Pencarian

Simbol Yang Hilang 6

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 6


jaringan terowongan-terowongan bawah tanah.
Bellamy langsung melintasi ruangan menuju sebuah pintu baja. Di sana dia
menyisipkan kartu-kunci, menekan serangkaian tombol dan mendorong pintu agar
terbuka. Ruangan di baliknya gelap, serangkaian lampu sensor-gerakan menyala,
ketika pintu terbuka. Ketika melihat apa yang terpampang di baliknya, Langdon
menyadari bahwa dirinya sedang memandang sesuatu yang hanya pernah dilihat oleh
sedikit orang. Rak-rak Perpustakaan Konggres. Dia merasa yakin dengan rencana
Bellamy. Tempat apa yang lebih baik dari labirin raksasa"
Tapi Bellamy tidak menuntun mereka ke rak-rak. Dia malah mengganjal pintu dengan
buku agar tetap terbuka, lalu berbalik menghadap mereka. "Aku berharap bisa
menjelaskan lebih banyak kepada kalian, tapi kita tidak punya waktu." Dia
memberi Langdon kartu-kuncinya. "Kau akan memerlukannya."
"Kau tidak ikut bersama kami?" tanya Langdon.
Bellamy menggeleng. "Kalian tidak akan berhasil, kecuali jika kita memisahkan
diri. Hal terpenting adalah menjaga piramida dan batu-puncak itu agar tetap
berada di tangan yang aman."
Langdon tidak melihat jalan keluar lain, kecuali tangga untuk kembali ke ruang
baca. "Dan ke mana kau akan pergi?"
"Aku akan menggiring mereka ke dalam rak-rak, menjauhi kalian," ujar Bellamy.
"Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian meloloskan diri."
Sebelum Langdon bisa bertanya ke mana dia dan Katherine harus pergi, Bellamy
mengangkat sepeti besar buku dari salah satu ban-berjalan. "Berbaringlah di atas
ban," ujar Bellamy. "Jaga tanganmu agar tetap berada di dalam."
Langdon menatapnya. Kau bercanda! Ban-berjalan itu memanjang sedikit, lalu
menghilang ke dalam lubang gelap di dinding. Lubang itu tampaknya cukup besar
untuk memungkinkan lewatnya sepeti buku, tapi bukan benda lainnya. Langdon
memilih kembali ke rak-rak.
"Lupakan," ujar Bellamy. "Lampu-lampu sensor-gerakan akan membuatnya mustahil
untuk menjadi tempat persembunyian."
"Jejak-panas!" teriak sebuah suara di lantai atas. "Kepung!" Tampaknya Katherine
sudah mendengar segala yang perlu didengarnya. Dia naik ke atas ban-berjalan
dengan kepala hanya berjarak beberapa puluh sentimeter dari lubang di dinding.
Dia menyilangkan kedua tangan di atas dada, bagaikan mumi dalam sarkofagus.
Langdon berdiri terpaku. "Robert," desak Bellamy, "jika kau tidak mau melakukannya untukku, lakukan untuk
Peter." Suara-suara di lantai atas kini terdengar lebih dekat.
Seakan dalam mimpi, Langdon bergerak menuju ban- berjalan.
Dia meletakkan tasnya ke atas ban, lalu naik, dan meletakkan kepala di kaki
Katherine. Ban karet keras itu terasa dingin di punggungnya. Dia menatap langit-
langit dan merasa seperti pasien rumah sakit yang siap untuk dimasukkan ke dalam
mesin dengan kepala terlebih dahulu.
"Tetap nyalakan ponselmu," ujar Bellamy. "Seseorang akan segera menelepon ...
dan menawarkan bantuan. Percayalah padanya."
Seseorang akan menelepon" Langdon tahu, Bellamy tadi emmng menghubungi seseorang
dengan sia-sia dan sudah meninggalkan pesan. Dan baru beberapa saat yang lalu,
ketika mereka bergerak menuruni tangga spiral, Bellamy mencoba untuk terakhir
kalinya dan berhasil. Dia bicara sangat singkat dengan nada pelan, lalu menutup
telepon. "Ikuti ban-berjalan itu sampai akhir," ujar Bellamy. "Dan melompatlah dengan
cepat, sebelum kau berputar kembali. Gunakan kartu-kunciku untuk keluar."
"Keluar dari mana"!" desak Langdon.
Tapi Bellamy sudah menarik tuas-tuas. Semua ban-berjalan yang berlainan di dalam
ruangan itu berdengung menyala. Langdon merasakan dirinya berguncang maju, dan
langit- langit mulai bergerak di atas kepala.
Tuhan, tolong aku. Ketika mendekati lubang di dinding, Langdon menoleh ke belakang dan melihat
Warren Bellamy berpacu melewati ambang pintu menuju rak-rak, lalu menutup pintu
di belakangnya. Sedetik kemudian, Langdon menyelinap ke dalam kegelapan, ditelan
oleh perpustakaan, persis ketika titik laser merah berkilau menari-nari menuruni
tangga. BAB 60 Petugas keamanan perempuan berupah-rendah dari Preferred Security mengecek ulang
alamat Kalorama Heights di lembar tugasnya - Inikah" Jalanan mobil di balik
gerbang di hadapannya adalah milik salah satu estate terbesar dan tersepi di
lingkungan itu. Karenanya, tampak aneh jika 911 baru saja menerima telepon
mendesak mengenai rumah itu. Seperti biasa, jika ada telepon-masuk tanpa
konfirmasi, 911 menghubungi perusahaan alarm lokal sebelum mengganggu polisi.
Petugas itu sering menganggap semboyan perusahaannya - "Lini pertamapertahanan
Anda" - bisa dengan mudah diganti menjadi "Peringatan palsu, lelucon, hewan
peliharaan yang hilang, dan keluhan dari tetangga gila."
Malam ini, seperti biasa, petugas itu tiba tanpa menerima perincian masalahnya.
Melebihi standar bayaranku. Tugasnya hanyalah muncul dengan lampu bulat kuning
yang berputar- putar diatas mobilnya, mengamati rumah, dan melaporkan apapun
yang tidak biasa. Biasanya, sesuatu yang tidak membahayakan telah mengaktifkan
alarm rumah, dan dia akan menggunakan kunci-kuncinya untuk mengatur kembali
alarm. Akan tetapi, rumah ini sepi. Tidak ada bunyi alarm. Dari jalanan,
semuanya tampak gelap dan damai.
Petugas itu memencet interkom pada gerbang, tapi tidak mendapat jawaban. Dia
mengetikkan kode untuk membuka gerbang, lalu menyetir memasuki jalanan mobil.
Dengan membiarkan mesin menyala dan lampu bulatnya berputar- putar, dia berjalan
menuju pintu depan dan memencet bel. Tidak ada jawaban. Dia tidak melihat lampu-
lampu dan tidak ada gerakan.
Dengan enggan, dia mengikuti prosedur, menyalakan senter dan memulai perjalanan
berkeliling rumah untuk mengecek pintu-pintu dan jendela-jendela, mencari tanda-
tanda pembobolan. Ketika dia berbelok, sebuah limusin hitam panjang melewati
rumah itu, melambat sejenak, sebelum kembali berjalan. Tetangga iseng.
Perlahan-lahan dia mengelilingi rumah, tapi tidak menemukan sesuatu pun yang
tidak pada tempatnya. Rumah itu lebih daripada yang dibayangkannya dan, ketika
mencapai pekarangan belakang, dia menggigil kedinginan. Jelas tidak ada orang di
dalam rumah. "Petugas?" panggilnya di radio. "Aku menangani telepon, mengenai Kalorama
Heights. Pemiliknya tidak di rumah. Tidak ada tanda-tanda masalah. Aku sudah
menyelesaikan pengecekan perimeter. Tidak ada, indikasi pengganggu. Peringatan
palsu." "Diterima," jawab petugas penerima. "Selamat malam." Petugas itu menyimpan
kembali radionya di ikat pinggang dan mulai berjalan balik, ingin segera kembali
pada kehangatan kendaraannya. Akan tetapi, ketika sedang berjalan, dia melihat
sesuatu yang tadi terlewatkan olehnya - sebintik cahaya kebiruan muncul di
belakang rumah. Dengan bingung, dia berjalan mendekat, dan kini melihat sumbernya - sebuah
jendela kecil rendah, tampaknya menuju ruang bawah tanah rumah. Kaca jendelanya
dihitamkan, bagian dalam dilapisi cat buram. Semacam kamar gelap, mungkin" Kilau
kebiru yang dilihatnya tadi berasal dari sebuah bintik mungil di jendela - di
sana cat hitamnya mulai mengelupas.
Dia berjongkok, mencoba mengintip ke dalam, tapi tidak banyak yang bisa
dilihatnya melalui lubang kecil itu. Dia mengetuk-ngetuk kaca, bertanya-tanya
apakah ada orang yang sedang bekerja di bawah sana.
"Halo?" teriaknya.
Tidak ada jawaban. Tapi ketika dia mengetuk jendela, serpihan cat mendadak
terlepas dan jatuh, memberinya pemandangan yang lebih menyeluruh. Dia
membungkuk, nyaris menekankan wajah pada jendela ketika meneliti ruang bawah
tanah itu. Mendadak, dia berharap tidak melakukannya.
Ya Tuhan"! Dengan terpana, dia tetap belongkok di sana sejenak, menatap pemandangan di
hadapannya dengan kengerian luar biasa. Akhirnya, dengan gemetar, petugas itu
meraba-raba radio di ikat pinggangnya.
Dia tidak pernah menemukannya.
Sepasang gigi garpu Taser yang mendesis menghunjam ke bogian belakang lehernya,
dan rasa sakit luar biasa menjalari sekujur tubuhnya. Otot-ototnya mengejang,
dan dia roboh ke depan, bahkan tidak mampu memejamkan mata sebelum wajahnya
menghantam tanah dingin. BAB 61 Malam ini bukan untuk pertama kalinya mata Warren Bellamy ditutup. Seperti semua
saudara Mason lainnya, dia mengenakan penutup mata ritual dalam pendakiannya ke
eselon-eselon atas persaudaraan Mason. Akan tetapi, peristiwa itu berlangsung di
antara teman-teman terpercaya. Malam ini lain. Lelaki-lelaki bertangan kasar itu
mengikatnya, menyelubungi kepalanya dengan kain dan kini menggiringnya melewati
rak-rak perpustakaan. Agen-agen itu mengancam Bellamy secara fisik dan mendesak ingin mengetahui
keberadaan Robert Langdon. Bellamy, yang tahu bahwa tubuh rentanya tidak akan
mampu menahan beban hukuman, dengan cepat berbohong.
"Langdon tak pernah pergi ke bawah sini bersamaku!" katanya, seraya bernapas
terengah-engah. "Kuminta dia naik ke balkon dan bersembunyi di balik patung
Musa, tapi aku tak tahu di mana dia sekarang!" Cerita itu tampaknya meyakinkan,
karena dua dari agen-agen itu lari mengejar. Kini kedua agen yang tersisa
menggiringnya dalam keheningan melewati rak- rak.
Satu-satunya penghiburan Bellamy adalah dia tahu bahwa Langdon dan Katherine
sedang membawa piramida itu ke tempat aman. Dengan segera Langdon akan dihubungi
oleh seorang lelaki yang bisa menawarkan perlindungan. Percayalah kepadanya.
Lelaki yang ditelepon Bellamy itu tahu banyak mengenai Piramida Mason dan
rahasia yang disembunyikannya - lokasi tangga spiral tersembunyi yang menuju ke
dalam bumi, tempat persembunyian kebijakan kuno luar biasa yang telah lama
sekali terkubur. Bellamy akhirnya bisa menghubungi lelaki itu ketika mereka
kabur dari ruang baca, dan dia merasa yakin pesannya akan dipahami dengan
sempuma. Kini, ketika bergerak dalam kegelapan total, Bellamy membayangkan piramida batu
dan batu-puncak di dalam tas Langdon. Sudah lama sekali semenjak kedua bagian
itu berada di dalam ruangan yang sama.
Bellamy tidak pernah melupakan malam menyakitkan itu. Yang pertama dari banyak
malam menyakitkan bagi Peter. Ulang tahun ke delapan belas Zachary. Walaupun
pemberontak, Zachary adalah seorang Solomon, yang berarti malam itu, sesuai
tradisi keluarga, dia akan menerima warisan. Bellamy adalah salah seorang
sahabat terbaik Peter dan saudara Mason terpercaya. Karena itulah, dia diminta
hadir sebagai saksi. Tapi dia bukan hanya diminta untuk menyaksikan perpindahan
uang. Sesuatu yang jauh lebih penting daripada uang sedang dipertaruhkan malam
itu. Bellamy tiba lebih awal dan menunggu, sesuai permintaan, di ruang kerja privat
Peter. Ruangan tua indah itu beraroma kayu, perapian, dan seduhan daun teh.
Warren duduk ketika Peter menuntun putranya, Zachary, ke dalam ruangan. Ketika
anak laki-laki kerempeng delapanbelas tahunitu melihat Bellamy, dia megernyit.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Menjadi saksi," jawab Bellamy. "Selamat ulang tahun, Zachary."
Anak laki-laki itu menggumam dan mengalihkan pandangan.
"Duduklah, Zach," pinta Peter.
Zachary duduk di kursi terpisah yang menghadap meja kayu besar ayahnya. Peter
menutup pintu ruang kerja. Bellamy duduk di salah satu kursi di samping meja.
Solomon berkata kepada Zachary dengan nada serius.
"Kautahu mengapa kau berada di sini?"
"Kurasa begitu," jawab Zachary.
Peter mendesah panjang. "Aku tahu, kau dan aku sudah cukup lama tidak setuju
dalam banyak hal, Zach. Aku sudah berupaya sebisa mungkin untuk menjadi ayah
yang baik dan menyiapkanmu untuk saat ini."
Zachary diam saja. "Seperti yang kau ketahui, setiap anak keluarga Solomon mencapai kedewasaan akan
mendapakan haknya sejak lahir, sebagian dari kekayaan keluarga Solomon. Kekayaan
ini dimaksudkan untuk menjadi benih... benih untuk kau rawat, kau kembangkan,
dan kau gunakan untuk menolong umat manusia."
Peter berjalan menuju lemari besi di dinding, membuka dan mengeluarkan sebuah
arsip hitam besar. "Nak, portofolio ini berisi segala yang kau perlukan untuk
memindahkan secara warisan uangmu ke dalam namamu sendiri." Dia meletakkannya di
meja. "Tujuannya adalah agar kau menggunakan uang untuk membangun kehidupan yang
produktif, makmur, dan tropis."
Zachary meraih arsip itu. "Terima kasih."
"Tunggu," ujar ayahnya, seraya meletakkan tangan di portofolio itu. "Ada satu
lagi yang harus kujelaskan."
Zachary menatap ayahnya dengan pandangan meremehkan dan kembali menyandarkan
tubuh di kursi. "Ada aspek-aspek warisan keluarga Solomon yang belum sadari." Kini ayahnya
menatap langsung ke dalam mata Zachary, "Kau anak sulungku, Zachary, yang
berarti kau berhak memilih."
Remaja itu menegakkan tubuh, tampak penasaran.
"Itu pilihan yang akan sangat menentukan masa depan, jadi kuminta kau untuk
memikirkannya dengan cermat."
"Pilihan apa?" Ayahnya menghela napas panjang. "Itu pilihan... antara kayaan atau kebijakan."
Zachary menatapnya dengan pandangan kosong.
"Kekayaan atau kebijakan" Aku tidak mengerti."
Peter berdiri, berjalan kembali ke lemari besi, lalu mengeluar sebuah piramida
batu berat dengan ukiran simbol- simbol Mason.
Peter meletakkan batu itu ke atas meja di samping portofolio. "Piramida ini
sudah lama sekali diciptakan, dan sudah dipercayakan kepada keluarga kita selama
bergenerasi- generasi."
"Piramida?" Zachary tampak tidak terlalu bersemangat.
"Nak, piramida ini adalah peta... peta yang mengungkapkan lokasi salah satu
harta karun terbesar umat manusia yang hilang. Piramida ini diciptakan agar
harta karun itu suatu hari nanti bisa ditemukan kembali." Suara Peter kini
dipenuhi kebanggaan. "Dan malam ini, sesuai tradisi, aku bisa menawarkannya
kepadamu... dengan beberapa syarat tertentu."
Zachary mengamati piramida itu dengan curiga. "Apa harta syaratnya?"
Bellamy bisa merasakan kalau pertanyaan kasar ini bukanlah yang diharapkan
Peter. Tetapi, Peter tetap bersikap tenang.
"Zachary, sulit untuk menjelaskannya tanpa disertai banyak latar belakang. Tapi
harta karun ini... pada hakikatnya... adalah sesuatu yang kami sebut sebagai
Misteri Kuno." Zachary tertawa, tampaknya mengira ayahnyabergurau. Bellamy kini bisa melihat
meningkatnya kesedihan di mata Peter.
"Sulit sekali bagiku untuk menjelaskan, Zach. Secara tradisional, ketika seorang
Solomon berusia 18 tahun, dia akan memulai tahun-tahun pendidikan pada jenjang
yang lebih tinggi-" "Sudah kubilang!" ujar Zachary berang. "Aku tidak tertarik untuk kuliah!"
"Maksudku bukan kuliah," ujar ayahnya, dengan suara tetap tenang dan pelan. "Aku
membicarakan kelompok Persaudaraan Mason Bebas. Aku membicarakan pendidikan
dalam misteri-misteri kekal ilmu pengetahuan manusia. Jika kau berencana untuk
bergabung bersamaku dalam tingkatan- tingkatan mereka, kau akan segera menerima
pendidikan yang diperlukan untuk memahami pentingnya keputusanmu malam ini."
Zachary memutar bola mata. "Sekali lagi, bebaskan aku dari kuliah mengenai
Mason. Aku tahu, aku Solomon pertama yang tidak ingin bergabung. Lalu kenapa"
Tidakkah kau mengerti" Aku tidak tertarik untuk berdandan main-main dengan
sekelompok lelaki tua!"
Ayahnya terdiam untuk waktu yang lama, dan Bellamy amati kerut-kerut halus yang
mulai muncul di sekeliling mata Peter.
"Ya, aku mengerti," ujar Peter pada akhirnya. "Zaman sudah berbeda. Aku mengerti
bahwa Persaudaraan Mason kini tampak aneh bagimu, atau mungkin bahkan
membosankan. Tapi, aku ingin kau tahu kalau ambang pintunya akan selamanya
terbuka untukmu, seandainya kau berubah pikiran."
"Jangan berharap," gerutu Zach.
"Cukup!" bentak Peter, seraya berdiri. "Kusadari hidup merupakan perjuangan
bagimu, Zachary. Tapi aku bukan satu- satunya penunjuk jalanmu. Ada banyak
lelaki baik hati menunggumu, lelaki yang akan menyambutmu dalam rangkulan Mason
dan menunjukkan potensi sejatimu."
Zachary tergelak dan melirik Bellamy. "Itukah sebabnya kau ke sini, Mr. Bellamy"
Sehingga kaum Masonmu bisa mengerotokku?"
Bellamy diam saja, malah kembali mengarahkan pandangan penuh hormat kepada Peter
Solomon untuk mengingatkan Zach siapa yang memegang kekuasaan di dalam ruangan
ini. Zachary berpaling kembali kepada ayahnya.
"Zach," ujar Peter, "kita hanya bicara berputar-putar.. begini saja. Tak peduli


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau memahami atau tidak tanggung jawab yang ditawarkan kepadamu malam ini, aku
memiliki kewajiban keluarga untuk menawarkannya kepadamu. " Dia menunjuk
piramida itu. "Menjaga piramida ini adalah keistimewaan langka. Aku mendorongmu
untuk memikirkan kesempatan ini selama beberapa hari, sebelum membuat
keputusan." "Kesempatan?" tanya Zachary. "Menjaga batu?"
"Ada misteri-misteri besar di dunia ini, Zach," ujar Peter, mendesah. "Rahasia-
rahasia yang melampaui imajinasi terliarmu. Piramida ini melindungi rahasia-
rahasia itu. Dan yang lebih penting lagi, akan tiba saatnya, mungkin dalam masa
kehidupanmu, ketika piramida ini pada akhirnya dipahami dan rahasia-rahasianya
diungkap. Itu akan menjadi momen perubahan besar manusia dan kau berkesempatan
untuk berperan dalam momen itu. Aku ingin kau mempertimbangkannya dengan cermat.
Kekayaan sudah biasa, tapi kebijakan adalah langka." Dia menunjuk portofolio,
lalu piramida itu. "Kumohon agar kau ingat bahwa kekayaan tanpa kebijakan sering
bisa berakhir dalam bencana."
Zachary tampak seakan menganggap ayahnya sudah gila.
"Terserah kaulah, Dad, tapi mustahil aku menyerahkan warisanku demi ini." Dia
menunjuk piramida itu. Peter melipat kedua tangan di dada. "Jika kau memilih untuk menerima tanggung
jawab itu, aku akan menahan uang dan piramida itu untukmu sampai kau berhasil
menyelesaikan pendidikanmu di dalam Persaudaraan Mason. Ini perlu waktu
bertahun-tahun, tapi kau akan meraih kematangan untuk menerima kekayaan
sekaligus piramida ini. Kekayaan dan kebijaksanaa. Kombinasi yang luar biasa."
Zachary berdiri. "Astaga, Dad! Kau tidak mau menyerah, bukan" Tak bisakah kau
lihat bahwa aku tidak peduli soal Mason atau piramida batu dan misteri-misteri
kuno?" Dia menjulurkan tangan dan meraih portofolio hitam itu, lalu melambai-
lambaikannya di depan wajah ayahnya. "Ini adalah hakku sejak lahir! Hak sejak
lahir yang sama dari keluarga Solomon yang muncul sebelum diriku! Aku tidak
percaya kau mencoba menipuku untuk tidak menerima warisan dengan cerita-cerita
payah mengenai peta harta karun kuno!" Dia mengepit portofolio itu dan bergegas
melewati Bellamy, menuju pintu pekarangan ruang-kerja.
"Zachary, tunggul" Ayahnya cepat-cepat mengejar ketika Zachary berjalan keluar
memasuki malam. "Apa pun yang kau lakukan, kau tidak pernah boleh membicarakan
piramida yang kau lihat tadi!" Suara Peter Solomon pecah. "Tidak kepada siapa
pun! Selamanya!" Tapi Zachary mengabaikannya, menghilang ke dalam malam.
Mata kelabu Peter Solomon dipenuhi rasa sakit ketika dia kembali ke meja dan
menjatuhkan diri ke atas kursi kulitnya. Setelah keheningan panjang, dia
mendongak memandang Bellamy dan memaksakan senyuman sedih. "Segalanya berjalan
dengan baik." Bellamy mendesah, ikut merasakan kesakitan Peter, "Maaf, bukannya aku bermaksud
untuk tidak sensitif ... tapi ... kau memercayainya?"
Peter menatap ruangan dengan pandangan hampa.
"Maksudku," desak Bellamy, "untuk tidak mengatakan sesuatu pun mengenai piramida
itu?" Wajah Peter kosong. "Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa, Warren. Aku
bahkan tidak yakin apakah aku mengenal anakku."
Bellamy bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir perlahan di depan meja besar
itu. "Peter, kau telah melaksanakan kewajiban keluargamu. Tapi kini, mengingat
apa yang baru terjadi, kurasa kita perlu mengambil tindakan pencegahan. Aku
harus mengembalikan batu-puncak itu kepadamu, sehing bisa menemukan rumah baru
untuknya. Orang lainlah yang menjaganya."
"Mengapa?" tanya Peter.
"Jika Zachary bercerita kepada seseorang mengenai piramida itu... dan menyebut
kehadiranku malam ini."
"Dia sama sekah tidak tahu mengenai batu-puncak itu, dan dia terlalu kekanak-
kanakan untuk memahami pentingnya piramida ini. Kita tidak memerlukan rumah baru
untuk benda ini. Aku akan menyimpan piramida ini di dalam lemari besiku, dan kau
akan menyimpan batu-puncak itu di mana pun kau menyimpannya. Seperti yang selalu
kita lakukan." Enam tahun kemudian, pada Hari Natal, ketika keluarga Peter masih memulihkan
diri dari kematian Zachary, lelaki bertubuh tinggi besar yang menyatakan telah
membunuh Zachary di penjara menyelinap ke dalam kediaman keluarga Solomon.
Penyerang itu datang untuk mengambil piramida, tapi yang diambilnya hanyalah
nyawa Isabel Solomon. Beberapa hari kemudian, Peter memanggil Bellamy ke kantornya. Dia mengunci pintu
dan mengeluarkan piramida itu dari lemari besi, meletakkamyn di atas meja di
antara mereka. "Seharusnya aku mendengarkan perkataanmu."
Bellamy tahu, Peter dipenuhi perasaan bersalah dalam hal ini. "Itu tak akan
mengubah apa pun." Peter menghela napas dengan lelah. "Kau membawa batu puncak itu?"
Bllamy mengeluarkan bungkusan kecil berbentuk-kubus dari saku. Kertas cokelat
pudar itu diikat dengan benang pintal dan disegel lilin dengan cincin Solomon.
Bellamy meletakkan bungkusan itu di meja. Dia tahu, malam ini kedua bagian
Piramida Mason itu lebih dekat satu sama lain daripada yang seharusnya. "Cari
orang lain untuk menjaganya. Jangan katakan siapa orangnya."
Peter mengangguk. "Dan aku tahu di mana kau bisa menyembunyikan piramida itu." ujar Bellamy. Dia
menceritakan sub-ruang Gedung Capitol kepada Peter. "Tidak ada tempat di
Washington yang lebih aman daripada tempat itu."
Bellamy ingat bahwa Peter langsung menyukai ide itu, karena secara simbolis
rasanya layak untuk menyembunyikan piramida itu di jantung simbolis bangsa. Khas
Solomon, pikir Bellamy. Tetap idealis, bahkan di saat krisis.
Kini, sepuluh tahun kemudian, ketika Bellamy didorong dalam keadaan buta
melewati Perpustakaan Kongres, dia tahu krisis malam ini masih jauh dari
berakhir. Dia kini juga tahu siapa yang dipilih Peter untuk menjaga batu-puncak
itu... dan dia berdoa kepada Tuhan agar Robert Langdon layak menerima tugas itu.
BAB 62 Aku berada di bawah Second Street.
Mata Langdon tetap terpejam rapat ketika ban-berjalan bergemuruh melewati
kegelapan menuju Gedung Adam. Ia berupaya sebaik mungkin untuk tidak
membayangkan berton- ton tanah di atas kepala dan lorong sempit yang kini
menjadi perjalanannya. Dia bisa mendengar Katherine bernapas beberapa meter di
atasnya, tapi sejauh ini perempuan itu belum mengucapkan sepatah kata pun.
Dia terguncang. Langdon tidak ingin menceritakan tangan terpenggal Peter
kepadanya. Harus, Robert. Dia perlu tahu.
"Katherine?" panggil Langdon pada akhirnya, tanpa buka mata. "Kau baik-baik
saja?" Suara gemetar tak berwujud menjawab dari suatu tempat di atasnya. "Robert,
piramida yang kau bawa. Milik Peter, bukan?"
"Ya," jawab Langdon.
Muncul keheningan panjang. "Kurasa ... piramida itulah yang menyebab terbunuhnya
ibuku." Langdon sangat tahu bahwa Isabel Solomon dibunuh sepuluh tahun yang lalu, tapi
dia tidak tahu detail-detailnya, dan Peter tidak pemah menyebut apa-apa soal
piramida. "Kau bicara apa?"
Suara Katherine dipenuhi emosi ketika dia menceritakan kejadian-kejadian
mengerikan malam itu, bagaimana lelaki bertatto itu menyelinap ke dalam kediaman
mereka. "Sudah lama sekali, tapi aku tidak pernah lupa bahwa dia menuntut sebuah
piramida. Katanya, dia mendengar tentang piramida itu di penjara, dari
keponakanku, Zachary ... tepat sebelum dia membunuhnya."
Langdon mendengarkan dengnn takjub. Tragedi di dalam keluarga Solomon nyaris
terialu sulit untuk dipercaya.
Katherine melanjutkan, mengatakan dia selalu percaya penyerang itu terbunuh
malam itu ... sampai lelaki yang sama ini muncul kembali hari ini, berpura-pura
menjadi psikiater Peter dan membujuk Katherine ke rumahnya. "Dia mengetahui hal-
hal privat tentang kakakku, kematian ibuku, dan bahkan pekerjaan-ku," katanya
dengan cemas, "hal-hal yang hanya bisa diketahuinya dari kakakku. Jadi aku
memercayainya ... dan begitulah caranya masuk ke dalam Smithsonian Museum
Support Center." Katherine menghela napas panjang dan bercerita bahwa dia hampir
yakin kalau lelaki itu sudah menghancurkan labnya malam ini.
Langdon mendengarkan dengan sangat terkejut. Selama beberapa saat, keduanya
berbaring dalam keheningan di atas ban yang bergerak. Langdon tahu, dia punya
kewajiban untuk menceritakan semua berita mengerikan malam ini kepada Katherine.
Dia memulainya perlahan-lahan. Selembut mungkin dia bercerita bagaimana kakak
Katherine itu memercayakan sebuah bungkusan kecil kepadanya bertahun-tahun lalu,
bagaimana Langdon tertipu sehingga membawa bungkusan itu ke Washington malam
ini, dan akhirnya dia bercerita mengenai tangan Peter yang ditemukan di Rotunda
Gedung Capitol. Reaksi Katherine adalah keheningan yang memekakkan telinga.
Langdon bisa tahu kalau perempuan itu terguncang, dan dia berharap bisa
menjulurkan tangan dan menghiburnya. Tapi, berbaring memanjang di dalam
kegelapan sempit menjadikan hal itu mustahil. "Peter baik-baik saja," bisiknya.
"Dia masih hidup, dan kita akan mendapatkannya kembali." Langdon mencoba memberi
Katherine harapan. "Katherine, penculiknya berjanji akan mengembalikan kakakmu
dalam keadaan hidup ... asalkan aku memecahkan kode piramida itu untuknya."
Katherine tetap, diam. Langdon bicara terus. Dia bercerita tentang piramida batu, cipher Mason, batu-
puncak tersegel, dan tentu saja pernyataan Bellamy bahwa piramida ini
sesungguhnya Piramida Mason, suatu legenda... peta yang mengungkapkan tempat
persembunyian tangga spiral panjang yang menuju jauh ke dalam bumi ... ratusan
meter menuju harta karun mistis kuno yang telah lama terkubur di Washington.
Akhirnya Katherine bicara, tapi suaranya datar dan tanpa emosi. "Robert, buka
matamu." Buka mataku" Langdon tidak ingin, bahkan sedikit pun, melihat betapa
sesak ruangan ini sesungguhnya.
"Robert!" teriak Katherine, kini suaranya mendesak. "Buka matamu! Kita sudah
sampai!" Mata Langdon langsung terbuka ketika tubuhnya melewati lubang yang serupa dengan
lubang yang mereka masuki di ujung yang satunya. Katherine sudah turun dari ban
berjalan. Diangkatnya tas Langdon dari ban-berjalan ketika lelaki itu
mengayunkan kaki ke pinggi dan melompat turun ke lantai tepat pada waktunya,
sebelum ban-berjalan itu berbelok dan kembali menuju tempat asal kedatangannya.
Ruangan di sekeliling mereka adalah ruang sirkulasi yang sangat menyerupai
ruangan tempat asal mereka tadi di gedung yang satunya. Sebuah papan tanda
bertuliskan GEDUNG ADAMS: RUANG SIRKULASI3 .
Langdon merasa seakan baru saja muncul dari semacam kamar kelahiran bawah-tanah.
Dilahirkan kembali. Dia langsung menoleh kepada Katherine. "Kau baik-baik saja?"
Mata Katherine merah, dan jelas dia habis menangis, tapi dia mengangguk dengan
tegas dan tabah. Dia mengambil tas bahu Langdon dan membawanya melintasi ruangan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu diletakkannya tas itu di atas meja yang
berantakan. Dia menyalakan lampu halogen di meja, menarik resleting tas, membuka
lebar-lebar kedua sisi tas, dan mengintip ke dalam.
Piramida granit itu nyaris tampak sederhana di dalam cahaya lampu halogen
jernih. Katherine menelusurkan jari-jari tangannya pada ukiran cipher Mason itu,
dan Langdon merasakan emosi yang mendalam bergejolak di dalam tubuh perempuan
itu. Perlahan-lahan Katherine merogoh tas dan mengeluarkan bungkusan berbentuk-
kubus. Dia mengangkatnya ke bawah lampu, menelitinya dengan cermat.
"Seperti yang bisa kau lihat," ujar Langdon pelan, "segel lilinnya dicap-timbul
dengan cincin Mason Peter. Katanya, cincin ini digunakan untuk menyegel
bungkusan itu lebih dari seabad yang lalu."
Katherine diam saja. "Ketika kakakmu memercayakan bungkusan itu kepadaku," kata Langdon, "dia
mengatakan isi bungkusan akan memberiku kekuatan untuk menciptakan keteraturan
dari kekacauan. Aku tidak begitu yakin apa artinya, tapi menurutku batu-puncak
itu mengungkapkan sesuatu yang penting, karena Peter bersikeras agar benda itu
tidak jatuh ke tangan yang keliru. Mr. Bellamy baru saja mengatakan hal yang
sama kepadaku, mendesakku untuk menyembunyikan piramida dan tidak membiarkan
seorang pun membuka bungkusan itu."
Kini Katherine menoleh, tampak marah. "Bellamy memintamu untuk tidak membuka
bungkusan ini?" "Ya." Katherine tampak tidak percaya. "Tapi kau bilang batu- puncak ini satu-satunya
cara untuk memecahkan kode piramida, bukan?"
"Ya, mungkin." Suara Katherine kini meninggi. "Dan kau bilang kau diperinlahkan untuk
memecahkan kode piramida. Itu satu- satunya cara untuk mendapatkan Peter
kembali, bukan?" Langdon mengangguk. "Kalau begitu, Robert, mengapa kita tidak membuka bungkusan ini dan memecahkan
kode benda ini sekarang juga"!"
Langdon tidak tahu harus menjawab apa. "Katherine, reaksiku sama persis. Akan
tetapi, menurut Bellamy, menjaga keutuhan rahasia piramida ini lebih penting
daripada segalanya ... termasuk nyawa kakakmu."
Raut wajah cantik Katherine mengeras, dan dia menyelibkan rambut ke belakang
telinga. Ketika dia bicara, suaranya penuh tekad. "Piramida batu ini, apa pun
itu, telah mengorbankan seluruh keluargaku. Pertama-tama keponakanku, Zachary,
ibuku, dan kini kakakku. Dan harus kau akui, Robert, jika malam ini kau tidak
menelepon untuk memperingatkan-ku..."
Langdon bisa merasakan dirinya terperangkap antara logika Katherine dan desakan
mantap Bellamy. "Mungkin aku seorang ilmuwan," ujar Katherine, "tapi akupun datang dari keluarga
Mason yang terkenal. Percayalah, aku sudah mendengar semua cerita tentang
Piramida Mason dan janji harta karun luar biasa yang akan mencerahkan umat
manusia. Sejujurnya, menurutku sulit untuk membayangkan adanya hal semacam itu.
Akan tetapi, seandainya itu memang ada ... mungkin sudah saatnya untuk
diungkapkan." Katherine menyelipkan jari tangan ke bawah benang pintal pada
bungkusan. Langdon terlompat. "Katherine, tidak! Tunggu!"
Perempuan itu berhenti, tapi jarinya tetap berada di bawah benang. "Robert, aku
tidak akan membiarkan kakakku mati demi ini. Apa pun yang dikatakan batu-puncak
ini ... apa pun harta karun hilang yang bisa diungkapkan oleh ukiran ini ...
semua rahasia berakhir malam ini."
Dengan perkataan itu, Katherine menarik benang kuat-kuat dan segel-lilin rapuh
itu patah. BAB 63 Disebuah lingkungan tenang, persis di sebelah barat Embassy Row di Washington,
terdapat kebun berdinding gaya Abad Pertengahan yang konon mawar-mawarnya
berasal dari tanaman Abad ke-12. Gazebo Carderock - yang dikenal dengan nama
Rumah Bayangan - berdiri dengan anggun di antara jalan-jalan setapak berliku-
liku dari batu yang digali dari tambang pribadi George Washington.
Malam ini, keheningan kebun dipecahkan oleh seorang pemuda yang bergegas
melewati gerbang kayu sambil berteriak.
"Halo?" panggilnya, seraya memanjangkan leher untuk melihat di dalam cahaya
bulan. "Ada orang di sini?"
Suara yang menjawab kedengaran ringkih, nyaris tak terdengar. "Di dalam
gazebo... sedang menghirup udara segar."
Pemuda itu menemukan atasannya yang sudah sepuh sedang duduk di bangku batu di
balik selimut. Lelaki bungkuk tua itu bertubuh mungil dengan raut wajah lembut.
Tahun- tahun yang berlalu telah membungkukkan tubuhnya dan mencuri
penglihatannya, tapi jiwanya tetap merupakan kekuatan yang harus
dipertimbangkan. Seraya terengah-engah, pemuda itu bercerita, "Saya baru saja... menerima
telepon... dari teman Anda... Warren Bellamy."
"Oh?" Lelaki tua itu mendongak. "Soal apa?"
"Dia tidak bilang, tapi kedengarannya seakan dia sedang terburu-buru. Dia bilang
sudah meninggalkan pesan dalam kotak suara Anda, dan harus langsung Anda
dengarkan." "Dia hanya bilang begitu.
"Tidak juga." Pemuda itu terdiam. "Dia menyuruh saya untuk bertanya kepada
Anda." Pertanyaan yang sangat aneh.
"Katanya perlu jawaban Anda segera."
Lelaki tua itu mencondongkan tubuh lebih dekat.
"Pertanyaan apa?"
Ketika pemuda itu mengucapkan pertanyaan Mr. Bellamy, kepucatan yang melintas di
wajah lelaki tua itu tampak jelas, bahkan dalam cahaya bulan. Dia langsung
melemparkan selimut dan mulai berjuang untuk berdiri.
"Bantu aku ke dalam. Sekarang juga."
BAB 64

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada lagi rahasia, pikir Katherine Solomon.
Di atas meja di hadapannya, segel-lilin yang tadinya utuh selama bergenerasi-
generasi kini tergeletak berkeping-keping. Dia sudah melepaskan kertas cokelat
pudar dari bungkusan berharga kakaknya. Di sampingnya, Langdon jelas tampak
tidak nyaman. Dari dalam kertas, Katherine mengeluarkan kotak kecil dari batu kelabu. Kotak
yang menyerupai kubus granit mengilap itu tidak berengsel, tidak bergerendel,
dan tampaknya tidak punya jalan inasuk. Mengingatkan Katherine pada kotak teka-
tekii Cina. "Tampaknya seperti kotak padat," katanya, seraya menelusurkan jari-jari tangan
melewati pinggiran- pinggirannya.
"Kau yakin sinar-X-nya menunjukkan rongga" Dengan batu- puncak di dalamnya?"
'Ya," jawab Langdon, seraya berpindah ke samping Katherine dan meneliti kotak
misterius itu. Dia dan Katherine mengintip kotak dari sudut-sudut yang berbeda,
berupa mencari jalan masuk.
"Ketemu," ujar Katherine, ketika kuku jari tangannya menemukan celah tersembunyi
di sepanjang pinggiran atas kotak. Dia meletakkan kotak di meja, lalu perlahan-
lahan membuka tutupnya - yang terangkat dengan mudah seperti bagian atas kotak
perhiasan mewah. Ketika tutupnya jatuh ke belakang, Langdon dan Katherine sama-sama menghela
napas panjang. Bagian dalam kotak tampak berkilau. Bagian dalamnya berkilau
dengan kecemerlangan yang nyaris supernatural. Katherine belum pernah melihat
bongkahan emas sebesar ini, dan perlu sejenak sebelum dia menyadari bahwa logam
berharga itu hanya merefleksikan kecemerlangan ... meja.
"Spektakuler," bisiknya. Walaupun tersegel dalam kubus gelap selama lebih dari
seabad, batu-puncak itu sama sekali tidak pudar atau kusam. Emas menentang hukum
entropis pelapukan; itu salah satu alasan mengapa orang-orang kuno menganggapnya
ajaib. Katherine merasakan denyut nadinya semakin cepat ketika dia membungkuk,
mengintip puncak emas kecilnya. "Ada inskripsi."
Langdon bergerak lebih mendekat, kini bahu mereka bersentuhan. Mata birunya
berkilau penasaran. Dia sudah bercerita kepada Katherine mengenai kebiasaan
orang Yunani kuno menciptakan symbolon - kode yang dipecah menjadi beberapa
bagian dan bagaimana batu-puncak ini, yang sudah lama dipisahkan dari piramida
itu sendiri, memegang kunci untuk memecahkan piramida. Konon inskripsi ini, apa
pun tulisannya, akan mendatangkan keteraturan dari kekacauan ini.
Katherine mengangkat kotak kecil itu ke lampu dan mengintip langsung batu-
puncaknya. Walaupun kecil, inskripsinya jelas terlihat- teks kecil yang diukirkan dengan
anggun di permukaan salah satu sisinya. Katherine membaca keenam kata sederhana
itu. Lalu dia membacanya sekali lagi.
"Tidak!" pekiknya. "Tidak mungkin tulisannya seperti ini!"
Di seberang jalan, Direktur Sato bergegas menyusuri jalan setapak panjang di
luar Gedung Capitol, menuju titik pertemuannya, First Street. Berita terbaru
dari tim lapangan tidak bisa diterima. Tidak ada Langdon. Tidak ada piramida.
Tidak ada batu-puncak. Bellamy tertangkap, tapi dia tidak mengatakan yang
sebenarnya. Setidaknya belum.
Aku akan membuatnya bicara.
Dia menoleh ke belakang, melihat salah satu pemandangan terbaru Washington -
Kubah Capitol yang tampak di atas visitor center yang baru. Kubah terang itu
hanya menekankan pentinnya sesuatu yang benar-benar sedang dipertaruhkan malam
Ini. Saat-saat yang membahayakan.
Sato lega mendengar ponselnya berdering dan melihat ID
analisnya di layar. "Nola," sapa Sato. "Apa yang kau dapat?"
Nota Kaye memberinya kabar buruk. Sinar-X inskripsi batu- puncak itu terlalu
tersamar untuk dibaca, dan filter-filter penajam gambar tidak membantu.
Sialan. Sato, menggigit bibir. "Bagaimana dengan kisi yang terdiri dari enam
belas huruf?" "Masih saya upayakan," jawab Nola, "tapi sejauh ini saya belum menemukan skema
penyandian kedua yang bisa diaplikasikan. Saya menyuruh komputer mengacak huruf-
huruf dalam kisi dan mencari apa pun yang bisa diidentifikasi, tapi
kemungkinannya lebih dari dua puluh triliun."
"Tetap kerjakan. Laporkan kepadaku." Sato menutup telepon, memberengut.
Harapannya untuk memecahkan kode piramida dengan hanya menggunakan foto dan
sinar-X memudar dengan cepat. Aku perlu piramida dan batu-puncak itu... dan aku
kehabisan waktu. Sato tiba di First Street persis ketika sebuah mobil. SUV Escalade hitam dengan
jendela-jendela gelap meraung melintasi garis kuning ganda dan berhenti di
hadapannya, di tempat pertemuan mereka. Seorang agen keluar.
"Sudah ada kabar soal Langdon?" desak Sato.
"Kemungkinannya tinggi," ujar lelaki itu tanpa emosi.
"Bantuan baru saja tiba. Semua pintu keluar perpustakaan dikepung. Kita bahkan
mendapatkan pendukung dari udara. Kita akan mengguyurnya dengan gas air mata,
dan dia tidak akan bisa lari ke mana-mana."
"Dan Bellamy?" "Terikat di kursi belakang."
Bagus. Bahu Sato masih terasa sakit.
Agen itu menyerahkan sebuah kantong plastik Ziploc yang berisi ponsel, kunci-
kunci, dan dompet. "Milik Bellamy."
"Tidak ada lagi yang lain?"
"Tidak, Ma'am. Agaknya piramida dan bungkusannya masih bersama Langdon."
"Oke," ujar Sato. "Bellamy mengetahui banyak hal yang tidak diceritakannya. Aku
ingin menanyainya secara pribadi."
"Ya, Ma'am. Ke Langley, kalau begitu."
Sato menghela napas panjang dan mondar-mandir sejenak di samping SUV. Ada
protokol-protokol ketat yang mengatur interogasi warga sipil AS; menanyai
Bellamy sangatlah ilegal, jika dilakukan di Langley bersama video dan saksi-
saksi, pengacara-pengacara, dan seterusnya, dan seterusnya....
"Jangan Langley", katanya seraya berusaha memikirkan suatu tempat yang lebih
dekat. Dan lebih privat. Agen itu diam saja, berdiri siaga di samping SUV yang mesinnya mati, menunggu
perintah. Sato menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam- dalam dan menunduk memandangi
kantong Ziploc berisi barang-barang Bellamy. Dia memperhatikan gantungan kunci
yang menyertakan sebuah kunci elektronik berhias empat huruf - USBG. Tentu saja,
Sato mengetahui gedung pemerintah yang bisa diakses dengan kunci itu. Gedungnya
dekat sekali, dan sangat privat pada jam seperti ini.
Dia tersenyum dan mengantongi kund itu. Sempurna.
Ketika menyebutkan kepada agen itu ke mana dia ingin membawa Bellamy, Sato
mengharapkan munculnya keterkejutan. Tapi lelaki itu hanya mengangguk dan
membukakan pintu penumpang untuknya. Tatapan dingin lelaki itu tidak
mengungkapkan sesuatu pun.
Sato menyukai orang-orang yang profesional.
Langdon berdiri di ruang bawah tanah Gedung Adams, dan dengan tidak percaya
menatap kata-kata yang terukir anggun di permukaan batu-puncak emas itu.
Hanya begitu bunyinya"
Di sampingnya, Katherine memegangi batu-puncak itu di bawah lampu dan
menggeleng. "Pasti ada lebih banyak lagi," desaknya.
Suaranya terdengar kecewa. "Inikah yang dilindungi oleh kakakku selama bertahun-
tahun ini?" Langgdon harus mengakui bahwa dia kebingungan. Menurut Peter dan Bellamy, batu-
puncak ini seharusnya membantu mereka memecahkan kode piramida batu. Sehubungan
dengan pernyataan mereka itu, tadinya Langdon mengharapkan sesuatu yang bisa
dijelaskan dan membantu. Ini lebih tepat jika disebut sebagai sesuatu yang sudah
jelas dan tidak berguna. Sekali lagi dia membaca keenam kata yang terukir halus
di permukaan batu-puncak.
The secret hides within The Order
Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo"
Sekilas pandang, inskripsi itu tampak-nya menyatakan sesuatu yang sudah jelas -
bahwa huruf-huruf pada piramida itu tidak "beraturan", dan rahasianya adalah
menemukan urutan yang tepat. Akan tetapi, tulisan ini, selain sudah jelas,
tampak mustahil karena alasan lain. "Kata the dan order ditulis dengan huruf
besar," ujar Langdon.
Katherine mengangguk hampa. "Sudah kulihat."
Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo. Langdon hanya bisa memikirkan satu
implikasi logisnya. " Agaknya 'Ordo' mengacu pada Ordo Mason."
"Aku setuju," ujar Katherine, " tapi itu masih tidak membantu. Tidak menjelaskan
sesuatu pun kepada kita."
Langdon harus mengiyakan. Bagaimanapun, seluruh cerita mengenai Piramida Mason
berpusar di sekeliling rahasia yang tersembunyi di dalam Ordo Mason.
"Robert, bukankah kau bilang menurut kakakku batu- puncak ini akan memberimu
kekuatan untuk melihat order (keteraturan), padahal yang lain hanya melihat
chaos (kekacauan)?" Langdon mengangguk dengan frustrasi. Untuk kedua kalinya malam ini, Robert
Langdon merasa tidak layak.
BAB 65 Sutelah selesai menangani pengunjung tak terduganya, yaitu seorang petugas
keamanan perempuan dari Preferred Security, Mal'akh memperbaiki cat pada jendela
- di tempat perempuan tadi mengintip ruang kerja sucinya.
Kini, keluar dari kabut biru lembut ruang bawah tanah, dia muncul melalui sebuah
ambang pintu tersembunyi dan memasuki ruang tamu. Dia berhenti di sana,
mengagumi lukisan spektakuler The Three Graces dan menikmati segala aroma dan
suara rumah yang dikenalnya.
Aku akan segera pergi untuk selamanya. Mal'akh tahu, setelah malam ini, dia
tidak akan bisa kembali ke tempat ini. Setelah malam ini, pikirnya sambil
tersenyum, aku tidak akan memerlukan tempat ini.
Dia bertanya-tanya apakah Robert Langdon sudah memahami kekuatan sejati piramida
itu... atau pentingnya peranan yang dipilihkan takdir untuknya. Langdon masih
harus meneleponku, pikir Mal'akh, setelah mengecek-ulang pesan- pesan di ponsel
sekali-pakainya. Sekarang pukul 10.02 malam. Langdon punya waktu kurang dari dua
jam. Mal'akh menaiki tangga, menuju kamar mandi marmer Italianya, menyalakan pancuran
air panas, dan membiarkan airnya memanas. Secara sistematis dia melepas pakaian,
bersemangat memulai ritual pembersihan.
Dia minum dua gelas air untuk menenangkan perut ke roncongannya. Lalu dia
berjalan menuju cermin setinggi badan dan mengamati tubuh telanjangnya. Puasa
dua hari telah menonjolkan otot-ototnya, dan mau tidak mau dia mengagumi dirinya
yang sekarang. Saat fajar, aku akan menjadi jauh lebih hebat lagi.
BAB 66 "Kita harus keluar dari sini," ujar Langdon kepada Katherine.
"Hanya masalah waktu sebelum mereka mengetahui di mana kita berada." Dia
berharap Bellamy berhasil lolos.
Katherine tampak masih terpaku pada batu-puncak emas. Ia tampak tidak percaya
bahwa inskripsi-nya sangat tidak membantu. Dia sudah mengeluarkan batu-puncak
itu dari kotak, meneliti semua sisinya, dan kini dengan hati-hati memasukkannya
kembali ke dalam kotak. Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo, pikir Langdon. Sangat membantu.
Kini Langdon mendapati dirinya bertanya-tanya, Peter keliru mengenai isi kotak
itu. Piramida dan batu-puncak diciptakan lama sebelum lelaki itu dilahirkan, dan
dia hanya menjalankan perintah nenek moyangnya, menyimpan sebuah... yang mungkin
sama misteriusnya baginya, seperti juga bagi dan Katherine.
Apa yang kuharapkan" pikir Langdon bertanya-tanya. Semakin banyak yang
diketahuinya malam ini mengenai Legenda Pirami Mason, tampaknya semakin tidak
masuk akal semuanya. Aku mecari tangga spiral tersembunyi yang ditutupi oleh batu besar" Sesuatu mengatakan kepada Langdon bahwa dia hanya
mengejar bayang--bayang. Walaupun demikian, memecahkan kode piramida ini
tampaknya merupakan peluang terbesarnya untuk menyelamatkan Peter.
"Robert, apakah tahun 1514 ada artinya bagimu?"
Lima belas empat belas" Pertanyaan itu tampaknya tidak berhubungan dengan apa
pun. Langdon mengangkat bahu.
"Tidak ada. Mengapa?"
Katherine menyerahkan kotak batu itu. "Lihat. Kotaknya bertanggal. Lihatlah di
bawah lampu." Langdon duduk di meja dan mengamati kotak berbentuk kubus itu di bawah lampu.
Dengan lembut, Katherine meletakkan tangannya dibahu Langdon, dan membungkuk
untuk menunjukkan teks mungil yang ditemukannya terukir di bagian luar kotak, di
dekat pojok bawah salah satu sisinya.
"Lima belas empat belas A.D. (Masehi)," ujar Katherine, seraya menunjuk ke dalam
kotak. Memang, ukiran itu menggambarkan angka 1514, diikuti huruf A dan D yang ditulis
dengan gaya tidak biasa. 1514 AD "Tanggal ini," kata Katherine, yang mendadak kedengaran penuh harap, "mungkin
merupakan kaitan yang hilang" Kubus tertanggal ini tampak sangat menyerupai batu
pertama Mason, Jadi mungkin tulisan ini menunjuk ke sebuah batu pertama asli"
Mungkin ke sebuah gedung yang dibangun pada 1514 Masehi."
Langdon nyaris tidak mendengarnya.
Lima belas empat belas A.D. bukanlah tanggal.
Simbol AD, seperti yang akan dikenali oleh semua mahasiswa seni Abad
Pertengahan, adalah simbatura - simbol yang digunakan sebagai pengganti tanda
tangan - yang terkenal. Banyak di antara para filosof, seniman, dan pengarang
kuno yang menandatangani karya mereka dengan simbol atau monogram unik mereka
sendiri sebagai pengganti nama. Praktik ini menambahkan pesona misterius pada
karya mereka, dan juga melindungi mereka dari hukuman seandainya tulisan atau
karya seni mereka dianggap bertentangan dengan penguasa.
Dalam kasus simbatura ini, huruf A.D. bukanlah singkatan dari Anno Domini
(Masehi)... melainkan merupakan bahasa Jerman untuk sesuatu yang benar-benar
berbeda. Langdon langsung melihat semua teka-tekinya terpecahkan. Dalam hitungan detik,
dia yakin dirinya tahu pasti cara memecahkan kode piramida. "Katherine, kau
berhasil,", katanya, serta berkemas-kemas. "'Hanya itu yang kita perlukan. Ayo
pergi. Akan kujelaskan dalam perjalanan."
Katherine tampak takjub. "Tanggal 1514 A.D. benar-benar ada arti-nya buatmu?"
Langdon mengedipkan sebelah mata dan berjalan ke "A.D. bukan tanggal, Katherine.
Itu nama orang." BAB 67 Di sebelah barat Embassy Row semuanya kembali hening di dalam kebun berdinding
dengan mawar-mawar abad ke-12 dan gazebo Rumah Bayangan. Di sisi lain jalan
masuk, pemuda itu mambantu atasannya yang bungkuk berjalan melintasi halaman
luas. Dia membiarkanku menuntunnya"
Biasanya, lelaki tua buta itu menolak bantuan, lebih suka menjelah berdasarkan
ingatan saja pada saat berada di tanah tempat perlindungannya. Akan tetapi malam
ini tampaknya dia ingin segera masuk dan membalas telepon Warren Bellamy.
"Terima kasih," ujar lelaki tua itu, ketika mereka memasuki gedung tempat ruang
kerjanya berada. " Aku bisa menemukan jalanku dari sini."
"Pak, dengan senang hati saya bisa tetap tinggal dan membantu-"
"Sampai di sini saja," kata lelaki tua itu, seraya melepaskan tangan penolongnya
dan bergegas menyeret langkah memasuki kegelapan. "Selamat malam."
Pemuda itu meninggalkan gedung dan berjalan kembali melintasi halaman luas
menuju kediaman sederhananya di tanah itu. Saat memasuki tempat tinggalnya, dia
diusik rasa penasaran- Lelaki tua itu jelas terganggu oleh pertanyaan yang
diajukan Mr. Bellamy ... tetapi pertanyaan itu tampak aneh, nyaris tidak ada
artinya. Tidak adakah pertolongan untuk putra si janda"
Dalam imajinasi terliarnya, dia tidak bisa menebak apa kemungkinan artinya.
Dengan bingung, dia menuju komputer dan mengetik untuk mencari frasa yang persis
sama ini. Yang mengejutkannya, muncul berhalaman-halaman referensi dan semuanya
mengutip pertanyaan yang sama ini. Dia membaca semua informasi itu dengan
takjub. Tampaknya Warren Bellamy bukanlah orang pertama dalam sejarah yang
mengajukan pertanyaan ini. Kata-kata yang sama ini diutarakan berabad-abad yang
lalu oleh Raja Solomon, ketika berduka atas terbunuhnya seorang teman. Konon
pertanyaan itu masih diutarakan sampai saat ini oleh kaum Mason, yang
menggunakannya sebagai semacam permohonan tolong tersandi. Tampaknya Warren
Bellamy mengirirnkan panggilan darurat kepada sesama anggota Mason.
BAB 68 Albrecht Durer" Katherine mencoba menyatukan semua potongan teka-teki ketika dia bergegas
bersama Langdon melewati ruang bawah tanah Gedung Adams. A.D. singkatan dari


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Albrecht Durer" Pemahat dan pelukis Jerman abad ke-16 yang terkenal itu adalah
salah seorang seniman favorit kakaknya, dan Katherine sedikit mengenal karyanya.
Walaupun demikian, dia tidak bisa membayangkan bagaimana Durer bisa membantu
mereka dalam kasus ini. Lagi pula, diasudah mati selama lebih dari empat ratus
tahun. "Secara simbolis, Durer sempurna," ujar Langdon, ketika mereka mengikuti
serangkaian tanda KELUAR yang terang.
"Dia lelaki Renaisans paling cerdas - seniman, filosof, ahli kimia, dan selalu
mempelajari Misteri Kuno. Sampai sekarang, tak seorang pun memahami sepenuhnya
pesan-pesan yang tersembunyi dalam karya seni Durer."
"Itu mungkin benar," kata Katherine. "Tapi, bagaimana '1514 Albrecht Durer' bisa
menjelaskan cara memecahkan kode piramida?"
Mereka tiba di sebuah pintu terkunci, dan Langdon menggunakan kartu-kunci
Bellamy untuk masuk. "Angka 1514," jelas Langdon, ketika mereka bergegas menaiki tangga, "menunjukkan
kita ke sebuah karya Durer yang sangat spesifik." Mereka memasuki koridor besar.
Langdon melihat ke sekeliling, lalu menunjuk ke kiri. "Ke sini." Mereka kembali
bergerak cepat. " Albrecht Durer sesungguhnya menyembunyikan angka 1514 dalam
karya seninya yang paling misterius - Melencolia I- yang diselesaikannya pada
1514. Itu dianggap karya Renaisans Eropa Utara yang sangat berpengaruh."
Peter pernah menunjukkan Melencolia Idalam sebuah buku tua mengenai mistisisme
kuno, tapi Katherine tidak mengingat adanya angka 1514 yang tersembunyi.
"Seperti yang mungkin kau ketahui," ujar Langdon, kedengarannya bersemangat,
"Melencolia Imenggambar perjuangan umat manusia dalam memahami Misteri Kuno.
Simbolisme dalam Melencolia Ibegitu rumit, sehingga membuat kekalahan Leonardo
da Vinci tampak jelas."
Mendadak Katherine berhenti dan memandang Langdon, "Robert, Melencolia Iada di
sini, di Washington- Tergantung di Galeri Nasional."
"Ya," kata Langdon seraya tersenyum, "dan kurasa itu kebetulan. Saat ini
galerinya tutup, tapi aku mengenal kuratornya dan-"
"Lupakan, Robert. Aku tahu apa yang terjadi ketika kau pergi ke museum."
Katherine berjalan menuju sebuah ceruk di dekatnya. Di sana dia melihat sebuah
meja dengan komputer. Langdon mengikuti, tampak tidak senang.
"Ayo kita lakukan dengan cara yang lebih mudah." Tampak Profesor Langdon, sang
ahli seni, mengalami dilema etis: Mengapa menggunakan Internet, padahal karya
aslinya begitu dekat. Katherine melangkah ke balik meja dan menyalakan komputer.
Ketika mesin akhirnya menyala, dia menyadari adanya masalah lain. "Tidak ada
ikon untuk peramban."
"Itu jaringan internal perpustakaan." Langdon menunjuk sebuah ikon pada desktop.
"Coba yang itu."
Katherine mengeklik ikon bertuliskan KOLEKSIDIGITAL. Komputernya mengakses layar
baru, dan Langdon kembali menunjuk. Katherine mengeklik ikon yang dipilih
Langdon : KOLEKSIFINE PRINTS. Layar melakukan refresh. FINE PRIN CARI.
"Ketik 'Albrecht Durer'."
Katherine memasukkan nama itu, lalu mengeklik kunci pencarian. Dalam hitungan
detik, layar mulai menyajikan serangkaian gambar kecil. Semua gambar itu
tampaknya bergaya serupa - ukiran hitam putih rumit. Tampaknya Durer menciptakan
lusinan ukiran yang sama.
Katherine meneliti daftar karya seni Durer berdasarkan Abjad.
Adam and Eve (Adam dan Hawa)
Betrayal of Christ (Pengkhianatan Kristus)
Flour Horsemen of the Apocalypse (Empat Pengendara Kuda dari Kitab Wahyu)
Great Passion (Penderitaan Kristus.) Last Supper (Perjamuan Terakhir)
Ketika melihat semua judul berbau Alkitab ini, Katherine ingat bahwa Durer
mempraktikkan sesuatu yang disebut Kristen Mistis - peleburan antara Kristen
awal, alkimia, astrologi, dan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan. Gambaran lab yang terbakar melintas di benak Katherine. Dia nyaris tidak bisa
mencerna akibat-akibat jangka- panjangnya, tapi saat ini pikirannya tertuju
kepada asistennya, Trish. Semoga dia berhasil keluar.
Langdon sedang mengutarakan sesuatu mengenai The Last Supper versi Durer, tapi
Katherine nyaris tidak mendengarkan. Katherine baru saja melihat tautan untuk
Melencolia I. Dia mengeklik mouse, dan halaman itu menyajikan informasi umum:
Melencolia I, 1514 Albrecht Durer (ukiran pada lempeng-perunggu) Koleksi Rosenwald
National Gallery of Art Washington, DC Ketika Katherine menggulung layar ke bawah, sebuah gambar digital resolusi-
tinggi yang menunjukkan mahakarya Durer muncul dengan segala kemegahannya.
Katherine menatap dengan takjub. Dia sudah lupa betapa usia karya itu.
Langdon tergelak memahami. "Seperti yang kubilang teks itu tersandi."
Melencolia Iterdiri atas sosok muram dengan sepasang raksasa duduk di depan
sebuah bangunan batu, dikelilingi kumpulan benda paling aneh dan berlainan yang
bisa dibayangkan - timbangan, anjing kurus kering, peralatan tukang kayu, pasir,
berbagai bentuk geometris tiga-dimensi, lonceng yang tergantung, malaikat gemuk
kecil bersayap, pisau, tangga.
Samar-samar Katherine ingat cerita kakaknya bahwa malaikat bersayap itu
merupakan representasi "manusia genius" - pria hebat yang bertopang dagu, tampak
muram, masih belum menemukan pencerahan. Si genius itu dikelilingi semua simbol
kecerdasan manusia - benda-benda ilmu pengetahuan, matematika, ilmu alam,
geometri, bahkan pertukangan - tetapi dia masih belum menaiki tangga menuju
pencerahan sejati. Bahkan, manusia genius pun mengalami kesulitan dalam memahami
Misteri Kuno. "Secara simbolis," jelas Langdon, "ini merepresentasikan kegagalan manusia untuk
mengubah kecerdasan manusia menjadi kekuatan menyerupai-Tuhan. Dalam istilah
alkimia, itu merepresentasikan ketidakmampuan kita untuk mengubah timah menjadi
emas." "Bukan pesan yang membangkitkan semangat," ujar Katherine mengiyakan. "Jadi,
bagaimana gambar ini bisa membantu kita?" Dia tidak melihat angka 1514
tersembunyi yang dibicarakan Langdon.
"Keteraturan dari kekacauan," ujar Langdon, seraya tersenyum simpul. "Persis
seperti yang dijanjikan oleh kakakmu." Dia merogoh saku dan mengeluarkan kisi
huruf- huruf yang ditulisnya berdasarkan cipher Mason. "Saat ini, kisi ini tidak
ada artinya." Ia membentangkan kertas itu di meja.
Katherine mengamati kisi itu. Jelas tidak ada artinya.
"Tapi Durer akan mengubahnya. "
"Dan bagaimana caranya melakukan hal itu?"
"Alkimia lingulistik-" Langdon menunjuk layar komputer.
"Lihat dengan cermat. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalam mahakarya ini, itu
akan menjadikan enam belas huruf kita masuk akan." Dia menunggu. "Sudah kau
lihat" Cari angka 1514."
Katherine sedang tidak ingin bermain sekolah-sekolahan.
"Robert, aku tidak melihat apa-apa - bola dunia, tangga, pisau, polihedron,
timbangan" Aku menyerah!"
"Lihat! Di sana, di latar belakang. Diukirkan pada bangunan di belakang malaikat
itu" Di bawah lonceng, Durer mengukirkan sebuah persegi empat penuh angka."
Kini Katherine melihat persegi empat berisikan angka- angka, di antaranya 1514.
"Katherine, persegi empat itu adalah kunci untuk memecahkan kode-kode piramida!"
Perempuan itu memandangnya dengan terkejut.
"Itu bukan sembarang persegi empat," ujar Langdon seraya menyeringai. "Itu, Miss
Solomon, adalah persegi empat ajaib."
BAB 69 Kemana mereka membawaku"
Bellamy masih ditutupi matanya di kursi belakang mobil. Setelah perhentian
singkat di suatu tempat di dekat Perpustakaan Kongres, kendaraan itu melaju
kembali .. tapi hanya selama menit. Kini SUV itu berhenti lagi, setelah hanya
melaju sebentar, kira-kira satu blok.
Bellamy mendengar pembicaraan dengan suara-suara terredam.
"Maaf... mustahil..." kata sebuah suara berwibawa, "tutup pada jam seperti ini"
Lelaki yang menyetir SUV menjawab dengan kewibawaan yang setara. "Penyelidikan
CIA ... keamanan nasional..." Tampaknya pertukaran kata-kata dan ID-nya
meyakinkan, karena nada suaranya langsung berubah.
"Ya, tentu saja ... pintu masuk petugas pelayanan ...." terdengar suara
menggelinding keras yang kedengarannya seperti pintu garasi. Dan, ketika pintu
terbuka, suara itu menambahkan, "Perlukah saya dampingi" Setelah berada di
dalam, Anda tidak akan bisa memasuki -"
"Tidak usah. Kami sudah mendapat akses."
Seandainya pun penjaga itu terkejut, semuanya sudah terlambat. SUV kembali
bergerak. Kendaraan itu maju sekitar lima puluh meter, lalu berhenti. Pintu
tebal bergerumuh menutup kembali di belakang mereka.
Keheningan. Bellamy menyadari bahwa tubuhnya gemetar.
Dengan suara berdebum, pintu belakang SUV terbuka. Rasa sakit menusuk bahu
Bellamy ketika seseorang menyeretnya keluar dengan menarik kedua lengannya, lalu
mengangkatnya agar berdiri. Tanpa kata, sebuah tenaga kuat menuntunnya melintasi
bentangan luas jalanan. Tercium bau tanah aneh yang tidak bisa dikenalinya.
Terdengar langkah kaki seseorang yang berjalan bersama mereka, tapi tak
terdengar sepatah kata pun suara.
Mereka berhenti di sebuah pintu, dan Bellamy mendengar denting elektronik. Pintu
terbuka. Bellamy diseret melewati beberapa koridor, dan mau tak mau dia
memperhatikan udaranya yang lebih hangat dan lebih lembab. Mungkin kolam renang
tertutup" Tidak. Bau udaranya bukan klorin ... tapi jauh lebih tajam dan
menyerupai tanah. Dimana gerangan kita"! Bellamy tahu, dia tidak mungkin lebih jauh dari satu atau
dua blok dari Gedung Capitol. Sekali lagi mereka berhenti, dan sekali lagi dia
mendengar denting elektronik pintu pengaman. Pintu yang ini membuka dengan suara
berdesis. Ketika mereka mendorongnya melewati pintu, bau yang tercium tidak
mungkin keliru. Kini Bellamy menyadari di mana mereka berada. Astaga! Dia sering datang kemari,
walaupun tidak pernah melalui pintu masuk petugas pelayanan. Gedung kaca yang
menakjubkan ini hanya berjarak tiga ratus meter dari Gedung Capitol, dan secara
teknis merupakan bagian dari Kompleks Capitol. Aku mengurus tempat ini! Kini
Bellamy menyadari bahwa rangkaian kunci-kunci miliknya sendirilah yang memberi
mereka akses. Lengan-lengan kuat mendorongnya melewati ambang pintu, menuntunnya menyusuri
lorong berliku-liku yang dikenalnya.
Kehangatan dan kelembapan tempat ini biasanya terasa nyaman baginya. Malam ini
dia berkeringat. Apa yang kita lakukan di sini"!
Mendadak Bellamy dihentikan dan didudukkan di atas sebuah bangku. Lelaki berotot
tadi melepaskan borgol Bellamy sebentar, hanya untuk kembali mengaitkan-nya pada
bangku di belakang punggungnya.
"Apa yang kau inginkan dariku?" desak Bellamy dengan jantung berdentam-dentam
liar. Satu-satunya jawaban yang dia terima hanyalah suara bot berjalan pergi dan pintu
kaca bergeser menutup. Lalu keheningan. Keheningan total.
Mereka hendak meninggalkanku begitu saja di sini" Kini keringat Bellamy semakin
membanjir ketika dia berjuang membebaskan tangannya. Aku bahkan tidak bisa
melepaskan penutup mata"
"Tolong!" teriaknya. "Siapa saja!"
Meski berteriak dengan panik sekalipun, Bellamy tahu tak orang pun akan
mendengarnya. Ruangan kaca yang besar ini - sebagai "Hutan" - benar-benar kedap-
udara ketika pintu-pintu tertutup.
Mereka meninggalkanku di dalam Hutan, pikirnya. Tak seorang pun akan menemukanku
sampai pagi. Lalu dia mendengarnya. Suara itu nyaris tak terdengar, tapi membuat Bellamy ketakutan, mengalahkan
suara apa pun yang pernah didengarnya sepanjang hidupnya. Sesuatu sedang
bernapas. Sangat dekat. Dia tidak sendirian di bangku itu.
Mendadak desis pemantik sulfur terdengar begitu dekat di wajahnya, sehingga dia
bisa merasakan panasnya. Bellamy terhenyak, secara insting menarik kuat-kuat
borgolnya. Lalu, tanpa disertai peringatan, sebuah tangan berada di wajahnya, melepaskan
penutup matanya. Api di hadapan Bellamy terpantul di mata hitam Inoue Sato ketika perempuan itu
menyulut rokok yang tergantung di bibibirnya yang hanya berjarak beberapa inci
dari wajah Bellamy. Perempuan itu menatapnya dalam cahaya bulan yang menembus langit-langit kaca.
Dia tampak senang melihat Bellamy ketakutan.
"Jadi, Mr. Bellamy," ujar Sato, seraya mematikan api. "Dari mana kita akan
memulai?" BAB 70 Persegi empat ajaib. Katherine mengangguk ketika mengamati persegi empat berisi
angka-angka di dalam ukiran Durer. Sebagian orang akan menganggap Langdon sudah
gila, tapi dengan cepat Katherine menyadari kebenaran perkataannya.
Istilah persegi empat ajaib bukan mengacu pada sesuatu yang ajaib, tapi pada
sesuatu yang matematis - nama itu diberikan untuk kisi yang terdiri atas urutan
angka yang diatur dengan cara sedemikian rupa sehingga hasil penjumlahan angka-
angka pada baris, kolom, dan diagonalnya sama. Diciptakan kira-kira empat ribu
tahun yang lalu oleh seorang ahli maternatika di Mesir dan di India, beberapa
orang masih percaya bahwa persegi empat ajaib ini memiliki kekuatan ajaib.
Katherine pemah membaca bahwa saat ini pun, orang- orang India saleh
menggambarkan persegi empat ajaib tiga- kali-tiga yang disebut Kubera Kolam pada
altar-altar pemujaan mereka. Tapi sebagian besar manusia modern memasukkan
persegi empat ajaib ke dalam kategori "matematika rekreasional"; beberapa orang
masih memperoleh kesenangan dari pencarian konfigurasi-konfigurasi "ajaib" baru.
Sudoku untuk orang-orang genius.
Dengan cepat Katherine menganalisis persegi empat Durer, menjumlahkan angka-
angka dalam beberapa baris dan kolomnya.
"Tiga puluh empat," katanya. "Semua arah berjumlah tiga puluh empat."
"Tepat sekali," ujar Langdon. "Tapi tahukah kau kalau segi empat ajaib ini
terkenal karena Durer berhasil mencapai sesuatu yang tampaknya mustahil?" Dengan
cepat dia menunjukkan pada Katherine bahwa, selain membuat semua baris, kolom,
dan diagonalnya berjumlah tiga puluh empat, Durer juga menemukan cara untuk
membuat keempat kuadran, keempat kotak di bagian tengah, dan bahkan keempat
kotak di bagian pojoknya berjumlah tiga puluh empat juga. "Tapi yang paling
menakjubkan adalah kemampuan Durer menempatkan angka 15 dan 14 bersama-sama di
bagian paling bawah, sebagai petunjuk tahun ketika dia menyelesaikan pencapaian
luar biasa ini!" Katherine meneliti angka-angka itu, merasa takjub oleh semua kombinasinya.
Nada suara Langdon kini menjadi semakin bersemangat.
"Yang luar biasa, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Melencolia
Imerepresentasikan kemunculan persegi empat ajaib dalam kalangan seni Eropa.
Beberapa sejarahwan percaya, ini cara tersandi Durer untuk menunjukkan bahwa
Misteri Kuno telah meninggalkan Alam Misteri Mesir dan kini disimpan oleh
perkumpulan-perkumpulan rahasia Eropa." Langdon terdiam. "Dan ini membawa kita
kembali kepada... ini."
Dia menunjuk secarik kertas bertuliskan kisi yang terdiri dari huruf-huruf dari
piramida batu. "Kurasa, tata letaknya kini tampak tidak asing lagi?" tanya Langdon.
"Persegi empat empat-kali-empat."
Langdon mengambil pensil dan dengan cermat menuliskan persegi empat ajaib Durer
di kertas tadi, tepat di samping persegi empat yang terdiri atas huruf-huruf.
Katherine kini melihat betapa mudahnya pemecahan kodenya. Langdon berdiri siaga
dengan pensil di tangan, tetapi... anehnya, setelah semua rasa antusias ini, dia
tampak ragu. "Robert?" Langdon menoleh kepada Katherine, raut wajahnya gelisah.
"Kau yakin kita ingin melakukannya" Dengan jelas Peter -"
"Robert, jika kau tidak mau memecahkan kode, ukiran ini, maka aku akan
melakukannya." Katherine menjulurkan tangan meminta pensil itu.
Langdon paham bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Katherine, karena itu dia
menyerah, mengalihkan perhatiannya kembali pada piramida. Dengan cermat dia
menutupi kisi piramida dengan persegi empat ajaib, dan mengalokasikan angka
untuk setiap huruf. Lalu dia menciptakan kisi baru, meletakkan huruf-huruf


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cipher Mason dalam urutan baru seperti yang didefinisikan oleh urutan dalam
persegi empat ajaib Durer.
Ketika Langdon selesai, mereka berdua meneliti hasilnya.
Katherine langsung kebingungan. "Masih tidak ada artinya." Langdon tetap diam
untuk waktu yang lama. "Sesungguhnya Katherine, ini bukan tidak ada artinya." Matanya kembali bersinar
oleh kegembiraan penemuannya.
"Itu ... bahasa Latin."
Dalam sebuah koridor panjang dan gelap, seorang lelaki buta menyeret langkah
secepat mungkin menuju kantornya. Ketika akhirnya tiba, dia menjatuhkan diri ke
atas kursi di meja kerjanya, dan tulang-tulang tuanya bersyukur mendapat
istirahat itu. Mesin penjawab telepon berkedip-kedip. Lelaki tua itu menekan
tombol dan mendengarkan. "Ini Warren Bellamy," bisik pelan teman dan saudara Mason-nya itu. "Kurasa, aku
punya berita mengkhawatirkan...."
Mata Katherine Solomon kembali tertuju pada kisi huruf- huruf itu. Dia meneliti
kembali teksnya. Betul saja, sebuah kata Latin itu kini terbaca oleh matanya.
Jeova. Katherine belum pernah belajar bahasa Latin, tapi kata ini dikenalnya dari
membaca teks-teks Ibrani kuno. Jeova, Jehova. Ketika matanya melanjutkan
penelusuran ke bawah, membaca kisi itu seperti membaca buku, dia terkejut kefika
menyadari bahwa dirinya bisa membaca seluruh teks piramida itu.
Jeova Sanctus Unus. Dia langsung mengetahui artinya. Frasa ini muncul di mana- mana dalam
terjemahan-terjemahan kitab Ibrani. Dalam Kitab Taurat, Tuhan orang Ibrani
dikenal dengan banyak nama - Jeova, Yehovah, Yahweh, Sang Sumber, Elohim - tapi
banyak terjemahan Romawi yang mengonsolidasikan tata nama membingungkan ini
menjadi satu frasa Latin tunggal: Jeova Sanctus Unus.
"Satu Tuhan Sejati?" bisik Katherine kepada diri sendiri. Frasa ini jelas tidak
menyerupai sesuatu yang bisa membantu mereka menemukan kakaknya. "Inikah pesan
rahasia piramida ini" Satu Tuhan Sejati" Kupikir ini peta."
Langdon tampak sama bingungnya. Kegairahan di matanya menguap. "Pemecahan kode
ini jelas sudah benar, tapi -"
"Orang yang menculik kakakku ingin mengetahui sebuah lokasi." Katherine
menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Tulisan ini tidak akan membuatnya kegirangan."
"Katherine," ujar Langdon, seraya menahan helaan napas.
"Aku sudah mengkhawatirkan hal ini. Sepanjang malam aku punya perasaan bahwa
kita memperlakukan sekumpulan mitos dan alegori seperti kenyataan. Mungkin
inskripsi ini menunjuk pada sebuah lokasi metaforis - dan mengatakan kepada kita
bahwa potensi sejati manusia hanya bisa diakses melalui satu Tuhan sejati."
"Tapi itu tidak masuk akal!" jawab Katherine. Rahangnya kini terkatup erat
karena perasaan frustrasinya. "Keluargaku melindungi piramida ini selama
bergenerasi-generasi! Satu Tuhan Sejati" Itukah rahasianya" Dan CIA menganggap
ini sebagai masalah keamanan nasional" Entah mereka berbohong, atau kita
melewatkan sesuatu!"
Langdon mengangkat bahu, mengiyakan.
Tepat pada saat itu, ponselnya mulai berdering.
Di dalam kantor berantakan yang didereti buku kuno, lelaki tua itu membungkuk di
meja, menggenggam gagang telepon dengan tangan artritisnya.
Telepon berdering dan berdering.
Akhirnya, sebuah suara ragu menjawab. "Halo?" Suara rendah, tapi ragu.
Lelaki tua itu berbisik, "Aku diberi tahu kalau kau memerluka tempat
perlindungan." Lelaki di ujung telepon tampak terkejut. "Siapa ini" Apakah Warren Bell-"
"Jangan sebut nama," ujar lelaki tua itu. "Katakan, apakah kau berhasil
melindungi peta yang dipercayakan kepadamu?"
Muncul keheningan akibat keterkejutan. "Ya ... tapi kurasa itu tidak penting.
Tidak banyak yang dikatakannya. Seandainya pun itu peta, maka tampaknya lebih
metaforis daripada-"
"Tidak. Kujamin petanya cukup nyata. Dan menunjuk ke sebuah lokasi yang sangat
nyata. Kau harus menjaga keamanannya. Tak bisa kutekankan lagi kepadamu betapa
pentingnya hal ini. Kau sedang dikejar-kejar, tapi jika kau bisa pergi ke
lokasiku tanpa terlihat, aku akan menyediakan tempat perlindungan dan jawaban."
" Lelaki itu bimbang, tampak tidak yakin.
"Sobat," kata lelaki tua itu memulai, dengan cermat memilih kata-katanya. "Ada
sebuah tempat perlindungan di Roma, di utara Sungai Tiber, yang berisi sepuluh
batu dari Gunung Sinai, satu dari surga itu sendiri, dan satu dengan wajah ayah
gelap Lukas. Kau tahu lokasiku?"
Muncul keheningan panjang di telepon, lalu lelaki itu menjawab, "Ya, aku tahu."
Lelaki tua itu tersenyum. Sudah kuduga, Profesor.
"Datanglah segera. Pastikan kau tidak diikuti."
BAB 71 Mal'akh berdiri dalam gelegak kehangatan pancuran air panas. Dia merasa murni
kembali, setelah mencuci sisa-sisa terakhir bau ethanol. Ketika uap yang
mengandung eukaliptus itu menembus kulit, ia bisa merasakan pori-porinya membuka
akibat panas. Lalu dia memulai ritualnya.
Pertama-tama, dia menggosokkan zat kimia perontok rambut ke seluruh tubuh dan
kulit kepala bertatonya untuk menghilangkan semua rambut. Dewa-dewa dari tujuh
pulau Heliades tidak berambut. Lalu dia memijatkan minyak Abramelin ke kulitnya
yang lembek dan siap menerima. Abramelin adalah minyak suci orang-orang Majus
yang agung. Lalu dia memutar keras tuas pancuran ke kiri, dan airnya berubah
sedingin es. Dia berdiri di bawah air membekukan itu selama satu menit penuh
untuk menutup pori-pori dan memerangkap panas dan energi di dalam inti tubuhnya.
Rasa dingin itu berfungsi sebagai pengingat akan sungai membekukan tempat
perubahan ini dimulai. Dia menggigil ketika melangkah keluar dari pancuran, tapi dalam hitungan detik,
panas inti tubuhnya memancar lewat lapisan-lapisan daging dan menghangatkannya.
Bagian dalam tubuh Mal'akh terasa seperti tungku. Dia berdiri telanjang di depan
cermin dan mengagumi sosoknya... mungkin ini terakhir kalinya dia melihat
dirinya sendiri sebagai manusia fana.
Kedua kaki bagian bawahnya berupa cakar rajawali. Sepasang kakinya - Boas dan
Yakhin - adalah pilar-pilar kebijakan kuno.
Pinggul dan perutnya berupa lengkungan kekuatan mistis. Menggantung di bawah
lengkungan, organ seksnya yang besar ditato dengan simbol-simbol takdirnya.
Dalam kehidupannya yang lama, tonjolan daging berat ini telah menjadi sumber
kenikmatan duniawinya. Tapi tidak lagi.
Aku sudah dimurnikan. Seperti para biarawan mistis terkebiri dari Katharoi, Mal'akh telah
menghilangkan kedua testikelnya. Dia telah mengorbankan kelebihan fisiknya untuk
sesuatu yang lebih berarti. Tuhan tidak punya jenis kelamin. Setelah
menanggalkan ketidaksempurnaan manusianya dari jenis kelamin, dan juga dorongan
duniawi godaan seksual, Mal'akh berubah menyerupai Ouranos, Attis, Sper dan para
penyihir agung terkebiri dari legenda Raja Arthur. Semua metamorfosis spiritual
didahului oleh metamorfosis fisik. Begitulah ajaran dari semua dewa yang
agung... mulai dari Osiris, Tam, Yesus, Shiva, sampai Buddha sendiri.
Aku harus menanggalkan manusia yang menyelubungiku. Dengan cepat Mal'akh
mengalihkan pandangan ke atas melewati phoenix berkepala-dua di dada, melewati
kolase sigil-sigil kuno yang menghiasi wajahnya, dan langsung menuju puncak
kepala. Dia memiringkan kepala ke arah cermin, dan nyaris bisa melihat lingkaran
daging telanjang yang menunggu di sana. Lokasi di bagian tubuh ini dianggap
suci. Dikenal sebagai fontane, itu satu-satunya area tengkorak manusia yang
tetap terbuka sejak lahir. Sebuah jendela bulat menuju otak. Walaupun portal
fisiologis ini menutup dalam hitungan bulan, area ini tetap menjadi simbolis
hubungan yang hilang antara dunia luar dan dalam.
Mal'akh mengamati petak suci kulit perawan ini, yang dikelilingi lingkaran
ouroboros - ular mistis yang melahap ekornya sendiri - menyerupai mahkota.
Daging telanjang itu tampak seakan membalas tatapannya... cemerlang oleh janji.
Robert Langdon akan segera mengungkapkan harta karun luar biasa yang
diperlukannya. Setelah Mal'akh memilikinya. kekosongan di puncak kepalanya akan
terisi, dan pada akhirnya dia akan siap untuk perubahan terakhirnya.
Mal'akh berjalan melintasi kamar dan mengeluarkan secarik pita sutra putih
panjang. Seperti yang sudah dilakukannya banyak kali, dia membelitkan kain itu
mengelilingi selangkangan dan pantat. Lalu dia turun ke lantai bawah. Di
kantornya, komputer menerima pesan e-mail. Dari kontaknya:
YANG KAU PERLUKAN KINIBERADA DALAM JANGKAUAN.
KAU AKAN KUHUBUNGIDALAM W AKTU SATU JAM. SABAR.
Mal'akh tersenyum. Sudah saatnya melakukan persiapan terakhir.
BAB 72 Agen lapangan CIA itu merasa jengkel ketika turun dari ruang baca. Bellamy
membohongi kita. Agen itu tidak melihat jejak-jejak panas apa pun di lantai atas
di dekat patung Musa, juga di mana pun lainnya di lantai atas.
Jadi, ke mana gerangan Langdon pergi"
Agen itu kini menelusuri ulang semua langkahnya menuju satu-satunya lokasi
tempat mereka melihat jejak-jejak panas - pusat distribusi perpustakaan. Kembali
dia menuruni tangga, bergerak ke bawah lemari persegi delapan. Kebisingan ban-
ban berjalan yang bergemuruh menjengkelkannya. Dia melangkah ke dalam ruangan,
mengenakan kacamata termal besarnya, dan meneliti ruangan. Tidak ada apa-apa.
Dia memandang ke arah rak-rak; pintu hancur itu masih tampak panas akibat
ledakan tadi. Selain itu, dia tidak melihat-
Astaga! Agen itu terlompat ke belakang ketika pendaran cahaya tak terduga melayang
memasuki bidang penglihatannya. Bagaikan sepasang hantu, jejak-jejak berkilau
suram itu memperlihatkan dua manusia yang baru saja muncul dari dinding di atas
ban- ban berjalan. Jejak-jejak panas.
Dengan terpukau, agen itu mengamati ketika kedua penampakan itu mengitari
ruangan di atas putaran ban- berjalan, lalu menghilang dengan kepala terlebih
dahulu ke dalam lubang sempit di dinding. Mereka keluar mengendarai ban-
berjalan" Itu gila. Selain menyadari bahwa mereka baru saja kehilangan Robert Langdon lewat lubang
di dinding, agen lapangan itu kini menyadari adanya masalah baru. Langdon tidak
sendirian" Dia hendak menyalakan alat komunikasinya dan memanggil pemimpin tim,
tapi pemimpin tim mengalahkannya.
"Semuanya, kami menemukan Volvo yang ditinggalkan di plaza di depan
perpustakaan. Terdaftar atas nama Katherine Solomon. Saksi mata mengatakan,
perempuan itu belum lama memasuki perpustakaan. Kami curiga dia bersama Robert
Langdon. Direktur Sato memerintahkan agar kita segera mencari mereka berdua."
"Aku mendapat jejak-panas keduanya!" teriak agen lapangan itu di dalam ruang
distribusi. Dia menjelaskan situasinya.
"Demi Tuhan!" jawab pemimpin tim. "Ke mana ban- berjalannya pergi?"
Agen lapangan itu sudah meneliti skema referensi karyawan di papan buletin.
"Gedung Adams," jawabnya. "Satu blok dari sini."
"Semuanya. Berangkat ke Gedung Adams! SEKARANG!"
BAB 73 Tempat perlindungan. Jawaban.
Kata-kata itu menggema dalam benak Langdon ketika dia dan Katherine keluar
melalui pintu samping Gedung Adam's dan memasuki dinginnya malam musim dingin.
Penelepon misterius itu mengungkapkan lokasinya secara tersamar, tapi Langdon
mengerti. Secara mengejutkan, Katherine menunjukkan reaksi positif terhadap
tujuan mereka. Mana lagi tempat yang lebih baik untuk menemukan Satu Tuhan
Sejati" Kini pertanyaannya adalah cara pergi ke sana.
Langdon berputar di tempat, mencoba mengetahui posisi mereka. Keadaan gelap,
tapi untunglah cuaca cerah. Mereka sedang berada di sebuah pekarangan kecil. Di
kejauhan, Kubah Capitol tampak mengejutkan jauhnya, dan Langdon menyadari bahwa
ini pertama kalinya dia melangkah keluar semenjak tiba di Capitol beberapa jam
yang lalu. Sia-sialah ceramahku. "Robert, lihat." Katherine menunjuk ke arah siluet Gedung Jefferson.
Reaksi pertama Langdon ketika melihat gedung itu adalah ketakjuban, karena
mereka telah pergi begitu jauh di bawah tanah di atas ban-berjalan. Akan tetapi,
reaksi keduanya adalah kekhawatiran. Gedung Jefferson kini dipenuhi aktivitas -
truk-truk dan mobil-mobil berhenti di sana, para lelaki berteriak. Apakah itu
lampu sorot" Langdon meraih tangan Katherine. "Ayo."
Mereka berlari ke timur laut melintasi pekarangan, lalu cepat-cepat menghilang
dari pandangan ke balik sebuah gedung elegan berbentuk U yang dikenal Langdon
sebagai Perpustakaan Folger Shakesspeare. Gedung int tampaknya merupakan
kamuflase yang loyal bagi mereka malam ini, karena menampung manuskrip Latin,
New Atlantis karya Francis Bacon, visi khayalan yang konon menjadi model bapak
bangsa Amerika dalam membangun dunia baru berdasarkan pengetahuan kuno. Walaupun
dernikian, Langdon tidak akan berhenti.
Kita perlu taksi. Mereka tiba di pojok Third Street dan East Capitol. Lalu lintas sepi, dan
Langdon merasakan harapannya memudar ketika mencari taksi. Dia dan Katherine
bergegas ke utara di Third Street, menjauhkan diri dari Perpustakaan Kongres.
Ketika mereka sudah berjalan satu blok penuh, barulah Langdon melihat sebuah
taksi berbelok. Dia memanggilnya, dan taksi berhenti.
Musik Timur Tengah terdengar di radio, dan sopir Arab muda itu mengulaskan
senyum ramah kepada mereka. " Ke mana?" tanyanya, ketika mereka masuk ke dalam
taksi. "Kami harus pergi ke -"
"Barat laut!"' sela Katherine, seraya menunjuk Third Street yang jauh dari
Gedung Jefferson. "Menyetirlah ke Union Station, lalu ke kiri ke Massachusetts
Avenue. Kami akan memberitahumu kapan harus berhenti."
Sopir itu mengangkat bahu, menutup penyekat Plexiglas, dan kembali menyalakan
musik. Katherine memberi Langdon pandangan memperingatkan, seakan menyatakan: "Jangan
tinggalkan jejak." Dia menunjuk ke luar jendela, mengarahkan perhatian Langdon
pada sebuah helikopter hitam yang terbang rendah mendekati area itu. Sialan.
Sato Limpaknya sangat serius ingin mendapatkan kembali piramida Solomon.
Ketika mereka menyaksikan helikopter itu mendarat di antara Gedung Jefferson dan
Gedung Adams, Katherine memandang Langdon, tampak semakin khawatir. "'Bisa
pinjam ponselmu sebentar?"
Langdon menyerahkan ponselnya.
"Kata Peter, kau punya ingatan fotografis?" tanyanya, menurunkan kaca jendela.
"Dan kau ingat semua nomor telpon yang pernah kau hubungi?"
"Itu benar, tapi -"
Katherine melemparkan ponsel Langdon ke dalam malam. Langdon menoleh di
kursinya, menyaksikan ponselnya berguling-guling dan hancur berkeping-keping di
atas aspal di belakang mereka. "Untuk apa itu?"
"Menghilangkan jejak," ujar Katherine dengan pandangan serius. "Piramida ini
satu-satunya harapan untuk menemukan kakakku, dan aku tidak ingin membiarkan CIA
mencurinya dari kita."
Di kursi depan, Omar Amirana menggoyang-goyangkan kepala dan bersenandung
mengikuti musik. Ini malam yang sepi, dan dia bersyukur akhirnya mendapat
penumpang. Taksi baru saja melewati Stanton Park ketika suara petugas perusahaan
taksi yang sudah dikenalnya bergemeresak di radio.
"Pengumuman. Untuk semua kendaraan di area National Mall. Kami baru saja
menerima buletin dari pemerintah mengenai dua buronan di area Gedung Adams..."
Omar mendengarkan dengan takjub ketika petugas itu menggambarkan dengan tepat
pasangan yang sedang berada di dalam taksinya. Dengan gelisah dia melirik kaca
spion. Omar harus mengakui, lelaki jangkung itu, entah bagaimana, memang tampak
tidak asing lagi. Pernahkah aku melihatnya di foto Buronan Amerika yang paling
Dicari" Dengan hati-hati Omar meraih handset radio. "Petugas?" katanya. Dia bicara pelan
di mikrofon. "Ini taksi nomor satu- tiga-empat. Kedua orang yang kau tanyakan -
mereka berada di dalam taksiku... saat ini."
Petugas itu langsung memberi tahu Omar apa yang harus dilakukan. Tangan Omar
gemetar ketika menekan nomor telepon yang diberikan oleh petugas itu kepadanya.
Suara yang menjawab terdengar tegang dan efisien, seperti suara tentara.
"Agen Turner Simkins, operasi-lapangan CIA. Siapa ini?"
"Ehm... sopir taksi," kata Omar. "Saya disuruh menelepon mengenai kedua-"
"Apakah kedua buronan itu masih berada di dalam kendaraanmu" Jawab ya atau tidak
saja." "Ya." " Bisakah mereka mendengar percakapan ini" Ya atau tidak?"
"Tidak. Penyekatnya-"
"Ke mana kau membawa mereka?"


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barat laut di Massachusetts."
"Tujuan spesifik?"
"Mereka tidak bilang."
Agen itu bimbang. "Apakah penumpang lelakinya membawa tas kulit?"'
Omar melirik kaca spion, dan matanya membelalak. "Ya! Tas itu tidak berisi
peledak atau apa pun---!"
"Dengar baik-baik," ujar agen itu. "Kau tidak berada dalam bahaya, asalkan
mengikuti petunjukku dengan tepat. Jelas?"
"Ya, Pak." "Siapa namamu?"
"Omar," jawabnya. Keringat dinginnya keluar.
"Dengar, Omar," ujar lelaki itu. dengan tenang.
"Tindakanmu bagus. Aku ingin kau menyetir sepelan mungkin sementara aku membawa
timku ke posisi di depanmu. Paham?"
"'Ya, Pak." "Apakah taksimu dilengkapi sistem interkom agar kau bisa berkomunikasi dengan
mereka yang berada di kursi belakang?"
"Ya, Pak." " Bagus. Inilah yang harus kau lakukan."
BAB 74 Hutan, yang menjadi nama tenarnya, merupakan pusat dari U.S. Botanic Garden
(USBG) - museum hidup Amerika - yang bersebelahan dengan Gedung Capitol AS.
Secara teknis berupa hutan hujan, Hutan terletak di dalam sebuah rumah kaca yang
menjulang, dilengkapi pohon-pohon karet tinggi, pohon ara, dan jalan setapak
berkanopi bagi para turis yang lebih pemberani.
Biasanya, Warren Bellamy merasa terlindungi oleh aroma tanah Hutan dan kilau
cahaya matahari yang menembus kabut yang masuk melalui lubang-lubang uap di
langit-langit kaca. Akan tetapi, malam ini, dengan hanya diterangi cahaya bulan,
Hutan menakutkannya. Dia banyak berkeringat, menggeliat- geliat melawan kram
yang kini menusuk kedua lengannya yang masih terikat secara menyakitkan di
belakang tubuh. Direktur Sato berjalan mondar-mandir di hadapannya, mengisap rokok dengan
tenang. Di dalam lingkungan yang terkalibrasi secara cermat ini, perbuatannya
setara dengan terorisme-lingkungan. Wajahnya tampak nyaris kejam dalam cahaya
bulan penuh-asap yang masuk lewat langit-langit kaca di atas kepala.
"Jadi," lanjut Sato, "ketika kau tiba di Capitol malam ini, dan mengetahui
kehadiranku di sana... kau membuat keputusan. Bukannya memberitahukan
kehadiranmu, diam-diam kau mal turun ke SBB, dan di sana kau menempuh risiko
besar dengan menyerangku dan Chief Anderson, dan kau membantu Langdon lolos
bersama piramida dan batu-puncak itu." Dia menggosok-gosok bahu. "Pilihan yang
menarik." Pilihan yang akan kuambil kembali, pikir Bellamy. " Mana Peter?" tanyanya marah.
"Bagaimana aku bisa tahu?" tanya Sato.
"Tampaknya kau mengetahui segala hal lainnya!" bentak Bellamy, tanpa berusaha
menyembunyikan kecurigaan bahwa, entah bagaimana, Sato berada di balik semua
ini. "Kau tahu harus pergi ke Gedung Capitol. Kau tahu harus mencari Robert
Langdon. Dan kau bahkan tahu harus menjalankan sinar-X pada tas Langdon untuk
menemukan batu-puncak itu. Jelas seseorang memberimu banyak informasi dari
dalam." Sato tertawa dingin dan melangkah lebih dekat. "Mr. Bellamy, itu-kah alasanmu
menyerangku" Menurutmu, aku musuh" Menurutmu, aku mencoba mencuri piramida
mungilmu?" Sato mengisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya dari
lubang hidung. "Dengar baik- baik. Tak seorang pun lebih memahami gentingnya
menjaga rahasia jika dibandingkan denganku. Aku yakin, sebagaimana halnya
denganmu, ada informasi tertentu yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak.
Akan tetapi, malam ini, ada kekuatan-kekuatan yang sedang bekerja, dan aku
khawatir kau belum memahaminya. Lelaki yang menculik Peter Solomon memegang
kekuasaan besar... kekuasaan yang tampaknya belum kau sadari. Percayalah, dia
adalah bom- waktu berjalan... mampu mengawali serangkaian kejadian yang akan
sangat mengubah dunia yang kau kenal."
"Aku tidak mengerti." Bellamy beringsut di atas bangku, lengannya terasa sakit
di dalam borgol. "Kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu mematuhiku. Saat ini, satu-satunya
harapanku untuk menghindari bencana besar adalah dengan bekerja sama dengan
lelaki ini... dan memberinya apa yang tepatnya dia inginkan. Yang berarti, kau
akan menelepon Mr. Langdon dan menyuruhnya menyerahkan diri, bersama-sama dengan
piramida dan batu-puncak itu. Setelah Langdon berada di tanganku, dia akan
memecahkan inskripsi piramida itu, memperoleh informasi apa pun yang dituntut
oleh lelaki ini, dan memberinya apa yang tepatnya dia inginkan."
Lokasi tangga sipiral menuju Misteri Kuno" "Aku tidak akan melakukannya. Aku
sudah bersumpah merahasiakannya."
Sato meledak. "'Aku tak peduli sumpah apa yang kau ucapkan; aku akan
menjebloskanmu ke dalam penjara begitu cepat -"
"Ancam aku semaumu," ujar Bellamy membangkang. "Aku tidak akan membantumu."
Sato menghela panjang, dan kini bicara dengan berbisik menakutkan. "Mr. Bellamy,
kau sama sekali tidak tahu yang terjadi malam ini, bukan?"
Keheningan tegang, yang menggantung selama beberapa, akhirnya dipecahkan oleh
suara ponsel Sato. Dia memasukkan tangan ke dalam saku, lalu mengeluarkan ponsel
dengan bersemangat. "Bicaralah," katanya, seraya mendengarkan dengan saksama."Di
mana taksi mereka sekarang" Berapa lama" Oke, bagus. Buru mereka ke U.S. Botanic
Garden. Pintu masuk petugas pelayan. Dan pastikan kau memberiku piramida dan
batu-puncak itu." Sato menutup telepon, dan kembali memandang Bellamy dengan senyum bangga.
"Wah... tampaknya kau sudah tidak berguna lagi."
BAB 75 Robert Langdon menatap dengan pandangan kosong, merasa terlalu lelah untuk
mendesak sopir taksi lamban itu agar menyetir lebih cepat. Di sampingnya,
Katherine juga terdiam, tampak frustasi karena tidak memahami apa yang membuat
piramida itu begitu istimewa. Sekali lagi mereka telah membahas segala yang
mereka ketahui mengenai piramida, batu-puncak, dan kejadian-kejadian aneh malam
ini; mereka masih tidak tahu bagaimana piramida ini bisa dianggap sebagai peta
menuju sesuatu. Jeova Sanctus Unus" Rahasianya tersembunyi di dalam Ordo"
Kontak misterius mereka menjanjikan jawaban, seandainya mereka bisa menemuinya
di suatu tempat tertentu. Sebuah tempat perlindungan di Roma, di utara Sungai
Tiber. Langdon tahu, "Roma baru" milik bapak bangsa AS telah diganti namanya
menjadi Washington pada awal sejarahnya, tetapi sisa-sisa Romawi asli mereka
masih ada: air Sungai Tiber masih mengalir ke dalam Sungai Potomac; para senator
masih bersidang di bawah replika kubah St. Peter; dan Vulcan dan Minerva masih
mengawasi api Rotunda yang telah lama padam.
Jawaban yang dicari Langdon dan Katherine tampaknya menunggu mereka hanya
beberapa kilometer jauhnya. Barat laut di Massachusetts Avenue. Tujuan mereka
benar-benar sebuah tempat perlindungan... di utara Sungai Tiber Washington.
Langdon berharap sopir menyetir lebih cepat. Mendadak Katherine duduk tegak di
kursinya, seakan baru saja menyadari sesuatu. "Astaga, Robert!" Dia berpaling
kepada Langdon, wajahnya berubah pucat. Dia bimbang sejenak, lalu bicara dengan
tegas. "Kita salah jalan!"
"Tidak, ini benar," bantah Langdon. "Barat laut di Masachu....."
"Tidak! Maksudku, kita pergi ke tempat yang keliru!" Langdon kebingungan. Dia
sudah menjelaskan kepada Katherine bagaimana caranya mengetahui lokasi yang
dijelaskan oleh penelepon misterius itu. Berisi sepuluh batu dari Gunung Sinai,
9 dari surga itu sendiri, dan satu dengan wajah ayah gelap Lukas. Hanya ada satu
gedung di bumii yang bisa memenuhi pernyataan-pernyataan itu. Dan ke sanalah
tepatnya taksi ini menuju.
"Katherine, aku yakin lokasinya benar."
"Tidak!" teriak Katherine. " Kita tidak perlu pergi ke sana lagi. Aku sudah
memahami piramida dan batu-puncak itu! Aku sudah paham semuanya!"
Langdon takjub. "Kau memahaminya?"
"Ya! Kita harus pergi ke Freedom Plaza!"
Kini Langdon kebingungan. Freedom Plaza, walaupun berada di dekat situ,
tampaknya benar-benar tidak berhubungan.
"Jeova Sanctus Unus!" ujar Katherine. "Satu Tuhan Sejati- nya orang Ibrani.
Simbol suci orang Ibrani adalah bintang Yahudi - Stempel Solomon - simbol
penting bagi Mason!" Dia mengeluarkan selembar uang kertas satu dolar dari saku.
"Pinjam pena." Dengan bingung Langdon mengeluarkan pena dari jaket.
"Lihat." Katherine membentangkan uang itu di atas pahanya, dan mengambil pena
Langdon, lalu menunjuk the Great Seal di bagian belakang uang kertas. "Jika kau
menumpukkan stempel Solomon pada the Great Seal Amerika Serikat," Dia
menggambarkan simbol bintang Yahudi persis di atas piramida itu. "Lihat apa yang
kau dapat!" Langdon menunduk memandangi uang kertas itu, lalu memandang Katherine seakan dia
sudah gila. "Robert, lihat lebih cermat! Tidakkah kau melihat apa yang sedang ku-tunjuk?"
Langdon kembali memandang gambar itu.
Apa maksud Katherine" Langdon pernah melihat gambar ini. Itu gambar populer di
antara para penganut teon konspirasi, ssebagai "bukti" bahwa Persaudaraan Mason
punya pengaruh rahasia terhadap nenek moyang bangsa Amerika. Ketika bintang
bersudut-enam itu diletakkan dengan sempurna di atas the Great Seal Amerika
Serikat, ujung atas bintang pas sekali dengan mata serba-melihat Mason... dan,
yang cukup mengerikan, kelima ujung lainnya jelas menampilkan huruf M- A-S-O-N.
"Katherine, itu hanya kebetulan, dan aku masih tidak melihat hubungannya dengan
Freedom Plaza." "Lihat sekali lagi!" katanya. Suaranya kini kedengaran nyaris marah. "Kau tidak
melihat apa yang ku-tunjuk! Tepat di sana! Tidakkah kau melihatnya?"
Sejenak kemudian, Langdon melihatnya.
Pemimpin operasi Lapangan CIA Turner Simkins berdiri di luar Gedung Adams dan
menekankan ponsel kuat-kuat di telinga, berusaha mendengarkan percakapan yang
kini sedang berlangsung di kursi belakang taksi. Baru saja terjadi sesuatu.
Timnya hendak menaiki hetikopter Sikorsky UH-60 termodifikasi untuk menuju barat
laut dan memasang penghalang jalan, tapi kini tampaknya situasinya mendadak
berubah. Beberapa detik yang lalu, Katherine Solomon mulai bersikeras bahwa
mereka pergi ke tujuan yang keliru. Penjelasannya - sesuatu mengenai uang dolar
dan bintang Yahudi - tidak masuk bagi pemimpin tim itu, dan tampaknya begitu
juga bagi Robert Langdon. Setidaknya pada awaInya. Akan tetapi, kini Langdon
tampaknya memahami maksud Katherine.
"Astaga, kau benar!" ujar Langdon. "Aku tidak melihat tadi!"
Mendadak Simkins bisa mendengar seseorang menggedor- gedor penyekat, lalu kaca
itu terbuka. "Perubahan rencana," kata Katherine kepada sopir. "Antar kami ke
Freedom Plaza!" "Freedom Plaza?" tanya sopir taksi itu, kedengaran gelisah.
"Bukan barat laut di Massachusetts?"
"Lupakan itu!" teriak Katherine. "Freedom Plaza! Belok di sini! Di sini!
DISINI!" Agen Simkins mendengar taksi berbelok dengan berdecit. Kembali Katherine bicara
dengan bersemangat kepada Langdon, dan mengatakan sesuatu mengenai cetakan
perunggu terkenal Great Seal yang ditanamkan di dalam plaza.
"Ma'am, sekadar mengonfirmasi," sela suara sopir taksi yang kedengaran tegang.
"Kita menuju Freedom Plaza dipojok antara Pennsylvania dan Thirteenth?"
"Ya!" jawab Katherine. "Cepat!"
"Dekat sekali. Dua menit."
Simkins tersenyum. Bagus, Omar. Ketika bergegas menuju helikopter yang menunggu,
dia berteriak kepada timnya.
"Berhasil! Freedom Plaza! Cepat!"
BAB 76 Freedom Plaza adalah sebuah peta.
Terletak di pojok antara Pennsylvania Avenue dan Thirteenth Street, permukaan
luas batu terpahat plaza menggambarkan jalan-jalan Washington seperti yang
pertama kali dibayangkan oleh Pierre L'Enfant. Plaza itu merupakan tujuan
populer turis, bukan hanya karena peta raksasanya menyenangkan untuk diinjak-
injak, melainkan juga karena Martin Luther King Jr. yang menjadi inspirasi nama
Freedom Plaza, menulis sebagian besar pidato "Ihave a Dream"-nya di Hotel
Willard di dekat situ. Sopir taksi DC Omar Amirana sering membawa turis ke Freedom Plaza, tapi malam
ini kedua penumpangnya jelas bukan pelancong biasa. CIA mengejar mereka" Omar
baru saja berhenti di pinggir jalan ketika lelaki dan perempuan itu melompat
keluar. "Tetap di sana!" kata lelaki berjaket wol itu kepada Omar. Kami akan
kembali!" Omar menyaksikan kedua orang itu bergegas menuju tempat luas terbuka peta
raksasa, menunjuk dan berteriak ketika meneliti geometri jalan-jalan yang
bersimpangan. Omar meraih ponsel dari dasbor. "Pak, Anda masih di sana?"
"Ya, Omar!" teriak sebuah suara, nyaris tak terdengar di tengah suara gemuruh di
ujung telepon sana. "Di mana mereka sekarang?"
"Di atas peta. Tampaknya mereka sedang mencari sesuatu."'
"Jangan biarkan mereka lepas dari pandangan," teriak agen itu. "Aku hampir
sampai!" Omar menyaksikan ketika dengan cepat kedua buronan itu menemukan the Great Seal
terkenal plaza - salah satu medali perunggu terbesar yang pernah dicetak. Mereka
berdiri di atasnya sejenak, lalu segera menunjuk ke barat daya. Lelaki berjaket
itu kemudian berlari kembali menuju taksi. Cepat- cepat Omar meletakkan telepon
di dasbor ketika lelaki itu tiba dengan terengah-engah.
"Ke arah mana Alexandria, Virginia?" desaknya.
"Alexandria?" Omar menunjuk ke barat daya, arah yang persis sama yang baru saja
ditunjuk oleh lelaki dan perempuan itu.
"Tepat sekali!" bisik lelaki itu pelan. Dia berbalik dan berkata kepada
perempuan itu. "Kau benar! Alexandria!"
Kini perempuan itu menunjuk papan tanda "Metro" terang di dekat situ. "Jalur
Biru langsung menuju ke sana. Kita harus ke Stasiun King Street!"
Omar dilanda kepanikan. Oh, tidak.
Lelaki itu menoleh kembali kepada Omar dan menyerahkan uang dalam jumlah yang
sangat berlebihan untuk ongkos taksinya. "Terima kasih. Sampai di sini saja."
Dia mengangkat tas kulitnya dan berlari pergi.
"Tunggu! Aku bisa mengantar kalian! Aku sering ke sana." Tapi sudah terlambat.
Lelaki dan perempuan itu sudah lesat melintasi plaza. Mereka menghilang ke bawah
tangga, nuju stasiun bawah tanah Metro Center.
Omar meraih ponsel. "Pak! Mereka lari menuju bawah tanah. Saya tidak bisa
menghentikan mereka! Mereka hendak naik kereta jalur Biru menuju Alexandria!"
"Tetaplah di sana!" teriak agen itu. "Aku tiba lima belas detik lagi!"
Omar menunduk memandangi gulungan uang kertas yang diberikan oleh lelaki itu
kepadanya. Tampaknya uang kertas yang paling atas adalah uang yang tadi mereka
tulisi. Ada bintang Yahudi, di atas the Great Seal Amerika Serikat. Dan memang,
ujung-ujung: bintang jatuh pada huruf-huruf yang terbaca sebagai MASON.
Tanpa disertai peringatan, Omar merasakan getaran yang memekakkan telinga di
sekelilingnya, seakan sebuah traktor hendak menabrak taksinya. Dia mendongak,
tapi jalanan sepi. Suara itu terdengar semakin keram, dan mendadak sebuah
helikopter hitam mengilap muncul dari kegelapan malam dan mendarat dengan keras
di tengah peta plaza. Sekelompok lelaki berpakaian hitamn melompat keluar. Sebagian besarnya berlari
menuju stasiun bawah tanah, tapi seorang diantaranya bergegas menghampiri taksi
Omar. Dia membuka pintu penumpang. "Omar" Benarkah?"
Omar mengangguk, tak mampu bicara.
"Apakah mereka mengatakan ke mana tujuan mereka?"
desak agen itu. "Alexandria! Stasiun King Street," jawab Omar. "Saya menawarkan diri untuk
mengantar, tapi -" "Apakah mereka menyebut tujuan mereka di Alexandria?"
"Tidak! Mereka memandang medali the Great Seal di plaza, lalu mereka bertanya
tentang Alexandria, dan mereka membayarku dengan ini." Dia menyerahkan uang
dolar dengan diagram aneh itu. Ketika agen itu meneliti uang kertas, mendadak
Omar bisa menyatukan semuanya. Mason! Alexandria! Salah satu bangunan Mason
paling terkenal di Amerika berada di Alexandria. "Itu dia!" ujarnya. "The George
Washington Masonic Memorial! Persis di seberang Stasiun King Street!"
"Itu dia," kata agen itu, yang tampaknya baru saja menyadari hal yang sama,
ketika semua agen berlari keluar dari stasiun.
"Kami gagal!" teriak salah seorang dari mereka. "Jalur Biru baru saja berangkat!
Mereka tidak ada di bawah sana!"
Agen Simkins menengok arloji dan kembali memandang Omar.
"Berapa lama kereta tiba di Alexandria?"
"Setidaknya sepuluh menit. Mungkin lebih."
"Omar, kerjamu baik sekali. Terima. kasih."


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sama-sama. Soal apa ini?"
Tapi Agen Simkins sudah berlari kembali ke helikopter, seraya berteriak,
"Stasiun King Street! Kita akan tiba di sana mendahului mereka!"
Dengan kebingungan, Omar menyaksikan burung besar itu terangkat, berbelok tajam
ke selatan melintasi Penssylvania Avenue, lalu bergemuruh memasuki kegelapan
malam. Di bawah taksi, sebuah kereta bawah-tanah melaju semakin cepat ketika menjauhi
Freedom Plaza. Di dalam-nya, Robert Langdon dan Katherine Solomon duduk
terengah-engah, tak satu pun bicara keitka kereta mengantar mereka ke tujuan.
BAB 77 Ingatan itu selalu dimulai dengan cara yang sama.
Dia terjatuh... terjengkang menuju sungai tertutup-es di dasar jurang yang
dalam. Di atasnya, mata kelabu kejam Peter Solomon menatap moncong pistol
Andros. Ketika dia terjatub, dunia di atasi menyurut, semuanya menghilang ketika
dia diselubungi awan kabut yang membubung dari air terjun di hulu.
Sejenak semuanya putih, bagaikan surga. Lalu tubuhnya menghantam es.
Dingin. Hitam. Sakit. Dia berguling-guling... diseret kekuatan dahsyat yang menghantam tubuhnya tanpa
kenal ampun, melintasi batu- batu di dalam kekosongan yang mustahil dinginnya.
Paru- parunya terasa sakit meminta udara, tetapi otot-otot dadanya telah
berkontraksi begitu dahsyat di dalam udara dingin sehingga dia bahkan tak mampu
menghirup udara. Aku berada di bawah es. Lapisan es di dekat air terjun tampaknya tipis akibat pusaran air, dan Andros
langsung jatuh menembusnya. Kini dia tersapu ke hilir, terperangkap di bawah
langit-langit transparan. Dia mencakar-cakar sisi bawah es, mencoba menembus
keluar, tapi dia tidak punya pijakan. Rasa sakit yang menyayat dari lubang
peluru di bahunya menguap pergi, demikian juga sengatan akibat peluru burung;
kedua rasa itu kini diblokir oleh denyut lemah tubuhnya yang berubah mati- rasa.
Arusnya semakin cepat, melontarkan tubuhnya mengelilingi kelokan di sungai.
Tubuhnya berteriak minta oksigen. Mendadak dia terbelit dahan-dahan, tersangkut
sebatang pohon yang jatuh ke dalam air. Berpikirlah! Dia meraba-raba dahan
dengan panik, mencari jalan menuju permukaan, dan menemukan tempat itu menonjol
menembus es. Ujung-ujung jarinya menemukan lubang kecil permukaan air yang
mengelilingi dahan, dan dia menarik pinggiran lubang itu, mencoba memperbesarnya
dua kali, lubang itu bertambah besar, kini berdiameter beberapa inci.
Dia bersandar pada dahan, mendongakkan kepala, lalu desakkan mulutnya ke lubang
kecil itu. Udara musim dingin mengalir masuk ke dalam paru-parunya terasa
hangat. Oksigen mendadak itu menyulut harapannya. Dia menjejalkan kaki pada batang pohon
dan mendorong punggung dan bahunya kuat-kuat ke atas. Es di sekitar pohon
tumbang itu, yang berlubang-lubang akibat dahan-dahan dan bebatuan, sudah rapuh,
sehingga ketika dia mendesakkan kaki kuatnya ke batang pohon, kepala dan bahunya
berhasil memecah es, memasuki udara musim dingin. Udara mengalir ke dalam paru-
parunya. Dengan sebagian besar tubuh masih terendam, dia menggeliat-geliat hebat
ke atas, mendorong dengan kedua kakinya, menarik dengan sepasang lengannya,
sampai akhirnya dia keluar dari air, berbaring kehabisan napas di atas es
telanjang. Andros melepas topeng ski basahnya, mengantonginya, lalu memandang kembali ke
hulu, mencari Peter Solomon. Kelokan sungai menghalangi pandangannya. Dadanya
kembali serasa bakar. Diam-diam dia menyeret dahan kecil ke atas lubang pada
untuk menutupinya. Lubang itu akan beku kembali pagi nanti.
Ketika Andros terhuyung-huyung memasuki hutan, salju mulai turun. Dia sama
sekali tidak tahu sudah seberapa jauh dia berjalan ketika dengan limbung dia
keluar dari hutan dan menemukan sebuah tanggul di samping jalan raya kecil. Dia
mengigau dan mengalami hipotermia. Kini salju turun semakin lebat, lalu
serangkaian lampu depan mobil mendekat di kejauhan. Andros melambai-lambaikan
tangan dengan panik, dan truk pikup itu langsung berhenti. Kendaraan itu
berpelat nomor Vermont. Seorang lelaki tua berkemeja kotak-kotak merah melompat
keluar. Andros berjalan terhuyung-huyung menghampirinya, seraya memegangi dadanya yang
terluka. "Seorang pemburu ... menembakku! Aku perlu... rumah sakit!"
Tanpa ragu lelaki tua itu membantu Andros duduk di kursi penumpang dan
menyalakan pemanas. "Di mana rumah sakit terdekat"!"
Andros sama sekali tidak tahu, tapi dia menunjuk ke selatan. "Jalan keluar
berikutnya." Kita tidak akan pergi ke rumah sakit.
Lelaki tua dari Vermont itu dilaporkan hilang keesokan harinya, tapi tak seorang
pun tahu di mana - dalam perjalanannya dari Vermont - dia kemungkinan menghilang
Si Pengumpul Mayat 1 Goosebumps - 59 Hantu Sekolah Dendam Empu Bharada 1
^