Simbol Yang Hilang 4
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 4
perawatan, perbaikan, keamanan, perekrutan personel, dan penetapan kantor-
kantor. "Anehnya...," kata suara di radio, "catatan Arsitek menunjukkan bahwa 'ruang
privat' ini disisihkan untuk digunakan oleh Peter Solomon."
Langdon, Sato, dan Anderson saling bertukar pandangan terkejut.
"Kurasa, Pak," lanjut suara itu, "Mr. Solomon memegang kunci utama kita ke SBB,
dan juga kunci-kunci lainnya untuk SBB Tiga Belas."
Langdon tidak bisa memercayai telinganya. Peter punya ruang privat di bawah
tanah Capitol" Dia selalu tahu bahwa Peter Solomon punya rahasia-rahasia, tapi
ini mengejutkan, bahkan bagi Langdon.
"Oke," kata Anderson, jelas merasa tidak senang. "Kami berharap mendapat akses,
khususnya ke SBB Tiga Belas, jadi teruslah mencari kunci kedua."
"Akan dilaksanakan, Pak. Kami juga sedang mengurus gambar digital yang Anda
minta-" "Terima kasih," sela Anderson, seraya menekan tombol bicara dan memotongnya.
"Cukup. Kirimkan arsipnya ke BlackBerry Direktur Sato, langsung setelah kau
mendapatkannya." "Paham, Pak." Radionya diam.
Anderson menyerahkan radio itu kembali kepada penjaga di depan mereka.
Penjaga itu mengeluarkan selembar fotokopi cetak-biru dan menyerahkannya kepada
atasannya. "Pak, SBB-nya diberi warna kelabu dan ruang SBB Tiga Belas kami
tandai dengan X, jadi seharusnya tidak sulit untuk ditemukan. Areanya cukup
kecil." Anderson berterima kasih kepada penjaga itu, lalu megalihkan perhatiannya pada
cetak-biru ketika lelaki muda itu bergegas pergi. Langdon mengamati, dan
terkejut melihat jumlah menakjubkan ruang-ruang yang membentuk labirin aneh di
bawah U.S. Capitol. Anderson mempelajari cetak-biru itu sejenak, mengangguk lalu memasukkannya ke
dalam saku. Ketika berbalik ke pintu berttanda SBB, dia mengangkat kunci, tapi
merasa bimbang, tampak tidak nyaman membukanya. Langdon merasakan keraguan
serupa; dia tidak tahu apa yang ada di balik pintu ini, tapi cukup yakin bahwa
apa pun yang disembunyikan Solomon di bawah sini, dia pasti ingin tetap
menjaganya agar tetap privat. Sangat privat.
Sato berdeham, dan Anderson memahami maksudnya. Kepala polisi itu menghela napas
panjang, memasukkan kunci ke lubang dan mencoba memutarnya. Kunci tidak
bergerak. Sekejap Langdon berharap kuncinya keliru. Akan tetapi, pada percobaan
kedua kuncinya berputar, dan Anderson menarik pintu agar terbuka.
Ketika pintu tebal itu berderit membuka, udara lembap mengalir keluar memasuki
koridor. Langdon mengintip ke dalam kegelapan, tapi sama sekali tidak bisa melihat apa-
apa. "Profesor," ujar Anderson. Dia kembali menengok Langdon ketika meraba-raba dalam
gelap untuk mencari tombol lampu., "Untuk menjawab pertanyaanmu, huruf S dalam
SBB bukanlah singkatan dari Senat. Itu singkatan untuk sub."
"Sub?" tanya Langdon bingung.
Anderson mengangguk dan menyalakan tombol yang berada persis di belakang pintu.
Sebuah bola lampu tunggal menyinari rangkaian anak tangga sangat curam yang
menurun ke dalam kegelapan total, "SBB adalah sub-ruang bawah tanah
(subbasement) Capitol."
BAB 33 Spesialis keamanan sistem, Mark Zoubianis semakin tenggelam dalam kasur lipatnya
dan mengernyit melihat informasi pada layar laptop.
Alamat macam apa ini"
Sejumlah hacking tool terbaiknya benar-benar tidak efektif untuk membobol
dokumen atau mengungkapkan alamat IP misterius Trish. Sudah sepuluh menit
berlalu, dan program Zoubian-nya masih menggedor dengan sia-sia firewall
jaringan itu. Hanya tampak sedikit harapan untuk menembusnya. Tak heran mereka
membayarku lebih. Dia hendak melakukan retool dan mencoba pendekatan yang
berbeda ketika telepon berdering.
Trish, ya ampun, sudah kukatakan aku akan menelepon.
Dia mematikan volume pertandingan dan menjawab, "Ya?"
"Ini Mark Zoubianis?" tanya seorang lelaki. "Di 357
Kingston. Drive di Washington?"
Zoubianis bisa mendengar percakapan-percakapan teredam lainnya di latar
belakang. Seorang telemarketer di saat pertandingan final" Apa mereka sudah
gila" "Biar kutebak, aku mendapat hadiah liburan satu minggu di Anguilla?"
"Tidak," jawab suara itu, tanpa sedikit pun nada humor.
"Ini, sistem keamanan Central Intelligence Agency. Kami ingin tahu mengapa kau
mencoba menembus salah satu pangkalan data rahasia kami?"
Tiga tingkat di atas sub-ruang bawah tanah Gedung Capitol, di dalam ruang-ruang
luas terbuka pusat pengunjung, penjaga keamanan Nunez mengunci pintu-pintu masuk
utama seperti yang dilakukannya setiap malam pada jam seperti ini. Ketika
kembali melintasi lantai-lantai marmer yang luas, dia teringat kepada lelaki
bertato dan berjaket panjang tentara.
Aku membiarkannya masuk. Nunez bertanya-tanya apakah besok dia masih punya
pekerjaan. Ketika berjalan menuju eskalator, gedoran mendadak di pintu luar membuatnya
berbalik. Dia menyipitkan mata ke arah jalan masuk utama, dan melihat seorang
lelaki tua berkulit hitam di luar sedang menggedor-gedor kaca dengan telapak
tangan terbuka dan memberi isyarat agar diizinkan masuk.
Nunez menggeleng dan menunjuk arloji.
Lelaki itu kembali menggedor-gedor dan melangkah ke dalam cahaya. Dia berpakaian
rapi dalam setelan biru dan berambut kelabu cepak. Denyut nadi Nunez semakin
cepat. Astaga. Bahkan di kejauhan, dia kini mengenali siapa lelaki itu. Dia
bergegas kembali ke jalan masuk dan membuka pintu.
"Maaf, Pak. Silakan, silakan masuk."
Warren Bellamy - Arsitek Capitol - melangkah melintasi ambang pintu dan
berterima kasih kepada Nunez dengan mengangguk sopan. Bellamy gesit dan ramping,
dengan postur tegak dan pandangan menusuk yang dipancarkan seorang lelaki yang
memegang kendali penuh atas sekelilingnya. Selama dua puluh lima tahun terakhir,
Bellamy bertugas sebagai penyelia U.S. Capitol.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Nunez.
"Ya, terima kasih." Bellamy mengucapkan kata-katanya dengan tepat dan tegas.
Sebagai lulusan universitas ternama di timur laut, pemilihan kata-katanya sangat
tepat sehingga dia kedengarannya hampir seperti orang Inggris. " Aku baru saja
tahu kalau terjadi suatu insiden di sini malam ini." Dia tampak sangat khawatir.
"Ya, Pak. Itu-"
"Mana Chief Anderson?"
"Di bawah bersama Direktur Sato dari OS CIA." Mata Bellamy membelalak khawatir.
"CIA di sini?" "Ya, Pak. Direktur Sato tiba tak lama setelah insiden itu terjadi."
"Mengapa?" desak Bellamy.
Nunez mengangkat bahu. Memangnya aku berani bertanya"
Bellamy langsung berjalan menuju eskalator. "Di mana mereka?"
"Mereka baru saja pergi ke tingkat bawah tanah." Nunez gegas mengejarnya.
Bellamy melirik ke belakang dengan pandangan khawatir, "Ke bawah" Mengapa?"
"Saya benar-benar tidak tahu - saya hanya mendengar di radio."
Bellamy kini berjalan lebih cepat. "Bawa aku kepada mereka segera."
"Ya, Pak." Ketika kedua lelaki itu bergegas melintasi ruangan terbuka, Nunez melirik cincin
emas besar di jari tangan Bellamy.
Nunez mengeluarkan radio. "Akan saya beri tahu Chief kalau Anda turun.'"
"Tidak." Mata Bellamy berkilau menyeramkan. "Aku lebih suka datang tanpa
pemberitahuan." Nunez sudag melakukan beberapa kesalahan besar malam ini, tapi tidak memberi
tahu Chief Anderson bahwa Arsitek sudah berada di dalam gedung pasti akan
membuatnya dipecat. "Pak?" katanya dengan gelisah. "Saya rasa, Chief Anderson
akan lebih suka-" "Kau sadar kalau aku yang mempekerjakan Mr. Anderson"
tanya Bellamy. Nunez mengangguk. "Kalau begitu, kurasa dia akan lebih suka jika kau menuruti segala keinginanku."
BAB 34 Trish Dunne memasuki lobi SMSC dan mendongak terkejut. Tamu yang menunggu di
sini sama sekali tidak menyerupai kutu buku pada umumnya, yaitu para doktor
berjaket flanel yang memasuki gedung ini - ahli antropologi, oseanografi,
geologi, ilmu bidang-bidang ilmiah lainnya. Sebaliknya, Dr. Abaddon tampak
hampir aristokratis dalam setelan berjahitan rapi itu. Dia bertubuh tinggi
dengan dada bidang, wajah kecokelatan, dan rambut pirang yang disisir sempurna,
sehingga memberi Trish kesan bahwa lelaki itu lebih terbiasa dengan kemewahan
daripada laboratorium. "Dr. Abaddon, bukan?" sapa Trish, seraya mengulurkan tangan.
Lelaki itu tampak ragu, tapi menggenggam tangan montok Trish dengan telapak
tangannya yang besar. "Maaf. Dan Anda?"
"Trish Dunne," jawab Trish. "Saya asisten Katherine. Beliau meminta saya untuk
mendampingi Anda ke labnya."
"Oh, saya mengerti." Lelaki itu kini tersenyum. "Senang berjumpa dengan Anda,
Trish. Maaf jika saya tampak bingung. Saya mengira Katherine berada di sini
sendirian malam ini." Dia menunjuk ke lorong. "Tapi saya ikut saja dengan Anda.
Tunjukkan jalannya."
Walaupun rasa bingung lelaki itu menghilang dengan cepat, Trish sempat melihat
kilau kekecewaan di matanya. Kini Trish mencurigai motif kerahasiaan Katherine
tadi menyangkut Dr. Abaddon. Romansa yang sedang merekah, mungkin"
Katherine tidak pernah mendiskusikan kehidupan sosialnya, tapi tamunya ini
menarik dan rapi dan, walaupun lebih muda daripada Katherine, lelaki ini jelas
sama-sama berasal dari golongan kaya dan terpandang. Bagaimanapun, pasti dalam
bayangan Dr. Abaddon, tentang kunjungan malam ini, kehadiran Trish tidak
merupakan bagian dari rencananya.
Di pos pemeriksaan keamanan lobi, seorang penjaga cepat melepas headphone, dan
Trish bisa mendengar pertandingan Redskins membahana. Penjaga itu memproses Dr.
Abaddon melalui rutinitas pemeriksaan detektor logam dan pemberian lencana
kunjungan sementara. "Siapa yang menang?" tanya Dr. Abaddon ramah ketika mengeluarkan ponsel,
beberapa kunci, dan pemantik rokok dari saku-sakunya.
"Skins unggul tiga angka," jawab penjaga itu, yang kedengarannya bersemangat
untuk kembali mengikuti pertandingan. "Pertandingan hebat."
"Mr. Solomon akan segera tiba," ujar Trish kepada penjaga itu. "Begitu tiba,
minta beliau untuk langsung menuju lab."
"Baiklah." Penjaga itu berterima kasih dengan mengedip sebelah mata ketika
mereka lewat. "Terima kasih atas infonya. Aku akan pura-pura sibuk."
Komentar Trish bukan hanya demi kepentingan penjaga itu, melainkan juga untuk
mengingatkan Dr. Abaddon bahwa Trish bukan satu-satanya orang yang mengganggu
malam privatnya di sini bersama Katherine.
"Jadi, bagaimana Anda bisa mengenal Katherine?" tanya Trish, seraya mendongak
memandang tamu misteriusnya.
Dr. Abaddon tergelak. "Oh, ceritanya panjang. Kami mengerjakan sesuatu bersama-
sama." Paham, pikir Trish. Bukan urusanku.
"Ini fasilitas yang menakjubkan," ujar Dr. Abaddon, seraya memandang ke
sekeliling ketika mereka menyusuri koridor luar itu. "Sesungguhnya saya belum
pernah kemari." Nada ringan suaranya menjadi semakin ramah seiring setiap langkah, dan Trish
memperhatikan bahwa lelaki itu benar- benar mengamati segalanya. Dalam cahaya
lampu-lampu terang lorong Trish juga mengamati kulit wajah lelaki itu yang
tampak seperti palsu. Aneh. Walaupun begitu, ketika mereka menyusuri koridor-
koridor sepi, Trish menyampaikan ringkasan umum mengenai tujuan dan fungsi SMSC,
termasuk berbagai bangsal dan isinya.
Tamu itu tampak terkesan. "Kedengarannya seakan tempat ini punya harta karun
tersembunyi berupa artefak-artefak berharga. Tadinya saya menduga akan melihat
penjaga ditempatkan di mana-mana."
"Tidak perlu," ujar Trish, seraya menunjuk barisan lensa mata-mata yang
mendereti langit-langit tinggi di atas.
"Keamanan di sini otomatis. Setiap inci koridor direkam dua puluh empat jam
nonstop, jadi koridor ini merupakan tulang unggung fasilitas. Mustahil mengakses
ruangan mana pun dari koridor ini tanpa kartu-kunci dan nomor PIN."
"Penggunaan kamera yang efisien."
"Syukurlah kami belum pernah kecurian. Lagi pula, ini bukan jenis museum yang
akan dirampok oleh siapa pun - tidak banyak permintaan di pasar gelap akan
bunga-bungaan yang sudah punah, kayak-kayak Inuit, atau bangkai cumi-cumi
raksasa." Dr. Abaddon tergelak. "Saya rasa, Anda benar."
"Ancaman keamanan terbesar kami adalah hewan pengerat dan serangga." Trish
menjelaskan betapa bangunan itu mencegah serangan serangga dengan membekukan
semua sampah SMSC, dan juga melalui fitur arsitektural yang disebut "zona
kematian" - sebuah kompartemen hampa di antara dinding-dinding rangkap yang
mengelilingi seluruh bangunan seperti selubung.
"Luar biasa," kata Abaddon. "Jadi, di mana lab Katherine dan Peter?"
Bangsal 5," jawab Trish. "Lurus saja di ujung lorong ini." Abaddon mendadak
berhenti, berputar ke kanan, ke arah sebuah jendela kecil. "Astaga! Lihat itu!"
Trish tertawa. "Ya, itu Bangsal 3. Mereka menyebutnya Bangsal Basah."
"Basah?" tanya Abaddon dengan wajah ditekankan pada kaca.
"Ada sekitar tiga ribu galon etanol cair di dalam sana. Ini bangkai cumi-cumi
raksasa yang saya sebut tadi?"
"Itu cumi-cuminya?" Dr. Abaddon berpaling sejenak ke jendela dengan mata
terbelalak. "Besar sekali!"
"Architeuthis betina," ujar Trish. "Panjangnya lebih dari belas meter."
Dr. Abaddon, yang jelas terpesona melihat cumi-cumi tampaknya tidak mampu
mengalihkan pandangan dari kaca. Sejenak lelaki dewasa itu mengingatkan Trish
kepada bocah laki-laki cilik di jendela toko hewan - berharap bisa masuk dan
melihat anak anjing. Lima detik kemudian, lelaki itu masih menatap penuh harap
melalui jendela. "Oke, oke," kata Trish pada akhirnya, seraya tertawa ketika menyisipkan kartu-
kunci dan mengetikkan nomor PIN. Saya tunjukkan cumi-cuminya."
Ketika melangkah ke dalam dunia Bangsal 3 yang berpenerang suram, Mal'akh
meneliti dinding-dinding untuk mencari kamera keamanan. Asisten pendek gemuk
Katherine itu mulai mengoceh mengenai spesimen-spesimen di dalam ruangan ini.
Mal'akh mengabaikannya. Dia sama sekali tidak berminat pada cumi-cumi raksasa.
Satu-satunya minatnya adalah menggunakan ruangan gelap ini untuk memecahkan
masalah tak terduga. BAB 35 Tangga kayu yang menurun menuju sub-ruang bawah tanah Capitol terasa melampaui
curam dan pendeknya tangga mana pun yang pernah dijejaki Langdon. Napas lelaki
itu kini memburu, dan paru-parunya terasa sesak. Udara di bawah sini dingin dan
pengap, dan mau tidak mau Langdon teringat pada rangkaian tangga serupa yang
pernah dijejakinya beberapa tahun lalu untuk menuju Necropolis Vatikan. Kota
Orang- Orang Mati. Di depannya, Anderson menunjukkan jalan dengan senter. Di belakang Langdon, Sato
mengikuti di dekatnya, terkadang tangan mungilnya mendorong punggung Langdon.
Aku berjalan secepat mungkin. Langdon menghela napas panjang, berusaha
mengabaikan dinding-dinding sempit yang mengapitnya. Hampir tak ada ruang untuk
bahunya di tangga ini, dan tas kulitnya kini menggores-gores dinding.
"Mungkin seharusnya tasmu kau tinggalkan di atas," saran Sato di belakangnya.
"Aku baik-baik saja," jawab Langdon, yang tidak bermaksud melepaskan tas itu
dari pandangan. Dia membayangkan bungkusan kecil Peter, dan tidak bisa
membayangkan hubungan yang mungkin antara bungkusan itu dan semua yang ada di
sub-ruang bawah tanah U.S. Capitol ini.
"Hanya beberapa langkah lagi," ujar Anderson. "Hampir sampai."
Kelompok itu sudah turun ke dalam kegelapan, sudah berjalan melampaui jangkauan
cahaya bola lampu tunggal tangga.
Ketika meninggalkan anak tangga kayu terakhir, Langdon bisa merasakan lantai di
bawah kakinya berupa tanah. Perjalanan ke pusat Bumi. Sato melangkah turun di
belakangnya. Kini Anderson mengangkat senternya, meneliti keadaan sekeliling mereka. Sub-
ruang bawah tanah itu lebih menyerupai koridor ultrasempit yang memanjang tegak
lurus dari tangga. Anderson menyorotkan senter ke kiri, lalu ke kanan, dan
Langdon bisa melihat lorong yang panjangnya hanya sekitar lima belas meter dan
kedua sisinya didereti pintu-pintu kayu kecil. Pintu-pintu itu sangat berdekatan
satu sama lain, sehingga lebar ruang di balik pintu-pintu itu tidak mungkin
lebih dari tiga meter.
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gabungan antara Gudang ACME dan Makam Bawah Tanah Matilla, pikir Langdon ketika
Anderson meneliti cetak-biru. Bagan mungil yang menggambarkan sub-ruang bawah
tanah ditandai dengan X untuk menunjukkan lokasi SBB13. Mau tidak mau Langdon
memperhatikan tata letaknya yang identik dengan mausoleum empat belas makam -
tujuh ruangan menghadap tujuh ruangan - dengan satu ruangan dipakai untuk
meletakkan tangga yang baru saja mereka jejaki. Semuanya tiga belas.
Dia curiga para pendukung teori konspirasi "tiga belas" Amerika akan bersorak-
sorai seandainya mengetahui adanya tiga belas ruang penyimpanan yang terkubur di
bawah U.S. Capitol. Beberapa orang menganggap Lambang Negara Amerika Serikat mencurigakan karena
mempunyai tiga belas bintang, tiga belas anak panah, tiga belas anak tangga
piramida, tiga belas garis perisai, tiga belas daun zaitun, tiga belas zaitun,
tiga belas huruf dalam annuit coeptis, tiga belas huruf dalam e pluribus unum,
dan seterusnya. "Memang tampak telantar," ujar Anderson, seraya menyoroti kan senter ke dalam
bilik yang berada persis di depan mereka. Pintu kayu tebal itu terbuka lebar.
Sorot cahaya senter menerangi bilik batu sempit-lebar sekitar 3 meter dan
panjang sekitar 9 meter - seperti lorong buntu yang tidak menuju ke mana-mana.
Biliknya tidak berisi apa pun, kecuali beberapa kotak kayu bobrok tua dan
beberapa kertas pembungkus kusut.
Anderson menyorotkan senter pada lempeng tembaga yang di pasang pada pintu.
Lempeng itu tertutup lumut, tapi tulisannya masih bisa terbaca:
SBB IV "SBB 4," kata Anderson.
"Yang mana SBB 13?" tanya Sato. Segumpal tipis uap keluar dari mulutnya dalam
udara bawah tanah yang dingin.
Anderson mengalihkan cahaya senter ke ujung selatan koridor. "Di sana."
Langdon mengintip ke dalam lorong sempit itu dan menggigil, merasakan keluarnya
sedikit keringat walaupun udara dingin.
Ketika mereka berjalan melewati sekelompok ambang pintu, semua ruangan tampak
sama, pintu-pintunya terbuka, tampaknya sudah ditelantarkan lama sekali. Ketika
mereka mencapai ujung barisan, Anderson berbalik ke kanan, mengangkat senter
untuk mengintip ke dalam ruang SBB13. Akan tetapi, cahaya senter terhalang oleh
pintu kayu tebal. Tidak seperti ruangan-ruangan lainnya, pintu menuju SBB13
tertutup. Pintu terakhir ini tampak persis seperti pintu-pintu lainnya - berengsel tebal,
berpegangan besi, dan memiliki lempeng nomor dari tembaga berlapis lumut. Tujuh
karakter pada lempeng nomornya sama dengan yang tertera pada telapak tangan
Peter di atas sana. SBB XIII Semoga pintunya terkunci, pikir Langdon.
Sato bicara tanpa ragu, "Coba buka pintunya."
Kepala polisi itu tampak merasa tidak nyaman, tapi dia mengulurkan tangan,
meraih pegangan besi tebal itu, dan menekan ke bawah. Pegangannya tidak
bergerak. Kini dia menyorotkan senter, menerangi sebuah lempeng kunci tebal kuno
dan sebuah lubang kunci. "Coba kunci masternya," saran Sato.
Anderson mengeluarkan kunci utama yang berasal dari pintu masuk di atas, tapi
kunci itu bahkan tidak pas.
"Akukah yang keliru," ujar Sato dengan nada sarkastis, "ataukah seharusnya
Keamanan punya akses untuk setiap pintu gedung, kalau-kalau terjadi keadaan
darurat?" Anderson mengembuskan napas dan berbalik memandang Sato. "Maam, orang-orangku
sedang mencari kunci kedua, tapi-"
"Tembak saja," sela Sato, seraya mengangguk menunjuk lempeng kunci di bawah
pegangan pintu. Denyut nadi Langdon melonjak.
Anderson berdeham, kedengaran tidak nyaman. "Ma'am, aku menunggu kabar mengenai
kunci kedua. Aku ragu, apakah aku akan merasa nyaman meledakkan kunci untuk
masuk -' "Mungkin kau akan merasa lebih nyaman di penjara, karena menghalangi
penyelidikan CIA." Anderson tampak ragu-ragu. Setelah beberapa saat, dengan enggan dia menyerahkan
senter kepada Sato dan membuka sarung pistolnya.
"Tunggu!" teriak Langdon, tak sanggup lagi berdiam diri, "Pikirkan dulu. Peter
lebih memilih untuk menyerahkan tangan kanan daripada mengungkapkan apa pun yang
mungkin ada di balik pintu ini. Kau yakin kita ingin melakukannya" Membuka pintu
ini pada dasarnya mematuhi tuntutan teroris."
"Kau ingin mendapatkan Peter Solomon kembali?" tanya Santo.
"Tentu saja, tapi-"
"Kalau begitu, kusarankan agar kaumelakukan persis seperti yang diminta oleh
penculiknya." "Membuka portal kuno" Kau pikir, ini portalnya?"
Sato menyorotkan senter ke wajah Langdon. "Profesor, aku tidak tahu apa gerangan
ini. Tak peduli unit penyimpanan atau jalan masuk rahasia menuju piramida kuno,
aku berniat membukanya. Apa sudah jelas?"
Langdon menyipitkan mata dalam cahaya senter dan akhirnya menganggungk.
Sato merendahkan senter dan mengarahkannya kembali pada lempeng kunci antik
pintu. "Chief" Ayo."
Dengan masih tampak menentang rencana itu, Anderson mengangkat pistol sangat
perlahan-lahan, seraya menunduk memandangi benda itu dengan ragu.
" Ya ampun!" Kedua tangan mungil Sato teracung, dan dia meraih senjata itu dari
Anderson. Diletakkannya senter ke dalam telapak tangan Andersonyang kini kosong.
"Sorotkan senternya." Dia menangani pistol itu dengan kepercayaan diri seseorang
yang sudah terlatih dengan senjata, langsung menarik pengaman pistol, mengokang,
dan mengarahkannya pada kunci.
"Tunggu!" teriak Langdon. Tapi dia terlambat. Pistol menyalak tiga kali.
Gendang telinga Langdon terasa seakan meledak. Apa dia gila"! Tembakan-tembakan
di ruangan mungil itu memekakkan telinga.
Anderson juga tampak terguncang, tangannya sedikit gemetar ketika menyorotkan
senter ke pintu yang dilubangi peluru itu.
Mekanisme kuncinya kini berantakan, kayu yang mengelilinginya benar-benar
hancur. Kuncinya terlepas, pintunya kini terbuka.
Sato mengulurkan pistol dan menekankan moncongnya pada pintu, lalu mendorongnya.
Pintunya membuka penuh ke dalam kegelapan di baliknya.
Langdon mengintip ke dalam, tapi tidak bisa melihat apa- apa dalam kegelapan.
Astaga, bau apa ini" Bau busuk yang tidak biasa berembus keluar dari kegelapan.
Anderson melangkah melintasi ambang pintu dan menyorotkan senter ke lantai,
mengarahkannya perlahan- lahan di sepanjang lantai tanah kosong itu. Ruangan ini
sama seperti yang lainnya - ruang sempit panjang. Dinding- dindingnya terbuat
dari batu kasar, memberi kesan sel penjara kuno pada ruangan itu. Tapi baunya...
"Tidak ada apa-apa di sini," ujar Anderson, seraya menyorotkan senter semakin
jauh ke lantai bilik. Akhirnya, ketika cahaya mencapai ujung lantai, dia
mengangkat senter untuk menerangi dinding terjauh bilik.
"Astaga... !" teriak Anderson.
Semua orang melihatnya dan terlompat ke belakang.
Langdon menatap ceruk terdalam bilik dengan tidak percaya.
Yang membuatnya ngeri, sesuatu membalas tatapannya!
BAB 36 "Apa gerangan... ?" Di ambang SBB13, Anderson gugup memegangi senter dan mundur
satu langkah. Langdon juga terenyak, begitu juga Sato, yang tampak terkejut untuk pertama
kalinya sepanjang malam ini.
Soto mengarahkan pistol pada dinding belakang dan mengisyaratkan Anderson untuk
kembali menyorotkan senter. Anderson mengangkat senter. Cahayanya hanya remang-
remang ketika mencapai dinding yang jauh, tapi cukup untuk menerangi sebentuk
wajah pucat bagaikan hantu yang membalas tatapan mereka dengan rongga mata tak
bernyawa. Tengkorak manusia. Tengkorak itu tergeletak di atas meja kayu reyot yang diposisikan menempel pada
dinding-belakang bilik. Dua tulang kaki manusia tergeletak di samping tengkorak,
bersama-sama dengan sekumpulan benda lainnya yang diatur cermat di atas meja
bagaikan di dalam kuil - sebuah jam pasir antik, sebuah botol minum kristal,
sebatang lilin, dua cawan berisi bubuk pucat, dan selembar kertas. Tersandar
pada dinding di samping meja, sebentuk sabit panjang mengerikan tampak berdiri
tegak, bilah melengkungnya sama seperti milik malaikat pencabut nyawa.
Sato melangkah ke dalam ruangan. "Wah, ... tampaknya Peter Solomon menyimpan
lebih banyak rahasia daripada yang kubayangkan."
Anderson mengangguk, beringsut mendekat. "Benar-benar rahasia mengerikan." Dia
mengangkat senter dan meneliti seluruh bilik kosong itu. "Dan bau itu?" imbuh-
nya, seraya mengernyitkan hidung. "Apa itu?"
"Sulfur," jawab Langdon datar di belakang mereka.
"Seharusnya ada dua cawan di meja. Cawan di sebelah kanan berisi garam. Dan yang
satunya berisi sulfur."
Sato membalikkan badan dengan tidak percaya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena, Ma'am, ada ruangan-ruangan yang persis seperti ini di seluruh dunia."
Satu tingkat di atas sub-ruang bawah tanah, penjaga keamanan Capitol, Nunez
mendampingi Arsitek Capitol, Warren Bella menyusuri lorong yang memanjang di
ruang bawah tanah bagian timur. Nunez berani bersumpah dia baru saja mendengar
tembakan di bawah sini, teredam dan berasal dari bawah tanah. Mustahil.
"Pintu sub-ruang bawah tanah terbuka," ujar Bellamy, seraya menyipitkan mata
memandang pintu terbuka di ujung lorong di kejauhan.
Benar-benar malam yang aneh, pikir Nunez. Tak seorang pun pernah ke bawah sini.
"Dengan senang hati, saya akan mencari tahu apa yang terjadi," katanya, seraya
meraih radio. "Pergilah ke pos jagamu," ujar Bellamy. "Aku akan baik-baik mulai dari sini."
Nunez beringsut dengan tidak nyaman. "Anda yakin?" Warren Bellamy berhenti, lalu
meletakkan tangan dengan tegas di bahu Nunez. "Nak, aku sudah bekerja di sini
selama dua puluh lima tahun. Kurasa, aku bisa menemukan jalanku sendiri."
BAB 37 Mal'akh pernah melihat beberapa ruangan mengerikan dalam hidupnya, tapi hanya
sedikit yang menyaingi dunia aneh Bangsal ini - Bangsal Basah. Ruangan besar itu
tampak seakan seorang ilmuwan baru saja menguasai supermarket Walmart dan
memenuhi lorong-lorong dan raknya dengan botol spesimen berbagai bentuk dan
ukuran. Berpenerangan seperti kamar gelap fotografi, ruangan itu bermandikan
kabut kemerahan "safelight" yang memancar dari balik rak-rak, menembus ke atas
dan menerangi wadah-wadah berisi etanol. Bau klinik zat-zat kimia pengawet
memualkannya. "Bangsal ini menampung lebih dari dua puluh ribu spesies," kata gadis montok
itu. "Ikan, hewan pengerat, mamalia, reptil."
"Semuanya mati, saya harap?" tanya Mal'akh, seraya berpura-pura terdengar
gelisah. Gadis itu tertawa, "Ya, ya. Semuanya benar-benar sudah mati. Harus saya akui,
saya tidak berani masuk selama setidaknya enam bulan sejak mulai bekerja di
sini." Mal'akh paham mengapa. Ke mana pun mata memandang, tampak botol-botol spesimen
berisi mayat - salamander, ubur- ubur, tikus, serangga, burung, dan lain-lain
yang tidak bisa dikenalinya. Seakan koleksi ini belum cukup menggelisahkan,
safelight kabut merah - yang melindungi spesimen-spesimen sensitif-cahaya ini
dari paparan cahaya jangka-panjang - memberikan kesan kepada pengunjung bahwa
mereka sedang berdiri di dalam sebuah akuarium raksasa. Di dalamnya, makhluk-
makhluk tak bernyawa seakan berkumpul menyaksikan dari bayang-bayang.
"Itu coelacanth," ujar gadis itu, seraya menunjuk wadah Plexiglas besar berisi
ikan terjelek yang pernah dilihat Mal'akh.
"Mereka dianggap sudah punah bersama-sama dengan dinosaurus, tapi ini ditangkap
di luar Afrika beberapa tahun lalu disumbangkan ke Smithsonian."
Baguslah, pikir Mal'akh yang nyaris tidak mendengarkan. Dia sibuk meneliti
dinding-dinding, mencari kamera keamanan. Dia hanya melihat satu - diarahkan ke
pintu masuk. Tidak mengejutkan, mengingat pintu itu mungkin satu-satunya jalan
untuk masuk. "Dan inilah yang ingin Anda lihat...," kata gadis itu, seraya menuntun Mal'akh
ke tangki raksasa yang tadi dilihatnya di jendela. "Spesimen terpanjang kami."
Dia membentangkan lensa di atas makhluk jelek itu, bagaikan seorang pembawa
acara permainan menunjukkan sebuah mobil baru.
"Architeuthis."
Tangki cumi-cumi itu tampak seperti serangkaian bilik telepon dari kaca yang
diletakkan terguling dan disatukan dari ujung ke ujung. Di dalam peti mati
Plexiglas bening panjang itu, sebuah sosok yang sangat pucat dan tak berbentuk
melayang-layang. Mal'akh memandang kepala bulat besar makhluk itu yang seperti
karung dan matanya yang seukuran bola basket. "Nyaris membuat coelacanth
kelihatan tampan," katanya.
"Tunggu sampai Anda melihatnya dalam sorotan cahaya." Trish membuka tutup
panjang tangki. Asap etanol berembus keluar ketika dia merogoh ke dalam tangki
dan menyalakan sebuah tombol persis di atas permukaan cairan. Serangkaian cahaya
fluoresens berpendar menyala di sepanjang bagian dasar tanki, Architeuthis kini
bersinar dalam segala kejayaannya - kepala mahabesar yang melekat pada massa
licin berupa tentakel-tentatakel busuk dan pengisap- pengisap setajam silet.
Trish mulai bicara betapa Architeuthis bisa mengalahkan ikan paus bungkuk dalam
pertarungan. Mal'akh hanya mendengar ocehan kosong. Saatnya sudah tiba.
Trish Dunne selalu merasa sedikit tidak nyaman dalam Bangsal 3, tetapi rasa
dingin yang baru saja menjalari tubuhnya terasa lain.
Terasa kuat. Mendesak. Dia berusaha mengabaikannya, tapi perasaan itu kini berkembang dengan cepat,
mencabik dalam-dalam tubuhnya. Walaupun dia tak bisa menemukan sumber
kegelisahan itu, perasaannya jelas mengatakan bahwa sudah saatnya untuk pergi.
"Nah, itu cumi-cuminya," katanya, seraya merogoh ke dalam tangki dan mematikan
lampu peraga. "Sebaiknya kita kembali menuju lab Katherine-"
Sebuah telapak tangan besar membekap mulut Trish kuat- kuat, menarik kepalanya
ke belakang. Kemudian, sebuah lengan kuat membelit dadanya, mendekapnya pada
dada sekeras-batu. Sejenak Trish terpaku dalam keterkejutan.
Lalu muncul ketakutan itu.
Lelaki itu meraih kartu-kunci Trish dan menariknya keras- keras. Talinya
membakar bagian belakang leher Trish, lalu putus. Kartu-kunci itu jatuh ke
lantai di dekat kaki mereka. Trish melawan, berusaha memutar tubuh, tapi dia
bukan tandingan bagi kuran tubuh dan kekuatan lelaki itu. Dia mencoba berteriak,
tapi tangan lelaki itu tetap membekap mulutnya erat-erat. Lelaki itu membungkuk
dan meletakkan bibirnya di dekat telinga Trish, berbisik, "Kalau aku melepaskan
tangan dari mulutmu, kau tidak akan berteriak. Mengerti?"
Trish mengangguk kuat-kuat, paru-parunya serasa terbakar mencari udara. Aku
tidak bisa bernapas! Lelaki itu melepaskan tangan dari mulut Trish, dan gadis itu terkesiap, menghela
napas dalam-dalam. "Lepaskan aku!" desak Trish, kehabisan napas. "Apa yang kau lakukan?"
"Sebutkan nomor PIN-mu," kata lelaki itu.
Trish benar-benar kebingungan. Katherine! Tolong! Siapa lelaki ini"! "Petugas
keamanan bisa melihatmu!" katanya, walaupun dia tahu sekali kalau mereka berada
di luar jangkauan kamera. Lagi pula, tak seorang pun mengawasi kamera-kamera
itu. "Nomor PIN-mu," ulang lelaki itu. "Yang cocok dengan kartu-kuncimu."
Ketakutan sedingin es mengocok perut Trish, dan dia berbalik dengan kasar,
menggeliat-geliat membebaskan sebelah lengan dan berputar, mencakar mata lelaki
itu. Jari- jarinya mengenai kulit dan mencakar sebelah pipi. Empat luka gelap
memanjang terbentuk di kulit lelaki itu, di tempat Trish mencakarnya. Dan dia
menyadari bahwa garis-garis gelap di pipi lelaki itu bukanlah darah. Lelaki itu
mengenakan make-up yang baru saja dicakar olehnya, mengungkapkan tato-tato gelap
yang tersembunyi di baliknya.
Siapa monster ini"! Dengan kekuatan yang seolah milik manusia-super, lelaki itu memutar Trish dan
mengangkatnya, mendorongnya ke arah tangki cumi-cumi yang terbuka. Wajah Trish
kini berada di atas etanol. Asapnya membakar lubang hidung.
"Sebutkan nomor PIN-mu!" ulang lelaki itu.
Mata Trish terbakar, dan dia bisa melihat kulit pucat cumi- cumi itu terendam di
bawah wajahnya. "Katakan," ujar lelaki itu, seraya mendorong wajah Trish lebih dekat ke
permukaan. "Berapa?"
Tenggorokan Trish kini terbakar. "Nol-delapan-nol-empat," teriaknya, nyaris
tidak bisa bernapas. "Lepaskan aku! Nol- delapan-nol-empat!"
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika kau berbohong," kata lelaki itu, seraya mendorong lebih jauh. Kini rambut
Trish berada di dalam etanol.
"Aku tidak berbohong!" ujar Trish, terbatuk-batuk. "Empat Agustus! Ulang
tahunku!" "Terima kasih, Trish."
Kedua tangan kuat lelaki itu mencengkeram kepala Trish semakin erat, dan tenaga
yang meeremukkan mendorong gadis itu ke bawah, mencemplungkan wajahnya ke dalam
tangki. Rasa panas membakar matanya. Lelaki itu mendorong lebih keras,
memasukkan seluruh kepalanya ke dalam etanol. Trish merasakan wajahnya menekan
kepala gemuk cumi-cumi itu.
Dengan mengumpulkan segenap kekuatan, dia melawan sekuat tenaga, mengangkat
tubuh ke belakang, mencoba menarik kepalanya keluar dari tangki. Tapi, kedua
tangan kuat itu bergeming.
Aku harus bernapas! Trish tetap terendam, berusaha keras untuk tidak membuka membuka mulut. Paru-
parunya serasa terbakar ketika dia memerangi desakan kuat untuk menarik napas.
Tidak! Jangan! Tapi, refleks bernapas gadis itu akhirnya mengambil alih.
Mulutnya membuka, dan paru-parunya mengembang hebat, berusaha menyedot oksigen
yang didambakan tubuhnya. Lewat aliran yang membakar, gelombang etanol memenuhi
mulutnya. Ketika zat kimia itu mengaliri tenggorokan menuju paru-pa- runya, Trish
merasakan rasa sakit yang belum pernah dia bayangkan. Untunglah, rasa sakit itu
hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum dunianya berubah hitam.
Mal'akh berdiri di samping tangki, menenangkan napas dan meneliti kerusakan yang
ditimbulkannya. Perempuan tak bernyawa itu terbaring lunglai di pinggir tangki,
wajahnya masih terbenam dalam etanol. Melihatnya di sana, Mal'akh teringat
kepada satu-satunya perempuan lain yang pernah dibunuhnya.
Isabel Solomon. Dulu sekali. Dalam kehidupan lain.
Kini Mal'akh memandangi mayat lembek perempuan itu. Dia meraih pinggul gemuk
Trish dan mengangkatnya dengan kaki, mengangkat tubuh itu ke atas, mendorongnya
ke depan, sampai perempuan itu mulai meluncur dari pinggiran tangki cumi-cumi.
Trish Dunne menggelincir dengan kepala terlebih dahulu ke dalam etanol. Seluruh
tubuhnya mengikuti, tercemplung ke dalam. Perlahan-lahan riak-riak air
menghilang, meninggalkan perempuan itu melayang-layang lunglai di atas makhluk
laut rajsasa. Ketika pakaian Trish semakin berat, dia mulai tenggelam,
menyelinap ke dalam kegelapan. Sedikit demi sedikit tubuhTrish Dunne tergeletak
di atas makhluk raksasa itu.
Mal'akh mengusap kedua tangannya dan meletakkan kembali tutup Plexiglas, menutup
tangki. Bangsal Basah punya spesimen baru.
Mal'akh mengambil kartu-kunci Trish dari lantai dan, menyelipkannya ke dalam
saku: 0804. Ketika pertama kalinya melihat Trish di lobi, Mal'akh menganggapnya sebagai
sebuah rintangan. Lalu dia menyadari bahwa kartu-kunci dan nomor PIN gadis itu
adalah jaminannya. Walau ruang penyimpanan-data Katherine seaman seperti yang
dikatakan Peter, Mal'akh menduga bakal ada kesulitan untuk membujuk Katherine
untuk membukakannya. Sekarang aku punya kunci sendiri. Dia senang, mengetahui
bahwa dia tak lagi perlu menghabiskan waktu untuk membujuk Katherine.
Ketika Mal'akh berdiri tegak, dia melihat pantulan dirinya sendiri di jendela
dan bisa tahu bahwa make-up-nya rusak parah. Tak penting lagi. Saat Katherine
menyadari rahasianya, segalanya akan sudah terlambat.
BAB 38 "Ini ruangan Mason?" desak Sato, seraya berbalik dari tengkorak itu dan menatap
Langdon dalam kegelapan. Langdon mengangguk tenang. "Di sebut Bilik Perenungan. Ruangan-ruangan ini
dirancang untuk memiliki suasana dingin dan sederhana, tempat anggota Mason bisa
merenungkan kefanaannya. Dengan bermeditasi mengenai kematian yang tak
terhindarkan, seorang anggota Mason memperoleh perspektif yang berharga mengenai
hakikat kehidupan yang tak abadi."
Sato memandang ke sekeliling ruang mengerikan itu, tampaknya tidak merasa yakin.
"Ini semacam ruang meditasi?"
"Pada dasarnya, ya. Bilik-bilik itu selalu menggabungkan simbol-simbol yang sama
- tengkorak dan tulang-tulang yang bersilangan, sabit, jam pasir, sulfur, garam,
kertas kosong sebatang lilin, dan sebagainya. Simbol-simbol kematian
menginspirasi kaum Mason untuk merenungkan bagamiana sebaiknya menjalani
kehidupan saat masih berada di dunia."
"Tampaknya seperti altar kematian," ujar Anderson.
Semacam itulah tujuannya. "Sebagian besar mahasiswa simbologi punya reaksi yang
sama pada awalnya." Langdon sering menugaskan mereka untuk membaca Symbols of
Freemasonry karya Beresniak yang berisikan foto-foto indah Bilik Perenungan.
"Dan para mahasiswamu," desak Sato, "tidak merasa gamang melihat kaum Mason
bermeditasi dengan tengkorak dan sabit?"
"Tidak lebih menggamangkan daripada umat Kristen yang berdoa di kaki seorang
lelaki yang dipakukan pada salib, atau kaum Hindu yang merapal di depan gajah
berlengan-empat yang disebut Ganesha. Salah paham terhadap simbol-simbol sebuah
budayaan merupakan akar prasangka yang umum."
Sato berbalik, tampaknya sedang tidak ingin diceramahi. Dia berjalan menuju meja
artefak. Anderson berusaha menerangi jalan, tapi sorot cahaya senternya mulai
meredup. Dia mengeser bagian belakang senter untuk membuatnya bersinar sedikit
lebih terang. Mereka bertiga semakin dalam memasuki ruangan sempit. Dan bau tajam sulfur
memenuhi lubang hidung Langdon. Sub- ruang bawah tanah itu lembap, dan
kelembapan di udara mengaktifkan sulfur di dalam mangkuk. Sato tiba di meja dan
menunduk menatap tengkorak dan benda-benda yang menyertainya. Anderson bergabung
bersamanya, berusaha semampunya untuk menyinari meja dengan sorot lemah senter.
Sato meneliti semua benda yang ada di atas meja, lalu meletakkan kedua tangan di
pinggang, mendesah. "Sampah macam apa ini?"
Langdon tahu, artefak-artefak di dalam ruangan ini dipilih dan diatur dengan
cermat. "Simbol-simbol transformasi," jelasnya kepada Sato. Langdon merasa
terkungkung ketika beringsut maju dan bergabung bersama mereka di meja.
"Tengkorak atau caput mortuue merepresentasikan transformasi akhir manusia
melalui pembusukan; itu peringatan bahwa kita semua akan melepaskan daging fana
kita suatu hari nanti. Sulfur dan garam merupakan katalisator alkimia yang
memudahkan transformasi. Jam pasir merepresentasikan kekuatan waktu untuk
mentransformasikan." Dia menunjuk lilin yang tidak dinyalakan. "Dan lilin ini
merepresentasikan api primordial perkembangan dan kebangkitan manusia dari
ketidaktahuan - transformasi melalui penerangan."
"Dan... itu?" tanya Sato, seraya menunjuk ke pojok.
Anderson mengayunkan senter redupnya ke sabit raksasa yang bersandar pada
dinding belakang. "Bukan simbol kematian seperti yang diasumsikan banyak orang," jelas Langdon.
"Sabit sesungguhnya simbol makanan bergizi transformatif dari alam - pemanenan
hadiah-hadiah dari alam."
Sato dan Anderson terdiam, tampaknya berusaha mencerna keadaan sekeliling mereka
yang aneh. Langdon ingin sekali keluar dari tempat itu. "Kusadari bahwa ruangan ini mungkin
tampak tidak biasa," ujarnya kepada mereka, "tapi tidak ada yang luar biasa di
sini; ini benar-benar normal. Banyak rumah perkumpulan Mason yang punya bilik-
bilik persis seperti ini."
"Tapi ini bukan rumah perkumpulan Mason!" jelas Anderson. Ini U.S. Capitol, dan
aku ingin tahu mengapa ruangan ini ada di dalam gedungku."
"Terkadang kaum Mason membuat ruangan seperti ini di kantor atau rumah mereka
sebagai ruang meditasi. Ini sudah biasa." Langdon mengenal seorang ahli bedah
jantung di Boston yang mengubah sebuah lemari di kantornya menjadi Bilik
Permenungan Mason, sehingga dia bisa merenungkan kefanaan kehidupan sebelum
melakukan pembedahan. Sato tampak cemas. "Kau bilang Peter Solomon pergi ke bawah sini untuk
merenungkan kematian?"
"Aku benar-benar tidak tahu," jawab Langdon jujur.
"Mungkin dia menciptakannya sebagai tempat perenungan bagi saudara-saudara
Masonnya yang bekerja di gedung ini, memberi mereka tempat perlindungan
spiritual yang jauh dari kekacauan dunia material... sebuah tempat bagi para
pembuat undang-undang yang berkuasa untuk merenung, sebelum membuat keputusan-
keputusan yang memengaruhi sesamanya."
"Sentimen yang indah," ujar Sato dengan nada sarkastis, "tapi aku punya perasaan
bahwa rakyat Amerika mungkin keberatan jika para pemimpin mereka berdoa di dalam
lemari bersama sabit dan tengkorak."
Yah, seharusnya mereka tidak keberatan, pikir Langdon, membayangkan betapa
berbeda dunia seandainya ada lebih banyak pemimpin yang meluangkan waktu untuk
merenungkan kematian sebelum berderap menuju peperangan.
Sato mengerutkan bibir dan meneliti dengan cermat keempat pojok bilik yang
diterangi lilin itu. "Mestinya ada sesuatu di sini, selain tulang-tulang manusia
dan mangkuk- mangkuk bahan kimia Profesor. Seseorang mengangkutmu jauh-jauh dari
rumahmu di Cambridge untuk berada di ruangan ini."
Langdon mencengkeram tas bahunya di samping tubuh; ia masih tidak mampu
membayangkan bagaimana bungkusan yang dibawanya bisa berhubungan dengan bilik
ini. "Ma'am, maaf aku tidak melihat sesuatu pun yang luar biasa di sini." L
berharap setidaknya mereka kini bisa berkonsentrasi mencari Peter.
Senter Anderson kembali meredup, dan Sato berbalik menghadapnya,
ketidaksabarannya mulai tampak. "Demi Tuhan, terlalu banyakkah permintaanku?"
Dia memasukkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan pemantik rokok. Dengan
menekan jempolnya pada pemantik, dia menyulut api dan menyalakan lilin satu-
satunya di meja. Sumbu lilin itu berpendar-pendar, lalu menyala, menyebarkan
cahaya pucat ke seluruh ruangan kecil Bayang-bayang panjang menghiasi dinding-
dinding batu. Ketika api menjadi semakin terang, pemandangan yang tak terduga
muncul di hadapan mereka.
"Lihat!" pekik Anderson seraya menunjuk.
Dalam cahaya lilin, mereka kini bisa melihat petak-petak graffiti pudar-tujuh
huruf besar yang dicoretkan pada dinding belakang.
VITRIOL "Pilihan kata yang aneh," ujar Sato, ketika cahaya lilin memproyeksikan siluet
mengerikan berbentuk tengkorak di atas huruf-huruf itu.
"Sesungguhnya itu singkatan," jelas Langdon. "Ditulis pada dinding belakang
sebagian besar bilik seperti ini sebagai singkatan mantra meditatif Mason:
Visita interiora terrae, rectificando invenien occultum lapidem."
Sato mengamati Langdon, tampak nyaris terkesan.
"Artinya?" "Kunjungi bagian-dalam bumi, dan melalui perbaikan, kau akan menemukan batu
tersembunyi." Pandangan Sato menajam. "Apakahbatu tersembunyi itu ada hubungannya dengan
piramida tersembunyi?"
Langdon mengangkat bahu, tidak ingin menyemangati perbandingan itu.
Mereka yang suka berkhayal soal piramida tersembunyi di Washington akan
mengatakan bahwa occultum lapidem mengacu pada piramida batu. Ya. Yang lain akan
mengatakan bahwa istilah itu mengacu pada Batu Bertuah-substansi yang dipercaya
para alkemis bisa mendatangkan kehidupan abadi atau mengubah timah menjadi emas.
Yang lain menyatakan bahwa istilah itu mengacu pada 'Yang Tersuci dari Yang
Suci', sebuah bilik batu tersembunyi di perut Kuil Agung. Beberapa mengatakan,
istilah itu merupakan pengacuan Kristen pada ajaran-ajaran tersembunyi Santo
Petrus - sang Batu Karang. Setiap tradisi esoteris menginterpretasikan 'batu'
dengan caranya sendiri, tapi occultum lapidem selalu merupakan sumber kekuatan
dan pencerahan." Anderson berdeham. "Mungkinkah Solomon berbohong kepada lelaki ini" Mungkinkah
dia menceritakan ada sesuatu di bawah sini... yang sesungguhnya tidak ada?"
Langdon juga punya pikiran yang serupa.
Tanpa disertai peringatan, api lilin berpendar-pendar, seakan terkena aliran
udara. Lilin itu meredup sejenak, lalu pulih, menyala terang kembali.
"Itu aneh," ujar Anderson. "Kuharap, tak seorang pun menutup pintu di atas." Dia
berjalan keluar dari bilik, memasuki kegelapan lorong. "Halo?"
Langdon nyaris tidak memperhatikan kepergian Anderson. Pandangannya mendadak
tertuju pada dinding belakang.
Apa yang baru saja terjadi"
"Kau melihatnya?" tanya Sato, yang juga menatap dinding dengan khawatir.
Langdon mengangguk, denyut nadinya semakin cepat. Apa yang baru saja kulihat"
Sedetik yang lalu, dinding belakang itu tampak berkilat, seakan riak energi baru
saja melewatinya. Kini Anderson berjalan kembali memasuki ruangan. "Tak ada seorang pun di luar
sana." Ketika dia masuk, dinding itu kembali berkilau. "Astaga!" teriaknya,
seraya melompat mundur. Ketiganya berdiri membisu untuk waktu yang lama, semua menatap dinding belakang.
Langdon merasakan rasa dingin itu menjalari tubuhnya ketika menyadari apa yang
sedang mereka, lihat. Dia mengulurkan tangan dengan ragu, sampai ujung-ujung,
jarinya menyentuh permukaan belakang bilik.
"Bukan dinding." katanya.
Anderson dan Sato melangkah lebih dekat, mengintip dengan serius.
"Itu kanvas," kata Langdon.
"Tapi berkibar-kibar," ujar Sato cepat.
Ya, dengan cara yang sangat aneh. Langdon meneliti permukaan kanvas dengan lebih
cermat. Kilau pada kanvas membiaskan cahaya lilin dengan cara yang mengejutkan,
karena kanvas baru saja berkibar menjauhi ruangan... bergerak-gerak ke belakang,
melewati bidang dinding belakang.
Dengan sangat perlahan-lahan, Langdon memanjangkan jari-jari tangannya yang
teruulur, menekan kanvas itu ke belakang.
Dengan terkejut, dia menarik tangannya kembali. Ada lubang!
"Tarik ke pinggir," perintah Sato.
Kini jantung Langdon berdentam-dentam liar. Dia mengulurkan tangan dan
mencengkeram pinggiran kain kanvas itu, lalu perlahan-lahan menariknya ke satu
sisi. Dia menatap dengan ridak percaya pada apa yang tersembunyi di belakang
kanvas. Astaga. Sato dan Anderson berdiri terpaku dalam keheningan ketika memandang lewat lubang
pada dinding belakang. Akhirnya, Sato bicara. "Tampaknya kita baru saja menemukan piramida kita."
BAB 39 Robert Langdon menatap lubang pada dinding belakang bilik. Sebuah bentuk persegi
empat sempurna melubangi dinding belakang bilik, tersembunyi di balik kain
kanvas. Lubang itu, yang berukuran melintang kira-kira sembilan puluh
sentimeter, tampaknya dibuat dengan melepaskan serangkaian batu bata. Sejenak,
dalam kegelapan, Langdon mengira lubang itu adalah jendela menuju ruangan di
baliknya. Kini dia menyadari kekeliruannya.
Lubang itu hanya memanjang beberapa puluh sentimeter ke dalam dinding, lalu
berakhir. Seperti lubang-surat yang dibuat secara kasar, cekungan ceruk itu
mengingatkan Langdon pada ceruk museum yang dirancang untuk menampung sebuah
patung kecil. Ceruk ini juga memajang sebuah benda kecil.
Dengan tinggi sekitar sembilan inci, benda itu berupa sebuah granit padat
berukir. Permukaannya elegan dan halus, dengan keempat sisinya dipoles dan
berkilauan dalam cahaya lilin.
Langdon tidak bisa memahami mengapa benda itu berada di sini. Piramida batu"
"Dari pandangan terkejutmu," ujar Sato, yang tampak puas dengan dirinya sendiri,
"kurasa, benda ini bukan benda tipikal di dalam sebuah Bilik Perenungan?"
Langdon menggeleng. "Kalau begitu, kau mungkin ingin mengoreksi pernyataan- pernyataanmu tadi
mengenai legenda Piramida Mason yang tersembunyi di Washington?" Kini nada
suaranya nyaris bangga. "Direktur," jawab Langdon segera, "piramida kecil ini bukan piramida Mason."
"'Jadi hanya kebetulan jika kita menemukan sebuah piramida yang tersembunyi di
jantung U.S. Capitol di dalam sebuah bilik rahasia milik seorang pemimpin
Mason?" Langdon menggosok-gosok mata dan mencoba berpikir' jernih. "Ma'am, piramida ini
sama sekali tidak menyerupai mitosnya. Piramida Mason digambarkan sebagai
piramida yang sangat besar, dengan puncak yang ditempa dari emas murni." Lagi
pula, Langdon tahu bahwa piramida kecil ini - dengan puncak rata - bahkan bukan
piramida sejati. Tanpa puncaknya piramida ini menjadi simbol yang benar-benar
berbeda. Dikenal sebagai Piramida yang Belum Selesai, benda ini merupakan
peringatan simbolis bahwa kenaikan seseorang menuju potensi manusia sepenuhnya
selalu berupa proses usaha yang tiada habisnya. Hanya sedikit orang yang
menyadari bahwa simbol ini adalah simbol yang paling banyak dipublikasikan di
dunia. Dicetak lebih dari dua puluh miliar. Menghiasi setiap uang kertas sepuluh
dolar yang beredar, dengan sabar Piramida yang Belum Selesai itu menunggu batu-
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puncaknya yang berkilau, yang melayang di atasnya sebagai pengingat atas takdir
Amerika yang belum dipenuhi dan pekerjaan yang masih harus dilakukan, baik
sebagai negara maupun sebagai individual.
"Turunkan," ujar Sato kepada Anderson, seraya menunjuk piramida itu. "Aku ingin
melihatnya lebih dekat." Dia mulai menyiapkan ruang di meja dengan menyingkirkan
tengkorak dan tulang-tulang menyilang itu ke satu sisi tanpa rasa hormat sama
sekali. Langdon mulai merasa seakan mereka adalah para perampok kuburan yang sedang
mencemari kuil pribadi. Anderson berjalan melewati Langdon, mengulurkan tangan ke dalam ceruk, dan
meletakkan sepasang telapak tangannya pada kedua sisi piramida. Lalu, karena
nyaris tak mampu mengangkat benda itu dari sudut aneh ini, dia menggelincirkan
piramida itu ke arahnya dan menurunkannya dengan bunyi berdebuk keras ke atas
meja kayu. Dia melangkah mundur untuk memberi Sato ruang.
Direktur itu menempatkan lilin di dekat piramida dan mempelajari permukaan
mengilapnya. Perlahan-lahan dia menelusurkan jari-jari mungilnya, meneliti
setiap inci puncak datarnya, lalu sisi-sisinya. Dia mendekapkan kedua tangannya
pada piramida untuk merasakan bagian belakangnya, lalu mengernyit menunjukkan
kekecewaan. "Profesor, tadi kau bilang Piramida Mason dibangun untuk melindungi informasi
rahasia." "Begitulah legendanya, ya."
"Jadi, secara hipotetis, jika penculik Peter percaya ini adalah piramida Mason,
dia akan percaya bahwa benda ini berisi informasi rahasia."
Langdon mengangguk dengan putus asa. "'Ya, walaupun, seandainya dia menemukan
informasi tersebut, dia mungkin tidak akan bisa membacanya. Menurut legenda, isi
piramida disandikan, membuatnya tidak bisa dipahami... kecuali oleh orang-orang
yang layak." "Maaf?" Walaupun semakin tidak sabar, Langdon menjawab dengan nada datar. "Harta karun
mitologis selalu dilindungi oleh tes kelayakan. Seperti yang mungkin kau ingat,
dalam legenda Pedang-dalam-Batu, batu itu menolak menyerahkan pedang kecuali
kepada Arthur yang secara spiritual siap menggunakan kekuatan menakjubkan pedang
itu. Piramida Mason didasarkan pada gagasan yang sama. Dalam hal ini, hartanya
adalah informasi itu, dan dikatakan ditulis dalam bahasa sandi - bahasa sandi
yang tersusun dari kata-kata yang telah terlupakan dalam sejarah - hanya bisa
dibaca oleh orang- orang yang layak."
Senyum kecil tersungging di bibir Sato. "Itu mungkin menjelaskan mengapa kau
dipanggil ke sini malam ini."
"Maaf?" Dengan tenang, Sato memutar piramida itu di tempatnya, mememutarnya 180 derajat
penuh. Kini sisi keempat piramida bersinar dalam cahaya lilin.
Robert Langdon menatap, benda itu dengan terkejut.
"Tampaknya," ujar Sato, "seseorang percaya bahwa kita layak."
BAB 40 Mengapa Trish begitu lama"
Sekali lagi Katherine Solomon menengok arloji. Dia lupa memperingatkan Dr.
Abaddon mengenai perjalanan aneh menuju lab, tapi dia tidak bisa membayangkan
kegelapan memperlambat mereka sampai sejauh ini. Seharusnya mereka kini sudah
tiba. Katherine berjalan menuju pintu keluar dan membuka pintu berlapis-timah itu,
menatap ke dalam kekosongan. Dia mendengarkan sejenak, tapi tidak mendengar apa-
apa. "Trish?" panggilnya. Suaranya ditelan oleh kegelapan. Hening.
Dengan bingung, dia menutup pintu, mengeluarkan ponsel, lalu menelepon lobi.
"Ini Katherine. Trish ada di sana?"
"Tidak, Ma'am," jawab penjaga lobi. "Dia dan tamu Anda berjalan ke dalam sekitar
sepuluh menit yang lalu."
"Benarkah" Kurasa, mereka bahkan belum berada di dalam Bangsal 5."
"Tunggu. Akan saya cek." Katherine bisa mendengar jari- jari tangan penjaga itu
menekan papan tik komputer. "Anda benar. Menurut catatan kartu-kunci Miss.
Dunne, dia belum membuka pintu Bangsal 5. Akses terakhirnya sekitar delapan
menit yang lalu... di Bangsal 3. Saya rasa, dia memberikan tur kecil kepada tamu
Anda dalam perjalanan masuk."
Katherine mengernyit. Tampaknya. Berita itu sedikit aneh, tapi setidaknya dia
tahu Trish tidak akan lama berada di dalam Bangsal 3. Baunya sangat tidak enak
di dalam sana. "Terima kasih. Kakakku sudah datang?"
"Belum, Ma'am, belum."
"Terima kasih."
Ketika menutup telepon, Katherine merasakan sedikit rasa gelisah yang tak
terduga. Perasaan tidak nyaman ini membuatnya berhenti, tapi hanya sejenak. Itu
ketidaktenangan yang sama yang tadi dirasakannya ketika melangkah ke dalam rumah
Dr. Abaddon. Secara memalukan, intuisi perempuannya telah menipunya di sana.
Dengan parah. Tidak ada apa-apa, kata Katherine kepada diri sendiri.
BAB 41 Robert Langdon meneliti piramida batu itu. Ini mustahil.
"Bahasa sandi kuno," ujar Sato tanpa mendongak.
"Katakan, apakah ini memenuhi syarat?"
Pada sisi piramida, enam belas karakter terukir dengan cermat pada permukaan
batu yang halus. (Gambar 3) Di samping Langdon, mulut Anderson kini ternganga, mencerminkan keterkejutan
Langdon sendiri. Anderson tampak seakan baru saja melihat semacam keyboard
makhluk luar angkasa. "Profesor?" tanya Sato. "Kuasumsikan kau bisa membacanya" "
Langdon menoleh. "Mengapa kau berasumsi seperti itu?"
"Karena kau dibawa kemari, Profesor. Kau dipilih. Inskripsi ini tampaknya
semacam kode dan, mengingat reputasimu, tampaknya jelas bagiku bahwa kau dibawa
kenari untuk memecahkannya."
Langdon harus mengakui bahwa, setelah pengalamannya di Roma dan Paris,
permintaan terus mengalir untuk memecahkan beberapa kode terkenal yang belum
terpecahkan dalam sejarah Cakram Phaistos, Cipher Dorabella, Manuskrip Voynich
yang misterius. Sato menelusurkan jari tangannya pada inskripsi itu.
"Bisa kau ceritakan arti ikon-ikon ini?"
Bukan ikon, pikir Langdon. Semuanya simbol. Bahasanya langsung dikenali oleh
Langdon - bahasa kode dari abad ke-1
7. Langdon tahu sekali cara memecahkannya. "Ma'am, "
ujarnya bimbang, "piramida ini harta pribadi Peter."
"Pribadi atau bukan, jika kode ini memang alasan kau dibawa ke Washington, aku
tidak memberimu pilihan. Aku ingin tahu apa yang dikatakannya."
BlackBerry Sato berdenting keras, dan dia mengeluarkannya dari saku, membaca
pesan yang masuk selama beberapa saat. Langdon mengagumi jaringan nirkabel
internal Gedung Capitol yang menjangkau hingga sejauh ini.
Sato menggeram dan mengangkat sepasang alisnya, memandang Langdon dengan aneh.
"Chief Anderson?" panggilnya, seraya berbalik kepada lelaki itu, "Bisa bicara
secara pribadi?" Direktur itu mengisyaratkan Anderson untuk bergabung
bersamanya, dan mereka menghilang ke dalam lorong gelap gulita, meninggalkan
Langdon sendirian dalam cahaya filin berpendar-pendar di Bilik Perenungan Peter.
Chief Anderson bertanya-tanya kapan malam ini akan berakhir. Tangan terpenggal
di Rotundaku" Kuil kematian di ruang bawah tanah" Ukir-ukiran aneh pada piramida
batu" Entah bagaimana, pertandingan Redskins tidak lagi terasa penting.
Seiring mengikuti Sato ke dalam kegelapan lorong, Anderson menyalakan senter.
Cahayanya lemah, tapi lebih baik daripada tidak ada. Sato menuntunnya beberapa
meter ke dalam lorong, lepas dari pandangan Langdon.
"'Lihat ini," bisiknya, seraya menyerahkan BlackBerry kepada Anderson.
Anderson mengambil alat itu dan menyipitkan mata memandang layarnya yang
berpendar terang. Layamya menyajikan gambar hitam-putih - gambar sinar-X tas
Langdon yang tadi diminta Anderson untuk dikirimkan ke BlackBerry Sato. Seperti
dalam semua gambar sinar-X, benda-benda terpadat tampak berwarna putih paling
cemerlang. Di dalam tas Langdon, kecemerlangan sebuah benda mengalahkan semua
benda lainnya. Benda itu, yang jelas sangat padat, berkilau seperti permata
menakjubkan di antara berbagai benda lainnya yang berwarna lebih suram.
Bentuknya tidak mungkin keliru.
Dia membawa-bawa benda itu sepanjang malam" Anderson memandang Sato dengan
terkejut. "Mengapa Langdon tidak menceritakannya?"
"Pertanyaan yang sangat bagus," bisik Sato.
"Bentuknya ... itu tidak mungkin kebetulan."
"Ya," ujar Sato. Kini nada suaranya berang. "Menurutku tidak."
Suara gemeresik samar-samar di koridor menarik perhatian Anderson. Dengan
terkejut, dia mengarahkan senter ke lorong yang gelap. Cahaya lemah senter hanya
memperlihatkan koridor kosong yang didereti pintu terbuka.
"Halo?" panggil Anderson. "Ada orang di sana?" Hening.
Sato memandangnya aneh, tampaknya dia tidak mendengar apa-apa.
Anderson mendengarkan beberapa saat lagi, lalu menggelengkan kepala. Aku harus
keluar dari sini. Sendirian di dalam bilik dengan cahaya lilin, Langdon menelusurkan jari-jari
tangannya pada pinggiran-pinggiran tajam ukiran piramida itu. Dia penasaran
ingin tahu apa yang dikatakan oleh piramida itu, tapi tidak ingin mengganggu
privasi Peter Solomon lebih jauh lagi daripada yang sudah mereka lakukan. Lagi
pula, mengapa orang gila itu peduli pada piramida kecil ini"
"Kami mendapat masalah, Profesor," suara Sato terdengar lantang di belakang
Langdon. "Aku baru saja menerima sepotong informasi baru, dan aku sudah muak
dengan segala kebohonganmu."
Langdon berbalik dan melihat Direktur OS itu bergegas mendekat dengan BlackBerry
di tangan dan mata menyala- nyala berang. Dengan terkejut, Langdon memandang
Anderson, meminta bantuan, tapi kepala keamanan itu kini berdiri menjaga pintu
dengan raut wajah tidak simpatik. Sato tiba di hadapan Langdon dan menyorongkan
BlackBerry-nya ke wajah Langdon.
Dengan bingung Langdon memandangi layar itu, yang merupakan foto hitam-putih
terbalik seperti negatif film pucat. Foto itu tampak menunjukkan berbagai benda
yang salah satunya bersinar sangat terang. Walaupun miring dan tidak berada di
tengah, benda paling cemerlang itu jelas berbentuk piramida lancip kecil.
Piramida mungil" Langdon memandang Sato. "'Apa ini"' Pertanyaan itu tampaknya
hanya membuat Sato semakin berang. "Kau berpura-pura tidak tahu?"
Kesabaran Langdon habis. "Aku tidak berpura-pura! Aku belum pernah melihat benda
ini dalam hidupku!" "Omong kosong!" bentak Sato. Suaranya mengiris tajam di ruang bawah tanah yang
berbau lembap. "Kau membawa- bawanya di dalam tasmu sepanjang malam!"
"Aku-" Langdon terdiam di tengah kalimat. Matanya bergerak perlahan-lahan menuju
tas yang tersandang di bahunya. Lalu dia memandang BlackBerry itu lagi.
Astaga... bungkusan itu. Dia memandang gambar itu dengan lebih cermat. Kini dia
melihatnya. Sebuah kubus pucat yang menyelubungi piramida. Dengan terpana,
Langdon menyadari bahwa dia sedang memandang gambar sinar-X tasnya... dan juga
bungkusan misterius Peter yang berbentuk kubus. Kubus itu sesungguhnya kotak
berongga... berisikan sebuah piramida kecil.
Langdon membuka mulut untuk bicara, tapi kata-kata tak mau keluar. Dia merasa
sesak napas ketika kesadaran baru menerpa.
Sederhana. Murni. Mengguncang.
Astaga. Dia kembali memandang piramida batu terpotong di atas meja. Puncaknya
datar - area persegi empat kecil - ruang kosong yang secara simbolis menunggu
potongan terakhirnya Potongan yang akan mengubahnya dari Piramida yang Belum
selesai menjadi Piramida Sejati.
Kini Langdon menyadari bahwa piramida mungil yang dibawanya bukanlah sebuah
piramida. Itu batu-puncak. Seketika dia tahu mengapa hanya dirinya yang bisa
mengungkapkan misteri piramida ini.
Aku memegang potongan terakhirnya.
Dan ini memang... sebuah jimat - talisman.
Ketika Peter bilang bungkusan itu berisi jimat, Langdon tertawa. Kini ia
menyadari kebenaran ucapan temannya. Batu- puncak mungil ini memang jimat, tapi
bukan jenis yang ajaib... ini jenis yang jauh lebih kuno. Jauh sebelum talisman
- jimat punya konotasi-konotasi ajaib, kata itu punya arti lain, yaitu
"penyelesaian". Dari kata Yunani telesma, artinya "selesai", talisman adalah
benda atau gagasan apa pun yang melengkapi benda atau gagasan lain dan
membuatnya utuh. Elemen penyelesaian. Jika bicara secara simbolis, batu-puncak
adalah talisman tertinggi, mengubah Piramida yang Belum Selesai menjadi sebuah
simbol kesempurnaan yang lengkap.
Kini Langdon merasakan adanya sebuah kaitan ganjil yang memaksanya menerima
sebuah kenyataan yang sangat aneh: dengan mengecualikan ukurannya, piramida batu
di Bilik Perenungan Peter tampaknya berubah, sedikit demi sedikit, menjadi
sesuatu yang samar-samar menyerupai Piramida Mason dalam legenda.
Dari kecemerlangan yang diperlihatkan batu-puncak itu dalam sinar-X, Langdon
curiga benda itu terbuat dari logam... logam yang sangat padat. Langdon sama
sekali tidak tahu apakah itu emas padat atau bukan, dan dia tidak ingin
membiarkan pikirannya menipunya. Piramida ini terlalu kecil. Kodenya terlalu
mudah dibaca. Dan demi Tuhan, itu, kan, hanya mitos!
Sato mengamati Langdon. "Sebagai lelaki cerdas, Profesor, kau telah membuat
pilihan-pilihan tolol malam ini. Berbohong kepada Direktur intelijen" Sengaja
menghalangi penyelidikan CIA?"
"Bisa kujelaskan, jika kau mau mendengarkan."
"Kau akan menjelaskannya di markas CIA. Saat ini aku menahanmu."
Tubuh Langdon mengejang. "Kau tidak mungkin serius."
"Sangat serius. Aku sudah menjelaskan sejelas-jelasnya padamu bahwa yang
dipertaruhkan malam ini sangat tinggi, dan kau memilih untuk tidak bekerja sama.
Sangat kusarankan agar kau mulai memikirkan cara menjelaskan inskripsi pada
piramida. Karena, ketika kita tiba di CIA...." Dia mengangkat BlackBerry-nya dan
memotret dari dekat ukiran pada piramida batu itu, "para analisku akan sudah
memulainya." Langdon membuka mulut untuk memprotes, tapi Sato berpaling kepada Anderson di
pintu. "Chief," panggilnya, "masukkan piramida batu itu ke dalam tas Langdon dan
bawa tasnya, Aku akan menangani penahanan Mr. Langdon. Berikan senjatamu!" Wajah
Anderson tanpa ekspresi ketika dia melangkah ke dalam bilik sambil membuka
sarung pistol yang tersandang di bahunya. Dia menyerahkan pistolnya kepada Sato,
yang langsung mengarahkannya kepada Langdon.
Langdon menyaksikan seakan dalam mimpi. Ini tidak mungkin terjadi.
Kini Anderson menghampiri Langdon dan melepaskan tas di bahunya, membawanya ke
meja, dan meletakkannya di atas kursi. Dia menarik ritsleting tas, membukanya,
lalu mengangkat piramida-batu berat itu dari meja dan memasukkannya ke dalam
tas, bersama-sama dengan buku catatan Langdon dan bungkusan mungil itu. Mendadak
terdengar suara gemeresik gerakan di lorong. Siluet gelap seorang lelaki muncul
di ambang pintu, bergegas memasuki bilik dan dengan cepat berada dibelakang
Anderson. Kepala keamanan itu tidak melihatnya masuk. Orang asing itu langsung
merendahkan bahu dan menabrak punggung Anderson. Kepala keamanan meluncur ke
depan, kepalanya membentur pinggiran ceruk batu. Dia jatuh dengan keras,
terkulai di atas meja, menyebabkan tulang-tulang dan artefak- artefak di atasnya
berhamburan. Jam-pasir pecah berantakan di lantai. Lilin terguling ke lantai,
masih menyala. Sato terhuyung-huyung di antara kekacauan itu, mengangkat pistol, tapi orang
asing itu meraih sebuah tulang paha, mengayunkannya, menghantam bahu Sato.
Perempuan itu berteriak kesakitan.
Sato jatuh telengkang, menjatuhkan senjatanya. Pendatang baru tadi menendang
pistol untuk menyingkirkannya, lalu berputar menghadap Langdon. Lelaki itu
bertubuh tinggi ramping, seorang lelaki Afrika-Amerika elegan yang belum pemah
dilihat Langdon. "Ambil piramidanya!" perintah lelaki itu. "Ikuti aku!"
BAB 42 Jelas lelaki Afrika-Amerika yang menuntun Langdon melewati labirin ruang bawah
tanah Capitol adalah seseorang yang berkuasa. Selain mengetahui jalan melewati
semua koridor samping dan ruang belakang, orang asing elegan itu membawa
serangkaian kunci yang tampaknya bisa membuka semua pintu yang menghalangi jalan
mereka. Langdon mengikuti, cepat-cepat berlari menaiki tangga yang tak dikenalnya.
Ketika mereka naik, dia merasakan tas kulit mengiris tajam bahunya. Piramida itu
begitu berat, sehingga Langdon khawatir tali tasnya akan putus.
Kejadian beberapa menit yang lalu bertentangan dengan semua logika, dan kini
Langdon mendapati dirinya bergerak hanya berdasarkan naluri. Perasaannya
mengatakan agar dia memercayai orang asing ini. Selain menyelamatkan Langdon
dari penahanan Sato, lelaki itu juga melakukan tindakan berbahaya untak
melindungi piramida misterius Peter Solomon. Apa pun arti piramida itu. Walaupun
motivasinya masih misterius, Langdon sudah melirik kileu emas di tangan lelaki
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu yang menjelaskan segalanya - cincin Mason - phoenix berkepala-dua dan angka
33. Peter Solomon dan lelaki ini lebih dari sekadar teman terpercaya. Mereka
saudara Mason derajat tertinggi.
Langdon mengikutinya ke puncak tangga, memasuki koridor lain, lalu melewati
pintu tanpa-tanda menuju lorong fungsional. Mereka lari melewati kotak-kotak
persediaan barang dan kantong-kantong sampah, lalu mendadak berbelok melewati
sebuah pintu untuk petugas, memasuki dunia yang benar-benar tak terduga -
semacam gedung bioskop. Lelaki yang lebih tua daripada Langdon itu menuntun
jalan menyusuri lorong samping, keluar melalui pintu-pintu utama memasuki
terangnya atrium besar. Kini Langdon menyadari bahwa mereka berada di dalam visitor center, tempat yang
dimasukinya tadi malam. Sayangnya, ada seorang petugas polisi Capitol di sana.
Setelah berhadap-hadapan, ketiganya berhenti, saling berpandangan satu sama
lain. Langdon mengenali petugas Hispanik muda dari pos pemeriksaan sinar-X tadi
malam itu. "Officer Nunez,"' sapa lelaki Afrika-Amerika itu. "Jangan ucapkan sepatah kata
pun. Ikuti aku." Petugas itu tampak tidak nyaman, tapi mematuhi tanpa bertanya-tanya.
Siapa lelaki ini" Ketiganya bergegas menuju pojok tenggara visitor center. Di sana mereka mencapai
sebuah foyer kecil dengan serangkaian pintu tebal yang dihalangi kerucut-kerucut
oranye. Pintu-pintu itu disegel dengan pita perekat, tampaknya untuk menjaga
agar debu - yang berasal dari apa pun yang terjadi di balik pintu - tidak keluar
ke visitor center. Lelaki itu menjulurkan tangan ke atas dan mengelupas pita
dari pintu. Lalu dia memilah-milah kunci seraya bicara kepada penjaga itu.
"Teman kita, Chief Anderson, berada di sub-ruang bawah tanah. Mungkin dia
terluka. Kau perlu memeriksanya."
"Baik,. Pak." Nunez tampak bingung sekaligus khawatir.
"Yang terpenting, kau tidak melihat kami" Lelaki itu menernukan sebuah kunci,
melepaskannya dari rangkaian, dan menggunakannya untuk membuka gembok besar dan
berat. Dia membuka pintu besi itu dan melemparkan kuncinya kepada penjaga.
"Kuncilah pintu ini setelah kami masuk.
Rekatkan kembali pitanya sebisa mungkin. Kantongi kunci itu dan jangan
mengucapkan sepatah kata pun. Kepada siapa saja. Termasuk kepala keamanan.
Apakah sudah jelas, Officer Nunez?"
Penjaga itu melirik kunci, seakan dia baru saja dipercaya menjaga sebuah batu
permata berharga. "Ya, Pak."
Lelaki itu bergegas memasuki pintu, dan Langdon mengikutinya. Penjaga mengunci
gembok berat itu di belakang mereka, dan Langdon bisa mendengarnya merekatkan
kembali pita perekat. "Profesor Langdon," ujar lelaki itu, ketika mereka melangkah cepat melewati
koridor yang tampak modern dan jelas masih dalam tahap pembangunan. "Namaku
Warren Bellamy. Peter Solomon sahabat baikku."
Langdon melirik lelaki elegan itu dengan terkejut. Kau Warren Bellamy" Langdon
belum pernah berjumpa dengan Arsitek Capitol, tapi jelas dia mengenal nama
lelaki itu. "Peter sangat memujimu," ujar Bellamy, "dan maaf kita harus berjumpa dalam
kondisi mengerikan ini."
"Peter dalam masalah besar. Tangannya..."
"Aku tahu." Bellamy kedengaran sedih. "Aku khawatir ini belum setengah dari apa
yang terjadi." Mereka mencapai ujung bagian koridor yang terang, lorongnya mendadak berbelok ke
kiri. Di sepanjang koridor selanjutnya, ke mana pun arahnya, keadaannya gelap
gulita. "Tunggu," ujar Bellamy, lalu dia menghilang ke dalam ruang listrik di dekat
situ. Belitan kabel-kabel listrik oranye tebal memanjang keluar, memasuki
kegelapan koridor. Langdon menunggu sementara Bellamy masuk. Arsitek itu agaknya
mencari tombol yang menghantarkan listrik ke kabel-kabel itu, karena mendaddak
rute di hadapan mereka menyala terang.
Langdon hanya bisa menatap.
Washington, DC - seperti Roma - adalah kota yang dipenuhi lorong rahasia dan
terowongan bawah tanah. Kini lorong di hadapan mereka mengingatkan Langdon pada
terowongan pasetta yang menghubungkan Vatican dengan Castel Sant'Angelo.
Panjang. Gelap. Sempit. Akan tetapi, tidak seperti passetto kuno, lorong ini
modern dan belum selesai. Lorong ini berupa zona konstruksi ramping yang begitu
panjang, sehingga tampak menyempit tak terlihat di ujung yang jauh. Satu-satunya
penerangan hanyalah serangkaian bola lampu konstruksi yang sesekali muncul dan
hanya semakin menegaskan panjang terowongan yang seolah tak berujung.
Bellamy sudah mulai menyusuri lorong itu. "Ikuti aku. Hati- hati melangkah."
Langdon merasakan dirinya mengikuti di belakang Bellamy seraya bertanya-tanya
kemana gerangan terowongan ini menuju.
Tepat pada saaf itu, Mal'akh melangkah keluar dari Bangsal 3 dan melenggang
cepat menyusuri koridor utama SMSC yang sepi menuju Bangsal 5. Dia menggenggam
kartu-kunci Trish dan berbisik pelan, "Nol-delapan-nol-empat."
Sesuatu yang lain juga berpusar dalam benaknya. Mal'akh baru saja menerima pesan
penting dari Gedung Capitol. Kontakku menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak
terduga. Walaupun demikian, berita itu tetap membangkitkan semangatnya: Robert
Langdon kini memiliki piramida sekaligus batu-puncaknya. Walaupun kejadiannnya
tidak terduga, potongan-potongan teka-teki mulai terkumpul.
Rasanya seakan takdir itu sendiri yang menuntun kejadian- kejadian malam ini,
dan memastikan kemenangan Mal'akh.
BAB 43 Langdon bergegas mengimbangi langkah-langkah cepat Waren Bellamy seiring mereka
bergerak tanpa bersuara menyusuri terowongan panjang. Sejauh ini, Arsitek
Capitol itu tampaknya lebih bersemangat untuk memperlebar jarak antara Sato dan
piramida batu itu daripada menjelaskan apa yang terjadi. Langdon semakin
khawatir kalau kejadiannya jauh lebih rumit dariapda yang bisa dibayangkannya.
CIA" Arsitek Capitol" Dua anggota Mason derajat ketiga puluh tiga.
Suara melengking ponsel Langdon membelah udara. Dia mengeluarkan telepon itu
dari jaket. Dengan ragu, dia menjawab, "Halo..."
Suara yang bicara berupa bisikan mengerikan yang dikenalnya. "Profesor, kudengar
kau mendapat teman yang tak terduga." Langdon merasakan rasa dingin yang
menusuk. "Di mana Peter"!" desaknya. Kata-katanya menggema di dalam terowongan tertutup.
Di sampingnya, Warren Bellamy melirik tampak khawatir, dan mengisyaratkan
Langdon untuk terus berjalan.
"Jangan khawatir," kata suara itu. "Seperti yang kubilang, Peter berada di suatu
tempat yang aman." "Demi Tuhan, kau memotong tangannya! Dia perlu dokter!"
"Dia perlu pendeta," jawab lelaki itu. "Tapi kau bisa menyelamatkannya. Jika kau
berbuat seperti yang kuperintahkan, Peter akan hidup. Aku berjanji."
"Janji orang gila tidak ada artinya buatku."
"Orang gila" Profesor, pasti kau menghargai rasa hormatku terhadap protokol-
protokol kuno malam ini. Tangan Misteri menuntunmu ke sebuah portal, yaitu
piramida yang menjanjikan pengungkapan kebijakan kuno. Aku tahu kau
memilikinya." "Kau Pikir, ini Piramida Mason?" desak Langdon. "Ini sebongkah batu."
Muncul keheningan di ujung lain jalur telepon. "Mr.Langdon, kau terlalu pintar
untuk berpura-pura tolol. Kau sangat memahami apa yang sudah kau ungkapkan malam
ini. Piramida batu... di sembunyikan di pusat Washington, DC... oleh seorang
anggota Mason yang berkuasaa?"
"Kau mengejar mitos! Apa pun yang dikatakan Peter kepadamu, dia mengatakannya
dalam keadaan takut. Legenda Piramida Mason adalah fiksi. Kaum Mason tidak
pernah membangun Piramida apa pun untuk melindungi kebijakan rahasia. Dan,
seandainya pun mereka melakukannya, piramida ini terlalu kecil untuk menjadi apa
yang kau pikirkan." Lelaki itu tergelak. "Ternyata Peter hanya bercerita sedikit sekali kepadamu.
Bagaimanapun Mr. Langdon, tak peduli kau memilih untuk menerima fakta tentang
apa yang kini kau miliki atau tidak, kau akan berbuat seperti yang
kuperintahkan. Aku tahu pasti bahwa piramida yang kau bawa memiliki ukiran
sandi. Kau akan memecahkan kode ukiran itu untukku. Setelah itu, dan hanya
setelah itu, aku akan mengembalikan Peter Solomon kepadamu."
"Apa pun yang menurutmu diungkapkan oleh ukiran ini,"
ujar Langdon, "itu bukanlah Misteri Kuno. "
"Tentu saja bukan," jawab lelaki itu. Misteri itu terlalu besar untuk dituliskan
pada permukaan sebuah piramida batu kecil." Jawaban itu mengejutkan Langdon.
"Tapi jika ukiran ini bukan Misteri Kuno, piramida ini bukan-lah Piramida Mason.
Legendanya jelas menyatakan bahwa Piramida Mason dibangun untuk melindungi
Misteri Kuno." Nada suara lelaki itu kini merendahkan. "Mr. Langdon, Piramida Mason memang
dibangun untuk menjaga Misteri Kuno, tapi ada sebuah detail yang tampaknya belum
kau pahami. Tidak pernahkan Peter menceritakannya kepadamu" Kekuatan Piramida
Mason bukan-lah mengungkapkan misteri itu sendiri... tapi mengungkapkan lokasi
rahasia tempat misteri itu terkubur."
Langdon terpana. "Pecahkan kode ukiran itu," lanjut suara itu, "dan kau akan mengetahui tempat
persembunyian harta karun terbesar umat manusia." Dia tertawa. "Bukan harta
karun itu yang dipercayakan kepadamu, Profesor."
Mendadak Langdon berhenti di terowongan. "Tunggu. Kau bilang piramida ini...
sebuah peta?" Bellamy ikut berhenti juga. Raut wajahnya terkejut dan khawatir. Jelas penelepon
itu baru saja mengejutkan mereka. Piramida itu adalah sebuah peta.
"Peta ini," bisik suara itu, "atau piramida, atau portal, apa pun sebutan yang
kau pilih... diciptakan sejak lama sekali untuk memastikan agar tempat
persembunyian Misteri Kuno tidak akan pernah terlupakan... agar Misteri Kuno
tidak pernah hilang dalam sejarah."
"Enam belas simbol itu tidak menyerupai peta."
"Penampilan bisa menipu, Profesor. Tapi, bagaimanapun, hanya kau yang punya
kemampuan untuk membaca inskripsi itu."
"Kau keliru," bentak Langdon, seraya membayangkan cipher sederhana itu. "Siapa
pun bisa memecahkan kode ukiran itu. Tidak terlalu canggih."
"Kurasa, piramida itu punya lebih banyak arti daripada yang terlihat.
Bagaimanapun, hanya kau yang memiliki batu- puncak-nya."
Langdon membayangkan batu-puncak kecil di dalam tas. Keteraturan dari kekacauan"
Dia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayai, tapi piramida batu di dalam
tasnya seakan terasa semakin berat seiring berlalunya waktu.
Mal'akh menekankan ponsel di telinga, menikmati suara napas gelisah Langdon di
ujung yang satunya. "Saat ini aku harus mengurus sesuatu, Profesor, demikian
juga kau. Segera telepon aku setelah kau memecahkan petanya. Kita akan pergi
bersama-sama ke tempat persembunyian itu dan melakukan pertukaran. Nyawa
Peter... untuk semua kebijakan selama berabad-abad."
"Aku tidak akan berbuat apa-apa," jelas Langdon.
"Terutama tanpa bukti Peter masih hidup."
"Kusarankan agar kau tidak menguji kesabaranku. Kau hanyalah sebuah sekrup yang
sangat kecil di dalam sebuah mesin besar. Jika kau tidak mematuhiku, atau
mencoba mencariku, Peter akan mati. Aku bersumpah."
"Jangan-jangan, Peter sudah mati."
"Dia masih sangat hidup, Profesor, tapi dia sangat memerlukan pertolonganmu."
"Apa yang sesungguhnya kau cari" teriak Langdon di telepon.
Mal'akh terdiam sebelum menjawab. "Ada banyak orang yang mengejar Misteri Kuno
dan memperdebatkan kekuatannya. Malam ini akan kubuktikan bahwa misteri itu
nyata." Langdon terdiam. "Kusarankan agar kau segera memikirkan peta itu," ujar Mal'akh. "Aku perlu
informasinya hari ini."
"Hari ini"! Sekarang sudah lewat pukul sembilan malam."
"Tepat sekali. Tempus fugit."
BAB 44 Editor New York Jonas Faukman baru saja mematikan lampu-lampu kantornya di
Manhattan ketika telepon berdering. Dia tidak ingin menerima telepon pada jam
selarut ini sampai dia melihat layar ID penelepon. Ini harus berita baik,
pikirnya, seraya mengambil gagang telepon.
"Kami masih akan menerbitkan bukumu?" tanya Faukman setengah bergurau.
"Jonas!" Suara Robert Langdon terdengar cemas.
"Untunglah kau ada di sana. Aku perlu bantuanmu."
Semangat Faukman terangkat. "Kau sudah punya halaman- halaman yang harus
kusunting, Robert?" Akhirnya"
"Tidak, aku perlu informasi. Tahun lalu aku menghubungkanmu dengan seorang
ilmuwan bernama Katherine Solomon, adik Peter Solomon."
Faukman mengernyit. Tidak ada halaman-halaman untuk sunting.
"Waktu itu, dia mencari penerbit untuk menerbitkan bukunya, mengenai ilmu
Noetic. Kau ingat dia?"
Faukman memutar bola matanya. "Pasti. Aku ingat. Dan banyak terima kasih atas
perkenalan itu. Dia bukan hanya tidak mengizinkanku untuk membaca hasil-hasil
risetnya, tapi juga' tidak ingin menerbitkan apa pun sampai tanggal ajaib
tertentu dimasa depan."
"Jonas, dengar, aku tidak punya waktu. Aku perlu nomor telepon Katherine.
Sekarang juga. Kau punya?"
"Aku harus memperingatkanmu... tingkah lakumu sedikit putus asa. Dia cantik,
tapi kau tidak akan membuatnya terkesan dengan -"
"Aku tidak main-main, Jonas, aku perlu nomor teleponnya."
"Baiklah ... tunggu." Faukman dan Langdon sudah bersahabat karib selama
bertahun-tahun, sehingga lelaki itu tahu kapan Langdon serius. Jonas mengetikkan
nama Katherine Solomon di jendela pencariannya dan mulai meneliti server e-mail
perusahaan. "Sedang kucari," kata Faukman. "Dan kusarankan agar kau tidak meneleponnya dari
Kolam Renang Harvard. Kedengarannya seakan kau sedang berada di sebuah tempat
perlindungan." "A ku tidak sedang berada di kolam. Aku berada di sebuah terowongan di bawah
U.S. Capitol." Dari suara Langdon, Faukman merasa bahwa temannya itu tidak bergurau. Ada apa
dengan lelaki ini" "Robert, mengapa kau tidak bisa tinggal di rumah saja dan
menulis?" Komputer berdenting. "Oke, tunggu... kutemukan." Dia menelusuri sebuah
e-mail lama. "Tampaknya aku hanya punya nomor ponselnya."
"Tidak apa-apa."
Faukman menyebutkan nomornya.
"Terima kasih, Jonas," ujar Langdon, kedengarannya sangat bersyukur. "Aku
berutang kepadamu." "Kau berutang manuskrip kepadaku, Robert. Kau tahu berapa lama -"
Telepon terputus. Faukman menatap gagang telepon dan menggeleng- gelengkan kepala. Penerbitan buku
akan jauh lebih mudah tanpa adanya para penulis.
BAB 45 Katherine Solomon terpana ketika melihat nama pada ID penelepon. Tadinya dia
membayangkan telepon masuk itu dari Trish untuk menjelaskan mengapa dia dan
Christopher Abaddon perlu waktu begitu lama. Tapi, peneleponnya bukan Trish.
Sama sekali bukan. Katherine merasakan senyum malu-malu tersungging di bibirnya. Bisakah malam ini
menjadi lebih aneh lagi" Dia menerima telepon itu.
"Jangan katakan," ujarnya main-main. "Bujangan kutu buku mencari Ilmuwan Noetic
bujangan?" "Katherine!" Suara rendah itu milik Robert Langdon.
"Syukurlah kau baik-baik saja."
"Tentu saja aku baik-baik saja," jawab Katherine bingung.
"Selain kenyataan bahwa kau tidak pernah meneleponku setelah pesta di rumah
Peter di musim panas yang lalu."
"Sesuatu terjadi malam ini. Harap dengarkan." Suara Langdon yang biasanya lancar
terdengar terputus-putus. "Aku menyesal sekali harus menyampaikan berita ini...
tapi Peter dalam masalah serius."
Senyum Katherine menghilang. "Kau bicara apa?"
"Peter...," Langdon bimbang, seakan mencari kata-kata.
"Aku tidak tahu cara mengatakannya, tapi dia dibawa. Aku tidak yakin bagaimana
atau oleh siapa, tapi -"
"Dibawa?" desak Katherine. "Robert, kau menakutkanku. Dibawa kemana?"
"Dibawa secara paksa." Suara Langdon parau, seakan dikuasai oleh perasaan.
"Agaknya terjadinya di awal hari ini, atau mungkin juga kemarin."
"Ini tidak lucu,"ujar Katherine berang. "Kakakku baik-baik saja. Aku baru saja
bicara dengannya lima belas menit yang lalu!"
"Benarkah"!" Langdon kedengaran terpana.
" Ya! Dia baru saja mengirimiku SMS untuk mengatakan dia akan datang ke lab."
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia mengirimimu SMS..." pikir Langdon keras-keras. "Tapi kau tidak benar-benar
mendengar suara-nya?"
"Tidak, tapi-"'
"Dengar. SMS yang kau terima bukan berasal dari kakakmu. Seseorang memegang
telepon Peter. Dia berbahaya. Siapa pun itu, dialah yang menipuku untak datang
ke Washington malam ini."
"Menipumu" Kau tidak masuk akal!"
"Aku tahu, maaf sekali." Tidak seperti biasanya, Langdon kedengaran bingung.
"Katherine, kurasa kau mungkin dalam bahaya."
Katherine Solomon yakin bahwa Langdon tidak pernah bergurau mengenai sesuatu
yang seperti ini, akan tetapi kedengarannya lelaki itu telah kehilangan akal
sehat. "Aku baik-baik saja," katanya. "Aku terkunci di dalam sebuah gedung yang
aman!" "Bacakan pesan yang kau terima dari telepon Peter.
Kumohon!" Dengan bingung, Katherine mengeluarkan SMS itu dan membacakannya kepada Langdon.
Dan dia merasakan tubuhnya dijalari rasa dingin ketika tiba pada bagian terakhir
yang menyebut Dr. Abaddon. "'Kalau bisa, minta Dr. Abaddon bergabung di dalam.
Aku memercayainya sepenuhnya..."
"Astaga...." Suara Langdon dipenuhi kengerian. "Kau mengundang lelaki ini ke
dalam?" "Ya! Asistenku baru saja pergi ke lobi untuk menjemputnya. Aku mengharapkan
mereka-" "Katherine, keluarlah!" teriak Langdon. "Sekarang!"
Di sisi lain SMSC, di dalam ruang keamanan, telepon mulai dering, menenggelamkan
suara pertandingan Redskins. Dengan enggan, penjaga menarik earphone-nya sekali
lagi. "Lobi," jawabnya. "Ini Kyle."
"Kyle, ini Katherine Solomon!" Suara perempuan itu. Kedengaran cemas, kehabisan
napas. "Ma'am, kakak Anda belum-"
"Di mana Trish"!" desaknya. "Bisakah kau melihatnya di salah satu monitor?"
Penjaga itu menggelindingkan kursi untuk melihat layar-1;
"Dia belum kembali ke Kubus?"
"Belum!" teriak Katherine, kedengaran khawatir.
Kini penjaga itu menyadari bahwa Katherine Solomon kehilangan napas, seakan dia
sedang berlari. Apa yang terjadi di belakang sana"
Penjaga itu menggerakkan joystick video dengan cepat, meneliti gambar-gambar
video digital dengan kecepatan penuh. "Oke tunggu, saya putar-ulang.... Saya
melihat Trish bersama tamu Anda meninggalkan lobi... mereka menyusuri the
Street... dipercepat... oke, mereka masuk ke Bangsal Basah... Trish menggunakan
kartu-kuncinya untuk membuka pintu... keduanya melangkah ke dalam Bangsal
Basah... saya percepat... oke, mereka baru saja keluar dari Bangsal Basah
semenit yang lalu... menuju..."
Dia memiringkan kepala, memperlambat pemutaran-ulang.
"Tunggu sebentar. Ini aneh."
"Apa?" "Lelaki itu keluar dari Bangsal Basah sendirian."
"Trish tetap di dalam?"
"Ya, tampaknya seperti itu. Saya sedang mengamati tamu Anda... dia berada di
lorong sendirian." "Di mana Trish?" tanya Katherine, semakin panik.
"Saya tidak melihatnya di gambar video," jawab penjaga itu. Sedikit kekhawatiran
merambati suaranya. Dia kembali memandang layar dan memperhatikan bahwa kedua
lengan jaket lelaki itu tampak basah... sampai ke siku. Apa gerangan yang
dilakukannya di Bangsal Basah" Penjaga itu mengamati ketika lelaki itu mulai
berjalan dengan mantap menyusuri lorong utama menuju Bangsal 5, seraya
menggenggam sesuatu yang tampaknya seperti ... kartu kunci.
Penjaga itu merasakan bulu kuduknya meremang. "Miss Solomon, kita mendapat
masalah serius." Malam ini adalah malam pertama untak segalanya bagi Katherine Solomon.
Selama dua tahun, dia tidak pernah menggunakan ponsel di dalam ruang kosong
Bangsal 5. Dia juga tidak pernah melintasi ruang kosong dengan berlari cepat.
Akan tetapi, saat ini Katherine menekan ponsel ditelinga seraya berlari dalam
gelap menyusuri karpet yang seakan tak berujung. Setiap kali merasakan kakinya
melenceng dari karpet, dia membetulkan posisinya ketengah, berpacu melewati
kegelapan total. "Di mana dia sekarang?" tanya Katherine kepada penjaga itu dengan terengah-
engah. "Sedang saya cek," jawab penjaga itu. "Saya percepat... oke, dia sedang
menyusuri lorong ... bergerak menuju Bangsal 5."
Katherine berlari semakin kencang, berharap bisa mencapai pintu keluar sebelum
terperangkap di belakang sini. "Berapa lama sampai dia mencapai pintu masuk
Bangsal 5?" Penjaga itu terdiam. "Ma'am, Anda tidak mengerti. Saya masih mempercepatnya. Ini
pemutaran-ulang rekaman. Ini sudah terjadi." Dia terdiam. "Tunggu, biar saya cek
monitor yang mencatat keluar masuknya seseorang." Dia terdiam, lalu berkata,
"Ma'am, kartu-kunci Miss Dunne menunjukkan masuknya seseorang ke Bangsal 5
sekitar satu menit yang lalu."
Katherine langsung menghentikan langkah berhenti di tengah-tengah kekosongan.
"Dia sudah membuka kunci Bangsal 5?" bisiknya di telepon.
Penjaga itu mengetik dengan panik. "Ya, tampaknya dia masuk... sembilan puluh
detik yang lalu." Tubuh Katherine mengejang. Dia berhenti bernapas. Kegelapan mendadak terasa
hidup di sekelilingnya. Dia berada di sini bersamaku.
Katherine langsung menyadari bahwa satu-satunya cahaya dalam seluruh ruangan itu
berasal dari ponselnya, yang menerangi bagian samping wajahnya. "Kirim bantuan,"
bisiknya kepada penjaga itu. "Dan pergilah ke Bangsal Basah untuk menolong
Trish." Lalu pelan-pelan dia menutup telepon, memadamkan cahaya.
Kegelapan total menelannya.
Dia berdiri tak bergerak dan bernapas setenang mungkin. Setelah beberapa detik,
aroma tajam etanol melayang dari kegelapan di depannya. Baunya semakin kuat. Dia
bisa merasakan kehadiran seseorang, hanya beberapa puluh sentimeter di depannya
di atas karpet. Dalam keheningan, dentaman jantung Katherine seakan cukup
kencang untuk mengungkapkan persembunyiannya. Diam-diam dia melepas sepatu dan
beringsut ke kiri, meninggalkan karpet. Semen terasa dingin di bawah kakinya.
Dia melangkah selangkah lagi untuk menjauhi karpet.
Salah satu jari kakinya berderak.
Terdengar seperti bunyi tembakan dalam keheningan.
Hanya beberapa meter jauhnya, suara gemeresik pakaian mendadak menghampirinya
dari kegelapan. Dengan sedikit terlambat Katherine berlari, dan sebuah lengan
kuat menariknya, lalu sepasang tangan meraba-raba dalam kegelapan, dengan kasar
berusaha menangkapnya. Dia berbalik ketika sebuah cengkeraman kuat menangkap
jubah labnya, menyentakkannya ke belakang dan menariknya.
Katherine menjulurkan kedua lengannya ke belakang, melepaskan jubah lab untuk
membebaskan diri. Mendadak, tanpa tahu lagi ke arah mana jalan keluar, Katherine
Solomon mendapati dirinya berlari, membabi buta, melintasi kegelapan tak
berujung. BAB 46 Walaupun disebut oleh banyak orang sebagai "ruangan terindah di dunia",
Perpustakaan Kongres lebih dikenal karena jumlah koleksinya yang luar biasa
daripada keindahannya yang mempesona. Dengan rak-rak sepanjang lebih dari
delapan ratus kilo meter - cukup untuk direntangkan dari Washington, DC sampai
Boston - perpustakaan itu dengan mudah mendapat julukan perpustakaan terbesar di
dunia. Akan tetapi, perpustakaan itu masih berkembang, dengan tambahan lebih
dari sepuluh ribu barang per hari.
Sebagai tempat penyimpanan awal untuk koleksi pribadi buku ilmu pengetahuan dan
filsafat milik Thomas Jefferson, perpustakaan itu berdiri sebagai simbol
komitmen Amerik aterhadap penyebaran pengetahuan. Sebagai salah satu gedung
pertama di Washington yang punya penerangan listrik, perpustakaan itu secara
harfiah bersinar bagaikan mercusuar di dalam kegelapan Dunia Baru.
Seperti yang diisyaratkan oleh namanya, Perpustakaan Kongres didirikan untuk
melayani Kongres, yang anggota- anggota terhormatnya bekerja di seberang jalan
di dalam Gedung Capitol. Ikatan lama antara perpustakaan dan Capitol ini baru
saja diperkuat dengan pembangunan penghubung fisik - terowongan panjang di bawah
Independence Avenue yang menghubungkan kedua gedung itu.
Malam ini, di dalam terowongan berpenerangan suram itu, Robert Langdon mengikuti
Warren Bellamy melewati zona pembangunan, seraya berusaha mengatasi
kekhawatirannya yang semakin mendalam terhadap Katherine. Orang gila ini berada
di labnya?"! Langdon bahkan tidak ingin membayangkan mengapa.
Ketika menelepon Katherine untuk memperingatkannya, Langdon sudah memberitahukan
tempat Katherine harus menemuinya sebelum mereka mengakhiri pembicaraan.
Seberapa panjang lagi terowongan terkutuk ini" Kepalanya kini terasa sakit, dilanda berbagai pikiran yang
saling berhubungan: Katherine, Peter, Warren Bellamy, piramida, ramalan kuno...
dan peta. Langdon menyingkirkan semua itu dan terus maju. Bellamy menjanjikan jawaban
kepadaku. Ketika kedua lelaki itu akhirnya mencapai ujung lorong, Bellamy menuntun Langdon
melewati serangkaian pintu yang masih dalam tahap pembangunan. Karena tidak
menemukan cara untuk mengunci pintu-pintu yang belum selesai itu di belakang
mereka, Bellamy berimprovisasi, meraih tangga alur aluminium dari tumpukan
peralatan konstruksi dan menyandarkannya ke bagian luar pintu. Lalu dia
meletakkan sebuah ember lagi di atasnya. Jika seseorang membuka pintu, ember itu
akan jatuh berkelontang ke lantai.
Itu sistem alarm kita" Langdon mengamati ember, berharap Bellamy punya rencana
yang lebih komprehensif untuk keamanan mereka malam ini. Semuanya terjadi begitu
cepat, dan Langdon baru saja mulai mencerna konsekuensi- konsekuensi pelariannya
bersama Bellamy. Aku buronan CIA. Bellamy berbelok, dan kedua lelaki itu mulai
menaiki tangga lebar yang dihalangi kerucut-kerucut oranye. Tas bahu Langdon
membebaninya ketika dia menaiki tangga. "Piramida batu," katanya, "'aku masih
belum mengerti -" "Jangan di sini," sela Bellamy. "Kita akan menelitinya dalam cahaya terang. Aku
tahu tempat yang aman."
Langdon ragu, apakah tempat semacam itu tersedia bagi seseorang yang baru saja
menyerang secara fisik Direktur OS CIA.
Ketika tiba di puncak tangga, kedua lelaki itu memasuki lorong luas dari marmer
Italia, plesteran semen, dan lembaran emas. Lorong itu didereti delapan pasang
patung - semuanya menggambarkan Dewi Minerva. Bellamy maju terus, membawa
Langdon ke arah timur, melewati lengkungan gerbang berbentuk kubah memasuki
ruangan yang jauh lebih megah.
Dengan penerangan suram di luar jam kerja sekalipun, lorong utama perpustakaan
bersinar dengan kemegahan klasik istana Eropa mewah. Dua puluh lima meter di
atas kepala, jendela langit-langit dari kaca patri berkilau di antara balok-
balok berpanel yang dihiasi "lembaran aluminium' langka - logam yang pernah
dianggap lebih berharga daripada emas. Di bawahnya, rangkaian anggun pilar
berpasangan mendereti balkon lantai dua yang bisa diakses melalui dua tangga
melengkung megah, dengan masing-masing tiang tangga menyokong sosok perempuan
perunggu raksasa yang sedang mengangkat obor pencerahan, mencerminkan tema
pencerahan. Dalam upaya aneh untuk mencerminkan tema pencerahan modern ini, tapi tetap
mengikuti aturan dekoratif arsitektur Renaisans, semua pegangan tangga dihiasi
ukiran bocah menyerupai cupid (Malaikat kecil yang membawa panah asmara-penerj.)
yang digambarkan sebagai ilmuwan modern. Malaikat tukang listrik sedang memegang
telepon" Malaikat kecil entomolog dengan kotak spesimen" Langdon bertanya- tanya
apa pendapat seniman besar Bernini.
"Kita akan bicara di sana," ujar Bellamy, seraya menuntun Longdon melewati
etalase-etalase tahan-peluru berisikan dua buku perpustakaan yang paling
berharga - Alkitab Raksasa Mainz, ditulis- tangan pada 1450-an, dan salinan-
Amerika Alkitab Gutenberg, satu dari tiga salinan sempurna Alkitab Gutenberg
berkertas-kulit yang ada di dunia. Secara serasi, langit-langit berbentuk kubah
di atas kepala dihiasi lukisan enam-panel John White Alexander yang berjudul The
Evolution of the Book. Bellamy langsung melenggang menuju sepasang pintu ganda elegan di bagian tengah
belakang dinding koridor timur. Langdon tampaknya tahu ruangan apa yang ada di
balik pintu- pintu itu, tampaknya itu pilihan aneh untuk tempat bercakap- cakap.
Apalagi rasanya ironis berbicara di sebuah ruangan yang dipenuhi tanda "Harap
Tenang", nyaris tidak menyerupai "tempat aman!" Terletak tepat ruangan ini, di
tengah tata ruang perpustakaan yang berbentuk salib, bilik ini berfungsi sebagai
jantung gedung. Bersembunyi di dalam sana adalah seperti membobol katedral dan
bersembunyi di atas altar. Walaupun demikian, Bellamy membuka pintu-pintu itu,
melangkah ke dalam kegelapan di baliknya, dan meraba-raba tombol lampo. Ketika
dia menyalakan tombol, salah satu mahakarya arsitek agung Amerika itu muncul
dari kehampaan. Ruang baca yang terkenal itu benar-benar memanjakan semua indra.
Sebuah persegi delapan besar menjulang 50 meter di bagi tengahnya, kedelapan
sisinya dilapisi marmer Tennessee cokelat tua, marmer Siena warna krem, dan
marmer Aljazair merah apel. Karena diterangi dari delapan sudut, tidak ada
bayang-bayang yang jatuh di mana pun, menciptakan efek seakan ruangan itu
sendiri yang berkilau. "Beberapa orang mengatakan, ini ruangan paling menakjubkan di Washington," ujar
Bellamy, seraya mengajak Langdon ke dalam.
Mungkin di seluruh dunia, pikir Langdon, ketika melangkah melintasi ambang
pintu. Seperti biasa, pertama-tama pandangannya langsung terangkat ke balok
kasau tengah yang menjulang tinggi. Di sana, cahaya dari panel-panel berhias
melingkupi kubah sampai ke balkon atas. Enam belas patung perunggu mengitari
ruangan, mengintip ke bawah dari pagar tangga. Di bawah mereka, lorong yang
terdiri atas lengkungan-lengkungan gerbang menawan membentuk balkon bawah. Di
lantai bawah, tiga lingkaran konsentris meja kayu mengkilap berpusat pada meja
sirkulasi besar berbentuk persegi delapan.
Langdon kembali mengalihkan perhatian kepada Bellamy, yang kini membuka lebar-
lebar pintu ganda ruangan itu.
"Kupikir, kita sedang bersembunyi," ujar Langdon bingung.
"Jika ada yang memasuki gedung," kata Bellamy, "aku ingin bisa mendengar
kedatangan mereka." "Tapi, bukankah mereka akan langsung menemukan kita di dalam sini?"
"Tak peduli di mana kita bersembunyi, mereka akan menemukan kita. Tapi jika
seseorang memojokkan kita di dalam ruang ini, kau akan senang karena aku memilih
ruangan ini." Langdon sama sekali tidak tahu mengapa, tapi tampaknya Bellamy tidak ingin
mendiskusikannya. Dia sudah bergerak menuju bagian tengah ruangan. Di sana dia
memilih salah satu meja baca yang tersedia, menarik dua kursi, dan menyalakan
lampu baca. Lalu ia menunjuk tas Langdon.
"Oke, Profesor, ayo kita teliti."
Karena tidak ingin menggores permukaan mengilap meja dengan potongan granit
kasar, Langdon mengangkat seluruh tas ke atas meja dan menarik ritsletingnya,
lalu membuka lebar-lebar tas untuk menunjukkan piramida di dalamnya. Warren
Bellamy menyasuaikan lampu baca dan meneliti piramida itu dengan cermat.
Dia menelusurkan jari-jari tangannya pada ukiran yang tidak biasa itu.
"Kurasa, kau mengenali bahasa ini?" tanya Bellamy.
"Tentu saja," jawab Langdon, seraya meneliti keenam belas simbol itu.
Dikenal sebagai Cipher Mason Bebas (Freemason), bahasa tersandi ini digunakan
untuk komunikasi privat di antara saudara-saudara Mason awal. Metode
penyandiannya sudah lama sekali ditinggalkan karena satu alasan sederhana -
terlalu mudah dipecahkan. Sebagian besar mahasiswa di seminar simbologi senior
Langdon bisa memecahkan kode ini dalam waktu sekitar lima menit. Langdon, dengan
sebatang pensil dan kertas, bisa melakukannya dalam waktu kurang dari enam puluh
detik. Kini kemudahan memecahkan skema penyandian yang sudah berabad-abad usianya ini
memberikan beberapa paragraf.
Pertama, pernyataan bahwa Langdon satu-satunya orang di dunia yang bisa
memecahkannya terasa absurd. Kedua, pernyataan Sato bahwa sebuah cipher Mason
merupakan masalah keamanan nasional adalah sama halnya seolah Sato menyatakan
bahwa kode-kode peluncuran nuklir kita ditulis berdasarkan kunci sandi mainan
hadiah dari makanan ringan Cracker Jack. Langdon masih berjuang untuk memercayai
kesemuanya ini. Piramida ini adalah peta" Menunjukkan lokasi kebijakan berabad-
abad yang hilang" "Robert," ujar Bellamy dengan nada serius. "Apakah Direktur Sato mengatakan
mengapa dia begitu tertarik dengan ini?"'
Langdon menggeleng. "Tidak secara spesfiik. Dia hanya terus-menerus mengatakan
bahwa itu masalah keamanan nasional. "Kurasa, dia berbohong."
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkim" kata Bellamy, seraya menggosok-gosok bagian belakang leher. Tampaknya
dia berpikir keras tentang sesuatu.
"Tapi ada kemungkinan yang jauh lebih mencemaskan." Dia berbalik memandang lurus
ke mata Langdon. "Mungkin Direktur Sato sudah mengetahui potensi sejati piramida
ini." BAB 47 Kegelapan yang menyelubungi Katherine Solomon terasa absolut.
Setelah meninggalkan rasa aman dari karpet yang dikenalnya, kini dia bergerak
maju dengan meraba-raba tanpa dapat melihat; sepasang tangannya yang terjulur
hanya menyentuh ruang kosong seiring dia terhuyung-huyung semakin jauh memasuki
kekosongan tanpa suara. Dibawah sepasang kakinya yang berbalut stoking, luas
semen dingin yang tanpa akhir itu terasa seperti danau beku... lingkungan tidak
ramah yang kini harus ditinggalkannya.
Ketika tidak lagi mencium bau etanol, Katherine berhenti dan menunggu dalam
kegelapan. Dia berdiri diam tak bergerak, mendnegarkan, memohon agar jantungnya
berhenti berdentam-dentam begitu keras. Suara langkah-langkah kaki berat
dibelakangnya tampaknya sudah berhenti. Apakah aku sudah lolos darinya"
Katherine memejamkan mata dan mencoba membayangkan di mana dia berada. Ke arah
mana aku berlari" Di mana pintunya" Sia-sia saja. Dia terlalu banyak berputar-
putar, sehingga kini pintu keluar itu bisa berada di mana saja.
Katherine pernah mendengar bahwa rasa takut bertindak seperti perangsang,
mempertajam kemampuan pikiran. Akan tetapi, saat ini ketakutan telah mengubah
pikirannya menjadi gelombang kepanikan dan kebingungan. Seandainya pun menemukan
jalan keluar, dia tidak akan bisa keluar. Kartu- kunci Katherine hilang ketika
dia melepas jubah labnya.
Tampaknya, satu-satunya harapan adalah menjadi sepotong jarum dalam tumpukan
jerami - sebuah titik tunggal dalam kisi-kisi seluas dua ribu delapan ratus
meter persegi. Walaupun dikuasai dorongan untuk lari, benak analitis Katherine mengatakan
kepadanya untuk melakukan satu- satunya tindakan logis - sama sekali tidak
bergerak. Tetap diam. Jangan bersuara. Penjaga keamanan sedang dalam perjalanan.
Dan, untuk alasan tidak diketahuinya, penyerangnya sangat berbau etanol.
Seandainya dia bergerak terlalu dekat, aku akan tahu.
Ketika Katherine berdiri dalam keheningan, benaknya berputar memikirkan
perkataan Langdon. Kakakmu ... dia dibawa. Katherine merasakan sebutir keringat
dingin muncul di lengannya dan menetes menuju ponsel yang masih digenggamnya di
tangan kiri. Itu bahaya yang lupa dipikirkannya. Seandainya ponsel berdering,
posisi Katherine akan ketahuan, dan dia tidak bisa mematikan benda itu tanpa
membuka dan menyalakan layarnya.
Letakkan ponselnya ... dan menyingkirlah dari sana.
Tapi, sudah terlambat. Bau etanol mendekat di sebelah kanan Katherine. Dan kini
baunya semakin tajam. Katherine berusaha tetap tenang, memaksakan diri untuk
mengalahkan insting untuk lari. Dengan hati-hati, dan perlahan-lahan, dia
mengambil langkah ke kiri. Tampaknya, penyerangnya hanya perlu mendengar
gemeresik lemah pakaiannya. Katherine mendengar lelaki itu menerjang dan bau
etanol menyapunya ketika sebuah tangan meraih bahunya. Dia menggeliat
membebaskan diri, dicengkeram kengerian yang teramat sangat. Probabilitas
matematis terlupakan dan Katherine mulai berlari membabi buta. Dia menyimpang
jauh ke kiri, berubah haluan, dan kini berlari ke dalam ruang kosong yang amat
luas. Dinding itu muncul entah dari mana.
Katherine menumbuknya keras-keras, dan langsung kehabisan napas. Rasa sakit
menjalari lengan dan bahunya, tapi dia berhasil mempertahankan posisi berdiri.
Dia menumbuk dinding dengan derajat kemiringan tertentu yang membuatnya lolos
dari kekuatab penuh tumbukan. Tapi, fakta ini hanya sedikit menghiburnya. Suara
tumbukan menggema ke mana-mana. Dia tahu di mana aku. Seraya membungkuk
kesakitan, Katherine menoleh dan ke dalam kegelapan bangsal, dan merasakan
seolah-olah lelaki itu membalas tatapannya.
Ubah lokasimu. Sekarang! Dengan masih berjuang untuk bernapas, Katherine mulai bergerak menyusuri
dinding, pelan-pelan menyentuhkan tangan kirinya pada setiap tiang besi menonjol
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8 Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang Harpa Iblis Jari Sakti 26
perawatan, perbaikan, keamanan, perekrutan personel, dan penetapan kantor-
kantor. "Anehnya...," kata suara di radio, "catatan Arsitek menunjukkan bahwa 'ruang
privat' ini disisihkan untuk digunakan oleh Peter Solomon."
Langdon, Sato, dan Anderson saling bertukar pandangan terkejut.
"Kurasa, Pak," lanjut suara itu, "Mr. Solomon memegang kunci utama kita ke SBB,
dan juga kunci-kunci lainnya untuk SBB Tiga Belas."
Langdon tidak bisa memercayai telinganya. Peter punya ruang privat di bawah
tanah Capitol" Dia selalu tahu bahwa Peter Solomon punya rahasia-rahasia, tapi
ini mengejutkan, bahkan bagi Langdon.
"Oke," kata Anderson, jelas merasa tidak senang. "Kami berharap mendapat akses,
khususnya ke SBB Tiga Belas, jadi teruslah mencari kunci kedua."
"Akan dilaksanakan, Pak. Kami juga sedang mengurus gambar digital yang Anda
minta-" "Terima kasih," sela Anderson, seraya menekan tombol bicara dan memotongnya.
"Cukup. Kirimkan arsipnya ke BlackBerry Direktur Sato, langsung setelah kau
mendapatkannya." "Paham, Pak." Radionya diam.
Anderson menyerahkan radio itu kembali kepada penjaga di depan mereka.
Penjaga itu mengeluarkan selembar fotokopi cetak-biru dan menyerahkannya kepada
atasannya. "Pak, SBB-nya diberi warna kelabu dan ruang SBB Tiga Belas kami
tandai dengan X, jadi seharusnya tidak sulit untuk ditemukan. Areanya cukup
kecil." Anderson berterima kasih kepada penjaga itu, lalu megalihkan perhatiannya pada
cetak-biru ketika lelaki muda itu bergegas pergi. Langdon mengamati, dan
terkejut melihat jumlah menakjubkan ruang-ruang yang membentuk labirin aneh di
bawah U.S. Capitol. Anderson mempelajari cetak-biru itu sejenak, mengangguk lalu memasukkannya ke
dalam saku. Ketika berbalik ke pintu berttanda SBB, dia mengangkat kunci, tapi
merasa bimbang, tampak tidak nyaman membukanya. Langdon merasakan keraguan
serupa; dia tidak tahu apa yang ada di balik pintu ini, tapi cukup yakin bahwa
apa pun yang disembunyikan Solomon di bawah sini, dia pasti ingin tetap
menjaganya agar tetap privat. Sangat privat.
Sato berdeham, dan Anderson memahami maksudnya. Kepala polisi itu menghela napas
panjang, memasukkan kunci ke lubang dan mencoba memutarnya. Kunci tidak
bergerak. Sekejap Langdon berharap kuncinya keliru. Akan tetapi, pada percobaan
kedua kuncinya berputar, dan Anderson menarik pintu agar terbuka.
Ketika pintu tebal itu berderit membuka, udara lembap mengalir keluar memasuki
koridor. Langdon mengintip ke dalam kegelapan, tapi sama sekali tidak bisa melihat apa-
apa. "Profesor," ujar Anderson. Dia kembali menengok Langdon ketika meraba-raba dalam
gelap untuk mencari tombol lampu., "Untuk menjawab pertanyaanmu, huruf S dalam
SBB bukanlah singkatan dari Senat. Itu singkatan untuk sub."
"Sub?" tanya Langdon bingung.
Anderson mengangguk dan menyalakan tombol yang berada persis di belakang pintu.
Sebuah bola lampu tunggal menyinari rangkaian anak tangga sangat curam yang
menurun ke dalam kegelapan total, "SBB adalah sub-ruang bawah tanah
(subbasement) Capitol."
BAB 33 Spesialis keamanan sistem, Mark Zoubianis semakin tenggelam dalam kasur lipatnya
dan mengernyit melihat informasi pada layar laptop.
Alamat macam apa ini"
Sejumlah hacking tool terbaiknya benar-benar tidak efektif untuk membobol
dokumen atau mengungkapkan alamat IP misterius Trish. Sudah sepuluh menit
berlalu, dan program Zoubian-nya masih menggedor dengan sia-sia firewall
jaringan itu. Hanya tampak sedikit harapan untuk menembusnya. Tak heran mereka
membayarku lebih. Dia hendak melakukan retool dan mencoba pendekatan yang
berbeda ketika telepon berdering.
Trish, ya ampun, sudah kukatakan aku akan menelepon.
Dia mematikan volume pertandingan dan menjawab, "Ya?"
"Ini Mark Zoubianis?" tanya seorang lelaki. "Di 357
Kingston. Drive di Washington?"
Zoubianis bisa mendengar percakapan-percakapan teredam lainnya di latar
belakang. Seorang telemarketer di saat pertandingan final" Apa mereka sudah
gila" "Biar kutebak, aku mendapat hadiah liburan satu minggu di Anguilla?"
"Tidak," jawab suara itu, tanpa sedikit pun nada humor.
"Ini, sistem keamanan Central Intelligence Agency. Kami ingin tahu mengapa kau
mencoba menembus salah satu pangkalan data rahasia kami?"
Tiga tingkat di atas sub-ruang bawah tanah Gedung Capitol, di dalam ruang-ruang
luas terbuka pusat pengunjung, penjaga keamanan Nunez mengunci pintu-pintu masuk
utama seperti yang dilakukannya setiap malam pada jam seperti ini. Ketika
kembali melintasi lantai-lantai marmer yang luas, dia teringat kepada lelaki
bertato dan berjaket panjang tentara.
Aku membiarkannya masuk. Nunez bertanya-tanya apakah besok dia masih punya
pekerjaan. Ketika berjalan menuju eskalator, gedoran mendadak di pintu luar membuatnya
berbalik. Dia menyipitkan mata ke arah jalan masuk utama, dan melihat seorang
lelaki tua berkulit hitam di luar sedang menggedor-gedor kaca dengan telapak
tangan terbuka dan memberi isyarat agar diizinkan masuk.
Nunez menggeleng dan menunjuk arloji.
Lelaki itu kembali menggedor-gedor dan melangkah ke dalam cahaya. Dia berpakaian
rapi dalam setelan biru dan berambut kelabu cepak. Denyut nadi Nunez semakin
cepat. Astaga. Bahkan di kejauhan, dia kini mengenali siapa lelaki itu. Dia
bergegas kembali ke jalan masuk dan membuka pintu.
"Maaf, Pak. Silakan, silakan masuk."
Warren Bellamy - Arsitek Capitol - melangkah melintasi ambang pintu dan
berterima kasih kepada Nunez dengan mengangguk sopan. Bellamy gesit dan ramping,
dengan postur tegak dan pandangan menusuk yang dipancarkan seorang lelaki yang
memegang kendali penuh atas sekelilingnya. Selama dua puluh lima tahun terakhir,
Bellamy bertugas sebagai penyelia U.S. Capitol.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Nunez.
"Ya, terima kasih." Bellamy mengucapkan kata-katanya dengan tepat dan tegas.
Sebagai lulusan universitas ternama di timur laut, pemilihan kata-katanya sangat
tepat sehingga dia kedengarannya hampir seperti orang Inggris. " Aku baru saja
tahu kalau terjadi suatu insiden di sini malam ini." Dia tampak sangat khawatir.
"Ya, Pak. Itu-"
"Mana Chief Anderson?"
"Di bawah bersama Direktur Sato dari OS CIA." Mata Bellamy membelalak khawatir.
"CIA di sini?" "Ya, Pak. Direktur Sato tiba tak lama setelah insiden itu terjadi."
"Mengapa?" desak Bellamy.
Nunez mengangkat bahu. Memangnya aku berani bertanya"
Bellamy langsung berjalan menuju eskalator. "Di mana mereka?"
"Mereka baru saja pergi ke tingkat bawah tanah." Nunez gegas mengejarnya.
Bellamy melirik ke belakang dengan pandangan khawatir, "Ke bawah" Mengapa?"
"Saya benar-benar tidak tahu - saya hanya mendengar di radio."
Bellamy kini berjalan lebih cepat. "Bawa aku kepada mereka segera."
"Ya, Pak." Ketika kedua lelaki itu bergegas melintasi ruangan terbuka, Nunez melirik cincin
emas besar di jari tangan Bellamy.
Nunez mengeluarkan radio. "Akan saya beri tahu Chief kalau Anda turun.'"
"Tidak." Mata Bellamy berkilau menyeramkan. "Aku lebih suka datang tanpa
pemberitahuan." Nunez sudag melakukan beberapa kesalahan besar malam ini, tapi tidak memberi
tahu Chief Anderson bahwa Arsitek sudah berada di dalam gedung pasti akan
membuatnya dipecat. "Pak?" katanya dengan gelisah. "Saya rasa, Chief Anderson
akan lebih suka-" "Kau sadar kalau aku yang mempekerjakan Mr. Anderson"
tanya Bellamy. Nunez mengangguk. "Kalau begitu, kurasa dia akan lebih suka jika kau menuruti segala keinginanku."
BAB 34 Trish Dunne memasuki lobi SMSC dan mendongak terkejut. Tamu yang menunggu di
sini sama sekali tidak menyerupai kutu buku pada umumnya, yaitu para doktor
berjaket flanel yang memasuki gedung ini - ahli antropologi, oseanografi,
geologi, ilmu bidang-bidang ilmiah lainnya. Sebaliknya, Dr. Abaddon tampak
hampir aristokratis dalam setelan berjahitan rapi itu. Dia bertubuh tinggi
dengan dada bidang, wajah kecokelatan, dan rambut pirang yang disisir sempurna,
sehingga memberi Trish kesan bahwa lelaki itu lebih terbiasa dengan kemewahan
daripada laboratorium. "Dr. Abaddon, bukan?" sapa Trish, seraya mengulurkan tangan.
Lelaki itu tampak ragu, tapi menggenggam tangan montok Trish dengan telapak
tangannya yang besar. "Maaf. Dan Anda?"
"Trish Dunne," jawab Trish. "Saya asisten Katherine. Beliau meminta saya untuk
mendampingi Anda ke labnya."
"Oh, saya mengerti." Lelaki itu kini tersenyum. "Senang berjumpa dengan Anda,
Trish. Maaf jika saya tampak bingung. Saya mengira Katherine berada di sini
sendirian malam ini." Dia menunjuk ke lorong. "Tapi saya ikut saja dengan Anda.
Tunjukkan jalannya."
Walaupun rasa bingung lelaki itu menghilang dengan cepat, Trish sempat melihat
kilau kekecewaan di matanya. Kini Trish mencurigai motif kerahasiaan Katherine
tadi menyangkut Dr. Abaddon. Romansa yang sedang merekah, mungkin"
Katherine tidak pernah mendiskusikan kehidupan sosialnya, tapi tamunya ini
menarik dan rapi dan, walaupun lebih muda daripada Katherine, lelaki ini jelas
sama-sama berasal dari golongan kaya dan terpandang. Bagaimanapun, pasti dalam
bayangan Dr. Abaddon, tentang kunjungan malam ini, kehadiran Trish tidak
merupakan bagian dari rencananya.
Di pos pemeriksaan keamanan lobi, seorang penjaga cepat melepas headphone, dan
Trish bisa mendengar pertandingan Redskins membahana. Penjaga itu memproses Dr.
Abaddon melalui rutinitas pemeriksaan detektor logam dan pemberian lencana
kunjungan sementara. "Siapa yang menang?" tanya Dr. Abaddon ramah ketika mengeluarkan ponsel,
beberapa kunci, dan pemantik rokok dari saku-sakunya.
"Skins unggul tiga angka," jawab penjaga itu, yang kedengarannya bersemangat
untuk kembali mengikuti pertandingan. "Pertandingan hebat."
"Mr. Solomon akan segera tiba," ujar Trish kepada penjaga itu. "Begitu tiba,
minta beliau untuk langsung menuju lab."
"Baiklah." Penjaga itu berterima kasih dengan mengedip sebelah mata ketika
mereka lewat. "Terima kasih atas infonya. Aku akan pura-pura sibuk."
Komentar Trish bukan hanya demi kepentingan penjaga itu, melainkan juga untuk
mengingatkan Dr. Abaddon bahwa Trish bukan satu-satanya orang yang mengganggu
malam privatnya di sini bersama Katherine.
"Jadi, bagaimana Anda bisa mengenal Katherine?" tanya Trish, seraya mendongak
memandang tamu misteriusnya.
Dr. Abaddon tergelak. "Oh, ceritanya panjang. Kami mengerjakan sesuatu bersama-
sama." Paham, pikir Trish. Bukan urusanku.
"Ini fasilitas yang menakjubkan," ujar Dr. Abaddon, seraya memandang ke
sekeliling ketika mereka menyusuri koridor luar itu. "Sesungguhnya saya belum
pernah kemari." Nada ringan suaranya menjadi semakin ramah seiring setiap langkah, dan Trish
memperhatikan bahwa lelaki itu benar- benar mengamati segalanya. Dalam cahaya
lampu-lampu terang lorong Trish juga mengamati kulit wajah lelaki itu yang
tampak seperti palsu. Aneh. Walaupun begitu, ketika mereka menyusuri koridor-
koridor sepi, Trish menyampaikan ringkasan umum mengenai tujuan dan fungsi SMSC,
termasuk berbagai bangsal dan isinya.
Tamu itu tampak terkesan. "Kedengarannya seakan tempat ini punya harta karun
tersembunyi berupa artefak-artefak berharga. Tadinya saya menduga akan melihat
penjaga ditempatkan di mana-mana."
"Tidak perlu," ujar Trish, seraya menunjuk barisan lensa mata-mata yang
mendereti langit-langit tinggi di atas.
"Keamanan di sini otomatis. Setiap inci koridor direkam dua puluh empat jam
nonstop, jadi koridor ini merupakan tulang unggung fasilitas. Mustahil mengakses
ruangan mana pun dari koridor ini tanpa kartu-kunci dan nomor PIN."
"Penggunaan kamera yang efisien."
"Syukurlah kami belum pernah kecurian. Lagi pula, ini bukan jenis museum yang
akan dirampok oleh siapa pun - tidak banyak permintaan di pasar gelap akan
bunga-bungaan yang sudah punah, kayak-kayak Inuit, atau bangkai cumi-cumi
raksasa." Dr. Abaddon tergelak. "Saya rasa, Anda benar."
"Ancaman keamanan terbesar kami adalah hewan pengerat dan serangga." Trish
menjelaskan betapa bangunan itu mencegah serangan serangga dengan membekukan
semua sampah SMSC, dan juga melalui fitur arsitektural yang disebut "zona
kematian" - sebuah kompartemen hampa di antara dinding-dinding rangkap yang
mengelilingi seluruh bangunan seperti selubung.
"Luar biasa," kata Abaddon. "Jadi, di mana lab Katherine dan Peter?"
Bangsal 5," jawab Trish. "Lurus saja di ujung lorong ini." Abaddon mendadak
berhenti, berputar ke kanan, ke arah sebuah jendela kecil. "Astaga! Lihat itu!"
Trish tertawa. "Ya, itu Bangsal 3. Mereka menyebutnya Bangsal Basah."
"Basah?" tanya Abaddon dengan wajah ditekankan pada kaca.
"Ada sekitar tiga ribu galon etanol cair di dalam sana. Ini bangkai cumi-cumi
raksasa yang saya sebut tadi?"
"Itu cumi-cuminya?" Dr. Abaddon berpaling sejenak ke jendela dengan mata
terbelalak. "Besar sekali!"
"Architeuthis betina," ujar Trish. "Panjangnya lebih dari belas meter."
Dr. Abaddon, yang jelas terpesona melihat cumi-cumi tampaknya tidak mampu
mengalihkan pandangan dari kaca. Sejenak lelaki dewasa itu mengingatkan Trish
kepada bocah laki-laki cilik di jendela toko hewan - berharap bisa masuk dan
melihat anak anjing. Lima detik kemudian, lelaki itu masih menatap penuh harap
melalui jendela. "Oke, oke," kata Trish pada akhirnya, seraya tertawa ketika menyisipkan kartu-
kunci dan mengetikkan nomor PIN. Saya tunjukkan cumi-cuminya."
Ketika melangkah ke dalam dunia Bangsal 3 yang berpenerang suram, Mal'akh
meneliti dinding-dinding untuk mencari kamera keamanan. Asisten pendek gemuk
Katherine itu mulai mengoceh mengenai spesimen-spesimen di dalam ruangan ini.
Mal'akh mengabaikannya. Dia sama sekali tidak berminat pada cumi-cumi raksasa.
Satu-satunya minatnya adalah menggunakan ruangan gelap ini untuk memecahkan
masalah tak terduga. BAB 35 Tangga kayu yang menurun menuju sub-ruang bawah tanah Capitol terasa melampaui
curam dan pendeknya tangga mana pun yang pernah dijejaki Langdon. Napas lelaki
itu kini memburu, dan paru-parunya terasa sesak. Udara di bawah sini dingin dan
pengap, dan mau tidak mau Langdon teringat pada rangkaian tangga serupa yang
pernah dijejakinya beberapa tahun lalu untuk menuju Necropolis Vatikan. Kota
Orang- Orang Mati. Di depannya, Anderson menunjukkan jalan dengan senter. Di belakang Langdon, Sato
mengikuti di dekatnya, terkadang tangan mungilnya mendorong punggung Langdon.
Aku berjalan secepat mungkin. Langdon menghela napas panjang, berusaha
mengabaikan dinding-dinding sempit yang mengapitnya. Hampir tak ada ruang untuk
bahunya di tangga ini, dan tas kulitnya kini menggores-gores dinding.
"Mungkin seharusnya tasmu kau tinggalkan di atas," saran Sato di belakangnya.
"Aku baik-baik saja," jawab Langdon, yang tidak bermaksud melepaskan tas itu
dari pandangan. Dia membayangkan bungkusan kecil Peter, dan tidak bisa
membayangkan hubungan yang mungkin antara bungkusan itu dan semua yang ada di
sub-ruang bawah tanah U.S. Capitol ini.
"Hanya beberapa langkah lagi," ujar Anderson. "Hampir sampai."
Kelompok itu sudah turun ke dalam kegelapan, sudah berjalan melampaui jangkauan
cahaya bola lampu tunggal tangga.
Ketika meninggalkan anak tangga kayu terakhir, Langdon bisa merasakan lantai di
bawah kakinya berupa tanah. Perjalanan ke pusat Bumi. Sato melangkah turun di
belakangnya. Kini Anderson mengangkat senternya, meneliti keadaan sekeliling mereka. Sub-
ruang bawah tanah itu lebih menyerupai koridor ultrasempit yang memanjang tegak
lurus dari tangga. Anderson menyorotkan senter ke kiri, lalu ke kanan, dan
Langdon bisa melihat lorong yang panjangnya hanya sekitar lima belas meter dan
kedua sisinya didereti pintu-pintu kayu kecil. Pintu-pintu itu sangat berdekatan
satu sama lain, sehingga lebar ruang di balik pintu-pintu itu tidak mungkin
lebih dari tiga meter.
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gabungan antara Gudang ACME dan Makam Bawah Tanah Matilla, pikir Langdon ketika
Anderson meneliti cetak-biru. Bagan mungil yang menggambarkan sub-ruang bawah
tanah ditandai dengan X untuk menunjukkan lokasi SBB13. Mau tidak mau Langdon
memperhatikan tata letaknya yang identik dengan mausoleum empat belas makam -
tujuh ruangan menghadap tujuh ruangan - dengan satu ruangan dipakai untuk
meletakkan tangga yang baru saja mereka jejaki. Semuanya tiga belas.
Dia curiga para pendukung teori konspirasi "tiga belas" Amerika akan bersorak-
sorai seandainya mengetahui adanya tiga belas ruang penyimpanan yang terkubur di
bawah U.S. Capitol. Beberapa orang menganggap Lambang Negara Amerika Serikat mencurigakan karena
mempunyai tiga belas bintang, tiga belas anak panah, tiga belas anak tangga
piramida, tiga belas garis perisai, tiga belas daun zaitun, tiga belas zaitun,
tiga belas huruf dalam annuit coeptis, tiga belas huruf dalam e pluribus unum,
dan seterusnya. "Memang tampak telantar," ujar Anderson, seraya menyoroti kan senter ke dalam
bilik yang berada persis di depan mereka. Pintu kayu tebal itu terbuka lebar.
Sorot cahaya senter menerangi bilik batu sempit-lebar sekitar 3 meter dan
panjang sekitar 9 meter - seperti lorong buntu yang tidak menuju ke mana-mana.
Biliknya tidak berisi apa pun, kecuali beberapa kotak kayu bobrok tua dan
beberapa kertas pembungkus kusut.
Anderson menyorotkan senter pada lempeng tembaga yang di pasang pada pintu.
Lempeng itu tertutup lumut, tapi tulisannya masih bisa terbaca:
SBB IV "SBB 4," kata Anderson.
"Yang mana SBB 13?" tanya Sato. Segumpal tipis uap keluar dari mulutnya dalam
udara bawah tanah yang dingin.
Anderson mengalihkan cahaya senter ke ujung selatan koridor. "Di sana."
Langdon mengintip ke dalam lorong sempit itu dan menggigil, merasakan keluarnya
sedikit keringat walaupun udara dingin.
Ketika mereka berjalan melewati sekelompok ambang pintu, semua ruangan tampak
sama, pintu-pintunya terbuka, tampaknya sudah ditelantarkan lama sekali. Ketika
mereka mencapai ujung barisan, Anderson berbalik ke kanan, mengangkat senter
untuk mengintip ke dalam ruang SBB13. Akan tetapi, cahaya senter terhalang oleh
pintu kayu tebal. Tidak seperti ruangan-ruangan lainnya, pintu menuju SBB13
tertutup. Pintu terakhir ini tampak persis seperti pintu-pintu lainnya - berengsel tebal,
berpegangan besi, dan memiliki lempeng nomor dari tembaga berlapis lumut. Tujuh
karakter pada lempeng nomornya sama dengan yang tertera pada telapak tangan
Peter di atas sana. SBB XIII Semoga pintunya terkunci, pikir Langdon.
Sato bicara tanpa ragu, "Coba buka pintunya."
Kepala polisi itu tampak merasa tidak nyaman, tapi dia mengulurkan tangan,
meraih pegangan besi tebal itu, dan menekan ke bawah. Pegangannya tidak
bergerak. Kini dia menyorotkan senter, menerangi sebuah lempeng kunci tebal kuno
dan sebuah lubang kunci. "Coba kunci masternya," saran Sato.
Anderson mengeluarkan kunci utama yang berasal dari pintu masuk di atas, tapi
kunci itu bahkan tidak pas.
"Akukah yang keliru," ujar Sato dengan nada sarkastis, "ataukah seharusnya
Keamanan punya akses untuk setiap pintu gedung, kalau-kalau terjadi keadaan
darurat?" Anderson mengembuskan napas dan berbalik memandang Sato. "Maam, orang-orangku
sedang mencari kunci kedua, tapi-"
"Tembak saja," sela Sato, seraya mengangguk menunjuk lempeng kunci di bawah
pegangan pintu. Denyut nadi Langdon melonjak.
Anderson berdeham, kedengaran tidak nyaman. "Ma'am, aku menunggu kabar mengenai
kunci kedua. Aku ragu, apakah aku akan merasa nyaman meledakkan kunci untuk
masuk -' "Mungkin kau akan merasa lebih nyaman di penjara, karena menghalangi
penyelidikan CIA." Anderson tampak ragu-ragu. Setelah beberapa saat, dengan enggan dia menyerahkan
senter kepada Sato dan membuka sarung pistolnya.
"Tunggu!" teriak Langdon, tak sanggup lagi berdiam diri, "Pikirkan dulu. Peter
lebih memilih untuk menyerahkan tangan kanan daripada mengungkapkan apa pun yang
mungkin ada di balik pintu ini. Kau yakin kita ingin melakukannya" Membuka pintu
ini pada dasarnya mematuhi tuntutan teroris."
"Kau ingin mendapatkan Peter Solomon kembali?" tanya Santo.
"Tentu saja, tapi-"
"Kalau begitu, kusarankan agar kaumelakukan persis seperti yang diminta oleh
penculiknya." "Membuka portal kuno" Kau pikir, ini portalnya?"
Sato menyorotkan senter ke wajah Langdon. "Profesor, aku tidak tahu apa gerangan
ini. Tak peduli unit penyimpanan atau jalan masuk rahasia menuju piramida kuno,
aku berniat membukanya. Apa sudah jelas?"
Langdon menyipitkan mata dalam cahaya senter dan akhirnya menganggungk.
Sato merendahkan senter dan mengarahkannya kembali pada lempeng kunci antik
pintu. "Chief" Ayo."
Dengan masih tampak menentang rencana itu, Anderson mengangkat pistol sangat
perlahan-lahan, seraya menunduk memandangi benda itu dengan ragu.
" Ya ampun!" Kedua tangan mungil Sato teracung, dan dia meraih senjata itu dari
Anderson. Diletakkannya senter ke dalam telapak tangan Andersonyang kini kosong.
"Sorotkan senternya." Dia menangani pistol itu dengan kepercayaan diri seseorang
yang sudah terlatih dengan senjata, langsung menarik pengaman pistol, mengokang,
dan mengarahkannya pada kunci.
"Tunggu!" teriak Langdon. Tapi dia terlambat. Pistol menyalak tiga kali.
Gendang telinga Langdon terasa seakan meledak. Apa dia gila"! Tembakan-tembakan
di ruangan mungil itu memekakkan telinga.
Anderson juga tampak terguncang, tangannya sedikit gemetar ketika menyorotkan
senter ke pintu yang dilubangi peluru itu.
Mekanisme kuncinya kini berantakan, kayu yang mengelilinginya benar-benar
hancur. Kuncinya terlepas, pintunya kini terbuka.
Sato mengulurkan pistol dan menekankan moncongnya pada pintu, lalu mendorongnya.
Pintunya membuka penuh ke dalam kegelapan di baliknya.
Langdon mengintip ke dalam, tapi tidak bisa melihat apa- apa dalam kegelapan.
Astaga, bau apa ini" Bau busuk yang tidak biasa berembus keluar dari kegelapan.
Anderson melangkah melintasi ambang pintu dan menyorotkan senter ke lantai,
mengarahkannya perlahan- lahan di sepanjang lantai tanah kosong itu. Ruangan ini
sama seperti yang lainnya - ruang sempit panjang. Dinding- dindingnya terbuat
dari batu kasar, memberi kesan sel penjara kuno pada ruangan itu. Tapi baunya...
"Tidak ada apa-apa di sini," ujar Anderson, seraya menyorotkan senter semakin
jauh ke lantai bilik. Akhirnya, ketika cahaya mencapai ujung lantai, dia
mengangkat senter untuk menerangi dinding terjauh bilik.
"Astaga... !" teriak Anderson.
Semua orang melihatnya dan terlompat ke belakang.
Langdon menatap ceruk terdalam bilik dengan tidak percaya.
Yang membuatnya ngeri, sesuatu membalas tatapannya!
BAB 36 "Apa gerangan... ?" Di ambang SBB13, Anderson gugup memegangi senter dan mundur
satu langkah. Langdon juga terenyak, begitu juga Sato, yang tampak terkejut untuk pertama
kalinya sepanjang malam ini.
Soto mengarahkan pistol pada dinding belakang dan mengisyaratkan Anderson untuk
kembali menyorotkan senter. Anderson mengangkat senter. Cahayanya hanya remang-
remang ketika mencapai dinding yang jauh, tapi cukup untuk menerangi sebentuk
wajah pucat bagaikan hantu yang membalas tatapan mereka dengan rongga mata tak
bernyawa. Tengkorak manusia. Tengkorak itu tergeletak di atas meja kayu reyot yang diposisikan menempel pada
dinding-belakang bilik. Dua tulang kaki manusia tergeletak di samping tengkorak,
bersama-sama dengan sekumpulan benda lainnya yang diatur cermat di atas meja
bagaikan di dalam kuil - sebuah jam pasir antik, sebuah botol minum kristal,
sebatang lilin, dua cawan berisi bubuk pucat, dan selembar kertas. Tersandar
pada dinding di samping meja, sebentuk sabit panjang mengerikan tampak berdiri
tegak, bilah melengkungnya sama seperti milik malaikat pencabut nyawa.
Sato melangkah ke dalam ruangan. "Wah, ... tampaknya Peter Solomon menyimpan
lebih banyak rahasia daripada yang kubayangkan."
Anderson mengangguk, beringsut mendekat. "Benar-benar rahasia mengerikan." Dia
mengangkat senter dan meneliti seluruh bilik kosong itu. "Dan bau itu?" imbuh-
nya, seraya mengernyitkan hidung. "Apa itu?"
"Sulfur," jawab Langdon datar di belakang mereka.
"Seharusnya ada dua cawan di meja. Cawan di sebelah kanan berisi garam. Dan yang
satunya berisi sulfur."
Sato membalikkan badan dengan tidak percaya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena, Ma'am, ada ruangan-ruangan yang persis seperti ini di seluruh dunia."
Satu tingkat di atas sub-ruang bawah tanah, penjaga keamanan Capitol, Nunez
mendampingi Arsitek Capitol, Warren Bella menyusuri lorong yang memanjang di
ruang bawah tanah bagian timur. Nunez berani bersumpah dia baru saja mendengar
tembakan di bawah sini, teredam dan berasal dari bawah tanah. Mustahil.
"Pintu sub-ruang bawah tanah terbuka," ujar Bellamy, seraya menyipitkan mata
memandang pintu terbuka di ujung lorong di kejauhan.
Benar-benar malam yang aneh, pikir Nunez. Tak seorang pun pernah ke bawah sini.
"Dengan senang hati, saya akan mencari tahu apa yang terjadi," katanya, seraya
meraih radio. "Pergilah ke pos jagamu," ujar Bellamy. "Aku akan baik-baik mulai dari sini."
Nunez beringsut dengan tidak nyaman. "Anda yakin?" Warren Bellamy berhenti, lalu
meletakkan tangan dengan tegas di bahu Nunez. "Nak, aku sudah bekerja di sini
selama dua puluh lima tahun. Kurasa, aku bisa menemukan jalanku sendiri."
BAB 37 Mal'akh pernah melihat beberapa ruangan mengerikan dalam hidupnya, tapi hanya
sedikit yang menyaingi dunia aneh Bangsal ini - Bangsal Basah. Ruangan besar itu
tampak seakan seorang ilmuwan baru saja menguasai supermarket Walmart dan
memenuhi lorong-lorong dan raknya dengan botol spesimen berbagai bentuk dan
ukuran. Berpenerangan seperti kamar gelap fotografi, ruangan itu bermandikan
kabut kemerahan "safelight" yang memancar dari balik rak-rak, menembus ke atas
dan menerangi wadah-wadah berisi etanol. Bau klinik zat-zat kimia pengawet
memualkannya. "Bangsal ini menampung lebih dari dua puluh ribu spesies," kata gadis montok
itu. "Ikan, hewan pengerat, mamalia, reptil."
"Semuanya mati, saya harap?" tanya Mal'akh, seraya berpura-pura terdengar
gelisah. Gadis itu tertawa, "Ya, ya. Semuanya benar-benar sudah mati. Harus saya akui,
saya tidak berani masuk selama setidaknya enam bulan sejak mulai bekerja di
sini." Mal'akh paham mengapa. Ke mana pun mata memandang, tampak botol-botol spesimen
berisi mayat - salamander, ubur- ubur, tikus, serangga, burung, dan lain-lain
yang tidak bisa dikenalinya. Seakan koleksi ini belum cukup menggelisahkan,
safelight kabut merah - yang melindungi spesimen-spesimen sensitif-cahaya ini
dari paparan cahaya jangka-panjang - memberikan kesan kepada pengunjung bahwa
mereka sedang berdiri di dalam sebuah akuarium raksasa. Di dalamnya, makhluk-
makhluk tak bernyawa seakan berkumpul menyaksikan dari bayang-bayang.
"Itu coelacanth," ujar gadis itu, seraya menunjuk wadah Plexiglas besar berisi
ikan terjelek yang pernah dilihat Mal'akh.
"Mereka dianggap sudah punah bersama-sama dengan dinosaurus, tapi ini ditangkap
di luar Afrika beberapa tahun lalu disumbangkan ke Smithsonian."
Baguslah, pikir Mal'akh yang nyaris tidak mendengarkan. Dia sibuk meneliti
dinding-dinding, mencari kamera keamanan. Dia hanya melihat satu - diarahkan ke
pintu masuk. Tidak mengejutkan, mengingat pintu itu mungkin satu-satunya jalan
untuk masuk. "Dan inilah yang ingin Anda lihat...," kata gadis itu, seraya menuntun Mal'akh
ke tangki raksasa yang tadi dilihatnya di jendela. "Spesimen terpanjang kami."
Dia membentangkan lensa di atas makhluk jelek itu, bagaikan seorang pembawa
acara permainan menunjukkan sebuah mobil baru.
"Architeuthis."
Tangki cumi-cumi itu tampak seperti serangkaian bilik telepon dari kaca yang
diletakkan terguling dan disatukan dari ujung ke ujung. Di dalam peti mati
Plexiglas bening panjang itu, sebuah sosok yang sangat pucat dan tak berbentuk
melayang-layang. Mal'akh memandang kepala bulat besar makhluk itu yang seperti
karung dan matanya yang seukuran bola basket. "Nyaris membuat coelacanth
kelihatan tampan," katanya.
"Tunggu sampai Anda melihatnya dalam sorotan cahaya." Trish membuka tutup
panjang tangki. Asap etanol berembus keluar ketika dia merogoh ke dalam tangki
dan menyalakan sebuah tombol persis di atas permukaan cairan. Serangkaian cahaya
fluoresens berpendar menyala di sepanjang bagian dasar tanki, Architeuthis kini
bersinar dalam segala kejayaannya - kepala mahabesar yang melekat pada massa
licin berupa tentakel-tentatakel busuk dan pengisap- pengisap setajam silet.
Trish mulai bicara betapa Architeuthis bisa mengalahkan ikan paus bungkuk dalam
pertarungan. Mal'akh hanya mendengar ocehan kosong. Saatnya sudah tiba.
Trish Dunne selalu merasa sedikit tidak nyaman dalam Bangsal 3, tetapi rasa
dingin yang baru saja menjalari tubuhnya terasa lain.
Terasa kuat. Mendesak. Dia berusaha mengabaikannya, tapi perasaan itu kini berkembang dengan cepat,
mencabik dalam-dalam tubuhnya. Walaupun dia tak bisa menemukan sumber
kegelisahan itu, perasaannya jelas mengatakan bahwa sudah saatnya untuk pergi.
"Nah, itu cumi-cuminya," katanya, seraya merogoh ke dalam tangki dan mematikan
lampu peraga. "Sebaiknya kita kembali menuju lab Katherine-"
Sebuah telapak tangan besar membekap mulut Trish kuat- kuat, menarik kepalanya
ke belakang. Kemudian, sebuah lengan kuat membelit dadanya, mendekapnya pada
dada sekeras-batu. Sejenak Trish terpaku dalam keterkejutan.
Lalu muncul ketakutan itu.
Lelaki itu meraih kartu-kunci Trish dan menariknya keras- keras. Talinya
membakar bagian belakang leher Trish, lalu putus. Kartu-kunci itu jatuh ke
lantai di dekat kaki mereka. Trish melawan, berusaha memutar tubuh, tapi dia
bukan tandingan bagi kuran tubuh dan kekuatan lelaki itu. Dia mencoba berteriak,
tapi tangan lelaki itu tetap membekap mulutnya erat-erat. Lelaki itu membungkuk
dan meletakkan bibirnya di dekat telinga Trish, berbisik, "Kalau aku melepaskan
tangan dari mulutmu, kau tidak akan berteriak. Mengerti?"
Trish mengangguk kuat-kuat, paru-parunya serasa terbakar mencari udara. Aku
tidak bisa bernapas! Lelaki itu melepaskan tangan dari mulut Trish, dan gadis itu terkesiap, menghela
napas dalam-dalam. "Lepaskan aku!" desak Trish, kehabisan napas. "Apa yang kau lakukan?"
"Sebutkan nomor PIN-mu," kata lelaki itu.
Trish benar-benar kebingungan. Katherine! Tolong! Siapa lelaki ini"! "Petugas
keamanan bisa melihatmu!" katanya, walaupun dia tahu sekali kalau mereka berada
di luar jangkauan kamera. Lagi pula, tak seorang pun mengawasi kamera-kamera
itu. "Nomor PIN-mu," ulang lelaki itu. "Yang cocok dengan kartu-kuncimu."
Ketakutan sedingin es mengocok perut Trish, dan dia berbalik dengan kasar,
menggeliat-geliat membebaskan sebelah lengan dan berputar, mencakar mata lelaki
itu. Jari- jarinya mengenai kulit dan mencakar sebelah pipi. Empat luka gelap
memanjang terbentuk di kulit lelaki itu, di tempat Trish mencakarnya. Dan dia
menyadari bahwa garis-garis gelap di pipi lelaki itu bukanlah darah. Lelaki itu
mengenakan make-up yang baru saja dicakar olehnya, mengungkapkan tato-tato gelap
yang tersembunyi di baliknya.
Siapa monster ini"! Dengan kekuatan yang seolah milik manusia-super, lelaki itu memutar Trish dan
mengangkatnya, mendorongnya ke arah tangki cumi-cumi yang terbuka. Wajah Trish
kini berada di atas etanol. Asapnya membakar lubang hidung.
"Sebutkan nomor PIN-mu!" ulang lelaki itu.
Mata Trish terbakar, dan dia bisa melihat kulit pucat cumi- cumi itu terendam di
bawah wajahnya. "Katakan," ujar lelaki itu, seraya mendorong wajah Trish lebih dekat ke
permukaan. "Berapa?"
Tenggorokan Trish kini terbakar. "Nol-delapan-nol-empat," teriaknya, nyaris
tidak bisa bernapas. "Lepaskan aku! Nol- delapan-nol-empat!"
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika kau berbohong," kata lelaki itu, seraya mendorong lebih jauh. Kini rambut
Trish berada di dalam etanol.
"Aku tidak berbohong!" ujar Trish, terbatuk-batuk. "Empat Agustus! Ulang
tahunku!" "Terima kasih, Trish."
Kedua tangan kuat lelaki itu mencengkeram kepala Trish semakin erat, dan tenaga
yang meeremukkan mendorong gadis itu ke bawah, mencemplungkan wajahnya ke dalam
tangki. Rasa panas membakar matanya. Lelaki itu mendorong lebih keras,
memasukkan seluruh kepalanya ke dalam etanol. Trish merasakan wajahnya menekan
kepala gemuk cumi-cumi itu.
Dengan mengumpulkan segenap kekuatan, dia melawan sekuat tenaga, mengangkat
tubuh ke belakang, mencoba menarik kepalanya keluar dari tangki. Tapi, kedua
tangan kuat itu bergeming.
Aku harus bernapas! Trish tetap terendam, berusaha keras untuk tidak membuka membuka mulut. Paru-
parunya serasa terbakar ketika dia memerangi desakan kuat untuk menarik napas.
Tidak! Jangan! Tapi, refleks bernapas gadis itu akhirnya mengambil alih.
Mulutnya membuka, dan paru-parunya mengembang hebat, berusaha menyedot oksigen
yang didambakan tubuhnya. Lewat aliran yang membakar, gelombang etanol memenuhi
mulutnya. Ketika zat kimia itu mengaliri tenggorokan menuju paru-pa- runya, Trish
merasakan rasa sakit yang belum pernah dia bayangkan. Untunglah, rasa sakit itu
hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum dunianya berubah hitam.
Mal'akh berdiri di samping tangki, menenangkan napas dan meneliti kerusakan yang
ditimbulkannya. Perempuan tak bernyawa itu terbaring lunglai di pinggir tangki,
wajahnya masih terbenam dalam etanol. Melihatnya di sana, Mal'akh teringat
kepada satu-satunya perempuan lain yang pernah dibunuhnya.
Isabel Solomon. Dulu sekali. Dalam kehidupan lain.
Kini Mal'akh memandangi mayat lembek perempuan itu. Dia meraih pinggul gemuk
Trish dan mengangkatnya dengan kaki, mengangkat tubuh itu ke atas, mendorongnya
ke depan, sampai perempuan itu mulai meluncur dari pinggiran tangki cumi-cumi.
Trish Dunne menggelincir dengan kepala terlebih dahulu ke dalam etanol. Seluruh
tubuhnya mengikuti, tercemplung ke dalam. Perlahan-lahan riak-riak air
menghilang, meninggalkan perempuan itu melayang-layang lunglai di atas makhluk
laut rajsasa. Ketika pakaian Trish semakin berat, dia mulai tenggelam,
menyelinap ke dalam kegelapan. Sedikit demi sedikit tubuhTrish Dunne tergeletak
di atas makhluk raksasa itu.
Mal'akh mengusap kedua tangannya dan meletakkan kembali tutup Plexiglas, menutup
tangki. Bangsal Basah punya spesimen baru.
Mal'akh mengambil kartu-kunci Trish dari lantai dan, menyelipkannya ke dalam
saku: 0804. Ketika pertama kalinya melihat Trish di lobi, Mal'akh menganggapnya sebagai
sebuah rintangan. Lalu dia menyadari bahwa kartu-kunci dan nomor PIN gadis itu
adalah jaminannya. Walau ruang penyimpanan-data Katherine seaman seperti yang
dikatakan Peter, Mal'akh menduga bakal ada kesulitan untuk membujuk Katherine
untuk membukakannya. Sekarang aku punya kunci sendiri. Dia senang, mengetahui
bahwa dia tak lagi perlu menghabiskan waktu untuk membujuk Katherine.
Ketika Mal'akh berdiri tegak, dia melihat pantulan dirinya sendiri di jendela
dan bisa tahu bahwa make-up-nya rusak parah. Tak penting lagi. Saat Katherine
menyadari rahasianya, segalanya akan sudah terlambat.
BAB 38 "Ini ruangan Mason?" desak Sato, seraya berbalik dari tengkorak itu dan menatap
Langdon dalam kegelapan. Langdon mengangguk tenang. "Di sebut Bilik Perenungan. Ruangan-ruangan ini
dirancang untuk memiliki suasana dingin dan sederhana, tempat anggota Mason bisa
merenungkan kefanaannya. Dengan bermeditasi mengenai kematian yang tak
terhindarkan, seorang anggota Mason memperoleh perspektif yang berharga mengenai
hakikat kehidupan yang tak abadi."
Sato memandang ke sekeliling ruang mengerikan itu, tampaknya tidak merasa yakin.
"Ini semacam ruang meditasi?"
"Pada dasarnya, ya. Bilik-bilik itu selalu menggabungkan simbol-simbol yang sama
- tengkorak dan tulang-tulang yang bersilangan, sabit, jam pasir, sulfur, garam,
kertas kosong sebatang lilin, dan sebagainya. Simbol-simbol kematian
menginspirasi kaum Mason untuk merenungkan bagamiana sebaiknya menjalani
kehidupan saat masih berada di dunia."
"Tampaknya seperti altar kematian," ujar Anderson.
Semacam itulah tujuannya. "Sebagian besar mahasiswa simbologi punya reaksi yang
sama pada awalnya." Langdon sering menugaskan mereka untuk membaca Symbols of
Freemasonry karya Beresniak yang berisikan foto-foto indah Bilik Perenungan.
"Dan para mahasiswamu," desak Sato, "tidak merasa gamang melihat kaum Mason
bermeditasi dengan tengkorak dan sabit?"
"Tidak lebih menggamangkan daripada umat Kristen yang berdoa di kaki seorang
lelaki yang dipakukan pada salib, atau kaum Hindu yang merapal di depan gajah
berlengan-empat yang disebut Ganesha. Salah paham terhadap simbol-simbol sebuah
budayaan merupakan akar prasangka yang umum."
Sato berbalik, tampaknya sedang tidak ingin diceramahi. Dia berjalan menuju meja
artefak. Anderson berusaha menerangi jalan, tapi sorot cahaya senternya mulai
meredup. Dia mengeser bagian belakang senter untuk membuatnya bersinar sedikit
lebih terang. Mereka bertiga semakin dalam memasuki ruangan sempit. Dan bau tajam sulfur
memenuhi lubang hidung Langdon. Sub- ruang bawah tanah itu lembap, dan
kelembapan di udara mengaktifkan sulfur di dalam mangkuk. Sato tiba di meja dan
menunduk menatap tengkorak dan benda-benda yang menyertainya. Anderson bergabung
bersamanya, berusaha semampunya untuk menyinari meja dengan sorot lemah senter.
Sato meneliti semua benda yang ada di atas meja, lalu meletakkan kedua tangan di
pinggang, mendesah. "Sampah macam apa ini?"
Langdon tahu, artefak-artefak di dalam ruangan ini dipilih dan diatur dengan
cermat. "Simbol-simbol transformasi," jelasnya kepada Sato. Langdon merasa
terkungkung ketika beringsut maju dan bergabung bersama mereka di meja.
"Tengkorak atau caput mortuue merepresentasikan transformasi akhir manusia
melalui pembusukan; itu peringatan bahwa kita semua akan melepaskan daging fana
kita suatu hari nanti. Sulfur dan garam merupakan katalisator alkimia yang
memudahkan transformasi. Jam pasir merepresentasikan kekuatan waktu untuk
mentransformasikan." Dia menunjuk lilin yang tidak dinyalakan. "Dan lilin ini
merepresentasikan api primordial perkembangan dan kebangkitan manusia dari
ketidaktahuan - transformasi melalui penerangan."
"Dan... itu?" tanya Sato, seraya menunjuk ke pojok.
Anderson mengayunkan senter redupnya ke sabit raksasa yang bersandar pada
dinding belakang. "Bukan simbol kematian seperti yang diasumsikan banyak orang," jelas Langdon.
"Sabit sesungguhnya simbol makanan bergizi transformatif dari alam - pemanenan
hadiah-hadiah dari alam."
Sato dan Anderson terdiam, tampaknya berusaha mencerna keadaan sekeliling mereka
yang aneh. Langdon ingin sekali keluar dari tempat itu. "Kusadari bahwa ruangan ini mungkin
tampak tidak biasa," ujarnya kepada mereka, "tapi tidak ada yang luar biasa di
sini; ini benar-benar normal. Banyak rumah perkumpulan Mason yang punya bilik-
bilik persis seperti ini."
"Tapi ini bukan rumah perkumpulan Mason!" jelas Anderson. Ini U.S. Capitol, dan
aku ingin tahu mengapa ruangan ini ada di dalam gedungku."
"Terkadang kaum Mason membuat ruangan seperti ini di kantor atau rumah mereka
sebagai ruang meditasi. Ini sudah biasa." Langdon mengenal seorang ahli bedah
jantung di Boston yang mengubah sebuah lemari di kantornya menjadi Bilik
Permenungan Mason, sehingga dia bisa merenungkan kefanaan kehidupan sebelum
melakukan pembedahan. Sato tampak cemas. "Kau bilang Peter Solomon pergi ke bawah sini untuk
merenungkan kematian?"
"Aku benar-benar tidak tahu," jawab Langdon jujur.
"Mungkin dia menciptakannya sebagai tempat perenungan bagi saudara-saudara
Masonnya yang bekerja di gedung ini, memberi mereka tempat perlindungan
spiritual yang jauh dari kekacauan dunia material... sebuah tempat bagi para
pembuat undang-undang yang berkuasa untuk merenung, sebelum membuat keputusan-
keputusan yang memengaruhi sesamanya."
"Sentimen yang indah," ujar Sato dengan nada sarkastis, "tapi aku punya perasaan
bahwa rakyat Amerika mungkin keberatan jika para pemimpin mereka berdoa di dalam
lemari bersama sabit dan tengkorak."
Yah, seharusnya mereka tidak keberatan, pikir Langdon, membayangkan betapa
berbeda dunia seandainya ada lebih banyak pemimpin yang meluangkan waktu untuk
merenungkan kematian sebelum berderap menuju peperangan.
Sato mengerutkan bibir dan meneliti dengan cermat keempat pojok bilik yang
diterangi lilin itu. "Mestinya ada sesuatu di sini, selain tulang-tulang manusia
dan mangkuk- mangkuk bahan kimia Profesor. Seseorang mengangkutmu jauh-jauh dari
rumahmu di Cambridge untuk berada di ruangan ini."
Langdon mencengkeram tas bahunya di samping tubuh; ia masih tidak mampu
membayangkan bagaimana bungkusan yang dibawanya bisa berhubungan dengan bilik
ini. "Ma'am, maaf aku tidak melihat sesuatu pun yang luar biasa di sini." L
berharap setidaknya mereka kini bisa berkonsentrasi mencari Peter.
Senter Anderson kembali meredup, dan Sato berbalik menghadapnya,
ketidaksabarannya mulai tampak. "Demi Tuhan, terlalu banyakkah permintaanku?"
Dia memasukkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan pemantik rokok. Dengan
menekan jempolnya pada pemantik, dia menyulut api dan menyalakan lilin satu-
satunya di meja. Sumbu lilin itu berpendar-pendar, lalu menyala, menyebarkan
cahaya pucat ke seluruh ruangan kecil Bayang-bayang panjang menghiasi dinding-
dinding batu. Ketika api menjadi semakin terang, pemandangan yang tak terduga
muncul di hadapan mereka.
"Lihat!" pekik Anderson seraya menunjuk.
Dalam cahaya lilin, mereka kini bisa melihat petak-petak graffiti pudar-tujuh
huruf besar yang dicoretkan pada dinding belakang.
VITRIOL "Pilihan kata yang aneh," ujar Sato, ketika cahaya lilin memproyeksikan siluet
mengerikan berbentuk tengkorak di atas huruf-huruf itu.
"Sesungguhnya itu singkatan," jelas Langdon. "Ditulis pada dinding belakang
sebagian besar bilik seperti ini sebagai singkatan mantra meditatif Mason:
Visita interiora terrae, rectificando invenien occultum lapidem."
Sato mengamati Langdon, tampak nyaris terkesan.
"Artinya?" "Kunjungi bagian-dalam bumi, dan melalui perbaikan, kau akan menemukan batu
tersembunyi." Pandangan Sato menajam. "Apakahbatu tersembunyi itu ada hubungannya dengan
piramida tersembunyi?"
Langdon mengangkat bahu, tidak ingin menyemangati perbandingan itu.
Mereka yang suka berkhayal soal piramida tersembunyi di Washington akan
mengatakan bahwa occultum lapidem mengacu pada piramida batu. Ya. Yang lain akan
mengatakan bahwa istilah itu mengacu pada Batu Bertuah-substansi yang dipercaya
para alkemis bisa mendatangkan kehidupan abadi atau mengubah timah menjadi emas.
Yang lain menyatakan bahwa istilah itu mengacu pada 'Yang Tersuci dari Yang
Suci', sebuah bilik batu tersembunyi di perut Kuil Agung. Beberapa mengatakan,
istilah itu merupakan pengacuan Kristen pada ajaran-ajaran tersembunyi Santo
Petrus - sang Batu Karang. Setiap tradisi esoteris menginterpretasikan 'batu'
dengan caranya sendiri, tapi occultum lapidem selalu merupakan sumber kekuatan
dan pencerahan." Anderson berdeham. "Mungkinkah Solomon berbohong kepada lelaki ini" Mungkinkah
dia menceritakan ada sesuatu di bawah sini... yang sesungguhnya tidak ada?"
Langdon juga punya pikiran yang serupa.
Tanpa disertai peringatan, api lilin berpendar-pendar, seakan terkena aliran
udara. Lilin itu meredup sejenak, lalu pulih, menyala terang kembali.
"Itu aneh," ujar Anderson. "Kuharap, tak seorang pun menutup pintu di atas." Dia
berjalan keluar dari bilik, memasuki kegelapan lorong. "Halo?"
Langdon nyaris tidak memperhatikan kepergian Anderson. Pandangannya mendadak
tertuju pada dinding belakang.
Apa yang baru saja terjadi"
"Kau melihatnya?" tanya Sato, yang juga menatap dinding dengan khawatir.
Langdon mengangguk, denyut nadinya semakin cepat. Apa yang baru saja kulihat"
Sedetik yang lalu, dinding belakang itu tampak berkilat, seakan riak energi baru
saja melewatinya. Kini Anderson berjalan kembali memasuki ruangan. "Tak ada seorang pun di luar
sana." Ketika dia masuk, dinding itu kembali berkilau. "Astaga!" teriaknya,
seraya melompat mundur. Ketiganya berdiri membisu untuk waktu yang lama, semua menatap dinding belakang.
Langdon merasakan rasa dingin itu menjalari tubuhnya ketika menyadari apa yang
sedang mereka, lihat. Dia mengulurkan tangan dengan ragu, sampai ujung-ujung,
jarinya menyentuh permukaan belakang bilik.
"Bukan dinding." katanya.
Anderson dan Sato melangkah lebih dekat, mengintip dengan serius.
"Itu kanvas," kata Langdon.
"Tapi berkibar-kibar," ujar Sato cepat.
Ya, dengan cara yang sangat aneh. Langdon meneliti permukaan kanvas dengan lebih
cermat. Kilau pada kanvas membiaskan cahaya lilin dengan cara yang mengejutkan,
karena kanvas baru saja berkibar menjauhi ruangan... bergerak-gerak ke belakang,
melewati bidang dinding belakang.
Dengan sangat perlahan-lahan, Langdon memanjangkan jari-jari tangannya yang
teruulur, menekan kanvas itu ke belakang.
Dengan terkejut, dia menarik tangannya kembali. Ada lubang!
"Tarik ke pinggir," perintah Sato.
Kini jantung Langdon berdentam-dentam liar. Dia mengulurkan tangan dan
mencengkeram pinggiran kain kanvas itu, lalu perlahan-lahan menariknya ke satu
sisi. Dia menatap dengan ridak percaya pada apa yang tersembunyi di belakang
kanvas. Astaga. Sato dan Anderson berdiri terpaku dalam keheningan ketika memandang lewat lubang
pada dinding belakang. Akhirnya, Sato bicara. "Tampaknya kita baru saja menemukan piramida kita."
BAB 39 Robert Langdon menatap lubang pada dinding belakang bilik. Sebuah bentuk persegi
empat sempurna melubangi dinding belakang bilik, tersembunyi di balik kain
kanvas. Lubang itu, yang berukuran melintang kira-kira sembilan puluh
sentimeter, tampaknya dibuat dengan melepaskan serangkaian batu bata. Sejenak,
dalam kegelapan, Langdon mengira lubang itu adalah jendela menuju ruangan di
baliknya. Kini dia menyadari kekeliruannya.
Lubang itu hanya memanjang beberapa puluh sentimeter ke dalam dinding, lalu
berakhir. Seperti lubang-surat yang dibuat secara kasar, cekungan ceruk itu
mengingatkan Langdon pada ceruk museum yang dirancang untuk menampung sebuah
patung kecil. Ceruk ini juga memajang sebuah benda kecil.
Dengan tinggi sekitar sembilan inci, benda itu berupa sebuah granit padat
berukir. Permukaannya elegan dan halus, dengan keempat sisinya dipoles dan
berkilauan dalam cahaya lilin.
Langdon tidak bisa memahami mengapa benda itu berada di sini. Piramida batu"
"Dari pandangan terkejutmu," ujar Sato, yang tampak puas dengan dirinya sendiri,
"kurasa, benda ini bukan benda tipikal di dalam sebuah Bilik Perenungan?"
Langdon menggeleng. "Kalau begitu, kau mungkin ingin mengoreksi pernyataan- pernyataanmu tadi
mengenai legenda Piramida Mason yang tersembunyi di Washington?" Kini nada
suaranya nyaris bangga. "Direktur," jawab Langdon segera, "piramida kecil ini bukan piramida Mason."
"'Jadi hanya kebetulan jika kita menemukan sebuah piramida yang tersembunyi di
jantung U.S. Capitol di dalam sebuah bilik rahasia milik seorang pemimpin
Mason?" Langdon menggosok-gosok mata dan mencoba berpikir' jernih. "Ma'am, piramida ini
sama sekali tidak menyerupai mitosnya. Piramida Mason digambarkan sebagai
piramida yang sangat besar, dengan puncak yang ditempa dari emas murni." Lagi
pula, Langdon tahu bahwa piramida kecil ini - dengan puncak rata - bahkan bukan
piramida sejati. Tanpa puncaknya piramida ini menjadi simbol yang benar-benar
berbeda. Dikenal sebagai Piramida yang Belum Selesai, benda ini merupakan
peringatan simbolis bahwa kenaikan seseorang menuju potensi manusia sepenuhnya
selalu berupa proses usaha yang tiada habisnya. Hanya sedikit orang yang
menyadari bahwa simbol ini adalah simbol yang paling banyak dipublikasikan di
dunia. Dicetak lebih dari dua puluh miliar. Menghiasi setiap uang kertas sepuluh
dolar yang beredar, dengan sabar Piramida yang Belum Selesai itu menunggu batu-
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puncaknya yang berkilau, yang melayang di atasnya sebagai pengingat atas takdir
Amerika yang belum dipenuhi dan pekerjaan yang masih harus dilakukan, baik
sebagai negara maupun sebagai individual.
"Turunkan," ujar Sato kepada Anderson, seraya menunjuk piramida itu. "Aku ingin
melihatnya lebih dekat." Dia mulai menyiapkan ruang di meja dengan menyingkirkan
tengkorak dan tulang-tulang menyilang itu ke satu sisi tanpa rasa hormat sama
sekali. Langdon mulai merasa seakan mereka adalah para perampok kuburan yang sedang
mencemari kuil pribadi. Anderson berjalan melewati Langdon, mengulurkan tangan ke dalam ceruk, dan
meletakkan sepasang telapak tangannya pada kedua sisi piramida. Lalu, karena
nyaris tak mampu mengangkat benda itu dari sudut aneh ini, dia menggelincirkan
piramida itu ke arahnya dan menurunkannya dengan bunyi berdebuk keras ke atas
meja kayu. Dia melangkah mundur untuk memberi Sato ruang.
Direktur itu menempatkan lilin di dekat piramida dan mempelajari permukaan
mengilapnya. Perlahan-lahan dia menelusurkan jari-jari mungilnya, meneliti
setiap inci puncak datarnya, lalu sisi-sisinya. Dia mendekapkan kedua tangannya
pada piramida untuk merasakan bagian belakangnya, lalu mengernyit menunjukkan
kekecewaan. "Profesor, tadi kau bilang Piramida Mason dibangun untuk melindungi informasi
rahasia." "Begitulah legendanya, ya."
"Jadi, secara hipotetis, jika penculik Peter percaya ini adalah piramida Mason,
dia akan percaya bahwa benda ini berisi informasi rahasia."
Langdon mengangguk dengan putus asa. "'Ya, walaupun, seandainya dia menemukan
informasi tersebut, dia mungkin tidak akan bisa membacanya. Menurut legenda, isi
piramida disandikan, membuatnya tidak bisa dipahami... kecuali oleh orang-orang
yang layak." "Maaf?" Walaupun semakin tidak sabar, Langdon menjawab dengan nada datar. "Harta karun
mitologis selalu dilindungi oleh tes kelayakan. Seperti yang mungkin kau ingat,
dalam legenda Pedang-dalam-Batu, batu itu menolak menyerahkan pedang kecuali
kepada Arthur yang secara spiritual siap menggunakan kekuatan menakjubkan pedang
itu. Piramida Mason didasarkan pada gagasan yang sama. Dalam hal ini, hartanya
adalah informasi itu, dan dikatakan ditulis dalam bahasa sandi - bahasa sandi
yang tersusun dari kata-kata yang telah terlupakan dalam sejarah - hanya bisa
dibaca oleh orang- orang yang layak."
Senyum kecil tersungging di bibir Sato. "Itu mungkin menjelaskan mengapa kau
dipanggil ke sini malam ini."
"Maaf?" Dengan tenang, Sato memutar piramida itu di tempatnya, mememutarnya 180 derajat
penuh. Kini sisi keempat piramida bersinar dalam cahaya lilin.
Robert Langdon menatap, benda itu dengan terkejut.
"Tampaknya," ujar Sato, "seseorang percaya bahwa kita layak."
BAB 40 Mengapa Trish begitu lama"
Sekali lagi Katherine Solomon menengok arloji. Dia lupa memperingatkan Dr.
Abaddon mengenai perjalanan aneh menuju lab, tapi dia tidak bisa membayangkan
kegelapan memperlambat mereka sampai sejauh ini. Seharusnya mereka kini sudah
tiba. Katherine berjalan menuju pintu keluar dan membuka pintu berlapis-timah itu,
menatap ke dalam kekosongan. Dia mendengarkan sejenak, tapi tidak mendengar apa-
apa. "Trish?" panggilnya. Suaranya ditelan oleh kegelapan. Hening.
Dengan bingung, dia menutup pintu, mengeluarkan ponsel, lalu menelepon lobi.
"Ini Katherine. Trish ada di sana?"
"Tidak, Ma'am," jawab penjaga lobi. "Dia dan tamu Anda berjalan ke dalam sekitar
sepuluh menit yang lalu."
"Benarkah" Kurasa, mereka bahkan belum berada di dalam Bangsal 5."
"Tunggu. Akan saya cek." Katherine bisa mendengar jari- jari tangan penjaga itu
menekan papan tik komputer. "Anda benar. Menurut catatan kartu-kunci Miss.
Dunne, dia belum membuka pintu Bangsal 5. Akses terakhirnya sekitar delapan
menit yang lalu... di Bangsal 3. Saya rasa, dia memberikan tur kecil kepada tamu
Anda dalam perjalanan masuk."
Katherine mengernyit. Tampaknya. Berita itu sedikit aneh, tapi setidaknya dia
tahu Trish tidak akan lama berada di dalam Bangsal 3. Baunya sangat tidak enak
di dalam sana. "Terima kasih. Kakakku sudah datang?"
"Belum, Ma'am, belum."
"Terima kasih."
Ketika menutup telepon, Katherine merasakan sedikit rasa gelisah yang tak
terduga. Perasaan tidak nyaman ini membuatnya berhenti, tapi hanya sejenak. Itu
ketidaktenangan yang sama yang tadi dirasakannya ketika melangkah ke dalam rumah
Dr. Abaddon. Secara memalukan, intuisi perempuannya telah menipunya di sana.
Dengan parah. Tidak ada apa-apa, kata Katherine kepada diri sendiri.
BAB 41 Robert Langdon meneliti piramida batu itu. Ini mustahil.
"Bahasa sandi kuno," ujar Sato tanpa mendongak.
"Katakan, apakah ini memenuhi syarat?"
Pada sisi piramida, enam belas karakter terukir dengan cermat pada permukaan
batu yang halus. (Gambar 3) Di samping Langdon, mulut Anderson kini ternganga, mencerminkan keterkejutan
Langdon sendiri. Anderson tampak seakan baru saja melihat semacam keyboard
makhluk luar angkasa. "Profesor?" tanya Sato. "Kuasumsikan kau bisa membacanya" "
Langdon menoleh. "Mengapa kau berasumsi seperti itu?"
"Karena kau dibawa kemari, Profesor. Kau dipilih. Inskripsi ini tampaknya
semacam kode dan, mengingat reputasimu, tampaknya jelas bagiku bahwa kau dibawa
kenari untuk memecahkannya."
Langdon harus mengakui bahwa, setelah pengalamannya di Roma dan Paris,
permintaan terus mengalir untuk memecahkan beberapa kode terkenal yang belum
terpecahkan dalam sejarah Cakram Phaistos, Cipher Dorabella, Manuskrip Voynich
yang misterius. Sato menelusurkan jari tangannya pada inskripsi itu.
"Bisa kau ceritakan arti ikon-ikon ini?"
Bukan ikon, pikir Langdon. Semuanya simbol. Bahasanya langsung dikenali oleh
Langdon - bahasa kode dari abad ke-1
7. Langdon tahu sekali cara memecahkannya. "Ma'am, "
ujarnya bimbang, "piramida ini harta pribadi Peter."
"Pribadi atau bukan, jika kode ini memang alasan kau dibawa ke Washington, aku
tidak memberimu pilihan. Aku ingin tahu apa yang dikatakannya."
BlackBerry Sato berdenting keras, dan dia mengeluarkannya dari saku, membaca
pesan yang masuk selama beberapa saat. Langdon mengagumi jaringan nirkabel
internal Gedung Capitol yang menjangkau hingga sejauh ini.
Sato menggeram dan mengangkat sepasang alisnya, memandang Langdon dengan aneh.
"Chief Anderson?" panggilnya, seraya berbalik kepada lelaki itu, "Bisa bicara
secara pribadi?" Direktur itu mengisyaratkan Anderson untuk bergabung
bersamanya, dan mereka menghilang ke dalam lorong gelap gulita, meninggalkan
Langdon sendirian dalam cahaya filin berpendar-pendar di Bilik Perenungan Peter.
Chief Anderson bertanya-tanya kapan malam ini akan berakhir. Tangan terpenggal
di Rotundaku" Kuil kematian di ruang bawah tanah" Ukir-ukiran aneh pada piramida
batu" Entah bagaimana, pertandingan Redskins tidak lagi terasa penting.
Seiring mengikuti Sato ke dalam kegelapan lorong, Anderson menyalakan senter.
Cahayanya lemah, tapi lebih baik daripada tidak ada. Sato menuntunnya beberapa
meter ke dalam lorong, lepas dari pandangan Langdon.
"'Lihat ini," bisiknya, seraya menyerahkan BlackBerry kepada Anderson.
Anderson mengambil alat itu dan menyipitkan mata memandang layarnya yang
berpendar terang. Layamya menyajikan gambar hitam-putih - gambar sinar-X tas
Langdon yang tadi diminta Anderson untuk dikirimkan ke BlackBerry Sato. Seperti
dalam semua gambar sinar-X, benda-benda terpadat tampak berwarna putih paling
cemerlang. Di dalam tas Langdon, kecemerlangan sebuah benda mengalahkan semua
benda lainnya. Benda itu, yang jelas sangat padat, berkilau seperti permata
menakjubkan di antara berbagai benda lainnya yang berwarna lebih suram.
Bentuknya tidak mungkin keliru.
Dia membawa-bawa benda itu sepanjang malam" Anderson memandang Sato dengan
terkejut. "Mengapa Langdon tidak menceritakannya?"
"Pertanyaan yang sangat bagus," bisik Sato.
"Bentuknya ... itu tidak mungkin kebetulan."
"Ya," ujar Sato. Kini nada suaranya berang. "Menurutku tidak."
Suara gemeresik samar-samar di koridor menarik perhatian Anderson. Dengan
terkejut, dia mengarahkan senter ke lorong yang gelap. Cahaya lemah senter hanya
memperlihatkan koridor kosong yang didereti pintu terbuka.
"Halo?" panggil Anderson. "Ada orang di sana?" Hening.
Sato memandangnya aneh, tampaknya dia tidak mendengar apa-apa.
Anderson mendengarkan beberapa saat lagi, lalu menggelengkan kepala. Aku harus
keluar dari sini. Sendirian di dalam bilik dengan cahaya lilin, Langdon menelusurkan jari-jari
tangannya pada pinggiran-pinggiran tajam ukiran piramida itu. Dia penasaran
ingin tahu apa yang dikatakan oleh piramida itu, tapi tidak ingin mengganggu
privasi Peter Solomon lebih jauh lagi daripada yang sudah mereka lakukan. Lagi
pula, mengapa orang gila itu peduli pada piramida kecil ini"
"Kami mendapat masalah, Profesor," suara Sato terdengar lantang di belakang
Langdon. "Aku baru saja menerima sepotong informasi baru, dan aku sudah muak
dengan segala kebohonganmu."
Langdon berbalik dan melihat Direktur OS itu bergegas mendekat dengan BlackBerry
di tangan dan mata menyala- nyala berang. Dengan terkejut, Langdon memandang
Anderson, meminta bantuan, tapi kepala keamanan itu kini berdiri menjaga pintu
dengan raut wajah tidak simpatik. Sato tiba di hadapan Langdon dan menyorongkan
BlackBerry-nya ke wajah Langdon.
Dengan bingung Langdon memandangi layar itu, yang merupakan foto hitam-putih
terbalik seperti negatif film pucat. Foto itu tampak menunjukkan berbagai benda
yang salah satunya bersinar sangat terang. Walaupun miring dan tidak berada di
tengah, benda paling cemerlang itu jelas berbentuk piramida lancip kecil.
Piramida mungil" Langdon memandang Sato. "'Apa ini"' Pertanyaan itu tampaknya
hanya membuat Sato semakin berang. "Kau berpura-pura tidak tahu?"
Kesabaran Langdon habis. "Aku tidak berpura-pura! Aku belum pernah melihat benda
ini dalam hidupku!" "Omong kosong!" bentak Sato. Suaranya mengiris tajam di ruang bawah tanah yang
berbau lembap. "Kau membawa- bawanya di dalam tasmu sepanjang malam!"
"Aku-" Langdon terdiam di tengah kalimat. Matanya bergerak perlahan-lahan menuju
tas yang tersandang di bahunya. Lalu dia memandang BlackBerry itu lagi.
Astaga... bungkusan itu. Dia memandang gambar itu dengan lebih cermat. Kini dia
melihatnya. Sebuah kubus pucat yang menyelubungi piramida. Dengan terpana,
Langdon menyadari bahwa dia sedang memandang gambar sinar-X tasnya... dan juga
bungkusan misterius Peter yang berbentuk kubus. Kubus itu sesungguhnya kotak
berongga... berisikan sebuah piramida kecil.
Langdon membuka mulut untuk bicara, tapi kata-kata tak mau keluar. Dia merasa
sesak napas ketika kesadaran baru menerpa.
Sederhana. Murni. Mengguncang.
Astaga. Dia kembali memandang piramida batu terpotong di atas meja. Puncaknya
datar - area persegi empat kecil - ruang kosong yang secara simbolis menunggu
potongan terakhirnya Potongan yang akan mengubahnya dari Piramida yang Belum
selesai menjadi Piramida Sejati.
Kini Langdon menyadari bahwa piramida mungil yang dibawanya bukanlah sebuah
piramida. Itu batu-puncak. Seketika dia tahu mengapa hanya dirinya yang bisa
mengungkapkan misteri piramida ini.
Aku memegang potongan terakhirnya.
Dan ini memang... sebuah jimat - talisman.
Ketika Peter bilang bungkusan itu berisi jimat, Langdon tertawa. Kini ia
menyadari kebenaran ucapan temannya. Batu- puncak mungil ini memang jimat, tapi
bukan jenis yang ajaib... ini jenis yang jauh lebih kuno. Jauh sebelum talisman
- jimat punya konotasi-konotasi ajaib, kata itu punya arti lain, yaitu
"penyelesaian". Dari kata Yunani telesma, artinya "selesai", talisman adalah
benda atau gagasan apa pun yang melengkapi benda atau gagasan lain dan
membuatnya utuh. Elemen penyelesaian. Jika bicara secara simbolis, batu-puncak
adalah talisman tertinggi, mengubah Piramida yang Belum Selesai menjadi sebuah
simbol kesempurnaan yang lengkap.
Kini Langdon merasakan adanya sebuah kaitan ganjil yang memaksanya menerima
sebuah kenyataan yang sangat aneh: dengan mengecualikan ukurannya, piramida batu
di Bilik Perenungan Peter tampaknya berubah, sedikit demi sedikit, menjadi
sesuatu yang samar-samar menyerupai Piramida Mason dalam legenda.
Dari kecemerlangan yang diperlihatkan batu-puncak itu dalam sinar-X, Langdon
curiga benda itu terbuat dari logam... logam yang sangat padat. Langdon sama
sekali tidak tahu apakah itu emas padat atau bukan, dan dia tidak ingin
membiarkan pikirannya menipunya. Piramida ini terlalu kecil. Kodenya terlalu
mudah dibaca. Dan demi Tuhan, itu, kan, hanya mitos!
Sato mengamati Langdon. "Sebagai lelaki cerdas, Profesor, kau telah membuat
pilihan-pilihan tolol malam ini. Berbohong kepada Direktur intelijen" Sengaja
menghalangi penyelidikan CIA?"
"Bisa kujelaskan, jika kau mau mendengarkan."
"Kau akan menjelaskannya di markas CIA. Saat ini aku menahanmu."
Tubuh Langdon mengejang. "Kau tidak mungkin serius."
"Sangat serius. Aku sudah menjelaskan sejelas-jelasnya padamu bahwa yang
dipertaruhkan malam ini sangat tinggi, dan kau memilih untuk tidak bekerja sama.
Sangat kusarankan agar kau mulai memikirkan cara menjelaskan inskripsi pada
piramida. Karena, ketika kita tiba di CIA...." Dia mengangkat BlackBerry-nya dan
memotret dari dekat ukiran pada piramida batu itu, "para analisku akan sudah
memulainya." Langdon membuka mulut untuk memprotes, tapi Sato berpaling kepada Anderson di
pintu. "Chief," panggilnya, "masukkan piramida batu itu ke dalam tas Langdon dan
bawa tasnya, Aku akan menangani penahanan Mr. Langdon. Berikan senjatamu!" Wajah
Anderson tanpa ekspresi ketika dia melangkah ke dalam bilik sambil membuka
sarung pistol yang tersandang di bahunya. Dia menyerahkan pistolnya kepada Sato,
yang langsung mengarahkannya kepada Langdon.
Langdon menyaksikan seakan dalam mimpi. Ini tidak mungkin terjadi.
Kini Anderson menghampiri Langdon dan melepaskan tas di bahunya, membawanya ke
meja, dan meletakkannya di atas kursi. Dia menarik ritsleting tas, membukanya,
lalu mengangkat piramida-batu berat itu dari meja dan memasukkannya ke dalam
tas, bersama-sama dengan buku catatan Langdon dan bungkusan mungil itu. Mendadak
terdengar suara gemeresik gerakan di lorong. Siluet gelap seorang lelaki muncul
di ambang pintu, bergegas memasuki bilik dan dengan cepat berada dibelakang
Anderson. Kepala keamanan itu tidak melihatnya masuk. Orang asing itu langsung
merendahkan bahu dan menabrak punggung Anderson. Kepala keamanan meluncur ke
depan, kepalanya membentur pinggiran ceruk batu. Dia jatuh dengan keras,
terkulai di atas meja, menyebabkan tulang-tulang dan artefak- artefak di atasnya
berhamburan. Jam-pasir pecah berantakan di lantai. Lilin terguling ke lantai,
masih menyala. Sato terhuyung-huyung di antara kekacauan itu, mengangkat pistol, tapi orang
asing itu meraih sebuah tulang paha, mengayunkannya, menghantam bahu Sato.
Perempuan itu berteriak kesakitan.
Sato jatuh telengkang, menjatuhkan senjatanya. Pendatang baru tadi menendang
pistol untuk menyingkirkannya, lalu berputar menghadap Langdon. Lelaki itu
bertubuh tinggi ramping, seorang lelaki Afrika-Amerika elegan yang belum pemah
dilihat Langdon. "Ambil piramidanya!" perintah lelaki itu. "Ikuti aku!"
BAB 42 Jelas lelaki Afrika-Amerika yang menuntun Langdon melewati labirin ruang bawah
tanah Capitol adalah seseorang yang berkuasa. Selain mengetahui jalan melewati
semua koridor samping dan ruang belakang, orang asing elegan itu membawa
serangkaian kunci yang tampaknya bisa membuka semua pintu yang menghalangi jalan
mereka. Langdon mengikuti, cepat-cepat berlari menaiki tangga yang tak dikenalnya.
Ketika mereka naik, dia merasakan tas kulit mengiris tajam bahunya. Piramida itu
begitu berat, sehingga Langdon khawatir tali tasnya akan putus.
Kejadian beberapa menit yang lalu bertentangan dengan semua logika, dan kini
Langdon mendapati dirinya bergerak hanya berdasarkan naluri. Perasaannya
mengatakan agar dia memercayai orang asing ini. Selain menyelamatkan Langdon
dari penahanan Sato, lelaki itu juga melakukan tindakan berbahaya untak
melindungi piramida misterius Peter Solomon. Apa pun arti piramida itu. Walaupun
motivasinya masih misterius, Langdon sudah melirik kileu emas di tangan lelaki
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu yang menjelaskan segalanya - cincin Mason - phoenix berkepala-dua dan angka
33. Peter Solomon dan lelaki ini lebih dari sekadar teman terpercaya. Mereka
saudara Mason derajat tertinggi.
Langdon mengikutinya ke puncak tangga, memasuki koridor lain, lalu melewati
pintu tanpa-tanda menuju lorong fungsional. Mereka lari melewati kotak-kotak
persediaan barang dan kantong-kantong sampah, lalu mendadak berbelok melewati
sebuah pintu untuk petugas, memasuki dunia yang benar-benar tak terduga -
semacam gedung bioskop. Lelaki yang lebih tua daripada Langdon itu menuntun
jalan menyusuri lorong samping, keluar melalui pintu-pintu utama memasuki
terangnya atrium besar. Kini Langdon menyadari bahwa mereka berada di dalam visitor center, tempat yang
dimasukinya tadi malam. Sayangnya, ada seorang petugas polisi Capitol di sana.
Setelah berhadap-hadapan, ketiganya berhenti, saling berpandangan satu sama
lain. Langdon mengenali petugas Hispanik muda dari pos pemeriksaan sinar-X tadi
malam itu. "Officer Nunez,"' sapa lelaki Afrika-Amerika itu. "Jangan ucapkan sepatah kata
pun. Ikuti aku." Petugas itu tampak tidak nyaman, tapi mematuhi tanpa bertanya-tanya.
Siapa lelaki ini" Ketiganya bergegas menuju pojok tenggara visitor center. Di sana mereka mencapai
sebuah foyer kecil dengan serangkaian pintu tebal yang dihalangi kerucut-kerucut
oranye. Pintu-pintu itu disegel dengan pita perekat, tampaknya untuk menjaga
agar debu - yang berasal dari apa pun yang terjadi di balik pintu - tidak keluar
ke visitor center. Lelaki itu menjulurkan tangan ke atas dan mengelupas pita
dari pintu. Lalu dia memilah-milah kunci seraya bicara kepada penjaga itu.
"Teman kita, Chief Anderson, berada di sub-ruang bawah tanah. Mungkin dia
terluka. Kau perlu memeriksanya."
"Baik,. Pak." Nunez tampak bingung sekaligus khawatir.
"Yang terpenting, kau tidak melihat kami" Lelaki itu menernukan sebuah kunci,
melepaskannya dari rangkaian, dan menggunakannya untuk membuka gembok besar dan
berat. Dia membuka pintu besi itu dan melemparkan kuncinya kepada penjaga.
"Kuncilah pintu ini setelah kami masuk.
Rekatkan kembali pitanya sebisa mungkin. Kantongi kunci itu dan jangan
mengucapkan sepatah kata pun. Kepada siapa saja. Termasuk kepala keamanan.
Apakah sudah jelas, Officer Nunez?"
Penjaga itu melirik kunci, seakan dia baru saja dipercaya menjaga sebuah batu
permata berharga. "Ya, Pak."
Lelaki itu bergegas memasuki pintu, dan Langdon mengikutinya. Penjaga mengunci
gembok berat itu di belakang mereka, dan Langdon bisa mendengarnya merekatkan
kembali pita perekat. "Profesor Langdon," ujar lelaki itu, ketika mereka melangkah cepat melewati
koridor yang tampak modern dan jelas masih dalam tahap pembangunan. "Namaku
Warren Bellamy. Peter Solomon sahabat baikku."
Langdon melirik lelaki elegan itu dengan terkejut. Kau Warren Bellamy" Langdon
belum pernah berjumpa dengan Arsitek Capitol, tapi jelas dia mengenal nama
lelaki itu. "Peter sangat memujimu," ujar Bellamy, "dan maaf kita harus berjumpa dalam
kondisi mengerikan ini."
"Peter dalam masalah besar. Tangannya..."
"Aku tahu." Bellamy kedengaran sedih. "Aku khawatir ini belum setengah dari apa
yang terjadi." Mereka mencapai ujung bagian koridor yang terang, lorongnya mendadak berbelok ke
kiri. Di sepanjang koridor selanjutnya, ke mana pun arahnya, keadaannya gelap
gulita. "Tunggu," ujar Bellamy, lalu dia menghilang ke dalam ruang listrik di dekat
situ. Belitan kabel-kabel listrik oranye tebal memanjang keluar, memasuki
kegelapan koridor. Langdon menunggu sementara Bellamy masuk. Arsitek itu agaknya
mencari tombol yang menghantarkan listrik ke kabel-kabel itu, karena mendaddak
rute di hadapan mereka menyala terang.
Langdon hanya bisa menatap.
Washington, DC - seperti Roma - adalah kota yang dipenuhi lorong rahasia dan
terowongan bawah tanah. Kini lorong di hadapan mereka mengingatkan Langdon pada
terowongan pasetta yang menghubungkan Vatican dengan Castel Sant'Angelo.
Panjang. Gelap. Sempit. Akan tetapi, tidak seperti passetto kuno, lorong ini
modern dan belum selesai. Lorong ini berupa zona konstruksi ramping yang begitu
panjang, sehingga tampak menyempit tak terlihat di ujung yang jauh. Satu-satunya
penerangan hanyalah serangkaian bola lampu konstruksi yang sesekali muncul dan
hanya semakin menegaskan panjang terowongan yang seolah tak berujung.
Bellamy sudah mulai menyusuri lorong itu. "Ikuti aku. Hati- hati melangkah."
Langdon merasakan dirinya mengikuti di belakang Bellamy seraya bertanya-tanya
kemana gerangan terowongan ini menuju.
Tepat pada saaf itu, Mal'akh melangkah keluar dari Bangsal 3 dan melenggang
cepat menyusuri koridor utama SMSC yang sepi menuju Bangsal 5. Dia menggenggam
kartu-kunci Trish dan berbisik pelan, "Nol-delapan-nol-empat."
Sesuatu yang lain juga berpusar dalam benaknya. Mal'akh baru saja menerima pesan
penting dari Gedung Capitol. Kontakku menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak
terduga. Walaupun demikian, berita itu tetap membangkitkan semangatnya: Robert
Langdon kini memiliki piramida sekaligus batu-puncaknya. Walaupun kejadiannnya
tidak terduga, potongan-potongan teka-teki mulai terkumpul.
Rasanya seakan takdir itu sendiri yang menuntun kejadian- kejadian malam ini,
dan memastikan kemenangan Mal'akh.
BAB 43 Langdon bergegas mengimbangi langkah-langkah cepat Waren Bellamy seiring mereka
bergerak tanpa bersuara menyusuri terowongan panjang. Sejauh ini, Arsitek
Capitol itu tampaknya lebih bersemangat untuk memperlebar jarak antara Sato dan
piramida batu itu daripada menjelaskan apa yang terjadi. Langdon semakin
khawatir kalau kejadiannya jauh lebih rumit dariapda yang bisa dibayangkannya.
CIA" Arsitek Capitol" Dua anggota Mason derajat ketiga puluh tiga.
Suara melengking ponsel Langdon membelah udara. Dia mengeluarkan telepon itu
dari jaket. Dengan ragu, dia menjawab, "Halo..."
Suara yang bicara berupa bisikan mengerikan yang dikenalnya. "Profesor, kudengar
kau mendapat teman yang tak terduga." Langdon merasakan rasa dingin yang
menusuk. "Di mana Peter"!" desaknya. Kata-katanya menggema di dalam terowongan tertutup.
Di sampingnya, Warren Bellamy melirik tampak khawatir, dan mengisyaratkan
Langdon untuk terus berjalan.
"Jangan khawatir," kata suara itu. "Seperti yang kubilang, Peter berada di suatu
tempat yang aman." "Demi Tuhan, kau memotong tangannya! Dia perlu dokter!"
"Dia perlu pendeta," jawab lelaki itu. "Tapi kau bisa menyelamatkannya. Jika kau
berbuat seperti yang kuperintahkan, Peter akan hidup. Aku berjanji."
"Janji orang gila tidak ada artinya buatku."
"Orang gila" Profesor, pasti kau menghargai rasa hormatku terhadap protokol-
protokol kuno malam ini. Tangan Misteri menuntunmu ke sebuah portal, yaitu
piramida yang menjanjikan pengungkapan kebijakan kuno. Aku tahu kau
memilikinya." "Kau Pikir, ini Piramida Mason?" desak Langdon. "Ini sebongkah batu."
Muncul keheningan di ujung lain jalur telepon. "Mr.Langdon, kau terlalu pintar
untuk berpura-pura tolol. Kau sangat memahami apa yang sudah kau ungkapkan malam
ini. Piramida batu... di sembunyikan di pusat Washington, DC... oleh seorang
anggota Mason yang berkuasaa?"
"Kau mengejar mitos! Apa pun yang dikatakan Peter kepadamu, dia mengatakannya
dalam keadaan takut. Legenda Piramida Mason adalah fiksi. Kaum Mason tidak
pernah membangun Piramida apa pun untuk melindungi kebijakan rahasia. Dan,
seandainya pun mereka melakukannya, piramida ini terlalu kecil untuk menjadi apa
yang kau pikirkan." Lelaki itu tergelak. "Ternyata Peter hanya bercerita sedikit sekali kepadamu.
Bagaimanapun Mr. Langdon, tak peduli kau memilih untuk menerima fakta tentang
apa yang kini kau miliki atau tidak, kau akan berbuat seperti yang
kuperintahkan. Aku tahu pasti bahwa piramida yang kau bawa memiliki ukiran
sandi. Kau akan memecahkan kode ukiran itu untukku. Setelah itu, dan hanya
setelah itu, aku akan mengembalikan Peter Solomon kepadamu."
"Apa pun yang menurutmu diungkapkan oleh ukiran ini,"
ujar Langdon, "itu bukanlah Misteri Kuno. "
"Tentu saja bukan," jawab lelaki itu. Misteri itu terlalu besar untuk dituliskan
pada permukaan sebuah piramida batu kecil." Jawaban itu mengejutkan Langdon.
"Tapi jika ukiran ini bukan Misteri Kuno, piramida ini bukan-lah Piramida Mason.
Legendanya jelas menyatakan bahwa Piramida Mason dibangun untuk melindungi
Misteri Kuno." Nada suara lelaki itu kini merendahkan. "Mr. Langdon, Piramida Mason memang
dibangun untuk menjaga Misteri Kuno, tapi ada sebuah detail yang tampaknya belum
kau pahami. Tidak pernahkan Peter menceritakannya kepadamu" Kekuatan Piramida
Mason bukan-lah mengungkapkan misteri itu sendiri... tapi mengungkapkan lokasi
rahasia tempat misteri itu terkubur."
Langdon terpana. "Pecahkan kode ukiran itu," lanjut suara itu, "dan kau akan mengetahui tempat
persembunyian harta karun terbesar umat manusia." Dia tertawa. "Bukan harta
karun itu yang dipercayakan kepadamu, Profesor."
Mendadak Langdon berhenti di terowongan. "Tunggu. Kau bilang piramida ini...
sebuah peta?" Bellamy ikut berhenti juga. Raut wajahnya terkejut dan khawatir. Jelas penelepon
itu baru saja mengejutkan mereka. Piramida itu adalah sebuah peta.
"Peta ini," bisik suara itu, "atau piramida, atau portal, apa pun sebutan yang
kau pilih... diciptakan sejak lama sekali untuk memastikan agar tempat
persembunyian Misteri Kuno tidak akan pernah terlupakan... agar Misteri Kuno
tidak pernah hilang dalam sejarah."
"Enam belas simbol itu tidak menyerupai peta."
"Penampilan bisa menipu, Profesor. Tapi, bagaimanapun, hanya kau yang punya
kemampuan untuk membaca inskripsi itu."
"Kau keliru," bentak Langdon, seraya membayangkan cipher sederhana itu. "Siapa
pun bisa memecahkan kode ukiran itu. Tidak terlalu canggih."
"Kurasa, piramida itu punya lebih banyak arti daripada yang terlihat.
Bagaimanapun, hanya kau yang memiliki batu- puncak-nya."
Langdon membayangkan batu-puncak kecil di dalam tas. Keteraturan dari kekacauan"
Dia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayai, tapi piramida batu di dalam
tasnya seakan terasa semakin berat seiring berlalunya waktu.
Mal'akh menekankan ponsel di telinga, menikmati suara napas gelisah Langdon di
ujung yang satunya. "Saat ini aku harus mengurus sesuatu, Profesor, demikian
juga kau. Segera telepon aku setelah kau memecahkan petanya. Kita akan pergi
bersama-sama ke tempat persembunyian itu dan melakukan pertukaran. Nyawa
Peter... untuk semua kebijakan selama berabad-abad."
"Aku tidak akan berbuat apa-apa," jelas Langdon.
"Terutama tanpa bukti Peter masih hidup."
"Kusarankan agar kau tidak menguji kesabaranku. Kau hanyalah sebuah sekrup yang
sangat kecil di dalam sebuah mesin besar. Jika kau tidak mematuhiku, atau
mencoba mencariku, Peter akan mati. Aku bersumpah."
"Jangan-jangan, Peter sudah mati."
"Dia masih sangat hidup, Profesor, tapi dia sangat memerlukan pertolonganmu."
"Apa yang sesungguhnya kau cari" teriak Langdon di telepon.
Mal'akh terdiam sebelum menjawab. "Ada banyak orang yang mengejar Misteri Kuno
dan memperdebatkan kekuatannya. Malam ini akan kubuktikan bahwa misteri itu
nyata." Langdon terdiam. "Kusarankan agar kau segera memikirkan peta itu," ujar Mal'akh. "Aku perlu
informasinya hari ini."
"Hari ini"! Sekarang sudah lewat pukul sembilan malam."
"Tepat sekali. Tempus fugit."
BAB 44 Editor New York Jonas Faukman baru saja mematikan lampu-lampu kantornya di
Manhattan ketika telepon berdering. Dia tidak ingin menerima telepon pada jam
selarut ini sampai dia melihat layar ID penelepon. Ini harus berita baik,
pikirnya, seraya mengambil gagang telepon.
"Kami masih akan menerbitkan bukumu?" tanya Faukman setengah bergurau.
"Jonas!" Suara Robert Langdon terdengar cemas.
"Untunglah kau ada di sana. Aku perlu bantuanmu."
Semangat Faukman terangkat. "Kau sudah punya halaman- halaman yang harus
kusunting, Robert?" Akhirnya"
"Tidak, aku perlu informasi. Tahun lalu aku menghubungkanmu dengan seorang
ilmuwan bernama Katherine Solomon, adik Peter Solomon."
Faukman mengernyit. Tidak ada halaman-halaman untuk sunting.
"Waktu itu, dia mencari penerbit untuk menerbitkan bukunya, mengenai ilmu
Noetic. Kau ingat dia?"
Faukman memutar bola matanya. "Pasti. Aku ingat. Dan banyak terima kasih atas
perkenalan itu. Dia bukan hanya tidak mengizinkanku untuk membaca hasil-hasil
risetnya, tapi juga' tidak ingin menerbitkan apa pun sampai tanggal ajaib
tertentu dimasa depan."
"Jonas, dengar, aku tidak punya waktu. Aku perlu nomor telepon Katherine.
Sekarang juga. Kau punya?"
"Aku harus memperingatkanmu... tingkah lakumu sedikit putus asa. Dia cantik,
tapi kau tidak akan membuatnya terkesan dengan -"
"Aku tidak main-main, Jonas, aku perlu nomor teleponnya."
"Baiklah ... tunggu." Faukman dan Langdon sudah bersahabat karib selama
bertahun-tahun, sehingga lelaki itu tahu kapan Langdon serius. Jonas mengetikkan
nama Katherine Solomon di jendela pencariannya dan mulai meneliti server e-mail
perusahaan. "Sedang kucari," kata Faukman. "Dan kusarankan agar kau tidak meneleponnya dari
Kolam Renang Harvard. Kedengarannya seakan kau sedang berada di sebuah tempat
perlindungan." "A ku tidak sedang berada di kolam. Aku berada di sebuah terowongan di bawah
U.S. Capitol." Dari suara Langdon, Faukman merasa bahwa temannya itu tidak bergurau. Ada apa
dengan lelaki ini" "Robert, mengapa kau tidak bisa tinggal di rumah saja dan
menulis?" Komputer berdenting. "Oke, tunggu... kutemukan." Dia menelusuri sebuah
e-mail lama. "Tampaknya aku hanya punya nomor ponselnya."
"Tidak apa-apa."
Faukman menyebutkan nomornya.
"Terima kasih, Jonas," ujar Langdon, kedengarannya sangat bersyukur. "Aku
berutang kepadamu." "Kau berutang manuskrip kepadaku, Robert. Kau tahu berapa lama -"
Telepon terputus. Faukman menatap gagang telepon dan menggeleng- gelengkan kepala. Penerbitan buku
akan jauh lebih mudah tanpa adanya para penulis.
BAB 45 Katherine Solomon terpana ketika melihat nama pada ID penelepon. Tadinya dia
membayangkan telepon masuk itu dari Trish untuk menjelaskan mengapa dia dan
Christopher Abaddon perlu waktu begitu lama. Tapi, peneleponnya bukan Trish.
Sama sekali bukan. Katherine merasakan senyum malu-malu tersungging di bibirnya. Bisakah malam ini
menjadi lebih aneh lagi" Dia menerima telepon itu.
"Jangan katakan," ujarnya main-main. "Bujangan kutu buku mencari Ilmuwan Noetic
bujangan?" "Katherine!" Suara rendah itu milik Robert Langdon.
"Syukurlah kau baik-baik saja."
"Tentu saja aku baik-baik saja," jawab Katherine bingung.
"Selain kenyataan bahwa kau tidak pernah meneleponku setelah pesta di rumah
Peter di musim panas yang lalu."
"Sesuatu terjadi malam ini. Harap dengarkan." Suara Langdon yang biasanya lancar
terdengar terputus-putus. "Aku menyesal sekali harus menyampaikan berita ini...
tapi Peter dalam masalah serius."
Senyum Katherine menghilang. "Kau bicara apa?"
"Peter...," Langdon bimbang, seakan mencari kata-kata.
"Aku tidak tahu cara mengatakannya, tapi dia dibawa. Aku tidak yakin bagaimana
atau oleh siapa, tapi -"
"Dibawa?" desak Katherine. "Robert, kau menakutkanku. Dibawa kemana?"
"Dibawa secara paksa." Suara Langdon parau, seakan dikuasai oleh perasaan.
"Agaknya terjadinya di awal hari ini, atau mungkin juga kemarin."
"Ini tidak lucu,"ujar Katherine berang. "Kakakku baik-baik saja. Aku baru saja
bicara dengannya lima belas menit yang lalu!"
"Benarkah"!" Langdon kedengaran terpana.
" Ya! Dia baru saja mengirimiku SMS untuk mengatakan dia akan datang ke lab."
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia mengirimimu SMS..." pikir Langdon keras-keras. "Tapi kau tidak benar-benar
mendengar suara-nya?"
"Tidak, tapi-"'
"Dengar. SMS yang kau terima bukan berasal dari kakakmu. Seseorang memegang
telepon Peter. Dia berbahaya. Siapa pun itu, dialah yang menipuku untak datang
ke Washington malam ini."
"Menipumu" Kau tidak masuk akal!"
"Aku tahu, maaf sekali." Tidak seperti biasanya, Langdon kedengaran bingung.
"Katherine, kurasa kau mungkin dalam bahaya."
Katherine Solomon yakin bahwa Langdon tidak pernah bergurau mengenai sesuatu
yang seperti ini, akan tetapi kedengarannya lelaki itu telah kehilangan akal
sehat. "Aku baik-baik saja," katanya. "Aku terkunci di dalam sebuah gedung yang
aman!" "Bacakan pesan yang kau terima dari telepon Peter.
Kumohon!" Dengan bingung, Katherine mengeluarkan SMS itu dan membacakannya kepada Langdon.
Dan dia merasakan tubuhnya dijalari rasa dingin ketika tiba pada bagian terakhir
yang menyebut Dr. Abaddon. "'Kalau bisa, minta Dr. Abaddon bergabung di dalam.
Aku memercayainya sepenuhnya..."
"Astaga...." Suara Langdon dipenuhi kengerian. "Kau mengundang lelaki ini ke
dalam?" "Ya! Asistenku baru saja pergi ke lobi untuk menjemputnya. Aku mengharapkan
mereka-" "Katherine, keluarlah!" teriak Langdon. "Sekarang!"
Di sisi lain SMSC, di dalam ruang keamanan, telepon mulai dering, menenggelamkan
suara pertandingan Redskins. Dengan enggan, penjaga menarik earphone-nya sekali
lagi. "Lobi," jawabnya. "Ini Kyle."
"Kyle, ini Katherine Solomon!" Suara perempuan itu. Kedengaran cemas, kehabisan
napas. "Ma'am, kakak Anda belum-"
"Di mana Trish"!" desaknya. "Bisakah kau melihatnya di salah satu monitor?"
Penjaga itu menggelindingkan kursi untuk melihat layar-1;
"Dia belum kembali ke Kubus?"
"Belum!" teriak Katherine, kedengaran khawatir.
Kini penjaga itu menyadari bahwa Katherine Solomon kehilangan napas, seakan dia
sedang berlari. Apa yang terjadi di belakang sana"
Penjaga itu menggerakkan joystick video dengan cepat, meneliti gambar-gambar
video digital dengan kecepatan penuh. "Oke tunggu, saya putar-ulang.... Saya
melihat Trish bersama tamu Anda meninggalkan lobi... mereka menyusuri the
Street... dipercepat... oke, mereka masuk ke Bangsal Basah... Trish menggunakan
kartu-kuncinya untuk membuka pintu... keduanya melangkah ke dalam Bangsal
Basah... saya percepat... oke, mereka baru saja keluar dari Bangsal Basah
semenit yang lalu... menuju..."
Dia memiringkan kepala, memperlambat pemutaran-ulang.
"Tunggu sebentar. Ini aneh."
"Apa?" "Lelaki itu keluar dari Bangsal Basah sendirian."
"Trish tetap di dalam?"
"Ya, tampaknya seperti itu. Saya sedang mengamati tamu Anda... dia berada di
lorong sendirian." "Di mana Trish?" tanya Katherine, semakin panik.
"Saya tidak melihatnya di gambar video," jawab penjaga itu. Sedikit kekhawatiran
merambati suaranya. Dia kembali memandang layar dan memperhatikan bahwa kedua
lengan jaket lelaki itu tampak basah... sampai ke siku. Apa gerangan yang
dilakukannya di Bangsal Basah" Penjaga itu mengamati ketika lelaki itu mulai
berjalan dengan mantap menyusuri lorong utama menuju Bangsal 5, seraya
menggenggam sesuatu yang tampaknya seperti ... kartu kunci.
Penjaga itu merasakan bulu kuduknya meremang. "Miss Solomon, kita mendapat
masalah serius." Malam ini adalah malam pertama untak segalanya bagi Katherine Solomon.
Selama dua tahun, dia tidak pernah menggunakan ponsel di dalam ruang kosong
Bangsal 5. Dia juga tidak pernah melintasi ruang kosong dengan berlari cepat.
Akan tetapi, saat ini Katherine menekan ponsel ditelinga seraya berlari dalam
gelap menyusuri karpet yang seakan tak berujung. Setiap kali merasakan kakinya
melenceng dari karpet, dia membetulkan posisinya ketengah, berpacu melewati
kegelapan total. "Di mana dia sekarang?" tanya Katherine kepada penjaga itu dengan terengah-
engah. "Sedang saya cek," jawab penjaga itu. "Saya percepat... oke, dia sedang
menyusuri lorong ... bergerak menuju Bangsal 5."
Katherine berlari semakin kencang, berharap bisa mencapai pintu keluar sebelum
terperangkap di belakang sini. "Berapa lama sampai dia mencapai pintu masuk
Bangsal 5?" Penjaga itu terdiam. "Ma'am, Anda tidak mengerti. Saya masih mempercepatnya. Ini
pemutaran-ulang rekaman. Ini sudah terjadi." Dia terdiam. "Tunggu, biar saya cek
monitor yang mencatat keluar masuknya seseorang." Dia terdiam, lalu berkata,
"Ma'am, kartu-kunci Miss Dunne menunjukkan masuknya seseorang ke Bangsal 5
sekitar satu menit yang lalu."
Katherine langsung menghentikan langkah berhenti di tengah-tengah kekosongan.
"Dia sudah membuka kunci Bangsal 5?" bisiknya di telepon.
Penjaga itu mengetik dengan panik. "Ya, tampaknya dia masuk... sembilan puluh
detik yang lalu." Tubuh Katherine mengejang. Dia berhenti bernapas. Kegelapan mendadak terasa
hidup di sekelilingnya. Dia berada di sini bersamaku.
Katherine langsung menyadari bahwa satu-satunya cahaya dalam seluruh ruangan itu
berasal dari ponselnya, yang menerangi bagian samping wajahnya. "Kirim bantuan,"
bisiknya kepada penjaga itu. "Dan pergilah ke Bangsal Basah untuk menolong
Trish." Lalu pelan-pelan dia menutup telepon, memadamkan cahaya.
Kegelapan total menelannya.
Dia berdiri tak bergerak dan bernapas setenang mungkin. Setelah beberapa detik,
aroma tajam etanol melayang dari kegelapan di depannya. Baunya semakin kuat. Dia
bisa merasakan kehadiran seseorang, hanya beberapa puluh sentimeter di depannya
di atas karpet. Dalam keheningan, dentaman jantung Katherine seakan cukup
kencang untuk mengungkapkan persembunyiannya. Diam-diam dia melepas sepatu dan
beringsut ke kiri, meninggalkan karpet. Semen terasa dingin di bawah kakinya.
Dia melangkah selangkah lagi untuk menjauhi karpet.
Salah satu jari kakinya berderak.
Terdengar seperti bunyi tembakan dalam keheningan.
Hanya beberapa meter jauhnya, suara gemeresik pakaian mendadak menghampirinya
dari kegelapan. Dengan sedikit terlambat Katherine berlari, dan sebuah lengan
kuat menariknya, lalu sepasang tangan meraba-raba dalam kegelapan, dengan kasar
berusaha menangkapnya. Dia berbalik ketika sebuah cengkeraman kuat menangkap
jubah labnya, menyentakkannya ke belakang dan menariknya.
Katherine menjulurkan kedua lengannya ke belakang, melepaskan jubah lab untuk
membebaskan diri. Mendadak, tanpa tahu lagi ke arah mana jalan keluar, Katherine
Solomon mendapati dirinya berlari, membabi buta, melintasi kegelapan tak
berujung. BAB 46 Walaupun disebut oleh banyak orang sebagai "ruangan terindah di dunia",
Perpustakaan Kongres lebih dikenal karena jumlah koleksinya yang luar biasa
daripada keindahannya yang mempesona. Dengan rak-rak sepanjang lebih dari
delapan ratus kilo meter - cukup untuk direntangkan dari Washington, DC sampai
Boston - perpustakaan itu dengan mudah mendapat julukan perpustakaan terbesar di
dunia. Akan tetapi, perpustakaan itu masih berkembang, dengan tambahan lebih
dari sepuluh ribu barang per hari.
Sebagai tempat penyimpanan awal untuk koleksi pribadi buku ilmu pengetahuan dan
filsafat milik Thomas Jefferson, perpustakaan itu berdiri sebagai simbol
komitmen Amerik aterhadap penyebaran pengetahuan. Sebagai salah satu gedung
pertama di Washington yang punya penerangan listrik, perpustakaan itu secara
harfiah bersinar bagaikan mercusuar di dalam kegelapan Dunia Baru.
Seperti yang diisyaratkan oleh namanya, Perpustakaan Kongres didirikan untuk
melayani Kongres, yang anggota- anggota terhormatnya bekerja di seberang jalan
di dalam Gedung Capitol. Ikatan lama antara perpustakaan dan Capitol ini baru
saja diperkuat dengan pembangunan penghubung fisik - terowongan panjang di bawah
Independence Avenue yang menghubungkan kedua gedung itu.
Malam ini, di dalam terowongan berpenerangan suram itu, Robert Langdon mengikuti
Warren Bellamy melewati zona pembangunan, seraya berusaha mengatasi
kekhawatirannya yang semakin mendalam terhadap Katherine. Orang gila ini berada
di labnya?"! Langdon bahkan tidak ingin membayangkan mengapa.
Ketika menelepon Katherine untuk memperingatkannya, Langdon sudah memberitahukan
tempat Katherine harus menemuinya sebelum mereka mengakhiri pembicaraan.
Seberapa panjang lagi terowongan terkutuk ini" Kepalanya kini terasa sakit, dilanda berbagai pikiran yang
saling berhubungan: Katherine, Peter, Warren Bellamy, piramida, ramalan kuno...
dan peta. Langdon menyingkirkan semua itu dan terus maju. Bellamy menjanjikan jawaban
kepadaku. Ketika kedua lelaki itu akhirnya mencapai ujung lorong, Bellamy menuntun Langdon
melewati serangkaian pintu yang masih dalam tahap pembangunan. Karena tidak
menemukan cara untuk mengunci pintu-pintu yang belum selesai itu di belakang
mereka, Bellamy berimprovisasi, meraih tangga alur aluminium dari tumpukan
peralatan konstruksi dan menyandarkannya ke bagian luar pintu. Lalu dia
meletakkan sebuah ember lagi di atasnya. Jika seseorang membuka pintu, ember itu
akan jatuh berkelontang ke lantai.
Itu sistem alarm kita" Langdon mengamati ember, berharap Bellamy punya rencana
yang lebih komprehensif untuk keamanan mereka malam ini. Semuanya terjadi begitu
cepat, dan Langdon baru saja mulai mencerna konsekuensi- konsekuensi pelariannya
bersama Bellamy. Aku buronan CIA. Bellamy berbelok, dan kedua lelaki itu mulai
menaiki tangga lebar yang dihalangi kerucut-kerucut oranye. Tas bahu Langdon
membebaninya ketika dia menaiki tangga. "Piramida batu," katanya, "'aku masih
belum mengerti -" "Jangan di sini," sela Bellamy. "Kita akan menelitinya dalam cahaya terang. Aku
tahu tempat yang aman."
Langdon ragu, apakah tempat semacam itu tersedia bagi seseorang yang baru saja
menyerang secara fisik Direktur OS CIA.
Ketika tiba di puncak tangga, kedua lelaki itu memasuki lorong luas dari marmer
Italia, plesteran semen, dan lembaran emas. Lorong itu didereti delapan pasang
patung - semuanya menggambarkan Dewi Minerva. Bellamy maju terus, membawa
Langdon ke arah timur, melewati lengkungan gerbang berbentuk kubah memasuki
ruangan yang jauh lebih megah.
Dengan penerangan suram di luar jam kerja sekalipun, lorong utama perpustakaan
bersinar dengan kemegahan klasik istana Eropa mewah. Dua puluh lima meter di
atas kepala, jendela langit-langit dari kaca patri berkilau di antara balok-
balok berpanel yang dihiasi "lembaran aluminium' langka - logam yang pernah
dianggap lebih berharga daripada emas. Di bawahnya, rangkaian anggun pilar
berpasangan mendereti balkon lantai dua yang bisa diakses melalui dua tangga
melengkung megah, dengan masing-masing tiang tangga menyokong sosok perempuan
perunggu raksasa yang sedang mengangkat obor pencerahan, mencerminkan tema
pencerahan. Dalam upaya aneh untuk mencerminkan tema pencerahan modern ini, tapi tetap
mengikuti aturan dekoratif arsitektur Renaisans, semua pegangan tangga dihiasi
ukiran bocah menyerupai cupid (Malaikat kecil yang membawa panah asmara-penerj.)
yang digambarkan sebagai ilmuwan modern. Malaikat tukang listrik sedang memegang
telepon" Malaikat kecil entomolog dengan kotak spesimen" Langdon bertanya- tanya
apa pendapat seniman besar Bernini.
"Kita akan bicara di sana," ujar Bellamy, seraya menuntun Longdon melewati
etalase-etalase tahan-peluru berisikan dua buku perpustakaan yang paling
berharga - Alkitab Raksasa Mainz, ditulis- tangan pada 1450-an, dan salinan-
Amerika Alkitab Gutenberg, satu dari tiga salinan sempurna Alkitab Gutenberg
berkertas-kulit yang ada di dunia. Secara serasi, langit-langit berbentuk kubah
di atas kepala dihiasi lukisan enam-panel John White Alexander yang berjudul The
Evolution of the Book. Bellamy langsung melenggang menuju sepasang pintu ganda elegan di bagian tengah
belakang dinding koridor timur. Langdon tampaknya tahu ruangan apa yang ada di
balik pintu- pintu itu, tampaknya itu pilihan aneh untuk tempat bercakap- cakap.
Apalagi rasanya ironis berbicara di sebuah ruangan yang dipenuhi tanda "Harap
Tenang", nyaris tidak menyerupai "tempat aman!" Terletak tepat ruangan ini, di
tengah tata ruang perpustakaan yang berbentuk salib, bilik ini berfungsi sebagai
jantung gedung. Bersembunyi di dalam sana adalah seperti membobol katedral dan
bersembunyi di atas altar. Walaupun demikian, Bellamy membuka pintu-pintu itu,
melangkah ke dalam kegelapan di baliknya, dan meraba-raba tombol lampo. Ketika
dia menyalakan tombol, salah satu mahakarya arsitek agung Amerika itu muncul
dari kehampaan. Ruang baca yang terkenal itu benar-benar memanjakan semua indra.
Sebuah persegi delapan besar menjulang 50 meter di bagi tengahnya, kedelapan
sisinya dilapisi marmer Tennessee cokelat tua, marmer Siena warna krem, dan
marmer Aljazair merah apel. Karena diterangi dari delapan sudut, tidak ada
bayang-bayang yang jatuh di mana pun, menciptakan efek seakan ruangan itu
sendiri yang berkilau. "Beberapa orang mengatakan, ini ruangan paling menakjubkan di Washington," ujar
Bellamy, seraya mengajak Langdon ke dalam.
Mungkin di seluruh dunia, pikir Langdon, ketika melangkah melintasi ambang
pintu. Seperti biasa, pertama-tama pandangannya langsung terangkat ke balok
kasau tengah yang menjulang tinggi. Di sana, cahaya dari panel-panel berhias
melingkupi kubah sampai ke balkon atas. Enam belas patung perunggu mengitari
ruangan, mengintip ke bawah dari pagar tangga. Di bawah mereka, lorong yang
terdiri atas lengkungan-lengkungan gerbang menawan membentuk balkon bawah. Di
lantai bawah, tiga lingkaran konsentris meja kayu mengkilap berpusat pada meja
sirkulasi besar berbentuk persegi delapan.
Langdon kembali mengalihkan perhatian kepada Bellamy, yang kini membuka lebar-
lebar pintu ganda ruangan itu.
"Kupikir, kita sedang bersembunyi," ujar Langdon bingung.
"Jika ada yang memasuki gedung," kata Bellamy, "aku ingin bisa mendengar
kedatangan mereka." "Tapi, bukankah mereka akan langsung menemukan kita di dalam sini?"
"Tak peduli di mana kita bersembunyi, mereka akan menemukan kita. Tapi jika
seseorang memojokkan kita di dalam ruang ini, kau akan senang karena aku memilih
ruangan ini." Langdon sama sekali tidak tahu mengapa, tapi tampaknya Bellamy tidak ingin
mendiskusikannya. Dia sudah bergerak menuju bagian tengah ruangan. Di sana dia
memilih salah satu meja baca yang tersedia, menarik dua kursi, dan menyalakan
lampu baca. Lalu ia menunjuk tas Langdon.
"Oke, Profesor, ayo kita teliti."
Karena tidak ingin menggores permukaan mengilap meja dengan potongan granit
kasar, Langdon mengangkat seluruh tas ke atas meja dan menarik ritsletingnya,
lalu membuka lebar-lebar tas untuk menunjukkan piramida di dalamnya. Warren
Bellamy menyasuaikan lampu baca dan meneliti piramida itu dengan cermat.
Dia menelusurkan jari-jari tangannya pada ukiran yang tidak biasa itu.
"Kurasa, kau mengenali bahasa ini?" tanya Bellamy.
"Tentu saja," jawab Langdon, seraya meneliti keenam belas simbol itu.
Dikenal sebagai Cipher Mason Bebas (Freemason), bahasa tersandi ini digunakan
untuk komunikasi privat di antara saudara-saudara Mason awal. Metode
penyandiannya sudah lama sekali ditinggalkan karena satu alasan sederhana -
terlalu mudah dipecahkan. Sebagian besar mahasiswa di seminar simbologi senior
Langdon bisa memecahkan kode ini dalam waktu sekitar lima menit. Langdon, dengan
sebatang pensil dan kertas, bisa melakukannya dalam waktu kurang dari enam puluh
detik. Kini kemudahan memecahkan skema penyandian yang sudah berabad-abad usianya ini
memberikan beberapa paragraf.
Pertama, pernyataan bahwa Langdon satu-satunya orang di dunia yang bisa
memecahkannya terasa absurd. Kedua, pernyataan Sato bahwa sebuah cipher Mason
merupakan masalah keamanan nasional adalah sama halnya seolah Sato menyatakan
bahwa kode-kode peluncuran nuklir kita ditulis berdasarkan kunci sandi mainan
hadiah dari makanan ringan Cracker Jack. Langdon masih berjuang untuk memercayai
kesemuanya ini. Piramida ini adalah peta" Menunjukkan lokasi kebijakan berabad-
abad yang hilang" "Robert," ujar Bellamy dengan nada serius. "Apakah Direktur Sato mengatakan
mengapa dia begitu tertarik dengan ini?"'
Langdon menggeleng. "Tidak secara spesfiik. Dia hanya terus-menerus mengatakan
bahwa itu masalah keamanan nasional. "Kurasa, dia berbohong."
Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkim" kata Bellamy, seraya menggosok-gosok bagian belakang leher. Tampaknya
dia berpikir keras tentang sesuatu.
"Tapi ada kemungkinan yang jauh lebih mencemaskan." Dia berbalik memandang lurus
ke mata Langdon. "Mungkin Direktur Sato sudah mengetahui potensi sejati piramida
ini." BAB 47 Kegelapan yang menyelubungi Katherine Solomon terasa absolut.
Setelah meninggalkan rasa aman dari karpet yang dikenalnya, kini dia bergerak
maju dengan meraba-raba tanpa dapat melihat; sepasang tangannya yang terjulur
hanya menyentuh ruang kosong seiring dia terhuyung-huyung semakin jauh memasuki
kekosongan tanpa suara. Dibawah sepasang kakinya yang berbalut stoking, luas
semen dingin yang tanpa akhir itu terasa seperti danau beku... lingkungan tidak
ramah yang kini harus ditinggalkannya.
Ketika tidak lagi mencium bau etanol, Katherine berhenti dan menunggu dalam
kegelapan. Dia berdiri diam tak bergerak, mendnegarkan, memohon agar jantungnya
berhenti berdentam-dentam begitu keras. Suara langkah-langkah kaki berat
dibelakangnya tampaknya sudah berhenti. Apakah aku sudah lolos darinya"
Katherine memejamkan mata dan mencoba membayangkan di mana dia berada. Ke arah
mana aku berlari" Di mana pintunya" Sia-sia saja. Dia terlalu banyak berputar-
putar, sehingga kini pintu keluar itu bisa berada di mana saja.
Katherine pernah mendengar bahwa rasa takut bertindak seperti perangsang,
mempertajam kemampuan pikiran. Akan tetapi, saat ini ketakutan telah mengubah
pikirannya menjadi gelombang kepanikan dan kebingungan. Seandainya pun menemukan
jalan keluar, dia tidak akan bisa keluar. Kartu- kunci Katherine hilang ketika
dia melepas jubah labnya.
Tampaknya, satu-satunya harapan adalah menjadi sepotong jarum dalam tumpukan
jerami - sebuah titik tunggal dalam kisi-kisi seluas dua ribu delapan ratus
meter persegi. Walaupun dikuasai dorongan untuk lari, benak analitis Katherine mengatakan
kepadanya untuk melakukan satu- satunya tindakan logis - sama sekali tidak
bergerak. Tetap diam. Jangan bersuara. Penjaga keamanan sedang dalam perjalanan.
Dan, untuk alasan tidak diketahuinya, penyerangnya sangat berbau etanol.
Seandainya dia bergerak terlalu dekat, aku akan tahu.
Ketika Katherine berdiri dalam keheningan, benaknya berputar memikirkan
perkataan Langdon. Kakakmu ... dia dibawa. Katherine merasakan sebutir keringat
dingin muncul di lengannya dan menetes menuju ponsel yang masih digenggamnya di
tangan kiri. Itu bahaya yang lupa dipikirkannya. Seandainya ponsel berdering,
posisi Katherine akan ketahuan, dan dia tidak bisa mematikan benda itu tanpa
membuka dan menyalakan layarnya.
Letakkan ponselnya ... dan menyingkirlah dari sana.
Tapi, sudah terlambat. Bau etanol mendekat di sebelah kanan Katherine. Dan kini
baunya semakin tajam. Katherine berusaha tetap tenang, memaksakan diri untuk
mengalahkan insting untuk lari. Dengan hati-hati, dan perlahan-lahan, dia
mengambil langkah ke kiri. Tampaknya, penyerangnya hanya perlu mendengar
gemeresik lemah pakaiannya. Katherine mendengar lelaki itu menerjang dan bau
etanol menyapunya ketika sebuah tangan meraih bahunya. Dia menggeliat
membebaskan diri, dicengkeram kengerian yang teramat sangat. Probabilitas
matematis terlupakan dan Katherine mulai berlari membabi buta. Dia menyimpang
jauh ke kiri, berubah haluan, dan kini berlari ke dalam ruang kosong yang amat
luas. Dinding itu muncul entah dari mana.
Katherine menumbuknya keras-keras, dan langsung kehabisan napas. Rasa sakit
menjalari lengan dan bahunya, tapi dia berhasil mempertahankan posisi berdiri.
Dia menumbuk dinding dengan derajat kemiringan tertentu yang membuatnya lolos
dari kekuatab penuh tumbukan. Tapi, fakta ini hanya sedikit menghiburnya. Suara
tumbukan menggema ke mana-mana. Dia tahu di mana aku. Seraya membungkuk
kesakitan, Katherine menoleh dan ke dalam kegelapan bangsal, dan merasakan
seolah-olah lelaki itu membalas tatapannya.
Ubah lokasimu. Sekarang! Dengan masih berjuang untuk bernapas, Katherine mulai bergerak menyusuri
dinding, pelan-pelan menyentuhkan tangan kirinya pada setiap tiang besi menonjol
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8 Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang Harpa Iblis Jari Sakti 26