Drama Di Ujung Pisau 1
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande Bagian 1
NATIONAL BESTSELLER BUKU ISTIMEWA VERSI NEW YORK TIMES
Komplikasi menyajikan sains dengan gamblang, bukan datam bentuknya yang
berbunga-bunga namun sebagaimana apa adanya. Tidak pasii dan penuh misteri.
Dalam sejumlah kisah nyata yang mencekam, dokter bedah Attil Gawande menguak
kedigdayaan sekaligus keterbatasan dunia kedokteran. Para profesional di bidang
kedokteran juga membuat kesalahan, masih terus mempelajari pekerjaan mereka, dan
mereka-reka teknik mereka.
Komplikasi mempersembahkan pandangan yang nyata dari ujung pisau bedah,
menyelidiki bagaimana kesalahan-kesalahan maut terjadi dan mengapa ahli bedah
yang andal bisa bertindak bodoh. Cerita-cerita yang dituturkan Gawande
mengingatkan bahwa para dokter "hanya" manusia. Beberapa gagasannya mungkin
membuat para penyedia layanan kesehatan gelisah atau bahkan marah, tapi gayanya
yang meyakinkan, pengakuannya yang jujur, dan argumennya yang bijaksana akan
menaklukkan kebanyakan pembaca.
"Tak ada yang dapat mengalahkan Gawande dalam membangkitkan kepekaan terhadap
keadaan darurat, dalam menggambarkan secara memukau kenyataan di bangsal, ketegangan drama kedokteran
atau drama pembedahan yang berlangsung dari detik ke detik. Komplikasi sangat
mengesankan karena kebenaran dan keasliannya." New York Times Book Review
ATUl GAWANDE adalah lulusan Harvard Medical School dan Harvard School of Public
Health. Selain sebagai seorang residen bedah di sebuah rumah sakit di Boston,
dia juga penulis tetap di bidang kedokteran dan sains untuk The New Yorker.
Tulisannya terpilih untuk dimuat dalam The Best American Essays 2002 dan The
Best American Science Writing 2002.
ISBN: 979-16-0074-0 9789791600743 ATUL GAWANDE "Dalam prosa cemerlang yang berhasil tampil tak berpihak sekaligus hangat Tanpa
dibuat-buat ini, Gawande mempersembahkan bagi pembacanya pandangan orang dalam
tcniang dua sisi misteri tubuh manusia dan orang-orang yang merawatnya?Newsday
SEBUAH CATATAN TENTANG ILMU YANG TAK SEMPURNA
K0MPLIKASI DRAMA UJUNG PISAU BEDAH
Komplikasi fiis/3. ssn& din iimi-i!nv scsct
Komplikasi DRAMA DI UJUNG PISAU BEDAH Sebuah catatan tentang ilmu yang tak sempurna ATUL
GAWANDE Itifi Bak - Copyright " 2002, Atul Gawande
Diterjemahkan dari Complications: A Surgeon's Notes on an Imperfect Science
karangan Atul Gawande, terbitan Picador, New York, Get 1, 2003 Hak terjemahan
Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit Penerjemah: dr. Zunilda Sadikin B, MS, SpFK Penyunting: Sofia Mansoor Pewajah
Isi: Siti Qornariyah PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: September 2005
ISBN: 979-16-0074-0 UNTUK KATHLEEN Daftar Isi Daftar Isi \ 9 Catatan Pengarang \ 13 Pendahuluan \ 15 BAGIAN 1 KEKHILAFIAN?Sayatan Pertama \ 27
Komputer dan Mesin Bedah Hernia \ 62
Ketika Dokter Berbuat Salah \ 78
Sembilan Ribu Dokter Bedah \ 116
Ketika Dokter Baik Berubah Menjadi Dokter Buruk \ 134
BAGIAN II MISTERI ?Bulan Purnama Jumat Tanggal Tiga Belas \ 165
Misteri Nyeri \ 173 Rasa Mual \ 195 Wajah Merona \ 218 Pria yang Tak Bisa Berhenti Makan \ 241
BAGIAN III KETIDAKPASTIAN
?Sayatan Terakhir \ 277 Misteri kematian Bayi \ 299
Lagi Pula, Tubuh Milik Siapakah ini " \ 307
Komplikasi atatan Pengarang Semua cerita di dalam buku ini adalah nyata. Untuk menjaga kerahasiaan mereka
yang terlibat, aku telah mengubah nama para pasien, nama keluarganya, dan nama
beberapa sejawat. Pada beberapa kisah, aku juga mengubah rincian ciri yang tak
penting dari seseorang. Walaupun demikian, di mana saja perubahan itu dilakukan,
aku menyatakannya di dalam batang tubuh teks yang bersangkutan.
^JJiT - Pendahuluan Suatu kali, ketika aku sedang bertugas di unit trauma, seorang anak muda sekitar
dua puluh tahun didorong masuk (di atas brankar), tertembak di bokongnya. Denyut
nadi, tekanan darah, dan napasnya semua normal. Seorang perawat menggunting
bajunya. Kupandangi pasien ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, mencoba
mengamati secara sistematik walau cepat. Tampak luka masuk di belahan bokong
kanannya, lubang ukuran sekitar satu sentimeter, merah dengan tepi rapi. Tak
kutemukan luka keluar dan tak ada luka lainnya.
Ia tampak lebih takut dan was-was kepada kami ketimbang kepada peluru di
tubuhnya. "Saya baik-baik saja," katanya bersikeras. "Saya baik-baik saja."
Tetapi, pada sarung tanganku, setelah mencolok duburnya, tampak darah segar. Dan
ketika kateter dipasang, tampak cairan merah terang mengalir dari kandung
kemihnya. Kesimpulannya jelas. Darah itu menunjukkan bahwa peluru masuk ke tubuhnya
melalui rektum dan kandung kemih, begitu kataku padanya. Pembuluh darah utama,
ginjal, dan bagian usus lainnya mungkin terluka juga. Ia harus dioperasi, dan
itu harus dilakukan sekarang, kataku. Ia menangkap pandanganku, melihat para
perawat mulai mempersiapkannya, dan hampir tanpa sadar ia mengangguk, tanda menyerahkan
nasibnya pada kami. Tak 14 lama terdengar derit roda brankar, kantung infus
tergantung berayun-ayun, dan beberapa orang membukakan pintu untuk kami agar
bisa lewat. Di ruang bedah, ahli anestesia segera membiusnya. Kami buat sayatan
dalam dan tajam dengan cepat di garis tengah perutnya, mulai dari lengkung iga
sampai ke tulang kemaluannya. Kami pasang retraktor dan membuka perutnya. Dan ...
tak kami temukan apa pun.
Tak ada darah. Kandung kemih utuh. Rektum utuh. Tak ada peluru. Kami melirik
sekilas ke tetesan urin yang keluar dari slang kateter. Sekarang tampak normal,
kuning jernih. Bahkan tak ada lagi setitik darah pun. Kami bawa alat sinar-X ke
ruang bedah dan kami ambil foto panggul, perut, dan dadanya. Tak ada peluru pada
ketiga foto itu. Ini benarbenar ajaib. Akhirnya, setelah hampir satu jam mencari
dengan sia-sia, kami putuskan menutup kembali luka bedah. Beberapa hari
kemudian, kami lakukan kembali pemeriksaan sinar-X pada perut. Kali ini tampak
peluru bersarang di perempat kanan atas perut pemuda itu. Kami tak dapat
menjelaskan apa pun tentang semua ini bagaimana caranya peluru satu sentimeter ?yang masuk dari bokong bersarang di bagian atas perut tanpa melukai apa pun,
mengapa peluru itu tak terlihat pada pemeriksaan sinar-X pertama, atau dari mana
datangnya darah yang kami lihat sebelumnya. Namun, karena kami telah melakukan
sesuatu yang sebenarnya lebih berbahaya daripada peluru itu sendiri, akhirnya
kami putuskan untuk membiarkan peluru itu tetap di perutnya. Seminggu kemudian,
ia pulang tanpa kurang suatu apa pun selain parut luka yang kami buat.
Aku sadar, ilmu kedokteran merupakan sesuatu yang aneh yang kadang merisaukan.
Taruhannya begitu tinggi, kewenangan yang diambil begitu besar. Kami cekoki
orang dengan obat, kami masukkan jarum dan slang ke tubuh mereka, kami kutak-
katik mereka secara fisik, biologis, dan kimiawi, kami buat mereka berbaring tak
sadar, lalu membukakan tubuhnya untuk dilihat semua orang. Kami lakukan semua
itu dengan keyakinan yang mantap tentang keterampilam kami sebagai profesional.
Tetapi, bila diamati lebih dekat cukup dekat untuk dapat melihat kesulitan,
?keraguan dan salah langkah, kegagalan maupun keberhasilan maka akan tampak
?betapa kacau, tak pasti, dan juga mencengangkannya ilmu kedokteran itu.
Yang masih mengejutkan bagiku adalah betapa sangat manusiawinya upaya itu.
Biasanya, bila kita ingat ilmu kedokteran dan manfaatnya yang menonjol, maka
yang terbayang adalah ilmunya dan betapa ilmu itu telah membantu kita memerangi
penyakit dan kesengsaraan: berbagai pemeriksaan, berbagai mesin sebagai alat
bantu, obat, dan beragam tindak pengobatan. Tanpa ragu lagi, semua itu adalah
inti dari hampir semua yang dicapai oleh dunia kedokteran, Sayangnya, jarang
sekali kita mempertanyakan bagaimana semuanya itu bisa terjadi. Bila batuk Anda
tak kunjung sembuh apa yang Anda lakukan" Anda tidak mencari ilmunya, tetapi
? mencari dokter. Seorang dokter yang kadang bisa mujur dan kadang bisa sial.
Seorang dokter dengan tawa yang aneh dan potongan rambut jelek. Seorang dokter
yang selalu tergesa, dan tentu saja, dengan kesenjangan antara pengetahuan dan
keterampilannya ia tetap mencoba belajar.
Belum lama berselang, seorang anak lelaki diterbangkan dengan helikopter ke RS
tempatku bekerja. Lee Tran,
demikian kami memanggilnya, bertubuh kecil dengan rambut seperti bulu landak,
baru lulus SD. Selama ini ia selalu sehat, tetapi sejak seminggu yang lalu
ibunya mengamati bahwa ia mengalami batuk kering yang berkepanjangan dan tampak
lebih lesu daripada biasanya. Ia tidak mau makan selama beberapa hari. Pikirnya,
anak itu terserang flu, tetapi malam itu Lee tibatiba sulit bernapas dan
menghampirinya dengan wajah pucat, gemetar, dan mengi. Di unit gawat darurat RS
setempat, dengan dugaan anak itu menderita asma, dokter memberinya pelega napas
yang diuapkan. Namun, pemeriksaan sinar-X kemudian memperlihatkan adanya massa
besar memenuhi bagian tengah dada Lee, Untuk mendapatkan gambaran yang lebih
tepat, dilakukan pemeriksaan payaran CT. Dalam gambar yang hitam-putih, tampak
massa sebesar bola sepak membungkus pembuluh utama ke jantung, mendorong jantung
ke satu sisi, dan menekan jalan napas. Tumor itu menjepit total saluran napas ke
paru kanan, sehingga tak adanya udara masuk membuat paru kanan menguncup dan
memberikan gambaran kuncup abu-abu pada payaran CT. Sebagai gantinya, ruang paru
kanan penuh dengan air akibat tumor itu. Selama ini Lee hanya hidup dari paru
kirinya, tetapi kini tumor itu pun hampir menekan seluruh jalan napas ke paru
kiri. Rumah sakit setempat tak punya sarana yang cukup untuk menolong Lee
sehingga Lee dikirim ke RS kami. Rumah sakit kami punya dokter spesialis dan
teknologi yang canggih, tetapi itu bukan berarti kami yakin tentang apa yang
harus dilakukan untuk dapat menolongnya.
Ketika sampai di unit perawatan intensif, bunyi napas Lee mencicit tinggi dan
keras sehingga terdengar oleh pasien yang jaraknya 3 tempat tidur dari
tempatnya. Buku mana pun akan menyatakan hal yang sama tentang kondisi Lee: jiwanya terancam.
Membaringkannya saja sudah membuat tumor itu menutup jalan napas yang tersisa.
Begitu juga memberinya sedatif atau pembiusan. Jadi, tak mungkin dilakukan
pembedahan untuk mengangkat tumor itu. Namun, kemoterapi selama kurun beberapa
hari kadang memang dapat memperkecil tumor. Pertanyaannya, apakah anak itu masih
dapat bertahan" Bertahan sampai pagi sekalipun masih belum jelas.
Saat itu ada dua perawat, seorang ahli anestesia, seorang dokter bedah anak
yunior, dan tiga residen, termasuk diriku. Ahli bedah anak senior bisa dihubungi
melalui telepon genggam dan dalam perjalanan menuju RS, sementara seorang
onkologis (dokter ahli kanker) sudah dipanggil lewat penyeranta. Seorang perawat
menata bantal Lee supaya ia berbaring tegak, yang lain memasang sungkup oksigen
dan sejumlah kabel monitor untuk memantau fungsi vitalnya. Wajah Lee tampak
cemas dengan mata terbelalak, dan napasnya dua kali lebih cepat. Keluarganya
masih belum sampai karena menempuh jalan darat, tetapi ia tetap berani.
Kenyataannya keberanian anakanak memang sering di luar dugaan kita.
Firasat pertamaku mengatakan bahwa ahli anestesia harus segera memasang pipa
napas agar Lee dapat terus bernapas, tetapi ahli itu menganggap tindakan itu
sulit dilakukan. Ia harus memasangkannya tanpa obat bius dalam posisi anak yang
duduk tegak, padahal tumor itu cukup besar mengelilingi bagian yang panjang dari
saluran napas. Ia tidak yakin dapat menyorongkan pipa tersebut melewati bagian
yang sempit itu. Dokter bedah yunior mengusulkan saran lain: bila kateter dipasang pada dada
kanan Lee dan mengalirkan
cairan yang memenuhi rongga dada itu, maka tumor akan bergeser menjauhi paru
kiri. Tetapi, melalui telepon, ahli bedah senior menyatakan kekhawatirannya
bahwa tindakan itu juga dapat memperburuk keadaan. Kemungkinannya sama besar.
Namun, tak ada yang punya jalan keluar lain, maka ia pun akhirnya memutuskan
untuk menerima saran yuniornya itu.
Kujelaskan kepada Lee tentang apa yang akan kami lakukan, dengan cara yang
sesederhana mungkin. Aku tak yakin ia mengerti, tetapi itu tak penting. Setelah
semua siap, dua orang di antara kami memegang Lee kuat-kuat, seorang lainnya
menyuntikkan anestetik lokal ke sela iganya, kemudian membuat sayatan dalam dan
mendorong masuk kateter karet sepanjang empat puluh sentimeter ke dalam lubang
sayatan itu. Cairan berdarah mengalir dari pipa karet itu sekitar satu liter,
dan untuk sejenak aku begitu khawatir bahwa kami telah melakukan sesuatu yang
buruk. Nyatanya, setelah selesai, kami telah melakukan sesuatu yang lebih baik
daripada yang kami duga. Tumor itu bergeser ke kanan dan jalan napas ke kedua
parunya terbuka. Lee langsung bernapas lebih mudah dan tenang. Setelah
mengamatinya beberapa menit, kami pun bernapas lega,
Di kemudian hari, aku masih bertanya-tanya tentang pilihan kami yang lebih
merupakan upaya coba-coba itu. Katakanlah ibarat membeli kucing dalam karung.
Tak ada dukungan perencanaan seandainya sesuatu yang buruk terjadi. Dan ketika
kemudian di perpustakaan aku membaca sebuah laporan kasus yang mirip, ternyata
ada pilihan tindakan lainnya. Ternyata tindakan yang paling aman adalah memasang
pompa pintas jantung-paru seperti yang digunakan pada pembedahan jantung, atau
setidaknya mempersiapkan alat itu sebelum melakukan tindak pertolongan. Walaupun
demikian, ketika kusampaikan apa yang kubaca itu kepada para sejawat yang lain,
tak seorang pun merasa menyesal dengan tindakan kami. Lee tertolong, itu yang
terpenting. Sekarang ia menjalani kemoterapi. Hasil pemeriksaan cairannya
memperlihatkan bahwa tumor itu suatu limfoma. Menurut onkologisnya, kemungkinan
Lee sembuh total lebih dari 70 persen.
Itulah saatsaat ketika ilmu kedokteran memang berguna. Dan pada saatsaat seperti
itulah buku ini bercerita yaitu ketika kita dapat melihat dan mulai berpikir ?tentang sesuatu yang memang seharusnya terjadi. Kita memandang ilmu kedokteran
sebagai pengetahuan dan upaya (tindakan) yang bertatanan. Nyatanya tidaklah
demikian. Ilmu kedokteran adalah suatu ilmu yang tak sempurna, berisi
pengetahuan yang senantiasa berubah, informasi yang tak pasti, dengan orang-
orang yang sangat mudah berbuat salah, yang bekerja bersama. Memang ada ilmu di
belakang apa yang kami kerjakan, tetapi di sana juga ada kebiasaan, naluri,
tetapi kadang juga ada coba-coba. Selalu saja ada kesenjangan antara apa yang
kami ketahui dan apa yang ingin kami capai. Kesenjangan inilah yang mempersulit
semua tindakan kami. Aku seorang residen bedah, hampir menyelesaikan delapan tahun pendidikan bedah
umum, dan buku ini lahir dari saratnya pengalaman sebagai residen. Sebelumnya,
aku pernah menjadi ilmuwan di laboratorium, peneliti kesehatan masyarakat,
mahasiswa filsafat dan etika, dan penasihat bagi penyusun kebijakan kesehatan.
Aku juga anak lelaki dari orang tua yang dua-duanya dokter,
seorang suami, dan seorang ayah. Aku berusaha untuk memperkaya tulisan ini
dengan berbagai sudut pandang itu. Tetapi, yang paling utama, buku ini lahir
dari apa yang kuhadapi dan apa yang kusaksikan dalam keseharianku sebagai
dokter. Seorang residen memiliki kelebihan tersendiri. Ia berada di dalam
pelayanan kedokteran, melihat segala sesuatunya, merupakan bagian dari semuanya
itu, tetapi sekaligus selalu melihatnya dengan kacamata baru.
Mungkin, sudah fitrahnya ilmu bedah untuk mengatasi ketaktentuan dan dilema
dalam kedokteran. Ilmu bedah memang sudah mengalami kemajuan teknologi tertinggi
dalam dunia kedokteran, tetapi dokter bedah yang paling baik adalah yang masih
menyadari keterbatasan ilmu maupun keterampilan manusia. Begitu pun, mereka
harus mampu memutuskan untuk bertindak.
Judul buku ini, Komplikasi, bukan hanya menggambarkan hasil yang sering di luar
dugaan dalam kedokteran, tetapi lebih mendasar lagi, berasal dari kesadaranku
tentang besarnya ketaktentuan dan dilema yang terdapat dalam tindakan
kedokteran. Buku ini menggambarkan kedokteran yang tidak dapat ditemukan
penjelasannya dalam buku ajar, tetapi yang kadang merupakan teka teki, kadang
merisaukan, kadang memukau selama karierku sebagai dokter bedah. Buku ini
terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama antara lain menggambarkan betapa dokter
mudah sekali berbuat salah, mempertanyakan bagaimana kesalahan itu bisa terjadi,
bagaimana seorang dokter pemula belajar memegang pisau bedah, bagaimana syarat
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang dokter yang baik, bagaimanaia bisa berubah menjadi dokter yang buruk.
Bagian kedua berfokus pada misteri dan yang tak terungkap dalam kedokteran
dan perjuangan menghadapinya; di antaranya cerita tentang seorang arsitek dengan
sakit pinggang yang melumpuhkan tetapi tidak dapat dijelaskan secara fisik,
tentang perempuan muda dengan mual-mual berat yang tak kunjung sembuh, tentang
penyiar televisi yang wajahnya memerah hebat tanpa sebab jelas sehingga ia tak
dapat lagi menjalankan tugasnya. Bagian ketiga dan yang terakhir membahas
ketaktentuan itu sendiri. Yang tampaknya paling menarik dan penting bukanlah
pada seberapa banyak yang kita ketahui dalam dunia kedokteran, tetapi pada
seberapa banyak yang tidak diketahui dan bagaimana kita dapat menyiasati
ketidaktahuan itu secara lebih bijak.
Di seluruh buku, aku tidak saja menggambarkan gagasannya, tetapi orang-orang
yang terlibat di dalamnya pasien maupun dokter. Pada akhirnya, kedokteran dalam?praktik sehari-harinyalah yang paling menarik buatku apa yang terjadi ketika
?kesederhanaan ilmu harus berhadapan dengan rumitnya kehidupan eseorang. Walaupun
berkembang sejalan dengan kehidupan odern, tetap saja banyak yang tersembunyi
dan sering disalah artikan alam dunia kedokteran. Kita memandangnya lebih
empurna daripada kenyataannya dan sekaligus melihatnya tidak ehebat yang
diharapkan.>< Bagian i -Kekhilafian Sayatan Pertama Pasien itu memerlukan infus pada vena sentral. "Ini kesempatanmu," kata S,
residen kepala. Aku belum pernah mengerjakannya. "Siapkan segala sesuatunya,
lalu panggil aku bila kau sudah siap untuk mengerjakannya."
Ini adalah minggu keempatku dalam pendidikan spesialis bedah. Kantung jas
putihku penuh berisi macam-macam barang: status pasien, kartu berisi tata kerja
pemasangan PJP dan penggunaan sistem pendiktean, dua buku pintar tentang bedah,
stetoskop, gulungan perban, kupon makan, senter kecil, gunting, dan uang receh.
Saat menaiki tangga ke ruang pasien, langkahku menimbulkan suara berisik dari
saku jas putihku. Pasti bisa, aku meyakinkan diriku: ini tindak bedah pertamaku. Pasienku
itu usia lima puluhan, tegap, pendiam berada pada masa pemulihan setelah
? ?pembedahan perut minggu yang lalu. Ususnya belum berfungsi sehingga ia belum
bisa makan. Kujelaskan padanya bahwa ia membutuhkan makanan yang akan dipasok
melalui vena, dan untuk itu diperlukan "saluran khusus" yang masuk ke dadanya.
Kukatakan bahwa slang itu akan kupasangkan sementara ia berbaring telentang di
tempat tidurnya. Aku akan membius sebidang kulit di dadanya dengan anestetik lokal, lalu slang akan
ditusukkan di situ. Aku tidak menyebutkan bahwa slang itu panjangnya 20 cm dan
akan dimasukkan ke vena kava, pembuluh utama yang masuk ke jantung. Aku juga
tidak mengatakan bahwa itu merupakan tindakan yang sulit. Ada sedikit "risiko"
pada prosedur itu, kataku, misalnya perdarahan atau paru menguncup. Di tangan
yang berpengalaman, masalah seperti itu jarang sekali terjadi, tidak sampai satu
dari 100 pasien. Tetapi, tentu saja, tanganku belum berpengalaman. Dan berbagai bencana yang
pernah terjadi bermunculan dalam benakku: seorang perempuan yang meninggal
setelah perdarahan berat akibat vena kava yang robek oleh seorang residen;
seorang lelaki yang terpaksa dibuka dadanya karena jarum penusuknya lepas di
dalam dan mengalir ke jantung ketika seorang residen melakukannya; seorang
lelaki yang mengalami henti jantung karena tindakan itu menyebabkan fibrilasi
ventrikel. Ketika aku minta persetujuannya untuk memasangkan infus itu, aku
yakinkan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. "Baik," katanya, dan aku pun
dapat melakukannya. Aku pernah dua kali melihat S memasang infus sentral, salah satunya kemarin, dan
kuperhatikan setiap langkah tindakan itu. Kuperhatikan bagaimana ia
mempersiapkan instrumen, membaringkan pasiennya, dan menaruh gulungan handuk di
antara kedua belikat pasien agar dadanya membusung. Kuperhatikan bagaimana ia
menyapukan antiseptik pada dada pasien, menyuntikkan lidokain, suatu anestetik
lokal, dan kemudian, dalam gaun bedah steril, ia menusuk dada pasien itu di
dekat tulang selangkanya dengan jarum besar sepanjang tujuh setengah sentimeter
yang terpasang pada alat suntik (spuit). Pasien itu sama
sekali tidak tampak kesakitan. S mengajariku cara menusuk agar tidak menusuk
paru ("Tusuk dengan jarum hampir tegak; persis di bawah selangka"), dan cara
mencari vena subklavia, yaitu cabang vena kava yang berada di atas paru dekat
puncaknya ("Tusuk dengan jarum hampir tegak; persis di bawah selangka.") Ia
mendorong jarum hampir sampai ke pangkalnya, kemudian menarik piston spuit, dan
tampak spuit terisi darah berwarna merah tua. Ia berhasil. ("Bila darahnya merah
terang, berarti kau menusuk arteri," katanya, "dan itu salah.")
Setelah ujung jarum menembus dinding vena, perbesar lubangnya, masukkan
kateternya, lalu dorong dengan arah yang benar ke bawah menuju jantung, dan ?bukan ke atas masuk ke otak tanpa mengoyak pembuluh, paru, atau apa pun. Untuk
?melakukan itu, jelasnya lagi, kau mulai dengan menempatkan kawat pemandu dengan
benar. Ia melepas spuit dan membiarkan jarum tetap di tempatnya. Darah menetes
keluar. Ia mengambil slang kawat dua puluh gauge yang panjangnya 60 cm dan mirip
dengan senar logam D pada gitar listrik, dan memasukkan hampir seluruh
panjangnya ke dalam vena kava melalui saluran jarum. "Jangan mendorong dengan
paksa," katanya memperingatkan, "dan jangan pernah melepaskannya." Tibatiba
bunyi panjang tanda cepatnya denyut jantung terdengar dari alat monitor jantung,
dan ia segera menarik kembali kawat sepanjang dua setengah sentimeter. Ternyata
ujungnya tadi masuk ke jantung dan menyebabkan fibrilasi sesaat. "Tampaknya kita
berhasil," bisiknya padaku. Dan kepada pasien: "Bagus Pak, hampir selesai,
tinggal beberapa menit lagi," Ia menarik jarum dan melepaskannya dari slang,
lalu menggantinya dengan dilator yang terbuat dari plastik kaku mirip peluru,
yang didorongnya masuk untuk memperbesar diameter vena. Kemudian, ia mengeluarkan
kembali dilator dan mendorong pipa infus sentral suatu slang plastik yang
?lentur, berwarna kuning setebal mie melalui slang kawat sampai masuk
?seluruhnya. Sekarang slang kawat bisa dicabut. Ia membilas pipa infus dengan
larutan heparin dan menjahitkannya ke dinding dada. Selesailah sudah.
Aku telah melihat seluruh prosedur itu sampai selesai. Sekarang giliranku untuk
mencobanya. Aku mulai mempersiapkan peralatan kit infus sentral, sarung tangan,
?gaun bedah, tutup kepala, masker, lidokain itu saja rasanya lama sekali. Ketika
?akhirnya semua sudah kusiapkan, aku berhenti di luar pintu kamar pasienku,
berdiri dan menatapnya, berusaha mengingat setiap langkah. Tetap kabur rasanya.
Tetapi, aku tak bisa berlama-lama. Banyak hal lain yang harus kuselesaikan: Ny.
A harus dipulangkan; Tuan B harus dijadwalkan untuk USG perut; Ny. C harus
diangkat stapel kulitnya... Dan hampir setiap lima belas menit penyerantaku
menyampaikan berbagai tugas Tn. X mual-mual dan minta ditengok; keluarga Nn. Y
?datang dan ingin bicara dengan dokter; Tn. Z perlu diberi pencahar. Aku menarik
napas panjang, memasang wajah penuh percaya diri, dan masuk ke kamar pasien
untuk memasang infus sentral.
Kuletakkan peralatan di meja samping tempat tidur, melepas ikatan gaun pasien di
belakang lehernya, dan membaringkannya kembali tanpa bantal dengan dada terbuka
dan lengannya di samping badan. Kukenakan lampu kepala dan kunaikkan tempat
tidur pasien sampai tinggi yang sesuai. Melalui penyeranta, kuminta S datang.
Kupakai gaun bedah dan sarung tangan, dan pada baki steril kuletakkan kit slang
infus sentral, kawat pemandu,
dan semua barang lain dari kit itu, seperti yang dikerjakan oleh S. Kusedot S ml
lidokain ke dalam spuit, kucelupkan dua batang kapas ke larutan antiseptik
Betadin berwarna kuning-coklat, dan kubuka kemasan benang. Semua siap.
S tiba. "Berapa nilai trombositnya?" Perutku langsung terasa mulas. Aku belum
memeriksanya. Gawat: bila terlalu rendah, tindakan ini dapat menyebabkan
perdarahan serius. S memeriksa komputer dan untunglah nilainya normal.
Dengan rasa bersalah aku mulai menyapukan antiseptik ke dada pasien. "Sudah
dipasang gulungan handuk di bawahnya?" tanya S. Oh, aku lupa juga yang satu ini.
Pasien itu melirik padaku. Tanpa bicara, S mengambil handuk, menggulungnya, dan
menyorongkannya di bawah punggung pasien. Setelah selesai menyapukan antiseptik,
kututup tubuh pasien sehingga hanya dada atasnya yang terbuka. Ia menggeliat
sedikit di bawah kain penutup. Kini S mengamati baki peralatanku. Aku
mempersiapkan diri. "Mana spuit lain untuk membilas slang setelah masuk?" Ya ampun! S keluar dan
mengambilnya. Aku meraba dada pasien untuk mencari tempat yang pas. Di sini" Aku bertanya
dengan pandangan agar tidak semakin mengurangi keyakinan pasienku. S mengangguk.
Kubius titik itu dengan lidokain. ("Bapak akan merasakan tusukan, kemudian
sedikit mati rasa, Pak.") Selanjutnya, kuambil jarum tujuh sentimeter,
menusukkannya ke kulit, lalu kudorong lebih dalam perlahan-lahan dan tak pasti,
sedikit demi sedikit, khawatir tibatiba terjadi sesuatu yang buruk. Jarum
brengsek ini besar sekali, pikirku. Rasanya seperti mimpi: aku menusukkannya ke
dada seseorang. Aku berkonsentrasi untuk menjaga agar jarum tetap masuk dengan
arah yang tepat, tetapi tetap saja
jarum itu menusuk tulang selangka, bukannya menyusup di bawahnya.
"Auw!" pasien itu berteriak. "Maaf," kataku. S memberi aba-aba dengan gerakan
tangannya agar aku menusukkan di bawah selangka. Kali ini aku berhasil. Aku
menarik piston spuit, tetapi tak ada yang tersedot. S menyuruh untuk menusuk
lebih dalam, dan aku menusuk lebih dalam. Belum juga mencapai vena. Kucabut
jarum itu, membersihkan ujungnya dari jaringan yang menyumbat, lalu mencoba
sekali lagi. "Auw!"
Terlalu dangkal lagi. Akhirnya jarum masuk di bawah selangka, tetapi spuit tetap
kosong ketika pistonnya kutarik. Pasien ini terlalu gemuk, pikirku, S memasang
sarung tangan dan gaun bedah. "Coba kulihat," katanya. Kuberikan jarum itu
kepadanya dan melangkah ke tepi. Ia menusukkan jarum, menarik piston spuit, dan
...dia berhasil. "Sebentar lagi kita selesai," katanya kepada pasien. Aku
benarbenar merasa bodoh. S membiarkan aku melanjutkan langkah berikutnya, yang kukerjakan dengan kikuk.
Aku baru menyadari betapa panjang dan lenturnya kawat pemandu itu ketika aku
menarik picunya dari kantungnya dan memasukkan satu ujung ke tubuh pasien,
hampir saja ujung yang lain menyentuh seprei yang tidak steril. Aku juga lupa
menggunakan dilator sehingga S mengingatkanku. Kemudian, ketika aku memasukkan
dilator itu, aku tidak mendorongnya cukup kuat sehingga kembali S yang
mendorongnya sampai masuk betul. Akhirnya, slang terpasang juga, lalu kami
membilasnya dan menjahitkannya pada kulit.
Di luar ruangan, S mengatakan agar lain kali aku lebih yakin dalam bertindak,
dan tidak perlu terlalu mencemaskan apa yang akan terjadi. "Kau akan bisa
melakukannya," katanya, "hanya perlu latihan saja." Aku tak begitu yakin.
Pemasangan infus sentral itu masih tetap merupakan misteri bagiku. Dan ingatan
bahwa aku menancapkan jarum begitu dalam dan tanpa panduan pada dada seseorang
selalu mengganggu pikiranku. Aku menunggu hasil pemeriksaan sinar-X dengan was-
was. Tapi, semuanya berakhir baik: aku tidak melukai paru-paru orang itu dan
slang infus terpasang dengan baik pada tempatnya.
Tak semua orang menyukai daya tarik ilmu bedah. Seorang mahasiswa kedokteran
yang masuk kamar bedah untuk pertama kalinya dan melihat dokter bedah menorehkan
pisau bedahnya pada seseorang lalu membuka tubuh orang itu layaknya mengupas
buah, mungkin akan bergidik atau akan ternganga dengan takjub. Aku termasuk yang
merasa takjub. Bukan darah atau usus yang memukauku, tetapi kenyataan bahwa ada
orang yang begitu percaya diri menggunakan pisau bedah dengan terampil.
Ada pemeo tentang seorang ahli bedah yang dimaksudkan sebagai kritik tajam:
"kadang berbuat salah; tidak pernah ragu." Tapi, di mataku, itulah kekuatan
mereka. Setiap hari dokter bedah dihadapkan pada ketakpastian. Informasi tidak
lengkap; ilmunya mendua; pengetahuan dan kemampuan seseorang tak pernah
sempurna. Bahkan pada pembedahan sederhana sekalipun tak ada jaminan bahwa
pasien akan jadi lebih baik, atau bahkan akan tetap hidup. Ketika berdiri di
samping meja operasi untuk pertama kalinya, aku bertanya dalam hati: bagaimana
seorang dokter bedah bisa tahu bahwa ia akan
dapat menolong pasiennya, bahwa setiap langkah akan berlangsung sesuai dengan
rencana, bahwa tidak akan terjadi perdarahan, bahwa tak akan terjadi infeksi,
dan bahwa ia tak akan melukai organ lain. Dia tak tahu, tentu saja, tetapi tetap
melakukannya. Kemudian, masih ketika mahasiswa, aku diizinkan melakukan insisi (penyayatan)
sendiri. Dokter bedah yang membimbingku menggambar garis putus-putus pada perut
pasien yang dalam keadaan terbius, kemudian tanpa kuduga ia menyuruh perawat
memberikan pisau bedah kepadaku. Aku ingat, pisau itu masih hangat, baru keluar
dari autoklaf. Dokter itu menuntun tanganku yang kosong untuk meregangkan kulit
dengan kuat di antara jempol dan telunjuk. Ia menyuruhku membuat sayatan mulus
sampai ke lapisan lemak. Kusentuhkan bilah pisau bedah itu pada kulit pasien,
lalu kubuat sayatan. Apa yang kurasakan agak ganjil dan menimbulkan ketagihan,
campuran antara perasaan penuh gairah karena melakukan tindakan kekerasan yang
sudah diperhitungkan, khawatir salah melakukannya, keyakinan bahwa ini toh untuk
kebaikan orang ini. Ada juga sedikit rasa mual ketika ternyata aku harus
menyayat lebih kuat dari yang kubayangkan. (Kulit ternyata tebal dan kenyal, dan
sayatan pertamaku kurang dalam; aku harus menyayatnya sekali lagi untuk sampai
ke lapisan lemak.) Detik-detik itu membuatku ingin menjadi dokter bedah, bukan
amatiran yang diserahi pisau bedah sejenak, tetapi seseorang yang penuh percaya
diri seolah itu pekerjaan rutinnya.
Namun, seorang residen tentu mulai tanpa kemahiran itu. Bahkan, naluri untuk
menolak perbuatan menusuk dada seseorang atau melukainya dengan pisau, lebih
menonjol. Pada hari pertamaku sebagai residen bedah,
aku bertugas di ruang gawat darurat. Salah seorang pasienku adalah seorang
wanita kurus berambut hitam usia menjelang 30, yang terpincangpincang masuk
dengan wajah menahan sakit hebat. Potongan kaki kursi sepanjang tiga perempat
meter tampak terpaku ke telapak kakinya. Ia menjelaskan bahwa kursi dapurnya
ambruk ketika ia akan duduk dan kaki kursi itu mencuat keluar. Dalam upaya untuk
tidak jatuh, tanpa sengaja ia menginjak sekrup sepanjang tujuh sentimeter yang
menonjol dari kaki kursi itu. Aku berusaha keras agar tidak tampak seperti
seorang yang baru lulus minggu yang lalu dan bergaya seperti seorang yang tenang
yang sudah banyak makan asam garam, dan biasa menghadapi keadaan seperti itu.
Kuperiksa kakinya dan tampak bahwa sekrup itu tertancap pada tulang di dasar
jempolnya. Tak ada perdarahan dan, sejauh yang teraba olehku, tak ada tulang
yang patah. "Wow, pasti sakit sekali" kataku seperti orang bodoh.
Yang jelas harus dilakukan adalah memberinya suntikan antitetanus dan sekrup itu
harus dicabut. Aku segera minta suntikan antitetanus, tetapi mulai ragu untuk
mencabut sekrup itu. Bagaimana kalau berdarah" Atau bagaimana kalau aku malah
mematahkan tulangnya" Atau terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi" Aku keluar dan
berusaha mencari Dr. W, konsulen bedah yang sedang bertugas. Kudapati ia sedang
menangani korban kecelakaan mobil. Keadaan pasiennya parah, orang-orang
berteriak-teriak, darah tercecer di mana-mana. Bukan waktu yang tepat untuk
bertanya. Aku minta dilakukan pemeriksaan sinar-X. Dengan begitu, aku dapat mengulur waktu
dan dapat memastikan pendapatku yang amatiran bahwa tak ada tulang yang
patah. Sudah jelas, dibutuhkan waktu satu jam untuk memperoleh foto sinar-X itu
dan memang tak ada patah tulang. Hanya sekrup biasa yang tertancap, kata ahli
radiologi, "di ujung metatarsal pertama," Kuperlihatkan foto sinar-X itu kepada
si pasien. "Lihat, sekrup itu tertancap di ujung metatarsal pertama," kataku.
Lalu, harus diapakan" Ia bertanya. Ah ya, apa tindakan selanjutnya.
Kucari lagi Dr. W, yang ternyata masih sibuk dengan pasien tadi, tetapi aku
dapat menyela memperlihatkan foto sinar-X itu kepadanya. Ia tertawa melihatnya
dan menanyakan apa rencanaku, "Mencabut sekrup itu?" jawabku waswas. "Ya,"
jawabnya dengan tak sabar. Ia memastikan apakah aku sudah memberikan
antitetanus, kemudian menepis, menyuruhku pergi.
Aku kembali kepada pasienku dan mengatakan bahwa aku akan mencabut sekrup itu,
sambil bersiap kalau-kalau ia akan menolak kutangani. Namun, "Baik Dokter,"
jawabnya, dan itulah saatnya aku harus mulai bekerja. Pertama kuminta ia duduk
di meja periksa dengan kaki menggantung, tetapi tampaknya posisi ini kurang
cocok. Akhirnya, kuminta ia berbaring dengan kaki menjorok dari ujung meja
periksa sehingga kaki kursi itu menganjur bebas di udara. Setiap gerakan
membuatnya lebih kesakitan. Kusuntikkan obat bius lokal ke sekitar tempat
menancapnya sekrup, dan sakitnya agak berkurang. Kemudian, kupegang kakinya
dengan satu tangan dan kaki kursi denganb tangan yang lain. Untuk sesaat aku
terpaku. Bisakah aku melakukannya"
Apakah aku harus melakukannya" Siapakah aku ini sampai begitu berani
melakukannya" Akhirnya, kuputuskan untuk mulai. Kuajak dia berhitung satu-dua-tiga, lalu aku
menarik sekrup itu, mula-mula dengan hatihati, lalu lebih keras. Ia mengerang.
Sekrup itu tak bergerak. Kupuntir, dan tibatiba sekrup itu terlepas, tanpa
berdarah. Kubersihkan lukanya sebagaimana membersihkan luka tusuk yang diajarkan
dalam buku. Perempuan itu dapat berjalan walau dengan kaki sakit. Kuingatkan
tentang kemungkinan terjadi infeksi dan kuberi tahu tanda-tandanya. Rasa terima
kasihnya begitu besar sampai-sampai aku merasa tersanjung. Malam itu aku pulang
dengan hati berbunga-bunga,
Dalam ilmu bedah, seperti halnya di bidang lain, keterampilan dan rasa percaya
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri dibangun melalui pengalaman yang penuh keraguan maupun yang memalukan. ?Ibarat pemain tenis atau pengendara mobil, orang harus berlatih sampai terampil.
Tetapi, ada yang berbeda di kedokteran: orang berlatih dengan manusia!
Percobaanku yang kedua untuk memasang infus sentral tidak lebih baik dari yang
pertama. Pasien itu di ruang rawat intensif, sekarat, bernapas dengan alat bantu
napas, dan memerlukan infus sentral agar obat jantungnya dapat dimasukkan
langsung sampai ke jantung. Pasien ini dibuat tidur dalam, dan ini sangat
memudahkan bagiku. Ia tidak akan melihat betapa kikuknya aku.
Persiapanku kali ini lebih baik. Gulungan handuk sudah siap di tempat dan spuit
berisi heparin pun telah tersedia di baki. Kuperiksa hasil pemeriksaan
laboratoriumnya, semua baik. Aku juga ingat untuk membentangkan kain penutup
lebih luas agar bila aku menjatuhkan kawat pemandu lagi, barang itu tak akan
menyentuh sesuatu yang tak steril.
Dengan persiapan demikian, tindakannya sendiri berlangsung begitu konyol. Aku
menusukkan jarum terlalu dangkal, lalu terlalu dalam. Rasa frustrasiku membuat keraguanku lenyap dan aku
mencoba menusukkan jarum itu beberapa kali. Tak satu pun yang berhasil.
Kemudian, untuk sesaat, kulihat darah di dalam spuit, dan ini menunjukkan bahwa
aku telah mencapai vena. Dengan satu tangan, jarum kupancang di tempatnya dan
dengan tangan lainnya kucabut spuit. Tetapi, spuit itu tertancap sangat kuat
sehingga ketika ditarik, jarumnya ikut tercabut dari vena. Darah mulai keluar
mengalir di dadanya. Kutekan bekas tusukan itu sekuat-kuatnya selama lima menit,
tetapi tetap saja dada pasien itu berubah menjadi biru hitam di sekitar tempat
tusukan. Tidak mungkin lagi memasang infus di tempat hematom begitu. Rasanya aku
mau menyerah, tetapi pasien ini membutuhkannya, dan residen yang
mengawasiku kali ini residen tahun kedua yakin bahwa apa yang kulakukan sudah ? ?baik. Setelah memastikan dengan sinar-X bahwa paru-parunya tidak cedera, ia
menyuruhku mengulang tindakan itu di sisi lain dengan perangkat alat baru.
Tetapi, aku gagal lagi dan akhirnya ia mengambil-alih kerja itu. Ia sendiri
memerlukan beberapa menit dan dua atau tiga kali tusuk untuk menemukan vena, dan
itu membuatku sedikit lega. Mungkin pasien ini memang kasus yang sulit.
Ketika beberapa hari kemudian aku gagal untuk ketiga kalinya, aku mulai
dirundung keraguan. Kembali, kutusuk, tusuk, dan tusuk lagi, tetapi tak
kutemukan vena itu. Akhirnya, aku mengalah. Residen itu akhirnya menyaksikan aku
berhasil pada percobaan berikutnya.
Sebagai kelompok, para dokter bedah ini termasuk penganut egalitarianisme (semua
sama). Mereka percaya pada latihan, bukan pada bakat. Orang sering beranggapan bahwa kita harus
bertangan dingin untuk menjadi ahli bedah, tapi anggapan itu tidak benar. Ketika
menjalani wawancara untuk mengikuti program ilmu bedah, tak ada yang memintaku
menjahit atau menguji keterampilan tanganku atau memeriksa apakah tanganku cukup
kokoh. Bahkan dengan jari tangan tidak lengkap pun kita bisa masuk program itu.
Tentu saja, bakat akan sangat membantu. Para profesor itu mengatakan bahwa
sekali dalam dua atau tiga tahun ada peserta program yang memang berbakat dia
?menguasai prosedur bedah yang rumit dalam waktu yang luar biasa singkat,
memahami perkara bedah secara menyeluruh, dapat melihat masalah sebelum masalah
itu muncul. Walaupun demikian, para ahli bedah itu mengatakan bahwa yang mereka
cari adalah orang yang punya hati nurani, rajin, dan cukup gigih untuk mau
berlatih mengerjakan perkara sulit ini siang malam selama bertahuntahun. Seorang
profesor mengatakan padaku, bila ia disuruh memilih antara menjadi PhD di bidang
genetika dan menjadi pemahat berbakat, ia akan selalu memilih PhD. Tentu saja
seorang pemahat secara fisik lebih berbakat, tetapi dia percaya bahwa seorang
PhD juga tidak bisa dikatakan "tidak teliti." Dan pada akhirnya, itulah yang
lebih penting. Para ahli bedah percaya bahwa keterampilan dapat diajarkan,
sedangkan kegigihan tidak. Ini memang cara merekrut yang aneh, tetapi begitulah
yang selalu terjadi di departemen bedah yang paling bergengsi sekalipun. Mereka
menerima para calon tanpa pengalaman bedah, melatihnya selama bertahuntahun,
kemudian menjadikan mereka bagian dari timnya.
Dan cara itu berhasil. Banyak penelitian telah dilakukan pada berbagai kelompok
elit yang tampil unggul pemain biola internasional, juara catur dunia,
?peselancar es profesional, ahli matematika, dan lain sebagainya dan yang
?ditemukan oleh para peneliti itu adalah perbedaan utama antara mereka yang
tampil unggul dan kelompok yang tidak tampil unggul adalah banyaknya latihan
yang dilakukan oleh kelompok pertama. Memang, bakat yang terpenting mungkin
adalah bakat untuk berlatih itu sendiri. K. Anders Ericsson, seorang psikolog
kognitif dan pakar perkara penampilan, mengemukakan bahwa yang terpenting adalah
tekad seseorang untuk mengikuti pendidikan yang lama, dan itu sangat ditentukan
oleh faktor alami. Ia menemukan, misalnya, para unggulan itu juga tidak suka
berlatih seperti halnya kelompok yang kurang unggul. (Itu sebabnya atlet dan
musisi, misalnya, berhenti berlatih ketika pensiun.) Tetapi, yang lebih utama
adalah mereka punya tekad untuk bertahan.
Aku tak yakin punya tekad itu. Aku bertanya dalam hati, apa gunanya tetap
mengerjakan pemasangan infus sentral padahal aku nyaris tidak pernah bisa
memasangnya" Bila aku tahu pasti di mana letak kesalahanku, mungkin aku akan
memusatkan perhatianku ke situ. Tapi, aku justru tidak tahu. Tentu saja semua
orang bisa memberi saran apa saja. Tusuk dengan jarum mengarah ke atas. Salah,
tusuk dengan jarum mengarah ke bawah. Taruh penahan di pertengahan jarum.
Jangan, lengkungkan jarumnya. Untuk sementara, aku mencoba menghindari
pemasangan infus. Tetapi, bagaimana pun, tak lama kemudian muncul kasus baru.
Suasananya ketika itu terasa mencekam. Sudah larut malam dan aku tidak tidur
semalaman sebelumnya. Pasien itu bukan main gemuknya, 150 kg lebih. Ia tidak
dapat berbaring telentang karena berat dada dan perutnya membuat napasnya sesak.
Tetapi, ia membutuhkan infus sentral. Pria itu mengalami infeksi berat akibat
sebuah luka, sehingga membutuhkan antibiotik intravena, dan tak seorang pun
dapat menemukan vena di lengannya untuk menyuntikkan obat di vena perifer. Kecil
harapanku untuk dapat melakukannya. Tetapi, seorang residen harus mengerjakan
yang diperintahkan, dan akulah yang mendapat perintah itu.
Aku menuju kamar si pasien. Ia tampak ketakutan dan berkata bahwa ia tak dapat
berbaring telentang lebih dari satu menit. Tetapi, ia dapat mengerti situasinya
dan mau berusaha keras. Kami putuskan bersama bahwa ia harus duduk bersandar di
tempat tidur selama mungkin, lalu selanjutnya diputuskan nanti.
Kulakukan semua persiapan: memeriksa hasil laboratorium, meletakkan kit
peralatan, gulungan handuk, dan seterusnya. Kusapukan antiseptik dan kututup
dadanya sementara ia tetap duduk. Kali ini, S, residen kepala, mengawasiku, dan
ketika semuanya telah siap, kubiarkan S menopang punggung pasien, dan masker
oksigen dipasang. Lemak berlipat-lipat di dadanya seperti gelombang laut. Jariku
tak dapat meraba tulang selangkanya untuk dijadikan patokan dalam mencari titik
masuk, padahal pasien itu sudah tampak sesak napas dan wajahnya merah. Aku
memandang S seolah bertanya "Anda akan ambilalih?" Ia memberi isyarat agar aku
melanjutkan. Kukira-kira saja tempat yang akan kutusuk, membuatnya mati rasa
dengan lidokain, kemudian mendorong masuk jarum besar itu. Untuk beberapa detik
kupikir jarum itu tak cukup panjang, tetapi kemudian aku merasakan ujungnya
menyusup di bawah tulang selangka.
Kudorong sedikit lebih ke dalam dan kutarik piston spuit. Ajaib, tampak darah
mengisi spuit. Aku telah mencapai vena. Kupancang jarum di tempatnya dengan
sungguh-sungguh ketika menarik spuit dan memasukkan kawat pemandu ke dalam.
Kawat masuk dengan lancar. Pasien ini semakin sesak napas. Kami tegakkan
badannya sebentar agar ia dapat menghirup udara dengan leluasa. Kemudian, pada
posisi berbaring kembali, lubang kulebarkan dan slang infus kumasukkan. "Bagus
sekali," kata 5, kemudian dia pergi.
Aku tetap tidak tahu di mana letak perbedaan kerjaku hari itu. Tetapi, sejak itu
aku selalu berhasil memasang infus sentral. Berlatih memang mengherankan. Dari
hari ke hari kita berlatih mengerjakan satu demi satu pekerjaan itu, lalu suatu
kali akhirnya kita menguasai semuanya. Pembelajaran secara sadar akan berubah
menjadi refleks tanpa kita ketahui bagaimana perubahan itu terjadi.
Aku telah memasang infus sentral lebih dari seratus kali sekarang ini. Aku, tak
ayal lagi, tidak khilafi lagi. Tentu saja, sesekali terjadi kesalahan yang lebih
suka kami sebut sebagai "kecelakaan." Misalnya, aku menusuk paru-paru
pasien tak tanggung-tanggung, paru-paru kanan seorang dokter bedah dari rumah ?sakit lain dan, aku yakin yang demikian itu pasti akan terjadi lagi. Kadang
?masih terjadi suatu tindakan yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah,
tetapi aku gagal melakukannya. (Untuk peristiwa yang demikian kami punya gurauan
khusus: "Hey, bagaimana?" seorang sejawat bertanya. "Eror," jawabku, tak perlu
berpanjang-panjang.) Namun, ada juga saatsaat ketika semua berlangsung mulus. Tanpa berpikir, tanpa
konsentrasi, semua langkah
dilakukan begitu saja tanpa susah payah. Ambil jarum, tusuk dada itu, rasakan
bergeraknya jarum menyusup ringan di jaringan lemak, sedikit tertahan di
?ketebalan otot, kemudian terasa plong karena jarum menembus dinding vena dan
?jarum itu berhasil masuk vena. Pada saat yang demikian, yang dirasakan bukan
hanya lega, tetapi indah sekali.
Pendidikan bedah adalah pengulangan semua kejadian itu tindakan kikuk disusul ?keberhasilan, diikuti pengetahuan dan kadang disusul tindakan
mengagumkan begitu berkali-kali, semakin sulit tugasnya semakin besar risiko
?yang harus dihadapi. Pada awalnya, kita hanya mengerjakan hal-hal dasar:
bagaimana cara memasang sarung tangan atau gaun bedah, bagaimana membatasi
lapangan bedah (bagian tubuh yang akan dibedah), bagaimana memegang pisau,
bagaimana mengunci jahitan (termasuk bagaimana memerintahkan sesuatu,
menggunakan komputer, memesan obat). Tetapi kemudian menyusul tugas yang lebih
menyeramkan: bagaimana menyayat kulit, memegang alat pembakar pembuluh (solder),
membuka dada, mengikat pembuluh darah yang bocor, mengangkat tumor, menutup luka
bedah misalnya setelah pengangkatan kelenjar payudara. Setelah enam bulan
?berlalu, aku telah mengerjakan pemasangan infus, mengangkat usus buntu,
melakukan cangkok kulit, operasi hernia, dan operasi payudara. Pada akhir tahun
pertama, aku melakukan amputasi kaki, biopsi kelenjar limf, dan operasi wazir.
Pada akhir tahun kedua, aku melakukan trakeotomi, beberapa operasi usus kecil,
dan operasi kandung empedu secara laparoskopi.
Sekarang aku berada dalam tahun ketujuh pendidikanku. Baru sekaranglah melakukan
sayatan pada kulit tampak tak berarti bagiku, hanya awal dari sebuah kasus. Barulah setelah tubuh
pasien terbuka, perjuangannya dimulai, Hari-hari ini aku belajar cara
memperbaiki pembuluh aorta yang melembung, mengangkat kanker pankreas, membuang
sumbatan di pembuluh karotis. Ternyata, kusadari bahwa aku bukan orang yang
berbakat, tetapi bukan pula orang yang kikuk. Dengan berlatih dan berlatih terus
aku dapat melakukan itu semua.
Buat kami di dunia kedokteran, sulit untuk membicarakan ini dengan pasien.
Selalu ada beban mental karena kami harus berlatih pada manusia, tetapi semua
itu tak dapat diungkapkan. Sebelum operasi, aku menuju ke ruang prabedah dengan
sudah memakai setelan bedah, menemui pasienku, dan memperkenalkan diri. Ini
selalu kulakukan. "Halo, saya dr. Gawande. Saya salah seorang residen bedah dan
akan membantu dokter bedah Anda." Kira-kira hanya itulah yang kuucapkan, lalu
kuulurkan tangan dan tersenyum. Kutanyakan apakah segalanya lancar sejauh ini,
dan kami ngobrol sejenak. Kujawab pertanyaan pasien. Sesekali, tapi sangat
jarang, kudapati pasien terkejut. "Aku tak mau residen yang melakukannya!"
katanya. Aku berusaha meyakinkan. "Jangan khawatir, aku hanya membantu dokter
bedah," kataku. "Yang bertanggung jawab adalah dokter bedah yang bertugas,"
Tidak ada yang bohong dalam kata-kataku. Yang bertugas adalah yang bertanggung
jawab, dan seorang residen tidak akan pernah melupakan itu. Aku ingat operasi
yang kulakukan akhirakhir ini, yaitu mengangkat kanker dari usus besar seorang
wanita usia 75 tahun. Dokter bedah yang bertugas berdiri di seberangku sejak
awal. Dan dialah yang menetapkan, bukan aku, di mana
harus membuat sayatan, bagaimana memisahkan kankernya, dan seberapa banyak usus
yang harus diangkat. Tetapi, mengatakan bahwa aku hanya menolong memang sama juga dengan mengelabui.
Aku 'kan bukan sekadar sepasang tangan tambahan untuk dokter bedah. Kalau hanya
begitu tugasku, mengapa pula aku yang memegang pisau" Mengapa aku yang berdiri
di tempat operator" Mengapa meja operasi ditinggikan sesuai dengan tinggi
tubuhku" Memang aku berada disitu adalah untuk menolong, tetapi aku juga berdiri
di situ untuk berlatih. Ini jadi jelas ketika tiba saatnya untuk menyambungkan
kembali usus besar pasien itu. Ada dua cara untuk menyambungkan kembali kedua
ujung usus dengan jahitan atau dengan stapel. Memasang stapel lebih mudah dan
?cepat, tetapi si dokter bedah menyuruh aku menjahitnya, bukan karena itu lebih
baik buat pasien, tetapi karena aku baru mengerjakannya beberapa kali. Bila
penjahitan itu kulakukan dengan benar, hasilnya akan sama, tetapi untuk itu ia
harus mengawasi kerjaku dengan saksama. Aku menjahit perlahan dengan tusukan
yang tidak merata. Pernah ia melihat jahitanku terlalu jarang di suatu tempat,
dan menyuruhku membuat jahitan tambahan di bagian itu agar sambungan usus itu
tidak akan bocor. Di bagian lain, ia melihatku kurang dalam menusukkan jarum
jahit ke jaringan sehingga penutupan akan kurang kuat. "Putar pergelangan
tanganmu lebih jauh," katanya. "Begini?" tanyaku. "Ya, begitu," jawabnya.
Begitulah aku belajar. Dalam dunia kedokteran, konflik ini telah berlangsung lama: antara kewajiban
untuk memberikan layanan yang terbaik kepada pasien dan kebutuhan untuk mendidik
para pemula dengan memberikan mereka pengalaman. Program
residensi dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bahaya dengan cara supervisi
dan dengan pengalihan tanggung jawab secara bertahap. Dan sebenarnya pasien juga
memperoleh manfaat dari pembelajaran ini. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa rumah sakit pendidikan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan rumah sakit nonpendidikan. Residen memang belum profesional, tetapi
mereka sangat membantu dalam memeriksa pasien, dalam membuat para pengajar tetap
waspada dan siap karena pertanyaan yang mereka ajukan. Tentu tetap ada risiko
ketika beberapa kali para pemula itu mengerjakan pemasangan infus sentral,
mengangkat kanker payudara, atau menyambung kembali ujung usus besar. Betapa pun
pengawasan diberikan, tetap saja para pemula itu umumnya kurang terampil
dibandingkan dengan yang sudah berpengalaman.
Ini bukan mimpi buat kami. Ketika seorang dokter membawa anggota keluarganya
yang harus dioperasi, semua orang bertanya-tanya sampai seberapa jauh residen
boleh ikut dalam operasi. Dan walaupun dokter itu mempersilakan residen
terlibat, residen itu sadar betul bahwa ini bukan kasus untuk belajar. Dan bila
yang akan dikerjakan adalah pemasangan vena sentral, pasti tidak akan diserahkan
kepada yang belum pernah mengerjakannya. Sebaliknya, ruangan dan klinik yang
tanggung jawabnya dipegang oleh residen biasanya berisi orang yang tak mampu,
tidak dilindungi asuransi, pemabuk, atau orang-orang yang sarafnya terganggu.
Belakangan ini sedikit sekali kesempatan untuk residen melakukan operasi sendiri
tanpa didampingi ahli bedah, tetapi bila itu terjadi biasanya menjelang akhir ?pendidikan maka itu umumnya dilakukan pada pasien-pasien yang paling
?sederhana itu. Inilah kenyataan yang tidak enak tentang pengajaran. Menurut etika tradisional
dan ketentuan umum (jangan lagi disebut aturan peradilan), hak pasien untuk
mendapatkan layanan yang terbaik harus diutamakan di atas tujuan mendidik para
calon ahli. Kita menginginkan layanan yang sempurna tanpa latihan. Tetapi,
setiap orang akan menghadapi bahaya bila tak ada seorang pun dilatih untuk jadi
ahli di masa depan. Maka, pembelajaran berlangsung secara sembunyi-sembunyi, di
balik kain penutup steril di bawah pembiusan, dan dengan bahasa rahasia penuh
isyarat. Dilema ini bukan hanya berlaku pada residen, yaitu dokter yang sedang
belajar. Nyatanya, proses belajar berlangsung lebih lama dari yang diketahui
orang. Aku dan saudara perempuanku dibesarkan di sebuah kota kecil bernama Athens, di
Ohio, tempat kedua orang tua kami berpraktik sebagai dokter. Sudah sejak lama
ibuku memutuskan untuk berpraktik sebagai dokter anak paruh waktu, hanya tiga
kali per minggu, dan ini dimungkinkan karena praktik urologi ayahku begitu
sukses. Dua puluh lima tahun sebagai urolog yang sukses terlihat dari tempat
praktiknya: lemari arsip pasien sampai ke langit-langit, hadiah dipajang di
mana-mana (buku, lukisan, keramik bertulisan ayat Injil, pemberat kertas
bergambar lukisan tangan, ornamen gelas, kotak hias, patung kecil yang lucu).
Dalam kotak akrilik di balik meja jatinya tampak ribuan batu ginjal yang
dikeluarkannya dari semua pasiennya.
Baru sekarang, ketika aku mengenang kembali masa akhir pendidikanku, aku mulai
berpikir tentang kesuksesan
ayahku. Sepanjang masa residensi, aku memandang ilmu bedah lebih kurang sebagai
pokok ilmu dan keterampilan yang diperoleh selama pendidikan dan yang
disempurnakan dengan praktik. Seperti yang kusaksikan, peningkatan kemampuan
dalam melakukan seperangkat tugas terjadi sesuai dengan beratnya tugas itu
(untukku: mengangkat kandung empedu, operasi kanker usus besar, mengeluarkan
peluru, dan operasi usus buntu; untuk ayahku: mengeluarkan batu ginjal, operasi
kanker testis, dan operasi pembengkakan prostat). Bila dibuat grafik, terlihat
gambaran kurva menaik yang melengkung landai, mencapai puncaknya setelah,
katakanlah sepuluh sampai lima belas tahun, mendatar untuk waktu yang lama,
kemudian mungkin menurun sedikit pada lima tahun terakhir sebelum seseorang
pensiun. Namun, faktanya ternyata lebih kacau. Ayahku selalu mengatakan bahwa
kita mungkin ahli dalam suatu hal, tetapi tak lama kemudian pengetahuan itu pun
menjadi usang. Berbagai teknik operasi dan teknologi baru bermunculan
menggantikan cara lama, sehingga kurva belajar itu dimulai kembali. "Tiga
perempat dari yang kulakukan sekarang tidak pernah kupelajari di masa
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
residensi," katanya. Dalam kesendiriannya, jauh dari sejawat, apalagi dari
seorang ahli yang akan mengingatkannya seperti "Putar pergelangan tanganmu lebih
jauh," ia harus belajar memasang penis buatan, melakukan bedah mikro, membuka
kembali vasektomi, mengangkat prostat dengan saraf utuh, memasang sfingter urin
buatan. Ia juga harus belajar menghancurkan batu ginjal dengan gelombang kejut,
dengan elektrohidraulik, atau dengan sinar laser; memasang cincin uretra Double
J, cincin Silicone Figure Four Coil, dan cincin Retro-Inject Multi-Length
(jangan tanya apa ini); memeriksa saluran
kemih dengan teropong serat optik. Semua teknik dan teknologi itu berkembang
setelah ia menyelesaikan sekolahnya. Beberapa tindakan merupakan pengembangan
dari keterampilan yang sudah dimiliki, tetapi kebanyakan bukan.
Itulah yang yang dialami oleh semua ahli bedah. Perkembangan teknologi
kedokteran tak pernah berhenti dan tak ada pilihan bagi seorang dokter bedah
selain mencoba semua teknik baru itu. Tidak mau menggunakan teknik baru berarti
menolak perkembangan kedokteran yang berharga bagi pasien. Namun, risiko dari
kurva pembelajaran tak pernah bisa dihindari pada masa praktik maupun masa ?residensi.
Tak dapat disangkal bahwa untuk seorang ahli bedah, kesempatan belajar tidaklah
berstruktur seperti untuk seorang residen. Setiap kali selalu muncul alat baru
atau teknik baru yang penting, yang terjadi hampir setiap tahun, dan para ahli
bedah memulai dengan sebuah kursus biasanya berupa ceramah satu atau dua hari
?oleh seorang ahli bedah terkemuka dengan film yang dilengkapi panduan rinci
tentang teknik itu, Videonya dapat dibawa pulang untuk dilihat di rumah. Kami
pun berkunjung untuk melihat bagaimana sejawat itu melakukannya ayahku sering
?pergi ke Ohio State atau ke Klinik Cleveland untuk itu. Tetapi, tidak banyak
yang disertai pelatihan langsung. Berbeda dengan residen, seorang pengamat tidak
boleh turut masuk ke ruang bedah, dan kesempatan untuk berlatih menggunakan
hewan percobaan atau jenazah sangat jarang, (di Inggris ada larangan menggunakan
hewan untuk pelatihan praktik dokter bedah). Ketika teknik pulsed-dye faser
muncul, pabrik pembuat alatnya mendirikan laboratorium di Columbus, tempat para
urolog setempat berlatih. Tetapi, ketika ayahku ke sana,pengalaman yang
ditawarkan adalah menghancurkan batu ginjal dalam tabung reaksi yang penuh
berisi cairan mirip urin, dan mencoba menembus kulit telur tanpa menyentuh
selaput di bawahnya. Departemen bedah tempatku bekerja baru-baru ini membeli
sebuah alat bedah robot sebuah robot canggih seharga 980 ribu dolar, yang tegak
?memiliki tiga lengan, dua pergelangan tangan, dan sebuah kamera, semuanya dalam
ukuran milimeter. Robot itu dikendalikan dari panel kendali sehingga
memungkinkan seorang ahli bedah melakukan operasi apa pun dengan tangan yang
tidak gemetar dan dengan sayatan kecil saja. Sebuah tim yang terdiri atas dua
dokter bedah dan dua perawat terbang ke kantor pusat pabrik di San Jose untuk
mengikuti pelatihan sehari penuh tentang mesin itu. Mereka berlatih menggunakan
seekor babi dan jenazah manusia. (Pabrik itu membeli jenazah dari San
Francisco.) Meskipun lebih banyak praktiknya dibandingkan dengan umumnya
pelatihan seperti itu, tetap saja pelatihan ini bukan pelatihan yang tuntas.
Mereka mendapat pelajaran sekadarnya untuk memahami prinsip kerja robot, mulai
membiasakan diri menggunakannya, dan belajar cara merencanakan suatu operasi.
Cuma itu. Pada akhirnya, mereka toh harus pulang dan mencobanya sendiri.
Pasien pada akhirnya akan memperoleh manfaat yang sering sangat besar tetapi,
? ?beberapa pasien pertama mungkin tidak, atau bahkan mungkin menghadapi bahaya.
Ingat saja laporan dari unit bedah anak rumah sakit terkenal di London, Ormond
Street Hospital, yang dimuat rinci dalam British Medical Journal edisi musim
semi 2DDD. Para ahli bedah itu melaporkan hasil pembedahan 325 bayi penyandang
cacat jantung berat yang dikenal
sebagai transposisi arteri besar, yang dilakukan berturutturut pada periode
antara 1978 sampai 1998, yaitu ketika mereka mengubah cara operasinya. Pada para
bayi penyandang cacat bawaan itu, pembuluh yang keluar dari jantung telah salah
letaknya: aorta keluar dari bagian kanan jantung, bukan dari bagian kiri, dan
pembuluh yang menuju ke paru-paru keluar dari kiri, bukan dari kanan. Akibatnya,
darah yang masuk ke jantung dipompakan kembali ke seluruh tubuh, bukan dikirim
dulu ke paru-paru untuk mengambil oksigen. Ini membuat para bayi itu tak dapat
bertahan hidup. Mereka mati dalam keadaan biru, lemah, tanpa pernah merasakan
manfaatnya bernapas. Selama bertahuntahun upaya memindahkan pembuluh itu ke
tempatnya secara teknis tidak mungkin dilakukan. Sebagai gantinya, para ahli
bedah melakukan tindakan yang disebut operasi Senning: mereka membuat lubang di
dalam jantung supaya darah yang kembali dari paru-paru mengalir balik ke bagian
kanan jantung. Dengan operasi ini, anakanak itu dapat hidup sampai dewasa.
Namun, jantung bagian kanan yang lebih lemah tidak dapat menanggung peredaran
darah dari seluruh tubuh seperti halnya bagian kiri. Akhirnya, mereka akan
menderita gagal jantung, dan meski kebanyakan dapat mencapai usia dewasa,
sedikit sekali yang hidup sampai tua. Kemudian, pada 1980-an, serangkaian
perkembangan teknologi kedokteran telah memungkinkan dilakukannya pemindahan
pembuluh darah secara lebih aman. Prosedur ini segera menjadi cara operasi yang
populer. Para ahli bedah di Great Ormond Street melakukan perubahan pada 1986,
dan laporan itu memperlihatkan bahwa perubahan itu telah membawa kebaikan. Angka
kematian per tahun setelah operasi pemindahan arteri kurang dari seperempat
angka kematian setelah operasi Senning, dan angka harapan hidup berubah dari 47
menjadi 63 tahun. Namun, harga yang harus dibayar untuk itu memang mengerikan
tingginya. Pada tujuh belas operasi yang pertama, angka kematian di meja bedah
25 persen, padahal pada operasi Senning hanya 6 persen. (Delapan belas bayi
meninggal, lebih dari dua kali kematian pada seluruh era Senning). Hanya
waktulah yang dapat membuat mereka mahir: pada seratus operasi berikutnya, hanya
lima bayi yang meninggal.
Sebagai pasien, kita memang ingin ditangani oleh ahlinya dan memperoleh
perbaikan. Tetapi, orang tidak mau mengakui bahwa keduanya merupakan keinginan
yang bertentangan. Salah satu laporan publik di Inggris mengatakan, "Untuk
kepentingan pasien, tidak boleh ada kurva belajar." Tentu saja ini sepenuhnya
mustahil. Akhirakhir ini, sekelompok peneliti dari Sekolah Bisnis Harvard yang meneliti
perkara kurva-belajar dalam industri industri pembuat semikonduktor, pesawat ?terbang, dan industri sejenisnya memutuskan untuk meneliti kurva-belajar pada
?ahli bedah. Mereka mengamati delapan belas dokter bedah jantung dan timnya
ketika mereka mulai menerapkan teknik baru dalam bedah jantung yang paling non-
invasif. Aku terkejut ketika mengetahui bahwa ini adalah penelitian pertama di
bidang itu. Dalam dunia kedokteran, pembelajaran terjadi di mana-mana, tetapi
tak pernah ada yang meneliti seberapa baiknya seorang dokter belajar.
Teknik operasi jantung yang baru dengan sayatan kecil di antara iga, yang
?menggantikan sayatan di tengah yang membuka dari atas ke bawah terbukti lebih
?sulit daripada cara yang konvensional. Karena lubangnya sangat kecil untuk masuknya
slang dan klem pengatur aliran darah ke mesin pintas jantung, para ahli bedah
harus mempelajari cara yang lebih sulit, yaitu menggunakan kateter dengan balon
yang dimasukkan melalui vena di selangkang. Mereka harus belajar melakukan
pembedahan di bidang bedah yang lebih sempit. Dan para perawat, ahli anestesia,
dan pengatur perfusi harus menguasai peranannya yang baru. Setiap orang punya
tugas baru, instrumen baru, cara baru untuk timbulnya masalah, dan cara baru
pula untuk mengatasinya. Setiap orang harus menjalani kurva-belajarnya
masingmasing. Tim yang baru belajar membutuhkan waktu tiga kali lebih lama dari
tim yang sudah mahir yang hanya butuh tiga sampai enam jam. Para peneliti tidak
dapat menelusuri angka kematian dengan rinci, tetapi sangat naif kalau
menganggap angka kematian tidak berubah.
Yang lebih menarik adalah ketika para peneliti ini menemukan bahwa ada perbedaan
besar dalam kecepatan belajar masingmasing tim. Semua tim menjalani pelatihan
tiga hari yang diberikan oleh lembaga yang sangat kompeten dan berpengalaman
dengan berbagai inovasi. Nyatanya, dalam mengerjakan lima puluh operasi,
beberapa tim dapat mengerjakan dalam waktu yang lebih singkat, sementara tim
lain bahkan sama sekali gagal. Jadi, praktik belum tentu membuat seorang jadi
mahir. Para peneliti itu menemukan bahwa kemahiran akan dicapai, tapi tergantung
pada cara ahli bedah dan timnya itu berlatih.
Richard Bohmer, dokter yang tergabung dalam kelompok peneliti Harvard itu,
mengadakan beberapa kunjungan untuk mengamati salah satu tim yang tercepat
belajar dan salah satu tim yang lambat belajar, dan ia terkejut oleh perbedaan yang
ditemukannya. Ahli bedah dari tim yang cepat belajar sebenarnya sangat kurang
berpengalaman dibandingkan dengan ahli bedah dari tim yang lambat belajar ia ?baru lulus beberapa tahun sebelumnya. Tetapi, ia memilih anggota tim yang memang
sudah pernah bekerja sama dengan baik sebelumnya, dan ia mempertahankan tim itu
tanpa anggota baru selama lima belas kasus pertama. Ia melakukan gladi bersih
sebelum melakukan operasi yang pertama, dan menjadwalkan dengan cermat enam
operasi dalam minggu pertama sehingga tidak banyak yang terlupa. Ia mengumpulkan
timnya sebelum operasi untuk membahas kasusnya secara rinci dan kemudian
melakukan evaluasi sesudahnya. Ia pun memastikan bahwa segala sesuatu dicatat.
Dan Bohmer melihat bahwa sebagai manusia, ahli bedah itu bukan seorang
stereotipe bak Napoleon yang memegang pisau. Ia mengatakan, tanpa ditanya,
"Dokter bedah harus mau menjadi mitra (untuktimnya) sehingga ia dapat menerima
masukan." Mungkin terdengar klise, tetapi yang jelas dia berhasil. Di rumah
sakit yang lainnya, dokter bedah memilih timnya secara acak dan tidak
mempertahankan komposisi timnya. Pada tujuh operasi pertama, anggota timnya
selalu berubah sehingga boleh dikatakan di sana tak ada tim sama sekali. Dia pun
tidak mengadakan pengarahan sebelum operasi maupun evaluasi sesudahnya, dan tak
ada catatan tentang hasil kerja mereka.
Penelitian Sekolah Bisnis Harvard ini membuktikan beberapa hal. Kita dapat
melakukan sesuatu yang memberikan dampak dramatis terhadap kurva
belajar misalnya, cermat dalam memberikan pelatihan dan dalam
?mencatat kemajuannya, baik pada pembelajaran mahasiswa, residen, atau ahli bedah
senior maupun perawat. Tetapi, hasil lain dari penelitian ini tidak terlalu
membesarkan hati. Walau berhasil sekalipun, ahli bedah yang mencoba suatu teknik
baru akan tampil buruk dulu sebelum mereka mampu menunjukkan hasil yang lebih
baik, dan kurva-belajar dapat panjang dan dipengaruhi oleh lebih banyak faktor
daripada yang dibayangkan orang. Jadi, ini memastikan bahwa kita tidak dapat
melatih para pemula tanpa mengorbankan layanan untuk pasien.
Kurasa inilah yang mendasari sikap menghindar pada seorang dokter, misalnya
melalui ucapan "Saya hanya membantu"; atau "Ada metode baru yang cocok untuk
kasus Anda ini"; "Anda memerlukan infus sentral" tanpa mengatakan juga "saya
baru belajar melakukan ini." Kadang kita memang ingin mengakui bahwa kita belum
pernah melakukan tindak medis itu sebelumnya, tetapi kemudian yang kita
kemukakan adalah angka keberhasilan yang pernah dipublikasi, yang sebenarnya
merupakan hasil kerja ahli bedah yang sudah berpengalaman. Pernahkah kita
mengatakan kepada pasien bahwa karena kita belum berpengalaman, risikonya pasti
lebih tinggi dan bahwa hasilnya akan lebih baik kalau dikerjakan oleh yang lebih
berpengalaman" Pernahkah kita meminta persetujuan mereka untuk melakukan
tindakan yang belum pernah kita kerjakan itu" Rasanya tidak. Mengingat
taruhannya yang begitu besar, mana ada orang waras yang mau dijadikan kelinci
percobaan" Banyak perdebatan dalam hal ini. "Betul, semua orang tahu sulitnya
jadi dokter," begitu kata seorang pakar kebijakan kesehatan ketika aku
mengunjungi kantornya beberapa waktu yang lalu. "Kita harus berhenti membohongi
pasien. Bolehkah orang melakukan coba-coba demi kebaikan orang banyak?" Ia diam sejenak, lalu
menjawab pertanyaannya sendiri, "Boleh," katanya dengan tegas.
Tentu saja ada jalan keluar yang lebih bermartabat dan menyenangkan. Kita tanya
pasien dengan jujur dan terbuka maka mereka akan memberikan persetujuan. ? ?Memang sulit dibayangkan. Ketika kulihat di meja kerjanya, potret anaknya yang
lahir beberapa bulan sebelumnya, sebuah pertanyaan usil muncul di benakku.
"Jadi, anak Anda lahir dengan bantuan residen?" tanyaku.
Ruangan hening sejenak. "Tidak," jawabnya dengan jujur. "Kami bahkan tidak
mengizinkan mereka masuk ruangan bersalin."
Salah satu alasan yang membuatku ragu bahwa pendidikan kedokteran dapat terus
berlangsung berdasarkan pandangan "Ya, Anda boleh menggunakan aku untuk
berlatih" adalah karena aku sendiri tidak sependapat. Pada suatu hari Minggu
pagi, anak sulungku, Walker, usia sebelas hari, tibatiba menderita gagal jantung
karena ternyata ia menyandang cacat jantung bawaan. Aortanya berada pada posisi
normal, tetapi bagian yang panjang tidak berkembang sama sekali. Aku dan istriku
begitu takut ginjal dan hatinya pun mulai gagal tetapi, ia dapat dioperasi dan
? ?upaya perbaikannya berhasil baik. Walau pemulihannya agak mengkhawatirkan,
setelah dua setengah minggu ia diizinkan pulang.
Namun, di rumah kami tetap harus merawatnya. Dengan berat badan lahir tiga
kilogram lebih, berat badannya pada usia satu bulan hanya dua setengah kilogram,
dan ia harus diamati ketat untuk melihat bertambahnya berat badan. Ia mendapat
dua jenis obat jantung yang kelak harus dihentikan. Dan pada jangka panjang, dokter memperingatkan kami
bahwa kelak hasil operasinya tidak memadai lagi. Dalam pertumbuhannya, aorta
Walker perlu diperlebar dengan balon atau diganti sama sekali. Kapan persisnya
dan bagaimana semua itu dilakukan, belum dapat dipastikan. Ia harus selalu di
bawah perawatan dan pengawasan seorang ahli jantung anak.
Menjelang pulang, kami masih belum memutuskan siapa kardiolog anak yang akan
menanganinya. Selama di rumah sakit, Walker dirawat oleh seluruh tim kardiologi,
mulai dari dokter yang sedang menjalani spesialisasi sampai ke dokter senior
yang berpengalaman. Sehari sebelum pulang, salah seorang calon spesialis itu
menemuiku, menyodorkan kartu namanya dan menawarkan jam konsultasi untuk Walker.
Dari semua anggota tim, dialah yang paling sering merawat Walker. Dia adalah
dokter yang pertama memeriksa Walker ketika kami membawanya dalam keadaan parah,
dia yang menegakkan diagnosis, dan dia yang memberikan obat yang membuat keadaan
Walker stabil, dia yang berkoordinasi dengan dokter bedahnya, dan dia pula yang
menengok kami setiap hari dan menjawab berbagai pertanyaan kami. Bukan hanya
itu, aku tahu dia melakukan hal serupa kepada pasien lain. Kebanyakan keluarga
pasien tidak tahu bahwa ada sedikit perbedaan peringkat antara setiap dokter
dalam tim, dan setelah anaknya dapat diselamatkan, mereka menerima saja dokter
yang ditawarkan. Tetapi, aku tahu perbedaan itu. "Maaf, mungkin kami akan minta Dr. Newburger,"
kataku. Dokter ini adalah wakil kardiolog kepala di rumah sakit itu, dan
terkenal sebagai pakar untuk kondisi yang diderita Walker. Dokter muda itu
tampak kecewa. Tak ada yang salah padanya,
kataku, hanya saja Dr. Newburger sudah lebih berpengalaman.
"Anda tahu bahwa saya selalu didukung oleh seorang s pesialis," katanya. Aku
menggeleng. Aku tahu ini tidak adil. Anakku mengidap sesuatu yang tidak biasa. Dokter muda
ini memerlukan kesempatan untuk belajar. Seharusnya aku, seorang residen, lebih
mengerti dari siapa pun. Tetapi, aku yakin dengan kepu-tusanku, ini anakku.
Kalau disuruh memilih, aku akan selalu memilih layanan yang terbaik untuknya.
Kenapa tidak" Tetapi, tentu masa depan kedokteran tidak mungkin dikembangkan
dengan pandangan demikian.
Itulah sebabnya, dokter selalu memperlihatkan sikap menghindar. Kesempatan
belajar memang harus dicuri, seolah sesuatu yang sudah seharusnya. Dan itulah
yang yang terjadi selama Walker dirawat, jika aku mengenangnya kini. Seorang
residen melakukan intubasi, seorang calon dokter bedah ikut dalam pembedahan
jantungnya, dan seorang calon kardiolog memasangkan infus sentral pada Walker.
Tak seorang pun dari mereka yang meminta izinku. Seandainya boleh memilih, aku
akan memilih orang yang berpengalaman. Tetapi, begitulah tata cara yang
lazim orang tidak diberi pilihan jadi, aku menurut saja. Tak ada yang bisa ? ?kulakukan untuk menolaknya.
Manfaat dari tata cara yang otomatis itu bukan saja membuat pembelajaran
berlangsung. Kalau pembelajaran itu penting tetapi berisiko membahayakan, maka
seharusnya semua orang diperlakukan sama. Bila boleh memilih, orang pasti akan
menolak, tetapi pilihan itu tidak diberikan kepada semua orang. Pilihan itu
hanya untuk mereka yang tahu atau yang memang dikenal, untuk
orang dalam, untuk anak dokter tetapi tidak untuk supir truk. Bila pilihan itu
tidak untuk semua orang, mungkin lebih baik tidak usah ada pilihan sama sekali.
Aku sedang bertugas di ruang rawat intensif, pukul dua tengah malam. Suster A
melaporkan bahwa infus sentral Tn. G tersumbat. Pasien itu sudah dirawat di ICU
sebulan lebih. Ia berasal dari Boston, berusia 60-an mendekati 70, dengan kulit
membalut tulangnya, lemah, dan bergantung pada infus untuk bertahan. Banyak
lubang di usus kecilnya, yang sulit disembuhkan dengan operasi, dan cairan usus
merembes dari dua luka kecil yang merah di perutnya yang cekung. Satusatunya
jalan makan adalah lewat infus untuk memberi kesempatan ususnya membaik. Ia
memerlukan infus sentral.
Aku yakin dapat melakukannya. Aku sudah berpengalaman kini. Tetapi, ternyata
pengalaman membawa dampak lain: aku harus mengajarkannya kepada yang lain.
"Lihat, kerjakan, ajarkan," begitulah pemeonya.
Ada seorang residen yunior sedang bertugas. Ia baru melakukannya sekali dua
kali. Kuberitahukan soal Tn. G dan kutanyakan apakah ia bisa memasangkan infus
baru. Ia salah menangkap permintaanku sebagai pertanyaan. Ia menjawab bahwa ia
masih menangani pasien dan akan datang satu pasien lagi. Lalu, ia bertanya balik
apakah aku dapat melakukannya, dan kujawab tidak, Ia tak dapat menyembunyikan
mimik wajahnya yang meringis. Ia stres seperti halnya aku dulu, dan mungkin juga
takut seperti aku dulu. Ia mulai tampak fokus ketika kuminta ia menjelaskan langkah tindakannya satu per
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu semacam gladi resik. Ia hafal hampir semua langkah dengan baik, tetapi ?lupa memeriksa hasil lab dan lupa bahwa Tn. G alergi terhadap
heparin yang digunakan untuk membilas slang. Aku menyuruhnya mencatat ini,
mempersiapkan segala sesuatunya, dan memanggilku setelah siap.
Aku masih terus menyesuaikan diri dengan peranan ini. Rasanya tak nyaman
bertanggung jawab atas kesalahan orang lain. Ini sama sekali berbeda dengan
membantu orang lain. Rasanya ingin aku membuka satu set slang infus dan
menyuruhnya berlatih dulu dengan alat sunggu-han. Tapi, tentu tidak mungkin, set
infus itu harganya ratusan dolar kalau tak salah.
Setengah jam kemudian, aku dipanggil. Pasien telah siap dan residen itu telah
siap dengan gaun bedah dan sarung tangannya. Dia mengatakan bahwa slang telah
dibilas dengan larutan salin dan hasil lab pasien baik.
"Sudah disiapkan gulungan handuknya?" tanyaku,
Dia lupa dan kuambil handuk, menggulungnya, dan menyusupkannya di bawah punggung
Tn. G. Kupandang Tn. G, kusapa, dan kutanya apakah ia baik-baik saja. Orang tua
itu mengangguk, tak tampak ketakutan di wajahnya, Karena sudah pernah menjalani
berbagai tindakan, kali ini ia hanya bisa pasrah.
Residen muda ini menetapkan tempat yang akan ditusuk. Pasien ini begitu kurus
sehingga aku dapat melihat setiap iganya, dan khawatir residen ini akan menusuk
paru-parunya. Ia menyuntikkan anestetik lokal. Lalu, ia menusukkan jarum besar
itu, dengan sudut yang sama sekali salah. Aku memberi aba-aba untuknya agar
mengubah posisi jarum, tetapi itu justru membuatnya semakin tak yakin. Ia
menusuk lebih dalam dan aku tahu bahwa ia tidak menemukan venanya. Ia menarik
piston spuit: kosong. Ia mencabut jarum dan mencobanya sekali lagi. Kembali ia
menusukkan dengan sudut yang salah. Kali ini
Tn. G dapat merasakan dan tersentak kesakitan. Kupegang tangan Tn. G. Residen
itu menambah suntikan anestetiknya. Aku harus bertahan untuk tidak mengambil-
alih. Dia tidak akan bisa kalau tidak mengerjakannya, kataku dalam hati. Aku
memutuskan untuk membiarkan ia mencoba sekali lagi.x
-'A' ' Komputer dan Mesin Bedah Hernia
Suatu hari di musim panas 1996, Hans Ohlin, usia lima puluh tahun, kepala unit
pelayanan koroner RS Universitas Lund, Swedia, duduk di ruang kerjanya dengan
setumpuk rekaman EKG, sebanyak 2.240 lembar. Setiap lembar terdiri atas
rangkaian garis bergelombang, tercetak dari kiri ke kanan, pada kertas grafik
berukuran letter (21,5 x 27,5 cm). Ohlin membacanya sendiri di kantor agar tak
ada yang mengganggu. Ia memayar semua rekaman itu secara cepat tetapi teliti
satu per satu dan memilahnya menjadi dua tumpukan berdasarkan kesimpulannya
tentang ada tidaknya serangan jantung pada pasien yang bersangkutan ketika
rekaman EKG itu dibuat. Untuk menghindari kelelahan dan kelalaian, ia
mengerjakannya selama seminggu, memilahmilah hasil EKG itu, setiap kali bekerja
tidak lebih dari dua jam, lalu istirahat agak lama. Ia tak mau melakukan
kesalahan karena taruhannya sangat besar. Ini ibarat turnamen catur Deep Blue
versi kedokteran, dan Ohlin adalah Gary Kasparov untuk kardiologi. Dan dia
berhadapan dengan komputer.
EKG adalah salah satu uji diagnostik yang paling umum, di AS dilakukan lebih
dari 50 juta kali per tahun. Elek-troda dipasang pada kulit untuk menangkap
sinyal listrik bertegangan rendah yang menyebar di setiap bagian otot jantung setiap kali
jantung berdenyut, lalu sinyal itu dicetak dalam bentuk gelombang pada kertas
EKG. Teori yang mendasari EKG adalah bahwa pada serangan jantung, sebagian otot
jantung mati dan sinyal listrik yang melewati bagian jaringan itu berubah arah.
Akibatnya, gelombang pada cetakan EKG pun berubah. Kadang perubahan itu begitu
nyata, tetapi lebih sering perubahannya sedikit sekali atau dalam bahasa medis ?disebut "nonspesifik."
Untuk mahasiswa kedokteran, pada mulanya EKG tampaknya sesuatu yang rumit,
terutama EKG dengan dua belas lead yang masingmasing memberikan gambaran yang
berbeda. Tetapi, mahasiswa tetap diajari untuk membedakan berbagai jenis
gambaran yang diberi nama dengan huruf; misalnya gambaran menurun pada awal
denyut (gelombang Q), gambaran menaik pada puncak kontraksi jantung (gelombang
R), dan gambaran menurun sesudahnya (gelombang S), kemudian gelombang membulat
segera setelah denyut selesai (gelombang T). Kadang perubahan kecil di sana-sini
menyimpulkan adanya serangan jantung, kadang tidak menyimpulkan demikian. Ketika
masih mahasiswa, pertama kali aku belajar membaca EKG adalah dengan perhitungan
yang rumit. Aku dan teman-teman sekelasku membawa kartu berlapis plastik dalam
kantung lab-jas, berisi rumus rahasia: menghitung frekuensi denyut dan sumbu
aliran listrik, melihat adanya gangguan irama, melihat apakah elevasi segmen ST
lebih dari satu milimeter di lead VI sampai V4, atau melihat apakah ada bentuk
gelombang R yang buruk (menandakan salah satu jenis serangan jantung), dan
sebagainya. Dengan berlatih, semua informasi ini semakin mudah
dicerna. Kurva-belajar juga berlaku untuk diagnosis seperti halnya untuk teknik
operasi. Kadang seorang ahli jantung berpengalaman dapat memastikan suatu
serangan jantung hanya dengan sekilas pandang, seperti seorang anak mengenali
ibunya di kejauhan. Tetapi, pada dasarnya, uji diagnostik tetap saja sulit
dimengerti. Penelitian membuktikan bahwa antara 2 sampai 8 persen penderita
serangan jantung yang datang ke ruang gawat darurat ternyata salah dipulangkan
dan seperempat dari mereka meninggal atau mengalami henti jantung total.
Walaupun penderita seperti itu tidak dipulangkan, penanganannya mungkin tertunda
kalau gambaran EKG dibaca salah. Penilaian orang, bahkan penilaian ahli
sekalipun, tidak selalu pasti. Karena itu, upaya untuk memanfaatkan komputer
dalam membaca EKG tampaknya memang beralasan. Bila hasil pembacaan komputer
terbukti lebih baik daripada pembacaan manusia, meskipun keunggulannya itu hanya
sedikit sekali, ribuan nyawa akan dapat diselamatkan setiap tahunnya.
Bahwa komputer dapat membaca EKG dengan lebih baik dikemukakan pertama kali pada
tahun 1990, dalam artikel yang ditulis oleh William Baut, seorang dokter ruang
gawat darurat dari Universitas California di San Diego. Baxt menggambarkan
betapa suatu "jejaring saraf buatan" semacam tatanan komputer dapat membuat
? ?keputusan klinis yang rumit. Sistem pakar (komputer) itu belajar dari
pengalaman, seperti halnya manusia: dengan memasukkan balikan (feedback) dari
setiap sukses dan setiap kegagalan, untuk memperbaiki cara peramalannya. Pada
kajian berikutnya Baxt memperlihatkan bahwa komputer dapat dengan mudah
mengalahkan sekelompok dokter dalam diagnosis serangan jantung pada pasien
yang mengeluh sakit dada. Tetapi, dua per tiga dari dokter ini adalah residen
yang belum berpengalaman, yang memang akan kesulitan membaca EKG. Bisakah
komputer mengalahkan spesialis kawakan"
Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh sekelompok peneliti Swedia.
Penelitian dipimpin oleh Lars Edenbrandt, seorang pakar kecerdasan buatan
(artificial intelligent), sejawat Ohlin. Edenbrandt menghabiskan lima tahun
untuk menyempurnakan sistemnya, mula-mula di Skotlandia, lalu di Swedia. Ia
memasukkan data EKG dari sepuluh ribu pasien lebih, disertai informasi tentang
mana yang mengalami serangan jantung dan mana yang tidak, sampai akhirnya
komputer itu mahir membaca EKG, membedakan EKG yang paling mirip sekalipun.
Kemudian, ia menghubungi Ohlin, yang adalah salah seorang ahli jantung terkemuka
di Swedia dan biasa membaca sepuluh ribuan EKG setahun. Edenbrandt memilih 2.240
EKG dari arsip rumah sakit untuk menguji keduanya. Persis separuh dari EKG itu,
yakni 1.120, memperlihatkan gambaran serangan jantung. Tanpa banyak bicara,
hasil penelitian itu diumumkan pada musim gugur 1997. Ohlin membaca dengan benar
620. Komputer membaca dengan benar 738. Mesin mengalahkan manusia dengan angka
20 persen. Kedokteran barat didominasi oleh satu tuntutan: diharapkan memberikan layanan
yang sempurna seperti sebuah mesin. Sejak hari pertama pendidikan dokter, sudah
tampak jelas bahwa tak ada tempat untuk kesalahan. Dokter boleh saja berlama-
lama memeriksa pasien, tetapi setiap foto sinar-X harus dilacak dan dosis obat
harus tepat. Tak boleh ada riwayat alergi dan riwayat medis yang terlupa, tak
boleh ada diagnosis yang salah. Di
kamar bedah tak boleh ada gerak, waktu, atau tetes darah yang terbuang percuma.
Kunci dari kesempurnaan ini adalah rutinitas dan pengulangan: angka tahan-hidup
(survival rate) setelah operasi jantung, operasi pembuluh darah, dan operasi
lainnya berhubungan langsung dengan jam terbang ahli bedahnya. Dua puluh lima
tahun yang lalu, ahli bedah umum mengerjakan histerektomi, mengangkat kanker
paru, mengerjakan operasi pintas arteri tungkai yang kaku. Sekarang, semua itu
ada spesialisnya yang hanya mengerjakan beberapa jenis operasi saja berulang-
ulang. Ketika aku bertugas di kamar bedah, pujian tertinggi yang pernah kuterima
dari dokter bedah adalah ucapan "Kau benarbenar mesin, Gawande" dan kata mesin
itu tidak berlebihan: manusia, dalam situasi tertentu, benarbenar dapat
berperilaku seperti mesin.
Ambil contoh suatu operasi sederhana, reparasi hernia yang kupelajari pada tahun
pertama pendidikan bedah. Hernia terjadi karena lemahnya otot dinding perut,
biasanya di selangkang, sehingga isi perut dapat mendorongnya membentuk
benjolan. Di kebanyakan rumah sakit, penanganannya mendorong isi perut masuk ?kembali dan memperbaiki dinding perut berlangsung sekitar sembilan puluh menit
?dan bisa menelan biaya sampai sekitar empat ribu dolar. Pada 10-15 persen kasus,
operasinya gagal dan hernia terjadi lagi. Tetapi, ada rumah sakit kecil di luar
kota Toronto, bernama RS Shouldice, yang tidak memperlihatkan statistik itu. Di
sana, operasi hernia biasanya berlangsung 30 sampai 45 menit. Angka kambuhnya
mencengangkan, hanya 1 persen. Dan biaya operasinya hanya separuh dari biaya di
tempat lain. Mungkin itulah tempat terbaik di dunia untuk operasi hernia.
Apa rahasia keberhasilan klinik ini" Jawabnya singkat saja, selusin ahli bedah
di Shouldice hanya melakukan operasi hernia. Setiap dokter mengerjakan enam
ratus sampai delapan ratus operasi hernia tiap tahunnya lebih banyak dari yang
?dikerjakan oleh kebanyakan ahli bedah umum sepanjang hidupnya. Untuk operasi
ini, staf Shouldice dilatih lebih baik dan punya lebih banyak pengalaman.
Tetapi, alasan sukses ini dapat dikemukakan dalam bentuk lain, yaitu bahwa semua
pengulangan itu mengubah pola pikir mereka. Lucian Leape, ahli bedah anak
lulusan Harvard yang meneliti masalah kesalahan medis, menjelaskan, "ciri khas
seorang pakar adalah mereka mengubah langkah pemecahan masalah menjadi sesuatu
yang otomatis." Dengan pengulangan, banyak fungsi mental kemudian berlangsung
secara otomatis dan tanpa susah payah, seperti halnya mengendarai mobil ke
kantor. Namun, suatu situasi yang baru biasanya memerlukan pikiran sadar dan
cara penyelesaian tertentu yang lebih lambat terbentuknya, lebih sulit
dikerjakan, dan lebih rentan kesalahan. Bila umumnya situasi yang dihadapi
seorang ahli bedah sudah dapat ditangani secara otomatis, ia menjadi sangat
mahir. Bila kajian EKG Swedia menyatakan bahwa ada situasi ketika mesin dapat
mengalahkan dokter, maka apa yang terjadi di Shouldice merupakan contoh bahwa
manusia bisa dilatih agar dapat mahir seperti mesin.
Di suatu Senin pagi yang sejuk, dengan mengenakan setelan baju bedah katun
hijau, masker sekali pakai, dan topi kertas, aku mempelajari sejumlah kasus di
lima ruang bedah RS Shouldice, Menggambarkan satu kasus sama saja dengan
menggambarkan semuanya: kuperhatikan tiga dokter mengoperasi enam pasien, dan
tak ada satu pun yang menyimpang dari protokol standarnya.
Dalam sebuah kamar bedah mirip kotak yang dilapisi keramik, aku mengintip di
atas bahu Richard Sang, ahli bedah usia 51 yang tampak cerdas dan awet muda.
Walaupun kami bercakapcakap selama operasi itu, Dr. Sang melakukan setiap
langkah kerja tanpa jeda, dibantu oleh asisten yang tahu betul jaringan mana
yang harus ditarik, dan perawat yang menyorongkan alat yang tepat; sama sekali
tak diperlukan instruksi. Sang pasien, seorang pria yang tampak tenang dan
menyenangkan, berusia 35, terbaring dengan perut bawah terbuka dan tampak kuning
oleh larutan antiseptik iodium. Sesekali ia menanyakan dari balik kain penutup
apakah semua berjalan lancar. Benjolan sebesar telur bebek tampak di sebelah
kiri tulang kemaluannya. Dr. Sang menyuntik kulitnya dengan anestetik lokal pada
garis diagonal dari puncak panggul kirinya ke tulang kemaluan, sepanjang lekuk
selangkang. Dengan pisau no. 10, ia membuat sayatan sepanjang sepuluh sentimeter
pada garis ini dengan sekali sayat sehingga terlihat jaringan lemak bawah kulit
yang kuning mengkilat. Asisten meletakkan perban di sepanjang kedua tepi sayatan
untuk menyerap sedikit perdarahan, dan membuka luka itu dengan menarik kedua
tepinya. Dr. Sang dengan cepat memotong lapisan otot luar dinding perut sehingga
terpaparlah tali sperma, yaitu kabel sekitar satu sentimeter yang terdiri atas
pembuluh darah dan pembuluh sperma. Sekarang kami dapat melihat benjolan itu
menonjol di tempat yang paling sering, yaitu pada bagian lemah dari dinding
perut di bawah tali itu. Dr. Sang memperlambat geraknya sesaat, memeriksa dengan
saksama adanya hernia lain di daerah sepanjang perjalanan tali sperma di dinding
dalam perut. Ternyata ia menemukan hernia kedua di sana, kecil, yang bila
terabaikan hampir pasti akan menimbulkan hernia kambuhan. Kemudian, ia membuka
lebih lanjut lapisan otot di bawah tali sperma sehingga dinding perut terbuka
seluruhnya, dan mendorong isi perut yang menonjol ke luar itu kembali masuk.
Kalau kasur sofa sobek dan busanya menonjol ke luar, kita dapat menambalnya atau
membuat jahitan untuk menautkannya. Di rumah sakitku, kami biasanya mendorong
hernia masuk kembali, menempelkan semacam jala dari bahan mirip plastik yang
kuat di atas lubang hernia itu, lalu menjahitkannya ke jaringan sekitar. Ini
memberi cukup kekuatan pada dinding perut, dan tekniknya mudah dilakukan.
Tetapi, ketika kutanyakan pendapatnya, Sang, seperti halnya ahli bedah lain di
Shouldice, mencela cara itu: jala itu berisiko menimbulkan infeksi (karena
merupakan benda asing), mahal (harganya ratusan dolar), dan tidak diperlukan
(karena tanpa itu pun hasil operasi mereka mengagumkan).
Ketika kami berbincang tentang pilihan cara itu, Sang menutup kembali ketiga
lapis otot dinding perut, menjahitnya dengan benang halus dengan cara
mempertautkan kedua tepi secara tumpang tindih. Setelah Sang menutup kulit
pasien dengan klip kecil dan mengangkat kain penutup, pasien dapat segera turun
dari meja operasi, berdiri, dan berjalan keluar. Semua itu hanya berlangsung
setengah jam. Banyak ahli bedah menggunakan metode reparasi Shouldice, tetapi mendapatkan
angka kambuhan seperti biasanya. Ternyata bukan metodenya yang membuat Shouldice
unggul. Para dokter di sana memberikan layanan operasi hernia itu seperti Intel
membuat chip komputer: mereka adalah "pabrik khusus." Bahkan bangunan
rumah sakitnya pun dirancang hanya untuk pasien hernia. Tak ada telepon maupun
televisi di kamarnya, dan makanan disajikan di ruang makan khusus di lantai
dasar; dengan demikian, pasien mau tidak mau harus berdiri dan berjalan sehingga
dapat dicegah masalah yang timbul akibat kurang gerak, seperti pneumonia dan
trombosis kaki. Setelah meninggalkan pasien untuk diurus oleh perawat, Sang menemui pasien
berikutnya dan menyuruhnya berjalan masuk ke ruang bedah yang sama. Tidak sampai
tiga menit berselang, tetapi ruang itu sudah bersih kembali. Kain penutup dan
instrumen yang baru sudah tertata. Maka dimulailah kasus baru. Aku bertanya
kepada Byrnes Shouldice, putra pendiri klinik yang juga ahli bedah hernia,
apakah pernah merasa bosan melakukan operasi hernia sepanjang hari. "Tidak,"
jawabnya dengan suara datar seperti suara tokoh Dr. Spock dalam serial Star Trek
yang terkenal itu. "Kesempurnaan adalah suatu kegairahan."
Kemahiran super ini secara paradoks menimbulkan pertanyaan apakah layanan medis
yang terbaik memerlukan dokter yang terlatih dengan sempurna, Tak satu pun dari
ketiga dokter di Shouldice yang kuamati operasinya itu pernah melakukannya di
rumah sakit lain di Amerika sebab tak seorang pun yang menjalani pendidikan
bedah umum. Dr. Sang sebelumnya adalah seorang dokter keluarga; Byrnes Shouldice
langsung bergabung setelah lulus fakultas kedokteran; dan dokter bedah kepalanya
adalah seorang ahli kebidanan. Setelah magang selama sekitar setahun, mereka toh
menjadi ahli bedah hernia terbaik di dunia. Kalau hanya akan melakukan operasi
hernia, atau kolonoskopi, apakah kita memerlukan pendidikan spesialis bedah
(empat tahun fakultas kedokteran,
lima atau enam tahun residensi) untuk menjadi mahir" Bergantung pada bidang
spesialisasinya, apakah ini pertanyaan yang diajukan dalam kajian EKG Swedia ? ?masih diperlukan manusia"
Walaupun dunia kedokteran mulai mengakui bahwa automasi seperti yang terjadi di
Shouldice dapat memberikan hasil pengobatan yang lebih baik, banyak dokter tidak
sepenuhnya yakin. Dan secara khusus mereka enggan menerapkan pandangan ini di
bidang diagnosis. Kebanyakan dokter beranggapan bahwa diagnosis tidak dapat
disederhanakan dengan suatu generalisasi atau katakanlah dituangkan ke dalam
?semacam "buku pintar." Mereka berdalih bahwa perlu dipertimbangkan idiosinkrasi
pada setiap pasien. Itu hanya dalih bukan" Ketika menjadi konsulen bedah di bagian gawat darurat,
aku selalu diminta untuk menilai apakah pasien yang mengeluh sakit perut secara
otomatis dianggap menderita usus buntu (apendisitis), Kudengarkan dengan saksama
riwayat sakitnya dan kupertimbangkan banyak faktor: apa yang kurasakan ketika
meraba perut itu, bagaimana kualitas nyeri dan tempatnya, suhunya, nafsu
makannya, hasil labnya. Tetapi, semua itu tak dapat dicocokkan dengan suatu
rumus untuk kemudian dihitung. Aku menggunakan pertimbangan
klinisku naluriku untuk memutuskan apakah pasien ini memerlukan operasi, harus
? ?dirawat untuk observasi, atau boleh dipulangkan. Kita tahu bahwa memang ada
orang yang menyimpang dari orang pada umumnya penjahat yang insaf, penderita
?kanker terminal yang secara ajaib sembuh. Dalam psikologi, ada yang dikenal
sebagai "masalah patah tungkai." Suatu rumus
statistik mungkin dapat meramal dengan baik apakah seseorang akan pergi menonton
atau tidak di akhir minggu, tetapi seseorang yang tahu bahwa pasien ini
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderita patah tungkai tak akan menggunakan rumus statistik. Tak ada rumus yang
handal untuk keadaaan demikian. Itulah sebabnya para dokter yakin bahwa ketika
melakukan diagnosis, mereka lebih baik bergantung pada nalurinya yang sudah
terasah dengan baik. Pada suatu akhir minggu, ketika sedang bertugas, aku menangani seorang wanita 39
tahun, yang mengeluh nyeri di perut kanan bawah yang tidak sesuai dengan
gambaran apendisitis. Ia mengaku tidak terlalu sakit, juga tak ada demam maupun
mual. Memang, ia sedang lapar, dan tidak kesakitan ketika perutnya kutekan.
Hasil ujinya tidak khas. Aku tetap menganjurkan apendektomi kepada dokter bedah
yang sedang bertugas. Sel darah putihnya sangat tinggi, menandakan ada infeksi,
dan yang lebih penting, aku melihatnya tampak sakit berat. Seorang yang sakit
berat penampilannya begitu khas dan kita akan mengenalinya setelah beberapa
waktu menjalani residensi. Mungkin kita belum dapat memastikan penyakitnya,
tetapi kita yakin bahwa ada sesuatu yang salah. Dokter yang bertugas menyetujui
diagnosisku, mengoperasi pasien itu, dan menemukan apendisitis.
Tak lama kemudian, aku kedatangan pasien usia 65 tahun dengan riwayat yang
hampir sama. Hasil labnya sama; aku pun melakukan payaran perut, tetapi tetap
tidak memberikan kesimpulan. Pasien ini pun tidak memberikan gambaran khas
apendisitis; dan aku pun punya kesan sama bahwa ia mengidapnya. Tetapi, pada
operasi ditemukan bahwa apendiksnya normal. Dia menderita divertikulitis,
infeksi pada usus besar yang biasanya
tidak memerlukan operasi,
Apakah kasus kedua lebih khas daripada kasus pertama" Seberapa seringkah
naluriku mengelabui" Implikasi radikal dari kajian Swedia menunjukkan bahwa
pendekatan naluriah setiap orang yang merupakan tumpuan kedokteran modern
sebenarnya bercacat pendekatan demikian lebih sering menimbulkan kesalahan, ?bukan mencegahnya. Ada penelitian di luar kedokteran yang mendukung pandangan
ini. Selama empat dasawarsa, ahli psikologi kognitif telah memperlihatkan
berulang kali bahwa pendekatan algoritmik biasanya mengalahkan penilaian manusia
dalam membuat suatu ramalan atau diagnosis. Seorang psikolog, Paul Meehl, dalam
buku klasiknya yang terbit pada tahun 1954, Clinical Versus Statistical
Prediction, menggambarkan suatu penelitian pada sekelompok parolee (orang yang
dibebaskan dari penjara dengan syarat) di Illinois tentang kemungkinan mereka
melanggar syarat pembebasannya. Penelitian ini membandingkan ramalan yang
diberikan oleh psikiater penjara dan dugaan yang dibuat berdasarkan rumus yang
memperhitungkan faktor seperti usia, jumlah kejahatan sebelumnya, dan jenis
kejahatan yang dilakukan. Walaupun rumus itu begitu kasar, ternyata memberikan
ramalan yang lebih akurat ketimbang ramalan sang psikiater. Pada beberapa
artikel akhirakhir ini, Meehl bersama dua orang ilmuwan sosial, David Faust dan
Robyn Dawes, meninjau lebih dari seratus penelitian yang membandingkan komputer
atau rumus statistik dengan penilaian manusia dalam meramalkan beragam hal,
mulai dari kemungkinan bangkrutnya sebuah perusahaan sampai ke angka harapan
hidup pasien penyakit hati. Hampir di semua penelitian itu, ramalan statistik
menyamai atau melebihi ketepatan penilaian manusia. Kita mungkin berpikir bahwa bila kerja
manusia digabungkan dengan kerja komputer, akan diperoleh keputusan yang lebih
baik. Tetapi, seperti ditunjukkan oleh para peneliti itu, harapan ini tidak
masuk akal. Jika keduanya sependapat, tidak ada masalah. Jika tidak, semua
penelitian itu memperlihatkan bahwa akan lebih baik bila kita percaya pada
penilaian komputer. Apa sebenarnya yang membuat algoritma komputer lebih unggul" Pertama, menurut
Dawes, manusia tidak konsisten: sangat mudah dipengaruhi oleh sugesti, cara
pandang kita terhadap sesuatu, pengalaman yang baru lalu, berbagai faktor
pengecoh, dan cara suatu informasi disampaikan. Kedua, manusia tidak mampu
mempertimbangkan banyak faktor sekaligus, Kita cenderung memberi bobot lebih
pada satu faktor dan mengabaikan faktor lain. Program komputer yang baik
memberikan bobot yang tepat secara otomatis dan konsisten. Lagi pula, Meehl
bertanya, saat berbelanja, apakah kita membiarkan petugas kasir memeriksa
belanjaan kita dan berkata, "OK, saya perkirakan semuanya 17 ribu rupiah."
Setelah banyak latihan, mungkin pertugas itu akan semakin pandai menebak, tetapi
kita melihat kenyataannya bahwa kerja komputer yang hanya menambahkan semua
harga akan lebih tepat dan konsisten. Dalam kajian Swedia itu terlihat bahwa
Ohlin jarang sekali melakukan kesalahan, tetapi banyak hasil EKG berada di
daerah kelabu, sebagian gambar menunjukkan jantung sehat sementara gambar lain
menunjukkan serangan jantung. Dokter sulit meramalkan mana informasi yang harus
dipegang, dan mereka juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya oleh
gambaran EKG sebelumnya. Mungkin tak dapat dihindari bahwa dokter kelak harus merelakan komputer
mengambil-alih keputusan diagnosis. Suatu jejaring (network), PAPNET, telah
dikenal sebagai upaya penapisan apus Pap (pep smear) suatu apusan serviks
?wanita untuk menemukan kanker atau kelainan prakanker. Pekerjaan itu biasanya
?dilakukan oleh seorang ahli patologi. Para peneliti telah melakukan lebih dari
seribu penelitian tentang penggunaan jejaring saraf pada hampir semua bidang
kedokteran. Telah dikembangkan program untuk menegakkan diagnosis apendisitis,
demen-sia, kegawatan psikiatri, dan penyakit seksual menular. Program lain dapat
meramalkan keberhasilan pengobatan kanker, cangkok organ, dan operasi katup
jantung. Berbagai sistem dirancang untuk membaca foto sinar-X dada, mamogram,
dan pemayaran nuklir pada jantung.
Dalam mengobati, sebagian dunia kedokteran telah mulai menyebarkan ilmu RS
Shouldice tentang kelebihan layanan spesialistik yang bersifat otomatis. Regina
Herzlinger, seorang profesor di Sekolah Bisnis Harvard, yang melansir istilah
"pabrik layanan kesehatan khusus" dalam bukunya Market Driven Health Care
memberikan beberapa contoh, di antaranya dari Institut Bedah Jantung Texas dan
Pusat Cangkok Tulang RS Universitas Duke. Pasien kanker payudara ditangani lebih
baik oleh pusat pengobatan khusus kanker, dan di tempat itu ada ahli bedah
tumor, ahli onkologi, ahli radioterapi, ahli bedah plastik, pekerja sosial, ahli
gizi, dan beragam ahli lainnya yang hanya merawat pasien kanker payudara dari
hari ke hari. Dan hampir semua rumah sakit sekarang ini memiliki protokol dan
algoritma pengobatan yang setidaknya hanya menangani beberapa penyakit yang
umum, misalnya asma atau serangan stroke. Jejaring saraf buatan
yang baru sebenarnya hanya menerapkan ilmu itu dalam upaya diagnosis.
Meskipun begitu, masih saja ada yang menentang cita-cita diterapkannya
kedokteran mesin ini. Sebagian karena pandangan yang picik: dokter sering sulit
diajak mengubah cara mereka melakukan sesuatu, Tetapi, sebagian penolakan ini
berasal dari pertimbangan yang lebih layak, bahwa bila kedokteran mesin
dikembangkan, ada sesuatu yang utama dalam kedokteran akan hilang, yaitu
kemampuan teknis yang berharga. Layanan kedokteran modern saja sudah kehilangan
sentuhan kemanusiaan, dan semangat kepakarannya telah menyebabkan masyarakat
yang sebenarnya ingin mereka layani merasa tersisih. Pasien sering merasa
dipandang sebagai sekadar nomor tanpa nama.
Namun, bukan berarti kemanusiaan dan teknologi tidak dapat dipadukan, keduanya
sebenarnya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara lebih baik. Dengan kata
lain, mesin sebenarnya sahabat dokter. Contoh sederhana, kesalahan merupakan
musuh utama dalam hubungan dokter dan pasien. Manusia memang selalu bisa berbuat
salah mesin pun tak selalu sempurna tetapi, kepercayaan akan meningkat bila ? ?kesalahan semakin berkurang. Tambahan lagi, di saat "sistem" semakin jauh
mengambil-alih kerja teknis dalam kedokteran, setiap dokter berkesempatan untuk
mengedepankan dimensi pelayanan yang sudah lebih lama berperan sebelum ada
teknologi, misalnya bercakapcakap akrab dengan pasiennya. Pelayanan medis
menyangkut hidup mati seseorang, kita selalu membutuhkan bantuan dokter untuk
dapat mengerti apa yang terjadi dan mengapa, apa yang mungkin dan tak mungkin.
Dengan semakin kusutnya hubungan
antara para pakar dan sistem pakar (komputer), dokter justru dituntut untuk
bertindak sebagai pembimbing yang bijak dan meyakinkan. Mesin mungkin dapat
memberikan keputusan, tetapi kita tetap memerlukan dokter untuk menyembuhkan. ><
'?"3" - Ketika Dokter Berbuat Salah
Untuk sebagian besar masyarakat khususnya pengacara dan media massa kesalahan
? ?medis pada dasarnya menunjukkan bahwa dokter tidak bermutu. Bagaimana caranya
sampai terjadi kesalahan di dunia kedokteran biasanya tidak dibahas, dan
akibatnya terjadi salah pengertian. Kesalahan adalah sesuatu yang wajar terjadi,
tetapi kita cenderung memandangnya sebagai suatu penyimpangan. Padahal, sama
sekali bukan. Pada suatu hari Jumat yang sejuk, pukul 2 tengah malam, dengan mengenakan gaun
bedah dan sarung tangan steril, aku sedang membuka perut seorang remaja korban
penusukan ketika penyerantaku berbunyi. "Kode trauma, tiga menit," begitu kata
perawat kamar bedah membacakan pesan di penyerantaku. Itu berarti ambulans akan
datang dalam waktu tiga menit lagi, membawa pasien trauma lainnya, dan sebagai
residen yang bertugas di ruang gawat darurat, aku harus siap ketika pasien tiba.
Aku menjauh dari meja bedah dan membuka gaun bedah. Dua dokter bedah lain sedang
menangani korban penusukan itu: Michael Ball, dokter yang bertanggung jawab atas
kasus ini, dan David Hernandez, residen kepala (dokter bedah umum yang dalam
tahun terakhir pendidikannya). Biasanya kedua orang itu harus menyelia dan
membantu menangani trauma, tetapi mereka sudah sibuk di situ. Bali, pria yang
tak suka banyak bicara dan pintar, usia 42 tahun, memandangku yang sedang
berjalan menuju ke pintu. "Kalau ada masalah, panggil saja, salah satu dari kami
akan datang," katanya.
Aku memang mendapat masalah. Ketika menceritakan ini, aku harus mengubah
beberapa rinciannya (termasuk nama mereka yang terlibat). Walaupun demikian, aku
mencoba agar sedekat mungkin dengan kenyataannya, sambil mencoba melindungi
pasien, diriku, dan staf lainnya.
Puang gawat darurat berada satu lantai di atas, aku melangkahi dua anak tangga
sekaligus, dan tiba di sana tepat ketika petugas gawat darurat mendorong masuk
seorang wanita tiga puluh tahunan dengan berat lebih dari seratus kilogram. Ia
terbaring diam di atas papan spinal plastik, matanya terpejam, pucat, dan darah
mengalir dari hidungnya. Perawat mengarahkan petugas untuk mendorongnya ke
Trauma Bay 2, ruang periksa khusus yang diperlengkapi seperti OK (kamar
operasi), dengan dinding keramik hijau, perangkat monitor, dan ruang untuk
perangkat sinar-X yang bisa dibawa-bawa. Kami mengangkat si pasien ke meja
periksa dan mulai bekerja. Seorang perawat menggunting bajunya. Perawat lain
memeriksa tanda-tanda vital, perawat yang lain lagi memasang slang infus
intravena di lengan kanannya. Seorang dokter-muda bedah memasang kateter Foley
ke kandung kemihnya. Dokter gawat darurat yang bertugas ketika itu adalah Samuel
Johns, pria kurus mirip Ichabod Crane, usia lima puluhan. Ia berdiri di samping
pasien dengan tangan bersilang yang menandakan aku dapat terus menangani pasien
itu. Di rumah sakit pendidikan, hampir semua tindakan
dokter dikerjakan oleh residen. Tugas kami bergantung pada tingkat kami dalam
pendidikan, tetapi kami tidak pernah bekerja sendiri: selalu ada dokter
penanggung jawab yang mengawasi setiap keputusan kami. Malam itu, karena Johns
yang bertugas dan bertanggung jawab atas penanganan darurat pasien, maka aku
berada di bawah pimpinannya. Tetapi, ia bukan dokter bedah, jadi pada saat yang
sama, dia memercayakan urusan bedahnya kepadaku.
"Bagaimana riwayatnya?" tanyaku.
Seorang paramedis kedaruratan (EMT) menjelaskan
rinciannya: "Wanita kulit putih tak dikenal berkendara
dengan kecepatan tinggi, terguling dan terlempar dari
mobilnya. Ditemukan sendirian tak sadar. Nadi seratus,
tekanan darah seratus per enam puluh, napas tiga puluh ii
Sementara ia bicara, aku mulai memeriksa pasien itu. Langkah pertama dalam
menangani pasien trauma selalu sama. Entah ia seorang korban penembakan sebelas
kali atau korban ditabrak truk atau terbakar di dapur. Yang pertama dilakukan
adalah memastikan apakah ia dapat bernapas tanpa kesulitan. Napas wanita ini
cepat dan dangkal. Sebuah oksimeter dengan sensor yang ditempelkan di jarinya
mengukur saturasi (kejenuhan) oksigen dalam darahnya. "Sat 02" normalnya 95
persen untuk pasien yang bernapas di ruangan. Wanita ini sudah menggunakan
sungkup oksigen dengan aliran penuh, tetapi sat 02-nya hanya 90 persen.
"Ia tidak cukup mendapatkan oksigen," teriakku dengan nada yang khas untuk
mengejutkan semua orang cara teriak yang dipelajari oleh semua residen bedah ?dalam masa tiga bulan residensi. Dengan jari kuperiksa
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 2 Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Aji Mlati 1
NATIONAL BESTSELLER BUKU ISTIMEWA VERSI NEW YORK TIMES
Komplikasi menyajikan sains dengan gamblang, bukan datam bentuknya yang
berbunga-bunga namun sebagaimana apa adanya. Tidak pasii dan penuh misteri.
Dalam sejumlah kisah nyata yang mencekam, dokter bedah Attil Gawande menguak
kedigdayaan sekaligus keterbatasan dunia kedokteran. Para profesional di bidang
kedokteran juga membuat kesalahan, masih terus mempelajari pekerjaan mereka, dan
mereka-reka teknik mereka.
Komplikasi mempersembahkan pandangan yang nyata dari ujung pisau bedah,
menyelidiki bagaimana kesalahan-kesalahan maut terjadi dan mengapa ahli bedah
yang andal bisa bertindak bodoh. Cerita-cerita yang dituturkan Gawande
mengingatkan bahwa para dokter "hanya" manusia. Beberapa gagasannya mungkin
membuat para penyedia layanan kesehatan gelisah atau bahkan marah, tapi gayanya
yang meyakinkan, pengakuannya yang jujur, dan argumennya yang bijaksana akan
menaklukkan kebanyakan pembaca.
"Tak ada yang dapat mengalahkan Gawande dalam membangkitkan kepekaan terhadap
keadaan darurat, dalam menggambarkan secara memukau kenyataan di bangsal, ketegangan drama kedokteran
atau drama pembedahan yang berlangsung dari detik ke detik. Komplikasi sangat
mengesankan karena kebenaran dan keasliannya." New York Times Book Review
ATUl GAWANDE adalah lulusan Harvard Medical School dan Harvard School of Public
Health. Selain sebagai seorang residen bedah di sebuah rumah sakit di Boston,
dia juga penulis tetap di bidang kedokteran dan sains untuk The New Yorker.
Tulisannya terpilih untuk dimuat dalam The Best American Essays 2002 dan The
Best American Science Writing 2002.
ISBN: 979-16-0074-0 9789791600743 ATUL GAWANDE "Dalam prosa cemerlang yang berhasil tampil tak berpihak sekaligus hangat Tanpa
dibuat-buat ini, Gawande mempersembahkan bagi pembacanya pandangan orang dalam
tcniang dua sisi misteri tubuh manusia dan orang-orang yang merawatnya?Newsday
SEBUAH CATATAN TENTANG ILMU YANG TAK SEMPURNA
K0MPLIKASI DRAMA UJUNG PISAU BEDAH
Komplikasi fiis/3. ssn& din iimi-i!nv scsct
Komplikasi DRAMA DI UJUNG PISAU BEDAH Sebuah catatan tentang ilmu yang tak sempurna ATUL
GAWANDE Itifi Bak - Copyright " 2002, Atul Gawande
Diterjemahkan dari Complications: A Surgeon's Notes on an Imperfect Science
karangan Atul Gawande, terbitan Picador, New York, Get 1, 2003 Hak terjemahan
Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit Penerjemah: dr. Zunilda Sadikin B, MS, SpFK Penyunting: Sofia Mansoor Pewajah
Isi: Siti Qornariyah PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: September 2005
ISBN: 979-16-0074-0 UNTUK KATHLEEN Daftar Isi Daftar Isi \ 9 Catatan Pengarang \ 13 Pendahuluan \ 15 BAGIAN 1 KEKHILAFIAN?Sayatan Pertama \ 27
Komputer dan Mesin Bedah Hernia \ 62
Ketika Dokter Berbuat Salah \ 78
Sembilan Ribu Dokter Bedah \ 116
Ketika Dokter Baik Berubah Menjadi Dokter Buruk \ 134
BAGIAN II MISTERI ?Bulan Purnama Jumat Tanggal Tiga Belas \ 165
Misteri Nyeri \ 173 Rasa Mual \ 195 Wajah Merona \ 218 Pria yang Tak Bisa Berhenti Makan \ 241
BAGIAN III KETIDAKPASTIAN
?Sayatan Terakhir \ 277 Misteri kematian Bayi \ 299
Lagi Pula, Tubuh Milik Siapakah ini " \ 307
Komplikasi atatan Pengarang Semua cerita di dalam buku ini adalah nyata. Untuk menjaga kerahasiaan mereka
yang terlibat, aku telah mengubah nama para pasien, nama keluarganya, dan nama
beberapa sejawat. Pada beberapa kisah, aku juga mengubah rincian ciri yang tak
penting dari seseorang. Walaupun demikian, di mana saja perubahan itu dilakukan,
aku menyatakannya di dalam batang tubuh teks yang bersangkutan.
^JJiT - Pendahuluan Suatu kali, ketika aku sedang bertugas di unit trauma, seorang anak muda sekitar
dua puluh tahun didorong masuk (di atas brankar), tertembak di bokongnya. Denyut
nadi, tekanan darah, dan napasnya semua normal. Seorang perawat menggunting
bajunya. Kupandangi pasien ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, mencoba
mengamati secara sistematik walau cepat. Tampak luka masuk di belahan bokong
kanannya, lubang ukuran sekitar satu sentimeter, merah dengan tepi rapi. Tak
kutemukan luka keluar dan tak ada luka lainnya.
Ia tampak lebih takut dan was-was kepada kami ketimbang kepada peluru di
tubuhnya. "Saya baik-baik saja," katanya bersikeras. "Saya baik-baik saja."
Tetapi, pada sarung tanganku, setelah mencolok duburnya, tampak darah segar. Dan
ketika kateter dipasang, tampak cairan merah terang mengalir dari kandung
kemihnya. Kesimpulannya jelas. Darah itu menunjukkan bahwa peluru masuk ke tubuhnya
melalui rektum dan kandung kemih, begitu kataku padanya. Pembuluh darah utama,
ginjal, dan bagian usus lainnya mungkin terluka juga. Ia harus dioperasi, dan
itu harus dilakukan sekarang, kataku. Ia menangkap pandanganku, melihat para
perawat mulai mempersiapkannya, dan hampir tanpa sadar ia mengangguk, tanda menyerahkan
nasibnya pada kami. Tak 14 lama terdengar derit roda brankar, kantung infus
tergantung berayun-ayun, dan beberapa orang membukakan pintu untuk kami agar
bisa lewat. Di ruang bedah, ahli anestesia segera membiusnya. Kami buat sayatan
dalam dan tajam dengan cepat di garis tengah perutnya, mulai dari lengkung iga
sampai ke tulang kemaluannya. Kami pasang retraktor dan membuka perutnya. Dan ...
tak kami temukan apa pun.
Tak ada darah. Kandung kemih utuh. Rektum utuh. Tak ada peluru. Kami melirik
sekilas ke tetesan urin yang keluar dari slang kateter. Sekarang tampak normal,
kuning jernih. Bahkan tak ada lagi setitik darah pun. Kami bawa alat sinar-X ke
ruang bedah dan kami ambil foto panggul, perut, dan dadanya. Tak ada peluru pada
ketiga foto itu. Ini benarbenar ajaib. Akhirnya, setelah hampir satu jam mencari
dengan sia-sia, kami putuskan menutup kembali luka bedah. Beberapa hari
kemudian, kami lakukan kembali pemeriksaan sinar-X pada perut. Kali ini tampak
peluru bersarang di perempat kanan atas perut pemuda itu. Kami tak dapat
menjelaskan apa pun tentang semua ini bagaimana caranya peluru satu sentimeter ?yang masuk dari bokong bersarang di bagian atas perut tanpa melukai apa pun,
mengapa peluru itu tak terlihat pada pemeriksaan sinar-X pertama, atau dari mana
datangnya darah yang kami lihat sebelumnya. Namun, karena kami telah melakukan
sesuatu yang sebenarnya lebih berbahaya daripada peluru itu sendiri, akhirnya
kami putuskan untuk membiarkan peluru itu tetap di perutnya. Seminggu kemudian,
ia pulang tanpa kurang suatu apa pun selain parut luka yang kami buat.
Aku sadar, ilmu kedokteran merupakan sesuatu yang aneh yang kadang merisaukan.
Taruhannya begitu tinggi, kewenangan yang diambil begitu besar. Kami cekoki
orang dengan obat, kami masukkan jarum dan slang ke tubuh mereka, kami kutak-
katik mereka secara fisik, biologis, dan kimiawi, kami buat mereka berbaring tak
sadar, lalu membukakan tubuhnya untuk dilihat semua orang. Kami lakukan semua
itu dengan keyakinan yang mantap tentang keterampilam kami sebagai profesional.
Tetapi, bila diamati lebih dekat cukup dekat untuk dapat melihat kesulitan,
?keraguan dan salah langkah, kegagalan maupun keberhasilan maka akan tampak
?betapa kacau, tak pasti, dan juga mencengangkannya ilmu kedokteran itu.
Yang masih mengejutkan bagiku adalah betapa sangat manusiawinya upaya itu.
Biasanya, bila kita ingat ilmu kedokteran dan manfaatnya yang menonjol, maka
yang terbayang adalah ilmunya dan betapa ilmu itu telah membantu kita memerangi
penyakit dan kesengsaraan: berbagai pemeriksaan, berbagai mesin sebagai alat
bantu, obat, dan beragam tindak pengobatan. Tanpa ragu lagi, semua itu adalah
inti dari hampir semua yang dicapai oleh dunia kedokteran, Sayangnya, jarang
sekali kita mempertanyakan bagaimana semuanya itu bisa terjadi. Bila batuk Anda
tak kunjung sembuh apa yang Anda lakukan" Anda tidak mencari ilmunya, tetapi
? mencari dokter. Seorang dokter yang kadang bisa mujur dan kadang bisa sial.
Seorang dokter dengan tawa yang aneh dan potongan rambut jelek. Seorang dokter
yang selalu tergesa, dan tentu saja, dengan kesenjangan antara pengetahuan dan
keterampilannya ia tetap mencoba belajar.
Belum lama berselang, seorang anak lelaki diterbangkan dengan helikopter ke RS
tempatku bekerja. Lee Tran,
demikian kami memanggilnya, bertubuh kecil dengan rambut seperti bulu landak,
baru lulus SD. Selama ini ia selalu sehat, tetapi sejak seminggu yang lalu
ibunya mengamati bahwa ia mengalami batuk kering yang berkepanjangan dan tampak
lebih lesu daripada biasanya. Ia tidak mau makan selama beberapa hari. Pikirnya,
anak itu terserang flu, tetapi malam itu Lee tibatiba sulit bernapas dan
menghampirinya dengan wajah pucat, gemetar, dan mengi. Di unit gawat darurat RS
setempat, dengan dugaan anak itu menderita asma, dokter memberinya pelega napas
yang diuapkan. Namun, pemeriksaan sinar-X kemudian memperlihatkan adanya massa
besar memenuhi bagian tengah dada Lee, Untuk mendapatkan gambaran yang lebih
tepat, dilakukan pemeriksaan payaran CT. Dalam gambar yang hitam-putih, tampak
massa sebesar bola sepak membungkus pembuluh utama ke jantung, mendorong jantung
ke satu sisi, dan menekan jalan napas. Tumor itu menjepit total saluran napas ke
paru kanan, sehingga tak adanya udara masuk membuat paru kanan menguncup dan
memberikan gambaran kuncup abu-abu pada payaran CT. Sebagai gantinya, ruang paru
kanan penuh dengan air akibat tumor itu. Selama ini Lee hanya hidup dari paru
kirinya, tetapi kini tumor itu pun hampir menekan seluruh jalan napas ke paru
kiri. Rumah sakit setempat tak punya sarana yang cukup untuk menolong Lee
sehingga Lee dikirim ke RS kami. Rumah sakit kami punya dokter spesialis dan
teknologi yang canggih, tetapi itu bukan berarti kami yakin tentang apa yang
harus dilakukan untuk dapat menolongnya.
Ketika sampai di unit perawatan intensif, bunyi napas Lee mencicit tinggi dan
keras sehingga terdengar oleh pasien yang jaraknya 3 tempat tidur dari
tempatnya. Buku mana pun akan menyatakan hal yang sama tentang kondisi Lee: jiwanya terancam.
Membaringkannya saja sudah membuat tumor itu menutup jalan napas yang tersisa.
Begitu juga memberinya sedatif atau pembiusan. Jadi, tak mungkin dilakukan
pembedahan untuk mengangkat tumor itu. Namun, kemoterapi selama kurun beberapa
hari kadang memang dapat memperkecil tumor. Pertanyaannya, apakah anak itu masih
dapat bertahan" Bertahan sampai pagi sekalipun masih belum jelas.
Saat itu ada dua perawat, seorang ahli anestesia, seorang dokter bedah anak
yunior, dan tiga residen, termasuk diriku. Ahli bedah anak senior bisa dihubungi
melalui telepon genggam dan dalam perjalanan menuju RS, sementara seorang
onkologis (dokter ahli kanker) sudah dipanggil lewat penyeranta. Seorang perawat
menata bantal Lee supaya ia berbaring tegak, yang lain memasang sungkup oksigen
dan sejumlah kabel monitor untuk memantau fungsi vitalnya. Wajah Lee tampak
cemas dengan mata terbelalak, dan napasnya dua kali lebih cepat. Keluarganya
masih belum sampai karena menempuh jalan darat, tetapi ia tetap berani.
Kenyataannya keberanian anakanak memang sering di luar dugaan kita.
Firasat pertamaku mengatakan bahwa ahli anestesia harus segera memasang pipa
napas agar Lee dapat terus bernapas, tetapi ahli itu menganggap tindakan itu
sulit dilakukan. Ia harus memasangkannya tanpa obat bius dalam posisi anak yang
duduk tegak, padahal tumor itu cukup besar mengelilingi bagian yang panjang dari
saluran napas. Ia tidak yakin dapat menyorongkan pipa tersebut melewati bagian
yang sempit itu. Dokter bedah yunior mengusulkan saran lain: bila kateter dipasang pada dada
kanan Lee dan mengalirkan
cairan yang memenuhi rongga dada itu, maka tumor akan bergeser menjauhi paru
kiri. Tetapi, melalui telepon, ahli bedah senior menyatakan kekhawatirannya
bahwa tindakan itu juga dapat memperburuk keadaan. Kemungkinannya sama besar.
Namun, tak ada yang punya jalan keluar lain, maka ia pun akhirnya memutuskan
untuk menerima saran yuniornya itu.
Kujelaskan kepada Lee tentang apa yang akan kami lakukan, dengan cara yang
sesederhana mungkin. Aku tak yakin ia mengerti, tetapi itu tak penting. Setelah
semua siap, dua orang di antara kami memegang Lee kuat-kuat, seorang lainnya
menyuntikkan anestetik lokal ke sela iganya, kemudian membuat sayatan dalam dan
mendorong masuk kateter karet sepanjang empat puluh sentimeter ke dalam lubang
sayatan itu. Cairan berdarah mengalir dari pipa karet itu sekitar satu liter,
dan untuk sejenak aku begitu khawatir bahwa kami telah melakukan sesuatu yang
buruk. Nyatanya, setelah selesai, kami telah melakukan sesuatu yang lebih baik
daripada yang kami duga. Tumor itu bergeser ke kanan dan jalan napas ke kedua
parunya terbuka. Lee langsung bernapas lebih mudah dan tenang. Setelah
mengamatinya beberapa menit, kami pun bernapas lega,
Di kemudian hari, aku masih bertanya-tanya tentang pilihan kami yang lebih
merupakan upaya coba-coba itu. Katakanlah ibarat membeli kucing dalam karung.
Tak ada dukungan perencanaan seandainya sesuatu yang buruk terjadi. Dan ketika
kemudian di perpustakaan aku membaca sebuah laporan kasus yang mirip, ternyata
ada pilihan tindakan lainnya. Ternyata tindakan yang paling aman adalah memasang
pompa pintas jantung-paru seperti yang digunakan pada pembedahan jantung, atau
setidaknya mempersiapkan alat itu sebelum melakukan tindak pertolongan. Walaupun
demikian, ketika kusampaikan apa yang kubaca itu kepada para sejawat yang lain,
tak seorang pun merasa menyesal dengan tindakan kami. Lee tertolong, itu yang
terpenting. Sekarang ia menjalani kemoterapi. Hasil pemeriksaan cairannya
memperlihatkan bahwa tumor itu suatu limfoma. Menurut onkologisnya, kemungkinan
Lee sembuh total lebih dari 70 persen.
Itulah saatsaat ketika ilmu kedokteran memang berguna. Dan pada saatsaat seperti
itulah buku ini bercerita yaitu ketika kita dapat melihat dan mulai berpikir ?tentang sesuatu yang memang seharusnya terjadi. Kita memandang ilmu kedokteran
sebagai pengetahuan dan upaya (tindakan) yang bertatanan. Nyatanya tidaklah
demikian. Ilmu kedokteran adalah suatu ilmu yang tak sempurna, berisi
pengetahuan yang senantiasa berubah, informasi yang tak pasti, dengan orang-
orang yang sangat mudah berbuat salah, yang bekerja bersama. Memang ada ilmu di
belakang apa yang kami kerjakan, tetapi di sana juga ada kebiasaan, naluri,
tetapi kadang juga ada coba-coba. Selalu saja ada kesenjangan antara apa yang
kami ketahui dan apa yang ingin kami capai. Kesenjangan inilah yang mempersulit
semua tindakan kami. Aku seorang residen bedah, hampir menyelesaikan delapan tahun pendidikan bedah
umum, dan buku ini lahir dari saratnya pengalaman sebagai residen. Sebelumnya,
aku pernah menjadi ilmuwan di laboratorium, peneliti kesehatan masyarakat,
mahasiswa filsafat dan etika, dan penasihat bagi penyusun kebijakan kesehatan.
Aku juga anak lelaki dari orang tua yang dua-duanya dokter,
seorang suami, dan seorang ayah. Aku berusaha untuk memperkaya tulisan ini
dengan berbagai sudut pandang itu. Tetapi, yang paling utama, buku ini lahir
dari apa yang kuhadapi dan apa yang kusaksikan dalam keseharianku sebagai
dokter. Seorang residen memiliki kelebihan tersendiri. Ia berada di dalam
pelayanan kedokteran, melihat segala sesuatunya, merupakan bagian dari semuanya
itu, tetapi sekaligus selalu melihatnya dengan kacamata baru.
Mungkin, sudah fitrahnya ilmu bedah untuk mengatasi ketaktentuan dan dilema
dalam kedokteran. Ilmu bedah memang sudah mengalami kemajuan teknologi tertinggi
dalam dunia kedokteran, tetapi dokter bedah yang paling baik adalah yang masih
menyadari keterbatasan ilmu maupun keterampilan manusia. Begitu pun, mereka
harus mampu memutuskan untuk bertindak.
Judul buku ini, Komplikasi, bukan hanya menggambarkan hasil yang sering di luar
dugaan dalam kedokteran, tetapi lebih mendasar lagi, berasal dari kesadaranku
tentang besarnya ketaktentuan dan dilema yang terdapat dalam tindakan
kedokteran. Buku ini menggambarkan kedokteran yang tidak dapat ditemukan
penjelasannya dalam buku ajar, tetapi yang kadang merupakan teka teki, kadang
merisaukan, kadang memukau selama karierku sebagai dokter bedah. Buku ini
terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama antara lain menggambarkan betapa dokter
mudah sekali berbuat salah, mempertanyakan bagaimana kesalahan itu bisa terjadi,
bagaimana seorang dokter pemula belajar memegang pisau bedah, bagaimana syarat
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang dokter yang baik, bagaimanaia bisa berubah menjadi dokter yang buruk.
Bagian kedua berfokus pada misteri dan yang tak terungkap dalam kedokteran
dan perjuangan menghadapinya; di antaranya cerita tentang seorang arsitek dengan
sakit pinggang yang melumpuhkan tetapi tidak dapat dijelaskan secara fisik,
tentang perempuan muda dengan mual-mual berat yang tak kunjung sembuh, tentang
penyiar televisi yang wajahnya memerah hebat tanpa sebab jelas sehingga ia tak
dapat lagi menjalankan tugasnya. Bagian ketiga dan yang terakhir membahas
ketaktentuan itu sendiri. Yang tampaknya paling menarik dan penting bukanlah
pada seberapa banyak yang kita ketahui dalam dunia kedokteran, tetapi pada
seberapa banyak yang tidak diketahui dan bagaimana kita dapat menyiasati
ketidaktahuan itu secara lebih bijak.
Di seluruh buku, aku tidak saja menggambarkan gagasannya, tetapi orang-orang
yang terlibat di dalamnya pasien maupun dokter. Pada akhirnya, kedokteran dalam?praktik sehari-harinyalah yang paling menarik buatku apa yang terjadi ketika
?kesederhanaan ilmu harus berhadapan dengan rumitnya kehidupan eseorang. Walaupun
berkembang sejalan dengan kehidupan odern, tetap saja banyak yang tersembunyi
dan sering disalah artikan alam dunia kedokteran. Kita memandangnya lebih
empurna daripada kenyataannya dan sekaligus melihatnya tidak ehebat yang
diharapkan.>< Bagian i -Kekhilafian Sayatan Pertama Pasien itu memerlukan infus pada vena sentral. "Ini kesempatanmu," kata S,
residen kepala. Aku belum pernah mengerjakannya. "Siapkan segala sesuatunya,
lalu panggil aku bila kau sudah siap untuk mengerjakannya."
Ini adalah minggu keempatku dalam pendidikan spesialis bedah. Kantung jas
putihku penuh berisi macam-macam barang: status pasien, kartu berisi tata kerja
pemasangan PJP dan penggunaan sistem pendiktean, dua buku pintar tentang bedah,
stetoskop, gulungan perban, kupon makan, senter kecil, gunting, dan uang receh.
Saat menaiki tangga ke ruang pasien, langkahku menimbulkan suara berisik dari
saku jas putihku. Pasti bisa, aku meyakinkan diriku: ini tindak bedah pertamaku. Pasienku
itu usia lima puluhan, tegap, pendiam berada pada masa pemulihan setelah
? ?pembedahan perut minggu yang lalu. Ususnya belum berfungsi sehingga ia belum
bisa makan. Kujelaskan padanya bahwa ia membutuhkan makanan yang akan dipasok
melalui vena, dan untuk itu diperlukan "saluran khusus" yang masuk ke dadanya.
Kukatakan bahwa slang itu akan kupasangkan sementara ia berbaring telentang di
tempat tidurnya. Aku akan membius sebidang kulit di dadanya dengan anestetik lokal, lalu slang akan
ditusukkan di situ. Aku tidak menyebutkan bahwa slang itu panjangnya 20 cm dan
akan dimasukkan ke vena kava, pembuluh utama yang masuk ke jantung. Aku juga
tidak mengatakan bahwa itu merupakan tindakan yang sulit. Ada sedikit "risiko"
pada prosedur itu, kataku, misalnya perdarahan atau paru menguncup. Di tangan
yang berpengalaman, masalah seperti itu jarang sekali terjadi, tidak sampai satu
dari 100 pasien. Tetapi, tentu saja, tanganku belum berpengalaman. Dan berbagai bencana yang
pernah terjadi bermunculan dalam benakku: seorang perempuan yang meninggal
setelah perdarahan berat akibat vena kava yang robek oleh seorang residen;
seorang lelaki yang terpaksa dibuka dadanya karena jarum penusuknya lepas di
dalam dan mengalir ke jantung ketika seorang residen melakukannya; seorang
lelaki yang mengalami henti jantung karena tindakan itu menyebabkan fibrilasi
ventrikel. Ketika aku minta persetujuannya untuk memasangkan infus itu, aku
yakinkan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. "Baik," katanya, dan aku pun
dapat melakukannya. Aku pernah dua kali melihat S memasang infus sentral, salah satunya kemarin, dan
kuperhatikan setiap langkah tindakan itu. Kuperhatikan bagaimana ia
mempersiapkan instrumen, membaringkan pasiennya, dan menaruh gulungan handuk di
antara kedua belikat pasien agar dadanya membusung. Kuperhatikan bagaimana ia
menyapukan antiseptik pada dada pasien, menyuntikkan lidokain, suatu anestetik
lokal, dan kemudian, dalam gaun bedah steril, ia menusuk dada pasien itu di
dekat tulang selangkanya dengan jarum besar sepanjang tujuh setengah sentimeter
yang terpasang pada alat suntik (spuit). Pasien itu sama
sekali tidak tampak kesakitan. S mengajariku cara menusuk agar tidak menusuk
paru ("Tusuk dengan jarum hampir tegak; persis di bawah selangka"), dan cara
mencari vena subklavia, yaitu cabang vena kava yang berada di atas paru dekat
puncaknya ("Tusuk dengan jarum hampir tegak; persis di bawah selangka.") Ia
mendorong jarum hampir sampai ke pangkalnya, kemudian menarik piston spuit, dan
tampak spuit terisi darah berwarna merah tua. Ia berhasil. ("Bila darahnya merah
terang, berarti kau menusuk arteri," katanya, "dan itu salah.")
Setelah ujung jarum menembus dinding vena, perbesar lubangnya, masukkan
kateternya, lalu dorong dengan arah yang benar ke bawah menuju jantung, dan ?bukan ke atas masuk ke otak tanpa mengoyak pembuluh, paru, atau apa pun. Untuk
?melakukan itu, jelasnya lagi, kau mulai dengan menempatkan kawat pemandu dengan
benar. Ia melepas spuit dan membiarkan jarum tetap di tempatnya. Darah menetes
keluar. Ia mengambil slang kawat dua puluh gauge yang panjangnya 60 cm dan mirip
dengan senar logam D pada gitar listrik, dan memasukkan hampir seluruh
panjangnya ke dalam vena kava melalui saluran jarum. "Jangan mendorong dengan
paksa," katanya memperingatkan, "dan jangan pernah melepaskannya." Tibatiba
bunyi panjang tanda cepatnya denyut jantung terdengar dari alat monitor jantung,
dan ia segera menarik kembali kawat sepanjang dua setengah sentimeter. Ternyata
ujungnya tadi masuk ke jantung dan menyebabkan fibrilasi sesaat. "Tampaknya kita
berhasil," bisiknya padaku. Dan kepada pasien: "Bagus Pak, hampir selesai,
tinggal beberapa menit lagi," Ia menarik jarum dan melepaskannya dari slang,
lalu menggantinya dengan dilator yang terbuat dari plastik kaku mirip peluru,
yang didorongnya masuk untuk memperbesar diameter vena. Kemudian, ia mengeluarkan
kembali dilator dan mendorong pipa infus sentral suatu slang plastik yang
?lentur, berwarna kuning setebal mie melalui slang kawat sampai masuk
?seluruhnya. Sekarang slang kawat bisa dicabut. Ia membilas pipa infus dengan
larutan heparin dan menjahitkannya ke dinding dada. Selesailah sudah.
Aku telah melihat seluruh prosedur itu sampai selesai. Sekarang giliranku untuk
mencobanya. Aku mulai mempersiapkan peralatan kit infus sentral, sarung tangan,
?gaun bedah, tutup kepala, masker, lidokain itu saja rasanya lama sekali. Ketika
?akhirnya semua sudah kusiapkan, aku berhenti di luar pintu kamar pasienku,
berdiri dan menatapnya, berusaha mengingat setiap langkah. Tetap kabur rasanya.
Tetapi, aku tak bisa berlama-lama. Banyak hal lain yang harus kuselesaikan: Ny.
A harus dipulangkan; Tuan B harus dijadwalkan untuk USG perut; Ny. C harus
diangkat stapel kulitnya... Dan hampir setiap lima belas menit penyerantaku
menyampaikan berbagai tugas Tn. X mual-mual dan minta ditengok; keluarga Nn. Y
?datang dan ingin bicara dengan dokter; Tn. Z perlu diberi pencahar. Aku menarik
napas panjang, memasang wajah penuh percaya diri, dan masuk ke kamar pasien
untuk memasang infus sentral.
Kuletakkan peralatan di meja samping tempat tidur, melepas ikatan gaun pasien di
belakang lehernya, dan membaringkannya kembali tanpa bantal dengan dada terbuka
dan lengannya di samping badan. Kukenakan lampu kepala dan kunaikkan tempat
tidur pasien sampai tinggi yang sesuai. Melalui penyeranta, kuminta S datang.
Kupakai gaun bedah dan sarung tangan, dan pada baki steril kuletakkan kit slang
infus sentral, kawat pemandu,
dan semua barang lain dari kit itu, seperti yang dikerjakan oleh S. Kusedot S ml
lidokain ke dalam spuit, kucelupkan dua batang kapas ke larutan antiseptik
Betadin berwarna kuning-coklat, dan kubuka kemasan benang. Semua siap.
S tiba. "Berapa nilai trombositnya?" Perutku langsung terasa mulas. Aku belum
memeriksanya. Gawat: bila terlalu rendah, tindakan ini dapat menyebabkan
perdarahan serius. S memeriksa komputer dan untunglah nilainya normal.
Dengan rasa bersalah aku mulai menyapukan antiseptik ke dada pasien. "Sudah
dipasang gulungan handuk di bawahnya?" tanya S. Oh, aku lupa juga yang satu ini.
Pasien itu melirik padaku. Tanpa bicara, S mengambil handuk, menggulungnya, dan
menyorongkannya di bawah punggung pasien. Setelah selesai menyapukan antiseptik,
kututup tubuh pasien sehingga hanya dada atasnya yang terbuka. Ia menggeliat
sedikit di bawah kain penutup. Kini S mengamati baki peralatanku. Aku
mempersiapkan diri. "Mana spuit lain untuk membilas slang setelah masuk?" Ya ampun! S keluar dan
mengambilnya. Aku meraba dada pasien untuk mencari tempat yang pas. Di sini" Aku bertanya
dengan pandangan agar tidak semakin mengurangi keyakinan pasienku. S mengangguk.
Kubius titik itu dengan lidokain. ("Bapak akan merasakan tusukan, kemudian
sedikit mati rasa, Pak.") Selanjutnya, kuambil jarum tujuh sentimeter,
menusukkannya ke kulit, lalu kudorong lebih dalam perlahan-lahan dan tak pasti,
sedikit demi sedikit, khawatir tibatiba terjadi sesuatu yang buruk. Jarum
brengsek ini besar sekali, pikirku. Rasanya seperti mimpi: aku menusukkannya ke
dada seseorang. Aku berkonsentrasi untuk menjaga agar jarum tetap masuk dengan
arah yang tepat, tetapi tetap saja
jarum itu menusuk tulang selangka, bukannya menyusup di bawahnya.
"Auw!" pasien itu berteriak. "Maaf," kataku. S memberi aba-aba dengan gerakan
tangannya agar aku menusukkan di bawah selangka. Kali ini aku berhasil. Aku
menarik piston spuit, tetapi tak ada yang tersedot. S menyuruh untuk menusuk
lebih dalam, dan aku menusuk lebih dalam. Belum juga mencapai vena. Kucabut
jarum itu, membersihkan ujungnya dari jaringan yang menyumbat, lalu mencoba
sekali lagi. "Auw!"
Terlalu dangkal lagi. Akhirnya jarum masuk di bawah selangka, tetapi spuit tetap
kosong ketika pistonnya kutarik. Pasien ini terlalu gemuk, pikirku, S memasang
sarung tangan dan gaun bedah. "Coba kulihat," katanya. Kuberikan jarum itu
kepadanya dan melangkah ke tepi. Ia menusukkan jarum, menarik piston spuit, dan
...dia berhasil. "Sebentar lagi kita selesai," katanya kepada pasien. Aku
benarbenar merasa bodoh. S membiarkan aku melanjutkan langkah berikutnya, yang kukerjakan dengan kikuk.
Aku baru menyadari betapa panjang dan lenturnya kawat pemandu itu ketika aku
menarik picunya dari kantungnya dan memasukkan satu ujung ke tubuh pasien,
hampir saja ujung yang lain menyentuh seprei yang tidak steril. Aku juga lupa
menggunakan dilator sehingga S mengingatkanku. Kemudian, ketika aku memasukkan
dilator itu, aku tidak mendorongnya cukup kuat sehingga kembali S yang
mendorongnya sampai masuk betul. Akhirnya, slang terpasang juga, lalu kami
membilasnya dan menjahitkannya pada kulit.
Di luar ruangan, S mengatakan agar lain kali aku lebih yakin dalam bertindak,
dan tidak perlu terlalu mencemaskan apa yang akan terjadi. "Kau akan bisa
melakukannya," katanya, "hanya perlu latihan saja." Aku tak begitu yakin.
Pemasangan infus sentral itu masih tetap merupakan misteri bagiku. Dan ingatan
bahwa aku menancapkan jarum begitu dalam dan tanpa panduan pada dada seseorang
selalu mengganggu pikiranku. Aku menunggu hasil pemeriksaan sinar-X dengan was-
was. Tapi, semuanya berakhir baik: aku tidak melukai paru-paru orang itu dan
slang infus terpasang dengan baik pada tempatnya.
Tak semua orang menyukai daya tarik ilmu bedah. Seorang mahasiswa kedokteran
yang masuk kamar bedah untuk pertama kalinya dan melihat dokter bedah menorehkan
pisau bedahnya pada seseorang lalu membuka tubuh orang itu layaknya mengupas
buah, mungkin akan bergidik atau akan ternganga dengan takjub. Aku termasuk yang
merasa takjub. Bukan darah atau usus yang memukauku, tetapi kenyataan bahwa ada
orang yang begitu percaya diri menggunakan pisau bedah dengan terampil.
Ada pemeo tentang seorang ahli bedah yang dimaksudkan sebagai kritik tajam:
"kadang berbuat salah; tidak pernah ragu." Tapi, di mataku, itulah kekuatan
mereka. Setiap hari dokter bedah dihadapkan pada ketakpastian. Informasi tidak
lengkap; ilmunya mendua; pengetahuan dan kemampuan seseorang tak pernah
sempurna. Bahkan pada pembedahan sederhana sekalipun tak ada jaminan bahwa
pasien akan jadi lebih baik, atau bahkan akan tetap hidup. Ketika berdiri di
samping meja operasi untuk pertama kalinya, aku bertanya dalam hati: bagaimana
seorang dokter bedah bisa tahu bahwa ia akan
dapat menolong pasiennya, bahwa setiap langkah akan berlangsung sesuai dengan
rencana, bahwa tidak akan terjadi perdarahan, bahwa tak akan terjadi infeksi,
dan bahwa ia tak akan melukai organ lain. Dia tak tahu, tentu saja, tetapi tetap
melakukannya. Kemudian, masih ketika mahasiswa, aku diizinkan melakukan insisi (penyayatan)
sendiri. Dokter bedah yang membimbingku menggambar garis putus-putus pada perut
pasien yang dalam keadaan terbius, kemudian tanpa kuduga ia menyuruh perawat
memberikan pisau bedah kepadaku. Aku ingat, pisau itu masih hangat, baru keluar
dari autoklaf. Dokter itu menuntun tanganku yang kosong untuk meregangkan kulit
dengan kuat di antara jempol dan telunjuk. Ia menyuruhku membuat sayatan mulus
sampai ke lapisan lemak. Kusentuhkan bilah pisau bedah itu pada kulit pasien,
lalu kubuat sayatan. Apa yang kurasakan agak ganjil dan menimbulkan ketagihan,
campuran antara perasaan penuh gairah karena melakukan tindakan kekerasan yang
sudah diperhitungkan, khawatir salah melakukannya, keyakinan bahwa ini toh untuk
kebaikan orang ini. Ada juga sedikit rasa mual ketika ternyata aku harus
menyayat lebih kuat dari yang kubayangkan. (Kulit ternyata tebal dan kenyal, dan
sayatan pertamaku kurang dalam; aku harus menyayatnya sekali lagi untuk sampai
ke lapisan lemak.) Detik-detik itu membuatku ingin menjadi dokter bedah, bukan
amatiran yang diserahi pisau bedah sejenak, tetapi seseorang yang penuh percaya
diri seolah itu pekerjaan rutinnya.
Namun, seorang residen tentu mulai tanpa kemahiran itu. Bahkan, naluri untuk
menolak perbuatan menusuk dada seseorang atau melukainya dengan pisau, lebih
menonjol. Pada hari pertamaku sebagai residen bedah,
aku bertugas di ruang gawat darurat. Salah seorang pasienku adalah seorang
wanita kurus berambut hitam usia menjelang 30, yang terpincangpincang masuk
dengan wajah menahan sakit hebat. Potongan kaki kursi sepanjang tiga perempat
meter tampak terpaku ke telapak kakinya. Ia menjelaskan bahwa kursi dapurnya
ambruk ketika ia akan duduk dan kaki kursi itu mencuat keluar. Dalam upaya untuk
tidak jatuh, tanpa sengaja ia menginjak sekrup sepanjang tujuh sentimeter yang
menonjol dari kaki kursi itu. Aku berusaha keras agar tidak tampak seperti
seorang yang baru lulus minggu yang lalu dan bergaya seperti seorang yang tenang
yang sudah banyak makan asam garam, dan biasa menghadapi keadaan seperti itu.
Kuperiksa kakinya dan tampak bahwa sekrup itu tertancap pada tulang di dasar
jempolnya. Tak ada perdarahan dan, sejauh yang teraba olehku, tak ada tulang
yang patah. "Wow, pasti sakit sekali" kataku seperti orang bodoh.
Yang jelas harus dilakukan adalah memberinya suntikan antitetanus dan sekrup itu
harus dicabut. Aku segera minta suntikan antitetanus, tetapi mulai ragu untuk
mencabut sekrup itu. Bagaimana kalau berdarah" Atau bagaimana kalau aku malah
mematahkan tulangnya" Atau terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi" Aku keluar dan
berusaha mencari Dr. W, konsulen bedah yang sedang bertugas. Kudapati ia sedang
menangani korban kecelakaan mobil. Keadaan pasiennya parah, orang-orang
berteriak-teriak, darah tercecer di mana-mana. Bukan waktu yang tepat untuk
bertanya. Aku minta dilakukan pemeriksaan sinar-X. Dengan begitu, aku dapat mengulur waktu
dan dapat memastikan pendapatku yang amatiran bahwa tak ada tulang yang
patah. Sudah jelas, dibutuhkan waktu satu jam untuk memperoleh foto sinar-X itu
dan memang tak ada patah tulang. Hanya sekrup biasa yang tertancap, kata ahli
radiologi, "di ujung metatarsal pertama," Kuperlihatkan foto sinar-X itu kepada
si pasien. "Lihat, sekrup itu tertancap di ujung metatarsal pertama," kataku.
Lalu, harus diapakan" Ia bertanya. Ah ya, apa tindakan selanjutnya.
Kucari lagi Dr. W, yang ternyata masih sibuk dengan pasien tadi, tetapi aku
dapat menyela memperlihatkan foto sinar-X itu kepadanya. Ia tertawa melihatnya
dan menanyakan apa rencanaku, "Mencabut sekrup itu?" jawabku waswas. "Ya,"
jawabnya dengan tak sabar. Ia memastikan apakah aku sudah memberikan
antitetanus, kemudian menepis, menyuruhku pergi.
Aku kembali kepada pasienku dan mengatakan bahwa aku akan mencabut sekrup itu,
sambil bersiap kalau-kalau ia akan menolak kutangani. Namun, "Baik Dokter,"
jawabnya, dan itulah saatnya aku harus mulai bekerja. Pertama kuminta ia duduk
di meja periksa dengan kaki menggantung, tetapi tampaknya posisi ini kurang
cocok. Akhirnya, kuminta ia berbaring dengan kaki menjorok dari ujung meja
periksa sehingga kaki kursi itu menganjur bebas di udara. Setiap gerakan
membuatnya lebih kesakitan. Kusuntikkan obat bius lokal ke sekitar tempat
menancapnya sekrup, dan sakitnya agak berkurang. Kemudian, kupegang kakinya
dengan satu tangan dan kaki kursi denganb tangan yang lain. Untuk sesaat aku
terpaku. Bisakah aku melakukannya"
Apakah aku harus melakukannya" Siapakah aku ini sampai begitu berani
melakukannya" Akhirnya, kuputuskan untuk mulai. Kuajak dia berhitung satu-dua-tiga, lalu aku
menarik sekrup itu, mula-mula dengan hatihati, lalu lebih keras. Ia mengerang.
Sekrup itu tak bergerak. Kupuntir, dan tibatiba sekrup itu terlepas, tanpa
berdarah. Kubersihkan lukanya sebagaimana membersihkan luka tusuk yang diajarkan
dalam buku. Perempuan itu dapat berjalan walau dengan kaki sakit. Kuingatkan
tentang kemungkinan terjadi infeksi dan kuberi tahu tanda-tandanya. Rasa terima
kasihnya begitu besar sampai-sampai aku merasa tersanjung. Malam itu aku pulang
dengan hati berbunga-bunga,
Dalam ilmu bedah, seperti halnya di bidang lain, keterampilan dan rasa percaya
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri dibangun melalui pengalaman yang penuh keraguan maupun yang memalukan. ?Ibarat pemain tenis atau pengendara mobil, orang harus berlatih sampai terampil.
Tetapi, ada yang berbeda di kedokteran: orang berlatih dengan manusia!
Percobaanku yang kedua untuk memasang infus sentral tidak lebih baik dari yang
pertama. Pasien itu di ruang rawat intensif, sekarat, bernapas dengan alat bantu
napas, dan memerlukan infus sentral agar obat jantungnya dapat dimasukkan
langsung sampai ke jantung. Pasien ini dibuat tidur dalam, dan ini sangat
memudahkan bagiku. Ia tidak akan melihat betapa kikuknya aku.
Persiapanku kali ini lebih baik. Gulungan handuk sudah siap di tempat dan spuit
berisi heparin pun telah tersedia di baki. Kuperiksa hasil pemeriksaan
laboratoriumnya, semua baik. Aku juga ingat untuk membentangkan kain penutup
lebih luas agar bila aku menjatuhkan kawat pemandu lagi, barang itu tak akan
menyentuh sesuatu yang tak steril.
Dengan persiapan demikian, tindakannya sendiri berlangsung begitu konyol. Aku
menusukkan jarum terlalu dangkal, lalu terlalu dalam. Rasa frustrasiku membuat keraguanku lenyap dan aku
mencoba menusukkan jarum itu beberapa kali. Tak satu pun yang berhasil.
Kemudian, untuk sesaat, kulihat darah di dalam spuit, dan ini menunjukkan bahwa
aku telah mencapai vena. Dengan satu tangan, jarum kupancang di tempatnya dan
dengan tangan lainnya kucabut spuit. Tetapi, spuit itu tertancap sangat kuat
sehingga ketika ditarik, jarumnya ikut tercabut dari vena. Darah mulai keluar
mengalir di dadanya. Kutekan bekas tusukan itu sekuat-kuatnya selama lima menit,
tetapi tetap saja dada pasien itu berubah menjadi biru hitam di sekitar tempat
tusukan. Tidak mungkin lagi memasang infus di tempat hematom begitu. Rasanya aku
mau menyerah, tetapi pasien ini membutuhkannya, dan residen yang
mengawasiku kali ini residen tahun kedua yakin bahwa apa yang kulakukan sudah ? ?baik. Setelah memastikan dengan sinar-X bahwa paru-parunya tidak cedera, ia
menyuruhku mengulang tindakan itu di sisi lain dengan perangkat alat baru.
Tetapi, aku gagal lagi dan akhirnya ia mengambil-alih kerja itu. Ia sendiri
memerlukan beberapa menit dan dua atau tiga kali tusuk untuk menemukan vena, dan
itu membuatku sedikit lega. Mungkin pasien ini memang kasus yang sulit.
Ketika beberapa hari kemudian aku gagal untuk ketiga kalinya, aku mulai
dirundung keraguan. Kembali, kutusuk, tusuk, dan tusuk lagi, tetapi tak
kutemukan vena itu. Akhirnya, aku mengalah. Residen itu akhirnya menyaksikan aku
berhasil pada percobaan berikutnya.
Sebagai kelompok, para dokter bedah ini termasuk penganut egalitarianisme (semua
sama). Mereka percaya pada latihan, bukan pada bakat. Orang sering beranggapan bahwa kita harus
bertangan dingin untuk menjadi ahli bedah, tapi anggapan itu tidak benar. Ketika
menjalani wawancara untuk mengikuti program ilmu bedah, tak ada yang memintaku
menjahit atau menguji keterampilan tanganku atau memeriksa apakah tanganku cukup
kokoh. Bahkan dengan jari tangan tidak lengkap pun kita bisa masuk program itu.
Tentu saja, bakat akan sangat membantu. Para profesor itu mengatakan bahwa
sekali dalam dua atau tiga tahun ada peserta program yang memang berbakat dia
?menguasai prosedur bedah yang rumit dalam waktu yang luar biasa singkat,
memahami perkara bedah secara menyeluruh, dapat melihat masalah sebelum masalah
itu muncul. Walaupun demikian, para ahli bedah itu mengatakan bahwa yang mereka
cari adalah orang yang punya hati nurani, rajin, dan cukup gigih untuk mau
berlatih mengerjakan perkara sulit ini siang malam selama bertahuntahun. Seorang
profesor mengatakan padaku, bila ia disuruh memilih antara menjadi PhD di bidang
genetika dan menjadi pemahat berbakat, ia akan selalu memilih PhD. Tentu saja
seorang pemahat secara fisik lebih berbakat, tetapi dia percaya bahwa seorang
PhD juga tidak bisa dikatakan "tidak teliti." Dan pada akhirnya, itulah yang
lebih penting. Para ahli bedah percaya bahwa keterampilan dapat diajarkan,
sedangkan kegigihan tidak. Ini memang cara merekrut yang aneh, tetapi begitulah
yang selalu terjadi di departemen bedah yang paling bergengsi sekalipun. Mereka
menerima para calon tanpa pengalaman bedah, melatihnya selama bertahuntahun,
kemudian menjadikan mereka bagian dari timnya.
Dan cara itu berhasil. Banyak penelitian telah dilakukan pada berbagai kelompok
elit yang tampil unggul pemain biola internasional, juara catur dunia,
?peselancar es profesional, ahli matematika, dan lain sebagainya dan yang
?ditemukan oleh para peneliti itu adalah perbedaan utama antara mereka yang
tampil unggul dan kelompok yang tidak tampil unggul adalah banyaknya latihan
yang dilakukan oleh kelompok pertama. Memang, bakat yang terpenting mungkin
adalah bakat untuk berlatih itu sendiri. K. Anders Ericsson, seorang psikolog
kognitif dan pakar perkara penampilan, mengemukakan bahwa yang terpenting adalah
tekad seseorang untuk mengikuti pendidikan yang lama, dan itu sangat ditentukan
oleh faktor alami. Ia menemukan, misalnya, para unggulan itu juga tidak suka
berlatih seperti halnya kelompok yang kurang unggul. (Itu sebabnya atlet dan
musisi, misalnya, berhenti berlatih ketika pensiun.) Tetapi, yang lebih utama
adalah mereka punya tekad untuk bertahan.
Aku tak yakin punya tekad itu. Aku bertanya dalam hati, apa gunanya tetap
mengerjakan pemasangan infus sentral padahal aku nyaris tidak pernah bisa
memasangnya" Bila aku tahu pasti di mana letak kesalahanku, mungkin aku akan
memusatkan perhatianku ke situ. Tapi, aku justru tidak tahu. Tentu saja semua
orang bisa memberi saran apa saja. Tusuk dengan jarum mengarah ke atas. Salah,
tusuk dengan jarum mengarah ke bawah. Taruh penahan di pertengahan jarum.
Jangan, lengkungkan jarumnya. Untuk sementara, aku mencoba menghindari
pemasangan infus. Tetapi, bagaimana pun, tak lama kemudian muncul kasus baru.
Suasananya ketika itu terasa mencekam. Sudah larut malam dan aku tidak tidur
semalaman sebelumnya. Pasien itu bukan main gemuknya, 150 kg lebih. Ia tidak
dapat berbaring telentang karena berat dada dan perutnya membuat napasnya sesak.
Tetapi, ia membutuhkan infus sentral. Pria itu mengalami infeksi berat akibat
sebuah luka, sehingga membutuhkan antibiotik intravena, dan tak seorang pun
dapat menemukan vena di lengannya untuk menyuntikkan obat di vena perifer. Kecil
harapanku untuk dapat melakukannya. Tetapi, seorang residen harus mengerjakan
yang diperintahkan, dan akulah yang mendapat perintah itu.
Aku menuju kamar si pasien. Ia tampak ketakutan dan berkata bahwa ia tak dapat
berbaring telentang lebih dari satu menit. Tetapi, ia dapat mengerti situasinya
dan mau berusaha keras. Kami putuskan bersama bahwa ia harus duduk bersandar di
tempat tidur selama mungkin, lalu selanjutnya diputuskan nanti.
Kulakukan semua persiapan: memeriksa hasil laboratorium, meletakkan kit
peralatan, gulungan handuk, dan seterusnya. Kusapukan antiseptik dan kututup
dadanya sementara ia tetap duduk. Kali ini, S, residen kepala, mengawasiku, dan
ketika semuanya telah siap, kubiarkan S menopang punggung pasien, dan masker
oksigen dipasang. Lemak berlipat-lipat di dadanya seperti gelombang laut. Jariku
tak dapat meraba tulang selangkanya untuk dijadikan patokan dalam mencari titik
masuk, padahal pasien itu sudah tampak sesak napas dan wajahnya merah. Aku
memandang S seolah bertanya "Anda akan ambilalih?" Ia memberi isyarat agar aku
melanjutkan. Kukira-kira saja tempat yang akan kutusuk, membuatnya mati rasa
dengan lidokain, kemudian mendorong masuk jarum besar itu. Untuk beberapa detik
kupikir jarum itu tak cukup panjang, tetapi kemudian aku merasakan ujungnya
menyusup di bawah tulang selangka.
Kudorong sedikit lebih ke dalam dan kutarik piston spuit. Ajaib, tampak darah
mengisi spuit. Aku telah mencapai vena. Kupancang jarum di tempatnya dengan
sungguh-sungguh ketika menarik spuit dan memasukkan kawat pemandu ke dalam.
Kawat masuk dengan lancar. Pasien ini semakin sesak napas. Kami tegakkan
badannya sebentar agar ia dapat menghirup udara dengan leluasa. Kemudian, pada
posisi berbaring kembali, lubang kulebarkan dan slang infus kumasukkan. "Bagus
sekali," kata 5, kemudian dia pergi.
Aku tetap tidak tahu di mana letak perbedaan kerjaku hari itu. Tetapi, sejak itu
aku selalu berhasil memasang infus sentral. Berlatih memang mengherankan. Dari
hari ke hari kita berlatih mengerjakan satu demi satu pekerjaan itu, lalu suatu
kali akhirnya kita menguasai semuanya. Pembelajaran secara sadar akan berubah
menjadi refleks tanpa kita ketahui bagaimana perubahan itu terjadi.
Aku telah memasang infus sentral lebih dari seratus kali sekarang ini. Aku, tak
ayal lagi, tidak khilafi lagi. Tentu saja, sesekali terjadi kesalahan yang lebih
suka kami sebut sebagai "kecelakaan." Misalnya, aku menusuk paru-paru
pasien tak tanggung-tanggung, paru-paru kanan seorang dokter bedah dari rumah ?sakit lain dan, aku yakin yang demikian itu pasti akan terjadi lagi. Kadang
?masih terjadi suatu tindakan yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah,
tetapi aku gagal melakukannya. (Untuk peristiwa yang demikian kami punya gurauan
khusus: "Hey, bagaimana?" seorang sejawat bertanya. "Eror," jawabku, tak perlu
berpanjang-panjang.) Namun, ada juga saatsaat ketika semua berlangsung mulus. Tanpa berpikir, tanpa
konsentrasi, semua langkah
dilakukan begitu saja tanpa susah payah. Ambil jarum, tusuk dada itu, rasakan
bergeraknya jarum menyusup ringan di jaringan lemak, sedikit tertahan di
?ketebalan otot, kemudian terasa plong karena jarum menembus dinding vena dan
?jarum itu berhasil masuk vena. Pada saat yang demikian, yang dirasakan bukan
hanya lega, tetapi indah sekali.
Pendidikan bedah adalah pengulangan semua kejadian itu tindakan kikuk disusul ?keberhasilan, diikuti pengetahuan dan kadang disusul tindakan
mengagumkan begitu berkali-kali, semakin sulit tugasnya semakin besar risiko
?yang harus dihadapi. Pada awalnya, kita hanya mengerjakan hal-hal dasar:
bagaimana cara memasang sarung tangan atau gaun bedah, bagaimana membatasi
lapangan bedah (bagian tubuh yang akan dibedah), bagaimana memegang pisau,
bagaimana mengunci jahitan (termasuk bagaimana memerintahkan sesuatu,
menggunakan komputer, memesan obat). Tetapi kemudian menyusul tugas yang lebih
menyeramkan: bagaimana menyayat kulit, memegang alat pembakar pembuluh (solder),
membuka dada, mengikat pembuluh darah yang bocor, mengangkat tumor, menutup luka
bedah misalnya setelah pengangkatan kelenjar payudara. Setelah enam bulan
?berlalu, aku telah mengerjakan pemasangan infus, mengangkat usus buntu,
melakukan cangkok kulit, operasi hernia, dan operasi payudara. Pada akhir tahun
pertama, aku melakukan amputasi kaki, biopsi kelenjar limf, dan operasi wazir.
Pada akhir tahun kedua, aku melakukan trakeotomi, beberapa operasi usus kecil,
dan operasi kandung empedu secara laparoskopi.
Sekarang aku berada dalam tahun ketujuh pendidikanku. Baru sekaranglah melakukan
sayatan pada kulit tampak tak berarti bagiku, hanya awal dari sebuah kasus. Barulah setelah tubuh
pasien terbuka, perjuangannya dimulai, Hari-hari ini aku belajar cara
memperbaiki pembuluh aorta yang melembung, mengangkat kanker pankreas, membuang
sumbatan di pembuluh karotis. Ternyata, kusadari bahwa aku bukan orang yang
berbakat, tetapi bukan pula orang yang kikuk. Dengan berlatih dan berlatih terus
aku dapat melakukan itu semua.
Buat kami di dunia kedokteran, sulit untuk membicarakan ini dengan pasien.
Selalu ada beban mental karena kami harus berlatih pada manusia, tetapi semua
itu tak dapat diungkapkan. Sebelum operasi, aku menuju ke ruang prabedah dengan
sudah memakai setelan bedah, menemui pasienku, dan memperkenalkan diri. Ini
selalu kulakukan. "Halo, saya dr. Gawande. Saya salah seorang residen bedah dan
akan membantu dokter bedah Anda." Kira-kira hanya itulah yang kuucapkan, lalu
kuulurkan tangan dan tersenyum. Kutanyakan apakah segalanya lancar sejauh ini,
dan kami ngobrol sejenak. Kujawab pertanyaan pasien. Sesekali, tapi sangat
jarang, kudapati pasien terkejut. "Aku tak mau residen yang melakukannya!"
katanya. Aku berusaha meyakinkan. "Jangan khawatir, aku hanya membantu dokter
bedah," kataku. "Yang bertanggung jawab adalah dokter bedah yang bertugas,"
Tidak ada yang bohong dalam kata-kataku. Yang bertugas adalah yang bertanggung
jawab, dan seorang residen tidak akan pernah melupakan itu. Aku ingat operasi
yang kulakukan akhirakhir ini, yaitu mengangkat kanker dari usus besar seorang
wanita usia 75 tahun. Dokter bedah yang bertugas berdiri di seberangku sejak
awal. Dan dialah yang menetapkan, bukan aku, di mana
harus membuat sayatan, bagaimana memisahkan kankernya, dan seberapa banyak usus
yang harus diangkat. Tetapi, mengatakan bahwa aku hanya menolong memang sama juga dengan mengelabui.
Aku 'kan bukan sekadar sepasang tangan tambahan untuk dokter bedah. Kalau hanya
begitu tugasku, mengapa pula aku yang memegang pisau" Mengapa aku yang berdiri
di tempat operator" Mengapa meja operasi ditinggikan sesuai dengan tinggi
tubuhku" Memang aku berada disitu adalah untuk menolong, tetapi aku juga berdiri
di situ untuk berlatih. Ini jadi jelas ketika tiba saatnya untuk menyambungkan
kembali usus besar pasien itu. Ada dua cara untuk menyambungkan kembali kedua
ujung usus dengan jahitan atau dengan stapel. Memasang stapel lebih mudah dan
?cepat, tetapi si dokter bedah menyuruh aku menjahitnya, bukan karena itu lebih
baik buat pasien, tetapi karena aku baru mengerjakannya beberapa kali. Bila
penjahitan itu kulakukan dengan benar, hasilnya akan sama, tetapi untuk itu ia
harus mengawasi kerjaku dengan saksama. Aku menjahit perlahan dengan tusukan
yang tidak merata. Pernah ia melihat jahitanku terlalu jarang di suatu tempat,
dan menyuruhku membuat jahitan tambahan di bagian itu agar sambungan usus itu
tidak akan bocor. Di bagian lain, ia melihatku kurang dalam menusukkan jarum
jahit ke jaringan sehingga penutupan akan kurang kuat. "Putar pergelangan
tanganmu lebih jauh," katanya. "Begini?" tanyaku. "Ya, begitu," jawabnya.
Begitulah aku belajar. Dalam dunia kedokteran, konflik ini telah berlangsung lama: antara kewajiban
untuk memberikan layanan yang terbaik kepada pasien dan kebutuhan untuk mendidik
para pemula dengan memberikan mereka pengalaman. Program
residensi dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bahaya dengan cara supervisi
dan dengan pengalihan tanggung jawab secara bertahap. Dan sebenarnya pasien juga
memperoleh manfaat dari pembelajaran ini. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa rumah sakit pendidikan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan rumah sakit nonpendidikan. Residen memang belum profesional, tetapi
mereka sangat membantu dalam memeriksa pasien, dalam membuat para pengajar tetap
waspada dan siap karena pertanyaan yang mereka ajukan. Tentu tetap ada risiko
ketika beberapa kali para pemula itu mengerjakan pemasangan infus sentral,
mengangkat kanker payudara, atau menyambung kembali ujung usus besar. Betapa pun
pengawasan diberikan, tetap saja para pemula itu umumnya kurang terampil
dibandingkan dengan yang sudah berpengalaman.
Ini bukan mimpi buat kami. Ketika seorang dokter membawa anggota keluarganya
yang harus dioperasi, semua orang bertanya-tanya sampai seberapa jauh residen
boleh ikut dalam operasi. Dan walaupun dokter itu mempersilakan residen
terlibat, residen itu sadar betul bahwa ini bukan kasus untuk belajar. Dan bila
yang akan dikerjakan adalah pemasangan vena sentral, pasti tidak akan diserahkan
kepada yang belum pernah mengerjakannya. Sebaliknya, ruangan dan klinik yang
tanggung jawabnya dipegang oleh residen biasanya berisi orang yang tak mampu,
tidak dilindungi asuransi, pemabuk, atau orang-orang yang sarafnya terganggu.
Belakangan ini sedikit sekali kesempatan untuk residen melakukan operasi sendiri
tanpa didampingi ahli bedah, tetapi bila itu terjadi biasanya menjelang akhir ?pendidikan maka itu umumnya dilakukan pada pasien-pasien yang paling
?sederhana itu. Inilah kenyataan yang tidak enak tentang pengajaran. Menurut etika tradisional
dan ketentuan umum (jangan lagi disebut aturan peradilan), hak pasien untuk
mendapatkan layanan yang terbaik harus diutamakan di atas tujuan mendidik para
calon ahli. Kita menginginkan layanan yang sempurna tanpa latihan. Tetapi,
setiap orang akan menghadapi bahaya bila tak ada seorang pun dilatih untuk jadi
ahli di masa depan. Maka, pembelajaran berlangsung secara sembunyi-sembunyi, di
balik kain penutup steril di bawah pembiusan, dan dengan bahasa rahasia penuh
isyarat. Dilema ini bukan hanya berlaku pada residen, yaitu dokter yang sedang
belajar. Nyatanya, proses belajar berlangsung lebih lama dari yang diketahui
orang. Aku dan saudara perempuanku dibesarkan di sebuah kota kecil bernama Athens, di
Ohio, tempat kedua orang tua kami berpraktik sebagai dokter. Sudah sejak lama
ibuku memutuskan untuk berpraktik sebagai dokter anak paruh waktu, hanya tiga
kali per minggu, dan ini dimungkinkan karena praktik urologi ayahku begitu
sukses. Dua puluh lima tahun sebagai urolog yang sukses terlihat dari tempat
praktiknya: lemari arsip pasien sampai ke langit-langit, hadiah dipajang di
mana-mana (buku, lukisan, keramik bertulisan ayat Injil, pemberat kertas
bergambar lukisan tangan, ornamen gelas, kotak hias, patung kecil yang lucu).
Dalam kotak akrilik di balik meja jatinya tampak ribuan batu ginjal yang
dikeluarkannya dari semua pasiennya.
Baru sekarang, ketika aku mengenang kembali masa akhir pendidikanku, aku mulai
berpikir tentang kesuksesan
ayahku. Sepanjang masa residensi, aku memandang ilmu bedah lebih kurang sebagai
pokok ilmu dan keterampilan yang diperoleh selama pendidikan dan yang
disempurnakan dengan praktik. Seperti yang kusaksikan, peningkatan kemampuan
dalam melakukan seperangkat tugas terjadi sesuai dengan beratnya tugas itu
(untukku: mengangkat kandung empedu, operasi kanker usus besar, mengeluarkan
peluru, dan operasi usus buntu; untuk ayahku: mengeluarkan batu ginjal, operasi
kanker testis, dan operasi pembengkakan prostat). Bila dibuat grafik, terlihat
gambaran kurva menaik yang melengkung landai, mencapai puncaknya setelah,
katakanlah sepuluh sampai lima belas tahun, mendatar untuk waktu yang lama,
kemudian mungkin menurun sedikit pada lima tahun terakhir sebelum seseorang
pensiun. Namun, faktanya ternyata lebih kacau. Ayahku selalu mengatakan bahwa
kita mungkin ahli dalam suatu hal, tetapi tak lama kemudian pengetahuan itu pun
menjadi usang. Berbagai teknik operasi dan teknologi baru bermunculan
menggantikan cara lama, sehingga kurva belajar itu dimulai kembali. "Tiga
perempat dari yang kulakukan sekarang tidak pernah kupelajari di masa
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
residensi," katanya. Dalam kesendiriannya, jauh dari sejawat, apalagi dari
seorang ahli yang akan mengingatkannya seperti "Putar pergelangan tanganmu lebih
jauh," ia harus belajar memasang penis buatan, melakukan bedah mikro, membuka
kembali vasektomi, mengangkat prostat dengan saraf utuh, memasang sfingter urin
buatan. Ia juga harus belajar menghancurkan batu ginjal dengan gelombang kejut,
dengan elektrohidraulik, atau dengan sinar laser; memasang cincin uretra Double
J, cincin Silicone Figure Four Coil, dan cincin Retro-Inject Multi-Length
(jangan tanya apa ini); memeriksa saluran
kemih dengan teropong serat optik. Semua teknik dan teknologi itu berkembang
setelah ia menyelesaikan sekolahnya. Beberapa tindakan merupakan pengembangan
dari keterampilan yang sudah dimiliki, tetapi kebanyakan bukan.
Itulah yang yang dialami oleh semua ahli bedah. Perkembangan teknologi
kedokteran tak pernah berhenti dan tak ada pilihan bagi seorang dokter bedah
selain mencoba semua teknik baru itu. Tidak mau menggunakan teknik baru berarti
menolak perkembangan kedokteran yang berharga bagi pasien. Namun, risiko dari
kurva pembelajaran tak pernah bisa dihindari pada masa praktik maupun masa ?residensi.
Tak dapat disangkal bahwa untuk seorang ahli bedah, kesempatan belajar tidaklah
berstruktur seperti untuk seorang residen. Setiap kali selalu muncul alat baru
atau teknik baru yang penting, yang terjadi hampir setiap tahun, dan para ahli
bedah memulai dengan sebuah kursus biasanya berupa ceramah satu atau dua hari
?oleh seorang ahli bedah terkemuka dengan film yang dilengkapi panduan rinci
tentang teknik itu, Videonya dapat dibawa pulang untuk dilihat di rumah. Kami
pun berkunjung untuk melihat bagaimana sejawat itu melakukannya ayahku sering
?pergi ke Ohio State atau ke Klinik Cleveland untuk itu. Tetapi, tidak banyak
yang disertai pelatihan langsung. Berbeda dengan residen, seorang pengamat tidak
boleh turut masuk ke ruang bedah, dan kesempatan untuk berlatih menggunakan
hewan percobaan atau jenazah sangat jarang, (di Inggris ada larangan menggunakan
hewan untuk pelatihan praktik dokter bedah). Ketika teknik pulsed-dye faser
muncul, pabrik pembuat alatnya mendirikan laboratorium di Columbus, tempat para
urolog setempat berlatih. Tetapi, ketika ayahku ke sana,pengalaman yang
ditawarkan adalah menghancurkan batu ginjal dalam tabung reaksi yang penuh
berisi cairan mirip urin, dan mencoba menembus kulit telur tanpa menyentuh
selaput di bawahnya. Departemen bedah tempatku bekerja baru-baru ini membeli
sebuah alat bedah robot sebuah robot canggih seharga 980 ribu dolar, yang tegak
?memiliki tiga lengan, dua pergelangan tangan, dan sebuah kamera, semuanya dalam
ukuran milimeter. Robot itu dikendalikan dari panel kendali sehingga
memungkinkan seorang ahli bedah melakukan operasi apa pun dengan tangan yang
tidak gemetar dan dengan sayatan kecil saja. Sebuah tim yang terdiri atas dua
dokter bedah dan dua perawat terbang ke kantor pusat pabrik di San Jose untuk
mengikuti pelatihan sehari penuh tentang mesin itu. Mereka berlatih menggunakan
seekor babi dan jenazah manusia. (Pabrik itu membeli jenazah dari San
Francisco.) Meskipun lebih banyak praktiknya dibandingkan dengan umumnya
pelatihan seperti itu, tetap saja pelatihan ini bukan pelatihan yang tuntas.
Mereka mendapat pelajaran sekadarnya untuk memahami prinsip kerja robot, mulai
membiasakan diri menggunakannya, dan belajar cara merencanakan suatu operasi.
Cuma itu. Pada akhirnya, mereka toh harus pulang dan mencobanya sendiri.
Pasien pada akhirnya akan memperoleh manfaat yang sering sangat besar tetapi,
? ?beberapa pasien pertama mungkin tidak, atau bahkan mungkin menghadapi bahaya.
Ingat saja laporan dari unit bedah anak rumah sakit terkenal di London, Ormond
Street Hospital, yang dimuat rinci dalam British Medical Journal edisi musim
semi 2DDD. Para ahli bedah itu melaporkan hasil pembedahan 325 bayi penyandang
cacat jantung berat yang dikenal
sebagai transposisi arteri besar, yang dilakukan berturutturut pada periode
antara 1978 sampai 1998, yaitu ketika mereka mengubah cara operasinya. Pada para
bayi penyandang cacat bawaan itu, pembuluh yang keluar dari jantung telah salah
letaknya: aorta keluar dari bagian kanan jantung, bukan dari bagian kiri, dan
pembuluh yang menuju ke paru-paru keluar dari kiri, bukan dari kanan. Akibatnya,
darah yang masuk ke jantung dipompakan kembali ke seluruh tubuh, bukan dikirim
dulu ke paru-paru untuk mengambil oksigen. Ini membuat para bayi itu tak dapat
bertahan hidup. Mereka mati dalam keadaan biru, lemah, tanpa pernah merasakan
manfaatnya bernapas. Selama bertahuntahun upaya memindahkan pembuluh itu ke
tempatnya secara teknis tidak mungkin dilakukan. Sebagai gantinya, para ahli
bedah melakukan tindakan yang disebut operasi Senning: mereka membuat lubang di
dalam jantung supaya darah yang kembali dari paru-paru mengalir balik ke bagian
kanan jantung. Dengan operasi ini, anakanak itu dapat hidup sampai dewasa.
Namun, jantung bagian kanan yang lebih lemah tidak dapat menanggung peredaran
darah dari seluruh tubuh seperti halnya bagian kiri. Akhirnya, mereka akan
menderita gagal jantung, dan meski kebanyakan dapat mencapai usia dewasa,
sedikit sekali yang hidup sampai tua. Kemudian, pada 1980-an, serangkaian
perkembangan teknologi kedokteran telah memungkinkan dilakukannya pemindahan
pembuluh darah secara lebih aman. Prosedur ini segera menjadi cara operasi yang
populer. Para ahli bedah di Great Ormond Street melakukan perubahan pada 1986,
dan laporan itu memperlihatkan bahwa perubahan itu telah membawa kebaikan. Angka
kematian per tahun setelah operasi pemindahan arteri kurang dari seperempat
angka kematian setelah operasi Senning, dan angka harapan hidup berubah dari 47
menjadi 63 tahun. Namun, harga yang harus dibayar untuk itu memang mengerikan
tingginya. Pada tujuh belas operasi yang pertama, angka kematian di meja bedah
25 persen, padahal pada operasi Senning hanya 6 persen. (Delapan belas bayi
meninggal, lebih dari dua kali kematian pada seluruh era Senning). Hanya
waktulah yang dapat membuat mereka mahir: pada seratus operasi berikutnya, hanya
lima bayi yang meninggal.
Sebagai pasien, kita memang ingin ditangani oleh ahlinya dan memperoleh
perbaikan. Tetapi, orang tidak mau mengakui bahwa keduanya merupakan keinginan
yang bertentangan. Salah satu laporan publik di Inggris mengatakan, "Untuk
kepentingan pasien, tidak boleh ada kurva belajar." Tentu saja ini sepenuhnya
mustahil. Akhirakhir ini, sekelompok peneliti dari Sekolah Bisnis Harvard yang meneliti
perkara kurva-belajar dalam industri industri pembuat semikonduktor, pesawat ?terbang, dan industri sejenisnya memutuskan untuk meneliti kurva-belajar pada
?ahli bedah. Mereka mengamati delapan belas dokter bedah jantung dan timnya
ketika mereka mulai menerapkan teknik baru dalam bedah jantung yang paling non-
invasif. Aku terkejut ketika mengetahui bahwa ini adalah penelitian pertama di
bidang itu. Dalam dunia kedokteran, pembelajaran terjadi di mana-mana, tetapi
tak pernah ada yang meneliti seberapa baiknya seorang dokter belajar.
Teknik operasi jantung yang baru dengan sayatan kecil di antara iga, yang
?menggantikan sayatan di tengah yang membuka dari atas ke bawah terbukti lebih
?sulit daripada cara yang konvensional. Karena lubangnya sangat kecil untuk masuknya
slang dan klem pengatur aliran darah ke mesin pintas jantung, para ahli bedah
harus mempelajari cara yang lebih sulit, yaitu menggunakan kateter dengan balon
yang dimasukkan melalui vena di selangkang. Mereka harus belajar melakukan
pembedahan di bidang bedah yang lebih sempit. Dan para perawat, ahli anestesia,
dan pengatur perfusi harus menguasai peranannya yang baru. Setiap orang punya
tugas baru, instrumen baru, cara baru untuk timbulnya masalah, dan cara baru
pula untuk mengatasinya. Setiap orang harus menjalani kurva-belajarnya
masingmasing. Tim yang baru belajar membutuhkan waktu tiga kali lebih lama dari
tim yang sudah mahir yang hanya butuh tiga sampai enam jam. Para peneliti tidak
dapat menelusuri angka kematian dengan rinci, tetapi sangat naif kalau
menganggap angka kematian tidak berubah.
Yang lebih menarik adalah ketika para peneliti ini menemukan bahwa ada perbedaan
besar dalam kecepatan belajar masingmasing tim. Semua tim menjalani pelatihan
tiga hari yang diberikan oleh lembaga yang sangat kompeten dan berpengalaman
dengan berbagai inovasi. Nyatanya, dalam mengerjakan lima puluh operasi,
beberapa tim dapat mengerjakan dalam waktu yang lebih singkat, sementara tim
lain bahkan sama sekali gagal. Jadi, praktik belum tentu membuat seorang jadi
mahir. Para peneliti itu menemukan bahwa kemahiran akan dicapai, tapi tergantung
pada cara ahli bedah dan timnya itu berlatih.
Richard Bohmer, dokter yang tergabung dalam kelompok peneliti Harvard itu,
mengadakan beberapa kunjungan untuk mengamati salah satu tim yang tercepat
belajar dan salah satu tim yang lambat belajar, dan ia terkejut oleh perbedaan yang
ditemukannya. Ahli bedah dari tim yang cepat belajar sebenarnya sangat kurang
berpengalaman dibandingkan dengan ahli bedah dari tim yang lambat belajar ia ?baru lulus beberapa tahun sebelumnya. Tetapi, ia memilih anggota tim yang memang
sudah pernah bekerja sama dengan baik sebelumnya, dan ia mempertahankan tim itu
tanpa anggota baru selama lima belas kasus pertama. Ia melakukan gladi bersih
sebelum melakukan operasi yang pertama, dan menjadwalkan dengan cermat enam
operasi dalam minggu pertama sehingga tidak banyak yang terlupa. Ia mengumpulkan
timnya sebelum operasi untuk membahas kasusnya secara rinci dan kemudian
melakukan evaluasi sesudahnya. Ia pun memastikan bahwa segala sesuatu dicatat.
Dan Bohmer melihat bahwa sebagai manusia, ahli bedah itu bukan seorang
stereotipe bak Napoleon yang memegang pisau. Ia mengatakan, tanpa ditanya,
"Dokter bedah harus mau menjadi mitra (untuktimnya) sehingga ia dapat menerima
masukan." Mungkin terdengar klise, tetapi yang jelas dia berhasil. Di rumah
sakit yang lainnya, dokter bedah memilih timnya secara acak dan tidak
mempertahankan komposisi timnya. Pada tujuh operasi pertama, anggota timnya
selalu berubah sehingga boleh dikatakan di sana tak ada tim sama sekali. Dia pun
tidak mengadakan pengarahan sebelum operasi maupun evaluasi sesudahnya, dan tak
ada catatan tentang hasil kerja mereka.
Penelitian Sekolah Bisnis Harvard ini membuktikan beberapa hal. Kita dapat
melakukan sesuatu yang memberikan dampak dramatis terhadap kurva
belajar misalnya, cermat dalam memberikan pelatihan dan dalam
?mencatat kemajuannya, baik pada pembelajaran mahasiswa, residen, atau ahli bedah
senior maupun perawat. Tetapi, hasil lain dari penelitian ini tidak terlalu
membesarkan hati. Walau berhasil sekalipun, ahli bedah yang mencoba suatu teknik
baru akan tampil buruk dulu sebelum mereka mampu menunjukkan hasil yang lebih
baik, dan kurva-belajar dapat panjang dan dipengaruhi oleh lebih banyak faktor
daripada yang dibayangkan orang. Jadi, ini memastikan bahwa kita tidak dapat
melatih para pemula tanpa mengorbankan layanan untuk pasien.
Kurasa inilah yang mendasari sikap menghindar pada seorang dokter, misalnya
melalui ucapan "Saya hanya membantu"; atau "Ada metode baru yang cocok untuk
kasus Anda ini"; "Anda memerlukan infus sentral" tanpa mengatakan juga "saya
baru belajar melakukan ini." Kadang kita memang ingin mengakui bahwa kita belum
pernah melakukan tindak medis itu sebelumnya, tetapi kemudian yang kita
kemukakan adalah angka keberhasilan yang pernah dipublikasi, yang sebenarnya
merupakan hasil kerja ahli bedah yang sudah berpengalaman. Pernahkah kita
mengatakan kepada pasien bahwa karena kita belum berpengalaman, risikonya pasti
lebih tinggi dan bahwa hasilnya akan lebih baik kalau dikerjakan oleh yang lebih
berpengalaman" Pernahkah kita meminta persetujuan mereka untuk melakukan
tindakan yang belum pernah kita kerjakan itu" Rasanya tidak. Mengingat
taruhannya yang begitu besar, mana ada orang waras yang mau dijadikan kelinci
percobaan" Banyak perdebatan dalam hal ini. "Betul, semua orang tahu sulitnya
jadi dokter," begitu kata seorang pakar kebijakan kesehatan ketika aku
mengunjungi kantornya beberapa waktu yang lalu. "Kita harus berhenti membohongi
pasien. Bolehkah orang melakukan coba-coba demi kebaikan orang banyak?" Ia diam sejenak, lalu
menjawab pertanyaannya sendiri, "Boleh," katanya dengan tegas.
Tentu saja ada jalan keluar yang lebih bermartabat dan menyenangkan. Kita tanya
pasien dengan jujur dan terbuka maka mereka akan memberikan persetujuan. ? ?Memang sulit dibayangkan. Ketika kulihat di meja kerjanya, potret anaknya yang
lahir beberapa bulan sebelumnya, sebuah pertanyaan usil muncul di benakku.
"Jadi, anak Anda lahir dengan bantuan residen?" tanyaku.
Ruangan hening sejenak. "Tidak," jawabnya dengan jujur. "Kami bahkan tidak
mengizinkan mereka masuk ruangan bersalin."
Salah satu alasan yang membuatku ragu bahwa pendidikan kedokteran dapat terus
berlangsung berdasarkan pandangan "Ya, Anda boleh menggunakan aku untuk
berlatih" adalah karena aku sendiri tidak sependapat. Pada suatu hari Minggu
pagi, anak sulungku, Walker, usia sebelas hari, tibatiba menderita gagal jantung
karena ternyata ia menyandang cacat jantung bawaan. Aortanya berada pada posisi
normal, tetapi bagian yang panjang tidak berkembang sama sekali. Aku dan istriku
begitu takut ginjal dan hatinya pun mulai gagal tetapi, ia dapat dioperasi dan
? ?upaya perbaikannya berhasil baik. Walau pemulihannya agak mengkhawatirkan,
setelah dua setengah minggu ia diizinkan pulang.
Namun, di rumah kami tetap harus merawatnya. Dengan berat badan lahir tiga
kilogram lebih, berat badannya pada usia satu bulan hanya dua setengah kilogram,
dan ia harus diamati ketat untuk melihat bertambahnya berat badan. Ia mendapat
dua jenis obat jantung yang kelak harus dihentikan. Dan pada jangka panjang, dokter memperingatkan kami
bahwa kelak hasil operasinya tidak memadai lagi. Dalam pertumbuhannya, aorta
Walker perlu diperlebar dengan balon atau diganti sama sekali. Kapan persisnya
dan bagaimana semua itu dilakukan, belum dapat dipastikan. Ia harus selalu di
bawah perawatan dan pengawasan seorang ahli jantung anak.
Menjelang pulang, kami masih belum memutuskan siapa kardiolog anak yang akan
menanganinya. Selama di rumah sakit, Walker dirawat oleh seluruh tim kardiologi,
mulai dari dokter yang sedang menjalani spesialisasi sampai ke dokter senior
yang berpengalaman. Sehari sebelum pulang, salah seorang calon spesialis itu
menemuiku, menyodorkan kartu namanya dan menawarkan jam konsultasi untuk Walker.
Dari semua anggota tim, dialah yang paling sering merawat Walker. Dia adalah
dokter yang pertama memeriksa Walker ketika kami membawanya dalam keadaan parah,
dia yang menegakkan diagnosis, dan dia yang memberikan obat yang membuat keadaan
Walker stabil, dia yang berkoordinasi dengan dokter bedahnya, dan dia pula yang
menengok kami setiap hari dan menjawab berbagai pertanyaan kami. Bukan hanya
itu, aku tahu dia melakukan hal serupa kepada pasien lain. Kebanyakan keluarga
pasien tidak tahu bahwa ada sedikit perbedaan peringkat antara setiap dokter
dalam tim, dan setelah anaknya dapat diselamatkan, mereka menerima saja dokter
yang ditawarkan. Tetapi, aku tahu perbedaan itu. "Maaf, mungkin kami akan minta Dr. Newburger,"
kataku. Dokter ini adalah wakil kardiolog kepala di rumah sakit itu, dan
terkenal sebagai pakar untuk kondisi yang diderita Walker. Dokter muda itu
tampak kecewa. Tak ada yang salah padanya,
kataku, hanya saja Dr. Newburger sudah lebih berpengalaman.
"Anda tahu bahwa saya selalu didukung oleh seorang s pesialis," katanya. Aku
menggeleng. Aku tahu ini tidak adil. Anakku mengidap sesuatu yang tidak biasa. Dokter muda
ini memerlukan kesempatan untuk belajar. Seharusnya aku, seorang residen, lebih
mengerti dari siapa pun. Tetapi, aku yakin dengan kepu-tusanku, ini anakku.
Kalau disuruh memilih, aku akan selalu memilih layanan yang terbaik untuknya.
Kenapa tidak" Tetapi, tentu masa depan kedokteran tidak mungkin dikembangkan
dengan pandangan demikian.
Itulah sebabnya, dokter selalu memperlihatkan sikap menghindar. Kesempatan
belajar memang harus dicuri, seolah sesuatu yang sudah seharusnya. Dan itulah
yang yang terjadi selama Walker dirawat, jika aku mengenangnya kini. Seorang
residen melakukan intubasi, seorang calon dokter bedah ikut dalam pembedahan
jantungnya, dan seorang calon kardiolog memasangkan infus sentral pada Walker.
Tak seorang pun dari mereka yang meminta izinku. Seandainya boleh memilih, aku
akan memilih orang yang berpengalaman. Tetapi, begitulah tata cara yang
lazim orang tidak diberi pilihan jadi, aku menurut saja. Tak ada yang bisa ? ?kulakukan untuk menolaknya.
Manfaat dari tata cara yang otomatis itu bukan saja membuat pembelajaran
berlangsung. Kalau pembelajaran itu penting tetapi berisiko membahayakan, maka
seharusnya semua orang diperlakukan sama. Bila boleh memilih, orang pasti akan
menolak, tetapi pilihan itu tidak diberikan kepada semua orang. Pilihan itu
hanya untuk mereka yang tahu atau yang memang dikenal, untuk
orang dalam, untuk anak dokter tetapi tidak untuk supir truk. Bila pilihan itu
tidak untuk semua orang, mungkin lebih baik tidak usah ada pilihan sama sekali.
Aku sedang bertugas di ruang rawat intensif, pukul dua tengah malam. Suster A
melaporkan bahwa infus sentral Tn. G tersumbat. Pasien itu sudah dirawat di ICU
sebulan lebih. Ia berasal dari Boston, berusia 60-an mendekati 70, dengan kulit
membalut tulangnya, lemah, dan bergantung pada infus untuk bertahan. Banyak
lubang di usus kecilnya, yang sulit disembuhkan dengan operasi, dan cairan usus
merembes dari dua luka kecil yang merah di perutnya yang cekung. Satusatunya
jalan makan adalah lewat infus untuk memberi kesempatan ususnya membaik. Ia
memerlukan infus sentral.
Aku yakin dapat melakukannya. Aku sudah berpengalaman kini. Tetapi, ternyata
pengalaman membawa dampak lain: aku harus mengajarkannya kepada yang lain.
"Lihat, kerjakan, ajarkan," begitulah pemeonya.
Ada seorang residen yunior sedang bertugas. Ia baru melakukannya sekali dua
kali. Kuberitahukan soal Tn. G dan kutanyakan apakah ia bisa memasangkan infus
baru. Ia salah menangkap permintaanku sebagai pertanyaan. Ia menjawab bahwa ia
masih menangani pasien dan akan datang satu pasien lagi. Lalu, ia bertanya balik
apakah aku dapat melakukannya, dan kujawab tidak, Ia tak dapat menyembunyikan
mimik wajahnya yang meringis. Ia stres seperti halnya aku dulu, dan mungkin juga
takut seperti aku dulu. Ia mulai tampak fokus ketika kuminta ia menjelaskan langkah tindakannya satu per
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu semacam gladi resik. Ia hafal hampir semua langkah dengan baik, tetapi ?lupa memeriksa hasil lab dan lupa bahwa Tn. G alergi terhadap
heparin yang digunakan untuk membilas slang. Aku menyuruhnya mencatat ini,
mempersiapkan segala sesuatunya, dan memanggilku setelah siap.
Aku masih terus menyesuaikan diri dengan peranan ini. Rasanya tak nyaman
bertanggung jawab atas kesalahan orang lain. Ini sama sekali berbeda dengan
membantu orang lain. Rasanya ingin aku membuka satu set slang infus dan
menyuruhnya berlatih dulu dengan alat sunggu-han. Tapi, tentu tidak mungkin, set
infus itu harganya ratusan dolar kalau tak salah.
Setengah jam kemudian, aku dipanggil. Pasien telah siap dan residen itu telah
siap dengan gaun bedah dan sarung tangannya. Dia mengatakan bahwa slang telah
dibilas dengan larutan salin dan hasil lab pasien baik.
"Sudah disiapkan gulungan handuknya?" tanyaku,
Dia lupa dan kuambil handuk, menggulungnya, dan menyusupkannya di bawah punggung
Tn. G. Kupandang Tn. G, kusapa, dan kutanya apakah ia baik-baik saja. Orang tua
itu mengangguk, tak tampak ketakutan di wajahnya, Karena sudah pernah menjalani
berbagai tindakan, kali ini ia hanya bisa pasrah.
Residen muda ini menetapkan tempat yang akan ditusuk. Pasien ini begitu kurus
sehingga aku dapat melihat setiap iganya, dan khawatir residen ini akan menusuk
paru-parunya. Ia menyuntikkan anestetik lokal. Lalu, ia menusukkan jarum besar
itu, dengan sudut yang sama sekali salah. Aku memberi aba-aba untuknya agar
mengubah posisi jarum, tetapi itu justru membuatnya semakin tak yakin. Ia
menusuk lebih dalam dan aku tahu bahwa ia tidak menemukan venanya. Ia menarik
piston spuit: kosong. Ia mencabut jarum dan mencobanya sekali lagi. Kembali ia
menusukkan dengan sudut yang salah. Kali ini
Tn. G dapat merasakan dan tersentak kesakitan. Kupegang tangan Tn. G. Residen
itu menambah suntikan anestetiknya. Aku harus bertahan untuk tidak mengambil-
alih. Dia tidak akan bisa kalau tidak mengerjakannya, kataku dalam hati. Aku
memutuskan untuk membiarkan ia mencoba sekali lagi.x
-'A' ' Komputer dan Mesin Bedah Hernia
Suatu hari di musim panas 1996, Hans Ohlin, usia lima puluh tahun, kepala unit
pelayanan koroner RS Universitas Lund, Swedia, duduk di ruang kerjanya dengan
setumpuk rekaman EKG, sebanyak 2.240 lembar. Setiap lembar terdiri atas
rangkaian garis bergelombang, tercetak dari kiri ke kanan, pada kertas grafik
berukuran letter (21,5 x 27,5 cm). Ohlin membacanya sendiri di kantor agar tak
ada yang mengganggu. Ia memayar semua rekaman itu secara cepat tetapi teliti
satu per satu dan memilahnya menjadi dua tumpukan berdasarkan kesimpulannya
tentang ada tidaknya serangan jantung pada pasien yang bersangkutan ketika
rekaman EKG itu dibuat. Untuk menghindari kelelahan dan kelalaian, ia
mengerjakannya selama seminggu, memilahmilah hasil EKG itu, setiap kali bekerja
tidak lebih dari dua jam, lalu istirahat agak lama. Ia tak mau melakukan
kesalahan karena taruhannya sangat besar. Ini ibarat turnamen catur Deep Blue
versi kedokteran, dan Ohlin adalah Gary Kasparov untuk kardiologi. Dan dia
berhadapan dengan komputer.
EKG adalah salah satu uji diagnostik yang paling umum, di AS dilakukan lebih
dari 50 juta kali per tahun. Elek-troda dipasang pada kulit untuk menangkap
sinyal listrik bertegangan rendah yang menyebar di setiap bagian otot jantung setiap kali
jantung berdenyut, lalu sinyal itu dicetak dalam bentuk gelombang pada kertas
EKG. Teori yang mendasari EKG adalah bahwa pada serangan jantung, sebagian otot
jantung mati dan sinyal listrik yang melewati bagian jaringan itu berubah arah.
Akibatnya, gelombang pada cetakan EKG pun berubah. Kadang perubahan itu begitu
nyata, tetapi lebih sering perubahannya sedikit sekali atau dalam bahasa medis ?disebut "nonspesifik."
Untuk mahasiswa kedokteran, pada mulanya EKG tampaknya sesuatu yang rumit,
terutama EKG dengan dua belas lead yang masingmasing memberikan gambaran yang
berbeda. Tetapi, mahasiswa tetap diajari untuk membedakan berbagai jenis
gambaran yang diberi nama dengan huruf; misalnya gambaran menurun pada awal
denyut (gelombang Q), gambaran menaik pada puncak kontraksi jantung (gelombang
R), dan gambaran menurun sesudahnya (gelombang S), kemudian gelombang membulat
segera setelah denyut selesai (gelombang T). Kadang perubahan kecil di sana-sini
menyimpulkan adanya serangan jantung, kadang tidak menyimpulkan demikian. Ketika
masih mahasiswa, pertama kali aku belajar membaca EKG adalah dengan perhitungan
yang rumit. Aku dan teman-teman sekelasku membawa kartu berlapis plastik dalam
kantung lab-jas, berisi rumus rahasia: menghitung frekuensi denyut dan sumbu
aliran listrik, melihat adanya gangguan irama, melihat apakah elevasi segmen ST
lebih dari satu milimeter di lead VI sampai V4, atau melihat apakah ada bentuk
gelombang R yang buruk (menandakan salah satu jenis serangan jantung), dan
sebagainya. Dengan berlatih, semua informasi ini semakin mudah
dicerna. Kurva-belajar juga berlaku untuk diagnosis seperti halnya untuk teknik
operasi. Kadang seorang ahli jantung berpengalaman dapat memastikan suatu
serangan jantung hanya dengan sekilas pandang, seperti seorang anak mengenali
ibunya di kejauhan. Tetapi, pada dasarnya, uji diagnostik tetap saja sulit
dimengerti. Penelitian membuktikan bahwa antara 2 sampai 8 persen penderita
serangan jantung yang datang ke ruang gawat darurat ternyata salah dipulangkan
dan seperempat dari mereka meninggal atau mengalami henti jantung total.
Walaupun penderita seperti itu tidak dipulangkan, penanganannya mungkin tertunda
kalau gambaran EKG dibaca salah. Penilaian orang, bahkan penilaian ahli
sekalipun, tidak selalu pasti. Karena itu, upaya untuk memanfaatkan komputer
dalam membaca EKG tampaknya memang beralasan. Bila hasil pembacaan komputer
terbukti lebih baik daripada pembacaan manusia, meskipun keunggulannya itu hanya
sedikit sekali, ribuan nyawa akan dapat diselamatkan setiap tahunnya.
Bahwa komputer dapat membaca EKG dengan lebih baik dikemukakan pertama kali pada
tahun 1990, dalam artikel yang ditulis oleh William Baut, seorang dokter ruang
gawat darurat dari Universitas California di San Diego. Baxt menggambarkan
betapa suatu "jejaring saraf buatan" semacam tatanan komputer dapat membuat
? ?keputusan klinis yang rumit. Sistem pakar (komputer) itu belajar dari
pengalaman, seperti halnya manusia: dengan memasukkan balikan (feedback) dari
setiap sukses dan setiap kegagalan, untuk memperbaiki cara peramalannya. Pada
kajian berikutnya Baxt memperlihatkan bahwa komputer dapat dengan mudah
mengalahkan sekelompok dokter dalam diagnosis serangan jantung pada pasien
yang mengeluh sakit dada. Tetapi, dua per tiga dari dokter ini adalah residen
yang belum berpengalaman, yang memang akan kesulitan membaca EKG. Bisakah
komputer mengalahkan spesialis kawakan"
Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh sekelompok peneliti Swedia.
Penelitian dipimpin oleh Lars Edenbrandt, seorang pakar kecerdasan buatan
(artificial intelligent), sejawat Ohlin. Edenbrandt menghabiskan lima tahun
untuk menyempurnakan sistemnya, mula-mula di Skotlandia, lalu di Swedia. Ia
memasukkan data EKG dari sepuluh ribu pasien lebih, disertai informasi tentang
mana yang mengalami serangan jantung dan mana yang tidak, sampai akhirnya
komputer itu mahir membaca EKG, membedakan EKG yang paling mirip sekalipun.
Kemudian, ia menghubungi Ohlin, yang adalah salah seorang ahli jantung terkemuka
di Swedia dan biasa membaca sepuluh ribuan EKG setahun. Edenbrandt memilih 2.240
EKG dari arsip rumah sakit untuk menguji keduanya. Persis separuh dari EKG itu,
yakni 1.120, memperlihatkan gambaran serangan jantung. Tanpa banyak bicara,
hasil penelitian itu diumumkan pada musim gugur 1997. Ohlin membaca dengan benar
620. Komputer membaca dengan benar 738. Mesin mengalahkan manusia dengan angka
20 persen. Kedokteran barat didominasi oleh satu tuntutan: diharapkan memberikan layanan
yang sempurna seperti sebuah mesin. Sejak hari pertama pendidikan dokter, sudah
tampak jelas bahwa tak ada tempat untuk kesalahan. Dokter boleh saja berlama-
lama memeriksa pasien, tetapi setiap foto sinar-X harus dilacak dan dosis obat
harus tepat. Tak boleh ada riwayat alergi dan riwayat medis yang terlupa, tak
boleh ada diagnosis yang salah. Di
kamar bedah tak boleh ada gerak, waktu, atau tetes darah yang terbuang percuma.
Kunci dari kesempurnaan ini adalah rutinitas dan pengulangan: angka tahan-hidup
(survival rate) setelah operasi jantung, operasi pembuluh darah, dan operasi
lainnya berhubungan langsung dengan jam terbang ahli bedahnya. Dua puluh lima
tahun yang lalu, ahli bedah umum mengerjakan histerektomi, mengangkat kanker
paru, mengerjakan operasi pintas arteri tungkai yang kaku. Sekarang, semua itu
ada spesialisnya yang hanya mengerjakan beberapa jenis operasi saja berulang-
ulang. Ketika aku bertugas di kamar bedah, pujian tertinggi yang pernah kuterima
dari dokter bedah adalah ucapan "Kau benarbenar mesin, Gawande" dan kata mesin
itu tidak berlebihan: manusia, dalam situasi tertentu, benarbenar dapat
berperilaku seperti mesin.
Ambil contoh suatu operasi sederhana, reparasi hernia yang kupelajari pada tahun
pertama pendidikan bedah. Hernia terjadi karena lemahnya otot dinding perut,
biasanya di selangkang, sehingga isi perut dapat mendorongnya membentuk
benjolan. Di kebanyakan rumah sakit, penanganannya mendorong isi perut masuk ?kembali dan memperbaiki dinding perut berlangsung sekitar sembilan puluh menit
?dan bisa menelan biaya sampai sekitar empat ribu dolar. Pada 10-15 persen kasus,
operasinya gagal dan hernia terjadi lagi. Tetapi, ada rumah sakit kecil di luar
kota Toronto, bernama RS Shouldice, yang tidak memperlihatkan statistik itu. Di
sana, operasi hernia biasanya berlangsung 30 sampai 45 menit. Angka kambuhnya
mencengangkan, hanya 1 persen. Dan biaya operasinya hanya separuh dari biaya di
tempat lain. Mungkin itulah tempat terbaik di dunia untuk operasi hernia.
Apa rahasia keberhasilan klinik ini" Jawabnya singkat saja, selusin ahli bedah
di Shouldice hanya melakukan operasi hernia. Setiap dokter mengerjakan enam
ratus sampai delapan ratus operasi hernia tiap tahunnya lebih banyak dari yang
?dikerjakan oleh kebanyakan ahli bedah umum sepanjang hidupnya. Untuk operasi
ini, staf Shouldice dilatih lebih baik dan punya lebih banyak pengalaman.
Tetapi, alasan sukses ini dapat dikemukakan dalam bentuk lain, yaitu bahwa semua
pengulangan itu mengubah pola pikir mereka. Lucian Leape, ahli bedah anak
lulusan Harvard yang meneliti masalah kesalahan medis, menjelaskan, "ciri khas
seorang pakar adalah mereka mengubah langkah pemecahan masalah menjadi sesuatu
yang otomatis." Dengan pengulangan, banyak fungsi mental kemudian berlangsung
secara otomatis dan tanpa susah payah, seperti halnya mengendarai mobil ke
kantor. Namun, suatu situasi yang baru biasanya memerlukan pikiran sadar dan
cara penyelesaian tertentu yang lebih lambat terbentuknya, lebih sulit
dikerjakan, dan lebih rentan kesalahan. Bila umumnya situasi yang dihadapi
seorang ahli bedah sudah dapat ditangani secara otomatis, ia menjadi sangat
mahir. Bila kajian EKG Swedia menyatakan bahwa ada situasi ketika mesin dapat
mengalahkan dokter, maka apa yang terjadi di Shouldice merupakan contoh bahwa
manusia bisa dilatih agar dapat mahir seperti mesin.
Di suatu Senin pagi yang sejuk, dengan mengenakan setelan baju bedah katun
hijau, masker sekali pakai, dan topi kertas, aku mempelajari sejumlah kasus di
lima ruang bedah RS Shouldice, Menggambarkan satu kasus sama saja dengan
menggambarkan semuanya: kuperhatikan tiga dokter mengoperasi enam pasien, dan
tak ada satu pun yang menyimpang dari protokol standarnya.
Dalam sebuah kamar bedah mirip kotak yang dilapisi keramik, aku mengintip di
atas bahu Richard Sang, ahli bedah usia 51 yang tampak cerdas dan awet muda.
Walaupun kami bercakapcakap selama operasi itu, Dr. Sang melakukan setiap
langkah kerja tanpa jeda, dibantu oleh asisten yang tahu betul jaringan mana
yang harus ditarik, dan perawat yang menyorongkan alat yang tepat; sama sekali
tak diperlukan instruksi. Sang pasien, seorang pria yang tampak tenang dan
menyenangkan, berusia 35, terbaring dengan perut bawah terbuka dan tampak kuning
oleh larutan antiseptik iodium. Sesekali ia menanyakan dari balik kain penutup
apakah semua berjalan lancar. Benjolan sebesar telur bebek tampak di sebelah
kiri tulang kemaluannya. Dr. Sang menyuntik kulitnya dengan anestetik lokal pada
garis diagonal dari puncak panggul kirinya ke tulang kemaluan, sepanjang lekuk
selangkang. Dengan pisau no. 10, ia membuat sayatan sepanjang sepuluh sentimeter
pada garis ini dengan sekali sayat sehingga terlihat jaringan lemak bawah kulit
yang kuning mengkilat. Asisten meletakkan perban di sepanjang kedua tepi sayatan
untuk menyerap sedikit perdarahan, dan membuka luka itu dengan menarik kedua
tepinya. Dr. Sang dengan cepat memotong lapisan otot luar dinding perut sehingga
terpaparlah tali sperma, yaitu kabel sekitar satu sentimeter yang terdiri atas
pembuluh darah dan pembuluh sperma. Sekarang kami dapat melihat benjolan itu
menonjol di tempat yang paling sering, yaitu pada bagian lemah dari dinding
perut di bawah tali itu. Dr. Sang memperlambat geraknya sesaat, memeriksa dengan
saksama adanya hernia lain di daerah sepanjang perjalanan tali sperma di dinding
dalam perut. Ternyata ia menemukan hernia kedua di sana, kecil, yang bila
terabaikan hampir pasti akan menimbulkan hernia kambuhan. Kemudian, ia membuka
lebih lanjut lapisan otot di bawah tali sperma sehingga dinding perut terbuka
seluruhnya, dan mendorong isi perut yang menonjol ke luar itu kembali masuk.
Kalau kasur sofa sobek dan busanya menonjol ke luar, kita dapat menambalnya atau
membuat jahitan untuk menautkannya. Di rumah sakitku, kami biasanya mendorong
hernia masuk kembali, menempelkan semacam jala dari bahan mirip plastik yang
kuat di atas lubang hernia itu, lalu menjahitkannya ke jaringan sekitar. Ini
memberi cukup kekuatan pada dinding perut, dan tekniknya mudah dilakukan.
Tetapi, ketika kutanyakan pendapatnya, Sang, seperti halnya ahli bedah lain di
Shouldice, mencela cara itu: jala itu berisiko menimbulkan infeksi (karena
merupakan benda asing), mahal (harganya ratusan dolar), dan tidak diperlukan
(karena tanpa itu pun hasil operasi mereka mengagumkan).
Ketika kami berbincang tentang pilihan cara itu, Sang menutup kembali ketiga
lapis otot dinding perut, menjahitnya dengan benang halus dengan cara
mempertautkan kedua tepi secara tumpang tindih. Setelah Sang menutup kulit
pasien dengan klip kecil dan mengangkat kain penutup, pasien dapat segera turun
dari meja operasi, berdiri, dan berjalan keluar. Semua itu hanya berlangsung
setengah jam. Banyak ahli bedah menggunakan metode reparasi Shouldice, tetapi mendapatkan
angka kambuhan seperti biasanya. Ternyata bukan metodenya yang membuat Shouldice
unggul. Para dokter di sana memberikan layanan operasi hernia itu seperti Intel
membuat chip komputer: mereka adalah "pabrik khusus." Bahkan bangunan
rumah sakitnya pun dirancang hanya untuk pasien hernia. Tak ada telepon maupun
televisi di kamarnya, dan makanan disajikan di ruang makan khusus di lantai
dasar; dengan demikian, pasien mau tidak mau harus berdiri dan berjalan sehingga
dapat dicegah masalah yang timbul akibat kurang gerak, seperti pneumonia dan
trombosis kaki. Setelah meninggalkan pasien untuk diurus oleh perawat, Sang menemui pasien
berikutnya dan menyuruhnya berjalan masuk ke ruang bedah yang sama. Tidak sampai
tiga menit berselang, tetapi ruang itu sudah bersih kembali. Kain penutup dan
instrumen yang baru sudah tertata. Maka dimulailah kasus baru. Aku bertanya
kepada Byrnes Shouldice, putra pendiri klinik yang juga ahli bedah hernia,
apakah pernah merasa bosan melakukan operasi hernia sepanjang hari. "Tidak,"
jawabnya dengan suara datar seperti suara tokoh Dr. Spock dalam serial Star Trek
yang terkenal itu. "Kesempurnaan adalah suatu kegairahan."
Kemahiran super ini secara paradoks menimbulkan pertanyaan apakah layanan medis
yang terbaik memerlukan dokter yang terlatih dengan sempurna, Tak satu pun dari
ketiga dokter di Shouldice yang kuamati operasinya itu pernah melakukannya di
rumah sakit lain di Amerika sebab tak seorang pun yang menjalani pendidikan
bedah umum. Dr. Sang sebelumnya adalah seorang dokter keluarga; Byrnes Shouldice
langsung bergabung setelah lulus fakultas kedokteran; dan dokter bedah kepalanya
adalah seorang ahli kebidanan. Setelah magang selama sekitar setahun, mereka toh
menjadi ahli bedah hernia terbaik di dunia. Kalau hanya akan melakukan operasi
hernia, atau kolonoskopi, apakah kita memerlukan pendidikan spesialis bedah
(empat tahun fakultas kedokteran,
lima atau enam tahun residensi) untuk menjadi mahir" Bergantung pada bidang
spesialisasinya, apakah ini pertanyaan yang diajukan dalam kajian EKG Swedia ? ?masih diperlukan manusia"
Walaupun dunia kedokteran mulai mengakui bahwa automasi seperti yang terjadi di
Shouldice dapat memberikan hasil pengobatan yang lebih baik, banyak dokter tidak
sepenuhnya yakin. Dan secara khusus mereka enggan menerapkan pandangan ini di
bidang diagnosis. Kebanyakan dokter beranggapan bahwa diagnosis tidak dapat
disederhanakan dengan suatu generalisasi atau katakanlah dituangkan ke dalam
?semacam "buku pintar." Mereka berdalih bahwa perlu dipertimbangkan idiosinkrasi
pada setiap pasien. Itu hanya dalih bukan" Ketika menjadi konsulen bedah di bagian gawat darurat,
aku selalu diminta untuk menilai apakah pasien yang mengeluh sakit perut secara
otomatis dianggap menderita usus buntu (apendisitis), Kudengarkan dengan saksama
riwayat sakitnya dan kupertimbangkan banyak faktor: apa yang kurasakan ketika
meraba perut itu, bagaimana kualitas nyeri dan tempatnya, suhunya, nafsu
makannya, hasil labnya. Tetapi, semua itu tak dapat dicocokkan dengan suatu
rumus untuk kemudian dihitung. Aku menggunakan pertimbangan
klinisku naluriku untuk memutuskan apakah pasien ini memerlukan operasi, harus
? ?dirawat untuk observasi, atau boleh dipulangkan. Kita tahu bahwa memang ada
orang yang menyimpang dari orang pada umumnya penjahat yang insaf, penderita
?kanker terminal yang secara ajaib sembuh. Dalam psikologi, ada yang dikenal
sebagai "masalah patah tungkai." Suatu rumus
statistik mungkin dapat meramal dengan baik apakah seseorang akan pergi menonton
atau tidak di akhir minggu, tetapi seseorang yang tahu bahwa pasien ini
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderita patah tungkai tak akan menggunakan rumus statistik. Tak ada rumus yang
handal untuk keadaaan demikian. Itulah sebabnya para dokter yakin bahwa ketika
melakukan diagnosis, mereka lebih baik bergantung pada nalurinya yang sudah
terasah dengan baik. Pada suatu akhir minggu, ketika sedang bertugas, aku menangani seorang wanita 39
tahun, yang mengeluh nyeri di perut kanan bawah yang tidak sesuai dengan
gambaran apendisitis. Ia mengaku tidak terlalu sakit, juga tak ada demam maupun
mual. Memang, ia sedang lapar, dan tidak kesakitan ketika perutnya kutekan.
Hasil ujinya tidak khas. Aku tetap menganjurkan apendektomi kepada dokter bedah
yang sedang bertugas. Sel darah putihnya sangat tinggi, menandakan ada infeksi,
dan yang lebih penting, aku melihatnya tampak sakit berat. Seorang yang sakit
berat penampilannya begitu khas dan kita akan mengenalinya setelah beberapa
waktu menjalani residensi. Mungkin kita belum dapat memastikan penyakitnya,
tetapi kita yakin bahwa ada sesuatu yang salah. Dokter yang bertugas menyetujui
diagnosisku, mengoperasi pasien itu, dan menemukan apendisitis.
Tak lama kemudian, aku kedatangan pasien usia 65 tahun dengan riwayat yang
hampir sama. Hasil labnya sama; aku pun melakukan payaran perut, tetapi tetap
tidak memberikan kesimpulan. Pasien ini pun tidak memberikan gambaran khas
apendisitis; dan aku pun punya kesan sama bahwa ia mengidapnya. Tetapi, pada
operasi ditemukan bahwa apendiksnya normal. Dia menderita divertikulitis,
infeksi pada usus besar yang biasanya
tidak memerlukan operasi,
Apakah kasus kedua lebih khas daripada kasus pertama" Seberapa seringkah
naluriku mengelabui" Implikasi radikal dari kajian Swedia menunjukkan bahwa
pendekatan naluriah setiap orang yang merupakan tumpuan kedokteran modern
sebenarnya bercacat pendekatan demikian lebih sering menimbulkan kesalahan, ?bukan mencegahnya. Ada penelitian di luar kedokteran yang mendukung pandangan
ini. Selama empat dasawarsa, ahli psikologi kognitif telah memperlihatkan
berulang kali bahwa pendekatan algoritmik biasanya mengalahkan penilaian manusia
dalam membuat suatu ramalan atau diagnosis. Seorang psikolog, Paul Meehl, dalam
buku klasiknya yang terbit pada tahun 1954, Clinical Versus Statistical
Prediction, menggambarkan suatu penelitian pada sekelompok parolee (orang yang
dibebaskan dari penjara dengan syarat) di Illinois tentang kemungkinan mereka
melanggar syarat pembebasannya. Penelitian ini membandingkan ramalan yang
diberikan oleh psikiater penjara dan dugaan yang dibuat berdasarkan rumus yang
memperhitungkan faktor seperti usia, jumlah kejahatan sebelumnya, dan jenis
kejahatan yang dilakukan. Walaupun rumus itu begitu kasar, ternyata memberikan
ramalan yang lebih akurat ketimbang ramalan sang psikiater. Pada beberapa
artikel akhirakhir ini, Meehl bersama dua orang ilmuwan sosial, David Faust dan
Robyn Dawes, meninjau lebih dari seratus penelitian yang membandingkan komputer
atau rumus statistik dengan penilaian manusia dalam meramalkan beragam hal,
mulai dari kemungkinan bangkrutnya sebuah perusahaan sampai ke angka harapan
hidup pasien penyakit hati. Hampir di semua penelitian itu, ramalan statistik
menyamai atau melebihi ketepatan penilaian manusia. Kita mungkin berpikir bahwa bila kerja
manusia digabungkan dengan kerja komputer, akan diperoleh keputusan yang lebih
baik. Tetapi, seperti ditunjukkan oleh para peneliti itu, harapan ini tidak
masuk akal. Jika keduanya sependapat, tidak ada masalah. Jika tidak, semua
penelitian itu memperlihatkan bahwa akan lebih baik bila kita percaya pada
penilaian komputer. Apa sebenarnya yang membuat algoritma komputer lebih unggul" Pertama, menurut
Dawes, manusia tidak konsisten: sangat mudah dipengaruhi oleh sugesti, cara
pandang kita terhadap sesuatu, pengalaman yang baru lalu, berbagai faktor
pengecoh, dan cara suatu informasi disampaikan. Kedua, manusia tidak mampu
mempertimbangkan banyak faktor sekaligus, Kita cenderung memberi bobot lebih
pada satu faktor dan mengabaikan faktor lain. Program komputer yang baik
memberikan bobot yang tepat secara otomatis dan konsisten. Lagi pula, Meehl
bertanya, saat berbelanja, apakah kita membiarkan petugas kasir memeriksa
belanjaan kita dan berkata, "OK, saya perkirakan semuanya 17 ribu rupiah."
Setelah banyak latihan, mungkin pertugas itu akan semakin pandai menebak, tetapi
kita melihat kenyataannya bahwa kerja komputer yang hanya menambahkan semua
harga akan lebih tepat dan konsisten. Dalam kajian Swedia itu terlihat bahwa
Ohlin jarang sekali melakukan kesalahan, tetapi banyak hasil EKG berada di
daerah kelabu, sebagian gambar menunjukkan jantung sehat sementara gambar lain
menunjukkan serangan jantung. Dokter sulit meramalkan mana informasi yang harus
dipegang, dan mereka juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya oleh
gambaran EKG sebelumnya. Mungkin tak dapat dihindari bahwa dokter kelak harus merelakan komputer
mengambil-alih keputusan diagnosis. Suatu jejaring (network), PAPNET, telah
dikenal sebagai upaya penapisan apus Pap (pep smear) suatu apusan serviks
?wanita untuk menemukan kanker atau kelainan prakanker. Pekerjaan itu biasanya
?dilakukan oleh seorang ahli patologi. Para peneliti telah melakukan lebih dari
seribu penelitian tentang penggunaan jejaring saraf pada hampir semua bidang
kedokteran. Telah dikembangkan program untuk menegakkan diagnosis apendisitis,
demen-sia, kegawatan psikiatri, dan penyakit seksual menular. Program lain dapat
meramalkan keberhasilan pengobatan kanker, cangkok organ, dan operasi katup
jantung. Berbagai sistem dirancang untuk membaca foto sinar-X dada, mamogram,
dan pemayaran nuklir pada jantung.
Dalam mengobati, sebagian dunia kedokteran telah mulai menyebarkan ilmu RS
Shouldice tentang kelebihan layanan spesialistik yang bersifat otomatis. Regina
Herzlinger, seorang profesor di Sekolah Bisnis Harvard, yang melansir istilah
"pabrik layanan kesehatan khusus" dalam bukunya Market Driven Health Care
memberikan beberapa contoh, di antaranya dari Institut Bedah Jantung Texas dan
Pusat Cangkok Tulang RS Universitas Duke. Pasien kanker payudara ditangani lebih
baik oleh pusat pengobatan khusus kanker, dan di tempat itu ada ahli bedah
tumor, ahli onkologi, ahli radioterapi, ahli bedah plastik, pekerja sosial, ahli
gizi, dan beragam ahli lainnya yang hanya merawat pasien kanker payudara dari
hari ke hari. Dan hampir semua rumah sakit sekarang ini memiliki protokol dan
algoritma pengobatan yang setidaknya hanya menangani beberapa penyakit yang
umum, misalnya asma atau serangan stroke. Jejaring saraf buatan
yang baru sebenarnya hanya menerapkan ilmu itu dalam upaya diagnosis.
Meskipun begitu, masih saja ada yang menentang cita-cita diterapkannya
kedokteran mesin ini. Sebagian karena pandangan yang picik: dokter sering sulit
diajak mengubah cara mereka melakukan sesuatu, Tetapi, sebagian penolakan ini
berasal dari pertimbangan yang lebih layak, bahwa bila kedokteran mesin
dikembangkan, ada sesuatu yang utama dalam kedokteran akan hilang, yaitu
kemampuan teknis yang berharga. Layanan kedokteran modern saja sudah kehilangan
sentuhan kemanusiaan, dan semangat kepakarannya telah menyebabkan masyarakat
yang sebenarnya ingin mereka layani merasa tersisih. Pasien sering merasa
dipandang sebagai sekadar nomor tanpa nama.
Namun, bukan berarti kemanusiaan dan teknologi tidak dapat dipadukan, keduanya
sebenarnya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara lebih baik. Dengan kata
lain, mesin sebenarnya sahabat dokter. Contoh sederhana, kesalahan merupakan
musuh utama dalam hubungan dokter dan pasien. Manusia memang selalu bisa berbuat
salah mesin pun tak selalu sempurna tetapi, kepercayaan akan meningkat bila ? ?kesalahan semakin berkurang. Tambahan lagi, di saat "sistem" semakin jauh
mengambil-alih kerja teknis dalam kedokteran, setiap dokter berkesempatan untuk
mengedepankan dimensi pelayanan yang sudah lebih lama berperan sebelum ada
teknologi, misalnya bercakapcakap akrab dengan pasiennya. Pelayanan medis
menyangkut hidup mati seseorang, kita selalu membutuhkan bantuan dokter untuk
dapat mengerti apa yang terjadi dan mengapa, apa yang mungkin dan tak mungkin.
Dengan semakin kusutnya hubungan
antara para pakar dan sistem pakar (komputer), dokter justru dituntut untuk
bertindak sebagai pembimbing yang bijak dan meyakinkan. Mesin mungkin dapat
memberikan keputusan, tetapi kita tetap memerlukan dokter untuk menyembuhkan. ><
'?"3" - Ketika Dokter Berbuat Salah
Untuk sebagian besar masyarakat khususnya pengacara dan media massa kesalahan
? ?medis pada dasarnya menunjukkan bahwa dokter tidak bermutu. Bagaimana caranya
sampai terjadi kesalahan di dunia kedokteran biasanya tidak dibahas, dan
akibatnya terjadi salah pengertian. Kesalahan adalah sesuatu yang wajar terjadi,
tetapi kita cenderung memandangnya sebagai suatu penyimpangan. Padahal, sama
sekali bukan. Pada suatu hari Jumat yang sejuk, pukul 2 tengah malam, dengan mengenakan gaun
bedah dan sarung tangan steril, aku sedang membuka perut seorang remaja korban
penusukan ketika penyerantaku berbunyi. "Kode trauma, tiga menit," begitu kata
perawat kamar bedah membacakan pesan di penyerantaku. Itu berarti ambulans akan
datang dalam waktu tiga menit lagi, membawa pasien trauma lainnya, dan sebagai
residen yang bertugas di ruang gawat darurat, aku harus siap ketika pasien tiba.
Aku menjauh dari meja bedah dan membuka gaun bedah. Dua dokter bedah lain sedang
menangani korban penusukan itu: Michael Ball, dokter yang bertanggung jawab atas
kasus ini, dan David Hernandez, residen kepala (dokter bedah umum yang dalam
tahun terakhir pendidikannya). Biasanya kedua orang itu harus menyelia dan
membantu menangani trauma, tetapi mereka sudah sibuk di situ. Bali, pria yang
tak suka banyak bicara dan pintar, usia 42 tahun, memandangku yang sedang
berjalan menuju ke pintu. "Kalau ada masalah, panggil saja, salah satu dari kami
akan datang," katanya.
Aku memang mendapat masalah. Ketika menceritakan ini, aku harus mengubah
beberapa rinciannya (termasuk nama mereka yang terlibat). Walaupun demikian, aku
mencoba agar sedekat mungkin dengan kenyataannya, sambil mencoba melindungi
pasien, diriku, dan staf lainnya.
Puang gawat darurat berada satu lantai di atas, aku melangkahi dua anak tangga
sekaligus, dan tiba di sana tepat ketika petugas gawat darurat mendorong masuk
seorang wanita tiga puluh tahunan dengan berat lebih dari seratus kilogram. Ia
terbaring diam di atas papan spinal plastik, matanya terpejam, pucat, dan darah
mengalir dari hidungnya. Perawat mengarahkan petugas untuk mendorongnya ke
Trauma Bay 2, ruang periksa khusus yang diperlengkapi seperti OK (kamar
operasi), dengan dinding keramik hijau, perangkat monitor, dan ruang untuk
perangkat sinar-X yang bisa dibawa-bawa. Kami mengangkat si pasien ke meja
periksa dan mulai bekerja. Seorang perawat menggunting bajunya. Perawat lain
memeriksa tanda-tanda vital, perawat yang lain lagi memasang slang infus
intravena di lengan kanannya. Seorang dokter-muda bedah memasang kateter Foley
ke kandung kemihnya. Dokter gawat darurat yang bertugas ketika itu adalah Samuel
Johns, pria kurus mirip Ichabod Crane, usia lima puluhan. Ia berdiri di samping
pasien dengan tangan bersilang yang menandakan aku dapat terus menangani pasien
itu. Di rumah sakit pendidikan, hampir semua tindakan
dokter dikerjakan oleh residen. Tugas kami bergantung pada tingkat kami dalam
pendidikan, tetapi kami tidak pernah bekerja sendiri: selalu ada dokter
penanggung jawab yang mengawasi setiap keputusan kami. Malam itu, karena Johns
yang bertugas dan bertanggung jawab atas penanganan darurat pasien, maka aku
berada di bawah pimpinannya. Tetapi, ia bukan dokter bedah, jadi pada saat yang
sama, dia memercayakan urusan bedahnya kepadaku.
"Bagaimana riwayatnya?" tanyaku.
Seorang paramedis kedaruratan (EMT) menjelaskan
rinciannya: "Wanita kulit putih tak dikenal berkendara
dengan kecepatan tinggi, terguling dan terlempar dari
mobilnya. Ditemukan sendirian tak sadar. Nadi seratus,
tekanan darah seratus per enam puluh, napas tiga puluh ii
Sementara ia bicara, aku mulai memeriksa pasien itu. Langkah pertama dalam
menangani pasien trauma selalu sama. Entah ia seorang korban penembakan sebelas
kali atau korban ditabrak truk atau terbakar di dapur. Yang pertama dilakukan
adalah memastikan apakah ia dapat bernapas tanpa kesulitan. Napas wanita ini
cepat dan dangkal. Sebuah oksimeter dengan sensor yang ditempelkan di jarinya
mengukur saturasi (kejenuhan) oksigen dalam darahnya. "Sat 02" normalnya 95
persen untuk pasien yang bernapas di ruangan. Wanita ini sudah menggunakan
sungkup oksigen dengan aliran penuh, tetapi sat 02-nya hanya 90 persen.
"Ia tidak cukup mendapatkan oksigen," teriakku dengan nada yang khas untuk
mengejutkan semua orang cara teriak yang dipelajari oleh semua residen bedah ?dalam masa tiga bulan residensi. Dengan jari kuperiksa
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 2 Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Aji Mlati 1