Kisah Cinta Abadi 5
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 5
dan sungai-sungai. Penakluk Dunia! Gelar itu memang cocok; hanya itu satu-
satunya yang sesuai untukku. Gajahku bagaikan sebuah kereta kencana yang
berjalan menuju surga, dan semua orang memberiku penghormatan. Shah Jahan! Shah
Jahan! Shah Jahan! Angin kering membisikkan namaku, layang-layang menjeritkannya
di angkasa, kaki-kaki Bairam menjejak bumi dengan irama yang mengalun. Aku
merasa melayang, bagaikan dewa, bahkan jagat raya pun tidak bisa menampung
semangat kegembiraanku. Kebahagiaanku mulai terbit tatkala gerbang terbuka
perlahan, berderit dalam keheningan penantian; hal itu mengembuskan angin sejuk
dari dalam tubuhku, membuatku terbang, melayang, dan melesat hingga keluar dari
mulutku. Aku tidak pernah memikirkan apa pun dalam hidupku yang sama hebatnya
dengan ini semua; rasanya hal lain merupakan hal sepele. Rasanya, aku tidak
pernah hidup sebelumnya. Tidak, aku salah. Ketika aku pertama melihat Arjumand-
itu adalah sesuatu yang lebih dahsyat, tetapi berbeda. Itu adalah keterpesonaan
karena cinta; yang ini adalah kemenangan!
Arjumand Shah Jahan membuka sandalnya, dan perlahan, dengan penuh kebanggaan, menurunkan
tubuhnya ke bantal. Dia tampak begitu muda, begitu bangga, dan rasanya hatiku
sakit karena terlalu mencintainya. Dengan ragu-ragu, aku mengalihkan pandanganku darinya dan
mengintip melalui kisi-kisi ke arah kerumunan di diwan-i-am. Para pejabat
berdesakan di balik pagar merah tua; mereka tumpah ruah hingga ke lantai di
bawahnya, berdiri atau berjinjit agar bisa melihat pangeranku. Khusrav, Parwez,
dan Shahriyar, saudara-saudara lelaki Shah Jahan, berdiri di belakangnya, wajah
mereka datar, suram, ekspresi mereka tidak terbaca; apakah ada suatu rasa iri
yang telah timbul" "Aku tahu, dia akan berhasil," Mehrunissa berbisik di
telingaku. "Dia akan menjadi seorang pangeran yang mulia." Dia memelukku,
seolah-olah aku yang meraih kemenangan itu. "Aku akan selalu membantunya.
Katakan kepadanya, dia bisa mengandalkanku." Aku merasa Mehrunissa sedang
menimbang-nimbang dari sorot matanya.
Kemenangan membawa kekuasaan, dan aku juga dituntut untuk mendapatkan apa yang
sudah dia capai. Di belakang pagar perak, berdiri gelisah seorang anak muda yang langsing, anak
lelaki Rana dari Mewar. "Sungguh anak lelaki muda yang liar!" Mehrunissa
tertawa, mencemoohnya. Turbannya tidak membungkus rambut pangeran itu, tetapi
terletak tinggi di atas kepalanya dengan gaya Rajputani, seperti sebuah tambang
terpilin yang kusut. Pakaiannya tidak bergaya, dan meskipun dia tampak arogan,
sudah jelas bahwa dia merasa takut dan khawatir akan pertemuan itu. Karan Singh
adalah seorang anak lelaki yang lembut,
meskipun dia tidak terpelajar. Sungguh menyenangkan bisa ditemani oleh seseorang
yang begitu polos, begitu ingin tahu banyak hal. Di istana, semua sifat itu akan
menghilang secepat kilat. Selama perjalanan dari Mewar ke Ajmer, Shah Jahan
mendapat pelbagai pertanyaan dari Karan Singh. Di Ajmer-saat kami menunggu
Jahangir-anak pertamaku bersama Shah Jahan, yang benihnya dibuahi dalam
kebahagiaan di samping danau sembilan bulan yang lalu, terlahir. Kami berdoa
agar diberi anak lelaki. Tetapi, Tuhan memberi kami anak perempuan, yang diberi
nama Jahanara. Dia adalah seorang bayi yang cantik dan kami mencintainya.
Jahangir, yang merasa puas karena kemenangan yang dicapai-dia menganggap ini
adalah kemenangannya-telah membawa seisi istana kemari, seratus kos dari Mewar,
untuk merayakannya. Ajmer adalah sebuah kota kecil yang padat, cukup antik,
penuh dengan bangunan-bangunan beratap datar yang rendah, dan dikelilingi oleh
perbukitan Taragarh. Dua masjid kuno dan legendaris berdiri di sana: Arhai-din-
ka-Jhonpra dan Dargah. Kekasihku telah membangun sebuah benteng kecil di dalam
kota, tetapi Jahangir memilih untuk mendirikan tenda kerajaan di pantai Danau
Sagar. Sepanjang hari, angin sepoi-sepoi berembus menyeberangi danau dari
perbukitan. Sang Sultan masuk dan menaiki singgasana. Dia tersenyum ke arah kekasihku,
bertepuk tangan puas dan gembira, dan para pejabat dengan segera
mengikutinya. Wajah setiap orang memancarkan kebahagiaan, seakan-akan dibuat
dari cetakan yang sama. "Aku gembira dengan kemenanganku atas Mewar," Jahangir mengumumkan. "Sementara
Akbar mengalami kegagalan, aku berhasil. Aku hanya berharap dia ada di sini
bersamaku untuk merayakan kemenangan ini. Dia pasti akan bangga kepadaku, yang
belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Jiwaku yang mulia selalu menginginkan,
sebisa mungkin, untuk tidak menghancurkan kerabat lama ini. Aku hanya berharap
untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama mereka. Karena alasan itu, aku
tidak meminta apa-apa kepada Rana dari Mewar ..." Jahangir menatap Karan Singh.
Karan membungkuk dengan gugup. Gerakannya tidak dilakukan dengan benar, tetapi
Jahangir memaafkannya. "... kecuali untuk mengirimkan putranya, Patrani dari
Mewar, untuk tinggal di sini dan menjadi tamuku selama beberapa waktu. Sang Rana
akan tetap memiliki kerajaannya, dan satu-satunya yang kuminta darinya hanyalah
kesetiaan dan cintanya ...."
"Jangan mendengus," Mehrunissa mencubitku. "Biarkan dia menjadi sultan. Kita
semua tahu bahwa itu adalah pencapaian Shah Jahan. Ini membuat Jahangir senang,
dan seharusnya membuatmu senang juga."
"Paling sedikit dia harus menyebut nama suamiku."
"... aku bangga terhadap putraku, Shah Jahan,
karena telah mengikuti instruksiku dengan baik. Aku akan menaikkan pangkatnya
sehingga dia membawahi sepuluh ribu zat dan lima ribu sowar ...."
"Tidakkah itu membuatmu senang" Kau kaya sekarang." "... dan aku memberinya izin
sejak hari ini untuk mendapatkan gulabar merahku."
"Aku sudah mengatakan, dia tidak akan melupakan pangeranmu."
Merah, bukan warna darah-itulah mimpi yang selalu menghantuiku selama beberapa
tahun ini. Aku telah membayangkan genangan darah di dipan sebagai arti mimpiku,
tetapi aku salah. Aku tertawa dan bertepuk tangan. Kekasihku saat ini sudah
dipastikan akan menjadi putra mahkota. Awalnya adalah anugerah sebagai penguasa
jagir Hissan-Feroz, dan saat ini anugerah berupa gulabar warisan. Jahangir
menghujani Karan Singh dengan hadiah-hadiah berharga dan upacara berlanjut.
1025/1615 Masehi Kapan putraku Dara terbentuk" Seorang perempuan mungkin bisa menjelaskan hal
seperti ini, bukan berdasarkan perhitungan, tetapi berdasarkan insting,
berdasarkan cinta. Sebuah janin terbentuk pada suatu peristiwa dahsyat. Pasti
bukan pada saat-saat lain. Pembuahan Dara terjadi dalam kegembiraan,
kebahagiaan, dalam tawa dan cinta. Aku mengingat belaian, ciuman, dan kemesraan
yang semakin membuncah dari keintiman kami. Tubuh kami begitu penuh hasrat,
darah kami bergelora. Yang kami rasakan dan jalin pada malam
itu menjadi sebentuk tubuh anak kami. Anak kami mendapatkan jiwa yang
bersemangat dari peristiwa itu.
Aku tidak mengetahui bagaimana itu terjadi, tetapi kita menciptakan sifat-sifat
seorang anak jauh sebelum mereka terlahir ke dunia. Mereka tidak hanya
mendapatkan asupan makanan dari tubuh kita, tetapi juga dari pikiran, perasaan,
dan udara yang kita hirup. Dara tidak membuatku merasa sakit, atau mungkin aku
tidak menyadarinya karena sedang berbahagia. Dia lahir dengan cepat pada saat
matahari terbit. Dia tidak menangis, tetapi hanya terbaring di lenganku sambil
memandang berkeliling dengan keingintahuan yang besar. Matanya mirip mata Shah
Jahan. Aku tidak bisa menyerahkannya kepada para perempuan yang menunggu dengan tidak
sabar untuk menyusui sang pangeran kecil ini. Sungguh suatu kehormatan bagi
mereka yang air susunya diisap oleh seorang pangeran. Mereka akan diberi imbalan
kekayaan dan kehormatan, posisi mereka di harem pun akan meningkat. Tetapi, aku
meletakkan mulutnya yang mencari-cari di payudaraku sendiri, ingin dia mengisap
air susuku. Aku memerintahkan para ibu susuan itu untuk mengundurkan diri. Aku
merasa, aku harus berhati-hati. Susu mereka mungkin bisa mengubah bayi kami
tersayang, membentuk jiwanya dari sifat-sifat mereka.
Yang pertama datang dan mengunjungiku adalah Shah Jahan, wajahnya lesu dan
khawatir karena terjaga semalam suntuk. Dia juga mengalami rasa
sakit sepertiku, atau mungkin lebih parah. Dia mengecupku terlebih dahulu,
bersyukur karena aku bertahan hidup, dan berbaring di sebelahku dengan perasaan
puas dan lelah. Kemudian, dengan lembut dan setengah bermimpi, dia menghampiri
putra kami. "Dia secantik dirimu."
"Anak-anak lelaki tidak cantik, mereka tampan." "Tapi yang ini begitu."
Dia meletakkan jarinya ke dalam genggaman kecil si bayi, dan si bayi
mencengkeramnya. Tampaknya mereka merasakan hal yang sama, jatuh cinta pada
pandangan pertama, seperti yang kami rasakan satu sama lain. Keduanya tersenyum
penuh kekaguman satu sama lain, dan saat Shah Jahan membungkuk untuk mengecup
putranya, tawa Dara pecah.
"Janggutmu menggelitiknya. Aku hanya berdoa agar dia tumbuh dengan kuat dan
tegap seperti dirimu."
"Dia adalah ahli warisku," Shah Jahan berbisik, kemudian dia mendekati telinga
mungil bayi kami. "Suatu hari, kau akan menjadi Mughal Agung."
Mehrunissa menatap Dara dengan penuh rasa ingin tahu, sambil memiringkan kepala,
menyipitkan mata seolah sedang menatap dari balik beatilha. Dia akan mencubit
pipi bayiku, tindakan kasih sayang yang biasa dia lakukan, yang akan membuat
bayiku menangis, tetapi aku menahan tangannya.
"Apa yang Bibi perhatikan?"
"Aku sedang mengaguminya," Mehrunissa tersenyum. "Menurutku, dia mirip Shah
Jahan. Jahangir sangat senang. Dia mengirimkan hadiah." Para budak berjalan sambil
memanggul sebuah buaian besar yang terbuat dari emas. Buaian itu tergantung dari
sebuah palang yang disangga oleh tiang-tiang pada kedua sisinya. Benda itu
setinggi seorang pria tegap, dan ada cukup ruangan untuk seorang anak lelaki
kecil. Sisi-sisinya diukir dengan gajah-gajah yang sedang berjalan. Mehrunissa
menciumku, tampak ragu-ragu, kemudian mengecup dahi mungil Dara dengan bibirnya.
Sikap kami lebih mencerminkan perasaan yang sesungguhnya daripada perkataan
kami. Aku mengawasi Mehrunissa ketika dia berjalan menjauh dari sisi tempat
tidurku, perlahan-lahan dan tenggelam dalam pikirannya.
Isa Aku mencintai Dara seperti menyayangi anakku sendiri. Saat tugas-tugasku
selesai, aku akan mencarinya. Jika dia sedang bersama Arjumand dan sang
Pangeran, aku tidak akan mengusiknya. Tetapi jika dia sedang bersama pengasuh,
aku akan membawanya dari mereka dan kami akan keluar menuju halaman untuk
bermain. Kulit dan rambutnya begitu lembut dan dia merasakan belaianku, dan
menggenggam jari-jariku seakan-akan aku ini ayahnya. Usianya belum cukup untuk
bisa membedakan orang. Segera, dia akan mampu melakukannya. Dia tampak seperti
Arjumand, kecuali matanya yang gelap; mata itu adalah mata ayahnya.
Tempat tinggal itu tenang dan menyenangkan. Kami hidup dalam kerukunan, dan
sungguh melegakan karena bisa lepas dari intrik-intrik istana kesultanan. Aku
percaya bahwa Arjumand merasa senang untuk tinggal di sini selamanya, terlupakan
oleh seluruh keluarganya. Dia sangat mencintai suaminya dan sesering mungkin
berusaha untuk bisa mendampingi sang Pangeran. Tidak seperti orang lain, mereka
tampak menikmati keintiman, meskipun banyak pasangan suami-istri lain memilih
untuk menjadi orang asing, kecuali saat mereka sedang melakukan hubungan suami-
istri. Bagaimanapun, Mehrunissa tidak menyukai kedamaian seperti ini. Kemenangan Shah
Jahan hanya meningkatkan kekuasaan Mehrunissa. Dia semakin bersinar karena hal
ini dan, ketika sekali lagi Deccan menunjukkan perlawanan, dia membisikkan lagi
nama sang Pangeran ke telinga Jahangir.
1026/1616 Masehi "Kau harus tetap di sini, Agachi. Aku akan menjaga sang Putra Mahkota dalam
perjalanan." "Tidak. Kau bukan istrinya. Kami telah sama-sama berjanji."
Tetapi, dia mendesah saat kami mengawasi kesibukan persiapan menuju penyerbuan
ke Deccan. Saat itu adalah awal musim dingin, waktu yang tepat untuk melakukan
kampanye, dan jauh di selatan, hawa panas musim kemarau akan membakar kulit.
"Tapi ingat peristiwa dalam perjalanan menuju
Mewar. Kondisimu tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan."
Perutnya membesar sekali lagi; dia bergerak dengan kaku dan lemah. Bayi ini
datang terlalu cepat. Seharusnya Arjumand beristirahat selama setahun atau dua
tahun. Hakim mengatakan ini kepadaku setelah dia memeriksa Arjumand. Dia begitu
khawatir; dan kekhawatiran sang hakim menular kepadaku. Perjalanan ke selatan
lebih berat, lebih keras, dan pertempurannya mungkin lebih dahsyat.
"Kau mulai terdengar seperti perempuan tua. Mungkin kau lebih memilih untuk
tetap tinggal di belakang, dalam kenyamanan?"
"Ke mana pun kau pergi, aku akan melayanimu, Agachi. Tapi, tolong sadari; apakah
Dara juga bisa melakukan perjalanan ini" Dia masih terlalu kecil."
"Dia akan terbiasa," dia mendesah, seolah-olah telah melihat sebuah perjalanan
panjang yang tidak memiliki akhir.
Bayi itu terlahir di dekat batas luar kesultanan, seorang anak lelaki lagi-
Shahshuja. Arjumand yang kelelahan setelah melahirkan memberikannya kepada
seorang ibu susuan. Dataran itu, penduduknya, dan iklimnya tidak ramah. Bukit-bukitnya berwarna ungu
kusam, tajam seperti taring, menjulang di atas hutan belantara, melindungi desa-
desa terisolasi dan pangeran-pangeran kecil. Burhanpur adalah sebuah kota kecil terlindung di lembah dekat Sungai Tapti, dan
selalu ada iring-iringan kapal yang berlayar hilir mudik dari sini ke Surat. Air
sungai menerpa dinding-dinding istana, dan dari atapnya kita bisa melihat
benteng batu raksasa yang misterius di antara kabut, Asirghah, benteng tertinggi
di Hindustan. Butuh waktu satu hari penuh untuk naik dari dataran di bawahnya
menuju gerbang istana. Akbar membutuhkan waktu dua tahun untuk mendudukinya, dan
hanya dengan suatu siasat dia akhirnya berhasil.
Istana itu berupa bangunan sederhana kecil yang terbuat dari batu bata. Tidak
ada penggalian batu paras atau marmer di sini. Hawa panas tidak pernah berubah,
membuat setiap batuan dan semak tampak bergoyang-goyang. Humayun, Akbar,
Jahangir, dan saat ini Shah Jahan, semua pernah tinggal di istana ini, untuk
bertempur melawan pangeran-pangeran kecil yang tak pernah berhenti membuat
masalah. Mengapa mereka tidak menerima kekuasaan Mughal Agung dengan damai,
malah terus-menerus menyeret mereka kemari"
Kelahiran Shahshuja begitu lama dan menyakitkan. Jeritan dan rintihan Arjumand
membakar hatiku. Setelah itu, dia kelelahan dan kehabisan tenaga, dan terbaring
di kamarnya yang menghadap bukit-bukit membeku, sungai yang mengalir, dan langit
yang membara. Kadang-kadang, dia menikmati bayangan gumpalan awan yang melayang-
layang, bergerak cepat, membuat bukit-bukit menjadi gelap. Kami berada ribuan
kos dari Agra, dan kami semua merasa bagaikan tinggal di dunia ganjil yang membara,
dan hanya kami yang merupakan makhluk hidup di sini.
Tubuh Arjumand tidak segera kembali ke bentuknya semula, tetapi masih
membengkak, berat, seakan-akan masih mengandung seorang anak. Kukira itu
mengusiknya-para perempuan biasanya sangat memedulikan hal ini-tetapi dia tidak
mengatakan apa-apa kepada Shah Jahan. Saat Shah Jahan kembali setelah berunding
dengan para komandan pasukannya, Arjumand akan bersikap ceria, tertawa,
berbicara, dan bermain bersama Dara dan Jahanara, memberi kesan bahwa dia selalu
bahagia sejak fajar. Tetapi, Arjumand tidak sempat beristirahat. Karena sudah
menanti sang Pangeran terkasih selama bertahun-tahun, anak-anaknya berturut-
turut terlahir dari tubuhnya. Hanya sembilan bulan kemudian, dia melahirkan
seorang anak perempuan, Raushanara. Anak perempuan ini disusui oleh seorang
perempuan desa yang bayinya meninggal, dan Arjumand bersyukur karena bisa
beristirahat. Tetapi, kasih sayangnya kepada Dara tidak pernah berubah. Dia akan
memeluk dan memerhatikannya, menghujani Dara dengan kecupan. Shah Jahan juga
sepertinya memperlakukan hal yang sama dan terus merasa bahagia karena kelahiran
putra pertamanya. Dia hanya memerhatikan, memeluk, dan mengecup anak-anaknya
yang lain sebentar. Anak kesayangan telah dipilih; dia telah mendapatkan sebuah
tempat di hati mereka, dan tidak ada yang bisa merebutnya
saat ini. Betapa teganya orangtua yang membuat pilihan di antara anak-anaknya
sendiri! "Isa, kau akan pergi mendampingi kekasihku berperang. Kau harus membelanya dari
musuh-musuhnya." "Aku akan mendampinginya, Agachi, tapi aku bukan seorang kesatria. Aku akan
berusaha semampuku."
"Jika dia harus mati, aku akan mengikuti. Hatiku akan hancur. Aku benci orang-
orang yang membahayakan Shah Jahan. Anehnya, dia menikmati ini semua, seakan-
akan pertempuran ini hanyalah suatu permainan yang tidak akan mencabut nyawa
seseorang. Dia seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru."
"Pasukan Mughal bukan mainan, Agachi. Seharusnya kau merasa bangga karena dia
mengepalai kekuatan yang begitu besar. Dia akan mendapat kemenangan sekali
lagi." "Aku tahu, tetapi aku masih tetap ketakutan. Bisa saja ada sebatang anak panah,
tombak, atau peluru lontar mengenainya, dan aku juga akan berhenti bernapas."
Jadi, aku menemani Shah Jahan bertempur, tetapi tidak dengan rasa bahagia. Aku
duduk meringkuk dengan tidak nyaman di belakangnya, di howdahnya. Bairam telah
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencium aroma peperangan; dia sudah dipasangi baju zirah berantai dan ketika
kami berbaris, dia meniupkan suara
nyaring. Gajah-gajah lain menjawabnya dan geraman mereka bergema di bukit-bukit.
Tanah bergetar karena gerakan para penunggang kuda, mengalir bagaikan arus yang
mengalir ke saluran-saluran air, menuju perbukitan, dan menuju lembah-lembah
curam. Medan perang sudah dipilih, sebuah plato di dekat Elhchpur. Di hadapan
kami berdirilah pasukan raja-raja Nizam Shahi.
Aku memandang berkeliling saat kami mendekati pasukan mereka, nyaris tidak
percaya melihat ribuan prajurit yang dikomandani oleh Shah Jahan. Di sekeliling
kami, Ahadi Shah Jahan menunggang kuda, dan di belakang, Mahabat Khan, bayangan
Jahangir yang selalu mengawasi, mengikuti kami. Sang jenderal tua maju ke medan
perang dengan dingin; dia bersandar di howdahnya, kakinya bersilang, dengan
tangan di belakang kepalanya. Aku mengira bahwa posisinya ini sengaja dia
lakukan untuk menenangkan dan mendukung keberanian semua orang yang melihatnya.
Di sebelah kanan kami ada seorang teman baru Pangeran, Karan Singh. Sang
pangeran Mewar itu memilih untuk menunggang kuda. Di bawah turban gelapnya, dia
mengenakan sebuah helm besi dan tubuhnya tertutup oleh baju zirah dari jalinan
logam yang sangat rapat. Di sebelah kiri kami ada teman lama sang Pangeran,
Allami Sa'du-lla Khan. Shah Jahan hanya mengenakan char-aina yang paling ringan,
yang terdiri dari dua pelat logam segi empat yang dilapis dengan rapi untuk
melindungi dada dan punggungnya, serta dua pelat yang lebih kecil
untuk melindungi sisi-sisi tubuhnya, semua disatukan dengan pengait dari emas.
Helmnya dihiasi oleh sehelai bulu yang mengangguk-angguk yang ditempelkan oleh
emas, dan jalinan rantai pelindung kepala tergantung hingga punggungnya. Jezail-
jezailnya dibawakan oleh orang-orang yang berjalan di samping Bairam. Mereka
juga terlindungi dengan rapat. Hanya aku yang tidak mempersiapkan diri untuk
pertempuran, mengenakan jiba dan piama, merasa rapuh dan putus asa. Aku terus-
menerus berdoa. Shah Jahan mengangkat tangan kanannya ke sebelah kanan pasukannya, dan memutar
pergelangannya sekali. Selama semenit yang terasa lama, tidak ada yang bergerak.
Kemudian, sepuluh ribu penunggang kuda memisahkan diri dari pasukan utama dan
mulai berderap ke selatan. Dia melakukan hal yang sama dengan tangan kirinya,
dan sepuluh ribu penunggang kuda lain berderap ke utara. Ini adalah ujung-ujung
tanduk banteng, yang disusun untuk menyerang musuh kami dari arah samping. Di
depan kami, bergeraklah barisan meriam dan banduq-chi. Kami mencapai ujung plato
dan di depan sana, pasukan musuh mulai bergerak ke arah kami.
Shah Jahan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan kami berhenti bergerak.
Metode peperangan yang telah dites ini membuat musuh bisa masuk ke dalam
jangkauan, untuk menipu musuh agar percaya bahwa mereka bisa berhasil menyerang.
Barikade untuk barisan banduq-chi
disiapkan dalam posisinya, dan para siphai menyiapkan senjata mereka. Jauh di
sebelah selatan dan utara, dua puluh ribu penunggang kuda kami akan mengepung
musuh. Shah Jahan menoleh ke arahku. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya yang gelap
tampak berkilat, api membara di dalam kepalanya. Dia mirip seekor binatang buas,
bersiap dan mengambil ancang-ancang, siap menerjang.
"Kau takut, Isa?"
"Aku tidak bisa berbohong, Yang Mulia. Ya. Aku tidak terbiasa berperang."
"Aku tidak bisa mengurangi ketakutanmu. Setiap pasukan memiliki tujuan yang
sama: kemenangan. Dan salah satu bagian tujuan itu adalah membunuh pemimpinnya.
Jika aku tidak terlihat oleh pasukanku-meskipun satu menit saja-mereka akan
mengira aku tewas, dan mereka akan mundur. Aku adalah jantung mereka. Jika aku
mati, semangat mereka juga akan mati. Musuh akan mengerahkan usaha terbaik
mereka untuk menyerangku. Kupikir kau memilih gajah yang salah."
"Anda harus menolak permintaan Arjumand, Yang Mulia. Anda seharusnya meminta
agar aku tetap di sampingnya."
"Siapa yang bisa menolak keinginan Arjumand" Bisakah kau?"
"Tidak, Yang Mulia."
Perhatiannya teralih ke arah musuh yang mendekat, dan aku segera berdoa. Sifat
pengecut adalah hal yang menyedihkan. Aku tenggelam dalam
rasa mengasihani diri sendiri, dalam janji-janji menakjubkan menuju keabadian;
jika mereka melindungi hidupku, aku akan mengusahakan segala cara untuk
berkorban bagi kemuliaan mereka. Pada saat ini, aku tidak bisa lagi melakukan
kebiasaanku; jiwaku seakan telanjang. Aku tidak bisa mengingat ayat-ayat Quran
atau mengingat artinya iman.
Di kedalaman jiwaku yang gelap, aku memohon kepada Syiwa. Aku memohon maaf
karena pengingkaranku, pengabaianku terhadap
dewa-dewa karena berpura-pura telah berpindah keyakinan. Sudah pasti, Syiwa akan
mengerti bahwa di dalam dunia Muslim, aku, seorang Hindu yang malang, hanya bisa
meraih ambisiku yang sederhana-untuk bertahan hidup-dengan
mengucapkan melalui bibirku, meyakini kepercayaan mereka. Jika aku bisa bertahan
hidup, aku akan memanjatkan puja; aku akan melakukan homam untuk kehadirannya
yang abadi; aku akan berziarah ke Varanasi, Badrinath, ke mana pun dia
menginginkan aku pergi. Dalam rasa malu, aku akan mencukur rambutku.
Doaku terputus oleh gumaman orang-orang yang semakin keras. Para prajurit Muslim
mulai berteriak, awalnya pelan, kemudian semakin keras: "Ba-kush, Ba-kush",
sementara para prajurit Hindu berteriak: "Mar, Mar." Di tengah antusiasme, aku
sendiri berteriak: "Mar, Mar." Shah Jahan terkejut dan menoleh, "Kau juga ingin
membunuh, Isa" Kami akan memberimu pedang." Senjatanya tiba-tiba sudah
diserahkan ke tanganku. Dalam kebingungan, dia
tidak bisa mendengar-atau mungkin dia mendengar, dan berpikir bahwa itu tidak
penting-bahwa aku menyuarakan jeritan Hindu.
Musuh bergerak ke arah kami, berupa segerombolan debu, kuda, manusia, dan gajah.
Mereka tampak hanya ingin bergerak tanpa henti ke arah kami dan menghancurkan
pasukan kami. Mereka tidak memiliki strategi, hanya untuk mengerahkan kekuatan
melawan kekuatan. Shah Jahan tertawa saat dia melihat betapa rapatnya mereka
berdesakan, tidak mampu menghadapi dua puluh ribu pasukan berkuda yang mengepung
sisi-sisi pasukan mereka. Mereka memiliki sedikit persenjataan, tetapi tidak
memiliki meriam. Saat musuh sudah berada di dalam jangkauan, Shah Jahan
mengangkat tangannya dan melambai ke depan. Meriam-meriam kami segera
menembakkan peluru. Serpihan daging dan logam dari musuh kami segera bertebaran.
Sekali lagi meriam ditembakkan, menghasilkan lebih banyak serpihan. Jeritan
manusia dan hewan menjadi hening, tidak mampu mengatasi raungan jezail dan
meriam yang terus-menerus ditembakkan. Shah Jahan merentangkan kedua lengannya
ke samping dan perlahan-lahan menyatukannya hingga kedua telapak tangannya
menempel. Di kejauhan, di antara asap biru dan debu cokelat, aku melihat para
penunggang kuda menyerang sisi-sisi pasukan musuh. Matahari berkilauan pada
pedang dan darah, logam beradu logam, gajah meniupkan teriakannya, kuda-kuda
meringkik. Manusia menebas manusia lain seakan-akan mereka adalah pohon yang ditebang, lengan dan
kepala jatuh bergelimpangan, perut-perut terbelah dan memancarkan darah. Tanah
menyerapnya, berubah warna menjadi kusam dan gelap. Udara berdentang-dentang
dengan nyanyian peperangan, dengan seruan untuk membunuh: "Ba-kush, Ba-kush;
Mar, Mar." Bairam berdiri tanpa bergerak, tidak ada musuh yang bisa mencapai
kami. Pada tengah hari, pertempuran mereda. Musuh kami mundur dengan panik,
meninggalkan senjata, jasad teman-teman mereka, hewan-hewan yang terluka, dan
para prajurit yang meratap. Lima ribu pasukan musuh tewas, dan dari pihak kami
seribu delapan ratus lima puluh prajurit gugur. Pasukan Mughal maju ke medan
perang, menusukkan pedang ke tubuh mayat dan mengambil cincin-cincin emas serta
barang berharga dari mereka. Aku mendongak; burung-burung nazar terbang
melingkar di langit. Bagaimana mereka tahu" Apakah suara peperangan bisa sampai
ke telinga mereka yang tertutup bulu" Apakah para dewa membisikkan berita lewat
angin" Mereka datang dari segala penjuru, mengepak-ngepak di udara seolah
merayakan pembantaian itu. Shabash, shabash.
1028/1618 Masehi Arjumand
Sebuah kursi emas sudah diletakkan di samping singgasana sultan, tetapi Shah
Jahan masih berada di tempat sebelumnya, duduk di bantal-bantal di
hadapan singgasana. Di satu sisi ada sebuah piring emas besar yang dipenuhi
batu-batu mulia, berlian, batu mirah, zamrud, dan mutiara. Di sampingnya ada
sebuah piring emas lain yang penuh dengan koin emas. Saudara-saudara lelakinya
berdiri di belakang Shah Jahan, dan di belakang mereka para pejabat istana
berkumpul. "Kau begitu pendiam," kata Mehrunissa.
"Aku merasa sangat bangga." Aku menempelkan dahiku ke kisi-kisi yang dingin. Aku
berharap tidak perlu ada kemenangan lagi. Sungguh lega rasanya bisa meninggalkan
Deccan dan kembali ke Agra yang bercuaca sejuk, menyegarkan, setelah panas
menyengat di daerah selatan. Aku berdoa agar kesultanan ini tetap damai selama
bertahun-tahun, agar kami bisa hidup bersama-sama dalam kedamaian cinta kami.
"Tapi aku sedikit lelah. Semua karena kemeriahan ini. Setiap kami kembali,
derajat pangeranku semakin tinggi di mata ayahnya, tapi kuharap akan ada
perdamaian saat ini, agar kami bisa menjalani hidup normal."
"Shah Jahan adalah pemimpin yang hebat. Semua tergantung ayahnya dan berkait
dengan masalah-masalah kesultanan."
"Kirimlah Mahabat Khan lain kali, kumohon, Bibi. Aku ingin tinggal di sini
sementara waktu." "Siapa yang menyuruhmu pergi bersamanya" Jika Jahangir yang pergi ke Deccan, aku
akan berbahagia melepasnya ke sana dan tinggal di sini."
"Kami saling berjanji tidak akan pernah berpisah."
Mehrunissa mengangkat bahu. "Kalau begitu,
pikirkanlah dengan otakmu sendiri. Kau gila karena ingin mengikutinya ke mana
saja." "Dia juga menginginkan itu."
"Lain kali, tinggallah di Agra," Dia menatapku melalui bayangan gelap. "Kau
tampak lelah." Tangannya menyentuh tonjolan di perutku. "Lagi. Apakah kalian
berdua tidak pernah berhenti" Kau harus beristirahat, Arjumand. Tolaklah dia."
"Bagaimana bisa?" Aku tidak bisa menahan air mata di saat peristiwa menyenangkan
ini terjadi. "Aku tidak akan tahan melihat dia merasa sedih."
"Biarkan dia begitu," kata Mehrunissa dengan kasar. "Apa yang dia pikirkan
tentangmu, seekor sapi" Dalam lima tahun, kau telah melahirkan lima bayi."
"Empat," aku berkata tanpa berpikir. "Ini yang kelima. Yang pertama tidak
hidup." "Itu sudah lebih dari cukup. Suruh dia pergi ke perempuan lain untuk memuaskan
nafsunya. Ya Tuhan, pria itu seperti kerbau karena begitu banyak meminta
darimu." Suaranya merendah. "Aku tidak mengizinkan Jahangir tidur denganku lebih
dari sebulan sekali. Jika hasratnya tidak bisa ditahan, aku menyuruhnya tidur
dengan salah seorang budaknya. Aku akan memberimu beberapa budak perempuan."
"Tidak. Aku akan memuaskan suamiku sepanjang dia memiliki hasrat kepadaku
seorang. Dia tidak memperistri perempuan lain, dan dia juga tidak ingin tidur
dengan perempuan lain."
"Tapi, setiap kali kau mengandung bayi lagi.
Lihatlah tubuhmu; bandingkan dengan tubuhku."
Pinggangnya begitu ramping, kulitnya bersinar sehat, rambut panjangnya yang
terjalin tebal jatuh ke pinggangnya. Aku tidak bisa mengingkari kemudaannya;
kemudaanku tampak memudar, bagaikan kelopak mawar yang dijepit di antara halaman
buku, tipis, usang, dan rapuh. "Aku tidak tampak tua."
"Kau akan begitu jika terus melahirkan bayi. Tidakkah kau melihat perempuan-
perempuan jelata" Gemuk, jelek, dan berat, dikelilingi anak-anak" Kau akan mulai
tampak seperti begitu." Mehrunissa menatapku dengan penuh arti: "Sudah pasti kau
menikmatinya juga. Tapi, terlalu banyak kenikmatan bisa berakibat fatal."
Aku tidak bisa mengingkari kenikmatan itu. Kadang-kadang, kenikmatan itu tidak
sekadar kenikmatan fisik. Aku tidak bisa terangsang oleh hasrat sehebat yang
suamiku miliki, atau merasakan gairah yang kurasakan sewaktu muda. Tubuhku
terasa kaku, bagaikan tinggal di dunia lain, tidak bisa merasakan sentuhan bibir
dan tangannya, juga gerakan tubuhnya yang mantap. Tetapi, ketika aku menatapnya
yang sedang tenggelam dalam kenikmatan, aku juga merasa bahagia. Jika kenikmatan
ragawi tidak bisa kurasakan, tidak begitu dengan perasaanku. Pada malam
kemenangannya, aku tidak bisa memerintahkan tubuhku untuk menyambut sentuhannya
dengan penuh gairah. Tubuhku terbaring dengan pasif, masih sakit setelah
kelahiran Raushanara. Rasa
pedih itu lebih terasa daripada sebelumnya, organ intimku terasa membara karena
gerakannya. Pertempuran menyalakan gairahnya; cintaku membuatnya tenang. Aku
mencintainya; aku tidak bisa menolaknya.
Dundhubi bertalu-talu menandakan kehadiran Jahangir. Di belakangnya, ayahku
berjalan, membawa sebuah buku bersampul kulit yang berat. Jahangir berjalan
perlahan, bersandar di samping kakekku. Tampaknya dia semakin menua, sementara
Mehrunissa justru tampak semakin muda. Dia berhenti sesekali untuk bernapas
dalam-dalam, seakan-akan tidak mampu menarik udara ke dalam tubuhnya.
"Dia tampak tidak sehat."
"Kesehatannya prima," kata Mehrunissa dengan tajam. "Tidak ada masalah dengan
Sultan, jadi jangan mulai menyebarkan kabar angin, atau kau akan terlibat
masalah." Mehrunissa gagal menyembunyikan kemarahan dalam suaranya yang
bergetar. "Sultan akan hidup selama bertahun-tahun lagi."
"Tentu saja begitu," aku menjawab dengan patuh, dan saat itu dia merasa
terhibur. Bukannya menaiki singgasana, Jahangir mendekati Shah Jahan dan mencium keningnya
dengan mesra. Mereka saling merangkul dengan penuh kasih, kemudian berbalik,
masih saling berangkulan, untuk menatap para pejabat.
"Aku bangga terhadap anakku, Shah Jahan. Sekali lagi, dia telah membuktikan
bahwa dirinya adalah seorang kesatria yang hebat. Dia telah mengalahkan tikus-tikus Deccan
itu. Mereka kalah dalam satu pertempuran dan, seperti pengecut, ketika Mughal
Agung mendekat, mereka menyerah dalam perang yang mereka kobarkan. Damai, mereka
menangis kepada Shah Jahan. Mereka menerima semua peraturanku, dan saat ini
harta karun berlimpah bersama persembahan mereka."
Sang Sultan berbicara selama satu jam, hanya berhenti sebentar-sebentar untuk
menghela napas dalam-dalam, seakan-akan dia tenggelam, dan untuk membiarkan para
pejabat mengungkapkan antusiasme mereka: Zindabad Shah Jahan, Zindabad. Dia akan
membacakan puisinya yang memuji Shah Jahan, tetapi kertasnya terselip dan tidak
bisa ditemukan. Saat pidato Sultan selesai, Shah Jahan duduk lagi di atas bantal. Seorang
punggawa membawa salah satu piring emas ke hadapan Sultan. Sultan menenggelamkan
tangannya ke dalam tumpukan batu-batu mulia, kemudian menaburkannya ke kepala
Shah Jahan seperti menuangkan air. Warna pelangi batu-batu mulia itu berjatuhan
di tubuh kekasihku; seperti embun, perhiasan itu menempel di turbannya, lengan
bajunya. Sekali lagi, Jahangir menaburkan berlian dan batu mirah, lagi dan lagi hingga
piring itu kosong. Kemudian, punggawa lain memberikan piring yang berisi koin
emas. Koin-koin emas itu bertaburan bagaikan sinar matahari. Shah Jahan terus
menundukkan kepala, ketika koin-koin itu
berdentang dan bergulir di atas tubuhnya. Itu adalah suatu darshan dari cinta
dan kepercayaan seorang ayah. Jika ada lebih banyak elemen berharga dalam
kerajaan, Jahangir pasti akan menggunakannya untuk menganugerahi anaknya.
Pertunjukan kasih sayang secara terang-terangan itu belum juga selesai. Jahangir
mengambil buku dari ayahku dan meletakkannya di atas kepala Shah Jahan, seolah-
olah buku itu adalah simbol tertinggi dari kekuasaannya yang tak terbatas.
"Hadiah paling berharga yang bisa diberikan seorang ayah kepada putranya adalah
kumpulan pikirannya. Melalui hal itu, dia tidak hanya mencurahkan kasih sayang,
tetapi juga pengalamannya, pengamatannya, dan
pengetahuannya. Ini adalah duplikat pertama Jahangir-nama. Shah Jahan bisa
menemukan banyak hal dalam buku ini, yang mungkin bisa dia setujui, tetapi semua
tergantung pilihannya sendiri. Tetapi, dia tidak akan menemukan ketidakjujuran
dalam kasih sayangku untuknya. Dengan segala hormat, dia adalah putraku yang
pertama, dan aku berdoa kepada Allah, agar hadiahku yang amat berharga bisa
membawa keberuntungan baginya. Buku lain akan disebarkan ke seluruh penjuru kota
di kesultanan ini, agar semua bisa mengetahui cinta seorang ayah kepada
putranya." Shah Jahan dengan takzim menerima buku dari ayahnya. Dia mencium sampulnya,
kemudian mencium tangan ayahnya. Jahangir membantunya berdiri dan menuntunnya ke
kursi emas di samping singgasana. Dia mendudukkan Shah Jahan di sana, kemudian menduduki
singgasananya. Belum pernah ada seorang pangeran pun sebelumnya yang diizinkan
untuk duduk di sebelah raja dalam istana. Pangkatnya juga dinaikkan hingga dia
membawahi pasukan sebanyak tiga puluh ribu zat dan dua puluh ribu showar.
Aku adalah orang pertama yang membaca buku itu. Ini adalah suatu keindahan yang
langka. Gambar-gambar terselip di setiap halaman, hampir semua adalah karya
seniman favorit Jahangir, seorang Hindu, Bishandas. Aku tidak membaca aksara-
aksaranya karena benda itu adalah hadiah bagi kekasihku-meskipun aku membolak-
baliknya lebih sering daripada halaman lain, dan jari-jariku membelai namanya
yang tertulis di situ-tujuanku hanya untuk memahami jalan pikiran Jahangir. Dia
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuliskan banyak hal: Laila dan Majnun, sepasang burung bangau miliknya yang
ditangkap sejak berusia sebulan dan dirawat oleh tangannya sendiri. Burung
kesayangan itu telah mendampinginya ke seluruh penjuru negara, sehingga dia bisa
mengamati kebiasaan mereka, bagaimana mereka saling mematuk untuk bertukar tanda
saat mereka akan mengerami telur, bagaimana sang induk memberi makan anak-
anaknya dengan belalang dan jangkrik. Jahangir juga menulis, bagaimana dia
melihat bintang jatuh di angkasa, berjalan ke arahnya, menggalinya dan menemukan
bahwa benda itu terbuat dari logam. Dia pernah memiliki sebilah pedang, Alamgir,
yang terbuat dari logam yang jatuh dari langit. Untuk menyelidiki sifat alamiah keberanian, Jahangir
pernah memerintahkan untuk meneliti organ dalam seekor singa untuk menemukan
sumber keberaniannya, tetapi dia tidak bisa menemukan penjelasan yang memuaskan.
Tidak ada yang tidak penting di kesultanan ini baginya, baik itu keajaiban
maupun administrasi harian, keajaiban alam maupun metode membiakkan babi. Aku
belajar banyak tentang ayah mertuaku dari Jahangir-nama, termasuk gerakan yang
dia perintahkan untuk membunuh penasihat favorit ayahnya, Abdul Fazl, dan bahwa
dia telah melemparkan kepala orang itu ke lubang pembuangan. Buku itu sangat
jujur, bahkan dia mengaku jika dia terlalu banyak minum: dua puluh poci anggur
yang dicampur dengan empat belas sloki opium setiap hari. Dia juga mencatat
tragedi tentang kasih sayangnya yang tak berbalas kepada sang ayah, Akbar. Cinta
bisa melukai, entah karena kekurangan kasih sayang, atau terlalu banyak kasih
sayang! Saat itu siang hari, tetapi langit gelap serasa sore hari saat Aurangzeb lahir.
Bumi basah karena hujan, pepohonan, rerumputan, dan tanaman berwarna hijau
terang bagaikan bulu burung kakaktua. Malam begitu gaduh dengan dengkung katak
yang tanpa henti. Musim hujan menerpa bumi, membengkokkan dan merusak pepohonan
seperti ranting kering, membentuk sebuah alur sungai baru yang meraung
dan bergemuruh melewati istana, merah karena lumpur, bagaikan darah yang
bercampur dengan air. Air jatuh dari daun ke daun, dari atap ke talang,
berkumpul di kubangan-kubangan setinggi mata kaki di halaman. Setiap saat hujan
berhenti, udara terasa bersih.
Rasanya aku sedang berada di dalam kuali, dalam musim yang malam harinya berubah
menjadi pagi dengan kilatan petir berwarna biru dan guntur yang mengguncang
dinding-dinding istana, dan saat itulah Aurangzeb pertama kali menangis. Dia
bukan menangis karena ketakutan-mata gelapnya menatap sekeliling tanpa rasa
takut, dia mendengar amukan alam tanpa rasa khawatir-tetapi karena marah. Dia
murka, tangannya yang terkepal meninju-ninju udara, bagaikan ingin melempar
kembali kilat dan guntur itu ke udara. Dia adalah seorang bayi mungil dan aku
tidak menyangka dia akan hidup, kecuali bahwa aku melihat kekerasan jiwanya,
keteguhan untuk bertahan hidup. Dia seperti menunggu di antara langit dan bumi,
bertarung melawan elemen-elemen alam. Dengan tampilnya sifat kematian dalam
dirinya, bagaimana aku bisa mencintainya" Aku menoleh dan mengizinkan perempuan
lain untuk menyusuinya. Jika dia harus meninggal, aku tidak akan menderita.
Tetapi, dia hidup. Peramal bintang pribadi Jahangir, Jatik Ray, yang tambun
karena kesuksesannya, meramal berdasarkan zodiak. Dalam cahaya lilin yang
berkelip-kelip, sebuah bayangan melompat dan menari dalam suatu gerakan
misterius, dan dia membuat perhitungan. Kertasnya lembap, tinta terukir bagaikan
air mata hitam dari angka-angka yang tertulis. Kami menunggu. Putraku yang baru
lahir, terbaring dalam rengkuhan Satiumnissa, tampaknya juga tertarik; ada
ekspresi keingintahuan dalam wajahnya yang mungil dan berkerut-kerut. Aku
merasakan sebuah firasat yang tidak bisa kumengerti. Mungkin guntur, yang
mengubah perasaan kami semua, terasa diam, mengancam, menunggu untuk meledak
saat kilat menyambar. "Kemuliaan," Jatik Ray akhirnya berbisik. "Bintangnya
menunjukkan bahwa dia akan menjadi seorang raja yang hebat. Dia akan memerintah
sebuah kerajaan yang lebih luas daripada kesultanan ini. Surya menuntun
hidupnya, dia akan mengguncang dunia." Jatik Ray terdiam, seakan-akan tidak bisa
membaca ramalan hidup anak lelakiku lebih jauh lagi.
"Katakan kepada kami," perintah Shah Jahan. "Tapi hidupnya akan menyedihkan; aku
tidak bisa meramalkan lebih, kecuali," Jatik Ray menatap kami dengan gugup, "dia
akan menjadi seseorang yang sangat hebat."
Dia tidak mengatakan hal lain, tetapi menutup bukunya, melirik sekilas ke arah
si bayi dengan diam-diam sebelum meninggalkan ruangan.
"Dia meramalkan hal yang sama untuk semua anak kita," Shah Jahan tertawa.
"Bahkan Jahanara. Aku hanya memercayai ramalannya untuk Dara, karena aku tahu
akan menjadi apa dia setelah aku meninggal. Akulah yang mengendalikan nasib
mereka, bukan bintang-bintang atau angka-angka yang diperhitungkan orang tolol
itu." mim Padishah sudah menghujani kekasihku dengan kekayaan melimpah, emas dan batu-batu
mulia, pangkatnya sebagai komandan pasukan sebanyak tiga puluh ribu zat dan
sepuluh lakh sowar-aku bisa membangun rumah sakit dan sekolah untuk orang
miskin. Rumah sakit didirikan bagi para perempuan yang membutuhkan perawatan
terbaik: mereka tidak lebih berharga dibandingkan sapi-sapi yang berkeliaran di
jalanan Agra, mengais-ngais buah-buahan, sayur-sayuran busuk, dan sampah.
Bagaimana nasib mereka, sementara aku saja tidak bisa mencegah terisinya rahimku
oleh benih Shah Jahan. Seperti aku, mereka hanya bisa memprotes dalam kebisuan
yang hening dan membawa beban di perut mereka bagaikan budak. Hakim pribadiku,
Wazir Khan, merawat penderitaan mereka, dan setiap hari aku mengunjungi mereka
bersama Isa. Bahkan aku pun tidak bisa mengubah kebiasaan bahwa pendidikan hanya
untuk anak-anak lelaki. Sekolah-sekolah dibuka bukan saja diperuntukkan bagi
anak-anak lelaki Muslim, tetapi juga Hindu dan Sikh, dan setiap agama lain di
negeri ini. Aku tidak bisa menyelamatkan anak-anak perempuan dari kungkungan
rumah mereka dan pekerjaan domestik yang membosankan.
Kesibukanku menarik perhatian Mehrunissa. Aku mendengar bisikan yang datang dari
mulutnya, yang merupakan sebuah peringatan: dia sudah bertingkah seakan-akan dia adalah seorang
permaisuri. Kebutuhan rakyat jelata seharusnya merupakan kepedulian Padishah,
bukan dia. Mehrunissa, Mehrunissa, Mehrunissa. Dundhubi bertalu-talu mengalunkan namanya ke
seluruh kesultanan dengan syahdu. Jantung kekuasaan berada dalam genggamannya:
dia mengacungkan satu jari saja, pajak bisa dinaikkan atau diturunkan; jari yang
lain, seorang pejabat jatuh atau naik pangkat; jari ketiga, perdagangan terhenti
atau ada jalur perdagangan baru; jari keempat, undang-undang dikeluarkan atau
ditarik. Jahangir masih bermain peran sebagai sultan, melakukan pertemuan harian
dengan menteri-menterinya di ghusl-khana, menampilkan dirinya di
jharoka-i-darshan pada saat fajar dan sore hari. Pada waktu itu, saat bayangan
benteng jatuh ke maidan, dia akan muncul untuk menyaksikan perkelahian gajah,
atau hukuman mati. Metode hukuman ditentukan sesuai dengan kejahatan;
penghancuran kepala terpidana oleh seekor gajah (menurut kabar, Akbar memiliki
seekor gajah yang bisa menentukan apakah seseorang akan mati atau tetap hidup),
pemotongan alat vital oleh pedang algojo, atau ... banyak lagi, semua ditampilkan
di maidan. Tetapi, Mehrunissa yang memerintah. Gumaman para pejabat begitu pelan, dan
tersebar diam-diam; mereka tidak bermaksud agar perkataan mereka sampai di
telinga Jahangir, hanya mereka yang mau
mendengarkan, yang ingin mengakhiri kekuasaan Mehrunissa. Tetapi, sang Sultan
dan Permaisuri begitu dekat satu sama lain, sehingga tak mungkin bisa memisahkan
mereka. Ini tidak menjadi perhatianku. Aku hanya berusaha mendengarkan bisikan-bisikan
tentang kekasihku, dan tidak ada yang kudengar. Dia tetap menjadi kepercayaan
Jahangir, dan banyak menghabiskan waktu menemani ayahnya. Pendapat-pendapatnya
didukung dengan kuat oleh ayahku dan kakekku sendiri, dan jika Mehrunissa
berpikir sebaliknya, dia tidak pernah mengungkapkannya langsung di depan mereka.
Ketidakpedulianku juga bersifat pribadi, sangat pribadi, dan selain itu, ada hal
lain yang mengusik pikiranku. Sekali lagi, benih Shah Jahan terbentuk di
rahimku. Aku tidak lagi bisa mengingat kapan pembuahan ini terjadi. Aku benar-
benar bahagia dan menerima sepenuhnya kelahiran Dara, tetapi saat kelahiran
anakku yang lain, aku bahkan tidak memedulikan musim apa saat itu. Aku tidak
memberi tahu siapa pun, tetapi, dengan alasan penyakit ringan, aku menyuruh Isa
menjemput Wazir Khan. Saat dia datang, aku memerintahkan para perempuan untuk
menjauhi ruangan agar tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi masih bisa melihat,
karena aku tidak boleh ditinggalkan sendirian bersama seorang lelaki. Aku
berbaring di dipan, tersembunyi dari matanya di balik tirai tebal. Dia berlutut
di sampingku, dan mengulurkan tangan ke organ intimku. Aku menahan tangannya,
dan mendengar seruan kagetnya. Seharusnya aku menuntunnya untuk memeriksaku.
Beberapa perempuan menggunakan alasan sakit hanya untuk merasakan sentuhan
lelaki. "Aku tahu gejalanya. Kau tidak perlu memeriksaku."
"Lagi" Ini terlalu cepat, Yang Mulia. Saya sudah memberi tahu Yang Mulia,
setidaknya beristirahatlah setahun; tubuh Yang Mulia harus beristirahat.
Semangat Yang Mulia sangat kuat, tetapi sayangnya, tubuh Yang Mulia tidak
memiliki kekuatan yang sama."
"Katakan kepada suamiku. Aku tidak bisa menolaknya." Aku meremas tangannya. "Aku
ingin kau memberiku ramuan." Aku mendengar lagi penyangkalan dalam suaraku,
aliran darah di wajahku. Aku ingin membunuh benih pangeranku yang tercinta,
darah dagingku sendiri. "Yang Mulia, sungguh tidak bijaksana untuk menggugurkannya. Seratus hari sudah
lewat, dan sudah begitu terlambat."
"Aku yang menentukan apa yang baik atau yang buruk, Bodoh." Aku tidak bermaksud
kasar, tetapi tidak mampu menahan ketidaksabaran dan ketakutanku, perasaan ngeri
akan beban berat yang menghancurkan tulangku, darahku, perutku.
"Tubuh Yang Mulia akan berkembang dan terbiasa dengannya, dan setiap kali akan
melahirkan seorang bayi. Ini adalah kehamilan yang keenam."
"Dan ini akan menjadi yang terakhir. Bawakan ramuan untukku dan tidak boleh ada
yang tahu, atau terimalah konsekuensi kemarahanku. Tidak, tidak, maafkan aku. Aku berbicara
begitu karena kekalutan. Aku akan memberimu emas."
"Saya sudah melayani Anda begitu lama, Yang Mulia. Saya akan melakukan apa yang
Anda perintahkan, bukan untuk emas, tapi karena keinginan Yang Mulia sendiri.
Tapi, lain kali, bahkan jika Yang Mulia memerintahkan hukuman mati untuk saya,
saya akan menolak. Suatu hari, Yang Mulia mungkin tidak bisa pulih dari penyakit
yang tumbuh di perut Yang Mulia. Tolaklah suami Anda."
"Ya, lebih baik untuk menolak, tapi berapa lama aku bisa melakukan itu?"
"Setahun atau dua tahun."
Aku tidak bisa menahan tawaku.
"Bisakah kau tahan tidak menyentuh perempuan selama itu?"
"Saya memiliki empat istri, Yang Mulia, jadi tidak
ada yang menolak kebutuhanku. Shah Jahan harus ii
"Cukup." Dia segera terdiam; dengan lembut menarik tangannya, lalu pergi. Kemudian
terdengar sebuah suara langkah yang terburu-buru dan tidak teratur di lantai
marmer. "Agachi," panggil Isa. "Aku mendengar Sultan sakit. Beberapa orang berkata, dia
sekarat ...."[] 16 Taj Mahal 1050/1640 Masehi Makam itu baru berupa kerangka, tiang-tiangnya yang panjang dan berwarna pucat
membentuk siluet di latar depan langit malam yang jernih dan kerangka bangunan
dari batu bata yang kukuh. Bangunan itu tampak tak bernyawa, dingin. Shah Jahan
telah membayangkan cahaya dan ruang-ruang; bukannya suatu benda mati yang
menyesakkan. Hal ini membebaninya. Dia telah gagal. Dia memukul kepalanya; para
punggawa merasakan kemarahannya. Afandi bercucuran keringat dan terbatuk-batuk
karena menghirup debu dari ruangan pusat. Lantai di bawah tertutup oleh serpihan
batu, udara lembap karena campuran semen, batu yang belum dipoles, dan keringat
ribuan orang. Di atasnya, kubah tampak seperti tengkorak yang pecah, menampakkan
surga di atas. Jika sudah selesai, beratnya akan menjadi seribu dua ratus ton.
Dia berdoa. Dia melihat bibir Muhammed Hanif, Sattar Khan, Chiranji Lal,
Baldeodas, dan Abdul Haqq bergerak-gerak tanpa
suara. Vang lain diam-diam bergerak mundur ke bayangan yang lebih gelap.
"Ini belum selesai, Padishah," Isa menginterupsi.
Shah Jahan berputar, sarapanya menerpa bayangan di dinding, bagaikan sayap
burung besar yang mengepak di sana. Dia menyadari siapa yang berbicara, siapa
yang menginterupsi, dan amarahnya sirna. Sarapa itu kembali melekat di tubuhnya
dan tak bergerak, bagaikan bulu rajawali yang kembali merunduk.
"Harus selesai segera. Segera. Kau mendengarku, Hanif?" Shah Jahan menatap ke
dalam bayangan. Hanif, kepala tukang batu, dengan ragu-ragu melepaskan diri dari
perlindungan teman-temannya.
"Akan segera selesai, Padishah. Sesegera mungkin," dia menjawab dengan pelan,
mencoba menghibur sang Padishah.
Dinding-dinding dan balkon-balkon sudah selesai, tetapi masih ada celah besar
untuk memasang jali, tempat jendela-jendela akan dipasangkan; itu semua bukan
tanggung jawab Hanif. Orang lain yang harus menanggung kesalahan. Kubah-kubah
yang lebih kecil hampir selesai. Lorong tempat orang-orang berdiri sudah
menjulang setinggi dua puluh empat meter dan suara mereka bergema dalam ruangan
yang luas. Sang Sultan memandang berkeliling. Para pekerja sedang berkerumun di sudut-
sudut, menatap ke bawah, ke arahnya, dari balkon-balkon, mendongak dari arah
bawah, tidak bergerak, membisu,
seakan-akan setiap tubuh berkulit gelap itu telah dipahat ke dinding batu putih
untuk selamanya. Kehadiran Padishah membuat mereka membeku, merunduk, berlutut,
berdiri, mengukir, dan mengangkut. Baru setelah dia pergi, mereka bergerak dan
bernapas lagi, sambil berbisik: sang Padishah, sang Padishah.
mm Sita menjerit. Murthi, yang menunggu di luar, mulai bergerak, kemudian bersandar
sambil duduk di tanah. Para perempuan bersama Sita. Murthi mengisap beedi dan
mengembuskan napas bersamaan dengan kepulan asap; Ram, Ram. Pasti anaknya
lelaki. Seorang putra belum cukup. Sita menjerit lagi. Gopi dan Savitri
mencengkeram Murthi dengan ketakutan. Dia memeluk mereka. Ini hanya seorang
bayi, dia menenangkan mereka-mencoba tidak memikirkan kesakitan Sita. Membuat
anak adalah dharmanya; dharma para perempuan adalah untuk melahirkan mereka. Dia
merasa bangga terhadap dirinya sendiri; dia memiliki kekuatan untuk membuahi.
Dengan keberuntungan, berita kelahiran akan sampai di telinga pelindungnya.
Mungkin akan ada hadiah yang dikirimkan, sebuah cangkir perak atau bahkan emas
untuk putranya. Dia belum bisa memecahkan teka-teki ini; dan hal ini membuat kepalanya sakit. Selama beberapa tahun ini, bayangan telah merengkuh
dan melindunginya, tidak kasatmata, karena tersembunyi di belakang dinding-
dinding benteng. Dia merinding karena
mengingat penderitaannya di tangan sang wazir.
Sang wazir telah membawanya ke sebuah sudut yang jauh dari orang lain, dengan
diam-diam. "Siapa kau?" "Murthi. Aku memahat jali."
"Aku tidak bertanya apa pekerjaanmu, Tolol. Apakah kau mengenal Isa?" "Tidak.
Siapa Isa?" "Aku yang bertanya, Tolol. Isa, pelayan sang Sultan, budaknya, hamba sahaya yang
berjalan dalam bayangannya."
"Bahadur," Murthi berbicara dengan berani, "bagaimana aku bisa mengenal
seseorang dengan pangkat setinggi itu" Aku hanya seorang pemahat. Aku bekerja
untuk Baldeodas." "Kau menandatangani petisi."
Murthi berpikir untuk mengingkarinya, tetapi dia tidak bisa. Keberaniannya
segera menguap. Dia telah melakukannya untuk istrinya, anak-anaknya, dan anak-
anak orang lain. Seorang lelaki tidak bisa mati tanpa melakukan satu aksi
keberanian. Dia telah melakukan tugasnya, dan saat ini harus menerima
konsekuensinya. "Ya. Apakah aku membuat Sultan marah?"
"Tentu saja." "Tapi, dia memberi kami makanan."
"Itu tidak mengurangi amarahnya. Dia mengirimku untuk mencarimu. Aku bisa
meredakan amarahnya, jika kau memberi tahu apa yang kau tahu tentang Isa."
"Tidak ada, Bahadur. Aku tidak tahu apa-apa
tentang Isa. Aku telah mengatakan itu."
"Kalau begitu, aku tak bisa menolongmu. Kau akan mendapat masalah besar. Ikuti
aku." Sang wazir mencengkeram lengan Murthi dan menyeretnya menjauh dari lokasi
pembangunan, sepanjang sungai, dan menuju benteng. Murthi menatapnya dengan
penuh rasa ngeri. Tidak ada yang memerhatikannya, mereka tidak menyadari apa-apa
karena sibuk dengan tugas mereka sendiri-sendiri. Dia dibawa ke sisi terjauh
benteng, ke sebuah bangunan yang gelap dan menyeramkan, dan wazir menyerahkannya
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke tangan seorang prajurit. Dia tidak bisa mendengar apa yang dibisikkan wazir,
tetapi si prajurit memeganginya dengan kasar, mengambil rangkaian kunci dari
dinding, kemudian mendorongnya ke dalam kegelapan total, tempat para lelaki dan
perempuan dalam jumlah tak terhingga terbaring, beberapa menangis, yang lain
membisu, putus asa. Dia dimasukkan ke dalam sebuah sel, kemudian pintu
dibanting. Murthi menemukan dirinya tinggal di satu sel bersama para pencuri,
pembunuh, pemerkosa. Dia menangis, tidak mampu mengerti, kejahatan apa yang dia
lakukan. Selama dua hari dia meringkuk di sana, membisu, murung, selalu
ketakutan. Pada hari ketiga, pintu terbuka dan sipir memanggil.
"Murthi!" Murthi bergeser di antara para tahanan lain yang bau, kakinya menapak ke lantai
tanah yang sangat kotor. Dia bisa merasakan akhir hidupnya. "Kau Murthi" Cepat,
aku tidak memiliki waktu sepanjang hari." Sipir membawanya keluar, menuju matahari yang terik dan menyilaukan. Seorang
prajurit menunggu. Dia tidak dicengkeram dengan kasar, tetapi disentuh dengan
lembut. "Ikuti aku." Murthi mengikuti sang prajurit tanpa mampu merasakan apa-apa, dan tiba-tiba
menemukan dirinya sendiri di luar gerbang benteng.
"Chulo-ji, chulo," sang prajurit mengusirnya dan membalikkan tubuh.
Murthi berjalan dengan goyah, terpana dengan apa yang telah terjadi. Kemudian,
setelah lepas dari perasaan kebas, dia mulai berlari. Dia berlari menuju sungai,
ketakutan akan ditangkap lagi, mengalami kembali mimpi buruk. Dia melihat
kerumunan di bawah jharoka-i-dharsan, tempat Shah Jahan duduk di atas singgasana
emasnya, sambil menatap ke bawah. Saat itu sudah sore dan Murthi menyelinap di
antara kerumunan untuk melihat tamasha. Seekor gajah berdiri sambil berayun-ayun
di pusat maidan, di depan sebuah balok kayu yang ternoda; lalat mendengung
mengitarinya. Sekelompok lelaki yang mengenakan topi ketat berjalan keluar dari
benteng. Di tengah-tengah, mereka menyeret seorang pria yang pingsan. Murthi
menatap, nyaris bisa mengenali wajah yang pucat, berkerut karena ketakutan; itu
adalah sang wazir yang arogan. Lelaki itu didorong hingga jatuh ke tanah. Para
algojo meletakkan kepalanya di balok, yang lain memegangi lengan dan kakinya.
Dia menjerit ketika bayangan sang gajah jatuh ke tubuhnya. Hewan besar itu
mengangkat kaki kanannya sesuai perintah, menahannya sebentar seakan-akan
mencoba menyeimbangkan tubuh, kemudian dengan lembut, perlahan-lahan, menurunkan
kakinya ke kepala si wazir. Para algojo menghindar dengan cekatan ketika
tengkoraknya pecah. Murthi berbalik dan mendorong kerumunan, gemetar ketakutan.
Bisa saja dia, bukannya si wazir, yang ditahan di bawah gajah itu. Siapa yang
membalikkan keberuntungannya" Apakah mungkin Isa yang misterius" Siapa pun dia,
Murthi bertekad untuk menemukan lelaki itu.
"Hazoor, kau memiliki putra," para perempuan memanggilnya.
Murthi tersenyum lebar, bertepuk tangan, kemudian terburu-buru masuk. Sita
berbaring dengan lemas dan kelelahan, basah oleh keringat; wajahnya tampak
tenang seperti seseorang yang telah melewati penderitaan hebat. Murthi memeriksa
bayinya. Seorang putra. Seorang putra. Sekarang, hari tuanya pasti berada dalam
kenyamanan. 1054/1644 Masehi Isa mengamati Shah Jahan duduk di sebuah landasan. Saat ini sang Sultan berulang
tahun. Dua kali setahun, menurut perhitungan kalender matahari dan kalender
bulan, berat sang Sultan ditimbang dengan emas. Ini adalah tradisi Hindu,
tuladana, yang diadopsi oleh Humayun sekitar seratus tahun yang lalu. Setiap
Mughal yang berkuasa selalu mengikuti kebiasaan ini. Saat ini adalah hari kelahiran Shah
Jahan dalam tahun Islam, dan upacara berlangsung secara tertutup di dalam harem,
sementara peringatan ulang tahun dalam tahun Masehi dirayakan besar-besaran.
Para perempuan berkumpul di sekitar timbangan. Tiangnya terbuat dari emas,
setinggi tubuh manusia. Dari sebuah palang emas, tergantung sebuah landasan di
satu sisi, dan di sisi yang lain tergantung sebuah mangkuk besar untuk menampung
koin. Para budak meletakkan kantong-kantong koin emas dalam mangkuk tersebut,
mengisinya dengan hati-hati, hingga sang Sultan perlahan-lahan terangkat dari
lantai. Para perempuan berseru-seru dan bertepuk tangan, Shah Jahan tersenyum,
dan beratnya dicatat. Shah Jahan memiliki bobot tubuh seberat delapan puluh satu
kilogram. Koin-koin emas itu diangkat dan dibagikan kepada fakir miskin.
Kegembiraan Shah Jahan berlangsung singkat. Cahaya seakan-akan langsung
menghilang dari matanya. Dia meninggalkan para perempuan yang sedang menikmati
pesta perayaan dan mendengarkan para penyanyi, dan terburu-buru menyusuri
koridor-koridor harem. Isa mengikuti. Mereka memasuki sebuah kamar di sudut.
Cahaya bulan mengintip di antara jali, membuat marmer berwarna keperakan. Hakim
yang sedang berlutut di samping dipan dengan segera berdiri karena menyadari
sosok yang datang. Shah Jahan menyuruhnya mundur.
"Bagaimana keadaannya?"
"Yang Mulia, dia sulit bernapas, dan hanya sedikit yang bisa saya lakukan. Saya
telah menempelkan kain-kain dingin di tubuhnya."
Shah Jahan berlutut di samping Jahanara. Dia nyaris tidak mampu menatap putri
kesayangannya, yang mewarisi wajah Arjumand. Keadaan Jahanara sungguh
menyedihkan. Wajah dan tubuhnya terluka parah, kulitnya menghitam; Shah Jahan
masih bisa mencium bau terbakar. Dua puluh hari yang lalu, pakaiannya terbakar
api dari sebatang lilin yang terbakar. Dua pelayan tewas karena mencoba
memadamkan api yang menyelubungi tubuhnya.
"Jahanara, Jahanara," Shah Jahan berbisik. Jahanara tidak menjawab. Shah Jahan
nyaris tidak bisa melihat gerakan tubuh Jahanara untuk bernapas. Rambutnya botak
di satu bagian, kulit kepalanya hangus.
"Imbalan yang besar menantimu, jika kau bisa menyelamatkan hidupnya."
"Kita hanya bisa memohon kepada Allah," sang hakim menjawab, berdoa agar dia
bisa menyelamatkannya-karena hadiah dari Padishah akan membuatnya jauh lebih
kaya daripada yang dia inginkan.
Dara juga ada di sana, matanya cekung, kelelahan karena terus berjaga di samping
kakaknya, dan dia bergoyang-goyang sambil berdoa. Isa berdiri, mengingat jeritan
Arjumand yang menghilang di perbukitan Deccan yang keras. Untuk apa dia
mengalami rasa sakit itu" Apakah untuk ini,
sosok Jahanara yang tak terbentuk, yang terbaring di dipan dalam penderitaan
yang tak terperi" Jahanara merintih, menggemakan suara ibunya bertahun-tahun
yang lalu, dan Isa mengingat seorang anak berwajah cerah, disayangi hampir
seperti mereka menyayangi Dara. Isa merasakan kasih sayang yang membuncah setiap
gelombang kesakitan menyerbu tubuh rusak sang Putri. Dia tidak akan dapat
tertolong, karena tubuhnya bukan terbuat dari besi, atau batu. Tubuhnya akan
hancur dengan mudah, dalam cengkeraman kesakitan yang secepat kilat.
Isa mendengar suara gaduh di luar dan menengok ke arah koridor. Berjalan secepat
kilat ke arahnya, bayangan sosok itu timbul-tenggelam di sepanjang dinding-
Aurangzeb. Pakaian dan wajahnya kotor, keringat membuat jejak-jejak di wajahnya;
dia tampak kelelahan. Aurangzeb telah menunggang kuda secepat mungkin dari
Deccan, sebuah perjalanan yang pasti akan menghancurkan orang yang berfisik
lebih lemah. Aurangzeb berjalan dengan tegak, gelisah, seakan-akan rasa sakit
berada di luar pengertiannya.
"Isa, apakah dia hidup?"
"Iya, Yang Mulia."
Aurangzeb mencabut belati dari sabuknya, dan menyerahkannya kepada Isa. Sang
pangeran membungkuk ke Shah Jahan, mengabaikan Dara, dan berlutut di samping
Jahanara. Mata hitamnya berkilat. Dalam usia muda Aurangzeb yang sulit
dikendalikan, Jahanara adalah teman terdekatnya.
Aurangzeb menggenggam tasbih di kepalannya dan berdoa. Dia tidak menangis maupun
meratap; doanya diucapkan dalam kebisuan, dalam kemarahan. Dia tidak
memerhatikan jika sang Sultan menatapnya sambil terpana, bagaikan melihat
sesosok hantu. Keterpanaan itu berubah menjadi kecurigaan, dan mata sang Sultan
menyipit dengan ketidakpercayaan. Dara membungkuk dan berbisik di telinga
ayahnya. Kedatangan Aurangzeb yang tiba-tiba telah membuatnya merasa tidak
nyaman juga. "Siapa yang menyuruhmu datang?" Shah Jahan bertanya.
Aurangzeb tidak menjawab. Dia terus berdoa. Karena menghormati tindakannya, Shah
Jahan menunggu. "Siapa yang menyuruhmu datang?"
"Tidak ada. Dia adalah kakak perempuanku, dan aku mengkhawatirkan nyawanya. Aku
tidak bisa menunggu tanpa melakukan apa-apa di luar sana."
"Kau datang sendiri?"
"Seorang putra sultan tidak dapat bepergian sendiri."
"Berapa banyak?"
"Lima ribu penunggang kuda."
Shah Jahan mengerutkan alis, mencemooh.
"Begitu banyak" Apakah Aurangzeb khawatir akan diserang" Atau, apakah dia
merencanakan penyerangan?"
"Tidak dua-duanya," Aurangzeb menatap ayahnya. Sorot matanya tidak menantang
maupun melunak. Tatapannya datar, bagaikan mereka setara. "Pasukanku berjumlah lima
belas ribu zat, aku hanya datang dengan sepertiganya. Siapa yang bisa mereka
lukai?" "Tidak ada." Shah Jahan menjawab dengan dingin. "Kau akan segera kembali ke
markasmu. Berani-beraninya kau meninggalkannya tanpa izinku! Kau dan pasukanmu
harus kembali saat ini juga. Berapa lama perjalanan yang kau tempuh?"
"Sepuluh hari, sepuluh malam."
"Begitu lama" Kembalilah hingga aku, sultanmu, memberimu izin untuk berkeliaran
di negeri ini," Shah Jahan mencemooh.
Bibir Aurangzeb tampak bergerak. Sulit dikatakan apakah dia tersenyum atau
menyeringai. Dia membungkuk kepada ayahnya, menatap Jahanara cukup lama,
wajahnya melembut, kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan. Isa mengikuti,
mengulurkan belati sang Pangeran.
"Aku akan menyiapkan agar Yang Mulia bisa mandi dan makan."
"Kau mendengar ayahku," kata Aurangzeb. "Aku tidak bisa tinggal." Dia ragu-ragu,
menatap kembali ke dalam ruangan, seakan-akan ingin bertanya kepada Isa, tetapi
menahan diri. Tetapi, Isa merasakan bahwa Aurangzeb ingin menanyakan sesuatu.
Ekspresi kebingungan itu begitu akrab: Apa yang telah kulakukan" Mengapa dia
tidak mencintaiku" Tetapi, Aurangzeb hanya menggenggam lengan Isa, kemudian berjalan kembali
menyusuri koridor, bayangannya semakin gelap dan menghilang di belakangnya.
1056/1646 Masehi Dengan penuh rasa hormat, Murthi membawa Durga ke kuil, terbungkus di dalam
sebuah karung goni. Patung itu tidak berat, tetapi Murthi sering berhenti untuk
beristirahat. Dia tidak ingin menjatuhkan dan merusak patung marmer itu, apalagi
mematahkan salah satu lengannya. Selama bertahun-tahun, Durga telah berjasa
dalam hidupnya. Ini adalah suatu ritual ibadah, lebih daripada sekadar tenaga
dan waktu yang telah dia habiskan untuk sang dewi, sehingga dia sangat berhati-
hati-jika kita menyakiti Durga, dia akan menyakiti kita; tetapi kebaikan akan
diganjar dengan kebaikan juga.
Pembangunan kuil sudah hampir selesai. Kuil itu kecil. Gopuramnya menyentuh
dahan terendah pohon banyan dan garbhagriha-nya hampir setinggi manusia. Cahaya
matahari membuat dinding-dinding marmer menjadi bersemburat kuning seperti buah
limau. Dinding batu bata yang terluar dibangun rendah untuk memuaskan tradisi,
bukan untuk perlindungan, dan belum selesai. Chiranji Lal dan sekelompok orang
menunggu. Seorang pendeta telah melakukan perjalanan jauh dari Varanasi untuk
memberkati patung ini. Tumpukan tinggi beras, ghee, susu, madu, dupa, kelapa,
pisang raja, dan bunga-bunga sudah menanti. Puja, yang panjangnya bervariasi
tergantung kepentingannya, tidak hanya akan makan waktu berjam-jam, tetapi
hingga berhari-hari. Sang Brahmin adalah seorang pria muda yang kurus, tampak
bangga karena terpelajar, tetapi belum berpengalaman. Dia bertelanjang dada,
dengan garis suci yang menggores pundak hingga pinggangnya. Segumpal rambut
tumbuh dari kepalanya yang tercukur gundul, seperti air yang memancar dari batu.
Para musisi dengan seruling dan tabla duduk di karpet lusuh di sampingku. Sang
pendeta mengambil patung dariku, membuka bungkusnya, dan dengan hati-hati
meletakkannya di altar. Lengan-lengan Durga terentang dari tubuhnya bagaikan
dahan pohon. Murthi telah memberi cat emas untuk mahkotanya, warna biru dan
perak untuk tepi sarinya. Ekspresinya memancarkan senyuman yang dikulum. Kita
harus memerhatikan dengan teliti untuk melihat bagaimana senyumnya terbentuk,
karena hanya tampak sedikit lekukan di bibirnya. Sang dewi berdiri, setengah
tubuhnya dalam kegelapan, setengah lagi dalam sinar matahari, tanpa sengaja
memantulkan pembagian spiritual dalam dunianya. Murthi mendengar orang-orang
yang terkesiap kagum dan merasakan kebanggaan tak terkira karena pencapaiannya.
Ini adalah dharmanya; untuk memahat dewa-dewi. Murthi sang Acharya.
"Aku tidak bisa terus di sini," dia menyesal, meskipun dia sudah sering
menyaksikan upacara. Seluruh bagian sastra akan dilantunkan, api dinyalakan
untuk membakar beras dan ghee. Pada saat itu, beras dan ghee akan diletakkan di
garbhagriha. Di antara garbhagriha dan landasan patung akan diletakkan sebuah
piring tembaga yang tebal: kekuatan dewa-dewi yang sebenarnya akan muncul dari
simbol-simbol yang terukir di piring tersebut. Orang-orang itu mengerti; Murthi
harus bekerja untuk membuat jali. Dia mengambil darshan dari pendeta dan kembali
ke pekerjaannya. Jali itu tergeletak di tanah yang berdebu, setengah jadi. Benda itu juga
setengah tertutup, sedikit mirip si pendeta, bagian bawahnya masih berupa marmer
utuh. Batang tumbuhan yang indah tumbuh dari bongkah polos tersebut, begitu
indah dan rapuh, sehingga rasanya tidak mungkin bisa dipercaya jika dua bentuk
itu berasal dari batu yang sama. Yang satu menjulang; yang lain tergeletak kaku.
"Bagaimana kabar ibumu?" dia bertanya kepada Gopi saat mulai bekerja, tap, tap,
tap. "Dia menangis dan terbaring dengan mata terpejam rapat." Wajah anak lelakinya
berkerut karena kekhawatiran.
"Dia kelelahan bekerja, tapi dia akan segera pulih. Dia tidak sekuat dulu."
Murthi bekerja sepanjang hari, berkonsentrasi dalam kebisuan, hingga cahaya
mulai memudar. Dia hampir menyelesaikan sebentuk daun. Daun itu tumbuh dari
bongkahan, hanya ujungnya yang tampak, mengangguk diterpa angin yang tak terasa.
Saat mereka berjalan pulang perlahan-lahan, Murthi merasa tubuhnya kaku sehabis
bekerja. Dia mengendus aroma masakan di perapian, menghirup
wangi makanan yang terbawa angin. Mumtazabad begitu bersih dan teratur. Mungkin
kota itu sudah ada selama berabad-abad. Kota ini membuatnya merasa betah,
nyaman, serasa kampung halamannya sendiri. Jalanan, orang-orang, bahkan anjing-
anjing liar pun sekarang sudah terasa akrab. Dia merasa damai. Patung pujaannya
sudah selesai; tinggal jali yang belum rampung. Dia menoleh ke belakang, melihat
kubah yang belum selesai menjulang di antara pepohonan. Matahari telah mengubah
warna kubah menjadi merah jambu terang. Sisa makam itu dikelilingi oleh kerangka
batu bata. Saat dia kembali ke kampung halaman, dia akan menceritakan kemegahan
ini kepada teman-teman lamanya. Sudah pasti, mereka tidak akan memercayainya.
Orang-orang itu harus melihat sendiri sebelum bisa mengerti. Sebuah sketsa di
tanah tetaplah tanah, imajinasi tidak bisa mengubahnya menjadi marmer, tidak
bisa membuatnya menjulang tinggi ke langit. Dia berharap agar makam besar itu
segera selesai. Dia ingin melihat di mana mereka memasang jali yang dia
kerjakan, bagaimana benda itu bisa menangkap dan menguraikan cahaya, bagaimana
bayangan jatuh ke lantai marmer. Dia tidak peduli jika namanya tidak akan pernah
dikenal, itu tidak penting. Siapa yang tahu nama-nama resi atau orang-orang yang
membangun kuil-kuil raksasa di Varanasi, atau yang memahat dewa-dewi di sisi
bukit dan gua-gua" Kehidupan ini hanyalah suatu tugas bagi manusia.
Para perempuan berkerumun di pintu masuk rumahnya, berdesakan dan berbisik,
mengintip ke dalam. Jantungnya melompat. "Ada apa?" "Sita sekarat."
Murthi mendorong agar bisa masuk. Sita terbaring, napasnya terputus-putus.
Wajahnya kaku, pucat; Murthi mengetahui tanda-tanda kehidupan yang akan segera
berakhir, tanpa bisa dicegah.
"Pergilah," Murthi menyuruh Gopi. "Larilah ke benteng. Katakan kepada para
prajurit untuk memberi tahu Isa bahwa istriku Sita sedang sekarat. Kita
membutuhkan hakim. Larilah!"[]
Kisah Cinta 1031/1621 Masehi Arjumand Aku sangat berduka saat kakekku meninggal. Sebagian dari diriku juga menghilang;
kakekku membawa bagian itu bersamanya. Kita memulai kehidupan dengan sebuah
lingkaran penuh, bersama begitu banyak orang: para ayah, para ibu, para kakek,
para nenek, saudara lelaki, sepupu, dan saudara perempuan. Kemudian, ketika
mereka meninggal, satu demi satu, setiap kematian akan melubangi lingkaran itu.
Kita mengerut, mengecil, dan menyusut, hingga semua yang ada dalam kehidupan
kita hanyalah diri kita sendiri.
Kakekku meninggal saat tertidur. Kami semua dipanggil, dan aku melihat wajahnya
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tenang dan damai. Sungguh sulit membayangkan seorang anak muda yang
menempuh perjalanan panjang dari Persia untuk mencari peruntungan dengan
melayani Mughal Agung Akbar. Kemudaannya tersembunyi di dalam tubuhnya yang
renta, tersembunyi dalam lipatan-lipatan sutra, tersembunyi oleh dukacita
Mughal Agung Jahangir, Permaisuri Nur Jehan, Pangeran Shah Jahan, Putri
Arjumand, dan Putri Ladilli. Para pangeran, bangsawan, rana, nawab, amir, semua
datang untuk menyampaikan belasungkawa mereka kepada seorang anak lelaki
kelaparan yang tersembunyi di balik seorang lelaki hebat. Jahangir telah
memerintahkan sebulan masa berduka bagi kematian Itiam-ud-daulah-nya, Pilar
Pemerintahannya, penasihatnya yang bijaksana, sekaligus temannya.
Aku mencium Kakek, aroma tubuhnya yang akrab serasa memudar, sudah digantikan
sebagian oleh aroma masam kematian yang menguar dari dalam tubuhnya. Kekasihku
mencium Kakek dan menangis juga. Mereka telah menjadi dekat, sang lelaki tua dan
lelaki muda, seakan-akan saling mencari perlindungan satu sama lain. Mehrunissa
menangis paling keras. Kakekku bukan hanya seorang ayah baginya, melainkan juga
teman dan penasihat, serta gurunya. Kakekku telah menuntun nasib Mehrunissa,
seperti Tuhan menuntun nasibnya. Mehrunissa tampak lebih daripada sekadar
berduka; selama berhari-hari dia kelihatan tenggelam dalam mimpi. Dia tidak
makan maupun minum, tetapi duduk terdiam sambil menatap air Jumna. Selama
bertahun-tahun, dia bersandar kepada ayahnya dan saat ini hampir bisa mandiri.
Tetapi, kemuramannya tidak berlangsung lama. Jahangir memberinya izin untuk
membangun sebuah makam bagi Itiam-ud-daulah. Makam itu dibangun di dalam kota,
di tepi Sungai Jumna. Dia mengerahkan banyak
tenaga untuk memilih para pembangun beserta rancangan mereka. Dia mengetahui apa
yang dia inginkan. Jahangir merasa ironis karena dia berhasil menghindari kematian, dan kematian
itu malah menimpa Ghiyas Beg. Penyakitnya sendiri masih terus terasa,
meninggalkan jejak di wajahnya. Dia mengalami kesulitan untuk bernapas dalam
udara panas yang kering, dan terus-menerus ingin pindah lebih jauh ke utara. Dia
sangat menyukai Kashmir. Dia ingin duduk di taman-taman yang telah dia rancang
dan mengamati ikan-ikannya, yang masing-masing ditempeli cincin emas, berenang-
renang di kolam air mancur. Tetapi, dia selalu ingin ke sana bukan karena alasan
kesehatan semata; dia menatap syahdu ke utara, ke pegunungan tinggi di atas
bebatuan dan salju yang memagari, ke arah tanah leluhurnya. Aku telah mendengar
bisikan bahwa dia berharap bisa menaklukkan tanah itu. Dia bermimpi untuk bisa
memerintah Samarkand. m/m Setahun sebelum kematian kakekku, aku juga merasa sedih. Ada banyak alasan untuk
itu: sekali lagi aku mengandung. Sekali lagi, perutku membesar, sekali lagi
penderitaan mencengkeram jiwaku. Pada kehamilanku yang terakhir, racun hakim
berhasil menggugurkan bayiku, dan aku jatuh sakit serta lemas selama beberapa
hari. Dipan selalu ternoda darah. Tetapi, keluarnya batu janin dari
dalam rahimku membuat pikiranku yang melayang-layang merasa nyaman.
Setelah itu, aku memutuskan untuk menolak kekasihku secara lebih tegas. Saat
kami berbaring bersama, dia bisa merasakan kekakuan tubuhku ketika dia
membelaiku-tubuhku membeku, seperti marmer dan terasa berat.
"Lagi?" dia berbisik dengan kasar. Betapa cepatnya waktu berlalu, bagaikan saat
terakhir kami bercinta berlangsung sesaat yang lalu. "Aku merasa seperti
berbaring bersama mayat."
"Mengapa kau berkata kejam kepadaku?" "Karena kau tidak lagi mencintaiku." Dia
berbicara dengan sebal, merasa terhina bagaikan seorang anak lelaki yang ingin
kemauannya dituruti. "Aku mencintaimu. Cintaku tidak berubah sejak pertama kali aku melihatmu."
"Lalu, mengapa kau menolakku?" Dia berbaring telentang, tidak lagi menatapku,
tetapi menatap langit-langit, menginginkan aku memohon maaf kepadanya. Oh,
betapa sakitnya mencintai. "Jika kau masih mencintaiku, kau akan mengizinkanku
bercinta denganmu." "Aku lelah. Aku baru saja kehilangan seorang anak, dan tubuhku masih terasa
sakit." "Aku bertanya-tanya, bagaimana kau bisa kehilangan anakku," dia berkata, seperti
tak berdosa di balik kekejaman permintaannya akan cinta yang tak terpuaskan.
"Sekarang sudah dua kali. Berapa kali lagi akan terjadi?"
"Hal seperti ini terjadi pada beberapa perempuan. Siapa yang bisa
memperkirakannya?" aku berbisik dengan penuh ketakutan. Aku tidak tahu apakah
dia mengira-ngira, atau mungkin mengetahuinya. Aku berdoa agar dia tidak
mendengar keraguan dalam penyangkalanku.
"Aku tahu," dia memelukku dengan lembut, kemarahannya tiba-tiba menghilang.
"Para lelaki tidak bisa mengerti rasa sakit yang diderita perempuan. Aku selalu
membutuhkanmu. Aku tidak bisa menahan cintaku. Setiap aku melihatmu, aku selalu
berharap untuk mencium wajah dan matamu, memeluk tubuhmu, dan bercinta
denganmu." Bibirnya menyapu bibirku. Rasanya lembut bagaikan kelopak bunga,
manis, penuh maaf, seakan-akan aku yang berdosa.
"Saat kau sudah lebih baik, kita akan bercinta lagi, aku akan menunggu."
"Kita harus menunggu selama beberapa saat. Hakim berkata, aku harus beristirahat
sebelum mengandung lagi."
"Selamanya?" Kekasarannya datang dan pergi, seperti napas yang diembuskan dalam
hawa dingin, dan aku tidak bisa mengendalikan ketakutan serta kemarahannya.
"Tentu saja tidak. Aku tidak keberatan jika kau bercinta dengan salah satu gadis
budak hingga aku siap untukmu."
"Jadi, kau pikir aku sehina itu-untuk bercinta dengan seorang budak perempuan.
Kau terlalu mulia untukku sekarang."
"Tolonglah, kau memutarbalikkan kata-kataku
untuk membela dirimu sendiri."
"Bagaimana aku membela diriku sendiri?"
Dia duduk, punggungnya tegang karena kemarahan. Aku menyentuhnya, dia
mengerenyit, seolah-olah jari-jariku ini batu bara. Tetapi, jika sentuhanku
menyakitinya, kata-katanya lebih membuatku terbakar. Aku hanya bisa menghiburnya
dengan cara menyerah dalam rengkuhannya, tetapi aku tidak bisa melakukannya.
Kekuatan benihnya menakutkan aku; hal itu tidak bisa dibayangkan. Ayahnya,
kakeknya, dan kakek buyutnya tidak bisa begitu cepat membuahi rahim para
perempuan, dan terus-menerus menghamili mereka bagaikan buah labu. Waktu-waktu
kenikmatan bersama kami yang singkat ini sudah terganggu, karena kemarahannya
dan kekeraskepalaanku. Mengapa cinta begitu menyulitkan, menuntut, dan
melelahkan" "Tidak ada arti selain yang kukatakan."
Dia setengah berbalik, terkejut dengan suaraku yang meninggi. Aku menentang
tatapannya, menolak untuk menurunkan pandanganku dengan patuh.
"Ayah dan kakekmu juga bercinta dengan budak perempuan. Jika kau tidak bisa
mengendalikan hasratmu, puaskanlah gairahmu bersama mereka. Lihat aku. Aku
seorang perempuan, dan aku mencintaimu, tetapi kau memperlakukan aku seperti
seekor sapi betina dalam kandangmu. Anak, anak, anak-bagaimana aku bisa
merawatmu jika aku menghabiskan hidupku dengan mengandung anak-anakmu, yang
menekanku bagaikan batu?"
"Mungkin aku harus menikahi istri kedua."
"Dan ketiga, keempat, dan kelima. Akbar memiliki empat ratus istri. Apa yang
menahanmu?" Dia menundukkan kepala sambil terdiam. Akhirnya, aku memalingkan wajah darinya
dan memejamkan mata. Aku tidak berharap untuk mengingat kata-kataku, amarah di
wajahnya, dan suaraku yang sinis.
"Aku tidak bisa," dia berkata pelan.
Sebelum aku bisa memeluknya dan meminta maaf, dia sudah menghilang. Selama tiga
puluh lima hari, kami tidak saling berbicara. Kami telah berjanji untuk tidak
hidup terpisah dan saat ini, dalam kedekatan satu sama lain, seluruh kesultanan
bagaikan terentang di antara kami. Rasa sakitku semakin parah. Jika kami
berpisah, aku bisa mengetahui bahwa dia masih mencintaiku. Tetapi, di sini dia
terus menyendiri dan menyibukkan diri, bahkan tidak melirik ke arah zenana saat
dia datang dan pergi. Aku memerhatikannya, tidak hanya dengan mataku sendiri,
tetapi juga dengan mata orang lain: Isa, Allami Sa'du-lla Khan, Satiumnissa,
Wazir Khan, semua memerhatikan. Apakah dia merana" Apakah dia membisikkan
namaku" Apakah dia juga merasa seperti seorang mayat hidup" Tidak, mereka
menjawab, suara mereka berbisik karena peduli terhadap kesedihanku, dia tertawa
dan bermain-main. Jadi, aku juga melakukan hal yang sama. Aku mengundang semua
istri petinggi untuk makan malam di istana. Para penari dan penyanyi menghibur
kami setiap malam. Aku tertawa terlalu keras, berbicara terlalu banyak, bertepuk tangan hingga telapak
tanganku sakit. Aku tidak banyak tahu bagaimana caranya hidup dalam kehampaan
seperti ini, dalam keceriaan palsu ini.
"Isa. Kau harus membangun sebuah tenda kecil di taman, tempat dia duduk.
Lakukanlah dengan cepat dan diam-diam. Malam ini harus sudah siap."
Bagaimana seorang pangeran menundukkan kepala dengan malu kepada seorang
perempuan" Dia terbuat dari emas dan marmer, tetapi aku hanya terbuat dari
daging dan tidak ada yang lebih membuatku menderita daripada hidup tanpa cinta
Shah Jahan. Aku akan menyerah dengan pasrah terhadap rasa malu yang begitu hina
itu. Rasa sakit ini tidak bisa lebih buruk lagi. Tetapi, bagaimana jika dia
menolak tawaranku" Aku tidak mampu memikirkan hal itu.
Aku mengenakan churidar, blus, dan touca kuningku. Perhiasan perakku tidak lagi
hanya segenggaman tangan, tetapi sudah memenuhi beberapa kotak. Aku memilih
hanya yang bisa kuingat. Isa mendirikan tenda, menutupinya dengan permadani. Aku
mengambil tempat dan menyebarkan daganganku. Malam itu begitu hening; bulan
tergantung di atas air bagaikan pedang perak.
"Apakah dia akan datang?" Isa bertanya. "Aku tidak tahu. Berdoalah agar dia
datang. Bawakan anggur. Perintahkan para musisi untuk
tetap diam hingga dia memasuki taman."
"Apakah kau menginginkan aku tetap tinggal?"
"Ya ... tidak ... berdirilah di sana."
Isa berdiri di dalam kegelapan bayangan. Aku duduk, mengatur dan menyusun
perhiasanku dengan gugup, seperti yang kurasakan untuk pertama kalinya bertahun-
tahun yang lalu. Kenangan masa lalu selalu kembali. Bagaimana jika Shah Jahan
tidak datang" Dia mungkin pergi ke utara, ke selatan. Dia sedang berburu. Dia
sedang tinggal di istana ayahnya. Dia sedang bersama seorang gadis pelacur. Dia
minum-minum dengan teman-temannya. Dia akan masuk,
menertawakanku, dan pergi ke tempat tidurnya sendiri. Kepalaku sakit memikirkan
semua kemungkinan itu. Tidak ada yang memberiku harapan; aku tidak layak
menerima kebahagiaan dua kali dalam hidupku.
Aku tidak melihatnya datang. Dia berhenti di batas sinar bulan. Dia pasti sudah
berdiri di sana selama beberapa saat, kemudian menghampiriku dengan cepat
menyusuri taman, menuju tendaku.
"Ah, gadis pasar malamku yang mungil, berapa harganya perhiasanmu?"
"Sepuluh ribu rupee."
"Aku tidak memilikinya. Apakah sepuluh ribu kecupan bisa menggantinya?"
"Dari Shah Jahan, satu kecupan saja lebih dari cukup."
Aku menerima sepuluh ribu kecupan malam itu. Aku juga menerima benih anaknya
yang ketujuh. mm Suatu pagi, Ladilli datang menemuiku. Tampaknya dia melayang tertiup angin pagi
hari, terbang bagaikan tidak mampu mengendalikan nasibnya sendiri. Tindak-
tanduknya menyiratkan perasaan, kabut tebal seakan menyelubunginya-tidak bisa
ditembus, tetapi bisa disibakkan oleh tangan seseorang. Itu semua membuat
kesabaranku habis. Aku selalu kesulitan menerka perasaannya, bahkan amarah pun
selalu tersembunyi di balik kebisuan.
"Ada apa, Ladilli" Kulihat kau hanya duduk-duduk dan terus mengeluh, lakukanlah
dari seberang ruangan. Aku bisa merasakan napasmu yang berat."
"Aku akan menikah."
"Kalau begitu, kau pasti bahagia." Wajahnya tidak memancarkan ekspresi apa pun.
Dia terlalu tua untuk menikah, bahkan lebih tua daripada usiaku saat menikahi
Shah Jahan. Tetapi, dia menerima nasibnya dengan pasrah. "Betulkah?"
Dia mengangkat bahu. "Ibuku mengatakannya pagi ini. Aku akan menikah dengan
Shahriya." "Ah!" aku tidak bisa memikirkan harus berkata apa lagi.
Aku tidak pernah menyukai adik lelaki bungsu Shah Jahan; dia membuatku merasa
tidak nyaman. Di istana, dia dikenal sebagai Na-Shudari, "ahli melakukan hal-hal
tak berguna". Wajahnya tampak seperti terbuat dari tanah liat, dagingnya selalu
tampak bergelayut. Sosoknya tidak pernah tampil dengan wajah ceria seperti para
lelaki lain. Ibunya adalah seorang budak, dan Jahangir menghujaninya
dengan hadiah, kemudian mengirimnya untuk tetirah di Meerut. Shahriya adalah
pilihan yang tak sebanding bagi Ladilli. "Tolaklah."
"Arjumand, kau tahu, aku tidak bisa melakukannya. Ibuku akan berteriak kepadaku
selama berhari-hari. Aku tidak bisa menahannya. Kupikir lebih mudah untuk
langsung berkata 'y3'-" Dia menggenggam tanganku. "Kau harus berbicara
dengannya. Aku yakin ibuku akan mendengarkanmu."
"Apa yang harus kukatakan kepadanya" Apakah ada seorang lelaki lain yang
kausukai?" "Ya!" Cahaya membanjiri wajahnya. Aku tidak bisa menahan perasaan sedih yang
hebat karena pancaran kebahagiaannya yang tulus. Hal itu pasti akan menghilang
selamanya. "Namanya Ifran Hassan. Dia seorang lelaki terhormat."
"Aku belum pernah mendengar namanya." "Dia bukan seorang lelaki terhormat yang
berkedudukan tinggi. Dia penguasa jagir di dekat Baroda."
"Apakah kau sudah berbicara dengannya?"
"Tentu saja belum. Tapi, aku tahu dia me-nyukaiku; dia mengirimi aku ini." Dia
mengenakan sebuah liontin perak kecil di lehernya. Bentuknya bundar dan bisa
dibuka; isinya kosong. "Aku mempunyai sebuah benda emas yang persis seperti ini,
dan mengirimkan benda itu kepadanya."
"Aku akan berbicara kepada ibumu," dan aku melepaskan tanganku seakan lembut,
mengetahui bahwa dengan melakukan itu, aku akan melepaskan
hidupku dari hidupnya. Mehrunissa tidak akan pernah berubah pikiran. "Ini pasti
akan sulit. Jabatan Ifran Hassan sangat rendah, sementara Shahriya adalah
seorang pangeran." Dengan segera, aku menyesali keterusteranganku. Bahu Ladilli turun seakan-akan
dia telah mendengar sebuah bisikan, memastikan bahwa seumur hidup, dia tidak
akan mendapatkan keinginannya. Dalam beberapa hari, Mehrunissa akan memastikan
pilihannya dengan lebih tegas.
"Kau benar. Dia tak akan pernah mendengar. Seorang pangeran! Memang tolol."
Hanya itulah kilatan kemarahan yang pernah kulihat darinya. Hal itu juga
membuatnya terkejut; dia tersipu, bangkit, kemudian keluar dengan terburu-buru.
Shah Jahan Aku kecewa mendengar Mehrunissa memilih adikku yang bajingan untuk menjadi
menantunya. Shahriya dilahirkan oleh seorang budak, dan dia hampir terlupakan
seumur hidupnya. Aku melihatnya sekali dua kali bersama teman-temannya,
berjalan-jalan sambil mabuk di taman istana. Hidupnya tidak jelas, tidak
penting, dan saat ini, tangan Mehrunissa telah meraih ke dalam kegelapan dan
menarik Shahriya ke dalam jangkauan cahaya. Aku pernah menjadi pilihan pertama
bagi Ladilli; pilihannya yang kedua juga dipertimbangkan secara matang. Aku
tidak peduli dengan siapa Ladilli menikah, tetapi aku bisa melihat alasan
Mehrunissa. Dia pasti akan bisa
mengendalikan Ladilli, dan melalui Ladilli, bisa mengendalikan Shahriya. Mungkin
Sultan Shahriya, seorang raja boneka yang idiot.
"Bahkan bibiku sendiri pun tak akan berani," kata Arjumand. "Kau adalah anak
lelaki Jahangir yang berperingkat pertama."
"Tapi untuk berapa lama?" aku meminta nasihat kepada ayah Arjumand, Asaf Khan.
Wajahnya yang panjang tampak menyembunyikan sesuatu, terlatih oleh disiplin-
disiplin dalam politik. Aku mencintai anak perempuannya, aku memiliki
kesetiaannya. "Anda bertemu dengan Sultan setiap hari. Apakah aku anak lelakinya
yang berada di peringkat pertama?"
"Ya." Jawabannya cepat dan singkat. Aku tidak merasakan penghiburan dalam
suaranya. "Mehrunissa hanya mengumpulkan musuh."
"Siapa yang tidak" Tapi, dia menguasai Jahangir, dan aku tidak menguasai siapa
pun. Saat ini, dia mengendalikan Shahriya, dan aku tidak mengendalikan siapa
pun. Ayahku sakit. Siapa yang akan dia pilih?"
"Pilihan Mehrunissa." Arjumand berbisik. "Meh-runisa tahu, aku tidak seperti
Ladilli, aku akan menentangnya."
Saat-saat kedamaian kami telah menghilang. Mehrunissa mulai menekanku ke tepi
jurang. Di satu sisi, aku melihat sebuah celah, lubang tak berdasar. Tak ada
orang yang mampu keluar kembali dari situ, bahkan seorang pangeran sekalipun. Di
sisi lain, aku melihat gunung yang tak bisa ditembus.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Tidak ada," Asaf Khan menjawab dengan pelan. "Apa yang bisa kau lakukan" Kau
harus menunggu. Jika kau bergerak tiba-tiba, Jahangir akan ketakutan. Pikirannya
saat ini tercurah sepenuhnya kepada kesehatannya. Dia merindukan Kashmir."
"Apakah saat ini ayahku menyadari apa yang dilakukan oleh bibiku?"
"Ya. Mehrunissa cukup bijaksana karena tetap memberi informasi kepada Jahangir.
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menyetujui pernikahan Ladilli dengan Shahriya. Sultan berpikir bahwa mereka
pasangan yang cocok. Dia tertawa dan berkata kepadaku: 'Pikirkan kemenanganmu,
Teman Lama. Adikmu adalah permaisuri, anak perempuannya seorang putri!'"
"Dan ..." "Hanya itu yang dia katakan." "Dia tidak mengatakan apa-apa tentang Arjumand?"
"Tidak. Mungkin Sultan berpikir bahwa itu tidak penting. Jangan mencari arti
dari apa yang tidak dia katakan."
"Apa lagi yang bisa kulakukan" Dia mengabaikan Arjumand, dan dengan begitu, dia
menghinaku." "Perhatiannya sedang pecah. Kami sudah cukup bermasalah untuk mengartikan kata-
kata Mehrunissa. Kita tunggu dan lihat saja. Aku akan mendukungmu dalam ghusl-
khana." Aku tidak perlu menunggu terlalu lama.
Mereka mengatakan kepadaku bahwa pernikahan Ladilli lebih megah daripada
pernikahanku. Mehrunissa memberi piring-piring dan cangkir-cangkir emas kepada para tamu,
batu-batu mulia kepada para perempuan, serta menebarkan koin emas dan perak
kepada orang-orang, dan perayaannya berlangsung tiga hari penuh.
Aku tidak menghadirinya karena mengaku sakit. Arjumand pun tidak; anak yang dia
kandung meninggal satu jam setelah dilahirkan.
Sesaat setelah pernikahan, Mehrunissa melakukan gerakannya. Aku diperintahkan
untuk menuju ke selatan. Deccan mendidih. Udara panas tanpa henti di daerah Hindustan itu tampaknya terus
menyebabkan pemberontakan. Siapa yang akan memerintah di tempat yang jauh ini"
Bahkan jika aku menyerang ke selatan dan mengalahkan tikus-tikus itu untuk kedua
kalinya, apakah ayahku akan memberi imbalan yang lebih besar" Dapatkah dia
menghujaniku dengan emas dan berlian untuk kedua kalinya" Dia hanya akan
menggumam: Shabash. Dan jika aku gagal, Mehrunissa akan meraih kemenangan.
Bagaimana seorang pangeran yang tidak mampu menaklukkan Deccan bisa memerintah
Hindustan" Kemenangan-kemenanganku pada waktu lampau akan dilupakan. Dia tidak
akan menyebut-nyebut hal ini jika aku pulang dalam kekalahan.
Jarak Deccan juga sangat jauh dari Agra. Aku tidak akan mampu mendengar bisikan-
bisikan di istana hingga lama kemudian, saat Asaf Khan mengirim berita untukku.
Dalam kegelisahan, aku meminta pertemuan dengan ayahku. Seisi istana sedang
sibuk mempersiapkan kepindahan ke Lahore. Kashmir melambai-lambai, memanggil-
manggil sang Sultan, pusat kekuasaan, untuk bergerak menjauh dari Deccan, bahkan
dari Agra. Jahangir terbaring di ghusl-khana; kain putih yang didinginkan dengan
es diletakkan di dahinya. Matanya masih tertutup meskipun wazir mengumumkan
kehadiranku. Dia bernapas lewat mulut seperti singa, sekarat di dalam bayangan,
tersengal-sengal untuk bisa bertahan hidup.
"Udara," ayahku berbisik, "sungguh sulit untuk masuk ke dalam tubuhku yang
renta. Udara menghindariku. Di Kashmir ... ah, Kashmir ... di sana udara begitu
harum, menerpa dengan keras, tidak takut kepadaku."
"Apakah Ayah ingin aku kembali ke Deccan?"
"Kau telah menerima perintahku. Mengapa kau datang dan menanyakan hal itu
kepadaku lagi?" Sebelah matanya terbuka bagaikan pintu penjara yang berderit. Cahaya berbinar di
dalamnya. "Aku tidak tahu mengapa kau terus-menerus menggangguku."
"Ini adalah pertemuan pertamaku dalam waktu yang cukup lama."
"Rasanya seperti yang keseratus kalinya. Apakah itu saja yang kau inginkan" Aku
berharap kembali ke dalam mimpiku, terbaring di dekat kolam air mancur
di tamanku, dan mendengarkan alunan musiknya yang mendamaikan."
"Jika aku menyerang Deccan
"Kau membantah. Saat ini, aku memberi tahumu, jika kau akan memegang komando dan
tetap tinggal di sana hingga kita mengalahkan tikus-tikus itu. Jika ... jika ... apa
itu 'jika1" Kata 'jika' tidak pantas dikatakan oleh seorang sultan. Ini bukan
sebuah pasar malam tempat kau tawar-menawar dan berkata, 'jika ...."' Matanya
memerah dan menyala seperti tungku batu bara. Dia berteriak: "Aku
memerintahkanmu untuk menyerang."
"Aku mohon maaf, Paduka. Paduka salah mengerti maksudku. Aku tidak bermaksud
untuk mempertanyakan perintah Paduka."
"Kupikir seharusnya tidak." Sorot matanya mulai melunak, dan perlahan-lahan
kelopaknya memejam. "Aku tidak salah mengerti akan perintahku."
"Apakah aku dimaafkan, Paduka" Aku tidak bisa pergi dengan pikiran bahwa aku
membuat Ayah marah."
"Ya, ya. Sini."
Dia melambai memanggilku. Aku berlutut, dan dia merangkulku seperti tanpa sadar.
Jika dia akan pergi ke utara dan aku ke selatan, aku tidak ingin kemarahan
menguasai benaknya. Pasti itu akan semakin mengobarkan bisikan-bisikan
Mehrunissa. Ya, ya, pasti itu yang dikatakan Mehrunissa.
"Aku mohon izinmu, Ayah, untuk mengajak abangku Khusrav bersamaku. Dia telah
dirantai di istana ini selama bertahun-tahun dan perjalanan ke
Deccan bisa menjadi perubahan dalam hidupnya yang membosankan."
Ayahku tampak ragu-ragu, seperti mempertimbangkan apakah dia akan membuka
matanya lagi. Tetapi, kelopak matanya masih terpejam, hanya cahaya tipis setajam
silet yang berkilat. "Dan Ayah tak akan terus melihatnya, dia tak akan lagi
mengingatkan Ayah akan pengkhianatannya."
"Dia memang mengganggu karena meratap sepanjang waktu. Melihatnya membuatku
merasa melankolis. Karena itu menambah rasa sakitku, kupikir aku tak dapat
menahannya lagi. Ajak dia, bawa dia."
Kami pergi ke selatan setelah beberapa hari ayahku pergi ke utara. Dia telah
mengumumkan niatnya, hanya untuk mengunjungi Lahore, tetapi mungkin dia bisa
berubah pikiran; Kashmir masih memanggil-manggilnya. Kami berpelukan sebelum
berpisah. Dia tampak lebih kuat, tetapi siapa yang dapat menjamin kami bisa
bertemu lagi" Dia melambai ke arah Khusrav dari jauh.
"Manzil Mubarak."
"Manzil Mubarak."
Aku menemui ayah Arjumand. Asaf Khan berjanji untuk mengirimkan pesan ke Deccan
seminggu sekali, melaporkan keadaan kesehatan Sultan dan pikiran-pikiran
Mehrunissa. Keduanya saling berkaitan. Jika ayahku meninggal, Mehrunissa bisa
bergerak secepat kilat untuk memilih seorang pengganti; jika ayahku semakin
kuat, Mehrunissa akan menunggu. Dia telah menunjuk adik lelakiku
Parwez sebagai Subadar Lahore, serta membawa Ladilli dan Shahriya bersamanya.
Ketika Arjumand, aku, dan anak-anakku pergi ke selatan, aku merasa bahwa kami
meluncur di atas sungai yang membawa kami lebih jauh menembus batas cakrawala.
Khusrav masih terantai kepada pengawalnya. Mereka telah terbiasa dengan
kehadiran satu sama lain, dan dia tidak ingin dipisahkan dari temannya yang
semata wayang itu. Aku tidak memercayai pengawal selain Allami Sa'du-lla Khan
untuk menjaga Khusrav. Aku yakin, entah bagaimana penglihatannya sudah pulih.
Dan, meskipun dia tidak bisa melihat sejelas aku, dia bisa melihat. Setelah
makan bersama untuk pertama kalinya, aku memerintahkan dia untuk tetap bersama
temannya. "Saudaraku, aku diberi tahu bahwa aku akan pergi bersamamu, karena kasih
sayangmu kepadaku," dia berkata.
"Kupikir ini akan menjadi selingan bagi kebosananmu saat terpenjara."
"Terpenjara! Di sangkar emas! Bagaimana aku bisa merasa bosan" Aku mendengar
rumor dan gosip, dan dalam kegelapan, aku menyimpulkan arti setiap desis dan
bisikan. 'Mengapa"1 Aku selalu memulai pertanyaanku dengan kata itu. 'Mengapa"'
Mengapa Mehrunissa menikahkan anaknya dengan si pembual idiot Shahriya" Tapi,
kita semua tahu jawabannya. Sangat mudah. 'Mengapa"' Mengapa Shah Jahan mengajak
abangnya yang buta ke selatan bersamanya?"
"Aku sudah mengatakan alasannya kepadamu. Sekarang makanlah. Minumlah sedikit
anggur." Isa memenuhi cangkirnya. Khusrav menatap cairan di cawan emasnya,
tetapi tidak menyentuhnya. "Aku tidak bisa lagi menemanimu. Aku harus
mendiskusikan rencana bersama komandan pasukanku."
"Ah, ya, tentu saja. Adikku memiliki posisi penting. Komando, perintah-dia
tinggal mengangkat tangan dan sepuluh ribu pasukan berkuda akan maju." Dia
mendesah, lalu air matanya mengalir. Sepertinya, air mata itu akan mengalir
seiring keinginannya. "Jika saja aku sebijaksana Shah Jahan. Aku begitu terburu-
buru dalam kebutaan ... aku terlihat konyol di hadapanmu, iya kan" Dulu, mata
hatiku yang buta. Saat ini, mata kepalaku yang buta. Dua kebutaan. Betapa
sialnya! Jika saja mataku yang buta terlebih dahulu, mungkin aku masih memiliki
kedua penglihatan itu."
"Kau memang melihat."
"Sedikit. Kau membenciku karena itu" Bayangan buram Shah Jahan duduk di depanku.
Dia menunjukkan ketidaksabarannya; mungkin, dia bahkan menunjukkan
ketidaksukaannya. Aku mengasihi ayahku tercinta dengan cara yang sama. Aku duduk
dan menatapnya, tetapi dia segera menghilang. Jika aku sebijaksana Shah Jahan,
saat ini aku akan maju di depan ribuan pasukanku yang akan mati karena
menjalankan perintahku. Tapi, apakah itu sudah cukup" Shah Jahan bisa memimpin
pasukan dua puluh, tiga puluh kali-tetapi dia tidak bisa. Belum."
"Aku adalah putra mahkotanya."
"Tapi, apakah kau putra mahkota Mehrunissa" Itu pertanyaannya."
Dia lalu berbisik. "Kau harus mencari tahu, apa yang akan diperbuat oleh
Khusrav." "Apa yang akan diperbuat oleh Khusrav?"
"Bunuh Mehrunissa. Secepat kilat. Sebelum dia bergerak. Kirim pasukan berkuda ke
sana." Khusrav mencengkeram lenganku dengan kuat. "Tanpa bisikan Mehrunissa, kau
akan tetap menjadi putra mahkota Jahangir hingga dia meninggal. Dan jika hal itu
terjadi dalam waktu dekat, Tuhan merestui."
"Penjagaan Mehrunissa terlalu ketat. Sekarang, giliranku untuk
bertanya-'mengapa?"1
"Karena kematian Mehrunissa akan melukai Jahangir. Dia akan meratap, seperti
halnya aku. Dia akan mondar-mandir di istananya, terbutakan oleh kepedihan. Dia
akan tersandung dan jatuh ke dalam palung kesepian. Selamanya." Khusrav
terkekeh-kekeh puas dan bertepuk tangan. Siang dan malam, dia memimpikan
kematian Jahangir. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tetapi, aku tidak bisa
memercayainya. "Ketika kau bertanya 'mengapa"1 dan mendapat jawaban, kau akan bertanya
'mengapa"' lagi" Mengapa Khusrav menginginkan nyawa Mehrunissa?"
"Untuk menyelamatkan nyawanya sendiri." Dia menatapku. "Taktya takhta. Aku tidak
menginginkan takhta maupun makam, Saudaraku."
Udara semakin panas, rumput-rumput layu dan mati; batuan dan tanah tampak
mengancam, angkasa bagaikan perisai yang berkilauan. Aku juga memimpikan
Kashmir, bukan merindukan ayahku, tetapi ingin melepaskan diri dari kebencian
Khusrav yang mendarah daging. Arjumand terbaring di keretanya. Kibasan punkah
tak mampu menepis panas di pantai ini. Dia tidak pernah mengeluh, tetapi selalu
tersenyum penuh kasih kepadaku. Senyumannya tidak pernah berubah; selalu
memancarkan kecantikannya, meskipun saat ini senyuman itu lebih lambat
tersungging. Tetapi, saat dia tersenyum, aku tidak bisa menahan kebahagiaan atau
curahan cintaku. Dia sedang mengandung anak ketujuh kami. Kami tidak lagi
memperdebatkan apakah dia harus tinggal di Agra yang nyaman. Aku tidak akan
pernah menolak keinginannya, dan saat ini aku tidak menginginkannya. Kehadiran
Arjumand selalu memberiku kenyamanan.
Aku selalu mengajak Dara di sampingku. Dia menunggang kuda poni putihnya, dan
keingintahuannya tentang daerah ini tak pernah terbatas; aku mengajarinya,
karena dia baru mulai berlatih. Anak-anak yang lain tetap bersama pengasuh
mereka, di balik tempat tinggal Arjumand. Dua anak lelakiku yang lain, Shahshuja
dan Murad, adalah anak-anak pendiam dan penurut; hanya Aurangzeb yang
menampakkan semangat ketangguhan dan kemandirian. Tingginya belum mencapai
pinggangku, tetapi dia sudah meminta kepadaku dengan terus terang agar
mengizinkannya berkuda. Aku melarangnya. Dia terlalu kecil dan masih terus membutuhkan
penjagaan. Ada ekspresi penasaran dan kekesalan yang dia sembunyikan saat berada
di dekat Dara. Dara mengerti kekuatan secara alamiah. Kekuatan mengalir saat aku melaju,
berhenti saat aku berhenti. Kekuatan juga melingkupiku, terlihat dari satu batas
cakrawala hingga batas cakrawala yang lain. Aku tahu sumber kekuatan itu adalah
ayahku, tetapi ketika jarak di antara kami semakin lebar, kekuatanku juga
berkurang. Orang lain memerintah tanah yang kami lewati-para rana, amir, diwan,
mir bakshi-tetapi ketika aku tiba di suba mereka, kekuasaanku melingkupi
kekuasaan mereka. Perjalanan itu sangat lambat; seorang pangeran tidak bisa
lewat tanpa dikenali. Setiap hari, saat fajar, tengah hari, dan senja, aku
berhenti, menerima kunjungan semua yang datang untuk membayar pajak atau
mempersembahkan hadiah. Dan setiap aku berhenti, sebuah pesta menanti dan tidak
dapat ditolak. Jadi, aku menyaksikan pertunjukan kesetiaan dan kasih sayang yang
berulang-ulang dan tak berhenti. Kata-kata tak pernah berganti, hanya orang yang
mengucapkannya yang berganti.
Dua hari sebelum kami mencapai Burhanpur, kami berpapasan dengan beberapa
prajurit di jalan; seratus orang yang dipimpin oleh seorang Mir Bakshi. Mereka
didampingi oleh Sadr, komandan suba. Mereka menunggu di dekat pilar yang terbuat
dari tengkorak manusia, yang tingginya dua kali
tinggi manusia dan diameternya pun dua kali. Pilar itu terbuat dari lumpur dan
bata, dan dihiasi tengkorak-tengkorak. Mereka tidak memiliki mata maupun daging
lagi, hanya tulangnya yang tertinggal. Pembangunan pilar-pilar ini adalah
kebiasaan yang pertama kali dipraktikkan oleh Timur-i-leng. Sementara pilar ini
dibangun oleh Akbar, sebuah monumen bagi ketegasannya dalam memberi hukuman.
Kami tidak lagi mengikuti tradisi ini.
Di tanah dekat para penunggang kuda, tiga orang tergeletak dalam keadaan
terikat. Aku memberi izin kepada Mir Bakshi dan Sadr untuk mendekat. Mereka datang dengan
ragu-ragu; kehadiranku tidak disambut. Sadr melakukan kornish yang begitu
formal. Mir Bakshi tampak lebih menghormatiku. Aku mengabaikan keduanya, dan
langsung maju mendekati orang-orang yang terikat itu. Mereka masih hidup,
terikat dengan tali, kepala mereka gundul. Darah mengental terlihat di sisi
kepala satu orang tersebut, menggelapkan janggutnya. Orang ketiga tampak tidak
terluka, tetapi terikat lebih kencang. Mereka terbaring tak berdaya, wajah-wajah
hampa mereka menekan tanah. Mereka tidak mengharapkan keadilan dariku.
"Ini adalah masalah sepele, Yang Mulia," kata Mir Bakshi. Kekuasaannya berkurang
saat aku berdiri di dekatnya. "Ini tidak perlu mengganggu pikiran sang
Pangeran." "Apa yang mereka lakukan?"
"Tidak ada, Tuanku," salah seorang lelaki yang
terikat berteriak. Dengan isyarat dari Mir Bakshi, seorang prajurit menusuk lelaki itu dengan ujung
tombaknya. "Kau hanya boleh menusuk jika aku memerintahkannya. Dengan kehadiranku, tidak
ada yang boleh dilakukan tanpa kekuasaanku."
Sadr bergerak menghampiriku dalam posisi terlalu dekat; aku menyuruhnya untuk
menjauh. Dia mundur beberapa langkah, sementara matanya berkilat.
"Orang-orang ini bermaksud membunuh thakur di desa itu." Dia menunjuk ke arah
perbukitan. "Kami telah berhasil mencegah mereka melakukan rencana pembunuhan
itu. Tunjukkan senjatanya kepada Pangeran."
Tiga pedang berkarat jatuh ke tanah, diikuti sebilah belati.
"Mengapa mereka ingin membunuh thakur?"
"Siapa yang tahu mengapa rakyat jelata ini melakukan sesuatu?" dia bertanya
dengan penuh ketidakpercayaan.
"Aku bertanya kepadamu. Jawablah dengan cepat. Aku tidak akan memberi toleransi
terhadap kekasaran seorang mullah."
"Kemarahanku hanya memuncak," dia berbisik, menyadari bahwa hanya profesi
sucinya yang saat ini dapat mencegahnya menghadapi kematian.
"Ceritakan kepadaku," aku berkata kepada orang yang terikat. Matanya
mengingatkanku akan harimau yang terperangkap, penuh amarah tak tertahankan,
karena dia harus takluk oleh
kehidupan dengan begitu kejam.
"Yang Mulia, thakur itu adalah orang jahat. Dia telah membuat hidup kami
menderita .." "Itu bukan alasan untuk merencanakan pembunuhan."
"Tidak, Yang Mulia." Matanya berkilat dingin. "Thakur menginginkan istri saya
yang cantik. Dia membawa istriku dengan paksa, menahannya, menggunakannya, dan
saat dia sudah bosan, dia memberikan istriku kepada anak buahnya. Dia meninggal
karena kekejaman mereka."
"Mengapa kau tidak meminta keadilan?"
"Keadilan?" Suaranya terdengar pahit. "Thakur adalah seorang Muslim. Dia teman
Sadr dan Mir Bakshi. Aku beragama Hindu. Saat aku pergi meminta keadilan itu,
mereka justru berkata bahwa itu bukan urusan mereka. Apa yang bisa kulakukan"
Aku meratap, aku menangis, aku memohon. Mereka menertawakanku. Saat istriku
meninggal, aku mencari keadilanku sendiri. Lelaki ini adalah adikku, yang ini
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepupuku. Kami memang pergi mengejar thakur, tetapi kami tertangkap. Kalau mau,
Yang Mulia boleh menghukum mati kami."
Saat harapan sudah hampir sirna, keberanian manusia akan semakin menonjol.
Tatapannya tidak goyah, dia tidak berkedip. Aku menghormatinya.
"Siapa namamu?"
"Arjun Lal. Adikku Prem Chand, dan sepupuku Ram Lal."
Aku menoleh kepada Sadr: "Apakah ini benar?" "Dia tidak datang kepada kami
karena istrinya. Dia cuma mengarang cerita saja."
"Tentu saja aku tahu dia berbohong. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang
Hindu?" Aku membelokkan kepala kudaku, seperti akan beranjak. "Siapa nama
istrinya?" "Lalitha." Tatapannya tiba-tiba melemah, tidak berdaya, penuh kepasrahan dan
kebencian karena sadar bahwa dia terjebak siasatku.
"Bebaskan mereka. Hukum mati sang thakur."
Burhanpur tidak berubah. Angkasa yang kejam, elang-elang, tumbuhan-tumbuhan yang
kering, semuanya sama. Istana masih menghadap ke arah bukit-bukit yang berwarna
keunguan, seakan-akan bangunan itu menampakkan perasaan merasa getir karena
selama bertahun-tahun terpaku menatap pemandangan yang tak pernah berubah.
Arjumand melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi, bayi kami meninggal
seminggu kemudian. Arjumand masih lemah dan kelelahan, Isa menjelaskan, meskipun
saat aku kembali dari pertempuran singkat melawan tikus-tikus Deccan itu,
Arjumand masih menunjukkan kegembiraan ketika aku mendekatinya. Dia hanya
Anak Harimau 6 Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat Kisah Si Bangau Putih 15
dan sungai-sungai. Penakluk Dunia! Gelar itu memang cocok; hanya itu satu-
satunya yang sesuai untukku. Gajahku bagaikan sebuah kereta kencana yang
berjalan menuju surga, dan semua orang memberiku penghormatan. Shah Jahan! Shah
Jahan! Shah Jahan! Angin kering membisikkan namaku, layang-layang menjeritkannya
di angkasa, kaki-kaki Bairam menjejak bumi dengan irama yang mengalun. Aku
merasa melayang, bagaikan dewa, bahkan jagat raya pun tidak bisa menampung
semangat kegembiraanku. Kebahagiaanku mulai terbit tatkala gerbang terbuka
perlahan, berderit dalam keheningan penantian; hal itu mengembuskan angin sejuk
dari dalam tubuhku, membuatku terbang, melayang, dan melesat hingga keluar dari
mulutku. Aku tidak pernah memikirkan apa pun dalam hidupku yang sama hebatnya
dengan ini semua; rasanya hal lain merupakan hal sepele. Rasanya, aku tidak
pernah hidup sebelumnya. Tidak, aku salah. Ketika aku pertama melihat Arjumand-
itu adalah sesuatu yang lebih dahsyat, tetapi berbeda. Itu adalah keterpesonaan
karena cinta; yang ini adalah kemenangan!
Arjumand Shah Jahan membuka sandalnya, dan perlahan, dengan penuh kebanggaan, menurunkan
tubuhnya ke bantal. Dia tampak begitu muda, begitu bangga, dan rasanya hatiku
sakit karena terlalu mencintainya. Dengan ragu-ragu, aku mengalihkan pandanganku darinya dan
mengintip melalui kisi-kisi ke arah kerumunan di diwan-i-am. Para pejabat
berdesakan di balik pagar merah tua; mereka tumpah ruah hingga ke lantai di
bawahnya, berdiri atau berjinjit agar bisa melihat pangeranku. Khusrav, Parwez,
dan Shahriyar, saudara-saudara lelaki Shah Jahan, berdiri di belakangnya, wajah
mereka datar, suram, ekspresi mereka tidak terbaca; apakah ada suatu rasa iri
yang telah timbul" "Aku tahu, dia akan berhasil," Mehrunissa berbisik di
telingaku. "Dia akan menjadi seorang pangeran yang mulia." Dia memelukku,
seolah-olah aku yang meraih kemenangan itu. "Aku akan selalu membantunya.
Katakan kepadanya, dia bisa mengandalkanku." Aku merasa Mehrunissa sedang
menimbang-nimbang dari sorot matanya.
Kemenangan membawa kekuasaan, dan aku juga dituntut untuk mendapatkan apa yang
sudah dia capai. Di belakang pagar perak, berdiri gelisah seorang anak muda yang langsing, anak
lelaki Rana dari Mewar. "Sungguh anak lelaki muda yang liar!" Mehrunissa
tertawa, mencemoohnya. Turbannya tidak membungkus rambut pangeran itu, tetapi
terletak tinggi di atas kepalanya dengan gaya Rajputani, seperti sebuah tambang
terpilin yang kusut. Pakaiannya tidak bergaya, dan meskipun dia tampak arogan,
sudah jelas bahwa dia merasa takut dan khawatir akan pertemuan itu. Karan Singh
adalah seorang anak lelaki yang lembut,
meskipun dia tidak terpelajar. Sungguh menyenangkan bisa ditemani oleh seseorang
yang begitu polos, begitu ingin tahu banyak hal. Di istana, semua sifat itu akan
menghilang secepat kilat. Selama perjalanan dari Mewar ke Ajmer, Shah Jahan
mendapat pelbagai pertanyaan dari Karan Singh. Di Ajmer-saat kami menunggu
Jahangir-anak pertamaku bersama Shah Jahan, yang benihnya dibuahi dalam
kebahagiaan di samping danau sembilan bulan yang lalu, terlahir. Kami berdoa
agar diberi anak lelaki. Tetapi, Tuhan memberi kami anak perempuan, yang diberi
nama Jahanara. Dia adalah seorang bayi yang cantik dan kami mencintainya.
Jahangir, yang merasa puas karena kemenangan yang dicapai-dia menganggap ini
adalah kemenangannya-telah membawa seisi istana kemari, seratus kos dari Mewar,
untuk merayakannya. Ajmer adalah sebuah kota kecil yang padat, cukup antik,
penuh dengan bangunan-bangunan beratap datar yang rendah, dan dikelilingi oleh
perbukitan Taragarh. Dua masjid kuno dan legendaris berdiri di sana: Arhai-din-
ka-Jhonpra dan Dargah. Kekasihku telah membangun sebuah benteng kecil di dalam
kota, tetapi Jahangir memilih untuk mendirikan tenda kerajaan di pantai Danau
Sagar. Sepanjang hari, angin sepoi-sepoi berembus menyeberangi danau dari
perbukitan. Sang Sultan masuk dan menaiki singgasana. Dia tersenyum ke arah kekasihku,
bertepuk tangan puas dan gembira, dan para pejabat dengan segera
mengikutinya. Wajah setiap orang memancarkan kebahagiaan, seakan-akan dibuat
dari cetakan yang sama. "Aku gembira dengan kemenanganku atas Mewar," Jahangir mengumumkan. "Sementara
Akbar mengalami kegagalan, aku berhasil. Aku hanya berharap dia ada di sini
bersamaku untuk merayakan kemenangan ini. Dia pasti akan bangga kepadaku, yang
belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Jiwaku yang mulia selalu menginginkan,
sebisa mungkin, untuk tidak menghancurkan kerabat lama ini. Aku hanya berharap
untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama mereka. Karena alasan itu, aku
tidak meminta apa-apa kepada Rana dari Mewar ..." Jahangir menatap Karan Singh.
Karan membungkuk dengan gugup. Gerakannya tidak dilakukan dengan benar, tetapi
Jahangir memaafkannya. "... kecuali untuk mengirimkan putranya, Patrani dari
Mewar, untuk tinggal di sini dan menjadi tamuku selama beberapa waktu. Sang Rana
akan tetap memiliki kerajaannya, dan satu-satunya yang kuminta darinya hanyalah
kesetiaan dan cintanya ...."
"Jangan mendengus," Mehrunissa mencubitku. "Biarkan dia menjadi sultan. Kita
semua tahu bahwa itu adalah pencapaian Shah Jahan. Ini membuat Jahangir senang,
dan seharusnya membuatmu senang juga."
"Paling sedikit dia harus menyebut nama suamiku."
"... aku bangga terhadap putraku, Shah Jahan,
karena telah mengikuti instruksiku dengan baik. Aku akan menaikkan pangkatnya
sehingga dia membawahi sepuluh ribu zat dan lima ribu sowar ...."
"Tidakkah itu membuatmu senang" Kau kaya sekarang." "... dan aku memberinya izin
sejak hari ini untuk mendapatkan gulabar merahku."
"Aku sudah mengatakan, dia tidak akan melupakan pangeranmu."
Merah, bukan warna darah-itulah mimpi yang selalu menghantuiku selama beberapa
tahun ini. Aku telah membayangkan genangan darah di dipan sebagai arti mimpiku,
tetapi aku salah. Aku tertawa dan bertepuk tangan. Kekasihku saat ini sudah
dipastikan akan menjadi putra mahkota. Awalnya adalah anugerah sebagai penguasa
jagir Hissan-Feroz, dan saat ini anugerah berupa gulabar warisan. Jahangir
menghujani Karan Singh dengan hadiah-hadiah berharga dan upacara berlanjut.
1025/1615 Masehi Kapan putraku Dara terbentuk" Seorang perempuan mungkin bisa menjelaskan hal
seperti ini, bukan berdasarkan perhitungan, tetapi berdasarkan insting,
berdasarkan cinta. Sebuah janin terbentuk pada suatu peristiwa dahsyat. Pasti
bukan pada saat-saat lain. Pembuahan Dara terjadi dalam kegembiraan,
kebahagiaan, dalam tawa dan cinta. Aku mengingat belaian, ciuman, dan kemesraan
yang semakin membuncah dari keintiman kami. Tubuh kami begitu penuh hasrat,
darah kami bergelora. Yang kami rasakan dan jalin pada malam
itu menjadi sebentuk tubuh anak kami. Anak kami mendapatkan jiwa yang
bersemangat dari peristiwa itu.
Aku tidak mengetahui bagaimana itu terjadi, tetapi kita menciptakan sifat-sifat
seorang anak jauh sebelum mereka terlahir ke dunia. Mereka tidak hanya
mendapatkan asupan makanan dari tubuh kita, tetapi juga dari pikiran, perasaan,
dan udara yang kita hirup. Dara tidak membuatku merasa sakit, atau mungkin aku
tidak menyadarinya karena sedang berbahagia. Dia lahir dengan cepat pada saat
matahari terbit. Dia tidak menangis, tetapi hanya terbaring di lenganku sambil
memandang berkeliling dengan keingintahuan yang besar. Matanya mirip mata Shah
Jahan. Aku tidak bisa menyerahkannya kepada para perempuan yang menunggu dengan tidak
sabar untuk menyusui sang pangeran kecil ini. Sungguh suatu kehormatan bagi
mereka yang air susunya diisap oleh seorang pangeran. Mereka akan diberi imbalan
kekayaan dan kehormatan, posisi mereka di harem pun akan meningkat. Tetapi, aku
meletakkan mulutnya yang mencari-cari di payudaraku sendiri, ingin dia mengisap
air susuku. Aku memerintahkan para ibu susuan itu untuk mengundurkan diri. Aku
merasa, aku harus berhati-hati. Susu mereka mungkin bisa mengubah bayi kami
tersayang, membentuk jiwanya dari sifat-sifat mereka.
Yang pertama datang dan mengunjungiku adalah Shah Jahan, wajahnya lesu dan
khawatir karena terjaga semalam suntuk. Dia juga mengalami rasa
sakit sepertiku, atau mungkin lebih parah. Dia mengecupku terlebih dahulu,
bersyukur karena aku bertahan hidup, dan berbaring di sebelahku dengan perasaan
puas dan lelah. Kemudian, dengan lembut dan setengah bermimpi, dia menghampiri
putra kami. "Dia secantik dirimu."
"Anak-anak lelaki tidak cantik, mereka tampan." "Tapi yang ini begitu."
Dia meletakkan jarinya ke dalam genggaman kecil si bayi, dan si bayi
mencengkeramnya. Tampaknya mereka merasakan hal yang sama, jatuh cinta pada
pandangan pertama, seperti yang kami rasakan satu sama lain. Keduanya tersenyum
penuh kekaguman satu sama lain, dan saat Shah Jahan membungkuk untuk mengecup
putranya, tawa Dara pecah.
"Janggutmu menggelitiknya. Aku hanya berdoa agar dia tumbuh dengan kuat dan
tegap seperti dirimu."
"Dia adalah ahli warisku," Shah Jahan berbisik, kemudian dia mendekati telinga
mungil bayi kami. "Suatu hari, kau akan menjadi Mughal Agung."
Mehrunissa menatap Dara dengan penuh rasa ingin tahu, sambil memiringkan kepala,
menyipitkan mata seolah sedang menatap dari balik beatilha. Dia akan mencubit
pipi bayiku, tindakan kasih sayang yang biasa dia lakukan, yang akan membuat
bayiku menangis, tetapi aku menahan tangannya.
"Apa yang Bibi perhatikan?"
"Aku sedang mengaguminya," Mehrunissa tersenyum. "Menurutku, dia mirip Shah
Jahan. Jahangir sangat senang. Dia mengirimkan hadiah." Para budak berjalan sambil
memanggul sebuah buaian besar yang terbuat dari emas. Buaian itu tergantung dari
sebuah palang yang disangga oleh tiang-tiang pada kedua sisinya. Benda itu
setinggi seorang pria tegap, dan ada cukup ruangan untuk seorang anak lelaki
kecil. Sisi-sisinya diukir dengan gajah-gajah yang sedang berjalan. Mehrunissa
menciumku, tampak ragu-ragu, kemudian mengecup dahi mungil Dara dengan bibirnya.
Sikap kami lebih mencerminkan perasaan yang sesungguhnya daripada perkataan
kami. Aku mengawasi Mehrunissa ketika dia berjalan menjauh dari sisi tempat
tidurku, perlahan-lahan dan tenggelam dalam pikirannya.
Isa Aku mencintai Dara seperti menyayangi anakku sendiri. Saat tugas-tugasku
selesai, aku akan mencarinya. Jika dia sedang bersama Arjumand dan sang
Pangeran, aku tidak akan mengusiknya. Tetapi jika dia sedang bersama pengasuh,
aku akan membawanya dari mereka dan kami akan keluar menuju halaman untuk
bermain. Kulit dan rambutnya begitu lembut dan dia merasakan belaianku, dan
menggenggam jari-jariku seakan-akan aku ini ayahnya. Usianya belum cukup untuk
bisa membedakan orang. Segera, dia akan mampu melakukannya. Dia tampak seperti
Arjumand, kecuali matanya yang gelap; mata itu adalah mata ayahnya.
Tempat tinggal itu tenang dan menyenangkan. Kami hidup dalam kerukunan, dan
sungguh melegakan karena bisa lepas dari intrik-intrik istana kesultanan. Aku
percaya bahwa Arjumand merasa senang untuk tinggal di sini selamanya, terlupakan
oleh seluruh keluarganya. Dia sangat mencintai suaminya dan sesering mungkin
berusaha untuk bisa mendampingi sang Pangeran. Tidak seperti orang lain, mereka
tampak menikmati keintiman, meskipun banyak pasangan suami-istri lain memilih
untuk menjadi orang asing, kecuali saat mereka sedang melakukan hubungan suami-
istri. Bagaimanapun, Mehrunissa tidak menyukai kedamaian seperti ini. Kemenangan Shah
Jahan hanya meningkatkan kekuasaan Mehrunissa. Dia semakin bersinar karena hal
ini dan, ketika sekali lagi Deccan menunjukkan perlawanan, dia membisikkan lagi
nama sang Pangeran ke telinga Jahangir.
1026/1616 Masehi "Kau harus tetap di sini, Agachi. Aku akan menjaga sang Putra Mahkota dalam
perjalanan." "Tidak. Kau bukan istrinya. Kami telah sama-sama berjanji."
Tetapi, dia mendesah saat kami mengawasi kesibukan persiapan menuju penyerbuan
ke Deccan. Saat itu adalah awal musim dingin, waktu yang tepat untuk melakukan
kampanye, dan jauh di selatan, hawa panas musim kemarau akan membakar kulit.
"Tapi ingat peristiwa dalam perjalanan menuju
Mewar. Kondisimu tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan."
Perutnya membesar sekali lagi; dia bergerak dengan kaku dan lemah. Bayi ini
datang terlalu cepat. Seharusnya Arjumand beristirahat selama setahun atau dua
tahun. Hakim mengatakan ini kepadaku setelah dia memeriksa Arjumand. Dia begitu
khawatir; dan kekhawatiran sang hakim menular kepadaku. Perjalanan ke selatan
lebih berat, lebih keras, dan pertempurannya mungkin lebih dahsyat.
"Kau mulai terdengar seperti perempuan tua. Mungkin kau lebih memilih untuk
tetap tinggal di belakang, dalam kenyamanan?"
"Ke mana pun kau pergi, aku akan melayanimu, Agachi. Tapi, tolong sadari; apakah
Dara juga bisa melakukan perjalanan ini" Dia masih terlalu kecil."
"Dia akan terbiasa," dia mendesah, seolah-olah telah melihat sebuah perjalanan
panjang yang tidak memiliki akhir.
Bayi itu terlahir di dekat batas luar kesultanan, seorang anak lelaki lagi-
Shahshuja. Arjumand yang kelelahan setelah melahirkan memberikannya kepada
seorang ibu susuan. Dataran itu, penduduknya, dan iklimnya tidak ramah. Bukit-bukitnya berwarna ungu
kusam, tajam seperti taring, menjulang di atas hutan belantara, melindungi desa-
desa terisolasi dan pangeran-pangeran kecil. Burhanpur adalah sebuah kota kecil terlindung di lembah dekat Sungai Tapti, dan
selalu ada iring-iringan kapal yang berlayar hilir mudik dari sini ke Surat. Air
sungai menerpa dinding-dinding istana, dan dari atapnya kita bisa melihat
benteng batu raksasa yang misterius di antara kabut, Asirghah, benteng tertinggi
di Hindustan. Butuh waktu satu hari penuh untuk naik dari dataran di bawahnya
menuju gerbang istana. Akbar membutuhkan waktu dua tahun untuk mendudukinya, dan
hanya dengan suatu siasat dia akhirnya berhasil.
Istana itu berupa bangunan sederhana kecil yang terbuat dari batu bata. Tidak
ada penggalian batu paras atau marmer di sini. Hawa panas tidak pernah berubah,
membuat setiap batuan dan semak tampak bergoyang-goyang. Humayun, Akbar,
Jahangir, dan saat ini Shah Jahan, semua pernah tinggal di istana ini, untuk
bertempur melawan pangeran-pangeran kecil yang tak pernah berhenti membuat
masalah. Mengapa mereka tidak menerima kekuasaan Mughal Agung dengan damai,
malah terus-menerus menyeret mereka kemari"
Kelahiran Shahshuja begitu lama dan menyakitkan. Jeritan dan rintihan Arjumand
membakar hatiku. Setelah itu, dia kelelahan dan kehabisan tenaga, dan terbaring
di kamarnya yang menghadap bukit-bukit membeku, sungai yang mengalir, dan langit
yang membara. Kadang-kadang, dia menikmati bayangan gumpalan awan yang melayang-
layang, bergerak cepat, membuat bukit-bukit menjadi gelap. Kami berada ribuan
kos dari Agra, dan kami semua merasa bagaikan tinggal di dunia ganjil yang membara,
dan hanya kami yang merupakan makhluk hidup di sini.
Tubuh Arjumand tidak segera kembali ke bentuknya semula, tetapi masih
membengkak, berat, seakan-akan masih mengandung seorang anak. Kukira itu
mengusiknya-para perempuan biasanya sangat memedulikan hal ini-tetapi dia tidak
mengatakan apa-apa kepada Shah Jahan. Saat Shah Jahan kembali setelah berunding
dengan para komandan pasukannya, Arjumand akan bersikap ceria, tertawa,
berbicara, dan bermain bersama Dara dan Jahanara, memberi kesan bahwa dia selalu
bahagia sejak fajar. Tetapi, Arjumand tidak sempat beristirahat. Karena sudah
menanti sang Pangeran terkasih selama bertahun-tahun, anak-anaknya berturut-
turut terlahir dari tubuhnya. Hanya sembilan bulan kemudian, dia melahirkan
seorang anak perempuan, Raushanara. Anak perempuan ini disusui oleh seorang
perempuan desa yang bayinya meninggal, dan Arjumand bersyukur karena bisa
beristirahat. Tetapi, kasih sayangnya kepada Dara tidak pernah berubah. Dia akan
memeluk dan memerhatikannya, menghujani Dara dengan kecupan. Shah Jahan juga
sepertinya memperlakukan hal yang sama dan terus merasa bahagia karena kelahiran
putra pertamanya. Dia hanya memerhatikan, memeluk, dan mengecup anak-anaknya
yang lain sebentar. Anak kesayangan telah dipilih; dia telah mendapatkan sebuah
tempat di hati mereka, dan tidak ada yang bisa merebutnya
saat ini. Betapa teganya orangtua yang membuat pilihan di antara anak-anaknya
sendiri! "Isa, kau akan pergi mendampingi kekasihku berperang. Kau harus membelanya dari
musuh-musuhnya." "Aku akan mendampinginya, Agachi, tapi aku bukan seorang kesatria. Aku akan
berusaha semampuku."
"Jika dia harus mati, aku akan mengikuti. Hatiku akan hancur. Aku benci orang-
orang yang membahayakan Shah Jahan. Anehnya, dia menikmati ini semua, seakan-
akan pertempuran ini hanyalah suatu permainan yang tidak akan mencabut nyawa
seseorang. Dia seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru."
"Pasukan Mughal bukan mainan, Agachi. Seharusnya kau merasa bangga karena dia
mengepalai kekuatan yang begitu besar. Dia akan mendapat kemenangan sekali
lagi." "Aku tahu, tetapi aku masih tetap ketakutan. Bisa saja ada sebatang anak panah,
tombak, atau peluru lontar mengenainya, dan aku juga akan berhenti bernapas."
Jadi, aku menemani Shah Jahan bertempur, tetapi tidak dengan rasa bahagia. Aku
duduk meringkuk dengan tidak nyaman di belakangnya, di howdahnya. Bairam telah
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencium aroma peperangan; dia sudah dipasangi baju zirah berantai dan ketika
kami berbaris, dia meniupkan suara
nyaring. Gajah-gajah lain menjawabnya dan geraman mereka bergema di bukit-bukit.
Tanah bergetar karena gerakan para penunggang kuda, mengalir bagaikan arus yang
mengalir ke saluran-saluran air, menuju perbukitan, dan menuju lembah-lembah
curam. Medan perang sudah dipilih, sebuah plato di dekat Elhchpur. Di hadapan
kami berdirilah pasukan raja-raja Nizam Shahi.
Aku memandang berkeliling saat kami mendekati pasukan mereka, nyaris tidak
percaya melihat ribuan prajurit yang dikomandani oleh Shah Jahan. Di sekeliling
kami, Ahadi Shah Jahan menunggang kuda, dan di belakang, Mahabat Khan, bayangan
Jahangir yang selalu mengawasi, mengikuti kami. Sang jenderal tua maju ke medan
perang dengan dingin; dia bersandar di howdahnya, kakinya bersilang, dengan
tangan di belakang kepalanya. Aku mengira bahwa posisinya ini sengaja dia
lakukan untuk menenangkan dan mendukung keberanian semua orang yang melihatnya.
Di sebelah kanan kami ada seorang teman baru Pangeran, Karan Singh. Sang
pangeran Mewar itu memilih untuk menunggang kuda. Di bawah turban gelapnya, dia
mengenakan sebuah helm besi dan tubuhnya tertutup oleh baju zirah dari jalinan
logam yang sangat rapat. Di sebelah kiri kami ada teman lama sang Pangeran,
Allami Sa'du-lla Khan. Shah Jahan hanya mengenakan char-aina yang paling ringan,
yang terdiri dari dua pelat logam segi empat yang dilapis dengan rapi untuk
melindungi dada dan punggungnya, serta dua pelat yang lebih kecil
untuk melindungi sisi-sisi tubuhnya, semua disatukan dengan pengait dari emas.
Helmnya dihiasi oleh sehelai bulu yang mengangguk-angguk yang ditempelkan oleh
emas, dan jalinan rantai pelindung kepala tergantung hingga punggungnya. Jezail-
jezailnya dibawakan oleh orang-orang yang berjalan di samping Bairam. Mereka
juga terlindungi dengan rapat. Hanya aku yang tidak mempersiapkan diri untuk
pertempuran, mengenakan jiba dan piama, merasa rapuh dan putus asa. Aku terus-
menerus berdoa. Shah Jahan mengangkat tangan kanannya ke sebelah kanan pasukannya, dan memutar
pergelangannya sekali. Selama semenit yang terasa lama, tidak ada yang bergerak.
Kemudian, sepuluh ribu penunggang kuda memisahkan diri dari pasukan utama dan
mulai berderap ke selatan. Dia melakukan hal yang sama dengan tangan kirinya,
dan sepuluh ribu penunggang kuda lain berderap ke utara. Ini adalah ujung-ujung
tanduk banteng, yang disusun untuk menyerang musuh kami dari arah samping. Di
depan kami, bergeraklah barisan meriam dan banduq-chi. Kami mencapai ujung plato
dan di depan sana, pasukan musuh mulai bergerak ke arah kami.
Shah Jahan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan kami berhenti bergerak.
Metode peperangan yang telah dites ini membuat musuh bisa masuk ke dalam
jangkauan, untuk menipu musuh agar percaya bahwa mereka bisa berhasil menyerang.
Barikade untuk barisan banduq-chi
disiapkan dalam posisinya, dan para siphai menyiapkan senjata mereka. Jauh di
sebelah selatan dan utara, dua puluh ribu penunggang kuda kami akan mengepung
musuh. Shah Jahan menoleh ke arahku. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya yang gelap
tampak berkilat, api membara di dalam kepalanya. Dia mirip seekor binatang buas,
bersiap dan mengambil ancang-ancang, siap menerjang.
"Kau takut, Isa?"
"Aku tidak bisa berbohong, Yang Mulia. Ya. Aku tidak terbiasa berperang."
"Aku tidak bisa mengurangi ketakutanmu. Setiap pasukan memiliki tujuan yang
sama: kemenangan. Dan salah satu bagian tujuan itu adalah membunuh pemimpinnya.
Jika aku tidak terlihat oleh pasukanku-meskipun satu menit saja-mereka akan
mengira aku tewas, dan mereka akan mundur. Aku adalah jantung mereka. Jika aku
mati, semangat mereka juga akan mati. Musuh akan mengerahkan usaha terbaik
mereka untuk menyerangku. Kupikir kau memilih gajah yang salah."
"Anda harus menolak permintaan Arjumand, Yang Mulia. Anda seharusnya meminta
agar aku tetap di sampingnya."
"Siapa yang bisa menolak keinginan Arjumand" Bisakah kau?"
"Tidak, Yang Mulia."
Perhatiannya teralih ke arah musuh yang mendekat, dan aku segera berdoa. Sifat
pengecut adalah hal yang menyedihkan. Aku tenggelam dalam
rasa mengasihani diri sendiri, dalam janji-janji menakjubkan menuju keabadian;
jika mereka melindungi hidupku, aku akan mengusahakan segala cara untuk
berkorban bagi kemuliaan mereka. Pada saat ini, aku tidak bisa lagi melakukan
kebiasaanku; jiwaku seakan telanjang. Aku tidak bisa mengingat ayat-ayat Quran
atau mengingat artinya iman.
Di kedalaman jiwaku yang gelap, aku memohon kepada Syiwa. Aku memohon maaf
karena pengingkaranku, pengabaianku terhadap
dewa-dewa karena berpura-pura telah berpindah keyakinan. Sudah pasti, Syiwa akan
mengerti bahwa di dalam dunia Muslim, aku, seorang Hindu yang malang, hanya bisa
meraih ambisiku yang sederhana-untuk bertahan hidup-dengan
mengucapkan melalui bibirku, meyakini kepercayaan mereka. Jika aku bisa bertahan
hidup, aku akan memanjatkan puja; aku akan melakukan homam untuk kehadirannya
yang abadi; aku akan berziarah ke Varanasi, Badrinath, ke mana pun dia
menginginkan aku pergi. Dalam rasa malu, aku akan mencukur rambutku.
Doaku terputus oleh gumaman orang-orang yang semakin keras. Para prajurit Muslim
mulai berteriak, awalnya pelan, kemudian semakin keras: "Ba-kush, Ba-kush",
sementara para prajurit Hindu berteriak: "Mar, Mar." Di tengah antusiasme, aku
sendiri berteriak: "Mar, Mar." Shah Jahan terkejut dan menoleh, "Kau juga ingin
membunuh, Isa" Kami akan memberimu pedang." Senjatanya tiba-tiba sudah
diserahkan ke tanganku. Dalam kebingungan, dia
tidak bisa mendengar-atau mungkin dia mendengar, dan berpikir bahwa itu tidak
penting-bahwa aku menyuarakan jeritan Hindu.
Musuh bergerak ke arah kami, berupa segerombolan debu, kuda, manusia, dan gajah.
Mereka tampak hanya ingin bergerak tanpa henti ke arah kami dan menghancurkan
pasukan kami. Mereka tidak memiliki strategi, hanya untuk mengerahkan kekuatan
melawan kekuatan. Shah Jahan tertawa saat dia melihat betapa rapatnya mereka
berdesakan, tidak mampu menghadapi dua puluh ribu pasukan berkuda yang mengepung
sisi-sisi pasukan mereka. Mereka memiliki sedikit persenjataan, tetapi tidak
memiliki meriam. Saat musuh sudah berada di dalam jangkauan, Shah Jahan
mengangkat tangannya dan melambai ke depan. Meriam-meriam kami segera
menembakkan peluru. Serpihan daging dan logam dari musuh kami segera bertebaran.
Sekali lagi meriam ditembakkan, menghasilkan lebih banyak serpihan. Jeritan
manusia dan hewan menjadi hening, tidak mampu mengatasi raungan jezail dan
meriam yang terus-menerus ditembakkan. Shah Jahan merentangkan kedua lengannya
ke samping dan perlahan-lahan menyatukannya hingga kedua telapak tangannya
menempel. Di kejauhan, di antara asap biru dan debu cokelat, aku melihat para
penunggang kuda menyerang sisi-sisi pasukan musuh. Matahari berkilauan pada
pedang dan darah, logam beradu logam, gajah meniupkan teriakannya, kuda-kuda
meringkik. Manusia menebas manusia lain seakan-akan mereka adalah pohon yang ditebang, lengan dan
kepala jatuh bergelimpangan, perut-perut terbelah dan memancarkan darah. Tanah
menyerapnya, berubah warna menjadi kusam dan gelap. Udara berdentang-dentang
dengan nyanyian peperangan, dengan seruan untuk membunuh: "Ba-kush, Ba-kush;
Mar, Mar." Bairam berdiri tanpa bergerak, tidak ada musuh yang bisa mencapai
kami. Pada tengah hari, pertempuran mereda. Musuh kami mundur dengan panik,
meninggalkan senjata, jasad teman-teman mereka, hewan-hewan yang terluka, dan
para prajurit yang meratap. Lima ribu pasukan musuh tewas, dan dari pihak kami
seribu delapan ratus lima puluh prajurit gugur. Pasukan Mughal maju ke medan
perang, menusukkan pedang ke tubuh mayat dan mengambil cincin-cincin emas serta
barang berharga dari mereka. Aku mendongak; burung-burung nazar terbang
melingkar di langit. Bagaimana mereka tahu" Apakah suara peperangan bisa sampai
ke telinga mereka yang tertutup bulu" Apakah para dewa membisikkan berita lewat
angin" Mereka datang dari segala penjuru, mengepak-ngepak di udara seolah
merayakan pembantaian itu. Shabash, shabash.
1028/1618 Masehi Arjumand
Sebuah kursi emas sudah diletakkan di samping singgasana sultan, tetapi Shah
Jahan masih berada di tempat sebelumnya, duduk di bantal-bantal di
hadapan singgasana. Di satu sisi ada sebuah piring emas besar yang dipenuhi
batu-batu mulia, berlian, batu mirah, zamrud, dan mutiara. Di sampingnya ada
sebuah piring emas lain yang penuh dengan koin emas. Saudara-saudara lelakinya
berdiri di belakang Shah Jahan, dan di belakang mereka para pejabat istana
berkumpul. "Kau begitu pendiam," kata Mehrunissa.
"Aku merasa sangat bangga." Aku menempelkan dahiku ke kisi-kisi yang dingin. Aku
berharap tidak perlu ada kemenangan lagi. Sungguh lega rasanya bisa meninggalkan
Deccan dan kembali ke Agra yang bercuaca sejuk, menyegarkan, setelah panas
menyengat di daerah selatan. Aku berdoa agar kesultanan ini tetap damai selama
bertahun-tahun, agar kami bisa hidup bersama-sama dalam kedamaian cinta kami.
"Tapi aku sedikit lelah. Semua karena kemeriahan ini. Setiap kami kembali,
derajat pangeranku semakin tinggi di mata ayahnya, tapi kuharap akan ada
perdamaian saat ini, agar kami bisa menjalani hidup normal."
"Shah Jahan adalah pemimpin yang hebat. Semua tergantung ayahnya dan berkait
dengan masalah-masalah kesultanan."
"Kirimlah Mahabat Khan lain kali, kumohon, Bibi. Aku ingin tinggal di sini
sementara waktu." "Siapa yang menyuruhmu pergi bersamanya" Jika Jahangir yang pergi ke Deccan, aku
akan berbahagia melepasnya ke sana dan tinggal di sini."
"Kami saling berjanji tidak akan pernah berpisah."
Mehrunissa mengangkat bahu. "Kalau begitu,
pikirkanlah dengan otakmu sendiri. Kau gila karena ingin mengikutinya ke mana
saja." "Dia juga menginginkan itu."
"Lain kali, tinggallah di Agra," Dia menatapku melalui bayangan gelap. "Kau
tampak lelah." Tangannya menyentuh tonjolan di perutku. "Lagi. Apakah kalian
berdua tidak pernah berhenti" Kau harus beristirahat, Arjumand. Tolaklah dia."
"Bagaimana bisa?" Aku tidak bisa menahan air mata di saat peristiwa menyenangkan
ini terjadi. "Aku tidak akan tahan melihat dia merasa sedih."
"Biarkan dia begitu," kata Mehrunissa dengan kasar. "Apa yang dia pikirkan
tentangmu, seekor sapi" Dalam lima tahun, kau telah melahirkan lima bayi."
"Empat," aku berkata tanpa berpikir. "Ini yang kelima. Yang pertama tidak
hidup." "Itu sudah lebih dari cukup. Suruh dia pergi ke perempuan lain untuk memuaskan
nafsunya. Ya Tuhan, pria itu seperti kerbau karena begitu banyak meminta
darimu." Suaranya merendah. "Aku tidak mengizinkan Jahangir tidur denganku lebih
dari sebulan sekali. Jika hasratnya tidak bisa ditahan, aku menyuruhnya tidur
dengan salah seorang budaknya. Aku akan memberimu beberapa budak perempuan."
"Tidak. Aku akan memuaskan suamiku sepanjang dia memiliki hasrat kepadaku
seorang. Dia tidak memperistri perempuan lain, dan dia juga tidak ingin tidur
dengan perempuan lain."
"Tapi, setiap kali kau mengandung bayi lagi.
Lihatlah tubuhmu; bandingkan dengan tubuhku."
Pinggangnya begitu ramping, kulitnya bersinar sehat, rambut panjangnya yang
terjalin tebal jatuh ke pinggangnya. Aku tidak bisa mengingkari kemudaannya;
kemudaanku tampak memudar, bagaikan kelopak mawar yang dijepit di antara halaman
buku, tipis, usang, dan rapuh. "Aku tidak tampak tua."
"Kau akan begitu jika terus melahirkan bayi. Tidakkah kau melihat perempuan-
perempuan jelata" Gemuk, jelek, dan berat, dikelilingi anak-anak" Kau akan mulai
tampak seperti begitu." Mehrunissa menatapku dengan penuh arti: "Sudah pasti kau
menikmatinya juga. Tapi, terlalu banyak kenikmatan bisa berakibat fatal."
Aku tidak bisa mengingkari kenikmatan itu. Kadang-kadang, kenikmatan itu tidak
sekadar kenikmatan fisik. Aku tidak bisa terangsang oleh hasrat sehebat yang
suamiku miliki, atau merasakan gairah yang kurasakan sewaktu muda. Tubuhku
terasa kaku, bagaikan tinggal di dunia lain, tidak bisa merasakan sentuhan bibir
dan tangannya, juga gerakan tubuhnya yang mantap. Tetapi, ketika aku menatapnya
yang sedang tenggelam dalam kenikmatan, aku juga merasa bahagia. Jika kenikmatan
ragawi tidak bisa kurasakan, tidak begitu dengan perasaanku. Pada malam
kemenangannya, aku tidak bisa memerintahkan tubuhku untuk menyambut sentuhannya
dengan penuh gairah. Tubuhku terbaring dengan pasif, masih sakit setelah
kelahiran Raushanara. Rasa
pedih itu lebih terasa daripada sebelumnya, organ intimku terasa membara karena
gerakannya. Pertempuran menyalakan gairahnya; cintaku membuatnya tenang. Aku
mencintainya; aku tidak bisa menolaknya.
Dundhubi bertalu-talu menandakan kehadiran Jahangir. Di belakangnya, ayahku
berjalan, membawa sebuah buku bersampul kulit yang berat. Jahangir berjalan
perlahan, bersandar di samping kakekku. Tampaknya dia semakin menua, sementara
Mehrunissa justru tampak semakin muda. Dia berhenti sesekali untuk bernapas
dalam-dalam, seakan-akan tidak mampu menarik udara ke dalam tubuhnya.
"Dia tampak tidak sehat."
"Kesehatannya prima," kata Mehrunissa dengan tajam. "Tidak ada masalah dengan
Sultan, jadi jangan mulai menyebarkan kabar angin, atau kau akan terlibat
masalah." Mehrunissa gagal menyembunyikan kemarahan dalam suaranya yang
bergetar. "Sultan akan hidup selama bertahun-tahun lagi."
"Tentu saja begitu," aku menjawab dengan patuh, dan saat itu dia merasa
terhibur. Bukannya menaiki singgasana, Jahangir mendekati Shah Jahan dan mencium keningnya
dengan mesra. Mereka saling merangkul dengan penuh kasih, kemudian berbalik,
masih saling berangkulan, untuk menatap para pejabat.
"Aku bangga terhadap anakku, Shah Jahan. Sekali lagi, dia telah membuktikan
bahwa dirinya adalah seorang kesatria yang hebat. Dia telah mengalahkan tikus-tikus Deccan
itu. Mereka kalah dalam satu pertempuran dan, seperti pengecut, ketika Mughal
Agung mendekat, mereka menyerah dalam perang yang mereka kobarkan. Damai, mereka
menangis kepada Shah Jahan. Mereka menerima semua peraturanku, dan saat ini
harta karun berlimpah bersama persembahan mereka."
Sang Sultan berbicara selama satu jam, hanya berhenti sebentar-sebentar untuk
menghela napas dalam-dalam, seakan-akan dia tenggelam, dan untuk membiarkan para
pejabat mengungkapkan antusiasme mereka: Zindabad Shah Jahan, Zindabad. Dia akan
membacakan puisinya yang memuji Shah Jahan, tetapi kertasnya terselip dan tidak
bisa ditemukan. Saat pidato Sultan selesai, Shah Jahan duduk lagi di atas bantal. Seorang
punggawa membawa salah satu piring emas ke hadapan Sultan. Sultan menenggelamkan
tangannya ke dalam tumpukan batu-batu mulia, kemudian menaburkannya ke kepala
Shah Jahan seperti menuangkan air. Warna pelangi batu-batu mulia itu berjatuhan
di tubuh kekasihku; seperti embun, perhiasan itu menempel di turbannya, lengan
bajunya. Sekali lagi, Jahangir menaburkan berlian dan batu mirah, lagi dan lagi hingga
piring itu kosong. Kemudian, punggawa lain memberikan piring yang berisi koin
emas. Koin-koin emas itu bertaburan bagaikan sinar matahari. Shah Jahan terus
menundukkan kepala, ketika koin-koin itu
berdentang dan bergulir di atas tubuhnya. Itu adalah suatu darshan dari cinta
dan kepercayaan seorang ayah. Jika ada lebih banyak elemen berharga dalam
kerajaan, Jahangir pasti akan menggunakannya untuk menganugerahi anaknya.
Pertunjukan kasih sayang secara terang-terangan itu belum juga selesai. Jahangir
mengambil buku dari ayahku dan meletakkannya di atas kepala Shah Jahan, seolah-
olah buku itu adalah simbol tertinggi dari kekuasaannya yang tak terbatas.
"Hadiah paling berharga yang bisa diberikan seorang ayah kepada putranya adalah
kumpulan pikirannya. Melalui hal itu, dia tidak hanya mencurahkan kasih sayang,
tetapi juga pengalamannya, pengamatannya, dan
pengetahuannya. Ini adalah duplikat pertama Jahangir-nama. Shah Jahan bisa
menemukan banyak hal dalam buku ini, yang mungkin bisa dia setujui, tetapi semua
tergantung pilihannya sendiri. Tetapi, dia tidak akan menemukan ketidakjujuran
dalam kasih sayangku untuknya. Dengan segala hormat, dia adalah putraku yang
pertama, dan aku berdoa kepada Allah, agar hadiahku yang amat berharga bisa
membawa keberuntungan baginya. Buku lain akan disebarkan ke seluruh penjuru kota
di kesultanan ini, agar semua bisa mengetahui cinta seorang ayah kepada
putranya." Shah Jahan dengan takzim menerima buku dari ayahnya. Dia mencium sampulnya,
kemudian mencium tangan ayahnya. Jahangir membantunya berdiri dan menuntunnya ke
kursi emas di samping singgasana. Dia mendudukkan Shah Jahan di sana, kemudian menduduki
singgasananya. Belum pernah ada seorang pangeran pun sebelumnya yang diizinkan
untuk duduk di sebelah raja dalam istana. Pangkatnya juga dinaikkan hingga dia
membawahi pasukan sebanyak tiga puluh ribu zat dan dua puluh ribu showar.
Aku adalah orang pertama yang membaca buku itu. Ini adalah suatu keindahan yang
langka. Gambar-gambar terselip di setiap halaman, hampir semua adalah karya
seniman favorit Jahangir, seorang Hindu, Bishandas. Aku tidak membaca aksara-
aksaranya karena benda itu adalah hadiah bagi kekasihku-meskipun aku membolak-
baliknya lebih sering daripada halaman lain, dan jari-jariku membelai namanya
yang tertulis di situ-tujuanku hanya untuk memahami jalan pikiran Jahangir. Dia
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuliskan banyak hal: Laila dan Majnun, sepasang burung bangau miliknya yang
ditangkap sejak berusia sebulan dan dirawat oleh tangannya sendiri. Burung
kesayangan itu telah mendampinginya ke seluruh penjuru negara, sehingga dia bisa
mengamati kebiasaan mereka, bagaimana mereka saling mematuk untuk bertukar tanda
saat mereka akan mengerami telur, bagaimana sang induk memberi makan anak-
anaknya dengan belalang dan jangkrik. Jahangir juga menulis, bagaimana dia
melihat bintang jatuh di angkasa, berjalan ke arahnya, menggalinya dan menemukan
bahwa benda itu terbuat dari logam. Dia pernah memiliki sebilah pedang, Alamgir,
yang terbuat dari logam yang jatuh dari langit. Untuk menyelidiki sifat alamiah keberanian, Jahangir
pernah memerintahkan untuk meneliti organ dalam seekor singa untuk menemukan
sumber keberaniannya, tetapi dia tidak bisa menemukan penjelasan yang memuaskan.
Tidak ada yang tidak penting di kesultanan ini baginya, baik itu keajaiban
maupun administrasi harian, keajaiban alam maupun metode membiakkan babi. Aku
belajar banyak tentang ayah mertuaku dari Jahangir-nama, termasuk gerakan yang
dia perintahkan untuk membunuh penasihat favorit ayahnya, Abdul Fazl, dan bahwa
dia telah melemparkan kepala orang itu ke lubang pembuangan. Buku itu sangat
jujur, bahkan dia mengaku jika dia terlalu banyak minum: dua puluh poci anggur
yang dicampur dengan empat belas sloki opium setiap hari. Dia juga mencatat
tragedi tentang kasih sayangnya yang tak berbalas kepada sang ayah, Akbar. Cinta
bisa melukai, entah karena kekurangan kasih sayang, atau terlalu banyak kasih
sayang! Saat itu siang hari, tetapi langit gelap serasa sore hari saat Aurangzeb lahir.
Bumi basah karena hujan, pepohonan, rerumputan, dan tanaman berwarna hijau
terang bagaikan bulu burung kakaktua. Malam begitu gaduh dengan dengkung katak
yang tanpa henti. Musim hujan menerpa bumi, membengkokkan dan merusak pepohonan
seperti ranting kering, membentuk sebuah alur sungai baru yang meraung
dan bergemuruh melewati istana, merah karena lumpur, bagaikan darah yang
bercampur dengan air. Air jatuh dari daun ke daun, dari atap ke talang,
berkumpul di kubangan-kubangan setinggi mata kaki di halaman. Setiap saat hujan
berhenti, udara terasa bersih.
Rasanya aku sedang berada di dalam kuali, dalam musim yang malam harinya berubah
menjadi pagi dengan kilatan petir berwarna biru dan guntur yang mengguncang
dinding-dinding istana, dan saat itulah Aurangzeb pertama kali menangis. Dia
bukan menangis karena ketakutan-mata gelapnya menatap sekeliling tanpa rasa
takut, dia mendengar amukan alam tanpa rasa khawatir-tetapi karena marah. Dia
murka, tangannya yang terkepal meninju-ninju udara, bagaikan ingin melempar
kembali kilat dan guntur itu ke udara. Dia adalah seorang bayi mungil dan aku
tidak menyangka dia akan hidup, kecuali bahwa aku melihat kekerasan jiwanya,
keteguhan untuk bertahan hidup. Dia seperti menunggu di antara langit dan bumi,
bertarung melawan elemen-elemen alam. Dengan tampilnya sifat kematian dalam
dirinya, bagaimana aku bisa mencintainya" Aku menoleh dan mengizinkan perempuan
lain untuk menyusuinya. Jika dia harus meninggal, aku tidak akan menderita.
Tetapi, dia hidup. Peramal bintang pribadi Jahangir, Jatik Ray, yang tambun
karena kesuksesannya, meramal berdasarkan zodiak. Dalam cahaya lilin yang
berkelip-kelip, sebuah bayangan melompat dan menari dalam suatu gerakan
misterius, dan dia membuat perhitungan. Kertasnya lembap, tinta terukir bagaikan
air mata hitam dari angka-angka yang tertulis. Kami menunggu. Putraku yang baru
lahir, terbaring dalam rengkuhan Satiumnissa, tampaknya juga tertarik; ada
ekspresi keingintahuan dalam wajahnya yang mungil dan berkerut-kerut. Aku
merasakan sebuah firasat yang tidak bisa kumengerti. Mungkin guntur, yang
mengubah perasaan kami semua, terasa diam, mengancam, menunggu untuk meledak
saat kilat menyambar. "Kemuliaan," Jatik Ray akhirnya berbisik. "Bintangnya
menunjukkan bahwa dia akan menjadi seorang raja yang hebat. Dia akan memerintah
sebuah kerajaan yang lebih luas daripada kesultanan ini. Surya menuntun
hidupnya, dia akan mengguncang dunia." Jatik Ray terdiam, seakan-akan tidak bisa
membaca ramalan hidup anak lelakiku lebih jauh lagi.
"Katakan kepada kami," perintah Shah Jahan. "Tapi hidupnya akan menyedihkan; aku
tidak bisa meramalkan lebih, kecuali," Jatik Ray menatap kami dengan gugup, "dia
akan menjadi seseorang yang sangat hebat."
Dia tidak mengatakan hal lain, tetapi menutup bukunya, melirik sekilas ke arah
si bayi dengan diam-diam sebelum meninggalkan ruangan.
"Dia meramalkan hal yang sama untuk semua anak kita," Shah Jahan tertawa.
"Bahkan Jahanara. Aku hanya memercayai ramalannya untuk Dara, karena aku tahu
akan menjadi apa dia setelah aku meninggal. Akulah yang mengendalikan nasib
mereka, bukan bintang-bintang atau angka-angka yang diperhitungkan orang tolol
itu." mim Padishah sudah menghujani kekasihku dengan kekayaan melimpah, emas dan batu-batu
mulia, pangkatnya sebagai komandan pasukan sebanyak tiga puluh ribu zat dan
sepuluh lakh sowar-aku bisa membangun rumah sakit dan sekolah untuk orang
miskin. Rumah sakit didirikan bagi para perempuan yang membutuhkan perawatan
terbaik: mereka tidak lebih berharga dibandingkan sapi-sapi yang berkeliaran di
jalanan Agra, mengais-ngais buah-buahan, sayur-sayuran busuk, dan sampah.
Bagaimana nasib mereka, sementara aku saja tidak bisa mencegah terisinya rahimku
oleh benih Shah Jahan. Seperti aku, mereka hanya bisa memprotes dalam kebisuan
yang hening dan membawa beban di perut mereka bagaikan budak. Hakim pribadiku,
Wazir Khan, merawat penderitaan mereka, dan setiap hari aku mengunjungi mereka
bersama Isa. Bahkan aku pun tidak bisa mengubah kebiasaan bahwa pendidikan hanya
untuk anak-anak lelaki. Sekolah-sekolah dibuka bukan saja diperuntukkan bagi
anak-anak lelaki Muslim, tetapi juga Hindu dan Sikh, dan setiap agama lain di
negeri ini. Aku tidak bisa menyelamatkan anak-anak perempuan dari kungkungan
rumah mereka dan pekerjaan domestik yang membosankan.
Kesibukanku menarik perhatian Mehrunissa. Aku mendengar bisikan yang datang dari
mulutnya, yang merupakan sebuah peringatan: dia sudah bertingkah seakan-akan dia adalah seorang
permaisuri. Kebutuhan rakyat jelata seharusnya merupakan kepedulian Padishah,
bukan dia. Mehrunissa, Mehrunissa, Mehrunissa. Dundhubi bertalu-talu mengalunkan namanya ke
seluruh kesultanan dengan syahdu. Jantung kekuasaan berada dalam genggamannya:
dia mengacungkan satu jari saja, pajak bisa dinaikkan atau diturunkan; jari yang
lain, seorang pejabat jatuh atau naik pangkat; jari ketiga, perdagangan terhenti
atau ada jalur perdagangan baru; jari keempat, undang-undang dikeluarkan atau
ditarik. Jahangir masih bermain peran sebagai sultan, melakukan pertemuan harian
dengan menteri-menterinya di ghusl-khana, menampilkan dirinya di
jharoka-i-darshan pada saat fajar dan sore hari. Pada waktu itu, saat bayangan
benteng jatuh ke maidan, dia akan muncul untuk menyaksikan perkelahian gajah,
atau hukuman mati. Metode hukuman ditentukan sesuai dengan kejahatan;
penghancuran kepala terpidana oleh seekor gajah (menurut kabar, Akbar memiliki
seekor gajah yang bisa menentukan apakah seseorang akan mati atau tetap hidup),
pemotongan alat vital oleh pedang algojo, atau ... banyak lagi, semua ditampilkan
di maidan. Tetapi, Mehrunissa yang memerintah. Gumaman para pejabat begitu pelan, dan
tersebar diam-diam; mereka tidak bermaksud agar perkataan mereka sampai di
telinga Jahangir, hanya mereka yang mau
mendengarkan, yang ingin mengakhiri kekuasaan Mehrunissa. Tetapi, sang Sultan
dan Permaisuri begitu dekat satu sama lain, sehingga tak mungkin bisa memisahkan
mereka. Ini tidak menjadi perhatianku. Aku hanya berusaha mendengarkan bisikan-bisikan
tentang kekasihku, dan tidak ada yang kudengar. Dia tetap menjadi kepercayaan
Jahangir, dan banyak menghabiskan waktu menemani ayahnya. Pendapat-pendapatnya
didukung dengan kuat oleh ayahku dan kakekku sendiri, dan jika Mehrunissa
berpikir sebaliknya, dia tidak pernah mengungkapkannya langsung di depan mereka.
Ketidakpedulianku juga bersifat pribadi, sangat pribadi, dan selain itu, ada hal
lain yang mengusik pikiranku. Sekali lagi, benih Shah Jahan terbentuk di
rahimku. Aku tidak lagi bisa mengingat kapan pembuahan ini terjadi. Aku benar-
benar bahagia dan menerima sepenuhnya kelahiran Dara, tetapi saat kelahiran
anakku yang lain, aku bahkan tidak memedulikan musim apa saat itu. Aku tidak
memberi tahu siapa pun, tetapi, dengan alasan penyakit ringan, aku menyuruh Isa
menjemput Wazir Khan. Saat dia datang, aku memerintahkan para perempuan untuk
menjauhi ruangan agar tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi masih bisa melihat,
karena aku tidak boleh ditinggalkan sendirian bersama seorang lelaki. Aku
berbaring di dipan, tersembunyi dari matanya di balik tirai tebal. Dia berlutut
di sampingku, dan mengulurkan tangan ke organ intimku. Aku menahan tangannya,
dan mendengar seruan kagetnya. Seharusnya aku menuntunnya untuk memeriksaku.
Beberapa perempuan menggunakan alasan sakit hanya untuk merasakan sentuhan
lelaki. "Aku tahu gejalanya. Kau tidak perlu memeriksaku."
"Lagi" Ini terlalu cepat, Yang Mulia. Saya sudah memberi tahu Yang Mulia,
setidaknya beristirahatlah setahun; tubuh Yang Mulia harus beristirahat.
Semangat Yang Mulia sangat kuat, tetapi sayangnya, tubuh Yang Mulia tidak
memiliki kekuatan yang sama."
"Katakan kepada suamiku. Aku tidak bisa menolaknya." Aku meremas tangannya. "Aku
ingin kau memberiku ramuan." Aku mendengar lagi penyangkalan dalam suaraku,
aliran darah di wajahku. Aku ingin membunuh benih pangeranku yang tercinta,
darah dagingku sendiri. "Yang Mulia, sungguh tidak bijaksana untuk menggugurkannya. Seratus hari sudah
lewat, dan sudah begitu terlambat."
"Aku yang menentukan apa yang baik atau yang buruk, Bodoh." Aku tidak bermaksud
kasar, tetapi tidak mampu menahan ketidaksabaran dan ketakutanku, perasaan ngeri
akan beban berat yang menghancurkan tulangku, darahku, perutku.
"Tubuh Yang Mulia akan berkembang dan terbiasa dengannya, dan setiap kali akan
melahirkan seorang bayi. Ini adalah kehamilan yang keenam."
"Dan ini akan menjadi yang terakhir. Bawakan ramuan untukku dan tidak boleh ada
yang tahu, atau terimalah konsekuensi kemarahanku. Tidak, tidak, maafkan aku. Aku berbicara
begitu karena kekalutan. Aku akan memberimu emas."
"Saya sudah melayani Anda begitu lama, Yang Mulia. Saya akan melakukan apa yang
Anda perintahkan, bukan untuk emas, tapi karena keinginan Yang Mulia sendiri.
Tapi, lain kali, bahkan jika Yang Mulia memerintahkan hukuman mati untuk saya,
saya akan menolak. Suatu hari, Yang Mulia mungkin tidak bisa pulih dari penyakit
yang tumbuh di perut Yang Mulia. Tolaklah suami Anda."
"Ya, lebih baik untuk menolak, tapi berapa lama aku bisa melakukan itu?"
"Setahun atau dua tahun."
Aku tidak bisa menahan tawaku.
"Bisakah kau tahan tidak menyentuh perempuan selama itu?"
"Saya memiliki empat istri, Yang Mulia, jadi tidak
ada yang menolak kebutuhanku. Shah Jahan harus ii
"Cukup." Dia segera terdiam; dengan lembut menarik tangannya, lalu pergi. Kemudian
terdengar sebuah suara langkah yang terburu-buru dan tidak teratur di lantai
marmer. "Agachi," panggil Isa. "Aku mendengar Sultan sakit. Beberapa orang berkata, dia
sekarat ...."[] 16 Taj Mahal 1050/1640 Masehi Makam itu baru berupa kerangka, tiang-tiangnya yang panjang dan berwarna pucat
membentuk siluet di latar depan langit malam yang jernih dan kerangka bangunan
dari batu bata yang kukuh. Bangunan itu tampak tak bernyawa, dingin. Shah Jahan
telah membayangkan cahaya dan ruang-ruang; bukannya suatu benda mati yang
menyesakkan. Hal ini membebaninya. Dia telah gagal. Dia memukul kepalanya; para
punggawa merasakan kemarahannya. Afandi bercucuran keringat dan terbatuk-batuk
karena menghirup debu dari ruangan pusat. Lantai di bawah tertutup oleh serpihan
batu, udara lembap karena campuran semen, batu yang belum dipoles, dan keringat
ribuan orang. Di atasnya, kubah tampak seperti tengkorak yang pecah, menampakkan
surga di atas. Jika sudah selesai, beratnya akan menjadi seribu dua ratus ton.
Dia berdoa. Dia melihat bibir Muhammed Hanif, Sattar Khan, Chiranji Lal,
Baldeodas, dan Abdul Haqq bergerak-gerak tanpa
suara. Vang lain diam-diam bergerak mundur ke bayangan yang lebih gelap.
"Ini belum selesai, Padishah," Isa menginterupsi.
Shah Jahan berputar, sarapanya menerpa bayangan di dinding, bagaikan sayap
burung besar yang mengepak di sana. Dia menyadari siapa yang berbicara, siapa
yang menginterupsi, dan amarahnya sirna. Sarapa itu kembali melekat di tubuhnya
dan tak bergerak, bagaikan bulu rajawali yang kembali merunduk.
"Harus selesai segera. Segera. Kau mendengarku, Hanif?" Shah Jahan menatap ke
dalam bayangan. Hanif, kepala tukang batu, dengan ragu-ragu melepaskan diri dari
perlindungan teman-temannya.
"Akan segera selesai, Padishah. Sesegera mungkin," dia menjawab dengan pelan,
mencoba menghibur sang Padishah.
Dinding-dinding dan balkon-balkon sudah selesai, tetapi masih ada celah besar
untuk memasang jali, tempat jendela-jendela akan dipasangkan; itu semua bukan
tanggung jawab Hanif. Orang lain yang harus menanggung kesalahan. Kubah-kubah
yang lebih kecil hampir selesai. Lorong tempat orang-orang berdiri sudah
menjulang setinggi dua puluh empat meter dan suara mereka bergema dalam ruangan
yang luas. Sang Sultan memandang berkeliling. Para pekerja sedang berkerumun di sudut-
sudut, menatap ke bawah, ke arahnya, dari balkon-balkon, mendongak dari arah
bawah, tidak bergerak, membisu,
seakan-akan setiap tubuh berkulit gelap itu telah dipahat ke dinding batu putih
untuk selamanya. Kehadiran Padishah membuat mereka membeku, merunduk, berlutut,
berdiri, mengukir, dan mengangkut. Baru setelah dia pergi, mereka bergerak dan
bernapas lagi, sambil berbisik: sang Padishah, sang Padishah.
mm Sita menjerit. Murthi, yang menunggu di luar, mulai bergerak, kemudian bersandar
sambil duduk di tanah. Para perempuan bersama Sita. Murthi mengisap beedi dan
mengembuskan napas bersamaan dengan kepulan asap; Ram, Ram. Pasti anaknya
lelaki. Seorang putra belum cukup. Sita menjerit lagi. Gopi dan Savitri
mencengkeram Murthi dengan ketakutan. Dia memeluk mereka. Ini hanya seorang
bayi, dia menenangkan mereka-mencoba tidak memikirkan kesakitan Sita. Membuat
anak adalah dharmanya; dharma para perempuan adalah untuk melahirkan mereka. Dia
merasa bangga terhadap dirinya sendiri; dia memiliki kekuatan untuk membuahi.
Dengan keberuntungan, berita kelahiran akan sampai di telinga pelindungnya.
Mungkin akan ada hadiah yang dikirimkan, sebuah cangkir perak atau bahkan emas
untuk putranya. Dia belum bisa memecahkan teka-teki ini; dan hal ini membuat kepalanya sakit. Selama beberapa tahun ini, bayangan telah merengkuh
dan melindunginya, tidak kasatmata, karena tersembunyi di belakang dinding-
dinding benteng. Dia merinding karena
mengingat penderitaannya di tangan sang wazir.
Sang wazir telah membawanya ke sebuah sudut yang jauh dari orang lain, dengan
diam-diam. "Siapa kau?" "Murthi. Aku memahat jali."
"Aku tidak bertanya apa pekerjaanmu, Tolol. Apakah kau mengenal Isa?" "Tidak.
Siapa Isa?" "Aku yang bertanya, Tolol. Isa, pelayan sang Sultan, budaknya, hamba sahaya yang
berjalan dalam bayangannya."
"Bahadur," Murthi berbicara dengan berani, "bagaimana aku bisa mengenal
seseorang dengan pangkat setinggi itu" Aku hanya seorang pemahat. Aku bekerja
untuk Baldeodas." "Kau menandatangani petisi."
Murthi berpikir untuk mengingkarinya, tetapi dia tidak bisa. Keberaniannya
segera menguap. Dia telah melakukannya untuk istrinya, anak-anaknya, dan anak-
anak orang lain. Seorang lelaki tidak bisa mati tanpa melakukan satu aksi
keberanian. Dia telah melakukan tugasnya, dan saat ini harus menerima
konsekuensinya. "Ya. Apakah aku membuat Sultan marah?"
"Tentu saja." "Tapi, dia memberi kami makanan."
"Itu tidak mengurangi amarahnya. Dia mengirimku untuk mencarimu. Aku bisa
meredakan amarahnya, jika kau memberi tahu apa yang kau tahu tentang Isa."
"Tidak ada, Bahadur. Aku tidak tahu apa-apa
tentang Isa. Aku telah mengatakan itu."
"Kalau begitu, aku tak bisa menolongmu. Kau akan mendapat masalah besar. Ikuti
aku." Sang wazir mencengkeram lengan Murthi dan menyeretnya menjauh dari lokasi
pembangunan, sepanjang sungai, dan menuju benteng. Murthi menatapnya dengan
penuh rasa ngeri. Tidak ada yang memerhatikannya, mereka tidak menyadari apa-apa
karena sibuk dengan tugas mereka sendiri-sendiri. Dia dibawa ke sisi terjauh
benteng, ke sebuah bangunan yang gelap dan menyeramkan, dan wazir menyerahkannya
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke tangan seorang prajurit. Dia tidak bisa mendengar apa yang dibisikkan wazir,
tetapi si prajurit memeganginya dengan kasar, mengambil rangkaian kunci dari
dinding, kemudian mendorongnya ke dalam kegelapan total, tempat para lelaki dan
perempuan dalam jumlah tak terhingga terbaring, beberapa menangis, yang lain
membisu, putus asa. Dia dimasukkan ke dalam sebuah sel, kemudian pintu
dibanting. Murthi menemukan dirinya tinggal di satu sel bersama para pencuri,
pembunuh, pemerkosa. Dia menangis, tidak mampu mengerti, kejahatan apa yang dia
lakukan. Selama dua hari dia meringkuk di sana, membisu, murung, selalu
ketakutan. Pada hari ketiga, pintu terbuka dan sipir memanggil.
"Murthi!" Murthi bergeser di antara para tahanan lain yang bau, kakinya menapak ke lantai
tanah yang sangat kotor. Dia bisa merasakan akhir hidupnya. "Kau Murthi" Cepat,
aku tidak memiliki waktu sepanjang hari." Sipir membawanya keluar, menuju matahari yang terik dan menyilaukan. Seorang
prajurit menunggu. Dia tidak dicengkeram dengan kasar, tetapi disentuh dengan
lembut. "Ikuti aku." Murthi mengikuti sang prajurit tanpa mampu merasakan apa-apa, dan tiba-tiba
menemukan dirinya sendiri di luar gerbang benteng.
"Chulo-ji, chulo," sang prajurit mengusirnya dan membalikkan tubuh.
Murthi berjalan dengan goyah, terpana dengan apa yang telah terjadi. Kemudian,
setelah lepas dari perasaan kebas, dia mulai berlari. Dia berlari menuju sungai,
ketakutan akan ditangkap lagi, mengalami kembali mimpi buruk. Dia melihat
kerumunan di bawah jharoka-i-dharsan, tempat Shah Jahan duduk di atas singgasana
emasnya, sambil menatap ke bawah. Saat itu sudah sore dan Murthi menyelinap di
antara kerumunan untuk melihat tamasha. Seekor gajah berdiri sambil berayun-ayun
di pusat maidan, di depan sebuah balok kayu yang ternoda; lalat mendengung
mengitarinya. Sekelompok lelaki yang mengenakan topi ketat berjalan keluar dari
benteng. Di tengah-tengah, mereka menyeret seorang pria yang pingsan. Murthi
menatap, nyaris bisa mengenali wajah yang pucat, berkerut karena ketakutan; itu
adalah sang wazir yang arogan. Lelaki itu didorong hingga jatuh ke tanah. Para
algojo meletakkan kepalanya di balok, yang lain memegangi lengan dan kakinya.
Dia menjerit ketika bayangan sang gajah jatuh ke tubuhnya. Hewan besar itu
mengangkat kaki kanannya sesuai perintah, menahannya sebentar seakan-akan
mencoba menyeimbangkan tubuh, kemudian dengan lembut, perlahan-lahan, menurunkan
kakinya ke kepala si wazir. Para algojo menghindar dengan cekatan ketika
tengkoraknya pecah. Murthi berbalik dan mendorong kerumunan, gemetar ketakutan.
Bisa saja dia, bukannya si wazir, yang ditahan di bawah gajah itu. Siapa yang
membalikkan keberuntungannya" Apakah mungkin Isa yang misterius" Siapa pun dia,
Murthi bertekad untuk menemukan lelaki itu.
"Hazoor, kau memiliki putra," para perempuan memanggilnya.
Murthi tersenyum lebar, bertepuk tangan, kemudian terburu-buru masuk. Sita
berbaring dengan lemas dan kelelahan, basah oleh keringat; wajahnya tampak
tenang seperti seseorang yang telah melewati penderitaan hebat. Murthi memeriksa
bayinya. Seorang putra. Seorang putra. Sekarang, hari tuanya pasti berada dalam
kenyamanan. 1054/1644 Masehi Isa mengamati Shah Jahan duduk di sebuah landasan. Saat ini sang Sultan berulang
tahun. Dua kali setahun, menurut perhitungan kalender matahari dan kalender
bulan, berat sang Sultan ditimbang dengan emas. Ini adalah tradisi Hindu,
tuladana, yang diadopsi oleh Humayun sekitar seratus tahun yang lalu. Setiap
Mughal yang berkuasa selalu mengikuti kebiasaan ini. Saat ini adalah hari kelahiran Shah
Jahan dalam tahun Islam, dan upacara berlangsung secara tertutup di dalam harem,
sementara peringatan ulang tahun dalam tahun Masehi dirayakan besar-besaran.
Para perempuan berkumpul di sekitar timbangan. Tiangnya terbuat dari emas,
setinggi tubuh manusia. Dari sebuah palang emas, tergantung sebuah landasan di
satu sisi, dan di sisi yang lain tergantung sebuah mangkuk besar untuk menampung
koin. Para budak meletakkan kantong-kantong koin emas dalam mangkuk tersebut,
mengisinya dengan hati-hati, hingga sang Sultan perlahan-lahan terangkat dari
lantai. Para perempuan berseru-seru dan bertepuk tangan, Shah Jahan tersenyum,
dan beratnya dicatat. Shah Jahan memiliki bobot tubuh seberat delapan puluh satu
kilogram. Koin-koin emas itu diangkat dan dibagikan kepada fakir miskin.
Kegembiraan Shah Jahan berlangsung singkat. Cahaya seakan-akan langsung
menghilang dari matanya. Dia meninggalkan para perempuan yang sedang menikmati
pesta perayaan dan mendengarkan para penyanyi, dan terburu-buru menyusuri
koridor-koridor harem. Isa mengikuti. Mereka memasuki sebuah kamar di sudut.
Cahaya bulan mengintip di antara jali, membuat marmer berwarna keperakan. Hakim
yang sedang berlutut di samping dipan dengan segera berdiri karena menyadari
sosok yang datang. Shah Jahan menyuruhnya mundur.
"Bagaimana keadaannya?"
"Yang Mulia, dia sulit bernapas, dan hanya sedikit yang bisa saya lakukan. Saya
telah menempelkan kain-kain dingin di tubuhnya."
Shah Jahan berlutut di samping Jahanara. Dia nyaris tidak mampu menatap putri
kesayangannya, yang mewarisi wajah Arjumand. Keadaan Jahanara sungguh
menyedihkan. Wajah dan tubuhnya terluka parah, kulitnya menghitam; Shah Jahan
masih bisa mencium bau terbakar. Dua puluh hari yang lalu, pakaiannya terbakar
api dari sebatang lilin yang terbakar. Dua pelayan tewas karena mencoba
memadamkan api yang menyelubungi tubuhnya.
"Jahanara, Jahanara," Shah Jahan berbisik. Jahanara tidak menjawab. Shah Jahan
nyaris tidak bisa melihat gerakan tubuh Jahanara untuk bernapas. Rambutnya botak
di satu bagian, kulit kepalanya hangus.
"Imbalan yang besar menantimu, jika kau bisa menyelamatkan hidupnya."
"Kita hanya bisa memohon kepada Allah," sang hakim menjawab, berdoa agar dia
bisa menyelamatkannya-karena hadiah dari Padishah akan membuatnya jauh lebih
kaya daripada yang dia inginkan.
Dara juga ada di sana, matanya cekung, kelelahan karena terus berjaga di samping
kakaknya, dan dia bergoyang-goyang sambil berdoa. Isa berdiri, mengingat jeritan
Arjumand yang menghilang di perbukitan Deccan yang keras. Untuk apa dia
mengalami rasa sakit itu" Apakah untuk ini,
sosok Jahanara yang tak terbentuk, yang terbaring di dipan dalam penderitaan
yang tak terperi" Jahanara merintih, menggemakan suara ibunya bertahun-tahun
yang lalu, dan Isa mengingat seorang anak berwajah cerah, disayangi hampir
seperti mereka menyayangi Dara. Isa merasakan kasih sayang yang membuncah setiap
gelombang kesakitan menyerbu tubuh rusak sang Putri. Dia tidak akan dapat
tertolong, karena tubuhnya bukan terbuat dari besi, atau batu. Tubuhnya akan
hancur dengan mudah, dalam cengkeraman kesakitan yang secepat kilat.
Isa mendengar suara gaduh di luar dan menengok ke arah koridor. Berjalan secepat
kilat ke arahnya, bayangan sosok itu timbul-tenggelam di sepanjang dinding-
Aurangzeb. Pakaian dan wajahnya kotor, keringat membuat jejak-jejak di wajahnya;
dia tampak kelelahan. Aurangzeb telah menunggang kuda secepat mungkin dari
Deccan, sebuah perjalanan yang pasti akan menghancurkan orang yang berfisik
lebih lemah. Aurangzeb berjalan dengan tegak, gelisah, seakan-akan rasa sakit
berada di luar pengertiannya.
"Isa, apakah dia hidup?"
"Iya, Yang Mulia."
Aurangzeb mencabut belati dari sabuknya, dan menyerahkannya kepada Isa. Sang
pangeran membungkuk ke Shah Jahan, mengabaikan Dara, dan berlutut di samping
Jahanara. Mata hitamnya berkilat. Dalam usia muda Aurangzeb yang sulit
dikendalikan, Jahanara adalah teman terdekatnya.
Aurangzeb menggenggam tasbih di kepalannya dan berdoa. Dia tidak menangis maupun
meratap; doanya diucapkan dalam kebisuan, dalam kemarahan. Dia tidak
memerhatikan jika sang Sultan menatapnya sambil terpana, bagaikan melihat
sesosok hantu. Keterpanaan itu berubah menjadi kecurigaan, dan mata sang Sultan
menyipit dengan ketidakpercayaan. Dara membungkuk dan berbisik di telinga
ayahnya. Kedatangan Aurangzeb yang tiba-tiba telah membuatnya merasa tidak
nyaman juga. "Siapa yang menyuruhmu datang?" Shah Jahan bertanya.
Aurangzeb tidak menjawab. Dia terus berdoa. Karena menghormati tindakannya, Shah
Jahan menunggu. "Siapa yang menyuruhmu datang?"
"Tidak ada. Dia adalah kakak perempuanku, dan aku mengkhawatirkan nyawanya. Aku
tidak bisa menunggu tanpa melakukan apa-apa di luar sana."
"Kau datang sendiri?"
"Seorang putra sultan tidak dapat bepergian sendiri."
"Berapa banyak?"
"Lima ribu penunggang kuda."
Shah Jahan mengerutkan alis, mencemooh.
"Begitu banyak" Apakah Aurangzeb khawatir akan diserang" Atau, apakah dia
merencanakan penyerangan?"
"Tidak dua-duanya," Aurangzeb menatap ayahnya. Sorot matanya tidak menantang
maupun melunak. Tatapannya datar, bagaikan mereka setara. "Pasukanku berjumlah lima
belas ribu zat, aku hanya datang dengan sepertiganya. Siapa yang bisa mereka
lukai?" "Tidak ada." Shah Jahan menjawab dengan dingin. "Kau akan segera kembali ke
markasmu. Berani-beraninya kau meninggalkannya tanpa izinku! Kau dan pasukanmu
harus kembali saat ini juga. Berapa lama perjalanan yang kau tempuh?"
"Sepuluh hari, sepuluh malam."
"Begitu lama" Kembalilah hingga aku, sultanmu, memberimu izin untuk berkeliaran
di negeri ini," Shah Jahan mencemooh.
Bibir Aurangzeb tampak bergerak. Sulit dikatakan apakah dia tersenyum atau
menyeringai. Dia membungkuk kepada ayahnya, menatap Jahanara cukup lama,
wajahnya melembut, kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan. Isa mengikuti,
mengulurkan belati sang Pangeran.
"Aku akan menyiapkan agar Yang Mulia bisa mandi dan makan."
"Kau mendengar ayahku," kata Aurangzeb. "Aku tidak bisa tinggal." Dia ragu-ragu,
menatap kembali ke dalam ruangan, seakan-akan ingin bertanya kepada Isa, tetapi
menahan diri. Tetapi, Isa merasakan bahwa Aurangzeb ingin menanyakan sesuatu.
Ekspresi kebingungan itu begitu akrab: Apa yang telah kulakukan" Mengapa dia
tidak mencintaiku" Tetapi, Aurangzeb hanya menggenggam lengan Isa, kemudian berjalan kembali
menyusuri koridor, bayangannya semakin gelap dan menghilang di belakangnya.
1056/1646 Masehi Dengan penuh rasa hormat, Murthi membawa Durga ke kuil, terbungkus di dalam
sebuah karung goni. Patung itu tidak berat, tetapi Murthi sering berhenti untuk
beristirahat. Dia tidak ingin menjatuhkan dan merusak patung marmer itu, apalagi
mematahkan salah satu lengannya. Selama bertahun-tahun, Durga telah berjasa
dalam hidupnya. Ini adalah suatu ritual ibadah, lebih daripada sekadar tenaga
dan waktu yang telah dia habiskan untuk sang dewi, sehingga dia sangat berhati-
hati-jika kita menyakiti Durga, dia akan menyakiti kita; tetapi kebaikan akan
diganjar dengan kebaikan juga.
Pembangunan kuil sudah hampir selesai. Kuil itu kecil. Gopuramnya menyentuh
dahan terendah pohon banyan dan garbhagriha-nya hampir setinggi manusia. Cahaya
matahari membuat dinding-dinding marmer menjadi bersemburat kuning seperti buah
limau. Dinding batu bata yang terluar dibangun rendah untuk memuaskan tradisi,
bukan untuk perlindungan, dan belum selesai. Chiranji Lal dan sekelompok orang
menunggu. Seorang pendeta telah melakukan perjalanan jauh dari Varanasi untuk
memberkati patung ini. Tumpukan tinggi beras, ghee, susu, madu, dupa, kelapa,
pisang raja, dan bunga-bunga sudah menanti. Puja, yang panjangnya bervariasi
tergantung kepentingannya, tidak hanya akan makan waktu berjam-jam, tetapi
hingga berhari-hari. Sang Brahmin adalah seorang pria muda yang kurus, tampak
bangga karena terpelajar, tetapi belum berpengalaman. Dia bertelanjang dada,
dengan garis suci yang menggores pundak hingga pinggangnya. Segumpal rambut
tumbuh dari kepalanya yang tercukur gundul, seperti air yang memancar dari batu.
Para musisi dengan seruling dan tabla duduk di karpet lusuh di sampingku. Sang
pendeta mengambil patung dariku, membuka bungkusnya, dan dengan hati-hati
meletakkannya di altar. Lengan-lengan Durga terentang dari tubuhnya bagaikan
dahan pohon. Murthi telah memberi cat emas untuk mahkotanya, warna biru dan
perak untuk tepi sarinya. Ekspresinya memancarkan senyuman yang dikulum. Kita
harus memerhatikan dengan teliti untuk melihat bagaimana senyumnya terbentuk,
karena hanya tampak sedikit lekukan di bibirnya. Sang dewi berdiri, setengah
tubuhnya dalam kegelapan, setengah lagi dalam sinar matahari, tanpa sengaja
memantulkan pembagian spiritual dalam dunianya. Murthi mendengar orang-orang
yang terkesiap kagum dan merasakan kebanggaan tak terkira karena pencapaiannya.
Ini adalah dharmanya; untuk memahat dewa-dewi. Murthi sang Acharya.
"Aku tidak bisa terus di sini," dia menyesal, meskipun dia sudah sering
menyaksikan upacara. Seluruh bagian sastra akan dilantunkan, api dinyalakan
untuk membakar beras dan ghee. Pada saat itu, beras dan ghee akan diletakkan di
garbhagriha. Di antara garbhagriha dan landasan patung akan diletakkan sebuah
piring tembaga yang tebal: kekuatan dewa-dewi yang sebenarnya akan muncul dari
simbol-simbol yang terukir di piring tersebut. Orang-orang itu mengerti; Murthi
harus bekerja untuk membuat jali. Dia mengambil darshan dari pendeta dan kembali
ke pekerjaannya. Jali itu tergeletak di tanah yang berdebu, setengah jadi. Benda itu juga
setengah tertutup, sedikit mirip si pendeta, bagian bawahnya masih berupa marmer
utuh. Batang tumbuhan yang indah tumbuh dari bongkah polos tersebut, begitu
indah dan rapuh, sehingga rasanya tidak mungkin bisa dipercaya jika dua bentuk
itu berasal dari batu yang sama. Yang satu menjulang; yang lain tergeletak kaku.
"Bagaimana kabar ibumu?" dia bertanya kepada Gopi saat mulai bekerja, tap, tap,
tap. "Dia menangis dan terbaring dengan mata terpejam rapat." Wajah anak lelakinya
berkerut karena kekhawatiran.
"Dia kelelahan bekerja, tapi dia akan segera pulih. Dia tidak sekuat dulu."
Murthi bekerja sepanjang hari, berkonsentrasi dalam kebisuan, hingga cahaya
mulai memudar. Dia hampir menyelesaikan sebentuk daun. Daun itu tumbuh dari
bongkahan, hanya ujungnya yang tampak, mengangguk diterpa angin yang tak terasa.
Saat mereka berjalan pulang perlahan-lahan, Murthi merasa tubuhnya kaku sehabis
bekerja. Dia mengendus aroma masakan di perapian, menghirup
wangi makanan yang terbawa angin. Mumtazabad begitu bersih dan teratur. Mungkin
kota itu sudah ada selama berabad-abad. Kota ini membuatnya merasa betah,
nyaman, serasa kampung halamannya sendiri. Jalanan, orang-orang, bahkan anjing-
anjing liar pun sekarang sudah terasa akrab. Dia merasa damai. Patung pujaannya
sudah selesai; tinggal jali yang belum rampung. Dia menoleh ke belakang, melihat
kubah yang belum selesai menjulang di antara pepohonan. Matahari telah mengubah
warna kubah menjadi merah jambu terang. Sisa makam itu dikelilingi oleh kerangka
batu bata. Saat dia kembali ke kampung halaman, dia akan menceritakan kemegahan
ini kepada teman-teman lamanya. Sudah pasti, mereka tidak akan memercayainya.
Orang-orang itu harus melihat sendiri sebelum bisa mengerti. Sebuah sketsa di
tanah tetaplah tanah, imajinasi tidak bisa mengubahnya menjadi marmer, tidak
bisa membuatnya menjulang tinggi ke langit. Dia berharap agar makam besar itu
segera selesai. Dia ingin melihat di mana mereka memasang jali yang dia
kerjakan, bagaimana benda itu bisa menangkap dan menguraikan cahaya, bagaimana
bayangan jatuh ke lantai marmer. Dia tidak peduli jika namanya tidak akan pernah
dikenal, itu tidak penting. Siapa yang tahu nama-nama resi atau orang-orang yang
membangun kuil-kuil raksasa di Varanasi, atau yang memahat dewa-dewi di sisi
bukit dan gua-gua" Kehidupan ini hanyalah suatu tugas bagi manusia.
Para perempuan berkerumun di pintu masuk rumahnya, berdesakan dan berbisik,
mengintip ke dalam. Jantungnya melompat. "Ada apa?" "Sita sekarat."
Murthi mendorong agar bisa masuk. Sita terbaring, napasnya terputus-putus.
Wajahnya kaku, pucat; Murthi mengetahui tanda-tanda kehidupan yang akan segera
berakhir, tanpa bisa dicegah.
"Pergilah," Murthi menyuruh Gopi. "Larilah ke benteng. Katakan kepada para
prajurit untuk memberi tahu Isa bahwa istriku Sita sedang sekarat. Kita
membutuhkan hakim. Larilah!"[]
Kisah Cinta 1031/1621 Masehi Arjumand Aku sangat berduka saat kakekku meninggal. Sebagian dari diriku juga menghilang;
kakekku membawa bagian itu bersamanya. Kita memulai kehidupan dengan sebuah
lingkaran penuh, bersama begitu banyak orang: para ayah, para ibu, para kakek,
para nenek, saudara lelaki, sepupu, dan saudara perempuan. Kemudian, ketika
mereka meninggal, satu demi satu, setiap kematian akan melubangi lingkaran itu.
Kita mengerut, mengecil, dan menyusut, hingga semua yang ada dalam kehidupan
kita hanyalah diri kita sendiri.
Kakekku meninggal saat tertidur. Kami semua dipanggil, dan aku melihat wajahnya
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tenang dan damai. Sungguh sulit membayangkan seorang anak muda yang
menempuh perjalanan panjang dari Persia untuk mencari peruntungan dengan
melayani Mughal Agung Akbar. Kemudaannya tersembunyi di dalam tubuhnya yang
renta, tersembunyi dalam lipatan-lipatan sutra, tersembunyi oleh dukacita
Mughal Agung Jahangir, Permaisuri Nur Jehan, Pangeran Shah Jahan, Putri
Arjumand, dan Putri Ladilli. Para pangeran, bangsawan, rana, nawab, amir, semua
datang untuk menyampaikan belasungkawa mereka kepada seorang anak lelaki
kelaparan yang tersembunyi di balik seorang lelaki hebat. Jahangir telah
memerintahkan sebulan masa berduka bagi kematian Itiam-ud-daulah-nya, Pilar
Pemerintahannya, penasihatnya yang bijaksana, sekaligus temannya.
Aku mencium Kakek, aroma tubuhnya yang akrab serasa memudar, sudah digantikan
sebagian oleh aroma masam kematian yang menguar dari dalam tubuhnya. Kekasihku
mencium Kakek dan menangis juga. Mereka telah menjadi dekat, sang lelaki tua dan
lelaki muda, seakan-akan saling mencari perlindungan satu sama lain. Mehrunissa
menangis paling keras. Kakekku bukan hanya seorang ayah baginya, melainkan juga
teman dan penasihat, serta gurunya. Kakekku telah menuntun nasib Mehrunissa,
seperti Tuhan menuntun nasibnya. Mehrunissa tampak lebih daripada sekadar
berduka; selama berhari-hari dia kelihatan tenggelam dalam mimpi. Dia tidak
makan maupun minum, tetapi duduk terdiam sambil menatap air Jumna. Selama
bertahun-tahun, dia bersandar kepada ayahnya dan saat ini hampir bisa mandiri.
Tetapi, kemuramannya tidak berlangsung lama. Jahangir memberinya izin untuk
membangun sebuah makam bagi Itiam-ud-daulah. Makam itu dibangun di dalam kota,
di tepi Sungai Jumna. Dia mengerahkan banyak
tenaga untuk memilih para pembangun beserta rancangan mereka. Dia mengetahui apa
yang dia inginkan. Jahangir merasa ironis karena dia berhasil menghindari kematian, dan kematian
itu malah menimpa Ghiyas Beg. Penyakitnya sendiri masih terus terasa,
meninggalkan jejak di wajahnya. Dia mengalami kesulitan untuk bernapas dalam
udara panas yang kering, dan terus-menerus ingin pindah lebih jauh ke utara. Dia
sangat menyukai Kashmir. Dia ingin duduk di taman-taman yang telah dia rancang
dan mengamati ikan-ikannya, yang masing-masing ditempeli cincin emas, berenang-
renang di kolam air mancur. Tetapi, dia selalu ingin ke sana bukan karena alasan
kesehatan semata; dia menatap syahdu ke utara, ke pegunungan tinggi di atas
bebatuan dan salju yang memagari, ke arah tanah leluhurnya. Aku telah mendengar
bisikan bahwa dia berharap bisa menaklukkan tanah itu. Dia bermimpi untuk bisa
memerintah Samarkand. m/m Setahun sebelum kematian kakekku, aku juga merasa sedih. Ada banyak alasan untuk
itu: sekali lagi aku mengandung. Sekali lagi, perutku membesar, sekali lagi
penderitaan mencengkeram jiwaku. Pada kehamilanku yang terakhir, racun hakim
berhasil menggugurkan bayiku, dan aku jatuh sakit serta lemas selama beberapa
hari. Dipan selalu ternoda darah. Tetapi, keluarnya batu janin dari
dalam rahimku membuat pikiranku yang melayang-layang merasa nyaman.
Setelah itu, aku memutuskan untuk menolak kekasihku secara lebih tegas. Saat
kami berbaring bersama, dia bisa merasakan kekakuan tubuhku ketika dia
membelaiku-tubuhku membeku, seperti marmer dan terasa berat.
"Lagi?" dia berbisik dengan kasar. Betapa cepatnya waktu berlalu, bagaikan saat
terakhir kami bercinta berlangsung sesaat yang lalu. "Aku merasa seperti
berbaring bersama mayat."
"Mengapa kau berkata kejam kepadaku?" "Karena kau tidak lagi mencintaiku." Dia
berbicara dengan sebal, merasa terhina bagaikan seorang anak lelaki yang ingin
kemauannya dituruti. "Aku mencintaimu. Cintaku tidak berubah sejak pertama kali aku melihatmu."
"Lalu, mengapa kau menolakku?" Dia berbaring telentang, tidak lagi menatapku,
tetapi menatap langit-langit, menginginkan aku memohon maaf kepadanya. Oh,
betapa sakitnya mencintai. "Jika kau masih mencintaiku, kau akan mengizinkanku
bercinta denganmu." "Aku lelah. Aku baru saja kehilangan seorang anak, dan tubuhku masih terasa
sakit." "Aku bertanya-tanya, bagaimana kau bisa kehilangan anakku," dia berkata, seperti
tak berdosa di balik kekejaman permintaannya akan cinta yang tak terpuaskan.
"Sekarang sudah dua kali. Berapa kali lagi akan terjadi?"
"Hal seperti ini terjadi pada beberapa perempuan. Siapa yang bisa
memperkirakannya?" aku berbisik dengan penuh ketakutan. Aku tidak tahu apakah
dia mengira-ngira, atau mungkin mengetahuinya. Aku berdoa agar dia tidak
mendengar keraguan dalam penyangkalanku.
"Aku tahu," dia memelukku dengan lembut, kemarahannya tiba-tiba menghilang.
"Para lelaki tidak bisa mengerti rasa sakit yang diderita perempuan. Aku selalu
membutuhkanmu. Aku tidak bisa menahan cintaku. Setiap aku melihatmu, aku selalu
berharap untuk mencium wajah dan matamu, memeluk tubuhmu, dan bercinta
denganmu." Bibirnya menyapu bibirku. Rasanya lembut bagaikan kelopak bunga,
manis, penuh maaf, seakan-akan aku yang berdosa.
"Saat kau sudah lebih baik, kita akan bercinta lagi, aku akan menunggu."
"Kita harus menunggu selama beberapa saat. Hakim berkata, aku harus beristirahat
sebelum mengandung lagi."
"Selamanya?" Kekasarannya datang dan pergi, seperti napas yang diembuskan dalam
hawa dingin, dan aku tidak bisa mengendalikan ketakutan serta kemarahannya.
"Tentu saja tidak. Aku tidak keberatan jika kau bercinta dengan salah satu gadis
budak hingga aku siap untukmu."
"Jadi, kau pikir aku sehina itu-untuk bercinta dengan seorang budak perempuan.
Kau terlalu mulia untukku sekarang."
"Tolonglah, kau memutarbalikkan kata-kataku
untuk membela dirimu sendiri."
"Bagaimana aku membela diriku sendiri?"
Dia duduk, punggungnya tegang karena kemarahan. Aku menyentuhnya, dia
mengerenyit, seolah-olah jari-jariku ini batu bara. Tetapi, jika sentuhanku
menyakitinya, kata-katanya lebih membuatku terbakar. Aku hanya bisa menghiburnya
dengan cara menyerah dalam rengkuhannya, tetapi aku tidak bisa melakukannya.
Kekuatan benihnya menakutkan aku; hal itu tidak bisa dibayangkan. Ayahnya,
kakeknya, dan kakek buyutnya tidak bisa begitu cepat membuahi rahim para
perempuan, dan terus-menerus menghamili mereka bagaikan buah labu. Waktu-waktu
kenikmatan bersama kami yang singkat ini sudah terganggu, karena kemarahannya
dan kekeraskepalaanku. Mengapa cinta begitu menyulitkan, menuntut, dan
melelahkan" "Tidak ada arti selain yang kukatakan."
Dia setengah berbalik, terkejut dengan suaraku yang meninggi. Aku menentang
tatapannya, menolak untuk menurunkan pandanganku dengan patuh.
"Ayah dan kakekmu juga bercinta dengan budak perempuan. Jika kau tidak bisa
mengendalikan hasratmu, puaskanlah gairahmu bersama mereka. Lihat aku. Aku
seorang perempuan, dan aku mencintaimu, tetapi kau memperlakukan aku seperti
seekor sapi betina dalam kandangmu. Anak, anak, anak-bagaimana aku bisa
merawatmu jika aku menghabiskan hidupku dengan mengandung anak-anakmu, yang
menekanku bagaikan batu?"
"Mungkin aku harus menikahi istri kedua."
"Dan ketiga, keempat, dan kelima. Akbar memiliki empat ratus istri. Apa yang
menahanmu?" Dia menundukkan kepala sambil terdiam. Akhirnya, aku memalingkan wajah darinya
dan memejamkan mata. Aku tidak berharap untuk mengingat kata-kataku, amarah di
wajahnya, dan suaraku yang sinis.
"Aku tidak bisa," dia berkata pelan.
Sebelum aku bisa memeluknya dan meminta maaf, dia sudah menghilang. Selama tiga
puluh lima hari, kami tidak saling berbicara. Kami telah berjanji untuk tidak
hidup terpisah dan saat ini, dalam kedekatan satu sama lain, seluruh kesultanan
bagaikan terentang di antara kami. Rasa sakitku semakin parah. Jika kami
berpisah, aku bisa mengetahui bahwa dia masih mencintaiku. Tetapi, di sini dia
terus menyendiri dan menyibukkan diri, bahkan tidak melirik ke arah zenana saat
dia datang dan pergi. Aku memerhatikannya, tidak hanya dengan mataku sendiri,
tetapi juga dengan mata orang lain: Isa, Allami Sa'du-lla Khan, Satiumnissa,
Wazir Khan, semua memerhatikan. Apakah dia merana" Apakah dia membisikkan
namaku" Apakah dia juga merasa seperti seorang mayat hidup" Tidak, mereka
menjawab, suara mereka berbisik karena peduli terhadap kesedihanku, dia tertawa
dan bermain-main. Jadi, aku juga melakukan hal yang sama. Aku mengundang semua
istri petinggi untuk makan malam di istana. Para penari dan penyanyi menghibur
kami setiap malam. Aku tertawa terlalu keras, berbicara terlalu banyak, bertepuk tangan hingga telapak
tanganku sakit. Aku tidak banyak tahu bagaimana caranya hidup dalam kehampaan
seperti ini, dalam keceriaan palsu ini.
"Isa. Kau harus membangun sebuah tenda kecil di taman, tempat dia duduk.
Lakukanlah dengan cepat dan diam-diam. Malam ini harus sudah siap."
Bagaimana seorang pangeran menundukkan kepala dengan malu kepada seorang
perempuan" Dia terbuat dari emas dan marmer, tetapi aku hanya terbuat dari
daging dan tidak ada yang lebih membuatku menderita daripada hidup tanpa cinta
Shah Jahan. Aku akan menyerah dengan pasrah terhadap rasa malu yang begitu hina
itu. Rasa sakit ini tidak bisa lebih buruk lagi. Tetapi, bagaimana jika dia
menolak tawaranku" Aku tidak mampu memikirkan hal itu.
Aku mengenakan churidar, blus, dan touca kuningku. Perhiasan perakku tidak lagi
hanya segenggaman tangan, tetapi sudah memenuhi beberapa kotak. Aku memilih
hanya yang bisa kuingat. Isa mendirikan tenda, menutupinya dengan permadani. Aku
mengambil tempat dan menyebarkan daganganku. Malam itu begitu hening; bulan
tergantung di atas air bagaikan pedang perak.
"Apakah dia akan datang?" Isa bertanya. "Aku tidak tahu. Berdoalah agar dia
datang. Bawakan anggur. Perintahkan para musisi untuk
tetap diam hingga dia memasuki taman."
"Apakah kau menginginkan aku tetap tinggal?"
"Ya ... tidak ... berdirilah di sana."
Isa berdiri di dalam kegelapan bayangan. Aku duduk, mengatur dan menyusun
perhiasanku dengan gugup, seperti yang kurasakan untuk pertama kalinya bertahun-
tahun yang lalu. Kenangan masa lalu selalu kembali. Bagaimana jika Shah Jahan
tidak datang" Dia mungkin pergi ke utara, ke selatan. Dia sedang berburu. Dia
sedang tinggal di istana ayahnya. Dia sedang bersama seorang gadis pelacur. Dia
minum-minum dengan teman-temannya. Dia akan masuk,
menertawakanku, dan pergi ke tempat tidurnya sendiri. Kepalaku sakit memikirkan
semua kemungkinan itu. Tidak ada yang memberiku harapan; aku tidak layak
menerima kebahagiaan dua kali dalam hidupku.
Aku tidak melihatnya datang. Dia berhenti di batas sinar bulan. Dia pasti sudah
berdiri di sana selama beberapa saat, kemudian menghampiriku dengan cepat
menyusuri taman, menuju tendaku.
"Ah, gadis pasar malamku yang mungil, berapa harganya perhiasanmu?"
"Sepuluh ribu rupee."
"Aku tidak memilikinya. Apakah sepuluh ribu kecupan bisa menggantinya?"
"Dari Shah Jahan, satu kecupan saja lebih dari cukup."
Aku menerima sepuluh ribu kecupan malam itu. Aku juga menerima benih anaknya
yang ketujuh. mm Suatu pagi, Ladilli datang menemuiku. Tampaknya dia melayang tertiup angin pagi
hari, terbang bagaikan tidak mampu mengendalikan nasibnya sendiri. Tindak-
tanduknya menyiratkan perasaan, kabut tebal seakan menyelubunginya-tidak bisa
ditembus, tetapi bisa disibakkan oleh tangan seseorang. Itu semua membuat
kesabaranku habis. Aku selalu kesulitan menerka perasaannya, bahkan amarah pun
selalu tersembunyi di balik kebisuan.
"Ada apa, Ladilli" Kulihat kau hanya duduk-duduk dan terus mengeluh, lakukanlah
dari seberang ruangan. Aku bisa merasakan napasmu yang berat."
"Aku akan menikah."
"Kalau begitu, kau pasti bahagia." Wajahnya tidak memancarkan ekspresi apa pun.
Dia terlalu tua untuk menikah, bahkan lebih tua daripada usiaku saat menikahi
Shah Jahan. Tetapi, dia menerima nasibnya dengan pasrah. "Betulkah?"
Dia mengangkat bahu. "Ibuku mengatakannya pagi ini. Aku akan menikah dengan
Shahriya." "Ah!" aku tidak bisa memikirkan harus berkata apa lagi.
Aku tidak pernah menyukai adik lelaki bungsu Shah Jahan; dia membuatku merasa
tidak nyaman. Di istana, dia dikenal sebagai Na-Shudari, "ahli melakukan hal-hal
tak berguna". Wajahnya tampak seperti terbuat dari tanah liat, dagingnya selalu
tampak bergelayut. Sosoknya tidak pernah tampil dengan wajah ceria seperti para
lelaki lain. Ibunya adalah seorang budak, dan Jahangir menghujaninya
dengan hadiah, kemudian mengirimnya untuk tetirah di Meerut. Shahriya adalah
pilihan yang tak sebanding bagi Ladilli. "Tolaklah."
"Arjumand, kau tahu, aku tidak bisa melakukannya. Ibuku akan berteriak kepadaku
selama berhari-hari. Aku tidak bisa menahannya. Kupikir lebih mudah untuk
langsung berkata 'y3'-" Dia menggenggam tanganku. "Kau harus berbicara
dengannya. Aku yakin ibuku akan mendengarkanmu."
"Apa yang harus kukatakan kepadanya" Apakah ada seorang lelaki lain yang
kausukai?" "Ya!" Cahaya membanjiri wajahnya. Aku tidak bisa menahan perasaan sedih yang
hebat karena pancaran kebahagiaannya yang tulus. Hal itu pasti akan menghilang
selamanya. "Namanya Ifran Hassan. Dia seorang lelaki terhormat."
"Aku belum pernah mendengar namanya." "Dia bukan seorang lelaki terhormat yang
berkedudukan tinggi. Dia penguasa jagir di dekat Baroda."
"Apakah kau sudah berbicara dengannya?"
"Tentu saja belum. Tapi, aku tahu dia me-nyukaiku; dia mengirimi aku ini." Dia
mengenakan sebuah liontin perak kecil di lehernya. Bentuknya bundar dan bisa
dibuka; isinya kosong. "Aku mempunyai sebuah benda emas yang persis seperti ini,
dan mengirimkan benda itu kepadanya."
"Aku akan berbicara kepada ibumu," dan aku melepaskan tanganku seakan lembut,
mengetahui bahwa dengan melakukan itu, aku akan melepaskan
hidupku dari hidupnya. Mehrunissa tidak akan pernah berubah pikiran. "Ini pasti
akan sulit. Jabatan Ifran Hassan sangat rendah, sementara Shahriya adalah
seorang pangeran." Dengan segera, aku menyesali keterusteranganku. Bahu Ladilli turun seakan-akan
dia telah mendengar sebuah bisikan, memastikan bahwa seumur hidup, dia tidak
akan mendapatkan keinginannya. Dalam beberapa hari, Mehrunissa akan memastikan
pilihannya dengan lebih tegas.
"Kau benar. Dia tak akan pernah mendengar. Seorang pangeran! Memang tolol."
Hanya itulah kilatan kemarahan yang pernah kulihat darinya. Hal itu juga
membuatnya terkejut; dia tersipu, bangkit, kemudian keluar dengan terburu-buru.
Shah Jahan Aku kecewa mendengar Mehrunissa memilih adikku yang bajingan untuk menjadi
menantunya. Shahriya dilahirkan oleh seorang budak, dan dia hampir terlupakan
seumur hidupnya. Aku melihatnya sekali dua kali bersama teman-temannya,
berjalan-jalan sambil mabuk di taman istana. Hidupnya tidak jelas, tidak
penting, dan saat ini, tangan Mehrunissa telah meraih ke dalam kegelapan dan
menarik Shahriya ke dalam jangkauan cahaya. Aku pernah menjadi pilihan pertama
bagi Ladilli; pilihannya yang kedua juga dipertimbangkan secara matang. Aku
tidak peduli dengan siapa Ladilli menikah, tetapi aku bisa melihat alasan
Mehrunissa. Dia pasti akan bisa
mengendalikan Ladilli, dan melalui Ladilli, bisa mengendalikan Shahriya. Mungkin
Sultan Shahriya, seorang raja boneka yang idiot.
"Bahkan bibiku sendiri pun tak akan berani," kata Arjumand. "Kau adalah anak
lelaki Jahangir yang berperingkat pertama."
"Tapi untuk berapa lama?" aku meminta nasihat kepada ayah Arjumand, Asaf Khan.
Wajahnya yang panjang tampak menyembunyikan sesuatu, terlatih oleh disiplin-
disiplin dalam politik. Aku mencintai anak perempuannya, aku memiliki
kesetiaannya. "Anda bertemu dengan Sultan setiap hari. Apakah aku anak lelakinya
yang berada di peringkat pertama?"
"Ya." Jawabannya cepat dan singkat. Aku tidak merasakan penghiburan dalam
suaranya. "Mehrunissa hanya mengumpulkan musuh."
"Siapa yang tidak" Tapi, dia menguasai Jahangir, dan aku tidak menguasai siapa
pun. Saat ini, dia mengendalikan Shahriya, dan aku tidak mengendalikan siapa
pun. Ayahku sakit. Siapa yang akan dia pilih?"
"Pilihan Mehrunissa." Arjumand berbisik. "Meh-runisa tahu, aku tidak seperti
Ladilli, aku akan menentangnya."
Saat-saat kedamaian kami telah menghilang. Mehrunissa mulai menekanku ke tepi
jurang. Di satu sisi, aku melihat sebuah celah, lubang tak berdasar. Tak ada
orang yang mampu keluar kembali dari situ, bahkan seorang pangeran sekalipun. Di
sisi lain, aku melihat gunung yang tak bisa ditembus.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Tidak ada," Asaf Khan menjawab dengan pelan. "Apa yang bisa kau lakukan" Kau
harus menunggu. Jika kau bergerak tiba-tiba, Jahangir akan ketakutan. Pikirannya
saat ini tercurah sepenuhnya kepada kesehatannya. Dia merindukan Kashmir."
"Apakah saat ini ayahku menyadari apa yang dilakukan oleh bibiku?"
"Ya. Mehrunissa cukup bijaksana karena tetap memberi informasi kepada Jahangir.
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menyetujui pernikahan Ladilli dengan Shahriya. Sultan berpikir bahwa mereka
pasangan yang cocok. Dia tertawa dan berkata kepadaku: 'Pikirkan kemenanganmu,
Teman Lama. Adikmu adalah permaisuri, anak perempuannya seorang putri!'"
"Dan ..." "Hanya itu yang dia katakan." "Dia tidak mengatakan apa-apa tentang Arjumand?"
"Tidak. Mungkin Sultan berpikir bahwa itu tidak penting. Jangan mencari arti
dari apa yang tidak dia katakan."
"Apa lagi yang bisa kulakukan" Dia mengabaikan Arjumand, dan dengan begitu, dia
menghinaku." "Perhatiannya sedang pecah. Kami sudah cukup bermasalah untuk mengartikan kata-
kata Mehrunissa. Kita tunggu dan lihat saja. Aku akan mendukungmu dalam ghusl-
khana." Aku tidak perlu menunggu terlalu lama.
Mereka mengatakan kepadaku bahwa pernikahan Ladilli lebih megah daripada
pernikahanku. Mehrunissa memberi piring-piring dan cangkir-cangkir emas kepada para tamu,
batu-batu mulia kepada para perempuan, serta menebarkan koin emas dan perak
kepada orang-orang, dan perayaannya berlangsung tiga hari penuh.
Aku tidak menghadirinya karena mengaku sakit. Arjumand pun tidak; anak yang dia
kandung meninggal satu jam setelah dilahirkan.
Sesaat setelah pernikahan, Mehrunissa melakukan gerakannya. Aku diperintahkan
untuk menuju ke selatan. Deccan mendidih. Udara panas tanpa henti di daerah Hindustan itu tampaknya terus
menyebabkan pemberontakan. Siapa yang akan memerintah di tempat yang jauh ini"
Bahkan jika aku menyerang ke selatan dan mengalahkan tikus-tikus itu untuk kedua
kalinya, apakah ayahku akan memberi imbalan yang lebih besar" Dapatkah dia
menghujaniku dengan emas dan berlian untuk kedua kalinya" Dia hanya akan
menggumam: Shabash. Dan jika aku gagal, Mehrunissa akan meraih kemenangan.
Bagaimana seorang pangeran yang tidak mampu menaklukkan Deccan bisa memerintah
Hindustan" Kemenangan-kemenanganku pada waktu lampau akan dilupakan. Dia tidak
akan menyebut-nyebut hal ini jika aku pulang dalam kekalahan.
Jarak Deccan juga sangat jauh dari Agra. Aku tidak akan mampu mendengar bisikan-
bisikan di istana hingga lama kemudian, saat Asaf Khan mengirim berita untukku.
Dalam kegelisahan, aku meminta pertemuan dengan ayahku. Seisi istana sedang
sibuk mempersiapkan kepindahan ke Lahore. Kashmir melambai-lambai, memanggil-
manggil sang Sultan, pusat kekuasaan, untuk bergerak menjauh dari Deccan, bahkan
dari Agra. Jahangir terbaring di ghusl-khana; kain putih yang didinginkan dengan
es diletakkan di dahinya. Matanya masih tertutup meskipun wazir mengumumkan
kehadiranku. Dia bernapas lewat mulut seperti singa, sekarat di dalam bayangan,
tersengal-sengal untuk bisa bertahan hidup.
"Udara," ayahku berbisik, "sungguh sulit untuk masuk ke dalam tubuhku yang
renta. Udara menghindariku. Di Kashmir ... ah, Kashmir ... di sana udara begitu
harum, menerpa dengan keras, tidak takut kepadaku."
"Apakah Ayah ingin aku kembali ke Deccan?"
"Kau telah menerima perintahku. Mengapa kau datang dan menanyakan hal itu
kepadaku lagi?" Sebelah matanya terbuka bagaikan pintu penjara yang berderit. Cahaya berbinar di
dalamnya. "Aku tidak tahu mengapa kau terus-menerus menggangguku."
"Ini adalah pertemuan pertamaku dalam waktu yang cukup lama."
"Rasanya seperti yang keseratus kalinya. Apakah itu saja yang kau inginkan" Aku
berharap kembali ke dalam mimpiku, terbaring di dekat kolam air mancur
di tamanku, dan mendengarkan alunan musiknya yang mendamaikan."
"Jika aku menyerang Deccan
"Kau membantah. Saat ini, aku memberi tahumu, jika kau akan memegang komando dan
tetap tinggal di sana hingga kita mengalahkan tikus-tikus itu. Jika ... jika ... apa
itu 'jika1" Kata 'jika' tidak pantas dikatakan oleh seorang sultan. Ini bukan
sebuah pasar malam tempat kau tawar-menawar dan berkata, 'jika ...."' Matanya
memerah dan menyala seperti tungku batu bara. Dia berteriak: "Aku
memerintahkanmu untuk menyerang."
"Aku mohon maaf, Paduka. Paduka salah mengerti maksudku. Aku tidak bermaksud
untuk mempertanyakan perintah Paduka."
"Kupikir seharusnya tidak." Sorot matanya mulai melunak, dan perlahan-lahan
kelopaknya memejam. "Aku tidak salah mengerti akan perintahku."
"Apakah aku dimaafkan, Paduka" Aku tidak bisa pergi dengan pikiran bahwa aku
membuat Ayah marah."
"Ya, ya. Sini."
Dia melambai memanggilku. Aku berlutut, dan dia merangkulku seperti tanpa sadar.
Jika dia akan pergi ke utara dan aku ke selatan, aku tidak ingin kemarahan
menguasai benaknya. Pasti itu akan semakin mengobarkan bisikan-bisikan
Mehrunissa. Ya, ya, pasti itu yang dikatakan Mehrunissa.
"Aku mohon izinmu, Ayah, untuk mengajak abangku Khusrav bersamaku. Dia telah
dirantai di istana ini selama bertahun-tahun dan perjalanan ke
Deccan bisa menjadi perubahan dalam hidupnya yang membosankan."
Ayahku tampak ragu-ragu, seperti mempertimbangkan apakah dia akan membuka
matanya lagi. Tetapi, kelopak matanya masih terpejam, hanya cahaya tipis setajam
silet yang berkilat. "Dan Ayah tak akan terus melihatnya, dia tak akan lagi
mengingatkan Ayah akan pengkhianatannya."
"Dia memang mengganggu karena meratap sepanjang waktu. Melihatnya membuatku
merasa melankolis. Karena itu menambah rasa sakitku, kupikir aku tak dapat
menahannya lagi. Ajak dia, bawa dia."
Kami pergi ke selatan setelah beberapa hari ayahku pergi ke utara. Dia telah
mengumumkan niatnya, hanya untuk mengunjungi Lahore, tetapi mungkin dia bisa
berubah pikiran; Kashmir masih memanggil-manggilnya. Kami berpelukan sebelum
berpisah. Dia tampak lebih kuat, tetapi siapa yang dapat menjamin kami bisa
bertemu lagi" Dia melambai ke arah Khusrav dari jauh.
"Manzil Mubarak."
"Manzil Mubarak."
Aku menemui ayah Arjumand. Asaf Khan berjanji untuk mengirimkan pesan ke Deccan
seminggu sekali, melaporkan keadaan kesehatan Sultan dan pikiran-pikiran
Mehrunissa. Keduanya saling berkaitan. Jika ayahku meninggal, Mehrunissa bisa
bergerak secepat kilat untuk memilih seorang pengganti; jika ayahku semakin
kuat, Mehrunissa akan menunggu. Dia telah menunjuk adik lelakiku
Parwez sebagai Subadar Lahore, serta membawa Ladilli dan Shahriya bersamanya.
Ketika Arjumand, aku, dan anak-anakku pergi ke selatan, aku merasa bahwa kami
meluncur di atas sungai yang membawa kami lebih jauh menembus batas cakrawala.
Khusrav masih terantai kepada pengawalnya. Mereka telah terbiasa dengan
kehadiran satu sama lain, dan dia tidak ingin dipisahkan dari temannya yang
semata wayang itu. Aku tidak memercayai pengawal selain Allami Sa'du-lla Khan
untuk menjaga Khusrav. Aku yakin, entah bagaimana penglihatannya sudah pulih.
Dan, meskipun dia tidak bisa melihat sejelas aku, dia bisa melihat. Setelah
makan bersama untuk pertama kalinya, aku memerintahkan dia untuk tetap bersama
temannya. "Saudaraku, aku diberi tahu bahwa aku akan pergi bersamamu, karena kasih
sayangmu kepadaku," dia berkata.
"Kupikir ini akan menjadi selingan bagi kebosananmu saat terpenjara."
"Terpenjara! Di sangkar emas! Bagaimana aku bisa merasa bosan" Aku mendengar
rumor dan gosip, dan dalam kegelapan, aku menyimpulkan arti setiap desis dan
bisikan. 'Mengapa"1 Aku selalu memulai pertanyaanku dengan kata itu. 'Mengapa"'
Mengapa Mehrunissa menikahkan anaknya dengan si pembual idiot Shahriya" Tapi,
kita semua tahu jawabannya. Sangat mudah. 'Mengapa"' Mengapa Shah Jahan mengajak
abangnya yang buta ke selatan bersamanya?"
"Aku sudah mengatakan alasannya kepadamu. Sekarang makanlah. Minumlah sedikit
anggur." Isa memenuhi cangkirnya. Khusrav menatap cairan di cawan emasnya,
tetapi tidak menyentuhnya. "Aku tidak bisa lagi menemanimu. Aku harus
mendiskusikan rencana bersama komandan pasukanku."
"Ah, ya, tentu saja. Adikku memiliki posisi penting. Komando, perintah-dia
tinggal mengangkat tangan dan sepuluh ribu pasukan berkuda akan maju." Dia
mendesah, lalu air matanya mengalir. Sepertinya, air mata itu akan mengalir
seiring keinginannya. "Jika saja aku sebijaksana Shah Jahan. Aku begitu terburu-
buru dalam kebutaan ... aku terlihat konyol di hadapanmu, iya kan" Dulu, mata
hatiku yang buta. Saat ini, mata kepalaku yang buta. Dua kebutaan. Betapa
sialnya! Jika saja mataku yang buta terlebih dahulu, mungkin aku masih memiliki
kedua penglihatan itu."
"Kau memang melihat."
"Sedikit. Kau membenciku karena itu" Bayangan buram Shah Jahan duduk di depanku.
Dia menunjukkan ketidaksabarannya; mungkin, dia bahkan menunjukkan
ketidaksukaannya. Aku mengasihi ayahku tercinta dengan cara yang sama. Aku duduk
dan menatapnya, tetapi dia segera menghilang. Jika aku sebijaksana Shah Jahan,
saat ini aku akan maju di depan ribuan pasukanku yang akan mati karena
menjalankan perintahku. Tapi, apakah itu sudah cukup" Shah Jahan bisa memimpin
pasukan dua puluh, tiga puluh kali-tetapi dia tidak bisa. Belum."
"Aku adalah putra mahkotanya."
"Tapi, apakah kau putra mahkota Mehrunissa" Itu pertanyaannya."
Dia lalu berbisik. "Kau harus mencari tahu, apa yang akan diperbuat oleh
Khusrav." "Apa yang akan diperbuat oleh Khusrav?"
"Bunuh Mehrunissa. Secepat kilat. Sebelum dia bergerak. Kirim pasukan berkuda ke
sana." Khusrav mencengkeram lenganku dengan kuat. "Tanpa bisikan Mehrunissa, kau
akan tetap menjadi putra mahkota Jahangir hingga dia meninggal. Dan jika hal itu
terjadi dalam waktu dekat, Tuhan merestui."
"Penjagaan Mehrunissa terlalu ketat. Sekarang, giliranku untuk
bertanya-'mengapa?"1
"Karena kematian Mehrunissa akan melukai Jahangir. Dia akan meratap, seperti
halnya aku. Dia akan mondar-mandir di istananya, terbutakan oleh kepedihan. Dia
akan tersandung dan jatuh ke dalam palung kesepian. Selamanya." Khusrav
terkekeh-kekeh puas dan bertepuk tangan. Siang dan malam, dia memimpikan
kematian Jahangir. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tetapi, aku tidak bisa
memercayainya. "Ketika kau bertanya 'mengapa"1 dan mendapat jawaban, kau akan bertanya
'mengapa"' lagi" Mengapa Khusrav menginginkan nyawa Mehrunissa?"
"Untuk menyelamatkan nyawanya sendiri." Dia menatapku. "Taktya takhta. Aku tidak
menginginkan takhta maupun makam, Saudaraku."
Udara semakin panas, rumput-rumput layu dan mati; batuan dan tanah tampak
mengancam, angkasa bagaikan perisai yang berkilauan. Aku juga memimpikan
Kashmir, bukan merindukan ayahku, tetapi ingin melepaskan diri dari kebencian
Khusrav yang mendarah daging. Arjumand terbaring di keretanya. Kibasan punkah
tak mampu menepis panas di pantai ini. Dia tidak pernah mengeluh, tetapi selalu
tersenyum penuh kasih kepadaku. Senyumannya tidak pernah berubah; selalu
memancarkan kecantikannya, meskipun saat ini senyuman itu lebih lambat
tersungging. Tetapi, saat dia tersenyum, aku tidak bisa menahan kebahagiaan atau
curahan cintaku. Dia sedang mengandung anak ketujuh kami. Kami tidak lagi
memperdebatkan apakah dia harus tinggal di Agra yang nyaman. Aku tidak akan
pernah menolak keinginannya, dan saat ini aku tidak menginginkannya. Kehadiran
Arjumand selalu memberiku kenyamanan.
Aku selalu mengajak Dara di sampingku. Dia menunggang kuda poni putihnya, dan
keingintahuannya tentang daerah ini tak pernah terbatas; aku mengajarinya,
karena dia baru mulai berlatih. Anak-anak yang lain tetap bersama pengasuh
mereka, di balik tempat tinggal Arjumand. Dua anak lelakiku yang lain, Shahshuja
dan Murad, adalah anak-anak pendiam dan penurut; hanya Aurangzeb yang
menampakkan semangat ketangguhan dan kemandirian. Tingginya belum mencapai
pinggangku, tetapi dia sudah meminta kepadaku dengan terus terang agar
mengizinkannya berkuda. Aku melarangnya. Dia terlalu kecil dan masih terus membutuhkan
penjagaan. Ada ekspresi penasaran dan kekesalan yang dia sembunyikan saat berada
di dekat Dara. Dara mengerti kekuatan secara alamiah. Kekuatan mengalir saat aku melaju,
berhenti saat aku berhenti. Kekuatan juga melingkupiku, terlihat dari satu batas
cakrawala hingga batas cakrawala yang lain. Aku tahu sumber kekuatan itu adalah
ayahku, tetapi ketika jarak di antara kami semakin lebar, kekuatanku juga
berkurang. Orang lain memerintah tanah yang kami lewati-para rana, amir, diwan,
mir bakshi-tetapi ketika aku tiba di suba mereka, kekuasaanku melingkupi
kekuasaan mereka. Perjalanan itu sangat lambat; seorang pangeran tidak bisa
lewat tanpa dikenali. Setiap hari, saat fajar, tengah hari, dan senja, aku
berhenti, menerima kunjungan semua yang datang untuk membayar pajak atau
mempersembahkan hadiah. Dan setiap aku berhenti, sebuah pesta menanti dan tidak
dapat ditolak. Jadi, aku menyaksikan pertunjukan kesetiaan dan kasih sayang yang
berulang-ulang dan tak berhenti. Kata-kata tak pernah berganti, hanya orang yang
mengucapkannya yang berganti.
Dua hari sebelum kami mencapai Burhanpur, kami berpapasan dengan beberapa
prajurit di jalan; seratus orang yang dipimpin oleh seorang Mir Bakshi. Mereka
didampingi oleh Sadr, komandan suba. Mereka menunggu di dekat pilar yang terbuat
dari tengkorak manusia, yang tingginya dua kali
tinggi manusia dan diameternya pun dua kali. Pilar itu terbuat dari lumpur dan
bata, dan dihiasi tengkorak-tengkorak. Mereka tidak memiliki mata maupun daging
lagi, hanya tulangnya yang tertinggal. Pembangunan pilar-pilar ini adalah
kebiasaan yang pertama kali dipraktikkan oleh Timur-i-leng. Sementara pilar ini
dibangun oleh Akbar, sebuah monumen bagi ketegasannya dalam memberi hukuman.
Kami tidak lagi mengikuti tradisi ini.
Di tanah dekat para penunggang kuda, tiga orang tergeletak dalam keadaan
terikat. Aku memberi izin kepada Mir Bakshi dan Sadr untuk mendekat. Mereka datang dengan
ragu-ragu; kehadiranku tidak disambut. Sadr melakukan kornish yang begitu
formal. Mir Bakshi tampak lebih menghormatiku. Aku mengabaikan keduanya, dan
langsung maju mendekati orang-orang yang terikat itu. Mereka masih hidup,
terikat dengan tali, kepala mereka gundul. Darah mengental terlihat di sisi
kepala satu orang tersebut, menggelapkan janggutnya. Orang ketiga tampak tidak
terluka, tetapi terikat lebih kencang. Mereka terbaring tak berdaya, wajah-wajah
hampa mereka menekan tanah. Mereka tidak mengharapkan keadilan dariku.
"Ini adalah masalah sepele, Yang Mulia," kata Mir Bakshi. Kekuasaannya berkurang
saat aku berdiri di dekatnya. "Ini tidak perlu mengganggu pikiran sang
Pangeran." "Apa yang mereka lakukan?"
"Tidak ada, Tuanku," salah seorang lelaki yang
terikat berteriak. Dengan isyarat dari Mir Bakshi, seorang prajurit menusuk lelaki itu dengan ujung
tombaknya. "Kau hanya boleh menusuk jika aku memerintahkannya. Dengan kehadiranku, tidak
ada yang boleh dilakukan tanpa kekuasaanku."
Sadr bergerak menghampiriku dalam posisi terlalu dekat; aku menyuruhnya untuk
menjauh. Dia mundur beberapa langkah, sementara matanya berkilat.
"Orang-orang ini bermaksud membunuh thakur di desa itu." Dia menunjuk ke arah
perbukitan. "Kami telah berhasil mencegah mereka melakukan rencana pembunuhan
itu. Tunjukkan senjatanya kepada Pangeran."
Tiga pedang berkarat jatuh ke tanah, diikuti sebilah belati.
"Mengapa mereka ingin membunuh thakur?"
"Siapa yang tahu mengapa rakyat jelata ini melakukan sesuatu?" dia bertanya
dengan penuh ketidakpercayaan.
"Aku bertanya kepadamu. Jawablah dengan cepat. Aku tidak akan memberi toleransi
terhadap kekasaran seorang mullah."
"Kemarahanku hanya memuncak," dia berbisik, menyadari bahwa hanya profesi
sucinya yang saat ini dapat mencegahnya menghadapi kematian.
"Ceritakan kepadaku," aku berkata kepada orang yang terikat. Matanya
mengingatkanku akan harimau yang terperangkap, penuh amarah tak tertahankan,
karena dia harus takluk oleh
kehidupan dengan begitu kejam.
"Yang Mulia, thakur itu adalah orang jahat. Dia telah membuat hidup kami
menderita .." "Itu bukan alasan untuk merencanakan pembunuhan."
"Tidak, Yang Mulia." Matanya berkilat dingin. "Thakur menginginkan istri saya
yang cantik. Dia membawa istriku dengan paksa, menahannya, menggunakannya, dan
saat dia sudah bosan, dia memberikan istriku kepada anak buahnya. Dia meninggal
karena kekejaman mereka."
"Mengapa kau tidak meminta keadilan?"
"Keadilan?" Suaranya terdengar pahit. "Thakur adalah seorang Muslim. Dia teman
Sadr dan Mir Bakshi. Aku beragama Hindu. Saat aku pergi meminta keadilan itu,
mereka justru berkata bahwa itu bukan urusan mereka. Apa yang bisa kulakukan"
Aku meratap, aku menangis, aku memohon. Mereka menertawakanku. Saat istriku
meninggal, aku mencari keadilanku sendiri. Lelaki ini adalah adikku, yang ini
Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepupuku. Kami memang pergi mengejar thakur, tetapi kami tertangkap. Kalau mau,
Yang Mulia boleh menghukum mati kami."
Saat harapan sudah hampir sirna, keberanian manusia akan semakin menonjol.
Tatapannya tidak goyah, dia tidak berkedip. Aku menghormatinya.
"Siapa namamu?"
"Arjun Lal. Adikku Prem Chand, dan sepupuku Ram Lal."
Aku menoleh kepada Sadr: "Apakah ini benar?" "Dia tidak datang kepada kami
karena istrinya. Dia cuma mengarang cerita saja."
"Tentu saja aku tahu dia berbohong. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang
Hindu?" Aku membelokkan kepala kudaku, seperti akan beranjak. "Siapa nama
istrinya?" "Lalitha." Tatapannya tiba-tiba melemah, tidak berdaya, penuh kepasrahan dan
kebencian karena sadar bahwa dia terjebak siasatku.
"Bebaskan mereka. Hukum mati sang thakur."
Burhanpur tidak berubah. Angkasa yang kejam, elang-elang, tumbuhan-tumbuhan yang
kering, semuanya sama. Istana masih menghadap ke arah bukit-bukit yang berwarna
keunguan, seakan-akan bangunan itu menampakkan perasaan merasa getir karena
selama bertahun-tahun terpaku menatap pemandangan yang tak pernah berubah.
Arjumand melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi, bayi kami meninggal
seminggu kemudian. Arjumand masih lemah dan kelelahan, Isa menjelaskan, meskipun
saat aku kembali dari pertempuran singkat melawan tikus-tikus Deccan itu,
Arjumand masih menunjukkan kegembiraan ketika aku mendekatinya. Dia hanya
Anak Harimau 6 Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat Kisah Si Bangau Putih 15