Interpretation Murder 3
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 3
pelukannya. Itu bukanlah cara yang terlalu sopan. Balok baja yang meluncur
berdesir di atas mereka, begitu dekat sehingga keduanya dapat merasakan sambaran
anginnya, lalu melayang tinggi lagi di belakang mereka.
"Aduh!" Kata Nona Acton.
"Maaf," kata Younger. Kemudian ia menarik rambutnya lagi, ke arah yang
berlawanan sekarang. "Aduh!" Kata Nona Acton kali ini lebih bersungguh-sungguh ketika balok baja itu
kembali meluncur ke arah semula, melayang melewati mereka sekali lagi, dan hanya
meleset di atas kepala gadis itu.
"Tolong antar aku kembali ke kamarku," kata Nona Acton kepada Younger.
g KERUMUNAN ITU MASIH BERADA DI SANA hingga agak lama, mereka seperti mengagumi
kerusakan yang mereka lihat untuk dapat menceritakannya kembali. Kuda
itu dikembalikan pada si sais, yang sekarang didekati oleh detektif Littlemore.
Sang detektif telah mengenali George Banwell. "Hei, bagaimana keadaan kuda
malang itu?" Tanya Littlemore pada si sais, "Apakah kuda itu berjenis Perch?"
"Setengah Perch," jawab si sais, sambil mencoba sekuat mungkin untuk menenangkan
kuda yang masih gemetar, "mereka menyebutnya seekor Cream."
"Ia cantik, sungguh."
"Begitulah," kata si sais sambil mengusap-usap hidung kuda itu.
"Wah, aku bertanya-tanya apa yang membuat kuda itu menaikkan kakinya seperti
tadi" Seperti ada yang dilihatnya, mungkin."
"Lebih tepatnya sesuatu yang dilihat oleh majikanku."
"Aku tidak mengerti."
"Sama sekali bukan salah kuda ini," gerutu si sais, "tetapi Tuan Banwell. Ia
mencoba memundurkan kencananya. Kereta berkuda tidak bisa mundur." Ia berbicara
kepada kudanya. "Mencoba memundurkanmu, itulah yang dilakukannya. Karena ia
takut." "Takut" Takut apa?"
"Tanya saja padanya. Ia biasanya tidak mudah merasa takut, tidak Tuan Banwell.
Seolah ia melihat iblisnya sendiri."
"Asik juga kan?" Kata Littlemore, sebelum beranjak kembali ke hotel.
g PADA SAAT YANG SAMA, di lantai teratas Hotel Manhattan, Carl Jung berdiri di
balkon kamarnya, mengamati pemandangan di bawahnya. Ia baru saja melihat
kejadian yang luar biasa di area pembangunan. Kejadian itu tidak saja membuatnya
takut, namun juga mengisi hatinya dengan perasaan sangat gembira, yang hanya
dirasakannya satu atau dua kali di sepanjang hidupnya. Ia kembali ke kamarnya,
lalu duduk di lantai tanpa berpikir apa pun. Punggungnya bersandar pada
pembaringannya. Ia seakan melihat wajah-wajah yang tidak dapat dilihat oleh
orang lain, mendengar suara yang tidak terdengar oleh orang lain.
Sembilan KETIKA KAMI KEMBALI KE KAMAR Nona Acton, Ibu Biggs sangat ketakutan. Mulanya ia
meminta Nona Acton untuk berbaring, kemudian duduk, lalu berjalan supaya
wajahnya tidak pucat lagi. Nona Acton tidak memperhatikan perintah tersebut. Ia
bahkan pergi ke dapur kecil dan mulai membuat secangkir teh. Ibu Biggs
mengangkat tangannya protes. Seharusnya dirinyalah yang membuatkan minuman itu.
Ibu Biggs tidak mau diam hingga Nona Acton mendudukkannya dan mencium tangan
pelayannya. Gadis itu memiliki kemampuan luar biasa untuk mengembalikan ketenangannya
setelah kejadian yang paling mengerikan maupun untuk menciptakan ketenangan yang
sesungguhnya tidak dirasakannya. Ia menghab iskan tehnya dan menyerahkan
cangkirnya pada Ibu Biggs.
"Kau bisa saja terbunuh, Nona Nora," kata Ibu Biggs, "jika tidak ada dokter muda
itu, pastilah kau sudah mati."
Nona Acton meletakkan tangannya di atas tangan Ibu Biggs, memintanya untuk
mengambilkan secangkir teh lagi. Ketika Ibu Biggs beranjak, gadis itu berkata
padanya untuk meninggalkan kami karena ia harus berbicara sendiri denganku.
Setelah didesak-desak, akhirnya Ibu Biggs terbujuk juga untuk pergi.
Ketika kami tinggal berdua, Nona Acton berterimakasih padaku.
"Mengapa kau menyuruh pelayanmu pergi?" Tanyaku.
"Aku tidak 'menyuruhnya' pergi," kata gadis itu, "kau ingin tahu keadaan yang
menyebabkan aku tidak bisa bicara tiga tahun yang lalu. Aku ingin mengatakannya
padamu." Poci teh itu mulai bergetar dalam tangannya. Ketika berniat mengisi cangkirnya,
ia menumpahkan teh. Ia meletakkan pocinya kemudian menyatukan jemarinya. "Kuda
yang malang. Bagaimana ia bisa bertingkah seperti itu?"
"Bukan salahmu, Nona Acton."
"Ada apa denganmu?" Ia menatapku marah, "mengapa aku yang disalahkan?"
"Tidak ada alasannya. Tetapi kau terdengar menyalahkan dirimu sendiri."
Nona Acton berjalan ke jendela. Ia lalu menguak tirai, sehingga memperlihatkan
balkon di belakang pintu model Prancis dan membuka ke panorama indah kota di
bawahnya. "Kau tahu siapakah lelaki tadi?"
"Tidak." "Itu George Banwell, suami Clara. Ia teman ayahku," Nafas gadis itu menjadi
tidak teratur, "Di tepi danau dekat
rumah musim panasnya. Ia memintaku." "Berbaringlah, Nona Acton." "Mengapa?"
"Ini bagian dari perawatan." "Oh, baiklah."
Ketika ia sudah berbaring di atas sofa, aku melanjutkan. "Tuan Banwell
meminangmu ketika kau berusia empatbelas tahun?"
"Aku berusia enambelas tahun, Dokter, dan ia tidak meminangku untuk menikah."
"Lalu ia minta apa?"
"Untuk.., untuk," ia berhenti berbicara.
"Untuk berhubungan badan denganmu?" Pembahasan kegiatan seksual dengan pasien
perempuan muda, selalu menjadi hal yang peka, karena tidak diketahui sejauh mana
mereka mengetahui ilmu biologi. Namun lebih buruk lagi untuk membiarkan keadaan
genting menambah kerusakan dari perasaan malu yang seorang gadis bisa saja
berikan kepada sebuah pengalaman..
"Ya," ia menjawab, "kami menginap di rumah pedesaannya bersama seluruh
keluargaku. Ia dan aku sedang berjalan-jalan di sepanjang jalan setapak di
sekitar danau mereka. Ia berkata telah membeli pondok lainnya di dekat rumah
tersebut. Kami bisa pergi ke sana. Ada tempat tidur besar yang indah, kami
berdua bisa berdua saja dan tidak ada yang tahu."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku menampar wajahnya dan berlari," kata Nona Acton, "aku mengatakan itu pada
ayahku, namun ia tidak mau membelaku."
"Ia tidak memercayaimu?" Tanyaku.
"Ia bersikap seolah akulah yang bersalah. Aku bersikeras memintanya
mempertanyakan hal itu kepada Tuan Banwell. Seminggu kemudian, ayahku mengatakan
padaku kalau ia telah menanyakannya. Tetapi Tuan Banwell mengingkarinya dengan
marah, kata ayahku. Aku yakin wajahnya sama dengan apa yang kau lihat tadi. Tuan
Banwell hanya mengaku telah menceritakan pondok barunya padaku. Ia meyakinkan
ayah kalau akulah yang salah mengerti, karena.., karena terpengaruh jenis buku
yang kubaca. Ayahku lebih memilih memercayai Tuan Banwell. Aku membencinya."
"Membenci Tuan Banwell?"
"Ayahku." "Nona Acton, kau kehilangan suaramu tiga tahun yang lalu. Tetapi kau
menceritakan kejadian yang berlangsung tahun lalu."
"Tiga tahun yang lalu ia menciumku," kata Nona Acton. "Ayahmu?"
"Bukan, menjijikan sekali," kata Nona Acton, "Tuan Banwell."
"Kau berusia empatbelas tahun?" Tanyaku. "Apakah matematika menyulitkanmu di
sekolah, Dr. Younger?" "Lanjutkan, Nona Acton."
"Hari itu hari Kemerdekaan," katanya, "orang tuaku telah bertemu dengan Tuan
Banwell beberapa bulan sebelumnya, tetapi ayahku dan Tuan Banwell sudah menjadi
teman akrab. Orangorang Tuan Banwell sedang membangun rumah kami. Kami hanya
melewatkan waktu selama tiga minggu bersama mereka di desa ketika mereka
menyelesaikan pembangunan itu. Clara sangat baik padaku. Ia adalah wanita yang
paling kuat dan paling cerdas yang pernah kukenal, Dr. Younger. Dan yang paling
cantik. Kau pernah menonton Salome-nya Lina
Cavalier?" "Belum," jawabku. Nona Cavalier yang ternama dan cantik telah tampil di Opera
House di Manhattan musim salju lalu, tetapi ketika itu aku tidak dapat
meninggalkan Worcester untuk menontonya.
"Clara sangat mirip dengannya. Ia juga tampil di panggung, beberapa tahun lalu.
Pak Gibson membuat film tentang dirinya. Karena Tuan Banwell memiliki salah satu
dari gedung-gedung besar itu, maka ia mengundang kami untuk ke kota, ke gedung
Hanover, kukira. Kami merencanakan untuk naik ke atap gedung itu untuk melihat
kembang api, tetapi ibuku sakit, ia selalu sakit, jadi ia tidak ikut. Ketika
sudah mau berangkat, ayahku tidak dapat ikut ke kota juga. Aku tidak tahu
mengapa. Kukira ia juga sakit. Tampaknya ada musim demam pada musim panas itu.
Demi aku, Tuan Banwell bersedia mengantarku ke atap gedung, karena aku sudah
menanti-nanti kesempatan itu."
"Hanya kalian berdua?"
"Ya. Ia membawaku dengan keretanya. Ketika sudah malam. Ia memacu kereta kudanya
ke Broadway. Aku ingat angin panas menerpa wajahku. Kami naik lift bersama. Aku
sangat gugup; karena ini pertama kalinya aku menumpang lift. Aku tidak sabar
menunggu acara kembang api, tetapi ketika kanon pertama meledak, aku ternyata
sangat ketakutan. Mungkin aku berteriak. Kemudian aku merasa Tuan Banwell
memegangiku dengan kedua tangannya. Aku masih merasakan ia menarik tubuh..., tubuh
bagian atasku ke arahnya. Kemudian ia menekankan mulutnya pada bibirku." Gadis
itu menyeringai, seolah ia akan meludah. "Kemudian?" Tanyaku.
"Aku melepaskan diri darinya, tetapi aku tidak bisa lari ke mana pun. Aku tidak
tahu bagaimana melarikan diri dari atap gedungnya. Ia memberi isyarat padaku
untuk tenang, untuk tidak ribut. Ia mengatakan kalau itu akan menjadi rahasia
kami, dan ia mengatakan kami hanya akan melihat kembang api. Begitulah."
"Kau mengatakan pada orang lain?"
"Tidak. Ketika itulah aku kehilangan suaraku, tepatnya malam itu. Semua orang
mengira aku terkena demam. Mungkin saja. Suaraku kembali keesokan harinya,
seperti kemarin juga. Tetapi aku tidak mengatakan kepada siapa pun hingga hari
ini. Setelah itu, aku tidak akan mau berdua saja dengan Tuan Banwell."
Ruangan menjadi sunyi sekian lama. Gadis itu benar-benar dapat mengingat hingga
ingatan yang segera disadarinya. "Kau ingat kejadian kemarin, Nona Acton. Kau
ingat sesuatu?" "Tidak," katanya tenang, "maafkan aku."
Aku minta izinnya untuk melaporkan apa yang dikatakannya kepada Dr. Freud. Ia
setuju. Lalu aku memberitahu kalau kami harus melanjutkan percakapan ini besok.
Ia tampak terkejut, "apa lagi yang akan kita bicarakan. Dokter" Aku telah
mengatakan segalanya padamu."
"Mungkin masih ada yang bisa kau ingat."
"Mengapa kau mengatakan begitu?"
"Karena kau masih menderita amnesia. Ketika kita sudah membuka semuanya yang
berhubungan dengan kejadian itu, aku percaya ingatanmu akan kembali padamu."
"Kau menduga aku menyembunyikan sesuatu?"
"Itu bukan penyembunyian, Nona Acton. Atau lebih
baik kusebut, sesuatu yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri."
"Aku tidak mengerti maksudmu," kata gadis itu. Ketika aku selangkah lagi
mencapai pintu, ia menghentikanku dengan suara lirih dan jelas. "Dr. Younger?"
"Ya, Nona Acton?"
Mata birunya basah karena air mata. Ia mengangkat dagunya tinggi. "Ia memang
menciumku. Ia memang..., memintaku ketika kami berada di tepi danau."
Aku tidak sadar betapa cemasnya ia tentang kemungkinan kalau aku juga tidak
percaya pada apa yang dikatakannya padaku seperti ayahnya. Ada sesuatu yang ?tidak dapat dijelaskan tentang caranya ia memilih kata "meminta" bukannya
"mengusulkan." "Nona Acton," aku menjawab, "aku percaya setiap kata yang kau
ucapkan." Meledaklah tangisnya. Aku meninggalkannya dan mengucapkan selamat siang pada Ibu
Biggs ketika aku melewatinya di gang.
9 DI SUDUT PRIBADI di sebuah ruang tamu Hotel Manhattan, George Banwell duduk
bersama Walikota McClellan. Walikota itu berkata kalau Banwell tampak seperti
baru saja berkelahi. Banwell menggerakkan bahunya. "Sedikit masalah dengan kuda
betinaku," katanya. Walikota itu mengeluarkan sepucuk amplop dari saku dadanya dan memberikannya
pada Banwell. "Ini cekmu. Aku sarankan untuk segera pergi ke bank sore ini juga.
Itu jumlah yang sangat besar. Dan yang terakhir. Tidak akan ada lagi, apa pun
yang terjadi. Kita saling mengerti?"
Banwell mengangguk. "Jika ada ongkos tambahan, aku yang akan atasi sendiri."
Walikota McClellan kemudian menjelaskan kalau pembunuh Nona Riverford telah
menyerang lagi. Apakah Banwell mengenal Harcourt Acton"
"Tentu saja aku mengenal Acton," kata Banwell, "kini, ia dan istrinya sedang
berada di rumah musim panasku, bergabung dengan Clara kemarin."
"Jadi karena itu kami tidak dapat menghubungi mereka," kata McClellan.
"Ada apa dengan Acton?" Tanya Banwell.
"Korban kedua adalah putrinya."
"Nora" Nora Acton" Aku baru saja melihatnya di jalan, belum ada satu jam yang
lalu." "Ya, terima kasih Tuhan, ia selamat," kata McClellan.
"Apa yang terjadi?" Tanya Banwell, "apakah ia telah mengatakan siapa pelakunya?"
"Tidak. Ia kehilangan suaranya dan tidak bisa mengingat apa pun. Ia tidak tahu
siapa pelakunya, kami juga tidak. Beberapa orang ahli sedang memeriksanya. Ia
berada di sini, sebenarnya. Aku telah menyewakan kamar di Manhattan hingga Acton
kembali." Banwell mengerti. "Seorang gadis yang baik."
"Memang," kata McClellan setuju.
"Diperkosa?" "Tidak, syukurlah tidak."
g AKU BERTEMU DENGAN TEMAN-TEMAN LAINNYA di serambi barang-barang antik Roma dan
Yunani di Musium Metropolitan. Pengetahuan Freud sangat mengagumkan.
Itu terlihat ketika ia sedang asik berbincang dengan seorang pemandu, sementara
aku tertinggal di belakang bersama Brill. Ia merasa lebih baik tentang
naskahnya. Penerbitnya, Jelliffe, semula juga kebingungan seperti kami. Namun
Freud ingat kalau ia telah meminjamkan mesin pencetak kepada seorang pendeta
seminggu sebelumnya. Pendeta itu mencetak serangkaian pamflet biblikal yang
diperbaiki. Maka secara tidak sengaja kedua pekerjaan itu tercampur.
"Apa kau tahu kalau Goethe itu adalah kakek buyut Jung?" Aku bertanya pada
Brill. "Omong kosong," kata Brill yang tinggal di Zurich selama satu tahun, dan bekerja
untuk Jung di sana, "legenda keluarga yang dibesar-besarkan. Apakah dia juga
punya hubungan keluarga dengan von Humboldt?"
"Ya, memang," kataku.
"Kau kira cukup bagi seorang lelaki untuk menikahi keluarga kaya raya tanpa
menciptakan garis keturunan bagi dirinya sendiri?"
"Jadi, karena itulah ia menciptakannya?" Kataku.
Brill menggerutu tanpa menyatakan pendapatnya. Kemudian, dengan sikap santainya
namun janggal, ia menarik rambut depannya ke belakang dan memperlihatkan goresan
parah pada keningnya. "Kau lihat itu" Rose yang melakukan itu tadi malam,
setelah kau pergi. Ia melemparkan penggorengan padaku."
"Ya Tuhan," kataku, "mengapa?"
"Jung penyebabnya."
"Apa?" "Aku mengatakan pada Rose katakata yang kuucapkan pada Freud tentang Jung. Rose
marah sekali. Ia bilang, aku cemburu pada Jung, karena Freud menghar -
gainya. Lalu ia juga mengatakan kalau aku bodoh, karena Freud akan melihat
melalui kecemburuanku dan akan menganggapku buruk juga. Aku menjawab kalau aku
punya alasan bagus untuk cemburu pada Jung, lantaran caranya menatap Jung tadi
malam. Ketika kuingat-ingat lagi, kupikir itu mungkin saja aku telah salah
mengerti, karena sebenarnya Jung-lah yang menatap Rose. Kau tahu kalau Rose
menjalani pelatihan medis yang sama dengan yang kujalani" Tetapi ia tidak bisa
menjadi dokter, dan aku bisa membiayainya dari penghasilan merawat empat orang
pasienku." "Ia melemparkan wajan itu padamu?" Tanyaku.
"Oh, jangan tatap aku dengan tatapan diagnosis seperti itu. Perempuan senang
melemparkan apa saja. Semuanya, cepat atau lambat. Kau akan tahu itu. Semuanya
kecuali Emma, istri Jung. Emma hanya memberi Jung keberuntungan, menjadi ibu
bagi anak-anaknya, dan tersenyum ketika Jung berselingkuh. Emma juga menyajikan
makan malam bagi kekasih Jung ketika Jung membawa mereka ke rumah. Lelaki itu
memang tukang sihir. Tidak, jika aku mendengar kata tentang Goethe dan von
Humboldt, aku mungkin akan membunuh Jung."
Sebelum kami meninggalkan musium, nyaris terjadi keadaan darurat. Freud tibatiba
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus buang air kecil seperti yang terjadi di Coney Island. Si pemandu itu pun
menyuruh kami ke lantai bawah tanah. Dalam perjalan ke bawah, Freud berkata,
"Jangan katakan padaku kalau aku harus berjalan melalui koridor yang
panjangannya bermil-mil tak berujung, dan akhirnya aku melihat istana pualam."
Ia benar untuk kedua kekhawatirannya itu. Kami tiba di istana pualam tepat pada
waktunya. 9 HUGEL TIDAK KEMBALI KE KANTORNYA hingga hari Selasa malam. Ia melewatkan sore
itu di Gramercy Park. Ia tahu kalau ia akan menuliskan dalam laporannya beberapa
bukti fisik yang terdiri dari rambut, benang sutera, dan secabik tali. Namun
bila sekarang pembunuh Elizabeth Riverford dan penyerang Nora Acton adalah
lelaki yang sama, semua tampak mulai meragukan. Tetapi Hugel menyumpahi dirinya
sendiri karena hal yang tidak ditemukannya. Ia sudah memeriksa ruang tidur
utama. Ia telah memeriksa taman belakang dengan seksama, bahkan ia telah
merangkak di taman itu menggunakan tangan dan lututnya. Ia tahu ia akan
menemukan ranting patah, bunga terinjak, dan banyak tanda orang melarikan diri.
Tetapi sepotong bukti pun yang dapat menunjukkan jatidiri pelaku kejahatan itu
tidak ditemukan. Ia sangat letih ketika tiba di kantornya sampai-sampai ia tidak menyampaikan
hadiah dari Walikota bagi siapa saja yang menemukan jenazah Riverford pada
stafnya. Tetapi ia hampir tidak dapat disalahkan untuk itu, kata Hugel pada
dirinya sendiri, McClellan-lah yang menyuruhnya segera pergi ke rumah keluarga
Acton, selanjutnya menuju rumah jenazah.
Di serambi, ia bertemu dengan Littlemore yang memang menuggunya. Littlemore
melaporkan kalau Gitlow, seorang polisi, sedang dalam perjalanan menuju Chicago
menggunakan kereta api. Ia akan tiba di sana esok malam. Dengan semangat seperti
biasanya, Littlemore juga menceritakan peristiwa Banwell dan kudanya. Hugel
menyimak dengan seksama dan berseru, "Banwell! Ia pasti sudah melihat gadis
Acton di luar hotel. Itu yang
membuatnya ketakutan!"
"Aku tidak mengatakan Nona Acton menakutkan baginya, Pak Hugel," kata
Littlemore. "Kau bodoh," kata Hugel, "tentu saja tidak, tetapi Banwell mengira gadis itu
sudah tewas!" "Mengapa ia menduga Nona Acton sudah tewas?"
"Pakai otakmu, Detektif."
"Jika Banwell orang yang kita cari, Pak Hugel, ia pasti tahu korbannya masih
hidup." "Apa?"
"Kau tadi mengatakan Banwell-lah orangnya, bukan" Tetapi siapa pun yang
menyerang Nona Acton tahu kalau gadis itu masih hidup. Jadi jika Banwell adalah
penjahatnya, ia tidak akan mengira gadis itu sudah tewas."
"Apa" Tidak masuk akal. Ia mungkin mengira telah menghabisi gadis itu. Atau...,
atau ia takut gadis itu akan mengenalinya. Kalau bukan, ia tidak akan panik jika
melihat gadis itu." "Mengapa kau mengira Banwell adalah orang yang kita cari?"
"Littlemore, tinggi orang itu seratus delapanpuluh tiga sentimeter. Ia lelaki
paruh baya, kaya, rambutnya berwarna hitam dan sekarang sudah beruban. Ia
menggunakan tangan kanannya, dan tinggal di gedung yang sama dengan korban
pertama. Makanya ia panik ketika melihat korban keduanya."
"Bagaimana kau tahu itu?"
"Kau mengatakannya begitu. Kau bilang saisnya mengatakan padamu ia menjadi
ketakutan. Penjelasan apa lagi yang ada?"
"Tidak, maksudku, bagaimana kau tahu ia menggunakan tangan kanan?"
"Karena aku pernah bertemu dengannya kemarin, Detektif, dan aku menggunakan
mataku." "Wah, wah, kau hebat sekali, Pak Hugel. Lalu aku apa" Tangan kanan atau tangan
kiri?" Detektif itu menyembunyikan kedua tangan ke belakang punggungnya.
"Hentikan, Littlemore!"
"Aku tidak tahu, Pak Hugel. Kau seharusnya melihat setelah kejadian itu
berakhir. Ia sangat tenang, memberi perintah pada para pekerjanya untuk
membersihkan segalanya."
"Tidak mungkin. Ia adalah seorang pelakon hebat, sekaligus seorang pembunuh.
Kita telah mendapatkan orang yang kita cari, Detektif."
"Kita belum betulbetul mendapatkannya."
"Kau benar," kata Hugel sambil berpikir, "aku masih belum mendapatkan bukti
kuat. Kita butuh sesuatu lagi."
Sepuluh KAMI MENINGGALKAN METROPOLITAN dengan cara menumpang kereta kuda lalu
menyeberangi taman ke kampus baru Columbia University. Aku sudah tidak pernah ke
sana lagi sejak tahun 1897. Waktu itu aku masih berusia limabelas tahun dan
ibuku menarik kami mengabdi pada keluarga Schemerhorn. Untungnya Brill tidak
tahu tentang hubungan tipisku dengan keluarga itu. Kalau tidak, ia pasti akan
memberitahu Freud. Kami mengunjungi klinik psikiatris, Brill memiliki kantor di sana. Setelah itu
Freud mengatakan padaku kalau ia
berharap akan mendengar tentang sesiku dengan Nona Acton. Maka ketika Brill dan
Ferenczi tetap berada di belakang sambil membicarakan teknik teraputis, Freud
dan aku berjalan-jalan di Riverside Drive. Jalan untuk pejalan kaki memiliki
pemandangan indah di Palisades, tebing liar yang curam New Jersey di seberang
Sungai Hudson. Aku jelaskan semuanya kepada Freud, baik mengenai sesi pertamaku yang berakhir
dengan kegagalan, atau masalah gadis itu dalam kaitannya dengan Tuan Banwell.
Dengan cermat, Freud menanyaiku. Ia ingin mengetahui secara rinci tanpa peduli
betapa pun pertanyaannya itu tampak tak berhubungan. Ia menegaskan agar aku
seharusnya tidak menguraikan sesi itu dengan katakataku, melainkan dengan apa
yang telah diucapkan Nona Acton sendiri. Pada penutupannya, Freud mengeluarkan
cerutunya di tepi jalan, lalu bertanya, apakah peristiwa yang terjadi di atap
gedung tiga tahun lalu adalah penyebab gadis itu kehilangan suaranya dahulu"
"Tampaknya begitu," jawabku, "ada keterlibatan mulut dan perintah untuk tidak
mengatakan apa pun. Sesuatu yang tak dapat dikatakan, telah dilakukan kepadanya.
Maka itu ia membuat dirinya sendiri tidak bisa berbicara."
"Bagus. Jadi ciuman tak tahu malu pada gadis berusia empatbelas tahun di atap
gedung membuatnya histeris?" Kata Freud sambil mengukur reaksiku.
Aku mengerti kalau yang dimaksudkannya adalah kebalikan dari yang dikatakannya.
Peristiwa di atap gedung, seperti yang dianggap Freud, tidak mungkin merupakan
penyebab histeris bagi Nona Acton. Bagian itu tidak terjadi ketika ia masih
kecil, tidak juga Oedipal. Hanya trauma pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan
neurosis. Walau kejadian yang terjadi setelahnya biasanya menjadi pemicu
bangkitnya kenangan konflik yang sudah lama ditekan, sehingga mengakibatkan
gejala histeria. "Dr. Freud," aku bertanya, "tidakkah mungkin dalam kasus ini
trauma masa remaja bisa mengakibatkan histeria?"
"Mungkin saja, anakku, kecuali untuk satu hal: tingkah laku Nona Acton ketika
berada di atap gedung itu sudah merupakan histeria keseluruhan dan lengkap."
Freud mengeluarkan sebuah cerutu lagi dari sakunya, ia tampak menimbang-nimbang,
lalu memasukkannya lagi, "izinkan aku memberimu ketentuan tentang histeria:
seseorang yang dalam keadaan mendapatkan perasaan kenikmatan seksual yang besar
atau mendapatkannya namun sama sekali tidak bisa dinikmati."
"Ia baru berusia empatbelas tahun."
"Dan berapa usia Juliet pada malam pertamanya?"
"Tigabelas tahun," aku mengakuinya.
"Seorang lelaki yang sangat dewasa dan kasar, yang kita ketahui sebagai lelaki
gagah, berbadan tinggi, sukses, tampan, lalu mencium seorang gadis pada
bibirnya," kata Freud, "jelas lelaki itu dalam keadaan gairah secara seksual.
Memang, kupikir kita mungkin percaya kalau Nora memiliki sensasi langsung atas
gairah lelaki itu. Ketika ia mengatakan kalau ia masih dapat merasakan Banwell
menariknya hingga menempel pada tubuhnya, aku agak meragukan bagian tubuh lelaki
yang mana yang dirasakannya. Semua ini, pada seorang gadis sehat berusia
empatbelas tahun, pastilah akan mengakibatkan rangsangan kenikmatan genital.
Namun, Nora dikuasai oleh perasaan yang tidak dapat dinikmatinya, yang terasa
pada bagian belakang tenggorokannya atau kerong-kongan, itulah, lantaran rasa
jijiknya. Dengan kata lain, gadis itu telah mengalami histeris sebelum ciuman
itu." "Tetapi mungkinkah sikap Banwell itu sudah..., ditolaknya?"
"Aku sangat meragukan itu. Kau tidak setuju denganku, Younger."
Aku memang tidak setuju, sangat tidak setuju, walau aku berusaha untuk tidak
memp erlihatkannya. Freud melanjutkan. "Kau bayangkan Tuan Banwell memaksakan diri pada seorang
korban yang tidak menginginkan, dan masih lugu. Tetapi mungkin gadis itulah yang
menggoda lelaki tampan yang juga adalah kawan ayahnya. Penaklukan itu akan
menyenangkan bagi gadis seumurnya; akan bisa menyulut kecemburan ayahnya."
"Gadis itu menolaknya," kataku.
"Begitukah?" Tanya Freud, "setelah ciuman itu, ia terus merahasiakanya, bahkan
setelah suaranya kembali. Benar?"
"Ya." "Apakah itu lebih karena takut adanya pengulangan kejadian atau..., justru ia
menginginkannya?" Aku melihat jalan pikiran Freud, tetapi penjelasan lugu tentang perilaku gadis
itu tampak tidak terbukit salah. "Setelah itu ia tidak mau hanya berdua saja
dengan lelaki itu," lanjutku.
"Sebaliknya," kata Freud. "Ia berjalan bersama lelaki itu berdua saja, dua tahun
kemudian, di tepi danau, sebuah lokasi romantis jika memang pernah begitu."
"Tetapi di sana ia menolaknya lagi."
"Ia menamparnya," kata Freud, "itu tidak selalu berarti penolakan. Seorang
gadis, seperti seorang pasien analitis, merasa perlu mengatakan tidak lebih
dahulu, sebelum mengatakan iya." "Ia mengatakan pada ayahnya." "Kapan?"
"Segera," kataku agak terburu-buru. Kemudian aku teringat. "Sebenarnya aku tidak
tahu itu. Aku tidak bertanya tentang hal itu."
"Mungkin ia menginginkan Tuan Banwell melakukannya lagi, dan ketika Tuan Banwell
tidak melakukannya, gadis itu mengadu kepada ayahnya karena jengkel." Aku tidak
mengatakan apa pun, tetapi Freud dapat melihat aku sama sekali tidak dapat
dipengaruhi. Lalu ia menambahkan, "dalam hal ini, anakku, kau harus ingat kalau
kau tidak boleh memihak."
"Aku tidak mengerti, Tuan," kataku.
"Tentu saja kau mengerti."
Aku mempertimbangkannya. "M aksudmu, aku berharap Nona Acton tidak menerima
perbuatan Banwell?" "Kau membela kehormatan Nora."
Aku sadar kalau aku terus saja menyebutnya "Nona Acton," walau Freud menyebut
dengan nama depannya saja. Aku juga sadar darah mengalir deras pada wajahku.
"Itu hanya karena aku jatuh cinta padanya," kataku.
Freud tidak berkata apa-apa.
"Kau harus mengambil alih analisa ini, Dr. Freud. Atau Brill. Seharusnya memang
Brill yang melakukannya sejak awal."
"Omong kosong. Ia pasienmu, Younger. Kau telah melakukan pekerjaanmu dengan
baik. Tetapi kau jangan terlalu menganggap serius perasaanmu. Perasaan seperti
itu tidak dapat dihindarkan dalam psikoanalisa. Hal itu bagian dari perawatan.
Nora sangat mungkin telah berada di bawah pengaruh pemindahan itu, seperti juga
kau terpengaruh pemindahan tandingan. Kau harus menanggapi perasaan itu sebagai
data; kau harus memisahkan perasaan-perasaan itu. Itu semua khayalan. Perasaan
itu tidak lagi memiliki kenyataan, tidak lebih dari perasaan yang diciptakan
seorang aktor di atas panggung. Seorang Hamlet yang baik akan merasa marah
kepada pamannya, tetapi si aktor tidak akan bersalah jika bersungguh-sungguh
memarahi aktor pemeran pamannya itu. Hal yang sama terjadi dengan analisa."
Sesaat kami tidak saling berbicara. Kemudian aku bertanya, "Pernahkah kau...,
mempunyai perasaan terhadap pasienmu, Dr. Freud?"
"Pernah beberapa kali," jawab Freud perlahan-lahan, "ketika aku menerima
perasaan seperti itu; mereka memperingatkan aku kalau aku belum sama sekali
melalui gairah itu. Ya, aku memang memilik celah sempit untuk melarikan diri.
Tetapi kau harus ingat, aku menjadi seorang dokter ketika aku sudah berusia jauh
lebih tua daripada dirimu, sehingga membuatku lebih mudah mengatasinya.
Lagipula, aku sudah menikah. Untuk me-ngkui kalau perasaan tersebut hanyalah
khayalan, ada tambahan dalam kasusku yaitu sebuah kewajiban moral yang tidak
dapat kau langgar." Ini tampaknya akan jadi menggelikan, tetapi satusatunya
pikiran yang ada di kepalaku setelah Freud selesai adalah bagaimana kenyataan
menjadi persamaan dari khayalan"
Freud melanjutkan. "Cukup. Mulai sekarang kewajiban utama kita adalah mengungkap
trauma masa lalu yang masih ada, yang menyebabkan reaksi histeria pada gadis itu
ketika berada di atap gedung. Katakan padaku mengapa Nora tidak malapor pada
polisi di mana keberadaan orang tuanya?"
Aku juga mempertanyakan pertanyaan yang sama. Nona Acton telah mengatakan padaku
di mana orang tuanya saat ini. Namun ia tidak pernah mengatakan kenyataan itu
kepada polisi. Bahkan membiarkan mereka mengirimkan pesan berkali-kali ke rumah
musim panas keluargannya sendiri, padahal tidak ada orang di sana. Bagiku, sikap
tutup mulut itu tidak misterius, aku selalu merasa iri pada mereka yang
mendapatkan perasaan kenyamanan yang tulus dari orang tua mereka pada saat
krisis; tidak ada kenyamanan yang dapat dibandingkan dengan perasaan tersebut.
Tetapi hal itu tidak pernah terjadi pada diriku. "Mungkin," aku menjawab
pertanyaan Freud, "nona Acton tidak membutuhkan kedekatan orang tuanya walau
setelah terjadi penyerangan itu?"
"Mungkin," katanya "aku menutupi keraguan yang paling buruk dariku sendiri
tentang ayahku selama hidupnya. Seperti juga dirimu." Freud menyatakan pendapat
terakhirnya seolah kami adalah teman akrab; padahal, aku tidak pernah mengatakan
apa-apa tentang ayahku padanya. "Tetapi selalu ada unsur neurotis dalam
penutupan seperti itu. Mulailah dari titik ini dengan Nora besok, Younger. Itu
nasihatku. Ada sesuatu di rumah pedasaan itu. Pasti hal itu akan dihubungkan
dengan keinginan yang tak disadari Nona Acton dari ayahnya. Aku mempertim-
bankannya." Freud berhenti berjalan dan lama menutup matanya. Lalu membuka
kembali, dan berkata, "aku sudah punya."
"Apa?" Aku bertanya.
"Welf, aku punya kecurigaan, Younger, tetapi aku tidak akan mengatakannya padamu
apa itu. Aku tidak mau menanamkan gagasanku di benakmu..., atau benak Nora. Cari
tahu kalau ia memiliki kenangan yang berhubungan
dengan rumah pedesaan itu. Sebuah kenangan yang tanggal kejadiannya jauh sebelum
peristiwa di atas atap gedung itu. Ingat, jangan ada yang ditutupi kepadanya.
Harus seperti cermin, tidak memperlihatkan apa pun dari dirinya selain apa yang
ia perlihatkan. Mungkin ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Ia
mungkin akan mengatakannya padamu. Jangan lepaskan dia."
g SELASA ITU, SORE MENJELANG MALAM, kelompok Triumvirate berkumpul di
perpustakaan. Mereka mempunyai banyak hal penting yang harus didiskusikan. Salah
satu dari ketiga Tuan-tuan itu, dengan tangannya yang panjang dan indah, membalikkan sebuah kertas laporan yang baru saja diterimanya itu
untuk diperlihatkan kepada yang lainnya. Laporan itu termasuk, antar lain,
setumpuk surat. "Yang ini," katanya, "tidak akan kita bakar."
"Aku sudah katakan pada kalian, ahlak mereka merosot, mereka semua," kata si
tambun yang duduk di dekatnya, "Kita harus menghapus mereka semua. Satu per
satu." "Oh, kita akan hapus itu," kata orang pertama, "kita akan lakukan itu. Tetapi
kita akan gunakan mereka dulu."
Kemudian hening sesaat. Lalu yang botak berkata, "Bagaimana dengan bukti?"
"Tidak akan ada bukti," kata orang pertama, "kecuali apa yang kita pilih dan
sengaja kita tinggalkan."
DETEKTIF JIMMY LITTLEMORE keluar dari kereta api bawah tanah di Seventy-second
Street dan Broadway, yang merupakan perhentian terdekat menuju Balmoral. Hugel
mungkin saja bertaruh kalau Banwell adalah orang yang mereka cari, namun
Littlemore tidak mau menyerah begitu saja.
Malam sebelumnya, ketika orang Cina itu menghilang, Littlemore belum dapat
menemukan apa pun tentangnya. Pekerja binatu lain mengenalnya sebagai Chong,
tetapi hanya itu yang mereka. Seorang asisten telah mengatakan padanya untuk
kembali pada siang hari dan bertemu dengan Mayhew, si pemegang buku.
Littlemore menemukan Mayhew sedang mencatat angka-angka di bagian belakang
kantor lalu bertanya padanya tentang lelaki Cina yang bekerja di binatu.
"Aku baru memberi tanda pada namanya sekarang," Mayhew berkata tanpa mengangkat
kepalanya. "Karena ia tidak masuk kerja hari ini?" Tanya Littlemore.
"Bagaimana kau tahu itu?"
"Hanya tebakan mujur saja," kata detektif itu. Mayhew memiliki informasi yang
diinginkannya. Nama lengkap lelaki Cina itu adalah Chong Sing. Alamatnya Eight
Avenue 782, di Midtown. Littlemore bertanya apakah orang itu pernah mengirimkan
cucian ke Alabaster Wing, lebih tepatnya, ke apartemen Nona Riverford"
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pasti bercanda," Mayhew tampak bingung.
"Mengapa tidak?"
"Lelaki itu orang Cina."
"Jadi?" "Ini adalah gedung kelas satu, Detektif. Bahkan biasanya kami tidak pernah
mempekerjakan orang Cina.
Chong tidak boleh meninggalkan ruang bawah tanah. Ia beruntung bisa bekerja di
sini." "Aku yakin orang itu sangat berterimakasih," kata Littlemore, "mengapa kau
memberinya pekerjaan?"
Mayhew menggerakkan bahunya. "Aku tidak tahu. Tuan Banwell menyuruh kami untuk
memberinya pekerjaan, dan itulah yang kami dikerjakan. Kenyataannya, ia tidak
menyadari betapa beruntung dirinya."
Tugas berikutnya bagi Littlemore adalah menemukan kereta yang menjemput lelaki
berambut hitam pada hari Minggu malam. Si penjaga pintu mengatakan pada detektif
itu agar mencarinya di tempat penyewaan kereta kuda di Amsterdam Avenue, di mana
semua sais menyewakan kudanya. Tetapi mereka mengatakan kalau ia tidak perlu
terburu-buru ke sana. Para pengemudi malam hari tidak akan datang sebelum pukul
sembilan tigapuluh atau sepuluh.
Penantian itu tidak mengganggu Littlemore, malah memberinya kesempatan untuk
melihat lagi apartemen Nona Riverford. Ia pun singgah ke rumah Betty. Wanita itu
sudah merasa lebih baik dan bersedia diajak pergi ke bioskop. Betty
memperkenalkan detektif itu pada ibu dan adik-adik lelakinya. Betty, ternyata
telah memiliki pekerjaan baru. Ia telah menghabiskan pagi harinya untuk
mengunjungi hotel-hotel besar, dengan harapan mendapatkan pekerjaan sebagai
seorang pelayan, walaupun belum berhasil. Tetapi sebuah pabrik kemeja di dekat
Lapangan Washington, memberinya kesempatan wawancara dengan Tuan Harris, seorang
pemiliknya. Betty kemudian mendapat pekerjaan di sana. Ia akan mulai bekerja
keesokan harinya. Jam kerja Betty tidak terlalu menyenangkan yaitu pukul tujuh pagi hingga delapan
malam. Ia juga tidak terlalu gembira dengan gajinya. "Setidaknya aku dibayar
setiap helainya," kata Betty, "Tuan Harris mengatakan beberapa orang gadis mampu
mendapatkan dua dolar sehari."
Kira-kira setengah sembilan, Littlemore pergi ke tempat penyewaan kereta di
Amsterdam Avenue. Setelah menanti lebih dari dua jam, belasan sais kereta datang
untuk mengembalikan atau mengambil kuda. Ketika kandang terakhir kosong,
pembersih kandang mengatakan pada Littlemore untuk menunggu seorang sais tua
yang menggunakan kudanya sendiri. Pada pukul duabelas kurang sedikit, seekor
kuda tua yang dikendalikan oleh seorang sais tua, berjalan masuk dengan
perlahan. Pada mulanya orang tua itu tidak mau menjawab pertanyaan, tetapi
ketika Littlemore mulai menjentik-jentik kepingan duapuluh lima sen ke udara, ia
baru mau berbicara. Ternyata sais itu telah menjemput seorang lelaki berambut
hitam di depan Balmoral dua malam lalu. Apakah ia ingat ke mana perginya orang
itu" Ia menjawab, "Hotel Manhattan".
Littlemore menjadi bungkam, tetapi si sais tua masih mempunyai keterangan
lainnya. "Kau tahu apa yang dilakukannya ketika tiba di sana" Tepat di depan mataku, ia
segera menaiki taksi lain berwarna merah dan hijau berbahan bakar bensin.
Mengambil uang dari sakuku dan memberikannya pada orang lain. Itu yang
kukatakan." 9 FREUD MEMOTONG PEMBICARAAN KAMI begitu saja, dan dengan tegas menjelaskan kalau
ia harus kembali ke hotel segera. Aku mengerti apa yang sedang terjadi. Untunglah, sebuah kereta
sudah siap menanti. Begitu Freud dan aku tiba di hotel, Jung mendekati kami. Ia pasti telah menanti
Freud kembali. Dengan semangat yang tak dapat dijelaskan, ia berdiri tegak tepat
di depan Freud, menghalangi jalan kami. Ia berniat untuk berbicara dengan Freud
saat itu juga. Namun hal itu sangat tidak mungkin. Freud baru saja mengatakan
padaku betapa mendesak keperluannya.
"Ya ampun, Jung," kata Freud, "biarkan aku lewat. Aku harus kembali ke kamarku."
"Mengapa" Kau punya..., masalah itu lagi?"
"Pelankan suaramu," kata Freud, "ya masalah itu. Sekarang, biarkan aku lewat.
Ini mendesak." "Aku tahu itu. Enureis-mu," kata Jung, dengan menggunakan istilah kedokteran
yang artinya berkemih tanpa terkendali, "itu psikogenis."
"Jung, ini...,"
"Itu neurosis, aku bisa membantumu!"
"Ini...," Freud berhenti di tengah kalimatnya. Suaranya berubah sama sekali. Ia
berbicara datar dan sangat lirih, sambil menatap lurus pada Jung. "Sekarang,
terlambat." Keheningan yang membuat rasa canggung pun ter-cipta. Kemudian Freud pergi.
"Jangan melihat ke bawah, kalian berdua. Jung, kau berputarlah dan berjalan
tepat di depanku. Younger, kau berjalan di sebelah kiriku. Jangan, di sebelah
kiriku saja. Berjalanlah langsung ke lift. Berjalanlah!"
Maka setelah teratur begitu, kami berbaris kaku ke lift. Salah satu pegawai
menatap kami: mengganggu sekali, tetapi kukira ia tidak menduga sama sekali.
Betapa herannya aku karena Jung tidak mau berhenti bicara. "Mimpi Count Thun-mu itulah
kunci dari segalanya. Kau izinkan aku menganalisanya?"
"Aku benar-benar dalam posisi tidak dapat menolak," kata Freud.
Mimpi Freud tentang Count Thun mantan perdana mentri Austria dikenal oleh ? ?semua orang yang telah membaca karyanya. Ketika mencapai lift, aku coba
meninggalkan mereka. Namun aku terkejut ketika Jung menghentikan aku. Ia
memerlukan aku, begitu katanya. Kami membiarkan satu lift berlalu; yang
berikutnya, kami tempati sendiri.
Di dalam lift, Jung melanjutkan, "Count Thun mewakili aku. Thun sama dengan
Jung, jelas sekali. Kedua nama itu memiliki empat huruf. Keduanya mengandung
akhiran un, yang artinya jelas. Keluarganya berasal dari Jerman tetapi harus
beremigrasi, sebagaimana juga keluargaku. Ia berasal dari keturunan yang lebih
tinggi darimu; aku juga. Penampilannya angkuh; aku dianggap angkuh. Di dalam
mimpimu, ia adalah musuhmu tetapi juga seorang anggota dari lingkar dalammu;
seseorang yang kau pimpin, tetapi seorang yang mengancammu, dan seorang
keturunan Aria, jelas sekali Aria. Kesimpulannya dapat dipastikan: kau
memimpikan aku, tetapi kau harus mengubahnya, karena kau tidak mau mengakui
kalau kau menganggapku sebagai ancaman."
"Cari," kata Freud perlahan, "aku bermimpi tentang Count Thun pada tahun 1898.
Itu lebih dari satu dekade yang lalu. Kau dan aku baru bertemu pada tahun 1907."
Pintu lift terbuka. Koridor kosong. Freud berjalan dengan cepat sehingga
mengharuskan kami juga berjalan cepat. Aku tidak dapat membayangkan apa yang
dipikirkan oleh Jung atau apa yang akan menjadi tanggapannya. Beginilah rupanya:
"Aku tahu itu! Kami bermimpi apa yang bagiku seperti juga apa yang telah
berlalu. Younger," ia berseru, matanya sangat cemerlang, "kau bisa
menjelaskannya!" "Aku?"
"Ya, tentu saja kau. Kau ada di sana ketika itu. Kau melihat semuanya." Tibatiba
Jung tampak berubah pikirannya dan berkata pada Freud lagi. "Tidak apa-apa.
Enurisi-mu menyatakan ambisi. Itu artinya menarik perhatian pada diri sendiri,
seperti yang kau lakukan baru saja di lobi. Tampaknya, begitu kau merasa
memiliki musuh, seorang dari sisi berlawanan. Seorang dengan nama mengandung un
kau harus mengatasinya. Aku sekarang si un itu. Karena itu masalahmu muncul
kembali." Kami tiba di kamar Freud. Ia mencari kuncinya di dalam sakunya kini wajahnya
? tampak tidak nyaman. Akhirnya kunci itu jatuh ke lantai. Tidak seorang pun
bergerak. Lalu Freud yang memungutnya sendiri. Ketika ia tegak kembali, ia
berkata pada Jung. "Aku sangat meragukan kalau aku akan menikmati hadiah Joseph,
tetapi aku dapat katakan ini padamu. Kau adalah pewarisku. Kau akan mewarisi
psikoanalisa jika aku mati, dan kau akan menjadi pemimpinnya bahkan sebelum itu.
Aku akan melihat itu terjadi. Aku sedang hal itu berlangsung. Aku sudah
mengatakan semua ini padamu sebelumnya. Aku harus
mengatakannya lagi kepada yang lain. Tidak ada yang lainnya lagi, Cari. Jangan
ragukan itu." "Kalau begitu katakan sisa mimpimu tentang Count Thun!" Teriak Jung, "kau selalu
mengatakan ada sebagian mimpimu yang tidak kau ungkap. Jika aku pewarismu,
katakan padaku. Itu akan menegaskan analisaku; Aku yakin itu. Ceritakanlah."
Freud menggelengkan kepalanya. Kupikir ia tersenyum, tapi tampaknya malah
bersedih, "Anakku," katanya kepada Jung, "ada sesuatu yang tidak dapat kuungkap.
Seharusnya aku tidak punya kewenangan itu lagi. Sekarang tinggalkan aku, kalian
berdua. Aku akan bergabung bersama kalian di ruang makan dalam setengah jam
lagi." Jung memutar tubuhnya tanpa katakata lagi dan berjalan pergi.
9 PADA MUSIM PANAS TAHUN 1909, pembangunan jembatan Manhattan telah hampir
rampung. Itu merupakan tiga dari jembatan gantung terbaru yang dibangun
melintasi Sungai East untuk menghubungkan antara pulau Manhattan dan Kota
Brooklyn. Ketika dibangun beberapa jembatan itu Brooklyn, Williamsburg, ?Manhattan merupakan jembatan rentang tunggal terpanjang yang dipuji oleh
?Scientific American sebagai karya insinyur terbesar di dunia yang pernah
dikenal. Bersamaan dengan penemuan kabel kawat baja, penemuan teknologis yang
istimewa telah memungkinkan pendirian beberapa jembatan tersebut. Vang artinya
peti pneumatik yang juga disebut kaison telah menandai sebuah sebuah penemuan
dengan makna kecongkakan yang nyata.
Masalah yang menjadi tanggung jawab kaison itu adalah menara-menara besar
pendukung untuk jembatan ini, sangat penting untuk menahan kabel-kabel
penggantung. Itu pun harus berdiri pada ladasan yang dibangun di sekitar tigapuluh setengah
meter di bawah permukaan air. Landasan-landasan itu tidak dapat diletakkan
langsung di dasar sungai yang lunak. Maka lapisan-lapisan pasir, lumpur,
serpihan, tanah liat dan batu besar, harus dikeruk, dihancurkan dan terkadang
diledakkan dengan dinamit untuk mencapai lapisan batu. Pelaksanakan penggalian
di bawah permukaan air biasanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin
hingga munculnya gagasan peti pneumatik kaison.
Peti itu pada dasarnya terbuat dari kayu. Kaison Jembatan Manhattan memiliki
area seluas limaratus delapanbelas meter persegi. Dindingnya terbuat dari papan
kayu cemara kuning yang tak terhitung jumlahnya. Tiga kaki terbawah dari peti
itu diperkuat dengan pelat ketel pada bagian luar dan dalamnya. Berat
keseluruhannya lebih dari tigapuluh juta kilogram. Sebuah kaison memiliki
langitlangit dan lantainya adalah dasar sungai itu sendiri. Artinya, kaison
pneumatik adalah lonceng di dalam air terbesar yang pernah dibuat.
Pada tahun 19D7, kaison Jembatan Manhattan itu ditenggelamkan ke dalam sungai
sehingga air mengisi ruang kosongnya. Di daratan, mesin-mesin uap yang besar
sekali dinyalakan siang-malam, untuk memompakan udara ke dalam kaison melalui
pipa besi yang dipasang menuju kotak besar tersebut. Udara yang mendesak,
membentuk tekanan yang sangat besar, sehingga menggiring air keluar melalui
lubang-lubang bor di dinding peti itu. Sebuah terowongan lift menghubungkan peti
dan dermaga yang harus dipergunakan oleh para pekerja untuk menuju kaison
tersebut. Mereka dapat bernafas lantaran pompa yang mengisi udara ke dalam peti
itu. Dari sana mereka memiliki jalan pintas menuju dasar sungai sehingga dapat melaksanakan
pembangunan di bawah air yang semula dianggap tidak mungkin. Mereka
menghancurkan batu karang, menyendoki lumpur, meledakkan batu besar, dan
meletakkan beton. Reruntuhannya dibuang melalui ruangan yang dirancang
sederhana, yang mereka sebut jendela, padahal mereka tidak dapat menembus
pandangan ke arah luarnya. Tigaratus orang dapat bekerja sekaligus di dalam peti
itu. Ada bahaya yang tampak telah menunggu mereka di sana. Orangorang yang keluar
dari kerja seharian di dalam kaison pneumatik, mulai sering merasa pening tidak
seperti biasanya. Gejala itu diikuti dengan rasa kaku pada persendian yang
disertai kelumpuhan pada siku dan lutut, berikut rasa sakit yang tak tertahankan
di seluruh tubuh. Para dokter menyebutnya sebagai penyakit kaisoni. Sementara
para pekerja menyebutnya "lengkungan" sebagaimana perubahan postur tubuh yang
dialami oleh orang yang menderita penyakit itu. Ribuan pekerja telah rusak
kesehatannya, ratusan lainnya mengalami kelumpuhan, dan banyak yang meninggal
dunia. Karena ketika itu, belum diketahui jika mereka naik kepermukaan lagi
secara perlahan-lahan dapat mencegah kerusakan seperti yang mereka alami.
Pada tahun 1909, pengetahuan tentang pengurangan tekanan telah berkembang secara
mengesankan. Tabel-tabel telah digambar untuk menentukan berapa lama sebenarnya
seseorang memerlukan pengurangan tekanan. Hal itu tergantung pada seberapa
sering ia dikirim ke bawah permukaan air. Dari keterangan dalam tabel-tabel itu,
seseorang mempersiapkan diri untuk memasuki kaison pneumatik itu setelah tengah
malam tanggal 31 Agustus 1909. Ada seorang lelaki yang tahu kalau ia dapat berada di
bawah selama limabelas menit tanpa memerlukan pengurangan tekanan sama sekali.
Ia telah melakukan hal itu beberapa kali. Namun perjalanannya kali ini, akan
berbeda. Lelaki tersebut akan berada di sana sendirian.
Ia telah mengemudikan salah satu mobilnya mendekati sungai. Area pembangunan itu
sunyi dan sepi, penjaga malam telah selesai menjalankan tugasnya, dan para
pekerja giliran pertama tidak akan datang sebelum fajar. Mesin-mesin uap masih
tetap menderum, memompa udara ke kaison dan suaranya menutup semua suara lain
yang terdengar di sekitarnya.
Dari bagian belakang mobilnya, ia mengeluarkan sebuah koper hitam besar yang
dibawanya hingga ke dermaga, lalu ke mulut lorong kaison. Lelaki lainnya tidak
mungkin akan mampu melakukannya, tetapi lelaki ini kuat, jangkung dan atletis.
Ia tahu caranya mengangkat sebuah koper berat di atas punggungnya. Penampilan
itu tampak tidak layak lantaran ia mengenakan jas resmi.
Ia membuka kunci lift, lalu masuk sambil menarik kopernya. Dua pancaran sinar
biru memberikan cahaya. Ketika lift meluncur ke bawah, suara derum mesin uap
hanya terdengar sebagai denyut di kejauhan. Kegelapan menjadi lebih dingin.
Tercium bau tanah, garam yang lembab dan dalam. Lelaki itu mulai merasakan
tekanan pada bagian telinga dalamnya. Ia mengendalikan kunci udara tanpa
kesulitan, membuka lubang palka, lalu mendorong kopernya ke bawah sebuah jalur
melandai. Suaranya menggema mengerikan ketika koper itu jatuh ke atas papan-
papan kayu di bawah. Lampu gas bersinar biru juga menerangi kaison itu.
Mereka membakar oksigen murni, memberikan cukup cahaya untuk bekerja tanpa
menebarkan aroma ataupun asap. Dalam cahaya yang tidak tetap, bayangan-bayangan
seperti kucing berubah-ubah di atas tanah dan kayu-kayu penyanggah. Lelaki itu
melihat jam tangannya, lalu segera pergi menuju Jendela. Ia membuka palka
dalamnya, lalu dengan geraman, ia mendorong koper itu ke dalamnya. Jendela itu
pun ditutup, lalu ia mengoperasikan dua rantai tarik yang tergantung di dinding.
Yang pertama untuk membuka palka luar Jendela. Yang kedua memutar kompartemen
Jendela, dan membuang sebuah koper hitam berat ke sungai. Dengan rangkaian
rantai yang berbeda, ia menutup palka luar dan menyalakan pipa udara yang
menyemburkan air sungai dari kompartemen. Jendela itu kini siap digunakan untuk
pemakaian berikutnya. Ia melihat jam tangannya. Ternyata hanya lima menit telah berlalu sejak ia
memasuki kaison itu. Ia pun mendengar kayu berderak. Di antara berbagai macam
bunyi yang didengar orang pada malam hari di dalam rumahnya, ada yang dapat
segera dikenali. Misalnya, suara hewan kecil, atau dentaman pintu, atau suara
seorang yang mengubah posisi tubuhnya atau melangkah di atas lantai kayu. Bunyi
itulah yang baru saja didengar oleh lelaki tadi.
Ia berpaling dan berseru. "Siapa itu?"
"Hanya aku, Pak," ada suara menjawab, seolah terdengar jauh di dalam udara yang
tertekan. "Siapa aku itu?" Tanya lelaki yang mengenakan jas hitam resmi yang runcing
bagian bawahnya. "Malley, Pak." Dari bayangan di dua belokan yang saling silang, muncullah
seorang lelaki berambut merah,
pendek, gendut seperti beruang, berlumpur, tidak bersisir, dan tersenyum.
"Seamus Malley?"
"Satusatunya," kata Malley, "kau tidak akan memecatku, kan, Pak?"
"Apa yang kau kerjakan di bawah ini?" Kata lelaki itu, "siapa lagi yang
bersamamu?" "Tidak seorang pun. Mereka menyuruhku bekerja duabelas jam pada hari Selasa,
Pak. Lalu giliran pagiku pada hari Rabu."
"Kau menginap di sini?"
"Apa gunanya naik ke atas. Karena begitu aku terbangun besok paginya, aku sudah
harus berada di bawah lagi?" Malley adalah pekerja yang disukai di antara rekan
kerjanya, terkenal dengan suara tenor merdu yang senang dilatihnya di ruang
bergema peti itu. Tampaknya ia juga punya ketakterbatasan meneguk minuman
beralkohol jenis apa pun. Bakat terakhirnya itu memberi masalah di dalam
keluarganya. Dua hari lalu, tepatnya hari Minggu, seharusnya tidak boleh meminum
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alkohol sama sekali. Istrinya menjadi marah dan melarangnya untuk tidak keluar
rumah hingga ia dapat memperlihatkan kalau ia tidak mabuk lagi pada hari Minggu
mendatang. Karena keputusan itulah yang sebenarnya membuat Malley harus tidur di
kaison tersebut. "Maka aku mengatakan pada diriku sendiri, 'Malley, malam ini
kau berada di bawah sini saja, maka semuanya akan baik-baik saja."
"Kau tadi mengamatiku terus, bukan, Seamus?" Tanya lelaki jangkung itu.
"Tidak pernah, pak, seumur hidupku. Aku tadi tidur saja," kata Malley, yang
gemetar seperti orang yang telah tidur dalam ruang yang dingin dan lembab.
Lelaki mengenakan jas resmi itu sangat meragukan pernyataan yang tegas itu,
walau ternyata memang benar. Tetapi benar atau tidak, tidak ada bedanya, karena
Malley telah melihatnya sekarang. "Aku malu, Malley," katanya, "jika aku
memecatmu hanya karena hal seperti itu. Apakah kau tahu tentang mendiang ibuku"
Ia adalah orang Irlandia."
"Tidak, Pak." "Wah, ia membawaku sendiri untuk bertemu dengan Parnel, tigapuluh tahun yang
lalu, ketika ia turun dari kapal, tepatnya di atas kepala kita ini sekarang."
"Kau beruntung sekali, Pak," kata Malley "Aku akan katakan apa yang kau
butuhkan, Seamus, dan itu adalah wiski Irlandia terbaik nomor lima untuk kau
nikmati di bawah sini. Kebetulan aku membawanya di mobilku. Ayo, naiklah
bersamaku dan aku akan memberikannya padamu. Kau boleh meminumnya sedikit di
atas. Lalu kembali ke sini dan wiski itu bisa membuatmu nyaman."
"Kau terlalu baik, Pak, terlalu baik," kata Malley.
"Oh, hentikan omong kosong itu. Ayo ke atas." Bersama Malley, lelaki itu naik
menapaki lajur melandai ke arah lift. Ia menarik tuas sehingga lift mulai
bergerak naik. "Aku harus menagihmu uang sewa, kau tahu itu. Itu baru adil."
"Wah, aku akan membayar apa pun hanya untuk melihatnya," kata Malley. "Lantai
pertama sebentar lagi akan terlewat. Kita harus berhenti, Pak."
"Sama sekali tidak," kata lelaki yang jangkung itu, "kau harus segera ke bawah
lagi dalam lima menit, Seamus. Tidak perlu berhenti jika kau segera kembali ke
bawah." "Itu saja, Pak?"
"Itu saja. Lunas sudah kalau begitu." Lalu lelaki itu benar-benar mengeluarkan
catatan tabel pengurangan tekanan dari rompinya, dan mengibas-ngibaskannya di
depan Malley. Ternyata benar, seseorang di dalam peti itu bisa saja turun dan
naik dengan cepat tanpa merasakan sakit, jika ia tidak lebih dari lima menit di
permukaan. "Baiklah, bersiap menahan nafasmu?"
"Nafasku?" Tanya Malley.
Lelaki berjas resmi menarik rem lift ke bawah, sehingga kotak lift itu berhenti
dengan sentakan. "Apa yang kau pikirkan, bung?" Teriak lelaki itu, "kita akan
segera ke atas, sudah aku katakan padamu. Kau harus menahan nafasmu dari sini
hingga ke atas permukaan. Kau mau mati dengan tubuh melengkung?" Mereka sudah
sampai di sepertiga bagian ke atas lorong lift, sekitar delapanbelas meter lebih
di bawah permukaan. "Sudah berapa lama kau berada di bawah, limabelas jam?"
"Hampir duapuluhjam, Pak."
"Duapuluh jam di bawah, Seamus, kau pasti bisa lumpuh, jika kau masih bisa
hidup. Aku akan jelaskan padamu. Kau tarik nafas yang panjang, seperti aku, dan
tahanlah demi kehidupan berhargamu. Jangan lepaskan. Kau akan merasakan tekanan
sedikit, tetapi tetap jangan kau lepaskan, apa pun yang terjadi. Kau siap?"
Malley mengangguk. Kedua lelaki itu masingmasing menghirup udara hingga paruparu
mereka penuh. Lalu lelaki itu menyalakan lift sekali lagi. Ketika mereka naik,
Malley merasakan tambahan beban pada dadanya. Lelaki berjas resmi tidak
merasakan tekanan seperti itu, karena ia hanya berpura-pura menahan nafasnya.
Sebenarnya, tanpa terlihat, ia telah menghembuskan nafasnya ketika
lift bergerak naik. Karena suara berisik denyut mesin uap, bunyi nafasnya itu
tidak terdengar ketika dihembuskan.
Dada Malley mulai sakit. Untuk memperlihatkan rasa tidak nyamannya, dan
kesulitan menahan nafasnya, ia menunjukkan tangan ke dada dan mulutnya. Lelaki
itu menggelengkan kepalanya seraya menggoyangkan telunjuknya, untuk memberinya
petunjuk, betapa pentingnya penahanan nafas itu bagi Malley. Ia memberi isyarat
pada Malley, dengan meletakkan tangannya yang besar pada mulut dan hidung
Malley, sehingga benar-benar menutup jalan keluarnya nafas. Ia menaikkan alisnya
seolah bertanya pada Malley apakah itu terasa lebih baik" Malley mengangguk,
sambil tersenyum. Wajahnya menjadi lebih merah, matanya menonjol ke luar, dan
begitu lift mencapai ujung terakhirnya, Malley terbatuk tanpa dapat ditahan
dalam tangan lelaki berjas resmi. Tangan itu sekarang berlumuran darah.
Paruparu manusia ternyata tidak lentur. Tidak dapat meregang. Pada kedalaman
delapanbelas meter dari permukaan bumi, ketika Malley menghirup nafas
terakhirnya, tekanan udara di sekelilingnya kira-kira tiga atmosfir. Artinya,
Malley telah menghirup udara ke dalam paruparunya tiga kali lipat dari jumlah
udara yang biasanya mampu ditampung paruparunya. Ketika lift naik, udara di
dalam paruparu Malley mengembang. Paruparunya dengan cepat memompa udara yang di
luar batas kemampuannya, seperti balon yang terlalu mengembang. Dengan segera,
pluera (ruang di antara dada dan paruparu) mulai meledak, dengan cepat, satu
persatu silih berganti. Udara yang terlepas pun masuk ke lubang pluera,
mengakibatkan sebuah keadaan yang disebut pneu-mothorax (pengempisan salah satu
paruparu). "Seamus, Seamus, kau tidak menghembuskan nafasmu, kan?" Mereka telah berada di
tempat teratas, tetapi lelaki berjas resmi tidak bergerak membuka pintu lift.
"Aku sumpah, aku tidak membuang nafas," kata Malley tersengal-sengal. "Bunda
Maria. Ada apa denganku?"
"Kau kehilangan satu paru-parumu," kata lelaki jangkung itu, "itu tidak akan
membunuhmu." "Aku harus...," Malley terjatuh berlutut, "berbaring."
"Berbaring" Jangan bung, kau harus terus berdiri, kau dengar aku?" Lelaki yang
memang bertubuh lebih jangkung itu memegangi bagian bawah bahu Malley, sehingga
Malley tetap berdiri, dan menyandarkannya pada dinding lift. "Nah, lebih baik."
Seperti gas pada umumnya jika terperangkap dalam cairan, gelembung udara dalam? ?aliran darah manusia langsung naik ke atas. Dengan menjaga Malley tetap berdiri,
itu memastikan kalau gelembung udara yang masih ada di dalam paruparunya,
mendesak jalannya melalui kapiler pleura yang sudah pecah. Hal itu akan
berlanjut langsung ke jantung dan dari sana menuju arteri koroner dan karotid.
"Terimakasih," bisik Malley, "aku tidak apa-apa, kan?"
"Kita akan tahu dalam beberapa menit lagi," kata lelaki itu.
Malley memegangi kepalanya yang mulai berdenyut cepat. Vena pada pipinya tampak
membiru. "Apa yang terjadi padaku?" Tanyanya.
"Yah, menurutku kau mengalami stroke, Seamus."
"Aku akan mati?"
"Aku akan jujur padamu, bung, jika aku segera membawamu kembali ke bawah lagi
sekarang juga, di sepanjang perjalanan, mungkin aku bisa menyelamatkanmu."
Itu benar. Mendapatkan tekanan lagi adalah satusatunya cara menyelamatkan orang
yang sekarat karena pengurangan tekanan udara. "Tetapi kau tahu yang
sebenarnya?" Tanya lelaki berjas resmi perlahan-lahan saja, sambil membersihkan
darah dari tangannya dengan saputangan bersih sebelum menyelesaikannya, "ibuku
bukan orang Irlandia."
Mulut Malley terbuka seolah ingin berbicara. Ia melihat lelaki yang telah
membuhnya. Lalu kepalanya tersentak ke belakang, matanya berkaca-kaca, kemudian
ia tidak lagi bergerak. Dengan tenang lelaki berjas resmi membuka pintu lift.
Tidak ada siapa pun di sana. Ia kembali ke mobilnya, menemukan sebuah botol
wiski di bagian belakang, lalu kembali ke lift untuk meletakkan botol wiski di
sebelah tubuh Malley yang terkulai. Jenazah Malley yang malang akan ditemukan
beberapa jam kemudian. Mereka akan berduka baginya sebagai salah seorang korban
kaison. Seorang lelaki baik-baik. Teman-temannya akan setuju dengan sebutan itu,
tetapi juga bodoh karena telah bermalam di bawah sana. Tempat yang tidak cocok
bagi manusia atau iblis sekali pun. Mengapa ia mencoba untuk keluar di tengah
malam, dan bagaimana ia bisa lupa untuk berhenti di tingkat istirahat" Begitulah
tanya beberapa orang. Pastilah ia ketakutan dan mabuk. Di dermaga, tidak seorang
pun akan melihat jejak tanah liat merah yang ditinggalkan pembunuh itu. Semua
pekerja di peti itu meninggalkan jejak yang sama, dan jejak sepatu lelaki itu
yang elegan akan segara terhapus oleh jejak sepatu berat milik pekerja yang
berjumlah ribuan. Sebelas AKU TERBANGUN PADA PUKUL ENAM PAGI di hari Rabu. Sejauh yang kutahu, aku tidak
bermimpi tentang Nora Acton. Namun ketikaku membuka mataku di dalam kamar hotel
yang berdinding lapis kayu lilin berwarna putih, aku segera berpikir tentang
dirinya. Mungkinkah gairah seksualnya terhadap ayahnya benar-benar merupakakan
pokok penyebab penyakit yang diidap Nona Acton" Itu benar-benar merupakan
penekanan dari yang dikatakan Freud. Aku tidak mau memercayainya; gagasan itu
membuatku mundur. Aku tidak pernah menyukai Oedipus. Aku tidak suka dramanya, aku tidak suka
tokohnya, dan aku tidak suka teori eponymous Freud. Itu adalah sebagian dari
psikoanalisa yang tidak pernah kusukai. Teori itu menjelaskan kalau kita
memiliki kehidupan mental yang tidak kita sadari, kalau kita selalu menekan
gairah seks yang terlarang dan agresi yang dapat muncul ketika gairah tersebut
bangkit. Hal-hal yang tertekan itu ingin menunjukkan diri mereka sendiri melalui
mimpi-mimpi, ketaksengajaan berbicara, dan neuro sis aku percaya tentang semua ?ini. Tetapi lelaki yang ingin bercinta denganibunya, dan gadis yang ingin
bersama ayahnya, aku tidak bisa menerimanya. Tentu saja Freud akan mengatakan kalau keraguanku
merupakan "perlawanan." Ia akan berkata, aku tidak mau mendapati kebenaran dari
teori Oedipus. Maka jelas saja seperti itu. Tetapi perlawanan apa pun itu, pasti
tidak membuktikan kalau kebenaran gagasan tersebut ditolak.
Karena itulah aku terus kembali ke Hamlet dan solusi teka-tekinya versi Freud
yang sangat menarik namun menggusarkan. Dalam dua kalimat, Freud telah
membongkar dugaan yang telah lama berlaku bahwa Hamlet, seperti anggapan Goethe,
merupakan keindahan yang terlalu cerdas, ketakcakapan secara konstitusi dari
tindakan yang pasti. Seperti yang dijelaskan Freud, Hamlet berulang-ulang
bersikap tegas. Hamlet membunuh Polonius. Ia merencanakan untuk menjalankan
permainan dalam permainannya dengan menjebak Claudius, sehingga ia menebus
dosanya. Ia mengirim karangan bunga Mawar dan bunga Guildenstern untuk kematian
mereka. Tampaknya hanya satu hal yang tak dapat dilakukannya: membalas dendam
pada pembunuh ayahnya yang juga meniduri ibunya.
Menurut Freud alasannya sangat sederhana: Hamlet melihat di dalam perbuatan
pamannya itu ada harapan dirinya sendiri yang ingin diwujudkan: harapan Oedipal.
Claudius hanya telah melakukan apa yang seharusnya ingin dilakukan Hamlet
sendiri. Mengutip Freud, "Jadi kebenciannya yang seharusnya mendorong Hamlet
untuk melakukan pembalasan dendam, telah tergantikan dengan rasa pencelaan
terhadap diri sendiri. Hal itu terjadi karena rasa ketidakrelaan dari
kesadarannya." Tidak dapat disangkal kalau Hamlet menderita karena perasaan
mencela dirinya sendiri. Ia berkali-kali menghukum dirinya
secara berlebihan, hampir tidak masuk akal. Bahkan ia memikirkan rencana bunuh
diri. Atau setidaknya pidato to be, or not to be, selalu ditafsirkan seperti
itu. Hamlet bertanya-tanya, apakah ia akan membunuh dirinya sendiri" Mengapa"
Mengapa Hamlet merasa bersalah dan berpikir untuk melakukan tindak bunuh diri
saat ia mencari jalan guna membalas dendam atas kematian ayahnya" Dalam
tigaratus tahun belakangan tidak seorang pun dapat menjelaskan percakapan Hamlet
dengan dirinya yang terkenal itu, hingga Freud yang menjelaskannya.
Menurut Freud, Hamlet tahu tanpa disadarinya bahwa ia berharap untuk membunuh? ?ayahnya sehingga bisa menggantikannya di tempat tidur ibunya. Itu persis seperti
yang telah dilakukan Claudius. Karena itu Caludius adalah perwujudan dari
harapan rahasia Hamlet sendiri. Dengan kata lain Claudius adalah cermin dari
Hamlet sendiri. Pikiran Hamlet beralih segera dari pembalasan dendam menjadi
upaya bunuh diri lantaran ia melihat dirinya sendiri di dalam pribadi pamannya.
Membunuh Claudius bisa menjadi penghidupan kembali dari gairah Oedipal sekaligus
pembantaian diri. Karena itulah Hamlet lumpuh dan tidak bisa bertindak. Ia
histeris dan menderita perasaan berdosa yang berlebihan karena memiliki gairah
Oedipal yang tidak berhasil ditekannya.
Namun demikian, aku rasa, pastilah ada beberapa penjelasan lainnya dari makna to
be, or not to be. Jika saja aku dapat memecahkan percakapan Hamlet dengan
dirinya sendiri, mungkin aku mampu membayangkan hal itu dapat mempertahankan
penolakanku atas teori Oedipal. Tetapi aku tidak pernah bisa.
Sewaktu makan pagi, aku menjumpai Brill dan Ferenczi yang sedang duduk bersama
di meja yang kemarin mereka tempati. Cara Brill melahap makanannya seperti seorang yang sedang
berperang dengan sepiring stek dan telur. Ferenczi tidak begitu bernafsu, ia
bersikeras tidak akan menyentuh secuil makanan pun hari ini. Keduanya tampak
agak memaksakan diri ketika berbicara denganku. Kupikir, aku telah mengganggu
perbincangan pribadi mereka.
"Para pelayan itu," kata Ferenczi, "semuanya orang Negro. Hal itu biasa terjadi
di Amerika?" "Hanya di tempat yang lebih mapan," kata Brill, "orang-orang New York menentang
persamaan hak, dan jangan lupa, hingga mereka menyadari apa artinya: mereka
harus tetap mempertahankan orang-orang kulit hitam sebagai pelayan mereka hanya
karena lebih murah upahnya."
"Orangorang New York tidak menentang persamaan hak," aku menyela.
"Apakah kericuhan tidak b erarti penentangan?" Tanya
Brill. Ferenczi berkata, "Jangan pedulikan ia, Younger."
"Ya, abaikan saja aku," kata Brill, "orang lain juga begitu. Lagipula, kita
hanya harus memperhatikan Jung, karena ia lebih penting dibandingkan dengan kita
semua, bahkan bila kita disatukan."
Aku mengerti kalau ternyata Jung-lah yang menjadi topik perbincangan mereka
sebelum kedatanganku. Aku bertanya, apakah mereka dapat memberikan penjelasan
yang lebih jelas tentang hubungan Jung dengan Freud" Lalu mereka pun
menjelaskannya. Baru-baru ini, lebih dari dua tahun yang lalu, Freud telah menarik perhatian
sejumlah pengikut baru berkebangsaan Swiss. Jung adalah yang paling menonjol di
antara mereka. Orang Zurich itu dibenci oleh murid-murid Freud yang
berkebangsaan Austria. Kecemburuan tersebut semakin kuat ketika Freud mengangkat
Jung sebagai editor kepala Psychoanalytical Yearbook yaitu buku tahunan
Psikoanalitis pertama di dunia yang disediakan bagi psikologi baru. Dalam
kedudukannya itu, Jung memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan demi kebaikan
karya semua orang. Orangorang Wina berkeberatan karena Jung tidak secara
bersungguh-sungguh meliput "aetiologi seksual" yaitu penemuan inti Freud yang
menekankan bahwa gairah seks tersimpan di balik histeria dan penyakit kejiwaan
lainnya. Mereka merasa pengangkatan Jung menunjukkan sikap pilih kasih dari
Freud. Di sini Brill berkata padaku kalau orang Wina itu lebih tepat dari yang
mereka kira. Freud tidak hanya
mengasihi Jung lebih dari yang lain, tetapi telah memilih sebagai "putra
mahkota-nya" dan "seorang pewaris" yang akan menggantikan dirinya dalam
mengambil tindakan. Aku tidak mengatakan kalau aku telah mendengar Freud mengucapkan katakata itu
pada Jung kemarin malam. Jika aku katakan maka artinya aku juga harus
menceritakan kecelakaan kecil yang dialami Freud. Aku menceritakan kalau Jung
tampak terlalu perasa menanggapi penilaian Freud padanya.
"Oh, semua juga mengatakan begitu," kata Ferenczi, "tetapi tidak diragukan lagi,
Freud dan Jung mempunyai hubungan seperti ayah dan putranya. Aku memang melihat
sendiri sikap ayah dan putra itu ketika kami berada di atas kapal. Karena itulah
Jung menjadi terlalu peka terhadap segala ocehannya. Hal itu bisa membuatnya
marah, terutama tentang terapi pemindahan. Jung memiliki..., bagaimana ya aku
harus mengatakannya..., filosofi yang berbeda dalam hal pemindahan pada proses analisa."
"Begitukah" Apakah ia telah mempublikasikannya?" Tanyaku.
Ferenczi saling bertukar pandangan dengan Brill, "Tidak tepat seperti itu. Aku
hanya membicarakan tentang pendekatannya kepada para pasiennya. Para pasien...,
wanitanya. Kau mengerti?"
Aku mulai mengerti. Brill berbisik. "Jung tidur bersama mereka. Ia terkenal karena hal itu."
"Aku sendiri belum pernah," kata Ferenczi, "tetapi aku memang belum pernah
berhadapan dengan terlalu banyak godaan, maka ucapan selamat bagi kasusku, masih
terlalu awal. Sayang sekali."
"Apakah Dr. Freud tahu?"
Kali ini Ferenczi berbisik, "Salah satu dari pasien Jung menulis surat pada
Freud. Wanita itu sangat bersedih, dan menjelaskan segalanya. Freud
memperlihatkan surat itu kepadaku di kapal. Bahkan ada surat dari Jung kepada
ibu si gadis, sangat aneh. Freud meminta pendapatku," Ferenczi sangat bangga
akan hal itu, "aku mengatakan padanya untuk tidak menggunakan katakata gadis itu
sebagai bukti. Tentu saja aku sudah mengetahui hal itu. Semua orang juga tahu.
Seorang mahasiswi cantik keturunan Yahudi. Mereka bilang, Jung tidak
memperlakukannya dengan baik."
"Ya ampun," kata Brill sambil melihat ke ruang makan pagi. Freud sedang menuju
masuk, tetapi tidak sendirian. Ia ditemani oleh orang lain yang pernah kutemui
di New Haven dalam kongres psikoanalistis beberapa bulan lalu. Ia adalah Ernest
Jones, pengikut Freud dari Inggris.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jones datang ke New York untuk bergabung dengan kelompok kami selama seminggu.
Setelah itu ia akan pergi ke Clark bersama kami pada hari Sabtu. Berusia sekitar
empatpuluhan, Jones bertubuh sependek Brill tetapi lebih gemuk. Wajahnya sangat
putih, rambutnya hitam dan diberi minyak dengan baik. Ia hampir tidak berdagu
dan bibir tipisnya terkatup rapat. Maka itu bila tersenyum akan memberi kesan
kepuasan pribadi dan penuh ramah tamah. Ia memiliki kebiasaan ganjil yaitu tidak
mau menatap orang yang sedang diajaknya berbicara. Freud, jelas terlihat suka
padanya. Berbeda dengan Ferenczi dan Brill.
"Sandor Ferenczi," kata Jones, "kejutan yang menyenangkan, sobat. Tetapi kau
tidak diundang, bukan" O leh G. Stanley Hall maksudku, untuk memberikan tulisan
di Clark?" "Tidak," kata Ferenczi, "tetapi...,"
"Dan Abraham Brill," lanjut Jones sambil menebarkan pandangan matanya ke sekitar
ruangan, seolah sedang menunggu orang lain yang dikenalnya, "bagaimana kabarmu"
Masih dengan tiga orang pasien?"
"Empat," kata Brill.
"Well bersyukurlah, sobat," kata Jones, "aku sangat sibuk dengan para pasien di
Toronto sehingga tidak punya waktu lagi untuk menulis. Semua tulisan yang
kukirimkan melalui pipa saluram adalah tulisan tanganku untuk bidang Nuerologi,
hal kecil untuk Insanity, serta kuliah yang kuberikan di New Haven, yang ingin
dipublikasikan oleh Prince. Bagaimana denganmu, Brill, sudah ada lagi hasil
tulisanmu?" Perkataan Jones telah mengakibatkan suasana meni Biasa terdapat pada kantor-
kantor pada masa itu untuk mempercepat pengiriman naskah dari lantai atas ke
bawah. jadi kurang ramah. Brill memperlihatkan tarikan wajah pura-pura kecewa. "Hanya
buku histeria karya Freud", katanya.
Bibir Jones bergerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Ya, hanya terjemahanku dari karya Freud," lanjut Brill, "bahasa Jermanku
ternyata sudah menjadi lebih berkarat dari yang kukira, tetapi buku itu selesai
juga akhirnya." Perasaan lega memenuhi wajah Jones, "Freud tidak memerlukan penerjemahan ke
bahasa Jerman, kau bodoh," katanya sambil tertawa keras sekali, "Freud telah
menulis dalam bahasa Jerman. Justru ia memerlukan penerjemah bahasa Inggris."
"Akulah penerjemah bahasa Inggrisnya," kata Brill.
Jones tampak terpaku. Lalu kepada Freud ia berkata, "Kau..., kau tidak..., kau
mengizinkan Brill menerjemahkan bukumu?" Lalu menoleh kepada Brill, "tetapi
apakah bahasa Inggrismu memadai untuk itu, sobat" Bukankah kau seorang imigran?"
"Ernest," kata Freud, "kau memperlihatkan kecem-buruanmu."
"Aku?" Kata Jones, "cemburu pada Brill" Bagaimana mungkin aku begitu?"
Pada saat itu seorang anak lelaki membawa nampan perak memanggil nama Brill.
Nampan itu berisi secarik amplop. Dengan tarikan wajah angkuh karena merasa
berposisi sebagai orang penting, Brill memberi sekeping uang logam kepada anak
lelaki itu. "Aku selalu ingin menerima sebuah telegram di sebuah hotel," katanya
dengan riang, "aku hampir saja mengirimkan satu telgram untuk diriku sendiri
kemarin, hanya untuk tahu bagaimana rasanya."
Ketika Brill mengeluarkan telegram itu dari amplopnya, wajahnya memb eku.
Ferenczi mengambilnya dari tangan Brill dan memperlihatkannya kepada kami.
Telegram itu berbunyi: 7(emudian tuhan menghujani sodom dengan Batu 6elerang dan api titik dan lihatlah
asap pedesaan mem6um6ung seperti asap cero6ong asap titikjetapi istrinya menoleh
kem6ali dari 6elakang sodom dan istrinya menjadi se6uah pilar garam titik
se6elum terlam6at titik "7 "Begini," kata Jones, "tidak ada alasan untuk menganggap telegram itu sebagai
salah satu surat kiriman iblis. Itu jelas hanya dari seseorang relijius fanatik.
Amerika dipenuhi dengan orang-orang semacam itu."
"Tetapi bagaimana mereka tahu aku akan ada di sini?" Tanya Brill masih tidak
yakin. g WALIKOTA GEORGE MCCLELLAN tinggal di salah satu deretan rumah bergaya Greek
Revival yang megah di Washington Square North. Ketika meninggalkan rumahnya pada
hari Rabu pagi, ia terkejut melihat Hugel bergegas menuju ke arahnya dari taman
di seberang jalan. Kedua lelaki itu bertemu di antara pilar-pilar Corinthian
yang membingkai pintu depan rumah Walikota itu.
"Hugel," sapa McClellan, "apa yang kau kerjakan di sini" Ya Tuhan, bung, kau
seperti belum tidur dalam beberapa hari."
"Aku harus bertemu denganmu," seru Hugel terengah-engah, "Banwell yang
melakukannya." "Apa?"
"George Banwell-lah yang membunuh gadis Riverford," kata Hugel.
"Jangan bercanda," kata McClellan, "aku sudah mengenal Banwell selama duapuluh
tahun." "Begitu aku memasuki apartemen gadis itu," kata Hugel, "ia sudah berusaha
menghalangi penyidikan. Ia mengancamku supaya aku dipecat dari kasus ini. Ia
mencoba mencegah tindakan otopsi."
"Ia mengenal ayah gadis itu, demi Tuhan." "Lalu, mengapa itu harus mencegah
tindakan otopsi?" "Pada umumnya, Hugel, tidak akan ada orang tua yang tega melihat jenazah
putrinya dibedah." Jika saat itu McClellan mengharapkan satu petunjuk saja akan kepekaan perasaan
Hugel, ahli otopsi itu tidak memperlihatkannya. "Banwell cocok dengan
penggambaran si pembunuh itu dari segala hal. Ia tinggal di gedung itu, ia teman
keluarga korban, sehingga gadis itu membuka pintu baginya; dan ia telah
membersihkan seluruh apartemen gadis itu sebelum Littlemore dapat
menyelidikinya." "Kau sudah menyelidikinya," kata Walikota McClellan menambahkan.
"Sama sekali tidak," kata Hugel, "aku hanya memeriksa kamar tidur. Littlemore
yang menyelidiki bagian lainnya dari apartemen itu."
"Apakah Banwell tahu Littlemore akan datang" Kau mengatakan itu padanya?"
"Tidak," gerutu Hugel, "tetapi bagaimana kau menjelaskan ketakutannya yang luar
biasa ketika ia melihat Nona Acton di jalan kemarin?" Hugel mengisahkan kejadian kemarin kepada
McClellan sebagaimana laporan Littlemore kepadanya, "Banwell mencoba melarikan
diri karena ia menduga gadis itu akan mengenalinya sebagai seorang
penyerangnya." "Tidak mungkin," kata McClellan, "ia bertemu dengan aku di hotel segera setelah
kejadian itu. Kau tahu kalau keluarga Banwell dan keluarga Acton berkawan akrab"
Kini Harcourt dan Mildred Acton sedang menginap di pondok musim panas milik
George Banwell." "Maksudmu ia mengenal keluarga Acton?" Tanya Hugel, "wah, itu juga
membuktikannya! Lelaki itu adalah satusatunya orang yang mengenal kedua korban
itu." Walikota itu menatap Hugel dengan tenang, "Apa yang menempel pada jasmu, Hugel"
Kelihatannya seperti telur."
"Memang telur," Hugel sambil mengusap bahunya dengan sehelai saputangan yang
sudah menguning, "Para hooligans di seberang tamanmu melemparkannya padaku.
Walikota, kita harus segera menangkap Banwell."
McClellan menggelengkan kepalanya. Sisi selatan dari Washington Square memang
tidak ramah, dan ia belum pernah dapat mengusir kelompok anak berengsek di sudut
barat daya taman itu. Keberadaan orang-orang itu yang berdekatan dengan rumah
McClellan, tentulah merupakan perangsang bagi keberandalan mereka. McClellan
berjalan menuju kereta kuda yang telah menunggunya. "Aku heran denganmu, Hugel.
Spekulasi yang kau ciptakan hanyalah berdasarkan spekulasi yang lain."
"Bukanlah spekulasi lagi ketika kau telah mengetahui siapa pembunuhnya."
"George Banwell tidak membunuh Nona Riverford,"
kata Walikota McClellan. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu. Aku tidak mau mendengar fitnah lain yang menggelikan itu. Sekarang
pulanglah. Kau tidak pantas untuk pergi ke kantormu dengan keadaan seperti itu.
Istirahatlah. Ini perintah."
g GEDUNG YANG DITEMUKAN LITTLEMORE di Eight Avenue 782 kemungkinan adalah tempat
Chong Sing bertempat tinggal. Gedung berlantai lima itu sangat kotor, dengan
aroma tajam babi panggang merah, serta bebek-bebek mati yang digantung dan masih
menentes-netes pada jendela-jendela lantai dua, di depan sebuah restoran Cina.
Di bawah restoran yang lantainya setinggi jalanan, ada sebuah toko sepeda kumuh.
Pemiliknya adalah orang kulit putih. Semua orang di dalam dan
sekitarnya beberapa perempuan tua sibuk keluar dan masuk pintu depan. Seorang ? ?lelaki terlihat sedang merokok dengan menggunakan pipa panjang di serambi muka.
Orangorang yang muncul dari lantai atasnya, semuanya berwajah Cina.
Ketika detektif itu mulai menapaki tangga menuju lantai tiga yang tak
berpenerangan, seorang lelaki kecil mengenakan tunik panjang muncul dari
kegelapan, menghalangi jalan. Lelaki ini berjenggot berunting, rambut kepangnya
menggantung pada punggungnya, sementara giginya berwarna karat segar. Littlemore
berhenti. "Kau salah jalan," kata orang Cina itu tanpa memperkenalkan diri, "restoran ada
di belakang sana. Lantai dua."
"Aku tidak mencari restoran," jawab Littlemore, "aku
mencari Chong Sing. Ia tinggal di lantai empat. Apakah kau mengenalnya?"
"Tidak," Orang Cina itu terus menghalangi jalan Littlemore, "tidak ada Chong
Sing di atas." "Maksudmu, ia sedang pergi, atau ia tidak tinggal di
sini?" "Tidak ada Chong Sing di atas," ulang orang itu. Lalu ia mendorongkan ujung
jarinya pada dada Littlemore, "pergilah."
Littlemore mendorong melewati lelaki itu dan melanjutkan menaiki tangga sempit
yang berderik pada pijakan kakinya. Bau daging berlemak menemaninya. Ketika ia
berjalan di koridor berasap di lantai empat tanpa jendela dan gelap, padahal
?waktu itu masih pagi dan cerah ia melihat beberapa pasang mata mengamatinya
?dari ambang-ambang pintu yang terkuak sedikit. Tidak ada orang yang menjawab
ketukannya pada pintu nomor 4C. Littlemore mengira ia mendengar seseorang
bergegas turun di tangga belakang. Pertama, aroma daging bakar telah merangsang
nafsu makannya, namun sekarang di lantai atas yang tak berudara, aroma itu
bercampur dengan gumpalan asap opium yang membuatnya mual.
g KETIKA WALIKOTA MCCLELLAN tiba di City Hall, Nyonya Neville memberitahu kalau
Tuan Banwell telah menelpon. McClellan meminta untuk disambungkan kepadanya.
"Ini George," kata George Banwell, "ini George." "Dari George, memang," kata
McClellan melengkapi tukar sapa yang khas di antara mereka berdua sejak
menjadi anggota muda Manhattan Club duapuluh tahun lalu.
"Hanya ingin memberitahumu, aku berhasil menghubungi Acton kemarin malam," kata
Banwell, "aku katakan kabar yang mengerikan itu. Acton sudah mengemudikan mob
ilnya secepat mungkin pagi ini dan akan tiba di hotel siang nanti. Aku akan
menemuinya di sana."
"Bagus sekali," kata McClellan, "aku akan menemanimu."
"Apakah Nora sudah dapat mengingat sesuatu?"
"Belum," kata McClellan, "Hugel sudah memiliki tersangka. Kaulah orangnya."
"Aku?" Tanya Banwell, "aku tidak suka pada rase [hewan lambang kelicikan] kecil
itu begitu aku melihatnya."
"Tampaknya perasaanmu itu sama dengan yang dirasakannya."
"Apa yang kau katakan padanya?"
"Kukatakan padanya kalau kau tidak melakukannya," kata McClellan.
"Bagaimana dengan jasad Elizabeth?" Tanya Banwell,
"Riverford mengirimkan kawat setiap menit." "Jenazah itu telah dicuri, Goerge,"
kata McClellan. "Apa?" "Kau tahu masalah-masalah yang kumiliki dengan rumah penyimpanan jenazah itu.
Aku berharap mendapatkannya kembali. Kau dapat menenangkan orang tua korban itu
satu hari lagi?" "Menenangkannya?" Ulang Banwell, "putri mereka telah dibunuh."
"Bisa kau coba?" Tanya Walikota itu.
"Iblis," kata Banwell, "aku akan lihat apa yang dapat aku lakukan. Kira-kira,
siapakah para spesialis yang
merawat Nora itu?" "Apa aku belum mengatakannya padamu?" Tanya McClellan, "mereka para terapis.
Tampaknya dapat menyembuhkan amnesia hanya dengan mengajak pasiennya berbicara.
Sebenarnya pekerjaan yang menarik.
Mereka meminta para pasien untuk menceritakan berbagai hal."
"Hal-hal macam apa?" Tanya Banwell. "Segala hal," kata McClellan.
g AHLI OTOPSI HUGEL, mematuhi perintah Walikota McClellan untuk pulang ke rumah.
Di rumah kecil berlantai dua itu, ia berbaring di atas pembaringannya yang
kusut, namun tidak tidur. Sinarnya terlalu terang, dan teriakan para buruh
angkutan terlalu riuh, walau ia sudah menutupi kepalanya dengan bantal.
Rumah tempat tinggal Hugel berada di tepi luar Market District, Manhattan
wilayah bawah. Ketika pertama kali ia menyewa kamarnya, daerah itu masih merup
akan lingkungan perumahan yang menyenangkan. Pada tahun 1909, tempat itu
dikelola menjadi gudang dan gedung pabrik. Hugel tidak pernah pindah. Dengan
gaji seorang ahli otopsi, ia tidak mampu menyewa kedua lantai rumah itu di
wilayah kota yang lebih modern.
Hugel membenci kamarnya. Langit-langitnya memiliki bekas bocoran air bertepian
cokelat. Itu menjijikannya, sebagaimana secara terpakasa ia rasakan juga di
kantornya. Hugel bersumpah dengan muram pada dirinya sendiri. Ia adalah ahli
otopsi di New York City, mengapa ia harus hidup di kamar yang tidak bermartabat"
Mengapa jasnya harus tampak kumuh dibandingkan dengan jas George Banwell yang dijahit
atau disikat secara khusus"
Buktibukti yang memberatkan Banwell cukup untuk menahannya dengan mudah. Mengapa
Walikota McClellan tidak bisa melihatnya" Ia berharap dapat menangkap Banwell
sendiri. Hugel tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan penangkapan walau ia
berharap memilikinya. Hugel merenungkan segalanya lagi. Seharusnya masih ada
lagi. Harus ada cara untuk menyatukan cerita itu. Jika pembunuh Elizabeth
Riverford telah mencuri jenazahnya dari rumah penyimpanan mayat lantaran
terdapat bukti pada jasad itu, ia harus tahu bukti itu seperti apa" Tibatiba ia
mendapatkan ilham. Ia lupa foto-foto yang dibuatnya di apartemen Nona Riverford.
Mungkinkah salah satu foto itu bisa mengungkap petunjuk yang hilang"
Hugel turun dari tempat tidurnya dan segera berpakaian. Ia dapat mencetak foto-
foto itu sendiri walaupun jarang melakukannya. Ia memiliki ruang gelap pribadi
yang terhubung dengan rumah penyimpanan jenazah. Tetapi tidak, itu akan lebih
aman jika Louis Riviere, seorang ahli fotografi kepolisian, yang mengerjakannya.
9 PADA PUKUL SEMBILAN aku pergi ke kamar Nona Acton. Tidak seorang pun di sana.
Lalu aku pergi ke meja penerima tamu. Di sana aku mendapat pesan yang telah
menungguku. Di dalam pesan itu, Nona Acton memberitahuku kalau ia akan kembali
ke kamarnya pada pukul sebelas. Aku boleh mengunjunginya, jika aku mau.
Secara analitis ini semua salah. Pertama, aku tidak "mengunjungi" Nona Acton.
Kedua, seharusnya bukan pasien yang menentukan waktunya, tetapi dokternya.
Namun, aku benar-benar mengunjungi Nona Acton pada pukul sebelas. Ia bertengger
di atas sofanya dengan tenang, persis seperti kemarin pagi. Tanpa menatapku,
Nona Acton memintaku duduk. Ini sangat menggangguku. Ia terlalu tenang. Suasana
terapi analistis seharusnya ada di sebuah ruang praktik sehingga akulah yang
memerintah. Lalu ia mendongak, aku menjadi betulbetul terkejut. Ia gemetar dan sangat marah.
"Kepada siapa kau menceritakan tentangku?" Tanyanya tidak menuduh, tetapi cemas,
"Tentang apa yang telah dilakukan Tuan Banwell kepadaku." Lanjutnya.
Hanya kepada Dr. Freud. Mengapa" Apa yang terjadi?"
Ia saling bertatapan dengan Ibu Biggs, yang mengeluarkan secarik kertas terlipat
dua. Lalu Nona Acton meminta wanita tua itu menyerahkannya padaku. Pada kertas
itu tertulis, dengan pena, Jaga lidahmu.
"Seorang anak lelaki," kata Nona Acton dengan kesal, "di jalan..., ia meletakkan
surat itu pada tanganku kemudian melarikan diri. Kau pikir Tuan Banwell
menyerangku?" "Apa kau pikir juga begitu?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Mengapa aku tidak bisa mengingat" Kau bisa
membuatku mengingat?" Ia memohon padaku, "bagaimana jika ia berada di luar sana,
mengamatiku" Kumohon, Dokter, kau bisa menolongku?"
Aku belum pernah melihat Nona Acton seperti ini. Ini adalah kali pertamanya ia
benar-benar meminta pertolonganku. Juga untuk kali pertamanya, sejak tiba di
hotel, ia tampak betulbetul ketakutan.
"Aku bisa mencobanya," kataku.
Ibu Biggs cukup tahu, maka kali ini ia meninggalkan ruangan atas kemauannya
sendiri. Aku meletakkan pesan ancaman itu di atas meja kopi dan menyuruh gadis
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu untuk berbaring. Sebenarnya ia tidak menyukainya. Ia begitu gelisah sehingga
hampir tidak dapat diam. "Nona Acton, coba berpikirlah kembali, tiga tahun yang lalu, sebelum kejadian di
atap. Kau sedang bersama keluargamu, di rumah pedesaan Banwell."
"Mengapa kau menanyakanku tentang hal itu?" Semburnya, "aku ingin mengingat
kejadian dua hari yang lalu, bukan tiga tahun yang lalu."
"Kau tidak mau mengingat kejadian tiga tahun yang
lalu?" "Bukan itu maksudku."
"Itu yang kau katakan. Dr. Freud percaya mungkin kau telah melihat sesuatu
ketika itu. Sesuatu yang telah kau lupakan, sesuatu yang telah menghalangimu
untuk mengingatnya sekarang."
"Aku tidak melupakan segalanya," jawabnya dengan pedas.
"Kalau begitu kau memang melihat sesuatu." Ia terdiam.
"Tidak ada yang perlu membuatmu malu, Nona Acton."
"Jangan katakan itu lagi!" Gadis itu berteriak dengan amarah yang sama sekali
tidak pernah kuduga, "apa yang harus membuatku malu?"
"Aku tidak tahu."
"Pergilah," katanya.
"Nona Acton." "Pergilah. Aku tidak menyukaimu. Kau tidak becus." Aku tidak bergerak, "Apa yang
kau lihat?" Ketika ia
tidak menjawab tetapi menatap ke tempat lain, aku berdiri dan mengambil
kesempatan. "Maafkan aku, Nona Acton. Aku tidak dapat menolongmu. Aku berharap
aku bisa." Ia menarik nafas dalam. "Aku melihat ayahku dan Clara Banwell."
"Kau bisa menjelaskan apa yang kau lihat?" "Oh, baiklah." Aku pun duduk.
"Di rumah musim panas keluarga Banwell ada sebuah perpustakaan besar di lantai
satu," katanya, "aku sering kesulitan tidur. Dan setiap kali aku kesulitan
tidur, aku selalu pergi ke perpustakaan itu. Aku bisa membaca hanya dengan
penerangan cahaya bulan di sana, tanpa harus menyalakan lilin. Pada suatu malam,
pintu perpustakaan terbuka. Aku tahu ada seseorang di dalam. Aku mengintai dari
celah itu. Aku melihat ayahku sedang duduk di kursi Tuan Banwell, mengahadap ke
arahku. Itu adalah kursi yang selalu kududuki. Aku dapat melihatnya dalam cahaya
bulan, tetapi kepalanya terdongak ke atas dengan menjijikkan. Clara sedang
berlutut di depannya. Pakaiannya tidak tertutup. Melorot hingga ke pinggangnya.
Punggungnya betulbetul terbuka. Punggungnya indah sekali, Dokter, sangat putih,
tidak bernoda. Benar-benar seputih dan semulus dengan apa yang kau lihat di...,
dan berbentuk seperti hourglassz atau sebuah cello. Ia..., aku tidak tahu
bagaimana menggambarkannya..., Clara bergerak seperti gelombang. Kepalanya naik
dan turun lambat berirama. Aku tidak dapat melihat
2 Jam pasir yang terdiri dari dua bejana kaca, bagian atas dan bawah. Bagian
atas dengan meruncing ke bawah, bagai an bawah meruncing ke atas. Pasir mengucur
melalui celah sempit yang berbentuk seperti pinggang manusia.
tangannya. Aku percaya mereka ada di depannya. Setu atau dua kali, Clara
mengibaskan rambutnya dari bahunya, tetapi ia terus naik dan turun. Memesonakan.
Tentu saja saat itu aku tidak mengerti apa yang sedang kusaksikan. Menurutku
gerakannya indah, seperti gelombang lembut mengusap-usap pantai. Tetapi aku
sangat tahu mereka sedang melakukan sesuatu yang salah." "Lanjutkan."
"Kemudian ayahku mulai mengeluarkan suara yang menjijikan, terdengar parau. Aku
bertanya-tanya bagaimana Clara bisa tahan mendengar suara seperti itu. Tetapi ia
tidak saja tahan, tapi suara itu bahkan membuat alunan gelombangnya menjadi
semakin cepat, dan lebih pasti. Ayahku mencengkeram lengan kursinya. Kepala
Clara bergerak naik dan turun lebih cepat lagi. Aku yakin kalau aku terpukau
saat itu, tetapi aku tidak mau menontonya lagi. Aku berjingkat-jingkat ke atas,
kembali ke kamarku. "Kemudian?" "Tidak ada lagi." Kami saling bertatapan.
"Kuharap rasa ingin tahumu sudah terpenuhi, Dr. Younger, walau aku tidak percaya
amnesiaku sudah terobati."
Aku mencoba memikirkan secara psikoanalitis semua bagian cerita yang baru saja
dikisahkannya. Kisah itu bisa menimbulkan trauma, tetapi ada satu kesulitan.
Nona Acton tampak tidak mengalami trauma tersebut.
"Apakah setelah itu kau mengalami kesulitan jasmani?" Tanyaku, "seperti
kehilangan suara misalnya?"
"Tidak." "Kelumpuhan pada bagian tubuhmu yang lainnya"
Atau demam?" "Tidak juga." "Ayahmu tahu kau melihatnya?" "Ia terlalu bodoh untuk itu."
Aku mengambil kesempatan ini, "ketika kau memikirkan amnesiamu, sekarang apa
yang ada dalam benakmu?" "Tidak ada apa-apa," katanya.
"Tidak mungkin tidak ada apa-apa di dalam benak seseorang."
"Kau pernah mengatakan itu!" Serunya dengan marah, lalu terdiam. Ia menatapku
tajam dengan mata birunya, "hanya satu hal yang pernah kau lakukan, bahkan aku
mulai mengira kau dapat menolongku, walau itu tidak ada hubungannya dengan
segala pertanyaanmu padaku."
"Apa itu?" Ia mengalihkan tatapan matanya, "Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakannya
padamu." "Mengapa?"
"Oh, tidak apa-apa. Itu terjadi ketika di kantor polisi." "Ketika aku memeriksa
lehermu." Ia berbicara dengan tenang, kepalanya berpaling da-riku. "Ya. Ketika kau pertama
kali menyentuh tenggorokanku, selama satu detik aku hampir melihat sesuatu...,
gambaran, memori. Aku tidak tahu apa itu."
Berita tersebut tidak terduga tetapi masuk akal. Freud sendiri telah menemukan
bahwa sebuah sentuhan jasmani dapat membebaskan memori yang tertekan. Aku telah
menggunakannya tehnik tersebut pada Priscilla. Mungkin amnesia Nona Acton rentan
terhadap cara perawatan seperti itu juga.
"Kau mau mencoba hal yang sama lagi?"
"Itu membuatku takut," katanya.
"Mungkin juga akan begitu lagi."
Ia mengangguk. Aku mendekatinya dan menyorongkan telapak tanganku. Ia mulai
membuka sapu tangan yang membungkus lehernya. Aku mengatakan padanya kalau ia
tidak perlu melakukannya, karena aku hanya akan menyentuh keningnya, bukan
lehernya. Ia terkejut. Aku menjelaskan, menyentuh kening adalah salah satu
metode dasar Dr. Freud untuk mengembalikan memori. Ia tampak tidak puas, tetapi
berkata kalau aku boleh melanjutkan. Perlahan-lahan aku meletakkan telapak
tanganku pada keningnya. Tidak ada reaksi. Aku bertanya apakah ada pikiran yang
muncul. "Tidak, cuma tanganmu terasa dingin sekali, Dokter," katanya.
"Maafkan aku, Nona Acton, tetapi tampaknya kita harus kembali bicara. Sentuhan
itu tidak berhasil." Aku kembali duduk. Ia tampak hampir marah.
"Bisa kau katakan satu hal padaku" Kau mengatakan kalau punggung Nyonya Clara
Banwell..., punggungnya..., putih seperti yang pernah kau lihat sebelumnya pada ....
tetapi kau tidak mengatakan apa-apa."
"Dan kau ingin tahu?"
"Karena itulah aku bertanya."
"Keluar," katanya sambil duduk tegak.
"Maaf?" "Keluar!" Teriaknya sambil melemparkan tempat gula batu padaku. Lalu ia berdiri
dan melemparkan cangkir dan tatakannya. Atau, yang itu tidak dilemparkannya,
tetapi dipukulkannya padaku, sekeras mungkin. Untunglah, kedua benda itu
terlepas dan meluncur ke arah lain. Tatakan cangkir terbang ke sisi kiriku, dan
cangkirnya melayang tinggi ke sebelah kananku, keduanya pecah
menjadi beberapa bagian ketika menghantam dinding. Nona Acton mengambil poci
teh. "Jangan lakukan itu," kataku.
"Aku membencimu."
Aku juga berdiri. "Kau tidak membenciku, Nona Acton. Kau membenci ayahmu karena
telah menukarmu dengan Banwell sebagai ganti istrinya."
Jika aku memikirkan reaksi gadis itu selanjutnya adalah menjatuhkan diri ke sofa
dan menangis, maka aku salah. Ia menerkam seperti kucing liar, mengayunkan poci
teh padaku. Poci teh itu mengenai bahu kiriku. Kekuatannya mengesankan. Ia
ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
Tutup poci teh itu melayang lepas. Air mendidih panas, terpercik pada lenganku.
Sebenarnya sakit sekali. Bukan lantaran hantaman poci teh, tetapi air yang
panasnya terasa membakar. Namun aku tidak bergerak ataupun memperlihatkan reaksi
apa pun. Ini, kukira, membuatnya marah lagi. Ia mengayunkan poci itu lagi
padaku, kali ini ke arah kepalaku.
Aku sangat jauh lebih tinggi darinya, sehingga yang harus kulakukan hanyalah
mundur sedikit. Poci itu meleset dari sasaran, dan aku menangkap lengan Nona
Acton. Gerakkannya membuat gadis itu berputar sehingga punggungnya menghadapku.
Aku memegangi lengannya dengan kuat menempel pada pinggangnya, memelintirnya ke
arahku. "Lepaskan aku," katanya, "lepaskan aku, atau aku akan berteriak."
"Lalu" Kau akan mengatakan padamu kalau aku menyerangmu?"
"Aku menghitung hingga tiga," katanya dengan bengis, "lepaskan aku, atau aku
akan berteriak. Satu, dua...,"
Aku menangkap tenggorokannya untuk menghentikan kata yang keluar dari mulutnya.
Aku seharusnya tidak melakukan itu, tetapi aku marah, darahku naik. Tindakan itu
menghentikan teriakannya tetapi ternyata menghasilkan efek samping juga. Segala
ketegangan pada tubuhnya berangsur hilang. Ia menjatuhkan pocinya. Matanya
terbuka lebar, bingung, manik matanya yang sebiru batu safir bergerak-gerak
cepat ke sana ke mari. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi begitu
janggal. Serangannya padakukah, atau pemindahan (Transferance) yang tibatiba
ini" Aku segera melepaskan pegangan tanganku padanya.
"Aku tadi melihatnya," bisik gadis itu, "sekarang telah hilang. Kupikir ketika
itu aku diikat. Aku tidak dapat bergerak. Oh, mengapa aku tidak dapat
mengingat?" Ia tibatiba berpaling padaku, "lakukan lagi."
"Apa?" "Apa yang baru saja kau lakukan. Aku akan dapat untuk mengingat. Aku yakin itu."
Perlahan-lahan, tanpa pernah melepaskan tatapan matanya padaku, ia membuka
setangan lehernya, memperlihatkan memar pada lehernya. Ia menggenggam tangan
kananku dalam jemarinya yang lembut dan membawanya ke lehernya. Persis seperti
pertama kali aku bertemu dengannya. Aku menyentuh kulit lembut di bawah dagunya,
berhati-hati supaya tidak menyentuh memarnya.
"Ada yang kau ingat?" Tanyaku.
"Tidak," bisiknya, "kau harus melakukan apa yang pernah kau lakukan sebelum
ini." Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu apakah maksudnya. Apakah tindakan yang pernah
aku lakukan ketika kami berada di kantor polisi, ataukah yang baru saja
kulakukan sesaat tadi. "Cekik aku!" Katanya.
Aku tidak melakukan apa-apa.
"Ayolah," katanya, "cekik aku!"
Aku meletakkan jari telunjuk dan ibu jariku pada lehernya yang masih berbekas
kemerahan. Ia mengigit bibirnya, pasti terasa sakit. Dengan memar-memar itu
tertutup, tidak terlihat adanya serangan sebelumnya, yang terlihat hanyalah
leher yang mengarah dengan indah padaku. Aku meremas tenggorokannya. Dengan
segera matanya terutup. "Lebih keras," katanya lembut.
Dengan tangan kiriku, aku memegangi punggung kecilnya. Dengan tangan kananku,
aku mencekiknya. Punggungnya melengkung, kepalanya terdongak. Ia mencengkeram
tanganku erat, tetapi tidak mencoba mengelak.
"Kau melihat sesuatu?" Tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya pelan, dan matanya
masih tertutup. Aku menariknya lebih ketat, sambil menekan lehernya lebih keras.
N afasnya tersekat dalam tenggorokannya, kemudian berhenti sama sekali.
Bibirnya, merah terang, terkuak.
Tidak mudah bagiku untuk mengakui seluruh reaksi yang tidak pantas, yang terjadi
pada diriku. Aku belum pernah melihat mulut sesempurna itu. Bibirnya, yang agak
membengkak, kini bergetar. Kulitnya adalah krim yang paling murni. Rambut
panjangnya berkilauan, seperti air terjun yang berubah warna menjadi keemasan
lantaran cahaya matahari. Aku menariknya lebih rapat padaku. Salah satu
tangannya berada di atas dadaku. Aku tidak
tahu kapan dan bagaimana tangan itu bisa tiba di sana.
Tibatiba aku menjadi sadar akan mata birunya yang menatap mataku. Kapan mata itu
terbuka" Ia sedang menggerakkan bibirnya mengucap satu kata. Aku tidak sadar.
Kata itu adalah "hentikan".
Aku melepaskan cengkeramanku pada tenggorokannya. Aku menduga ia akan tersengal
mencari udara dengan tergesa-gesa. Namun tidak, bahkan dengan sangat lembut dan
hampir tidak kudengar, ia berkata, "cium aku."
Aku harus mengakui kalau aku tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadap
undangan itu. Tetapi saat itu juga, tibatiba terdengar suara ketukan keras pada
pintu, diikuti oleh sebuah anak kunci yang diputar-putar dengan ketakutan pada
lubang kuncinya. Aku segera melepaskannya. Dalam rentang satu detik, ia memungut
poci teh dari lantai, dan menempatkannya lagi di atas meja, lalu ia mengambil
catatan yang kutinggalkan di sana. Kami berdua menatap pintu.
"Aku ingat," bisiknya dengan mendesak padaku, ketika gagang pintu terputar, "aku
tahu siapa pelakunya."
Duabelas PADA TENGAH HARI YANG SAMA, tanggal 1 September, Carl Jung diundang makan oleh
Smith Ely Jelliffe, seorang penerbit, dokter, dan profesor penyakit kejiwaan di
Fordham University. Siang itu mereka pergi ke sebuah kelab yang berada di Fifty-
third Street, yang menghadap
ke taman. Freud tidak diundang, begitu juga Ferenczi, Brill, dan Younger.
Ketertutupan pengundangnya tidak mengganggu Jung. Bahkan ia merasa adanya tanda-
tanda yang berbeda. Tingkat penghargaan internasionalnya bertambah. Seorang yang
tidak terlalu besar namanya akan bisa berkokok menyombongkan diri tentang hal
semacam itu, serta membanggakan undangan tersebut pada orang lain. Namun, Jung,
menanggapi kedermawanan itu dengan bersungguh-sungguh, maka ia menutupi perasaan
tersebut. Benar-benar menderita, bagaimana juga, ketika harus menyembunyikan begitu banyak
hal. Sebenarnya perasaan itu telah mulai muncul sejak hari pertama mereka
meninggalkan Bremen. Jung tidak benar-benar berbohong, tentu saja. Hal itu,
katanya kepada dirinya sendiri, tidak akan pernah dilakukannya. Tetapi semua itu
bukan salahnya: merekalah yang mendorong Jung untuk menyembunyikannya.
Misalnya, Freud dan Ferenczi telah memesan tiket kelas dua kapal George
Washington. Apakah ia harus disalahkan jika tidak menadapatkan karcis yang sama"
Karena tidak mau mempermalukan mereka, ia harus mengatakan hal itu kepada teman-
temannya. Ia mengatakan ketika memesan tiket untuk dirinya sendiri ternyata
hanya tiket kelas satu yang tersedia. Kenyataannya hal itu memang sudah ada
dalam mimpinya ketika malam pertama di atas kapal. Pesan itu begitu jelas kalau?ia telah melebihi Freud dalam wawasan dan reputasi. Ia tahu hal itu cukup tidak
menyenangkan bagi kebanggaan Freud yang peka. Lalu ia menyatakan kalau di dalam
mimpinya, tulang belulang yang ditemukannya di dalam lemarinya adalah milik
istrinya sendiri, bukan milik Freud. Sebenarnya, ia telah dengan cerdik
menambahkan kalau tulang-belulang itu bukan hanya milik istrinya, tetapi juga
milik saudara perempuan istrinya: Jung ingin melihat bagaimana reaksi Freud akan
mimpinya itu, karena kerangka manusia itu ditemukan di dalam lemari Freud
sendiri. Mimpi itu memang hal remeh, tetapi ternyata telah menjadi dasar bagi
kepura-puraan yang lebih besar dan yang telah menjadi kebutuhan bagi Jung sejak
mereka tiba di Amerika. Makan siang di kelab Jelliffe begitu menyenangkan. Sembilan atau sepuluh lelaki
duduk bersama di meja lonjong. Percakapan campuran antara ilmu pengetahuan yang
mereka kuasai dan minuman lezat merupakan takaran hiburan yang selalu dinikmati
Jung. Perbincangan tentang pergerakan wanita menuntut hak pilih bagi kaumnya
terasa membosankan. Kini Jung berada di lingkungannya. Untuk pertama kalinya, Jung tidak perlu
merasa harus berpura-pura kurang kaya dibandingkan yang lainnya. Tidak ada
keharusan untuk menyangkal kalau ia keturunan seseorang penting. Setelah
menyantap makanan, jumlah mereka perlahan-lahan berkurang, hingga Jung akhirnya
hanya duduk bersama Jelliffe dan tiga orang lelaki yang lebih tua. Salah satu
dari Tuan-tuan itu sekarang memberi sinyal dengan tidak kentara. Jelliffe segera
bangkit dan pergi. Jung juga berdiri, karena mengira kalau kepergian Jelliffe
juga merupakan isyarat baginya untuk pergi. Tetapi Jelliffe mengatakan kalau
ketiga bapak itu masih ingin berbincang dengan Jung sendirian. Kereta kuda akan
siap mengantarnya pulang begitu mereka selesai.
Sebenarnya, Jelliffe sama sekali bukan anggota perkumpulan itu, walau ia memang
sangat ingin menjadi anggotanya. O rangorang yang memiliki kewenangan
atas masyarakat dan keanggotaannya adalah mereka yang kini masih duduk
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamanya. Merekalah yang meminta Jelliffe untuk membawa Jung ke kelab itu.
"Silakan duduk, Dr. Jung," kata lelaki yang telah menyuruh Jelliffe pergi sambil
memberi isyarat menggunakan tangannya yang anggun.
Jung mencoba mengingat nama bapak itu. Namun karena ia baru saja bertemu dengan
begitu banyak orang, ditambah minuman anggur bukanlah kebiasaannya, maka ia
tidak dapat mengingat nama-nama itu dengan baik.
"Ini Dana," kata lelaki itu membantunya. O rang itu memiliki alis gelap yang
cocok dengan rambut beruban-nya, "Charles Dana. Aku baru saja membicarakanmu,
Jung, dengan Ochs, teman baikku di Times. Ia ingin menulis kisah tentangmu."
"Sebuah kisah?" Tanya Jung, "aku tidak mengerti."
"Ada hubungannya dengan kuliah-kuliah yang telah kami atur untuk kau sampaikan
Kisah Sepasang Rajawali 7 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Dendam Dalam Darah 2
pelukannya. Itu bukanlah cara yang terlalu sopan. Balok baja yang meluncur
berdesir di atas mereka, begitu dekat sehingga keduanya dapat merasakan sambaran
anginnya, lalu melayang tinggi lagi di belakang mereka.
"Aduh!" Kata Nona Acton.
"Maaf," kata Younger. Kemudian ia menarik rambutnya lagi, ke arah yang
berlawanan sekarang. "Aduh!" Kata Nona Acton kali ini lebih bersungguh-sungguh ketika balok baja itu
kembali meluncur ke arah semula, melayang melewati mereka sekali lagi, dan hanya
meleset di atas kepala gadis itu.
"Tolong antar aku kembali ke kamarku," kata Nona Acton kepada Younger.
g KERUMUNAN ITU MASIH BERADA DI SANA hingga agak lama, mereka seperti mengagumi
kerusakan yang mereka lihat untuk dapat menceritakannya kembali. Kuda
itu dikembalikan pada si sais, yang sekarang didekati oleh detektif Littlemore.
Sang detektif telah mengenali George Banwell. "Hei, bagaimana keadaan kuda
malang itu?" Tanya Littlemore pada si sais, "Apakah kuda itu berjenis Perch?"
"Setengah Perch," jawab si sais, sambil mencoba sekuat mungkin untuk menenangkan
kuda yang masih gemetar, "mereka menyebutnya seekor Cream."
"Ia cantik, sungguh."
"Begitulah," kata si sais sambil mengusap-usap hidung kuda itu.
"Wah, aku bertanya-tanya apa yang membuat kuda itu menaikkan kakinya seperti
tadi" Seperti ada yang dilihatnya, mungkin."
"Lebih tepatnya sesuatu yang dilihat oleh majikanku."
"Aku tidak mengerti."
"Sama sekali bukan salah kuda ini," gerutu si sais, "tetapi Tuan Banwell. Ia
mencoba memundurkan kencananya. Kereta berkuda tidak bisa mundur." Ia berbicara
kepada kudanya. "Mencoba memundurkanmu, itulah yang dilakukannya. Karena ia
takut." "Takut" Takut apa?"
"Tanya saja padanya. Ia biasanya tidak mudah merasa takut, tidak Tuan Banwell.
Seolah ia melihat iblisnya sendiri."
"Asik juga kan?" Kata Littlemore, sebelum beranjak kembali ke hotel.
g PADA SAAT YANG SAMA, di lantai teratas Hotel Manhattan, Carl Jung berdiri di
balkon kamarnya, mengamati pemandangan di bawahnya. Ia baru saja melihat
kejadian yang luar biasa di area pembangunan. Kejadian itu tidak saja membuatnya
takut, namun juga mengisi hatinya dengan perasaan sangat gembira, yang hanya
dirasakannya satu atau dua kali di sepanjang hidupnya. Ia kembali ke kamarnya,
lalu duduk di lantai tanpa berpikir apa pun. Punggungnya bersandar pada
pembaringannya. Ia seakan melihat wajah-wajah yang tidak dapat dilihat oleh
orang lain, mendengar suara yang tidak terdengar oleh orang lain.
Sembilan KETIKA KAMI KEMBALI KE KAMAR Nona Acton, Ibu Biggs sangat ketakutan. Mulanya ia
meminta Nona Acton untuk berbaring, kemudian duduk, lalu berjalan supaya
wajahnya tidak pucat lagi. Nona Acton tidak memperhatikan perintah tersebut. Ia
bahkan pergi ke dapur kecil dan mulai membuat secangkir teh. Ibu Biggs
mengangkat tangannya protes. Seharusnya dirinyalah yang membuatkan minuman itu.
Ibu Biggs tidak mau diam hingga Nona Acton mendudukkannya dan mencium tangan
pelayannya. Gadis itu memiliki kemampuan luar biasa untuk mengembalikan ketenangannya
setelah kejadian yang paling mengerikan maupun untuk menciptakan ketenangan yang
sesungguhnya tidak dirasakannya. Ia menghab iskan tehnya dan menyerahkan
cangkirnya pada Ibu Biggs.
"Kau bisa saja terbunuh, Nona Nora," kata Ibu Biggs, "jika tidak ada dokter muda
itu, pastilah kau sudah mati."
Nona Acton meletakkan tangannya di atas tangan Ibu Biggs, memintanya untuk
mengambilkan secangkir teh lagi. Ketika Ibu Biggs beranjak, gadis itu berkata
padanya untuk meninggalkan kami karena ia harus berbicara sendiri denganku.
Setelah didesak-desak, akhirnya Ibu Biggs terbujuk juga untuk pergi.
Ketika kami tinggal berdua, Nona Acton berterimakasih padaku.
"Mengapa kau menyuruh pelayanmu pergi?" Tanyaku.
"Aku tidak 'menyuruhnya' pergi," kata gadis itu, "kau ingin tahu keadaan yang
menyebabkan aku tidak bisa bicara tiga tahun yang lalu. Aku ingin mengatakannya
padamu." Poci teh itu mulai bergetar dalam tangannya. Ketika berniat mengisi cangkirnya,
ia menumpahkan teh. Ia meletakkan pocinya kemudian menyatukan jemarinya. "Kuda
yang malang. Bagaimana ia bisa bertingkah seperti itu?"
"Bukan salahmu, Nona Acton."
"Ada apa denganmu?" Ia menatapku marah, "mengapa aku yang disalahkan?"
"Tidak ada alasannya. Tetapi kau terdengar menyalahkan dirimu sendiri."
Nona Acton berjalan ke jendela. Ia lalu menguak tirai, sehingga memperlihatkan
balkon di belakang pintu model Prancis dan membuka ke panorama indah kota di
bawahnya. "Kau tahu siapakah lelaki tadi?"
"Tidak." "Itu George Banwell, suami Clara. Ia teman ayahku," Nafas gadis itu menjadi
tidak teratur, "Di tepi danau dekat
rumah musim panasnya. Ia memintaku." "Berbaringlah, Nona Acton." "Mengapa?"
"Ini bagian dari perawatan." "Oh, baiklah."
Ketika ia sudah berbaring di atas sofa, aku melanjutkan. "Tuan Banwell
meminangmu ketika kau berusia empatbelas tahun?"
"Aku berusia enambelas tahun, Dokter, dan ia tidak meminangku untuk menikah."
"Lalu ia minta apa?"
"Untuk.., untuk," ia berhenti berbicara.
"Untuk berhubungan badan denganmu?" Pembahasan kegiatan seksual dengan pasien
perempuan muda, selalu menjadi hal yang peka, karena tidak diketahui sejauh mana
mereka mengetahui ilmu biologi. Namun lebih buruk lagi untuk membiarkan keadaan
genting menambah kerusakan dari perasaan malu yang seorang gadis bisa saja
berikan kepada sebuah pengalaman..
"Ya," ia menjawab, "kami menginap di rumah pedesaannya bersama seluruh
keluargaku. Ia dan aku sedang berjalan-jalan di sepanjang jalan setapak di
sekitar danau mereka. Ia berkata telah membeli pondok lainnya di dekat rumah
tersebut. Kami bisa pergi ke sana. Ada tempat tidur besar yang indah, kami
berdua bisa berdua saja dan tidak ada yang tahu."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku menampar wajahnya dan berlari," kata Nona Acton, "aku mengatakan itu pada
ayahku, namun ia tidak mau membelaku."
"Ia tidak memercayaimu?" Tanyaku.
"Ia bersikap seolah akulah yang bersalah. Aku bersikeras memintanya
mempertanyakan hal itu kepada Tuan Banwell. Seminggu kemudian, ayahku mengatakan
padaku kalau ia telah menanyakannya. Tetapi Tuan Banwell mengingkarinya dengan
marah, kata ayahku. Aku yakin wajahnya sama dengan apa yang kau lihat tadi. Tuan
Banwell hanya mengaku telah menceritakan pondok barunya padaku. Ia meyakinkan
ayah kalau akulah yang salah mengerti, karena.., karena terpengaruh jenis buku
yang kubaca. Ayahku lebih memilih memercayai Tuan Banwell. Aku membencinya."
"Membenci Tuan Banwell?"
"Ayahku." "Nona Acton, kau kehilangan suaramu tiga tahun yang lalu. Tetapi kau
menceritakan kejadian yang berlangsung tahun lalu."
"Tiga tahun yang lalu ia menciumku," kata Nona Acton. "Ayahmu?"
"Bukan, menjijikan sekali," kata Nona Acton, "Tuan Banwell."
"Kau berusia empatbelas tahun?" Tanyaku. "Apakah matematika menyulitkanmu di
sekolah, Dr. Younger?" "Lanjutkan, Nona Acton."
"Hari itu hari Kemerdekaan," katanya, "orang tuaku telah bertemu dengan Tuan
Banwell beberapa bulan sebelumnya, tetapi ayahku dan Tuan Banwell sudah menjadi
teman akrab. Orangorang Tuan Banwell sedang membangun rumah kami. Kami hanya
melewatkan waktu selama tiga minggu bersama mereka di desa ketika mereka
menyelesaikan pembangunan itu. Clara sangat baik padaku. Ia adalah wanita yang
paling kuat dan paling cerdas yang pernah kukenal, Dr. Younger. Dan yang paling
cantik. Kau pernah menonton Salome-nya Lina
Cavalier?" "Belum," jawabku. Nona Cavalier yang ternama dan cantik telah tampil di Opera
House di Manhattan musim salju lalu, tetapi ketika itu aku tidak dapat
meninggalkan Worcester untuk menontonya.
"Clara sangat mirip dengannya. Ia juga tampil di panggung, beberapa tahun lalu.
Pak Gibson membuat film tentang dirinya. Karena Tuan Banwell memiliki salah satu
dari gedung-gedung besar itu, maka ia mengundang kami untuk ke kota, ke gedung
Hanover, kukira. Kami merencanakan untuk naik ke atap gedung itu untuk melihat
kembang api, tetapi ibuku sakit, ia selalu sakit, jadi ia tidak ikut. Ketika
sudah mau berangkat, ayahku tidak dapat ikut ke kota juga. Aku tidak tahu
mengapa. Kukira ia juga sakit. Tampaknya ada musim demam pada musim panas itu.
Demi aku, Tuan Banwell bersedia mengantarku ke atap gedung, karena aku sudah
menanti-nanti kesempatan itu."
"Hanya kalian berdua?"
"Ya. Ia membawaku dengan keretanya. Ketika sudah malam. Ia memacu kereta kudanya
ke Broadway. Aku ingat angin panas menerpa wajahku. Kami naik lift bersama. Aku
sangat gugup; karena ini pertama kalinya aku menumpang lift. Aku tidak sabar
menunggu acara kembang api, tetapi ketika kanon pertama meledak, aku ternyata
sangat ketakutan. Mungkin aku berteriak. Kemudian aku merasa Tuan Banwell
memegangiku dengan kedua tangannya. Aku masih merasakan ia menarik tubuh..., tubuh
bagian atasku ke arahnya. Kemudian ia menekankan mulutnya pada bibirku." Gadis
itu menyeringai, seolah ia akan meludah. "Kemudian?" Tanyaku.
"Aku melepaskan diri darinya, tetapi aku tidak bisa lari ke mana pun. Aku tidak
tahu bagaimana melarikan diri dari atap gedungnya. Ia memberi isyarat padaku
untuk tenang, untuk tidak ribut. Ia mengatakan kalau itu akan menjadi rahasia
kami, dan ia mengatakan kami hanya akan melihat kembang api. Begitulah."
"Kau mengatakan pada orang lain?"
"Tidak. Ketika itulah aku kehilangan suaraku, tepatnya malam itu. Semua orang
mengira aku terkena demam. Mungkin saja. Suaraku kembali keesokan harinya,
seperti kemarin juga. Tetapi aku tidak mengatakan kepada siapa pun hingga hari
ini. Setelah itu, aku tidak akan mau berdua saja dengan Tuan Banwell."
Ruangan menjadi sunyi sekian lama. Gadis itu benar-benar dapat mengingat hingga
ingatan yang segera disadarinya. "Kau ingat kejadian kemarin, Nona Acton. Kau
ingat sesuatu?" "Tidak," katanya tenang, "maafkan aku."
Aku minta izinnya untuk melaporkan apa yang dikatakannya kepada Dr. Freud. Ia
setuju. Lalu aku memberitahu kalau kami harus melanjutkan percakapan ini besok.
Ia tampak terkejut, "apa lagi yang akan kita bicarakan. Dokter" Aku telah
mengatakan segalanya padamu."
"Mungkin masih ada yang bisa kau ingat."
"Mengapa kau mengatakan begitu?"
"Karena kau masih menderita amnesia. Ketika kita sudah membuka semuanya yang
berhubungan dengan kejadian itu, aku percaya ingatanmu akan kembali padamu."
"Kau menduga aku menyembunyikan sesuatu?"
"Itu bukan penyembunyian, Nona Acton. Atau lebih
baik kusebut, sesuatu yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri."
"Aku tidak mengerti maksudmu," kata gadis itu. Ketika aku selangkah lagi
mencapai pintu, ia menghentikanku dengan suara lirih dan jelas. "Dr. Younger?"
"Ya, Nona Acton?"
Mata birunya basah karena air mata. Ia mengangkat dagunya tinggi. "Ia memang
menciumku. Ia memang..., memintaku ketika kami berada di tepi danau."
Aku tidak sadar betapa cemasnya ia tentang kemungkinan kalau aku juga tidak
percaya pada apa yang dikatakannya padaku seperti ayahnya. Ada sesuatu yang ?tidak dapat dijelaskan tentang caranya ia memilih kata "meminta" bukannya
"mengusulkan." "Nona Acton," aku menjawab, "aku percaya setiap kata yang kau
ucapkan." Meledaklah tangisnya. Aku meninggalkannya dan mengucapkan selamat siang pada Ibu
Biggs ketika aku melewatinya di gang.
9 DI SUDUT PRIBADI di sebuah ruang tamu Hotel Manhattan, George Banwell duduk
bersama Walikota McClellan. Walikota itu berkata kalau Banwell tampak seperti
baru saja berkelahi. Banwell menggerakkan bahunya. "Sedikit masalah dengan kuda
betinaku," katanya. Walikota itu mengeluarkan sepucuk amplop dari saku dadanya dan memberikannya
pada Banwell. "Ini cekmu. Aku sarankan untuk segera pergi ke bank sore ini juga.
Itu jumlah yang sangat besar. Dan yang terakhir. Tidak akan ada lagi, apa pun
yang terjadi. Kita saling mengerti?"
Banwell mengangguk. "Jika ada ongkos tambahan, aku yang akan atasi sendiri."
Walikota McClellan kemudian menjelaskan kalau pembunuh Nona Riverford telah
menyerang lagi. Apakah Banwell mengenal Harcourt Acton"
"Tentu saja aku mengenal Acton," kata Banwell, "kini, ia dan istrinya sedang
berada di rumah musim panasku, bergabung dengan Clara kemarin."
"Jadi karena itu kami tidak dapat menghubungi mereka," kata McClellan.
"Ada apa dengan Acton?" Tanya Banwell.
"Korban kedua adalah putrinya."
"Nora" Nora Acton" Aku baru saja melihatnya di jalan, belum ada satu jam yang
lalu." "Ya, terima kasih Tuhan, ia selamat," kata McClellan.
"Apa yang terjadi?" Tanya Banwell, "apakah ia telah mengatakan siapa pelakunya?"
"Tidak. Ia kehilangan suaranya dan tidak bisa mengingat apa pun. Ia tidak tahu
siapa pelakunya, kami juga tidak. Beberapa orang ahli sedang memeriksanya. Ia
berada di sini, sebenarnya. Aku telah menyewakan kamar di Manhattan hingga Acton
kembali." Banwell mengerti. "Seorang gadis yang baik."
"Memang," kata McClellan setuju.
"Diperkosa?" "Tidak, syukurlah tidak."
g AKU BERTEMU DENGAN TEMAN-TEMAN LAINNYA di serambi barang-barang antik Roma dan
Yunani di Musium Metropolitan. Pengetahuan Freud sangat mengagumkan.
Itu terlihat ketika ia sedang asik berbincang dengan seorang pemandu, sementara
aku tertinggal di belakang bersama Brill. Ia merasa lebih baik tentang
naskahnya. Penerbitnya, Jelliffe, semula juga kebingungan seperti kami. Namun
Freud ingat kalau ia telah meminjamkan mesin pencetak kepada seorang pendeta
seminggu sebelumnya. Pendeta itu mencetak serangkaian pamflet biblikal yang
diperbaiki. Maka secara tidak sengaja kedua pekerjaan itu tercampur.
"Apa kau tahu kalau Goethe itu adalah kakek buyut Jung?" Aku bertanya pada
Brill. "Omong kosong," kata Brill yang tinggal di Zurich selama satu tahun, dan bekerja
untuk Jung di sana, "legenda keluarga yang dibesar-besarkan. Apakah dia juga
punya hubungan keluarga dengan von Humboldt?"
"Ya, memang," kataku.
"Kau kira cukup bagi seorang lelaki untuk menikahi keluarga kaya raya tanpa
menciptakan garis keturunan bagi dirinya sendiri?"
"Jadi, karena itulah ia menciptakannya?" Kataku.
Brill menggerutu tanpa menyatakan pendapatnya. Kemudian, dengan sikap santainya
namun janggal, ia menarik rambut depannya ke belakang dan memperlihatkan goresan
parah pada keningnya. "Kau lihat itu" Rose yang melakukan itu tadi malam,
setelah kau pergi. Ia melemparkan penggorengan padaku."
"Ya Tuhan," kataku, "mengapa?"
"Jung penyebabnya."
"Apa?" "Aku mengatakan pada Rose katakata yang kuucapkan pada Freud tentang Jung. Rose
marah sekali. Ia bilang, aku cemburu pada Jung, karena Freud menghar -
gainya. Lalu ia juga mengatakan kalau aku bodoh, karena Freud akan melihat
melalui kecemburuanku dan akan menganggapku buruk juga. Aku menjawab kalau aku
punya alasan bagus untuk cemburu pada Jung, lantaran caranya menatap Jung tadi
malam. Ketika kuingat-ingat lagi, kupikir itu mungkin saja aku telah salah
mengerti, karena sebenarnya Jung-lah yang menatap Rose. Kau tahu kalau Rose
menjalani pelatihan medis yang sama dengan yang kujalani" Tetapi ia tidak bisa
menjadi dokter, dan aku bisa membiayainya dari penghasilan merawat empat orang
pasienku." "Ia melemparkan wajan itu padamu?" Tanyaku.
"Oh, jangan tatap aku dengan tatapan diagnosis seperti itu. Perempuan senang
melemparkan apa saja. Semuanya, cepat atau lambat. Kau akan tahu itu. Semuanya
kecuali Emma, istri Jung. Emma hanya memberi Jung keberuntungan, menjadi ibu
bagi anak-anaknya, dan tersenyum ketika Jung berselingkuh. Emma juga menyajikan
makan malam bagi kekasih Jung ketika Jung membawa mereka ke rumah. Lelaki itu
memang tukang sihir. Tidak, jika aku mendengar kata tentang Goethe dan von
Humboldt, aku mungkin akan membunuh Jung."
Sebelum kami meninggalkan musium, nyaris terjadi keadaan darurat. Freud tibatiba
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus buang air kecil seperti yang terjadi di Coney Island. Si pemandu itu pun
menyuruh kami ke lantai bawah tanah. Dalam perjalan ke bawah, Freud berkata,
"Jangan katakan padaku kalau aku harus berjalan melalui koridor yang
panjangannya bermil-mil tak berujung, dan akhirnya aku melihat istana pualam."
Ia benar untuk kedua kekhawatirannya itu. Kami tiba di istana pualam tepat pada
waktunya. 9 HUGEL TIDAK KEMBALI KE KANTORNYA hingga hari Selasa malam. Ia melewatkan sore
itu di Gramercy Park. Ia tahu kalau ia akan menuliskan dalam laporannya beberapa
bukti fisik yang terdiri dari rambut, benang sutera, dan secabik tali. Namun
bila sekarang pembunuh Elizabeth Riverford dan penyerang Nora Acton adalah
lelaki yang sama, semua tampak mulai meragukan. Tetapi Hugel menyumpahi dirinya
sendiri karena hal yang tidak ditemukannya. Ia sudah memeriksa ruang tidur
utama. Ia telah memeriksa taman belakang dengan seksama, bahkan ia telah
merangkak di taman itu menggunakan tangan dan lututnya. Ia tahu ia akan
menemukan ranting patah, bunga terinjak, dan banyak tanda orang melarikan diri.
Tetapi sepotong bukti pun yang dapat menunjukkan jatidiri pelaku kejahatan itu
tidak ditemukan. Ia sangat letih ketika tiba di kantornya sampai-sampai ia tidak menyampaikan
hadiah dari Walikota bagi siapa saja yang menemukan jenazah Riverford pada
stafnya. Tetapi ia hampir tidak dapat disalahkan untuk itu, kata Hugel pada
dirinya sendiri, McClellan-lah yang menyuruhnya segera pergi ke rumah keluarga
Acton, selanjutnya menuju rumah jenazah.
Di serambi, ia bertemu dengan Littlemore yang memang menuggunya. Littlemore
melaporkan kalau Gitlow, seorang polisi, sedang dalam perjalanan menuju Chicago
menggunakan kereta api. Ia akan tiba di sana esok malam. Dengan semangat seperti
biasanya, Littlemore juga menceritakan peristiwa Banwell dan kudanya. Hugel
menyimak dengan seksama dan berseru, "Banwell! Ia pasti sudah melihat gadis
Acton di luar hotel. Itu yang
membuatnya ketakutan!"
"Aku tidak mengatakan Nona Acton menakutkan baginya, Pak Hugel," kata
Littlemore. "Kau bodoh," kata Hugel, "tentu saja tidak, tetapi Banwell mengira gadis itu
sudah tewas!" "Mengapa ia menduga Nona Acton sudah tewas?"
"Pakai otakmu, Detektif."
"Jika Banwell orang yang kita cari, Pak Hugel, ia pasti tahu korbannya masih
hidup." "Apa?"
"Kau tadi mengatakan Banwell-lah orangnya, bukan" Tetapi siapa pun yang
menyerang Nona Acton tahu kalau gadis itu masih hidup. Jadi jika Banwell adalah
penjahatnya, ia tidak akan mengira gadis itu sudah tewas."
"Apa" Tidak masuk akal. Ia mungkin mengira telah menghabisi gadis itu. Atau...,
atau ia takut gadis itu akan mengenalinya. Kalau bukan, ia tidak akan panik jika
melihat gadis itu." "Mengapa kau mengira Banwell adalah orang yang kita cari?"
"Littlemore, tinggi orang itu seratus delapanpuluh tiga sentimeter. Ia lelaki
paruh baya, kaya, rambutnya berwarna hitam dan sekarang sudah beruban. Ia
menggunakan tangan kanannya, dan tinggal di gedung yang sama dengan korban
pertama. Makanya ia panik ketika melihat korban keduanya."
"Bagaimana kau tahu itu?"
"Kau mengatakannya begitu. Kau bilang saisnya mengatakan padamu ia menjadi
ketakutan. Penjelasan apa lagi yang ada?"
"Tidak, maksudku, bagaimana kau tahu ia menggunakan tangan kanan?"
"Karena aku pernah bertemu dengannya kemarin, Detektif, dan aku menggunakan
mataku." "Wah, wah, kau hebat sekali, Pak Hugel. Lalu aku apa" Tangan kanan atau tangan
kiri?" Detektif itu menyembunyikan kedua tangan ke belakang punggungnya.
"Hentikan, Littlemore!"
"Aku tidak tahu, Pak Hugel. Kau seharusnya melihat setelah kejadian itu
berakhir. Ia sangat tenang, memberi perintah pada para pekerjanya untuk
membersihkan segalanya."
"Tidak mungkin. Ia adalah seorang pelakon hebat, sekaligus seorang pembunuh.
Kita telah mendapatkan orang yang kita cari, Detektif."
"Kita belum betulbetul mendapatkannya."
"Kau benar," kata Hugel sambil berpikir, "aku masih belum mendapatkan bukti
kuat. Kita butuh sesuatu lagi."
Sepuluh KAMI MENINGGALKAN METROPOLITAN dengan cara menumpang kereta kuda lalu
menyeberangi taman ke kampus baru Columbia University. Aku sudah tidak pernah ke
sana lagi sejak tahun 1897. Waktu itu aku masih berusia limabelas tahun dan
ibuku menarik kami mengabdi pada keluarga Schemerhorn. Untungnya Brill tidak
tahu tentang hubungan tipisku dengan keluarga itu. Kalau tidak, ia pasti akan
memberitahu Freud. Kami mengunjungi klinik psikiatris, Brill memiliki kantor di sana. Setelah itu
Freud mengatakan padaku kalau ia
berharap akan mendengar tentang sesiku dengan Nona Acton. Maka ketika Brill dan
Ferenczi tetap berada di belakang sambil membicarakan teknik teraputis, Freud
dan aku berjalan-jalan di Riverside Drive. Jalan untuk pejalan kaki memiliki
pemandangan indah di Palisades, tebing liar yang curam New Jersey di seberang
Sungai Hudson. Aku jelaskan semuanya kepada Freud, baik mengenai sesi pertamaku yang berakhir
dengan kegagalan, atau masalah gadis itu dalam kaitannya dengan Tuan Banwell.
Dengan cermat, Freud menanyaiku. Ia ingin mengetahui secara rinci tanpa peduli
betapa pun pertanyaannya itu tampak tak berhubungan. Ia menegaskan agar aku
seharusnya tidak menguraikan sesi itu dengan katakataku, melainkan dengan apa
yang telah diucapkan Nona Acton sendiri. Pada penutupannya, Freud mengeluarkan
cerutunya di tepi jalan, lalu bertanya, apakah peristiwa yang terjadi di atap
gedung tiga tahun lalu adalah penyebab gadis itu kehilangan suaranya dahulu"
"Tampaknya begitu," jawabku, "ada keterlibatan mulut dan perintah untuk tidak
mengatakan apa pun. Sesuatu yang tak dapat dikatakan, telah dilakukan kepadanya.
Maka itu ia membuat dirinya sendiri tidak bisa berbicara."
"Bagus. Jadi ciuman tak tahu malu pada gadis berusia empatbelas tahun di atap
gedung membuatnya histeris?" Kata Freud sambil mengukur reaksiku.
Aku mengerti kalau yang dimaksudkannya adalah kebalikan dari yang dikatakannya.
Peristiwa di atap gedung, seperti yang dianggap Freud, tidak mungkin merupakan
penyebab histeris bagi Nona Acton. Bagian itu tidak terjadi ketika ia masih
kecil, tidak juga Oedipal. Hanya trauma pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan
neurosis. Walau kejadian yang terjadi setelahnya biasanya menjadi pemicu
bangkitnya kenangan konflik yang sudah lama ditekan, sehingga mengakibatkan
gejala histeria. "Dr. Freud," aku bertanya, "tidakkah mungkin dalam kasus ini
trauma masa remaja bisa mengakibatkan histeria?"
"Mungkin saja, anakku, kecuali untuk satu hal: tingkah laku Nona Acton ketika
berada di atap gedung itu sudah merupakan histeria keseluruhan dan lengkap."
Freud mengeluarkan sebuah cerutu lagi dari sakunya, ia tampak menimbang-nimbang,
lalu memasukkannya lagi, "izinkan aku memberimu ketentuan tentang histeria:
seseorang yang dalam keadaan mendapatkan perasaan kenikmatan seksual yang besar
atau mendapatkannya namun sama sekali tidak bisa dinikmati."
"Ia baru berusia empatbelas tahun."
"Dan berapa usia Juliet pada malam pertamanya?"
"Tigabelas tahun," aku mengakuinya.
"Seorang lelaki yang sangat dewasa dan kasar, yang kita ketahui sebagai lelaki
gagah, berbadan tinggi, sukses, tampan, lalu mencium seorang gadis pada
bibirnya," kata Freud, "jelas lelaki itu dalam keadaan gairah secara seksual.
Memang, kupikir kita mungkin percaya kalau Nora memiliki sensasi langsung atas
gairah lelaki itu. Ketika ia mengatakan kalau ia masih dapat merasakan Banwell
menariknya hingga menempel pada tubuhnya, aku agak meragukan bagian tubuh lelaki
yang mana yang dirasakannya. Semua ini, pada seorang gadis sehat berusia
empatbelas tahun, pastilah akan mengakibatkan rangsangan kenikmatan genital.
Namun, Nora dikuasai oleh perasaan yang tidak dapat dinikmatinya, yang terasa
pada bagian belakang tenggorokannya atau kerong-kongan, itulah, lantaran rasa
jijiknya. Dengan kata lain, gadis itu telah mengalami histeris sebelum ciuman
itu." "Tetapi mungkinkah sikap Banwell itu sudah..., ditolaknya?"
"Aku sangat meragukan itu. Kau tidak setuju denganku, Younger."
Aku memang tidak setuju, sangat tidak setuju, walau aku berusaha untuk tidak
memp erlihatkannya. Freud melanjutkan. "Kau bayangkan Tuan Banwell memaksakan diri pada seorang
korban yang tidak menginginkan, dan masih lugu. Tetapi mungkin gadis itulah yang
menggoda lelaki tampan yang juga adalah kawan ayahnya. Penaklukan itu akan
menyenangkan bagi gadis seumurnya; akan bisa menyulut kecemburan ayahnya."
"Gadis itu menolaknya," kataku.
"Begitukah?" Tanya Freud, "setelah ciuman itu, ia terus merahasiakanya, bahkan
setelah suaranya kembali. Benar?"
"Ya." "Apakah itu lebih karena takut adanya pengulangan kejadian atau..., justru ia
menginginkannya?" Aku melihat jalan pikiran Freud, tetapi penjelasan lugu tentang perilaku gadis
itu tampak tidak terbukit salah. "Setelah itu ia tidak mau hanya berdua saja
dengan lelaki itu," lanjutku.
"Sebaliknya," kata Freud. "Ia berjalan bersama lelaki itu berdua saja, dua tahun
kemudian, di tepi danau, sebuah lokasi romantis jika memang pernah begitu."
"Tetapi di sana ia menolaknya lagi."
"Ia menamparnya," kata Freud, "itu tidak selalu berarti penolakan. Seorang
gadis, seperti seorang pasien analitis, merasa perlu mengatakan tidak lebih
dahulu, sebelum mengatakan iya." "Ia mengatakan pada ayahnya." "Kapan?"
"Segera," kataku agak terburu-buru. Kemudian aku teringat. "Sebenarnya aku tidak
tahu itu. Aku tidak bertanya tentang hal itu."
"Mungkin ia menginginkan Tuan Banwell melakukannya lagi, dan ketika Tuan Banwell
tidak melakukannya, gadis itu mengadu kepada ayahnya karena jengkel." Aku tidak
mengatakan apa pun, tetapi Freud dapat melihat aku sama sekali tidak dapat
dipengaruhi. Lalu ia menambahkan, "dalam hal ini, anakku, kau harus ingat kalau
kau tidak boleh memihak."
"Aku tidak mengerti, Tuan," kataku.
"Tentu saja kau mengerti."
Aku mempertimbangkannya. "M aksudmu, aku berharap Nona Acton tidak menerima
perbuatan Banwell?" "Kau membela kehormatan Nora."
Aku sadar kalau aku terus saja menyebutnya "Nona Acton," walau Freud menyebut
dengan nama depannya saja. Aku juga sadar darah mengalir deras pada wajahku.
"Itu hanya karena aku jatuh cinta padanya," kataku.
Freud tidak berkata apa-apa.
"Kau harus mengambil alih analisa ini, Dr. Freud. Atau Brill. Seharusnya memang
Brill yang melakukannya sejak awal."
"Omong kosong. Ia pasienmu, Younger. Kau telah melakukan pekerjaanmu dengan
baik. Tetapi kau jangan terlalu menganggap serius perasaanmu. Perasaan seperti
itu tidak dapat dihindarkan dalam psikoanalisa. Hal itu bagian dari perawatan.
Nora sangat mungkin telah berada di bawah pengaruh pemindahan itu, seperti juga
kau terpengaruh pemindahan tandingan. Kau harus menanggapi perasaan itu sebagai
data; kau harus memisahkan perasaan-perasaan itu. Itu semua khayalan. Perasaan
itu tidak lagi memiliki kenyataan, tidak lebih dari perasaan yang diciptakan
seorang aktor di atas panggung. Seorang Hamlet yang baik akan merasa marah
kepada pamannya, tetapi si aktor tidak akan bersalah jika bersungguh-sungguh
memarahi aktor pemeran pamannya itu. Hal yang sama terjadi dengan analisa."
Sesaat kami tidak saling berbicara. Kemudian aku bertanya, "Pernahkah kau...,
mempunyai perasaan terhadap pasienmu, Dr. Freud?"
"Pernah beberapa kali," jawab Freud perlahan-lahan, "ketika aku menerima
perasaan seperti itu; mereka memperingatkan aku kalau aku belum sama sekali
melalui gairah itu. Ya, aku memang memilik celah sempit untuk melarikan diri.
Tetapi kau harus ingat, aku menjadi seorang dokter ketika aku sudah berusia jauh
lebih tua daripada dirimu, sehingga membuatku lebih mudah mengatasinya.
Lagipula, aku sudah menikah. Untuk me-ngkui kalau perasaan tersebut hanyalah
khayalan, ada tambahan dalam kasusku yaitu sebuah kewajiban moral yang tidak
dapat kau langgar." Ini tampaknya akan jadi menggelikan, tetapi satusatunya
pikiran yang ada di kepalaku setelah Freud selesai adalah bagaimana kenyataan
menjadi persamaan dari khayalan"
Freud melanjutkan. "Cukup. Mulai sekarang kewajiban utama kita adalah mengungkap
trauma masa lalu yang masih ada, yang menyebabkan reaksi histeria pada gadis itu
ketika berada di atap gedung. Katakan padaku mengapa Nora tidak malapor pada
polisi di mana keberadaan orang tuanya?"
Aku juga mempertanyakan pertanyaan yang sama. Nona Acton telah mengatakan padaku
di mana orang tuanya saat ini. Namun ia tidak pernah mengatakan kenyataan itu
kepada polisi. Bahkan membiarkan mereka mengirimkan pesan berkali-kali ke rumah
musim panas keluargannya sendiri, padahal tidak ada orang di sana. Bagiku, sikap
tutup mulut itu tidak misterius, aku selalu merasa iri pada mereka yang
mendapatkan perasaan kenyamanan yang tulus dari orang tua mereka pada saat
krisis; tidak ada kenyamanan yang dapat dibandingkan dengan perasaan tersebut.
Tetapi hal itu tidak pernah terjadi pada diriku. "Mungkin," aku menjawab
pertanyaan Freud, "nona Acton tidak membutuhkan kedekatan orang tuanya walau
setelah terjadi penyerangan itu?"
"Mungkin," katanya "aku menutupi keraguan yang paling buruk dariku sendiri
tentang ayahku selama hidupnya. Seperti juga dirimu." Freud menyatakan pendapat
terakhirnya seolah kami adalah teman akrab; padahal, aku tidak pernah mengatakan
apa-apa tentang ayahku padanya. "Tetapi selalu ada unsur neurotis dalam
penutupan seperti itu. Mulailah dari titik ini dengan Nora besok, Younger. Itu
nasihatku. Ada sesuatu di rumah pedasaan itu. Pasti hal itu akan dihubungkan
dengan keinginan yang tak disadari Nona Acton dari ayahnya. Aku mempertim-
bankannya." Freud berhenti berjalan dan lama menutup matanya. Lalu membuka
kembali, dan berkata, "aku sudah punya."
"Apa?" Aku bertanya.
"Welf, aku punya kecurigaan, Younger, tetapi aku tidak akan mengatakannya padamu
apa itu. Aku tidak mau menanamkan gagasanku di benakmu..., atau benak Nora. Cari
tahu kalau ia memiliki kenangan yang berhubungan
dengan rumah pedesaan itu. Sebuah kenangan yang tanggal kejadiannya jauh sebelum
peristiwa di atas atap gedung itu. Ingat, jangan ada yang ditutupi kepadanya.
Harus seperti cermin, tidak memperlihatkan apa pun dari dirinya selain apa yang
ia perlihatkan. Mungkin ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Ia
mungkin akan mengatakannya padamu. Jangan lepaskan dia."
g SELASA ITU, SORE MENJELANG MALAM, kelompok Triumvirate berkumpul di
perpustakaan. Mereka mempunyai banyak hal penting yang harus didiskusikan. Salah
satu dari ketiga Tuan-tuan itu, dengan tangannya yang panjang dan indah, membalikkan sebuah kertas laporan yang baru saja diterimanya itu
untuk diperlihatkan kepada yang lainnya. Laporan itu termasuk, antar lain,
setumpuk surat. "Yang ini," katanya, "tidak akan kita bakar."
"Aku sudah katakan pada kalian, ahlak mereka merosot, mereka semua," kata si
tambun yang duduk di dekatnya, "Kita harus menghapus mereka semua. Satu per
satu." "Oh, kita akan hapus itu," kata orang pertama, "kita akan lakukan itu. Tetapi
kita akan gunakan mereka dulu."
Kemudian hening sesaat. Lalu yang botak berkata, "Bagaimana dengan bukti?"
"Tidak akan ada bukti," kata orang pertama, "kecuali apa yang kita pilih dan
sengaja kita tinggalkan."
DETEKTIF JIMMY LITTLEMORE keluar dari kereta api bawah tanah di Seventy-second
Street dan Broadway, yang merupakan perhentian terdekat menuju Balmoral. Hugel
mungkin saja bertaruh kalau Banwell adalah orang yang mereka cari, namun
Littlemore tidak mau menyerah begitu saja.
Malam sebelumnya, ketika orang Cina itu menghilang, Littlemore belum dapat
menemukan apa pun tentangnya. Pekerja binatu lain mengenalnya sebagai Chong,
tetapi hanya itu yang mereka. Seorang asisten telah mengatakan padanya untuk
kembali pada siang hari dan bertemu dengan Mayhew, si pemegang buku.
Littlemore menemukan Mayhew sedang mencatat angka-angka di bagian belakang
kantor lalu bertanya padanya tentang lelaki Cina yang bekerja di binatu.
"Aku baru memberi tanda pada namanya sekarang," Mayhew berkata tanpa mengangkat
kepalanya. "Karena ia tidak masuk kerja hari ini?" Tanya Littlemore.
"Bagaimana kau tahu itu?"
"Hanya tebakan mujur saja," kata detektif itu. Mayhew memiliki informasi yang
diinginkannya. Nama lengkap lelaki Cina itu adalah Chong Sing. Alamatnya Eight
Avenue 782, di Midtown. Littlemore bertanya apakah orang itu pernah mengirimkan
cucian ke Alabaster Wing, lebih tepatnya, ke apartemen Nona Riverford"
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pasti bercanda," Mayhew tampak bingung.
"Mengapa tidak?"
"Lelaki itu orang Cina."
"Jadi?" "Ini adalah gedung kelas satu, Detektif. Bahkan biasanya kami tidak pernah
mempekerjakan orang Cina.
Chong tidak boleh meninggalkan ruang bawah tanah. Ia beruntung bisa bekerja di
sini." "Aku yakin orang itu sangat berterimakasih," kata Littlemore, "mengapa kau
memberinya pekerjaan?"
Mayhew menggerakkan bahunya. "Aku tidak tahu. Tuan Banwell menyuruh kami untuk
memberinya pekerjaan, dan itulah yang kami dikerjakan. Kenyataannya, ia tidak
menyadari betapa beruntung dirinya."
Tugas berikutnya bagi Littlemore adalah menemukan kereta yang menjemput lelaki
berambut hitam pada hari Minggu malam. Si penjaga pintu mengatakan pada detektif
itu agar mencarinya di tempat penyewaan kereta kuda di Amsterdam Avenue, di mana
semua sais menyewakan kudanya. Tetapi mereka mengatakan kalau ia tidak perlu
terburu-buru ke sana. Para pengemudi malam hari tidak akan datang sebelum pukul
sembilan tigapuluh atau sepuluh.
Penantian itu tidak mengganggu Littlemore, malah memberinya kesempatan untuk
melihat lagi apartemen Nona Riverford. Ia pun singgah ke rumah Betty. Wanita itu
sudah merasa lebih baik dan bersedia diajak pergi ke bioskop. Betty
memperkenalkan detektif itu pada ibu dan adik-adik lelakinya. Betty, ternyata
telah memiliki pekerjaan baru. Ia telah menghabiskan pagi harinya untuk
mengunjungi hotel-hotel besar, dengan harapan mendapatkan pekerjaan sebagai
seorang pelayan, walaupun belum berhasil. Tetapi sebuah pabrik kemeja di dekat
Lapangan Washington, memberinya kesempatan wawancara dengan Tuan Harris, seorang
pemiliknya. Betty kemudian mendapat pekerjaan di sana. Ia akan mulai bekerja
keesokan harinya. Jam kerja Betty tidak terlalu menyenangkan yaitu pukul tujuh pagi hingga delapan
malam. Ia juga tidak terlalu gembira dengan gajinya. "Setidaknya aku dibayar
setiap helainya," kata Betty, "Tuan Harris mengatakan beberapa orang gadis mampu
mendapatkan dua dolar sehari."
Kira-kira setengah sembilan, Littlemore pergi ke tempat penyewaan kereta di
Amsterdam Avenue. Setelah menanti lebih dari dua jam, belasan sais kereta datang
untuk mengembalikan atau mengambil kuda. Ketika kandang terakhir kosong,
pembersih kandang mengatakan pada Littlemore untuk menunggu seorang sais tua
yang menggunakan kudanya sendiri. Pada pukul duabelas kurang sedikit, seekor
kuda tua yang dikendalikan oleh seorang sais tua, berjalan masuk dengan
perlahan. Pada mulanya orang tua itu tidak mau menjawab pertanyaan, tetapi
ketika Littlemore mulai menjentik-jentik kepingan duapuluh lima sen ke udara, ia
baru mau berbicara. Ternyata sais itu telah menjemput seorang lelaki berambut
hitam di depan Balmoral dua malam lalu. Apakah ia ingat ke mana perginya orang
itu" Ia menjawab, "Hotel Manhattan".
Littlemore menjadi bungkam, tetapi si sais tua masih mempunyai keterangan
lainnya. "Kau tahu apa yang dilakukannya ketika tiba di sana" Tepat di depan mataku, ia
segera menaiki taksi lain berwarna merah dan hijau berbahan bakar bensin.
Mengambil uang dari sakuku dan memberikannya pada orang lain. Itu yang
kukatakan." 9 FREUD MEMOTONG PEMBICARAAN KAMI begitu saja, dan dengan tegas menjelaskan kalau
ia harus kembali ke hotel segera. Aku mengerti apa yang sedang terjadi. Untunglah, sebuah kereta
sudah siap menanti. Begitu Freud dan aku tiba di hotel, Jung mendekati kami. Ia pasti telah menanti
Freud kembali. Dengan semangat yang tak dapat dijelaskan, ia berdiri tegak tepat
di depan Freud, menghalangi jalan kami. Ia berniat untuk berbicara dengan Freud
saat itu juga. Namun hal itu sangat tidak mungkin. Freud baru saja mengatakan
padaku betapa mendesak keperluannya.
"Ya ampun, Jung," kata Freud, "biarkan aku lewat. Aku harus kembali ke kamarku."
"Mengapa" Kau punya..., masalah itu lagi?"
"Pelankan suaramu," kata Freud, "ya masalah itu. Sekarang, biarkan aku lewat.
Ini mendesak." "Aku tahu itu. Enureis-mu," kata Jung, dengan menggunakan istilah kedokteran
yang artinya berkemih tanpa terkendali, "itu psikogenis."
"Jung, ini...,"
"Itu neurosis, aku bisa membantumu!"
"Ini...," Freud berhenti di tengah kalimatnya. Suaranya berubah sama sekali. Ia
berbicara datar dan sangat lirih, sambil menatap lurus pada Jung. "Sekarang,
terlambat." Keheningan yang membuat rasa canggung pun ter-cipta. Kemudian Freud pergi.
"Jangan melihat ke bawah, kalian berdua. Jung, kau berputarlah dan berjalan
tepat di depanku. Younger, kau berjalan di sebelah kiriku. Jangan, di sebelah
kiriku saja. Berjalanlah langsung ke lift. Berjalanlah!"
Maka setelah teratur begitu, kami berbaris kaku ke lift. Salah satu pegawai
menatap kami: mengganggu sekali, tetapi kukira ia tidak menduga sama sekali.
Betapa herannya aku karena Jung tidak mau berhenti bicara. "Mimpi Count Thun-mu itulah
kunci dari segalanya. Kau izinkan aku menganalisanya?"
"Aku benar-benar dalam posisi tidak dapat menolak," kata Freud.
Mimpi Freud tentang Count Thun mantan perdana mentri Austria dikenal oleh ? ?semua orang yang telah membaca karyanya. Ketika mencapai lift, aku coba
meninggalkan mereka. Namun aku terkejut ketika Jung menghentikan aku. Ia
memerlukan aku, begitu katanya. Kami membiarkan satu lift berlalu; yang
berikutnya, kami tempati sendiri.
Di dalam lift, Jung melanjutkan, "Count Thun mewakili aku. Thun sama dengan
Jung, jelas sekali. Kedua nama itu memiliki empat huruf. Keduanya mengandung
akhiran un, yang artinya jelas. Keluarganya berasal dari Jerman tetapi harus
beremigrasi, sebagaimana juga keluargaku. Ia berasal dari keturunan yang lebih
tinggi darimu; aku juga. Penampilannya angkuh; aku dianggap angkuh. Di dalam
mimpimu, ia adalah musuhmu tetapi juga seorang anggota dari lingkar dalammu;
seseorang yang kau pimpin, tetapi seorang yang mengancammu, dan seorang
keturunan Aria, jelas sekali Aria. Kesimpulannya dapat dipastikan: kau
memimpikan aku, tetapi kau harus mengubahnya, karena kau tidak mau mengakui
kalau kau menganggapku sebagai ancaman."
"Cari," kata Freud perlahan, "aku bermimpi tentang Count Thun pada tahun 1898.
Itu lebih dari satu dekade yang lalu. Kau dan aku baru bertemu pada tahun 1907."
Pintu lift terbuka. Koridor kosong. Freud berjalan dengan cepat sehingga
mengharuskan kami juga berjalan cepat. Aku tidak dapat membayangkan apa yang
dipikirkan oleh Jung atau apa yang akan menjadi tanggapannya. Beginilah rupanya:
"Aku tahu itu! Kami bermimpi apa yang bagiku seperti juga apa yang telah
berlalu. Younger," ia berseru, matanya sangat cemerlang, "kau bisa
menjelaskannya!" "Aku?"
"Ya, tentu saja kau. Kau ada di sana ketika itu. Kau melihat semuanya." Tibatiba
Jung tampak berubah pikirannya dan berkata pada Freud lagi. "Tidak apa-apa.
Enurisi-mu menyatakan ambisi. Itu artinya menarik perhatian pada diri sendiri,
seperti yang kau lakukan baru saja di lobi. Tampaknya, begitu kau merasa
memiliki musuh, seorang dari sisi berlawanan. Seorang dengan nama mengandung un
kau harus mengatasinya. Aku sekarang si un itu. Karena itu masalahmu muncul
kembali." Kami tiba di kamar Freud. Ia mencari kuncinya di dalam sakunya kini wajahnya
? tampak tidak nyaman. Akhirnya kunci itu jatuh ke lantai. Tidak seorang pun
bergerak. Lalu Freud yang memungutnya sendiri. Ketika ia tegak kembali, ia
berkata pada Jung. "Aku sangat meragukan kalau aku akan menikmati hadiah Joseph,
tetapi aku dapat katakan ini padamu. Kau adalah pewarisku. Kau akan mewarisi
psikoanalisa jika aku mati, dan kau akan menjadi pemimpinnya bahkan sebelum itu.
Aku akan melihat itu terjadi. Aku sedang hal itu berlangsung. Aku sudah
mengatakan semua ini padamu sebelumnya. Aku harus
mengatakannya lagi kepada yang lain. Tidak ada yang lainnya lagi, Cari. Jangan
ragukan itu." "Kalau begitu katakan sisa mimpimu tentang Count Thun!" Teriak Jung, "kau selalu
mengatakan ada sebagian mimpimu yang tidak kau ungkap. Jika aku pewarismu,
katakan padaku. Itu akan menegaskan analisaku; Aku yakin itu. Ceritakanlah."
Freud menggelengkan kepalanya. Kupikir ia tersenyum, tapi tampaknya malah
bersedih, "Anakku," katanya kepada Jung, "ada sesuatu yang tidak dapat kuungkap.
Seharusnya aku tidak punya kewenangan itu lagi. Sekarang tinggalkan aku, kalian
berdua. Aku akan bergabung bersama kalian di ruang makan dalam setengah jam
lagi." Jung memutar tubuhnya tanpa katakata lagi dan berjalan pergi.
9 PADA MUSIM PANAS TAHUN 1909, pembangunan jembatan Manhattan telah hampir
rampung. Itu merupakan tiga dari jembatan gantung terbaru yang dibangun
melintasi Sungai East untuk menghubungkan antara pulau Manhattan dan Kota
Brooklyn. Ketika dibangun beberapa jembatan itu Brooklyn, Williamsburg, ?Manhattan merupakan jembatan rentang tunggal terpanjang yang dipuji oleh
?Scientific American sebagai karya insinyur terbesar di dunia yang pernah
dikenal. Bersamaan dengan penemuan kabel kawat baja, penemuan teknologis yang
istimewa telah memungkinkan pendirian beberapa jembatan tersebut. Vang artinya
peti pneumatik yang juga disebut kaison telah menandai sebuah sebuah penemuan
dengan makna kecongkakan yang nyata.
Masalah yang menjadi tanggung jawab kaison itu adalah menara-menara besar
pendukung untuk jembatan ini, sangat penting untuk menahan kabel-kabel
penggantung. Itu pun harus berdiri pada ladasan yang dibangun di sekitar tigapuluh setengah
meter di bawah permukaan air. Landasan-landasan itu tidak dapat diletakkan
langsung di dasar sungai yang lunak. Maka lapisan-lapisan pasir, lumpur,
serpihan, tanah liat dan batu besar, harus dikeruk, dihancurkan dan terkadang
diledakkan dengan dinamit untuk mencapai lapisan batu. Pelaksanakan penggalian
di bawah permukaan air biasanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin
hingga munculnya gagasan peti pneumatik kaison.
Peti itu pada dasarnya terbuat dari kayu. Kaison Jembatan Manhattan memiliki
area seluas limaratus delapanbelas meter persegi. Dindingnya terbuat dari papan
kayu cemara kuning yang tak terhitung jumlahnya. Tiga kaki terbawah dari peti
itu diperkuat dengan pelat ketel pada bagian luar dan dalamnya. Berat
keseluruhannya lebih dari tigapuluh juta kilogram. Sebuah kaison memiliki
langitlangit dan lantainya adalah dasar sungai itu sendiri. Artinya, kaison
pneumatik adalah lonceng di dalam air terbesar yang pernah dibuat.
Pada tahun 19D7, kaison Jembatan Manhattan itu ditenggelamkan ke dalam sungai
sehingga air mengisi ruang kosongnya. Di daratan, mesin-mesin uap yang besar
sekali dinyalakan siang-malam, untuk memompakan udara ke dalam kaison melalui
pipa besi yang dipasang menuju kotak besar tersebut. Udara yang mendesak,
membentuk tekanan yang sangat besar, sehingga menggiring air keluar melalui
lubang-lubang bor di dinding peti itu. Sebuah terowongan lift menghubungkan peti
dan dermaga yang harus dipergunakan oleh para pekerja untuk menuju kaison
tersebut. Mereka dapat bernafas lantaran pompa yang mengisi udara ke dalam peti
itu. Dari sana mereka memiliki jalan pintas menuju dasar sungai sehingga dapat melaksanakan
pembangunan di bawah air yang semula dianggap tidak mungkin. Mereka
menghancurkan batu karang, menyendoki lumpur, meledakkan batu besar, dan
meletakkan beton. Reruntuhannya dibuang melalui ruangan yang dirancang
sederhana, yang mereka sebut jendela, padahal mereka tidak dapat menembus
pandangan ke arah luarnya. Tigaratus orang dapat bekerja sekaligus di dalam peti
itu. Ada bahaya yang tampak telah menunggu mereka di sana. Orangorang yang keluar
dari kerja seharian di dalam kaison pneumatik, mulai sering merasa pening tidak
seperti biasanya. Gejala itu diikuti dengan rasa kaku pada persendian yang
disertai kelumpuhan pada siku dan lutut, berikut rasa sakit yang tak tertahankan
di seluruh tubuh. Para dokter menyebutnya sebagai penyakit kaisoni. Sementara
para pekerja menyebutnya "lengkungan" sebagaimana perubahan postur tubuh yang
dialami oleh orang yang menderita penyakit itu. Ribuan pekerja telah rusak
kesehatannya, ratusan lainnya mengalami kelumpuhan, dan banyak yang meninggal
dunia. Karena ketika itu, belum diketahui jika mereka naik kepermukaan lagi
secara perlahan-lahan dapat mencegah kerusakan seperti yang mereka alami.
Pada tahun 1909, pengetahuan tentang pengurangan tekanan telah berkembang secara
mengesankan. Tabel-tabel telah digambar untuk menentukan berapa lama sebenarnya
seseorang memerlukan pengurangan tekanan. Hal itu tergantung pada seberapa
sering ia dikirim ke bawah permukaan air. Dari keterangan dalam tabel-tabel itu,
seseorang mempersiapkan diri untuk memasuki kaison pneumatik itu setelah tengah
malam tanggal 31 Agustus 1909. Ada seorang lelaki yang tahu kalau ia dapat berada di
bawah selama limabelas menit tanpa memerlukan pengurangan tekanan sama sekali.
Ia telah melakukan hal itu beberapa kali. Namun perjalanannya kali ini, akan
berbeda. Lelaki tersebut akan berada di sana sendirian.
Ia telah mengemudikan salah satu mobilnya mendekati sungai. Area pembangunan itu
sunyi dan sepi, penjaga malam telah selesai menjalankan tugasnya, dan para
pekerja giliran pertama tidak akan datang sebelum fajar. Mesin-mesin uap masih
tetap menderum, memompa udara ke kaison dan suaranya menutup semua suara lain
yang terdengar di sekitarnya.
Dari bagian belakang mobilnya, ia mengeluarkan sebuah koper hitam besar yang
dibawanya hingga ke dermaga, lalu ke mulut lorong kaison. Lelaki lainnya tidak
mungkin akan mampu melakukannya, tetapi lelaki ini kuat, jangkung dan atletis.
Ia tahu caranya mengangkat sebuah koper berat di atas punggungnya. Penampilan
itu tampak tidak layak lantaran ia mengenakan jas resmi.
Ia membuka kunci lift, lalu masuk sambil menarik kopernya. Dua pancaran sinar
biru memberikan cahaya. Ketika lift meluncur ke bawah, suara derum mesin uap
hanya terdengar sebagai denyut di kejauhan. Kegelapan menjadi lebih dingin.
Tercium bau tanah, garam yang lembab dan dalam. Lelaki itu mulai merasakan
tekanan pada bagian telinga dalamnya. Ia mengendalikan kunci udara tanpa
kesulitan, membuka lubang palka, lalu mendorong kopernya ke bawah sebuah jalur
melandai. Suaranya menggema mengerikan ketika koper itu jatuh ke atas papan-
papan kayu di bawah. Lampu gas bersinar biru juga menerangi kaison itu.
Mereka membakar oksigen murni, memberikan cukup cahaya untuk bekerja tanpa
menebarkan aroma ataupun asap. Dalam cahaya yang tidak tetap, bayangan-bayangan
seperti kucing berubah-ubah di atas tanah dan kayu-kayu penyanggah. Lelaki itu
melihat jam tangannya, lalu segera pergi menuju Jendela. Ia membuka palka
dalamnya, lalu dengan geraman, ia mendorong koper itu ke dalamnya. Jendela itu
pun ditutup, lalu ia mengoperasikan dua rantai tarik yang tergantung di dinding.
Yang pertama untuk membuka palka luar Jendela. Yang kedua memutar kompartemen
Jendela, dan membuang sebuah koper hitam berat ke sungai. Dengan rangkaian
rantai yang berbeda, ia menutup palka luar dan menyalakan pipa udara yang
menyemburkan air sungai dari kompartemen. Jendela itu kini siap digunakan untuk
pemakaian berikutnya. Ia melihat jam tangannya. Ternyata hanya lima menit telah berlalu sejak ia
memasuki kaison itu. Ia pun mendengar kayu berderak. Di antara berbagai macam
bunyi yang didengar orang pada malam hari di dalam rumahnya, ada yang dapat
segera dikenali. Misalnya, suara hewan kecil, atau dentaman pintu, atau suara
seorang yang mengubah posisi tubuhnya atau melangkah di atas lantai kayu. Bunyi
itulah yang baru saja didengar oleh lelaki tadi.
Ia berpaling dan berseru. "Siapa itu?"
"Hanya aku, Pak," ada suara menjawab, seolah terdengar jauh di dalam udara yang
tertekan. "Siapa aku itu?" Tanya lelaki yang mengenakan jas hitam resmi yang runcing
bagian bawahnya. "Malley, Pak." Dari bayangan di dua belokan yang saling silang, muncullah
seorang lelaki berambut merah,
pendek, gendut seperti beruang, berlumpur, tidak bersisir, dan tersenyum.
"Seamus Malley?"
"Satusatunya," kata Malley, "kau tidak akan memecatku, kan, Pak?"
"Apa yang kau kerjakan di bawah ini?" Kata lelaki itu, "siapa lagi yang
bersamamu?" "Tidak seorang pun. Mereka menyuruhku bekerja duabelas jam pada hari Selasa,
Pak. Lalu giliran pagiku pada hari Rabu."
"Kau menginap di sini?"
"Apa gunanya naik ke atas. Karena begitu aku terbangun besok paginya, aku sudah
harus berada di bawah lagi?" Malley adalah pekerja yang disukai di antara rekan
kerjanya, terkenal dengan suara tenor merdu yang senang dilatihnya di ruang
bergema peti itu. Tampaknya ia juga punya ketakterbatasan meneguk minuman
beralkohol jenis apa pun. Bakat terakhirnya itu memberi masalah di dalam
keluarganya. Dua hari lalu, tepatnya hari Minggu, seharusnya tidak boleh meminum
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alkohol sama sekali. Istrinya menjadi marah dan melarangnya untuk tidak keluar
rumah hingga ia dapat memperlihatkan kalau ia tidak mabuk lagi pada hari Minggu
mendatang. Karena keputusan itulah yang sebenarnya membuat Malley harus tidur di
kaison tersebut. "Maka aku mengatakan pada diriku sendiri, 'Malley, malam ini
kau berada di bawah sini saja, maka semuanya akan baik-baik saja."
"Kau tadi mengamatiku terus, bukan, Seamus?" Tanya lelaki jangkung itu.
"Tidak pernah, pak, seumur hidupku. Aku tadi tidur saja," kata Malley, yang
gemetar seperti orang yang telah tidur dalam ruang yang dingin dan lembab.
Lelaki mengenakan jas resmi itu sangat meragukan pernyataan yang tegas itu,
walau ternyata memang benar. Tetapi benar atau tidak, tidak ada bedanya, karena
Malley telah melihatnya sekarang. "Aku malu, Malley," katanya, "jika aku
memecatmu hanya karena hal seperti itu. Apakah kau tahu tentang mendiang ibuku"
Ia adalah orang Irlandia."
"Tidak, Pak." "Wah, ia membawaku sendiri untuk bertemu dengan Parnel, tigapuluh tahun yang
lalu, ketika ia turun dari kapal, tepatnya di atas kepala kita ini sekarang."
"Kau beruntung sekali, Pak," kata Malley "Aku akan katakan apa yang kau
butuhkan, Seamus, dan itu adalah wiski Irlandia terbaik nomor lima untuk kau
nikmati di bawah sini. Kebetulan aku membawanya di mobilku. Ayo, naiklah
bersamaku dan aku akan memberikannya padamu. Kau boleh meminumnya sedikit di
atas. Lalu kembali ke sini dan wiski itu bisa membuatmu nyaman."
"Kau terlalu baik, Pak, terlalu baik," kata Malley.
"Oh, hentikan omong kosong itu. Ayo ke atas." Bersama Malley, lelaki itu naik
menapaki lajur melandai ke arah lift. Ia menarik tuas sehingga lift mulai
bergerak naik. "Aku harus menagihmu uang sewa, kau tahu itu. Itu baru adil."
"Wah, aku akan membayar apa pun hanya untuk melihatnya," kata Malley. "Lantai
pertama sebentar lagi akan terlewat. Kita harus berhenti, Pak."
"Sama sekali tidak," kata lelaki yang jangkung itu, "kau harus segera ke bawah
lagi dalam lima menit, Seamus. Tidak perlu berhenti jika kau segera kembali ke
bawah." "Itu saja, Pak?"
"Itu saja. Lunas sudah kalau begitu." Lalu lelaki itu benar-benar mengeluarkan
catatan tabel pengurangan tekanan dari rompinya, dan mengibas-ngibaskannya di
depan Malley. Ternyata benar, seseorang di dalam peti itu bisa saja turun dan
naik dengan cepat tanpa merasakan sakit, jika ia tidak lebih dari lima menit di
permukaan. "Baiklah, bersiap menahan nafasmu?"
"Nafasku?" Tanya Malley.
Lelaki berjas resmi menarik rem lift ke bawah, sehingga kotak lift itu berhenti
dengan sentakan. "Apa yang kau pikirkan, bung?" Teriak lelaki itu, "kita akan
segera ke atas, sudah aku katakan padamu. Kau harus menahan nafasmu dari sini
hingga ke atas permukaan. Kau mau mati dengan tubuh melengkung?" Mereka sudah
sampai di sepertiga bagian ke atas lorong lift, sekitar delapanbelas meter lebih
di bawah permukaan. "Sudah berapa lama kau berada di bawah, limabelas jam?"
"Hampir duapuluhjam, Pak."
"Duapuluh jam di bawah, Seamus, kau pasti bisa lumpuh, jika kau masih bisa
hidup. Aku akan jelaskan padamu. Kau tarik nafas yang panjang, seperti aku, dan
tahanlah demi kehidupan berhargamu. Jangan lepaskan. Kau akan merasakan tekanan
sedikit, tetapi tetap jangan kau lepaskan, apa pun yang terjadi. Kau siap?"
Malley mengangguk. Kedua lelaki itu masingmasing menghirup udara hingga paruparu
mereka penuh. Lalu lelaki itu menyalakan lift sekali lagi. Ketika mereka naik,
Malley merasakan tambahan beban pada dadanya. Lelaki berjas resmi tidak
merasakan tekanan seperti itu, karena ia hanya berpura-pura menahan nafasnya.
Sebenarnya, tanpa terlihat, ia telah menghembuskan nafasnya ketika
lift bergerak naik. Karena suara berisik denyut mesin uap, bunyi nafasnya itu
tidak terdengar ketika dihembuskan.
Dada Malley mulai sakit. Untuk memperlihatkan rasa tidak nyamannya, dan
kesulitan menahan nafasnya, ia menunjukkan tangan ke dada dan mulutnya. Lelaki
itu menggelengkan kepalanya seraya menggoyangkan telunjuknya, untuk memberinya
petunjuk, betapa pentingnya penahanan nafas itu bagi Malley. Ia memberi isyarat
pada Malley, dengan meletakkan tangannya yang besar pada mulut dan hidung
Malley, sehingga benar-benar menutup jalan keluarnya nafas. Ia menaikkan alisnya
seolah bertanya pada Malley apakah itu terasa lebih baik" Malley mengangguk,
sambil tersenyum. Wajahnya menjadi lebih merah, matanya menonjol ke luar, dan
begitu lift mencapai ujung terakhirnya, Malley terbatuk tanpa dapat ditahan
dalam tangan lelaki berjas resmi. Tangan itu sekarang berlumuran darah.
Paruparu manusia ternyata tidak lentur. Tidak dapat meregang. Pada kedalaman
delapanbelas meter dari permukaan bumi, ketika Malley menghirup nafas
terakhirnya, tekanan udara di sekelilingnya kira-kira tiga atmosfir. Artinya,
Malley telah menghirup udara ke dalam paruparunya tiga kali lipat dari jumlah
udara yang biasanya mampu ditampung paruparunya. Ketika lift naik, udara di
dalam paruparu Malley mengembang. Paruparunya dengan cepat memompa udara yang di
luar batas kemampuannya, seperti balon yang terlalu mengembang. Dengan segera,
pluera (ruang di antara dada dan paruparu) mulai meledak, dengan cepat, satu
persatu silih berganti. Udara yang terlepas pun masuk ke lubang pluera,
mengakibatkan sebuah keadaan yang disebut pneu-mothorax (pengempisan salah satu
paruparu). "Seamus, Seamus, kau tidak menghembuskan nafasmu, kan?" Mereka telah berada di
tempat teratas, tetapi lelaki berjas resmi tidak bergerak membuka pintu lift.
"Aku sumpah, aku tidak membuang nafas," kata Malley tersengal-sengal. "Bunda
Maria. Ada apa denganku?"
"Kau kehilangan satu paru-parumu," kata lelaki jangkung itu, "itu tidak akan
membunuhmu." "Aku harus...," Malley terjatuh berlutut, "berbaring."
"Berbaring" Jangan bung, kau harus terus berdiri, kau dengar aku?" Lelaki yang
memang bertubuh lebih jangkung itu memegangi bagian bawah bahu Malley, sehingga
Malley tetap berdiri, dan menyandarkannya pada dinding lift. "Nah, lebih baik."
Seperti gas pada umumnya jika terperangkap dalam cairan, gelembung udara dalam? ?aliran darah manusia langsung naik ke atas. Dengan menjaga Malley tetap berdiri,
itu memastikan kalau gelembung udara yang masih ada di dalam paruparunya,
mendesak jalannya melalui kapiler pleura yang sudah pecah. Hal itu akan
berlanjut langsung ke jantung dan dari sana menuju arteri koroner dan karotid.
"Terimakasih," bisik Malley, "aku tidak apa-apa, kan?"
"Kita akan tahu dalam beberapa menit lagi," kata lelaki itu.
Malley memegangi kepalanya yang mulai berdenyut cepat. Vena pada pipinya tampak
membiru. "Apa yang terjadi padaku?" Tanyanya.
"Yah, menurutku kau mengalami stroke, Seamus."
"Aku akan mati?"
"Aku akan jujur padamu, bung, jika aku segera membawamu kembali ke bawah lagi
sekarang juga, di sepanjang perjalanan, mungkin aku bisa menyelamatkanmu."
Itu benar. Mendapatkan tekanan lagi adalah satusatunya cara menyelamatkan orang
yang sekarat karena pengurangan tekanan udara. "Tetapi kau tahu yang
sebenarnya?" Tanya lelaki berjas resmi perlahan-lahan saja, sambil membersihkan
darah dari tangannya dengan saputangan bersih sebelum menyelesaikannya, "ibuku
bukan orang Irlandia."
Mulut Malley terbuka seolah ingin berbicara. Ia melihat lelaki yang telah
membuhnya. Lalu kepalanya tersentak ke belakang, matanya berkaca-kaca, kemudian
ia tidak lagi bergerak. Dengan tenang lelaki berjas resmi membuka pintu lift.
Tidak ada siapa pun di sana. Ia kembali ke mobilnya, menemukan sebuah botol
wiski di bagian belakang, lalu kembali ke lift untuk meletakkan botol wiski di
sebelah tubuh Malley yang terkulai. Jenazah Malley yang malang akan ditemukan
beberapa jam kemudian. Mereka akan berduka baginya sebagai salah seorang korban
kaison. Seorang lelaki baik-baik. Teman-temannya akan setuju dengan sebutan itu,
tetapi juga bodoh karena telah bermalam di bawah sana. Tempat yang tidak cocok
bagi manusia atau iblis sekali pun. Mengapa ia mencoba untuk keluar di tengah
malam, dan bagaimana ia bisa lupa untuk berhenti di tingkat istirahat" Begitulah
tanya beberapa orang. Pastilah ia ketakutan dan mabuk. Di dermaga, tidak seorang
pun akan melihat jejak tanah liat merah yang ditinggalkan pembunuh itu. Semua
pekerja di peti itu meninggalkan jejak yang sama, dan jejak sepatu lelaki itu
yang elegan akan segara terhapus oleh jejak sepatu berat milik pekerja yang
berjumlah ribuan. Sebelas AKU TERBANGUN PADA PUKUL ENAM PAGI di hari Rabu. Sejauh yang kutahu, aku tidak
bermimpi tentang Nora Acton. Namun ketikaku membuka mataku di dalam kamar hotel
yang berdinding lapis kayu lilin berwarna putih, aku segera berpikir tentang
dirinya. Mungkinkah gairah seksualnya terhadap ayahnya benar-benar merupakakan
pokok penyebab penyakit yang diidap Nona Acton" Itu benar-benar merupakan
penekanan dari yang dikatakan Freud. Aku tidak mau memercayainya; gagasan itu
membuatku mundur. Aku tidak pernah menyukai Oedipus. Aku tidak suka dramanya, aku tidak suka
tokohnya, dan aku tidak suka teori eponymous Freud. Itu adalah sebagian dari
psikoanalisa yang tidak pernah kusukai. Teori itu menjelaskan kalau kita
memiliki kehidupan mental yang tidak kita sadari, kalau kita selalu menekan
gairah seks yang terlarang dan agresi yang dapat muncul ketika gairah tersebut
bangkit. Hal-hal yang tertekan itu ingin menunjukkan diri mereka sendiri melalui
mimpi-mimpi, ketaksengajaan berbicara, dan neuro sis aku percaya tentang semua ?ini. Tetapi lelaki yang ingin bercinta denganibunya, dan gadis yang ingin
bersama ayahnya, aku tidak bisa menerimanya. Tentu saja Freud akan mengatakan kalau keraguanku
merupakan "perlawanan." Ia akan berkata, aku tidak mau mendapati kebenaran dari
teori Oedipus. Maka jelas saja seperti itu. Tetapi perlawanan apa pun itu, pasti
tidak membuktikan kalau kebenaran gagasan tersebut ditolak.
Karena itulah aku terus kembali ke Hamlet dan solusi teka-tekinya versi Freud
yang sangat menarik namun menggusarkan. Dalam dua kalimat, Freud telah
membongkar dugaan yang telah lama berlaku bahwa Hamlet, seperti anggapan Goethe,
merupakan keindahan yang terlalu cerdas, ketakcakapan secara konstitusi dari
tindakan yang pasti. Seperti yang dijelaskan Freud, Hamlet berulang-ulang
bersikap tegas. Hamlet membunuh Polonius. Ia merencanakan untuk menjalankan
permainan dalam permainannya dengan menjebak Claudius, sehingga ia menebus
dosanya. Ia mengirim karangan bunga Mawar dan bunga Guildenstern untuk kematian
mereka. Tampaknya hanya satu hal yang tak dapat dilakukannya: membalas dendam
pada pembunuh ayahnya yang juga meniduri ibunya.
Menurut Freud alasannya sangat sederhana: Hamlet melihat di dalam perbuatan
pamannya itu ada harapan dirinya sendiri yang ingin diwujudkan: harapan Oedipal.
Claudius hanya telah melakukan apa yang seharusnya ingin dilakukan Hamlet
sendiri. Mengutip Freud, "Jadi kebenciannya yang seharusnya mendorong Hamlet
untuk melakukan pembalasan dendam, telah tergantikan dengan rasa pencelaan
terhadap diri sendiri. Hal itu terjadi karena rasa ketidakrelaan dari
kesadarannya." Tidak dapat disangkal kalau Hamlet menderita karena perasaan
mencela dirinya sendiri. Ia berkali-kali menghukum dirinya
secara berlebihan, hampir tidak masuk akal. Bahkan ia memikirkan rencana bunuh
diri. Atau setidaknya pidato to be, or not to be, selalu ditafsirkan seperti
itu. Hamlet bertanya-tanya, apakah ia akan membunuh dirinya sendiri" Mengapa"
Mengapa Hamlet merasa bersalah dan berpikir untuk melakukan tindak bunuh diri
saat ia mencari jalan guna membalas dendam atas kematian ayahnya" Dalam
tigaratus tahun belakangan tidak seorang pun dapat menjelaskan percakapan Hamlet
dengan dirinya yang terkenal itu, hingga Freud yang menjelaskannya.
Menurut Freud, Hamlet tahu tanpa disadarinya bahwa ia berharap untuk membunuh? ?ayahnya sehingga bisa menggantikannya di tempat tidur ibunya. Itu persis seperti
yang telah dilakukan Claudius. Karena itu Caludius adalah perwujudan dari
harapan rahasia Hamlet sendiri. Dengan kata lain Claudius adalah cermin dari
Hamlet sendiri. Pikiran Hamlet beralih segera dari pembalasan dendam menjadi
upaya bunuh diri lantaran ia melihat dirinya sendiri di dalam pribadi pamannya.
Membunuh Claudius bisa menjadi penghidupan kembali dari gairah Oedipal sekaligus
pembantaian diri. Karena itulah Hamlet lumpuh dan tidak bisa bertindak. Ia
histeris dan menderita perasaan berdosa yang berlebihan karena memiliki gairah
Oedipal yang tidak berhasil ditekannya.
Namun demikian, aku rasa, pastilah ada beberapa penjelasan lainnya dari makna to
be, or not to be. Jika saja aku dapat memecahkan percakapan Hamlet dengan
dirinya sendiri, mungkin aku mampu membayangkan hal itu dapat mempertahankan
penolakanku atas teori Oedipal. Tetapi aku tidak pernah bisa.
Sewaktu makan pagi, aku menjumpai Brill dan Ferenczi yang sedang duduk bersama
di meja yang kemarin mereka tempati. Cara Brill melahap makanannya seperti seorang yang sedang
berperang dengan sepiring stek dan telur. Ferenczi tidak begitu bernafsu, ia
bersikeras tidak akan menyentuh secuil makanan pun hari ini. Keduanya tampak
agak memaksakan diri ketika berbicara denganku. Kupikir, aku telah mengganggu
perbincangan pribadi mereka.
"Para pelayan itu," kata Ferenczi, "semuanya orang Negro. Hal itu biasa terjadi
di Amerika?" "Hanya di tempat yang lebih mapan," kata Brill, "orang-orang New York menentang
persamaan hak, dan jangan lupa, hingga mereka menyadari apa artinya: mereka
harus tetap mempertahankan orang-orang kulit hitam sebagai pelayan mereka hanya
karena lebih murah upahnya."
"Orangorang New York tidak menentang persamaan hak," aku menyela.
"Apakah kericuhan tidak b erarti penentangan?" Tanya
Brill. Ferenczi berkata, "Jangan pedulikan ia, Younger."
"Ya, abaikan saja aku," kata Brill, "orang lain juga begitu. Lagipula, kita
hanya harus memperhatikan Jung, karena ia lebih penting dibandingkan dengan kita
semua, bahkan bila kita disatukan."
Aku mengerti kalau ternyata Jung-lah yang menjadi topik perbincangan mereka
sebelum kedatanganku. Aku bertanya, apakah mereka dapat memberikan penjelasan
yang lebih jelas tentang hubungan Jung dengan Freud" Lalu mereka pun
menjelaskannya. Baru-baru ini, lebih dari dua tahun yang lalu, Freud telah menarik perhatian
sejumlah pengikut baru berkebangsaan Swiss. Jung adalah yang paling menonjol di
antara mereka. Orang Zurich itu dibenci oleh murid-murid Freud yang
berkebangsaan Austria. Kecemburuan tersebut semakin kuat ketika Freud mengangkat
Jung sebagai editor kepala Psychoanalytical Yearbook yaitu buku tahunan
Psikoanalitis pertama di dunia yang disediakan bagi psikologi baru. Dalam
kedudukannya itu, Jung memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan demi kebaikan
karya semua orang. Orangorang Wina berkeberatan karena Jung tidak secara
bersungguh-sungguh meliput "aetiologi seksual" yaitu penemuan inti Freud yang
menekankan bahwa gairah seks tersimpan di balik histeria dan penyakit kejiwaan
lainnya. Mereka merasa pengangkatan Jung menunjukkan sikap pilih kasih dari
Freud. Di sini Brill berkata padaku kalau orang Wina itu lebih tepat dari yang
mereka kira. Freud tidak hanya
mengasihi Jung lebih dari yang lain, tetapi telah memilih sebagai "putra
mahkota-nya" dan "seorang pewaris" yang akan menggantikan dirinya dalam
mengambil tindakan. Aku tidak mengatakan kalau aku telah mendengar Freud mengucapkan katakata itu
pada Jung kemarin malam. Jika aku katakan maka artinya aku juga harus
menceritakan kecelakaan kecil yang dialami Freud. Aku menceritakan kalau Jung
tampak terlalu perasa menanggapi penilaian Freud padanya.
"Oh, semua juga mengatakan begitu," kata Ferenczi, "tetapi tidak diragukan lagi,
Freud dan Jung mempunyai hubungan seperti ayah dan putranya. Aku memang melihat
sendiri sikap ayah dan putra itu ketika kami berada di atas kapal. Karena itulah
Jung menjadi terlalu peka terhadap segala ocehannya. Hal itu bisa membuatnya
marah, terutama tentang terapi pemindahan. Jung memiliki..., bagaimana ya aku
harus mengatakannya..., filosofi yang berbeda dalam hal pemindahan pada proses analisa."
"Begitukah" Apakah ia telah mempublikasikannya?" Tanyaku.
Ferenczi saling bertukar pandangan dengan Brill, "Tidak tepat seperti itu. Aku
hanya membicarakan tentang pendekatannya kepada para pasiennya. Para pasien...,
wanitanya. Kau mengerti?"
Aku mulai mengerti. Brill berbisik. "Jung tidur bersama mereka. Ia terkenal karena hal itu."
"Aku sendiri belum pernah," kata Ferenczi, "tetapi aku memang belum pernah
berhadapan dengan terlalu banyak godaan, maka ucapan selamat bagi kasusku, masih
terlalu awal. Sayang sekali."
"Apakah Dr. Freud tahu?"
Kali ini Ferenczi berbisik, "Salah satu dari pasien Jung menulis surat pada
Freud. Wanita itu sangat bersedih, dan menjelaskan segalanya. Freud
memperlihatkan surat itu kepadaku di kapal. Bahkan ada surat dari Jung kepada
ibu si gadis, sangat aneh. Freud meminta pendapatku," Ferenczi sangat bangga
akan hal itu, "aku mengatakan padanya untuk tidak menggunakan katakata gadis itu
sebagai bukti. Tentu saja aku sudah mengetahui hal itu. Semua orang juga tahu.
Seorang mahasiswi cantik keturunan Yahudi. Mereka bilang, Jung tidak
memperlakukannya dengan baik."
"Ya ampun," kata Brill sambil melihat ke ruang makan pagi. Freud sedang menuju
masuk, tetapi tidak sendirian. Ia ditemani oleh orang lain yang pernah kutemui
di New Haven dalam kongres psikoanalistis beberapa bulan lalu. Ia adalah Ernest
Jones, pengikut Freud dari Inggris.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jones datang ke New York untuk bergabung dengan kelompok kami selama seminggu.
Setelah itu ia akan pergi ke Clark bersama kami pada hari Sabtu. Berusia sekitar
empatpuluhan, Jones bertubuh sependek Brill tetapi lebih gemuk. Wajahnya sangat
putih, rambutnya hitam dan diberi minyak dengan baik. Ia hampir tidak berdagu
dan bibir tipisnya terkatup rapat. Maka itu bila tersenyum akan memberi kesan
kepuasan pribadi dan penuh ramah tamah. Ia memiliki kebiasaan ganjil yaitu tidak
mau menatap orang yang sedang diajaknya berbicara. Freud, jelas terlihat suka
padanya. Berbeda dengan Ferenczi dan Brill.
"Sandor Ferenczi," kata Jones, "kejutan yang menyenangkan, sobat. Tetapi kau
tidak diundang, bukan" O leh G. Stanley Hall maksudku, untuk memberikan tulisan
di Clark?" "Tidak," kata Ferenczi, "tetapi...,"
"Dan Abraham Brill," lanjut Jones sambil menebarkan pandangan matanya ke sekitar
ruangan, seolah sedang menunggu orang lain yang dikenalnya, "bagaimana kabarmu"
Masih dengan tiga orang pasien?"
"Empat," kata Brill.
"Well bersyukurlah, sobat," kata Jones, "aku sangat sibuk dengan para pasien di
Toronto sehingga tidak punya waktu lagi untuk menulis. Semua tulisan yang
kukirimkan melalui pipa saluram adalah tulisan tanganku untuk bidang Nuerologi,
hal kecil untuk Insanity, serta kuliah yang kuberikan di New Haven, yang ingin
dipublikasikan oleh Prince. Bagaimana denganmu, Brill, sudah ada lagi hasil
tulisanmu?" Perkataan Jones telah mengakibatkan suasana meni Biasa terdapat pada kantor-
kantor pada masa itu untuk mempercepat pengiriman naskah dari lantai atas ke
bawah. jadi kurang ramah. Brill memperlihatkan tarikan wajah pura-pura kecewa. "Hanya
buku histeria karya Freud", katanya.
Bibir Jones bergerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Ya, hanya terjemahanku dari karya Freud," lanjut Brill, "bahasa Jermanku
ternyata sudah menjadi lebih berkarat dari yang kukira, tetapi buku itu selesai
juga akhirnya." Perasaan lega memenuhi wajah Jones, "Freud tidak memerlukan penerjemahan ke
bahasa Jerman, kau bodoh," katanya sambil tertawa keras sekali, "Freud telah
menulis dalam bahasa Jerman. Justru ia memerlukan penerjemah bahasa Inggris."
"Akulah penerjemah bahasa Inggrisnya," kata Brill.
Jones tampak terpaku. Lalu kepada Freud ia berkata, "Kau..., kau tidak..., kau
mengizinkan Brill menerjemahkan bukumu?" Lalu menoleh kepada Brill, "tetapi
apakah bahasa Inggrismu memadai untuk itu, sobat" Bukankah kau seorang imigran?"
"Ernest," kata Freud, "kau memperlihatkan kecem-buruanmu."
"Aku?" Kata Jones, "cemburu pada Brill" Bagaimana mungkin aku begitu?"
Pada saat itu seorang anak lelaki membawa nampan perak memanggil nama Brill.
Nampan itu berisi secarik amplop. Dengan tarikan wajah angkuh karena merasa
berposisi sebagai orang penting, Brill memberi sekeping uang logam kepada anak
lelaki itu. "Aku selalu ingin menerima sebuah telegram di sebuah hotel," katanya
dengan riang, "aku hampir saja mengirimkan satu telgram untuk diriku sendiri
kemarin, hanya untuk tahu bagaimana rasanya."
Ketika Brill mengeluarkan telegram itu dari amplopnya, wajahnya memb eku.
Ferenczi mengambilnya dari tangan Brill dan memperlihatkannya kepada kami.
Telegram itu berbunyi: 7(emudian tuhan menghujani sodom dengan Batu 6elerang dan api titik dan lihatlah
asap pedesaan mem6um6ung seperti asap cero6ong asap titikjetapi istrinya menoleh
kem6ali dari 6elakang sodom dan istrinya menjadi se6uah pilar garam titik
se6elum terlam6at titik "7
salah satu surat kiriman iblis. Itu jelas hanya dari seseorang relijius fanatik.
Amerika dipenuhi dengan orang-orang semacam itu."
"Tetapi bagaimana mereka tahu aku akan ada di sini?" Tanya Brill masih tidak
yakin. g WALIKOTA GEORGE MCCLELLAN tinggal di salah satu deretan rumah bergaya Greek
Revival yang megah di Washington Square North. Ketika meninggalkan rumahnya pada
hari Rabu pagi, ia terkejut melihat Hugel bergegas menuju ke arahnya dari taman
di seberang jalan. Kedua lelaki itu bertemu di antara pilar-pilar Corinthian
yang membingkai pintu depan rumah Walikota itu.
"Hugel," sapa McClellan, "apa yang kau kerjakan di sini" Ya Tuhan, bung, kau
seperti belum tidur dalam beberapa hari."
"Aku harus bertemu denganmu," seru Hugel terengah-engah, "Banwell yang
melakukannya." "Apa?"
"George Banwell-lah yang membunuh gadis Riverford," kata Hugel.
"Jangan bercanda," kata McClellan, "aku sudah mengenal Banwell selama duapuluh
tahun." "Begitu aku memasuki apartemen gadis itu," kata Hugel, "ia sudah berusaha
menghalangi penyidikan. Ia mengancamku supaya aku dipecat dari kasus ini. Ia
mencoba mencegah tindakan otopsi."
"Ia mengenal ayah gadis itu, demi Tuhan." "Lalu, mengapa itu harus mencegah
tindakan otopsi?" "Pada umumnya, Hugel, tidak akan ada orang tua yang tega melihat jenazah
putrinya dibedah." Jika saat itu McClellan mengharapkan satu petunjuk saja akan kepekaan perasaan
Hugel, ahli otopsi itu tidak memperlihatkannya. "Banwell cocok dengan
penggambaran si pembunuh itu dari segala hal. Ia tinggal di gedung itu, ia teman
keluarga korban, sehingga gadis itu membuka pintu baginya; dan ia telah
membersihkan seluruh apartemen gadis itu sebelum Littlemore dapat
menyelidikinya." "Kau sudah menyelidikinya," kata Walikota McClellan menambahkan.
"Sama sekali tidak," kata Hugel, "aku hanya memeriksa kamar tidur. Littlemore
yang menyelidiki bagian lainnya dari apartemen itu."
"Apakah Banwell tahu Littlemore akan datang" Kau mengatakan itu padanya?"
"Tidak," gerutu Hugel, "tetapi bagaimana kau menjelaskan ketakutannya yang luar
biasa ketika ia melihat Nona Acton di jalan kemarin?" Hugel mengisahkan kejadian kemarin kepada
McClellan sebagaimana laporan Littlemore kepadanya, "Banwell mencoba melarikan
diri karena ia menduga gadis itu akan mengenalinya sebagai seorang
penyerangnya." "Tidak mungkin," kata McClellan, "ia bertemu dengan aku di hotel segera setelah
kejadian itu. Kau tahu kalau keluarga Banwell dan keluarga Acton berkawan akrab"
Kini Harcourt dan Mildred Acton sedang menginap di pondok musim panas milik
George Banwell." "Maksudmu ia mengenal keluarga Acton?" Tanya Hugel, "wah, itu juga
membuktikannya! Lelaki itu adalah satusatunya orang yang mengenal kedua korban
itu." Walikota itu menatap Hugel dengan tenang, "Apa yang menempel pada jasmu, Hugel"
Kelihatannya seperti telur."
"Memang telur," Hugel sambil mengusap bahunya dengan sehelai saputangan yang
sudah menguning, "Para hooligans di seberang tamanmu melemparkannya padaku.
Walikota, kita harus segera menangkap Banwell."
McClellan menggelengkan kepalanya. Sisi selatan dari Washington Square memang
tidak ramah, dan ia belum pernah dapat mengusir kelompok anak berengsek di sudut
barat daya taman itu. Keberadaan orang-orang itu yang berdekatan dengan rumah
McClellan, tentulah merupakan perangsang bagi keberandalan mereka. McClellan
berjalan menuju kereta kuda yang telah menunggunya. "Aku heran denganmu, Hugel.
Spekulasi yang kau ciptakan hanyalah berdasarkan spekulasi yang lain."
"Bukanlah spekulasi lagi ketika kau telah mengetahui siapa pembunuhnya."
"George Banwell tidak membunuh Nona Riverford,"
kata Walikota McClellan. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu. Aku tidak mau mendengar fitnah lain yang menggelikan itu. Sekarang
pulanglah. Kau tidak pantas untuk pergi ke kantormu dengan keadaan seperti itu.
Istirahatlah. Ini perintah."
g GEDUNG YANG DITEMUKAN LITTLEMORE di Eight Avenue 782 kemungkinan adalah tempat
Chong Sing bertempat tinggal. Gedung berlantai lima itu sangat kotor, dengan
aroma tajam babi panggang merah, serta bebek-bebek mati yang digantung dan masih
menentes-netes pada jendela-jendela lantai dua, di depan sebuah restoran Cina.
Di bawah restoran yang lantainya setinggi jalanan, ada sebuah toko sepeda kumuh.
Pemiliknya adalah orang kulit putih. Semua orang di dalam dan
sekitarnya beberapa perempuan tua sibuk keluar dan masuk pintu depan. Seorang ? ?lelaki terlihat sedang merokok dengan menggunakan pipa panjang di serambi muka.
Orangorang yang muncul dari lantai atasnya, semuanya berwajah Cina.
Ketika detektif itu mulai menapaki tangga menuju lantai tiga yang tak
berpenerangan, seorang lelaki kecil mengenakan tunik panjang muncul dari
kegelapan, menghalangi jalan. Lelaki ini berjenggot berunting, rambut kepangnya
menggantung pada punggungnya, sementara giginya berwarna karat segar. Littlemore
berhenti. "Kau salah jalan," kata orang Cina itu tanpa memperkenalkan diri, "restoran ada
di belakang sana. Lantai dua."
"Aku tidak mencari restoran," jawab Littlemore, "aku
mencari Chong Sing. Ia tinggal di lantai empat. Apakah kau mengenalnya?"
"Tidak," Orang Cina itu terus menghalangi jalan Littlemore, "tidak ada Chong
Sing di atas." "Maksudmu, ia sedang pergi, atau ia tidak tinggal di
sini?" "Tidak ada Chong Sing di atas," ulang orang itu. Lalu ia mendorongkan ujung
jarinya pada dada Littlemore, "pergilah."
Littlemore mendorong melewati lelaki itu dan melanjutkan menaiki tangga sempit
yang berderik pada pijakan kakinya. Bau daging berlemak menemaninya. Ketika ia
berjalan di koridor berasap di lantai empat tanpa jendela dan gelap, padahal
?waktu itu masih pagi dan cerah ia melihat beberapa pasang mata mengamatinya
?dari ambang-ambang pintu yang terkuak sedikit. Tidak ada orang yang menjawab
ketukannya pada pintu nomor 4C. Littlemore mengira ia mendengar seseorang
bergegas turun di tangga belakang. Pertama, aroma daging bakar telah merangsang
nafsu makannya, namun sekarang di lantai atas yang tak berudara, aroma itu
bercampur dengan gumpalan asap opium yang membuatnya mual.
g KETIKA WALIKOTA MCCLELLAN tiba di City Hall, Nyonya Neville memberitahu kalau
Tuan Banwell telah menelpon. McClellan meminta untuk disambungkan kepadanya.
"Ini George," kata George Banwell, "ini George." "Dari George, memang," kata
McClellan melengkapi tukar sapa yang khas di antara mereka berdua sejak
menjadi anggota muda Manhattan Club duapuluh tahun lalu.
"Hanya ingin memberitahumu, aku berhasil menghubungi Acton kemarin malam," kata
Banwell, "aku katakan kabar yang mengerikan itu. Acton sudah mengemudikan mob
ilnya secepat mungkin pagi ini dan akan tiba di hotel siang nanti. Aku akan
menemuinya di sana."
"Bagus sekali," kata McClellan, "aku akan menemanimu."
"Apakah Nora sudah dapat mengingat sesuatu?"
"Belum," kata McClellan, "Hugel sudah memiliki tersangka. Kaulah orangnya."
"Aku?" Tanya Banwell, "aku tidak suka pada rase [hewan lambang kelicikan] kecil
itu begitu aku melihatnya."
"Tampaknya perasaanmu itu sama dengan yang dirasakannya."
"Apa yang kau katakan padanya?"
"Kukatakan padanya kalau kau tidak melakukannya," kata McClellan.
"Bagaimana dengan jasad Elizabeth?" Tanya Banwell,
"Riverford mengirimkan kawat setiap menit." "Jenazah itu telah dicuri, Goerge,"
kata McClellan. "Apa?" "Kau tahu masalah-masalah yang kumiliki dengan rumah penyimpanan jenazah itu.
Aku berharap mendapatkannya kembali. Kau dapat menenangkan orang tua korban itu
satu hari lagi?" "Menenangkannya?" Ulang Banwell, "putri mereka telah dibunuh."
"Bisa kau coba?" Tanya Walikota itu.
"Iblis," kata Banwell, "aku akan lihat apa yang dapat aku lakukan. Kira-kira,
siapakah para spesialis yang
merawat Nora itu?" "Apa aku belum mengatakannya padamu?" Tanya McClellan, "mereka para terapis.
Tampaknya dapat menyembuhkan amnesia hanya dengan mengajak pasiennya berbicara.
Sebenarnya pekerjaan yang menarik.
Mereka meminta para pasien untuk menceritakan berbagai hal."
"Hal-hal macam apa?" Tanya Banwell. "Segala hal," kata McClellan.
g AHLI OTOPSI HUGEL, mematuhi perintah Walikota McClellan untuk pulang ke rumah.
Di rumah kecil berlantai dua itu, ia berbaring di atas pembaringannya yang
kusut, namun tidak tidur. Sinarnya terlalu terang, dan teriakan para buruh
angkutan terlalu riuh, walau ia sudah menutupi kepalanya dengan bantal.
Rumah tempat tinggal Hugel berada di tepi luar Market District, Manhattan
wilayah bawah. Ketika pertama kali ia menyewa kamarnya, daerah itu masih merup
akan lingkungan perumahan yang menyenangkan. Pada tahun 1909, tempat itu
dikelola menjadi gudang dan gedung pabrik. Hugel tidak pernah pindah. Dengan
gaji seorang ahli otopsi, ia tidak mampu menyewa kedua lantai rumah itu di
wilayah kota yang lebih modern.
Hugel membenci kamarnya. Langit-langitnya memiliki bekas bocoran air bertepian
cokelat. Itu menjijikannya, sebagaimana secara terpakasa ia rasakan juga di
kantornya. Hugel bersumpah dengan muram pada dirinya sendiri. Ia adalah ahli
otopsi di New York City, mengapa ia harus hidup di kamar yang tidak bermartabat"
Mengapa jasnya harus tampak kumuh dibandingkan dengan jas George Banwell yang dijahit
atau disikat secara khusus"
Buktibukti yang memberatkan Banwell cukup untuk menahannya dengan mudah. Mengapa
Walikota McClellan tidak bisa melihatnya" Ia berharap dapat menangkap Banwell
sendiri. Hugel tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan penangkapan walau ia
berharap memilikinya. Hugel merenungkan segalanya lagi. Seharusnya masih ada
lagi. Harus ada cara untuk menyatukan cerita itu. Jika pembunuh Elizabeth
Riverford telah mencuri jenazahnya dari rumah penyimpanan mayat lantaran
terdapat bukti pada jasad itu, ia harus tahu bukti itu seperti apa" Tibatiba ia
mendapatkan ilham. Ia lupa foto-foto yang dibuatnya di apartemen Nona Riverford.
Mungkinkah salah satu foto itu bisa mengungkap petunjuk yang hilang"
Hugel turun dari tempat tidurnya dan segera berpakaian. Ia dapat mencetak foto-
foto itu sendiri walaupun jarang melakukannya. Ia memiliki ruang gelap pribadi
yang terhubung dengan rumah penyimpanan jenazah. Tetapi tidak, itu akan lebih
aman jika Louis Riviere, seorang ahli fotografi kepolisian, yang mengerjakannya.
9 PADA PUKUL SEMBILAN aku pergi ke kamar Nona Acton. Tidak seorang pun di sana.
Lalu aku pergi ke meja penerima tamu. Di sana aku mendapat pesan yang telah
menungguku. Di dalam pesan itu, Nona Acton memberitahuku kalau ia akan kembali
ke kamarnya pada pukul sebelas. Aku boleh mengunjunginya, jika aku mau.
Secara analitis ini semua salah. Pertama, aku tidak "mengunjungi" Nona Acton.
Kedua, seharusnya bukan pasien yang menentukan waktunya, tetapi dokternya.
Namun, aku benar-benar mengunjungi Nona Acton pada pukul sebelas. Ia bertengger
di atas sofanya dengan tenang, persis seperti kemarin pagi. Tanpa menatapku,
Nona Acton memintaku duduk. Ini sangat menggangguku. Ia terlalu tenang. Suasana
terapi analistis seharusnya ada di sebuah ruang praktik sehingga akulah yang
memerintah. Lalu ia mendongak, aku menjadi betulbetul terkejut. Ia gemetar dan sangat marah.
"Kepada siapa kau menceritakan tentangku?" Tanyanya tidak menuduh, tetapi cemas,
"Tentang apa yang telah dilakukan Tuan Banwell kepadaku." Lanjutnya.
Hanya kepada Dr. Freud. Mengapa" Apa yang terjadi?"
Ia saling bertatapan dengan Ibu Biggs, yang mengeluarkan secarik kertas terlipat
dua. Lalu Nona Acton meminta wanita tua itu menyerahkannya padaku. Pada kertas
itu tertulis, dengan pena, Jaga lidahmu.
"Seorang anak lelaki," kata Nona Acton dengan kesal, "di jalan..., ia meletakkan
surat itu pada tanganku kemudian melarikan diri. Kau pikir Tuan Banwell
menyerangku?" "Apa kau pikir juga begitu?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Mengapa aku tidak bisa mengingat" Kau bisa
membuatku mengingat?" Ia memohon padaku, "bagaimana jika ia berada di luar sana,
mengamatiku" Kumohon, Dokter, kau bisa menolongku?"
Aku belum pernah melihat Nona Acton seperti ini. Ini adalah kali pertamanya ia
benar-benar meminta pertolonganku. Juga untuk kali pertamanya, sejak tiba di
hotel, ia tampak betulbetul ketakutan.
"Aku bisa mencobanya," kataku.
Ibu Biggs cukup tahu, maka kali ini ia meninggalkan ruangan atas kemauannya
sendiri. Aku meletakkan pesan ancaman itu di atas meja kopi dan menyuruh gadis
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu untuk berbaring. Sebenarnya ia tidak menyukainya. Ia begitu gelisah sehingga
hampir tidak dapat diam. "Nona Acton, coba berpikirlah kembali, tiga tahun yang lalu, sebelum kejadian di
atap. Kau sedang bersama keluargamu, di rumah pedesaan Banwell."
"Mengapa kau menanyakanku tentang hal itu?" Semburnya, "aku ingin mengingat
kejadian dua hari yang lalu, bukan tiga tahun yang lalu."
"Kau tidak mau mengingat kejadian tiga tahun yang
lalu?" "Bukan itu maksudku."
"Itu yang kau katakan. Dr. Freud percaya mungkin kau telah melihat sesuatu
ketika itu. Sesuatu yang telah kau lupakan, sesuatu yang telah menghalangimu
untuk mengingatnya sekarang."
"Aku tidak melupakan segalanya," jawabnya dengan pedas.
"Kalau begitu kau memang melihat sesuatu." Ia terdiam.
"Tidak ada yang perlu membuatmu malu, Nona Acton."
"Jangan katakan itu lagi!" Gadis itu berteriak dengan amarah yang sama sekali
tidak pernah kuduga, "apa yang harus membuatku malu?"
"Aku tidak tahu."
"Pergilah," katanya.
"Nona Acton." "Pergilah. Aku tidak menyukaimu. Kau tidak becus." Aku tidak bergerak, "Apa yang
kau lihat?" Ketika ia
tidak menjawab tetapi menatap ke tempat lain, aku berdiri dan mengambil
kesempatan. "Maafkan aku, Nona Acton. Aku tidak dapat menolongmu. Aku berharap
aku bisa." Ia menarik nafas dalam. "Aku melihat ayahku dan Clara Banwell."
"Kau bisa menjelaskan apa yang kau lihat?" "Oh, baiklah." Aku pun duduk.
"Di rumah musim panas keluarga Banwell ada sebuah perpustakaan besar di lantai
satu," katanya, "aku sering kesulitan tidur. Dan setiap kali aku kesulitan
tidur, aku selalu pergi ke perpustakaan itu. Aku bisa membaca hanya dengan
penerangan cahaya bulan di sana, tanpa harus menyalakan lilin. Pada suatu malam,
pintu perpustakaan terbuka. Aku tahu ada seseorang di dalam. Aku mengintai dari
celah itu. Aku melihat ayahku sedang duduk di kursi Tuan Banwell, mengahadap ke
arahku. Itu adalah kursi yang selalu kududuki. Aku dapat melihatnya dalam cahaya
bulan, tetapi kepalanya terdongak ke atas dengan menjijikkan. Clara sedang
berlutut di depannya. Pakaiannya tidak tertutup. Melorot hingga ke pinggangnya.
Punggungnya betulbetul terbuka. Punggungnya indah sekali, Dokter, sangat putih,
tidak bernoda. Benar-benar seputih dan semulus dengan apa yang kau lihat di...,
dan berbentuk seperti hourglassz atau sebuah cello. Ia..., aku tidak tahu
bagaimana menggambarkannya..., Clara bergerak seperti gelombang. Kepalanya naik
dan turun lambat berirama. Aku tidak dapat melihat
2 Jam pasir yang terdiri dari dua bejana kaca, bagian atas dan bawah. Bagian
atas dengan meruncing ke bawah, bagai an bawah meruncing ke atas. Pasir mengucur
melalui celah sempit yang berbentuk seperti pinggang manusia.
tangannya. Aku percaya mereka ada di depannya. Setu atau dua kali, Clara
mengibaskan rambutnya dari bahunya, tetapi ia terus naik dan turun. Memesonakan.
Tentu saja saat itu aku tidak mengerti apa yang sedang kusaksikan. Menurutku
gerakannya indah, seperti gelombang lembut mengusap-usap pantai. Tetapi aku
sangat tahu mereka sedang melakukan sesuatu yang salah." "Lanjutkan."
"Kemudian ayahku mulai mengeluarkan suara yang menjijikan, terdengar parau. Aku
bertanya-tanya bagaimana Clara bisa tahan mendengar suara seperti itu. Tetapi ia
tidak saja tahan, tapi suara itu bahkan membuat alunan gelombangnya menjadi
semakin cepat, dan lebih pasti. Ayahku mencengkeram lengan kursinya. Kepala
Clara bergerak naik dan turun lebih cepat lagi. Aku yakin kalau aku terpukau
saat itu, tetapi aku tidak mau menontonya lagi. Aku berjingkat-jingkat ke atas,
kembali ke kamarku. "Kemudian?" "Tidak ada lagi." Kami saling bertatapan.
"Kuharap rasa ingin tahumu sudah terpenuhi, Dr. Younger, walau aku tidak percaya
amnesiaku sudah terobati."
Aku mencoba memikirkan secara psikoanalitis semua bagian cerita yang baru saja
dikisahkannya. Kisah itu bisa menimbulkan trauma, tetapi ada satu kesulitan.
Nona Acton tampak tidak mengalami trauma tersebut.
"Apakah setelah itu kau mengalami kesulitan jasmani?" Tanyaku, "seperti
kehilangan suara misalnya?"
"Tidak." "Kelumpuhan pada bagian tubuhmu yang lainnya"
Atau demam?" "Tidak juga." "Ayahmu tahu kau melihatnya?" "Ia terlalu bodoh untuk itu."
Aku mengambil kesempatan ini, "ketika kau memikirkan amnesiamu, sekarang apa
yang ada dalam benakmu?" "Tidak ada apa-apa," katanya.
"Tidak mungkin tidak ada apa-apa di dalam benak seseorang."
"Kau pernah mengatakan itu!" Serunya dengan marah, lalu terdiam. Ia menatapku
tajam dengan mata birunya, "hanya satu hal yang pernah kau lakukan, bahkan aku
mulai mengira kau dapat menolongku, walau itu tidak ada hubungannya dengan
segala pertanyaanmu padaku."
"Apa itu?" Ia mengalihkan tatapan matanya, "Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakannya
padamu." "Mengapa?"
"Oh, tidak apa-apa. Itu terjadi ketika di kantor polisi." "Ketika aku memeriksa
lehermu." Ia berbicara dengan tenang, kepalanya berpaling da-riku. "Ya. Ketika kau pertama
kali menyentuh tenggorokanku, selama satu detik aku hampir melihat sesuatu...,
gambaran, memori. Aku tidak tahu apa itu."
Berita tersebut tidak terduga tetapi masuk akal. Freud sendiri telah menemukan
bahwa sebuah sentuhan jasmani dapat membebaskan memori yang tertekan. Aku telah
menggunakannya tehnik tersebut pada Priscilla. Mungkin amnesia Nona Acton rentan
terhadap cara perawatan seperti itu juga.
"Kau mau mencoba hal yang sama lagi?"
"Itu membuatku takut," katanya.
"Mungkin juga akan begitu lagi."
Ia mengangguk. Aku mendekatinya dan menyorongkan telapak tanganku. Ia mulai
membuka sapu tangan yang membungkus lehernya. Aku mengatakan padanya kalau ia
tidak perlu melakukannya, karena aku hanya akan menyentuh keningnya, bukan
lehernya. Ia terkejut. Aku menjelaskan, menyentuh kening adalah salah satu
metode dasar Dr. Freud untuk mengembalikan memori. Ia tampak tidak puas, tetapi
berkata kalau aku boleh melanjutkan. Perlahan-lahan aku meletakkan telapak
tanganku pada keningnya. Tidak ada reaksi. Aku bertanya apakah ada pikiran yang
muncul. "Tidak, cuma tanganmu terasa dingin sekali, Dokter," katanya.
"Maafkan aku, Nona Acton, tetapi tampaknya kita harus kembali bicara. Sentuhan
itu tidak berhasil." Aku kembali duduk. Ia tampak hampir marah.
"Bisa kau katakan satu hal padaku" Kau mengatakan kalau punggung Nyonya Clara
Banwell..., punggungnya..., putih seperti yang pernah kau lihat sebelumnya pada ....
tetapi kau tidak mengatakan apa-apa."
"Dan kau ingin tahu?"
"Karena itulah aku bertanya."
"Keluar," katanya sambil duduk tegak.
"Maaf?" "Keluar!" Teriaknya sambil melemparkan tempat gula batu padaku. Lalu ia berdiri
dan melemparkan cangkir dan tatakannya. Atau, yang itu tidak dilemparkannya,
tetapi dipukulkannya padaku, sekeras mungkin. Untunglah, kedua benda itu
terlepas dan meluncur ke arah lain. Tatakan cangkir terbang ke sisi kiriku, dan
cangkirnya melayang tinggi ke sebelah kananku, keduanya pecah
menjadi beberapa bagian ketika menghantam dinding. Nona Acton mengambil poci
teh. "Jangan lakukan itu," kataku.
"Aku membencimu."
Aku juga berdiri. "Kau tidak membenciku, Nona Acton. Kau membenci ayahmu karena
telah menukarmu dengan Banwell sebagai ganti istrinya."
Jika aku memikirkan reaksi gadis itu selanjutnya adalah menjatuhkan diri ke sofa
dan menangis, maka aku salah. Ia menerkam seperti kucing liar, mengayunkan poci
teh padaku. Poci teh itu mengenai bahu kiriku. Kekuatannya mengesankan. Ia
ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
Tutup poci teh itu melayang lepas. Air mendidih panas, terpercik pada lenganku.
Sebenarnya sakit sekali. Bukan lantaran hantaman poci teh, tetapi air yang
panasnya terasa membakar. Namun aku tidak bergerak ataupun memperlihatkan reaksi
apa pun. Ini, kukira, membuatnya marah lagi. Ia mengayunkan poci itu lagi
padaku, kali ini ke arah kepalaku.
Aku sangat jauh lebih tinggi darinya, sehingga yang harus kulakukan hanyalah
mundur sedikit. Poci itu meleset dari sasaran, dan aku menangkap lengan Nona
Acton. Gerakkannya membuat gadis itu berputar sehingga punggungnya menghadapku.
Aku memegangi lengannya dengan kuat menempel pada pinggangnya, memelintirnya ke
arahku. "Lepaskan aku," katanya, "lepaskan aku, atau aku akan berteriak."
"Lalu" Kau akan mengatakan padamu kalau aku menyerangmu?"
"Aku menghitung hingga tiga," katanya dengan bengis, "lepaskan aku, atau aku
akan berteriak. Satu, dua...,"
Aku menangkap tenggorokannya untuk menghentikan kata yang keluar dari mulutnya.
Aku seharusnya tidak melakukan itu, tetapi aku marah, darahku naik. Tindakan itu
menghentikan teriakannya tetapi ternyata menghasilkan efek samping juga. Segala
ketegangan pada tubuhnya berangsur hilang. Ia menjatuhkan pocinya. Matanya
terbuka lebar, bingung, manik matanya yang sebiru batu safir bergerak-gerak
cepat ke sana ke mari. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi begitu
janggal. Serangannya padakukah, atau pemindahan (Transferance) yang tibatiba
ini" Aku segera melepaskan pegangan tanganku padanya.
"Aku tadi melihatnya," bisik gadis itu, "sekarang telah hilang. Kupikir ketika
itu aku diikat. Aku tidak dapat bergerak. Oh, mengapa aku tidak dapat
mengingat?" Ia tibatiba berpaling padaku, "lakukan lagi."
"Apa?" "Apa yang baru saja kau lakukan. Aku akan dapat untuk mengingat. Aku yakin itu."
Perlahan-lahan, tanpa pernah melepaskan tatapan matanya padaku, ia membuka
setangan lehernya, memperlihatkan memar pada lehernya. Ia menggenggam tangan
kananku dalam jemarinya yang lembut dan membawanya ke lehernya. Persis seperti
pertama kali aku bertemu dengannya. Aku menyentuh kulit lembut di bawah dagunya,
berhati-hati supaya tidak menyentuh memarnya.
"Ada yang kau ingat?" Tanyaku.
"Tidak," bisiknya, "kau harus melakukan apa yang pernah kau lakukan sebelum
ini." Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu apakah maksudnya. Apakah tindakan yang pernah
aku lakukan ketika kami berada di kantor polisi, ataukah yang baru saja
kulakukan sesaat tadi. "Cekik aku!" Katanya.
Aku tidak melakukan apa-apa.
"Ayolah," katanya, "cekik aku!"
Aku meletakkan jari telunjuk dan ibu jariku pada lehernya yang masih berbekas
kemerahan. Ia mengigit bibirnya, pasti terasa sakit. Dengan memar-memar itu
tertutup, tidak terlihat adanya serangan sebelumnya, yang terlihat hanyalah
leher yang mengarah dengan indah padaku. Aku meremas tenggorokannya. Dengan
segera matanya terutup. "Lebih keras," katanya lembut.
Dengan tangan kiriku, aku memegangi punggung kecilnya. Dengan tangan kananku,
aku mencekiknya. Punggungnya melengkung, kepalanya terdongak. Ia mencengkeram
tanganku erat, tetapi tidak mencoba mengelak.
"Kau melihat sesuatu?" Tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya pelan, dan matanya
masih tertutup. Aku menariknya lebih ketat, sambil menekan lehernya lebih keras.
N afasnya tersekat dalam tenggorokannya, kemudian berhenti sama sekali.
Bibirnya, merah terang, terkuak.
Tidak mudah bagiku untuk mengakui seluruh reaksi yang tidak pantas, yang terjadi
pada diriku. Aku belum pernah melihat mulut sesempurna itu. Bibirnya, yang agak
membengkak, kini bergetar. Kulitnya adalah krim yang paling murni. Rambut
panjangnya berkilauan, seperti air terjun yang berubah warna menjadi keemasan
lantaran cahaya matahari. Aku menariknya lebih rapat padaku. Salah satu
tangannya berada di atas dadaku. Aku tidak
tahu kapan dan bagaimana tangan itu bisa tiba di sana.
Tibatiba aku menjadi sadar akan mata birunya yang menatap mataku. Kapan mata itu
terbuka" Ia sedang menggerakkan bibirnya mengucap satu kata. Aku tidak sadar.
Kata itu adalah "hentikan".
Aku melepaskan cengkeramanku pada tenggorokannya. Aku menduga ia akan tersengal
mencari udara dengan tergesa-gesa. Namun tidak, bahkan dengan sangat lembut dan
hampir tidak kudengar, ia berkata, "cium aku."
Aku harus mengakui kalau aku tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadap
undangan itu. Tetapi saat itu juga, tibatiba terdengar suara ketukan keras pada
pintu, diikuti oleh sebuah anak kunci yang diputar-putar dengan ketakutan pada
lubang kuncinya. Aku segera melepaskannya. Dalam rentang satu detik, ia memungut
poci teh dari lantai, dan menempatkannya lagi di atas meja, lalu ia mengambil
catatan yang kutinggalkan di sana. Kami berdua menatap pintu.
"Aku ingat," bisiknya dengan mendesak padaku, ketika gagang pintu terputar, "aku
tahu siapa pelakunya."
Duabelas PADA TENGAH HARI YANG SAMA, tanggal 1 September, Carl Jung diundang makan oleh
Smith Ely Jelliffe, seorang penerbit, dokter, dan profesor penyakit kejiwaan di
Fordham University. Siang itu mereka pergi ke sebuah kelab yang berada di Fifty-
third Street, yang menghadap
ke taman. Freud tidak diundang, begitu juga Ferenczi, Brill, dan Younger.
Ketertutupan pengundangnya tidak mengganggu Jung. Bahkan ia merasa adanya tanda-
tanda yang berbeda. Tingkat penghargaan internasionalnya bertambah. Seorang yang
tidak terlalu besar namanya akan bisa berkokok menyombongkan diri tentang hal
semacam itu, serta membanggakan undangan tersebut pada orang lain. Namun, Jung,
menanggapi kedermawanan itu dengan bersungguh-sungguh, maka ia menutupi perasaan
tersebut. Benar-benar menderita, bagaimana juga, ketika harus menyembunyikan begitu banyak
hal. Sebenarnya perasaan itu telah mulai muncul sejak hari pertama mereka
meninggalkan Bremen. Jung tidak benar-benar berbohong, tentu saja. Hal itu,
katanya kepada dirinya sendiri, tidak akan pernah dilakukannya. Tetapi semua itu
bukan salahnya: merekalah yang mendorong Jung untuk menyembunyikannya.
Misalnya, Freud dan Ferenczi telah memesan tiket kelas dua kapal George
Washington. Apakah ia harus disalahkan jika tidak menadapatkan karcis yang sama"
Karena tidak mau mempermalukan mereka, ia harus mengatakan hal itu kepada teman-
temannya. Ia mengatakan ketika memesan tiket untuk dirinya sendiri ternyata
hanya tiket kelas satu yang tersedia. Kenyataannya hal itu memang sudah ada
dalam mimpinya ketika malam pertama di atas kapal. Pesan itu begitu jelas kalau?ia telah melebihi Freud dalam wawasan dan reputasi. Ia tahu hal itu cukup tidak
menyenangkan bagi kebanggaan Freud yang peka. Lalu ia menyatakan kalau di dalam
mimpinya, tulang belulang yang ditemukannya di dalam lemarinya adalah milik
istrinya sendiri, bukan milik Freud. Sebenarnya, ia telah dengan cerdik
menambahkan kalau tulang-belulang itu bukan hanya milik istrinya, tetapi juga
milik saudara perempuan istrinya: Jung ingin melihat bagaimana reaksi Freud akan
mimpinya itu, karena kerangka manusia itu ditemukan di dalam lemari Freud
sendiri. Mimpi itu memang hal remeh, tetapi ternyata telah menjadi dasar bagi
kepura-puraan yang lebih besar dan yang telah menjadi kebutuhan bagi Jung sejak
mereka tiba di Amerika. Makan siang di kelab Jelliffe begitu menyenangkan. Sembilan atau sepuluh lelaki
duduk bersama di meja lonjong. Percakapan campuran antara ilmu pengetahuan yang
mereka kuasai dan minuman lezat merupakan takaran hiburan yang selalu dinikmati
Jung. Perbincangan tentang pergerakan wanita menuntut hak pilih bagi kaumnya
terasa membosankan. Kini Jung berada di lingkungannya. Untuk pertama kalinya, Jung tidak perlu
merasa harus berpura-pura kurang kaya dibandingkan yang lainnya. Tidak ada
keharusan untuk menyangkal kalau ia keturunan seseorang penting. Setelah
menyantap makanan, jumlah mereka perlahan-lahan berkurang, hingga Jung akhirnya
hanya duduk bersama Jelliffe dan tiga orang lelaki yang lebih tua. Salah satu
dari Tuan-tuan itu sekarang memberi sinyal dengan tidak kentara. Jelliffe segera
bangkit dan pergi. Jung juga berdiri, karena mengira kalau kepergian Jelliffe
juga merupakan isyarat baginya untuk pergi. Tetapi Jelliffe mengatakan kalau
ketiga bapak itu masih ingin berbincang dengan Jung sendirian. Kereta kuda akan
siap mengantarnya pulang begitu mereka selesai.
Sebenarnya, Jelliffe sama sekali bukan anggota perkumpulan itu, walau ia memang
sangat ingin menjadi anggotanya. O rangorang yang memiliki kewenangan
atas masyarakat dan keanggotaannya adalah mereka yang kini masih duduk
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamanya. Merekalah yang meminta Jelliffe untuk membawa Jung ke kelab itu.
"Silakan duduk, Dr. Jung," kata lelaki yang telah menyuruh Jelliffe pergi sambil
memberi isyarat menggunakan tangannya yang anggun.
Jung mencoba mengingat nama bapak itu. Namun karena ia baru saja bertemu dengan
begitu banyak orang, ditambah minuman anggur bukanlah kebiasaannya, maka ia
tidak dapat mengingat nama-nama itu dengan baik.
"Ini Dana," kata lelaki itu membantunya. O rang itu memiliki alis gelap yang
cocok dengan rambut beruban-nya, "Charles Dana. Aku baru saja membicarakanmu,
Jung, dengan Ochs, teman baikku di Times. Ia ingin menulis kisah tentangmu."
"Sebuah kisah?" Tanya Jung, "aku tidak mengerti."
"Ada hubungannya dengan kuliah-kuliah yang telah kami atur untuk kau sampaikan
Kisah Sepasang Rajawali 7 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Dendam Dalam Darah 2