Pencarian

Name Of Rose 1

The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Bagian 1


Name of the Rose novel yang terjual lebih dari lima puluh juta eksemplar di seluruh dunia ini
bercerita tentang misteri pembunuhan di sebuah biara. Biara Benediktin yang
biasanya tenang dan damai oleh doa para rahib dan novis itu dikejutkan oleh
serangkaian kemalian misterius. William, sebagai inkuisitor Fransiskan, bertugas
menyelesaikan kasus ini sebelum utusan Paus tiba di biara itu.
Petunjuk yang William peroleh mengarah kepada penghuni biara. Tetapi siapa"
Bagaimana mungkin para rahib yang hariharinya diisi dengan berdoa dan melakukan
kebaikan bisa melakukan tindakan sekeji itu" Apa pula tujuan pembunuh para rahib
itu" Novel Umberto Eco yang kental bernuansa misteri ini tidak hanya menyuguhkan
cerita pembunuhan biasa. Dengan sangat cerdas, Eco menghadirkan kehidupan biara
puritan lengkap dengan tradisi pemikiran gereja Abad Pertengahan.
"... mempertanyakan kebenaran dari perspektif teologis, filosofis, ilmiah, dan
historis." The Merriam-Wehster Encyclopedia of Literature?"Sebuah dunia penuh metafor dan paradoks hasil kreasi seorang cendekiawan."
?Library Journal "Dunia pada Abad Pertengahan Akhir, seiring dengan keunggulan penemuan-penemuan
dan ide-idenya ... pemikiran-pemikirannya, gaya hidupnya, ketegangan politiknya,
dan intrik-intrik kcpasturan ... rangkaian penalaran keagamaan yang 'menyimpang'dari ajaran-ajaran
agama penataran-penataran yang membuat kita berkeringat karena sangat
?menggairahkan semua ini dihadirkan dengan keanggunan yang menawan dan
?kelincahan yang memikat." Financial Times
?"Novel ini merupakan senyawa
dari kisah-kisah filosofis Voltaire... dalam penyampaian yang menghibur dari
sebuah kisah fiksi kaum terpelajar, terkandung sebuah pembelaan yang
menggetarkan terhadap kebebasan, ketidakekstreman, dan kearifan."
L'Express ?"Sebuah novel dengan kecerdasan yang sangat menarik dan mengagumkan,
perbendaharaan linguistik yang kaya, serta tema yang mencengangkan."
II Giorno ?04 THE umS OF THE ROSE K3ry3 : Umberto Eco
Diterjemahkan dari 77ie tibiae of the Rise Terbitan A Mnena Paperback, 1992
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto Perancang sampul : Andreas Kusumahadi Pemeriksa
aksara : Yayan R.H. Penata aksara : gores_pena
Copyright c Umberto Eco. 1980
Hak cipta terjemahan ada pada penerbit Bentang
M rights reserved Cetakan I. Maret 2008 Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Aiggota IKAPI (PT Bentang Pustaka) Jin. Pandega Padma 19. Yogyakarta 55284
Telp. (0274)517373 - Faks. 0)274)541441
E-mail : bentangpustaka iSWahoo .com
http :/Auuiui .mizan .com
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Eco, Umberto
The Nama of the Rose/Umberto Eco; penerjemah, Nin Bakdi Soemanto ; -
Yogyakarta:Bentang. 2008. xxx +624 him; 23 cm
Judul asli : The Name of the Rose ISBN 978-979-1227-00-1
I Judul. II Nin Bakdi Soemanto
Oidistribusikan oleh : Mzan Media Utama
Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp.
0)22)7815500 - Faks. 0)22)7802288 E-mail : mizanmu @jdg .centrin.net .id
iRose Umberto Eco 04 Catatan Penerjemah ertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Bentang yang telah -
mengusahakan copyright novel The Name of the Gose-aslinya // nome della rosa,
karya Umberto Eco, terjemahan William Weaver ke dalam bahasa Inggris, dan
memercayakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kepada kami dan akhirnya
menerbitkannya dalam bentuk buku.
Kalau pembaca sudah membaca Catatan Akhir Umberto Eco, mudahlah dipahami mengapa
William Weaver yang menerjemahkan buku ini dari bahasa Italia ke dalam bahasa
Inggris, mempertahankan banyak frasa dalam bahasa Latin. Kami percaya frasa
Latin itu sudah tentu dipertahankan dengan pertimbangan matang, dan karenanya
tetap dipertahankan dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu
suasana dan nuansa Zaman Pertengahan tetap bisa dirasakan.
Kecuali judul buku dan apa yang dibaca dari katalog perpustakaan, kami berusaha
sedapat mungkin untuk memberikan terjemahannya secara harfiah, yang dirangkum
dalam catatan kaki. Untuk
itu kami berutang budi kepada Dr. I. Kuntara Wiryamartana S.J. dan Dr. Martin
Sardi O.F.M. yang banyak membantu kami memahami frasa-frasa Latin tersebut.
Harapan kami, banyaknya catatan kaki tersebut tidak mengganggu, justru
memberikan penjelasan kepada pembaca yang ingin memahaminya dengan baik.
Nin Bakdi Soemanto Tujuh Hari Terakhir di Labirin
St. Sunardi - ^aya mengenal film The Name of the Rose lebih dahulu daripada novel // nome
della ro-sa Hcarya Umberto Eco.i Film itu saya tonton pada tahun 1988 di sebuah
gedung bioskop di Perugia, kota kecil di Pegunungan Italia. Sudah lama saya
membaca dan mendengar posisi penting Perugia dalam sejarah gereja, terutama
sejak Fransiskus dari Assisi (yang termasuk wilayah Perugia) mendirikan Ordo
Fratrum Minorum (OFM, di Indonesia dikenal dengan sebutan Ordo SaudaraSaudara
Dina) pada awal abad ke-13. Konon Fransiskus mendirikan ordo itu setelah dia
mendengar suara Kristus yang berkata, "Fransiskus, perbaikilah rumahku yang
sedang hendak roboh."z Sapaan itu ditafsirkan oleh Fransiskus sebagai panggilan
untuk ikut memperbaiki situasi gereja yang sedang digerogoti oleh gaya hidup
kota yang membuat gereja lupa meneladani kemiskinan Kristus. Dari film itu saya
ketahui beberapa hal (terutama
le-wat guru bahasa Latin dan sejarah gereja yang adalah seorang Fransiskan)
namun juga terbuka ba-gi saya sejumlah peristiwa dalam sejarah gereja di Perugia
yang masih harus saya pelajari lagi. Dari Perugia ternyata tidak hanya lahir
seorang Santo Kemiskinan bernama Fransiskus yang pernah menggubah "Gita Sang
Surya" yang amat terkenal itu namun juga lahir keputusan-keputusan keras dari
Kapitel (semacam muktamar) OFM yang menggelisahkan Paus yang sedang dililit oleh
godaan kekayaan. Dari sanalah muncul keinginan saya untuk memiliki novel yang telah melahirkan
film tersebut, yaitu // nome della rosa karya Umberto Eco. Dibantu dengan alur
dan setting yang sudah saya saksikan lewat film, dengan kemampuan bahasa Italia
yang baru dipelajari selama satu bulan, // nome bagi saya lebih mirip seperti
pemacu untuk belajar bahasa Italia daripada sebuah novel. Baru kurang lebih
sepuluh tahun kemudian, // nome saya baca lagi dan saya bicarakan lagi dengan
seorang teman di Yogya yang berminat pada sastra Italia. Saya membacanya kembali
biasanya karena dua hal: untuk keperluan melihat sejarah Eropa Abad Pertengahan
(khususnya saat terjadi transmisi keilmuan dari Bagdad ke Eropa) dan untuk
keperluan belajar kritik sastra sebagaimana kita temukan dalam lampiran berjudul
"II postille". Kalau // nome bisa mencapai best seller di Italia, saya tidak heran. II nome ini
bisa menggaruk banyak konsumen dari berbagai segmen dengan
kepentingan yang berbedabeda. Orangorang yang terlibat dengan sejarah Abad
Pertengahan pada umumnya, sejarah Gereja (dan secara khusus sejarah Ordo-Ordo
Religius), dan kritik sastra pasti tidak akan tahan untuk tidak membaca // nome.
Eco berhasil mengangkat tema lama bahkan tema yang jarang disentuh menjadi objek
imajinasi yang menarik. Maklum, periode yang dikisahkan oleh Eco selama ini
"dikunci" sebagai periode tradisional atau periode pramodern yang jarang
disentuh orangorang modern. Periode ini biasanya diandaikan begitu saja sebagai
periode gelap tanpa kita tahu lebih dekat apa sebenarnya yang terjadi selama
itu. Dari periode ini seakanakan tidak ada hal-hal yang bisa dipelajari kecuali
hanya sebagai objek kemarahan. Sebaliknya, orang lebih suka bicara tentang zaman
Renaisans, Pencerahan, dan sebagainya dengan capaian-capaiannya yang gemilang
yang menjadi fondasi zaman modern. Di tangan seorang medievalis (ahli Abad
Pertengahan) dan novelis seperti Eco, periode gelap ini disajikan se-cara
berbeda sampai akhirnya karyanya bisa menembus best seller. Ketika saya
membelinya, pada hari Kamis 8 September 1988, saya menemukan bahwa novel yang
muncul pertama kali pada tahun 1980 ini pada tahun 1988 sudah mencapai cetakan
ke-23! Pe-nyertaan "// postille" menunjukkan sambutan besar di kalangan pembaca
di Italia. Bahkan konon di Eropa dan Amerika, The Name of the Rose telah
menimbulkan "ge-lom-bang baru Abad Pertengahan" (new medieval wave).i
Kalau sekarang muncul // nome dalam versi bahasa Indonesia, saya tidak tahu
apakah dia akan mencapai best seller atau tidak, apakah dia bisa menimbulkan
minat di masyarakat ini untuk membaca ulang abadabad yang selama ini dicap
sebagai sumber tradisionalisme atau tidak. Paling tidak, kehadiran novel ini
bisa menjadi salah satu contoh novel posmodern yang menggabungkan antara
"kutipan" dan fiksi, sejarah dan kisah, serta imajinasi dan semiotika.d Dari
segi tema, kita mendapatkan sebuah contoh novel yang mengambil persoalan
keagamaan, politik, dan ilmu pengetahuan sebagai objek imajinasinya.
1. Dari Abbazia del delitto menjadi // nome della rosa
Seperti diakui oleh penulisnya, novel ini pernah mau diberi judul Abbazia del
delitto (Biara Kejahatan). Karena judul ini dirasa membatasi kebebasan pembaca,
Eco kemudian menggantinya dengan judul // nome della rosa (versi Inggris menjadi
The Name of the Rose, dalam bahasa Indonesia kurang lebih bisa diterjemahkan
menjadi "Nama Mawar"), sebuah judul yang lebih bebas ditafsirkan.s Nama pertama
sebenarnya juga bisa dipakai karena tema utama dalam novel ini adalah kejahatan
pembunuhan yang terjadi dalam biara. Alur cerita berkembang mengikuti peristiwa-
peristiwa pembunuhan dan penyelidikannya. Akan tetapi, di sela-sela alur cerita
ini kita menemukan begitu banyak informasi dari Abad Pertengahan sehingga kita
tidak hanya menemukan peristiwa kejahatan melainkan juga budaya biara (cultura dell'abbazia)
bahkan Zeitgeist dari periode yang sering disebut akhir Abad Pertengahan.
Pembaca mempunyai begitu banyak kemungkinan untuk memberi nama novel yang begitu
kaya ini. Oleh karena itu, judul // nome della rosa kemudian dipilih karena,
sebagai nama, mawar bisa berarti segala-galanya atau tidak berarti apa-apa: Stat
rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus. 6
Materi novel ini pada awalnya merupakan kesaksian atau memoar seorang biarawan
muda (monacella). Fransiskan dari Jerman bernama Adso ketika dia berada di Biara
Melk selama seminggu pada tahun 1327 di akhir bulan November (menjelang hari
Natal). Adso menulis (dalam bahasa Latin dengan gaya patristik-skolastik) pada
akhir abad ke-14 saat dia sudah menjadi seorang biarawan matang (monaco). Pada
tahun 1968 Eco menemukan versi bahasa Prancis (dengan gaya neoGothik)
diterjemahkan oleh Dom J. Mabillon (dengan judul Le Manuscrit de Dom Adson de
Melk, traduit en frangais d'apres 'edition de Dom J. Mabillon).7 Kalau kisah ini
terjadi pada ta-hun 1327, itu berarti bahwa kisah itu berada pada saat sejarah
gereja mengalami apa yang disebut "Babylonian captivity", yaitu saat Paus
meninggalkan "rumah tradisionalnya" Roma dan tinggal di Avignon (Prancis
Selatan) dari tahun 13D5-1377.8 Memang, peristiwa itu menjadi salah satu latar
belakang penting dalam / nome seperti dikatakan
dalam "Prologo".s
Bagi seorang medievalis pengagum Thomas Aquinas sekaligus mengajar di
Universitas Bologna (salah satu universitas yang ikut membentuk budaya Abad
Pertengahan) seperti Eco, dengan menerjemahkan dokumen semacam ini ke dalam
bahasa Italia, dia juga melacak bekas tempat biara tersebut. Karena satu dan
lain hal, dokumen yang ada di tangannya lenyap. Akhirnya, Eco menulis dokumen
itu dalam bentuk novel berdasarkan catatan-catatannya dalam bahasa Italia.
Novel ini dibagi menjadi tujuh bagian, masingmasing bagian diberi judul "Hari
Pertama", "Hari Kedua", dan sebagainya sampai "Hari Ketujuh". Kalau hari pertama
bertepatan dengan hari Minggu (" William bertanya apakah kami bisa menemukan
seseorang di skrip torium juga pada hari Minggu"), id Hari Kedua dengan hari
Senin, dan sebagainya, pembagian dengan nama-nama ini jelas sesuai dengan nama-
nama hari dalam satu minggu. Kemudian, masingmasing bagian dibagi menjadi bab-
bab mengikuti acara Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang lazim diadakan dalam
sebuah biara. Ibadat Harian adalah doa-doa wajib yang dilakukan di suatu biara
sepanjang hari. (Dalam bentuknya yang paling mendekati Ibadat Harian seperti
di // nome kita bisa melihatnya di Biara Trapis di Rawaseneng, Temanggung).
Ibadat ini dimulai pada pagi dini hari (maka disebut Mattunina atau Vigiliae)
kira-kira pada pukul 2.30 dan berakhir pada malam hari dengan Ibadat Penutup
atau Completorium sekitar pukul 18.00. Secara keseluruhan, ibadat-ibadat harian ini bisa diurutkan
demikian: Vigiliae (Ibadat Malam, 2.30-3.00), Laudes (Ibadat Pagi, S. 00-6.00),
Prima (7.30), Tertia (Ibadat Siang, 9.00), Sexta (Ibadat Siang, tengah hari),
Nona (antara pukul 14.00 dan 15.00), Vesperae (Ibadat Sore, 16.30), Completorium
(Ibadat Penutup, 18.00). Kini ibadat ini sudah "disederhanakan": Tertia, Sexta,
dan Nona disatukan menjadi Hora Media (Ibadat Siang). Dengan mengorganisasi
novel lewat ukuran waktu Liturgia Horarum, II nome membawa kita pada kesadaran
waktu Abad Pertengahan yang akrab dengan peribadatan.
Pada Hari Pertama, Hari Minggu, Adso mengisahkan kedatangannya bersama gurunya
William Baskerville (dalam bahasa Italia disebut Guglielmo), seorang Inggris
dengan tradisi intelektual Oxford, ke sebuah biara Benediktan Melk. Dia datang
ke biara itu dengan tugas untuk meneliti kasus kematian seorang biarawan muda
(Adelmo dati Otranto, seorang ilmuninator dalam perpustakaan) dan menjadi utusan
Raja dalam pertemuan yang akan diadakan di biara itu untuk mendamaikan antara
kelompok Fransiskan (yang dekat de-ngan Raja) dan kelompok Paus (dengan dukungan
para Dominikan). Biara Benediktan Melk dianggap sebagai daerah netral dan
Abbasnya (pemimpin biara) yang bernama Abo diharapkan bisa menjadi mediator.
Belum mendapatkan titik terang tentang kasus kematian Adelmo, pada Hari Kedua,
saat mengikuti ibadat Mattunina bersama para anggota biara
lainnya, ia dikejutkan oleh sebuah peristiwa berdarah (un sanguinosissimo
evento): Venantius ditemukan mati di luar. Venantius adalah juga petugas
perpustakaan, sahabat Adelmo. Dari informasi yang ia kumpulkan, dia curiga
rupanya perpustakaan di biara itu ada kaitannya dengan kematian. Oleh karena
itu, dengan gaya seorang detektif dia bersama Adso memberanikan diri memasuki
perpustakaan yang berada dalam Aedificium. Pada Hari Ketiga, mereka semakin
yakin bahwa Venantius tidak mati bunuh diri namun terbunuh. Pada hari ketiga
mereka dikagetkan oleh mayat ketiga, mayat Berengar.
Di sela-sela kesibukan memecahkan "enigma del labirino" (tekateki labirin) dan
mengautopsi jenazah Berengar di laboratorium Severinus (dengan kesimpulan: ia
mati karena keracunan), pada Hari Keempat, hari Rabu, William menerima
kedatangan Michele da Cessna, delegasi dari Frati Minori atau para Fransiskan
pada pagi hari. Michele adalah pemimpin Ordo Fransiskan yang sebelumnya membuat
kapitel di Perugia dan keputusannya membuat Paus marah. Sore harinya (sekitar
Nona), delegasi Paus Yohanes dari Avignon datang dengan anggota antara lain
Kardinal del Poggetto dan Bernard Gui (nama Italianya: Bernardo Guadino),
seorang tokoh inkuisisi dari Ordo Dominikan yang menulis buku pedoman inkuisisi:
Practica officii inquisitionis heretice pravitatis. Walaupun Paus ingin membawa
pertemuan ini demi "perdamaian dan kebaikan" (...), pihak frati minori,
sebaliknya, merasakannya lebih seperti perang. Hari itu mereka dijamu dengan makan malam
besar. Pada hari tersebut William dan Adso sangat sedih karena Salvatore, salah
seorang pemberi informasi yang sangat jujur, ditangkap.
Pertemuan resmi (kapitel) antara dua delegasi diadakan pada Hari Kelima, hari
Kamis, dengan tema diskusi tentang kemiskinan Kristus yang diputuskan dalam
Kapitel General Fransiskan di Perugia pada tahun 1322. Hasilnya (sangat
mengecewakan William): Kardinal del Poggetto melihat tafsiran kemiskinan Kristus
itu sebagai bidah, Remigio ditahan dengan tuduhan bidah. Pada hari ini mayat
baru juga ditemukan. Severinus yang banyak membantu William mengautopsi mayat-
mayat sebelumnya kini menjadi korban. William dan Adso yakin mulai memfokuskan
buku aneh ("un strano libro"). Hari ini ditutup dengan upacara, dengan khotbah
panjang yang disampaikan oleh Jorge dengan tema: bahaya kedatangan Antikristus.
Pada Hari Keenam, hari Jumat, mayat baru masih juga ditemukan. Kali ini kematian
justru menimpa Maleakhi seorang bibliothecaricus yang justru dicurigai William
sebagai dalangnya. Adelmo, Venantius, Berengar Severinus, dan Maleakhi telah
menjadi korban pembunuhan misterius. Abo, pemimpin biara, mengeluh kepada
William: "Terlalu lama, rupanya. Saya harus mengaku, frate William, bahwa saya
mengharapkan terlalu banyak dari Anda. Enam hari sejak Anda datang di tempat
ini, empat biarawan mati, di samping Adelmo, dua orang
ditahan oleh Inkuisisi itu keadilan, tentu, tapi kami sebenarnya bisa
menghindarkan rasa malu ini seandainya inkuisitor tidak terlalu peduli dengan


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatan sebelumnya dan akhirnya pertemuan yang saya jembatani, hanya karena
perilaku jahat ini memberikan hasil yang pedih ...".n Begitulah "hasil" pe
nyelidikan kejahatan dan pertemuan sampai hari keenam. Biara Melk (dan William)
gagal menjadi perantara, sementara penyebab kematian masih belum terungkap.
Pihak Avignon, sebaliknya, merasa menang dengan mengadili Remigio sebagai bidah
dan menjadikannya sebagai kambing hitam kasus-kasus pembunuhan di biara itu.
Lebih dari itu, mereka juga berhasil menyandera Michele da Cessna untuk dibawa
ke Avignon. Namun, akhirnya pada tengah malam William berhasil masuk ke finis
Africae, tempat misteri perpustakaan.
Seluruh misteri ini terbuka pada Hari Ketujuh saat William menghubungkan orang
dan hal-hal yang ia curigai: Jorge de Burgos, Secretum finis Africae, racun,
buku misterius. "Hai vinto Kau menang," kata Jorge pada William.iz Di luar
biara, dekat Aedificium petugas inkuisisi dengan bangga membakar para bidah.
Sementara itu, di dalam Aedificium, William dan Adso berjuang melawan api yang
sedang melalap seluruh bangunan dan bukubuku berharga.
Begitulah alur cerita "detektif yang terjadi pada biara Benediktan Melk yang
menjadi tempat pelarian orangorang yang dikejar petugas inkuisisi, menjadi
tempat penyimpanan bukubuku yang
dikumpulkan dari berbagai daerah dan berbagai zaman. Dari alur sebagaimana
diceritakan di atas, novel ini memang bisa saja diberi judul Abbazia del delitto
karena novel ini ditata mengikuti kejahatan kriminal yang terjadi di Biara Melk
serta usaha pengungkapannya. Novel ini juga bicara tentang biara Benediktus Melk
yang menjadi pelarian para bidah Fransiskan yang dikejar-kejar oleh petugas
inkuisisi yang didominasi para Dominikan.
Akan tetapi, di luar alur ini kita mendapatkan berbagai macam informasi tentang
kehidupan biara pada khususnya dan kehidupan gereja pada Abad Pertengahan pada
umumnya. Informasi-informasi ini menjadi kekuatan tekstual untuk membentuk ritme
kehidupan biara dengan budayanya (cultura dell'abbazia). Secara struktural,
informasi-informasi ini memang kurang menduduki posisi penting dalam
perkembangan kisah. Akan tetapi, informasi-informasi itu punya peran penting
dalam pembentukan dunia literer yang masih akan kita bahas kemudian. Informasi-
informasi ini meliputi seluk beluk kehidupan baik dalam biara (kapel dan doa
hariannya, perpustakaan dan kegiatan di dalamnya, dapur dan orangorang yang
lalu-lalang di desa di sekitarnya), maupun di luar biara (situasi politik baik
sezaman maupun sebelumnya).
Kalau kita memerhatikan cara berkembangnya kisah yang pelik namun tetap enak
diikuti, kita melihat Eco sebagai seorang storyteller yang ulung; sedangkan
kalau kita memerhatikan informasi-informasi tentang Abad Pertengahan yang
disajikan secara selektif, kita melihat Eco sebagai seorang medievalis yang erudit.
Melalui informasi-informasi ini, kita bisa mencium aroma Abad Pertengahan lewat
bukubuku yang apak, melihat keseriusan wajahwajah para penghuninya yang
dibungkus dengan habitus atau pakaian biara berwarna hitam, menyaksikan
kebengisan para petugas inkuisisi, mendengarkan amarah mereka yang sedang
berseteru, melihat gerakgerik seorang monaceih Adso yang masih lugu (termasuk
saat bersetubuh dengan fanciuiia beiia dari desa dekatnya!), nasib bukubuku
artes iiberaies yang disingkirkan, mencium bau lezat hidangan yang disuguhkan
pada para delegasi, dan sebagainya. Belum lagi, kita disodori dengan "sejarah
pemikiran" dari pemikiran Virgilius yang puitis, kelompok Universitas Paris yang
spekulatif, sampai dengan kelompok Oxford yang empiris. Kalau Eco mengatakan
bahwa dia bercerita dalam Abad Pertengahan daripada bercerita tentang Abad
Pertengahan, hal itu memang benar. Dengan begitu dia bisa mengonstruksi cultura
dell'abbazia. Pembaca mendapatkan ruang begitu luas dan sudut pandang yang
bermacam-macam untuk mengatakan sendiri (sesuai dengan kondisi kultural dan
ideologisnya masingmasing) apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalamnya. //
nome della rosa adalah judul "paling netral" yang ditawarkan Eco daripada
Abbazia del delitto yang terkesan membatasi pembaca.
2. Intertekstualitas Kesan paling mencolok ketika kita membaca // nome adalah kuatnya
intertekstualitas. Novel ini terusmenerus bicara tentang teks-teks lain. Sudah
sejak kalimat pertama dalam "Prologo" dia menggunakan teks lain: "Pada awalnya
adal-ah Sabda dan Sabda bersama Allah dan Sabda adalah Allah". Lihatlah, Eco
tidak ragu-ragu menggunakan sebuah teks mapan, ortodoks, doktrinal, dan bahkan
biblis (di sini dia mengambil ayat dari Injil Yohanes). Hanya pengarang yang
cukup punya energi yang berani menggunakan teks semacam ini. Penggunaan teks-
teks lain ini terusmenerus berjalan sampai dengan akhir bukunya. Teks-teks ini
diambil dari mana saja: dari Injil, pikiran para teolog, ilmu pengetahuan dari
Yunani, dan sebagainya. Ada yang bisa langsung kita kenali dengan cepat dan ada
yang tercium samarsamar saja. Ada yang ditulis dengan tanda kutip ("...") dan ada
yang dipakai begitu saja. Karena pemakaian teks-teks ini begitu konstan dan
masif, cara ini bisa menjadi salah satu teknik penyusunan sebuah novel.
Tentang teknik intertekstual ini Eco membahas dalam bukunya The Limit of
Interpretation. Kegunaan dan risiko menggunakan teks-teks lain dikatakan oleh
Eco demikian: "Persoalan intertekstual itu sendiri sudah dielaborasi dalam kerangka refleksi
tentang seni 'tinggi1. Meskipun demikian, sejumlah contoh yang diberikan di atas
[Raiders of the Lost Ark,
Bananas, dan ET] diambil secara provokatif oleh dunia komunikasi massa untuk
menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk dialog intertekstual ini sampai sekarang su-
dah diterapkan dalam bidang produksi populer. Gejala ini merupakan ciri khas apa
yang disebut sastra dan seni posmodern (bukankah hal itu sudah terjadi pada
musik Stravinsky") dengan mengutip menggunakan (kadangkadang dengan berbagai
bungkus stilistis) tanda kutip sehingga pembaca tidak memerhatikan isi kutipan
melainkan cara di mana kutipan dari teks pertama dimasukkan ke dalam jalinan
teks kedua. Renato Barilli [dalam 'Dalleggibile aH'Hleggibile', 1984] mengamati
bahwa salah satu risiko prosedur ini adalah kegagalan memperjelas tanda kutip
sehingga apa yang dikutip diterima oleh pembaca yang naif sebagai temuan
orisinal dan bukannya sebagai referensi ironik. "u
Jadi, intertekstualitas lazim dipakai dalam seni atau sastra posmodern; mulamula
dipakai dalam seni tinggi namun kini sudah lumrah dipakai dalam budaya pop.
Dalam seni semacam ini, teks lain dikutip bukan sebagai temuan melainkan sebagai
referensi ironik. Kalau itu adalah fungsi intertekstual, seluruh // nome adalah
sebuah korpus tekstual ironik atas Abad Pertengahan dan secara khusus atas
budaya abbazia. Bagi orang yang sudah terbiasa dengan tradisi Abad Pertengahan,
kutipan ini memang bi-sa bersifat ironik. Bagaimana dengan kita yang belum
terbiasa dengan budaya tersebut" Bukankah itu adalah sebuah temuan orisinal"
Bukankah suatu kutipan dalam novel tidak jauh dari buku ilmiah" Bagi orang Barat
(Eropa pada khususnya), kutipankutipan yang diambil dalam // nome sebagian besar
sudah jelas asal muasalnya, sudah terang kelompok-kelompok sosial yang memakai,
sudah bisa dikenali fungsi penggunaannya. Bagi kita yang tidak terlalu akrab,
fungsi ironik dari suatu kutipan barangkali tidak cepat tertangkap. Saya menduga
latar belakang ini bisa menjadi salah satu penyebab lambatnya perjalanan teks.
Oleh karena itu, 7/ postille" (1982) yang disertakan dalam // nome tiga tahun
kemudian bisa amat membantu untuk memahami // nome. Hanya saja kita harus
hatihati bahwa "II postille" bukanlah tafsiran resmi dari // nome, "II postille"
bukanlah signified dari signifier II nome. Betapapun cerdas "II postille"
membaca // nome, dia tetap menjadi satu di antara bacaan-bacaan kita. Eco sadar
betul dengan kedudukan "II postille" itu dengan mengakui bahwa "seorang autore
harus mati begitu menyelesaikan tulisannya" ("'autore dovrebbe morire dopo aver
scritto"). Jadi, "I postii/e" bukanlah suara autore dari // nome melainkan suara
salah satu pembaca. Meskipun demikian, "// postille" bisa membantu kita untuk
membaca // nome karena "II postille" bicara tentang kondisi-kondisi yang
menghasilkan teks // nome.
Kondisi-kondisi ini bisa menjadi pertimbangan ekstratekstual untuk memahami teks
// nome dan bukannya untuk mengganggu jalannya teks itu sendiri, u
Catatan kedua sehubungan dengan intertekstualitas, kita bisa bertanya, pada
level mana suatu teks dalam kisah menunjuk teks lainnya" Suatu teks bi-sa
berinteraksi dengan teks lain bukan hanya kalau teks itu diberi tanda ku-tip.
Dalam // nome, kekuatan untuk menunjuk teks-teks lain juga muncul dari nama
entah orang, judul buku, nama tempat bahkan gaya. Nama-nama seperti Isidorus
dari Sevilla, Thomas Aquinas, William of Ockham, dan sebagainya bukanlah sebuah
nama-nama diri melainkan menghadirkan rangkaian teks panjang yang kadangkadang
dibahas // nome dengan gaya argumentasi seperti para profesor silogisme di
Universitas Paris, kemudian dengan gaya bahasa orangorang kudus dengan penuh
kesalehan, waktu lain dengan gaya Apokalips Yohanes. Jadi, ironi tidak hanya
dengan jalan mengutip melainkan juga dengan menggunakan cara bicara (retorik)
suatu kelompok masyarakat. Di sini Eco tidak mengutip katakata melainkan
menirukan cara berbicara. Begitulah // nome membicarakan Abad Pertengahan
dan/atau budaya abbazia, bicara tentang dirinya sendiri, daripada bicara tentang
Abad Pertengahan. Di sini intertekstual dipilih sebagai tekniknya. Hasilnya:
ironisasi. 3. Abduksi "Saya merasa sedih. Selama ini saya selalu yakin bahwa logika adalah senjata
universal dan kini saya menyadari bagaimana ternyata validitasnya tergantung
pada cara kita menggunakan logika tersebut. Dari sisi lain, dengan selalu hadir
pada Guru saya, saya mulai menyadari dan terlebih pada harihari selanjutnya
bahwa logika bisa sangat berfaedah dengan syarat kita memasuki logika itu dan
kemudian kita keluar tagi."is
Begitulah Adso mulai meragukan kekuatan mutlak logika. Logika yang dimaksud
tidak lain adalah logika Aristotelian. Untuk menelusuri kasus-kasus kematian di
biara, senjata logika Aristotelian ternyata tumpul. Orang hanya menemukan kasus-
kasus kematian berupa mayat. Orang masih harus mencari penyebabnya. Sejauh itu,
dilihat dari tempat ditemukannya mayat, orang mengira bahwa penyebab kematian
adalah bunuh diri. Mengapa bunuh diri" Sam-pai seberapa banyak orang bunuh diri"
Sebagai seorang mantan inkuisitor, sejak kedatangannya di biara itu William
Baskerville berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya, menghubungkan satu
dengan lainnya untuk mendapatkan titik terang bagi penyebab kematian Adelmo dati
Otranto. Strategi yang dipakai William ini bisa disebut abduksi (abduction).
Abduksi adalah cara penalaran yang dibedakan dari induksi dan deduksi. Dalam //
nome, deduksi ini dipakai oleh
Adso yang sangat setia dengan silogisme Aristotelian, sedangkan induksi oleh
Severinus. Di samping itu, ada caracara lain untuk memahami berbagai peristiwa
seperti biblis (terutama dengan menggunakan "ramalan" dalam Kitab Apokalips
Yohanes). Perdebatan tentang pencarian penalaran yang paling tepat bisa kita lihat dalam
dialog ini: "Saya benarbenar tidak mengerti," kata Severinus. "Dua orang mati, keduanya
dengan jarijari hitam. Apa yang bisa kamu deduksi [dedurre] darinya?"
"Saya tidak mendeduksi apa-apa: nihil sequitar geminis ex particularibus unquam.
Kedua kasus itu seharusnya dikembalikan lagi [ricondurre] pada suatu hukum
[regola]. Misal nya, terdapat bahan yang memberikan noda hitam pada jari orang
yang menyentuhnya Dengan penuh rasa kemenangan saya [Adso] melengkapi silogisme: "Venantius dan
Berengar memiliki jari hitam, ergo mereka te-lah menyentuh bahan itu."
"Bravo Adso," kata William. "Sayangnya bahwa silogismemu tidak valid karena aut
semel aut iterum medium generaliter es to, dan bahan silogisme ini term tengah
tidak pernah tampak sebagai universal. Tanda yang kita pilih dengan tidak tepat
[adalah] premis mayor. Saya tidak harus mengatakan bahwa semua orang yang
menyentuh bahan tertentu memiliki jarijari hitam. Saya harus mengatakan bahwa semua orang dan hanya semua
orang yang mempunyai jari hitam pasti telah menyentuh suatu bahan yang ada.
Venantius dan Berengar, dan sebagainya. Dengan apa kita punya Dahi, silogisme
ketiga yang sempurna dari figur silogistik pertama?"i6
Itulah perdebatan tentang silogisme yang membuat Adso merasa sedih karena selama
ini dia terlalu percaya pada silogisme. Lewat William, dia diingatkan untuk
tidak memutlakkan silogisme deduktif. William memperkenalkan Abduksi di tengah-
tengah orang yang tergila-gila pada Deduksi (seperti Adso) maupun Induksi
(seperti Severinus). Lewat Abduksi, William ingin menemukan hukum umum (regola)
atas dasar kasus-kasus yang ada. Dengan menemukan hukum dan kasus dia akan
menarik hipotesis. Lewat hipotesis semacam inilah dia kemudian melakukan
penyelidikan secara sistematis. Memang, seperti diperingatkan Severinus, ada
bahaya orang akan cepatcepat menyimpulkan. William sadar betul dengan bahaya
itu. Lewat metode abduksi itu dia hanya ingin tidak menutup berbagai hipotesis
sekalipun hipotesis itu secara sepintas terkesan aneh. Abduksi hanya dimaksudkan
untuk mencari tahu "sesuatu yang mungkin bisa terjadi".17 Abduksi berusaha
menggabungkan antara metode deduksi dan induksi. Dari deduksi dipinjam
silogismenya dan dari induksi dipinjam cara pengamatan empirismenya. Hasilnya
adalah sebuah hipotesis. Tentang abduksi (yang dipinjam Eco dari Peir-ce) dibahas Eco dalam The Theory of
Semiotics maupun The Limit of Interpretation.is Dalam buku pertama, Eco membahas
abduksi dalam konteks "Teori Kode" dan secara khusus dalam konteks "Overcoding
in Uqbar" Eco meneliti Uqbar karya Bor-ges. Lewat contoh-contoh yang sudah amat
terkenal dan banyak dipakai, Eco membedakan deduksi, induksi, dan abduksi
sebagai berikut. Deduksi: Semua kacang dari karung ini berwarna putih, Kacang
ini berasal dari karung ini, Kacang ini berwarna putih. Induksi: Kacang ini
berasa/ dari karung ini, Kacang ini berwarna putih, Semua kacang dari karung ini
berwarna putih. Abduksi: Semua kacang dari karung ini berwarna putih, Kacang ini
berwarna putih, Kacang ini berasa/ dari karung ini. 19
Kita melihat bahwa di dalam Deduksi kita tahu aturan umum dan kasus, kemudian
kita menarik kesimpulan secara deduktif, dan hasilnya adalah validitas logis.
Dalam Induksi, kita mempunyai kasus dan akibat, kemudian kita mengasumsikan
sebuah aturan umum, hasilnya adalah probabilitas. Dalam Abduksi, kita mempunyai
aturan umum dan akibat kemudian kita menarik sebuah kasus, hasilnya adalah
probabilitas .zd Secara ringkas, Eco menjelaskan pentingnya Abduksi demikian:
"Pada kenyataannya, karena kita tidak tahu berapa banyak percobaan yang
diperlukan sebelum Induksi dapat dianggap sebagai Induksi yang baik, kita benarbenar tidak
tahu apa itu Induksi yang valid. Apakah sepuluh percobaan cukup" Mengapa tidak
sembilan" Atau delapan" Dan mengapa bukan malah satu"
Pada titik ini, Induksi bergerak melampaui dan menciptakan ruang bagi Abduksi.
Dengan Abduksi saya menemukan diri saya dikonfrontasikan dengan hasil yang aneh
dan tak terduga. Dengan mengambil contoh kita, saya mempunyai satu kantong
kacang di meja, dan di sampingnya, juga di atas meja, terdapat segenggam kacang
putih. Saya tidak tahu bagaimana segenggam kacang itu bisa berada di sana atau
siapa yang menaruh kacang itu di sana, atau bah-kan dari mana kacang itu
berasal. Anggap saja hasil ini meru-pa-kan kasus yang aneh. Sekarang saya perlu
menemukan Hukum .... Pada titik ini saya menciptakan suatu conjecture', saya meneore-ti-sasi suatu
Hukum ...."zi Saya bicara tentang abduksi agak panjang karena metode ini memang sangat kental
dalam seluruh // nome. Metode abduksi bukan hanya dipakai oleh tokoh seperti
William namun sudah menjadi landasan struktur // nome.zz Dengan membaca // nome
dari perspektif abduksi, kita sebenarnya langsung tahu alur cerita // nome. Eco
bahkan menggunakan idiom-idiom teori abduksi
secara verbatim. Langkah-langkahnya mulai kelihatan saat William bersama
Severinus memeriksa lidah dan tangan para korban: semuanya berwarna hitam. Jadi,
William menemukan "kasus": semua ujung jari dan lidah para korban berwarna hitam
(lalu mati). Untuk sampai ke sana, William minta informasi dari Severinus bahwa
itu adalah benarbenar racun yang mematikan dan minta kepastian juga bahwa di
biara itu ada atau pernah ada racun yang mematikan. Kemudian dia mencari "rule"
umum yang bisa dipakai untuk menjelaskan kasus tersebut. Aturan ini ia dapatkan
dari Severinus bahwa memang pernah ada racun mematikan yang dibawa dari seorang
biarawan namun sekarang lenyap. Dari dua informasi dan ditambah dengan imajinasi
kreatifnya, William kemudian menarik hipotesis atau melakukan "the inference of
a case from a rule and a result"a. Hipotesis ini kurang lebih berbunyi demikian:
Ada racun mematikan di biara, Orangorang ini mati karena keracunan, Orangorang
ini mati karena keracunan tersebut. Hipotesis ini dijadikan dasar bagi
penyelidikan selanjutnya. Sisa waktu yang ada digunakan untuk menjelaskan
bagaimana racun itu ada di dalam perpustakaan. Hipotesis ini menjadi "misteri
terletak di perpustakaan". Kisah-kisah lainnya hanyalah sophistication atau
perumitan sehingga menjadi menarik. Dengan menyusun alur kisah melalui logika
semacam ini, tidak mengherankan kalau novel ini menjadi novel "detektif dalam
arti sedalam-dalamnya. Teresa
menyebut struktur // nome "investigative and inferrial [abductive] structure"
,z4 Jadi, logika abduksi bukan hanya menjadi pesan yang ingin disampaikan lewat //
nome namun juga menjadi struktur seluruh novel. Sebagai pesan, abduksi
didampingkan dengan logika deduksi seperti dipraktikkan oleh para petugas
inkuisisi. Sebagai pesan abduksi juga dipersonifikasi oleh Adelmo seperti diakui
sendiri oleh Maleakhi. Hal ini diakui sendiri oleh Maleakhi: "Adelmo dati


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Otranto, karena usianya yang masih muda, hanya bekerja pada marginalia. Dia
memiliki imajinasi sangat hidup dan dari hal-hal yang mencolok dia mampu
menyusun komposisi tentang hal-hal yang tidak diketahui dan menakjubkan seperti
orang yang menyatukan tubuh manusia dengan leher kuda. Lihat buku-bukunya ada di
bawah sana. Belum ada orang yang menyentuh mejanya."25 Marginalia adalah ga-ris
margo yang diberi ilustrasi untuk mengomentari isi buku dan dia di-akui sebagai
salah satu ilustrator paling berbakat ("miniatori piu valenti").
Jadi, di sini kita melihat dua macam inkuisisi: inkuisisi sejati dan inkuisisi
formal. Inkuisisi sejati adalah sebuah penelitian untuk mencari kebenaran.
Inkuisi formal, sebaliknya, tidak punya minat untuk memeriksa. Maunya ha-nya
menghukum. 4. The Possible World: Labirin
"Jiwa menjadi cerita hanya kalau mengontem-plasikan kebenaran dan mencapai
kenikmatan dalam kebaikan, kebenaran dan kebaikan tidak
ditertawakan. Itulah sebabnya Kristus tidak pernah tertawa. Senyum merangsang
keraguan. "z6 Hari kedua pengalaman Adso berada di Biara Melk membuatnya bertanya-tanya
tentang dunia yang sedang ia jalani. Ia mulai menggugat ayahnya yang telah
mengirimnya untuk menjadi seorang biarawan Fransiskan. Untung saja sebagai
seorang monacelh Adso memiliki seorang Guru yang penuh pengertian yang bisa
membimbingnya untuk belajar dari situasi hidup yang sulit. Ia kadangkadang malah
diajak William untuk menertawakan apa yang sedang mereka jalani. Ia merenungkan
hidupnya itu saat siesta:
"Kemudian William menyuruhku untuk istirahat. Ketika berbaring saya menyimpulkan
bahwa ayah saya seharusnya tidak usah mengirimkan saya ke dunia yang ternyata
lebih rumit daripada yang saya pikirkan. Saya sedang belajar begitu banyak hal."
Kemudian dia menutup dengan sebuah doa "Saiva me ab ore ieonis Selamatkan saya
dari mulut singa."27
Begitulah Adso berada dalam ambang putus asa. Dunia yang ia masuki ternyata
tidak seindah dan setenteram yang ia pikirkan sebelumnya. Dalam // nome tak ada
ungkapan yang lebih tepat untuk melukiskan dunia semacam ini kecuali kata
iabyrinthus labirin, dan tak ada gambaran yang
lebih tepat tentang labirin kecuali perpustakaan yang berada dalam Aedificium.
Adso dan William baru benarbenar merasakan labirin itu pada hari keempat
khususnya pada malam hari, sesudah Komplina. Sebelumnya, mereka hanya mendengar
ucapan kata labirin itu dari Alinardo dari Grottaferrata yang menyebut bahwa
perpustakaan adalah labirin. Mendengar pengakuan ini William balik bertanya:
"Perpustakaan adalah labirin?" Kemudian Alinardo menjawab:
"Hunc mundum tipice iabyrinthus denotat iiie. Intranti iargus, redeunti sed
nimis artus. Perpustakaan adalah sebuah labirin besar, tanda dari labirin du-
nia. Begitu kamu masuk, kamu tak tahu lagi apakah kamu bisa keluar atau tidak.
Kamu tidak bisa melewati pilar-pilar Hercules ...."28
Ungkapan yang diucapkan Alinardo, seorang monaco senior ini, memang tepat untuk
melukiskan "dunia yang lebih rumit daripada yang saya pikirkan". Hanya saja,
Alinardo membiarkan labirin sebagai labirin, dia tidak ingin melangkahkan
kakinya ke sana, dia mendengar peristiwa-peristiwa mengerikan dan wajahwajah
seram di sana namun dia tidak menelitinya. Adso sebaliknya, berkat tugas yang
sedang dilakukan oleh William, mau tidak mau harus memasuki labirin itu. Mereka
berdua tidak bisa menghindar seperti Alinardo dan para biarawan lainnya; lebih
daripada itu, mereka harus bisa masuk
dan keluar dengan membawa hasil dan bukannya seperti sejumlah biarawan yang bisa
masuk namun berakhir de-ngan kematian. Jadi, mereka harus bisa masuk, bisa
keluar lagi, dan membawa hasil.
Labirin sebagai metafor dunia secara khusus bisa kita kaitkan dengan dunia Abad
Pertengahan yang sedang dikisahkan dalam // nome. Dengan demikian, seluruh teks
kisah // nome sesungguhnya adalah sebuah strategi untuk memasuki dan keluar dari
labirin dunia Abad Pertengahan. Bagaimana mundus abyrhinthus Abad Pertengahan
ditata dalam / nome"
Tanda paling jelas yang kita temukan dalam // nome adalah cara mengatur dan
menghayati waktu. Tidak sulit bagi kita untuk menentukan makna simbolis struktur
novel ini yang mengambil tujuh hari dengan jadwal ibadat harian. Tujuh hari
adalah simbol sejarah dalam waktu dan Liturgia Horarum adalah Abad Pertengahan.
Tujuh hari terakhir sebagaimana diceritakan dalam // nome tidak lain adalah
akhir dari Abad Pertengahan. Gereja yang telah ikut mengharumkan Abad
Pertengahan sampai mencapai Renaisans abad ke-12 ikut menghancurkan apa yang
telah dilahirkannya sendiri. Saya merasa sah menafsirkan gejala-gejala Abad
Pertengahan dengan cara yang kurang lebih demikian. Jadi, novel ini adalah
sebuah novel tentang Abad Pertengahan. Eco tidak hanya menafsirkan Abad
Pertengahan secara semiotik namun juga minta supaya hasil laporan tafsirannya
dibaca secara semiotik pula atau paling tidak ada
dalam posisi untuk ditafsirkan demikian.
Akan tetapi, tujuh hari dengan pembagian waktu menurut Liturgia Horarum terjadi
tidak mulus. Sebagaimana Aedificium yang dari luar tam-pak megah dan gagah,
kehidupan ibadat yang ditata lewat Liturgia Horarum punya arti lain bagi para
penghuninya. Dunia hierarkis Abad Pertengahan didukung dengan logika Aristotelian. Sebagai
labirin, ada wilayah yang tidak boleh dimasuki. Ada wilayah yang hanya boleh
dimasuki oleh orangorang tertentu. Perpustakaan sebagai labirin berada dalam
kekuasaan Abo, seorang Abbas.
Barangsiapa membutuhkan sesuatu dari dalam dunia labirin, dia harus menyebutkan
barangnya, petugas akan menentukan boleh dan tidaknya. Tidak semua orang boleh
masuk ke dalam perpustakaan karena di sana ada bukubuku yang mematikan. Mengapa
mematikan" Menurut William, wajah mematikan itu bisa dibaca dalam wajah Jorge.
Ketika ditanya "Wajah siapa", William dengan tegas mengatakan, "Jorge, dico Aku
bilang: Jorge." Kemudian dia meneruskan alasannya:
"Dalam wajahnya yang dihancurkan oleh kebenciannya atas filsafat, saya
menyaksikan untuk pertama kalinya gambar Antikristus, yang tidak datang dari
suku Yudas seperti dimaui oleh para pewarta, juga bukan dari tanah seberang yang
jauh. Antikristus bisa lahir dari kesalehan itu sendiri (stessa pieta), cinta
yang berlebihan pada Allah atau kebenaran, seperti halnya seorang bidah lahir dari
orang suci dan orang kesurupan dari orang yang melihat vision. Takutlah, Adso,
pada para nabi dan mereka yang bersedia mati demi kebenaran, yang biasanya
mereka mengajak banyak orang mati bersama mereka, sering kali sebelum mereka,
kadangkadang demi mereka. Jorge telah menyelesaikan sebuah karya iblis (opera
diaboiica) karena dengan cara licik dia mencintai kebenarannya sehingga dia
tidak takut apa-apa untuk menghancurkan kepalsuan. Jorge takut atas buku kedua
Aristoteles [Poesia] karena buku itu barangkali benarbenar mengajarkan untuk
mendeformasi wajah setiap kebenaran supaya kita tidak menjadi budak fantasma
kita. Barangkali tugas mereka yang mencintai manusia adalah membuat kebenaran
tertawa, membuat kebenaran tertawa, karena satusatunya cara menuju kebenaran
adalah belajar membebaskan diri kita dari nafsu tidak sehat akan kebenaran.-29
Mundus iabyrinthus dunia labirin muncul karena ketakutan. Logika Aristotelian
menjadi fondasi untuk membangun sebuah labirin karena salah pakai. Logika
Aristotelian menghasilkan cara berpikir yang valid namun tidak pernah bisa
bicara banyak tentang kasus-kasus empiris yang terjadi. Gaya labirin adalah gaya
yang mengandalkan hukum umum. Sementara hukum umum ini ditentukan oleh yang berkuasa untuk kepentingan
lain. Ada banyak cara untuk mempertahankan dunia semacam ini termasuk lembaga
inkuisisi, penguasaan para teolog, baik oleh Raja maupun Paus.
Bersamaan dengan gambaran tentang dunia labirin tersebut, kita melihat dunia
lain, possible world, yang diimajinasikan dalam // nome. Dunia yang dimaksud
adalah dunia penuh tawa. Tertawa adalah bagian dari cara orang melihat
kebenaran, melihat dunia. Tertawa adalah cara orang melihat kebenaran supaya
tidak menjadi dogma. Tertawa juga menjungkirbalikkan apa yang sudah ada. Dunia
yang dilukiskan oleh Adelmo dalam marginalia adalah "dunia lain". Dalam // nome,
dunia semacam ini dicita-citakan dan dirintis oleh orangorang abduksionis (kalau
saya bisa menggunakan istilah ini) seperti William, Adso, dan Adelmo.
Terlepas dari itu semua, dunia lain yang coba diangkat oleh // nome adalah dunia
yang mencoba mendudukkan kembali pembagian dunia keilmuan. Persoalan ini sedikit
banyak juga membekas dalam cara biara itu mengurus perpustakaan. Dalam Abad
Pertengahan, puncak dari hierarki ilmu diduduki oleh hukum dan teologi. Tidak
mengherankan bahwa dalam sistem universitas pada Abad Pertengahan misalnya di
Universitas Bologna dan Universitas Paris hanya orang yang sudah menyelesaikan
hukum atau teologi yang berhak menyandang gelar doktor. Kedua ilmu ini sering
disebut ratu segala ilmu. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya yang dikenal
dengan artes liberales menduduki posisi di bawahnya, sebagai ilmu-ilmu bantu.
Sudah sejak abad ke-12 di Paris ada persaingan antara para pendukung artes
liberales dan para pengelola universitas yang ingin tetap mempertahankan
ideologi sebagai puncak ilmu.30 Dalam // nome, sebagaimana kita temukan dalam
Biara Melk, kita masih menyaksikan sisa-sisa persaingan ini.
Apakah Melk merupakan simbol benteng biara terakhir bagi artes liberales"
Rupanya begitu. Paling tidak, di sana kita menyaksikan nasib bukubuku artes
liberales yang coba disembunyikan dari matamata pikiran yang terus mencari ilmu
dari mana saja asalnya. Dari sisi lain, kita menyaksikan kekuatan ratu segala
ilmu yang sudah terlembagakan dalam tata tertib (Regula) dalam biara itu. Eco
memasukkan tradisi keilmuan lainnya, terutama dari para pemikir di Oxford.
Sejumlah penafsir bahkan berpendapat (dan pendapat ini memang sangat beralasan)
bahwa William Baskerville dalam // nome tidak lain adalah personifikasi semangat
keilmuan William of Ockham, yaitu "filsuf empiris, politisi Fransiskan yang
mengajar di Oxford dan yang, setelah dipanggil ke Avignon oleh Vohanes XXII
dengan tuduhan bidah, berusaha mencari perlindungan di istana Louis Bavarian dan
menjadi pendukungnya".:i William of Ockham mengajar di Oxford dari tahun 1318
sampai 1324 dan dikenal sebagai seorang Nominalis.iz Ilmuwan lainnya yang
mendapat tempat istimewa dalam tulisan ini adalah Roger Bacon (1214-1294), juga
seorang biarawan Fransiskan, yang banyak melakukan penelitian eksperimental berkat bacaannya atas
karya-karya ilmiah yang tertulis dalam bahasa Arab.Bacon juga mengajar di Oxford
dari tahun 1240 sampai 1247.m Seperti diketahui, dalam sejarah universitas,
Bologna menjadi pusat kajian hukum, Universitas Paris menjadi pusat kajian
Teologi, dan Oxford menjadi pusat kajian ilmu-ilmu empiris. Dalam // nome, Biara
Melk diimajinasikan sebagai focal point yang mempertemukan berbagai tradisi
keilmuan ini dan dibumbui dengan kepentingan politik serta semangat keagamaan
yang menyertainya. Dengan demikian, // nome bisa berfungsi sebagai cermin yang
sedang mendeformalisasikan gambaran tentang dunia Abad Pertengahan selama ini,
yaitu dunia yang ditata sesuai dengan Aristotelianisme yang sudah dikristenkan.
Yogyakarta, Menjelang 'Id ai-Fitr 1424, Menjelang Natal 2003
Catatan 1-Untuk menyiapkan tulisan ini saya membaca baik // nome della rosa In Appendice
Postille A "II nome della rosa" (XXIII Ed., Millano: Bompiani) ma-upun The Name
of the Rose (diterjemahkan oleh William Weaver, San Diego: A Harvest Book,
1994). Referensi yang saya pakai dalam tulisan ini diambil dari versi Italia.
2. Donald Attwater (1983), Dictionary os Saints, Edisi Kedua, Penguin Books,
135. 2 Teresa de Lauretis, "Gaudy Rose: Eco and Narcissism" dalam Rocco Capozzi
(1997), Reading Eco: An Anthology, Indiana University Press, 254.
4. Bdk. Teresa de Lauretis, op.cit., 243. Tentang bentuk novel ini, David H.
Richter mengatakan: "There is a peculiar tension all through The Name of the
Rose between creation and parody, between apparently sincere imitation of the
topoi of the classic mystery novel and the carniva/ization of its forms. This
tension exploded in the denouement. It requires a backward glance, though, at
the standard ending of the detective story and the way its post-modern
revisionists have turned it inside out." David H. Richter "The Mirrored World"
dalam Rocco Capozzi (1997), op.cit, 270.
5. // nome della rosa, 508.
6. // nome della rosa, 503
7. // nome della rosa, 11.
8. Thomas Bokenkotter (1977), A Concise History of the Catholic Church, Edisi
Revisi, Image Books, 189-192.
9. // nome della rosa, 30.
10. // nome della rosa, 78.
11. // nome della rosa, 448.
12. // nome della rosa, 470.
13. Umberto Eco, The Limits of Interpretation, 94. Cetak Miring dari saya.
14. // nome della rosa, 509.
15. II nome della rosa, IV (Lauda), 265.
16. Umberto Eco, The Limits of Interpretation, 133-134 ("). Umberto Eco, The
Limits of Interpretation, 262.
17. Umberto Eco (1979), A Theory of Semiotics,
18. Bloomington: Indiana University Press, (Judul Asli: Trattato di Semiotica
Generate, Milano: Bompiani, 1975); The Li-mits of Interpretation, Indiana
University Press, Bloomington In-dianapolis, 1979.?19. Umberto Eco, A Theory of Semiotics, 131.
20. Ibid., 131. 21. Umberto Eco, The Limits of Interpretation, 94.
22. Teresa de Lauretis, op.cit, 243.
23. Umberto Eco, The Limits of Interpretation, 131.
24. Teresa de Lauretis, op.cit, 243.
25. // nome della rosa, 84.
26. // nome della rosa, 139.
27. II nome della rosa, 160.
28. // nome della rosa, 163.
29. // nome della rosa, 494.
30. Lihat Friedrich Heer (1961), The Medieval World. Europe 1100-1350, tr. Ja-
net Sondheimer, Cleveland and N.Y.: The World Publishing Company, 201.
31. Teresa de Lauretis, op.cit., 244. Tentang kedudukan William of Ockham dalam
Abad Pertengahan yang didominasi Aristotelian, dalam sejarah gereja dikatakan
demikian: "William of Ockham broke decisively with both schools and shattered
the a/ready shaky structure of Christian Aristote/ianism. He denied the very
existence of a mental process of abstraction and excluded all know/edge of the
extramental world except the intuitive know/edge of individual things.
Universals or essences, for Ockham, were purely in tra-mentaf phenomena, mental
?artifacts." Pendapatnya ini mempunyai dampak luar biasa pada pemikiran teologis
pada Abad Pertengahan: "The effects were devastating indeed: metaphysics were
rendered practically impossible, while theology, deprived of its metaphysical
foundations, be-came increasingly a mere arid controversy over worlds. Ockham
taught that God decrees, for instance, were not in evident correspondence with
the nature of things (which he held we also could not know) and therefore could
only be understood as arbitrary. God might Just as well have commanded us to do
the opposite; he could have commanded us to hate him above all things." Thomas
Bokenkotter (1977), op.cit, 179. Bdk. She-ridan Gilley dan W J. Sheils, ed.
(1994), A History of Religion in Britain. Practice and Belief from Pre-Roman
Times to the Present, Blackwell, 63.
32. Friederich Heer (1961), op.cit, 213.
33. Chase, Perry, et.al. (1985), Western Civilization. Ideas, Politics &
Society. Se-cond Ed. Boston: Houghton Mifflin Company, 239j Thomas Bokenkotter,
op.cit, 171. 34. Friederich Heer (1961), op.cit, 213.
Isi Buku Catatan Penerjemah____7 Tujuh Hari Terakhir di Labirin ...
Tentu Saja, Satu Naskah ... 47
Catatan ... 59 Prolog ... 61 Hari Pertama ... 79 Prima ... 81 Tersiat ... 93 Sexta ... 118 Menjelang Nona ... 168 Setelah Nona ... 179
Vespers ... 204 Komplina ... 220
Hari Kedua ... 229 Matina ... 231 Prima ... 247 Tersiat ... 268
Sexta ... 297 Nona ... 308 Setelah Vespers ... 333 Komplina ... 340 Malam ... 356
Hari Ketiga ... 377 Dari Lauda Sampai Prima ... 379
Tersiat ... 381 Sexta ... 388 Nona ... 406 Vespers ... 433 Setelah Komplina ... 453 Malam ... 513 Hari Keempat ... 525

The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lauda ... 527 Prima ... 540 Tersiat ... 560 Sexta ... 581 Nona ... 606 Vespers ... 612
Komplina ... 619 Setelah Komplina ... 624 Malam ... 654
Hari Kelima ... 667 Prima ... 668 Tersiat ... 693 Sexta ... 709 Nona ... 729 Vespers ... 772 Komplina ... 784
Hari Keenam ... 805 Martina ... 806 Lauda ... 815 Prima ... 820 Tersiat ... 833 Setelah Tersiat ... 853 Sexta
... 859 Nona ... 869 Antara Vespers dan Komplina ... 885 Setelah Komplina ... 890
Hari Ketujuh ... 899 Malam ... 900 Malam ... 932
Halaman Terakhir ... 959 Catatan Terakhir ... 971 Judul dan Artinya ... 973 Penceritaan Prosesnya ... 979 Asli, Abad Pertengahan ... 982
Topeng ... 986 Novel sebagai Peristiwa Kosmologis ... 988 Siapa Bicara " ... 995 Pretention ... 1DD1
Kecepatan Langkah ... 1003 Mengonstruksi Pembaca ... 1007 Metafisik Detektif ... 1013
Penikmatan ... 1016 Posmodernisme, Ironi, yang Bisa Dinikmati ... 1021 Novel Historis ... 1028 Penutup ...
1033 Tentu Saja, Satu Naskah zzyp&da 16 Agustus 1968, saya mendapatkan ^sebuah buku karya seorang Wakil
Abbasi, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, berjudul, Le Manuscrit
de Dom Adson de Melk, traduit en frangais d'apres 'edition de Dom J. Mabiion
(Aux Presses de l'Abbaye de la Source, Paris, 1842). Dilengkapi dengan informasi
historis yang sungguh langka, buku itu mengklaim telah meniru secara tepat
sebuah naskah dari abad keempat belas, yang kemudian ditemukan di dalam Biara
Melk oleh seorang terpelajar abad kedelapan belas. Darinya kita mendapatkan
begitu banyak informasi tentang sejarah Ordo Benediktin. Penemuan ilmiah ini
(yang saya maksudkan dengan ini adalah penemuan saya, ketiga dalam urutan
kronologis) menghibur saya saat sedang di Praha, menunggu seorang teman dekat.
Enam hari kemudian, pasukan Soviet menyerbu kota yang malang itu. Dengan susah
payah, saya berhasil mencapai perbatasan Austria di Linz. Dari situ saya
1 Abbas : Pemimpin biara petapaan-pen
berangkat ke Wina, bertemu dengan kekasih saya, lalu kami bersama-sama melayari
Sungai Danube. Dalam suasana kegairahan intelektual yang meluap-luap, saya membaca dengan penuh
minat sebuah kisah menyedihkan tentang Adso of Melk. Saya membiarkan diri saya
sangat terhanyut oleh kisah itu, sampai-sampai, hampir dengan satu kali ledakan
energi saja, saya selesai menerjemahkan pada beberapa bloknot besar buatan
Papetiere Joseph Gilbert jenis buku catatan yang amat menyenangkan untuk
ditulisi dengan pena bulu. Semasa saya menulis, kami sampai di dekat Melk. Di
tempat ini, tepatnya di atas belokan sungai, biara anggun itu berdiri hingga
hari ini, setelah mengalami beberapa perbaikan selama beberapa abad. Seperti
dugaan pembaca sekalian, dalam perpustakaan biara saya sama sekali tak menemukan
tandatanda naskah Adso pernah ada di situ.
Sebelum kami sampai Salzburg, pada satu malam yang tragis dalam hotel kecil di
pinggir Pantai Mondsee, tibatiba saya tidak lagi bersama teman seperjalanan
saya. Dia menghilang membawa buku Wakil Abbas itu, bukan dengan sengaja, tetapi
karena hubungan kami berakhir secara berantakan. Demikianlah, saya ditinggalkan,
dengan menyisakan beberapa buku catatan naskah dalam genggaman saya dan
kehampaan besar dalam hati saya.
Beberapa bulan kemudian, di Paris, saya memutuskan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut. Di antara beberapa informasi yang saya dapatkan dari buku Prancis
itu, saya masih mencatat referensi sumbernya, amat terperinci dan teliti:
Vetera analecta, sive collectio veterum aliquot operum & opusculorum omnis
generis, carminum, epistolarum, diplomaton, epitaphiorum, & cum itinere
germanico, adnotationibus & aliquot disquisitionibus R.P.D Joannis Mabillon,
Presbiteri ac Monachi Ord. Sancti Benedicti e Congregatione S. Mauri-A/ova
Editio cui accessere Mabilonii vita & aliquot opus-cu-la, scilicet Dissertatio
de Pane Eucharistico, Azymo et Fermentato ad Eminentiss. Cardinalem Bona.
Subiungitur opusculum Eldefonsi Hispaniensis Episcopi de eodem Argumento Et
Eusebii Romani ad Theophilum Galium epistola, De cult u sanctorum ignotorum,
Parisiis, apud Levesque, ad Pontem S. Michaelis, MDCCXXI, cum privilegio Regis.
Segera saya mencari Vetera analecta di Perpustakaan Sainte Genevieve. Tetapi,
saya terkejut saat menemukan bahwa edisi yang ada ternyata berbeda dari
deskripsi di atas: pertama, penerbitnya, tertulis "Montalant, ad Ripam P.P.
Augustinianorum" (bukan Pontem S. Michaelis), selain itu, tahun terbitnya adalah
dua tahun setelahnya. Saya tidak perlu mengatakan bahwa analecta atau kutipan
ini belum mencakup naskah Adso atau Adson of Melk. Karena, siapa pun yang
tertarik silakan mengeceknya ini adalah kumpulan teks ukuran singkat atau
sedang, padahal kisah yang dicatat Wakil Abbas itu panjangnya beratus-ratus halaman. Saat itu juga,
saya mencari keterangan dari para pakar abad pertengahan yang ter-masyhur, salah
satunya Etienne Gilson yang baik, namun terbukti bahwa satusatunya Vetera
analecta adalah yang saya lihat di Sainte Genevieve. Perjalanan singkat ke
Abbaye de la Source dekat Passy, demi sebuah percakapan lebih lanjut dengan
teman saya Dom Arne Lahnestedt telah membuat saya semakin yakin bahwa tidak ada
Wakil Abbas yang merilis buku lewat penerbitan biara (untuk hal itu, memang
tidak ada). Kaum terpelajar Prancis memang dikenal sembrono dalam melengkapi
informasi kepustakaan yang dapat dipercaya, tetapi kasus ini lebih dari sekadar
pembuktian terhadap nada-nada pesimis tersebut. Saya mulai berpikir bahwa saya
menemukan kasus pemalsuan. Saat ini, edisi Wakil Abbas itu sudah tak bisa
didapatkan kembali (jangankan meminta edisi itu pada dia yang telah mengambilnya
dari saya, untuk sekadar bertemu saja saya tak punya keberanian). Hanya catatan-
catatan saya yang masih ada. Dan, saya mulai merasa ragu terhadap catatan-
catatan tersebut. Ada saatsaat gaib (membutuhkan kelelahan fisik luar biasa akibat gerakan riang
gembira sepenuh semangat) yang menghadirkan penampakan dari orangorang terkenal
di masa lalu ("en me retragant ces details, j'en suis a me demander s'ils
2 Dengan menelusuri kembali detail-detail ini, aku bertanya-tanya apakah ini
nyata atau aku hanya mimpi-pen.
son t reels, ou bien si je les ai reves"z). Ada pula sebagaimana yang saya
pelajari dari buku kecil yang asyik dibaca, dari Abbas de Bucquoy penampakan
dari bukubuku yang hingga sekarang belum ditulis.
Ketika tak ada hal lain yang terpikirkan, saya masih bertanya-tanya dari mana
kisah Adso of Melk berasal. Ternyata, pada suatu waktu, tahun 1970 di Buenos
Aires, saat saya sedang melihat-lihat isi rak toko kecil penjual bukubuku kuno
di Corrientes tidak jauh dari Patio del Tango yang terkenal itu, secara
kebetulan saya menemukan karya Milo Temesvar versi Kastilian, On the Use of
Mirrors in the Game of Chess. Ini adalah terjemahan Italia dari edisi asli
berbahasa Georgia yang kini tidak mungkin ditemukan (Tbilisi, 1934). Di sini,
dengan terkaget-kaget saya menemukan banyak sekali kutipan dari naskah Adso,
walaupun sumbernya bukan Wakil Abbas ataupun Mabillon, melainkan Imam Athanasius
Kircher (tetapi karya yang mana"). Seorang sarjana lebih baik tidak saya
sebutkan namanya belakangan meyakinkan saya bahwa (dan ia berpedomankan ingatan)
Jesuit yang Agung tak pernah menyebut Adso of Melk. Tetapi, buku Temesvar ada di
depan mata ke-pala saya, dan bagianbagian yang ia kutip benarbenar sama dengan
naskah milik Wakil Abbas itu (khususnya deskripsi tentang labirin yang sama
sekali tak bisa diragukan lagi).
Saya menyimpulkan bahwa memoar Adso secara tepat menggambarkan nuansa dari
peristiwa-peristiwa yang ia ceritakan: samar terselubung dalam berlapis-lapis
misteri, diawali dengan identitas pengarang dan diakhiri dengan lokasi biara,
yang, tentang ini Adso bersikeras mengunci rapat-rapat mulutnya. Berdasarkan
dugaan, kita boleh menunjuk suatu wilayah yang tak jelas antara Pomposa dan
Conques, dengan memperkirakan kemungkinan yang masuk akal bahwa komunitas itu
berada di suatu tempat di Perbukitan Apenina, antara Piedmont, Liguria, dan
Prancis. Mengenai kapan peristiwa tersebut berlangsung, kita bisa berangkat dari
November 1327. Di lain pihak, tentang kapan peristiwa itu dituliskan, rupanya
tidak ada kejelasan yang pasti. Disebutkan bahwa dia menjadi novis: pada 1327
dan dikatakan bahwa dia hampir meninggal saat menuliskan memoar ini. Sehingga,
lewat hitung-hitungan kasar kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa naskah
tersebut dituliskan pada akhir, atau, menjelang akhir abad keempat belas.
Setelah mempertimbangkan secara sungguhsungguh, saya mendapatkan beberapa alasan
untuk menerbitkan versi Italia naskah ini, berdasarkan edisi Wakil Abbas yang
merupakan versi bahasa Prancis neoGothik (sungguh bahasa yang sukar dimengerti)
dari tulisan Latin abad ketujuh belas, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa
Latin oleh seorang biarawan Jerman menjelang akhir abad keempat belas.
Nah, lalu, pertanyaan pertama: gaya apa yang
3 Calon Biarawan, akan ditahbiskan setelah membaca kaul (kaul kemiskinan,
selibat, dan ketaatan)-pen.
harus saya gunakan" Godaan untuk memakai gaya Italia pada masa itu harus
ditolak, sebab sama sekali tidak berdasar: Adso menulis dalam bahasa Latin,
lagipula dari keseluruhan peristiwa dalam naskah itu sangat terang bahwa budaya
dia (atau, budaya biara yang jelas-jelas dapat dirasakan memberikan pengaruh
besar terhadapnya) berasal dari tahun yang lebih awal lagi. Budaya tersebut
merupakan gambaran nyata dari pengetahuan dan gaya bahasa khas tradisi Latin
abad pertengahan-akhir. Adso berpikir dan menulis seperti seorang rahib yang tak
terpengaruh oleh perubahan gaya bahasa besar-besaran yang terjadi di luar biara.
Ia masih terikat dengan lembar-lembar yang tersimpan dalam perpustakaan yang ia
ceritakan dan ayat-ayat hasil didikan sekolah kepasturan.
Di pihak lain, tak diragukan bahwa dalam menerjemahkan memoar Adso yang
berbahasa Latin itu ke dalam bahasa Prancis neo-Gotik, sang Wakil Abbas
menerapkan sejumlah kebebasan, bukan hanya kebebasan dalam hal gaya. Sebagai
contoh, terkadang tokohnya bicara soal tanaman-tanaman obat edisi abad kedelapan
belas yang mengacu pada buku tentang rahasiarahasia yang melekat pada Albertus
Magnus, yang berkali-kali direvisi selama beberapa abad. Sudah pasti Adso tahu
karya tersebut, namun ternyata kutipankutipan yang ia tuliskan merupakan tiruan
yang terlalu harfiah, baik dari formula Paracelcus4 maupun dari
4 Paracelsus (1493-1541), terkenal dengan catatannya dalam bidang kesehatan-pen.
5 Liber aggregationis seu Uber secretorum Alberti Magni, Londinium, juKta pontem
qui uulgariter dicitur Flete bridgge, MCCCCLXXXV
sisipan-sisipan yang jelas-jelas diambil dari edisi Albertus Magnus yang berasal
dari periode Tudors. Walaupun demikian, belakangan saya temukan bahwa pada saat
Wakil Abbas sedang mentranskrip (") naskah Adso, di Paris sedang beredar edisi
abad kedelapan belas dari Grand dan Petit Alberts, kini telah rusak tak dapat
diperbaiki. Bagaimanapun juga, dari mana saya bisa yakin bahwa naskah atau
percakapan rahibrahib yang ia catat tidak mengandung anotasitaruhlah, soal
pemberian komentar atau keterangan-keterangan, scholia7, dan aneka lampiranyang
berasal dari masa-masa setelahnya"
Akhirnya, mengapa saya mempertahankan kutipankutipan bahasa Latin yang tidak
diterjemahkan oleh Wakil Abbas secara layak jika bukan untuk mempertahankan
nuansa periode tersebut" Tidak ada alasan tertentu untuk melakukannya, selain ...
mungkin sebuah kesetiaan berlebihan yang tidak pada tempatnya kepada sumber
saya. Saya telah mengurangi hal-hal yang saya nilai melampaui batas, tetapi saya
tetap mempertahankan beberapa. Dan, saya khawatir jangan-jangan saya telah
meniru novelis-novelis buruk yang, memperkenalkan karakter Prancis dengan
berteriak "Parbfeufs dan
6 Les Admirab/es Secrets d'Albert le Grand, A Lyon, Chez les Heritiers Beringos,
Fratres, a l'Enseigne d'Agrippa, MDCCLXXV; Secrets merveilleux de la magie
naturelle et cabalistique du Petit Albert, A Lyon, Chez les Heritiers Beringos,
Fratres, a l'Enseigne d'Agrippa, MDCCXXIX.
7 Komentar atau keterangan yang dibuat oleh kaum terpelajar Vunani i pen.?8 "Tentu saja!"emdashpen.
9 "Perempuan, ah, perempuan !"emdashpen.
"La femme, ah.' La femme!"Sudahlah, intinya saya penuh dengan keraguan. Saya benarbenar tak tahu mengapa
saya memutuskan untuk mengumpulkan keberanian saya dan mempersembahkan ini,
seolaholah naskah asli Adso of Melk. Bolehlah kita sebut saja semua tindakan ini
gara-gara cinta. Atau, jika Anda mau, katakan saja ini cara saya untuk meredam
diri dari obsesi akut yang terus mengganggu.
Saya mentranskrip teks tanpa peduli masalah ketepatan waktu. Pada tahun saya
menemukan edisi Wakil Abbas, ada semacam keyakinan umum bahwa orang seharusnya
hanya menulis hal-hal yang berkomitmen pada masa kini, dengan tujuan mengubah
dunia. Kini, setelah sepuluh tahun lebih, sang manusia kesusastraan ini
(tertimbun dalam harga diri yang terlalu tinggi) bisa menulis dengan riang,
semata-mata karena cinta yang murni terhadap penulisan itu sendiri. Dan, karena
itu, sekarang saya merasa bebas untuk menceritakan kisah Adso of Melk, demi
sebuah kesenangan naratif semata. Juga, saya merasa terhibur merasakan kisah ini
benarbenar jauh tanpa batas (sekarang sebagai akibat dari kemampuan berpikir
yang dapat menghalau semua monster yang terlelapnya pun terasa mengganggu),
sangat berjarak dari masa kini, serta asing dari pengharapan-pengharapan dan
kepastian-kepastian kita.
Karena ini adalah sebuah kisah tentang bukubuku, bukan kecemasan sehari-hari,
membacanya dapat membuat kita menirukan, bersama a Kempis,
seorang pengikut Kristus: "In omnibus requiem quaesivi, e t nusquam inveni nisi
in anguio cum iibro. "id
5 Januari 1980 10 "Dalam segala hal saya telah mencari ketenteraman dan saya tak menemukan di
mana pun, kecuali di pojok bersama buku."-penerj
Catatan - askah Adso dibagi menjadi tujuh hari, t_yy masingmasing hari dibagi berdasarkan
jam-jam ibadat harian. Subjudulnya, dalam bentuk orang ketiga, mungkin
ditambahkan oleh Wakil Abbas itu. Karena semua itu berguna dalam memberi
gambaran kepada pembaca, dan karena pemakaian ini tidak asing dalam banyak
literatur setempat masa itu, saya tidak merasa perlu menghilangkannya.
Acuan Adso kepada jam-jam ibadat harian Gereja membuat saya agak bingung, karena
arti jam-jam itu bervariasi menurut tempat dan musim; lebih-lebih, sangat
mungkin bahwa pada abad keempat belas, instruksi yang diberikan oleh Santo
Benediktus dalam buku Regulan tidak dipatuhi secara persis.
Bagaimanapun juga, sebagai pedoman bagi pembaca, jadwal berikut ini, saya kira,
dapat dipercaya. Sebagian disarikan dari naskah dan sebagian didasarkan pada
perbandingan Regula asli dengan penggambaran kehidupan biara oleh
11 Regula: Peraturan suatu ordo i penerj.
?Edouard Schneider dalam Les Heures benedictines (Paris, Grasset, 1925).
Martina Lauda Prima Tersiat Sexta Nona Vespers Komplina (Terkadang Adso menyebutnya dengan ungkapan yang lebih kuno: "Vigiliae".) Antara
pukul 2.3D dan 3.00 pagi.
(Dalam kebanyakan tradisi kuno
disebut "Matutini" atau "Matins".)
Antara pukul 5.00 dan 6.00 pagi,
berakhir saat subuh. Sekitar pukul 7.30, tidak lama setelah
pagi merekah. Sekitar pukul 9.00. Tengah hari (dalam biara saat para rahib tidak bekerja di ladang, juga jam makan
tengah hari pada musim dingin).
Sekitar pukul 2.00 dan 3.00 sore. Sekitar 4.30, saat matahari terbenam (Regula
mengharuskan makan malam sebelum gelap).
Sekitar pukul 6.00 (sebelum pukul 7.00, para rahib tidur).
Perhitungan itu berdasarkan kenyataan bahwa pada akhir bulan November, di Italia
bagian utara matahari terbit sekitar pukul 7.30 pagi dan terbenam sekitar pukul
4.40 sore.[] Prolog ada mulanya adalah Sabda dan Sabda bersama Allah, dan Sabda adalah Allah. Ini di
awali dengan Allah, dan adalah tugas setiap rahib setia untuk mengulanginya
setiap hari sambil menyanyikan dengan rendah hati, kejadian tak pernah-berubah
yang mengandung kebenaran tak dapat dibantah itu. Tetapi sekarang kita melihat
melalui kaca gelap, dan kebenaran, sebelum diungkapkan kepada semua, berhadapan
muka, kita melihatnya dalam bentuk potongan-potongan (astaga, betapa tak
terbaca) kekeliruan du-nia, jadi kita harus menguraikan isyarat kesetiaannya
secara agak terperinci bahkan kalau terlihat samar samar bagi kita dan seakan
menyatu dengan suatu kemauan yang sepenuhnya condong kepada kejahatan.
Karena sudah mencapai akhir dari kehidupanku sebagai pendosa malang, rambutku
kini memutih, aku semakin tua seperti bumi yang semakin tua, sementara menanti
akan lenyap ke dalam lubang kesunyian tanpa dasar dan ketuhanan yang


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbengkalai, sementara masih ikut diterangi cahaya
inteligensia sesuci malaikat; dengan tubuh berat, sakit-sakitan, kini terpenjara
dalam bilik di Biara Melk tercinta ini, aku siap meninggalkan pernyataanku di
atas perkamen ini, tentang kejadian luar biasa dan mengerikan yang kebetulan
kuamati pada masa mudaku. Sekarang secara harfiah aku mengulangi semua yang
sudah kulihat dan kudengar, tanpa berusaha mencari suatu desain, seakan
menyerahkan kepada mereka yang akan mencari (andaikan Antikristus tidak datang
lebih dulu) tanda demi tanda, sehingga mereka dapat mengucapkan doa yang memberi
makna itu. Semoga Tuhan memberiku karunia untuk menjadi saksi nyata dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam biara yang hanya namanya yang benar dan sekarang
hilang kesuciannya, hampir akhir tahun Masehi 1327, waktu Kaisar Louis datang ke
Italia untuk mengembalikan kewibawaan Kekaisaran Romawi Suci, dalam upaya
menaati rencana Yang Mahakuasa dan untuk membuat bingung para perampas
kekuasaan, simoniak dan heresiak yang keji, yang telah mempermalukan nama suci
rasul di Avignon (maksudku jiwa penuh dosa dari Jacques dari Cahors yang oleh
orangorang tak bertuhan dipanggil Yohanes XXII).
Mungkin, agar peristiwa-peristiwa yang ternyata aku sendiri terlibat di dalamnya
itu bisa lebih dipahami, aku perlu mengenang apa yang sedang terjadi selama
tahuntahun terakhir abad itu, seperti yang waktu itu kupahami, kujalani, dan
yang sekarang kuingat, dilengkapi dengan kisah lainnya
yang kudengar setelah itu jika memoriku terbukti masih mampu menghubungkan
benangbenang kejadian yang be-gitu banyak dan ruwet.
Pada tahuntahun awal abad itu, Paus Clement V sudah memindahkan takhta suci ke
Avignon, sementara membiarkan Roma dimangsa orangorang ambisius dan bangsawan
setempat; dan lama kelamaan, kota suci kaum Kristen itu diubah menjadi sebuah
sirkus, atau sebuah kompleks pelacuran, hancur oleh percekcokan antar
pemimpinnya; meskipun disebut republik, ini bukan republik, dan tempat ini
diserbu oleh pasukan bersenjata, jadi korban kekerasan dan perampokan. Pejabat
Gereja, sementara menghindari yurisdiksi sekular, memimpin kelompok-kelompok
penjahat dan merampok, dengan membawa pedang, melakukan dan mengorganisasi
perdagangan licik. Bagaimana mungkin mencegah Caput Mundi itu mulai lagi, dan
secara benar, tujuan dari orang yang ingin memperoleh mahkota kekaisaran Romawi
Suci itu dan mengembalikan kewibawaan dari kekuasaan duniawi yang sudah menjadi
milik para Caesar" Maka pada 1314, lima pangeran Jerman di Frankfurt memilih Louis dari Bavaria
menjadi penguasa tertinggi kekaisaran itu. Tetapi pada hari yang sama, di
seberang lain Sungai Main, Count Palatine dari Rhine dan Uskup Cologne memilih
Frederick dari Austria untuk menduduki jabatan yang sama. Dua kaisar untuk satu
singgasana dan seorang paus untuk dua kaisar: suatu situasi yang, benarbenar,
memicu kekacauan hebat ....
Dua tahun kemudian, di Avignon, paus baru dipilih, Jacques dari Cahors, seorang
tua berusia tujuh puluh dua yang mengambil nama, seperti sudah saya katakan,
Yohanes XXII, dan alam menakdirkan bahwa tidak ada paus yang mau memakai lagi
nama yang begitu tidak disukai oleh orang berhak itu. Seorang Prancis, setia
kepada Raja Prancis (penduduk dari negeri yang korup itu selalu cenderung
mendukung kepentingan bangsa mereka sendiri, dan tidak mampu memandang seluruh
dunia sebagai rumah spiritual mereka), ia telah mendukung Philip "Si Rupawan"
melawan Kesatria Templars, yang oleh Raja dituduh (menurutku secara tidak adil)
melakukan kejahatan paling memalukan agar bisa merampas harta milik mereka
dengan memanfaatkan keterlibatan para rahib yang membelot itu.
Pada 1322, Louis dari Bavaria mengalahkan rivalnya, Frederick. Karena lebih
takut pada kaisar tunggal daripada dua kaisar, Yohanes mengucilkan pemenang itu,
yang pada gilirannya mengutuk Paus tersebut sebagai bidah. Aku tentu saja ingat bagaimana, bahwa pada tahun itu juga, rapat umum rahib Fransiskan
diselenggarakan di Perugia, dan minister jenderalnya, Michael dari Cesena,
karena menerima permohonan kelompok Spiritual (akan dibicarakan nanti),
menyatakan kemiskinan Kristus sebagai masalah iman dan doktrin, yang, andaikan
bersama para pengikutnya ia memiliki sesuatu, hanya memilikinya sebagai usus
facti (untuk dipakai seperlunya). Suatu resolusi yang
bermanfaat, dimaksudkan untuk mengamankan kesalehan dan kemurnian ordo itu,
membuat Paus amat tidak senang. Paus mungkin menemukan di dalamnya suatu prinsip
yang akan dapat membahayakan tuntutan yang sudah ia buat sebagai kepala gereja,
sementara menyangkal hak kekaisaran untuk memilih uskup, dan sebaliknya
menegaskan bahwa takhta kepausan berhak melantik kaisar. Tergerak oleh ini semua
atau alasan lainnya, Yohanes mengutuk usulan Fransiskan pada 1323 dengan dekrit
Cum inter nonnuiios. Pada titik ini, aku membayangkan, bahwa Louis menganggap kaum Fransiskan,
sekarang musuh Paus, sebagai sekutu potensial. Dengan menegaskan kemiskinan
Kristus, entah bagaimana mereka memperkuat ide para teolog kekaisaran, misalnya
saja Marsilius dari Padua dan Yohanes dari Jandun. Dan akhirnya, hanya beberapa
bulan sebelum kejadian yang akan saya ceritakan ini, Louis mengadakan
kesepakatan dengan Frederick yang terkalahkan, masuk ke Italia, dan di-mah-kotai
di Milan. Inilah situasi ketika aku seorang novis dari ordo Benediktin di Biara Melk
dicabut dari kedamaian biara oleh ayahku, yang berjuang di pihak Louis, karena
setidaknya ia salah seorang baron raja itu. Ayah menganggap bijaksana untuk
mengajakku agar aku bisa menyaksikan kehebatan Italia dan ikut menghadiri
penobatan Kaisar di Roma. Tetapi serbuan ke Pisa membuat ayah sibuk dengan
masalah militernya. Karena ditinggal sendirian, aku
berkelana di antara kotakota di Tuskania, sebagian karena menganggur, sebagian
karena hasrat belajar. Tetapi kebebasan yang tidak disiplin ini, menurut ayahku,
tidak cocok bagi remaja yang mau mengabdi pada kehidupan kontemplatif. Dan atas
saran dari Marsilius, yang sudah mulai menyukai aku, mereka memutuskan untuk
menyerahkan aku di bawah pengarahan seorang Fransiskan yang pandai, Bruder
William dari Baskerville, yang tengah menjalankan suatu misi yang akan
membawanya ke kotakota ternama dan biara-biara kuno. Maka aku menjadi juru tulis
sekaligus murid William. Aku tidak pernah menyesal, karena bersamanya aku
menyaksikan peristiwa-peristiwa yang berharga untuk diceritakan, seperti yang
sekarang kukerjakan, kepada para penerus kami.
AKU tidak tahu apa yang dicari oleh Bruder William, dan terus terang saja,
sampai sekarang pun aku tidak tahu. Aku mengira dia sendiri juga tidak tahu,
karena ia berjalan seakan hanya didorong oleh hasrat untuk mencari kebenaran,
dan oleh kecurigaan yang nyata bagiku selalu ia sembunyikan bahwa kebenaran itu
bukan apa yang setiap saat tertentu muncul di hadapannya. Dan selama tahuntahun
itu, studi yang ia cintai mungkin terganggu oleh tugas sekularnya.
Misi yang ditugaskan kepada William tetap tidak kuketahui selama kami melakukan
perjalanan, atau, lebih tepatnya, ia tidak pernah membicarakan tentang itu.
Hanya dari mendengar secara tidak
sengaja sepotong-sepotong percakapannya dengan para rahib dari biara-biara di
mana kami mampir, maka aku bisa membentuk semacam ide tentang sifat tugas ini.
Namun, aku baru sepenuhnya memahami setelah kami mencapai tempat tujuan, yang
akan segera kuceritakan. Kami bertujuan pergi ke utara, tetapi tidak langsung ke
sana, melainkan mampir beristirahat di berbagai biara. Maka, bisa jadi kami
belok ke barat padahal tujuan akhir kami berada di timur, hampir mengikuti jalur
pegunungan yang dari Pisa menuruti arah perjalanan peziarah ke Santiago,
berhenti sebentar di suatu tempat di mana terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan
di sana yang membuat aku sekarang tidak bisa mengenalinya lagi. Akan tetapi,
para bangsawan di sana setia kepada Kaisar, dan para rahib dari ordo kami,
sepenuhnya sepakat, menentang Paus korup yang bidah itu. Kami melakukan
perjalanan kami selama dua minggu, di tengah berbagai perubahan, dan selama itu
aku mendapat kesempatan untuk mengenal (aku tetapi yakin bahwa tidak pernah
cukup mengenalnya) guruku yang baru.
Dalam halamanhalaman selanjutnya, aku tidak akan menyibukkan diri untuk
menggambarkan orangorang kecuali kalau suatu ekspresi wajah, atau suatu sikap
tubuh, tampak seperti isyarat suatu bahasa yang diam tetapi penuh perasaan. Ini
karena, seperti kata Boethius, tidak ada yang lebih cepat berubah daripada
bentuk luar, yang menjadi layu dan berubah bagaikan bunga-bunga di padang ketika
musim panas tiba. Jadi, buat apa hari ini
mengatakan bahwa mata Abbas Abo galak dan pipinya pucat, kalau sekarang ia dan
mereka yang ada di sekelilingnya hanya debu dan tubuh mereka sudah menjadi abu
jenazah (hanya jiwa mereka, atas kuasa Tuhan, berkilau oleh cahaya yang tak
pernah bisa mati)" Tetapi aku ingin menggambarkan William paling sedikit sekali
saja, karena sosoknya saja sudah membuat aku kagum, dan anak muda biasa
terpesona kepada seseorang yang lebih tua dan lebih bijak, tidak hanya oleh
katakatanya dan ketajaman otaknya, tetapi juga oleh bentuk luar tubuhnya, yang
terbukti amat menyenangkan, seperti figur seorang ayah, yang gerak-geriknya kita
pelajari, dan kerenyit dahinya, senyumnya, kita amati tanpa suatu bayangan nafsu
untuk mengotori bentuk (mungkin satusatunya yang sungguhsungguh murni) cinta
jasmani ini. Orang zaman dulu tampan dan besar (sekarang mereka seperti anak-anak dan orang
kerdil), tetapi ini sekadar salah satu dari banyak fakta yang memperagakan
malapetaka dari suatu dunia yang makin menua. Orang muda tidak lagi ingin
mempelajari apa saja, pelajaran merosot, seluruh dunia berjalan dengan kepala di
bawah, orang buta membimbing orang lain yang juga buta sehingga keduanya
tercebur ke dalam jurang, burung meninggalkan sarangnya sebelum bisa terbang,
keledai memainkan lira, kerbau menari. Maria tidak lagi mencintai kehidupan
kontemplatif dan Martha tidak lagi mencintai kehidupan aktif, Lea mandul, mata
Rachel penuh hawa nafsu, Cato mengunjungi
rumah pelacuran, Lucretius menjadi seorang perempuan. Segala sesuatunya berada
di jalur yang salah. Pada masa itu, puji Tuhan, dari guruku aku mendapatkan hasrat belajar dan suatu
kepekaan akan jalan yang lurus, yang tetap seperti itu bahkan ketika jalan itu
berliku-liku. PENAMPILAN fisik Bruder William saat itu sedemikian rupa sehingga pengamat yang
paling tidak peduli sekalipun akan tertarik kepadanya. Tingginya di atas normal
dan ia begitu kurus sampai seakan masih lebih tinggi lagi. Matanya tajam dan
menembus; hidungnya yang kurus dan agak bengkok memberi wajahnya ekspresi dari
seseorang yang amat berhatihati, apalagi pada beberapa masa lembam tertentu yang
kelak akan aku ceritakan. Dagunya juga menunjukkan kemauan keras, meski wajah
lonjong penuh bintik-bintik itu sedemikian rupa seperti yang sering kulihat di
kalangan mereka yang lahir di antara Hibernia dan Northumbria kadang kadang bisa
tampak membingungkan dan meragukan. Pada saat yang tepat aku menyadari bahwa apa
yang kelihatannya kurang percaya diri itu hanya keingintahuan, tetapi pada
mulanya aku tidak banyak tahu tentang kebajikan ini, yang justru kukira suatu
gairah dari semangat serakah. Aku justru percaya bahwa semangat rasional
seharusnya tidak menuruti gairah semacam itu, tetapi hanya disuburkan oleh
Kebenaran, yang (kukira) sudah diketahui orang
sejak semula. Waktu itu aku masih anak-anak. Pertama-tama, dan secara amat mendalam, aku
terpesona oleh beberapa gumpalan rambut kekuningan yang mencolok di sisi kedua
telinganya, dan oleh alisnya yang pirang tebal. Mungkin ia sudah mengalami lima
puluh musim semi dan karenanya sudah amat tua, tetapi tubuhnya yang tak kenal
lelah itu bergerak dengan kegesitan yang aku sendiri sering tidak punya.
Energinya seakan tak bisa habis manakala ia tenggelam dalam suatu ledakan
kegiatan. Tetapi dari waktu ke waktu, semangat vitalnya seakan punya semangat
seekor udang karang, ia bergerak mundur pada masa-masa lembam, dan aku
mengamatinya berbaring selama berjam-jam di atas dipanku di bilikku yang kecil,
hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun, tanpa mengerutkan satu pun otot
wajahnya. Pada kesempatan seperti itu, muncul dalam matanya suatu ekspresi
absen, kosong, dan tentu saja aku menduga ia tengah dikuasai suatu substansi
alami yang mampu menghasilkan penampakan andaikan kesahajaan hidupnya yang nyata
itu tidak menyebabkan aku menolak pendapat ini. Bagaimanapun juga, aku tidak
akan mengingkari bahwa selama perjalanan itu, ia kadangkadang berhenti di tepi
suatu padang rumput, sebelum memasuki sebuah hutan, untuk mengumpulkan beberapa
dedaunan obat (sepertinya selalu daun yang sama); dan kemudian ia akan
mengunyahnya dengan pandangan mata asyik. Ia menyimpan
sedikit dedaunan itu, dan memakannya pada saatsaat paling menegangkan (dan kami
mengalami beberapa kali di biara!). Suatu ketika, waktu aku menanyakan apa itu,
sambil tertawa ia berkata bahwa seorang Kristen yang baik kadangkadang bisa juga
belajar dari orang kafir, dan waktu aku minta diperbolehkan mencicipinya, ia
menjawab bahwa dedaunan itu baik untuk seorang Fransiskan tua tetapi tidak baik
untuk seorang Benediktin muda.
Selama bepergian bersama, kami tidak sempat hidup dengan amat teratur; bahkan di
biara tersebut, kami tetap melek pada malam hari dan terkapar keletihan pada
siang hari, kami juga tidak bisa mengikuti ibadah suci secara teratur.
Bagaimanapun juga, dalam perjalanan kami, ia jarang terjaga setelah komplina,
dan ia punya kebiasaan bersahaja. Kadangkadang, juga di dalam biara itu, ia akan
menghabiskan seluruh hari dengan berjalanjalan di kebun sayuran, sambil
memeriksa tanaman seakan itu permata atau manikam; dan kulihat ia menjelajahi
ruang harta bawah tanah, memeriksa sebuah kotak berhiaskan manikam dan permata
seakan kotak itu seonggok apel busuk. Pada waktu lainnya ia akan menghabiskan
seluruh hari di aula perpustakaan yang luas, menyisiri halamanhalaman naskah
seakan tidak mencari apa-apa kecuali karena menyukainya saja (sementara, di
sekeliling kami, mayat rahib, dibunuh secara mengerikan, makin bertambah). Suatu
hari aku menemukannya sedang berjalan pelanpelan di kebun bunga tanpa tujuan
jelas, sepertinya ia tidak
perlu mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Tuhan. Dalam ordoku, mereka
telah mengajarkan cara yang berbeda untuk menghabiskan waktu, dan aku bilang
begitu kepadanya. Dan ia menjawab bahwa keindahan kosmos tidak hanya diperoleh
dari kesatuan dalam keanekaragaman, tetapi juga dari keanekaragaman dalam
kesatuan. Menurutku, tampaknya ini seperti suatu jawaban yang didikte oleh akal
sehat yang sederhana, tetapi sesudah itu aku jadi tahu bahwa orang di negerinya
sering membuat definisi dengan caracara yang di dalamnya kekuatan akal yang
mencerahkan itu seolaholah tidak banyak berfungsi.
Selama kami berada di biara tersebut, tangannya selalu kotor terkena debu
bukubuku, serbuk emas dari sampul buku yang masih baru, atau dengan zat
kekuningan yang ia sentuh dalam klinik Severinus. Agaknya ia tidak bisa
memikirkan cara menjaga kebersihan tangannya, suatu sifat yang waktu itu
kuanggap lebih baik daripada seorang mekanik; tetapi bahkan ketika tangannya
menyentuh bendabenda paling rentan, misalnya naskah kuno tertentu yang baru saja
digambari, atau perkamen yang sudah lapuk karena tua dan lengket bagai roti
belum diiris, ia memiliki, menurut penglihatanku, suatu sentuhan yang amat
sangat lembut, sama dengan ketika ia menyentuh peralatannya. Terus terang, aku
akan menceritakan bagaimana orang asing ini membawa, dalam tasnya, peralatan
yang waktu itu belum pernah kulihat, yang ia namai mesin ajaib. Mesin, katanya,
adalah suatu efek dari seni, yang merupakan tiruan alam, dan mesin tidak hanya
mereproduksi bentuk alam, tetapi juga cara kerjanya. Ia menjelaskan kepadaku
bahwa begitu pula keajaiban dari jam, sekstan, dan magnet. Tetapi pada mulanya
aku takut kalau itu ilmu sihir, dan aku pura-pura ketiduran pada malammalam
cerah tertentu ketika ia (dengan suatu segitiga aneh di tangannya) berdiri
sambil mengamati bintang.
Rahib Fransiskan yang kukenal di Italia dan di negeriku sendiri adalah
orangorang sederhana, sering tidak berpendidikan, dan aku menyatakan bahwa aku
kagum akan pengetahuannya. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, bahwa rahib
Fransiskan di pulaunya adalah buangan dari cetakan lain: "Roger Bacon, yang
kuhormati sebagai guruku, mengajarkan bahwa suatu hari kelak rencana Tuhan akan
mencakup ilmu permesinan, yang merupakan keajaiban yang sehat dan alami. Dan
suatu hari akan dimungkinkan, dengan menggarap kekuatan alam, untuk menciptakan
peralatan navigasi yang dengan itu secara unik kapal akan berlayar unico homine
regentei, dan jauh lebih cepat daripada kapal yang dijalankan dengan layar atau
dayung; dan akan ada kereta yang bisa jalan sendiri dan 'bendabenda terbang yang
bentuknya sedemikian rupa sehingga ada orang yang duduk di dalamnya, dengan
memutar suatu alat, bisa mengepakkan sayap tiruan, ad modum avis volantisz.1
Benda amat 1 Manusia sajalah yang menguasai penerj.?2 Menurut cara burung terbang penerj.
?berat dapat diangkat dengan peralatan kecil dan akan ada kendaraan yang bisa
membuat kita melakukan perjalanan di dasar lautan."
Waktu kutanyakan di mana mesinmesin itu berada, ia mengatakan bahwa mesinmesin
itu sudah dibuat pada zaman dulu, dan bahkan ada yang pada zaman kita sendiri.
"Kecuali peralatan terbang, yang aku belum pernah lihat atau tahu ada orang yang
sudah melihatnya, tetapi aku kenal seorang sarjana yang sudah merancangnya.
Dan jembatan-jembatan dapat dibangun menyeberangi sungai tanpa kolom atau
penyangga lainnya, dan mungkin juga akan ada mesinmesin lain yang belum pernah
disebutkan. Tetapi kau tidak usah cemas jika mesinmesin itu belum ada, karena
itu tidak berarti kelak tidak akan ada. Dan aku berani bilang kepadamu bahwa
Tuhan menghendaki mesinmesin itu ada, dan jelas sudah ada dalam pikiranNya,
bahkan jika temanku dari Ockham menyangkal kalau ide itu muncul dalam cara
demikian; dan aku mengatakan ini bukan karena kita dapat menetapkan alam suci
itu tetapi justru karena kita tidak bisa membuat batasan untuk itu." Ini juga


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan satusatunya usulan kontradiktif yang kudengar dari dia; tetapi bahkan
sekarang, ketika aku sudah tua dan lebih bijak daripada ketika itu, aku belum
sepenuhnya memahami bagaimana dia amat memercayai temannya dari Ockham itu dan
pada waktu yang sama bersumpah dengan katakata dari Bacon, karena yang biasa ia
lakukan. Memang benar bahwa dalam masa-masa gelap itu,
seorang bijak harus memercayai hal-hal yang bertentangan di antara mereka
sendiri. Nah, mungkin aku sudah seenaknya mengatakan hal-hal tentang Bruder William,
seakan sejak awal mengumpulkan kesankesan tidak menyambung yang waktu itu
kudapat dari dia. Pembaca yang budiman, siapa dia, dan apa yang sedang ia
kerjakan, Anda mungkin akan menarik kesimpulan yang lebih baik dari tindakan-
tindakan yang ia lakukan pada harihari yang kami lewatkan di biara tersebut. Aku
juga tidak menjanjikan suatu rancangan yang memuaskan, tetapi, justru, suatu
kisah dari peristiwa-peristiwa (ya, memang banyak) yang aneh dan menakjubkan.
Dan demikianlah, setelah dari hari ke hari aku jadi lebih mengenal guruku, dan
menghabiskan banyak jam dari perjalanan kami untuk mengobrol panjang lebar yang,
pada waktunya kelak akan kuceritakan sedikit demi sedikit, kami sampai ke kaki
bukit tempat biara itu berdiri. Dan sudah tiba saatnya bagi ceritaku untuk
mendekatinya, seperti yang kami lakukan waktu itu, dan mudah-mudahan tanganku
tetap tidak gemetar kalau mulai menceritakan apa yang terjadi.[]
Hari Pertama Prima Dalam cerita ini, kami sudah sampai ke biara itu, dan William memperagakan
kelihaiannya yang hebat aat itu pagi yang indah di akhir bulan No fe7 vember. Tadi malam salju turun,
tetapi hanya sedikit, dan bumi ditutupi sehelai selimut dingin yang tebalnya
tidak lebih dari tiga jari. Dalam kegelapan, langsung setelah lauda, kami
mendengar misa di sebuah desa di ngarai itu. Lalu kami berangkat menuju gunung
ketika matahari mulai terbit.
Sementara dengan susah payah kami mendaki jalan sempit dan terjal yang berputar
mengelilingi gunung itu, aku melihat biara tersebut. Aku terpesona, bukan oleh
temboktembok yang melingkari setiap sisinya, serupa dengan biara lainnya yang
dapat dilihat dalam semua jagat Kristen, tetapi oleh bangunan paling besar yang
kelak kukenal sebagai Aedificium. Bangunan oktagonal itu dari kejauhan terlihat
seperti suatu tetragon (suatu bentuk sempurna, yang mengungkapkan Kota Tuhan
yang kukuh dan tak tergoyahkan), yang sisi-sisinya sebelah selatan tegak di atas plato biara itu,
sementara sisi-sisinya sebelah utara seakan tumbuh dari sisi gunung yang terjal
itu, suatu penurunan curam yang mengikat sisisisi itu. Menurutku, dari bawah,
pada titik-titik tertentu, batu karang itu seakan makin tinggi, sampai menjulang
ke langit, dengan bahan dan warna yang sama seperti batu gunung itu, yang pada
titik tertentu menjadi tinggi dan menjulang (karya raksasa yang amat mengenal
bumi dan langit). Tiga deret jendela menunjukkan ritme triuni dari
peninggiannya, sehingga apa yang merupakan segiempat fisik di atas bumi,
merupakan segitiga spiritual di langit. Ketika makin dekat, kami menyadari bahwa
juga ada bangunan setengah lingkaran, pada masingmasing sudutnya, suatu menara
heptagonal, lima sisinya tampak dari luar empat dengan delapan sisi, lalu, dari
oktagon yang lebih besar muncul empat heptagon kecil, yang dari luar tampak
seperti pentagon. Dan dengan begitu, setiap orang bisa menyaksikan keselarasan
mengagumkan dari begitu banyak angka suci, masingmasing mengungkapkan suatu
makna spiritual yang halus. Delapan, angka kesempurnaan untuk setiap tetragon;
empat, jumlah Injil; lima, jumlah zona di dunia; tujuh, jumlah karunia Roh
Kudus. Dalam ukuran besar dan bentuknya, Aedificium itu menyerupai Kastil Ursino
atau Kastil del Monte, yang kelak akan kusaksikan di bagian selatan Semenanjung
Italia, tetapi posisinya yang tak tertaklukkan membuatnya lebih mengagumkan
daripada kedua kastil tersebut, dan mampu merangsang rasa takut dalam diri
pejalan yang pelanpelan mendekatinya. Dan untungnya, karena waktu itu suatu pagi
yang cerah di musim dingin, mulamula aku tidak melihat bangunan itu seperti yang
tampak pada harihari penuh badai.
Bagaimanapun juga, aku tidak bisa mengatakan bahwa itu mendorong perasaan
gembira. Aku merasa ngeri, dan agak gelisah. Tuhan tahu, ini semua bukan momok
dari jiwaku yang belum matang, dan secara betul aku menginterpretasikan pertanda
pasti yang terukir di batu itu pada hari ketika para raksasa memulai pekerjaan
mereka, dan sebelum kebulatan tekad yang hampa dari para rahib berani
mempersembahkan bangunan itu untuk melestarikan sabda suci.
KETIKA keledai kecil kami berusaha mendaki tikungan terakhir gunung tersebut, di
mana jalan utama itu jadi bercabang tiga, dengan dua jalan ke samping, guruku
berhenti sejenak, untuk memandang sekeliling; ke sisisisi jalan itu, ke jalan
itu sendiri, dan di atas jalan itu, di mana, tidak jauh dari situ, serangkaian
pohon cemara membentuk suatu atap alami, putih tertutup salju.
"Biara yang kaya," katanya. "Abbasnya suka pamer pada acara umum."
Karena sudah terbiasa mendengar guruku membuat pernyataan yang paling tidak
lazim, aku diam saja. Apalagi, setelah berjalan sedikit lagi, kami mendengar
bunyi ribut, dan muncul serombongan rahib dan pelayan yang bingung pada belokan berikutnya. Ketika
melihat kami, salah seorang dari mereka mendekat dengan ramah.
"Selamat datang," katanya, "dan tidak perlu heran jika saya bisa menebak siapa
kalian, karena kami sudah diberi tahu tentang kunjungan kalian. Saya Remigio
dari Varagine, Kepala Gudang biara ini. Dan jika Anda, kalau tidak salah, memang
Bruder William dari Baskerville, Abbas harus dikabari. Anda" ia memerintahkan
seorang dari rombongan-nya "naiklah dan beri tahu mereka bahwa tamu kita sudah
hampir memasuki tembok sebelah-dalam."
"Terima kasih, Bruder Kepala Gudang," jawab guruku dengan sopan, "dan saya
sungguh menghargai keramahtamahan Anda karena, demi menyambut saya, pencarian
Anda terhenti. Tetapi jangan khawatir.
Kuda itu lewat jalan sini dan mengambil jalan ke kanan. Ia tidak akan pergi
jauh, karena harus berhenti kalau mencapai tumpukan kotoran itu. Ia terlalu
pintar untuk terjatuh ke dalam lereng yang curam itu
"Kapan Anda melihatnya?" tanya Kepala Gudang itu.
"Kami sama sekali belum melihatnya, ya kan, Adso?" kata William, sambil menoleh
kepadaku dengan pandangan bergurau. "Tetapi jika Anda sedang memburu Brunellus,
kuda itu hanya mungkin berada di tempat yang baru saja saya katakan."
Kepala Gudang itu tertegun. Ia memandang William, kemudian ke jalanan, dan
akhirnya bertanya, "Brunellus" Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Ayolah," kata William, "sudah jelas Anda sedang mencari Brunellus, kuda
kesayangan Abbas, tingginya lima belas telapak tangan, paling cepat larinya di
antara kudakuda di kandang Anda, berbulu hitam, ekor lebat, kuku bulat kecil,
tetapi langkahnya amat tegas; kepala kecil, telinga tajam, mata besar. Ia
berjalan ke arah kanan, seperti kata saya tadi, tetapi Anda harus buruburu,
siapa tahu." Kepala Gudang itu tertegun sejenak lagi, lalu memberi isyarat kepada orang-
orangnya dan bergegas lari menyusuri jalan ke kanan, sementara keledai kami
mendaki lagi. Aku jadi ingin tahu, aku sudah mau menanyakan itu, tetapi William
mengisyaratkan agar aku menunggu: nyatanya, beberapa menit kemudian kami
mendengar teriakan gembira, dan para rahib serta pelayan itu muncul lagi pada
belokan jalan itu, sambil menghela tali kekang kuda itu. Mereka melewati kami,
semua melirik dengan agak kagum, kemudian mendahului kami menuju biara. Kukira
William memperlambat langkahnya agar mereka punya waktu untuk menceritakan apa
yang telah terjadi. Aku sudah menyadari bahwa guruku, dalam segala hal adalah
seorang yang amat baik, mengalahkan keburukan sifat sombong dengan sekadar
memperagakan kepintarannya. Karena sudah bisa menghargai bakatnya sebagai
seorang diplomat yang halus, aku mengerti bahwa ia ingin mencapai tempat
tujuannya dengan diantar reputasi kuat sebagai orang pandai.
"Dan sekarang tolong ceritakan" akhirnya aku sudah tidak bisa menahan diri lagi
"bagaimana Guru bisa tahu?"
"Muridku Adso yang baik," kata guruku, "selama seluruh perjalanan kita, aku
sudah mengajarimu mengenali isyarat yang dipakai oleh dunia untuk berbicara
kepada kita bagaikan sebuah buku yang hebat. Alanus dari Insulis mengatakan
bahwa omnis mundi creatura quasi Uber e t pictura nobis est in speculum t
dan Alanus mulai berpikir tentang susunan simbol yang tak ada habisnya, dengan
apa Tuhan, lewat makhluknya, berbicara kepada kita tentang kehidupan abadi.
Tetapi alam semesta justru lebih cerewet daripada yang diperkirakan Alanus, dan
alam tidak hanya bicara tentang benda pokok (yang selalu disebutkan dalam gaya
yang kabur) tetapi juga tentang bendabenda yang lebih menyerupai, dan barulah
alam berbicara dengan amat jelas. Aku hampir malu untuk mengulangi apa yang
seharusnya kauketahui. Di persimpangan jalan tadi, di atas salju yang masih
baru, jejak kaki kuda itu tampak jelas dengan rapi, menuju jalan di sebelah kiri
kita. Jaraknya teratur, jejak kakinya menunjukkan bahwa kukunya kecil dan bulat,
dan congklangnya agak teratur maka aku menarik kesimpulan tentang sifat kuda
itu, dan kenyataan bahwa ia tidak lari
1 Setiap keelokan ciptaan//seolaholah kitab dan gambar//menakjubkan serupa
cermin penerj.?pontang-panting seperti binatang ketakutan. Pada titik di mana pohon-pohon
cemara membentuk suatu atap alami, beberapa cabang pada ketinggian lima kaki
baru saja patah. Salah satu semak blackberry di mana binatang itu pasti membelok
untuk mengambil jalan ke kanan, karena dengan anggun mengibaskan ekornya yang
indah, ada bulu kuda hitam panjang yang terkait pada semak berduri itu ....
Akhirnya, kamu tidak akan bilang tidak tahu bahwa jalan itu menuju ke tumpukan
kotoran, karena ketika melewati tikungan yang lebih rendah kita melihat ceceran
kotoran menuruni batu karang terjal di bawah menara timur yang tinggi itu,
mengotori salju; dan melihat situasi persimpangan jalan tersebut, jalan itu
hanya akan menuju arah tersebut."
"Ya," kataku, "tetapi bagaimana dengan kepala kecil, telinga tajam, mata besar ...
T' "Aku tidak yakin kuda itu punya ciri seperti itu, tetapi tidak diragukan lagi
bahwa para rahib itu amat percaya kuda itu memang punya ciri itu. Seperti
dikatakan oleh Isidore dari Seville, ciri seekor kuda yang cantik adalah 'kepala
kecil, siccum prope pelle ossibus adhaerente, telinga pendek dan tajam, mata
besar, cuping hidung lebar, leher tegak, surai dan ekor tebal, kuku kuat dan
bulat'. Andaikan kuda yang ciri-cirinya kusebutkan itu bukan betulbetul yang
terbaik dari kandang kuda itu, pelayan kandang akan keluar untuk mengejarnya,
tetapi yang ini, justru Kepala Gudang itu sendiri ikut mencari. Dan seorang
rahib yang menganggap seekor kuda bagus sekali, apa pun bentuk alaminya, hanya bisa
memandangnya seperti yang sudah digambarkan oleh sumber yang bisa dipercaya,
terutama jika" dan di sini ia tersenyum malu-malu ke arahku "yang menggambarkan
adalah seorang Benediktin yang pintar."
"Baiklah," kataku, "tetapi kenapa Brunellus?"
"Semoga Roh Kudus mempertajam pikiranmu, Nak!" seru guruku.
"Nama apa lagi yang mungkin diberikan kepadanya" Coba, bahkan Buridan yang
agung, ia calon rektor di Paris, ketika ingin menggunakan seekor kuda dalam
salah satu contoh logikanya, selalu menyebutnya Brunellus."
Begitulah cara berpikir guruku. Ia tidak hanya tahu bagaimana membaca buku alam
yang agung, tetapi juga tahu cara para rahib membaca Kitab Injil, dan bagaimana
mereka diajar lewat kitabkitab itu. Suatu bakat yang, seperti akan kita lihat,
ternyata berguna baginya pada harihari selanjutnya. Di samping itu,
penjelasannya, menurutku pada titik ini amat jelas sehingga rasa maluku karena
tidak menemukan sendiri hanya bisa ditutup oleh rasa bangga karena sekarang bisa
ikut berbagi di dalamnya, dan aku hampir memberi selamat kepada diriku sendiri
untuk wawasanku sendiri. Begitulah kekuatan dari kebenaran yang, seperti
kebaikan, adalah mualimnya sendiri. Dan terpujilah nama Tuhan kita Yesus Kristus
yang suci karena mengaruniaiku pencerahan yang luar biasa ini.
Tetapi kembali pada perjalanan ini, oh ceritaku, karena rahib tua ini terlalu
lama terus bicara tentang hal kecil-kecil. Lebih baik menceritakan bagaimana
kami tiba di gerbang besar biara itu, dan di ambang pintu berdirilah sang Abbas,
di sampingnya ada dua orang novis membawa sebuah baskom emas penuh air. Setelah
kami turun dari keledai, Abbas itu mencuci tangan William, kemudian memeluknya,
mencium mulutnya, dan memberinya berkat selamat datang.
"Terima kasih, Abo," kata William. "Adalah suatu kegembiraan besar bagiku untuk
menapakkan kaki di biaramu yang Hebat, yang ketenarannya sudah dikenal di luar
pegunungan ini. Aku datang sebagai seorang pengelana demi nama Tuhan kita dan
sebagai itu Anda telah menghormatiku. Tetapi aku juga datang demi nama penguasa
kita di atas bumi itu, seperti akan dijelaskan dalam surat yang sekarang
kuserahkan kepadamu, dan demi namanya juga aku mengucapkan terima kasih atas
sambutanmu." Abbas itu menerima surat dengan cap kerajaan tersebut dan menjawab bahwa
kedatangan William sudah didahului oleh saudara-saudaranya (dengan bangga aku
mengatakan dalam hati bahwa sukar sekali untuk kebetulan bertemu dengan seorang
Abbas Benediktin), kemudian ia minta Kepala Gudang membawa kami ke rumah
penginapan, sementara para tukang kuda membawa pergi keledai kami. Abbas itu
berharap bisa mengunjungi kami nanti, kalau kami sudah segar lagi, dan kami
memasuki halaman luas di mana bangunan-bangunan biara itu berdiri di sekitar
dataran yang memotong puncak gunung itu menjadi suatu mangkuk indah.
SUDAH tentu aku dapat kesempatan membicarakan denah biara itu lebih dari sekali,
dan secara lebih terperinci. Setelah pintu gerbang itu (yang merupakan
satusatunya pintu pada tembok sebelah luar), ada sebuah jalan yang dibatasi
deretan-pohon menuju gereja biara itu. Ke arah kanan jalan itu terbentang
kebunkebun sayur yang amat luas dan, seperti kuketahui kelak, kebun botani, di
seputar gedung pemandian dan klinik serta herbarium, sementara mengikuti garis
tembok itu. Di belakangnya, di sebelah kiri gereja, tampak Aedificium yang
tinggi, dipisahkan dari gereja oleh suatu halaman dengan nisan di sana sini.
Pintu utara gereja itu menghadap menara selatan dari Aedificium, yang
menawarkan, secara frontal, menara baratnya kepada mata tamu yang baru tiba;
kemudian, ke arah kiri, bangunan itu menempel tembok dan seakan mencebur, dari
menara-menaranya, ke arah jurang. Di atas jurang itu samarsamar tampak menara
utara mencuat. Di sebelah kanan gereja ada beberapa bangunan, terlindung
bayangbayang, dan bangunan lainnya di seputar kloster: tidak diragukan lagi
asrama, rumah Abbas, dan penginapan untuk tamu yang sedang
kami tuju. Kami sampai ke sana setelah menyeberang kebun bunga yang indah. Di
sisi kanan, jauh di seberang padang rumput luas, di sepanjang tembok sebelah
selatan dan terus ke timur sampai belakang gereja, ada sederet tempat tinggal
petani, kandang kuda, penggilingan gandum, kilang zaitun, lumbung dan gudang,
dan bangunan yang menurutku mungkin novisiat. Tanah yang rata itu, hanya sedikit
berombak, memberi kesempatan kepada orangorang kuno yang membangun tempat suci
itu untuk menghormati tatanan orientasi, lebih baik daripada yang bisa diminta
oleh Honorius Augustoduniensis atau Guillaume Durant. Dari posisi matahari pada
jam hari itu, kuperhatikan bahwa pintu utama gereja itu membuka ke arah barat
dengan sempurna, sehingga koor dan altar menghadap timur; dan matahari pagi yang
cerah itu, manakala terbit, dapat langsung membangunkan para rahib di asrama dan
hewan-hewan di kandang. Aku belum pernah melihat suatu biara yang lebih indah
atau orientasinya lebih baik, meskipun setelah itu aku mengunjungi Biara Santo
Gali, dan Cluny, dan Fontenay, dan masih banyak lagi yang lain, mungkin lebih
besar namun kurang proporsional. Tidak seperti lainlainnya, yang ini mencolok
karena Aedificiumnya yang berukuran luar biasa. Aku tidak berpengalaman sebagai
pakar bangunan besar, tetapi segera menyadari bahwa Aedificium itu jauh lebih
tua daripada bangunan di sekelilingnya. Mungkin dulunya dipakai untuk tujuan
lain, dan baru kemudian kompleks biara itu dibangun di sekelilingnya, tetapi dengan cara
sedemikian rupa sehingga orientasi bangunan besar itu cocok dengan bangunan
gereja, dan gereja itu cocok dengan bangunan besar tersebut. Karena arsitektur,
di antara semua seni, adalah yang paling berani mereproduksi ritme tatanan alam
semesta, yang oleh orang kuno disebut "kosmos", maksudnya penuh hiasan, karena
ini seperti seekor hewan besar yang di atasnya bersinar kesempurnaan dan
proporsi semua bagiannya. Dan terpujilah Pencipta kita, yang sudah menetapkan
jumlah, berat, dan ukuran semua benda.[]
Tersiat Dalam cerita ini William mengadakan percakapan bersifat instruktif dengan Abbas
tersebut. ruder Kepala Gudang itu orangnya kekar, penampilannya vulgar tetapi periang,
rambutnya sudah beruban tetapi masih kuat, pendek namun gesit. Ia mengantarkan
kami ke penginapan. Atau, lebih tepatnya, ke bilik yang sudah disediakan untuk
guruku, sambil berjanji esok hari akan membersihkan satu bilik lagi untukku,
karena, meskipun seorang novis, aku juga tamu dan karenanya akan diperlakukan
dengan hormat. Malam itu aku bisa tidur dalam sebuah pelengkung panjang dan
lebar yang menjorok ke dalam tembok bilik tersebut, dan di atasnya sudah
disiapkan jerami bersih. Kemudian para rahib membawakan kami anggur, keju, buah zaitun, roti, dan kismis
yang lezat, dan menyilakan kami istirahat. Kami makan minum dengan lahap. Guruku
tidak menaati kebiasaan keras rahib Benediktin dan tidak suka makan tanpa


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicara. Dalam hal itu, ia selalu bicara tentang
hal-hal yang begitu baik dan bijak sehingga seakanakan ada seorang rahib tengah
membacakan kehidupan para santo buat kami.
Hari itu aku tidak tahan untuk tidak menanyakan lebih jauh tentang masalah kuda
tadi. "Namun," kataku, "waktu membaca jejakjejak di salju dan ranting-ranting yang
patah, Guru belum kenal Brunellus. Dalam artian tertentu, jejakjejak itu
membicarakan tentang semua kuda, atau paling sedikit semua kuda keturunan itu.
Lalu, apa kita tidak boleh mengatakan bahwa buku alam hanya membicarakan tentang
intisari, seperti yang diajarkan oleh banyak teolog terkenal?"
"Tidak sepenuhnya benar, Adso terkasih," jawab guruku. "Memang, jenis jejak itu
mengungkapkan kepadaku, jika kau sependapat, ide tentang 'kuda1, verbum mentis*
itu, dan seharusnya mengungkapkan hal yang sama kepadaku di mana pun aku mungkin
menemukannya. Tetapi jejak di tempat itu, dan pada jam itu hari ini, menunjukkan
kepadaku bahwa paling sedikit salah seekor dari semua kuda yang mungkin ada,
telah melewati jalan itu. Jadi, aku menemukan bahwa ternyata aku berdiri di
antara persepsi dari konsep 'kuda' dan pengetahuan tentang seekor kuda tertentu.
Dan toh, apa yang kuketahui tentang kuda pada umumnya cocok dengan jejakjejak
Bloon Cari Jodoh 13 Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Samurai Pengembara 1
^