Interpretation Murder 2
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 2
pertama. Sebuah mobil berserta pengemudinya yang telah disediakan Walikota ?McClellan telah menunggu di bawah untuk membawa sang ahli itu ke sana. Berita
?yang kusampaikan begitu bersemangat dan menggembirakan sehingga aku sendiri
tidak bisa berhenti berbicara.
Selain Brill, terdapat Jung, Ferenczi, dan Freud. Kesemuanya berkerumun di
sekitar meja makan bundar kecil di tengah-tengah ruang utama yang juga berfungsi
sebagai dapur, ruang makan dan ruang tamu. Brill berseru menyuruhku duduk dan
menikmati brisket buatan Rose. Anggur yang disajikan untukku pun telah
dituangkan sekali lagi sebelum aku sempat memintanya. Brill dan Ferenczi tengah
bercerita tentang being analyzed yang dikemukakan Freud. Ketika itu Brill
berlagak berperan sebagai Freud. Semuanya tertawa, bahkan Jung, yang
matanya terus menerus menatap istri Brill.
"Ayolah, kawan," kata Freud, "itu tidak menjawab pertanyaan: mengapa Amerika?"
"Pertanyaannya, Younger," kata Brill menjelaskan padaku, "begini, psikoanalisa
dikucilkan di daratan Eropa mana pun. Namun di sini, di Amerika yang puritan,
Freud menerima gelar kehormatannya yang pertama dan diminta memberi kuliah di
sebuah universitas bergengsi. Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Kata Jung," sambung Ferenczi, "itu karena kalian orang Amerika tidak mengerti
teori-teori seksual Freud. Begitu kalian mengerti, kalian akan memakan
psikoanalisa seperti memakan apel merah."
"Kukira tidak begitu," kataku, "psikoanalisa akan tersebar seperti api liar."
"Mengapa?" Tanya Jung.
"Tepatnya karena puritanisme kami, tetapi ada sesuatu yang aku..."
Belum aku melanjutkan, tibatiba Ferenczi berkata; "Itu sebaliknya, masyarakat
puritan seharusnya akan melarang kami."
"Mereka memang akan melarang kalian," kata Jung sambil tertawa keras-keras,
"begitu mereka mengerti apa yang kalian bicarakan."
"Orangorang Amerika puritan?" Sela Brill, "iblis lah yang lebih puritan."
? "Diamlah kalian semua," kata Rose, seorang wanita berambut gelap, sorot matanya
tajam dan tidak suka omong kosong, "biarkan Dr. Younger menjelaskan apa
maksudnya." "Tidak, tunggu," kata Freud, "ada hal lain yang ingin dikatakan Younger. Apa
itu, anakku?" g KAMI MELUNCUR MENURUNI empat tangga secepat mungkin. Mobil itu rupanya
menyediakan empat buah tempat duduk. Berarti ada kelebihan satu tempat duduk,
Freud pun mengajak Ferenczi. Semula Freud mengajak Jung. Anehnya, ia tampak
tidak berminat dan menarik diri. Bahkan ia tidak ikut mengantar kami ke mobil.
Sebelum kami berangkat, Brill sempat berkata, "Aku tidak suka kalian
meninggalkan Jung sendiri di sini. Aku akan memanggilnya, kau bisa membawanya,
lalu menurunkannya di hotel."
"Abraham," kata Freud dengan tajam tak terduga, "aku sudah katakan berkali-kali
bagaimana perasaanku tentang hal ini. Kau harus menghentikan rasa tidak sukamu
pada Jung. Ia lebih penting dibanding dengan kita. Bahkan ketika kita
disatukan." "Bukan itu, ya ampun," Brill protes, "aku baru saja memberinya makan di rumahku
sendiri, kan" Tetapi keadaannya itulah yang kubicarakan."? ?"Keadaan apa?" Tanya Freud.
"Ia tidak sehat. Wajahnya kemerah-merahan, terlalu gembira. Ia bergelora.
Terkadang bersemangat dan terkadang mendingin. Kau pasti memerhatikannya.
Beberapa kata yang diucapkannya tidak masuk akal sama sekali."
"Itu karena ia baru saja meminum anggur yang kau sediakan."
"Itu lain lagi," kata Brill, "Jung tidak pernah menyentuh alkohol."
"Itu pengaruh Bleuler," kata Freud, "aku telah menyembuhkannya. Kau tidak
keberatan kan jika Jung minum, Abraham?" ^^^^^^n
"Tentu saja tidak. Itu akan semakin baik daripada Jung berubah murung. Biarkan
saja kita buat dia mabuk sepanjang waktu. Tetapi ada yang aneh padanya. Sejak ia
masuk rumahku, kau dengar kan ia bertanya mengapa lantai kayuku begitu halus?" K
"Kau mengkhayalkan sesuatu," kata Freud, "dan di belakang khayalan selalu saja
ada sebuah harapan. Jung hanya tidak terbiasa dengan alkohol. Pastikan saja ia
kembali ke hotel dengan selamat."
"Baiklah." Brill mendoakan keberhasilan kami, Ketika kami berangkat, ia berseru,
"Tetapi bisa saja selalu ada harapan yang tidak dikhayalkan."
DI DALAM MOBIL DENGAN ATAP TERBUKA, berderak-derak menuju ke Broadway, Ferenczi
bertanya padaku apakah di Amerika orang biasa makan campuran buah apel, kacang,
seledri, dan mayones. Rose Brill ternyata baru saja menjamu tamunya dengan
selada Waldrof. Freud terdiam. Ia tampak sedang berpikir. Aku mengira apakah komentar Brill itu
mengganggunya. Aku sendiri mulai berpikir mungkinkah ada yang tidak beres pada
Jung. Aku juga mengira apa yang dimaksudkan Freud kalau Jung lebih penting
dibandingkan kami semua. "Brill adalah seorang paranoik," kata Ferenczi dengan kesal kepada Freud, "itu
bukanlah apa-apa." "Paranoid tidak pernah salah sepenuhnya," kata Freud, "apakah kau mendengar Jung
tadi salah berbicara?"
"Salah berbicara apa?" Tanya Ferenczi. "Ia salah berbicara," kata Freud, "ia
mengatakan, 'Amerika akan melarang 'kalian1, bukan kami, tetapi kalian."
Freud kembali terdiam. Kami melewati Broadway menuju ke Union Square, lalu
Fourth Avenue melewati Bowery Road dan selanjutnya Lower East Side. Ketika
melewati kios-kios tutup di pasar jalan Hester, kami harus memperlambat laju
mobil. Walau ketika itu sudah hampir pukul sebelas, orang-orang Yahudi dengan
janggut panjang dan pakaian khas berwarna hitam dari kepala hingga kaki, telah
memadati jalanan. Mungkin mereka merasa terlalu panas untuk tertidur di dalam
rumah petak tanpa udara, yang ditinggali oleh begitu banyak imigran kota.
Orangorang Yahudi itu berjalan sambil bergandengan tangan atau berkumpul dalam
lingkaran kecil, dengan melakukan banyak gerakan tangan dan bertengkar. Bahasa
Jerman kasar, yang dalam bahasa Ibrani disebut Yiddish, terdengar di mana-mana.
"Jadi inilah Dunia Baru itu," kata Freud sambil melihat-lihat dari kursi di
depan, tanpa rasa senang, "mengapa mereka harus jauh-jauh pergi hanya untuk
membangun kembali apa yang telah mereka tinggalkan?"
Aku memberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan, "Apakah kau bukan seorang
yang relijius, Dr. Freud?"
Pertanyaan yang tak patut diajukan. Awalnya kukira, ia tidak mendengarku.
Ferenczi-lah justru yang menjawab, "Tergantung apa maksudmu dengan relijius.
Jika, misalnya, relijius artinya percaya kepada Tuhan itu adalah
ilusi im&k Y^fe^ift^Ji^, ^^U"Bom?h^fepl^^lam^?fea p'#"dya^afffiftskulihat di
dermaga. "Akan kukatakan proses berpikirmu ketika kau menanyakanku hal itu,"
katanya, "Tadi aku bertanya mengapa orang-orang Yahudi itu datang ke sini.
Tampaknya terpikir olehmu untuk mengatakan Mereka datang karena atasan kem
erdekaan beragama, namun kau mempertimbangkan lagi, karena hal itu tampak terlalu pasti.
Kemudian kau berpikir, jika aku, yang seorang Yahudi, tidak dapat melihat bahwa
mereka datang ke sini untuk kebebasan beragama. Karena mungkin saja agama itu
sungguh tidak terlalu penting bagiku. Sehingga aku tidak dapat melihat betapa
pentingnya agama bagi mereka. Lalu muncullah pertanyaanmu tadi. Bukankah begitu"
"Seluruhnya," jawabku.
"Jangan khawatir," sela Ferenczi, "ia melakukan hal itu pada semua orang."
"Jadi kau mengajukan pertanyaan langsung padaku," kata Freud, "maka aku akan
segera menjawabnya juga. Aku benar-benar tidak beriman. Semua neurosis merupakan
agama bagi pengidapnya, dan relijius adalah neurosis bagi umat manusia. Yang
masih diragukan, sifat-sifat yang kita berikan kepada Tuhan, mereflesikan
ketakutan dan harapan yang kita rasakan sejak bayi, dan ketika kita masih kanak-
kanak. Semua orang yang tidak melihat sebegitu banyak, tidak akan pernah dapat
mengerti hal pertama dalam psikologi manusia. Jika yang kau cari adalah agama,
jangan ikuti aku." "Freud, kau tidak adil," kata Ferenczi, "Younger tidak mengatakan ia mencari
agama." "Anak itu tertarik pada gagasan-gagasanku. Ia mungkin juga tahu maksudnya."
Freud mengamatiku dengan cermat. Saat itu juga, ketegangan itu sirna, dan ia
menatapku nyaris penuh kebapakan. "Dan aku mungkin tertarik pada gagasannya. Aku
mengembalikan pertanyaan itu. Apakah kau seorang yang relijius, Younger?"
Aku malu, karena aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. "Ayahku seorang yang
beragama," ujarku. "Kau menjawab sebuah pertanyaan yang berbeda dari apa yang telah dipertanyakan,"
kata Ferenczi. "Tetapi aku mengerti," kata Freud, "maksudnya karena ayahnya beriman, maka ia
cenderung meragukan."
"Betul begitu," kataku.
"Tetapi ia juga bertanya, apakah keraguan yang begitu dalam merupakan keraguan
yang baik, sehingga Younger cenderung menjadi percaya." Kata Frued.
Aku hanya dapat menatapnya. Ferenczi mengajukan pertanyaanku kepada Freud.
"Bagaimana kau bisa tahu."
"Itu semua berlanjut saja," jawab Freud, "Semalam ia bilang, ia mengambil kuliah
kedokteran karena dipaksa ayahnya, bukan keinginannya. Lagipula," ia
menambahkan, sambil mengeluarkan sebatang cerutunya dengan perasaan puas, "aku
merasakan hal yang sama ketika aku masih lebih muda."
g GEDUNG KANTOR PO LISI YANG BARU TERLETAK di Centre Street 240 lebih terlihat
seperti sebuah istana dibanding sebuah gedung kota praja. Hal itu lantaran
bagian depannya terbuat dari pualam, pedimen Yunani, dan kubah yang luar biasa,
lalu diterangi dengan temaram lampu jalanan. Ketika melewati sepasang pintu
besar terbuat dari kayu ek, kami bertemu seorang berseragam di balik meja
setengah bundar yang tingginya mencapai sebatas dada. Lampu listrik mengeluarkan
sinar kuning di sekitarnya. Ia memutar pesawat telepon, dan tidak lama setelah
itu kami disambut oleh Walikota McClellan yang ditemani Higginson. Ia adalah
orang berusia lanjut, tampak khawatir, dan berperut tambun, yang ternyata
adalah dokter pribadi keluarga Acton.
McClellan menyalami tangan kami semua, lalu minta maaf sedalam-dalamnya pada
Freud karena telah merepotkan. "Younger mengatakan padaku kalau Anda juga
mendalami kebudayaan Romawi kuno. Aku akan memberikan kepada Anda bukuku tentang
Wina. Tetapi aku harus membawa kalian ke atas. Nona Acton dalam keadaan yang
sangat buruk." Walikota McClellan mengantar kami menaiki tangga pualam. Dr. Higginson berbicara
banyak tentang pemeriksaan yang dilakukannya. Katanya, tidak ada yang terlihat
membahayakan. Kami pun merasa beruntung. Kami memasuki sebuah kantor besar
bergaya klasik, dengan kursi berlapis kulit, banyak benda kuningan, dan meja
yang mengagumkan. Di belakang meja itu, seorang gadis didudukkan. Ia terlalu
kecil untuk ukuran meja tadi, terbungkus selimut tipis, dan dijaga seorang
polisi pada setiap sisinya.
McClellan benar, gadis itu dalam keadaan yang memprihatinkan. Ia baru saja
menangis menjerit, sehingga wajahnya memerah dan membengkak. Rambut pirang
panjangnya terurai dan masai. Ia menatap kami dengan mata yang paling membelalak
dan paling ketakutan yang pernah kulihat. Tepatnya ketakutan dan tertekan.
"Kami telah mencoba berbagai cara," jelas McClellan, "ia hanya dapat mengatakan
segala kejadian kepada kami melalui tulisan. Tetapi sepertinya, ah, peristiwa
itu sendiri, tidak dapat diingatnya sama sekali." Di samping gadis itu ada
beberapa helai kertas dan pena.
Nora, begitulah Walikota McClellan memperkenalkan nama gadis itu kepada kami. Ia
menjelaskan kalau kami adalah dokter khusus untuk membantu memulihkan suara
dan ingatannya. Ia berbicara pada gadis itu seolah ia adalah seorang anak
berusia tujuh tahun. Rupanya Walikota McClellan agak bingung antara kesulitan
berbicara dan kesulitan untuk mengerti. Padahal orang dapat segera mengetahui
dari sorot mata gadis itu jika ia tidak memiliki kekurangan tersebut. Dapat
diduga kalau kedatangan tiga orang lelaki asing menimbulkan kebingungan
tersendiri baginya. Air mata mulai berlinang di pelupuknya, tetapi ditahan.
Gadis itu pun menulis permohonan maaf kepada kami, seolah ia bersalah karena
amnesianya. "Silakan, lanjutkan Tuan-tuan," kata McClellan.
Pertama-tama Freud ingin menyingkirkan dasar psikologis untuk penyakit gadis
itu. "Nona Acton," katanya, "aku ingin meyakinkan kalau benar-benar tidak
terdapat luka di kepalamu. Bolehkah aku melihatnya?" Nona Acton mengangguk.
Setelah memeriksa dengan seksama, Freud menyimpulkan, "Tidak ada luka apa pun
pada tengkorak atau sejenisnya."
"Kerusakan pada pangkal tenggorokan dapat menyebabkan afonia," kataku, mengingat
gadis itu kehilangan suaranya.
Freud mengangguk, dengan isyarat tangannya, ia memintaku untuk memeriksa gadis
itu. Ketika mendekati Nona Acton, aku merasa adanya kegugupan yang tak dapat
dijelaskan. Aku tidak dapat mengetahui sumber kecemasan itu. Tampaknya aku
merasa takut terlihat tidak berpengalaman di hadapan Freud. Namun sesungguhnya,
aku pernah melakukan serangkaian pemeriksaan yang lebih rumit tanpa merasa
canggung di hadapan profesorku di Harvard. Aku menjelaskan pada Nona Acton
betapa pentingnya memastikan
apakah ketidakmampuannya berbicara itu mungkin disebabkan oleh luka fisiknya.
Aku bertanya apakah ia mau memegangi tanganku dan menempelkan pada lehernya
untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Aku mengulurkan tanganku, dengan dua jari
teracung. Dengan enggan, ia membawa jariku ke arah tenggorokannya, lalu
menempelkan pada tulang selangkanya. Aku meminta agar ia mengangkat kepalanya.
Ia mematuhiku. Jariku pun bergerak naik hingga pangkal tenggorokannya. Yang aku
temukan ternyata bukan lukanya, namun gadis itu memiliki leher dan dagu lembut
dengan garis sempurna, sepereti pualam yang telah dipahat oleh Bernini. Ketika
aku menekanan pada beberapa titik lehernya, ia berkedik, tetapi tidak mengelak.
"Tidak ada bukti luka pada tenggorokan," begitulah kataku.
Nona Acton sekarang tampak lebih curiga dibandingkan dengan ketika kami baru
tiba. Aku tidak menyalahkannya. Karena jika tidak diketemukan masalah fisik pada
dirinya, maka akan bisa menjadi lebih menyedihkan dibandingkan baru diketemukan
kelak nanti. Lagipula, ia tidak bersama keluarganya, namun dikelilingi oleh
beberapa orang lelaki asing. Tampaknya ia sedang menerka kami semua, satu per
satu. "Sayangku," kata Freud padanya, "kau cemas karena kehilangan ingatan dan
suaramu. Memang harus begitu. Amnesia setelah kejadian seperti itu adalah hal
yang biasa. Aku sering melihat orang kehilangan suaranya. Ketika tidak ada luka
fisik ditemukan, dan memang tidak mengalami cidera seperti itu sama sekali, maka
aku selalu berhasil mengurangi kedua keadaan tersebut. Sekarang aku akan
mengajukan beberapa pertanyaan, tetapi bukan mengenai kejadian yang kau alami
hari ini. Aku hanya ingin kau mengatakan padaku bagaimana perasaanmu saat ini. Apakah kau mau
meminum sesuatu?" Gadis itu mengangguk dengan senang. McClellan memerintahkan
seorang petugas, yang kemudian secepatnya kembali membawa secangkir teh.
Sementara itu, Freud telah bercakap-cakap dengan gadis itu. Nona Acton
menuliskan jawabannya. Tetapi hanya fakta-fakta umum tentang dirinya yang adalah
seorang mahasiswi baru di Barnard dan mulai berkuliah bulan depan. Akhirnya ia
menulis kalau ia menyesal tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan polisi, dan
ia ingin pulang. Freud menunjukkan kalau ia ingin berbicara dengan kami tanpa didengar gadis itu.
Maka berbarislah kami dengan muram. Freud, Walikota McClellan, Ferenczi, Dr.
Higginson, dan aku menjauh ke sudut di kantor yang luas itu. Dengan suara yang
sangat lirih, Freud bertanya, "Apakah ia dianiaya?"
"Tidak. Syukurlah," bisik McClellan.
"Tetapi luka-lukanya," kata Higginson, "terkumpul di suatu tempat, jadi
mencurigakan, di sekitar..., bagian pribadinya." Ia berdeham, "selain di
punggungnya, tampaknya ia dicambuki berulang-ulang di sekitar bokong dan..,
pinggul. Lalu kedua pahanya, disayat satu kali dengan sebilah silet cukur yang
tajam." "Monster seperti apa yang melakukan hal semacam itu?" Tanya McClellan.
"Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak terjadi lebih sering," kata Freud dengan
tenang, "melepaskan hasrat buas tidak dapat dibandingkan dengan melampiaskan
hasrat yang sopan. Karena yang pertama terasa lebih memuaskan. Dalam segala
kejadian, alasan terbaik untuk malam ini adalah tidak melakukan apa-apa lagi.
Aku tidak memastikan amnesianya itu akibat dari histerianya. Sesak nafas yang parah dapat
menimbulkan akibat yang sama. Sebaliknya, ia hanya menderita perasaan mencela
diri sendiri terus menerus. Ia harus tidur, ia mungkin telah terbangun dengan
adanya gejala gangguan. Jika gejala itu terus ada, analisa akan segera
dilaksanakan." "Mencela diri?" Tanya McClellan.
"Rasa bersalah," kata Ferenczi, "gadis itu menderita bukan saja karena serangan
itu, namun juga karena dosa yang dirasakan dalam hubungannya dengan kejadian
itu."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya ampun, mengapa ia harus merasa berdosa?" Tanya Walikota McClellan.
"Kemungkinan sebabnya banyak sekali," kata Freud, "tetapi dasar dari mencela
diri nyaris selalu ada dalam kasus penyerangan seksual terhadap orang muda. Ia
sudah dua kali meminta maaf pada kami karena kehilangan memori. Menghilangnya
suara jauh lebih membingungkan."
"Karena disodomi, mungkin?" Tanya Ferenczi sambil berbisik. "Per os?"
"Tuhan Maha Agung," seru McClellan, juga dalam bisikan, "apakah itu mungkin?"
"Mungkin saja," jawab Freud, "tetapi sepertinya tidak begitu. Jika sebuah
penetrasi oral merupakan sumber penyakitnya, ketidakmampuannya menggunakan
mulutnya akan mungkin terlihat dibanding ketidakmampuannya untuk menelan. Tetapi
bukankah kau telah melihat ia tadi meminum tehnya tanpa kesulitan. Karena itulah
tadi aku bertanya apakah ia haus."
Kami merenungkan ini sebentar. McClellan berbicara, tidak lagi berbisik, "Dr.
Freud, maafkan ketidaktahuanku, tetapi apakah ingatan akan kejadian itu masih
ada, atau bisa dibilang, terhapus?"
"Kita anggap itu amnesia histeria, memori itu masih ada," jawab Freud, "itulah
penyebabnya." "Memori itu penyebab amnesianya?" Tanya McClellan.
"Memori akan penyerangan itu..., berikut Ingatan yang lebih dalam, yang dipicu
olehnya..., ia tidak dapat menerima. Karena itu ia harus memendamnya sehingga
mengakibatkan amnesia."
"Ingatan yang lebih dalam?" Ulang Walikota McClellan, "aku tidak mengerti."
"Sebagian peristiwa yang dialami gadis itu," kata Freud, "betapapun brutalnya,
betapapun mengerikannya, pada usianya, biasanya tidak akan menyebabkan amnesia.
Si korban ingat, asalkan ia dalam keadaan sehat. Tetapi jika si korban menderita
penyakit lainnya, traumatis yang dialaminya sebelumnya begitu traumatisnya,
sehingga memori akan kejadian itu betulbetul harus ditekan dari kesadarannya,
maka sebuah serangan dapat saja mengakibatkan amnesia. Karena serangan yang baru
terjadi tidak dapat diingat tanpa memicu kenangan kejadian lampau, padahal
kesadarannya melarang untuk itu."
"Ya Tuhan," seru Walikota McClellan.
"Apa yang harus dilakukan?" Tanya Higginson. "Kau dapat menyembuhkannya?" Sela
Walikota McClellan, "Hanya gadis itu yang dapat memberikan gamb aran tentang si
penyerangnya." "Hipnotis?" Usul Ferenczi.
"Aku sangat menganjurkan untuk tidak menggunakannya," kata Freud, "itu tidak
akan membantunya, dan kenangan yang diungkit oleh hipnotis tidak dapat
diandalkan." "Apa maksud analisa yang kau sebutkan itu?" Tanya
Walikota. "Kami dapat memulainya paling awal besok," kata Freud, "tetapi aku harus
memperingatkanmu kalau psikoanalisa merupakan perawatan intensif. Pasien harus
bertemu setiap hari, selama paling tidak satu jam setiap hari."
"Kurasa tidak ada masalah," jelas McClellan, "pertanyaannya, apa yang harus kita
lakukan pada Nona Acton malam ini." Orangtua gadis itu sedang berlibur musim
panas di rumah mereka di pedesaan Berkshire, dan mereka tidak dapat dihubungi.
Higginson menyarankan mengundang beberapa orang keluarga, tetapi Walikota
McClellan tidak mengizinkan. "Acton tidak akan mau kalau kejadian ini tersebar
ke luar. O rang mungkin akan beranggapan kalau gadis itu telah terluka
selamanya." Nona Acton hampir pasti mendengar komentar terakhir. Aku melihatnya sekarang
sedang menulis sebuah pesan baru bagi kami. Aku mendekatinya dan menerimanya. A
ku in gin pulang, katanya, Sekarang.
McClellan segera mengatakan kepada gadis itu kalau ia tidak dapat
mengizinkannya. Penjahat sudah diketahui, ia memperingatkannya. Penjahat itu
menginginkan gadis itu kembali ke tempat terjadinya kejahatan. Si penyerang
mungkin terus mengawasi rumahnya, bahkan mungkin sekarang ini. Karena penjahat
itu takut kalau korbannya dapat mengenalinya. Mungkin ia akan percaya kalau
satusatunya harapan untuk meloloskan diri dari hukuman adalah dengan membunuh si
korban. Karena itu, kembali ke Gramercy Park sama sekali tidak mungkin,
setidaknya hingga ayahnya kembali ke kota sehingga keamanannya terjamin. Karena
alasan itu wajah Nona Acton berubah. Ia pun memberi isyarat dengan tangannya,
menyatakan perasaannya yang tidak dapat kumengerti.
McClellan mengatakan cara terbaiknya adalah membawa Nona Acton ke Hotel
Manhattan tempat kami menginap. Walikota McClellan sendiri yang akan membayar ?biayanya. Sampai nanti orangtuanya kembali, Nona Acton akan menginap di sana
bersama Ibu Biggs, yang mengetahui kebutuhan dan perlengkapan yang pantas bagi
gadis itu. Aturan ini bukan saja yang paling aman, tetapi juga yang paling
nyaman untuk memulai perawatannya.
"Ada kesulitan lebih lanjut," kata Freud, "psikoanalisa memerlukan tanggung
jawab waktu yang kuat dari dokter. Jelas aku tidak dapat membuat keterikatan
semacam itu. Dr. Ferenczi juga tidak bisa. Bagaimana denganmu, Younger" Kau mau
merawatnya?" Freud melihat keraguanku. Aku ingin menjawab pertanyaannya secara pribadi. Lalu
ia mengajakku ke pinggir.
"Seharusnya Brill," kataku, "jangan aku."
Freud menatapku lagi dengan tatapan yang dapat menembus batu. Ia menjawab dengan
tenang. "Aku tidak meragukan kemampuanmu, anakku. Sejarah kasusmu membuktikan
itu. Aku ingin kau merawatnya."
Ini perintah yang tidak dapat kulawan dan sekaligus sebuah pernyataan
kepercayaan yang memiliki pengaruh untukku, yang tidak dapat aku gambarkan. Aku
setuju. "Bagus," katanya dengan suara keras. "Ia pasienmu. Aku akan membimbing selama
aku berada di Amerika. Tetapi Dr. Younger-lah yang akan melakukan analisas.
Tentu saja, jika pasien kita setuju dengan itu," tambah Freud.
Enam PIPI CEKUNG AHLI OTOPSI HUGEL yang terlihat oleh detektif Littlemore pada hari
Selasa pagi, tampak semakin cekung dibandingkan dengan biasanya. Matanya pun
kini memiliki kantung tersendiri, lingkaran hitamnya juga memiliki lingkaran
hitamnya sendiri. Littlemore merasa yakin penemuannya akan memompa semangat sang
ahli otopsi. "Baiklah, pak Hugel," kata si detektif, "aku kembali ke Balmoral. Tunggu sampai
kau mendengar apa yang kudapat."
"Kau sudah berbicara dengan si pelayan?" Tanya Hugel langsung.
"Ia tidak bekerja di sana lagi," jawab si detektif, "ia dipecat."
"Aku tahu itu!" Seru Hugel. "Kau punya alamatnya?"
"Oh, aku sudah menemukannya. Tetapi ini hal pertama. Aku kembali ke kamar tidur
Nona Riverford untuk melihat pada hiasan di langitlangit. Kau tahu mengenai bola
bowling. Kau pernah berkata kalau gadis itu diikat pada sebuah bola bowling."
"Bagus. Aku yakin kau telah selamatkan barang itu," kata Hugel.
"Aku mendapatkannya, juga seluruh bolanya," Perkataan Littlemore ternyata
membangkitkan tatapan menakutkan di wajah Hugel. Detektif itu melanjutkan, "Aku
tidak tahu kalau langitlangit itu tidak terlalu kuat, maka aku naik ke atas
tempat tidur dan menariknya kuat-kuat. Maka runtuhlah langitlangit itu."
"Kau tidak mengira langitlangit itu sangat kuat," ulang Hugel, "maka itu kau
menariknya, lalu runtuh" Kerja yang bagus sekali, Detektif."
"Terimakasih, Pak Hugel."
"Mungkin kau bisa saja merusak seluruh kamar itu lain kali. Ada bukti lain yang
kau rusak?" "Tidak," kata Littlemore, "aku hanya tidak mengerti mengapa bisa runtuh begitu
mudah. Bagaimana pengait itu bisa menahan tubuh gadis itu supaya tegak?"
"Ya, begitulah faktanya."
"Ada dua lagi, Pak Hugel, dan ini sangat penting." Littlemore menjelaskan
seorang lelaki tak dikenal yang meninggalkan gedung Balmoral pada sekitar tengah
malam pada hari Minggu sambil membawa sebuah tas hitam. "Bagaimana, Pak Hugel?"
Tanya si detektif dengan bangga.
"Mereka yakin orang itu bukan penyewa gedung?"
"Benar. Mereka tidak pernah melihat orang itu sebelumnya."
"Membawa tas, katamu?" Tanya Hugel. "Dengan tangan yang mana?"
"Clifford tidak tahu." "Kau sudah tanyakan itu?"
"Tentu," kata Littlemore. "Aku harus memeriksa ketrampilan orang itu."
Hugel menggumam lega. "Yah, ia bukan orang yang kita cari."
"Mengapa bukan?"
"Karena orang kita cari itu rambutnya beruban, dan tinggal di gedung itu." Hugel
menjadi bersemangat, "kita tahu Nona Riverford tidak mempunyai tamu tetap. Kita
tahu ia tidak memiliki tamu dari luar gedung pada hari Minggu malam. Bagaimana
si pembunuh itu masuk ke apartemennya" Pintunya tidak dibuka secara paksa. Hanya
ada satu kemungkinan. Ia mengetuk pintu, dan gadis itu membukakannya. Sekarang,
apakah seorang gadis yang tinggal sendirian mau membukakan pintu bagi semua or-
ang pada tengah malam" Terutama orang asing" Aku sangat meragukan itu. Namun
tentu gadis itu akan membukakan pintu bagi tetangganya, atau seseorang yang
tinggal di gedung itu..., seseorang yang ditunggunya, mungkin, atau seseorang yang
sudah pernah bertamu ke apartemennya."
"Tukang binatu." Kata Littlemore.
Ahli otopsi itu menatap si detektif.
"Itu hal lain, Pak Hugel. Dengarkan ini. Aku turun ke ruang bawah tanah di
Balmoral, lalu melihat jejak tanah liat orang Cina itu, tanah liat merah. Aku
mengambil contohnya, ternyata sama dengan apa yang aku dapati di kamar Nona
Riverford. Aku yakin itu. Mungkin /a-lah pembunuhnya."
"Orang Cina," kata sang ahli otopsi.
"Aku berusaha menghentikannya, tetapi ia lolos. Ia petugas binatu. Mungkin saja
orang itu mengantarkan baju bersih pada hari Minggu malam. Nona Riverford telah
membukakan pintu baginya, lalu ia membunuhnya. Kemudian orang Cina itu kembali
ke ruang binatu, dan tidak ada seorang pun yang tahu."
"Littlemore," kata Hugel sambil menghela nafas panjang, "pembunuhnya bukan orang
Cina yang bekerja sebagai binatu, tapi seorang kaya raya. Aku tahu itu."
"Tidak, Pak Hugel, kau mengira ia orang kaya karena ia mencekiknya menggunakan
dasi sutera mewah. Tetapi jika kau bekerja di binatu, kau mencuci dasi sutera
setiap waktu. Mungkin orang Cina itu mencurinya dari sana untuk membunuh nona
Riverford." "Apa motifnya?" Tanya Hugel.
"Aku tidak tahu. Mungkin ia suka membunuh gadis-gadis, seperti orang di Chicago.
Misalnya, Nona Riverford berasal dari Chicago. Kau tidak mengira..."
"Tidak, Detektif, aku tidak mengira demikian. Aku juga tidak mengira kalau orang
Cina itu memiliki hubungan dengan pembunuhan itu."
"Tetapi tanah liat itu..."
"Lupakan tanah liat itu."
"Tetapi orang Cina itu lari ketika..."
"Tidak ada orang Cina! Kau dengarkan aku, Littlemore" Tidak ada orang Cina di
dalam kasus pembunuhan ini. Setidaknya pembunuh tersebut memiliki tinggi seratus
delapanpuluh tiga centimeter. Ia seorang kulit putih: rambut yang kutemukan pada
tubuh si gadis adalah rambut seorang Kaukasian. Tapi si pelayan..., si pelayan
itulah kuncinya. Apa yang dia katakan kepadamu?"
9 AKU HARUS MAKAN PAGI dengan memburu waktu yang tersisa hanya limabelas menit
sebelum mengunjungi Nona Acton. Freud baru saja duduk. Brill dan Ferenczi sudah
ada di meja. Brill baru saja menghabiskan tigar
piring makanannya, dan kini tengah menyelesaikan yang keempat. Aku sudah
mengatakan padanya kemarin bahwa Clark akan membayar sarapannya. Ia benar-benar
menggunakan kesempatan itu.
"Di mana Jung?" Tanya Freud.
"Aku tidak tahu di mana ia sekarang," kata Brill, "tetapi aku tahu ke mana ia
pergi hari Minggu malam."
"Minggu malam" Ia pergi tidur lebih awal pada Minggu malam itu," kata Freud.
"Oh tidak, tidak begitu," kata Brill, dengan nada menggoda, "aku tahu ia bersama
siapa. Ini, akan aku perlihatkan pada kalian. Lihatlah."
Dari bawah kursinya, Brill menarik sebuah lipatan koran tebal, diikat dengan
karet gelang, mungkin ada tigaratus halaman. Pada halaman teratas terbaca,
Maka/ah Pilihan tentang Histeria dan Psikoneurosis Lainnya oleh Sigmund Freud,
terjemahan dan kata pengantar oleh A.A. Brill.
"Buku dalam bahasa Inggris pertamamu," kata Brill sambil menyerahkan naskah itu
kepada Freud dengan perasaan bersinar bangga yang belum pernah kulihat
sebelumnya, "ini akan menjadi karya hebat, kau lihat saja."
"Aku sangat gembira, Abraham," kata Freud seraya mengembalikan naskah itu,
"sungguh, aku gembira sekali. Tetapi, tadi kau sedang menceritakan tentang Jung
pada kami." Wajah Brill langsung berubah muram. Ia berdiri, mengangkat dagunya, dan berkata
dengan suara angkuh, "Jadi hanya begitu kau memperlakukan karya hidupku yang
kukerjakan selama duabelas bulan" Beberapa mimpi tidak perlu ditafsirkan: mereka
hanya perlu dilakukan. Selamat tinggal."
Lalu ia duduk lagi. "Maaf, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku," katanya. "Kupikir, aku
adalah Jung dalam beberapa saat tadi." Cara meniru Jung yang dip eragakan
Brill yang luar biasa itu membuat Ferenczi kesal, namun Freud tidak ? ?terpengaruh. Setelah berdeham, Brill mengarahkan perhatian kami pada nama
penerbitnya, Smith Ely Jelliffe, yang tertera pada halaman judul naskahnya.
"Jelliffe mengelola Journal of Nervous Disease, * kata Brill, "ia adalah seorang
dokter, juga kaya raya seperti Croesus. Demi Tuhan, aku akan membuat Gomorrah
ini seperti surga bagi psikoanalisa. Kau lihat saja. Kawan kita, Jung, diam-diam
telah bertemu dengan Jelliffe pada hari Minggu malam itu."
Ternyata Jelliffe, ketika Brill mengambil naskah itu darinya pagi ini, telah
mengatakan kalau Jung telah mengadakan makan malam bersama di apartemennya pada
hari Minggu malam. Jung tidak mengatakan apa pun pada kami tentang pertemuannya.
"Tampaknya topik utama percakapan mereka adalah tempat pelacuran terbaik di
Manhattan. Tetapi, dengar dulu yang ini," Brill melanjutkan, "Jelliffe meminta
Jung memberikan serangkaian kuliah tentang psikoanalisa minggu depan di Fordham
University, sekolah Jesuit."
"Itu kan berita yang hebat!" Seru Freud.
"Begitukah?" Tanya Brill, "mengapa Jung, bukan Anda?"
"Abraham, aku memberikan kuliah setiap hari di Massachusetts, mulai hari Selasa
minggu depan. Aku tidak mungkin memberikan kuliah di New York pada waktu yang
bersamaan." "Tetapi mengapa merahasiakan" Mengapa menutupi pertemuannya dengan Jelliffe?"
Tidak seorang pun dari kami yang dapat menjawab pertanyaan itu. Namun, Freud
tidak mempersoalkannya. Menurutnya, pastilah terdapat alasan mengapa Jung
bersikap bungkam seperti itu.
Selama percakapan itu, aku memegangi naskah tebal kepunyaan Brill. Setelah
membaca beberapa halaman pertamanya, dan terkejut ketika membalik halaman
berikutnya. Halaman itu benar-benar kosong. Di atasnya hanya tercetak lima
baris, di tengah-tengah, dengan huruf besar, dan dicetak miring. Itu adalah ayat
Kitab Suci atau sejenisnya.
"Apa ini?" Tanyaku, sambil memperlihatkan halaman
itu. Ferenczi mengambil halaman itu dari tanganku dan membacanya:
7 hei orang yehuda dan penduduk Yerusalem, supaya jangan murkaku mengamuk sepert
api. Dan menyala-nyala dengan tidak ada yang memadamka.
7(arena per6uatan-per6uatanmu yangjahat.
"Yeremia, bukan?" Tanya Ferenczi seraya memamerkan pengetahuannya akan Kitab
Suci yang bisa dianggap lebih jauh dari pengetahuanku, "Apa gunanyan Yeremia ada
di dalam buku histeria?"
Masih lebih aneh lagi, pada bagian paling bawah halaman tergambar cap tinta
seraut wajah. Wajah Oriental yang keriput atau semacamnya, dengan pembungkus
kepala, hidung panjang, jenggot panjang, dan mata yang terbelalak memesona.
"Seorang Hindu?" Tanya Ferenczi.
"Atau seorang Arab?" Aku mengusulkan.
Yang paling aneh, pada halaman berikutnya dari naskah itu juga sama, selain
kosong tidak berisi, cuplikan dari kitab suci itu juga terdapat di tengah-
tengahnya, walaupun tanpa gambar cap wajah tadi. Begitupun halaman berikutnya.
"Apakah ini lelucon, Brill?" Tanya Freud.
Dia pun coba menilainya dari wajah Brill, dan buku itu bukanlah lelucon.
9 DETEKTIF LITTLEMORE sangat kecewa hasil temuannya ditolak oleh Hugel. Tetapi ia
membiarkan ketika ahli Hugel mengubah topik untuk membicarakan pelayan Nona
Riverford, yang juga memberikan informasi menarik.
"Betty, si pelayan itu, telah dipecat, Pak Hugel. Kuharap aku bisa melakukan
sesuatu untuknya," kata si detektif. Sebenarnya, ia telah menemukan Betty yang
mulanya enggan berbicara. Namun Littlemore membawanya ke sebuah airmancur soda.
Di sana Betty meratapi ketidakadilan itu ketika Littlemore menyinggung masalah
pemecatannya. Mengapa mereka memecatnya" Bukankah ia tidak melakukan kesalahan.
Mengapa mereka tidak memecat beberapa gadis mencuri sesuatu di apartemen" Apa
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang akan dilakukannya sekarang" Ternyata ayah Betty telah meninggal dunia
setahun sebelumnya. Selama dua bulan terakhir, Betty-lah yang membiayai ibunya
beserta tiga orang adik lelakinya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Detektif?" Tanya Hugel sambil menggigit bibirnya.
"Betty berkata, ia tidak suka pergi ke apartemen Nona Riverford. Katanya, di
sana ada hantunya. Pernah dua kali, ia benar yakin telah mendengar suara bayi
menangis tanpa ada seorang bayi pun di sana. Ternyata apartemen itu kosong.
Katanya, Nona Riverforid aneh. Ia hanya muncul satu kali saja, sekitar empat
minggu yang lalu. Tanpa pernah ada truk pindahan, tanpa ada apa-apa, apartemen
penuh berprabotan sebelum ia tiba di sana. Sifat Nona Riverford berbeda dengan
yang lain. Ia gemar menyendiri tanpa pernah membuat kamarnya terlihat
berantakan. Tempat tidurnya selalu terlihat rapi, dan barang-barangnya tetap
berada pada tempatnya. Bahkan salah satu lemarinya selalu terkunci. Ia pernah
mencoba memberi Betty sepasang anting-anting. Betty bertanya, apakah anting-
anting itu adalah berlian asli" Nona Riverford mengatakan ya. Betty tidak mau
mengambilnya. Selama bekerja di sana, Betty hampir-hampir tidak pernah bertemu
dengannya. Tidak setiap harinya Betty bekerja pada malam hari, maka itu ia hanya
berkesempatan ketemu beberapa kali saja. Selain itu, ia selalu masuk dan keluar
sebelum pukul tujuh. Ketika itu Betty baru saja masuk bekerja. Salah satu
penjaga pintu mengatakan padaku, Nona Riverford meninggalkan gedung beberapa
kali sebelum pukul enam. Apa itu artinya, Pak Hugel?"
"Artinya, kau akan mengirim orang ke Chicago."
"Untuk berbicara dengan keluarganya?"
"Tepat. Apa yang dikatakan pelayan itu tentang kamar tidurnya ketika pertama
kali ia menemukan mayat Riverford?"
"Masalahnya, Betty juga tidak ingat dengan tepat
tentang hal itu. Yang dapat diingatnya hanya wajah Nona Riverford."
"Apakah ia melihat sesuatu di dekat mayat gadis itu atau sesuatu yang berada di
atas tubuhnya?" "Aku sudah menanyakan hal itu, Pak Hugel, tapi ia tidak dapat mengingatnya."
"Tidak satu pun?"
"Ia hanya dapat mengingat mata Nona Riverford, terbuka dan menatap."
"Orang tolol kecil yang lemah."
Littlemore terkejut. "Kau tidak akan mengatakan itu jika kau yang berbicara
dengannya," kata Littlemore, "bagaimana kau tahu ada yang berubah?"
"Apa?" "Kau bilang ada yang berubah di kamar itu sejak kali pertama Betty masuk ke
kamar itu sebelum kau yang memasukinya. Tetapi kukira mereka segera mengunci
apartemen itu dan menyuruh pelayan di lorong untuk mengusir siapa pun hingga kau
tiba di sana." "Kukira juga begitu," kata Hugel, sambil melangkah menyeberangi ruang kantornya
yang sempit, "itu yang dikatakan pada kita."
"Jadi, mengapa kau mengira ada orang yang telah memasuki kamar itu?"
"Mengapa?" Ulang Hugel, dengan cemberut, "kau ngin tahu mengapa" Baiklah, Pak
Littlemore. Ikuti aku."
Hugel berjalan ke luar pintu. Littlemore mengikutinya untuk menuruni tiga tangga
tua dan menembus koridor berkelok-kelok dengan cat tembok yang terkelupas.
Akhirnya mereka berada di ruang penyimpanan jenazah. Ketika Hugel membuka sebuah
pintu besi, Littlemore merasakan sambaran udara apak yang beku. Kemudian ia
melihat deretan mayat di dalam laci-laci kayu. Beberapa di antaranya bugil dan
tergeletak begitu saja, yang lainnya tertutup kain. Littlemore tidak dapat
menahan diri untuk tidak melihat bagian mereka yang paling pribadi sehingga ia
terhenyak mundur. "Tidak ada orang lain yang mungkin telah memeriksa jasad itu dengan cukup teliti
untuk melihat petunjuk ini. Tidak seorang pun," kata Hugel. Ia pun berjalan ke
belakang ruangan itu, tempat di mana satu jenazah tergeletak di laci yang paling
jauh. Sehelai kain putih menutupinya, dengan tulisan Riverford, E.:29.8.09.
"Sekarang lihat padanya dengan teliti, dan katakan sebenarnya apa yang kau
lihat, Detektif?" Ketika Hugel menyibak kain putih itu, mata Littlemore terbelalak. Tetapi Hugel
tampak lebih terkejut dibanding detektif itu. Di bawah kain itu yang terbaring
bukanlah jenazah Elizabeth Riverford, tetapi seorang lelaki tua dengan kulit
berkeriput dan bergigi hitam.
g AKU MEN GUNAKAN LIFT untuk menuju tempat Nona Acton menginap. Kemudian teringat
kalau aku harus ke kamarku lebih dahulu untuk mengambil kertas dan pena.
Cuplikan Kitab Suci yang aneh di dalam naskahnya telah sangat mempengaruhi
Brill. Ia tampak betulbetul ketakutan. Katanya ia akan segera kembali ke
Jelliffe, penerbitnya, untuk meminta penjelasan. Aku mengira ada sesuatu yang
mungkin tidak dikatakannya kepada kami.
Aku mengharap Freud akan hadir pada sesi pertamaku dengan Nona Acton. Namun ia
hanya mengatakan agar aku melaporkan padanya nanti. Kehadirannya, ia merasa,
akan mengacaukan pemindahan {transference}.
Pemindahan merupakan fenomena psikoanalisa. Freud menemukannya secara kebetulan,
dan membuatnya terkejut sekali. Setiap pasien silih berganti untuk menunjukkan
reaksi pada analisanya dengan cara memujanya, atau ada kalanya, dengan cara
membencinya. Pada awalnya, ia coba mengabaikan perasaan itu, memandang mereka
sebagai pengagungan yang tidak disukainya dan tidak terkendali menjadi hubungan
pengobatan saja. Lama kelamaan, ia menemukan betapa pentingnya mereka, baik bagi
penyakit si pasien maupun pengobatannya. Di dalam ruang praktik sang analis, si
pasien diingatkan kembali tentang konflik-konflik bawah sadar yang merupakan
keinginan terpendam dan berada dalam inti penyakit tersebut. Konflik bawah sadar
yang dipindahkan oleh dokter itulah yang menjadi penyebab penyakit si pasien.
Menurut Freud, ini bukanlah secara kebetulan, keseluruhan penyakit histeria itu
terdiri dari harapan-harapan terpendam atau perasaan yang terbentuk pada masa
kanak-kanak tanpa pernah terungkap. Padahal seharusnya, itu dipindahkan dari
orang tersebut kepada orang lain, atau terkadang obyek lainnya. Dengan membagi
fenomena bersama pasien dengan cara membawa hal yang dipindahkan kepada ?kepastian dan mengatasinya hingga tuntas analisa membuat yang tidak sadar
?menjadi sadar dan memindahkan sebab penyakit tersebut.
Jadi pemindahan ternyata menjadi penemuan Freud yang paling penting. Akankah aku
memiliki gagasan tentang pentingnya perbandingan" Sepuluh tahun yang lalu,
kupikir aku telah memilikinya. Pada tanggal 31 Desember 1899, aku memberi tahu
ayahku tentang hal itu. Sebenarnya saat itu Ayah terganggu oleh kehadiranku di
ruang kerjanya, beberapa jam sebelum kedatangan para tamu untuk merayakan malam
tahun baru. Aku mengatakan padanya, aku telah membuat suatu penemuan yang
mungkin akan menjadi peristiwa besar. Aku meminta izin untuk mengungkapkannya.
Ia mengangkat kepalanya, "Teruskan," katanya.
Sejak awal zaman modern, aku menyatakan, sebuah fakta ganjil terbukti benar
yaitu segala perubahan luar biasa yang terjadi pada kemanusiaan merupakan
ledakan dari pemikiran jenius. Baik yang menyangkut bidang kesenian ataupun ilmu
pengetahuan. Revolusi tersebut terjadi pada dekade pertama pergantian abad yang
baru itu. Dalam dunia seni dan ilmu pengetahuan, baik orangnya maupun terutama karyanya,
memiliki pengakuan terbaik sebagai jenius yang mengubah dunia. Kejeniusan yang
mengubah perjalanan sejarah" Dalam dunia seni rupa, orang-orang hebat itu
semuanya menunjuk ke Scrovegni Chapel. Giotto memperkenalkan lagi figurasi tiga
dimensi kepada dunia modern. Dalam dunia sajak, Dante adalah satusatunya orang
diakui dengan karyanya Inferno. Dalam bidang seni patung, Michelangelo
mengguncang dengan karyanya David, yang dipahat dari sebongkah batu pada tahun
1501. Pada tahun itu pula, muncul revolusi mendasar dari ilmu pengetahuan
modern. Seorang bernama Nicolaus dari Torus (Copernicus) melakukan perjalaan ke
Padua untuk berpura-pura belajar ilmu kedokteran. Namun sesungguhnya,
melanjutkan penelitian astronomis yang membawanya menemukan satu kebenaran yang
terlarang. Dalam bidang sastra, pilihan harus jatuh pada dedengkot novel, Don
Quixote(l 604). Sementara di bidang musik, tidak seorang pun yang
menyaingi Beethoven. Dialah pencipta musik terobosan yang jenius.
Itulah hal yang kusampaikan pada Ayahku. Aku baru berusia tujuhbelas tahun waktu
itu. Kupikir, sungguh luar biasa menjalani kehidupan pada pergantian abad itu.
Aku memperkirakan akan ada karya dan gagasan yang meng-goncang kemanusian pada
beberapa tahun ini. Dan karena itu, orang akan menciptakan sesuatu yang hebat
untuk kehidupan mereka di tengah pergantian milenium seratus tahun kemudian.
"Kau benar-benar..., bersemangat," itulah tanggapan dingin dan satusatunya jawaban
ayahku. Mungkin aku salah karena masuk ke ruang kerjanya untk memperlihatkan
kegembiraanku. Kata bersemangat, bagi ayahku merupakan sebuah istilah untuk
celaan. Namun semangatku mendapat balasan. Pada tahun 19D5, seorang keturunan Vahudi-
Jerman dari Swiss, menghasilkan sebuah teori yang disebutnya relativitas. Dalam
duabelas bulan, para profesorku di Harvard mengatakan, Einstein telah mengubah
pikiran kami tentang ruang dan waktu untuk selamanya. Dalam bidang seni, aku
mengaku memang tidak ada perubahan. Pada tahun 19D3, kerumunan orang di St.
Botolph ramai membicarakan teratai Perancis, yang kemudian terbukti merupakan
karya seorang seniman yang mulai kehilangan penglihatanya. Ketika tiba pada
pengertian manusia akan dirinya sendiri, perkiraanku kembali terpenuhi. Sigmund
Freud menerbitkan bukunya Interpretation of Dreams pada tahun 1900. Ayahku
mungkin akan mengejek, tetapi aku yakin kalau Freud juga akan mengubah cara
berpikir kita selamanya. Setelah Freud, penilaian kita pada diri kita sendiri
atau orang lain akan berubah.
Ayahku tidak pernah berkata dengan keras kalau kegemaranku akan karya
Shakespeare b erlebihan. Katanya, ada sesuatu yang tidak sehat dalam keterta-
rikanku yang besar terhadap fiksi, terutama Ham-let. Seharusnya aku lebih
realistis. Ia hanya sekali mengatakan perasaannya. Ketika berusia tigabelas
tahun, waktu itu aku kira tidak ada seorang pun di rumah, maka aku mengatakan
beberapa kalimat fiksi Hamlet: Apa artinya Hecuba baginya, atau ia bagi Hecuba,
sehingga ia harus m enangis karena perempuan itu " Mungkin aku agak mendapat
kesulitan ketika mengucapkan bagian ini, Oh, pem batasan dendam,' Atau Huh untuk
itu! Hahf Ayahku, tanpa setahuku, menyaksikan semua itu. Ketika aku selesai, ia
berdeham dan bertanya apa arti Hamlet bagiku, atau artiku bagi Hamlet, sehingga
aku harus menangis karenanya"
Tidak perlu dikatakan, namun aku tidak menangis, seingatku. Maksud Ayah,
kecintaanku pada Hamlet bisa tidak berguna sama sekali dalam berbagai hal. Baik
itu untuk masa depanku, atau untuk dunia. Ia ingin aku mengerti tentang hal ini
sejak awal. Ia telah berhasil dan, lagi pula, aku tahu ia benar.
Namun pengetahuan itu tidak mengurangi kecintaanku pada Shakespeare. Seperti
diketahui, aku telah menghapus penyair Avon dari daftar orang jenius pengubah
dunia. Penghapusan itu merupakan strategi. Aku ingin tahu apakah ayahku memakan
umpanku atau tidak. Tampaknya ayahku menggunakan "Shakespeare-ku tercinta,"
untuk melawanku. Ayahku jauh lebih mudah menyebutnya daripada menyebut nama
Dickens atau Tolstoy. Ayahku tahu kalau aku akan segera menyebut mereka hanya
sebagai tokoh besar sastra klasik pertengahan abad, bukan sebagai penemu hal
baru. Tetapi ia tahu kalau aku tak akan pernah menghapus gelar jenius
revolusioner bagi Shakespeare sebagaimana sebuah argumen dan bantahanku.
Boleh jadi ayahku mencurigai adanya sebuah jebakan, atau sejarah buku itu sudah
diketahuinya dengan baik dari yang kuduga. Namun ia tidak bertanya. Aku pun
tidak menceritakannya bahwa Hamlet ditulis pada tahun 16DD.
Aku tidak juga berkesempatan untuk menjelaskan kalau aku bukanlah satusatunya
penggemar Shakespeare. Banyak orang yang rela mati demi Hamlet. Ayahku tidak
tahu itu. Dan semuanya itu tidak ada gunanya, begitulah yang mungkin akan
dikatakan ayahku: demi Hamlet. Namun memang begitu, orang biasanya lebih memer-
dulikan hal yang justru kurang nyata. Contohnya kedokteran, bagiku, mewakili
kenyataan. Semua yang kulakukan sebelum aku kuliah kedokteran, tidak tampak
nyata lagi, semuanya hanya permainan. Karena itulah para ayah harus meninggal:
untuk membuat dunia menjadi nyata bagi putra-putra mereka.
Ini serupa dengan pemindahan dalam perawatan: si pasien membentuk sebuah
hubungan emosional yang pal-ing menengangkan dengan dokternya. Seorang pasien
perempuan akan menangis demi dokternya; ia akan memberikan dirinya dan rela mati
bagi dokternya. Namun itu semua hanya fiksi. Dalam dunia nyata, perasaan pasien
itu tidak ada hubungan dengan dokternya. Kepada dokter itulah si pasien
mewujudkan beberapa kekerasan, mengendapkannya dengan mempergunakan orang lain.
Kekacauan terburuk dalam analisa yang mungkin terjadi adalah kesalahan membangun
perasaan tiruan. Apakah itu
perasaan menggairahkan atau kebencian, untuk dijadikan kenyataan. Maka aku
menguatkan diri ini ketika berjalan menuju kamar Nona Acton.
Tujuh WAN ITA TUA ITU membiarkan aku masuk ke kamar, lalu berseru, "Dokter muda itu
sudah datang!" Nona acton duduk di sofa tepat di bawah jendela. Satu kakinya tertekuk di bawah
tubuhnya. Ia membaca sebuah buku pelajaran matematika, lalu mendongak kepadaku
tanpa memberi salam. Hal itu dapat dimengerti lantaran ketidakmampuannya untuk
bicara. Sebuah lampu bergantung di langitlangit, dan kepingan kristal yang
menyerupai tetesan air mata itu sedikit bergetar, mungkin pengaruh kereta api
yang berjalan di bawah kami.
Nona Acton hanya mengenakan pakaian putih dengan tepian biru tanpa perhiasan. Di
sekeliling lehernya, tepat di atas belahan dadanya yang lembut, ada setangan
berwarna biru langit. Lantaran panasnya udara musim itu, hanya ada satu
kemungkinan mengapa ia mengenakan setangan itu: memar pada lehernya masih
terlihat, rupanya ia ingin menyembunyikanya.
Penampilannya sangat berbeda dari malam sebelumnya sehingga bisa saja aku tidak
mengenalinya. Rambut panjang yang sebelumnya kusut masai, sekarang halus
bercahaya dan dikepang sempurna. Kemarin ia gemetar tak terkendali, sekarang bak
sebuah lukisan keanggunan, dengan dagunya terangkat tinggi di atas leher
jenjangnya. Hanya bibirnya yang masih terlihat agak bengkak.
Aku mengeluarkan beberapa kertas catatan, pena
dan tinta yang aku gunakan mempermudah komunikasi dengan gadis itu. Sesuai
nasihat Freud, aku mencatat apa saja selama sesi analisa berlangsung. Aku hanya
mencatatkan semuanya yang mampu kuingat setelah sesi selesai.
"Selamat pagi, Nona Acton," sapaku, "ini untukmu." "Terimakasih," katanya, "apa
yang seharusnya kusu-guhkan?"
"Apa saja," kataku, "Kau sudah dapat berbicara." "Ibu Biggs," katanya, "tolong
tuangkan teh untuk dokter."
Aku menolak tehnya. Rasa kesal yang kurasakan lantaran terkejut, kini bertambah
dengan kenyataan kalau aku adalah seorang dokter yang bisa saja kesal karena
keadaan pasiennya membaik tanpa bantuanku.
"Kau sudah membaik sejak kemarin?" Tanyaku.
"Belum. Tetapi temanmu, dokter tua itu, berkata kalau semuanya akan kembali
secara alamiah, bukankah begitu?"
"Dr. Freud berkata suaramu mungkin saja akan kembali secara alamiah, tetapi
bukan ingatanmu." Bagiku itu merupakan pernyataan aneh, karena aku sendiri tidak
yakin apakah pernyataan itu benar.
"Aku benci Shakespeare," katanya.
Matanya terus menatap mataku, tetapi aku melihat apa penyebab tercetusnya kata-
katanya itu. Rupanya buku Hamlet-ku tersembul dari tumpukan buku catatan yang
tadi kutawarkan padanya. Aku memasukkanbuku daram itu ke dalam tas. Rasanya aku
ingin bertanya mengapa ia membenci Shakespeare, tetapi ada gagasan lain yang
lebih baik, "Bisa kita mulai perawatanmu, Nona Acton?"
Sambil mendesah seperti seorang pasien yang telah
terlalu sering menemui banyak dokter, ia berpaling dan menatap jendela, sehingga
punggungnya-lah yang menghadap padaku. Gadis itu tampak sedang berpikir. Rupanya
ia mengira aku akan menggunakan stetoskop untuk perawatannya. Aku memberitahu
kalau kami hanya sekadar berbicara saja.
Ia bertukar pandang ragu dengan Ibu Biggs. "Itu perawatan macam apa, dokter?"
Tanyanya. "Namanya psikoanalisa. Sangat sederhana. Aku harus minta pelayanmu untuk
meninggalkan kita. Lalu, silahkan berbaring, Nona Acton, aku akan mengajukan
beberapa pertanyaan. Kau hanya menjawab dengan apa saja yang ada di dalam
pikiranmu. Mohon jangan khawatir jika jawabanmu itu nanti tampak tidak
berhubungan atau tidak akan menjawab pertanyaanku sama sekali. Bahkan kalau
jawabanmu itu terdengar tidak sopan. Katakan saja hal pertama yang muncul dalam
benakmu, apa pun itu."
Ia berkedip padaku. "Kau bercanda."
"Sama sekali tidak." Aku memerlukan beberapa menit untuk mengatasi keraguan
gadis itu, termasuk beberapa menit lainnya untuk mengatasi pernyataan Ibu Biggs
tadi kalau ia belum pernah mendengar adanya perawatan semacam itu. Ibu Biggs pun
pergi, dan Nona Acton mulai berbaring di sofa. Ia memperbaiki letak setangannya,
lalu merapikan pakaiannya. Wajar saja kalau ia tampak tidak tenang. Aku bertanya
apakah cidera pada punggungnya itu mengganggu" Ia menjawab tidak. Aku mengambil
tempat pada sebuah kursi yang tidak terlihat olehnya, lalu memulai. "Kau bisa
katakan padaku tentang mimpimu tadi malam?"
"Maaf?" "Aku yakin kau mendengarku, Nona Acton."
"Aku rasa mimpiku tidak ada hubungannya dengan ini semua."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mimpi itu," aku menjelaskan, "terbentuk dari potongan-potongan berbagai
pengalaman sehari-hari kita. Mimpi apa pun yang kau ingat mungkin bisa membantu
mengembalikan ingatanmu."
"Bagaimana jika aku tidak mau mengatakannya?" Tanyanya.
"Kau punya mimpi yang kau merasa lebih baik jika tidak kau ceritakan?"
"Aku tidak mengatakan begitu," katanya, "bagaimana jika aku sudah melupakannya"
Mengapa kalian mengira aku masih mau mengingat kejadian itu."
"Aku menduga kau tidak mau mengingat itu kembali. Jika kau mau mengingatnya, kau
pasti bisa." "Apa maksudmu?" Ia duduk, dan mendelik padaku dengan sangat jelas untuk
menunjukkan permusuhan. Seharusnya, aku tidak mungkin dibenci oleh seseorang
yang baru saja kukenal, namun kali ini tampaknya suatu pengecualian. "Kau pikir
aku berpura-pura?" "Tidak berpura-pura, Nona Acton. Terkadang kita tidak mau mengingat beberapa
kejadian karena itu terlalu menyakitkan. Maka kita menguncinya, terutama
kenangan masa kanak-kanak."
"Aku bukan anak-anak."
"Aku tahu itu," kataku, "maksudnya, mungkin saja kau memiliki kenangan akan
kejadian beberapa tahun lalu yang kau simpan di luar kesadaranmu."
"Apa maksudmu" Baru saja kemarin aku diserang, bukan beberapa tahun yang lalu."
"Ya, dan karena itulah aku mempertanyakan mimpimu tadi malam."
Ia menatapku dengan curiga, tetapi dengan sedikit membujuk, aku bisa membuatnya
kembali berbaring. Sambil menatap pada langitlangit ia berkata, "Kau juga
meminta pasien wanita lain untuk menceritakan mimpinya, Dokter?"
"Ya." "Pasti menyenangkan sekali," ujarnya, "tetapi bagaimana jika mimpi mereka sangat
membosankan" Apakah mereka kemudian mengarang mimpi yang lebih menarik?"
"Harap jangan memikirkan tentang hal itu."
"Tentang apa?" "Tentang apakah mimpimu membosankan," kataku. "Aku tidak bermimpi. Kau pastilah
menyukai Ophelia." "Maaf?"
"Karena kepatuhannya. Semua tokoh wanita Shakespeare bodoh, tetapi Ophelia-lah
yang paling parah." Ini mengejutkanku. Kupikir aku memang selalu menyukai Ophelia. Sebenarnya,
segala yang kuketahui tentang perempuan, kurasa aku telah mendapatkannya dari
Shakespeare. Nona Acton benar-benar mengubah topik, dan sesi bisa saja terhenti.
Namun membiarkan seorang pasien yang berusaha menghindar, terkadang berguna juga
dalam sebuah analisa. Seiring setelah itu, mereka akan kembali ke masalah
terpenting, "Mengapa kau tidak menyukai Ophelia?" Tanyaku.
"Ia bunuh diri karena ayahnya mati. Ayahnya bodoh dan tidak memiliki tujuan.
Apakah kau akan bunuh diri jika ayahmu meninggal dunia?"
"Ayahku memang sudah meninggal dunia."
Tangannya menutupi mulutnya. "Maafkan aku."
"Dan aku memang bunuh diri," tambahku, "semua itu lumrah bagiku."
Ia tersenyum. "Nona Acton, ketika kau memikirkan kejadian kemarin, apa yang muncul dalam
benakmu?" "Tidak ada," katanya, "aku percaya, begitulah artinya jika mengalami amnesia."
Penolakan gadis itu tidak mengejutkanku. Sebuah nasihat Freud padaku adalah
pantang menyerah terlalu mudah. Dalam amnesia histeris, beberapa bagian
terlarang dan yang sudah lama terlupakan dari masa lalu seorang pasien, dapat
saja muncul kembali dalam kehidupannya lantaran peristiwa yang baru saja
dialaminya, yang menekan kesadarannya. Kesadarannya itu kemudian melawan dengan
segala kekuatannya untuk tetap menjauhi memori yang tak dapat diterimanya tersebut. Psikoanalisa berpihak pada
memori untuk melawan kekuatan penekanan; karena itu bangkitlah kebencian secra
tak terduga dari si pasien terhadap dokternya.
"Tak pernah tidak ada apa-apa di benak seseorang," ujarku, "apa yang ada di
benakmu saat ini?" "Saat ini?" "Ya, jangan mengingat-ingat, katakan saja." "Baiklah. Ayahmu sudah meninggal
dunia. Ia bunuh diri." Ada hening sesaat. "Bagaimana kau tahu itu?" "Clara Banwell mengatakannya
padaku." "Siapa?"
"Ia adalah teman ayahmu. Clara mengajakku ke pameran kuda tahun lalu. Kami
melihatmu di sana. Kau hadir di pesta Nyonya Fish tadi malam?"
Aku mengakui kenyataan itu.
"Kau mereka-reka apakah keluargaku diundang," katanya, "tetapi kau takut
bertanya, karena kau takut
jika kami memang tidak diundang."
"Tidak, Nona Acton, aku mereka-reka bagaimana Nyonya Banwell tahu tentang
kematian ayahku." "Apakah aneh jika ada orang lain yang mengetahuinya?"
"Kau sedang mencoba membuat hal itu menjadi aneh?"
"Clara mengatakan, semua gadis berpendapat kalau peristiwa bunuh diri Ayahmu
adalah kenyataan yang menarik. Mereka mengira kejadian itu memberimu jiwa.
Jawaban pertanyaanmu adalah kami memang diundang, tetapi selamanya aku tidak
akan pernah hadir dalam pesta-pesta kalian."
"Begitukah?" "Ya, begitu. Pesta-pestamu memuakkan." "Mengapa?"
"Karena mereka sangat..., sangat membosankan."
"Mereka memuakkan dan membosankan?"
"Kau tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang baru saja bergabung
dalam masyarakat kelas atas" Pertama, ia harus datang ke rumah semua kenalan
ibunya..., mungkin ada seratus rumah. Aku ragu apakah kau bisa membayangkan betapa
menyiksanya hal itu. Di dalam setiap rumah, para wanita itu berkomentar tentang
betapa dewasanya penampilanmu. Padahal maksudnya sangat menjijikkan. Ketika hari
yang dinanti itu tiba, kau akan dipamerkan seperti hewan berjalan. Seperti ada
pengumuman pembukaan sebuah sesi. Lalu kau dipaksa berdansa dengan setiap lelaki
yang percaya kalau mereka mempunyai hak untuk bercinta denganmu. Tidak peduli
siapa dirimu, betapa tuanya dirimu, tidak peduli sebau apa nafasmu. Aku belum
pernah berdansa dengan mereka. Aku mulai kuliah bulan ini, karena itu aku
tidak akan pernah keluar lagi."
Aku memilih untuk tidak menanggapinya, walau keseluruhannya tampak benar.
Sebagai gantinya, aku pun berkata, "Katakanlah kepadaku apa yang terjadi ketika
kau mencoba untuk mengingat."
"Apa maksudmu dengan apa yang terjadi?"
"Aku ingin kau mengatakan padaku, gagasan atau gambar atau perasaan apa pun itu
yang muncul ketika kau berusaha mengingat kejadian kemarin."
Ia menarik nafas dalam. "Tempat kejadian itu" Yang kulihat hanyalah kegelapan.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya."
"Kau ada di sana, di dalam kegelapan itu?"
"Aku di sana?" Tanyanya lirih, "kukira ya."
"Ada yang lain di sana?"
"Seseorang," ia gemetar, "seorang lelaki."
"Apa yang kau pikirkan ketika melihat lelaki itu?"
"Aku tidak tahu. Ia membuat jantungku berdebar cepat."
"Seolah ada yang kau takuti?"
Ia menelan liurnya. "Takut" Coba kupikir. Aku baru diserang di rumahku sendiri,
si penyerang belum ditangkap. Mereka pun tidak mengetahui siapakah orang itu.
Mereka percaya mungkin saja ia sedang mengamati rumahku, dan merencanakan untuk
membunuhku jika aku kembali. Lalu pertanyaanmu yang menjengkelkan adalah apakah
ada yang kutakuti?" Aku seharusnya bersikap lebih simpatik padanya, namun aku memutuskan untuk
kehilangan satusatunya anak panah yang kumiliki. "Ini bukan untuk pertama
kalinya kau kehilangan suaramu, Nona Acton?"
Ia mengerutkan keningnya. Tanpa kusadari, aku melihat garis dagu dan profil
wajahnya yang anggun. "Ibu Biggs yang mengatakannya padaku kemarin." "Itu tiga
tahun lalu," jawabnya, wajahnya agak berubah warna, "dan sama sekali tak ada
hubungannya." "Kau tidak perlu malu, Nona Acton."
"Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuatku malu?"
Aku mendengar penekanan pada kata 'aku" tetapi tak dapat kumengerti. "Kita tidak
bertanggungjawab akan perasaan kita," kataku, "makanya, tidak ada perasaan yang
dapat membuat kita malu."
"Itu adalah katakata terbodoh yang pernah kudengar selama hidupku."
"Oh, begitukah?" Tanyaku, "bagaimana dengan ketika aku bertanya padamu apakah
kau punya hal yang menakutkanmu?"
"Tentu saja perasaan dapat membuat orang malu. Itu selalu terjadi."
"Apakah kau malu karena apa yang terjadi ketika kau untuk pertama kalinya
kehilangan suaramu?"
"Kau tidak tahu apa yang terjadi," katanya. Walau tidak terdengar melemah, tapi
tibatiba ia menjadi rapuh. "Karena itu aku bertanya."
"Well, aku tidak akan mengatakannya padamu," ia bangkit dari sofa, "ini bukan
terapi. Ini.., ini namanya mengungkit-ungkit." Ia meninggikan suaranya, "Ibu
Biggs" Ibu Biggs, kau ada di sana?"
Pintu terbuka, dan Ibu Biggs bergegas masuk. Tentunya wanita tua itu telah sejak
lama berada di koridor dengan telinganya menempel di lubang kunci. "Dr.
Younger," kata Nona Acton padaku, "aku akan pergi untuk membeli sesuatu. Kurasa
tidak ada yang tahu sampai
berapa lama aku harus tinggal di sini. Dokter, aku yakin kau tahu jalan menuju
ke kamarmu sendiri."
9 WALIKOTA MCCLELLAN MEMAKSA Hugel untuk menunggu selama satu jam. Ahli otopsi itu
tidak sabar dengan keadaan yang sudah umum terjadi ini. Kini ia tampak berang.
"Ini pelanggaran tingkat pertama," serunya ketika ia pun diterima di kantor
Walikota, "aku menuntut diadakannya penyidikan."
George Brinton McClellan, Jr. adalah putra seorang jendral Perang Saudara. Ia
adalah seorang tercerdas dengan pikiran jauh ke depan. Ia pun pernah menjabat
sebagai Walikota New York City. Pada tahun 19D9, hanya sedikit orang Amerika
yang bisa diakui sebagai seorang ahli sejarah Italia. McClellan adalah salah
satunya. Pada usia ke empatpuluh tiga, ia telah menjadi seorang editor koran,
pengacara, penulis, anggota dewan, pengajar sejarah Eropa di Princeton
University, anggota kehormatan American Society of Architects [Persatuan Arsitek
Amerika], dan Walikota dari kota terbesar itu. Ketika anggota dewan kotapraja
New York City mengeluarkan peraturan pada tahun 1908 yang melarang perempuan
merokok di depan umum, McClellan menolaknya.
Pandangannya terhadap moralitas bisa dibilang rendah. Jadwal Pemilihan Walikota
berikutnya masih kurang sembilan minggu lagi. Nama para calon belum disebutkan,
tetapi McClellan masih belum mendapatkan tawaran partai besar atau kelompok
sebagai nominasi. Di atas meja Walikota yang terbuat dari kayu walnut, selain
dari lima belas terbitan koran kota, ada satu set cetak biru. Cetak
biru itu menggambarkan jembatan gantung yang menjulang tinggi, dijangkari dengan
dua menara raksasa yang sangat tipis dan megah. Trem kota digambarkan berlalu-
lalang di bagian atas jembatan, sementara di bagian bawahnya ada enam jalur
kereta kuda, mobil dan jalur kereta api.
"Kau adalah orang kelima yang telah meminta penyidikan ini dan itu."
"Ke mana jenazah itu?" Kata Hugel, "apakah ia bisa bangun dan berjalan dengan
kedua kakinya?" "Coba lihat ini," Walikota itu berkata, sambil menatap cetak birunya. "Jembatan
Manhattan. Memakan biaya tigapuluh juta dolar untuk pembangunnya. Aku akan
meresmikannya tahun ini jika itu memang adalah hal terakhir yang kukerjakan di
kantor ini. Menara ini sebagai pemandangan New York yang merupakan tiruan dari
portal St. Denis di Paris, hanya saja ini ukurannya dua kali lebih besar. Satu
abad lagi, jembatan ini...,"
"Walikota McClellan, gadis Riverford...,"
"Aku tahu tentang gadis Riverford," kata McClellan dengan suara yang tibatiba
berwibawa. Ia menatap Hugel tepat pada wajahnya, "apa yang harus kukatakan pada
Banwell" Apa yang harus ia katakan pada keluarga gadis itu" Jawab aku, Hugel!
Tentu saja harus ada penyidikan, kau seharusnya sudah menyelesaikannya sejak
lama." "Aku?" Tanya Hugel, "sejak lama?"
"Berapa banyak jenazah yang hilang dari kita selama enam bulan terakhir ini,
Hugel, termasuk dua yang tak tercatat setelah kita memperbaiki kebocoran"
Duapuluh jenazah" Sebagaimana aku, kau juga tahu ke manakah mayat-mayat itu
pergi." "Kau tidak mengatakan kalau aku...,"
"Tentu saja tidak," kata Walikota, "tetapi seseorang dari staf-mu telah menjual
mayat-mayat itu kepada fakultas kedokteran. Aku diberitahu harganya lima dolar
per kepala." "Apakah itu salahku?" Tanya Hugel. "Dengan keadaanku yang tanpa perlindungan,
tanpa penjaga, tentu saja mayat-mayat itu menghilang, tidak ada ruangan cukup
untuk mereka semua, bahkan terkadang sudah membusuk sebelum dapat dimusnahkan"
Setiap bulan aku melaporkan tentang keadaan yang memalukan di rumah jenazah.
Tetapi kau tidak mempedulikan aku."
"Maafkan aku atas keadan rumah jenazah itu," kata McClellan, "dari laporan yang
kuterima tidak ada seorang pun yang mampu mengelolanya sebaik kemampuanmu. Kau
telah berpura-pura tidak melihat adanya pencurian mayat-mayat itu, lalu aku yang
harus bertanggungjawab. Kau harus menginterogasi setiap orang dalam staf. Kau
harus menghubungi setiap fakultas kedokteran di kota ini. Aku ingin jasad itu
ditemukan." "Mayat itu tidak berada di fakultas kedokteran," kata Hugel keberatan, "aku
sudah melakukan otopsi padanya. Aku telah melubangi paruparunya, untuk
meyakinkan adanya kesulitan bernafasnya."
"Apa hubungannya?"
"Tidak ada satu fakultas kedokteran pun yang mau membeli mayat yang sudah
diotopsi. Mereka menginginkan mayat yang utuh."
"Maka si pencuri itu membuat kesalahan."
"Tidak ada kesalahan di sini. Si pembunuh itulah yang mencuri jasad Riverford."
"Kendalikan dirimu, Hugel. Kau tak terkendali."
"Aku mampu mengendalikan diriku dengan sempurna."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Kau mengatakan, si pembunuh merampok ruang jenazah
kemarin malam dan melarikannya?"
"Tepat," kata Hugel.
"Mengapa?" "Karena ada pada tubuh gadis itu terdapat bukti yang menurut si pembunuh, tidak
boleh kita miliki." "Bukti apa?"
Rahang Hugel bekerja terlalu keras sehingga pelipisnya berubah seperti buah
plum. "Buktinya..., adalah.., aku belum yakin apakah buktinya. Karena itulah
mengapa kita harus mendapatkan kembali mayatnya!"
"Hugel, kau telah mengunci kamar mayat itu, kan?"
"Pasti." "Bagus. Apakah kunci itu rusak tadi pagi" Apakah ada bukti perampokan?"
"Tidak," kata Hugel dengan geram, "tetapi seseorang dengan kunci pencuri yang
bagus...," "Hugel, inilah yang harus kau kerjakan. Segera beritahu semua anak buahmu kalau
ada hadiah sebesar limabelas dolar bagi siapa saja yang dapat 'menemukan' gadis
Riverford di salah satu fakultas kedokteran. Duapuluh lima dolar jika mereka
menemukannya hari ini. Hadiah itu pasti akan membawanya kembali. Kini, izinkan
aku, aku sangat sibuk. Selamat siang." Ketika Hugel dengan enggan memutar tub
uhnya untuk pergi. Tibatiba McClellan mendongak menatap dari balik mejanya.
"Tunggu. Tadi kau bilang gadis Riverford mengalami sesak nafas?"
"Ya, mengapa?" "Bagaimana ia bisa sesak nafas?" "Karena jeratan."
"Ia dicekik?" "Ya. Mengapa?"
McClellan mengabaikan pertanyaan Hugel untuk kedua kalinya. "Bagian tubuh mana
lagi yang terluka?" "Semua sudah kutulis dalam laporanku," kata Hugel yang kecewa. Ia merasa terhina
begitu mengetahui ternyata McClellan belum membaca laporannya. "Gadis itu
dicambuki. Ada beberapa luka goresan pada bokong, punggung, dan dada. Ia disayat
sebanyak dua kali dengan silet sangat tajam, pada bagian pertemuan S-dua dan L
dua dermatom." McClellan tampak tidak paham, "Di mana" Tolong gunakan bahasa Inggris, Hugel."
"Pada paha dalam bagian atas pada tiap tungkai." "Demi Tuhan," kata McClellan.
9 AKU TURUN untuk makan pagi sambil mencoba memikirkan pertemuanku dengan Nona
Acton. Aku bergabung bersama Jung yang sedang membaca koran Amerika di sana.
Yang lainnya telah berangkat ke Metropolitan Museum. Jung tertinggal, katanya
menjelaskan, karena pagi-pagi ia akan mengunjungi Dr. Onuf, seorang
neuropsikiatris di Ellis Island.
Ini adalah pertama kalinya aku berdua saja dengan Jung. Kali itu, ia tampak
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah tamah dan menyenangkan. Katanya, sepanjang sore kemarin ia tertidur. Dan
hal itu akan berakibat baik baginya. Memang tampangnya pucatnya kemarin telah
membuatku dibanding bagaimana ia terlihat kali ini. Katanya, pendapatnya tentang
Amerika juga membaik, "Orangorang Amerika hanya kurang membaca karya sastra,"
katanya, "jadi, bukan budayanya yang kurang baik."
Jung bersungguh-sungguh. Kupikir itu suatu pujian. Karena itu aku ingin
memperlihatkan kalau orang-orang Amerika tidak semuanya buta sastra. Lalu aku
menggambarkan kisah keributan di Astor Place ketika dipentaskan drama
Shakespeare padanya. "Jadi, orang-orang Amerika ingin Hamlet yang berotot,"
Jung merenung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kisahku menegaskan
pendapatku. Seorang Hamlet yang jantan merupakan kontradiksi dalam istilah.
Seperti yang pernah dikatakan kakekku, tokoh Hamlet mewakili sifat keperempuanan
lelaki: kecerdasannya, jiwanya, cukup peka dalam melihat dunia spiritual tetapi
tidak cukup kuat untuk menanggung beban yang ditimbulkan. Tantangannya adalah
untuk melakukan keduanya: mendengarkan suara-suara dari dunia lain tetapi hidup
di dunia ini menjadi lelaki yang bertindak."?Aku bingung dengan "suara-suara" yang disebutkan Jung. Mungkin suara di alam tak
sadar" Tetapi aku senang ia punya pendapat tentang Hamlet. "Kau menjelaskan
tentang tokoh Hamlet benar-benar hampir seperti penjelasan Goethe," kataku, "itu
adalah penjelasan Goethe tentang ketakmampuan Hamlet dalam bertindak."
"Aku yakin, itu adalah pendapat kakek buyutku," kata Jung sambil menghirup
kopinya. Aku menunggu sebentar. Lalu, "Goethe kakek buyutmu?"
"Freud memuji Goethe lebih dari semua penyair," kata Jung. "Sebaliknya, Jones,
menyebutnya dithyram bist [penyair yang biasa saja]. Bisa kau bayangkan" Jones
hanya seorang Inggris. Aku tidak mengerti apa yang
dilihat Freud pada diri Jones." Jones yang dibicarakan Jung pastilah Ernest
Jones, seorang pengikut Freud. Kini ia tinggal di Kanada dan diharapkan akan
bergabung dengan kelompok kami besok. Aku telah menyimpulkan kalau Jung
bermaksud menghindari pertanyaanku. Lalu ia menambahkan, "Ya, aku Carl Gustav
Jung ketiga; yang pertama adalah kakekku, putra Goethe. Semua orang tahu itu.
Dugaan pembunuhan memang menggelikan."
"Aku tidak tahu Goethe didakwa membunuh."
"Goethe" Tentu saja tidak," kata Jung marah, "jelas aku sangat mirip dengan
kakekku dalam segala hal. Mereka menangkapnya dengan tuduhan pembunuhan, tetapi
itu hanya dalih. Kakekku memang menulis novel pembunuhan, judulnya The Suspect,
karya apik tentang seorang tanpa sebuah kesalahan namun dijatuhi hukuman karena
pembunuhan. Atau setidaknya, ada satu orang yang menganggapnya tidak bersalah.
Itu sebelum Humboldt melindunginya. Kau tahu, Younger, aku sebenarnya berharap
universitasmu tidak memberiku penghormatan sebagaimana yang kalian telah berikan
kepada Freud. Ia sangat perasa dalam hal seperti itu."
Aku tidak bisa menjawab dengan baik pernyataan kasar Jung terhadap Freud. Clark
tidak memberikan penghormatan yang sama pada Freud dan Jung. Seperti yang
diketahui semua orang, Freud adalah pusat perhatian dalam acara perayaan Clark.
Ia adalah pembicara utama yang akan membawakan lima kuliah penuh. Sementara
Jung, setidaknya cadangan terakhir jika ada seorang panelis yang berhalangan
hadir. Tetapi Jung tidak menanti jawabanku. Ia melanjutkan, "Aku tahu maksudmu ketika
kau mempertanyakan apakah Freud seorang beriman. Sebuah pertanyaan
cerdik, Younger." Ini juga adalah sebuah hal yang terlihat lain untuk pertama
kalinya. Jung sebelum ini tidak pernah memperlihatkan reaksi suka pada apa pun
yang kukatakan. "Tentu saja Freud mengatakan kalau ia tidak beriman. Ia seorang jenius, namun
wawasannya membahayakan dirinya. Seseorang yang terjebak karena menggunakan
waktu seumur hidupnya untuk meneliti patologis, ada kemungkinan menjadi buta
akan kemurnian, ketinggian, dan jiwa. Aku tidak percaya sama sekali bahwa jiwa
harus merupakan jasmani. Bagaimana pendapatmu?" Tanya Jung padaku.
"Aku tidak yakin, Dr. Jung."
"Tetapi kau tidak terseret ke dalam gagasan itu. Gagasan itu tidak secara
mendasar menarik hatimu. Mungkin bagi mereka, begitu."
Aku harus bertanya padanya, siapakah yang sedang dibicarakannya.
"Mereka semua. Brill, Ferenczi, Abraham, Stekel, dan banyak lainnya. Freud
membungkus dirinya sendiri dengan ini, jenis ini. Mereka semua ingin merobek apa
pun yang tinggi, untuk menurunkannya hingga berubah menjadi aurat dan kotoran.
Jiwa itu tidak bisa diturunkan maknanya menjadi jasmani. Bahkan Einstein, salah
satunya, tidak percaya bahwa Tuhan dapat dibunuh." "Albert Einstein?"
"Ia tamu makan malam di rumahku yang kerap datang," kata Jung, "tetapi ia juga
mempunyai kecenderungan untuk memp erkecil alam semesta menjadi hukum
matematika. Jelas itu merupakan khas pemikiran seorang Yahudi. Lelaki Yahudi,
tentunya. Wanita Yahudi bertipe agresif. Istri Brill adalah jenis yang seperti
itu. Cerdas, menarik, tetapi sangat agresif."
"Aku percaya Rose bukan orang Yahudi, Dr. Jung," kataku.
"Rose Brill?" Tanya Jung sambil tertawa, "seorang wanita dengan nama seperti
itu, pastilah dari agama yang satu itu."
Aku tidak menjawab. Jung jelas lupa kalau nama Rose tidak harus selalu terkait
dengan Brill. "Bangsa Aria itu," Jung melanjutkan, "bersifat mistis. Ia tidak berusaha untuk
menurunkan segalanya hingga menjadi setingkat dengan manusia. Di sini, di
Amerika, ada kecenderungan yang sama untuk menurunkannya, tetapi berbeda. Di
sini, segalanya dibuat untuk anak-anak. Segalanya dibuat sederhana mungkin
sehingga mudah dimengerti anak-anak: tanda-tanda, iklan, segalanya, bahkan betis
yang digunakan orang untuk berjalan, juga dibuat seperti anak-anak. Cara
mengayunkan lengan juga seperti itu. Aku menduga itu hasil percampuran kalian
dengan Negro. Mereka bangsa bersifat baik dan sangat beragama, tapi berpikiran
sederhana. Mereka sangat memengaruhimu. Aku mendengar gaya bicara orang-orang
Selatanmu. Mereka benar-benar berbicara dengan aksen Negro. Ini juga penjelasan
bagi sifat matriarki negerimu. Wanita Amerika jelas merupakan tokoh dominan.
Kalian, lelaki Amerika adalah domba, sementara wanita kalian berperan sebagai
srigala-srigala malam."
Aku tidak suka warna paras Jung. Pada mulanya aku menganggapnya sebagai satu
kemajuan, namun sekarang wajah tampak terlalu merah. Cara berpikirnya memb
ingungkanku, karena alasan tertentu. Percakapannya tidak fokus, logikanya kacau,
sindirannya menyakitkan. Yang terparah, kupikir Jung menganggap dirinya sangat
mengerti tentang Amerika, padahal dua hari ia berada di sini. Terutama
pengetahuannya tentang wanita Amerika. Aku mengubah topik pembicaraan dengan
memberitahunya tentang sesi pertama p sikoanalisaku dengan Nona Acton yang baru
saja usai. "Apa?" Tanya Jung dengan suara yang terdengar dingin "Ia menginap di kamar
lantai atas." "Kau menganalisa gadis itu" Kau, di sini, di hotel ini?"
"Ya, Dr. Jung."
"O, begitu." Ia berharap aku berhasil, walau tidak terlalu meyakinkan, dan
bangkit untuk pergi. Aku memintanya menyampaikan hormatku pada Dr. Onuf. Sesaat
ia menatapku seolah aku meracau. Lalu ia berkata kalau ia akan menyampaikannya
dengan senang hati. Delapan
Delapan DI TEPI TIMUR SUN GAI HUDSON, enampuluh mil ke utara New York City, berdiri
sebuah gedung besar, melebar, terbuat dari batu merah zaman Victoria. Itu adalah
gedungRumah Sakit Negara Matteawan bagi Narapidana Sakit Jiwa. Rumah sakit
Matteawan memiliki pengamanan yang relatif kecil. Lagipula, kelimaratus
limapuluh penghuninya bukanlah penjahat. Mereka hanyalah penjahat yang
disebabkan karena ketidakwarasannya. Banyak di antaranya tidak dijatuhi hukuman
sama sekali. Bahkan ada juga yang tidak dinyatakan bersalah.
Pada tahun 1909, pengetahuan medis akan ketidakwarasan belum merupakan ilmu
pengetahuan sempurna. Di Matteawan, kira-kira 10 persen penghuninya dinyatakan
tidak waras hanya karena ia melakukan
masturbasi. Sebagian besar dari mereka menderita ketidakwarasan karena
keturunan. Para dokter telah dipaksa untuk menyatakan penyebab penyakit itu dari
sejumlah besar penghuninya di sana, atau, bahkan menyatakan mereka tidak waras
sama sekali. Pasien di kamar 3121 melewatkan hari-harinya dengan cara berbeda. Pasien ini
juga menempati kamar 3122-24. Ia tidur tidak di atas tempat tidur lipat, seperti
penghuni lainnya, tetapi di atas ranjang besar. Dan ia tidur larut malam. Ia
bukan pembaca buku, namun setiap hari ia menerima beberapa helai surat dari New
York dan segala majalah mingguan, yang dibacanya sambil makan telur rebus.
Sementara penghuni rumah sakit lainnya berbaris dan bekerja di kebun sebagai
bentuk kegiatan pagi mereka. Ia bertemu dengan pengacaranya beberapa kali
seminggu. Yang paling hebat, Chef, seorang koki kepala, mempersiapkan makan
malamnya di ruang makan pribadinya. Sampanye dan minuman keras lainnya dengan
bebas dibagikannya kepada sebagian kecil staf penjaga di Matteawan ketika
bermain poker bersama pada malam hari. Ketika kalah dalam permainan poker, ia
akan memecahkan barang-barang seperti jendela, botol-botol, terkadang kursi.
Maka para penjaga berusaha supaya ia tidak kalah terlalu banyak. Beberapa sen
bisa saja mereka korbankan bagi permainan kartu dibandingkan dengan pembayaran
yang dilakukan si pasien untuk mendapatkan pengecualian dari peraturan rumah
sakit. Mereka dapat mengantungi keuntungan sedikit ketika mereka membawa para
wanita untuk hiburannya. Namun membawa masuk para wanita ke sana tidaklah terlalu mudah, karena pasien di
kamar 3121 memiliki selera tertentu. Ia menyukai wanita yang muda dan cantik.
Permintaan semacam itu saja telah membuat para penjaga di sana kerepotan.
Sialnya, ketika mereka menemukan yang sesuai, wanita itu hanya mampu bertahan
hingga kunjungan kedua saja, meskipun pembayarannya sangat royal. Setelah hanya
duabelas bulan, para penjaga benar-benar itu telah kehabisan persediaan wanita
baginya. Kedua lelaki itu keluar dari kamar 3121 tepat pukul satu pada hari Selasa di
penghujung bulan Agustus 1909. Mereka bukanlah penjaga. Tarikan wajah salah satu
orang yang mengenakan topi bowling, memperlihatkan kepuasan yang tinggi. Satu
lagi adalah seorang lelaki lebih tua dengan sebuah jam rantai yang menggelantung
dari saku rompinya. Ia berwajah tirus dan jemarinya bak pemain piano.
g PEN JELASAN WALIKO TA MCCLELLAN tentang peristiwa yang terjadi di kamar Nona
Acton, telah membuat ahli otopsi marahmarah panjang-pendek.
"Ada apa denganmu, Hugel?" Tanya pak Walikota.
"Aku tidak diberitahu. Mengapa aku tidak diberitahu?"
"Karena kau adalah ahli otopsi," kata McClellan, "tidak seorang pun yang
terbunuh." Tetapi kejahatan itu dapat terlihat jelas," bantah Hugel.
"Aku tidak tahu itu," kata Walikota McClellan.
"Jika kau telah membaca laporanku, kau akan tahu!"
"Demi Tuhan, tenanglah Hugel." Lalu McClellan memerintahkannya untuk duduk.
Setelah kedua orang itu meneliti kembali kejahatan tersebut dengan lebih rinci,
Hugel menegaskan, jelaslah pembunuh Elizabeth Riverford adalah orang yang
menyerang Nora Acton. "Maha Besar Tuhan," kata McClellan perlahan, "haruskah aku mengeluarkan
peringatan?" Hugel tertawa mengejek, "Seorang pembunuh para gadis kaya raya
sedang menghantui kota kita?"
McClellan bingung karena nada kalimat Hugel. "Wah, ya begitu, kukira, atau
paling tidak begitu."
"Lelaki tidak menyerang perempuan muda begitu saja," jelas Hugel, "kejahatan
harus memiliki motif. Scot-land Yard tidak pernah bisa menangkap Ripper karena
mereka tidak pernah menemukan hubungan antara si penjahat dan para korbannya.
Mereka tidak pernah mencari motif itu. Saat mereka memutuskan kalau pelaku
kejatahan itu adalah orang gila, kasus itu menghilang begifWabJB .Besar Tuhan,
wah, kau tidak sedang mengatakan si Ripper itu berkeliaran lagi, kan?"
"Tidak, tidak, tidak," kata Hugel sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan
jengkel, "aku mengatakan, kedua serangan itu tidak asal saja. Ada sesuatu yang
menghubungkan mereka. Saat kita menemukan hubungan itu, kita akan tahu siapa
penjahatnya. Kau tidak perlu memperingatkan masyarakat, dan kau harus melindungi
gadis itu. Penjahat itu sudah menginginkan kematiannya, dan gadis itu sekarang
adalah satusatunya orang yang dapat mengenalinya di pengadilan. Jangan lupa, ia
tidak tahu jika si gadis korban itu kehilangan memorinya. Pasti ia akan
menyelesaikan pekerjaannya."
"Syukurlah aku telah memindahkannya ke hotel," kata McClellan.
"Ada yang tahu di mana gadis itu berada sekarang?"
"Para dokternya tentu saja."
"Kau mengatakan pada teman dan keluarganya?" Tanya Hugel.
"Tentu saja tidak," kata McClellan."
"Bagus. Kalau begitu ia selamat sekarang. Apakah hari ini ia sudah dapat
mengingat sesuatu?" "Aku tidak tahu," kata McClellan muram, "aku belum bisa menghubungi Dr.
Younger." Walikota McClellan mempertimbangkan pilihannya. Ia berharap ia dapat
menghubungi Jendral Bingham, mantan komisaris polisinya yang lama, Namun
McClellan-lah yang mendorongnya hingga Bingham pensiun sebulan yang lalu.
Bingham telah menolak untuk memperbaiki citra polisi, tetapi ia sendiri tidak
dapat disuap, Ia pasti tahu apa yang harus $&tem^9tan Wajjl^ $Sffin$$JlSi"BtU-
hM&rf"ia Ba^p uang yang bisa dihasilkan darinya. Seingat McClellan, Hugel adalah salah satu
dari orang-orang yang paling berpengalaman dalam satuan itu. Bukan itu saja,
dalam kasus pembunuhan, ia adalah yang paling berpengalaman. Jika ia tidak
menganggap peringatan sebagai sesuatu yang penting, mungkin ia benar. Berbagai
surat kabar tentu saja akan mendapat keuntungan dari berita itu, karena
masyarakat berubah histeris dan Walikota akan dihujat. Mereka pasti juga akan
tahu tentang hilangnya jasad korban pertama. McClellan telah meyakinkan Banwell
kalau polisi akan coba mengungkap kasus tanpa diketahui publik. George Banwell
adalah salah seorang teman Walikota yang telah ditinggalkan. Akhirnya McClellan
memutuskan untuk mengikuti saran Hugel.
"Baiklah," kata McClellan, "Tidak ada peringatan sekarang, kau harus benar, Pak
Hugel. Temukan orang itu untukku. Pergilah ke rumah Nona Acton sekarang juga. Kau akan memimpin
penyidikan di sana. Dan katakan pada Littlemore aku ingin bertemu dengannya
segera." Hugel protes. Sambil membersihkan kacamatanya, ia mengingatkan McClellan kalau
itu bukan bagian dari tugas ahli otopsi untuk berkeliaran di kota seperti
detektif biasa. McClellan menelan rasa jengkelnya. Ia meyakinkan kalau hanya
dialah yang dapat dipercaya lantaran penting dan pekanya kasus ini, apalagi
matanya terkenal paling awas di satuan ini. Hugel, mengedipkan matanya karena
tampaknya ia setuju dengan pernyataan-pernyataan itu. Ia pun setuju untuk pergi
ke rumah Nona Acton. Begitu Hugel meninggalkan kantornya, McClellan memanggil sekretarisnya, "Telepon
George Banwell." Sekretarisnya memberi tahu kalau Banwell telah menelponnya
sepanjang pagi itu. "Apa yang diinginkannya?" Tanya McClellan. "Ia agak kasar, Yang Mulia," katanya.
"Tidak apa, Nyonya Neville. Apa yang diinginkannya?"
Nyonya Neville membaca dari catatan stenonya. "Untuk mengetahui siapa iblis yang
membunuh gadis Riverford, apa yang membuat Hugel begitu lama menyelesaikan
otopsinya, dan ke mana uangnya."
McClellan mendesah dalam, "Siapa, apa, di mana. Ia hanya tidak menyebutkan
kapan." McClellan melihat jam tangannya. Ternyata kapannya itu sudah tinggal
sedikit lagi baginya. Dalam dua minggu paling lama, para calon Walikota akan
diumumkan. Kini ia tidak mempunyai harapan menjadi calon dari Tammany.
Kesempatannya hanya sebagai calon bebas atau gabungan, tetapi kampanye seperti
itu membutuhkan uang. Hal itu juga membutuhkan wartawan handal, bukan berita-
berita omong kosong tentang penyerangan para gadis kaya raya yang tidak terungkap.
"Telepon Banwell lagi," tambahnya pada Nyonya Neville. "Katakan padanya untuk
bertemu denganku di Hotel Manhattan dalam satu setengah jam ini. Ia tidak akan
menolak, karena ia punya pekerjaan di dekat sana, jadi ia tentu mengawasinya
sesekali waktu. Lalu panggil Littlemore."
Setengah jam kemudian, detektif itu melongokkan kepalanya ke kantor Walikota,
"Anda ingin bertemu denganku, Yang Mulia?"
"Pak Littlemore," kata Walikota, "kau tahu kita mendapatkan serangan lain lagi?"
"Ya. Pak Hugel telah mengatakannya padaku."
"Bagus. Kasus ini penting sekali bagiku, Detektif. Aku mengenal Acton, dan
George Banwell adalah teman lamaku. Aku ingin selalu diberitahu setiap ada
perkembangan. Dan aku ingin kasus ini dirahasiakan. Segera pergilah ke Hotel
Manhattan, temui Dr. Younger, cari tahu apakah ia telah membuat kemajuan. Jika
ada informasi baru, segera hubungi aku. Dan Detektif, jangan menarik perhatian.
Jangan sampai ada kebocoran kalau kita mempunyai saksi penting yang menginap di
hotel. Hidup Nona Acton bergantung pada kerahasiaan itu. Kau mengerti?"
"Ya, Tuan Walikota," kata Littlemore, "kepada siapakah aku harus melapor" Kepada
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anda, atau kepada Kapten Carey di bagian Pembunuhan?"
"Kau melapor kepada Hugel," jawab Walikota, "dan juga kepadaku. Kasus ini harus
dituntaskan, Littlemore. Dengan segala cara. Kau telah mempunyai penjelasan
tentang pembunuhnya?"
"Ya, Tuan Walikota." Littlemore ragu-ragu, "Hmm, satu
pertanyaan lagi bagaimana jika penjelasan Hugel itu ternyata salah?"
"Kau punya alasan menganggapnya salah?" "Kupikir...," kata Littlemore, "kupikir
ada seorang lelaki Cina yang kemungkinan terlibat."
"Seorang lelaki Cina?" Ulang McClellan, "kau telah memberitahu Hugel?"
"Ia tidak setuju, Tuan."
"Oh begitu. Well, aku mengatakan padamu, sebaiknya kau percaya saja pada Pak
Hugel. Aku tahu ia peka pada hal-hal tertentu, Detektif. Tetapi kau harus ingat
betapa sulitnya bagi seorang jujur untuk melaksanakan tugasnya dalam
ketidakjelasan, sementara orang yang tak jujur berhasil menjadi kaya dan
ternama. Karena itulah korupsi sangat merusak. Korupsi mematahkan niat orang-
orang baik. Hugel punya kemampuan luar biasa, dan ia menghormatimu, Detektif. Ia
memintamu secara khusus untuk menangani kasus ini."
"Begitukah, Tuan?"
"Betul. Sekarang pergilah, Littlemore."
9 KETIKA MENINGGALKAN HOTEL, aku bertemu dengan Nona Acton dan Ibu Biggs yang akan
pergi berbelanja. Sebuah kereta kuda sewaan baru saja berhenti untuk mereka.
Karena jalanan buruk, berdebu dan tidak rata lantaran lumpur kering dan tanah,
aku membantu Nona Acton untuk menaiki kereta kuda. Ketika aku melakukannya, aku
mengetahui kalau pinggang rampingnya hampir dapat kubungkus dalam dua tanganku.
Aku juga berniat membantu Ibu Biggs, namun perempuan baik
hati itu tidak memerlukannya.
Kepada Nona Acton aku katakan harapanku untuk dapat bertemu lagi dengannya esok
pagi. Ia bertanya apa maksudku. Aku mengingatkannya dengan cara menjelaskan
tentang sesi psikoanalisa berikutnya. Tanganku masih memegangi pintu kereta
kudanya yang terbuka. Ia menarik pintu itu dan menutupnya, sehingga tanganku
melepaskannya. "Aku tidak mengerti ada apa dengan kalian semua," katanya, "aku
tidak mau sesimu lagi. Aku akan dapat mengingat semuanya dengan caraku sendiri.
Jangan ganggu aku lagi, itu saja."
Kereta kuda itu bergerak. Sulit menggambarkan perasaanku ketika aku menatap
kepergian mereka. Kecewa, bukanlah ungkapan yang benar-benar memadai. Aku
berharap tubuhku yang terlalu tegap ini sebaiknya remuk dan melebur dengan tanah
jalanan. Brill seharusnya yang menjadi analis. Sementara aku lebih patut disebut
sebagai seorang pekerja medis, seorang dokter umum. Akan terlalu hebat jika aku
berpura-pura menjadi seorang psikoanalis.
Aku telah gagal sebelum memulainya. Gadis itu telah menolak analisa, dan aku
tidak berhasil mengubah pendapatnya. Tidak, akulah yang menyebabkan penolakannya
itu, karena pertanyaanku terlalu mengejar gadis itu sebelum dasar sesi tersebut
diletakkan. Sebenarnya aku tidak siap dengan keadaannya yang sudah dapat
berbicara. Aku telah lupa pada perkiraan Freud sendiri kalau gadis itu mungkin
saja akan dapat berbicara lagi dalam semalam. Kembalinya suara itu, seharusnya
menjadi anugerah bagi perawatannya. Suatu perkembangan yang paling menyenangkan.
Namun, bagiku itu justru mengacaukan. Aku seharusnya membayangkan diriku bersama
seorang pasien dan aku seorang dokter yang sangat membantu. Tetapi aku
menanggapi penolakannya justru dengan cara membela diri. Aku merasa seperti
seorang amatir yang kacau.
Apa yang akan kukatakan pada Freud nanti"
9 KETIKA MEMASUKI HOTEL MANHATTAN, Detektif Littlemore melewati seorang gadis yang
sedang dibantu seorang pemuda untuk memasuki kereta kuda. Kedua orang itu, bagi
Littlemore, mewakili sebuah dunia yang tidak mungkin dimasukinya. Mereka
menyenangkan untuk dipandang, berpakaian dari bahan lembut yang hanya dapat
dibeli oleh orang kaya. Lelaki muda itu jangkung, berambut gelap, dan tulang
pipinya tinggi. Sementara gadis itu, lebih menyerupai bidadari dibandingkan
dengan apa yang pernah ada dalam benak Littlemore. Ketika pemuda itu mengayun
gadis ke dalam kereta kuda, caranya begitu luwes, sehingga Littlemore tahu kalau
ia tak memiliki kemampuan seperti itu juga.
Tidak seorang pun memperhatikan Littlemore. Ia tidak membenci lelaki muda itu,
dan ia menyukai Betty dibandingkan gadis tadi yang terlihat seperti bidadari.
Tetapi ia memutuskan untuk mempelajari gerakan pemuda itu. Ia membayangkan
dirinya mengangkat Betty naik ke kereta kuda. Tentunya jika ia mampu menyewa
kereta kuda, dan mengajak Betty.
Satu menit kemudian, setelah melakukan tanya jawab kilat dengan pegawai di meja
penerima tamu, Littlemore bergegas ke luar ke arah pemuda itu. Dengan tangan
saling terkait di belakang punggungnya, pemuda itu
menaatap kereta kuda yang semakin mengecil. Matanya terpusat penuh perhatian
dengan mata garang. Littlemore menduga kalau ada yang tidak beres pada pemuda
itu. "Anda Dr. Younger, bukan?" Tanya Littlemore. Tidak ada jawaban. "Kau tidak
apa-apa, bung?" "Maaf?" Jawab pemuda itu.
"Anda Dr. Younger, bukan?"
"Sayangnya, begitu."
"Aku Detektif Littlemore. Walikota menugaskanku. Apakah gadis di kereta kuda itu
Nona Acton?" Littlemore dapat melihat kalau lawan bicaranya tidak menyimaknya.
"Aku minta maaf," kata Younger, "siapakah Anda?"
Littlemore memperkenalkan dirinya sekali lagi, lalu menjelaskan kalau penyerang
Nona Acton telah membunuh seorang gadis pada hari Minggu malam lalu, tetapi
polisi masih tidak memiliki saksi. "Apakah Nona Acton sudah dapat mengingat
sesuatu, Dok?" Younger menggelengkan kepalanya, "Nona Acton memang telah mampu berbicara,
tetapi masih tidak mampu mengingat kejadian itu."
"Semuanya tampak sangat aneh bagiku," kata Littlemore, "apakah orang sering
kehilangan memori?" "Tidak," kata Younger, "tetapi hal itu bisa terjadi, terutama setelah peristiwa
seperti yang baru dialami oleh Nona Acton."
"Hei, mereka kembali."
Begitulah rupanya. Kereta kuda Nona Acton telah berputar di ujung blok dan
berjalan ke arah hotel lagi. Ketika kereta itu menepi, Nona Acton menjelaskan
kepada Dr. Younger dan Ibu Biggs kalau ia lupa mengembalikan kunci kamar hotel
mereka pada petugas. "Berikan padaku," kata Younger sambil mengulurkan
tangannya, "aku akan mengembalikannya untukmu."
"Terimakasih, tetapi aku sanggup melakukannya," kata Nona Acton sambil meloncat
keluar dari kereta tanpa bantuan dan melangkah melewati Dr. Younger tanpa
mengerling sedikit pun padanya. Dr. Younger tidak memperlihatkan perasaannya,
tetapi Littlemore mengenal penolakan seorang gadis itu. Ia pun menunjukkan
simpatinya pada Younger. Lalu ada pikiran lain muncul pada benaknya.
"Begini, Dok," katanya, "kau membiarkan Nona Acton berkeliaran di hotel seperti
itu..., sendirian, maksudku?"
"Aku tidak bisa banyak bicara tentang hal itu, Detektif. Tidak sama sekali
sebenarnya. Tetapi, tidak, kupikir ia bersama pelayannya atau polisi yang hampir
ada setiap saat. Mengapa" Ada bahaya?"
"Seharusnya tidak," kata Littlemore. Hugel mengatakan padanya kalau si pembunuh
tidak tahu di mana Nona Acton berada. Namun, Littlemore merasa tidak nyaman.
Keseluruhan kasus itu terasa begitu terpotong-potong: seorang gadis tewas,
sementara tidak ada yang tahu tentang hal itu, orang kehilangan memorinya, orang
Cina melarikan diri, dan jenazah menghilang dari tempat penyimpannya. "Tidak ada
ruginya kalau Anda melihat-lihat di sekeliling."
Littlemore masuk kembali ke hotel, sementara Dr. Younger berjalan di sampingnya.
Littlemore menyalakan rokoknya ketika mereka menatap Nona Acton yang terlihat
mengecil ketika menyeberangi barisan pilar menuju lobi bundar. Seseorang yang
mengembalikan kunci kamarnya hanya harus meletakkan kuncinya di atas meja lalu
pergi. Namun Nona Acton berdiri dengan sabar di depan meja, menanti bantuan.
Tempat itu penuh sesak dengan para pengembara, keluarga dan pelaku bisnis. Littlemore mengawasi
kalaukalau separuh dari orang-orang yang ada di sana, bisa saja dapat sesuai
dengan penggambaran Hugel tentang pembunuh itu.
Seorang lelaki, menarik perhatian Littlemore. Ia menunggu di depan lift:
jangkung, berambut hitam, mengenakan kaca mata, dan memegang koran. Littlemore
tidak berada di sudut yang baik untuk dapat mengamatinya, tetapi ada sesuatu
yang agak asing pada potongan jasnya. Namun surat kabarnya itulah yang paling
menarik perhatian. Lelaki itu memeganginya sedikit lebih tinggi daripada
biasanya. Apakah ia mencoba menutupi wajahnya" Nona Acton telah mengembalikan
kuncinya, sekarang ia berjalan kembali. Lelaki itu menatap gadis itu sekilas
justru ke arah Littlemore sendiri, lalu mengubur wajahnya lagi pada surat
kabarnya. Sebuah lift terbuka, lelaki itu masuk, sendirian.
Nona Acton tidak tahu akan kehadiran Younger ataupun Littlemore ketika ia
berjalan keluar melewati mereka. Namun Dr. Younger mengikutinya keluar, hingga
melihatnya memasuki kembali kereta sewaannya.
Littlemore tetap di belakang. Tidak ada apa-apa, begitulah ia berkata dalam
hati. Nyaris semua lelaki di lobi itu menatap Nona Acton ketika ia berjalan
tanpa pengawal menyeberangi lantai pualam. Demikian juga Littlemore, ia terus
menatap anak panah kecil di atas lift yang dimasuki lelaki itu. Anak panah kecil
itu bergerak perlahan, tersentak-sentak ke arah angka yang lebih tinggi.
Littlemore tidak melihat tempat terakhir yang ditunjuk jarum itu. Jarum itu
masih bergerak ketika ia mendengar jeritan melengking menusuk telinga dari luar.
9 JERITAN ITU BUKAN DARI MANUSIA. Itu suara ringkik kuda yang kesakitan. Kuda yang
meringkik itu adalah hewan penarik kereta yang baru saja muncul dari area
pembangunan di Forty-second Street. Penumpang kereta kuda itu berpakaian lengkap
sekali: topi tinggi dan tongkat rotan halus melintang di atas lututnya. Dialah
Tuan George Banwell. Walau George Banwell menyukai mobil sebagaimana juga lelaki yang duduk di
sampingnya, namun sesungguhnya ia adalah pecinta kuda. Ia tumbuh besar bersama
kuda dan belum siap untuk melepaskan kuda. Saat itu ia bersikeras untuk
mengendarai kencananya sendiri, dan membuat saisnya duduk canggung di
sampingnya. Banwell telah nyaris menghabiskan paginya di Canal Street, tempat ia mengawasi
proyek yang sangat besar. Pada pukul setengah duabelas, ia berkendaraan ke
Forty-second Street di antara Madison avenue. Tetapi setelah memegang tali
kendalinya, ia menghentaknya dengan kuat dan kasar. Hentakan itu membuat besi
gigitan menyakiti mulut hewan malang itu. Kuda itu berhenti dan meringkik tajam.
Ringikikannya tidak memengaruhi, bahkan Banwell terlihat tidak mendengarnya. Ia
menatap tajam ke satu titik yang berjarak kurang dari satu blok di depannya. Ia
terus membuat besi kekang menekan geraham kuda lebih dalam sehingga saisnya
tersentak. Kuda itu mengangkat kepalanya dari sisi yang satu ke sisi lainnya, berusaha
melepaskan diri dari besi kekang walaupun gagal. Hewan itu pun berdiri pada
kedua kaki belakangnya, dan meringkik pilu seperti yang didengar Littlemore dan
semua orang yang ada di sana. Kuda itu
menapakkan kembali kakinya tetapi segera tegak lagi, namun kali ini menjadi
bertambah liar. Kencana pun mulai terguling. Banwell dan saisnya meloncat ke
luar bak seorang pelaut yang meloncat dari kapalnya yang terbalik. Kencana itu
jatuh ke bumi beserta kudanya.
Si sais-lah yang pertama kali berdiri. Ia mencoba membantu, tetapi Banwell
mendorong kasar sambil membersihkan tanah pada lutut dan sikunya. Orangorang
mulai berkerumun di sekeliling mereka. Suara klakson dari pengemudi yang tak
sabaran mulai terdengar. Akhirnya keterpakuan Banwell teratasi. Ia bukanlah
lelaki yang pasrah begitu saja setelah dilemparkan jatuh oleh kudanya, apa lagi
digulingkan dari kencananya, itu sama sekali tidak bisa diterimanya. Matanya
bersinar marah kepada pengendara mobil, pada penonton yang bekerumun, dan
terutama pada kuda yang bingung dan letih. Kuda itu sedang berusaha untuk
berdiri, tapi gagal. "Senjataku," kata Banwell pada saisnya dengan dingin,
"ambilkan senjataku."
"Anda tidak bisa membunuhya, Tuan," si sais keberatan. Ia sekarang berjongkok di
sisi kuda itu, sambil melepaskan kuku hewan itu dari jeratan tali yang kusut.
"Tidak ada yang patah. Ia hanya terjerat. Nah, ini dia. Kau sudah beres?" itu
dikatakan pada kudanya sambil membantunya berdiri, "ini bukan salahmu."
Jelas si sais berniat baik, namun seharusnya ia bisa memilih katakata yang lebih
tepat. Banwell tidak dapat menerima apabila bila dirinya yang dipersalahkan. Ia
marah kepada saisnya, merampas tali kekang dan dengan kasar melilitkannya pada
leher kudanya. Ia berusaha melontarkan amarahnya kepada hewan itu. Dengan
menghentakkan balok kereta hingga lepas dari kekangnya,
Banwell merampas tali kekang dan menaikki punggung kuda itu tanpa pelana. Ia
mengendarainya kembali ke area pembangunan dan berputar di sana hingga tiba di
kaitan besar yang tergantung pada sebuah derek yang menjulang tinggi di tengah-
tengah sebidang tanah. Banwell meraih kaitan itu dengan kedua tangannya,
kemudian memasangnya ke tali leher kudanya yang juga terhubung dengan kuat pada
bagian bawah perutnya. Ia melompat turun dari kudanya dan berteriak pada petugas
derek untuk mengangkat kuda itu. Petugas derek bereaksi dengan lamban. Namun
akhirnya ia menarik roda gigi mesin besar itu. Kabel panjangnya menjadi tegang;
kaitannya tergenggam pada dudukannya. Kuda itu berputar dan kakinya bergerak-
gerak karena sensasi yang tidak menyenangkan. Sesaat tidak ada yang terjadi.
"Angkat, bung," teriak Banwell, "angkat atau kau pulang ke istrimu malam ini
tanpa pekerjaan!" Petugas derek mulai menggerakkan pengangkatnya lagi. Dengan hentakan, kuda itu
terangkat dari tanah. Begitu kaki-kakinya meninggalkan tanah, kepanikan yang tak
dimengerti menyerang hewan itu. Ia meringkik dan meronta-ronta, yang akibatnya
hanya membuat tubuhnya terpelintir liar di udara, tergantung pada kaitan derek
yang tebal. "Lepaskan kuda itu!" Terdengar suara seorang gadis menjerit marah dan melabrak.
Dia adalah Nona Acton. Karena melihat tidak ada yang bergerak, ia bergegas
menyeberangi Forty-second Street dan kini sudah berada di depan kerumunan itu.
Younger ada di sisi kanannya, sedangkan Littlemore beberapa baris di belakang
mereka. Nona Acton berteriak lagi, "Turunkan kuda itu. Tolong hentikan orang
itu!" "Naikkan," perintah Banwell. Ia mendengar suara gadis itu. Sesaat ia menatap
gadis itu. Kemudian perhatiannya kembali pada kudanya, "lebih tinggi."
Petugas derek itu terus menaikkan hewan itu semakin tinggi hingga empatpuluh
kaki di atas tanah. Para filsuf mengatakan bahwa orang tidak tahu apakah hewan
memiiki perasaan yang dapat dibandingkan dengan manusia. Tetapi siapa pun yang
melihat sinar ketakutan pada mata kuda itu, tidak pernah meragukan bahwa hewan
punya perasaan seperti itu juga.
Lantaran semua mata manusia tertuju pada hewan yang bergantungan, menggelepar-
gelepar tak berdaya, maka tidak seorang pun yang melihat balok baja yang
bergerak tiga lantai di atas perancah. Balok baja itu terikat aman pada sebuah
tali yang terhubung dengan kaitan derek. Ketika tali itu masih dalam keadaan
kendor, balok baja itu tergeletak tak membahayakan di tempatnya di atas
perancah. Tetapi begitu terangkat, tali itu juga akhirnya menjadi tegang, dan
kini, tanpa peringatan apa pun, balok baja itu berguling lepas dari papan kayu
perancah. Dari sana balok baja itu terayun bebas. Lantaran terhubung dengan
kaitan derek, maka wajar saja jika balok itu terayun ke arah kaitannya, yang
artinya, ke arah George Banwell.
Banwell belum pernah melihat balok baja yang mematikan itu deras meluncur ke
arahnya. Di udara, balok itu menjadi tak terkendali, maka balok itu meluncur
mematikan ke arahnya, seperti tombak raksasa diarahkan ke perutnya. Jika saja
balok itu mengenainya, ia pasti akan mati. Ketika balok meluncur, ternyata
meleset satu kaki darinya. Namun sebenarnya itu adalah serangan yang sangat
tepat. Tidak biasanya Banwell bernasib sebaik itu.Maka, akibatnya luncuran itu
kini terus melaju ke arah kerumunan orang. Beberapa orang berteriak ketakutan,
belasan orang bertiarap di atas tanah untuk melindungi diri.
Hanya satu di antara mereka, yang seharusnya bertiarap: Nona Acton. Kini balok
baja itu meluncur tepat ke arahnya. Namun dia tidak berteriak ataupun bergerak.
Apakah karena balok yang sedang meluncur itu membuatnya seakan terikat, atau
karena sulit baginya menentukan ke mana harus berlari. Nona Acton berdiri
terpaku di tempatnya, terkejut dan hampir mati.
Younger meraih gadis itu, dan menarik tangannya dengan keras ke dalam
Cinta Bernoda Darah 7 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Tanah Warisan 3
pertama. Sebuah mobil berserta pengemudinya yang telah disediakan Walikota ?McClellan telah menunggu di bawah untuk membawa sang ahli itu ke sana. Berita
?yang kusampaikan begitu bersemangat dan menggembirakan sehingga aku sendiri
tidak bisa berhenti berbicara.
Selain Brill, terdapat Jung, Ferenczi, dan Freud. Kesemuanya berkerumun di
sekitar meja makan bundar kecil di tengah-tengah ruang utama yang juga berfungsi
sebagai dapur, ruang makan dan ruang tamu. Brill berseru menyuruhku duduk dan
menikmati brisket buatan Rose. Anggur yang disajikan untukku pun telah
dituangkan sekali lagi sebelum aku sempat memintanya. Brill dan Ferenczi tengah
bercerita tentang being analyzed yang dikemukakan Freud. Ketika itu Brill
berlagak berperan sebagai Freud. Semuanya tertawa, bahkan Jung, yang
matanya terus menerus menatap istri Brill.
"Ayolah, kawan," kata Freud, "itu tidak menjawab pertanyaan: mengapa Amerika?"
"Pertanyaannya, Younger," kata Brill menjelaskan padaku, "begini, psikoanalisa
dikucilkan di daratan Eropa mana pun. Namun di sini, di Amerika yang puritan,
Freud menerima gelar kehormatannya yang pertama dan diminta memberi kuliah di
sebuah universitas bergengsi. Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Kata Jung," sambung Ferenczi, "itu karena kalian orang Amerika tidak mengerti
teori-teori seksual Freud. Begitu kalian mengerti, kalian akan memakan
psikoanalisa seperti memakan apel merah."
"Kukira tidak begitu," kataku, "psikoanalisa akan tersebar seperti api liar."
"Mengapa?" Tanya Jung.
"Tepatnya karena puritanisme kami, tetapi ada sesuatu yang aku..."
Belum aku melanjutkan, tibatiba Ferenczi berkata; "Itu sebaliknya, masyarakat
puritan seharusnya akan melarang kami."
"Mereka memang akan melarang kalian," kata Jung sambil tertawa keras-keras,
"begitu mereka mengerti apa yang kalian bicarakan."
"Orangorang Amerika puritan?" Sela Brill, "iblis lah yang lebih puritan."
? "Diamlah kalian semua," kata Rose, seorang wanita berambut gelap, sorot matanya
tajam dan tidak suka omong kosong, "biarkan Dr. Younger menjelaskan apa
maksudnya." "Tidak, tunggu," kata Freud, "ada hal lain yang ingin dikatakan Younger. Apa
itu, anakku?" g KAMI MELUNCUR MENURUNI empat tangga secepat mungkin. Mobil itu rupanya
menyediakan empat buah tempat duduk. Berarti ada kelebihan satu tempat duduk,
Freud pun mengajak Ferenczi. Semula Freud mengajak Jung. Anehnya, ia tampak
tidak berminat dan menarik diri. Bahkan ia tidak ikut mengantar kami ke mobil.
Sebelum kami berangkat, Brill sempat berkata, "Aku tidak suka kalian
meninggalkan Jung sendiri di sini. Aku akan memanggilnya, kau bisa membawanya,
lalu menurunkannya di hotel."
"Abraham," kata Freud dengan tajam tak terduga, "aku sudah katakan berkali-kali
bagaimana perasaanku tentang hal ini. Kau harus menghentikan rasa tidak sukamu
pada Jung. Ia lebih penting dibanding dengan kita. Bahkan ketika kita
disatukan." "Bukan itu, ya ampun," Brill protes, "aku baru saja memberinya makan di rumahku
sendiri, kan" Tetapi keadaannya itulah yang kubicarakan."? ?"Keadaan apa?" Tanya Freud.
"Ia tidak sehat. Wajahnya kemerah-merahan, terlalu gembira. Ia bergelora.
Terkadang bersemangat dan terkadang mendingin. Kau pasti memerhatikannya.
Beberapa kata yang diucapkannya tidak masuk akal sama sekali."
"Itu karena ia baru saja meminum anggur yang kau sediakan."
"Itu lain lagi," kata Brill, "Jung tidak pernah menyentuh alkohol."
"Itu pengaruh Bleuler," kata Freud, "aku telah menyembuhkannya. Kau tidak
keberatan kan jika Jung minum, Abraham?" ^^^^^^n
"Tentu saja tidak. Itu akan semakin baik daripada Jung berubah murung. Biarkan
saja kita buat dia mabuk sepanjang waktu. Tetapi ada yang aneh padanya. Sejak ia
masuk rumahku, kau dengar kan ia bertanya mengapa lantai kayuku begitu halus?" K
"Kau mengkhayalkan sesuatu," kata Freud, "dan di belakang khayalan selalu saja
ada sebuah harapan. Jung hanya tidak terbiasa dengan alkohol. Pastikan saja ia
kembali ke hotel dengan selamat."
"Baiklah." Brill mendoakan keberhasilan kami, Ketika kami berangkat, ia berseru,
"Tetapi bisa saja selalu ada harapan yang tidak dikhayalkan."
DI DALAM MOBIL DENGAN ATAP TERBUKA, berderak-derak menuju ke Broadway, Ferenczi
bertanya padaku apakah di Amerika orang biasa makan campuran buah apel, kacang,
seledri, dan mayones. Rose Brill ternyata baru saja menjamu tamunya dengan
selada Waldrof. Freud terdiam. Ia tampak sedang berpikir. Aku mengira apakah komentar Brill itu
mengganggunya. Aku sendiri mulai berpikir mungkinkah ada yang tidak beres pada
Jung. Aku juga mengira apa yang dimaksudkan Freud kalau Jung lebih penting
dibandingkan kami semua. "Brill adalah seorang paranoik," kata Ferenczi dengan kesal kepada Freud, "itu
bukanlah apa-apa." "Paranoid tidak pernah salah sepenuhnya," kata Freud, "apakah kau mendengar Jung
tadi salah berbicara?"
"Salah berbicara apa?" Tanya Ferenczi. "Ia salah berbicara," kata Freud, "ia
mengatakan, 'Amerika akan melarang 'kalian1, bukan kami, tetapi kalian."
Freud kembali terdiam. Kami melewati Broadway menuju ke Union Square, lalu
Fourth Avenue melewati Bowery Road dan selanjutnya Lower East Side. Ketika
melewati kios-kios tutup di pasar jalan Hester, kami harus memperlambat laju
mobil. Walau ketika itu sudah hampir pukul sebelas, orang-orang Yahudi dengan
janggut panjang dan pakaian khas berwarna hitam dari kepala hingga kaki, telah
memadati jalanan. Mungkin mereka merasa terlalu panas untuk tertidur di dalam
rumah petak tanpa udara, yang ditinggali oleh begitu banyak imigran kota.
Orangorang Yahudi itu berjalan sambil bergandengan tangan atau berkumpul dalam
lingkaran kecil, dengan melakukan banyak gerakan tangan dan bertengkar. Bahasa
Jerman kasar, yang dalam bahasa Ibrani disebut Yiddish, terdengar di mana-mana.
"Jadi inilah Dunia Baru itu," kata Freud sambil melihat-lihat dari kursi di
depan, tanpa rasa senang, "mengapa mereka harus jauh-jauh pergi hanya untuk
membangun kembali apa yang telah mereka tinggalkan?"
Aku memberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan, "Apakah kau bukan seorang
yang relijius, Dr. Freud?"
Pertanyaan yang tak patut diajukan. Awalnya kukira, ia tidak mendengarku.
Ferenczi-lah justru yang menjawab, "Tergantung apa maksudmu dengan relijius.
Jika, misalnya, relijius artinya percaya kepada Tuhan itu adalah
ilusi im&k Y^fe^ift^Ji^, ^^U"Bom?h^fepl^^lam^?fea p'#"dya^afffiftskulihat di
dermaga. "Akan kukatakan proses berpikirmu ketika kau menanyakanku hal itu,"
katanya, "Tadi aku bertanya mengapa orang-orang Yahudi itu datang ke sini.
Tampaknya terpikir olehmu untuk mengatakan Mereka datang karena atasan kem
erdekaan beragama, namun kau mempertimbangkan lagi, karena hal itu tampak terlalu pasti.
Kemudian kau berpikir, jika aku, yang seorang Yahudi, tidak dapat melihat bahwa
mereka datang ke sini untuk kebebasan beragama. Karena mungkin saja agama itu
sungguh tidak terlalu penting bagiku. Sehingga aku tidak dapat melihat betapa
pentingnya agama bagi mereka. Lalu muncullah pertanyaanmu tadi. Bukankah begitu"
"Seluruhnya," jawabku.
"Jangan khawatir," sela Ferenczi, "ia melakukan hal itu pada semua orang."
"Jadi kau mengajukan pertanyaan langsung padaku," kata Freud, "maka aku akan
segera menjawabnya juga. Aku benar-benar tidak beriman. Semua neurosis merupakan
agama bagi pengidapnya, dan relijius adalah neurosis bagi umat manusia. Yang
masih diragukan, sifat-sifat yang kita berikan kepada Tuhan, mereflesikan
ketakutan dan harapan yang kita rasakan sejak bayi, dan ketika kita masih kanak-
kanak. Semua orang yang tidak melihat sebegitu banyak, tidak akan pernah dapat
mengerti hal pertama dalam psikologi manusia. Jika yang kau cari adalah agama,
jangan ikuti aku." "Freud, kau tidak adil," kata Ferenczi, "Younger tidak mengatakan ia mencari
agama." "Anak itu tertarik pada gagasan-gagasanku. Ia mungkin juga tahu maksudnya."
Freud mengamatiku dengan cermat. Saat itu juga, ketegangan itu sirna, dan ia
menatapku nyaris penuh kebapakan. "Dan aku mungkin tertarik pada gagasannya. Aku
mengembalikan pertanyaan itu. Apakah kau seorang yang relijius, Younger?"
Aku malu, karena aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. "Ayahku seorang yang
beragama," ujarku. "Kau menjawab sebuah pertanyaan yang berbeda dari apa yang telah dipertanyakan,"
kata Ferenczi. "Tetapi aku mengerti," kata Freud, "maksudnya karena ayahnya beriman, maka ia
cenderung meragukan."
"Betul begitu," kataku.
"Tetapi ia juga bertanya, apakah keraguan yang begitu dalam merupakan keraguan
yang baik, sehingga Younger cenderung menjadi percaya." Kata Frued.
Aku hanya dapat menatapnya. Ferenczi mengajukan pertanyaanku kepada Freud.
"Bagaimana kau bisa tahu."
"Itu semua berlanjut saja," jawab Freud, "Semalam ia bilang, ia mengambil kuliah
kedokteran karena dipaksa ayahnya, bukan keinginannya. Lagipula," ia
menambahkan, sambil mengeluarkan sebatang cerutunya dengan perasaan puas, "aku
merasakan hal yang sama ketika aku masih lebih muda."
g GEDUNG KANTOR PO LISI YANG BARU TERLETAK di Centre Street 240 lebih terlihat
seperti sebuah istana dibanding sebuah gedung kota praja. Hal itu lantaran
bagian depannya terbuat dari pualam, pedimen Yunani, dan kubah yang luar biasa,
lalu diterangi dengan temaram lampu jalanan. Ketika melewati sepasang pintu
besar terbuat dari kayu ek, kami bertemu seorang berseragam di balik meja
setengah bundar yang tingginya mencapai sebatas dada. Lampu listrik mengeluarkan
sinar kuning di sekitarnya. Ia memutar pesawat telepon, dan tidak lama setelah
itu kami disambut oleh Walikota McClellan yang ditemani Higginson. Ia adalah
orang berusia lanjut, tampak khawatir, dan berperut tambun, yang ternyata
adalah dokter pribadi keluarga Acton.
McClellan menyalami tangan kami semua, lalu minta maaf sedalam-dalamnya pada
Freud karena telah merepotkan. "Younger mengatakan padaku kalau Anda juga
mendalami kebudayaan Romawi kuno. Aku akan memberikan kepada Anda bukuku tentang
Wina. Tetapi aku harus membawa kalian ke atas. Nona Acton dalam keadaan yang
sangat buruk." Walikota McClellan mengantar kami menaiki tangga pualam. Dr. Higginson berbicara
banyak tentang pemeriksaan yang dilakukannya. Katanya, tidak ada yang terlihat
membahayakan. Kami pun merasa beruntung. Kami memasuki sebuah kantor besar
bergaya klasik, dengan kursi berlapis kulit, banyak benda kuningan, dan meja
yang mengagumkan. Di belakang meja itu, seorang gadis didudukkan. Ia terlalu
kecil untuk ukuran meja tadi, terbungkus selimut tipis, dan dijaga seorang
polisi pada setiap sisinya.
McClellan benar, gadis itu dalam keadaan yang memprihatinkan. Ia baru saja
menangis menjerit, sehingga wajahnya memerah dan membengkak. Rambut pirang
panjangnya terurai dan masai. Ia menatap kami dengan mata yang paling membelalak
dan paling ketakutan yang pernah kulihat. Tepatnya ketakutan dan tertekan.
"Kami telah mencoba berbagai cara," jelas McClellan, "ia hanya dapat mengatakan
segala kejadian kepada kami melalui tulisan. Tetapi sepertinya, ah, peristiwa
itu sendiri, tidak dapat diingatnya sama sekali." Di samping gadis itu ada
beberapa helai kertas dan pena.
Nora, begitulah Walikota McClellan memperkenalkan nama gadis itu kepada kami. Ia
menjelaskan kalau kami adalah dokter khusus untuk membantu memulihkan suara
dan ingatannya. Ia berbicara pada gadis itu seolah ia adalah seorang anak
berusia tujuh tahun. Rupanya Walikota McClellan agak bingung antara kesulitan
berbicara dan kesulitan untuk mengerti. Padahal orang dapat segera mengetahui
dari sorot mata gadis itu jika ia tidak memiliki kekurangan tersebut. Dapat
diduga kalau kedatangan tiga orang lelaki asing menimbulkan kebingungan
tersendiri baginya. Air mata mulai berlinang di pelupuknya, tetapi ditahan.
Gadis itu pun menulis permohonan maaf kepada kami, seolah ia bersalah karena
amnesianya. "Silakan, lanjutkan Tuan-tuan," kata McClellan.
Pertama-tama Freud ingin menyingkirkan dasar psikologis untuk penyakit gadis
itu. "Nona Acton," katanya, "aku ingin meyakinkan kalau benar-benar tidak
terdapat luka di kepalamu. Bolehkah aku melihatnya?" Nona Acton mengangguk.
Setelah memeriksa dengan seksama, Freud menyimpulkan, "Tidak ada luka apa pun
pada tengkorak atau sejenisnya."
"Kerusakan pada pangkal tenggorokan dapat menyebabkan afonia," kataku, mengingat
gadis itu kehilangan suaranya.
Freud mengangguk, dengan isyarat tangannya, ia memintaku untuk memeriksa gadis
itu. Ketika mendekati Nona Acton, aku merasa adanya kegugupan yang tak dapat
dijelaskan. Aku tidak dapat mengetahui sumber kecemasan itu. Tampaknya aku
merasa takut terlihat tidak berpengalaman di hadapan Freud. Namun sesungguhnya,
aku pernah melakukan serangkaian pemeriksaan yang lebih rumit tanpa merasa
canggung di hadapan profesorku di Harvard. Aku menjelaskan pada Nona Acton
betapa pentingnya memastikan
apakah ketidakmampuannya berbicara itu mungkin disebabkan oleh luka fisiknya.
Aku bertanya apakah ia mau memegangi tanganku dan menempelkan pada lehernya
untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Aku mengulurkan tanganku, dengan dua jari
teracung. Dengan enggan, ia membawa jariku ke arah tenggorokannya, lalu
menempelkan pada tulang selangkanya. Aku meminta agar ia mengangkat kepalanya.
Ia mematuhiku. Jariku pun bergerak naik hingga pangkal tenggorokannya. Yang aku
temukan ternyata bukan lukanya, namun gadis itu memiliki leher dan dagu lembut
dengan garis sempurna, sepereti pualam yang telah dipahat oleh Bernini. Ketika
aku menekanan pada beberapa titik lehernya, ia berkedik, tetapi tidak mengelak.
"Tidak ada bukti luka pada tenggorokan," begitulah kataku.
Nona Acton sekarang tampak lebih curiga dibandingkan dengan ketika kami baru
tiba. Aku tidak menyalahkannya. Karena jika tidak diketemukan masalah fisik pada
dirinya, maka akan bisa menjadi lebih menyedihkan dibandingkan baru diketemukan
kelak nanti. Lagipula, ia tidak bersama keluarganya, namun dikelilingi oleh
beberapa orang lelaki asing. Tampaknya ia sedang menerka kami semua, satu per
satu. "Sayangku," kata Freud padanya, "kau cemas karena kehilangan ingatan dan
suaramu. Memang harus begitu. Amnesia setelah kejadian seperti itu adalah hal
yang biasa. Aku sering melihat orang kehilangan suaranya. Ketika tidak ada luka
fisik ditemukan, dan memang tidak mengalami cidera seperti itu sama sekali, maka
aku selalu berhasil mengurangi kedua keadaan tersebut. Sekarang aku akan
mengajukan beberapa pertanyaan, tetapi bukan mengenai kejadian yang kau alami
hari ini. Aku hanya ingin kau mengatakan padaku bagaimana perasaanmu saat ini. Apakah kau mau
meminum sesuatu?" Gadis itu mengangguk dengan senang. McClellan memerintahkan
seorang petugas, yang kemudian secepatnya kembali membawa secangkir teh.
Sementara itu, Freud telah bercakap-cakap dengan gadis itu. Nona Acton
menuliskan jawabannya. Tetapi hanya fakta-fakta umum tentang dirinya yang adalah
seorang mahasiswi baru di Barnard dan mulai berkuliah bulan depan. Akhirnya ia
menulis kalau ia menyesal tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan polisi, dan
ia ingin pulang. Freud menunjukkan kalau ia ingin berbicara dengan kami tanpa didengar gadis itu.
Maka berbarislah kami dengan muram. Freud, Walikota McClellan, Ferenczi, Dr.
Higginson, dan aku menjauh ke sudut di kantor yang luas itu. Dengan suara yang
sangat lirih, Freud bertanya, "Apakah ia dianiaya?"
"Tidak. Syukurlah," bisik McClellan.
"Tetapi luka-lukanya," kata Higginson, "terkumpul di suatu tempat, jadi
mencurigakan, di sekitar..., bagian pribadinya." Ia berdeham, "selain di
punggungnya, tampaknya ia dicambuki berulang-ulang di sekitar bokong dan..,
pinggul. Lalu kedua pahanya, disayat satu kali dengan sebilah silet cukur yang
tajam." "Monster seperti apa yang melakukan hal semacam itu?" Tanya McClellan.
"Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak terjadi lebih sering," kata Freud dengan
tenang, "melepaskan hasrat buas tidak dapat dibandingkan dengan melampiaskan
hasrat yang sopan. Karena yang pertama terasa lebih memuaskan. Dalam segala
kejadian, alasan terbaik untuk malam ini adalah tidak melakukan apa-apa lagi.
Aku tidak memastikan amnesianya itu akibat dari histerianya. Sesak nafas yang parah dapat
menimbulkan akibat yang sama. Sebaliknya, ia hanya menderita perasaan mencela
diri sendiri terus menerus. Ia harus tidur, ia mungkin telah terbangun dengan
adanya gejala gangguan. Jika gejala itu terus ada, analisa akan segera
dilaksanakan." "Mencela diri?" Tanya McClellan.
"Rasa bersalah," kata Ferenczi, "gadis itu menderita bukan saja karena serangan
itu, namun juga karena dosa yang dirasakan dalam hubungannya dengan kejadian
itu."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya ampun, mengapa ia harus merasa berdosa?" Tanya Walikota McClellan.
"Kemungkinan sebabnya banyak sekali," kata Freud, "tetapi dasar dari mencela
diri nyaris selalu ada dalam kasus penyerangan seksual terhadap orang muda. Ia
sudah dua kali meminta maaf pada kami karena kehilangan memori. Menghilangnya
suara jauh lebih membingungkan."
"Karena disodomi, mungkin?" Tanya Ferenczi sambil berbisik. "Per os?"
"Tuhan Maha Agung," seru McClellan, juga dalam bisikan, "apakah itu mungkin?"
"Mungkin saja," jawab Freud, "tetapi sepertinya tidak begitu. Jika sebuah
penetrasi oral merupakan sumber penyakitnya, ketidakmampuannya menggunakan
mulutnya akan mungkin terlihat dibanding ketidakmampuannya untuk menelan. Tetapi
bukankah kau telah melihat ia tadi meminum tehnya tanpa kesulitan. Karena itulah
tadi aku bertanya apakah ia haus."
Kami merenungkan ini sebentar. McClellan berbicara, tidak lagi berbisik, "Dr.
Freud, maafkan ketidaktahuanku, tetapi apakah ingatan akan kejadian itu masih
ada, atau bisa dibilang, terhapus?"
"Kita anggap itu amnesia histeria, memori itu masih ada," jawab Freud, "itulah
penyebabnya." "Memori itu penyebab amnesianya?" Tanya McClellan.
"Memori akan penyerangan itu..., berikut Ingatan yang lebih dalam, yang dipicu
olehnya..., ia tidak dapat menerima. Karena itu ia harus memendamnya sehingga
mengakibatkan amnesia."
"Ingatan yang lebih dalam?" Ulang Walikota McClellan, "aku tidak mengerti."
"Sebagian peristiwa yang dialami gadis itu," kata Freud, "betapapun brutalnya,
betapapun mengerikannya, pada usianya, biasanya tidak akan menyebabkan amnesia.
Si korban ingat, asalkan ia dalam keadaan sehat. Tetapi jika si korban menderita
penyakit lainnya, traumatis yang dialaminya sebelumnya begitu traumatisnya,
sehingga memori akan kejadian itu betulbetul harus ditekan dari kesadarannya,
maka sebuah serangan dapat saja mengakibatkan amnesia. Karena serangan yang baru
terjadi tidak dapat diingat tanpa memicu kenangan kejadian lampau, padahal
kesadarannya melarang untuk itu."
"Ya Tuhan," seru Walikota McClellan.
"Apa yang harus dilakukan?" Tanya Higginson. "Kau dapat menyembuhkannya?" Sela
Walikota McClellan, "Hanya gadis itu yang dapat memberikan gamb aran tentang si
penyerangnya." "Hipnotis?" Usul Ferenczi.
"Aku sangat menganjurkan untuk tidak menggunakannya," kata Freud, "itu tidak
akan membantunya, dan kenangan yang diungkit oleh hipnotis tidak dapat
diandalkan." "Apa maksud analisa yang kau sebutkan itu?" Tanya
Walikota. "Kami dapat memulainya paling awal besok," kata Freud, "tetapi aku harus
memperingatkanmu kalau psikoanalisa merupakan perawatan intensif. Pasien harus
bertemu setiap hari, selama paling tidak satu jam setiap hari."
"Kurasa tidak ada masalah," jelas McClellan, "pertanyaannya, apa yang harus kita
lakukan pada Nona Acton malam ini." Orangtua gadis itu sedang berlibur musim
panas di rumah mereka di pedesaan Berkshire, dan mereka tidak dapat dihubungi.
Higginson menyarankan mengundang beberapa orang keluarga, tetapi Walikota
McClellan tidak mengizinkan. "Acton tidak akan mau kalau kejadian ini tersebar
ke luar. O rang mungkin akan beranggapan kalau gadis itu telah terluka
selamanya." Nona Acton hampir pasti mendengar komentar terakhir. Aku melihatnya sekarang
sedang menulis sebuah pesan baru bagi kami. Aku mendekatinya dan menerimanya. A
ku in gin pulang, katanya, Sekarang.
McClellan segera mengatakan kepada gadis itu kalau ia tidak dapat
mengizinkannya. Penjahat sudah diketahui, ia memperingatkannya. Penjahat itu
menginginkan gadis itu kembali ke tempat terjadinya kejahatan. Si penyerang
mungkin terus mengawasi rumahnya, bahkan mungkin sekarang ini. Karena penjahat
itu takut kalau korbannya dapat mengenalinya. Mungkin ia akan percaya kalau
satusatunya harapan untuk meloloskan diri dari hukuman adalah dengan membunuh si
korban. Karena itu, kembali ke Gramercy Park sama sekali tidak mungkin,
setidaknya hingga ayahnya kembali ke kota sehingga keamanannya terjamin. Karena
alasan itu wajah Nona Acton berubah. Ia pun memberi isyarat dengan tangannya,
menyatakan perasaannya yang tidak dapat kumengerti.
McClellan mengatakan cara terbaiknya adalah membawa Nona Acton ke Hotel
Manhattan tempat kami menginap. Walikota McClellan sendiri yang akan membayar ?biayanya. Sampai nanti orangtuanya kembali, Nona Acton akan menginap di sana
bersama Ibu Biggs, yang mengetahui kebutuhan dan perlengkapan yang pantas bagi
gadis itu. Aturan ini bukan saja yang paling aman, tetapi juga yang paling
nyaman untuk memulai perawatannya.
"Ada kesulitan lebih lanjut," kata Freud, "psikoanalisa memerlukan tanggung
jawab waktu yang kuat dari dokter. Jelas aku tidak dapat membuat keterikatan
semacam itu. Dr. Ferenczi juga tidak bisa. Bagaimana denganmu, Younger" Kau mau
merawatnya?" Freud melihat keraguanku. Aku ingin menjawab pertanyaannya secara pribadi. Lalu
ia mengajakku ke pinggir.
"Seharusnya Brill," kataku, "jangan aku."
Freud menatapku lagi dengan tatapan yang dapat menembus batu. Ia menjawab dengan
tenang. "Aku tidak meragukan kemampuanmu, anakku. Sejarah kasusmu membuktikan
itu. Aku ingin kau merawatnya."
Ini perintah yang tidak dapat kulawan dan sekaligus sebuah pernyataan
kepercayaan yang memiliki pengaruh untukku, yang tidak dapat aku gambarkan. Aku
setuju. "Bagus," katanya dengan suara keras. "Ia pasienmu. Aku akan membimbing selama
aku berada di Amerika. Tetapi Dr. Younger-lah yang akan melakukan analisas.
Tentu saja, jika pasien kita setuju dengan itu," tambah Freud.
Enam PIPI CEKUNG AHLI OTOPSI HUGEL yang terlihat oleh detektif Littlemore pada hari
Selasa pagi, tampak semakin cekung dibandingkan dengan biasanya. Matanya pun
kini memiliki kantung tersendiri, lingkaran hitamnya juga memiliki lingkaran
hitamnya sendiri. Littlemore merasa yakin penemuannya akan memompa semangat sang
ahli otopsi. "Baiklah, pak Hugel," kata si detektif, "aku kembali ke Balmoral. Tunggu sampai
kau mendengar apa yang kudapat."
"Kau sudah berbicara dengan si pelayan?" Tanya Hugel langsung.
"Ia tidak bekerja di sana lagi," jawab si detektif, "ia dipecat."
"Aku tahu itu!" Seru Hugel. "Kau punya alamatnya?"
"Oh, aku sudah menemukannya. Tetapi ini hal pertama. Aku kembali ke kamar tidur
Nona Riverford untuk melihat pada hiasan di langitlangit. Kau tahu mengenai bola
bowling. Kau pernah berkata kalau gadis itu diikat pada sebuah bola bowling."
"Bagus. Aku yakin kau telah selamatkan barang itu," kata Hugel.
"Aku mendapatkannya, juga seluruh bolanya," Perkataan Littlemore ternyata
membangkitkan tatapan menakutkan di wajah Hugel. Detektif itu melanjutkan, "Aku
tidak tahu kalau langitlangit itu tidak terlalu kuat, maka aku naik ke atas
tempat tidur dan menariknya kuat-kuat. Maka runtuhlah langitlangit itu."
"Kau tidak mengira langitlangit itu sangat kuat," ulang Hugel, "maka itu kau
menariknya, lalu runtuh" Kerja yang bagus sekali, Detektif."
"Terimakasih, Pak Hugel."
"Mungkin kau bisa saja merusak seluruh kamar itu lain kali. Ada bukti lain yang
kau rusak?" "Tidak," kata Littlemore, "aku hanya tidak mengerti mengapa bisa runtuh begitu
mudah. Bagaimana pengait itu bisa menahan tubuh gadis itu supaya tegak?"
"Ya, begitulah faktanya."
"Ada dua lagi, Pak Hugel, dan ini sangat penting." Littlemore menjelaskan
seorang lelaki tak dikenal yang meninggalkan gedung Balmoral pada sekitar tengah
malam pada hari Minggu sambil membawa sebuah tas hitam. "Bagaimana, Pak Hugel?"
Tanya si detektif dengan bangga.
"Mereka yakin orang itu bukan penyewa gedung?"
"Benar. Mereka tidak pernah melihat orang itu sebelumnya."
"Membawa tas, katamu?" Tanya Hugel. "Dengan tangan yang mana?"
"Clifford tidak tahu." "Kau sudah tanyakan itu?"
"Tentu," kata Littlemore. "Aku harus memeriksa ketrampilan orang itu."
Hugel menggumam lega. "Yah, ia bukan orang yang kita cari."
"Mengapa bukan?"
"Karena orang kita cari itu rambutnya beruban, dan tinggal di gedung itu." Hugel
menjadi bersemangat, "kita tahu Nona Riverford tidak mempunyai tamu tetap. Kita
tahu ia tidak memiliki tamu dari luar gedung pada hari Minggu malam. Bagaimana
si pembunuh itu masuk ke apartemennya" Pintunya tidak dibuka secara paksa. Hanya
ada satu kemungkinan. Ia mengetuk pintu, dan gadis itu membukakannya. Sekarang,
apakah seorang gadis yang tinggal sendirian mau membukakan pintu bagi semua or-
ang pada tengah malam" Terutama orang asing" Aku sangat meragukan itu. Namun
tentu gadis itu akan membukakan pintu bagi tetangganya, atau seseorang yang
tinggal di gedung itu..., seseorang yang ditunggunya, mungkin, atau seseorang yang
sudah pernah bertamu ke apartemennya."
"Tukang binatu." Kata Littlemore.
Ahli otopsi itu menatap si detektif.
"Itu hal lain, Pak Hugel. Dengarkan ini. Aku turun ke ruang bawah tanah di
Balmoral, lalu melihat jejak tanah liat orang Cina itu, tanah liat merah. Aku
mengambil contohnya, ternyata sama dengan apa yang aku dapati di kamar Nona
Riverford. Aku yakin itu. Mungkin /a-lah pembunuhnya."
"Orang Cina," kata sang ahli otopsi.
"Aku berusaha menghentikannya, tetapi ia lolos. Ia petugas binatu. Mungkin saja
orang itu mengantarkan baju bersih pada hari Minggu malam. Nona Riverford telah
membukakan pintu baginya, lalu ia membunuhnya. Kemudian orang Cina itu kembali
ke ruang binatu, dan tidak ada seorang pun yang tahu."
"Littlemore," kata Hugel sambil menghela nafas panjang, "pembunuhnya bukan orang
Cina yang bekerja sebagai binatu, tapi seorang kaya raya. Aku tahu itu."
"Tidak, Pak Hugel, kau mengira ia orang kaya karena ia mencekiknya menggunakan
dasi sutera mewah. Tetapi jika kau bekerja di binatu, kau mencuci dasi sutera
setiap waktu. Mungkin orang Cina itu mencurinya dari sana untuk membunuh nona
Riverford." "Apa motifnya?" Tanya Hugel.
"Aku tidak tahu. Mungkin ia suka membunuh gadis-gadis, seperti orang di Chicago.
Misalnya, Nona Riverford berasal dari Chicago. Kau tidak mengira..."
"Tidak, Detektif, aku tidak mengira demikian. Aku juga tidak mengira kalau orang
Cina itu memiliki hubungan dengan pembunuhan itu."
"Tetapi tanah liat itu..."
"Lupakan tanah liat itu."
"Tetapi orang Cina itu lari ketika..."
"Tidak ada orang Cina! Kau dengarkan aku, Littlemore" Tidak ada orang Cina di
dalam kasus pembunuhan ini. Setidaknya pembunuh tersebut memiliki tinggi seratus
delapanpuluh tiga centimeter. Ia seorang kulit putih: rambut yang kutemukan pada
tubuh si gadis adalah rambut seorang Kaukasian. Tapi si pelayan..., si pelayan
itulah kuncinya. Apa yang dia katakan kepadamu?"
9 AKU HARUS MAKAN PAGI dengan memburu waktu yang tersisa hanya limabelas menit
sebelum mengunjungi Nona Acton. Freud baru saja duduk. Brill dan Ferenczi sudah
ada di meja. Brill baru saja menghabiskan tigar
piring makanannya, dan kini tengah menyelesaikan yang keempat. Aku sudah
mengatakan padanya kemarin bahwa Clark akan membayar sarapannya. Ia benar-benar
menggunakan kesempatan itu.
"Di mana Jung?" Tanya Freud.
"Aku tidak tahu di mana ia sekarang," kata Brill, "tetapi aku tahu ke mana ia
pergi hari Minggu malam."
"Minggu malam" Ia pergi tidur lebih awal pada Minggu malam itu," kata Freud.
"Oh tidak, tidak begitu," kata Brill, dengan nada menggoda, "aku tahu ia bersama
siapa. Ini, akan aku perlihatkan pada kalian. Lihatlah."
Dari bawah kursinya, Brill menarik sebuah lipatan koran tebal, diikat dengan
karet gelang, mungkin ada tigaratus halaman. Pada halaman teratas terbaca,
Maka/ah Pilihan tentang Histeria dan Psikoneurosis Lainnya oleh Sigmund Freud,
terjemahan dan kata pengantar oleh A.A. Brill.
"Buku dalam bahasa Inggris pertamamu," kata Brill sambil menyerahkan naskah itu
kepada Freud dengan perasaan bersinar bangga yang belum pernah kulihat
sebelumnya, "ini akan menjadi karya hebat, kau lihat saja."
"Aku sangat gembira, Abraham," kata Freud seraya mengembalikan naskah itu,
"sungguh, aku gembira sekali. Tetapi, tadi kau sedang menceritakan tentang Jung
pada kami." Wajah Brill langsung berubah muram. Ia berdiri, mengangkat dagunya, dan berkata
dengan suara angkuh, "Jadi hanya begitu kau memperlakukan karya hidupku yang
kukerjakan selama duabelas bulan" Beberapa mimpi tidak perlu ditafsirkan: mereka
hanya perlu dilakukan. Selamat tinggal."
Lalu ia duduk lagi. "Maaf, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku," katanya. "Kupikir, aku
adalah Jung dalam beberapa saat tadi." Cara meniru Jung yang dip eragakan
Brill yang luar biasa itu membuat Ferenczi kesal, namun Freud tidak ? ?terpengaruh. Setelah berdeham, Brill mengarahkan perhatian kami pada nama
penerbitnya, Smith Ely Jelliffe, yang tertera pada halaman judul naskahnya.
"Jelliffe mengelola Journal of Nervous Disease, * kata Brill, "ia adalah seorang
dokter, juga kaya raya seperti Croesus. Demi Tuhan, aku akan membuat Gomorrah
ini seperti surga bagi psikoanalisa. Kau lihat saja. Kawan kita, Jung, diam-diam
telah bertemu dengan Jelliffe pada hari Minggu malam itu."
Ternyata Jelliffe, ketika Brill mengambil naskah itu darinya pagi ini, telah
mengatakan kalau Jung telah mengadakan makan malam bersama di apartemennya pada
hari Minggu malam. Jung tidak mengatakan apa pun pada kami tentang pertemuannya.
"Tampaknya topik utama percakapan mereka adalah tempat pelacuran terbaik di
Manhattan. Tetapi, dengar dulu yang ini," Brill melanjutkan, "Jelliffe meminta
Jung memberikan serangkaian kuliah tentang psikoanalisa minggu depan di Fordham
University, sekolah Jesuit."
"Itu kan berita yang hebat!" Seru Freud.
"Begitukah?" Tanya Brill, "mengapa Jung, bukan Anda?"
"Abraham, aku memberikan kuliah setiap hari di Massachusetts, mulai hari Selasa
minggu depan. Aku tidak mungkin memberikan kuliah di New York pada waktu yang
bersamaan." "Tetapi mengapa merahasiakan" Mengapa menutupi pertemuannya dengan Jelliffe?"
Tidak seorang pun dari kami yang dapat menjawab pertanyaan itu. Namun, Freud
tidak mempersoalkannya. Menurutnya, pastilah terdapat alasan mengapa Jung
bersikap bungkam seperti itu.
Selama percakapan itu, aku memegangi naskah tebal kepunyaan Brill. Setelah
membaca beberapa halaman pertamanya, dan terkejut ketika membalik halaman
berikutnya. Halaman itu benar-benar kosong. Di atasnya hanya tercetak lima
baris, di tengah-tengah, dengan huruf besar, dan dicetak miring. Itu adalah ayat
Kitab Suci atau sejenisnya.
"Apa ini?" Tanyaku, sambil memperlihatkan halaman
itu. Ferenczi mengambil halaman itu dari tanganku dan membacanya:
7
api. Dan menyala-nyala dengan tidak ada yang memadamka.
7(arena per6uatan-per6uatanmu yangjahat.
"Yeremia, bukan?" Tanya Ferenczi seraya memamerkan pengetahuannya akan Kitab
Suci yang bisa dianggap lebih jauh dari pengetahuanku, "Apa gunanyan Yeremia ada
di dalam buku histeria?"
Masih lebih aneh lagi, pada bagian paling bawah halaman tergambar cap tinta
seraut wajah. Wajah Oriental yang keriput atau semacamnya, dengan pembungkus
kepala, hidung panjang, jenggot panjang, dan mata yang terbelalak memesona.
"Seorang Hindu?" Tanya Ferenczi.
"Atau seorang Arab?" Aku mengusulkan.
Yang paling aneh, pada halaman berikutnya dari naskah itu juga sama, selain
kosong tidak berisi, cuplikan dari kitab suci itu juga terdapat di tengah-
tengahnya, walaupun tanpa gambar cap wajah tadi. Begitupun halaman berikutnya.
"Apakah ini lelucon, Brill?" Tanya Freud.
Dia pun coba menilainya dari wajah Brill, dan buku itu bukanlah lelucon.
9 DETEKTIF LITTLEMORE sangat kecewa hasil temuannya ditolak oleh Hugel. Tetapi ia
membiarkan ketika ahli Hugel mengubah topik untuk membicarakan pelayan Nona
Riverford, yang juga memberikan informasi menarik.
"Betty, si pelayan itu, telah dipecat, Pak Hugel. Kuharap aku bisa melakukan
sesuatu untuknya," kata si detektif. Sebenarnya, ia telah menemukan Betty yang
mulanya enggan berbicara. Namun Littlemore membawanya ke sebuah airmancur soda.
Di sana Betty meratapi ketidakadilan itu ketika Littlemore menyinggung masalah
pemecatannya. Mengapa mereka memecatnya" Bukankah ia tidak melakukan kesalahan.
Mengapa mereka tidak memecat beberapa gadis mencuri sesuatu di apartemen" Apa
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang akan dilakukannya sekarang" Ternyata ayah Betty telah meninggal dunia
setahun sebelumnya. Selama dua bulan terakhir, Betty-lah yang membiayai ibunya
beserta tiga orang adik lelakinya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Detektif?" Tanya Hugel sambil menggigit bibirnya.
"Betty berkata, ia tidak suka pergi ke apartemen Nona Riverford. Katanya, di
sana ada hantunya. Pernah dua kali, ia benar yakin telah mendengar suara bayi
menangis tanpa ada seorang bayi pun di sana. Ternyata apartemen itu kosong.
Katanya, Nona Riverforid aneh. Ia hanya muncul satu kali saja, sekitar empat
minggu yang lalu. Tanpa pernah ada truk pindahan, tanpa ada apa-apa, apartemen
penuh berprabotan sebelum ia tiba di sana. Sifat Nona Riverford berbeda dengan
yang lain. Ia gemar menyendiri tanpa pernah membuat kamarnya terlihat
berantakan. Tempat tidurnya selalu terlihat rapi, dan barang-barangnya tetap
berada pada tempatnya. Bahkan salah satu lemarinya selalu terkunci. Ia pernah
mencoba memberi Betty sepasang anting-anting. Betty bertanya, apakah anting-
anting itu adalah berlian asli" Nona Riverford mengatakan ya. Betty tidak mau
mengambilnya. Selama bekerja di sana, Betty hampir-hampir tidak pernah bertemu
dengannya. Tidak setiap harinya Betty bekerja pada malam hari, maka itu ia hanya
berkesempatan ketemu beberapa kali saja. Selain itu, ia selalu masuk dan keluar
sebelum pukul tujuh. Ketika itu Betty baru saja masuk bekerja. Salah satu
penjaga pintu mengatakan padaku, Nona Riverford meninggalkan gedung beberapa
kali sebelum pukul enam. Apa itu artinya, Pak Hugel?"
"Artinya, kau akan mengirim orang ke Chicago."
"Untuk berbicara dengan keluarganya?"
"Tepat. Apa yang dikatakan pelayan itu tentang kamar tidurnya ketika pertama
kali ia menemukan mayat Riverford?"
"Masalahnya, Betty juga tidak ingat dengan tepat
tentang hal itu. Yang dapat diingatnya hanya wajah Nona Riverford."
"Apakah ia melihat sesuatu di dekat mayat gadis itu atau sesuatu yang berada di
atas tubuhnya?" "Aku sudah menanyakan hal itu, Pak Hugel, tapi ia tidak dapat mengingatnya."
"Tidak satu pun?"
"Ia hanya dapat mengingat mata Nona Riverford, terbuka dan menatap."
"Orang tolol kecil yang lemah."
Littlemore terkejut. "Kau tidak akan mengatakan itu jika kau yang berbicara
dengannya," kata Littlemore, "bagaimana kau tahu ada yang berubah?"
"Apa?" "Kau bilang ada yang berubah di kamar itu sejak kali pertama Betty masuk ke
kamar itu sebelum kau yang memasukinya. Tetapi kukira mereka segera mengunci
apartemen itu dan menyuruh pelayan di lorong untuk mengusir siapa pun hingga kau
tiba di sana." "Kukira juga begitu," kata Hugel, sambil melangkah menyeberangi ruang kantornya
yang sempit, "itu yang dikatakan pada kita."
"Jadi, mengapa kau mengira ada orang yang telah memasuki kamar itu?"
"Mengapa?" Ulang Hugel, dengan cemberut, "kau ngin tahu mengapa" Baiklah, Pak
Littlemore. Ikuti aku."
Hugel berjalan ke luar pintu. Littlemore mengikutinya untuk menuruni tiga tangga
tua dan menembus koridor berkelok-kelok dengan cat tembok yang terkelupas.
Akhirnya mereka berada di ruang penyimpanan jenazah. Ketika Hugel membuka sebuah
pintu besi, Littlemore merasakan sambaran udara apak yang beku. Kemudian ia
melihat deretan mayat di dalam laci-laci kayu. Beberapa di antaranya bugil dan
tergeletak begitu saja, yang lainnya tertutup kain. Littlemore tidak dapat
menahan diri untuk tidak melihat bagian mereka yang paling pribadi sehingga ia
terhenyak mundur. "Tidak ada orang lain yang mungkin telah memeriksa jasad itu dengan cukup teliti
untuk melihat petunjuk ini. Tidak seorang pun," kata Hugel. Ia pun berjalan ke
belakang ruangan itu, tempat di mana satu jenazah tergeletak di laci yang paling
jauh. Sehelai kain putih menutupinya, dengan tulisan Riverford, E.:29.8.09.
"Sekarang lihat padanya dengan teliti, dan katakan sebenarnya apa yang kau
lihat, Detektif?" Ketika Hugel menyibak kain putih itu, mata Littlemore terbelalak. Tetapi Hugel
tampak lebih terkejut dibanding detektif itu. Di bawah kain itu yang terbaring
bukanlah jenazah Elizabeth Riverford, tetapi seorang lelaki tua dengan kulit
berkeriput dan bergigi hitam.
g AKU MEN GUNAKAN LIFT untuk menuju tempat Nona Acton menginap. Kemudian teringat
kalau aku harus ke kamarku lebih dahulu untuk mengambil kertas dan pena.
Cuplikan Kitab Suci yang aneh di dalam naskahnya telah sangat mempengaruhi
Brill. Ia tampak betulbetul ketakutan. Katanya ia akan segera kembali ke
Jelliffe, penerbitnya, untuk meminta penjelasan. Aku mengira ada sesuatu yang
mungkin tidak dikatakannya kepada kami.
Aku mengharap Freud akan hadir pada sesi pertamaku dengan Nona Acton. Namun ia
hanya mengatakan agar aku melaporkan padanya nanti. Kehadirannya, ia merasa,
akan mengacaukan pemindahan {transference}.
Pemindahan merupakan fenomena psikoanalisa. Freud menemukannya secara kebetulan,
dan membuatnya terkejut sekali. Setiap pasien silih berganti untuk menunjukkan
reaksi pada analisanya dengan cara memujanya, atau ada kalanya, dengan cara
membencinya. Pada awalnya, ia coba mengabaikan perasaan itu, memandang mereka
sebagai pengagungan yang tidak disukainya dan tidak terkendali menjadi hubungan
pengobatan saja. Lama kelamaan, ia menemukan betapa pentingnya mereka, baik bagi
penyakit si pasien maupun pengobatannya. Di dalam ruang praktik sang analis, si
pasien diingatkan kembali tentang konflik-konflik bawah sadar yang merupakan
keinginan terpendam dan berada dalam inti penyakit tersebut. Konflik bawah sadar
yang dipindahkan oleh dokter itulah yang menjadi penyebab penyakit si pasien.
Menurut Freud, ini bukanlah secara kebetulan, keseluruhan penyakit histeria itu
terdiri dari harapan-harapan terpendam atau perasaan yang terbentuk pada masa
kanak-kanak tanpa pernah terungkap. Padahal seharusnya, itu dipindahkan dari
orang tersebut kepada orang lain, atau terkadang obyek lainnya. Dengan membagi
fenomena bersama pasien dengan cara membawa hal yang dipindahkan kepada ?kepastian dan mengatasinya hingga tuntas analisa membuat yang tidak sadar
?menjadi sadar dan memindahkan sebab penyakit tersebut.
Jadi pemindahan ternyata menjadi penemuan Freud yang paling penting. Akankah aku
memiliki gagasan tentang pentingnya perbandingan" Sepuluh tahun yang lalu,
kupikir aku telah memilikinya. Pada tanggal 31 Desember 1899, aku memberi tahu
ayahku tentang hal itu. Sebenarnya saat itu Ayah terganggu oleh kehadiranku di
ruang kerjanya, beberapa jam sebelum kedatangan para tamu untuk merayakan malam
tahun baru. Aku mengatakan padanya, aku telah membuat suatu penemuan yang
mungkin akan menjadi peristiwa besar. Aku meminta izin untuk mengungkapkannya.
Ia mengangkat kepalanya, "Teruskan," katanya.
Sejak awal zaman modern, aku menyatakan, sebuah fakta ganjil terbukti benar
yaitu segala perubahan luar biasa yang terjadi pada kemanusiaan merupakan
ledakan dari pemikiran jenius. Baik yang menyangkut bidang kesenian ataupun ilmu
pengetahuan. Revolusi tersebut terjadi pada dekade pertama pergantian abad yang
baru itu. Dalam dunia seni dan ilmu pengetahuan, baik orangnya maupun terutama karyanya,
memiliki pengakuan terbaik sebagai jenius yang mengubah dunia. Kejeniusan yang
mengubah perjalanan sejarah" Dalam dunia seni rupa, orang-orang hebat itu
semuanya menunjuk ke Scrovegni Chapel. Giotto memperkenalkan lagi figurasi tiga
dimensi kepada dunia modern. Dalam dunia sajak, Dante adalah satusatunya orang
diakui dengan karyanya Inferno. Dalam bidang seni patung, Michelangelo
mengguncang dengan karyanya David, yang dipahat dari sebongkah batu pada tahun
1501. Pada tahun itu pula, muncul revolusi mendasar dari ilmu pengetahuan
modern. Seorang bernama Nicolaus dari Torus (Copernicus) melakukan perjalaan ke
Padua untuk berpura-pura belajar ilmu kedokteran. Namun sesungguhnya,
melanjutkan penelitian astronomis yang membawanya menemukan satu kebenaran yang
terlarang. Dalam bidang sastra, pilihan harus jatuh pada dedengkot novel, Don
Quixote(l 604). Sementara di bidang musik, tidak seorang pun yang
menyaingi Beethoven. Dialah pencipta musik terobosan yang jenius.
Itulah hal yang kusampaikan pada Ayahku. Aku baru berusia tujuhbelas tahun waktu
itu. Kupikir, sungguh luar biasa menjalani kehidupan pada pergantian abad itu.
Aku memperkirakan akan ada karya dan gagasan yang meng-goncang kemanusian pada
beberapa tahun ini. Dan karena itu, orang akan menciptakan sesuatu yang hebat
untuk kehidupan mereka di tengah pergantian milenium seratus tahun kemudian.
"Kau benar-benar..., bersemangat," itulah tanggapan dingin dan satusatunya jawaban
ayahku. Mungkin aku salah karena masuk ke ruang kerjanya untk memperlihatkan
kegembiraanku. Kata bersemangat, bagi ayahku merupakan sebuah istilah untuk
celaan. Namun semangatku mendapat balasan. Pada tahun 19D5, seorang keturunan Vahudi-
Jerman dari Swiss, menghasilkan sebuah teori yang disebutnya relativitas. Dalam
duabelas bulan, para profesorku di Harvard mengatakan, Einstein telah mengubah
pikiran kami tentang ruang dan waktu untuk selamanya. Dalam bidang seni, aku
mengaku memang tidak ada perubahan. Pada tahun 19D3, kerumunan orang di St.
Botolph ramai membicarakan teratai Perancis, yang kemudian terbukti merupakan
karya seorang seniman yang mulai kehilangan penglihatanya. Ketika tiba pada
pengertian manusia akan dirinya sendiri, perkiraanku kembali terpenuhi. Sigmund
Freud menerbitkan bukunya Interpretation of Dreams pada tahun 1900. Ayahku
mungkin akan mengejek, tetapi aku yakin kalau Freud juga akan mengubah cara
berpikir kita selamanya. Setelah Freud, penilaian kita pada diri kita sendiri
atau orang lain akan berubah.
Ayahku tidak pernah berkata dengan keras kalau kegemaranku akan karya
Shakespeare b erlebihan. Katanya, ada sesuatu yang tidak sehat dalam keterta-
rikanku yang besar terhadap fiksi, terutama Ham-let. Seharusnya aku lebih
realistis. Ia hanya sekali mengatakan perasaannya. Ketika berusia tigabelas
tahun, waktu itu aku kira tidak ada seorang pun di rumah, maka aku mengatakan
beberapa kalimat fiksi Hamlet: Apa artinya Hecuba baginya, atau ia bagi Hecuba,
sehingga ia harus m enangis karena perempuan itu " Mungkin aku agak mendapat
kesulitan ketika mengucapkan bagian ini, Oh, pem batasan dendam,' Atau Huh untuk
itu! Hahf Ayahku, tanpa setahuku, menyaksikan semua itu. Ketika aku selesai, ia
berdeham dan bertanya apa arti Hamlet bagiku, atau artiku bagi Hamlet, sehingga
aku harus menangis karenanya"
Tidak perlu dikatakan, namun aku tidak menangis, seingatku. Maksud Ayah,
kecintaanku pada Hamlet bisa tidak berguna sama sekali dalam berbagai hal. Baik
itu untuk masa depanku, atau untuk dunia. Ia ingin aku mengerti tentang hal ini
sejak awal. Ia telah berhasil dan, lagi pula, aku tahu ia benar.
Namun pengetahuan itu tidak mengurangi kecintaanku pada Shakespeare. Seperti
diketahui, aku telah menghapus penyair Avon dari daftar orang jenius pengubah
dunia. Penghapusan itu merupakan strategi. Aku ingin tahu apakah ayahku memakan
umpanku atau tidak. Tampaknya ayahku menggunakan "Shakespeare-ku tercinta,"
untuk melawanku. Ayahku jauh lebih mudah menyebutnya daripada menyebut nama
Dickens atau Tolstoy. Ayahku tahu kalau aku akan segera menyebut mereka hanya
sebagai tokoh besar sastra klasik pertengahan abad, bukan sebagai penemu hal
baru. Tetapi ia tahu kalau aku tak akan pernah menghapus gelar jenius
revolusioner bagi Shakespeare sebagaimana sebuah argumen dan bantahanku.
Boleh jadi ayahku mencurigai adanya sebuah jebakan, atau sejarah buku itu sudah
diketahuinya dengan baik dari yang kuduga. Namun ia tidak bertanya. Aku pun
tidak menceritakannya bahwa Hamlet ditulis pada tahun 16DD.
Aku tidak juga berkesempatan untuk menjelaskan kalau aku bukanlah satusatunya
penggemar Shakespeare. Banyak orang yang rela mati demi Hamlet. Ayahku tidak
tahu itu. Dan semuanya itu tidak ada gunanya, begitulah yang mungkin akan
dikatakan ayahku: demi Hamlet. Namun memang begitu, orang biasanya lebih memer-
dulikan hal yang justru kurang nyata. Contohnya kedokteran, bagiku, mewakili
kenyataan. Semua yang kulakukan sebelum aku kuliah kedokteran, tidak tampak
nyata lagi, semuanya hanya permainan. Karena itulah para ayah harus meninggal:
untuk membuat dunia menjadi nyata bagi putra-putra mereka.
Ini serupa dengan pemindahan dalam perawatan: si pasien membentuk sebuah
hubungan emosional yang pal-ing menengangkan dengan dokternya. Seorang pasien
perempuan akan menangis demi dokternya; ia akan memberikan dirinya dan rela mati
bagi dokternya. Namun itu semua hanya fiksi. Dalam dunia nyata, perasaan pasien
itu tidak ada hubungan dengan dokternya. Kepada dokter itulah si pasien
mewujudkan beberapa kekerasan, mengendapkannya dengan mempergunakan orang lain.
Kekacauan terburuk dalam analisa yang mungkin terjadi adalah kesalahan membangun
perasaan tiruan. Apakah itu
perasaan menggairahkan atau kebencian, untuk dijadikan kenyataan. Maka aku
menguatkan diri ini ketika berjalan menuju kamar Nona Acton.
Tujuh WAN ITA TUA ITU membiarkan aku masuk ke kamar, lalu berseru, "Dokter muda itu
sudah datang!" Nona acton duduk di sofa tepat di bawah jendela. Satu kakinya tertekuk di bawah
tubuhnya. Ia membaca sebuah buku pelajaran matematika, lalu mendongak kepadaku
tanpa memberi salam. Hal itu dapat dimengerti lantaran ketidakmampuannya untuk
bicara. Sebuah lampu bergantung di langitlangit, dan kepingan kristal yang
menyerupai tetesan air mata itu sedikit bergetar, mungkin pengaruh kereta api
yang berjalan di bawah kami.
Nona Acton hanya mengenakan pakaian putih dengan tepian biru tanpa perhiasan. Di
sekeliling lehernya, tepat di atas belahan dadanya yang lembut, ada setangan
berwarna biru langit. Lantaran panasnya udara musim itu, hanya ada satu
kemungkinan mengapa ia mengenakan setangan itu: memar pada lehernya masih
terlihat, rupanya ia ingin menyembunyikanya.
Penampilannya sangat berbeda dari malam sebelumnya sehingga bisa saja aku tidak
mengenalinya. Rambut panjang yang sebelumnya kusut masai, sekarang halus
bercahaya dan dikepang sempurna. Kemarin ia gemetar tak terkendali, sekarang bak
sebuah lukisan keanggunan, dengan dagunya terangkat tinggi di atas leher
jenjangnya. Hanya bibirnya yang masih terlihat agak bengkak.
Aku mengeluarkan beberapa kertas catatan, pena
dan tinta yang aku gunakan mempermudah komunikasi dengan gadis itu. Sesuai
nasihat Freud, aku mencatat apa saja selama sesi analisa berlangsung. Aku hanya
mencatatkan semuanya yang mampu kuingat setelah sesi selesai.
"Selamat pagi, Nona Acton," sapaku, "ini untukmu." "Terimakasih," katanya, "apa
yang seharusnya kusu-guhkan?"
"Apa saja," kataku, "Kau sudah dapat berbicara." "Ibu Biggs," katanya, "tolong
tuangkan teh untuk dokter."
Aku menolak tehnya. Rasa kesal yang kurasakan lantaran terkejut, kini bertambah
dengan kenyataan kalau aku adalah seorang dokter yang bisa saja kesal karena
keadaan pasiennya membaik tanpa bantuanku.
"Kau sudah membaik sejak kemarin?" Tanyaku.
"Belum. Tetapi temanmu, dokter tua itu, berkata kalau semuanya akan kembali
secara alamiah, bukankah begitu?"
"Dr. Freud berkata suaramu mungkin saja akan kembali secara alamiah, tetapi
bukan ingatanmu." Bagiku itu merupakan pernyataan aneh, karena aku sendiri tidak
yakin apakah pernyataan itu benar.
"Aku benci Shakespeare," katanya.
Matanya terus menatap mataku, tetapi aku melihat apa penyebab tercetusnya kata-
katanya itu. Rupanya buku Hamlet-ku tersembul dari tumpukan buku catatan yang
tadi kutawarkan padanya. Aku memasukkanbuku daram itu ke dalam tas. Rasanya aku
ingin bertanya mengapa ia membenci Shakespeare, tetapi ada gagasan lain yang
lebih baik, "Bisa kita mulai perawatanmu, Nona Acton?"
Sambil mendesah seperti seorang pasien yang telah
terlalu sering menemui banyak dokter, ia berpaling dan menatap jendela, sehingga
punggungnya-lah yang menghadap padaku. Gadis itu tampak sedang berpikir. Rupanya
ia mengira aku akan menggunakan stetoskop untuk perawatannya. Aku memberitahu
kalau kami hanya sekadar berbicara saja.
Ia bertukar pandang ragu dengan Ibu Biggs. "Itu perawatan macam apa, dokter?"
Tanyanya. "Namanya psikoanalisa. Sangat sederhana. Aku harus minta pelayanmu untuk
meninggalkan kita. Lalu, silahkan berbaring, Nona Acton, aku akan mengajukan
beberapa pertanyaan. Kau hanya menjawab dengan apa saja yang ada di dalam
pikiranmu. Mohon jangan khawatir jika jawabanmu itu nanti tampak tidak
berhubungan atau tidak akan menjawab pertanyaanku sama sekali. Bahkan kalau
jawabanmu itu terdengar tidak sopan. Katakan saja hal pertama yang muncul dalam
benakmu, apa pun itu."
Ia berkedip padaku. "Kau bercanda."
"Sama sekali tidak." Aku memerlukan beberapa menit untuk mengatasi keraguan
gadis itu, termasuk beberapa menit lainnya untuk mengatasi pernyataan Ibu Biggs
tadi kalau ia belum pernah mendengar adanya perawatan semacam itu. Ibu Biggs pun
pergi, dan Nona Acton mulai berbaring di sofa. Ia memperbaiki letak setangannya,
lalu merapikan pakaiannya. Wajar saja kalau ia tampak tidak tenang. Aku bertanya
apakah cidera pada punggungnya itu mengganggu" Ia menjawab tidak. Aku mengambil
tempat pada sebuah kursi yang tidak terlihat olehnya, lalu memulai. "Kau bisa
katakan padaku tentang mimpimu tadi malam?"
"Maaf?" "Aku yakin kau mendengarku, Nona Acton."
"Aku rasa mimpiku tidak ada hubungannya dengan ini semua."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mimpi itu," aku menjelaskan, "terbentuk dari potongan-potongan berbagai
pengalaman sehari-hari kita. Mimpi apa pun yang kau ingat mungkin bisa membantu
mengembalikan ingatanmu."
"Bagaimana jika aku tidak mau mengatakannya?" Tanyanya.
"Kau punya mimpi yang kau merasa lebih baik jika tidak kau ceritakan?"
"Aku tidak mengatakan begitu," katanya, "bagaimana jika aku sudah melupakannya"
Mengapa kalian mengira aku masih mau mengingat kejadian itu."
"Aku menduga kau tidak mau mengingat itu kembali. Jika kau mau mengingatnya, kau
pasti bisa." "Apa maksudmu?" Ia duduk, dan mendelik padaku dengan sangat jelas untuk
menunjukkan permusuhan. Seharusnya, aku tidak mungkin dibenci oleh seseorang
yang baru saja kukenal, namun kali ini tampaknya suatu pengecualian. "Kau pikir
aku berpura-pura?" "Tidak berpura-pura, Nona Acton. Terkadang kita tidak mau mengingat beberapa
kejadian karena itu terlalu menyakitkan. Maka kita menguncinya, terutama
kenangan masa kanak-kanak."
"Aku bukan anak-anak."
"Aku tahu itu," kataku, "maksudnya, mungkin saja kau memiliki kenangan akan
kejadian beberapa tahun lalu yang kau simpan di luar kesadaranmu."
"Apa maksudmu" Baru saja kemarin aku diserang, bukan beberapa tahun yang lalu."
"Ya, dan karena itulah aku mempertanyakan mimpimu tadi malam."
Ia menatapku dengan curiga, tetapi dengan sedikit membujuk, aku bisa membuatnya
kembali berbaring. Sambil menatap pada langitlangit ia berkata, "Kau juga
meminta pasien wanita lain untuk menceritakan mimpinya, Dokter?"
"Ya." "Pasti menyenangkan sekali," ujarnya, "tetapi bagaimana jika mimpi mereka sangat
membosankan" Apakah mereka kemudian mengarang mimpi yang lebih menarik?"
"Harap jangan memikirkan tentang hal itu."
"Tentang apa?" "Tentang apakah mimpimu membosankan," kataku. "Aku tidak bermimpi. Kau pastilah
menyukai Ophelia." "Maaf?"
"Karena kepatuhannya. Semua tokoh wanita Shakespeare bodoh, tetapi Ophelia-lah
yang paling parah." Ini mengejutkanku. Kupikir aku memang selalu menyukai Ophelia. Sebenarnya,
segala yang kuketahui tentang perempuan, kurasa aku telah mendapatkannya dari
Shakespeare. Nona Acton benar-benar mengubah topik, dan sesi bisa saja terhenti.
Namun membiarkan seorang pasien yang berusaha menghindar, terkadang berguna juga
dalam sebuah analisa. Seiring setelah itu, mereka akan kembali ke masalah
terpenting, "Mengapa kau tidak menyukai Ophelia?" Tanyaku.
"Ia bunuh diri karena ayahnya mati. Ayahnya bodoh dan tidak memiliki tujuan.
Apakah kau akan bunuh diri jika ayahmu meninggal dunia?"
"Ayahku memang sudah meninggal dunia."
Tangannya menutupi mulutnya. "Maafkan aku."
"Dan aku memang bunuh diri," tambahku, "semua itu lumrah bagiku."
Ia tersenyum. "Nona Acton, ketika kau memikirkan kejadian kemarin, apa yang muncul dalam
benakmu?" "Tidak ada," katanya, "aku percaya, begitulah artinya jika mengalami amnesia."
Penolakan gadis itu tidak mengejutkanku. Sebuah nasihat Freud padaku adalah
pantang menyerah terlalu mudah. Dalam amnesia histeris, beberapa bagian
terlarang dan yang sudah lama terlupakan dari masa lalu seorang pasien, dapat
saja muncul kembali dalam kehidupannya lantaran peristiwa yang baru saja
dialaminya, yang menekan kesadarannya. Kesadarannya itu kemudian melawan dengan
segala kekuatannya untuk tetap menjauhi memori yang tak dapat diterimanya tersebut. Psikoanalisa berpihak pada
memori untuk melawan kekuatan penekanan; karena itu bangkitlah kebencian secra
tak terduga dari si pasien terhadap dokternya.
"Tak pernah tidak ada apa-apa di benak seseorang," ujarku, "apa yang ada di
benakmu saat ini?" "Saat ini?" "Ya, jangan mengingat-ingat, katakan saja." "Baiklah. Ayahmu sudah meninggal
dunia. Ia bunuh diri." Ada hening sesaat. "Bagaimana kau tahu itu?" "Clara Banwell mengatakannya
padaku." "Siapa?"
"Ia adalah teman ayahmu. Clara mengajakku ke pameran kuda tahun lalu. Kami
melihatmu di sana. Kau hadir di pesta Nyonya Fish tadi malam?"
Aku mengakui kenyataan itu.
"Kau mereka-reka apakah keluargaku diundang," katanya, "tetapi kau takut
bertanya, karena kau takut
jika kami memang tidak diundang."
"Tidak, Nona Acton, aku mereka-reka bagaimana Nyonya Banwell tahu tentang
kematian ayahku." "Apakah aneh jika ada orang lain yang mengetahuinya?"
"Kau sedang mencoba membuat hal itu menjadi aneh?"
"Clara mengatakan, semua gadis berpendapat kalau peristiwa bunuh diri Ayahmu
adalah kenyataan yang menarik. Mereka mengira kejadian itu memberimu jiwa.
Jawaban pertanyaanmu adalah kami memang diundang, tetapi selamanya aku tidak
akan pernah hadir dalam pesta-pesta kalian."
"Begitukah?" "Ya, begitu. Pesta-pestamu memuakkan." "Mengapa?"
"Karena mereka sangat..., sangat membosankan."
"Mereka memuakkan dan membosankan?"
"Kau tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang baru saja bergabung
dalam masyarakat kelas atas" Pertama, ia harus datang ke rumah semua kenalan
ibunya..., mungkin ada seratus rumah. Aku ragu apakah kau bisa membayangkan betapa
menyiksanya hal itu. Di dalam setiap rumah, para wanita itu berkomentar tentang
betapa dewasanya penampilanmu. Padahal maksudnya sangat menjijikkan. Ketika hari
yang dinanti itu tiba, kau akan dipamerkan seperti hewan berjalan. Seperti ada
pengumuman pembukaan sebuah sesi. Lalu kau dipaksa berdansa dengan setiap lelaki
yang percaya kalau mereka mempunyai hak untuk bercinta denganmu. Tidak peduli
siapa dirimu, betapa tuanya dirimu, tidak peduli sebau apa nafasmu. Aku belum
pernah berdansa dengan mereka. Aku mulai kuliah bulan ini, karena itu aku
tidak akan pernah keluar lagi."
Aku memilih untuk tidak menanggapinya, walau keseluruhannya tampak benar.
Sebagai gantinya, aku pun berkata, "Katakanlah kepadaku apa yang terjadi ketika
kau mencoba untuk mengingat."
"Apa maksudmu dengan apa yang terjadi?"
"Aku ingin kau mengatakan padaku, gagasan atau gambar atau perasaan apa pun itu
yang muncul ketika kau berusaha mengingat kejadian kemarin."
Ia menarik nafas dalam. "Tempat kejadian itu" Yang kulihat hanyalah kegelapan.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya."
"Kau ada di sana, di dalam kegelapan itu?"
"Aku di sana?" Tanyanya lirih, "kukira ya."
"Ada yang lain di sana?"
"Seseorang," ia gemetar, "seorang lelaki."
"Apa yang kau pikirkan ketika melihat lelaki itu?"
"Aku tidak tahu. Ia membuat jantungku berdebar cepat."
"Seolah ada yang kau takuti?"
Ia menelan liurnya. "Takut" Coba kupikir. Aku baru diserang di rumahku sendiri,
si penyerang belum ditangkap. Mereka pun tidak mengetahui siapakah orang itu.
Mereka percaya mungkin saja ia sedang mengamati rumahku, dan merencanakan untuk
membunuhku jika aku kembali. Lalu pertanyaanmu yang menjengkelkan adalah apakah
ada yang kutakuti?" Aku seharusnya bersikap lebih simpatik padanya, namun aku memutuskan untuk
kehilangan satusatunya anak panah yang kumiliki. "Ini bukan untuk pertama
kalinya kau kehilangan suaramu, Nona Acton?"
Ia mengerutkan keningnya. Tanpa kusadari, aku melihat garis dagu dan profil
wajahnya yang anggun. "Ibu Biggs yang mengatakannya padaku kemarin." "Itu tiga
tahun lalu," jawabnya, wajahnya agak berubah warna, "dan sama sekali tak ada
hubungannya." "Kau tidak perlu malu, Nona Acton."
"Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuatku malu?"
Aku mendengar penekanan pada kata 'aku" tetapi tak dapat kumengerti. "Kita tidak
bertanggungjawab akan perasaan kita," kataku, "makanya, tidak ada perasaan yang
dapat membuat kita malu."
"Itu adalah katakata terbodoh yang pernah kudengar selama hidupku."
"Oh, begitukah?" Tanyaku, "bagaimana dengan ketika aku bertanya padamu apakah
kau punya hal yang menakutkanmu?"
"Tentu saja perasaan dapat membuat orang malu. Itu selalu terjadi."
"Apakah kau malu karena apa yang terjadi ketika kau untuk pertama kalinya
kehilangan suaramu?"
"Kau tidak tahu apa yang terjadi," katanya. Walau tidak terdengar melemah, tapi
tibatiba ia menjadi rapuh. "Karena itu aku bertanya."
"Well, aku tidak akan mengatakannya padamu," ia bangkit dari sofa, "ini bukan
terapi. Ini.., ini namanya mengungkit-ungkit." Ia meninggikan suaranya, "Ibu
Biggs" Ibu Biggs, kau ada di sana?"
Pintu terbuka, dan Ibu Biggs bergegas masuk. Tentunya wanita tua itu telah sejak
lama berada di koridor dengan telinganya menempel di lubang kunci. "Dr.
Younger," kata Nona Acton padaku, "aku akan pergi untuk membeli sesuatu. Kurasa
tidak ada yang tahu sampai
berapa lama aku harus tinggal di sini. Dokter, aku yakin kau tahu jalan menuju
ke kamarmu sendiri."
9 WALIKOTA MCCLELLAN MEMAKSA Hugel untuk menunggu selama satu jam. Ahli otopsi itu
tidak sabar dengan keadaan yang sudah umum terjadi ini. Kini ia tampak berang.
"Ini pelanggaran tingkat pertama," serunya ketika ia pun diterima di kantor
Walikota, "aku menuntut diadakannya penyidikan."
George Brinton McClellan, Jr. adalah putra seorang jendral Perang Saudara. Ia
adalah seorang tercerdas dengan pikiran jauh ke depan. Ia pun pernah menjabat
sebagai Walikota New York City. Pada tahun 19D9, hanya sedikit orang Amerika
yang bisa diakui sebagai seorang ahli sejarah Italia. McClellan adalah salah
satunya. Pada usia ke empatpuluh tiga, ia telah menjadi seorang editor koran,
pengacara, penulis, anggota dewan, pengajar sejarah Eropa di Princeton
University, anggota kehormatan American Society of Architects [Persatuan Arsitek
Amerika], dan Walikota dari kota terbesar itu. Ketika anggota dewan kotapraja
New York City mengeluarkan peraturan pada tahun 1908 yang melarang perempuan
merokok di depan umum, McClellan menolaknya.
Pandangannya terhadap moralitas bisa dibilang rendah. Jadwal Pemilihan Walikota
berikutnya masih kurang sembilan minggu lagi. Nama para calon belum disebutkan,
tetapi McClellan masih belum mendapatkan tawaran partai besar atau kelompok
sebagai nominasi. Di atas meja Walikota yang terbuat dari kayu walnut, selain
dari lima belas terbitan koran kota, ada satu set cetak biru. Cetak
biru itu menggambarkan jembatan gantung yang menjulang tinggi, dijangkari dengan
dua menara raksasa yang sangat tipis dan megah. Trem kota digambarkan berlalu-
lalang di bagian atas jembatan, sementara di bagian bawahnya ada enam jalur
kereta kuda, mobil dan jalur kereta api.
"Kau adalah orang kelima yang telah meminta penyidikan ini dan itu."
"Ke mana jenazah itu?" Kata Hugel, "apakah ia bisa bangun dan berjalan dengan
kedua kakinya?" "Coba lihat ini," Walikota itu berkata, sambil menatap cetak birunya. "Jembatan
Manhattan. Memakan biaya tigapuluh juta dolar untuk pembangunnya. Aku akan
meresmikannya tahun ini jika itu memang adalah hal terakhir yang kukerjakan di
kantor ini. Menara ini sebagai pemandangan New York yang merupakan tiruan dari
portal St. Denis di Paris, hanya saja ini ukurannya dua kali lebih besar. Satu
abad lagi, jembatan ini...,"
"Walikota McClellan, gadis Riverford...,"
"Aku tahu tentang gadis Riverford," kata McClellan dengan suara yang tibatiba
berwibawa. Ia menatap Hugel tepat pada wajahnya, "apa yang harus kukatakan pada
Banwell" Apa yang harus ia katakan pada keluarga gadis itu" Jawab aku, Hugel!
Tentu saja harus ada penyidikan, kau seharusnya sudah menyelesaikannya sejak
lama." "Aku?" Tanya Hugel, "sejak lama?"
"Berapa banyak jenazah yang hilang dari kita selama enam bulan terakhir ini,
Hugel, termasuk dua yang tak tercatat setelah kita memperbaiki kebocoran"
Duapuluh jenazah" Sebagaimana aku, kau juga tahu ke manakah mayat-mayat itu
pergi." "Kau tidak mengatakan kalau aku...,"
"Tentu saja tidak," kata Walikota, "tetapi seseorang dari staf-mu telah menjual
mayat-mayat itu kepada fakultas kedokteran. Aku diberitahu harganya lima dolar
per kepala." "Apakah itu salahku?" Tanya Hugel. "Dengan keadaanku yang tanpa perlindungan,
tanpa penjaga, tentu saja mayat-mayat itu menghilang, tidak ada ruangan cukup
untuk mereka semua, bahkan terkadang sudah membusuk sebelum dapat dimusnahkan"
Setiap bulan aku melaporkan tentang keadaan yang memalukan di rumah jenazah.
Tetapi kau tidak mempedulikan aku."
"Maafkan aku atas keadan rumah jenazah itu," kata McClellan, "dari laporan yang
kuterima tidak ada seorang pun yang mampu mengelolanya sebaik kemampuanmu. Kau
telah berpura-pura tidak melihat adanya pencurian mayat-mayat itu, lalu aku yang
harus bertanggungjawab. Kau harus menginterogasi setiap orang dalam staf. Kau
harus menghubungi setiap fakultas kedokteran di kota ini. Aku ingin jasad itu
ditemukan." "Mayat itu tidak berada di fakultas kedokteran," kata Hugel keberatan, "aku
sudah melakukan otopsi padanya. Aku telah melubangi paruparunya, untuk
meyakinkan adanya kesulitan bernafasnya."
"Apa hubungannya?"
"Tidak ada satu fakultas kedokteran pun yang mau membeli mayat yang sudah
diotopsi. Mereka menginginkan mayat yang utuh."
"Maka si pencuri itu membuat kesalahan."
"Tidak ada kesalahan di sini. Si pembunuh itulah yang mencuri jasad Riverford."
"Kendalikan dirimu, Hugel. Kau tak terkendali."
"Aku mampu mengendalikan diriku dengan sempurna."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Kau mengatakan, si pembunuh merampok ruang jenazah
kemarin malam dan melarikannya?"
"Tepat," kata Hugel.
"Mengapa?" "Karena ada pada tubuh gadis itu terdapat bukti yang menurut si pembunuh, tidak
boleh kita miliki." "Bukti apa?"
Rahang Hugel bekerja terlalu keras sehingga pelipisnya berubah seperti buah
plum. "Buktinya..., adalah.., aku belum yakin apakah buktinya. Karena itulah
mengapa kita harus mendapatkan kembali mayatnya!"
"Hugel, kau telah mengunci kamar mayat itu, kan?"
"Pasti." "Bagus. Apakah kunci itu rusak tadi pagi" Apakah ada bukti perampokan?"
"Tidak," kata Hugel dengan geram, "tetapi seseorang dengan kunci pencuri yang
bagus...," "Hugel, inilah yang harus kau kerjakan. Segera beritahu semua anak buahmu kalau
ada hadiah sebesar limabelas dolar bagi siapa saja yang dapat 'menemukan' gadis
Riverford di salah satu fakultas kedokteran. Duapuluh lima dolar jika mereka
menemukannya hari ini. Hadiah itu pasti akan membawanya kembali. Kini, izinkan
aku, aku sangat sibuk. Selamat siang." Ketika Hugel dengan enggan memutar tub
uhnya untuk pergi. Tibatiba McClellan mendongak menatap dari balik mejanya.
"Tunggu. Tadi kau bilang gadis Riverford mengalami sesak nafas?"
"Ya, mengapa?" "Bagaimana ia bisa sesak nafas?" "Karena jeratan."
"Ia dicekik?" "Ya. Mengapa?"
McClellan mengabaikan pertanyaan Hugel untuk kedua kalinya. "Bagian tubuh mana
lagi yang terluka?" "Semua sudah kutulis dalam laporanku," kata Hugel yang kecewa. Ia merasa terhina
begitu mengetahui ternyata McClellan belum membaca laporannya. "Gadis itu
dicambuki. Ada beberapa luka goresan pada bokong, punggung, dan dada. Ia disayat
sebanyak dua kali dengan silet sangat tajam, pada bagian pertemuan S-dua dan L
dua dermatom." McClellan tampak tidak paham, "Di mana" Tolong gunakan bahasa Inggris, Hugel."
"Pada paha dalam bagian atas pada tiap tungkai." "Demi Tuhan," kata McClellan.
9 AKU TURUN untuk makan pagi sambil mencoba memikirkan pertemuanku dengan Nona
Acton. Aku bergabung bersama Jung yang sedang membaca koran Amerika di sana.
Yang lainnya telah berangkat ke Metropolitan Museum. Jung tertinggal, katanya
menjelaskan, karena pagi-pagi ia akan mengunjungi Dr. Onuf, seorang
neuropsikiatris di Ellis Island.
Ini adalah pertama kalinya aku berdua saja dengan Jung. Kali itu, ia tampak
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah tamah dan menyenangkan. Katanya, sepanjang sore kemarin ia tertidur. Dan
hal itu akan berakibat baik baginya. Memang tampangnya pucatnya kemarin telah
membuatku dibanding bagaimana ia terlihat kali ini. Katanya, pendapatnya tentang
Amerika juga membaik, "Orangorang Amerika hanya kurang membaca karya sastra,"
katanya, "jadi, bukan budayanya yang kurang baik."
Jung bersungguh-sungguh. Kupikir itu suatu pujian. Karena itu aku ingin
memperlihatkan kalau orang-orang Amerika tidak semuanya buta sastra. Lalu aku
menggambarkan kisah keributan di Astor Place ketika dipentaskan drama
Shakespeare padanya. "Jadi, orang-orang Amerika ingin Hamlet yang berotot,"
Jung merenung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kisahku menegaskan
pendapatku. Seorang Hamlet yang jantan merupakan kontradiksi dalam istilah.
Seperti yang pernah dikatakan kakekku, tokoh Hamlet mewakili sifat keperempuanan
lelaki: kecerdasannya, jiwanya, cukup peka dalam melihat dunia spiritual tetapi
tidak cukup kuat untuk menanggung beban yang ditimbulkan. Tantangannya adalah
untuk melakukan keduanya: mendengarkan suara-suara dari dunia lain tetapi hidup
di dunia ini menjadi lelaki yang bertindak."?Aku bingung dengan "suara-suara" yang disebutkan Jung. Mungkin suara di alam tak
sadar" Tetapi aku senang ia punya pendapat tentang Hamlet. "Kau menjelaskan
tentang tokoh Hamlet benar-benar hampir seperti penjelasan Goethe," kataku, "itu
adalah penjelasan Goethe tentang ketakmampuan Hamlet dalam bertindak."
"Aku yakin, itu adalah pendapat kakek buyutku," kata Jung sambil menghirup
kopinya. Aku menunggu sebentar. Lalu, "Goethe kakek buyutmu?"
"Freud memuji Goethe lebih dari semua penyair," kata Jung. "Sebaliknya, Jones,
menyebutnya dithyram bist [penyair yang biasa saja]. Bisa kau bayangkan" Jones
hanya seorang Inggris. Aku tidak mengerti apa yang
dilihat Freud pada diri Jones." Jones yang dibicarakan Jung pastilah Ernest
Jones, seorang pengikut Freud. Kini ia tinggal di Kanada dan diharapkan akan
bergabung dengan kelompok kami besok. Aku telah menyimpulkan kalau Jung
bermaksud menghindari pertanyaanku. Lalu ia menambahkan, "Ya, aku Carl Gustav
Jung ketiga; yang pertama adalah kakekku, putra Goethe. Semua orang tahu itu.
Dugaan pembunuhan memang menggelikan."
"Aku tidak tahu Goethe didakwa membunuh."
"Goethe" Tentu saja tidak," kata Jung marah, "jelas aku sangat mirip dengan
kakekku dalam segala hal. Mereka menangkapnya dengan tuduhan pembunuhan, tetapi
itu hanya dalih. Kakekku memang menulis novel pembunuhan, judulnya The Suspect,
karya apik tentang seorang tanpa sebuah kesalahan namun dijatuhi hukuman karena
pembunuhan. Atau setidaknya, ada satu orang yang menganggapnya tidak bersalah.
Itu sebelum Humboldt melindunginya. Kau tahu, Younger, aku sebenarnya berharap
universitasmu tidak memberiku penghormatan sebagaimana yang kalian telah berikan
kepada Freud. Ia sangat perasa dalam hal seperti itu."
Aku tidak bisa menjawab dengan baik pernyataan kasar Jung terhadap Freud. Clark
tidak memberikan penghormatan yang sama pada Freud dan Jung. Seperti yang
diketahui semua orang, Freud adalah pusat perhatian dalam acara perayaan Clark.
Ia adalah pembicara utama yang akan membawakan lima kuliah penuh. Sementara
Jung, setidaknya cadangan terakhir jika ada seorang panelis yang berhalangan
hadir. Tetapi Jung tidak menanti jawabanku. Ia melanjutkan, "Aku tahu maksudmu ketika
kau mempertanyakan apakah Freud seorang beriman. Sebuah pertanyaan
cerdik, Younger." Ini juga adalah sebuah hal yang terlihat lain untuk pertama
kalinya. Jung sebelum ini tidak pernah memperlihatkan reaksi suka pada apa pun
yang kukatakan. "Tentu saja Freud mengatakan kalau ia tidak beriman. Ia seorang jenius, namun
wawasannya membahayakan dirinya. Seseorang yang terjebak karena menggunakan
waktu seumur hidupnya untuk meneliti patologis, ada kemungkinan menjadi buta
akan kemurnian, ketinggian, dan jiwa. Aku tidak percaya sama sekali bahwa jiwa
harus merupakan jasmani. Bagaimana pendapatmu?" Tanya Jung padaku.
"Aku tidak yakin, Dr. Jung."
"Tetapi kau tidak terseret ke dalam gagasan itu. Gagasan itu tidak secara
mendasar menarik hatimu. Mungkin bagi mereka, begitu."
Aku harus bertanya padanya, siapakah yang sedang dibicarakannya.
"Mereka semua. Brill, Ferenczi, Abraham, Stekel, dan banyak lainnya. Freud
membungkus dirinya sendiri dengan ini, jenis ini. Mereka semua ingin merobek apa
pun yang tinggi, untuk menurunkannya hingga berubah menjadi aurat dan kotoran.
Jiwa itu tidak bisa diturunkan maknanya menjadi jasmani. Bahkan Einstein, salah
satunya, tidak percaya bahwa Tuhan dapat dibunuh." "Albert Einstein?"
"Ia tamu makan malam di rumahku yang kerap datang," kata Jung, "tetapi ia juga
mempunyai kecenderungan untuk memp erkecil alam semesta menjadi hukum
matematika. Jelas itu merupakan khas pemikiran seorang Yahudi. Lelaki Yahudi,
tentunya. Wanita Yahudi bertipe agresif. Istri Brill adalah jenis yang seperti
itu. Cerdas, menarik, tetapi sangat agresif."
"Aku percaya Rose bukan orang Yahudi, Dr. Jung," kataku.
"Rose Brill?" Tanya Jung sambil tertawa, "seorang wanita dengan nama seperti
itu, pastilah dari agama yang satu itu."
Aku tidak menjawab. Jung jelas lupa kalau nama Rose tidak harus selalu terkait
dengan Brill. "Bangsa Aria itu," Jung melanjutkan, "bersifat mistis. Ia tidak berusaha untuk
menurunkan segalanya hingga menjadi setingkat dengan manusia. Di sini, di
Amerika, ada kecenderungan yang sama untuk menurunkannya, tetapi berbeda. Di
sini, segalanya dibuat untuk anak-anak. Segalanya dibuat sederhana mungkin
sehingga mudah dimengerti anak-anak: tanda-tanda, iklan, segalanya, bahkan betis
yang digunakan orang untuk berjalan, juga dibuat seperti anak-anak. Cara
mengayunkan lengan juga seperti itu. Aku menduga itu hasil percampuran kalian
dengan Negro. Mereka bangsa bersifat baik dan sangat beragama, tapi berpikiran
sederhana. Mereka sangat memengaruhimu. Aku mendengar gaya bicara orang-orang
Selatanmu. Mereka benar-benar berbicara dengan aksen Negro. Ini juga penjelasan
bagi sifat matriarki negerimu. Wanita Amerika jelas merupakan tokoh dominan.
Kalian, lelaki Amerika adalah domba, sementara wanita kalian berperan sebagai
srigala-srigala malam."
Aku tidak suka warna paras Jung. Pada mulanya aku menganggapnya sebagai satu
kemajuan, namun sekarang wajah tampak terlalu merah. Cara berpikirnya memb
ingungkanku, karena alasan tertentu. Percakapannya tidak fokus, logikanya kacau,
sindirannya menyakitkan. Yang terparah, kupikir Jung menganggap dirinya sangat
mengerti tentang Amerika, padahal dua hari ia berada di sini. Terutama
pengetahuannya tentang wanita Amerika. Aku mengubah topik pembicaraan dengan
memberitahunya tentang sesi pertama p sikoanalisaku dengan Nona Acton yang baru
saja usai. "Apa?" Tanya Jung dengan suara yang terdengar dingin "Ia menginap di kamar
lantai atas." "Kau menganalisa gadis itu" Kau, di sini, di hotel ini?"
"Ya, Dr. Jung."
"O, begitu." Ia berharap aku berhasil, walau tidak terlalu meyakinkan, dan
bangkit untuk pergi. Aku memintanya menyampaikan hormatku pada Dr. Onuf. Sesaat
ia menatapku seolah aku meracau. Lalu ia berkata kalau ia akan menyampaikannya
dengan senang hati. Delapan
Delapan DI TEPI TIMUR SUN GAI HUDSON, enampuluh mil ke utara New York City, berdiri
sebuah gedung besar, melebar, terbuat dari batu merah zaman Victoria. Itu adalah
gedungRumah Sakit Negara Matteawan bagi Narapidana Sakit Jiwa. Rumah sakit
Matteawan memiliki pengamanan yang relatif kecil. Lagipula, kelimaratus
limapuluh penghuninya bukanlah penjahat. Mereka hanyalah penjahat yang
disebabkan karena ketidakwarasannya. Banyak di antaranya tidak dijatuhi hukuman
sama sekali. Bahkan ada juga yang tidak dinyatakan bersalah.
Pada tahun 1909, pengetahuan medis akan ketidakwarasan belum merupakan ilmu
pengetahuan sempurna. Di Matteawan, kira-kira 10 persen penghuninya dinyatakan
tidak waras hanya karena ia melakukan
masturbasi. Sebagian besar dari mereka menderita ketidakwarasan karena
keturunan. Para dokter telah dipaksa untuk menyatakan penyebab penyakit itu dari
sejumlah besar penghuninya di sana, atau, bahkan menyatakan mereka tidak waras
sama sekali. Pasien di kamar 3121 melewatkan hari-harinya dengan cara berbeda. Pasien ini
juga menempati kamar 3122-24. Ia tidur tidak di atas tempat tidur lipat, seperti
penghuni lainnya, tetapi di atas ranjang besar. Dan ia tidur larut malam. Ia
bukan pembaca buku, namun setiap hari ia menerima beberapa helai surat dari New
York dan segala majalah mingguan, yang dibacanya sambil makan telur rebus.
Sementara penghuni rumah sakit lainnya berbaris dan bekerja di kebun sebagai
bentuk kegiatan pagi mereka. Ia bertemu dengan pengacaranya beberapa kali
seminggu. Yang paling hebat, Chef, seorang koki kepala, mempersiapkan makan
malamnya di ruang makan pribadinya. Sampanye dan minuman keras lainnya dengan
bebas dibagikannya kepada sebagian kecil staf penjaga di Matteawan ketika
bermain poker bersama pada malam hari. Ketika kalah dalam permainan poker, ia
akan memecahkan barang-barang seperti jendela, botol-botol, terkadang kursi.
Maka para penjaga berusaha supaya ia tidak kalah terlalu banyak. Beberapa sen
bisa saja mereka korbankan bagi permainan kartu dibandingkan dengan pembayaran
yang dilakukan si pasien untuk mendapatkan pengecualian dari peraturan rumah
sakit. Mereka dapat mengantungi keuntungan sedikit ketika mereka membawa para
wanita untuk hiburannya. Namun membawa masuk para wanita ke sana tidaklah terlalu mudah, karena pasien di
kamar 3121 memiliki selera tertentu. Ia menyukai wanita yang muda dan cantik.
Permintaan semacam itu saja telah membuat para penjaga di sana kerepotan.
Sialnya, ketika mereka menemukan yang sesuai, wanita itu hanya mampu bertahan
hingga kunjungan kedua saja, meskipun pembayarannya sangat royal. Setelah hanya
duabelas bulan, para penjaga benar-benar itu telah kehabisan persediaan wanita
baginya. Kedua lelaki itu keluar dari kamar 3121 tepat pukul satu pada hari Selasa di
penghujung bulan Agustus 1909. Mereka bukanlah penjaga. Tarikan wajah salah satu
orang yang mengenakan topi bowling, memperlihatkan kepuasan yang tinggi. Satu
lagi adalah seorang lelaki lebih tua dengan sebuah jam rantai yang menggelantung
dari saku rompinya. Ia berwajah tirus dan jemarinya bak pemain piano.
g PEN JELASAN WALIKO TA MCCLELLAN tentang peristiwa yang terjadi di kamar Nona
Acton, telah membuat ahli otopsi marahmarah panjang-pendek.
"Ada apa denganmu, Hugel?" Tanya pak Walikota.
"Aku tidak diberitahu. Mengapa aku tidak diberitahu?"
"Karena kau adalah ahli otopsi," kata McClellan, "tidak seorang pun yang
terbunuh." Tetapi kejahatan itu dapat terlihat jelas," bantah Hugel.
"Aku tidak tahu itu," kata Walikota McClellan.
"Jika kau telah membaca laporanku, kau akan tahu!"
"Demi Tuhan, tenanglah Hugel." Lalu McClellan memerintahkannya untuk duduk.
Setelah kedua orang itu meneliti kembali kejahatan tersebut dengan lebih rinci,
Hugel menegaskan, jelaslah pembunuh Elizabeth Riverford adalah orang yang
menyerang Nora Acton. "Maha Besar Tuhan," kata McClellan perlahan, "haruskah aku mengeluarkan
peringatan?" Hugel tertawa mengejek, "Seorang pembunuh para gadis kaya raya
sedang menghantui kota kita?"
McClellan bingung karena nada kalimat Hugel. "Wah, ya begitu, kukira, atau
paling tidak begitu."
"Lelaki tidak menyerang perempuan muda begitu saja," jelas Hugel, "kejahatan
harus memiliki motif. Scot-land Yard tidak pernah bisa menangkap Ripper karena
mereka tidak pernah menemukan hubungan antara si penjahat dan para korbannya.
Mereka tidak pernah mencari motif itu. Saat mereka memutuskan kalau pelaku
kejatahan itu adalah orang gila, kasus itu menghilang begifWabJB .Besar Tuhan,
wah, kau tidak sedang mengatakan si Ripper itu berkeliaran lagi, kan?"
"Tidak, tidak, tidak," kata Hugel sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan
jengkel, "aku mengatakan, kedua serangan itu tidak asal saja. Ada sesuatu yang
menghubungkan mereka. Saat kita menemukan hubungan itu, kita akan tahu siapa
penjahatnya. Kau tidak perlu memperingatkan masyarakat, dan kau harus melindungi
gadis itu. Penjahat itu sudah menginginkan kematiannya, dan gadis itu sekarang
adalah satusatunya orang yang dapat mengenalinya di pengadilan. Jangan lupa, ia
tidak tahu jika si gadis korban itu kehilangan memorinya. Pasti ia akan
menyelesaikan pekerjaannya."
"Syukurlah aku telah memindahkannya ke hotel," kata McClellan.
"Ada yang tahu di mana gadis itu berada sekarang?"
"Para dokternya tentu saja."
"Kau mengatakan pada teman dan keluarganya?" Tanya Hugel.
"Tentu saja tidak," kata McClellan."
"Bagus. Kalau begitu ia selamat sekarang. Apakah hari ini ia sudah dapat
mengingat sesuatu?" "Aku tidak tahu," kata McClellan muram, "aku belum bisa menghubungi Dr.
Younger." Walikota McClellan mempertimbangkan pilihannya. Ia berharap ia dapat
menghubungi Jendral Bingham, mantan komisaris polisinya yang lama, Namun
McClellan-lah yang mendorongnya hingga Bingham pensiun sebulan yang lalu.
Bingham telah menolak untuk memperbaiki citra polisi, tetapi ia sendiri tidak
dapat disuap, Ia pasti tahu apa yang harus $&tem^9tan Wajjl^ $Sffin$$JlSi"BtU-
hM&rf"ia Ba^p uang yang bisa dihasilkan darinya. Seingat McClellan, Hugel adalah salah satu
dari orang-orang yang paling berpengalaman dalam satuan itu. Bukan itu saja,
dalam kasus pembunuhan, ia adalah yang paling berpengalaman. Jika ia tidak
menganggap peringatan sebagai sesuatu yang penting, mungkin ia benar. Berbagai
surat kabar tentu saja akan mendapat keuntungan dari berita itu, karena
masyarakat berubah histeris dan Walikota akan dihujat. Mereka pasti juga akan
tahu tentang hilangnya jasad korban pertama. McClellan telah meyakinkan Banwell
kalau polisi akan coba mengungkap kasus tanpa diketahui publik. George Banwell
adalah salah seorang teman Walikota yang telah ditinggalkan. Akhirnya McClellan
memutuskan untuk mengikuti saran Hugel.
"Baiklah," kata McClellan, "Tidak ada peringatan sekarang, kau harus benar, Pak
Hugel. Temukan orang itu untukku. Pergilah ke rumah Nona Acton sekarang juga. Kau akan memimpin
penyidikan di sana. Dan katakan pada Littlemore aku ingin bertemu dengannya
segera." Hugel protes. Sambil membersihkan kacamatanya, ia mengingatkan McClellan kalau
itu bukan bagian dari tugas ahli otopsi untuk berkeliaran di kota seperti
detektif biasa. McClellan menelan rasa jengkelnya. Ia meyakinkan kalau hanya
dialah yang dapat dipercaya lantaran penting dan pekanya kasus ini, apalagi
matanya terkenal paling awas di satuan ini. Hugel, mengedipkan matanya karena
tampaknya ia setuju dengan pernyataan-pernyataan itu. Ia pun setuju untuk pergi
ke rumah Nona Acton. Begitu Hugel meninggalkan kantornya, McClellan memanggil sekretarisnya, "Telepon
George Banwell." Sekretarisnya memberi tahu kalau Banwell telah menelponnya
sepanjang pagi itu. "Apa yang diinginkannya?" Tanya McClellan. "Ia agak kasar, Yang Mulia," katanya.
"Tidak apa, Nyonya Neville. Apa yang diinginkannya?"
Nyonya Neville membaca dari catatan stenonya. "Untuk mengetahui siapa iblis yang
membunuh gadis Riverford, apa yang membuat Hugel begitu lama menyelesaikan
otopsinya, dan ke mana uangnya."
McClellan mendesah dalam, "Siapa, apa, di mana. Ia hanya tidak menyebutkan
kapan." McClellan melihat jam tangannya. Ternyata kapannya itu sudah tinggal
sedikit lagi baginya. Dalam dua minggu paling lama, para calon Walikota akan
diumumkan. Kini ia tidak mempunyai harapan menjadi calon dari Tammany.
Kesempatannya hanya sebagai calon bebas atau gabungan, tetapi kampanye seperti
itu membutuhkan uang. Hal itu juga membutuhkan wartawan handal, bukan berita-
berita omong kosong tentang penyerangan para gadis kaya raya yang tidak terungkap.
"Telepon Banwell lagi," tambahnya pada Nyonya Neville. "Katakan padanya untuk
bertemu denganku di Hotel Manhattan dalam satu setengah jam ini. Ia tidak akan
menolak, karena ia punya pekerjaan di dekat sana, jadi ia tentu mengawasinya
sesekali waktu. Lalu panggil Littlemore."
Setengah jam kemudian, detektif itu melongokkan kepalanya ke kantor Walikota,
"Anda ingin bertemu denganku, Yang Mulia?"
"Pak Littlemore," kata Walikota, "kau tahu kita mendapatkan serangan lain lagi?"
"Ya. Pak Hugel telah mengatakannya padaku."
"Bagus. Kasus ini penting sekali bagiku, Detektif. Aku mengenal Acton, dan
George Banwell adalah teman lamaku. Aku ingin selalu diberitahu setiap ada
perkembangan. Dan aku ingin kasus ini dirahasiakan. Segera pergilah ke Hotel
Manhattan, temui Dr. Younger, cari tahu apakah ia telah membuat kemajuan. Jika
ada informasi baru, segera hubungi aku. Dan Detektif, jangan menarik perhatian.
Jangan sampai ada kebocoran kalau kita mempunyai saksi penting yang menginap di
hotel. Hidup Nona Acton bergantung pada kerahasiaan itu. Kau mengerti?"
"Ya, Tuan Walikota," kata Littlemore, "kepada siapakah aku harus melapor" Kepada
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anda, atau kepada Kapten Carey di bagian Pembunuhan?"
"Kau melapor kepada Hugel," jawab Walikota, "dan juga kepadaku. Kasus ini harus
dituntaskan, Littlemore. Dengan segala cara. Kau telah mempunyai penjelasan
tentang pembunuhnya?"
"Ya, Tuan Walikota." Littlemore ragu-ragu, "Hmm, satu
pertanyaan lagi bagaimana jika penjelasan Hugel itu ternyata salah?"
"Kau punya alasan menganggapnya salah?" "Kupikir...," kata Littlemore, "kupikir
ada seorang lelaki Cina yang kemungkinan terlibat."
"Seorang lelaki Cina?" Ulang McClellan, "kau telah memberitahu Hugel?"
"Ia tidak setuju, Tuan."
"Oh begitu. Well, aku mengatakan padamu, sebaiknya kau percaya saja pada Pak
Hugel. Aku tahu ia peka pada hal-hal tertentu, Detektif. Tetapi kau harus ingat
betapa sulitnya bagi seorang jujur untuk melaksanakan tugasnya dalam
ketidakjelasan, sementara orang yang tak jujur berhasil menjadi kaya dan
ternama. Karena itulah korupsi sangat merusak. Korupsi mematahkan niat orang-
orang baik. Hugel punya kemampuan luar biasa, dan ia menghormatimu, Detektif. Ia
memintamu secara khusus untuk menangani kasus ini."
"Begitukah, Tuan?"
"Betul. Sekarang pergilah, Littlemore."
9 KETIKA MENINGGALKAN HOTEL, aku bertemu dengan Nona Acton dan Ibu Biggs yang akan
pergi berbelanja. Sebuah kereta kuda sewaan baru saja berhenti untuk mereka.
Karena jalanan buruk, berdebu dan tidak rata lantaran lumpur kering dan tanah,
aku membantu Nona Acton untuk menaiki kereta kuda. Ketika aku melakukannya, aku
mengetahui kalau pinggang rampingnya hampir dapat kubungkus dalam dua tanganku.
Aku juga berniat membantu Ibu Biggs, namun perempuan baik
hati itu tidak memerlukannya.
Kepada Nona Acton aku katakan harapanku untuk dapat bertemu lagi dengannya esok
pagi. Ia bertanya apa maksudku. Aku mengingatkannya dengan cara menjelaskan
tentang sesi psikoanalisa berikutnya. Tanganku masih memegangi pintu kereta
kudanya yang terbuka. Ia menarik pintu itu dan menutupnya, sehingga tanganku
melepaskannya. "Aku tidak mengerti ada apa dengan kalian semua," katanya, "aku
tidak mau sesimu lagi. Aku akan dapat mengingat semuanya dengan caraku sendiri.
Jangan ganggu aku lagi, itu saja."
Kereta kuda itu bergerak. Sulit menggambarkan perasaanku ketika aku menatap
kepergian mereka. Kecewa, bukanlah ungkapan yang benar-benar memadai. Aku
berharap tubuhku yang terlalu tegap ini sebaiknya remuk dan melebur dengan tanah
jalanan. Brill seharusnya yang menjadi analis. Sementara aku lebih patut disebut
sebagai seorang pekerja medis, seorang dokter umum. Akan terlalu hebat jika aku
berpura-pura menjadi seorang psikoanalis.
Aku telah gagal sebelum memulainya. Gadis itu telah menolak analisa, dan aku
tidak berhasil mengubah pendapatnya. Tidak, akulah yang menyebabkan penolakannya
itu, karena pertanyaanku terlalu mengejar gadis itu sebelum dasar sesi tersebut
diletakkan. Sebenarnya aku tidak siap dengan keadaannya yang sudah dapat
berbicara. Aku telah lupa pada perkiraan Freud sendiri kalau gadis itu mungkin
saja akan dapat berbicara lagi dalam semalam. Kembalinya suara itu, seharusnya
menjadi anugerah bagi perawatannya. Suatu perkembangan yang paling menyenangkan.
Namun, bagiku itu justru mengacaukan. Aku seharusnya membayangkan diriku bersama
seorang pasien dan aku seorang dokter yang sangat membantu. Tetapi aku
menanggapi penolakannya justru dengan cara membela diri. Aku merasa seperti
seorang amatir yang kacau.
Apa yang akan kukatakan pada Freud nanti"
9 KETIKA MEMASUKI HOTEL MANHATTAN, Detektif Littlemore melewati seorang gadis yang
sedang dibantu seorang pemuda untuk memasuki kereta kuda. Kedua orang itu, bagi
Littlemore, mewakili sebuah dunia yang tidak mungkin dimasukinya. Mereka
menyenangkan untuk dipandang, berpakaian dari bahan lembut yang hanya dapat
dibeli oleh orang kaya. Lelaki muda itu jangkung, berambut gelap, dan tulang
pipinya tinggi. Sementara gadis itu, lebih menyerupai bidadari dibandingkan
dengan apa yang pernah ada dalam benak Littlemore. Ketika pemuda itu mengayun
gadis ke dalam kereta kuda, caranya begitu luwes, sehingga Littlemore tahu kalau
ia tak memiliki kemampuan seperti itu juga.
Tidak seorang pun memperhatikan Littlemore. Ia tidak membenci lelaki muda itu,
dan ia menyukai Betty dibandingkan gadis tadi yang terlihat seperti bidadari.
Tetapi ia memutuskan untuk mempelajari gerakan pemuda itu. Ia membayangkan
dirinya mengangkat Betty naik ke kereta kuda. Tentunya jika ia mampu menyewa
kereta kuda, dan mengajak Betty.
Satu menit kemudian, setelah melakukan tanya jawab kilat dengan pegawai di meja
penerima tamu, Littlemore bergegas ke luar ke arah pemuda itu. Dengan tangan
saling terkait di belakang punggungnya, pemuda itu
menaatap kereta kuda yang semakin mengecil. Matanya terpusat penuh perhatian
dengan mata garang. Littlemore menduga kalau ada yang tidak beres pada pemuda
itu. "Anda Dr. Younger, bukan?" Tanya Littlemore. Tidak ada jawaban. "Kau tidak
apa-apa, bung?" "Maaf?" Jawab pemuda itu.
"Anda Dr. Younger, bukan?"
"Sayangnya, begitu."
"Aku Detektif Littlemore. Walikota menugaskanku. Apakah gadis di kereta kuda itu
Nona Acton?" Littlemore dapat melihat kalau lawan bicaranya tidak menyimaknya.
"Aku minta maaf," kata Younger, "siapakah Anda?"
Littlemore memperkenalkan dirinya sekali lagi, lalu menjelaskan kalau penyerang
Nona Acton telah membunuh seorang gadis pada hari Minggu malam lalu, tetapi
polisi masih tidak memiliki saksi. "Apakah Nona Acton sudah dapat mengingat
sesuatu, Dok?" Younger menggelengkan kepalanya, "Nona Acton memang telah mampu berbicara,
tetapi masih tidak mampu mengingat kejadian itu."
"Semuanya tampak sangat aneh bagiku," kata Littlemore, "apakah orang sering
kehilangan memori?" "Tidak," kata Younger, "tetapi hal itu bisa terjadi, terutama setelah peristiwa
seperti yang baru dialami oleh Nona Acton."
"Hei, mereka kembali."
Begitulah rupanya. Kereta kuda Nona Acton telah berputar di ujung blok dan
berjalan ke arah hotel lagi. Ketika kereta itu menepi, Nona Acton menjelaskan
kepada Dr. Younger dan Ibu Biggs kalau ia lupa mengembalikan kunci kamar hotel
mereka pada petugas. "Berikan padaku," kata Younger sambil mengulurkan
tangannya, "aku akan mengembalikannya untukmu."
"Terimakasih, tetapi aku sanggup melakukannya," kata Nona Acton sambil meloncat
keluar dari kereta tanpa bantuan dan melangkah melewati Dr. Younger tanpa
mengerling sedikit pun padanya. Dr. Younger tidak memperlihatkan perasaannya,
tetapi Littlemore mengenal penolakan seorang gadis itu. Ia pun menunjukkan
simpatinya pada Younger. Lalu ada pikiran lain muncul pada benaknya.
"Begini, Dok," katanya, "kau membiarkan Nona Acton berkeliaran di hotel seperti
itu..., sendirian, maksudku?"
"Aku tidak bisa banyak bicara tentang hal itu, Detektif. Tidak sama sekali
sebenarnya. Tetapi, tidak, kupikir ia bersama pelayannya atau polisi yang hampir
ada setiap saat. Mengapa" Ada bahaya?"
"Seharusnya tidak," kata Littlemore. Hugel mengatakan padanya kalau si pembunuh
tidak tahu di mana Nona Acton berada. Namun, Littlemore merasa tidak nyaman.
Keseluruhan kasus itu terasa begitu terpotong-potong: seorang gadis tewas,
sementara tidak ada yang tahu tentang hal itu, orang kehilangan memorinya, orang
Cina melarikan diri, dan jenazah menghilang dari tempat penyimpannya. "Tidak ada
ruginya kalau Anda melihat-lihat di sekeliling."
Littlemore masuk kembali ke hotel, sementara Dr. Younger berjalan di sampingnya.
Littlemore menyalakan rokoknya ketika mereka menatap Nona Acton yang terlihat
mengecil ketika menyeberangi barisan pilar menuju lobi bundar. Seseorang yang
mengembalikan kunci kamarnya hanya harus meletakkan kuncinya di atas meja lalu
pergi. Namun Nona Acton berdiri dengan sabar di depan meja, menanti bantuan.
Tempat itu penuh sesak dengan para pengembara, keluarga dan pelaku bisnis. Littlemore mengawasi
kalaukalau separuh dari orang-orang yang ada di sana, bisa saja dapat sesuai
dengan penggambaran Hugel tentang pembunuh itu.
Seorang lelaki, menarik perhatian Littlemore. Ia menunggu di depan lift:
jangkung, berambut hitam, mengenakan kaca mata, dan memegang koran. Littlemore
tidak berada di sudut yang baik untuk dapat mengamatinya, tetapi ada sesuatu
yang agak asing pada potongan jasnya. Namun surat kabarnya itulah yang paling
menarik perhatian. Lelaki itu memeganginya sedikit lebih tinggi daripada
biasanya. Apakah ia mencoba menutupi wajahnya" Nona Acton telah mengembalikan
kuncinya, sekarang ia berjalan kembali. Lelaki itu menatap gadis itu sekilas
justru ke arah Littlemore sendiri, lalu mengubur wajahnya lagi pada surat
kabarnya. Sebuah lift terbuka, lelaki itu masuk, sendirian.
Nona Acton tidak tahu akan kehadiran Younger ataupun Littlemore ketika ia
berjalan keluar melewati mereka. Namun Dr. Younger mengikutinya keluar, hingga
melihatnya memasuki kembali kereta sewaannya.
Littlemore tetap di belakang. Tidak ada apa-apa, begitulah ia berkata dalam
hati. Nyaris semua lelaki di lobi itu menatap Nona Acton ketika ia berjalan
tanpa pengawal menyeberangi lantai pualam. Demikian juga Littlemore, ia terus
menatap anak panah kecil di atas lift yang dimasuki lelaki itu. Anak panah kecil
itu bergerak perlahan, tersentak-sentak ke arah angka yang lebih tinggi.
Littlemore tidak melihat tempat terakhir yang ditunjuk jarum itu. Jarum itu
masih bergerak ketika ia mendengar jeritan melengking menusuk telinga dari luar.
9 JERITAN ITU BUKAN DARI MANUSIA. Itu suara ringkik kuda yang kesakitan. Kuda yang
meringkik itu adalah hewan penarik kereta yang baru saja muncul dari area
pembangunan di Forty-second Street. Penumpang kereta kuda itu berpakaian lengkap
sekali: topi tinggi dan tongkat rotan halus melintang di atas lututnya. Dialah
Tuan George Banwell. Walau George Banwell menyukai mobil sebagaimana juga lelaki yang duduk di
sampingnya, namun sesungguhnya ia adalah pecinta kuda. Ia tumbuh besar bersama
kuda dan belum siap untuk melepaskan kuda. Saat itu ia bersikeras untuk
mengendarai kencananya sendiri, dan membuat saisnya duduk canggung di
sampingnya. Banwell telah nyaris menghabiskan paginya di Canal Street, tempat ia mengawasi
proyek yang sangat besar. Pada pukul setengah duabelas, ia berkendaraan ke
Forty-second Street di antara Madison avenue. Tetapi setelah memegang tali
kendalinya, ia menghentaknya dengan kuat dan kasar. Hentakan itu membuat besi
gigitan menyakiti mulut hewan malang itu. Kuda itu berhenti dan meringkik tajam.
Ringikikannya tidak memengaruhi, bahkan Banwell terlihat tidak mendengarnya. Ia
menatap tajam ke satu titik yang berjarak kurang dari satu blok di depannya. Ia
terus membuat besi kekang menekan geraham kuda lebih dalam sehingga saisnya
tersentak. Kuda itu mengangkat kepalanya dari sisi yang satu ke sisi lainnya, berusaha
melepaskan diri dari besi kekang walaupun gagal. Hewan itu pun berdiri pada
kedua kaki belakangnya, dan meringkik pilu seperti yang didengar Littlemore dan
semua orang yang ada di sana. Kuda itu
menapakkan kembali kakinya tetapi segera tegak lagi, namun kali ini menjadi
bertambah liar. Kencana pun mulai terguling. Banwell dan saisnya meloncat ke
luar bak seorang pelaut yang meloncat dari kapalnya yang terbalik. Kencana itu
jatuh ke bumi beserta kudanya.
Si sais-lah yang pertama kali berdiri. Ia mencoba membantu, tetapi Banwell
mendorong kasar sambil membersihkan tanah pada lutut dan sikunya. Orangorang
mulai berkerumun di sekeliling mereka. Suara klakson dari pengemudi yang tak
sabaran mulai terdengar. Akhirnya keterpakuan Banwell teratasi. Ia bukanlah
lelaki yang pasrah begitu saja setelah dilemparkan jatuh oleh kudanya, apa lagi
digulingkan dari kencananya, itu sama sekali tidak bisa diterimanya. Matanya
bersinar marah kepada pengendara mobil, pada penonton yang bekerumun, dan
terutama pada kuda yang bingung dan letih. Kuda itu sedang berusaha untuk
berdiri, tapi gagal. "Senjataku," kata Banwell pada saisnya dengan dingin,
"ambilkan senjataku."
"Anda tidak bisa membunuhya, Tuan," si sais keberatan. Ia sekarang berjongkok di
sisi kuda itu, sambil melepaskan kuku hewan itu dari jeratan tali yang kusut.
"Tidak ada yang patah. Ia hanya terjerat. Nah, ini dia. Kau sudah beres?" itu
dikatakan pada kudanya sambil membantunya berdiri, "ini bukan salahmu."
Jelas si sais berniat baik, namun seharusnya ia bisa memilih katakata yang lebih
tepat. Banwell tidak dapat menerima apabila bila dirinya yang dipersalahkan. Ia
marah kepada saisnya, merampas tali kekang dan dengan kasar melilitkannya pada
leher kudanya. Ia berusaha melontarkan amarahnya kepada hewan itu. Dengan
menghentakkan balok kereta hingga lepas dari kekangnya,
Banwell merampas tali kekang dan menaikki punggung kuda itu tanpa pelana. Ia
mengendarainya kembali ke area pembangunan dan berputar di sana hingga tiba di
kaitan besar yang tergantung pada sebuah derek yang menjulang tinggi di tengah-
tengah sebidang tanah. Banwell meraih kaitan itu dengan kedua tangannya,
kemudian memasangnya ke tali leher kudanya yang juga terhubung dengan kuat pada
bagian bawah perutnya. Ia melompat turun dari kudanya dan berteriak pada petugas
derek untuk mengangkat kuda itu. Petugas derek bereaksi dengan lamban. Namun
akhirnya ia menarik roda gigi mesin besar itu. Kabel panjangnya menjadi tegang;
kaitannya tergenggam pada dudukannya. Kuda itu berputar dan kakinya bergerak-
gerak karena sensasi yang tidak menyenangkan. Sesaat tidak ada yang terjadi.
"Angkat, bung," teriak Banwell, "angkat atau kau pulang ke istrimu malam ini
tanpa pekerjaan!" Petugas derek mulai menggerakkan pengangkatnya lagi. Dengan hentakan, kuda itu
terangkat dari tanah. Begitu kaki-kakinya meninggalkan tanah, kepanikan yang tak
dimengerti menyerang hewan itu. Ia meringkik dan meronta-ronta, yang akibatnya
hanya membuat tubuhnya terpelintir liar di udara, tergantung pada kaitan derek
yang tebal. "Lepaskan kuda itu!" Terdengar suara seorang gadis menjerit marah dan melabrak.
Dia adalah Nona Acton. Karena melihat tidak ada yang bergerak, ia bergegas
menyeberangi Forty-second Street dan kini sudah berada di depan kerumunan itu.
Younger ada di sisi kanannya, sedangkan Littlemore beberapa baris di belakang
mereka. Nona Acton berteriak lagi, "Turunkan kuda itu. Tolong hentikan orang
itu!" "Naikkan," perintah Banwell. Ia mendengar suara gadis itu. Sesaat ia menatap
gadis itu. Kemudian perhatiannya kembali pada kudanya, "lebih tinggi."
Petugas derek itu terus menaikkan hewan itu semakin tinggi hingga empatpuluh
kaki di atas tanah. Para filsuf mengatakan bahwa orang tidak tahu apakah hewan
memiiki perasaan yang dapat dibandingkan dengan manusia. Tetapi siapa pun yang
melihat sinar ketakutan pada mata kuda itu, tidak pernah meragukan bahwa hewan
punya perasaan seperti itu juga.
Lantaran semua mata manusia tertuju pada hewan yang bergantungan, menggelepar-
gelepar tak berdaya, maka tidak seorang pun yang melihat balok baja yang
bergerak tiga lantai di atas perancah. Balok baja itu terikat aman pada sebuah
tali yang terhubung dengan kaitan derek. Ketika tali itu masih dalam keadaan
kendor, balok baja itu tergeletak tak membahayakan di tempatnya di atas
perancah. Tetapi begitu terangkat, tali itu juga akhirnya menjadi tegang, dan
kini, tanpa peringatan apa pun, balok baja itu berguling lepas dari papan kayu
perancah. Dari sana balok baja itu terayun bebas. Lantaran terhubung dengan
kaitan derek, maka wajar saja jika balok itu terayun ke arah kaitannya, yang
artinya, ke arah George Banwell.
Banwell belum pernah melihat balok baja yang mematikan itu deras meluncur ke
arahnya. Di udara, balok itu menjadi tak terkendali, maka balok itu meluncur
mematikan ke arahnya, seperti tombak raksasa diarahkan ke perutnya. Jika saja
balok itu mengenainya, ia pasti akan mati. Ketika balok meluncur, ternyata
meleset satu kaki darinya. Namun sebenarnya itu adalah serangan yang sangat
tepat. Tidak biasanya Banwell bernasib sebaik itu.Maka, akibatnya luncuran itu
kini terus melaju ke arah kerumunan orang. Beberapa orang berteriak ketakutan,
belasan orang bertiarap di atas tanah untuk melindungi diri.
Hanya satu di antara mereka, yang seharusnya bertiarap: Nona Acton. Kini balok
baja itu meluncur tepat ke arahnya. Namun dia tidak berteriak ataupun bergerak.
Apakah karena balok yang sedang meluncur itu membuatnya seakan terikat, atau
karena sulit baginya menentukan ke mana harus berlari. Nona Acton berdiri
terpaku di tempatnya, terkejut dan hampir mati.
Younger meraih gadis itu, dan menarik tangannya dengan keras ke dalam
Cinta Bernoda Darah 7 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Tanah Warisan 3