Pencarian

Kite Runner 8

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 8


bilang begitu." Tetapi, dia merendahkan suaranya. "Ray yang malang. Dia benar-
benar berubah sejak putrinya meninggal."
Aku mengangkat alisku. "Bunuh diri," bisiknya.
Dalam taksi saat kami kembali ke hotel, Sohrab menyandarkan kepalanya ke
jendela, terus memandangi gedung-gedung yang kami lewati, deretan pohon-pohon
karet. Uap napasnya menempel di kaca, menghilang, lalu menempel kembali. Aku
menanti pertanyaannya tentang hasil pertemuan itu namun dia tidak
mengeluarkannya. * Dari balik pintu kamar mandi yang tertutup, terdengar bunyi air mengalir. Sejak
hari pertama kami menginap di hotel ini, Sohrab berlama-lama di kamar mandi
setiap malam sebelum tidur. Di Kabul, air panas yang mengalir bisa disamakan
dengan ayah, komoditi yang langka. Sekarang Sohrab menghabiskan satu jam setiap
malam di dalam bak mandi, berendam dalam air yang berbusa, menggosok tubuhnya. Sambil duduk di tepi
ranjang, aku menelepon Soraya. Aku melirik pada garis cahaya tipis yang tampak
di bawah pintu kamar mandi. Sudahkah kau merasa bersih, Sohrab"
Aku mengatakan pada Soraya penjelasan Raymond Andrews. "Jadi, bagaimana
menurutmu?" tanyaku.
"Kita harus yakin bahwa dia salah." Soraya mengatakan padaku bahwa dia telah
menelepon beberapa agen adopsi yang bisa menangani adopsi internasional. Dia
belum mendapatkan agen yang mau mempertimbangkan untuk mengurus adopsi seorang
anak Afghan, namun dia belum selesai mencari.
"Bagaimana reaksi orangtuamu saat mendengar hal ini?" "
"Madar merasa bahagia untuk kita. Kau tahu bagaimana perasaannya padamu, Amir,
tidak ada tindakanmu yang salah di matanya. Padar ... yah, seperti biasanya, dia
sedikit susah dibaca. Dia tidak banyak bicara."
"Dan kamu" Kau bahagia?"
Aku mendengarnya memindahkan gagang telepon ke tangannya yang lain. "Kupikir
kita akan memberikan kebaikan pada keponakanmu, tapi mungkin bocah kecilmu itu
juga akan memberikan kebaikan pada kita."
"Aku juga memikirkan hal yang sama."
"Aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku mendapati diriku bertanya-tanya, apa
qurma kesukaannya, atau mata pelajaran favoritnya di sekolah. Aku membayangkan
diriku menolongnya mengerjakan PR Dia tertawa. Di kamar mandi, air berhenti
mengalir. Aku bisa mendengar yang dilakukan Sohrab di dalam sana, bermain-main
dalam bak mandi, menumpahkan air ke lantai.
"Kau akan melakukannya dengan baik," sambutku.
"Oh, aku hampir lupa! Aku menelepon Kaka Sharif."
Kaka Sharif membacakan puisi yang ditulis di atas kertas hotel saat nika kami.
Putranya memegang Al-Quran di atas kepala kami, sementara aku dan Soraya
berjalan menuju panggung, memamerkan senyuman pada kamera-kamera yang
berkilatan. "Apa katanya?"
"Well, dia akan mengaduk isi panci untuk kita. Dia akan menelepon kawan-kawan
INS-nya," katanya. "Itu berita yang sangat bagus," ujarku. "Aku tak sabar lagi melihatmu bertemu
dengan Sohrab." "Aku tak sabar lagi melihatmu," katanya.
Aku menutup telepon sambil tersenyum.
Sohrab keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian. Dia tidak banyak bicara
sejak pertemuan dengan Raymond Andrews dan usahaku untuk mengajaknya mengobrol
hanya dijawab dengan anggukan atau kata-kata pendek. Dia memanjat ranjangnya,
menarik selimutnya hingga ke dagu. Beberapa menit kemudian, dia mendengkur.
Aku mengusap selubung uap air yang melapisi
cermin dengan gerakan melingkar dan bercukur dengan salah satu pisau cukur model
kuno jenis yang harus dibuka terlebih dahulu untuk memasukkan silet yang
disediakan hotel. Lalu aku masuk ke bak mandi, berbaring di sana hingga air
panas yang beruap menjadi dingin dan mengubah kulitku menjadi keriput. Aku
berbaring di sana, bermimpi, bertanya-tanya, berkhayal ....
Omar Faisal adalah seorang pria berbadan gemuk, berkulit gelap, berlesung pipit,
bermata bulat hitam, dan saat dia tersenyum ramah, tampaklah giginya yang
renggang. Rambut kelabunya yang mulai menipis diikat ke belakang. Dia mengenakan
setelan korduroi cokelat dengan tambalan kulit di sikut dan membawa tas kerja
kulit usang yang kepenuhan. Karena pegangan tas itu sudah hilang, dia
mengempitnya di dada. Dia termasuk jenis orang yang memulai setiap kalimatnya
dengan tawa dan permohonan maaf yang tak di-perlukan, seperti Maaf, saya akan
berada di sana pada pukui 17.00. Tertawa. Saat aku menelepon dia, dia bersikeras
bahwa dialah yang akan mendatangi kami. "Maaf, taksi di kota ini memang ugal-
ugalan," katanya dalam bahasa Inggris sempurna, tidak menyisakan sedikit pun
aksen. "Mereka mencium aroma orang asing, mereka menaikkan ongkosnya tiga kali
lipat." Dia menghambur melalui pintu, menebarkan
senyuman dan permintaan maaf, sedikit terengah-engah dan berkeringat. Dia
mengusap keningnya dengan saputangan dan membuka tas kerjanya, mengaduk-aduk
isinya untuk mencari buku catatan dan meminta maaf karena telah mencecerkan
beberapa lembar kertas ke ranjang. Sohrab bersila di atas ranjangnya, menonton
acara televisi tanpa suara dengan satu bola matanya, sementara bola mata yang
lain terpaku pada pengacara awut-awutan itu. Aku telah memberitahukan padanya
pagi itu bahwa Faisal akan datang dan dia mengangguk, nyaris menanyakan sesuatu,
dan kembali menonton acara tentang binatang-binatang berbicara.
"Nah," ujar Faisal sembari membuka buku catatan hukumnya yang berwarna kuning.
"Saya harap anak-anak saya menuruni sifat ibunya kalau berkaitan dengan
keteraturan. Maaf, mungkin ini bukan hal yang ingin Anda dengar dari pengacara
yang Anda harapkan, eh?" Dia tertawa.
"Weii, Raymond Andrews sangat menghormati Anda."
"Mr. Andrews. Ya, ya. Orang yang baik. Sebenarnya, dia menelepon saya dan
menceritakan tentang Anda."
"Benarkah?" "Oh ya." "Jadi Anda sudah memahami situasi saya." Faisal mengusap butir-butir keringat di
atas bibirnya. "Saya memahami versi cerita yang Anda katakan pada Mr. Andrews,"
jelasnya. Lesung pipit muncul di pipinya saat dia tersenyum malu. Dia berpaling menatap Sohrab. "Ini
pasti anak muda yang menyebabkan seluruh kekacauan ini," katanya dalam bahasa
Farsi. "Ini Sohrab," ujarku. "Sohrab, ini Mr. Faisal, pengacara yang tadi kuceritakan
padamu." Sohrab turun dari ranjangnya dan menyalami Omar Faisal. "Assalamu 'alaikum,"
katanya lirih. "Waalaikumussalam, Sohrab," jawab Farid. "Kau tahu kalau namamu sama dengan nama
seorang pahlawan besar?"
Sohrab mengangguk. Dia memanjat kembali ke ranjangnya dan berbaring miring
menonton TV. "Saya tidak tahu Anda lancar berbahasa Farsi," ujarku dalam bahasa Inggris.
"Anda tumbuh di Kabul?"
"Tidak, saya lahir di Karachi. Tapi saya memang pernah tinggal di Kabul selama
beberapa tahun. Shar-e-Nau, di dekat Masjid Haji Yaghoub," Faisal bercerita.
"Saya tumbuh di Berkeley, sebenarnya. Ayah saya membuka toko musik di sana pada
akhir 1960-an. Seks bebas, ikat kepala, kaus celup ikat, sebut saja." Dia
mencondongkan badannya. "Saya menonton Wood-stock."
"Groovy," sambutku, dan Faisal tertawa terbahak-bahak hingga sekujur tubuhnya
berkeringat. "Omong-omong," lanjutku, "yang saya ceritakan pada Mr. Andrews
kurang lebih benar, kecuali satu atau dua hal. Atau mungkin tiga. Saya akan
mengatakan pada Anda versi tanpa sensornya."
Dia menjilat jarinya dan mencari halaman kosong di catatannya, membuka
pulpennya. "Saya menghargainya, Amir. Dan tidakkah sebaiknya kita berbicara
dengan bahasa Inggris mulai saat ini?" "Baik."
Aku menceritakan padanya segala yang terjadi. Tentang pertemuanku dengan Rahim
Khan, perjalanan menuju Kabul, panti asuhan, hukuman rajam di Stadion Ghazi.
"Tuhan," bisiknya. "Saya sungguh bersedih, kenangan saya tentang Kabul begitu
indah. Sulit dipercaya itu tempat yang sama dengan yang Anda ceritakan."
"Anda pernah ke sana akhir-akhir ini?"
"Oh Tuhan, tidak."
"Tempat itu bukan Berkeley, kalau saya boleh bilang," ujarku.
"Lanjutkan." Aku menceritakan padanya segalanya, pertemuan dengan Assef, perkelahian itu,
Sohrab dan katapelnya, pelarian kami kembali ke Pakistan. Saat aku selesai
bercerita, dia menulis sejenak, mengambil napas dalam-dalam, dan menatapku
dengan serius. "Well, Amir, Anda sedang menghadapi pertempuran yang berat."
"Yang bisa saya menangi?" Dia menutup pulpennya. "Dengan mengambil risiko
kedengaran mirip Raymond Andrews, hampir tak mungkin. Bukan tidak mungkin, tapi
sangat berat." Hilang sudah senyumnya yang ramah, juga sorot Jenaka di matanya.
"Tapi anak-anak seperti Sohrablah yang paling
membutuhkan naungan," kataku. "Aturan-aturan dan undang-undang itu menurut saya
tidak masuk akal." "Kita sependapat, Amir," katanya. "Tapi faktanya, ambil saja hukum imigrasi,
kebijakan agen adopsi, dan situasi politik di Afghanistan, dan Anda akan lihat
sendiri, semuanya menentang Anda."
"Saya tidak mengerti," ujarku. Aku ingin menghantam sesuatu. "Maksud saya, saya
mengerti tapi juga tidak mengerti."
Omar mengangguk, keningnya berkerut. "Well, penjelasannya begini. Pada akhir
sebuah bencana, bisa bencana alam atau buatan manusia dan Taliban adalah
bencana, Amir, percayalah sangatlah sulit untuk memastikan apakah seorang anak
benar-benar yatim piatu. Anak-anak ditampung begitu saja dalam kamp-kamp
pengungsian, atau para orangtua sengaja menelantarkan mereka karena tak mampu
lagi merawat mereka. Terjadi setiap saat. Jadi, INS tidak akan mengeluarkan visa
kecuali anak itu jelas-jelas memenuhi definisi anak yatim piatu yang sah secara
hukum. Maaf, saya tahu ini kedengarannya konyol, tapi Anda membutuhkan surat
kematian." "Anda pernah tinggal di Afghanistan," ujarku. "Anda tahu betapa tidak mungkinnya
hal itu." "Saya tahu," katanya. "Tapi anggap saja anak ini sudah jelas tidak punya
orangtua. Meskipun begitu, INS beranggapan bahwa adopsi lebih baik dilakukan
oleh seseorang yang tinggal di negara yang sama dengannya sehingga peninggalan
budayanya dapat dilestarikan."
"Peninggalan budaya apa?" sahutku. "Taliban telah menghancurkan peninggalan
budaya yang dimiliki Afghanistan. Anda lihat sendiri yang mereka lakukan pada
patung-patung Buddha raksasa di Bamiyan."
"Maaf, saya sedang bicara tentang cara INS bekerja, Amir," Omar menyentuh
lenganku. Dia menatap Sohrab dan tersenyum. Berpaling kembali menatapku. "Nah,
supaya sah secara hukum, seorang anak harus diadopsi berdasarkan hukum dan
peraturan negaranya. Tapi jika negara itu sedang berada dalam kekacauan,
contohnya di negara seperti Afghanistan, pemerintahannya sedang sibuk memikirkan
masalah-masalah darurat, dan mengurus adopsi tidak ada dalam prioritas utama."
Aku menghela napas dan mengusap mataku. Bagian pelipisku terasa berdenyut.
"Tapi anggap saja, entah bagaimana, Afghanistan kembali damai," kata Omar,
bersidekap di atas perutnya yang buncit. "Pemerintahnya tetap tidak akan
mengizinkan adopsi. Faktanya, bahkan negara-negara Muslim yang moderat pun
enggan mengizinkan adopsi karena sebagian besar negara itu menggunakan hukum
Islam, Syariat, yang tidak mengenal adopsi."
"Anda menyarankan pada saya untuk menyerah?" aku menekankan telapak tanganku ke
kening. "Saya tumbuh di Amerika, Amir. Kalau ada sesuatu yang saya pelajari dari
Amerika, menyerah sama saja dengan mengencingi stoples limun Pramuka Putri. Tapi, sebagai
pengacara Anda, saya harus membeberkan pada Anda kenyataannya," katanya. "Yang
terakhir, agen adopsi secara rutin mengirimkan anggota staf mereka untuk
mengevaluasi lingkungan tempat hidup anak yang bersangkutan, dan tidak akan ada
agen yang mau mengirim orang mereka ke Afghanistan."
Aku memandangi Sohrab yang duduk di ranjang, menonton TV, menonton kami. Cara
duduknya sama seperti ayahnya, dagunya menempel di salah satu lututnya.
"Saya paman tirinya, tidak bisakah itu diperhitungkan?"
"Tentu saja bisa kalau Anda sanggup membuktikannya. Maaf, Anda punya dokumen
atau apa pun yang bisa mendukung Anda?"
"Tidak ada dokumen," jawabku dengan letih. "Tidak seorang pun tahu tentang hal
ini. Sohrab tidak mengetahuinya hingga saya mengatakan padanya, dan saya sendiri
baru tahu. Satu-satunya orang yang tahu dengan pasti telah pergi, mungkin sudah
meninggal." "Hmm." "Apa pilihan lain untuk saya, Omar?"
"Jujur saja. Anda tidak punya banyak pilihan."
"Demi Tuhan, apa yang bisa saya perbuat?"
Omar menarik napas, menepuk-nepukkan pulpen ke dagunya, menghela napas. "Anda
masih bisa mengajukan petisi yatim piatu, lalu mengharapkan yang terbaik. Anda
bisa menjalani adopsi independen. Artinya, Anda harus tinggal bersama Sohrab di Pakistan sini, setiap
hari, hingga dua tahun ke depan. Anda bisa mengusahakan suaka untuknya. Itu
proses yang amat panjang dan Anda harus bisa membuktikan bahwa dia mengalami
penindasan politis. Anda bisa mengajukan permohonan visa kemanusiaan. Itu adalah
wewenang jaksa agung dan tidak mudah diberikan." Dia berhenti. "Ada satu lagi
pilihan, mungkin kesempatan terbaik Anda."
"Apa?" aku mencondongkan badanku padanya.
"Anda bisa menelantarkannya di sebuah panti asuhan di sini, lalu ajukan petisi
yatim piatu. Persiapkan formulir I-6DD dan kunjungan rumah Anda sementara dia
berada di tempat yang aman."
"Apa itu?" "Maaf, I-6DD adalah formalitas INS. Kunjungan rumah dilakukan oleh agen yang
Anda pilih," Omar menjelaskan. "Gunanya untuk, Anda tahu, untuk meyakinkan
mereka bahwa Anda dan istri Anda bukan orang gila kambuhan."
"Saya tidak ingin melakukannya," aku kembali memandangi Sohrab. "Saya sudah
berjanji padanya untuk tidak akan mengirim dia kembali ke panti asuhan."
"Seperti yang saya bilang, ini mungkin kesempatan terbaik Anda."
Kami bicara hingga beberapa saat kemudian. Lalu aku mengantar dia ke mobilnya,
sebuah VW Bug tua. Saat itu matahari sudah condong di Islamabad, awan merah
berarak di sebelah barat.
Aku menyaksikan mobil itu tergencet oleh berat tubuh Omar saat entah bagaimana
dia menyelipkan badannya ke balik kemudi. Dia menurunkan jendela. "Amir?"
"Ya." "Saya ingin mengatakannya saat di dalam, tentang yang Anda coba lakukan" Menurut
saya itu sungguh hebat."
Dia melambaikan tangannya ketika mobilnya berlalu. Saat berdiri di luar hotel
itu, membalas lambaian Omar, aku berharap Soraya ada di sana bersamaku.
Sohrab telah mematikan TV saat aku kembali memasuki kamar. Aku duduk di tepi
ranjang, memintanya untuk duduk di sampingku. "Menurut Mr. Faisal ada satu cara
untuk membawamu ke Amerika bersamaku," ujarku.
"Benarkah?" Untuk pertama kalinya senyum tipis tersungging di wajah Sohrab
setelah berhari-hari. "Kapan kita bisa pergi?"
"Nah, itulah masalahnya. Mungkin kita butuh sedikit waktu. Tapi dia bilang ini
bisa dilakukan dan dia akan menolong kita." Aku meletakkan tanganku di belakang
lehernya. Dari luar, suara panggilan shalat memenuhi jalanan.
"Berapa lama?" Sohrab bertanya.
"Aku tak tahu. Beberapa saat."
Sohrab mengangkat bahu dan tersenyum, kali ini lebih lebar. "Aku tak keberatan.
Aku bisa menunggu. Sama saja dengan apel masam." "Apel masam?"
"Dulu, waktu aku masih sangat kecil, aku memanjat pohon dan memakan apel-apel
hijau yang masam. Perutku kembung dan jadi keras seperti genderang, rasanya
sakit sekali. Kata Ibu, kalau aku menunggu apel itu masak, aku tidak akan sakit.
Jadi sekarang, setiap aku sangat menginginkan sesuatu, aku mencoba mengingat
yang dikatakan ibuku tentang apel itu."
"Apel masam," ulangku. "Masya Allah, kau mungkin anak kecil terpintar yang
pernah kutemui, Sohrab jan." Telinganya merah merona.
"Apa kau akan mengajakku ke jembatan merah itu" Yang ada kabutnya?" dia
bertanya. "Pasti," jawabku. "Pasti."
"Dan kita akan bermobil lewat jalan-jalan itu, yang kauhilang kita hanya akan
bisa melihat atap mobil dan langit?"
"Semua yang ada di sana," ujarku. Mataku tersengat oleh airmata dan aku berkedip
untuk menyingkir-kannya. "Sulitkah belajar bahasa Inggris?"


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kataku, dalam setahun, kau akan berbicara sama lancarnya dengan bahasa Farsi."
"Sungguh?" "Ya." Aku meletakkan ujung jariku ke bawah dagunya, mendongakkan wajahnya
berhadapan denganku. "Ada satu hal lagi, Sohrab."
"Apa?" "Yah, Mr. Faisal beranggapan bahwa akan benar-benar menolong kalau kami bisa ...
kalau kami bisa memintamu tinggal di rumah anak-anak untuk sementara."
"Rumah anak-anak?" senyumnya memudar. "Maksudnya panti asuhan?"
"Hanya untuk sementara."
"Tidak," katanya. "Tidak, tolonglah."
"Sohrab, ini cuma untuk sementara. Aku berjanji."
"Kau berjanji tidak akan pernah memasukkan-ku ke tempat macam itu, Amir agha,"
katanya. Suaranya pecah, airmatanya terkumpul. Aku merasa bagaikan seorang
bajingan. "Ini berbeda. Kau akan di sini, di Islamabad, bukan di Kabul. Dan aku akan
mengunjungimu setiap hari hingga kami bisa mengeluarkanmu dan membawa -mu ke
Amerika." "Tolong! Tolong, jangan!" teriaknya parau. "Tempat itu menakutkanku. Mereka akan
menyakitiku! Aku tidak mau!"
"Tidak akan ada yang menyakitimu. Tidak a-kan pernah ada."
"Mereka akan menyakitiku! Mereka selalu bilang tidak akan tapi mereka bohong.
Mereka bohong! Kumohon, Tuhan!"
Aku menghapus airmata yang mengaliri pipinya dengan ibu jariku. "Apel masam,
ingat" Ini sama saja dengan apel masam," kataku dengan lembut.
"Tidak, itu beda. Jangan ke tempat itu. Tuhan, oh Tuhan. Tolong, jangan!"
Tubuhnya gemetar, air mata dan ingus bercampur di wajahnya.
"Shhh." Aku menariknya lebih dekat, mendekapkan lenganku pada tubuh kecilnya
yang gemetar. "Shhh. Semua akan baik-baik saja. Kita akan pulang bersama. Kau
lihat nanti, semua akan baik-baik saja."
Suaranya teredam oleh dadaku, namun aku bisa merasakan kepanikannya. "Tolong
berjanjilah kau tidak akan melakukannya! Oh Tuhan, Amir agha! Kumohon,
berjanjilah untuk tidak melakukannya!"
Bagaimana aku bisa berjanji" Aku mendekapnya, terus mendekapnya erat-erat, dan
mengayun-ayun-kan badan kami. Dia terisak-isak ke bajuku hingga airmatanya
kering, hingga getaran tubuhnya berhenti dan permohonan-permohonannya berubah
menjadi cera-cauan yang tak lagi bisa dipahami. Aku menunggu, mengayunnya hingga
napasnya teratur dan tubuhnya melemas. Aku teringat akan sesuatu yang kubaca
lama sebelumnya: Itu/ah cara anak-anak mengatasi ketakutan. Mereka tertidur.
Aku menggendongnya ke ranjangnya, meletakkan dia di sana. Lalu aku berbaring di
ranjangku, menatap ke luar jendela pada langit keunguan yang memayungi
Islamabad. Langit gelap gulita ketika deringan telepon mengagetkanku dari tidur. Aku
mengucek mataku dan menyalakan lampu tidur. Masih pukul 22:30; aku telah
tertidur selama hampir tiga jam. Aku mengangkat gagang telepon. "Halo?"
"Telepon dari Amerika." Suara Fayyaz yang bosan.
"Terima kasih," ucapku. Lampu kamar mandi menyala. Sohrab sedang menyelesaikan
mandi malamnya. Setelah beberapa bunyi klik, terdengarlah suara Soraya:
"Assalamu 'alaikum!" Dia terdengar gembira.
"Hai." "Bagaimana pertemuanmu dengan pengacara
itu?" Aku mengatakan padanya saran Omar Faisal. "Well, kau bisa melupakannya,"
katanya. "Kita tidak harus melakukannya."
Aku menegakkan badanku. "Rawsti" Kenapa, ada apa?"
"Kaka Sharif memberitahuku. Katanya, kuncinya adalah membawa Sohrab masuk ke
Amerika. Kalau dia sudah di sini, ada berbagai cara untuk mempertahankan dia di
sini. Jadi dia menelepon beberapa rekan INS-nya. Malam ini dia meneleponku dan
mengatakan bahwa dia hampir yakin bisa mendapatkan visa kemanusiaan untuk
Sohrab." "Benarkah?" Ujarku. "Oh terima kasih Tuhan! Sharif jan yang baik hati!"
"Aku tahu. Nah, kita akan menjadi sponsornya. Ini harus dijalankan secepat
mungkin. Katanya, masa berlaku visa ini adalah setahun, kita masih
punya banyak waktu untuk mengajukan petisi adopsi."
"Ini benar-benar akan terjadi, Soraya, ha?"
"Tampaknya begitu," sambutnya. Dia terdengar bahagia. Aku mengatakan padanya
bahwa aku mencintai-nya dan dia mengatakan padaku bahwa dia mencintaiku. Aku
menutup telepon. "Sohrab!" aku bangkit dari ranjang dan memanggilnya. "Aku punya berita hebat."
Aku mengetuk pintu kamar mandi. "Sohrab! Soraya jan baru menelepon dari
California. Kami tidak perlu menem-patkanmu di panti asuhan, Sohrab. Kita akan
ke Amerika, kita berdua. Kau mendengarku" Kita akan ke Amerika!"
Aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Memasuki kamar mandi.
Saat aku menyadari, aku telah berlutut, menjerit. Menjerit melalui gigiku yang
terkatup rapat. Menjerit hingga kupikir tenggorokanku akan terkoyak dan dadaku
meledak. Orang-orang berkata, aku masih menjerit ketika ambulans datang.
Dua Puluh Lima M ereka tidak memperbolehkanku masuk.
Aku melihat mereka mendorongnya melewati pintu ganda dan aku mengikuti. Aku
menghambur melalui pintu itu, bau iodin dan peroksida menerpaku, namun yang
sempat kulihat hanyalah dua pria dengan topi operasi dan seorang wanita
berpakaian hijau yang mengerumuni sebuah meja beroda. Sehelai seprai putih jatuh
ke samping meja itu dan menyentuh ubin kotak-kotak yang suram. Sepasang kaki
kecil yang berlumuran darah tersembul dari balik seprei itu dan aku melihat
bahwa kuku ibu jari kirinya terbelah. Lalu seorang pria tinggi besar berpakaian
biru menekankan telapak tangannya ke dadaku dan mendorongku keluar melalui pintu
yang sama; cincin kawinnya terasa dingin di kulitku. Aku menerjang dan
menyumpahinya, tapi dia mengatakan bahwa aku tidak boleh berada di sana, dia
mengatakannya dalam bahasa Inggris, suaranya sopan namun tegas. "Anda harus
menunggu," katanya, membimbingku kembali ke ruang tunggu, dan sekarang pintu
ganda itu tertutup di belakangnya bersama helaan napasnya dan yang bisa kulihat
dari tempatku berada hanyalah ujung topi operasi para pria itu, yang tampak melalui jendela
sempit yang terpasang pada pintu.
Dia meninggalkanku di koridor luas tanpa jendela yang dipenuhi orang-orang yang
sebagian duduk di atas kursi lipat metalik yang berderet di sepanjang tembok,
sementara yang lain di atas karpet tipis yang usang. Aku ingin kembali menjerit,
dan aku teringat saat terakhir kalinya aku merasa seperti ini, ketika bersama
Baba aku menumpang di bagian belakang truk tangki bahan bakar, terkubur dalam
kegelapan bersama para pengungsi lain. Aku ingin menarik diriku dari tempat ini,
dari kenyataan ini, melayang seperti awan dan terbang berlalu, berbaur dengan
malam musim panas yang lembap ini dan menghilang di suatu tempat yang jauh, di
balik perbukitan. Tapi aku di sini, kakiku terasa seperti terbuat dari beton,
paru-paruku hampa udara, tenggorokanku terbakar. Tidak akan ada melayang bersama
awan. Tidak akan ada lagi kenyataan lain malam ini. Aku menutup mataku dan
lubang hidungku dipenuhi oleh aroma koridor, keringat dan amonia, minyak gosok
dan kari. Di langit-langit, beberapa ekor ngengat berputar-putar di dekat lampu
neon bercahaya remang-remang yang terpasang di sepanjang koridor dan aku
mendengar gemerisik kepakan sayap mereka. Aku mendengar obrolan, tangisan
tertahan, isakan, seseorang mengerang, seseorang yang lain menghela napas, pintu
lift terbuka dengan bunyi ding, operator menyampaikan panggilan pada seseorang
dengan bahasa Urdu. Aku kembali membuka mataku dan sekarang aku tahu yang harus kulakukan. Aku
mengamati sekelilingku, debar jantungku menyesakkan dadaku, pembuluh darah
berdenyut-denyut di telingaku. Di sebelah kiriku terdapat ruang perlengkapan
kecil. Di dalamnya, aku menemukan yang kubutuhkan. Ini cukup. Aku mengambil
seprai putih dari tumpukan linen yang terlipat dan membawanya kembali ke
koridor. Aku melihat seorang perawat berbicara dengan seorang polisi di dekat
toilet. Aku menggamit sikut perawat itu dan menariknya, aku ingin tahu di mana
arah barat. Dia tidak memahamiku dan garis-garis di wajahnya tampak semakin
dalam saat dia mengernyit. Tenggorokanku sakit dan mataku tersengat oleh
keringat, setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api, dan kurasa aku
menangis tersedu. Aku kembali bertanya. Polisi itulah yang menunjukkan arahnya.
Aku menggelar jai-namaz buatanku, sajadahku, ke lantai dan berlutut, menurunkan
keningku ke lantai, membiarkan airmataku membasahi kain itu. Aku bersujud ke
arah kiblat. Lalu aku teringat bahwa aku tidak pernah melakukan shalat selama
lebih dari 15 tahun. Aku telah lama melupakan bacaannya. Tapi itu tidak menjadi
masalah, aku akan melafalkan beberapa kata yang masih kuingat: La iiaha
iiiaiiah, Muham-madurasuiuiiah. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusanNya. Sekarang aku tahu bahwa Baba salah, Tuhan itu ada, selalu ada. Aku
melihatNya di sini, dalam mata orang-orang yang ada di koridor kepu-tusasaan ini. Di sinilah rumah
Tuhan yang sebenarnya, di tempat inilah orang-orang yang telah kehilangan Tuhan
akan menemukanNya kembali, bukan di dalam masjid dengan kilau cahaya seterang
permata dan menara-menara yang menjulang tinggi. Tuhan itu ada, pasti ada, dan
sekarang aku akan berdoa. Aku akan berdoa supaya Dia mengampuniku yang telah
bertahun-tahun meninggalkanNya, mengampuniku yang telah berkhianat, berbohong,
dan melakukan dosa seenaknya hanya untuk berpaling padaNya di saat aku
membutuhkanNya, aku berdoa padaNya, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pemurah, Yang
Maha Penyayang, seperti yang disebutkan dalam kitab-Nya. Aku bersujud ke arah
barat dan menciumi lantai dan berjanji bahwa aku akan membayar zakat, aku akan
menunaikan shalat, aku akan berpuasa selama bulan suci Ramadhan dan terus
berpuasa saat bulan Ramadhan berlalu, aku akan berusaha menghapalkan setiap ayat
dalam kitab suciNya, dan aku juga akan menunaikan ibadah haji ke kota yang panas
menyengat di tengah gurun pasir dan bersujud di hadapan Ka'bah. Aku akan
melakukan semua ini dan mengingatNya setiap hari mulai hari ini kalau saja Dia
mau mengabulkan satu-satunya permohonanku: tanganku telah ternodai oleh darah
Hassan; aku berdoa kepada Tuhan untuk tidak membiarkan darah putra Hassan juga
menodai tanganku. Aku mendengar suara bisikan dan menyadari
bahwa itu adalah suaraku, mulutku terasa asin karena air mata yang membanjiri
wajahku. Aku merasakan tatapan semua orang di koridor itu tertuju padaku dan aku
tetap bersujud ke arah barat. Aku berdoa. Aku berdoa supaya dosa-dosaku tidak
terus membebani diriku seperti yang selalu kutakuti.
Malam kelam tanpa bintang menyelimuti Islamabad. Beberapa jam telah berlalu dan
sekarang aku duduk di lantai ruang tunggu kecil di dekat koridor yang menuju ke
ruang gawat darurat. Di hadapanku terdapat meja kopi kusam yang permukaannya
dipenuhi dengan koran-koran dan majalah-majalah usang Time edisi April 1996;
koran Pakistan yang menunjukkan wajah seorang remaja laki-laki yang terbunuh
karena kecelakaan kereta api seminggu sebelumnya; majalah hiburan yang
menampilkan wajah-wajah tersenyum aktor Lollywood di kover-nya yang mengilat. Di
depanku, seorang wanita tua yang mengenakan gamis hijau zamrud dan syal rajutan
mengangguk-anggukkan kepalanya di kursi roda. Beberapa kali dia terbangun dan
menggumamkan doa dalam bahasa Arab. Aku bertanya-tanya dengan letih, doa
siapakah yang akan didengar malam ini, doanya atau doaku. Aku membayangkan wajah
Sohrab, dagu kecilnya yang mencuat, telinga mungilnya yang mirip cangkang
kerang, mata sipitnya yang seperti daun bambu, begitu mirip dengan ayahnya.
Kesedihan segelap malam di luar menyergapku, dan aku merasakan tenggorokanku
tercekik. Aku butuh udara segar. Aku bangkit dan membuka jendela. Udara yang mengalir masuk terasa lembap dan
panas baunya seperti kurma busuk dan kotoran hewan. Aku memaksa udara itu masuk
ke paru-paruku melalui tarikan napas panjang, namun rasa sesak di dadaku tidak
menghilang. Aku kembali tersungkur di lantai. Aku memungut majalah Time dan
membalik-balik halamannya. Tapi aku tak bisa membaca, tak bisa berkonsentrasi
pada apa pun. Jadi aku melemparkan majalah itu ke meja dan kembali mengamati
pola zig-zag pada retakan di lantai semen, lamat pada sudut langit-langit,
lalat-lalat mati yang bertebaran di ambang jendela. Kebanyakan, aku mengamati
jam di dinding. Baru lewat pukul 04.00 dan aku telah dipisahkan dari ruangan
berpintu-ayun ganda itu lebih dari lima jam. Aku masih belum mendengar kabar
dari sana. Lantai di bawahku mulai terasa seperti bagian dari tubuhku, dan napasku menjadi
lebih berat, lebih lambat. Aku ingin tidur, memejamkan mataku dan membaringkan
tubuhku di lantai yang dingin dan berdebu. Tidur. Saat aku terbangun, mungkin
aku akan mendapati bahwa semua yang kulihat di kamar mandi hotel adalah bagian
dari mimpiku: air yang keluar dari keran dan menetes dengan bunyi ting ke dalam
air mandi berdarah; lengan kirinya menggantung keluar dari tepi bak mandi, pisau
cukur bersimbah darah tergeletak di atas penutup toilet pisau cukur yang sama
yang kupakai sehari sebelumnya dan matanya, masih setengah terbuka namun tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itulah yang terberat. Aku ingin melupakan
matanya. Tak lama kemudian, aku membiarkan diriku tertidur. Aku memimpikan banyak hal
yang tak lagi bisa kuingat.
Seseorang menepuk-nepuk bahuku. Kubuka mataku. Seorang pria berlutut di
sampingku. Dia mengenakan topi seperti yang dipakai pria-pria di balik pintu
ayun ganda dan masker operasi kertas menutupi mulutnya jantungku berdegup
kencang saat aku melihat setitik noda darah di maskernya. Foto seorang gadis
kecil bermata bulat tertempel di penyerantanya. Dia membuka maskernya dan aku
merasa lega karena tidak harus terus menatap darah Sohrab. Kulitnya segelap
cokelat Swiss impor yang sering kubeli bersama Hassan di pasar Shar-e-Nau;
rambutnya menipis dan mata cokelatnya dipayungi oleh bulu mata lentik. Dalam
logat Inggris, dia mengatakan padaku bahwa namanya adalah Dr. Nawaz, dan
seketika itu aku ingin menjauh dari pria ini, karena aku merasa bahwa aku tidak
akan sanggup menerima apa pun yang akan disampaikannya padaku. Dia berkata bahwa
anak itu telah menorehkan luka yang dalam dan kehilangan sangat banyak darah dan
mulutku kembali mengumamkan doa doa itu :
La ilaha Mallah, Muham-madurasulullih. Mereka harus mentransfusikan beberapa
unit darah... Bagaimana aku akan mengatakannya pada Soraya"
Dua kali, mereka harus mengejutkannya.. Aku akan menunaikan shalat, aku akan
membayar zakat. Mereka akan kehilangan dia kalau saja jantungnya tidak semuda dan sekuat-Aku
akan berpuasa. Dia hidup.
Dr. Nawaz tersenyum. Aku butuh waktu untuk mencerna kalimat yang baru saja
dikatakannya. Lalu dia menjelaskan lebih banyak untukku namun aku tidak
mendengarnya. Karena aku meraih tangannya dan membawanya ke wajahku. Aku
menangis lega di tangan kecil dan gemuk seorang asing dan sekarang dia tidak
mengatakan apa-apa. Hanya menunggu.
Ruang perawatan intensif berbentuk huruf L dan suram, disesaki oleh layar-layar
monitor yang berkedip dan mesin-mesin yang berdesir. Dr. Nawaz membimbingku
melewati dua lajur ranjang yang dipisahkan oleh tirai plastik putih. Ranjang
Sohrab berada paling ujung di dekat pojok ruangan, yang terdekat dengan pos
perawat di mana dua orang perawat yang mengenakan baju operasi berwarna hijau
mencatat sesuatu dan mengobrol dengan suara rendah. Saat berada dalam keheningan
lift menuju tempat ini bersama Dr. Nawaz, kukira aku akan kembali tersedu saat
melihat Sohrab. Namun saat aku duduk di bangku di ujung ranjangnya, memandangi
wajah pucatnya di balik untaian selang-selang plastik bening dan selang infus,
kudapati bahwa mataku kering. Saat mengamati dadanya yang naik dan turun seirama
dengan desisan ventilator, suatu sensasi menerpaku, sensasi yang sama yang
dirasakan seseorang beberapa detik setelah menghindarkan mobilnya dari
kecelakaan yang mematikan.
Aku tertidur dan, saat terbangun, aku melihat matahari terbit di langit yang
dihiasi gumpalan awan melalui jendela di dekat pos perawat. Cahayanya menembus
ke dalam ruangan itu, membuat bayanganku menimpa tubuh Sohrab. Dia belum juga
bergerak. "Lebih baik Anda tidur," seorang perawat berkata padaku. Aku tidak mengenalinya
mungkin pergantian petugas telah terjadi saat aku tertidur. Dia membawaku menuju
ruang tunggu yang lain, yang berada tepat di luar UGD. Dia mengulurkan sebuah
bantal dan sehelai selimut rumah sakit. Aku
mengucapkan terima kasih padanya dan berbaring di atas sofa vynil di sudut ruang
tunggu itu. Hampir seketika itu, aku tertidur.
Dalam mimpiku, aku kembali berada di ruang tunggu lantai bawah. Dr. Nawaz
menghampiriku dan aku berdiri menyambutnya. Dia membuka masker kertasnya,
tangannya tiba-tiba tampak lebih pucat dari yang kuingat, kuku-kukunya terawat
rapi, belahan rambutnya tersisir rapi, dan aku melihat bahwa pria itu bukanlah
Dr. Nawaz melainkan Raymond Andrews pria bertubuh kecil dengan tanaman tomat
dalam pot yang kutemui di kedutaan. Andrews mendongakkan kepalanya. Memicingkan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya. * Pada siang hari, rumah sakit itu menjadi labirin lika-liku lorong yang disesaki
manusia, citra kabur yang diakibatkan oleh lampu fluoresens putih cemerlang yang
terpasang di langit-langit. Aku mulai mengenali bangunan itu, mengetahui bahwa
tombol lantai IV di lift sayap timur tidak menyala, bahwa pintu toilet pria di
lantai yang sama macet dan siapa pun yang ingin membuka pintu itu harus
membenturkan bahunya ke sana. Aku baru tahu bahwa kehidupan di rumah sakit
memiliki irama, begitu banyak hal diselesaikan sebelum pergantian petugas pada
pagi hari, tugas-tugas dilakukan dengan tergesa-gesa pada siang hari, sedangkan
pada tengah malam keadaan menjadi hening dan tenang, kadang-kadang diselingi
oleh para dokter dan perawat yang bergegas mengatasi masa kritis seseorang. Aku
terpaku di samping ranjang Sohrab pada siang hari dan berkeliaran melewati lika-
liku koridor rumah sakit pada malam hari, mendengarkan ketukan tumit sepatuku di
lantai, memikirkan apa yang akan kukatakan pada Sohrab saat dia siuman. Aku
mengakhiri malam dengan kembali ke UGD, duduk di dekat ventilator yang berdesir
di samping ranjangnya, dan aku masih belum tahu apa yang akan kukatakan.
Setelah tiga hari perawatan, mereka melepas selang pernapasan Sohrab dan
mengeluarkannya dari UGD. Aku tidak menyaksikan saat mereka memindahkan-nya.
Malam itu aku kembali ke hotel supaya dapat tidur dengan nyenyak dan berakhir
dengan berguling-guling di ranjangku sepanjang malam. Paginya, aku berusaha
untuk tidak melihat ke bak mandi. Tempat itu tampak bersih sekarang, seseorang
telah mengelap darahnya, menggelar keset baru di lantai, dan menggosok
dindingnya. Namun aku tidak sanggup menahan diriku untuk duduk di pinggir bak
mandi porselen yang terasa dingin itu. Aku membayangkan Sohrab mengisinya dengan
air hangat. Membuka bajunya. Memutar pegangan pisau cukur dan membuka kunci
pengaman ganda di pangkalnya, menarik siletnya, memegangnya dengan jempol dan
telunjuknya. Aku membayangkan dia memasuki bak mandi, berbaring di sana beberapa
lama, matanya tertutup. Aku
bertanya-tanya, apakah yang terakhir dipikirkannya sebelum dia mengangkat silet
itu dan menoreh-kannya. Saat aku keluar menuju lobi, manajer hotel itu, Fayyaz, menanyakan kabarku.
"Saya ikut prihatin," katanya, "tapi saya memohon pada Anda untuk sudi
meninggalkan hotel ini, tolonglah. Hal ini buruk bagi bisnis saya, sangat
buruk." Aku mengatakan padanya bahwa aku mengerti dan aku membayarnya. Dia tidak
memintaku membayar sewa selama tiga hari yang kuhabiskan di rumah sakit. Saat
menunggu taksi di luar lobi hotel, aku memikirkan tentang perkataan yang
diucapkan Fayyaz malam itu, saat kami mencari Sohrab. Masalah kalian orang-orang
Afghan adalah ... yah, kalian memang ceroboh. Aku tertawa saat mendengarnya, namun
sekarang aku memikirkannya. Benarkah aku tertidur setelah menyampaikan pada
Sohrab kabar yang paling dia takuti"
Saat aku berada di dalam taksi, aku menanyakan pada sopirnya kalau dia tahu toko
buku yang menjual buku-buku Persia. Dia berkata bahwa ada satu toko yang berada
dua kilometer di sebelah selatan. Kami berhenti di sana sebelum menuju rumah
sakit. * Dinding kamar baru Sohrab berwarna krem, kusen-kusennya berwarna kelabu gelap
dengan congkelan di sana-sini, dan ubin yang dulunya mungkin berwarna putih tampak mengilap. Di
kamar itu juga tinggal seorang remaja Punjabi yang aku mengetahuinya dari
perawat-kakinya patah karena terpeleset dari atap bus yang tengah berjalan.
Kakinya terbalut gips, terangkat dan ditahan di udara oleh penjepit yang
digantungkan pada penahan beban.
Ranjang Sohrab terletak di dekat jendela, setengah bagian bawahnya tertimpa
cahaya matahari pagi menjelang siang yang menerobos melalui jendela. Petugas
keamanan berseragam berdiri di dekat jendela itu, mengunyah biji-biji kuaci
Sohrab berada di bawah pengawasan 24 jam. Kebijakan rumah sakit, itulah yang
dikatakan Dr. Nawaz padaku. Saat melihatku, penjaga itu menyentuh ujung topinya
dan keluar dari ruangan. Sohrab mengenakan piyama rumah sakit berlengan pendek dan berbaring dengan
selimut menutupi dadanya, wajahnya menghadap ke arah jendela. Kukira dia masih
tidur, namun saat aku menyeret bangku mendekati ranjangnya, kelopak matanya
bergetar dan terbuka. Dia memandangku, lalu memalingkan wajahnya. Dia begitu
pucat, bahkan setelah mereka memasukkan begitu banyak darah ke tubuhnya, dan
lebam besar keunguan terlihat pada lipatan lengan kanannya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.
Dia tidak menjawab. Dia menatap ke luar jendela, pada petak pasir berpagar dan
ayunan di taman rumah sakit. Di dekat arena bermain itu, di
bawah naungan deretan pohon hibiskus, terdapat sebuah jeruji melengkung yang
dirambati tumbuhan hijau. Beberapa orang anak bermain dengan ember di petak
pasir. Hari itu langit biru terbentang tanpa awan, dan aku melihat pesawat yang
tampak sangat mungil meninggalkan berkas asap kembar di belakangnya. Aku kembali
menatap Sohrab. "Aku bicara dengan Dr. Nawaz beberapa menit yang lalu dan
menurut dia, kau boleh meninggalkan tempat ini beberapa hari lagi. Itu kabar
baik, bukan?" Sekali lagi pertanyaanku dijawab dengan keheningan. Remaja Punjabi di sisi lain
kamar itu bergerak-gerak dalam tidurnya dan menggumamkan sesuatu. "Aku suka
kamarmu," aku mencoba untuk tidak menatap pergelangan Sohrab yang terbalut. "Di
sini terang, dan pemandangannya lumayan." Hening. Beberapa menit kulalui dengan
kikuk, dan beberapa titik keringat bermunculan di keningku, juga di atas
bibirku. Aku menunjuk semangkuk aush kacang polong yang tidak tersentuh di
mejanya, sendok plastik yang belum pernah digunakan. "Kau harus mencoba makan
sesuatu. Dapatkan kembali quwatmu, kekuatanmu. Kau mau aku membantumu?"
Dia menatap mataku, lalu berpaling, wajahnya sekaku batu. Kulihat matanya masih
tanpa binar, kosong, sama seperti saat aku mengeluarkannya dari bak mandi. Aku
menggapai kantong kertas yang terapit di antara kakiku dan mengeluarkan buku
Shahnamah bekas yang kubeli di toko buku Persia. Aku menunjukkan sampulnya pada
Sohrab. "Aku sering membacakan buku ini pada ayahmu saat kami
masih kanak-kanak. Kami mendaki bukit di dekat rumah dan duduk di bawah pohon
delima suaraku melirih. Sohrab kembali menatap ke luar jendela. Aku memaksakan
senyuman. "Yang menjadi kesukaan ayahmu adalah kisah tentang Rostam dan Sohrab,
dan dari kisah itulah kau mendapatkan namamu, aku tahu kau tahu itu." Aku
terdiam, merasa sedikit seperti seorang idiot. "Omong-omong, dia mengatakan
dalam suratnya bahwa kau juga paling menyukai kisah itu, jadi kupikir aku akan
membacakannya untukmu. Kau mau?"
Sohrab memejamkan matanya. Menutupinya dengan lengannya yang tidak lebam.
Aku membuka halaman yang sudah kutandai di taksi. "Ayo kita mulai," ujarku
sambil menerka-nerka apa yang dipikirkan oleh Hassan saat pertama kali dia
membaca Shahnamah sendiri dan mendapati bahwa aku telah mengelabuinya sepanjang
waktu itu. Aku berdeham dan membaca. '"Dengarlah kisah tentang pertempuran
Sohrab melawan Rostam, meskipun kisah ini menguras air mata,1" aku mulai
membaca. "'Konon, pada suatu hari Rostam bangkit dari kursinya dan firasat
menerpa benaknya. Dia teringat akan dirinya ...."' Aku membacakan hampir seluruh
bab I padanya, hingga ke bagian di mana pendekar muda Sohrab mendatangi ibunya,
Tahmineh, putri kerajaan Samengan, dan memohon padanya untuk memberitahukan
identitas ayahnya. Aku menutup buku itu. "Kau mau aku melanjutkan" Setelah ini
ada pertempuran, kau ingat" Sohrab memimpin pasukannya menyerbu Istana Putih di
Iran" Kau ingin aku membacanya?"
Dia menggelengkan kepalanya lambat-lambat. Aku memasukkan buku itu kembali ke
kantong kertas. "Ya sudah," ujarku, tetap mencoba bersemangat meskipun dia
tampaknya tidak menang-gapiku sama sekali. "Mungkin kita bisa melanjutkannya
besok. Bagaimana keadaanmu?"
Mulut Sohrab terbuka dan keluarlah suara erangan. Dr. Nawaz telah memberitahuku
bahwa hal ini akan terjadi, disebabkan oleh selang pernapasan yang mereka
selipkan melalui pita suaranya. Dia menjilat bibirnya dan kembali mencoba
berbicara. "Lelah."
"Aku tahu. Dr. Nawaz bilang kau pasti kelelahan -"
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada apa, Sohrab?"
Dia mengernyitkan wajah saat kembali bicara dengan suara parau, sedikit lebih
keras daripada bisikan. "Lelah dengan semuanya."
Aku menghela napas dan terkulai di kursiku. Berkas sinar matahari menengahi aku
dan ranjangnya dan, selama sesaat, wajah pucat pasi yang menatapku dari balik
berkas sinar itu begitu mirip dengan wajah Hassan, bukan Hassan yang bermain
kelereng denganku hingga mullah mengumandangkan azan Magrib dan Ali memanggil
kami pulang, bukan Hassan yang berkejaran denganku saat menuruni bukit kami
sementara matahari tenggelam di balik atap-atap tanah liat di ufuk barat,
melainkan Hassan yang terakhir kali kulihat hidup-hidup, menyeret harta bendanya
di belakang Ali pada hujan deras musim panas yang hangat, menjejalkan semuanya
ke dalam bagasi mobil Baba sementara aku menyaksikan melalui jendela kamarku
yang basah oleh air hujan.
Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Lelah dengan semuanya," ulangnya.
"Apa yang bisa kulakukan Sohrab" Tolong, katakanlah padaku."
"Aku ingin.." dia mulai. Dia kembali mengernyitkan wajah dan meletakkan
tangannya di lehernya, seolah-olah untuk membersihkan apa pun yang menghalangi
suaranya. Tatapanku kembali tertuju pada pergelangan tangannya yang terbalut
erat dengan perban putih. "Aku ingin kehidupan lamaku kembali," dia menarik
napas. "Oh, Sohrab." "Aku ingin Ayah dan Ibu. Aku ingin Sasa. Aku ingin bermain bersama Rahim Khan
sahib di taman. Aku ingin tinggal di rumah kami lagi." Dia menarik tangannya
untuk menutupi matanya. "Aku ingin kehidupan lamaku kembali."
Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan, ke mana aku akan memandang, jadi aku
menunduk menatap tanganku. Kehidupan lamamu, pikirku. Aku bermain di ha f aman
yang sama, Sohrab. Aku tinggal di rumah yang sama. Namun rerumputan di sana
sudah mati dan jip asing terparkir di jalan masuknya, menodai aspal dengan
tetesan oli. Kehidupan lama kita telah tiada, Sohrab, dan semua orang telah
meninggal atau sekarat. Sekarang yang ada hanya kau dan aku. Hanya kau dan aku.
"Aku tidak bisa memberikannya padamu," ujarku.
"Aku berharap kau tidak-"
"Kumohon, jangan katakan itu."
"...kau tidak ... kuharap kau meninggalkanku di
air." "Jangan pernah mengatakan itu, Sohrab," u-jarku seraya mencondongkan badan. "Aku
tidak tahan mendengarmu bicara seperti itu." Aku menyentuh bahunya dan dia
mengedikkannya. Menjauhiku. Aku menurunkan tanganku, mengingat dengan penuh
penyesalan bahwa beberapa hari sebelum aku mengingkari janjiku padanya, dia
akhirnya tidak lagi menghindari sentuhanku. "Sohrab, aku tidak bisa memberimu
kehidupan lamamu, meskipun begitu aku memohon kepada Tuhan supaya aku bisa.
Namun aku bisa membawamu bersamaku. Karena ingin mengatakan hal itulah aku masuk
ke kamar mandi. Kau mendapatkan visa untuk masuk ke Amerika, untuk tinggal
bersamaku dan istriku. Aku tidak berbohong. Aku berjanji."
Dia menghela napas melalui hidungnya dan memejamkan matanya. Aku berharap tidak
mengucapkan dua kata terakhir itu. "Kau tahu, aku telah melakukan banyak hal
yang kusesali dalam kehidupan ini," ujarku, "dan mungkin tidak ada yang lebih
buruk daripada mengingkari janjiku padamu. Tapi itu tidak akan terjadi lagi, dan
aku benar-benar menyesal. Aku memohon bakhsheshmu, ampunan-mu. Bisakah kau
memberikannya" Bisakah kau memaafkanku" Bisakah kau memercayaiku?" Aku
merendahkan suaraku. "Maukah kau ikut denganku?"
Saat aku menantikan jawabannya, pikiranku melayang pada musim dingin bertahun-
tahun yang lalu, saat aku dan Hassan duduk di atas gundukan salju di bawah pohon
ceri tak berdaun. Aku telah menjahati Hassan hari itu, mempermainkannya,
menanyainya kalau dia mau mengunyah tanah untuk membuktikan kesetiaannya padaku.
Sekarang akulah yang berada di bawah mikroskop, akulah yang harus membuktikan
kesetiaanku. Aku pantas menerimanya.
Sohrab menggulingkan tubuhnya, memunggungiku. Dia tidak mengatakan apa-apa
selama beberapa waktu. Lalu, saat kupikir dia telah jatuh tertidur, dia berkata
dengan suara parau, "Aku merasa sangat khasta." Amat sangat kelelahan.
Aku duduk di sebelah ranjangnya hingga dia tertidur. Ada yang hilang di antara
aku dan Sohrab. Hingga pertemuanku dengan pengacara itu, Omar Faisal, secercah
sinar harapan mulai memasuki mata Sohrab seperti tamu yang malu-malu. Sekarang
sinar itu telah tiada, tamu itu telah kabur, dan aku bertanya-tanya kapankah ia
berani kembali. Aku bertanya-tanya, berapa lama lagi hingga aku bisa kembali
melihat senyum Sohrab. Berapa lama lagi hingga dia kembali memercayaiku. Kalau
saat itu akan tiba. Jadi aku meninggalkan kamar itu dan mencari hotel lain, tidak menyadari bahwa
aku akan melewatkan hampir setahun sebelum mendengar Sohrab kembali berbicara.
Pada akhirnya, Sohrab tidak pernah menerima tawaranku. Dia juga tidak
menolaknya. Namun dia tahu bahwa saat balutannya dilepas dan pakaian rumah
sakitnya dikembalikan, dia hanyalah salah satu Hazara yatim piatu gelandangan.
Pilihan apa yang dimilikinya" Ke mana dia akan pergi" Jadi, yang kuanggap
sebagai persetujuan darinya tidak lain hanyalah penyerahan tanpa perlawanan,
sikap menerima yang muncul sebagai wujud penyerahan seseorang yang terlalu lelah
untuk memutuskan, dan terlalu letih untuk memercayai. Yang dia dambakan adalah
kehidupan lamanya. Yang dia dapatkan adalah aku dan Amerika. Ini bukan nasib
yang buruk, kalau memperhitungkan segalanya, namun aku tidak sanggup mengatakan
hal itu padanya. Sudut pandang adalah kemewahan saat kepalamu terus diterpa
dengungan yang mengerikan.
Jadi begitulah, sekitar seminggu kemudian, kami melewati lintasan tarmak yang
hitam dan hangat dan aku membawa putra Hassan dari Afghanistan ke Amerika,
mengangkatnya dari ketidakpastian suatu kekacauan dan menjatuhkannya dalam
kekacauan suatu ketidakpastian.
* Suatu hari, mungkin sekitar tahun 1983 atau 1984, aku berada dalam sebuah toko
video di Fremont. Aku berdiri di bagian film Barat saat seorang pria di dekatku,
yang menghirup soda dari gelas 7-Eleven, menunjuk video The Magnificent Seven
dan menanyakan padaku kalau aku sudah menontonnya. "Ya, tiga belas kali,"
jawabku. "Di film itu Charles Bronson mati, juga James Coburn dan Robert
Vaughn." Dia menatapku dengan kecut, seolah-olah aku telah meludahi sodanya.
"Thanks a lot, man," katanya, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggumamkan
sesuatu sambil beranjak dariku. Saat itulah aku mempelajari bahwa di Amerika,
kau tidak boleh mengatakan akhir sebuah film, dan kalau kau mengatakannya,
orang-orang akan merasa kesal dan kau harus meminta maaf sedalam-dalamnya karena
telah melakukan dosa Mengatakan Akhir.
Di Afghanistan, akhir adalah satu-satunya yang penting. Saat aku dan Hassan
pulang dari menonton film India di Cinema Zainab, yang ingin diketahui oleh Ali,
Rahim Khan, Baba, atau rombongan teman-teman Baba sepupu lapis kedua dan ketiga
yang masuk dan keluar rumah kami adalah: Apakah Gadis dalam film itu menemukan
kebahagiaan" Apakah bacheh fiim, Pria dalam film, menjadi kamyab dan mewujudkan
impiannya, atau dia nahkam, ditakdirkan untuk selalu sengsara"
Apakah akhirnya bahagia, mereka ingin tahu.
Jika seseorang menanyakan padaku hari ini, apakah kisah Hassan, Sohrab, dan aku
berakhir dengan bahagia, aku tidak akan tahu apa yang akan kukatakan.
Bukankah semua orang begitu"
Lagi pula, hidup bukanlah film India. Zendagi migzara, itulah yang biasa
dikatakan orang Afghan: Kehidupan terus berjalan, akhir, kamyab, nahkam, krisis
atau pelampiasan, berjalan maju bagaikan karavan kochis berdebu yang berjalan
perlahan. Aku tidak akan tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Meskipun hari
Minggu kemarin, sebuah keajaiban kecil telah terjadi.
Kami tiba di rumah sekitar tujuh bulan yang lalu, pada hari yang hangat di bulan
Agustus 2001. Soraya menjemput kami di bandara. Aku belum pernah berjauhan dari
Soraya selama itu, dan saat dia melingkarkan lengannya pada leherku, saat aku
menghirup aroma apel di rambutnya, aku menyadari betapa aku merindukannya. "Kau
masih matahari pagi yang mengakhiri yeldaku," bisikku. "Apa?"
"Tidak apa-apa." Aku mencium telinganya.
Setelah itu, dia berlutut hingga wajahnya berhadapan dengan wajah Sohrab. Dia
meraih tangannya dan tersenyum padanya. "Assalamu 'alaikum, Sohrab jan, aku
Khala Sorayamu. Kami semua telah menantikan kedatanganmu."
Melihatnya tersenyum pada Sohrab, dengan
mata sedikit berkaca-kaca, terkilas di benakku betapa saat ini mungkin dia telah
menjadi seorang ibu, seandainya saja rahimnya tidak mengkhianatinya.
Sohrab menggeserkan kakinya dan berpaling.
* Soraya telah mengubah ruang belajar di lantai atas menjadi kamar tidur untuk
Sohrab. Dia menunjukkan ruangan itu padanya dan Sohrab duduk di tepi ranjang.
Seprai yang menutupi ranjang itu bergambar layang-layang dalam warna-warni ceria
yang melayang di langit biru cerah. Di dinding dekat lemari, dia telah membuat


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garis pengukur pertambahan tinggi badan anak-anak. Di kaki ranjang, aku melihat
keranjang rotan yang dipenuhi oleh buku-buku, sebuah lokomotif mainan, dan satu
set cat air. Sohrab mengenakan kaos putih polos dan celana jins baru yang kubelikan di
Islamabad sebelum kami berangkat-kaosnya menggantung longgar pada tubuhnya yang
kurus dan bahunya yang lemas. Warna belum juga kembali ke wajahnya, kecuali
lingkaran hitam di sekeliling matanya. Dia memandangi kami dengan tatapan kosong
seperti saat dia memandangi sepiring nasi tim yang diletakkan petugas rumah
sakit di hadapannya. Soraya bertanya padanya, apakah dia menyukai kamarnya, dan aku melihat bahwa
Soraya berusaha untuk tidak menatap pergelangan tangannya dan bahwa matanya
terus kembali tertuju pada
bekas luka merah muda bergerigi itu. Sohrab menundukkan kepalanya. Dia
menyembunyikan tangannya di bawah pahanya dan tidak mengatakan apa-apa. Lalu,
begitu saja, dia meletakkan kepalanya ke bantal. Kurang dari lima menit
kemudian, aku dan Soraya menyaksikan dari ambang pintu, dia mendengkur.
Kami berbaring di ranjang, dan Soraya tertidur dengan kepala di dadaku. Dalam
kegelapan kamar kami, aku berbaring dengan mata terbuka, sekali lagi menderita
karena insomnia. Terjaga. Dan sendirian menghadapi iblis-iblisku.
Kadang-kadang pada tengah malam, aku turun dari ranjang dan memasuki kamar
Sohrab. Aku berdiri mengamatinya, menundukkan kepala, dan melihat sesuatu
menyembul dari bawah bantalnya. Aku memungutnya. Itu adalah foto Polaroid Rahim
Khan, yang kuberikan pada Sohrab pada malam saat kami duduk di halaman Masjid
Shah Faisal. Foto yang menampilkan Hassan dan Sohrab berdiri berdampingan,
memicingkan mata di bawah terpaan matahari, dan tersenyum seolah-olah dunia
telah memberikan mereka kebaikan dan keadilan. Aku mengira-ngira, berapa lama
Sohrab berbaring di ranjangnya sambil menatap foto itu, memegangnya di
tangannya. Aku menatap foto itu. Ayahmu adalah seorang pria yang terbagi menjadi dua,
itulah yang dikatakan Rahim Khan dalam suratnya. Aku adalah belahan dari dirinya
yang diakui, disetujui oleh masyarakat, sah, perwujudan nyata rasa bersalah
Baba. Aku menatap Hassan, memandangi dua gigi depannya yang tanggal, sinar
matahari menerpa wajahnya. Belahan lain dari diri Baba. Yang tidak diakui, tidak
memiliki kewenangan apa pun. Setengah dari diri Baba yang mewarisi kemurnian dan
kebijakan dalam dirinya. Belahan yang, mungkin, dalam relung hatinya yang
terdalam, telah diakui Baba sebagai putranya yang sejati.
Aku menyelipkan kembali foto itu ke tempat aku menemukannya. Lalu aku menyadari
sesuatu: Pikiran yang terakhir menempel di benakku itu tidak menyengatku sama
sekali. Sambil menutup pintu kamar Sohrab, aku bertanya-tanya, seperti inikah
pengampunan bersemi, bukan dengan terpaan kesadaran, namun dengan kepedihan yang
bergiliran muncul, terkumpul, lalu menyelinap pergi begitu saja pada tengah
malam. Malam berikutnya, Sang Jenderal dan Khala Jamila menghadiri makan malam di rumah
kami. Khala Jamila, yang rambutnya dipotong pendek dan diwarnai dengan warna
merah yang lebih gelap dari biasanya, menyerahkan sepiring maghout bertabur
kenari untuk pencuci mulut pada Soraya. Saat melihat Sohrab, wajahnya menjadi
berseri-seri. "Masya Allah! Soraya jan sudah mengatakan pada kami betapa
khosteepnya dirimu, tapi kau tampak lebih tampan saat berada di depanku, Sohrab
jan." Dia menyerahkan sehelai sweter turtleneck biru padanya. "Ini kurajut untukmu,"
ujarnya. "Untuk musim dingin mendatang. Insya Allah, akan pas untukmu."
Sohrab menerima sweter itu darinya.
"Halo, anak muda," hanya itulah yang dikatakan Sang Jenderal, mencondongkan
badannya dengan bertumpu pada tongkat, menatap Sohrab dengan cara yang sama
dengan yang dilakukan seseorang saat mengamati hiasan aneh di rumah orang lain.
Aku menjawab, dan menjawab lagi, berbagai pertanyaan Khala Jamila tentang luka-
lukaku aku meminta Soraya mengatakan pada mereka bahwa aku dirampok meyakinkan
dirinya bahwa aku tidak mengalami cacat permanen, bahwa kawat di rahangku akan
dilepas dalam beberapa minggu sehingga aku akan bisa menikmati masakannya lagi,
bahwa, ya, aku akan mencoba menggosokkan jus rhubarb dan gula pada bekas lukaku
supaya cepat memudar. Aku dan Sang Jenderal duduk di ruang tamu dan menghirup anggur sementara Soraya
dan ibunya menata meja makan. Aku menceritakan padanya tentang Kabul dan
Taliban. Dia mendengarkanku dan mengangguk-angguk, sementara tongkatnya terletak
di atas pangkuannya, lalu berdecak saat aku mengisahkan padanya tentang seorang
pria yang kulihat sedang menjual kaki palsunya. Aku tidak menyebutkan tentang
eksekusi di Stadion Ghazi dan Assef. Dia menanyakan tentang Rahim
Khan, yang katanya pernah ditemuinya beberapa kali saat di Kabul, dan
menggelengkan kepalanya dengan khidmat saat aku menceritakan tentang penyakit
yang dia derita. Namun sembari kami berbicara, aku bisa melihat tatapan matanya
terus tertuju pada Sohrab yang tertidur di sofa. Seolah-olah kami sedang
menyisir tepian dari masalah yang sebenarnya ingin dikorek olehnya.
Penyisiran kami akhirnya berakhir setelah kami menyantap makan malam, saat Sang
Jenderal meletakkan garpunya dan berkata, "Jadi, Amir jan, apa kau akan
mengatakan pada kami mengapa kau membawa anak ini pulang?"
"Iqbal jan! Pertanyaan macam apa itu?" sergah Khala Jamila.
"Sementara kau sibuk merajut baju hangat, sayangku, aku harus menghadapi
anggapan masyarakat tentang keluarga kita. Orang-orang akan bertanya. Mereka
akan mencari tahu mengapa ada seorang anak Hazara yang tinggal dengan putri
kita. Apa yang akan kubilang pada mereka?"
Soraya menjatuhkan sendoknya. Berpaling pada ayahnya. "Padar bisa bilang pada
mereka-" "Tidak apa-apa Soraya," aku meraih tangannya. "Tidak apa-apa. Jenderal Sahib ada
benarnya. Orang-orang akan bertanya."
"Amir-" dia mencoba menjelaskan.
"Tidak apa-apa." Aku berpaling pada Sang Jenderal. "Begini, Jenderal Sahib, ayah
saya meniduri istri pelayannya. Dia memberinya seorang putra yang bernama
Hassan. Sekarang Hassan telah
tewas. Anak yang tidur di sofa itu adalah putra Hassan. Dia keponakan saya.
Itulah yang Anda katakan kalau orang-orang bertanya." Mereka semua menatapku.
"Dan satu lagi, Jenderal Sahib," lanjutku. "Anda tidak akan pernah lagi menyebut
dia 'anak Hazara1 di depan saya. Dia punya nama, Sohrab."
Tidak ada lagi yang berkata-kata hingga makan malam usai.
* Tidaklah tepat jika Sohrab disebut pendiam. Diam mencerminkan kedamaian.
Ketenteraman. Diam berarti memutar ke kiri tombol VOLUME kehidupan.
Keheningan berarti menekan tombol OFF. Mamatikan semuanya.
Keheningan Sohrab tidak sama dengan keheningan yang sengaja diciptakan oleh
mereka yang ingin mempertahankan keyakinannya, oleh para pemprotes yang memilih
untuk mengatakan pendapatnya dengan tidak mengatakan apa pun. Keheningan Sohrab
telah mengambil alih dirinya dalam kegelapan, menyelimutinya, mencengkeram dan
menyembunyikan dirinya dalam-dalam.
Dia seakan-akan tidak tinggal bersama kami. Dan kami hampir-hampir tidak
merasakan kehadirannya. Kadang-kadang, di pasar, atau di taman, aku memerhatikan
betapa orang lain nyaris tidak melihat dia, seolah-olah dia tidak ada sama
sekali. Saat aku mendongak dari buku yang sedang kubaca, aku baru menyadari bahwa Sohrab
telah memasuki ruangan yang sama, duduk di hadapanku, tanpa kuketahui sama
sekali. Ketika berjalan, dia seolah-olah takut meninggalkan jejak. Ketika
bergerak, dia seolah-olah takut menggerakkan udara di sekelilingnya. Hampir
sepanjang waktu dia tidur.
Keheningan Sohrab juga membebani Soraya. Melalui sambungan jarak jauh ke
Pakistan, Soraya telah bercerita padaku tentang rencana-rencananya untuk Sohrab.
Les berenang. Sepak bola. Liga boling. Sekarang saat melewati kamar Sohrab, dia
melihat sekilas buku-buku tertutup di keranjang rotan, garis pengukur tinggi
badan yang belum pernah ditandai, puzzle jigsaw yang belum disusun; semua itu
mengingatkannya tentang mimpi-mimpinya yang telah layu sebelum berkembang. Tapi
dia tidak sendiri. Aku pun memiliki mimpi-mimpi untuk Sohrab.
Saat Sohrab tenggelam dalam keheningan, dunia terus berjalan. Pada suatu Selasa
pagi di bulan September yang lalu, Twin Tower telah runtuh dan, dalam semalam,
dunia pun mengalami perubahan. Bendera Amerika tiba-tiba tampak di mana-mana;
pada antena taksi kuning yang lalu-lalang di jalanan, pada kerah baju pejalan
kaki yang mengaliri trotoar, bahkan pada topi lusuh para pengemis San Francisco
yang duduk di depan galeri-galeri kesenian kecil dan etalase-etalase toko. Pada
suatu hari aku berpapasan dengan
Edith, wanita tuna wisma yang setiap hari memainkan akordeon di persimpangan
Sutter dan Stockton, dan melihat stiker bendera Amerika menempel pada kotak
akordeon di kakinya. Sesaat setelah serangan itu, Amerika mengebom Afghanistan, Sekutu Utara masuk,
dan Taliban menghambur ke gua-gua seperti tikus. Tiba-tiba, orang-orang yang
berdiri dalam antrean toko kelontong membicarakan tentang kota-kota dalam masa
kecilku; Kandahar, Herat, Mazar-i-Sharif. Saat aku masih sangat kecil, Baba
mengajak aku dan Hassan ke Kunduz. Tidak banyak yang kuingat tentang
perjalanannya, kecuali saat aku duduk di bawah naungan pohon akasia bersama Baba
dan Hassan, bergantian menghirup jus semangka segar dari teko tanah liat dan
melihat siapa yang bisa meludahkan biji semangka paling jauh. Sekarang Dan
Rather, Tom Brokaw, dan orang-orang yang menghirup /atte di Starbucks
membicarakan tentang pertempuran di Kunduz, basis pertahanan terakhir Taliban di
utara. Desember itu, kaum Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara berkumpul di Bonn
dan, di bawah pengawasan PBB, dimulailah sebuah proses yang kelak akan
mengakhiri 20 tahun kesengsaraan di watan mereka. Topi caracul dan chapan hijau
Hamid Karzai menjadi terkenal.
Sohrab berjalan dalam tidur saat semua itu terjadi.
Aku dan Soraya melibatkan diri dalam proyek-proyek Afghan, sebagian karena kami
merasa sudah sepantasnya kami terlibat dan sebagian karena kami
membutuhkan sesuatu-apa pun-untuk mengisi keheningan di lantai atas, keheningan
yang telah mengisap segalanya ke dalam lubang hitam. Sebelumnya aku tidak pernah
aktif dalam kegiatan apa pun, namun ketika seorang pria bernama Kabir mantan
duta besar Afghanistan untuk Bulgaria meneleponku dan menanyakan kesanggupanku
untuk menolongnya mengerjakan sebuah proyek rumah sakit, aku mengiyakan. Rumah
sakit kecil itu berdiri di dekat perbatasan Aghanistan dan Pakistan dan memiliki
unit operasi kecil untuk menangani pengungsi Afghan yang terkena ledakan ranjau
darat. Namun rumah sakit itu ditutup karena kekurangan dana. Aku didaulat
menjadi manajer proyek. Soraya membantuku. Aku menghabiskan sebagian besar
waktuku di ruang kerja, mengirim e-mail pada banyak orang di seluruh dunia,
mengajukan permohonan dana, merencanakan acara-acara penggalangan dana. Dan
meyakinkan diriku bahwa membawa Sohrab kemari adalah benar.
Tahun itu berakhir dengan aku dan Soraya duduk di sofa, selimut terbentang
menutupi kaki kami, menonton Dick Clark di TV. Orang-orang bersorak-sorai dan
berciuman saat bola perak dijatuhkan, dan confetti memutihkan layar. Di rumah
kami, tahun baru dimulai hampir sama dengan akhir tahun sebelumnya. Dalam
keheningan. Lalu, empat hari yang lalu, di tengah kesejukan hujan bulan Maret 2002, sebuah
keajaiban kecil terjadi. Aku membawa Soraya, Khala Jamila, dan Sohrab dalam pertemuan warga Afghan di
Lake Elizabeth Park di Fremont. Sebulan yang lalu, Sang Jenderal akhirnya
dipanggil kembali ke Afghanistan untuk menduduki jabatan menteri, dan dua minggu
kemudian dia terbang ke sana dia meninggalkan setelan abu-abu dan jam sakunya.
Rencananya, Khala Jamila akan menyusulnya beberapa bulan lagi, saat Sang
Jenderal telah menetap. Khala Jamila sangat merindukannya dan mengkhawatirkan
tentang kesehatannya di sana-dan kami memaksanya untuk sementara tinggal bersama
kami. Kamis itu, hari pertama musim semi, adalah Hari Tahun Baru Afghan Sawt-e-Nau-dan
warga Afghan di Bay Area merencanakan perayaan yang meliputi daerah East Bay dan
kawasan semenanjung. Kabir, Soraya, dan aku memilik alasan lain untuk perayaan
itu: Rumah sakit kecil kami di Rawalpindi telah dibuka seminggu sebelumnya,
tidak dengan unit operasinya, hanya klinik perawatan anak-anak. Namun ini adalah
awal yang baik, kami semua setuju.
Cuaca cerah selama berhari-hari, namun pada Minggu pagi, saat aku mengayunkan
kakiku menuruni ranjang, aku mendengar ketukan air hujan di jendelaku.
Keberuntungan Afghan, pikirku. Aku terkekeh. Aku menunaikan shalat Subuh saat
Soraya masih tertidur aku tidak perlu lagi mencontek
pamflet panduan shalat yang kudapat dari masjid; sekarang ucapan-ucapan itu
mengalir dari bibirku dengan alami, tanpa perlu susah payah.
Sekitar tengah hari kami tiba dan mendapati banyak orang telah bercakap-cakap di
bawah naungan lembaran besar plastik yang ditambatkan pada enam pasak yang
ditanam di tanah. Seseorang telah menggoreng bolani; uap mengepul dari cangkir-
cangkir teh dan sepanci aush kembang kol. Rekaman lagu tua Ahmad Zahir yang
bergemerisik menggelegar. Aku tersenyum kecil saat kami berempat melintasi
lapangan rumput yang basah, aku dan Soraya di depan, Khala Jamila di belakang
kami, dan Sohrab di belakangnya, tudung jas hujan kuningnya meloncat-loncat di
punggungnya. "Apa yang lucu?" tanya Soraya yang menutupkan lipatan koran di atas kepalanya.
"Kau bisa menjauhkan orang Afghan dari Paghman, tapi kau tidak akan bisa
menjauhkan Paghman dari orang Afghan," ujarku.
Kami membungkukkan badan di bawah tenda darurat itu. Soraya dan Khala Jamila
menghampiri seorang wanita gemuk yang sedang menggoreng bolani bayam. Sohrab
sejenak tinggal di bawah naungan tenda, lalu melangkah kembali menyongsong
hujan. Tangannya tersimpan di saku jas hujannya, rambutnya sekarang cokelat dan
lurus seperti rambut Hassan menempel pada kulit kepalanya. Dia berhenti di dekat
seekor anjing pudel berwarna kopi dan memandanginya. Sepertinya tidak seorang
pun memerhatikannya. Tidak seorang
pun memanggilnya masuk. Seiring berjalannya waktu, berbagai pertanyaan tentng
anak laki-laki yang kami adopsi yang sudah diputuskan merupakan hal yang aneh-
berhenti, dan, mengingat betapa keingintahuan Afghan kadang-kadang begitu
menjengkelkan, kami menganggap hal ini melegakan. Orang-orang berhenti
menanyakan mengapa dia tak pernah bicara. Mengapa dia tidak bermain dengan anak-
anak yang lain. Dan yang terbaik, mereka berhenti menyesakkan kami dengan empati
berlebih-lebihan mereka, gelengan kepala perlahan mereka, decakan mereka, "Oh
gung bichara," mereka. Oh, anak bisu yang malang. Sohrab sudah tidak baru lagi.
Bagaikan kertas dinding yang suram, Sohrab menyatu pada latar belakang.
Aku berjabatan tangan dengan Kabir, seorang pria kecil berambut kelabu. Dia
memperkenalkanku pada sejumlah pria, beberapa di antaranya seorang pensiunan
guru, seorang mantan arsitek, dan seorang ahli bedah yang kini mengelola kios
hotdog di Hayward. Semuanya mengatakan bahwa mereka mengenal Baba saat di Kabul,
dan mereka berbicara tentang dia dengan penuh rasa hormat. Dengan satu atau lain
hal, Baba telah menyentuh kehidupan mereka. Pria-pria itu berkata bahwa aku
beruntung memiliki ayah seorang pria yang hebat.
Kami mengobrolkan tentang pekerjaan sulit dan mungkin tidak menyenangkan yang
harus dihadapi Karzai, tentang Loya jirga yang akan dibentuk, dan Sang Raja yang
akan segera kembali ke tanah airnya setelah 28 tahun berada di pe -
ngasingan. Aku ingat suatu malam pada tahun 1973, malam saat Raja Zahir Shah
dipaksa turun dari singgasananya oleh sepupunya sendiri; aku ingat ledakan
senjata dan langit yang diterangi cahaya perak Ali menarik aku dan Hassan ke
dalam pelukannya, mengatakan pada kami untuk tidak merasa takut karena mereka
hanya sedang berburu bebek.
Lalu seseorang menceritakan lelucon Mullah Nasruddin dan kami semua tertawa.
"Kau tahu, ayahmu juga orang yang lucu," kata Kabir.
"Memang begitu, bukan?" aku tersenyum, mengingat bagaimana, saat kami baru saja
tiba di AS, Baba mulai menggerutu tentang lalat-lalat Amerika. Dia duduk di meja
dapur dengan memegang flyswatternya, mengamati lalat-lalat yang beterbangan dari
dinding ke dinding, mendengung di sini, mendengung di sana, menerjang dan
menukik. "Di negara ini, bahkan lalatnya pun diburu waktu," geramnya. Saat itu
aku tertawa terbahak-bahak. Saat mengingat kenangan itu, aku tersenyum.
Pada pukul 15.00, hujan telah berhenti dan langit menjadi kelabu terang dengan
dibebani gumpalan awan di sana-sini. Angin sejuk bertiup di taman itu. Beberapa
keluarga bergabung. Warga Afghan saling menyapa, memeluk, mencium, bertukar
makanan. Se-se-orang menyalakan batu bara dalam alat barbecue dan aroma bawang
putih dan kebab morgh segera menggelitik hidungku. Alunan musik terdengar, dari
seorang penyanyi baru yang
tidak kukenal, dan anak-anak cekikikan. Aku melihat Sohrab, masih mengenakan jas
hujan kuningnya, bersandar pada tong sampah, memandang ke seberang taman pada
arena permainan bisbol. Beberapa saat kemudian, saat aku mengobrol dengan si mantan ahli bedah, yang
mengatakan padaku bahwa Baba adalah teman sekelasnya saat mereka duduk di kelas
delapan, Soraya menarik lengan bajuku. "Amir, lihat!"
Dia menunjuk ke langit. Sejumlah layang-layang dalam berbagai warna terbang
tinggi; kuning cerah, merah, dan hijau tampak mencolok di langit yang biru.
"Lihat ke sana," kali ini Soraya menunjuk seorang pria yang menjual layang-
layang di sebuah kios.

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pegang ini," ujarku. Aku memberikan cangkir tehku pada Soraya, meninggalkan
obrolanku, dan menghampiri kios layang-layang itu, sementara sepatuku menggerus
rerumputan yang basah. Aku menunjuk sebuah sehparcha kuning. "Sawt-e-nau
mubarak," ucap si penjual layang-layang, mengambil 20 dolar dari tanganku dan
memberikan padaku sebuah layang-layang dan segelondong tar gelasan. Aku
mengucapkan terima kasih dan Selamat Tahun Baru padanya. Aku menguji benang itu
dengan cara yang biasa aku dan Hassan gunakan, memegangnya di antara jempol dan
telunjuk lalu menariknya. Benang itu memerah dengan darah dan penjualnya
tersenyum. Aku tersenyum kembali padanya.
Aku membawa layang-layang itu ke tempat Sohrab berdiri, masih bersandar pada
tong sampah, lengannya bersidekap. Dia sedang menatap ke langit.
"Kau suka sehparcha?" aku memegang ujung layang-layang itu. Tatapannya berpindah
dari langit ke diriku, ke layang-layang itu, lalu kembali ke langit. Beberapa
tetes air hujan menitik dari rambutnya, membasahi wajahnya.
"Aku pernah membaca bahwa, di Malaysia, mereka memakai layang-layang untuk
memancing ikan," ujarku. "Aku berani taruhan, kau pasti tidak tahu itu. Mereka
mengikatkan tongkat pancing ke layang-layang dan menerbangkannya di atas
perairan yang dangkal sehingga bayang-bayangnya menarik ikan-ikan itu. Dan di
Cina kuno, para jenderal sering menggunakan layang-layang untuk mengirimkan
pesan melintasi medan pertempuran pada pasukan mereka. Ini benar. Aku tidak
sedang menipumu." Aku menunjukkan padanya jempolku yang berdarah. "Tidak ada
yang salah juga dengan tarnya."
Dari sudut mataku, aku melihat Soraya memerhatikan kami dari tenda. Tangannya
terlipat dengan kaku di dadanya. Tidak seperti aku, dia sedikit demi sedikit
mengurangi usahanya untuk menarik perhatian Sohrab. Pertanyaan-pertanyaan yang
tak terjawab, tatapan-tatapan kosong, keheningan, semua itu terlalu menyakitkan.
Dia telah mengubah metodenya menjadi "Pola Bertahan," menunggu lampu hijau dari
Sohrab. Menunggu. Aku menjilat jari tengahku dan mengangkatnya. "Aku masih ingat, cara ayahmu
memeriksa arah angin adalah menendang debu di tanah dengan sandalnya, lalu
melihat ke arah mana angin meniupnya. Dia tahu banyak cara seperti itu," ujarku.
Kuturunkan kembali jariku. "Barat, kurasa."
Sohrab mengusap air hujan yang membasahi daun telinganya dan menggeserkan
kakinya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku teringat akan pertanyaan Soraya
beberapa bulan yang lalu, seperti apa suaranya. Aku mengatakan padanya bahwa aku
tidak lagi mengingatnya. "Pernahkah aku bilang padamu bahwa ayahmu adalah pengejar layang-layang terbaik
di Wazir Akbar Khan" Mungkin malah di seluruh penjuru Kabul?" aku mengikatkan
untaian tar dari gulungan ke lubang benang yang terletak di tengah persilangan
rangka layang-layang. "Anak-anak tetangga iri padanya. Dia mengejar layang-
layang tanpa pernah melihat ke langit, dan orang-orang bilang, yang dia kejar
adalah bayangan layang-layang itu. Tapi mereka tidak mengenal ayahmu seperti aku
mengenalnya. Ayahmu tidak mengejar bayang-bayang. Dia hanya ... tahu."
Beberapa layang-layang menambah gerombolan di langit. Orang-orang mulai
berkumpul, menggenggam cangkir-cangkir teh, mata mereka terpaku menatap langit.
"Kau mau menolongku menerbangkannya?" tanyaku.
Tatapan Sohrab beralih dari layang-layang menuju diriku. Kembali lagi ke langit.
"Oke," aku mengangkat bahu. "Sepertinya aku harus menerbangkannya tanhaii."
Solo. Aku menyeimbangkan gelondong benang itu di tangan kiriku dan mengulurkan tar
sekitar satu meter. Layang-layang kuning menggantung di ujungnya, sedikit di
atas rumput yang basah. "Kesempatan terakhir," kataku. Namun Sohrab sedang
memandangi sepasang layang-layang yang saling berkait tinggi di atas pepohonan.
"Ya sudah. Aku mulai saja." Aku berlari, sepatuku mencipratkan air hujan yang
menggenang, tanganku yang memegang ujung layang-layang terangkat tinggi di atas
kepala. Sudah sangat lama, bertahun-tahun telah berlalu sejak aku melakukannya,
dan aku bertanya-tanya, apakah tingkahku akan membuat diriku terlihat konyol.
Aku membiarkan gelondong benang berputar di tangan kiriku sembari berlari,
merasakan benang kembali mengiris tangan kananku saat aku mengulurnya. Layang-
layang itu terangkat di atas bahuku, terangkat, berputar, dan aku makin kencang
berlari. Gelondong benang itu berputar makin cepat dan benang gelasan kembali
menggores telapak tangan kananku. Aku berhenti dan membalikkan badan.
Mendongakkan kepalaku. Tersenyum. Jauh tinggi, layang-layangku berayun ke kiri
dan ke kanan bagaikan pendulum, menghasilkan suara kepakan sayap burung kertas
yang selalu kuasosiasikan dengan musim dingin di Kabul. Sudah seperempat abad
aku tidak pernah menerbangkan layang-layang, namun
tiba-tiba, umurku kembali 12 dan naluri-naluri lamaku kembali mendatangiku.
Merasakan kehadiran seseorang di dekatku, a-ku menundukkan kepala. Sohrab ada di
situ. Tangannya tersimpan dalam-dalam di saku jas hujannya. Dia telah
mengikutiku. "Kau mau mencoba?" tanyaku. Dia tidak menjawab. Tapi saat aku menyodorkan benang
padanya, dia mengeluarkan tangannya dari saku. Tampak enggan. Mengambil benang
itu. Jantungku berdebar saat aku memutar gelondong untuk menarik benang yang
terurai. Kami berdiri diam berdampingan. Mendongakkan kepala kami.
Di sekeliling kami, anak-anak saling berkejaran, terpeleset di rumput. Seseorang
memainkan lagu tema film India tua. Sebaris pria berusia lanjut sedang
menunaikan shalat Asar di atas lembaran plastik yang digelar di tanah. Udara
digelayuti aroma rumput yang basah, asap, dan daging panggang. Aku berharap
waktu berhenti berputar. Lalu aku melihat sebuah layang-layang hijau mendekati kami. Aku menelusuri
benangnya dan mendapati seorang anak laki-laki yang berdiri sekitar 30 meter
dari kami. Rambutnya cepak dan tulisan THE ROCK RULES dengan huruf-huruf tebal
terpampang di kaosnya. Dia melihatku menatapnya dan tersenyum. Melambaikan
tangannya. Aku membalas lambaiannya.
Sohrab mengembalikan benangnya padaku.
"Kau yakin?" tanyaku seraya menerimanya.
Dia mengambil gelondong benangnya dariku.
"Oke," ujarku. "Ayo kita beri dia sabagh, beri dia pelajaran, ya?" Aku
meliriknya. Ekspresi kosong di matanya telah menghilang. Tatapannya beralih dari
layang-layang kami ke layang-layang hijau itu. Wajahnya sedikit merona, matanya
tiba-tiba waspada. Terbangun. Hidup. Aku bertanya-tanya, kapankah aku melupakan
bahwa, meskipun begitu banyak hal telah menimpanya, dia hanyalah seorang anak-
anak. Layang-layang hijau itu mulai bertingkah. "Kita tunggu saja," ujarku. "Biarkan
dia mendekat sedikit lagi." Layang-layang itu menukik dua kali dan beringsut
mendekati kami. "Ayo. Ayo ke sini," kataku.
Layang-layang hijau itu terus mendekat, sekarang berada sedikit di atas kami,
tidak menyadari jebakan yang telah kupersiapkan untuknya. "Lihat, Sohrab. Aku
akan menunjukkan padamu salah satu trik kesukaan ayahmu, angkat dan tukik yang
termasyhur." Di sebelahku, Sohrab bernapas dengan cepat melalui hidungnya. Gelondong benang
berputar di tangannya, otot-otot di dekat bekas luka pada pergelangan tangannya
tampak seperti senar ru-bab. Lalu aku berkedip dan, untuk sesaat, tangan yang
memegang gelondong benang itu adalah tangan berkapal dengan kuku tak rata milik
seorang anak laki-laki berbibir sumbing. Aku mendengar burung gagak mengaok di
suatu tempat dan mendongak. Salju yang begitu segar berkilauan di taman itu,
begitu putih menyilaukan, hingga mataku terasa terbakar. Butirannya berjatuhan
tanpa suara dari cabang-cabang pohon yang berselimut lapisan putih. Sekarang aku mencium
aroma qurma lobak. Murbei kering. Jeruk masam. Serbuk gergaji dan biji kenari.
Keheningan yang memekakkan telinga, keheningan salju, menulikan telingaku. Lalu
di kejauhan, jauh dari keheningan itu, sebuah suara memanggil kami untuk pulang,
suara seorang pria yang menyeret kaki kanannya.
Layang-layang hijau itu terbang tepat di atas kami sekarang. "Dia masuk
perangkap kita. Bisa kapan saja sekarang," tatapanku beralih dari Sohrab ke
layang-layang kami. Layang-layang hijau itu tampak ragu-ragu. Dia mempertahankan posisinya. Lalu
menukik. "Dia datang!" teriakku.
Aku melakukannya dengan sempurna. Setelah bertahun-tahun berlalu. Jebakan angkat
dan tukik yang termasyhur. Aku melonggarkan peganganku dan membelitkan benangku,
mempermainkan layang-layang hijau itu. Serangkaian tarik-menarik kemudian,
layang-layang kami terbebas dan berputar setengah lingkaran dengan arah
berlawanan jarum jam. Tiba-tiba aku unggul. Layang-layang hijau itu tampak
pontang-panting sekarang, dilanda kepanikan. Namun sudah terlambat. Aku telah
menyusupkan jebakan Hassan padanya. Aku menarik dengan keras dan layang-layang
kami menukik tajam. Aku nyaris bisa merasakan benang kami menggergaji benangnya.
Nyaris bisa mendengar bunyinya saat putus.
Lalu, begitu saja, layang-layang hijau itu
berputar dan meluncur lepas kendali.
Di belakang kami, orang-orang bersorak-sorai. Siulan dan tepukan tangan
membahana. Aku terengah-engah. Terakhir kalinya aku merasakan gejolak seperti
ini adalah pada suatu hari musim dingin 1975, sesaat setelah aku memutuskan
benang layang-layang terakhir, saat aku melihat Baba yang berada di atap rumah
kami bertepuk tangan, wajahnya berseri-seri.
Aku menunduk menatap Sohrab. Satu sudut mulutnya sedikit terangkat.
Sebuah senyuman. Hanya setengah. Tidak begitu terlihat. Namun ada. Di belakang kami, anak-anak menghambur, dan segerombolan pengejar layang-layang
berteriak-teriak seraya mengejar layang-layang putus yang terbawa angin jauh di
atas pepohonan. Saat aku berkedip, senyum itu menghilang. Tapi sesaat sebelumnya
senyum itu ada. Dan aku melihatnya.
"Kau ingin aku mengejar layang-layang itu untukmu?"
Jakunnya naik dan turun saat dia menelan ludah. Angin membelai rambutnya. Kurasa
aku melihat anggukkannya.
"Untukmu, keseribu kalinya," kudengar aku mengatakannya.
Lalu aku membalikkan badan dan berlari.
Hanya sebuah senyuman, tidak lebih. Itu tidak membuat segalanya lebih baik.
Tidak membuat apa pun lebih baik. Hanya sebuah senyuman. Satu hal kecil. Sehelai daun di tengah
hutan, bergetar saat seekor burung tiba-tiba terbang.
Tapi aku akan menerimanya. Dengan tangan terbuka. Karena saat musim semi tiba,
salju akan meleleh sekeping demi sekeping, dan mungkin aku baru menyaksikan
lelehan keping pertama. Aku berlari. Seorang pria dewasa di tengah-tengah gerombolan anak-anak. Namun
aku tak peduli. Aku berlari dengan angin menerpa wajahku, dan senyuman selebar
Lembah Panjsher tersungging di bibirku.
Aku berlari.1
Geger Di Kayangan 3 Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Rahasia Surat Berdarah 1
^