Pencarian

Drama Di Ujung Pisau 5

Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande Bagian 5


sekeliling ruang itu terdapat potongan otak, usus, dan berbagai organ lain
berwarna abu-abu terendam formalin dalam wadah mirip wadah Tupperware. Tempat
itu tampak tak terurus, barangnya sudah usang, dan sederhana. Di sebuah brankar
buruk di sudut ruang tergeletak jenazah pasienku, tanpa bungkus, telanjang. Tim
autopsi baru akan memulai pekerjaannya.
Tindak pembedahan mungkin mengerikan, tetapi bagaimanapun autopsi lebih buruk
lagi. Pada operasi yang paling mengerikan sekalipun cangkok kulit, amputasi
? ?para dokter bedah menjaga untuk tetap bertindak halus dan estetis dalam
mengerjakannya. Kami sadar bahwa tubuh yang kami potong itu masih berdenyut
hidup, dan mereka adalah orang yang akan bangun kembali. Tetapi, di kamar
autopsi, yang ada hanyalah tubuh yang telah tak bernyawa. Kita sulit menemukan
kehalusan, dan perbedaan ini terlihat sampai ke hal yang paling kecil. Misalnya,
dalam hal sederhana saja, memindahkan jenazah dari brankar ke meja potong. Di
kamar bedah, kami mengikuti tata cara yang cermat dan hatihati untuk pasien yang
tidak sadar, menggunakan papan yang bertutup kain kanvas untuk menggulirkan
pasien, dan beberapa gerakan halus. Kami tak ingin sampai terjadi lecet sedikit
pun. Sebaliknya, di ruang potong ini, seseorang menarik begitu saja tangan
pasienku, yang lain menarik kakinya, kemudian mereka sentakkan begitu saja. Bila
kulitnya melekat pada meja potong berlapis baja nirkarat, mereka hanya membasahi
tubuh dan meja itu dengan semprotan sampai mereka dapat menarik seluruh tubuh
itu. Ahli patologi muda yang bertugas untuk kasus itu berdiri mengamati dan
membiarkan asisten patologi mengambil pisau. Seperti banyak sejawatnya yang
lain, ahli patologi ini tertarik pada bidang keahlian ini bukan karena autopsi,
melainkan karena kerja menyidik dengan alat canggih yang harus dikerjakannya
pada potongan jaringan dari pasien hidup. Ia lebih suka menyerahkan autopsi ini
untuk dikerjakan oleh asisten yang memang lebih berpengalaman untuk itu.
Asisten patologi itu seorang wanita tinggi kurus berusia sekitar tiga puluh
tahun dengan rambut lurus berwarna cokelat. Ia mengenakan baju pelindung lengkap
terdiri atas tutup wajah, sarung tangan, dan gaun plastik warna biru. Setelah
tubuh itu terletak di meja potong, ia meletakkan balok logam 15 cm di bawah
punggung jenazah, di antara belikat sehingga kepalanya jatuh ke bawah, sedangkan
dadanya membusung ke atas. Kemudian, ia mengambil sebuah pisau bedah, pisau
besar ukuran No. 6, dan membuat potongan besar berbentuk huruf-Y yang ditarik
diagonal dari kedua bahu, melengkung sedikit di samping payudara untuk kemudian
bertemu di garis tengah, lalu dilanjutkan ke perut sampai ke tulang kemaluan.
Para ahli bedah sudah terbiasa melihat tubuh yang terbuka. Tidak sulit untuk
melepaskan diri dari tubuh yang tergeletak di meja itu, kemudian tenggelam dalam
tindakan rinci untuk mempelajari anatominya. Walaupun demikian, aku tidak dapat
menahan diri untuk tidak meringis ketika melihat cara asisten itu bekerja: ia
memegang pisau bedah seperti memegang fulpen sehingga ia dapat memotong tajam
dan dalam secara pelahan dengan ujung pisau. Para ahli bedah diajar untuk
berdiri tegak dan sejajar dengan arah sayatan, memegang pisau di antara jempol
dan keempat jari lainnya seolah memegang busur biola, dan menorehkan badan pisau
dalam suatu sayatan halus pada kulit dengan kedalaman yang seharusnya. Asisten
itu ibaratnya menggergaji tubuh pasienku dengan paksa.
Setelah itu, semua organ dalaman dikeluarkan dengan
cepat. Asisten itu menguliti tubuh itu dan membukakan lembar kulit itu ke
belakang. Dengan gergaji listrik, ia memotong di kedua sisi tulang iga yang kini
terpapar. Kemudian, ia mengangkat kubah iga itu seolah membuka bungkus penutup
mobil, sehingga perutnya terbuka dan mengeluarkan semua organ utama terdiri ?atas jantung, paru-paru, hati, usus, dan ginjal. Kemudian, tengkorak dibuka
dengan gergaji, dan otak juga dikeluarkan. Sementara itu, si ahli patologi duduk
di meja belakang, menimbang dan memeriksa semua organ, dan membuat sediaan untuk
pemeriksaan mikroskopis secara menyeluruh.
Namun, untuk semua itu, harus kuakui: pasien itu tampak sama sekali tidak
terusik. Asisten itu telah melakukannya menurut prosedur yang biasa dan
membiarkan sayatan tengkorak di belakang telinganya, yang tertutup oleh rambut,
tetap terbuka. Ia juga kemudian menutup dada dan perut dengan rapi, menjahit
sayatan kuat-kuat dengan benang yang besar dan kuat. Pasienku memang tampak
persis seperti sebelumnya, kecuali sekarang ada sedikit cekungan di tengah.
(Kesepakatan baku membolehkan rumah sakit menyimpan organ untuk pengujian dan
penelitian. Tata cara yang sudah lama dan umum dianut ini menimbulkan perdebatan
di Inggris media mencapnya sebagai "pemeretelan organ" tetapi di Amerika, hal
? ?ini umumnya tetap diterima). Bahkan, kebanyakan keluarga masih menyelenggarakan
upacara pemakaman dengan membukakan peti mati bagi pelayat, setelah jenazah
diautopsi. Petugas kamar mayat biasanya mengisikan sesuatu untuk mempertahankan
bentuk tubuh jenazah, sehingga kita tak akan tahu bahwa telah dilakukan autopsi.
Namun, ketika saatnya tiba untuk meminta izin keluarga untuk melakukan semua hal
itu, maka gambaran itu akan muncul dalam pikiran siapa pun termasuk dokternya. ?Kita berusaha keras untuk tetap bersikap dingin dan tidak melibatkan perasaan
dalam masalah ini. Walaupun demikian, keraguan tetap saja menyusup.
Salah satu dari pasien pertama yang harus kuminO takan izin autopsinya adalah
seorang pensiunan dokter New England berusia 75 tahun yang meninggal pada suatu
malam musim dingin ketika aku sedang berada bersamanya. Herodotus Sykes (bukan
nama aslinya, dan bukannya tidak mirip dengan aslinya) dilarikan ke rumah sakit
dengan aneurisma aorta perut yang pecah dan terinfeksi, dan menjalani operasi
darurat. Ia dapat melalui operasi itu dan pulih dengan mantap sampai, delapan
belas hari kemudian, tekanan darahnya mendadak turun dengan sangat mengejutkan
dan darah mulai mengalir dari pipa salir di perutnya. "Tunggul aortanya pasti
pecah," kata dokter bedahnya. Infeksi yang masih tersisa telah membuat lemah
jahitan luka di tempat diangkatnya aorta. Kami dapat melakukan operasi ulang,
tetapi kemungkinannya begitu buruk, dan dokter bedahnya memutuskan tidak akan
melakukannya lagi. Ia benar. Jangan dioperasi lagi, kata Sykes padaku. Penderitaannya sudah terlalu
banyak. Kami memanggil Ny. Sykes yang tinggal di rumah temannya, dua jam
perjalanan jaraknya, dan ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.
Ketika itu sekitar tengah malam. Aku duduk di samping tempat tidurnya, sementara
Sykes berbaring diam dengan perdarahan, lengannya terkulai di sampingnya, tak
ada ketakutan di matanya. Aku membayangkan istrinya duduk dalam Mass Pike (sejenis
angkutan massal) yang selalu sibuk dengan 6 jalur, yang hampir kosong pada jam
itu, yang jaraknya masih jauh.
Sykes masih bertahan, dan pada pukul 2.15 pagi istrinya tiba. Wajahnya pucat
melihat keadaan suaminya, tetapi ia berusaha tetap tegar. Dengan lembut
digenggamnya tangan suaminya. Ia meremas tangan suaminya yang membalas
meremastangannya. Kutinggalkan mereka berdua.
Pada pukul 2.45 perawat memanggilku masuk. Kudengarkan dengan stetoskop,
kemudian berbalik ke Ny. Sykes dan mengatakan padanya bahwa suaminya sudah
meninggal. Ia sama tegarnya dengan suaminya, tetapi akhirnya tangisnya pecah
dalam diam, kedua tangan menutup wajahnya, dan tibatiba ia tampak begitu kecil
dan lemah, Kawannya yang datang bersamanya segera muncul, merangkulnya, dan
membimbingnya keluar dari ruangan.
Kami diperintahkan untuk melakukan autopsi pada setiap orang, sebagai cara untuk
memastikan penyebab kematian dan menemukan kesalahan tindakan kami. Dan inilah
saatnya bagiku untuk meminta izin kepada seorang istri yang sedang berduka dan
?terpukul. Tetapi, aku mulai berpikir bahwa ini adalah kasus yang tidak
memerlukan autopsi. Kami sudah tahu apa yang terjadi infeksi yang tak teratasi,
?pembuluh yang pecah. Kami yakin tentang itu. Lalu, apa lagi yang harus dilihat
dengan memotong tubuh orang ini"
Maka, kubiarkan Ny. Sykes pergi. Aku sebenarnya dapat mencegatnya ketika ia
berjalan keluar dari pintu ganda ICU. Atau dapat meneleponnya belakangan.
Tetapi, itu tak kulakukan.
Pertimbangan seperti itu tampaknya lumrah dalam dunia kedokteran. Dokter tidak
banyak lagi melakukan autopsi, dan dalam tahuntahun terakhir ini Journal of the
American Medical Association telah dua kali menyatakan "perang untuk non-
autopsi" Menurut data statistik terbaru, autopsi dilaksanakan pada kurang dari
10 persen kematian; banyak rumah sakit bahkan tidak melakukannya. Ini merupakan
perubahan yang dramatis. Hampir sepanjang abad kedua puluh, dokter meminta izin
autopsi dengan hatihati pada hampir semua kematian dan dibutuhkan waktu
? berabad-abad untuk sampai pada keadaan itu. Seperti yang dikemukakan Kenneth
Iserson dalam almanaknya yang menarik, Death to Dust, dokter telah melakukan
autopsi selama lebih dari dua ribu tahun. Tetapi menurut sejarah, autopsi jarang
dilakukan. Kalaupun berbagai agama mengizinkannya Islam, Shinto, Judaisme ?ortodoks, dan Gereja Yunani Ortodoks masih menolaknya umumnya adalah untuk
?kepentingan hukum. Seorang dokter Romawi, Antistius, telah melakukan salah satu
dari pemeriksaan kedokteran kehakiman paling dini yang dicatat sejarah, pada
tahun 44 SM, yaitu pada Julius Caesar, dan melaporkan 23 luka, termasuk luka
tusuk terakhir yang mematikan di dada, Pada tahun 1410, Gereja Katolik sendiri
meminta dilakukan autopsi pada Paus Alexander V untuk memastikan apakah
?penggantinya telah meracuninya. Kecurigaan itu ternyata tidak terbukti.
Pemeriksaan pascamati yang pertama dicatat dalam NewWorld sebenarnya dilakukan
atas alasan keagamaan. Pemeriksaan itu dilakukan pada tanggal 19 Juli 1533, di
pulau EspaHola (sekarang Republik Dominika) atas bayi
kembar siam perempuan yang saling lekat pada dada bagian bawah, untuk menentukan
apakah masingmasing memiliki jiwa. Kembar itu lahir hidup dan pendeta membaptis
mereka sebagai dua orang. Timbul pertentangan tentang apakah yang dilakukan
pendeta itu benar, dan ketika "monster ganda" itu meninggal pada hari kedelapan,
diperintahkanlah autopsi untuk menyelesaikan pertentangan pendapat itu. Seorang
ahli bedah, Johan Camacho, menemukan dua perangkat organ-dalam yang lengkap
sehingga ditetapkan bahwa dua orang telah hidup dan meninggal.
Namun, dalam abad kesembilan belas, lama setelah berbagai pembatasan oleh gereja
mengendur, orang di Barat jarang mengizinkan dokter melakukan autopsi pada
keluarganya untuk kepentingan medis. Akibatnya, hampir semua autopsi dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi. Beberapa dokter langsung melakukan autopsi pada pasien
yang dirawat di rumah sakit segera setelah kematiannya sebelum keluarga datang
untuk menolak. Beberapa dokter lainnya menunggu sampai setelah pemakaman,
kemudian mencuri jenazah itu dari kuburan, baik secara sendiri-sendiri atau
berkomplot, dan itu berlangsung terus sampai memasuki abad kedua puluh. Untuk
mencegah autopsi yang demikian, beberapa keluarga berjaga-jaga di sekitar
kuburan pada malam sesudah pemakaman sehingga muncul istilah "jaga malam
?kuburan." Ada juga keluarga yang meletakkan batu berat di atas peti mati. Pada
tahun 1878, sebuah perusahaan di Colombus, Ohio bahkan menjual "peti mati
torpedo" yang dilengkapi dengan bom pipa yang dipersiapkan meledak bila peti
mati dirusak. Namun, para dokter tetap tidak dapat dicegah. Buku Ambrose Bierce
The Devils's Dictionary yang diterbitkan
pada tahun 19D6 menggambarkan kuburan sebagai "tempat untuk mayat menunggu
kedatangan mahasiswa kedokteran."
Tetapi, setelah peralihan ke abad ke-21, para dokter terkemuka seperti Rudolf
Virchow di Berlin, Kari Rokitansky di Wina, dan William Osier di Baltimore mulai
mendapatkan dukungan masyarakat untuk melakukan autopsi. Mereka
mempertahankannya sebagai alat dalam upaya penemuan, salah satunya pernah
digunakan untuk menetapkan penyebab tuberkulosis, dan menemukan cara mengobati
radang usus buntu, dan menunjukkan adanya penyakit Alzheimer. Mereka juga
memperlihatkan bahwa dengan autopsi, kesalahan dapat dicegah bahwa tanpa
?autopsi, dokter tidak akan tahu kapan diagnosis mereka salah. Lebihlebih, pada
masa itu kebanyakan kematian adalah misteri, dan yang dapat menyelesaikan
perdebatan itu adalah alasan bahwa autopsi dapat memberikan jawaban kepada
keluarga memberikan penjelasan bagaimana berakhirnya hidup seorang yang
?dicintai. Ketika dokter dapat menjamin bahwa pemotongan itu dilakukan dengan
baik dan bermartabat di rumah sakit, pandangan masyarakat pun berubah. Dengan
berlalunya waktu, para dokter yang tidak melakukan autopsi justru dicurigai.
Pada akhir Perang Dunia Kedua, autopsi telah diterima secara mantap sebagai
bagian rutin dalam proses kematian di Eropa dan Amerika Utara.
Jadi, apa yang kemudian membuatnya tidak disukai lagi" Sebenarnya, bukan
penolakan dari keluarga jika dilihat dari penelitian belakangan ini, keluarga
?tetap memberikan izin pada 80% kasus. Sebaliknya, para dokter yang dulu begitu
bersemangat melakukan autopsi sampai sudi mencuri jenazah, mulai berhenti
meminta izin autopsi. Sebagian orang melihat berbagai alasan yang meragukan. Ada yang mengatakan bahwa
rumah sakit ingin berhemat dengan tidak melakukan autopsi karena asuransi tidak
membayarnya, atau dokter tidak melakukannya untuk menutupi bukti adanya
malpraktik. Padahal, ketika autopsi masih populer pun, tindakan ini tetap
menghabiskan uang dan bisa mengungkapkan malpraktik.
Namun, aku berpendapat bahwa yang membuat autopsi tidak lagi dilakukan adalah
keyakinan kedokteran abad ke-21 bahwa ilmunya dapat dipertanggung-jawabkan. Aku
tidak meminta izin pada Ny. Sykes apakah ia ingin suaminya diautopsi, bukan
karena masalah biaya, atau takut bahwa autopsi akan mengungkapkan kesalahan.
Sebaliknya: aku ragu akan ditemukan kesalahan. Sekarang ini kita punya payaran
MRI, USG, kedokteran nuklir, pengujian molekuler, dan banyak lagi peralatan
lain. Ketika seseorang meninggal, kita sudah tahu mengapa. Kita tidak lagi
memerlukan autopsi untuk mengetahuinya.
Atau, begitulah menurut pandanganku. Tetapi, kemudian aku punya pasien yang
mengubah pandangan ini. Ia pria berusia enam puluhan, berwajah brewok dan periang, seorang mantan
insinyur yang sukses sebagai seniman pada masa pensiunnya. Aku akan menyebutnya
Tn. Jolly (periang) karena memang begitulah ia. Ia juga seorang
"vaskulopat" tampaknya tak ada satu pun pembuluh di tubuhnya yang tidak cedera.?Entah karena pola makannya atau karena genetikanya atau karena ia perokok, ia
pernah mengalami, pada dasawarsa sebelumnya, sekali serangan jantung, dua
operasi perbaikan aneurisma pembuluh nadi utama di perut, empat kali bedah
pintas pembuluh untuk menjaga agar darah tetap
mengalir melewati sumbatan di pembuluh tungkainya, dan beberapa kali operasi
pelebaran pembuluh yang mengeras. Tetapi, aku tidak pernah mendengarnya
menyesali nasib. "Yah, kita tidak boleh bersedih dengan keadaan seperti ini,"
katanya. Ia punya anakanak yang menyenangkan, cucu yang lucu. "Tetapi, kalau
sudah menyangkut soal istri...," ia melanjutkan. Istrinya akan duduk di tepi
tempat tidur, memutarmatanya ke atas, dan Tn. Jolly akan tersenyum lebar.
Jolly datang ke rumah sakit untuk mengobati luka infeksi pada kakinya. Tetapi,
tak lama kemudian muncul keadaan lemah jantung bendungan yang menyebabkan cairan
mengalir balik dan menumpuk di paru-paru. Ia jadi sulit bernapas sehingga kami
harus merawatnya di ICU, memasang pipa trakea, dan memasang ventilator.
Perawatan dua hari memanjang jadi dua minggu. Tetapi, dengan obat yang
memperbanyak berkemih dan perubahan pada beberapa obat jantung, keadaan
jantungnya membaik, dan paru-parunya pulih. Dan pada suatu hari Minggu pagi yang
cerah, ia duduk di tempat tidurnya, bernapas sendiri, menonton acara TV yang
menggantung dari langit-langit. "Keadaan Anda bagus sekali," kataku. Kukatakan
bahwa kami akan memindahkannya dari ICU pada sore hari itu. Ia mungkin dapat
pulang dua hari lagi. Dua jam kemudian, panggilan darurat kode biru dari ICU terdengar dari pengeras
suara di atas. Ketika sampai di ICU, kulihat perawat membungkuk di atas Tn.
Jolly, melakukan kempaan jantung. Aku pun mengumpat marah. Ia baik-baik saja
tadi, perawat itu menjelaskan, sedang menonton TV, ketika tibatiba ia duduk
tegak dengan wajah tampak kaget, lalu ia jatuh tak bergerak. Pada mulanya,
terjadi asistolik tak ada irama jantung pada
?monitor dan kemudian irama itu muncul lagi, tetapi denyutnya tak ada. Kerumunan
?tim mempersiapkan segala sesuatu. Aku melakukan intubasi, memasang infus dan
memberikan epinefrin, dan meminta seseorang menelepon dokter bedah yang
merawatnya, dan meminta yang lain memeriksa hasil pemeriksaan lab pagi itu.
Teknisi sinar-X mengambil foto dada dengan alat yang bisa dibawa-bawa.
Kupikirkan semua kemungkinan penyebabnya. Tidak banyak. Kegagalan paru, tetapi
kudengar suara napasnya baik melalui stetoskopku, dan ketika foto sinar-X-nya
datang, kedua paru tampak baik. Perdarahan hebat, tetapi perutnya tidak tampak
menggembung., dan penurunan kondisinya terlalu cepat, tidak cocok untuk
perdarahan. Keasaman berlebihan pada darah dapat menyebabkannya, tetapi hasil
lab-nya normal. Lalu, ada tamponade jantung darah tumpah ke kantung jantung. ?Aku mengambil spuit dengan jarum spinal enam inci, menusukkannya ke kulit di
bawah tulang dada, dan mendorongnya masuk ke kantung jantung. Tak ada
perdarahan. Maka tinggal satu kemungkinan: emboli paru bekuan darah yang
?mengalir masuk ke paru-paru dan langsung menyumbat semua aliran darah ke paru-
paru. Dan tak ada yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal itu.
Aku keluar dan bicara dengan dokter bedahnya di telepon, kemudian dengan residen
kepala yang baru saja tiba. Embolisme adalah satu-satunya penjelasan logis,
mereka setuju. Aku kembali ke ruangan dan mematikan kode alarm. "Meninggal pukul
10.23," kataku mengumumkan. Kutelepon isterinya di rumah, memberitahu bahwa
sesuatu yang buruk telah terjadi, dan kuminta ia datang.
Ini seharusnya tidak terjadi; aku yakin itu. Kupelajari rekam medisnya untuk
mencari petunjuk. Kutemukan satu. Pada pemeriksaan lab yang dilakukan sehari
sebelumnya, waktu pembekuan darah pasien itu melambat, yang sebenarnya tidak
serius, tetapi seorang dokter ICU m emutuskan untuk memperbaikinya dengan
memberikan vitamin K. Efek samping yang paling sering dari vitamin K adalah
terbentuknya bekuan darah. Aku sangat marah. Pemberian vitamin itu sama sekali
tidak perlu hanya untuk memperbaiki angka dalam hasil lab. Kami, aku dan ?residen kepala, menyalahkan dokter itu. Kami semua menuduhnya telah membunuh


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasien itu. Ketika Ny. Jolly tiba, kami membawanya ke ruang keluargayang tenang dan sepi.
Aku dapat melihat dari wajahnya bahwa ia telah menduga apa yang terburuk itu.
Jantungnya tibatiba berhenti berdenyut, kami menjelaskan, karena adanya
embolisme paru. Kami mengatakan bahwa obat yang kami berikan mungkin ada
hubungannya dengan itu. Aku membawanya ke dalam untuk melihat jenazah suaminya
dan meninggalkannya sendiri. Setelah beberapa lama ia keluar, tangannya gemetar
dan wajahnya penuh air mata. Kemudian, ia menyampaikan terima kasih kepada kami.
Kami telah menolongnya merawat suaminya selama bertahuntahun. Mungkin benar,
tetapi tak seorang pun dari kami yang merasa bangga dengan apa yang baru saja
terjadi. Aku menyampaikan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan. Aku mengatakan bahwa
kami ingin melakukan autopsi pada jenazah suaminya dan minta izin padanya. Kami
pikir kami sudah tahu apa yang terjadi, tetapi autopsi akan membuktikannya,
kataku. Ia mempertimbangkan pertanyaanku untuk beberapa waktu. Bila autopsi itu
akan membantu kami, katanya akhirnya, maka kami boleh melakukannya. Kukatakan,
sebagaimana mestinya, ya itu akan membantu. Aku tak yakin dengan jawa-banku itu.
Aku tidak bertugas di kamar bedah besok paginya, jadi aku turun untuk
menyaksikan autopsi. Ketika aku tiba, Tn. Jolly telah terbaring di meja potong,
tangannya terkulai, kulitnya telah dilipat ke belakang, dadanya terpapar, dan
perutnya terbuka. Kukenakan gaun plastik, sarung tangan, dan masker, kemudian
mendekat. Asisten mulai memotong kubah iga di sisi kiri dengan gergaji listrik,
dan darah segera mulai merembes keluar, gelap dan kental seperti minyak pelumas.
Dengan sedikit bingung, aku membantunya mengangkat kubah iga. Di sisi kiri
rongga dada penuh darah. Kuraba sepanjang pembuluh nadi parunya untuk mencari
apakah ada bekuan mengeras yang menyumbat, tetapi tak ada. Ternyata tak ada
embolisme. Kami menyedot tiga liter darah, mengangkat paru-paru, maka jawabannya
segera tampak. Lebar aorta dadanya hampir tiga kali yang seharusnya, dan ada
lubang sebesar satu setengah senti di situ. Orang ini mengalami pecah aneurisma
aorta yang menyebabkan perdarahan yang mematikan.
Pada hari-hari sesudah itu, aku minta maaf kepada dokter yang kusesali telah
memberikan vitamin, dan menimbang-nimbang betapa kami telah lalai dalam
menegakkan diagnosis. Aku melihat kembali foto sinar-X yang lama dari pasien itu
dan sekarang melihat sebuah bayangan yang mestinya merupakan gambaran aneuris-
manya. Tetapi, tak seorang pun dari kami, bahkan tidak juga ahli radiologinya,
melihat gambaran itu. Kalau pun melihatnya, kami tidak berani melakukan apa-apa
sampai beberapa minggu setelah infeksi dan gagal jantungnya
sembuh, dan itu tentu akan terlambat juga. Walaupun demikian, aku tetap merasa
tak enak karena sudah begitu yakin dengan apa yang terjadi hari itu, yang
ternyata salah. Yang paling membingungkan adalah foto sinar-X dadanya yang terakhir, yang
diambil dalam situasi darurat itu. Dengan darah yang memenuhi dada, seharusnya
aku melihat setidaknya gambaran kabut di sebelah kiri. Tetapi, ketika kuambil
foto itu untuk melihat kembali, memang tidak ada.
Seberapa sering suatu autopsi mengungkapkan kesalahan dalam menetapkan penyebab
kematian" Dugaanku, hal itu jarang terjadi, paling banyak 1 atau 2 persen kasus.
Tetapi, menurut tiga penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 dan 1999,
angkanya sekitar 40 persen. Suatu tinjauan besarbesaran atas autopsi
menyimpulkan bahwa pada sekitar sepertiga dari kesalahan diagnosis itu,
pasiennya mungkin dapat diselamatkan kalau diberikan penanganan yang benar.
George Lundberg, seorang ahli patologi dan mantan editor Journal of the American
Medical Association, telah melakukan banyak hal agar orang memerhatikan angka
itu. Ia mengemukakan fakta yang paling mengejutkan: persentase salah diagnosis
yang ditemukan dari autopsi tidak lebih baik sejak 1938.
Dengan segala kemajuan dalam teknologi pencitraan dan diagnostik, rasanya sulit
menerima kenyataan bahwa kita bukan saja salah mendiagnosis pada dua dari lima
pasien yang meninggal, tetapi juga kita tidak menjadi lebih baik dari waktu ke
waktu. Untuk melihat apakah demikian keadaannya, beberapa dokter di Harvard
telah melakukan suatu penelitian sederhana. Mereka menelusuri
kembali rekam medis di rumah sakit untuk melihat seberapa sering autopsi
mengungkapkan salah diagnosis dalam tahun I960 dan tahun 197D, sebelum
ditemukannya payaran CT, USG, payaran nuklir, dan teknologi lainnya, kemudian
dalam tahun 198D setelah kita menggunakan semua teknologi itu. Para peneliti itu
tidak menemukan perbaikan. Pada dasawarsa mana pun, para dokter telah gagal
mendiagnosis seperempat dari infeksi yang fatal, sepertiga serangan jantung, dan
hampir dua pertiga emboli paru pada pasien mereka yang meninggal.
Pada kebanyakan kasus, bukan teknologinya yang salah, melainkan dokternya yang
tidak mempertimbangkan diagnosis yang benar sejak awal, Pengujian atau
pemeriksaan yang sempurna tersedia, tetapi dokternya tidak pernah meminta
pemeriksaan itu. Dalam sebuah tulisannya pada tahun 1976, para filsuf Samuel Gorovitz dan
Alasdair Maclntyre mempelajari masalah kesalahan. Misalnya, mengapa ahli
meteorologi gagal meramalkan dengan tepat di mana badai akan meruntuhkan bumi"
Mereka melihat tiga kemungkinan alasannya. Pertama, ketidaktahuan: mungkin ilmu
hanya memberikan pemahaman yang terbatas tentang perilaku badai, Alasan kedua
adalah tidak adanya kemahiran: pengetahuannya ada, tetapi peramal cuaca tidak
mampu menerapkan ilmu itu dengan tepat. Keduanya merupakan sumber kesalahan yang
dapat diatasi. Kita yakin bahwa ilmu dapat mengatasi ketidaktahuan, sedangkan
pelatihan dan teknologi dapat mengatasi kurangnya kemahiran. Tetapi, kemungkinan
sebab kesalahan ketiga yang dikemukakan oleh para filsuf itu adalah kesalahan
yang tak dapat diatasi, yaitu yang mereka sebut sebagai "kesalahan yang
diperlukan." Mungkin ada beberapa jenis pengetahuan yang tidak akan pernah diungkapkan oleh
ilmu dan teknologi, kata Gorovitz dan Maclntyre. Ketika kita ingin agar ilmu
menjelaskan lebih jauh tentang bagaimana sesuatu (katakanlah: badai) berperilaku
sehingga kita dapat meramalkan dengan tepat bagaimana sesuatu (katakanlah: badai
hari Kamis di lepas pantai Pulau Jawa bagian selatan) akan berperilaku,
tampaknya kita berlebihan dalam berharap. Tak ada badai yang sangat mirip dengan
badai lainnya. Walaupun mengikuti hukum perilaku yang dapat diramalkan, setiap
badai akan selalu ditentukan oleh banyak sekali faktor kebetulan dalam
lingkungan, yang tidak dapat dikendalikan. Untuk mengatakan dengan tepat
bagaimana suatu badai akan berperilaku diperlukan pemahaman yang lengkap tentang
dunia dengan segala kekhususannya dengan kata lain, diperlukan omniscience ?(ilmu yang tak berbatas).
Bukannya tidak mungkin meramalkan segala sesuatu; banyak hal yang dapat
sepenuhnya diramalkan. Gorovitz dan Maclntyre memberi sembarang contoh seperti
es batu yang dipanaskan. Es batu adalah sesuatu yang sederhana dan sama di mana
pun sehingga kita dapat dengan yakin mengatakan bahwa es itu akan meleleh bila
dipanaskan. Tetapi, bila kita bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi pada
seseorang, kita harus bertanya apakah manusia lebih sama dengan es batu atau
dengan badai" Sekarang ini, pada tengah malam, aku sedang mengunjungi seorang pasien di ruang
gawat darurat, dan aku ingin menganggap bahwa ia seperti es batu. Artinya, aku
yakin bahwa aku mengerti apa yang sedang terjadi
padanya, bahwa aku dapat mengetahui semua hal yang berkaitan dengan keadaannya.
Aku yakin bahwa aku dapat menolongnya.
Charlotte Duveen, demikian kita akan menyebutnya, adalah wanita 49 tahun yang
telah dua hari mengeluh nyeri pada perutnya. Aku mulai mengamatinya sejak
pertama aku masuk ke ruangannya. Ia duduk dengan kaki bersilang di kursi di
sebelah brankarnya dan menyambutku dengan suara riang dan serak akibat rokok. Ia
tidak tampak sakit. Ia tidak meringis memegangi perutnya. Ia tidak terengah-
engah bicara. Warna kulitnya biasa tidak merah, tidak pucat. Rambut cokelatnya ?yang sebahu telah disisir, dan lipstiknya terpoles dengan rapi.
Ia menceritakan bahwa nyeri itu dimulai dengan rasa kejat, seperti ada gas.
Tetapi kemudian, dalam sehari, nyeri itu menjadi tajam dan terpusat di satu
tempat, dan ketika mengatakan ini ia menunjuk ke titik di bagian kanan bawah
perutnya. Kemudian, ia mencret. Ia selalu merasa ingin berkemih. Ia tidak demam.
Ia tidak mual. Sebenarnya ia lapar. Ia mengatakan bahwa ia makan hot-dog di
Fenway Park dua hari yang lalu, dan ia mengunjungi taman burung di kebun
binatang beberapa hari sebelum itu, dan ia bertanya apakah sakitnya ini ada
hubungan dengan kedua hal itu. Dia punya dua anak yang sudah besar. Haidnya yang
terakhir adalah tiga bulan yang lalu. Ia merokok setengah bungkus sehari. Ia
pernah menggunakan heroin, tetapi sekarang ia bersih katanya. Ia pernah
menderita hepatitis. Ia belum pernah dioperasi.
Aku meraba perutnya. Ini bisa apa saja: keracunan makanan, virus, radang usus
buntu, infeksi saluran kemih, kista pada indung telur, kehamilan. Perutnya
lunak, tak ada kembung, dan di perempat kanan bawah ada daerah
yang agak nyeri bila ditekan. Ketika aku menekan di sana, aku merasakan ototnya
secara refleks mengeras di bawah jariku. Pada pemeriksaan panggul, indung
telurnya teraba normal. Aku minta dilakukan beberapa pemeriksaan lab. Jumlah sel
darah putihnya ternyata meningkat. Hasil pemeriksaan urinnya normal. Uji
kehamilan negatif. Aku minta dilakukan payaran CT.
Aku yakin bahwa aku akan dapat menemukan apa yang salah padanya, tetapi kalau
dipikirkan benarbenar, itu hanyalah suatu keyakinan semu. Aku tidak pernah kenal
dengan wanita ini sepanjang hidupku, tetapi aku menganggapnya sama dengan wanita
lain yang pernah kuperiksa. Benarkah itu" Jujur saja, aku belum pernah punya
pasien seorang wanita 49 tahun yang menderita hepatitis dan punya kebiasaan
minum obat, yang baru-baru ini pergi ke kebun binatang, makan sosis Fenway, dan
datang dengan nyeri perut ringan di kanan bawah sejak dua hari yang lalu.
Tetapi, aku tetap yakin. Setiap hari kami mengoperasi orang, membuka perutnya,
dan secara umum kami tahu apa yang akan terlihat: bukan belut atau perangkat
mesin kecil atau ceruk berisi cairan biru, melainkan kelukan usus, hati di satu
sisi, lambung di sisi lainnya, kandung kemih di bagian bawah. Tentu saja ada
perbedaan perlekatan pada satu pasien, infeksi pada pasien lainnya tetapi,
? ?kami mengelompokkan dan memilah mereka dalam angka ribuan sehingga diperoleh
gambaran statistik tentang manusia.
Aku cenderung memperkirakan radang usus buntu (apendisitis). Letak nyerinya
tepat. Saat timbulnya gejala, hasil pemeriksaan, dan jumlah sel darah putihnya
semua sesuai dengan yang pernah kulihat sebelumnya. Tetapi, ia merasa lapar; ia
dapat berjalan, tidak tampak
sakit, dan ini tidak biasa. Aku pergi ke ruangan radiologi dan berdiri di dalam
gelap, melihat dari belakang bahu ahli radiologi ke citra perut Duveen yang
terpampang di kotak monitor. Ia menunjuk ke usus buntu, seperti cacing, tebal,
dikelilingi oleh serat lemak keabuan. Ini apendisitis, katanya penuh keyakinan.
Kupanggil dokter bedah yang sedang bertugas dan mengatakan apa yang kami
temukan. "Siapkan kamar bedah," katanya. Kami akan melakukan pengangkatan usus
buntu, apendektomi. Kali ini memang benar, tetapi aku pernah menangani kasus serupa yang ketika kami
buka perutnya ternyata kami temukan apendiks normal. Pembedahan itu sendiri
merupakan semacam autopsi. "Autopsi" secara harfiah berarti "membuktikan
sendiri," tetapi walaupun ketika melihatnya kita diperlengkapi dengan
pengetahuan dan teknologi, kita sering tidak siap melihat apa yang kita temukan.
Kadang bahkan kita melakukannya tanpa petunjuk sama sekali dan melakukan
kesalahan. Kadang, walaupun kita melakukannya dengan benar, diagnosisnya tetap
salah. Baik pada pasien hidup maupun pasien yang sudah mati, kita tetap tidak
tahu sampai kita melihatnya. Bahkan pada kasus Tn. Sykes, sampai sekarang aku
masih bertanya-tanya apakah kami telah melakukan penjahitan dengan benar atau
perdarahan memang berasal dari tempat lain. Dokter sudah tidak mempertanyakan
hal seperti itu lagi. Tetapi, yang sama memprihatinkannya, masyarakat tampaknya
membiarkan dokter seperti itu. Pada tahun 1995, National Center for Health
Statistics di Amerika menghentikan semua pengumpulan statistik autopsi. Kita
bahkan tidak bisa lagi mengatakan seberapa jarang dilakukan autopsi.
Dari apa yang kulihat selama melakukan pembedahan,
aku memutuskan bahwa manusia kira-kira berada di antara badai dan es batu; dalam
satu hal tetap misterius, tetapi dalam hal lain dengan pengetahuan yang cukup ?dan penyelidikan secara hatihati dapat dipelajari. Sangat bodoh kalau kita
?mengira bahwa kita sudah mencapai batas pengetahuan manusia, sama bodohnya
dengan mengira bahwa kita dapat mengetahui segala sesuatu. Masih ada ruang untuk
kita menjadi lebih baik, untuk mempertanyakan, bahkan dari orang mati sekalipun,
untuk belajar dari kenyataan bahwa keyakinan kita ternyata salah.><
"&j"mm Misteri Kematian Bayi
Satu per satu, antara tahun 1949 dan 1968, sepuluh anak yang dilahirkan Marie
Noe, wanita Philadelphia, meninggal. Satu sudah meninggal ketika lahir (lahir
mati). Seorang meninggal di rumah sakit, langsung setelah lahir. Sementara itu,
delapan lainnya meninggal di rumah, ketika masih bayi. Noe mengatakan menemukan
mereka di tempat tidur, sudah dalam keadaan biru, sedang meregang, atau napasnya
sesak. Para dokter waktu itu, di antaranya beberapa ahli patologi yang disegani,
tidak menemukan penjelasan untuk delapan kematian dalam buaian itu padahal
?dilakukan autopsi pada semua kasus. Kecurigaan adanya tindak kejahatan sangat
kuat, tetapi tidak ditemukan bukti untuk itu. Di kemudian hari, kalangan medis
akhirnya menemukan bahwa setiap tahun ribuan bayi yang tampak sehat meninggal
secara misterius di tempat tidurnya, keadaan yang dikenal sebagai Sindrom
Kematian Bayi Mendadak (Sudden Infant Death Syndrome, SIDS) merupakan penyebab
pada semua kasus itu. Namun, delapan kematian bayi secara misterius dalam sebuah keluarga bukanlah
sesuatu yang biasa. Marie Noe kehilangan bayinya lebih banyak dari yang dialami
oleh wanita mana pun. Kita berharap bahwa dokter akan bertindak lebih baik
daripada sekadar memberikan laporan
patologi "Penyebab kematian: tidak diketahui" setelah suatu autopsi. Tiga
dasawarsa kemudian, akhirnya mereka tampaknya berhasil mengatasi masalah ini.
Pada tanggal 4 Agustus 1998, Jaksa Wilayah Philadephia Lynne Abraham mengajukan
bukti medis untuk menuduh Noe, yang saat itu berusia tujuh puluh tahun, telah
membekap semua anaknya dengan bantal. "Ilmu pengetahuan," Abraham menjelaskan
kepada Associated Press "telah berhasil menyelesaikan kasus yang lama tak
terungkap." Ia menuntut Noe dengan tuntutan delapan kali pembunuhan tingkat
pertama, Tuntutan Abraham itu membuatku heran. Bagaimana mungkin ia atau "ilmu
?pengetahuan" menetapkan bahwa kematian itu merupakan pembunuhan dan bukannya
?SIDS" Salah satu daya tarik ilmu adalah kenyataan bahwa ia dapat menghapuskan
ketidakpastian. Tetapi, kenyataannya adalah ilmu cenderung membangkitkan
pertanyaan sama banyaknya dengan memberikan jawaban. Dan keadaan ini rupanya
bukan kekecualian. SIDS sebenarnya bukan penyakit, melainkan suatu nama yang
diberikan oleh para dokter untuk salah satu misteri dalam kedokteran masa kini.
Setiap kematian bayi yang tidak dapat dijelaskan sebabnya setelah dilakukan
pemeriksaan pascamati yang lengkap, tetapi tidak menyimpulkan apa-apa,
dinyatakan sebagai SIDS. Biasanya pada kasus seperti ini, bayi yang sebelumnya
sehat ditemukan meninggal di tempat tidur. Tak terdengar tangisannya sebelum ia
mati. Bayi itu mungkin ditemukan dengan tangan terkepal atau buih yang berdarah
keluar dari hidung dan mulut. Walaupun 90 persen SIDS terjadi pada bayi di bawah
usia enam bulan, anak yang lebih besar
juga dapat mengalami kematian spontan dan mendadak begitu.
Teori SIDS yang pertama yang menyatakan bahwa bayi hanya berhenti bernapas saja
telah ditolak. Dua temuan yang berarti menunjukkan bahwa tidur pada kasur yang
lembut dan tidur dengan posisi telungkup meningkatkan risiko bayi mati mendadak.
Kampanye yang berhasil mendorong para orang tua untuk menidurkan bayinya
telentang atau miring telah berhasil menurunkan angka kejadian SIDS sebesar 38
persen dalam empat tahun. Mungkin SIDS merupakan kecelakaan menakutkan pada bayi
yang belum bisa membalikkan badannya, yang terbekap oleh bantalnya sendiri.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana membedakan dengan tepat
kematian akibat dibekap dan SIDS khususnya dalam kasus Noe yang hasil autopsi ?menyatakan tak adanya tanda kekerasan, dan mayat para bayi itu kini tinggal
tulang belaka. Ahli patologi forensik dan ahli penganiayaan anak yang kuhubungi
memastikan bahwa tidak ada perbedaan dalam temuan autopsi atau cara pengujian
baru untuk membedakan SIDS dari pembunuhan dengan membekap bayi. Jadi, apa dasar
yang digunakan untuk menuntut Noe"
Tak lama setelah tuntutan diumumkan, aku mencoba menghubungi berbagai orang yang
terlibat dalam kasus ini untuk mengajukan pertanyaan itu. Tak ada yang bersedia
menjawab. Tetapi, dengan janji untuk tidak menyebutkan nama, seorang petugas
mengakui bahwa tidak ada bukti langsung yang mendukung tuntutan pembunuhan. Pada
bulan Oktober 1997, setelah seorang reporter dari majalah Philadelphia mulai
meminta informasi untuk menulis artikel mengenai bayi Noe, para polisi penyidik
pembunu-nan Philadelphia memutuskan untuk membuka kembali kasus itu. Mereka
meminta kantor Pemeriksa Medis Philadelphia untuk memeriksa ulang autopsi
terdahulu yang berarti hanya memeriksa laporan autopsi (satu hilang),
?sertifikat kematian, dan laporan penyidik. Para dokter itu tidak menemukan tanda
fisik yang menunjukkan pencekikan, tidak ada cerita yang dikarang, tidak ada
pemeriksaan darah atau pemeriksaan lain yang terlewat. Seperti ahli patologi
sebelumnya, yang ada hanyalah temuan mereka atas delapan kematian bayi dalam
satu keluarga tanpa bukti penyiksaan, dan kecurigaan mereka pada ibunya yang
merupakan satu-satunya orang yang ada ketika semua bayi itu meninggal.
Satusatunya perbedaan adalah bahwa kali ini para dokter mau menyatakan bahwa
pola kematiannya sajalah yang menunjukkan bahwa cara kematian ini adalah
pembunuhan. Pada berbagai kasus penganiayaan anak, seperti juga dalam banyak kasus lainnya,


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu pengetahuan hanya dapat memberikan bukti tidak langsung. Kadangkadang,
memang benar bahwa kami, para dokter, dapat menemukan bukti langsung dan
meyakinkan untuk diagnosis: luka bakar yang hanya mungkin ditimbulkan oleh
puntung rokok, lecet kulit yang memberi gambaran gantungan pakaian, luka bakar
yang seragam mirip gambaran kaus kaki yang menunjukkan kaki yang tercelup dan
tenggelam dalam cairan panas. Aku pernah merawat seorang bayi lelaki usia dua
bulan yang menjerit-jerit karena wajahnya tersiram air panas ayahnya mengatakan
?bahwa itu terjadi karena ia tak sengaja membuka kran air panas ketika sedang
memandikannya. Tetapi, tidak ditemukannya pola percikan pada luka bakar itu
membuat kami dari tim penyidik mencurigai adanya penyiksaan. Kami kemudian membuat foto sinar-X
seluruh tubuh pada anak itu untuk mencari tanda cedera lainnya. Ternyata ia
menderita antara lima sampai delapan iga patah dan patah pada kedua tungkainya.
Beberapa cedera itu terjadi beberapa minggu sebelumnya. Beberapa masih baru.
Pemeriksaan genetik dan kolagen menyingkirkan adanya kelainan tulang atau
kelainan metabolik yang dapat menimbulkan cedera seperti itu. Ini merupakan
bukti nyata dari suatu penyiksaan, dan anak itu kemudian dipisahkan dari orang
tuanya. Sekalipun begitu, seperti terlihat dalam kesaksianku di pengadilan,
bukti itu tidak dapat menunjukkan yang mana dari kedua orang tuanya yang telah
melakukan penyiksaan. (Penelitian polisilah yang akhirnya memastikan
keterlibatan sang ayah dalam kasus itu dan mendorong juri untuk menjebloskannya
ke penjara atas tuduhan penyiksaan anak yang kejam). Kebanyakan kasus tidak
memberikan tanda fisik akibat perlakuan buruk yang sejelas itu. Untuk memutuskan
apakah akan mengirim dinas layanan sosial atau polisi ke keluarga yang demikian,
biasanya kami hanya dapat memberikan petunjuk yang samar untuk dijadikan dasar.
Menurut pedoman yang digunakan di Rumah Sakit Anak di Boston, misalnya, setiap
memar, lecet di wajah, atau patah tulang panjang pada bayi harus dianggap
sebagai bukti kemungkinan penyiksaan. Itu masih tidak cukup untuk penyidikan.
Pada akhirnya, dokter akan mencari orang tuanya untuk memberikan penjelasan
lebih banyak daripada sekadar yang dapat diberikan oleh bukti fisik.
Beberapa tahun yang lalu, putriku yang berusia satu tahun, Hattie, sedang
bermain di ruang main ketika tibatiba ia berteriak ketakutan. Isteriku berlari
masuk dan melihatnya terbaring di lantai, lengan kanannya tertekuk di antara siku dan
pergelangan seperti suatu sendi tambahan. Penjelasan yang paling mungkin adalah
ia mungkin berusaha memanjat dipan lipat, tangannya terjepit di antara engsel
dipan, kemudian tak sengaja didorong oleh Walker yang waktu itu berusia dua
tahun. Hattie jatuh dan tulang lengan bawahnya patah dua. Ketika aku tiba di
rumah sakit dengan putriku dalam gendongan, aku diberondong pertanyaan dari tiga
orang yang terus-menerus bertanya "Coba, bagaimana itu bisa terjadi?" Aku tahu
benar, itu adalah kisah yang mencurigakan tentang seorang anak yang jatuh tanpa?ada yang melihat, dan mengalami patah tulang panjang. Para dokter itu
memerhatikan, seperti aku memerhatikan setiap anak korban trauma, adakah
perubahan dari cerita yang diceritakan oleh para orang tua. Tak heran kalau para
orang tua mudah sekali menjadi marah dan mengajukan pembelaan diri ketika para
dokter mengajukan pertanyaan seolah mereka itu polisi, tetapi walaupun dengan
kemajuan kedokteran seperti ini, pertanyaan tetap merupakan alat utama uji
diagnostik kami untuk memastikan adanya penyiksaan.
Akhirnya, aku dapat mengakhiri semua kekhawatiran itu.Gips warna merah muda
dipasang pada lengan putriku dan kami bawa dia pulang dengan selamat. Namun, aku
tak dapat menghilangkan pikiran bahwa status sosialku memegang peranan dalam
semua itu. Walaupun dokter berusaha menghindarinya, ketika kami memutuskan untuk
memanggil petugas dalam sebuah kasus, maka faktor status sosial ikut menentukan.
Kami tahu, misalnya, bahwa orang tua tunggal hampir dua kali berisiko untuk
melakukan penyiksaan, keluarga miskin hampir enam belas
kali lebih sering. Kami tahu bahwa sepertiga dari ibu pengguna narkoba melakukan
penyiksaan atau mengabaikan anaknya. (Suku bangsa, ternyata, tidak menentukan).
Gambaran itu selalu akan diingat,
Pada kasus Marie Noe, semua faktor itu telah membantu menyelamatkannya. Ia
menikah, tergolong kelas menengah, dan dihormati orang. Tetapi, fakta tentang
delapan kematian seharusnya punya arti bukan" Seperti yang dikatakan oleh
seorang pemeriksa medis yang terlibat dalam kasus yang dibuka kembali ini,
pengulangan kebenaran yang semakin sering dipakai oleh para ahli patologi. "Satu
SIDS adalah tragedi. Dua SIDS adalah misteri. Tiga SIDS adalah pembunuhan."
Namun, jawaban yang sebenarnya adalah bahwa bila polanya sendiri memang jelas
salah, maka itu tidak akan menghilangkan keraguan yang wajar. Melawan sejawatnya
sendiri, Pemeriksa Medis dari Pittsburgh, Cyril Wecht menegaskan bahwa SIDS
berulang dalam suatu keluarga tidak secara otomatis menyiratkan pembunuhan,
Jumlah yang delapan itu memang membuat kematian dalam keluarga Noe mencurigakan,
katanya. Apalagi, para ahli sekarang yakin bahwa kematian seorang bayi karena
SIDS dalam sebuah keluarga tidak meningkatkan kemungkinan akan terjadi lagi
kematian serupa. Bahkan terjadinya dua kematian dalam satu keluarga jelas
mengharuskan adanya penyelidikan. Tapi, walaupun Wecht terus menentang, ada
kasus kematian dua dan tiga bayi dalam sebuah keluarga dan tuduhan pembunuhan
pada kedua kasus itu ternyata sangat mustahil. Orang tua yang anaknya mengalami
SIDS telah dituduh secara salah di masa lalu. Dan yang paling merisaukan, kita
tidak tahu apakah sebenarnya SIDS itu. Mungkin kita menggabungkan berbagai
penyakit dalam memerikan sindrom itu. Atau beberapa kematian alami dalam sebuah
keluarga juga mungkin, walaupun tentu jarang.
Tetapi, walaupun sering tidak dapat membuktikan penganiayaan anak yang mematikan
sekalipun, ilmu pengetahuan bukannya tidak punya kekuatan. Ketika dalam
pemeriksaan polisi Noe dihadapkan pada "bukti" medis atas upaya pembunuhannya,
ia mengakui telah membekap empat anaknya dan mengatakan bahwa ia tidak dapat
mengingat apa yang terjadi pada yang lainnya. Pengacaranya segera
mempermasalahkan kehandalan pengakuan itu serta kelayakannya untuk dikemukakan
dalam persidangan, yang diperoleh dalam wawancara yang berlangsung semalaman.
Namun, pada tanggal 28 Juni 1999, Marie Noe berdiri di sebuah ruang Pengadilan
Umum Philadelphia, bertumpu pada tongkatnya, dan mengaku bersalah atas delapan
kali pembunuhan tingkat dua. Di tengah hadirin, suaminya yang berusia 77 tahun,
Arthur, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan terperangah.
Pada akhirnya, kadang bukan ilmu pengetahuan yang memberikan bukti yang paling
meyakinkan, tetapi yang dikatakan orang lain pada kita.x
- Lagi Pula, Tubuh Milik Siapakah Ini"
Pertama kali aku melihat pasien itu adalah sehari sebelum pembedahannya, dan
kukira dia sudah mati. Joseph Lazaroff, begitu aku memanggilnya, terbaring di
tempat tidur, matanya tertutup, selimut tipis menutupi tubuhnya sampai ke
dadanya yang kurus mirip dada burung. Kalau orang sedang tidur atau bila mereka?dalam pembiusan, dan tidak bernapas sendiri tak akan timbul pertanyaan dalam
?diri kita apakah orang itu hidup. Mereka mengalirkan kehidupan seperti
mengalirnya panas. Kehidupan itu terlihat pada ketegangan otot lengannya,
lengkung bibirnya yang lentur, dan kemerahan kulitnya. Tetapi, ketika aku
membungkuk untuk menyentuh bahu Lazaroff, tanganku tibatiba berhenti dan
naluriku mengatakan bahwa aku menyentuh orang mati. Warna kulitnya
berbeda pucat dan buram. Pipinya, matanya, dan pelipisnya cekung, dan kulit
?wajahnya tampak kaku seperti topeng. Dan yang paling aneh adalah kepalanya
terangkat lima senti di atas bantalnya seolah-olah telah terjadi kekakuan tubuh
pascamati (rigor mortis).
"Tn. Lazaroff?" aku memanggilnya, dan matanya terbuka. Ia memandangku dengan
pandangan hampa, diam, dan tanpa gerakan Waktu itu aku berada pada tahun pertama residensi bedah dan saat itu sedang
bekerja dalam tim bedah saraf. Lazaroff mengidap kanker yang telah menyebar ke
seluruh tubuh, dan ia direncanakan untuk menjalani operasi untuk mengeluarkan
tumor dari tulang belakangnya. Residen senior menyuruhku meminta
persetujuannya yaitu meminta tanda tangan Lazaroff sebagai tanda ia
?mengizinkan dilakukannya operasi. Baik, kataku. Tetapi sekarang, melihat lelaki
yang sangat kurus dan dan ringkih ini, aku jadi berpikir apakah bisa dibenarkan
melakukan operasi padanya.
Rekam medisnya bercerita. Delapan bulan sebelum ini, ia menemui dokternya dengan
keluhan sakit pinggang. Dokter mula-mula tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan, tetapi tiga bulan kemudian nyeri itu bertambah parah dan dokter
meminta pemayaran CT. Pemeriksaan mengungkapkan adanya kanker tumor multipel di
?hati, usus, dan di sepanjang tulang belakang Lazaroff. Hasil biopsi
memperlihatkan bahwa itu adalah kanker yang tak dapat diobati.
Usia Lazaroff baru pada awal enam puluhan, sudah lama bekerja sebagai pegawai
kotapraja dan pernah menderita diabetes, angina sekali-sekali, dengan sikap
keras seorang lelaki yang telah kematian istri beberapa tahun sebelumnya dan
berusaha untuk hidup sendiri. Kondisinya cepat sekali memburuk. Dalam waktu
beberapa bulan saja berat badannya turun 25 kilo. Sejalan dengan pertumbuhan
tumor di dalam perutnya, maka rongga perut, buah zakar, dan tungkainya bengkak
penuh air. Akhirnya rasa sakit dan kondisinya yang lemah membuatnya tidak
mungkin lagi bekerja. Anak lelakinya yang berusia tiga puluhan pindah ke
rumahnya untuk mengurusnya. Lazaroff berada dalam pengaruh morfin sepanjang hari
untuk mengatasi nyerinya. Dokternya mengatakan bahwa hidupnya mungkin tinggal
dalam hitungan minggu saja. Tetapi, Lazaroff tidak siap menerima kenyataan itu.
Ia tetap bicara tentang suatu hari ketika ia akan bekerja kembali.
Kemudian, ia mengalami beberapa kali cedera akibat jatuh; tungkainya menjadi
sangat lemah. Ia pun tidak dapat mengendalikan hajat besar maupun kecilnya
(disebut sebagai inkontinensia). Ia kembali menemui ahli kankernya. Hasil
payaran memperlihatkan penyebaran kanker yang menekan sumsum tulang belakangnya.
Ahli kanker itu mengirimnya masuk rumah sakit dan mencoba satu daur penyinaran,
tetapi ternyata tidak memberikan efek apa-apa. Bahkan, ia jadi tidak dapat
menggerakkan tungkai kanannya; tubuh bagian bawahnya jadi lumpuh.
Tinggal dua pilihan baginya. Ia dapat menjalani operasi tulang belakang. Itu
tidak akan menyembuhkan dioperasi atau tidak, ia paling lama bertahan beberapa?bulan tetapi operasi mungkin memberikan kesempatan terakhir untuk menghentikan
?berlanjutnya kerusakan sumsum tulang dan mungkin akan dapat mengembalikan
kekuatan pada kaki dan otot lingkar di anus dan saluran kemih. Namun, risikonya
berat. Kami harus membuka dadanya dan melumpuhkan parunya agar bisa mencapai
tulang belakangnya. Ia akan menghadapi masa pemulihan yang lama, sulit, dan
penuh rasa sakit. Dan dengan kondisinya yang ringkih apalagi sebelumnya ada
?riwayat sakit jantung kemungkinannya untuk bertahan setelah operasi dan kembali
?ke rumah sangat kecil. Pilihan lainnya adalah tidak melakukan apa-apa. Ia
dipulangkan dan melanjutkan perawatan di rumah yang akan diusahakan membuatnya
nyaman dan membantunya mempertahankan kemampuannya menjalani hidupnya.
Kelumpuhan dan inkontinensia tentu akan lebih buruk. Tetapi, itulah kesempatan
yang terbaik baginya untuk meninggal secara tenang, di kamarnya sendiri, dan
dilepas oleh orang-orang yang dicintainya. Keputusannya di tangan Lazaroff.
Itu saja sudah merupakan fakta yang pahit. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, para
dokterlah yang memutuskan; pasien hanya melakukan apa yang disuruh oleh dokter.
Dokter tidak menanyakan kepada pasien apa yang diinginkannya dan apa yang
diutamakannya, dan biasanya mereka tidak memberikan informasi kadang informasi
?yang sangat penting seperti obat apa yang sedang mereka minum, terapi apa yang
diberikan, dan apa diagnosisnya. Pasien bahkan dilarang melihat rekam medisnya
sendiri: itu bukan milik mereka, kata dokter. Mereka diperlakukan seperti
anakanak: terlalu rapuh dan naif untuk dapat menerima kebenaran, apalagi
memutuskan sesuatu. Dan mereka sungguh menderita karena itu. Orang ditaruh dalam
mesin, dicekoki obat, dan harus menjalani operasi yang sebetulnya tidak mereka
inginkan. Mereka tidak diberi pengobatan yang mungkin lebih mereka sukai.
Ayahku menggambarkan keadaan sepanjang 1970-an dan hampir sepanjang 1980-an,
ketika para lelaki datang padanya untuk minta dilakukan vasektomi (pengikatan
saluran sperma). Pada waktu itu, dokterlah yang menilai bahwa pembedahan itu
bukan hanya baik untuk kepentingan medis, tetapi juga baik untuk kepentingan
pribadi pasien. Ia selalu menolak melakukan operasi bila orangnya belum menikah, atau
menikah tetapi belum punya anak, atau "terlalu muda." Kalau dikaji kembali, ia
sendiri tidak yakin apakah ia melakukan hal yang benar pada semua pasien itu,
dan, katanya, cara itu tidak dilakukannya lagi sekarang. Bahkan, ia sudah tidak
ingat lagi apakah ia pernah menolak pasien yang minta dilakukan vasektomi dalam
beberapa tahun terakhir ini.
Salah satu alasan terjadinya perubahan dramatis dalam cara mengambil keputusan
medis ini adalah sebuah buku yang terbit pada tahun 1984 berjudul The Silent
World of Doctor and Patient yang ditulis oleh seorang dokter dan ahli etika
kedokteran dari Yale yang bernama Jay Katz. Buku ini merupakan kritik
habishabisan terhadap proses pengambilan keputusan medis tradisional, dan buku
ini sangat berpengaruh. Dalam buku itu Katz mengajukan argumentasinya bahwa
keputusan medis dapat dan harus dibuat dengan melibatkan pasien. Dan dalam
bukunya ia mengangkat kasus dari kisah nyata sejumlah pasien.
Salah satunya adalah kasus "Iphigenia Jones," seorang wanita usia 21 tahun yang
ditemukan mengidap kanker pada salah satu payudaranya. Pada waktu itu, seperti
halnya sekarang, ia punya dua pilihan: mastektomi (yang berarti mengangkat
payudara itu dengan kelenjar limf dari ketiak di dekatnya) atau radiasi
(penyinaran) dengan sedikit pembedahan (mengangkat hanya tumornya dan kelenjar
limf). Angka ketahanan hidupnya sama, walaupun bila payudaranya dipertahankan
ada kemungkinan tumor tumbuh kembali dan akhirnya harus dilakukan mastektomi.
Dokter bedah ini memilih melakukan mastektomi, dan dikatakannya pada pasiennya
bahwa itulah yang harus dilakukan. Namun, pada hari-hari menjelang operasi, dokter bedah itu
mulai ragu untuk mengangkat payudara dari seorang yang masih begitu muda. Maka,
malam sebelum operasi, ia melakukan sesuatu yang tidak biasa: ia membahas
pilihan terapi itu dengan pasiennya dan membiarkan perempuan itu yang memilih,
yang ternyata memilih terapi yang mempertahankan payudara.
Beberapa waktu kemudian, dokter bedah dan pasiennya itu muncul dalam sebuah
diskusi panel membahas pilihan terapi untuk kanker payudara. Kisah mereka
mendapatkan tanggapan berapi-api. Hampir semua dokter bedah menentang gagasan
untuk membiarkan pasien mengambil keputusan. Seorang dokter bedah bertanya,
"Kalau dokter saja sudah kesulitan memutuskan terapi yang terbaik, bagaimana
mungkin pasien bisa memutuskan?" Tetapi, tulis Katz, keputusan itu bukan yang
bersifat teknis, melainkan menyangkut masalah pribadi: mana yang lebih penting
bagi Iphigenia dipertahankannya payudara atau hidup tanpa kepastian tentang ?tumbuh kembalinya tumor" Tak seorang dokter pun punya kewenangan untuk
menentukan hal semacam itu. Hanya Iphigenia yang berwenang. Namun, dalam situasi
seperti itu, para dokter justru melakukan campur tangan, bahkan sering tanpa
menanyakan kekhawatiran pasien, dan mereka mengambil keputusan
sendiri keputusan yang mungkin saja dipengaruhi oleh uang, penyimpangan
?profesional (misalnya, dokter bedah cenderung suka mengoperasi), dan keganjilan
pribadi. Akhirnya, fakultas kedokteran berbalik mendukung Katz. Ketika aku masuk fakultas
kedokteran pada awal tahun 1990-an, kami diajari untuk memandang pasien sebagai
pengambil keputusan yang bebas, "Anda bekerja
untuk mereka," begitu aku sering diingatkan. Banyak dokter lulusan fakultas yang
sudah tua masih mencoba mengendalikan dengan kedudukannya yang tinggi, tetapi
mereka akhirnya menyadari bahwa pasien tidak mau lagi didikte. Kebanyakan dokter
yang dengan serius menerima gagasan bahwa pasienlah yang harus menentukan
nasibnya, mengemukakan semua pilihan dan risiko yang mungkin timbul. Beberapa
bahkan menolak memberikan anjuran karena takut kalau-kalau dapat memengaruhi
pasien. Pasien dipersilakan bertanya, mencari informasi di internet, mencari
pandangan lain. Dan pasienlah yang memutuskan.
Namun, pada kenyataannya, masalahnya tidak semulus itu. Pasien juga kadang
mengambil keputusan yang salah. Tentu saja kadang perbedaan antara berbagai
pilihan itu tidak terlalu nyata. Tetapi, bila kita melihat pasien kita mengambil
keputusan yang amat keliru, apakah kita akan menuruti kemauannya" Ilmu
kedokteran masa kini yang kukuh akan mengatakan ya. Bukankah tubuh itu milik
sang pasien" Lazaroff ingin dioperasi. Onkolognya (dokter ahli kanker) ragu dengan pilihan
itu, kemudian ia berkonsultasi ke seorang ahli bedah saraf. Ahli bedah saraf
itu, pria empat puluhan yang rapi, dengan reputasi hebat, dan suka sekali
menggunakan dasi kupu-kupu, menjenguk Lazaroff dan putranya sore itu. Ia
memperingatkan mereka dengan panjang-lebar tentang betapa besar risiko operasi
itu dan betapa manfaat yang diharapkan hanya kecil saja. Kadang, katanya padaku
beberapa waktu kemudian, pasien tampaknya tidak mau mendengar tentang bahaya,
dan pada kasus-kasus demikian ia sengaja menjelaskan
bahaya itu dengan gamblang terikat pada alat bantu napas karena paru tidak
?berfungsi baik, mengalami stroke, sekarat. Tetapi, niat Lazaroff tak dapat
digoyahkan lagi. Maka, dokter bedahnya pun akhirnya menjadwalkan operasi
untuknya. "Tn. Lazaroff, saya residen bedah, dan saya datang untuk membicarakan perihal
pembedahan Bapak besok," kataku. "Bapak akan menjalani operasi pengangkatan
tulang punggung dan penyatuannya kembali." Ia memandangku dengan tatapan hampa.
"Artinya, kami akan mengangkat tumor yang menekan tulang belakang Bapak,"
kataku. Wajahnya tak berubah. "Harapannya adalah operasi itu akan dapat mencegah
memburuknya kelumpuhan Bapak."
"Aku tidak lumpuh," katanya, akhirnya. "Jadi, operasi itu untuk mencegah agar


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak lumpuh." Aku segera mundur. "Oh, maaf maksud saya, mencegah agar Bapak tidak jadi ?lumpuh." Ini mungkin hanya masalah bahasa ia masih dapat sedikit menggerakkan
?tungkai kirinya. "Saya ingin minta Bapak menandatangani surat izin operasi
supaya operasi dapat dilangsungkan besok."
"Formulir persetujuan operasi" ini boleh dikatakan belum berapa lama ini
diperkenalkan. Di dalamnya terdapat daftar semua komplikasi yang dapat
disebutkan oleh dokter semuanya, mulai dari reaksi alergi ringan sampai ke
?kematian dan dengan menandatangani formulir itu, si pasien menyatakan menerima
?semua risiko itu. Formulir itu disahkan oleh hukum dan birokrasi, dan aku
meragukan pasien akan merasa lebih tahu setelah membacanya. Walaupun begitu,
formulir itu memberikan kesempatan untuk memikirkan kembali semua risiko yang
ditimbulkan oleh operasi. Dokter bedah sarafnya sudah menjelaskan semua itu secara rinci. Jadi, aku hanya
memastikan saja. "Kami meminta tanda tangan Bapak supaya kami yakin bahwa Bapak
sudah mengerti risiko operasi itu," kataku. "Walaupun Bapak minta ini dilakukan
untuk mempertahankan kondisi Bapak, operasi ini bisa gagal dan membuat Bapak
menjadi lumpuh." Aku berusaha untuk tegas tanpa terdengar kasar. "Bapak dapat
mengalami stroke atau serangan jantung atau bahkan dapat meninggal." Aku
menyodorkan formulir dan pena kepadanya.
"Tak ada yang pernah mengatakan bahwa aku bisa mati kalau menjalani operasi
ini," katanya dengan suara gemetar. "Ini adalah harapan terakhirku. Apakah Anda
mengatakan aku akan mati?"
Aku terdiam, tak tahu apa yang harus kukatakan. Pada saat itulah putra Lazaroff,
yang kupanggil David, tiba, mengenakan baju lusuh, wajah berjanggut, dan perut
buncit. Sikap ayahnya berubah tibatiba, dan aku ingat catatan di rekam medis
tentang David yang mengajukan pada ayahnya pertanyaan apakah suatu tindakan yang
berani masih ada gunanya. "Jangan menyerah dan membiarkan aku mati," kini
Lazaroff berkata pada anaknya dengan kasar. "Kauberi aku semua kesempatan yang
ada." Ia merebut formulir dan pena itu dari tanganku. Kami berdiri, diam dan
merasa bersalah ketika Lazaroff menggerakkan pena pelahan membuat tanda tangan
yang tidak jelas. Di luar ruangan, David mengatakan bahwa ia tidak yakin ini adalah tindakan yang
benar. Ibunya menghabiskan waktu lama dalam perawatan intensif dengan alat bantu
napas sebelum meninggal akibat emfisema (paru penuh
udara), dan sejak itu ayahnya sering mengatakan bahwa ia tidak mau kejadian
serupa menimpanya. Tetapi sekarang ia begitu kukuh untuk melakukan "apa saja."
David tidak berani menentangnya.
Lazaroff dioperasi hari berikutnya. Setelah terbius, tubuhnya dibaringkan miring
ke kiri. Dokter bedah toraks (dada) membuat sayatan panjang, membuka rongga dada
dari depan, ke samping menuju ke belakang sepanjang iga kedelapan, memasukkan
alat penguak iga dan mengeng-kolnya sehingga terkuak, kemudian memasukkan
retraktor untuk menyingkirkan paru yang telah dikempiskan ke samping. Kita dapat
melihat langsung ke bagian belakang dada ke tulang punggung. Sebuah massa
sebesar bola tennis, merah, menyelimuti vertebra (tulang belakang) kesepuluh.
Dokter bedah saraf mengambil-alih operasi dan dengan sangat hatihati menyayat
sekeliling dan di bawah tumor itu. Diperlukan waktu dua jam sampai akhirnya
tumor itu hampir lepas dan hanya melekat pada tempatnya menyusup ke badan tulang
belakang. Kemudian, ia menggunakan sebuah rongeur-a\at mirip catut yang
kaku untuk mencerabuti tulang belakang sedikit demi sedikit, seperti berang-?berang menggerogoti perlahan-lahan batang pohon, sampai akhirnya mengangkat
tulang belakang itu bersama massa tumor. Untuk membangun kembali tulang
belakang, ia mengisi ruang kosong bekas tulang yang diambil dengan gumpalan
adonan metakrilat, suatu semen akrilik, dan membiarkannya mengeras di tempat
itu. Ia menyisipkan pengajuk di belakang tulang belakang palsu itu. Masih cukup
luas. Dibutuhkan waktu lebih dari empat jam, tetapi tekanan pada sumsum tulang
belakang itu sekarang sudah hilang. Dokter bedah toraks menutup dada Lazaroff,
membiarkan selang karet menggantung keluar untuk mengembangkan kembali parunya,
kemudian Lazaroff didorong masuk ke ICU.
Operasi itu berhasil secara teknis. Tetapi, paru-paru Lazaroff tidak pulih, dan
kami berjuang untuk membebaskannya dari alat bantu napas. Selama beberapa hari
berikutnya, paru-paru itu menjadi semakin kaku dan mengeras sehingga memerlukan
tekanan ventilator yang lebih tinggi. Kami mencoba menenangkannya dengan bantuan
obat penenang, tetapi ia sering tersentak dan bangun dengan mata membelalak dan
tubuh merentakrentak. David selalu berjaga dan berdoa dengan sedih. Pemeriksaan
sinar-X dada berturutturut memperlihatkan kerusakan paru yang semakin parah.
Bekuan darah kecil menyumbat di paru Lazaroff, dan kami memberinya obat
pengencer darah untuk mencegah terbentuknya lebih banyak bekuan. Kemudian, mulai
terjadi perdarahan yang lambat kami tidak tahu dari mana dan kami harus
? ?memberinya transfusi darah hampir setiap hari. Setelah seminggu, ia mulai demam,
tetapi kami tidak dapat menemukan di mana infeksinya. Pada hari kesembilan
setelah operasi, tekanan ventilator yang tinggi memecahkan gelembung di parunya,
menimbulkan kebocoran kecil. Kami harus melubangi sedikit dadanya dan memasukkan
selang tambahan untuk mencegah agar parunya tidak menguncup. Upaya yang
dilakukan dan biaya yang dikeluarkan untuk merawatnya bukan main besarnya,
tetapi hasilnya membuat putus asa. Mulai tampak bahwa upaya kami sia-sia. Apa
yang tidak diinginkan Lazarof dalam kematiannya ternyata terjadi terbelenggu di
?tempat tidur dan dibuat tidur, slang terpasang di setiap lubang dan di beberapa
lubang yang baru dibuat, dan harus mengandalkan ventilator. Pada hari keempat
belas, David mengatakan kepada ahli bedah sarafnya untuk menghentikan semua itu.
Ahli bedah sarafnya datang menemuiku dengan membawa berita itu. Aku menuju ke
ruang Lazaroff di ICU, salah satu dari delapan ceruk bentuk setengah lingkaran
yang tersusun mengelilingi ruang perawat, masingmasing berlantai marmer,
berjendela, dan berpintu geser kaca yang menghalangi dari suara berisik, tetapi
tidak dari pandangan perawat. Aku dan seorang perawat masuk. Aku memastikan
tetesan morfinnya cukup tinggi. Dengan mengambil tempat di samping tempat
tidurnya, aku membungkuk mendekatinya, mudah-mudahan ia dapat mendengar suaraku,
kukatakan padanya bahwa aku akan mencabut slang udara dari mulutnya. Kugunting
tali yang mengikat slang dan kukempiskan balon udara sambil membiarkan slang
tetap di trakeanya. Kemudian, kutarik slangnya. Ia terbatuk beberapa kali,
membuka matanya sebentar, kemudian menutupnya kembali. Perawat menyedot lendir
dari mulutnya. Kumatikan mesin ventilator, dan tibatiba ruangan terasa sunyi,
yang terdengar hanya suara napasnya yang terengah dan tampak sulit. Kami
mengamatinya, ia tampak semakin lelah. Napasnya semakin lambat sampai hanya
tampak ia menarik napas sesekali dengan susah payah, kemudian napasnya berhenti.
Kuletakkan stetoskopku di dadanya dan mendengarkan denyut jantungnya perlahan
memudar. Tiga belas menit setelah aku membebaskannya dari ventilator, kukatakan
pada perawat untuk mencatat bahwa Joseph Lazaroff telah meninggal.
Menurut hematku, Lazaroff telah salah memilih. Tetapi, bukan karena ia meninggal
secara mengerikan dan sulit.
Keputusan yang baik dapat juga berakhir buruk (Orang kadang harus memilih
peluang yang sangat berat), dan keputusan yang salah bisa saja berakhir baik.
(Para dokter bedah sering mengatakan "Lebih baik beruntung daripada bagus.")
Kupikir Lazaroff salah memilih karena pilihannya bertentangan dengan apa yang ia
inginkan keinginan yang ia pikirkan, bukan yang dipikirkan olehku atau oleh ?orang lain. Vang terpenting, memang jelas ia sangat ingin hidup. Ia bersedia
mengambil risiko apa pun bahkan kematian untuk dapat hidup. Tetapi, seperti
? ?yang kami jelaskan padanya, kami bukan menawarkan hidup. Kami hanya dapat
menawarkan sebuah kesempatan untuk memelihara sedikit fungsi bagian bawah
tubuhnya untuk sedikit sisa hidupnya yang harus dibayarnya dengan penderitaan
?yang berat dan dengan kemungkinan paling buruk untuk meninggal secara
menyedihkan. Tetapi, ia tidak mau mendengarkan kami: tampaknya ia yakin bahwa
dengan menunda kelumpuhan ia dapat menunda kematian. Ada orang yang mau
mempertimbangkan dengan jernih kemungkinan itu dan tetap memilih untuk menjalani
operasi. Tetapi, karena tahu bahwa Lazaroff sangat takut untuk meninggal dengan
cara yang dialami istrinya, kurasa Lazaroff bukan tergolong orang seperti itu.
Lalu, apakah salah memberitahukan padanya tentang pilihan operasi" Keyakinan dan
kedokteran kontemporer telah membuat kami memenuhi tuntutan akan otonomi pasien.
Tetapi, tetap ada saat dan ini lebih sering daripada yang kita sadari ketika
? ?dokter harus mengarahkan pasien untuk memilih yang benar untuk dirinya.
Ini sesuatu yang kontroversial. Dapat dipahami kalau orang berprasangka kepada
para dokter yang mengaku lebih tahu tentang apa yang terbaik buat mereka daripada mereka sendiri. Tetapi,
dokter yang baik tidak bisa tinggal diam ketika pasien membuat keputusan yang
salah atau yang merugikan dirinya sendiri keputusan yang sebenarnya
?bertentangan dengan keinginannya yang paling dalam sebagai seorang dokter.
Aku ingat sebuah kasus pada minggu-minggu pertama masa residensi. Aku sedang
bertugas di bangsal bedah umum, dan di antara pasien yang berada di bawah
tanggung jawabku ada seorang wanita usia lima puluhan aku menyebutnya Ny.
?McLaughlin yang baru menjalani operasi besar di perut dua hari sebelumnya.
?Sayatannya terentang di perutnya dari atas sampai ke bawah. Cairan dan obat
penghilang nyeri diteteskan melalui infus intravena di lengannya. Ia pulih
sesuai dengan jadwalnya, tetapi ia tidak mau turun dari tempat tidurnya.
Kujelaskan padanya mengapa begitu penting untuknya bangun dan berjalan-jalan:
kegiatan itu akan dapat menurunkan risiko terjadinya pneumonia, pembentukan
bekuan di vena tungkai, dan efek buruk lainnya. Ia tidak mau menurut. Ia lelah,
katanya, dan ia tak kuat jalan. Mengertikah dia bahwa ia berisiko mendapat
masalah serius" Ya, jawabnya, biarlah.
Dalam visite sore, residen kepala bertanya padaku apakah pasien sudah turun dari
tempat tidur. Belum, kataku dia menolak. Tak ada alasan, kata residen kepala,
?dan ia menggiring aku kembali ke kamar Ny. McLaughlin. Residen kepala duduk di
tepi tempat tidur dan dengan ramah seperti seorang pastor ia berkata, "Halo,
bagaimana kabar Ibu?" lalu sedikit ngobrol, memegang tangan Ny. McLaughlin,
kemudian berkata "Nah, sekarang waktunya untuk turun dari tempat tidur." Dan
kusaksikan Ny. McLaughlin bangkit tanpa ragu sedikit pun, melorot ke sebuah bangku, kemudian
meloncat turun, dan berkata, "Ternyata tidak apa-apa ya."
Aku mengikuti program residensi untuk menjadi dokter bedah. Waktu itu aku
mengira itu berarti aku hanya akan mempelajari tata laksana dari berbagai
tindakan dan teknik dalam suatu operasi atau dalam menegakkan diagnosis.
Nyatanya, aku harus belajar juga hal-hal baru dan halus dalam berbicara dengan
pasien tentang keputusan mereka sesuatu yang kadang mempunyai tata laksana
?gerak dan tekniknya sendiri.
Bayangkan Anda seorang dokter. Anda berada di sebuah ruang pemeriksaan di
klinik salah satu dari beberapa ruang sempit dengan lampu neon, poster
?kedokteran di dinding, sekotak sarung tangan karet di meja, dan meja periksa
berlapis busa memeriksa seorang wanita empat puluh tahunan. Ia ibu dari dua
?anak dan seorang mitra di suatu kantor pengacara di kota. Dengan lingkungan
seperti itu, dan dalam gaun kertas yang minim, ia tetap tampak tenang
terkendali. Anda tidak menemukan ada massa atau sesuatu yang abnormal di
payudaranya. Ia telah melakukan mamografi sebelum menemui Anda dan Anda sekarang
membaca laporan ahli radiologinya yang tertulis seperti ini: "Ada gambaran
kalsifikasi berupa kumpulan titik di perempat luar atas payudara kiri yang tidak
jelas ada pada pemeriksaan sebelumnya. Perlu dipertimbangkan biopsy untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan." Bahasa awamnya: tampak gambaran yang
mengkhawatirkan; mungkin saja kanker payudara.
Anda sampaikan berita itu kepada si pasien. Dengan temuan seperti itu, Anda
katakan bahwa sebaiknya ia
menjalani biopsi. Ia mengeluh, kemudian tampak tegang. "Setiap kali aku menemui
kalian, para dokter, selalu saja ada sesuatu yang ingin kalian biopsi," katanya.
Dalam lima tahun terakhir, tiga kali hasil mamografi tahunannya memperlihatkan
daerah kalsifikasi yang "mencurigakan." Tiga kali pula dokter bedah membawanya
ke kamar operasi dan mengangkat jaringan yang dimaksud. Dan tiga kali, di bawah
mikroskop ahli patologi, jaringan itu terbukti jinak. "Kalian tidak pernah
puas," katanya. "Apa pun titik yang terus-menerus muncul, ternyata sesuatu yang
normal." Ia diam, lalu memutuskan. "Aku tidak mau menjalani biopsi sialan itu
lagi," katanya, dan ia berdiri untuk mengenakan kembali pakaiannya.
Anda akan membiarkannya pergi" Wajar saja. Ia seorang yang telah dewasa, bukan"
Dan biopsi bukanlah hal sepele. Di payudara kirinya tersebar beberapa parut yang
menonjol salah satu panjangnya hampir tujuh senti. Sudah cukup banyak jaringan ?yang diambil sehingga payudara kiri tampak lebih kecil daripada yang kanan. Dan
memang ada dokter yang mengambil terlalu banyak dalam biopsi, yang mengambil
sebanyak mungkin jaringan payudara yang menurutnya mencurigakan. Benar bahwa
pasien harus meminta penjelasan atau meminta pandangan dokter lain.
Tetapi, kalsifikasi (gambaran pengapuran) ini bukan sesuatu yang pasti. Memang
gambaran ini umumnya menunjukkan adanya kanker walaupun tidak selalu dan
? ?biasanya pada tingkat yang masih dini dan dapat diobati. Nah, kalau yang
dimaksud dengan memengaruhi hidup seseorang bisa apa saja, maka orang tentu
boleh saja membuat keputusan yang salah. Tetapi, bila taruhannya begitu besar,
dan pilihan yang salah itu tidak dapat diperbaiki lagi, maka dokter enggan
mundur. Di sinilah biasanya dokter akan memaksa.
Jadi, paksa saja. Pasien Anda sudah siap untuk keluar. Anda dapat
menghentikannya ketika ia akan keluar dan mengatakan bahwa ia telah mengambil
keputusan yang salah. Beri dia kuliah panjang-lebar tentang kanker. Katakan
bahwa salah untuk meyakini bahwa bila tiga biopsi terbukti negatif maka biopsy
keempat juga akan negatif. Paling-paling Anda akan kehilangan dia sebagai
pasien. Tujuannya bukan untuk memperlihatkan padanya betapa salahnya dia.
Tujuannya adalah memberikan kesempatan padanya untuk mengubah pikirannya.
Di sinilah aku melihat apa yang dilakukan oleh dokter yang baik. Mereka tidak
langsung memutuskan untuk pasiennya. Dia keluar dulu beberapa saat dan memberi
kesempatan pada pasiennya mengenakan pakaian. Mereka membawa pasiennya duduk
kembali dan bicara di kantor yang suasananya lebih bersahabat dengan kursi yang
?nyaman, bukan meja periksa yang kaku, dan lantai berkarpet. Dan biasanya mereka
tidak langsung berdiri atau mendorong kursi kebesarannya di balik meja jati
besar, tetapi menarik kursi dan duduk dekat pasiennya. Seorang professor bedah
pernah mengatakan padaku, bila kau duduk bersama pasienmu dalam tataran yang
setingkat, maka kau bukan lagi dokter yang serba tergesa, sok lebih berkuasa,
dan tak punya waktu untuk bicara; pasien akan merasa tidak dipaksa dan cenderung
menganggap bahwa Anda memikirkan hal yang terbaik baginya, seperti juga dirinya.
Bahkan pada tahap ini, banyak dokter tidak mau berdebat dengan pasien, tetapi
mereka akan melakukan percakapan yang mungkin terdengar aneh dan formal,
dengan mengulang-ulang, hampir setiap kata yang diucapkan pasien. Mereka mungkin
berkata, "Ya, saya mengerti maksud Anda. Setiap kali Anda datang, kami menemukan
sesuatu yang harus dibiopsi. Memang semua bintik itu ternyata normal, tetapi
kami tidak pernah bosan melakukan biopsi." Selain ini, mungkin dokter tidak akan
mengatakan apa-apa lagi, kecuali jika diminta. Apakah yang seperti ini disebut
menipu atau terbuka pada pasien, nyatanya cara ini berhasil pada sembilan dari
sepuluh kasus. Orang merasa diperhatikan dan merasa diberi kesempatan untuk
mengemukakan keyakinan dan kekhawatirannya. Kalau sudah sampai di situ, maka
mereka mungkin akan mengajukan pertanyaan, mengemukakan keraguan, bahkan
membahas logikanya. Dan bila sudah sampai ke tahapan ini, mereka cenderung
menurut. Memang, beberapa mugkin akan tetap menolak, tetapi kalau dokter melihat bahwa
itu membahayakannya, maka dokter boleh menggunakan kiat lain. Mereka dapat
mengajukan beberapa pilihan. "Apakah kita perlu menemui ahli radiologi dan
menanyakan bagaimana pendapatnya?" atau mereka mungkin bertanya, "Keluarga Anda
ada di ruang tunggu, Bagaimana kalau mereka kita panggil masuk?" Mereka mungkin
akan memberikan waktu bagi pasien untuk "memikirkannya dulu" karena tahu bahwa
orang sering ragu dan berubah pikiran. Kadang mereka menggunakan cara yang lebih
samar. Aku pernah melihat seorang dokter di hadapan seorang penderita penyakit
jantung yang tidak mau mempertimbangkan untuk berhenti merokok, hanya diam saja
memperlihatkan kekecewaannya. Detik-detik berlalu sampai semenit penuh. Di
hadapan seorang dokter yang cermat, penuh perhatian, dan kadang kreatif,
beberapa pasien memang tetap tidak
memilih apa yang dianjurkan sang dokter.
Namun, akan salah kalau semua itu hanya dipandang sebagai seni manipulasi a la
dokter: bila Anda melihat pasien menyerahkan kewenangannya kepada dokter,
mungkin ada sesuatu yang sedang berlangsung. Pandangan baru tentang otonomi
pasien menghadapi kenyataan yang membuat risi: pasien sering tidak mau menerima
kebebasan yang diberikan kepadanya. Artinya, mereka senang bahwa otonominya
dihargai, tetapi pelaksanaan otonomi bagi mereka berarti menyerahkan
keputusannya kepada dokter. Jadi, akhirnya pasien lebih suka pihak lain yang
menetapkan putusan medis mereka. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa walaupun 64
persen masyarakat awam merasa bahwa mereka ingin memilih sendiri pengobatan bila
mereka menderita kanker, hanya 12 persen penderita yang baru didiagnosis kanker
benarbenar memperlihatkan keinginan itu.
Dinamika ini adalah sesuatu yang baru kumengerti akhirakhir ini. Putri bungsuku,
Hunter, lahir lima minggu lebih dini, beratnya hanya dua kilo, dan ketika ia
berusia sebelas hari, napasnya berhenti. Dia baru seminggu di rumah dan
segalanya baik. Tetapi, pagi itu ia jadi rewel, dan hidungnya beringus. Tiga
puluh menit setelah minum, napasnya tibatiba jadi cepat dan setiap tarikan
napasnya mulai berbunyi. Tibatiba Hunter berhenti bernapas, Istriku, meloncat


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan panik dan mengguncang tubuh Hunter untuk membangunkannya, dan bayi itu
mulai bernapas lagi. Kami melarikannya ke rumah sakit.
Lima belas menit kemudian, kami berada di ruang pemeriksaan gawat darurat yang
besar dan terang. Walaupun dipasangi masker oksigen, keadaan Hunter masih
tidak stabil napasnya masih di atas enam puluh per menit dan ia tampak ?kehabisan energi untuk bernapas tetapi, kadar oksigen dalam darahnya normal
?kembali. Dokter tidak yakin apa yang menyebabkan keadaan itu. Penyebabnya bisa
suatu kelainan jantung,infeksi bakteri, atau virus. Mereka melakukan pemeriksaan
sinar-X, darah, dan urin, melakukan elektrokardiografi dan mengambil cairan
sumsum tulangnya. Mereka menduga yang akhirnya terbukti benar masalahnya
? ?adalah infeksi virus biasa yang tidak dapat ditanggung oleh paru-parunya yang
masih sangat kecil dan belum matang. Tetapi, hasil pemeriksaan biakan baru akan
keluar beberapa hari lagi. Mereka memasukkan anakku ke unit perawatan intensif.
Malam itu, ia mulai tampak lemah. Ia mengalami beberapa kali apnea (berhenti
bernapas) pendek selama beberapa detik sampai enam puluh detik napasnya
?berhenti, denyut jantungnya melambat, dan ia jadi pucat dan kelihatannya tidak
bergerak tetapi setiap kali ia akan pulih sendiri.
?Ada sesuatu yang harus diputuskan. Apakah perlu dilakukan intubasi untuknya dan
dipasang ventilator" Atau apakah dokter hanya menunggu untuk melihat apakah ia
dapat pulih tanpa ventilator" Pada keduanya ada risiko. Kalau tim dokter tidak
melakukan intubasi sekarang dalam keadaan yang masih terkendali, kemudian anak
itu "ambruk" mungkin ia tidak akan pulih kembali setelah suatu apnea ?pendek maka mereka harus melakukan intubasi darurat, suatu yang sangat berat
?untuk anak sekecil itu. Bisa terjadi keterlambatan, pipa napas bisa salah masuk,
dokter bisa saja melukai jalan napas dan menyebabkannya tertutup, dan kemudian
ia bisa mengalami kerusakan otak atau bahkan mati karena kekurangan oksigen.
Kemungkinan bencana itu kecil, tetapi nyata.
Aku sendiri pernah melihat hal itu terjadi. Di sisi lain, dokter tidak mau
memasangkan ventilator pada seseorang kalau tidak terpaksa, apalagi pada anak
sekecil ini. Efek serius dan mematikan seperti pneumonia atau semacam pecahnya
gelembung paru yang dialami Lazaroff, sering terjadi. Dan seperti yang dikatakan
oleh orang yang pernah terikat pada alat yang aneh dan rumit ini, alat ini
memompakan udara masuk dan keluar dari mulut dengan tekanan yang mengerikan dan
sangat tidak nyaman; mulut terasa sakit; bibir pecah-pecah. Obat penenang
diberikan, tetapi obat itu juga membawa banyak komplikasi.
Jadi, siapa yang harus memilih" Dalam hal tertentu, akulah yang paling cocok
untuk memutuskan mana yang terbaik. Aku ayahnya, jadi aku lebih khawatir tentang
risiko yang harus dihadapi dibandingkan dengan staf lainnya di rumah sakit itu.
Dan aku seorang dokter, jadi aku tahu betul apa masalahnya. Aku juga tahu betapa
sering masalah semacam komunikasi yang buruk, kelelahan, dan keangkuhan dapat
membuat seorang dokter salah mengambil keputusan.
Namun, ketika tim dokter datang padaku untuk membicarakan apakah akan dilakukan
intubasi pada Hunter, aku ingin merekalah yang memutuskan mereka para dokter
?yang belum kukenal. Ahli etika Jay Katz dan yang lainnya pernah meremehkan
keinginan seperti ini sebagai "kelemahan kanak-kanak." Tetapi, pertimbangan itu
tampak seperti tak berperasaan bagiku. Ketakpastian memang kejam, dan aku tidak
sanggup membayangkan kemungkinan membuat pilihan yang salah. Walaupun aku
mengambil keputusan yang kuyakini benar, aku akan tetap merasa bersalah seumur
hidup bila akhirnya yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Beberapa orang
yakin bahwa pasien harus didorong untuk mengambil tanggung jawab untuk
memutuskan. Tetapi, itu akan tampak sama saja dengan paternalisme yang kasar.
Aku ingin agar dokter yang menangani Hunterlah yang mengambil tanggung jawab
itu: mereka dapat menerima konsekuensinya, baik maupun buruk.
Aku minta dokter memutuskan, dan mereka segera memutuskan seketika itu juga.
Mereka tidak akan memasang ventilator, begitu kata mereka padaku. Dengan
mengatakan itu, kelompok orang dengan pandangan nanar dan stetoskop tergantung
di leher, beralih ke pasien mereka berikutnya. Tetapi, tetap ada pertanyaan yang
belum berjawab: Bila aku ingin keputusan yang terbaik untuk Hunter, apakah
melepaskan otonomi yang kuperoleh dengan susah payah itu, merupakan tindakan
yang benar" Carl Schneider, seorang profesor hukum dan kedokteran dari
Universitas Michigan, baru-baru ini menerbitkan sebuah buku berjudul The
Practice of Autonomy, yang berisi kumpulan penelitian yang dipilihnya dari
ratusan penelitian dan data tentang pengambilan keputusan, bahkan juga analisis
sistematis atas tulisan kenangan para pasien. Ia melihat bahwa orang sakit
berada pada posisi yang tidak tepat untuk mengambil keputusan yang baik: mereka
sering sudah lelah, gelisah, perasaannya terpukul, atau putus asa. Sering kali
mereka hanya bertindak demi segera lepas dari nyeri, mual, dan kelelahan yang
sedang mereka derita; mereka tidak dapat berpikir untuk mengambil berbagai
keputusan berat itu. Hal ini rasanya sangat benar bagiku. Aku saja yang bukan
pasien hanya bisa duduk dan mengawasi Hunter, cemas, atau mencoba untuk
menyibukkan diri. Aku tak dapat berkonsentrasi atau tidak punya energi untuk
menimbang-nimbang pilihan terapi secara baik.
Schneider mendapati bahwa para dokter, karena tidak terlibat secara emosi, dapat
berpikir tentang berbagai ketakpastian itu tanpa dipengaruhi oleh ketakutan dan
keterikatan batiniah. Mereka bekerja dalam budaya ilmiah yang mengendalikan cara
mereka mengambil keputusan. Mereka punya apa yang disebut "kerasionalan
kelompok" norma yang didasarkan atas pengetahuan ilmiah dan pengalaman yang
? sudah terasah. Dan mereka memiliki pengalaman khusus yang relevan dengan kasus
yang dihadapi. Walaupun aku seorang dokter, aku tidak punya pengalaman yang
dimiliki oleh para dokter yang merawat Hunter dengan kondisi khususnya ini.
Pada akhirnya, Hunter berhasil ditangani tanpa ventilator, walaupun pemulihannya
lambat dan kadang mengkhawatirkan. Pada suatu saat, kurang dari 24 jam setelah
dokter memindahkannya ke kamar biasa, kondisinya memburuk dan mereka harus
melarikannya lagi ke ICU. Hunter menghabiskan sepuluh hari di ICU dan dua minggu
di rumah sakit, tetapi ia pulang dalam kondisi baik.
Ada seni untuk menjadi dokter, tetapi ada juga seni untuk menjadi pasien. Anda
harus menetapkan dengan bijaksana kapan Anda menurut atau kapan Anda akan
bersikap kritis, Bahkan ketika pasien memutuskan untuk tidak memilih, mereka
harus tetap bertanya kepada dokternya dan mendesak minta penjelasan. Aku memang
membiarkan para dokter yang merawat Hunterlah yang mengambil kendali, tetapi aku
menekan mereka untuk menjelaskan rencana tindakan mereka kalau saja kondisi
anakku memburuk. Belakangan, aku sempat merasa cemas karena mereka terlalu
lamban memberinya makan?Hunter tidak makan apaapa selama seminggu lebih, dan aku begitu cerewet
menanyakan alasannya. Ketika mereka mencabut monitor oksigennya pada hari
kesebelasnya di rumah sakit, aku jadi panik. Apa bahayanya membiarkan monitor
itu terpasang, tanyaku. Aku yakin, kadang aku memang keras kepala, bahkan
ngawur. Lakukan yang terbaik yang dapat Anda lakukan, terimalah anjuran dokter
atau perawat Anda dan kondisi Anda, cobalah untuk tidak terlalu pasif dan tidak
juga terlalu mendesak, demi kepentingan Anda sendiri.
Namun, pertanyaan sulit masih tetap tak berjawab: bila dokter maupun pasien
keduanya punya kelemahan, siapa yang harus memutuskan" Harus ada aturan. Maka
kami memutuskan bahwa pasienlah yang akhirnya menentukan. Tetapi, ketentuan yang
tak dapat diganggu gugat itu tampaknya dapat merusak hubungan baik antara dokter
dan pasien, dan tidak cocok untuk kenyataan dalam perawatan medis, yang sering
kali keputusannya harus dibuat secepatnya. Misalnya, pada seorang ibu yang
melahirkan: apakah dokter harus memberikan hormon untuk merangsang kontraksi
yang lebih kuat" Apakah dokter harus memecahkan ketuban" Apakah perlu diberikan
pembiusan setempat (anestetik epidural)" Kalau ya, kapan saatnya" Apakah
diperlukan antibiotik" Seberapa sering tekanan darah ibu harus diukur" Apakah
dokter harus menggunakan cunam/forseps" Apakah dokter harus melakukan
pengguntingan pintu jalan lahir (episiotomi)" Bila persalinan tidak maju
sebagaimana mestinya, apakah dokter harus melakukan operasi caesar" Bukan dokter
yang harus memutuskan semua itu, dan bukan pula pasien. Harus ada sesuatu yang
dibicarakan oleh keduanya, antara satu dokter dan satu pasien
?sesuatu yang dilakukan secara pribadi.
Kesalahan yang diperbuat oleh banyak ahli etika adalah ketika memperkenalkan
otonomi pasien sebagai suatu nilai yang menonjol dalam kedokteran, bukan
memandangnya sebagai salah satu nilai di antara banyak nilai lain. Schneider
mendapati bahwa yang paling dituntut oleh pasien dari dokter bukanlah otonomi
itu saja; tetapi juga kompetensi dan kebaikan hatinya. Nah, kebaikan hati inilah
yang akan sering menghargai otonomi pasien, dan menjamin bahwa para dokter akan
mengendalikan keputusan yang penting. Namun, itu juga dapat berarti mengambil
alih keputusan yang berat saat pasien tidak mau melakukannya, atau menuntun
pasien ke arah yang tepat saat mereka mengambil keputusan itu. Bahkan, ketika
pasien ingin mengambil keputusan sendiri, ada saatsaat ketika justru pemaksaan
merupakan tindakan simpatik: mengarahkan mereka untuk menerima pembedahan atau
pengobatan yang menakutkannya, atau membiarkan mereka tidak memilih pembedahan
atau pengobatan yang sebenarnya paling handal. Banyak ahli etika yang menganggap
cara berpikir (alur nalar) ini salah, dan kedokteran akan tetap menghadapi
masalah dalam cara yang seharusnya dilakukan oleh pasien atau dokter untuk
mengambil keputusan. Namun, karena kedokteran berkembang menjadi lebih rumit dan
sarat dengan teknologi, maka yang harus dilakukan bukannya menghapuskan
paternalisme, melainkan mempertahankan kebaikan hati.
Ada kasus lain, juga terjadi pada masa residensiku. Pasien itu sebut saja Tn. ?Howe usia tiga puluhan, berbadan tegap, botak, dengan sikap aneh dan tidak
?banyak bicara. Rasanya aku ingin memperbesar volume suaranya ketika ia
berbicara, danmembayangkan bahwa ia orang
yang biasa bekerja sendiri, mungkin seorang akuntan atau pemrogram komputer. Ia
dirawat setelah menjalani operasi kandung empedu yang mengalami infeksi parah.
Setiap kali aku menemuinya, wajahnya selalu tampak murung seperti seorang
terpidana, dan ia tak pernah bertanya. Ia tak sabar untuk segera keluar dari
rumah sakit. Suatu Sabtu sore, kira-kira tiga hari setelah operasi, perawatnya memanggilku
lewat penyeranta, Ia tibatiba demam tinggi dan sesak napas. Kondisinya tampak
buruk, kata perawat itu. Aku mendapatinya dalam keadaan berkeringat hebat, wajahnya merah, matanya
terbelalak. Ia duduk membungkuk bertelekan pada lengannya yang kekar, tersengal-
sengal. Masker oksigen telah terpasang, dan angka pada oksimeter-denyut
memperlihatkan oksigen darah yang tidak memadai, walaupun aliran oksigen sudah
diatur maksimum. Denyut jantungnya cepat, lebih dari seratus per menit, dan
tekanan darahnya sangat rendah.
Istrinya, wanita bertubuh kecil, kurus, pucat, dengan rambut hitam lurus dan
panjang, berdiri di sampingnya, gemetar ketakutan. Aku memeriksa Tn. Howe,
mengambil darah untuk pemeriksaan dan untuk dibiakkan, dan meminta perawat untuk
memberikan suntikan cairan intravena, mencoba untuk sedapat mungkin terlihat
meyakinkan. Kemudian, aku keluar ke beranda dan memanggil K, salah seorang
residen kepala, untuk minta bantuannya.
Ketika ia menelepon balik, kujelaskan semuanya dengan rinci. Tampaknya Tn. Howe
mengalami sepsis, begitu kataku. Kadang infeksi bakteri masuk ke aliran darah
dan memicu respons sistemik yang hebat: demam tinggi dan pelebaran pembuluh
darah di seluruh tubuh sehingga kulit tampak merah, tekanan darah turun, dan
jantung berdenyut cepat. Setelah suatu pembedahan perut, penyebab paling sering untuk
keadaan ini adalah infeksi luka operasi. Tetapi, lukanya tidak merah, atau
hangat, atau nyeri, dan ia tidak merasakan nyeri di perutnya. Ketika aku
mendengarkan dengan stetoskop, suara paru-parunya terdengar seperti bunyi mesin
cuci. Mungkin pneumonia telah mengawali bencana ini.
K segera datang. Usianya tiga puluh tahun lebih, tingginya hampir 180 senti,
dengan rambut pirang, tubuh atletis, selalu energetik, dan selalu siap membantu.
Ia memandang Tn. Howe sejenak, kemudian berbisik ke perawat untuk membawa kit
intubasi ke samping ranjang pasien. Aku sudah memberikan antibiotik, dan cairan
infus sudah menaikkan sedikit tekanandarah, tapi ia tetap mendapat oksigen
maksimal dan tetap sulitbernapas. K menghampiri Tn. Howe, meletakkan tangan pada
bahu pasien dan menanyakan bagaimana keadaannya. Ia diam sejenak sebelum dapat
menjawab. "Baik," katanya jawaban konyol untuk pertanyaan konyol, tetapi
?percakapan pun dimulai. K menjelaskan keadaannya: sepsis, kemungkinan pneumonia,
dan kemungkinan keadaannya memburuk sebelum menjadi lebih baik. Antibiotik akan
dapat mengatasi masalahnya, tetapi tidak segera, katanya, dan Tn. Howe akan
cepat lelah. Untuk membantunya melewati itu semua, ia akan membuatnya tidur,
memasang pipa napas, dan memasang alat bantu napas.
"Jangan," kata si pasien dengan tergagap, dan duduk tegak. "Jangan... pasang...
mesin itu... padaku."
Tidak akan lama, kata K. Mungkin hanya beberapa hari. Kami akan memberinya obat
tidur untuk membuatnya senyaman mungkin selama masa itu. Dan K ingin Tn. Howe
?mengerti bahwa tanpa ventilator ia akan mati.
?Tn. Howe tetap menggelengkan kepala. "Tidak..."
Kami yakin bahwa ia mengambil keputusan yang salah karena takut, mungkin juga ?karena tak mengerti. Dengan antibiotic dan dukungan alat berteknologi tinggi,
kami yakin bahwa ia akan pulih. Howe punya banyak alasan untuk tetap hidup ia
?masih muda dan sebenarnya sehat, punya istri dan anak. Jelas ia juga berpikir
demikian, sebab ia sangat memikirkan kesehatannya sehingga bersedia menjalani
operasi. Tampaknya, ia akan menerima upaya terapi kami, seandainya keadaannya
tidak menakutkan seperti itu. Apakah kami yakin bahwa kami benar" Tidak, tetapi
kalau kami benar, apakah kami akan membiarkannya mati"
K menoleh ke istri Howe yang sangat ketakutan, dan untuk melibatkannya dalam
upaya menolong Howe, K bertanya apa sebaiknya yang dilakukan oleh suaminya.
Tangisnya pecah. "Aku tak tahu, aku tak tahu," katanya dalam tangis. "Tidak
dapatkah Anda menyelamatkannya?" Ia tidak tahan lagi dan lari keluar. Untuk
beberapa menit K berusaha membujuk Howe. Ketika jelas bahwa ia tidak berhasil,
ia pergi untuk menelepon dokter bedah yang merawat, kemudian kembali ke pasien.
Tak lama Howe memang kehabisan energi, Ia membaringkan badannya kembali, pucat,
rambutnya yang dibanjiri keringat melekat di kepalanya, kadar oksigen tampak
turun pada monitor. Ia menutup matanya dan berangsur-angsur kehilangan
kesadarannya. Pada saat itulah K bertindak. Ia menurunkan kepala ranjang Howe sampai tubuhnya
telentang rata. Ia minta seorang perawat mengambil obat penenang dan ia
menyuntikkannya ke dalam vena Howe. Ia menekankan sungkup oksigen di wajah Howe
dan memompakan oksigen ke paru-parunya. Lalu, kuberikan peralatan intubasi kepadanya, dan ia langsung
berhasil menyusupkan pipa napas plastik yang bening dan panjang ke dalam trakea
Howe. Kami mendorong ranjang Howe menuju elevator dan membawanya turun beberapa lantai ke ruang rawat
intensif. Beberapa lama kemudian, aku menemui istrinya dan menjelaskan bahwa Howe sekarang
dirawat di ICU dan menggunakan alat bantu napas. Ia tak mengatakan apa-apa dan
pergi menjenguk suaminya.
Selama 24 jam berikutnya, paru-parunya membaik denganpesat. Kami menurunkan
dosis obat tidurnya dan membiarkannya mengambil-alih kembali fungsi napasnya
dari mesin itu. Ia terjaga dan membuka matanya, pipa napas masih terpasang di
mulutnya.Ia tidak berontak.
"Aku akan mencabut pipa ini dari mulut Anda sekarang, ya?" kataku. Ia mengangguk
Aku memotong ikatannya dan mengempiskan balon yang menahan pipa itu di
tempatnya. Kemudian, aku menarik pipa itu keluar, dan ia terbatuk-batuk keras
beberapa kali. "Anda terserang pneumonia," kataku, "tetapi keadaan Anda sudah
baik sekarang." Aku berdiri diam di situ dan cemas menunggu apa yang akan dikatakannya, Ia
menelan liur dengan agak sulit dan meringis karena sakit pada tenggoroknya.
Lalu, ia memandangku, dan dengan suara serak tetapi mantap, ia berkata, "Terima
kasih." Bidadari Dari Sungai Es 12 Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Mawar Merah Menuntut Balas 1
^