Pencarian

Balada Di Karang Sewu 1

Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu Bagian 1


BALADA DI KARANG SEWU Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Balada Di Karang Sewu
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Sinar matahari saat ini mulai kemerahan,
menandakan senja mulai datang. Di tepian Hutan
Wonocolo yang cukup sepi, nampak seorang wani-
ta muda berpakaian sudah tak karuan, tengah
berlari-lari ketakutan sambil berteriak dengan na-
pas tersengal. "Tolooong...! Tolooong...!"
Wanita itu terus berlari. Terkadang tubuh-
nya terjerembab ke tanah, karena tersandung batu
atau ranting pohon yang melintang di jalan.
"Auwww...!" pekik wanita muda berparas
cukup cantik ini. Hanya saja mukanya saat itu ko-
tor dan berkeringat
Wanita itu kembali berdiri, dan berlari. Se-
bentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang.
Bibirnya gemetar dan matanya lembab karena te-
rus menangis. Akhirnya, dia masuk ke dalam Hu-
tan Wonocolo yang terkenal angker. Namun karena
sudah kepalang basah dan tak mau menjadi kor-
ban manusia-manusia biadab, dia tak mempeduli-
kan lagi keangkeran hutan ini.
"Oooh... Gusti... lindungi aku, Gusti...," keluh wanita itu diiringi isak
tangisnya. Dia lantas mengusap wajahnya yang kotor
dan berkeringat dengan ujung pakaiannya yang
sudah acak-acakan. Lalu kedua matanya yang bu-
lat bening menyapu sekeliling tempat ini.
"Hah..."!" wanita itu tersentak kaget dan
bertambah gemetaran.
Rupanya dia baru sadar kalau kini berada
dalam hutan yang sepi dan angker. Maka rasa ta-
kutnya semakin bertambah. Wajahnya bertambah
pucat. Tubuhnya nampak semakin lemas. Akhir-
nya dia bersandar di batang pohon yang tumbang,
lalu tertidur lelap. Tubuhnya memang sangat letih
dan lemas. Udara di dalam hutan ini bertambah lem-
bab. Angin berhembus kencang, menggoncang pe-
pohonan hutan. Suaranya bagai hujan menyiram
bumi. Wanita yang sebenarnya bernama Sumarni
masih lelap tertidur, dengan tubuh terkulai lemas.
Di tengah lelapnya Sumarni, tiba-tiba mun-
cul tiga laki-laki dari tiga arah. Mereka berlompatan dari balik rerimbunan
pepohonan dan semak
yang ada di sekitarnya.
Kini ketiganya dengan pongah berdiri men-
gelilingi Sumarni yang masih tidur lelap. Sebagian pakaian bagian atas gadis itu
tersingkap lebar,
membuat mata ketiga lelaki berpakaian kotor ini
berbinar-binar. Dada Sumarni yang membusung
nampak masih kencang dan kuning langsat, mem-
buat liur nafsu seperti akan menetes.
"He heeehhh.... Ini baru enaaakkk!" seru lelaki yang bermata juling sambil
menjulurkan lidah.
Tangan kanannya mengusap-usap perutnya yang
agak buncit. "Weh weh weh...! Ini yang namanya meng-
kel. He he he...," sahut orang laki-laki berkepala panjul. Bibirnya tebal, namun
gigi ompong. Matanya yang sebelah kiri agaknya tak melihat,
hanya ditutupi rompi kumal.
Sementara Sumarni masih tetap tidur pu-
las. Hingga, ketiga lelaki itu cukup lama meman-
dangi keindahan tubuhnya.
"Kalian berdua pegang kedua tangannya.
Sebagai orang yang paling tua, aku dulu yang me-
nikmati santapan ini. Baru setelah aku puas, gili-
ran kalian. Ayo, cepat sana...!" perintah orang yang berkumis tebal. Mukanya
lonjong, dengan tubuh
telanjang dada.
Segera kedua orang yang juling dan buta
sebelah dengan kasar memegangi kedua tangan
Sumarni. Seketika gadis itu terbangun dan menje-
rit-jerit ketakutan. Sementara itu, laki-laki bermu-ka lonjong sudah menindih
dan memaksa Sumarni
untuk diam. Brettt! "Diam...! Atau kubunuh kau...! Heh!" bentak si muka lonjong dengan keras,
setelah merobek
pakaian atas gadis itu. Lalu dengan kasar dan pe-
nuh nafsu, laki-laki bermuka lonjong mencoba
mau mencium dada Sumarni yang membusung
indah menantang.
"Aaaww...! Jangaaan...! Toloong... Jan-
gaaann.... Kasihani aku. Oohh...!"
Sumarni terus menjerit dan berteriak minta
tolong, sambil meronta-ronta. Dan....
Plak! Plak! Karena rasa kesal, laki-laki bermuka lon-
jong langsung menampar wajah gadis itu.
"Aahk...," Sumarni memekik, lalu pingsan.
Maka laki-laki bermuka lonjong dengan le-
luasa mengumbar nafsunya. Namun baru saja la-
ki-laki bermuka lonjong itu akan menggeluti Su-
marni yang sudah pingsan...
Desk, desk! Diawali dengan berkelebatan sosok bayan-
gan, terdengar suara seperti benda terhantam se-
suatu. "Aaaa...!"
Tiba-tiba saja, ketiga orang bermuka rusak
itu menjerit panjang, dengan tubuh terpental jauh.
Lalu tubuh mereka membentur pohon, dan ada
yang masuk semak-semak.
Dan tahu-tahu, di dekat Sumarni telah ber-
diri seorang lelaki muda berpakaian rompi kulit
ular. Rambutnya gondrong sedikit ikal, bertingkah
aneh seperti orang gila. Rupanya, dialah yang me-
nolong gadis malang itu.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus Hutan Yang Ra-
kus. Ayo bangun...!" seru pemuda berpakaian
rompi kulit ular, sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
Satu persatu, ketiga orang muka rusak itu,
bangkit. Dan mereka langsung mengurung pemu-
da itu. "Kurang ajar, Pemuda Edan...! Kau belum tahu, siapa kami ini, hah!"
bentak laki-laki berwajah lonjong sambil menghunus goloknya.
"Rupanya pemuda ini mau mengirim nyawa
pada kita, Sobat," tambah laki-laki juling sambil menyeringai. Dia pun segera
mengeluarkan rantai
berbandul bola berduri.
"Kita habisi saja anak edan ini! Jangan
tunggu lama-lama," sahut laki-laki bermata sebelah dengan geram sambil
mempermainkan tombak
berukuran sejengkal.
Sementara itu, Sumarni mulai sadar. Gadis
ini seketika kaget melihat keadaan sekelilingnya.
Disertai rasa ketakutan, dia berusaha mencari
persembunyian. "Kalian ini manusia-manusia rendah dan
tak tahu diri...!" kata pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena
Manggala alias Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Rasakan golokku ini!" bentak laki-laki muka lonjong sambil
menyerang. Dia langsung menyabet dan menusukkan
goloknya ke arah perut dan kepala Sena. Namun
Pendekar Gila yang hanya meliuk-liukkan tubuh-
nya dengan lentur, berhasil mengelak serangan.
Melihat hal ini laki-laki yang bermata juling,
dan bermata buta sebelah meluruk berbarengan
dari dua arah, dari sisi kiri dan kanan Sena.
"Heaaa...!"
"Heit..!"
Tombak dan rantai berkepala besi bulat
berduri itu mendesing di atas kepala dan pinggang
Sena. Wesss! Zing, zing! Lagi-lagi Sena dengan mudahnya meliukkan
tubuhnya, mengelakkan serangan. Nyatanya me-
mang, ketiga orang itu tak memiliki kepandaian
ilmu silat yang berarti. Mereka hanya mengandal-
kan otot, muka se-ram, dan keberanian saja.
"Heaaa...!"
Kali ini ketiga laki-laki telengas ini menye-
rang berbarengan dari tiga arah. Terpaksa Pende-
kar Gila melenting ke udara, lalu bersalto beberapa kali. Kemudian, tubuhnya
meluruk melakukan serangan balik yang cepat berupa tendangan berun-
tun. Dan.... Bugk, bugk, bugk!
"Aaaw Aww...!"
Ketiga orang itu menjerit terkena tendangan
beruntun Sena yang keras. Kembali ketiganya ber-
gulingan di tanah berumput dan berbatu. Semen-
tara Pendekar Gila sudah mendarat di tanah sam-
bil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Orang-orang ini harus cepat-cepat diberi
pelajaran...," gumam Sena, seperti bicara pada diri sendiri.
Baru saja ketiga laki-laki berangasan ini
bangun dan hendak kembali menyerang, Pendekar
Gila sudah lebih dulu menyerang dengan pukulan
dan tendangan mautnya.
Desk, desk. Bugk, bugk! "Aaawww...!"
Kembali ketiganya menjerit kesakitan den-
gan tubuh terpental. Luncuran tubuh mereka baru
berhenti, setelah membentur batang pohon besar.
Lalu dengan gerakan cepat, Sena melompat
mendekati mereka. Tanpa banyak bicara lagi, dile-
pasnya ikat pinggang kain milik laki-laki bermata
juling. Dan dengan gerak cepat pula, diikatnya ke-
tiga orang itu dengan kain ikat pinggang tadi kuat-
kuat. "Hi hi hi... he he...! Inilah ganjaran bagi orang-orang macam kalian.
Sebentar lagi malam
datang. Dan..., tentunya binatang buas akan me-
nelan kalian hidup-hidup...! Tapi mudah-
mudahan, itu tidak terjadi. Sebab, orang macam
kalian susah dicari. Tak ada duanya! He he he...!"
ejek Sena sambil cengengesan.
Sumarni yang bersembunyi di balik sebuah
pohon dengan berjongkok, masih merasa ketaku-
tan. Tubuhnya tampak terus gemetaran. Apalagi,
ketika Senat mendekatinya.
"Jangan takut. Aku bukan orang jahat...
Ayo, keluarlah. Orang-orang itu tak lagi meng-
ganggumu," ujar Sena, kalem dan polos.
Gadis itu langsung keluar atau beranjak da-
ri tempatnya. Kedua tangannya yang menggeng-
gam di depan dada tampak masih gemetar. Melihat
itu, Sena tersenyum. Lalu tangannya terulur begi-
tu berada dalam jarak dua langkah dari tempat
Sumarni. "Ayo..., kemarilah. Aku akan membawamu
pulang.... Di mana rumahmu?" Sena coba meya-
kinkan Sumarni. "Ayo.... Hari sebentar lagi gelap.
Apakah kau mau tetap tinggal di sini bersama
orang-orang itu...?" Sena kemudian menunjuk ke arah tiga orang yang sudah
terikat. Sumarni menggeleng perlahan. Matanya
lantas melirik ke arah ketiga orang yang tadi hen-
dak memperkosanya. Wajar kalau gadis ini tak be-
gitu saja mempercayai Sena, karena masih diliputi
rasa ketakutan oleh perbuatan orang-orang tadi.
Merasa tak ditanggapi, Pendekar Gila berba-
lik. Lalu kakinya melangkah pura-pura hendak
meninggalkannya....
"Jangan tinggalkan aku...!" seru Sumarni agak ragu, lalu berdiri.
Gadis itu memandang Sena. Sementara,
Pendekar Gila pun berbalik dan tersenyum lebar.
Sumarni mulai bisa tersenyum, membalas senyu-
man pendekar muda ini. Walaupun, senyumnya
nampak hambar. Sena kembali mengulurkan tan-
gan kanannya pada Sumarni.
"Kau masih belum percaya kalau aku orang
baik-baik...?" tanya Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan. Sumarni menatap Sena agak lama, lalu ka-
kinya melangkah perlahan dan hati-hati. Sebentar
gadis itu melihat ke arah tiga orang yang tadi mau memperkosanya. Kini matanya
kembali memandangi Sena dengan sendu.
"Terima kasih..., Kisanak telah menolong-
ku...," ucap Sumarni lemah lembut dan agak tersendat-sendat
"Jangan berterima kasih padaku. Berterima


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasihlah pada Hyang Widhi. Ini semua karena Dia,
sehingga aku yang biasa berpetualang, menjadi
melewati hutan ini. Padahal, aku tak suka lewat
hutan semacam ini. Itulah kuasa Hyang Widhi
yang penuh kasih pada hamba-Nya yang lemah
seperti kau ini...," tutur Sena sedikit ceramah.
Sumarni jadi agak tenang. Dia menghela
napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Seakan, dia telah melepas semua rasa takutnya
yang luar biasa tadi.
Sementara itu, langit semakin memerah.
Sang surya sudah mulai tenggelam di balik bukit.
Sena dan Sumarni sudah meninggalkan Hutan
Wonocolo yang angker.
* * * "Di mana rumahmu" Atau, tempat tinggal-
mu...?" tanya Pendekar Gila pada Sumarni.
"Aku..., aku tak punya tempat tinggal...,"
jawab Sumarni, bernada sedih, sambil terus me-
langkah perlahan di sisi kiri Pendekar Gila.
"Kenapa kau berkata begitu" Apa yang telah
terjadi pada dirimu?" tanya Sena alias Pendekar Gila ingin tahu.
Sementara itu, langit mulai gelap. Dan
bayangan tubuh mereka tampak memanjang.
"Panjang ceritanya...," jawab Sumarni, sambil terisak.
Sena tak bertanya lagi. Dan dia melihat ga-
dis yang berjalan bersamanya masih dalam kese-
dihan. "Hari mulai gelap.... Apakah di dekat sini ada desa atau
perkampungan...?" tanya Sena.
"Ada.... Tapi, desa itu telah hancur."
"Hancur..." Apa maksudmu?" tanya Sena.
"Sengkala Sekti dan orang-orangnya mem-
bakar dan membunuh semua penduduk Desa
Purwantoro. Mereka memiliki gadis-gadis atau pe-
rawan sebayaku, untuk dijadikan tumbal dalam
menuntut ilmu awet muda dan ilmu sesat...," tutur
Sumarni dengan sedih.
Sena menggeleng kepala berulang kali, me-
nandakan sangat tak suka mendengar tindakan
orang yang bernama Sengkala Sakti.
"Kalau begitu kita harus mempercepat per-
jalanan, agar tidak terlalu malam sampai di Desa
Purwantoro. Aku ingin, kau menceritakan semua
kejadian yang menimpamu. Itu kalau kau tak ke-
beratan," ujar Sena sambil menuntun Sumarni untuk mempercepat langkah kakinya.
* * * Angin semilir berhembus di malam yang di-
terangi bulan purnama. Sehingga, membuat jalan
yang dilalui Sena dan Sumarni menjadi sedikit te-
rang. Sehingga keduanya dapat berjalan cepat.
Dan tanpa dirasa Sumarni, Sena sebenarnya
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah
tinggi sambil menuntun gadis ini.
Dalam tempo singkat, Pendekar Gila dan
Sumarni telah tiba di Desa Purwantoro yang sudah
porak poranda, rata dengan tanah. Di sana-sini
tergeletak mayat-mayat tua muda dan anak-anak.
Sementara Sumarni berlari ke satu arah. Sedang-
kan Sena hanya memandangi dengan perasaan
haru. "Sungguh kejam dan biadab Sengkala Sekti.
Kenapa manusia seperti itu masih saja ada...!"
gumam Sena perlahan. Kedua matanya menatap
Sumarni yang mencari-cari mayat kedua orangtua
dan adiknya, di antara puing-puing rumahnya.
Sena mendekati Sumarni yang nampak bin-
gung dan terus menangis.
"Ooh...! Di mana mayat orangtuaku. Ooh
Gusti...," terdengar suara Sumarni begitu memelas. Gadis itu kemudian berlutut
sambil menangis
tersedu. Sena menghela napas dalam-dalam. Ha-
tinya sangat trenyuh melihat nasib gadis itu. Pen-
dekar Gila hanya menatap Sumarni dengan pera-
saan haru, dan sedih.
"Jangan terus menangis, Nisanak..... Tan-
gismu tak akan bisa mengembalikan orangtuamu.
Hmm. Jika memang mereka terbunuh oleh Seng-
kala Sekti dan antek-anteknya, mungkin aku bisa
membantumu. Yang penting kau harus ceritakan
semuanya padaku. Aku berjanji akan mencari
Sengkala Sekti untuk menumpas kekejaman-
nya...," tegas Pendekar Gila.
Sumarni perlahan menoleh ke arah Sena
sambil menghapus air mata. Dipandanginya Pen-
dekar Gila agak lama. Baru gadis berparas ayu
dan lugu ini berdiri perlahan. Sementara isaknya
masih tersisa. Kedua tangannya tak henti-hentinya
mempermainkan ujung kain bajunya yang sudah
kotor dan acak-acakan.
Sena yang melihatnya cepat menghampiri
dan memegang kedua bahunya dengan lembut.
Sumarni lalu kembali menangis dan merebahkan
kepala di dada bidang Pendekar Gila. Dan pemuda
itu pun mendekapnya lembut dengan perasaan
haru. Murid Singo Edan itu memang sangat terha-
ru melihat keberadaan Sumarni.
"Sebaiknya kita istirahat di sana.... Kau tentunya sangat lelah...," ujar Sena,
sambil menunjuk ke salah satu rumah yang masih utuh. Hanya saja,
bagian atapnya sudah sebagian terbakar.
Sumarni mengangguk perlahan. Sena pun
segera membawa Sumarni ke rumah yang seba-
gian hancur itu.
* * * Sumarni yang sudah berada bersama Sena
di rumah bilik yang sebagian terbakar duduk ter-
cenung di pinggir bale-bale yang usang dan reyot.
Sedangkan Sena berdiri tak jauh dari Sumarni
memandang keluar.
Dan malam semakin larut. Angin semilir
berhembus perlahan, menerpa wajah Sena yang
tampan. Murid Singo Edan ini menoleh ke arah
Sumarni. Ditatapnya gadis berparas ayu dan lugu
itu. "Maafkan aku, Tuan Pendekar-... Aku telah merepotkanmu," terdengar suara
Sumarni perlahan agak serak.
"Jangan panggil aku Tuan Pendekar. Pang-
gil saja Sena. Dan, kalau boleh tahu, siapa nama-
mu...?" tanya Sena kemudian.
"Namaku Sumarni...," jawab Sumarni lirih, seraya menundukkan kepala.
"Marni, bisakah menceritakan padaku se-
mua yang kau tahu. Dan, apa sebenarnya yang
membuat orang-orang jahat itu sampai membumi-
hanguskan desa ini, serta membunuh penduduk-
nya?" tanya Sena seraya bersedakep.
Sumarni perlahan mengangkat kepala, ke-
sedihan masih belum hilang pada wanita muda
itu. Wajahnya masih terlihat sendu. Kedua ma-
tanya masih sembab, akibat terus menangis, me-
ratapi nasibnya. Sejenak diusapnya sisa air mata
yang membasahi kedua pipi. Dihelanya napas da-
lam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat
"Hari yang tak dapat kulupakan sampai
ajalku tiba nanti. Kejadiannya begitu mendadak
dan menakutkan...," tutur Sumarni lirih.
Sejenak gadis itu menghela napas panjang.
"Menurut orang-orang, Sengkala Sekti dan
antek-anteknya menyusup ke keluarga besar Ra-
den Panji, lalu bersengkongkol dengan Nyi Ageng."
Mendengar itu Sena mengerutkan kening.
Pendekar Gila nampak terkejut ketika Sumarni
menyebut nama Raden Panji dan Nyi Ageng.
"Siapa Raden Panji itu?" tanya Sena ingin tahu sambil menggaruk-garuk kepala.
"Pewaris tunggal keluarga kaya raya yang
memiliki perkebunan peninggalan orangtuanya
yang bernama Raden Pryogito, orang baik dan bi-
jaksana," jawab Sumarni serak.
"Lebih baik cepat kau ceritakan padaku,
Marni...," pinta Sena. "Mungkin aku bisa menolong. Paling tidak, bisa
mengerti...."
Sumarni menghela napas dalam-dalam.
Pandangannya ke depan, seakan mengenang kem-
bali peristiwa yang menimpa keluarga dan pendu-
duk Desa Purwantoro.
"Saat-saat yang mengerikan itu tiba-tiba sa-
ja terjadi. Hari itu...." Sumarni mulai bercerita.
2 Sebuah pondok dari kayu jati, terletak ter-
pencil di sebuah lembah Cadas Kalangraja. Suasa-
na cukup sunyi, dikelilingi bukit-bukit cadas yang menjulang. Di sana hanya ada
beberapa rumah yang jaraknya terpisah-pisah, agak jauh. Hingga
bila ada kejadian apa-apa, rasanya sukar mencari
bantuan. Siang ini serombongan penunggang kuda
berjumlah delapan orang datang ke pondok kayu
jati itu. Sedangkan lelaki setengah baya pemilik
pondok, sedang mengampak kayu-kayu di hala-
man. Tubuhnya agak kurus dan berkumis tipis.
Matanya cekung. Keringat tampak membasahi se-
luruh tubuhnya yang bertelanjang dada.
"Hah..."!" gumam lelaki setengah tua pemilik pondok ketika melihat delapan orang
berkuda menuju ke arahnya. Kuda-kuda itu kemudian ber-
henti di hadapannya. Dua diantaranya adalah
orang laki-laki berambut jagung, dengan seragam
kompeni. "Haei, kau...!" bentak salah seorang yang bermuka persegi. Matanya besar.
Hidungnya pesek, ditumbuhi kumis lebat.
"Oh! Selamat siang, Tuan-tuan. Ada sesuatu
yang tuan-tuan perlukan dariku?" tanya lelaki setengah baya itu dengan sopan
sambil menyeka ke-
ringat di keningnya.
"Ya! Kau tentunya melihat lelaki berpakaian
gembel lewat di sini. Atau, dia kau sembunyi-
kan..."!"
"Laki-laki..."! Aku sejak tadi tak melihat
seorang pun lewat di sini, Tuan," jawab lelaki setengah baya yang sebenarnya
bernama Ki Kobar.
Dari dalam gubuk, muncul seorang perem-
puan. Dia adalah istri Ki Kobar. Wajahnya tampak
ketakutan, berdiri di dekat pintu sambil meman-
dang keluar. Sementara itu di balik bebatuan cadas,
nampak seorang gadis berlari-larian dengan wajah
ceria. Namun ketika melihat ke depan pondok ada
serombongan orang berkuda, mendadak wajahnya
berubah tegang. Lalu cepat-cepat dia bersembunyi
di balik batu cadas, memandang ke arah pondok.
"Siapa mereka..." Hah..."! Ada Walanda (Be-
landa)"!" gumam gadis itu lirih, nampak wajahnya makin tegang dan cemas.
Gadis itu melihat Ki Kobar kini semakin
cemas menghadapi pertanyaan orang-orang berke-
lakuan keras dan kasar.
"Kowe jangan bohong, ya! Nanti bisa digan-
tung kowe orang...!" hardik Letnan Yansen dengan mata melotot.
"Ya! Jejaknya jelas, menuju ke sini! Letnan!
Geledah saja seluruh gubuk ini...!" perintah seorang lelaki berpakaian seragam
dan berpangkat kapten. Itulah Kapten Simon.
Segera mereka berlompatan turun dari atas
kuda masing-masing. Dan dengan gerakan cepat
pula, mereka terus memeriksa ke dalam pondok.
"Minggir...!" bentak salah seorang sambil mendorong istri Ki Kobar dengan kasar.
Seketika wanita setengah baya itu ter-
huyung hampir jatuh. Tubuhnya semakin gemeta-
ran, dengan wajah pucat. Sedangkan Ki Kobar
hanya bisa menahan diri, sambil memandang pa-
srah. Mereka mengobrak-abrik apa saja yang ada
di dalam gubuk itu. Bahkan juga memeriksa kan-
dang kambing dan ayam, hingga piaraan Ki Kobar
lari berhamburan.
"Bajingan itu tak ada, Kapten...!" seru Lentan Yansen begitu kembali ke halaman
depan gu- buk Ki Kobar. Kapten Simon tersenyum dingin. Matanya
lalu mengamati sekelilingnya. Tiba-tiba pandan-
gannya terhenti pada suatu gubuk lain, yang lebih
mirip sebuah gudang. Sebuah gubuk berdinding
kayu, yang letaknya tak jauh dari gubuk Ki Kobar.
"He he he! Benar kamu tidak bohong, Pak
Tua..."!" desak Kapten Simon, sinis. "Sengkala Sekti! Coba periksa gubuk yang di
sebelah sana...!"
Tanpa banyak bicara lagi laki-laki berhi-
dung pesek dan berkumis tebal yang bernama
Sengkala Sekti segera melangkah ke arah gubuk
yang menyerupai gudang, diikuti lima anak buah-
nya. Sementara di balik batuan, gadis ayu yang
tadi mengintip dengan perasaan cemas, kini sema-
kin tegang. Keningnya tampak mulai berkeringat,
karena menahan rasa takut dan khawatir akan
keselamatan Ki Kobar dan istrinya.
Sementara itu Sengkala Sekti dan kelima
anak buahnya sudah mendobrak pintu gubuk.
Brakkk! Dengan isyarat tangan kanan Sengkala Sek-
ti memerintahkan anak buahnya segera memerik-
sa dan menyebar. Langsung saja kelima anak
buahnya memeriksa sambil menusuk-nusuk
ujung golok pada jerami yang di gudang itu.
Srakk! Srakkk! Ujung golok terus menusuk-nusuk apa saja


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dianggap mencurigakan. Dan pada saat itu-
lah salah satu ujung golok sempat menyerempet
sesuatu.... "Ehk...!"
Terdengar suara pekikan tertahan, mem-
buat Sengkala Sekti yang memiliki pendengaran
peka, jadi tersenyum cerah.
"Hei! Gembel...! Jangan bersembunyi seperti
Tikus Busuk di situ! Keluar! Kau tak akan bisa lari lagi.... Cepat keluar atau,
aku sendiri yang mengu-liti tubuhmu...!" seru Sengkala Sekti, lantang
menggelegar. Selesai bicara begitu, Sengkala Sekti segera
memerintahkan anak buahnya untuk segera
menghabisi sosok yang bersembunyi itu.
"Heaaa...!"
Serempak kelima orang itu menyerbu sam-
bil menusukkan golok ke arah tempat yang dicuri-
gai Jlep, jlep, jlep!
Srakkk! Tiba-tiba sesosok tubuh melenting ke atas.
Setelah berputaran beberapa kali, kakinya menda-
rat di atas sebuah peti. Dan Sengkala Sekti yang
sudah menunggu, cepat melepaskan senjata raha-
sia ke arah sosok lelaki berpakaian compang-
camping berusia sekitar tiga puluh enam tahun
yang baru menjejakkan kakinya.
"Huh...!"
Zettt, zeettt! Seketika benda-benda tajam berbentuk segi
tiga, muncul deras ke arah lelaki berpakaian gem-
bel itu. Namun dengan gerakan cepat dia melom-
pat ke samping, menjebol dinding gudang.
Brakkk! Serentak kelima buah anak buah Sengkala
Sekti berhamburan keluar. Dan dengan cepat me-
reka mengurung lelaki gembel itu.
Tak jauh dari situ Kapten Simon dan Letnan
Yansen menyaksikan sambil tertawa-tawa.
"He he he.... Pak Tua! Kau ternyata bohong,
sheg! Kamu orang digantung! Penjahat gembel itu telah membunuh banyak anak
buahku...! Dan, telah merampok harta kami!" seru Kapten Simon,
seraya berpaling ke arah Letnan Yansen. "Tangkap orang ini, Letnan!"
Segera Letnan Yansen meringkus Ki Kobar.
Laki-laki tua itu coba melawan. Namun tanpa
mengenal perikemanusiaan, Letnan Yansen yang
bermuka lonjong berkumis tebal dan hidung man-
cung, segera memukul kepala Ki Kobar dengan ga-
gang pedangnya.
Desk! "Aaakh...!" Ki Kobar memekik kesakitan, la-
lu roboh dengan kepala berdarah.
"Kakang...!"
Istri Ki Kobar menjerit Langsung dia meng-
hambur ke arah suaminya yang terkapar di tanah
sambil memegangi kepala.
"Kakang...! Ooh! Kalian jahat..! Jangan siksa suamiku...!" Istri Ki Kobar yang
bernama Nyi Kanti menangis dan memohon pada Letnan Yansen agar
tidak memukuli suaminya.
"Hah ha ha...! Kau perempuan tua, juga tu-
kang bohong, yaa!" bentak Letnan Yansen. Langsung ditendangnya Nyi Kanti, hingga
memekik ke- sakitan dan terus menangis.
Sementara itu, gadis yang bersembunyi di
balik batuan cadas, tak berani membantu atau
berbuat sesuatu. Namun ada juga rasa ingin ber-
tindak. Hanya saja, belum bisa dilakukannya saat
ini. Dia hanya bisa menahan sedih dan menangis.
"Ooh, Gusti lindungi mereka...," gumam gadis itu lirih, memohon pada Hyang
Widhi, agar memberi perlindungan pada Ki Kobar dan Nyi Kan-
ti. Di lain tempat, nampak lelaki gembel itu
terdesak oleh kelima anak buah Sengkala Sekti
yang dengan ganas ingin menyudahi. Namun ru-
panya lelaki berpakaian compang-camping itu
memiliki ilmu silat cukup lumayan.
"Heaaatt..!"
"Heaaa.... Huop!"
Pukulan dan sabetan golok kelima anak
buah Sengkala Sekti mendesing, membabat ke
arah kepala dan kaki lelaki gembel itu. Namun ge-
sit sekali lelaki itu mengelak, dengan melenting.
Terkadang dia melakukan serangan balik yang cu-
kup dahsyat, membuat kelima lawannya sempat
tersentak kaget. Bahkan dua diantaranya terkena
tendangan dan hantaman tongkatnya.
Bug! Bug! "Aaakh...!" terdengar jeritan kedua anak buah Sengkala Sekti.
Sengkala Sekti yang sudah tak sabar lagi,
segera turun tangan. Dengan tenang lelaki bertu-
buh tegap dan garang itu melangkah ke depan
sambil memberi isyarat agar anak buahnya ming-
gir. Dan tanpa banyak bicara lagi, segera dilancarkannya serangan cepat ke arah
lelaki gembel itu.
"Heaaa...!"
"Hop...!"
Lelaki itu melompat dan berputaran di uda-
ra. Melihat itu, Sengkala Sekti tak membuang wak-
tu lagi. Sebelum lelaki gembel itu mendaratkan
kakinya di tanah, dengan cepat dipapakinya se-
rangan dengan melontarkan senjata rahasia.
Jlep, jlep, jlep!
Jeritan panjang keluar dari lelaki gembel
itu. Ketika jeritan itu hilang, yang terdengar hanya suara ambruknya tubuh
lelaki gembel di tanah.
Tanpa bernyawa lagi.
Tampak Sengkala Sekti menyeringai puas.
"Bawa mayat gembel itu, cepat," perintah Sengkala Sekti pada anak buahnya.
Segera dua anak buah laki-laki berhidung
pesek ini menyeret mayat lelaki gembel itu.
Sementara itu gadis yang tengah bersem-
bunyi seperti mendapat keberanian. Dan menda-
dak, dia keluar dari tempat persembunyiannya, la-
lu berlari sambil berteriak nyaring. Gadis yang tak lain Sumarni bagaikan
kesetanan. Dan sekejap sa-ja dia sudah berada di dekat Kapten Simon. Dan
tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba dihajarnya ke-
pala Kapten Simon dengan kayu.
Prakkk! "Aaakh...!"
Kapten Simon menjerit dan jatuh dari atas
kuda. Sedangkan Letnan Yansen yang sedang
mengikat Ki Kobar dan Nyai Kanti, kaget bukan
main melihat kejadian itu. Tampak tubuh Kapten
Simon tak bergerak, dengan kepala mengeluarkan
darah. Pada saat itu pula, Sumarni yang sudah se-
perti kemasukan roh, makin kalap. Dia menyerang
Letnan Yansen yang masih terbengong melihat
kemunculan gadis itu yang tiba-tiba.
"Kau harus menerima ini, Belanda Kepa-
rat...!" Sumarni dengan geram mengambil kapak yang menancap di batang kayu. Lalu
cepat diham-pirinya Letnan Yansen yang berusaha mencabut
senjata api. Namun Sumarni lebih cepat men-
gayunkan kapak ke arah kepala letnan bermuka
bengis itu. Crasss! "Aaaakh...!" Letnan Yansen memekik pen-
dek. Kepalanya kontan terbelah dua dihantam ka-
pak. Tubuhnya langsung ambruk dan tewas seke-
tika. Sedangkan Sumarni segera tertawa-tawa
puas. Sumarni kini, berusaha melepas ikatan Ki
Kobar dan Nyi Kanti.
Keadaan Ki Kobar memang sudah parah.
Darah tampak terus mengucur dari kepalanya.
Wajahnya makin pucat. Sedangkan napas Nyi
Kanti pun sudah kelihatan sesak, akibat tendan-
gan keras Letnan Yansen yang mengenai dadanya
tadi. "Kurang ajar...! Biadab...!" rutuk Sumarni, geram. "Paman, Bibi.... Jangan
tinggalkan aku....
Ooh, Gusti... Tolonglah mereka. Jangan ambil
nyawa mereka...."
Sumarni yang sudah kembali seperti sedia-
kala, menangis sambil tertelungkup memeluk tu-
buh paman dan bibinya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa Sengkala
Sekti yang mengejutkan Sumarni. Tahu-tahu saja,
Sengkala Sekti sudah berada di belakang gadis itu.
Sumarni cepat berbalik. Tangannya cepat meraih
kapak yang ada di dekatnya.
"Bajingan...! Kau rupanya antek Belanda...!"
dengus Sumarni sambil berdiri dan mengancam
Sengkala Sekti dengan kapak.
Sengkala Sekti hanya tersenyum nakal
sambil mengusap-usap jenggotnya.
"Hei, Gadis Ayu! Lebih baik kau menurut,
dan tidak berbuat macam-macam. Hidupmu akan
enak. Biarlah si Tua Bangka itu mampus. Kau se-
baiknya ikut aku.... Kebetulan, aku belum punya
istri. He he he...! Bagaimana"!" kata Sengkala Sekti
dengan pandangan mata seperti kelaparan, meli-
hat wajah cantik bertubuh menggiurkan itu.
"Phuih...!"
Sumarni meludah. Lalu dia cepat men-
gayunkan kapak ke arah Sengkala Sekti. Namun
dengan mudahnya laki-laki itu memiringkan kepa-
lanya ke samping kiri dan kanan. Dan dengan ge-
rakan cepat pula dipegangnya tangan kanan Su-
marni yang menggenggam kapak. Lalu secepat itu
pula direbut dan dibuangnya. Belum sempat gadis
itu menyadari apa yang terjadi, Sengkala Sekti te-
lah cepat merangkul Sumarni kuat-kuat. Sehingga
membuat gadis itu tak bergerak lagi.
"Lepaskan aku! Lepaskan...! Bangsat!
Ooh...," teriak Sumarni. Namun Sengkala Sekti tak mempedulikannya. Dan
rangkulannya makin di-perketat, hingga Sumarni tak bisa bergerak lagi.
"Habisi Tua Bangka itu, cepat...!" perintah Sengkala Sekti kemudian.
Pada saat itu, Sengkala Sekti merasa Su-
marni yang tiba-tiba diam akan menurut dan tak
bertenaga lagi. Namun tiba-tiba, gadis itu beron-
tak. Digigitnya lengan Sengkala Sekti. Lalu diha-
jarnya kemaluan laki-laki yang sempat lengah itu.
"Aaawww...!"
Sengkala Sekti menjerit kesakitan. Rangku-
lannya mengendor, sehingga Sumarni lolos. Gadis
itu langsung berlari kencang bagai kemasukan se-
tan. Kelima anak buahnya yang hendak meng-
habisi Ki Kobar dan Nyi Kanti kaget. Dan mereka
lalu mengejar Sumarni. Namun, gadis itu sudah
tak kelihatan. Sengkala Sekti yang masih kesakitan, men-
jadi marah-marah pada anak buahnya.
"Bodoh...! Mengejar gadis seperti itu saja,
tak becus! Lebih baik potong burung kalian...!"
Sementara itu, Kapten Simon yang sudah
siuman, berusaha bangun. Tangan kirinya terang-
kat ke atas meminta tolong pada Sengkala Sekti
yang berada tak jauh dari itu.
"Akh...! Tolong aku...," ujar Kapten Simon, serak. Wajahnya tampak pucat
Sengkala Sekti mendekat seakan ingin me-
nolong Kapten Simon. Namun begitu sudah dekat,
kapten itu malah dicekik. Langsung dipatahkan
leher kapten Belanda ini.
Krettt! Seketika kapten bengis ini mati.
"Ha ha ha...! Ternyata Belanda ini bodoh ju-
ga! Masih bisa kuperdaya. Ha ha ha...! Kini aku lebih leluasa melakukan apa
saja. Dan tujuanku....
Masuk dalam keluarga Raden Panji. Ha ha ha!"
Lalu Sengkala Sekti melangkah pergi diikuti
oleh anak buahnya. Mencari Sumarni.
* * * "Berhari-hari aku keluar masuk hutan.
Sampai akhirnya aku tiba di sebuah desa kecil. Di
situlah aku bertemu dengan satu keluarga yang
menolongku...."
Sumarni menghentikan ceritanya. Dihe-
lanya napas panjang. Sementara Sena alias Pen-
dekar Gila sangat terharu mendengar cerita wanita
ayu itu. "Lantas, bagaimana kelanjutannya" Sebe-
narnya, di mana dan siapa orangtuamu?" tanya
Pendekar Gila kemudian dengan suara kalem.
"Sejak umur dua tahun, aku tinggal bersa-
ma paman dan bibiku, Ki Kobar dan Nyai Kanti.
Aku sangat kehilangan setelah mereka dibunuh
Sengkala Sekti. Ke mana lagi aku berteduh. Sam-
pai sekarang, aku belum tahu siapa sebenarnya
orangtuaku...," keluh Sumarni sedih. Kembali air matanya menetes membasahi kedua
pipinya yang halus. Sena memandangi dengan perasaan haru.
Lalu ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya pelan-pelan.
"Lalu, bagaimana kau tahu kalau Sengkala
Sekti saat ini sedang menyusup dan bersekongkol
dengan Nyi Ageng. Dan, mengapa dia menghan-
curkan Desa Purwantoro...?"
Sumarni tak menjawab cepat. Gadis ini ma-
sih terisak-isak dalam tangisnya. Perlahan kepa-
lanya diangkat dan ditatapnya Sena.
"Orangtua angkatku yang bekas abdi ke-


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luarga Raden Panji, pernah bermaksud mengga-
galkan maksud jahat Sengkala Sekti. Tapi, karena
kepandaian ayah angkatku tak setinggi Sengkala
Sekti, maka usahanya sia-sia. Apalagi, Nyi Ageng
mengaku kalau Sengkala Sekti masih pamannya.
Makanya Sengkala Sekti yang tak mau kebusukan
dan rencana busuknya tercium, tanpa sepengeta-
huan siapa-siapa menghabisi penduduk Desa
Purwantoro serta para penentangnya. Dan aku
yang sempat tertangkap lagi, akan diperkosanya.
Kembali aku dapat lolos, dengan bantuan seorang
lelaki setengah baya yang memiliki ilmu silat lu-
mayan. Namun itu tak lama, lelaki itu mati di tan-
gan Sengkala Sekti dan anak buahnya."
Sumarni menghentikan ceritanya seraya
menarik napas sejenak.
Sementara Sena mengangguk-angguk per-
lahan, lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Asyik juga mendengar cerita wanita ayu
ini...," gumam Sena perlahan. "Lantas, bagaimana...?" "Ya..., aku akhirnya
berlari tak tentu arah.
Sampai akhirnya..., kau menyelamatkanku."
Sejenak Sumarni menghentikan ceritanya.
Dipandanginya Sena yang berwajah tampan agak
lama. "Sebenarnya aku masih mempunyai sauda-
ra kem...."
Belum sempat Sumarni melanjutkan uca-
pannya, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang
menuju ke arah gubuk. Segera mereka berdiri dan
memandang ke arah datangnya suara.
"Cepat kita sembunyi," ujar Sena seraya
menarik lengan Sumarni.
Pendekar Gila dengan gerakan cepat dan
lincah membawa gadis itu bersembunyi di balik
semak-semak yang ada di sekitar tempat itu.
Tampak serombongan orang berkuda melin-
tas di hadapan gubuk yang mereka tinggali. Lalu
rombongan itu berhenti di ujung desa yang sudah
hancur lebur ini. Namun kemudian, mereka kem-
bali pergi melanjutkan perjalanan.
"Kau mengenal mereka...?" tanya Sena pada Sumarni.
"Aku belum pernah mengenal mereka. Tapi
kalau melihat pakaiannya, kalau tak salah adalah
orang-orang Sengkala Sekti," jawab Sumarni dengan suara perlahan seperti
berbisik. Sena menghela napas lega. Segera diajak
Sumarni bangkit. Namun wajah gadis itu tiba-tiba
berkeringat. Pucat.
"Kenapa kau, Marni..." Sakit...?" tanya Sena kaget Segera Pendekar Gila
menggotong Sumarni
yang tiba-tiba lemas. Lalu merebahkan gadis itu di tanah dalam rumah gubuk yang
sebagian sudah terbakar. Sena segera mengeluarkan obat dari sebuah
kantong kecil di pinggangnya.
"Makan ini, mudah-mudahan kau bisa ce-
pat pulih dan sembuh," ujar Pendekar Gila.
Sena memberikan obat berbentuk bulat pa-
da Sumarni. Gadis itu segera menelannya, sambil
memejamkan kedua matanya.
Dan Pendekar Gila hanya tersenyum me-
mandangi Sumarni yang sedang mengunyah obat
pemberiannya. "Kau tentunya lapar. Tunggulah di sini. Aku
akan mencari buah-buahan untukmu. Jangan ke
mana-mana...," ujar Sena ketika menyadari kalau Sumarni pasti sedang lapar.
Sena segera bangkit berdiri. Dan hanya se-
kali melesat saja, dia sudah meninggalkan Sumar-
ni. Sedangkan gadis itu memandangi dengan se-
nyum manis. Beberapa saat setelah kepergian Pendekar
Gila, kesehatan Sumarni mulai pulih. Dia mulai
duduk, lalu berdiri. Wajahnya nampak sedang
berpikir, menimbang sesuatu.
"Aku tak ingin menyusahkan orang lain.
Aku harus pergi.... Tapi, pemuda itu tampan dan
berbudi luhur. Tegakah aku harus meninggalkan-
nya?" kata Sumarni dalam hati.
Gadis ayu itu nampak mulai gelisah dan
cemas. Pikiran dan perasaannya jadi bercabang
dua. Di satu sisi dia akan membalas dendam den-
gan caranya sendiri, sekaligus mencari tahu ten-
tang saudara perempuannya. Dan di sisi lain, ha-
tinya sangat berat meninggalkan Sena yang telah
menolong jiwanya.
"Dosakah aku kalau meninggalkan orang
yang telah menolong jiwaku" Tapi, aku tak suka
bila orang lain harus ikut menanggung urusan
pribadiku. Aku harus pergi. Ya, pergi mencari il-
mu, mencari seorang guru yang sakti. Agar, cita-
citaku terwujud. Dan aku harus dapat membunuh
Sengkala Sekti!" tekad Sumarni dalam hati.
* * * Sementara itu Sena sedang dalam perjala-
nan ke gubuk. Pendekar Gila kini sudah membawa
buah-buahan yang diambil dari kebun agak jauh
dari tempat itu. Dengan wajah ceria dan cengenge-
san, kakinya terus melangkah cepat disertai ilmu
meringankan tubuh. Sebentar saja, dia sudah tiba
di depan gubuk.
Namun alangkah terkejutnya Sena, ketika
memasuki gubuk ini.
"Marni..."! Sumarni..."!" seru Sena sambil
mencari-cari gadis ayu itu ke sekeliling tempat.
"Waouw...! Mati aku. Hilang...! Mungkinkah orang-orang berkuda tadi kembali dan
menemukan Su- marni, lalu mereka membawanya..."! Aah... tak
mungkin." Dengan kesal Pendekar Gila memakan
buah-buahan itu sendiri sampai habis. Sementara
hari semakin sore. Sena yang putus asa mencari
Sumarni, kembali berpikir.
"Aha...! Kalau aku diam di sini terus, tak
mungkin bisa menemukan Sumarni. Aku harus
mencari sampai dapat. Kalau tidak, aku berdosa,"
kata Sena bicara pada diri sendiri.
Maka pemuda tampan murid Singo Edan
itu segera meninggalkan tempat ini.
3 Di pagi buta ini, Sena Manggala alias Pen-
dekar Gila sudah menyusuri bukit dan lembah.
Tak lupa, dimainkannya Suling Naga Sakti, men-
galunkan lagu merdu yang enak didengar. Paling
tidak dengan demikian rasa kesalnya sedikit ber-
kurang karena tak menemukan Sumarni.
Alunan suara suling Sena terdengar sangat
merdu, seakan mengiringi pagi yang indah dan ce-
rah ini. Perlahan-lahan mentari yang sinarnya ma-
sih kemerahan muncul dari balik gunung, me-
nambah suasana sangat menyejukkan. Angin yang
berhembus dingin, membawa alunan suara suling
hingga terdengar sayup-sayup merdu.
Merasa telah lelah berjalan, Pendekar Gila
menghentikan langkahnya. Dan dia segera duduk
di atas sebuah batu besar, sambil terus meniup
suling penuh perasaan. Burung-burung dan bina-
tang lain yang mendengar tiupan sulingnya seakan
ikut berdendang dan bersuka ria. Begitu juga
orang yang mendengarnya. Mereka seperti menca-
ri-cari suara suling yang mengalun merdu itu.
Tak lama, tiba-tiba murid Singo Edan ini
kembali berdiri. Perlahan-lahan, tiupan suling mu-
lai berhenti. Dan tahu-tahu, tubuhnya melesat
pergi setelah memandang sekelilingnya itu.
Sementara mentari semakin tinggi. Dan si-
narnya yang keemasan, mulai berubah menjadi
keperakan. "Uh...! Ke mana aku harus mencari Marni"
Wanita aneh! Tapi mungkinkah Marni diculik"
Atau.... Aah! Kenapa aku mesti bertanya-tanya pa-
da diriku. Lebih baik ikuti saja langkah kakiku.
Siapa tahu, menemukan jejak...," gumam Sena
sambil terus mengayunkan kakinya, dengan ting-
kahnya yang kocak seperti orang gila.
* * * Sementara itu, di Hutan Rawanca dua
orang lelaki berpakaian rompi warna hitam dan
berikat kepala batik tampak tengah menggotong
sebuah tandu yang dikawal seorang lelaki berumur
sekitar empat puluh tahun. Laki-laki setengah
baya itu masih tegap. Pandangan matanya sangat
tajam, menunjukkan kecerdasannya. Langkahnya
mantap, bagai seorang pendekar menyusuri jalan
setapak Hutan Jati yang sunyi dan berkabut ini.
Di dalam tandu, duduk seorang wanita mu-
da yang cantik dan sedang hamil tua. Wajahnya
yang pucat berkerinyut karena menahan sakit pa-
da perutnya yang membusung, tampak dibasahi
keringat yang terus mengucur. Perempuan itu ter-
kadang merintih.
Sementara lelaki yang mengawal di samping
tandu, wajahnya pun menjadi cemas. Kumis tipis
yang menghiasi wajahnya juga mulai berkeringat.
Namun kedua matanya masih tetap tajam, me-
mandang ke sekitar hutan yang kelihatan sangat
angker dan rawan.
"Mang...! Mang Jarot! Berhenti dulu,
Mang...!" ujar perempuan yang ada dalam tandu.
Suaranya terdengar lemah dan agak serak.
Laki-laki setengah baya yang dipanggil
Mang Jarot, tentu saja mendengar suara wanita
itu. Segera diberinya tanda kepada dua pengusung
tandu untuk berhenti dengan mengangkat tangan
kirinya ke atas. Lalu Mang Jarot mendekati tandu.
"Ada apa, Nyi Ranti?" tanya Mang Jarot penuh hormat
"Perutku, Mang.... Sakit sekali. Rasanya aku
tak kuat lagi.... Sudah dekat rasanya, Mang...," ke-
luh wanita di dalam tandu yang dipanggil Nyi Ran-
ti dengan wajah penuh keringat menahan mulas di
perutnya. Memelas sekali!
"Kuatkan, Nyi. Kita akan berhenti di rumah
penduduk nanti," ujar Mang Jarot, sedikit cemas.
Lelaki kepercayaan Raden Panji itu nampak sangat
khawatir terhadap keadaan istri juragannya.
Tandu mulai bergerak jalan lagi, setelah
Mang Jarot memberi aba-aba.
Rombongan ini telah sampai di perbukitan
yang suasananya sunyi. Dan ini membuat Mang
Jarot nampak waspada. Di lereng bukit yang dile-
wati, semakin terasa mencekam. Mata laki-laki se-
tengah baya itu menatap tajam sekeliling. Seper-
tinya dia memberi aba-aba agar petandu memper-
lambat langkahnya.
Baru mereka menuruti aba-aba Mang Jarot,
tiba-tiba saja dari atas bukit bergelindingan batu-batu. Mang Jarot yang sudah
menyadari apa yang
terjadi segera memberi aba-aba lagi, untuk berhen-
ti. Dan seketika itu pula sepasang trisulanya yang terselip di pinggang dicabut.
Matanya tajam menyapu ke atas lereng bukit, siap menghadapi sega-
la kemungkinan.
"Perampok"!" gumam Mang Jarot geram.
Memang, dari atas bukit dan lereng sudah
berlompatan enam orang sambil berteriak bersen-
jatakan golok dan kelewang. Demikian pula dari
balik pohon. Tampak empat orang langsung me-
nyerang ke arah Mang Jarot.
"Heaaat..!"
"Perampok-perampok Keparat...!" gumam
Mang Jarot geram sambil mengelak bacokan dan
tusukan para perampok.
Pertarungan tak dapat dihindari. Dan kini
mulai terdengar jeritan dan teriakan. Dua jeritan
menyayat terdengar dari mulut dua pengusung
tandu yang tewas tersambar golok dan kelewang
para begal. Sementara Mang Jarot dengan berani
berkelebat di antara sambaran senjata lawan-
lawannya. Tubuhnya terkadang melenting ke uda-
ra, kemudian cepat melakukan serangan balik.
"Aaaa...!"
Dua orang perampok menjerit dan roboh
dengan dada dan leher sobek, terkena sabetan dan
hantaman trisula laki-laki setengah baya ini.
Melihat dua temannya roboh dan tak berku-
tik lagi, delapan begal lainnya semakin ganas men-
geroyok Mang Jarot
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
"Kepung...!" seru salah seorang begal. Dengan gerakan cepat, mereka mengepung
Mang Ja- rot, dan langsung menyerang dan membabatkan
golok serta kelewang.
Mang Jarot dengan cepat memutar trisu-
lanya menangkis gesit setiap serangan lawan. Kea-
daan laki-laki setengah baya ini agaknya mulai
terdesak. Memang walaupun kepandaian Mang Ja-
rot lebih tinggi, tapi karena dikeroyok begitu, mau tak mau dia menjadi
kewalahan juga. Malah pada
satu kesempatan, "Aakh...!" Mang Jarot memekik pendek.
Beberapa bacokan sempat mengenai tubuh
Mang Jarot yang benar-benar gagah berani, teru-


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tama dalam melindungi istri juragannya di dalam
tandu. Namun laki-laki setengah baya itu tak
mampu berbuat apa-apa ketika tiba-tiba sebatang
tombak meluncur menembus tandu.
"Aaaakh...!"
Terdengar jeritan Nyi Ranti, membuat Mang
Jarot jadi kaget dan gugup. Namun lelaki berilmu
silat cukup lumayan ini masih sempat menghajar
dua begal sekaligus dengan trisulanya.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan dua begal. Tubuh
mereka roboh dengan darah muncrat dari leher
dan perut Namun pada saat perhatian Mang Jarot ter-
bagi dua, karena khawatir keadaan Nyi Ranti, tan-
pa dapat dielakkan sebuah golok menusuk ke arah
pinggang. "Aaakh...!"
Masih untung, dia hanya tergores tak begitu
dalam. Tubuh Mang Jarot terhuyung ke belakang
beberapa tombak, sambil memegangi pinggangnya
yang terluka. Sementara, pimpinan pembegal yang wa-
jahnya tertutup kain hitam menjadi geram melihat
keadaan Mang Jarot. Dan tanpa sabar lagi, kemba-
li dia menyerang sambil membabatkan goloknya ke
bahu Mang Jarot
Wesss! Namun Mang Jarot cepat mengelebatkan
trisulanya, menangkis. Malah laki-laki setengah
baya itu cepat berusaha menyerang balik.
Wutt, wuttt! "Heaaat..!"
Mendadak saja Mang Jarot melenting ke
atas. Dan dengan gerakan cepat trisula di tangan-
nya dikelebatkan ke wajah laki-laki bertopeng itu.
"Aakh...!" orang bertopeng itu memekik kaget. Ujung trisula Mang Jarot berhasil
merobek to- pengnya. Sekaligus, menyayat wajah pemimpin ini.
"Kau, Gondam!" seru Mang Jarot kaget keti-ka mengenali wajah orang yang ternyata
antek Nyi Ageng dan Sengkala Sekti.
Namun Gondam tak menjawab. Malah tan-
pa basa-basi lagi goloknya dibabatkan ke arah
Mang Jarot yang baru saja mendarat di tanah.
Akibatnya, Mang Jarot tersentak mundur dan ja-
tuh tersandar ke tandu.
"Heaaat... Kau harus mampus, Jarot!" seru Gondam sambil cepat membabatkan
goloknya. Karena lukanya sangat parah, membuat
daya tahan Mang Jarot melemah. Apalagi perha-
tiannya semakin terganggu, ketika mengetahui
dua orang yang mengusung tandu telah tewas. Sa-
tu bacokan Gondam cepat menghajar tubuh Mang
Jarot "Aaakh...!" Mang Jarot menjerit panjang.
Tubuhnya langsung terkulai tak bernyawa lagi.
Gondam terus membacokkan goloknya ke
tubuh Mang Jarot yang sudah mati. Rupanya ke-
marahannya ingin dilampiaskan sampai tuntas.
Cras, cras! "He he he...! Aku puas! Kau telah benar-
benar mampus, Jarot!" ujar Gondam sambil me-
mandangi mayat Mang Jarot
Kemudian lelaki yang bermuka kalem, tapi
berhati iblis dan kejam itu melangkah mendekati
tandu dengan golok berlumuran darah terhu-
nuskan. Kasar sekali tandu itu dibuka. Dan tam-
pak Nyi Ranti sudah terkulai di dalam tandu.
Gondam yang melihat itu bukannya merasa
kasihan, tapi malah mengangkat goloknya untuk
menghabisi Nyi Ranti.
Tepat pada detik itu, mendadak sebutir ba-
tu melayang dan menghantam tangan Gondam
dengan keras. Golok laki-laki itu langsung terle-
pas, terbang ke udara. Gondam terkejut. Sambil
memegangi tangannya yang terasa kesemutan ke-
palanya berpaling ke a-rah penyerangnya.
"Setan Belang! Siapa yang melakukan ini"!"
dengus Gondam dengan wajah nyengir kesakitan.
Tak jauh dari situ, tampak seorang pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular tengah berdiri
tegak sambil menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. Tingkahnya bagai orang sinting, menge-
jek Gondam. "Aha! Ada Tikus-tikus Busuk rupanya di si-
ni...!" seru pemuda itu, sambil menggaruk-garuk kepala. Gondam dan empat anak
buahnya yang tersisa, kaget. Mereka segera mengepung pemuda
berbadan gagah dan tampan, yang tak lain Sena
Manggala alias Pendekar Gila.
"Setan Alas! Juring dari mana, tiba-tiba
muncul dan mencoba menghalangiku"!" seru Gon-
dam geram. Wajahnya masih nampak nyengir ke-
sakitan, dengan gigi gemeretak menahan amarah.
"Hi hi hi.... Lucu, lucu sekali orang bau
ini...! Lebih baik kau mandi dulu dan cepat pergi!"
ledek Sena dengan tingkah yang membuat Gon-
dam dan anak buahnya semakin geram bercampur
heran. "Bangsat! Tangkap dan cincang pemuda
sinting dan gila ini!" perintah Gondam pada anak buahnya.
Sekejap empat anak buah Gondam menye-
rang Pendekar Gila berbarengan. Namun, Sena
nampak tenang-tenang saja sambil cengengesan.
Seperti tak mempedulikan serangan lawannya.
Namun belum sempat keempat anak buah Gon-
dam menyentuh tubuh Sena, tiba-tiba saja mereka
terpental jauh ke belakang. Memang dengan gera-
kan sukar ditangkap mata Pendekar Gila berkele-
bat cepat sambil melepaskan kibasan tangannya.
"Aaakh...!"
Keempat orang itu kontan roboh setelah
membentur bebatuan. Tak ada gerakan sedikit
pun di tubuh mereka. Pingsan.
"Hah"!" Gondam kaget melihat kejadian ini.
Matanya tampak terbelalak lebar, karena kaget
dan heran. Gondam cepat memungut goloknya. Lang-
sung diserangnya Sena yang nampak tetap tenang-
tenang saja. Malah Gondam dibiarkan sibuk sendi-
ri dengan serangannya.
"Heaaa...!"
"Hop...!"
Pendekar Gila mudah sekali mengelak se-
rangan Gondam dengan meliuk-liukkan tubuhnya
yang lentur. Sehingga, golok Gondam hanya me-
nembus angin kosong saja.
Dan dengan gerakan kilat, Sena menepuk
kepala Gondam yang merunduk menusukkan go-
lok ke arah pinggang.
Plak! "Aaaakh...!" Gondam memekik sambil me-
megangi kepalanya. Tubuhnya kontan berputar
dan terhuyung ke belakang, lalu roboh. Wajahnya
merah kebiruan karena merasakan kepalanya ba-
gai pecah, terkena tepukan tangan kiri Sena.
"Ha ha ha.... Kenapa kau culik..."!" ejek Se-na, sambil tertawa-tawa sendiri.
Gondam merasakan kepalanya semakin se-
perti membesar. Dan tiba-tiba saja, hidung dan te-
linganya mengeluarkan darah segar.
Sementara itu, keempat anak buah Gondam
yang mulai sadar kaget melihat keadaan pemim-
pinnya. Mereka segera menghampiri laki-laki itu,
kemudian menggotongnya. Segera Gondam dibawa
pergi dari tempat ini cepat-cepat.
"Ha ha hi hi.... Memang sebaiknya kalian
pergi. Sebelum aku muak melihat kalian!" seru Sena diiringi tawa lebar.
Pendekar Gila segera melompat mendekati
tandu. Dan telinganya mendengar suara rintihan
dari dalam tandu. Lalu, didekatinya pintu tandu.
"Hah..."!"
Sena kaget ketika melihat keadaan Nyi Ran-
ti yang hamil tua itu.
"Tenang, tenang. Jangan cemas. Mereka
sudah pergi," kata Sena iba.
"Oooh.... Tolong, Kisanak.... Ba..., bayi da-
lam kandungan ini harus tetap hidup...," terdengar suara Nyi Ranti lemah dan
bergetar. "Itu sudah pasti, Nyi. Kita harus mencari
rumah penduduk yang terdekat dari sini...."
* * * "Hm.... Untung ada rumah di depan sa-
na...," gumam Sena. "Mudah-mudahan berhasil.
Hyang Widhi, berilah kekuatan perempuan ini..."
Pendekar Gila yang telah melesat sambil
membopong Nyi Ranti, akhirnya menemukan se-
buah rumah. Di samping rumah, tampak seorang
wanita tua berpakaian lurik coklat tua. Perempuan
tua yang sedang menumbuk padi itu, menoleh ke-
tika melihat Sena yang membopong Nyi Ranti me-
nuju ke arahnya.
"Nyi... tolong wanita ini...," kata Sena begitu sampai di dekat perempuan tua
itu. "Kenapa ini" Aduh, Gusti! Ayo, bawa ma-
suk. Kang...! Kang Oji! Cepat bantu sini...!" seru perempuan tua itu, begitu
melihat keadaan Nyi
Ranti yang ternyata dalam keadaan hamil tua dan
dalam keadaan lemah.
Seorang lelaki tua yang bernama Ki Oji
muncul menyambut mereka. Ki Oji cepat memban-
tu Sena masuk ke dalam pondok dengan merun-
dukkan kepala karena pintunya pendek.
Begitu berada di dalam, perempuan pemilik
pondok cepat-cepat merapikan balai-balai untuk
meletakkan tubuh Nyi Ranti yang terus merintih
dan menggeliat-geliat.
"Lekas masak air, Kang!" ujar wanita yang sering dipanggil dengan sebutan Nyi
Oji. Ki Oji tanpa banyak bicara lagi segera me-
masak air. Dengan tergopoh-gopoh dia masuk ke
dapur. Sementara istrinya sibuk mengambil kain
dan sepihan lainnya untuk menutup luka di dada
Nyi Ranti yang terkena ujung tombak.
Sedangkan Pendekar Gila melangkah ke-
luar. Begitu berada diluar pondok, Sena duduk di
sebuah batang kayu. Rintihan dan erangan Nyi
Ranti mulai terdengar. Semakin lama, semakin
menjadi jeritan. Di dalam, Nyi Oji terus berusaha
menenangkan wanita itu.
Sena ikut cemas. Sungguh tersiksa dan
mengadu nyawa, bila seorang wanita akan mela-
hirkan bayi. Wajah pemuda ini nampak begitu se-
dih. Dia teringat pada dirinya sendiri yang tak
sempat mengenyam kasih sayang lebih lama dari
kedua orangtuanya. Semuanya akibat perbuatan
Segoro Wedi yang biadab dan kejam beberapa pu-
luh tahun lalu.
"Hyang Widhi selamatkan ibu dan jabang
bayi itu.... Biarkan jabang bayi itu nanti akan
mendapat kasih sayang dari ibunya," gumam Sena lirih seakan bicara pada dirinya
sendiri. Wajah pemuda tampan ini kali ini begitu
sedih. Selain memikirkan keselamatan Nyi Ranti
dan jabang bayinya, juga terkenang pada kedua
orangtuanya yang dibunuh Segoro Wedi dan an-
tek-anteknya. Sena menoleh ke arah pondok yang masih
terdengar rintihan menyayat dari Nyi Ranti.
* * * Hari mulai menjelang malam. Matahari su-
dah terbenam di ufuk bagian barat. Langit yang
tadi kemerahan, kini berubah menjadi kelam. Sua-
sana di tempat' itu menjadi semakin sunyi dan se-
pi. Angin berhembus kencang menggoyang pepo-
honan dan merontokkan daun-daun kering.
Sementara di dalam pondok Ki Oji, nampak
Sena atau Pendekar Gila duduk di samping Nyi
Ranti yang terbaring lemah dengan wajah pucat
pasi. Bayinya yang terbungkus kain lusuh sedang
digendong Nyi Oji.
"Kasihan sekali nasib perempuan cantik ini.
Begitu tega orang yang ingin membunuhnya. Bi-
adab! Siapa pun orangnya, akan kucari," kata hati Sena sambil memandangi wajah
Nyi Ranti yang pucat pasi. "Tuan apa pun yang terjadi, tolonglah an-
tarkan bayiku pada ayahnya...."
Tiba-tiba Nyi Ranti mulai membuka suara
lemah perlahan. Namun jelas didengar Sena.
"Ya.... Aku akan berusaha mencari ayah
anak ini. Tapi, siapa ayah bayi ini, Nyi Ranti...?"
tanya Sena, kalem sambil menggaruk-garuk kepala
sejenak. Nyi Ranti memandang wajah Sena yang
tampan sejenak. Lalu dihelanya napas panjang. Air
matanya perlahan menetes di pipinya yang halus.
Sena semakin iba melihatnya.
"Carilah Raden Panji di Rajamandala...," ka-ta Nyi Ranti agak tersendat-sendat,
sambil meng- hapus air matanya.
"Aku pasti mencari suamimu, Nyi Ranti.
Percayalah. Aku mohon Nyi Ranti tetap tabah


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi semua cobaan ini," kata Sena membe-ri semangat.
"Panggil saja aku Ranti...," pinta Nyi Ranti kemudian dengan suara lemah.
Sena mengangguk dan tersenyum. Nyi Ranti
pun seakan puas melihat senyum dan anggukan
kepala Sena. Lalu wanita ini berpaling pada Nyi Oji yang masih menggendong
bayinya. Seraya menyo-dorkan tangannya. Nyi Oji segera meletakkan bayi
itu di sisi Nyi Ranti. Dan air mata ibu muda ini
kembali berlinang.
"Nasibmu sangat buruk, Nak.... Kau tidak
bersalah. Tapi, manusia-manusia berhati iblis itu tidak rela kau lahir di bumi
ini.... Oh, Gusti. Lin-dungilah anakku ini!"
Nyi Ranti menangis lebih tersedu-sedu
sambil mengusap-usap perlahan bayinya, mem-
buat Sena dan Nyi Oji yang berada di dalam pon-
dok menjadi sangat iba.
Sena sendiri mencoba menghilangkan kese-
dihan hatinya, agar tak terlalu terbawa oleh sua-
sana yang sangat mengharukan itu. Hatinya harus
tetap tegar. Walaupun merasakan kesedihan yang
dialami Nyi Ranti dan si bayi itu.
"Jangan mengeluh, Ranti.... Tabahkan ha-
timu. Kau harus tetap tegar menghadapi semua
cobaan," ujar Sena memberi semangat.
Golok Maut 2 Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Iblis Pulau Hantu 2
^