Pencarian

Pengabdian Dokter Perempuan 3

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 3


seorang berkebangsaan Lebanon-Palestina, yang pada saat itu bekerja untuk PRCS,
dan kami bertemu ketika ia menawarkan diri membantu para sukarelawan asing yang
selamat dari pembantaian untuk meninggalkan Beirut. Aku tidak ikut pergi, dan
kami lebih saling mengenal setelah rekan-rekan sejawatku pergi. Ia seorang yang
sangat berpendidikan, menguasai berbagai bahasa, penuh semangat, dan periang.
Aku pun jadi menyukai dan mengaguminya. Ialah yang membuatku tetap bersemangat
setelah peristiwa pembantaian itu, aku mendapat banyak kekuatan darinya. Ia
sering mengingatkanku untuk tidak lupa makan, bersikeras menyuruhku untuk tidak
lupa tidur, dan berusaha menenangkanku ketika amat tertekan.
Ia mengajakku menemui beberapa orang Palestina yang selamat dari pembantaian,
dan kami mencatat baik-baik pernyataan-pernyataan mereka. Aku tahu dokumentasi seperti
ini, meskipun amat kelam, sangatlah penting bagi sejarah bangsa Palestina. Laila
mencintai rakyatnya dan hal ini membuatku sangat tersentuh. Caranya melewatkan
waktu berjam-jam untuk mendengarkan keluh kesah mereka yang selamat, bahkan anak
kecil sekalipun, begitu menggugahku. Dia acap kali menangis ketika mendengar
hal-hal mengerikan yang menimpa mereka. "Tahukah Anda, pembantaian ini tidak
hanya merupakan sebuah pembunuhan besar-besar atas rakyatku," ujarnya padaku.
"Ini adalah pembasmian seluruh masyarakat kami. Keutuhan keluarga kami tercerai-
berai akibat proses evakuasi. Prasarana-prasarana yang memungkinkan rakyat kami
untuk betahan hidup juga hancur karena perang pabrik-pabrik, bengkel-bengkel,
lembaga-lembaga pelatihan, perusahaan-perusahaan dagang. Sudah teramat banyak
tenaga tercurah untuk membangun sarana-sarana ini supaya kami, rakyat Palestina,
dapat hidup normal seperti yang lainnya. Sekarang semua itu telah hancur, banyak
dari kami yang terpaksa kembali hidup sebagai pengungsi yang bergantung pada
bantuan asing. Apa yang harus dilakukan orang-orang yang selamat itu untuk
bertahan hidup?" Pemahamanku tentang kondisi Palestina sangatlah sedikit, dan
Laila dengan sabar menjelaskan kepadaku bahwa bangsa Palestina menderita tidak
hanya di Lebanon, tetapi juga di wilayah-wilayah yang diduduki Israel.
Bagiku, Laila, Hadla, Azzizah, Ummu Walid, dan
banyak pegawai PRCS lainnya adalah wanita-wanita yang sangat istimewa. Mereka
tidak hanya cakap dan berdedikasi, tetapi juga luar biasa rendah hati selalu
sabar dan mudah ditemui oleh orang-orang yang membutuhkan. Melihat mereka
bekerja adalah pengalaman yang sangat menarik. Pintu kantor mereka selalu
terbuka dan orang-orang berdatangan dan duduk di sekitar mereka. Setiap orang
akan bergantian menceritakan persoalannya dan meminta dicarikan jalan keluarnya,
dan pembicaraan itu berlangsung selama yang diinginkan orang-orang itu.
Kelincahan mereka dalam berganti-ganti menanggapi satu orang ke orang lainnya
tanpa menjadi bingung itulah yang membuatku kagum, karena banyak persoalan yang
diajukan itu benar-benar mengejutkan.
Pada sore hari ketika rumah sakit kembali dibuka, temanku Laila dan aku bertemu
dengan nenek Muna di sebuah toko kecil di kamp Shatila. Muna adalah seorang
bocah laki-laki berusia sebelas tahun, korban terakhir yang dirawat di Rumah
Sakit Gaza sebelum kami diciduk gerombolan pembunuh itu. Ia berbaring di bawah
tumpukan mayat dan berpura-pura mati. Dua puluh tujuh anggota keluarganya tewas.
Lukanya perlahan sembuh berkat perawatan, namun neneknya tidak.
Wanita berusia tujuh puluh tahun itu telah berjalan sejauh dua puluh kilometer
dari Lebanon Selatan ke kamp Shatila untuk mengunjungi anak-anak dan cucu-
cucunya. Ketika tiba, ia menemukan seluruh keluarganya tewas, kecuali suaminya
yang sudah renta dan si kecil Muna.
Putra sulungnya, Abu Zuhair, adalah seorang pejuang di Tel al-Zaatar. Tel al-
Zaatar adalah sebuah kamp pengungsi Palestina yang diserang dan diblokade selama
enam bulan pada 1976 sebelum akhirnya disetujui gencatan senjata yang
mengizinkan diungsikannya para penduduk sipil di kamp itu. Namun, selama
evakuasi berlangsung, sebanyak tiga ribu orang Palestina dibunuh. Hanya sedikit
pemberitaan internasional tentang pembantaian Tel al-Zaatar. Buldoser
berdatangan dan meratakan kamp tersebut beserta mayat-mayatnya. Jeruk limau
dipercikkan ke atas mayat-mayat tersebut, daging mereka terurai dan kamp Tel al-
Zaatar lenyap ditelan bumi.
Abu Zuhair selamat dari pembantaian itu, melarikan diri melalui pegunungan
menuju kamp Shatila. Nenek Muna, seorang hajah, dengan kepala terbalut sehelai
kain syal lebar Palestina berwarna putih, berbicara dengan air mata tergenang,
sementara Laila dan aku mendengarkan, "Kenapa kamu mati, Abu Zuhair" Apa gunanya
kamu bersusah payah datang kepadaku melintasi pegunungan dengan membawa sepucuk
Kalashnikov, jika akhirnya kamu dibantai bagaikan domba di kamp Shatila" Apa
lagi yang bisa kukatakan"
"Merpati-merpati kami masih di sini. Bunga anyelir menyebarkan semerbak
wanginya. Burung gereja menyanyikan lagu-lagu mereka sebagaimana biasanya. Tetap
saja Abu Zuhair tidak ditemukan.
"Beirut, kau rampas semua yang kumiliki. Kau
ambil kerlip terakhir yang kupunya dalam hidupku. Hatiku tergeletak mati di
jalanmu. "Abu Zuhair, pohon tinggi nan muda dicerabut dengan kejam dari akarnya di atas
tanahmu. Semoga darah yang mengucur dari mereka yang mati bercampur dengan
darahmu. Semoga ibunya merasakan kepedihan yang sama.
"Siapakah yang menggali kuburmu, Abu Zuhair" Siapakah yang membawa bencana ini
kepada kami" Apa yang bisa kukatakan demi mengenangmu"
"Hatiku penuh dengan celaan terhadap dunia yang tak berperasaan ini. Bahkan
seratus kapal, ataupun dua ratus ekor kuda jantan, takkan sanggup menanggung
pedih di hatiku ini. "Apa yang bisa kukatakan" 'Ibu,1 katamu padaku, 'ziarahilah kuburan kami dan
doakanlah mereka yang dikubur di dalamnya.1
"Aku pergi ke kuburan itu dan memeluk batu-batu nisan di sana dengan lemah
lembut. Kumohon kepadanya untuk memberi sedikit ruang bagimu agar kamu dapat
bernapas. Aku berkata, 'Tolong peluklah dengan hangat tubuh-tubuh mereka yang
kucintai di dalamnya, rawatlah mereka, kupercayakan mereka semua kepadamu.1
"Kuratapi keremajaanmu dan kuratapi semua gadis muda yang tak pernah sedetik pun
mengenal kebahagiaan atau kesenangan, mereka menyambut kehidupan dengan penuh
harapan dan angan-angan, dan berakhir diinjak-injak dan dikoyak-koyak keganasan.
"Oh Tuhan, aku tak sanggup meneruskannya.
Ialah yang tertampan dan terkuat di antara pemuda-pemuda. Ia selalu mendahulukan
jalan bagi yang lainnya, memudahkan langkah mereka.
"Tubuhmu yang muda bercampur dengan tanah terlalu cepat, matamu terisi pasir.
"Apa lagi yang dapat kuberikan untuk negeriku" Hatiku sudah penuh dengan
kesedihan dan celaan terhadap kehidupan.
"Betapa irinya aku kepada kalian yang masih hidup, sementara orang-orang yang
kucintai mati. Apakah mereka mati kehausan" Atau apakah kalian mempunyai belas
kasihan untuk memberi mereka minum"
"Kumohon kepada setiap burung yang lewat untuk mengantarkan kerinduan dan rasa
cintaku kepadamu, untuk kemudian kembali membawa berita tentang orang-orang yang
kucintai. "Anakku, tubuhmu bertaburan peluru. Siapakah yang mengirimmu kepadaku, sang
gagak pembawa kabar burukkah" Mengapa kau membebankan semua bencana ini
sekaligus padaku" Kurangkanlah sedikit, oh Tuhan. Tuhan tunggulah sampai
setidaknya setahun, lalu Kau boleh mewujudkan takdirnya.
"Kumohon pada kalian, para pembawa peti jenazah, bergeraklah perlahan. Janganlah
terburu-buru. Biarkanlah aku melihat orang-orang yang kucintai sekali lagi.
"Aku menuju kuburan dan berkeliling tanpa tujuan. Aku memanggil Abu Zuhair, lalu
aku memanggil Ummu Walid (adik perempuannya). Tak ada jawaban. Mereka tidak di
sana. Mereka mengikuti Ummu
Zuhair (istri Abu Zuhair) dan anak-anaknya. Mereka semua pergi pada suatu malam
purnama semua yang kucintai.
"Anakku, kamu tidak lagi berada di sisiku. Gunung-gunung itu kini memisahkan
kita. "Nabil (keponakan laki-laki Abu Zuhair) memanggil ibunya. 'Bu,1 katanya, 'kepada
siapa Ibu menitipkan aku"'
"Zahra menjawab, 'Kutinggalkan kamu dalam pengasuhan paman-pamanmu. Mereka akan
menceritakan kepadamu tentang aku dan membawamu ke kuburanku sehingga mataku
dapat menatapmu dan hatiku dapat meraihmu.' Namun, Abu Zuhair telah pergi dan ia
tak dapat membawa pesan Zahra.
"Zuhair (putra Abu Zuhair) bertanya kepada ayahnya, 'Kepada siapa Ayah
memercayakanku"' "Kakekmu akan datang untukmu. Kamulah yang melanjutkan hidupnya.
"Tapi apa yang ditinggalkan kehidupan untuk kami" Hati kami telah mati rasa. Air
mata kami telah mengering karena menangisi semua laki-laki dan perempuan yang
telah mati. "Ke mana aku dapat meminta tolong" Ke mana anak-anakku"
"Anakku, semoga Tuhan menunjukkan kepadamu jalan yang suci, dan semoga cinta dan
perhatianku menjadi penerang yang menemanimu menyusuri jalan itu.
"Tuhan Yang Maha besar, berikanlah aku kesabaran. Wahai pemuda, menjauhlah,
kalian membuka kembali lukaku dan aku menjadi sangat lelah.
Apa yang dapat kukatakan?"
Kata-kata sang Hajah, istri Yusuf Hassan Muhammad, menyebabkan teman
Palestinaku, Laila, menangis. Ia menjelaskan padaku kira-kira apa yang
dikatakannya. (Sepulang ke London, aku meminta kaset rekamanku diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris.) Banyak orang Barat yang mengira kehidupan di Timur Tengah
kurang bernilai, dan kita tidak bisa menerapkan standar hidup dan mati orang
Barat atas orang-orang Palestina. Aku benci orang-orang yang berkata demikian,
karena mereka tidak tahu apa-apa dan bersikap rasialis. Siapa pun yang
mengatakan orang-orang Palestina kebal rasa sakit adalah orang yang keji. Setiap
kali membaca terjemahan kata-kata sang Hajah untuk anak-anak dan cucu-cucunya,
aku menangis, tetapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku dapat merasakan
secuil pun penderitaannya.
Malam itu, aku meninggalkan kamp Shatila dan merasa sangat tertekan. Laila pergi
ke London keesokan harinya, dan dalam keputus asaan, aku menulis sebuah surat
terbuka, sebuah surat yang ingin menggugah kesadaran dunia. Pers Inggris mungkin
akan menolak untuk mempublikasikannya, tetapi setidaknya aku telah
menuliskannya. Apa lagi yang dapat kulakukan demi orang-orang di kamp"
SURAT TERBUKA 1 Oktober 1982
Nama saya dr. Swee Chai Ang (Nyonya Khoo). Saya adalah seorang dokter bedah
ortopedis wanita, anggota Asosiasi Dokter Inggris, dan anggota Royal College Surgeons di London,
dan menetap secara permanen di Britania Raya. Saya meninggalkan London pada 15
Agustus 1982 dalam rangka menjawab panggilan tugas menjadi dokter bedah
ortopedis di Beirut. Saya menulis surat ini kepada Anda dari Beirut Barat, dari Rumah Sakit Gaza,
rumah sakit bagi kamp Sabra dan Shatila. Saya adalah salah satu anggota tim
dokter asing yang bertugas saat terjadi pembantaian ribuan orang Lebanon dan
Palestina di kamp-kamp antara 15 hingga 18 September 1982.
Saya merawat beberapa korban, menyaksikan pengeboman dan penghancuran rumah-
rumah di kamp. Rumah-rumah itu ada/ah tempat tinggal orang-orang Palestina dan
Lebanon. Mereka yang mati memang sudah mati, dan tidak ada satu pun dari kami yang dapat
membuat mereka hidup kembali. Saya kini menyerukan kepada Anda atas nama mereka
yang selamat dari pembantaian kebanyakan wanita dan anak-anak kecil.
Banyak dari rumah mereka telah dibom, diledakkan, dilindas dengan buldoser, dan
dijarah. Tidak ada listrik dan terjadi kelangkaan air. Meskipun begitu, ribuan
orang telah kembali untuk hidup di antara tumpukan puing-puing ini, karena
mereka tidak punya tempat lagi selain di sana.
Musim dingin di Lebanon segera tiba, dan ribuan orang di sini tidak akan
mempunyai atap untuk melindungi tubuh mereka.
Selain itu, ada pula masalah mencari nafkah. Seiring banyaknya penduduk pria
berusia antara 15 hingga 60 tahun yang telah mati ditembak, ditahan, atau
dipaksa pergi dari rumah mereka, keluarga-keluarga tersebut kini kehilangan
pencari nafkah. Saya melihat banyak wanita dari kamp-kamp ini berkeliaran di jalanan untuk
mencari makanan bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Dalam kultur di tempat
ini, perbuatan itu adalah kehinaan terburuk bagi wanita-wanita ini terutama
ketika tubuh-tubuh suami mereka tengah membusuk di dalam puing-puing.
Sementara kedamaian kembali ke Beirut, klub-klub malam, bioskop-bioskop, rumah
bordil, dan taman-taman hiburan kembali dibuka. Perputaran uang dan bank kembali
berjalan. Namun, sekitar 250 ribu orang masih hidup dalam kesengsaraan dan
perasaan waswas. Mereka tidak punya hak, izin bekerja, maupun izin untuk hidup di reruntuhan dan
puing-puing ini. Reruntuhan serta puing-puing ini secara resmi dinyatakan ilegal
dan banyak penghuninya diminta segera pergi dari rumah mereka yang sebagian
telah hancur tanpa tahu harus pergi ke mana.
Sebagai seseorang yang berasal dari negara Dunia Ketiga, saya telah melihat
banyak kemiskinan dan penderitaan. Akan tetapi, ini adalah yang terburuk yang
pernah saya lihat. Mereka membutuhkan setiap bantuan dan dukungan yang dapat Anda berikan. Banyak
dari mereka yang secara mental telah siap menanggung kelaparan atau mati
kedinginan, namun mereka meminta saya untuk memohon kepada Anda agar menganggap
mereka sebagai manusia seperti diri Anda sendiri dan mereka berharap diakui
status mereka sebagai manusia.
Jika Anda masih mempunyai ruang di hati untuk orang-orang ini, tolong hubungi
mereka melalui saya di Rumah Sakit Gaza. Terima kasih.
dr. Swee Chai Ang, MBBS, M.Sc., FRCS Dokter Bedah Ortopedis
Rumah Sakit Gaza, kamp Sabra dan Shatila, Beirut Barat
Sama sekali tidak ada jawaban untuk suratku itu, meskipun Francis sudah berusaha
keras agar koran New Statesman di London mau memublikasikannya. Pers Inggris
tidak tertarik mempublikasikan surat tersebut karena "tidak ada nilai
pemberitaannya". Baik namaku yang terkesan asing maupun penderitaan orang-orang
yang selamat dari pembantaian di kamp, setelah dua minggu berlalunya peristiwa
itu tidak memiliki nilai jual. Di Beirut, kami terus melanjutkan kerja keras
kami. Pembantaian itu dan akibat-akibat yang ditimbulkannya menyebabkan aku sakit
lumayan parah. Kuperiksa suhu tubuhku, dan aku merasa sulit tidur. Sedikit demi
sedikit barulah aku bisa berjalan-jalan di sekitar kamp-kamp dan pukulan karena
menemukan kengerian demi kengerian membuat setiap langkahku terasa menyiksa.
Lantai demi lantai, Rumah Sakit Gaza mulai kembali berfungsi. Namun, Rumah Sakit
Gaza bukan hanya sebuah rumah sakit. Lantai-lantai teratas dihuni oleh keluarga-
keluarga yang tidak punya rumah lagi di kamp dan tidak tahu harus pergi ke mana
lagi. Mereka bukan para pasien rawat inap yang membutuhkan opname di rumah
sakit. Banyak dari mereka yang tetap berada di rumah sakit karena tidak memiliki
rumah ataupun sanak saudara. Pada zaman dahulu, sebuah rumah sakit juga
berfungsi sebagai tempat penampungan, dan Gaza menjalankan kedua fungsi itu
ketika kembali dibuka, tetapi para administrator Rumah Sakit Gaza asal Inggris
sama sekali tidak menyukai hal itu.
Suatu hari, seorang rekan menghampiriku dan berkata dengan nada sarkastis,
"Bisakah Anda mengusir beberapa dari para penghuni liar itu" Ini kan rumah sakit
dan kita di sini bukan untuk menyantuni penghuni-penghuni liar."
Kata-katanya membuatku kesal. Berani-beraninya ia menganggap orang-orang
Palestina itu penghuni liar, di dalam Rumah Sakit Gaza yang merupakan milik
mereka. "Kenapa tidak Anda saja yang melakukannya?" balasku. "Anda ditugaskan di sini
dan mendapat kehormatan memegang kendali lakukanlah! Secara pribadi, saya pikir
mereka semua punya alasan untuk berada di sini. Contohnya, Profesor Arnauti. Dia
berusia tujuh puluh dua tahun. Saya tahu, di Inggris Anda dapat menangani
seorang penderita bronkitis dengan rawat jalan. Tapi para pasien di Inggris kan
punya rumah. Rumah Arnauti dan keluarganya berada di Jerusalem. Kalau Anda dapat
mengusahakan kepulangannya ke Jerusalem untuk menjalani perawatan, maka
lakukanlah. Namun, sampai Anda dapat melakukannya, jangan pernah berani-berani
mengusirnya, dasar tidak tahu malu, sok kuasa!"
Rekanku terkejut menghadapi ketajaman lidahku, dan beredarlah komentar di
kalangan sukarelawan asing bahwa aku adalah orang yang gampang naik darah, dan
lain sebagainya. Memang begitulah diriku. Orang Palestina memang bisa diam saja
menghadapi perlakuan sewenang-wenang, tetapi tak ada alasan bagiku bersikap
demikian. Para administrator ekspatriat akhirnya mengerti bahwa aku bisa
bersikap sekeras laki-laki Inggris mana pun. Sejak saat itu, mereka tidak pernah
mengusik diriku. Tak ada kedamaian di kamp. Trauma akibat pembantaian masih terekam dengan jelas
dalam pikiran setiap orang dan mereka terus-menerus diusik oleh para tentara
itu. Rumah-rumah mereka digeledah, perkakas rumah tangga diubrak-abrik, dan para
penduduk dibawa ke pusat-pusat tahanan militer. Orang-orang menjadi putus asa.
Pada malam hari, tank-tank besar melintas dengan kecepatan tinggi di jalan-jalan
kamp yang sempit.

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada suatu malam, aku melihat salah satu dari tank-tank ini tiba-tiba berhenti
di depan sebuah ru mah yang sebagian telah hancur, dan tanpa mem berikan
peringatan terlebih dahulu, sebuah roket ditembakkan ke arahnya,
meluluhlantakkannya dalam sekejap menjadi tumpukan puing. Aku terus berjalan.
Ujung jalan utama kamp Shatila tampak sesak. Sepanjang hari, buldoser-buldoser
terus-menerus meratakan rumah-rumah itu dan merusak pipa-pipa air utama dan pipa
pembuangan kotoran dari kamp. Air minum tercemar oleh limbah kotoran, dan tempat
itu menjadi kotor dan berantakan.
Berbelok ke sebuah gang di kamp itu, aku berjalan menuju stadion olahraga.
Sebelumnya, aku merasa tidak sanggup mengunjungi kawasan ini. Pada saat matahari
terbenam, tempat itu tampak menyeramkan. Banyak orang yang telah dibunuh di
sini, banyak yang dikuburkan di sini, seakan-akan aku mendengar suara-suara
mereka bergema dengan lirih di tanah kosong ini. Tempat ini telah digempur tanpa
henti oleh pesawat-pesawat Israel ketika pertempuran berlangsung. Selama
pembantaian, tempat ini diduduki para tentara Israel, dan orang-orang di kamp
mengatakan kepadaku bahwa banyak pria, wanita, dan anak-anak diangkut dengan
menggunakan truk ke stadion ini oleh tentara-tentara itu, dan banyak dari mereka
yang "menghilang".
Pada 18 September, tanggal terjadinya pembantaian, di stadion itu ditemukan
mayat seorang bocah yang pernah kurawat. Bersama-sama dengan anak-anak kecil
lainnya, ia diledakkan dengan menggunakan granat tangan yang dilempar ke tengah
kerumunan. Di sekeliling stadion itu, aku dapat melihat banyak sekali pakaian,
kebanyakan pakaian wanita. Mereka yang selamat dengan marah menceritakan kepadaku bahwa banyak
wanita dipaksa bertelanjang bulat, lalu diperkosa para tentara itu sebelum
akhirnya dibunuh. Mereka mengatakan bahwa para tentara Israel menyaksikan
kejadian itu, tetapi tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Bahkan,
orang-orang Israel itulah yang membawa tentara-tentara ini menuju stadion.
Seorang warga Lebanon Kristen yang selamat dari pembantaian membawaku ke
rumahnya yang sebagian telah hancur, dan memberiku sebuah kesaksian yang direkam
dalam kaset. Ia tinggal dekat stadion itu, dan dari tempat persembunyiannya, ia
dapat melihat apa yang tengah terjadi. Ia merasa sangat geram karena ada manusia
yang tega berbuat seperti itu kepada sesamanya. Ia mengakhiri rekamannya seraya
berteriak, "Jangan sampai ada lagi! Bahkan seorang wanita tujuh puluh tahun pun
diperkosa secara brutal dan dibunuh!" Ia gemetar saking marahnya, dan istrinya
keluar untuk menenangkannya.
Kutinggalkan keduanya yang masih berdiri di atas reruntuhan rumahnya, lalu
bergegas menuju rumah sakit, kalau-kalau bantuanku dibutuhkan.
Sekembaliku ke ruang UGD Rumah Sakit Gaza, seorang pemuda dengan cemas menunggu
kedatanganku. Ia membawa istrinya. Ia menduga istrinya itu mengalami gangguan
mental yang parah. Dan ternyata memang benar, wanita itu mengalami kesulitan tidur selama sebulan terakhir setelah menyaksikan pembantaian itu. Ia
hanya makan sedikit, menangis setiap saat, dan menjerit-jerit pada malam hari. Aku tahu ia
membutuhkan seorang psikiater, tapi di sini tidak ada psikiater. Lantas
kukeluarkan setabung penuh cairan valium dan menyuntikkannya pada salah satu
pembuluh vena di lengannya. Aku menoleh ke arah suaminya dan berkata, "Ini akan
membuatnya tertidur selama dua jam. Gangguan mentalnya akan berkurang ketika ia
bangun nanti. Ini saya berikan beberapa obat penenang. Anda harus membujuknya
meminumnya sampai ia bisa menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak gila. Siapa pun
yang melihat apa yang telah terjadi memang akan menunjukkan reaksi yang sama."
Ia memapah wanita itu dan membawanya pulang ke kamp. Terlalu banyak kasus
seperti itu. Pada malam itu, aku mendengar pengumuman dari radio Arab bahwa Lebanon akan
tetap mengurus 50 ribu orang Palestina, mereka akan dipindahkan ke lembah
Beka'a. Akan tetapi, terdapat hampir setengah juta orang Palestina di Lebanon.
Ke mana sisanya akan pergi" Lamunanku dibuyarkan oleh bunyi guntur pertama yang
kudengar di Lebanon sebentar lagi hujan akan turun. Musim dingin yang keras di
Lebanon akan tiba dalam beberapa minggu. Di manakah orang-orang Palestina itu
akan melalui musim dingin kali ini"
Sementara guntur bergemuruh di kejauhan, kami mendengar suara mesin kendaraan
yang berhenti tepat di samping rumah sakit. Kendaraan itu adalah sebuah mobil
lapis baja, diikuti oleh sebuah jip militer. Seorang pria berseragam tentara,
kemungkinan seorang perwira, muncul. Dalam bahasa Arab yang nyaring, ia meminta
dokter. Enam orang bawahannya jatuh dari atap salah satu rumah di kamp itu
ketika sedang berusaha menangkap orang-orang Palestina. Aku bertanya kepadanya
apa ia berkebangsaan Lebanon. Betul, katanya, dan ia berasal dari Ba'albek.
Aku bergidik ngeri mendengar kata Ba'albek. Selama pembantaian, seorang korban
memberitahuku bahwa para tentara yang menyerbu rumah mereka bukan orang-orang
Israel, melainkan para pria bersenjata dengan aksen Ba'albek. Apakah orang-orang
ini adalah orang-orang yang sama" Para tentara ini bisa jadi ikut berperan dalam
pembantaian di kamp, dan mereka berada di garis belakang untuk melakukan
penangkapan dari rumah ke rumah. Setelah semua yang terjadi itu, kini mereka
memiliki keberanian untuk mendatangi rumah sakit Palestina dan meminta
perawatan. Aku benar-benar marah.
Ini saatnya untuk balas dendam, ujarku dalam hati. Kemudian, dengan suara
lantang kukatakan kepada mereka bahwa di sini tidak ada dokter. Mudah saja
bagiku membuat mereka percaya karena mereka menganggapku tidak lebih dari
seorang perawat Asia bertubuh kecil.
Tetapi, aku merasa seseorang menarik jubah putihku dengan pelan, ia Azzizah,
administrator rumah sakit. Ia ingin berbicara kepadaku berdua saja. "Kumohon,
Swee," katanya, "kamu harus merawat orang-orang ini. Aku tahu apa yang kamu
pikirkan. Tapi percayalah padaku, keluargaku telah cukup
banyak menderita dan aku memintamu untuk melakukannya, demi kita semua. Kami
dipaksa untuk meninggalkan Jerusalem, lalu terjadilah penyerangan itu, lalu
pembantaian semua kepedihan ini masih terasa, tetapi kita tak dapat menolak
memberikan bantuan medis kepada siapa pun. Kami adalah PRCS, Bulan Sabit Merah
Palestina, dan prinsip-prinsip yang kami pegang menuntut kami memberikan
perawatan medis kepada semua orang, bahkan kepada musuh-musuh kami."
Kutatap wajah gadis cantik campuran Lebanon-Palestina ini, tampak sedih dan
letih dengan segala penderitaan yang telah ia lalui, tetapi tetap bersikap
sangat baik. Ingatanku kembali pada masa sembilan tahun lalu, ketika aku
mengucapkan sumpah dokter saat kelulusan di Singapura, untuk merawat para pasien
tanpa memandang ras, warna kulit, maupun keturunan. Ya, ini adalah bagian dari
sumpah Hipokrates yang diucapkan semua dokter dengan sepenuh hati. Kami semua
dulu adalah mahasiswa kedokteran yang idealis. Azzizah telah mengingatkanku akan
dasar-dasar etika kedokteran. Jadi, aku kembali menemui para korban, meminta
maaf kepada si perwira Ba'albek itu, seraya mengatakan bahwa kesalahpahaman
timbul karena bahasa Arabku yang buruk, dan aku pun mulai merawat para
tentaranya. Luka-luka mereka untungnya ringan, namun bagaimanapun mereka
berterima kasih atas pertolongan medis yang kuberikan.
Waktu menunjukkan sekitar pukul tiga pagi ketika kami selesai membersihkan,
menjahit, dan membalut luka-luka mereka. Mereka diberi suntikan antitetanus dan
antibiotik pencegah kuman. Akhirnya, kami menjadi cukup akrab, dan aku bahkan
menasihati si perwira bahwa anak buahnya bekerja terlalu berat selama berjam-
jam. Ia mengatakan kepadaku bahwa mereka digaji sangat rendah dan bekerja untuk
waktu yang lama, jauh dari keluarga mereka di Ba'albek. Katanya, mungkin
kecelakaan ini bisa menjadi alasan yang bagus baginya untuk memulangkan sebentar
beberapa orang dari mereka.
Ketika mobil-mobil lapis baja itu akan meninggalkan Rumah Sakit Gaza, para
tentara itu menunjukkan kepadaku foto-foto keluarga mereka dan mengundangku
untuk mengunjungi desa mereka di Ba'albek, yang menurut mereka adalah tempat
yang paling indah di Lebanon. Kecelakaan semacam ini memang mendorong orang
untuk saling memahami satu sama lain.
Semua pasien masih terjaga. Mereka tadi melihat dua mobil lapis baja itu, dan
ketika aku menuju lantai bagian ruang bedah, mereka bertanya apa yang diinginkan
orang-orang itu di rumah sakit. Mereka menjamuku dengan bercangkir-cangkir teh
Arab. Aku akrab dengan para pasienku, dan aku merasa bahagia bersama mereka.
Namun, malam itu, aku juga merasa sangat sedih karena baru saja mendengar bahwa
kontrakku dengan agen sukarelawan tidak akan diperbarui. Aku diminta oleh orang-
orang Lebanon yang menjadi sponsorku untuk meninggalkan negeri itu.
Mereka mengatakan "tidak ada permintaan
untuk dokter bedah ortopedis", tetapi kupikir "hukum permintaan dan penawaran"
semacam itu tidak berlaku dalam situasi kami. Aku menjalankan Departemen
Ortopedis Rumah Sakit Gaza dan merupakan satu-satunya dokter di kamp yang
memegang English Surgical Fellowship. Terdapat daftar yang luar biasa panjangnya
dari korban perang yang cacat badan dan menunggu giliran dibedah agar dapat
tegak kembali. Aku menatap para pasienku, mereka yang terinfeksi, dengan luka
fraktura yang belum dijahit sambil menunggu operasi, mereka dengan luka-luka
lebar yang basah menunggu pengeringan dan pencangkokan kulit atau penambalan,
mereka yang terkena serpihan bom dan peluru yang harus dikeluarkan dari badan
mereka, para wanita yang panggulnya retak atau patah dan membutuhkan pemasangan
tulang panggul palsu. Aku tahu bahwa Abu Ali, pengawas bangsal operasi berkebangsaan Palestina, selama
beberapa hari yang lalu telah mempertaruhkan hidupnya dengan menyeberangi pos-
pos penjagaan militer untuk mendapatkan alat-alat bedah ortopedis yang lebih
baik. Ia melakukannya supaya dapat melengkapi bangsal operasinya sehingga mampu
melakukan bedah rekonstruktif yang sulit. Setiap pria dewasa Palestina berusia
antara empat belas hingga enam puluh tahun bisa saja ditahan di pos penjagaan
tersebut karena dicurigai sebagai "teroris", dan bergabung dengan orang-orang
yang "menghilang". Abu Ali telah memberitahuku bahwa bangsal operasi akan siap
digunakan untuk operasi bedah ortopedis
pada akhir pekan depan, sehingga kami dapat benar-benar menangani luka-luka
perang yang telah berumur cukup lama, beberapa di antaranya sekitar lima bulan.
Sekarang, aku diberi tahu bahwa atasanku ingin agar aku segera pergi. Aku bahkan
tidak ingin memberi tahu kabar buruk ini kepada para staf rumah sakit dan
pasien-pasienku. Mereka telah cukup menderita, dan aku hanya akan membuat mereka
bertambah sedih jika aku memberi tahu bahwa kepergianku itu karena alasan "tidak
ada permintaan untuk seorang dokter bedah ortopedis" yang tidak masuk akal.
Dengan mudah aku dapat menebak alasan sebenarnya pencabutan diriku itu. Tentunya
itu tidak ada kaitannya dengan PRCS. Tidak perlu diragukan lagi, rekan-rekanku
sesama sukarelawan asing itulah yang mengadu bahwa aku telah bersikap kasar dan
jahat kepada mereka, dan bahwa aku telah membuat mereka berada dalam bahaya
karena terang-terangan bersikap anti-Israel. Mungkin pula mereka telah menolak
bekerja denganku. Sementara orang-orang bergembira, aku pun berusaha ikut bergembira. Para wanita
membuat teh, anak-anak duduk berkeliling, dan radio memainkan musik Arab
sementara kami mengobrol dan tertawa. Untuk sementara, kami berhasil tidak
memikirkan kebobrokan dunia nyata. Pada pukul empat pagi di Rumah Sakit Gaza,
kami merasa bahagia. Pagi berikutnya, dr. Amir, seorang dokter berkebangsaan Lebanon, melakukan semua
tugas operasi. Aku menatap melalui kaca jendela bangsal
operasi dan menyaksikan si dokter muda yang antusias itu bekerja, dan merasa
bangga terhadapnya. Di bawah, di Departemen Korban Perang, seorang dokter
Palestina merawat semua luka fraktura dan menjahit luka-luka, dan para petugas
jaga pagi berkeliling serta memberikan perintah kepada para perawat. Mungkin
keputusan sponsor-sponsorku itu cukup beralasan. Mungkin memang waktunya bagiku
untuk pergi. Aku meminta izin cuti sehari kepada rekan-rekanku orang Lebanon dan
Palestina untuk mengunjungi Lebanon Selatan, dan dengan senang hati mereka
melepasku pergi.[] Sembilan Ini adalah kunjungan pertamaku ke Lebanon Selatan. Aku meninggalkan kamp
tersebut bersama Ellen Siegel, seorang perawat perempuan yang menjadi sangat
dekat denganku selama dan sesudah peristiwa pembantaian. Ia berdarah campuran
Amerika-Yahudi dan datang ke sini untuk bertugas dan menjadi teman bagi orang-
orang Palestina dan Lebanon. Katanya, "Kami, warga Amerika, bukan hanya bisa
mengirim 'hadiah' pecahan bom kepada orang-orang di Lebanon." Kemudian, secara
sukarela, ia mempraktikkan keterampilannya sebagai perawat untuk membantu orang-
orang di Lebanon. Sebagai seorang Yahudi, ia merasa sangat peduli terhadap nasib
rakyat Palestina, orang-orang yang menurutnya telah dianiaya secara keji oleh
bangsa Yahudi, bangsanya sendiri.
Ellen benar-benar lincah dan bersemangat. Ia mengenakan kacamata besar dan
berwarna, di balik kacamata itu tampak matanya yang hijau dan bulu matanya yang
lentik. Rambutnya berwarna gelap dengan keriting-keriting yang besar dan halus.
Ia berbicara lambat, dengan aksen Amerika yang kental. Dengan tubuhnya yang
tinggi langsing, Ellen tampak bagaikan seorang wanita Amerika kulit putih kelas
menengah yang kita lihat di film-film. Segala hal pada diri Ellen begitu cantik,
gerakannya sangat anggun, dan tutur katanya lembut serta feminin. Ia juga adalah salah seorang
wanita paling berani yang pernah kutemui. Selama hidupnya, ia harus berjuang
keras melawan rasialisme anti-Arab di Amerika, dan ia juga harus menghadapi
serangan-serangan orang-orang Yahudi Amerika yang berseberangan dengannya karena
penentangannya terhadap Israel dan dukungannya kepada rakyat Palestina.
Kagum akan diri Ellen, aku menanyakan usianya. Ia memberitahuku bahwa usianya
empat puluh tahun. "Aku tidak memercayainya, Ellen," kataku. "Kamu terlihat
seperti di akhir usia dua puluhan."
"Oh," jawabnya, "itu pasti karena aku mencurahkan seluruh hidupku untuk bekerja
demi rakyat Palestina, aku lupa bahwa aku tumbuh dewasa. Kamu baru saja
memulainya, Swee. Ini adalah perjuangan yang panjang, sangat panjang. Suatu
hari, kamu juga akan berusia empat puluh tahun dan kamu merasa sama sekali belum
berusia empat puluh, karena banyak hal yang harus dilakukan, dan kamu merasa
seakan-akan kamu baru saja memulainya." (Ellen memang benar. Ketika berusia
empat puluh, aku melewatkan enam tahun hidupku mendukung perjuangan orang-orang
Palestina. Aku memang masih merasa bahwa aku baru saja mulai.)
Setelah meninggalkan kamp, kami pergi ke Kola, sebuah jembatan dekat Arabic
University. Di samping jembatan ini terdapat sebuah terminal tak resmi yang di
sana kita bisa mendapatkan sebuah taksi "layanan" untuk pergi ke selatan. Taksi-
taksi itu berupa mobil Mercedes yang dapat memuat hingga lima orang penumpang, yang
mengantarkan kita ke tempat-tempat yang biasa dituju. Ongkos perjalanannya
dibagi berlima sehingga cukup murah bagi para penumpang untuk bepergian. Tidak
ada bus maupun kereta di Beirut. Orang-orang yang sangat kaya memiliki mobil
pribadi, mereka naik mobil pribadi atau berkeliling dengan taksi sedangkan kami
hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan "layanan" tersebut.
Saida dan Sour adalah kota-kota di Lebanon Selatan, dahulu kala kota-kota itu
bernama Sidon dan Tyre. "Saida! Saida!" teriak sekumpulan sopir taksi, sementara yang lainnya, merasa
tidak mau kalah, juga berteriak, "Sour! Sour!", bahkan lebih kencang. Tempat itu
lebih terdengar seperti pasar ikan yang terletak di tengah pusat keramaian.
Sopir taksi kami, setelah dua puluh menit berteriak-teriak, mendapatkan lima
orang penumpang. Di jok belakang ada Ellen, aku, dan seorang wanita, kami tidak
bertanya apakah ia orang Lebanon atau Palestina, karena pada masa itu kebanyakan
orang Palestina tidak mau mengaku sebagai orang Palestina. Ia berusia paruh
baya, mengenakan syal yang menutupi rambutnya, dan tubuhnya yang berlemak
terbungkus rapi oleh berlapis-lapis baju. Wataknya periang, bersahabat, dan
menyenangkan. Ia membawa sebuah sangkar besi berisi dua ekor ayam betina putih
yang berkotek-kotek ramai. Di jok depan terdapat dua orang pria yang mulai
mengobrol dengan si sopir begitu mereka memasuki mobil, seolah-olah mereka adalah kawan
lama. Mereka membicarakan berbagai hal, mulai dari keluarga mereka hingga
politik internasional dan lokal, tentang Ayatullah Khomeini, masa depan Lebanon,
Margaret Thatcher, orang-orang Palestina, dan banyak lagi. Benar-benar
pembicaraan yang berat, pikirku.
Lalu lintas di jalan raya Saida sangat buruk. Kami merambat di tengah-tengah
antrean panjang mobil dalam lalu lintas yang luar biasa macetnya. Alasan
terjadinya kemacetan ini" Pos-pos pemeriksaan yang menyebalkan itu. Pertama,
kami distop seperti orang-orang lainnya di pos pemeriksaan "resmi" AB (Angkatan
Bersenjata) Lebanon. Di sana kami harus menunjukkan surat-surat kami, bagasi
mobil pun dibuka dan diperiksa. Lalu, kami distop di pos pemeriksaan suku
Kata'eb milisi Kristen Lebanon yang dijadikan kambing hitam oleh tentara Israel
atas pembantaian di Sabra dan Shatila. Kemudian, kami distop di pos pemeriksaan
suku Haddad orang-orang Kristen Lebanon yang bekerja untuk Israel. Mereka
terutama berasal dari Lebanon Selatan dan lebih dikenal sebagai Tentara Lebanon
Selatan (South Lebanese Army). Lalu, kami distop lagi di pos pemeriksaan AB
Israel, dan masih ada lagi pos pemeriksaan AB Israel, dan lagi, dan lagi.
Sopir kami memaki-maki dan menyumpah serapah di setiap pos pemeriksaan. Tidak,
ini tidak sepenuhnya benar. Setiap kali mendekati sebuah pos pemeriksaan, ia
akan disuruh berhenti oleh para tentara bersenjatakan senapan M16 dan tank-tank.
Ia menyapa mereka dalam bahasa Arab, "Semoga Tuhan menyertai kalian."
Setelah kami melewati pos pemeriksaan, ia akan mulai menyumpah dan mengutuk,
"Jahanam, bangsat!" dan melontarkan serentetan sumpah serapah dalam bahasa Arab


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melebihi batas kesopanan sehingga tidak dapat kuterjemahkan.
Kemacetan itu memberi kesempatan kepada kami untuk memandangi kedua tepian jalan
raya. Di satu tepian jalan, kami melihat sebuah pemandangan yang porak-poranda,
barak-barak tentara, tank-tank besar dan truk-truk bersenjata, sebuah desa yang
hancur dibom, buldoser-buldoser raksasa dengan tulisan-tulisan Ibrani di atasnya
jenis yang sama kami lihat pada 18 September melindas rumah-rumah di kamp dan
mengubur mayat-mayat di bawah puing-puing kamp Shatila.
Di tepian jalan yang lain, terdapat sebentang pantai berpasir yang berdampingan
dengan laut. Di sana terlihat orang-orang yang sedang memancing, dan bahkan di
beberapa area tertentu berjemur! Lebanon ternyata adalah sebuah tempat yang
penuh kejutan! Taksi itu membawa kami ke Kota Saida, dan dengan membayar lagi tiga lira
Lebanon, si sopir mengantarkan kami menuju sebuah kamp pengungsi Palestina yang
bernama Ain al-Halwah, tepat di pinggiran kota. Ain al-Halwah 'mata' atau
'pemandangan yang indah' dalam bahasa Arab adalah tempat tinggal tujuh puluh
ribu orang Palestina sebelum penyerbuan Israel. Ketika berjalan memasuki kamp
itu, Ellen dan aku disambut oleh pemandangan berupa sebuah area yang hangus,
dengan dinding-dinding batu bata yang berdiri setinggi tak lebih dari tiga atau
empat kaki, tak ada pohon, rumah, toko, atau bahkan bangunan yang setengah
hancur bekas dibom. Di salah satu sudut kamp itu ada sederet gubuk yang masih
baru dibangun, terbuat dari seng yang penyok. Di dalamnya terdapat beberapa
keluarga Palestina yang kembali ke kamp.
Kami mengucapkan "Halo" kepada anak-anak itu. Mereka memiliki senyum yang sama
seperti anak-anak di Sabra dan Shatila. Aku tahu anak-anak ini akan menorehkan
bab berikutnya dari sejarah Palestina, dan sebagaimana anak-anak yang berada di
utara, mereka tidak takut.
Kamp-kamp lainnya di dekat Saida juga tampak menyedihkan, dengan buldoser-
buldoser yang sedang membersihkan sisa-sisa puing, dan keluarga-keluarga
Palestina yang menyaksikan sisa-sisa terakhir dari puing rumah mereka tengah
diangkut. Hari menjelang malam, dan kami harus segera kembali ke bagian utara Beirut. Di
Saida, kami mengunjungi dua tempat yang menarik. Yang pertama adalah sebuah
benteng, kubu pertahanan yang dibangun menghadap Laut Tengah sewaktu Perang
Salib. Benteng itu dekat dengan pelabuhan yang masih ramai dengan orang-orang
hilir mudik, selain kapal-kapal perang Israel, tidak ada lagi kapal lainnya.
Benteng itu kini diduduki oleh tentara-tentara Israel dan Haddad. Beberapa orang
wanita dan anak-anak berkumpul di sekelilingnya. Para wanita
itu menanyakan sanak saudara mereka yang hilang, dan anak-anak terlihat seperti
para yatim piatu yang mencari-cari "sosok seorang ayah", ingin menyentuh senjata
dan helm para tentara itu. Sangat mungkin bahwa beberapa dari anak-anak itu
menjadi yatim piatu gara-gara mereka.
Dengan adanya rambu-rambu jalan berbahasa Ibrani yang baru dicat, pos-pos
pemeriksaan tentara Israel dan Haddad, dan para tentara yang berjaga-jaga di
berbagai persimpangan jalan, semakin jelas bahwa daerah selatan memang di bawah
pendudukan. Dan situasi itu akan terus bertahan untuk waktu yang lama.
Tempat lainnya yang kukunjungi bersama Ellen adalah Masjid Saida. Ini adalah
pertama kalinya dalam enam tahun belakangan ini aku berada di dalam sebuah
masjid, yang terakhir kalinya adalah di Masjid Negara Malaysia. Masjid Saida
jauh lebih kecil daripada Masjid Negara Malaysia, tetapi sama-sama cantiknya.
Suasananya yang tenang, dengan mo-zaik-mozaik yang simetris dan geometri yang
sempurna mencerminkan suatu dunia yang berbeda surga Tuhan. Kebudayaan Islam
mungkin saja menawan, sempurna, dan indah, tapi semua yang berada di
sekelilingku adalah dunia nyata yang menjadi tempat tinggal umat Islam, dunia
yang miskin, penuh penderitaan, peperangan neraka dunia.
Setelah mengunjungi Masjid Saida, tiba saatnya bagi kami untuk pulang ke utara.
Ellen dan aku sama-sama kelelahan ketika tiba di Beirut, dan memutuskan untuk
kembali ke Mayfair Recidence di
Hamra alih-alih ke kamp Sabra, karena kami selama beberapa hari belakangan ini
belum sempat tidur maupun mandi.[]
Sepuluh Dasanya senang bisa kembali ke apartemen. Mayfair Residence adalah sebuah
bangunan apartemen yang cantik, berisi flat-flat studio lengkap dengan
perabotnya. Setiap apartemen berisi ruang tamu merangkap ruang tidur, kamar
mandi, dapur kecil, dan sebuah balkon kecil yang menghadap ke Kota Hamra yang
indah. Dari atas balkon ini, aku pernah sekali memotret dua buah tank besar yang
memblokade jalan dan sebuah truk yang menurunkan para tentara yang memasuki
rumah-rumah untuk menangkap para penghuninya. Kebanyakan dari mereka yang
ditahan adalah laki-laki Palestina berusia sekitar empat belas hingga enam puluh
tahun, namun sejumlah besar warga Lebanon juga ikut ditangkap.
Suatu hari, terjadi kegemparan di loket resepsi di salah satu blok flat
tersebut. Ben Alofs, seorang sukarelawan dari Belanda yang kami juluki "Big
Ben", mencengkeram leher pemilik flat tersebut sambil berteriak, "Bajingan, kamu
bekerja sama dengan mereka!" dan mengguncang-guncangnya seolah-olah ia anak
kecil. Ben selalu berbicara dengan lembut dan sopan, dan pernah mengikuti
pendidikan untuk menjadi pendeta. Aneh juga melihatnya marah begitu. Alasannya
sederhana si pemilik tersebut atas keputusannya sendiri telah mengkhianati
sebuah keluarga Palestina yang tinggal di flat tersebut dan menyerahkannya
kepada para tentara. Namun, meskipun si pemilik itu telah bersedia bekerja sama,
flat-flat itu tetap saja digeledah.
Orang-orang Palestina dan teman-teman Lebanon mereka diburu layaknya hewan.
Mereka yang cukup beruntung untuk selamat dari hukuman dan dibebaskan, membawa
bekas luka yang mengerikan, beberapa dari mereka menjadi pincang akibat
dipukuli. Akan tetapi, orang-orang itu lebih beruntung daripada mereka yang
lenyap begitu saja tanpa jejak.
Teman satu apartemenku di Mayfair Residence adalah seorang perawat muda yang
cantik dari New Jersey. Kami menjulukinya "Mary Elizabeth Taylor" karena
wajahnya yang rupawan dan punya banyak penggemar. Mary tidak hanya cantik,
tetapi juga ramah dan terlalu murah hati. Ia tiba dengan para wanita Amerika
lainnya tak lama setelah aku tiba di Beirut, dengan membawa bertas-tas penuh
makanan, obat-obatan, sabun cuci, batu baterai, dan barang-barang keperluan
lainnya yang kemudian ia bagi-bagi kepada siapa pun yang membutuhkannya.
Sebagaimana layaknya para sukarelawan medis Amerika, Mary datang ke Lebanon
untuk menolong orang-orang di sana, dan secara pribadi untuk melawan kebijakan
bantuan perang yang diberikan Amerika di Lebanon. Katanya padaku, "Jika
pemerintah kami tidak mengirimkan bom-bom itu, Lebanon tidak akan menjadi
seperti ini." Walaupun ingin bekerja dengan kami di kamp-kamp pengungsi Palestina, Mary
diperintahkan oleh para administrator perawat Inggris untuk bekerja purnawaktu
di American University Hospital. Di antara para sukarelawan Inggris itu terdapat
sentimen kuat anti-Amerika, beberapa dari mereka menyalahkan semua orang Amerika
atas bencana yang terjadi di Lebanon ini. Para perawat dan dokter Amerika yang
secara sukarela menangani para korban perang Lebanon menjadi target kebencian
dari beberapa sukarelawan Inggris yang tidak membedakan antara kebijakan luar
negeri yang agresif dari pemerintah Amerika dan para warga Amerika yang bersusah
payah datang ke sini untuk mendukung orang-orang yang disakiti oleh pemerintah
mereka sendiri. "Karena kalianlah, orang-orang Amerika, yang telah menyebabkan ini semua," kata
mereka kepada Mary, "lebih baik kamu menjauh dari kami dan lakukan tugas-tugasmu
di American University Hospital."
Mary menentang aturan itu dengan cara bekerja selama empat puluh jam penuh
seminggu di American University Hospital, lalu bekerja tiga puluh jam lagi di
bangsal-bangsal operasi di Rumah Sakit Gaza. Ia membantu Abu Ali membetulkan
kembali bangsal-bangsal operasi dan memilah-milah alat-alat bedah.
Suamiku, Francis, dan aku punya teori yang sederhana sebagai berikut, orang-
orang yang murah hati memiliki golongan darah O. Mary cocok dengan teori kami,
ia punya golongan darah O. Golongan darahnya itu membuatnya dapat mendonorkan
darahnya kepada siapa saja. Sayangnya, tidak seorang pun diizinkan mendonorkan
darahnya lebih dari sekali dalam tiga bulan. Mary berbohong, dan aku merasa
ngeri melihatnya mendonorkan darahnya dua kali sehari. Ketika aku menyampaikan
keberatan akan tindakannya itu, ia hanya menjawab, "Jangan khawatir, Swee. Kakek
moyangku berasal dari Irlandia. Kami semua kuda pekerja yang tangguh. Lihat, aku
sangat kuat, kan seekor kuda pekerja yang sangat tangguh!"
Itulah ciri khas Mary, aku tidak dapat melukiskannya dalam kata-kata kebahagiaan
yang diberikan Mary kepada kami semua karena kemurahan hatinya dan wataknya yang
ramah. Ketika Ellen Siegel dan aku kembali dari Saida malam itu, Mary sudah pulang, dan
ia telah mencuci dan memutihkan semua baju kerjaku. Ia juga telah memasakkan
makan malam untuk kami. "Dengar ya, tidak baik pulang terlambat," kata Mary,
"kentang-kentangnya sudah pada berminyak dan lembek!"
Sewaktu kami duduk dan melahap kentang masakan Mary yang sudah berminyak dan
lembek itu, ada panggilan telepon untuk Nona Ellen Siegel. Panggilan itu
memintanya untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kahan Israel.
Hanya Ellen satu-satunya yang bersemangat untuk memberikan kesaksian di hadapan
Komisi Kahan. Aku menolaknya karena menurutku itu termasuk salah satu "rekayasa
Israel" dan aku sama sekali tak mau mempertimbangkannya. Aku tahu sedang terjadi
sebuah demonstrasi besar-besaran
di Tel Aviv. Sebanyak empat ratus ribu warga Israel memprotes penyerangan ke
Lebanon dan pembantaian di kamp-kamp pengungsi. Sejumlah besar tentara Israel
telah dipenjara karena menolak ikut serta dalam penyerangan tersebut. Aku juga
tahu tentang pembentukan Komisi Penyelidik oleh Israel, namun komisi penyelidik
itu tengah didirikan di seluruh dunia, setahuku ada lima.
Aku telah melihat lebih dari cukup kematian dan kehancuran yang ditimpakan
Israel kepada rakyat di Lebanon. "Mereka tak punya hak untuk membentuk komisi
apa pun," sahutku pada Ellen ketika ia telah selesai berbicara di telepon.
Akan tetapi, Ellen tampak sangat serius dengan hal itu. "Kita semua harus pergi
ke Jerusalem," ujarnya padaku, "dan memberi kesaksian di hadapan orang-orang
Israel. Kita mesti membuat mereka mengetahui tanggung jawab Israel atas semua
ini." Ia menunjukkan padaku kesaksiannya sendiri, yang baru saja ia tulis, dan
berencana memberikannya kepada seorang teman yang bekerja sebagai wartawan dan
akan pergi ke Jerusalem untuk mendapatkan beberapa kesaksian sebagai bukti untuk
dipertimbangkan oleh Komisi Kahan.
"Kamu mau ikut denganku, Swee?" tanyanya. "Akan menyenangkan jika kamu juga ikut
karena kamu seperti bayi yang baru lahir untuk semua urusan ini. Kamu belum
dipengaruhi oleh pendapat-pendapat benar-salah dalam hal-hal Timur Tengah.
Kesaksianmu akan sangat penting untuk komisi itu. Seperti kita juga seharusnya
memburu para pen - jahat perang Nazi, kita juga harus memberi sedikit kejelasan tentang apa yang
telah terjadi di Sabra dan Shatila. Jika kamu bersedia ikut, mungkin yang
lainnya, seperti Paul, Louise, dan Ben, juga akan ikut." Ellen benar-benar
persuasif, tapi aku memintanya memberiku waktu untuk mempertimbangkannya.
Malam itu, aku terjaga di tempat tidur dan merenung. Aku harus berhati-hati
untuk tidak mencampurbaurkan antara negara Israel yang agresif dan menyulut
peperangan ini yang penyerangannya ke Lebanon telah menyebabkan ratusan ribu
orang kehilangan tempat tinggal dan hidup merana dan empat ratus ribu orang
Israel yang berdemonstrasi di Tel Aviv menuntut diakhirinya perang. Komisi Kahan
tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk di bawah tekanan. Sudah banyak
terjadi pembantaian orang-orang Palestina sejak berdirinya negara Israel Deir
Vassin hingga Tel al-Zaatar, Yordania hingga Lebanon, Lebanon Selatan hingga
Beirut. Ini adalah pertama kalinya Israel membentuk penyelidikan semacam ini.
Aku memikirkan keadaan orang-orang di kamp yang selamat dari penyerbuan dan
pembantaian dan kini hidup dalam kesengsaraan. Aku juga memikirkan mayat-mayat
yang tertimbun di bawah puing-puing dan di kuburan-kuburan massal. Aku
memikirkan betapa susah payahnya aku mendapatkan fakta-fakta tentang pembantaian
tersebut, dan betapa banyak reporter Barat yang tidak ingin mendengarnya. Hanya
karena aku adalah seorang
wanita kulit berwarna dan berasal dari negara Dunia Ketiga mereka bahkan tidak
mau mewawancaraiku. Aku juga memikirkan orang Inggris yang mengepalai tim
sukarelawan kami, yang telah berusaha memblokir pernyataanku tentang pembantaian
yang kukirim melalui mesin teleks. Ia dan sukarelawan lainnya dengan jelas
mengungkapkan pendapat mereka bahwa petugas medis seharusnya hanya menjalankan
tugas mereka dan tidak usah banyak omong, menyerukan pendapat seperti yang
kulakukan berarti melakukan sesuatu di luar peranku "yang semestinya". Lebih
jauh lagi, aku semestinya tidak mengungkapkan pernyataan anti-Israel apa pun.
Aku mengingat kembali betapa inginnya mereka membuatku diam. Aku telah
mengatakan kepada mereka bahwa alangkah lebih baik jika pembantaian itu tidak
terjadi, karena dengan begitu, aku tidak akan mengungkapkan pernyataan apa pun
yang menyerang para pembunuh itu! Untuk pertama kalinya, aku bisa sedikit
memahami perasaan para korban Palestina itu. Berkali-kali mereka dilukai, dan
pernyataan-pernyataan yang menyuarakan nasib mereka terus dibungkam.
Akhirnya, aku membuat satu keputusan. Politik Israel bisa jadi sangat rumit dan
ruwet, Komisi Kahan mungkin memiliki motif tersendiri. Pada akhirnya, semua itu
tidak jadi masalah, asalkan kesaksianku dapat memberiku kesempatan untuk
membeberkan kondisi orang-orang di kamp kepada siapa pun yang mau mendengarnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kuberitahu -
kan kepada Ellen keputusanku untuk ikut bersamanya. Ia merasa sangat senang.
Kemudian, kami pergi menemui tiga orang anggota tim asing lainnya dr. Paul
Morris, Louise Norman, dan "Big Ben" si perawat asal Belanda. Ellen menjelaskan
kepada mereka persis seperti yang telah ia jelaskan kepadaku, dan mereka juga
setuju untuk ikut bersama kami. Norman adalah perawat Swedia yang ditinggal di
ruang ICU Rumah Sakit Gaza setelah dua puluh orang dari kami diperintahkan
keluar pada pagi hari tanggal 18 September. Kami menulis semua pernyataan kami
dan memberikannya kepada Ellen untuk dikirim ke Komisi melalui teman
wartawannya. Dua hari berikutnya, Komisi Kahan menghubungi Ellen. Mereka mengiriminya sebuah
pesan teleks melalui Palang Merah Internasional yang memberitahukan bahwa mereka
telah menerima kesaksiannya, serta nama-nama para dokter dan perawat di Rumah
Sakit Gaza yang ikut memberikan pernyataan, dan telah memerintahkan Menteri
Pertahanan Israel, Ariel Sharon, dan Angkatan Bersenjata Israel, untuk menemui
dan mengawal kami ke hadapan Komisi.
Aku merasa sangat senang, aku tak sabar menunggu orang-orang yang berusaha
mencegahku mengirim pernyataan melalui teleks mendengar kabar ini!
Di Rumah Sakit Gaza keesokan harinya, aku memberitahukan semuanya kepada PRCS.
Aku memberi tahu Azzizah bahwa kontrakku tidak akan diperbarui. Yang lebih
penting lagi, aku memberitahukan kepadanya keputusanku untuk memberikan
kesaksian di Israel. Hari-hariku di Rumah Sakit Gaza tinggal sedikit lagi,
tetapi aku meminta Azzizah untuk tidak memberitahukan hal ini kepada para pasien
karena aku tidak tega mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Aku tetap
melanjutkan tugas jagaku seperti biasa, sambil sesekali berhenti untuk berfoto
bersama para pasienku. Bocah laki-laki yang menderita disentri-tifus kini keadaannya jauh lebih baik.
Beberapa hari sebelumnya, ia menderita penyakit melaena pendarahan usus. Ia
membutuhkan transfusi darah berkali-kali, tetapi persediaan darah menipis.
Seorang perawat pria Palestina yang merawatnya menghampiriku pada suatu sore dan
memberitahuku bahwa rumah sakit kehabisan persediaan darah. Jika hal itu
terjadi, biasanya kami pergi ke Pasukan Perdamaian Multinasional dan meminta
donor darah. Jadi, kami menuju barak Prancis untuk menanyakan perwira yang berwenang jika ada
anak buahnya yang bergolongan darah O positif yang mau menyumbangkan darahnya.
Sayangnya, semua bawahannya ternyata telah mendonorkan darah untuk sebuah rumah
sakit lain sehari sebelumnya, sehingga mereka tidak dapat membantu. Lalu, ia
tiba-tiba teringat akan pasukan Italia, mereka baru saja melintas di jalanan dan
mungkin dapat membantu kami. Ia memerintahkan salah seorang tentaranya untuk
membawa kami ke barak Italia, dan mengajariku bahasa Italia untuk mengatakan,
"Kami membutuhkan golongan darah O positif.
Sampai di barak Italia, aku agak kesulitan menyampaikan maksudku kepada sang
pemimpin pasukan. Namun, dengan segera aku mengetahui bahwa ia sangat khawatir
mengutus anak buahnya ke kamp pengungsi Palestina, meskipun hanya untuk
menyumbangkan darah. Mungkin dalam pikirannya ia takut kalau-kalau darah anak
buahnya itu malah akan membantu para teroris. Setelah aku bujuk sebisaku, ia
akhirnya setuju. Tiga orang tentara Italia dengan golongan darah O positif
dikawal dengan tiga buah mobil bersenjata akhirnya tiba di Rumah Sakit Gaza pada
pukul lima pagi. Aku lagi-lagi teringat akan anggapan dunia bahwa orang-orang
Palestina adalah teroris. Mungkin ini adalah pertama kalinya orang-orang Italia
itu mengunjungi sebuah kamp pengungsi Palestina.
Di dalam rumah sakit, aku memutuskan membawa para tentara Italia itu untuk
melihat pasien cilik kami, yang saat itu keadaannya benar-benar parah. Para
tentara itu kemudian merasa malu karena menyangka akan menemukan seorang teroris
yang terluka. Mereka memberikan darah mereka, lalu pergi. Beberapa hari setelah
itu, mereka kembali ke rumah sakit untuk mengunjungi pasien itu dan
membawakannya bunga serta beberapa bingkisan kecil. Salah seorang dari mereka


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan akhirnya berteman dekat dengan anak itu. Ia bahkan berpotret bersama anak
itu dan ayahnya, dan aku dengan senang hati menjadi sang fotografer.
Lalu, aku menemui Profesor Arnauti yang renta di tempat tidurnya. Ia adalah
"pemukim liar" dari Jerusalem yang pernah hendak diusir oleh rekanku dari
Inggris. Arnauti telah dua kali kehilangan tempat tinggalnya, pertama, ketika ia
dipaksa meninggalkan Jerusalem, kedua, ketika rumahnya di Beirut dibom oleh
tentara Israel. Kami menyebutnya Socrates, dan ia adalah salah seorang yang
paling bijak yang pernah kutemui. Ia mampu berbicara banyak bahasa dan memiliki
wawasan politik yang sangat luas. Sekarang ia adalah seorang pria renta dan
tidak punya keinginan untuk pergi ke mana pun kecuali kembali ke tempat
kelahirannya. Namun, ia khawatir akan mati di pengasingan, di dalam salah satu
rumah sakit milik PRCS di Beirut. Ia fasih berbicara bahasa Inggris dengan aksen
Oxford. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada profesor itu, tetapi
kemudian aku mengurungkannya. Aku hanya berucap dalam hati semoga ia selamat dan
berharap agar ia dapat mengunjungi tanah tercintanya, Jerusalem, sebelum
meninggal. Lalu, ada anak-anak laki-laki, Milad, Muna, dan Essau. Ada pula anak-anak
perempuan di ruangan sebelah yang lebih kecil, Laila, Fatimah, dan saudari-
saudari mereka, serta para pria dan wanita yang terluka dan menunggu giliran
operasi minggu depan. Sungguh berat membayangkan meninggalkan mereka.
Aku membawa surat imbauan yang kurencanakan untuk kukirim kepada presiden
Lebanon. Surat itu ditandatangani lebih dari dua puluh orang petugas paramedis
asing, yang semuanya menaruh perhatian pada penderitaan rakyat akibat perang
dan mereka yang ditahan tanpa alasan. Namun, surat itu tak pernah terkirim
karena kami menyadari bahwa hal ini akan membahayakan PRCS, dan kebanyakan orang
yang menandatangani surat ini bekerja pada PRCS. Ini bukan waktunya bersikap
provokatif. [] Sebelas Umat Islam menjalani masa berkabung selama empat puluh hari setelah kematian
seseorang, dan 26 Oktober adalah hari ke-40 setelah pembantaian di Beirut. Ellen
menyarankan agar kami, para petugas medis asing, berkumpul di luar Rumah Sakit
Gaza dan bersama-sama meletakkan karangan bunga di kuburan massal. Kami
mengundang pers untuk meliput peristiwa ini, seraya berharap hal ini akan
menarik perhatian orang-orang kepada kamp pengungsi. Karangan bunga telah dibeli
dan pers pun tiba, tetapi prosesi tersebut dibatalkan. Pemerintah Lebanon sedang
berada di bawah tekanan pemerintah Israel untuk menutup PRCS. Sebuah prosesi
yang menyebabkan timbulnya perhatian kepada kamp dan pembantaian itu hanya akan
memicu reaksi dan menjadi dalih untuk menutup PRCS. Prosesi dibatalkan, dan kami
terpaksa meminta maaf kepada pers. Beberapa dari kami berjalan dengan perlahan
ke kuburan massal untuk mengenang para korban.
Orang-orang di kamp sudah terlebih dahulu menuju kuburan massal dan di atas
sebuah gundukan besar tanah tergeletak sekumpulan karangan bunga dan bendera-
bendera hitam. Banyak dari rumah di Shatila telah habis dilindas buldoser, dan
kamp itu menjadi seperti lapangan sepak bola tanpa rumput, tentunya. Aku berbicara dengan
sekelompok janda. Salah seorang dari mereka memberitahuku bahwa mereka melihat
seekor merpati putih terbang pada waktu fajar dari kuburan massal tersebut.
Menurut mereka, itu adalah pertanda bahwa arwah anak-anak dan suami yang mereka
cintai telah menemukan kedamaian. Kebetulan hari itu juga adalah hari ulang
tahunku hari ulang tahun yang diliputi kesedihan. Walaupun langit tampak biru
cerah dan sinar matahari terasa hangat dan bersahabat, itu semua tak dapat
mengurangi kepedihan hati kami. Selain itu, kegagalan kami memperingati hari
berkabung ini membuat kesedihan kami bertambah dalam.
Ellen dan aku kembali ke rumah sakit tepat pada waktunya untuk mencegah
persiapan pesta perpisahan. Pihak rumah sakit ingin membelikan permen dan kue
untuk pesta perpisahan. "Itu semua tidak perlu tidak ada perpisahan. Kami hanya akan berjalan-jalan ke
Jerusalem, dan kalian tunggu saja kami di sini, kami akan kembali kepada
kalian," jelas kami kepada teman-teman di PRCS.
Pada saat bersamaan, sekerumunan kecil orang telah berkumpul di luar Rumah Sakit
Gaza. Orang-orang di kamp telah mendengar bahwa para dokter dan perawat dari
Rumah Sakit Gaza akan pergi ke Jerusalem untuk memberikan kesaksian. Mereka
merasa tergetar, dan banyak dari mereka mulai membicarakan Jerusalem dan
Palestina. "Bu Dokter,
sampaikan salam kami kepada Akka, kepada Haifa," kata mereka, "dan sampaikan
cium kami kepada Jerusalem. Semoga Tuhan melindungi kalian!"
Sepanjang sejarah, banyak orang telah menguasai tanah Jerusalem. Raja David
merampasnya dari penduduk asli, kemudian pasukan Romawi mengambilnya dan
menjarahnya, lalu datanglah pasukan Islam Turki 'Utsmani, dan kemudian Inggris,
serta psukan Zionis. Banyak yang bisa mengklaim Jerusalem atas dasar alasan
keagamaan atau sebagai bagian dari Kekaisaran.
Akan tetapi, bagi orang-orang Palestina penghuni kamp ini, Jerusalem adalah
rumah mereka. Mereka ingin sekali berada di Jerusalem untuk menyambut kedatangan
kami, di pengasingan ini mereka tak dapat menunjukkan sepenuhnya keramahtamahan
khas Arab kepada kami. Mungkin suatu hari, mereka akan kembali ke rumah orangtua
mereka, menunggu untuk menyambut teman-teman mereka dari luar negeri.
Ellen telah mengepak tas-tas bawaannya. Kami bersiap untuk pergi. Kami
mengucapkan selamat tinggal kepada para staf rumah sakit, Hadla, Ummu Walid, dan
Azzizah ketiga wanita yang bersama-sama mengurus Rumah Sakit Gaza pada masa-masa
tersulit dan kepada orang-orang lainnya yang telah berjuang dan tetap tegar
meskipun mengalami tekanan, baik secara fisik maupun mental. Ketika Azzizah
mengucapkan selamat tinggal dan kemudian menghilang dari pandanganku, air mataku
berlinang dan aku merasa goyah. "Swee, kamu tidak boleh
rapuh," bisik sebuah suara di telingaku. "Kamu takkan bisa melakukan apa pun
untuk menolong orang-orang ini jika kamu rapuh seperti ini." Itu suara Ellen.
Aku menguatkan diriku, lalu kami meninggalkan apartemen Hamra.
Ketika kemudian kami kembali ke Hamra, hal pertama yang kudengar adalah seorang
dokter asal Inggris dengan riang mengumumkan bahwa aku telah dipesankan tiket
pesawat ke London pada 30 Oktober. Para kolega ekspatriatku itu pasti sangat
senang dengan kepergianku!
Selama dua hari berikutnya, jauh dari kamp Sabra dan Shatila, aku mencicipi
suasana Beirut dalam kedamaian. Pada suatu siang, aku berjalan menuju flat
ibunda Ama di Hamra tatkala seorang pria tiba-tiba terburu-buru menghampiriku.
Dengan pemahaman bahasa Arabku yang terbatas, aku menduga bahwa ia ingin aku
mengikutinya. Setiap kali seseorang memintaku untuk mengikutinya, itu selalu
untuk mengunjungi seorang pasien yang keadaannya parah, sehingga aku mengira
pria itu punya anggota keluarga yang sedang sakit parah. Tetapi ketika ia mulai
meraih lenganku, menawariku 100, 200, 300, 400, dan akhirnya 500 lira, dan mulai
berbicara tentang "servis" satu jam, setengah jam, dan seterusnya, aku tersadar
bahwa ia menyangkaku seorang wanita penghibur. Transaksi ini terhenti seketika
begitu kutunjukkan kartu identitas dokterku. Dengan sangat malu ia segera
menghilang ke dalam gang.
Ama berlari ke arahku. Ia menyaksikan seluruh
kejadian ini dari kejauhan dan menjadi khawatir. Namun, aku meyakinkannya bahwa
aku sudah "besar", dan segalanya dapat kubereskan dengan baik. Ia membawaku ke
apartemen ibunya dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Ini adalah perkenalan
pertamaku dengan situasi sosial yang suram dari Kota Beirut.
Ama adalah kawan Misha, dan Misha adalah kawan Paul, dan melalui hubungan itulah
kami akhirnya saling mengenal. Ibunda Ama telah menjadi teman sekaligus
mentorku. Sebagaimana halnya ibu-ibu Palestina di Beirut, ia sangat
mengkhawatirkan dua putranya yang berusia remaja. Mereka berusia di atas empat
belas tahun, dan di Beirut, pria Palestina yang berusia empat belas hingga enam
puluh tahun rentan terhadap penangkapan dan pemeriksaan. Sehingga, ibunda Ama
sama sekali tidak bisa merasa tenang. Suaminya, untungnya, telah melarikan diri
pada waktu yang tepat. Selama masa pendudukan Israel di Beirut Barat, kompleks
apartemen mereka sering digeledah, tetapi anak-anaknya berhasil bersembunyi
selama masa-masa penyerangan tersebut. Memiliki sebuah flat mewah di ujung
kawasan distrik Hamra yang mahal tidak membuat mereka terhindar dari penindasan.
Ibunda Ama adalah tambang emas sejarah Palestina bagiku. Aku benar-benar melahap
segala yang dikatakannya tentang Palestina. Kami sering menghabiskan waktu
berjam-jam membahas liputan koran-koran mengenai peristiwa terakhir, dan aku
terus-menerus bertanya kepadanya. Ayah Ama
adalah seorang intelektual Palestina kelas atas dan seorang pemikir politik, dan
sayangnya aku tak sempat bertemu dengannya. Namun, ibunda Ama sudah cukup
buatku. Ia adalah seorang wanita aristokrat Suriah berdarah Palestina, pandai
bicara, dan tak pernah berhenti membordir meskipun sedang menganalisis beberapa
rencana perdamaian internasional untukku, dan memperkirakan masa depan
Palestina. Sebagaimana wanita-wanita Palestina lainnya di kamp, ia tengah
membordir sehelai kain lebar bergambar peta Palestina yang ia ingat semasa
kecilnya. "Awalnya, beberapa tahun yang lalu, orang-orang Palestina di Yordania
ditempatkan di tenda-tenda," jelasnya. "Lantas sebuah dinding muncul di sekitar
tenda. Sebuah atap dibangun di atasnya. Sebatang tanaman hijau muncul. Lalu
lebih banyak lagi tanaman hijau. Lalu, suara ayam-ayam, kambing dan dalam waktu
singkat, kamp tersebut menjadi sebuah desa, dengan sekolah-sekolah, toko-toko,
dan seterusnya." Ia berhenti sesaat, lalu melanjutkan, "Kami membuat kesalahan
dari waktu ke waktu. Setiap kali terjadi kesalahan, rakyat kami membayarnya
dengan mahal. Mungkin rakyat Palestina butuh satu atau dua generasi lagi untuk
mengubah kamp-kamp menjadi desa, namun itu akan terjadi lagi."
"Siapakah orang Palestina itu?" tanyanya. "Kami berada di mana-mana. Israel
takkan bisa melenyapkan kami, tidak seorang pun bisa. Setiap generasi lebih kuat
daripada generasi sebelumnya. Kami
belajar sungguh-sungguh belajar. Belajar dari kesalahan, belajar dari kekuatan.
Tujuannya untuk menang, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, namun pada
saatnya nanti." Ibunda Ama telah mempersiapkan berdus-dus buku yang siap dikirimkan ke Suriah,
tempat yang aman dari serangan Israel. Baginya, buku-buku ini lebih penting
daripada emas dan perhiasan. "Buku-buku ini adalah rekaman tertulis tentang
perjuangan Palestina," ujarnya. Aku benar-benar mengingat saat-saat berharga
bersama ibunda Ama, dan apartemennya menjadi rumah kedua buatku.
Rumah ketigaku adalah kantor Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia (World Students'
Christian Federation WSCF). Francis, suamiku, adalah seorang pendukung setia
Pergerakan Mahasiswa Kristen (Student Christian Movement SCM) Singapura, cabang
dari WSCF. SCM cabang Singapura terancam dibubarkan pemerintah Singapura karena
selalu mendukung perjuangan hak-hak orang-orang yang terintimidasi. Dibandingkan
dengan banyak organisasi kaya di Eropa, kantor WSCF di Beirut lebih sederhana,
miskin, dengan fasilitas seadanya, tetapi pintunya terbuka bagi orang-orang
buangan sepertiku. Yusef Hajjar, yang menjalankan kantor tersebut, selalu
membuatkan kopi Arab. Kemudian, ia serta rekannya, Jacqueline, akan mendengarkan
semua keluh kesahku dengan sabar meskipun mereka mungkin tidak percaya dengan
segala yang kukatakan. Aku turun tangan membantu para juru tik dan tukang
fotokopi mereka membuat salinan
surat-surat terbuka dan berbagai kesaksian tentang orang-orang Palestina.
Di kantor itulah aku bertemu Janet Stevens, wartawati Amerika yang beberapa
tahun kemudian terbunuh dalam sebuah serangan bom di Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Beirut. Setelah meninggal, Janet selalu digambarkan sebagai "seorang
wanita Amerika yang menawan" oleh pers Timur Tengah. Aku ingat membaca
liputannya tentang penyerbuan tersebut, sebagai seorang wartawan, tulisannya
tidak kenal kompromi, dan aku menghormatinya. Ia seorang teman sejati dan
pemberani bagi masyarakat Lebanon dan Palestina. Masa-masa itu sangatlah sulit,
dan kantor Yusef mungkin juga diawasi.
Situasi itu benar-benar mengingatkanku akan kantor SCM di Singapura, tempat
Francis dan aku menghabiskan waktu berjam-jam mengetik dan mengopi pernyataan
dan tulisan tentang kelompok-kelompok tertindas. Yusef selalu berkata begini,
"Ketika krisis berlangsung dan kehidupan menjadi sulit, umat Kristiani akan
menjadi satu-satunya pihak yang melanjutkan perjuangan."
Aku selalu membalas dengan sarkastis, "Hanya segelintir umat Kristiani,
maksudmu." Pada 28 Oktober 1982, dua hari setelah kami meninggalkan Rumah Sakit Gaza, Ellen
Siegel diminta menghubungi juru bicara Departemen Luar Negeri Israel, Isaac
Leor. Ia meminta kami pergi ke Ba'abda di Beirut Timur, tempat ia ditugaskan.
Kami dijadwalkan menghadap Komisi Kahan pada 1 November. Waktunya bagiku untuk
memberi tahu para sponsorku tentang rencanaku ini.[]
Dua Belas Ketua organisasi yang mensponsori kedatanganku ke Lebanon adalah seorang pria
Kristen Lebanon yang kaya, ia menikah dengan seorang wanita Amerika. Biasanya
aku merasa tak perlu mengganggunya, tetapi ia memintaku menemuinya setelah
mendengar bahwa aku hendak memberikan kesaksian di hadapan orang-orang Israel.
Aku duduk dan menunggu di luar kantornya sementara ia sedang rapat dengan
beberapa orang diplomat. Beberapa saat kemudian, sepasang pejabat penting keluar
dari kantornya. Ketika mereka telah pergi, sekretarisnya memberitahuku bahwa aku
boleh masuk dan berbicara dengannya.
Duduk di dalam ruang kantornya yang ber-pendingin dan berperabot mewah, ia
memalingkan wajahnya dari hadapanku ketika aku masuk. Ia memutar-mutar kursinya,
memberi isyarat kepadaku untuk duduk, dan melirik ke arahku dengan sudut
matanya. "Kenapa Anda selalu memberi saya masalah?" tanyanya dengan wajah muram.
"Masalah apa?" aku balas bertanya."Vaa .... ," katanya, "pertama tentang pesan
teleks Anda. Itu sudah cukup buruk. Lalu Anda mengupayakan agar majalah-majalah
dan koran-koran Timur Tengah memuat pernyataan Anda. Demi keselamatan Anda
sendiri, saya sarankan agar Anda segera pergi, dan
jika Anda menganggap bahwa kami ingin mengusir Anda, sebenarnya bukan kami
bermaksud demikian. Sekarang, saya dengar Anda hendak pergi ke Israel. Saya
harap Anda menyadari bahwa Israel dan Lebanon masih berperang, dan kepergian
Anda ke Israel untuk berpartisipasi dalam komisi penyelidikan semacam ini akan
membawa akibat politis."
Seraya mencerna apa yang dikatakannya, aku tersadar bahwa ucapannya memang
benar. Tetapi aku tetap kukuh dan menolak mendengarkan alasan-alasannya.
Sebaliknya, aku bersikeras bahwa aku harus pergi. Kami mencapai jalan buntu, dan
ucapannya semakin bernada mengancam. Ia memperingatkanku akan kontrakku dengan
organisasi sosial di Inggris yang mengutusku. Aku bukan seorang agen independen
yang bebas untuk membuat publisitas. Organisasi sosialku di Inggris bisa jadi
akan mengambil tindakan hukum terhadapku karena melanggar kontrak. Barulah saat
itu aku mengerti bahwa ia pasti berada di bawah tekanan dari luar, dan pasti
akulah yang menjadi penyebabnya.
Untuk membebaskannya dari tanggung jawab, aku menawarkan untuk mengundurkan
diri. Sehingga, aku dapat pergi ke Jerusalem sebagai individu yang bebas, tidak
terkait dengan organisasinya. Ia menerima usulku ini, tetapi memperingatkanku
bahwa jika aku melakukannya, aku akan mendapat kesulitan untuk kembali bekerja
di Lebanon. Sebab, untuk melanjutkan pekerjaanku membantu orang-orang Palestina,
aku harus tergabung dalam sebuah organisasi Lebanon. Ia mencoba membujukku bahwa
lebih masuk akal jika aku tetap tutup mulut dan menjadi "semata-mata ahli bedah"
bagi rakyat Palestina. Apalagi, ia memperingatkanku bahwa aku hanyalah seorang
pengungsi dan tidak punya negara, jika aku membuat terlalu banyak publisitas
yang tidak menyenangkan, pemerintah Inggris bahkan mungkin tidak akan
mengizinkanku kembali ke Inggris, dan itu berarti aku benar-benar berada dalam
masalah. Tapi tak ada gunanya, aku telah memutuskan untuk pergi, dan itulah yang
kuinginkan. Mengenai argumen bahwa para pekerja sosial harus bersikap netral, aku bahkan
tidak peduli. Aku ingat sebuah puisi Pastor Niemoller yang pernah dibacakan
Francis untukku. Puisi itu tentang sikap tidak berani berbicara. Pasukan Nazi
menyerang kaum komunis, Yahudi, serikat-serikat dagang, dan orang-orang cacat
dan tak seorang pun yang berani berbicara. Ketika Nazi menyerang yang lainnya,
tidak ada lagi orang yang tersisa untuk berbicara mewakili mereka, karena semua
orang sudah mati terbunuh.
Aku harus menyuarakan kebenaran selagi masih hidup dan masih punya suara. Ben
dan Louise, yang juga disponsori oleh organisasi yang sama, tidak diizinkan
memberikan kesaksian. Akhirnya hanya ada Ellen, Paul Morris, dan aku sendiri.
Paul dan Ellen tidak bekerja untuk organisasi yang sama denganku sehingga tidak
mendapat tekanan yang sama.
Kembali ke Mayfair Residence, aku menulis kepada sponsorku, pertama-tama untuk
menyatakan secara resmi pengunduran diriku dan kedua,
untuk mengatakan kepadanya bahwa aku harus menyuarakan nasib rakyat Sabra dan
Shatila. Jika karena itu aku harus keluar dari Lebanon dan rencana masa depanku
sendiri akan terancam, maka ya sudahlah. Aku juga berterima kasih pada
organisasiku karena telah menjadi tuan rumah yang baik, kenyataannya memang
mereka telah bersikap sangat baik kepada para sukarelawan. Aku meminta maaf
karena telah membuat mereka kesal dengan bertindak menentang pendapat mereka.
Pada sore itu, beberapa sukarelawan medis asal Inggris dan Eropa datang
menemuiku di Mayfair. Aku tak tahu apakah mereka bertindak atas perintah suatu
pihak atau karena kecewa terhadapku, tetapi apa pun alasannya, mereka menuduhku


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membahayakan keselamatan mereka dengan memberikan kesaksian di Jerusalem.
"Sadarkah kamu bahwa dengan berbicara terang-terangan seperti ini, kami semua
akan terkena dampaknya?" salah seorang dari mereka bertanya.
"Kamu membahayakan nyawa setiap orang," sahut yang lainnya, "dan semua kerja
keras yang telah kita lakukan dengan baik di sini. Jika kamu bersikap terang-
terangan anti-Israel dan seluruh tempat ini diledakkan dengan bom seberat lima
ratus kilogram, kamulah yang pertama-tama harus bertanggung jawab."
Surat kaleng dan tekanan dari rekan-rekan satu timku itulah yang bagiku terasa
paling berat. Pada akhirnya, Mary turun tangan. Ia memindahkanku ke bawah ke
apartemen seorang temannya,
Jill Drew. Lantas ia menempelkan sebuah pengumuman besar di pintu apartemen
kami, yang bertuliskan, "Dr. Swee telah keluar dari Mayfair. Dia tidak lagi di
sini." Meskipun tetap berada di Beirut, aku setengah bersembunyi dari rekan-rekanku,
dan Jill menjagaku. Apa aku benar-benar membahayakan keselamatan seluruh tim, sebagaimana yang
dinyatakan oleh beberapa orang" Aku harus merenungkannya. Aku sudah mengundurkan
diri. Aku juga secara resmi telah meninggalkan Mayfair. Aku melakukan ini
berdasarkan keyakinanku sendiri dan keinginanku untuk berbicara bagi orang-orang
di kamp, untuk meminjamkan suaraku bagi mereka.
Para kolega Eropa yang paling keras memprotesku tidak pernah sekali pun
mengunjungi kamp-kamp tersebut. Aku teringat akan perkataan temanku, Laila orang
yang membawaku menemui Hajah, istri Yusuf Hassan Muhammad, di kamp Shatila.
"Swee," katanya, "aku benar-benar minta maaf karena mengatakan ini, tapi
beberapa rekan asingmu itu menganggap kunjungan ke sini adalah piknik, padahal
orang-orang kami menderita dan sekarat."
Memang santer terdengar kabar di Beirut bahwa beberapa sukarelawan asal Inggris
bersikap sangat tidak sensitif dengan menggelar pesta disko saat pemberitaan
tentang pembantaian itu tersebar. Aku sungguh merasa tersinggung karena kelakuan
mereka itu. Jill, Mary, Charlotte, dan perawat-perawat Amerika lainnya berperan
penting dalam meyakinkanku bahwa pendapatku itu benar. Aku tak
dapat mengerti mengapa para sukarelawan Inggris itu membenciku karena memutuskan
untuk pergi, sedangkan para sukarelawan Amerika mendukungku.
Pada akhirnya, aku memutuskan bahwa jika seorang Palestina dari Sabra dan
Shatila merasa keberatan dengan kepergianku, aku akan membatalkannya.
Untuk membuatku senang, Jill Drew membuat sebuah lelucon. Sementara kami
mendengarkan dari pesawat telepon lainnya, ia memutar nomor telepon Isaac Leor.
Akhirnya, seorang tentara Israel mengangkatnya. Jill menirukan aksen Arab dan
menanyakan Isaac. Ketika si tentara itu mengatakan bahwa Isaac tidak ada, Jill berkata, "Tolong
sampaikan padanya untuk menelepon Jamilah. Ia tahu nomorku. Kami akan berkencan,
dan aku menunggunya."
Jamilah adalah nama Arab yang lazim diberikan untuk para gadis yang berarti
'cantik1. Kami semua meledak tertawa sambil membayangkan wajah Isaac Leor yang
memerah karena sangat malu telah menerima pesan seperti itu. Memang kejam, tapi
cara itu sangat ampuh untuk menenangkan diriku.
Malam itu, kami makan malam di tempat Jill Drew dan menyanyikan lagu-lagu
Kristiani. Kami bernyanyi, "Ketika aku membutuhkan seorang teman, apakah kamu di
sana" Ketika aku kelaparan dan kehausan, apakah kamu di sana?" Kami kembali
membaca cerita tentang orang Samaria yang baik, dan mengingatkan kami akan
pentingnya memperbarui komitmen kami dalam beragama. Aku juga
diam-diam memohon maaf kepada Tuhan seandainya aku telah keliru membuat pilihan
karena memutuskan memberikan kesaksian, seandainya memang aku telah bersikap
keras kepala dan menolak untuk mendengarkan nasihat. Terkadang memang sulit
untuk mengetahui apa yang seharusnya kita lakukan. []
BAGIAN KETIGA Dari Jerusalem ke Inggris
1982 -1984 Tiga Belas Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ellen dan aku berangkat. Para perawat Amerika
mampir untuk mengucapkan selamat tinggal, begitu pula Big Ben dan Louise hanya
begitu saja. Kami tidak mengadakan pesta perpisahan yang meriah yang biasanya
dilakukan orang-orang asing jika sebuah tim akan pergi. Dr. Paul Morris menunggu
kami di luar Mayfair. Ia menolak datang ke Residence karena tak mau berurusan
dengan para sukarelawan asing yang tinggal di situ. Lalu, Jill memutuskan ikut
bersama kami sejauh ia bisa.
Kami berempat mencegat taksi dan meminta sopir untuk mengantarkan kami ke
Ba'abda, Beirut Timur. Kami menemukan kantor Kementerian Luar Negeri Israel di
samping sebuah supermarket besar. Dengan membawa semua barang kami, kami
berjalan menuju kantor yang dipenuhi tentara Israel yang berseragam lengkap.
Kedatangan kami menimbulkan keingintahuan mereka karena kami datang dari kamp
pengungsi Palestina. Jill harus meninggalkan kami. Aku merasa sedih harus berpisah dengannya. Ia
memutuskan pulang dari Beirut Timur dengan berjalan kaki dan menuju kamp untuk
memberi tahu orang-orang di kamp bahwa kami telah sampai dengan selamat.
Kekhawatiran terbesarnya adalah bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa kami
selama perjalanan dari Beirut Barat menuju kantor Israel, karena perjalanan itu
melalui jalan raya tak bertuan. Seseorang bisa saja melempar bom kepada kami dan
membunuh kami semua, dan dengan demikian melenyapkan para saksi dari kamp.
Kemudian, mereka bahkan bisa menyalahkan orang-orang Palestina atas peristiwa
itu. Untunglah hal itu tidak terjadi. Mungkin kami bukan orang-orang yang
terlalu penting. Setelah tiba di kantor itu, apa pun yang menimpa kami jelas
menjadi tanggung jawab orang-orang Israel.
Kantor kementerian Israel adalah sebuah bangunan besar dan terang yang
mengingatkanku pada aula sebuah sekolah di Singapura. Lantai bawahnya tidak
banyak dipenuhi perabotan, tetapi di lantai atas terdapat banyak perabotan
mewah. Pilihan warnanya tidak menarik dan mengesankan. Meja-mejanya terbuat dari
logam dan dicat biru keabu-abuan. Di seluruh aula lantai bawah terdapat tumpukan
besar selebaran stensilan.
Terdapat sebuah papan tulis yang masih dipenuhi coret-coretan kapur. Jelas baru
saja diadakan ceramah di sini. Sepintas kulihat tulisan di papan tulis dan di
berkas-berkas catatan berisi mengenai "efektivitas biaya" penyerangan Israel.
Terdapat angka-angka bantuan perang Amerika yang menghabiskan biaya hingga
miliaran dolar Amerika antara 1948 hingga 1982, dan efisiensi uang yang telah
dikeluarkan. Betapa menjijikkannya memikirkan penderitaan yang dialami orang-
orang Palestina dan Lebanon akibat "efektivitas biaya" semacam ini! Isaac Leor mengenalkan kami
kepada Avi dan Egal, dua orang perwira Pasukan Pertahanan Israel yang akan
mengawal kami ke Israel. Ia memperingatkan kami untuk menyatakan hal yang
sebenarnya, tetapi aku mengatakan bahwa itulah alasanku pergi ke Jerusalem. Kami
kemudian dibawa ke sebuah mobil van biru Volkswagen yang khusus disewa untuk
acara-acara tertentu sehingga kami tidak akan bepergian dengan menggunakan jip
militerbiasa. Di dalamnya sudah ada tiga orang tentara Israel. Keamanan kami
terjamin dengan adanya dua buah mobil baja Israel, lengkap dengan tentaranya,
yang melaju di depan dan di belakang kami.
Kami menuju selatan, di atas jalan raya yang pernah kami gunakan beberapa hari
yang lalu menuju Saida. Bedanya, kali ini kami tidak distop di pos-pos
pemeriksaan. Orang-orang Kata'eb melambaikan tangan kepada kami, begitu pula
dengan orang-orang Haddad dan orang-orang Israel. Kami hanya berhenti pada satu
atau dua pos pemeriksaan ketika para tentara yang mengawal kami mengobrol dengan
teman-teman mereka tentara-tentara itu juga melambai kepada kami.
Jalanan terasa semakin kasar dan bergelombang daripada sebelumnya. Di jalanan
ada beberapa lubang akibat terjangan peluru dan bom, dan permukaan jalan menjadi
rusak total akibat dilalui kendaraan-kendaraan militer yang besar. Debu mengepul
tebal dan membuat mataku perih, matahari bersinar terik tanpa henti. Aku
menemukan sebuah jas dan menggunakannya untuk menutup wajahku supaya terhindar dari matahari dan
debu. Itu juga membuatku tidak terlihat oleh orang-orang Palestina sedang
bepergian dengan orang-orang Israel!
Egal dan Avi berusia sekitar empat puluh tahun, dan berbicara bahasa Inggris
dengan baik. Avi mengenakan pakaian sipil, tetapi membawa sepucuk pistol canggih
yang tergantung di sabuknya. Paul, yang tahu lebih banyak tentang senjata,
memberitahuku bahwa Avi bukan membawa pistol, melainkan sebuah senapan mesin
ukuran mini. Praktis sekali! Kupikir, aku ingin memilikinya suatu hari nanti.
Egal berseragam tentara dan terdapat tanda-tanda bintang tersemat di kedua
bahunya, jadi ia pasti seorang perwira. Ia seorang yang periang, dan siapa pun
dapat merasakan bahwa ia sangat menyenangkan dan bersahabat.
Avi, sebaliknya, betul-betul pendiam. Ia juga benar-benar tinggi menurutku
setidaknya 190 cm. Paul memberitahuku bahwa Avi adalah salah seorang anggota
Mossad, Agen Rahasia Israel. Bahkan ketika aku mengatakan kepadanya bahwa ia
mengingatkanku pada Christopher Reeves dalam Superman, Avi tidak berkomentar
apa-apa. Menurutku, ini semakin memperkuat dugaan Paul.
Tiga orang tentara Israel lainnya, sebaliknya, masih sangat muda, mungkin
berusia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan. Salah seorang dari mereka
terus-menerus memerhatikan majalah berita yang kubawa, Monday Morning, tapi
tidak pernah berkata apa-apa. Akhirnya, aku menanyainya apakah ia ingin
membacanya ia merasa sangat senang atas tawaran itu, dan menghabiskan sisa
perjalanan itu dengan membacanya. Dua tentara lainnya larut dalam perdebatan
dengan Paul yang mengecam kebijakan luar negeri Israel di Lebanon. Perdebatan
itu berlangsung terus dan terus, dan menjadi sangat meresahkan, karena kedua
belah pihak tidak mau mengalah. Aku berusaha membuat Paul tutup mulut dan tidak
membuang-buang waktu, tapi ia tetap bersikeras.
Tidak seorang pun di dunia ini yang dapat menyuruh Paul diam. Beberapa hari
sebelumnya, ia melintasi pos pemeriksaan Israel dan Haddad di Lebanon Selatan.
Seorang tentara Israel menyetopnya dan ingin melihat surat-suratnya. Paul
berkata kepada tentara itu, "Memangnya kamu siapa ingin melihat surat-suratku"
Kamu orang asing di negeri ini, sama juga seperti aku. Kamu tak punya hak untuk
melihat surat-suratku."
Semua orang terdiam. Paul mengajak berdebat seorang tentara yang bersenjatakan
senapan mesin, dan beberapa orang tentara lagi menatap dari atas dua buah tank
besar. Ia seharusnya memilih tempat lain yang lebih aman untuk berdebat. Namun,
sungguh menakjubkan, ia berhasil melakukannya ia melewati pos pemeriksaan itu
tanpa perlu menunjukkan surat-suratnya! Orang-orang ajaib memang punya
keberuntungan yang ajaib pula.
Dari tempat dudukku di dalam van itu, aku dapat melihat garis pantai Laut
Tengah. Aku mulai mencintai Laut Tengah selama beberapa bulan terakhir ini.
Airnya tenang, biru, mengempas ke garis pantai Lebanon dan tetangganya,
Palestina. Sepanjang sejarah, berapa banyak penderitaan dan pertumpahan darah
yang telah ia saksikan" Apakah ia diam karena tidak berperasaan, atau karena
jauh di lubuk kearifannya ia menganggap konflik antarmanusia begitu kecil"
Penderitaan umat manusia yang fana sepertinya tenggelam jauh ke dasar hamparan
biru yang tenang itu. Aku pasti telah tertidur sebentar karena mendadak aku
terbangun. Van yang kami tumpangi telah berhenti di tepi jalan raya. Di atas
kami ada sebuah papan besar bertuliskan "Selamat datang di Israel".
Egal turun, dan dengan suara yang nyaring serta riang berkata kepada kami
bertiga, "Mulai sekarang, jalan-jalan raya yang Anda lalui akan mulus dan bagus
sehingga Anda semua bisa rileks." Jelaslah ia juga tidak menikmati perjalanan di
jalanan Lebanon yang bergelombang.
Memang benar, jalan raya yang kami lalui terasa mulus dan rata, tidak berlubang
dan permukaannya diaspal dengan baik. Terlihat di sana-sini banyak kelompok anak
sekolah membawa rangkaian bunga, jelas-jelas mereka sedang berpiknik di daerah
perbatasan. Sudah sejak lama aku tak pernah melihat anak-anak yang riang
gembira. Pemandangan itu mengingatkanku akan anak-anak di Inggris pada hari
libur. Dengan segera ingatanku kembali ke kamp.
Anak-anak Palestina kira-kira juga berusia sebaya dengan mereka, tetapi bedanya,
mereka terkurung di dalam kamp, berkeliaran di antara reruntuhan dan puing-puing,
kebanyakan dari mereka adalah yatim piatu. Ini akan menjadi musim dingin yang
tidak menyenangkan bagi orang-orang yang tak memiliki tempat tinggal. Mereka
yang tewas setidaknya tidak perlu lagi menderita. Bagaimana dengan anak-anak di
bangsal ortopedisku, yang terluka akibat terkena pecahan peluru dan bom" Banyak
dari mereka yang takkan pernah bisa berjalan lagi. Sedangkan anak-anak Israel
itu tampak begitu tak berdosa dan bahagia dan aku berharap kepada Tuhan bahwa
mereka tak akan mengalami apa yang menimpa anak-anak di seberang perbatasan,
anak-anak yang sengsara dan menderita. Aku tak dapat berhenti untuk terus berdoa
demi anak-anak Israel ini, semoga mereka tidak akan dihukum karena kesengsaraan
dan penderitaan yang ditimpakan oleh orang dewasa Israel kepada anak-anak
lainnya. Aku berdoa mereka tidak harus menebus dosa orang lain.
Rombongan kami berhenti di depan sebuah hotel kibbutz (komunitas kolektif
Israel) di bagian utara Israel. Kami turun dari van, dan untuk pertama kalinya
setelah berbulan-bulan, aku melihat rumput hijau. Ellen menjadi sangat kesal.
Aku mengikutinya ke ruangan tempat menggantung jas, dan meledaklah tangisnya.
"Kamu tahu kan, Swee," ujarnya, "ini keterlaluan. Setiap rumah di sini dibangun
di atas reruntuhan rumah orang lain. Masyarakat di sini dibangun atas dasar
ketidakadilan." Hal ini terlalu sulit untuk
kumengerti, karena aku baru bertemu dengan teman Palestina pertamaku kurang dari
tiga bulan yang lalu. Pada pagi hari sebelum kami pergi, seseorang menyerahkan sebuah karangan bunga
mawar merah kepada Ellen. Kini, aku mengikuti Ellen pergi ke lapangan dan
membantunya menanam di atas tanah yang dulunya milik Palestina. Hari sudah gelap
ketika kami menyelesaikan misi kecil-kecilan ini, dan kami kembali ke hotel.
Kembali ke ruang lobi hotel kibbutz, kami diperkenalkan kepada perwira tinggi
yang merupakan atasan Egal, seorang pejabat penting Pasukan Pertahanan Israel
(Israeli Defence Force, IDF). Saat itu, aku memutuskan untuk mencari sendiri
beberapa informasi. Aku ingin mengetahui apakah IDF telah memainkan peranan
dalam penyerangan di Lebanon. Aku memutuskan untuk menanyakannya pada atasan
Egal. "Pak," tanyaku, "apakah nama pasukan Israel yang kini tengah menduduki Lebanon?"
Dalam ketidaktahuanku, aku menduga bahwa jika Israel Defence Force didirikan
untuk mempertahankan (defend) keamanan di Israel, pastilah ada kesatuan lain
yang menyerang Lebanon. Atasan Egal tampak sangat tidak senang mendengarnya, ia menjadi bersikap kaku
dan menjawab, "Tentu saja IDF. Kami di Israel hanya punya satu pasukan reguler,
tidak banyak seperti di negeri yang baru saja Anda tinggalkan. Tidak seperti
Lebanon yang punya tujuh belas pasukan, kami ma -
nunggal dan satu." Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa "pertahanan" (defence) hanya sebuah
eufemisme, dan bahwa Pasukan Pertahanan Israel juga merupakan Angkatan Perang
Israel. Setelah menyantap beberapa kudapan di kibbutz, kami melakukan perjalanan ke Tel
Aviv. Hari itu gelap, tetapi di sepanjang jalan kulihat rambu-rambu besar
bersinar yang menunjuk arah ke Acco (Akka), Haifa, dan Jaffa. Aku memikirkan
teman-teman Palestinaku yang telah memintaku untuk menyapa tempat-tempat ini,
mungkin adalah tempat asal mereka.
Kami tiba di Tel Aviv saat larut malam. Komisi Kahan telah memesan kamar untuk
kami di Hotel Moriah, sebuah hotel bintang lima yang besar. Sebelumnya aku tidak
pernah menginap di hotel mewah. Kamar-kamarnya luas, dengan dua tempat tidur di
setiap kamar untuk satu orang. "Bodoh," pikirku, "bagaimana bisa satu orang
tidur di atas dua tempat tidur" Mungkin mereka mengharap aku menyetel alarm pada
pukul tiga pagi dan berganti kasur."
Kamar mandinya sangat luas, dengan fasilitas pancuran air panas dan dingin,
sebuah bak mandi yang panjang, handuk-handuk yang besar, dan ubin hijau bermotif
cantik yang menutupi seluruh lantai dan dindingnya. Jendela kacanya besar dengan
gorden yang tebal. Ellen, Paul, Avi, Egal, dan aku masing-masing mendapatkan
sebuah kamar. Kamarku sendiri terasa sungguh luas, tetapi lengang dan
angkuh, tanpa kehangatan dan keramahtamahan seperti orang-orang di kamp. Tidak
pula kurasakan kehangatan sebuah rumah yang kudapat di Mayfair Residence, tempat
kentang-kentang berminyak dan lembap buatan Mary menyambutku setiap kali aku
pulang ke kamp. Ruang makannya juga luar biasa luas, dengan bermacam-macam pilihan menu makanan.
Namun, aku telah kehilangan selera makanku dan terpaksa kuberikan telur dadar
isi jamur kepada Paul dan membujuknya untuk melahapnya demi aku. Aku telah
belajar untuk tidak membuang-buang makanan, bahkan makanan buatan orang Israel.
Seusai makan, Egal dan Avi membawa kami ke bar hotel dan memesankan kami bir.
Keduanya berusaha keras untuk bersikap ramah dan bersahabat kepada kami. Sebuah
grup band tengah memainkan lagu, dan Egal berusaha menghibur kami dengan
nyanyiannya sendiri. Sayangnya, aku benar-benar merasa tidak nyaman dan tidak
bisa membalas keramahan mereka. Aku merasa sangat tertekan dan terpaksa menelan
tablet valium dosis lima miligram untuk membuatku tertidur. Tak seorang pun dari
kami yang tahu apa yang akan kami hadapi pada acara dengar pendapat keesokan


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harinya. Pada 1 November, Avi dan Egal membawa kami ke universitas tempat Komisi
Penyelidikan digelar. Acara dengar pendapat itu bersifat terbuka dan pers juga
hadir dengan sangat antusias. Sejauh ini, hanya kamilah saksi non-Israel yang
akan membuat kesaksian. Selain para wartawan, juga terdapat
sejumlah besar petugas keamanan dan militer. Seperti biasa, aku punya anggapan
yang keliru. "Jadi, orang-orang Israel kira kita datang dari Rumah Sakit Gaza
untuk meledakkan ruang sidang ini?" tanyaku kesal pada Ellen, merasa cukup
terhina dengan keamanan yang sangat ketat ini. Ia menjelaskan bahwa bukan itu
masalahnya, tetapi di luar sana banyak sekali kaum ekstremis Israel yang bahkan
tidak mau menerima pembentukan Komisi Penyelidikan pembantaian di Lebanon ini.
Itulah sebabnya pasukan keamanan dan tentara dikerahkan untuk berjaga-jaga.
Merasa terganggu dengan kerumunan massa dan kilatan cahaya lampu kamera yang
menyala tanpa henti, aku terpaksa bertanyatanya apakah publisitas seperti ini
tidak terlalu berlebihan" Saat itu aku telah mengetahui bahwa pembantaian Sabra
dan Shatila hanyalah salah satu dari banyak pembantaian terhadap rakyat
Palestina sejak tragedi Deir Yassin pada 1948. Mengapa mendadak muncul
publisitas sebesar ini"
Tak ada waktu untuk memikirkannya karena kami segera digiring menuju ruang
kuliah tempat proses pengadilan digelar. Ellen adalah saksi pertama, dan ia
membawa sekantong besar koran dan majalah berbahasa Ibrani yang ia kumpulkan
dari kantor PBB, tempat kami ditahan pada pagi hari tanggal 18 September. Koran-
koran tersebut bertanggal 15, 16, 17, dan 18 September, tanggal-tanggal
terjadinya pembantaian. Seiring berjalan masuk ke ruang "pengadilan", ia berkata
padaku, "Israel yang membawa semua koran ini, sekarang mereka dapat mengambilnya
kembali." Paul dan aku duduk di luar sambil menunggu dipanggil. Lalu tibalah giliranku.
Sebagai seorang dokter, aku telah berkali-kali berada di ruang pengadilan untuk
memberikan kesaksian medis demi atau melawan sekumpulan orang. Tetapi aku tidak
menyadari bahwa dalam sebuah Komisi Penyelidikan, para hakimlah yang mengajukan
pertanyaan dan tidak ada para pengacara yang saling memeriksa bukti-bukti.
Setelah mengucapkan sumpah seperti biasa, para hakim memintaku untuk menuturkan
peristiwa-peristiwa selama tiga hari pembantaian, sejak tanggal 15 hingga pagi
hari tanggal 18 September. Sejak saat itu, ketertarikanku pada hadirin di dalam
ruangan, pada pers, bahkan pada hakim, hilang sudah. Aku merasa sangat kecewa,
karena aku tahu hanya segelintir di antara mereka yang benar-benar peduli dengan
orang-orang di kamp. Pers ingin mendapatkan beritanya, pejabat pemerintah Israel ingin membuktikan
kepada dunia bahwa sistem demokrasi yang mereka anut sangatlah hebat sehingga
mereka pun memberikan kesempatan kepada rakyat Palestina untuk mengemukakan
pendapatnya. Pengusutan ini semestinya diberi nama "Penyelidikan terhadap
Pembantaian di Kamp-Kamp Pengungsi Palestina". Akan tetapi sebaliknya, Komisi tersebut
menamainya "Penyelidikan Kasus Lebanon", karena menolak untuk menyebut nama
Palestina. Jadi, bahkan setelah terbunuh, keberadaan
orang-orang Palestina tidak diakui. Aku dapat mendengar di dalam batinku bergema
suara, "rakyat Palestina, rakyat Palestina", terus-menerus. Tetapi meskipun aku
berbicara, aku tahu forum ini tidak akan memberikan keadilan yang kucari demi
orang-orang yang sangat kucintai. Dengan segera perasaanku berubah dari kecewa
menjadi marah dan mengatakan kepada Komisi tentang apa yang sebenarnya telah
terjadi. Orang-orang Israel mengatakan bahwa mereka tidak mengetahuinya, padahal
kami memberitahukan kejadian itu melalui gelombang radio kepada mereka, memohon
mereka untuk menghentikan pembantaian itu. Mereka mencegah aksi pembunuhan
terhadap orang-orang asing, tapi apakah mereka memerintahkan pembunuhan terhadap
orang-orang Palestina" Kami tahu bahwa para tentara yang menarik picu senapan-
senapan itu sepenuhnya dapat menjawab pertanyaan para pejabat tinggi Israel
tersebut. Setelah itu, aku diberi tahu bahwa kesaksianku itu bertentangan dengan kesaksian
para pejabat IDF yang telah terlebih dahulu memberikan kesaksian. "Kalau begitu,
mereka pasti telah berbohong," kataku kepada para wartawan yang menunggu di
luar. "Saya tidak tahu apa yang telah mereka katakan kepada Komisi, tetapi apa
yang saya katakan di bawah sumpah adalah sama persis dengan apa yang saya tulis
di buku harian saya."
Pers bersikeras dan seolah-olah berperan menjadi penyidik hukum. Aku tahu aku
tidak perlu menjawab pertanyaan mereka yang mana pun, tapi rasa
cintaku kepada orang-orang di kamp mendorongku untuk berbicara kepada siapa pun
yang mau mendengarkan, termasuk para wartawan yang hanya ingin mendapatkan
berita, para hakim yang mungkin menganggap diriku tidak lebih sebagai seorang
"simpatisan PLO", dan publik yang beranggapan bahwa orang-orang Palestina adalah
ras yang lebih rendah dari manusia. Aku sudah sangat rindu pada kamp-kamp di
Beirut, pada orang-orang di sana yang kucintai, pada lantai keenam Rumah Sakit
Gaza. Amarahku semakin bertambah seiring aku berulang-ulang mengatakan kepada para
wartawan itu, "Kami berdua puluh dua orang, bekerja nonstop selama tujuh puluh
dua jam tanpa makan, minum, maupun tidur untuk menyelamatkan segelintir nyawa,
sementara di luar sana di kamp-kamp, ribuan penduduk sedang sekarat. Seandainya
saya mengetahuinya, saya akan berlari ke jalan dan melakukan sesuatu untuk
menghentikannya." Pernyataan itu memang dimuat keesokan harinya di koran-koran. Namun, tak satu
pun koran memuat pesan yang lebih penting yang berusaha kusampaikan kepada
mereka bahwa meskipun tak ada yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan nyawa
mereka yang telah melayang, masih ada banyak hal yang dapat kita lakukan bagi
mereka yang masih hidup dan menghadapi berbagai penderitaan hingga hari ini.
Mereka masih tinggal di dalam reruntuhan bangunan dan puing-puing, mereka tidak
punya sarana dan fasilitas yang layak, dan hidup dalam kesengsaraan yang amat
berat karena musim dingin
hampir tiba. Di Jerusalem, pada 1982, tak seorang pun mau mendengarnya. Mungkin
Komisi Kahan adalah kemenangan sistem demokrasi Israel, tapi komisi itu tidak
berbuat apa pun untuk mengurangi penderitaan rakyat Palestina.
Dalam perjalanan keluar, kami bertemu dengan Komisaris Tinggi Inggris. Ia
mengkhawatirkan kami dan menempuh segala risiko untuk datang ke universitas demi
meyakinkan bahwa kami selamat. Namun, ia merasa agak bingung apakah aku seorang
Singapura, Malaysia, atau Inggris. Aku sendiri juga tidak yakin, tetapi setelah
memikirkannya sesaat, kukatakan padanya, "Saya rasa, cara terbaik untuk
mengetahuinya adalah fakta bahwa jika saya mati di sini, jasad saya akan dibawa
pulang ke London, dan itu mungkin akan menjadi urusan departemen Anda."
Paul merasa hal itu sangat memalukan untuk dikatakan kepada Komisaris Tinggi,
tetapi hanya itu cara yang mudah untuk menggambarkan keadaanku, dan itulah satu-
satunya gagasan yang terlintas di pikiranku saat itu. Kenyataannya, aku telah
lama mengkhawatirkan di manakah aku akan dikubur.
Setelah memberikan kesaksian kepada Komisi, kami dibawa Egal dan Avi mengunjungi
tempat-tempat yang menarik di Israel. Bagi orang dari Asia Tenggara sepertiku,
nilai penting Tembok Ratapan tak begitu terasa. Tempat kelahiran Yesus Kristus
di Bethlehem telah berubah menjadi sebuah gereja yang merupakan sebuah objek
wisata yang ramai. Tidak seperti bayanganku tentang kandang domba
tempat Yesus dilahirkan. Rumah Sakit Hadassah, sebuah rumah sakit besar milik Israel, dikelola dengan
baik dan memiliki peralatan yang modern, sebagaimana halnya rumah sakit-rumah
sakit besar yang ditujukan untuk pembelajaran mahasiswa di Inggris. Tidak ada
lubang bekas bom, tembok yang retak, kaca jendela yang hancur, dan puing-puing
seperti di Rumah Sakit Gaza. Terkecuali segelintir tentara Israel yang terluka,
selebihnya tidak ada yang mengingatkanku akan perang yang sedang terjadi. Para
pasien di sana sama seperti pada umumnya ditemukan di rumah sakit kanker,
diabetes, serangan jantung, kasus-kasus pembedahan, dan sebagainya. Tidak ada
anak-anak yang terkena sindrom "Awal Reagan", tidak ada luka-luka terkena
pecahan cluster bomb, tidak ada luka bakar akibat bom fosfor. Selain itu, ada
air, listrik, tumbuh-tumbuhan dalam pot, gorden, dan lantai yang mengilap. Aku
teringat akan kamar dr. Habib di Rumah Sakit Gaza, yang akan menjadi milikku
setelah ia pergi. Suatu hari, sebuah granat besar menerobos tembok kamar itu,
membuat kamar beserta isinya hancur menjadi puing-puing, untungnya tidak melukai
siapa pun. Kemudian, kami dibawa menuju Yad Vashem. Dalam keadaan normal, aku tidak ingin
mengunjungi tempat itu, karena pada masa lalu aku telah menghabiskan waktu
berjam-jam menangis dan bermimpi buruk tentang penganiayaan bangsa Eropa
terhadap kaum Yahudi, pertama-tama oleh para kaisar Rusia, kemudian oleh tentara
Nazi. Namun, aku tidak ingin menyinggung tuan rumah Israelku, jadi aku ikut saja bersama mereka.
Untunglah aku memutuskan ikut. Seorang profesor wanita Israel ahli sejarah, ia
Pendekar Guntur 4 Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking Aksara Batu Bernyawa 3
^