Pencarian

Number Four 3

I Am Number Four Karya Pittacus Lore Bagian 3


dari Lorien masih berfungsi. Jadi kenapa sihirnya
hanya sampai segini" Lalu bagaimana dengan yang
lain: apa mereka mengalami masalah yang sama"
Apakah Pusaka mereka tidak muncul"
Aku menegangkan otot-ototku di cermin, lalu meninju
udara, berharap cermin itu pecah, atau ada bunyi
gedebuk di pintu. Tapi tidak ada. Hanya ada aku, yang
tampak seperti orang tolol, berdiri telanjang dada,
meninju bayangan sendiri, sementara Bernie Kosar
memandangi bayanganku. Aku tersenyum ke arahnya
dan dia mengibas-ngibaskan ekor.
"Kalau kamu bagaimana?" aku bertanya kepada
Bernie Kosar. "Apa kau punya kekuatan istimewa"
Apakah kau itu anjing super" Apa aku harus
memasangkan mantelmu supaya kau bisa terbang di
udara?" Bernie Kosar tetap mengibas-ngibaskan ekornya. Dia
mengetuk lantai dengan cakarnya sambil
memandangku dari ujung atas matanya. Aku
mengangkat Bernie Kosar ke atas kepala dan
menerbangkannya mengelilingi kamar.
"Lihat! Bernie Kosar, si anjing super yang hebat!"
Bernie Kosar menggeliat sehingga aku
menurunkannya. Dia jatuh miring dengan ekor
dikibas-kibaskan memukul kasur.
"Yah, teman, salah satu dari kita harus punya
kekuatan super. Dan tampaknya itu bukan aku.
Kecuali kalau kita kembali ke Masa Kegelapan
sehingga aku bisa menerangi dunia dengan cahayaku.
Kalau tidak, berarti aku tak berguna."
Bernie Kosar berguling telentang dan menatapku
dengan mata besarnya, memintaku menggaruk
perutnya. SAM MENGHINDARIKU. DI SEKOLAH, DIA langsung
menghilang saat melihatku, atau selalu memastikan
kami bersama orang lain. Atas desakan Henri- yang
telah menyisir Internet namun tidak menemukan
berita seperti dalam majalah Sam sehingga sangat
ingin mendapatkan majalah itu- aku memutuskan
untuk langsung mengunjungi Sam. Henri
menurunkanku setelah latihan hari itu selesai. Sam
tinggal di rumah kecil sederhana di pinggiran Kota
Paradise. Tidak ada jawaban saat aku mengetuk
pintu, jadi aku mencoba membuka pintunya. Ternyata
tidak dikunci. Aku membuka pintu dan lalu masuk.
Karpet tebal berwarna cokelat menutupi lantai. Fotofoto keluarga sejak Sam kecil
tergantung di dinding kayu. Dalam foto itu terlihat Sam, ibunya, dan seorang
lelaki, kuduga ayahnya, yang memakai kacamata
setebal kacamata Sam. Aku mengamati lebih dekat.
Kacamata itu persis sama.
Aku berjalan pelan di lorong hingga menemukan pintu
yang pastilah pintu kamar tidur Sam- ada papan
bertuliskan MASUK DAN TERIMA AKIBATNYA digantung
dengan paku payung. Pintu itu terbuka sedikit. Aku
mengintip ke dalam. Kamar itu sangat bersih, semua
benda diletakkan di tempatnya. Tempat tidurnya rapi.
Ada selimut hitam dengan hiasan gambar-gambar
Planet Saturnus serta sarung bantal dengan hiasan
yang sama. Dinding-dindingnya ditutupi poster. Ada
dua poster NASA, poster film Alien, poster film Star
Wars, dan satu poster yang menyala di bawah sinar
ultraviolet bergambar kepala alien hijau dikelilingi
beledu hitam. Di tengah ruangan, digantung dengan
tali bening, terdapat sistem tata surya, lengkap
dengan sembilan planet dan matahari. Aku teringat
benda yang Henri tunjukkan awal minggu ini. Kurasa
Sam bisa kebakaran jenggot jika melihat benda itu.
Lalu aku melihat Sam, membungkuk di atas meja
kayu es kecil, dengan headphone di telinga. Aku
mendorong pintu hingga terbuka. Sam menengok ke
belakang. Dia tidak mengenakan kacamata sehingga
matanya tampak sangat kecil dan hitam, mirip tokoh
kartun. "Apa kabar?" tanyaku santai, seperti yang sudah biasa
berada di rumahnya. Sam tampak terkejut dan takut. Dengan kalut dia
menarik headphone-nya hingga lepas sambil merogoh
ke salah satu laci. Aku memandang mejanya dan
melihat bahwa Sam sedang membaca satu eksemplar
They Walk Among Us. Saat melihat Sam kembali,
ternyata dia menodongkan pistol ke arahku.
"Wah," kataku sambil mengangkat tangan secara
naluriah. "Ada apa?"
Sam berdiri. Tangannya gemetar. Pistol itu
ditodongkan ke dadaku. Aku rasa dia sudah sinting.
"Katakan apa kau sebenarnya," katanya.
"Kamu ngomong apa?"
"Aku lihat apa yang kau lakukan di hutan. Kau bukan
manusia." Aku sudah khawatir ini akan terjadi, Sam
melihat lebih banyak daripada yang kuduga.
"Gila kamu, Sam! Aku berkelahi. Aku sudah belajar
bela diri selama bertahun-tahun."
"Tanganmu menyala seperti senter. Kau bisa
melemparkan orang dengan begitu gampang. Itu
nggak normal." "Jangan konyol," kataku, tanganku masih di depan
dada. "Lihat tanganku. Kau melihat cahaya" Aku
sudah bilang, itu sarung tangan Kevin."
"Aku sudah tanya Kevin! Dia bilang dia nggak pakai
sarung tangan!" "Kau pikir dia bakal memberitahumu yang sebenarnya
setelah semua yang terjadi" Turunkan pistol itu."
"Katakan! Kau ini apa?"
Aku memutar mata. "Ya, aku ini alien, Sam. Aku
berasal dari planet yang berjarak ratusan juta
kilometer dari sini. Aku punya kekuatan super. Itu
yang mau kau dengar?"
Sam menatapku, tangannya masih bergetar.
"Kau sadar betapa konyolnya itu" Berhenti bertingkah
seperti orang gila dan turunkan pistol itu."
"Apa yang kau bilang tadi itu benar?"
"Bahwa kau konyol" Ya, itu benar. Kau terlalu
terobsesi dengan hal-hal semacam ini. Kau melihat
alien dan konspirasi alien di setiap bagian hidupmu,
termasuk temanmu satu-satunya. Sekarang turunkan
pistol sialan itu." Sam menatapku. Aku tahu dia sedang memikirkan
apa yang baru saja kukatakan. Aku menurunkan
tangan. Lalu Sam mendesah dan menurunkan pistol
itu. "Sorry," katanya.
Aku menarik napas dalam dengan gugup. "Sudah
seharusnya. Kau mikir apa sih?"
"Sebenarnya pistol ini nggak ada isinya."
"Harusnya kau bilang dari tadi," kataku. "Kenapa kau
sangat ingin memercayai hal macam itu?"
Sam menggelengkan kepala dan memasukkan pistol
itu kembali ke dalam laci. Aku menenangkan diri
sebentar dan mencoba bersikap santai, seolah apa
yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar.
"Lagi baca apa?" tanyaku.
Sam mengangkat bahu. "Cuma tulisan tentang alien.
Mungkin sebaiknya aku nggak baca ini untuk
sementara." "Atau membacanya hanya sebagai fiksi dan bukan
fakta," kataku. "Tapi tulisannya pasti sangat
meyakinkan. Boleh kulihat?"
Sam memberikan majalah They Walk Among Us
terbaru, dan aku duduk dengan hati-hati di tepi
tempat tidurnya. Kurasa Sam sudah cukup tenang dan
tidak akan menodongkan pistol lagi kepadaku. Hasil
fotokopi They Walk Among Us ini tetap buruk,
cetakannya miring. Majalahnya juga tidak terlalu
tebal- hanya delapan halaman, atau paling banyak
dua belas, dicetak di kertas berukuran folio. Di bagian
atas tertera DESEMBER. Ini pasti terbitan paling baru.
"Ini barang aneh, Sam Goode," kataku.
Dia tersenyum. "Orang aneh suka barang aneh."
"Kau dapat ini dari mana?" tanyaku.
"Langganan." "Aku tahu, tapi gimana?"
Sam mengangkat bahu. "Entahlah. Majalah itu datang
begitu saja." "Apa kau berlangganan majalah lain" Mungkin
mereka mendapatkan alamatmu dari sana."
"Aku pernah pergi ke suatu rapat. Mungkin waktu itu
aku mendaftarkan diri untuk kontes atau
semacamnya. Aku nggak ingat. Aku selalu menduga
dari situlah mereka mendapatkan alamatku."
Aku mengamati sampul majalah itu. Tidak ada alamat
situs web di sana. Lagi pula aku juga tidak berharap
menemukan alamat situs web mengingat Henri sudah
mengobrak-abrik Internet. Aku membaca judul cerita
utama: APAKAH TETANGGAMU ALIEN"
SEPULUH CARA AMPUH UNTUK MEMASTIKANNYA!
Di tengah-tengah artikel itu ada foto seorang pria
memegang sekantong sampah di tangan yang satu
dan tutup tempat sampah di tangan yang lain. Pria itu
berdiri di ujung halaman rumah. Kita bisa langsung
tahu bahwa dia sedang memasukkan kantong itu ke
tempat sampah. Walaupun seluruh majalah itu
dicetak hitam putih, mata lelaki itu berkilau. Fotonya
jelek- seolah ada orang yang memotret tetangganya
lalu menggambar sekeliling matanya dengan krayon.
Itu membuatku tertawa. "Apa?" tanya Sam.
"Fotonya jelek banget. Kayak sesuatu dari Godzilla."
Sam memandangnya. Lalu dia mengangkat bahu.
"Entahlah," katanya. "Mungkin saja ini nyata. Seperti
kau bilang, aku melihat alien di mana pun dan dalam
apa pun." "Tapi kupikir alien itu bentuknya seperti itu," kataku
sambil mengangguk ke arah poster alien hijau di
dinding kamar. "Kupikir nggak semua alien seperti itu," kata Sam.
"Seperti yang tadi kau bilang, kau ini alien dengan
kekuatan super dan kau tidak tampak seperti itu."
Kami berdua tertawa, dan aku bertanya-tanya
bagaimana meloloskan diri dari yang satu itu. Semoga
Sam tidak pernah tahu bahwa aku mengatakan yang
sebenarnya. Tapi sebagian diriku ingin
memberitahunya- mengenai diriku, mengenai Henri,
mengenai Lorien- dan aku penasaran seperti apa
reaksinya. Apa Sam akan percaya kepadaku"
Aku membuka majalah itu untuk melihat halaman
penerbit yang selalu ada dalam surat kabar dan
majalah. Tidak ada. Hanya ada cerita dan teori.
"Nggak ada halaman info penerbit."
"Maksudmu?" "Kau tahu kan majalah dan surat kabar selalu punya
halaman yang isinya nama-nama staf, editor, penulis,
tempat percetakan, dan sebagainya" Kau tahu, 'Jika
ada pertanyaan, hubungi ini dan itu.' Semua media
masa cetak punya, tapi yang ini nggak."
"Mereka harus melindungi identitas mereka," kata
Sam. "Dari apa?" "Para alien," jawab Sam, lalu tersenyum seperti
menyadari betapa anehnya itu.
"Kau punya edisi bulan lalu?"
Sam mengambil majalah itu dari lemarinya. Aku
membalik-balikkan majalah itu dengan cepat,
berharap artikel tentang Mogadorian ada di majalah
itu dan bukan di edisi-edisi awal. Lalu aku
menemukannya di halaman 4.
RAS MOGADORIAN INGIN MENGAMBIL ALIH BUMI Ras alien Mogadorian, dari Planet Mogadore di Galaksi
kesembilan, saat ini sudah berada di Bumi selama
lebih dari sepuluh tahun. Mereka adalah ras alien
jahat dengan misi menguasai jagat raya. Diisukan
bahwa mereka telah menghabisi sebuah planet lain
yang mirip dengan Bumi, dan selanjutnya berencana
mengungkapkan kelemahan Bumi demi memenuhi
misi mereka untuk mendiami planet kita. (berita lebih
lanjut ada di edisi selanjutnya)
Aku membaca artikel itu tiga kali. Kuharap ada lebih
banyak informasi daripada yang sudah Sam katakan,
tapi ternyata tidak ada. Lagi pula tidak ada yang
namanya Galaksi Kesembilan. Aku penasaran dari
mana mereka mendapatkan informasi itu. Aku
membalik-balik edisi terbaru dua kali. Tidak ada
tulisan mengenai Mogadorian. Dugaanku yang
pertama adalah tidak ada lagi yang perlu dilaporkan,
tidak ada informasi baru yang muncul. Tapi aku tidak
yakin itu yang terjadi. Dugaanku yang kedua adalah
para Mogadorian membaca edisi tersebut dan
membereskan masalah itu, apa pun masalahnya.
"Boleh aku pinjam ini?" tanyaku, memegang edisi
bulan lalu. Sam mengangguk. "Jangan sampai rusak."
*** Tiga jam kemudian, pada pukul delapan, ibu Sam
masih belum pulang. Aku bertanya kepada Sam di
mana ibunya berada. Sam mengangkat bahu,
sepertinya dia tidak tahu dan itu sudah biasa terjadi.
Bisa dibilang kami hanya bermain video game dan
menonton TV. Untuk makan malam, kami makan


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makanan yang bisa dipanaskan menggunakan
microwave. Selama aku berada di rumahnya, Sam
tidak pernah mengenakan kacamata. Aku merasa
aneh karena belum pernah melihat Sam tanpa
kacamata. Bahkan saat kami lari waktu pelajaran
olahraga, Sam tetap mengenakan kacamatanya. Aku
meraih kacamata itu dari atas lemari dan
mengenakannya. Dunia langsung buram dan aku sakit
kepala. Aku memandang Sam. Dua duduk bersila di lantai,
dengan punggung bersandar di tempat tidur, dan
sebuah buku tentang alien di pangkuannya.
"Ya, ampun. Penglihatanmu benar-benar seburuk ini?"
tanyaku. Sam mendongak memandangku. "Itu kacamata
ayahku." Aku melepaskan kacamata itu.
"Apa kau perlu pakai kacamata, Sam?"
Sam mengangkat bahu. "Nggak juga."
"Jadi kenapa kau pakai kacamata?"
"Itu kacamata ayahku."
Aku memakai kacamata itu lagi. "Wow, aku nggak
ngerti gimana caramu berjalan lurus saat memakai
ini." "Mataku sudah terbiasa."
"Kau tahu kan penglihatanmu bisa rusak kalau terusterusan memakai ini?"
"Maka aku akan bisa melihat apa yang dulu ayahku
lihat." Aku melepaskan kacamata dan mengembalikan
benda itu ke tempatnya. Aku tidak benar-benar
mengerti mengapa Sam memakainya. Alasan
sentimental" Apa dia benar-benar berpikir itu
setimpal" "Ayahmu di mana, Sam?"
Sam mendongak memandangku.
"Aku nggak tahu," jawabnya.
"Maksudmu?" "Ayahku hilang waktu aku tujuh tahun."
"Kau tak tahu ke mana perginya?"
Sam mendesah, menundukkan kepala, dan
melanjutkan membaca. Jelas dia tidak mau
membicarakan itu. "Kau percaya hal-hal macam ini?" tanya Sam setelah
beberapa menit diam. "Alien?" "Yeah." "Ya, aku percaya."
"Apa kau pikir mereka benar-benar menculik orang?"
"Entahlah. Kurasa kita nggak bisa mengabaikan
kemungkinan itu. Kau sendiri percaya?"
Sam mengangguk. "Setiap hari. Tapi kadang-kadang
gagasan itu terdengar konyol."
"Aku bisa mengerti."
Sam mendongak memandangku. "Kupikir ayahku
diculik," katanya. Sam menegang begitu kata-kata itu keluar dari
mulutnya dan wajahnya tampak terluka. Aku yakin
dia pernah menceritakan teorinya, kepada seseorang
yang menanggapinya dengan tidak ramah.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena dia hilang begitu saja. Ayahku pergi ke toko
untuk membeli susu dan roti, dan dia tak pernah
kembali. Truknya diparkir di luar toko, tapi tak ada
yang melihatnya. Dia lenyap begitu saja, dan
kacamatanya ditemukan di trotoar di samping
truknya." Sam berhenti sebentar. "Aku khawatir kau
di sini untuk menculikku."
Itu teori yang sulit dipercaya. Bagaimana mungkin
tidak ada yang melihat ayah Sam diculik jika insiden
itu terjadi di tengah kota" Mungkin ayahnya memiliki
alasan untuk pergi dan berencana untuk membuat
dirinya sendiri menghilang. Tidak sulit membuat dirimu
menghilang. Henri dan aku sudah melakukannya
selama sepuluh tahun. Tapi tiba-tiba ketertarikan Sam
terhadap alien bisa dipahami. Mungkin Sam hanya
ingin melihat dunia dengan cara yang sama seperti
ayahnya melihat dunia. Mungkin juga ada bagian dari
diri Sam yang benar-benar percaya bahwa apa yang
terakhir kali ayahnya lihat terekam di kacamata itu,
entah bagaimana terpatri di lensa kacamata. Mungkin
Sam berpikir bahwa kalau dia terus berusaha, dia
pasti akan bisa melihatnya. Apa yang terakhir kali
ayahnya lihat akan menegaskan dugaan Sam. Atau
mungkin Sam yakin bahwa jika dia terus mencari,
pada akhirnya dia akan menemukan artikel yang
membuktikan bahwa ayahnya diculik, dan berharap
ayahnya bisa diselamatkan.
Dan apa kuasaku sehingga bisa mengatakan bahwa
Sam tidak mungkin menemukan bukti itu"
"Aku percaya kepadamu," kataku. "Aku pikir
penculikan oleh alien itu sangat mungkin terjadi."
*** KEESOKAN HARINYA AKU BANGUN LEBIH CEPAT
daripada biasa. Aku turun dari tempat tidur. Saat
keluar dari kamar, aku mendapati Henri sedang duduk
di meja sambil memindai kertas-kertas dengan laptop
terbuka. Matahari masih bersembunyi. Rumah itu
gelap, hanya diterangi cahaya dari monitor komputer.
"Dapat sesuatu?"
"Nggak." Aku menyalakan lampu dapur. Bernie Kosar
menggaruk-garuk pintu depan. Aku membuka pintu.
Bernie Kosar melesat keluar ke halaman dan
berpatroli seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi.
Dia berjalan dengan tegap, berlari mengelilingi
halaman sambil mencari sesuatu yang mencurigakan.
Mengendus-endus di berbagai tempat. Setelah yakin
bahwa segala sesuatunya seperti yang seharusnya,
dia melesat ke hutan dan hilang.
Dua edisi They Walk Among Us tergeletak di atas
meja dapur, edisi asli dan fotokopi yang Henri buat
untuk disimpan. Kaca pembesar tergeletak di antara
kedua majalah itu. "Ada yang aneh di yang asli?"
"Nggak." "Jadi sekarang apa?" tanyaku.
"Yah, aku beruntung. Aku mengecek silang artikelartikel di edisi ini dan
mendapatkan beberapa hal,
salah satunya ke situs web pribadi seseorang. Aku
mengiriminya email."
Aku memelototi Henri. "Nggak usah khawatir," katanya. "Mereka tak bisa
melacak email. Setidaknya mereka tak bisa melacak
email yang kukirim."
"Bagaimana caramu mengirim email?"
"Aku mengubah rute pengiriman email melalui
berbagai server di berbagai kota di seluruh dunia, jadi
tak ada yang bisa melacak lokasi awalnya."
"Mengesankan." Bernie Kosar menggaruk-garuk pintu dan aku
membiarkannya masuk. Jam di microwave
menunjukkan pukul 5:59. Masih ada dua jam lagi
sebelum sekolah. "Apa kau pikir kita perlu menggali semua ini?"
tanyaku. "Maksudku, bagaimana jika ini semua
ternyata jebakan" Bagaimana jika mereka hanya
ingin menemukan tempat persembunyian kita?"
Henri mengangguk. "Kau tahu, jika artikel itu
menyebutkan sesuatu tentang kita, pasti aku akan
berpikir ulang. Tapi tidak. Artikel itu berisi mengenai
rencana para Mogadorian untuk menyerbu Bumi,
seperti yang sudah mereka lakukan terhadap Lorien.
Ada banyak hal yang tidak kita pahami. Dua minggu
yang lalu kau bilang kita terlalu mudah dikalahkan. Itu
tak masuk akal. Segala situasi yang berkaitan dengan
hilangnya para Tetua juga tak masuk akal. Bahkan
mengungsikanmu dan anak-anak lain dari Lorien,
yang selama ini tidak pernah kupertanyakan, juga
terasa janggal. Dan walaupun kau sudah melihat apa
yang terjadi- aku juga melihat citra yang sama- masih
ada sesuatu yang janggal. Jika suatu hari nanti kita
berhasil kembali, kurasa kita harus memahami apa
yang telah terjadi untuk mencegah agar hal yang
sama tidak terulang kembali. Kau tahu kata-kata
bijaknya: dia yang tidak memahami sejarah akan
mengulang sejarah itu. Dan jika sejarah itu berulang,
kerugiannya akan berlipat ganda."
"Oke," kataku. "Tapi berdasarkan apa yang kau
katakan malam Minggu kemarin, semakin hari
kemungkinan kita untuk pulang semakin kecil. Jadi,
apa kau pikir semua ini setimpal?"
Henri mengangkat bahu. "Masih ada lima lagi di luar
sana. Mungkin Pusaka mereka sudah muncul. Mungkin
Pusakamu hanya tertunda. Kurasa kita lebih baik
membuat rencana untuk menghadapi segala
kemungkinan yang ada."
"Jadi, apa rencanamu?"
"Menelepon. Aku ingin mendengar apa yang orang ini
ketahui. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan orang
ini tidak menulis berita lanjutannya. Hanya ada dua
kemungkinan: entah itu dia tidak berhasil menemukan
informasi lain sehingga tidak tertarik lagi terhadap
cerita itu, atau seseorang menghubunginya setelah
cerita itu dicetak."
Aku mendesah. "Hati-hati," kataku.
*** Aku mengenakan celana dan kaus olahraga di atas
dua kaus biasa, mengikat sepatu tenisku, lalu berdiri
dan meregangkan badan. Kumasukkan pakaian yang
akan kukenakan di sekolah, beserta handuk, sebatang
sabun, dan sebotol kecil sampo ke dalam ransel agar
bisa mandi begitu tiba di sana. Sekarang aku berlari
ke sekolah setiap pagi. Henri tampaknya yakin bahwa
olahraga tambahan akan membantu latihanku.
Padahal alasan sebenarnya adalah Henri berharap
olahraga tambahan ini akan memperkuat tubuhku
dan membangunkan Pusakaku yang tidur, jika
memang benar Pusakaku itu tidur.
Aku menunduk memandang Bernie Kosar. "Siap lari"
Mau ikut lari?" Bernie Kosar mengibas-ngibaskan ekor dan berputarputar.
"Sampai nanti."
"Selamat lari," kata Henri. "Hati-hati di jalan."
Kami berjalan keluar menyapa udara dingin dan
segar. Bernie Kosar menyalak senang beberapa kali.
Aku mulai berlari pelan, menuruni jalan masuk mobil,
ke jalan berkerikil. Bernie Kosar berlari di sampingku
seperti yang kuduga. Setengah kilometer untuk
pemanasan. "Siap lari kencang?"
Bernie Kosar tidak memperhatikanku. Dia terus berlari
di sampingku dengan lidah terjulur, tampak begitu
senang. "Oke, ini dia."
Aku menambah kecepatan, berlari cepat, lalu berlari
sangat kencang, secepat yang kubisa. Aku
meninggalkan Bernie Kosar di balik kepulan debu. Aku
memandang ke belakang dan melihatnya berlari
secepat mungkin, tapi aku berada jauh di depannya.
Angin kencang di rambutku, pepohonan tampak
kabur. Rasanya luar biasa. Lalu Bernie Kosar melesat
masuk ke hutan dan hilang. Aku tidak yakin apakah
sebaiknya aku berhenti dan menunggunya. Saat aku
kembali menghadap ke depan, tiba-tiba Bernie Kosar
melompat keluar dari hutan, tiga meter di depanku.
Aku menunduk memandangnya. Dia mendongak,
balas menatapku dengan lidah terjulur di salah satu
sisi, matanya tampak senang.
"Kau itu anjing aneh, tahu?"
Setelah lima menit, sekolah mulai tampak. Aku berlari
kencang sepanjang delapan ratus meter berikut. Aku
memaksakan diri berlari secepat yang kubisa
mumpung hari masih terlalu pagi sehingga tidak ada
orang yang akan melihatku. Lalu aku berdiri dengan
jari-jari dikaitkan di belakang kepala, terengah-engah.
Bernie Kosar tiba tiga puluh detik kemudian, duduk
dan memandangiku. Aku berlutut dan membelainya.
"Hebat, Teman. Aku rasa kita sekarang punya ritual
pagi baru." Aku menurunkan tas, membukanya, mengambil
bungkusan berisi beberapa lembar daging asap, dan
memberikannya kepada Bernie Kosar. Dia langsung
melahap habis daging itu.
"Oke. Aku mau masuk. Pulang ke rumah. Henri
menunggu." Bernie Kosar menatapku sedetik, lalu berlari ke rumah.
Aku heran karena dia bisa mengerti. Lalu aku berbalik,
berjalan memasuki gedung sekolah, dan pergi ke
kamar mandi. *** Aku orang kedua yang masuk kelas astronomi. Sam
orang yang pertama. Dia sudah duduk di bangkunya
yang biasa di belakang kelas.
"Wah," kataku. "Tanpa kacamata. Kenapa, nih?"
Sam mengangkat bahu. "Aku memikirkan apa yang
kau katakan. Mungkin konyol jika aku terus
memakainya." Aku duduk di sampingnya dan tersenyum. Sulit untuk
membayangkan diriku akan terbiasa dengan matanya
yang tampak begitu bulat. Aku mengembalikan They


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walk Among Us yang kupinjam. Sam memasukkan
majalah itu ke dalam tas. Aku menodongkan jariku
seperti menodongkan pistol dan menembaknya.
"Dor!" kataku. Sam mulai tertawa. Lalu aku tertawa. Kami berdua
tidak bisa berhenti. Setiap kali salah satu dari kami
hampir berhenti tertawa, yang lain mulai tertawa lagi,
dan akhirnya kami berdua tertawa. Murid-murid lain
memandangi kami saat mereka masuk. Lalu Sarah
masuk. Dia sendirian. Sarah berjalan ke arah Sam dan
aku dengan pandangan bingung, lalu duduk di kursi di
sebelahku. "Kalian menertawakan apa?"
"Aku juga nggak tahu," kataku, lalu tertawa lagi
sebentar. Mark murid terakhir yang masuk. Dia duduk di
kursinya yang biasa, kali ini yang duduk di
sampingnya bukan Sarah melainkan gadis lain. Aku
pikir gadis itu anak kelas tiga. Sarah mengulurkan
tangan di bawah meja dan memegang tanganku.
"Ada yang ingin kukatakan," katanya.
"Apa?" "Aku tahu ini mendadak, tapi orangtuaku ingin
mengundangmu dan juga ayahmu untuk makan
malam Thanksgiving besok."
"Wah. Pasti bakal asyik. Aku harus tanya Henri, tapi
aku tahu kami nggak punya rencana apa pun, jadi
aku rasa jawabannya ya."
Sarah tersenyum. "Bagus."
"Karena kami cuma berdua dan nggak bisa
merayakan Thanksgiving."
"Yah, semua keluargaku berkumpul. Abang-abangku
yang sudah kuliah akan pulang. Mereka ingin ketemu
kamu." "Kok mereka bisa tahu tentang aku?"
"Menurutmu?" Guru masuk. Sarah mengedipkan mata. Lalu kami
mulai mencatat. *** Henri menungguku seperti biasa. Bernie Kosar
memunculkan kepalanya dari tempat duduk
penumpang dengan ekor dikibas-kibaskan begitu
melihatku. Aku masuk. "Athens," kata Henri.
"Athens?" "Athens, Ohio."
"Kenapa?" "They Walk Among Us ditulis dan dicetak di sana.
Majalah itu juga dikirim dari sana."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku punya cara."
Aku memandang Henri. "Oke, oke. Perlu tiga email dan lima kali menelepon,
tapi sekarang aku punya nomornya." Henri
memandangku. "Yang jelas, tak terlalu sulit untuk
menemukannya, hanya perlu sedikit usaha."
Aku mengangguk. Aku mengerti apa maksud Henri.
Para Mogadorian pasti juga menemukannya dengan
begitu mudah seperti Henri. Yang artinya, tentu saja,
kemungkinan kedua lebih mungkin terjadi- ada
seseorang yang pergi ke penerbitan itu sebelum
kisahnya berkembang. "Athens itu berapa jauh jaraknya?"
"Dua jam dengan mobil."
"Kau bakal pergi?"
"Maunya sih nggak. Aku mau telepon dulu."
Saat tiba di rumah, Henri langsung mengangkat
telepon dan duduk di meja dapur. Aku duduk di
depannya dan mendengarkan.
"Ya, saya menelepon untuk menanyakan mengenai
salah satu artikel They Walk Among Us edisi bulan
lalu." Suara berat menjawab di ujung seberang. Aku tidak
bisa mendengar jawabannya.
Henri tersenyum. "Ya," katanya, lalu diam.
"Bukan, saya bukan pelanggan. Tapi teman saya
berlangganan." Diam lagi. "Tidak, terima kasih."
Henri menganggukkan kepala.
"Yah, saya penasaran dengan artikel mengenai para
Mogadorian. Tidak ada lanjutan beritanya di edisi
bulan ini." Aku mencondongkan tubuh dan berusaha mendengar,
tubuhku tegang dan kaku. Orang itu menjawab
dengan suara gemetar, gelisah. Lalu telepon itu mati.
"Halo?" Henri menjauhkan telepon dari telinga, memandang
telepon itu, lalu mendekatkannya lagi.
"Halo?" katanya lagi.
Lalu Henri menutup telepon dan meletakkannya di
meja. Dia memandangku. "Dia bilang, 'Jangan telepon ke sini lagi,' lalu menutup
telepon." SETELAH KAMI BERDEBAT SELAMA BEBERAPA JAM
mengenai keinginan Henri menemui penerbit They
Walk Among Us, keesokan paginya Henri bangun dan
mencetak rincian petunjuk arah dari sini ke Athens,
Ohio. Henri bilang dia akan pulang secepatnya
sehingga kami bisa pergi ke jamuan Thanksgiving di
rumah Sarah. Dia juga memberikan kertas berisi
alamat dan nomor telepon tempat tujuannya.
"Kau yakin ini perlu?" tanyaku.
"Kita harus tahu apa yang terjadi."
Aku mendesah. "Kurasa kita berdua tahu apa yang
terjadi." "Mungkin," jawab Henri, dengan nada tegad bukan
dengan nada ragu seperti yang biasa menyertai kata
itu. "Kau sadar apa yang akan kau katakan kepadaku
jika peran kita terbalik, kan?"
Henri tersenyum. "Ya, John. Aku tahu apa yang akan
kukatakan. Tapi kupikir ini akan membantu kita. Aku
ingin tahu apa yang telah mereka lakukan sehingga
orang ini sangat ketakutan. Aku ingin tahu apakah
mereka menyebut-nyebut kita ataukah mereka
mencari kita dengan cara yang belum pernah kita
pikirkan. Itu akan membantu kita tetap tersembunyi
dan selalu berada di depan mereka. Dan jika orang ini
sudah melihat mereka, kita bisa tahu seperti apa
tampang mereka." "Kita kan sudah tahu seperti apa mereka."
"Kita tahu seperti apa mereka saat mereka
menyerang Lorien, lebih dari sepuluh tahun lalu, tapi
mereka mungkin sudah berubah. Mereka sudah lama
tinggal di Bumi. Aku ingin tahu bagaimana mereka
berbaur." "Bahkan kalaupun kita tahu seperti apa tampang
mereka, jika kita melihat mereka di jalan mungkin
sudah terlambat." "Mungkin, mungkin juga nggak. Jika aku melihat satu,
aku akan mencoba membunuhnya. Belum tentu dia
bisa membunuhku," kata Henri, kali ini dengan nada
ragu. Aku menyerah. Aku tidak suka jika Henri menyetir
sendirian ke Athens sementara aku duduk-duduk di
rumah. Tapi aku tahu Henri tidak akan mendengarkan
keberatanku. "Kau yakin bisa pulang tepat waktu?" tanyaku.
"Aku pergi sekarang. Berarti sekitar pukul sembilan
aku sampai di Athens. Kurasa aku di sana tak lebih
dari satu jam, paling lama dua jam. Aku pasti sudah
di rumah pukul satu."
"Jadi kenapa aku memegang ini?" tanyaku sambil
mengacungkan kertas berisi alamat dan nomor
telepon. Henri mengangkat bahu. "Jaga-jaga."
"Ini yang bikin aku berpikir sebaiknya kau nggak
pergi." "Apa pun katamu," katanya, mengakhiri perdebatan
kami. Henri mengumpulkan kertas-kertas, bangkit
berdiri, dan mendorong kursi ke meja.
"Sampai ketemu sore nanti."
"Oke," kataku. Henri berjalan keluar menuju truk lalu naik ke
dalamnya. Bernie Kosar dan aku berjalan ke beranda
depan dan memandangi Henri pergi. Aku tidak tahu
kenapa, tapi aku punya firasat buruk. Kuharap Henri
cepat kembali. *** Hari itu terasa panjang. Waktu berjalan dengan
lambat, satu menit bagaikan sepuluh menit, satu jam
bagaikan dua puluh jam. Aku bermain video game
dan berselancar di internet. Lalu aku mencari berita
yang mungkin berkaitan dengan salah satu anak lain.
Aku tidak menemukan apa pun, dan merasa senang
karenanya. Itu artinya kami masih tidak terlacak.
Menghindari musuh kami. Aku mengecek ponselku berkali-kali. Pada siang hari
aku mengirim SMS ke Henri. Dia tidak membalas. Aku
makan siang dan memberi makan Bernie. Setelah itu
aku mengirim SMS lagi. Tak ada jawaban. Perasaan
gelisah dan tidak tenang merayapiku. Henri selalu
membalas SMS secepatnya. Mungkin ponselnya mati.
Mungkin baterainya habis. Aku mencoba
menenangkan diri dengan kemungkinan-kemungkinan
itu, walaupun aku tahu itu tidak mungkin.
Pada pukul dua aku mulai cemas. Benar-benar cemas.
Seharusnya kami sampai di rumah keluarga Hart satu
jam lagi. Henri tahu makan malam itu penting bagiku.
Dan dia tidak mungkin mengecewakanku. Aku mandi
dengan harapan saat selesai nanti Henri sudah duduk
di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Aku
membuka keran air panas besar-besar tanpa repotrepot membuka keran air dingin.
Aku tidak merasakan apa pun. Sekarang seluruh tubuhku tahan
panas. Kulitku terasa seolah disiram air hangat-hangat
kuku. Sebenarnya aku merindukan rasa panas. Aku
suka mandi air panas. Berdiri di bawah guyuran air
panas selama mungkin. Menutup mata dan menikmati
air jatuh di kepalaku dan mengalir ke bawah.
Membuatku lupa akan hidupku. Membuatku lupa
siapa dan apa diriku untuk sementara waktu.
Saat keluar dari kamar mandi, aku membuka lemari
dan mencari pakaian terbagus yang kumiliki. Tidak
ada yang istimewa: celana khaki, kemeja berkancing,
sweater. Karena kami selalu melarikan diri, aku hanya
memiliki sepatu lari, yang tampak sangat konyol
sehingga aku tertawa- pertama kalinya hari ini. Aku
pergi ke kamar Henri dan melihat lemarinya. Dia
memiliki sepasang sepatu tanpa tali yang cocok di
kakiku. Melihat pakaian Henri di lemarinya
membuatku semakin cemas, semakin gelisah. Aku
berusaha berpikir bahwa Henri memerlukan waktu
lebih lama, tapi kalau begitu seharusnya dia sudah
menghubungiku. Pasti ada yang tidak beres.
Aku berjalan ke pintu depan. Bernie duduk di sana
memandang ke luar jendela. Dia mendongak
memandangku dan mendengking. Aku menepuk
kepalanya dan kembali ke kamar. Aku melihat jam.
Jam tiga lewat. Kucek ponselku. Tak ada pesan, tak
ada SMS. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah
Sarah. Jika pukul lima nanti tidak ada kabar dari Henri,
aku akan membuat rencana lain. Mungkin aku akan
mengatakan bahwa Henri sakit dan aku juga tidak
enak badan. Mungkin aku akan mengatakan bahwa
truk Henri rusak dan aku harus menolongnya. Semoga
Henri muncul dan kami semua bisa menikmati
jamuan Thanksgiving. Ini mungkin jamuan pertama
yang pernah kami datangi. Jika Henri tidak muncul,
aku akan mencari alasan. Terpaksa.
Karena tidak ada truk, aku memutuskan untuk lari.
Mungkin aku bahkan tidak akan berkeringat dan tiba
di sana lebih cepat daripada jika naik truk. Lagi pula
karena ini hari libur, jalanan pasti kosong. Aku
mengucapkan selamat tinggal kepada Bernie,
mengatakan bahwa aku akan pulang nanti malam,
dan pergi. Aku berlari di pinggir tanah lapang,
melewati hutan. Rasanya enak membakar energi
seperti itu. Setidaknya kecemasanku berkurang.
Beberapa kali aku berlari dengan kecepatan penuh,
mungkin sekitar seratus atau seratus sepuluh
kilometer per jam. Udara dingin mengenai wajahku
dan rasanya luar biasa. Dengung angin di telingaku
juga luar biasa, suaranya sama seperti ketika aku
menjulurkan kepala keluar jendela truk saat kami
melaju di jalan bebas hambatan. Aku ingin tahu
berapa kecepatan lariku saat usiaku 20 atau 25 tahun
nanti. Sekitar 100 meter dari rumah Sarah, aku berhenti
berlari. Aku tidak kehabisan napas sama sekali. Ketika
berjalan di halaman rumahnya, aku melihat Sarah
mengintip dari balik jendela. Dia tersenyum dan
melambai, membuka pintu depan saat aku menginjak
teras rumahnya. "Halo, Tampan," katanya.
Aku berputar dan menoleh ke belakang, pura-pura
menduga Sarah berbicara dengan orang lain. Lalu aku
kembali memandangnya dan bertanya apa dia bicara
denganku. Sarah tertawa. "Kau konyol," katanya, dan meninju lenganku. Lalu dia


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik dan menciumku. Aku menarik napas dalam
dan mencium bau makanan: kalkun dan isinya, ubi,
brussels sprout, pie labu.
"Baunya sedap," kataku.
"Ibuku memasak sepanjang hari."
"Tak sabar ingin cepat-cepat makan."
"Ayahmu mana?" "Ada urusan. Sebentar lagi dia pasti tiba di sini."
"Ayahmu baik-baik saja?"
"Yeah, bukan masalah besar."
Kami masuk dan Sarah mengajakku berkeliling.
Rumahnya bagus. Rumah keluarga dengan model
klasik, kamar-kamar tidur ada di lantai dua, dan satu
ruangan di loteng menjadi kamar salah satu
abangnya. Ruangan-ruangan lainnya- ruang tamu,
ruang makan, dapur, ruang keluarga- ada di lantai
satu. Saat kami tiba di kamar Sarah, dia menutup
pintu dan menciumku. Aku terkejut, tapi senang.
"Sepanjang hari ini aku ingin melakukan itu," katanya
lembut sambil bergerak meninggalkanku. Saat Sarah
berjalan ke pintu, aku menariknya lalu menciumnya
lagi. "Dan aku juga ingin menciummu lagi nanti," bisikku.
Sarah tersenyum dan meninju lenganku lagi.
Kami turun ke bawah. Sarah membawaku ke ruang
keluarga. Di sana ada dua abangnya, yang pulang ke
rumah selama akhir minggu, sedang menonton
football dengan ayahnya. Aku duduk bersama
mereka. Sarah kembali ke dapur untuk membantu ibu
dan adik perempuannya mengurus makan malam.
Aku belum pernah menyaksikan pertandingan football
dengan sungguh-sungguh. Kurasa, karena cara
hidupku dan Henri, aku tidak pernah memperhatikan
apa pun selain kehidupan kami dengan sungguhsungguh. Perhatian utamaku adalah
bagaimana berbaur dengan lingkungan tempat kami tinggal, dan
bersiap-siap untuk pergi ke tempat lain. Abang-abang
Sarah, dan ayahnya, main football di sekolah. Mereka
mencintai football. Dan pada pertandingan hari ini,
satu abang Sarah dan ayahnya mendukung salah satu
tim, sedangkan abangnya yang satu lagi mendukung
tim lain. Mereka saling berdebat, saling mengejek,
bersorak dan menggerutu sepanjang jalannya
pertandingan. Jelas mereka sudah melakukan ini
selama bertahun-tahun, mungkin malah seumur hidup.
Dan jelas mereka bersenang-senang. Melihat mereka
seperti itu membuatku berharap seandainya aku dan
Henri melakukan sesuatu yang bisa kami nikmati
bersama, selain latihanku dan berlari serta
bersembunyi setiap saat. Itu membuatku berpikir
seandainya aku memilik ayah dan saudara laki-laki
sebenarnya dan menghabiskan waktu bersama
mereka. Saat pertandingan dihentikan karena istirahat, ibu
Sarah memanggil kami untuk makan malam. Aku
mengecek ponselku. Masih tidak ada kabar. Sebelum
kami duduk, aku pergi ke kamar mandi dan mencoba
menelepon Henri. Masuk ke voicemail. Hampir pukul
lima. Aku mulai panik. Aku kembali ke meja, semua orang sudah duduk.
Meja itu terlihat luar biasa. Di tengah-tengahnya ada
bunga. Alas piring dan perlengkapan makan ditata
rapi di depan setiap kursi. Piring-piring saji berisi
makanan ditata di bagian tengah meja. Piring saji
berisi kalkun berada di depan kursi Mr. Hart. Begitu
aku duduk, Mrs. Hart masuk ke ruang makan.
Celemeknya sudah dilepaskan. Dia memakai sweater
dan rok yang indah. "Ada kabar dari ayahmu?" tanyanya.
"Saya baru meneleponnya. Dia, emm, terlambat dan
meminta agar jangan menunggunya. Dia sangat
menyesal," kataku. Mr. Hart mulai memotong kalkun. Sarah tersenyum ke
arahku dari seberang meja, yang membuatku merasa
lebih baik selama setengah detik. Makanan mulai
diedarkan, dan aku mengambil semua makanan
dalam porsi kecil. Rasanya aku tidak akan bisa makan
banyak. Aku meletakkan ponsel di pangkuan, dan
sudah mengesetnya ke nada getar agar tahu jika ada
telepon atau SMS. Namun, seiring berlalunya waktu,
aku semakin ragu akan ada telepon atau SMS yang
datang, atau apakah aku akan bertemu Henri lagi.
Membayangkan aku tinggal sendirian- dengan
Pusakaku yang sedang berkembang, tanpa seseorang
untuk menjelaskan mengenai Pusakaku atau
melatihku, berlari sendiri, bersembunyi sendiri, mencari
jalan sendiri, bertempur melawan para Mogadorian,
melawan mereka hingga mereka kalah atau aku
mati- membuatku takut. Makan malam itu seakan berlangsung seumur hidup.
Waktu berjalan dengan sangat lambat. Seluruh
keluarga Sarah bertanya macam-macam kepadaku.
Aku belum pernah ditanyai begitu banyak hal oleh
begitu banyak orang secara bergantian. Mereka
bertanya mengenai masa laluku, tempat yang pernah
kutinggali, mengenai Henri, mengenai ibuku- yang,
seperti yang selalu kukatakan, meninggal saat aku
masih kecil. Itu satu-satunya jawaban yang benarbenar jujur. Aku tidak tahu
apakah jawabanjawabanku masuk akal. Ponsel di pangkuanku terasa
seolah seberat ribuan kilo. Ponselku tidak bergetar.
Hanya diam di sana. Setelah makan malam selesai, sebelum menyantap
hidangan penutup, Sarah mengajak semua orang ke
halaman belakang sehingga dia bisa memotret. Saat
kami di luar, Sarah bertanya apakah ada masalah.
Aku bilang aku mengkhawatirkan Henri. Sarah
mencoba menenangkanku dan berkata bahwa
segalanya baik-baik saja. Namun upayanya sia-sia.
Aku justru semakin cemas. Aku mencoba
membayangkan di mana Henri berada dan apa yang
dia lakukan. Namun satu-satunya bayangan yang
muncul hanyalah Henri berdiri di depan Mogadorian,
tampak takut, dan tahu bahwa dia akan mati.
Saat kami berkumpul untuk berfoto, aku mulai panik.
Bagaimana caraku pergi ke Athens" Aku bisa lari, tapi
pasti sulit menemukan jalan, terutama karena aku
harus menghindari lalu lintas dan juga jalan besar.
Aku bisa naik bus, tapi itu makan waktu terlalu lama.
Aku bisa meminta tolong kepada Sarah. Tapi itu
berarti aku harus menjelaskan banyak hal, termasuk
memberitahunya bahwa aku adalah alien dan bahwa
aku yakin Henri ditangkap atau diculik oleh alien jahat
yang sekarang sedang mencariku agar bisa
membunuhku. Bukan ide yang bagus.
Saat kami berpose, aku merasa sangat ingin pergi,
tapi aku harus memikirkan cara agar Sarah atau
keluarganya tidak marah kepadaku. Aku menatap
kamera, menatap lensanya sambil mencoba
memikirkan alasan yang tidak akan menimbulkan
banyak pertanyaan. Aku merasa sangat panik.
Tanganku mulai bergetar. Terasa panas. Aku
menunduk dan menatap tangan untuk memastikan
keduanya tidak bersinar. Tidak. Tapi saat
menengadah, aku melihat kamera di tangan Sarah
bergetar. Entah bagaimana aku tahu bahwa akulah
yang menyebabkannya. Namun aku tidak tahu
bagaimana atau apa yang harus kulakukan untuk
menghentikannya. Rasa dingin menjalari punggungku.
Aku tercekat. Saat itu juga lensa kamera retak dan
pecah. Sarah menjerit, lalu menurunkan kamera dan
menatapnya bingung. Mulutnya terbuka dan air mata
menggenang di matanya. Orangtua Sarah bergegas menghampiri untuk
memastikan Sarah baik-baik saja. Aku hanya berdiri
terkejut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku
menghancurkan kamera Sarah. Sarah sedih karena
kameranya rusak. Namun aku senang karena
akhirnya kemampuan telekinesisku muncul. Apa aku
bisa mengendalikannya" Henri pasti senang jika tahu
ini terjadi. Henri. Aku kembali panik. Aku
mengepalkan tinju. Aku harus pergi dari sini. Aku
harus menemukan Henri. Jika para Mogadorian
menahan Henri, kuharap tidak, aku akan membunuh
mereka satu demi satu untuk mendapatkan Henri
kembali. Berpikir cepat, aku berjalan ke arah Sarah dan
menariknya dari orangtuanya, yang sedang
memeriksa kamera untuk mencari tahu apa yang
terjadi. "Aku baru saja dapat SMS dari Henri. Aku benar-benar
minta maaf, tapi aku harus pergi."
Pikiran Sarah teralihkan, dia mengalihkan pandangan
dariku ke orangtuanya. "Apa Henri baik-baik saja?"
"Ya, tapi aku harus pergi- dia membutuhkanku." Sarah
mengangguk dan kami berciuman lembut. Kuharap ini
bukan ciuman terakhir. Aku mengucapkan terima kasih kepada orangtua
Sarah, abang, dan adiknya, lalu pergi sebelum mereka
terlalu banyak bertanya. Aku berjalan ke dalam
rumah. Begitu keluar dari pintu depan, aku mulai
berlari. Aku berlari pulang melalui jalan yang tadi
kulalui saat ke rumah Sarah. Aku menghindari jalan
utama, berlari menembus hutan dan tiba di rumah
dalam waktu beberapa menit. Kudengar Bernie Kosar
menggaruk-garuk pintu saat aku berlari di halaman.
Bernie Kosar gelisah, seolah dia juga merasa ada yang
salah. Aku langsung masuk ke kamar, mengambil kertas
berisi alamat dan nomor telepon yang tadi Henri
berikan. Kuputar nomor itu. Terdengar suara rekaman.
"Maaf, nomor yang Anda tuju tidak terdaftar atau
tidak aktif." Aku memandang kertas dan memutar
nomor itu lagi. Rekaman yang sama.
"Sial!" teriakku. Kutendang kursi yang langsung
terbang melintasi dapur dan mendarat di ruang tamu.
Aku berjalan masuk ke kamar. Keluar. Masuk lagi.
Kutatap cermin. Mataku merah, air mata merebak tapi
tidak ada yang jatuh. Tanganku gemetar. Marah,
gusar, dan ketakutan jika Henri mati menggerogotiku.
Kupejamkan mata kuat-kuat dan menekan semua
kemarahan itu ke perutku. Tiba-tiba aku berteriak,
membuka mata, dan mengacungkan tanganku ke
arah cermin. Cermin itu pecah walaupun jaraknya tiga
meter di depanku. Aku berdiri memandangi cermin itu.
Sebagian besar serpihannya masih menempel di
dinding. Apa yang terjadi di rumah Sarah bukan
kebetulan belaka. Kupandangi pecahan cermin di lantai. Kuulurkan
tangan ke depan, memusatkan perhatian pada satu
pecahan cermin dan mencoba menggerakkannya.
Napasku teratur, tapi semua rasa takut dan marah
tetap ada di dadaku. Takut itu kata yang terlalu
sederhana. Ngeri. Itu yang kurasakan.
Awalnya pecahan cermin itu tidak bergerak. Namun
setelah lima belas detik, pecahan cermin itu mulai
bergetar. Mulanya pelan, lalu cepat. Kemudian aku
ingat. Henri pernah berkata bahwa biasanya emosilah
yang memicu Pusaka. Pasti itu yang terjadi sekarang.
Aku berusaha mengangkat pecahan cermin itu. Butirbutir keringat muncul di
dahiku. Aku berkonsentrasi
dengan segenap jiwa dan raga. Bernapas pun terasa
sulit. Perlahan-lahan pecahan cermin itu mulai
terangkat. Satu senti. Dua senti. Pecahan cermin itu
melayang tiga puluh senti dari lantai, terus naik ke
atas, tangan kananku terulur dan bergerak
bersamanya hingga pecahan cermin itu setinggi mata.
Aku menahan pecahan cermin di sana. Seandainya
Henri bisa melihat ini, pikirku. Dan tiba-tiba, panik dan
takut menembus rasa senang atas temuan baruku.
Aku memandang pecahan cermin itu. Kuperhatikan
pantulan dinding kayu yang tampak tua dan rapuh di
cermin. Kayu. Tua dan rapuh. Lalu mataku terbuka
lebar, seumur-umur belum pernah mataku selebar itu.
Peti Loric! Henri pernah berkata: "Hanya kita berdua yang bisa
membukanya, bersama-sama. Kecuali jika aku mati.
Saat itu kau bisa membukanya sendiri."
Aku menjatuhkan pecahan cermin itu dan berlari ke
kamar Henri. Peti itu ada di lantai di samping tempat
tidurnya. Aku mengambil Peti, berlari ke dapur, dan
melemparkannya ke meja. Gembok berbentuk
lambing Loric memandangi wajahku.
Aku duduk di meja dan memelototi gembok itu.
Bibirku bergetar. Aku mencoba memelankan napasku,
tapi percuma. Dadaku naik turun seolah aku baru saja
berlari kencang sejauh 15 kilometer. Aku takut
merasakan bunyi 'klik' dalam genggamanku. Aku
menarik napas dalam dan menutup mata.
"Kumohon jangan terbuka," kataku.
Aku meraih gembok itu. Aku meremas gembok
sekuat mungkin, menahan napas, pandanganku
kabur, otot-otot lenganku menegang dan mengeras.
Menunggu bunyi 'klik'. Memegang gembok dan
menunggu bunyi 'klik'. Tapi tidak ada 'klik'. Aku melepaskan gembok, merosot di kursi, dan
memegang kepala dengan kedua tangan. Secercah
harapan. Aku mengusap rambut dan berdiri. Di atas
konter, satu meter dariku, ada sebuah sendok kotor.


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku memusatkan perhatian pada sendok itu dan
kusapukan tangan ke samping dan sendok itu pun
terbang. Henri pasti senang. Henri, pikirku, di mana
kau" Di suatu tempat, dan masih hidup. Dan aku akan
menjemputmu. Aku memutar nomor Sam, satu-satunya teman yang
kumiliki di Paradise, selain Sarah. Dia mengangkat
telepon pada dering kedua.
"Halo?" Aku menutup mata dan menekan batang hidungku.
Aku menarik napas dalam dan gemetaran.
"Halo?" tanyanya lagi.
"Sam." "Hei," katanya, lalu, "Kau terdengar parah. Apa kau
baik-baik saja?" "Nggak. Aku butuh bantuanmu."
"Oh" Ada apa?"
"Apa ibumu bisa mengantarmu ke sini?"
"Ibuku nggak di rumah. Dia sedang kerja shift di
rumah sakit karena bayarannya dua kali lipat pada
hari libur. Ada apa?"
"Keadaannya buruk, Sam. Dan aku perlu bantuan."
Hening lagi, lalu, "Aku ke sana secepatnya."
"Kau yakin?" "Sampai ketemu."
Aku menutup telepon dan menjatuhkan kepala ke
meja. Athens, Ohio. Henri ada di sana. Entah
mengapa, entah bagaimana caranya, aku harus ke
sana. Dan aku harus ke sana secepatnya.
SEMENTARA MENUNGGU SAM, AKU MONDAR-MANDIR
di rumah, mengangkati benda-benda ke udara tanpa
menyentuh: apel dari konter dapur, garpu di bak cuci
piring, pot tanaman kecil yang bertengger di samping
jendela depan. Aku hanya bisa mengangkat bendabenda kecil, dan semuanya terbang
di udara dengan agak goyah. Saat aku mencoba mengangkat benda
yang lebih berat- kursi, meja- tidak ada yang terjadi.
Tiga bola tenis yang aku dan Henri gunakan untuk
latihan ada dalam keranjang di samping ruang tamu.
Aku membawa salah satunya ke arahku. Saat bola itu
melewati pandangan Bernie Kosar, anjing itu duduk
memperhatikan. Lalu, tanpa memegang, aku
melempar bola itu. Bernie Kosar mengejarnya.
Sebelum Bernie berhasil menangkap bola itu, aku
menariknya. Saat Bernie Kosar berhasil menangkap
bola itu, aku menariknya dari mulut Bernie. Semua itu
kulakukan sambil duduk di kursi ruang tamu.
Setidaknya ini mengalihkan pikiranku dari Henri, dari
hal-hal buruk yang mungkin menimpanya, dan
melupakan rasa bersalah karena berbohong kepada
Sam. Perlu waktu 25 menit dengan sepeda bagi Sam untuk
tiba di rumahku yang jaraknya lima kilometer. Aku
mendengar sepeda Sam memasuki halaman. Sam
melompat turun, menjatuhkan sepedanya, dan berlari
masuk dari pintu depan tanpa mengetuk. Dia
kehabisan napas. Wajahnya berkeringat. Sam
memandang berkeliling dan memperhatikan keadaan
rumahku. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Ini pasti terdengar tak masuk akal," kataku. "Tapi
kau harus berjanji untuk menanggapiku dengan
serius." "Kau ini bicara apa?"
Aku bicara apa" Aku bicara tentang Henri. Henri hilang
karena bertindak ceroboh, padahal dia sering
menceramahiku agar tidak bertindak seperti itu. Aku
bicara mengenai kenyataan bahwa aku mengatakan
kebenaran saat kau menodongkan pistol ke arahku
waktu itu. Aku ini alien. Henri dan aku datang ke
Bumi sepuluh tahun lalu. Kami diburu oleh ras alien
yang kejam. Aku bicara mengenai Henri yang berpikir
bahwa dia bisa menghindari mereka jika memahami
mereka secara lebih baik. Sekarang dia hilang. Itu
yang aku bicarakan, Sam. Mengerti" Tapi tidak, aku
tidak bisa mengatakan itu semua kepada Sam.
"Ayahku ditangkap, Sam. Aku nggak yakin siapa yang
melakukannya, atau apa yang mereka lakukan
terhadapnya. Tapi pasti terjadi sesuatu. Kurasa ayahku
ditahan. Atau mungkin lebih gawat lagi."
Sam meringis. "Kau bercanda," katanya.
Aku menggelengkan kepala dan menutup mata.
Situasi yang berat ini membuatku sulit bernapas lagi.
Aku berbalik dan memandang Sam dengan tatapan
memohon. Air mata menggenang di mataku.
"Aku nggak bercanda."
Wajah Sam menegang. "Apa maksudmu" Siapa yang
menangkapnya" Di mana dia?"
"Henri melacak penulis salah satu artikel di
majalahmu hingga ke Athens, Ohio, dan pergi ke sana
hari ini. Dia pergi dan sampai sekarang belum
kembali. Ponselnya mati. Pasti terjadi apa-apa.
Sesuatu yang buruk."
Sam semakin bingung. "Apa" Kenapa ayahmu repotrepot begitu" Aku nggak ngerti.
Itu kan cuma majalah konyol." "Aku tak tahu, Sam. Ayahku itu seperti kamu. Dia
suka alien dan teori-teori konspirasi dan hal-hal
semacam itu," kataku, berpikir cepat. "Itu hobi
konyolnya. Salah satu artikel itu membangkitkan rasa
ingin tahunya. Aku rasa Henri ingin tahu lebih banyak,
jadi dia pergi ke sana."
"Artikel yang tentang Mogadorian?"
Aku mengangguk. "Kok tahu?"
"Karena dia tampak seperti baru melihat hantu saat
aku menyebutkan tentang itu Halloween kemarin,"
kata Sam. Lalu dia geleng-geleng kepala. "Tapi
kenapa juga ada yang peduli jika dia bertanya-tanya
tentang artikel konyol itu?"
"Entahlah. Maksudku, aku selalu membayangkan
bahwa orang-orang itu bukan orang paling waras di
dunia. Mungkin mereka paranoid dan suka berkhayal.
Mungkin mereka pikir ayahku itu alien, sama seperti
kenapa kau menodongkan pistol ke arahku. Henri
harusnya sudah pulang pukul satu tadi. Ponselnya
mati. Cuma itu yang aku tahu."
Aku berdiri dan berjalan ke meja dapur. Aku
mengambil kertas berisi alamat dan nomor telepon
tempat yang Henri tuju. "Dia pergi ke sini hari ini," kataku. "Kau tahu di mana
ini?" Sam memandang kertas itu, lalu ganti memandangku.
"Kau mau ke sana?"
"Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan."
"Kenapa kau nggak telepon polisi dan memberi tahu
mereka apa yang terjadi?"
Aku duduk di sofa, memikirkan jawaban terbaik. Aku
berharap bisa memberi tahu yang sebenarnya kepada
Sam. Jika polisi terlibat, kemungkinan terbaiknya
adalah aku dan Henri pergi. Kemungkinan
terburuknya, Henri akan ditanyai, diambil sidik jarinya,
dipaksa mengikuti birokrasi yang berbelit-belit,
sehingga para Mogadorian mendapat kesempatan
untuk bertindak. Dan begitu mereka menemukan
kami, sudah pasti kami mati.
"Telepon polisi yang mana" Polisi Paradise"
Menurutmu apa yang akan mereka lakukan jika aku
mengatakan yang sebenarnya" Pasti perlu berhari-hari
sampai akhirnya mereka menanggapiku dengan
serius. Aku nggak bisa menunggu berhari-hari."
Sam mengangkat bahu. "Mungkin mereka akan
menanggapimu dengan serius. Lagi pula, bagaimana
jika Henri cuma ada urusan lain, atau ponselnya
rusak" Saat ini dia mungkin sedang dalam perjalanan
pulang." "Mungkin, tapi aku rasa nggak. Rasanya ada yang
nggak beres. Aku harus ke sana secepatnya. Henri
seharusnya sudah pulang berjam-jam yang lalu."
"Mungkin dia mengalami kecelakaan."
Aku menggelengkan kepala. "Mungkin kau benar, tapi
kurasa kau salah. Jika Henri memang dalam masalah,
sekarang ini kita buang-buang waktu."
Sam memandang kertas itu. Dia menggigit bibir dan
diam selama lima belas detik.
"Yah, aku agak tahu cara ke Athens. Tapi aku nggak
tahu cara mencari alamat ini begitu tiba di sana."
"Aku bisa mencetak petunjuk arahnya dari internet.
Aku nggak khawatir soal itu. Yang aku khawatirkan
adalah transportasi. Aku punya 120 dolar di kamar.
Aku bisa membayar seseorang untuk mengantar kita,
tapi aku nggak tahu siapa yang bisa kumintai tolong.
Nggak banyak taksi di Paradise, Ohio."
"Kita bisa naik truk."
"Truk apa?" "Maksudku truk ayahku. Kami masih menyimpannya.
Truk itu ada di garasi. Dan sejak ayahku hilang, truk
itu nggak pernah disentuh."
Aku memandang Sam. "Serius?"
Sam mengangguk. "Sudah berapa lama itu" Apa masih bisa jalan?"
"Delapan tahun. Kenapa nggak bisa jalan" Truk itu
masih terhitung baru waktu ayahku membelinya."
"Tunggu, biar kupahami dulu. Maksudmu kita, kau dan
aku, menyetir ke sana sendiri, dua jam ke Athens?"
Sam menyeringai. "Tepat sekali."
Aku mencondongkan tubuh di sofa, tak bisa menahan
senyum. "Kau tahu kita bakal kena masalah besar jika
tertangkap, kan" Kita nggak punya SIM."
Sam mengangguk. "Ibuku pasti akan membunuhku,
dan mungkin membunuhmu juga. Belum lagi kalau
ketemu polisi. Tapi, yeah, kalau kau benar-benar yakin
ayahmu dalam masalah, memangnya kita punya
pilihan lain" Jika perannya dibalik, seandainya
ayahkulah yang dalam masalah, aku pasti langsung
pergi." Aku memandang Sam. Tak ada keraguan sedikit pun
di wajahnya saat mengusulkan agar kami menyetir
secara ilegal ke sebuah kota yang jaraknya dua jam.
Selain itu, kami berdua tidak tahu cara menyetir, dan
kami juga tidak tahu apa yang harus dilakukan begitu
tiba di sana. Tapi Sam mendukungku. Bahkan ini
adalah gagasannya. "Oke, ayo pergi ke Athens," kataku.
*** Kumasukkan ponsel ke dalam tas, memastikan semua
risleting terpasang dan rapi. Lalu aku berjalan ke luar
rumah, memperhatikan semuanya seolah-olah ini kali
terakhirku melihatnya. Itu memang pikiran yang
konyol. Aku juga tahu aku hanya sedang sentimentil.
Namun, aku gugup dan melakukan itu bisa
membuatku sedikit tenang. Setelah lima menit, aku
siap. "Ayo," kataku kepada Sam.
"Kau mau membonceng sepedaku?"
"Kau naik sepeda. Aku lari di sampingmu."
"Asmamu gimana?"
"Kurasa aku bakal baik-baik saja."
Kami berangkat. Sam naik ke sepedanya. Dia
mencoba bersepeda secepat mungkin, tapi kelihatan
kalau dia tak pernah olahraga. Aku berlari beberapa
meter di belakang Sam dan berpura-pura kehabisan
napas. Bernie mengikuti kami. Saat tiba di rumahnya,
Sam bermandikan keringat. Dia lari ke kamarnya lalu
keluar membawa ransel. Dia meletakkan ransel itu di
konter dapur lalu pergi mengganti pakaian. Aku
mengintip isi tas itu. Ada salib, beberapa siung
bawang putih, pasak kayu, palu, pisau lipat, dan
segumpal Silly Putty- benda semacam karet kenyal
yang bisa dibentuk sesuai keinginan.
"Kau tahu kan kalau orang-orang ini bukan vampir?"
kataku saat Sam berjalan ke dapur.
"Yeah, tapi kita tak pernah tahu. Mungkin mereka gila,
seperti yang kau katakan."
"Dan kalau kita memang berburu vampir, Silly Putty
ini buat apa?" Sam mengangkat bahu. "Jaga-jaga saja."
Aku menuangkan semangkuk air untuk Bernie Kosar
yang langsung melahapnya. Aku berganti pakaian di
kamar mandi dan mengeluarkan petunjuk arah dari
tasku. Kemudian aku keluar dari kamar mandi,
melintasi rumah, dan masuk ke garasi yang gelap dan
berbau bensin serta potongan rumput lama. Sam
menyalakan lampu. Berbagai peralatan berkarat
karena tidak dipakai tergantung di dinding. Truk ayah
Sam ada di tengah-tengah garasi, ditutupi kain terpal
biru besar berlapis debu tebal.
"Kapan terakhir kali terpal dibuka?"
"Nggak pernah dibuka sejak ayahku hilang."
Aku meraih ujung terpal yang satu dan Sam meraih
ujung yang lain. Kami membuka terpal itu bersamasama lalu meletakkannya di
sudut. Sam menatap truk itu. Matanya membesar, senyum mengembang di
wajahnya. Truk itu kecil, berwarna biru tua, hanya cukup untuk
dua orang, atau mungkin tiga jika si orang ketiga
tidak keberatan duduk di tengah dengan tidak
nyaman. Pasti pas untuk Bernie Kosar. Walaupun
sudah delapan tahun berlalu, tidak ada debu setitik


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun yang menempel di truk itu sehingga kendaraan
itu tampak berkilau seolah baru dipoles. Kulemparkan
tasku ke kursi penumpang.
"Truk ayahku," kata Sam bangga. "Selama bertahuntahun ini, tampak tetap sama."
"Karena kencana kita," kataku. "Kau punya kuncinya?"
Sam berjalan ke salah satu sisi garasi dan mengambil
serangkaian kunci dari gantungan di dinding. Aku
membuka pintu garasi. "Kita suit untuk menentukan siapa yang nyetir?"
tanyaku. "Nggak perlu," kata Sam. Dia membuka pintu
pengemudi dan duduk di belakang kemudi. Mesin
berbunyi tersendat-sendat dan akhirnya menyala.
Sam menurunkan jendela. "Kurasa Ayah akan bangga jika melihatku
mengemudikan ini," katanya.
Aku tersenyum. "Kurasa juga begitu. Keluarkan
truknya biar pintu garasi kututup."
Sam menarik napas dalam. Kemudian dia
mengeluarkan mobil dari garasi perlahan-lahan,
dengan hati-hati, satu senti demi satu senti. Dia
menginjak rem terlalu cepat dan terlalu keras
sehingga truk melonjak berhenti.
"Kau belum keluar sepenuhnya," kataku.
Sam mengangkat kaki dari rem pelan-pelan dan truk
itu beringsut keluar sepenuhnya. Aku menutup pintu
garasi. Bernie Kosar melompat masuk dengan
sukarela dan aku duduk di sampingnya. Tangan Sam
menggenggam setir dengan kencang sehingga bukubukunya memutih.
"Gugup?" tanyaku.
"Takut." "Kau akan baik-baik saja," kataku. "Kita berdua sudah
ribuan kali melihat orang menyetir truk."
Sam mengangguk. "Oke. Aku belok ke mana?"
"Apa kita benar-benar melakukan ini?"
"Ya," jawabnya.
"Kalau gitu, kita belok kanan," kataku, "lalu lurus ke
luar kota." Kami berdua memasang sabuk pengaman. Aku
membuka jendela sedikit sehingga Bernie Kosar bisa
menjulurkan kepala keluar, yang langsung dia
lakukan sambil berdiri dengan kaki belakang di
pangkuanku. "Aku takut setengah mati," kata Sam.
"Sama." Sam menarik napas dalam, menahan napas, lalu
mengembuskannya pelan-pelan.
"Dan ... kita ... berangkat," katanya, mengangkat kaki
dari rem saat mengucapkan kata terakhir. Truk
bergerak terlonjak-lonjak di halaman. Sam langsung
menginjak rem, menyebabkan truk berhenti dengan
bunyi berdecit. Lalu Sam mengangkat kaki dari rem
dan truk bergerak perlahan hingga ujung halaman.
Kemudian dia memandang ke kanan dan ke kiri, lalu
membelokkan truk ke jalan. Awalnya perlahan.
Kemudian kecepatan pelan-pelan meningkat. Sam
tegang dan mencondongkan badan ke depan. Setelah
satu kilometer, dia mulai menyeringai dan
menyandarkan tubuh. "Nggak terlalu sulit."
"Kau berbakat."
Sam menjaga agar truk berada di dekat garis di sisi
kanan jalan. Badannya tegang setiap kali ada mobil
yang lewat dari arah berlawanan. Namun, setelah
beberapa saat, Sam menjadi tenang dan tidak terlalu
memperhatikan mobil-mobil lain. Dia berbelok lalu
berbelok lagi. Dua puluh lima menit berikutnya, kami
sudah berada di jalan raya antarnegara bagian.
"Aku nggak percaya kita melakukan ini," akhirnya
Sam berkata. "Ini hal paling gila yang pernah
kulakukan." "Sama." "Kau sudah merencanakan apa yang kita lakukan
begitu tiba di sana?"
"Nggak. Aku harap kita bisa masuk ke tempat itu dan
keluar dari sana. Aku nggak tahu tempat itu rumah
atau kantor atau apa. Aku bahkan nggak tahu apakah
Henri ada di sana." Sam mengangguk. "Kau pikir ayahmu baik-baik saja?"
"Entahlah," kataku.
Aku menarik napas dalam. Satu setengah jam
perjalanan. Setelah itu kami tiba di Athens.
Lalu kami akan mencari Henri.
KAMI BERKENDARA KE ARAH SELATAN HINGGA
Athens, yang terletak di kaki Pegunungan
Appalachian, mulai tampak: sebuah kota kecil muncul
dari balik pepohonan. Dalam cahaya yang semakin
redup, aku bisa melihat sungai berkelok seolah
mengelilingi kota dan membatasi di timur, selatan,
dan barat, sementara bagian utara kota dibatasi oleh
perbukitan dan pepohonan. Suhu udara di kota itu
cukup hangat untuk bulan November. Kami melewati
gelanggang football universitas. Di belakangnya
terdapat sebuah arena berkubah putih.
"Keluar di sini," kataku.
Sam mengarahkan truk keluar dari jalan antarnegara
bagian dan berbelok ke kanan ke Richland Avenue.
Kami berdua berbesar hati karena berhasil tiba
dengan selamat dan tanpa ditangkap polisi.
"Jadi seperti itu ya universitas di kota?"
"Kurasa," kata Sam.
Bangunan-bangunan dan asrama-asrama berdiri di
samping kami. Rumputnya hijau, dipangkas rapi
walaupun ini bulan November. Kami menaiki bukit
terjal. "Di atas sana Court Street. Nanti belok kiri."
"Masih berapa jauh lagi?" tanya Sam.
"Sekitar satu setengah kilo."
"Kau ingin lewat di depannya?"
"Nggak. Kurasa sebaiknya kita parkir begitu dapat
tempat parkir lalu jalan kaki."
Kami menyusuri Court Street, yang merupakan jalan
utama di tengah kota. Semuanya tutup karena libur.
Semua. Toko buku, caf?, bar. Lalu aku melihatnya,
menonjol bagai permata. "Berhenti!" kataku.
Sam menginjak rem. "Apa"!" Mobil di belakang kami mengklakson.
"Nggak, nggak. Terus jalan. Cari tempat parkir."
Kami menyusuri jalan satu blok lagi hingga
menemukan tempat untuk parkir. Tebakanku, kami
berjarak lima menit jalan kaki dari alamat itu.
"Tadi itu apa" Bikin kaget aja."
"Truk Henri ada di sana," kataku.
Sam mengangguk. "Kenapa kadang-kadang kau
memanggilnya Henri?"
"Entah, tapi pokoknya begitu. Semacam lelucon di
antara kami," kataku sambil memandang Bernie
Kosar. "Menurutmu apa sebaiknya anjing ini kita
bawa?" Sam mengangkat bahu. "Mungkin dia malah
menghalangi." Aku memberi makanan anjing kepada Bernie Kosar
dan meninggalkannya di truk dengan jendela dibuka
sedikit. Bernie Kosar tidak terlalu senang dan mulai
mendengking dan menggaruk jendela, tapi kami kan
tak akan lama. Sam dan aku berjalan kembali ke
Court Street. Tali ranselku memberati bahuku. Sammenjinjing tasnya. Dia sudah mengeluarkan Silly Putty
dari tas dan meremas-remasnya seperti meremas
bola busa saat sedang stres. Kami sampai di truk
Henri. Pintunya dikunci. Tidak ada benda penting baik
di tempat duduk atau di dasbor.
"Yah, itu artinya dua," kataku. "Henri masih di sini.
Lalu, siapa pun yang bersama Henri belum
menemukan truknya, yang berarti dia belum bicara.
Dia tidak akan bicara."
"Memangnya apa yang bakal dia katakan?"
Untuk sesaat aku lupa bahwa Sam tidak tahu apaapa mengenai alasan yang
sebenarnya mengapa Henri berada di sini. Aku sudah bertindak ceroboh dan
memanggilnya Henri. Aku harus berhati-hati agar
tidak mengungkapkan hal lain.
"Entahlah," kataku. "Maksudku, siapa yang bisa
menduga pertanyaan macam apa yang bakal
ditanyakan orang-orang aneh itu."
"Oke. Lalu apa?"
Aku mengeluarkan peta menuju alamat yang Henri
berikan tadi pagi. "Kita jalan," kataku.
Kami berjalan menyusuri jalan yang tadi kami lewati.
Bangunan-bangunan berubah menjadi perumahan.
Tampak kotor dan tak terawat. Sebentar kemudian
kami tiba di alamat itu dan berhenti.
Aku melihat kertas, lalu melihat rumahnya. Aku
menarik napas panjang. "Ini dia," kataku.
Kami berdiri memandangi rumah berlantai dua dengan
dinding berlapis vinil abu-abu. Jalan di depan rumah
itu mengarah ke beranda depan yang tidak dicat, ada
ayunan rusak yang tergantung miring di sana.
Rumputnya tinggi dan tidak terawat. Rumah itu
seperti tidak berpenghuni, namun ada sebuah mobil di
halaman belakang. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Kukeluarkan ponselku. Pukul 11:12. Aku menelepon
Henri walaupun tahu dia tidak akan menjawab. Itu
cara untuk membuatku berpikir, untuk membuat
rencana. Aku tidak berpikir sampai sejauh ini. Saat
menghadapi kenyataan ini pikiranku kosong.
Panggilanku langsung masuk ke voicemail.
"Aku akan mengetuk pintu," kata Sam.
"Lalu kau akan bilang apa?"
"Tak tahu, apa pun yang terpikirkan."
Tapi Sam tidak jadi melakukannya karena seseorang
lelaki keluar melalui pintu depan. Laki-laki itu besar.
Pasti tingginya dua meter dan beratnya 115 kilo. Dia
berjanggut dan kepalanya gundul. Lelaki itu
mengenakan bot kerja, celana jins biru, dan kaus
olahraga hitam dengan lengan digulung hingga siku.
Ada tato di lengan kanannya, tapi aku terlalu jauh
sehingga tidak bisa melihat dengan jelas. Laki-laki itu
meludah ke halaman, lalu berbalik dan mengunci
pintu depan, menuruni teras, dan berjalan ke arah
kami. Aku diam tak bergerak saat lelaki itu mendekat.
Tato di lengannya berupa alien dengan satu tangan
memegang buket bunga tulip seolah ingin
memberikannya kepada sesuatu yang tak terlihat.
Lelaki itu berjalan melewati kami tanpa mengatakan
apa pun. Sam dan aku berbalik dan memandangnya
pergi. "Kau lihat tatonya?" tanyaku.
"Yeah. Ternyata nggak cuma kutu buku kurus saja
yang tertarik dengan alien. Orang itu besar, dan
tampangnya jahat." "Pegang ponselku, Sam."
"Apa" Kenapa?" tanya Sam.
"Kau harus membuntutinya. Bawa ponselku. Aku akan
masuk ke dalam rumah itu. Jelas di dalam tidak ada
orang, karena kalau ada pasti dia nggak perlu
mengunci pintu. Henri mungkin ada di dalam. Aku
akan meneleponmu secepatnya."
"Bagaimana caramu meneleponku?"
"Entah. Nanti aku cari cara. Nih." Sam menerima
ponsel itu dengan enggan.
"Bagaimana kalau Henri nggak ada di dalam?"
"Itu sebabnya aku mau kau membuntuti orang itu.
Mungkin sekarang dia pergi ke Henri."
"Kalau dia kembali?"
"Kita pikirkan nanti. Kau harus pergi sekarang. Aku
janji akan meneleponmu secepat mungkin."
Sam berbalik dan memandang lelaki itu. Lelaki itu
lima puluh meter di depan kami. Lalu Sam kembali
memandangku. "Oke. Tapi kau hati-hati."
"Kau juga. Jangan biarkan dia lepas dari
pandanganmu. Dan jangan biarkan dia melihatmu."
"Nggak akan." Sam berbalik dan bergegas membuntuti lelaki itu. Aku
memandangi mereka pergi. Begitu mereka hilang dari
pandangan, aku berjalan ke rumah itu. Jendelajendela rumah itu gelap dan
dilapisi tirai putih. Aku
tidak bisa melihat ke dalam. Aku berjalan ke
belakang. Di sana ada jalan semen kecil mengarah ke
pintu belakang, yang terkunci. Aku berjalan berkeliling
dan kembali ke depan. Rumput liar dan semak-semak
dibiarkan tumbuh lebat sejak musim panas. Aku
mencoba salah satu jendela. Terkunci. Semuanya
terkunci. Apa sebaiknya aku memecahkan salah satu"
Aku mencari batu di antara semak-semak berduri.
Ketika aku melihat batu dan mengangkatnya dari
tanah dengan kekuatan pikiran, satu gagasan muncul
di benakku. Gagasan itu begitu gila dan mungkin akan
berhasil. Aku menjatuhkan batu itu dan berjalan ke pintu
belakang. Kuncinya sederhana, tidak digerendel. Aku
menarik napas dalam, menutup mata untuk
berkonsentrasi, dan memegang kenop pintu. Aku
mengguncangnya. Pikiranku bergerak dari kepala, ke
jantung, ke perut. Segalanya berpusat di perut. Aku
mempererat pegangan dan menahan napas saat
mencoba membayangkan bagian dalam kunci itu. Lalu


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku merasa dan mendengar bunyi 'klik' di tangan
yang memegang kenop pintu itu. Senyum
mengembang di wajahku. Aku memutar kenop pintu
dan pintu itu berayun terbuka. Aku takjub karena bisa
membuka kunci pintu hanya dengan membayangkan
apa yang ada di dalam kunci.
Dapur, anehnya, bersih. Semua permukaan dilap, dan
di bak cuci tidak ada piring kotor. Ada roti yang masih
baru di atas konter. Aku berjalan menyusuri koridor
sempit menuju ruang tamu. Di ruangan itu poster
olahraga dan spanduk menempel di dinding lalu ada
sebuah TV layar lebar di salah satu sudut ruangan. Di
sisi kiri ada pintu menuju kamar tidur. Aku
menjulurkan kepala ke dalam. Kamar itu berantakan,
selimut kusut di tempat tidur, perabotan di atas lemari
berantakan. Tercium bau pakaian kotor akibat
keringat. Di bagian depan rumah, di samping pintu itu, ada
tangga menuju lantai atas. Aku mulai berjalan naik.
Anak tangga ketiga berderak di bawah kakiku.
"Halo?" terdengar teriakan dari atas tangga.
Aku berhenti, menahan napas.
"Itu kau, Frank?"
Aku tetap diam. Aku mendengar seseorang berdiri
dari kursi. Kemudian terdengar bunyi keriat-keriut
langkah kaki di atas lantai kayu mendekat. Seorang
laki-laki muncul di ujung tangga. Rambut dan
cambangnya hitam serta berantakan, wajahnya
belum dicukur. Tubuhnya tidak sebesar orang yang
tadi pergi, tapi juga tidak kecil.
"Siapa kau?" tanyanya.
"Aku mencari temanku," kataku.
Dia memberengutkan wajah, menghilang, dan muncul
kembali lima detik kemudian sambil memegang
tongkat bisbol kayu. "Bagaimana kau bisa masuk?" tanyanya.
"Sebaiknya kau turunkan tongkat itu."
"Bagaimana kau bisa masuk?"
"Aku lebih cepat darimu dan juga jauh lebih kuat."
"Yang benar saja."
"Aku mencari temanku. Dia datang ke sini tadi pagi.
Aku ingin tahu dia ada di mana."
"Kau salah satu dari mereka, ya?"
"Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan."
"Kau salah satu dari mereka!" jeritnya. Lelaki itu
memegang tongkat seperti seorang pemain bisbol,
buku-buku jarinya memutih di bagian bawah tongkat,
siap untuk menyerang. Ada rasa takut di matanya.
Rahangnya digertakkan dengan kuat. "Kau salah satu
dari mereka! Kenapa kau tidak membiarkan kami
sendirian!?" "Aku bukan salah satu dari mereka. Aku ke sini
mencari temanku. Katakan di mana dia berada."
"Temanmu itu salah satu dari mereka!"
"Bukan." "Jadi kau tahu siapa yang aku bicarakan?"
"Ya." Dia menuruni satu anak tangga.
"Aku peringatkan," kataku. "Turunkan tongkat itu dan
beri tahu aku di mana dia berada."
Tanganku bergetar menghadapi situasi yang tidak
terduga ini. Dia memegang tongkat bisbol di
tangannya sedangkan aku tidak memiliki apa pun
selain kemampuanku. Aku bingung melihat rasa takut
di matanya. Lelaki itu turun satu anak tangga lagi.
Tinggal enam anak tangga di antara kami.
"Aku akan membuat kepalamu lepas. Sebagai
peringatan untuk teman-temanmu."
"Mereka bukan teman-temanku. Dan aku jamin, kau
justru menolong mereka dengan menyakitiku."
"Lihat saja nanti," katanya.
Lelaki itu berlari menuruni tangga. Tak ada yang bisa
kulakukan selain bereaksi. Dia mengayunkan tongkat.
Aku menunduk. Tongkat itu menghantam dinding,
meninggalkan lubang besar di dinding kayu. Aku maju
dan mengangkat tubuhnya. Tanganku yang satu
mencengkeram lehernya sedangkan yang satu lagi
memegang ketiaknya. Aku membawanya kembali ke
atas tangga. Lelaki itu meronta-ronta, menyarangkan
tendangan ke kaki dan selangkanganku. Tongkat itu
lepas dari tangannya dan berguling memantul-mantul
menuruni tangga. Terdengar salah satu jendela pecah
di belakangku. Lantai kedua hanyalah tempat terbuka yang luas.
Gelap. Dindingnya ditutupi berbagai edisi They Walk
Among Us. Di bagian ujungnya terdapat berbagai
hiasan alien. Tidak seperti yang Sam miliki, posterposter yang ada di sana
adalah foto-foto lama, diperbesar sehingga tampak buram dan tidak jelas,
kebanyakan berupa bintik sinar putih dengan latar
belakang hitam. Boneka alien karet dengan jerat di
lehernya bertengger di salah satu sudut. Seseorang
telah menambahkan sombrero Meksiko di kepala
boneka itu. Bintang-bintang glow in the dark
menempel di langit-langit. Bintang-bintang itu tampak
tidak cocok dengan tempat itu, seperti sesuatu yang
harusnya ada di kamar anak perempuan berusia
sepuluh tahun. Aku melemparkan laki-laki itu ke lantai. Dia beringsut
menjauhiku dan berdiri. Saat lelaki itu berdiri, aku
memusatkan kekuatanku di perut dan
mengarahkannya ke arah lelaki itu dengan gerakan
mendorong yang kuat. Laki-laki itu terbang ke
belakang dan menghantam dinding.
"Di mana dia?" tanyaku.
"Aku tak akan mengatakannya. Dia salah satu dari
kalian." "Aku bukan apa yang kau pikirkan."
"Kalian tak akan berhasil! Jangan ganggu Bumi!"
Aku mengangkat tangan dan mencekiknya dari jauh.
Aku bisa merasakan otot tanganku menegang
walaupun tidak menyentuhnya. Dia tidak bisa
bernapas dan wajahnya memerah. Aku
melonggarkan cekikanku. "Aku tanya sekali lagi."
"Tidak." Aku mencekiknya lagi, tapi kali ini saat wajahnya
memerah, aku mencekiknya lebih keras. Saat aku
melonggarkan cekikanku, dia mulai menangis. Aku
menyesal atas apa yang kulakukan kepadanya. Tapi
dia tahu di mana Henri berada. Dia juga telah
melakukan sesuatu kepada Henri. Rasa simpatiku
langsung sirna. Setelah lelaki itu bisa bernapas, di antara isakannya
dia berkata," Dia ada di bawah."
"Di mana" Aku tidak melihatnya."
"Di ruang bawah tanah. Pintunya ada di belakang
spanduk Steeler di ruang tamu."
Aku memutar nomor ponselku menggunakan telepon
yang ada di meja tengah. Sam tidak menjawab. Lalu
aku menarik telepon itu dari dinding dan mematahkan
jadi dua. "Mana ponselmu," kataku.
"Aku tak punya."
Aku berjalan ke arah boneka dan mengambil jerat
dari lehernya. "Kumohon," pintanya.
"Diam. Kau sudah menculik temanku. Kau
menahannya secara paksa. Kau beruntung yang aku
lakukan hanya mengikatmu."
Aku menarik tangannya ke belakang dan
mengikatnya erat. Kemudian aku mengikat lelaki itu
di salah satu kursi. Meski kurasa tali itu tidak akan
lama menahannya, lalu kupasang plester di mulutnya
sehingga dia tidak bisa berteriak. Setelah itu aku
menuruni tangga, merenggut spanduk Steeler dari
dinding, dan menemukan sebuah pintu hitam terkunci.
Aku membuka kuncinya seperti yang kulakukan
sebelumnya. Rangkaian anak tangga kayu mengarah
ke bawah menuju kegelapan total.
Tercium bau jamur. Aku menyalakan lampu dan mulai
berjalan turun, perlahan-lahan, takut akan apa yang
mungkin kutemukan. Keadaan di bawah kacau dan
dikotori sarang laba-laba. Aku tiba di bawah dan
langsung merasakan kehadiran orang lain. Ada orang
lain di sini. Aku menegang, menarik napas dalam, lalu
berbalik. Di sana, di sudut ruang bawah tanah, duduklah Henri.
"Henri!" Henri menutup mata saat melihat cahaya,
menyesuaikan diri dengan terang. Mulutnya diplester.
Tangannya diikat di belakang. Pergelangan kakinya
diikat ke kaki kursi tempat dia duduk. Rambutnya
berantakan. Di pelipis kanannya terlihat alur darah
kering yang tampak hampir hitam. Aku marah melihat
itu. Aku bergegas menghampiri Henri dan membuka
plester dari mulutnya. Henri menarik napas dalam.
"Syukurlah," katanya. Suaranya lemah. "Kau benar,
John. Bodoh sekali datang ke sini. Maaf. Harusnya aku
mendengarkan." "Ssstt," kataku.
Aku membungkuk dan berusaha melepaskan ikatan
di pergelangan kakinya. "Aku disergap."
"Ada berapa banyak?" tanyaku.
"Tiga." "Aku mengikat satu di atas," kataku.
Aku melepaskan ikatan pergelangan kakinya. Henri
meregangkan kaki dan mendesah lega.
"Aku duduk di kursi sialan ini seharian."
Aku mulai melepaskan ikatan tangannya.
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanyanya.
"Aku ke sini bersama Sam. Kami menyetir."
"Serius?" "Nggak ada cara lain."
"Naik apa?" "Truk lama ayahnya Sam."
Henri diam selama semenit sambil merenungkan apa
artinya itu. "Sam tidak tahu apa-apa," kataku. "Aku bilang alien
itu hobimu, hanya itu."
Henri mengangguk. "Yah, aku senang kau berhasil.
Sekarang Sam di mana?"
"Membuntuti salah satu dari mereka. Aku tak tahu ke
mana mereka pergi." Terdengar suara lantai kayu berderak di atas kami.
Aku berdiri. Ikatan tangan Henri belum terbuka
sepenuhnya. "Kau dengar?" bisikku.
Kami berdua menatap pintu dengan napas tertahan.
Langkah kaki di anak tangga paling atas, lalu kedua.
Segera saja lelaki besar yang kulihat sebelumnya,
yang Sam buntuti, muncul.
"Pestanya selesai," katanya. Dia memegang pistol
yang ditodongkan ke wajahku. "Sekarang, minggir."
Aku mengangkat tangan di depan dan mundur
selangkah. Aku berpikir untuk menggunakan
kekuatanku untuk merenggut pistol itu, tapi
bagaimana jika aku tak sengaja membuatnya
meletus" Aku tidak cukup yakin dengan
kemampuanku. Terlalu berisiko.
"Mereka bilang kau akan datang. Bahwa kau terlihat
seperti manusia. Bahwa kaulah musuh yang
sebenarnya," kata lelaki itu.
"Kau bicara apa?" tanyaku.
"Mereka itu tidak waras," kata Henri. "Mereka pikir
kita ini musuh." "Diam!" bentak lelaki itu.
Lelaki itu maju tiga langkah ke arahku. Lalu dia
mengarahkan pistol itu ke Henri.
"Satu kesalahan kecil, dia yang kena. Paham?"
"Ya," kataku. "Tangkap ini," katanya. Dia mengambil segulung
plester dari rak di sampingnya lalu melemparkannya
ke arahku. Saat plester itu melayang di udara, aku
menghentikannya, menahannya sekitar dua meter
dari lantai, di antara kami. Lalu aku memutarnya
dengan cepat. Lelaki itu melongo memandangnya,
bingung. "Apa-apaan ...."
Sementara perhatiannya teralihkan, aku
menggerakkan tangan ke arahnya dengan gerakan
melempar. Gulungan plester itu terbang kembali ke
arahnya dan menghantam hidungnya. Darah
mengucur. Saat lelaki itu memegang hidungnya, pistol
itu terlepas, menghantam lantai, dan meledak. Aku
mengarahkan tanganku ke peluru dan
menghentikannya. Henri tertawa di belakangku.
Kugerakkan peluru itu sehingga melayang di depan
wajah si lelaki besar. "Hei, gendut," kataku.
Lelaki itu membuka mata dan melihat peluru di udara
di hadapannya. "Kau perlu membawa lebih dari ini."
Aku membiarkan peluru itu jatuh ke lantai di kakinya.
Dia berbalik untuk lari. Namun aku menariknya
melintasi ruangan dan menghantamkannya ke tiang
besar. Lelaki itu pingsan dan merosot ke lantai.
Kuambil plester dan kugunakan untuk mengikatnya


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tiang itu. Setelah yakin dia berhasil diamankan,
aku kembali ke Henri dan membebaskannya.
"John, itu tadi kejutan terbaik yang pernah kulihat
seumur hidupku," bisik Henri, terdengar nada lega di
suaranya sehingga aku pikir setelah itu dia akan
menangis. Aku tersenyum bangga. "Makasih. Muncul saat makan
malam." "Maaf aku melewatkannya."
"Aku bilang kau ada urusan."
Henri tersenyum. "Syukurlah Pusaka itu muncul," katanya. Lalu aku
sadar bahwa rasa tegang karena Pusakaku
muncul- atau rasa takut jika Pusakaku tidak
muncul- lebih membebani Henri daripada yang
kubayangkan. "Jadi apa yang terjadi denganmu?" tanyaku.
"Aku mengetuk pintu. Mereka bertiga ada di rumah.
Saat aku berjalan masuk, salah satu dari mereka
memukul belakang kepalaku. Saat bangun, aku sudah
terikat di kursi ini." Henri menggelengkan kepala dan
mengatakan rangkaian sumpah serapah dalam
bahasa Loric. Setelah aku selesai melepaskan ikatan
Henri, dia berdiri dan meluruskan kakinya.
"Kita harus pergi dari sini," katanya.
"Kita harus mencari Sam."
Lalu kami mendengar suaranya.
"John. Kau di bawah?"
MUSIM DINGIN TIBA LEBIH AWAL DAN DENGAN
kekuatan penuh di Paradise, Ohio. Mulanya angin, lalu
dingin, kemudian salju. Awalnya salju tipis, namun
kemudian badai bertiup dan mengubur tanah
sehingga bunyi pengeruk salju sering terdengar- sama
seringnya dengan bunyi angin itu sendiri. Salju
menutupi segala sesuatu. Sekolah diliburkan selama
dua hari. Salju di dekat jalan-jalan berubah dari putih
menjadi hitam kumal dan kemudian meleleh menjadi
lumpur salju yang terus menggenang. Henri dan aku
menghabiskan waktu dengan berlatih, baik di dalam
ruangan maupun di luar ruangan. Sekarang aku bisa
memutar tiga bola di udara tanpa menyentuhnya. Itu
artinya aku bisa mengangkat lebih dari satu benda
sekaligus. Barang-barang yang lebih berat dan lebih
besar juga bisa kuangkat. Meja dapur, mesin
pembersih salju yang Henri beli minggu lalu, dan juga
truk baru kami, yang tampak sama persis seperti truk
lama kami dan juga jutaan truk pickup lain di
Amerika. Jika aku bisa mengangkat benda itu sendiri,
dengan tanganku, maka aku juga bisa
mengangkatnya dengan pikiranku. Henri yakin
kekuatan pikiranku pada akhirnya akan melebihi
kekuatan tubuhku. Di halaman belakang, pepohonan berdiri mengelilingi
kami. Batang-batangnya beku sehingga tampak
seperti kaca yang dilapisi dua senti bubuk putih di
atasnya. Salju menumpuk tinggi hingga selutut, selain
di tempat yang sudah Henri bersihkan. Bernie Kosar
duduk memandang dari beranda belakang. Bahkan
Bernie Kosar pun tidak ingin berurusan dengan salju.
"Kau yakin soal ini?" tanyaku.
"Kau perlu belajar untuk merangkulnya," kata Henri.
Di belakang Henri, menonton dengan rasa penasaran
yang tidak wajar, berdirilah Sam. Ini pertama kalinya
dia melihatku berlatih. "Berapa lama ini akan terbakar?" tanyaku.
"Entah." Aku mengenakan pakaian yang sangat mudah
terbakar, terbuat dari serat alami yang direndam
dalam berbagai minyak, yang lambat terbakar dan
yang tidak. Aku ingin membakar pakaian itu hanya
untuk menyingkirkan bau yang membuat mataku
berair. Aku menarik napas dalam.
"Siap?" tanya Henri.
"Siap." "Jangan bernapas. Kau tidak kebal terhadap asap atau
uap, dan organ dalammu bisa terbakar."
"Menurutku ini bodoh," kataku.
"Ini bagian dari latihanmu. Tetap tenang di bawah
tekanan. Kau harus belajar melakukan banyak hal
walaupun dalam keadaan terbakar."
"Tapi kenapa?" "Karena jika pertempuran terjadi, kita pasti sangat
kalah jumlah. Api akan menjadi sekutu terbaikmu
dalam perang. Kau harus belajar bertempur dalam
keadaan terbakar." "Ugh." "Kalau ada yang salah, lompat ke salju dan berguling."
Aku memandang Sam, yang tersenyum lebar. Dia
memegang tabung pemadam kebakaran warna
merah, kalau-kalau dibutuhkan.
"Aku tahu," kataku.
Semua orang diam sementara Henri meraih korek api.
"Kau tampak seperti monster Bigfoot dalam pakaian
itu," kata Sam. "Lucu, Sam," kataku.
"Siap-siap," kata Henri.
Aku menarik napas dalam sebelum Henri
menyentuhkan korek api ke pakaianku. Api pun
membalut tubuhku. Rasanya tidak wajar jika aku
membuka mata, tapi aku tetap membuka mata. Aku
memandang ke atas. Api menjulang hingga dua
meter di atasku. Seluruh dunia diselimuti warna
oranye, merah, dan kuning, yang menari-nari di
hadapanku. Aku bisa merasakan panas, tapi rasanya
mirip seperti sinar matahari pada musim panas. Tidak
lebih. "Mulai!" teriak Henri.
Aku merentangkan tangan ke samping, dengan mata
terbuka lebar, sambil menahan napas. Rasanya seperti
melayang. Aku masuk ke salju yang tinggi. Salju itu
berdesis dan meleleh di bawah kakiku, membentuk
sungai kecil saat aku berjalan. Aku mengulurkan
tangan kanan ke depan dan mengangkat sebuah
balok beton, yang terasa lebih berat daripada
biasanya. Apa itu karena aku tidak bernapas" Atau
akibat stres karena api"
"Jangan buang-buang waktu!" teriak Henri.
Aku melemparkan balok itu sekuat tenaga ke arah
sebuah pohon mati satu meter di depanku.
Kekuatannya membuat balok itu hancur berkepingkeping, meninggalkan lekukan di
kayu. Lalu aku mengangkat tiga bola tenis yang direndam dalam
bensin. Aku memutar bola-bola itu di udara, yang satu
di atas yang lain. Aku mengarahkan bola itu ke
tubuhku. Bola-bola itu menyala, dan aku masih
memutarnya. Sambil melakukan itu, aku mengangkat
sebuah gagang sapu kecil dan panjang. Aku menutup
mata. Tubuhku hangat. Aku bertanya-tanya apakah
aku berkeringat. Jika iya, keringat itu seharusnya
menguap begitu keluar ke permukaan kulit.
Kugertakkan gigi kuat-kuat, kubuka mata dan
kucondongkan tubuh ke depan, mengarahkan seluruh
kekuatanku ke pusat tongkat itu. Gagang sapu itu
meledak, pecah berkeping-keping. Aku tidak
membiarkan pecahannya jatuh ke tanah. Aku
menahan pecahan-pecahan itu sehingga tampak
seperti awan debu melayang di udara. Kutarik
pecahan-pecahan itu ke arahku dan membiarkannya
terbakar. Kayu berderak saat mengenai api. Aku
menyatukan pecahan-pecahan kayu itu kembali
membentuk tombak api padat yang tampak seolah
baru diambil dari neraka.
"Sempurna!" teriak Henri.
Satu menit berlalu. Paru-paruku mulai terasa terbakar,
akibat menahan napas. Aku mengirim seluruh
kekuatanku ke dalam tombak itu. Kemudian aku
melemparkan tombak dengan sangat kuat sehingga
tombak itu melesat di udara bagaikan peluru. Tombak
itu menghantam pohon. Ratusan api kecil meledak di
dekat pohon itu dan langsung padam. Aku berharap
pohon mati itu akan terbakar, tapi ternyata tidak. Aku
juga menjatuhkan bola-bola tenis itu. Bola-bola itu
mendesis di salju, 1,5 meter dariku.
"Lupakan bolanya," teriak Henri. "Pohon itu.
Hancurkan pohon itu."
Pohon mati itu tampak mengerikan dengan cabangcabang bengkok yang membentuk
siluet hitam dengan latar belakang putih. Aku menutup mata. Aku
tidak bisa menahan napas lebih lama lagi. Aku
merasa frustrasi dan marah, apalagi dengan adanya
api dan pakaian yang tidak nyaman serta tugas yang
belum selesai. Aku memusatkan perhatian ke sebuah
dahan besar pohon itu. Aku mencoba mematahkan
cabang itu, namun tak berhasil. Aku menggertakkan
gigi dan mengerutkan kening. Akhirnya terdengar
bunyi patah yang keras, membelah udara bagaikan
tembakan senapan. Dahan itu terbang ke arahku. Aku
menangkap dahan itu dengan tangan dan
memegangnya di depanku. Aku akan membakarnya,
pikirku. Panjang dahan itu pastilah sekitar enam
meter. Dahan itu akhirnya mulai terbakar. Aku
mengangkatnya ke udara 12 atau 15 meter di atasku.
Lalu, tanpa menyentuhnya, aku menancapkannya ke
tanah, persis seperti yang dilakukan ahli pedang
zaman dulu di atas bukit setelah memenangkan
perang. Dahan itu berayun-ayun ke depan dan ke
belakang dengan asap dan lidah api menari-nari di
sepanjang setengah bagian atasnya. Kubuka mulut
dan secara naluriah menarik napas. Api menyerbu
masuk ke dalam mulutku. Rasanya seluruh tubuhku
langsung terbakar. Aku sangat kaget. Rasanya sangat
sakit sehingga aku tak tahu harus melakukan apa.
"Salju! Salju!" teriak Henri.
Aku melompat ke salju dengan kepala terlebih dahulu
dan mulai berguling. Api langsung padam, tapi aku
tetap berguling-guling. Terdengar bunyi desisan saat
salju menyentuh pakaianku yang compang-camping
sementara gumpalan uap dan asap membubung ke
atas. Lalu Sam menarik jepitan dari tabung pemadam
kebakaran dan menyemprotkan bubuk tebal yang
membuatku semakin sulit bernapas.
"Jangan," teriakku.
Sam berhenti. Aku berbaring. Berusaha bernapas.
Namun, setiap tarikan napas menyebabkan paruparuku sakit dan rasa sakitnya
menjalar ke seluruh tubuhku. "Sial, John. Seharusnya kau tidak bernapas," kata
Henri, berdiri di dekatku.
"Aku tak tahan."
"Kau baik-baik saja?" tanya Sam.
"Paru-paruku terbakar."
Segala sesuatu tampak buram. Namun perlahan-lahan
dunia kembali jelas. Aku berbaring memandang langit
kelabu dan butiran salju yang jatuh dengan muram di
atas kami. "Bagaimana?" "Nggak buruk untuk percobaan pertama."
"Kita akan melakukannya lagi, ya?"
"Suatu saat nanti, ya."
"Tadi itu keren," kata Sam.
Aku mendesah, lalu menarik napas panjang dengan
susah payah. "Tadi itu jelek."
"Kau melakukannya dengan baik untuk percobaan
pertama," kata Henri. "Nggak ada yang gampang."
Aku mengangguk. Aku berbaring di tanah selama satu
atau dua menit. Kemudian Henri mengulurkan tangan
dan membantuku berdiri, mengakhiri latihan hari itu.
*** Dua hari kemudian aku terbangun di tengah malam.
Pukul 2:57. Aku mendengar Henri bekerja di meja
dapur. Aku turun dari tempat tidur dan keluar kamar.
Henri membungkuk di atas sebuah dokumen,
mengenakan bifokal dan memegang semacam
prangko dengan menggunakan pinset. Dia
menengadah memandangku. "Sedang apa?" tanyaku.
"Membuat formulir untukmu."
"Untuk apa?" "Aku berpikir mengenai kau dan Sam yang menyetir
untuk menjemputku. Aku pikir bodoh sekali jika kita
tetap menggunakan usiamu yang sebenarnya padahal
kita bisa mengubahnya sesuai kebutuhan."
Aku mengambil akta kelahiran yang sudah Henri
selesaikan. Nama James Hughes tertera di sana.
Tanggal kelahirannya membuatku setahun lebih tua.
Aku jadi berusia enam belas dan bisa menyetir. Lalu
aku membungkuk dan melihat dokumen yang sedang
Henri buat. Jobie Frey, usia delapan belas, dianggap
dewasa secara hukum. "Kenapa kita tak pernah memikirkan ini sebelumnya?"
tanyaku. "Kita tak punya alasan untuk itu."
Kertas-kertas dengan berbagai bentuk, ukuran, dan
ketebalan bertebaran di atas meja. Sebuah printer
besar bertengger di salah satu sisi meja. Botol-botol
tinta, stempel karet, stempel notaris, benda yang
terlihat seperti pelat logam, dan berbagai alat yang
tampaknya berasal dari kantor dokter gigi. Proses
pembuatan dokumen selalu aneh bagiku.
"Apa kita akan mengubah umurku sekarang?"


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Henri menggelengkan kepala. "Sudah terlambat jika
kita ingin mengubahnya. Ini terutama untuk suatu hari
nanti. Siapa tahu nanti terjadi sesuatu yang
menyebabkan kau punya alasan untuk
menggunakannya." Pikiran mengenai kepindahan di masa depan
membuatku muak. Aku lebih suka tetap berusia lima
belas dan tidak bisa menyetir selamanya daripada
pindah ke tempat baru lagi.
*** Seminggu sebelum Natal, Sarah pulang dari Colorado.
Aku tidak melihatnya selama delapan hari. Rasanya
seperti sebulan. Mobil van menurunkan semua gadisgadis di sekolah. Lalu salah
satu teman Sarah mengantarkannya langsung ke rumahku dan bukan
ke rumah Sarah. Begitu mendengar suara mobil
memasuki halaman, aku langsung menemui Sarah.
Aku memeluk dan menciumnya, serta mengangkat
dan memutar-mutarnya di udara. Sarah baru naik
pesawat dan mobil selama sepuluh jam, mengenakan
celana olahraga dan tidak berdandan, dan rambutnya
dikuncir. Namun dia tetap gadis paling cantik yang
pernah kulihat dan aku tidak ingin melepaskannya.
Kami saling tatap di bawah sinar rembulan. Kami
hanya saling tersenyum. "Kamu kangen aku?" tanya Sarah.
"Setiap detik setiap hari."
Sarah mencium ujung hidungku.
"Aku juga kangen kamu."
"Jadi, bagaimana tempat penampungannya?" tanyaku.
"Oh, John. Luar biasa! Andai kau ada di sana. Di sana
mungkin ada tiga puluh orang yang membantu setiap
saat. Bangunan itu dibangun dengan sangat cepat dan
jauh lebih bagus daripada sebelumnya. Kami
membangun rumah pohon di salah satu pojok dan,
aku berani sumpah, selama kami di sana kucingkucing bermain di rumah itu."
Aku tersenyum. "Kedengarannya hebat. Andai aku
ada di sana." Aku mengangkat tas Sarah. Kami masuk ke dalam
rumah bersama-sama. "Henri mana?" tanyanya.
"Belanja. Dia pergi sekitar sepuluh menit lalu."
Sarah melintasi ruang tamu dan meletakkan
mantelnya di sandaran kursi lalu berjalan ke kamarku.
Dia duduk di tepi tempat tidurku dan melemparkan
sepatunya. "Kita ngapain, ya?" tanya Sarah.
Aku berdiri memandanginya. Sarah mengenakan baju
olahraga berwarna merah dengan tutup kepala. Dia
tersenyum dan memandangku dari ujung atas
matanya. "Sini," katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.
Aku berjalan ke arahnya. Sarah memegang tanganku.
Dia mendongak menatapku dan menyipitkan mata
karena silau melihat lampu. Aku menjentikkan jari
dengan tanganku yang satu lagi. Lampu itu padam.
"Bagaimana caranya?"
"Sihir," kataku.
Aku duduk di sampingnya. Sarah menyampirkan
beberapa helai rambut ke belakang telinganya, lalu
mendekat dan menciumku. "Aku benar-benar merindukanmu," katanya.
"Aku juga." Kami sama-sama diam. Sarah menggigit bibir.
"Aku tidak sabar untuk ke sini," katanya. "Selama di
Colorado, aku hanya memikirkanmu. Bahkan saat
main bersama binatang, aku berpikir seandainya kau
ada di sana dan bermain bersama mereka. Lalu saat
kami akhirnya pulang pagi ini, perjalanan terasa
begitu panjang." Sarah tersenyum, terutama dengan matanya. Kami
berdua duduk di tepi tempat tidur, berpelukan. Kamar
gelap, hanya diterangi sinar rembulan yang masuk
melalui jendela. Sarah melihatku memandanginya dan
menempelkan dahinya ke dahiku, menatapku lembut.
Sarah menarikku dan menciumku lagi. Pikiranku
langsung kosong, aku lupa tentang pengejaran, alien
dan Mogadorian. Sarah dan aku. Bersama. Hanya itu
yang penting di dunia ini.
Terdengar pintu ruang tamu dibuka. Kami berdua
terlonjak kaget. "Henri sudah pulang," kataku.
Kami berdiri dan saling tersenyum. Lalu keluar kamar
sambil berpegangan tangan. Henri sedang meletakkan
kantung belanjaan di meja dapur.
"Hai, Henri," kata Sarah.
Henri tersenyum. Sarah melepaskan tanganku. Lalu
dia menghampiri dan memeluk Henri. Mereka
mengobrol mengenai perjalanan Sarah ke Colorado.
Aku berjalan ke luar untuk mengambil belanjaan
lainnya. Kuhirup udara dingin dalam-dalam dan
kubawa belanjaan masuk rumah. Sarah bercerita
mengenai kucing-kucing di penampungan.
"Kau tidak membawa pulang satu ekor untuk kami?"
"Henri, kau tahu dengan senang hati aku akan
membawakan satu ekor untukmu jika kau
memintanya," kata Sarah.
Henri tersenyum kepada Sarah. "Aku percaya."
Henri menyimpan belanjaan. Sarah dan aku pergi ke
luar untuk berjalan-jalan di udara dingin sebelum ibu
Sarah tiba dan membawanya pulang. Bernie Kosar
ikut. Dia memimpin jalan dan lari di depan. Sarah dan
aku bergandengan tangan, berjalan di halaman. Suhu
udara sedikit di atas suhu beku. Salju meleleh, tanah
basah dan berlumpur. Bernie Kosar hilang sebentar ke
dalam hutan lalu berlari kembali ke kami. Kakinya
kotor. "Kapan ibumu datang?" tanyaku.
Sarah melihat jam tangannya. "Dua puluh menit."
Aku mengangguk. "Aku senang kau pulang."
"Aku juga." Kami pergi ke tepi hutan, namun hari terlalu gelap
untuk masuk ke hutan. Jadi kami berjalan di tepi
halaman, bergandengan tangan, dengan bulan dan
bintang sebagai saksi. Kami berdua tidak
membicarakan apa yang baru saja terjadi, tapi jelas
kami memikirkannya. Setelah mengelilingi halaman
satu kali, ibu Sarah tiba. Sepuluh menit lebih cepat.
Sarah berlari dan memeluk ibunya. Aku masuk ke
rumah dan mengambil tas Sarah. Setelah
mengucapkan selamat jalan, aku berjalan ke jalan
raya dan memandangi lampu belakang mobil mereka
menghilang di kejauhan. Aku berdiri di luar sebentar.
Kemudian Bernie Kosar dan aku kembali ke dalam
rumah. Henri sedang menyiapkan makan malam. Aku
memandikan Bernie Kosar. Saat aku selesai, makan
malam sudah siap. Kami duduk di meja dan makan, tanpa berbicara. Aku
tidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Aku menatap
piring dengan pikiran kosong. Aku tidak lapar, tapi
kupaksakan diri untuk makan. Aku makan beberapa
suap, lalu kudorong piringku dan duduk diam.
"Jadi apa kau akan memberitahuku?" tanya Henri.
"Apa?" "Yang ada dalam pikiranmu."
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Henri mengangguk, lalu kembali makan. Aku menutup
mata. Aku masih mencium aroma Sarah di kerah
bajuku. Aku masih merasakan tangannya di pipiku.
Tekstur rambutnya saat aku membelai rambut Sarah.
Yang kupikirkan hanyalah apa yang saat ini Sarah
kerjakan, dan berharap seandainya dia masih di sini.
"Apa kau pikir kita bisa dicintai?" tanyaku.
"Maksudmu?" "Oleh manusia. Menurutmu apakah kita bisa dicintai,
disukai, benar-benar disayangi oleh mereka?"
"Kurasa mereka bisa mencintai kita seperti mencintai
manusia lain, terutama jika mereka tidak tahu kita ini
apa. Tapi kurasa kita tak mungkin bisa mencintai
manusia seperti mencintai Loric," kata Henri.
"Kenapa?" "Karena pada dasarnya kita berbeda dari mereka. Dan
kita mencintai dengan cara yang berbeda. Salah satu
karunia Lorien kepada kita adalah kita bisa mencintai
dengan sepenuhnya. Tanpa rasa cemburu atau rasa
gelisah atau rasa takut. Tanpa kepicikan. Tanpa
kemarahan. Kau bisa saja memiliki perasaan yang
kuat terhadap Sarah, tapi perasaan itu tidak seperti
perasaan yang kau rasakan terhadap gadis Loric."
"Tidak banyak gadis Loric yang tersedia untukku."
"Masih ada lagi alasan untuk hati-hati dengan Sarah.
Suatu saat nanti, jika kita bisa bertahan, kita perlu
menghidupkan kembali ras kita dan menambah
jumlah penduduk planet kita. Jelas perjalananmu
masih panjang sehingga saat ini kau tidak perlu
memikirkan itu, tapi kurasa Sarah tak akan bisa jadi
pasanganmu." "Apa yang terjadi jika kita mencoba memiliki anak
dari manusia?" "Itu sudah pernah terjadi berkali-kali. Biasanya anakanak yang dihasilkan adalah
manusia yang luar biasa dan berbakat. Sosok-sosok hebat dalam sejarah di
Bumi sebenarnya adalah hasil dari perkawinan
manusia dan Loric, seperti, Aristoteles, Julius Caesar,
Alexander Agung, Genghis Khan, Leonardo da Vinci,
Isaac Newton, Thomas Jefferson, dan Albert Einstein.
Banyak dewa-dewi Yunani kuno, yang diyakini
kebanyakan orang sebagai mitos, sebenarnya adalah
anak-anak dari manusia dan Loric. Ini terjadi terutama
karena dulu kita sering berada di planet ini dan
membantu mereka mengembangkan peradaban.
Aphrodite, Apollo, Hermes, dan Zeus. Mereka semua
benar-benar ada dan salah satu orangtua mereka
adalah bangsa Loric."
"Jadi bisa saja."
"Memang bisa. Tapi, dalam situasi kita saat ini, itu
namanya sembrono dan tidak praktis. Sebenarnya,
walaupun aku tidak tahu nomornya dan juga tidak
tahu di mana dia berada, salah satu dari anak-anak
Loric yang datang ke Bumi bersama kita adalah anak
perempuan sahabat orangtuamu. Mereka sering
bercanda kalian berdua sudah ditakdirkan untuk
bersama. Mungkin mereka memang benar."
"Jadi apa yang harus kulakukan?"
"Nikmati hari-harimu dengan Sarah, tapi jangan terlalu
terikat dengannya, dan jangan biarkan dia terlalu
terikat denganmu." "Yang benar?" "Percayalah, John. Jika kau tidak pernah percaya pada
kata-kataku, setidaknya percayalah yang satu itu."
"Aku percaya dengan semua yang kau katakan,
walaupun aku tak mau."
Henri mengedip ke arahku. "Bagus," katanya.
Setelah itu, aku pergi ke kamarku dan menelepon
Sarah. Sebelum menelepon, aku memikirkan apa
yang baru saja Henri katakan, tapi aku tidak bisa
menahan diri. Aku terikat dengannya. Kurasa aku
jatuh cinta kepadanya. Kami bicara selama dua jam.
Sudah tengah malam saat akhirnya kami menyudahi
pembicaraan. Lalu aku berbaring di tempat tidur,
tersenyum di kegelapan. MALAM PUN TURUN. MALAM YANG HANGAT. ANGIN
sepoi-sepoi bertiup. Langit dihiasi taburan cahaya yang
berkelap-kelip. Awan berwarna biru, merah, dan hijau.
Awalnya kembang api. Kembang api berubah
perlahan-lahan menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu
yang lebih keras. Sesuatu yang lebih mengancam.
Seruan kagum wah dan oh berubah menjadi jeritan
dan teriakan. Keadaan kacau-balau. Orang-orang
berlarian, anak-anak menangis. Aku, berdiri di tengah
itu semua, memandang tanpa mampu menolong. Para
prajurit dan hewan buas berhamburan dari segala
arah ke dalam kancah perang, seperti yang telah
kusaksikan sebelumnya. Bom-bom berjatuhan dengan
begitu bising sehingga memekakkan telinga,
gaungnya terasa di ulu hatiku. Begitu menulikan
sehingga gigiku sakit. Lalu bangsa Loric melawan balik
dengan begitu kuat, dengan gagah-berani,
membuatku bangga berada di antara mereka,
menjadi salah satu dari mereka.
Lalu aku pergi, melintasi udara dengan sangat cepat.
Dunia di bawahku tampak buram. Aku tidak bisa
melihat apa pun dengan jelas. Saat berhenti, aku
sedang berdiri di lintasan pesawat. Sebuah pesawat
udara berwarna perak berada sekitar lima meter
dariku. Sekitar empat puluh Loric berdiri di jalur yang
mengarah ke pintu masuknya. Dua orang sudah
masuk. Mereka berdiri di pintu sambil menatap langit,
seorang anak perempuan dan seorang wanita seusia
Henri. Lalu aku melihat diriku, berumur empat tahun,
menangis, dengan bahu merosot. Henri yang masih
muda berdiri di belakangku. Dia juga memandang
langit. Berlutut di depanku adalah nenekku. Dia
meremas bahuku. Kakekku berdiri di belakang nenek,
wajahnya keras, tampak panik. Lensa kacamatanya
memantulkan cahaya dari langit.
"Kau harus kembali, kau dengar" Kau harus kembali,"
kata nenekku, mengakhiri ucapannya. Kuharap aku
bisa mendengar kata-kata yang dia ucapkan. Hingga
saat ini aku tidak apa pun yang dikatakan kepadaku


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada malam itu. Tapi aku yang sekarang berbeda.
Diriku yang berumur empat tahun tidak menjawab.
Diriku yang berumur empat tahun terlalu ketakutan.
Dia tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa
keadaan begitu genting dan mengapa ada rasa takut
di mata semua orang di sekitarnya. Nenekku
memelukku. Kemudian dia melepaskan pelukannya.
Dia berdiri dan membalikkan badan agar aku tidak
melihatnya menangis. Diriku yang berumur empat
tahun tahu bahwa nenekku menangis, tapi tidak tahu
kenapa. Lalu kakekku, yang berlumuran keringat, kotoran, dan
darah. Jelas dia baru saja bertempur. Wajahnya
tampak tegang, siap untuk bertempur lagi, siap untuk
pergi dan melakukan apa yang bisa dia lakukan untuk
mempertahankan diri. Dirinya, dan juga planetnya.
Kakekku berlutut seperti nenek. Untuk pertama
kalinya aku memandang berkeliling. Tumpukan logam
bengkok, bongkahan beton, lubang di tanah tempat
jatuhnya bom. Api di sana-sini, pecahan kaca, tanah,
pecahan pepohonan. Dan di tengah-tengah itu semua
terdapat satu pesawat. Masih mulus. Pesawat yang
kami naiki. "Kita harus pergi!" teriak seseorang. Laki-laki, dengan
mata dan berambut gelap. Aku tidak tahu siapa lakilaki itu. Henri memandang
laki-laki itu dan mengangguk. Anak-anak berjalan masuk. Kakekku
menatapku dalam-dalam. Dia membuka mulut untuk
berbicara. Tapi sebelum ada kata-kata yang keluar,
sekali lagi aku merasa melayang, melintasi udara.
Dunia di bawah tampak kabur kembali. Aku mencoba
mencari suatu bentuk, tapi aku bergerak terlalu cepat.
Satu-satunya yang terlihat hanyalah bom-bom, yang
terus berjatuhan, api dengan berbagai warna
membelah langit malam diikuti ledakan tanpa henti.
Lalu aku berhenti lagi. Aku berada dalam bangunan besar dan terbuka yang
belum pernah kulihat. Hening. Langit-langitnya
membentuk kubah. Lantainya berupa satu lempeng
beton sebesar lapangan football. Tidak ada jendela.
Namun suara bom masih terdengar, bergema di
dinding di sekitarku. Di tengah-tengah bangunan itu,
tampak tinggi dan gagah serta sendirian, berdiri
sebuah roket putih yang menjulang hingga puncak
langit-langit. Lalu sebuah pintu membanting terbuka di kejauhan.
Aku langsung menoleh ke arah itu. Dua laki-laki
masuk, kalut, berbicara dengan cepat dan keras.
Terdengar derap sekelompok hewan berlari di
belakang kedua laki-laki itu. Lima belas hewan,
kurang lebih, yang terus-menerus berubah wujud. Ada
yang terbang, ada yang berlari dengan dua kaki, lalu
empat kaki. Di belakang rombongan itu, muncul lakilaki ketiga. Kemudian pintu
itu ditutup. Laki-laki pertama mencapai pesawat ruang angkasa,
membuka semacam lubang palka di bagian bawah
pesawat, dan memasukkan hewan-hewan itu.
"Cepat! Cepat! Naik dan masuk ke dalam, naik dan
masuk ke dalam," teriaknya.
Hewan-hewan itu bergegas. Semuanya berubah
wujud agar bisa baik dan masuk. Lalu hewan terakhir
masuk. Kemudian salah satu dari ketiga laki-laki itu
pun ikut masuk. Dua laki-laki yang lain mulai
melemparkan tas-tas dan kotak-kotak kepadanya.
Mereka memerlukan sepuluh menit untuk
memasukkan segalanya ke dalam pesawat. Lalu
ketiga laki-laki itu berpencar di sekeliling roket,
menyiapkannya. Ketiganya berkeringat. Ketiganya
bergerak dengan cepat hingga segalanya siap. Tepat
sebelum ketiga laki-laki itu memanjat masuk ke
dalam roket, seseorang berlari menghampiri. Dia
membawa buntelan yang tampak seperti bayi dalam
bedongan, walalupun aku tidak yakin karena tidak
bisa melihat dengan jelas. Mereka mengambil benda
itu dan masuk ke dalam. Lalu pintu ditutup dan
disegel. Menit-menit berlalu. Saat ini bom-bom itu
pasti sudah berjatuhan di dekat dinding luar gedung.
Lalu, entah dari mana, terjadi ledakan dalam gedung.
Aku melihat api memancar dari bagian bawah roket.
Api itu membesar dengan cepat dan membakar habis
semua yang ada dalam gedung itu. Api yang juga
membakarku. Mataku mendadak terbuka. Aku kembali di rumah, di
Ohio, berbaring di tempat tidur. Kamar ini gelap, tapi
aku bisa merasakan aku tidak sendirian. Sebuah
sosok bergerak. Bayangannya jatuh di tempat tidur.
Aku menegang, siap untuk menyalakan tanganku,
siap untuk melemparkannya ke dinding.
"Kau berbicara," kata Henri. "Barusan saja. Kau
berbicara saat tidur."
Aku menyalakan tanganku. Henri berdiri di samping
tempat tidur, mengenakan celana piyama dan kaus
putih. Rambutnya berantakan. Matanya merah karena
tidur. "Apa yang kukatakan?"
"Kau bilang 'Naik dan masuk ke dalam, naik dan
masuk ke dalam.' Apa yang terjadi?"
"Aku di Lorien."
"Dalam mimpi?" "Kurasa tidak. Aku ada di sana, seperti waktu itu."
"Apa yang kau lihat?"
Aku beringsut mundur hingga bisa bersandar di
dinding. "Hewan-hewan," kataku.
"Hewan-hewan apa?"
"Di pesawat ruang angkasa yang kulihat lepas landas.
Pesawat yang tua, yang di museum. Dalam roket
yang pergi setelah kita pergi. Aku melihat hewanhewan itu dimasukkan ke dalam
pesawat. Tidak banyak. Mungkin lima belas. Dengan tiga Loric lain.
Aku pikir mereka bukan Garde. Lalu ada lagi.
Buntelan. Tampaknya seperti bayi, tapi aku tidak
melihatnya dengan jelas."
"Kenapa kau pikir mereka bukan Garde?"
"Mereka mengisi roket itu dengan perbekalan, sekitar
lima puluh kotak dan tas ransel. Mereka tidak
menggunakan telekinesis."
"Ke dalam roket yang ada di dalam museum?"
"Kurasa itu museum. Aku berada di dalam gedung
besar berkubah yang hanya berisi roket. Aku hanya
bisa menduga bahwa itu museum."
Henri mengangguk. "Jika mereka bekerja di museum,
pasti mereka itu C?pan."
"Memasukkan hewan-hewan," kataku. "Hewanhewan yang bisa berubah wujud."
"Chimaera," kata Henri.
"Apa?" "Chimaera. Hewan di Lorien yang bisa berubah wujud.
Mereka disebut Chimaera."
"Apa Hadley itu Chimaera?" tanyaku, teringat citra
yang kulihat beberapa minggu lalu, ketika aku
bermain di halaman rumah kakek-nenekku kemudian
diangkat ke udara oleh seorang lelaki berpakaian
perak dan biru. Henri tersenyum. "Kau ingat Hadley?"
Aku mengangguk. "Aku melihatnya dengan cara yang
sama seperti melihat hal-hal lainnya."
"Kau melihat citra bahkan saat kita tidak berlatih?"
"Kadang-kadang."
"Seberapa sering?"
"Henri, siapa yang peduli dengan citra" Mengapa
mereka memasukkan hewan-hewan ke dalam roket"
Apa yang bayi itu lakukan bersama mereka" Apakah
itu memang bayi" Ke mana mereka pergi" Apa misi
mereka?" Henri berpikir sebentar. Dia menggeser kakinya.
"Mungkin misi yang sama dengan kita. Pikirkan, John.
Bagaimana lagi hewan-hewan bisa kembali
memenuhi Lorien" Mungkin mereka juga pergi ke
suatu tempat perlindungan. Segalanya disapu bersih.
Bukan hanya orang-orang, tapi juga hewan-hewan,
dan juga tumbuh-tumbuhan. Mungkin buntelan itu
berisi hewan lain. Hewan yang masih lemah, mungkin
yang masih kecil." "Oke, ke mana mereka pergi" Apa ada tempat
perlindungan lain selain Bumi?"
"Aku rasa mereka pergi ke salah satu stasiun ruang
angkasa. Sebuah roket dengan bahan bakar Loric bisa
mencapai tempat itu. Mungkin mereka pikir mereka
bisa menunggu hingga penyerbuan itu berakhir.
Maksudku, mereka pasti bisa hidup di stasiun ruang
angkasa itu sampai perbekalan mereka habis."
"Ada stasiun ruang angkasa di dekat Lorien?"
"Ya, ada dua. Yah, dulunya ada dua. Aku tahu pasti
bahwa yang stasiun yang paling besar hancur pada
saat penyerbuan terjadi. Kami kehilangan hubungan
dengannya kurang dari dua menit setelah bom
pertama dijatuhkan."
"Kenapa kau tidak pernah mengatakan ini, saat aku
memberitahumu tentang roket itu?"
"Aku pikir roket itu kosong dan hanya diluncurkan
sebagai umpan. Lagi pula, kupikir karena salah satu
stasiun ruang angkasa sudah dihancurkan, pasti
stasiun yang lainnya juga sama. Sayangnya
perjalanan mereka mungkin hanya sia-sia, apa pun
misi mereka." "Tapi bagaimana jika mereka kembali saat
perbekalan mereka habis" Apa menurutmu mereka
bisa bertahan hidup di Lorien?" Aku bertanya dengan
putus asa. Aku sudah tahu jawabannya. Aku sudah
tahu apa yang akan Henri katakan. Namun aku tetap
bertanya karena ingin berpegang pada semacam
harapan bahwa kami tidak sendirian dalam
menghadapi ini semua. Bahwa mungkin, jauh entah di
mana, ada orang-orang seperti kami. Ada para Loric
yang menunggu, memantau planet hingga mereka,
juga, suatu hari nanti bisa kembali. Aku berharap
kami tidak sendirian saat kembali ke planet kami.
"Tidak. Saat ini tidak ada air di Lorien. Kau sudah
melihatnya sendiri. Tidak ada apa-apa selain tanah
kosong yang tandus. Dan tidak ada sesuatu apa pun
yang bisa bertahan hidup tanpa air."
Aku mendesah dan berbaring kembali. Kujatuhkan
kepalaku ke bantal. Apa gunanya berdebat" Henri
benar dan aku tahu itu. Aku melihatnya sendiri. Jika
globe yang Henri keluarkan dari Peti Loric dapat
dipercaya, maka Lorien tak lebih dari sekadar tanah
kosong. Planet itu masih hidup, tapi di permukaannya
tidak ada apa pun. Tidak ada air. Tidak ada tumbuhan.
Tidak ada kehidupan. Tidak ada apa pun selain tanah,
batu, dan reruntuhan sisa-sisa peradaban.
"Kau melihat hal lain?" tanya Henri.
"Aku melihat kita pada hari ketika kita pergi. Kita
semua di pesawat sebelum lepas landas."
"Itu hari yang menyedihkan."
Aku mengangguk. Henri menyilangkan tangan dan
menatap keluar jendela, melamun. Aku menarik
napas panjang. "Di mana keluargamu saat itu?"
kataku. Sinar di tanganku sudah kupadamkan sejak dua atau
tiga menit lalu, tapi aku bisa melihat bagian putih
mata Henri menatapku. "Tidak bersamaku, tidak pada hari itu," katanya.
Kami berdua diam selama beberapa saat, lalu Henri
bergerak. "Yah, sebaiknya aku kembali tidur," katanya,
mengakhiri percakapan. "Tidurlah."
Setelah Henri pergi, aku berbaring memikirkan
hewan-hewan itu, roket, dan keluarga Henri. Aku
sangat yakin dia tidak sempat mengucapkan selamat
tinggal kepada mereka. Aku tahu aku tidak akan bisa
tidur lagi. Aku tidak bisa tidur saat bayanganbayangan itu muncul. Aku juga
tidak bisa tidur saat merasakan kesedihan Henri. Pastilah Henri selalu
memikirkannya, seperti yang dilakukan mereka yang
pergi pada situasi yang sama, meninggalkan satusatunya rumah yang kau kenal
padahal kau tahu kau tidak akan bisa menemui orang yang kau sayangi
lagi. Aku mengambil ponsel dan mengirim SMS kepada
Sarah. Aku selalu mengirim SMS kepadanya jika aku
tidak bisa tidur, atau sebaliknya. Lalu kami akan
berbicara lama hingga mengantuk. Dua puluh detik
setelah aku menekan tombol kirim, Sarah
meneleponku. "Hei, kau," jawabku.
"Nggak bisa tidur?"
"Nggak." "Ada apa?" tanya Sarah. Dia menguap di ujung sana.
"Kangen kamu aja. Aku sudah berbaring di tempat
tidur memandangi langit-langit selama satu jam, nih."
"Dasar. Kau kan baru bersamaku sekitar enam jam
yang lalu." "Andai kau masih di sini," kataku. Sarah mengerang.
Aku bisa mendengar dia tersenyum di kegelapan. Aku
berbaring miring dan menahan ponsel di antara
kuping dan bantal. "Yah, aku juga berpikir seandainya aku di sana."
Kami mengobrol selama dua puluh menit. Selama
sepuluh menit terakhir, kami hanya berbaring sambil
saling mendengarkan napas masing-masing. Aku


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa lebih baik setelah berbicara dengan Sarah,
tapi ternyata aku justru lebih susah tidur.UNTUK
PERTAMA KALINYA, SEJAK KAMI TIBA di Ohio, segala
sesuatu seolah berjalan dengan lambat untuk sesaat.
Sekolah berakhir dengan tenang dan kami
mendapatkan sebelas hari liburan musim dingin. Sam
dan ibunya menghabiskan waktu liburan dengan
mengunjungi bibi Sam di Illinois. Sarah tinggal di
rumah. Kami melewatkan Natal bersama. Kami
bersama-sama menunggu lonceng pada Malam Tahun
Baru berdentang. Tanpa memedulikan salju dan
dingin, atau mungkin justru untuk melawannya, kami
berjalan-jalan di sekitar hutan di belakang rumah,
berpegangan tangan, berciuman menghirup udara
dingin di bawah langit musim dingin yang kelabu dan
muram. Kami menghabiskan lebih banyak waktu
bersama. Kami selalu bertemu setiap hari sepanjang
liburan. Kami berjalan bergandengan tangan di bawah
naungan warna putih yang terbentuk dari tumpukan
salju di atas ranting pepohonan. Sarah membawa
kameranya dan sesekali berhenti untuk memotret.
Salju di tanah tampak mulus tak tersentuh, hanya
tampak jejak kaki kami berdua. Kami menyusuri jalan
bersalju itu sekarang. Bernie Kosar memimpin jalan,
berlari masuk dan keluar semak berduri, mengejar
kelinci ke belukar dan semak berduri, memburu tupai.
Sarah mengenakan penghangat telinga berwarna
hitam. Pipi dan ujung hidungnya merah karena dingin,
menyebabkan matanya tampak lebih biru. Aku
menatapnya. "Apa?" tanyanya sambil tersenyum.
"Hanya mengagumi keindahan."
Sarah memutar matanya. Hutan itu lebat. Namun di
beberapa bagian ada tempat-tempat terbuka. Aku
tidak yakin seberapa panjang hutan ini, tapi selama
kami berjalan-jalan bersama belum pernah kami
mencapai ujungnya. "Aku yakin tempat ini indah pada musim panas," kata
Sarah. "Kita mungkin bisa piknik di tempat yang
terbuka." Dadaku terasa sakit. Musim panas masih lima bulan
lagi. Jika Henri dan aku tinggal di sini hingga bulan
Mei, berarti kami berada di Ohio selama tujuh bulan.
Itu mendekati waktu paling lama bagi kami untuk
tinggal di satu tempat. "Yeah," aku setuju.
Sarah memandangku. "Apa?"
Aku memandangnya bingung. "Apa maksudmu,
'apa"'" "Itu nggak cukup meyakinkan," katanya.
Segerombolan gagak terbang di atas, berkaok-kaok
bising. "Aku hanya berpikir seandainya sekarang ini musim
panas." "Sama. Aku nggak percaya kita harus sekolah lagi
besok." "Ugh, jangan ingatkan aku."
Kami memasuki tempat terbuka. Tempat itu lebih
besar daripada yang lain, hampir benar-benar bulat
dengan diameter tiga puluh meter. Sarah melepaskan
tanganku, berlari ke tengah, dan menjatuhkan diri di
salju, tertawa. Dia berguling telentang dan
menggerak-gerakkan tangan untuk membuat
malaikat salju. Aku berbaring di sampingnya dan
melakukan hal yang sama. Ujung jari kami sesekali
bersentuhan saat kami membuat sayap. Kami berdiri.
"Kita tampak seperti saling memegang sayap,"
katanya. "Apa itu mungkin?" tanyaku. "Maksudku, bagaimana
kita terbang jika kita saling memegang sayap?"
"Pasti bisa. Malaikat kan bisa melakukan apa pun."
Lalu Sarah berbalik dan menubrukku. Wajahnya yang
dingin mengenai leherku sehingga aku menggeliat
menjauhinya. "Ahh! Wajahmu dingin seperti es."
Sarah tertawa. Aku memeluk dan menciumnya di bawah langit
terbuka, pepohonan mengelilingi kami. Tidak ada
suara lain selain burung-burung dan bunyi salju jatuh
dari dahan pohon di dekat kami. Bernie Kosar
menghampiri dengan berderap, kehabisan napas, lidah
terjulur, ekor dikibas-kibas. Dia menyalak dan duduk
di salju memandangi kami, kepalanya dimiringkan ke
satu sisi. "Bernie Kosar! Tadi kau mengejar kelinci?" tanya
Sarah. Bernie Kosar menyalak dua kali, lalu berlari dan
melompat ke arah Sarah. Dia menyalak lagi, lalu
mundur, kemudian mendongak dengan pandangan
penuh harap. Sarah mengambil tongkat dari tanah,
menggoyang-goyangkannya untuk menyingkirkan
salju, lalu melemparkannya ke arah pepohonan.
Bernie Kosar berlari mengejar tongkat itu dan
menghilang dari pandangan. Dia muncul kembali dari
pepohonan sepuluh detik kemudian, namun bukan
dari tempat dia tadi pergi, dia justru datang dari sisi
yang berlawanan. Sarah dan aku berputar
memandang Bernie Kosar. "Kok bisa?" tanya Sarah."
"Entah," kataku. "Bernie itu anjing yang aneh."
"Kau dengar itu, Bernie Kosar" Dia bilang kau itu
aneh!" Bernie Kosar menjatuhkan tongkat di kaki Sarah. Kami
berjalan kembali ke rumah, bergandengan tangan.
Hari hampir senja. Bernie Kosar berderap di samping
kami sepanjang jalan itu. Ia menengok ke kanan dan
kiri seolah menjaga kami dari apa yang bersembunyi
ataupun tidak bersembunyi di kegelapan di luar
jangkauan penglihatan kami.
*** Lima surat kabar menumpuk di meja dapur. Henri di
komputernya. Lampu menyala.
"Ada sesuatu?" tanyaku, hanya karena kebiasaan.
Belum ada berita penting selama berbulan-bulan. Itu
bagus. Tapi aku selalu berharap ada sesuatu setiap
kali bertanya seperti itu kepada Henri.
"Sebenarnya, ya, kurasa."
Semangatku bangkit. Aku berjalan mengelilingi meja
dan melihat layar komputer dari belakang Henri.
"Apa?" "Ada gempa di Argentina kemarin malam. Seorang
gadis enam belas tahun membebaskan seorang lelaki
tua dari tumpukan reruntuhan di sebuah kota kecil
Pisau Tanduk Hantu 2 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Pendekar Wanita Penyebar Bunga 11
^