Pencarian

Death Dujour 6

Death Du Jour Karya Kathy Reichs Bagian 6


segera mengundurkan diri ke kamar tamu. Gelap, tapi anehnya sedikit berubah.
Ujung ruangan terlihat berwarna perunggu di tengah-tengah kegelapan. Perapian,
kursi Queen Anne, semua perabotan dan lukisan tampak berkilauan dengan lembut,
seperti barang yang terlihat dalam fatamorgana. Melalui pintu dapur, aku bisa
melihat cahaya Jingga menarinari di depan lemari es.
Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee!
Dadaku terasa menegang saat keheningan dipecahkan oleh suara melengking tinggi.
Tubuhku meregang dan kerang itu menghantam dinding. Dengan gemetar, kutempelkan
punggungku ke dinding. Suara itu berasal dari alat pendeteksi kebakaran!
Kuamati apakah ada gerakan di dalam ruangan. Tidak ada apa-apa, kecuali
kegelapan dan kerlapkerlip cahaya yang mencekam.
Rumah sedang terbakar. Cepat lari!
Jantungku berdentam-dentum, napasku terengah-tengah, aku berlari menuju dapur.
Api membara di tengah ruangan, memenuhi udara dengan asap dan api terlihat
dipantulkan oleh setiap permukaan yang berkilau.
Tanganku yang gemetaran menemukan tombol lampu dan aku menyalakannya. Mataku
mencaricari ke kiri dan ke kanan. Lidah-lidah api tampak di tengah ruangan. Api
belum menyebar. Kuletakkan kerang itu dan, sambil mengangkat ujung gaun tidurku menutupi mulut
dan hidung, aku membungkuk dan bergerak ke lemari makanan. Kutarik alat pemadam
kebakaran kecil dari bagian atas lemari. Paru-paruku menghirup asap dan air mata
mengaburkan pandanganku, tetapi aku mampu memencet pegangannya. Alat itu hanya
berdesis. Sialan! Sambil terbatuk-batuk dan tercekik, aku memencetnya kembali. Desisan kembali,
kemudian karbon dioksida dan serbuk putih menyembur dari moncongnya.
Yes! Kuarahkan moncongnya ke api dan dalam waktu kurang dari satu menit api sudah
padam. Alarm masih menjerit-jerit, suaranya seperti kepingan logam yang menusuk-
nusuk telinga dan menembus otakku.
Kubuka pintu belakang dan jendela di atas tempat cuci piring, kemudian mendekati
meja. Aku tidak perlu repot-repot membuka jendela di atas meja. Kusennya tampak
rusak dan pecahan kaca serta serpihan kayu
tampak memenuhi lantai. Embusan angin meniup gorden, menarik dan meniupnya dari
lubang jendela. Sambil memutari pecahan kaca di lantai, kunyatakan kipas di langitlangit, meraih
sebuah handuk dan mengusir asap dari dalam ruangan. Pelan-pelan ruangan mulai
terlihat jelas kembali. Kuseka mataku dan berusaha mengendalikan napas.
Terus kipaskan handuk! Alarm masih terus berbunyi.
Aku berhenti mengipaskan handuk dan melihat ke sekeliling ruangan. Sebuah balok
kayu tergeletak di bawah meja, lainnya terlihat di dekat lemari di bawah tempat
cuci. Di antaranya tampak gumpalan kain hangus yang menjadi sumber api itu.
Ruangan sekarang dipenuhi bau asap dan bensin. Dan bau lainnya yang kukenal.
Dengan kaki gemetaran, aku melangkah menuju gundukan barang yang masih membara
itu. Kutatap, tidak sepenuhnya mengerti, saat alarm berhenti berbunyi.
Keheningan itu sepertinya tidak alami.
Hubungi 911. Tidak perlu. Saat meraih telepon, di kejauhan kudengar suara sirine. Suaranya
terdengar semakin nyaring, sangat nyaring, kemudian berhenti. Dalam beberapa
saat, seorang petugas pemadam kebakaran muncul di pintu belakangku.
"Anda baikbaik saja, Nyonya?"
Aku mengangguk dan melipat tangan di depan dada, menyadari pakaianku yang belum
lengkap. "Tetangga Anda menelepon." Tali topi di dagunya mengayun.
"Oh." Aku lupa gaun tidurku. Aku seakanakan kembali ke St-Jovite.
"Semuanya sudah bisa dikendalikan?" Aku mengangguk kembali. St.-Jovite. Hampir
seperti sebuah rangsangan saraf.
"Anda keberatan kalau aku memastikannya?" Aku melangkah mundur.
Dia menyimpulkan dalam satu pandangan saja. "Gurauan yang cukup kejam. Anda tahu
siapa kira-kira yang melemparkan ini menembus jendela rumah?" Aku menggelengkan
kepala. "Sepertinya kaca jendela dipecahkan dengan balok kayu itu, kemudian barang ini
dilemparkan ke dalam." Dia berjalan menuju timbunan yang membara itu. "Mereka
pasti sudah merendamnya dalam bensin, menyulutnya, kemudian melemparkannya ke
dalam." Aku mendengar katakatanya, tetapi tidak mampu mengeluarkan jawaban. Tubuhku
telah terkunci saat pikiranku berusaha mengeluarkan keinginan yang tertidur
lelap di dalam otakku. Petugas pemadam kebakaran itu mengeluarkan sekop dari ikat pinggangnya, membuka
ujungnya, dan menohok gundukan di lantai dapurku itu. Percikan api melayang ke
atas, kemudian bergabung kembali dengan gundukan hitam di bawahnya. Dia
menyelipkan sekop di bawah gundukan itu, membalikkannya, dan membungkuk.
"Kelihatannya seperti kain bekas. Mungkin kantong benih. Aku tidak tahu apa
isinya." Dikeriknya barang itu dengan sekopnya dan partikel bara api meloncat-loncat. Dia
menusuk semakin keras dan menggulingkan barang itu.
Baunya semakin tajam. St-Jovite. Ruangan autopsy tiga. Kenangan itu memecah
kepala dan aku langsung merasa kedinginan.
Dengan tangan gemetaran, kubuka laci dan mengeluarkan sebuah gunting. Tanpa
memedulikan gaun tidurku, aku jongkok dan memotong gundukan kain itu.
Tubuhnya tampak kecil, punggungnya melenting, kakinya mengerut karena panas api
tersebut. Kulihat sebuah mata yang mengisut, rahang kecil dengan gigi-gigi yang
hitam. Karena telah menduga akan ada kengerian dalam kantong itu, aku merasa
ingin pingsan. Jangan! Aduuuh, jangan! Aku membungkuk, pikiranku terbangun oleh bau daging dan rambut yang terbakar. Di
antara kedua kakinya, kulihat ekor yang melingkar dan sudah menghitam, tulang
belakangnya menembus keluar seperti tanduk.
Air mata mengalir deras di pipi saat aku memotong kantong itu. Di dekat simpul
ikatan kulihat bulu, yang sekarang sudah terbakar, tetapi di beberapa tempat
tampak berwarna putih. Mangkuk yang setengah terisi.
"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!"
Aku mendengar teriakan itu, tetapi aku tidak merasa teriakan itu berasal dari
mulutku. "Tidak! Tidak! Tidak! Birdie! Jangan Tuhan, oh tidak!"
Aku merasakan sentuhan tangan di bahuku, kemudian di lenganku, meraih gunting
itu, pelan-pelan mengangkatku untuk bangkit berdiri. Terdengar suara-suara.
Kemudian, aku sudah berada di ruang tamu, dengan selimut membungkus tubuh. Aku
sedang menangis, gemetaran, tubuhku terasa sakit.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis saat mendongak dan melihat tetanggaku,
Dia menunjuk secangkir teh.
"Apa itu?" Dadaku kembang kempis.
"Pepermin." "Terima kasih." Kureguk cairan yang hangat-hangat kuku itu. "Jam berapa
sekarang?" "Jam dua lewat sedikit." Wanita tetanggaku itu memakai sandal rumah dan jas
hujan yang tidak menutupi gaun fl anelnya. Walaupun kami sering melambaikan
tangan dari pekarangan kami, atau bertukar sapa di jalan, aku tidak begitu
mengenalnya. "Maaf karena Anda harus bangun di tengah malam-"
"Tidak apa-apa, Dr. Brennan. Kita 'kan bertetangga. Aku tahu Anda pasti akan
melakukan hal yang sama kalau hal ini terjadi padaku."
Kuhirup kembali teh itu. Tanganku terasa beku, tetapi sekarang sudah tidak
gemetaran dengan hebat lagi.
"Para petugas pemadam kebakaran masih ada di sini?"
"Mereka sudah pergi. Mereka bilang Anda bias melaporkan semuanya kalau sudah
merasa baikan." "Apa mereka membawa-" Suaraku memecah dan air mata mengancam untuk menyembur
keluar kembali "Ya. Apa aku bisa mengambilkan sesuatu untuk Anda?"
"Tidak, terima kasih. Aku tidak apa-apa. Anda sudah sangat membantu."
"Aku ikut prihatin karena rumah Anda jadi berantakan begini. Kami sudah memasang
papan di depan jendela. Memang tidak elegan, tapi setidaknya bisa mencegah angin
masuk ke dalam rumah."
"Terima kasih banyak. Aku-"
"Sekarang tidur saja dulu. Mungkin semuanya akan terasa lebih baik di pagi hari
nanti." Aku memikirkan Birdie dan enggan menyambut pagi. Dalam keputusasaan, kuraih
telepon dan menghubungi nomor telepon Pete. Tidak ada jawaban.
"Anda akan baikbaik saja" Perlu dibantu naik ke atas?"
"Tidak. Terima kasih. Aku akan baikbaik saja."
Saat dia sudah pergi, aku merangkak ke tempat tidur dan menangis tersedu-sedu
cukup lama sampai jatuh tertidur.
Aku terbangun dengan perasaan ada sesuatu yang salah. Berubah. Banyak yang
berubah. Kemudian, sepenuhnya sadar dan kenangan masuk ke dalam kepalaku.
Aku terbangun di pagi musim semi yang hangat. Melalui jendela, aku bisa melihat
langit biru, cahaya matahari, dan mencium bau parfum yang disemprotkan bunga
yang baru bermekaran. Tetapi, kecantikan hari itu tidak bisa mengusir rasa pilu
di hatiku. Saat menghubungi kantor pemadam kebakaran, aku di-beritahu bahwa bukti fi sik
itu telah dikirimkan ke lab polisi. Dengan perasaan kelam, aku melalui pagi itu
dengan tidak bersemangat. Aku memakai baju, mengenakan riasan, menyisir rambut,
dan mengemudikan mobil menuju kota.
Isi kantong itu hanya kucingku. Tidak ada kalung. Tidak ada tanda pengenal
lainnya. Sebuah pesan yang ditulis tangan ditemukan di salah satu balok kayu.
Aku membacanya melalui kantong bukti dari plastik.
Kali berikutnya bukan kucing lagi,
"Sekarang bagaimana?" tanyaku kepada Ron Gillman, direktur lab polisi. Dia
seorang lelaki jangkung berwajah tampan dengan rambut abu-abu dan gigi depan
yang bolong. "Kami sudah memeriksa sidik jari. Tidak ada satu pun pada pesan maupun balok
kayu itu. Tim penyelidikan akan ke tempatmu, tapi kamu juga tahu bahwa mereka
pasti tidak akan menemukan apa-apa. Jendela dapurmu sangat dekat ke jalan
sehingga orang ini mungkin bisa mengendarai mobilnya, mendekat, mengangkat tas
itu, kemudian melemparkan semuanya dari trotoar. Kami akan mencari jejak kaki
dan menanyai orangorang, tapi tentu saja pada jam setengah satu malam
kemungkinan besar tidak ada seorang pun yang masih terbangun di lingkungan
rumahmu." "Sayangnya, aku tidak tinggal di Wilkinson Boulevard yang ramai."
"Kamu sudah cukup menghadapi masalah seperti ini di mana pun tempat tinggalmu."
Aku dan Ron telah bekerja sama bertahuntahun. Dia tahu tentang pembunuh berantai
yang pernah masuk ke apartemenku di Montreal.
"Aku akan menyuruh tim penyelidikan ke dapurmu, tapi karena orang ini tidak
masuk ke dalam rumah, sepertinya tidak akan ada jejak sedikit pun. Kamu tidak
menyentuh apa-apa 'kan?"
"Tidak." Aku belum masuk kembali ke dapur sejak malam itu. Aku belum sanggup
melihat mangkuk makanan Birdie.
"Apa kamu sedang mengerjakan sesuatu yang bisa membuat orang lain marah?"
Kuceritakan pembunuhan di Quebec dan dua mayat yang kutemukan di Pulau Murtry.
"Menurutmu, bagaimana mereka bisa mendapatkan kucingmu?"
"Dia mungkin lari keluar saat Pete sedang memberinya makan. Dia sering melakukan
itu," Hatiku terasa sakit kembali. Jangan menangis,
Jangan sampai menangis. "Atau ..." "Ya?" "Yah, sebenarnya aku tidak yakin. Minggu sebelumnya aku menyangka mungkin ada
orang yang menerobos masuk ke dalam kantorku di kampus. Yah, sebenarnya tidak
persis seperti itu. Aku mungkin telah membiarkan pintu tidak terkunci."
"Seorang mahasiswa?"
"Entahlah." Kuceritakan kejadian itu.
"Kunci rumahku masih ada di dalam tasku, tapi mungkin dia sempat
menggandakannya." "Kamu sepertinya sedikit kebingungan."
"Sedikit. Tapi, aku baikbaik saja."
Untuk sejenak dia tidak berkata apa-apa. Kemudian,
"Tempe, kalau menyimak penjelasanmu, aku menduga ini ulah mahasiswa yang
memendam dendam kepadamu." Dia menggaruk hidungnya. "Tapi, ini mungkin lebih
dari pada sekadar gurauan belaka. Hatihati. Mungkin sebaiknya kau kabari juga
Pete." "Aku tidak mau melakukannya. Dia pasti merasa berkewajiban untuk mengurusku dan
dia tidak punya waktu untuk hal itu, Lagi pula, dia tidak pernah punya waktu
sejak dulu." Setelah kami selesai bercakap-cakap, kuberikan kunci Annex kepada Ron,
menandatangani laporan, dan pergi meninggalkannya.
Walaupun lalu lintas tidak begitu padat, perjalanan
menuju UNCC sepertinya lebih lama dari biasanya. Kepalan tinju yang beku
mencengkeram isi perutku dan menolak untuk melepaskannya.
Sepanjang hari perasaan itu masih terasa. Selama melakukan tugasku satu demi
satu, aku selalu diganggu oleh bayangan kucingku yang terbunuh itu. Birdie yang
mungil sedang berdiri, kaki depannya melambailambai seperti bayi burung. Birdie,
berbaring di bawah sofa. Menggaruk sekeliling pergelangan kakiku. Menatapku
manja minta diberi remah-remah sereal. Kepedihan yang menghantuiku selama
beberapa minggu terakhir ini semakin menenggelamkanku ke dalam suasana pilu yang
sulit kuhilangkan. Setelah jam kantor, kuseberangi kampus menuju gedung olahraga dan memakai sepatu
olahragaku. Kupacu diriku sekeras mungkin, berharap kelelahan fi sik ini dapat
menyingkirkan kesedihan dalam hati dan ketegangan di sekujur tubuhku, Saat
berlari mengelilingi lintasan, pikiranku melayang.
Katakata Ron Gillman menggantikan bayangan binatang peliharaanku yang sudah
mati. Membunuh binatang memang kejam, tetapi ini tindakan amatir. Apakah hanya
seorang mahasiswa yang melampiaskan dendamnya" Atau kematian Birdie merupakan
sebuah ancaman" Dari siapa" Apakah ada hubungannya dengan perampokan di
Montreal" Dengan penyelidikan Murtry" Apakah aku telah terperosok ke dalam sesuatu yang
lebih besar dari yang kuketahui"
Aku berlari lebih kencang dan dengan berlalunya setiap putaran, ketegangan
meleleh dari tubuhku. Setelah berlari
sejauh enam kilometer, aku tergeletak di atas rerumputan. Dengan napas terengah-
engah, kuamati pelangi kecil berkilauan di atas semprotan air dari pemancar air.
Berhasil. Pikiranku kosong.
Saat denyutan nadi dan napasku mulai teratur kembali, aku kembali ke ruangan
ganti, dan memakai pakaian baru. Karena sudah merasa lebih baik, aku mendaki
bukit menuju Colvard Building.
Sensasi itu hanya terasa sebentar saja.
Lampu di pesawat teleponku berkerlap-kerlip. Kutekan kode dan menunggu.
Sialan! Aku kembali tidak sempat mengangkat telepon dari Kathryn. Seperti sebelumnya,
dia tidak meninggalkan informasi apa pun, hanya pernyataan bahwa dia telah
menghubungiku. Kuputar kembali pesan itu dan mendengarkan untuk yang kedua
kalinya. Dia terdengar tergesa-gesa, katakatanya tegang dan pendek.
Kuputar pesan itu berulang kali, tetapi tidak bias menangkap suara di latar
belakangnya. Suara Kathryn terdengar bergumam, seakan berbicara dari ruangan
kecil. Kubayangkan dirinya menutup gagang telepon, berbisik, dengan berhatihati
memeriksa keadaan di sekelilingnya.
Apakah aku sudah paranoid" Apakah kejadian tadi malam telah membuat imajinasiku
tidak terkendalikan lagi" Atau apakah Kathryn sedang berada dalam bahaya"
Matahari bersinar menembus kerai, membentuk garis-garis cerah di mejaku. Di
ujung lorong, sebuah pintu diempaskan. Pelan-pelan, sebuah ide terbentuk di
kepalaku, Kuraih telepon.[]
ttrjierima kasih karena telah menyediakan waktu untuk-X ku di hari sesore ini.
Aku kaget juga waktu tahu kamu masih ada di kampus."
"Apa menurutmu antropolog bekerja lebih keras dari pada sosiolog?"


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak pernah," ujarku sambil tertawa, menyandarkan tubuh ke kursi plastik yang
dia tunjukkan "Red, aku ingin bermain-main dengan otakmu. Apa yang bisa kamu
ceritakan tentang sekte setempat?" "Apa maksudmu dengan sekte?"
Red Skyler duduk santai menyamping di belakang mejanya. Walaupun rambutnya sudah
mulai beruban, janggut yang berwarna cokelat muda menjelaskan asal-usul
julukannya. Dia memicingkan mata, memandangku dari balik bingkai kacamatanya
yang terbuat dari baja. "Kelompok pinggiran. Sekte hari kiamat. Lingkaran pemuja setan."
Dia tersenyum dan memberi tanda kepadaku untuk "meneruskan."
"Keluarga Manson. Hare Krishna. MOVE. The People's Temple. Synanon. Kamu tahu
'kan. Sekte." "Kamu menggunakan istilah yang sangat umum. Apa yang kamu sebut sebagai sekte
mungkin dinilai orang lain sebagai agama. Atau keluarga. Atau partai politik."
Aku teringat pada Daisy Jeanotte. Dia juga menentang penggunaan kata itu, tetapi
hanya itu saja kemiripan di antara mereka. Waktu itu aku duduk di seberang
wanita kecil dalam ruangan yang besar. Sekarang aku menghadapi seorang lelaki
bertubuh besar di dalam ruangan yang kecil dan penuh sesak sehingga aku merasa
pengap. "Oke. Jadi, apa yang dimaksud dengan sekte?"
"Sekte bukan hanya sekelompok orang sinting yang mengikuti pemimpin yang aneh.
Paling tidak itulah caraku menggunakan istilah itu, mereka adalah organisasi
dengan beberapa aturan umum."
"Oke." Kusandarkan tubuhku di kursi.
"Sebuah sekte dibentuk di bawah kepemimpinan seorang individu yang karismatik,
yang menjanjikan sesuatu. Individu ini memiliki pengetahuan khusus.
Kadangkadang, pernyataannya berhubungan dengan rahasia kuno, kadang-kadang
sebuah penemuan baru yang hanya diketahui olehnya saja. Kadangkadang, kombinasi
antara keduanya. Pemimpin itu berbagi informasi itu dengan para pengikutnya. Ada
pemimpin yang menawarkan utopia. Atau jalan keluar. Pokok nya, ikuti aku. Aku
akan membuat keputusan. Semuanya akan baikbaik saja."
"Apa bedanya dengan seorang pendeta atau rabbi?"
"Dalam sekte, sang pemimpin yang karismatik akhirnya menjadi sosok pujaan; dalam
beberapa kasus, dia menjadi dewa. Dan saat itu terjadi, dia memegang kendali
yang luar biasa atas kehidupan para pengikutnya."
Dia melepaskan kacamatanya dan menggosok setiap lensa dengan kain hijau yang
diraihnya dari dalam sakunya. Kemudian, dia mengenakannya kembali, meletakkan
setiap gagang di belakang telinganya.
"Sekte bersifat totaliter, otoriter. Pemimpinnya sangat
berkuasa dan hanya sedikit mendelegasikan kekuasaannya. Moral pemimpin menjadi
satu-satunya agama yang diterima. Satu-satunya perilaku yang diterima. Seperti
yang kukatakan tadi, pemujaan dipusatkan pada dirinya, bukan pada makhluk yang
lebih berkuasa atau prinsip-prinsip abstrak." Aku menunggu.
"Dan sering kali ada etika ganda. Anggota didorong untuk menjadi jujur dan
saling mencintai antara sesamanya, tetapi menipu dan menutup diri dari dunia
luar. Sebaliknya, agama lain yang sudah mantap cenderung mengikuti satu
peraturan yang berlaku untuk semua orang."
"Bagaimana bisa seorang pemimpin mendapatkan kendali sebesar itu?"
"Itu satu unsur penting lainnya. Reformasi pola pikir. Pemimpin sekte biasanya
menggunakan proses psikologis untuk memanipulasi anggotanya. Ada pemimpin yang
adil, tetapi ada juga yang tidak dan benarbenar mengeksploitasi idealisme para
pengikutnya." Kembali aku menunggunya untuk meneruskan penjelasannya.
"Menurutku, ada dua golongan utama sekte, dan keduanya menggunakan reformasi
pola pikir. 'Program penyadaran' yang dibungkus secara komersial" dia ?menyiratkan tanda kutip dengan tangannya-" menggunakan teknik bujukan yang
sangat piawai. Kelompok ini mempertahankan anggotanya dengan membuat mereka
mengikuti terus berbagai pelajaran."
"Lalu, ada sekte yang menarik pengikutnya untuk mengikutinya seumur hidup.
Kelompok ini menggunakan bujukan sosial dan psikologis untuk menghasilkan
perubahan perilaku yang sangat ekstrem. Akibatnya, mereka memegang kendali yang
sangat besar atas kehidupan para anggotanya. Mereka pintar memanipulasi, menipu,
dan sangat pintar mengeksploitasi." Kucerna semua itu,
"Bagaimana cara kerja bisa mereformasi pola pikir?"
"Kita memulainya dengan merontokkan penilaian seseorang atas dirinya sendiri.
Aku yakin kamu sudah membahas ini dalam kelas antropologimu. Me misahkan.
Memecah. Merekonstruksi."
"Bidangku antropologi fi sik."
"Benar. Sekte memutuskan hubungan para pengikutnya dengan pengaruh dunia luar,
kemudian membuat mereka mempertanyakan semua yang mereka percayai. Membujuk
mereka untuk menafsirkan dunia dan sejarah kehidupannya sendiri. Mereka
menciptakan kenyataan yang baru untuk orang itu sehingga menciptakan
ketergantungan pada organisasi dan ideologinya."
Kupikirkan kembali pelajaran antropologi kebudayaan yang kuambil di sekolah
pascasarjana. "Tapi, kita tidak berbicara tentang upacara penerimaan 'kan. Aku tahu bahwa
dalam beberapa kebudayaan, anakanak diisolasi selama kurun waktu tertentu dalam
kehidupannya dan diharuskan mengikuti latihan, tetapi proses itu bermaksud untuk
menguatkan berbagai pemikiran yang diajarkan kepada anak itu. Kamu tadi bicara
tentang membuat orang menolak nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, membuang
semua yang telah mereka percayai. Bagaimana cara melakukan hal itu?"
"Sekte mengendalikan waktu dan lingkungan pengikut barunya. Makanan. Tidur.
Pekerjaan. Rekreasi. Uang. Semuanya, Sekte menciptakan ketergantungan,
ketidakberdayaan bila terpisah dari kelompoknya. Saat melakukan semua itu, dia
menanamkan moralitas baru, sistem logika yang diikuti kelompok itu. Dunia
menurut pandangan pemimpinnya. Dan, biasanya merupakan sistem yang tertutup.
Tidak boleh ada umpan balik. Tidak ada kritik. Tidak ada keluhan. Kelompok itu
menekan kebiasaan dan perilaku lama dan, sedikit demi sedikit, menggantikannya
dengan kebiasaan dan perilaku yang baru."
"Kenapa ada saja orang yang mau mengikuti hal itu?"
"Proses itu dilakukan secara perlahan sehingga orang ti-dak menyadari bahwa hal
itu sedang terjadi pada dirinya. Mereka dibawa melalui serangkaian langkah
kecil, semuanya sepertinya tidak penting. Anggota lain memanjangkan rambutnya.
Kita ikutikutan memanjangkan rambut. Orang lain berbicara lembut, kita juga
merendahkan suara. Semua orang mendengarkan pemimpinnya dengan tenang, tidak
mengajukan pertanyaan, dan kita pun melakukan hal yang sama. Ada perasaan
diterima oleh kelompok. Anggota baru biasanya tidak menyadari agenda ganda yang
sedang terjadi." "Apakah mereka akhirnya melihat apa yang sedang terjadi?"
"Biasanya anggota baru didorong untuk memutuskan semua hubungan dengan teman dan
keluarganya, memutuskan diri mereka dari lingkungan lamanya. Kadangkadang,
mereka dibawa ke tempat yang terasing. Pertanian. Komune. Padepokan.
"Isolasi ini, baik fi sik maupun sosial, menanggalkan sistem dukungan yang
normal dan meningkatkan ketidakberdayaan pribadi dan ketergantungan kepada
penerimaan kelompok. Isolasi juga menghilangkan suara yang biasa kita gunakan
untuk menilai apa yang kita
hadapi. Rasa percaya diri orang akan penilaiannya dan sudut pandangnya sendiri
akan runtuh. Tindakan mandiri menjadi tidak mungkin dilakukan."
Aku teringat pada Dom dan kelompoknya di Saint
Helena. "Aku mengerti bagaimana sebuah sekte punya kendali bila kita tinggal di dalamnya
dua puluh empat jam sehari, tetapi bagaimana kalau anggotanya bekerja di luar
markasnya itu?" "Mudah saja. Anggota diberi instruksi untuk menggumam atau melakukan meditasi
pada saat sedang tidak bekerja. Jam makan siang. Istirahat. Pikirannya dipenuhi
dengan perilaku yang diarahkan sekte. Dan di luar pekerjaan, semua waktu
didedikasikan untuk organisasinya."
"Tapi, apa daya tariknya" Apa yang mendorong seseorang mau melupakan masa
lalunya dan mengabdikan dirinya kepada sebuah sekte?"
Aku tidak bisa memahaminya. Apakah Kathryn dan yang lainnya berubah menjadi
robot yang setiap gerakannya dikendalikan pemimpinnya"
"Ada sistem imbalan dan hukuman. Kalau anggota itu berperilaku, berbicara, dan
berpikir seperti yang seharusnya, dia akan dicintai oleh pemimpinnya dan anggota
yang lain. Dan tentu saja dia akan terselamatkan. Diberi berkah. Dibawa ke dunia
lain. Apa pun yang dijanjikan ideologi itu,"
"Apa yang mereka janjikan?"
"Apa saja. Tidak semua sekte berhaluan agama. Masyarakat memiliki pandangan itu
karena di tahun enam puluh dan tujuh puluhan banyak kelompok yang mendaftarkan
diri sebagai gereja untuk menghindari pajak. Sekte
memiliki banyak bentuk dan ukuran dan menjanjikan berbagai hal. Kesehatan.
Menggulingkan pemerintahan. Perjalanan ke luar angkasa. Keabadian."
"Aku masih tidak mengerti kenapa ada orang, kecuali kalau dia sudah gila, yang
mau tertipu oleh sampah seperti itu?"
"Bukan begitu." Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan hanya orang yang
terpinggirkan yang terjebak olehnya. Menurut beberapa penelitian, sekitar dua
pertiga responden berasal dari keluarga normal dan menunjukkan perilaku yang
sesuai dengan umurnya saat mereka masuk ke dalam sebuah sekte."
Kutatap karpet Navajo kecil di bawah kakiku. Rasa penasaranku muncul kembali.
Apakah itu" Mengapa aku tidak bisa memunculkannya ke permukaan"
"Apakah penelitianmu telah menjawab kenapa orang mencari kelompok semacam ini?"
"Sering kali mereka tidak mencarinya. Kelompok itulah yang mencari mereka. Dan
seperti yang kukatakan, para pemimpin ini bisa menjadi sangat memesona dan
pintar membujuk." Dom Owens cocok sekali. Siapakah dia sebenarnya" Sosok ideolog yang memaksakan
agenda pada pengikutnya yang mudah ditundukkan" Atau hanya seorang tabib yang
mencoba menumbuhkan kacang polong organik"
Kembali aku memikirkan Daisy Jeannotte. Apakah dia benar" Apakah masyarakat
terlalu ketakutan pada pemuja Setan dan nabi yang meramalkan hari kiamat"
"Berapa banyak sekte yang ada di Amerika ini?" tanyaku.
"Tergantung pada defi nisimu" dia tersenyum masam dan merentangkan ?tangannya-"antara tiga sampai lima
ribu kelompok." "Kamu bergurau 'kan?"
"Salah seorang rekanku memperkirakan bahwa dalam dua puluh tahun ini sebanyak
dua juta orang pernah terlibat dalam suatu sekte. Dia yakin bahwa pada kurun
waktu tertentu, anggotanya bisa mencapai dua sampai lima juta orang."
"Kamu sependapat dengannya?" Aku benarbenar tercengang.
"Sungguh sulit untuk diketahui. Ada kelompok yang menggelembungkan jumlah
anggotanya dengan menghitung setiap orang yang pernah menghadiri pertemuan atau
meminta informasi tentang mereka. Kelompok lainnya benarbenar merahasiakan
anggotanya dan berusaha untuk tidak diketahui orang lain. Polisi menemukan
beberapa kelompok secara tidak sengaja, bila ada masalah, atau bila seorang
anggota keluar dan mengajukan keluhan. Kelompok yang kecil biasanya sulit
diketahui keberadaannya."
"Pernah mendengar tentang Dom Owens?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Apa nama kelompoknya?"
"Mereka tidak punya nama." Di ujung lorong terdengar suara printer berbunyi.
"Apakah ada organisasi di Carolina yang sedang diawasi polisi?"
"Bukan tugasku, Tempe. Aku seorang sosiolog. Aku bisa mengatakan cara kerja
berbagai kelompok ini, tapi tidak tahu siapa yang terlibat dalam kelompok
semacam ini. Aku bisa mencoba mencarikan informasi bila memang penting."
"Aku hanya tidak bisa memahaminya, Red. Bagai mana
orang bisa mudah tertipu seperti itu?"
"Sungguh menyenangkan di kala mengetahui bahwa kita berada dalam kelompok elit.
Terpilih. Kebanyakan sekte mengajarkan kepada anggotanya bahwa mereka adalah
orangorang yang terpilih dan memiliki kelebihan dari orang lain. Ini benarbenar
hal yang sangat hebat." "Red, apakah kelompok-kelompok ini ganas?" "Kebanyakan
tidak, tapi ada beberapa pengecualian. Ada Jonestown, Waco, Heaven's Gate, dan
the Solar Temple. Dan ternyata anggotanya juga jahat. Ingat sekte Rajneesh"
Mereka berusaha meracuni persediaan air di beberapa kota di Oregon dan membuat
gerakan yang mengancam polisi di kota itu. Dan Synanon" Orangorang baik itu
meletakkan seekor ular di dalam kotak pos seorang pengacara yang menuntut
mereka. Pengacara itu hampir tidak terselamatkan nyawanya."
Aku samar-samar teringat kejadian itu.
"Bagaimana dengan kelompok yang kecil, kelompok yang tidak begitu dikenal?"
"Kebanyakan tidak berbahaya, tapi beberapa di antaranya cukup cerdas dan
berpotensi untuk berbahaya. Menurutku hanya beberapa saja yang sudah melewati
batas. Apa ini berhubungan dengan sebuah kasusmu?"
"Ya. Tidak. Aku tidak yakin." Kucabut serpihan kuku di jempolku.
Dia sedikit ragu. "Apakah Katy?"
"Apa?" "Apakah Katy terlibat dengan ..."
"Oh, tidak, bukan seperti itu. Sungguh. Ini berhubungan dengan sebuah kasus. Aku
mengenal sebuah komune di Beaufort dan mereka membuatku berpikir."
Pangkal kukuku mulai berdarah.
"Dom Owens." Aku mengangguk.
"Apa yang terlihat sering kali tidak mencerminkan yang sebenarnya." "Tidak."
"Aku bisa menghubungi beberapa orang kalau kau menginginkannya."
"Aku akan sangat menghargai itu." "Kamu perlu Band-Aid?" Kuturunkan tanganku dan
berdiri. "Tidak, terima kasih. Aku tidak mau mengganggumu lebih lama lagi.
Penjelasanmu sudah sangat membantu."
"Kalau masih ada pertanyaan lagi, datang lagi saja ke tempatku."
Kembali di kantorku, aku duduk dan mengamati bayang-pikiran yang masih samar
terus mengganggu benakku. Gedung ini dilanda kesunyian seusai jam kerja.
Apakah Daisy Jeannotte" Aku lupa menanyakan kepada Red apakah dia mengenalnya.
Apakah itu jawabannya" Tidak.
Apakah yang terus memanggilku dari labirin otakku" Mengapa aku tidak bisa
menariknya ke permukaan" Hubungan apa yang dilihat alam bawah sadarku yang tidak
bisa kulihat sampai saat ini"
Mataku menatap koleksi buku misteri yang kusimpan di kampus untuk dipertukarkan
dengan rekan-rekan kerjaku. Apa nama teknik yang disebut oleh para penulis ini"
Teknik "Coba-Aku-Tahu-Sebelumnya." Itukah" Apakah tragedi sedang terbentuk
karena pesan alam bawah sadar itu tidak mampu kutarik ke permukaan"
Tragedi apa" Pembunuhan lainnya di Quebec" Lebih
banyak pembunuhan di Beaufort" Kathryn mengalami kecelakaan" Serangan lainnya
terhadap diriku, dengan akibat yang lebih serius"
Entah di mana telepon berdering, kemudian berhenti tiba-tiba saat alat penerima
telepon menyala. Hening. Aku mencoba menghubungi Pete kembali. Tidak ada jawaban. Mungkin, dia sedang
bepergian untuk menghubungi seorang saksi lagi. Tidak ada bedanya. Aku tahu
bahwa Birdie tidak ada bersamanya.
Aku bangkit dan mulai membereskan dokumen, mencaricari di sela-sela tumpukan
kertas, kemudian beralih merapikan rak. Aku sadar bahwa aku sedang
menghindarinya, tetapi tidak mampu mengendalikan diri. Pemikiran pulang ke rumah
tidak tertahankan lagi. Sepuluh menit melakukan kegiatan yang tidak ada gunanya. Jangan berpikir.
Kemudian, "Oh, Birdie!"
Kubanting buku Baboon Ecology ke meja dan mendaratkan tubuhku di kursiku.
"Kenapa kamu harus ada di sana" Aku menyesal. Aku sungguh, sungguh menyesal,
Bird." Kutelungkupkan kepalaku di atas pengering tinta dan menangis sejadi-jadinya.[]
23 'M Pada awalnya hari Kamis terasa menyenangkan. Pada pagi hari, aku mendapatkan dua
kejutan kecil. Panggilan telepon ke pihak asuransi berlangsung lancar. Kedua
tukang bangunan yang kuhubungi tersedia dan bisa langsung bekerja.
Sepanjang hari itu aku memberikan beberapa mata kuliah dan mengubah makalah CAT
scan untuk konferensi antropologi fi sik. Di sore harinya, Ron Gillman
melaporkan bahwa unit Crime Scene Recovery tidak menemukan sesuatu yang berguna
dalam sisasisa kebakaran di lantai dapurku. Tidak mengherankan. Dia meminta
patroli untuk mengawasi rumahku.
Aku juga mendapat kabar dari Sam. Tidak ada berita baru, tetapi menjadi semakin
yakin bahwa kedua mayat itu dikuburkan di pulaunya oleh gembong narkoba. Dia
menganggapnya sebagai tantangan pribadi dan mengeluarkan lagi senapan dua belas
peluru dari simpanannya dan meletakkannya di bawah bangku di stasiun lapangan.
Dalam perjalanan pulang dari universitas, aku berhenti di toko Harris Teeter di
seberang Pusat Pertokoan South-park dan membeli semua makanan yang paling
kusukai. Aku berolahraga di Harris YMCA dan tiba di Annex pukul setengah tujuh.
Jendela sudah diperbaiki dan seorang tukang sedang menyelesaikan pekerjaan di
lantai dapur. Setiap jengkal permukaan dapur dilapisi debu putih halus.
Kubersihkan tungku dan meja, kemudian membuat
lumpia dan salad keju kambing, lalu menyantapnya sambil menonton ulangan serial
"Murphy Brown". Murphy memang tangguh. Aku memutuskan untuk bisa menjadi lebih
mirip dengannya.

Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di malam itu kuperbaiki lagi makalah CAT scan itu, menonton pertandingan basket
Hornets, dan memikirkan laporan pajak. Aku juga berniat untuk mengerjakannya.
Tetapi, tidak minggu ini. Pada pukul sebelas, aku jatuh tertidur ditemani
fotokopian buku Louis-Philippe di tempat tidur.
Hari Jumat seakanakan sudah diatur oleh Setan. Saat itulah aku mendapatkan
petunjuk pertama tentang kengerian yang akan terungkap sebentar lagi.
Korban Murtry tiba dari Charleston di pagi buta. Pada pukul setengah sepuluh
kupakai sarung tangan, kacamata pelindung, dan kasus itu dihamparkan di labku.
Salah satu meja berisi tengkorak dan contoh tulang yang telah dipisahkan oleh
Hardaway selama autopsinya pada mayat yang di bawah. Tampak tulangbelulang yang
lengkap di meja satunya. Para teknisi di bagian medis telah melakukan pekerjaan
yang sangat baik. Semua tulang itu tampak bersih dan tidak rusak.
Aku memulainya dengan tubuh dari bagian bawah kuburan. Walaupun sudah memutih,
tulangbelulang itu masih mengandung jaringan otot sehingga bisa dilakukan
autopsi penuh. Jenis kelamin dan ras sudah sangat jelas sehingga Hardaway hanya
minta bantuanku untuk menentukan usianya saja. Ku kesampingkan dulu laporan ahli
patologi dan fotofoto karena aku tidak mau mengaburkan kesimpulanku karena sudah
mengetahui terlebih dahulu informasinya dari laporan tersebut.
Kuletakkan potret sinar-X ke kotak cahaya. Tidak ada yang aneh. Dalam sinar-X
bagian rahang tampak ketiga puluh dua gigi telah tumbuh, akarnya masih terlihat
sempurna. Tidak ada perbaikan atau hilangnya gigi. Kucatat dalam lembaran
formulir kasus. Aku berjalan ke meja pertama dan memeriksa tengkorak itu. Celah di dasar
tengkorak terlihat sudah menyatu. Ini bukan mayat anak remaja.
Kupelajari tulang rusuk dan permukaan bagian depan selangkangan, pubic
symphyses. Tulang rusuknya memiliki lekukan yang dalam tempat terhubungkannya
otot ke tulang dada. Gerigis yang bergelombang tampak di permukaan pubic
symphyseal, dan bisa kulihat tonjolan tulang kecil di sepanjang sisi luar
tulangnya. Ujung setiap tulang belikat tampak menyatu. Bagian atas setiap bilah tulang paha
terlihat sedikit terpisah.
Kuperiksa model dan histogram, dan menuliskan perkiraanku. Wanita ini berusia
sekitar dua puluh sampai dua puluh delapan tahun saat tewas.
Hardaway menginginkan analisis lengkap pada mayat di bagian atas. Kembali aku
memulainya dengan foto sinar-X. Kembali semuanya terlihat biasa saja, kecuali
gigi-geligi yang sempurna.
Aku sudah menduga korban ini juga wanita, seperti yang telah kukatakan kepada
Ryan. Saat kuhamparkan tulangbelulang itu, tampak tengkorak yang masih mulus dan
bentuk wajah yang halus. Pinggul yang lebar dan pendek dengan daerah kemaluan
yang feminin mendukung penilaian pertamaku.
Indikator usia wanita itu mirip dengan korban pertama, walaupun pubic symphases
menunjukkan gerigis yang dalam di sepanjang permukaannya dan tidak terlihatnya
tonjolan sedikit pun. Aku memperkirakan usia korban ini sedikit lebih muda saat tewas, mungkin akhir
masa remajanya atau awal dua puluh tahun.
Untuk asal-usul keturunan, aku kembali memeriksa tengkorak. Bagian tengah
wajahnya tampak klasik, terutama bagian hidungnya: tulang penghubung yang tinggi
antara kedua mata, pembukaan yang sempit, bagian bawah dan tulang belakang yang
sangat jelas. Kuukur bagian yang akan kuanalisis secara statistik, tetapi aku sudah tahu
wanita itu berkulit putih.
Lalu, kuukur tulangtulang yang panjang, memasukkan data ke komputer, dan
menjalankan persamaan regresi. Aku sedang memasukkan perkiraan tinggi tubuh ke
dalam laporan saat telepon berdering.
"Kalau aku harus tinggal di sini satu hari lagi saja, aku pasti akan membutuhkan
pelatihan tata bahasa yang lengkap," ujar Ryan, kemudian menambahkan, "y'all."
"Naik bis saja ke utara." "Kupikir tadinya hanya caramu berbicara yang aneh,
tapi sekarang aku baru tahu bahwa hal itu bukan salahmu sepenuhnya."
"Memang sulit menghilangkan masa kecil kita."
"Yo." "Ada hal baru di sana?"
"Aku melihat stiker bemper yang bagus pagi ini." Aku menunggu.
"Yesus mencintaimu. Orang lain menganggap dirimu berengsek."
"Itukah sebabnya kamu meneleponku?"
"Itu tulisan di stiker bempernya."
"Kami 'kan orangorang yang taat beragama."
Aku menoleh ke jam. Jam dua lewat lima belas. Aku baru menyadari bahwa perutku
sangat keroncongan, kemudian kuraih pisang dan Moon Pie yang kubawa dari rumah.
"Aku menghabiskan waktu lama untuk mengamati sekte Dom. Tidak ada gunanya. Hari
Kamis pagi, tiga orang pengikutnya masuk ke dalam van dan pergi. Selain itu, aku
tidak melihat orang lain yang masuk atau keluar."
"Kathryn?" "Tidak melihatnya."
"Kamu sudah memeriksa nomor pelat mobilnya?" "Sudah, Nyonya. Kedua mobil itu
didaftarkan atas nama Dom Owens di alamat Adler Lyons." "Dia punya SIM?"
"Dikeluarkan oleh Palmetto State tahun 1988. Tidak ada catatan tentang SIM
sebelumnya. Rupanya pendeta itu hanya datang dan mengikuti ujiannya. Dia
membayar asuransinya tepat waktu. Tidak ada catatan klaim. Tidak ada catatan
pelanggaran lalu lintas atau tilang."
"Listrik dan air?" Aku mencoba untuk tidak meremas kertas selofan itu.
"Telepon, listrik, dan air. Owens membayarnya tunai."
"Dia punya nomor Social Security?"
"Dikeluarkan tahun 1987. Tapi, tidak ada catatan kegiatan apa pun. Tidak pernah
membayar apa pun, tidak pernah meminta tunjangan apa pun."
"Delapan puluh tujuh" Di mana dia sebelumnya?"
"Pengamatan yang cermat, Dr. Brennan."
"Surat?" "Orangorang ini bukan orang yang sering melakukan surat-menyurat. Mereka
menerima surat yang dialamatkan kepada 'Penghuni Rumah', dan tentu saja tagihan
listrik, tapi hanya itu saja. Owens tidak punya kotak surat, tapi bisa saja
dibuat dengan menggunakan nama lain. Aku mengintai kantor pos untuk beberapa
waktu lamanya, tapi tidak melihat ada pengikut yang masuk ke kantor pos itu."
Seorang mahasiswa muncul di pintu kantorku dan aku menggelengkan kepala.
"Bagaimana dengan sidik jari di gantungan kuncimu?"
"Tiga sidik jari yang jelas, tapi tidak ada yang berguna. Rupanya Dom Owens ini
anak manis." Keheningan berlalu di antara kami.
"Ada anakanak yang tinggal di padepokan itu. Bagaimana dengan Social Services?"
"Ternyata kamu tahu juga hal-hal seperti itu, Brennan."
"Aku 'kan sering menonton televisi."
"Aku sudah menanyakannya ke Social Services. Seorang tetangga pernah menelepon
sekitar satu setengah tahun yang lalu, mengkhawatirkan anakanak itu. Nyonya
Joseph Espinoza. Jadi, mereka mengirimkan seorang petugas untuk menyelidikinya.
Aku membaca laporannya. Dia menemukan rumah yang bersih dan anakanak diberi
makan yang baik dan tampak riang, tidak ada seorang pun yang sudah cukup umur
untuk masuk sekolah. Dia tidak melihat adanya alasan untuk melakukan tindakan,
tapi merekomendasikan kunjungan berikutnya dalam waktu enam bulan kemudian. Hal
itu tidak dilakukan."
"Kamu sempat bicara dengan tetangga itu?"
"Sudah meninggal."
"Bagaimana dengan properti itu?"
"Ada satu hal yang menarik."
Beberapa detik berlalu. "Sepanjang Rabu sore aku meneliti akta kepemilikan rumah dan catatan pajak." Dia
kembali terdiam. "Kamu mencoba untuk membuatku kesal?" hardikku.
"Tanah itu punya sejarah yang cukup menarik. Kamu tahu bahwa ada sebuah sekolah
di sana sejak awal 1860-an sampai akhir abad itu" Salah satu dari sekolah swasta
di Amerika Utara yang didirikan khusus untuk murid berkulit hitam."
"Aku tidak tahu itu." Kubuka sekaleng Diet Coke.
"Dan Baker memang benar. Properti itu digunakan sebagai tempat pemancingan sejak
tahun tiga puluhan sampai pertengahan tujuh puluhan. Saat pemiliknya meninggal,
dia mewariskannya kepada keluarganya di Georgia. Kurasa mereka tidak menyenangi
bisnis makanan laut. Atau mungkin sudah muak dengan pajak properti tersebut.
Yang pasti, mereka akhirnya menjual tempat itu pada tahun 1988." Kali ini aku
menunggunya. "Pembelinya J.R. Guillion."
Aku membutuhkan sepersekian detik untuk mengingat nama itu.
"Jacques Guillion?" "Oui, madame."
"Jacques Guillion yang sama?" ujarku cukup keras sehingga seorang mahasiswa di
koridor berhenti untuk mengintipku.
"Sepertinya begitu. Pajak itu dibayarkan ..."
"Dengan cek dinas dari Citicorp di New York."
"Betul sekali."
"Wah, sialan." "Tepat sekali."
Aku benarbenar kebingungan dengan informasi itu.
Pemilik Adler Lyons ternyata juga pemilik rumah yang terbakar di St-Jovite.
"Kamu sudah bicara dengan Guillion?"
"Monsieur Guillion masih berada dalam pengasingan."
"Apa?" "Kami belum bisa menemukannya."
"Luar biasa. Ternyata memang ada hubungannya."
"Sepertinya sih begitu."
Terdengar bel berdering. "Ada satu hal lagi."
Aula kini dipenuhi suara hiruk-pikuk mahasiswa yang berjalan menuju kelasnya
masing-masing. "Karena penasaran, aku mengirimkan nama itu ke Texas. Aku tidak
menemukan properti apa pun milik Pendeta Owens, tapi coba tebak siapa yang
memiliki sebuah peternakan?"
"Ya ampun!" "Monsieur J.R. Guillion. Dua acre di Fort Bend County. Membayar pajaknya ..."
"Dengan cek dinas!"
"Nantinya aku akan mengarah ke sana, tapi untuk saat ini aku akan membiarkan
sheriff setempat yang menyelidikinya. Dan, polisi setempat bisa memunculkan
Guillion. Aku mau tinggal di sini dulu beberapa hari ini dan meningkatkan
penyelidikanku terhadap Owens."
"Cari Kathryn. Dia menelepon ke sini, tapi aku sedang pergi, jadi luput lagi.
Aku yakin dia tahu sesuatu."
"Kalau dia ada di sini, aku pasti akan menemukannya."
"Dia bisa saja dalam bahaya."
"Apa yang membuatmu mengira begitu?"
Aku mempertimbangkan untuk menceritakan percakapanku tentang sekte baru-baru
ini, tetapi karena baru tahu sedikit, aku tidak yakin apakah ada yang relevan
dengan kasus ini. Bahkan, sekalipun Dom Owens ternyata memimpin sebuah sekte,
dia bukanlah Jim Jones atau David Koresh yang mencelakakan para pengikutnya, aku
yakin akan hal itu. "Entahlah. Hanya perasaan saja. Dia terdengar cukup tegang saat menelepon
kemari." "Menurutku Nona Kathryn itu orang yang lugu."
"Dia berbeda." "Dan temannya El sepertinya tidak bisa dijadikan kandidat untuk Mensa
(organisasi orangorang genius). Kamu sedang sibuk?"
Aku ragu-ragu sejenak, kemudian menceritakan serangan ke rumahku.
"Astaga! Aku ikut berdukacita, Brennan. Aku suka kucing itu. Kamu tahu siapa
yang mungkin melakukannya?"
"Tidak." "Apa polisi sudah mengerahkan unit penjaga ke tempatmu?"
"Polisi sudah menugaskan orang untuk mengawasi rumahku. Aku baikbaik saja."
"Jauhi lorong jalanan yang gelap, ya."
"Kasus dari Murtry tiba pagi ini. Aku cukup sibuk di dalam lab."
"Kalau kedua kematian itu ada hubungannya dengan bandar narkoba, kamu mungkin
bisa membuat murka beberapa orang yang berpengaruh besar."
"Aku juga sudah tahu itu, Ryan." Kulemparkan kulit pisang dan pembungkus Moon
Pie ke keranjang sampah. "Kedua korban masih muda, berkulit putih, dan wanita,
seperti yang kuduga."
"Bukan profi I pengedar narkoba pada umumnya."
"Bukan." "Tapi, jangan kau kesampingkan dulu kemungkinan itu. Mereka sering menggunakan
wanita seperti kondom. Para wanita itu mungkin berada di tempat yang salah pada
waktu yang salah." "Ya." "Penyebab kematian?" "Pengamatanku belum selesai."
"Ayo kejar terus, Non. Tapi ingat, kami akan perlu bantuanmu pada kasus St-
Jovite setelah aku berhasil menangkap semua bajingan ini."
"Bajingan yang mana?"
"Sekarang belum tahu, tapi nanti aku pasti tahu."
Setelah menutup telepon, kutatap laporanku. Kemu dian, aku bangkit dan berjalan
bolakbalik di lab. Lalu, aku duduk. Lantas bangkit dan berjalan bolakbalik lagi.
Pikiranku terus membayangkan St-Jovite. Bayibayi putih yang montok, kelopak mata
dan kuku jarinya yang membiru. Tengkorak yang bolong ditembus peluru. Leher yang
digorok, tangan yang dipenuhi luka pembelaan diri. Tubuh yang hangus terbakar,
tubuhnya mengerut dan sudah tidak berbentuk lagi.
Apa hubungan antara kematian di Quebec dengan tanah di Pulau Saint Helena"
Mengapa bayi dan wanita tua" Siapa Guillion" Ada apa di Texas" Kejahatan seperti
apakah yang menjerat Heidi dan keluarganya"
Konsentrasi, Brennan. Para wanita muda di dalam lab ini memang sudah mati.
Serahkan pembunuhan di Quebec kepada Ryan dan selesaikan kasus ini. Mereka
berhak mendapatkan perhatianmu. Temukan kapan dan bagaimana mereka mati.
Kuambil lagi sepasang sarung tangan dan memeriksa setiap tulang pada rangka
korban kedua di bawah kaca
pembesar. Tidak kutemukan apa pun yang menunjukkan penyebab kematiannya. Tidak
ada luka akibat benda tumpul. Tidak ada lubang tembakan. Tidak ada luka tusukan.
Tidak ada retakan yang menunjukkan pencekikan.
Satu-satunya kerusakan yang kulihat disebabkan oleh binatang yang memakan
sisasisa tubuhnya. Saat kuletakkan tulang kakinya yang terakhir, seekor kumbang hitam kecil
merangkak dari bawah tulang belakangnya. Aku menatapnya, teringat sore hari
ketika Birdie mengejar kumbang di dalam dapurku di Montreal. Dia memainkan
binatang itu berjam-jam lamanya sebelum akhirnya minatnya hilang.
Air mata membasahi kelopak mataku, tetapi aku tidak mau menangis.
Kucomot kumbang itu dan meletakkannya di wadah plastik. Tidak boleh ada kematian
lagi. Aku akan melepaskan kumbang itu begitu aku meninggalkan gedung ini.
OK, kumbang. Sudah berapa lama kedua wanita ini tewas" Kita akan mencari tahu
hal tersebut. Kulihat jam. Sudah setengah lima. Sudah cukup sore. Kubolak-balik lembaran
Rolodex (kumpulan kartu nama), menemukan sebuah nomor dan menekan nomor telepon.
Dalam jarak lima zona waktu dari tempatku, sebuah telepon diangkat.
"Dr. West." "Dr. Lou West?"
"Ya." "Dikenal juga sebagai Kaptain Kam?" Hening.
"Dari Spam fame?"
"Ikan tuna. Ini kamu, Tempe?"
Aku bisa membayangkan dirinya, rambut dan janggut
tebal yang memutih menjadi bingkai sebuah wajah yang cokelat permanen terbakar
matahari Hawaii. Bertahuntahun sebelum aku mengenalnya, sebuah agen iklan Jepang
menghubungi Lou dan mempekerjakannya sebagai juru bicara untuk sebuah perusahaan
tuna kaleng. Anting dan rambut ekor kudanya cocok sebagai sosok kapten kapal
laut yang mereka inginkan. Orang Jepang sangat menyukai Kaptain Kam. Walaupun
kami menggodanya dengan sengit, tidak ada orang yang kukenal yang pernah melihat
iklannya. "Sudah siap untuk meninggalkan kumbang dan berjualan ikan tuna saja?"
Lou mendapatkan gelar doktor di bidang biologi dan mengajar di University of
Hawaii. Menurutku, dia adalah ahli entomologi forensik terbaik di negara ini.
"Tidak juga." Dia tertawa. "Bajunya bikin gatal." "Kalau begitu, berjualan
dengan memakai baju biasa saja."
"Kupikir orang Jepang belum siap untuk hal itu."
"Apa itu pernah membuatmu kapok?"
Lou dan aku, dan beberapa pakar forensik lainnya, mengajarkan mata kuliah


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang penelitian mayat di Akademi FBI di Quantico, Virginia. Sebuah kelompok
tidak resmi, terdiri atas ahli patologi, entomologi, antropologi, botani, dan
ahli tanah, kebanyakan berlatar belakang akademi. Suatu hari, seorang petugas
pelestarian alam yang penuh semangat mengatakan kepada ahli entomologi itu bahwa
antingnya tidak pantas untuknya. Lou mendengarkan dengan takzim, dan hari
berikutnya anting emas bulat itu digantikan dengan bulu Cherokee berukuran dua
puluh cm dengan manik-manik, berjumbai, dan bel perak kecil.
"Aku sudah menerima kumbangmu." "Semuanya masih utuh?"
"Tidak cacat sama sekali. Bagus sekali caramu mengumpulkan kumbang-kumbang itu.
Di Carolina, serangga yang berhubungan dengan pembusukan ada lebih dari lima
ratus dua puluh spesies. Kurasa kamu sudah mengirimkan sebagian besar serangga
itu." "Jadi, apa yang bisa kamu ceritakan kepadaku?"
"Kamu mau mendengarkan cerita yang lengkap?"
"Tentu saja." "Pertama-tama, menurutku korbanmu dibunuh pada siang hari. Atau, setidaknya
tubuhnya terkena sinar matahari selama beberapa jam sebelum dikuburkan. Aku
menemukan larviposition di dekat Sacophaga bullata."
"Jelaskan dengan bahasa yang bisa kumengerti dong."
"Itu adalah spesies lalat daging. Kamu mengumpulkan kepompong Sarcophaga bu/lata
yang kosong dan kepompong yang masih utuh dari kedua tubuh mayat itu."
"Dan?" "Sarcophagidae ini tidak terlalu aktif setelah matahari terbenam. Kalau kamu
menjatuhkan mayat di samping mereka, maka mereka mungkin akan melahirkan larva,
tapi mereka tidak begitu aktif di malam hari."
"Melahirkan larva?"
"Serangga menggunakan larviposition atau oviposisi. Ada yang bertelur dan ada
juga yang melahirkan larva." "Serangga melahirkan larva?"
"Awalnya berupa larva instar. Itu adalah tahap larva yang pertama sekali.
Sarcophagidae termasuk kelompok yang melahirkan larva. Ini adalah strategi yang
menyebabkan mereka bisa mendahului spesies belatung lainnya, dan juga
menyediakan perlindungan dari pemangsa yang
suka makan telur." "Lalu, kenapa tidak semua serangga melahirkan larva lebih dulu?"
"Ada kelemahannya. Para betina tidak bisa melahirkan larva sebanyak telur. Ini
adalah sebuah pilihan."
"Hidup memang penuh kompromi."
"Tepat sekali. Aku juga menduga bahwa kedua mayat ditinggalkan di luar,
setidaknya untuk jangka waktu yang tidak lama. Sarcophagidae ini tidak begitu
berani masuk ke dalam bangunan seperti kelompok serangga lainnya. Misalnya
spesies Caiiiphoridae."
"Masuk akal. Mereka dibunuh di pulau itu atau tubuhnya dibawa ke sana dengan
kapal." "Bagaimana pun caranya, aku menduga mereka dibunuh di siang hari, lalu dibiarkan
di udara terbuka dan di permukaan tanah sebelum dikuburkan."
"Bagaimana dengan spesies lainnya?"
"Kamu mau mendengarkan seluruh ceritanya?"
"Pasti." "Untuk kedua mayat itu, penguburan pasti akan menunda serangan serangga yang
normal. Tapi, begitu mayat yang di atas diobrak-abrik oleh para pemakan bangkai,
maka Caiiiphoridae akan menilainya sebagai tempat yang sangat menarik untuk
bertelur." "Caiiiphoridae?"
"Lalat blowflies. Mereka biasanya tiba dalam hitungan menit setelah kematian,
bersama-sama dengan temannya lalat daging. Keduanya lalat yang jagoan terbang."
"Menyebalkan." "Kamu mengumpulkan sedikitnya dua jenis spesies blowflies, Cochliomyia ..."
"Mungkin kita sebaiknya menggunakan nama umumnya
"OK. Kamu mengumpulkan larva instar pertama, kedua, dan ketiga serta kepompong
yang masih utuh dan kosong dari paling sedikit dua spesies blowfl ies."
"Artinya apa?" "OK, anakanak. Mari kita telaah kembali daur hidup lalat. Seperti kita, lalat
dewasa sangat berhatihati dalam menemukan tempat yang cocok untuk membesarkan
larva mudanya. Mayat adalah tempat yang sempurna. Lingkungan yang terlindungi.
Banyak yang bisa dimakan. Lingkungan yang sempurna untuk membesarkan
anakanaknya. Mayat adalah tempat yang sangat menarik, sehingga blowfl ies dan
lalat daging mungkin akan tiba beberapa menit setelah kematian. Lalat betina
akan segera bertelur atau untuk sejenak menyantap cairan yang merembes keluar
dari mayat itu, kemudian baru bertelur."
"Bagus sekali."
"Hey, mayat mengandung banyak protein lho. Kalau ada luka pada mayat itu, mereka
akan segera menggerogotinya dari situ, kalau tidak ada, mereka akan menggunakan
berbagai lubang di tubuh manusia mata, hidung, mulut, anus ..."?"Aku mengerti maksudmu."
"Blowflies bertelur banyak sekali sehingga bisa benarbenar menutupi lubang alami
tubuh manusia dan tempat luka. Kamu bilang cuacanya cukup sejuk di sana, jadi
mungkin tidak banyak yang bisa ditemukan di dalam kuburan itu."
"Saat telur sudah menetas, maka belatunglah yang akan berperan selanjutnya."
"Tepat sekali. Babak kedua. Belatung juga sangat hebat. Di bagian depannya
terdapat sepasang kaitan mulut yang digunakan untuk makan dan sebagai indera
pencium. Mereka bernapas melalui struktur kecil dan rata di bagian belakang."
"Mereka bernapas melalui anusnya."
"Seperti itulah. Nah, telur-telur yang dihasilkan pada saat yang bersamaan akan
menetas pada saat yang bersamaan pula, dan belatung menjadi dewasa bersama-sama.
Mereka juga makan bersama-sama, jadi kita bisa menemukan kumpulan belatung dalam
jumlah yang sangat banyak di sekeliling mayat. Cara makan kelompok ini
mengakibatkan penyebaran bakteri dan produksi enzim pencernaan, yang membuat
belatung bisa memakan sebagian besar jaringan lunak mayat itu. Benarbenar efi
sien. "Belatung tumbuh dewasa dengan cepat, dan saat sudah mencapai ukuran yang
maksimal, mereka akan mengalami perubahan perilaku yang cukup dramatis. Mereka
berhenti makan dan mencari tempat yang lebih kering, biasanya menjauh dari
mayat." "Babak ketiga."
"Yap. Larva itu bersembunyi di lubang tanah dan kulit luarnya mengeras serta
membentuk cangkang untuk berlindung, dinamakan kepompong. Wujud nya seperti bola
football mini. Belatung ini akan hidup di dalam cangkangnya sampai sel-sel
tubuhnya tersusun kembali, kemudian muncul sebagai lalat dewasa."
"Itulah sebabnya cangkang kepompong yang kosong sangat penting artinya."
"Ya. Ingat lalat daging?"
"Sarcophagidae. Yang melahirkan larva."
"Bagus sekali. Mereka biasanya yang pertama kali
muncul sebagai lalat dewasa. Biasanya memakan waktu antara enam belas sampai dua
puluh empat hari untuk menjadi dewasa, dengan suhu sekitar dua puluh enam
derajat Celcius. Pertumbuhan mereka akan lebih lambat pada kondisi yang kamu
ceritakan." "Ya. Tempatnya memang tidak sehangat itu."
"Tapi, cangkang kepompong yang kosong berarti beberapa lalat daging itu sudah
menyelesaikan perkembangannya."
"Terbang sebagai lalat, seperti sebelumnya."
"Seekor lalat blowfly biasanya membutuhkan sekitar empat belas sampai dua puluh
lima hari, mungkin lebih lama dalam lingkungan basah di pulau itu."
"Semua perkiraan itu cocok."
"Kamu juga mengumpulkan larva Muscidae, belatung yang berasal dari lalat rumah
dan keluarganya. Biasanya spesies ini baru muncul lima sampai tujuh hari setelah
kematian. Mereka biasanya menunggu sampai muncul apa yang kita sebut sebagai
tahap kesegaran terakhir atau pembengkakan awal. Oh, dan aku juga menemukan
cheese skipper." Cheese skipper adalah belatung yang bisa meloncat. Walaupun tidak mudah, aku
sudah terbiasa untuk tidak mengacuhkannya sewaktu menangani mayat yang sudah
membusuk. "Pekerjaan yang paling kusenangi."
"Semua orang harus bekerja, Dr. Brennan."
"Kurasa kita harus mengagumi organisme yang bisa meloncat sejauh sembilan puluh
kali panjang tubuhnya."
"Kamu pernah mengukurnya?"
"Perkiraan saja."
"Serangga yang cukup berguna untuk memperkirakan
PMI adalah lalat tentara hitam. Mereka biasanya baru muncul dua puluh hari
setelah kematian dan boleh dikatakan cukup konsisten, bahkan juga pada mayat
yang sudah dikuburkan."
"Mereka ada juga?"
"Ya." "Apa lagi?" "Kelompok kumbangnya cukup terbatas, mungkin karena habitatnya basah. Tapi,
binatang pemakan bangkai yang biasa ditemui ada di situ, rupanya memakan
belatung dan makhluk bertubuh lembut lainnya."
"Jadi, bagaimana menurut perkiraanmu?"
"Sekitar tiga sampai empat minggu."
"Untuk keduanya?"
"Menurut informasi yang kausampaikan, jarak sampai ke dasar lubang satu meter
lebih, dan satu meter sampai ke bagian atas mayat di sebelah bawah. Kita sudah
mendiskusikan produksi larva pra-penguburan oleh lalat daging, jadi itu
menjelaskan kepompong yang kamu temukan pada mayat sebelah bawah itu dan di atas
tubuhnya. Ada kepompong yang berisi lalat yang sudah tumbuh dewasa, dan ada yang
masih dalam tahap perkembangan. Mereka pasti terperangkap oleh tanah saat
mencoba untuk keluar. Piophilidae juga ada."
"Apa?" "Cheese skippers. Aku juga menemukan beberapa lalat peti mati dalam contoh tanah
yang kamu ambil dari bagian atas mayat yang sebelah bawah, dan beberapa larva
pada mayatnya. Semua spesies ini biasanya bersembunyi di dalam mayat untuk
bertelur. Gangguan tanah di kuburan dan adanya mayat yang di atas pasti telah
mempermudah jalan masuknya. Aku lupa menyebutkan
bahwa aku menemukan lalat peti mati di mayat sebelah atas."
"Apakah contoh tanah itu berguna?"
"Sangat berguna. Kamu pasti tidak ingin mendengar bagaimana serangga itu memakan
belatung dan bahan yang membusuk, tapi aku menemukan satu ekor yang berguna
untuk PMI. Saat memproses tanah itu, aku mendapatkan sejumlah tungau yang
mendukung dugaanku bahwa kematian itu minimum sudah tiga minggu lamanya."
"Jadi, kamu menyimpulkan kedua mayat itu sudah meninggal tiga sampai empat
minggu lamanya." "Itu dugaan awalku."
"Ini sangat membantu, Lou. Kamu dan stafmu benarbenar mencengangkan."
"Apa semua ini cocok dengan kondisi mayat itu?" "Cocok sekali."
"Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan." Ucapan Lou yang berikutnya membuat
tubuhku menggigil sampai ke dalam relung jiwaku. []
11 tv jr aaf Lou. Coba katakan sekali lagi,"
jlVX"Ini bukan berita baru. Semakin banyaknya kematian yang berhubungan dengan
narkoba selama beberapa tahun terakhir ini mengarahkan penelitian ke pengujian
obat dalam serangga pemakan bangkai. Aku tidak perlu menjelaskan kepadamu bahwa
mayat tidak selalu langsung ditemukan, sehingga para penyelidik mungkin tidak
memiliki spesimen yang mereka perlukan untuk menganalisis racun. Maksud ku
darah, urin, atau jaringan organ tubuh."
"Jadi, kamu menguji kandungan narkoba pada belatung itu?"
"Bisa juga, tapi kami mendapatkan hasil yang lebih baik dari kepompongnya.
Mungkin, karena waktu makannya yang lebih lama dibandingkan dengan larvanya.
Kami juga memeriksa exuviae dan frass dari kumbang
"Apa itu?" "Kulit kumbang yang sudah tanggal dan kotorannya. Tapi, kami menemukan kadar
narkoba yang sangat tinggi pada kepompong lalat. Itu mungkin mencerminkan
pemilihan makanannya. Kumbang lebih suka makanan yang kering, lalat lebih suka
makan jaringan lunak. Kemungkinan besar kandungan narkoba yang paling besar
terdapat di situ." "Apa yang kamu temukan?"
"Daftarnya cukup panjang. Kokain, heroin, metamfe-tamine, amitriptilin,
nortriptilin. Akhir-akhir ini, kami sedang meneliti 3,4-
metilenadioksimetamfetamin."
"Nama awamnya?"
"Umumnya dikenal sebagai ekstasi."
"Dan kamu menemukan bahan itu di dalam kepompong?"
"Kami menemukan obat induk dan metabolitnya." "Bagaimana?"
"Metode pengujiannya mirip dengan yang digunakan untuk contoh patologi yang
umum, tetapi kita harus memecahkan matriks khitin/protein yang keras dalam
kepompong serangga dan kulitnya supaya racunnya bisa dipisahkan. Kita
melakukannya dengan menghancurkan cangkangnya, kemudian menggunakan asam atau
basa kuat. Setelah itu, dengan penyesuaian pH, bisa digunakan teknik penyaringan
obat yang biasa. Kita melakukan ekstraksi dengan basa yang diikuti dengan
kromatografi cair dan spektrometri massa. Pemecahan ionnya menunjukkan apa yang
terdapat dalam contoh yang kamu kirimkan dan berapa besar kandungannya."
Aku menelan ludah. "Dan kamu menemukan fl unitrazepam dalam cangkang kepompong yang kukirimkan?"
"Cangkang yang diambil dari mayat sebelah atas mengandung fl unitrazepam dan dua
jenis metabolitnya, desmetilfl unitrazepam dan 7-aminofl unitrazepam. Kadar obat
induknya jauh lebih besar daripada metabolitnya."
"Yang berarti asupan narkobanya terjadi belum lama ini, bukan dikonsumsi secara
kronis." "Persis sekali."
Kuucapkan terima kasih kepada Lou dan menutup gagang telepon.
Untuk sejenak, aku hanya bisa duduk termenung. Rasa kaget mendengar hasil
penemuan itu membuat isi perutku melilit dan aku merasa ingin muntah. Atau,
mungkin juga karena Moon Pie yang baru kumakan.
Flunitrazepam. Kata itu akhirnya membangkitkan kenangan lama.
Flunitrazepam. Rohypnol. Itulah tanda yang telah didengungkan selama ini oleh sel-sel otakku,
Dengan tangan gemetar, kutekan nomor telepon Motel Lord Cateret. Tidak ada
jawaban. Kutekan nomor telepon sekali lagi dan meninggalkan nomorku di pager
Ryan. Kemudian, aku menunggu, sistem saraf simpatisku terus memancarkan kewaspadaan
tingkat rendah, mengatakan kepadaku untuk merasa takut. Takut akan apa"
Rohypnol. Saat telepon berdering, aku langsung menerkamnya. Dari mahasiswa.
Segera kuselesaikan urusanku dan menunggu kembali dengan kengerian yang kelam
dan dingin. Rohypnol. Obat yang digunakan pemerkosa saat kencan.
Gletser terbentuk. Air laut pasang dan surut. Sebuah bintang membentuk planet
dari debu angkasa. Sebelas menit kemudian, Ryan meneleponku. "Aku menemukan satu
hubungan lagi." "Apa?"
Pelan-pelan. Jangan sampai rasa kaget ini mengganggu pikiranmu.
"Pembunuhan di Pulau Murtry dan St-Jovite." Kuceritakan percakapanku dengan Lou
West. "Salah satu mayat wanita di Murtry mengandung kadar Rohypnol yang sangat
tinggi dalam jaringan tubuhya." "Begitu juga mayat di lantai atas di St-Jovite."
"Ya." Sebuah ingatan lainnya menyeruak ke permukaan saat Lou menyebutkan nama obat
itu. Hutan boreal. Pemandangan sebuah vila kecil yang terbakar, dilihat dari atas.
Padang rumput, tubuhtubuh berselimut yang disusun melingkar. Petugas berseragam.
Tandu. Ambulans. "Kamu masih ingat Order of the Solar Temple?"
"Pemuja setan yang bunuh diri bersama-sama?"
"Ya. Enam puluh empat orang tewas di Eropa. Sepuluh lagi di Quebec."
Aku berusaha menegarkan suaraku.
"Beberapa vila kecil itu sengaja diledakkan dan terbakar."
"Ya. Aku juga sudah memikirkan kemungkinan itu."
"Rohypnol ditemukan di kedua lokasi ini. Banyak dari korban meminum obat itu
tidak lama sebelum mereka tewas."
Hening. "Menurutmu Owens memindahkan lokasi kelompok the Temple ini?" "Entahlah."
"Menurutmu mereka sedang melakukan pertukaran?" Pertukaran apa" Nyawa manusia"
"Kurasa mungkin saja."
Untuk beberapa saat lamanya, kami tidak berkata apa-apa.


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan memeriksa orangorang yang bekerja di Mo-rin Heights. Sementara itu,
aku akan mengunci pantat si Dom Owens dengan gembok besi."
"Masih ada informasi lagi."
Sambungan telepon berdengung lembut.
"Kamu masih mendengarkan?"
"Ya." "West memperkirakan kedua wanita itu tewas tiga sampai empat minggu yang lalu.
"Suara napasku terdengar keras di gagang telepon.
"Kebakaran di St-Jovite terjadi pada tanggal 10 Maret. Besok tanggal satu."
Kudengarkan dengungan itu saat Ryan sedang menghitung hari.
"Ya Tuhan. Tiga minggu yang lalu."
"Aku punya perasaan buruk, sesuatu akan terjadi,
Ryan." "Oke." Telepon terputus. Kalau mengingatnya kembali, aku selalu merasa bahwa peristiwa berkembang sangat
pesat setelah percakapan itu, melaju cepat dan semakin kacau, dan akhirnya
membentuk sebuah vorteks yang menyedot semuanya masuk ke dalamnya. Termasuk
diriku. Malam itu aku bekerja sampai malam. Begitu juga Hardaway. Dia menelepon saat aku
menarik laporan autopsinya dari dalam amplop.
Kuinformasikan profi I mayat sebelah atas dan perkiraan umur untuk mayat sebelah
bawah. "Cocok kalau begitu," ujarnya. "Dia berusia dua puluh lima tahun."
"Kamu berhasil menemukan jati dirinya?"
"Kami berhasil menemukan sidik jari yang masih bisa dikenali. Tidak menghasilkan
apa-apa dari catatan polisi setempat atau negara bagian, jadi kukirimkan ke FBI.
Juga tidak ditemukan apa-apa dalam AFI5.
"Tapi, ada yang aneh. Tidak tahu apa yang menyebabkan aku melakukannya, mungkin
karena aku tahu kamu juga bekerja di Kanada. Ketika orang FBI menyarankan kami
mencoba RCMP, kukatakan, apa ruginya, lakukan saja. Pasti orang Kanada."
"Apa lagi yang kamu temukan tentang dirinya?"
"Sebentar." Kudengar suara derikan kursi dan gemerisik kertas.
"Laporannya datang tadi sore. Namanya Jennifer Cannon. Kulit putih. Tinggi satu
enam dua cm, berat lima puluh lima kg. Rambut cokelat. Mata hijau. Belum
menikah. Terakhir kalinya terlihat ..." Dia berhenti sejenak saat menghitung-
hitung. "... dua tahun tiga bulan yang lalu."
"Dari mana asalnya?"
"Sebentar." Diam sejenak. "Calgary. Di mana itu?" "Di sebelah barat. Siapa yang
melaporkannya hilang?" "Sylvia Cannon. Alamatnya di Calgary, jadi pasti ibunya."
Kuberikan nomor pager Ryan dan meminta Hardaway meneleponnya.
"Kalau kamu bisa menghubunginya, tolong minta dia meneleponku. Kalau aku tidak
di sini, berarti aku sudah di rumah."
Kumasukkan tulang Murtry ke dalam kotaknya, lalu menguncinya. Kemudian, ke dalam
tas kumasukkan disket dan laporan kasusku, laporan autopsi dan foto dari
Hardaway, dan makalah CAT Scan, lalu mengunci lab, dan pulang.
Kampus sudah kosong, malam itu sungguh sunyi dan lembap. Anehnya cukup hangat,
begitulah mungkin komentar peramal cuaca. Udara disemarakkan bau rumput yang
baru dipotong dan hujan yang sebentar lagi akan turun. Kudengar suara gemuruh di
kejauhan dan membayangkan badai meluncur turun dari pegunungan dan menyeberangi
Piedmont. Dalam perjalanan pulang, aku berhenti untuk membeli makanan di Selwyn Pub.
Kerumunan orang yang baru pulang kerja mulai menipis, dan anakanak muda dari
Queens College belum tiba untuk mengambil alih tempat itu pada malam hari.
Sarge, salah seorang pemiliknya yang keturunan Irlandia yang jahil, duduk di
kursinya di ujung ruangan seperti biasa, mengemukakan pendapatnya tentang
olahraga dan politik, sementara Neal, si bartender, mengisi belasan gelas bir.
Serge ingin mendiskusikan hukuman mati, atau lebih tepatnya mengutarakan
pendapatnya tentang hukuman mati, tetapi aku sedang tidak ingin berdebat. Aku
membeli cheeseburger dan segera keluar.
Tetesan hujan pertama mengelus bunga magnolia ketika aku memasukkan kunci ke
dalam lubang kunci Annex. Tidak ada yang menyambutku selain suara detikan jam
yang lembut. Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh ketika Ryan menelepon.
Sylvia Cannon sudah tidak tinggal di alamat yang dituliskan dalam laporan orang
hilang sejak dua tahun terakhir. Juga tidak tinggal di alamat yang diberikan
oleh kantor pos. Tetangga di alamat yang pertama masih ingat bahwa dia tidak bersuami dan hanya
memiliki satu anak perempuan. Mereka menggambarkan Sylvia sebagai orang yang
pendiam dan tertutup. Seorang penyendiri. Tidak ada yang tahu tempat kerjanya
atau ke mana perginya. Salah seorang wanita menduga Sylvia punya seorang kakak
lelaki di daerah itu. Kantor Polisi Calgary sedang mencoba menemukan wanita itu.
Malam itu, di tempat tidur, di bawah selimut, kudengar suara hujan
mengetukngetuk atap dan dedaunan. Guntur bergemuruh dan petir menyambarnyambar,
sesekali menyebabkan munculnya siluet gedung Sharon Hall. Kipas angin di
langitlangit mengembuskan kabut sejuk dan tercium bau bunga petunia dan kerai
jendela yang basah. Aku mengagumi badai. Aku mencintai agungnya pertunjukan yang muncul: Hidrolik!
Voltase! Perkusi! Alam yang berkuasa dan semua orang menunggu kibasannya.
Kunikmati pertunjukan itu selama mungkin, kemudian bangkit dan berjalan menuju
jendela. Gorden terasa lembap dan air sudah mulai menggenang di kusen. Kututup
dan ku kunci jendela sebelah kiri, meraih jendela sebelah kanan dan menghirup
napas dalamdalam. Suara gemuruh membangkitkan kenangan masa kecil. Malam hari di
musim panas. Suara petir. Tidur bersama Harry di beranda rumah Nenek.
Pikirkan itu, kataku kepada diri sendiri. Dengarkan kenangan itu, bukan suara
kematian yang berkeliaran di dalam benakmu.
Petir menyambar dan napasku tertahan di kerongkongan. Apakah ada sesuatu yang
bergerak di bawah semak-semak"
Petir menyambar lagi. Aku menatap, tetapi semak-semak itu terlihat tidak bergerak dan kosong.
Apakah aku hanya membayangkannya saja"
Mataku mencari di keremangan malam. Pe karangan hijau dan semak-semak. Jalan
yang tidak berwarna. Bunga petunia pucat dengan latar belakang pohon pinus dan
bunga ivy yang gelap. Tidak ada yang bergerak. Kembali bumi seakan menyala dan suara Guntur yang membahana membelah malam.
Sosok putih menyeruak dari semak-semak dan melaju menyeberangi pekarangan.
Kupicingkan mata, berusaha melihat, tetapi bayangan itu langsung menghilang
sebelum mataku bisa fokus.
Jantungku berdegup begitu keras sehingga terasa sampai ke kepalaku. Kubuka
jendela dan bertumpu pada langkan, mencaricari di kegelapan malam tempat
menghilangnya makhluk itu. Air membasahi baju tidurku dan bulu romaku berdiri di
sekujur tubuhku. Kupindai halaman, dengan tubuh gemetar.
Semua sunyi. Dengan melupakan jendela yang masih terbuka, aku berbalik dan berlari menuruni
tangga. Aku baru saja akan membuka pintu belakang saat telepon berdering,
membuat jantungku menyeruak ke kerongkonganku.
Va Tuhan. Apa lagi sekarang"
Kuraih gagang telepon. "Tempe, maaf." Kulirik jam. Jam satu lewat empat puluh menit. Kenapa tetanggaku menelponku"
"... dia pasti datang hari Rabu ketika aku menunjukkan tempatnya. Waktu itu
rumahnya kosong. Aku ke sana untuk memeriksa barang, padahal sedang badai
seperti ini, dan dia berlari keluar membabi buta. Aku memanggilnya, tapi dia
lari begitu saja. Mungkin kamu ingin tahu ii
Kujatuhka gagang telepon, membuka pintu dapur, dan bergegas keluar.
"Sini, Bird," teriakku. "Ke sini, Sayang!"
Aku melangkah ke beranda. Dalam beberapa detik saja rambutku langsung basah
kuyup dan baju tidurku menempel ke tubuhku seperti tisu basah.
"Birdie! Di mana kamu?"
Petir menyambar, menerangi jalanan, semak-semak, taman, dan bangunan. "Birdie!"
jeritku. "Bird!"
Air hujan menghantam bata dan menampar dedaunan di atas kepalaku.
Aku berteriak lagi. Tidak ada jawaban.
Berulang kali aku memanggil namanya, seorang wanita gila, menyusuri halaman
Sharon Hall. Tak lama kemudian, tubuhku sudah menggigil kedinginan.
Kemudian, aku melihatnya.
Dia meringkuk di bawah semak-semak, kepala menunduk, telinganya merunduk ke
depan dengan anehnya. Bulunya basah dan menggumpal, menunjukkan kulitnya yang
pucat, seperti retakan di lukisan tua.
Aku berjalan mendekatinya dan berjongkok. Dia terlihat seperti baru dicelupkan
ke dalam air, kemudian berguling-guling. Ranting pinus, rumput, dan tumbuhan
bergelantungan di kepala dan punggungnya.
"Bird?" ujarku dengan lembut, menjulurkan tanganku.
Dia mengangkat kepalanya dan mencari wajahku dengan mata bundarnya yang berwarna
kuning. Petir menyambar. Birdie bangkit, menggeliat, dan mengeong, "Miauw."
Kutengadahkan tanganku. "Ayo, Bird," bisikku.
Dia terlihat ragu-ragu, kemudian berjalan mendekatiku, menempelkan tubuhnya di
pahaku, dan mengulangi lagi. "Miauw."
Kuraih kucingku, mendekapnya erat-erat, dan berlari ke dapur. Birdie meletakkan
kaki depannya ke bahuku dan menempelkan dirinya kepadaku, seperti bayi monyet
bergantung kepada ibunya. Kurasakan kukunya menembus baju tidurku yang basah
kuyup karena hujan. Sepuluh menit kemudian, aku sudah selesai menggosoknya. Bulu putih menghiasi beberapa buah handuk dan melayang di udara. Untuk sekali ini tidak ada
protes yang mengiringinya.
Birdie melahap semangkuk Science Diet dan sepisin es krim vanila. Kemudian, aku
membawanya ke tempat tidur. Dia merangkak ke bawah selimut dan menggeliat di
kakiku. Kurasakan tubuhnya menegang, kemudian santai saat menjulurkan cakarnya,
dan meringkuk di kasur. Bulunya masih lembap, tetapi aku tidak peduli. Aku sudah
mendapatkan kucingku kembali.
"Aku sayang kamu, Bird," ujarku ke kegelapan malam.
Aku tertidur mendengar duet antara dengkur kucing dan tetesan hujan.[]
Hari berikutnya Sabtu, jadi aku tidak ke universitas. Aku berencana untuk
membaca temuan Hardaway, kemudian menuliskan laporanku tentang korban di Murtry.
Setelah itu, aku akan membeli bunga di toko bunga dan menanamnya dalam beberapa
pot besar yang kuletakkan di berandaku. Taman instan, itulah salah satu bakatku.
Kemudian, mengobrol lama dengan Katy, menghabiskan waktu yang berkualitas dengan
kucingku, makalah CAT scan, dan menghabiskan malamnya dengan membaca tentang
Elisabeth Nicolet. Tetapi, rencana tinggal rencana.
Saat aku bangun, Birdie sudah tidak ada. Aku memanggilnya, tetapi tanpa hasil,
jadi kukenakan celana pendek dan kaus oblong, kemudian ke bawah untuk
mencarinya. Jejaknya mudah ditemukan. Dia menghabiskan makanan di mangkuknya dan
sekarang tertidur lelap di bawah berkas sinar matahari di sofa di ruangan duduk.
Kucing itu tidur terlentang, kaki belakangnya terkulai, cakar depannya
menggantung di atas dadanya. Kuamati dia sejenak, tersenyum seperti anak kecil
di pagi hari Natal. Kemudian, aku ke dapur, menyeduh kopi dan meraih roti bagel,
mengambil Observer dari beranda, lalu duduk di meja dapur.
Seorang istri dokter ditemukan tewas ditikam di Myers Park. Seorang anak
diserang anjing buldog. Orangtuanya
menuntut agar binatang itu dibunuh dan pemiliknya marah. Hornets mengalahkan
Golden State 101 lawan 87.
Kuperiksa ramalan cuaca. Diperkirakan matahari bersinar dan suhu sekitar dua
puluh tiga derajat Celcius untuk Charlotte, Kulihat sekilas suhu di berbagai
tempat di dunia, Pada hari Jumat suhu turun sampai delapan derajat di Montreal.
Ada alasan bagi orang Selatan untuk menyombongkan diri.
Kubaca seluruh isi surat kabar. Editorial. Iklan. Iklan obat. Ini adalah ritual
akhir pekan yang kunikmati, tetapi terpaksa kulewatkan selama beberapa akhir
pekan terakhir ini. Seperti seorang pecandu di hadapan alat suntiknya, kuserap
setiap kata yang tercetak.
Setelah selesai, kubersihkan meja dan menghampiri tas kerjaku. Kutumpuk foto
autopsi di sebelah kiri dan menghamparkan laporan Hardaway di hadapanku. Tinta
pulpenku habis pada coretan pertama. Aku bangkit, pergi ke ruangan duduk untuk
mencari pulpen lainnya. Saat melihat sosok tubuh di beranda depan, jantungku berdegup dua kali lebih
cepat. Aku tidak tahu siapa orang itu atau seberapa lama dia sudah berada di
sana. Orang itu berbalik, melangkah naik di dinding luar dan mendekatkan dirinya ke
jendela. Mata kami bertemu dan aku menatapnya dengan tidak percaya.
Segera aku bergegas dan membuka pintu.
Dia berdiri dengan pinggul condong ke depan, tangan memegang tali ranselnya.
Ujung roknya melambailambai di sekeliling sepatu larsnya. Matahari pagi menerpa
rambutnya, membuat kepalanya terlihat mengilap.
Va Tuhan, pikirku. Apa lagi sekarang"
Kathryn yang mulai berbicara.
"Aku harus bicara. Aku-"
"Ya, tentu saja. Silakan, masuk." Aku melangkah mundur dan menjulurkan tangan.
"Biar kubawakan tasmu."
Dia melangkah masuk, melepaskan ranselnya dan menjatuhkannya ke lantai, matanya
tidak pernah lepas dari wajahku.
"Aku tahu kedatanganku pasti sangat mengganggu dan aku-"
"Kathryn, jangan begitu. Aku senang bertemu denganmu. Aku hanya sangat terkejut
sehingga otakku membeku selama beberapa detik."
Bibirnya terbuka, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Kamu mau makan sesuatu?"
Jawabannya tergurat di wajahnya. Kurangkul bahunya dan mengajaknya ke meja
dapur. Dia mengikuti dengan lemah. Kupindahkan tumpukan foto serta laporan ke
samping, lalu menyuruhnya duduk.
Ketika memanggang roti bagel, mengolesnya dengan krim keju, dan menuangkan jus
jeruk, kulirik tamuku itu. Kathryn menatap meja, tangannya merapikan tatakan
yang sebenarnya tidak kusut. Jarinya memainkan jumbai tatakan itu,
meluruskannya, kemudian menyusunnya sehingga sejajar dengan jumbai di
sebelahnya. Perutku melilit seperti tali simpul. Bagaimana dia bisa datang ke sini" Apakah
dia melarikan diri" Di mana Carlie" Kutahan semua pertanyaanku sampai dia
selesai makan. Setelah Kathryn selesai dan menolak roti yang kedua, kubersihkan piring dan
menemaninya di meja dapur.
"Nah. Bagaimana kamu bisa menemukanku?" Kutepuk tangannya dan tersenyum
membesarkan hatinya. "Kamu memberikan kartu nama." Dia merogoh dari sakunya dan meletakkannya di atas
meja. Kemudian, tangannya kembali ke tatakan piring. "Aku menelepon nomor
di Beaufort dua kali, tapi kamu sedang tidak ada. Akhirnya, seorang lelaki
mengangkat telepon dan mengatakan bahwa kamu sudah kembali ke Charlotte."
"Itu mungkin Sam Rayburn. Aku tinggal di kapalnya."
"Aku memutuskan untuk meninggalkan Beaufort." Dia menatap mataku, kemudian
segera menunduk kembali. "Aku menumpang dari sana dan pergi ke universitas, tapi
ternyata lebih lama dari yang kukira sebelumnya. Saat aku ke kampus, kamu sudah
pulang. Aku menginap di rumah seseorang, kemudian pagi ini wanita itu menurunkan
aku di sini dalam perjalanannya ke kantor."
"Bagaimana kamu tahu tempat tinggalku?"
"Dia mencari namamu entah di buku apa."
"Oh begitu." Aku yakin alamat rumahku tidak terdaftar dalam buku alamat kampus,
"Pokoknya, aku senang kamu ada di sini sekarang."
Kathryn mengangguk. Dia terlihat sangat kelelahan. Matanya tampak merah dan
cekungan hitam tampak di bawah kelopak matanya.
"Aku ingin meneleponmu kembali, tapi kamu tidak meninggalkan nomor telepon yang
bisa dihubungi. Ketika detektif Ryan dan aku mengunjungi padepokan di hari
Selasa, kami tidak melihatmu."
"Aku ada di sana, tapi ..." Suaranya menghilang.
Aku menunggu. Birdie muncul di pintu, kemudian menghilang kembali, mungkin karena merasakan
ketegangan di dalam ruangan. Jam berdentang. Jarijemari Kathryn memainkan
jumbai. Akhirnya, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Kathryn, mana Carlie?" Kuletakkan tanganku di atas tangannya.


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menatap mataku. Sorot matanya terlihat datar dan
hampa, "Mereka menjaganya." Suaranya terdengar lirih, seperti suara anakanak yang
menjawab sebuah tuduhan. "Siapa?"
Dia menarik tangannya, meletakkan sikunya di atas meja, dan menggosok pelipisnya
dengan gerakan memutar. Matanya kembali menatap tatakan meja.
"Carlie ada di Saint Helena?"
Kembali mengangguk. "Kamu meninggalkannya dengan sukarela di sana?" Dia menggelengkan kepala dan
tangannya meluncur ke depan sehingga telapak tangannya menekan pelipisnya. "Apa
anak itu baikbaik saja?" "Dia anakku! Milikku!" Sentakannya itu mengejutkanku.
"Aku bisa menjaganya." Ketika dia mengangkat kepala, tampak tetesan air mata di
kedua pipinya. Matanya menatap mataku.
"Siapa yang mengatakan kamu tidak bias menjaganya?"
"Aku ibunya." Suaranya terdengar bergetar. Karena apa" Kelelahan" Rasa takut"
Kebencian" "Siapa yang mengurus Carlie?"
"Tapi, bagaimana kalau aku salah" Bagaimana kalau semuanya benar?" Tatapannya
kembali mendarat di atas meja.
"Apa yang benar?"
"Aku sayang bayiku. Aku mau yang terbaik untuknya."
Jawaban Kathryn tidak berhubungan dengan pertanyaanku. Dia sedang meraba-raba
kegelapan di dalam dirinya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Hanya saja kali
ini dia melakukannya di dapurku.
"Tentu saja kamu sayang dia."
"Aku tidak mau bayiku mati." Jarinya gemetaran ketika meremas jumbai di tatakan
mejaku. Gerakan yang sama yang pernah kulihat ketika mengelus rambut Carlie.
"Carlie sakit?" tanyaku, terkejut.
"Tidak. Dia baikbaik saja." Katakatanya hamper tidak terdengar. Air mata menetes
ke tatakan. Kutatap bercak kecil hitam di tatakan, merasa benarbenar tidak berdaya.
"Kathryn, aku tidak tahu bagaimana menolongmu. Kamu harus menceritakan kepadaku
apa yang terjadi." Telepon berdering, tetapi aku tidak mengacuhkannya. Dari ruangan lain kudengar
suara klik, suara mesin penjawab telepon, kemudian suara bip-bip yang diikuti
suara lirih. Klik lagi, kemudian hening.
Kathryn tidak bergerak. Dia sepertinya lumpuh karena pikiran yang menyiksa
dirinya. Dalam keheningan itu, aku ikut merasakan kesakitan yang dirasakannya
dan menunggu. Tujuh bercak hitam menghiasi kain biru itu. Sepuluh. Tiga belas.
Setelah beberapa saat lamanya, Kathryn mengangkat kepalanya. Dia menyeka kedua
pipinya dan merapikan rambutnya kembali, kemudian menyilangkan jari-jemarinya
dan meletakkan kedua tangannya dengan perlahan di tengah tatakan. Dia mendehem
dua kali. "Aku tidak tahu bagaimana rasanya hidup normal." Dia tersenyum malu, "Baru tahun
ini aku tahu bahwa selama ini aku menjalani kehidupan yang tidak normal."
Dia menundukkan matanya kembali.
"Kurasa perasaan itu muncul setelah ada Carlie. Aku tidak pernah meragukan apa
pun sebelum kelahirannya. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk mengajukan
pertanyaan. Aku sekolah di rumah, jadi semua hal yang kuketahui-" Senyuman itu
kembali menghias wajahnya. "Yang kuketahui tentang dunia ini sangat terbatas."
Dia berpikir sejenak. "Apa yang kuketahui tentang dunia ini hanyalah apa yang
mereka ingin aku mengetahuinya." "Mereka?"
Dia mengepalkan kedua tangannya sedemikian kerasnya sehingga buku-bukunya
menjadi putih. "Kami tidak boleh membicarakan permasalahan di dalam kelompok." Dia menelan
ludah. "Mereka adalah keluargaku. Mereka sudah menjadi duniaku sejak aku berusia
delapan tahun. Dia telah menjadi ayahku, penasihat, guru, dan-"
"Dom Owens?" Matanya memandang mataku kembali. "Dia seorang lelaki hebat. Dia tahu semuanya
tentang kesehatan, reproduksi, evolusi, polusi, dan bagaimana cara menjaga
kekuatan spiritual, biologis, dan alam semesta agar tetap seimbang. Dia melihat
dan memahami semua hal yang sama sekali tidak kami ketahui. Bukan Dom. Aku
percaya pada Dom. Dia tidak akan pernah melukai Carlie, Dia melakukan apa yang
dia lakukan untuk melindungi kami. Dia menjaga kami. Aku hanya tidak yakin-"
Dia memejamkan mata dan menengadah. Sebuah urat nadi kecil tampak menonjol di
lehernya. Tenggorokannya naik-turun, kemudian dia menarik napas panjang,
menurunkan dagunya dan menatap lurus ke mataku.
"Perempuan itu. Yang kamu cari kemarin. Dia pernah ke sana."
Aku harus memusatkan seluruh perhatian untuk bisa mendengar perkataannya. "Heidi
Schneider?" "Aku tidak pernah tahu nama belakangnya."
"Coba ceritakan semua yang kamu ingat tentang dirinya."
"Heidi bergabung di tempat lain. Kurasa di Texas. Dia tinggal di Saint Helena
selama kurang lebih dua tahun. Dia lebih tua dariku, tapi aku menyukainya. Dia
selalu bersedia untuk berbicara atau menolongku. Dia juga amat Jenaka." Kathryn
berhenti sejenak. "Heidi seharusnya punya anak dengan Jason-"
"Apa?" Kupikir aku salah dengar.
"Pasangannya untuk punya anak adalah Jason. Tapi, dia jatuh cinta pada Brian,
lelaki yang sudah bersamanya ketika bergabung dengan kami. Dia lelaki yang ada
di fotomu." "Brian Gilbert." Mulutku terasa kering. "Nah, dia dan Brian biasa bertemu dengan
cara sembunyi-sembunyi." Matanya menerawang jauh. "Ketika Heidi hamil, dia
ketakutan karena bayi itu tidak akan diakui. Dia mencoba menyembunyikannya, tapi
mereka akhirnya mengetahuinya."
"Owens?" Matanya kembali menatap diriku dan aku bias menangkap pancaran rasa takut.
"Tidak ada bedanya. Hal itu memengaruhi semua orang."
"Apa yang memengaruhi?"
"Sekte." Dia menggosok telapak tangannya ke tatakan, kemudian menangkupkannya
kembali. "Ada beberapa hal yang tidak bisa kubicarakan. Kamu mau mendengarnya?"
Dia menatapku lagi dan aku bisa melihat bahwa air matanya mulai tergenang
kembali. "Teruskanlah." "Pada suatu hari, Heidi dan Brian tidak muncul di
pertemuan pagi. Mereka sudah pergi." "Ke mana?" "Entahlah."
"Kamu mengira Owens mengirimkan orang untuk menemukan mereka?"
Matanya meluncur ke jendela dan dia menggigit bibir bawahnya.
"Masih ada lagi. Pada suatu malam di musim gugur yang lalu, Carlie bangun di
tengah malam, jadi aku pergi ke bawah untuk membuatkan susu. Aku mendengar
gerakan di dalam kantor, kemudian seorang wanita berbicara, dengan berbisik
seakanakan tidak mau didengar siapa pun. Dia pasti sedang bicara di telepon."
"Kamu mengenali suaranya?"
"Ya. Ternyata salah seorang wanita yang bekerja di kantor."
"Apa katanya?" "Dia mengatakan kepada seseorang bahwa orang yang lainnya baikbaik saja. Aku
tidak tinggal terlalu lama untuk mendengarkan lebih banyak lagi,"
"Teruskan." "Sekitar tiga minggu yang lalu, hal yang sama terulang lagi, hanya saja kali ini
aku mendengar orangorang berdebat. Mereka kedengarannya marah, tapi pintunya
tertutup, jadi aku tidak bisa mendengar apa katakata mereka. Suara Dom dan
wanita yang sama yang kudengar suaranya tempo hari."
Dia menyeka air mata dari pipinya dengan punggung tangannya. Dia masih tetap
tidak berani menatapku kembali.
"Keesokan harinya, wanita itu pergi dan aku tidak pernah melihatnya kembali. Dia
dan seorang wanita lainnya. Mereka menghilang begitu saja."
"Bukankah orang boleh datang dan pergi sesuka hati dari kelompok kalian?"
Matanya kembali menatap mataku,
"Dia bekerja di kantor. Mungkin dia orang yang menerima telepon yang kamu
tanyakan kemarin." Aku bisa melihat dadanya terengah-engah saat dia berusaha
menahan tangis yang akan meledak kembali. "Dia sahabat Heidi."
Aku merasa lilitan di perutku makin menguat. "Namanya Jennifer?"
Kathryn mengangguk. Aku menarik napas panjang. Tetap tenang, demi Kathryn.
"Siapa wanita lainnya?"
"Entahlah. Dia belum lama tinggal di sana. Tunggu. Mungkin namanya Alice. Atau
Anne." Degupan jantungku berubah. Va Tuhan. Tidak. "Kamu tahu dari mana asalnya?"
"Dari Utara. Tidak, mungkin dari Eropa. Kadangkadang, dia dan Jennifer berbicara
dalam bahasa asing."
"Apakah menurut perkiraanmu, Dom Owens menyuruh orang membunuh Heidi dan kedua
bayinya" Itukah sebabnya kamu mencemaskan keselamatan Carlie?"
"Kamu tidak mengerti. Bukan Dom. Dia hanya mencoba melindungi kami dan membantu
kami menyeberang." Dia melirikku dengan tajam, seakanakan mencoba menembus
kepalaku. "Dom tidak percaya pada Anti-Kristus. Dia hanya ingin memindahkan kami
keluar dari kekacauan di dunia ini."
Suaranya menjadi gemetaran dan helaan napas memberi penekanan pada setiap
katakatanya. Dia bangkit dan mendekati jendela. "Aku takut pada orangorang yang lain. Wanita itu. Dom hanya ingin kami hidup
selamanya." "Siapa?" Kathryn berjalan mondar-mandir di dapur seperti binatang di dalam kandang,
jarinya memainkan bagian depan kemeja katunnya. Air mata meleleh di pipinya.
"Tapi, tidak sekarang. Sekarang terlalu cepat. Tidak bisa sekarang." Suaranya
memelas. "Apa yang terlalu cepat?"
"Bagaimana kalau mereka salah" Bagaimana kalau tidak tersedia cukup energi
kosmik" Bagaimana kalau tidak ada apa-apa di luar sana" Bagaimana kalau Carlie
mati begitu saja" Bagaimana kalau bayiku mati?"
Lelah. Gelisah. Rasa bersalah. Campuran semua perasaan itu menyeruak dan Kathryn
mulai menangis tak terkendali. Dia mulai terlihat kebingungan dan aku tahu bahwa
aku tidak akan mendapatkan informasi apa-apa lagi darinya.
Kudekati dia, kemudian kupeluk erat. "Kathryn, kamu perlu istirahat. Ayo
berbaring dulu sejenak. Kita akan bicara lagi nanti."
Dia mengeluarkan suara yang tidak bisa kupahami dan membiarkan dirinya kutuntun
ke lantai atas ke kamar tidur tamu. Kuambil handuk dan pergi ke ruang duduk
untuk mengambil ranselnya. Saat kembali, dia sudah berbaring di tempat tidur,
salah satu lengan diletakkan di atas dahinya, mata terpejam, air mata mengalir
membasahi rambut di pelipisnya.
Kutinggalkan ransel itu di atas meja rias dan menutup gorden. Saat kututup
pintu, dia berbicara lirih, dengan mata masih terpejam, bibir hampir tidak
bergerak. Katakatanya membuatku sangat ketakutan, melebihi
katakata lain yang tidak pernah lagi kudengar selama ini.[]
tttT/' eidupan abadi1" Katakata itu yang tepatnya di-J\_ ucapkan wanita itu?"
"Ya." Kupegang telepon sedemikian eratnya sehingga otot di pergelangan tangan
kananku terasa sakit. "Coba ceritakan sekali lagi."
"'Bagaimana kalau mereka pergi dan kami ditinggalkan"' 'Bagaimana kalau aku
menyebabkan Carlie tidak mendapatkan kehidupan abadi"'
"Aku menunggu, sementara Ped mencerna katakata Kathryn. Ketika mengalihkan
telepon ke tangan kiri, bisa kulihat bekas telepon di telapak tangan kananku.
"Entahlah, Tempe. Cukup sulit juga. Bagaimana kita bisa tahu kapan sebuah
kelompok berubah menjadi berbahaya" Beberapa pergerakan agama marginal memang
bisa menjadi sangat ganas. Sementara kelompok lainnya tidak berbahaya sama
sekali." "Apa tidak ada tanda-tandanya?"
Bagaimana kalau bayiku mati"
"Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan tanda. Pertama, sekte itu sendiri,
keyakinan dan ritualnya, organisasinya, dan tentu saja pemimpinnya. Ke mudiari,
ada pengaruh luar. Seberapa besar kebencian masyarakat terhadap para anggotanya"
Bagaimana pandangan masyarakat tentang kehidupan mereka" Dan, sikap
masyarakat itu tidak harus selalu nyata. Bahkan, kesalah pahaman kecil saja
sudah bisa menyebabkan sebuah organisasi menjadi murka."
Dia hanya ingin memindahkan kami keluar dari kekacauan di dunia ini
"Kepercayaan apakah yang mendorong kelompok semacam ini untuk melewati batas?"
"Itulah yang mengkhawatirkanku tentang temanmu itu. Sepertinya dia sedang
membicarakan sebuah perjalanan. Pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan
kehidupan abadi. Itu kedengarannya seperti kiamat."
Dia hanya mencoba melindungi kami dan membantu kami menyeberang,
"Akhir dunia." "Tepat sekali. Hari akhir. Hari pembalasan."
"Itu bukan barang baru. Kenapa pandangan kiamat mendorong terjadinya kekerasan"
Kenapa tidak diam dan menunggu saja?"
"Jangan salah tangkap. Tidak selalu seperti itu. Tapi, berbagai kelompok ini
meyakini bahwa hari akhir pasti datang, dan mereka melihat diri mereka memiliki
peranan kunci dalam berbagai kejadian yang akan terjadi. Mereka adalah
orangorang terpilih yang akan melahirkan dunia baru."
Dia ketakutan karena bayinya tidak akan diakui.
"Jadi, yang berkembang adalah semacam dualism dalam pemikiran mereka. Mereka
termasuk orangorang yang baik, sedangkan orang lain benarbenar sudah bejat,
benarbenar tidak bermoral. Orang luar datang membawa pengaruh jahat."
"Kamu memihakku atau kamu melawanku."
"Tepat sekali. Menurut visi mereka, kiamat akan ditan -
dai dengan kekerasan. Beberapa kelompok akan beralih ke sikap mempertahankan
diri, menumpuk persenjataan dan mendirikan sistem pengintaian yang mutakhir
untuk melawan kejahatan yang akan memburu mereka. Atau para pemuja Setan, atau
apa pun yang mereka lihat sebagai ancaman."
Dom tidak percaya pada Anti-Kristus.
"Keyakinan akan hari kiamat bisa menjadi beringas jika merasuki pemimpin yang
karismatik. David Koresh melihat dirinya sebagai orang yang ditunjuk Tuhan."
"Teruskan." "Begini, salah satu masalah yang dihadapi seseorang yang mengaku nabi adalah dia
harus terusmenerus memperbarui dirinya. Dia tidak memiliki dukungan kelembagaan
untuk mempertahankan kekuasaan jangka panjangnya. Juga tidak ada halangan
kelembagaan mengenai perilakunya. Pemimpin itu mengendalikan semuanya, asalkan
para pengikutnya masih menurutinya. Jadi, orangorang ini bisa sangat beringas.
Dan mereka bisa melakukan apa pun yang ada dalam kekuasaannya.
"Beberapa orang yang paranoid akan menanggapi berbagai ancaman atas kekuasaannya
dengan menjadi diktator yang sangat keji. Mereka mengajukan permintaan yang
semakin aneh, memaksa pengikutnya untuk mematuhinya untuk menunjukkan kesetiaan
mereka." "Misalnya?" "Jim Jones melakukan pengujian keimanan, begitulah dia menamakan ritual itu.
Anggota People's Temple dipaksa menandatangani pengakuan atau dipermalukan di
depan orang banyak untuk membuktikan kesetiaannya. Salah satu ritualnya adalah
mengharuskan orang minum cairan yang tidak dikenalnya. Ketika dikatakan bahwa
cairan itu racun, orang itu tidak boleh menunjukkan rasa takut."
"Bagus sekali."
"Vasektomi adalah salah satu ujian yang paling populer. Ada pernyataan bahwa
pimpinan Synanon mempersyaratkan semua anggota pria untuk melakukan operasi
itu." Heidi seharusnya punya anak dengan Jason.
"Bagaimana dengan pernikahan yang diatur?"
"Jouret dan DiMambro, Jim Jones, David Koresh, Charles Manson. Semuanya
menggunakan perjodohan yang dikendalikan. Diet, seks, aborsi, berpakaian, tidur.
Tidak peduli seaneh apa pun permintaannya. Saat seorang pemimpin membuat
pengikutnya mematuhi peraturannya, maka sebenarnya dia sedang menghancurkan
halangan yang mungkin timbul. Akhirnya, penerimaan yang absolut akan berbagai
perilaku ini membuat mereka terbiasa dengan konsep kekerasan. Awalnya adalah
tindakan untuk menunjukkan kesetiaan, berbagai permintaan yang sepertinya tidak
berbahaya seperti gaya rambut atau meditasi di malam hari, atau bersanggama
dengan sang juru selamat. Kelak permintaan sang pemimpin menjadi semakin
mematikan." "Seperti mendewakan sebuah kegilaan."
"Tepat sekali. Proses itu memiliki manfaat lainnya untuk sang pemimpin. Ia akan
memilah-milah mereka yang komitmennya kurang kuat, karena mereka akan muak dan
kemudian pergi." "OK. Jadi, ada beberapa kelompok seperti ini yang kehidupannya diatur oleh
seorang pemimpin gila. Apa yang menyebabkan mereka bisa menjadi berbahaya di


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu saat tertentu" Kenapa hari ini dan bukan bulan depan,
misalnya?" Tapi tidak sekarang. Sekarang teriaiu cepat.
"Sebagian besar kekerasan biasanya melibatkan apa yang disebut oleh para
sosiolog sebagai 'meningkatnya ketegangan perbatasan'."
"Jangan bicara dengan jargon begitu dong, Red."
"OK. Kelompok semacam ini biasanya mengkhawatirkan dua hal, mendapatkan anggota
dan mempertahankan anggota. Tapi, kalau pemimpin merasa terancam, penekanannya
kadang bergeser. Kadangkadang, pencarian anggota dihentikan dan anggota yang
sudah ada akan diawasi dengan lebih ketat. Permintaan untuk mematuhi peraturan
yang eksentrik mungkin akan meningkat. Tema hari kiamat mungkin akan lebih
sering didengungkan. Kelompok bisa semakin terisolasi dan semakin paranoid.
Ketegangan dengan lingkungan sekitarnya, atau dengan pemerintah, atau pihak
berwajib mungkin akan meningkat."
"Apa yang biasanya mampu mengancam orangorang gila ini?"
"Anggota yang meninggalkan mereka biasanya akan dipandang sebagai pengkhianat."
Pada suatu pagi, karni bangun dan Heidi serta Brian sudah tidak ada.
"Sang pemimpin mungkin merasa dia sudah mulai kehilangan kendali. Atau kalau
sekte itu ada di beberapa tempat, dan dia tidak selalu bisa berada di tempat
itu, dia mungkin merasa kekuasaannya melemah selama dia tidak berada di situ,
Lebih gelisah. Lebih terisolasi. Lebih sewenang-wenang. Lingkaran paranoid. Dan
hanya dibutuhkan faktor eksternal untuk menarik pemicunya."
"Seberapa besar gangguan eksternal itu?" "Macam-macam. Di Jonestown, gangguan
itu hanyalah kunjungan dari anggota senat dan media massa, disertai usaha untuk
kembali ke Amerika dengan membawa sekelompok anggota yang ingin meninggalkan
sekte tersebut. Di Waco, serangan bergaya militer oleh Biro Alkohol, Tembakau,
dan Senjata Api, dan masuknya gas CS, dan bolongnya dinding markas mereka oleh
serudukan tank baja."
"Kenapa harus berbedabeda seperti itu?"
"Hal ini berhubungan dengan ideologi dan pemimpinnya. Padepokan di Jonestown
lebih berbahaya secara internal daripada komunitas di Waco."
Jariku yang memegang gagang telepon terasa dingin.
"Menurutmu Owens memiliki agenda kekerasan?"
"Dia pasti perlu diawasi. Kalau dia menahan bayi temanmu secara paksa, kamu
harus minta bantuan polisi."
"Tidak jelas apakah temanku itu setuju meninggalkan anaknya di sana. Dia sangat
enggan berbicara tentang sekte itu. Dia dibesarkan oleh orangorang itu sejak
berusia delapan tahun. Aku belum pernah melihat orang yang sedemikian
bingungnya. Tapi, kenyataan bahwa Jennifer Cannon tinggal di perkampungan Owens
saat dia dibunuh seharusnya merupakan alasan yang cukup." Untuk sejenak kami
berdua terdiam. "Mungkinkah Heidi dan Brian telah membuat Owens murka?" tanyaku. "Mungkinkah dia
memerintahkan seseorang untuk membunuh mereka dan kedua bayinya?"
"Bisa saja. Dan jangan lupa, dia juga mendapatkan pukulan lain. Sepertinya
Jennifer Cannon telah merahasiakan telepon dari Kanada itu, kemudian menolak
bekerja sama dengan Owens saat rahasianya terbongkar. Dan tentu saja ada kamu."
"Aku?" "Brian menghamili Heidi di luar persetujuan sekte. Kemudian, pasangan itu pergi.
Lalu, ada masalah dengan Jennifer. Kemudian, kamu dan Ryan muncul, ngomong-
ngomong, ada sebuah kebetulan yang aneh juga."
"Apa?" "Anggota senat yang muncul di Guyana. Namanya juga Ryan."
"Beri aku sebuah perkiraan, Red. Berdasarkan apa yang baru kuceritakan ini, apa
yang kamu lihat di bola kristalmu?"
Dia terdiam beberapa saat lamanya.
"Dari apa yang kamu ceritakan kepadaku, Owens mungkin cocok dengan profi I
pemimpin yang karismatik dengan menganggap dirinya sebagai juru selamat. Dan
sepertinya para pengikutnya sudah menerima visi itu. Owens mungkin merasa mulai
kehilangan kendali atas para anggotanya. Dia mungkin melihat penyelidikan yang
kalian lakukan sebagai ancaman terhadap kekuasaannya."
Diam lagi. "Dan Kathryn ini berbicara tentang menyeberang ke kehidupan abadi." Kudengar dia
menarik napas panjang. "Berdasarkan semua itu, kurasa ada kemungkinan besar untuk terjadinya
kekerasan." Kuselesaikan percakapan dengan Red, lalu menghubungi pager Ryan. Sambil
menunggu, aku kembali menggarap laporan Hardaway. Aku baru saja hendak
menariknya dari dalam amplop saat telepon berdering. Kalau aku tidak sedang
gelisah, mungkin aku akan menganggapnya suatu hal yang ajaib. Aku seakanakan
memang tidak ditakdirkan untuk membaca dokumen itu.
"Kamu pasti membentur dinding ketika lari pagi ini," ujar Ryan yang terdengar
kelelahan. "Aku selalu bangun pagi-pagi. Aku kedatangan tamu." "Coba kutebak. Gregory
Peck." "Kathryn muncul pagi ini. Katanya dia menginap di UNCC dan menemukan alamatku
melalui buku alamat kampus."
"Bukan hal yang cerdas untuk mencantumkan alamat rumahmu di situ."
"Memang aku tidak pernah mencantumkannya. Jennifer Cannon pernah tinggal di
padepokan Saint Helena." "Waduh."
"Kathryn tidak sengaja mendengar pertengkaran antara Jennifer dan Owens. Hari
berikutnya Jennifer menghilang."
"Informasi yang bagus, Brennan." "Dan berikutnya lebih bagus lagi."
Kuceritakan bagaimana Jennifer bisa memakai telepon dan persahabatannya dengan
Heidi. Ryan menanggapinya dengan berita hebat yang baru ditemukannya.
"Waktu kamu bicara dengan Hardaway, kamu bertanya kapan saat terakhir kalinya
orang melihat Jennifer Cannon. Yang tidak kamu tanyakan adalah di mana Jennifer
terlihat terakhir kalinya. Ternyata bukan di Calgary. Jennifer sudah lama tidak
tinggal di sana sejak pergi untuk belajar di universitas. Menurut ibunya, mereka
terus berhubungan sampai beberapa waktu sebelum dia menghilang. Kemudian,
panggilan telepon dari putrinya semakin jarang dan saat mereka berbicara,
Jennifer sepertinya semakin menjauh dari ibunya.
"Jennifer menelepon ke rumah pada hari Thanksgiving dua tahun yang lalu,
kemudian menghilang begitu saja. Ibunya menghubungi sekolah, menelepon teman-
teman putrinya, bahkan mendatangi kampus, tetapi dia tidak
pernah tahu ke mana Jennifer pergi. Saat itulah dia melaporkan Jennifer hilang."
"Dan?" Kudengar Ryan menarik napas panjang. "Jennifer Cannon terakhir kalinya terlihat
meninggalkan kampus Universitas McGill." "Tidak mungkin."
"Betul. Dia tidak ikut ujian atau ikut kuliah. Dia tiba-tiba berkemas dan pergi
begitu saja." "Berkemas?"
"Ya. Itulah sebabnya polisi tidak bekerja keras mencarinya. Dia mengepak semua
barangnya, menutup rekening bank, meninggalkan pesan pada pengurus apartemen,
dan menghilang. Tidak ada indikasi penculikan."
Pikiranku membayangkan sesuatu, kemudian menolak untuk bisa melihatnya dengan
lebih jelas lagi. Sebuah wajah berponi. Gerakan yang gugup. Kupaksa bibirku
untuk mengucapkan apa yang kupikirkan.
"Seorang wanita muda lainnya menghilang dari padepokan itu pada saat yang sama
dengan hilangnya Jennifer Cannon. Kathryn tidak tahu namanya karena wanita itu
orang baru." Aku menelan ludah. "Menurut Kathryn gadis itu mungkin bernama
Anne." "Aku tidak mengerti."
"Anna Goyette pernah" aku memperjelas katakataku-"maksudku, Anna adalah ?mahasiswi McGill."
"Anna adalah nama yang umum."
"Kathryn mendengar Jennifer dan gadis ini berbicara dalam bahasa asing."
"Prancis?" "Aku tidak yakin apakah Kathryn mengenal bahasa Prancis."
"Menurutmu korban Murtry yang kedua mungkin Anna Goyette?"
Aku tidak menjawab. "Brennan, hanya karena seorang gadis muncul di Saint Helena, yang mungkin
bernama Anna, tidak berarti ada reuni mahasiswa McGill. Cannon meninggalkan
universitas itu dua tahun yang lalu. Goyette berusia sembilan belas tahun. Dia
belum kuliah saat itu."
"Benar. Tapi semua data lainnya cocok."
"Entahlah. Dan seandainya pun Jennifer Cannon tinggal dengan Owens, tidak
berarti lelaki itu membunuhnya."
"Mereka bertengkar. Gadis itu menghilang. Tubuh nya ditemukan di dalam sebuah
kuburan yang dangkal."
"Mungkin dia suka menggunakan narkoba. Atau, temannya Anne yang terlibat.
Mungkin, Owens menemukan hal itu dan mengusir mereka. Mereka tidak punya tujuan,
jadi mereka memeras rekan bisnisnya. Atau mereka pergi sambil membawa sekantong
narkoba." "Menurutmu, itukah yang terjadi?"
"Begini, yang kita tahu hanyalah bahwa Jennifer Cannon meninggalkan Montreal dua
tahun yang lalu dan tubuhnya ditemukan di Pulau Murtry. Dia mungkin pernah
tinggal sebentar bersama komunitas di Saint Helena. Dia mungkin bertengkar
dengan Owens. Kalau begitu adanya, semua fakta itu bias jadi atau mungkin juga
tidak relevan dengan kematiannya."
"Semuanya cocok dengan pertanyaan tentang keberadaan dirinya selama dua tahun
terakhir ini." "Ya." "Apa yang akan kamu lakukan?"
"Pertama, aku akan menemui Sheriff Baker untuk melihat apakah dia bisa
Geger Di Pangandaran 1 Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Balada Di Karang Sewu 1
^