Pencarian

Number Four 2

I Am Number Four Karya Pittacus Lore Bagian 2


terletak paling dekat dengan Mogadore?"
"Ya. Lorien. Setidaknya dulu, kurasa."
Henri mengangguk. "Ya, memang Lorien. Dan aku
yakin sekarang kau tahu bahwa mereka memang
mengincar sumber daya kita."
Aku mengangguk. Bernie Kosar mengangkat kepala
dan menguap lebar. Henri memanaskan dada ayam di
microwave, memotong-motongnya, lalu kembali ke
sofa sambil membawa piring dan meletakkannya di
depan si anjing. Bernie Kosar makan dengan lahap,
tampaknya dia belum makan selama berhari-hari.
"Ada banyak Mogadorian di Bumi," lanjut Henri. "Aku
tidak tahu berapa banyak, tapi aku bisa merasakan
mereka saat aku tidur. Terkadang aku bisa melihat
mereka dalam mimpi-mimpiku. Aku tidak bisa
mengetahui di mana mereka, atau apa yang mereka
katakan. Tapi aku melihat mereka. Dan kurasa alasan
keberadaan mereka di sini bukan hanya karena kalian
berenam." "Apa maksudmu" Memangnya kenapa lagi mereka
ada di sini?" Henri menatap mataku. "Kau tahu planet lain apa
yang dapat ditinggali dan terletak dekat Mogadore?"
Aku mengangguk. "Bumi, kan?"
"Ukuran Planet Mogadore dua kali lipat Lorien, tapi
Bumi berukuran lima kali lipat dari Mogadore. Dalam
hal pertahanan, Bumi lebih mampu menahan
serangan karena ukurannya. Kaum Mogadorian perlu
memahami planet ini dengan lebih baik sebelum bisa
menyerang. Aku tidak bisa mengatakan mengapa kita
dapat dikalahkan dengan mudah karena masih
banyak yang tidak kupahami. Tapi aku bisa
mengatakan dengan pasti bahwa sebagiannya
diakibatkan kombinasi dari pengetahuan mereka
mengenai planet kita dan juga warganya, dan juga
kenyataan bahwa kita tidak memiliki pertahanan lain
selain kecerdasan kita dan Pusaka para Garde. Kau
bisa mengatakan apa pun mengenai Mogadorian, tapi
mereka itu ahli strategi yang brilian jika menyangkut
perang." Kami duduk diam lagi. Angin masih meraung di luar.
"Kupikir mereka tidak tertarik untuk mengambil
sumber daya Bumi," kata Henri.
Aku mendesah dan menatapnya. "Mengapa tidak?"
"Mogadore masih sekarat. Walaupun telah berusaha
untuk mengatasinya, kematian planet itu tidak
terhindarkan. Dan mereka tahu itu. Aku rasa mereka
berencana untuk membunuh manusia. Kurasa mereka
ingin menjadikan Bumi sebagai tempat tinggal
mereka untuk selamanya."
*** Setelah makan malam, aku memandikan Bernie Kosar
menggunakan sampo dan kondisioner. Aku
menyikatnya dengan sisir tua yang tertinggal di salah
satu laci, milik penyewa sebelumnya. Penampilan dan
bau Bernie Kosar jauh lebih baik dibandingkan tadi,
tapi kalung anjingnya masih bau. Aku membuang
kalung itu. Sebelum tidur, aku membukakan pintu
depan untuknya, tapi dia tidak berminat pergi ke luar.
Dia justru berbaring di lantai dan meletakkan dagu di
kaki depannya. Aku bisa merasakan keinginannya
untuk tinggal di rumah bersama kami. Aku bertanyatanya apakah dia bisa merasakan
keinginanku yang juga sama sepertinya. "Kurasa kita punya hewan peliharaan baru," kata
Henri. Aku tersenyum. Begitu melihat Bernie Kosar tadi, aku
berharap Henri akan mengizinkanku memeliharanya.
"Sepertinya begitu," kataku.
Setengah jam kemudian aku naik ke tempat tidur.
Bernie Kosar melompat ke tempat tidur dan bergelung
seperti bola di kakiku. Sejurus kemudian dia sudah
mendengkur. Aku berbaring telentang selama
beberapa saat, menatap kegelapan, jutaan pikiran
berputar-putar di kepalaku. Citra perang: tampang
para Mogadorian yang rakus dan lapar, wajah hewan
buas yang marah dan keras, kematian dan darah. Aku
memikirkan keindahan Lorien. Apakah planet itu
dapat dihuni kembali. Ataukah Henri dan aku akan
menanti selamanya di Bumi"
Aku mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran dan citracitra itu dari benakku, tapi
hanya sejenak dan semuanya kembali. Aku bangun dan berjalan mondarmandir sebentar. Bernie Kosar
mengangkat kepala dan menatapku, tapi kemudian dia meletakkan
kepalanya kembali dan jatuh tertidur. Aku mendesah,
meraih ponsel dari meja samping tempat tidur dan
mengecek untuk memastikan Mark James tidak
mengacaukannya. Nomor Henri masih ada, tapi itu
bukan satu-satunya nomor yang ada di telepon
genggamku. Ada tambahan nomor lain, dengan nama
"Sarah Hart". Setelah bel terakhir berbunyi, dan
sebelum datang ke lokerku, Sarah menambahkan
nomornya ke telepon genggamku.
Aku menutup telepon genggam itu, meletakkannya
kembali di atas meja samping tempat tidur, dan
tersenyum. Dua menit kemudian aku mengecek
telepon genggamku lagi untuk memastikan bahwa
aku tidak berkhayal. Memang tidak. Aku menutup
telepon genggamku dan meletakkannya. Lima menit
kemudian aku mengangkatnya lagi untuk melihat
nomor Sarah. Entah berapa kali aku melakukan itu
sebelum akhirnya tertidur, tapi pada akhirnya aku
tidur. Saat aku terbangun di pagi hari, telepon
genggam itu masih ada di tanganku, di atas dadaku.
BERNIE KOSAR MENGGARUK-GARUK PINTU KAMAR
tidur saat aku bangun. Aku mengeluarkannya. Dia
berpatroli di halaman, berkeliling cepat dengan hidung
menempel ke tanah. Setelah memeriksa keempat
sudut halaman, dia melesat melintasi halaman dan
menghilang di hutan. Aku menutup pintu dan mandi.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi
dan ternyata Bernie Kosar sudah ada di dalam
kembali, duduk di sofa, mengibas-ngibaskan ekor saat
melihatku. "Kau yang memasukkannya?" tanyaku kepada Henri,
yang duduk di meja dapur dengan laptop terbuka dan
empat surat kabar menumpuk di depannya.
"Ya." Setelah sarapan singkat, kami keluar. Bernie Kosar
berlari mendahului kami, lalu berhenti dan duduk
mendongak memandang pintu penumpang di truk.
"Aneh, ya?" kataku.
Henri mengangkat bahu. "Tampaknya dia biasa naik
mobil. Biarkan dia masuk."
Aku membuka pintu dan Bernie Kosar pun melompat
ke dalam, langsung duduk di kursi tengah dengan
lidah terjulur. Saat kami keluar dari halaman, dia naik
ke pangkuanku dan meletakkan kaki depannya di
jendela. Aku menurunkan jendela mobil lalu Bernie
Kosar menjulurkan setengah badannya keluar, dengan
mulut masih terbuka. Angin membuat telinganya
berkibar-kibar. Lima kilometer kemudian Henri sampai
di sekolah. Aku membuka pintu dan Bernie Kosar
melompat turun di depanku. Aku mengangkat dan
memasukkannya kembali ke dalam truk, namun dia
melompat ke luar lagi. Aku mengangkat dan
memasukkannya lagi ke dalam truk. Aku menutup
pintu truk sambil menghalangi agar Bernie Kosar tidak
melompat keluar. Dia berdiri dengan kaki belakang,
kaki depannya diletakkan di tepi pintu. Jendela mobil
masih terbuka. Aku menepuk-nepuk kepalanya.
"Sarung tanganmu kau bawa?" tanya Henri.
"Ya." "Ponsel?" "Ya." "Bagaimana perasaanmu?"
"Baik," kataku.
"Oke. Telepon aku jika ada masalah."
Henri pergi. Bernie Kosar memandangiku dari jendela
belakang hingga truk itu menghilang di belokan.
Aku merasa gugup seperti kemarin, tapi dengan
alasan berbeda. Sebagian dari diriku ingin langsung
bertemu Sarah, namun sebagian diriku yang lain
berharap aku tidak bertemu dengannya sama sekali.
Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya.
Bagaimana jika pikiranku kosong sehingga aku berdiri
di sana seperti orang bodoh" Bagaimana jika dia
bersama Mark saat aku menemuinya" Apakah
sebaiknya aku menyapa Sarah walaupun mungkin
bakal ada percekcokan lagi" Atau apakah sebaiknya
aku melewatinya dan berpura-pura tidak melihat
mereka berdua" Paling tidak aku akan melihat
mereka di pelajaran kedua. Itu pasti.
Aku berjalan menuju lokerku. Tasku dipenuhi buku
yang seharusnya kubaca semalam, tapi aku tidak
membukanya sama sekali. Terlalu banyak pikiran dan
bayangan yang berputar-putar di benakku. Semuanya
belum hilang. Dan sulit membayangkan pikiran dan
bayangan itu akan menghilang. Lagi pula semuanya
juga berbeda dari apa yang kuduga. Kematian
tidaklah seperti apa yang diperlihatkan di film-film.
Suaranya, gambarannya, baunya. Sangat jauh
berbeda. Saat tiba di lokerku, aku segera menyadari ada yang
tidak beres. Pegangannya berlumur tanah, atau
sesuatu yang tampak seperti tanah. Aku tidak yakin
apakah sebaiknya aku membukanya. Namun
kemudian aku menarik napas panjang dan menarik
pegangan itu. Lokerku dipenuhi pupuk kandang. Saat aku membuka
pintunya, sebagian besar pupuk kandang itu
berhamburan ke lantai, menutupi sepatuku. Baunya
luar biasa. Aku membanting pintu loker hingga
tertutup. Sam Goode berdiri di belakang pintu dan
kemunculannya yang tiba-tiba membuatku kaget. Dia
tampak muram, mengenakan kaus NASA putih yang
agak berbeda dari kaus yang dikenakannya kemarin.
"Hai, Sam," kataku.
Dia menunduk menatap tumpukan pupuk kandang di
lantai, lalu kembali menatapku.
"Kau juga?" tanyaku.
Sam mengangguk. "Aku mau ke kantor kepala sekolah. Kau mau ikut?"
Sam menggeleng kepala, lalu berbalik dan pergi tanpa
mengatakan sepatah kata pun. Aku berjalan ke
kantor Mr. Harris, mengetuk pintu, lalu masuk tanpa
menunggu jawaban. Mr. Harris duduk di belakang
meja, mengenakan dasi kotak-kotak bergambar
maskot sekolah, ada dua puluh kepala bajak laut kecil
yang tersebar di bagian depan dasi itu. Dia tersenyum
bangga kepadaku. "Ini hari besar, John," katanya. Aku tidak tahu apa
yang dia bicarakan. "Satu jam lagi reporter dari
Gazette tiba di sini. Halaman utama!"
Lalu aku ingat, wawancara besar Mark James dengan
surat kabar lokal. "Anda pasti sangat bangga," kataku.
"Aku bangga terhadap setiap murid di Paradise."
Senyum itu tetap melekat di wajahnya. Dia bersandar
kembali di kursi, menautkan jari-jemari, dan
meletakkan tangannya di perut. "Ada yang bisa
kubantu?" "Aku hanya ingin Anda tahu bahwa lokerku diisi
pupuk kandang pagi ini."
"Apa maksudmu 'diisi'?"
"Maksudku lokerku penuh dengan pupuk kandang."
"Dengan pupuk kandang?" tanyanya bingung.
"Ya." Dia tertawa. Aku terkejut melihatnya memandang
remeh masalah itu, dan kepalaku mulai panas.
Wajahku hangat. "Aku memberitahu Anda sehingga loker itu bisa
dibersihkan. Loker Sam Goode juga penuh dengan
pupuk kandang." Mr. Harris mendesah dan menggeleng. "Aku akan
mengirim, pesuruh sekolah, Mr. Hobbs, agar mengurus
lokermu secepatnya. Setelah itu kami akan
menyelidikinya hingga tuntas."
"Kita berdua tahu siapa pelakunya, Mr. Harris."
Mr. Harris menyeringai meremehkan kepadaku. "Aku
akan mengurus penyelidikan itu, Mr. Smith."
Tak ada gunanya berdebat, jadi aku keluar dari
kantornya dan berjalan ke kamar mandi untuk
membasuh muka dan tangan. Aku harus tenang. Aku
tidak mau terpaksa mengenakan sarung tangan lagi
hari ini. Mungkin seharusnya aku tidak melakukan apa
pun, dan membiarkan ini berlalu. Apa itu akan
membuat semua ini berhenti" Lagi pula, apa ada
pilihan lain" Aku bukan tandingan Mark. Lagi pula
satu-satunya sekutuku adalah seorang murid kelas
dua dengan berat badan 45 kilo dan ketertarikan
terhadap alien. Tapi mungkin itu tidak benar. Mungkin
aku punya sekutu lain. Sarah Hart.
Aku menunduk. Tanganku baik-baik saja, tidak
bersinar. Aku keluar dari kamar mandi. Pesuruh
sekolah sedang membersihkan pupuk kandang dari
lokerku, mengeluarkan buku dan memasukkannya ke
tempat sampah. Aku berjalan melewatinya, masuk ke


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kelas, lalu menanti pelajaran dimulai. Kali ini
kami membahas grammar. Topik utamanya adalah
perbedaan antara gerund - kata kerja yang
dibendakan dengan menambahkan akhiran -ing dan
verb - kata kerja biasa. Selain itu kami juga
membahas mengapa gerund tidak bisa disebut verb.
Aku memperhatikan pelajaran kali itu dengan lebih
baik dibandingkan hari sebelumnya. Namun saat jam
pelajaran hampir berakhir, aku mulai gelisah dengan
pelajaran berikutnya. Bukan karena aku mungkin aku
bertemu Mark ... melainkan karena aku mungkin
bertemu Sarah. Apa dia akan tersenyum kepadaku
lagi hari ini" Sebaiknya aku masuk kelas sebelum
Sarah sehingga bisa mendapatkan tempat duduk dan
melihatnya berjalan masuk. Dengan begitu aku bisa
melihat jika dia menyapaku duluan.
Saat bel berbunyi, aku melesat keluar kelas dan
berjalan cepat menyusuri lorong. Aku orang pertama
yang tiba di kelas astronomi. Kelas mulai terisi dan
Sam duduk di sampingku lagi. Tepat sebelum bel
berbunyi, Sarah dan Mark masuk bersama. Sarah
mengenakan kemeja putih berkancing dan celana
hitam. Dia tersenyum ke arahku sebelum duduk. Aku
balas tersenyum. Mark tidak melihat ke arahku sama
sekali. Aku masih bisa membaui pupuk kandang di
sepatuku, atau mungkin bau itu berasal dari Sam.
Sam mengeluarkan majalah dengan sampul berjudul
They Walk Among Us- Mereka Ada di Antara Kita- dari
tasnya. Majalah itu tampaknya dicetak di ruang
bawah tanah seseorang. Sam membalik majalah itu
hingga ke bagian tengah dan membaca artikel di sana
dengan tekun. Aku memandang Sarah yang berada empat meja di
depanku, ke arah rambutnya yang diikat ekor kuda.
Aku bisa melihat tengkuk dari lehernya yang jenjang.
Sarah menyilangkan kaki dan duduk tegak di
kursinya. Aku berpikir seandainya akulah yang duduk
di samping Sarah, seandainya aku bisa mengulurkan
tangan dan memegang tangannya. Seandainya ini
jam pelajaran kedelapan. Aku bertanya-tanya apakah
aku jadi pasangannya di pelajaran tata boga nanti.
Mrs. Burton mulai mengajar. Dia masih membahas
mengenai Saturnus. Sam mengeluarkan selembar
kertas dan menulis dengan tergesa-gesa, sesekali
berhenti untuk mengecek artikel dari majalah yang
terbuka di sampingnya. Aku mengulurkan kepala dan
membaca judul artikel itu: "Seluruh Kota Montana
Diculik Alien." Hingga tadi malam aku tidak pernah merenungkan
cerita semacam itu. Tapi Henri yakin kaum
Mogadorian berencana untuk menguasai Bumi. Lagi
pula aku harus mengakui bahwa walaupun cerita
dalam artikel Sam itu menggelikan, tapi pada
dasarnya mungkin ada sesuatu di sana. Aku tahu
bahwa pada kenyataannya kaum Loric sering
mengunjungi Bumi. Kami menyaksikan Bumi
berkembang. Kami menyaksikan saat Bumi tumbuh
dan berkelimpahan serta segalanya bergerak. Kami
juga menyaksikan ketika Bumi diselimuti es dan salju
serta tidak ada yang bergerak. Kami membantu para
manusia. Kami mengajari mereka cara memakai api.
Kami juga memberikan peralatan untuk
mengembangkan kemampuan berbicara dan
berbahasa, itu sebabnya mengapa bahasa kami
begitu mirip dengan bahasa-bahasa di Bumi. Dan
walaupun kami tidak pernah menculik manusia,
bukan berarti penculikan tidak pernah dilakukan. Aku
memandang Sam. Aku belum pernah bertemu dengan
orang yang sangat tertarik dengan alien hingga mau
membaca dan mencatat berbagai teori konspirasi.
Lalu pintu dibuka dan Mr. Harris mengulurkan wajah
cerianya ke dalam. "Maaf mengganggu, Mrs. Burton. Aku ingin meminjam
Mark. Para reporter Gazette ada di sini dan ingin
mewawancarai Mark untuk surat kabar itu," Mr. Harris
mengatakannya dengan keras sehingga semua orang
di kelas dapat mendengar.
Mark berdiri, mengambil tas, dan berjalan ke luar
kelas dengan santai. Melalui pintu, aku bisa melihat
Mr. Harris menepuk punggung Mark. Lalu aku kembali
melihat Sarah, berharap bisa duduk di kursi kosong di
sampingnya. *** Pelajaran keempat adalah pelajaran olahraga. Sam
juga mengikuti kelas ini. Setelah berganti pakaian,
kami duduk berdampingan di lantai gedung olahraga.
Dia mengenakan sepatu tenis, celana pendek, dan
kaus yang satu atau dua ukuran terlalu besar. Sam
tampak seperti burung bangau, lutut dan sikunya
runcing. Dia tampak tinggi walaupun sebenarnya
pendek. Guru pelajaran olahraga, Mr. Wallace, berdiri kaku di
depan kami dengan kaki terentang dan berkacak
pinggang. "Dengar, Anak-anak. Mungkin ini terakhir kalinya kita
berolahraga di luar ruangan, jadi manfaatkan sebaikbaiknya. Lari 1,5 kilometer,
secepat mungkin. Waktu kalian akan dihitung dan dicatat untuk dibandingkan
nanti ketika kita lari 1,5 kilometer lagi di musim semi.
Jadi lari yang cepat!"
Lintasan lari di luar terbuat dari karet sintetis. Lintasan
itu mengelilingi lapangan football. Di sebelah luarnya
terdapat hutan yang mungkin mengarah ke rumah
kami, tapi aku tidak yakin. Angin terasa dingin.
Rambut-rambut di lengan Sam berdiri dan ia
menggosok-gosok lengannya mencari kehangatan.
"Kau pernah lari di sini?" tanyaku.
Sam mengangguk. "Kami lari di minggu kedua."
"Berapa catatan waktumu?"
"Sembilan menit empat puluh detik."
Aku memandang Sam. "Kukira orang kurus bisa lari
lebih cepat." "Omong kosong," katanya.
Aku berlari di samping Sam di belakang murid-murid
lain. Empat keliling. Aku harus berlari empat keliling
untuk mendapatkan jarak 1,5 kilometer. Setengah
keliling kemudian aku mulai berlari di depan Sam. Aku
penasaran perlu waktu berapa lama bagiku untuk
berlari 1,5 kilometer jika berusaha sekuat tenaga. Dua
menit" Satu menit" Atau malah kurang dari itu"
Olahraga itu terasa menyenangkan. Tanpa sadar aku
sudah melewati pelari paling depan. Lalu aku
melambatkan lariku dan pura-pura kelelahan. Tiba-tiba
aku melihat sesuatu berwarna cokelat dan putih
melesat dari semak-semak di dekat pintu masuk
tribun dan berlari ke arahku. Pikiranku mengelabuiku,
pikirku. Aku memalingkan muka dan tetap berlari.
Aku melewati Mr. Wallace. Dia memegang stopwatch,
meneriakkan kata-kata penyemangat, tapi dia melihat
ke belakangku, jauh dari trek lari. Aku mengikuti
pandangannya. Mr. Wallace memandang warna
cokelat dan putih itu. Sesuatu itu masih berlari ke
arahku. Aku langsung teringat dengan citra yang
kulihat kemarin. Hewan buas Mogadorian. Ada hewan
buas yang kecil juga. Gigi mereka seperti silet yang
berkilau jika terkena cahaya. Mereka hewan buas
yang cepat dan berkeinginan untuk membunuh. Aku
mulai berlari cepat. Aku lari lintang pukang di setengah keliling
berikutnya. Lalu aku membalikkan badan. Sesuatu itu
tidak ada di belakangku. Aku berhasil kabur darinya.
Dua puluh detik berlalu. Lalu aku membalikkan badan
ke depan. Tahu-tahu makhluk itu sudah ada di
depanku. Pastilah makhluk itu menyeberang melintasi
lapangan. Aku diam di lintasan lariku dan
memperhatikannya. Bernie Kosar! Ia duduk di tengahtengah lintasan dengan lidah
terjulur dan ekor dikibaskibaskan.
"Bernie Kosar!" teriakku. "Kau bikin aku takut!"
Aku melanjutkan berlari dengan pelan. Bernie Kosar
berlari di sampingku. Kuharap tidak ada yang
memperhatikan seberapa cepat aku berlari. Lalu aku
berhenti dan membungkuk seolah-olah kram dan
kehabisan napas. Aku berjalan sebentar. Lalu aku
berlari pelan sebentar. Sebelum menyelesaikan
keliling yang kedua, dua murid melewatiku.
"Smith! Ada apa" Tadi kau melaju di depan yang lain!"
teriak Mr. Wallace saat aku berlari melewatinya.
Aku pura-pura bernapas dengan susah payah.
"Saya- punya- asma," jawabku.
Dia menggelengkan kepala kecewa. "Kupikir aku
menemukan juara lari Ohio tahun ini di kelasku."
Aku mengangkat bahu dan berlari, sering kali berhenti
dan berjalan. Bernie Kosar mengikutiku, kadang
berjalan, kadang berlari. Saat aku memulai keliling
yang terakhir, Sam menyusulku dan kami berlari
bersama. Wajahnya merah. "Jadi apa yang kau baca di kelas astronomi hari ini?"
tanyaku. "Seluruh Kota Montana diculik alien?"
Sam meringis ke arahku. "Yah, begitu teorinya,"
jawabnya malu-malu seakan merasa malu.
"Kenapa seluruh kota diculik?"
Sam mengangkat bahu, tidak menjawab.
"Aku serius," kataku.
"Kau benar-benar ingin tahu?"
"Iya." "Yah, teorinya pemerintah mengizinkan alien
melakukan penculikan demi teknologi."
"Oh, ya" Teknologi macam apa?" tanyaku.
"Seperti chip untuk komputer super, formula untuk
bom, dan teknologi hijau. Semacam itu."
"Teknologi hijau ditukar spesimen hidup" Aneh.
Kenapa alien mau menculik manusia?"
"Agar mereka dapat mempelajari kita."
"Tapi kenapa" Maksudku, alasan apa yang mungkin
mereka miliki?" "Agar ketika Kiamat tiba, mereka sudah tahu
kelemahan kita dan bisa mengalahkan kita dengan
mudah dengan menggunakan kelemahan itu."
Aku agak terkejut mendengar jawaban Sam, tapi itu
hanya akibat adegan semalam yang masih terbayang
di benakku, ingatan mengenai senjata-senjata yang
kulihat digunakan oleh kaum Mogadorian, dan hewan
buas mereka. "Bukankah mereka bisa mengalahkan kita dengan
mudah jika mereka sudah memiliki bom dan
teknologi yang jauh lebih hebat daripada yang kita
miliki?" "Yah, ada orang-orang yang berpikir bahwa mereka
berharap kita bunuh diri dulu."
Aku memandang Sam. Dia tersenyum kepadaku,
mencoba memutuskan apakah aku menanggapi
percakapan itu dengan serius.
"Kenapa mereka ingin kita bunuh diri" Apa untungnya
bagi mereka?" "Karena iri." "Iri kepada kita" Kenapa" Karena tampang kita yang
ganteng?" Sam tertawa. "Semacam itulah."
Aku mengangguk. Kami berlari tanpa berkata-kata
selama semenit dan aku tahu Sam kesusahan, dia
terengah-engah. "Kenapa kau tertarik dengan itu
semua?" Sam mengangkat bahu. "Sekadar hobi," katanya,
walaupun aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.
Kami menyelesaikan lari 1,5 kilometer itu dengan
waktu delapan menit lima puluh Sembilan detik, lebih
baik daripada catatan waktu terakhir Sam. Bernie
Kosar mengikuti murid-murid kembali ke sekolah.
Murid-murid lain mengelusnya. Saat kami masuk ke
sekolah, Bernie Kosar berusaha untuk masuk bersama
kami. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa tahu di
mana aku berada. Apa mungkin anjing ini mengingat
jalan ke sekolah pagi tadi saat di mobil" Sepertinya
tak mungkin. Bernie Kosar diam di pintu. Aku berjalan ke ruang
loker dengan Sam. Begitu bisa bernapas dengan
normal kembali, dia membeberkan beribu-ribu teori
konspirasi lain, satu demi satu, yang sebagian besar
menggelikan. Aku menyukai Sam dan merasa dia
lucu, tapi kadang-kadang aku berharap dia berhenti
bicara. *** Saat kelas tata boga dimulai, Sarah tidak ada di kelas.
Mrs. Benshoff memberikan instruksi selama sepuluh
menit pertama, lalu kami pindah ke dapur. Aku masuk
ke dapurku sendirian. Menerima nasib bahwa hari ini
aku akan memasak sendiri. Saat sedang memikirkan
itu, Sarah masuk. "Apa aku melewatkan sesuatu yang asyik?"
tanyanya. "Hanya sekitar sepuluh menit waktu berkualitas
denganku," kataku sambil tersenyum.
Sarah tertawa. "Aku sudah dengar tentang lokermu
tadi pagi. Maaf." "Kau yang memasukkan pupuk kandang ke sana?"
tanyaku. Sarah tertawa lagi. "Tentu saja bukan. Tapi aku tahu
mereka mengerjaimu karena aku."
"Mereka beruntung aku tidak menggunakan kekuatan
superku dan melemparkan mereka ke negara bagian


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetangga." Sarah mencengkeram bisepku menggoda. "Benar, ini
otot yang besar. Kekuatan supermu. Wah, mereka
beruntung." Proyek kami hari itu adalah membuat cupcake
blueberry. Saat kami mengaduk adonan, Sarah mulai
bercerita mengenai masa lalunya dengan Mark.
Mereka berkencan selama dua tahun. Namun semakin
lama mereka bersama, semakin jauh Sarah dari
orangtua dan teman-temannya. Dia hanya menjadi
pacar Mark, hanya itu. Sarah sadar dia berubah. Dia
meniru sikap Mark terhadap orang-orang: menjadi
kasar dan suka mengecam, merasa lebih baik
daripada mereka. Ia juga terseret ke pergaulan yang
salah dan nilai-nilainya turun. Pada akhir tahun ajaran
yang lalu, orangtuanya mengirim Sarah ke rumah
bibinya di Colorado untuk menghabiskan musim
panas di sana. Saat di sana, dia sering hiking di
gunung, memotret pemandangan menggunakan
kamera bibinya. Sarah jatuh cinta dengan fotografi.
Itu liburan musim panas terbaiknya. Dia sadar bahwa
hidup lebih berharga daripada sekadar menjadi
cheerleader atau pemandu sorak dan berpacaran
dengan quarterback tim football. Begitu tiba di rumah,
Sarah memutuskan Mark dan berhenti dari
cheerleader. Dia juga berjanji akan menjadi orang
yang baik dan ramah terhadap semua orang. Mark
belum bisa menerima kenyataan itu. Sarah berkata
bahwa Mark masih menganggap Sarah itu pacarnya,
dan yakin Sarah akan kembali kepadanya. Sarah
bilang satu-satunya hal yang dia rindukan dari Mark
adalah anjing-anjing Mark, yang selalu bermain
dengannya saat Sarah main ke rumah Mark.
Kemudian aku bercerita mengenai Bernie Kosar, dan
bagaimana anjing itu muncul di depan pintu rumah
kami tanpa diduga setelah pagi pertama di sekolah.
Kami bekerja sambil mengobrol. Sekali aku
mengulurkan tangan ke oven untuk mengambil
loyang cupcake tanpa menggunakan sarung tangan.
Sarah melihatnya dan bertanya apakah aku baik-baik
saja. Aku berpura-pura kesakitan, mengibasngibaskan tangan seolah terbakar,
padahal sebenarnya aku tidak merasakan apa pun. Kami pergi
ke bak cuci piring dan Sarah mengalirkan air hangat
untuk membantu mengobati luka bakar yang tidak
ada di sana. Ketika dia heran melihat tanganku, aku
hanya mengangkat bahu. Saat menghias cupcake,
Sarah bertanya mengenai ponselku dan berkata
bahwa dia tahu hanya ada satu nomor di dalamnya.
Aku memberitahunya bahwa itu nomor Henri dan
bahwa ponsel lamaku beserta semua nomor telepon
teman-temanku hilang. Sarah bertanya apakah ada
pacar yang kutinggalkan saat pindah. Aku jawab
tidak ada. Sarah tersenyum, senyuman yang
meluluhkan hatiku. Sebelum kelas berakhir, dia
memberitahuku mengenai festival Halloween yang
akan diadakan di kota, dan berkata bahwa dia
berharap bisa berjumpa denganku di sana. Mungkin
kami bisa menghabiskan waktu berdua. Aku jawab
ya, pasti asyik, dan bersikap tenang, walaupun
sebenarnya hatiku melambung.
CITRA-CITRA BERMUNCULAN, PADA WAKTU-WAKTU
yang tak tentu, biasanya pada saat yang tidak
kuduga. Terkadang citra itu kecil dan berlalu dengan
cepat- nenekku memegang segelas air dan membuka
mulut untuk mengucapkan sesuatu- tapi aku tidak
pernah tahu apa yang dia katakan karena citra itu
lenyap secepat kemunculannya. Terkadang citra itu
tampak lama, seakan nyata: kakekku mendorong
ayunan yang kunaiki. Aku bisa merasakan kekuatan
tangannya saat dia mendorong ayunan, dan gejolak
geli di perutku saat ayunan turun. Suara tawaku
terbawa angin. Lalu citra itu hilang. Terkadang aku
mengingat citra dari masa laluku dengan jelas, ingat
bahwa aku menjadi bagian dari peristiwa itu. Tapi
kadang-kadang citra itu tampak baru seakan belum
pernah terjadi. Saat berada di ruang tamu, ketika Henri
mengusapkan kristal Loric di masing-masing lenganku
dan tanganku dijilati api, aku melihat ini: Aku masih
kecil, mungkin tiga atau empat tahun. Aku berlari di
atas rumput yang baru dipangkas di halaman depan
rumah kami. Di sampingku ada binatang dengan
tubuh seperti anjing, tapi dengan bulu seperti harimau.
Kepalanya bulat, dadanya kokoh, dan kakinya
pendek. Tidak seperti hewan mana pun yang pernah
kulihat. Binatang itu merunduk, bersiap melompat ke
arahku. Aku tidak bisa berhenti tertawa. Hewan itu
melompat. Aku mencoba menangkapnya, tapi aku
terlalu kecil, lalu kami berdua jatuh ke rumput. Kami
bergulat. Dia lebih kuat daripadaku. Lalu dia melompat
ke udara. Alih-alih jatuh ke tanah seperti yang
kuduga, hewan itu malah berubah menjadi burung
dan terbang ke atas sambil mengelilingiku, melayang
di luar jangkauanku. Dia berputar, lalu turun, melesat
di antara kakiku, dan mendarat sekitar enam meter
dariku, lalu berubah wujud menjadi hewan seperti
monyet tanpa ekor. Dia merunduk rendah untuk
menerjangku. Kemudian seorang laki-laki berjalan memasuki
halaman. Dia masih muda, mengenakan pakaian
karet ketat berwarna perak dan biru. Seperti pakaian
yang dikenakan penyelam. Dia berbicara kepadaku
dengan bahasa yang tidak kupahami. Dia menyebut
nama "Hadley" dan mengangguk ke arah hewan itu.
Hadley berlari ke arahnya, berubah wujud dari
monyet menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatu
yang mirip beruang dengan surai singa. Tinggi mereka
sama. Lalu laki-laki itu menggaruk bagian bawah
dagu Hadley. Kemudian kakekku keluar dari rumah.
Kakek tampak muda, tapi aku tahu usianya pastilah
lima puluh tahun. Kakek bersalaman dengan lelaki itu. Mereka berbicara,
tapi aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Lalu lelaki itu memandangku dan tersenyum. Dia
mengangkat tangan. Tiba-tiba saja aku terangkat dari
tanah dan terbang di udara. Hadley mengikuti, dalam
wujud burung lagi. Aku bebas mengendalikan
tubuhku. Tetapi lelaki itulah yang mengatur ke arah
mana aku terbang, dengan menggerakkan tangannya
ke kiri atau ke kanan. Aku dan Hadley bermain di
udara. Hadley menggelitikiku dengan paruhnya,
sedangkan aku berusaha menangkapnya. Lalu
mataku mendadak terbuka dan citra itu hilang.
"Kakekmu bisa membuat dirinya tak terlihat jika dia
mau," kata Henri, lalu aku menutup mata kembali.
Kristal itu bergerak ke atas lenganku, menyebarkan
penahan api ke seluruh tubuh. "Itu salah satu Pusaka
paling langka. Kemampuan untuk menjadi tak terlihat
hanya dimiliki oleh satu persen dari bangsa kita, dan
kakekmu adalah salah satunya. Dia bisa membuat
dirinya dan apa pun yang dia sentuh menjadi
sepenuhnya tak kasat mata.
"Suatu ketika dia mempermainkanku. Waktu itu aku
belum tahu apa Pusaka yang dia miliki. Saat itu kau
berumur tiga tahun dan aku baru mulai bekerja
dengan keluargamu. Aku datang ke rumahmu pada
hari pertama. Tapi ketika aku menaiki bukit pada hari
kedua, keesokan harinya, rumah kalian tidak ada di
tempatnya. Halaman, mobil, dan pohonnya ada, tapi
rumahnya tidak. Kupikir aku sudah gila. Aku pun
berjalan melewatinya. Saat sadar telah berjalan
terlalu jauh, aku pun berbalik. Sekonyong-konyong,
dari kejauhan, aku melihat rumah itu padahal aku
berani sumpah rumah itu tadinya tidak ada di sana.
Jadi aku berjalan kembali ke arah rumah itu. Tapi saat
sudah dekat, rumah itu hilang lagi. Aku pun berhenti
dan berdiri memandangi tempat di mana rumah itu
seharusnya berada, tapi aku hanya melihat
pepohonan di belakang rumah. Jadi aku terus
berjalan. Baru pada kali ketiga kakekmu membiarkan
rumah itu terlihat. Dia tidak bisa berhenti tertawa.
Kami selalu tertawa mengingat peristiwa hari itu.
Bahkan selama satu setengah tahun berikutnya.
Selalu." Saat membuka mata, aku kembali berada di medan
pertempuran. Ada lebih banyak ledakan, kebakaran,
kematian. "Kakekmu orang yang baik," kata Henri. "Dia suka
membuat orang tertawa. Dia senang menceritakan
lelucon. Rasanya tak pernah aku meninggalkan
rumahmu tanpa sakit perut akibat tertawa terpingkalpingkal."
Langit berubah merah. Sebuah pohon membelah
udara, dilemparkan oleh seorang lelaki berpakaian
perak dan biru, yang tadi kulihat di rumah. Pohon itu
menghantam dua Mogadorian. Aku ingin bersoraksorai. Tapi apa gunanya menyoraki
itu" Berapa pun jumlah Mogadorian yang terbunuh, akhir dari
peristiwa hari itu tidak akan berubah. Bangsa Loric
tetap kalah, semuanya mati. Aku tetap dikirim ke
Bumi.Aku tidak pernah melihat kakekmu marah. Saat"semua orang kehilangan kesabaran, saat mereka
dilanda stres, kakekmu tetap tenang. Biasanya
kemudian kakekmu akan menceritakan lelucon
terbaiknya, dan semua orang akan tertawa lagi."
Hewan buas Mogadorian yang berukuran kecil
menyasar anak-anak. Anak-anak itu tak berdaya,
berdiri ketakutan sembari memegang kembang api
dari pesta perayaan. Itu sebabnya mengapa kami
kalah. Hanya ada sedikit Loric yang bertempur
melawan hewan-hewan buas, yang lainnya berusaha
menyelamatkan anak-anak. "Nenekmu berbeda dari kakekmu. Nenekmu orang
yang tenang dan pendiam, serta sangat cerdas. Kakek
dan nenekmu saling melengkapi satu sama lain.
Kakekmu orang yang periang. Nenekmu bekerja di
balik layar agar segala sesuatunya berjalan sesuai
rencana." Tinggi di langit sana, aku masih bisa melihat jejak
asap biru dari pesawat yang membawa kami ke
Bumi, membawa kami bersembilan beserta para
Penjaga kami. Kemunculan pesawat itu membuat
para Mogadorian bingung. "Lalu ada Julianne, istriku."
Di kejauhan terdengar bunyi ledakan. Bunyinya mirip
dengan bunyi roket Bumi yang sedang lepas landas.
Pesawat lain meroket ke udara, ada berkas api di
belakangnya. Awalnya pelan, namun kemudian
kecepatannya bertambah. Aku bingung. Pesawat
kami tidak menggunakan api untuk lepas landas,
karena tidak menggunakan minyak atau bensin.
Pesawat Loric mengeluarkan sedikit jejak asap biru
yang berasal dari kristal yang digunakan sebagai
sumber tenaga pesawat, bukan api seperti di pesawat
kedua. Jika dibandingkan dengan pesawat pertama,
pesawat kedua tampak lambat dan kikuk. Namun
pesawat itu berhasil lepas landas, meroket ke udara,
menambah kecepatan. Henri tidak pernah bercerita
mengenai pesawat kedua. Siapa yang ada di pesawat
kedua itu" Ke mana perginya" Para Mogadorian
berteriak dan menunjuk ke pesawat itu. Para
Mogadorian kembali bingung dan cemas, dan untuk
sesaat para Loric di atas angin.
"Dia memiliki mata paling hijau yang pernah kulihat,
hijau terang seperti zamrud, dan hari sebesar Planet
Lorien itu sendiri. Selalu membantu orang lain, sering
membawa hewan dan memeliharanya. Aku tidak
pernah tahu apa yang dia sukai dari diriku."
Hewan buas yang besar telah kembali, bermata
merah dan tanduk raksasa. Liur bercampur darah
menetes dari gigi-gigi setajam silet yang begitu besar
sehingga tidak dapat ditampung dalam mulutnya.
Lelaki dengan pakaian berwarna perak dan biru
berdiri tepat di depan hewan itu. Dia mencoba
mengangkat hewan itu dengan kekuatannya. Dia
berhasil mengangkatnya beberapa puluh sentimeter
dari tanah, namun dia kepayahan dan tidak bisa
mengangkat lebih tinggi. Hewan itu meraung,
meronta, dan jatuh kembali ke tanah. Hewan itu
berusaha melawan kekuatan si lelaki, tapi tidak
berhasil mematahkannya. Si lelaki mengangkat
hewan itu lagi. Keringat dan darah di wajahnya
tampak berkilau di bawah sinar bulan. Lalu lelaki itu
menghantamkan tangan ke samping dan hewan itu
jatuh ke samping. Tanah berguncang. Guntur dan kilat
memenuhi langit, namun hujan tidak turun.
"Julianne biasa tidur larut malam, dan aku selalu
bangun sebelum dirinya. Biasanya setelah bangun aku
duduk di ruang baca dan membaca koran, lalu
menyiapkan sarapan, kemudian pergi jalan pagi.
Biasanya saat aku kembali, dia masih tidur. Aku
bukan orang yang sabar, tidak bisa menunggu untuk
mengawali hari bersama-sama. Aku langsung merasa
nyaman begitu berada di dekat Julianne. Kemudian
biasanya aku masuk dan mencoba
membangunkannya. Lalu biasanya dia menarik
selimut ke atas kepalanya dan menggerutu. Setiap
pagi selalu begitu."
Hewan itu memukul tapi si lelaki masih memegang
kendali. Garde lain bergabung dalam pertarungan itu.
Masing-masing dari mereka menggunakan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatannya melawan hewan raksasa itu, api dan
petir menghujaninya, rentetan laser menghantamnya
dari segala penjuru. Sebagian Garde melawan dengan
kekuatan yang tak terlihat. Mereka berdiri jauh dari
hewan itu dan mengangkat tangan sambil
berkonsentrasi. Lalu di atas sana, di langit yang tak
berawan, badai terbentuk. Sebuah awan raksasa
menjadi semakin besar dan bersinar serta
mengumpulkan energi. Semua Garde bersatu padu
membantu membuat badai besar ini. Lalu akhirnya,
sebuah petir raksasa menyambar hewan itu. Hewan
itu pun mati. "Apa yang bisa kulakukan" Apa yang bisa siapa pun
lakukan" Yang ada di pesawat itu hanya sembilan
belas Loric. Satu pilot yang membawa kita ke sini, lalu
kita berdelapan belas- sembilan anak dan sembilan
C?pan yang dipilih hanya karena kita kebetulan
berada di sana malam itu. Kami, para C?pan, tidak
dapat bertempur. Lagi pula jika kami bisa bertempur,
apa yang dapat kami lakukan" Para C?pan adalah
birokrat, bertugas untuk menjaga agar planet tetap
berjalan, bertugas untuk mengajar, bertugas untuk
melatih Garde baru memahami dan mengendalikan
kekuatan mereka. Kami bukan petarung. Kami tidak
berguna sebagai petarung. Kami akan mati seperti
yang lain. Yang bisa kami lakukan hanyalah pergi.
Pergi denganmu untuk tetap hidup dan agar suatu
hari nanti dapat mengembalikan kejayaan planet
terindah di seluruh jagat raya."
Aku menutup mata. Saat kembali kubuka mataku,
pertempuran telah berakhir. Asap membubung di
antara yang mati dan yang sekarat. Pohon-pohon
patah, hutan terbakar. Tidak ada yang berdiri kecuali
beberapa Mogadorian yang hidup dan akan
menceritakan kisah mengenai pertempuran ini.
Matahari terbit di selatan dan cahaya pucat mulai
menerangi tanah tandus bersimbah warna merah.
Tumpukan-tumpukan tubuh, tidak semuanya utuh,
tidak semuanya lengkap. Di atas salah satu tumpukan
itu terlihat si lelaki berbaju perak dan biru, mati
seperti yang lain. Tubuhnya tampak seperti tak
terluka, tapi dia mati seperti yang lain.
Mataku mendadak terbuka. Aku tidak bisa bernapas.
Mulutku kering dan panas.
"Sini," kata Henri. Dia membantuku turun dari meja
kopi, membimbingku ke dapur dan menarik kursi
untukku. Air mata merebak di mataku walaupun aku
berkedip untuk menghilangkannya. Henri
membawakan segelas air dan aku menenggak setiap
tetesnya tanpa henti. Aku mengembalikan gelas itu
dan Henri mengisinya kembali. Aku menundukkan
kepala, masih berusaha bernapas. Kuminum habis air
di gelas kedua, lalu menatap Henri.
"Mengapa kau tidak pernah bercerita mengenai
pesawat kedua?" tanyaku.
"Kau bicara apa?"
"Ada pesawat kedua," kataku.
"Di mana ada pesawat kedua?"
"Di Lorien. Saat kita pergi. Pesawat kedua. Yang lepas
landas setelah pesawat kita."
"Tak mungkin," katanya.
"Kenapa tak mungkin?"
"Karena pesawat yang lain hancur. Aku melihatnya
dengan mataku sendiri. Saat para Mogadorian
mendarat, mereka menyerang pangkalan udara kita.
Kita pergi dengan satu-satunya pesawat yang selamat
dari serangan mereka. Suatu keajaiban kita berhasil
pergi." "Aku melihat pesawat kedua. Sumpah. Tapi
bentuknya nggak seperti pesawat yang lain. Pesawat
itu menggunakan bahan bakar minyak, ada bola api
di belakangnya." Henri menatapku lekat-lekat. Dia berpikir keras,
dahinya berkerut. "Kau yakin, John?"
"Ya." Henri bersandar di kursi, memandang ke luar jendela.
Bernie Kosar ada di luar, menatap kami berdua.
"Pesawat itu berhasil meninggalkan Lorien," kataku.
"Aku menyaksikannya hingga pesawat itu hilang."
"Tak masuk akal," kata Henri. "Aku tak mengerti
bagaimana itu bisa terjadi. Tak ada pesawat yang
tersisa." "Ada pesawat kedua," kataku.
Kami duduk diam untuk waktu yang lama.
"Henri?" "Ya?" "Apa yang ada di pesawat itu?"
Henri menatapku. "Aku tak tahu," katanya. "Aku benar-benar tidak
tahu." *** Kami duduk di ruang tamu, api menyala di perapian,
Bernie Kosar di pangkuanku. Bunyi letupan yang
sesekali terdengar memecah keheningan.
"Menyala!" kataku sambil menjentikkan jari. Tangan
kananku bersinar, tidak seterang sebelumnya, tapi
mendekati. Dalam waktu singkat sejak Henri mulai
melatihku, aku belajar mengontrol sinar di tanganku.
Aku bisa membuat sinar itu berkumpul. Aku juga bisa
membuatnya melebar, seperti lampu rumah. Aku pun
bisa membuatnya mengecil dan menyorot, seperti
senter. Aku bisa mengendalikan kekuatanku lebih
cepat daripada yang kuduga. Cahaya di tangan kiriku
sudah mulai terang, tapi masih tetap lebih redup
dibandingkan tangan kanan. Aku menjentikkan jari
dan berkata "menyala" hanya untuk pamer.
Sebenarnya aku tidak perlu melakukan itu semua
untuk mengendalikan cahayanya, atau untuk
menyalakannya. Aku bisa melakukannya dengan
mudah, semudah menggerakkan jari atau
mengedipkan mata. "Menurutmu kapan Pusaka lain akan muncul?"
tanyaku. Henri mendongak dari surat kabar yang dia baca.
"Segera," katanya. "Harusnya Pusaka berikut mulai
muncul bulan ini, apa pun jenisnya. Kau hanya perlu
memperhatikan dengan saksama. Tidak semua
kekuatan akan menampakkan tanda yang jelas
seperti tanganmu." "Berapa lama hingga semuanya muncul?"
Henri mengangkat bahu. "Terkadang perlu satu bulan
hingga semua kekuatan itu muncul, terkadang perlu
satu tahun. Setiap Garde berbeda-beda. Tapi berapa
lama pun itu, Pusaka utamamu tetap yang terakhir
muncul." Aku menutup mata dan bersandar di sofa. Aku
memikirkan Pusaka utamaku, kekuatan yang
memungkinkanku bertarung. Aku tidak tahu kekuatan
apa yang kuinginkan. Laser" Kemampuan
mengendalikan pikiran" Kemampuan mengendalikan
cuaca seperti yang kulihat dilakukan oleh orang
berpakaian perak dan biru itu" Atau apakah aku
menginginkan kekuatan yang lebih gelap, lebih
mengerikan, seperti kemampuan untuk membunuh
tanpa menyentuh" Aku membelai punggung Bernie Kosar dan menatap
Henri. Dia mengenakan topi tidur dengan kacamata di
ujung hidungnya, mirip tikus di buku cerita.
"Mengapa pada hari itu kita berada di lapangan
terbang?" tanyaku. "Kita di sana untuk melihat pertunjukan udara.
Setelah pertunjukan itu selesai, kita berjalan-jalan ke
beberapa pesawat." "Apa hanya itu alasannya?"
Henri menatapku dan mengangguk. Henri menelan
ludah, membuatku berpikir bahwa dia
menyembunyikan sesuatu. "Lalu, bagaimana cara menentukan bahwa kita yang
pergi?" tanyaku. "Maksudku, pastinya rencana seperti
itu memerlukan lebih banyak waktu, kan?"
"Kita tidak lepas landas hingga tiga jam setelah
serbuan dimulai. Kau tidak ingat sedikit pun tentang
itu?" "Hanya sedikit sekali."
"Kita bertemu kakekmu di patung Pittacus. Dia
menyerahkanmu kepadaku. Lalu dia memberitahuku
untuk membawamu ke lapangan terbang, dan bahwa
itu kesempatan kita satu-satunya. Di bawah lapangan
terbang ada sebuah bangunan bawah tanah.
Kakekmu bilang selalu ada rencana cadangan kalaukalau terjadi sesuatu, tapi
rencana itu tidak pernah dianggap serius karena ancaman akan adanya
serangan tampaknya begitu menggelikan. Seperti di
sini, di Bumi. Jika sekarang kau memberi tahu
manusia mana pun bahwa ada ancaman serangan
alien, yah, mereka akan menertawakanmu. Seperti
itulah di Lorien. Aku bertanya bagaimana dia bisa tahu
mengenai rencana itu. Tapi kakekmu tidak menjawab,
dia hanya tersenyum dan mengucapkan selamat
jalan. Pasti tak ada Loric yang benar-benar tahu
mengenai rencana itu, atau mungkin hanya sedikit
yang tahu." Aku mengangguk. "Jadi begitu saja, kalian memiliki
rencana untuk datang ke Bumi?"
"Tentu tidak. Salah satu Tetua Lorien menemui kita di
lapangan terbang. Dialah yang memantrai kalian
dengan mantra pelindung Loric, yang membentuk cap
di mata kakimu dan mengikat kalian semua, dan
memberi jimat kepada masing-masing dari kalian. Dia
bilang kalian anak-anak istimewa, anak-anak yang
diberkahi, kurasa maksudnya karena kalian
mendapatkan kesempatan melarikan diri. Awalnya
kami berencana untuk lepas landas dan menunggu
serbuan itu berakhir, menunggu bangsa Loric
melawan dan menang. Tapi itu tidak pernah terjadi...,"
katanya, dengan suara yang semakin lirih. Lalu Henri
mendesah. "Kita berada di orbit selama satu minggu.
Itu waktu yang diperlukan oleh para Mogadorian
untuk mengambil segalanya dari Lorien. Setelah jelas
bahwa kita tidak bisa kembali, kita pergi ke Bumi."
"Kenapa Tetua itu tidak memantrai kami agar kami
tidak bisa dibunuh, daripada menggunakan mantra
yang memungkinkan kami dibunuh sesuai urutan?"
"Hanya itu yang bisa dilakukan, John. Kalau kau
maksudkan kemampuan yang tak terkalahkan, itu
tidak mungkin." Aku mengangguk. Mantra pelindung hanya bisa
melindungi kami hingga sejauh itu. Jika salah satu
Mogadorian mencoba membunuh kami tidak sesuai
urutan, apa pun yang ingin dia lakukan terhadap kami
akan berbalik dan mengenainya. Jika dia mencoba
menembak kepalaku, pelurunya justru akan
menembus kepalanya. Tapi sekarang tidak lagi.
Sekarang jika mereka menangkapku, aku mati.
Aku duduk diam selama beberapa lama memikirkan
itu semua. Lapangan terbang. Satu-satunya Tetua
Lorien yang tersisa, yang memantrai kami, Loridas,
sudah mati. Para Tetua adalah penghuni pertama
Lorien, yang menjadikan Planet Lorien seperti yang
kami kenal. Awalnya ada sepuluh Tetua, dan mereka
memiliki semua Pusaka. Begitu tua, begitu lama
sehingga mereka lebih seperti legenda daripada
kenyataan. Selain Loridas, tidak ada yang tahu apa
yang terjadi dengan para Tetua yang lain, apakah
mereka mati atau belum. Aku mencoba mengingat seperti apa rasanya
mengitari Planet Lorien dan menanti apakah kami bisa
kembali, tapi aku tidak ingat apa pun. Aku bisa
mengingat beberapa hal dari perjalanan ke Bumi.
Bagian dalam pesawat yang kami gunakan berbentuk
bundar dan terbuka. Hanya dua buah kamar mandi
saja yang memiliki pintu. Ada tempat tidur lipat yang
dirapatkan ke salah satu sisi. Sisi yang lain digunakan
untuk berolahraga dan bermain agar kami tidak
terlalu gelisah. Aku tidak ingat wajah yang lainnya.
Aku tidak ingat permainan apa yang kami mainkan.
Aku ingat waktu itu aku merasa bosan, sepanjang
tahun berada di dalam pesawat dengan tujuh belas
Loric lainnya. Ada boneka binatang yang menemaniku
tidur pada malam hari. Walaupun yakin ingatanku
salah, aku sepertinya ingat bahwa boneka itu juga
bermain. "Henri?" "Ya?" "Aku selalu melihat citra seorang lelaki dengan
pakaian berwarna perak dan biru. Aku melihatnya di
rumah kami, dan juga di medan perang. Dia bisa
mengendalikan cuaca. Lalu aku melihatnya mati."
Henri mengangguk. "Setiap kali kembali, kau hanya
bisa melihat peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya
denganmu." "Laki-laki itu ayahku, kan?"
"Ya," jawab Henri. "Seharusnya dia tidak sering
berkunjung, tapi dia tetap melakukannya. Dia sering
mengunjungimu." Aku mendesah. Ayahku telah berjuang dengan gagah
berani, membunuh hewan buas dan banyak prajurit.
Tapi pada akhirnya tetap kalah.
"Apa kita benar-benar bisa menang?"


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu?"
"Dulu kita dikalahkan dengan begitu mudah. Jika kita
ditemukan, apa mungkin hasilnya bakal berbeda"
Bahkan jika kami telah memiliki semua Pusaka, saat
kami akhirnya berkumpul dan siap untuk bertempur,
apa kami punya harapan dalam melawan makhluk
seperti itu?" "Harapan?" kata Henri. "Selalu ada harapan, John. Kita
belum melihat perkembangan terbaru. Kita belum
mendapatkan semua informasi. Tidak. Jangan putus
asa. Jangan pernah berputus asa. Saat kau kehilangan
harapan, segalanya pun musnah. Saat kau pikir
semua telah berakhir, ketika segala sesuatu tampak
buruk dan sia-sia, harapan itu selalu ada."
DUA MINGGU SETELAH KAMI TIBA DI PARADISE. Di
hari Sabtu, aku dan Henri pergi menyaksikan
Halloween. Kurasa keterpencilan merasuki kami
berdua. Bukannya kami tidak terbiasa dengan
keterpencilan, kami justru terbiasa. Tapi keterpencilan
di Ohio berbeda dari tempat-tempat lain. Ada suatu
keheningan yang berbeda di sini, rasa sepi yang khas.
Hari itu dingin, matahari sesekali mengintip malu-malu
dari balik awan putih tebal yang berarak di atas
kepala. Kota sangat sibuk. Semua anak mengenakan
kostum. Kami membeli tali anjing untuk Bernie Kosar,
yang mengenakan mantel Superman di punggung dan
huruf "S" besar di dada. Anjing itu tampak tidak
terkesan. Bernie Kosar bukan satu-satunya anjing
yang mengenakan kostum pahlawan super.
Henri dan aku berdiri di trotoar di depan Hungry Bear,
kedai yang ada di dekat bundaran pusat kota, untuk
menonton pawai. Kliping artikel Gazette mengenai
Mark James tergantung di jendela depannya. Dalam
foto itu Mark memakai jaket football dan berdiri di
garis 50 yard di tengah lapangan football. Dia berpose
dengan tangan disilangkan di depan dada, kaki kanan
menginjak bola football, serta seringai percaya diri di
wajahnya. Bahkan aku pun harus mengakui bahwa
Mark tampak mengesankan. Henri melihatku menatap kertas itu.
"Itu temanmu, kan?" tanyanya sambil tersenyum.
Sekarang Henri sudah tahu kejadiannya, mulai dari
saat aku hampir berkelahi, hingga pupuk kandang,
dan juga bahwa aku naksir mantan pacar Mark. Sejak
mengetahui semua itu, Henri menyebut Mark sebagai
"teman"ku. "Teman terbaikku," aku membetulkan Henri.
Lalu marching band mulai bermain. Mereka memimpin
pawai, diikuti berbagai kendaraan hias bertema
Halloween, salah satunya membawa Mark dan
sejumlah pemain football. Ada yang dari kelasku, ada
yang tidak kukenal. Mereka melemparkan segenggam
permen kepada anak-anak. Lalu Mark melihatku dan
menyenggol anak di sampingnya- Kevin, anak yang
selangkangannya kutendang di kantin. Mark
menunjuk ke arahku dan mengatakan sesuatu.
Mereka tertawa. "Itu anaknya?" tanya Henri.
"Ya." "Tampak berengsek."
"Sudah kubilang."
Di belakangnya berjalan pemandu sorak, memakai
seragam dengan rambut diikat ke belakang. Mereka
semua tersenyum dan melambai ke arah penonton.
Sarah berjalan di samping mereka, memotret. Dia
memotret mereka saat beraksi, saat melompat, dan
saat bersorak. Walaupun Sarah hanya mengenakan
jins dan tidak berdandan, dia jauh lebih cantik
daripada mereka. Kami semakin sering mengobrol di
sekolah, dan aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Henri melihatku memandangi Sarah.
Lalu dia kembali menonton pawai. "Itu Sarah, ya?"
"Ya, itu dia." Sarah melihatku dan melambai, lalu menunjuk
kamera. Dia akan ke tempatku tapi masih ingin
memotret. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Yah," kata Henri. "Aku bisa melihat daya tariknya."
Kami menonton pawai itu. Wali kota Paradise lewat,
duduk di kursi belakang sebuah mobil merah dengan
atap terbuka. Dia melemparkan permen ke arah
anak-anak. Pasti hari ini banyak anak yang senang
luar biasa, pikirku. Aku merasakan seseorang menepuk bahuku. Aku
berbalik. "Sam Goode. Lagi apa?"
Sam mengangkat bahu. "Nggak ada. Kalau kamu?"
"Nonton pawai. Ini ayahku, Henri."
Sam dan Henri berjabat tangan. Henri berkata, "John
banyak bercerita tentang dirimu."
"Oh, ya?" kata Sam meringis.
"Betul," jawab Henri. Dia diam sebentar lalu
tersenyum. "Kau tahu, aku banyak membaca.
Mungkin kau juga sudah pernah mendengarnya. Kau
tahu bahwa alienlah yang menyebabkan badai
berpetir" Mereka membuat badai agar bisa memasuki
planet kita tanpa ketahuan. Badai itu pengalih
perhatian. Lalu petir yang terlihat itu sebenarnya
berasal dari pesawat ruang angkasa yang memasuki
atmosfer Bumi." Sam tersenyum dan menggaruk-garuk kepala. "Ah,
masa?" katanya. Henri mengangkat bahu. "Begitulah yang kudengar."
"Oke," kata Sam, sangat ingin menyaingi Henri. "Anda
tahu bahwa dinosaurus sebenarnya tidak punah" Para
alien begitu terpesona dengan dinosaurus sehingga
mereka memutuskan untuk mengumpulkan dan
membawa semua dinosaurus ke planet mereka."
Henri menggelengkan kepala. "Aku tak tahu itu,"
katanya. "Kau tahu bahwa monster Loch Ness itu
sebenarnya hewan dari Planet Trafalgra" Mereka
membawanya ke sini sebagai eksperimen. Mereka
ingin melihat apakah hewan itu bisa bertahan hidup,
dan ternyata memang bisa. Tapi saat manusia melihat
Loch Ness, para alien itu membawanya pulang. Itulah
sebabnya mengapa orang tak pernah melihat monster
Loch Ness lagi." Aku tertawa. Bukan menertawakan teori itu, tapi
nama Trafalgra. Tidak ada planet bernama Trafalgra.
Aku penasaran apakah Henri baru saja
mengarangnya. "Apa Anda tahu bahwa piramid Mesir dibangun oleh
para alien?" "Aku sudah mendengar yang itu," kata Henri,
tersenyum. Baginya itu lucu karena sebenarnya alien
tidak membangun piramid. Piramid dibangun dengan
pengetahuan dan bantuan dari Lorien. "Kau tahu
bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 21 Desember
2012?" Sam mengangguk dan meringis. "Ya, saya sudah
dengar yang itu. Tanggal kedaluwarsa Bumi, akhir dari
kalender Maya." "Tanggal kedaluwarsa?" Aku ikut nimbrung. "Seperti,
tanggal 'sebaiknya digunakan sebelum' yang dicetak
di kotak susu" Memangnya Bumi bakal basi?"
Aku menertawakan leluconku, tapi Sam dan Henri
tidak peduli. Lalu Sam berkata, "Apakah Anda tahu bahwa crop
circle- bentuk lingkaran, geometri, atau citra makhluk
hidup yang berukuran besar dan biasanya ditemukan
di lading pertanian, khususnya gandum- dulunya
digunakan sebagai alat navigasi oleh ras alien
Agharia" Tapi itu ribuan tahun lalu. Sekarang crop
circle hanya dibuat oleh para petani yang bosan."
Aku tertawa lagi. Aku sangat ingin bertanya orang
macam apa yang membuat teori konspirasi alien jika
sebenarnya petani yang bosanlah yang membuat crop
circle, namun aku tidak melakukannya.
"Bagaimana dengan Centuri?" tanya Henri. "Kau tahu
tentang mereka?" Sam menggelengkan kepala.
"Mereka itu ras alien yang tinggal di pusat Bumi.
Mereka suka bertengkar dan selalu berselisih. Saat
mereka mengalami perang saudara, pengaruhnya
terasa hingga ke permukaan bumi. Itulah sebabnya
mengapa terjadi gempa bumi dan gunung meletus.
Tsunami tahun 2004" Itu karena putri raja Centuri
hilang." "Apakah mereka berhasil menemukan putri itu?"
tanyaku. Henri menggelengkan kepala dan memandangku. Lalu
dia kembali memandang Sam, yang masih tersenyum
karena permainan menarik ini. "Tidak pernah. Para
ahli teori yakin putri itu bisa berubah wujud dan
sekarang hidup di suatu tempat di Amerika Selatan."
Teori Henri sangat bagus. Kurasa tidak mungkin Henri
mengarangnya secepat itu. Aku berdiri dan benarbenar merenungkannya. Padahal aku
tahu bahwa pada kenyataannya tidak ada makhluk yang hidup di
pusat bumi, dan belum pernah mendengar ras alien
bernama Centuri. "Anda tahu..." Sam berhenti. Kupikir Henri telah
mengungguli Sam. Namun saat aku berpikir seperti
itu, Sam mengatakan sesuatu yang begitu
mengerikan sehingga teror merasuki benakku.
"Apa Anda tahu bahwa para Mogadorian memiliki
misi untuk menaklukkan seluruh jagat raya" Mereka
sudah menghabisi sebuah planet dan selanjutnya
berencana untuk menghabisi Bumi. Mereka di sini
untuk mencari kelemahan manusia sehingga bisa
mengalahkan kita saat perang dimulai."
Aku melongo. Henri tercengang menatap Sam. Dia
menahan napas. Tangannya mencengkeram cangkir
kopi hingga aku takut cangkir itu remuk jika
cengkeramannya menguat. Sam melihat sekilas ke
arah Henri, lalu aku. "Kalian berdua seperti baru melihat hantu. Apa ini
artinya aku menang?"
"Darimana kau dengar kabar itu?" tanyaku. Henri
menatapku begitu tajam sehingga aku berpikir
seharusnya tadi aku tetap diam.
"Dari They Walk Among Us."
Henri masih tidak bisa bereaksi. Dia membuka mulut
untuk berbicara tapi tidak bisa. Lalu seorang wanita
mungil berdiri di belakang Sam, memotong
percakapan. "Sam," katanya. Sam berbalik dan memandang
wanita itu. "Dari mana saja kau?"
Sam mengangkat bahu. "Aku dari tadi di sini."
Wanita itu mendesah. Kemudian dia menyapa Henri,
"Hai, saya ibunya Sam."
"Henri," kata Henri, dan menjabat tangan ibu Sam.
"Senang berkenalan dengan Anda."
Wanita itu membelalak terkejut. Sepertinya logat
bicara Henri membuat wanita itu senang.
"Ah bon! Vous parlez fran?ais" C'est super! J'ai
personne avec qui je peux parler fran?ais depuis longtemps."
Henri tersenyum. "Maaf. Saya sebenarnya tidak bisa
berbahasa Prancis. Saya tahu logat bicara saya
terdengar seperti itu."
"Tidak?" Wanita itu kecewa. "Sayang. Padahal saya
pikir akhirnya ada sesuatu yang berkelas di kota ini."
Sam memandangku dan memutar matanya.
"Ayo, Sam, kita pergi," kata wanita itu.
Sam mengangkat bahu. "Apa nanti kalian akan ke
taman dan naik gerobak jerami?"
Aku menatap Henri, lalu Sam. "Ya, tentu," kataku.
"Kau?" Sam mengangkat bahu. "Mungkin nanti kita bisa bertemu di sana," kataku.
Sam tersenyum dan mengangguk. "Oke."
"Ayo, Sam. Dan mungkin kau tak bisa ikut naik
gerobak jerami. Aku perlu bantuanmu di rumah," kata
ibunya. Sam mengatakan sesuatu tapi ibunya berjalan
pergi. Sam mengikutinya. "Wanita yang sangat ramah," kata Henri sarkastis.
*** "Kok kau bisa mengarang semua itu?" tanyaku.
Orang-orang mulai bergerak ke Jalan Utama,
menjauhi bundaran. Henri dan aku mengikuti ke
taman, di sana disediakan sari buah apel dan
makanan. "Kalau kau sering berbohong, kau akan terbiasa."
Aku mengangguk. "Jadi bagaimana menurutmu?"
Henri menarik napas panjang dan
mengembuskannya. Udara cukup dingin sehingga aku
bisa melihat uap napasnya. "Entahlah. Aku tak tahu
harus berpikir apa. Dia membuatku kaget."
"Dia membuat kita kaget."
"Kita akan menyelidiki majalah tempat Sam
mendapatkan infromasi, mencari tahu siapa yang
menulisnya dan di mana ditulisnya."
Henri menatapku penuh harap.
"Apa?" "Kau harus mendapatkan satu eksemplar," katanya.
"Oke," jawabku. "Tapi ini tetap tak masuk akal.
Bagaimana bisa ada orang yang tahu tentang itu?"
"Pasti diberitahu entah dari mana."
"Menurutmu salah satu dari kita?"
"Bukan." "Kau pikir mungkin mereka?"


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bisa jadi. Aku tak pernah berpikir untuk mengecek
teori-teori konspirasi omong kosong itu. Mungkin
mereka pikir kita membaca teori semacam itu dan
bisa menemukan kita dengan membocorkan informasi
seperti itu. Maksudku..." Henri berhenti, berpikir
sebentar. "Entahlah, John. Aku tak tahu. Tapi kita
tetap harus mengeceknya. Ini bukan kebetulan. Pasti."
Kami berjalan tanpa berbicara, masih agak terkejut,
sambil memikirkan berbagai penjelasan yang
mungkin. Bernie Kosar berlari di antara kami, lidah
terjulur, mantelnya merosot ke salah satu sisi dan
diseret sepanjang trotoar. Anak-anak menyukainya
dan banyak yang menghentikan kami untuk
membelai Bernie Kosar. Taman itu terletak di ujung selatan kota. Di pagar
sebelah sana ada dua buah danau yang terletak
berdampingan dan dipisahkan oleh segaris tanah yang
mengarah ke hutan di kejauhan. Taman itu sendiri
terdiri atas tiga lapangan bisbol, sebuah taman
bermain, dan sebuah paviliun besar tempat para
relawan menyajikan sari buah apel dan pie labu. Tiga
gerobak jerami diparkir di tepi jalan kerikil, dengan
papan besar bertuliskan: UJI KEBERANIAN! GEROBAK JERAMI HALLOWEEN BERHANTU
MULAI SAAT MATAHARI TERBENAM
5 DOLAR PER ORANG Jalur jalan kerikil berubah menjadi jalan tanah
sebelum mencapai hutan. Pintu masuk ke hutan
dihiasi dengan potongan gambar karikatur hantu dan
monster. Tampaknya gerobak jerami berhantu itu
akan melintasi hutan. Aku mencari Sarah tapi tidak
melihatnya di mana pun. Aku penasaran apakah dia
bakal naik gerobak jerami.
Henri dan aku memasuki paviliun. Para pemandu
sorak berkumpul di satu sisi, sebagian melukis wajah
anak-anak dengan tema Halloween, yang lainnya
menjual tiket undian yang akan diundi pada pukul
enam sore. "Hai, John," terdengar suara dari belakangku. Aku
berbalik dan mendapati Sarah di sana, memegang
kameranya. "Bagaimana pawainya?"
Aku tersenyum dan menyelipkan tangan ke dalam
saku celanaku. Ada hantu putih kecil yang dilukis di
pipinya. "Hei, kamu," kataku. "Bagus. Kurasa aku mulai
terbiasa dengan daya tarik kota kecil Ohio ini."
"Daya tarik" Maksudmu membosankan, ya?"
Aku mengangkat bahu. "Entah. Kota ini nggak buruk
kok." "Hei, anjing kecil dari sekolah. Aku ingat kamu," kata
Sarah, membungkuk membelai Bernie Kosar. Bernie
Kosar mengibas-ngibaskan ekor dengan cepat,
melompat-lompat, dan mencoba menjilat wajah
Sarah. Sarah tertawa. Aku menoleh ke belakang.
Henri sekitar enam meter dariku, berbicara dengan ibu
Sarah di salah satu meja piknik. Aku ingin tahu apa
yang mereka bicarakan. "Kurasa dia menyukaimu. Namanya Bernie Kosar."
"Bernie Kosar" Itu nggak cocok buat anjing selucu ini.
Lihat mantelnya. Imut banget."
"Tahu nggak" Kalau kau terus begitu bisa-bisa aku
cemburu kepada anjingku sendiri," kataku.
Sarah tersenyum dan berdiri.
"Jadi apa kau mau membeli tiket undian dariku" Ini
untuk membangun kembali tempat penampungan
binatang non-komersial di Colorado yang bulan lalu
hancur akibat kebakaran."
"Oh, ya" Lalu bagaimana bisa seorang gadis dari
Paradise, Ohio, tahu tentang penampungan binatang
di Colorado?" "Dari bibiku. Aku berhasil meyakinkan semua gadis di
tim cheerleader untuk berpartisipasi. Kami akan pergi
ke sana dan membantu pembangunannya. Kami akan
membantu hewan-hewan dan meninggalkan sekolah
serta Ohio selama satu minggu. Ini situasi yang
menguntungkan bagi siapa pun."
Aku membayangkan Sarah mengenakan helm
bangunan dan memegang palu. Pikiran itu
membuatku meringis. "Jadi maksudmu aku harus
kerja di dapur sendirian selama satu minggu?" Aku
berpura-pura mendesah kesal dan menggelengkan
kepala. "Aku nggak yakin mau mendukung
perjalanan seperti itu, bahkan jika itu untuk para
binatang." Sarah tertawa dan meninju lenganku. Aku
mengeluarkan dompet dan memberinya lima dolar
untuk enam tiket. "Ini tiket keberuntungan," katanya.
"Masa?" "Jelas, dong. Kau kan membelinya dariku."
Lalu, melalui bahu Sarah, aku bisa melihat Mark dan
teman-teman laki-lakinya berjalan menuju paviliun.
"Apa kau mau naik gerobak jerami berhantu malam
ini?" tanya Sarah. "Yeah, aku sedang mempertimbangkannya."
"Kau harus naik. Asyik, lho. Semua orang naik. Lagi
pula, memang benar-benar mengerikan."
Mark melihat Sarah dan aku mengobrol, dan
cemberut. Dia berjalan ke arah kami. Tetap
mengenakan pakaian yang sama- jaket football,
celana jins biru, rambut penuh minyak rambut.
"Kau ikut?" tanyaku.
Sebelum Sarah menjawab, Mark menyela. "Kau suka
pawainya, Johnny?" tanyanya. Sarah berbalik cepat
dan memelototi Mark. "Sangat suka," jawabku.
"Apa kau ikut naik gerobak jerami berhantu malam
ini, atau apa kau terlalu takut?"
Aku tersenyum. "Sebenarnya, aku ikut."
"Apa nanti kau akan ketakutan seperti waktu di
sekolah dan lari di hutan serta menangis seperti bayi?"
"Jangan berengsek, Mark," jawab Sarah.
Mark memandangku, dongkol. Dengan banyaknya
orang di tempat itu, dia tidak bisa melakukan apa pun
tanpa membuat keributan- dan kupikir dia tidak akan
melakukan apa pun. "Semua ada waktunya," kata Mark.
"Begitu?" "Waktumu akan tiba," katanya.
"Mungkin benar," kataku. "Tapi bukan darimu."
"Hentikan!" bentak Sarah. Sarah menyela di antara
kami dan mendorong kami saling menjauh. Orangorang menonton. Dia melirik
berkeliling seolah malu karena menjadi pusat perhatian. Lalu dia merengut ke
arah Mark dank e arahku. "Ya, sudah. Kalian bisa berkelahi kalau itu yang kalian
mau. Semoga sukses," kata Sarah, lalu berbalik dan
berjalan pergi. Aku menatapnya pergi. Mark tidak.
"Sarah," aku memanggil. Namun Sarah tetap berjalan
dan menghilang di balik paviliun.
"Segera," kata Mark.
Aku balik menatapnya. "Aku nggak yakin."
Mark mundur dan kembali ke teman-temannya. Henri
berjalan ke arahku. "Kurasa dia bukan bertanya mengenai PR Matematika
buat besok?" "Sama sekali tidak," kataku.
"Aku tak akan memedulikannya," kata Henri.
"Sepertinya dia cuma besar mulut."
"Aku tidak," kataku, lalu melirik ke tempat Sarah
menghilang. "Haruskah aku mengejarnya?" tanyaku,
lalu memandang Henri, memohon kepada bagian
dirinya yang pernah menikah dan jatuh cinta, bagian
dirinya dirinya yang masih merindukan istrinya hingga
hari ini, dan bukan bagian diri Henri yang ingin aku
selamat dan bersembunyi. Henri mengangguk. "Yeah," katanya sambil
mendesah. "Walaupun aku tak suka mengatakan ini,
mungkin sebaiknya kau pergi menyusulnya."
ANAK-ANAK BERLARI, BERTERIAK, MAIN seluncur dan
main panjat-panjatan. Setiap anak memegang
sekantong permen dan mulut mereka sibuk
mengulum permen. Mereka semua berpakaian seperti
tokoh kartun, monster, setan kuburan, dan hantu. Saat
ini pastilah setiap penduduk Paradise berada di taman.
Dan di tengah keributan itu, aku melihat Sarah, duduk
sendiri, berayun-ayun di ayunan.
Aku bergerak menembus teriakan dan jeritan senang
anak-anak. Saat Sarah melihatku, dia tersenyum dan
mata birunya bersinar. "Mau didorong?" tanyaku.
Dia memberi isyarat ke arah ayunan kosong di
sampingnya dan aku pun duduk di sana.
"Baik-baik saja?" tanyaku.
"Yeah, aku baik-baik saja. Mark membuatku lelah. Dia
selalu harus bertingkah seperti jagoan dan kasar saat
berada di antara teman-temannya."
Sarah memutar ayunan hingga talinya tegang, lalu
mengangkat kaki. Ayunan itu berputar, awalnya
perlahan, namun makin lama makin cepat. Sarah
tertawa, rambut pirangnya berkibar di belakangnya.
Aku juga melakukan yang sama. Saat ayunan itu
berhenti, dunia masih tetap berputar.
"Di mana Bernie Kosar?"
"Kutinggalkan bersama Henri," kataku.
"Ayahmu?" "Ya, ayahku." Aku selalu begitu, memanggil Henri
dengan namanya padahal seharusnya aku
memanggilnya "Ayah."
Udara semakin dingin. Buku-buku jariku yang
memegang rantai ayunan memutih karena dingin.
Kami memandang anak-anak berlarian di sekitar
kami. Sarah memandangku dan matanya tampak
lebih biru saat hari semakin senja. Mata kami saling
bertaut, kami saling bertatapan. Kami tidak
mengatakan apa pun namun saling memahami satu
sama lain. Anak-anak seolah menghilang. Lalu Sarah
tersenyum malu dan mengalihkan pandangan.
"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanyaku.
"Tentang apa?" "Mark." Sarah mengangkat bahu. "Apa yang bisa kulakukan"
Aku sudah putus dengannya. Aku selalu bilang aku
tidak berminat untuk berpacaran lagi."
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus bereaksi seperti
apa. "Tapi, ngomong-ngomong, sebaiknya aku mencoba
menjual sisa tiket ini. Tinggal satu jam lagi sebelum
penarikan undian." "Perlu bantuan?"
"Oh, tak apa. Kau seharusnya bersenang-senang.
Mungkin saat ini Bernie Kosar merindukanmu. Tapi kau
harus tetap di sini supaya bisa ikut naik gerobak
jerami. Kita naik sama-sama ya nanti?"
"Tentu," kataku. Hatiku serasa terbang, tapi aku
menyembunyikannya. "Kalau begitu, sampai ketemu nanti."
"Sukses dengan tiketnya."
Sarah mengulurkan tangan, meraih tanganku, dan
memegangnya selama tiga detik. Lalu dia melepaskan
pegangannya, melompat berdiri dari ayunan dan
bergegas pergi. Aku tetap duduk di sana, berayun
pelan, menikmati angin dingin yang sudah lama tidak
kurasakan karena kami menghabiskan musim dingin
yang lalu di Florida, dan musim dingin sebelumnya di
Texas selatan. Saat kembali ke paviliun, Henri duduk
di meja piknik sambil memakan sepotong pie dengan
Bernie Kosar berbaring di kakinya.
"Bagaimana?" "Bagus," kataku sambil tersenyum.
Dari suatu tempat, kembang api oranye dan biru
ditembakkan ke atas dan meledak di langit. Aku
teringat Lorien dan kembang api yang kulihat pada
hari penyerbuan. "Apa kau sudah memikirkan mengenai pesawat
kedua yang kulihat?"
Henri memandang berkeliling untuk memastikan tidak
ada yang bisa mendengar. Kami hanya berdua di
meja piknik itu, lagi pula letaknya di ujung dan jauh
dari kerumunan orang. "Sedikit. Tapi aku tak tahu apa artinya."
"Menurutmu apakah pesawat itu ke sini?"
"Tidak. Itu tak mungkin. Jika pesawat itu
menggunakan bahan bakar minyak, seperti yang kau
bilang, pasti pesawat itu tak bisa bepergian jauh
tanpa mengisi bahan bakar."
Aku duduk sebentar. "Kuharap pesawat itu bisa."
"Bisa apa?" "Ke sini, bersama kita."
"Itu pikiran bagus," kata Henri.
*** Sekitar satu jam lewat dan aku melihat semua
pemain football, Mark di depan, berjalan melintasi
rumput. Mereka mengenakan kostum mumi, zombie
atau mayat hidup, dan hantu. Dua puluh lima orang.
Mereka duduk di bangku stadion di dekat lapangan
bisbol. Para pemandu sorak, yang sebelumnya
melukis wajah anak-anak, mulai merias Mark dan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman-temannya agar kostum mereka lengkap. Baru
kusadari bahwa para pemain football itulah yang
akan menakut-nakuti penumpang dalam perjalanan
dengan gerobak jerami berhantu. Merekalah yang
menanti kami di hutan. "Lihat itu?" aku bertanya kepada Henri.
Henri memandang mereka semua dan mengangguk.
Kemudian dia mengangkat cangkir kopi dan minum
perlahan-lahan. "Masih menimbang-nimbang apakah sebaiknya kau
naik gerobak itu?" tanya Henri.
"Nggak," kataku. "Aku memang akan naik gerobak
itu." "Sudah kuduga."
Tampaknya Mark menjadi zombie atau semacamnya.
Dia mengenakan pakaian berwarna gelap yang
compang-camping, dengan riasan wajah hitam dan
abu-abu, serta bercak merah serupa darah di berbagai
tempat. Saat kostumnya sudah lengkap, Sarah
berjalan ke arahnya dan mengatakan sesuatu. Suara
Mark meninggi, tapi aku tidak bisa mendengar apa
yang dia katakan. Mark menggerak-gerakkan tangan
dan berbicara dengan sangat cepat sehingga katakatanya tidak jelas. Sarah
menyilangkan lengan dan menggelengkan kepala ke arah Mark. Badan Mark
menegang. Aku berdiri, tapi Henri meraih tanganku.
"Jangan," katanya. "Mark justru membuat Sarah
semakin menjauh." Aku memandang dan berharap bisa mendengar apa
yang mereka katakan, tapi terlalu banyak anak-anak
yang menjerit dan berteriak di sekitarku. Saat mereka
berhenti berteriak, Mark dan Sarah berdiri saling
pandang. Mark cemberut kesal dan Sarah meringis tak
percaya. Lalu Sarah menggeleng dan berjalan pergi.
Aku memandang Henri. "Apa yang harus kulakukan
sekarang?" "Tak ada," katanya. "Tak ada."
Mark berjalan kembali ke teman-temannya, dengan
kepala menunduk dan muka cemberut. Beberapa dari
mereka memandang ke arahku. Seringai muncul di
wajah mereka. Lalu mereka berjalan ke hutan. Arakarakan pelan dua puluh lima
remaja laki-laki berkostum menghilang di kejauhan.
*** Untuk menghabiskan waktu, aku kembali ke pusat
kota bersama Henri dan makan malam di Hungry
Bear. Saat kami kembali, matahari telah terbenam
dan rangkaian gerobak berisi jerami pertama yang
ditarik traktor hijau sudah pergi ke hutan. Kerumunan
orang semakin kecil. Yang tersisa hanyalah para murid
SMA dan orang dewasa yang berjiwa muda.
Jumlahnya sekitar seratus orang atau lebih. Aku
mencari Sarah tapi tidak melihatnya. Rangkaian
gerobak selanjutnya akan berangkat sepuluh menit
lagi. Menurut brosur, perjalanan itu memakan waktu
setengah jam. Traktor akan membawa kami
menembus hutan perlahan-lahan, sehingga
ketegangan memuncak. Setelah itu, traktor berhenti
lalu para penumpang turun dan kembali pulang
dengan berjalan kaki. Saat itulah kengerian dimulai.
Henri dan aku berdiri di paviliun. Aku kembali
memeriksa antrean orang-orang yang menunggu
giliran mereka. Aku tetap tidak melihat Sarah. Lalu
ponsel di sakuku bergetar. Aku tidak ingat kapan
terakhir kali ponselku berbunyi dan peneleponnya
bukan Henri. Yang tertera adalah SARAH HART. Aku
merasa gembira. Pasti Sarah sudah memasukkan
nomorku ke ponselnya pada hari ketika dia
memasukkan nomornya ke ponselku.
"Halo?" kataku.
"John?" "Yeah." "Hai. Ini Sarah. Kau masih di taman?" katanya. Dia
terdengar seperti sudah biasa meneleponku. Jadi, aku
seharusnya tidak terkejut karena dia sudah memiliki
nomorku walaupun aku tak pernah memberikannya.
"Ya." "Bagus! Aku sampai di sana lima menit lagi. Apa
gerobaknya sudah mulai jalan?"
"Ya, beberapa menit yang lalu."
"Kau belum pergi, kan?"
"Belum." "Oh, baguslah! Tunggu aku supaya kita bisa pergi
sama-sama." "Yeah, tentu," kataku. "Sebentar lagi yang kedua
berangkat." "Bagus. Berarti kita bisa naik yang ketiga."
"Sampai nanti."
Aku menutup ponsel, senyum lebar menghiasi
wajahku. "Hati-hati di sana," kata Henri.
"Pasti." Lalu aku berhenti dan berusaha agar suaraku
terdengar biasa saja. "Kau tidak perlu menunggu di
sini. Aku yakin pasti bisa menemukan orang yang
mau mengantarku pulang."
"Aku bersedia tinggal dan hidup di kota ini, John.
Walaupun, mengingat berbagai peristiwa yang sudah
terjadi, sebenarnya mungkin lebih baik jika kita pergi.
Tapi aku bertanggung jawab untuk menjagamu dari
berbagai hal. Dan ini salah satunya. Aku tak suka cara
teman-temanmu tadi menatapmu."
Aku mengangguk. "Aku akan baik-baik saja," kataku.
"Aku yakin begitu. Tapi sekadar jaga-jaga, aku tunggu
di sini." Aku mendesah. "Baiklah."
Sarah datang lima menit kemudian bersama seorang
temannya yang cantik. Aku pernah melihatnya tapi
kami belum pernah berkenalan. Sarah sudah ganti
baju. Sekarang dia mengenakan jins, sweater wol,
dan jaket hitam. Lukisan hantu di pipi kanannya
sudah dihapus. Rambutnya digerai, jatuh melewati
bahunya. "Hei, kamu," katanya.
"Hai." Sarah memeluk lenganku sebentar. Aku bisa
menghirup wangi parfum dari lehernya. Lalu dia
melepaskan pelukannya. "Hai, ayahnya John," katanya kepada Henri. "Ini
Emily." "Senang bertemu kalian berdua," kata Henri. "Jadi
kalian akan menyongsong teror itu?"
"Pastinya," kata Sarah. "Apa dia akan baik-baik saja
di sana" Aku nggak mau dia terlalu ketakutan nanti,"
kata Sarah kepada Henri, menggerakkan kepala ke
arahku sambil tersenyum. Henri meringis dan aku tahu dia menyukai Sarah.
"Sebaiknya kau tetap di dekatnya, sekadar jagajaga."
Sarah menoleh ke belakang. Rangkaian gerobak
ketiga sudah terisi seperempatnya. "Saya akan
menjaganya," kata Sarah. "Sebaiknya kami pergi."
"Selamat bersenang-senang," kata Henri.
Sarah menggandengku, membuatku terkejut. Kami
bertiga bergegas menuju gerobak jerami yang
berjarak sekitar 100 meter dari paviliun. Ada antrean
sepanjang tiga puluh orang. Kami berbaris di
belakangnya dan mulai mengobrol, walaupun aku
merasa agak malu dan lebih banyak mendengar
kedua gadis itu berbicara. Saat kami menunggu, aku
melihat Sam menanti di samping kami seolah
menimbang apakah sebaiknya menyapa kami atau
tidak. "Sam!" Aku berteriak lebih ceria daripada yang
kuinginkan. Sam berhenti. "Kau mau ikut kami?"
Sam mengangkat bahu. "Boleh?"
"Ayo," kata Sarah sambil memberi isyarat agar Sam
ikut. Sam berdiri di samping Emily, yang tersenyum
kepadanya. Wajah Sam langsung memerah. Aku
senang Sam ikut. Tiba-tiba seorang anak yang
memegang walkie-talkie menghampiri. Aku
mengenalinya. Dia anak dari tim football.
"Hai, Tommy," sapa Sarah.
"Hei," katanya. "Tinggal empat tempat lagi di gerobak
ini. Kalian mau?" "Beneran?" "Yeah." Kami memotong antrean dan melompat masuk ke
dalam gerobak lalu duduk di atas jerami. Aku merasa
aneh karena Tommy tidak meminta tiket. Aku curiga
mengapa dia membolehkan kami memotong antrean.
Sebagian orang yang mengantre memandang kami
dengan kesal. Aku tak bisa menyalahkan mereka.
"Selamat menikmati perjalanan," kata Tommy sambil
menyeringai, seringai yang biasa muncul di wajah
orang yang tahu bahwa sesuatu yang buruk akan
menimpa orang mereka benci.
"Aneh," kataku.
Sarah mengangkat bahu. "Mungkin dia naksir Emily."
"Oh, Tuhan. Semoga tidak," kata Emily sambil purapura muntah.
Aku memperhatikan Tommy dari tumpukan jerami.
Rangkaian gerobak ini hanya terisi setengahnya.
Menurutku ini juga aneh karena ada banyak sekali
orang yang mengantre. Traktor berangkat, melonjak-lonjak sepanjang jalan,
dan bergerak di jalan masuk hutan. Suara-suara
mengerikan terdengar dari pengeras suara
tersembunyi. Hutan ini cukup lebat. Selain lampu
depan traktor, tidak ada cahaya lain. Begitu lampu itu
mati, pikirku, pasti keadaan langsung gelap gulita.
Sarah memegang tanganku lagi. Tangannya dingin,
tapi aku merasakan kehangatan mengalir melalui
diriku. Dia merapatkan badannya dan berbisik, "Aku
agak takut." Gambar-gambar hantu bergelantungan dari dahandahan rendah di atas kepala kami.
Di pinggir jalan, para mayat hidup menyeringai sambil bersandar di
pepohonan. Traktor berhenti. Lampu depan dimatikan.
Lalu terlihat kilauan cahaya yang berkelap-kelip
selama sepuluh detik. Itu tidak menakutkan. Setelah
cahaya itu berhenti, barulah aku mengerti apa
pengaruhnya: mata kami memerlukan waktu
beberapa detik untuk menyesuaikan diri dan kami
tidak bisa melihat apa pun. Lalu terdengar jeritan
membelah malam. Sarah menegang di dekatku saat
berbagai sosok mengelilingi kami. Aku menyipitkan
mata untuk melihat. Aku bisa melihat Emily sudah
pindah ke samping Sam dan Sam tersenyum lebar.
Sebenarnya aku sendiri juga agak takut. Aku
memeluk Sarah dengan hati-hati. Sebuah tangan
menyentuh punggung kami dan Sarah mencengkeram
kakiku dengan kuat. Sebagian penumpang menjerit.
Dengan satu sentakan, traktor kembali menyala dan
bergerak ke depan. Tidak tampak apa pun kecuali
pepohonan yang tertimpa cahaya lampu traktor.
Kami berkendara selama tiga atau empat menit.
Ketegangan bertambah akibat rasa takut karena
harus berjalan kembali ke tempat yang kami lewati
barusan. Lalu traktor masuk ke suatu tempat terbuka
yang berbentuk bundar dan berhenti.
"Semua turun," teriak si pengemudi.
Saat orang terakhir turun, traktor itu pergi. Cahaya
dari lampu traktor meredup lalu hilang di kejauhan,
meninggalkan kami sendiri dalam kegelapan malam
tanpa suara apa pun selain suara kami sendiri.
"Sial," kata seseorang, dan kami semua tertawa.
Kami semua bersebelas. Rangkaian lampu menyala,
menunjukkan arah kepada kami, lalu padam. Aku
menutup mata untuk merasakan jari-jari Sarah yang
bertautan dengan jari-jariku.
"Entah kenapa aku melakukan ini tiap tahun," kata
Emily gugup sambil memeluk dirinya sendiri.
Penumpang lain mulai menyusuri jalan dan kami
mengekor. Rangkaian lampu menyala sesekali untuk
menjaga agar kami tidak tersesat. Lampu-lampu lain
terletak jauh di depan sehingga kami tidak bisa
melihatnya. Aku sulit melihat tanah yang kuinjak.
Tiba-tiba di depan kami terdengar tiga atau empat
jeritan. "Oh, tidak," kata Sarah sambil meremas tanganku.
"Sepertinya di depan ada masalah."
Lalu ada sesuatu yang berat jatuh menimpa kami.
Kedua gadis itu menjerit, begitu pula dengan Sam.
Aku tersandung dan terjatuh, lututku luka,
terperangkap dalam benda apa pun itu. Lalu aku
sadar itu jaring! "Apa-apaan?" kata Sam.
Aku merobek jalinan tali-temali itu. Namun begitu
berhasil membebaskan diri, ada yang menubrukku
dengan keras dari belakang. Seseorang menangkap
dan menyeretku menjauhi kedua gadis dan Sam. Aku
melepaskan diri dan berdiri, tapi kemudian dipukul
dari belakang lagi. Ini bukan bagian dari acara.
"Lepaskan aku!" teriak salah satu gadis. Terdengar
tawa laki-laki sebagai jawabannya. Aku tidak bisa
melihat apa pun. Suara gadis itu menjauhiku.
"John?" panggil Sarah.
"Di mana kau, John?" teriak Sam.
Aku berdiri untuk mengejar mereka, tapi aku dipukul
lagi. Tidak, itu tidak tepat. Aku dijegal. Aku tersedak
saat roboh ke tanah. Aku bergegas berdiri sambil
berusaha bernapas, memegang pohon sebagai


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sandaran. Mulutku penuh tanah dan daun.
Aku berdiri di sana selama beberapa detik. Tidak
terdengar apa pun kecuali napasku yang berat. Saat
kupikir aku ditinggalkan sendiri, seseorang
menghantamku dengan bahunya dan membuatku
terlontar ke pohon lain di dekat situ. Kepalaku
menghantam batangnya. Mataku berkunang-kunang.
Aku kaget dengan kekuatan orang itu. Aku meraih ke
atas, menyentuh dahiku dan merasakan darah. Aku
kembali memandang berkeliling tapi tidak bisa
melihat apa pun kecuali siluet pepohonan.
Aku mendengar jeritan salah satu gadis, yang diikuti
dengan bunyi orang bergumul. Aku menggertakkan
gigi. Aku gemetar. Apa ada orang di antara
pepohonan di sekitarku" Aku tidak tahu. Tapi aku
merasa ada yang menatapku, entah dari mana.
"Lepaskan!" teriak Sarah. Dia ditarik menjauh, aku
tahu itu. "Oke," kataku ke kegelapan, ke arah pepohonan.
Darahku mendidih. "Kalian mau cari gara-gara ya?"
kataku, kali ini dengan keras. Seseorang tertawa di
dekatku. Aku melangkah ke arah sumber suara itu. Aku
didorong dari belakang tapi berhasil menyeimbangkan
diri sebelum terjatuh. Kuayunkan tinju dan punggung
tanganku menggores kulit pohon. Tidak ada lagi yang
bisa kulakukan. Apa gunanya memiliki Pusaka jika
kekuatan itu tidak digunakan saat diperlukan"
Walaupun jika itu berarti Henri dan aku harus
memasukkan barang-barang ke dalam truk malam ini
dan pergi ke kota lain, setidaknya aku sudah
melakukan apa yang seharusnya kulakukan.
"Kalian cari gara-gara?" teriakku lagi. "Aku juga bisa
cari gara-gara!" Darah mengalir di samping wajahku. Oke, pikirku, ayo
kita lakukan. Mereka bisa melakukan apa pun yang
mereka mau terhadapku, tapi mereka tidak boleh
menyakiti Sarah seujung rambut pun.
Aku menarik napas dalam dan merasakan adrenalin
mengalir. Aku tersenyum kejam dan tubuhku terasa
seolah menjadi lebih besar dan lebih kuat. Tanganku
menyala dan bersinar terang menerangi malam yang
gelap. Sekonyong-konyong dunia pun terang
benderang. Aku mengangkat kepala. Kusorotkan tanganku ke
arah pepohonan dan berlari di kegelapan
malam.KEVIN KELUAR DARI ANTARA PEPOHONAN,
berpakaian seperti mumi. Dialah yang tadi
menjegalku. Sinar dari tanganku membutakannya. Dia
tampak heran, berusaha mengetahui darimana asal
sinar itu. Kevin mengenakan night-vision goggle atau
kacamata untuk melihat dalam gelap. Jadi begitu cara
mereka melihat kami, kupikir. Dari mana mereka
mendapatkannya" Kevin berlari menyerbu ke arahku. Pada detik terakhir
aku bergeser dan menjegalnya.
"Lepaskan!" Terdengar jeritan di kejauhan. Aku
mendongak dan menyorotkan cahayaku ke arah
pepohonan tapi tak ada yang bergerak. Aku tidak
tahu itu suara Emily atau Sarah. Jeritan itu diikuti
suara tawa laki-laki. Kevin berusaha berdiri tapi aku menendangnya
sebelum dia bisa berdiri. Dia kembali jatuh sambil
mengerang. Aku merenggut kacamata itu dari wajah
Kevin dan melemparkannya sejauh mungkin. Aku
tahu kacamata itu akan terlempar sejauh dua
kilometer, atau mungkin tiga atau lima kilo karena
aku begitu marah sehingga kekuatanku tak
terkendali. Lalu aku berlari menembus hutan sebelum
Kevin bisa duduk. Jalan itu berbelok ke kiri, kemudian ke kanan.
Tanganku bersinar hanya ketika aku memerlukan
cahaya untuk melihat. Aku bisa merasakan bahwa
aku sudah dekat. Lalu aku melihat Sam di depan,
berdiri dipegangi dua anak yang berpakaian seperti
mayat hidup. Tiga anak berkostum mayat hidup lain
ada di dekatnya. Mayat hidup itu melepaskan Sam. "Tenang, kami
cuma bercanda. Kalau kau nggak melawan, kami
nggak akan menyakitimu," katanya kepada Sam.
"Kau duduk saja."
Aku menyalakan tanganku dan menyorotkan
cahayanya ke mata mereka agar silau. Orang
terdekat berjalan ke arahku. Aku berputar dan
memukul pelipisnya. Dia jatuh tak bergerak ke tanah.
Kacamatanya terlempar ke semak-semak berduri dan
hilang. Orang kedua mencoba membelengguku, tapi
aku melepaskan diri dan mengangkatnya.
"Apa-apaan?" katanya, bingung.
Aku melemparnya dan dia membentur pohon yang
berjarak enam meter dari situ. Orang ketiga melihat
kejadian itu dan melarikan diri. Berarti yang tersisa
hanyalah orang keempat, yang memegang Sam. Dia
mengangkat tangan di depan dada seolah aku
membidikkan senjata ke dadanya.
"Ini bukan ideku," katanya.
"Apa yang dia rencanakan?"
"Nggak ada. Kami cuma ingin mempermainkan kalian,
menakut-nakutimu sedikit."
"Di mana mereka?"
"Mereka membiarkan Emily pergi. Sarah di atas."
"Kemarikan kacamatamu," kataku.
"Nggak bisa. Ini kami pinjam dari polisi. Aku bisa kena
masalah." Aku mendekatinya. "Oke ... oke," katanya. Dia melepaskan kacamatanya
dan memberikannya kepadaku. Aku melemparkan
kacamata itu dengan lebih kuat daripada sebelumnya.
Kuharap kacamata ini mendarat di kota tetangga. Biar
mereka menjelaskan apa yang terjadi kepada polisi.
Aku menarik kaus Sam dengan tangan kanan. Aku
tidak bisa melihat apa pun tanpa menyalakan sinarku.
Baru kemudian kusadari bahwa seharusnya aku
menyimpan kedua kacamata itu untuk kami. Tapi
tidak. Jadi aku menarik napas dalam dan membiarkan
tangan kiriku bersinar lalu mulai mendaki. Jika Sam
merasa itu aneh, dia tidak mengatakannya.
Aku berhenti dan berusaha mendengarkan. Tak
terdengar apa pun. Kami terus berjalan menembus
pepohonan. Aku memadamkan sinar di tanganku.
"Sarah!" aku berteriak.
Aku diam untuk mendengarkan. Tidak terdengar apa
pun kecuali suara angin bertiup melalui dahan pohon
dan napas Sam yang terengah-engah.
"Ada berapa orang bersama Mark?" tanyaku.
"Lima atau lebih."
"Kau tahu ke mana mereka pergi?"
"Nggak lihat." Kami terus berjalan. Aku tidak tahu ke mana kami
menuju. Di kejauhan aku mendengar raungan mesin
traktor. Perjalanan keempat dimulai. Aku merasa
kalut dan ingin berlari, tapi aku tahu Sam tidak akan
bisa mengejar. Dia sudah terengah-engah. Aku pun
sudah berkeringat walaupun suhu udara hanya tujuh
derajat. Atau mungkin aku keliru mengira darah
sebagai keringat. Entahlah.
Saat kami melewati sebuah pohon besar dengan
dahan bengkok, aku diserang dari belakang. Sam
berteriak saat sebuah tinju menghantam belakang
kepalaku. Aku kaget dan diam sebentar, tapi
kemudian aku berputar, mencengkeram leher anak
lelaki yang memukulku, dan menyorotkan sinar ke
wajahnya. Dia mencoba melepaskan cengkeraman
jari-jariku tapi percuma.
"Apa yang Mark rencanakan?"
"Tak ada," katanya.
"Jawaban yang salah."
Aku melemparkannya ke pohon satu setengah meter
jauhnya. Lalu aku memegang lehernya dan
mengangkatnya dari tanah. Kakinya menendangnendang liar, mengenaiku, namun aku
mengencangkan otot-ototku sehingga tendangannya
tidak menyakitiku. "Apa yang Mark rencanakan?"
Aku menurunkannya hingga kakinya menyentuh
tanah dan melonggarkan cengkeramanku agar dia
bisa berbicara. Aku merasa Sam memandangi,
mengamati semua ini, tapi tak ada yang bisa
kulakukan tentang itu. "Kami cuma ingin menakut-nakuti kalian," dia
terengah. "Aku bersumpah akan mematahkanmu jadi dua jika
kau tidak mengatakan yang sebenarnya."
"Mark pikir yang lain akan membawa kalian berdua
ke Shepherd Falls. Dia membawa Sarah ke sana. Mark
ingin Sarah melihatnya menghajar kalian berdua,
kemudian melepaskan kalian."
"Antarkan aku ke sana," kataku.
Dia berjalan dengan kaki terseret. Aku memadamkan
sinar di tanganku. Sam memegang kausku dan
mengikuti. Saat kami berjalan di tempat terbuka yang
diterangi sinar bulan, aku bisa melihat Sam
memandangi tanganku. "Sarung tangan," kataku. "Tadi Kevin Miller
menggunakannya. Semacam properti Halloween."
Sam mengangguk tapi aku tahu dia takut. Kami
berjalan sekitar satu menit hingga akhirnya
mendengar bunyi air mengalir di atas kami.
"Berikan kacamatamu," kataku kepada anak lelaki
yang mengantar kami. Dia ragu-ragu. Aku memelintir tangannya. Dia
menggeliat kesakitan dan langsung melepaskan
kacamata itu dari kepalanya.
"Ambil, ambil," teriaknya.
Saat aku mengenakan kacamata itu, dunia berubah
menjadi kehijauan. Aku mendorongnya dengan keras
hingga jatuh ke tanah. "Ayo," kataku kepada Sam. Kami berjalan
meninggalkan anak lelaki itu.
Aku bisa melihat sekelompok orang di atas. Aku
menghitung. Delapan anak laki-laki, ditambah Sarah.
"Aku bisa melihat mereka. Kau mau menunggu di sini
atau ikut denganku" Mungkin bakal buruk."
"Aku ikut," kata Sam. Aku tahu Sam takut, walaupun
aku tidak tahu apakah itu karena melihat apa yang
kulakukan atau karena melihat para pemain football
di depan kami. Aku berjalan ke atas sepelan mungkin. Sam
mengendap-ngendap di belakangku. Saat tinggal
beberapa meter lagi, ranting di bawah kaki Sam
patah. "John?" Sarah bertanya. Dia duduk di sebuah batu
besar sambil memeluk lutut. Dia tidak mengenakan
kacamata dan menyipitkan mata ke arah kami.
"Ya," kataku. "Dan Sam."
Sarah tersenyum. "Sudah kubilang," katanya, mungkin
kepada Mark. Suara air yang tadi kudengar ternyata hanyalah
sungai kecil. Mark melangkah ke depan.
"Wah, wah, wah," katanya.
"Diam, Mark," kataku. "Pupuk kandang di lokerku itu
masalah lain, tapi kali ini kamu sudah kelewatan."
"Oh, ya" Delapan lawan dua."
"Sam tidak ada hubungannya dengan ini. Kau takut
menghadapiku sendiri?" tanyaku. "Kau pikir apa yang
akan terjadi" Kau sudah menculik dua orang. Apa
menurutmu mereka akan diam saja?"
"Yeah, kupikir begitu. Saat mereka melihatku
menghajarmu." "Kau berkhayal," kataku, lalu memandang yang
lainnya. "Kalau tidak mau diceburkan ke dalam air,
kusarankan kalian pergi sekarang. Mark sudah pasti
akan kuceburkan. Tak bisa ditawar-tawar lagi."
Mereka semua terkekeh. Salah satu dari mereka
bertanya apa maksudnya "ditawar-tawar".
"Ini kesempatan terakhir kalian," kataku.
Mereka semua tetap berdiri tegak.
"Oke," kataku. Dadaku berdebar-debar karena tegang. Saat aku
maju satu langkah, Mark mundur dan tersandung
kakinya sendiri lalu jatuh ke tanah. Dua orang
mendekatiku, keduanya lebih besar dariku. Salah satu
mengayunkan tinju. Aku merunduk dan
menyarangkan tinjuku di perutnya. Dia mundur
dengan tangan memegangi perut. Aku mendorong
lelaki kedua. Dia terlontar lalu mendarat dengan
bergedebuk sekitar dua meter dari sana. Momentum
menyebabkannya jatuh ke air. Dia tercebur. Yang lainlain berdiri diam, kaget.
Aku merasa Sam bergerak menuju Sarah. Aku mencengkeram anak laki-laki
pertama dan menyeretnya. Dia menendang-nendang
liar namun tidak mengenai apa pun. Saat tiba di tepi
sungai, aku mengangkatnya dengan memegang
bagian pinggang celana jinsnya lalu melemparkannya
ke air. Satu anak lain menerjang ke arahku. Aku
hanya bergeser sedikit dan dia pun masuk ke sungai,
dengan wajah terlebih dahulu. Sudah tiga. Empat lagi.
Aku bertanya-tanya seberapa banyak yang bisa Sarah
dan Sam lihat tanpa kacamata.
"Ini terlalu mudah," kataku. "Siapa berikutnya?"
Laki-laki paling besar di kelompok itu mengayunkan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinju yang tidak mengenaiku. Walaupun begitu, aku
terlalu cepat membalas sehingga sikunya mengenai
wajahku dan tali karet kacamata yang kupakai putus.
Kacamata itu jatuh. Sekarang aku hanya bisa melihat
bayangan saja. Aku mengayunkan tinju dan
mengenai rahangnya. Dia jatuh seperti karung
kentang, diam, bagaikan tak bernyawa. Janganjangan aku terlalu keras meninjunya.
Kurampas kacamata night-visionnya dan kukenakan.
"Ada lagi?" Dua dari mereka mengangkat tangan di dada sebagai
tanda menyerah. Yang ketiga berdiri dengan mulut
ternganga seperti orang tolol.
"Itu berarti tinggal kau, Mark."
Mark berbalik berusaha melarikan diri. Tapi aku
mengejar dan meraihnya sebelum dia kabur, lalu
memitingnya. Dia merintih kesakitan.
"Ini berakhir di sini, kau mengerti?"
Aku mempererat cengkeramanku dan dia mengerang
kesakitan. "Apa pun yang membuatmu membenciku,
lupakan sekarang. Itu juga termasuk Sam dan Sarah.
Paham?" Cengkeramanku semakin kencang. Aku khawatir
bahu Mark lepas jika kupererat cengkeramanku.
"Aku bilang, kau paham?"
"Ya!" Aku menyeretnya ke Sarah. Sam duduk di batu di
samping Sarah. "Minta maaf." "Ayolah. Aku sudah paham."
Aku meremasnya. "Maaf!" teriak Mark.
"Katakan dengan sungguh-sungguh."
Mark menarik napas dalam. "Aku minta maaf,"
katanya. "Kau berengsek, Mark!" kata Sarah, lalu dia menampar
wajah Mark dengan keras. Mark menegang, tapi aku
memegangnya dengan kuat dan tidak ada yang bisa
dia lakukan. Aku menyeret Mark ke sungai. Teman-temannya
hanya bisa berdiri tertegun memandang. Anak lakilaki yang tadi kubuat pingsan
sedang duduk sambil mengusap-ngusap kepala seolah mencoba memahami
apa yang terjadi. Aku mendesah lega karena dia tidak
luka parah. "Kau tidak akan mengatakan apa pun tentang ini
kepada siapa pun, paham?" kataku, suaraku begitu
rendah sehingga hanya Mark yang bisa
mendengarnya. "Semua yang terjadi malam ini
berakhir di sini. Aku bersumpah, jika aku mendengar
satu patah kata pun tentang ini di sekolah minggu
depan, yang terjadi saat ini tidak ada apa-apanya
dibanding apa yang akan menimpamu nanti. Paham"
Tidak sepatah kata pun."
"Kau pikir aku akan mengatakan sesuatu?" tanya
Mark. "Pastikan teman-temanmu juga tidak mengatakan
apa pun. Jika mereka memberi tahu satu orang saja,
aku akan mendatangimu."
"Kami tidak akan mengatakan apa pun," kata Mark.
Kulepaskan peganganku, kutempelkan kakiku di
pantatnya, dan kudorong Mark ke dalam air, dengan
wajah terlebih dahulu. Sarah berdiri di dekat batu
dengan Sam di sampingnya. Dia memelukku erat saat
aku tiba di tempatnya. "Kau belajar kung fu atau apa?" tanyanya.
Aku tertawa gugup. "Seberapa banyak yang kau
lihat?" "Nggak banyak, tapi aku bisa tahu apa yang terjadi.
Maksudku, pasti kau berlatih di gunung seumur hidup
atau apalah. Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa
melakukan itu." "Kurasa aku cuma takut ada sesuatu yang
menimpamu. Dan ya, itu tadi hasil belajar seni bela
diri selama dua belas tahun di Himalaya."
"Kau hebat," Sarah tertawa. "Ayo pergi dari sini."
Mark dan teman-temannya tidak mengatakan apa
pun kepada kami. Setelah sekitar tiga meter, aku
sadar aku tak tahu harus berjalan ke arah mana jadi
aku memberikan kacamata itu kepada Sarah agar dia
bisa memimpin jalan. "Aku benar-benar tak percaya," kata Sarah.
"Maksudku, dasar berengsek. Tunggu sampai mereka
terpaksa menjelaskannya kepada polisi. Aku tak akan
membiarkan mereka lolos begitu saja."
"Apa kau benar-benar akan melapor ke polisi" Ayah
Mark kan sheriff," kataku.
"Setelah apa yang terjadi, kenapa nggak" Pekerjaan
ayah Mark itu untuk menegakkan hukum, walaupun
anaknya sendiri melanggar hukum."
Aku mengangkat bahu di kegelapan. "Kupikir mereka
sudah mendapatkan balasan yang setimpal."
Aku menggigit bibir, takut jika polisi terlibat. Jika
sampai polisi terlibat, tidak ada pilihan lain, aku harus
pergi. Begitu Henri tahu, kami akan mengepak barang
dan pergi ke luar kota. Aku mendesah.
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku. "Maksudku,
mereka sudah kehilangan beberapa night-vision
goggle. Mereka kan harus menjelaskan soal itu. Belum
lagi air sedingin es itu."
Sarah tidak mengatakan apa pun. Kami berjalan
tanpa berbicara dan aku berdoa agar Sarah
mempertimbangkan untuk membiarkan masalah ini
berlalu. Akhirnya tepi hutan terlihat. Kami bisa melihat cahaya
dari taman. Saat aku berhenti, baik Sarah maupun
Sam memandangku. Sam diam sepanjang waktu dan
aku berharap semoga dia tidak bisa melihat apa yang
terjadi dengan jelas, sekali ini kegelapan menjadi
sekutu tak terduga, dan semoga dia agak terguncang
dengan segala sesuatu yang terjadi.
"Terserah kalian," kataku, "tapi aku akan melupakan
masalah ini. Aku tak mau terpaksa bicara dengan
polisi mengenai apa yang terjadi."
Cahaya menyinari wajah Sarah yang ragu-ragu. Dia
menggelengkan kepala. "Dia benar," kata Sam. "Aku nggak mau terpaksa
duduk dan menulis surat pernyataan selama setengah
jam berikut. Aku bakal kena masalah. Ibuku pikir aku
tidur satu jam yang lalu."
"Rumahmu di dekat sini?" tanyaku.
Sam mengangguk. "Yeah, dan aku harus pulang
sebelum ibuku mengecek kamar. Sampai bertemu
lagi." Tanpa mengatakan apa pun lagi, Sam bergegas pergi.
Tampak jelas bahwa dia gemetar. Mungkin Sam
belum pernah terlibat dalam perkelahian, apalagi
sampai diculik dan diserang di hutan segala. Aku akan
mencoba berbicara dengannya besok. Jika dia melihat
sesuatu yang seharusnya tidak lihat, aku akan
meyakinkan Sam bahwa penglihatannya menipunya.
Sarah memegang wajahku menghadapnya. Dia
meraba lukaku dengan ibu jari, mengelus dahiku
lembut. Lalu dia menyusuri kedua alisku dan menatap
ke dalam mataku. "Terima kasih untuk malam ini. Aku tahu kau pasti
datang." Aku mengangkat bahu. "Aku tak akan membiarkan
Mark menakutimu." Sarah tersenyum dan aku bisa melihat matanya
berkilau di bawah sinar bulan. Dia mendekatkan diri
kepadaku. Begitu sadar apa yang akan terjadi, aku
tercekat. Ciuman pertamaku. Lalu Sarah mundur dan
menatapku. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Berbagai pikiran berkelebat di benakku. Kakiku terasa
goyah dan aku hampir tidak bisa berdiri tegak.
"Sejak pertama kali melihatmu aku tahu kau
istimewa," katanya. "Aku juga merasakan yang sama terhadapmu."
Sarah mendekat dan menciumku lagi, tangannya
ditekankan dengan lembut ke pipiku. Selama
beberapa detik pertama, aku terbuai oleh ciuman
kami dan pikiran bahwa aku bersama gadis cantik ini.
Sarah mundur. Kamu berdua saling tersenyum, tidak
mengatakan apa pun, hanya saling tatap.
"Yah, kurasa lebih baik kita pergi dan melihat apakah
Emily masih di sini," kata Sarah sekitar sepuluh detik
kemudian. "Kalau tidak ada, aku bakal terdampar di
sini." "Pasti Emily masih ada di sini," kataku.
Kami berjalan sambil bergandengan tangan ke
paviliun. Aku tidak bisa berhenti memikirkan ciuman
kami. Traktor kelima bergerak. Rangkaian gerobaknya
penuh dan masih ada antrian dengan sepuluh orang
atau lebih menunggu giliran mereka. Setelah segala
sesuatu yang terjadi di hutan, dengan tangan Sarah
yang hangat di genggamanku,Aku tak bisa berhenti
tersenyum. SALJU PERTAMA TURUN DUA MINGGU KEMUDIAN.
Tipis, hanya cukup untuk menutupi truk dengan
serbuk halus. Sejak Halloween berakhir, setelah kristal
Loric menyebarkan kekuatan Lumen ke seluruh
tubuhku, Henri memulai latihanku yang
sesungguhnya. Kami berlatih setiap hari, tanpa henti,
tak peduli cuaca dingin, hujan, ataupun salju.
Walaupun Henri tidak mengatakan apa pun, aku
yakin dia tak sabar menantiku siap. Awalnya Henri
tampak tak puas. Dia menggigit bibir bawah dengan
dahi berkerut. Selain itu, dia juga sering menghela
napas panjang dan susah tidur- aku sering mendengar
bunyi lantai kayu kamar Henri berderak di bawah
kakinya saat aku berbaring dalam keadaan terjaga di
kamarku. Lalu sekarang, nada putus asa terdengar
dalam suara Henri yang tegas.
Kami berdiri berhadapan di halaman belakang dengan
jarak tiga meter. "Aku nggak mood hari ini," kataku.
"Aku tahu, tapi kita harus melakukan ini."
Aku mendesah dan memandang jam tanganku. Pukul
empat. "Sarah tiba di sini pukul enam," kataku.
"Aku tahu," kata Henri. "Makanya kita harus cepat."
Henri memegang bola tenis di kedua tangannya.
"Siap?" tanya Henri.
"Siap." Henri melemparkan bola pertama tinggi ke udara.
Saat bola itu mencapai puncaknya, aku mencoba
mengerahkan kekuatan, jauh dari dalam diriku, untuk
menjaga agar bola itu tidak jatuh. Aku tidak tahu
bagaimana cara melakukannya. Aku hanya tahu aku
pasti bisa melakukannya, seiring dengan waktu dan
seringnya latihan, seperti kata Henri. Setiap Garde
memiliki kemampuan untuk menggerakkan objek
dengan pikiran mereka. Telekinesis. Alih-alih
membiarkan kekuatan itu muncul sendiri- seperti
tanganku- Henri tampaknya memutuskan untuk
membangunkan kekuatan itu dari tidurnya entah di
gua mana. Bola jatuh itu seperti ribuan bola sebelumnya- begitu
saja, tanpa gangguan sedikit pun- memantul dua kali,
lalu diam di atas rumput yang tertutupi salju.
Aku menghela napas dalam. "Aku nggak mood hari
ini." "Lagi," kata Henri.
Dia melemparkan bola kedua. Aku mencoba
menggerakkan bola itu, menghentikannya. Segenap
sel di tubuhku berkonsentrasi hanya untuk membuat
benda sialan itu bergerak satu senti ke kanan atau ke
kiri. Tak berhasil. Bola itu juga jatuh ke tanah. Bernie
Kosar, yang dari tadi mengamati kami, berjalan ke
arah bola itu, memungutnya, dan pergi.
"Kekuatan itu akan muncul dengan sendirinya,"
kataku. Henri menggelengkan kepala. Otot-otot rahangnya
menegang. Suasana hati dan ketidaksabarannya
mulai memengaruhiku. Henri memandang Bernie
Kosar berlari pergi membawa bola, kemudian
mendesah. "Apa?" tanyaku.
Henri menggelengkan kepala lagi. "Coba lagi."
Henri berjalan dan mengambil bola lain. Lalu dia
melemparkan bola itu tinggi ke udara. Aku mencoba
menghentikan bola itu, tapi tentu saja bola itu tetap
jatuh. "Mungkin besok," kataku.
Henri mengangguk dan menunduk. "Mungkin besok."
*** Setelah latihan itu, tubuhku berlumuran keringat,
lumpur, dan lelehan salju. Hari ini Henri melatihku
lebih keras daripada biasanya dan dengan agresif
sehingga membuatku panik. Di samping latihan
telekinesis, kami juga berlatih teknik bela diri seperti
perkelahian tangan kosong, gulat, dan berbagai seni
bela diri lainnya. Selain itu, kami juga berlatih
pengendalian emosi- tetap tenang di bawah tekanan,
pengendalian pikiran, bagaimana mengenali rasa
takut di mata lawan, dan juga bagaimana cara
terbaik untuk memanfaatkannya. Yang membuatku
panik bukanlah pelatihan Henri yang keras, melainkan
tatapan matanya. Dia terlihat kesal, dan juga takut,


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putus asa, serta kecewa. Aku tidak tahu apakah Henri
hanya khawatir dengan kemajuanku, atau mungkin
ada yang lebih dari itu. Tapi sesi-sesi latihan kami
semakin lama semakin melelahkan- baik secara emosi
maupun fisik. *** Sarah tiba tepat waktu. Aku berjalan ke luar dan
menciumnya saat dia tiba di beranda depan. Begitu
sampai di dalam, aku mengambil jaket Sarah dan
menggantungkannya. Ujian tengah semester
pelajaran tata boga kami tinggal seminggu lagi. Sarah
mengusulkan agar kami berlatih memasak sebelum
memasak di kelas. Begitu kami mulai memasak, Henri
mengambil jaketnya dan pergi jalan-jalan. Dia
membawa Bernie Kosar. Aku bersyukur karena kami
dibiarkan berdua. Kami memasak dada ayam
panggang dengan kentang dan sayur kukus. Masakan
itu terasa lebih enak daripada yang kuduga. Setelah
semua selesai, kami bertiga duduk dan makan
bersama. Henri diam sepanjang waktu. Sarah dan aku
memecahkan keheningan yang canggung dengan
obrolan ringan, mengenai sekolah dan mengenai
rencana kami nonton film hari Sabtu mendatang.
Henri terus menunduk menatap piringnya dan jarang
menengadahkan kepala kecuali untuk mengatakan
betapa enaknya masakan kami.
Saat makan malam selesai, Sarah dan aku mencuci
piring lalu duduk di sofa. Sarah membawa film dan
kami menontonnya di TV kami yang kecil, tapi Henri
lebih sering menatap ke luar jendela. Saat film baru
berjalan setengahnya, Henri berdiri sambil mendesah
dan berjalan ke luar. Sarah dan aku memandanginya
pergi. Kami berpegangan tangan dan Sarah
menyandarkan kepalanya di bahuku. Bernie Kosar
duduk di sampingnya dengan kepala di pangkuan
Sarah, sebuah selimut menyelimuti mereka berdua. Di
luar mungkin dingin dan berangin, tapi ruang tamu
kami hangat dan nyaman. "Ayahmu baik-baik saja?" tanya Sarah.
"Entahlah. Tingkahnya aneh."
"Dia diam sekali saat makan malam tadi."
"Yeah, aku akan mengeceknya. Aku segera kembali,"
kataku. Lalu aku mengikuti Henri ke luar. Henri berdiri
di beranda- memandang ke kegelapan.
"Ada apa?" tanyaku.
Dia menengadah memandangi bintang sambil
merenung. "Rasanya ada yang tidak beres," katanya.
"Maksudmu?" "Kau tak akan menyukainya."
"Oke. Katakan saja."
"Aku tak tahu berapa lama lagi kita bisa tinggal di
sini. Aku merasa tidak aman."
Hatiku mencelos. Aku diam.
"Mereka kalut, dan kupikir mereka semakin dekat.
Aku bisa merasakannya. Aku pikir kita tidak aman di
sini." "Aku nggak mau pergi."
"Sudah kuduga."
"Kita selalu bersembunyi."
Henri memandangku sambil mengangkat alis. "Maaf,
John, tapi kupikir kau tidak selalu bersembunyi."
"Iya, kalau memang kurasa perlu."
Henri mengangguk. "Yah, kita lihat saja nanti."
Dia berjalan ke tepi beranda dan meletakkan tangan
di susuran tangga. Aku berdiri di sampingnya. Butiran
salju baru mulai turun, jatuh, tampak seperti bercak
putih berkilau dengan latar belakang malam kelam.
"Bukan itu saja," kata Henri.
"Sudah kuduga."
Henri mendesah. "Seharusnya kau sudah memiliki
kemampuan telekinesis. Kemampuan itu biasanya
datang bersamaan dengan Pusaka pertamamu. Jarang
sekali jika kemampuan itu datang setelahnya. Dan
jika itu terjadi, biasanya jaraknya hanya satu
minggu." Aku menatap Henri. Matanya penuh rasa khawatir,
dan dahinya dihiasi garis kekhawatiran.
"Pusakamu datang dari Lorien. Selalu begitu."
"Jadi apa yang ingin kau katakan?"
"Aku tak tahu seberapa banyak yang bisa kita
harapkan," katanya, lalu berhenti. "Karena kita tidak
lagi berada di Planet Lorien, aku tak tahu apakah
Pusakamu yang lain akan muncul. Dan jika Pusakamu
tidak muncul, kita tak memiliki harapan untuk
melawan para Mogadorian, apalagi mengalahkan
mereka. Dan jika kita tidak mengalahkan mereka,
kita tak akan bisa pulang."
Aku memandang salju yang jatuh. Aku tidak bisa
memutuskan apakah sebaiknya merasa khawatir
atau lega, lega karena mungkin kami tidak perlu lagi
berpindah-pindah dan bisa tinggal di satu tempat.
Henri menunjuk ke arah bintang-bintang.
"Di sana," katanya. "Lorien ada di sana."
Tentu saja aku tahu di mana Lorien berada tanpa
perlu diberitahu. Ada semacam magnet yang
membuat mataku selalu tertarik ke titik tempat Lorien
berada, walaupun jaraknya jutaan kilometer. Aku
mencoba menangkap serpihan salju dengan ujung
lidah. Lalu aku menutup mata dan menghirup udara
dingin. Saat membuka mata, aku berbalik dan melihat
Sarah melalui jendela. Dia duduk bersila, kepala
Bernie Kosar masih di pangkuannya.
"Apa kau pernah berpikir untuk tinggal di sini,
melupakan Lorien, dan membangun kehidupan di
Bumi?" aku bertanya kepada Henri.
"Kita pergi saat kau masih sangat kecil. Kurasa kau
tak ingat terlalu banyak, ya?"
"Nggak juga," kataku. "Ada potongan-potongan
kejadian yang kuingat dari waktu ke waktu. Tapi aku
tak bisa mengatakan apakah potongan-potongan
kejadian itu adalah hal-hal yang kuingat atau hal-hal
yang kulihat saat latihan kita."
"Kurasa kau tak akan merasa seperti itu jika bisa
mengingat." "Tapi aku nggak ingat. Itu intinya, kan?"
"Mungkin," kata Henri. "Tapi baik kau ingin kembali
ataupun tidak, bukan berarti para Mogadorian akan
berhenti mencarimu. Dan jika kita ceroboh dan
tinggal, pastilah mereka akan menemukan kita. Dan
begitu mereka menemukan kita, mereka akan
membunuh kita berdua. Tak ada apa pun yang bisa
mengubah itu. Tak ada."
Aku tahu Henri benar. Entah bagaimana aku juga bisa
merasakan sebanyak itu, seperti Henri. Aku bisa
merasakannya di malam hari saat tiba-tiba bulu
kudukku berdiri seakan ada yang memperhatikan,
atau saat aku bergidik walaupun tidak kedinginan.
"Apa kau pernah menyesal karena tetap bersamaku
selama ini?" "Menyesal" Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena tak ada yang akan menyambut kepulangan
kita. Keluargamu sudah mati. Begitu juga keluargaku.
Di Lorien, hanya ada tugas untuk membangun
kembali planet itu. Jika bukan karena aku, kau pasti
bisa membuat identitas baru di sini dan menghabiskan
sisa hidupmu dengan menjadi bagian dari suatu
tempat. Kau bisa berteman, atau mungkin jatuh cinta
lagi." Henri tertawa. "Aku sudah jatuh cinta. Dan aku akan
tetap begitu sampai mati. Aku tidak berharap kau bisa
memahami itu. Lorien berbeda dari Bumi."
Aku mendesah jengkel. "Tapi tetap saja kau bisa jadi
bagian masyarakat di suatu tempat."
"Aku sudah menjadi bagian masyarakat. Aku
masyarakat Paradise, Ohio, saat ini, bersamamu."
Aku menggelengkan kepala. "Kau tahu maksudku,
Henri." "Menurutmu apa yang tidak kumiliki?"
"Kehidupan." "Kau adalah hidupku, Nak. Kau dan ingatanku adalah
satu-satunya pengikatku dengan masa lalu. Tanpa
kau, aku tak memiliki apa-apa. Itu yang sebenarnya."
Tiba-tiba pintu di belakang kami dibuka. Bernie Kosar
berlari keluar bersama Sarah, yang berdiri di ambang
pintu. "Apa kalian berdua akan membiarkanku nonton film
ini sendirian?" tanya Sarah.
Henri tersenyum. "Tak akan," jawabnya.
*** Setelah film usai, Henri dan aku mengantar Sarah
pulang. Saat tiba di rumah Sarah, aku mengantarnya
hingga pintu depan rumah dan kami berdiri di serambi
saling tersenyum. Aku menciumnya lama sambil
memegang kedua tangannya lembut.
"Sampai besok," kata Sarah sambil meremas
tanganku. "Mimpi indah." Aku berjalan kembali ke truk. Henri mundur dari
halaman rumah Sarah dan menyetir ke rumah. Aku
tak bisa mencegah perasaan takut ketika teringat apa
yang Henri ucapkan saat menjemputku di sekolah
pada hari pertama aku bersekolah hingga bel pulang:
"Ingat kita mungkin terpaksa pergi mendadak." Henri
benar, dan aku tahu itu. Tapi aku tidak pernah merasa
seperti ini kepada siapa pun sebelumnya. Aku merasa
seolah melayang di udara saat bersama Sarah. Aku
merasa terpuruk saat kami berpisah, seperti saat ini,
padahal aku baru saja menghabiskan waktu
beberapa jam dengan Sarah. Sarah memberiku tujuan
atas pelarian kami, dan juga tujuan atas
persembunyian kami, alasan yang lebih daripada
sekadar bertahan hidup. Alasan untuk menang. Dan
mengetahui bahwa aku bisa membahayakan nyawa
Sarah dengan bersamanya- yah, itu membuatku takut.
Saat kami kembali, Henri masuk ke kamarnya dan
keluar membawa Peti Loric. Dia meletakkan peti itu di
meja dapur. "Serius nih?" tanyaku.
Henri mengangguk. "Ada sesuatu yang sudah
bertahun-tahun ingin kutunjukkan kepadamu."
Aku tidak sabar untuk melihat apa lagi yang ada di
dalam peti itu. Kami membuka kuncinya bersama.
Lalu Henri mengangkat tutupnya dengan cara tertentu
sehingga aku tidak bisa mengintip. Dia mengeluarkan
sebuah kantong beledu, lalu menutup Peti dan
menguncinya kembali. "Ini bukan bagian dari Pusakamu. Tapi saat terakhir
kali kita membuka Peti ini, aku menyelipkannya ke
dalam karena mendapat firasat buruk. Jika para
Mogadorian menangkap kita, mereka tak akan bisa
membukanya," kata Henri sambil memberi isyarat ke
arah Peti. "Apa isi tas itu?"
"Sistem tata surya," kata Henri.
"Jika itu bukan bagian dari Pusakaku, kenapa kau tak
pernah menunjukkannya kepadaku?"
"Karena kau perlu memiliki satu Pusaka untuk
mengaktifkannya." Henri mengosongkan meja dapur dan duduk di
depanku dengan kantong beledu di pangkuan. Dia
tersenyum memandangku, merasakan antusiasmeku.
Lalu dia meraih dan mengeluarkan tujuh bola kaca
dengan berbagai ukuran dari dalam kantong itu. Dia
memegang bola-bola kaca itu dengan tangan terkatup
di depan wajahnya lalu meniupnya. Kerlipan cahaya
muncul dari dalam bola-bola itu. Kemudian Henri
melemparkan bola-bola itu ke udara dan bola-bola itu
menyala, melayang di atas meja dapur. Bola-bola
kaca itu merupakan replika dari sistem tata surya
kami. Bola paling besar berukuran sebesar jeruk dan
melayang di tengah, memancarkan cahaya seterang
bola lampu dan tampak seperti bola kaca berisi lava.
Matahari Lorien. Bola-bola lain mengorbit
mengelilinginya. Bola terdekat dengan matahari
bergerak dengan kecepatan tinggi, sementara bola
paling jauh tampak seolah merayap. Bola-bola itu
berputar, berotasi, hari-hari berganti dengan cepat.
Bola keempat dari matahari adalah Lorien. Kami
memandang bola itu bergerak, memandang
permukaan yang mulai terbentuk. Ukurannya sebesar
bola racquetball atau berdiameter 57 milimeter.
Replika itu pastilah tidak sesuai dengan skala
sesungguhnya karena sebenarnya Lorien jauh lebih
kecil daripada matahari kami.
"Lalu apa yang terjadi?" tanyaku.
"Bola ini menunjukkan seperti apa Lorien saat ini."
"Kok bisa?" "Lorien tempat yang istimewa, John. Ilmu sihir kuno
terdapat di intinya. Dari sanalah Pusakamu datang.
Itulah yang menyebabkan benda-benda yang ada
dalam Warisanmu hidup dan nyata."
"Tapi tadi kau bilang ini bukan bagian dari Pusakaku."
"Bukan, tapi benda-benda ini berasal dari tempat yang
sama." Lekukan-lekukan terbentuk, gunung-gunung tumbuh,
tampak lekukan dalam membelah permukaan- aku
tahu dulu itu adalah sungai. Lalu berhenti. Aku melihat
apakah ada warna, gerakan, atau angin yang
mungkin bertiup di daratan. Tidak ada. Semuanya


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanyalah bidang-bidang berwarna abu-abu dan hitam.
Aku tidak tahu apa yang ingin kulihat, apa yang
kuharapkan. Suatu gerakan, petunjuk adanya tanah
subur. Hatiku mencelos. Lalu permukaan itu meredup
sehingga kami bisa melihat menembusnya. Di bagian
tengah bola, cahaya redup mulai terlihat. Cahaya itu
bersinar, meredup, lalu bersinar lagi, seperti denyut
jantung hewan tertidur. "Apa itu?" tanyaku.
"Planet Lorien masih hidup dan bernapas. Dia menarik
kekuatannya ke dalam, menunggu waktu. Sampai
berhibernasi. Tapi suatu saat planet ini akan bangun."
"Kenapa kau bisa yakin?"
"Sinar kecil di sini," katanya. "Itu harapan, John."
Aku memandanginya. Aku merasa senang melihatnya
bersinar. Mereka mencoba menghapuskan peradaban
kami. Mereka mencoba menghancurkan Planet Lorien,
namun planet itu masih bernapas. Ya, kupikir, harapan
selalu ada, seperti yang selalu Henri katakan.
"Bukan itu saja."
Henri berdiri dan menjentikkan jarinya. Gerakan
planet-planet itu berhenti. Dia meletakkan wajahnya
beberapa senti dari Lorien, lalu mengatupkan tangan
di mulutnya dan meniupkan udara. Warna hijau dan
biru menyapu bola itu dan langsung memudar begitu
uap napas Henri hilang. "Apa yang kau lakukan?"
"Sorotkan tanganmu ke planet itu," kata Henri.
Aku menyalakan tanganku. Saat aku menyorotkan
tanganku di atas bola itu, warna hijau dan biru tadi
terlihat kembali, hanya saja kali ini warna-warna itu
tetap di sana selama tanganku menyinarinya.
"Seperti inilah Lorien sehari sebelum penyerbuan.
Lihatlah betapa indahnya. Kadang-kadang aku pun
lupa." Planet Lorien memang indah. Semuanya tampak hijau
dan biru, subur dan permai. Pepohonan tampak
melambai ditiup angin yang entah bagaimana bisa
kurasakan. Air tampak beriak. Planet itu benar-benar
hidup, segar bugar. Tapi kemudian aku mematikan
cahayaku dan semua pun pudar, kembali abu-abu.
Henri menunjuk satu titik di permukaan globe.
"Di sini," katanya, "tempat kita lepas landas pada hari
penyerbuan." Lalu dia menggeserkan jarinya satu
senti dari tempat itu. "Dan di sini Museum
Penjelajahan Loric."
Aku mengangguk dan melihat titik yang Henri tunjuk.
Abu-abu lagi. "Apa kaitan museum itu dengan semuanya?" tanyaku.
Aku kembali duduk di kursi. Sulit melihat Lorien tanpa
merasa sedih. Henri menatapku. "Aku sering berpikir tentang apa
yang kau lihat." "Ya?" kataku, memaksanya melanjutkan.
"Museum itu besar, seluruhnya dicurahkan untuk
penjelajahan antariksa dari zaman ke zaman. Di salah
satu sayap bangunan itu ada roket-roket lama yang
berusia ribuan tahun. Roket-roket yang menggunakan
semacam bahan bakar minyak yang hanya ada di
Lorien," kata Henri, lalu berhenti, memandang kembali
ke bola kaca kecil yang melayang enam puluh senti di
atas meja dapur kami. "Nah, jika apa yang kau lihat
benar-benar terjadi, jika sebuah pesawat kedua
berhasil lepas landas dan keluar dari Lorien pada saat
perang terjadi, pasti pesawat itu disimpan di museum
antariksa. Tak ada penjelasan lain. Aku masih sulit
untuk percaya bahwa pesawat itu masih bisa
digunakan. Dan kalau pun memang bisa, pasti
pesawat itu tak bisa pergi terlalu jauh."
"Kalau pesawat itu tak bisa pergi terlalu jauh, kenapa
kau masih memikirkannya?"
Henri menggelengkan kepala. "Aku sendiri tak yakin.
Mungkin karena aku pernah salah sebelumnya.
Mungkin karena aku harap saat ini aku salah. Dan,
yah, jika pesawat itu memang bisa sampai entah ke
mana, pasti pesawat itu sudah tiba di sini, planet
terdekat yang bisa dihuni selain Mogadore. Dan itu
juga dengan asumsi bahwa pesawat itu berisi
makhluk hidup, bukannya dipenuhi dengan artefakartefak atau kosong dan hanya
untuk membuat para Mogadorian bingung. Tapi aku pikir pasti setidaknya
ada satu Loric yang mengemudikan pesawat itu
karena, yah, aku yakin kau sudah tahu, pesawat
semacam itu tidak bisa menyetir sendiri."
*** Insomnia lagi. Aku berdiri telanjang dada di depan
cermin, menatap ke dalamnya dengan kedua tangan
menyala. "Aku tak tahu seberapa banyak yang bisa
kita harapkan," kata Henri hari ini. Cahaya di pusat
Lorien masih menyala. Benda-benda yang kami bawa
Harpa Neraka 1 Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton Rahasia Darah Kutukan 1
^