Pencarian

Simbol Yang Hilang 3

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 3


Dokter macam apa lelaki ini"
Ketika dia keluar dari mobil, pintu depan gedung terbuka, dan satu sosok anggun
berjalan keluar menuju tangga. Dia tampan, luar biasa tinggi, dan lebih muda
daripada yang dibayangkan Katherine. Walaupun begitu, dia mencerminkan
keanggunan dan kesopanan seorang lelaki yang lebih tua. Pakaiannyo tak bercela
dengan setelan warna gelap dan dasi, dan rambut pirang tebalnya, tertata
sempurna. "Miss. Solomon, saya Dr. Christopher Abaddon," sapanya dengan suara berbisik
pelan. Ketika mereka berjabatan tangan, kulit lelaki itu terasa halus dan
terawat baik. "Katherine Solomon," ujar Katherine, seraya berusaha untuk tidak menatap kulit
lelaki itu, yang luar biasa halus dan kecokelatan. Apakah dia memakai make-up"
Katherine merasakan kegelisahannya semakin bertambah, ketika melangkah ke dalam
foyer yang ditata indah. Musik klasik terdengar lembut di latar belakang, dan
baunya seakan ada orang, membakar dupa. "Indah sekali," katanya, "walaupun saya
lebih mengharapkan ... sebuah kantor."
"Saya beruntung bisa bekerja di rumah." Lelaki itu menuntunnya ke ruang tamu. Di
sana ada perapian yang menyala. "Silakan duduk dengan nyaman. Saya baru saja
menyeduh teh. Akan saya bawa keluar, dan kita bisa bicara." Lelaki itu
melenggang menuju dapur, lalu menghilang.
Katherine Solomon tidak duduk. Intuisi keperempuanannya adalah insting yang
ampuh, dan dia sudah belajar untuk memercayainya. Sesuatu mengenai tempat ini
membuat kulitnya merinding. Dia tidak melihat sesuatu pun yang menyerupai kantor
dokter yang pernah dilihatnya. Dinding- dinding ruang tamu bergaya antik ini
dipenuhi seni klasik, terutama lukisan dengan tema-tema mistis aneh. Dia
berhenti di depan kanvas besar yang menggambarkan The Three Graces dengan tubuh
telanjang mereka digambarkan secara spektakuler dalam warna-warna cerah.
"Itu lukisan cat minyak asli Michael Parkes." Dr. Abaddon mendadak muncul di
sampingnya, memegang nampan dengan cangkir-cangkir teh yang mengepul. "Saya
rasa, sebaiknya kita duduk di samping perapian." Dia menuntun Katherine ke ruang
tamu dan menawarkan kursi, "Tak ada alasan untuk merasa cemas."
"Saya tidak cemas," ujar Katherine terburu-buru.
Lelaki itu menyunggingkan senyum yang menenangkan."Sesungguhnya, keahlian saya
adalah mengetahui apakah seseorang merasa cemas."
"Maaf?" "Saya seorang psikiater, Miss. Solomon. Itulah profesi saya. Kakak Anda sudah
berkonsultasi dengan saya lebih dari setahun. Saya terapisnya."
Katherine hanya bisa menatap. Kakakku menjalani terapi"
"Pasien sering memilih untuk merahasiakan terapi mereka," kata lelaki itu. "Saya
melakukan kesalahan dengan menelepon Anda, walaupun saya bisa membela diri
dengan mengatakan bahwa kakak Anda telah mengelabui saya."
"Saya ... saya sama sekali tidak tahu."
"Saya minta maaf jika sudah membuat Anda cemas," kata lelaki itu, kedengaran
malu. "Saya perhatikan, Anda mengamati wajah saya ketika kita tadi bertemu, dan
ya, saya memang memakai makeup," Dia menyentuh pipinya sendiri, tampak tersipu-
sipu. "Saya punya kondisi kulit yang saya lebih suka menyembunyikannya. Biasanya
istri saya yang merias wajah saya, tapi jika dia tidak sedang berada di sini,
saya harus mengandalkan sentuhan canggung saya sendiri."
Katherine mengangguk, terlalu malu untuk bicara.
"Dan rambut indah ini..." Dia menyentuh rambut pirang lebatnya. "Wig. Kondisi
kulit saya juga memengaruhi folikel- folikel kulit kepala, dan semua rambut saya
rontok." Dia mengangkat bahu. "Saya khawatir dosa saya adalah kesombongan."
"Tampaknya dosa saya adalah bersikap kasar," ujar Katherine.
"Sama sekali tidak." Senyum Dr. Abaddon menenangkan.
"Boleh kita memulai kembali" Mungkin dengan teh?"
Mereka duduk di depan perapian, dan Abaddon menuang teh.
"Kakak Anda membuat saya terbiasa menyajikan teh selama sesi-sesi terapi kami.
Katanya, keluarga Solomon adalah penikmat teh."
"Tradisi keluarga," ujar Katherine. "Tanpa gula. Terima kasih."
Mereka meneguk teh dan berbasa-basi sejenak, tapi Katherine tidak sabar ingin
mendapat informasi mengenai kakaknya. "Mengapa kakak saya datang kepada Anda?"
tanyanya. Dan mengapa dia tidak menceritakannya kepadaku" Peter memang
menghadapi banyak sekali tragedi dalam hidupnya - kehilangan ayah di usia muda,
lalu, dalam kurun waktu lima tahun, dia menguburkan anak laki-laki satu- satunya
dan ibunya. Walaupun begitu, Peter selalu menemukan cara untuk mengatasinya.
Dr. Abaddon meneguk teh. "Kakak Anda datang kepada saya karena dia memercayai
saya. Kami punya ikatan melebihi hubungan normal antara dokter dan pasien.." Dia
menunjuk dokumen berbingkai di dekat perapian. Tampaknya seperti diplomat,
sampai Katherine melihat phoenix berkepala dua itu.
"Anda anggota Mason?" Derajat tertinggi, bahkan.
"Saya dan Peter seperti saudara."
"Agaknya Anda telah melakukan sesuatu yang penting sehingga diundang ke dalam
derajat ketiga puluh tiga.", "Bukan begitu," kata Dr. Abaddon. "Saya punya uang
keluarga, dan saya menyumbang banyak untuk kegiatan- kegiatan amal Mason."
Kini Katherine sadar mengapa kakaknya memercayai dokter muda ini. Seorang
anggota Mason dengan uang keluarga, tertarik pada filantropi dan mitologi kuno"
Dr. Abaddon punya lebih banyak kesamaan dengan kakaknya daripada yang semula
dibayangkan Katherine. "Ketika saya bertanya mengapa kakak saya menemui Anda," ujar Katherine, "maksud
saya bukan mengapa dia memilih Anda. Maksud saya, mengapa dia mencari
pertolongan psikiater?"
Dr. Abaddon tersenyum. "Ya, saya tahu. Saya mencoba menghindar dari pertanyaan
itu secara halus. Benar-benar bukan sesuatu yang perlu saya diskusikan." Dia
terdiam. "Walaupun harus saya katakan bahwa saya bingung mengapa kakak Anda merahasiakan
diskusi-diskusi kami dari Anda, mengingat adanya kaitan langsung antara semua
itu dan riset Anda."
"Riset saya?" tanya Katherine, benar-benar terkejut.
Kakakku membicarakan risetku"
"Baru-baru ini kakak Anda datang kepada saya untuk mendapatkan opini profesional
mengenai dampak psikologis terobosan baru yang Anda buat di lab Anda."
Kotherine hampir tersedak teh. "Benarkah" Saya ... terkejut," katanya dengan
susah payah. Apa yang dipikirkan Peter" Dia menceritakan pekerjaanku kepada
psikiaternya"! Protokol keamanan mereka melarang diskusi dengan siapa saja
mengenai apa yang sedang dikerjakan Katherine. Lagi pula, kerahasiaan itu
merupakan ide kakaknya. "Anda pasti sadar, Miss. Solomon, bahwa kakak Anda sangat mengkhawatirkan apa
yang akan terjadi ketika riset Anda dipublikasikan. Dia melihat adanya potensi
pergeseran filsafat yang besar di dunia... dan dia datang kemari untuk
mendiskusikan kemungkinan pengaruh-pengaruhnya... dari perspektif psikologis."
"Saya mengerti," ujar Katherine. Cangkir tehnya kini sedikit bergetar.
"Kami mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang menantang. Apa yang terjadi pada
kondisi manusia jika misteri-misteri besar kehidupan akhirnya terungkap" Apa
yang terjadi ketika kepercayaan-kepercayaan yang kita terima berdasarkan
keyakinan... mendadak terbukti secara kategoris sebagai fakta" Atau di sangkal
sebagai mitos" Mungkin akan ada orang berargumentasi bahwa beberapa pertanyaan
tertentu sebaiknya dibiarkan tak terjawab."
Katherine tidak bisa memercayai apa yang didengarnya, tetapi ia tetap menjaga
ketenangan emosi. "Saya harap, Anda tidak keberatan, Dr. Abaddon, tapi saya
lebih suka tidak mendiskusikan detail-detail pekerjaan saya. Saya tidak punya
rencana dalan waktu dekat untuk memublikasikan sesuatu. Sementara ini, temuan-
temuan saya akan tetap terkunci dengan aman di dalan lab saya."
"Menarik." Dr. Abaddon menyandarkan tubuh di kursi sejenak - terhanyut dalam
pikirannya. "Bagaimanapun, saya meminta kakak Anda untuk kembali hari ini karena
kemarin dia mengalami sedikit gangguan. Ketika hal itu terjadi, saya ingin klien
saya-" "Gangguan?" Jantung Katherine berdentam-dentam.
"Seperti gangguan saraf?" Dia tidak bisa membayangkan kakaknya mengalami
gangguan saraf karena sesuatu hal.
Dr. Abaddon mengulurkan tangan dengan ramah. "Saya mohon, bisa saya lihat bahwa
saya telah membuat Anda cemas. Maaf. Mengingat situasi-situasi yang canggung
ini, saya bisa mengerti betapa Anda merasa berhak mendapat jawaban." , "Tak
peduli saya berhak atau tidak," ujar Katherine, "kakak saya adalah satu-satunya
keluarga saya yang tersisa. Tak seorang pun mengenalnya sebaik saya mengenalnya.
jadi, jika Anda menceritakan kepada saya apa gerangan yang terjadi, mungkin saya
bisa membantu Anda. Kita semua menginginkan hal yang sama - yang terbaik untuk
Peter." Dr. Abaddon terdiam beberapa lama, lalu perlahan-lahan mulai mengangguk-angguk,
seakan perkataan Katherine mungkin ada benamya. Akhirnya dia bicara, "Sebagai
catatan, Miss. Solomon, jika saya memutuskan untuk membagikan informasi ini
kepada Anda, saya hanya melakukannya karena menurut saya pandangan-pandangan
Anda mungkin bisa membantu saya dalam membantu kakak Anda."
"Tentu saja. Dr. Abaddon mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan kedua sikunya di lutut.
"Miss. Solomon, semenjak kakak Anda menemui saya, saya sudah merasakan adanya
pergulatan perasaan bersalah yang hebat di dalam dirinya. Saya tidak pernah
mendesaknya untuk bercerita, karena bukan itu alasan Peter datang menemui saya.
Tapi kemarin, karena sejumlah alasan, akhirnya saya bertanya kepadanya." Abaddon
memandang Katherine lekat-lekat. "Kakak Anda membuka diri, secara agak dramatis
dan tak terduga. Dia menceritakan hal- hal yang tidak saya sangka akan saya
dengar ... termasuk semua yang terjadi pada malam kematian ibu Anda."
Malam Natal - tepatnya hampir sepuluh tahun yang lalu. Ibuku meninggal di
pelukanku. "Ia bercerita bahwa ibu Anda berdua terbunuh ketika terjadi percobaan perampokan
di rumah Anda" Seorang lelaki mendobrak masuk, mencari sesuatu yang menurutnya
disembunyikan oleh kakak Anda?"
"Itu benar." Mata Dr. Abaddon tampak menilai Katherine. "Menurut kakak Anda, dia menembak
mati lelaki itu?" "Ya." Dr. Abaddon mengusap-usap dagu. "Anda ingat apa yang dicari penyusup itu ketika
mendobrak masuk ke dalam rumah kalian?"
Selama sepuluh tahun Katherine mencoba dengan sia-sia memblokir ingatan itu.
"Ya, tuntutannya sangat spesifik. Sayangnya, tak seorang pun dari kami
mengetahui apa yang dibicarakannya.Tuntutannya tidak pernah masuk akal bagi
kami/ "Tapi, tuntutannya masuk akal bagi kakak Anda."
"Apa?" Katherine menegakkan tubuh.
"Setidaknya menurut cerita yang diungkapkannya kepada saya kemarin - Peter tahu
persis apa yang dicari penyusup itu. Akan tetapi, kakak Anda tidak mau
menyerahkannya, sehingga berpura-pura tidak mengerti."
"Itu mustahil. Peter tidak mungkin tahu apa yang diinginkan lelaki itu.
Tuntutannya tidak masuk akal!"
"Menarik." Dr. Abaddon terdiam dan menuliskan beberapa catatan. "Tetapi, seperti
yang tadi saya bilang, Peter mengatakan bahwa dia sesungguhnya tahu. Kakak Anda
percaya bahwa, seandainya dia mau bekerja sama dengan penyusup itu, mungkin ibu
Anda sekarang masih hidup. Keputusan ini merupakan sumber dari segala perasaan
bersalahnya." Katherine menggeleng-gelengkan kepala. " Itu gila..."
Dr. Abaddon memerosotkan bahu, tampak khawatir. "Miss Solomon, ini umpan-balik
yang berguna. Seperti yang saya khawatirkan, kakak Anda tampaknya mengalami
sedikit masalah dengan realitas. Harus saya akui, saya khawatir itulah kasusnya.
Itulah sebabnya, saya memintanya untuk kembali hari ini. Episode-episode
delusional ini bukan sesuatu yang tidak biasa jika berhubungan dengan ingatan-
ingatan traumatis." Katherine kembali menggeleng-gelengkan kepala. "Peter sama sekali tidak
delusional, Dr. Abaddon."
"Saya setuju, kecuali..."
"Kecuali apa?" "Kecuali bahwa ceritanya mengenai serangan itu baru permulaan... hanya bagian
yang sangat kecil dari cerita panjang dan tidak masuk akal yang diceritakannya
kepada saya." Katherine mencondongkan tubuh ke depan di kursinya.
"Apa yang diceritakan Peter kepada Anda?"
Dr. Abaddon tersenyum sedih. "Miss. Solomon, izinkan saya mengajukan pertanyaan
ini. Pernahkah kakak Anda mendiskusikan dengan Anda sesuatu yang menurut
keyakinannya tersembunyi di Washington, DC sini... atau peranan yang menurutnya
dia mainkan dalam melindungi harta karun luar biasa... kebijakan kuno yang
hilang?" Katherine ternganga. "Apa gerangan yang Anda bicarakan?" Dr. Abaddon mendesah
panjang. "Yang hendak saya ceritakan kepada Anda sedikit mengejutkan,
Katherine." Dia terdiam dan menatap Katherine lekat-lekat. "Tapi akan sangat
membantu jika Anda bisa menceritakan kepada saya apa saja yang mungkin Anda
ketahui soal itu." Dia meraih cangkirnya. "Mau teh lagi?"
BAB 23 Sebuah tato lain. Langdon berjongkok cemas di samping telapak tangan Peter yang terbuka, dan
meneliti tujuh simbol mungil yang tadinya tersembunyi di balik jari-jari tak
bernyawa yang mengepal. Tampaknya seperti beberapa angka," ujar Langdon terkejut.
"Walaupun aku tidak mengenali angka-angka itu."
"Yang pertama adalah angka Romawi," kata Anderson.
"Sesungguhnya bukan, menurutku," ujar Langdon membetulkan. "Angka Romawi I-I-I-X
tidak ada. Seharusnya ditulis sebagai V-I-I."
"Bagaimana dengan yang lainnya?" tanya Sato.
"Aku tidak yakin. Tampaknya seperti delapan-delapan-lima dalam angka Arab."
"Arab?" tanya Anderson. "Kelihatannya seperti angka-angka normal."
"Angka-angka normal kita adalah angka Arab." Langdon sudah begitu terbiasa
menjelaskan hal ini kepada para mahasiswanya, sehingga dia benar-benar
menyiapkan kuliah mengenai semua kemajuan ilmiah yang dibuat oleh kebudayaan
kebudayaan Timur Tengah awal - salah satunya adalah sistem angka modern, yang
kelebihannya dibandingkan dengan angka Romawi termasuk "notasi posisi" dan
penemuan angka nol. Tentu saja Langdon selalu mengakhiri kuliahnya dengan
mengingatkan bahwa kebudayaan Arab juga telah mempersembahkan kepada umat
manusia kata al-kuhl - minuman favorit para mahasiswa baru Harvard - yang dikenal sebagai alkohol.
Langdon meneliti tato itu, kebingungan. "Dan aku bahkan tidak yakin mengenai
delapan-delapan-lima. Tulisan lurus itu tampak tidak biasa. Mungkin itu bukan
angka-angka." "Kalau begitu, apa?" tanya Sato.
"Aku tidak yakin. Seluruh tato itu tampaknya mirip... runic."'
"Artinya?" tanya Sato.
"Alfabet runic hanya terdiri atas garis-garis lurus. Hurufnya disebut rune dan
sering digunakan untuk pahatan pada batu - karena garis-garis lengkung terlalu
sulit untuk dipahatkan."
"Jika ini rune," ujar Sato, "apa artinya?"
Langdon menggeleng. Keahliannya hanya sampai alfabet runic paling dasar -
Futhark -sistem Teutonik abad ke-3, dan ini bukan Futhark. "Sejujurnya, aku
bahkan tidak yakin ini rune. Kau harus bertanya kepada seorang spesialis. Ada
lusinan bentuk yang berbeda -Halsinge, Manx, Stungnar 'titik- titik' -"
"Peter Solomon anggota Mason, bukan?" tanya Sato. Langdon terpana. "Ya, tapi apa
hubungannya dengan ini?"
Dia kini berdiri, menjulang di samping perempuan mungil itu.
"Kau yang tahu. Kau baru saja bilang alfabet runic digunakan untuk dipahat di
batu dan, menurut pemahamanku, Freemason asalnya adalah para tukang batu. Aku
hanya menyebut soal ini karena ketika aku meminta kantorku untuk mencari
hubungan antara Tangan Misteri dan Peter Solomon, pencarian mereka membuahkan
satu kaitan khusus." Sato terdiam, seakan menegaskan pentingnya temuannya.
"Freemason." Langdon mengembuskan napas, memerangi dorongan untuk mengatakan kepada Sato hal
yang sama yang terus- menerus dikatakannya kepada para mahasiswanya: "Google "
bukanlah sinonim dari "riset". Pada masa-masa pencarian kata-kunci besar-besaran
di seluruh dunia ini, tampaknya segalanya bertautan dengan segalanya. Dunia
menjadi satu jaringan informasi besar yang saling berkaitan dan menjadi semakin
padat setiap hari. Langdon mempertahankan nada sabar. "Aku tidak terkejut Freemason muncul dalam
pencarian stafmu. Mason adalah kaitan yang jelas antara Peter Solomon dan
sejumlah topik esoteris mana pun."
"Ya," ujar Sato, " dan ini alasan lain mengapa aku terkejut malam ini. Kau belum


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut tentang Freemason. Bagaimanapun, kau sudah bicara soal kebijakan
rahasia yang dilindungi oleh beberapa orang yang tercerahkan. Itu kedengarannya
sangat khas Mason, bukan?"
"Memang... dan juga kedengarannya sangat Rosicrucian, Kibbalistis, Alumbradian,
dan sejumlah kelompok esoteris lainnya mana pun."
"Tapi, Peter Solomon anggota Mason - seorang Mason yang sangat berkuasa pula.
Tampaknya Freemason akan muncul dalam pikiran jika kita bicara soal rahasia.
Tuhan tahu, betapa kaum Mason menyukai rahasia-rahasia mereka."
Langdon bisa mendengar nada ketidakpercayaan dalam suara Sato, dan dia tidak
ingin terlibat di dalamnya. "Jika ingin mengetahui sesuatu tentang Freemason,
akan jauh lebih baik jika kau bertanya kepada anggota Mason."
"Sesungguhnya," kata Sato, "aku lebih suka bertanya kepada seseorang yang bisa
kupercayai." Langdon menganggap komentar itu tolol sekaligus merendahkan. "Sebagai catatan,
Maam, seluruh filsafat Mason dibangun berdasarkan kejujuran dan integritas. Kaum
Mason termasuk orang-orang paling terpercaya yang bisa kau harapkan untuk kau
jumpai." "Aku sudah melihat bukti persuasif yang menyatakan sebaliknya."
Semakin lama, Langdon semakin tidak menyukai Direktur Sato. Dia menghabiskan
waktu bertahun-tahun untuk menulis mengenai tradisi ikonografi dan simbol-simbol
metaforis Mason yang kaya, dan tahu bahwa Freemason selalu menjadi salah satu
organisasi yang paling banyak difitnah dan disalahpahami secara tidak adil di
dunia. Walaupun sering dituduh melakukan segala hal buruk, mulai dari pemujaan
setan sampai merencanakan pemerintahan satu-dunia, organisasi Freemason punya
kebijakan untuk tidak pernah merespons semua kritik, sehingga mereka gampang
dijadikan sasaran. "Bagaimanapun," ujar Sato dengan nada pedas, "sekali lagi kita menemui jalan
buntu, Mr. Langdon. Bagiku, tampaknya entah ada sesuatu yang kau lewatkan...
atau ada sesuatu, tidak kau ceritakan kepadaku. Lelaki yang sedang kita hadapi
mengatakan bahwa Peter Solomon memilihmu secara khusus." Dia melemparkan tatapan
dingin kepada Langdon. "Kurasa, sudah saatnya kita membawa percakapan ini ke
markas CIA. Mungkin kita akan mendapat lebih banyak keberuntungan di sana."
Ancaman Sato hampir tidak dipedulikan oleh Langdon. Perempuan itu baru saja
mengucapkan sesuatu yang menempel di dalam benak Langdon. Peter Solomon
memilihmu. Komentar itu, dikombinasikan dengan penyebutan Freemason, membuka.
pikiran Langdon secara aneh. Dia menunduk, memandangi cincin Mason di jari
Peter. Cincin itu salah satu harta milik Peter yang paling berharga - pusaka
keluarga Solomon dengan simbol" phoenix berkepala dua - ikon mistis tertinggi
kebijakan Mason. Emasnya berkilau dalam cahaya, memicu kenangan yang tak
terduga. Langdon terkesiap, mengingat bisikan mengerikan penculik Peter: Benar-benar
belum terpikirkan olehmu, bukan" Mengapa kau terpilih"
Kini, dalam waktu satu detik yang mengerikan, pikiran- pikiran Langdon kembali
terfokus dan kabut yang menyelubunginya terangkat.
Mendadak, tujuan keberadaan Langdon di sini sangat jelas. Enam belas kilometer
jauhnya, ketika menyetir ke selatan di Suitland Parkway, Mal'akh mendengar
getaran samar-samar di kursi di sebelahnya. Itu iPhone Peter Solomon, yang hari
ini terbukti sebagai alat hebat. ID penelepon kini menayangkan gambar seorang
perempuan setengah-baya cantik dengan rambut hitam panjang.
TELEPON MASUK- KATHERINE SOLOMON
Mal'a kh tersenyum, mengabaikan telepon itu. Takdir menarikku lebih dekat.
Dia memancing Katherine Solomon ke rumahnya siang tadi hanya demi satu alasan
-untuk mengetahui apakah perempuan itu punya informasi yang bisa membantunya...
mungkin rahasia keluarga yang bisa membantu Mal'akh menemukan apa yang
dicarinya. Akan tetapi, jelas bahwa Peter sama sekali tidak menceritakan apa
yang dijaganya selama bertahun-tahun ini kepada adiknya.
Walaupun begitu, Mal'akh mengetahui sesuatu yang lain dari Katherine. Sesuatu
yang membuat perempuan itu memperoleh beberapa jam kehidupan ekstra hari ini.
Katherine sudah mengonfirmasikan bahwa semua risetnya berada di satu lokasi,
terkunci dengan aman dalam labnya.
Aku harus menghancurkannya.
Riset Katherine siap membuka pintu pemahaman baru, dan setelah pintu itu
terbuka, walaupun sedikit saja, yang lain akan mengikuti. Hanya masalah waktu
sebelum semuanya berubah. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dunia harus
tetap seperti sekarang... terapung-apung dalam kegelapan ketidaktahuan.
iPhone berbunyi "tut", menandakan Katherine baru saja meninggalkan pesan suara.
Mal'akh mendengarkannya. "Peter, ini aku lagi." Suara Katherine kedengaran khawatir.
"Kau di mana" Aku masih memikirkan percakapanku dengan Dr. Abaddon... dan aku
khawatir. Semuanya baik-baik saja" Telepon aku. Aku di lab."
Pesan suara itu berakhir.
Mal'akh tersenyum. Seharusnya Katherine tidak terlalu mengkhawatirkan kakaknya,
dan lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri..
Dia berbelok dari Suitland Parkway, memasuki Silver Hill, Road.
Kurang dari satu setengah kilometer kemudian, dalam kegelapan dia melihat siluet
samar-samar SMSC di balik pepohonan di luar jalan raya di sebelah kanannya.
Seluruh kompleks dikelilingi pagar kawat berduri tinggi.
Bangunan yang aman" Mal'akh tergelak sendiri. Aku mengenal seseorang yang akan
membukakan pintunya untukku.
BAB 24 Kesadaran itu menghantam Langdon bagaikan sebuah gelombang.
Aku tahu mengapa aku berada di sini.
Langdon berdiri di tengah Rotunda, merasakan desakan kuat untuk berbalik dan
kabur... dari tangan Peter, dari cincin emas berkilau itu, dari mata curiga Sato
dan Anderson. Tapi, dia malah berdiri terpaku, semakin erat mencengkeram tas
kulit yang tersandang di bahunya. Aku harus keluar dari sini.
Dia menggertakkan rahang ketika ingatannya mulai mengulangi kembali adegan pada
pagi yang dingin itu, bertahun-tahun lalu di Cambridge. Pukul enam pagi, dan
Langdon sedang memasuki kelas seperti yang selalu dia lakukan setelah ritual
berenang paginya di Kolam Renang Harvard. Ketika melintasi ambang pintu, bau
debu kapur dan panas lembap yang dikenalnya menyapa. Dia maju dua langkah lagi
menuju meja, tapi langsung berhenti.
Seseorang menunggunya di sana - seorang lelaki elegan dengan wajah berhidung
bengkok dan mata kelabu berwibawa.
"Peter?" Langdon menatap dengan terkejut.
Senyum Peter Solomon berkilau putih di ruangan berpenerangan suram itu. "Selamat
pagi, Robert. Kaget melihatku?" suaranya lembut, tapi penuh kekuatan.
Langdon bergegas menghampiri dan menjabat tangan temannya dengan hangat. "Apa
gerangan yang dilakukan seorang bangsawan Yale di kampus Merah sebelum fajar?"
"Misi rahasia di balik garis musuh," jawab Solomon seraya tertawa. Dia menunjuk
garis pinggang ramping Langdon.
"Berenang membawa manfaat. Badanmu bagus."
"Hanya berusaha membuatmu merasa tua," ujar Langdon bergurau. "Senang melihatmu,
Peter. Ada apa?" Perjalanan bisnis singkat," jawab lelaki itu, seraya melirik ke sekeliling kelas
yang sepi. "Maaf mampir seperti ini, Robert, tapi aku hanya punya waktu beberapa
menit. Ada sesuatu yang harus kutanyakan kepadamu... secara pribadi. Permintaan
bantuan." Untuk pertama kalinya. Langdon bertanya-tanya apa yang kemungkinan bisa
dilakukan oleh seorang profesor kampungan sederhana bagi lelaki yang memiliki
segalanya ini. "Dengan senang hati," jawabnya, gembira mendapat kesempatan untuk melakukan
sesuatu bagi seseorang yang sudah memberinya begitu banyak, terutama ketika
kehidupan kaya raya Peter sendiri juga telah dinodai oleh begitu banyak tragedi.
Solomon merendahkan suaranya. "Aku berharap, kau bersedia menjaga sesuatu
untukku." Langdon memutar bola mata. "Bukan Hercules, kuharap." Langdon pernah setuju
mengurusi anjing mastiff Solomon yang beratnya tujuh puluh kilogram itu,
Hercules, selama Solomon bepergian. Ketika berada di rumah Langdon, anjing itu
tampaknya merindukan mainan kunyah dari kulit favoritnya dan menemukan pengganti
yang sesuai di ruang kerja Langdon - perkamen Injil kuno asli dari kulit,
berhuruf mengilap, dan ditulis tangan dari tahun 1600-an. Sebutan "anjing nakal"
tampaknya belum cukup. "Kau tahu, aku masih mencari pengganti injil itu untukmu,", ujar Solomon seraya
tersenyum malu. "Lupakanlah. Aku senang Hercules tertarik pada agama." Solomon tergelak, tapi
tampak gelisah. "Robert, alasan kedatanganku menemuimu adalah, aku ingin kau
mengawasi sesuatu yang cukup berharga buatku. Aku mewarisinya beberapa saat yang
lalu, tapi tidak lagi merasa nyaman meninggalkannya di rumah atau di kantor."
Langdon langsung merasa tidak nyaman. Apa pun yang "cukup berharga" di dunia
Peter Solomon, pasti tidak ternilai harganya. "Bagaimana dengan kotak
penyimpanan di bank?" Bukankah keluargamu punya saham di separuh bank seluruh
Amerika?" "Itu akan melibatkan dokumen dan karyawan bank; aku lebih sukam seorang teman
yang bisa dipercaya. Dan aku tahu kau bisa menyimpan rahasia." Solomon merogoh
saku dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, lalu menyerahkannya kepada
Langdon. Mengingat kata-kata pembukaannya yang dramatis, Langdon tadinya mengharapkan
sesuatu yang lebih mengesankan. Bungkusan itu berupa kotak berbentuk kubus kecil
sebesar kira-kira tiga inci persegi, dibungkus dengan kertas pembungkus cokelat
pudar dan diikat dengan benang. Dari ukuran dan bobotnya yang berat, sepertinya
bungkusan itu berisi batu atau logam. Hanya ini" Langdon membalik kotak itu di
kedua tangannya, dan kini memperhatikan bahwa benang pintalnya dilekatkan dengan
cermat pada satu sisi dengan segel lilin bergambar timbul, seperti maklumat
kuno. Segelnya bergambar phoenix berkepala dua dengan angka 33 menghiasi dadanya
- simbol tradisional derajat tertinggi Freemasonry.
"Yang benar saja, Peter," ujar Langdon, dengan seringai geli menghiasi wajahnya.
"Kau ini Master Terhormat dari sebuah rumah perkumpulan Mason, bukan Paus.
Menyegel bungkusan ini dengan cincinmu?"
Solomon melirik cincin emasnya dan tergelak. "Aku tidak menyegel bungkusan ini,
Robert. Kakek buyutku yang melakukani ini. Hampir seabad yang lalu."
Langdon terenyak. "Apa?"
Solomon mengangkat jari tangannya yang bercincin. " Cincin Mason ini miliknya.
Setelah itu milik kakekku, lalu milik ayahku dan akhirnya menjadi milikku."
Langdon mengangkat bungkusan itu. "Kakek buyutmu membungkusnya se-abad yang lalu
dan tak seorang pun pernah membukanya?"
"Itu benar." "Tapi ... kenapa tidak?"
Solomon tersenyum. "Karena belum waktunya." Langdon menatapnya. "Waktu untuk
apa?" "Robert, aku tahu ini kedengaran aneh, topi semakin sedikit yang kau ketahui,
semakin baik. Simpan saja bungkusan ini suatu tempat, dan harap jangan katakan
kepada siapa pun kalau aku memberikannya kepadamu."
Langdon meneliti mata mentornya untuk mencari kilau kejenakaan. Solomon punya
kecenderungan untuk bersikap dramatis, dan Langdon bertanya-tanya apakah dirinya
tidak sedang dipermainkan di sini. "Peter, kau yakin ini bukan hanya siasat
cerdik untuk membuatku berpikir telah dipercaya menyimpan semacam rahasia Mason
kuno sehingga aku penasaran dan memutuskan untuk bergabung?"
"Freemason tidak merekrut, Robert, kau tahu itu. Lagi pula, kau sudah bilang
kepadaku kalau kau lebih suka tidak bergabung."
Ini benar. Langdon sangat menghormati filsafat dan simbolisme Mason, tetapi dia
memutuskan untuk tidak pernah diinisiasi; sumpah kerahasiaan ordo itu akan
mencegahnya mendiskusikan Freemasonry dengan para mahasiswanya. Untuk alasan
yang sama inilah, Socrates menolak berpartisipasi secara resmi dalam Misteri
Eleusinian. Ketika Langdon memandang kotak kecil misterius beserta segel Masonnya itu, mau
tak mau dia mengajukan pertanyaan yang sudah jelas. "Mengapa tidak memercayakan
bungkusan inikepada salah satu saudara Masonmu?"
"Katakan saja aku punya insting bahwa bungkusan itu akan, lebih aman jika
disimpan di luar kelompok persaudaraan. Dan harap jangan biarkan ukuran
bungkusan ini menipumu. Jika apa yang dikatakan ayahku benar, bungkusan ini
berisi sesuatu yang punya kekuatan luar biasa." Solomon terdiam.
"Semacam jimat."
Apakah dia mengatakan jimat" Berdasarkan definisi, jimat adalah benda yang
memiliki kekuatan sihir. Secara tradisional, jimat digunakan untuk mendatangkan
keberuntungan, mengusir rohroh jahat, atau membantu dalam ritual-ritual kuno.
"Peter, kau benar-benar menyadari bahwa jimat sudah ketinggalan zaman sejak Abad
Pertengahan, bukan?"
Dengan sabar, Peter meletakkan tangannya pada bahu Langdon. "Aku tahu bagaimana
ini kedengarannya Robert. Aku sudah lama mengenalmu, dan skeptisismemu adalah
salah satu kekuatan terbesarmu sebagai akademisi. Itu juga kelemahan terbesarmu.
Aku cukup mengenalmu, sehingga tahu kalau kau bukanlah orang yang bisa kuminta
untuk percaya... melainkan bisa dipercaya. Jadi, kini aku memintamu untuk
percaya ketika kukatakan bahwa jimat ini punya kekuatan. Aku diberitahu bahwa
jimat ini bisa memberikan kepada pemiliknya kemampuan untuk mendatangkan
keteraturan dario kekacauan."
Langdon hanya bisa menatap. Gagasan "keteraturan dari kekacauan" adalah salah
satu aksioma besar Mason. Ordo ab chao. Walau pun demikian, pernyataan bahwa
sebuah jimat bisa memberikan kekuatan apapun kedengarannya tidak masuk akal,
apalagi kekuatan untuk mendatangkan keteraturan dari kekacauan.
"Jimat ini," lanjut Solomon, "akan berbahaya di tangan yang keliru. Sayangnya,
aku punya alasan untuk percaya bahwa orang-orang yang berkuasa ingin mencurinya
dariku." Mata lelaki itu seserius yang bisa diingat Langdon. "Aku ingin kau
menjaga keamanannya untukku selama beberapa waktu. Bisakah kau melakukannya?"
Malam itu, Langdon duduk sendirian di meja dapur bersama bungkusan itu, dan
mencoba membayangkan apa kemungkinan isinya. Akhirnya, dia hanya menganggapnya
sebagai keeksentrikan Peter dan menyimpan bungkusan itu di dalam brankas pada
dinding perpustakaannya, dan akhirnya melupakannya.
Sampai pagi ini .... Telepon dari lelaki dengan aksen Selatan.
"Oh, Profesor, saya hampir lupa!" kata asisten itu, setelah menjelaskan kepada
Langdon detail-detail pengaturan perjalanannya ke DC. "Ada satu hal lagi yang
diminta Mr. Solomon."
"Ya?" jawab Langdon. Pikirannya sudah beranjak ke ceramah yang baru saja dia
sepakati untuk disampaikan.
"Mr. Solomon meninggalkan catatan untuk Anda di sini." Lelaki itu mulai membaca
dengan canggung, seakan mencoba memahami tulisan tangan Peter. "Harap minta
Robert... membawa... bungkusan kecil tersegel yang kuberikan kepadanya bertahun-
tahun lalu." Lelaki itu terdiam. "Apakah ini masuk akal bagi Anda?"
Langdon terkejut ketika mengingat kotak kecil yang sudah ada di brankas
dindingnya sepanjang waktu ini.
"Sesungguhnnya, saya tahu apa maksud Peter."
"Dan Anda bisa membawanya?"
"Tentu saja. Katakan kepada Peter, saya akan membawanya."
"Bagus." Asisten itu kedengaran lega. "Selamat berceramah nanti malam. Selamat
jalan." Sebelum meninggalkan rumah, dengan patuh Langdon mengambil bungkusan itu dari
brankas dan memasukkannya dalam tas bahu.
Kini dia berdiri di U.S. Capitol, dan merasa yakin terhadap satu hal saja. Peter
Solomon akan ketakutan jika mengetahui betapa Langdon telah sangat
mengecewakannya. BAB 25 Astaga, Katherine benar. Seperti biasa.
Dengan takjub, Trish Dunne menatap hasil spider pencarinya yang sedang mewujud
pada layar plasma di hadapannya. Dia tadinya ragu apakah pencarian itu akan
menghasilkan sesuatu, tapi sesungguhnya dia kini mendapat lebih dari selusin
hasil. Dan banyak yang masih berdatangan.
Satu entri, terutama, tampak cukup menjarijikan.
Trish berbalik dan berteriak ke arah perpustakaan.
"'Katherine" Kurasa kau ingin melihat yang ini!"
Sudah beberapa tahun semenjak Trish menjalankan spider pencari seperti ini, dan
hasil malam ini memukaunya. Beberapa tahun yang lalu, pencarian ini akan menemui
jalan buntu. Tetapi kini, tampaknya jumlah materi digital yang bisa dicari di
dunia telah meledak sampai titik di mana seseorang secara harfiah bisa menemukan
apa saja. Yang menakjubkan, salah satu kata kuncinya adalah kata yang bahkan
belum pernah didengar Trish sebelumnya... dan pencarian itu bahkan bisa
menemukan-nya. Katherine bergegas melewati pintu ruang-kontrol. "Apa yang kau dapat?"
"Sekelompok kandidat." Trish menunjuk layar plasma.
"Setiap dokumen di sini mengandung semua frasa kuncimu, verbatim."


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katherine merapikan rambut ke belakang telinga dan meneliti daftar itu.
"Sebelum kau menjadi terlalu bersemangat," imbuh Trish, kuyakinkan kau bahwa
sebagian besar dari dokumen-dokumen ini bukan-lah yang kau cari. Dokumen-dokumen
ini kami sebut sebagai 'lubang hitam'. Lihat ukuran arsipnya. Benar-benar luar
biasa. Mereka antara lain terdiri atas arsip-arsip, terkompresi dari jutaan
surat elektronik, rangkaian ensiklopedi edisi lengkap raksasa, berbagai message board global yang
sudah berjalan selama bertahun-tahun, dan sebagainya. Berdasarkan ukuran dan
isinya yang beragam, arsip-arsip ini mengandung begitu banyak kata kunci
potensial sehingga mereka tersedot ke dalam mesin pencari apa pun yang berada di
dekat mereka." Katherine menunjuk salah satu entri di dekat bagian atas daftar. "Bagaimana
dengan yang itu?" Trish tersenyum. Katherine sudah selangkah di depan, sudah menemukan satu-
satunya arsip berukuran kecil dalam daftar itu. "Mata jeli. Ya, itu benar-benar
kandidat kita satu- satunya sejauh ini. Sesungguhnya arsip itu begitu kecil,
sehingga tidak akan lebih dari sekitar satu halaman."
"Bukalah." Nada suara Katherine serius.
Trish tidak bisa membayangkan sebuah dokumen satu halaman mengandung semua
untaian-pencarian aneh yang diberikan oleh Katherine. Bagaimanapun, ketika dia
mengeklik dan membuka dokumen itu, frasa-frasa kuncinya ada di sana... jelas
sekali dan mudah ditemukan di dalam teks.
Katherine mendekat, matanya terpusat pada layar plasma "Dokumen ini... di-
redaksi?" Trish mengangguk. "Selamat datang di dunia teks terdigitalisasi."
Redaksi otomatis telah menjadi praktik standar ketika menawarkan dokumen-dokumen
digital. Redaksi adalah proses di mana sebuah server mengizinkan pengguna untuk
mencari seluruh teks, tapi kemudian hanya mengungkapkan sebagian kecil teks -
semacam pancingan - hanya teks yang mengapit langsung kata-kata kunci yang
diminta. Dengan menghilangkan sebagian besar teks, server menghindari
pelanggaran hak cipta dan juga mengirimkan pesan yang memikat kepada pengguna:
Aku punya informasi yang sedang kau cari, tapi jika menginginkan keseluruhan
teks, kau harus membelinya dariku.
"Seperti yang bisa kau lihat," ujar Trish, seraya membuka halaman yang banyak
dipersingkat itu," dokumen ini mengandung semua frasa-kuncimu."
Katherine menatap dokumen teredaksi itu tanpa berkata- kata.
Trish memberinya wakta semenit, lalu mengarahkan kursor kembali ke bagian atas
halaman. Masing-masing frasa-kunci Katherine digarisbawahi dan ditulis dengan
huruf besar, diiringi sedikii contoh teks pemancing - dua / tiga kata yang
muncul mengapit frasa yang diminta.
..... lokasi rahasia di BAWAH TANAH tempat info...
..... suatu tempat di WASHINGTON, DC...... koordinat-koordinat-.....
menemukan sebuah PORTAL KUNO.....
..... memperingatkan bahwa PIRAMID itu menyimpan ..... berbahaya .....
..... mengartikan SYMBOLON TERUKIR ini untuk mengungkapkan...
Trish tidak bisa membayangkan dokumen ini merujuk pada apa. Dan apa gerangan
"symbolon?" Katherine melangkah dengan bersemangat mendekati layar, "Dari mana asal dokumen
ini" Siapa yang menulisnya?"
Trish sudah menggarapnya. "Beri waktu satu menit. Aku sedang berusaha melacak
sumbernya." "Aku harus tahu siapa yang menulisnya," ulang Katherine dengan nada serius. "Aku
harus melihat keseluruhannya."
"Kuusahakan," ujar Trish, yang terkejut mendengar ketidaksabaran dalam suara
Katherine. Anehnya, lokasi arsip tidak ditampilkan sebagai alamat Web tradisional, tetapi
sebagai alamat Protokol Internet (IP) numerik. "Aku tidak bisa mengungkapkan IP-
nya," ujar Trish. "Nama domainnya tidak muncul. Tunggu." Dia membuka jendela terminal-nya. "Aku
akan menjalankan sistem pelacak rute."
Trish mengetikkan urutan perintah untuk mengirimkan pesan kepada semua "hop" di
antara mesin ruang kontrolnya dan mesin apa pun yang menyimpan dokumen ini.
"Melacak sekarang" katanya, seraya menjalankan perintah itu.
Kerja pelacak rute sangat cepat, dan daftar panjang peranti jaringan langsung
muncul pada layar plasma. Trish menelitinya... satu per satu... melalui berbagai
router dan switch yang menghubungkan mesinnya dengan....
Apa ini... " Pelacakannya terhenti sebelum mencapai server dokumen itu.
Perintahnya, untuk alasan tertentu, telah mencapai sebuah peranti jaringan yang
menelan pesan itu, dan bukannya memantulkannya kembali. "'Tampaknya seakan
pelacakku terblokir," ujar Trish. Mungkinkah ini"
"Jalankan lagi."
Trish meluncurkan pelacak rute lain dan mendapat hasil yang sama. "Tidak. Jalan
buntu. Seakan dokumen ini berada pada server yang tidak bisa dilacak." Dia
memandang beberapa hop terakhir sebelum jalan buntu. "Tapi bisa kukatakan bahwa
lokasinya ada di suatu tempat di DC."
"Kau bergurau."
"Tidak mengejutkan," ujar Trish. "Semua program spider ini menyebar secara
spiral dan geografis, yang berarti hasil-hasil pertama selalu lokal. Lagi pula,
salah satu kata-pencarianmu adalah 'Wasiiington, DC'."
"Bagaimana dengan pencarian 'siapa'?" ujar Katherine.
"Tidakkah dari sana kau akan tahu siapa pemilik domain itu?" Teknik yang agak
rendah, tapi bukan ide buruk. Trish menjelajahi pangkalan-data "Siapa" dan
menjalankan pencarian IP, berharap bisa mencocokkan angka-angka misterius itu
dengan nama domain yang sesungguhnya. Rasa frustrasinya kini diredam oleh rasa
penasaran yang semakin meningkat. Siapa pemilik dokumen ini" Hasil-hasil "siapa"
muncul dengan cepat, tidak menunjukkan adanya kecocokan dan Trish mengangkat
kedua tangannya tanda menyerah.
"Seakan alamat IP ini tidak ada. Aku sama sekali tidak bisa memperoleh informasi
apa pun mengenainya."
"Jelas IP itu ada. Kita baru saja mencari sebuah dokumen yang disimpan di sana!"
Benar. Akan tetapi, siapa pun yang memiliki dokumen ini, tampaknya dia lebih
suka tidak memberitahukan identitasnya.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Pelacakan sistem bukanlah keahlianku.
Kecuali, kau mendatangkan seseorang dengan keahlian hacking, aku sudah tidak
bisa apa-apa lagi." "Kau mengenal orang yang mampu melakukannya?"
Trish berbalik dan menatap bosnya. "Katherine, aku tadi bergurau. Itu bukan ide
yang baik." "Tapi itu pernah dilakukan?" Katherine menengok arlojinya.
"Ehm, ya ... sepanjang waktu. Secara teknis, itu sangat mudah."
"Siapa yang kau kenal?"
"Hacker?" Trish tertawa gugup. "Kira-kira setengah dari kaum lelaki di dalam
pekerjaan lamaku." "Ada orang yang bisa kau percayai?"
Apakah dia serius" Trish bisa melihat kalau Katherine benar-benar serius. "Ya,"
jawabnya buru-buru. "Aku mengenal seorang lelaki yang bisa kita hubungi. Dia
spesialis keamanan sistem - kami-benar-benar pecandu komputer. Dia ingin
mengencaniku - agak menjengkelkan, sih, tapi dia baik dan aku memercayainya.
Lagi pula, dia menerima pekerjaan paruh waktu."
"Dia bisa menyimpan rahasia?"
"Dia hacker. Tentu saja dia bisa menyimpan rahasia. Itu pekerjaannya. Tapi, aku
yakin dia menginginkan setidaknya seribu dolar, bahkan untuk melihat-"
"Telepon dia. Tawarkan dua kali lipat untuk hasil yang cepat."
Trish tidak yakin apa yang membuatnya merasa semakin tidak nyaman - membantu
Katherine Solomon menyewa seorang hacker... atau menelepon lelaki yang mungkin
masih tidak bisa menerima bahwa seorang analis metasistem montok berambut merah
ini menolak tawaran-tawaran romantisnya.
"Kau yakin soal ini?"
"Gunakan telepon di perpustakaan," kata Katherine.
"Nomornya tidak bisa dilacak. Dan jangan pakai namaku."
"Baiklah." Trish berjalan ke pintu, tapi berhenti ketika mendengar iPhone
Katherine berbunyi "tut". jika beruntung, SMS itu mungkin berupa informasi yang
akan menangguhkan Tris dari tugas tidak menyenangkan ini. Dia menunggu ketika
Katherine mengeluarkan iPhone dari saku jubah lab dan melihat layarnya,,,
Katherine Solomon merasakan gelombang kelegaan ketika melihat nama di layar
iPhone. Akhirnya. PETER SOLOMON "SMS dari kakakku," katanya, seraya melirik Trish.
Trish tampak penuh harap. "Jadi, mungkin kita harus bertanya kepadanya mengenai
semua ini... sebelum menelepon seorang hacker?"
Katherine melirik dokumen teredaksi pada layar plasma dan teringat suara Dr.
Abaddon. Sesuatu yang kakak Anda yakin tersembunyi di DC... bisa ditemukan.
Katherine tidak tahu lagi apa yang harus dia percayai, dan dokumen ini
menyuguhkan informasi mengenai gagasan-gagasan jauh ke depan yang tampaknya
telah menjadi obsesi Peter.
Katherine menggeleng. "Aku ingin tahu siapa yang menulis dokumen ini dan di mana
lokasinya. Telepon sajalah."
Trish mengemyit dan berjalan ke pintu.
Tak peduli apakah dokumen ini bisa menjelaskan misteri yang diceritakan oleh
kakaknya kepada Dr. Abaddon, setidaknya ada satu misteri yang sudah terpecahkan
hari ini. Akhirnya Peter belajar cara menggunakan fitur SMS di iPhone yang
diberikan Katherine kepadanya.
"Dan beri tahu media," teriak Katherine kepada Trish.
"Peter Solomon yang agung baru saja mengirimkan SMS pertamanya."
Di sebuah lapangan parkir deretan pertokoan di seberang jalan dari SMSC, Mal'akh
berdiri di samping limo, meregangkan kaki dan menunggu telepon yang dia tahu
akan segera masuk. Hujan mudah berhenti, dan bulan musim dingin mulai menembus
awan. Itu bulan yang sama yang menyinari Mal'akh lewat jendela bulat di langit-
langit House of the Temple tiga bulan lalu pada saat inisiasinya.
Dunia tampak berbeda malam ini.
Ketika dia menunggu, perutnya berkeroncongan lagi. Puasa dua hari, walaupun
tidak nyaman, penting untuk persiapannya. Begitulah tradisi kuno. Sebentar lagi
semua ketidaknyamanan fisik itu akan tidak berarti.
Ketika berdiri di dalam udara malam yang dingin, Mal'akh tergelak. Takdir telah
menempatkannya, secara agak ironis, persis di depan sebuah gereja mungil. Di
sini, terjepit di antara Sterling Dental dan sebuah minimart, ada sebuah kapel
kecil. RUMAH KEAGUNGAN TUHAN. Mal'akh memandang jendelanya, yang menampilkan sebagian pernyataan doktrinal
gereja itu: KAMU PERCAYA YESUS KRISTUS DIKANDUNG OLEH ROH KUDUS, DAN DILAHIRKAN
OLEH PERAWAN MARIA, DAN YESUS KRISTUS ADALAH MANUSIA SEKALIGUS TUHAN YANG
SEJATI. Mal'akh tersenyum. Ya, Yesus memang dua-duanya -
manusia: sekaligus Tuhan - tapi kelahiran dari seorang perawan bukanlah
prasyarat untuk ketuhanan. Bukan begitu terjadinya.
Dering ponsel membelah udara malam, mempercepat denyut nadi Mal'akh. Telepon
yang sedang berdering milik Mal'akh - telepon murah yang dibelinya kemarin. ID
penelepon menunjukkan bahwa itu telepon yang diharapkannya.
Telepon lokal, pikir Mal'akh geli, seraya memandang melintasi Silver Hill Road
ke arah siluet profil atap zigzag yang diterangi cahaya bulan pucat di atas
puncak pepohonan. Mal'akh menerima telepon itu.
"Ini Dr. Abaddon," katanya dengan suara lebih rendah.
"Ini Katherine," ujar suara perempuan itu. "Akhirnya saya mendapat kabar dari
kakak saya." "Oh, saya lega. Bagaimana kabarnya?"
"Saat ini dia sedang dalam perjalanan menuju lab saya," jawab Katherine.
"Sesungguhnya dia menyarankan agar Anda bergabung dengan kami."
"Maaf?" Mal'akh pura-pura bimbang. "Di... lab Anda?"
"Agaknya dia sangat memercayai Anda. Dia belum pernah mengundang siapa pun ke
sini." "Saya rasa, dia mungkin berpikir kunjungan saya bisa membantu diskusi-diskusi
kami, tapi saya merasa seakan mengganggu!"
"Jika kakak saya bilang Anda dipersilakan datang, maka selamat datang. Lagi
pula, katanya ada banyak yang akan dia ceritakan kepada kita, dan saya ingin
sekali mengetahui apa sebenarnya yang terjadi."
"Baiklah kalau begitu. Di mana tepatnya lab Anda?"
"Di Smithsonian Museum Support Center. Anda tahu di mana itu?"
"Tidak," jawab Mal'akh seraya menatap kompleks di seberang lapangan parkir.
"Sesungguhnya saat ini saya sedang berada di mobil, dan saya punya sistem
pemandu. Di mana alamatnya?"
"Silver Hill Road empat puluh-dua-sepuluh,"
"Oke, tunggu. Akan saya ketikkan." Mal'akh menunggu selama sepuluh detik, lalu
berkata, "Ah, kabar baik. Tampaknya saya lebih dekat daripada yang saya
perkirakan. Menurut GPS, saya hanya berjarak sekitar sepuluh menit."
"Bagus. Akan saya telepon gerbang keamanan untuk memberitahukan kedatangan
Anda." "Terima kasih."
"Sampai jumpa sebentar lagi."
Mal'akh mengantongi telepon murah sekali pakai itu dan memandang ke arah SMSC.
Tidak sopankah aku, mengundang diriku sendiri" Seraya tersenyum, dia kini
mengeluarkan iPhone Peter Solomon dan mengagumi SMS yang dikirimkannya kepada
Katherine beberapa menit sebelumnya.
Pesanmu kuterima. Semua baik-baik saja. Sibuk. Lupa ada janji dengan Dr.
Abaddon. Maaf belum sempat cerita. Panjang ceritanya. Aku sedang menuju lab.
Kalau bisa, minta Dr. Abaddon bergabung di dalam. Aku memercayainya sepenuhnya,
dan banyak yang harus kuceritakan kepada kalian berdua. - Peter.
Tidak mengejutkan jika Whone Peter kini menerima jawaban dari Katherine.
peter, selamat, sudah bisa sms! lega kau baik- baik saja. sudah bicara dengan
dr. A., dan dia menuju lab. sampai jumpa sebentar lagil - k
Seraya mencengkeram iPhone Peter, Mal'akh berjongkok di samping limusin dan
mengganjalkan telepon itu di antara roda depan dan jalanan. Telepon ini sudah
melayani Mal'akh dengan baik... tapi kini sudah saatnya benda ini tidak bisa
dilacak. Dia duduk di belakang kemudi, memasukkan persneling, lalu merayap maju
sampai mendengar suara derak tajam iPhone yang hancur.
Mal'akh mengembalikan mobil ke lapangan parkir, menatap siluet SMSC di kejauhan.
Sepuluh menit. Bentangan gudang Peter Solomon itu menampung lebih dari tiga
puluh juta harta karun, tapi malam ini Mal'akh datang kemari untuk memusnahkan
dua harta yang paling berharga.
Semua riset Katherine Solomon. Dan Katherine Solomon itu sendiri.
BAB 26 "Profesor Langdon?" panggil Sato. "Kau tampak seakan baru saja melihat hantu.
Kau baik-baik saja?"
Langdon menaikkan tas kulitnya lebih tinggi di bahu dan meletakkan tangan di
atasnya, seakan tindakan ini bisa menyembunyikan dengan lebih baik bungkusan
berbentuk kubus yang dibawanya. Dia bisa merasakan wajahnya memucat. "Aku...
hanya mengkhawatirkan Peter."
Sato memiringkan kepala, mengawasinya.
Mendadak Langdon dilanda kekhawatiran bahwa keterlibatan Sato malam ini mungkin
berhubungan dengan bungkusan kecil yang dipercayakan Solomon kepadanya. Peter
sudah memperingatkan Langdon: Orang-orang yang berkuasa ingin mencurinya dariku.
Akan berbahaya di tangan yang keliru. Langdon tidak bisa membayangkan mengapa
CIA menginginkan kotak kecil berisi jimat... atau bahkan apa yang bisa dilakukan
oleh jimat itu. Ordo ab chao"
Sato melangkah lebih dekat, mata hitamnya menyelidik.
"Aku merasa, kau mendapat pencerahan?"
Kini Langdon merasakan tubuhnya berkeringat. "Tidak, tidak tepat begitu."
"Apa yang ada dalam benakmu?"
"Aku hanya...." Langdon bimbang, tak tahu apa yang harus dikatakan. Dia tidak
ingin mengungkapkan keberadaan bungkusan di dalam tas, tetapi jika Sato
membawanya ke CIA, tasnya pasti akan digeledah dalam perjalanan masuk.
"Sesungguhnya..." dia berbohong, "aku punya gagasan lain mengenai angka-angka di
tangan Peter." Raut wajah Sato tidak mengungkapkan sesuatu pun. "Ya?" Kini dia melirik
Anderson, yang baru saja kembali setelah menyapa tim forensik yang akhirnya
datang. Langdon menelan ludah dengan susah payah dan berjongk di samping tangan itu,
seraya bertanya-tanya apa yang kemungkinan bisa dikarangnya untuk diceritakan
kepada mereka. Kau guru, Robert - berimprovisasilah! Dia memandang ketujuh
simbol mungil itu untuk terakhir kalinya, berharap mendapat semacam inspirasi.
Tidak ada. Kosong.

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ingatan fotografis Langdon menelusuri engiklopedia simbol di dalam
benaknya, dia hanya bisa memmukan satu mungkinan. Itu sesuatu yang sudah
terpikirkan olehnya pada awalnya, tapi tampaknya mustahil. Akan tetapi, saat ini
dia harus mengulur waktu untuk bisa berpikir.
"Yah," katanya memulai, "petunjuk pertama bahwa seorang simbolog berada di jalur
yang keliru ketika mengartikan simbol-simbol dan kode-kode adalah ketika dia
mulai menginterpretasikan simbol-simbol itu dengan menggunakan banyak bahasa
simbolis. Contohnya, ketika kukatakan kepadamu bahwa teks ini Romawi dan Arab,
itu analisis yang buruk karena aku menggunakan banyak sistem simbol. Hal yang
sama berlaku untuk Romawi dan runic."
Sato menyilangkan kedua lengan dan menaikkan sepasang alisnya, seakan berkata,
"'Lanjutkan." "Secara umum, komunikasi dilakukan dengan satu bahasa, bukan banyak bahasa.
Jadi, tugas pertama seorang simbolog ketika menghadapi sebuah teks adalah
menemukan satu sistem simbol yang konsisten dan tunggal yang bisa diaplikasikan
pada seluruh teks."'
"Dan kini kau melihat satu sistem tunggal?"
"Wah, ya... dan tidak." Pengalaman Langdon dengan simetri relasional ambigram
telah mengajarkan kepadanya bahwa terkadang simbol-simbol punya arti dari banyak
sudut. Dalam hal ini, dia menyadari bahwa memang ada cara untuk melihat ketujuh
simbol itu dengan satu bahasa tunggal. Jika kita sedikit memanipulasi tangan
itu, bahasanya akan menjadi konsisten," Yang mengerikan, manipulasi yang hendak
dilakukan oleh Langdon tampaknya sudah disarankan oleh penculik Peter ketika dia
membicarakan pepatah Hermetik kuno: Seperti yang di atas, demikian juga yang di
bawah. Langdon merinding ketika mengulurkan tangan dan meraih alas kayu tempat tangan
Peter dilekatkan. Perlahan-lahan dia membalikkan alas itu sehingga jari-jari
teracung Peter kini menunjuk lurus ke bawah. Simbol-simbol di telapak tangannya
langsung berubah sendiri.
"Dari sudut ini," Ujar Langdon, "X-I-I-Imenjadi angka Romawi yang berlaku - tiga
belas. Lagi pula, karakter-karakter yang tersisa bisa diinterpretasikan dengan
menggunakan alfabet Romawi SBB." Langdon menganggap analisisnya akan direspons
dengan mengangkat bahu tak peduli, tapi raut wajah Anderson langsung berubah.
"SBB?" desak kepala polisi itu.
Sato berpaling kepada Anderson. "Jika aku tidak keliru, itu kedengarannya
seperti sistem penomoran yang kukenal di sini, di Gedung Capitol."
Anderson tampak pucat. "Memang."
Sato tersenyum dingin dan mengangguk kepada Anderson.
"Chief, harap ikuti aku. Aku ingin bicara secara pribadi." Ketika Direktur Sato
menggiring Chief Anderson menjauh, Langdon berdiri sendirian dengan bingung. Apa
gerangan yang terjadi di sini" Dan apa SBB XIIIitu"
Chief Anderson bertanya-tanya, bagaimana mungkin malam menjadi semakin aneh
lagi" Tangan itu menyebut SBB13" Dia takjub karena ada orang luar yang bahkan
pernah mendengar tentang SBB... apalagi SBB13. Tampaknya, telunjuk Peter Solomon
tidak mengarahkan mereka ke atas seperti yang terlihat... tapi malah menunjuk ke
arah yang berlawanan. Direktur Sato menggiring Anderson ke sebuah area sepi dekat patung perunggu
Thomas Jefferson. "Chief," katanya, "aku percaya kau tahu persis di mana letak
SBB Tiga Belas?" "Tentu saja." "Kau tahu ada apa di dalamnya?"
"'Tidak, tidak tanpa melihatnya. Kurasa, tempat itu sudah berpuluh-puluh tahun
tidak digunakan." "Nah, kau akan membukanya."
Anderson tidak suka diberi tahu apa yang harus dilakukannya di dalam gedungnya
sendiri. "Maam, itu mungkin problematis. Aku harus mengecek daftar penempatannya
terlebih dahulu. Seperti yang kau ketahui, sebagian besar tingkat bawah adalah
kantor privat atau gudang, dan protokol keamanan menyangkut-"
"Kau akan membukakan SBB Tiga Belas untukku," ujar Sato, "atau aku akan
memanggil OS dan mengirim tim untuk mendobraknya."
Anderson menatap perempuan itu untuk waktu yang lama, lalu mengeluarkan radio
dan mengangkatnya ke bibir. "Aku Anderson. Aku perlu seseorang untuk membuka
SBB. Kirim seseorang untuk menemuiku di sana lima menit lagi."
Suara yang menjawab terdengar bingung. "Chief, minta konfirmasi, apakah Anda
menyebut SBB?" "Benar. SBB. Kirim seseorang segera. Dan aku perlu senter."
Anderson menyimpan radionya. Jantungnya berdentam- dentam ketika Sato melangkah
lebih dekat, lalu merendahkan suaranya, berbisik.
"Chief, waktunya sempit," bisiknya, "dan aku ingin kau membawa kita ke SBB Tiga
Belas secepat mungkin."
"Ya, Ma'am." "Aku juga perlu sesuatu yang lain darimu."
Selain mendobrak masuk" Anderson tidak berada dalam posisi memprotes, tetapi dia
bukannya tidak memperhatikan bahwa Sato tiba dalam hitungan menit setelah tangan
Peter muncul di Rotunda, dan kini perempuan itu memanfaatkan situasinya untuk
menuntut akses kebagian-bagian privat U.S. Capitol. Tampaknya Sato sudah begitu
jauh di depan malam ini, dan secara praktis, dialah yang memimpin.
Sato menunjuk ke dalam ruangan, ke arah profesor itu.
"Tas yang tersampir di bahu Langdon." Anderson melirik. "Ada apa dengan tas
itu?" "Kuasumsikan stafmu memindai tas itu dengan sinar-X ketika Langdon memasuki
gedung?" "Tentu saja. Semua tas dipindai."
"Aku ingin melihat hasil sinar-X itu. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam tas
itu." Anderson memandang tas yang dibawa Langdon sepanjang malam. "Tapi... bukankah
lebih mudah untuk bertanya saja kepadanya?"
"Bagian mana dari permintaanku yang tidak jelas?"
Anderson mengeluarkan radionya lagi dan meneruskan permintaan Sato. Perempuan
itu memberikan alamat BlackBerry-nya dan meminta tim Anderson untuk segera
mengirimkan salinan digital sinar-X itu lewat surat elektronik setelah mereka
menemukannya. Dengan enggan, Anderson mematuhinya.
Tim forensik kini mengambil tangan terpenggal itu untuk polisi Capitol, tapi
Sato memerintahkan mereka untuk mengirimkannya langsung ke timnya di Langley.
Anderson terlalu lelah untuk memprotes. Dia merasa seolah baru saja dilindas
oleh sebuah mesin penggiling Jepang mungil.
"Dan aku menginginkan cincin itu," teriak Sato kepada forensik.
Kepala teknisi itu tampaknya siap mempertanyakan permintaan Sato, tapi lalu
mengurungkannya. Dia melepas cincin emas itu dari tangan Peter, memasukkannya ke
dalam kantong spesimen bening, dan menyerahkannya kepada Sato. Perempuan itu
memasukkannya ke dalam saku jaket, lalu berbalik kepada Langdon.
"Kita pergi, Profesor. Bawa barang-barangmu."
"Mau ke mana?"tanya, Langdon.
"Ikuti saja Mr. Anderson."
Ya, pikir Anderson, dan ikuti aku baik-baik. SBB adalah bagian dari Capitol yang
jarang dikunjungi orang. Untuk tiba di sana, mereka harus melewati bentangan
labirin yang terdiri atas bilik-bilik mungil dan lorong-lorong sempit yang
terkubur di bawah ruang bawah tanah. Putra terkecil Abraham Lincoln, Tad, pernah
tersesat di bawah sana dan hampir lenyap. Anderson mulai curiga bahwa,
seandainya kemauan Sato dituruti, mungkin Robert Langdon akan mengalami nasib
yang sama. BAB 27 Spesialis keamanan sistem, Mark Zoubianis, selalu membanggakan kemampuannya
melakukan banyak tugas sekaligus. Saat ini dia sedang duduk di kasur lipatnya
bersama remote control TV, telepon nirkabel, laptop, PDA, dan semangkuk besar
camilan Pirate-'s Booty. Dengan sebelah mata tertuju pada pertandingan Redskins
tanpa suara dan sebelah mata tertuju pada laptop, Zoubianis bicara lewat headset
Bluetooth dengan seorang perempuan yang sudah tidak terdengar kabar beritanya
selama lebih dari setahun.
Siapa lagi kalau bukan Trish Dunne, menelepon pada malam pertandingan final.
Sekali lagi menegaskan kegagapan sosialnya, mantan koleganya telah memilih
pertandingan Redskins sebagai momen yang tepat untuk mengobrol dan minta tolong.
Setelah basa-basi singkat mengenai masa lalu dan betapa dia merindukan lelucon-
lelucon hebat Zoubiards, Trish langsung menuju sasaran: dia sedang berusaha
mengungkapkan sebuah alamat EP tersembunyi, mungkin milik sebuah server
berpengaman di area DC. Server itu memiliki sebuah dokumen teks kecil, dan dia
ingin mengaksesnya... atau setidaknya mengakses informasi mengenai siapa pemilik
dokumen itu. Lelaki yang tepat, pengaturan waktu yang keliru, kata Zoubianis kepada Trish.
Lalu Trish membanjirinya dengan pujian terbaiknya, yang sebagian besar benar,
dan sebelum Zoubianis tersadar, dia sudah mengetikkan alamat IP yang tampak aneh
itu pada laptop. Zoubianis memandang angka itu satu kali, dan langsung merasa tidak nyaman.
"Trish, IP ini punya format aneh. Ditulis dengan protokol yang bahkan belum
tersedia secara umum. Mungkin intel pemerintah atau militer."
"Militer?" Trish tertawa. "Percayalah, aku baru saja menarik sebuah dokumen
teredaksi dari server ini, dan itu bukan militer Zoubianis memunculkan jendela
terminalnya dan mencoba sebuah pelacak rute. "Kau bilang, pelacakmu mati?"
"Ya. Dua kah. Di hop yang sama."
"Punyaku juga." Dia mengetikkan sebuah perintah diagnostik, lalu menjalankannya.
"Dan apa yang begitu menarik d IP ini?"
"Aku menjalankan sebuah delegator yang menyadap mesin pencari di IP ini dan
mengeluarkan sebuah dokumen- teredaksi. Aku harus melihat keseluruhan dokumen.
Aku tidak keberatan membayar mereka, tapi aku tidak bisa menemukan siapa pemilik
IP atau cara mengaksesnya."
Zoubianis mengernyit memandang layar. "Kau yakin soal itu" Aku sedang
menjalankan diagnostik, dan pengodean firewall ini tampak... sangat serius."
"Itulah sebabnya kau dibayar tinggi."
Zoubianis mempertimbangkannya. Mereka menawairkan banyak uang untuk pekerjaan
semudah ini. "Satu pertanyaan Trish. Mengapa kau ngotot soal ini?"
Trish terdiam. "Aku menolong seorang teman."
"Agaknya teman istimewa."
"Memang. Teman perempuan yang istimewa." Zoubianis tergelak, lalu terdiam. Aku
tahu itu. "Dengar," ujar Trish, kedengaran tidak sabar. "Apa kau cukup pintar untuk
mengungkapkan IP ini" Ya atau tidak?"
"Ya, aku cukup pintar. Dan ya, aku tahu kau mempermainkanku seenaknya."
"Perlu berapa lama?"
"Tidak lama," jawab Zoubianis, yang mengetik sambil bicara, "Seharusnya aku bisa
masuk ke dalam sebuah mesin pada jaringan mereka dalam waktu kira-kira sepuluh
menit. Setelah aku masuk dan tahu apa yang kulihat, aku akan meneleponmu."
"K uhargai itu. Jadi, kau baik-baik saja?"
Baru sekarang dia bertanya" "Trish, demi Tuhan, kau meneleponku di malam
pertandingan final dan sekarang kau ingin mengobrol" Kau ingin aku menembus IP
ini atau tidak?" "Terima kasih, Mark. Kuhargai pertolonganmu. Kutunggu teleponmu."
"Lima belas menit." Zoubianis menutup telepon, meraih mangkuk Pirate's Booty,
dan mengeraskan suara pertandingan.
Dasarperempuan. BAB 28 Ke mana mereka membawaku"
Ketika bergegas bersama Anderson dan Sato memasuki kedalaman Capitol, Langdon
merasakan jantungnya berdenyut semakin cepat seiring langkahnya ke bawah. Mereka
memulai perjalanan melalui beranda barat Rotunda, menuruni tangga marmer, lalu
memutar kembali melewati ambang pintu lebar menuju bilik terkenal yang tepat
berada di bawah lantai Rotunda.
Capitol Crypt. Udaranya lebih lembap di sini, dan Langdon sudah merasa klaustrofobik. Langit-
langit rendah ruang bawah tanah itu dan penerangan-atas yang lembut menonjolkan
kekokohan empat puluh pilar Doric yang menyokong lantai batu luas persis
atasnya. Tenang, Robert. "Lewat sini," kata Anderson, seraya bergerak cepat membelok ke kiri melintasi
ruangan melingkar luas itu.
Syukurlah, ruang bawah tanah ini tidak menyimpan mayat. Yang ada malah beberapa
patung, sebuah model Capitol, dan sebuah area penyimpanan rendah untuk panggung
kayu - alas peti mati dalam upacara pemakaman negara. Rombongan itu bergegas
lewat, bahkan tanpa melirik kompas marmer empat- sudut di tengah lantai - tempat
Api Abadi dulu menyala. Anderson tampaknya terburu-buru, dan sekali lagi Sato sibuk dengan BlackBerry-
nya. Langdon telah mendengar kabar bahwa, layanan seluler ditingkatkan dan
disebarkan ke seluruh pojok Gedung Capitol untuk mendukung ratusan pembicaraan
telepon pemerintah yang berlangsung di sini setiap hari.
Setelah melintasi ruang bawah tanah secara diagonal, kelompok itu memasuki foyer
berpenerangan suram, dan mulai berjalan berkelok-kelok. Melewati serangkaian
lorong dan jalan buntu yang berbelit-belit. Semua lorong itu memiliki pintu-
pintu bernomor, masing-masing dengan nomor identifikasinya sendiri.
Longdon membaca semua pintu, itu ketika m ereka berjalan berkolok-kelok.
S 154.... S153..... S152 Dia tidak tahu apa, yang ada di balik pintu-pintu ini, tapi setidaknya satu hal
kini tampak jelas. Arti tato di telapak tangan Solomon. SBB13 tampaknya adalah
pintu bernomor di suatu tempat di perut Gedung U.S. Capitol..
"Ada apa di balik semua pintu ini?" tanya Langdon, seraya mencengkeram tas
bahunya erat-erat di dada dan bertanya- tanya apa kemungkinan hubungan bungkusan
mungil Solomon dengan pintu bertanda SBB13.
Kantor-kantor dan gudang, "Jawab Anderson, "Kantor- kantor privat dan gudang,"
imbuhnya, seraya melirik Sato.
Sato bahkan tidak mendongak Blackberry-Aya.
"Semuanya tampak mungil," ujar Langdon.
"Lemari-lemari penyimpanan, sebagian besarnya, tetapi masih merupakan tempat
penyimpanan yang paling diburu di D.C. Ini jantung Capitol yang asli, dan bilik
lama Senat berada dua tingkat di atas kita."
"Dan SBB Tiga Belas?" tanya Langdon. "Kantor siapa itu?"
"Tak seorangpun, SBB13 adalah area gudang privat, dan harus kukatakan bahwa aku
bingung mengapa-" "Chief Anderson," sela Sato tanpa mendongak dari Blackberry-nya. "Kumohon, bawa
saja kami ke sana." Anderson menggertakkan rahang, dan menuntun mereka dalam keheningan, melewati
apa yang kini terasa sebagai gabungan antara gudang penyimpanan dan labirin
besar. Hampir semua dindingnya ditempeli tanda-tanda arah yang menunjuk ke depan
dan ke belakang, tampaknya berusaha menunjukkan lokasi blok-blok perkantoran
spesifik di dalam jaringan lorong ini.
S142 sampai S152 ... ST1 sampai ST70 ...
H1 sampai H166 & HT1 sampai HT67...
Langdon ragu apakah dia bisa menemukan jalan keluar dari sini sendirian. Tempat
ini adalah labirin. Dari semua yang dihimpun Langdon, nomor-nomor kantor dimulai
dengan S atau H, tergantung apakah mereka berada di sisi gedung Senat atau di
sisi gedung untuk House of Representatives. Area yang ditandai ST dan HT
tampaknya berada di tingka disebut Anderson sebagai Tingkat Teras.
Masih belum ada tanda-tanda SBB.
Akhirnya, mereka tiba di pintu pengaman dari baja tebal dengan kotak untuk
memasukkan kartu-kunci. TINGKAT SB Langdon merasa mereka sudah semakin dekat.
Anderson meraih kartu-kunci, tapi kemudian merasa bimbang - tampak tidak nyaman
dengan tuntutan-tuntutan Sato.
"Chief," ujar Sato. "Kita tidak punya waktu semalaman." Dengan enggan, Anderson
menyisipkan kartu-kuncinya.
Pintu baja itu membuka. Dia mendorongnya, dan mereka melangkah dalam koridor di
baliknya. Pintu tebal itu menutup di belaka mereka.
Langdon tidak yakin apa yang dia harapkan akan lihat jelas bukan pemandangan
yang ada di depannya kini. Dia menatap tangga yang menurun. " Turun lagi?"
tanyanya, seraya berhenti mendadak. "Ada tingkat di bawah ruang bawah tanah?"
"Ya," jawab Anderson. "SB singkatan dari Senate Basement (Ruang Bawah Tanah
Senat)." Langdon mengerang. Hebat.
BAB 29 LAMPU depan mobil yang berkelok-kelok di jalan akses SMSC yang berpepohonan
adalah yang pertama dilihat oleh si penjaga dalam satu jam terakhir. Dengan
patuh dia mengecilkan volume perangkat TV portabelnya dan menyimpan camilannya
ke bawah meja. Waktu yang payah. Redskins sedang melakukan tendangan pembukaan
dan dia tidak ingin melewatkannya.


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mobil semakin dekat, penjaga itu memeriksa nama pada buku catatan di
hadapannya. Dr. Christopher Abaddon. Katherine Solomon baru saja menelepon untuk memberitahukan Keamanan mengenai
kedatangan tamu ini sebentar lagi. Penjaga itu tidak tahu siapa dokter ini, tapi
tampaknya dia sangat bagus dalam pekerjaannya; dia tiba dalam limusin hitam
panjang. Kendaraan ramping panjang itu meluncur dan berhenti di samping pos
penjaga, lalu kaca jendela berwarna gelap di bagian sopir turun tanpa suara.
"Selamat malam," sapa sopir seraya mengangkat topi. Dia lelaki bertubuh kekar
dengan kepala plontos. Dia sedang mendengarkan pertandingan football di radio.
"Saya membawa Dr. Christopher Abaddon untuk menemui Miss. Katherine Solomon."
Penjaga itu mengangguk. "Mana kartu idenfitasnya?"
Sopir tampak terkejut. "Maaf, bukankah Miss. Solomon sudah menelepon?"
Penjaga itu mengangguk, melirik televisi. "Saya masih perlu memindai dan
mencatat tanda pengenal pengunjung. Maaf, peraturan. Saya perlu melihat kartu
identitas dokter." "Tak masalah." Sopir berbalik di kursinya dan bicara dengan nada berbisik
melalui sekat privasi, sementara penjaga itu ke melirik pertandingan. Tim
Redskins berhasil melepaskan diri dari hadangan, dan dia berharap bisa
mengizinkan limo ini sebelum permainan berlanjut.
Sopir berbalik ke depan lagi dan mengulurkan kartu identitas yang tampaknya baru
saja dia terima lewat sekat privasi.
"Penjaga itu mengambil kartu identitas dan cepat-cepat memindainya ke dalam
sistem. Surat Izin Mengemudi DC menyebutkan Christopher Abaddon dari Kalorama
Heigth. Fotonya menunjukkan seorang lelaki tampan berrambut pirang mengenakan
blazer biru dilengkapi dasi dan sapu tangan satin di saku. Siapa yang mengenakan
sapu tangan di saku untuk foto SIM?"
Sorak-sorai terdengar dari perangkat televisi, dan penjaga itu berputar tepat
pada waktunya untuk melihat seorang penari Redskins menari-nari di ujung
lapangan dengan jari menunjuk ke kelangit. "Aku melewatkannya," gerutu penjaga
itu, seraya kembali ke jendela.
"Kau, boleh masuk."
Ketika limo bergulir masuk, penjaga itu kembali pada TV- nya, berharap ada
pemutaran ulang. Ketika Mal'akh menyetir limonya di jalan akses yang berkelok-kelok, mau tidak
mau dia tersenyum. Museum rahasia Peter Solomon mudah ditembus. Yang lebih manis
lagi, malam ini untuk kedua kalinya dalam dua puluh empat jam, Mal'akh menembus
salah satu ruang pribadi Solomon. Kemarin malam, kunjungan yang serupa
dilakukannya di rumah Solomon.
Walaupun Peter Solomon punya rumah pedesaan megah di Potomac, dia mengahbiskan
sebagian besar waktunya di apartemen penthouse di Dorchester Arms yang
eksklusif. Kediamannya, seperti sebagian besar bangunan yang diperuntukkan bagi
mereka yang superkaya, merupakan benteng yang sesungguhnya.
Dinding-dinding tinggi. Gerbang-gerbang pengaman. Daftar tamu. Tempat parkir
bawah tanah yang terlindung."
Mal'akh telah menyetir limusin yang sama ini ke pos penjaga bangunan, mengangkat
topi sopir dari kepala plontosnya, dan menyatakan, "Saya membawa Dr, Christopher
Abaddon, tamu undangan Mr. Peter Solomon." Mal'akh mengucapkan kata-kata itu
seakan mengumumkan kedatangan Duke of York.
Penjaga memerikaa buku catatan, lalu kartu identitas Abbaddon. "Ya, Mr. Solomon
mengharapkan kedatangan Dr.
Abbaddon." Dia menekan sebuah tombol dan gerbang terbuka. "Mr. Solomon ada di
apartemen penthouse... Mintalah tamu Anda menggunakan lift paling kanan. Lift
itu naik sampai ke sana."
"Terima kasih!' Mal'akh menyentuh ujung topi dan menyetir.
Ketika berbelok jauh ke dalam garasi, dia meneliti kamera- kamera keamanan.
Tidak ada. Tampaknya, mereka yang tinggal di sini bukanlah jenis orang yang suka
membobol mobil, atau jenis orang yang suka diawasi.
Mal'akh parkir di pojok gelap di dekat lift, menurunkan sekat antara ruang sopir
dan ruang penumpang, lalu menyelinap melewati lubang itu ke bagian belakang
limo. Setelah beradadi bagian belakang, dia melepas topi sopir dan mengenakan
wig pirang. Dia merapikan jaket dan dasi, lalu menengok cermin untuk memastikan
make-up-nya tidak tercoreng. Mal'akh tidak mau mengambil risiko apa pun. Tidak
malam ini. Aku sudah, menunggu terlalu lama untuk ini.
Beberapa detik kemudian, Mal'akh melangkah ke dalam lift privat. Perjalanan ke
puncak hening dan lancar. Ketika pinta terbuka, dia mendapati dirinya berada di
dalam koridor pribadi yang elegan. Tuan rumahnya sudah menunggu.
"Dr. Abaddon. Selamat datang."
Mal'akh memandang ke dalam mata kelabu terkenal lelaki ini dan merasakan
jantungnya mulai berpacu. "Mr. Solomon, terima kasih atas kesediaan Anda menemui
saya." "Harap panggil aku Peter." Kedua lelaki itu saling berjabat tangan. Ketika
Mal'akh menggenggam telapak tangan lelaki yang lebih tua itu, dia melihat cincin
Mason emas di tangan Solomon... tangan yang sama yang pernah mengarahkan senapan
kepada Mal'akh. Sebuah suara berbisik dari masa lalu Mal'akh yang jauh. Jika kau
menarik pelatuk, aku akan menghantuimu selamanya.
"Silakan masuk," ujar Solomon, seraya menggiring Mal'akh ke dalam ruang tamu
elegan yang jendela-jendela lebarnya menawarkan pemandangan menakjubkan
cakrawala Washington. "Apakah aku mencium teh yang sedang diseduh?" kata Mal'akh ketika dia masuk.
Solomon tampak terkesan. "Orangtuaku selalu menyambut tamu dengan teh. Aku
melanjutkan tradisi itu." Dia menuntun Mal'akh ke dalam ruang tamu. Di sana,
nampan teh sudah menunggu di depan perapian. "Krim dan gula?"
"Teh saja. Terima kasih."
Sekali lagi Solomon tampak terkesan. "Rupanya kau seorang yang menghargai
kemurnian." Dia menuang secangkir teh pahit untuk mereka masing-masing. "Kau
bilang, kau perlu mendiskusikan sesuatu yang bersifat sensitif dan hanya bisa
didiskusikan secara pribadi?"
"Terima kasih. Kuhargai waktumu."
"Kini aku dan kau adalah saudara sesama Mason. Kita punya ikatan. Katakan,
bagaimana aku bisa membantumu."
"Pertama-tama, aku ingin berterima kasih atas kehormat penganugerahan derajat
ketiga puluh tiga beberapa bulan yang lalu. Ini sangat berarti buatku."
"Aku senang, tapi harap diketahui bahwa semua keputusan itu bukan semata-mata
keputusanku. Itu keputusan berdasarkan pemungutan suara Dewan Tertinggi."
"Tentu saja." Mal'akh curiga Peter Solomon telah memberikan suara yang
menentangnya. Tapi dalam Freemason, seperti juga dalam semua hal lainnya,
uanglah yang berkuasa. Mal'akh telah mencapai derajat ketiga puluh dua di rumah
perkumpulan Masonnya, hanya menunggu sebulan sebelum menyumbang jutaan dollar
untuk amal atas nama Masonic Grand Lodge. Tindakan tidak mementingkan diri
sendiri yang tidak diminta ini, seperti yang diharapkan Mal'akh, cukup untuk
membuatnya dengan segera menerima undangan ke dalam derajat ketiga puluh tiga
yang elite. Akan tetapi, aku belum mempelajari rahasia apa pun.
Walaupun ada ungkapan kuno yang mengatakan -
"Semuanya lengkap pada derajat ketiga puluh tiga"- Mal'akh belum diberi tahu
sesuatu apa pun yang baru, sesuatu yang berhubungan dengan pencariannya. Tapi,
dia tidak pernah mengharap diberi tahu. Lingkaran dalam organisasi Freemasonry
berisikan lingkaran-litigkaran yang lebih kecil... lingkaran-lingkaran yang
mungkin tidak akan bisa dimasuki Mal'akh selama bertahun-tahun. Dia tidak
peduli. Inisiasinya sudah memenuhi tujuannya. Sesuatu yang unik terjadi di dalam
Ruang Kuil itu dan memberi Mal'akh kekuatan melebihi kekuatan mereka semua. Aku
tidak lagi mengikuti peraturan- peraturan kalian.
"Sadarkah kau," ujar Mal'akh seraya meneguk teh, "bahwa aku dan kau pernah
bertemu bertahun-tahun yang lalu?"
Solomon tampak terkejut. "Benarkah" Aku tidak ingat."
"Sudah cukup lama." Dan Christopher Abaddon bukanlah nama aseliku.
"Maaf sekali. Agaknya benakku sudah tua. Ingatkan aku, bagaimana aku
mengenalmu?" Mal'akh tersenyum untuk terakhir kalinya kepada lelaki yang dibencinya melebihi
lelaki mana pun di dunia. "Sayang sekali kau tidak ingat."
Dengan satu gerakan lancar, Mal'akh mengeluarkan alat kecil dari saku dan
mengulurkannya ke depan, lalu menusukkannya dengan keras ke dada lelaki itu.
Muncul kilau cahaya biru, desis hijam pistol-pengejut ditembakkan, dan helaan
napas kesakitan ketika satu juta volt listrik mengaliri tubuh Peter Solomon.
Mata lelaki itu membelalak, dan dia terkulai tanpa daya dikursinya. Kini Mal'akh
berdiri, menjulang di hadapan lelaki itu, meneteskan liur bagaikan singa yang
hendak melahap mangsanya yang terluka.
Solomon terkesiap, berjuang untuk bernapas.
Mal'akh melihat ketakutan di mata korbarnya dan berttanya berapa banyak orang
yang pernah melihat Peter Solomon yang agung gemetar ketakutan. Mal'akh
menikmati pemandangan itu selama beberapa detik yang panjang. Dia meneguk the,
menunggu lelaki itu menarik napas. -
Solomon mengejang, berusaha bicara. "Mengapa?" Akhirnya dia berhasil, berkata.
"Menurutmu mengapa?" desak Mal'akh.
Solomon tampak benar-benar kebingungan. "Kau ingin, uang?"
Uang" Mal'akh,tertawa dan kembali meneguk teh.
"Aku menyumbang jutaan dolar untuk Freemason; aku tidak peduli kekayaan." Aku
datang untuk kebijakan, dan dia menawariku kekayaan"
"Kau memiliki sebuah rahasia. Kau akam menceritakannya kepadaku malam ini."
Solomon berjuang mengangkat dagu, sehingga bisa memandang lurus ke mata Mal'akh.
"Aku tidak..... mengerti."
"Tidak ada lagi kebohongan." Mal'akh berteriak maju sampai berjarak beberapa
inci dari lelaki lumpuh itu. "'Aku tahu apa yang tersembunyi di Washington
sini." Mata kelabu Solomon tampak menantang. "Aku sama sekali tidak tahu kau bicara
apa!" Mal'akh kembali meneguk teh, lalu meletakkan cangkirnya di atas tatakan. "Kau
mengucapkan kata-kata yang sama itu kepadaku sepuluh tahun yang lalu, di malam
kematian ibumu." Mata Solomon, terbelalak lebar. "Kau...?"
"Dia tidak perlu mati. Seandainya kau memberi apa yang kuminta...."
Wajah lelaki tua itu mengernyit dalam pengenalan.... dan ketidakpercayaan yang
mengerikan. "Kau sudah kuperingatkan," ujar Mal'ak-h, "jika kau menarik pelatuk, aku akan
menghantuimu selamanya."
"Tapi kau..." Mal'akh melesat maju, kembali menusukkan pistol-pengejut itu keras-keras ke dada
Solomon. Sekali lagi muncul kilau cahaya hijau, dan Solomon benar-benar
terkulai. Mal'akh menyimpan kembali pistol-pengejut itu di saku, dan dengan tenang
menghabiskan teh. Ketika sudah selesai, dia menyeka bibir dengan serbet linen
bermonogram dan mengintip kordennya. "Kita berangkat sekarang?"
Tubuh Solomon tidak bergerak, tapi matanya membelalak dan terpaku.
Mal'akh mendekat dan berbisik di telinga lelaki itu. "'Aku akan membawamu ke
tempat di mana yang ada hanyalah kebenaran. "
Tanpa sepatah kata pun lagi, Mal'akh menggulung serbet ber-monogram itu dan
memasukkannya ke mulut Solomon. Lalu dia mengangkat lelaki lumpuh itu ke atas
bahunya dan menuju lift. Dalam perjalanan keluar, dia memungut iPhone Solomon
dan kunci-kunci dari meja lorong.
Malam ini kau akan menceritakan semua rahasiamu kepadaku, pikir Mal'akh.
Termasuk mengapa kau meninggalkanku untuk mati bertahun-tahun yang lalu itu.
BAB 30 Tingkat SB. Ruang bawah tanah Senat. Klaustrofobia mencengkeram Robert Langdon semakin erat seiring setiap langkah
terburu-buru mereka menuruni tangga. Ketika mereka berjalan semakin jauh
memasuki fondasi asli gedung, udara berubah lembap dan ventilasi tampaknya tidak
ada. Dinding-dinding di bawah sini berupa campuran batu dan bata kuning yang
tidak rata. Direktur Sato mengetik di BlackBerry-nya sembari mereka berjalan. Langdon merasa
bahwa perempuan itu mencurigai dia, tetapi dia sendiri juga curiga pada Sato.
Sato masih belum menceritakan bagaimana dia bisa tahu Langdon ada di sini malam
ini. Masalah keamanan nasional" Langdon sulit memahami hubungan antara
mistisisme kuno dan keamanan nasional. Tapi, dia mengalami kesulitan untuk
memahami apa pun dalam situasi yang sedang terjadi ini.
Peter Solomon memercayakan sebuah jimat kepadaku... seorang gila pengkhayal
menipuku untuk membawanya ke Capitol dan ingin aku menggunakannya untuk membuka
portal mistis... kemungkinan di ruangan yang disebut SBB13.
Bukan gambaran yang jelas.
Seiring mereka terus melangkah maju, Langdon berusaha menyingkirkan bayangan
mengerikan tangan bertato Peter diubah menjadi Tangan Misteri. Gambar menakutkan
itu diiringi suara Peter: Misteri Kuno, Robert, telah berkembang menjadi banyak
mitos... tapi itu tidak berarti itu hanyalah fiksi. Walaupun mempelajari simbol-
simbol dan sejarah mistis dalam kariernya, sisi intelektual Langdon selalu
meragukan gagasan Misteri Kuno dan janji ampuh apotheosis.
Catatan sejarah memang mengandung bukti tak terbantahkan bahwa ada kebijakan
rahasia telah diturunkan selarna berabad-abad, yang tampaknya bersumber dari
Ajaran-Ajaran Misteri zaman Mesir awal. Pengetahuan ini akhimya terkubur, dan
muncul kembali ketika masa Renaisans Eropa. Di sana, menurut sebagian besar
catatan, pengetahuan itu dipercayakan kepada sekelompok elite ilmuwan di balik
dinding-dinding pusat pemikiran ilmiah utama Eropa - the Royal Society of London
- yang secara misterius dijuluki Invisible College.
"Akademi" rahasia ini dengan cepat berubah menjadi kelompok penasihat yang
terdiri atas orang-orang paling tercerahkan di dunia - Isaac Newton, Francis
Bacon, Robert Boyle, dan bahkan Benjamin Franklin. Saat ini, daftar "anggota-
anggota" modernnya juga tak kalah mengesankan -
Einstein, Hawking, Bohr, dan Celsius. Semua orang terpandai ini telah membuat
lompatan kuantum dalam pemahaman manusia, yaitu kemajuan-kemajuan yang menurut
beberapa orang adalah hasil eksplorasi mereka terhadap kebijakan kuno yang
tersembunyi di Invisible College. Langdon ragu apakah ini benar, walaupun "karya
mistis" dalam jumlah yang luar biasa memang berlangsung di balik dinding-dinding
itu. Dokumen-dokumen rahasia Newton yang ditemukan pada 1936 mengejutkan dunia,
karena mengungkapkan kegairahan luar biasa Newton terhadap studi alkimia kuno
dan kebijakan mistis. Dokumen-dokumen pribadi Newton meliputi surat tulisan-
tangan untuk Robert Boyle, dan di dalam surat itu, dia mendorong Boyle untuk
tetap " membisu" mengenai pengetahuan mistis yang telah mereka pelajari.
"Pengetahuan itu tidak bisa disampaikan," tulis Newton, "tanpa menimbulkan
kerusakan dahsyat pada dunia." Arti peringatan aneh ini masih diperdebatkan
sampai saat ini. "Profesor," panggil Sato tiba-tiba, seraya mendongak dari BlackBerry-nya,
"walaupun kau bersikeras tidak tahu mengapa kau ada di sini malam ini, mungkin
kau bisa menjelaskan cincin Peter Solomon?"
"Bisa kucoba," ujar Langdon, seraya kembali memusatkan pikiran.
Sato mengeluarkan kantong spesimen dan menyerahkannya kepada Langdon. "Ceritakan
mengenai simbol-simbol pada cincin ini."
Langdon meneliti cincin yang dikenalnya itu ketika mereka berjalan melewati
lorong sepi. Pada bagian depan cincin terdapat gambar phoenix berkepala-dua
sedang memegang pita bertuliskan ORDO AB CHAO, dengan dada dihiasi angka 33.
Phoenix berkepala-dua dengan angka tiga puluh tiga adalah emblem derajat Mason
tertinggi." Secara teknis, derajat prestisius ini hanya ada di dalam Ritual
Skotlandia. Akan tetapi, ritual-ritual dari derajat-derajat Freemason merupakan
hierarki yang rumit, sehingga Langdon tidak ingin menjelaskannya secara mendetil
kepada Sato malam ini. "Pada dasarnya, derajat ketiga puluh tiga merupakan kehormatan elite yang
diperuntukkan bagi sekelompok kecil kaum Mason yang sangat hebat. Semua derajat
lainnya bisa dicapai melalui keberhasilan penyelesaian derajat sebelumnya, tapi
kenaikan ke derajat ketiga puluh tiga diawasi ketat. Hanya berdasarkan
undangan." "Jadi, apakah kau tahu kalau Peter Solomon anggota lingkaran-dalam yang elite
ini?" "Tentu saja. Keanggotaan seseorang dalam Mason sama sekali tidak dirahasiakan."
"Dan dia pejabat tingkat-tertinggi mereka?"
"Saat ini, ya. Peter memimpin Dewan Tertinggi Derajat tiga Puluh Tiga, yang
merupakan penguasa Ritual Skotlandia di Amerika." Langdon selalu suka
mengunjungi markas besar mereka - House of the Temple - mahakarya klasik yang
hiasan simbolisnya menyaingi hiasan simbolis Kapel Rosslyn di Sktolandia.
"Profesor, apakah kau memperhatikan ukiran pada lingkaran cincin" Bertuliskan
kata-kata 'Semuanya terungkap pada derajat tiga puluh tiga.'"


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langdon mengangguk. "Itu tema umum dalam hikayat Mason."
"Kuasumsikan bahwa itu berarti sesuatu yang istimewa akan diungkapkan kepada
anggota Mason yang diterima ke dalam derajat ketiga puluh tiga yang tertinggi
ini?" "Ya, itu hikayatnya, tapi mungkin kenyataannya tidak seperti itu. Selalu ada
dugaan bahwa beberapa anggota terpilih di dalam eselon Mason tertinggi ini akan
diberitahu mengenai suatu rahasia mistis besar. Aku curiga kenyataannya tidak
sedramatis itu." Peter Solomon sering mengucapkan secara main-main memengenai rahasia Mason yang
tak ternilai harganya, tapi Langdon selalu menganggap itu hanya usaha iseng
untuk membujuknya bergabung dengan kelompok persaudaraan itu. Sayangnya, semua
kejadian malam ini sama sekali tidak bisa dianggap main-main, dan tidak ada yang
main-main dalam keseriusan Peter ketika mendesak Langdon untuk melindungi
bungkusan tersegel di dalam tas bahunya.
Dngan sedih, Langdon melirik kantong plastik berisi cincin emas Peter itu.
"Direktur," katanya, "apakah kau keberatan jika aku yang menyimpannya?"
Sato mengamatinya. "Mengapa?"
"Benda itu sangat berharga bagi Peter, dan aku ingin mengembalikannya kepadanya
malam ini." Sato tampak skeptis. "Semoga saja kau mendapat kesempatan itu."
"Terima kasih." Langdon mengantongi cincin itu.
"Satu pertanyaan lagi," ujar Sato, ketika mereka semakin dalam memasuki labirin.
"Menurut stafku, saat memeriksa- silang konsep derajat ketiga puluh tiga dan
'portal' dengan Freemason, mereka benar-benar menemukan ratusan referensi
mengenai 'piramida'?"
"Itu juga tidak mengejutkan," jawab Langdon. "Para pembangun piramida di Mesir
adalah pelopor tukang batu modern. Dan piramida, bersama-sama dengan tema-tema
Mesir, sangat umum dalam simbolisme Mason."
"Menyimbolkan apa?"
"Pada dasarnya, piramida merepresentasikan pencerahan. Itu simbol arsitektural
yang melambangkan kemampuan manusia kuno untuk membebaskan diri dari tingkatan
duniawinya dan terangkat ke surga, menuju matahari emas, dan pada akhirnya
menuju sumber tertinggi pencerahan."
Sato menunggu sejenak. "Apa lagi?"
Apa lagi"! Langdon baru saja menjelaskan salah satu simbol paling elegan dalam
sejarah. Struktur yang menjadi jalan bagi manusia untuk mengangkat dirinya ke
dalam ranah dewa- dewa. "Menurut stafku," kata Sato, "kedengarannya ada lebih banyak hubungan yang
relevan malam ini. Mereka bilang, ada legenda populer mengenai piramida tertentu
di Washington sini - sebuah piramida yang secara spesifik berhubungan dengan
Mason dan Misteri Kuno?"
Kini Langdon menyadari apa yang dibicarakan Sato, dan dia berusaha menyingkirkan
gagasan itu sebelum mereka membuang lebih banyak waktu lagi. "Aku memang
mengenal legenda itu Direktur, tapi itu hanya khayalan. Piramida Mason adalah
salah satu mitos yang paling bertahan lama di DC, mungkin berasal dari piramida
pada Lambang Negara Amerika Serikat."
"Mengapa tidak kau katakan sebelumnya?"
Langdon mengangkat bahu. "Karena tidak ada dasar faktanya. Seperti yang
kubilang, itu mitos. Salah satu dari banyak mitos yang dihubungkan dengan
Freemason." "Akan tetapi, mitos ini berhubungan langsung dengan Misteri Kuno?"
"Pasti, seperti juga banyak mitos lainnya. Misteri Kuno adalah dasar dari
berbagai legenda yang bertahan dalam sejarah - cerita-cerita mengenai kebijakan
luar biasa yang dilindungi oleh para penjaga rahasia, seperti Templar,
Rosicrucian, Illuminati, Alumbrados - daftarnya tidak ada habisnya. Semua
legenda itu didasarkan pada Misteri Kuno... dan Piramida Mason hanya salah satu
contoh." "Aku mengerti," ujar Sato. "Dan apa yang sesungguhnya dikatakan oleh legenda
ini?" Langdon berpikir selama beberapa langkah, kemudian menjawab, "Wah, aku tidak
ahli dalam teori konspirasi, tapi aku mempelajari mitologi, dan sebagian besar
legendanya kira-kira seperti ini: Misteri Kuno - kebijakan berabad-abad yang
hilang - sudah lama dianggap sebagai harta karun tersuci umat manusia dan,
seperti harta karun besar lainnya, dilindungi dengan hati-hati. Orang-orang
bijak tercerahkan, yang memahami kekuatan sejati kebijakan ini, mulai
mengkhawatirkan potensi "menakjubkannya. Mereka tahu, seandainya pengetahuan
rahasia itu jatuh ke tangan-tangan yang belum diinisiasi, akibatnya bisa
menghancurkan; seperti yang kita katakan tadi, alat-alat hebat bisa digunakan
untuk kebaikan atau kejahatan. Jadi, untuk melindungi Misteri Kuno, sekaligus
juga umat manusia, para praktisi awal ini membentuk persaudaraan-persaudaraan
rahasia. Di dalam kelompok-kelompok persaudaraan ini mereka hanya mengungkapkan
kebijakan itu kepada anggota-anggota yang sudah diinisiasi dengan benar,
sehingga meneruskan kebijakan itu dari satu orang bijak ke orang bijak lain.
Banyak yang percaya bahwa kita bisa melihat sisa-sisa sejarah orang-orang yang
menguasai Misteri itu... dalam cerita-cerita tentang penenung, penyihir, dan
penyembuh." "Dan Piramida Mason?" tanya Sato. "Bagaimana hubungannya?"
"Yah," ujar Langdon, yang kini berjalan semakin cepat untuk mengimbangi
perempuan itu, "'di sinilah sejarah dan mitos mulai bergabung. Menurut beberapa
catatan, hampir semua kelompok persaudaraan rahasia ini punah pada abad ke-16 di
Eropa, sebagian besarnya dibasmi oleh gelombang eksekusi atas nama agama.
Kabarnya, Freemason menjadi penjaga Misteri Kuno terakhir yang masih bertahan.
Tentu saja mereka khawatir Misteri Kuno akan hilang selamanya jika suatu hari
nanti kelompok persaudara mereka punah seperti para pendahulunya."
"Dan piramida itu?" desak Sato lagi.
Langdon sudah akan menjelaskannya. "Legenda Piramida Mason cukup sederhana.
Dinyatakan bahwa kelompok Freemason, untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam
melindungi kebijakan luar biasa ini bagi generasi-generasi yang akan datang,
memutuskan untuk menyembunyikannya dalam benteng besar. Langdon mencoba
mengumpulkan segenap ingatannya mengenai cerita itu. "Sekali lagi kutekankan
bahwa semua ini adalah mitos, tapi konon Mason memindahkan kebijakan rahasia
mereka dari Dunia Lama ke Dunia Baru - ke sini, ke Amerika - tanah yang mereka
harap akan tetap bebas dari tirani agama. Dan di sini mereka mendirikan benteng
yang tidak bisa ditembus - piramida tersembunyi - yang dirancang untuk
melindungi Misteri sampai seluruh umat manusia siap menerima kekuatan
menakjubkan yang disampaikan oleh kebijakan ini. Menurut mitos, Freemason
memahkotai piramida besar mereka dengan batu- puncak berkilau dari emas-padat,
sebagai simbol harta karun berharga di dalamnya - kebijakan kuno yang mampu
memberdayakan umat manusia sampai pada potensi penuh mereka. Apotheosis.
"Cerita yang cukup menarik," komentar Sato.
"Ya. Freemason menjadi korban segala jenis legenda gila."
"Jelas kau tidak memercayai keberadaan piramida semacam itu."
"Tentu saja tidak," jawab Langdon. "Tidak ada bukti apa pun yang menyatakan
bahwa para bapak bangsa kita yang anggota Mason mendirikan sejenis piramida apa
pun di Amerika, apalagi di DC. Sulit sekali menyembunyikan sebuah piramida,
terutama piramida yang cukup besar untuk menampung semua kebijakan yang hilang
selama berabad- abad."
Legenda itu, seingat Langdon, tidak pernah menjelaskan dengan tepat apa yang
seharusnya ada di dalam Piramida Mason - apakah teks-teks kuno, tulisan-tulisan
gaib, pengungkapan-pengungkapan ilmiah, atau sesuatu yang jauh lebih misterius -
tapi legenda itu memang mengatakan bahwa informasi berharga yang berada di
dalamnya disandikan secara cerdik... dan hanya bisa dipahami oleh jiwa-jiwa
paling tercerahkan. "Bagaimanapun," ujar Langdon, "cerita ini masuk dalam kategori yang disebut oleh
para simbolog sebagai 'hibrida arketipal' dari legenda-legenda klasik lainnya,
meminjam begitu banyak elemen dari mitologi populer, sehingga hanya berupa
konstruksi yang bersifat khayalan... bukan fakta sejarah."
Ketika mengajarkan hibrida arketipal kepada para mahasiswanya, Langdon
menggunakan contoh dongeng yang diceritakan dari generasi ke generasi dan
semakin lama semakin dilebih-lebihkan. Terjadi banyak sekali pinjam- meminjam,
sehingga dongeng-dongeng itu berkembang menjadi kisah moralitas yang beragam
dengan elemen-elemen ikonik yang sama - gadis perawan, pangeran tampan, benteng
yang tidak bisa ditembus, dan penyihir-penyihir hebat. Melalui kisah-kisah
dongeng, pertempuran purba "baik vs jahat" ditanamkan dalam diri kita sebagai
anak-anak melalui kisah- kisah kita: Merlin vs Morgan le Fay, Saint George vs
Naga, Daud vs Goliath, Putri Salju vs Penyihir, dan bahkan Luke Walker melawan
Darth Vader. Sato menggaruk-garuk kepala ketika mereka berbelok dan mengikuti Anderson
menuruni serangkaian kecil tangga.
"Katakan. Jika aku tidak keliru, piramida pernah dianggap sebagai portal mistis,
dan melalui piramida itu, raja-raja Mesir kuno yang sudah meninggal bisa
terangkat menuju para dewa. Benar tidak?"
"Benar." Sato langsung berhenti, menggamit lengan Langdon, dan memelototinya dengan raut
wajah antara terkejut dan tidakpercaya. "Kau bilang, penculik Peter Solomon
menyuruhmu menemukan portal tersembunyi, dan tidakkah terpikirkan olehmu bahwa
dia membicarakan Piramida Mason dari legenda ini?"
"Apa pun sebutannya, Piramida Mason adalah dongeng. Benar- benar khayalan."
Kini Sato melangkah lebih dekat, dan Langdon bisa mencium napasnya yang berbau
asap rokok. "Aku memahami pendirianmu dalam hal ini, Profesor, tapi demi
investigasiku, keparalelannya sulit untuk diabaikan. Sebuah portal yang membawa
pada pengetahuan rahasia" Di telingaku, ini kedengarannya sangat menyerupai
pernyataan penculik Peter Solomon bahwa hanya kau yang bisa membukanya."
"Yah, aku hampir tidak bisa memercayai-"
"Apa yang kau percayai tidaklah penting. Tak peduli apa yang kau percayai, kau
harus mengakui bahwa lelaki itu sendiri mungkin percaya bahwa Piramida Mason itu
nyata." "Lelaki itu gila! Dia mungkin juga percaya bahwa SBB Tiga Belas merupakan jalan
masuk menuju piramida raksasa di bawah tanah yang berisikan semua kebijakan kuno
yang hilang!" Sato berdiri tak bergerak, matanya berapi-api. "Krisis yang sedang kuhadapi
malam ini bukan dongeng, Profesor. Kuyakinkan kau, krisis ini sangat nyata."
Kebisuan yang dingin menggantung di antara mereka.
"Ma'am?" panggil Anderson pada akhirnya, seraya menunjukkan pintu pengaman lain
yang berjarak tiga meter.
"Kita hampir sampai, jika kau ingin melanjutkan."
Akhirnya Sato mengalihkan tatapannya dari Langdon, lalu mengisyaratkan Anderson
untuk berjalan terus. Mereka mengikuti kepala keamanan itu melewati ambang pintu pengaman, memasuki
lorong sempit. Langdon menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Kau pasti bergurau.
Dia sedang berdiri di lorong terpanjang yang pernah dilihatnya.
BAB 31 Ketika meninggalkan lampu-lampu terang Kubus dan memasuki kegelapan dingin
ruangan kosong itu, Trish Dunne merasakan aliran gelombang adrenalin yang sudah
akrab. Gerbang depan SMSC baru saja menelepon untuk mengabarkan bahwa tamu
Katherine, Dr. Abaddon, sudah tiba dan memerlukan pendamping menuju Bangsal 5.
Trish menawarkan diri untuk mengantar, sebagian besar karena rasa penasarannya.
Katherine baru bercerita sedikit sekali tentang lelaki yang akan mengunjungi
mereka, dan Trish penasaran. Tampaknya, lelaki itu seseorang yang sangat
dipercayai oleh Peter Solomon; keluarga Solomon tidak pernah mengundang siapa
pun ke dalam Kubus. Ini yang pertama. Kuharap, dia baik-baik saja menghadapi
perjalanannya, pikir Trish, ketika bergerak melintasi kegelapan yang membekukan.
Hal terakhir yang diperlukannya adalah kepanikan tamu VIP Katherina ketika
menyadari apa yang harus dilakukannya untuk sampai ke lab. Saat pertama selalu
yang terburuk. Saat pertama Trish adalah sekitar setahun yang lalu. Dia sudah menerima tawaran
pekerjaan Katherine, menandatangani dokumen kerahasiaan, lalu datang ke SMSC
bersama Katherine untuk melihat labnya. Kedua perempuan itu berjalan menyusuri
"The Street", lalu tiba di pintu logam bertuliskan BANGSAL 5. Walaupun Katherine
sudah mencoba menggambarkan lokasi lerpencil lab, Trish tidak siap menghadapi
apa yang dilihatnya ketika pintu bangsal berdesis membuka.
Kekosongan itu. Katherine melangkah melewati ambang pintu, berjalan beberapa puluh sentimeter ke
dalam kegelapan total, lalu mengisyaratkan Trish untuk mengikuti. "Percayalah.
Kau tidak akan tersesat."
Trish membayangkan dirinya berkelana dalam ruangan gelap gulita seukuran
stadion, dan pikiran itu saja membuatnya berkeringat.
"Kami punya sistem penuntun untuk menjagamu agar tetap pada jalur." Katherine
menunjuk lantai. "Teknologi yang sang sederhana."
Trish menyipitkan mata menembus kegelapan, memandang lantai semen kasar. Perlu
sejenak untuk melihatnya dalam kegelapan tapi ada karpet sempit memanjang yang
diletakkan membentuk garis lurus. Karpet itu memanjang seperti jalanan,
menghilang dalam kegelapan.
"Lihatlah dengan kakimu," ujar Katherine, seraya berbalik dan berjalan pergi.
"Ikuti saja persis di belakangku."
Ketika Katherine menghilang dalam kegelapan, Trish menelan ketakutannya dan
mengikuti. Ini gila! Dia baru berjalan beberapa langkah menyusuri karpet ketika
pintu Bangsal 5 mengayun menutup di belakangnya, menenggelamkan sedikit cahaya
lembut terakhir. Dengan denyut nadi berpacu, Trish mengalihkan semua perhatian
untuk merasakan karpet di bawah kakinya. Dia baru berjalan beberapa langkah di
atas karpet panjang empuk itu ketika merasakan pinggiran kaki kanannya menapak
semen keras, Dengan terkejut, dia membetulkan posisinya ke kiri berdasarkan
insting, mengembalikan kedua kakinya ke atas karpet empuk.
Suara Katherine mewujud di hadapannya dalam kegelapan, kata-katanya nyaris
tertelan seluruhnya oleh akustik tak- bernyawa di dalam kegelapan ini. "Tubuh
manusia itu menakjubkan," katanya. "Jika kau menghilangkan salah satu input
pengindraannya, indra-indra yang lain segera mengambil alih. Saat ini saraf-
saraf di kakimu secara harfiah 'menyelaraskan' diri mereka sendiri agar menjadi
lebih sensitif." Bagus, pikir Trish, seraya kembali membetulkan arah perjalanannya.
Mereka berjalan dalam keheningan untuk waktu yang tanpaknya benar-benar terlalu
lama. "Seberapa jauh lagi?" tanya Trish akhirnya.
"Kira-kira kita sudah setengah jalan." Suara Katherine kini terdengar lebih
jauh. Trish mempercepat langkah, berupaya sekeras mungkin agar tetap tenang, tapi
luasnya kegelapan terasa seakan hendak menelannya. Aku tidak bisa melihat bahkan
satu milimeter di depan wajahku! " Katherine" Bagaimana kau bisa tahu kapan
harus berhenti berjalan?"
"Kau akan tahu sebentar lagi," jawab Katherine.
Itu setahun yang lalu. Dan kini, malam ini, Trish sekali lagi berada di dalam
kekosongan, menuju ke arah yang berlawanan, keluar ke lobi untuk menjemput tamu
bosnya. Perubahan mendadak dalam tekstur karpet di bawah kakinya mengingatkannya
bahwa dia sudah berjarak tiga meter dari pintu keluar. Jalur peringatan,
begitulah sebutan yang diberikan oleh Peter Solomon, penggemar berat bisbol.
Trish langsung berhenti, mengeluarkan kartu-kunci, dan meraba- raba dalam
kegelapan di sepanjang dinding, sampai ai menemukan celah menonjol dan
menyelipkan kartunya. Pintu mendesis terbuka. Trish menyipitkan mata memandang cahaya lorong SMSC yang menyambutnya.
Berhasil... lagi. Trish menyusuri koridor-koridor sepi dan mendapati dirinya memikirkan arsip-
teredaksi aneh yang mereka ternukan pada sebuah jaringan berpengaman. Portal
kuno" Lokasi rahasia di bawah tanah" Dia bertanya-tanya apakah Mark Zoubianis
berhasil menemukan lokasi dokumen misterius itu.
Di dalam ruang kontrol, Katherine berdiri dalam kilau lembut layar plasma dan
mendongak memandangi dokumen misterius yang mereka temukan. Kini dia sudah
mengisolasi frasa-frasa kuncinya, dan merasa semakin yakin bahwa dokumen itu
membicarakan legenda tersebar-luas yang sama, yang tampaknya ceritakan oleh
kakaknya kepada Dr. Abaddon.
Aku harus melihat keseluruhan arsip, pikir Katherine.
Dia menatap sejenak lebih lama, lalu mematikan tombol listrik layar plasma.
Katherine selalu mematikan layar intensif- energi ini agar tidak memboroskan
cadangan-cadangan hidrogen cair sel bahan bakarnya.
Dia menyaksikan ketika kata-kata kuncinya perlahan-lahan memudar, mengecil
menjadi bintik putih mungil yang melayang di tengah layar, lalu akhirnya padam.
Dia berbalik dan berjalan kembali menuju kantornya. Dr Abaddon akan tiba
sebentar lagi, dan dia ingin membuat lelaki itu merasa diterima.
BAB 32 "Hampir sampai," ujar Anderson, seraya menuntun Langdon dan Sato menyusuri
koridor yang tampaknya tidak pernah berakhir dan membentang di sepanjang fondasi


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian timur Capitol. "Di masa Lincoln, lorong ini berlantai tanah dan dipenuhi
tikus." Langdon bersyukur karena lantainya sudah berubin; dia bukan penggemar berat
tikus. Kelompok itu berjalan terus, langkah kaki mereka berdentam-dentam menciptakan
gema tidak teratur mengerikan di dalam lorong panjang itu. Pintu-pintu mendereti
lorong panjang, beberapa tertutup, tapi banyak yang terbuka. Banyak ruangan di
tingkat ini yang tampaknya tidak terpakai. Langdon mengamati bahwa nomor-nomor
pada pintu kini semakin kecil dan, setelah beberapa saat, tampaknya habis.
SB4 ... SB3 ... SB2 ... SB1 ...
Mereka berjalan terus melewati sebuah pintu tanpa nomor, tapi Anderson langsung
berhenti ketika nomor-nomornya kembali membesar.
HB1 ... HB2 ... "Maaf," kata Anderson. "Terlewat. Aku hampir tidak pernah masuk sedalam ini."
Kelompok itu mundur beberapa meter menuju sebuah pintu logam tua, yang kini
disadari Langdon terletak di titik tengah lorong - garis membujur yang membagi
Ruang Bawah Tanah Senat (Senate Basement, SB) dan Ruang Bawah Tanah House of
Representatives (House Basement, HB). Ternyata pintunya memang ditandai, tapi
tulisannya begitu pudar sehingga hampir tidak terlihat.
SBB "Ini dia," ujar Anderson. "Kuncinya akan tiba sebentar lagi. Sato mengernyit dan
menengok arloji. Langdon mengamati tanda SBB itu dan bertanya kepada Anderson, "Walaupun letaknya
di tengah, mengapa ruangan ini berhubungan dengan sisi Senat?"
Anderson tampak bingung. "Apa maksudmu?"
"Tertulis SBB, yaitu dimulai dengan S, bukan H."
Anderson menggeleng. "S dalam SBB bukan singkatan dari Senat. Itu-"
"Chief?" panggil seorang penjaga di kejauhan. Dia berlari menyusuri lorong,
menghampiri mereka dengan memegang sebuah kunci. "Maaf, Pak, perlu beberapa
menit. Kami tidak bisa menemukan kunci asli SBB. Ini kunci cadangan dari kotak
perlengkapan." "Kunci aslinya tidak ada?" tanya Anderson, tampak terkejut.
"Mungkin hilang," jawab penjaga itu, yang tiba dengan terengah-engah. "Tak
seorang pun pernah meminta akses ke bawah sini sejak lama sekali."
Anderson mengambil kunci itu. "Tidak ada kunci kedua untuk SBB Tiga Belas?"
"Maaf, sejauh ini kami tidak menemukan kunci untuk ruangan mana pun di SBB.
MacDonald sedang mengurusnya." Penjaga. itu mengeluarkan radio dan berbicara.
"Bob" Aku bersama Chief. Sudah ada tambahan info soal kunci untuk SBB Tiga
Belas?" Radio penjaga itu bergemeresak, dan sebuah suara menjawab, "Sesungguhnya, ya.
Aneh. Aku tidak melihat adanya entri sejak kita mengomputerisasinya, tapi
catatan- catatan di buku menunjukkan bahwa semua ruang penyimpanan di SBB
dibersihkan dan ditinggalkan lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Kini ruangan-
rungan itu didaftarkan sebagai ruang tak terpakai." Dia terdiam.
"Semuanya, kecuali SBB Tiga Belas."
Anderson meraih radio. "Ini Chief. Apa maksudmu dengan semuanya, kecuali SBB
Tiga Belas?" "Yah, Pak," jawab suara itu, " saya mendapat catatan tulisan tangan di sini,
yang menyatakan SBB Tiga Belas sebagai 'privat'. Sudah lama, tapi ditulis dan
diparaf oleh Arsitek sendiri."
Langdon tahu, istilah Arsitek tidak mengacu kepada lelaki yang merancang
Capitol, tapi kepada orang yang mengurus- nya. Serupa dengan manajer gedung,
lelaki yang ditunjuk sebagai Arsitek Capitol mengurus segalanya, termasuk
Pergolakan Di Istana Langkat 1 Goosebumps - 24 Hantu Auditorium Pengorbanan The Sacrifice 1
^