Name Of Rose 3
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Bagian 3
hebat oleh herbalis itu De plantis atau De causis, dua karya yang belum kukenal,
tetapi dari percakapan itu, agaknya pasti buku yang amat hebat.
"Aku akan senang sekali," Severinus menyimpulkan, "bisa omongomong tentang
tanaman obat secara terbuka denganmu."
"Aku justru lebih senang lagi," kata William, "tetapi apa kita tidak akan
menentang aturan untuk diam, yang aku yakin dikenakan dalam ordomu?"
"Regula itu," kata Severinus, "selama berabadabad telah disesuaikan menurut
kebutuhan komunitas yang berbedabeda. Regula itu menggariskan lectio divina, hal
memilih kebijaksanaan, tetapi bukan studi, dan toh kau tahu seberapa banyak ordo
kami telah mengembangkan penelitian menjadi masalah manusia dan masalah suci.
Juga, Regula itu menetapkan suatu asrama umum, tetapi ada kalanya tepat kalau
rahib juga mendapat, seperti yang kami lakukan di sini, kesempatan bermeditasi
pada malam hari, dan karenanya kami masingmasing punya bilik sendiri. Regula
memang melarang keras berbicara, dan dengan kami di sini, tidak hanya rahib yang
melakukan pekerjaan kasar, tetapi juga mereka yang bertugas menulis atau
membaca, tidak boleh bercakap cakap dengan saudarasaudara mereka. Tetapi biara
ini yang pertama dan paling dulu menjadi komunitas sarjana,
dan sering berguna bagi para rahib untuk saling tukar kekayaan pengetahuan
mereka yang menumpuk itu. Semua percakapan berkaitan dengan studi kami dianggap
sah dan bermanfaat, asalkan tidak dilakukan di ruang makan atau pada jam-jam
ibadah." "Apa kau punya banyak peluang untuk berbicara dengan Adelmo dari Otranto?"
tibatiba William bertanya.
Severinus tidak tampak kaget. "Aku tahu Abbas sudah bicara denganmu," katanya.
"Tidak, aku tidak sering bercakapcakap dengan Adelmo. Ia menghabiskan waktunya
untuk menggambar. Aku memang kadang mendengar dia bercakapcakap dengan rahib
lainnya, Venantius dari Salvemec, atau Jorge dari Burgos, tentang sifat
pekerjaannya. Di samping itu, sehari-harinya aku tidak bekerja di skriptorium,
tetapi di laboratoriumku." Dan ia mengangguk ke arah bangunan tempat pengobatan.
"Aku paham," kata William. "Jadi, kau tidak tahu apakah Adelmo mendapat
khayalan-khayalan." "Khayalan?" "Seperti yang dirangsang oleh obatmu, misalnya."
Severinus kaget. "Sudah kukatakan kepadamu: aku menyimpan obat berbahaya dengan
sangat cermat." "Bukan itu maksudku," buruburu William menjelaskan. "Aku bicara tentang khayalan
pada umumnya." "Aku tidak mengerti," Severinus bersikeras.
"Aku membayangkan ada seorang rahib berjalan
jalan pada malam hari di sekitar Aedificium, seizin Abbas, di mana ... hal-hal
mengerikan bisa terjadi atas mereka ... pada jam-jam terlarang yah, maksudku, aku
sedang berpikir bahwa ia mungkin mendapat khayalan menyeramkan yang mendorongnya
ke tebing itu." "Sudah kukatakan kepadamu, aku tidak mengunjungi skriptorium, kecuali kalau
butuh sebuah buku; tetapi biasanya aku punya pustaka herbarium sendiri, yang
kusimpan di klinik. Seperti sudah kukatakan, Adelmo amat dekat dengan Jorge,
Venantius, dan ... tentu saja, Berengar."
Bahkan aku merasakan sedikit keraguan dalam suara Severinus.
Itu juga dirasakan oleh guruku. "Berengar" Dan mengapa 'tentu saja'?"
"Berengar dari Arundel, asisten pustakawan. Mereka seusia, dulu sama-sama novis,
jadi normal kalau ada hal-hal yang dibicarakan bersama. Itu yang kumaksud."
"Ah, jadi itu yang kaumaksud," ulang William. Dan aku jadi heran William tidak
mengorek terus masalah itu. Nyatanya, ia justru mengganti topik pembicaraan.
"Tetapi mungkin sudah waktunya bagi kami untuk mengunjungi Aedificium. Maukah
kau mengantar kami?"
"Dengan senang hati," kata Severinus, tampak jelas amat lega.
Ia mengantar kami melalui sisi kebun dan membawa kami ke teras barat Aedificium
itu. "Pintu yang menghadap kebun itu menuju ke
dapur," katanya, "tetapi dapur itu hanya menempati setengah lantai bawah bagian
barat; ruang makan menempati setengahnya yang lain. Dan pada pintu masuk bagian
selatan, yang bisa dicapai dari balik ruang koor di dalam gereja, ada dua pintu
lagi menuju dapur dan ruang makan. Tetapi kita bisa masuk dari sini, karena dari
dapur kita lalu bisa masuk ke ruang makan."
Waktu memasuki dapur yang luas itu, aku menyadari bahwa seluruh tinggi Aedificium itu mengelilingi suatu bidang oktagonal; kelak kupahami sebagai semacam
sumur besar sekali, yang tidak bisa dimasuki. Pada setiap lantai, jendelajendela
besar, seperti jendelajendela di bagian-luar, membuka ke arah itu. Dapur itu
berupa suatu aula depan yang penuh asap. Banyak pelayan sibuk menyiapkan
hidangan malam di situ. Di atas sebuah meja besar dua pelayan sedang membikin
pai dari sayuran, barley, oat, dan gandum, memotong-motong lobak, seledri, lobak
merah, dan wortel. Di dekatnya, seorang koki lain baru selesai merendam beberapa ikan dalam suatu
campuran anggur dan air, dan membubuhi ikan itu dengan saus dari saga,
peterseli, daun salam, bawang, merica, dan garam.
Di bawah menara barat ada sebuah pemanggangan roti yang besar; apinya sudah
memerah. Di menara selatan ada sebuah tungku besar sekali, di atasnya pancipanci
besar mulai mendidih dan panggangan daging mulai berputar. Para gembala
membawa daging babi yang sudah disembelih masuk dapur melalui pintu yang membuka
ke peternakan di belakang gereja. Kami keluar lagi lewat pintu yang sama itu dan
sampai ke halaman, di ujung timur laut tempat itu, menghadap temboktembok, di
mana berdiri banyak bangunan.
Severinus menjelaskan kepadaku bahwa bangunan yang pertama adalah serangkaian
lumbung, kemudian kandang kuda, lalu kandang sapi, dan sesudah itu petarangan
ayam, dan halaman berpagar untuk biribiri.
Di luar kandang babi, para gembala tengah mengaduk sebuah belanga besar berisi
darah dari babi yang baru saja disembelih, agar tidak membeku. Jika diaduk
secara langsung dan tepat, darah itu akan tetap cair selama beberapa hari,
berkat cuaca dingin, dan kemudian dapat dibikin saren.
Kami masuk kembali ke dalam Aedificium dan melirik sebentar ke ruang makan
ketika menyeberanginya, menuju ke arah menara timur.
Dari dua menara yang di tengahnya dibangun ruang makan itu, yang utara ditempati
sebuah tungku, dan yang lain sebuah tangga melingkar menuju skriptorium di
lantai atas. Lewat tangga ini para rahib naik ke tempat kerja mereka setiap
hari, atau lewat dua tangga lainnya, kurang nyaman tetapi cukup hangat, yang
naik dalam bentuk spiral di balik tungku di sini dan di balik pemanggangan di
dapur. William bertanya apa ada orang dalam skriptorium karena ini hari Minggu.
Severinus tersenyum dan mengatakan bahwa kerja, bagi rahib Benediktin, adalah
berdoa. Ibadat pada hari Minggu berlangsung lebih lama, tetapi para rahib yang
bertugas mengerjakan buku akan melewatkan beberapa jam di atas sana, biasanya
bertukar pikiran yang bermanfaat tentang observasi ilmiah, saling minta
pendapat, dan melakukan refleksi tentang Injil Suci. []
Setelah Nona Dalam cerita ini mereka mengunjungi skriptorium, dan bertemu dengan banyak
sarjana, penyalin, dan rubrikator,juga seorang tua buta yang tengah mengharapkan
kedatangan Antikritus itu.
/Tvy^jBtika kami mendaki tangga aku melihat gu-<_S\_ ruku mengamati
jendelajendela yang menerangi tangga. Bisa jadi aku lebih pintar daripadanya,
karena aku langsung memerhatikan bahwa posisi jendelajendela itu akan membuat
orang sulit mencapainya. Di lain pihak, jendelajendela ruang makan (hanya
jendela di ruang makan itu yang menghadap permukaan jurang) agaknya juga tidak
mudah dicapai, karena di bawah jendela jendela itu tidak ada apa-apa.
Waktu sampai di ujung atas tangga itu, kami menerobos menara timur masuk ke
skriptorium, dan di sana aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru
keheranan. Lantai ini tidak dibagi dua seperti lantai di bawahnya, dan di mataku
tampak begitu amat luas. Langitlangitnya, melengkung tetapi tidak terlalu tinggi
(lebih rendah daripada dalam sebuah gereja, tetapi masih lebih tinggi daripada
dalam setiap biara yang pernah kulihat),
ditunjang oleh pilar-pilar kukuh, di tengahnya ada suatu ruang yang diliputi
cahaya paling indah, karena pada setiap sisinya yang panjang ada tiga jendela
besar yang terbuka, sementara ada satu jendela lebih kecil pada masingmasing
lima sisi luar masingmasing menara. Akhirnya, delapan jendela tinggi, tidak
lebar, membuat cahaya bisa masuk dari sumur di tengah yang oktagonal itu.
Banyaknya jendela membuat ruangan besar itu diperindah oleh suatu cahaya yang
terusmenerus menyebar, bahkan pada sore hari di musim dingin. Kaca jendelanya
tidak berwarna seperti jendela gereja, dan kaca jernih persegi berbingkai timah
itu membuat cahaya bisa masuk dalam kemungkinan cara paling murni, tidak
dimodulasi oleh seni manusia, dan karenanya cocok dengan tujuannya, yaitu
menerangi pekerjaan membaca dan menulis. Pada waktu dan tempat lainnya aku sudah
melihat banyak skriptorium, tetapi tidak ada yang seterang itu. Dalam curahan
cahaya fisik yang membuat ruangan itu terang benderang, prinsip spiritual yang
dilahirkan kembali oleh cahaya itu, terang benderang, sumber semua keindahan dan
pengetahuan, proporsi ruangan itu mengandung sifat tak terpisahkan. Karena ada
tiga hal yang sekaligus menciptakan keindahan: yang paling penting adalah
integritas atau kesempurnaan, dan untuk alasan ini semua benda yang tidak
lengkap dianggap jelek; kemudian proporsi atau konsonansi yang pas; dan akhirnya
kejernihan dan cahaya, dan
bendabenda yang punya warna tertentu memang kita anggap indah. Dan karena
keindahan yang tampak itu memberi kesan damai, dan karena selera kami juga
ditenangkan oleh kedamaian, oleh yang baik, dan oleh yang indah, aku merasa
seluruh diriku merasa amat terhibur dan kubayangkan betapa menyenangkan bekerja
di tempat itu. Seperti yang kusaksikan dengan kedua mataku pada sore hari itu, bagiku tempat
itu seolah suatu bengkel pengetahuan yang menyenangkan. Kelak aku melihat
skriptorium yang sama besarnya di St. Gali, juga terpisah dari perpustakaan (di
biara lainnya para rahib bekerja di mana bukubuku juga disimpan), tetapi tidak
ditata seindah yang ini. Ahli purbakala, pustakawan, rubrikator, dan sarjana
duduk di sana, masingmasing di meja tulisnya sendiri, dan ada satu meja tulis di
bawah masing masing jendela.
Dan karena di sana ada empat puluh jendela (sungguh jumlah yang sempurna,
diambil dari penggandaan quadragon, seakan Sepuluh Perintah Allah
dilipatgandakan oleh kebaikan bilangan pokok empat), empat puluh rahib dapat
bekerja berbarengan, meskipun waktu itu mungkin hanya tiga puluh. Severinus
menjelaskan kepada kami bahwa rahib yang bekerja di skriptorium dibebaskan dari
ibadat tersiat, sexta, dan nona, sehingga tidak usah meninggalkan pekerjaan
mereka selama siang hari, dan baru berhenti bekerja setelah matahari terbenam,
untuk vespers. Tempat yang paling terang disediakan untuk
ahli purbakala, ahli gambar terbaik, rubrikator, dan penyalin buku. Masingmasing
meja tulis dilengkapi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menggambar dan
menyalin: tempat tinta, pena bulu ayam lancip yang waktu itu beberapa rahib
sedang meruncingkannya dengan pisau tipis, batu apung untuk melicinkan perkamen,
penggaris untuk menggambar garis yang akan diikuti oleh tulisan. Di sebelah
masingmasing penulis, atau di atas meja tulis yang miring itu, ada sebuah lesnar
untuk meletakkan naskah yang akan disalin, halamannya ditutupi dengan suatu
lembaran dengan lubang yang membingkai baris yang sedang disalin waktu itu. Dan
ada yang punya tinta emas dan berbagai warna. Rahib lainnya sekadar membaca
buku, dan mereka menuliskan anotasi mereka dalam bloknot atau di atas batu
tulis. Bagaimanapun juga, aku tidak punya waktu untuk mengamati pekerjaan mereka,
karena pustakawan itu mendatangi kami. Kami sudah tahu bahwa dia adalah Maleakhi
dari Hildesheim. Wajahnya berusaha menunjukkan ekspresi menyambut dengan baik,
tetapi aku tidak tahan untuk tidak gemetar melihat suatu roman muka yang ganjil
semacam itu. Orangnya jangkung dan sangat kurus, dengan kaki besar dan aneh.
Ketika ia melangkah dengan lebar, dalam jubah hitam ordo itu, ada sesuatu yang
tidak menyenangkan dengan penampilannya.
Tudung jubahnya, yang masih dikenakan karena baru masuk dari luar, melemparkan
bayangbayang pada kepucatan wajahnya dan memberikan suatu kualitas penderitaan tertentu pada
matanya yang besar dan melankolis. Dalam fisiognominya2i ada sesuatu yang
agaknya merupakan bekas dari banyak gairah yang telah didisiplinkan oleh
keinginannya tetapi yang seakan membekukan roman yang sekarang sudah tidak lagi
hidup itu. Kesedihan dan kekerasan menonjolkan garis-garis wajahnya, dan matanya
begitu tajam sehingga dengan satu lirikan saja kedua mata itu dapat menembus
jantung orang yang berbicara dengannya, dan membaca rahasia pikiran, sehingga
sulit menoleransi pertanyaan kedua mata itu dan orang tidak akan tergoda untuk
bertemu dengan mata itu lagi untuk kedua kalinya.
Maleakhi memperkenalkan kami kepada rahibrahib yang waktu itu tengah bekerja. Ia
juga menyebutkan tugas mereka masingmasing, dan aku mengagumi devosi mendalam
dari mereka semua kepada ilmu pengetahuan dan kepada studi tentang sabda suci.
Maka aku berkenalan dengan Venantius dari Salvemec, penerjemah dari bahasa
Yunani dan Arab, pemuja Aristoteles yang tampak jelas paling bijaksana dari
semua orang. Benno dari Uppsala, seorang rahib bangsa Skandinavia yang
mempelajari retorika. Aymaro dari Alessandria, yang baru beberapa bulan menyalin
buku buku yang dipinjamkan pada perpustakaan, dan kemudian
21 Ilmu wajah (penggambaran kualitas watak dan sikap seseorang) pen.?22 Kebaktian yang tidak resmi, misalnya doa rosario, penghormatan kepada
santo pen. ?sekelompok pelukis dari berbagai negara, Patrick dari Clonmacnois, Rabano dari
Toledo, Magnus dari Iona, Waldo dari Hereford.
Daftar ini masih bisa ditambah, dan tidak ada yang lebih mengagumkan daripada
sebuah daftar, alat pengandaian yang mengagumkan. Tetapi aku harus mengikuti
pembicaraan kami, yang dari situ muncul banyak indikasi berguna yang menunjukkan
adanya kegelisahan tidak kentara di kalangan para rahib itu, dan beberapa
keprihatinan, yang tidak diungkapkan, dan masih membebani semua percakapan kami.
Guruku mulai bicara dengan Maleakhi, sementara memuji keindahan dan ketekunan
para rahib di skriptorium, dan menanyakan prosedur untuk pekerjaan yang
diselesaikan di sini, karena, katanya dengan penuh semangat, ia sudah mendengar
perpustakaan ini dibicarakan di manamana, dan ingin tahu lebih banyak bukubuku
itu. Maleakhi menjelaskan kepadanya seperti yang sudah dikatakan sang Abbas:
seorang rahib meminta kepada pustakawan buku yang ingin ia pakai berkaitan
dengan pekerjaannya, dan jika permintaan itu dapat dibenarkan dan tulus, maka
pustakawan itu pergi mengambilkannya dari perpustakaan di atas. William
menanyakan cara agar ia bisa menemukan judul-judul buku yang disimpan dalam
kotak-kotak di atas, dan Maleakhi menunjukkan sebuah naskah kuno amat tebal
berisi daftar yang ditulis dengan amat rapat, diikat dengan sebuah rantai emas
di atas meja tulisnya sendiri. William menyelipkan tangannya ke dalam jubah, di tempat di mana jubah itu
menggelembung di atas dadanya yang membentuk semacam kantong, dan dari situ ia
mengeluarkan benda yang sudah pernah kulihat selama perjalanan kami, dan
menempelkannya pada wajahnya.
Itu berupa jepitan bercabang, dibuat sedemikian rupa sehingga tetap menempel
pada hidung seseorang (atau paling tidak menempel pada hidungnya, begitu bengkok
dan kuat) bak seorang penunggang kuda duduk tegak di atas kudanya atau seekor
burung bergantung pada tempatnya bertengger. Dan pada kedua sisi jepitan itu, di
depan matanya, ada dua bingkai lonjong dari metal, yang menahan dua kaca bulat
lonjong, setebal alas botol. William lebih suka membaca dengan ini di depan
matanya, dan ia bilang kaca itu membuat pandangannya lebih baik daripada apa
yang dikaruniakan oleh alam atau daripada yang dimungkinkan oleh usianya yang
sudah lanjut, terutama jika cahaya siang meredup. Lensa itu tidak bisa ia
gunakan untuk melihat dari jarak jauh, karena pada usianya sekarang, sebaliknya,
matanya amat tajam, tetapi ia gunakan untuk melihat yang dekat sekali.
Dengan kedua lensa itu ia bisa membaca naskah yang hurufnya amat kecil, yang
bahkan aku sendiri sulit membacanya. Ia menjelaskan kepadaku bahwa kalau seseorang sudah melewati separuh
hidupnya, meskipun penglihatannya dulu selalu bagus sekali, mata akan mengeras dan
pupilnya dalam keadaan bersifat melawan. Maka, sejauh berkaitan dengan membaca
dan menulis, banyak orang terpelajar pada dasarnya sudah mati setelah melewati
musim panasnya yang kelima puluh. Suatu malapetaka menyedihkan bagi orangorang
yang seharusnya dapat memberikan buah terbaik dari inteleknya selama banyak
tahun lagi. Jadi, Terpujilah Tuhan karena ada seseorang yang telah merancang dan
membuat alat ini. Dan ia menceritakan hal ini dalam rangka mendukung ide-ide
dari Roger Bacon-nya, yang telah mengatakan bahwa belajar juga bertujuan
memperpanjang hidup manusia.
Rahibrahib lainnya memandang William dengan penuh rasa ingin tahu tetapi tidak
berani mengajukan pertanyaan. Dan aku memerhatikan bahwa, bahkan dalam suatu
tempat yang secara begitu bersemangat dan bangga mengabdi baca tulis, alat
mengagumkan itu belum sampai ke situ. Aku merasa bangga mendampingi seseorang
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang punya sesuatu yang dapat membuat orang lain yang terkenal bijaksana di
dunia ini jadi terpana. Dengan benda itu pada kedua matanya, William membungkuk di atas daftar yang
tertera dalam naskah kuno itu. Aku juga ikut melihat, dan kami menemukan judul-
judul buku yang belum pernah kami dengar, dan bukubuku lain paling terkenal,
yang dimiliki perpustakaan tersebut.
"De pentagono Salomonis, Ars loquendi et
intelligendi in lingua hebraica, De rebus metallicis oleh Roger dari Hereford,
Algebra oleh Al-Kuwarizmi, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robertus
Anglicus, Punica oleh Silius Italicus, Gesta francorum, De laudibus sanctae
crucis oleh Rabanus Maurus, dan Flavii Claudii Giordani de aetate mundi et
hominis reservatis singulis litteris per singulos libros ab A usque ad Z,"
guruku membaca. "Karya-karya luar biasa. Tetapi bukubuku itu didaftar menurut
apa?" Ia mengutip dari suatu teks yang aku tidak tahu tetapi yang jelas sudah
dikenal Maleakhi, "'Pustakawan harus punya daftar dari semua buku, secara cermat
diurutkan menurut subjek dan pengarang, dan bukubuku itu harus diklasifikasi di
atas rak buku dengan petunjuk nomor urut.' Bagaimana kau tahu sanding-kata dari
setiap buku?" Maleakhi menunjukkan William beberapa anotasi di samping setiap judul. Aku
membaca "iii, IV gradus, V dalam prima graecorum"; "ii, V gradus, VII dalam
tersiat anglorum", dan seterusnya. Aku memahami bahwa nomor yang pertama
menunjukkan posisi buku itu di rak nomor berapa atau gradus, yang pada
gilirannya ditunjukkan oleh nomor kedua, sementara lemarinya ditunjukkan oleh
nomor ketiga; dan aku juga paham bahwa frasa-frasa lainnya menunjukkan ruangan
atau gang dalam perpustakaan itu, dan aku memberanikan diri untuk meminta
informasi lebih jauh tentang tandatanda yang terakhir ini. Maleakhi memandangku
dengan galak, "Mungkin kau tidak tahu, atau sudah lupa,
bahwa hanya pustakawan yang diizinkan masuk ke dalam perpustakaan. Karenanya
anotasi itu tepat dan singkat sehingga hanya pustakawan yang tahu cara
menjabarkannya." "Tetapi bukubuku tersebut dicatat menurut apa dalam daftar ini?" tanya William.
"Agaknya tidak menurut subjeknya." Ia tidak menyarankan urutan menurut nama
pengarang yang diurutkan secara alfabetis, karena ini suatu sistem yang
menurutku baru bisa diterima beberapa tahun lalu, dan waktu itu masih jarang
digunakan. "Perpustakaan ini sudah ada sejak zaman dulu," kata Maleakhi, "dan buku-bukunya
dicatat menurut tanggal penerimaan, sumbangan, atau masuknya di dalam dinding
kami." "Kalau begitu, bukubuku itu sulit dicari," William memberi kesan.
"Pustakawan sudah cukup hafal bukubuku itu dan tahu kapan setiap buku itu datang
ke sini. Akan halnya rahib lainnya, mereka bisa memercayai ingatan pustakawan."
Maleakhi bicara seakan membicarakan orang ketiga, bukan dirinya sendiri, dan aku
menyadari bahwa ia tengah membicarakan jabatan yang pada waktu itu tidak pantas
dipegangnya, tetapi yang sudah dipegang oleh seratus orang lainnya, sekarang
sudah meninggal, yang telah menurunkan pengetahuan mereka dari satu ke lain
pustakawan. "Aku mengerti," kata William. "Jika kemudian aku mau mencari sesuatu, entah buku
apa, tentang pentagon dari Salomon misalnya, kau tentu bisa
mengatakan kepadaku bahwa judul buku yang belum lama kubaca itu ada di sini, dan
kau dapat mengenali lokasinya di lantai atas."
"Andaikan kau sungguhsungguh harus mempelajari sesuatu tentang pentagon dari
Salomon," kata Maleakhi. "Tetapi sebelum memberimu buku itu, aku lebih suka
minta nasihat Abbas dulu."
"Kudengar belum lama ini salah seorang pelukis-mu yang terbaik meninggal dunia,"
kata William kemudian. "Abbas sudah banyak bercerita tentang seni lukisnya. Apa
aku bisa melihat naskahnaskah yang ia beri lukisan?"
"Karena masih muda, Adelmo dari Otranto," kata Maleakhi, sambil memandang
William dengan curiga, "hanya mengerjakan lukisan pada garis tepi. Ia punya
imajinasi yang amat hidup dan karena tahu banyak, dan dari benda yang dikenal ia
mampu menyusun benda tidak dikenal dan mengherankan, misalnya menyambung suatu
tubuh manusia pada suatu leher kuda. Buku-bukunya ada di sana. Belum ada yang
menyentuh meja tulisnya."
Kami menghampiri apa yang dulunya merupakan tempat kerja Adelmo, berlembar-
lembar kitab Mazmur yang dihiasi banyak lukisan masih tergeletak di sana.
Lembaran berukuran folio itu terbuat dari kulit hewan yang paling halus ratu di
antara perkamen dan yang terakhir masih terbentang di atas meja tulis itu. Belum
lama digosok dengan batu apung dan diempukkan dengan kapur, perkamen itu sudah
diketam sampai halus dan, dari lubanglubang kecil bekas tusukan jarum
pada sisi-sisinya, sudah dibuat semua garis yang akan membimbing tangan seniman
itu. Separuhnya sudah dipenuhi dengan tulisan, dan rahib itu sudah mulai membuat
sketsa ilustrasi garis tepinya. Lembaran lainnya, malahan sudah selesai, dan
ketika kami mengamati lembaran-lembaran itu, aku maupun William tidak tahan
untuk tidak berseru kagum. Ini adalah kitab Mazmur yang garis tepinya melukiskan
suatu dunia yang bertolak belakang dengan dunia yang dikenal baik oleh indra
kita. Pada garis tepi suatu tulisan yang isinya tentang kebenaran, seakan
menyambung, erat berkaitan dengan itu, melalui kiasan tekateki mengagumkan,
dengan suatu tulisan tentang kebohongan di atas alam semesta yang tunggang-
balik. Di situ anjing dikejar kelinci, dan kijang memburu singa. Ada kepala
burung kecil berwujud kaki, hewan dengan tangan manusia pada punggung mereka,
makhluk dengan kepala berbulu yang dari situ mencuat kaki-kaki, naga dengan
loreng zebra, hewan berkaki empat dengan leher menyerupai ular berkeluk-keluk
dalam seribu simpul tak mungkin diurai, kera dengan tanduk rusa jantan,
perempuan perayu dalam bentuk unggas dengan sayap-sayap berselaput, orang tanpa
lengan dengan tubuh manusia lain muncul dari punggung mereka seperti punuk, dan
sosok-sosok dengan mulut penuh gigi pada perutnya. Ada pula manusia berkepala
kuda, dan kuda berkaki manusia, ikan bersayap burung dan burung berekor ikan,
monster dengan satu tubuh dan dua kepala atau satu kepala dengan dua
tubuh, sapi dengan ekor ayam jantan dan sayap kupu-kupu. Juga gambar perempuan
dengan kepala bersisik seperti punggung seekor ikan, kimera berkepala dua
berjalin dengan capung dengan moncong kadal, centaurus, naga, gajah, mantikor
berbaring telentang di atas dahan, grifon bertubuh singa dengan kepala dan sayap
elang yang ekornya berbentuk sebuah busur siap tempur, makhluk menyeramkan
dengan leher yang tak ada akhirnya, serentet binatang antropomorfik dan
zoomorfik kerdil bergabung, kadangkadang pada halaman yang sama.
Adegan kesibukan sehari-hari digambarkan dengan semangat yang begitu mengesankan
sehingga sosok-sosok itu seakan hidup, semua kehidupan di sawah, orangorang
sedang membajak, memetik buah, menuai, perempuan-perempuan sedang menenun,
penabur benih bersama-sama rubah, dan musang bersenjatakan busur-salib tengah
memanjat dinding sebuah kota bermenara yang dijaga kera-kera. Di sini suatu
huruf awal, dibengkokkan menjadi sebuah huruf L, yang bagian bawahnya
membangkitkan seekor naga; ada sebuah huruf V besar sekali, yang memulai kata
"verba", diteruskan menjadi suatu tunas alami dari batangnya, seekor ular dengan
seribu gelungan, yang pada gilirannya melahirkan ular-ular lainnya sebagai daun
dan tandan. Di samping kitab Mazmur itu, jelas belum lama selesai, ada suatu buku tentang
waktu yang indah sekali, begitu kecil sehingga bisa digenggam
tangan. Tulisannya amat lembut, lukisan tepinya hampir tidak dapat dilihat pada
pandangan pertama. Mata kita dituntut mengamati dengan cermat untuk mengungkap
semua keindahannya (dan kau bertanya dalam hati dengan alat supramanusiawi apa
seniman itu telah melukiskannya untuk memperoleh efek begitu jelas dalam suatu
ruang yang amat kecil). Seluruh tepi buku itu dikuasai oleh bentuk-bentuk mini
yang saling membangkitkan, seakan oleh ekspansi alami, dari gulungan akhir
huruf-huruf yang dituliskan dengan amat indah itu: duyung laut, rusa berlarian,
kimera, torso manusia tanpa lengan yang muncul bak siput-siput dari tubuh syair
itu. Pada satu titik, seakan untuk melanjutkan tiga kali "Sanctus, Sanctus,
Sanctus", yang diulang pada baris-baris yang berbeda, tampak tiga sosok buas
dengan kepala manusia, dua di antaranya bengkok, satu ke bawah dan satu ke atas,
bergabung dalam suatu ciuman yang kau tidak akan ragu menyebutnya tidak sopan
jika tidak tergoda membayangkan, bahkan jika tidak tampak jelas, adanya suatu
makna spiritual kuat yang sudah tentu membenarkan ilustrasi itu.
Sementara mengikut i halamanhalaman itu aku terpecah antara mengagumi dengan
diam dan tertawa, karena semua ilustrasi itu sendiri telah mengilhami
kegembiraan, meskipun mengomentari halaman suci. Dan Bruder William memeriksa
ilustrasi itu dengan tersenyum dan berkomentar, "Babewyn; begitu istilahnya di
kepulauanku." "Babouins; begitu istilahnya dalam bahasa Galilea," kata Maleakhi.
"Adelmo belajar melukis di negaramu, meskipun ia juga belajar di Prancis. Babun,
maksudnya: kera dari Afrika. Figurfigur dari suatu dunia yang terbalik, di mana
rumah-rumah berdiri di ujung menara dan bumi berada di atas langit."
Aku ingat beberapa syair yang pernah kudengar di pinggiran desaku, dan aku tidak
tahan untuk tidak mengulanginya:
Aller wunder si geswigen, das erde himel hat uberstigen, daz suit ir viir ein
wunder wigen.23 Dan Maleakhi melanjutkan, sambil mengutip dari teks yang sama:
Erd ob un himel unter, das suit ir han besunder viir aller wunder ein wunder. 2t
"Kau hebat, Adso," lanjut pustakawan itu. "Nyatanya, gambargambar ini
menceritakan tentang negeri yang bisa kaucapai dengan menunggang seekor itik
biru, di mana ditemukan burung elang yang menangkap ikan dalam sebuah sungai,
beruang yang mengejar burung elang pemburu di langit, udang galah yang terbang
bersama merpati, 23 Semua keajaiban terjadi//di dunia tempat kita singgah//dan tak cuma satu
keajaiban pw/.?24 Bumi di bawah surga di atas//dan tak hanya jalan orang berdosa//karena semua
keajaiban hanya sekadar keajaiban penerj.
?dan tiga raksasa terperangkap dalam sebuah jala dan digigiti seekor ayam
jantan." Dan muncul sebuah senyum tipis yang membuat bibirnya ceria.
Kemudian para rahib lainnya, yang telah mengikuti percakapan itu dengan agak
malu-malu, tertawa terbahak-bahak, seakan dari tadi menunggu izin dari
pustakawan tersebut. Pustakawan itu mengerenyitkan kening ketika yang
lainlainnya terus tertawa, sambil memuji keterampilan Adelmo yang malang dan
saling menceritakan gambargambar yang lebih fantastis. Dan ketika kami masih
tertawa itulah kami mendengar, di belakang kami, suatu suara yang saleh dan
galak. "Verba vana aut risui apta non loqui."zs
Kami menoleh. Yang bicara adalah seorang rahib yang bongkok karena beban
usianya, seorang tua yang putih bagaikan salju, tidak hanya kulitnya, tetapi
juga wajah dan pupilnya. Ternyata ia buta. Suara itu masih amat jelas dan kaki
itu masih amat kuat, biarpun tubuh itu sudah renta oleh usia. Ia menatap kami
seakan bisa melihat kami, dan sejak itu aku selalu melihatnya bergerak dan
berbicara seakan ia masih dikaruniai penglihatan. Tetapi nada suaranya adalah
nada suara seseorang yang hanya memiliki karunia meramal.
"Orang yang kalian lihat ini, patut dimuliakan dalam usia dan kebijaksanaan,"
kata Maleakhi kepada William sambil menuding pendatang baru itu,
25 "Tidak bicara katakata yang mubazir dan yang pantas d ite rta w a k a n,"
?penerj. "adalah Jorge dari Burgos. Lebih tua daripada siapa saja yang tinggal di biara
ini kecuali Alinardo dari Grottaferrata, ia adalah orang yang dipercaya oleh
banyak rahib di sini untuk meringankan dosa mereka dalam rahasia pengakuan
dosa." Kemudian, sambil menoleh kepada orang tua itu, ia berkata, "Orang yang
berdiri di hadapanmu adalah Bruder William dari Baskerville, tamu kita."
"Kuharap katakataku tidak membuatmu marah," kata orang tua itu dalam nada kaku.
"Aku mendengar orang menertawai hal-hal yang lucu dan aku mengingatkan mereka
akan salah satu prinsip dari Regula kita. Dan seperti dikatakan oleh penulis
Mazmur, jika seorang rahib harus menahan diri dari katakata yang baik karena
sumpah diamnya, apa alasannya maka ia harus menghindari katakata buruk. Karena
ada katakata buruk maka juga ada gambargambar buruk. Dan itu semua adalah kata
dan gambar yang berbohong tentang penciptaan dan menunjukkan dunia sebagai
berlawanan dengan yang seharusnya ada, selama ini selalu begitu, dan akan begitu
sepanjang abad sampai akhir zaman. Tetapi kau datang dari ordo lain, ordo yang
memandang kegembiraan, bahkan jenis yang paling tidak disengaja, dengan
ketaatan." Ia mulai mengulangi apa yang dikatakan para rahib Benediktin tentang
keeksentrikan Santo Fransiskus Assisi, dan mungkin juga perilaku ganjil yang
ditunjukkan oleh para imam dan rahib Spiritual dari setiap macam sempalan paling
baru dan memalukan dari ordo Fransiskan. Tetapi William tidak
menunjukkan tanda memahami sindiran itu.
"Gambargambar pinggir sering mendorong senyum, tetapi untuk memperbaiki tujuan,"
jawabnya. "Seperti dalam misa, untuk menyentuh imajinasi dari orang banyak yang
taat, perlu diberi contoh, tidak selalu yang lucu, begitu pula wacana gambar
harus ditunjukkan dalam hal-hal kecil ini. Bagi setiap kebajikan dan bagi setiap
dosa, manusia mengambil contoh dari dunia binatang dan binatang mencontoh dunia
manusia." "Ah, ya," kata orang tua itu sambil mengejek, tetapi tanpa tersenyum. "Setiap
gambar baik dimaksudkan untuk mengilhami kebajikan, asal jangan karya agung
penciptaan, dibalik dengan kepala di bawah, dijadikan bahan tertawaan. Dan
begitu pula kalau sabda Allah diberi ilustrasi dengan kuda bagal tengah
memainkan kecapi, burung hantu membajak dengan sebuah tameng, kerbau memasang
bajak sendiri, sungai mengalir ke hulu, lautan dimakan api, serigala berubah
jadi petapa! Pergilah berburu kelinci dengan kerbau, suruh burung hantu
mengajarimu tata bahasa, suruh anjing menggigit kutu, dan orang bermata satu
menjaga orang bisu, dan suruh orang bisu minta roti, dan semut beranak kuda,
ayam panggang terbang, kue tumbuh di atas atap, burung parkit mengajarkan
retorika, ayam betina memandulkan ayam jantan, buatlah agar kereta berjalan di
depan kerbau, anjing tidur di atas ranjang, dan semua berjalan dengan kepala di
atas tanah! Apa tujuan dari semua omong kosong ini" Suatu dunia yang
merupakan kebalikan dan berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan,
dengan dalih mengajarkan persepsi suci!"
"Tetapi seperti diajarkan oleh Areopagite," kata William dengan rendah hati,
"Tuhan hanya dapat dikenali melalui hal-hal yang paling buruk. Dan Hugh dari St.
Victor mengingatkan kita bahwa makin banyak kesamaan menjadi tidak serupa, dan
makin banyak kebenaran diungkapkan kepada kita dengan kedok gambargambar tidak
pantas dan mengerikan, makin sedikit imajinasi yang memuaskan kenikmatan
jasmaniah, dan karenanya justru membantu kita menerima misteri yang tersembunyi
di balik kejahatan gambargambar ...."
"Aku sudah tahu jalan pikiran itu! Dan dengan malu aku mengaku bahwa itu adalah
argumentasi pokok ordo kami waktu rahib Cluny berselisih dengan rahib Cistercia.
Tetapi Santo Bernardus benar: orang yang menggambarkan makhlukmakhluk aneh dan
isyarat alam untuk mengungkapkan hal-hal dari Tuhan per speculum et in
aenigmate26, sedikit demi sedikit jadi menikmati sifat keanehan yang ia ciptakan
dan merasa senang dalam itu semua, dan akibatnya ia tidak bakal melihat Tuhan
lagi kecuali lewat makhlukmakhluk aneh itu. Kalian bisa melihat, kalian yang
masih punya penglihatan, pada kapital-kapital di gedung gerejamu." Dan ia
menunjuk dengan tangannya jauh keluar jendela, ke arah gereja. "Di depan mata
para rahib yang tekun bermeditasi, apa arti semua
26 Lewat cermin dan dalam tekateki penerj?gambar fantastik aneh itu, bentuk-bentuk seperti monster dan makhlukmakhluk
rupawan aneh itu" Kera-kera mesum itu" Semua singa, centaurus, makhluk setengah
manusia, dengan mulut pada perut mereka, dengan kaki satu, telinga seperti layar
perahu" Semua harimau belang, kesatria yang sedang bertempur, pemburu yang
meniup trompet mereka, dan satu kepala dengan banyak tubuh dan satu tubuh dengan
banyak kepala" Binatang berkaki empat berekor ular, dan ikan berwajah binatang
berkaki empat, dan di sini ada seekor binatang yang tubuh depannya seperti
seekor kuda dan tubuh belakangnya seekor biribiri, dan di sana ada seekor kuda
bertanduk, dan selanjutnya. Sekarang ini rahib lebih senang membaca gambar
daripada naskah, dan mengagumi karya-karya manusia daripada merenungkan hukum
Tuhan. Memalukan! Demi nafsu mata kalian dan demi senyum kalian!"
Orang tua itu berhenti, napasnya terengah-engah. Dan aku mengagumi bahwa berkat
memorinya yang jelas, mungkin sudah bertahuntahun buta, ia masih bisa mengingat
kembali gambar yang ia kutuk sebagai keji. Aku menduga bahwa saat melihatnya,
gambar itu amat menggodanya, karena ia masih bisa menggambarkan itu semua dengan
gairah semacam itu. Tetapi menurutku memang sudah sering terjadi bahwa ternyata
gambaran dosa yang paling menggiurkan dalam lembaran hidup orangorang yang
kebajikannya tidak bisa dirusak itu sendiri yang mengutuk pesona dan efek
gambaran itu. Suatu pertanda bahwa orangorang itu terdorong oleh keinginan sedemikian besar
untuk tidak ragu menjadi saksi kebenaran, karena kasih kepada Tuhan, untuk
memberi cap jahat semua godaan yang terselubung itu; jadi, para penulis itu
memberi petunjuk yang lebih baik kepada orang banyak tentang caracara Yang Jahat
memikat mereka. Dan, nyatanya, katakata Jorge justru membuat hatiku amat
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasrat untuk melihat harimau dan kera yang belum sempat kukagumi di gereja
itu. Tetapi Jorge menyela jalan pikiranku dengan mulai bicara lagi, dalam nada
yang lebih kalem. "Allah kita tidak perlu menggunakan makhlukmakhluk tolol semacam itu untuk
menunjukkan mana jalan yang lebar dan mana lorong yang sempit kepada kita.
Fabel-Nya tidak ada yang menimbulkan tawa, atau rasa takut. Adelmo, yang
kematiannya sedang kalian ratapi, sebaliknya, mengambil kenikmatan sedemikian
rupa dalam makhlukmakhluk aneh yang ia lukis sehingga ia tidak bisa lagi melihat
hal-hal pokok yang harus diberi ilustrasi. Dan ia mengikuti semua, kukatakan
semua" suaranya menjadi tenang dan berat-"jalan yang ganjil. Yang Tuhan tahu ?cara menghukumnya."
Suasana jadi senyap. Venantius dari Salvemec memberanikan diri bicara.
"Jorge yang mulia," katanya, "kebajikan Anda membuat Anda tidak adil. Dua hari
sebelum Adelmo meninggal, Anda mengikuti perdebatan ilmiah di skriptorium ini.
Adelmo berusaha agar seni lukisnya, sementara menuruti kata hatinya membuat
gambar gambar fantastik dan membingungkan, tetap ditujukan untuk memuliakan Tuhan,
sebagai suatu alat memahami pengetahuan tentang hal-hal surgawi. Baru saja
Bruder William menyebut Aeropagite, yang bicara tentang belajar lewat distorsi.
Dan hari itu Adelmo mengutip ahli lain yang agung, Doktor Aquino, waktu
mengatakan bahwa hal-hal suci seharusnya lebih cocok dijelaskan dalam sosok
tubuh jahat daripada sosok tubuh mulia. Pertama-tama, karena roh manusia lebih
mudah dibebaskan dari kekeliruan; nyatanya, sudah jelas bahwa sifat tertentu
tidak dapat dikaitkan dengan hal-hal suci, dan menjadi tidak pasti jika
digambarkan oleh bendabenda jasmani yang mulia. Yang kedua, karena uraian yang
lebih sederhana ini lebih cocok dengan pengetahuan yang kita miliki tentang
Tuhan di atas dunia ini: artinya di sini Dia lebih menunjukkan diriNya sendiri
di tempat di mana Dia tidak ada, daripada di tempat di mana Dia ada. Oleh karena
itu, hal-hal yang paling tidak serupa dengan Tuhan justru membawa kita kepada
suatu pandangan yang lebih tepat tentang Dia, karena dengan begitu kita tahu
bahwa Dia lebih penting daripada apa yang kita katakan dan pikirkan. Dan yang
ketiga, karena dengan cara ini, masalah Tuhan lebih sulit dilihat oleh
orangorang yang tidak pandai.
Singkatnya, hari itu kami mendiskusikan masalah memahami cara kebenaran dapat
diungkapkan melalui ungkapan yang mengejutkan, yang pintar sekaligus
membingungkan. Dan aku memperingatkan
Adelmo bahwa dalam karya Aristoteles Agung, aku telah menemukan katakata amat
jelas tentang alasan ini ...."
"Aku tidak ingat," tukas Jorge dengan tajam. "Aku amat tua.
Aku tidak ingat. Mungkin selama ini sikapku keterlaluan keras.
Sekarang sudah malam, aku harus pergi."
"Aneh sekali bahwa Anda tidak ingat," desak Venantius; "diskusi itu amat ilmiah
dan bagus; Benno dan Berengar juga ikut.
Masalahnya, terus terang saja, entah itu metafora dan permainan katakata dan
tekateki, yang agaknya juga diterima oleh para penyair demi kenikmatan besar,
jangan lalu membuat kita berspekulasi tentang hal-hal dalam suatu cara yang baru
dan mengejutkan, dan aku sudah katakan bahwa ini juga suatu kebajikan yang
dituntut dari orang bijak .... Dan Maleakhi juga ada ...."
"Jika Jorge yang mulia tidak ingat, mengingat usia dan keletihan pikirannya ...
kalau tidak ia tentu akan ingat jelas," kata salah seorang rahib yang mengikuti
diskusi tersebut. Kalimat itu diucapkan dengan nada marah paling sedikit pada
awalnya, karena pembicara itu, begitu menyadari bahwa dalam upaya menghormati
orang tua tersebut, sebenarnya ia mulai mengajak orang memerhatikan suatu
kelemahan, lalu nadanya melembut sehingga berakhir hampir dalam bisikan minta
maaf. Yang bicara itu adalah Berengar dari Arundel, asisten pustakawan. Orang
berwajah pucat itu masih muda,
dan ketika mengamatinya, aku ingat deskripsi Ubertino tentang Adelmo: matanya
seakan mata seorang perempuan penggoda. Karena malu, sebab sekarang semua orang
memandangnya, ia menjalin jarijari dari kedua tangannya seperti seseorang yang
berharap bisa menekan suatu ketegangan hatinya.
Reaksi Venantius luar biasa. Ia menatap Berengar sehingga Berengar menundukkan
pandangannya. "Bagus sekali, Bruder," katanya, "jika memori adalah suatu karunia
Tuhan, maka kemampuan melupakan juga karunia yang bagus, dan harus dihormati.
Aku menghormati karunia bruder tua yang kuajak bicara ini. Tetapi dari kau, aku
mengharap kau lebih tajam mengingat-ingat hal-hal yang telah terjadi waktu kita
berada di sini bersama teman baikmu ...."
Aku tidak yakin apa Venantius menggarisbawahi kata "baik" itu dengan nada
bicaranya. Terus terang aku mencium rasa malu di kalangan mereka yang hadir.
Masingmasing memalingkan wajah, dan tak ada yang memandang Berengar, yang amat
tersipu. Maleakhi langsung bicara, dengan wibawa. "Mari, Bruder William,"
katanya, "aku akan menunjukkan kepadamu bukubuku lain yang menarik."
Kelompok itu bubar. Aku melihat Berengar melontarkan pandangan bermusuhan ke
arah Venantius, dan Venantius membalas dengan pandangan diam dan menantang.
Karena melihat Jorge sudah hendak pergi, aku tergerak oleh suatu
perasaan takzim yang hormat, dan membungkuk untuk mencium tangannya. Orang tua
itu menerima ciumanku, lalu menaruh tangannya ke atas kepalaku, dan bertanya
siapa aku. Setelah menyebutkan namaku, wajahnya jadi senang.
"Namamu hebat dan amat indah," katanya. "Kau kenal siapa Adso dari Montier-en-
Der?" tanyanya. Aku mengakui bahwa aku tidak kenal.
Maka Jorge menambahkan, "Dia pengarang buku hebat dan luar biasa, Libellus de
Antichristo, yang di dalamnya ia meramalkan hal-hal yang bakal terjadi; tetapi
ia tidak cukup dipedulikan."
"Buku itu ditulis sebelum milenium pertama," kata William, "dan hal-hal itu
tidak terjadi ...." "Bagi mereka yang tidak punya mata untuk melihat," kata orang buta itu. "Cara
kerja Antikristus itu lambat dan menyakitkan. Ia datang saat kita tidak
mengharapkannya; bukan karena kalkulasi yang disarankan oleh rasul itu (Yohanes)
keliru, tetapi karena kita belum mempelajari seninya." Lalu ia berseru, dengan
suara keras sekali, wajahnya menoleh ke arah serambi sehingga langitlangit
skriptorium itu menggemakannya kembali: "Dia akan datang!
Jangan sia-siakan harihari terakhirmu untuk menertawakan makhlukmakhluk aneh
kecil dengan kulit bertotol-totol dan ekor berbelit! Jangan sia-siakan tujuh
hari terakhir!" [] Vespers Dalam cerita ini mereka mengunjungi bagian biara yang selebihnya. William sampai
pada suatu kesimpulan tentang kematian Adebmo, ada percakapan dengan
bruderpandai-kaca tentang lensa untuk membaca dan tentang momok bagi mereka yang
berusaha membaca terlalu banyak.
*"aat itu bel berbunyi tanda vespers, ibadat y<^/ petang, dimulai, dan para
rahib bersiap-siap meninggalkan meja tulis mereka. Maleakhi menjelaskan bahwa
kami juga harus pergi. Ia akan tetap tinggal di situ bersama asistennya,
Berengar, untuk merapikan kembali barang barang (katanya) dan menata
perpustakaan malam itu. William bertanya apa ia akan mengunci pintu-pintu
skriptorium. "Tidak ada pintu yang terlarang untuk masuk ke skriptorium melalui dapur dan
ruang makan, atau ke perpustakaan ke skriptorium. Larangan Abbas seharusnya
lebih kuat dari pintu apa saja. Dan para rahib memerlukan dapur sekaligus ruang
makan sampai saat komplina, ibadat sebelum tidur. Pada saat itu, demi mencegah
orang luar atau binatang masuk ke dalam Aedificium, yang bagi mereka larangan
itu tidak berlaku, aku sendiri akan mengunci pintu-pintu bagian luar, yang
menuju dapur dan ruang makan, dan sejak jam itu selanjutnya Aedificium tetap kosong."
Kami turun. Ketika para rahib berjalan menuju gereja, guruku memutuskan bahwa
Allah akan mengampuni jika kami tidak mengikuti ibadat suci itu (Allah banyak
sekali mengampuni kami pada harihari berikutnya!), dan guruku mengajak
berkeliling sebentar, agar kami terbiasa dengan tempat tersebut.
Cuaca mulai memburuk. Angin dingin telah bangkit dan langit mulai berkabut.
Matahari tentu sudah merasakannya dan mulai terbenam di balik kebun sayuran; dan
hari sudah mulai gelap ketika kami berjalan ke arah timur, menyusuri tepi gereja
dan menuju bagian samping tempat itu. Di sana, hampir menempel pada dinding
bagian luar, yang menyambung dengan menara timur Aedificium tersebut, ada
kandang-kandang; para gembala sedang menutupi belanga berisi darah babi. Kami
perhatikan bahwa di belakang kandang-kandang itu, tembok sebelah luarnya lebih
rendah, sehingga orang bisa melongok dari atasnya. Di sisi luar dinding itu, ada
lerengan ke bawah, tanah di bawah yang meluncur turun memusingkan itu penuh
dengan sampah yang tidak semuanya dapat disembunyikan oleh salju. Aku menyadari
bahwa itu tumpukan jerami lama, yang dilemparkan melalui bagian atas dinding dan
longsor turun ke belokan yang mengawali jalan yang diambil oleh Brunellus nakal
itu. Dalam kandang yang tidak jauh dari situ, para
tukang kuda sedang menggiring hewan-hewan itu ke tempat pakan. Kami mengikuti
jalan yang menyusuri sisinya, ke arah dinding, ada berbagai kandang: ke arah
kanan, di balik gereja, ada asrama rahib dan kakus-kakus. Kemudian, sementara
dinding sebelah timur membelok ke utara, pada sudut korset batu, ada bengkel
pandai besi. Pandai besi yang masih ada mulai meletakkan peralatan mereka dan
mematikan api, bersiap mengikuti ibadat. Dengan rasa ingin tahu, William
berjalan ke arah satu bagian dari bengkel pandai besi itu, hampir terpisah dari
bengkel selebihnya, di mana ada seorang rahib yang sedang membenahi barang-
barangnya. Di atas mejanya ada koleksi potongan kecil-kecil kaca berwarnawarni
yang amat indah, tetapi lembaran kaca yang lebih lebar disandarkan pada dinding.
Di depan orang itu ada suatu benda peninggalan yang sudah setengah digarap, baru
jadi kerangka peraknya, tetapi jelas orang tersebut sudah mulai menata potongan
kaca dan batu, yang dengan alatnya sudah diasah menjadi dimensi-dimensi permata.
Begitulah maka kami berkenalan dengan Nicholas dari Morimondo, pandaikaca di
biara tersebut. Ia menjelaskan kepada kami bahwa di bagian tepi tempat kerja itu
mereka juga meniup kaca, sementara di bagian depan, tempat tukang besi bekerja,
mereka memasang kaca pada kerangka timah, untuk membuat jendela. Tetapi,
tambahnya, karya kaca lapis hebat yang menghiasi gereja dan
Aedificium itu dibuat paling sedikit dua abad sebelumnya.
Sekarang dia dan yang lainlainnya hanya terbatas mengerjakan tugas-tugas kecil,
dan memperbaiki yang rusak karena usia.
"Dan dengan kesulitan besar," tambahnya, "karena sekarang tidak mungkin
menemukan warna-warna dari zaman dulu, terutama biru luar biasa indah yang masih
bisa Anda lihat di dalam gereja, begitu jernih sehingga, kala matahari sedang
tinggi, bisa menerangi jalan-tengah gereja dengan suatu cahaya firdaus. Kaca di
sisi barat jalan-tengah itu, belum lama ini diperbaiki, kualitasnya tidak sama,
dan kau bisa membedakannya pada musim panas. Amat menyedihkan," ia melanjutkan.
"Kita tidak punya lagi pengetahuan zaman kuno, zaman raksasa sudah lewat!"
"Kita orang kerdil," William mengakui, "tetapi orang kerdil yang berdiri di atas
bahu raksasa-raksasa itu, dan meskipun kecil, kadangkadang kita berhasil melihat
lebih jauh pada cakrawala dibandingkan mereka."
"Coba katakan apa yang bisa kita kerjakan lebih baik daripada yang mampu mereka
kerjakan," seru Nicholas. "Andaikan kau turun ke dalam ruang bawah tanah gereja,
tempat penyimpanan harta biara ini, kau akan menemukan relikuizz yang dibuat
dengan keterampilan sedemikian luar biasa sehingga bendabenda aneh kecil yang
sekarang tengah kutata ini" ia mengangguk ke arah pekerjaannya
27 Barang peninggalan orang suci yang dianggap keramat -pen
sendiri di atas meja "akan kelihatan seperti suatu olok-olok saja dibandingkan
itu semua." "Tidak tertulis bahwa pandaikaca harus hanya membuat jendela, relikui buatan
pandai-emas, karena para pandai di masa lalu mampu memproduksi benda benda yang
sedemikian indah, dirancang agar awet selama berabadabad. Sebaliknya, bumi akan
menjadi penuh dengan relikui padahal zaman ini sudah tidak banyak santo pemilik
relikui itu," gurau William. "Juga jendela tidak selamanya harus disoldir.
Tetapi di berbagai negeri aku sudah melihat karya baru terbuat dari kaca yang
memberi kesan suatu dunia masa depan ketika kaca tidak hanya melayani tujuan
suci tetapi juga membantu kelemahan manusia. Aku ingin menunjukkan kepadamu
suatu ciptaan dari zaman kita sendiri, yang aku merasa terhormat karena punya
suatu contoh amat berguna." Ia merogoh bagian dalam jubahnya dan mengeluarkan
kaca matanya. Lawan bicara kami terpana.
Dengan amat berminat, Nicholas mengambil benda bercabang yang diulurkan William
kepadanya. "Oculi de vitro cum capsula!M2s serunya.
"Aku sudah mendengar cerita tentang ini dari seorang bernama Bruder Jordan yang
kutemui di Pisa! Katanya, ini ditemukan belum sampai dua puluh tahun sebelumnya.
Tetapi aku sudah lebih dari dua puluh tahun lalu ketika bicara dengannya."
"Aku yakin benda ini ditemukan jauh lebih awal," kata William, "tetapi sulit
dibuat, dan memerlukan 28 "Mata dari kaca dengan kotaknya!" -penerj
pandaikaca yang amat ahli.
Butuh kerja keras dan waktu lama. Sepuluh tahun yang lalu sepasang ab oculis ad
legendurms ini harganya enam crown Bologna.
Aku dikasih sepasang oleh guruku yang agung, Salvinus dari Amati, lebih dari
sepuluh tahun yang lalu, dan dengan sangat cermat aku merawatnya selama ini,
seakan mereka seperti sekarang ini bagaikan bagian dari tubuhku sendiri."
"Kuharap kau akan mengizinkan aku menelitinya kapan kapan; aku akan amat bahagia
untuk memproduksi beberapa pasang yang sama," kata Nicholas dengan penuh
perasaan. "Tentu saja," William mengiyakan, "tetapi harus diingat, ketebalan kaca itu
harus bervariasi menurut mata yang akan dilayaninya, dan kau harus menguji
banyak lensa semacam ini, mencobakan pada seseorang sampai diketemukan ketebalan
yang cocok." "Sungguh luar biasa!" Nicholas melanjutkan. "Namun, banyak orang akan menyebut
ini pekerjaan tukang sihir dan mesin jahat ...."
"Tentu saja kau bisa bicara tentang kekuatan gaib dalam alat ini," William
mengiyakan. "Tetapi ada dua bentuk kekuatan gaib.
Ada kekuatan gaib karya Iblis dan bertujuan menjatuhkan manusia lewat kelicikan
dan itu tidak patut dibicarakan. Tetapi ada kekuatan gaib yang suci, di mana
pengetahuan Tuhan dibuat mewujud lewat pengetahuan manusia, dan ini berguna
untuk 29 Kaca untuk membaca di depan mata penerj?mengubah alam, dan salah satu tujuan akhirnya adalah memperpanjang hidup manusia
sendiri. Dan ini kekuatan gaib suci, yang makin lama makin harus ditekuni oleh
orangorang terpelajar, tidak hanya untuk menemukan hal-hal baru tetapi juga
menemukan kembali banyak rahasia alam yang telah diungkapkan oleh kebijaksanaan
suci kepada orang Yahudi, kepada orang Yunani, kepada orang purba lainnya, dan
bahkan, sekarang ini, kepada orangorang kafir (dan aku tidak bisa menceritakan
kepadamu semua hal menakjubkan tentang optik dan ilmu penglihatan yang bisa
dibaca dalam bukubuku orang kafir!).
Dan tentang semua pengetahuan ini, juga harus dimiliki oleh pengetahuan
Kristiani, dengan mengambilnya dari kaum penyembah berhala dan kafir tamquam ab
iniustis possessoribus.":D
"Tetapi mengapa mereka yang memiliki pengetahuan ini tidak menyampaikannya
kepada semua umat Allah?"
"Karena tidak semua umat Allah mau menerima begitu banyak rahasia, dan sudah
sering terjadi bahwa pemilik pengetahuan ini justru dituduh sebagai ahli nujum
yang bersekutu dengan Iblis, dan keinginan mereka untuk berbagi gudang
pengetahuan mereka dengan orang lain ini telah mereka bayar dengan hidup mereka.
Aku sendiri, selama mengadili orang yang dicurigai mengadakan kesepakatan dengan
Iblis, harus berhatihati untuk tidak menggunakan lensa ini, cukup memercayai
30 Seakan untuk melepaskan kepemilikan yang sewenang-wenang piriirj.
?seorang sekretaris rajin yang akan membacakan catatan yang kubutuhkan. Kalau
tidak, dalam suatu waktu ketika kehadiran Iblis begitu meluas, dan setiap orang
akan mencium, boleh dibilang begitu, bau busuk belerang, aku sendiri bisa
dianggap seorang teman terdakwa. Dan akhirnya, seperti sudah diperingatkan oleh
Roger Bacon yang agung, rahasia ilmu pengetahuan tidak harus selalu disampaikan
kepada semua tangan, karena ada yang bisa menggunakannya untuk tujuan jahat.
Orang terpelajar itu sering membuat ajaib bukubuku tertentu yang tidak
berkekuatan gaib, namun sekadar ilmu pengetahuan yang baik, dengan tujuan
melindungi bukubuku itu dari mata yang tidak bijaksana."
"Kalau begitu, kau khawatir orang biasa akan memanfaatkan rahasiarahasia ini
untuk kejahatan," tanya Nicholas.
"Sejauh berkaitan dengan orang biasa, aku cuma khawatir mereka mungkin jadi
ketakutan, membaurkan rahasia itu dengan pekerjaan Iblis seperti yang terlalu
sering dikatakan oleh pengkhotbah mereka. Kau tahu, aku kebetulan kenal dengan
para dokter yang amat terampil, yang telah mendestilasi obat yang mampu
menyembuhkan suatu penyakit dengan segera. Namun ketika membubuhkan salep atau
menyuntikkannya kepada orang biasa, mereka membarenginya dengan katakata suci
dan ungkapan yang dinyanyikan yang kedengarannya seperti doa: bukan karena doa
itu punya kekuatan untuk menyembuhkan, tetapi orang
biasa mau disuntik atau tubuhnya disalep karena percaya bahwa kekuatan
penyembuhan itu datang dari doa, dan dengan begitu mereka akan disembuhkan,
sementara tidak terlalu memerhatikan kekuatan efektif obat tersebut. Demikian
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula, roh itu, karena dibangkitkan oleh kepercayaan pada formula suci tersebut,
akan lebih bersedia menerima aksi jasmaniah dari obat itu. Tetapi kekayaan
pengetahuan sering harus dipertahankan, tidak terhadap orang biasa, namun justru
terhadap orang terpelajar lainnya. Sekarang ada mesinmesin hebat, suatu hari
nanti kita bicarakan, yang dengan itu jalannya alam bisa benarbenar diprediksi.
Tetapi celakalah jika mesin itu jatuh ke tangan orangorang yang akan
menggunakannya untuk memperluas kekuasaan duniawi mereka dan memuaskan keinginan
besar mereka untuk menjadi kaya. Kudengar di Cathay ada seorang petapa yang
meramu suatu bubuk yang, kalau bersinggungan dengan api, dapat menghasilkan
suara gemuruh dan api besar, menghancurkan segala sesuatu sampai jarak beryard-
yard di sekelilingnya. Suatu sarana yang menakjubkan jika dipakai untuk
memindahkan aliran sungai atau menghancurkan batu untuk meremukkan tanah agar
bisa ditanami. Tetapi bagaimana jika ada orang yang menggunakannya untuk
mencederai musuh pribadinya?"
"Mungkin baik juga, jika dia musuh umat Allah," kata Nicholas dengan tenang.
"Mungkin," William mengakui. "Tetapi sekarang ini siapa musuh umat Allah" Louis
sang Kaisar, atau Yohanes sang Paus?" "Oh, astaga!" kata Nicholas, amat ketakutan. "Aku benar benar tidak suka
memutuskan suatu pertanyaan yang menyakitkan seperti itu!"
"Nah, kau tahu kan?" kata William. "Kadangkadang rahasia tertentu lebih baik
tetap terselubung oleh katakata rahasia.
Rahasia alam tidak untuk disampaikan pada kulit kambing atau biribiri. Dalam
buku rahasianya, Aristoteles mengatakan bahwa menyampaikan terlalu banyak
rahasia alam dan seni justru akan merusak meterai surgawi dan banyak kejahatan
bisa masuk. Ini tidak berarti bahwa rahasia tidak boleh diungkapkan, tetapi
orang terpelajar harus memutuskan kapan dan bagaimana menyampaikannya."
"Oleh karena itu, dalam tempat seperti ini, yang terbaik adalah," kata Nicholas,
"tidak semua buku boleh diambil semua orang."
"Ini masalah lain," kata William. "Akibat dari gemar bicara bisa menjadi dosa,
dan begitu pula akibat dari tutup mulut. Aku tidak bermaksud bahwa sumber
pengetahuan perlu ditutup-tutupi.
Menurutku ini justru semacam kejahatan besar. Aku serius, karena semua ini
adalah rahasia yang dari situ bisa diambil kebaikan dan kejahatan, maka orang
terpelajar punya hak dan kewajiban untuk menggunakan bahasa yang terselubung,
hanya dimengerti oleh sesamanya orang terpelajar. Kehidupan belajar itu sulit,
dan tidak mudah membedakan yang baik dari yang jahat. Dan orang
terpelajar zaman sekarang hanyalah orang kerdil yang berdiri di atas bahu orang
kerdil." Percakapan ramah dengan guruku ini tentunya membuat suasana hati Nicholas mau
percaya. Karena ia mengerdip ke arah William (seakan mau mengatakan: Kau dan aku
saling memahami karena kita bicara tentang hal yang sama) dan secara tidak
langsung mengatakan, "Tetapi di sana itu" ia mengangguk ke arah Aedificium
"rahasia pengetahuan dipertahankan dengan baik oleh kekuatan gaib ...."
"Oh, ya?" kata William, dengan sikap tidak percaya. "Menurutku itu cuma pintu-
pintu berjeruji, larangan keras, ancaman."
"Oh, tidak. Lebih daripada itu
"Apa, misalnya?"
"Yah, aku tidak tahu persis; aku menggeluti kaca, bukan buku.
Tetapi ada rumor di dalam biara ... rumor aneh
ii "Semacam apa?" "Aneh. Begini, rumor tentang seorang rahib yang memutuskan untuk menjelajah ke
dalam perpustakaan pada malam hari, untuk mencari sesuatu yang tidak mau
diberikan oleh Maleakhi, dan ia telah melihat ular-ular, orangorang tanpa kepala
dan orangorang dengan dua kepala. Ia hampir gila ketika keluar dari labirin itu
...." "Mengapa kau bicara tentang kekuatan gaib dan bukan penampakan menyeramkan?"
"Karena kendati aku cuma pandai kaca yang
malang, aku bukannya amat bodoh. Iblis (Tuhan, kasihanilah kami!) tidak menggoda
rahib dengan ular dan manusia berkepala dua. Andaikan ada, biasanya dengan
penampakan yang menimbulkan berahi, seperti Iblis menggoda bapak-bapak di padang
gurun. Dan di samping itu, andaikan membaca buku tertentu itu perbuatan jahat,
mengapa Iblis mencegah rahib melakukan kejahatan?"
"Menurutku itu suatu kesimpulan yang bagus," guruku mengiyakan.
"Dan akhirnya, sewaktu aku sedang memperbaiki jendela jendela rumah sakit, aku
menghibur diri dengan membuka-buka buku Severinus.
Itu suatu buku tentang rahasia yang ditulis, aku yakin, oleh Albertus Magnis.
Aku tertarik pada beberapa ilustrasi yang aneh, dan aku membaca beberapa halaman
tentang cara melumasi sumbu dari lampu minyak, dan asap yang dihasilkan kemudian
akan menimbulkan bayangbayang. Kau pasti sudah memerhatikan atau, mungkin tentu
belum memerhatikan, sebab kau belum menginap semalam di biara ini bahwa selama
jam-jam yang gelap, lantai atas Aedificium itu terang. Pada titik-titik
tertentu, tampak cahaya redup dari jendelajendela. Banyak orang ingin tahu apa
itu, dan selama ini terdengar rumor tentang lelatu, atau jiwa almarhum
pustakawan yang berkunjung kembali ke dunia. Banyak orang di sini percaya
dongeng tersebut. Kukira itu semua adalah lampu-lampu yang disiapkan untuk
menimbulkan bayangbayang. Tahukah kau, jika kau mengambil lemak dari telinga
seekor anjing dan melumaskannya pada sumbu lampu, siapa pun yang menghirup asap
lampu itu akan percaya ia punya kepala seekor anjing. Dan ada pelumas lainnya
yang membuat mereka merasa sebesar gajah jika berada di dekat lampu itu. Dan
lemak serigala dicampur dengan mata seekor kelelawar dan mata ikan yang namanya
aku lupa, yang dilumaskan pada sumbu, kalau lampunya dinyalakan, kau akan
melihat binatang-binatang yang lemaknya sudah kauambil. Dan ekor seekor kadal
bisa membuat segala sesuatu di sekelilingmu seakan terbuat dari perak, dan
dengan lemak seekor ular hitam dan secarik kain kafan, ruangan itu seakan penuh
dengan ular. Aku tahu ini. Ada orang di dalam perpustakaan yang amat pintar ...."
"Tetapi apa tidak mungkin itu jiwa-jiwa dari para almarhum pustakawan yang yang
melakukan perbuatan gaib?"
Nicholas tetap bingung dan gelisah. "Aku belum berpikir sampai ke sana. Mungkin.
Tuhan, lindungi kami. Sekarang sudah malam.
Vespers sudah dimulai. Sampai ketemu." Dan ia berjalan menuju gereja.
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sisi selatan: di sebelah kanan kami ada
penginapan dan sekolah dengan kebunnya, di sebelah kiri kami ada kilang minyak
zaitun, penggilingan gandum, lumbung dan gudang, asrama novis. Dan setiap orang
bergegas menuju gereja. "Bagaimana pendapat Anda tentang apa yang dikatakan Nicholas?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Ada sesuatu di dalam perpustakaan itu, dan aku tidak percaya
itu adalah jiwa para almarhum pustakawan ...."
"Kenapa tidak?"
"Karena kubayangkan mereka begitu baik sehingga sekarang tetap tinggal dalam
kerajaan surga untuk menatap wajah suci itu, puas"
Akan halnya lampu-lampu, akan kita lihat apa memang ada di sana.
Dan akan halnya pelumas yang dikatakan oleh pandai kaca kita, ada banyak cara
yang lebih mudah untuk menimbulkan bayangbayang, dan hari ini kau tentu sadar,
Severinus tahu benar akan hal itu. Yang pasti adalah bahwa dalam biara ini
mereka tidak ingin siapa saja memasuki perpustakaan pada malam hari dan bahwa
banyak, sebaliknya, yang sudah berusaha atau mau mencoba berbuat begitu."
"Dan apa hubungannya kejahatan itu dengan hal ini?"
"Kejahatan. Makin itu kupikirkan, aku makin yakin bahwa Adelmo bunuh diri."
"Mengapa begitu?"
"Kau ingat pagi tadi ketika aku menyebutkan tumpukan jerami kotor" Waktu kita
mendaki ke belokan di bawah menara timur, tampak olehku bahwa di tempat itu,
masih ada bekas telapak kaki akibat longsornya tanah; atau, lebih tepatnya,
sebagian dari tempat itu sudah membuka jalan ke bawah menara, setidak-tidaknya
sampah itu telah longsor ke bawah dan menumpuk di sana. Dan itulah sebabnya sore
ini, waktu kita memandang ke
bawah dari atas dinding, jerami itu seakan tertutup salju tipis; hanya tertutup
oleh salju terakhir, salju kemarin, dan bukan oleh salju yang turun beberapa
hari yang lalu. Akan halnya mayat Adelmo, Abbas itu bilang bahwa mayat itu sudah
tergesek oleh batubatu, dan di bawah menara timur, di mana bangunan itu menempel
pada lereng yang curam, ditumbuhi pohon pinus. Bagaimanapun juga, batubatu itu
berada tepat di bawah tempat di mana tembok itu berakhir, membentuk semacam
tangga, dan sesudah itu jerami mulai menumpuk di sana." "Jadi?"
"Jadi, pikirkan apa tidak lebih bagaimana ya mengatakannya" lebih ringan bagi
pikiran kita untuk percaya bahwa Adelmo, karena alasanalasan yang sampai
sekarang belum pasti, dengan kemauannya sendiri menjatuhkan dirinya dari atas
dinding yang rendah itu, menggesek batubatu, dan tentunya luka-luka atau, dan
jatuh ke atas tumpukan jerami. Kemudian tanah yang longsor itu, membawa jerami
dan sebagian tanah dan tubuh pemuda malang itu meluncur ke bawah menara timur."
"Mengapa Anda katakan bahwa solusi ini lebih ringan bagi pikiran kita?"
"Adso terkasih, orang tidak perlu memperpanjang penjelasan dan penyebab kalau
tidak sangat perlu. Andaikan Adelmo jatuh dari menara timur, tentunya ia sudah
masuk ke dalam perpustakaan, pasti ada seseorang yang memukulnya dulu agar tidak
bisa melawan, dan kemudian orang ini tentu
menemukan suatu cara untuk memanjat ke jendela sambil menggendong tubuh tak
bernyawa itu, membuka jendela, dan menjungkirkan rahib malang itu ke bawah.
Tetapi dengan hipotesisku, kita hanya memerlukan Adelmo, keputusannya, dan
bergesernya sedikit tanah. Segala sesuatunya menjadi jelas, dengan penyebab yang
lebih sedikit." "Tetapi kenapa ia mau bunuh diri?"
"Tetapi kenapa ada orang yang mau membunuhnya" Dalam kedua kasus tersebut harus
dicari alasannya. Dan menurutku, alasanalasan ini agaknya tidak diragukan lagi.
Dalam Aedificium itu ada suatu suasana tutup mulut; mereka semua berusaha
merahasiakan sesuatu. Sementara itu, kita sudah mendengar beberapa sindiran aku
yakin cukup jelas tentang semacam hubungan aneh antara Adelmo dan Berengar. Itu
berarti kita akan pasang mata pada asisten pustakawan itu."
Sementara kami bercakapcakap seperti ini, vespers sudah selesai. Para pelayan
mulai menyelesaikan tugas mereka sebelum mengaso untuk makan malam, para rahib
berjalan menuju ruang makan. Langit sekarang gelap dan salju mulai turun. Hujan
salju tipis, dalam bunga salju kecil lembut, yang aku yakin, tentunya akan
berlangsung sepanjang malam, karena pada keesokan harinya, tanah ditutupi
selimut putih, seperti yang akan kuceritakan.
Aku merasa lapar dan dengan lega menyambut baik gagasan untuk makan. []
Komplina Dalam cerita ini William dana Adso menikmati keramahtamahan ceria Abbas dan
percakapan Jorge yang penuh amarah
uang makan itu diterangi dengan obor-obor besar. Para rahib duduk di sebaris
meja dan lurus di ujungnya ada meja Abbas yang diletakkan di atas podium yang
lebar. Di seberang meja-meja itu ada sebuah mimbar, seorang rahib yang akan
membaca selama makan malam sudah berdiri di situ. Abbas itu menunggu kami di
samping sebuah air mancur kecil, dengan sehelai kain putih untuk mengeringkan
tangan kami setelah cuci tangan, sesuai dengan tradisi penerimaan tamu Santo
Pachomius. Abbas itu mengundang William duduk di mejanya dan mengatakan bahwa untuk petang
ini, karena juga tamu, aku boleh menikmati hak istimewa yang sama, kendati aku
seorang novis Benediktin. Pada harihari berikutnya, katanya kepadaku dengan
sikap kebapakan, aku harus duduk bersama para rahib, atau, jika aku harus
mengerjakan suatu tugas tertentu dari guruku, aku
boleh mampir ke dapur sebelum atau sesudah jam makan, dan koki akan memberiku
makanan. Para rahib itu sekarang berdiri di samping meja, tak bergerak, tudung mereka
diturunkan ke atas wajah mereka, tangan mereka di balik skapular mereka. Abbas
itu menghampiri mejanya dan mengucapkan, "Benedicite.":i Dari mimbar, pemimpin
ibadat melantunkan, "Edent pauperes.":z Abbas itu memberikan berkatnya dan
setiap orang lalu duduk. Penyusun Regula telah menetapkan makanan bersahaja tetapi mengizinkan Abbas
menentukan seberapa banyak makanan yang memang dibutuhkan para rahib.
Bagaimanapun juga, dalam biara kami sekarang (di Melk), lebih menuruti kata hati
sendiri dalam menikmati meja makan. Aku tidak akan bicara tentang biara-biara
yang, sayangnya, telah berubah menjadi sarang orang rakus; tetapi bahkan yang
taat kepada patokan pengampunan dan kebajikan, menyediakan makanan sehat yang
tidak mewah tetapi penting bagi para rahib yang hampir selalu dibebani pekerjaan
intelektual. Di lain pihak, meja Abbas selalu didahulukan, apalagi karena tamu-
tamu terhormat sering duduk di sana, dan biara-biara membanggakan hasil
pertanian dan peternakan mereka, dan keterampilan tukang masak mereka.
Seperti biasa, para rahib makan dengan diam; mereka biasa saling berkomunikasi
dengan bahasa jari. Novis dan rahib yang lebih muda dilayani lebih dulu,
langsung setelah semua orang di meja Abbas
31 "Pujilah Tuhan"-penerj.
32 "Kaum miskin akan makan" penerj.?sudah menyendok hidangan yang diedarkan.
Bersama kami di meja Abbas itu duduk Maleakhi, Kepala Gudang, dan dua rahib
tertua, Jorge dari Burgos: orang buta mulia yang sudah kutemui di skriptorium,
dan Alinardo dari Grottaferrata: tua sekali, umurnya hampir satu abad, timpang
dan kurus, dan menurutku kelihatan bodoh. Abbas itu menceritakan kepada kami
bahwa karena datang ke biara itu sebagai seorang novis, Alinardo selalu tinggal
di situ dan ingat semua kejadian di situ selama hampir delapan puluh tahun.
Mulanya Abbas itu menceritakan semua ini sambil berbisik, tetapi setelah itu ia
ingat akan kebiasaan ordo kami dan mengikuti bacaan itu dengan diam. Tetapi,
seperti sudah kukatakan, ada kebebasan tertentu di meja Abbas itu, dan kami
memuji hidangan yang ditawarkan sementara Abbas itu menyombongkan kualitas
minyak zaitunnya, atau anggurnya. Memang, sekali, ketika menuangkan anggur buat
kami, ia langsung mengingatkan kami akan bab dalam Regula di mana penyusun suci
berpendapat bahwa anggur, tepatnya, tidak cocok untuk rahib, tetapi karena rahib
zaman kita ini tidak bisa dibujuk untuk tidak minum, paling sedikit mereka tidak
boleh minum sampai puas, karena anggur merangsang bahkan orang bijak ketagihan,
seperti diperingatkan oleh Kitab Surah dalam Perjanjian Lama. Benediktus
menyebutkan "dari zaman kita" untuk mengacu kepada zamannya sendiri, sekarang
sudah amat lama berlalu; bisa dibayangkan kemerosotan perilaku seperti itu sudah
mulai terjadi pada makan malam zaman Benediktus di biara (dan aku tidak akan bercerita tentang zamanku,
zaman ketika aku menulis ini, kecuali mengatakan bahwa di Melk sini, orang lebih
gemar minum bir!): singkat kata, kami minum tanpa berlebihan tetapi bukannya
tanpa kenikmatan. Kami makan daging yang dimasak di atas panggangan, daging babi yang baru
disembelih, dan aku menyadari bahwa untuk memasak hidangan lainnya mereka tidak
menggunakan lemak hewan atau minyak lobak, tetapi minyak zaitun yang bagus,
hasil kebun yang dimiliki biara itu di kaki gunung yang menghadap lautan. Abbas
itu memaksa kami mencicipi (hanya disediakan di mejanya) ayam yang tadi kulihat
sedang dimasak di dapur. Kulihat ia juga memakai sebuah garpu metal, sesuatu
yang amat langka, yang bentuknya mengingatkan aku akan kacamata guruku. Sebagai
seorang keturunan bangsawan, tuan rumah kami tidak ingin mengotori tangannya
dengan makanan, dan memang menawarkan alatnya itu kepada kami, paling sedikit
untuk mengambil daging dari pinggan besar dan menaruhnya ke mangkuk kami. Aku
menolak, tetapi kulihat William dengan senang menerima tawaran itu dan dengan
seenaknya menggunakan peralatan makan yang biasa dipakai golongan perlente hebat
itu, mungkin untuk menunjukkan kepada Abbas bahwa tidak semua Fransiskan
berpendidikan rendah atau keturunan orang biasa.
Karena bersemangat mencicipi semua hidangan lezat itu (setelah beberapa hari
melakukan perjalanan dan hanya makan apa yang bisa kami temukan), aku tidak memerhatikan
bacaan yang sementara itu berlanjut dengan khusyuk. Aku baru sadar ketika Jorge
menggerundel keras mengiyakan bacaan itu, dan ternyata sudah sampai saatnya
suatu bab dari Regula itu selalu dibaca. Aku memahami mengapa Jorge tampak
begitu puas, karena aku sudah mendengarkan katakatanya sore itu. Rahib itu
membaca, "Marilah kita meniru contoh dari nabi, yang mengatakan: 'Aku sudah
menetapkan, aku akan menjaga jalanku sehingga jangan berbuat dosa dengan
lidahku, aku sudah menaruh kekang pada mulutku, aku sudah jadi bisu, dengan
merendahkan diriku, aku tidak mau lagi bicara bahkan tentang hal yang jujur.'
Dan jika dalam katakata ini nabi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa
kadangkadang cinta kita terhadap diam akan menyebabkan kita tidak lagi mau
bicara bahkan tentang hal yang benar, berapa banyak lagi kita harus mengundurkan
diri dari percakapan yang tidak benar, untuk menghindari hukuman atas dosa ini!"
Dan kemudian dia melanjutkan, "Tetapi ketidaksopanan, omong kosong, dan gurauan,
kita kutuk untuk dipenjarakan selamanya, di setiap tempat, dan kita tidak
mengizinkan murid membuka mulut untuk berbicara semacam itu."
"Dan ini cocok untuk gambar tepi halaman yang kita bicarakan hari ini," Jorge
tidak tahan untuk tidak mengomentari dengan suara lirih. "John Chrysostom
mengatakan bahwa Kristus tidak pernah tertawa."
"Tidak ada dalam sifat manusianya yang melarangnya," cetus William, "karena
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa, seperti ajaran para teologis, cocok bagi manusia."
"Putra Manusia bisa tertawa, tetapi tidak tertulis bahwa ia berbuat begitu,"
kata Jorge pedas, sambil mengutip Petrus Cantor.
"Manduca, iam coctum est," gumam William. "Makanlah, karena ini sudah dimasak."
"Apa?" tanya Jorge sambil mengira William mengacu kepada hidangan yang
disodorkan kepadanya. "Itu adalah katakata yang menurut Ambrose, diucapkan oleh Santo Laurensius di
atas alat pemanggang, ketika ia menyilakan para algojonya untuk memutarnya,
seperti juga dikenang oleh Prudentius dalam buku Peristephanon," kata William
dengan ekspresi wajah yang saleh. "Jadi, Santo Laurensius tahu caranya tertawa
dan mengatakan hal-hal lucu, meskipun itu untuk mengejek musuh-musuhnya."
"Yang membuktikan bahwa tertawa adalah sesuatu yang amat dekat dengan kematian
dan dengan penggerogotan tubuh ordo," jawab Jorge sambil membentak; dan aku
harus mengakui bahwa ia bicara seperti seorang yang jalan pikirannya logis.
Pada waktu itu dengan ramah Abbas minta kami agar diam. Namun, makan malam
hampir berakhir. Abbas itu berdiri dan memperkenalkan William kepada para rahib.
Ia memuji kebijaksanaan William, mengutarakan ketenarannya, dan memberi tahu
mereka bahwa tamu itu sudah diminta untuk
menyelidiki kematian Adelmo; dan Abbas itu juga mendorong para rahib untuk
menjawab setiap pertanyaan dan menginstruksikan bawahan mereka, di seluruh biara
itu, untuk berbuat begitu.
Makan malam berakhir, para rahib bersiap berangkat ke gereja untuk ibadat
komplina. Sekali lagi mereka menarik tudung kepala ke atas wajah mereka dan
berbaris keluar. Kemudian barisan panjang itu bergerak, menyeberang makam dan
memasuki gereja melalui pintu masuk utara.
Kami ikut pergi bersama Abbas itu. "Apa pada jam ini saatnya pintu-pintu
Aedificium dikunci?" tanya William.
"Segera setelah para pelayan selesai membersihkan ruang makan dan dapur,
pustakawan sendiri akan menutup semua pintu, sambil memalang pintu-pintu itu di
sebelah-dalam." "Sebelah-dalam" Dan dari mana ia keluar?"
Abbas itu membelalak sejenak ke arah William. "Sudah tentu ia tidak tidur di
dapur," katanya singkat. Dan ia mulai berjalan lebih cepat.
"Bagus sekali," bisik William kepadaku, "jadi memang ada pintu yang lain, tetapi
kita tidak boleh tahu di mana itu." Aku tersenyum, bangga akan kesimpulan
William, dan William membentakku, "Dan jangan tertawa. Seperti sudah kaulihat,
di dalam lingkup dindingdinding ini tertawa tidak punya reputasi bagus."
Kami memasuki gereja. Hanya ada sebuah lampu menyala di atas sebuah tripod
tembaga, dua kali setinggi manusia. Dengan diam, para rahib itu
mengambil tempat mereka di bagian koor.
Lalu Abbas itu memberi suatu tanda, dan pemimpin ibadat melantunkan kalimat, "Tu
autem Domine miserere nobis." Abbas itu menjawab, "Adiutorium nostrum in nomine
Domini"; dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Qui fecit coelum et terram."::
Kemudian mazmur mulai dinyanyikan, "Apabila aku berseru, jawablah aku, ya Allah,
yang membenarkan aku"; "Aku akan bersyukur kepadaMu Tuhan dengan segenap
hatiku"; "Bangkitlah, Tuhan, berkati kami, kami semua hamba Tuhan." Kami tidak
duduk di tempat koor, tetapi mundur ke bangku utama. Dari situ, tibatiba kami
melihat Maleakhi sekilas muncul dari kegelapan suatu sisi kapel itu.
"Pasang matamu pada tempat itu," kata William kepadaku. "Bisa jadi ada suatu
pintu menuju Aedificium di situ."
"Di bawah makam?"
"Dan mengapa tidak" Terus terang, karena aku mulai memikirkan tentang itu, entah
di mana pasti ada suatu osarium, tempat tengkorak; tidak mungkin semua rahib
mereka dimakamkan dalam sebidang tanah itu selama berabadabad."
"Tetapi Guru tidak bersungguh-sungguh mau memasuki perpustakaan pada malam
hari?" aku bertanya, ketakutan.
"Di mana ada rahibrahib mati dan ular dan cahaya misterius, Adso yang baik"
Tidak, Anakku, 33 "Adapun Engkau Tuhan, kasihanilah kami." Abbas itu menjawab, "Pertolongan
kita dalam nama Tuhan," dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Vang menciptakan
langit dan bumi" penerj.?hari ini aku mulai memikirkan tentang hal ini dan bukan karena ingin tahu tetapi
karena aku mulai merenungkan pertanyaan tentang cara Adelmo meninggal.
Sekarang, seperti sudah kukatakan kepadamu, aku cenderung mencari penjelasan
yang lebih logis, dan, setelah mempertimbangkan semua hal, aku lebih suka
menghormati adat tempat ini."
"Kalau begitu, mengapa Guru ingin tahu?"
"Karena pengetahuan tidak hanya terdiri atas mengetahui apa yang harus dan dapat
kita lakukan, tetapi juga tahu apa yang dapat kita lakukan dan mungkin tidak
usah dilakukan." [] Hari Kedua Matina Dalam cerita ini, beberapa jam kebahagiaan mistik diganggu oleh suatu kejadian
amat berdarah. ^dang menjadi simbol dari Setan, kadang dari Kristus Yang Bangkit, tidak ada
binatang yang lebih tidak bisa dipercaya daripada ayam jantan. Dalam ordo kami
ada beberapa pemalas yang tidak pernah berkokok saat matahari terbit. Di lain
pihak, terutama pada musim dingin, ibadat matina dilakukan manakala hari masih
gelap dan alam masih tidur, karena rahib harus bangun saat masih gelap dan
berdoa lama dalam gelap, sambil menunggu datangnya pagi dan menerangi
bayangbayang dengan nyala api devosi. Oleh karena itu, biasanya ada kebijakan
untuk menugaskan beberapa orang untuk membangunkan, yang tidak berangkat tidur
manakala saudarasaudara mereka pergi tidur, tetapi akan melewatkan malam dengan
melantunkan sejumlah tepat mazmur yang akan membuat mereka dapat menghitung
waktu yang lewat, sehingga, kalau lamanya tidur yang ditetapkan untuk yang
lainnya berakhir, mereka dapat
membunyikan tanda untuk bangun.
Maka malam itu kami dibangunkan oleh mereka yang berjalan berkeliling asrama dan penginapan sambil membunyikan sebuah lonceng.
Sambil berjalan dari satu bilik ke bilik lain, rahib itu akan berteriak,
"Benedicamus Domino," dan masingmasing menjawab, "Deo gratias."i
William dan aku mengikuti kebiasaan Benediktin itu: tidak sampai setengah jam
kami sudah siap menyambut kedatangan hari baru, lalu kami turun ke gereja, di
mana para rahib, bertiarap di atas lantai, menunggu sampai para novis masuk
dipimpin oleh guru mereka, sambil melantunkan yang pertama dari lima belas
mazmur. Kemudian masingmasing duduk di tempatnya sendiri sendiri dan koor bernyanyi,
"Domine labia mea aperies et os meum annuntiabit laudem tuam."z Seruan itu naik
ke langitlangit gereja yang berbentuk kubah itu bagaikan suara anak kecil
memohon. Dua rahib naik ke atas mimbar dan melantunkan mazmur kesembilan puluh
empat, "Venite exultemus,": yang diikuti oleh mazmur lainnya yang telah
ditetapkan. Dan aku merasakan kehangatan dari iman yang diperbarui.
Para rahib itu duduk di bangku-bangku koor, enam puluh figur yang tidak bisa
dibedakan karena jubah dan tudung kepala mereka, enam puluh bayangbayang yang
samarsamar diterangi oleh
1 "Mari memuji Tuhan," dan masingmasing menjawab, "Syukur kepada Allah" penefj.?2 "Tuhan, hendaklah Engkau membuka bibirku dan mulutku akan mewartakan pujian
kepadaMu" penerj. ?3 "Marilah kita bersukaria" penerj.
?api dari tripod besar itu, enam puluh suara bersama-sama memuliakan Yang
Mahakuasa. Dan sementara mendengar harmoni yang mengharukan ini, serambi depan
kegembiraan firdaus, aku bertanya dalam hati apakah biara itu sungguhsungguh
suatu tempat misteri tersembunyi, tempat upaya gelap untuk mengungkapkan
misteri-misteri itu, dan tempat penuh ancaman mengerikan. Tempat itu sekarang,
bagiku justru seakan tempat tinggal orangorang saleh, ruangan kebajikan, bejana
ilmu pengetahuan, bahtera kebijaksanaan, menara kebijaksanaan, wilayah kekuasaan
ketaatan, baluarti kekuatan, turibulum kesucian.
Setelah enam mazmur, pembacaan Kitab Injil dimulai. Beberapa rahib terangguk-
angguk karena mengantuk, dan salah seorang yang bertugas membangunkan pada malam
hari berjalanjalan di antara bangku-bangku koor dengan sebuah lampu kecil untuk
membangunkan mereka yang tertidur lagi. Jika seorang rahib tidak bisa melawan
kantuk, sebagai hukuman ia harus mengambil lampu itu dan melanjutkan
berkeliling. Lantunan enam mazmur lagi berlanjut. Kemudian Abbas memberikan
berkatnya, lalu diadakan doa mingguan, semua membungkuk ke arah altar selama
saat meditasi yang keindahannya tak dapat dipahami siapa pun yang belum pernah
mengalami saatsaat penuh kegairahan mistik dan kebahagiaan hati yang kuat.
Akhirnya, dengan tudung menutupi wajah mereka lagi, semua duduk dan dengan
khidmat melantunkan lagu "Te Deum".4 Aku juga memuji
4 "Allah Mahaagung" penerj.
?Tuhan karena Dia telah melepaskan aku dari keragu-raguanku dan membebaskan aku
dari perasaan gelisah yang memenuhi hatiku pada hari pertama di biara itu. Kita
ini makhluk lemah, kataku kepada diriku sendiri: bahkan di antara para rahib
yang pintar dan patuh ini, Yang Jahat menyebarkan rasa iri kecil-kecil,
menimbulkan pertikaian licik, tetapi semua ini kemudian menghilang bagai asap
oleh angin iman yang kuat, saat semua berkumpul dalam nama Bapa, dan Kristus
bangkit ke tengah mereka.
DI ANTARA matina dan lauda, para rahib tidak kembali ke bilik mereka, bahkan
jika hari masih gelap. Para novis mengikuti guru mereka masuk ke gedung sekolah
untuk mempelajari mazmur; beberapa rahib tinggal di gereja untuk menghias
gereja, tetapi sebagian besar berjalan pelanpelan dalam kloster dan bermeditasi
dengan diam, seperti halnya William dan aku. Para pelayan masih tidur dan tetap
tidur ketika, langit masih gelap, kami kembali ke kapel untuk ibadat lauda.
Nyanyian mazmur dilanjutkan lagi, dan satu yang khusus, di antara mazmur yang
ditetapkan untuk harihari Minggu, telah melontarkan diriku kembali ke dalam
ketakutanku yang sebelumnya. "Pelanggaran orang jahat berkata dalam hatiku,
bahwa tidak ada ketakutan akan Tuhan di depan matanya. Katakata dari mulutnya
adalah ketidakadilan." Bagiku, ini seakan pertanda buruk bahwa Regula harus
menetapkan suatu peringatan
mengerikan untuk hari itu sendiri. Kesedihan dan kegelisahanku juga tidak
berkurang, setelah mazmur pujian, oleh bacaan biasa dari Kitab Wahyu; figurfigur
ambang pintu itu kembali ke dalam benakku, ukiran-ukiran yang sehari sebelumnya
telah membuat hati dan mataku terpana. Tetapi setelah nyanyian bersahut-sahutan,
himne, dan pembacaan ayat suci, saat Injil mulai dinyanyikan, sekilas aku
melihat di atas altar, di atas jendelajendela tempat koor, suatu cahaya pucat
yang membuat daun jendela, yang sampai saat itu buram oleh kegelapan, mulai
bersinar dalam berbagai warna. Fajar belum lagi tiba, fajar baru mulai bangkit
selama ibadat Prima, persis saat kami menyanyikan "Deus qui est sanctorum
splendor mirabilis," dan "lam lucis orto sidere."s Itu sekadar bentara
samarsamar pertama dari hari baru di musim dingin, tetapi itu sudah cukup, dan
sekarang pantulan sinar tipis yang mulai menggantikan kegelapan di jalan-tengah
gereja itu sudah cukup untuk melegakan hatiku.
Kami menyanyikan katakata dari buku suci itu dan, ketika kami mulai menjadi
saksi bahwa Sabda akan menerangi semua bangsa, bintang siang dalam semua
kemuliaannya terasa seakan menguasai tempat suci itu. Sinar, yang masih belum
muncul, bagiku seakan berkilau dalam katakata dari himne bakung wangi, mistik,
yang membuka di antara pelengkung-pelengkung kubah itu. "Aku bersyukur kepadaMu,
O Aliahku, untuk saat kegembiraan
5 "Tuhan yang adalah kecemerlangan yang mengagumkan," dan "Bintang terang telah
terbit" penerj.?yang tak terlukiskan ini," aku berdoa dengan diam, dan berkata dalam hatiku,
"Hati yang tolol, apa yang kautakuti?"
Tibatiba terdengar bunyi-bunyi dari arah pintu utara. Aku ingin tahu mengapa
para pelayan, sementara mulai bekerja, mengganggu ibadat suci dengan cara ini.
Ketika itu tiga gembala babi masuk, wajah mereka ketakutan; mereka mendekati
Abbas dan membisikkan sesuatu kepadanya. Mulamula Abbas itu menenangkan mereka
dengan gerakan tangannya, seakanakan mengatakan ia tidak mau menghentikan doa
itu; tetapi seorang pembantu lain masuk, dan teriakan-teriakan makin keras. Ada
yang mengatakan, "Seseorang!
Orang mati!" Dan yang lainnya, "Seorang rahib. Kau lihat sandal itu?"
Doa itu dihentikan, dan sang Abbas bergegas keluar, sambil mengangguk kepada
Kepala Gudang untuk mengikutinya. William mengikuti di belakang mereka, tetapi
waktu itu rahib lainnya juga mulai meninggalkan bangku dan bergegas keluar.
Sekarang langit sudah terang, dan salju di atas tanah membuat lingkungan
bangunan itu justru lebih terang. Di belakang kapel, di depan kandang-kandang,
yang pada hari sebelumnya ada belanga besar dengan darah babi, suatu benda aneh,
hampir berbentuk salib, mencuat di atas tepi belanga itu, seperti dua batang
kayu ditancapkan di tanah, lalu ditutupi dengan baju compang-camping untuk
menakuti burung. Tetapi kedua batang kayu itu kaki manusia,
dua kaki seorang manusia yang ditancapkan dengan kepala terjungkir dalam belanga
darah. Abbas itu menyuruh mayat tersebut (karena tidak bakal ada orang hidup yang dapat
tetap berada dalam posisi aneh itu) dikeluarkan dari cairan mengerikan itu.
Beberapa gembala babi mendekati tepi belanga dengan ragu-ragu dan, sementara
diri mereka sendiri mulai tepercik darah, menarik benda berlumur darah yang
malang itu. Seperti sudah dijelaskan kepadaku, darah tersebut, karena sudah
langsung diaduk dengan baik setelah ditampung, dan kemudian dibiarkan di bawah
udara dingin di luar, belum mengental, tetapi lapisan yang menutupi mayat itu
sekarang mulai mengental; darah itu membuat jubah mayat itu basah kuyup, membuat
wajahnya tak dapat dikenali. Seorang pelayan mendekat dengan seember air dan
mengguyurkan sedikit di atas wajah jenazah yang tidak keruan itu. Yang lain
membungkuk untuk menyeka wajah itu dengan secarik kain. Dan di depan mata kami
muncul wajah putih Venantius dari Salvemec, sarjana Yunani yang kami ajak bicara
sore itu di dekat naskah Adelmo.
Abbas itu mendekat. "Bruder William, seperti kausaksikan sendiri, sesuatu sedang
berlangsung dalam biara ini, sesuatu yang meminta semua kebijaksanaanmu. Tetapi
aku mohon kepadamu: cepatlah bertindak!"
"Apa dia hadir dalam koor selama ibadat?" tanya William sambil menuding mayat
itu. "Tidak," kata Abbas itu. "Aku melihat bangkunya
kosong." "Tidak ada lainnya yang absen?"
"Rasanya begitu. Aku tidak melihat apa-apa yang aneh."
William termangu sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya, dan ia menanyakannya
sambil berbisik, sambil berhatihati jangan sampai terdengar yang lainnya,
"Berengar ada di bangkunya?"
Abbas itu memandang William dengan rasa heran yang gelisah, seakan untuk
menandakan bahwa ia kaget mendengar guruku sampai pada satu tuduhan yang sejenak
sudah ia pikirkan sendiri, untuk alasanalasan yang lebih dapat dimengerti. Lalu
ia berkata dengan cepat, "Ia ada di sana. Ia duduk di baris pertama, hampir di
sebelah kananku." "Tentu saja," kata William, "semua ini tidak berarti apa apa.
Aku percaya tidak ada orang yang memasuki tempat koor dari belakang bagian
gereja yang menonjol itu, dan oleh karenanya, bisa saja mayat itu sudah ada di
sana selama beberapa jam, paling tidak sejak saat setiap orang sudah pergi
tidur." "Untuk pastinya, para pelayan baru mulai bangun saat subuh, dan itulah sebabnya
mereka baru menemukannya sekarang."
William membungkuk di atas mayat itu, seakan sudah terbiasa menangani mayat. Ia
mencelupkan kain yang tergeletak di situ ke dalam air dalam ember dan
membersihkan wajah Venantius lebih lanjut. Sementara itu, rahib lainnya
berkerumun di sekeliling, ketakutan, membentuk suatu lingkaran
yang berisik sampai Abbas menyuruh mereka diam. Di antara lainlainnya, yang
sekarang berusaha untuk maju, datang Severinus, yang menangani masalah kesehatan
tubuh di dalam biara itu, dan ia membungkuk di samping guruku. Untuk
mendengarkan percakapan mereka, dan untuk membantu William, yang memerlukan
sehelai kain bersih basah, aku bergabung dengan mereka, sambil mengatasi
ketakutan dan rasa mualku.
"Apa kau pernah melihat seorang yang tenggelam?" tanya William.
"Banyak kali," kata Severinus. "Dan jika aku menduga apa yang ingin kaukatakan,
wajah mereka tidak seperti ini, biasanya membengkak."
"Jadi, orang ini sudah mati pada waktu seseorang melemparkan tubuhnya ke dalam
belanga." "Mengapa ia berbuat begitu?"
"Mengapa ia membunuhnya lebih dulu" Kita menghadapi pekerjaan dari suatu pikiran
yang terpelintir. Tetapi sekarang kita harus memeriksa apakah ada luka atau
lecet-lecet pada tubuh itu. Aku mengusulkan untuk membawanya ke klinik, dibuka
pakaiannya, dibersihkan dan diperiksa. Aku akan segera ke sana."
Dan sementara Severinus, setelah menerima izin dari Abbas, menyuruh para gembala
babi membawa pergi mayat tersebut, guruku minta agar para rahib disuruh kembali
ke tempat koor melalui jalan yang sudah mereka ambil sebelumnya, dan bahwa para
pelayan juga kembali ke tempat kerja melalui jalan yang sama, sehingga tempat
itu akan tetap kosong. Demikianlah maka tinggal kami berdua di sana, di samping belanga itu, di
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah darah yang tumpah selama mereka bekerja keras mengeluarkan mayat itu.
Salju di seputarnya menjadi merah, sementara di beberapa tempat di mana air
telah diguyurkan, salju itu meleleh; dan ada sebuah noda gelap besar di tempat
mayat itu tadi ditelentangkan.
"Kekacauan yang bagus," kata William sambil mengangguk ke arah pola ruwet bekas
langkah kaki yang ditinggalkan di manamana oleh para rahib dan pelayan. "Salju,
Adso terkasih, adalah perkamen mengagumkan yang di atasnya tertera tulisan yang
ditinggalkan oleh tubuh manusia, yang amat mudah dibaca. Tetapi lembaran
perkamen ini sudah banyak digores-gores, dan mungkin kita tidak akan membaca
sesuatu yang menarik di atasnya. Di antara sini dan gereja para rahib telah
berjalan dengan terburu-buru, di antara sini dan gereja, lumbung dan kandang-
kandang, para pelayan telah datang tergesagesa. Satusatunya tempat yang tidak
terjamah adalah antara lumbung dan Aedificium. Mari kita lihat apakah kita bisa
menemukan sesuatu yang menarik."
"Apa yang kauharap akan ditemukan?"
"Jika ia tidak melemparkan dirinya sendiri ke dalam belanga tersebut, maka ada
orang yang menggendongnya ke sana, kubayangkan sudah mati. Dan di atas salju,
seseorang yang menggendong tubuh orang lain akan meninggalkan jejak kaki yang
dalam. Jadi, lihat dan perhatikan jika kau menemukan beberapa bekas tapak kaki
di seputar sini yang menurutmu tampak lain dari tapak kaki para rahib yang berisik itu,
yang telah merusak perkamen kita itu."
Dan kami mulai bekerja. Dan aku akan langsung mengatakan bahwa akulah, Tuhan,
ampuni semua kesombonganku, yang menemukan sesuatu di antara belanga itu dan
Aedificium. Itu adalah jejak kaki manusia, amat dalam, dalam suatu zona yang
belum dilewati lagi oleh siapa pun dan, ketika langsung diamati oleh guruku,
lebih tipis daripada jejak kaki yang ditinggalkan oleh para rahib dan pelayan
itu, suatu tanda bahwa lebih banyak salju yang turun, dan artinya jejak itu
sudah ada beberapa waktu sebelumnya. Tetapi apa yang bagi kami tampak paling
mencolok adalah bahwa di antara jejakjejak kaki itu ada suatu jejak yang lebih
menyambung, seperti jejak dari sesuatu yang telah diseret oleh orang yang meninggalkan jejak kaki
itu. Singkatnya, suatu jalur yang berlangsung dari belanga itu menuju pintu
ruang makan, di samping Aedificium, di antara menara selatan dan menara timur.
"Ruang makan, skriptorium, perpustakaan," kata William. "Sekali lagi,
perpustakaan. Venantius meninggal di dalam Aedificium, dan hampir mungkin di
dalam perpustakaan."
"Dan kenapa tepatnya di perpustakaan?"
"Aku tengah berusaha mendudukkan diriku sendiri di tempat si pembunuh. Andaikan
Venantius telah meninggal, telah dibunuh, di dalam ruang makan, di dalam dapur,
atau di dalam skriptorium,
mengapa tidak ditinggalkan di sana" Tetapi jika meninggal di dalam perpustakaan,
maka ia harus dibawa ke suatu tempat lain, sekaligus karena di dalam
perpustakaan mayat itu tidak bakal pernah diketemukan (dan mungkin si pembunuh
khusus berminat membuat mayat itu diketemukan) dan karena si pembunuh mungkin
tidak ingin perpustakaan menjadi pusat perhatian."
"Dan mengapa si pembunuh berminat membuat mayat itu diketemukan?"
"Aku tidak tahu. Aku bisa menyarankan beberapa hipotesis. Bagaimana kita tahu
bahwa si pembunuh membunuh Venantius karena ia membenci Venantius" Tentu saja ia
bisa membunuhnya, dan bukan orang lainnya, untuk meninggalkan suatu tanda, untuk
menunjukkan sesuatu yang lain."
"Omnis mundi creatura, quasi liber et scriptura
gumamku. "Tetapi kira-kira pertanda apa itu?"
"Itu yang aku tidak tahu. Tetapi jangan lupa bahwa ada juga pertanda yang
tampaknya sedemikian rupa dan ternyata tidak ada maknanya, sekadar blitiri dan
bla-bla-bla ...." "Akan sangat tidak sopan," kataku, "membunuh seseorang hanya untuk mengatakan
bla-bla-bla!" "Akan sangat tidak sopan," tukas William, "membunuh seseorang justru untuk
mengucapkan 'Credo in unum Deum'6
Saat itu Severinus mendatangi kami. Mayat itu
6 Syahadat penerj?sudah dicuci dan diperiksa dengan saksama. Tidak ada luka, tidak ada lecet pada
kepala. "Apa kau punya racunracun dalam laboratoriummu?" tanya William, sementara kami
berjalan menuju klinik. "Salah satu di antaranya. Tetapi itu tergantung pada apa yang kaumaksudkan
dengan racun. Ada bahanbahan yang dalam dosis kecil menyehatkan dan dalam dosis
berlebihan menyebabkan kematian.
Sebagaimana halnya setiap herbalis yang baik, aku menyimpannya, dan kugunakan
secara diamdiam. Dalam kebunku, aku menanam, misalnya saja, valerian. Beberapa
tetes valerian dalam suntikan yang terbuat dari dedaunan obat lainnya akan
menenangkan jantung jika detaknya tidak teratur. Dosis yang terlalu banyak
menyebabkan kantuk dan kematian."
"Dan kauperhatikan tidak ada pertanda dari racun khusus apa saja pada mayat
itu?" "Sama sekali tidak ada. Tetapi banyak racun tidak meninggalkan jejak."
Kami sudah sampai ke klinik. Mayat Venantius, setelah dibersihkan di pemandian,
sudah dibawa kemari dan terbaring di atas meja besar dalam laboratorium
Severinus: alembik dan alat-alat lainnya dari kaca dan tanah liat membuatku
membayangkan toko seorang ahli kimia (kendati hal-hal semacam itu hanya kudengar
melalui percakapan tidak langsung). Di atas beberapa rak memanjang yang menempel
pada dinding dekat pintu, berjajar banyak sekali rangkaian pot kecil, ampul,
kendi, belanga, penuh dengan bahanbahan yang berwarnawarni.
"Koleksi bahanbahan yang bagus," kata William. "Semua produksi dari kebunmu?"
"Tidak," kata Severinus, "banyak bahan, langka, atau tidak mungkin tumbuh dalam
iklim ini, yang selama bertahuntahun kuterima sebagai buah tangan para rahib
yang datang dari setiap bagian dunia ini. Aku punya banyak benda amat berharga
yang tidak bisa didapatkan segera, juga bahanbahan yang dengan mudah diperoleh
dari dunia flora setempat. Kau lihat ... aghalingho pesto berasal dari Cathay,
Cina; aku memerolehnya dari seorang Arab yang pandai, lidah buaya India, obat
penyembuh luka yang bagus sekali. Arient segar membuat orang mati tetap hidup,
atau, lebih baik dikatakan, membangunkan mereka yang telah kehilangan akal.
Arsenako: amat berbahaya, racun mematikan bagi siapa saja yang menelannya.
Boraks, tanaman yang bagus untuk menyembuhkan paru-paru. Betoni, baik untuk
keretakan pada kepala. Mastik: menenangkan aliran darah ke paru-paru dan katarak
yang mengganggu. M i r ...."
"Hadiah Tiga Raja?" tanyaku.
"Sama. Tetapi sekarang dipakai untuk mencegah keguguran kandungan, dipetik dari
sebuah pohon yang disebut Balsamodendron myrra. Dan ini mumia, amat langka,
dihasilkan oleh pembusukan mayat yang dibuat mumi; digunakan untuk menyiapkan
banyak obat yang hampir ajaib. Mandragora officinalis, baik untuk tidur ...."
"Dan merangsang nafsu dari daging," komentar guruku.
"Begitu kata orang, tetapi kau bisa membayangkan bahwa di sini ini tidak
digunakan untuk tujuan tersebut." Severinus tersenyum.
"Dan lihat ini," katanya sambil menurunkan sebuah ampul. "Tuttyz, ajaib untuk
mata." "Dan ini apa?" tanya William dengan suara gembira, sambil menyentuh sebuah batu
yang tergeletak di atas sebuah rak.
"Itu" Itu diberikan kepadaku beberapa waktu yang lalu. Tampak jelas batu itu
punya khasiat terapeutik, tetapi aku belum menemukan apa itu. Apa kau tahu itu?"
"Ya," kata William, "tetapi bukan sebagai obat." Ia mengeluarkan sebilah pisau
kecil dari dalam jubahnya dan memegangnya di dekat batu tersebut. Ketika pisau
itu, bergera oleh tangannya dengan amat pelan, sampai ke dekat batu tersebut,
aku melihat pisau itu mendadak melompat, seakan William telah menggerakkan
pergelangan tangannya, yang, bagaimanapun juga, tetap tidak bergerak. Dan pisau
itu menempel pada batu tersebut sambil mengeluarkan bunyi metalik yang lembut.
"Kau lihat," kata William kepadaku, "ini menarik besi."
"Dan apa kegunaannya?" tanyaku.
"Kegunaannya macam-macam, nanti kuceritakan kepadamu. Tetapi untuk saat ini, aku
hanya ingin tahu, Severinus, kalaukalau di sini ada
7 Seng, elemen kimiawi dengan simbol Zn pen.?sesuatu yang bisa membunuh seseorang."
Severinus merenung sejenak terlalu lama, menurutku, untuk mempertimbangkan
kejelasan dari jawabannya, "Banyak benda. Seperti sudah kukatakan, garis antara
racun dan obat itu amat halus; untuk keduanya orang Yunani menggunakan kata
'pharmacon'." "Dan tidak ada yang telah dipindahkan akhir-akhir ini?" Severinus merenung lagi,
kemudian, seakan mempertajam katakatanya, "Tidak ada akhir-akhir ini."
"Dan pada masa lalu?"
"Siapa tahu" Aku tidak ingat. Aku sudah tinggal di biara ini selama tiga puluh
tahun, dan dua puluh lima tahun bertugas di klinik."
"Terlalu lama untuk ingatan seorang manusia," William membenarkan.
Kemudian, tibatiba, ia berkata, "Kemarin kita membicarakan tentang tumbuh-
tumbuhan yang dapat merangsang penampakan.
Yang mana itu?" Gerakgerik Severinus dan ekspresi pada wajahnya menunjukkan suatu keinginan
besar untuk menghindari pokok pembicaraan itu.
"Kau tahu, sudah tentu aku harus berpikir dulu. Aku punya begitu banyak bahan di
sini. Tetapi lebih baik mari kita bicarakan tentang kematian Venantius.
Bagaimana pendapatmu tentang itu?"
"Sudah tentu aku harus berpikir dulu," jawab William. []
Prima Dalam cerita ini, Benno dari Uppsala menceritakan rahasia tertentu, lainnya
diceritakan oleh Berengar dari Arundel, dan Adso mempelajari dari pertobatan
yang sebenarnya. ^rjj-^ristiwa mengerikan itu telah mengganggu "yr kehidupan komunitas tersebut.
Kebingungan akibat ditemukannya mayat tadi telah memutus ibadat suci itu. Abbas
langsung menyuruh para rahib kembali ke tempat koor, untuk mendoakan jiwa
saudara mereka. Suara para rahib itu terputus-putus. William dan aku memilih duduk dalam suatu
posisi yang memungkinkan kami mengamati wajah mereka yang pada saat liturgi
tidak perlu menurunkan tudung kepala mereka. Kami langsung melihat wajah
Berengar. Pucat, murung, mengilat oleh peluh.
Di sebelah Berengar tampak oleh kami Maleakhi. Murung, mengernyitkan kening,
tidak bersemangat. Di sebelahnya, juga tanpa semangat, adalah wajah Jorge yang
buta. Di lain pihak, kami mengamati gerakgerik Benno dari Uppsala yang gelisah,
sarjana retorika yang kami temui hari sebelumnya di skriptorium; dan kami
memergokinya melirik Maleakhi
sebentar. "Benno gelisah, Berengar ketakutan," komentar William. "Mereka harus
segera ditanyai." "Mengapa?" tanyaku tidak paham.
"Tugas kita ini berat," kata William. "Suatu tugas berat, tugas seorang
inkuisitor, yang harus menyerang yang paling lemah, dan pada saat mereka sedang
dalam keadaan sangat lemah."
Nyatanya, begitu ibadat berakhir, kami berpapasan dengan Benno, yang mau menuju
perpustakaan. Orang muda itu tampak kaget mendengar William memanggilnya, dan
menggumamkan suatu alasan yang sudah ia hafal tentang harus menyelesaikan
pekerjaan. Kelihatannya ia terburu-buru pergi ke skriptorium. Tetapi guruku
mengingatkan Benno bahwa ia sedang menjalankan permintaan Abbas untuk
menyelidiki, dan mengajak Benno masuk kloster. Kami duduk di dinding sebelah
dalam, di antara dua pilar. Sambil dari waktu ke waktu memandang ke arah
Aedificium, Benno menunggu William mulai bicara.
"Baiklah kalau begitu," William mulai bertanya, "apa yang kaukatakan pada hari
itu ketika kau mendiskusikan gambar tepi Adelmo bersama Berengar, Venantius,
Maleakhi, dan Jorge?"
"Kau sudah dengar kemarin. Waktu itu Jorge mengatakan bahwa menggunakan gambar
aneh untuk menghiasi buku yang berisi kebenaran adalah haram. Dan Venantius
berpendapat bahwa Aristoteles sendiri telah membicarakan tentang kejenakaan dan
permainan kata sebagai alat yang lebih baik untuk mengungkapkan kebenaran, dan
karenanya tawa belum tentu suatu hal yang buruk jika bisa menjadi sarana
kebenaran. Jorge berkata bahwa, sejauh yang bisa diingatnya, Aristoteles sudah
menyebutkan hal-hal ini dalam bukunya, Poetics, waktu membicarakan metafora. Dan
dalam buku itu sendiri ada dua keadaan yang mengganggu, pertama karena buku
Poetics itu, begitu lama tidak dikenal oleh dunia Kristen, yang mungkin oleh
dekrit suci, sekarang dibawa kepada kita oleh bangsa Moor yang kafir
"Tetapi buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang doktor
suci dari Aquino," kata William.
"Itulah yang kukatakan kepada Jorge," jawab Benno, langsung bersemangat. "Aku
tidak lancar berbahasa Yunani dan aku bisa mempelajari buku hebat itu, terus
terang saja, hanya melalui terjemahan William dari Moerbeke. Ya, aku bilang
begitu. Tetapi Jorge menambahkan bahwa alasan kedua yang menimbulkan kegelisahan
adalah bahwa dalam buku itu, Stagirite itu, membicarakan puisi, yang merupakan
doktrin murahan dan yang ada dalam isapan jempol.
Dan Venantius berkata bahwa Mazmur, juga, berupa karya puisi dan menggunakan
metafora; dan Jorge menjadi marah karena menurutnya Mazmur adalah hasil karya
inspirasi suci dan menggunakan metafora untuk menyampaikan kebenaran, sementara
karya penyair kafir itu menggunakan metafora untuk menyampaikan kebohongan dan
untuk tujuan kesenangan belaka, sebuah ucapan
yang membuatku amat tersinggung ...." "Mengapa?"
"Karena aku mempelajari retorika, dan aku membaca banyak penyair kafir, dan aku
tahu ... atau aku percaya bahwa katakata mereka telah menyampaikan kebenaran asli
Kristen pula .... Singkat kata, pada waktu itu, kalau aku tidak salah ingat, Venantius juga
menyebutkan bukubuku lainnya dan Jorge menjadi amat marah."
"Buku apa?" Benno tertegun. "Aku tidak ingat. Apa masalahnya dengan bukubuku yang disebutkan
itu?" "Masalahnya besar sekali, karena di sini kita sedang berusaha memahami apa yang
telah terjadi di kalangan orangorang yang hidup di antara buku, bersama buku,
dari buku, dan karenanya katakata mereka tentang buku juga penting."
"Memang," kata Benno, sambil tersenyum untuk pertama kalinya, wajahnya makin
berseri-seri. "Kami hidup untuk buku. Suatu misi indah di dunia yang didominasi
oleh kekacauan dan kemerosotan ini. Mungkin, kelak, kau akan memahami apa yang
telah terjadi pada kesempatan itu. Venantius, yang fasih yang amat menguasai
bahasa Yunani, mengatakan bahwa Aristoteles telah mengabdikan buku Poetics yang
kedua khususnya pada tawa, dan kalau seorang filsuf yang sedemikian hebat
mengabdikan seluruh buku itu pada tawa, maka tawa tentu penting. Jorge berkata
bahwa banyak pendeta telah mengabdikan seluruh buku untuk dosa, yang merupakan
buku penting, tetapi jahat;
dan Venantius berkata bahwa sejauh ia ketahui, Aristoteles telah membicarakan
tawa sebagai sesuatu yang baik dan suatu alat kebenaran; dan kemudian Jorge
menanyakan kepadanya dengan sinis apakah ia pernah mendapat kesempatan untuk
membaca buku Aristoteles ini; dan Venantius berkata bahwa tak seorang pun telah
membacanya, karena buku itu belum pernah diketemukan dan mungkin sudah hilang
untuk selamanya. Dan, dalam kenyataan, William dari Moerbeke belum pernah
memilikinya. Kemudian Jorge mengatakan bahwa jika tidak pernah diketemukan, ini
karena buku itu belum pernah ditulis, karena Tuhan tidak menghendaki hal-hal
jelek dimuliakan. Aku ingin menenangkan semangat setiap orang, karena Jorge
mudah marah dan Venantius terangterangan berbicara untuk mendorong kemarahan
Jorge, dan karenanya aku katakan bahwa dalam bagian dari Poetics yang kita tidak
tahu itu, dan di dalam Rhetoric, tentu ditemukan banyak observasi bijaksana
tentang perumpamaan lucu, dan Venantius sepakat denganku. Sekarang, ikut bicara
Pacificus dari Tivoli, yang mengenal penyair kafir dengan amat baik, dan ia
berkata bahwa kalau sampai pada masalah perumpamaan lucu, tidak ada orang yang
bisa mengungguli para penyair Afrika. Ia mengutip, nyatanya, perumpamaan tentang
ikan, dari Symphosius: Est domus in terris, ciara quae voce resuitat. Ipsa domus resonat, tacitus sed
non sonat hospes. Ambo tamen currunt, hospes simul e t domus una. e
"Saat itu Jorge mengatakan bahwa Yesus telah
mendesak agar pembicaraan kita menjadi ya atau
tidak, karena penjelasan apa saja selanjutnya,
datang dari Yang Jahat; dan bahwa untuk
menyebutkan ikan, sudah cukup menyebut 'ikan1,
tanpa mengungkapkan gagasan di balik bunyi-bunyi
bohong. Dan ia menambahkan bahwa baginya,
rasanya tidak bijaksana untuk mengambil orang
orang Afrika itu sebagai contoh .... Dan kemudian ii
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kemudian?" "Kemudian sesuatu telah terjadi yang tidak kumengerti. Berengar mulai tertawa.
Jorge membentaknya, dan berkata bahwa Berengar tertawa karena timbul dalam
benaknya bahwa jika ada yang dengan cermat mencari cari di antara karya Afrika,
akan ditemukan perumpamaan lain yang amat berbeda, dan tidak begitu gampang
seperti perumpamaan tentang ikan itu. Maleakhi, yang juga hadir, menjadi berang,
mencekal tudung kepala Berengar dan menyuruhnya kembali bekerja .... Berengar, kau
tahu, adalah asisten "Dan sesudah itu?"
"Sesudah itu Jorge mengakhiri argumentasi itu
8 Ada rumah di bumi, yang menggema dengan suara nyaring//Rumah itu sendiri
memantulkan suara, tamunya diam dan tidak bersuara//Tetapi keduanya berjalan
cepat, tamu bersama dengan satu rumah penerj.?dengan meninggalkan kami. Kami semua kembali ke pekerjaan kami, tetapi sementara
bekerja, mulamula aku melihat Venantius, kemudian Adelmo menghampiri Berengar
dan menanyakan sesuatu. Dari kejauhan aku melihat Berengar mengelakkan
pertanyaan mereka, tetapi pada siang hari itu keduanya juga mendatangi Berengar
lagi. Dan petang harinya aku melihat Adelmo dan Berengar tengah mengobrol di
dalam kloster sebelum memasuki ruang makan. Nah, itu semua yang kutahu."
"Kau tahu, nyatanya, bahwa kedua orang yang akhir akhir ini meninggal dalam
keadaan misterius itu telah menanyakan sesuatu kepada Berengar," kata William.
Benno menjawab dengan sikap tidak nyaman. "Aku tidak berkata begitu! Aku
menceritakan apa yang telah terjadi hari itu, karena kau bertanya Ia merenung
sejenak, lalu buruburu menambahkan, "Tetapi jika kau ingin tahu pendapatku,
Berengar menceritakan kepada mereka tentang sesuatu dalam perpustakaan, dan itu
tempat yang harus kauselidiki."
"Mengapa kau berpikir tentang perpustakaan" Apa yang dimaksud oleh Berengar
tentang mencaricari di antara buku Afrika" Apa itu bukan berarti bahwa penyair
Pendekar Buta 7 Shugyosa Samurai Pengembara 8 Bagus Sajiwo 8
hebat oleh herbalis itu De plantis atau De causis, dua karya yang belum kukenal,
tetapi dari percakapan itu, agaknya pasti buku yang amat hebat.
"Aku akan senang sekali," Severinus menyimpulkan, "bisa omongomong tentang
tanaman obat secara terbuka denganmu."
"Aku justru lebih senang lagi," kata William, "tetapi apa kita tidak akan
menentang aturan untuk diam, yang aku yakin dikenakan dalam ordomu?"
"Regula itu," kata Severinus, "selama berabadabad telah disesuaikan menurut
kebutuhan komunitas yang berbedabeda. Regula itu menggariskan lectio divina, hal
memilih kebijaksanaan, tetapi bukan studi, dan toh kau tahu seberapa banyak ordo
kami telah mengembangkan penelitian menjadi masalah manusia dan masalah suci.
Juga, Regula itu menetapkan suatu asrama umum, tetapi ada kalanya tepat kalau
rahib juga mendapat, seperti yang kami lakukan di sini, kesempatan bermeditasi
pada malam hari, dan karenanya kami masingmasing punya bilik sendiri. Regula
memang melarang keras berbicara, dan dengan kami di sini, tidak hanya rahib yang
melakukan pekerjaan kasar, tetapi juga mereka yang bertugas menulis atau
membaca, tidak boleh bercakap cakap dengan saudarasaudara mereka. Tetapi biara
ini yang pertama dan paling dulu menjadi komunitas sarjana,
dan sering berguna bagi para rahib untuk saling tukar kekayaan pengetahuan
mereka yang menumpuk itu. Semua percakapan berkaitan dengan studi kami dianggap
sah dan bermanfaat, asalkan tidak dilakukan di ruang makan atau pada jam-jam
ibadah." "Apa kau punya banyak peluang untuk berbicara dengan Adelmo dari Otranto?"
tibatiba William bertanya.
Severinus tidak tampak kaget. "Aku tahu Abbas sudah bicara denganmu," katanya.
"Tidak, aku tidak sering bercakapcakap dengan Adelmo. Ia menghabiskan waktunya
untuk menggambar. Aku memang kadang mendengar dia bercakapcakap dengan rahib
lainnya, Venantius dari Salvemec, atau Jorge dari Burgos, tentang sifat
pekerjaannya. Di samping itu, sehari-harinya aku tidak bekerja di skriptorium,
tetapi di laboratoriumku." Dan ia mengangguk ke arah bangunan tempat pengobatan.
"Aku paham," kata William. "Jadi, kau tidak tahu apakah Adelmo mendapat
khayalan-khayalan." "Khayalan?" "Seperti yang dirangsang oleh obatmu, misalnya."
Severinus kaget. "Sudah kukatakan kepadamu: aku menyimpan obat berbahaya dengan
sangat cermat." "Bukan itu maksudku," buruburu William menjelaskan. "Aku bicara tentang khayalan
pada umumnya." "Aku tidak mengerti," Severinus bersikeras.
"Aku membayangkan ada seorang rahib berjalan
jalan pada malam hari di sekitar Aedificium, seizin Abbas, di mana ... hal-hal
mengerikan bisa terjadi atas mereka ... pada jam-jam terlarang yah, maksudku, aku
sedang berpikir bahwa ia mungkin mendapat khayalan menyeramkan yang mendorongnya
ke tebing itu." "Sudah kukatakan kepadamu, aku tidak mengunjungi skriptorium, kecuali kalau
butuh sebuah buku; tetapi biasanya aku punya pustaka herbarium sendiri, yang
kusimpan di klinik. Seperti sudah kukatakan, Adelmo amat dekat dengan Jorge,
Venantius, dan ... tentu saja, Berengar."
Bahkan aku merasakan sedikit keraguan dalam suara Severinus.
Itu juga dirasakan oleh guruku. "Berengar" Dan mengapa 'tentu saja'?"
"Berengar dari Arundel, asisten pustakawan. Mereka seusia, dulu sama-sama novis,
jadi normal kalau ada hal-hal yang dibicarakan bersama. Itu yang kumaksud."
"Ah, jadi itu yang kaumaksud," ulang William. Dan aku jadi heran William tidak
mengorek terus masalah itu. Nyatanya, ia justru mengganti topik pembicaraan.
"Tetapi mungkin sudah waktunya bagi kami untuk mengunjungi Aedificium. Maukah
kau mengantar kami?"
"Dengan senang hati," kata Severinus, tampak jelas amat lega.
Ia mengantar kami melalui sisi kebun dan membawa kami ke teras barat Aedificium
itu. "Pintu yang menghadap kebun itu menuju ke
dapur," katanya, "tetapi dapur itu hanya menempati setengah lantai bawah bagian
barat; ruang makan menempati setengahnya yang lain. Dan pada pintu masuk bagian
selatan, yang bisa dicapai dari balik ruang koor di dalam gereja, ada dua pintu
lagi menuju dapur dan ruang makan. Tetapi kita bisa masuk dari sini, karena dari
dapur kita lalu bisa masuk ke ruang makan."
Waktu memasuki dapur yang luas itu, aku menyadari bahwa seluruh tinggi Aedificium itu mengelilingi suatu bidang oktagonal; kelak kupahami sebagai semacam
sumur besar sekali, yang tidak bisa dimasuki. Pada setiap lantai, jendelajendela
besar, seperti jendelajendela di bagian-luar, membuka ke arah itu. Dapur itu
berupa suatu aula depan yang penuh asap. Banyak pelayan sibuk menyiapkan
hidangan malam di situ. Di atas sebuah meja besar dua pelayan sedang membikin
pai dari sayuran, barley, oat, dan gandum, memotong-motong lobak, seledri, lobak
merah, dan wortel. Di dekatnya, seorang koki lain baru selesai merendam beberapa ikan dalam suatu
campuran anggur dan air, dan membubuhi ikan itu dengan saus dari saga,
peterseli, daun salam, bawang, merica, dan garam.
Di bawah menara barat ada sebuah pemanggangan roti yang besar; apinya sudah
memerah. Di menara selatan ada sebuah tungku besar sekali, di atasnya pancipanci
besar mulai mendidih dan panggangan daging mulai berputar. Para gembala
membawa daging babi yang sudah disembelih masuk dapur melalui pintu yang membuka
ke peternakan di belakang gereja. Kami keluar lagi lewat pintu yang sama itu dan
sampai ke halaman, di ujung timur laut tempat itu, menghadap temboktembok, di
mana berdiri banyak bangunan.
Severinus menjelaskan kepadaku bahwa bangunan yang pertama adalah serangkaian
lumbung, kemudian kandang kuda, lalu kandang sapi, dan sesudah itu petarangan
ayam, dan halaman berpagar untuk biribiri.
Di luar kandang babi, para gembala tengah mengaduk sebuah belanga besar berisi
darah dari babi yang baru saja disembelih, agar tidak membeku. Jika diaduk
secara langsung dan tepat, darah itu akan tetap cair selama beberapa hari,
berkat cuaca dingin, dan kemudian dapat dibikin saren.
Kami masuk kembali ke dalam Aedificium dan melirik sebentar ke ruang makan
ketika menyeberanginya, menuju ke arah menara timur.
Dari dua menara yang di tengahnya dibangun ruang makan itu, yang utara ditempati
sebuah tungku, dan yang lain sebuah tangga melingkar menuju skriptorium di
lantai atas. Lewat tangga ini para rahib naik ke tempat kerja mereka setiap
hari, atau lewat dua tangga lainnya, kurang nyaman tetapi cukup hangat, yang
naik dalam bentuk spiral di balik tungku di sini dan di balik pemanggangan di
dapur. William bertanya apa ada orang dalam skriptorium karena ini hari Minggu.
Severinus tersenyum dan mengatakan bahwa kerja, bagi rahib Benediktin, adalah
berdoa. Ibadat pada hari Minggu berlangsung lebih lama, tetapi para rahib yang
bertugas mengerjakan buku akan melewatkan beberapa jam di atas sana, biasanya
bertukar pikiran yang bermanfaat tentang observasi ilmiah, saling minta
pendapat, dan melakukan refleksi tentang Injil Suci. []
Setelah Nona Dalam cerita ini mereka mengunjungi skriptorium, dan bertemu dengan banyak
sarjana, penyalin, dan rubrikator,juga seorang tua buta yang tengah mengharapkan
kedatangan Antikritus itu.
/Tvy^jBtika kami mendaki tangga aku melihat gu-<_S\_ ruku mengamati
jendelajendela yang menerangi tangga. Bisa jadi aku lebih pintar daripadanya,
karena aku langsung memerhatikan bahwa posisi jendelajendela itu akan membuat
orang sulit mencapainya. Di lain pihak, jendelajendela ruang makan (hanya
jendela di ruang makan itu yang menghadap permukaan jurang) agaknya juga tidak
mudah dicapai, karena di bawah jendela jendela itu tidak ada apa-apa.
Waktu sampai di ujung atas tangga itu, kami menerobos menara timur masuk ke
skriptorium, dan di sana aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru
keheranan. Lantai ini tidak dibagi dua seperti lantai di bawahnya, dan di mataku
tampak begitu amat luas. Langitlangitnya, melengkung tetapi tidak terlalu tinggi
(lebih rendah daripada dalam sebuah gereja, tetapi masih lebih tinggi daripada
dalam setiap biara yang pernah kulihat),
ditunjang oleh pilar-pilar kukuh, di tengahnya ada suatu ruang yang diliputi
cahaya paling indah, karena pada setiap sisinya yang panjang ada tiga jendela
besar yang terbuka, sementara ada satu jendela lebih kecil pada masingmasing
lima sisi luar masingmasing menara. Akhirnya, delapan jendela tinggi, tidak
lebar, membuat cahaya bisa masuk dari sumur di tengah yang oktagonal itu.
Banyaknya jendela membuat ruangan besar itu diperindah oleh suatu cahaya yang
terusmenerus menyebar, bahkan pada sore hari di musim dingin. Kaca jendelanya
tidak berwarna seperti jendela gereja, dan kaca jernih persegi berbingkai timah
itu membuat cahaya bisa masuk dalam kemungkinan cara paling murni, tidak
dimodulasi oleh seni manusia, dan karenanya cocok dengan tujuannya, yaitu
menerangi pekerjaan membaca dan menulis. Pada waktu dan tempat lainnya aku sudah
melihat banyak skriptorium, tetapi tidak ada yang seterang itu. Dalam curahan
cahaya fisik yang membuat ruangan itu terang benderang, prinsip spiritual yang
dilahirkan kembali oleh cahaya itu, terang benderang, sumber semua keindahan dan
pengetahuan, proporsi ruangan itu mengandung sifat tak terpisahkan. Karena ada
tiga hal yang sekaligus menciptakan keindahan: yang paling penting adalah
integritas atau kesempurnaan, dan untuk alasan ini semua benda yang tidak
lengkap dianggap jelek; kemudian proporsi atau konsonansi yang pas; dan akhirnya
kejernihan dan cahaya, dan
bendabenda yang punya warna tertentu memang kita anggap indah. Dan karena
keindahan yang tampak itu memberi kesan damai, dan karena selera kami juga
ditenangkan oleh kedamaian, oleh yang baik, dan oleh yang indah, aku merasa
seluruh diriku merasa amat terhibur dan kubayangkan betapa menyenangkan bekerja
di tempat itu. Seperti yang kusaksikan dengan kedua mataku pada sore hari itu, bagiku tempat
itu seolah suatu bengkel pengetahuan yang menyenangkan. Kelak aku melihat
skriptorium yang sama besarnya di St. Gali, juga terpisah dari perpustakaan (di
biara lainnya para rahib bekerja di mana bukubuku juga disimpan), tetapi tidak
ditata seindah yang ini. Ahli purbakala, pustakawan, rubrikator, dan sarjana
duduk di sana, masingmasing di meja tulisnya sendiri, dan ada satu meja tulis di
bawah masing masing jendela.
Dan karena di sana ada empat puluh jendela (sungguh jumlah yang sempurna,
diambil dari penggandaan quadragon, seakan Sepuluh Perintah Allah
dilipatgandakan oleh kebaikan bilangan pokok empat), empat puluh rahib dapat
bekerja berbarengan, meskipun waktu itu mungkin hanya tiga puluh. Severinus
menjelaskan kepada kami bahwa rahib yang bekerja di skriptorium dibebaskan dari
ibadat tersiat, sexta, dan nona, sehingga tidak usah meninggalkan pekerjaan
mereka selama siang hari, dan baru berhenti bekerja setelah matahari terbenam,
untuk vespers. Tempat yang paling terang disediakan untuk
ahli purbakala, ahli gambar terbaik, rubrikator, dan penyalin buku. Masingmasing
meja tulis dilengkapi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menggambar dan
menyalin: tempat tinta, pena bulu ayam lancip yang waktu itu beberapa rahib
sedang meruncingkannya dengan pisau tipis, batu apung untuk melicinkan perkamen,
penggaris untuk menggambar garis yang akan diikuti oleh tulisan. Di sebelah
masingmasing penulis, atau di atas meja tulis yang miring itu, ada sebuah lesnar
untuk meletakkan naskah yang akan disalin, halamannya ditutupi dengan suatu
lembaran dengan lubang yang membingkai baris yang sedang disalin waktu itu. Dan
ada yang punya tinta emas dan berbagai warna. Rahib lainnya sekadar membaca
buku, dan mereka menuliskan anotasi mereka dalam bloknot atau di atas batu
tulis. Bagaimanapun juga, aku tidak punya waktu untuk mengamati pekerjaan mereka,
karena pustakawan itu mendatangi kami. Kami sudah tahu bahwa dia adalah Maleakhi
dari Hildesheim. Wajahnya berusaha menunjukkan ekspresi menyambut dengan baik,
tetapi aku tidak tahan untuk tidak gemetar melihat suatu roman muka yang ganjil
semacam itu. Orangnya jangkung dan sangat kurus, dengan kaki besar dan aneh.
Ketika ia melangkah dengan lebar, dalam jubah hitam ordo itu, ada sesuatu yang
tidak menyenangkan dengan penampilannya.
Tudung jubahnya, yang masih dikenakan karena baru masuk dari luar, melemparkan
bayangbayang pada kepucatan wajahnya dan memberikan suatu kualitas penderitaan tertentu pada
matanya yang besar dan melankolis. Dalam fisiognominya2i ada sesuatu yang
agaknya merupakan bekas dari banyak gairah yang telah didisiplinkan oleh
keinginannya tetapi yang seakan membekukan roman yang sekarang sudah tidak lagi
hidup itu. Kesedihan dan kekerasan menonjolkan garis-garis wajahnya, dan matanya
begitu tajam sehingga dengan satu lirikan saja kedua mata itu dapat menembus
jantung orang yang berbicara dengannya, dan membaca rahasia pikiran, sehingga
sulit menoleransi pertanyaan kedua mata itu dan orang tidak akan tergoda untuk
bertemu dengan mata itu lagi untuk kedua kalinya.
Maleakhi memperkenalkan kami kepada rahibrahib yang waktu itu tengah bekerja. Ia
juga menyebutkan tugas mereka masingmasing, dan aku mengagumi devosi mendalam
dari mereka semua kepada ilmu pengetahuan dan kepada studi tentang sabda suci.
Maka aku berkenalan dengan Venantius dari Salvemec, penerjemah dari bahasa
Yunani dan Arab, pemuja Aristoteles yang tampak jelas paling bijaksana dari
semua orang. Benno dari Uppsala, seorang rahib bangsa Skandinavia yang
mempelajari retorika. Aymaro dari Alessandria, yang baru beberapa bulan menyalin
buku buku yang dipinjamkan pada perpustakaan, dan kemudian
21 Ilmu wajah (penggambaran kualitas watak dan sikap seseorang) pen.?22 Kebaktian yang tidak resmi, misalnya doa rosario, penghormatan kepada
santo pen. ?sekelompok pelukis dari berbagai negara, Patrick dari Clonmacnois, Rabano dari
Toledo, Magnus dari Iona, Waldo dari Hereford.
Daftar ini masih bisa ditambah, dan tidak ada yang lebih mengagumkan daripada
sebuah daftar, alat pengandaian yang mengagumkan. Tetapi aku harus mengikuti
pembicaraan kami, yang dari situ muncul banyak indikasi berguna yang menunjukkan
adanya kegelisahan tidak kentara di kalangan para rahib itu, dan beberapa
keprihatinan, yang tidak diungkapkan, dan masih membebani semua percakapan kami.
Guruku mulai bicara dengan Maleakhi, sementara memuji keindahan dan ketekunan
para rahib di skriptorium, dan menanyakan prosedur untuk pekerjaan yang
diselesaikan di sini, karena, katanya dengan penuh semangat, ia sudah mendengar
perpustakaan ini dibicarakan di manamana, dan ingin tahu lebih banyak bukubuku
itu. Maleakhi menjelaskan kepadanya seperti yang sudah dikatakan sang Abbas:
seorang rahib meminta kepada pustakawan buku yang ingin ia pakai berkaitan
dengan pekerjaannya, dan jika permintaan itu dapat dibenarkan dan tulus, maka
pustakawan itu pergi mengambilkannya dari perpustakaan di atas. William
menanyakan cara agar ia bisa menemukan judul-judul buku yang disimpan dalam
kotak-kotak di atas, dan Maleakhi menunjukkan sebuah naskah kuno amat tebal
berisi daftar yang ditulis dengan amat rapat, diikat dengan sebuah rantai emas
di atas meja tulisnya sendiri. William menyelipkan tangannya ke dalam jubah, di tempat di mana jubah itu
menggelembung di atas dadanya yang membentuk semacam kantong, dan dari situ ia
mengeluarkan benda yang sudah pernah kulihat selama perjalanan kami, dan
menempelkannya pada wajahnya.
Itu berupa jepitan bercabang, dibuat sedemikian rupa sehingga tetap menempel
pada hidung seseorang (atau paling tidak menempel pada hidungnya, begitu bengkok
dan kuat) bak seorang penunggang kuda duduk tegak di atas kudanya atau seekor
burung bergantung pada tempatnya bertengger. Dan pada kedua sisi jepitan itu, di
depan matanya, ada dua bingkai lonjong dari metal, yang menahan dua kaca bulat
lonjong, setebal alas botol. William lebih suka membaca dengan ini di depan
matanya, dan ia bilang kaca itu membuat pandangannya lebih baik daripada apa
yang dikaruniakan oleh alam atau daripada yang dimungkinkan oleh usianya yang
sudah lanjut, terutama jika cahaya siang meredup. Lensa itu tidak bisa ia
gunakan untuk melihat dari jarak jauh, karena pada usianya sekarang, sebaliknya,
matanya amat tajam, tetapi ia gunakan untuk melihat yang dekat sekali.
Dengan kedua lensa itu ia bisa membaca naskah yang hurufnya amat kecil, yang
bahkan aku sendiri sulit membacanya. Ia menjelaskan kepadaku bahwa kalau seseorang sudah melewati separuh
hidupnya, meskipun penglihatannya dulu selalu bagus sekali, mata akan mengeras dan
pupilnya dalam keadaan bersifat melawan. Maka, sejauh berkaitan dengan membaca
dan menulis, banyak orang terpelajar pada dasarnya sudah mati setelah melewati
musim panasnya yang kelima puluh. Suatu malapetaka menyedihkan bagi orangorang
yang seharusnya dapat memberikan buah terbaik dari inteleknya selama banyak
tahun lagi. Jadi, Terpujilah Tuhan karena ada seseorang yang telah merancang dan
membuat alat ini. Dan ia menceritakan hal ini dalam rangka mendukung ide-ide
dari Roger Bacon-nya, yang telah mengatakan bahwa belajar juga bertujuan
memperpanjang hidup manusia.
Rahibrahib lainnya memandang William dengan penuh rasa ingin tahu tetapi tidak
berani mengajukan pertanyaan. Dan aku memerhatikan bahwa, bahkan dalam suatu
tempat yang secara begitu bersemangat dan bangga mengabdi baca tulis, alat
mengagumkan itu belum sampai ke situ. Aku merasa bangga mendampingi seseorang
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang punya sesuatu yang dapat membuat orang lain yang terkenal bijaksana di
dunia ini jadi terpana. Dengan benda itu pada kedua matanya, William membungkuk di atas daftar yang
tertera dalam naskah kuno itu. Aku juga ikut melihat, dan kami menemukan judul-
judul buku yang belum pernah kami dengar, dan bukubuku lain paling terkenal,
yang dimiliki perpustakaan tersebut.
"De pentagono Salomonis, Ars loquendi et
intelligendi in lingua hebraica, De rebus metallicis oleh Roger dari Hereford,
Algebra oleh Al-Kuwarizmi, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robertus
Anglicus, Punica oleh Silius Italicus, Gesta francorum, De laudibus sanctae
crucis oleh Rabanus Maurus, dan Flavii Claudii Giordani de aetate mundi et
hominis reservatis singulis litteris per singulos libros ab A usque ad Z,"
guruku membaca. "Karya-karya luar biasa. Tetapi bukubuku itu didaftar menurut
apa?" Ia mengutip dari suatu teks yang aku tidak tahu tetapi yang jelas sudah
dikenal Maleakhi, "'Pustakawan harus punya daftar dari semua buku, secara cermat
diurutkan menurut subjek dan pengarang, dan bukubuku itu harus diklasifikasi di
atas rak buku dengan petunjuk nomor urut.' Bagaimana kau tahu sanding-kata dari
setiap buku?" Maleakhi menunjukkan William beberapa anotasi di samping setiap judul. Aku
membaca "iii, IV gradus, V dalam prima graecorum"; "ii, V gradus, VII dalam
tersiat anglorum", dan seterusnya. Aku memahami bahwa nomor yang pertama
menunjukkan posisi buku itu di rak nomor berapa atau gradus, yang pada
gilirannya ditunjukkan oleh nomor kedua, sementara lemarinya ditunjukkan oleh
nomor ketiga; dan aku juga paham bahwa frasa-frasa lainnya menunjukkan ruangan
atau gang dalam perpustakaan itu, dan aku memberanikan diri untuk meminta
informasi lebih jauh tentang tandatanda yang terakhir ini. Maleakhi memandangku
dengan galak, "Mungkin kau tidak tahu, atau sudah lupa,
bahwa hanya pustakawan yang diizinkan masuk ke dalam perpustakaan. Karenanya
anotasi itu tepat dan singkat sehingga hanya pustakawan yang tahu cara
menjabarkannya." "Tetapi bukubuku tersebut dicatat menurut apa dalam daftar ini?" tanya William.
"Agaknya tidak menurut subjeknya." Ia tidak menyarankan urutan menurut nama
pengarang yang diurutkan secara alfabetis, karena ini suatu sistem yang
menurutku baru bisa diterima beberapa tahun lalu, dan waktu itu masih jarang
digunakan. "Perpustakaan ini sudah ada sejak zaman dulu," kata Maleakhi, "dan buku-bukunya
dicatat menurut tanggal penerimaan, sumbangan, atau masuknya di dalam dinding
kami." "Kalau begitu, bukubuku itu sulit dicari," William memberi kesan.
"Pustakawan sudah cukup hafal bukubuku itu dan tahu kapan setiap buku itu datang
ke sini. Akan halnya rahib lainnya, mereka bisa memercayai ingatan pustakawan."
Maleakhi bicara seakan membicarakan orang ketiga, bukan dirinya sendiri, dan aku
menyadari bahwa ia tengah membicarakan jabatan yang pada waktu itu tidak pantas
dipegangnya, tetapi yang sudah dipegang oleh seratus orang lainnya, sekarang
sudah meninggal, yang telah menurunkan pengetahuan mereka dari satu ke lain
pustakawan. "Aku mengerti," kata William. "Jika kemudian aku mau mencari sesuatu, entah buku
apa, tentang pentagon dari Salomon misalnya, kau tentu bisa
mengatakan kepadaku bahwa judul buku yang belum lama kubaca itu ada di sini, dan
kau dapat mengenali lokasinya di lantai atas."
"Andaikan kau sungguhsungguh harus mempelajari sesuatu tentang pentagon dari
Salomon," kata Maleakhi. "Tetapi sebelum memberimu buku itu, aku lebih suka
minta nasihat Abbas dulu."
"Kudengar belum lama ini salah seorang pelukis-mu yang terbaik meninggal dunia,"
kata William kemudian. "Abbas sudah banyak bercerita tentang seni lukisnya. Apa
aku bisa melihat naskahnaskah yang ia beri lukisan?"
"Karena masih muda, Adelmo dari Otranto," kata Maleakhi, sambil memandang
William dengan curiga, "hanya mengerjakan lukisan pada garis tepi. Ia punya
imajinasi yang amat hidup dan karena tahu banyak, dan dari benda yang dikenal ia
mampu menyusun benda tidak dikenal dan mengherankan, misalnya menyambung suatu
tubuh manusia pada suatu leher kuda. Buku-bukunya ada di sana. Belum ada yang
menyentuh meja tulisnya."
Kami menghampiri apa yang dulunya merupakan tempat kerja Adelmo, berlembar-
lembar kitab Mazmur yang dihiasi banyak lukisan masih tergeletak di sana.
Lembaran berukuran folio itu terbuat dari kulit hewan yang paling halus ratu di
antara perkamen dan yang terakhir masih terbentang di atas meja tulis itu. Belum
lama digosok dengan batu apung dan diempukkan dengan kapur, perkamen itu sudah
diketam sampai halus dan, dari lubanglubang kecil bekas tusukan jarum
pada sisi-sisinya, sudah dibuat semua garis yang akan membimbing tangan seniman
itu. Separuhnya sudah dipenuhi dengan tulisan, dan rahib itu sudah mulai membuat
sketsa ilustrasi garis tepinya. Lembaran lainnya, malahan sudah selesai, dan
ketika kami mengamati lembaran-lembaran itu, aku maupun William tidak tahan
untuk tidak berseru kagum. Ini adalah kitab Mazmur yang garis tepinya melukiskan
suatu dunia yang bertolak belakang dengan dunia yang dikenal baik oleh indra
kita. Pada garis tepi suatu tulisan yang isinya tentang kebenaran, seakan
menyambung, erat berkaitan dengan itu, melalui kiasan tekateki mengagumkan,
dengan suatu tulisan tentang kebohongan di atas alam semesta yang tunggang-
balik. Di situ anjing dikejar kelinci, dan kijang memburu singa. Ada kepala
burung kecil berwujud kaki, hewan dengan tangan manusia pada punggung mereka,
makhluk dengan kepala berbulu yang dari situ mencuat kaki-kaki, naga dengan
loreng zebra, hewan berkaki empat dengan leher menyerupai ular berkeluk-keluk
dalam seribu simpul tak mungkin diurai, kera dengan tanduk rusa jantan,
perempuan perayu dalam bentuk unggas dengan sayap-sayap berselaput, orang tanpa
lengan dengan tubuh manusia lain muncul dari punggung mereka seperti punuk, dan
sosok-sosok dengan mulut penuh gigi pada perutnya. Ada pula manusia berkepala
kuda, dan kuda berkaki manusia, ikan bersayap burung dan burung berekor ikan,
monster dengan satu tubuh dan dua kepala atau satu kepala dengan dua
tubuh, sapi dengan ekor ayam jantan dan sayap kupu-kupu. Juga gambar perempuan
dengan kepala bersisik seperti punggung seekor ikan, kimera berkepala dua
berjalin dengan capung dengan moncong kadal, centaurus, naga, gajah, mantikor
berbaring telentang di atas dahan, grifon bertubuh singa dengan kepala dan sayap
elang yang ekornya berbentuk sebuah busur siap tempur, makhluk menyeramkan
dengan leher yang tak ada akhirnya, serentet binatang antropomorfik dan
zoomorfik kerdil bergabung, kadangkadang pada halaman yang sama.
Adegan kesibukan sehari-hari digambarkan dengan semangat yang begitu mengesankan
sehingga sosok-sosok itu seakan hidup, semua kehidupan di sawah, orangorang
sedang membajak, memetik buah, menuai, perempuan-perempuan sedang menenun,
penabur benih bersama-sama rubah, dan musang bersenjatakan busur-salib tengah
memanjat dinding sebuah kota bermenara yang dijaga kera-kera. Di sini suatu
huruf awal, dibengkokkan menjadi sebuah huruf L, yang bagian bawahnya
membangkitkan seekor naga; ada sebuah huruf V besar sekali, yang memulai kata
"verba", diteruskan menjadi suatu tunas alami dari batangnya, seekor ular dengan
seribu gelungan, yang pada gilirannya melahirkan ular-ular lainnya sebagai daun
dan tandan. Di samping kitab Mazmur itu, jelas belum lama selesai, ada suatu buku tentang
waktu yang indah sekali, begitu kecil sehingga bisa digenggam
tangan. Tulisannya amat lembut, lukisan tepinya hampir tidak dapat dilihat pada
pandangan pertama. Mata kita dituntut mengamati dengan cermat untuk mengungkap
semua keindahannya (dan kau bertanya dalam hati dengan alat supramanusiawi apa
seniman itu telah melukiskannya untuk memperoleh efek begitu jelas dalam suatu
ruang yang amat kecil). Seluruh tepi buku itu dikuasai oleh bentuk-bentuk mini
yang saling membangkitkan, seakan oleh ekspansi alami, dari gulungan akhir
huruf-huruf yang dituliskan dengan amat indah itu: duyung laut, rusa berlarian,
kimera, torso manusia tanpa lengan yang muncul bak siput-siput dari tubuh syair
itu. Pada satu titik, seakan untuk melanjutkan tiga kali "Sanctus, Sanctus,
Sanctus", yang diulang pada baris-baris yang berbeda, tampak tiga sosok buas
dengan kepala manusia, dua di antaranya bengkok, satu ke bawah dan satu ke atas,
bergabung dalam suatu ciuman yang kau tidak akan ragu menyebutnya tidak sopan
jika tidak tergoda membayangkan, bahkan jika tidak tampak jelas, adanya suatu
makna spiritual kuat yang sudah tentu membenarkan ilustrasi itu.
Sementara mengikut i halamanhalaman itu aku terpecah antara mengagumi dengan
diam dan tertawa, karena semua ilustrasi itu sendiri telah mengilhami
kegembiraan, meskipun mengomentari halaman suci. Dan Bruder William memeriksa
ilustrasi itu dengan tersenyum dan berkomentar, "Babewyn; begitu istilahnya di
kepulauanku." "Babouins; begitu istilahnya dalam bahasa Galilea," kata Maleakhi.
"Adelmo belajar melukis di negaramu, meskipun ia juga belajar di Prancis. Babun,
maksudnya: kera dari Afrika. Figurfigur dari suatu dunia yang terbalik, di mana
rumah-rumah berdiri di ujung menara dan bumi berada di atas langit."
Aku ingat beberapa syair yang pernah kudengar di pinggiran desaku, dan aku tidak
tahan untuk tidak mengulanginya:
Aller wunder si geswigen, das erde himel hat uberstigen, daz suit ir viir ein
wunder wigen.23 Dan Maleakhi melanjutkan, sambil mengutip dari teks yang sama:
Erd ob un himel unter, das suit ir han besunder viir aller wunder ein wunder. 2t
"Kau hebat, Adso," lanjut pustakawan itu. "Nyatanya, gambargambar ini
menceritakan tentang negeri yang bisa kaucapai dengan menunggang seekor itik
biru, di mana ditemukan burung elang yang menangkap ikan dalam sebuah sungai,
beruang yang mengejar burung elang pemburu di langit, udang galah yang terbang
bersama merpati, 23 Semua keajaiban terjadi//di dunia tempat kita singgah//dan tak cuma satu
keajaiban pw/.?24 Bumi di bawah surga di atas//dan tak hanya jalan orang berdosa//karena semua
keajaiban hanya sekadar keajaiban penerj.
?dan tiga raksasa terperangkap dalam sebuah jala dan digigiti seekor ayam
jantan." Dan muncul sebuah senyum tipis yang membuat bibirnya ceria.
Kemudian para rahib lainnya, yang telah mengikuti percakapan itu dengan agak
malu-malu, tertawa terbahak-bahak, seakan dari tadi menunggu izin dari
pustakawan tersebut. Pustakawan itu mengerenyitkan kening ketika yang
lainlainnya terus tertawa, sambil memuji keterampilan Adelmo yang malang dan
saling menceritakan gambargambar yang lebih fantastis. Dan ketika kami masih
tertawa itulah kami mendengar, di belakang kami, suatu suara yang saleh dan
galak. "Verba vana aut risui apta non loqui."zs
Kami menoleh. Yang bicara adalah seorang rahib yang bongkok karena beban
usianya, seorang tua yang putih bagaikan salju, tidak hanya kulitnya, tetapi
juga wajah dan pupilnya. Ternyata ia buta. Suara itu masih amat jelas dan kaki
itu masih amat kuat, biarpun tubuh itu sudah renta oleh usia. Ia menatap kami
seakan bisa melihat kami, dan sejak itu aku selalu melihatnya bergerak dan
berbicara seakan ia masih dikaruniai penglihatan. Tetapi nada suaranya adalah
nada suara seseorang yang hanya memiliki karunia meramal.
"Orang yang kalian lihat ini, patut dimuliakan dalam usia dan kebijaksanaan,"
kata Maleakhi kepada William sambil menuding pendatang baru itu,
25 "Tidak bicara katakata yang mubazir dan yang pantas d ite rta w a k a n,"
?penerj. "adalah Jorge dari Burgos. Lebih tua daripada siapa saja yang tinggal di biara
ini kecuali Alinardo dari Grottaferrata, ia adalah orang yang dipercaya oleh
banyak rahib di sini untuk meringankan dosa mereka dalam rahasia pengakuan
dosa." Kemudian, sambil menoleh kepada orang tua itu, ia berkata, "Orang yang
berdiri di hadapanmu adalah Bruder William dari Baskerville, tamu kita."
"Kuharap katakataku tidak membuatmu marah," kata orang tua itu dalam nada kaku.
"Aku mendengar orang menertawai hal-hal yang lucu dan aku mengingatkan mereka
akan salah satu prinsip dari Regula kita. Dan seperti dikatakan oleh penulis
Mazmur, jika seorang rahib harus menahan diri dari katakata yang baik karena
sumpah diamnya, apa alasannya maka ia harus menghindari katakata buruk. Karena
ada katakata buruk maka juga ada gambargambar buruk. Dan itu semua adalah kata
dan gambar yang berbohong tentang penciptaan dan menunjukkan dunia sebagai
berlawanan dengan yang seharusnya ada, selama ini selalu begitu, dan akan begitu
sepanjang abad sampai akhir zaman. Tetapi kau datang dari ordo lain, ordo yang
memandang kegembiraan, bahkan jenis yang paling tidak disengaja, dengan
ketaatan." Ia mulai mengulangi apa yang dikatakan para rahib Benediktin tentang
keeksentrikan Santo Fransiskus Assisi, dan mungkin juga perilaku ganjil yang
ditunjukkan oleh para imam dan rahib Spiritual dari setiap macam sempalan paling
baru dan memalukan dari ordo Fransiskan. Tetapi William tidak
menunjukkan tanda memahami sindiran itu.
"Gambargambar pinggir sering mendorong senyum, tetapi untuk memperbaiki tujuan,"
jawabnya. "Seperti dalam misa, untuk menyentuh imajinasi dari orang banyak yang
taat, perlu diberi contoh, tidak selalu yang lucu, begitu pula wacana gambar
harus ditunjukkan dalam hal-hal kecil ini. Bagi setiap kebajikan dan bagi setiap
dosa, manusia mengambil contoh dari dunia binatang dan binatang mencontoh dunia
manusia." "Ah, ya," kata orang tua itu sambil mengejek, tetapi tanpa tersenyum. "Setiap
gambar baik dimaksudkan untuk mengilhami kebajikan, asal jangan karya agung
penciptaan, dibalik dengan kepala di bawah, dijadikan bahan tertawaan. Dan
begitu pula kalau sabda Allah diberi ilustrasi dengan kuda bagal tengah
memainkan kecapi, burung hantu membajak dengan sebuah tameng, kerbau memasang
bajak sendiri, sungai mengalir ke hulu, lautan dimakan api, serigala berubah
jadi petapa! Pergilah berburu kelinci dengan kerbau, suruh burung hantu
mengajarimu tata bahasa, suruh anjing menggigit kutu, dan orang bermata satu
menjaga orang bisu, dan suruh orang bisu minta roti, dan semut beranak kuda,
ayam panggang terbang, kue tumbuh di atas atap, burung parkit mengajarkan
retorika, ayam betina memandulkan ayam jantan, buatlah agar kereta berjalan di
depan kerbau, anjing tidur di atas ranjang, dan semua berjalan dengan kepala di
atas tanah! Apa tujuan dari semua omong kosong ini" Suatu dunia yang
merupakan kebalikan dan berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan,
dengan dalih mengajarkan persepsi suci!"
"Tetapi seperti diajarkan oleh Areopagite," kata William dengan rendah hati,
"Tuhan hanya dapat dikenali melalui hal-hal yang paling buruk. Dan Hugh dari St.
Victor mengingatkan kita bahwa makin banyak kesamaan menjadi tidak serupa, dan
makin banyak kebenaran diungkapkan kepada kita dengan kedok gambargambar tidak
pantas dan mengerikan, makin sedikit imajinasi yang memuaskan kenikmatan
jasmaniah, dan karenanya justru membantu kita menerima misteri yang tersembunyi
di balik kejahatan gambargambar ...."
"Aku sudah tahu jalan pikiran itu! Dan dengan malu aku mengaku bahwa itu adalah
argumentasi pokok ordo kami waktu rahib Cluny berselisih dengan rahib Cistercia.
Tetapi Santo Bernardus benar: orang yang menggambarkan makhlukmakhluk aneh dan
isyarat alam untuk mengungkapkan hal-hal dari Tuhan per speculum et in
aenigmate26, sedikit demi sedikit jadi menikmati sifat keanehan yang ia ciptakan
dan merasa senang dalam itu semua, dan akibatnya ia tidak bakal melihat Tuhan
lagi kecuali lewat makhlukmakhluk aneh itu. Kalian bisa melihat, kalian yang
masih punya penglihatan, pada kapital-kapital di gedung gerejamu." Dan ia
menunjuk dengan tangannya jauh keluar jendela, ke arah gereja. "Di depan mata
para rahib yang tekun bermeditasi, apa arti semua
26 Lewat cermin dan dalam tekateki penerj?gambar fantastik aneh itu, bentuk-bentuk seperti monster dan makhlukmakhluk
rupawan aneh itu" Kera-kera mesum itu" Semua singa, centaurus, makhluk setengah
manusia, dengan mulut pada perut mereka, dengan kaki satu, telinga seperti layar
perahu" Semua harimau belang, kesatria yang sedang bertempur, pemburu yang
meniup trompet mereka, dan satu kepala dengan banyak tubuh dan satu tubuh dengan
banyak kepala" Binatang berkaki empat berekor ular, dan ikan berwajah binatang
berkaki empat, dan di sini ada seekor binatang yang tubuh depannya seperti
seekor kuda dan tubuh belakangnya seekor biribiri, dan di sana ada seekor kuda
bertanduk, dan selanjutnya. Sekarang ini rahib lebih senang membaca gambar
daripada naskah, dan mengagumi karya-karya manusia daripada merenungkan hukum
Tuhan. Memalukan! Demi nafsu mata kalian dan demi senyum kalian!"
Orang tua itu berhenti, napasnya terengah-engah. Dan aku mengagumi bahwa berkat
memorinya yang jelas, mungkin sudah bertahuntahun buta, ia masih bisa mengingat
kembali gambar yang ia kutuk sebagai keji. Aku menduga bahwa saat melihatnya,
gambar itu amat menggodanya, karena ia masih bisa menggambarkan itu semua dengan
gairah semacam itu. Tetapi menurutku memang sudah sering terjadi bahwa ternyata
gambaran dosa yang paling menggiurkan dalam lembaran hidup orangorang yang
kebajikannya tidak bisa dirusak itu sendiri yang mengutuk pesona dan efek
gambaran itu. Suatu pertanda bahwa orangorang itu terdorong oleh keinginan sedemikian besar
untuk tidak ragu menjadi saksi kebenaran, karena kasih kepada Tuhan, untuk
memberi cap jahat semua godaan yang terselubung itu; jadi, para penulis itu
memberi petunjuk yang lebih baik kepada orang banyak tentang caracara Yang Jahat
memikat mereka. Dan, nyatanya, katakata Jorge justru membuat hatiku amat
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasrat untuk melihat harimau dan kera yang belum sempat kukagumi di gereja
itu. Tetapi Jorge menyela jalan pikiranku dengan mulai bicara lagi, dalam nada
yang lebih kalem. "Allah kita tidak perlu menggunakan makhlukmakhluk tolol semacam itu untuk
menunjukkan mana jalan yang lebar dan mana lorong yang sempit kepada kita.
Fabel-Nya tidak ada yang menimbulkan tawa, atau rasa takut. Adelmo, yang
kematiannya sedang kalian ratapi, sebaliknya, mengambil kenikmatan sedemikian
rupa dalam makhlukmakhluk aneh yang ia lukis sehingga ia tidak bisa lagi melihat
hal-hal pokok yang harus diberi ilustrasi. Dan ia mengikuti semua, kukatakan
semua" suaranya menjadi tenang dan berat-"jalan yang ganjil. Yang Tuhan tahu ?cara menghukumnya."
Suasana jadi senyap. Venantius dari Salvemec memberanikan diri bicara.
"Jorge yang mulia," katanya, "kebajikan Anda membuat Anda tidak adil. Dua hari
sebelum Adelmo meninggal, Anda mengikuti perdebatan ilmiah di skriptorium ini.
Adelmo berusaha agar seni lukisnya, sementara menuruti kata hatinya membuat
gambar gambar fantastik dan membingungkan, tetap ditujukan untuk memuliakan Tuhan,
sebagai suatu alat memahami pengetahuan tentang hal-hal surgawi. Baru saja
Bruder William menyebut Aeropagite, yang bicara tentang belajar lewat distorsi.
Dan hari itu Adelmo mengutip ahli lain yang agung, Doktor Aquino, waktu
mengatakan bahwa hal-hal suci seharusnya lebih cocok dijelaskan dalam sosok
tubuh jahat daripada sosok tubuh mulia. Pertama-tama, karena roh manusia lebih
mudah dibebaskan dari kekeliruan; nyatanya, sudah jelas bahwa sifat tertentu
tidak dapat dikaitkan dengan hal-hal suci, dan menjadi tidak pasti jika
digambarkan oleh bendabenda jasmani yang mulia. Yang kedua, karena uraian yang
lebih sederhana ini lebih cocok dengan pengetahuan yang kita miliki tentang
Tuhan di atas dunia ini: artinya di sini Dia lebih menunjukkan diriNya sendiri
di tempat di mana Dia tidak ada, daripada di tempat di mana Dia ada. Oleh karena
itu, hal-hal yang paling tidak serupa dengan Tuhan justru membawa kita kepada
suatu pandangan yang lebih tepat tentang Dia, karena dengan begitu kita tahu
bahwa Dia lebih penting daripada apa yang kita katakan dan pikirkan. Dan yang
ketiga, karena dengan cara ini, masalah Tuhan lebih sulit dilihat oleh
orangorang yang tidak pandai.
Singkatnya, hari itu kami mendiskusikan masalah memahami cara kebenaran dapat
diungkapkan melalui ungkapan yang mengejutkan, yang pintar sekaligus
membingungkan. Dan aku memperingatkan
Adelmo bahwa dalam karya Aristoteles Agung, aku telah menemukan katakata amat
jelas tentang alasan ini ...."
"Aku tidak ingat," tukas Jorge dengan tajam. "Aku amat tua.
Aku tidak ingat. Mungkin selama ini sikapku keterlaluan keras.
Sekarang sudah malam, aku harus pergi."
"Aneh sekali bahwa Anda tidak ingat," desak Venantius; "diskusi itu amat ilmiah
dan bagus; Benno dan Berengar juga ikut.
Masalahnya, terus terang saja, entah itu metafora dan permainan katakata dan
tekateki, yang agaknya juga diterima oleh para penyair demi kenikmatan besar,
jangan lalu membuat kita berspekulasi tentang hal-hal dalam suatu cara yang baru
dan mengejutkan, dan aku sudah katakan bahwa ini juga suatu kebajikan yang
dituntut dari orang bijak .... Dan Maleakhi juga ada ...."
"Jika Jorge yang mulia tidak ingat, mengingat usia dan keletihan pikirannya ...
kalau tidak ia tentu akan ingat jelas," kata salah seorang rahib yang mengikuti
diskusi tersebut. Kalimat itu diucapkan dengan nada marah paling sedikit pada
awalnya, karena pembicara itu, begitu menyadari bahwa dalam upaya menghormati
orang tua tersebut, sebenarnya ia mulai mengajak orang memerhatikan suatu
kelemahan, lalu nadanya melembut sehingga berakhir hampir dalam bisikan minta
maaf. Yang bicara itu adalah Berengar dari Arundel, asisten pustakawan. Orang
berwajah pucat itu masih muda,
dan ketika mengamatinya, aku ingat deskripsi Ubertino tentang Adelmo: matanya
seakan mata seorang perempuan penggoda. Karena malu, sebab sekarang semua orang
memandangnya, ia menjalin jarijari dari kedua tangannya seperti seseorang yang
berharap bisa menekan suatu ketegangan hatinya.
Reaksi Venantius luar biasa. Ia menatap Berengar sehingga Berengar menundukkan
pandangannya. "Bagus sekali, Bruder," katanya, "jika memori adalah suatu karunia
Tuhan, maka kemampuan melupakan juga karunia yang bagus, dan harus dihormati.
Aku menghormati karunia bruder tua yang kuajak bicara ini. Tetapi dari kau, aku
mengharap kau lebih tajam mengingat-ingat hal-hal yang telah terjadi waktu kita
berada di sini bersama teman baikmu ...."
Aku tidak yakin apa Venantius menggarisbawahi kata "baik" itu dengan nada
bicaranya. Terus terang aku mencium rasa malu di kalangan mereka yang hadir.
Masingmasing memalingkan wajah, dan tak ada yang memandang Berengar, yang amat
tersipu. Maleakhi langsung bicara, dengan wibawa. "Mari, Bruder William,"
katanya, "aku akan menunjukkan kepadamu bukubuku lain yang menarik."
Kelompok itu bubar. Aku melihat Berengar melontarkan pandangan bermusuhan ke
arah Venantius, dan Venantius membalas dengan pandangan diam dan menantang.
Karena melihat Jorge sudah hendak pergi, aku tergerak oleh suatu
perasaan takzim yang hormat, dan membungkuk untuk mencium tangannya. Orang tua
itu menerima ciumanku, lalu menaruh tangannya ke atas kepalaku, dan bertanya
siapa aku. Setelah menyebutkan namaku, wajahnya jadi senang.
"Namamu hebat dan amat indah," katanya. "Kau kenal siapa Adso dari Montier-en-
Der?" tanyanya. Aku mengakui bahwa aku tidak kenal.
Maka Jorge menambahkan, "Dia pengarang buku hebat dan luar biasa, Libellus de
Antichristo, yang di dalamnya ia meramalkan hal-hal yang bakal terjadi; tetapi
ia tidak cukup dipedulikan."
"Buku itu ditulis sebelum milenium pertama," kata William, "dan hal-hal itu
tidak terjadi ...." "Bagi mereka yang tidak punya mata untuk melihat," kata orang buta itu. "Cara
kerja Antikristus itu lambat dan menyakitkan. Ia datang saat kita tidak
mengharapkannya; bukan karena kalkulasi yang disarankan oleh rasul itu (Yohanes)
keliru, tetapi karena kita belum mempelajari seninya." Lalu ia berseru, dengan
suara keras sekali, wajahnya menoleh ke arah serambi sehingga langitlangit
skriptorium itu menggemakannya kembali: "Dia akan datang!
Jangan sia-siakan harihari terakhirmu untuk menertawakan makhlukmakhluk aneh
kecil dengan kulit bertotol-totol dan ekor berbelit! Jangan sia-siakan tujuh
hari terakhir!" [] Vespers Dalam cerita ini mereka mengunjungi bagian biara yang selebihnya. William sampai
pada suatu kesimpulan tentang kematian Adebmo, ada percakapan dengan
bruderpandai-kaca tentang lensa untuk membaca dan tentang momok bagi mereka yang
berusaha membaca terlalu banyak.
*"aat itu bel berbunyi tanda vespers, ibadat y<^/ petang, dimulai, dan para
rahib bersiap-siap meninggalkan meja tulis mereka. Maleakhi menjelaskan bahwa
kami juga harus pergi. Ia akan tetap tinggal di situ bersama asistennya,
Berengar, untuk merapikan kembali barang barang (katanya) dan menata
perpustakaan malam itu. William bertanya apa ia akan mengunci pintu-pintu
skriptorium. "Tidak ada pintu yang terlarang untuk masuk ke skriptorium melalui dapur dan
ruang makan, atau ke perpustakaan ke skriptorium. Larangan Abbas seharusnya
lebih kuat dari pintu apa saja. Dan para rahib memerlukan dapur sekaligus ruang
makan sampai saat komplina, ibadat sebelum tidur. Pada saat itu, demi mencegah
orang luar atau binatang masuk ke dalam Aedificium, yang bagi mereka larangan
itu tidak berlaku, aku sendiri akan mengunci pintu-pintu bagian luar, yang
menuju dapur dan ruang makan, dan sejak jam itu selanjutnya Aedificium tetap kosong."
Kami turun. Ketika para rahib berjalan menuju gereja, guruku memutuskan bahwa
Allah akan mengampuni jika kami tidak mengikuti ibadat suci itu (Allah banyak
sekali mengampuni kami pada harihari berikutnya!), dan guruku mengajak
berkeliling sebentar, agar kami terbiasa dengan tempat tersebut.
Cuaca mulai memburuk. Angin dingin telah bangkit dan langit mulai berkabut.
Matahari tentu sudah merasakannya dan mulai terbenam di balik kebun sayuran; dan
hari sudah mulai gelap ketika kami berjalan ke arah timur, menyusuri tepi gereja
dan menuju bagian samping tempat itu. Di sana, hampir menempel pada dinding
bagian luar, yang menyambung dengan menara timur Aedificium tersebut, ada
kandang-kandang; para gembala sedang menutupi belanga berisi darah babi. Kami
perhatikan bahwa di belakang kandang-kandang itu, tembok sebelah luarnya lebih
rendah, sehingga orang bisa melongok dari atasnya. Di sisi luar dinding itu, ada
lerengan ke bawah, tanah di bawah yang meluncur turun memusingkan itu penuh
dengan sampah yang tidak semuanya dapat disembunyikan oleh salju. Aku menyadari
bahwa itu tumpukan jerami lama, yang dilemparkan melalui bagian atas dinding dan
longsor turun ke belokan yang mengawali jalan yang diambil oleh Brunellus nakal
itu. Dalam kandang yang tidak jauh dari situ, para
tukang kuda sedang menggiring hewan-hewan itu ke tempat pakan. Kami mengikuti
jalan yang menyusuri sisinya, ke arah dinding, ada berbagai kandang: ke arah
kanan, di balik gereja, ada asrama rahib dan kakus-kakus. Kemudian, sementara
dinding sebelah timur membelok ke utara, pada sudut korset batu, ada bengkel
pandai besi. Pandai besi yang masih ada mulai meletakkan peralatan mereka dan
mematikan api, bersiap mengikuti ibadat. Dengan rasa ingin tahu, William
berjalan ke arah satu bagian dari bengkel pandai besi itu, hampir terpisah dari
bengkel selebihnya, di mana ada seorang rahib yang sedang membenahi barang-
barangnya. Di atas mejanya ada koleksi potongan kecil-kecil kaca berwarnawarni
yang amat indah, tetapi lembaran kaca yang lebih lebar disandarkan pada dinding.
Di depan orang itu ada suatu benda peninggalan yang sudah setengah digarap, baru
jadi kerangka peraknya, tetapi jelas orang tersebut sudah mulai menata potongan
kaca dan batu, yang dengan alatnya sudah diasah menjadi dimensi-dimensi permata.
Begitulah maka kami berkenalan dengan Nicholas dari Morimondo, pandaikaca di
biara tersebut. Ia menjelaskan kepada kami bahwa di bagian tepi tempat kerja itu
mereka juga meniup kaca, sementara di bagian depan, tempat tukang besi bekerja,
mereka memasang kaca pada kerangka timah, untuk membuat jendela. Tetapi,
tambahnya, karya kaca lapis hebat yang menghiasi gereja dan
Aedificium itu dibuat paling sedikit dua abad sebelumnya.
Sekarang dia dan yang lainlainnya hanya terbatas mengerjakan tugas-tugas kecil,
dan memperbaiki yang rusak karena usia.
"Dan dengan kesulitan besar," tambahnya, "karena sekarang tidak mungkin
menemukan warna-warna dari zaman dulu, terutama biru luar biasa indah yang masih
bisa Anda lihat di dalam gereja, begitu jernih sehingga, kala matahari sedang
tinggi, bisa menerangi jalan-tengah gereja dengan suatu cahaya firdaus. Kaca di
sisi barat jalan-tengah itu, belum lama ini diperbaiki, kualitasnya tidak sama,
dan kau bisa membedakannya pada musim panas. Amat menyedihkan," ia melanjutkan.
"Kita tidak punya lagi pengetahuan zaman kuno, zaman raksasa sudah lewat!"
"Kita orang kerdil," William mengakui, "tetapi orang kerdil yang berdiri di atas
bahu raksasa-raksasa itu, dan meskipun kecil, kadangkadang kita berhasil melihat
lebih jauh pada cakrawala dibandingkan mereka."
"Coba katakan apa yang bisa kita kerjakan lebih baik daripada yang mampu mereka
kerjakan," seru Nicholas. "Andaikan kau turun ke dalam ruang bawah tanah gereja,
tempat penyimpanan harta biara ini, kau akan menemukan relikuizz yang dibuat
dengan keterampilan sedemikian luar biasa sehingga bendabenda aneh kecil yang
sekarang tengah kutata ini" ia mengangguk ke arah pekerjaannya
27 Barang peninggalan orang suci yang dianggap keramat -pen
sendiri di atas meja "akan kelihatan seperti suatu olok-olok saja dibandingkan
itu semua." "Tidak tertulis bahwa pandaikaca harus hanya membuat jendela, relikui buatan
pandai-emas, karena para pandai di masa lalu mampu memproduksi benda benda yang
sedemikian indah, dirancang agar awet selama berabadabad. Sebaliknya, bumi akan
menjadi penuh dengan relikui padahal zaman ini sudah tidak banyak santo pemilik
relikui itu," gurau William. "Juga jendela tidak selamanya harus disoldir.
Tetapi di berbagai negeri aku sudah melihat karya baru terbuat dari kaca yang
memberi kesan suatu dunia masa depan ketika kaca tidak hanya melayani tujuan
suci tetapi juga membantu kelemahan manusia. Aku ingin menunjukkan kepadamu
suatu ciptaan dari zaman kita sendiri, yang aku merasa terhormat karena punya
suatu contoh amat berguna." Ia merogoh bagian dalam jubahnya dan mengeluarkan
kaca matanya. Lawan bicara kami terpana.
Dengan amat berminat, Nicholas mengambil benda bercabang yang diulurkan William
kepadanya. "Oculi de vitro cum capsula!M2s serunya.
"Aku sudah mendengar cerita tentang ini dari seorang bernama Bruder Jordan yang
kutemui di Pisa! Katanya, ini ditemukan belum sampai dua puluh tahun sebelumnya.
Tetapi aku sudah lebih dari dua puluh tahun lalu ketika bicara dengannya."
"Aku yakin benda ini ditemukan jauh lebih awal," kata William, "tetapi sulit
dibuat, dan memerlukan 28 "Mata dari kaca dengan kotaknya!" -penerj
pandaikaca yang amat ahli.
Butuh kerja keras dan waktu lama. Sepuluh tahun yang lalu sepasang ab oculis ad
legendurms ini harganya enam crown Bologna.
Aku dikasih sepasang oleh guruku yang agung, Salvinus dari Amati, lebih dari
sepuluh tahun yang lalu, dan dengan sangat cermat aku merawatnya selama ini,
seakan mereka seperti sekarang ini bagaikan bagian dari tubuhku sendiri."
"Kuharap kau akan mengizinkan aku menelitinya kapan kapan; aku akan amat bahagia
untuk memproduksi beberapa pasang yang sama," kata Nicholas dengan penuh
perasaan. "Tentu saja," William mengiyakan, "tetapi harus diingat, ketebalan kaca itu
harus bervariasi menurut mata yang akan dilayaninya, dan kau harus menguji
banyak lensa semacam ini, mencobakan pada seseorang sampai diketemukan ketebalan
yang cocok." "Sungguh luar biasa!" Nicholas melanjutkan. "Namun, banyak orang akan menyebut
ini pekerjaan tukang sihir dan mesin jahat ...."
"Tentu saja kau bisa bicara tentang kekuatan gaib dalam alat ini," William
mengiyakan. "Tetapi ada dua bentuk kekuatan gaib.
Ada kekuatan gaib karya Iblis dan bertujuan menjatuhkan manusia lewat kelicikan
dan itu tidak patut dibicarakan. Tetapi ada kekuatan gaib yang suci, di mana
pengetahuan Tuhan dibuat mewujud lewat pengetahuan manusia, dan ini berguna
untuk 29 Kaca untuk membaca di depan mata penerj?mengubah alam, dan salah satu tujuan akhirnya adalah memperpanjang hidup manusia
sendiri. Dan ini kekuatan gaib suci, yang makin lama makin harus ditekuni oleh
orangorang terpelajar, tidak hanya untuk menemukan hal-hal baru tetapi juga
menemukan kembali banyak rahasia alam yang telah diungkapkan oleh kebijaksanaan
suci kepada orang Yahudi, kepada orang Yunani, kepada orang purba lainnya, dan
bahkan, sekarang ini, kepada orangorang kafir (dan aku tidak bisa menceritakan
kepadamu semua hal menakjubkan tentang optik dan ilmu penglihatan yang bisa
dibaca dalam bukubuku orang kafir!).
Dan tentang semua pengetahuan ini, juga harus dimiliki oleh pengetahuan
Kristiani, dengan mengambilnya dari kaum penyembah berhala dan kafir tamquam ab
iniustis possessoribus.":D
"Tetapi mengapa mereka yang memiliki pengetahuan ini tidak menyampaikannya
kepada semua umat Allah?"
"Karena tidak semua umat Allah mau menerima begitu banyak rahasia, dan sudah
sering terjadi bahwa pemilik pengetahuan ini justru dituduh sebagai ahli nujum
yang bersekutu dengan Iblis, dan keinginan mereka untuk berbagi gudang
pengetahuan mereka dengan orang lain ini telah mereka bayar dengan hidup mereka.
Aku sendiri, selama mengadili orang yang dicurigai mengadakan kesepakatan dengan
Iblis, harus berhatihati untuk tidak menggunakan lensa ini, cukup memercayai
30 Seakan untuk melepaskan kepemilikan yang sewenang-wenang piriirj.
?seorang sekretaris rajin yang akan membacakan catatan yang kubutuhkan. Kalau
tidak, dalam suatu waktu ketika kehadiran Iblis begitu meluas, dan setiap orang
akan mencium, boleh dibilang begitu, bau busuk belerang, aku sendiri bisa
dianggap seorang teman terdakwa. Dan akhirnya, seperti sudah diperingatkan oleh
Roger Bacon yang agung, rahasia ilmu pengetahuan tidak harus selalu disampaikan
kepada semua tangan, karena ada yang bisa menggunakannya untuk tujuan jahat.
Orang terpelajar itu sering membuat ajaib bukubuku tertentu yang tidak
berkekuatan gaib, namun sekadar ilmu pengetahuan yang baik, dengan tujuan
melindungi bukubuku itu dari mata yang tidak bijaksana."
"Kalau begitu, kau khawatir orang biasa akan memanfaatkan rahasiarahasia ini
untuk kejahatan," tanya Nicholas.
"Sejauh berkaitan dengan orang biasa, aku cuma khawatir mereka mungkin jadi
ketakutan, membaurkan rahasia itu dengan pekerjaan Iblis seperti yang terlalu
sering dikatakan oleh pengkhotbah mereka. Kau tahu, aku kebetulan kenal dengan
para dokter yang amat terampil, yang telah mendestilasi obat yang mampu
menyembuhkan suatu penyakit dengan segera. Namun ketika membubuhkan salep atau
menyuntikkannya kepada orang biasa, mereka membarenginya dengan katakata suci
dan ungkapan yang dinyanyikan yang kedengarannya seperti doa: bukan karena doa
itu punya kekuatan untuk menyembuhkan, tetapi orang
biasa mau disuntik atau tubuhnya disalep karena percaya bahwa kekuatan
penyembuhan itu datang dari doa, dan dengan begitu mereka akan disembuhkan,
sementara tidak terlalu memerhatikan kekuatan efektif obat tersebut. Demikian
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula, roh itu, karena dibangkitkan oleh kepercayaan pada formula suci tersebut,
akan lebih bersedia menerima aksi jasmaniah dari obat itu. Tetapi kekayaan
pengetahuan sering harus dipertahankan, tidak terhadap orang biasa, namun justru
terhadap orang terpelajar lainnya. Sekarang ada mesinmesin hebat, suatu hari
nanti kita bicarakan, yang dengan itu jalannya alam bisa benarbenar diprediksi.
Tetapi celakalah jika mesin itu jatuh ke tangan orangorang yang akan
menggunakannya untuk memperluas kekuasaan duniawi mereka dan memuaskan keinginan
besar mereka untuk menjadi kaya. Kudengar di Cathay ada seorang petapa yang
meramu suatu bubuk yang, kalau bersinggungan dengan api, dapat menghasilkan
suara gemuruh dan api besar, menghancurkan segala sesuatu sampai jarak beryard-
yard di sekelilingnya. Suatu sarana yang menakjubkan jika dipakai untuk
memindahkan aliran sungai atau menghancurkan batu untuk meremukkan tanah agar
bisa ditanami. Tetapi bagaimana jika ada orang yang menggunakannya untuk
mencederai musuh pribadinya?"
"Mungkin baik juga, jika dia musuh umat Allah," kata Nicholas dengan tenang.
"Mungkin," William mengakui. "Tetapi sekarang ini siapa musuh umat Allah" Louis
sang Kaisar, atau Yohanes sang Paus?" "Oh, astaga!" kata Nicholas, amat ketakutan. "Aku benar benar tidak suka
memutuskan suatu pertanyaan yang menyakitkan seperti itu!"
"Nah, kau tahu kan?" kata William. "Kadangkadang rahasia tertentu lebih baik
tetap terselubung oleh katakata rahasia.
Rahasia alam tidak untuk disampaikan pada kulit kambing atau biribiri. Dalam
buku rahasianya, Aristoteles mengatakan bahwa menyampaikan terlalu banyak
rahasia alam dan seni justru akan merusak meterai surgawi dan banyak kejahatan
bisa masuk. Ini tidak berarti bahwa rahasia tidak boleh diungkapkan, tetapi
orang terpelajar harus memutuskan kapan dan bagaimana menyampaikannya."
"Oleh karena itu, dalam tempat seperti ini, yang terbaik adalah," kata Nicholas,
"tidak semua buku boleh diambil semua orang."
"Ini masalah lain," kata William. "Akibat dari gemar bicara bisa menjadi dosa,
dan begitu pula akibat dari tutup mulut. Aku tidak bermaksud bahwa sumber
pengetahuan perlu ditutup-tutupi.
Menurutku ini justru semacam kejahatan besar. Aku serius, karena semua ini
adalah rahasia yang dari situ bisa diambil kebaikan dan kejahatan, maka orang
terpelajar punya hak dan kewajiban untuk menggunakan bahasa yang terselubung,
hanya dimengerti oleh sesamanya orang terpelajar. Kehidupan belajar itu sulit,
dan tidak mudah membedakan yang baik dari yang jahat. Dan orang
terpelajar zaman sekarang hanyalah orang kerdil yang berdiri di atas bahu orang
kerdil." Percakapan ramah dengan guruku ini tentunya membuat suasana hati Nicholas mau
percaya. Karena ia mengerdip ke arah William (seakan mau mengatakan: Kau dan aku
saling memahami karena kita bicara tentang hal yang sama) dan secara tidak
langsung mengatakan, "Tetapi di sana itu" ia mengangguk ke arah Aedificium
"rahasia pengetahuan dipertahankan dengan baik oleh kekuatan gaib ...."
"Oh, ya?" kata William, dengan sikap tidak percaya. "Menurutku itu cuma pintu-
pintu berjeruji, larangan keras, ancaman."
"Oh, tidak. Lebih daripada itu
"Apa, misalnya?"
"Yah, aku tidak tahu persis; aku menggeluti kaca, bukan buku.
Tetapi ada rumor di dalam biara ... rumor aneh
ii "Semacam apa?" "Aneh. Begini, rumor tentang seorang rahib yang memutuskan untuk menjelajah ke
dalam perpustakaan pada malam hari, untuk mencari sesuatu yang tidak mau
diberikan oleh Maleakhi, dan ia telah melihat ular-ular, orangorang tanpa kepala
dan orangorang dengan dua kepala. Ia hampir gila ketika keluar dari labirin itu
...." "Mengapa kau bicara tentang kekuatan gaib dan bukan penampakan menyeramkan?"
"Karena kendati aku cuma pandai kaca yang
malang, aku bukannya amat bodoh. Iblis (Tuhan, kasihanilah kami!) tidak menggoda
rahib dengan ular dan manusia berkepala dua. Andaikan ada, biasanya dengan
penampakan yang menimbulkan berahi, seperti Iblis menggoda bapak-bapak di padang
gurun. Dan di samping itu, andaikan membaca buku tertentu itu perbuatan jahat,
mengapa Iblis mencegah rahib melakukan kejahatan?"
"Menurutku itu suatu kesimpulan yang bagus," guruku mengiyakan.
"Dan akhirnya, sewaktu aku sedang memperbaiki jendela jendela rumah sakit, aku
menghibur diri dengan membuka-buka buku Severinus.
Itu suatu buku tentang rahasia yang ditulis, aku yakin, oleh Albertus Magnis.
Aku tertarik pada beberapa ilustrasi yang aneh, dan aku membaca beberapa halaman
tentang cara melumasi sumbu dari lampu minyak, dan asap yang dihasilkan kemudian
akan menimbulkan bayangbayang. Kau pasti sudah memerhatikan atau, mungkin tentu
belum memerhatikan, sebab kau belum menginap semalam di biara ini bahwa selama
jam-jam yang gelap, lantai atas Aedificium itu terang. Pada titik-titik
tertentu, tampak cahaya redup dari jendelajendela. Banyak orang ingin tahu apa
itu, dan selama ini terdengar rumor tentang lelatu, atau jiwa almarhum
pustakawan yang berkunjung kembali ke dunia. Banyak orang di sini percaya
dongeng tersebut. Kukira itu semua adalah lampu-lampu yang disiapkan untuk
menimbulkan bayangbayang. Tahukah kau, jika kau mengambil lemak dari telinga
seekor anjing dan melumaskannya pada sumbu lampu, siapa pun yang menghirup asap
lampu itu akan percaya ia punya kepala seekor anjing. Dan ada pelumas lainnya
yang membuat mereka merasa sebesar gajah jika berada di dekat lampu itu. Dan
lemak serigala dicampur dengan mata seekor kelelawar dan mata ikan yang namanya
aku lupa, yang dilumaskan pada sumbu, kalau lampunya dinyalakan, kau akan
melihat binatang-binatang yang lemaknya sudah kauambil. Dan ekor seekor kadal
bisa membuat segala sesuatu di sekelilingmu seakan terbuat dari perak, dan
dengan lemak seekor ular hitam dan secarik kain kafan, ruangan itu seakan penuh
dengan ular. Aku tahu ini. Ada orang di dalam perpustakaan yang amat pintar ...."
"Tetapi apa tidak mungkin itu jiwa-jiwa dari para almarhum pustakawan yang yang
melakukan perbuatan gaib?"
Nicholas tetap bingung dan gelisah. "Aku belum berpikir sampai ke sana. Mungkin.
Tuhan, lindungi kami. Sekarang sudah malam.
Vespers sudah dimulai. Sampai ketemu." Dan ia berjalan menuju gereja.
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sisi selatan: di sebelah kanan kami ada
penginapan dan sekolah dengan kebunnya, di sebelah kiri kami ada kilang minyak
zaitun, penggilingan gandum, lumbung dan gudang, asrama novis. Dan setiap orang
bergegas menuju gereja. "Bagaimana pendapat Anda tentang apa yang dikatakan Nicholas?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Ada sesuatu di dalam perpustakaan itu, dan aku tidak percaya
itu adalah jiwa para almarhum pustakawan ...."
"Kenapa tidak?"
"Karena kubayangkan mereka begitu baik sehingga sekarang tetap tinggal dalam
kerajaan surga untuk menatap wajah suci itu, puas"
Akan halnya lampu-lampu, akan kita lihat apa memang ada di sana.
Dan akan halnya pelumas yang dikatakan oleh pandai kaca kita, ada banyak cara
yang lebih mudah untuk menimbulkan bayangbayang, dan hari ini kau tentu sadar,
Severinus tahu benar akan hal itu. Yang pasti adalah bahwa dalam biara ini
mereka tidak ingin siapa saja memasuki perpustakaan pada malam hari dan bahwa
banyak, sebaliknya, yang sudah berusaha atau mau mencoba berbuat begitu."
"Dan apa hubungannya kejahatan itu dengan hal ini?"
"Kejahatan. Makin itu kupikirkan, aku makin yakin bahwa Adelmo bunuh diri."
"Mengapa begitu?"
"Kau ingat pagi tadi ketika aku menyebutkan tumpukan jerami kotor" Waktu kita
mendaki ke belokan di bawah menara timur, tampak olehku bahwa di tempat itu,
masih ada bekas telapak kaki akibat longsornya tanah; atau, lebih tepatnya,
sebagian dari tempat itu sudah membuka jalan ke bawah menara, setidak-tidaknya
sampah itu telah longsor ke bawah dan menumpuk di sana. Dan itulah sebabnya sore
ini, waktu kita memandang ke
bawah dari atas dinding, jerami itu seakan tertutup salju tipis; hanya tertutup
oleh salju terakhir, salju kemarin, dan bukan oleh salju yang turun beberapa
hari yang lalu. Akan halnya mayat Adelmo, Abbas itu bilang bahwa mayat itu sudah
tergesek oleh batubatu, dan di bawah menara timur, di mana bangunan itu menempel
pada lereng yang curam, ditumbuhi pohon pinus. Bagaimanapun juga, batubatu itu
berada tepat di bawah tempat di mana tembok itu berakhir, membentuk semacam
tangga, dan sesudah itu jerami mulai menumpuk di sana." "Jadi?"
"Jadi, pikirkan apa tidak lebih bagaimana ya mengatakannya" lebih ringan bagi
pikiran kita untuk percaya bahwa Adelmo, karena alasanalasan yang sampai
sekarang belum pasti, dengan kemauannya sendiri menjatuhkan dirinya dari atas
dinding yang rendah itu, menggesek batubatu, dan tentunya luka-luka atau, dan
jatuh ke atas tumpukan jerami. Kemudian tanah yang longsor itu, membawa jerami
dan sebagian tanah dan tubuh pemuda malang itu meluncur ke bawah menara timur."
"Mengapa Anda katakan bahwa solusi ini lebih ringan bagi pikiran kita?"
"Adso terkasih, orang tidak perlu memperpanjang penjelasan dan penyebab kalau
tidak sangat perlu. Andaikan Adelmo jatuh dari menara timur, tentunya ia sudah
masuk ke dalam perpustakaan, pasti ada seseorang yang memukulnya dulu agar tidak
bisa melawan, dan kemudian orang ini tentu
menemukan suatu cara untuk memanjat ke jendela sambil menggendong tubuh tak
bernyawa itu, membuka jendela, dan menjungkirkan rahib malang itu ke bawah.
Tetapi dengan hipotesisku, kita hanya memerlukan Adelmo, keputusannya, dan
bergesernya sedikit tanah. Segala sesuatunya menjadi jelas, dengan penyebab yang
lebih sedikit." "Tetapi kenapa ia mau bunuh diri?"
"Tetapi kenapa ada orang yang mau membunuhnya" Dalam kedua kasus tersebut harus
dicari alasannya. Dan menurutku, alasanalasan ini agaknya tidak diragukan lagi.
Dalam Aedificium itu ada suatu suasana tutup mulut; mereka semua berusaha
merahasiakan sesuatu. Sementara itu, kita sudah mendengar beberapa sindiran aku
yakin cukup jelas tentang semacam hubungan aneh antara Adelmo dan Berengar. Itu
berarti kita akan pasang mata pada asisten pustakawan itu."
Sementara kami bercakapcakap seperti ini, vespers sudah selesai. Para pelayan
mulai menyelesaikan tugas mereka sebelum mengaso untuk makan malam, para rahib
berjalan menuju ruang makan. Langit sekarang gelap dan salju mulai turun. Hujan
salju tipis, dalam bunga salju kecil lembut, yang aku yakin, tentunya akan
berlangsung sepanjang malam, karena pada keesokan harinya, tanah ditutupi
selimut putih, seperti yang akan kuceritakan.
Aku merasa lapar dan dengan lega menyambut baik gagasan untuk makan. []
Komplina Dalam cerita ini William dana Adso menikmati keramahtamahan ceria Abbas dan
percakapan Jorge yang penuh amarah
uang makan itu diterangi dengan obor-obor besar. Para rahib duduk di sebaris
meja dan lurus di ujungnya ada meja Abbas yang diletakkan di atas podium yang
lebar. Di seberang meja-meja itu ada sebuah mimbar, seorang rahib yang akan
membaca selama makan malam sudah berdiri di situ. Abbas itu menunggu kami di
samping sebuah air mancur kecil, dengan sehelai kain putih untuk mengeringkan
tangan kami setelah cuci tangan, sesuai dengan tradisi penerimaan tamu Santo
Pachomius. Abbas itu mengundang William duduk di mejanya dan mengatakan bahwa untuk petang
ini, karena juga tamu, aku boleh menikmati hak istimewa yang sama, kendati aku
seorang novis Benediktin. Pada harihari berikutnya, katanya kepadaku dengan
sikap kebapakan, aku harus duduk bersama para rahib, atau, jika aku harus
mengerjakan suatu tugas tertentu dari guruku, aku
boleh mampir ke dapur sebelum atau sesudah jam makan, dan koki akan memberiku
makanan. Para rahib itu sekarang berdiri di samping meja, tak bergerak, tudung mereka
diturunkan ke atas wajah mereka, tangan mereka di balik skapular mereka. Abbas
itu menghampiri mejanya dan mengucapkan, "Benedicite.":i Dari mimbar, pemimpin
ibadat melantunkan, "Edent pauperes.":z Abbas itu memberikan berkatnya dan
setiap orang lalu duduk. Penyusun Regula telah menetapkan makanan bersahaja tetapi mengizinkan Abbas
menentukan seberapa banyak makanan yang memang dibutuhkan para rahib.
Bagaimanapun juga, dalam biara kami sekarang (di Melk), lebih menuruti kata hati
sendiri dalam menikmati meja makan. Aku tidak akan bicara tentang biara-biara
yang, sayangnya, telah berubah menjadi sarang orang rakus; tetapi bahkan yang
taat kepada patokan pengampunan dan kebajikan, menyediakan makanan sehat yang
tidak mewah tetapi penting bagi para rahib yang hampir selalu dibebani pekerjaan
intelektual. Di lain pihak, meja Abbas selalu didahulukan, apalagi karena tamu-
tamu terhormat sering duduk di sana, dan biara-biara membanggakan hasil
pertanian dan peternakan mereka, dan keterampilan tukang masak mereka.
Seperti biasa, para rahib makan dengan diam; mereka biasa saling berkomunikasi
dengan bahasa jari. Novis dan rahib yang lebih muda dilayani lebih dulu,
langsung setelah semua orang di meja Abbas
31 "Pujilah Tuhan"-penerj.
32 "Kaum miskin akan makan" penerj.?sudah menyendok hidangan yang diedarkan.
Bersama kami di meja Abbas itu duduk Maleakhi, Kepala Gudang, dan dua rahib
tertua, Jorge dari Burgos: orang buta mulia yang sudah kutemui di skriptorium,
dan Alinardo dari Grottaferrata: tua sekali, umurnya hampir satu abad, timpang
dan kurus, dan menurutku kelihatan bodoh. Abbas itu menceritakan kepada kami
bahwa karena datang ke biara itu sebagai seorang novis, Alinardo selalu tinggal
di situ dan ingat semua kejadian di situ selama hampir delapan puluh tahun.
Mulanya Abbas itu menceritakan semua ini sambil berbisik, tetapi setelah itu ia
ingat akan kebiasaan ordo kami dan mengikuti bacaan itu dengan diam. Tetapi,
seperti sudah kukatakan, ada kebebasan tertentu di meja Abbas itu, dan kami
memuji hidangan yang ditawarkan sementara Abbas itu menyombongkan kualitas
minyak zaitunnya, atau anggurnya. Memang, sekali, ketika menuangkan anggur buat
kami, ia langsung mengingatkan kami akan bab dalam Regula di mana penyusun suci
berpendapat bahwa anggur, tepatnya, tidak cocok untuk rahib, tetapi karena rahib
zaman kita ini tidak bisa dibujuk untuk tidak minum, paling sedikit mereka tidak
boleh minum sampai puas, karena anggur merangsang bahkan orang bijak ketagihan,
seperti diperingatkan oleh Kitab Surah dalam Perjanjian Lama. Benediktus
menyebutkan "dari zaman kita" untuk mengacu kepada zamannya sendiri, sekarang
sudah amat lama berlalu; bisa dibayangkan kemerosotan perilaku seperti itu sudah
mulai terjadi pada makan malam zaman Benediktus di biara (dan aku tidak akan bercerita tentang zamanku,
zaman ketika aku menulis ini, kecuali mengatakan bahwa di Melk sini, orang lebih
gemar minum bir!): singkat kata, kami minum tanpa berlebihan tetapi bukannya
tanpa kenikmatan. Kami makan daging yang dimasak di atas panggangan, daging babi yang baru
disembelih, dan aku menyadari bahwa untuk memasak hidangan lainnya mereka tidak
menggunakan lemak hewan atau minyak lobak, tetapi minyak zaitun yang bagus,
hasil kebun yang dimiliki biara itu di kaki gunung yang menghadap lautan. Abbas
itu memaksa kami mencicipi (hanya disediakan di mejanya) ayam yang tadi kulihat
sedang dimasak di dapur. Kulihat ia juga memakai sebuah garpu metal, sesuatu
yang amat langka, yang bentuknya mengingatkan aku akan kacamata guruku. Sebagai
seorang keturunan bangsawan, tuan rumah kami tidak ingin mengotori tangannya
dengan makanan, dan memang menawarkan alatnya itu kepada kami, paling sedikit
untuk mengambil daging dari pinggan besar dan menaruhnya ke mangkuk kami. Aku
menolak, tetapi kulihat William dengan senang menerima tawaran itu dan dengan
seenaknya menggunakan peralatan makan yang biasa dipakai golongan perlente hebat
itu, mungkin untuk menunjukkan kepada Abbas bahwa tidak semua Fransiskan
berpendidikan rendah atau keturunan orang biasa.
Karena bersemangat mencicipi semua hidangan lezat itu (setelah beberapa hari
melakukan perjalanan dan hanya makan apa yang bisa kami temukan), aku tidak memerhatikan
bacaan yang sementara itu berlanjut dengan khusyuk. Aku baru sadar ketika Jorge
menggerundel keras mengiyakan bacaan itu, dan ternyata sudah sampai saatnya
suatu bab dari Regula itu selalu dibaca. Aku memahami mengapa Jorge tampak
begitu puas, karena aku sudah mendengarkan katakatanya sore itu. Rahib itu
membaca, "Marilah kita meniru contoh dari nabi, yang mengatakan: 'Aku sudah
menetapkan, aku akan menjaga jalanku sehingga jangan berbuat dosa dengan
lidahku, aku sudah menaruh kekang pada mulutku, aku sudah jadi bisu, dengan
merendahkan diriku, aku tidak mau lagi bicara bahkan tentang hal yang jujur.'
Dan jika dalam katakata ini nabi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa
kadangkadang cinta kita terhadap diam akan menyebabkan kita tidak lagi mau
bicara bahkan tentang hal yang benar, berapa banyak lagi kita harus mengundurkan
diri dari percakapan yang tidak benar, untuk menghindari hukuman atas dosa ini!"
Dan kemudian dia melanjutkan, "Tetapi ketidaksopanan, omong kosong, dan gurauan,
kita kutuk untuk dipenjarakan selamanya, di setiap tempat, dan kita tidak
mengizinkan murid membuka mulut untuk berbicara semacam itu."
"Dan ini cocok untuk gambar tepi halaman yang kita bicarakan hari ini," Jorge
tidak tahan untuk tidak mengomentari dengan suara lirih. "John Chrysostom
mengatakan bahwa Kristus tidak pernah tertawa."
"Tidak ada dalam sifat manusianya yang melarangnya," cetus William, "karena
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa, seperti ajaran para teologis, cocok bagi manusia."
"Putra Manusia bisa tertawa, tetapi tidak tertulis bahwa ia berbuat begitu,"
kata Jorge pedas, sambil mengutip Petrus Cantor.
"Manduca, iam coctum est," gumam William. "Makanlah, karena ini sudah dimasak."
"Apa?" tanya Jorge sambil mengira William mengacu kepada hidangan yang
disodorkan kepadanya. "Itu adalah katakata yang menurut Ambrose, diucapkan oleh Santo Laurensius di
atas alat pemanggang, ketika ia menyilakan para algojonya untuk memutarnya,
seperti juga dikenang oleh Prudentius dalam buku Peristephanon," kata William
dengan ekspresi wajah yang saleh. "Jadi, Santo Laurensius tahu caranya tertawa
dan mengatakan hal-hal lucu, meskipun itu untuk mengejek musuh-musuhnya."
"Yang membuktikan bahwa tertawa adalah sesuatu yang amat dekat dengan kematian
dan dengan penggerogotan tubuh ordo," jawab Jorge sambil membentak; dan aku
harus mengakui bahwa ia bicara seperti seorang yang jalan pikirannya logis.
Pada waktu itu dengan ramah Abbas minta kami agar diam. Namun, makan malam
hampir berakhir. Abbas itu berdiri dan memperkenalkan William kepada para rahib.
Ia memuji kebijaksanaan William, mengutarakan ketenarannya, dan memberi tahu
mereka bahwa tamu itu sudah diminta untuk
menyelidiki kematian Adelmo; dan Abbas itu juga mendorong para rahib untuk
menjawab setiap pertanyaan dan menginstruksikan bawahan mereka, di seluruh biara
itu, untuk berbuat begitu.
Makan malam berakhir, para rahib bersiap berangkat ke gereja untuk ibadat
komplina. Sekali lagi mereka menarik tudung kepala ke atas wajah mereka dan
berbaris keluar. Kemudian barisan panjang itu bergerak, menyeberang makam dan
memasuki gereja melalui pintu masuk utara.
Kami ikut pergi bersama Abbas itu. "Apa pada jam ini saatnya pintu-pintu
Aedificium dikunci?" tanya William.
"Segera setelah para pelayan selesai membersihkan ruang makan dan dapur,
pustakawan sendiri akan menutup semua pintu, sambil memalang pintu-pintu itu di
sebelah-dalam." "Sebelah-dalam" Dan dari mana ia keluar?"
Abbas itu membelalak sejenak ke arah William. "Sudah tentu ia tidak tidur di
dapur," katanya singkat. Dan ia mulai berjalan lebih cepat.
"Bagus sekali," bisik William kepadaku, "jadi memang ada pintu yang lain, tetapi
kita tidak boleh tahu di mana itu." Aku tersenyum, bangga akan kesimpulan
William, dan William membentakku, "Dan jangan tertawa. Seperti sudah kaulihat,
di dalam lingkup dindingdinding ini tertawa tidak punya reputasi bagus."
Kami memasuki gereja. Hanya ada sebuah lampu menyala di atas sebuah tripod
tembaga, dua kali setinggi manusia. Dengan diam, para rahib itu
mengambil tempat mereka di bagian koor.
Lalu Abbas itu memberi suatu tanda, dan pemimpin ibadat melantunkan kalimat, "Tu
autem Domine miserere nobis." Abbas itu menjawab, "Adiutorium nostrum in nomine
Domini"; dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Qui fecit coelum et terram."::
Kemudian mazmur mulai dinyanyikan, "Apabila aku berseru, jawablah aku, ya Allah,
yang membenarkan aku"; "Aku akan bersyukur kepadaMu Tuhan dengan segenap
hatiku"; "Bangkitlah, Tuhan, berkati kami, kami semua hamba Tuhan." Kami tidak
duduk di tempat koor, tetapi mundur ke bangku utama. Dari situ, tibatiba kami
melihat Maleakhi sekilas muncul dari kegelapan suatu sisi kapel itu.
"Pasang matamu pada tempat itu," kata William kepadaku. "Bisa jadi ada suatu
pintu menuju Aedificium di situ."
"Di bawah makam?"
"Dan mengapa tidak" Terus terang, karena aku mulai memikirkan tentang itu, entah
di mana pasti ada suatu osarium, tempat tengkorak; tidak mungkin semua rahib
mereka dimakamkan dalam sebidang tanah itu selama berabadabad."
"Tetapi Guru tidak bersungguh-sungguh mau memasuki perpustakaan pada malam
hari?" aku bertanya, ketakutan.
"Di mana ada rahibrahib mati dan ular dan cahaya misterius, Adso yang baik"
Tidak, Anakku, 33 "Adapun Engkau Tuhan, kasihanilah kami." Abbas itu menjawab, "Pertolongan
kita dalam nama Tuhan," dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Vang menciptakan
langit dan bumi" penerj.?hari ini aku mulai memikirkan tentang hal ini dan bukan karena ingin tahu tetapi
karena aku mulai merenungkan pertanyaan tentang cara Adelmo meninggal.
Sekarang, seperti sudah kukatakan kepadamu, aku cenderung mencari penjelasan
yang lebih logis, dan, setelah mempertimbangkan semua hal, aku lebih suka
menghormati adat tempat ini."
"Kalau begitu, mengapa Guru ingin tahu?"
"Karena pengetahuan tidak hanya terdiri atas mengetahui apa yang harus dan dapat
kita lakukan, tetapi juga tahu apa yang dapat kita lakukan dan mungkin tidak
usah dilakukan." [] Hari Kedua Matina Dalam cerita ini, beberapa jam kebahagiaan mistik diganggu oleh suatu kejadian
amat berdarah. ^dang menjadi simbol dari Setan, kadang dari Kristus Yang Bangkit, tidak ada
binatang yang lebih tidak bisa dipercaya daripada ayam jantan. Dalam ordo kami
ada beberapa pemalas yang tidak pernah berkokok saat matahari terbit. Di lain
pihak, terutama pada musim dingin, ibadat matina dilakukan manakala hari masih
gelap dan alam masih tidur, karena rahib harus bangun saat masih gelap dan
berdoa lama dalam gelap, sambil menunggu datangnya pagi dan menerangi
bayangbayang dengan nyala api devosi. Oleh karena itu, biasanya ada kebijakan
untuk menugaskan beberapa orang untuk membangunkan, yang tidak berangkat tidur
manakala saudarasaudara mereka pergi tidur, tetapi akan melewatkan malam dengan
melantunkan sejumlah tepat mazmur yang akan membuat mereka dapat menghitung
waktu yang lewat, sehingga, kalau lamanya tidur yang ditetapkan untuk yang
lainnya berakhir, mereka dapat
membunyikan tanda untuk bangun.
Maka malam itu kami dibangunkan oleh mereka yang berjalan berkeliling asrama dan penginapan sambil membunyikan sebuah lonceng.
Sambil berjalan dari satu bilik ke bilik lain, rahib itu akan berteriak,
"Benedicamus Domino," dan masingmasing menjawab, "Deo gratias."i
William dan aku mengikuti kebiasaan Benediktin itu: tidak sampai setengah jam
kami sudah siap menyambut kedatangan hari baru, lalu kami turun ke gereja, di
mana para rahib, bertiarap di atas lantai, menunggu sampai para novis masuk
dipimpin oleh guru mereka, sambil melantunkan yang pertama dari lima belas
mazmur. Kemudian masingmasing duduk di tempatnya sendiri sendiri dan koor bernyanyi,
"Domine labia mea aperies et os meum annuntiabit laudem tuam."z Seruan itu naik
ke langitlangit gereja yang berbentuk kubah itu bagaikan suara anak kecil
memohon. Dua rahib naik ke atas mimbar dan melantunkan mazmur kesembilan puluh
empat, "Venite exultemus,": yang diikuti oleh mazmur lainnya yang telah
ditetapkan. Dan aku merasakan kehangatan dari iman yang diperbarui.
Para rahib itu duduk di bangku-bangku koor, enam puluh figur yang tidak bisa
dibedakan karena jubah dan tudung kepala mereka, enam puluh bayangbayang yang
samarsamar diterangi oleh
1 "Mari memuji Tuhan," dan masingmasing menjawab, "Syukur kepada Allah" penefj.?2 "Tuhan, hendaklah Engkau membuka bibirku dan mulutku akan mewartakan pujian
kepadaMu" penerj. ?3 "Marilah kita bersukaria" penerj.
?api dari tripod besar itu, enam puluh suara bersama-sama memuliakan Yang
Mahakuasa. Dan sementara mendengar harmoni yang mengharukan ini, serambi depan
kegembiraan firdaus, aku bertanya dalam hati apakah biara itu sungguhsungguh
suatu tempat misteri tersembunyi, tempat upaya gelap untuk mengungkapkan
misteri-misteri itu, dan tempat penuh ancaman mengerikan. Tempat itu sekarang,
bagiku justru seakan tempat tinggal orangorang saleh, ruangan kebajikan, bejana
ilmu pengetahuan, bahtera kebijaksanaan, menara kebijaksanaan, wilayah kekuasaan
ketaatan, baluarti kekuatan, turibulum kesucian.
Setelah enam mazmur, pembacaan Kitab Injil dimulai. Beberapa rahib terangguk-
angguk karena mengantuk, dan salah seorang yang bertugas membangunkan pada malam
hari berjalanjalan di antara bangku-bangku koor dengan sebuah lampu kecil untuk
membangunkan mereka yang tertidur lagi. Jika seorang rahib tidak bisa melawan
kantuk, sebagai hukuman ia harus mengambil lampu itu dan melanjutkan
berkeliling. Lantunan enam mazmur lagi berlanjut. Kemudian Abbas memberikan
berkatnya, lalu diadakan doa mingguan, semua membungkuk ke arah altar selama
saat meditasi yang keindahannya tak dapat dipahami siapa pun yang belum pernah
mengalami saatsaat penuh kegairahan mistik dan kebahagiaan hati yang kuat.
Akhirnya, dengan tudung menutupi wajah mereka lagi, semua duduk dan dengan
khidmat melantunkan lagu "Te Deum".4 Aku juga memuji
4 "Allah Mahaagung" penerj.
?Tuhan karena Dia telah melepaskan aku dari keragu-raguanku dan membebaskan aku
dari perasaan gelisah yang memenuhi hatiku pada hari pertama di biara itu. Kita
ini makhluk lemah, kataku kepada diriku sendiri: bahkan di antara para rahib
yang pintar dan patuh ini, Yang Jahat menyebarkan rasa iri kecil-kecil,
menimbulkan pertikaian licik, tetapi semua ini kemudian menghilang bagai asap
oleh angin iman yang kuat, saat semua berkumpul dalam nama Bapa, dan Kristus
bangkit ke tengah mereka.
DI ANTARA matina dan lauda, para rahib tidak kembali ke bilik mereka, bahkan
jika hari masih gelap. Para novis mengikuti guru mereka masuk ke gedung sekolah
untuk mempelajari mazmur; beberapa rahib tinggal di gereja untuk menghias
gereja, tetapi sebagian besar berjalan pelanpelan dalam kloster dan bermeditasi
dengan diam, seperti halnya William dan aku. Para pelayan masih tidur dan tetap
tidur ketika, langit masih gelap, kami kembali ke kapel untuk ibadat lauda.
Nyanyian mazmur dilanjutkan lagi, dan satu yang khusus, di antara mazmur yang
ditetapkan untuk harihari Minggu, telah melontarkan diriku kembali ke dalam
ketakutanku yang sebelumnya. "Pelanggaran orang jahat berkata dalam hatiku,
bahwa tidak ada ketakutan akan Tuhan di depan matanya. Katakata dari mulutnya
adalah ketidakadilan." Bagiku, ini seakan pertanda buruk bahwa Regula harus
menetapkan suatu peringatan
mengerikan untuk hari itu sendiri. Kesedihan dan kegelisahanku juga tidak
berkurang, setelah mazmur pujian, oleh bacaan biasa dari Kitab Wahyu; figurfigur
ambang pintu itu kembali ke dalam benakku, ukiran-ukiran yang sehari sebelumnya
telah membuat hati dan mataku terpana. Tetapi setelah nyanyian bersahut-sahutan,
himne, dan pembacaan ayat suci, saat Injil mulai dinyanyikan, sekilas aku
melihat di atas altar, di atas jendelajendela tempat koor, suatu cahaya pucat
yang membuat daun jendela, yang sampai saat itu buram oleh kegelapan, mulai
bersinar dalam berbagai warna. Fajar belum lagi tiba, fajar baru mulai bangkit
selama ibadat Prima, persis saat kami menyanyikan "Deus qui est sanctorum
splendor mirabilis," dan "lam lucis orto sidere."s Itu sekadar bentara
samarsamar pertama dari hari baru di musim dingin, tetapi itu sudah cukup, dan
sekarang pantulan sinar tipis yang mulai menggantikan kegelapan di jalan-tengah
gereja itu sudah cukup untuk melegakan hatiku.
Kami menyanyikan katakata dari buku suci itu dan, ketika kami mulai menjadi
saksi bahwa Sabda akan menerangi semua bangsa, bintang siang dalam semua
kemuliaannya terasa seakan menguasai tempat suci itu. Sinar, yang masih belum
muncul, bagiku seakan berkilau dalam katakata dari himne bakung wangi, mistik,
yang membuka di antara pelengkung-pelengkung kubah itu. "Aku bersyukur kepadaMu,
O Aliahku, untuk saat kegembiraan
5 "Tuhan yang adalah kecemerlangan yang mengagumkan," dan "Bintang terang telah
terbit" penerj.?yang tak terlukiskan ini," aku berdoa dengan diam, dan berkata dalam hatiku,
"Hati yang tolol, apa yang kautakuti?"
Tibatiba terdengar bunyi-bunyi dari arah pintu utara. Aku ingin tahu mengapa
para pelayan, sementara mulai bekerja, mengganggu ibadat suci dengan cara ini.
Ketika itu tiga gembala babi masuk, wajah mereka ketakutan; mereka mendekati
Abbas dan membisikkan sesuatu kepadanya. Mulamula Abbas itu menenangkan mereka
dengan gerakan tangannya, seakanakan mengatakan ia tidak mau menghentikan doa
itu; tetapi seorang pembantu lain masuk, dan teriakan-teriakan makin keras. Ada
yang mengatakan, "Seseorang!
Orang mati!" Dan yang lainnya, "Seorang rahib. Kau lihat sandal itu?"
Doa itu dihentikan, dan sang Abbas bergegas keluar, sambil mengangguk kepada
Kepala Gudang untuk mengikutinya. William mengikuti di belakang mereka, tetapi
waktu itu rahib lainnya juga mulai meninggalkan bangku dan bergegas keluar.
Sekarang langit sudah terang, dan salju di atas tanah membuat lingkungan
bangunan itu justru lebih terang. Di belakang kapel, di depan kandang-kandang,
yang pada hari sebelumnya ada belanga besar dengan darah babi, suatu benda aneh,
hampir berbentuk salib, mencuat di atas tepi belanga itu, seperti dua batang
kayu ditancapkan di tanah, lalu ditutupi dengan baju compang-camping untuk
menakuti burung. Tetapi kedua batang kayu itu kaki manusia,
dua kaki seorang manusia yang ditancapkan dengan kepala terjungkir dalam belanga
darah. Abbas itu menyuruh mayat tersebut (karena tidak bakal ada orang hidup yang dapat
tetap berada dalam posisi aneh itu) dikeluarkan dari cairan mengerikan itu.
Beberapa gembala babi mendekati tepi belanga dengan ragu-ragu dan, sementara
diri mereka sendiri mulai tepercik darah, menarik benda berlumur darah yang
malang itu. Seperti sudah dijelaskan kepadaku, darah tersebut, karena sudah
langsung diaduk dengan baik setelah ditampung, dan kemudian dibiarkan di bawah
udara dingin di luar, belum mengental, tetapi lapisan yang menutupi mayat itu
sekarang mulai mengental; darah itu membuat jubah mayat itu basah kuyup, membuat
wajahnya tak dapat dikenali. Seorang pelayan mendekat dengan seember air dan
mengguyurkan sedikit di atas wajah jenazah yang tidak keruan itu. Yang lain
membungkuk untuk menyeka wajah itu dengan secarik kain. Dan di depan mata kami
muncul wajah putih Venantius dari Salvemec, sarjana Yunani yang kami ajak bicara
sore itu di dekat naskah Adelmo.
Abbas itu mendekat. "Bruder William, seperti kausaksikan sendiri, sesuatu sedang
berlangsung dalam biara ini, sesuatu yang meminta semua kebijaksanaanmu. Tetapi
aku mohon kepadamu: cepatlah bertindak!"
"Apa dia hadir dalam koor selama ibadat?" tanya William sambil menuding mayat
itu. "Tidak," kata Abbas itu. "Aku melihat bangkunya
kosong." "Tidak ada lainnya yang absen?"
"Rasanya begitu. Aku tidak melihat apa-apa yang aneh."
William termangu sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya, dan ia menanyakannya
sambil berbisik, sambil berhatihati jangan sampai terdengar yang lainnya,
"Berengar ada di bangkunya?"
Abbas itu memandang William dengan rasa heran yang gelisah, seakan untuk
menandakan bahwa ia kaget mendengar guruku sampai pada satu tuduhan yang sejenak
sudah ia pikirkan sendiri, untuk alasanalasan yang lebih dapat dimengerti. Lalu
ia berkata dengan cepat, "Ia ada di sana. Ia duduk di baris pertama, hampir di
sebelah kananku." "Tentu saja," kata William, "semua ini tidak berarti apa apa.
Aku percaya tidak ada orang yang memasuki tempat koor dari belakang bagian
gereja yang menonjol itu, dan oleh karenanya, bisa saja mayat itu sudah ada di
sana selama beberapa jam, paling tidak sejak saat setiap orang sudah pergi
tidur." "Untuk pastinya, para pelayan baru mulai bangun saat subuh, dan itulah sebabnya
mereka baru menemukannya sekarang."
William membungkuk di atas mayat itu, seakan sudah terbiasa menangani mayat. Ia
mencelupkan kain yang tergeletak di situ ke dalam air dalam ember dan
membersihkan wajah Venantius lebih lanjut. Sementara itu, rahib lainnya
berkerumun di sekeliling, ketakutan, membentuk suatu lingkaran
yang berisik sampai Abbas menyuruh mereka diam. Di antara lainlainnya, yang
sekarang berusaha untuk maju, datang Severinus, yang menangani masalah kesehatan
tubuh di dalam biara itu, dan ia membungkuk di samping guruku. Untuk
mendengarkan percakapan mereka, dan untuk membantu William, yang memerlukan
sehelai kain bersih basah, aku bergabung dengan mereka, sambil mengatasi
ketakutan dan rasa mualku.
"Apa kau pernah melihat seorang yang tenggelam?" tanya William.
"Banyak kali," kata Severinus. "Dan jika aku menduga apa yang ingin kaukatakan,
wajah mereka tidak seperti ini, biasanya membengkak."
"Jadi, orang ini sudah mati pada waktu seseorang melemparkan tubuhnya ke dalam
belanga." "Mengapa ia berbuat begitu?"
"Mengapa ia membunuhnya lebih dulu" Kita menghadapi pekerjaan dari suatu pikiran
yang terpelintir. Tetapi sekarang kita harus memeriksa apakah ada luka atau
lecet-lecet pada tubuh itu. Aku mengusulkan untuk membawanya ke klinik, dibuka
pakaiannya, dibersihkan dan diperiksa. Aku akan segera ke sana."
Dan sementara Severinus, setelah menerima izin dari Abbas, menyuruh para gembala
babi membawa pergi mayat tersebut, guruku minta agar para rahib disuruh kembali
ke tempat koor melalui jalan yang sudah mereka ambil sebelumnya, dan bahwa para
pelayan juga kembali ke tempat kerja melalui jalan yang sama, sehingga tempat
itu akan tetap kosong. Demikianlah maka tinggal kami berdua di sana, di samping belanga itu, di
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah darah yang tumpah selama mereka bekerja keras mengeluarkan mayat itu.
Salju di seputarnya menjadi merah, sementara di beberapa tempat di mana air
telah diguyurkan, salju itu meleleh; dan ada sebuah noda gelap besar di tempat
mayat itu tadi ditelentangkan.
"Kekacauan yang bagus," kata William sambil mengangguk ke arah pola ruwet bekas
langkah kaki yang ditinggalkan di manamana oleh para rahib dan pelayan. "Salju,
Adso terkasih, adalah perkamen mengagumkan yang di atasnya tertera tulisan yang
ditinggalkan oleh tubuh manusia, yang amat mudah dibaca. Tetapi lembaran
perkamen ini sudah banyak digores-gores, dan mungkin kita tidak akan membaca
sesuatu yang menarik di atasnya. Di antara sini dan gereja para rahib telah
berjalan dengan terburu-buru, di antara sini dan gereja, lumbung dan kandang-
kandang, para pelayan telah datang tergesagesa. Satusatunya tempat yang tidak
terjamah adalah antara lumbung dan Aedificium. Mari kita lihat apakah kita bisa
menemukan sesuatu yang menarik."
"Apa yang kauharap akan ditemukan?"
"Jika ia tidak melemparkan dirinya sendiri ke dalam belanga tersebut, maka ada
orang yang menggendongnya ke sana, kubayangkan sudah mati. Dan di atas salju,
seseorang yang menggendong tubuh orang lain akan meninggalkan jejak kaki yang
dalam. Jadi, lihat dan perhatikan jika kau menemukan beberapa bekas tapak kaki
di seputar sini yang menurutmu tampak lain dari tapak kaki para rahib yang berisik itu,
yang telah merusak perkamen kita itu."
Dan kami mulai bekerja. Dan aku akan langsung mengatakan bahwa akulah, Tuhan,
ampuni semua kesombonganku, yang menemukan sesuatu di antara belanga itu dan
Aedificium. Itu adalah jejak kaki manusia, amat dalam, dalam suatu zona yang
belum dilewati lagi oleh siapa pun dan, ketika langsung diamati oleh guruku,
lebih tipis daripada jejak kaki yang ditinggalkan oleh para rahib dan pelayan
itu, suatu tanda bahwa lebih banyak salju yang turun, dan artinya jejak itu
sudah ada beberapa waktu sebelumnya. Tetapi apa yang bagi kami tampak paling
mencolok adalah bahwa di antara jejakjejak kaki itu ada suatu jejak yang lebih
menyambung, seperti jejak dari sesuatu yang telah diseret oleh orang yang meninggalkan jejak kaki
itu. Singkatnya, suatu jalur yang berlangsung dari belanga itu menuju pintu
ruang makan, di samping Aedificium, di antara menara selatan dan menara timur.
"Ruang makan, skriptorium, perpustakaan," kata William. "Sekali lagi,
perpustakaan. Venantius meninggal di dalam Aedificium, dan hampir mungkin di
dalam perpustakaan."
"Dan kenapa tepatnya di perpustakaan?"
"Aku tengah berusaha mendudukkan diriku sendiri di tempat si pembunuh. Andaikan
Venantius telah meninggal, telah dibunuh, di dalam ruang makan, di dalam dapur,
atau di dalam skriptorium,
mengapa tidak ditinggalkan di sana" Tetapi jika meninggal di dalam perpustakaan,
maka ia harus dibawa ke suatu tempat lain, sekaligus karena di dalam
perpustakaan mayat itu tidak bakal pernah diketemukan (dan mungkin si pembunuh
khusus berminat membuat mayat itu diketemukan) dan karena si pembunuh mungkin
tidak ingin perpustakaan menjadi pusat perhatian."
"Dan mengapa si pembunuh berminat membuat mayat itu diketemukan?"
"Aku tidak tahu. Aku bisa menyarankan beberapa hipotesis. Bagaimana kita tahu
bahwa si pembunuh membunuh Venantius karena ia membenci Venantius" Tentu saja ia
bisa membunuhnya, dan bukan orang lainnya, untuk meninggalkan suatu tanda, untuk
menunjukkan sesuatu yang lain."
"Omnis mundi creatura, quasi liber et scriptura
gumamku. "Tetapi kira-kira pertanda apa itu?"
"Itu yang aku tidak tahu. Tetapi jangan lupa bahwa ada juga pertanda yang
tampaknya sedemikian rupa dan ternyata tidak ada maknanya, sekadar blitiri dan
bla-bla-bla ...." "Akan sangat tidak sopan," kataku, "membunuh seseorang hanya untuk mengatakan
bla-bla-bla!" "Akan sangat tidak sopan," tukas William, "membunuh seseorang justru untuk
mengucapkan 'Credo in unum Deum'6
Saat itu Severinus mendatangi kami. Mayat itu
6 Syahadat penerj?sudah dicuci dan diperiksa dengan saksama. Tidak ada luka, tidak ada lecet pada
kepala. "Apa kau punya racunracun dalam laboratoriummu?" tanya William, sementara kami
berjalan menuju klinik. "Salah satu di antaranya. Tetapi itu tergantung pada apa yang kaumaksudkan
dengan racun. Ada bahanbahan yang dalam dosis kecil menyehatkan dan dalam dosis
berlebihan menyebabkan kematian.
Sebagaimana halnya setiap herbalis yang baik, aku menyimpannya, dan kugunakan
secara diamdiam. Dalam kebunku, aku menanam, misalnya saja, valerian. Beberapa
tetes valerian dalam suntikan yang terbuat dari dedaunan obat lainnya akan
menenangkan jantung jika detaknya tidak teratur. Dosis yang terlalu banyak
menyebabkan kantuk dan kematian."
"Dan kauperhatikan tidak ada pertanda dari racun khusus apa saja pada mayat
itu?" "Sama sekali tidak ada. Tetapi banyak racun tidak meninggalkan jejak."
Kami sudah sampai ke klinik. Mayat Venantius, setelah dibersihkan di pemandian,
sudah dibawa kemari dan terbaring di atas meja besar dalam laboratorium
Severinus: alembik dan alat-alat lainnya dari kaca dan tanah liat membuatku
membayangkan toko seorang ahli kimia (kendati hal-hal semacam itu hanya kudengar
melalui percakapan tidak langsung). Di atas beberapa rak memanjang yang menempel
pada dinding dekat pintu, berjajar banyak sekali rangkaian pot kecil, ampul,
kendi, belanga, penuh dengan bahanbahan yang berwarnawarni.
"Koleksi bahanbahan yang bagus," kata William. "Semua produksi dari kebunmu?"
"Tidak," kata Severinus, "banyak bahan, langka, atau tidak mungkin tumbuh dalam
iklim ini, yang selama bertahuntahun kuterima sebagai buah tangan para rahib
yang datang dari setiap bagian dunia ini. Aku punya banyak benda amat berharga
yang tidak bisa didapatkan segera, juga bahanbahan yang dengan mudah diperoleh
dari dunia flora setempat. Kau lihat ... aghalingho pesto berasal dari Cathay,
Cina; aku memerolehnya dari seorang Arab yang pandai, lidah buaya India, obat
penyembuh luka yang bagus sekali. Arient segar membuat orang mati tetap hidup,
atau, lebih baik dikatakan, membangunkan mereka yang telah kehilangan akal.
Arsenako: amat berbahaya, racun mematikan bagi siapa saja yang menelannya.
Boraks, tanaman yang bagus untuk menyembuhkan paru-paru. Betoni, baik untuk
keretakan pada kepala. Mastik: menenangkan aliran darah ke paru-paru dan katarak
yang mengganggu. M i r ...."
"Hadiah Tiga Raja?" tanyaku.
"Sama. Tetapi sekarang dipakai untuk mencegah keguguran kandungan, dipetik dari
sebuah pohon yang disebut Balsamodendron myrra. Dan ini mumia, amat langka,
dihasilkan oleh pembusukan mayat yang dibuat mumi; digunakan untuk menyiapkan
banyak obat yang hampir ajaib. Mandragora officinalis, baik untuk tidur ...."
"Dan merangsang nafsu dari daging," komentar guruku.
"Begitu kata orang, tetapi kau bisa membayangkan bahwa di sini ini tidak
digunakan untuk tujuan tersebut." Severinus tersenyum.
"Dan lihat ini," katanya sambil menurunkan sebuah ampul. "Tuttyz, ajaib untuk
mata." "Dan ini apa?" tanya William dengan suara gembira, sambil menyentuh sebuah batu
yang tergeletak di atas sebuah rak.
"Itu" Itu diberikan kepadaku beberapa waktu yang lalu. Tampak jelas batu itu
punya khasiat terapeutik, tetapi aku belum menemukan apa itu. Apa kau tahu itu?"
"Ya," kata William, "tetapi bukan sebagai obat." Ia mengeluarkan sebilah pisau
kecil dari dalam jubahnya dan memegangnya di dekat batu tersebut. Ketika pisau
itu, bergera oleh tangannya dengan amat pelan, sampai ke dekat batu tersebut,
aku melihat pisau itu mendadak melompat, seakan William telah menggerakkan
pergelangan tangannya, yang, bagaimanapun juga, tetap tidak bergerak. Dan pisau
itu menempel pada batu tersebut sambil mengeluarkan bunyi metalik yang lembut.
"Kau lihat," kata William kepadaku, "ini menarik besi."
"Dan apa kegunaannya?" tanyaku.
"Kegunaannya macam-macam, nanti kuceritakan kepadamu. Tetapi untuk saat ini, aku
hanya ingin tahu, Severinus, kalaukalau di sini ada
7 Seng, elemen kimiawi dengan simbol Zn pen.?sesuatu yang bisa membunuh seseorang."
Severinus merenung sejenak terlalu lama, menurutku, untuk mempertimbangkan
kejelasan dari jawabannya, "Banyak benda. Seperti sudah kukatakan, garis antara
racun dan obat itu amat halus; untuk keduanya orang Yunani menggunakan kata
'pharmacon'." "Dan tidak ada yang telah dipindahkan akhir-akhir ini?" Severinus merenung lagi,
kemudian, seakan mempertajam katakatanya, "Tidak ada akhir-akhir ini."
"Dan pada masa lalu?"
"Siapa tahu" Aku tidak ingat. Aku sudah tinggal di biara ini selama tiga puluh
tahun, dan dua puluh lima tahun bertugas di klinik."
"Terlalu lama untuk ingatan seorang manusia," William membenarkan.
Kemudian, tibatiba, ia berkata, "Kemarin kita membicarakan tentang tumbuh-
tumbuhan yang dapat merangsang penampakan.
Yang mana itu?" Gerakgerik Severinus dan ekspresi pada wajahnya menunjukkan suatu keinginan
besar untuk menghindari pokok pembicaraan itu.
"Kau tahu, sudah tentu aku harus berpikir dulu. Aku punya begitu banyak bahan di
sini. Tetapi lebih baik mari kita bicarakan tentang kematian Venantius.
Bagaimana pendapatmu tentang itu?"
"Sudah tentu aku harus berpikir dulu," jawab William. []
Prima Dalam cerita ini, Benno dari Uppsala menceritakan rahasia tertentu, lainnya
diceritakan oleh Berengar dari Arundel, dan Adso mempelajari dari pertobatan
yang sebenarnya. ^rjj-^ristiwa mengerikan itu telah mengganggu "yr kehidupan komunitas tersebut.
Kebingungan akibat ditemukannya mayat tadi telah memutus ibadat suci itu. Abbas
langsung menyuruh para rahib kembali ke tempat koor, untuk mendoakan jiwa
saudara mereka. Suara para rahib itu terputus-putus. William dan aku memilih duduk dalam suatu
posisi yang memungkinkan kami mengamati wajah mereka yang pada saat liturgi
tidak perlu menurunkan tudung kepala mereka. Kami langsung melihat wajah
Berengar. Pucat, murung, mengilat oleh peluh.
Di sebelah Berengar tampak oleh kami Maleakhi. Murung, mengernyitkan kening,
tidak bersemangat. Di sebelahnya, juga tanpa semangat, adalah wajah Jorge yang
buta. Di lain pihak, kami mengamati gerakgerik Benno dari Uppsala yang gelisah,
sarjana retorika yang kami temui hari sebelumnya di skriptorium; dan kami
memergokinya melirik Maleakhi
sebentar. "Benno gelisah, Berengar ketakutan," komentar William. "Mereka harus
segera ditanyai." "Mengapa?" tanyaku tidak paham.
"Tugas kita ini berat," kata William. "Suatu tugas berat, tugas seorang
inkuisitor, yang harus menyerang yang paling lemah, dan pada saat mereka sedang
dalam keadaan sangat lemah."
Nyatanya, begitu ibadat berakhir, kami berpapasan dengan Benno, yang mau menuju
perpustakaan. Orang muda itu tampak kaget mendengar William memanggilnya, dan
menggumamkan suatu alasan yang sudah ia hafal tentang harus menyelesaikan
pekerjaan. Kelihatannya ia terburu-buru pergi ke skriptorium. Tetapi guruku
mengingatkan Benno bahwa ia sedang menjalankan permintaan Abbas untuk
menyelidiki, dan mengajak Benno masuk kloster. Kami duduk di dinding sebelah
dalam, di antara dua pilar. Sambil dari waktu ke waktu memandang ke arah
Aedificium, Benno menunggu William mulai bicara.
"Baiklah kalau begitu," William mulai bertanya, "apa yang kaukatakan pada hari
itu ketika kau mendiskusikan gambar tepi Adelmo bersama Berengar, Venantius,
Maleakhi, dan Jorge?"
"Kau sudah dengar kemarin. Waktu itu Jorge mengatakan bahwa menggunakan gambar
aneh untuk menghiasi buku yang berisi kebenaran adalah haram. Dan Venantius
berpendapat bahwa Aristoteles sendiri telah membicarakan tentang kejenakaan dan
permainan kata sebagai alat yang lebih baik untuk mengungkapkan kebenaran, dan
karenanya tawa belum tentu suatu hal yang buruk jika bisa menjadi sarana
kebenaran. Jorge berkata bahwa, sejauh yang bisa diingatnya, Aristoteles sudah
menyebutkan hal-hal ini dalam bukunya, Poetics, waktu membicarakan metafora. Dan
dalam buku itu sendiri ada dua keadaan yang mengganggu, pertama karena buku
Poetics itu, begitu lama tidak dikenal oleh dunia Kristen, yang mungkin oleh
dekrit suci, sekarang dibawa kepada kita oleh bangsa Moor yang kafir
"Tetapi buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang doktor
suci dari Aquino," kata William.
"Itulah yang kukatakan kepada Jorge," jawab Benno, langsung bersemangat. "Aku
tidak lancar berbahasa Yunani dan aku bisa mempelajari buku hebat itu, terus
terang saja, hanya melalui terjemahan William dari Moerbeke. Ya, aku bilang
begitu. Tetapi Jorge menambahkan bahwa alasan kedua yang menimbulkan kegelisahan
adalah bahwa dalam buku itu, Stagirite itu, membicarakan puisi, yang merupakan
doktrin murahan dan yang ada dalam isapan jempol.
Dan Venantius berkata bahwa Mazmur, juga, berupa karya puisi dan menggunakan
metafora; dan Jorge menjadi marah karena menurutnya Mazmur adalah hasil karya
inspirasi suci dan menggunakan metafora untuk menyampaikan kebenaran, sementara
karya penyair kafir itu menggunakan metafora untuk menyampaikan kebohongan dan
untuk tujuan kesenangan belaka, sebuah ucapan
yang membuatku amat tersinggung ...." "Mengapa?"
"Karena aku mempelajari retorika, dan aku membaca banyak penyair kafir, dan aku
tahu ... atau aku percaya bahwa katakata mereka telah menyampaikan kebenaran asli
Kristen pula .... Singkat kata, pada waktu itu, kalau aku tidak salah ingat, Venantius juga
menyebutkan bukubuku lainnya dan Jorge menjadi amat marah."
"Buku apa?" Benno tertegun. "Aku tidak ingat. Apa masalahnya dengan bukubuku yang disebutkan
itu?" "Masalahnya besar sekali, karena di sini kita sedang berusaha memahami apa yang
telah terjadi di kalangan orangorang yang hidup di antara buku, bersama buku,
dari buku, dan karenanya katakata mereka tentang buku juga penting."
"Memang," kata Benno, sambil tersenyum untuk pertama kalinya, wajahnya makin
berseri-seri. "Kami hidup untuk buku. Suatu misi indah di dunia yang didominasi
oleh kekacauan dan kemerosotan ini. Mungkin, kelak, kau akan memahami apa yang
telah terjadi pada kesempatan itu. Venantius, yang fasih yang amat menguasai
bahasa Yunani, mengatakan bahwa Aristoteles telah mengabdikan buku Poetics yang
kedua khususnya pada tawa, dan kalau seorang filsuf yang sedemikian hebat
mengabdikan seluruh buku itu pada tawa, maka tawa tentu penting. Jorge berkata
bahwa banyak pendeta telah mengabdikan seluruh buku untuk dosa, yang merupakan
buku penting, tetapi jahat;
dan Venantius berkata bahwa sejauh ia ketahui, Aristoteles telah membicarakan
tawa sebagai sesuatu yang baik dan suatu alat kebenaran; dan kemudian Jorge
menanyakan kepadanya dengan sinis apakah ia pernah mendapat kesempatan untuk
membaca buku Aristoteles ini; dan Venantius berkata bahwa tak seorang pun telah
membacanya, karena buku itu belum pernah diketemukan dan mungkin sudah hilang
untuk selamanya. Dan, dalam kenyataan, William dari Moerbeke belum pernah
memilikinya. Kemudian Jorge mengatakan bahwa jika tidak pernah diketemukan, ini
karena buku itu belum pernah ditulis, karena Tuhan tidak menghendaki hal-hal
jelek dimuliakan. Aku ingin menenangkan semangat setiap orang, karena Jorge
mudah marah dan Venantius terangterangan berbicara untuk mendorong kemarahan
Jorge, dan karenanya aku katakan bahwa dalam bagian dari Poetics yang kita tidak
tahu itu, dan di dalam Rhetoric, tentu ditemukan banyak observasi bijaksana
tentang perumpamaan lucu, dan Venantius sepakat denganku. Sekarang, ikut bicara
Pacificus dari Tivoli, yang mengenal penyair kafir dengan amat baik, dan ia
berkata bahwa kalau sampai pada masalah perumpamaan lucu, tidak ada orang yang
bisa mengungguli para penyair Afrika. Ia mengutip, nyatanya, perumpamaan tentang
ikan, dari Symphosius: Est domus in terris, ciara quae voce resuitat. Ipsa domus resonat, tacitus sed
non sonat hospes. Ambo tamen currunt, hospes simul e t domus una. e
"Saat itu Jorge mengatakan bahwa Yesus telah
mendesak agar pembicaraan kita menjadi ya atau
tidak, karena penjelasan apa saja selanjutnya,
datang dari Yang Jahat; dan bahwa untuk
menyebutkan ikan, sudah cukup menyebut 'ikan1,
tanpa mengungkapkan gagasan di balik bunyi-bunyi
bohong. Dan ia menambahkan bahwa baginya,
rasanya tidak bijaksana untuk mengambil orang
orang Afrika itu sebagai contoh .... Dan kemudian ii
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kemudian?" "Kemudian sesuatu telah terjadi yang tidak kumengerti. Berengar mulai tertawa.
Jorge membentaknya, dan berkata bahwa Berengar tertawa karena timbul dalam
benaknya bahwa jika ada yang dengan cermat mencari cari di antara karya Afrika,
akan ditemukan perumpamaan lain yang amat berbeda, dan tidak begitu gampang
seperti perumpamaan tentang ikan itu. Maleakhi, yang juga hadir, menjadi berang,
mencekal tudung kepala Berengar dan menyuruhnya kembali bekerja .... Berengar, kau
tahu, adalah asisten "Dan sesudah itu?"
"Sesudah itu Jorge mengakhiri argumentasi itu
8 Ada rumah di bumi, yang menggema dengan suara nyaring//Rumah itu sendiri
memantulkan suara, tamunya diam dan tidak bersuara//Tetapi keduanya berjalan
cepat, tamu bersama dengan satu rumah penerj.?dengan meninggalkan kami. Kami semua kembali ke pekerjaan kami, tetapi sementara
bekerja, mulamula aku melihat Venantius, kemudian Adelmo menghampiri Berengar
dan menanyakan sesuatu. Dari kejauhan aku melihat Berengar mengelakkan
pertanyaan mereka, tetapi pada siang hari itu keduanya juga mendatangi Berengar
lagi. Dan petang harinya aku melihat Adelmo dan Berengar tengah mengobrol di
dalam kloster sebelum memasuki ruang makan. Nah, itu semua yang kutahu."
"Kau tahu, nyatanya, bahwa kedua orang yang akhir akhir ini meninggal dalam
keadaan misterius itu telah menanyakan sesuatu kepada Berengar," kata William.
Benno menjawab dengan sikap tidak nyaman. "Aku tidak berkata begitu! Aku
menceritakan apa yang telah terjadi hari itu, karena kau bertanya Ia merenung
sejenak, lalu buruburu menambahkan, "Tetapi jika kau ingin tahu pendapatku,
Berengar menceritakan kepada mereka tentang sesuatu dalam perpustakaan, dan itu
tempat yang harus kauselidiki."
"Mengapa kau berpikir tentang perpustakaan" Apa yang dimaksud oleh Berengar
tentang mencaricari di antara buku Afrika" Apa itu bukan berarti bahwa penyair
Pendekar Buta 7 Shugyosa Samurai Pengembara 8 Bagus Sajiwo 8