tahu mengapa aku menemui Ayah?" aku bertanya kepada ayahku dengan suara
rendah. "Ya. Ibumu telah memberi tahu kami. Kau tahu, ibumu sangat mengkhawatirkanmu.
Jika sesuatu membuatnya khawatir, itu juga membuatku khawatir." Mereka tertawa
dengan kebiasaan para lelaki memprotes istri-istri mereka. "Apa yang bisa kami
lakukan?" "Bicaralah kepada Sultan untukku. Shah Jahan ingin menikahiku."
"Kami juga mengetahuinya. Seluruh dunia mengetahui cintanya kepadamu, termasuk
sang Sultan. Kalian berdua memang anak-anak bandel."
"Jika semua mengetahui ini, mengapa dia tidak bertindak" Kuharap aku masih anak-
anak, agar aku tidak mengerti artinya waktu. Saat ini aku berpacu dengan waktu."
Aku terdiam sebentar, kemudian melanjutkan dengan gugup. "Aku diberi tahu bahwa
Mehrunissa berharap Shah Jahan menikahi Ladilli sebagai istri kedua."
Mereka menegakkan tubuh. "Siapa yang memberi tahumu?" "Khusrav."
"Telinganya sangat tajam," kata kakekku. "Terlalu tajam." Dia menatap ayahku.
Aku tidak bisa membaca pikiran mereka, tetapi saat dia menatapku, aku melihat
belas kasih dalam sorot matanya. "Itu tidak akan terjadi. Kami akan
berbicara dengan Sultan besok. Sungguh tidak bijaksana memaksa Shah Jahan
menikah lagi dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Itu hanya akan
menyebabkan perpecahan." "Bagaimana dengan Ladilli?"
"Aku yakin bibimu akan menemukan suami yang cocok bagi Ladilli."
Aku meninggalkan mereka; saat aku mengamati dari balik kisi-kisi, mereka
tenggelam dalam diskusi. Aku merasa menang. Mereka akan mengalahkan Mehrunissa,
hanya untuk mencegah sebuah konflik antara ayah dan anak. Alasanku menjadi
politis, tetapi saat ini aku tidak peduli.
Mehrunissa menerima kekalahannya hanya sebagai kemunduran kecil. Aku dijemput ke
harem istana oleh Muneer, yang saat ini bergelimang perhiasan. Dia mengenakan
cincin emas dengan berlian besar, batu-batu mirah dan zamrud di setiap jarinya,
dan gelang-gelang emas di lengannya. Dia semakin menggemuk, simbol semakin
penting posisinya. Sebagai kepala orang kasim bibiku, dia menduduki posisi
dengan kekuasaan yang besar. Banyak sekali orang menyogoknya agar keinginan
mereka didengar oleh bibiku; bisikannya berharga satu lakh, menurut desas-desus.
Mehrunissa menempati kamar-kamar mewah yang menghadap ke Jumna, tempat terbaik
di istana. Angin sepoi-sepoi yang bertiup melalui jali membuat tumpukan kertas
di sampingnya, di atas karpet bersulam indah, berantakan. Meja peraknya, hadiah
Rana dari Gwalior, dipahat dengan
adegan-adegan dalam Mahabharata, dan di atasnya terletak Muhr Uzak. Aku belum
pernah melihat stempel kenegaraan sebelumnya. Benda itu lumayan tinggi dan
terbuat dari emas padat. Bagian atas pegangannya ditempeli berlian besar, dan di
sisi-sisinya terukir tulisan Persia. Stempel itu dirancang agar sesuai dengan
genggaman tangan sang Sultan, tetapi terlalu besar untuk genggaman tangan
Mehrunissa. Butuh kekuatan untuk bisa mengangkat Segel Kesultanan yang berat.
Aku menekankannya ke lilin dan di sana ada cetakan lambang singa Mughal di atas
sebuah nama: Jahangir. Dalam sebuah benda logam yang dingin ini terkumpul
seluruh kekuasaan kesultanan, dan saat ini selalu berada di meja Mehrunissa.
Dia mengambil benda itu dariku dengan tidak sabar. "Ini bukan mainan." Dengan
hati-hati, dia meletakkannya lagi dalam sebuah kotak emas bertepi beludru.
Permukaannya licin dan aus karena sering digunakan, warna emasnya hampir
memudar. "Kau bahagia?" "Sangat. Kapan kami bisa menikah" Seharusnya bisa segera."
"Selalu tidak sabar."
"Tidak sabar" Lima tahun telah tersia-sia dalam penantian sejak kami pertama
kali bertemu." "Rendahkan suaramu. Aku hanya bergurau." Dia menepuk kepalaku seolah-olah
menenangkan seorang anak kecil. Dia memeriksa kertas-kertasnya, memerhatikan
sehelai demi sehelai, menemukan selembar kertas dan dengan
hati-hati membacanya. Dia tidak menyerahkannya kepadaku, tetapi memberiku
kesimpulan hasil diskusi mereka: "Masalah kami tidak pernah secara langsung
melibatkanmu. Jahangir berharap persekutuan dengan Persia; ini sangat penting
bagi kelangsungan kita. Kita tidak mengharapkan perang dengan pihak tersebut.
Setelah menikahkan Shah Jahan dengan putri Persia itu, kita tidak bisa
memerintahkan putri itu kembali ke tanah airnya. Shah Jahan telah memberi tahuku
..." Aku bisa mendengar perubahan mendadak dalam ekspresinya yang mencemooh. "...
bahwa sang putri mandul. Dia tidak bisa melahirkan anak. Tentu saja, dia
memprotes bahwa ini adalah kesalahan Shah Jahan, karena sang pangeran tidak
pernah menidurinya. Tetapi, bagaimana kita bisa memercayai hal itu" Aku
memutuskan bahwa mengakhiri pernikahan akan menjadi keputusan terbaik. Tetapi
bukan perceraian. Shahinshah tidak akan menerima hal itu. Dia akan dikirim
kembali ke Persia. Seperti biasa, aku akan bersikap murah hati. Dia akan membawa
lima unta bermuatan koin emas, delapan unta bermuatan koin perak, semua
perhiasan yang diberikan kepadanya sebagai hadiah sang Sultan-sebanyak dua
muatan. Bagi Shahinshah sendiri, kami mengirimkan jumlah hadiah yang sama,
termasuk gajah, kuda, dan lima ratus budak." Dia menatapku dari sela-sela
rambutnya yang terurai dan tersenyum. "Apakah kau puas dengan apa yang telah
kulakukan?" "Ya, Bibi." Aku masih duduk tanpa bergerak,
tetapi diriku penuh kegembiraan yang nyaris tak tertahankan. "Sekarang, setelah
kita menyingkirkan orang Persia itu, kapan kami bisa menikah?"
"Ah, kau tidak sabar. Ingatlah Arjumand, tidak semua orang menunggu-nunggu dan
menanti-nanti pernikahan. Jika seorang pria adalah keledai, seseorang harus
memikul beban yang sama." Dia tidak berkata-kata lagi, meskipun pasti, dia
berbicara tentang Jahangir yang telah lelah memerintah, dan saat ini tenggelam
dalam puisi, lukisan, dan Jahangir-nama-nya, dan tentu saja, terus-terusan
menyesap kenikmatan dari minuman anggur. "Kita akan berkonsultasi dengan
peramal. Dia akan memutuskan tanggal pernikahan kalian."
Upacara akan berlangsung pada dini hari, hampir setahun setelah pernikahan
Mehrunissa. Aku tidak sabar ingin segera menjalaninya, tetapi bintang-bintang
menentukan bahwa saat itulah hari terbaik.
Mehrunissa, yang saat ini kebaikan hatinya berlimpah, merancang baju
pernikahanku: sebuah churidar dari kain sutra kuning, diberati sulaman emas dan
pinggiran emas yang rumit, sebuah blus berpola sama yang terbuat dari bahan
terbaik. "Pemandangan seperti inilah yang paling disukai para lelaki," kata Mehrunissa
ketika aku memprotes. "Tak terkecuali Pangeran Shah Jahan."
Touca terpasang dengan indah di kepalaku. Bahannya licin dan halus, ditahan oleh
bros emas besar yang mirip jaring laba-laba, dengan sebutir berlian besar tanpa cela di
bagian tengah. Touca itu juga dihiasi oleh jajaran mutiara indah. Dari harta
Kesultanan, bibiku menghadiahkan seuntai kalung batu mirah; rantai emas dan batu
yang berwarna merah itu tergantung berlapis-lapis di dadaku, dan untuk
telingaku, ada sebuah lampu kecil emas yang dihiasi merahnya batu mirah.
Lenganku, dari siku hingga pergelangan, tertutup oleh gelang-gelang emas dan
gelang kakiku dihiasi oleh banyak sekali lonceng kecil. Bahkan Mehrunissa
melukis wajahku, mengoleskan bubuk emas di atas kedua mataku.
Aku tahu, dia berharap memperbaiki hubungan denganku setelah tindakan kejamnya
selama bertahun-tahun ini, dan dengan gembira aku mengizinkannya melakukan itu.
Aku tidak bisa tidur. Saat matahari terbit, Shah Jahan akan menunggangi kuda
jantan putihnya ke taman kami. Aku berjalan di antara kabut dan tiba-tiba merasa
ngeri jika aku terbangun suatu saat dan menemukan bahwa ternyata hidupku tidak
pernah berubah. Untuk meyakinkan diriku sendiri, aku memandang berkeliling-bukan
ke arah keriuhan di dalam rumah-tetapi ke luar. Dalam kegelapan, aku bisa
melihat garis tepi redup pandai yang didirikan di taman. Sesaat lagi, para
pekerja akan menghiasinya dengan bunga-bunga, mawar dan melati-dan perhiasan.
Pandai itu berdiri bagaikan monumen peringatan lima tahun penantianku, dan saat
upacara telah selesai, pandai itu akan
dirobohkan kembali. Aku berharap pandai itu bisa tetap ada sebagai simbol abadi
kebahagiaanku. Saat ini, Arjumand akan menikahi lelaki yang dia cintai.
Aku menatap dengan tajam dan lama, tetapi cahaya tidak juga berubah; mungkin
sebuah kekuatan dahsyat menggerakkan matahari; bulan dan bintang memilih hari
penting ini untuk melambatkan pergerakan mereka. Kebekuan ini masih membuatku
takut. Melihatku sendirian dan terdiam, Ladilli menyelinap masuk. Selama
beberapa hari, kami tidak saling berbicara, dan hal ini membuatnya kebingungan.
Aku tahu, bukan dia yang harus disalahkan, tetapi apa lagi yang bisa kurasakan,
selain ketakutan dan ketidakpercayaan" Dia duduk di sebelahku dan dengan lembut
meraih tanganku. "Aku sangat bahagia untukmu, Arjumand," dia berbisik. "Kau layak mendapatkan
kebahagiaan saat ini. Kau begitu tabah dan kuat selama ini. Aku tidak mengerti
bagaimana kau bisa bertahan hidup selama ini. Aku tahu, aku pasti tidak akan
mampu." "Kau pasti bisa, saat kau mencintai seseorang," aku meremas tangannya, tetapi
aku tidak bisa segera merangkulnya.
"Akankah itu" Aku meragukannya." Ladilli memiliki kekerasan hati yang
mengesalkan. Ada keteguhan di dalam dirinya yang lembut dan rapuh. "Aku akan
menikahi siapa pun yang diperintahkan oleh ibuku. Bagaimana aku bisa melakukan
hal lain" Dia akan berteriak, menjerit, dan membujuk. Kau tahu,
bagaimana dia memilih senjatanya dengan cerdik. Dengan kematian ayahku, aku
tidak memiliki sekutu lagi. Aku akan melakukan seperti yang diperintahkan." Dia
mendesah. Suara itu pelan dan tegar, terdengar tidak takut akan masa depan
karena dia telah menerimanya tanpa perlawanan. Akulah yang melawan, yang
mengalami kepedihan cinta dan kekecewaan. Hidup tidak akan melukai Ladilli.
"Kita akan berteman lagi, betul kan?"
"Ya." Aku menjawab dengan lembut. "Semua itu salahku. Aku marah."
"Siapa yang bisa menyalahkanmu" Aku tidak tahu hingga aku menyadari kau marah
kepadaku. Saat aku bertanya kepada ibuku, dia berkata, itu hanya sebuah ide
bahwa aku harus menikah dengan Shah Jahan." Dia mengangkat bahu, tampak tidak
terkejut. "Aku tidak berpikir jika ibuku serius."
"Jika mungkin, dia akan mengaturnya." Aku terdiam, mengetahui betapa mudahnya
Ladilli bisa tersinggung. "Kau akan datang dan mengunjungiku?"
"Ya, sering. Siapa lagi yang kumiliki" Saat ini keadaan lebih mudah karena ibuku
menjadi permaisuri. Dia begitu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku tidak pernah
melihatnya begitu puas sebelumnya. Bukan pernikahan yang membuatnya begitu
bahagia." Ladilli terdiam dan tertawa pelan. "Aku masih belum bisa percaya bahwa
Padishah, sang Mughal Agung, adalah ayah tiriku. Tentu saja, dia tidak akan
pernah menyamai ..." Dia menghela napas dan menahan air matanya. Dia masih sering
memikirkan ayahnya. "Bukan, bukan karena itu.Pernikahan itu sendiri tidak akan
pernah memuaskan ibuku. Yang paling dia inginkan adalah kedudukan penting, bisa
berguna, memiliki kekuasaan, seperti burung bangau yang menyelam. Dia hanya
berharap agar orang-orang menerima keputusannya, dan menang. Kaum perempuan
membuatnya bosan dengan pembicaraan mereka tentang anak-anak, pakaian, dan
tamasha." "Apakah dia merasa senang terhadapku?"
"Oh, ya," Ladilli tertawa, kemudian terdiam. "Kupikir begitu, tetapi tentu saja
dia tidak mengakuinya di depanku. Kau bahagia dan itu seharusnya membuat ibuku
bahagia. Suatu hari, kau akan menjadi Permaisuri Arjumand."
"Ya," aku menyetujuinya, dan menambahkan dalam hati, insya Allah. Dan bagaimana
sikap Mehrunissa saat hari itu tiba"
Shah Jahan menunggang kuda di samping Jahangir. Sarapa mereka, yang satu
berwarna merah tua, satu lagi merah sangat gelap, dihiasi sulaman emas yang
indah, dipenuhi zamrud, mutiara, dan batu nilam, terbentang mewah di punggung
kuda mereka. Jahangir menyebarkan koin-koin emas dan perak ke arah kerumunan
saat dia melintas. Cahaya matahari pagi memantul dari berlian di turban mereka,
pada rantai di sekeliling leher mereka, dan pembungkus pedang mereka yang
terbuat dari emas. Shah Jahan mengendalikan kebahagiaannya dengan ketenangan.
Mereka turun dari kuda; musik berhenti. Keheningan terasa, seolah-olah seluruh
dunia sedang menahan napas. Mereka mengambil posisi di seberangku. Para lelaki
duduk di satu sisi, para perempuan di sisi yang lain, dan di antara kami duduk
para mullah. Kami saling menatap. Aku bisa melihatnya, tetapi dia tidak bisa
melihatku; cadar tebal menyembunyikan wajahku. Dia hanya terlihat sebagai sosok
buram di antara jaring-jaring cadarku, tetapi aku tidak bisa mengalihkan
pandangan darinya. Para mullah membacakan sebuah ayat Quran, kemudian
mengumumkan bahwa kami telah menikah dengan resmi. Sebuah buku, yang terjilid
kulit dan dihias dengan emas, diserahkan kepada Shah Jahan. Dia menuliskan
namanya di situ dan buku itu diserahkan kepadaku. Aku melihat tulisannya yang
meliuk-liuk, dan dengan hati-hati menuliskan namaku di bawahnya. Ibuku
membantuku berdiri, kemudian menuntunku kembali ke rumah. Hanya satu jam setelah
fajar; semburat malam yang panjang masih terlihat di angkasa. Aku menoleh untuk
melihat Shah Jahan merangkul Mehrunissa, nenekku, dan para kerabat lainnya
dengan sopan. Lalu, aku tertidur, masih mengenakan pakaian pengantinku, tanpa bermimpi dan
sangat pulas. Saat terbangun pada senja hari, aku merasa seperti telah membuang
semua kesedihan, semua kepedihan. Tubuhku terasa sangat pulih, kuat, dan ringan.
Mehrunissa telah mengatur sebuah pesta pernikahan besar di istana dan ucapan
selamat serta nyanyian terus berlangsung hingga larut malam. Setelah beberapa saat, aku dibawa
oleh bibi dan ibuku, serta para perempuan lain yang lebih tua, untuk bersiap-
siap menghadapi malam pengantin. Budak-budak memandikan aku dengan tangan mereka
yang lembut dan bergerak perlahan. Seluruh indraku menyala dengan tajam. Aku
dikeringkan dengan lembut dan dibubuhi wewangian: rambut, wajah, dan tubuhku
diolesi minyak yang sangat mahal. Mereka menyikat rambutku hingga berkilat
bagaikan sayap gagak di bawah sinar terang matahari, membubuhkan kajal ke mataku
dan pasta merah ke bibirku.
"Jangan takut," bisik ibuku saat dia menuntunku ke tempat tidur. Alas tempat
tidur terbuat dari emas, dan tiang-tiangnya berupa ukiran kaki singa.
"Aku tidak takut. Perempuan lain akan berbaring bersama orang asing pada malam


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengantin mereka. Aku akan berbaring bersama Shah Jahan."
Ibuku mendesah. "Itu tak akan berbeda. Ini adalah pengalaman pertama bagimu dan
cinta tidak membuatnya menjadi lebih mudah. Perempuan lain akan mempersiapkan
agar menjadi sempurna."
Aku berbaring, bersandar di dipan. Tubuhku diselubungi, rambutku terurai
bagaikan ekor merak di atas bantal. Di samping tempat tidur, di kedua sisi, dua
perempuan menunggu sambil membisu. Dua perempuan lain mengipasiku perlahan
dengan punkah. Udara yang hangat dan harum berputar, wanginya membelaiku lembut.
Dari luar, aku mendengar melodi lembut raga malam yang
dimainkan oleh sitar. Alunan itu menyeimbangkan perasaan bahagia dan kesedihan,
dan memantulkan perasaan damai dalam diriku, dan menjanjikan kegembiraan malam
ini. Ketika aku menunggu, pikiranku melayang membayangkan hamparan bunga penuh
cinta. Segera, aku akan mengetahui kenikmatan cinta.
Pangeranku berlutut, dengan tenang, lembut, lalu mengecup wajahku, dahiku,
hidungku, mataku, dan bibirku.
"Akhirnya," dia tersenyum. "Kekasihku tercinta." "Dan kau adalah milikku."
Tatapanku menyapunya; tanganku membelai janggutnya, yang harum dan berkilau, dan
tenggelam dalam rambutnya yang ikal. Aku tersenyum. Aku belum pernah melihatnya
tanpa penutup kepala sebelumnya. Aku tahu, suatu perasaan ketidakpercayaan akan
menyelubungiku, seakan-akan dia bisa menghilang sewaktu-waktu.
"Kau bahagia?" "Sangat. Dan kau?" Tampaknya kalimat kami hanya berupa kata-kata pendek,
terengah-engah, terburu-buru.
"Ya. Aku mencintaimu. Kita tidak akan pernah berpisah lagi. Ke mana pun aku
pergi, kau akan mendampingiku. Dan ke mana pun kau pergi, aku akan selalu ada di
sisimu." "Apakah itu sumpahmu?"
"Ya." "Aku tak akan pernah mengizinkanmu melanggar janji kepadaku, selama aku hidup."
"Itu janjiku selamanya."
Pangeranku berbaring di sisiku. Kami saling menatap dan saling mengelus, tubuh
kami bagaikan dibelai oleh dewa dengan tangan yang tak terhitung jumlahnya. Aku
menyadari kekontrasan tubuh kami, tubuhnya yang gelap, kekar, dan berotot;
tubuhku yang pucat, lembut, dan berlekuk. Tampaknya inilah saat pertama aku
melihat diriku sendiri, karena selama bertahun-tahun aku belum pernah mengetahui
bentuk dan rahasia tubuhku sendiri.
"Kau akan mengalami pengalaman menakjubkan malam ini, istriku." Kekasihku
berkata dengan lembut. "Rasa sakit dan kenikmatan tidak dapat dipisahkan dalam
cinta. Dalam kenikmatan selalu ada rasa sakit, seperti seekor ular yang akan
menggigit. Itulah keseimbangan Tuhan dalam tubuh dan hati kita."
Aku tidak dapat bergerak, tak dapat bernapas. Dia merengkuhku, dan aku merasakan
ketakutan karena perasaanku seolah mati. Tetapi, lama-lama perasaan itu
menghilang hingga aku merasa tenang dan damai. Suara sitar masih mengalun, dari
dunia lain. Keesokan harinya, saat kami terbangun dalam pelukan satu sama lain, para
perempuan masuk dan memeriksa seprai. Mereka puas melihatnya.
1023/1613 Masehi "Kau tidak bisa ikut bersamaku."
"Aku akan ikut. Kau telah membuat janji, Kekasihku; aku tidak akan membiarkanmu
mengingkari kata-katamu kepadaku." Kami sedang berbaring di halaman istananya,
di bawah cahaya bulan jernih yang membentuk bayangan hitam dan tajam. Aku
bersandar di lengannya, seperti yang kulakukan setiap malam setelah pernikahan
kami. Kedamaian yang kurasakan menyejukkan hatiku. Aku tidak bisa lagi
mengharapkan lebih, memimpikan lebih, hanya menginginkan ini akan terjadi
selamanya. Kami terlibat cinta yang begitu dalam-apakah orang lain juga
merasakannya seperti kami, begitu bergairah, seakan-akan mereka tidak bisa
mengingat saat terakhir mereka" Kami belum pernah berpisah lama; satu atau dua
jam, dan aku merasa diriku gelisah hingga dia kembali. "Mengapa kau berusaha
mengingkari janjimu kepadaku saat ini?"
"Lihat dirimu," dia mundur dan menatap bangga ke tonjolan samar di perutku. Aku
juga menatap ke bawah. Betapa damainya yang kurasakan. Hatiku, tubuhku, begitu
dipenuhi oleh cinta kami, dan ada bukti yang bisa kami lihat. Dia mengelus-elus
perutku, membelainya terus-menerus. "Pertempuran ini akan sangat panjang dan
keras. Aku tidak bisa mengambil risiko dengan membawamu ke sana."
"Tidak ada pilihan. Aku tak peduli jika itu keras dan sulit. Aku tidak peduli
jika kenyamananku berkurang. Aku sangat ingin pergi denganmu."
"Anak ini ...."
"Dia juga akan ikut. Sayangku, kita tak pernah boleh berpisah. Kau sudah
berjanji, dan saat ini aku menuntutmu menepatinya. Seorang pangeran tidak
boleh melanggar janji kepada istrinya. Kita akan pergi bersama-sama menghadapi
pertempuran ini. Aku tidak bisa lagi hidup sendirian. Tidak akan pernah. Pasti
terasa seperti lima tahun penuh penantian."
"Kali ini tidak akan sama. Kau mengandung seorang anak, kau istriku. Kau
memiliki keluargamu, dan posisi di negeri ini."
"Anak ini tidak dapat berbicara atau mencintaiku seperti dirimu. Dia hanya akan
mengingatkanku bahwa kau pergi. Aku tidak ingin kembali ke keluargaku, dan apa
bedanya posisiku di negeri ini jika hatiku terasa hampa dan pedih" Gelar 'Putri'
tidak bisa membuatku nyaman. Panggilan itu terdengar dingin dan tidak ramah; itu
membuatku berjarak dengan orang lain, dalam ketidakpercayaan."
"Kau begitu lugu," dia tertawa, sebagian karena kebanggaannya, sebagian karena
kekhawatirannya. Aku mencoba melicinkan keriput di sudut matanya. "Kumohon,
Kekasihku, tinggallah di sini. Ini akan menjadi peristiwa yang berbahaya dan
sulit, dan pertempuran pasti akan berlangsung dengan keras. Mewar Rajput telah
melawan kita sejak pertama kalinya leluhurku datang dari pegunungan dan
menaklukkan negeri mereka. Bahkan Akbar sekalipun tidak bisa mengalahkan mereka.
Dia bisa menaklukkan Chitor, tetapi tidak dapat menghancurkan mereka. Aku
khawatir, mereka tidak akan terkalahkan."
Cahaya bulan jatuh di wajahnya. Wajahnya gelap dan berkilau keperakan, matanya
sayu dan kelam. Janggutnya tampak aneh karena berwarna pucat, tiba-tiba
membuatnya tampak lebih tua. Aku tidak bisa menahan keraguannya. Aku meraih
wajahnya dan mengecupnya, kemudian menatap matanya.
"Kau tidak boleh mengatakan hal itu. Kau adalah Shah Jahan, sang Penakluk Dunia.
Aku tahu, kaulah satu-satunya yang akan mengalahkan Mewar Rajput. Aku bisa
merasakannya." Meskipun dia tersenyum dengan lembut, keraguan masih tampak di
matanya. Aku belum pernah melihat ketidakpastian seperti ini pada suamiku ini
sebelumnya. "Apa yang kau pikirkan ketika Mehrunissa memilihmu untuk memimpin
bala tentara?" "Aku adalah putra mahkota. Ayahku tidak lagi ingin melakukan pertempuran."
"Tidak. Jahangir hanya melakukan apa yang Mehrunissa perintahkan. Dia berperan
sebagai sultan di diwan-i-khas, tetapi Mehrunissa-lah yang menguasai Muhr Uzak.
Aku pernah melihatnya sekali di mejanya."
"Aku mendengar bahwa segel kesultanan saat ini tersimpan di harem, tapi kupikir
itu rumor belaka." "Memang benda itu ada di sana. Aku benar-benar mengenal bibiku. Dia hanya tampak
menerima kekalahan setelah pernikahan kita; tetapi ada satu pertempuran dalam
hidupnya. Pertempuran itu terus berlangsung, Kekasihku. Dia memilihmu untuk
memimpin pasukan Mughal, di atas Jenderal
Mahabat Khan, untuk mengetesmu. Dia berpikir jika kau akan kalah dalam
peperangan ini. Dia tahu bahwa kau akan kalah. Jika Akbar tidak dapat
mengalahkan Mewar Rajput, bagaimana bisa Shah Jahan, seorang pria muda dengan
sedikit pengalaman berperang, bisa menaklukkannya?"
"Aku tidak akan kalah," dia berkata dengan tajam, merasa yakin bisa mengalahkan
tantangan itu. Perasaannya bisa berubah begitu cepat, sebagaimana ayahnya.
"Kau tidak boleh kalah. Demi kelangsungan kita." Aku menyentuh perutku. "Demi
anak kita. Jika kau kalah, kekuasaan Mehrunissa akan semakin besar. Bahkan jika
kau menang, dia tidak akan kehilangan banyak. Dia pasti akan berkoar-koar
membanggakan pilihannya akan pemimpin pasukan, tetapi dia akan mengawasimu lebih
hati-hati lagi. Kami berbaring sambil terdiam dan aku menunggu keputusannya. Aku merasa
melayang, terselubung cahaya tebal. Aku mencoba mengusik pikirannya, bukan
hatinya. Sebagai putra mahkota kesultanan besar, dia bisa bertahan dari kesepian
dalam hatinya, tetapi tidak mampu bertahan dari hilangnya ambisi. Yang pertama
adalah kesedihan; yang kedua adalah bahaya. Dia membutuhkan seorang teman, bukan
kekasih. Akbar memiliki Jenderal Bairam Khan untuk menuntunnya. Hanya aku yang
benar-benar peduli terhadap Shah Jahan. Jika dia tidak ingin berhasil, aku akan
terus bersikeras. Jika dia ingin sukses, akulah satu-satunya orang di dunia ini
yang bisa dia percayai Shah Jahan Negara Mewar terletak sekitar enam ratus kos di bagian barat Agra, setelah
Jaipur. Tanah Rajput begitu keras dan mematikan, gurun pasir, semak belukar, dan
lantana, yang tidak berguna bagi siapa pun. Di mana-mana, kami merasa diri kami
diawasi oleh benteng-benteng granit mengancam yang tersebar di bukit-bukit batu
dan tanah keras. Siapa yang bisa mengetahui perlawanan mereka seperti apa"
Kerajaan kecil mereka mungkin tidak lebih daripada sebuah lapangan atau kumpulan
beberapa bukit dan gurun. Orang-orang Rajput adalah satu-satunya pasukan militer
Hindu yang terus-menerus melawan Mughal Agung. Banyak yang telah ditaklukkan,
melalui praktik-praktik perdamaian dan pernikahan, kembali menjadi teman dan
sekutu, tetapi ada segelintir yang masih membangkang.
Para rana Mewar telah melawan kami selama seratus tahun. Hampir lima puluh tahun
yang lalu, Akbar telah mengepung benteng besi rana, yang dibangun tinggi di atas
gunung batu. Sisi-sisinya begitu licin bagaikan es dan Akbar membutuhkan waktu
setahun, bahkan dengan menggunakan sabat, untuk mengambil alih benteng tersebut.
Rana sendiri telah meninggalkan benteng itu sebelum pertempuran dimulai, mundur
lebih dalam menuju kerajaannya yang sulit dicapai. Akbar mengetahui hal ini,
tetapi orang-orang Rajput yang
masih tersisa terus melakukan perlawanan sengit, dengan kegilaan yang tidak bisa
dia mengerti. Dia telah mengalami banyak sekali kehilangan dalam pertempuran
itu, dan murka, karena untuk pertama dan terakhir kalinya dalam kekuasaannya,
dia telah memerintahkan pembantaian semua pihak musuh di benteng tersebut. Para
perempuan Rajput, tentu saja, melakukan jauhar sebelum pemimpin mereka
ditangkap. Upacara pembakaran jenazah mereka adalah simbol kekalahan.
Beberapa orang Rajput berbaris di pihak kami, Jaipur di sebelah kiri dan Malwar
di sebelah kanan. Para pangeran yang lebih rendah tingkatnya, yang memimpin
pasukan berkuda mereka, mengikuti di belakang, tersembunyi oleh debu. Saat
mereka tidak berperang bersama kami, atau melawan kami, mereka terus-menerus
saling berperang. Perselisihan mereka secara turun-temurun mengeringkan darah
dan persatuan mereka, tetapi berguna untuk mendukung pertempuran ini dan
mengalihkan perhatian mereka untuk bersatu melawan Mughal.
Aku menoleh ke belakang. Aku memimpin seratus lima puluh ribu manusia dan hewan
menuju pertempuran. Tujuh puluh lima ribu menunggang kuda dan gajah mereka-
orang-orang Rajput, Jat, Mughal, dan Dogra. Siphais dan banduq-chis sama-sama
berimbang. Empat puluh meriam ditarik oleh gajah menyusuri tanah yang sulit
dilalui ini. Selain pasukanku sendiri, ribuan manusia ikut untuk memberi makan
dan merawat bala tentara. Lima
puluh ribu kereta bermuatan gandum mengiringi pasukan, selain sapi, kambing, dan
ayam dalam jumlah yang tak terhitung. Jika bekal makanan menipis, kami akan
membeli persediaan dari para penduduk, tetapi kami tidak akan merampok. Kami
bukan lagi penakluk, tetapi penguasa, dan tidak boleh menyulitkan rakyat jelata.
Keributan gerakan pasukan kami tidak pernah berhenti; derit pinggul gajah-gajah,
lecutan kekang dan talinya, kereta-kereta yang berkeretak, roda-roda yang
berdecit, lecutan cambuk-cambuk, irama dundhubi yang ditabuh, terompet yang
ditiup, dan perintah tajam para komandan kepada anggota pasukan mereka.
Di depanku, lima gajah yang membawa simbol-simbol Mughal berjalan. Seperti
biasa, aku menunggangi Bairam. Aku menamai gajahku seperti nama Jenderal Akbar.
Gajah ini bijaksana, berani dan tidak takut apa pun, gading-gadingnya dilapisi
besi. Di satu sisi, seorang petugas istal menuntun kudaku, Shaitan. Di
belakangku, Arjumand berada di dalam rath. Masih cukup ruang untuk empat orang
yang tidur di situ, tetapi hanya seorang pelayannya, Satiumnissa Khananam, yang
ikut bersamanya. Di samping keretanya, sang hakim Wazir Khan menunggang kudanya.
Dia tampak tidak nyaman dan kelelahan, tidak biasa melakukan perjalanan jauh,
dan sudah pasti lebih memilih mendampingi Arjumand di istana yang mewah. Tetapi,
Arjumand tidak dapat dibujuk. Aku bangga dengan kesetiaan dan keberaniannya;
perempuan lain pasti akan tinggal di belakang, melambai dari balkon, sebelum kembali
dengan penuh rasa syukur ke dalam kesejukan istana yang nyaman dan ditemani para
perempuan. Di sampingnya, aku hanya boleh merasakan keberanian dan
keberuntungan. Isa mengatur agar Arjumand tetap merasakan sedikit kenyamanan,
setiap hari berpacu dengan kudanya mendahului kami untuk memastikan bahwa tempat
tinggal kami pada malam hari sejuk, bersih, dan nyaman, serta menyiapkan air
mandi dan makanan. Dia akan kembali-tugas yang melelahkan di dalam hawa panas
seperti ini-untuk memastikan Arjumand baik-baik saja. Dia sama khawatirnya
denganku. Sudah dua puluh hari kami keluar dari Agra-pasukan bergerak dengan kecepatan
langkah Bairam, yang tidak pernah bisa berjalan cepat-saat aku menerima laporan
bahwa rana Mewar, karena mendengar kedatangan kami, telah mundur ke benteng
dalam kotanya di Udaipur. Aku telah memperkirakan hal ini. Dia tidak akan bisa
melawanku dengan pasukannya, hanya bisa dengan strategi.
Malam itu, aku berunding dengan para komandan hazari. Mereka menyarankan untuk
melakukan pertempuran yang panjang dan lama. Itulah satu-satunya nasihat yang
bisa kuterima dari mereka. Aku duduk sendirian saat mereka pergi, terbungkus
selimut, merasa muram. Malam ini sangat dingin. Isa menyelinap masuk perlahan.
Wajahnya tampak tirus dan pucat. Pemandangan ini
membuatku takut. "Ada apa, Isa?"
"Yang Mulia Permaisuri ... dia mulai mengalami pendarahan."[]
14 Kelaparan mencengkeram negeri ini. Musim hujan belum juga tiba, bahkan sungai-
sungai yang bermuara di gunung-gunung bersalju saat ini hanya berupa selokan-
selokan kecil. Bumi berdebu dan keras, permukaan tanah retak dan kering. Di
ghat-ghat, api berkobar setiap siang dan malam, diiringi musik misterius yang
ditiup dari cangkang kerang, mengantar semakin banyak orang ke pembakaran
jenazah. Manusia memakan apa pun yang bisa mereka makan-anjing, akar, kulit
kayu, karena saat ini pasar tidak menjual makanan-dan saat tidak ada yang bisa
dimakan, mereka akan tergeletak tak berdaya hingga maut menjemput. Jalan utama
negeri ini dipenuhi mayat: para lelaki, perempuan, anak-anak, sapi, kambing,
kuda; mayat-mayat yang tidak dibakar akan dimakan oleh serigala, anjing, dan
burung nazar. Pepohonan, rerumputan, dan bunga-bunga layu kemudian mati, dan
bentangan tanah ini menjadi berwarna seragam, cokelat kusam, semburat kematian.
Langit Taj Mahal 1049/1639 Masehi juga berubah warna menjadi cokelat kusam.
Makam itu berdiri tanpa dipedulikan, hanya setinggi beberapa meter, marmernya
kusam karena debu. Di belakangnya, sungai hanya mengalir kecil, berupa arus air
yang beraroma busuk. Tepi-tepi sungai terpapar sinar matahari yang terik,
bagaikan perut reptil-reptil yang telanjang.
Sita duduk di lantai gubuk mereka, terlindung dari terik matahari, tetapi tidak
dari hawa panas. Tidak ada yang bisa menghindari hal itu. Hawa panas terkungkung
di dalam empat dinding rendah, pengap, tidak bergerak, seakan-akan menunggu
untuk menerkam penghuninya. Saat ini Sita terlihat lebih kurus, dan tulang-
tulangnya tampak menonjol di bawah cahaya redup. Anak-anaknya berbaring di
sebelahnya, mendengus-dengus dan menangis, tetapi dia tidak mampu membuat mereka
nyaman. Mereka tidak butuh kasih sayang, hanya butuh makanan.
Murthi berjongkok di luar, lututnya menonjol di depannya bagaikan tongkat patah
yang muncul dari tanah keras. Dia berkedip, mengamati awan debu gelap yang
mendekat, bertanya-tanya apa yang bergerak di luar jangkauan penglihatannya.
Orang-orang yang berada di dekatnya juga sama-sama menatap cakrawala yang
semakin gelap. "Padishah telah kembali," Murthi berbisik. Suaranya lemah, dan keinginannya
untuk memanggil Sita ikut meredup.
"Ya," sahut tetangganya dengan pahit. "Apa gunanya untuk kita" Dia tidak melihat
orang-orang mati kelaparan; dia hanya memedulikan makam itu."
"Ah, aku mendengar bahwa orang-orang di Lahore mendekatinya dan dia membuka
lumbung di sana. Kita harus mendekatinya saat dia menunjukkan diri di jharoka-i-
darshan besok." "Apakah kau ingin mati?"
"Apa bedanya jika ada seseorang yang mati" Saat ini aku kelaparan. Jika aku
dihukum karena meminta diberi makan, itu lebih baik. Apakah kalian akan ikut
bersamaku?"

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetangganya, seorang Panjabi, menggaruk wajah kurusnya dengan hati-hati, seolah-
olah berusaha meyakinkan diri bahwa dagingnya masih melekat di sana. Dia menoleh
ke belakang, memandang rumahnya. Salah seorang anaknya meninggal, seorang lagi
sekarat, dan istrinya berbaring tak bergerak.
"Kita harus mengumpulkan yang lain. Kerumunan besar berkumpul di Lahore, aku
mendengar." "Pasti akan ada orang lain."
"Kalau begitu, kau harus memimpin kita. Kau bisa mengajukan petisi kepada
Padishah." Murthi setuju. Keberaniannya melonjak atas permintaan itu, dia dilindungi.
Tetapi oleh siapa" Dia masih tidak mengetahuinya, tetapi di dalam benteng
raksasa di seberang sungai, sebuah tangan melindunginya. Dia sudah bertanya-
tanya, tetapi tidak ada yang memberi jawaban: "Siapa yang memedulikan aku" Siapa
yang memedulikan kami?" Para petugas rendahan istana hanya mengangkat bahu dan
berbalik. Saat Sita terjatuh di hadapan si
petugas, dia dibopong ke rumahnya, hampir sekarat. Tanpa perlu Murthi panggil,
seorang hakim muncul. Pria itu mengenakan sutra dan perhiasan yang menggambarkan
betapa penting kedudukannya. Dia adalah dokter pribadi Sultan, dan dia sedang
menangani Sita, menuliskan resep obat, dan memastikan obat itu datang. Murthi,
yang tenggelam dalam kebingungannya, telah mencoba bertanya: "Siapa yang
mengirim Anda?" Tetapi, hakim itu tidak menjawab. Murthi mengetahui bahwa sang
hakim berbohong, akhirnya Murthi hanya melakukan namaste sebagai ucapan rasa
terima kasih. Beberapa hari kemudian, hakim kembali lagi untuk memeriksa keadaan Sita. Warna
kulit dan kekuatan Sita telah pulih. Lalu, datanglah makanan, dikirim dari dapur
istana: ikan, telur, susu, sayuran, semua berlimpah. Murthi tidak lagi bertanya
siapa identitas sang dermawan. Dia malah bertanya kepada hakim sambil menunjuk
makam yang menjulang: "Bahadur, apakah Anda mengenal Permaisuri?"
"Ya," jawab sang hakim dengan lembut, dan dia menatap makam itu dalam waktu yang
cukup lama. "Seperti apa dia?"
"Perempuan pemberani," jawab sang hakim. "Terlalu berani, jika itu dianggap
sebagai suatu kegagalan."
Tampak jelas bahwa sang hakim tidak ingin mendiskusikan tentang Permaisuri lebih
jauh, tetapi jawabannya membuat Murthi puas. Akhirnya, seseorang yang mengenal
sang Permaisuri telah berbicara dengan penuh rasa hormat. Keberanian adalah sesuatu yang Murthi
hubungkan dengan tokoh-tokoh mitologi-Bima, Arjuna-bukan manusia biasa.
Cakrawala membelah bulatan matahari yang berwarna oranye kemerahan saat Shah
Jahan melangkah keluar bargah. Isa menunggu, para wazir, prajurit, dan punggawa
menunggu. Shah Jahan berjalan menyusuri lantai marmer dan dundhubi ditabuh
menandakan kedatangannya ke jharoka-i-darshan. Kecuali Isa, para pengikutnya
berdiri agak jauh, menunggu dengan penuh penghormatan di luar pagar emas. Shah
Jahan duduk di atas bantal, menatap ke arah cakrawala yang pucat, kemudian ke
arah makam yang belum selesai, lalu akhirnya menatap orang-orang di bawahnya.
Orang-orang berkumpul di seberang maidan hingga ke sungai. Wajah-wajah mereka
mendongak, seperti titik-titik gelap di atas pakaian putih. Rantai emas keadilan
telah diturunkan tanpa perintahnya. Rantai itu dibiarkan sesaat, kemudian bel
berdering. "Mengapa mereka tidak bekerja?"
"Mereka kelaparan," jawab Isa dengan cepat.
Shah Jahan menyadari nada suara Isa, tetapi tidak berkata apa-apa. Dalam cahaya
fajar yang seperti limau, dia memerhatikan profil Isa. Sudah berapa tahun mereka
telah saling mengenal" Dia sulit mengingat awal perkenalan mereka, Pasar
Malam Bangsawan Meena dan chokra yang berjongkok di samping Arjumand. Saat ini,
sulit untuk melihat refleksi anak lelaki itu pada diri Isa. Hidup mereka telah
terikat begitu lama sehingga dia tidak pernah benar-benar memerhatikan Isa. Dia
hanya mengetahui sedikit tentang lelaki ini. Isa melayaninya dengan akrab,
tetapi tidak pernah melangkahi batas kedekatan. Dia tidak pernah membicarakan
Arjumand; sepertinya nama Arjumand telah terlupakan. Dia biasa memanggilnya
Agachi. Itu tidak pernah berubah dalam pendengaran Shah Jahan. Shah Jahan
mengucapkan kata itu tanpa suara: Agachi, Lady. Tetapi, dia tidak bisa
mengucapkan intonasi yang sama, dan ... kasih sayang yang sama. Apakah Isa juga
mencintai Arjumand" Mungkin saja. Dia ingin membicarakan Arjumand dengan Isa,
menggali sesuatu yang belum diketahuinya. Setiap orang membuka sedikit
rahasianya kepada seseorang, sedikit kepada orang lain, tetapi tidak ada yang
pernah mengungkapkan seluruh rahasia dalam satu orang. Tetapi, Isa tetap dingin,
jauh, resmi. Pada akhirnya, mereka-meskipun terikat oleh suatu kesamaan-bukan
teman. Sang wazir mengambil petisi dari rantai keadilan dan menatap ke arah Sultan.
Apakah sang Padishah ingin membacanya, atau langsung mengirimkannya kepada para
petugas untuk menangani masalah tersebut" Sang Sultan, tenggelam dalam
pikirannya, tidak melihat sang wazir. Isa melangkah ke depan dan dengan kesal
merebut kertas itu. Wazir itu pun
merasa kesal pada orang di hadapannya. Dia ingin memprotes, tetapi memutuskan
untuk menahan lidahnya. Isa membuka gulungan kertas itu. Dia menjentikkan jari
dan seorang prajurit mendekat sambil membawa lentera. Cahaya kuning menerangi
petisi itu, wajah sang Sultan, yang tampak lelah dan lesu, seolah-olah memudar
dari dunia. Yang Mulia Tertinggi, Penghuni Surga, Wakil Penguasa Konstelasi, sang Mughal
Agung, Raja Diraja, Bayangan Allah, Pedang Tuhan, Penakluk Dunia ....
Dengan tidak sabar, Isa membuka halaman itu. Sang wazir menggeleng dengan penuh
penolakan, menunggu bentakan dan amarah. Sungguh suatu ketidaksopanan, sikap
tidak hormat yang akan dihukum. Tetapi, sang Sultan tersenyum lebar, tampak
mencemooh sang wazir, dan mengizinkan Isa membaca petisi itu. Wazir itu tidak
bisa mengerti hubungan antara dua manusia tersebut. Dia merasa posisinya lebih
tinggi dibandingkan dengan Isa yang tidak memiliki gelar, tidak memiliki jagir-
jagir yang luas, tidak memiliki kekayaan, tidak memiliki apa-apa. Sultan bisa
saja menghancurkan kepercayaan miskinnya bagaikan meremas sebutir anggur,
anehnya tangan itu selalu melindunginya. Mereka jarang saling berbicara langsung
satu sama lain-sering kali Isa yang berbicara, pada waktu yang lain giliran
Sultan-tetapi mereka tidak pernah terpisah satu sama lain. Isa melangkah ke
dalam bayangan Shah Jahan. Atau, apakah Shah Jahan yang agung yang melangkah ke dalam
bayangan Isa" Ini membingungkan sang wazir.
... Sultan Shah Jahan. Kami, rakyat Paduka, dengan rendah hati mengajukan petisi
kepada Paduka. Selama dua tahun hujan tidak turun. Sungai telah mengering, panen
telah gagal, dan tidak ada makanan.
Kami tidak dapat hidup. Anak-anak kami tidak makan selama berhari-hari,
dan mereka tewas karena kelaparan. Kami mengupas kulit pohon dan makan akar,
seperti anak-anak kami, dan kami menjadi lemah, kemudian mati.
Kami memohon keadilan Paduka, kemurahan hati Paduka nan tanpa batas: beri kami
makanan. Shah Jahan mengintip ke bawah. Orang-orang balas menatapnya sambil terdiam.
Matahari telah terbit, melepaskan diri dari cakrawala, dan cahayanya menyinari
wajah-wajah mereka yang mendongak, menerangi satu per satu dari mereka.
"Siapa pemimpin mereka?" tanya sang Sultan. Isa menatap ke bawah. "Namanya
Murthi. Vang lain adalah pengikutnya."
"Siapa dia?" Ada bisikan kekhawatiran dalam nada suara Sultan.
"Dia yang memahat jali," jawab Isa.
"Bagaimana kau bisa mengetahui ini?"
"Aku tahu." Sultan menunggu. Tetapi Isa tidak mengatakan apa-apa lagi. Shah Jahan tidak
menyelidiki masalah itu, tetapi hanya mengingatnya diam-diam. Hal ini membuatnya
tertarik, dan membuat wazir lebih tertarik.
"Seandainya Arjumand masih hidup, apa yang akan dia lakukan?" Bisikan Sultan
hanya terdengar oleh telinga Isa.
"Dia akan memberi mereka makanan."
"Kalau begitu, beri mereka makanan. Bukalah lumbung-lumbung. Bukalah ruang
penyimpanan harta, belilah makanan di mana pun bisa ditemukan. Jika ada orang-
orang yang menimbun makanan, hukum mereka."
Shah Jahan bangkit dari singgasananya, mengulurkan tangan dalam sikap memberkati
rakyatnya dengan samar. Mereka membungkuk serempak. Keheningan pecah dan dia
mendengar gumaman mereka ketika kembali ke ruangannya. Isa masih terdiam selama
beberapa saat, memerhatikan kerumunan besar itu perlahan-lahan bubar. Mereka
tidak akan mengetahui keputusan Sultan, tetapi segera, keputusan itu akan
diumumkan di pintu-pintu benteng. Dia menatap ke bawah, tidak mampu mengenali
seraut wajah pun. Satu-satunya yang membuat dia sangat waspada hanyalah
keingintahuan Sultan. 1050/1640 Masehi Makam itu mulai terbangun, bongkah demi bongkah,
merayap naik memanjat langit. Sejajar dengan setiap dinding, berdirilah kerangka
dari batu bata. Dua kelompok pekerja saling berpacu menyelesaikan pekerjaan
mereka. Dengan kecepatan yang sama tingginya, setingkat dengan tinggi makam itu,
sebuah parit batu besar berdiri. Bangunan itu tampak seperti ular berlumpur
sepanjang hampir dua puluh kos, melingkari Mumtazabad. Lebarnya cukup untuk
sebuah kereta, tetapi di sana-sini, jalan diperlebar agar dua buah kereta bisa
berpapasan tanpa bertabrakan. Gajah-gajah dan kerbau-kerbau menarik bongkah-
bongkah marmer dan kereta bermuatan bata, naik dalam barisan yang tidak
terputus. Di bagian puncak, sekelompok orang mengikatkan tali di sekeliling
bongkahan marmer yang baru, mengikat ujungnya ke sebuah katrol yang selalu
berada beberapa meter di atas atap bangunan. Mahout memerintah gajahnya bergerak
maju, mengangkat bongkah itu hingga ke posisi yang tepat, kemudian dengan
perlahan menurunkannya ke bongkahan batu di bawahnya. Setiap bongkah dipasang
dengan rapat dan kukuh, dan batu-batu itu tampak mendesah bagaikan menerima
posisi sesuai takdir mereka.
Dengan hati-hati, Murthi menyikat debu-debu marmer dengan tangannya yang lecet
dan kapalan. Tiga tahun sudah berlalu semenjak dia memulai, dan sepuluh
sentimeter persegi bagian jali sudah tampak jelas. Sepertinya batu ini hanyalah
sebuah kain kafan yang menyelubungi rancangan, yang hanya perlu ditarik untuk
memperlihatkan pola-pola rumit
di dalamnya. Murthi meregangkan tangannya, yang kaku karena memegang pahat. Setiap hari, dia
mulai bekerja saat fajar dan selesai saat senja, dengan istirahat singkat pada
tengah hari untuk makan siang dan minum secangkir chai yang dijajakan oleh
seorang pedagang. Gopi berjongkok di dekat api. Setiap kali ayahnya meletakkan
sebuah pahat, dia akan meletakkannya di atas batu bara hingga warnanya menjadi
kelabu seperti tembaga, kemudian akan menjatuhkannya ke tanah agar mendingin.
Gopi juga telah mewarisi kesabaran dan konsentrasi tinggi seperti ayahnya. Dia
mengamati ayahnya memahat pola dari batu, setiap serpihan demi serpihan kecil.
Gopi belajar dari memerhatikan; manusia juga belajar dari mempraktikkan. Dia
tidak pernah ragu bahwa dia memiliki bakat untuk mewarisi keahlian sang ayah.
Apa lagi yang bisa terjadi" Leluhurnya telah mempraktikkan keahlian memahat;
keterampilan ini sudah mengalir dalam darahnya, dan dia tidak pernah bermimpi
untuk melakukan hal lain. Hidupnya didedikasikan bagi suatu kedisiplinan memahat
batu. Saat tiba saatnya, dia akan memahat sebuah bongkah marmer sisa. Dia telah
menggambar seekor harimau kecil di sisinya yang paling halus dan dengan sabar
mulai membentuk binatang itu. Jika dia menyelesaikannya dengan puas, dia akan
menjualnya di pasar seharga satu rupee.
Murthi menghirup seisap asap dari beedi dan mengembuskannya lagi. Dia meraih
pahatnya, kemudian mulai memukul dengan perlahan dan monoton. Hanya telinga yang paling
tajam yang bisa membedakan variasi samar suara pahatannya. Lebih keras, lebih
perlahan, lebih lembut, lebih keras. Hal ini dia lakukan secara otomatis, hampir
tidak dia sadari. Kadang-kadang, saat pekerjaannya lancar, Murthi mengizinkan
pikirannya mengembara. Dia mengenang ayahnya, desanya; memikirkan sang Raja yang
telah mengasingkan dia ke kota yang jauh ini. Dia berharap sang Raja yang baru
sakit keras segera meninggal. Kemudian, pikirannya kembali ke saudara lelakinya
yang tertua, bagaimana dia menghilang secara misterius, bagaikan dicabut dari
muka bumi. Dia mengingat sifatnya yang ceria, sikapnya yang pemberani dan senang
bertualang. Abangnya tidak pernah ingin mengikuti profesi turun-temurun
keluarganya, tetapi sudah pasti, jika dia hidup hingga dewasa, dia pasti akan
melakukannya. Apa lagi yang bisa dia lakukan" Murthi sangat akrab dengan
abangnya. Mereka telah berteman, sebelum mengenal permusuhan, penghinaan, dan
rasa iri. Dia masih merindukannya, tetapi setelah bertahun-tahun, kenangan itu
semakin memudar. Murthi melihat sepasang sandal berhias dari sudut matanya. Batu mulia itu tampak
seperti mutiara, dan sulamannya dari benang emas. Dia langsung mendongak.
Seorang lelaki tinggi yang berpakaian indah berdiri di sana. Murthi tidak bisa
membaca ekspresinya; wajah lelaki itu memancarkan suatu kemenangan.
"Kau Murthi, orang yang menandatangani petisi?"
"Ya, Bahadur," Murthi menjawab dengan sopan, karena mungkin saja pria ini adalah
seorang petugas resmi. Murthi telah waspada terhadap masalah setelah menuliskan namanya dalam petisi.
Yang membuatnya sangat terkejut, petisinya dikabulkan. Lumbung-lumbung dibuka,
makanan didistribusikan ke semua orang untuk menolong mereka. Saat ini, dia
merasa gugup; insting memperingatkannya agar waspada terhadap lelaki ini.
"Ikutlah denganku."
"Mengapa" Ke mana?"
"Kau berani bertanya-tanya kepadaku?" lelaki itu bertanya dengan kasar. "Aku
adalah wazir sang Sultan. Ayo."
Pada saat matahari terbenam, dinding-dinding marmer diwan-i-khas berubah warna
menjadi emas pucat. Bahkan batu-batu mulia yang ditempelkan ke hiasan bunga-
bunga memantulkan cahaya lain. Topaz tampak seperti berlian, giok tampak
bagaikan zamrud. Tidak ada yang menampilkan wajah asli sejak awal hingga akhir-
dalam pengamatan Shah Jahan, semua berubah tanpa dikehendaki, dengan cepat, dan
tanpa diperkirakan sebelumnya.
Dia bersandar ke dipan, mendengarkan musik, tidak bisa melihat para perempuan
dengan jelas, yang lemah lembut, harum, menari di hadapannya; yang lain berlutut
di sampingnya, mengelus-elus
dahinya, memijatnya. Di sisi yang lain duduklah anak lelakinya, Dara. Shah Jahan
menatapnya dengan kasih sayang, dan meletakkan lengannya di atas bahu sang pria
muda. Mereka menghabiskan banyak malam bersama; sang anak selalu membuat Shah
Jahan merasa nyaman. Dara memiliki wajah tampan, siaga, cerdas, dan matanya
mirip mata Arjumand. "Kau ingin aku melakukan apa?"
"Tidak ada, Ayah. Biarkan mereka hidup dalam kedamaian. Itu adalah kebiasaan
mereka dalam pemujaan dan tidak ada kuil di sini sebagai tempat peribadatan
mereka. Mereka telah membangun kuil ini secara diam-diam. Hal ini tidak
menyakiti siapa pun."
"Mereka seharusnya mengirimkan petisi kepadaku."
"Ayah mungkin bisa menolak seperti keinginan para mullah. Mereka akan meminta
agar kau menghancurkannya hingga rata dengan tanah."
"Mereka masih bersikap begitu. Mereka bersikeras," Shah Jahan mendesah dengan
kesal. Para mullah terus-menerus menjadi duri di sisinya; dia tidak mendapatkan
kedamaian dari para pemuka agama itu.
"Bagaimana orang-orang yang mengaku mencintai Tuhan bisa memiliki pandangan
sempit tentangNya?" Dara bertanya. "Aku tidak pernah bisa mengerti hal itu. Para
pendeta Brahmin juga sama saja. Mereka terlalu fanatik terhadap keyakinan
mereka, dan tidak mungkin mendiskusikan
masalah ini dengan mereka, atau dengan orang-orang Jesuit. Kita harus meneladani
sikap Akbar: toleransi. Akbar percaya bahwa itu adalah batu fondasi kesultanan.
Jika kita merusak kuil mereka, orang-orang Hindu akan memberontak. Mereka adalah
penduduk negara kita dan harus merasa bisa hidup dan beribadah dalam kedamaian
di kesultanan ini." Shah Jahan mencubit pipi anaknya. "Kau mirip Akbar. Kau juga akan semulia dia."
"Sudah cukup bagiku untuk menerapkan aturannya yang adil. Dia menulis bahwa
keadilan harus sama bagi semua orang, bagi orang Muslim, Hindu, Buddha, Jain,
Sikh, dan Kristen." "Ya, ya. Aku juga setuju. Tetapi, seorang Penakluk Dunia sekalipun bisa
merasakan napas panas para mullah di lehernya."
Shah Jahan mengetahui bahwa semua kekuasaan terbatas, termasuk kekuasaan yang
dia miliki. Kekuasaannya akan berakhir di luar jangkauan perkiraannya, saat
tangan Sultan merasa ragu-ragu dan berpikir untuk mundur. Dia bisa saja
menyetujui antusiasme religius para mullahnya, tetapi hanya sebentar. Saat
mereka terlalu menuntut, dia akan mempererat kendalinya dengan segera untuk
mengubah tujuan mereka, untuk meraih dukungan keyakinan mereka bahwa dia adalah
Pedang Tuhan. Dia tidak terbiasa bersikap tidak adil. Shah Jahan menatap Dara.
Jika saatnya tiba, apakah dia mampu mengendalikan para mullah" Atau, akankah dia


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan mereka dengan toleransi yang dia
tetapkan bagi semua agama" Akbar dulu kuat, kelemahannya hanyalah dia tidak bisa
marah. Apakah Dara seperti Akbar juga" Dalam kasih sayangnya, Shah Jahan
meyakini jika memang begitu. Dara juga mewarisi keberanian Arjumand. "Aku akan
mengizinkan kuil itu berdiri."
Dara tertawa puas karena keputusan ayahnya. Dia mengetahui bahwa itu adalah
tindakan yang benar. Mughal Muslim memang berkuasa, tetapi tanah ini adalah
milik orang Hindu dan mereka harus diberi kebebasan untuk beribadah.
Sang wazir masuk, membungkuk, dan berkata: "Yang Mulia Pangeran Aurangzeb ingin
bertemu, Paduka." Setelah ayahnya memerintahkan, Aurangzeb masuk. Dia berdiri sesaat di pintu
masuk dan membiarkan pandangannya menyapu ruangan. Sinar matahari telah
menggelapkan kulitnya, perang telah membuatnya semakin keras. Dia tampak lebih
langsing, lebih tegak, lebih berwibawa. Matanya menatap sang abang dengan lama,
dan meskipun bola hitam matanya tidak memancarkan apa-apa, bibirnya berkerut
sedikit, melambangkan cemoohan sesaat, kemudian berubah menjadi rasa cemburu
yang pahit. Aurangzeb membungkuk, dan masih berdiri. Dia tidak diberi izin untuk
duduk, dan mengetahui bahwa pertemuan dengan ayahnya akan berlangsung singkat.
Memang selalu begitu, seolah-olah ayahnya hanya perlu berbicara sedikit
kepadanya, hanya untuk memberinya perintah.
"Shabash1." ayahnya bertepuk tangan, "kau
berhasil seperti diriku dulu. Kau telah membuat takut tikus-tikus Deccan itu
hingga menyerah. Tapi, apakah mereka akan tetap merasa takut?" "Ya, mereka akan
begitu." "Mengapa kau begitu percaya diri" Kami semua telah berusaha, tetapi saat kami
membalikkan punggung, mereka kembali mengangkat pedang mereka."
"Karena aku Aurangzeb," jawabannya mengejutkan, tetapi tidak ada tanda-tanda dia
membanggakan diri. Dia balas menatap sang ayah dan tampaknya tumbuh semakin
tinggi. "Mereka tahu aku tidak akan bersikap baik atau pemurah. Mereka tahu, aku
tidak akan memberi belas kasihan."
Shah Jahan memerhatikan anak lelakinya yang ketiga ini. Wajahnya tampak seperti
rajawali, matanya tajam dan berkilat, dan selalu mengawasi, hidungnya bengkok
seperti paruh, dan keseluruhan sikapnya seperti menantang. Shah Jahan merasakan
sikap permusuhan yang ditahan-tahan. Akhirnya, setelah mencapai keputusan, dia
mengangguk. "Kalau begitu, mereka harus diawasi terus-menerus?"
"Ya. Dan diperintah dengan keras, jika tidak mereka akan kembali melakukan
siasat lama." "Bagus," Shah Jahan merasa puas. "Kalau begitu, aku akan mengangkatmu sebagai
Subadar Deccan." Aurangzeb berkedip karena terkejut. Dia menatap abangnya, yang tidak mengatakan
apa-apa, tetapi hanya tersenyum. Aurangzeb tidak bergerak.
Tugas-tugasnya, yang sebenarnya merupakan kewajiban seorang putra mahkota, akan
membuatnya tetap jauh dari Agra, jauh dari istana, jauh dari kekuasaan. Tetapi,
jarak bisa dipersingkat dengan pelbagai cara.
"Sebagaimana yang Sultan inginkan."
"Bagus," Shah Jahan berdiri dan merangkul Aurangzeb. Tindakannya itu tidak
mencerminkan kasih sayang, hanya formalitas, simbol suatu hubungan.
"Ayo, lihatlah. Apa pendapatmu akan hal itu." Dia melambai ke langit terbuka di
luar lengkungan marmer; sebuah makam berdiri di bawah cahaya yang memudar.
"Aku telah melihatnya," Aurangzeb menjawab singkat. Dia berpikir bahwa makam itu
terlalu berlebihan, terlalu mewah, tetapi diam saja.
"Bagiku sendiri, aku merencanakan makam lain. Di sana!" Shah Jahan menunjuk ke
tepi sungai di seberang Taj Mahal. "Bangunan itu akan memiliki detail yang sama
persis, kecuali, makamku akan dibangun dengan marmer hitam. Sebuah jembatan
perak akan menghubungkan keduanya."
"Aku akan memastikan makam itu dibangun," kata Dara.
Aurangzeb masih membisu. Dia membungkuk ke punggung ayahnya, kemudian dengan
berani menatap tajam dan lama ke arah abangnya. Selubung itu sudah terbuka,
menampakkan kebencian di baliknya.[]
Kisah Cinta 1023/1613 Masehi Shah Jahan Mereka menunggu kami, menatap ke bawah; kami menunggu di bawah, menatap ke atas.
Sebulan penuh sudah berlalu sejak kami melakukan penyerangan ke kota ini. Kami
mengepung dinding-dinding tinggi Udaipur yang menjulang di tebing-tebing curam.
Dinding-dinding ini licin di semua sisinya; sebuah jalan berkelok-kelok menuntun
kami ke pintu gerbang kayu yang berat. Aku belum sepenuhnya mengerti seperti apa
wajah-wajah pertempuran; sudah pasti mereka mengolok-olokku. Di sana-sini jezail
ditembakkan, seorang prajurit roboh. Meriam menyemburkan api, tetapi tembakan-
tembakan lemah memantul di dinding-dinding; pasukan yang bertahan bersorak
gembira. Pasukanku duduk atau berbaring di bawah bayangan apa pun yang bisa
mereka temukan, merasa gembira karena masih hidup dan aman.
"Lakukan apa yang Akbar lakukan," komandan pasukanku menyarankan. "Bangunlah
sebuah sabat." "Aku bukan Akbar, aku Shah Jahan. Pembangunan sabat akan makan waktu setahun,
dan pasti banyak nyawa pasukanku yang melayang, seperti juga nyawa pasukan
Akbar." Sabat adalah sebuah terowongan panjang berkelok-kelok mirip seekor ular kobra,
dari permukaan tanah hingga mencapai pertempuran di benteng. Terbuat dari kayu
dan batu bata, serta direkatkan oleh lumpur, sabat cukup lebar untuk sepuluh
penunggang kuda dalam satu banjar, terlindung dan tersembunyi dari atas oleh
akar pohon. Di dinding-dindingnya ada celah-celah yang bagian dalamnya lebih
lebar daripada bagian luar, sehingga jezail-jezail dapat ditembakkan ke arah
pasukan bertahan. Ini adalah sebuah benteng yang hidup dan bergerak. Para
manusia yang membangunnya akan bekerja tanpa perlindungan dan sudah pasti akan
tewas. Selama setahun penuh Akbar kehilangan dua puluh orang dalam satu hari
ketika mereka membangun sabat. Kehilangan besar itu membuatnya marah.
"Kalau begitu, gali saja."
"Permukaannya terlalu kuat, dan terlalu curam."
Mereka kembali ke shamiyana mereka, sambil menunduk dan kecewa. Aku mendengar
bisikan mereka: Shah Jahan tidak bisa memerintah. Aku juga mendengar bisikan
Mehrunissa yang menggema dari Agra, menjelajah melewati daerah-daerah, seperti
tentakel yang perlahan-lahan akan membelitku: Shah Jahan akan gagal.
Aku mengelilingi dan terus mengelilingi kota yang
terlindung tembok itu-aku sendiri tak tahu, berapa kali. Setiap hari, aku
berharap untuk bisa melihat suatu kerapuhan, suatu kelemahan yang bisa kucari
dan kudobrak. Dinding-dinding itu masih tidak berubah; tebing curam itu tidak
bisa menjadi arena peperangan bagi pasukan penyerang. Orang-orang Rajput
memiliki persediaan air dan makanan untuk setahun, dan cukup banyak prajurit
tangguh untuk mempertahankan kota lebih lama daripada waktu tersebut. Serangan
langsung melalui jalan curam akan berarti hilangnya nyawa dalam jumlah tak
terhingga, atau lebih buruk lagi, kekalahan. Aku mendengar musik samar-samar,
dan melihat kostum-kostum merah, kuning, dan biru milik para perempuan Rajputana
ketika mereka melihat sampai mana pasukanku bisa maju. Warna-warna itu bergetar
dalam sinar matahari, kecemerlangan mereka menyilaukan, kontras dengan warna
cokelat kusam tanah ini. "Akbar, tuntun aku; berikan aku pertempuran secara
langsung dan aku akan meraih kemenangan. Aku tidak bisa menaklukkan batu-batu
ini." Arjumand Kekasihku kembali setiap senja dengan sangat muram. Saat aku mencurahkan cinta
kepadanya, dia tampak tidak menyadari. Aku menghiburnya, dia hampir tidak
memedulikan. Dia melangkah cepat, gelisah, murung, matanya segelap dan sebahaya
malam. Tidak ada yang bisa mendekati sang Pangeran kecuali aku.
Perkemahan kami terletak tiga kos dari benteng. Tendaku didirikan di tepi danau.
Di sekeliling kami terdapat reruntuhan istana yang sudah tidak dihuni, dinding-
dindingnya runtuh dan patah bagaikan gigi nenek sihir. Pada malam hari, saat aku
berbaring dalam pelukannya, kami mendengar babi liar, nilgai, dan harimau yang
datang untuk minum, siaga, dan waspada. Lalu, jauh di bukit-bukit gelap berhutan
yang mengelilingi perkemahan, kami bisa mendengar nyanyian peringatan chital
yang merdu, diikuti oleh celoteh kera-kera dan gonggongan sambar-sambar yang
pendek dan kasar. Seekor harimau sedang diburu. Kami mendengar aumannya yang
tertahan dari kejauhan-bahkan bumi pun bergetar karenanya-kemudian keheningan,
dan kembalinya aktivitas di hutan yang seakan-akan berbisik, setelah bahaya
lewat. Harimau itu sudah dibunuh. Pada saat fajar, dalam kabut yang bergulung-
gulung dari air, kami melihat sambar-sambar berdiri di danau, menyantap
dedaunan, dan sekumpulan nilgai yang minum air sebelum hari semakin panas. Sinar
matahari yang baru terbit membuat danau itu terasa penuh kesyahduan.
Pemandangan dan suara-suara itu, gerakan alamiah yang teratur, memulihkan
kondisiku. Mereka memberiku kenyamanan dan mengembalikan kekuatanku. Aku
mengalami pendarahan selama berhari-hari, menangis dengan pedih, karena aku tahu
bahwa darah itu bukan milikku, tetapi milik anakku yang tak berdosa. Wajah hakim
begitu muram; dia tidak bisa menghentikan nyawa yang melayang. Aku berkeringat, merasa
panas, warna kulitku berubah menjadi seputih kapur, dan tubuhku terlalu berat
untuk dibopong. Bala tentara berhenti dari kegiatan mereka, membisu dan sabar,
dan aku merasa tangan kekasihku menggenggam tanganku, mengecup wajahku,
membisikkan kata-kata cinta dan penghiburan.
Kematian sudah menorehkan garisnya di wajahku; itu tak akan pernah bisa dihapus.
Aku merasa tua karena penderitaan ini. Sambil memalingkan wajah ke dinding rath,
dengan kebas aku mendengarkan deritan roda kereta dan gemuruh bala tentara yang
berpindah tempat. Apakah aku terlalu tua untuk mengandung seorang anak" Lima
tahun yang tersia-sia, kering, dan kosong-aku begitu marah terhadap waktu yang
tersia-sia itu, terhadap ketidaksempurnaanku, kegagalan untuk melahirkan seorang
anak. "Bayinya meninggal," Shah Jahan berbisik. "Kita akan segera mendapatkannya
lagi." Dia menyeka air mata yang mengalir dalam kebisuanku, mengecup dan
merasakannya. "Jika .."
"Tidak, jangan katakan itu. Bukan kau yang harus disalahkan. Aku yang menyuruhmu
menepati janji. Bahkan pada waktu-waktu mendatang pun, semua tidak akan berbeda.
Aku akan ikut bersamamu. Kita tidak akan pernah berpisah."
"Seharusnya aku mengetahui kalau kau keras kepala."
"Kalau tidak, bagaimana kita bisa menikah?"
Dia tertawa dan memelukku. Sebelumnya, aku membutuhkan hiburan dan kekuatan
darinya; saat ini dia membutuhkan hal itu dariku, tetapi dia membisu, seperti
aku sebelumnya. "Aku mendengar bisikan-bisikan Mehrunissa," dia berkata, "dan mulai
memercayainya." "Mereka tidak akan dapat bertahan hidup di sana selamanya."
"Aku juga tidak dapat hidup di sini selamanya. Bahkan pasukanku sendiri pun
mencemoohku. Aku melihat tatapan mereka saat aku melintas, aku mendengar gumaman
mereka. Mereka tahu, aku sudah kalah."
"Belum, kau belum kalah." Sudah menjadi ritual kami sebelum tertidur, berbincang
dalam bisikan sehingga tidak ada orang yang mendengar. Hal ini sedikit memberi
kami kenyamanan. Keinginan kami sendiri tidak akan bisa menerobos benteng tinggi
itu. "Apa yang mereka makan" Apa yang mereka minum?"
"Aku diberi tahu bahwa mereka memiliki cukup perbekalan untuk setahun. Waktu
yang sangat lama." "Hanya satu tahun, bukan selamanya. Suatu hari, mereka pasti akan keluar."
"Hanya jika kita pergi. Mehrunissa sudah semakin tidak sabar. Ada yang berkata
padaku, 'Hanya satu benteng kecil, dan Shah Jahan tidak bisa menaklukkannya.
Haruskah aku mengirim Jahangir" Haruskah aku mengirim Mahabat Khan"1 Jika mereka
datang, aku yang akan terkalahkan."
"Apa yang akan terjadi," aku berbisik, "saat kau pergi, dan orang-orang Rajput
muncul ke lapangan?" Dia mengerti.
Matanya menjadi bersinar dan melebar, kegelapannya menghilang. Dia membangunkan
Isa dan memerintahkan para musisi untuk memainkan musik, para penyanyi untuk
menyanyi, dan membawakan minuman anggur. Kami minum dan tertawa, masa lalu tidak
lagi memiliki kekuatan untuk melukai kami. Kami telah menyingkirkannya jauh-
jauh. Tidak ada yang mengerti keceriaan kami; mereka tersenyum maklum, percaya
bahwa kami hanya tertawa untuk menepis kesedihan. Saat para penari dan penyanyi
sudah lelah, kami menyuruh mereka beristirahat dan kembali ke tenda. Ketika
bercinta, hasrat kami sama bergeloranya dengan saat pertama.
Shah Jahan Aku menghancurkan bumi. Seperti Timur-i-leng, aku menumpas. Selama sebulan, aku merusak tanah,
merusakkan ladang-ladang, sapi, babi, ayam, biri-biri, kambing, unta, dan
manusia-jika mereka melawanku. Pasukanku bergerak: ke timur, ke barat, ke utara,
ke selatan, merusak jantung-jantung tanah ini, meleburkan jiwa-jiwanya. Sumur-
sumur diracun, danau-danau dipenuhi oleh bangkai binatang. Pada sore hari, bumi
tertutup oleh awan debu dan asap yang menyelubungi sinar matahari senja, dan
dari menara-menara kota, sang Rana bisa melihat kematian kerajaan mereka. Api
membara, desa-desa diratakan dengan bumi, rakyat jelata berdiri sendiri-sendiri, ketakutan, melihat
para penunggang kudaku merusak panen mereka, saman mereka, impian mereka,
kehidupan mereka. Hutan terbakar dan binatang-binatang beterbangan.
Aku mengetahui jika sang Rana melihat itu semua. Benteng itu menjadi sunyi,
menjadi ketakutan, tembok-tembok tinggi itu bagaikan berkerut, melangkah mundur
saat ada api lain berkobar, menelan rumah, keluarga, anak-anak, dan kehidupan.
Bahkan para prajurit pun bercocok tanam di atas tanah, meminum air, menyantap
makanan, mencintai anak dan istri mereka. Mereka tidak bisa bertahan hanya
dengan ketabahan, tidak bisa menyantap keberanian. Saat ini, aku mengetahui
kelemahan sang Rana. Jika tidak ada rakyat dan tanahnya yang tersisa, tidak ada
yang bisa diperintah. Dia hanya akan menjadi seorang pangeran tanpa mahkota,
tinggal di kota hampa di puncak bukit yang hening.
Selama tiga puluh hari, aku memamerkan kekuatanku kepada sang Rana. Setiap
matahari terbit, sambil menunggangi Bairam, aku mengambil posisi di ujung jalan
yang menuju gerbang kota; setiap sore aku meninggalkannya. Setengah pasukanku
masih siaga untuk bertempur. Seluruh bala tentara tidak diperlukan untuk
menghancurkan bumi ini. Dia tidak dapat keluar, tidak dapat memerintah pasukan
berkudanya untuk membela negeri ini. Sebuah kota dalam benteng selalu bisa
bertahan, tetapi tidak akan pernah bisa menyerang, dan lama-lama akan
menjadi sel bagi penghuninya. Aku menunggu. Aku membaca Quran, membaca memoar
Babur, membaca puisi. Aku memerintahkan para musisi untuk bermain; mereka
menghiburku dan mungkin orang-orang terkutuk di benteng sana juga menikmati
alunan musik itu. Suatu pagi, gerbang terbuka; seorang pembawa pesan mendekat, dikawal oleh
selusin prajurit yang berjalan kaki. Mereka semua tidak bersenjata. Pasukanku
yang tak terhitung jumlahnya terdiam, begitu hening sehingga aku bisa mendengar
suara langkah kaki yang mendekat di atas tanah kering. Pradhan Rana adalah
seorang Brahmin. Dia membungkuk dan menatapku. Tatapannya tidak menyembunyikan
kesombongannya, dan dahinya digambari dengan lambang kastanya. Orang tolol itu
berharap agar aku lebih dulu memberinya salam. Aku tidak mengatakan apa-apa.
"Sisodia mengirimkan salamnya kepada Pangeran Shah Jahan. Dia telah melihat Anda
merusak kerajaannya, dan itu membuatnya sedih. Dia tidak bisa mengerti kekasaran
Pangeran Shah Jahan, atau kebijakannya untuk menyerang orang-orang yang cinta
damai. Akbar tidak akan ...."
"Kau berhadapan dengan Shah Jahan, bukan Akbar. Sementara kau mengoceh,
pasukanku meneruskan pekerjaannya. Apa yang diinginkan oleh Sisodia" Menyerah"
Atau kematian kerajaannya?" aku mengingat-ingat isi Babur-nama yang kubawa. Jika
Babur memiliki kepandaianku, dia pasti akan merebut kembali Farghani. Tetapi,
dia tidak akan memalingkan wajahnya ke selatan, ke arah Hindustan. Dia pasti masih akan
memerintah kerajaan kecilnya hingga saat ini.
"Menyerah," sang pradhan berbicara dengan cepat dan kasar. Kata itu serasa
mencekiknya. "Perintahkan kepada anak buahmu untuk berhenti."
Aku merasakan kemenangan sudah berada dalam genggamanku. "Pertama-tama, Sisodia
sendiri yang harus menghadapku. Dia boleh menunggang kuda. Dia boleh ditemani
oleh ... seratus anggota pasukan berkuda." Seperti Babur dan Akbar, aku mengerti
kebijaksanaan perundingan dan kebutuhan untuk bersikap toleran. Dalam
Arthasastra, suatu saga politik, Kautilya menyarankan kepada para pangeran untuk
tidak mengumpulkan musuh-musuh yang tidak penting. Pradhan itu masih terdiam
tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya melunak, dada sempitnya melebar, seperti
ayam jantan yang bersiap-siap berkokok. Martabat tuannya tidak akan tercemar,
dia akan keluar dari bentengnya seperti seorang Sisodia.
Bairam berbalik dan berjalan di antara kerumunan. Mereka memberi jalan dengan
penuh rasa hormat dan membungkuk, mengakui
kebijaksanaanku. Aku memaksa diriku untuk menyembunyikan kebanggaan dan
kegembiraanku sendiri, jadi aku hanya berhenti sebentar untuk menyampaikan
sebuah pesan singkat: "Beri tahu ayahku, sang Sultan: Mewar sudah ditaklukkan."


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Allahu Akbar!"
Aku tidak bisa menahan teriakan gembiraku. Aku
merentangkan tangan, merengkuh matahari dan angkasa, bumi dan angin, hutan-hutan
Geger Dunia Persilatan 9 Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing Kisah Sepasang Rajawali 21
^