Pencarian

Simbol Yang Hilang 1

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 1


The Lost Symbol Dan Brown Scan djvu by paulustjing@yahoo.com
Doc file by Hendri Kho hendrikho68@yahoo.co.id
Final edit &PDF by Dewi KZ
Epub by Axra Thanks to: Tiraikasih Hanaoki Otoy Dimhad BBSC And many other people for ebook source....
Special Thanks to: Pengarang buku ini yang telah menghasilkan karya yang hebat
<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>
eBook ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan dan arsip digital untuk
pendidikan serta membiasakan budaya membaca untuk generasi penerus...
DILARANG MENGKOMERSIALKAN EBOOK INI!!
Belilah buku aslinya di toko terdekat
>>AXRA<< (2012) Fakta: Pada 1991, sebuah dokumen disimpan dalam brankas direktur CIA. Saat ini, dokumen
itu masih ada di sana. Teks tersandinya antara lain menyebutkan portal kuno dan
lokasi tak dikenal di bawah tanah. Dokumen itu juga berisikan frasa "Terkubur di
suatu tempat di luar sana".
Semua organisasi dalam novel ini benar-benar ada, termasuk Freemasons, Invisible
College, Office of Security, Smithsonian Museum Support Center, dan Institute of
Noetic Seiences. Semua ritual, ilmu pengetahuan, karya seni, dan monumen di dalam novel ini
nyata. Prolog House Of The Temple 20.33 Rahasianya adalah cara untuk mati.
Semenjak permulaan waktu, yang menjadi rahasia selalu cara untuk mati.
Kandidat berusia 34 tahun itu memandang tengkorak manusia dalam buaian kedua
telapak tangannya. Tengkorak itu berongga, seperti mangkuk, berisi anggur
semerah darah. Minumlah, katanya kepada diri sendiri. Tak ada yang perlu kau
takuti. Sesuai tradisi, dia telah memulai perjalanan ini dengan pakaian ritual penganut
ajaran sesat Abad Pertengahan yang digiring ke tiang gantungan. Kemeja
longgarnya terbuka mengungkapkan dada pucat, pipa kiri celana panjangnya
tergulung sampai ke lutut, dan lengan kanan bajunya tergulung sampai ke siku.
Tali gantungan yang disebut "tali penghela" oleh saudara seiman mengalungi
lehernya. Akan tetapi, malam ini, seperti saudara-saudara seiman yang memberikan
kesaksian, dia berpakaian seperti seorang master. Sekumpulan saudara yang
mengelilinginya mengenakan pakaian kebesaran lengkap, terdiri atas penutup dada
dari kulit domba, selempang, dan sarang tangan putih. Perhiasan upacara yang
berkilau seperti mata hantu dalam cahaya suram mengalungi leher mereka. Banyak
di antara lelaki ini yang punya kedudukan tinggi dalam hidup, tapi kandidat itu
tahu bahwa status duniawi mereka tidak ada artinya di dalam kungkungan dinding
dinding ini. Di sini semua lelaki setara, saudara-saudara tersumpah yang saling
terikat secara mistis. Seiring matanya mengamati kelompok yang menggetarkan ini,
kandidat itu bertanya-tanya, siapa orang luar yang akan percaya bahwa sekelompok
lelaki ini bisa berkumpul di satu tempat... apalagi di tempat ini. Ruangan yang
tampak seperti tempat ibadah suci dari dunia kuno.
Akan tetapi, kenyataannya lebih aneh lagi.
Aku hanya berjarak beberapa blok dari Gedung Putih.
Bangunan kolosal ini, yang terletak di 1733 Sixteenth Street NW di Washmgton,
DC, merupakan replika kuil pra Kristen kuil Raja Mausolus, mausoleum asli...
tempat tinggal setelah kematian. Di luar pintu masuk utama, dua patung sphinx
berbobot tujuh belas ton menjaga pintu-pintu perunggu. Bagian dalam bangunan
berupa labirin berhias yang terdiri atas bilik-bilik ritual, lorong-lorong,
ruang-ruang penyimpanan terkunci, perpustakaan-perpustakaan, dan bahkan sebuah
rongga dinding yang berisi sisa-sisa dua kerangka manusia. Kandidat itu sudah
diberi tahu bahwa setiap ruangan di dalam bangunan ini menyimpan rahasia, tetapi
dia tahu bahwa tidak ada ruangan yang menyimpan rahasia sedalam bilik raksasa
tempatnya berlutut saat ini, dengan tengkorak dalam buaian kedua telapak
tangannya. Ruang Kuil. Ruangan ini berbentuk persegi empat sempurna. Dan menyerupai gua. Langit-
langitnya tergantung tinggi, tiga puluh meter di atas kepala, disokong pilar-
pilar batu granit hijau. Deretan kursi kayu walnut Rusia berlapis kulit babi
buatan tangan mengitari ruangan. Singgasana setinggi sepuluh meter mendominasi
dinding sebelah barat, dengan alat musik organ pipa yang tersembunyi di
seberangnya. Dinding-dindingnya adalah kaleidoskop simbol-simbol kuno... Mesir,
Ibrani, astronomi, alkimia, dan lain-lain yang tak dikenal.
Malam ini, Ruang Kuil diterangi oleh serangkaian lilin yang ditata dengan
cermat. Kilau suram lilm-lilin itu hanya dibantu oleh seberkas cahaya bulan
pucat yang menembus jendela bulat maha-besar di langit-langit dan menerangi
bagian paling mengesankan dari ruangan itu altar raksasa yang dibentuk dari
balok padat marmer hitam Belgia mengilap, dan diletakkan tepat di tengah ruang
persegi empat itu. Rahasianya adalah cara untuk mati, kandidat itu mengingatkan diri sendiri.
"Sudah saatnya," bisik sebuah suara.
Kandidat itu membiarkan pandangannya naik merambati sosok berjubah putih yang
berdiri di hadapannya. Master Terhormat Tertinggi. Lelaki ini, yang berusia
akhir 50-an, adalah seorang ikon Amerika: banyak dicintai, gagah, dan mahakaya.
Rambutnya yang dulu berwarna gelap sudah berubah keperakan, dan raut wajahnya
mencerminkan kekuasaan seumur hidup dan kecerdasan luar biasa.
"Ucapkan sumpah itu," ujar Master Terhormat, dengan suara lembut bak salju
jatuh. "Selesaikan perjalananmu."
Perjalanan kandidat itu, seperti semua perjalanan lain semacam itu, bermula dari
derajat pertama. Pada malam inisiasi pertama, dalam ritual yang serupa dengan
ritual ini, Master Terhormat menutupi mata si kandidat itu dengan penutup mata
beledu dan menekankan belati upacara ke dada telanjangnya, lalu menuntut:
"Apakah kau menyatakan dengan bersungguh-sungguh demi kehormatanmu, tanpa
terpengaruh uang atau motif sepele lain apa pun, bahwa kau, secara bebas dan
sukarela, mengajukan diri sebagai kandidat untuk menerima semua misteri dan hak-
hak istimewa dari kelompok persaudaraan ini?"
"Aku bersumpah," dusta sang kandidat.
"Kalau begitu, biarlah ini menjadi sengatan terhadap kesadaranmu," ujar sang
Master memperingatkan, "dan juga kematian seketika, seandainya kau mengkhianati
rahasia rahasia yang akan disampaikan kepadamu."
Saat itu, kandidat itu sama sekali tidak merasa takut. Mereka tidak akan pernah
mengetahui tujuanku yang sebenarnya di sini.
Akan tetapi, malam ini dia merasakan kesenyapan yang mencekam di Ruang Kuil, dan
benaknya mulai mengingat kembali semua peringatan menyeramkan yang pernah
diterimanya dalam perjalanan ini, ancaman konsekuensi- konsekuensi mengerikan
seandainya dia mengungkapkan rahasia-rahasia kuno yang hendak dipelajarinya:
Leher digorok dari telinga ke telinga... lidah dicerabut sampai ke akar-
akarnya... isi perut dikeluarkan dan dibakar... disebarkan ke empat penjuru...
jantung direnggut keluar dan diberikan kepada makhluk-makhluk buas di belantara.
"Saudaraku," kata sang Master yang bermata kelabu itu, seraya meletakkan tangan
kiri pada bahu sang kandidat.
"Ucapkan sumpah terakhir."
Kandidat itu menguatkan diri untak langkah terakhir perjalanannya, menggeser
tubuh berototnya, dan kembali mengarahkan perhatian pada tengkorak dalam buaian
kedua telapak tangannya. Anggur merah tua itu tampak nyaris hitam dalam cahaya
lilin suram. Ruang itu menjadi benar-benar hening, dan dia bisa merasakan semua
saksi mengamati, menunggunya mengucapkan sumpah terakhir dan bergabung dengan
tingkat elite mereka. Malam ini, pikirnya, di dalam kungkungan dinding-dinding ini, berlangsung
sesuatu yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah kelompok persaudaraan
ini. Tidak satu kali pun, selama berabad-abad.
Dia tahu, hal itu akan menjadi percik api... yang akan memberinya kekuatan tak
terhingga. Dengan bersemangat dia menghela napas, dan dengan lantang mengucapkan
kata-kata yang sama yang pernah diucapkan oleh begitu banyak lelaki di berbagai
negara di seluruh dunia. "Biarlah anggur yang sedang kuminum ini menjadi racun mematikan bagiku...
seandainya dengan sadar atau sengaja aku melanggar sumpahku."
Kata-katanya menggema di ruang itu. Lalu, semuanya hening.
Kandidat itu menstabilkan kedua tangannya, mengangkat tengkorak ke mulut, dan
merasakan bibirnya menyentuh tulang yang kering itu. Dia memejamkan mata dan
menuangkan isi tengkorak itu ke mulut, meminum anggur dengan tegukan-tegukan
panjang dan dalam. Ketika tetes terakhir lenyap, dia menurunkan tengkorak yang
dipegangnya. Sejenak dia merasa seakan paru-parunya menyesak, dan jantungnya
mulai berdentam-dentam liar. Astaga, mereka tahu! Lalu, secepat kemunculannya,
perasaan itu menghilang. Kehangatan yang menyenangkan mulai mengaliri seluruh
tubuhnya. Kandidat itu mengembuskan napas, tersenyum dalam hati ketika memandang
lelaki bermata kelabu yang tidak menaruh curiga itu, yang dengan tololnya telah
memasukkannya ke dalam tingkat paling rahasia dari kelompok persaudaraan ini.
Sebentar lagi kau akan kehilangan semua yang paling berharga bagimu.
BAB 1 Lift Otis yang naik merayapi pilar selatan Menara Eiffel itu dipenuhi turis. Di
dalam lift sesak itu, seorang pebisnis sederhana dengan baju setelan rapi
menunduk memandangi anak laki-laki di sampingnya. "Kau tampak pucat Nak.
Seharusnya kau tetap di bawah."
"Aku baik-baik saja jawab anak laki-laki itu, seraya berjuang mengendalikan
kecemasan. "Aku akan keluar di tingkat berikutnya." Aku tidak bisa bernapas.
Lelaki itu mencondongkan tubuh lebih dekat. "Seharusnya saat ini kau sudah bisa
mengatasinya." Dia mengusap pipi bocah itu penuh kasih.
Anak laki-laki itu merasa malu telah mengecewakan ayahnya, tapi dia nyaris tidak
bisa. mendengar akibat denging di telinganya. Aku tidak bisa bernapas. Aku harus
keluar dari kotak ini! Petugas lift sedang mengucapkan sesuatu yang menenangkan mengenai piston
bersambung dan konstruksi besi tempa lift. Jauh di bawah mereka, jalan-jalan
Kota Paris membentang ke segala arah.
Hampir sampai, ujar bocah itu kepada diri sendiri, seraya menjulurkan leher dan
mendongak memandangi platform untuk menurunkan penumpang. Bertahanlah.
Ketika lift miring tajam ke arah dek pengunjung atas, terowongan mulai
menyempit, penyangga-penyangga kokohnya borkontraksi membentuk terowongan
vertikal sempit. "Dad, kurasa " Mendadak suara berderak terputus-putus menggema di atas kepala. Lift tersentak,
berayun-ayun dengan ganjilnya ke satu sisi. Beberapa kabel yang berjumbai-jumbai
mulai mencambuk-cambuk di sekeliling lift, mematuk-matuk seperti ular. Bocah itu
menjangkau ayahnya. "Dad!" Mereka bertatapan selama satu detik yang mengerikan. Lalu, lift terhunjam ke
bawah. Robert Langdon tersentak di kursi kulit empuk, terbangun dari lamunan setengah
sadarnya. Dia sedang duduk sendirian di kabin luas jet korporasi Falcon 2000EX
yang berguncang- guncang melewati turbulensi. Di latar belakang, dua mesin Pratt
& Whitney berdengung stabil.
"Mr. Langdon?" Suara interkom bergemeresak di atas kepala. "Kita hampir sampai."
Langdon duduk tegak dan menyelipkan kembali catatan- catatan ceramahnya ke dalam
tas bahu kulit. Dia sudah setengah jalan meninjau simbologi Mason ketika
benaknya tadi berkelana. Langdon curiga, agaknya lamunan tentang almarhum
ayahnya dipicu oleh undangan tak terduga pagi ini dari mentor lamanya, Peter
Solomon. Aku juga tak pernah ingin mengecewakan lelaki ini.
Filantrop, sejarahwan, dan ilmuwan berusia 58 tahun itu sudah membantu dan
membimbing Langdon selama hampir tiga puluh tahun, dalam banyak hal mengisi
kekosongan yang ditinggalkan oleh kematian ayah Langdon. Walaupun dinasti
keluarga Solomon sangat berpengaruh dan kekayaannya luar biasa, Langdon
menemukan kehangatan dan kerendahan hati di mata kelabu lembut lelaki itu.
Matahari sudah terbenam di balik jendela, tapi Langdon masih bisa melihat siluet
ramping obelisk terbesar di dunia, yang menjulang di cakrawala seperti menara
jam kuno. Obelisk berpermukaan marmer setinggi 555 kaki (170 meter) itu menandai jantung
bangsa ini. Di sekeliling menara, geometri cermat jalan-jalan dan monumen-
monumen memancar keluar. Dari udara sekalipun, Washington, DC memancarkan kekuatan yang nyaris mistis.
Langdon mencintai kota ini dan, ketika jet mendarat, dia merasakan kegairahannya
meningkat, membayangkan apa yang akan terjadi. Jet meluncur ke sebuah terminal
privat di suatu tempat di lapangan luas Bandara Internasional Dulles, lalu
berhenti. Langdon mengemasi barang-barangnya, berterima kasih kepada pilot, dan melangkah
keluar dari interior mewah jet menuju tangga lipat. Udara dingin Januari terasa
melegakan. Bernapaslah, Robert, pikirnya, seraya menikmati ruangan luas terbuka.
Selimut kabut putih merayapi landasan pacu, dan ketika turun ke aspal berkabut,
Langdon merasa seakan melangkah ke dalam rawa.
"Halo! Halo!" teriak sebuah suara merdu beraksen Inggris dari seberang aspal.
"Profesor Langdon?"
Langdon mendongak dan melihat seorang perempuan setengah baya dengan lencana dan
clipboard bergegas menghampiri, lalu melambaikan tangan dengan gembira ketika
Langdon mendekat. Rambut pirang keriting menyembul dari balik topi rajut wol
yang gaya. "Selamat datang di Washington, Pak!" Langdon tersenyum. "Terima kasih."
"Nama saya Pam, dari bagian layanan penumpang."
Perempuan itu bicara dengan luapan kegembiraan yang nyaris menjengkelkan. "Ikuti
saya, Pak, mobil Anda sudah menunggu."
Langdon mengikuti perempuan itu melintasi landasan pacu menuju terminal
Signature yang dikelilingi jet-jet privat berkilauan, Pangkalan taksi untuk
mereka yang kaya dan terkenal.
"Saya tidak ingin membuat Anda malu, Profesor," ujar perempuan itu,
kedengarannya malu-malu, "tapi Anda memang Robert Langdon yang menulis buku-buku
tentang simbol dan agama itukan?"
Langdon bimbang, lalu mengangguk.
"Sudah saya duga!" katanya dengan wajah berseri-seri.
"Kelompok pembaca buku saya membahas buku Anda tentang sacred feminine dan
gereja! Betapa menggemparkan skandal yang ditimbulkannya! Anda benar-benar suka
membikin kehebohan!"
Langdon tersenyum. "Skandal bukanlah tujuan saya yang sesungguhnya."
Perempuan itu agaknya merasa bahwa Langdon sedang tidak ingin mendiskusikan
karyanya. "Maaf. Harus mendengarkan saya mengoceh terus. Saya tahu, Anda mungkin
sudah bosan dikenali... tapi itu kesalahan Anda sendiri." Dengan bergurau, dia
menunjuk pakaian Langdon.
"Seragam Anda mengungkapkan segalanya."
Seragamku" Langdon menunduk memandangi pakaiannya. Seperti biasa, dia mengenakan
kaus abu-abu tua berleher tinggi, jaket Harris Tweed, celana panjang khaki, dan
sepatu kulit santai model mahasiswa... pakaian standarnya untuk mengajar,
bergaul di lingkungan pengajar, difoto sebagai penulis, dan untuk acara-acara
sosial. Perempuan itu tertawa. "Kaus berleher tinggi yang Anda kenakan kuno sekali. Anda
akan tampak jauh lebih cerdas dengan kemeja berdasi!"
Mustahil, pikir Langdon. Dasi adalah tali gantungan mungil. Enam hari seminggu,
ketika belajar di Phillips Exeter Academy, Langdon harus memakai dasi. Walaupun
ada pernyataan romantis dari pemimpin akademi bahwa cravat (dasi) berasal dari
fasealia (syal pengikat leher) sutra yang dikenakan para orator Romawi untuk
menghangatkan pita suara, Langdon tahu bahwa secara etimologis cravat
sesungguhnya berasal dari sebutan untuk sekumpulan serdadu bayaran "Croat" keji
yang menyimpulkan saputangan di leher sebelum maju bertempur. Sampai sekarang,
pakaian peperangan kuno ini dikenakan oleh para prajurit perkantoran modern yang
berharap bisa mengintimidasi musuh-musuh mereka dalam peperangan harian di ruang
rapat.

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih atas sarannya," ujar Langdon seraya tergelak.
"Selanjutnya dasi akan saya pertimbangkan."
Untunglah, seorang lelaki-yang tampak profesional dalam baju setelan warna
gelap-keluar dari Lincoln Town Car mengilap yang diparkir di dekat terminal dan
mengangkat jari tangannya. "Mr. Langdon" Saya Charles dari Beltway Limousine."
Dia membuka pintu penumpang. "Selamat malam, Pak. Selamat datang di Washington."
Langdon memberi persenan kepada Pam atas keramahannya, lalu masuk ke dalam
interior mewah Town Car itu. Sopir menunjukkan pengontrol suhu, air minum
kemasan, clan keranjang berisi kue muffin panas. Beberapa detik kemudian,
Langdon melaju kencang di jalanan akses privat.
Jadi, beginilah cara hidup orang-orang kaya.
Sembari mengarahkan mobil ke Windsock Drive, sopir memeriksa data penumpang dan
melakukan pembicaraan telepon cepat. "Ini Belt-way Limousine," katanya dengan
kecakapan profesional. "Saya diminta mengonfirmasi setelah penumpang mendarat."
Dia terdiam. "Ya, Pak. Tamu Anda, Mr. Langdon, sudah tiba, dan saya akan
mengantamya ke Gedung Capitol pukul tujuh malam. Sama-sama, Pak." Dia mengakhiri
pembicaraan. Mau tak mau Langdon tersenyum. Tidak ada satu pun yang terlewatkan. Perhatian
Peter Solomon terhadap detail adalah salah satu aset terampuhnya,
memungkinkannya mengelola kekuasaan besar dengan begitu mudah. Beberapa miliar
dolar di bank juga membantu.
Langdon menyandarkan tubuh di jok kulit mewah dan memejamkan mata seiring
kebisingan bandara menghilang di belakangnya. U.S. Capitol berjarak setengah jam
perjalanan, dan dia menikmati kesendiriannya dengan menata pikirannya. Semuanya
tadi begitu cepat hari ini, sehingga baru sekarang Langdon mulai serius
memikirkan malam menakjubkan yang terbentang di depan.
Tiba dalam selubung kerahasiaan, pikir Langdon, senang akan kemungkinan itu.
Enam belas kilometer dari Gedung Capitol, seseorang bersiap-siap menyambut
kedatangan Robert Langdon dengan amat cermat.
BAB 2 Seseorang yang menyebut dirinya Mal'akh menekankan ujung jarum ke kepala
plontosnya, lalu mendesah nikmat ketika alat tajam ita masuk dan keluar di
dagingnya. Dengung lembut perangkat listrik itu membuatnya kecanduan... seperti
juga gigitan jarum yang meluncur jauh ke dalam kulit dan mengeluarkan zat
pewarna. Aku adalah mahakarya. Tujuan pembuatan tato sama sekali bukan keindahan. Tujuannya adalah perubahan.
Mulai dari para pendeta Nubia pada zaman 2.000 SM, sampai para pembantu-pendeta
bertato dari aliran Cybele di Roma kuno, sampai parut-parut luka moko suku Maori
modern, manusia menato tubuh sebagai cara mempersembahkan tubuh dalam
pengorbanan, menahan sakit fisik pembubuhan tato, dan muncul sebagai manusia
yang telah bertransformasi.
Walaupun ada peringatan keras dalam Imamat 19: 28 yang melarang perajahan tanda-
tanda pada kulit, tato telah menjadi ritual perubahan yang diikuti oleh jutaan
orang di abad modern - semua orang, mulai dari remaja-remaja berpenampilan rapi
sampai para pengguna narkoba tingkat tinggi dan istri-istri di pinggiran kota.
Perbuatan menato kulit merupakan pemyataan kekuasaan yang transformatif,
pernyataan kepada dunia: Aku mengendalikan kulitku sendiri. Perasaan
mengendalikan yang memabukkan, yang berasal dari perubahan fisik itu, telah
membuat jutaan orang kecanduan terhadap praktik-praktik perubahan kulti... bedah
kosmetik, tindik tubuh, binaraga, dan steroid... bahkan bulimia dan perubahan
gender. Jiwa manusia mendambakan penguasaan atas cangkang jasmaniahnya.
Bunyi lonceng tunggal menggema dari jam kuno Mal'akh, dan dia mendongak. Pukul
setengah tujuh petang. Meninggalkan peralatannya, Mal'akh mengenakan jubah sutra
Kiryu pada tubuh telanjangnya yang setinggi seratus sembilan puluh sentimeter,
lalu melenggang ke lorong. Udara di dalam gedung yang membentang luas ini
dipenuhi aroma tajam zat pewarna kulit dan asap dari lilin-lilin yang terbuat
dari lilin lebah dan digunakan untak mensterilkan jarum-jarum. Pria muda
bertubuh menjulang itu bergerak menyusuri koridor, melewati berbagai barang
antik Italia yang tak ternilai harganya-sketsa Piranesi, kursi Savonarola, lampu
minyak Bugarini perak. Sambil berlalu, dia melirik jendela yang membentang dari lantai sampai langit-
langit, mengagumi garis langit bernuansa klasik di kejauhan. Kubah terang U.S.
Capitol berkilau memancarkan kekuatan dalam keheningan dilatari langit gelap
musim dingin. Di sanalah tempatnya disembunyikan, pikirnya. Terkubur di suatu tempat di luar
sana. Hanya beberapa orang yang mengetahui keberadaannya... dan bahkan lebih sedikit
lagi yang mengetahui kekuatan menakjubkan atau cara cerdik penyembunyiannya.
Sampai sekarang, hal itu tetap menjadi rahasia terbesar negara ini yang belum
terungkap. Sejumlah kecil orang yang benar- benar mengetahui kebenarannya
menjaganya agar tetap tersembunyi di balik selubung berbagai simbol, legenda,
dan alegori. Kini mereka sudah membukakan pintu untukku, pikir Mal'akh.
Tiga minggu yang lalu, dalam ritual gelap yang disaksikan oleh para lelaki
paling berpengaruh di Amerika, Mal'akh telah naik sampai derajat ketiga puluh
tiga, eselon tertinggi dalam kelompok persaudaraan tertua di dunia yang masih
bertahan. Walaupun Mal'akh telah mencapai tingkatan baru, para saudara seiman
tidak bercerita apa-apa kepadanya. Dan mereka memang tak akan menceritakannya,
Mal'akh sadar itu. Bukan begitu cara kerjanya. Ada lingkaran di dalam
lingkaran... kelompok-kelompok persaudaraan di dalam kelompok-kelompok
persaudaraan. Seandainya pun menunggu selama bertahun-tahun, mungkin dia tidak
akan pernah mendapat kepercayaan penuh mereka.
Untungnya, dia tidak memerlukan kepercayaan mereka untuk memperoleh rahasia
terdalam mereka. Inisiasiku sudah memenuhi tujuannya.
Kini, dipicu semangat oleh apa yang terbentang di depan, dia melenggang menuju
kamar. Di seluruh rumah, pengeras pengeras suara mengumandangkan musik
mengerikan berupa rekaman langka seorang penyanyi terkebiri yang melantunkan
"Lux Aetema" dari Requiem Verdi pengingat akan kehidupannya sebelumnya. Mal'akh
menyentuh remote control dan memilih "Dies Irae" yang membahana. Lalu, dilatari
gemuruh timpani dan pergantian cepat nada-nada, dia menaiki tangga marmer dengan
kaki berotot dan jubah berkibaran.
Ketika dia berlari, perut kosongnya berkeroncongan memprotes. Sudah dua hari
Marakh berpuasa, hanya minum air, menyiapkan tubuh sesuai cara cara kuno. Rasa
laparmu akan terpuaskan saat fajar, demikian dia mengingatkan diri sendiri.
Bersama-sama dengan rasa sakitmu.
Mal'akh memasuki kamar pribadinya dengan khidmat, lalu mengunci pintu di
belakangnya. Ketika menuju area berpakaian, dia berhenti, merasa seolah-olah
ditarik ke cermin besar bersepuh emas. Tanpa bisa menahan diri, dia berbalik dan
menghadap pantulannya sendiri. Perlahan-lahan, seakan membuka hadiah yang tak
ternilai harganya, Mal'akh melepas jubah untuk mengungkapkan tubuh telanjangnya.
Pemandangan itu menakjubkannya.
Aku adalah mahakarya. Tubuh besarnya tercukur halus. Pertama-tama dia menunduk memandangi sepasang
kaki bagian bawah yang ditato dengan sisik-sisik dan cakar-cakar rajawali. Di
atasnya, kaki kaki berototnya ditato seperti pilar berukir - yang kiri berukir
spiral dan yang kanan beralur bertikal. Boas dan Yakhin. (Dua pilar tembaga yang
berdiri tegak di beranda Kull Raja Solomon. penerj.)
Selangkangan dan perutnya membentuk lengkungan gerbang berhias dan, di atasnya,
dada kekarnya berhias burung phoenix berkepala dua... masing-masing kepala
menghadap ke samping dengan mata yang dibentuk dari puting Mal'akh. Bahu, leher,
wajah, dan kepala plontosnya tertutup seluruhnya oleh tato rumit penuh simbol
dan sigil (simbol sihir).
Aku adalah artefak... ikon yang berevolusi.
Delapan belas jam sebelumnya, seorang lelaki melihat Mal'akh telanjang dan
berteriak ketakutan. "Astaga, kau iblis!"
"Jika itu anggapanmu," jawab Mal'akh. Seperti orang-orang kuno, Mal'akh memahami
bahwa malaikat dan iblis itu identik - dua arketipe yang bisa saling
dipertukarkan - hanya masalah polaritas: malaikat penjaga yang menaklukkan
musuhmu dalam peperangan akan dianggap oleh musuhmu sebagai iblis penghancur.
Kini Mal'akh menunduk dan secara tidak langsung bisa melihat puncak kepalanya.
Di sana, di dalam lingkaran halo yang menyerupai mahkota, bulatan kecil kulit
pucat yang bersih belum bertato bersinar cemerlang. Kanvas yang dijaga dengan
hati-hati ini adalah satu-satunya bagian kulit perawan Mal'akh yang tersisa,
tempat suci ini telah menunggu dengan sabar... dan malam ini tempat itu akan
terisi. Walaupun belum memiliki apa yang diperlukan untuk melengkapi
mahakaryanya, dia tahu saatnya sudah semakin mendekat.
Merasa puas dengan pantulan dirinya, Mal'akh sudah bisa merasakan kekuatannya
bertambah. Dia mengenakan jubah dan berjalan ke jendela, sekali lagi memandang
kota mistis di hadapannya. Terkubur di suatu tempat di luar sana.
Mal'akh kembali memusatkan perhatian pada tugas, di tangan, pergi ke meja rias,
dan dengan cermat mengoleskan make up penutup noda ke wajah, kulit kepala, dan
leher, sampai semua tato-nya tidak terlihat lagi. Lalu dia mengenakan baju
setelan khusus dan benda benda lain yang telah disiapkannya dengan cermat untuk
malam ini. Ketika sudah selesai, dia meneliti dirinya sendiri di cermin. Setelah
merasa puas, dia menyapukan telapak tangan lembutnya ke kulit kepala licin dan
tersenyum. Ada di luar sana, pikirnya. Dan malam ini, seorang lelaki akan membantuku
menemukannya. Ketika meninggalkan rumah, Mal'akh menyiapkan diri untuk menghadapi kejadian
yang akan segera mengguncang Gedung U.S. Capitol. Dia sudah bersusah payah untuk
menyatukan semua bagian yang akan memunculkan kejadian malam ini.
Dan kini, akhirnya, pion terakhir sudah memasuki permainan.
BAB 3 Robert Langdon sedang sibuk meninjau kartu-kartu catatannya ketika dengung roda-
roda Town Car berubah di jalanan di bawahnya. Langdon mendongak, dan terkejut
melihat daerah mereka berada.
Sudah di jembatan Memorial"
Dia meletakkan catatan-catatannya dan memandang ke luar, ke perairan tenang
Sungai Potomac yang mengalir di bawahnya. Kabut tebal melayang di atas
permukaan. Foggy Bottom - nama yang cocok - selalu tampak ganjil sebagai tempat
untuk membangun ibu kota negara. Dari semua tempat di Dunia Baru, para leluhur
memilih rawa basah di tepi sungai untuk meletakkan batu pertama masyarakat
utopia mereka. Langdon memandang ke kiri, ke seberang Tidal Basin, ke arah siluet membulat
anggun Jefferson Memorial - Pantheon (nama kuil kuno di Roma. penerj.) Amerika,
demikianlah banyak orang menyebutnya. Persis di depan mobil, Lincoln Memorial
tegak dengan kesederhanaan kakunya, garis-garis ortogonalnya mengingatkan pada
Kuil Parthenon kuno di Athena. Tapi lebih jauh lagi, barulah Langdon melihat
bagian terpenting kota menara yang sama yang telah dilihatnya dari udara.
Inspirasi arsitekturalnya jauh, jauh lebih tua daripada bangsa Romawi atau
Yunani. Obelisk Mesir milik Amerika.
Menara batu Monumen Washington menjulang kaku di depan, cemerlang dilatari
langit bagaikan tiang megah kapal. Dari sudut miring penglihatan Langdon, malam
ini obelisk itu tampak tercerabut dari tanah... bergoyang-goyang dilatari langit
menjemukan, seakan berada di lautan bergelora.
Langdon merasa sama tercerabutnya. Kunjungannya ke Washington benar-benar di
luar dugaan. Aku bangun pagi ini dengan mengharapkan Minggu tenang di rumah ...
dan kini aku berjarak beberapa menit dari U.S. Capitol.
Pagi tadi, pukul empat lewat empat puluh lima menit, Langdon melompat ke dalam
air tenang, memulai hari seperti biasanya, berenang lima puluh putaran di Kolam
Renang Harvard yang sepi. Perawakannya sudah tidak seperti pada masa kuliah dulu
sebagai atlet polo air Amerika, tapi dia masih ramping dan berotot, cukup
terhormat untuk lelaki di usia 40-an. Satu-satunya perbedaan hanyalah besarnya
usaha yang dia perlukan untuk mempertahankannya.
Biasanya, ketika tiba di rumah sekitar pukul enam, Langdon memulai ritual pagi
dengan menggiling biji-biji kopi Sumatra dan menikmad aroma eksotis yang
memenuhi dapur. Akan tetapi, pagi ini dia dikejutkan oleh lampu merah yang
berkedip-kedip di layar voice mail-nya. Siapa yang menelepon pukul enam pagi di
hari Minggu" Dia menekan tombol dan mendengarkan pesannya.
"Selamat pagi, Profesor Langdon, maaf sekali menelepon sepagi ini." Suara sopan
itu jelas terdengar bimbang, dengan sedikit aksen Selatan. "Nama saya Anthony
Jelbart, dan saya asisten eksekutif Peter Solomon. Kata Mr. Solomon, Anda selalu
bangun pagi-pagi sekali... beliau berusaha menghubungi Anda pagi ini karena
urusan yang sangat mendesak. Segera setelah menerima pesan ini, bersediakah Anda
menelepon langsung Peter" Mungkin Anda punya nomor telepon pribadinya, tapi jika
tidak, nomornya 202 329 5746."
Mendadak Langdon mengkhawatirkan teman lamanya itu. Peter Solomon bertabiat
sangat baik dan sopan, dan pastilah bukan jenis orang yang menelepon di waktu
fajar di hari Minggu, kecuali terjadi sesuatu yang sangat gawat.
Langdon meninggalkan kopinya setengah matang dan bergegas menuju ruang kerja
untuk membalas telepon itu.
Kuharap, dia baik-baik saja.
Peter Solomon adalah teman, mentor, dan - walaupun usia mereka hanya terpaut dua
belas tahun - merupakan sosok ayah bagi Langdon semenjak perjumpaan pertama
mereka di Universitas Princeton. Sebagai mahasiswa tahun kedua, Langdon
diharuskan menghadiri kuliah dosen tamu malam hari yang disampaikan oleh
sejarahwan dan filantrop muda yang sangat terkenal. Solomon bicara dengan
kegairahan yang gampang menular, memberikan pandangan menakjubkan mengenai
semiotika dan sejarah arketipe, yang menyalakan dalam diri Langdon minat yang
kemudian menjadi kegairahan seumur hidupnya terhadap simbol. Akan tetapi, bukan
kegeniusan Peter Solomon, melainkan kerendahan hati dalam mata kelabu lembut itu
yang memberi Langdon keberanian untuk menulis surat ucapan terima kasih
kepadanya. Mahasiswa tingkat dua itu tidak pernah bermimpi bahwa Peter Solomon,
salah seorang intelektual muda paling memesona dan paling kaya di Amerika, akan
membalas suratnya. Tapi Solomon melakukannya. Dan itu menjadi permulaan
persahabatan yang benar-benar menyenangkan.
Seorang akademisi terkemuka yang sikap tenangnya berlawanan dengan warisan luar
biasanya, Peter Solomon datang dari keluarga Solomon nan mahakaya yang namanya
terpampang pada bangunan-bangunan dan universitas- universitas di seluruh
negeri. Seperti keluarga Rothsehild di Eropa, nama keluarga Solomon selalu
membawa aura mistik kebangsawanan dan kesuksesan Amerika. Peter mewarisi
tanggung jawab itu di usia muda, setelah kematian ayahnya, dan kini, di usia 58,
dia sudah memegang berbagai posisi berpengaruh dalam hidupnya. Baru-baru ini dia
bekerja sebagai kepala Smithsonian Institution. Terkadang Langdon mengolok-
oloknya, mengatakan bahwa satu-satunya noda pada latar belakang Peter yang hebat
adalah diploma dari universitas nomor dua Yale.
Kini, ketika memasuki ruang kerjanya, Langdon terkejut melihat bahwa dia juga
menerima faks dari Peter.
Peter Solomon KANTOR SEKRETARIS SMITHSONIAN INSTITUTION Selamat pagi, Robert, Aku perlu bicara
dengamnu segera. Telepon aku pagi ini secepat mungkin di 202 329 5746.
Peter Langdon langsung menghubungi nomor itu, seraya duduk di meja kayu oak ukiran
tangan dan menunggu teleponnya tersambung.
"Kantor Peter Salomon," suara asisten yang sudah dikenalnya menjawab. "Ini
Anthony. Ada yang bisa dibantu?"
"Halo, ini Robert Langdon. Anda meninggalkan pesan untuk saya tadi."
"Ya, Profesor Langdon!" Pemuda itu kedengaran lega.
"Terima kasih telah membalas telepon dengan cepat. Mr. Solomon ingin sekali
berbicara dengan Anda. Beliau akan saya beri tahu kalau Anda menunggunya di
telepon. Bisa tunggu sebentar?"
"Tentu saja." Sembari menunggu Solomon, Langdon memandang nama Peter di atas kop surat
Smithsonian dan tidak bisa menahan senyum. Tidak banyak pemalas dalam klan
Solomon. Pohon silsilah Peter sarat dengan nama orang-orang bisnis penting dan
kaya, politikus berpengaruh, dan sejumlah ilmuwan terkenal, beberapa bahkan
anggota Royal Society London. Satu-satunya anggota keluarga Solomon yang masih
hidup, adik perempuannya, Katherine, tampaknya mewarisi gen ilmu pengetahuan,
karena dia kini menjadi sosok terkemuka dalam bidang ilmu termutakhir yang
disebut Ilmu Noetic. Semuanya asing bagiku, pikir Langdon, yang merasa geli ketika mengingat usaha
sia-sia Katherine dalam menjelaskan Ilmu Noetic kepadanya di sebuah pesta di
rumah Peter tahun lalu. Langdon mendengarkan dengan cermat, lalu menjawab,
"Kedengarannya lebih mendekati sihir daripada ilmu pengetahuan."
Katherine mengedipkan sebelah mata dengan jenaka. " Lebih dekat daripada yang
kau pikirkan, Robert."
Asisten Solomon kembali ke telepon. "Maaf, Mr. Solomon sedang berusaha


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengakhiri telepon konferensi. Segalanya agak kacau di sini pagi ini."
"Tak masalah. Saya bisa meneleponnya lagi."
"Sesungguhnya, beliau meminta saya memberi tahu Anda alasan beliau menghubungi
Anda. Jika Anda tidak keberatan."
"Tentu saja tidak."
Asisten itu menghela napas dalam dalam. "Seperti yang mungkin Anda ketahui,
Profesor, setiap tahun di Washington, Dewan Smithsonian menyelenggarakan pesta
privat sebagai ucapan terima kasih kepada para pendukung kami yang paling
dermawan. Banyak kaum elite kebudayaan negeri ini hadir." Langdon tahu, angka
nol di rekening banknya terlalu sedikit untuk membuat dirinya pantas disebut
sebagai kaum elite berbudaya, tapi dia bertanya-tanya dalam hati apakah Solomon
hendak mengundangnya untuk menghadiri pesta itu.
"Tahun ini, seperti biasanya," lanjut asisten itu, "perjamuan makan malamnya
akan didahului oleh pembicara utama. Kami cukup beruntung bisa menggunakan
National Statuary Hall untuk ceramah itu."
Ruangan terbaik di seluruh DC, pikir Langdon, seraya mengingat ceramah politik
yang pernah dihadirinya di ruangan semi-melingkar yang dramatis itu. Sulit untuk
melupakan lima ratus kursi lipat yang tersebar membentuk lengkungan sempurna,
Dikelilingi tiga puluh delapan patung seukuran manusia, di sebelah ruangan yang
pernah berfungsi sebagai ruang asli House of Representatives.
"Masalahnya," ujar lelaki itu. "Pembicara kami sakit dan baru saja memberi tahu
kalau beliau tidak akan bisa menyampaikan ceramah." Dia terdiam dengan canggung.
"Ini berarti kami harus mencari pembicara pengganti. Dan Mr. Solomon berharap
Anda bersedia menggantikannya."
Langdon terpana. "Saya?" Ini sama sekali di luar dugaan.
"Saya yakin Peter bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik."
"Anda pilihan pertama Mr. Solomon, Profesor, dan Anda terlalu merendah. Tamu-
tamu institut akan gembira mendengarkan ceramah Anda, dan menurut Mr. Solomon,
Anda bisa menyampaikan ceramah yang sama yang Anda berikan untuk TV Bookspan
beberapa tahun lalu" Dengan begitu, Anda tidak perlu menyiapkan apa-apa. Kata
beliau, ceramah Anda menyangkut simbolisme dalam arsitektur ibu kota negara kita
kedengarannya benar-benar sempurna untuk tempat acaranya."
Langdon tidak begitu yakin. "Seingat saya, ceramah itu lebih berhubungan dengan
latar belakang Masonik bangunan itu daripada..."
"Tepat sekali! Seperti yang Anda ketahui, Mr. Solomon anggota Mason, begitu juga
sebagian besar teman profesionalnya yang akan hadir. Saya yakin mereka ingin
sekali mendengar Anda membicarakan topik itu."
Kuakui, itu pasti mudah. Langdon menyimpan catatan dari semua ceramah yang
pernah disampaikannya. "Mungkin bisa saya pertimbangkan. Tanggal berapa
acaranya?" Asisten itu berdeham, kedengarannya mendadak merasa tidak nyaman. "Wah,
sesungguhnya, Pak, acaranya malam ini."
Langdon tertawa keras-keras. "Malam ini?"
"Itulah sebabnya mengapa pagi ini begitu sibuk di sini. Smithsonian Instituten
berada dalam situasi yang sangat memalukan..." Kini asisten itu bicara lebih
cepat. "Mr. Solomon siap mengirimkan jet privat ke Boston untuk Anda.
Penerbangannya hanya satu jam, dan Anda bisa pulang sebelum tengah malam. Anda
tahu terminal udara privat di Bandara Logan Boston?"
"Ya," dengan enggan Langdon mengakui. Tak heran keinginan Peter selalu terkabul.
"Bagus! Bersediakah Anda menjumpai jetnya di sana sekitar... pukul lima?"
"Anda tidak memberi saya banyak pilihan, bukan?" kekeh Langdon.
"Saya hanya ingin menyenangkan Mr. Solomon, Pak."
Peter punya pengaruh seperti itu terhadap semua orang. Langdon
mempertimbangkannya untuk waktu yang lama, dan tidak melihat adanya jalan
keluar. "Baiklah. Beri tahu Peter, saya menyanggupinya."
"Hebat!" teriak asisten itu, kedengarannya begitu lega. Dia memberi Langdon
nomor jetnya dan berbagai informasi lain.
Ketika akhirnya menutup telepon, Langdon bertanya-tanya apakah Peter Solomon
pernah mendapat jawaban tidak.
Saat kembali pada kesibukan menyiapkan kopinya, Langdon memasukkan beberapa
butir biji lagi ke dalam penggilingan. Sedikit kafein tambahan pagi ini,
pikirnya. Akan menjadi hari yang panjang.
BAB 4 Gedung U.S. Capitol berdiri megah di ujung sebelah timur National Mall, di
dataran tinggi yang digambarkan oleh desainer kota Pierre L'Enfant sebagai "alas
yang menunggu monumen".
Area luas Capitol panjangnya lebih dari 230 meter dan lebarnya 100 meter.
Menampung lebih dari 65.000 meter persegi ruangan lantai, bangunan itu memiliki
541 ruangan yang menakjubkan. Arsitektur neoklasiknya didesain dengan cermat
untuk menggaungkan kemegahan Roma kuno, yang gagasan-gagasannya menjadi
inspirasi bagi para pendiri Amerika dalam menetapkan undang-undang dan
kebudayaan republik baru itu.
Pos pemeriksaan keamanan baru bagi turis-turis yang memasuki Gedung Capitol
terletak jauh di dalam pusat pengunjung yang baru saja selesai dibangun di bawah
tanah, di bawah jendela atap menakjubkan yang membingkai Kubah Capitol. Penjaga
keamanan baru, Alfonso Nunez, dengan cermat mengamati seorang pengunjung laki-
laki yang kini mendekati tempat pemeriksaan. Lelaki berkepala plontos itu sudah
berkeliaran di lobi, menyelesaikan pembicaraan telepon sebelum memasuki gedung.
Lengan kanannya berada di dalam kain gendongan dan jalannya sedikit pincang. Dia
mengenakan jaket panjang tentara lusuh yang dikombinasikan dengan kepala
plontosnya, membuat Nunez menebaknya sebagai seorang militer. Mereka yang pernah
bertugas dalam angkatan bersenjata AS termasuk pengunjung Washington paling
umum. "Selamat malam, Pak," sapa Nunez, mengikuti protokol keamanan dengan mengajak
bicara pengunjung laki-laki yang masuk sendirian.
"Halo," jawab pengunjung itu, seraya melirik ke sekeliling pintu masuk yang
nyaris kosong. "Malam yang sepi."
"Pertandingan final NFC," jawab Nunez. "Semua orang menyaksikan tim Redskins
malam ini." Nufiez berharap, dia juga menyaksikan, tapi ini bulan pertamanya
bekerja, dan malam ini dia harus bertugas. "Harap letakkan barang-barang logam
di atas nampan." Ketika pengunjung itu mengosongkan saku-saku jaket panjangnya dengan sebelah
tangannya yang sehat, Nunez mengamatinya dengan saksama. Insting manusia
memberikan kelonggaran khusus bagi mereka yang cedera atau cacat, tapi Nunez
sudah dilatih untuk mengesampingkan insting itu.
Nunez menunggu sejenak ketika pengunjung itu mengeluarkan berbagai barang biasa
dari sakunya: uang receh, kunci-kunci, dan beberapa ponsel. "Terkilir?" tanya
Nunez, seraya melirik tangan cedera lelaki itu yang tampaknya dibelit
serangkaian perban elastis Ace tebal.
Lelaki botak itu mengangguk. "Terpeleset di atas es. Seminggu yang lalu. Masih
luar biasa sakitnya."
"Saya ikut prihatin. Silakan lewat."
Pengunjung itu terpincang-pincang melewati detektor, dan mesin itu berdengung
memprotes. Pengunjung itu memberengut. "Sudah kuduga. Aku memakai cincin di balik perban-
perban ini. Jari tanganku terlalu bengkak untuk mengeluarkan cincin itu, jadi
dokter membelitkan perban di atasnya."
"Tak masalah," ujar Nunez. "Saya pakai tongkat saja." Nunez menelusurkan tongkat
pendeteksi logam di atas tangan berrbalut perban pengunjung itu. Sesuai
perkiraan, satu-satunya logam yang terdeteksi adalah tonjolan besar di jari
manis lelaki itu. Nunez berlama-lama menjalankan detektor logam di atas setiap
inci kain gendongan dan jari tangan lelaki itu. Dia tahu, penyelianya mungkin
sedang memantaunya di CCTV di pusat keamanan bangunan, dan Nunez memerlukan
pekerjaan ini. Berhati hati selalu lebih baik. Dengan hati-hati, dia menyelipkan
tongkatnya ke dalam kain gendongan lelaki itu.
Pengunjung itu mengernyit kesakitan.
"Maaf." "Tidak apa-apa," kata lelaki itu. "Belakangan ini kau tidak boleh lengah."
"Memang benar." Nunez menyukai lelaki ini. Anehnya, hal itu sangat penting di
tempat ini. Insting manusia adalah garis pertahanan pertama Amerika terhadap
terorisme. Sudah terbukti bahwa intuisi manusia merupakan detektor bahaya yang
lebih akurat daripada semua perangkat elektronik di dunia berkah ketakutan,
itulah istilah yang diberikan dalam salah satu buku referensi keamanan mereka.
Dalam hal ini, insting Nunez tidak merasakan adanya sesuatu yang membangkitkan
rasa takut. Satu-satunya keanehan yang dia amati, kini setelah mereka berdiri
sangat berdekatan, adalah lelaki yang kelihatan tangguh ini tampaknya mengenakan
semacam make up penutup noda atau pencokelat kulit di wajahnya. Apa peduliku.
Semua orang tidak suka terlihat pucat di musim dingin.
"Anda boleh masuk," ujar Nunez, seraya menyelesaikan pemeriksaan dan menyimpan
tongkatnya. "Terima kasih." Lelaki itu mulai mengambil barang- barangnya dari nampan.
Ketika dia melakukannya, Nunez mengamati adanya tato pada kedua jari tangan yang
menyembul dari perban; ujung jari telunjuknya bergambar mahkota, dan ujung
jempolnya bergambar bintang. Tampaknya semua orang punya tato belakangan ini,
pikir Nunez, walaupun ujung jari tangan tampaknya tempat yang menyakitkan untuk
diberi tato. "Tato- tato itu menyakitkan?"
Lelaki itu memandang kedua ujung jari tangannya dan tergelak. "Tidak separah
yang kau perkirakan."
"Beruntung," ujar Nunez, "Punya saya sangat menyakitkan.
Saya membubuhkan gambar putri duyung di punggung saat berada di kamp
ketentaraan." "Putri duyung?" Lelaki botak itu tergelak.
"Ya," jawab Nunez tersipu sipu. "Kesalahan yang kita lakukan di masa muda."
"Aku mengerti," kata lelaki botak itu. "Aku juga membuat kesalahan besar di masa
mudaku. Kini aku bangun di sebelahnya setiap pagi."
Mereka berdua tertawa, dan lelaki itu pergi.
Gumpang sekali, pikir Mal'akh, ketika berjalan melewati Nunez dan menaiki
eskalator menuju Gedung Capitol. Proses masuknya lebih mudah daripada yang
diperkirakan. Postur membungkuk dan ganjalan perut telah menyembunyikan
perawakan Mal'akh yang sebenarnya, sementara make up di wajah dan tangan
menyembunyikan tato yang memenuhi tubuh. Akan tetapi, yang paling genius adalah
kain gendongan itu, untuk menyamarkan benda penting yang dibawa Mal'akh ke dalam
gedung. Hadiah untuk satu-satunya lelaki di dunia yang bisa membantuku memperoleh apa
yang kucari. BAB 5 Museum terbesar dan termaju teknologinya di dunia itu juga merupakan salah satu
rahasia yang paling dilindungi di dunia. Museum itu menampung lebih banyak
barang daripada gabungan antara Hermitage, Museum Vatikan, dan New York
Metropolitan.... Akan tetapi, walaupun koleksinya luar biasa, hanya sedikit
anggota masyarakat yang pernah diundang ke balik dinding-dindingnya yang dijaga
ketat. Museum yang terletak di 4210 Silver Hill Road persis di luar Washington, DC itu
merupakan bangunan besar berbentak zigzag yang terdiri atas lima bangsal yang
saling berhubungan masing-masing bangsal lebih luas daripada lapangan sepak
bola. Eksterior logam kebiruan bangunan itu sangat tidak bisa menggambarkan
keanehan yang ada di dalamnya - dunia asing seluas lima puluh enam ribu meter
persegi - yang terdiri atas "zona kematian", "bangsal basah", dan lemari lemari
penyimpanan sepanjang lebih dari dua puluh kilometer.
Malam ini, ilmuwan Katherine Solomon merasa gelisah ketika menyetir Volvo
putihnya menuju gerbang keamanan utama gedung.
Si penjaga tersenyum. "Bukan penggemar football, Miss. Solomon?" Dia mengecilkan
volume acara prapertandingan final Redskins.
Katherine memaksakan senyuman tegang. "Ini Minggu malam."
"Oh, benar. Rapat Anda."
"Dia sudah di sini?" tanyanya cemas.
Penjaga itu melirik kertas kerjanya. "Saya tidak melihatnya di buku tamu."
"Aku datang terlalu awal." Katherine melambaikan tangan dengan ramah dan
melanjutkan menyusuri jalan akses berkelok-kelok menuju tempat parkirnya seperti
biasa, di bagian dasar tempat parkir dua tingkat kecil. Dia mulai mengumpulkan
barang-barangnya dan sekilas mengecek penampilan dikaca spion lebih karena
kebiasaan daripada kesukaan bersolek.
Katherine Solomon diberkahi kulit kenyal Mediterania dari nenek moyangnya dan
bahkan diusia 50, kulit halusnya berwama zaitun. Dia hampir tidak memakai make
up dan rambut hitam tebalnya terurai tanpa gaya. Seperti kakak laki- lakinya,
Peter, dia punya mata kelabu dan keanggunan ramping bangsawan.
Kalian berdua seperti anak kembar, itulah yang sering dikatakan orang kepada
mereka. Ayah mereka menyerah pada kanker ketika Katherine baru berusia 7 tahun, sehingga
dia hanya sedikit mengingatnya. Kakak laki-laki Katherine, yang delapan tahun
lebih tua dan baru berusia 15 ketika ayah mereka meninggal, sudah memulai
perjalanan menjadi kepala keluarga Solomon jauh lebih cepat daripada yang pernah
dibayangkan semua orang. Akan tetapi, seperti yang diharapkan, Peter memegang
peranan itu dengan kewibawaan dan kekuatan yang sesuai dengan nama keluarganya.
Sampai saat ini, dia masih mengawasi Katherine, seakan mereka masih kanak-kanak.
Walaupun terkadang didorong oleh kakaknya dan dia tidak pernah kekurangan
pelamar, Katherine tidak pernah menikah. Ilmu pengetahuan menjadi pasangan
hidupnya, dan pekerjaannya sudah terbukti lebih memuaskan dan menggairahkan
daripada apa yang bisa diharapkannya dari lelaki mana pun. Katherine tidak
pernah menyesal. Bidang pilihannya - Ilmu Noetic - bisa dikatakan belum dikenal ketika dia
pertama kali mendengarnya, tapi belakangan ini bidang itu sudah mulai membukakan
pintu- pintu pemahaman baru mengenai kekuatan pikiran manusia. Potensi yang
belum tergali ini benar-benar mengejutkan.
Dua buku Katherine mengenai Noetic telah mengukuhkan dirinya sebagai pelopor
dalam bidang yang masih jarang dikenal ini, tapi temuan-temuan terbarunya, jika
dipublikasi, pasti akan membuat Ilmu Noetic menjadi topik percakapan utama di
seluruh dunia. Akan tetapi, malam ini, ilmu pengetahuan adalah hal terakhir yang ada dalam
pikiran Katherine. Pagi tadi dia menerima informasi yang sungguh menggelisahkan
menyangkut kakaknya. Aku masih tidak bisa memercayainya. Dia sama sekali tidak
memikirkan hal lain sepanjang siang.
Tetes-tetes gerimis berjatuhan di kaca depan mobil, dan Katherine cepat-cepat
mengumpulkan barang-barangnya untuk segera masuk ke dalam gedung. Dia hendak
melangkah keluar dari mobil ketika ponselnya berdering.
Dia memeriksa ID penelepon dan menghela napas dalam- dalam.
Lalu dia menyingkirkan rambut ke belakang telinga dan duduk untuk menerima
telepon itu. Berjarak sepuluh kilometer jauhnya, Mal'akh menyusuri koridor-koridor Gedung
U.S. Capitol dengan ponsel ditekankan ke telinga. Dia menunggu dengan sabar
selama telepon di ujung satunya berdering.
Akhirnya, suara seorang perempuan menjawab. "Ya?"
"Kita harus bertemu kembali," ujar Mal'akh.
Muncul keheningan panjang. "Semuanya baik-baik saja?"
"Saya punya informasi baru," jawab Mal'akh.
"Katakan." Mal'akh menghela napas panjang. "Sesuatu yang kakakmu yakin tersembunyi di
DC. ...?" "Ya?" "Bisa ditemukan."
Katherine Solomon kedengaran terpana. "Anda bilang itu nyata?"
Mal'akh tersenyum kepada diri sendiri. "Terkadang legenda yang bertahan selama
berabad abad... bertahan untuk alasan tertentu."
BAB 6 "Anda hanya bisa sampai di sini?" Mendadak Robert Langdon dilanda kecemasan
ketika sopir memarkir mobil di First Street, kira-kira setengah kilometer dari
Gedung Capitol. "Saya rasa begitu,"jawab sopir. "Undang-Undang Homeland Security. Kendaraan
tidak diperbolehkan lagi berada di dekat bangunan bangunan penting. Maaf, Pak."
Langdon menengok arloji, dan terkejut ketika melihat sudah pukul 6.50. Zona
konstruksi di dekat National Mall telah memperlambat mereka, dan ceramahnya akan
dimulai sepuluh menit lagi.
"Cuaca berubah," ujar sopir, seraya melompat keluar dan membukakan pintu untuk
Langdon. "Anda harus bergegas." Langdon meraih dompet untuk memberi persenan,
tapi lelaki itu melambaikan tangan menolaknya. "Tuan rumah Anda sudah
menambahkan persenan yang sangat murah hati pada tagihannya."
Khas Peter, pikir Langdon, seraya mengumpulkan barang- barangnya. "Oke, terima
kasih sudah mengantar saya."
Beberapa tetes hujan pertama mulai berjatuhan ketika Langdon mencapai bagian
atas selasar melengkung anggun yang melandai ke pintu masuk pengunjung baru "di


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah tanah". The Capitol Visitor Center merupakan proyek mahal dan kontroversial. Digambarkan
sebagai kota bawah tanah untuk menyaingi Disney World, ruang bawah tanah ini
dikabarkan menyediakan tempat seluas lebih dari lima puluh ribu meter persegi
untuk berbagai pameran, restoran, dan ruang pertemuan.
Langdon memang ingin melihat tempat itu, walaupun tidak mengharapkan perjalanan
kaki yang cukup panjang ini. Langit mengancam mencurahkan hujan setiap saat, dan
Langdon mulai berlari lari kecil, sepatunya hampir tidak memberikan daya
cengkeram di atas semen basah. Aku berpakaian untuk ceramah, bukan untuk berlari
sejauh tiga ratus lima puluh meter menembus hujan!
Ketika tiba di bagian bawah, dia terengah-engah kehabisan napas. Langdon
mendorong pintu putar, lalu berdiri sejenak di foyer untuk menarik napas dan
membersihkan air hujan. Lalu dia mendongak memandang ruangan yang baru saja
selesai dibangun itu. Oke, aku terkesan. The Capitol Visitor Center sama sekah di luar dugaannya. Karena ruangan itu
berada di bawah tanah, tadinya Langdon merasa cemas melewatinya. Sebuah
kecelakaan semasa kecil membuatnya terlantar di dasar sumur yang dalam sepanjang
malam, dan kini dia hampir selalu terobsesi untuk menghindari tempat-tempat
tertutup. Tapi, ruang bawah tanah ini ... entah mengapa lega. Ringan. Luas.
Langit-langitnya berupa bentangan kaca luas dengan serangkaian peralatan lampu
dramatis yang melemparkan kilau suram melintasi interior berwarna mutiara.
Dalam situasi normal, Langdon akan menghabiskan waktu satu jam penuh di sini
untuk mengagumi arsitekturnya. Tapi, dengan waktu lima menit menjelang ceramah,
dia menunduk dan lari melintasi lorong utama menuju pos pemeriksaan keamanan dan
eskalator. Tenang, katanya kepada diri sendiri. Peter tahu kau sedang dalam
perjalanan. Acara tidak akan dimulai tanpamu.
Di pos pemeriksaan, seorang penjaga Hispanik muda mengajaknya bercakap-cakap,
ketika Langdon mengosongkan saku-saku dan melepaskan arloji antiknya.
"Mickey Mouse?" tanya penjaga itu, kedengaran agak geli. Langdon mengangguk,
sudah terbiasa dengan komentar itu. Arloji Mickey Mouse edisi kolektor itu
hadiah dari orangtuanya di ulang tahunnya yang kesembilan. "Saya pakai untuk
mengingatkan saya agar tidak terburu-buru dan tidak terlalu serius menghadapi
kehidupan." "Saya rasa tidak berhasil," ujar penjaga itu sambil tersenyurn. "Kelihatannya
Anda sangat terburu-buru."
Langdon tersenyum dan meletakkan tas bahunya agar melewati mesin sinar X. "Di
mana Statuary Hall?"
Penjaga itu menunjuk eskalator. "Anda akan melihat papan- papan petunjuknya."
"Terima kasih." Langdon meraih tas dari konveyor dan bergegas pergi.
Ketika eskalator berjalan naik, Langdon menghela napas panjang dan mencoba
menata pikiran. Dia mendongak, memandang menembus langit-langit kaca yang
berbintik-bintik hujan ke bentuk raksasa Kubah Capitol yang benderang di atas
kepalanya. Bangunan itu sangat menakjubkan. Tinggi di atas atapnya, hampir
seratus meter di udara, Statue of Freedom (Patung Kebebasan) mengintip ke dalam
kegelapan berkabut bagaikan hantu penjaga. Langdon selalu menganggap ironis
bahwa para pekerja yang mengangkat setiap bagian patung perunggu setinggi enam
meter itu ke tempat bertenggernya adalah budak-budak - sebuah rahasia Capitol
yang jarang masuk ke silabus kelas-kelas sejarah di SMU.
Sesungguhnya, seluruh bangunan itu menyimpan harta karun keanehan, termasuk "bak
mandi pembunuh" yang bertanggung jawab atas kematian Wakil Presiden Henry Wilson
akibat pneumonia, tangga dengan noda darah permanen yang tampaknya sering
menjadi tempat banyak tamu terpeleset, dan bilik bawah tanah terkunci - tempat
para pekerja menemukan mayat kuda yang diawetkan milik Jenderal John Alexander
Logan pada 1930. Akan tetapi, tidak ada legenda yang bertahan jauh lebih lama daripada klaim
tentang tiga belas hantu berbeda yang menghantui bangunan ini. Hantu desainer
kota Pierre L'Enfant sering kali dilaporkan berkeliaran di lorong-lorong,
menagih pembayaran yang kini sudah terlambat dua ratus tahun. Hantu seorang
pekerja yang jatuh dari Kubah Capitol selama pembangunannya terlihat berkeliaran
di koridor-koridor dengan membawa kotak peralatan. Dan tentu saja penampakan
paling terkenal, yang banyak dilaporkan di ruang bawah tanah Capitol - kucing
hitam yang sesekali muncul dan berkeliaran di labirin sepi nan muram yang berupa
gang-gang sempit dan ruang-ruang kecil.
Langdon melangkah meninggalkan eskalator dan sekali lagi menengok arloji. Tiga
menit. Dia bergegas menyusuri koridor lebar, mengikuti papan-papan petunjuk
menuju Statuary Hall, dan melatih kata kata pembukaan di dalam hati. Langdon
harus mengakui bahwa asisten Peter benar; topik ceramah ini sangat pas untuk
acara yang diselenggarakan di Washington, DC oleh seorang anggota Mason
terkemuka. Bukan rahasia lagi kalau DC punya sejarah Mason yang kaya. Batu pertama bangunan
ini diletakkan diiringi ritual lengkap Mason oleh George Washington sendiri.
Kota ini direncanakan dan dirancang oleh para Master Mason - George Washington,
Ben Franklin, dan Pierre L'Enfant - orang-orang genius dan berpengaruh yang
menghiasi ibukota baru mereka dengan simbolisme, arsitektur, dan seni Mason.
Tentu saja, di dalam simbol-simbol itu, orang melihat segala jenis gagasan gila.
Banyak penganut teori konspirasi yang menyatakan bahwa para pendiri AS penganut
Mason menyembunyikan rahasia- rahasia besar di seluruh Washington, bersama-sama
dengan pesan-pesan simbolis yang tersembunyi dalam tata letak jalan- jalan kota.
Langdon tidak pernah menggubris semua itu. Kesalahan informasi mengenai kaum
Mason begitu umum, sehingga mahasiswa Harvard terpelajar sekalipun tampaknya
punya konsepsi-konsepsi yang sangat menyimpang mengenai kelompok persaudaraan
itu. Tahun lalu, seorang mahasiswa baru bergegas memasuki kelas Langdon dengan mata
liar dan kertas cetakan dari Intemet. Itu peta jalanan DC, dengan beberapa jalan
ditandai untuk menciptakan berbagai bentuk - pentagram setan, kompas dan mistar
siku, kepala Baphomet - tampaknya sebagai bukti bahwa kaum Mason yang merancang
Washington, DC terlibat dalam semacam konspirasi mistis gelap.
"Menghibur," ujar Langdon, "tapi sangat tidak meyakinkan.
jika kau menggambar cukup banyak garis yang bersilangan di sebuah peta, pasti
kau menemukan segala jenis bentuk."
"Tapi ini tidak mungkin kebetulan!" pekik bocah itu.
Dengan sabar Langdon menunjukkan bahwa bentuk-bentuk yang persis sama bisa
dihasilkan dari peta jalanan Detroit.
Bocah itu tampak sangat kecewa.
"Jangan berkecil hati," ujar Langdon. "Washington memang punya beberapa rahasia
yang luar biasa ... tapi bukan di peta jalanan ini."
Pemuda itu mendongak. "Rahasia" Seperti apa?"
"Setiap musim semi, saya mengajar mata kuliah yang disebut Simbol-Simbol
Okultisme. Saya banyak membicarakan DC. Kau harus mengambil mata kuliah itu."
"Simbol-simbol okultisme!" Mahasiswa baru itu tampak kembali bergairah. "Jadi
memang ada simbol-simbol iblis di DC!"
Langdon tersenyum. "Maaf, tapi kata occult, walaupun memunculkan gambaran-
gambaran mengenai pemujaan iblis, sesungguhnya berarti 'tersembunyi' atau
'tersamar'. Pada masa-masa penindasan agama, pengetahuan yang bertentangan
dengan doktrin harus terus disembunyikan atau 'occult', rahasia. Karena gereja
merasa terancam oleh semua ini, segala sesuatu yang 'rahasia' mereka definisikan
ulang sebagai jahat, dan prasangka itu terus bertahan."
"Oh." Bahu bocah itu merosot.
Bagaimanapun, pada musim semi itu, Langdon melihat si mahasiswa baru duduk di
barisan depan ketika lima ratus mahasiswa bergegas memasuki Sanders Theatre
Harvard, ruang kuliah tua kosong dengan bangku-bangku kayu berderit.
"Selamat pagi, semuanya," teriak Langdon dari panggung yang luas. Dia menyalakan
proyektor dan sebuah gambar muncul di belakang tubuhnya. "Sementara kalian
duduk, berapa banyak dari kalian yang mengenali bangunan di dalam gambar ini?"
"U.S. Capitol!" lusinan suara berteriak serempak.
"Washington, DC "Ya. Ada empat juta kilogram besi di dalam kubah itu. Karya cerdas arsitektural
yang tak tertandingi untuk 1850-an."
"Hebat!" teriak seseorang.
Langdon memutar bola mata, berharap seseorang melarang kata itu. "Oke, dan
berapa banyak dari kalian yang pernah ke Washington?"
Beberapa tangan teracung.
"Sedikit sekali?" Langdon pura-pura terkejut. "Dan berapa banyak dari kalian
yang pernah ke Roma, Paris, Madrid, atau London?"
Hampir semua tangan di ruangan itu teracung.
Seperti biasa. Salah satu ritual kedewasaan bagi anak-anak kuliah Amerika adalah
musim panas dengan tiket Eurorail, sebelum mereka memasuki realitas kejam
kehidupan nyata. "Tampaknya ada lebih banyak dari kalian yang pernah mengunjungi Eropa, jika
dibandingkan dengan yang pernah mengunjungi ibu kota kalian sendiri. Menurut
kalian mengapa?" "Di Eropa, tidak ada batasan usia untuk minuman keras!"
teriak seseorang di bagian belakang.
Langdon tersenyum. "Memangnya batasan usia di sini akan menghentikan kalian?"
Semua orang tertawa. Itu hari pertama kuliah, dan para mahasiswa perlu waktu lebih lama untuk duduk.
Mereka bergeser dan berderit di bangku-bangku kayu. Langdon senang mengajar di
ruangan ini, karena dia selalu tahu seberapa tertariknya para mahasiswa dengan
hanya mendengarkan seberapa banyak mereka beringsut gelisah di bangku-bangku
mereka. "Sungguh," ujar Langdon, "Washington, DC punya beberapa arsitektur, seni, dan
simbolisme terindah di dunia. Mengapa kalian ingin pergi ke luar negeri sebelum
mengunjungi ibu kota kalian sendiri?"
"Benda-benda kuno lebih asyik," jawab seseorang.
"Dan dengan benda-benda kuno," ujar Langdon menegaskan, "kurasa yang kalian
maksudkan adalah puri, ruang bawah tanah, kuil, hal semacam itu?"
Kepala mereka mengangguk serempak.
"Oke. Nah, bagaimana jika kukatakan kepada kalian bahwa Washington, DC punya
semua itu" Puri, ruang bawah tanah, piramida, kuil ... semuanya ada di sana."
Bunyi berderit itu menghilang.
"Sobat-Sobat," ujar Langdon, seraya merendahkan suara dan berjalan ke depan
panggung, "selama satu jam ke depan, kalian akan tahu bahwa negara kita
berlimpah dengan rahasia dan sejarah tersembunyi. Dan sama persis seperti di
Eropa, semua rahasia terbaik tersembunyi persis di hadapan mata."
Bangku-bangku kayu itu benar-benar hening.
Nah! Langdon meredupkan lampu-lampu dan menunjukkan slide kedua. "Siapa yang bisa
menceritakan kepadaku, sedang apa George Washington di sini?"
Slide itu berupa mural terkenal yang menggambarkan George Washington berpakaian
kebesaran Mason lengkap sedang berdiri di depan sebuah perkakas yang tampak aneh
- tripod kayu raksasa yang menyokong sistem katrol, dengan sebuah balok batu
besar menggantung di sana. Sekelompok penonton berpakaian indah berdiri di
sekelilingnya. "Mengangkat balok batu besar itu?" jawab seseorang. Langdon diam saja. Jika
memungkinkan, dia lebih suka mahasiswa lain yang membetulkan.
"Sesungguhnya," kata mahasiswa lain, "kurasa Washington sedang menurunkan batu
itu. Dia mengenakan kostum Mason. Aku pernah melihat gambar-gambar kaum Mason
meletakkan batu pertama. Upacaranya selalu menggunakan benda tripod itu untuk
menurunkan batu pertama."
"Bagus sekali," ujar Langdon. "Mural itu menggambarkan Bapak Negara Kita
menggunakan tripod dan katrol untuk meletakkan batu pertama Gedung Capitol pada
18 September 1793, antara pukul sebelas lima belas dan dua belas tiga puluh."
Langdon diam, meneliti kelas. "Bisakah seseorang menjelaskan kepadaku pentingnya
tanggal dan jam itu?"
Hening. "Bagaimana jika kukatakan kepada kalian bahwa saat yang tepat itu dipilih oleh
tiga anggota Mason terkenal - George Washington, Benjamin Franklin, dan Pierre
L'Enfant, arsitek utama D.C."
Hening lagi. "Singkatnya, batu pertama diletakkan pada tanggal dan jam itu karena, antara
lain, Caput Draconis pembawa keberuntungan berada di Virgo."
Semua orang saling berpandangan dengan ekspresi aneh.
"Tunggu," kata seseorang. "Maksud Anda ... semacam astrologi?"
"Tepat sekali. Walaupun astrologinya berbeda dengan yang kita kenal sekarang."
Sebuah tangan teracung. "Maksud Anda, Bapak-Bapak Bangsa kita memercayai
astrologi?" Langdon menyeringai. "Sangat. Apa komentar kalian jika kukatakan bahwa Kota
Washington, DC punya lebih banyak simbol astrologis dalam arsitektumya jika
dibandingkan dengan kota lainnya manapun di dunia - zodiak, bagan bintang, batu
pertama yang diletakkan pada tanggal dan jam astrologis yang tepat" Lebih dari
setengah penyusun Konstitusi kita adalah anggota Mason, para lelaki yang
berkeyakinan kuat bahwa bintang-bintang dan takdir saling berkaitan, para lelaki
yang sangat memperhatikan tata letak benda-benda luar angkasa ketika membangun
dunia baru mereka." "Tapi, seluruh pengetahuan mengenai batu pertama Capitol diletakkan ketika Caput
Draconis berada di Virgo - siapa peduli" Mungkinkah itu hanya kebetulan?"
"Kebetulan yang sangat mengesankan, mengingat batu pertama dari ketiga bangunan
yang menyusun Segitiga Federal - Gedung Capitol, Gedung Putih, Monumen
Washington - diletakkan pada tahun-tahun yang berbeda, tapi diatur waktunya
dengan cermat agar berlangsung dalam kondisi astrologis yang persis sama dengan
ini." Pandangan Langdon dibalas oleh ruangan yang dipenuhi mata terbelalak. Sejumlah
kepala menunduk ketika para mahasiswa mulai mencatat.
Sebuah tangan di bagian belakang teracung. "Mengapa mereka berbuat begitu?"
Langdon tergelak. "Jawaban atas pertanyaan itu adalah materi pelajaran untuk
seluruh semester. Jika penasaran, kau harus mengambil kelas mistisisme-ku.
Sejujurnya, kurasa, secara emosional kalian belum siap mendengar jawabannya."
"Apa?" teriak mahasiswa itu. "Buktikan!"
Langdon berpura pura mempertimbangkan, lalu menggeleng, menggoda mereka. "Maaf,
tidak bisa. Beberapa dari kalian adalah mahasiswa baru. Aku khawatir jawabannya
bisa meledakkan benak kalian."
"Katakan!" teriak semuanya.
Langdon mengangkat bahu. "Mungkin kalian harus bergabung dengan Freemasonry
atau. Eastern Star dan mengetahui jawabannya dari sumbernya."
"Kami tidak bisa masuk," bantah seorang pemuda. "Mason itu perkumpulan super
rahasia." "Super rahasia" Benarkah?" Langdon teringat pada cincin Mason besar yang
dikenakan dengan bangga oleh sobatnya, Peter Solomon, di jari tangan kanan.
"Kalau begitu, mengapa kaum Mason mengenakan cincin, penjepit dasi, atau bros
Mason yang jelas terlihat" Mengapa gedung-gedung Mason ditandai dengan jelas"
Mengapa jam-jam pertemuan mereka ada di surat kabar?" Langdon tersenyum pada
semua wajah kebingungan itu. "Sobat-sobat, Mason bukanlah perkumpulan rahasia...
mereka adalah perkumpulan dengan banyak rahasia."
"Sama saja," gumam seseorang.
"Benarkah?" tantang Langdon. "Apakah kalian menganggap Coca Cola perkumpulan
rahasia?" "Tentu saja tidak," jawab mahasiswa itu.
"Nah, bagaimana jika kau mengetuk pintu kantor pusatnya dan meminta resep
Classic Coke?" " Mereka tidak akan pernah memberitahumu."
"Tepat sekali. Untuk mengetahui rahasia terdalam Coca Cola, kau harus bergabung
dengan perusahaan itu, bekerja bertahun-tahun, membuktikan kalau kau bisa
dipercaya, dan pada akhirnya naik sampai ke eselon atas perusahaan. Di sana
mereka mungkin akan membagikan informasi itu kepadamu. Lalu kau akan disumpah
untuk merahasiakannya."
"Jadi, Anda mengatakan Freemasonry menyerupai perusahaan?"
"Hanya sejauh mereka punya hierarki yang ketat dan memperlakukan kerahasiaan
dengan serius." "Paman saya anggota Mason," ujar seorang mahasiswi.
"Dan bibi saya membenci keanggotaannya itu karena Paman tidak mau
membicarakannya dengan Bibi. Kata Bibi, Mason adalah semacam agama aneh."
"Itu kesalahan persepsi yang umum.
"Jadi, Mason bukan agama?"
"Lakukan tes litmus," kata Langdon. "Siapa di sini yang sudah mengambil mata
kuliah Perbandingan Agama Profesor Witherspoon?"
Beberapa tangan teracung.
"Bagus. Kalau begitu, sebutkan tiga prasyarat agar suatu ideologi bisa dianggap
sebagai agama." "ABC," jawab seorang mahasiswi. "Assure (menjamin), Believe (mengimani), Convert


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(mengimankan)." "Benar," ujar Langdon. "Agama menjamin penyelamatan; agama mengimani teologi
tertentu; dan agama mengimankan mereka yang tidak percaya." Dia berhenti
sejenak. "Akan tetapi, Mason memperoleh nol untuk ketiganya. Kaum Mason tidak
menjanjikan penyelamatan; mereka tidak punya teologi tertentu; dan mereka tidak
berkeinginan mengimankanmu. Sesungguhnya, di dalam pondok-pondok Mason, semua
diskusi mengenai agama dilarang."
"Jadi ... Mason anti agama?"
"Sebaliknya. Salah satu prasyarat menjadi anggota Mason adalah kau harus
memercayai adanya Sang Mahatinggi. Perbedaan antara spiritualitas Mason dan
agama yang terorganisasi adalah, kaum Mason tidak memberikan definisi atau nama
tertentu untuk Sang Mahatinggi itu. Mereka tidak menggunakan identitas-identitas
teologis yang pasti, seperti Tuhan, Allah, Buddha, atau Yesus, tetapi
menggunakan istilah- istilah yang lebih umum, seperti Keberadaan Tertinggi atau
Arsitek Agung Alam Semesta. Ini memungkinkan kaum Mason dengan keyakinan
berbeda-beda berkumpul bersama-sama."
"Kedengarannya pemikiran yang menyimpang," kata seseorang.
"Atau mungkin, berpandangan terbuka dan menyegarkan?" tawar Langdon. "Di abad
ini, ketika kebudayaan-kebudayaan yang berbeda saling mempertengkarkan definisi
Tuhan yang lebih baik, kita bisa berkata bahwa tradisi toleransi dan keterbukaan
pandangan dari kaum Mason patut dipuji."
Langdon mondar-mandir di panggung. "Lagi pula Mason terbuka bagi semua orang
dari semua bangsa, warna kulit, dan kepercayaan, dan menyediakan serikat
persaudaraan spiritual yang sama sekali tidak mendiskriminasi."
"Tidak mendiskriminasi?" Seorang anggota Pusat Studi Perempuan universitas
berdiri. "Berapa banyak perempuan diizinkan menjadi anggota Mason, Profesor
Langdon?" Langdon mengangkat kedua tangannya, menyerah.
"Pendapat yang adil. Secara tradisional, asal mula Freemasonry adalah
perserikatan tukang batu Eropa, dan karenanya, organisasi itu eksklusif untuk
kaum lelaki. Beberapa ratus tahun yang lalu, beberapa orang mengatakan sejak
1703 - sebuah cabang untuk perempuan yang disebut Eastem Star didirikan. Anggota
mereka lebih dari satu juta orang."
"Bagaimanapun," kata mahasiswi itu, "Mason adalah organisasi berkuasa yang
mengecualikan perempuan."
Langdon tidak yakin betapa berkuasa kaum Mason sesungguhnya sekarang, dan dia
tidak ingin membahasnya; persepsi kaum Mason modern berkisar antara sekelompok
lelaki tua tidak berbahaya yang suka berpakaian aneh... sampai komplotan rahasia
bawah tanah beranggotakan orang- orang berpengaruh yang menjalankan dunia. Tak
diragukan lagi, kenyataannya berada di antaranya.
"Profesor Langdon," kata seorang mahasiswa berambut keriting di barisan
belakang, "Jika bukan perkumpulan rahasia, bukan perusahaan, dan bukan agama,
maka apakah Freemasonry itu?"
"Yah, jika kau bertanya kepada seorang Mason, dia akan menawarkan definisi
seperti ini: Freemasonry adalah sebuah sistem moralitas, terselubung dalam
alegori dan diilustrasikan oleh simbol simbol."
" Kedengarannya seperti eufemisme untuk 'aliran aneh'."
"Aneh, katamu?"
"Wah, ya!" jawab bocah itu, seraya berdiri. "Saya mendengar mengenai apa yang
mereka lakukan di dalam bangunan-bangunan rahasia itu! Ritual-ritual lilin aneh
dengan peti mati dan tali gantungan, dan minum anggur dari tengkorak. Nah, itu,
kan, aneh!" Langdon meneliti kelas. "Apakah kedengaran aneh bagi yang lainnya?"
"Ya!" jawab mereka semua serempak.
Langdon berpura-pura mendesah sedih. "Sayang sekah. Jika itu terlalu mengerikan
bagi kalian, aku tahu kalian tidak akan pernah mau bergabung dengan aliran-ku."
Keheningan menguasai ruangan. Mahasiswi dari Pusat Studi Perempuan itu tampak
tidak nyaman. "Anda bergabung dengan suatu aliran?"
Langdon mengangguk dan merendahkan suara hingga berbisik penuh rahasia. "Jangan
bilang kepada siapa pun, tapi pada hari pagan Dewa Matahari Ra, aku berlutut di
kaki sebuah instrumen penyiksaan kuno dan mengonsumsi simbol ritual dari darah
dan daging." Seluruh kelas tampak ngeri.
Langdon mengangkat bahu. "Dan jika ada di antara kalian yang ingin bergabung
denganku, datanglah ke kapel Harvard pada hari Minggu, berlututlah di bawah
salib, dan ikutilah Sakramen Kudus."
Kelas tetap diam. Langdon mengedipkan sebelah mata. "Buka pandangan kalian, Sobat Sobat. Kita
semua takut terhadap sesuatu yang tidak kita pahami."
Dentang lonceng mulai menggema di koridor-koridor Capitol.
Pukul tujuh. Robert Langdon kini berlari. Bicara soal kedatangan yang dramatis. Ketika
melewati House Connecting Corridor, dia melihat pintu masuk menuju National
Statuary Hall dan langsung menuju ke sana.
Saat mendekati pintu, dia memperlambat lari sampai berjalan santai dan menghela
napas panjang beberapa kali. Dia mengancingkan jaket, sedikit mendongakkan dagu,
dan berbelok persis ketika dentang terakhir berbunyi.
Saatnya pertunjukan. Ketika melenggang memasuki National Statuary Hall, Profesor Robert Langdon
menaikkan pandangan dan tersenyum hangat. Sedetik kemudian, senyumnya
menghilang. Dia berhenti.
Ada sesuatu yang sangat, sangat keliru.
BAB 7 Katherine Salomon bergegas melintasi lapangan parkir melewati hujan yang dingin,
berharap dirinya mengenakan lebih dari sekadar celana jins dan sweter kasmir.
Ketika mendekati pintu masuk utama bangunan, raungan alat-alat pembersih udara
raksasa terdengar semakin keras. Tapi dia nyaris tidak mendengar semua itu,
telinganya masih berdenging akibat telepon yang baru saja diterimanya.
"Sesuatu yang kakakmu yakin tersembunyi di DC ... bisa ditemukan."
Katherine menganggap gagasan itu hampir mustahil untuk dipercaya. Dia dan
penelepon itu masih harus banyak berdiskusi, dan sudah bersepakat melakukannya
nanti malam. Ketika tiba di pintu utama, dia merasakan kegembiraan yang sama
yang selalu dirasakannya ketika memasuki bangunan raksasa itu. Tak seorang pun
mengetahui keberadaan tempat itu di sini.
Papan tanda di pintu menyebutkan:
SMITHSONIAN MUSEUM SUPPORT CENTER
( SMSE) Smithsonian Institute, walaupun memiliki lebih dari selusin museum besar di
National Mall, memiliki koleksi begitu banyak sehingga hanya 2 persennya yang
bisa dipamerkan setiap saat. Sembilan puluh delapan persen koleksi lainnya harus
disimpan di suatu tempat. Dan tempat itu... ada di sini.
Tidak mengejutkan jika bangunan ini menampung berbagai artefak menakjubkan -
patung-patung Buddha raksasa, naskah-naskah kuno tulisan tangan, anak-anak panah
beracun dari Papua Nugini, pisau-pisau bertatahkan permata, kayak dari tulang
ikan paus baleen. Yang juga menakjubkan adalah harta karun alami bangunan
kerangka-kerangka plesiosaurus, koleksi meteorit yang tak ternilai harganya,
cumi-cumi raksasa, bahkan koleksi tengkorak gajah yang dibawa dari safari Afrika
oleh Teddy Roosevelt. Tetapi, semua ini bukan alasan bagi sekretaris Smithsonian, Peter Solomon, untuk
memperkenalkan adik perempuannya pada SMSE tiga tahun yang lalu. Peter membawa
Katherine ke tempat ini bukan untuk menyaksikan keajaiban-keajaiban ilmiah,
melainkan untuk menciptakan keajaiban-keajaiban itu. Dan inilah tepatnya
pekerjaan Katherine. Jauh di dalam bangunan, di dalam kegelapan ceruk-ceruk yang paling terpencil,
terdapat laboratorium ilmiah kecil yang tidak menyerupai laboratorium mana pun
di dunia. Terobosan terbaru yang dibuat Katherine di sini, dalam bidang Ilmu
Noetic, berpengaruh terhadap semua bidang ilmu - mulai dari fisika sampai
sejarah, filsafat, dan agama. Sebentar lagi semuanya akan berubah, pikirnya.
Ketika Katherine memasuki lobi, penjaga di meja depan cepat-cepat menyembunyikan
radio dan mencabut alat pendengar dari telinganya. "Miss. Solomon!" Dia
tersenyum lebar. "Redskins?" Penjaga itu tersipu-sipu, tampak bersalah.
"Prapertandingan."
Katherine tersenyum. "Tak akan kulaporkan." Dia berjalan ke detektor logam dan
mengosongkan semua saku. Ketika melepas arloji Cartier emas dari pergelangan
tangan, dia dilanda perasaan sedih seperti biasa. Penunjuk waktu itu hadiah dari
ibunya di ulang tahun Katherine yang kedelapan belas. Sudah hampir sepuluh tahun
berlalu semenjak ibunya meninggal akibat kekerasan... menghembuskan napas
terakhir dalam pelukan Katherine.
"Jadi, Miss. Solomon?" bisik penjaga itu bergurau. "Akankah Anda ceritakan apa
yang Anda lakukan di belakang sana?" Katherine mendongak. "Suatu hari nanti,
Kyle. Bukan malam ini."
"Ayolah," desak penjaga itu. "Laboratorium rahasia... di museum rahasia" Anda
pasti melakukan sesuatu yang asyik." Teramat sangat asyik, pikir Katherine,
seraya mengumpulkan barang-barangnya. Kenyataannya adalah, Katherine mengerjakan
ilmu pengetahuan yang begitu maju sehingga bahkan tidak menyerupai ilmu
pengetahuan lagi. BAB 8 Robert Langdon berdiri terpaku di ambang pintu National Statuary Hall dan
mengamati pemandangan mengejutkan di hadapannya. Ruangan itu persis seperti yang
diingatnya berbentuk setengah lingkaran seimbang dan dibangun dengan gaya
amfiteater Yunani. Dinding-dinding melengkung anggun dari batu pasir dan plester
Italia diselingi kolom-kolom batu breccia beraneka ragam, diselingi koleksi
patung negara - tiga puluh delapan patung orang Amerika terkemuka seukuran
manusia yang berdiri membentuk setengah lingkaran di atas bentangan luas lantai
marmer hitam putih. Ruangan itu persis seperti yang diingat Langdon dari ceramah yang pernah
dihadirinya di sini. Kecuali satu hal. Malam ini ruangan itu kosong.
Tidak ada kursi. Tidak ada pendengar. Tidak ada Peter Solomon. Hanya ada
sejumlah turis yang berkeliaran tanpa tujuan, tanpa menyadari kedatangan Langdon
yang mengesankan. Apakah Rotunda yang dimaksudkan oleh Peter" Langdon mengintip
koridor selatan, memandang Rotunda, dan bisa melihat turis-turis berkeliaran di
dalam sana juga. Gema dentang lonceng sudah menghilang. Langdon kini benar-benar terlambat.
Dia bergegas kembali ke lorong dan menemukan seorang pemandu. "Maaf, ceramah
untuk acara Smithsonian malam ini" Diselenggarakan di mana?"
Pemandu itu bimbang. "Saya kurang tahu, Pak. Kapan di mulainya?"
"Sekarang!" Lelaki itu menggeleng. "Saya tidak mengetahui adanya acara Smithsonian malam ini
- setidaknya bukan di sini."
Dengan heran Langdon bergegas kembali ke tengah ruangan, meneliti seluruh area.
Apakah Solomon bergurau" Langdon tidak bisa membayangkannya. Dia mengeluarkan
ponsel dan lembar faks pagi tadi, lalu menekan nomor Peter. Perlu sejenak bagi
ponseInya untuk mencari sinyal di dalam bangunan raksasa ini. Akhirnya ponsel
berdering. Aksen Selatan yang dikenal Langdon menjawab. "Kantor Peter Solomon, ini Anthony.
Ada yang bisa dibantu?"
"Anthony!" pekik Langdon lega. "Saya senang Anda masih di sana. Ini Robert
Langdon. Tampaknya ada kekeliruan mengenai ceramahnya. Saya berdiri di Statuary
Hall, tapi tidak ada orang di sini. Apakah ceramahnya dipindahkan ke ruang
lain?" "Saya rasa tidak, Pak. Biar saya cek." Asisten itu terdiam sejenak. "Apakah Anda
sudah mengonfirmasi langsung dengan Mr. Salomon?"
Langdon bingung. "Tidak, saya mengonfirmasikannya dengan Anda, Anthony. Pagi
ini!" "Ya, saya ingat itu." Muncul keheningan di jalur telepon.
"Itu agak ceroboh, bukan, Profesor?"
Langdon kini benar-benar waspada. "Maaf?"
"Bayangkan," ujar lelaki itu. "Anda menerima faks yang meminta Anda untuk
menelepon suatu nomor telepon, dan Anda melakukannya. Anda bicara dengan orang
yang benar- benar asing, yang mengatakan dirinya asisten Peter Solomon. Lalu
dengan suka rela Anda naik pesawat privat ke Washington dan masuk ke lobby yang
sudah menunggu. Benarkah itu?"
Langdon merasakan tubuhnya dijalari perasaan dingin.
"Siapa Ini" Mana Peter?"
"Kurasa, Peter Solomon sama sekali tidak tahu kau berada di Washington hari
ini." Aksen Selatan lelaki itu menghilang, dan suaranya berubah menjadi bisikan
merdu yang rendah. "Kauberada di sini, Mr. Langdon, karena aku menginginkarimu di sini."
BAB 9 Di dalam Statuary Hall, Robert Langdon mencengkeram ponsel di telinga dan
mondar-mandir membentuk lingkaran kecil. "Siapa kau?"
Jawaban lelaki itu berupa bisikan tenang lembut. "Jangan takut, Profesor. Ada
alasan mengapa kau dipanggil ke sini."
"Dipanggil?" Langdon merasa seperti hewan terperangkap.
"Lebih tepat diculik!"
"Tidak mungkin." Suara lelaki itu mengerikan tenangnya.
"Jika aku ingin mencelakakanmu, saat ini kau akan sudah mati di dalam Town Car."
Dia membiarkan kata-katanya menggantung sejenak. "Kuyakinkan kau, tujuanku
benar- benar mulia. Aku hanya ingin menawarkan undangan."
Tidak, terima kasih. Semenjak pengalaman pengalamannya di Eropa selama beberapa
tahun terakhir ini, ketenaran yang tidak dikehendaki Langdon menjadikannya
magnet bagi orang- orang gila, dan lelaki ini baru saja melintasi garis yang
sangat serius. "Dengar, aku tidak tahu apa yang terjadi di sini, tapi aku akan menutup telepon "
"Tidak bijaksana," ujar lelaki itu. "Peluangmu sangat kecil jika kau ingin
menyelamatkan jiwa Peter Solomon."
Langdon terkesiap. "Apa katamu?"
"Aku yakin kau mendengarnya."
Cara lelaki ini menyebut nama Peter membuat Langdon bergidik. "Kau tahu apa soal
Peter?" "Saat ini aku mengetahui rahasia-rahasia terdalamnya. Mr. Salomon adalah tamuku,
dan aku bisa menjadi tuan rumah yang meyakinkan."
Ini tidak mungkin terjadi. "Kau tidak bersama Peter."
" Aku menjawab panggilan di ponsel pribadinya. Itu seharusnya membuatmu
berpikir." "Aku akan menelepon polisi."
"Tak perlu," kata lelaki itu. "Pihak berwenang akan bergabung denganmu tak lama
lagi." Apa yang dibicarakan orang gila ini" Nada suara Langdon mengeras. "Jika kau
bersama Peter, biarkan dia bicara sekarang juga."
"Itu mustahil. Mr. Solomon terperangkap di suatu tempat yang tidak
menguntungkan." Lelaki itu diam sejenak. "Dia berada di Araf."
"Di mana?" Langdon menyadari dirinya mencengkeram ponsel begitu kencang sampai
jari-jari tangannya mati rasa.
"Araf" Hamistagan" Tempat yang disebut Dante dalam kidungnya setelah Inferno-nya
yang melegenda?" Referensi keagamaan dan sastra lelaki itu meyakinkan kecurigaan Langdon bahwa
dia sedang menghadapi orang gila. Kidung kedua. Langdon mengetahuinya dengan
baik; tak seorang pun lolos dari Phillips Exeter Academy tanpa membaca Dante.
"Kau mengatakan bahwa menurutmu Peter Solomon berada... dalam purgatory?"
"Kata kasar yang digunakan oleh kalian, orang-orang Kristen. Tapi, ya, Mr.
Solomon berada di dunia-antara."
Kata kata lelaki itu menggantung di telinga Langdon. "Kau mengatakan Peter sudah
... mati?" "Tidak persis begitu, tidak."
"Tidak persis begitu"!" Langdon berteriak, suaranya menggema tajam di dalam
lorong. Sekumpulan turis memandangnya. Dia berbalik dan merendahkan suara.
"Biasanya kematian adalah sesuatu yang pasti!"
"Kau mengejutkanku, Profesor. Kukira, kau memiliki pemahaman yang lebih baik
mengenai misteri kehidupan dan kematian. Sungguh ada dunia-antara - dunia yang
sedang dihuni Peter Solomon saat ini. Dia bisa kembali ke duniamu, atau bisa
pindah ke dunia selanjutnya... tergantung dari tindakan tindakanmu saat ini."
Langdon berusaha mencema perkataanitu. "Apayang kau inginkan dariku?"
"Sederhana saja. Kau telah mendapat akses untuk sesuatu yang cukup kuno. Dan
malam ini, kau akan memberikannya kepadaku."
"Aku tidak tahu kau bicara apa."


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak" Kau berpura-pura tidak memahami rahasia-rahasia kuno yang telah
dipercayakan kepadamu?"
Mendadak Langdon merasa kecut, sudah bisa menebak soal apa ini. Rahasia-rahasia
kuno. Dia belum pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun mengenai
pengalaman pengalamannya di Paris beberapa tahun lalu, tapi orang-orang yang
fanatik terhadap Cawan Suci mengikuti peliputan media dengan cermat, beberapa
menghubung hubungkan sendiri dan percaya bahwa Langdon kini punya informasi
rahasia mengenai Cawan Suci dan mungkin bahkan lokasinya.
"Dengar," ujar Langdon, "jika ini menyangkut Cawan Suci, bisa kuyakinkan dirimu
bahwa aku tidak tahu lebih banyak daripada..."
"Jangan menghina kecerdasanku, Mr. Langdon," bentak lelaki itu. "Aku tidak
berminat terhadap apa pun yang sekonyol Cawan Suci atau debat menyedihkan umat
manusia mengenai versi sejarah mana yang benar. Segala argumentasi yang
berputar-putar mengenai semantik keyakinan tidak menarik perhatianku.
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui kematian."
Kata-kata gamblang itu membingungkan Langdon. "Kalau begitu, ini soal apa?"
Lelaki itu terdiam selama beberapa detik. "Seperti yang mungkin kau ketahui, di
dalam kota ini ada sebuah portal kuno."
Portal kuno" "Dan malam ini, Profesor, kau akan membukakannya untukku. Kau seharusnya merasa
terhormat aku menghubungimu - ini undangan terpenting dalam hidupmu. Hanya kau
yang terpilih." Dan kau sudah gila. "Maaf, tapi pilihanmu buruk," ujar Langdon. "Aku tidak tahu
apa apa soal portal kuno."
"Kau tidak mengerti, Profesor. Bukan aku yang memilihmu... melainkan Peter
Solomon." "Apa?" jawab Langdon dengan suara hampir berbisik.
"Mr. Solomon memberitahuku cara menemukan portal itu, dan dia mengaku bahwa
hanya ada satu orang di dunia ini yang bisa membukanya. Dan menurutnya, orang
itu adalah kau." "Jika Peter bilang begitu, dia keliru... atau berbohong."
"Kurasa tidak. Dia berada dalam keadaan rapuh ketika mengakui fakta itu, dan aku
cenderung memercayainya."
Langdon dilanda kemarahan. "Kuperingatkan kau jika kau mencederai Peter dengan..."
"Sudah sangat terlambat untuk itu," sela lelaki itu dengan nada jenaka. "Aku
sudah mengambil apa yang kuperlukan dari Peter Solomon. Tapi demi dia,
kusarankan kau memberiku apa yang kuperlukan darimu. Waktu sangatlah penting...
bagi kalian berdua. Kusarankan agar kau menemukan portal itu dan membukanya.
Peter akan menunjukkan jalan."
Peter" "Kupikir, kau bilang Peter berada dalam purgatory."
"Seperti yang di atas, demikian juga yang di bawah," ujar lelaki itu.
Langdon dijalari perasaan dingin yang menggigilkan. Jawaban aneh ini merupakan
pepatah Hermetik kuno yang menyatakan kepercayaan terhadap hubungan fisik antara
surga dan bumi. Seperti yang di atas, demikian juga yang di bawah. Langdon
mongamati ruangan luas itu dan bertanya- tanya betapa malam ini segalanya
mendadak begitu menyimpang tak terkendali. "Dengar, aku tidak tahu cara
menemukan portal kuno apa pun. Aku akan menelepon polisi."
"Benar-benar belum terpikirkan olehmu, bukan" Mengapa kau terpilih?"
"Ya," jawab Langdon.
"Kau akan tahu," kata lelaki itu, seraya tergelak. "Sebentar lagi."
Lalu hubungan telepon terputus.
Langdon berdiri terpaku selama beberapa detik yang menakutkan, berusaha mencerna
apa yang baru saja terjadi.
Mendadak, di kejauhan, dia mendengar suara yang tidak diharapkan.
Berasal dari Rotunda. Seseorang menjerit.
BAB 10 Robert Langdon sudah sering memasuki Rotunda Capitol dalam hidupnya, tapi tidak
pernah dengan kecepatan penuh.
Ketika berlari melewati pintu masuk utara, dia melihat sekelompok turis
berkerumun di tengah ruangan. Seorang anak kecil menjerit, dan orangtuanya
berusaha menghiburnya. Orang-orang lain borkerumun, dan beberapa penjaga
keamanan berusaha sebaik mungkin untuk memulihkan ketertiban.
"Dia menariknya keluar dari kain gendongan tangan," ujar seseorang dengan panik,
"dan meninggalkannya begitu saja di sana!"
Ketika semakin dekat, Langdon mulai melihat apa yang menyebabkan semua
kegemparan itu. Tak diragukan lagi, benda di lantai Capitol itu aneh, tapi
kehadirannya seharusnya tidak menimbulkan jeritan.
Benda di lantai itu sering Langdon lihat. Departemen Kesenian Harvard punya
lusinan model plastik ukuran sesungguhnya yang digunakan oleh para pematung dan
pelukis untuk membantu mereka menciptakan bagian tubuh manusia yang paling
kompleks, yang secara mengejutkan bukanlah wajah, melainkan tangan. Seseorang
meninggalkan tangan maneken di Rotunda"
Tangan maneken, atau beberapa orang menyebutnya sebagai handequin, punya jari-
jari sambungan yang memungkinkan seniman menampilkan tangan itu dalam posisi apa
pun yang dia inginkan. Dan seringnya, bagi para mahasiswa tahun kedua, adalah
posisi dengan jari tengah teracung lurus ke atas. Tetapi, handequin ini
diposisikan dengan telunjuk dan jempol mengarah ke langit-langit.
Namun, ketika semakin dekat, Langdon menyadari bahwa handequin ini aneh.
Permukaan plastiknya tidak halus seperti sebagian besar handequin. Permukaannya
malah berbintik- bintik dan agak keriput, dan tampaknya hampir ....
Seperti kulit asli. Langdon langsung berhenti. Kini dia melihat darah. Astaga!
Pergelangan tangan yang terpenggal itu tampaknya ditusukkan pada alas kayu
berpaku, sehingga bisa berdiri tegak. Gelombang rasa mual menguasai Langdon. Dia
beringsut mendekat, tidak mampu bernapas, dan kini melihat bahwa ujung jari
telunjuk dan jempol tangan itu dihiasi tato kecil. Tetapi, bukan kedua tato itu
yang menarik perhatian Langdon. Pandangannya langsung beralih ke cincin emas
yang sangat dikenalnya, yang terpasang di jari manis.
Tidak. Langdon terenyak. Dunianya mulai berputar ketika dia menyadari sedang memandang
tangan kanan terpenggal Peter Solomon.
BAB 11 Mengapa Peter tidak menjawab" Katherine Solomon bertanya-tanya ketika memutuskan
hubungan ponsel. Mana dia"
Selama tiga tahun, Peter Solomon selalu menjadi orang pertama yang tiba untuk
rapat mingguan mereka setiap Minggu malam pukul tujuh. Itu ritual pribadi
keluarga, cara untuk tetap saling berhubungan sebelum dimulainya minggu yang
baru, dan bagi Peter, itu cara untuk tetap mengikuti kemajuan pekerjaan
Katherine di laboratorium.
Dia tidak pernah terlambat, pikir Katherine, dan dia selalu menjawab teleponnya.
Yang lebih buruk lagi, Katherine masih belum yakin apa yang hendak dikatakannya
kepada Peter ketika kakaknya akhirnya benar-benar tiba. Bagaimana cara
menanyakan kepadanya hal yang baru kuketahui hari ini"
Langkah kaki Katherine berbunyi berirama di sepanjang koridor semen yang
memanjang seperti tulang belakang melewati SMSE. Dikenal sebagai "'The Street",
koridor itu menghubungkan kelima bangsal besar penyimpanan di kompleks bangunan
itu. Dua ratus meter di atas kepala, sistem sirkulasi berupa saluran saluran
oranye berdenyut- denyut bersama detak jantung bangunan - suara denyut ribuan
meter kubik udara terfilter yang disirkulasikan.
Normalnya, selama berjalan kaki sejauh hampir setengah kilometer ke
laboratorium, Katherine merasa ditenangkan oleh suara-suara napas bangunan.
Tetapi, malam ini denyut-denyut itu menggelisahkannya. Apa yang diketahuinya
hari ini tentang kakaknya pasti akan mengganggu siapa pun. Tetapi, karena Peter
satu satunya keluarga yang dimilikinya di dunia, Katherine merasa sangat
terganggu ketika memikirkan bahwa kakaknya itu mungkin menyimpan rahasia-rahasia
darinya. Sepengetahuan Katherine sejauh ini, Peter hanya pernah satu kali
menyimpan rahasia darinya... rahasia indah yang tersembunyi persis di ujung
lorong ini. Tiga tahun yang lalu, kakak laki-laki Katherine itu menuntunnya
menyusuri koridor ini, memperkenalkannya kepada SMSE, dan dengan bangga
menunjukkan beberapa barang yang lebih aneh di dalam bangunan meteorit Mars ALH
84001, buku harian Sitting Bull yang bergambar dan ditulis tangan, koleksi
stoples-stoples Ball yang ditutup rapat rapat dengan lilin dan berisi spesimen-
spesimen yang dikumpulkan oleh Charles Darwin.
Kemudian, mereka berjalan melewati pintu tebal berjendela kecil. Sekilas
Katherine melihat apa yang berada di baliknya, dan dia terkesiap. "Astaga, apa
itu?" Kakaknya tergelak dan berjalan terus. "Bangsal 3. Disebut Bangsal Basah.
Pemandangan yang cukup aneh, bukan?"
Lebih tepat disebut mengerikan. Katherine bergegas mengejar Peter. Bangunan ini
seperti planet lain. "Yang benar-benar ingin kuperlihatkan kepadamu ada di Bangsal 5," ujar kakak
Katherine, seraya menuntunnya menyusuri koridor yang tampaknya tidak akan pernah
berakhir. "Itu bangunan tambahan terbaru kami. Dibangun untuk menampung artefak-
artefak dari ruang bawah tanah National Museum of Natural History. Koleksi itu
dijadwalkan untuk dipindahkan kemari kira-kira lima tahun lagi, yang berarti
Bangsal 5 masih kosong saat ini."
Katherine melirik Peter. "Kosong" Kalau begitu, kenapa kita melihatnya?"
Mata kelabu kakaknya berkilau. jenaka. "Terpikir olehku bahwa, karena tak
seorang pun menggunakan ruangan itu, mungkin kau bisa menggunakannya."
"Aku?" "Ya. Kupikir, kau mungkin bisa menggunakan ruang laboratorium khusus fasilitas
tempat kau bisa benar-benar melakukan beberapa eksperimen teoretis yang kau
kembangkan selama bertahun-tahun ini."
Katherine menatap kakaknya dengan terkejut. "Tapi, Peter, itu. Eksperimen-
eksperimen teoretis! Hampir mustahil untuk benar-benar melakukan eksperimen-
eksperimen itu." "Tidak ada yang mustahil, Katherine, dan bangunan ini sempurna untukmu. SMSE
bukan hanya gudang harta karun; bangunan ini adalah salah satu fasilitas riset
ilmiah yang paling maju di dunia. Secara berkala, kami mengambil sebagian
koleksi dan meneliti semuanya dengan teknologi-teknologi kuantitatif terbaik yag
bisa dibeli dengan uang. Semua peralatan yang mungkin kau perlukan akan berada
di sini sesuai keinginanmu. "
"Peter, semua teknologi yang diperlukan untuk menjalankan eksperimen-eksperimen
ini..." "Sudah siap." Peter tersenyum lebar. "Laboratoriumnya sudah selesai."
Katherine langsung berhenti.
Kakaknya menunjuk koridor panjang. "Kita akan melihatnya sekarang."
Katherine nyaris tidak mampu berkata kata. "Kau... kau membangun laboratorium
untukku?" "Itu tugasku. Smithsonian didirikan untuk memajukan pengetahuan ilmiah. Sebagai
sekretaris, aku harus mengemban tanggung jawab itu dengan serius. Aku yakin,
eksperimen-eksperimen yang kau ajukan berpotensi mendorong batasan-batasan ilmu
pvngetahuan ke dalam wilayah yang belum terpetakan." Peter berhenti dan
memandang ke dalam mata Katherine. "Tak peduli kau adikku atau bukan, aku akan
merasa wajib untuk mendukung riset ini. Gagasan-gagasanmu. brilian. Dunia patut
melihat ke arah mana mereka menuju."
"Peter, aku tidak mungkin -"
"Oke, tenang ... itu uangku. sendiri, dan saat ini tak seorang pun menggunakan
Bangsal 5. Ketika kau sudah selesai dengan eksperimen-eksperimenmu, kau akan
keluar. Lagi pula, Bangsal 5 punya beberapa ciri khas unik yang akan sempurna
untuk pekerjaanmu." Katherine tidak bisa membayangkan apa yang bisa ditawarkan oleh sebuah bangsal
kosong besar untuk membantu risetnya, tapi dia merasa bahwa sebentar lagi dia
akan tahu. Mereka baru saja tiba di pintu baja dengan huruf- huruf dicetak
tebal: BANGSAL 5 Kakaknya menyelipkan kartu kunci ke dalam selot, dan sebuah papan kunci
elektronik menyala. Peter mengangkat jari tangannya untuk mengetikkan kode
akses, tapi lalu terdiam, menaikkan sepasang alis dengan cara jenaka yang sama
yang selalu dilakukannya ketika masih kecil. "Kau yakin sudah siap?" Katherine
mengangguk. Kakakku, selalu menjadi bintang pertunjukan.
"Mundur." Peter mengetikkan kode akses. Pintu baja mendesis kencang dan membuka.
Di balik ambang pintu hanya ada kegelapan total... kekosongan yang menganga.
Raungan menggema seakan muncul dari kedalaman. Katherine merasakan semburan
dingin udara dari dalam. Seakan menatap ke dalam Grand Canyon pada malam hari.
"Bayangkan hanggar pesawat kosong yang menunggu armada Airbus," ujar kakaknya,
"dan kau akan memahami ide dasarnya."
Katherine merasakan dirinya mundur selangkah.
"Bangsal ini sendiri terlalu besar untuk dihangatkan, tapi laboratoriummu berupa
ruangan balok cinder yang diinsulasi secara termal, hampir menyerupai kubus,
terletak di pojok terjauh bangsal untuk memberikan pemisahan maksimum."
Katherine mencoba membayangkannya. Kotak di dalam kotak. Dia memanjangkan leher
untuk melihat ke dalam kegelapan, tapi kegelapannya benar-benar total. "Seberapa
jauh di belakang?" "Cukup jauh... lapangan sepak bola bisa masuk dengan mudah di dalam sini. Tapi
aku harus memperingatkanmu, perjalanannya sedikit mendebarkan. Luar biasa
gelap." Katherine mengintip dengan ragu dari dekat. "Tidak ada tombol lampu?"
"Bangsal 5 belum diberi jaringan kabel listrik."
"Tapi... kalau begitu, bagaimana laboratoriumnya bisa berfungsi?"
Peter mengedipkan sebelah mata. "Sel bahan bakar hidrogen."
Katherine ternganga. "Kau bergurau, bukan?"
"Cukup banyak tenaga bersih untuk menjalankan kota kecil. Laboratoriummu
sepenuhnya terisolasi dari frekuensi radio dari seluruh bangunan. Yang lebih
penting lagi, semua eksterior bangsal diisolasi dengan membran-membran resistan
cahaya untuk melindungi semua artefak di dalamnya dari radiasi matahari. Pikiran
dasarnya, bangsal ini merupakan lingkungan berenergi netral yang terisolasi."
Katherine mulai memahami daya tarik Bangsal 5. Karena sebagian besar
pekerjaannya. terpusat pada menguantifikasi medan-medan energi yang sebelumnya
tidak dikenal, eksperimen-eksperimennya harus dilakukan di sebuah lokasi yang
terisolasi dari radiasi luar atau "derau putih" apa pun. Ini termasuk gangguan
"radiasi otak" atau"emisi-emisi pikiran" yang dikeluarkan oleh orang-orang di
dekat situ. Karena itulah, laboratorium universitas atau rumah sakit tidak bisa
digunakan, tapi tidak ada yang lebih sempurna daripada bangsal kosong di SMSE.
"Ayo kita lihat." Kakaknya menyeringai ketika melangkah ke dalam kegelapan
total. "Ikuti aku saja."
Katherine berhenti di ambang pintu. Lebih dari seratus meter kegelapan total"
Dia ingin menyarankan senter, tapi kakaknya sudah menghilang ke dalam kegelapan.
" Peter?" panggilnya.
"Hanya dengan keyakinan," jawab Peter dengan suara sayup-sayup di kejauhan, "kau
bisa menemukan jalanmu. Percayalah."
Dia bergurau, bukan" Jantung Katherine berdentam-dentam ketika ia melangkah
beberapa puluh sentimeter melewati ambang pintu, seraya mencoba mengintip ke
dalam kegelapan. Aku tidak bisa melihat apa apa! Mendadak pintu baja berdesis
dan menutup keras di belakangnya, mencemplungkannya ke dalam kegelapan total.
Tidak ada sedikit pun cahaya. "Peter"!"
Hening. Kau bisa menemukan jalanmu. Percayalah.
Dengan ragu, Katherine beringsut maju tanpa bisa melihat apa pun. Hanya dengan
keyakinan" Katherine bahkan tidak bisa melihat tangannya yang berada tepat di
depan wajah. Dia terus bergerak maju, tapi dalam hitungan detik, dia sudah
benar-benar tersesat. Ke mana aku pergi"
Itu tiga tahun yang lalu.
Kini, ketika tiba di pintu logam tebal yang sama itu, Katherine menyadari sudah
seberapa jauh dirinya semenjak malam pertama itu. Laboratorium nya yang dijuluki
Kubus telah menjadi rumahnya, tempat perlindungan di kedalaman Bangsal 5. Persis
seperti yang diramalkan kakaknya, malam itu Katherine menemukan jalannya
melewati kegelapan, begitu juga setiap hari semenjak itu berkat sistem penuntun
sederhana cerdas yang diketahui sendiri oleh Katherine atas prakarsa kakaknya.
Yang jauh lebih penting, ramalan lain kakaknya juga terbukti benar : eksperimen-
eksperimen Katherine sudah membuahkan hasil yang menakjubkan, terutama dalam
enam bulan terakhir ini. Mereka sudah membuahkan terobosan terobosan baru yang
akan mengubah seluruh paradigma pemikiran. Katherine dan kakaknya bersepakat
untuk benar- benar merahasiakan temuan-temuan itu, sampai semua implikasinya
bisa lebih dipahami sepenuhnya. Akan tetapi, suatu hari nanti, Katherine tahu
dirinya akan memublikasikan beberapa penyingkapan ilmiah yang paling
transformatif dalam sejarah manusia.
Laboratorium rahasia di dalam museum rahasia, pikirnya, seraya menyelipkan kartu
kunci ke dalam pintu Bangsal 5. Papan kuncinya menyala, dan Katherine
mengetikkan PIN.

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu baja mendesis terbuka.
Raungan menggema yang dikenalnya diikuti oleh semburan udara dingin yang sama.
Seperti biasa, Katherine merasakan denyut nadinya mulai meningkat.
Perjalanan paling aneh di dunia.
Katherine Solomon menguatkan diri untuk perjalanan itu, lalu monengok arloji
seraya melangkah ke dalam kekosongan. Akan tetapi, malam ini, pikiran yang
mengganggu mengikutinya ke dalam. Mana Peter"
BAB 12 Kepala Plisi Capitol, Trent Anderson, sudah mengepalai keamanan di Kompleks U.S.
Capitol selama lebih dari satu dekade. Lelaki bertubuh kekar berdada bidang
dengan raut wajah tajam dan rambut merah itu mempertahankan potongan cepak
rambutnya - yang memberinya aura kewibawaan militerr. Senjata yang dibawanya
jelas terlihat, sebagai peringatan kepada siapa pun yang cukup tolol untuk
mempertanyakan batas kewenangannya.
Anderson menghabiskan sebagian besar waktu dengan mengoordinasikan sepasukan
kecil petugas polisi dari pusat pengawasan berteknologi tinggi di ruang bawah
tanah Capitol. Di sini, dia mengawasi beberapa teknisi yang mengamati monitor-
monitor visual, hasil-hasil pembacaan komputer, dan switchboard telepon yang
membuatnya tetap terhubung dengan banyak personel keamanan di bawah perintahnya.
Malam ini sepi tidak seperti biasanya, dan Anderson senang. Dia berharap bisa
mengikuti sedikit pertandingan Redskins lewat televisi panel datar di kantornya.
Pertandingan baru saja dimulai ketika interkom berdengung.
"Chief?" Anderson mengerang dan tetap mengarahkan mata pada televisi ketika menekan
tombol. "Ya." "Ada gangguan di Rotunda. Saya sudah mendatangkan beberapa petugas, tapi saya
rasa Anda ingin melihatnya."
"Benar." Anderson berjalan memasuki pusat pengontrolan keamanan - sebuah
fasilitas neomodern terpadu yang dipenuhi monitor komputer. "Apa yang kau
dapat?" Seorang teknisi memberi isyarat ke arah klip video digital pada monitor. "Kamera
balkon timur Rotunda. Dua puluh detik yang lalu. " Dia memutar klipnya.
Anderson menyaksikan lewat bahu teknisi itu.
Hari ini Rotunda hampir kosong, hanya ada beberapa turis asing tersisa. Mata
terlatih Anderson langsung tertuju pada seseorang yang sendirian dan bergerak
lebih cepat daripada yang lainnya. Kepala plontos. Jaket panjang tentara. Lengan
cedera berada di dalam kain gendongan. Sedikit pincang. Postur bungkuk. Bicara
di ponsel. Langkah-langkah kaki lelaki botak itu menggema nyaring di rekaman audio, hingga
mendadak dia tiba tepat di tengah Rotunda. Dia langsung berhenti, mengakhiri
pembicaraan telepon, lalu berlutut seakan hendak mengikat tali sepatu. Tapi dia
tidak mengikat tali sepatu, melainkan mengeluarkan sesuatu dari kain gendongan
dan meletakkannya di lantai. Lalu dia berdiri dan berjalan terpincang-pincang
cepat menuju pintu keluar timur.
Anderson mengamati benda berbentuk aneh yang ditinggalkan lelaki itu. Astaga,
apa itu" Tingginya kira-kira delapan inci dan berdiri tegak. Anderson membungkuk
lebih dekat ke layar dan memicingkan mata. Itu tidak mungkin.
Ketika lelaki botak itu bergegas pergi, menghilang lewat serambi timur, seorang
anak laki-laki kecil di dekat situ terdengar berkata, "Mommy, orang itu
menjatuhkan sesuatu." Si bocah berjalan mendekati benda itu, tapi mendadak
langsung berhenti. Setelah terdiam sesaat, dia menunjuk dan mengeluark,an
jeritan yang memekakkan telinga.
Kepala polisi itu langsung berbalik dan lari ke pintu, seraya meneriakkan
perintah-perintah. "Hubungi semua titik!
Temukan lelaki botak dengan lengan dalam kain gendongan dan tahan dia!
SEKARANG!" Anderson melesat keluar dari pusat keamanan, menaiki pijakan tangga usang, tiga
Senandung Kematian 1 Makam Bunga Mawar Karya Opa Tengkorak Maut 25
^