Dua Menara 8
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien Bagian 8
indah: piring-piring bundar, mangkuk dan piring dari tanah liat cokelat yang
diglasir atau dari kayu peti yang dibubut, mulus dan bersih. Di sana-sini ada cangkir
atau baskom dari perunggu yang dipoles; gelas minum berbentuk piala dan perak
diletakkan di depan tempat duduk Kapten, di tengah meja yang terletak di pusat.
Faramir berkeliling di antara orang-orang, dengan lembut menanyai masingmasing
ketika ia masuk. Beberapa datang dari pengejaran kaum Southron; yang lain, yang
ditinggal sebagai pengintai dekat jalan, masuk paling akhir. Semua orang
Southron sudah ketahuan nasibnya, kecuali mumak yang besar itu: apa yang terjadi
padanya, tidak ada yang tahu. Dan pihak musuh tidak terlihat gerakan apa pun;
bahkan mata-mata Orc tidak ada di luar.
"Kau tidak melihat dan mendengar apa pun, Anborn?" tanya Faramir pada
pendatang terakhir. Halaman | 314 The Lord of The Rings "Well, tidak, Pangeran," kata orang itu. "Setidaknya bukan Orc. Tapi aku
melihat, atau merasa melihat, sesuatu yang agak aneh. Waktu itu senja sudah
larut, dan segala sesuatu, jadi terlihat lebih besar daripada sebenarnya. Jadi,
mungkin juga yang kulihat itu hanya tupai."
Sam memasang telinga ketika mendengar itu. "Kalau memang tupai,
warnanya pasti hitam, dan aku tidak melihat ekornya. Sosoknya seperti sebuah
bayangan di tanah, dan dia meluncur cepat ke belakang batang pohon ketika aku
mendekat, memanjat ke atas secepat tupai. Kau tak ingin kami membunuh hewanhewan
liar dengan sia-sia, dan tampaknya dia Cuma hewan liar, maka aku tidak
mencoba memanahnya. Bagaimanapun, sudah terlalu gelap untuk menembak, dan
makhluk itu sudah menghilang ke dalam kegelapan dedaunan, dalam sekejap. Tapi
aku tetap di sana untuk beberapa saat, karena tampaknya aneh, kemudian aku
buru-buru kembali. Rasanya aku mendengar makhluk itu mendesis padaku dari
atas ketika aku pergi. Mungkin seekor tupai besar. Barangkali di bawah bayangan
Dia yang Tak Bernama, beberapa hewan liar dari Mirkwood berkeliaran ke
hutanhutan kami. Kata orang-orang, di sana ada tupai hitam."
"Barangkali," kata Faramir. "Tapi itu berarti pertanda buruk. Kita tidak
menginginkan pelarian dan Mirkwood di Ithilien." Sam merasa Faramir melirik
cepat ke arab para hobbit ketika berbicara; tapi Sam tidak mengatakan apaapa. Untuk
beberapa saat, ia dan Frodo berbaring memperhatikan cahaya obor, dan orangorang
yang bergerak kian kemari sambil berbicara dengan suara teredam.
Kemudian tiba-tiba Frodo tertidur. Sam berdebat dengan dirinya sendiri.
"Mungkin dia benar," pikirnya, "dan mungkin juga tidak. Omongan manis bisa
menyembunyikan hati yang busuk." Ia menguap. "Aku bisa tidur selama seminggu,
untuk memulihkan diri. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan, kalaupun aku tetap
terjaga" Aku sendirian, dengan Manusia-Manusia besar di sekitarku. Tidak ada,
Sam Gamgee; tapi kau harus tetap bangun." Dan entah bagaimana ia berhasil.
Cahaya meredup dari pintu gua, dan selubung kelabu air terjun semakin pudar,
lalu hilang dalam kegelapan yang semakin pekat. Bunyi air selalu terdengar, nadanya
tak pernah berubah, pagi atau sore atau malam. Air itu bergumam dan berbisik
tentang tidur. Sam mengganjal matanya dengan buku jari.
Kini lebih banyak obor dinyalakan. Sebuah tong anggur dibuka. Tong-tong
Beberapa tong dari gudang dibuka. Orang-orang mengambil air dan berapa
mencuci tangan dalam baskom. Sebuah mangkuk tembaga besar dan secarik kain
putih dibawa kepada Faramir, dan ia membasuh dirinya.
Dua Menara Halaman | 315 "Bangunkan tamu-tamu kita," katanya, "dan bawakan air untuk mereka. Sudah
saatnya makan." Frodo duduk dan menguap, lalu meregangkan badan. Sam, yang tidak biasa
dilayani, memandang heran kepada pria jangkung yang membungkuk sambil
memegang baskom penuh air di depannya. "Taruh saja di tanah, Bung," katanya.
"Begitu lebih nyaman buatku dan buatmu." Lalu ia memasukkan kepalanya ke
dalam air dingin itu, membasahi leher dan kedua telinganya. Orang-orang yang
melihatnya merasa kaget sekaligus geli.
"Apakah di negerimu ada kebiasaan membasuh kepala sebelum makan
malam?" kata orang yang melayani kedua hobbit.
"Tidak, biasanya justru sebelum sarapan," kata Sam. "Tapi kalau kurang tidur,
air dingin di leher rasanya seperti hujan di daun selada layu. Nah! Sekarang aku
bisa melek cukup lama untuk makan sedikit."
Mereka dibawa ke tempat duduk di samping Faramir: tong-tong berlapis kulit
bulu yang lebih tinggi daripada bangku-bangku Manusia, sehingga mereka bisa
duduk nyaman. Sebelum makan, Faramir dan semua anak buahnya menoleh ke
arah barat untuk beberapa saat, dalam diam. Faramir memberi tanda kepada
Frodo dan Sam agar melakukan hal yang sama.
"Begitulah kebiasaan kami," katanya ketika mereka duduk. "Kami memandang
ke Numenor yang pernah ada, ke rumah kaum Peri di baliknya, dan ke wilayah di
luar negeri kaum Peri, yang akan selalu ada. Apakah kau tidak mempunyai
kebiasaan semacam itu saat makan?"
"Tidak," kata Frodo, yang merasa sangat kasar dan tidak terpelajar. "Tapi,
sebagai tamu, kami membungkuk kepada tuan rumah kami, dan setelah makan
kami bangkit dan mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Itu juga kami lakukan," kata Faramir.
Setelah mengembara dan berkemah untuk waktu begitu lama, dan berharihari
dilewatkan di belantara sepi, makan malam itu seperti pesta bagi kedua hobbit:
minum anggur kuning pucat, sejuk dan wangi, makan roti dan mentega, daging
asin, buah-buahan kering, dan keju merah yang bagus, dengan tangan bersih dan
memakai pisau dan piring bersih. Frodo dan Sam tidak menolak apa pun yang
ditawarkan, juga tidak porsi kedua, bahkan ketiga. Anggur mengalir dalam urat
darah dan anggota tubuh mereka yang letih. Mereka merasa gembira dan ringan
hati hal yang belum pernah mereka rasakan sejak meninggalkan negeri Lorien.
Selesai makan, Faramir membawa mereka ke suatu relung di bagian belakang
Halaman | 316 The Lord of The Rings gua, sebagian tertutup tirai-tirai; sebuah kursi dan dua bangku dibawa ke sana.
Sebuah lampu kecil dari tanah hat menyala dalam relung.
"Mungkin kalian ingin segera tidur," katanya, "terutama Samwise yang
budiman, yang tidak mau memejamkan matanya sebelum makan entah karena
takut rasa laparnya hilang, atau takut padaku, aku tidak tahu. Tapi tidak baik
tidur terlalu cepat setelah makan, apalagi menyusul puasa yang lama. Mari kita
bercakap-cakap dulu. Tentang perjalanan kalian dari Rivendell pasti banyak yang
bisa diceritakan. Kalian juga mungkin ingin tahu sesuatu dari kami dan negeri
tempat kalian sekarang berada. Ceritakan tentang Boromir kakakku, tentang
Mithrandir tua, dan tentang penduduk Lorien yang elok." Frodo sudah tidak
mengantuk, dan ia mau berbicara.
Tapi, meski makanan dan anggur sudah membuatnya nyaman, ia belum
kehilangan seluruh kewaspadaannya. Sam berseri-seri dan bersenandung, tapi ia
puas hanya mendengarkan Frodo berbicara, dan kadang-kadang saja berani
berseru menyatakan persetujuan. Frodo menceritakan banyak kisah, tapi selalu
membelokkan masalah dari kisah pencarian Rombongan dan Cincin, lebih banyak
membesarkan bagian gagah berani yang diperankan Boromir dalam semua
petualangan mereka, dengan serigala-serigala dari belantara, salju di bawah
Caradhras, dan di pertambangan Moria di mana Gandalf tewas. Faramir terutama
sangat terharu dengan cerita pertempuran di atas jembatan.
"Pasti Boromir jengkel harus lari dari para Orc," katanya, "atau bahkan dari
makhluk busuk yang kausebut Balrog meski dia yang terakhir pergi."
"Dia yang terakhir," kata Frodo, "tapi Aragorn terpaksa memimpin kami. Hanya
dia yang tahu jalan setelah kejatuhan Gandalf. Seandainya tidak harus menjaga
kami, orang-orang yang lebih lemah ini, dia maupun Boromir pasti tidak akan lari
ketika itu." "Mungkin, lebih baik bila Boromir tewas di sana bersama Mithrandir," kata
Faramir, "dan tidak berjalan terus menyongsong takdir yang menunggunya di atas
air terjun Rauros." "Mungkin. Tapi sekarang ceritakan kisahmu sendiri," kata Frodo, mengalihkan
pembicaraan lagi. "Karena aku ingin belajar lebih banyak tentang Minas Ithil dan
Osgiliath, dan Minas Tirith yang bertahan lama. Harapan apa yang kaupunyai untuk
kota itu dalam peperanganmu yang berlangsung lama?"
"Harapan apa yang kami punyai?" kata Faramir. "Sudah lama kami tidak
mempunyai harapan. Pedang Elendil, kalau dia kembali, mungkin bisa
Dua Menara Halaman | 317 mengobarkannya lagi, tapi kurasa pedang itu pun hanya sanggup menunda hari
buruk, kecuali kalau datang bantuan lain yang tidak terduga, dari kaum Peri atau
Manusia. Karena Musuh semakin banyak, sedangkan kami semakin menyusut.
Kami bangsa yang sudah gagal, kami adalah musim gugur yang takkan pernah
melihat musim semi."
"Manusia Numenor dulu tinggal di seantero pantai dan wilayah sekitar laut di
Daratan Besar, tapi sebagian besar dari mereka jatuh ke dalam kejahatan dan
kebodohan. Banyak yang terpikat oleh Kegelapan dan sihir hitamnya; beberapa
jatuh ke dalam kemalasan dan pengangguran, dan beberapa bertikai antara
mereka sendiri, sampai mereka dikalahkan dalam kelemahan mereka oleh orangorang
liar." "Sihir jahat tak pernah dipraktekkan di Gondor, dan Dia Yang Tak Bemama
tidak disanjung di sana; kebijakan serta keindahan lama yang dibawa dari Barat
masih lama dipertahankan di masa putraputra Elendil Yang Elok, dan masih tetap
berada di sana. Meski begitu, Gondor telah menyebabkan pembusukannya sendiri,
dan mengalami penurunan secara bertahap, mengira Musuh tertidur, padahal
Musuh hanya terusir, tapi belum hancur."
"Kematian selalu hadir, karena bangsa Numenor masih berhasrat akan
kehidupan abadi yang tidak berubah, seperti selama masa kerajaan lama yang
sudah hilang dari tangan mereka. Raja-raja mendirikan kuburan yang lebih hebat
daripada rumah-rumah untuk orang hidup, dan menganggap nama-nama lama
dalam garis keturunan mereka lebih penting daripada nama-nama putra-putra
mereka. Para penguasa yang tidak mempunyai putra duduk di balairung kuno
sambil melamun tentang lambang-lambang; di ruangruang rahasia, orang-orang
tua yang sudah layu membuat obat-obat mujarab, atau di menara-menara tinggi
mengajukan pertanyaan tentang bintangbintang. Dan raja terakhir dari garis
keturunan Anarion tidak mempunyai putra mahkota."
"Tapi para pelayan lebih bijak dan lebih beruntung. Lebih bijak, karena mereka
merekrut kekuatan bangsa kekar dari pantai, dan penduduk pegunungan yang
tabah dan Ered Nimrais. Mereka melakukan gencatan senjata dengan bangsabangsa
angkuh dari Utara, yang dulu sering menyerang kami, orang-orang gagah
berani, tapi masih bertalian keluarga jauh dengan kami, tidak seperti kaum
Easterling yang liar atau Haradrim yang kejam."
"Demikianlah maka di masa Cirion, Steward Kedua Belas (ayahku adalah
yang kedua puluh enam), mereka datang membantu kami. Di Padang Celebrant
yang luas mereka menghancurkan musuh-musuh yang sudah merebut provinsiHalaman |
318 The Lord of The Rings provinsi kami di utara. Itulah kaum Rohirrim, penguasa kuda, begitu kami
menyebut mereka. Kami serahkan pada mereka padangpadang Calenardhon yang sejak itu
disebut Rohan; karena provinsi itu sudah lama sekali jarang penduduknya. Mereka
menjadi sekutu kami, dan terbukti selalu setia pada kami, membantu dalam
kesulitan, dan menjaga jalan-jalan kami di utara dan Celah Rohan."
"Mereka mempelajari pengetahuan dan adat-istiadat kami sebanyak yang
mereka anggap perlu, dan para penguasa mereka berbicara dalam bahasa kami
bila dibutuhkan; tapi sebagian besar dari mereka masih memegang adat-istiadat
nenek moyang mereka, dan di antara mereka sendiri mereka berbicara dalam
bahasa Utara. Kami menyayangi mereka: laki-laki jangkung dan wanita-wanita
cantik, sama-sama gagah berani, berambut emas, bermata cerah, dan kuat;
mereka mengingatkan kami pada Manusia dahulu kala, di Zaman Peri. Menurut
ahli-ahli pengetahuan kami, mereka sejak dulu mempunyai pertalian keturunan
dengan kami, karena mereka berasal dan Tiga Istana Manusia, seperti halnya
bangsa Numenor pada masa awalnya; mungkin bukan dari Hador Rambut Emas,
sahabat kaum Peri, tapi dari keturunan dan rakyatnya yang menolak panggilan dan
tidak pergi menyeberangi Samudra, masuk ke Barat."
"Beginilah pembagian Manusia dalam adat-istiadat kami: Bangsa Agung, atau
Manusia dari Barat, yaitu kaum Numenor; Bangsa Menengah, Manusia Senja,
seperti kaum Rohirrim dan keluarga mereka yang masih tinggal jauh di Utara; dan
Bangsa Liar, Manusia Kegelapan."
"Tapi sekarang, sementara kaum Rohirrim tumbuh semakin mirip dengan
kami, berkembang dalam seni dan peradaban, kami pun jadi semakin mirip dengan
mereka, dan hampir-hampir tak layak lagi menyandang gelar Bangsa Agung. Kami
sudah menjelma menjadi Bangsa Menengah, Manusia Senja, namun menyimpan
kenangan akan hal-hal lain. Sama seperti kaum Rohirrim, kami kini menyukai
peperangan dan keberanian, baik sebagai olahraga maupun tujuan; dan meski
menurut kami seorang pejuang harus punya keterampilan dan pengetahuan, bukan
sekadar menguasai senjata dan membunuh, kami toh lebih menghargai seorang
pejuang daripada orang-orang dengan keahlian lain. Begitulah kebutuhan masa
kini. Begitu pula kakakku, Boromir: dia pemberani, dan dia dianggap orang
terbaik di Gondor. Dia memang sangat gagah berani: tak ada putra mahkota dari Minas
Tirith yang bekerja begitu keras selama bertahun-tahun, begitu tak kenal takut
dalam pertempuran, dan begitu nyaring meniup Terompet Besar itu." Faramir
mengeluh dan diam sejenak.
Dua Menara Halaman | 319 "Kau tidak bicara banyak tentang kaum Peri dalam kisah-kisahmu, Sir," kata
Sam, yang tiba-tiba bangkit keberaniannya. Ia memperhatikan Faramir menyebut
kaum Peri dengan penuh penghormatan, dan sikapnya itulah yang membuat Sam
menaruh respek padanya dan menghilangkan kecurigaannya, melebihi kesopanan
yang ditunjukkan Faramir, serta makanan dan anggur yang dihidangkannya.
"Memang tidak, Master Samwise," kata Faramir, "karena aku tidak ahli dalam
pengetahuan tentang kaum Peri. Tapi di sini kau menyentuh satu hal lain lagi, di
mana kami mengalami perubahan, merosot dari Numenor ke Dunia-Tengah. Kalau
Mithrandir adalah pendamping kalian, dan kalau kau sudah berbicara dengan
Elrond, tentunya kau tahu bahwa kaum Edain, Nenek Moyang kaum Numenor,
bertempur bersama kaum Peri dalam peperanganpeperangan pertama, dan diberi
imbalan kerajaan di tengah Samudra, dalam jarak pandang kampung halaman
kaum Peri. Tapi di Dunia-Tengah, Manusia dan Peri jadi saling terasing di masa
kegelapan, karena pengaruh sihir Musuh, dan karena perjalanan waktu.
Masing-masing bangsa terpisah semakin jauh. Kini Manusia takut dan
mencurigai kaum Peri, namun hanya tahu sedikit tentang mereka. Dan kami dari
Gondor tumbuh seperti Manusia lain, seperti Orang-Orang Rohan; karena mereka
pun, yang menjadi musuh Penguasa Kegelapan, menghindari kaum Peri dan
berbicara tentang Hutan Emas dengan penuh ketakutan. "Tapi di antara kami
masih ada yang berurusan dengan kaum Peri bila perlu. Sesekali masih ada yang
diam-diam pergi ke Lorien, dan jarang kembali. Aku tidak. Karena menurutku
sangat berbahaya sekarang bagi manusia fana untuk sengaja mencari Kaum Peri.
Meski begitu, aku ini bahwa kau sudah berbicara dengan Wanita Peri itu."
"Lady dan Lorien! Galadriel!" seru Sam. "Kau harus melihatnya, Sir, harus.
Aku hanya seorang hobbit, dan pekerjaanku di rumah Cuma berkebun, Sir. Aku
tidak pintar bersajak tidak mahir mengarang sajak: paling-paling sedikit sajak
jenaka, kadang-kadang, tapi bukan puisi sejati maka aku tak bisa menggambarkan
yang kumaksud. Seharusnya ini dinyanyikan. Kau perlu Strider, alias Aragorn,
atau Mr. Bilbo tua, untuk itu. Tapi aku berharap bisa membuat nyanyian tentang dia.
Dia cantik sekali, Sir! Memikat! Kadangkadang seperti pohon besar yang sedang
berbunga, kadang-kadang seperti daffadowndilly putih, mungil dan ramping. Keras
bagai berlian, lembut bagai sinar bulan. Hangat seperti cahaya matahari, dingin
seperti es di dalam bintang-bintang. Angkuh dan jauh seperti gunung salju, dan
ceria seperti gadis remaja dengan bunga daisy di rambutnya di musim semi. Tapi
itu omong kosong semua, jauh sekali dari sasaranku."
Halaman | 320 The Lord of The Rings "Kalau begitu, dia memang sangat cantik," kata Faramir. "Cantik yang
berbahaya."
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu tentang berbahaya," kata Sam. "Tampaknya orang-orang
membawa bahaya mereka sendiri masuk ke Lorien, dan menemukannya di sana
karena mereka sendiri membawanya. Tapi barangkali bisa kausebut dia
berbahaya, karena dia sendiri punya daya kekuatan. Kau, kau bisa hancur
berkeping-keping menabrakkan dirimu padanya, seperti kapal menabrak batu
karang, atau membenamkan dirimu sendiri, seperti hobbit di sungai. Tapi batu
karang maupun sungai tak bisa disalahkan. Nah, Boro ..." ia berhenti dan wajahnya
memerah. "Ya" Nah, Boromir ... itu yang hendak kaukatakan?" kata Faramir. "Kau akan
bilang apa" Dia membawa bahayanya sendiri?"
"Ya, Sir, maaf, padahal kakakmu itu orang hebat, kalau boleh kukatakan
begitu. Tapi kau memang sudah mencium kebenaran sejak tadi. Nah, aku
memperhatikan Boromir dan mendengarkannya, sejak Rivendell sampai dalam
perjalanan aku hanya menjaga majikanku, bukan bermaksud jahat pada Boromir
dan menurutku di Lorien-lah dia pertama kali melihat jelas apa yang sudah lebih
dulu kuduga: apa yang diinginkannya. Sejak pertama kali melihatnya, dia
menginginkan Cincin Musuh!"
"Sam!" seru Frodo kaget. Ia sedang melamun, dan mendadak tersentak. Tapi
sudah terlambat. "Aduh duh!" kata Sam, wajahnya jadi pucat, kemudian merah
padam. "Telanjur lagi aku! Setiap kali kau membuka mulut besarmu itu, kedokmu
pasti langsung terbuka, begitu kata Gaffer selalu, dan itu memang benar. Ya
ampun, ya ampun!" "Nah begini, Sir!" katanya pada Faramir dengan segenap keberanian yang
bisa dikerahkannya. "Jangan mengambil kesempatan terhadap majikanku hanya
karena pelayannya yang bodoh ini. Kau sudah berbicara bagus sekali selama ini,
hingga aku jadi tidak waspada, membahas Peri dan sebagainya.
Tapi penampilan elok dibarengi perbuatan elok, begitu kata orang. Sekarang
kesempatan untuk menunjukkan kualitasmu."
"Begitu rupanya," kata Faramir, pelan dan sangat lambat, dengan senyuman
aneh. "Jadi, itulah jawaban terhadap semua teka-teki! Cincin Utama yang disangka
sudah hilang dan dunia. Boromir mencoba mengambilnya dengan paksa" Dan kau
lolos" Lari langsung kepadaku! Dan di sini, di belantara, aku menangkapmu: dua
Halfling, sepasukan tentara di bawah perintahku, dan Cincin segala Cincin. Nasib
Dua Menara Halaman | 321 yang sangat bagus! Kesempatan bagi Faramir, kapten dari Gondor, untuk
menunjukkan kualitasnya! Ha!" ia bangkit berdiri, sosoknya jangkung dan keras,
mata kelabunya bersinar-sinar.
Frodo dan Sam melompat dan kursi mereka dan berdiri berdampingan
membelakangi dinding, meraba-raba pangkal pedang mereka. Sepi sekali. Semua
orang di gua berhenti berbicara dan memandang heran ke arah mereka. Tapi
Faramir duduk kembali di kursinya dan mulai tertawa perlahanlahan, kemudian
mendadak serius lagi. "Sayang sekali Boromir! Ujian itu terlalu berat baginya!" katanya. "Kalian
sudah menambah dukaku, kalian dua pengembara asing dari jauh, membawa
bahaya Manusia! Tapi kalian tidak pintar menilai Manusia, seperti aku bisa
menilai Halfling. Kami, Orang-Orang Gondor, selalu mengatakan kebenaran. Kami jarang
membual, lalu berbuat, atau mati dalam upaya itu. Meski kutemukan Cincin itu di
jalan raya, tidak akan aku mengambilnya, begitu sudah kukatakan. Meski
seandainya aku memiliki hasrat besar terhadap benda ini, dan meski seandainya
aku tidak tahu pasti tentang benda itu ketika aku berbicara, toh aku akan
memegang kata-kataku sebagai sumpah, dan menaatinya.
"Tapi aku bukan orang seperti itu. Atau aku cukup bijak untuk tahu bahwa ada
bahaya-bahaya yang iebih baik dihindari manusia. Duduklah dengan damai! Dan
tenanglah, Samwise. Anggaplah ketelanjuranmu berbicara memang sudah
ditakdirkan. Hatimu pintar dan juga setia, dan bisa melihat lebih jernih
daripada matamu. Mungkin kelihatannya aneh, tapi tak usah cemas telah mengungkapkan
hal itu padaku. Mungkin keterus teranganmu bisa membantu majikan yang
kausayangi. Segalanya akan berjalan baik baginya, sejauh kekuatanku
memungkinkan. Jadi, tenanglah. Tapi jangan lagi menyebut keras-keras benda ini.
Satu kali sudah cukup."
Kedua hobbit kembali ke tempat duduk mereka, dan duduk diam. Orang-orang
kembali menghadapi makanan dan minuman mereka, menganggap kapten mereka
hanya berkelakar atau semacamnya dengan tamu-tamunya, dan itu sudah lewat.
"Well, Frodo, setidaknya sekarang kita saling memahami," kata Faramir.
"Kalau kau menerima beban ini tanpa kehendakmu sendiri melainkan karena
permintaan orang lain, maka kau mendapat rasa iba dan hormatku. Dan aku
kagum padamu: membiarkannya tersembunyi dan tidak menggunakannya. Kalian
merupakan bangsa dan dunia baru bagiku. Apakah semua keluarga kalian seperti
ini" Pasti negerimu suatu wilayah penuh kedamaian dan kepuasan dan di sana ada
ahliahli kebun yang sangat dihormati."
Halaman | 322 The Lord of The Rings "Tidak semuanya baik di sana," kata Frodo, "tapi memang ahli-ahli kebun
dihormati." "Tapi pasti penduduk di sana lambat-laun juga letih, bahkan di
kebunkebun mereka, seperti semua makhluk di bawah Matahari. Kalian jauh dari
rumah dan letih dari perjalanan. Cukup untuk malam ini. Tidurlah, kalian berdua dengan
damai, kalau bisa. Jangan takut! Aku tak ingin melihat, menyentuh, atau
mengetahui lebih banyak daripada yang sudah kuketahui (yang sudah cukup)
tentang benda itu, agar jangan sampai bahaya merintangi aku dan aku jatuh lebih
rendah dalam ujian ini daripada Frodo putra Drogo. Sekarang istirahatlah tapi
sebelumnya ceritakan dulu padaku, kalau mau, ke mana kau ingin pergi, dan apa
tujuanmu. Sebab aku harus berjaga, dan menunggu, dan berpikir. Waktu berlalu. Di
pagi hari, kita masingmasing harus cepat pergi melalui jalan yang diperuntukkan
bagi kita." Frodo merasa gemetaran ketika rasa takutnya yang mula-mula itu lewat.
Sekarang keletihan besar menyelubunginya seperti awan. Ia tak mampu
menyembunyikan dan melawannya lebih lama lagi.
"Aku akan mencari jalan masuk ke Mordor," katanya lemah. "Aku akan pergi
ke Gorgoroth. Aku harus menemukan Gunung Api dan melemparkan benda itu ke
dalam kobaran Maut. Gandalf bilang begitu. Aku tidak yakin akan sampai ke sana."
Faramir menatapnya sejenak dengan tercengang. Lalu mendadak ia
menangkap tubuh Frodo yang bergoyang, dan sambil mengangkatnya dengan
lembut, membawanya ke tempat tidur dan membaringkannya di sana,
menyelimutinya dengan hangat. Segera Frodo tertidur lelap. Satu tempat tidur
lain diletakkan di sampingnya, untuk pelayannya. Sam ragu sejenak, kemudian sambil
membungkuk rendah ia berkata,
"Selamat malam, Kapten, My Lord. Kau telah mempergunakan kesempatan
ini, Sir." ' "Begitukah?" kata Faramir. "Ya, Sir, dan kau telah menunjukkan kualitasmu:
yang tertinggi." Faramir tersenyum. "Kau pintar bicara, Master Samwise. Tapi
tidak: pujian dari orang terpuji lebih tinggi nilainya daripada semua imbalan. Meski
begitu, tak ada yang perlu dipuji dalam hal ini. Aku tidak berhasrat atau terpikat untuk
berbuat lain dari yang sudah kulakukan."
"Ah, Sir," kata Sam, "kaubilang majikanku punya sifat-sifat Peri; itu memang
benar dan bagus. Tapi menurutku kau juga punya sifat yang mengingatkan aku
pada, pada ... well, pada Gandalf, pada penyihir-penyihir."
Dua Menara Halaman | 323 "Mungkin," kata Faramir. "Mungkin samar-samar kau bisa merasakan sifatsifat
bangsa Numenor. Selamat malam!"
Halaman | 324 The Lord of The Rings Kolam Terlarang Frodo bangun dan menyadari Faramir membungkuk di atasnya. Untuk
beberapa saat, rasa takut kembali menyergapnya, membuatnya duduk dan
mundur. "Tak ada yang perlu dicemaskan," kata Faramir.
"Sudah pagikah sekarang?" kata Frodo sambil menguap.
"Belum, tapi malam hampir berakhir, dan bulan purnama sedang terbenam.
Maukah kau melihatnya" Selain itu, aku memerlukan nasihatmu. Aku minta maaf
sudah membangunkanmu, tapi maukah kau ikut aku?"
"Ya, aku mau," kata Frodo. Ia bangkit dan menggigil sedikit ketika
meninggalkan selimut dan kulit bulu yang hangat. Rasanya dingin dalam gua tanpa
api. Bunyi air terdengar nyaring dalam keheningan. Ia memakai jubahnya dan
mengikuti Faramir. Sam, yang dibangunkan tiba-tiba oleh naluri kewaspadaannya,
mulamula melihat tempat tidur majikannya kosong. Ia melompat berdiri. Kemudian
ia melihat dua sosok gelap, Frodo dan seorang pria, sosoknya membayang di
ambang pintu yang kini dipenuhi cahaya putih pucat.
Ia mengejar mereka dengan terburu-buru, melewati barisan orang tidur di atas
kasur-kasur sepanjang dinding. Ketika lewat mulut gua, ia melihat bahwa Tirai
sekarang sudah menjadi selubung memukau benang sutra dan mutiara serta
perak: sinar bulan seperti untaian air beku yang mencair. Tapi ia tidak berhenti
untuk mengaguminya, dan sambil membelok ia mengikuti majikannya melewati
ambang pintu sempit di dinding gua. Mereka mula-mula berjalan melewati selasar
panjang hitam, kemudian menaiki banyak anak tangga, dan sampai di sebuah
dataran kecil yang dipahat di dalam batu dan disinari langit pucat, berkilauan
jauh di atas, melalui cerobong panjang yang dalam. Dari sini menjulur dua tangga:
satu tampaknya terus ke arah tebing tinggi di tepi sungai; yang lainnya membelok ke
kiri. Mereka mengikuti yang ini. Tangga itu membelok naik seperti tangga putar
di menara. Akhirnya mereka keluar dari kegelapan yang pekat, dan melihat sekeliling.
Mereka berada di atas batu lebar datar, tanpa pagar atau tembok. DI sebelah
kanan mereka, ke arah timur, air sungai jatuh mendebur melewati banyak tangga,
kemudian mengalir menuruni palung curam, mengisi sebuah saluran yang dipahat
mulus dengan air gelap berbuih. Air itu berputar-putar dan mengalir kencang
dekat Dua Menara Halaman | 325 kaki mereka, lalu terjun melewati pinggiran terjal yang menganga di sebelah kiri
mereka. Seorang pria berdiri di situ, dekat pinggiran, diam, sambil memandang ke
bawah. Frodo menoleh untuk memperhatikan leher-leher air yang jenjang ketika
mereka berputar, kemudian terjun. Lalu ia mengangkat matanya dan menerawang
jauh. Dunia sepi dan dingin, seolah fajar sudah hampir menjelang. Jauh di Barat,
bulan purnama sedang terbenam, bundar dan putih. Kabut pudar berkilauan di
lembah luas di bawah: sebuah teluk besar dari asap perak, yang di bawahnya
mengalir airmalam yang sejuk dari Anduin.
Kegelapan hitam menjulang di seberang, dan di dalamnya berkilauan puncakpuncak
Ered Nimrais, Pegunungan Putih dari Negeri Gondor yang berlapis salju
abadi, dingin, tajam, dan jauh, putih seperti gigi hantu. Untuk beberapa saat
Frodo berdiri di atas batu tinggi, menggigil, bertanyatanya apakah di suatu tempat di
dalam negeri malam yang luas itu, kawankawan serombongannya dulu berjalan
atau tidur, atau berbaring mati berselimutkan kabut" Kenapa ia dibawa ke sini,
keluar dari tidur yang membuat lupa" Sam juga sangat ingin tahu jawaban atas
pertanyaan yang sama, dan tak bisa menahan diri untuk menggerutu perlahan,
hanya kepada majikannya, "Memang ini pemandangan bagus, Mr. Frodo, tapi membekukan hati dan
tulang-belulang! Apa yang terjadi?" Faramir mendengamya dan menjawab,
"Bulan terbenam di atas Gondor. Ithil yang indah, saat dia pergi dari
DuniaTengah, melirik ke rambut putih Mindolluin tua. Pantaslah kalau kita jadi
menggigil melihatnya. Tapi bukan ini alasannya aku membawamu kemari meski kau,
Samwise, kau tidak diajak, dan kau ada di sini hanya mengikuti naluri waspadamu.
Seteguk anggur akan menyenangkanmu. Mari, lihat!"
Faramir mendekati pengawal yang diam di ujung yang gelap, dan Frodo
mengikuti. Sam berdiri agak di belakang. Ia sudah merasa kurang aman berada di
atas dataran tinggi dan basah ini. Faramir dan Frodo melihat ke bawah. Jauh di
bawah, mereka melihat air putih mengalir masuk ke mangkuk berbuih, kemudian
menggulung di mangkuk lonjong di dalam batu karang, sampai menemukan jalan
keluar lagi melalui sebuah gerbang sempit, mengalir menjauh, beruap dan
berceloteh, masuk ke sudut-sudut yang lebih tenang dan lebih datar. Sinar bulan
masih condong ke kaki air terjun dan menyinari riak-riak air.
Frodo menyadari ada suatu benda kecil gelap di tebing terdekat, tapi ketika ia
memandangnya, benda itu terjun dan menghilang tepat di balik gelegak dan
gelembung air terjun, membelah air yang gelap dengan rapi, seperti panah atau
batu tajam. Faramir berbicara pada pria di sampingnya.
Halaman | 326 The Lord of The Rings "Menurutmu itu apa, Anborn" Seekor tupai, atau burung kingfisher" Apakah
ada kingfisher hitam di Mirkwood?"
"Apa pun benda itu, yang jelas bukan burung," jawab Anborn. "Dia punya
empat anggota tubuh dan terjun seperti manusia; dan tampaknya mahir sekali. Apa
rencananya" Mencari jalan masuk ke belakang Tirai, ke tempat persembunyian
kita" Rupanya kita ketahuan juga. Busurku ada di sini, dan aku sudah
menempatkan pemanah-pemanah lain secara tersembunyi di kedua tebing,
pemanah-pemanah ulung seperti diriku. Kami hanya menunggu perintahmu untuk
menembak, Kapten." "Apakah kita akan menembak?" kata Faramir, menoleh cepat pada Frodo.
Sejenak Frodo tidak menjawab. Kemudian, "Tidak!" katanya. "Tidak! Kumohon
jangan." Kalau Sam berani, ia akan mengatakan, "Ya," lebih cepat dan lebih
keras. Ia tak bisa melihat, tapi bisa menduga dari kata-kata mereka, apa yang sedang
mereka lihat. "Kalau begitu, kau tahu itu makhluk apa?" kata Faramir.
"Ayo, sekarang setelah kau melihatnya, katakan padaku mengapa dia harus
diselamatkan. Dalam semua pembicaraan bersama kita, kau tidak satu kali pun
menyebutnyebut kawanmu yang aneh itu, dan untuk sementara aku
membiarkannya. Dia bisa menunggu sampai ditangkap dan dibawa ke hadapanku.
Aku mengirimkan pemburu-pemburuku yang paling lihai untuk mencarinya, tapi dia
menipu mereka, dan mereka tidak melihatnya sampai sekarang, kecuali Anborn,
satu kali kemarin sore. Tapi sekarang pelanggaran yang dilakukannya lebih berat.
Dia bukan sekadar menangkap kelinci di dataran tinggi: dia sudah berani datang
ke Henneth Annun, karena itu dia mesti mati. Tapi aku kagum pada makhluk itu:
begitu rahasia dan licik, dia berani datang ke kolam di depan jendela kami.
Apakah dia menyangka manusia tidur tanpa penjagaan sepanjang malam" Kenapa dia
begitu?" "Ada dua jawaban, kukira," kata Frodo. "Pertama-tama, dia hanya tahu sedikit
tentang Manusia, dan meski dia licik, perlindunganmu begitu tersembunyi hingga
dia tidak tahu ada Manusia bersembunyi di sini. Kedua, dia ditarik oleh suatu
hasrat yang lebih kuat daripada kehati-hatiannya."
"Dia tertarik ke sini, katamu?" kata Faramir dengan suara rendah.
"Mungkinkah karena ... dia tahu tentang bebanmu?"
"Dia tahu. Dia sendiri pernah menyandang benda itu selama bertahun-tahun."
"Dia menyandangnya?" kata Faramir, terkesiap kaget. "Masalah ini tak henti-
Dua Menara Halaman | 327 hentinya menghadirkan berbagai teka-teki baru. Kalau begitu, dia mengejar benda
itu?" "Mungkin. Baginya benda itu berharga. Tapi bukan itu yang kumaksud."
"Kalau begitu, apa yang dicarinya?"
"Ikan," kata Frodo. "Lihat!"
Mereka menatap kolam yang gelap. Sebuah kepala hitam kecil muncul di
ujung terjauh kolam, persis keluar dari bayangan gelap batu karang. Ada sekilas
kilauan perak, dan lingkaran riak kecil. Makhluk itu berenang ke tepi, kemudian
dengan sangat gesit sebuah sosok seperti katak memanjat keluar dari air, menaiki
tebing. Segera ia duduk dan mulai menggigiti benda perak kecil yang bersinar-
sinar ketika ia menoleh: berkas-berkas terakhir sinar bulan sekarang jatuh ke belakang
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding batu di ujung kolam. Faramir tertawa pelan.
"Ikan!" katanya. "Dia lapar rupanya. Atau mungkin juga tidak: tapi ikan dari
kolam Henneth Annun mungkin bisa menyebabkan dia kehilangan nyawanya."
"Aku sudah membidiknya dengan panah," kata Anborn. "Tidakkah aku harus
menembak, Kapten" Datang tanpa izin ke tempat ini hukumannya adalah mati,
menurut hukum kita."
"Tunggu dulu, Anborn," kata Faramir. "Masalah ini lebih pelik daripada
tampaknya. Bagaimana menurutmu, Frodo" Mestikah kita membiarkan dia hidup?"
"Makhluk itu malang dan lapar," kata Frodo, "dan tidak menyadari bahaya
yang mengancamnya. Dan Gandalf, Mithrandir-mu, dia pasti meminta kita untuk
tidak membunuhnya karena alasan itu, dan alasanalasan lainnya. Dia sudah
melarang para Peri berbuat demikian. Aku tidak tahu jelas sebabnya, dan tentang
dugaanku aku tak bisa membicarakannya secara terbuka di sini. Tapi makhluk ini
entah bagaimana terlibat dengan tugasku. Sampai kau menemukan dan membawa
kami, dialah pemanduku."
"Pemandumu!" kata Faramir. "Masalah ini semakin aneh. Aku ingin berbuat
banyak untukmu, Frodo, tapi yang satu ini tak bisa kukabulkan: membiarkan
pengembara licik ini pergi begitu saja dari sini, untuk kemudian bergabung lagi
denganmu sesukanya. Kalau dia ditangkap para Orc, dia akan menceritakan
semua yang diketahuinya, di bawah ancaman akan disakiti. Dia harus dibunuh atau
ditangkap. Dibunuh, kalau tak bisa ditangkap dengan cepat. Tapi bagaimana
makhluk licin yang banyak kedoknya ini bisa ditangkap, kecuali dengan panah
berbulu?" Halaman | 328 The Lord of The Rings "Biarkan aku mendekatinya diam-diam," kata Frodo. "Kalian boleh tetap
meregangkan busur, dan setidaknya menembakku kalau aku gagal. Aku tidak akan
melarikan diri." "Pergilah kalau begitu, dan cepatlah!" kata Faramir. "Kalau dia berhasil tetap
hidup, dia akan menjadi pelayanmu yang setia selama sisa hidupnya yang
menyedihkan. Tuntun Frodo turun ke tebing, Anborn, dan jangan bersuara.
Makhluk itu punya telinga dan hidung. Berikan busurmu padaku."
Anborn menggeram dan memimpin jalan menuruni tangga putar sampai ke
dataran, kemudian menaiki tangga satunya, sampai mereka tiba di sebuah lubang
sempit yang tertutup semak-semak tebal. Sambil melewatinya perlahan, Frodo
menyadari ia berada di puncak tebing selatan di atas kolam. Sekarang sudah
gelap, dan, air terjun berwama kelabu pucat, hanya memantulkan sinar bulan yang
masih tersisa di langit barat. Ia tak bisa melihat Gollum. Ia maju sedikit,
Anborn mengikutinya perlahan. "Terus!" bisiknya di telinga Frodo. "Hati-hati sebelah kanan. Kalau kau jatuh ke
kolam, hanya temanmu yang menangkap ikan itu yang bisa menolongmu. Dan
jangan lupa ada pemanah-pemanah di dekat sini, meski kau tak bisa melihat
mereka." Frodo merangkak maju, menggunakan tangannya seperti gaya Gollum untuk
meraba jalan dan mengukuhkan dirinya sendiri. Batu karang itu sebagian besar
datar dan mulus, tapi licin. Ia berhenti untuk mendengarkan. Mula-mula ia tak
bisa mendengar apa pun kecuali debur air terjun yang tak henti-henti di belakangnya.
Kemudian akhirnya ia bisa mendengar gumam mendesis, tak jauh di depan.
"Ikan, ikan. Wajah Putih sssudah pergi, sayangku, akhirnya, ya. Sssekarang
kita bisssa makan ikan dengan tenang. Bukan, bukan dengan tenang, sayangku.
Karena sayangku sudah hilang; ya, hilang. Hobbit jelek, hobbit jahat. Pergi
meninggalkan kita, gollum; dan sayangku juga sudah pergi. Hanya Smeagol
malang sendirian. Tak ada sayangku. Manusia jahat, mereka mengambilnya,
mencuri sayangku. Maling. Kita benci. Mereka. Ikan, ikan enak. Membuat kita
kuat. Membuat mata cerah, jari rapat, ya. Kita cekik mereka, sayangku. Mereka semua,
ya, kalau ada kesempatan. Ikan enak. Ikan enak!" Begitulah ia mengoceh terus,
hampir seperti air terjun yang tak henti-hentinya berdebur, hanya terputus bunyi
lemah tetesan air liur dan bunyi berdeguk. Frodo menggigil, mendengarkan penuh
rasa iba dan jijik. Dua Menara Halaman | 329 Ia berharap bunyi itu berhenti, dan bahwa ia tak perlu mendengar suara itu
lagi untuk selamanya. Anborn berada tidak jauh di belakangnya. Ia bisa merangkak
kembali dan meminta agar pemburu-pemburu itu menembak. Mereka mungkin bisa
menghampiri cukup dekat, sementara Gollum sedang makan dengan rakus dan
tidak waspada. Satu tembakan tepat, dan Frodo akan terbebas selamanya dari
suara malang itu. Tapi tidak, Gollum berhak atas dirinya sekarang. Sang pelayan
telah berjanji pada sang majikan untuk melayani, meski melayani dalam ketakutan.
Mereka pasti tersesat di Rawa-Rawa Mati kalau tidak dibantu Gollum. Frodo juga
tahu bahwa Gandalf tidak menginginkan Gollum dibunuh.
"Smeagol!" ia berkata lembut. "Ikannn, ikann enak," kata suara itu.
"Smeagol!" kata Frodo, sedikit lebih keras. Suara itu berhenti. "Smeagol,
Majikan datang mencarimu. Majikan di sini. Ayo, Smeagol!" Tak ada jawaban
kecuali desis lemah, seperti sentakan napas kaget. "Ayo, Smeagol!" kata Frodo.
"Kita dalam bahaya. Orang-orang akan membunuhmu kalau menemukanmu di sini.
Kemari cepat, kalau kau ingin lolos dari kematian. Datanglah pada Majikan!"
"Tidak!" kata suara itu. "Majikan tidak manis. Meninggalkan Smeagol malang
dan pergi dengan teman-teman baru. Majikan bisa menunggu. Smeagol belum
selesai." "Tidak ada waktu," kata Frodo. "Bawa ikanmu. Ayo!"
"Tidak! Harus makan ikan dulu."
"Smeagol!" kata Frodo putus asa. "Ke-Sayangan-mu akan marah. Aku akan
membawa Sayang-mu itu, dan akan kukatakan: biar dia tercekik tulang dan tidak
pernah merasakan makan ikan lagi. Ayo, Sayang-mu sudah menunggu!" Ada bunyi
desis tajam. Akhirnya dari kegelapan Gollum muncul merangkak, seperti anjing
yang bersalah, dipanggil agar taat. Di mulutnya ada ikan yang baru separuh
dimakan dan satu lagi di tangannya. Ia mendekati Frodo, hampir bersentuhan
hidung, dan mengendus-endus. Matanya yang pucat bersinar-sinar. Lalu ia
mengeluarkan ikan dari dalam mulutnya dan bangkit berdiri.
"Majikan baik!" bisiknya. "Hobbit manis, kembali ke Smeagol yang malang.
Smeagol yang baik datang. Sekarang mari pergi, pergi cepat, ya. Melewati
pohonpohon, sementara Wajah-Wajah masih gelap. Ya, ayo kita pergi!"
"Ya, kita akan segera pergi," kata Frodo. "Tapi tidak sekarang. Aku akan pergi
denganmu seperti sudah kujanjikan. Aku berjanji lagi. Tapi jangan sekarang. Kau
belum aman. Aku akan menyelamatkanmu, tapi kau harus mempercayaiku."
Halaman | 330 The Lord of The Rings "Kami harus mempercayai Majikan?" kata Gollum ragu. "Mengapa" Kenapa
tidak langsung pergi" Di mana yang satunya, hobbit kasar dan pemarah itu" Di
mana dia?" "Di atas sana," kata Frodo, sambil menunjuk ke air terjun. "Aku tidak akan
pergi tanpa dia. Kita harus kembali ke dia." Semangat Frodo merosot. Ia merasa
seperti sedang menebar tipu muslihat. Ia tidak benar-benar cemas bahwa Faramir
akan membiarkan Gollum dibunuh, tapi mungkin Gollum akan dijadikan tawanan
dan diikat; ini tentu akan dianggap pengkhianatan oleh makhluk memelas itu.
Rasanya mustahil membuatnya mengerti atau percaya bahwa Frodo sudah
menyelamatkannya dengan satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Apa lagi yang
bisa dilakukannya" Selain berusaha mempertahankan kepercayaan kedua belah
pihak sedapat mungkin"
"Ayo!" katanya. "Kalau tidak, Kesayangan-mu akan marah. Kita akan kembali
sekarang, menyusuri sungai. Ayo, maju, kau di depan!" Gollum merangkak maju
menyusuri tebing untuk beberapa saat, mendengus curiga. Tak lama kemudian ia
berhenti dan mengangkat kepala.
"Ada sesuatu di sana!" katanya. "Bukan hobbit." Mendadak ia memutar badan.
Cahaya hijau menyala di matanya yang melotot. "Majikan, Majikan!" desisnya.
"Jahat! Penipu! Licik!" ia meludah dan mengulurkan tangannya yang panj ang
dengan jari-jari putih mengertak.
Saat itu sosok hitam besar Anborn berdiri di belakangnya dan menerkamnya.
Sebuah tangan besar kuat memegang lehernya dan menjepitnya. Gollum berputar
seperti kilat, basah dan berlumpur, menggeliat seperti belut, menggigit dan
menggaruk seperti kucing. Tapi dua orang lagi muncul dari balik bayangan.
"Diam!" kata yang seorang. "Kalau tidak, kami akan menusukmu samnai
penuh peniti seperti landak. Diam!" Gollum lemas, lalu mulai meratap dan
menangis. Mereka mengikatnya, lumayan keras.
"Pelan-pelan, pelan-pelan!" kata Frodo. "Kekuatannya tidak sebanding dengan
kalian. Jangan menyakitinya, kalau bisa. Dia akan lebih tenang kalau kau tidak
melukainya. Smeagol! Mereka tidak akan menyakitimu. Aku akan ikut denganmu,
dan kau tidak akan dilukai. Tidak, kecuali kalau mereka membunuhku juga.
Percayalah pada Majikan!" Gollum menoleh dan meludahinya.
Orang-orang mengangkatnya, menutup matanya, dan membawanya. Frodo
mengikuti mereka, merasa sangat sedih. Mereka melalui lubang di belakang
semak-semak, dan kembali, menuruni tangga dan selasar-selasar, masuk ke gua.
Dua Menara Halaman | 331 Dua atau tiga obor sudah dinyalakan. Orang-orang sudah sibuk. Sam ada di sana,
dan ia memandang aneh ke bungkusan lemas yang digotong orang-orang.
"Dapat dia?" katanya ke Frodo. "Ya. Well, tidak, aku tidak menangkapnya. Dia
datang padaku, karena mempercayaiku pada mulanya. Aku tak ingin dia diikat
seperti ini. Kuharap dia baik-baik saja; tapi aku benci seluruh urusan ini."
"Begitu juga aku," kata Sam. "Dan takkan ada yang beres selama ada
makhluk malang itu." Seseorang datang memanggil kedua hobbit, dan membawa
mereka ke relung di bagian belakang gua. Faramir sedang duduk di sana, dan
lampu sudah dinyalakan lagi di ceruk di atas kepalanya. Ia memberi isyarat pada
mereka agar duduk di sampingnya.
"Bawa anggur untuk para tamu," katanya. "Dan bawa tawanan kemari."
Anggur disajikan, kemudian Anborn datang menggotong Gollum. Ia melepaskan
kerudung dari kepala Gollum dan memberdirikannya, lalu ia sendiri berdiri di
belakangnya untuk menopangnya. Gollum berkedip, menyembunyikan kekejian di
matanya dengan kelopaknya yang berat. Ia tampak sangat mengibakan, menetesnetes
dan lembap, bau ikan (ia masih memegang satu di tangannya); rambut
ikalnya yang jarang menggantung seperti rumput halus di atas alisnya yang tipis,
hidungnya beringus. "Lepaskan kami! Lepaskan kami!" katanya. "Talinya menyakiti kami, ya begitu,
sakit, dan kami tidak melakukan apa-apa."
"Tidak melakukan apa-apa?" kata Faramir, memandang makhluk malang itu
dengan tajam, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya, tidak marah atau kasihan
maupun keheranan. "Tidak melakukan apa-apa" Apa kau tak pernah melakukan sesuatu yang
membuatmu patut diikat atau mendapat hukuman lebih berat" Bagaimanapun,
bukan urusanku untuk menilainya. Tapi malam ini kau datang ke tempat terlarang,
dan kematianlah hukumannya. Ikan di kolam ini mesti kaubayar mahal." Gollum
menjatuhkan ikan di tangannya.
"Tidak mau ikan," katanya. "Masalahnya bukan ikannya," kata Faramir.
"Datang kemari dan memandang kolam pun akan dijatuhi hukuman mati. Aku
sudah mengecualikanmu atas permohonan Frodo, yang mengatakan setidaknya
kau patut menerima ucapan terima kasih darinya. Tapi kau juga harus memuaskan
aku. Siapa namamu" Dari mana asalmu" Dan ke mana kau akan pergi" Apa
urusanmu?" Halaman | 332 The Lord of The Rings "Kami tersesat," kata Gollum. "Tak ada nama, tak ada urusan, tak ada Yang
Berharga, tak ada apa-apa. Hanya kosong. Hanya lapar; ya, kami lapar. Beberapa
ikan kecil, ikan kecil kurus jelek, untuk makhluk malang, dan mereka bilang kami
harus mati. Mereka begitu bijak, begitu adil."
"Kami tidak begitu bijak," kata Faramir. "Kalau adil: ya barangkali, seadil
mungkin sesuai kebijakan kami memungkinkan. Lepaskan ikatannya, Frodo!"
Faramir mengambil pisau kecil dari ikat pinggangnya dan memberikannya pada
Frodo. Gollum, yang menyalah artikan isyarat itu, berteriak dan jatuh. "Nah,
Smeagol!" kata Frodo. "Kau harus mempercayaiku. Aku tidak akan
meninggalkanmu. Jawab sejujurnya, kalau kau bisa. Itu akan berakibat baik, bukan
merugikanmu." Ia memotong ikatan tali di pergelangan tangan dan kaki Gollum dan
mengangkatnya agar berdiri.
"Kemarilah!" kata Faramir. "Pandang aku! Kau tahu nama tempat ini"
Pernahkah kau ke sini sebelumnya?" Perlahan-lahan Gollum mengangkat
matanya, dan dengan enggan memandang ke dalam mata Faramir. Semua cahaya
lenyap dari mata Gollum. Untuk beberapa saat ia menatap pudar dan pucat ke
dalam mata jernih tegas manusia Gondor itu. Ada keheningan lama. Kemudian
Gollum menundukkan kepalanya dan menyusut turun, sampai ia berjongkok di
'tanah, menggigil. "Kami tidak tahu dan tidak ingin tahu," rengeknya. "Belum pernah ke sini; tidak
akan pernah ke sini lagi."
"Ada pintu-pintu dan jendela-jendela terkunci dalam pikiranmu, serta ruangruang
gelap di belakangnya," kata Faramir. "Tapi dalam hal ini aku menilaimu
bicara jujur. Syukurlah. Sumpah apa yang akan kau ikrarkan bahwa kau takkan
pernah kemari lagi, dan takkan pernah membawa makhluk hidup ke sini, baik
dengan kata ataupun petunjuk?"
"Majikan tahu," kata Gollum sambil melirik ke arah Frodo. "Ya, dia tahu. Kami
akan berjanji pada Majikan, kalau dia menyelamatkan kami. Kami berjanji demi
itu, ya." Ia merangkak ke kaki Frodo. "Selamatkan kami, Majikan baik!" ratapnya.
"Smeagol berjanji pada Kesayangan-nya, berjanji dengan setia. Tidak akan datang
lagi, tidak bicara, tidak akan! Tidak, sayangku, tidak!"
"Kau sudah puas?" kata Faramir.
"Ya," kata Frodo. "Setidaknya kau harus menerima janjinya, atau
menghukumnya. Tapi kau tidak akan memperoleh apa-apa lagi. Aku sudah berjanji
Dua Menara Halaman | 333 bahwa kalau dia datang kepadaku, dia tidak akan dilukai. Dan aku tak ingin
dianggap tak bisa dipercaya."
Faramir duduk merenung sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kau
kuserahkan pada majikanmu Frodo putra Drogo. Biar dia memberi pernyataan, apa
yang akan dilakukannya denganmu!"
"Tapi, Lord Faramir," kata Frodo sambil membungkuk, "kau belum
mengungkapkan kehendakmu mengenai aku, dan kalau itu belum diungkapkan,
aku tak bisa membuat rencana untuk diriku sendiri maupun para pendampingku.
Katamu kau akan memberikan penilaianmu pada pagi hari; tapi sekarang sudah
pagi." "Kalau begitu, aku akan menyatakannya," kata Faramir. "Tentang dirimu,
Frodo, sejauh ada di dalam kekuasaanku, kunyatakan kau bebas bergerak di
wilayah Gondor sampai ke perbatasan paling jauh; hanya saja kau dan siapa pun
yang ikut denganmu tidak dibenarkan datang ke tempat ini tanpa izin. Hukum ini
berlaku selama setahun dan satu hari, lalu berakhir, kecuali sebelum itu kau
datang ke Minas Tirith dan menghadap sendiri kepada penguasa kota itu. Maka aku akan
memohonnya untuk menyetujui tindakanku dan membuatnya berlaku seumur
hidup. Sementara itu, siapa pun yang kaulindungi akan berada di bawah
perlindunganku juga dan di bawah naungan Gondor. Sudah terjawabkah
pertanyaanmu?" Frodo membungkuk rendah.
"Sudah terjawab," katanya, "dan kutempatkan diriku dalam pelayanan
kepadamu, kalau itu cukup berharga bagi orang yang begitu agung dan terhormat
seperti dirimu." "Itu sangat berharga," kata Faramir. "Dan sekarang, apakah
menempatkan makhluk ini, Smeagol ini, di bawah perlindunganmu?"
kau "Aku akan melindungi Smeagol," kata Frodo. Sam mengeluh dengan keras;
bukan karena bosan dengan sopan santun itu. Di Shire masalah seperti itu bisa
lebih bertele-tele lagi penyelesaiannya.
"Kalau begitu, kukatakan padamu," kata Faramir pada Gollum, "kau dihukum
mati, tapi selama kau berjalan bersama Frodo, kau aman dari pihak kami. Tapi
kalau siapa pun dari Gondor menemukanmu tanpa Frodo, hukuman itu akan
dilaksanakan. Dan semoga kematianmu berlangsung lekas, di dalam maupun di
luar Gondor, kalau kau tidak melayaninya dengan baik. Sekarang jawablah aku: ke
mana kau akan pergi" Kau pemandunya, katanya. Ke mana kau akan
menuntunnya?" Gollum tidak menjawab. "Aku tak mau ini menjadi rahasia," kata
Halaman | 334 The Lord of The Rings Faramir. "Jawab aku, atau kutarik kembali penilaianku!" Gollum masih tidak
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjawab. "Aku akan menjawab untuknya," kata Frodo. "Dia membawaku ke Gerbang
Hitam, sesuai permintaanku; tapi jalan itu tak bisa dilewati."
"Tak ada pintu terbuka ke Negeri Tanpa Nama," kata Faramir. "Melihat itu,
kami menyimpang lalu melewati jalan Selatan," lanjut Frodo, "sebab katanya ada,
atau mungkin ada, jalan dekat Minas Ithil."
"Minas Morgul," kata Faramir. "Aku tidak tahu jelas," kata Frodo, "tapi jalan
itu mendaki naik ke pegunungan di sisi utara lembah, tempat kota lama berdiri. Jalan
itu naik ke sebuah celah tinggi, kemudian turun ke tempat yang ada di bawahnya."
"Kau tahu nama jalan itu?" kata Faramir. "Tidak," kata Frodo.
"Namanya Cirith Ungol." Gollum mendesis tajam dan mulai menggumam
sendiri. "Bukankah itu namanya?" kata Faramir kepadanya.
"Tidak!" kata Gollum, kemudian ia mendecit, seolah ada yang menusuknya.
"Ya, ya, kami pernah dengar nama itu. Tapi apa gunanya nama itu bagi kami"
Majikan bilang dia harus masuk. Jadi, kami harus mencoba suatu cara. Tak ada
jalan lain untuk dicoba, tidak."
"Tak ada jalan lain?" kata Faramir. "Bagaimana kau tahu" Dan siapa yang
menjelajahi semua perbatasan wilayah gelap itu?" ia menatap Gollum lama sekali,
sambil merenung. Akhirnya ia berbicara lagi.
"Bawa pergi makhluk ini, Anborn. Perlakukan dia dengan lembut, tapi awasi
dia. Dan kau, Smeagol, jangan berani terjun ke dalam jeram. Batu karang
bergerigi tajam di sini akan membunuhmu sebelum waktumu. Tinggalkan kami sekarang dan
bawalah ikanmu!" Anborn keluar, dan Gollum berjalan meringkuk di depannya. Tirai
di depan relung ditutup. "Frodo, menurutku kau sangat tidak bijak dalam hal ini," kata Faramir. "Kupikir
sebaiknya kau tidak pergi bersama makhluk itu. Dia jahat."
"Tidak, tidak sepenuhnya jahat," kata Frodo. "Mungkin tidak sepenuhnya," kata
Faramir, "tapi kejahatan melahapnya seperti pembusukan, dan kejahatan itu
semakin bertumbuh: Dia akan membawa kesulitan padamu. Kalau kau mau
berpisah dengannya, akan kuberi dia pengawalan dan jaminan keamanan, sampai
tempat mana pun di perbatasan Gondor yang disebutnya."
Dua Menara Halaman | 335 "Dia tidak akan mau menerimanya," kata Frodo. "Dia akan mengejarku seperti
yang sudah lama dilakukannya. Dan aku sudah sering berjanji akan melindunginya
dan pergi ke mana dia menuntunku. Kau tidak memintaku mengkhianati
kepercayaannya?" "Tidak," kata Faramir. "Tapi hatiku memintanya. Sebab menyarankan orang
untuk mengingkari janjinya rasanya tidak terlalu jahat daripada kalau kita
sendiri yang ingkar janji, terutama kalau kita melihat seorang kawan tanpa sadar terikat
pada sesuatu yang merugikannya. Tapi kalau dia akan pergi denganmu, kau harus
tabah bersamanya. Namun menurutku sebaiknya kau tidak ke Cirith Ungol, sebab
dia tahu lebih banyak daripada yang dia ceritakan padamu. Bisa kulihat itu
dengan jelas dalam pikirannya. Jangan pergi ke Cirith Ungol!"
"Kalau begitu, ke mana aku harus pergi?" kata Frodo. "Kembali ke Gerbang
Hitam dan menyerahkan diri pada pengawal" Apa yang kauketahui tentang
keburukan tempat ini, sampai-sampai namanya begitu mengerikan?"
"Aku tidak tahu pasti," kata Faramir. "Kami dari Gondor tak pernah lewat di
sebelah timur Jalan di masa kini, dan tak ada di antara kami kaum muda yang
pernah melakukan itu, juga tak ada yang pernah menginjak Pegunungan
BayangBayang. Tentang itu kami hanya tahu laporan lama dan desas-desus masa
lalu. Tapi ada teror gelap yang tinggal di jalan di atas Minas Morgul. Kalau Cirith
Ungol disebut-sebut, orang-orang tua dan ahli-ahli pengetahuan menjadi pucat dan diam.
"Lembah Minas Morgul sudah sejak lama beralih ke dalam kejahatan. Lembah
itu sudah menjadi ancaman dan sumber ketakutan ketika Musuh yang terusir masih
tinggal di tempat jauh, dan sebagian besar Ithilien masih dalam kekuasaan kami.
Seperti kauketahui, kota itu dulu sebuah tempat kuat, gagah, dan indah, Minas
Ithil, saudara kembar kota kami. Tapi dia diserobot orang-orang jahat yang dikuasai
Musuh pada tahap-tahap awal kekuatannya, dan yang mengembara tak
mempunyai rumah dan majikan setelah kejatuhannya. Katanya para penguasa
mereka adalah orang-orang Numenor yang jatuh ke dalam kejahatan gelap; pada
mereka Musuh memberikan cincin-cincin kekuatan, dan dia sudah melahap
mereka: mereka sudah menjadi hantu-hantu hidup, kejam, dan jahat. Setelah
kepergiannya, mereka mengambil Minas Ithil dan tinggal di sana, memenuhi
tempat itu serta seluruh lembah di sekitarnya dengan pembusukan; kelihatannya
tempat itu kosong, tapi sebenarnya tidak demikian, sebab ada ketakutan tanpa
bentuk hidup di tengah reruntuhan dindingnya. Ada sembilan penguasa di sana,
dan setelah mereka kembali ke majikan mereka, yang mereka bantu dan
persiapkan secara rahasia, mereka menjadi kuat kembali. Lalu Sembilan
Halaman | 336 The Lord of The Rings Penunggang muncul dari gerbang kengerian, dan kami tak bisa menahan mereka.
Jangan dekati benteng mereka. Kau akan terlihat oleh mata-mata. Tempat itu
penuh kekejian yang tak pernah tidur, dan mata yang tidak berkelopak. Jangan
pergi ke arah sana!"
"Tapi ke arah mana lagi kau akan menunjukkan jalan padaku?" kata Frodo.
"Katamu kau sendiri tak bisa menuntunku ke pegunungan, tidak juga untuk
melewatinya. Tapi melewati pegunungan aku harus pergi, demi menunaikan
perintah Dewan Penasihat, untuk mencari jalan atau tewas dalam pencarian. Dan
kalau aku kembali, menolak meneruskan sampai akhir, ke mana aku akan pergi di
antara Peri maupun Manusia" Apakah kau ingin aku pergi ke Gondor dengan
Benda ini, Benda yang membuat kakakmu gila karena hasratnya" Sihir apa yang
akan diteliarkannya di Minas Tirith" Akankah ada dua kota Minas Morgul, saling
menyeringai dari seberang daratan yang penuh kebusukan?"
"Aku tak ingin seperti itu," kata Faramir. "Kalau begitu, kau ingin aku
melakukan apa?" "Aku tidak tahu. Hanya saja aku tak ingin kau pergi menyongsong
kematian atau siksaan. Dan menurutku Mithrandir takkan memilih jalan yang ini."
"Tapi karena dia sudah pergi, aku terpaksa mengambil jalanku sendiri. Dan
aku tak punya banyak waktu untuk mencari," kata Frodo.
"Sungguh berat tugas ini, dan tanpa harapan," kata Faramir. "Tapi setidaknya
camkan peringatanku: waspadalah terhadap Smeagol ini. Dia sudah pernah
membunuh. Bisa kubaca itu dalam dirinya." Ia mengeluh.
"Well, sekarang kita mesti berpisah, Frodo putra Drogo. Kau tidak
membutuhkan kata-kata lembut: aku tak berharap bertemu lagi denganmu suatu
saat di bawah sinar Matahari. Tapi pergilah bersama restuku, untukmu dan semua
anak buahmu. Istirahatlah sebentar sementara makanan untukmu disiapkan."
"Aku ingin sekali tahu, bagaimana sampai Smeagol yang merangkak ini bisa
memiliki Benda yang kita bicarakan itu, dan bagaimana dia kehilangan Benda itu,
tapi aku takkan menanyakannya sekarang. Kalau ternyata kau kembali ke negeri
makhluk hidup suatu saat nanti, dan kita menceritakan kembali kisahkisah kita,
sambil duduk di tembok di bawah sinar matahari, menertawakan kesedihan lama,
saat itulah kau akan menceritakannya padaku. Untuk saat ini, hingga masa yang
tak bisa diramalkan oleh Batu Penglihatan dari Numenor, selamat berpisah!"
Ia bangkit berdiri dan membungkuk rendah pada Frodo, lalu menyibakkan tirai
dan keluar ke gua. Dua Menara Halaman | 337 Perjalanan Ke Persimpangan
Frodo dan Sam kembali ke tempat tidur mereka, dan berbaring sambil diam,
beristirahat sebentar, sementara orang-orang sibuk dan kegiatan hari itu
dimulai. Setelah beberapa saat, air disajikan, kemudian mereka dibawa ke sebuah meja, di
mana sudah dihidangkan makanan untuk tiga orang. Faramir membuka puasanya
bersama mereka. Ia tidak tidur sejak pertempuran sehari sebelumnya, tapi ia
tidak kelihatan letih. Selesai makan, mereka bangkit berdiri.
"Mudah-mudahan rasa lapar tidak mengganggu kalian dalam perjalanan," kata
Faramir. "Kalian hanya punya sedikit persediaan, tapi sudah kuperintahkan agar
kepada kalian dibawakan sedikit persediaan makanan yang pantas untuk
pengembara. Kalian tidak akan kekurangan air selama berjalan di Ithilien, tapi
jangan minum dari sungai yang mengalir dari Mad Morgul, Lembah Mayat Hidup.
Harus kuberitahukan juga bahwa semua pengintai dan pengawasku sudah
kembali, termasuk beberapa yang sudah memasuki jarak pandang dari Morannon.
Mereka semua menemukan hal aneh. Daratan itu kosong melompong. Tak ada
orang di jalan, tak ada bunyi langkah kaki, atau terompet, atau busur di mana
pun. Ada keheningan yang sedang mematangkan diri di atas . Negeri Tak Bernama itu.
Aku tidak tahu pertanda apakah ini. Tapi tak lama lagi sesuatu akan terjadi.
Badai akan datang. Bergegaslah sementara masih bisa! Kalau kalian sudah siap, mari
kita pergi. Matahari akan segera naik di atas bayangbayang."
Ransel para hobbit dikembalikan (sedikit lebih berat daripada sebelumnya),
juga dua tongkat kuat dari kayu yang digosok, diberi sepatu besi, dengan kepala
berukir yang dijalin kepangan tali kulit.
"Aku tak punya hadiah yang pantas untuk diberikan sebagai tanda perpisahan
kita," kata Faramir, "tapi ambillah tongkat-tongkat ini. Bisa berguna bagi
mereka yang berjalan atau mendaki di belantara. Orang-orang dari Pegunungan Putih
menggunakannya; meski yang ini sudah dipotong sesuai tinggi badan kalian dan
diberi sepatu baru. Tongkat ini terbuat dari potion indah lebethron, yang paling
disukai tukang-tukang kayu Gondor, dan mempunyai keajaiban untuk menemukan
dan kembali kepada pemiliknya.
Mudah-mudahan keajaiban itu tidak kalah di bawah pengaruh Bayang-Bayang
yang akan kalian datangi!" Kedua hobbit membungkuk rendah.
"Tuan rumah yang baik hati," kata Frodo, "Elrond sudah mengatakan padaku
bahwa aku akan menemukan persahabatan di jalan, rahasia dan tak terduga. Aku
Halaman | 338 The Lord of The Rings tak pernah berharap akan mendapatkan persahabatan seperti yang kautunjukkan.
Dengan menemukannya, kejahatan berubah menjadi kebaikan."
Sekarang mereka bersiap-siap berangkat. Gollum dibawa keluar dari sebuah
pojok atau lubang persembunyian, dan ia tampak lebih puas daripada sebelumnya,
meski ia tetap dekat-dekat Frodo dan menghindari tatapan Faramir.
"Pemandumu harus ditutup matanya," kata Faramir, "tapi kau dan pelayanmu
Samwise dibebaskan dari kewajiban itu, kalau kau mau." Gollum mendecit dan
menggeliat, dan memegang Frodo dengan erat, ketika mereka datang untuk
menutupi matanya. Frodo berkata, "Tutup mata kami bertiga, dan tutup mataku lebih dulu,
sehingga dia mengerti bahwa kalian tidak bermaksud jahat." Saran Frodo
dilaksanakan, dan mereka dituntun dari gua Henneth Annun.
Setelah melewati selasar-selasar dan tangga-tangga, mereka merasakan
hawa pagi yang sejuk, segar, dan manis, di sekeliling mereka. Masih dengan mata
ditutup, mereka berjalan terus untuk beberapa lama, naik-turun dengan lembut.
Akhirnya Faramir memerintahkan tutup mata mereka dilepas. Mereka sudah berdiri
di bawah dahan-dahan pohon lagi. Bunyi air terjun tidak terdengar lagi, karena
sekarang ada sebuah lereng panjang ke arah selatan, yang memisahkan mereka
dengan jurang tempat sungai mengalir. Ke arah Barat mereka bisa melihat cahaya
di antara pepohonan, seolah dunia berakhir tiba-tiba, di ujung yang hanya
memandang ke langit. "Di sini kita berpisah," kata Faramir. "Kalau kalian mengikuti saranku,
janganlah menyimpang ke timur dulu. Berjalan luruslah, dengan demikian kalian
akan dilindungi hutan sejauh beberapa mil. Di sebelah barat ada ujung yang
menurun tajam ke dalam lembah-lembah besar, kadang-kadang dengan mendadak
dan terjal, kadang-kadang sebagai sisi bukit yang memanjang. Tetaplah dekatdekat
ujung ini dan pinggiran hutan. Di awal perjalanan, kalian mungkin bisa
berjalan di siang hari. Daratan ini Cuma kelihatannya saja tenang, dan untuk
sementara semua kejahatan menghilang. Selamat jalan, mudah-mudahan!" Ia
memeluk kedua hobbit itu dengan gaya bangsanya, membungkuk dan meletakkan
kedua tangannya di pundak mereka, lalu mengecup dahi mereka.
"Pergilah dengan restu dari semua manusia yang baik!" katanya. Mereka
membungkuk sampai ke tanah. Lalu Faramir membalikkan badan dan mendekati
kedua pengawalnya yang berdiri agak jauh. Mereka kagum melihat kecepatan
gerak orang-orang berpakaian hijau itu, yang menghilang hampir dalam satu
Dua Menara Halaman | 339 kedipan mata. Hutan tempat Faramir tadi berdiri kelihatan kosong dan muram,
seolah sebuah mimpi sudah berlalu.
Frodo menarik napas panjang dan menghadap kembali ke selatan. Seolah
memamerkan ketidakpeduliannya atas semua sopan santun itu, Gollum mengaisngais
jamur di kaki pohon. "Sudah lapar lagi?" pikir Sam. "Hmm, sekarang mulai lagi!"
"Sudah pergi mereka?" kata Gollum. "Manusia jahat kejam! Leher Smeagol
masih sakit, ya sakit. Ayo kita pergi!"
"Ya, mari kita pergi," kata Frodo. "Tapi lebih baik kau diam, kalau kau hanya
bisa bicara jelek tentang mereka yang sudah menunjukkan belas kasihan padamu!"
"Majikan baik!" kata Gollum. "Smeagol hanya bercanda. Selalu memaafkan,
ya, ya, selalu memaafkan, bahkan tipuan-tipuan kecil Majikan. Oh ya, Majikan
baik, Smeagol baik!" Frodo dan Sam tidak menjawab. Sambil memasang ransel dan
mencekal tongkat mereka, kedua hobbit itu masuk ke dalam hutan Ithilien. Hari
itu mereka dua kali beristirahat dan makan sedikit dari perbekalan yang dibawakan
Faramir: buah-buah kering dan daging asin, cukup untuk beberapa hari; dan roti
yang cukup untuk bertahan selama masih segar. Gollum tidak makan apa-apa.
Matahari naik dan lewat di atas, tanpa terlihat, lalu mulai tenggelam; cahayanya
di antara pepohonan di barat menjadi keemasan; mereka selalu berjalan di bawah
bayangan hijau sejuk, di sekitar mereka sepi sekali.
Burung-burung entah sudah pergi atau sudah jadi bisu. Kegelapan datang
lebih awal ke hutan sepi itu, dan sebelum malam tiba mereka berhenti, letih
karena sudah berjalan tujuh league atau lebih dari Henneth Annun. Frodo berbaring tidur
sepanjang malam di kerumunan jamur tebal di bawah sebatang pohon tua. Sam
berbaring agak resah di sampingnya: ia sering bangun, tapi selalu tidak ada
tandatanda dari Gollum, yang segera pergi ketika yang lain hendak beristirahat.
Entah ia tidur sendirian di sebuah lubang di dekat situ, atau mengembara dengan gelisah
mencari mangsa sepanjang malam, ia tidak bilang; tapi ia kembali ketika cahaya
pertama pagi muncul, dan membangunkan kawan-kawannya.
"Harus bangun, ya harus bangun!" katanya. "Masih jauh perjalanan kita, ke
selatan dan timur. Hobbit harus buru-buru!"
Hari itu berlalu hampir seperti hari sebelumnya, kecuali bahwa keheningan
rasanya semakin dalam; udara menjadi berat, dan mulai terasa pengap di bawah
pepohonan. Guruh seolah sedang menggelegak. Gollum sering berhenti,
mengendus-endus udara, lalu menggerutu sendiri dan mendesak kedua hobbit
Halaman | 340 The Lord of The Rings untuk lebih cepat. Ketika tahap ketiga perjalanan hari itu semakin jauh dan
siang hari memudar, hutan itu membuka keluar, pohon-pohon semakin besar dan lebih
terceraiberai. Pohon-pohon ilex yang berdiameter sangat besar berdiri gelap dan
khidmat di tempat terbuka yang luas, diselingi pohon-pohon asli tua di sana-
sini; serta pohon ek raksasa yang baru saja mengeluarkan kuncup-kuncupnya yang
cokelat-hijau. Di sekitar mereka terhampar padang-padang panjang berumput
hijau, dengan bercak-bercak bunga celandine dan anemone putih dan biru, yang
sekarang terlipat untuk tidur; ada juga padang-padang yang dipenuhi dedaunan
hyacinth hutan: tangkai-tangkai bunganya yang ramping mendesak keluar dari
antara jamur. Tak ada makhluk hidup, hewan, atau burung, yang tampak, tapi di tempattempat
terbuka ini Gollum menjadi takut, dan kini mereka berjalan hati-hati,
melompat dari satu bayangan panjang ke bayangan lainnya. Cahaya dengan cepat
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memudar ketika mereka sampai di ujung hutan. Di sana mereka duduk di bawah
pohon ek tua yang berbonggol-bonggol, yang menjulurkan akar-akarnya bagai ular
menuruni tebing remuk yang curam.
Sebuah lembah dalam yang remang-remang terhampar di depan mereka. Di
sisi seberangnya hutan bergerombol lagi, biru dan kelabu di bawah senja yang
muram, membentang sampai ke selatan. Di sebelah kanan berkilauan
Pegunungan-Pegunungan Gondor, jauh di Barat, di bawah langit bebercak api. Di
sebelah kiri terhampar kegelapan: dinding-dinding Mordor yang menjulang tinggi;
dan lembah panjang itu muncul dari kegelapan, jatuh dengan curam ke dalam
palung yang semakin lebar, menuju Anduin.
Di dasarnya mengalir sungai deras: Frodo bisa mendengar gemuruhnya naik
mengatasi keheningan; di sampingnya, di sisi yang lebih dekat, sebuah jalan
menjulur ke bawah seperti pita pucat, masuk ke kabut dingin kelabu yang tidak
tersentuh sinar matahari sama sekali. Jauh di sana, seolah mengambang di atas
samudra yang remang-remang, Frodo serasa melihat puncak-puncak tinggi
menara-menara tua yang sepi dan gelap, tampak kabur dan pecah-pecah. Ia
berbicara pada Gollum. "Kau tahu di mana kita sekarang?" katanya. "Ya, Majikan. Tempat-tempat
berbahaya, Ini jalan dari Menara BuIan, Majikan, sampai ke reruntuhan kota dekat
pantai Sungai. Reruntuhan kota, ya, tempat yang busuk sekali, penuh musuh. Kita
seharusnya tidak mengikuti saran Manusia. Hobbit-hobbit sudah jauh menyimpang
dari jalan. Sekarang harus pergi ke timur, di atas sana."
Ia melambaikan tangannya yang kurus ke arah pegunungan yang gelap.
Dua Menara Halaman | 341 "Dan kita tak bisa memakai jalan ini. Oh tidak! Orang-orang kejam lewat sini,
turun dari Menara!" Frodo memandang jalan itu. Setidaknya saat mil tak ada yang bergerak di
sana. Kelihatannya kosong dan sepi, menjulur ke dalam puing-puing kosong dalam
kabut. Tapi ada perasaan jahat di udara, seolah ada sesuatu yang hilirmudik,
yang tidak tampak oleh mata. Frodo merinding lagi ketika memandang puncak-puncak
jauh yang sekarang menghilang ditelan malam, serta bunyi air yang kedengaran
dingin dan kejam: suara Morgulduin, sungai tercemar yang mengalir dari Lembah
Hantu. "Apa yang akan kita lakukan?" katanya. "Kita sudah berjalan jauh dan lama.
Apakah kita akan mencari tempat di hutan, untuk berbaring tersembunyi?"
"Tidak baik bersembunyi dalam gelap," kata Gollum. "Justru pagi hari
hobbithobbit harus bersembunyi, ya, pagi hari."
"Ah, yang benar!" kata Sam. "Kita perlu istirahat sebentar, meski kita akan
bangun lagi tengah malam. Masih cukup banyak waktu gelap, untukmu membawa
kami berjalan panjang, kalau kau tahu jalannya."
Dengan enggan Gollum menyetujuinya, lalu ia kembali ke pepohonan,
berjalan ke arah timur untuk beberapa saat, sepanjang pinggiran hutan yang
berjurai. Ia tak mau istirahat di tempat yang masih begitu dekat dengan jalan
jahat itu, dan setelah perdebatan kecil, mereka semua mendaki ke dalam kelangkang
sebatang pohon holm-oak besar; dengan dahan-dahannya yang tebal, yang
muncul bersamaan dari batangnya, pohon itu menyediakan tempat persembunyian
yang baik dan perlindungan yang cukup nyaman. Malam tiba, hari menjadi gelap
pekat di bawah atap pohon itu. Frodo dan Sam minum sedikit air dan makan sedikit
roti serta buah kering, tapi Gollum langsung meringkuk dan tidur. Kedua hobbit
tidak memejamkan mata. Sudah sedikit lewat tengah malam ketika Gollum bangun: tiba-tiba mereka
menyadari matanya yang pucat terbuka kelopaknya, dan berkilauan ke arah
mereka. Ia mendengarkan dan mengendus-endusbegitulah caranya untuk
mengetahui waktu. "Apa kita sudah cukup istirahat" Sudah tidur enak?" katanya. "Ayo pergi!"
"Kami belum cukup istirahat, dan tidak tidur," Sam menggeram. "Tapi aku
akan pergi kalau memang harus."
Halaman | 342 The Lord of The Rings Gollum segera melompat turun dari dahan pohon, mengambil posisi
merangkak; kedua hobbit mengikuti dengan lebih lambat. Setelah turun, mereka
berjalan lagi ke arah timur, dengan dipimpin Gollum, mendaki daratan yang
menanjak. Mereka hanya bisa melihat sedikit, karena malam sudah sangat larut
dan kelam, hingga mereka hampir-hampir tidak melihat batang-batang pohon
sampai mereka menabraknya.
Tanah menjadi lebih hancur dari berjalan menjadi lebih sulit, tapi rupanya
Gollum sama sekali tidak menemui kesulitan. Ia memimpin mereka melewati
belukar dan sisasisa semak; kadang-kadang mengitari bibir belahan yang dalam
atau sumur gelap, kadang-kadang turun ke cekungan yang diselubungi semaksemak
hitam dan keluar lagi; tapi selalu bila mereka turun sedikit, lereng
selanjutnya lebih panj ang dan lebih terj al. Mereka mendaki terus.
Pada perhentian pertama, mereka menoleh dan bisa melihat samar-samar
atap hutan yang mereka tinggalkan di belakang, terhampar bagai bayangan luas
pekat, malam yang lebih kelam di bawah langit gelap yang kosong. Tampaknya
ada suatu kehitaman besar naik perlahan-lahan dari Timur, melahap bintangbintang
yang bersinar lemah. Beberapa saat kemudian, bulan lolos dari awan yang
mengejar, tapi ia dikelilingi lingkaran sinar kuning yang pucat. Akhirnya Gollum
berbicara kepada para hobbit.
"Fajar segera datang," katanya. "Hobbit harus cepat-cepat. Tidak aman untuk
tetap di tempat terbuka di sini. Bergegaslah!"
Ia mempercepat langkahnya, dan mereka mengikutinya dengan lelah. Tak
lama kemudian, mereka mulai mendaki ke sebuah punggung daratan besar.
Sebagian besar tertutup tanaman gorse dan whortleberry yang tumbuh rapat,
dengan duri-duri panjang the, meski di sana-sini ada tempat terbuka, sisasisa
kebakaran yang belum lama.
Semak-semak gorse semakin banyak ketika mereka hampir sampai ke
puncak; sangat tua dan tinggi, kurus dan ramping di bagian bawah, tapi tebal di
atas, dan sudah mulai mengeluarkan bunga-bunga kuning yang berkilauan dalam
kegelapan dan mengeluarkan bau wangi lembut. Begitu tinggi semak-semak kurus
itu, sehingga kedua hobbit bisa berjalan tegak di bawahnya, melewati jalur jalur
panjang kering yang dilapisi jamur tebal menusuk-nusuk.
Di ujung terjauh punggung bukit lebar ini mereka berhenti berjalan, dan
merangkak untuk bersembunyi di bawah jalinan duri yang kusut. Dahandahannya
yang terpilin, membungkuk sampai ke tanah, ditutupi jaringan briar yang tumbuh
Dua Menara Halaman | 343 merayap simpang siur. Jauh di dalam ada ruang kosong, dengan cabang-cabang
mati dan belukar beratapkan dedaunan dan tunas-tunas pertama musim semi.
Di sana mereka berbaring sebentar, masih terlalu letih untuk makan; mereka
mengintip keluar dari lubang-lubang di persembunyian, mengamati hari merekah
dengan lambat. Tapi tak ada cahaya muncul, kecuali senja yang cokelat mati. Di
Timur ada sinar merah redup di bawah awan yang merendah: bukan merahnya
matahari terbit. Di seberang daratan yang membentang tak beraturan, pegunungan Ephel
Duath memandangi mereka dengan angker, hitam tak berbentuk, dan di bawahnya
malam masih tebal menggantung, tak mau beranjak, di atasnya puncak-puncak
dan pinggiran bergerigi tergelar keras mengancam di depan nyala merah yang
garang. Di sebelah kanan mereka, salah satu pundak pegunungan besar mencuat,
gelap dan hitam di antara bayangan-bayangan, mendesak ke barat.
"Ke arah mana kita pergi dari sini?" tanya Frodo. "Apakah yang di sana itu
bukaan dari Lembah Morgul, di sana di seberang kegelapan itu?"
"Apa kita sudah perlu memikirkan itu?" kata Sam. "Kita kan tidak akan berjalan
lagi hari ini, kalau ini memang sudah pagi?"
"Mungkin tidak, mungkin tidak," kata Gollum. "Tapi kita harus segera pergi ke
Persimpangan Jalan. Ya, ke Persimpangan Jalan. Itu jaIan yang di sana, ya,
Majikan." Nyala merah di atas Mordor meredup. Senja semakin gelap ketika asap-asap
besar naik di Timur, dan merangkak di atas mereka. Frodo dan Sam makan sedikit,
kemudian berbaring, tapi Gollum resah. Ia tidak mau makan makanan mereka, tapi
ia minum sedikit, kemudian merangkak kian kemari di bawah semak-semak, sambil
mendengus dan menggerutu. Mendadak ia menghilang.
"Pergi berburu, kukira," kata Sam sambil menguap.
Gilirannya untuk tidur lebih dulu, dan segera ia lelap bermimpi. Ia menyangka
sudah berada di Bag End lagi, mencari sesuatu; tapi di punggungnya ada ransel
berat sekali, yang membuatnya terbungkuk. Semua kelihatan penuh rumput dan
busuk, duri-duri serta pakis menyusup ke dalam kelompok tanaman di pagar paling
bawah. "Aku tahu itu tugas untukku, tapi aku lelah sekali," ia berkata terus-menerus.
Akhirnya ia ingat apa yang dicarinya.
"Pipaku!" katanya, dan dengan kata itu ia terbangun.
Halaman | 344 The Lord of The Rings "Bodoh!" ia berkata pada dirinya sendiri ketika ia membuka mata, dan heran
mengapa ia berbaring di bawah pagar. "Ada di dalam ranselmu selama ini!"
Lalu ia menyadari, pertama, pipanya mungkin ada di ranselnya, tapi ia tak
punya tembakau, dan kedua, ia jauh sekali dari Bag End. Ia bangkit duduk.
Tampaknya hampir gelap. Mengapa majikannya membiarkan ia tidur melebihi
gilirannya, sampai malam sudah tiba"
"Kau tidak tidur, Mr. Frodo?" katanya. "Jam berapa sekarang" Rupanya sudah
malam!" "Tidak," kata Frodo. "Tapi hari semakin gelap, bukan makin terang: semakin
gelap dan semakin gelap. Setahuku sekarang belum tengah hari, dan kau hanya
tidur sekitar tiga jam."
"Aku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi," kata Sam. "Apakah akan ada
badai" Kalau benar, pasti akan dahsyat sekali. Kita akan berharap ada di dalam
lubang dalam, bukan hanya terjebak di bawah semak."
Ia memasang telinga. "Apa itu" Petir, atau genderang, atau apa?" "Aku tidak
tahu," kata Frodo. "Sudah agak lama berlangsung. Kadang-kadang tanah seolah
bergetar, kadang-kadang seperti udara berat berdenyut di dalam telingamu."
Sam melihat sekeliling. "Ke mana Gollum?" katanya. "Apa dia belum kembali?"
"Belum," kata Frodo. "Tidak ada tanda-tanda atau bunyi darinya."
"Well, aku benci dia," kata Sam. "Takkan kusesali kalau dia hilang. Memang
khas dia, setelah berjalan sejauh ini, pergi dan hilang justru sekarang, ketika
sedang sangat dibutuhkan itu pun kalau dia bisa bermanfaat."
"Kau lupa Rawa-Rawa," kata Frodo. "Kuharap tidak terjadi apa-apa
dengannya." "Dan kuharap dia tidak berniat melakukan tipu muslihat. Bagaimanapun,
mudah-mudahan dia tidak jatuh ke tangan pihak lain, seperti istilahmu. Sebab
kalau dia sampai tertangkap, kita bakal dapat kesulitan."
Saat itu bunyi menderum dan menggelegar terdengar lagi, lebih keras dan
lebih dalam. Tanah terasa bergetar di bawah kaki mereka.
"Kurasa kita sudah dalam kesulitan sekarang," kata Frodo. "Aku khawatir
perjalanan kita sudah mendekati akhirnya."
Dua Menara Halaman | 345 "Mungkin," kata Sam, "tapi selama masih ada kehidupan, berarti masih ada
harapan, begitu Gaffer biasa berkata; dan masih perlu makanan, biasanya dia
menambahkan. Kau makan sedikit, Mr. Frodo, lalu tidur sebentar."
Siang hari itu kalau bisa disebut siang sesuai dugaan Sam berlanjut terus.
Ketika melongok ke luar, ia hanya bisa melihat dunia cokelatkelabu, tanpa
bayangbayang, meredup perlahan ke dalam keremangan tak berbentuk dan berwarna.
Terasa mencekik, namun tidak hangat. Frodo tidur gelisah sekali, bergulak-gulik
dan membalikkan badan, kadang-kadang menggumam.
Dua kali Sam merasa mendengar ia menyebut nama Gandalf. Waktu berlalu
sangat lamban. Mendadak Sam mendengar bunyi desis di belakangnya, dan
Gollum muncul dengan merangkak, memandang mereka dengan mata bersinar.
"Bangun, bangun! Bangun, penidur-penidur!" bisiknya. "Bangun! Tak boleh
menyia-nyiakan waktu. Kita harus pergi, ya, kita harus segera pergi. Tak boleh
menyia-nyiakan waktu."
Sam menatapnya curiga: Gollum kelihatan ketakutan atau bergairah.
"Pergi sekarang" Apakah ini tipu muslihatmu" Sekarang belum waktunya
pergi. Bahkan belum waktu untuk minum the, setidaknya tidak di tempat beradab,
di mana ada saat untuk minum the."
"Bodoh!" desis Gollum. "Kita tidak berada di tempat beradab. Waktu sudah
sangat mendesak, ya, mendesak sekali. Tak bisa membuang-buang waktu. Kita
harus pergi. Bangun, Majikan, bangun!" ia mencakar Frodo; Frodo, terbangun
kaget, mendadak duduk dan memegang tangannya. Gollum melepaskan diri dan
mundur. "Mereka jangan sampai bodoh," desisnya. "Kita harus pergi. Tak boleh buangbuang
waktu!" Dan mereka tak bisa membuatnya mengungkapkan lebih banyak. Ke mana ia
sudah pergi, dan apa yang dipikirkannya akan terjadi, sampai ia tergesa-gesa
begitu, Gollum tak mau mengungkapkan. Sam curiga, dan menunjukkannya; tapi
Frodo tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Ia mengeluh, mengangkat ranselnya, dan bersiap-siap pergi ke kegelapan
yang semakin pekat. Diam-diam Gollum menuntun mereka menuruni sisi bukit,
berusaha tetap terlindung sebisa mungkin, dan berlari, hampir membungkuk
sampai ke tanah, melintasi tempat-tempat terbuka; tapi kini cahaya begitu redup,
sampai-sampai mata tajam hewan liar pun hampir tak bisa melihat para hobbit
Halaman | 346 The Lord of The Rings yang berkerudung dan berjubah kelabu gelap, juga tak bisa mendengar mereka
berjalan sehati-hati mungkin. Tanpa derakan ranting maupun desiran daun, mereka
lewat dan menghilang. Selama sekitar satu jam mereka berjalan terus, tanpa suara, dalam barisan
satu-satu, tertekan oleh kemuraman dan keheningan sempurna daratan itu, yang
hanya sesekali dipecah oleh gemuruh petir lemah yang jauh, atau bunyi genderang
di suatu lembah bukit. Mereka berjalan turun dari tempat persembunyian tadi,
kemudian membelok ke selatan, berjalan dalam arah selurus yang bisa ditemukan
Gollum, melintasi sebuah lereng panjang yang hancur, yang bersandar pada
pegunungan. Tak lama kemudian, tidak jauh di depan, mereka melihat sekelompok pohon
yang menjulang bagai dinding hitam. Ketika mereka mendekat, mereka menyadari
pohon-pohon itu besar sekali, sudah sangat tua rupanya, dan masih menjulang
tinggi, meski puncakpuncaknya kurus kering dan patah, seolah telah tersapu badai
dan halilintar, namun tak bisa dibunuh atau digoyahkan akar-akarnya yang dalam.
"Persimpangan Jalan, ya," bisik Gollum, kata-kata pertama yang diucapkannya
sejak mereka meninggalkan tempat persembunyian mereka. "Kita
harus pergi ke sana."
Sambil mengarah ke timur, ia memimpin mereka mendaki lereng; tiba-tiba di
depan mereka tampak Jalan ke Selatan, menjulur sepanjang kaki paling luar
pegunungan, sampai akhirnya masuk ke dalam lingkaran besar pepohonan.
"Ini satu-satunya jalan," bisik Gollum. "Tak ada jalan di luar jalan ini. Tak
ada jalan. Kita harus pergi ke Persimpangan Jalan. Tapi cepatlah! Dan diamlah!"
Dengan sembunyi-sembunyi, seperti pengintai di tengah perkemahan musuh,
mereka merangkak ke jalan, dan diam-diam menyusuri pinggir baratnya di bawah
tebing berbatu, kelabu seperti bebatuan itu sendiri, dan berkaki lembut seperti
kucing yang sedang berburu. Akhirnya mereka sampai di pepohonan, dan
menyadari mereka berdiri di dalam lingkaran besar tanpa atap, terbuka di tengah,
ke langit yang muram; ruangan di antara batang-batang raksasa itu tampak seperti
lengkungan besar yang gelap dari suatu balairung yang sudah hancur.
Di tengah-tengah, empat jalan bertemu. Di belakang mereka terletak jalan ke
Morannon; di depan mereka, jalan itu keluar lagi dalam perjalanannya yang
panjang ke selatan; di sebelah kanan mereka, jalan dari Osgiliath datang mendaki
dan melintas, menghilang di timur, ke dalam kegelapan: yang keempat, jalan yang
Dua Menara Halaman | 347 akan mereka tempuh. Ketika berdiri di sana sambil dipenuhi kengerian, Frodo
melihat seberkas cahaya; berkilauan pada wajah Sam di sampingnya.
Ia menoleh ke arah itu, dan melihat di luar suatu lengkungan dahan-dahan,
jalan ke Osgiliath menjulur hampir lurus seperti pita terentang, terus, terus
sampai ke Barat. Nun jauh di sana, di luar Gondor yang sedih, yang sekarang tersaput
bayangbayang, Matahari sedang tenggelam, menuju tepi awan-awan besar yang
berarak pelan, dan jatuh sebagai api benderang ke Samudra yang masih belum
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternoda. Sejenak cahayanya jatuh di atas sebuah sosok besar yang sedang duduk,
diam dan khidmat seperti raja-raja batu besar dari Argonath.
Perjalanan tahun telah mengikisnya, dan tangan-tangan kasar sudah
merusaknya. Kepalanya hilang, dan sebagai gantinya sebongkah batu yang
dipahat kasar diletakkan di sana untuk mencemooh, dicat oleh tangan-tangan liar
untuk menyerupai wajah menyeringai dengan satu mata besar merah di tengah
dahinya. Di atas lututnya dan kursinya yang sangat besar, dan di sekitar dasar
patung, terdapat cakaran iseng bercampur dengan lambang-lambang jahat yang
biasa digunakan bangsa maggot dari Mordor. Mendadak, karena kena jalur-jalur
cahaya matahari yang mendatar, Frodo melihat kepala raja tua itu: menggeletak di
pinggir jalan. "Lihat, Sam!" serunya kaget. "Lihat! Raja itu sudah kembali bermahkota!"
Mata patung itu cekung, dan janggutnya yang diukir sudah pecah, tapi di
sekitar dahinya yang tinggi dan keras ada mahkota dari perak dan emas. Sebuah
tanaman rambat dengan bunga-bunga seperti bintang-bintang putih kecil telah
membentuk jalinan di dahinya, seolah menghormati raja yang telah jatuh itu, dan
di celah-celah rambutnya yang keras tampak kemilau bunga stonecrop kuning.
"Mereka tak bisa selamanya menaklukkan!" kata Frodo. Lalu mendadak
kilasan sekejap itu hilang. Matahari turun dan lenyap, dan seolah lampu
dipadamkan; malam hitam pun menjelang.
Halaman | 348 The Lord of The Rings Tangga Cirith Ungol Gollum menarik-narik jubah Frodo, dan mendesis takut bercampur tak sabar.
"Kita harus pergi," katanya. "Jangan berdiri di sini. Cepatlah!"
Dengan enggan Frodo membelakangi Barat, mengikuti pemandunya yang
menuntunnya keluar, ke Timur yang gelap. Mereka meninggalkan lingkaran
pepohonan, dan merangkak menyusuri jalan menuju pegunungan. Jalan ini juga
menjulur lurus untuk beberapa saat, tapi lalu mulai membelok ke selatan, sampai
tiba tepat di bawah pundak besar batu karang yang sudah mereka lihat dari jauh.
Hitam dan menakutkan ia menjulang di atas mereka, lebih gelap daripada langit
gelap di belakangnya. Jalan itu merangkak terus di bawah bayangannya, dan sambil melingkarinya
jalan itu menjulur ke timur lagi, mulai mendaki dengan terjal. Frodo dan Sam
berjalan terus dengan berat hati, tak lagi mampu memedulikan bahaya besar yang
mengancam mereka. Kepala Frodo tertunduk menanggung beban berat. Begitu
Persimpangan Jalan dilewati, bobotnya yang hampir terlupakan ketika masih di
Ithilien mulai semakin berat lagi.
Kini, merasa jalan yang ditapakinya semakin terjal, ia memandang ke atas
dengan letih; kemudian ia melihatnya, seperti sudah dikatakan Gollum: kota para
Hantu Cincin. Ia gemetaran di tebing berbatu itu. Suatu lembah panjang
bergelombang, teluk gelap yang besar, menghampar jauh ke dalam pegunungan.
Di sisi terjauh, agak masuk ke lengan lembah, tinggi di atas tempat duduk batu
karang, di atas lutut hitam Ephel Duath, berdiri dinding dan menara Minas
Morgul. Semua gelap di sekitarnya, bumi dan langit, tapi menara itu sendiri disinari
cahaya. Bukan cahaya bulan terkungkung yang naik melalui dindingdinding pualam Minas
Ithil zaman dahulu, Menara Bulan yang indah dan bersinar di cekungan bukit.
Cahaya yang sekarang terlihat lebih pucat daripada bulan yang merana dalam
gerhana lamban, berpendar bimbang seperti napas dari pembusukan yang berbau
tak sedap, cahaya mayat, cahaya yang tidak menyinari apa pun. Di dinding dan
menara tampak jendela jendela, seperti lubang-lubang hitam tak terhitung
banyaknya, memandang ke dalam kekosongan; tapi puncak menara paling atas
berputar perlahan ke satu arah, kemudian ke arah lainnya, seperti hantu besar
mengintai ke dalam gelapnya malam. Untuk beberapa saat, ketiga pengembara
berdiri di sana, ketakutan, memandang ke atas dengan mata enggan. Gollum yang
pertama-tama tersadar. Dua Menara Halaman | 349 Ia menarik-narik jubah mereka lagi, tapi tidak berbicara. Ia hampir-hampir
menyeret mereka maju. Setiap langkah dilakukan dengann enggan, dan waktu
seolah melambatkan kecepatan, sehingga antara mengangkat kaki dan
meletakkannya kembali terasa seperti bermenit-menit penuh keengganan.
Demikianlah, mereka sampai dengan perlahan ke jembatan putih.
Di sini jalanannya berkilauan samar-samar, melewati sungai di tengah lembah,
membelok berliku-liku menuju gerbang kota: sebuah mulut hitam menganga di
lingkaran luar dinding utara. Di kedua tebing terletak dataran luas,
padangpadang gelap dipenuhi bunga-bunga putih pucat. Padang-padang ini juga bersinar, indah
namun mengerikan, seperti wujud-wujud gila dalam mimpi buruk; samar-samar
mereka mengeluarkan bau rumah mayat yang memuakkan; bau busuk memenuhi
udara. Jembatan terbentang dari padang ke padang. Patung-patung menghiasi
ujungnya, diukir dengan terampil menyerupai bentuk manusia dan hewan, namun
semuanya rusak dan menjijikkan. Sungai yang mengalir di bawahnya tampak diam
dan beruap, tapi uap yang naik, menggulung, dan berputar-putar di sekitar
jembatan itu terasa dingin. Frodo merasa pusing, pikirannya berat. Tiba-tiba,
seolah digerakkan oleh suatu kekuatan di luar dirinya, ia mulai berjalan cepat,
terhuyunghuyung ke depan, tangannya menggapai-gapai terjulur, kepalanya
berputar dari satu sisi ke sisi lain.
Sam dan Gollum berlari mengejarnya. Sam menangkap majikannya dalam
pelukannya, ketika Frodo tersandung hampir jatuh, tepat di ambang jembatan.
"Jangan ke sana! Tidak, jangan ke sana!" bisik Gollum, napas yang mendesis
di antara giginya seolah merobek kesepian yang berat itu, seperti desing peluit,
dan ia gemetar ketakutan di tanah.
"Tabah, Mr. Frodo!" gerutu Sam ke telinga Frodo. "Kembali! Jangan lewat
jalan itu. Kata Gollum jangan, dan kali ini aku setuju dengannya."
Frodo menyeka dahi dan mengalihkan pandang dari kota di bukit. Menara
yang bersinar itu memukaunya, dan ia menahan hasrat yang timbul dalam dirinya
untuk berlari lewat jalan bersinar menuju gerbang. Akhirnya dengan susah payah
ia membalikkan badan. Namun ia merasa Cincin itu melawannya, menarik kalung
yang menggantung di lehernya; dan matanya, ketika dipalingkan, juga sejenak
seperti buta. Kegelapan di depannya seakan tak tertembus. Gollum yang
merangkak di tanah seperti hewan ketakutan, sudah menghilang dalam
keremangan. Halaman | 350 The Lord of The Rings Sam yang menopang dan menuntun majikannya yang terhuyung-huyung,
mengikutinya secepat mungkin. Tak jauh dari tebing sungai terdekat ada celah di
tembok batu di samping jalan. Mereka masuk melalui lubang itu, dan tiba di
sebuah jalan sempit yang mulanya bersinar redup, seperti jalan utama, tapi setelah
mulai mendaki di atas padang bungabunga mematikan, jalan itu memudar dan menjadi
gelap, berliku-liku sampai ke sisi utara lembah. Kedua hobbit menyusuri jalan
ini berdampingan, tak bisa melihat Gollum di depan mereka, kecuali ketika ia menoleh
untuk memanggil mereka maju terus.
Saat itu matanya bersinar dengan cahaya hijaukeputihan, mungkin
mencerminkan kilauan Morgul yang tak sedap, atau dikobarkan oleh suasana
hatinya yang menjawab panggilan Morgul. Sam dan Frodo selalu menyadari
kilauan mematikan serta lubang-lubang mata yang gelap itu, yang membuat
mereka selalu menoleh ketakutan, hingga mereka segera mengalihkan mata, untuk
menemukan kembali jalan yang semakin gelap. Dengan lambat dan susah payah
mereka maju terus. Ketika sudah melewati bau busuk dan uap sungai beracun itu,
napas mereka semakin ringan dan kepala semakin jernih; tapi sekarang tubuh
mereka letih sekali, seolah mereka sudah berjalan sepanjang malam membawa
beban, atau berenang melawan arus air yang berat. Akhirnya mereka tak bisa
berjalan lebih jauh lagi tanpa berhenti dulu sejenak. Frodo berhenti, dan duduk
di atas batu. Mereka sekarang sudah mendaki sampai ke puncak sebongkah besar batu
karang gundul. Di depan mereka ada teluk di sisi lembah; melingkari teluk ini,
jalanan itu terus terjulur, hanya berupa bidang datar lebar dengan jurang di
sebelah kanan; di seberang wajah selatan pegunungan yang curam ia mendaki naik,
sampai menghilang dalam kegelapan di atas.
"Aku perlu istirahat sebentar, Sam," bisik Frodo. "Berat sekali, Sam anakku,
berat sekali. Entah seberapa jauh aku bisa membawa benda ini" Bagaimanapun,
aku harus istirahat sebelum kita memberanikan diri ke sana."
Ia menunjuk ke jalan sempit di depan.
"Ssst! Ssst!" desis Gollum yang bergegas kembali pada mereka. "Ssst!" ia
menaruh jari di bibimya dan menggelengkan kepala kuat-kuat. Sambil menariknarik
lengan baju Frodo, ia menunjuk ke arah jalan itu; tapi Frodo tak mau
bergerak. "Belum," katanya, "belum."
Dua Menara Halaman | 351 Keletihan, dan lebih dari sekadar keletihan, terasa menekannya; seolah suatu
sihir berat sudah menimpa pikiran dan tubuhnya.
"Aku harus istirahat," gumamnya.
Mendengar ini, ketakutan dan kecemasan Gollum semakin bertambah, hingga
ia berbicara lagi, mendesis di belakang tangannya, seolah menahan suaranya dari
pendengar-pendengar yang tidak tampak di udara.
"Jangan di sini, tidak. Jangan istirahat di sini. Bodoh! Mata bisa melihat kita.
Kalau mereka sampai ke jembatan, mereka akan melihat kita. Menyingkir dari sini!
Naik, naik! Ayo!" "Ayo, Mr. Frodo," kata Sam. "Dia benar. Kita tak bisa tetap di sini."
"Baiklah," kata Frodo dengan suara lemah, seperti setengah tertidur. "Akan
kucoba." Dengan susah payah ia berdiri. Tapi sudah terlambat. Saat itu batu karang di
bawah mereka bergetar dan bergoyang. Bunyi keras menderum, lebih keras
daripada sebelumnya, menggelegar di dalam tanah dan bergema di pegunungan.
Lalu dengan ketajaman mendadak muncul sebuah kilatan merah besar. Jauh di
luar pegunungan timur ia melompat ke langit, dan memercikkan warna merah ke
awan-awan yang merendah. Di lembah bayangan dan cahaya dingin mematikan, kilatan itu tampak luar
biasa liar dan garang. Puncak-puncak batu dan punggung gunung melompat berdiri
bagi pisau tertakik, hitam tajam di depan kobaran api yang naik di Gorgoroth.
Lalu bunyi petir menggelegar. Dan Minas Morgul menjawab. Ada kobaran halilintar
tajam: cabang-cabang nyala biru meloncat dari menara dan dari bukit-bukit yang
mengepung, naik ke awan-awan yang muram. Bumi mengerang, dan dari kota
terdengar bunyi teriakan.
Berbaur dengan suara-suara parau melengking seperti burung pemangsa,
serta ringkikan kuda yang liar karena ketakutan dan kemarahan, terdengar
teriakan mengoyak, bergetar, naik dengan cepat menjadi nada tajam menusuk di luar batas
pendengaran. Kedua hobbit berputar-putar, melemparkan diri sambil menutup
telinga dengan tangan. Ketika teriakan mengerikan itu berakhir, mereda menjadi
suatu ratapan memuakkan yang berangsur diam, Frodo perlahan-lahan
mengangkat kepala. Di seberang lembah sempit, hampir sejajar dengan matanya, berdiri tembok
kota jahat itu, gerbangnya yang besar dibentuk menyerupai mulut menganga
Halaman | 352 The Lord of The Rings dengan gigi-gigi mengilap. Gerbang itu sudah terbuka lebar, dan dari dalamnya
keluar sepasukan tentara. Seluruh pasukan itu berpakaian hitam, gelap seperti
malam. Di depan tembok-tembok pudar dan ubin-ubin jalan yang mengilap Frodo
bisa melihat mereka, sosok-sosok hitam kecil baris demi baris, berjalan cepat
dan diam, keluar dalam aliran tanpa henti.
Di depan mereka adalah pasukan kavaleri penunggang kuda yang bergerak
seperti bayangan yang teratur, di ujungnya ada satu yang lebih besar: seorang
Penunggang, hitam seluruhnya, di kepalanya yang berkerudung ia memakai topi
baja seperti mahkota yang bersinar dengan cahaya mengancam. Sekarang ia
sudah mendekati jembatan di bawah, dan mata Frodo mengikutinya, tak mampu
berkedip atau melepaskan pandangan.
Bukankah itu pimpinan Sembilan Penunggang yang kembali ke bumi untuk
memimpin pasukan mengerikan itu ke pertempuran" Ya, dialah raja Hantu yang
tangannya telah menikamkan pisau mematikan kepada sang Penyandang Cincin.
Luka lama itu berdenyut sakit, dan rasa dingin membekukan menyebar ke jantung
Frodo. Tepat saat pikiran-pikiran itu menusuknya dengan ketakutan dan
menahannya hingga ia bagai tersihir, Penunggang itu mendadak berhenti, tepat di
ambang jembatan, dan di belakangnya seluruh pasukan ikut berhenti. Ada
keheningan yang sangat tajam.
Mungkin Cincin yang memanggil pimpinan Hantu itu, dan untuk beberapa saat
ia terganggu, merasakan kekuatan lain di lembah itu. Kepala gelap bertopi baja
dan bermahkotakan ketakutan itu berputar ke sana kemari, menyapu kegelapan
dengan matanya yan.g tidak terlihat. Frodo menunggu, tak mampu bergerak,
seperti burung didekati ular. Saat menunggu, ia merasa diperintahkan untuk
memakai Cincin itu. Namun ia tak mau menyerah. Ia tahu Cincin itu akan
mengkhianatinya, dan meski memakainya, ia belum punya kekuatan untuk
menghadapi raja Morgul itu belum.
Atas perintah itu, ia tak lagi bisa menjawabnya atas kehendak sendiri, meski ia
begitu ketakutan. Ia hanya merasa dipengaruhi oleh suatu kekuatan besar dari
luar. Kekuatan itu mengambil tangannya, dan ketika Frodo memperhatikan dengan
pikirannya tidak menghendaki, tapi juga sangat tegang, seperti menyaksikan
cerita lama yang sudah berlalu kekuatan itu menggerakkan tangannya inci demi inci
menuju rantai di lehernya. Lalu tekadnya bangkit; perlahan-lahan ia memaksa
tangannya kembali dan menyuruhnya menemukan benda lain, sebuah benda yang
tersembunyi dekat dadanya.
Dua Menara Halaman | 353 Rasanya dingin dan keras ketika ia mencengkeramnya: bejana dari Galadriel
yang sudah lama disimpannya, hampir terlupakan sampai detik itu. Ketika ia
menyentuhnya, untuk beberapa saat semua pikiran tentang Cincin itu terusir dari
benaknya. Ia mengeluh dan menundukkan kepala. Saat itu si raja Hantu
membalikkan badan dan memacu kudanya, melaju melewati jembatan, diikuti
seluruh pasukannya yang gelap. Mungkin kerudung Peri itu menipu matanya yang
tak terlihat, dan pikiran musuhnya yang kecil, yang telah diperkuat, mengalihkan
pikirannya. Tapi ia sedang terburu-buru. Saatnya sudah tiba, dan ia harus pergi
ke peperangan di Barat, mengikuti perintah Majikan-nya. Segera ia lewat, seperti
bayang-bayang masuk ke dalam bayangan, melewati jalan berliku-liku, di
belakangnya barisan-barisan hitam masih menyeberangi jembatan. Sejak zaman
Isildur; belum pernah pasukan sedemikian besar keluar dari lembah itu; belum
pernah ada pasukan yang begitu jahat dan kuat persenjataannya menyerang
arungan Anduin; tapi itu baru satu pasukan, dan bukan pasukan terbesar yang
sekarang dikirimkan Mordor.
Frodo tersentak. Tiba-tiba ia teringat Faramir.
"Badai sudah meledak," pikirnya. "Gabungan besar tombak dan pedang akan
pergi ke Osgiliath. Akankah Faramir melintas tepat waktu" Dia sudah menduga,
tapi tahukah dia waktunya yang tepat" Siapa yang bisa mempertahankan arungan
kalau Raja Sembilan Penunggang sudah datang" Dan pasukan lain juga akan
datang. Aku terlambat. Semuanya gagal. Aku terlalu berlama-lama di jalan.
Semuanya gagal. Bahkan kalau tugasku sudah terlaksana, takkan ada yang tahu.
Takkan ada siapa pun yang bisa kuberitahu. Akan sia-sia saja."
Ia meratap kelelahan. Dan pasukan Morgul masih melintasi jembatan. Lalu di
kejauhan, seolah datang dari kenangan tentang Shire pada suatu pagi cerah,
ketika hari baru dimulai dan pintu-pintu dibuka, ia mendengar suara Sam
berbicara. "Bangun, Mr. Frodo! Bangun!"
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seandainya suara itu menambahkan, "Sarapanmu sudah siap," ia tidak akan
kaget. Suara Sam terdengar sangat mendesak.
"Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi," katanya.
Ada bunyi dentingan teredam. Gerbang Minas Morgul sudah ditutup. Barisan
tombak terakhir sudah lenyap. Menara itu masih menyeringai dari seberang
lembah, tapi cahaya di dalamnya sudah meredup. Seluruh kota kembali ke
keremangan yang gelap, dan keheningan. Namun masih tetap dipenuhi
kewaspadaan. Halaman | 354 The Lord of The Rings "Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi, dan sebaiknya kita juga pergi. Masih
ada yang hidup di tempat itu, sesuatu yang bermata, atau pikiran yang bisa
melihat; semakin lama kita tetap di satu tempat, semakin cepat dia akan
menemukan kita. Ayo, Mr. Frodo!"
Frodo mengangkat kepala, kemudian berdiri. Keputusasaan belum
meninggalkannya, tapi kelemahan itu sudah berlalu. Ia bahkan tersenyum muram,
perasaannya kini begitu bertolak belakang dengan beberapa saat sebelumnya. Apa
yang perlu ia lakukan, harus ia lakukan, kalau bisa. Tidak penting apakah
Faramir, Aragorn, Elrond, Galadriel, Gandalf, atau siapa pun yang lain akan pernah tahu
tentang itu. Ia memegang tongkatnya dengan satu tangan dan bejana Galadriel di
tangan lainnya. Ketika melihat cahaya terang itu sudah keluar melalui jemarinya,
ia memasukkan bejana itu ke dekat dadanya, memegangnya dekat ke hatinya.
Kemudian, sambil membelakangi kota Morgul yang kini hanya berupa kilauan
kelabu di seberang teluk gelap, ia bersiap-siap menapaki jalan mendaki.
Gollum tampaknya sudah merangkak pergi menyusuri pinggiran kegelapan di
sana, ketika gerbang Minas Morgul dibuka, meninggalkan kedua hobbit di tempat
mereka terbaring. Sekarang ia datang merangkak kembali, giginya gemerutuk dan
jarinya dikertakkan. "Bodoh! Tolol!" desisnya. "Cepatlah! Jangan kira bahaya
sudah lewat. Belum. Cepatlah!" Mereka tidak menjawab, tapi mengikutinya sampai ke
pinggiran yang mendaki. Hal itu sama sekali tidak disukai kedua hobbit, tidak
juga setelah menghadapi begitu banyak bahaya lain; tapi itu tidak berlangsung lama.
Dengan segera jalan itu mencapai sebuah sudut membulat, di mana sisi
pegunungan membengkak lagi, dan di sana tiba-tiba memasuki lubang sempit di
batu karang. Mereka sudah samliai ke tangga pertama yang diceritakan Gollum. Kegelapan
hampir sempurna, dan mereka tak bisa melihat banyak di luar jangkauan tangan
mereka; tapi mata Gollum bersinar pucat, beberapa meter di atas, ketika ia
menoleh ke arah mereka. "Hati-hati!" bisiknya. "Tangga. Banyak tangga. Harus
hati-hati!" Kehati-hatian memang dibutuhkan. Awalnya Sam dan Frodo merasa
gampang, karena ada dinding di kedua sisi, tapi tangga itu curam sekali, hampir
tegak, dan ketika mereka terus mendaki, mereka semakin menyadari jurang hitam
panjang di belakang. Selain itu, anak-anak tangganya sempit sekali, berbeda-beda
lebarnya, dan sering menipu: sudah usang dan mulus di pinggirnya, beberapa
sudah pecah, dan beberapa pecah ketika kaki menapakinya.
Kedua hobbit berjuang terus, sampai akhirnya mereka berpegangan ke anak
tangga di depan, dan memaksa lutut mereka yang sakit untuk melipat dan
Dua Menara Halaman | 355 meluruskan kaki; tangga itu masih terus mendaki semakin dalam ke gunung yang
curam, sementara dinding batu menjulang semakin tinggi di atas kepala. Akhirnya,
tepat ketika merasa sudah tak tahan lagi, mereka melihat mata Gollum
memandang ke arah mereka lagi.
"Kita sudah di atas," bisiknya. "Tangga pertama sudah lewat. Hobbit pintar
sudah bisa naik setinggi ini, hobbit sangat pintar. Tinggal beberapa anak tangga
lagi, itu saja, ya."
Dalam keadaan sangat pusing dan letih, Sam dan Frodo yang mengikutinya,
merangkak menaiki anak tangga terakhir, lalu duduk menggosok kaki dan lutut.
Mereka berada dalam sebuah selasar gelap yang rupanya masih mendaki di depan
sana, meski lerengnya lebih lembut dan tanpa anak tangga. Gollum tidak
membiarkan mereka beristirahat lama.
"Masih ada tangga lain," katanya. "Tangga yang jauh lebih panjang. Istirahat
kalau kita sudah sampai ke puncak tangga berikutnya. Sekarang belum."
Sam mengerang. "Lebih panjang, katamu?" tanyanya.
"Ya, ya, lebih panjang," kata Gollum. "Tapi tidak begitu sulit. Hobbit sudah
mendaki Tangga Lurus. Berikutnya Tangga Putar."
"Dan setelah itu apa?" kata Sam.
"Kita akan lihat," kata Gollum pelan. "Ya, kita akan lihat!"
"Rasanya kaubilang ada terowongan," kata Sam. "Bukankah ada terowongan
atau semacamnya yang harus dilewati?"
"Oh, ya, ada terowongan," kata Gollum. "Tapi hobbit tak bisa istirahat sebelum
mencoba itu. Kalau sudah melewatinya, berarti mereka sudah hampir sampai ke
puncak. Dekat sekali, kalau mereka bisa lewat. Oh ya!"
Frodo menggigil. Pendakian itu membuatnya berkeringat, tapi sekarang ia
merasa dingin dan lembap, dan di selasar bertiup angin dingin, berembus turun
dari ketinggian yang tidak tampak di atas sana. Ia bangkit dan menggoyangkan
badan. "Well, mari kita lanjutkan!" katanya. "Ini bukan tempat untuk duduk-duduk."
Selasar itu seakan bermil-mil panjangnya, dan udara dingin selalu saja
mengalir di atas mereka, membesar menjadi angin tajam ketika mereka naik
semakin tinggi. Gunung-gunung seolah berusaha mengecilkan hati mereka dengan
napas beku mematikan, agar mereka memalingkan diri dari rahasia tempat-tempat
Halaman | 356 The Lord of The Rings tinggi, atau untuk meniup mereka ke kegelapan di belakang. Mereka baru tahu
mereka sudah sampai ke ujung, ketika mendadak mereka merasa tak ada dinding
di sebelah kanan. Mereka hanya bisa melihat sedikit saja. Sosok-sosok besar tak berbentuk dan
bayangan kelabu tebal menjulang di atas dan di sekitar mereka, tapi sesekali
seberkas cahaya merah pudar berkobar naik di bawah awan-awan yang merendah,
dan untuk sekejap mereka melihat puncak-puncak tinggi, di depan dan di kedua
sisi, seperti tiang-tiang yang menopang atap besar. Rupanya mereka sudah
mendaki sekian ratus kaki, sampai ke sebuah dataran lebar. Batu karang ada di
sebelah kin, dan jurang di sebelah kanan. Gollum memimpin jalan di bawah batu
karang. Untuk sementara mereka tidak lagi mendaki, tapi tanah sekarang lebih
hancur dan berbahaya dalam gelap, ada balok-balok dan bongkah-bongkah batu
yang terjatuh menghalangi jalan. Mereka berjalan lambat dan hati-hati. Entah
sudah berapa jam berlalu sejak mereka masuk Lembah Morgul, Sam maupun
Frodo tak bisa mengira-ngira. Malam serasa tak berujung. Akhirnya mereka sekali
lagi melihat sebuah tembok menjulang, dan sebuah tangga di depan. Sekali lagi
mereka berhenti, dan sekali lagi mulai mendaki.
Pendakian panjang dan melelahkan; tapi tangga ini tidak masuk ke dalam sisi
pegunungan. Di sini wajah batu karang besar mendaki ke belakang, jalanannya
berbelok-belok seperti ular. Pada satu titik, jalan itu merayap ke pinggir,
langsung sampai ke ujung jurang gelap. Ketika Frodo melirik ke bawah, ia melihat ngarai
besar di ujung Lembah Morgul, seperti sebuah sumur dalam yang luas. Di
kedalamannya terjulur jalan hantu dan kota mati ke Jalan Tak Bernama, bersinar
seperti ulat kelapkelip. Lekas-lekas Frodo memalingkan muka.
Tangga masih terus naik, membelok dan merayap; akhirnya, dengan satu
tanjakan terakhir, pendek dan lurus, ia mendaki keluar ke sebuah dataran lain.
Jalan itu sudah menyimpang dari jalan utama di jurang besar, dan sekarang
mengikuti arahnya sendiri yang meliuk berbahaya di dasar sebuah belahan, di
tengah wilayah yang lebih tinggi dari Ephel Duath. Samar-samar kedua hobbit bisa
melihat tonjolan-tonjolan dan pttncak bergerigi dan batu di kedua sisi, di
antaranya ada retakan-retakan dan celah-celah besar yang lebih hitam daripada malam, di
mana musim dingin yang terlupakan sudah menggerogoti dan memahat batu yang
tak pernah disinari matahari.
Dan kini cahaya merah di langit tampak lebih kuat, meski mereka tidak tahu
apakah pagi han yang mengerikan akan datang ke tempat gelap ini, ataukah yang
mereka lihat itu hanyalah nyala api akibat kekejaman Sauron yang sedang
Dua Menara Halaman | 357 menyiksa Gorgoroth di luar sana. Masih jauh sekali, dan masih tinggi di atas,
Frodo yang menengadah melihat puncak jalan keras itu. Di depan kemerahan langit timur
terlihat sebuah belahan di punggung bukit paling atas, sempit, terbelah sangat
dalam di antara dua pundak hitam; dan di masing-masing pundak ada terompet
batu. Ia berhenti dan memandang lebih cermat. Terompet di sebelah kini tinggi
dan ramping; di dalamnya menyala cahaya merah, atau mungkin nyala merah dan
daratan di luar bersinar melalui sebuah lubang. Sekarang ia melihatnya: ternyata
sebuah menara hitam yang berdiri di atas celah luar. Ia menyentuh tangan Sam
dan menunjuknya. "Aku tak suka melihatnya!" kata Sam. "Jadi, jalan rahasiamu ini toh dijaga
juga," geramnya, berbicara pada Gollum. "Kuduga selama ini kau sudah tahu,
bukan?" "Semua jalan diawasi, ya," kata Gollum. "Tentu saja begitu. Tapi hobbit harus
mencoba salah satunya. Jalan ini mungkin yang tidak terlalu ketat diawasi.
Mungkin mereka semua sudah berangkat perang, mungkin!"
"Mungkin," gerutu Sam. "Well, tampaknya masih cukup jauh, dan masih lama
sebelum kita sampai di sana. Juga masih ada terowongan. Kupikir kau sekarang
perlu istirahat, Mr. Frodo. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, pagi atau malam,
tapi kita sudah berjalan terus selama berjam-jam."
"Ya, kita perlu istirahat," kata Frodo. "Mari kita cari pojok yang tidak kena
angin, dan mengumpulkan kekuatan-untuk putaran terakhir."
Karena ia merasa begitulah kenyataannya. Kengerian negeri di sana itu, dan
tugas yang harus dilakukannya di sana, tampak jauh, masih terlalu jauh untuk
mengganggunya. Seluruh pikirannya tertuju pada cara untuk menerobos atau lewat
di atas tembok dan penjagaan yang tak bisa ditembus itu. Kalau suatu saat ia
bisa melakukan hal yang mustahil itu, berarti selesailah tugasnya, atau begitulah
tampaknya bagi Frodo di saat gelap penuh keletihan itu, sementara ia berjalan
susah payah dalam bayang-bayang gelap di bawah Cirith Ungol.
Mereka duduk dalam sebuah celah gelap di antara dua tonjolan batu karang:
Frodo dan Sam agak masuk ke dalam, dan Gollum meringkuk di tanah, dekat
bukaannya. Di sana kedua hobbit menyantap bekal mereka, yang rasanya bakal
menjadi hidangan terakhir sebelum mereka masuk ke Negeri Tak Bernama itu
bahkan mungkin hidangan terakhir yang akan mereka makan bersama. Mereka
makan sedikit makanan dan Gondor, dan wafer dari kaum Peri, juga minum sedikit.
Halaman | 358 The Lord of The Rings Tapi mereka menghemat air dan hanya minum sedikit untuk membasahi mulut
yang kering. "Aku ingin tahu, kapan kita akan menemukan air lagi?" kata Sam. "Tapi di
negeri itu mereka juga minum, bukan" Orc juga minum, kan?"
"Ya, mereka minum," kata Frodo. "Tapi jangan bicarakan itu. Minuman seperti
itu bukan untuk kita."
"Kalau begitu, kita perlu sekali mengisi botol air," kata Sam. "Tapi tidak ada
air di atas sini: aku tidak mendengar bunyi aliran atau tetesan sama sekali.
Bagaimanapun, Faramir bilang kita jangan minum air di Morgul."
"Tidak ada air yang mengalir keluar dari Imlad Morgul, begitu katanya," kata
Frodo. "Kita bukan berada di lembah itu sekarang, dan kalau kita sampai ke
sebuah mata air, maka airnya mengalir masuk, bukan keluar, darinya."
"Aku tidak bakal mau minum air di sini," kata Sam, "kecuali kalau aku sudah
hampir mati kehausan. Ada kesan jahat di tempat ini."
Ia mengendus-endus. "Dan bau aneh, kukira. Kauperhatikan itu" Bau yang
aneh, agak pengap. Aku tak suka ini."
"Aku sama sekali tak suka apa pun di sini," kata Frodo, "tangga atau batu,
napas atau tulang. Bumi, udara, dan air semuanya seperti dikutuk. Tapi mau tak
mau jalan kita harus lewat sini."
"Ya, memang," kata Sam. "Dan seharusnya kita tidak berada di sini,
seandainya kita tahu lebih banyak tentang ini, sebelum kita berangkat. Tapi
kupikir memang sering terjadi hal seperti ini. Peristiwaperistiwa gagah berani dalam
dongeng-dongeng dan lagu-lagu lama, Mr. Frodo: petualangan, aku menyebutnya.
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 11 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear The Ellimist Chronicle 2
indah: piring-piring bundar, mangkuk dan piring dari tanah liat cokelat yang
diglasir atau dari kayu peti yang dibubut, mulus dan bersih. Di sana-sini ada cangkir
atau baskom dari perunggu yang dipoles; gelas minum berbentuk piala dan perak
diletakkan di depan tempat duduk Kapten, di tengah meja yang terletak di pusat.
Faramir berkeliling di antara orang-orang, dengan lembut menanyai masingmasing
ketika ia masuk. Beberapa datang dari pengejaran kaum Southron; yang lain, yang
ditinggal sebagai pengintai dekat jalan, masuk paling akhir. Semua orang
Southron sudah ketahuan nasibnya, kecuali mumak yang besar itu: apa yang terjadi
padanya, tidak ada yang tahu. Dan pihak musuh tidak terlihat gerakan apa pun;
bahkan mata-mata Orc tidak ada di luar.
"Kau tidak melihat dan mendengar apa pun, Anborn?" tanya Faramir pada
pendatang terakhir. Halaman | 314 The Lord of The Rings "Well, tidak, Pangeran," kata orang itu. "Setidaknya bukan Orc. Tapi aku
melihat, atau merasa melihat, sesuatu yang agak aneh. Waktu itu senja sudah
larut, dan segala sesuatu, jadi terlihat lebih besar daripada sebenarnya. Jadi,
mungkin juga yang kulihat itu hanya tupai."
Sam memasang telinga ketika mendengar itu. "Kalau memang tupai,
warnanya pasti hitam, dan aku tidak melihat ekornya. Sosoknya seperti sebuah
bayangan di tanah, dan dia meluncur cepat ke belakang batang pohon ketika aku
mendekat, memanjat ke atas secepat tupai. Kau tak ingin kami membunuh hewanhewan
liar dengan sia-sia, dan tampaknya dia Cuma hewan liar, maka aku tidak
mencoba memanahnya. Bagaimanapun, sudah terlalu gelap untuk menembak, dan
makhluk itu sudah menghilang ke dalam kegelapan dedaunan, dalam sekejap. Tapi
aku tetap di sana untuk beberapa saat, karena tampaknya aneh, kemudian aku
buru-buru kembali. Rasanya aku mendengar makhluk itu mendesis padaku dari
atas ketika aku pergi. Mungkin seekor tupai besar. Barangkali di bawah bayangan
Dia yang Tak Bernama, beberapa hewan liar dari Mirkwood berkeliaran ke
hutanhutan kami. Kata orang-orang, di sana ada tupai hitam."
"Barangkali," kata Faramir. "Tapi itu berarti pertanda buruk. Kita tidak
menginginkan pelarian dan Mirkwood di Ithilien." Sam merasa Faramir melirik
cepat ke arab para hobbit ketika berbicara; tapi Sam tidak mengatakan apaapa. Untuk
beberapa saat, ia dan Frodo berbaring memperhatikan cahaya obor, dan orangorang
yang bergerak kian kemari sambil berbicara dengan suara teredam.
Kemudian tiba-tiba Frodo tertidur. Sam berdebat dengan dirinya sendiri.
"Mungkin dia benar," pikirnya, "dan mungkin juga tidak. Omongan manis bisa
menyembunyikan hati yang busuk." Ia menguap. "Aku bisa tidur selama seminggu,
untuk memulihkan diri. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan, kalaupun aku tetap
terjaga" Aku sendirian, dengan Manusia-Manusia besar di sekitarku. Tidak ada,
Sam Gamgee; tapi kau harus tetap bangun." Dan entah bagaimana ia berhasil.
Cahaya meredup dari pintu gua, dan selubung kelabu air terjun semakin pudar,
lalu hilang dalam kegelapan yang semakin pekat. Bunyi air selalu terdengar, nadanya
tak pernah berubah, pagi atau sore atau malam. Air itu bergumam dan berbisik
tentang tidur. Sam mengganjal matanya dengan buku jari.
Kini lebih banyak obor dinyalakan. Sebuah tong anggur dibuka. Tong-tong
Beberapa tong dari gudang dibuka. Orang-orang mengambil air dan berapa
mencuci tangan dalam baskom. Sebuah mangkuk tembaga besar dan secarik kain
putih dibawa kepada Faramir, dan ia membasuh dirinya.
Dua Menara Halaman | 315 "Bangunkan tamu-tamu kita," katanya, "dan bawakan air untuk mereka. Sudah
saatnya makan." Frodo duduk dan menguap, lalu meregangkan badan. Sam, yang tidak biasa
dilayani, memandang heran kepada pria jangkung yang membungkuk sambil
memegang baskom penuh air di depannya. "Taruh saja di tanah, Bung," katanya.
"Begitu lebih nyaman buatku dan buatmu." Lalu ia memasukkan kepalanya ke
dalam air dingin itu, membasahi leher dan kedua telinganya. Orang-orang yang
melihatnya merasa kaget sekaligus geli.
"Apakah di negerimu ada kebiasaan membasuh kepala sebelum makan
malam?" kata orang yang melayani kedua hobbit.
"Tidak, biasanya justru sebelum sarapan," kata Sam. "Tapi kalau kurang tidur,
air dingin di leher rasanya seperti hujan di daun selada layu. Nah! Sekarang aku
bisa melek cukup lama untuk makan sedikit."
Mereka dibawa ke tempat duduk di samping Faramir: tong-tong berlapis kulit
bulu yang lebih tinggi daripada bangku-bangku Manusia, sehingga mereka bisa
duduk nyaman. Sebelum makan, Faramir dan semua anak buahnya menoleh ke
arah barat untuk beberapa saat, dalam diam. Faramir memberi tanda kepada
Frodo dan Sam agar melakukan hal yang sama.
"Begitulah kebiasaan kami," katanya ketika mereka duduk. "Kami memandang
ke Numenor yang pernah ada, ke rumah kaum Peri di baliknya, dan ke wilayah di
luar negeri kaum Peri, yang akan selalu ada. Apakah kau tidak mempunyai
kebiasaan semacam itu saat makan?"
"Tidak," kata Frodo, yang merasa sangat kasar dan tidak terpelajar. "Tapi,
sebagai tamu, kami membungkuk kepada tuan rumah kami, dan setelah makan
kami bangkit dan mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Itu juga kami lakukan," kata Faramir.
Setelah mengembara dan berkemah untuk waktu begitu lama, dan berharihari
dilewatkan di belantara sepi, makan malam itu seperti pesta bagi kedua hobbit:
minum anggur kuning pucat, sejuk dan wangi, makan roti dan mentega, daging
asin, buah-buahan kering, dan keju merah yang bagus, dengan tangan bersih dan
memakai pisau dan piring bersih. Frodo dan Sam tidak menolak apa pun yang
ditawarkan, juga tidak porsi kedua, bahkan ketiga. Anggur mengalir dalam urat
darah dan anggota tubuh mereka yang letih. Mereka merasa gembira dan ringan
hati hal yang belum pernah mereka rasakan sejak meninggalkan negeri Lorien.
Selesai makan, Faramir membawa mereka ke suatu relung di bagian belakang
Halaman | 316 The Lord of The Rings gua, sebagian tertutup tirai-tirai; sebuah kursi dan dua bangku dibawa ke sana.
Sebuah lampu kecil dari tanah hat menyala dalam relung.
"Mungkin kalian ingin segera tidur," katanya, "terutama Samwise yang
budiman, yang tidak mau memejamkan matanya sebelum makan entah karena
takut rasa laparnya hilang, atau takut padaku, aku tidak tahu. Tapi tidak baik
tidur terlalu cepat setelah makan, apalagi menyusul puasa yang lama. Mari kita
bercakap-cakap dulu. Tentang perjalanan kalian dari Rivendell pasti banyak yang
bisa diceritakan. Kalian juga mungkin ingin tahu sesuatu dari kami dan negeri
tempat kalian sekarang berada. Ceritakan tentang Boromir kakakku, tentang
Mithrandir tua, dan tentang penduduk Lorien yang elok." Frodo sudah tidak
mengantuk, dan ia mau berbicara.
Tapi, meski makanan dan anggur sudah membuatnya nyaman, ia belum
kehilangan seluruh kewaspadaannya. Sam berseri-seri dan bersenandung, tapi ia
puas hanya mendengarkan Frodo berbicara, dan kadang-kadang saja berani
berseru menyatakan persetujuan. Frodo menceritakan banyak kisah, tapi selalu
membelokkan masalah dari kisah pencarian Rombongan dan Cincin, lebih banyak
membesarkan bagian gagah berani yang diperankan Boromir dalam semua
petualangan mereka, dengan serigala-serigala dari belantara, salju di bawah
Caradhras, dan di pertambangan Moria di mana Gandalf tewas. Faramir terutama
sangat terharu dengan cerita pertempuran di atas jembatan.
"Pasti Boromir jengkel harus lari dari para Orc," katanya, "atau bahkan dari
makhluk busuk yang kausebut Balrog meski dia yang terakhir pergi."
"Dia yang terakhir," kata Frodo, "tapi Aragorn terpaksa memimpin kami. Hanya
dia yang tahu jalan setelah kejatuhan Gandalf. Seandainya tidak harus menjaga
kami, orang-orang yang lebih lemah ini, dia maupun Boromir pasti tidak akan lari
ketika itu." "Mungkin, lebih baik bila Boromir tewas di sana bersama Mithrandir," kata
Faramir, "dan tidak berjalan terus menyongsong takdir yang menunggunya di atas
air terjun Rauros." "Mungkin. Tapi sekarang ceritakan kisahmu sendiri," kata Frodo, mengalihkan
pembicaraan lagi. "Karena aku ingin belajar lebih banyak tentang Minas Ithil dan
Osgiliath, dan Minas Tirith yang bertahan lama. Harapan apa yang kaupunyai untuk
kota itu dalam peperanganmu yang berlangsung lama?"
"Harapan apa yang kami punyai?" kata Faramir. "Sudah lama kami tidak
mempunyai harapan. Pedang Elendil, kalau dia kembali, mungkin bisa
Dua Menara Halaman | 317 mengobarkannya lagi, tapi kurasa pedang itu pun hanya sanggup menunda hari
buruk, kecuali kalau datang bantuan lain yang tidak terduga, dari kaum Peri atau
Manusia. Karena Musuh semakin banyak, sedangkan kami semakin menyusut.
Kami bangsa yang sudah gagal, kami adalah musim gugur yang takkan pernah
melihat musim semi."
"Manusia Numenor dulu tinggal di seantero pantai dan wilayah sekitar laut di
Daratan Besar, tapi sebagian besar dari mereka jatuh ke dalam kejahatan dan
kebodohan. Banyak yang terpikat oleh Kegelapan dan sihir hitamnya; beberapa
jatuh ke dalam kemalasan dan pengangguran, dan beberapa bertikai antara
mereka sendiri, sampai mereka dikalahkan dalam kelemahan mereka oleh orangorang
liar." "Sihir jahat tak pernah dipraktekkan di Gondor, dan Dia Yang Tak Bemama
tidak disanjung di sana; kebijakan serta keindahan lama yang dibawa dari Barat
masih lama dipertahankan di masa putraputra Elendil Yang Elok, dan masih tetap
berada di sana. Meski begitu, Gondor telah menyebabkan pembusukannya sendiri,
dan mengalami penurunan secara bertahap, mengira Musuh tertidur, padahal
Musuh hanya terusir, tapi belum hancur."
"Kematian selalu hadir, karena bangsa Numenor masih berhasrat akan
kehidupan abadi yang tidak berubah, seperti selama masa kerajaan lama yang
sudah hilang dari tangan mereka. Raja-raja mendirikan kuburan yang lebih hebat
daripada rumah-rumah untuk orang hidup, dan menganggap nama-nama lama
dalam garis keturunan mereka lebih penting daripada nama-nama putra-putra
mereka. Para penguasa yang tidak mempunyai putra duduk di balairung kuno
sambil melamun tentang lambang-lambang; di ruangruang rahasia, orang-orang
tua yang sudah layu membuat obat-obat mujarab, atau di menara-menara tinggi
mengajukan pertanyaan tentang bintangbintang. Dan raja terakhir dari garis
keturunan Anarion tidak mempunyai putra mahkota."
"Tapi para pelayan lebih bijak dan lebih beruntung. Lebih bijak, karena mereka
merekrut kekuatan bangsa kekar dari pantai, dan penduduk pegunungan yang
tabah dan Ered Nimrais. Mereka melakukan gencatan senjata dengan bangsabangsa
angkuh dari Utara, yang dulu sering menyerang kami, orang-orang gagah
berani, tapi masih bertalian keluarga jauh dengan kami, tidak seperti kaum
Easterling yang liar atau Haradrim yang kejam."
"Demikianlah maka di masa Cirion, Steward Kedua Belas (ayahku adalah
yang kedua puluh enam), mereka datang membantu kami. Di Padang Celebrant
yang luas mereka menghancurkan musuh-musuh yang sudah merebut provinsiHalaman |
318 The Lord of The Rings provinsi kami di utara. Itulah kaum Rohirrim, penguasa kuda, begitu kami
menyebut mereka. Kami serahkan pada mereka padangpadang Calenardhon yang sejak itu
disebut Rohan; karena provinsi itu sudah lama sekali jarang penduduknya. Mereka
menjadi sekutu kami, dan terbukti selalu setia pada kami, membantu dalam
kesulitan, dan menjaga jalan-jalan kami di utara dan Celah Rohan."
"Mereka mempelajari pengetahuan dan adat-istiadat kami sebanyak yang
mereka anggap perlu, dan para penguasa mereka berbicara dalam bahasa kami
bila dibutuhkan; tapi sebagian besar dari mereka masih memegang adat-istiadat
nenek moyang mereka, dan di antara mereka sendiri mereka berbicara dalam
bahasa Utara. Kami menyayangi mereka: laki-laki jangkung dan wanita-wanita
cantik, sama-sama gagah berani, berambut emas, bermata cerah, dan kuat;
mereka mengingatkan kami pada Manusia dahulu kala, di Zaman Peri. Menurut
ahli-ahli pengetahuan kami, mereka sejak dulu mempunyai pertalian keturunan
dengan kami, karena mereka berasal dan Tiga Istana Manusia, seperti halnya
bangsa Numenor pada masa awalnya; mungkin bukan dari Hador Rambut Emas,
sahabat kaum Peri, tapi dari keturunan dan rakyatnya yang menolak panggilan dan
tidak pergi menyeberangi Samudra, masuk ke Barat."
"Beginilah pembagian Manusia dalam adat-istiadat kami: Bangsa Agung, atau
Manusia dari Barat, yaitu kaum Numenor; Bangsa Menengah, Manusia Senja,
seperti kaum Rohirrim dan keluarga mereka yang masih tinggal jauh di Utara; dan
Bangsa Liar, Manusia Kegelapan."
"Tapi sekarang, sementara kaum Rohirrim tumbuh semakin mirip dengan
kami, berkembang dalam seni dan peradaban, kami pun jadi semakin mirip dengan
mereka, dan hampir-hampir tak layak lagi menyandang gelar Bangsa Agung. Kami
sudah menjelma menjadi Bangsa Menengah, Manusia Senja, namun menyimpan
kenangan akan hal-hal lain. Sama seperti kaum Rohirrim, kami kini menyukai
peperangan dan keberanian, baik sebagai olahraga maupun tujuan; dan meski
menurut kami seorang pejuang harus punya keterampilan dan pengetahuan, bukan
sekadar menguasai senjata dan membunuh, kami toh lebih menghargai seorang
pejuang daripada orang-orang dengan keahlian lain. Begitulah kebutuhan masa
kini. Begitu pula kakakku, Boromir: dia pemberani, dan dia dianggap orang
terbaik di Gondor. Dia memang sangat gagah berani: tak ada putra mahkota dari Minas
Tirith yang bekerja begitu keras selama bertahun-tahun, begitu tak kenal takut
dalam pertempuran, dan begitu nyaring meniup Terompet Besar itu." Faramir
mengeluh dan diam sejenak.
Dua Menara Halaman | 319 "Kau tidak bicara banyak tentang kaum Peri dalam kisah-kisahmu, Sir," kata
Sam, yang tiba-tiba bangkit keberaniannya. Ia memperhatikan Faramir menyebut
kaum Peri dengan penuh penghormatan, dan sikapnya itulah yang membuat Sam
menaruh respek padanya dan menghilangkan kecurigaannya, melebihi kesopanan
yang ditunjukkan Faramir, serta makanan dan anggur yang dihidangkannya.
"Memang tidak, Master Samwise," kata Faramir, "karena aku tidak ahli dalam
pengetahuan tentang kaum Peri. Tapi di sini kau menyentuh satu hal lain lagi, di
mana kami mengalami perubahan, merosot dari Numenor ke Dunia-Tengah. Kalau
Mithrandir adalah pendamping kalian, dan kalau kau sudah berbicara dengan
Elrond, tentunya kau tahu bahwa kaum Edain, Nenek Moyang kaum Numenor,
bertempur bersama kaum Peri dalam peperanganpeperangan pertama, dan diberi
imbalan kerajaan di tengah Samudra, dalam jarak pandang kampung halaman
kaum Peri. Tapi di Dunia-Tengah, Manusia dan Peri jadi saling terasing di masa
kegelapan, karena pengaruh sihir Musuh, dan karena perjalanan waktu.
Masing-masing bangsa terpisah semakin jauh. Kini Manusia takut dan
mencurigai kaum Peri, namun hanya tahu sedikit tentang mereka. Dan kami dari
Gondor tumbuh seperti Manusia lain, seperti Orang-Orang Rohan; karena mereka
pun, yang menjadi musuh Penguasa Kegelapan, menghindari kaum Peri dan
berbicara tentang Hutan Emas dengan penuh ketakutan. "Tapi di antara kami
masih ada yang berurusan dengan kaum Peri bila perlu. Sesekali masih ada yang
diam-diam pergi ke Lorien, dan jarang kembali. Aku tidak. Karena menurutku
sangat berbahaya sekarang bagi manusia fana untuk sengaja mencari Kaum Peri.
Meski begitu, aku ini bahwa kau sudah berbicara dengan Wanita Peri itu."
"Lady dan Lorien! Galadriel!" seru Sam. "Kau harus melihatnya, Sir, harus.
Aku hanya seorang hobbit, dan pekerjaanku di rumah Cuma berkebun, Sir. Aku
tidak pintar bersajak tidak mahir mengarang sajak: paling-paling sedikit sajak
jenaka, kadang-kadang, tapi bukan puisi sejati maka aku tak bisa menggambarkan
yang kumaksud. Seharusnya ini dinyanyikan. Kau perlu Strider, alias Aragorn,
atau Mr. Bilbo tua, untuk itu. Tapi aku berharap bisa membuat nyanyian tentang dia.
Dia cantik sekali, Sir! Memikat! Kadangkadang seperti pohon besar yang sedang
berbunga, kadang-kadang seperti daffadowndilly putih, mungil dan ramping. Keras
bagai berlian, lembut bagai sinar bulan. Hangat seperti cahaya matahari, dingin
seperti es di dalam bintang-bintang. Angkuh dan jauh seperti gunung salju, dan
ceria seperti gadis remaja dengan bunga daisy di rambutnya di musim semi. Tapi
itu omong kosong semua, jauh sekali dari sasaranku."
Halaman | 320 The Lord of The Rings "Kalau begitu, dia memang sangat cantik," kata Faramir. "Cantik yang
berbahaya."
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu tentang berbahaya," kata Sam. "Tampaknya orang-orang
membawa bahaya mereka sendiri masuk ke Lorien, dan menemukannya di sana
karena mereka sendiri membawanya. Tapi barangkali bisa kausebut dia
berbahaya, karena dia sendiri punya daya kekuatan. Kau, kau bisa hancur
berkeping-keping menabrakkan dirimu padanya, seperti kapal menabrak batu
karang, atau membenamkan dirimu sendiri, seperti hobbit di sungai. Tapi batu
karang maupun sungai tak bisa disalahkan. Nah, Boro ..." ia berhenti dan wajahnya
memerah. "Ya" Nah, Boromir ... itu yang hendak kaukatakan?" kata Faramir. "Kau akan
bilang apa" Dia membawa bahayanya sendiri?"
"Ya, Sir, maaf, padahal kakakmu itu orang hebat, kalau boleh kukatakan
begitu. Tapi kau memang sudah mencium kebenaran sejak tadi. Nah, aku
memperhatikan Boromir dan mendengarkannya, sejak Rivendell sampai dalam
perjalanan aku hanya menjaga majikanku, bukan bermaksud jahat pada Boromir
dan menurutku di Lorien-lah dia pertama kali melihat jelas apa yang sudah lebih
dulu kuduga: apa yang diinginkannya. Sejak pertama kali melihatnya, dia
menginginkan Cincin Musuh!"
"Sam!" seru Frodo kaget. Ia sedang melamun, dan mendadak tersentak. Tapi
sudah terlambat. "Aduh duh!" kata Sam, wajahnya jadi pucat, kemudian merah
padam. "Telanjur lagi aku! Setiap kali kau membuka mulut besarmu itu, kedokmu
pasti langsung terbuka, begitu kata Gaffer selalu, dan itu memang benar. Ya
ampun, ya ampun!" "Nah begini, Sir!" katanya pada Faramir dengan segenap keberanian yang
bisa dikerahkannya. "Jangan mengambil kesempatan terhadap majikanku hanya
karena pelayannya yang bodoh ini. Kau sudah berbicara bagus sekali selama ini,
hingga aku jadi tidak waspada, membahas Peri dan sebagainya.
Tapi penampilan elok dibarengi perbuatan elok, begitu kata orang. Sekarang
kesempatan untuk menunjukkan kualitasmu."
"Begitu rupanya," kata Faramir, pelan dan sangat lambat, dengan senyuman
aneh. "Jadi, itulah jawaban terhadap semua teka-teki! Cincin Utama yang disangka
sudah hilang dan dunia. Boromir mencoba mengambilnya dengan paksa" Dan kau
lolos" Lari langsung kepadaku! Dan di sini, di belantara, aku menangkapmu: dua
Halfling, sepasukan tentara di bawah perintahku, dan Cincin segala Cincin. Nasib
Dua Menara Halaman | 321 yang sangat bagus! Kesempatan bagi Faramir, kapten dari Gondor, untuk
menunjukkan kualitasnya! Ha!" ia bangkit berdiri, sosoknya jangkung dan keras,
mata kelabunya bersinar-sinar.
Frodo dan Sam melompat dan kursi mereka dan berdiri berdampingan
membelakangi dinding, meraba-raba pangkal pedang mereka. Sepi sekali. Semua
orang di gua berhenti berbicara dan memandang heran ke arah mereka. Tapi
Faramir duduk kembali di kursinya dan mulai tertawa perlahanlahan, kemudian
mendadak serius lagi. "Sayang sekali Boromir! Ujian itu terlalu berat baginya!" katanya. "Kalian
sudah menambah dukaku, kalian dua pengembara asing dari jauh, membawa
bahaya Manusia! Tapi kalian tidak pintar menilai Manusia, seperti aku bisa
menilai Halfling. Kami, Orang-Orang Gondor, selalu mengatakan kebenaran. Kami jarang
membual, lalu berbuat, atau mati dalam upaya itu. Meski kutemukan Cincin itu di
jalan raya, tidak akan aku mengambilnya, begitu sudah kukatakan. Meski
seandainya aku memiliki hasrat besar terhadap benda ini, dan meski seandainya
aku tidak tahu pasti tentang benda itu ketika aku berbicara, toh aku akan
memegang kata-kataku sebagai sumpah, dan menaatinya.
"Tapi aku bukan orang seperti itu. Atau aku cukup bijak untuk tahu bahwa ada
bahaya-bahaya yang iebih baik dihindari manusia. Duduklah dengan damai! Dan
tenanglah, Samwise. Anggaplah ketelanjuranmu berbicara memang sudah
ditakdirkan. Hatimu pintar dan juga setia, dan bisa melihat lebih jernih
daripada matamu. Mungkin kelihatannya aneh, tapi tak usah cemas telah mengungkapkan
hal itu padaku. Mungkin keterus teranganmu bisa membantu majikan yang
kausayangi. Segalanya akan berjalan baik baginya, sejauh kekuatanku
memungkinkan. Jadi, tenanglah. Tapi jangan lagi menyebut keras-keras benda ini.
Satu kali sudah cukup."
Kedua hobbit kembali ke tempat duduk mereka, dan duduk diam. Orang-orang
kembali menghadapi makanan dan minuman mereka, menganggap kapten mereka
hanya berkelakar atau semacamnya dengan tamu-tamunya, dan itu sudah lewat.
"Well, Frodo, setidaknya sekarang kita saling memahami," kata Faramir.
"Kalau kau menerima beban ini tanpa kehendakmu sendiri melainkan karena
permintaan orang lain, maka kau mendapat rasa iba dan hormatku. Dan aku
kagum padamu: membiarkannya tersembunyi dan tidak menggunakannya. Kalian
merupakan bangsa dan dunia baru bagiku. Apakah semua keluarga kalian seperti
ini" Pasti negerimu suatu wilayah penuh kedamaian dan kepuasan dan di sana ada
ahliahli kebun yang sangat dihormati."
Halaman | 322 The Lord of The Rings "Tidak semuanya baik di sana," kata Frodo, "tapi memang ahli-ahli kebun
dihormati." "Tapi pasti penduduk di sana lambat-laun juga letih, bahkan di
kebunkebun mereka, seperti semua makhluk di bawah Matahari. Kalian jauh dari
rumah dan letih dari perjalanan. Cukup untuk malam ini. Tidurlah, kalian berdua dengan
damai, kalau bisa. Jangan takut! Aku tak ingin melihat, menyentuh, atau
mengetahui lebih banyak daripada yang sudah kuketahui (yang sudah cukup)
tentang benda itu, agar jangan sampai bahaya merintangi aku dan aku jatuh lebih
rendah dalam ujian ini daripada Frodo putra Drogo. Sekarang istirahatlah tapi
sebelumnya ceritakan dulu padaku, kalau mau, ke mana kau ingin pergi, dan apa
tujuanmu. Sebab aku harus berjaga, dan menunggu, dan berpikir. Waktu berlalu. Di
pagi hari, kita masingmasing harus cepat pergi melalui jalan yang diperuntukkan
bagi kita." Frodo merasa gemetaran ketika rasa takutnya yang mula-mula itu lewat.
Sekarang keletihan besar menyelubunginya seperti awan. Ia tak mampu
menyembunyikan dan melawannya lebih lama lagi.
"Aku akan mencari jalan masuk ke Mordor," katanya lemah. "Aku akan pergi
ke Gorgoroth. Aku harus menemukan Gunung Api dan melemparkan benda itu ke
dalam kobaran Maut. Gandalf bilang begitu. Aku tidak yakin akan sampai ke sana."
Faramir menatapnya sejenak dengan tercengang. Lalu mendadak ia
menangkap tubuh Frodo yang bergoyang, dan sambil mengangkatnya dengan
lembut, membawanya ke tempat tidur dan membaringkannya di sana,
menyelimutinya dengan hangat. Segera Frodo tertidur lelap. Satu tempat tidur
lain diletakkan di sampingnya, untuk pelayannya. Sam ragu sejenak, kemudian sambil
membungkuk rendah ia berkata,
"Selamat malam, Kapten, My Lord. Kau telah mempergunakan kesempatan
ini, Sir." ' "Begitukah?" kata Faramir. "Ya, Sir, dan kau telah menunjukkan kualitasmu:
yang tertinggi." Faramir tersenyum. "Kau pintar bicara, Master Samwise. Tapi
tidak: pujian dari orang terpuji lebih tinggi nilainya daripada semua imbalan. Meski
begitu, tak ada yang perlu dipuji dalam hal ini. Aku tidak berhasrat atau terpikat untuk
berbuat lain dari yang sudah kulakukan."
"Ah, Sir," kata Sam, "kaubilang majikanku punya sifat-sifat Peri; itu memang
benar dan bagus. Tapi menurutku kau juga punya sifat yang mengingatkan aku
pada, pada ... well, pada Gandalf, pada penyihir-penyihir."
Dua Menara Halaman | 323 "Mungkin," kata Faramir. "Mungkin samar-samar kau bisa merasakan sifatsifat
bangsa Numenor. Selamat malam!"
Halaman | 324 The Lord of The Rings Kolam Terlarang Frodo bangun dan menyadari Faramir membungkuk di atasnya. Untuk
beberapa saat, rasa takut kembali menyergapnya, membuatnya duduk dan
mundur. "Tak ada yang perlu dicemaskan," kata Faramir.
"Sudah pagikah sekarang?" kata Frodo sambil menguap.
"Belum, tapi malam hampir berakhir, dan bulan purnama sedang terbenam.
Maukah kau melihatnya" Selain itu, aku memerlukan nasihatmu. Aku minta maaf
sudah membangunkanmu, tapi maukah kau ikut aku?"
"Ya, aku mau," kata Frodo. Ia bangkit dan menggigil sedikit ketika
meninggalkan selimut dan kulit bulu yang hangat. Rasanya dingin dalam gua tanpa
api. Bunyi air terdengar nyaring dalam keheningan. Ia memakai jubahnya dan
mengikuti Faramir. Sam, yang dibangunkan tiba-tiba oleh naluri kewaspadaannya,
mulamula melihat tempat tidur majikannya kosong. Ia melompat berdiri. Kemudian
ia melihat dua sosok gelap, Frodo dan seorang pria, sosoknya membayang di
ambang pintu yang kini dipenuhi cahaya putih pucat.
Ia mengejar mereka dengan terburu-buru, melewati barisan orang tidur di atas
kasur-kasur sepanjang dinding. Ketika lewat mulut gua, ia melihat bahwa Tirai
sekarang sudah menjadi selubung memukau benang sutra dan mutiara serta
perak: sinar bulan seperti untaian air beku yang mencair. Tapi ia tidak berhenti
untuk mengaguminya, dan sambil membelok ia mengikuti majikannya melewati
ambang pintu sempit di dinding gua. Mereka mula-mula berjalan melewati selasar
panjang hitam, kemudian menaiki banyak anak tangga, dan sampai di sebuah
dataran kecil yang dipahat di dalam batu dan disinari langit pucat, berkilauan
jauh di atas, melalui cerobong panjang yang dalam. Dari sini menjulur dua tangga:
satu tampaknya terus ke arah tebing tinggi di tepi sungai; yang lainnya membelok ke
kiri. Mereka mengikuti yang ini. Tangga itu membelok naik seperti tangga putar
di menara. Akhirnya mereka keluar dari kegelapan yang pekat, dan melihat sekeliling.
Mereka berada di atas batu lebar datar, tanpa pagar atau tembok. DI sebelah
kanan mereka, ke arah timur, air sungai jatuh mendebur melewati banyak tangga,
kemudian mengalir menuruni palung curam, mengisi sebuah saluran yang dipahat
mulus dengan air gelap berbuih. Air itu berputar-putar dan mengalir kencang
dekat Dua Menara Halaman | 325 kaki mereka, lalu terjun melewati pinggiran terjal yang menganga di sebelah kiri
mereka. Seorang pria berdiri di situ, dekat pinggiran, diam, sambil memandang ke
bawah. Frodo menoleh untuk memperhatikan leher-leher air yang jenjang ketika
mereka berputar, kemudian terjun. Lalu ia mengangkat matanya dan menerawang
jauh. Dunia sepi dan dingin, seolah fajar sudah hampir menjelang. Jauh di Barat,
bulan purnama sedang terbenam, bundar dan putih. Kabut pudar berkilauan di
lembah luas di bawah: sebuah teluk besar dari asap perak, yang di bawahnya
mengalir airmalam yang sejuk dari Anduin.
Kegelapan hitam menjulang di seberang, dan di dalamnya berkilauan puncakpuncak
Ered Nimrais, Pegunungan Putih dari Negeri Gondor yang berlapis salju
abadi, dingin, tajam, dan jauh, putih seperti gigi hantu. Untuk beberapa saat
Frodo berdiri di atas batu tinggi, menggigil, bertanyatanya apakah di suatu tempat di
dalam negeri malam yang luas itu, kawankawan serombongannya dulu berjalan
atau tidur, atau berbaring mati berselimutkan kabut" Kenapa ia dibawa ke sini,
keluar dari tidur yang membuat lupa" Sam juga sangat ingin tahu jawaban atas
pertanyaan yang sama, dan tak bisa menahan diri untuk menggerutu perlahan,
hanya kepada majikannya, "Memang ini pemandangan bagus, Mr. Frodo, tapi membekukan hati dan
tulang-belulang! Apa yang terjadi?" Faramir mendengamya dan menjawab,
"Bulan terbenam di atas Gondor. Ithil yang indah, saat dia pergi dari
DuniaTengah, melirik ke rambut putih Mindolluin tua. Pantaslah kalau kita jadi
menggigil melihatnya. Tapi bukan ini alasannya aku membawamu kemari meski kau,
Samwise, kau tidak diajak, dan kau ada di sini hanya mengikuti naluri waspadamu.
Seteguk anggur akan menyenangkanmu. Mari, lihat!"
Faramir mendekati pengawal yang diam di ujung yang gelap, dan Frodo
mengikuti. Sam berdiri agak di belakang. Ia sudah merasa kurang aman berada di
atas dataran tinggi dan basah ini. Faramir dan Frodo melihat ke bawah. Jauh di
bawah, mereka melihat air putih mengalir masuk ke mangkuk berbuih, kemudian
menggulung di mangkuk lonjong di dalam batu karang, sampai menemukan jalan
keluar lagi melalui sebuah gerbang sempit, mengalir menjauh, beruap dan
berceloteh, masuk ke sudut-sudut yang lebih tenang dan lebih datar. Sinar bulan
masih condong ke kaki air terjun dan menyinari riak-riak air.
Frodo menyadari ada suatu benda kecil gelap di tebing terdekat, tapi ketika ia
memandangnya, benda itu terjun dan menghilang tepat di balik gelegak dan
gelembung air terjun, membelah air yang gelap dengan rapi, seperti panah atau
batu tajam. Faramir berbicara pada pria di sampingnya.
Halaman | 326 The Lord of The Rings "Menurutmu itu apa, Anborn" Seekor tupai, atau burung kingfisher" Apakah
ada kingfisher hitam di Mirkwood?"
"Apa pun benda itu, yang jelas bukan burung," jawab Anborn. "Dia punya
empat anggota tubuh dan terjun seperti manusia; dan tampaknya mahir sekali. Apa
rencananya" Mencari jalan masuk ke belakang Tirai, ke tempat persembunyian
kita" Rupanya kita ketahuan juga. Busurku ada di sini, dan aku sudah
menempatkan pemanah-pemanah lain secara tersembunyi di kedua tebing,
pemanah-pemanah ulung seperti diriku. Kami hanya menunggu perintahmu untuk
menembak, Kapten." "Apakah kita akan menembak?" kata Faramir, menoleh cepat pada Frodo.
Sejenak Frodo tidak menjawab. Kemudian, "Tidak!" katanya. "Tidak! Kumohon
jangan." Kalau Sam berani, ia akan mengatakan, "Ya," lebih cepat dan lebih
keras. Ia tak bisa melihat, tapi bisa menduga dari kata-kata mereka, apa yang sedang
mereka lihat. "Kalau begitu, kau tahu itu makhluk apa?" kata Faramir.
"Ayo, sekarang setelah kau melihatnya, katakan padaku mengapa dia harus
diselamatkan. Dalam semua pembicaraan bersama kita, kau tidak satu kali pun
menyebutnyebut kawanmu yang aneh itu, dan untuk sementara aku
membiarkannya. Dia bisa menunggu sampai ditangkap dan dibawa ke hadapanku.
Aku mengirimkan pemburu-pemburuku yang paling lihai untuk mencarinya, tapi dia
menipu mereka, dan mereka tidak melihatnya sampai sekarang, kecuali Anborn,
satu kali kemarin sore. Tapi sekarang pelanggaran yang dilakukannya lebih berat.
Dia bukan sekadar menangkap kelinci di dataran tinggi: dia sudah berani datang
ke Henneth Annun, karena itu dia mesti mati. Tapi aku kagum pada makhluk itu:
begitu rahasia dan licik, dia berani datang ke kolam di depan jendela kami.
Apakah dia menyangka manusia tidur tanpa penjagaan sepanjang malam" Kenapa dia
begitu?" "Ada dua jawaban, kukira," kata Frodo. "Pertama-tama, dia hanya tahu sedikit
tentang Manusia, dan meski dia licik, perlindunganmu begitu tersembunyi hingga
dia tidak tahu ada Manusia bersembunyi di sini. Kedua, dia ditarik oleh suatu
hasrat yang lebih kuat daripada kehati-hatiannya."
"Dia tertarik ke sini, katamu?" kata Faramir dengan suara rendah.
"Mungkinkah karena ... dia tahu tentang bebanmu?"
"Dia tahu. Dia sendiri pernah menyandang benda itu selama bertahun-tahun."
"Dia menyandangnya?" kata Faramir, terkesiap kaget. "Masalah ini tak henti-
Dua Menara Halaman | 327 hentinya menghadirkan berbagai teka-teki baru. Kalau begitu, dia mengejar benda
itu?" "Mungkin. Baginya benda itu berharga. Tapi bukan itu yang kumaksud."
"Kalau begitu, apa yang dicarinya?"
"Ikan," kata Frodo. "Lihat!"
Mereka menatap kolam yang gelap. Sebuah kepala hitam kecil muncul di
ujung terjauh kolam, persis keluar dari bayangan gelap batu karang. Ada sekilas
kilauan perak, dan lingkaran riak kecil. Makhluk itu berenang ke tepi, kemudian
dengan sangat gesit sebuah sosok seperti katak memanjat keluar dari air, menaiki
tebing. Segera ia duduk dan mulai menggigiti benda perak kecil yang bersinar-
sinar ketika ia menoleh: berkas-berkas terakhir sinar bulan sekarang jatuh ke belakang
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding batu di ujung kolam. Faramir tertawa pelan.
"Ikan!" katanya. "Dia lapar rupanya. Atau mungkin juga tidak: tapi ikan dari
kolam Henneth Annun mungkin bisa menyebabkan dia kehilangan nyawanya."
"Aku sudah membidiknya dengan panah," kata Anborn. "Tidakkah aku harus
menembak, Kapten" Datang tanpa izin ke tempat ini hukumannya adalah mati,
menurut hukum kita."
"Tunggu dulu, Anborn," kata Faramir. "Masalah ini lebih pelik daripada
tampaknya. Bagaimana menurutmu, Frodo" Mestikah kita membiarkan dia hidup?"
"Makhluk itu malang dan lapar," kata Frodo, "dan tidak menyadari bahaya
yang mengancamnya. Dan Gandalf, Mithrandir-mu, dia pasti meminta kita untuk
tidak membunuhnya karena alasan itu, dan alasanalasan lainnya. Dia sudah
melarang para Peri berbuat demikian. Aku tidak tahu jelas sebabnya, dan tentang
dugaanku aku tak bisa membicarakannya secara terbuka di sini. Tapi makhluk ini
entah bagaimana terlibat dengan tugasku. Sampai kau menemukan dan membawa
kami, dialah pemanduku."
"Pemandumu!" kata Faramir. "Masalah ini semakin aneh. Aku ingin berbuat
banyak untukmu, Frodo, tapi yang satu ini tak bisa kukabulkan: membiarkan
pengembara licik ini pergi begitu saja dari sini, untuk kemudian bergabung lagi
denganmu sesukanya. Kalau dia ditangkap para Orc, dia akan menceritakan
semua yang diketahuinya, di bawah ancaman akan disakiti. Dia harus dibunuh atau
ditangkap. Dibunuh, kalau tak bisa ditangkap dengan cepat. Tapi bagaimana
makhluk licin yang banyak kedoknya ini bisa ditangkap, kecuali dengan panah
berbulu?" Halaman | 328 The Lord of The Rings "Biarkan aku mendekatinya diam-diam," kata Frodo. "Kalian boleh tetap
meregangkan busur, dan setidaknya menembakku kalau aku gagal. Aku tidak akan
melarikan diri." "Pergilah kalau begitu, dan cepatlah!" kata Faramir. "Kalau dia berhasil tetap
hidup, dia akan menjadi pelayanmu yang setia selama sisa hidupnya yang
menyedihkan. Tuntun Frodo turun ke tebing, Anborn, dan jangan bersuara.
Makhluk itu punya telinga dan hidung. Berikan busurmu padaku."
Anborn menggeram dan memimpin jalan menuruni tangga putar sampai ke
dataran, kemudian menaiki tangga satunya, sampai mereka tiba di sebuah lubang
sempit yang tertutup semak-semak tebal. Sambil melewatinya perlahan, Frodo
menyadari ia berada di puncak tebing selatan di atas kolam. Sekarang sudah
gelap, dan, air terjun berwama kelabu pucat, hanya memantulkan sinar bulan yang
masih tersisa di langit barat. Ia tak bisa melihat Gollum. Ia maju sedikit,
Anborn mengikutinya perlahan. "Terus!" bisiknya di telinga Frodo. "Hati-hati sebelah kanan. Kalau kau jatuh ke
kolam, hanya temanmu yang menangkap ikan itu yang bisa menolongmu. Dan
jangan lupa ada pemanah-pemanah di dekat sini, meski kau tak bisa melihat
mereka." Frodo merangkak maju, menggunakan tangannya seperti gaya Gollum untuk
meraba jalan dan mengukuhkan dirinya sendiri. Batu karang itu sebagian besar
datar dan mulus, tapi licin. Ia berhenti untuk mendengarkan. Mula-mula ia tak
bisa mendengar apa pun kecuali debur air terjun yang tak henti-henti di belakangnya.
Kemudian akhirnya ia bisa mendengar gumam mendesis, tak jauh di depan.
"Ikan, ikan. Wajah Putih sssudah pergi, sayangku, akhirnya, ya. Sssekarang
kita bisssa makan ikan dengan tenang. Bukan, bukan dengan tenang, sayangku.
Karena sayangku sudah hilang; ya, hilang. Hobbit jelek, hobbit jahat. Pergi
meninggalkan kita, gollum; dan sayangku juga sudah pergi. Hanya Smeagol
malang sendirian. Tak ada sayangku. Manusia jahat, mereka mengambilnya,
mencuri sayangku. Maling. Kita benci. Mereka. Ikan, ikan enak. Membuat kita
kuat. Membuat mata cerah, jari rapat, ya. Kita cekik mereka, sayangku. Mereka semua,
ya, kalau ada kesempatan. Ikan enak. Ikan enak!" Begitulah ia mengoceh terus,
hampir seperti air terjun yang tak henti-hentinya berdebur, hanya terputus bunyi
lemah tetesan air liur dan bunyi berdeguk. Frodo menggigil, mendengarkan penuh
rasa iba dan jijik. Dua Menara Halaman | 329 Ia berharap bunyi itu berhenti, dan bahwa ia tak perlu mendengar suara itu
lagi untuk selamanya. Anborn berada tidak jauh di belakangnya. Ia bisa merangkak
kembali dan meminta agar pemburu-pemburu itu menembak. Mereka mungkin bisa
menghampiri cukup dekat, sementara Gollum sedang makan dengan rakus dan
tidak waspada. Satu tembakan tepat, dan Frodo akan terbebas selamanya dari
suara malang itu. Tapi tidak, Gollum berhak atas dirinya sekarang. Sang pelayan
telah berjanji pada sang majikan untuk melayani, meski melayani dalam ketakutan.
Mereka pasti tersesat di Rawa-Rawa Mati kalau tidak dibantu Gollum. Frodo juga
tahu bahwa Gandalf tidak menginginkan Gollum dibunuh.
"Smeagol!" ia berkata lembut. "Ikannn, ikann enak," kata suara itu.
"Smeagol!" kata Frodo, sedikit lebih keras. Suara itu berhenti. "Smeagol,
Majikan datang mencarimu. Majikan di sini. Ayo, Smeagol!" Tak ada jawaban
kecuali desis lemah, seperti sentakan napas kaget. "Ayo, Smeagol!" kata Frodo.
"Kita dalam bahaya. Orang-orang akan membunuhmu kalau menemukanmu di sini.
Kemari cepat, kalau kau ingin lolos dari kematian. Datanglah pada Majikan!"
"Tidak!" kata suara itu. "Majikan tidak manis. Meninggalkan Smeagol malang
dan pergi dengan teman-teman baru. Majikan bisa menunggu. Smeagol belum
selesai." "Tidak ada waktu," kata Frodo. "Bawa ikanmu. Ayo!"
"Tidak! Harus makan ikan dulu."
"Smeagol!" kata Frodo putus asa. "Ke-Sayangan-mu akan marah. Aku akan
membawa Sayang-mu itu, dan akan kukatakan: biar dia tercekik tulang dan tidak
pernah merasakan makan ikan lagi. Ayo, Sayang-mu sudah menunggu!" Ada bunyi
desis tajam. Akhirnya dari kegelapan Gollum muncul merangkak, seperti anjing
yang bersalah, dipanggil agar taat. Di mulutnya ada ikan yang baru separuh
dimakan dan satu lagi di tangannya. Ia mendekati Frodo, hampir bersentuhan
hidung, dan mengendus-endus. Matanya yang pucat bersinar-sinar. Lalu ia
mengeluarkan ikan dari dalam mulutnya dan bangkit berdiri.
"Majikan baik!" bisiknya. "Hobbit manis, kembali ke Smeagol yang malang.
Smeagol yang baik datang. Sekarang mari pergi, pergi cepat, ya. Melewati
pohonpohon, sementara Wajah-Wajah masih gelap. Ya, ayo kita pergi!"
"Ya, kita akan segera pergi," kata Frodo. "Tapi tidak sekarang. Aku akan pergi
denganmu seperti sudah kujanjikan. Aku berjanji lagi. Tapi jangan sekarang. Kau
belum aman. Aku akan menyelamatkanmu, tapi kau harus mempercayaiku."
Halaman | 330 The Lord of The Rings "Kami harus mempercayai Majikan?" kata Gollum ragu. "Mengapa" Kenapa
tidak langsung pergi" Di mana yang satunya, hobbit kasar dan pemarah itu" Di
mana dia?" "Di atas sana," kata Frodo, sambil menunjuk ke air terjun. "Aku tidak akan
pergi tanpa dia. Kita harus kembali ke dia." Semangat Frodo merosot. Ia merasa
seperti sedang menebar tipu muslihat. Ia tidak benar-benar cemas bahwa Faramir
akan membiarkan Gollum dibunuh, tapi mungkin Gollum akan dijadikan tawanan
dan diikat; ini tentu akan dianggap pengkhianatan oleh makhluk memelas itu.
Rasanya mustahil membuatnya mengerti atau percaya bahwa Frodo sudah
menyelamatkannya dengan satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Apa lagi yang
bisa dilakukannya" Selain berusaha mempertahankan kepercayaan kedua belah
pihak sedapat mungkin"
"Ayo!" katanya. "Kalau tidak, Kesayangan-mu akan marah. Kita akan kembali
sekarang, menyusuri sungai. Ayo, maju, kau di depan!" Gollum merangkak maju
menyusuri tebing untuk beberapa saat, mendengus curiga. Tak lama kemudian ia
berhenti dan mengangkat kepala.
"Ada sesuatu di sana!" katanya. "Bukan hobbit." Mendadak ia memutar badan.
Cahaya hijau menyala di matanya yang melotot. "Majikan, Majikan!" desisnya.
"Jahat! Penipu! Licik!" ia meludah dan mengulurkan tangannya yang panj ang
dengan jari-jari putih mengertak.
Saat itu sosok hitam besar Anborn berdiri di belakangnya dan menerkamnya.
Sebuah tangan besar kuat memegang lehernya dan menjepitnya. Gollum berputar
seperti kilat, basah dan berlumpur, menggeliat seperti belut, menggigit dan
menggaruk seperti kucing. Tapi dua orang lagi muncul dari balik bayangan.
"Diam!" kata yang seorang. "Kalau tidak, kami akan menusukmu samnai
penuh peniti seperti landak. Diam!" Gollum lemas, lalu mulai meratap dan
menangis. Mereka mengikatnya, lumayan keras.
"Pelan-pelan, pelan-pelan!" kata Frodo. "Kekuatannya tidak sebanding dengan
kalian. Jangan menyakitinya, kalau bisa. Dia akan lebih tenang kalau kau tidak
melukainya. Smeagol! Mereka tidak akan menyakitimu. Aku akan ikut denganmu,
dan kau tidak akan dilukai. Tidak, kecuali kalau mereka membunuhku juga.
Percayalah pada Majikan!" Gollum menoleh dan meludahinya.
Orang-orang mengangkatnya, menutup matanya, dan membawanya. Frodo
mengikuti mereka, merasa sangat sedih. Mereka melalui lubang di belakang
semak-semak, dan kembali, menuruni tangga dan selasar-selasar, masuk ke gua.
Dua Menara Halaman | 331 Dua atau tiga obor sudah dinyalakan. Orang-orang sudah sibuk. Sam ada di sana,
dan ia memandang aneh ke bungkusan lemas yang digotong orang-orang.
"Dapat dia?" katanya ke Frodo. "Ya. Well, tidak, aku tidak menangkapnya. Dia
datang padaku, karena mempercayaiku pada mulanya. Aku tak ingin dia diikat
seperti ini. Kuharap dia baik-baik saja; tapi aku benci seluruh urusan ini."
"Begitu juga aku," kata Sam. "Dan takkan ada yang beres selama ada
makhluk malang itu." Seseorang datang memanggil kedua hobbit, dan membawa
mereka ke relung di bagian belakang gua. Faramir sedang duduk di sana, dan
lampu sudah dinyalakan lagi di ceruk di atas kepalanya. Ia memberi isyarat pada
mereka agar duduk di sampingnya.
"Bawa anggur untuk para tamu," katanya. "Dan bawa tawanan kemari."
Anggur disajikan, kemudian Anborn datang menggotong Gollum. Ia melepaskan
kerudung dari kepala Gollum dan memberdirikannya, lalu ia sendiri berdiri di
belakangnya untuk menopangnya. Gollum berkedip, menyembunyikan kekejian di
matanya dengan kelopaknya yang berat. Ia tampak sangat mengibakan, menetesnetes
dan lembap, bau ikan (ia masih memegang satu di tangannya); rambut
ikalnya yang jarang menggantung seperti rumput halus di atas alisnya yang tipis,
hidungnya beringus. "Lepaskan kami! Lepaskan kami!" katanya. "Talinya menyakiti kami, ya begitu,
sakit, dan kami tidak melakukan apa-apa."
"Tidak melakukan apa-apa?" kata Faramir, memandang makhluk malang itu
dengan tajam, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya, tidak marah atau kasihan
maupun keheranan. "Tidak melakukan apa-apa" Apa kau tak pernah melakukan sesuatu yang
membuatmu patut diikat atau mendapat hukuman lebih berat" Bagaimanapun,
bukan urusanku untuk menilainya. Tapi malam ini kau datang ke tempat terlarang,
dan kematianlah hukumannya. Ikan di kolam ini mesti kaubayar mahal." Gollum
menjatuhkan ikan di tangannya.
"Tidak mau ikan," katanya. "Masalahnya bukan ikannya," kata Faramir.
"Datang kemari dan memandang kolam pun akan dijatuhi hukuman mati. Aku
sudah mengecualikanmu atas permohonan Frodo, yang mengatakan setidaknya
kau patut menerima ucapan terima kasih darinya. Tapi kau juga harus memuaskan
aku. Siapa namamu" Dari mana asalmu" Dan ke mana kau akan pergi" Apa
urusanmu?" Halaman | 332 The Lord of The Rings "Kami tersesat," kata Gollum. "Tak ada nama, tak ada urusan, tak ada Yang
Berharga, tak ada apa-apa. Hanya kosong. Hanya lapar; ya, kami lapar. Beberapa
ikan kecil, ikan kecil kurus jelek, untuk makhluk malang, dan mereka bilang kami
harus mati. Mereka begitu bijak, begitu adil."
"Kami tidak begitu bijak," kata Faramir. "Kalau adil: ya barangkali, seadil
mungkin sesuai kebijakan kami memungkinkan. Lepaskan ikatannya, Frodo!"
Faramir mengambil pisau kecil dari ikat pinggangnya dan memberikannya pada
Frodo. Gollum, yang menyalah artikan isyarat itu, berteriak dan jatuh. "Nah,
Smeagol!" kata Frodo. "Kau harus mempercayaiku. Aku tidak akan
meninggalkanmu. Jawab sejujurnya, kalau kau bisa. Itu akan berakibat baik, bukan
merugikanmu." Ia memotong ikatan tali di pergelangan tangan dan kaki Gollum dan
mengangkatnya agar berdiri.
"Kemarilah!" kata Faramir. "Pandang aku! Kau tahu nama tempat ini"
Pernahkah kau ke sini sebelumnya?" Perlahan-lahan Gollum mengangkat
matanya, dan dengan enggan memandang ke dalam mata Faramir. Semua cahaya
lenyap dari mata Gollum. Untuk beberapa saat ia menatap pudar dan pucat ke
dalam mata jernih tegas manusia Gondor itu. Ada keheningan lama. Kemudian
Gollum menundukkan kepalanya dan menyusut turun, sampai ia berjongkok di
'tanah, menggigil. "Kami tidak tahu dan tidak ingin tahu," rengeknya. "Belum pernah ke sini; tidak
akan pernah ke sini lagi."
"Ada pintu-pintu dan jendela-jendela terkunci dalam pikiranmu, serta ruangruang
gelap di belakangnya," kata Faramir. "Tapi dalam hal ini aku menilaimu
bicara jujur. Syukurlah. Sumpah apa yang akan kau ikrarkan bahwa kau takkan
pernah kemari lagi, dan takkan pernah membawa makhluk hidup ke sini, baik
dengan kata ataupun petunjuk?"
"Majikan tahu," kata Gollum sambil melirik ke arah Frodo. "Ya, dia tahu. Kami
akan berjanji pada Majikan, kalau dia menyelamatkan kami. Kami berjanji demi
itu, ya." Ia merangkak ke kaki Frodo. "Selamatkan kami, Majikan baik!" ratapnya.
"Smeagol berjanji pada Kesayangan-nya, berjanji dengan setia. Tidak akan datang
lagi, tidak bicara, tidak akan! Tidak, sayangku, tidak!"
"Kau sudah puas?" kata Faramir.
"Ya," kata Frodo. "Setidaknya kau harus menerima janjinya, atau
menghukumnya. Tapi kau tidak akan memperoleh apa-apa lagi. Aku sudah berjanji
Dua Menara Halaman | 333 bahwa kalau dia datang kepadaku, dia tidak akan dilukai. Dan aku tak ingin
dianggap tak bisa dipercaya."
Faramir duduk merenung sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kau
kuserahkan pada majikanmu Frodo putra Drogo. Biar dia memberi pernyataan, apa
yang akan dilakukannya denganmu!"
"Tapi, Lord Faramir," kata Frodo sambil membungkuk, "kau belum
mengungkapkan kehendakmu mengenai aku, dan kalau itu belum diungkapkan,
aku tak bisa membuat rencana untuk diriku sendiri maupun para pendampingku.
Katamu kau akan memberikan penilaianmu pada pagi hari; tapi sekarang sudah
pagi." "Kalau begitu, aku akan menyatakannya," kata Faramir. "Tentang dirimu,
Frodo, sejauh ada di dalam kekuasaanku, kunyatakan kau bebas bergerak di
wilayah Gondor sampai ke perbatasan paling jauh; hanya saja kau dan siapa pun
yang ikut denganmu tidak dibenarkan datang ke tempat ini tanpa izin. Hukum ini
berlaku selama setahun dan satu hari, lalu berakhir, kecuali sebelum itu kau
datang ke Minas Tirith dan menghadap sendiri kepada penguasa kota itu. Maka aku akan
memohonnya untuk menyetujui tindakanku dan membuatnya berlaku seumur
hidup. Sementara itu, siapa pun yang kaulindungi akan berada di bawah
perlindunganku juga dan di bawah naungan Gondor. Sudah terjawabkah
pertanyaanmu?" Frodo membungkuk rendah.
"Sudah terjawab," katanya, "dan kutempatkan diriku dalam pelayanan
kepadamu, kalau itu cukup berharga bagi orang yang begitu agung dan terhormat
seperti dirimu." "Itu sangat berharga," kata Faramir. "Dan sekarang, apakah
menempatkan makhluk ini, Smeagol ini, di bawah perlindunganmu?"
kau "Aku akan melindungi Smeagol," kata Frodo. Sam mengeluh dengan keras;
bukan karena bosan dengan sopan santun itu. Di Shire masalah seperti itu bisa
lebih bertele-tele lagi penyelesaiannya.
"Kalau begitu, kukatakan padamu," kata Faramir pada Gollum, "kau dihukum
mati, tapi selama kau berjalan bersama Frodo, kau aman dari pihak kami. Tapi
kalau siapa pun dari Gondor menemukanmu tanpa Frodo, hukuman itu akan
dilaksanakan. Dan semoga kematianmu berlangsung lekas, di dalam maupun di
luar Gondor, kalau kau tidak melayaninya dengan baik. Sekarang jawablah aku: ke
mana kau akan pergi" Kau pemandunya, katanya. Ke mana kau akan
menuntunnya?" Gollum tidak menjawab. "Aku tak mau ini menjadi rahasia," kata
Halaman | 334 The Lord of The Rings Faramir. "Jawab aku, atau kutarik kembali penilaianku!" Gollum masih tidak
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjawab. "Aku akan menjawab untuknya," kata Frodo. "Dia membawaku ke Gerbang
Hitam, sesuai permintaanku; tapi jalan itu tak bisa dilewati."
"Tak ada pintu terbuka ke Negeri Tanpa Nama," kata Faramir. "Melihat itu,
kami menyimpang lalu melewati jalan Selatan," lanjut Frodo, "sebab katanya ada,
atau mungkin ada, jalan dekat Minas Ithil."
"Minas Morgul," kata Faramir. "Aku tidak tahu jelas," kata Frodo, "tapi jalan
itu mendaki naik ke pegunungan di sisi utara lembah, tempat kota lama berdiri. Jalan
itu naik ke sebuah celah tinggi, kemudian turun ke tempat yang ada di bawahnya."
"Kau tahu nama jalan itu?" kata Faramir. "Tidak," kata Frodo.
"Namanya Cirith Ungol." Gollum mendesis tajam dan mulai menggumam
sendiri. "Bukankah itu namanya?" kata Faramir kepadanya.
"Tidak!" kata Gollum, kemudian ia mendecit, seolah ada yang menusuknya.
"Ya, ya, kami pernah dengar nama itu. Tapi apa gunanya nama itu bagi kami"
Majikan bilang dia harus masuk. Jadi, kami harus mencoba suatu cara. Tak ada
jalan lain untuk dicoba, tidak."
"Tak ada jalan lain?" kata Faramir. "Bagaimana kau tahu" Dan siapa yang
menjelajahi semua perbatasan wilayah gelap itu?" ia menatap Gollum lama sekali,
sambil merenung. Akhirnya ia berbicara lagi.
"Bawa pergi makhluk ini, Anborn. Perlakukan dia dengan lembut, tapi awasi
dia. Dan kau, Smeagol, jangan berani terjun ke dalam jeram. Batu karang
bergerigi tajam di sini akan membunuhmu sebelum waktumu. Tinggalkan kami sekarang dan
bawalah ikanmu!" Anborn keluar, dan Gollum berjalan meringkuk di depannya. Tirai
di depan relung ditutup. "Frodo, menurutku kau sangat tidak bijak dalam hal ini," kata Faramir. "Kupikir
sebaiknya kau tidak pergi bersama makhluk itu. Dia jahat."
"Tidak, tidak sepenuhnya jahat," kata Frodo. "Mungkin tidak sepenuhnya," kata
Faramir, "tapi kejahatan melahapnya seperti pembusukan, dan kejahatan itu
semakin bertumbuh: Dia akan membawa kesulitan padamu. Kalau kau mau
berpisah dengannya, akan kuberi dia pengawalan dan jaminan keamanan, sampai
tempat mana pun di perbatasan Gondor yang disebutnya."
Dua Menara Halaman | 335 "Dia tidak akan mau menerimanya," kata Frodo. "Dia akan mengejarku seperti
yang sudah lama dilakukannya. Dan aku sudah sering berjanji akan melindunginya
dan pergi ke mana dia menuntunku. Kau tidak memintaku mengkhianati
kepercayaannya?" "Tidak," kata Faramir. "Tapi hatiku memintanya. Sebab menyarankan orang
untuk mengingkari janjinya rasanya tidak terlalu jahat daripada kalau kita
sendiri yang ingkar janji, terutama kalau kita melihat seorang kawan tanpa sadar terikat
pada sesuatu yang merugikannya. Tapi kalau dia akan pergi denganmu, kau harus
tabah bersamanya. Namun menurutku sebaiknya kau tidak ke Cirith Ungol, sebab
dia tahu lebih banyak daripada yang dia ceritakan padamu. Bisa kulihat itu
dengan jelas dalam pikirannya. Jangan pergi ke Cirith Ungol!"
"Kalau begitu, ke mana aku harus pergi?" kata Frodo. "Kembali ke Gerbang
Hitam dan menyerahkan diri pada pengawal" Apa yang kauketahui tentang
keburukan tempat ini, sampai-sampai namanya begitu mengerikan?"
"Aku tidak tahu pasti," kata Faramir. "Kami dari Gondor tak pernah lewat di
sebelah timur Jalan di masa kini, dan tak ada di antara kami kaum muda yang
pernah melakukan itu, juga tak ada yang pernah menginjak Pegunungan
BayangBayang. Tentang itu kami hanya tahu laporan lama dan desas-desus masa
lalu. Tapi ada teror gelap yang tinggal di jalan di atas Minas Morgul. Kalau Cirith
Ungol disebut-sebut, orang-orang tua dan ahli-ahli pengetahuan menjadi pucat dan diam.
"Lembah Minas Morgul sudah sejak lama beralih ke dalam kejahatan. Lembah
itu sudah menjadi ancaman dan sumber ketakutan ketika Musuh yang terusir masih
tinggal di tempat jauh, dan sebagian besar Ithilien masih dalam kekuasaan kami.
Seperti kauketahui, kota itu dulu sebuah tempat kuat, gagah, dan indah, Minas
Ithil, saudara kembar kota kami. Tapi dia diserobot orang-orang jahat yang dikuasai
Musuh pada tahap-tahap awal kekuatannya, dan yang mengembara tak
mempunyai rumah dan majikan setelah kejatuhannya. Katanya para penguasa
mereka adalah orang-orang Numenor yang jatuh ke dalam kejahatan gelap; pada
mereka Musuh memberikan cincin-cincin kekuatan, dan dia sudah melahap
mereka: mereka sudah menjadi hantu-hantu hidup, kejam, dan jahat. Setelah
kepergiannya, mereka mengambil Minas Ithil dan tinggal di sana, memenuhi
tempat itu serta seluruh lembah di sekitarnya dengan pembusukan; kelihatannya
tempat itu kosong, tapi sebenarnya tidak demikian, sebab ada ketakutan tanpa
bentuk hidup di tengah reruntuhan dindingnya. Ada sembilan penguasa di sana,
dan setelah mereka kembali ke majikan mereka, yang mereka bantu dan
persiapkan secara rahasia, mereka menjadi kuat kembali. Lalu Sembilan
Halaman | 336 The Lord of The Rings Penunggang muncul dari gerbang kengerian, dan kami tak bisa menahan mereka.
Jangan dekati benteng mereka. Kau akan terlihat oleh mata-mata. Tempat itu
penuh kekejian yang tak pernah tidur, dan mata yang tidak berkelopak. Jangan
pergi ke arah sana!"
"Tapi ke arah mana lagi kau akan menunjukkan jalan padaku?" kata Frodo.
"Katamu kau sendiri tak bisa menuntunku ke pegunungan, tidak juga untuk
melewatinya. Tapi melewati pegunungan aku harus pergi, demi menunaikan
perintah Dewan Penasihat, untuk mencari jalan atau tewas dalam pencarian. Dan
kalau aku kembali, menolak meneruskan sampai akhir, ke mana aku akan pergi di
antara Peri maupun Manusia" Apakah kau ingin aku pergi ke Gondor dengan
Benda ini, Benda yang membuat kakakmu gila karena hasratnya" Sihir apa yang
akan diteliarkannya di Minas Tirith" Akankah ada dua kota Minas Morgul, saling
menyeringai dari seberang daratan yang penuh kebusukan?"
"Aku tak ingin seperti itu," kata Faramir. "Kalau begitu, kau ingin aku
melakukan apa?" "Aku tidak tahu. Hanya saja aku tak ingin kau pergi menyongsong
kematian atau siksaan. Dan menurutku Mithrandir takkan memilih jalan yang ini."
"Tapi karena dia sudah pergi, aku terpaksa mengambil jalanku sendiri. Dan
aku tak punya banyak waktu untuk mencari," kata Frodo.
"Sungguh berat tugas ini, dan tanpa harapan," kata Faramir. "Tapi setidaknya
camkan peringatanku: waspadalah terhadap Smeagol ini. Dia sudah pernah
membunuh. Bisa kubaca itu dalam dirinya." Ia mengeluh.
"Well, sekarang kita mesti berpisah, Frodo putra Drogo. Kau tidak
membutuhkan kata-kata lembut: aku tak berharap bertemu lagi denganmu suatu
saat di bawah sinar Matahari. Tapi pergilah bersama restuku, untukmu dan semua
anak buahmu. Istirahatlah sebentar sementara makanan untukmu disiapkan."
"Aku ingin sekali tahu, bagaimana sampai Smeagol yang merangkak ini bisa
memiliki Benda yang kita bicarakan itu, dan bagaimana dia kehilangan Benda itu,
tapi aku takkan menanyakannya sekarang. Kalau ternyata kau kembali ke negeri
makhluk hidup suatu saat nanti, dan kita menceritakan kembali kisahkisah kita,
sambil duduk di tembok di bawah sinar matahari, menertawakan kesedihan lama,
saat itulah kau akan menceritakannya padaku. Untuk saat ini, hingga masa yang
tak bisa diramalkan oleh Batu Penglihatan dari Numenor, selamat berpisah!"
Ia bangkit berdiri dan membungkuk rendah pada Frodo, lalu menyibakkan tirai
dan keluar ke gua. Dua Menara Halaman | 337 Perjalanan Ke Persimpangan
Frodo dan Sam kembali ke tempat tidur mereka, dan berbaring sambil diam,
beristirahat sebentar, sementara orang-orang sibuk dan kegiatan hari itu
dimulai. Setelah beberapa saat, air disajikan, kemudian mereka dibawa ke sebuah meja, di
mana sudah dihidangkan makanan untuk tiga orang. Faramir membuka puasanya
bersama mereka. Ia tidak tidur sejak pertempuran sehari sebelumnya, tapi ia
tidak kelihatan letih. Selesai makan, mereka bangkit berdiri.
"Mudah-mudahan rasa lapar tidak mengganggu kalian dalam perjalanan," kata
Faramir. "Kalian hanya punya sedikit persediaan, tapi sudah kuperintahkan agar
kepada kalian dibawakan sedikit persediaan makanan yang pantas untuk
pengembara. Kalian tidak akan kekurangan air selama berjalan di Ithilien, tapi
jangan minum dari sungai yang mengalir dari Mad Morgul, Lembah Mayat Hidup.
Harus kuberitahukan juga bahwa semua pengintai dan pengawasku sudah
kembali, termasuk beberapa yang sudah memasuki jarak pandang dari Morannon.
Mereka semua menemukan hal aneh. Daratan itu kosong melompong. Tak ada
orang di jalan, tak ada bunyi langkah kaki, atau terompet, atau busur di mana
pun. Ada keheningan yang sedang mematangkan diri di atas . Negeri Tak Bernama itu.
Aku tidak tahu pertanda apakah ini. Tapi tak lama lagi sesuatu akan terjadi.
Badai akan datang. Bergegaslah sementara masih bisa! Kalau kalian sudah siap, mari
kita pergi. Matahari akan segera naik di atas bayangbayang."
Ransel para hobbit dikembalikan (sedikit lebih berat daripada sebelumnya),
juga dua tongkat kuat dari kayu yang digosok, diberi sepatu besi, dengan kepala
berukir yang dijalin kepangan tali kulit.
"Aku tak punya hadiah yang pantas untuk diberikan sebagai tanda perpisahan
kita," kata Faramir, "tapi ambillah tongkat-tongkat ini. Bisa berguna bagi
mereka yang berjalan atau mendaki di belantara. Orang-orang dari Pegunungan Putih
menggunakannya; meski yang ini sudah dipotong sesuai tinggi badan kalian dan
diberi sepatu baru. Tongkat ini terbuat dari potion indah lebethron, yang paling
disukai tukang-tukang kayu Gondor, dan mempunyai keajaiban untuk menemukan
dan kembali kepada pemiliknya.
Mudah-mudahan keajaiban itu tidak kalah di bawah pengaruh Bayang-Bayang
yang akan kalian datangi!" Kedua hobbit membungkuk rendah.
"Tuan rumah yang baik hati," kata Frodo, "Elrond sudah mengatakan padaku
bahwa aku akan menemukan persahabatan di jalan, rahasia dan tak terduga. Aku
Halaman | 338 The Lord of The Rings tak pernah berharap akan mendapatkan persahabatan seperti yang kautunjukkan.
Dengan menemukannya, kejahatan berubah menjadi kebaikan."
Sekarang mereka bersiap-siap berangkat. Gollum dibawa keluar dari sebuah
pojok atau lubang persembunyian, dan ia tampak lebih puas daripada sebelumnya,
meski ia tetap dekat-dekat Frodo dan menghindari tatapan Faramir.
"Pemandumu harus ditutup matanya," kata Faramir, "tapi kau dan pelayanmu
Samwise dibebaskan dari kewajiban itu, kalau kau mau." Gollum mendecit dan
menggeliat, dan memegang Frodo dengan erat, ketika mereka datang untuk
menutupi matanya. Frodo berkata, "Tutup mata kami bertiga, dan tutup mataku lebih dulu,
sehingga dia mengerti bahwa kalian tidak bermaksud jahat." Saran Frodo
dilaksanakan, dan mereka dituntun dari gua Henneth Annun.
Setelah melewati selasar-selasar dan tangga-tangga, mereka merasakan
hawa pagi yang sejuk, segar, dan manis, di sekeliling mereka. Masih dengan mata
ditutup, mereka berjalan terus untuk beberapa lama, naik-turun dengan lembut.
Akhirnya Faramir memerintahkan tutup mata mereka dilepas. Mereka sudah berdiri
di bawah dahan-dahan pohon lagi. Bunyi air terjun tidak terdengar lagi, karena
sekarang ada sebuah lereng panjang ke arah selatan, yang memisahkan mereka
dengan jurang tempat sungai mengalir. Ke arah Barat mereka bisa melihat cahaya
di antara pepohonan, seolah dunia berakhir tiba-tiba, di ujung yang hanya
memandang ke langit. "Di sini kita berpisah," kata Faramir. "Kalau kalian mengikuti saranku,
janganlah menyimpang ke timur dulu. Berjalan luruslah, dengan demikian kalian
akan dilindungi hutan sejauh beberapa mil. Di sebelah barat ada ujung yang
menurun tajam ke dalam lembah-lembah besar, kadang-kadang dengan mendadak
dan terjal, kadang-kadang sebagai sisi bukit yang memanjang. Tetaplah dekatdekat
ujung ini dan pinggiran hutan. Di awal perjalanan, kalian mungkin bisa
berjalan di siang hari. Daratan ini Cuma kelihatannya saja tenang, dan untuk
sementara semua kejahatan menghilang. Selamat jalan, mudah-mudahan!" Ia
memeluk kedua hobbit itu dengan gaya bangsanya, membungkuk dan meletakkan
kedua tangannya di pundak mereka, lalu mengecup dahi mereka.
"Pergilah dengan restu dari semua manusia yang baik!" katanya. Mereka
membungkuk sampai ke tanah. Lalu Faramir membalikkan badan dan mendekati
kedua pengawalnya yang berdiri agak jauh. Mereka kagum melihat kecepatan
gerak orang-orang berpakaian hijau itu, yang menghilang hampir dalam satu
Dua Menara Halaman | 339 kedipan mata. Hutan tempat Faramir tadi berdiri kelihatan kosong dan muram,
seolah sebuah mimpi sudah berlalu.
Frodo menarik napas panjang dan menghadap kembali ke selatan. Seolah
memamerkan ketidakpeduliannya atas semua sopan santun itu, Gollum mengaisngais
jamur di kaki pohon. "Sudah lapar lagi?" pikir Sam. "Hmm, sekarang mulai lagi!"
"Sudah pergi mereka?" kata Gollum. "Manusia jahat kejam! Leher Smeagol
masih sakit, ya sakit. Ayo kita pergi!"
"Ya, mari kita pergi," kata Frodo. "Tapi lebih baik kau diam, kalau kau hanya
bisa bicara jelek tentang mereka yang sudah menunjukkan belas kasihan padamu!"
"Majikan baik!" kata Gollum. "Smeagol hanya bercanda. Selalu memaafkan,
ya, ya, selalu memaafkan, bahkan tipuan-tipuan kecil Majikan. Oh ya, Majikan
baik, Smeagol baik!" Frodo dan Sam tidak menjawab. Sambil memasang ransel dan
mencekal tongkat mereka, kedua hobbit itu masuk ke dalam hutan Ithilien. Hari
itu mereka dua kali beristirahat dan makan sedikit dari perbekalan yang dibawakan
Faramir: buah-buah kering dan daging asin, cukup untuk beberapa hari; dan roti
yang cukup untuk bertahan selama masih segar. Gollum tidak makan apa-apa.
Matahari naik dan lewat di atas, tanpa terlihat, lalu mulai tenggelam; cahayanya
di antara pepohonan di barat menjadi keemasan; mereka selalu berjalan di bawah
bayangan hijau sejuk, di sekitar mereka sepi sekali.
Burung-burung entah sudah pergi atau sudah jadi bisu. Kegelapan datang
lebih awal ke hutan sepi itu, dan sebelum malam tiba mereka berhenti, letih
karena sudah berjalan tujuh league atau lebih dari Henneth Annun. Frodo berbaring tidur
sepanjang malam di kerumunan jamur tebal di bawah sebatang pohon tua. Sam
berbaring agak resah di sampingnya: ia sering bangun, tapi selalu tidak ada
tandatanda dari Gollum, yang segera pergi ketika yang lain hendak beristirahat.
Entah ia tidur sendirian di sebuah lubang di dekat situ, atau mengembara dengan gelisah
mencari mangsa sepanjang malam, ia tidak bilang; tapi ia kembali ketika cahaya
pertama pagi muncul, dan membangunkan kawan-kawannya.
"Harus bangun, ya harus bangun!" katanya. "Masih jauh perjalanan kita, ke
selatan dan timur. Hobbit harus buru-buru!"
Hari itu berlalu hampir seperti hari sebelumnya, kecuali bahwa keheningan
rasanya semakin dalam; udara menjadi berat, dan mulai terasa pengap di bawah
pepohonan. Guruh seolah sedang menggelegak. Gollum sering berhenti,
mengendus-endus udara, lalu menggerutu sendiri dan mendesak kedua hobbit
Halaman | 340 The Lord of The Rings untuk lebih cepat. Ketika tahap ketiga perjalanan hari itu semakin jauh dan
siang hari memudar, hutan itu membuka keluar, pohon-pohon semakin besar dan lebih
terceraiberai. Pohon-pohon ilex yang berdiameter sangat besar berdiri gelap dan
khidmat di tempat terbuka yang luas, diselingi pohon-pohon asli tua di sana-
sini; serta pohon ek raksasa yang baru saja mengeluarkan kuncup-kuncupnya yang
cokelat-hijau. Di sekitar mereka terhampar padang-padang panjang berumput
hijau, dengan bercak-bercak bunga celandine dan anemone putih dan biru, yang
sekarang terlipat untuk tidur; ada juga padang-padang yang dipenuhi dedaunan
hyacinth hutan: tangkai-tangkai bunganya yang ramping mendesak keluar dari
antara jamur. Tak ada makhluk hidup, hewan, atau burung, yang tampak, tapi di tempattempat
terbuka ini Gollum menjadi takut, dan kini mereka berjalan hati-hati,
melompat dari satu bayangan panjang ke bayangan lainnya. Cahaya dengan cepat
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memudar ketika mereka sampai di ujung hutan. Di sana mereka duduk di bawah
pohon ek tua yang berbonggol-bonggol, yang menjulurkan akar-akarnya bagai ular
menuruni tebing remuk yang curam.
Sebuah lembah dalam yang remang-remang terhampar di depan mereka. Di
sisi seberangnya hutan bergerombol lagi, biru dan kelabu di bawah senja yang
muram, membentang sampai ke selatan. Di sebelah kanan berkilauan
Pegunungan-Pegunungan Gondor, jauh di Barat, di bawah langit bebercak api. Di
sebelah kiri terhampar kegelapan: dinding-dinding Mordor yang menjulang tinggi;
dan lembah panjang itu muncul dari kegelapan, jatuh dengan curam ke dalam
palung yang semakin lebar, menuju Anduin.
Di dasarnya mengalir sungai deras: Frodo bisa mendengar gemuruhnya naik
mengatasi keheningan; di sampingnya, di sisi yang lebih dekat, sebuah jalan
menjulur ke bawah seperti pita pucat, masuk ke kabut dingin kelabu yang tidak
tersentuh sinar matahari sama sekali. Jauh di sana, seolah mengambang di atas
samudra yang remang-remang, Frodo serasa melihat puncak-puncak tinggi
menara-menara tua yang sepi dan gelap, tampak kabur dan pecah-pecah. Ia
berbicara pada Gollum. "Kau tahu di mana kita sekarang?" katanya. "Ya, Majikan. Tempat-tempat
berbahaya, Ini jalan dari Menara BuIan, Majikan, sampai ke reruntuhan kota dekat
pantai Sungai. Reruntuhan kota, ya, tempat yang busuk sekali, penuh musuh. Kita
seharusnya tidak mengikuti saran Manusia. Hobbit-hobbit sudah jauh menyimpang
dari jalan. Sekarang harus pergi ke timur, di atas sana."
Ia melambaikan tangannya yang kurus ke arah pegunungan yang gelap.
Dua Menara Halaman | 341 "Dan kita tak bisa memakai jalan ini. Oh tidak! Orang-orang kejam lewat sini,
turun dari Menara!" Frodo memandang jalan itu. Setidaknya saat mil tak ada yang bergerak di
sana. Kelihatannya kosong dan sepi, menjulur ke dalam puing-puing kosong dalam
kabut. Tapi ada perasaan jahat di udara, seolah ada sesuatu yang hilirmudik,
yang tidak tampak oleh mata. Frodo merinding lagi ketika memandang puncak-puncak
jauh yang sekarang menghilang ditelan malam, serta bunyi air yang kedengaran
dingin dan kejam: suara Morgulduin, sungai tercemar yang mengalir dari Lembah
Hantu. "Apa yang akan kita lakukan?" katanya. "Kita sudah berjalan jauh dan lama.
Apakah kita akan mencari tempat di hutan, untuk berbaring tersembunyi?"
"Tidak baik bersembunyi dalam gelap," kata Gollum. "Justru pagi hari
hobbithobbit harus bersembunyi, ya, pagi hari."
"Ah, yang benar!" kata Sam. "Kita perlu istirahat sebentar, meski kita akan
bangun lagi tengah malam. Masih cukup banyak waktu gelap, untukmu membawa
kami berjalan panjang, kalau kau tahu jalannya."
Dengan enggan Gollum menyetujuinya, lalu ia kembali ke pepohonan,
berjalan ke arah timur untuk beberapa saat, sepanjang pinggiran hutan yang
berjurai. Ia tak mau istirahat di tempat yang masih begitu dekat dengan jalan
jahat itu, dan setelah perdebatan kecil, mereka semua mendaki ke dalam kelangkang
sebatang pohon holm-oak besar; dengan dahan-dahannya yang tebal, yang
muncul bersamaan dari batangnya, pohon itu menyediakan tempat persembunyian
yang baik dan perlindungan yang cukup nyaman. Malam tiba, hari menjadi gelap
pekat di bawah atap pohon itu. Frodo dan Sam minum sedikit air dan makan sedikit
roti serta buah kering, tapi Gollum langsung meringkuk dan tidur. Kedua hobbit
tidak memejamkan mata. Sudah sedikit lewat tengah malam ketika Gollum bangun: tiba-tiba mereka
menyadari matanya yang pucat terbuka kelopaknya, dan berkilauan ke arah
mereka. Ia mendengarkan dan mengendus-endusbegitulah caranya untuk
mengetahui waktu. "Apa kita sudah cukup istirahat" Sudah tidur enak?" katanya. "Ayo pergi!"
"Kami belum cukup istirahat, dan tidak tidur," Sam menggeram. "Tapi aku
akan pergi kalau memang harus."
Halaman | 342 The Lord of The Rings Gollum segera melompat turun dari dahan pohon, mengambil posisi
merangkak; kedua hobbit mengikuti dengan lebih lambat. Setelah turun, mereka
berjalan lagi ke arah timur, dengan dipimpin Gollum, mendaki daratan yang
menanjak. Mereka hanya bisa melihat sedikit, karena malam sudah sangat larut
dan kelam, hingga mereka hampir-hampir tidak melihat batang-batang pohon
sampai mereka menabraknya.
Tanah menjadi lebih hancur dari berjalan menjadi lebih sulit, tapi rupanya
Gollum sama sekali tidak menemui kesulitan. Ia memimpin mereka melewati
belukar dan sisasisa semak; kadang-kadang mengitari bibir belahan yang dalam
atau sumur gelap, kadang-kadang turun ke cekungan yang diselubungi semaksemak
hitam dan keluar lagi; tapi selalu bila mereka turun sedikit, lereng
selanjutnya lebih panj ang dan lebih terj al. Mereka mendaki terus.
Pada perhentian pertama, mereka menoleh dan bisa melihat samar-samar
atap hutan yang mereka tinggalkan di belakang, terhampar bagai bayangan luas
pekat, malam yang lebih kelam di bawah langit gelap yang kosong. Tampaknya
ada suatu kehitaman besar naik perlahan-lahan dari Timur, melahap bintangbintang
yang bersinar lemah. Beberapa saat kemudian, bulan lolos dari awan yang
mengejar, tapi ia dikelilingi lingkaran sinar kuning yang pucat. Akhirnya Gollum
berbicara kepada para hobbit.
"Fajar segera datang," katanya. "Hobbit harus cepat-cepat. Tidak aman untuk
tetap di tempat terbuka di sini. Bergegaslah!"
Ia mempercepat langkahnya, dan mereka mengikutinya dengan lelah. Tak
lama kemudian, mereka mulai mendaki ke sebuah punggung daratan besar.
Sebagian besar tertutup tanaman gorse dan whortleberry yang tumbuh rapat,
dengan duri-duri panjang the, meski di sana-sini ada tempat terbuka, sisasisa
kebakaran yang belum lama.
Semak-semak gorse semakin banyak ketika mereka hampir sampai ke
puncak; sangat tua dan tinggi, kurus dan ramping di bagian bawah, tapi tebal di
atas, dan sudah mulai mengeluarkan bunga-bunga kuning yang berkilauan dalam
kegelapan dan mengeluarkan bau wangi lembut. Begitu tinggi semak-semak kurus
itu, sehingga kedua hobbit bisa berjalan tegak di bawahnya, melewati jalur jalur
panjang kering yang dilapisi jamur tebal menusuk-nusuk.
Di ujung terjauh punggung bukit lebar ini mereka berhenti berjalan, dan
merangkak untuk bersembunyi di bawah jalinan duri yang kusut. Dahandahannya
yang terpilin, membungkuk sampai ke tanah, ditutupi jaringan briar yang tumbuh
Dua Menara Halaman | 343 merayap simpang siur. Jauh di dalam ada ruang kosong, dengan cabang-cabang
mati dan belukar beratapkan dedaunan dan tunas-tunas pertama musim semi.
Di sana mereka berbaring sebentar, masih terlalu letih untuk makan; mereka
mengintip keluar dari lubang-lubang di persembunyian, mengamati hari merekah
dengan lambat. Tapi tak ada cahaya muncul, kecuali senja yang cokelat mati. Di
Timur ada sinar merah redup di bawah awan yang merendah: bukan merahnya
matahari terbit. Di seberang daratan yang membentang tak beraturan, pegunungan Ephel
Duath memandangi mereka dengan angker, hitam tak berbentuk, dan di bawahnya
malam masih tebal menggantung, tak mau beranjak, di atasnya puncak-puncak
dan pinggiran bergerigi tergelar keras mengancam di depan nyala merah yang
garang. Di sebelah kanan mereka, salah satu pundak pegunungan besar mencuat,
gelap dan hitam di antara bayangan-bayangan, mendesak ke barat.
"Ke arah mana kita pergi dari sini?" tanya Frodo. "Apakah yang di sana itu
bukaan dari Lembah Morgul, di sana di seberang kegelapan itu?"
"Apa kita sudah perlu memikirkan itu?" kata Sam. "Kita kan tidak akan berjalan
lagi hari ini, kalau ini memang sudah pagi?"
"Mungkin tidak, mungkin tidak," kata Gollum. "Tapi kita harus segera pergi ke
Persimpangan Jalan. Ya, ke Persimpangan Jalan. Itu jaIan yang di sana, ya,
Majikan." Nyala merah di atas Mordor meredup. Senja semakin gelap ketika asap-asap
besar naik di Timur, dan merangkak di atas mereka. Frodo dan Sam makan sedikit,
kemudian berbaring, tapi Gollum resah. Ia tidak mau makan makanan mereka, tapi
ia minum sedikit, kemudian merangkak kian kemari di bawah semak-semak, sambil
mendengus dan menggerutu. Mendadak ia menghilang.
"Pergi berburu, kukira," kata Sam sambil menguap.
Gilirannya untuk tidur lebih dulu, dan segera ia lelap bermimpi. Ia menyangka
sudah berada di Bag End lagi, mencari sesuatu; tapi di punggungnya ada ransel
berat sekali, yang membuatnya terbungkuk. Semua kelihatan penuh rumput dan
busuk, duri-duri serta pakis menyusup ke dalam kelompok tanaman di pagar paling
bawah. "Aku tahu itu tugas untukku, tapi aku lelah sekali," ia berkata terus-menerus.
Akhirnya ia ingat apa yang dicarinya.
"Pipaku!" katanya, dan dengan kata itu ia terbangun.
Halaman | 344 The Lord of The Rings "Bodoh!" ia berkata pada dirinya sendiri ketika ia membuka mata, dan heran
mengapa ia berbaring di bawah pagar. "Ada di dalam ranselmu selama ini!"
Lalu ia menyadari, pertama, pipanya mungkin ada di ranselnya, tapi ia tak
punya tembakau, dan kedua, ia jauh sekali dari Bag End. Ia bangkit duduk.
Tampaknya hampir gelap. Mengapa majikannya membiarkan ia tidur melebihi
gilirannya, sampai malam sudah tiba"
"Kau tidak tidur, Mr. Frodo?" katanya. "Jam berapa sekarang" Rupanya sudah
malam!" "Tidak," kata Frodo. "Tapi hari semakin gelap, bukan makin terang: semakin
gelap dan semakin gelap. Setahuku sekarang belum tengah hari, dan kau hanya
tidur sekitar tiga jam."
"Aku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi," kata Sam. "Apakah akan ada
badai" Kalau benar, pasti akan dahsyat sekali. Kita akan berharap ada di dalam
lubang dalam, bukan hanya terjebak di bawah semak."
Ia memasang telinga. "Apa itu" Petir, atau genderang, atau apa?" "Aku tidak
tahu," kata Frodo. "Sudah agak lama berlangsung. Kadang-kadang tanah seolah
bergetar, kadang-kadang seperti udara berat berdenyut di dalam telingamu."
Sam melihat sekeliling. "Ke mana Gollum?" katanya. "Apa dia belum kembali?"
"Belum," kata Frodo. "Tidak ada tanda-tanda atau bunyi darinya."
"Well, aku benci dia," kata Sam. "Takkan kusesali kalau dia hilang. Memang
khas dia, setelah berjalan sejauh ini, pergi dan hilang justru sekarang, ketika
sedang sangat dibutuhkan itu pun kalau dia bisa bermanfaat."
"Kau lupa Rawa-Rawa," kata Frodo. "Kuharap tidak terjadi apa-apa
dengannya." "Dan kuharap dia tidak berniat melakukan tipu muslihat. Bagaimanapun,
mudah-mudahan dia tidak jatuh ke tangan pihak lain, seperti istilahmu. Sebab
kalau dia sampai tertangkap, kita bakal dapat kesulitan."
Saat itu bunyi menderum dan menggelegar terdengar lagi, lebih keras dan
lebih dalam. Tanah terasa bergetar di bawah kaki mereka.
"Kurasa kita sudah dalam kesulitan sekarang," kata Frodo. "Aku khawatir
perjalanan kita sudah mendekati akhirnya."
Dua Menara Halaman | 345 "Mungkin," kata Sam, "tapi selama masih ada kehidupan, berarti masih ada
harapan, begitu Gaffer biasa berkata; dan masih perlu makanan, biasanya dia
menambahkan. Kau makan sedikit, Mr. Frodo, lalu tidur sebentar."
Siang hari itu kalau bisa disebut siang sesuai dugaan Sam berlanjut terus.
Ketika melongok ke luar, ia hanya bisa melihat dunia cokelatkelabu, tanpa
bayangbayang, meredup perlahan ke dalam keremangan tak berbentuk dan berwarna.
Terasa mencekik, namun tidak hangat. Frodo tidur gelisah sekali, bergulak-gulik
dan membalikkan badan, kadang-kadang menggumam.
Dua kali Sam merasa mendengar ia menyebut nama Gandalf. Waktu berlalu
sangat lamban. Mendadak Sam mendengar bunyi desis di belakangnya, dan
Gollum muncul dengan merangkak, memandang mereka dengan mata bersinar.
"Bangun, bangun! Bangun, penidur-penidur!" bisiknya. "Bangun! Tak boleh
menyia-nyiakan waktu. Kita harus pergi, ya, kita harus segera pergi. Tak boleh
menyia-nyiakan waktu."
Sam menatapnya curiga: Gollum kelihatan ketakutan atau bergairah.
"Pergi sekarang" Apakah ini tipu muslihatmu" Sekarang belum waktunya
pergi. Bahkan belum waktu untuk minum the, setidaknya tidak di tempat beradab,
di mana ada saat untuk minum the."
"Bodoh!" desis Gollum. "Kita tidak berada di tempat beradab. Waktu sudah
sangat mendesak, ya, mendesak sekali. Tak bisa membuang-buang waktu. Kita
harus pergi. Bangun, Majikan, bangun!" ia mencakar Frodo; Frodo, terbangun
kaget, mendadak duduk dan memegang tangannya. Gollum melepaskan diri dan
mundur. "Mereka jangan sampai bodoh," desisnya. "Kita harus pergi. Tak boleh buangbuang
waktu!" Dan mereka tak bisa membuatnya mengungkapkan lebih banyak. Ke mana ia
sudah pergi, dan apa yang dipikirkannya akan terjadi, sampai ia tergesa-gesa
begitu, Gollum tak mau mengungkapkan. Sam curiga, dan menunjukkannya; tapi
Frodo tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Ia mengeluh, mengangkat ranselnya, dan bersiap-siap pergi ke kegelapan
yang semakin pekat. Diam-diam Gollum menuntun mereka menuruni sisi bukit,
berusaha tetap terlindung sebisa mungkin, dan berlari, hampir membungkuk
sampai ke tanah, melintasi tempat-tempat terbuka; tapi kini cahaya begitu redup,
sampai-sampai mata tajam hewan liar pun hampir tak bisa melihat para hobbit
Halaman | 346 The Lord of The Rings yang berkerudung dan berjubah kelabu gelap, juga tak bisa mendengar mereka
berjalan sehati-hati mungkin. Tanpa derakan ranting maupun desiran daun, mereka
lewat dan menghilang. Selama sekitar satu jam mereka berjalan terus, tanpa suara, dalam barisan
satu-satu, tertekan oleh kemuraman dan keheningan sempurna daratan itu, yang
hanya sesekali dipecah oleh gemuruh petir lemah yang jauh, atau bunyi genderang
di suatu lembah bukit. Mereka berjalan turun dari tempat persembunyian tadi,
kemudian membelok ke selatan, berjalan dalam arah selurus yang bisa ditemukan
Gollum, melintasi sebuah lereng panjang yang hancur, yang bersandar pada
pegunungan. Tak lama kemudian, tidak jauh di depan, mereka melihat sekelompok pohon
yang menjulang bagai dinding hitam. Ketika mereka mendekat, mereka menyadari
pohon-pohon itu besar sekali, sudah sangat tua rupanya, dan masih menjulang
tinggi, meski puncakpuncaknya kurus kering dan patah, seolah telah tersapu badai
dan halilintar, namun tak bisa dibunuh atau digoyahkan akar-akarnya yang dalam.
"Persimpangan Jalan, ya," bisik Gollum, kata-kata pertama yang diucapkannya
sejak mereka meninggalkan tempat persembunyian mereka. "Kita
harus pergi ke sana."
Sambil mengarah ke timur, ia memimpin mereka mendaki lereng; tiba-tiba di
depan mereka tampak Jalan ke Selatan, menjulur sepanjang kaki paling luar
pegunungan, sampai akhirnya masuk ke dalam lingkaran besar pepohonan.
"Ini satu-satunya jalan," bisik Gollum. "Tak ada jalan di luar jalan ini. Tak
ada jalan. Kita harus pergi ke Persimpangan Jalan. Tapi cepatlah! Dan diamlah!"
Dengan sembunyi-sembunyi, seperti pengintai di tengah perkemahan musuh,
mereka merangkak ke jalan, dan diam-diam menyusuri pinggir baratnya di bawah
tebing berbatu, kelabu seperti bebatuan itu sendiri, dan berkaki lembut seperti
kucing yang sedang berburu. Akhirnya mereka sampai di pepohonan, dan
menyadari mereka berdiri di dalam lingkaran besar tanpa atap, terbuka di tengah,
ke langit yang muram; ruangan di antara batang-batang raksasa itu tampak seperti
lengkungan besar yang gelap dari suatu balairung yang sudah hancur.
Di tengah-tengah, empat jalan bertemu. Di belakang mereka terletak jalan ke
Morannon; di depan mereka, jalan itu keluar lagi dalam perjalanannya yang
panjang ke selatan; di sebelah kanan mereka, jalan dari Osgiliath datang mendaki
dan melintas, menghilang di timur, ke dalam kegelapan: yang keempat, jalan yang
Dua Menara Halaman | 347 akan mereka tempuh. Ketika berdiri di sana sambil dipenuhi kengerian, Frodo
melihat seberkas cahaya; berkilauan pada wajah Sam di sampingnya.
Ia menoleh ke arah itu, dan melihat di luar suatu lengkungan dahan-dahan,
jalan ke Osgiliath menjulur hampir lurus seperti pita terentang, terus, terus
sampai ke Barat. Nun jauh di sana, di luar Gondor yang sedih, yang sekarang tersaput
bayangbayang, Matahari sedang tenggelam, menuju tepi awan-awan besar yang
berarak pelan, dan jatuh sebagai api benderang ke Samudra yang masih belum
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternoda. Sejenak cahayanya jatuh di atas sebuah sosok besar yang sedang duduk,
diam dan khidmat seperti raja-raja batu besar dari Argonath.
Perjalanan tahun telah mengikisnya, dan tangan-tangan kasar sudah
merusaknya. Kepalanya hilang, dan sebagai gantinya sebongkah batu yang
dipahat kasar diletakkan di sana untuk mencemooh, dicat oleh tangan-tangan liar
untuk menyerupai wajah menyeringai dengan satu mata besar merah di tengah
dahinya. Di atas lututnya dan kursinya yang sangat besar, dan di sekitar dasar
patung, terdapat cakaran iseng bercampur dengan lambang-lambang jahat yang
biasa digunakan bangsa maggot dari Mordor. Mendadak, karena kena jalur-jalur
cahaya matahari yang mendatar, Frodo melihat kepala raja tua itu: menggeletak di
pinggir jalan. "Lihat, Sam!" serunya kaget. "Lihat! Raja itu sudah kembali bermahkota!"
Mata patung itu cekung, dan janggutnya yang diukir sudah pecah, tapi di
sekitar dahinya yang tinggi dan keras ada mahkota dari perak dan emas. Sebuah
tanaman rambat dengan bunga-bunga seperti bintang-bintang putih kecil telah
membentuk jalinan di dahinya, seolah menghormati raja yang telah jatuh itu, dan
di celah-celah rambutnya yang keras tampak kemilau bunga stonecrop kuning.
"Mereka tak bisa selamanya menaklukkan!" kata Frodo. Lalu mendadak
kilasan sekejap itu hilang. Matahari turun dan lenyap, dan seolah lampu
dipadamkan; malam hitam pun menjelang.
Halaman | 348 The Lord of The Rings Tangga Cirith Ungol Gollum menarik-narik jubah Frodo, dan mendesis takut bercampur tak sabar.
"Kita harus pergi," katanya. "Jangan berdiri di sini. Cepatlah!"
Dengan enggan Frodo membelakangi Barat, mengikuti pemandunya yang
menuntunnya keluar, ke Timur yang gelap. Mereka meninggalkan lingkaran
pepohonan, dan merangkak menyusuri jalan menuju pegunungan. Jalan ini juga
menjulur lurus untuk beberapa saat, tapi lalu mulai membelok ke selatan, sampai
tiba tepat di bawah pundak besar batu karang yang sudah mereka lihat dari jauh.
Hitam dan menakutkan ia menjulang di atas mereka, lebih gelap daripada langit
gelap di belakangnya. Jalan itu merangkak terus di bawah bayangannya, dan sambil melingkarinya
jalan itu menjulur ke timur lagi, mulai mendaki dengan terjal. Frodo dan Sam
berjalan terus dengan berat hati, tak lagi mampu memedulikan bahaya besar yang
mengancam mereka. Kepala Frodo tertunduk menanggung beban berat. Begitu
Persimpangan Jalan dilewati, bobotnya yang hampir terlupakan ketika masih di
Ithilien mulai semakin berat lagi.
Kini, merasa jalan yang ditapakinya semakin terjal, ia memandang ke atas
dengan letih; kemudian ia melihatnya, seperti sudah dikatakan Gollum: kota para
Hantu Cincin. Ia gemetaran di tebing berbatu itu. Suatu lembah panjang
bergelombang, teluk gelap yang besar, menghampar jauh ke dalam pegunungan.
Di sisi terjauh, agak masuk ke lengan lembah, tinggi di atas tempat duduk batu
karang, di atas lutut hitam Ephel Duath, berdiri dinding dan menara Minas
Morgul. Semua gelap di sekitarnya, bumi dan langit, tapi menara itu sendiri disinari
cahaya. Bukan cahaya bulan terkungkung yang naik melalui dindingdinding pualam Minas
Ithil zaman dahulu, Menara Bulan yang indah dan bersinar di cekungan bukit.
Cahaya yang sekarang terlihat lebih pucat daripada bulan yang merana dalam
gerhana lamban, berpendar bimbang seperti napas dari pembusukan yang berbau
tak sedap, cahaya mayat, cahaya yang tidak menyinari apa pun. Di dinding dan
menara tampak jendela jendela, seperti lubang-lubang hitam tak terhitung
banyaknya, memandang ke dalam kekosongan; tapi puncak menara paling atas
berputar perlahan ke satu arah, kemudian ke arah lainnya, seperti hantu besar
mengintai ke dalam gelapnya malam. Untuk beberapa saat, ketiga pengembara
berdiri di sana, ketakutan, memandang ke atas dengan mata enggan. Gollum yang
pertama-tama tersadar. Dua Menara Halaman | 349 Ia menarik-narik jubah mereka lagi, tapi tidak berbicara. Ia hampir-hampir
menyeret mereka maju. Setiap langkah dilakukan dengann enggan, dan waktu
seolah melambatkan kecepatan, sehingga antara mengangkat kaki dan
meletakkannya kembali terasa seperti bermenit-menit penuh keengganan.
Demikianlah, mereka sampai dengan perlahan ke jembatan putih.
Di sini jalanannya berkilauan samar-samar, melewati sungai di tengah lembah,
membelok berliku-liku menuju gerbang kota: sebuah mulut hitam menganga di
lingkaran luar dinding utara. Di kedua tebing terletak dataran luas,
padangpadang gelap dipenuhi bunga-bunga putih pucat. Padang-padang ini juga bersinar, indah
namun mengerikan, seperti wujud-wujud gila dalam mimpi buruk; samar-samar
mereka mengeluarkan bau rumah mayat yang memuakkan; bau busuk memenuhi
udara. Jembatan terbentang dari padang ke padang. Patung-patung menghiasi
ujungnya, diukir dengan terampil menyerupai bentuk manusia dan hewan, namun
semuanya rusak dan menjijikkan. Sungai yang mengalir di bawahnya tampak diam
dan beruap, tapi uap yang naik, menggulung, dan berputar-putar di sekitar
jembatan itu terasa dingin. Frodo merasa pusing, pikirannya berat. Tiba-tiba,
seolah digerakkan oleh suatu kekuatan di luar dirinya, ia mulai berjalan cepat,
terhuyunghuyung ke depan, tangannya menggapai-gapai terjulur, kepalanya
berputar dari satu sisi ke sisi lain.
Sam dan Gollum berlari mengejarnya. Sam menangkap majikannya dalam
pelukannya, ketika Frodo tersandung hampir jatuh, tepat di ambang jembatan.
"Jangan ke sana! Tidak, jangan ke sana!" bisik Gollum, napas yang mendesis
di antara giginya seolah merobek kesepian yang berat itu, seperti desing peluit,
dan ia gemetar ketakutan di tanah.
"Tabah, Mr. Frodo!" gerutu Sam ke telinga Frodo. "Kembali! Jangan lewat
jalan itu. Kata Gollum jangan, dan kali ini aku setuju dengannya."
Frodo menyeka dahi dan mengalihkan pandang dari kota di bukit. Menara
yang bersinar itu memukaunya, dan ia menahan hasrat yang timbul dalam dirinya
untuk berlari lewat jalan bersinar menuju gerbang. Akhirnya dengan susah payah
ia membalikkan badan. Namun ia merasa Cincin itu melawannya, menarik kalung
yang menggantung di lehernya; dan matanya, ketika dipalingkan, juga sejenak
seperti buta. Kegelapan di depannya seakan tak tertembus. Gollum yang
merangkak di tanah seperti hewan ketakutan, sudah menghilang dalam
keremangan. Halaman | 350 The Lord of The Rings Sam yang menopang dan menuntun majikannya yang terhuyung-huyung,
mengikutinya secepat mungkin. Tak jauh dari tebing sungai terdekat ada celah di
tembok batu di samping jalan. Mereka masuk melalui lubang itu, dan tiba di
sebuah jalan sempit yang mulanya bersinar redup, seperti jalan utama, tapi setelah
mulai mendaki di atas padang bungabunga mematikan, jalan itu memudar dan menjadi
gelap, berliku-liku sampai ke sisi utara lembah. Kedua hobbit menyusuri jalan
ini berdampingan, tak bisa melihat Gollum di depan mereka, kecuali ketika ia menoleh
untuk memanggil mereka maju terus.
Saat itu matanya bersinar dengan cahaya hijaukeputihan, mungkin
mencerminkan kilauan Morgul yang tak sedap, atau dikobarkan oleh suasana
hatinya yang menjawab panggilan Morgul. Sam dan Frodo selalu menyadari
kilauan mematikan serta lubang-lubang mata yang gelap itu, yang membuat
mereka selalu menoleh ketakutan, hingga mereka segera mengalihkan mata, untuk
menemukan kembali jalan yang semakin gelap. Dengan lambat dan susah payah
mereka maju terus. Ketika sudah melewati bau busuk dan uap sungai beracun itu,
napas mereka semakin ringan dan kepala semakin jernih; tapi sekarang tubuh
mereka letih sekali, seolah mereka sudah berjalan sepanjang malam membawa
beban, atau berenang melawan arus air yang berat. Akhirnya mereka tak bisa
berjalan lebih jauh lagi tanpa berhenti dulu sejenak. Frodo berhenti, dan duduk
di atas batu. Mereka sekarang sudah mendaki sampai ke puncak sebongkah besar batu
karang gundul. Di depan mereka ada teluk di sisi lembah; melingkari teluk ini,
jalanan itu terus terjulur, hanya berupa bidang datar lebar dengan jurang di
sebelah kanan; di seberang wajah selatan pegunungan yang curam ia mendaki naik,
sampai menghilang dalam kegelapan di atas.
"Aku perlu istirahat sebentar, Sam," bisik Frodo. "Berat sekali, Sam anakku,
berat sekali. Entah seberapa jauh aku bisa membawa benda ini" Bagaimanapun,
aku harus istirahat sebelum kita memberanikan diri ke sana."
Ia menunjuk ke jalan sempit di depan.
"Ssst! Ssst!" desis Gollum yang bergegas kembali pada mereka. "Ssst!" ia
menaruh jari di bibimya dan menggelengkan kepala kuat-kuat. Sambil menariknarik
lengan baju Frodo, ia menunjuk ke arah jalan itu; tapi Frodo tak mau
bergerak. "Belum," katanya, "belum."
Dua Menara Halaman | 351 Keletihan, dan lebih dari sekadar keletihan, terasa menekannya; seolah suatu
sihir berat sudah menimpa pikiran dan tubuhnya.
"Aku harus istirahat," gumamnya.
Mendengar ini, ketakutan dan kecemasan Gollum semakin bertambah, hingga
ia berbicara lagi, mendesis di belakang tangannya, seolah menahan suaranya dari
pendengar-pendengar yang tidak tampak di udara.
"Jangan di sini, tidak. Jangan istirahat di sini. Bodoh! Mata bisa melihat kita.
Kalau mereka sampai ke jembatan, mereka akan melihat kita. Menyingkir dari sini!
Naik, naik! Ayo!" "Ayo, Mr. Frodo," kata Sam. "Dia benar. Kita tak bisa tetap di sini."
"Baiklah," kata Frodo dengan suara lemah, seperti setengah tertidur. "Akan
kucoba." Dengan susah payah ia berdiri. Tapi sudah terlambat. Saat itu batu karang di
bawah mereka bergetar dan bergoyang. Bunyi keras menderum, lebih keras
daripada sebelumnya, menggelegar di dalam tanah dan bergema di pegunungan.
Lalu dengan ketajaman mendadak muncul sebuah kilatan merah besar. Jauh di
luar pegunungan timur ia melompat ke langit, dan memercikkan warna merah ke
awan-awan yang merendah. Di lembah bayangan dan cahaya dingin mematikan, kilatan itu tampak luar
biasa liar dan garang. Puncak-puncak batu dan punggung gunung melompat berdiri
bagi pisau tertakik, hitam tajam di depan kobaran api yang naik di Gorgoroth.
Lalu bunyi petir menggelegar. Dan Minas Morgul menjawab. Ada kobaran halilintar
tajam: cabang-cabang nyala biru meloncat dari menara dan dari bukit-bukit yang
mengepung, naik ke awan-awan yang muram. Bumi mengerang, dan dari kota
terdengar bunyi teriakan.
Berbaur dengan suara-suara parau melengking seperti burung pemangsa,
serta ringkikan kuda yang liar karena ketakutan dan kemarahan, terdengar
teriakan mengoyak, bergetar, naik dengan cepat menjadi nada tajam menusuk di luar batas
pendengaran. Kedua hobbit berputar-putar, melemparkan diri sambil menutup
telinga dengan tangan. Ketika teriakan mengerikan itu berakhir, mereda menjadi
suatu ratapan memuakkan yang berangsur diam, Frodo perlahan-lahan
mengangkat kepala. Di seberang lembah sempit, hampir sejajar dengan matanya, berdiri tembok
kota jahat itu, gerbangnya yang besar dibentuk menyerupai mulut menganga
Halaman | 352 The Lord of The Rings dengan gigi-gigi mengilap. Gerbang itu sudah terbuka lebar, dan dari dalamnya
keluar sepasukan tentara. Seluruh pasukan itu berpakaian hitam, gelap seperti
malam. Di depan tembok-tembok pudar dan ubin-ubin jalan yang mengilap Frodo
bisa melihat mereka, sosok-sosok hitam kecil baris demi baris, berjalan cepat
dan diam, keluar dalam aliran tanpa henti.
Di depan mereka adalah pasukan kavaleri penunggang kuda yang bergerak
seperti bayangan yang teratur, di ujungnya ada satu yang lebih besar: seorang
Penunggang, hitam seluruhnya, di kepalanya yang berkerudung ia memakai topi
baja seperti mahkota yang bersinar dengan cahaya mengancam. Sekarang ia
sudah mendekati jembatan di bawah, dan mata Frodo mengikutinya, tak mampu
berkedip atau melepaskan pandangan.
Bukankah itu pimpinan Sembilan Penunggang yang kembali ke bumi untuk
memimpin pasukan mengerikan itu ke pertempuran" Ya, dialah raja Hantu yang
tangannya telah menikamkan pisau mematikan kepada sang Penyandang Cincin.
Luka lama itu berdenyut sakit, dan rasa dingin membekukan menyebar ke jantung
Frodo. Tepat saat pikiran-pikiran itu menusuknya dengan ketakutan dan
menahannya hingga ia bagai tersihir, Penunggang itu mendadak berhenti, tepat di
ambang jembatan, dan di belakangnya seluruh pasukan ikut berhenti. Ada
keheningan yang sangat tajam.
Mungkin Cincin yang memanggil pimpinan Hantu itu, dan untuk beberapa saat
ia terganggu, merasakan kekuatan lain di lembah itu. Kepala gelap bertopi baja
dan bermahkotakan ketakutan itu berputar ke sana kemari, menyapu kegelapan
dengan matanya yan.g tidak terlihat. Frodo menunggu, tak mampu bergerak,
seperti burung didekati ular. Saat menunggu, ia merasa diperintahkan untuk
memakai Cincin itu. Namun ia tak mau menyerah. Ia tahu Cincin itu akan
mengkhianatinya, dan meski memakainya, ia belum punya kekuatan untuk
menghadapi raja Morgul itu belum.
Atas perintah itu, ia tak lagi bisa menjawabnya atas kehendak sendiri, meski ia
begitu ketakutan. Ia hanya merasa dipengaruhi oleh suatu kekuatan besar dari
luar. Kekuatan itu mengambil tangannya, dan ketika Frodo memperhatikan dengan
pikirannya tidak menghendaki, tapi juga sangat tegang, seperti menyaksikan
cerita lama yang sudah berlalu kekuatan itu menggerakkan tangannya inci demi inci
menuju rantai di lehernya. Lalu tekadnya bangkit; perlahan-lahan ia memaksa
tangannya kembali dan menyuruhnya menemukan benda lain, sebuah benda yang
tersembunyi dekat dadanya.
Dua Menara Halaman | 353 Rasanya dingin dan keras ketika ia mencengkeramnya: bejana dari Galadriel
yang sudah lama disimpannya, hampir terlupakan sampai detik itu. Ketika ia
menyentuhnya, untuk beberapa saat semua pikiran tentang Cincin itu terusir dari
benaknya. Ia mengeluh dan menundukkan kepala. Saat itu si raja Hantu
membalikkan badan dan memacu kudanya, melaju melewati jembatan, diikuti
seluruh pasukannya yang gelap. Mungkin kerudung Peri itu menipu matanya yang
tak terlihat, dan pikiran musuhnya yang kecil, yang telah diperkuat, mengalihkan
pikirannya. Tapi ia sedang terburu-buru. Saatnya sudah tiba, dan ia harus pergi
ke peperangan di Barat, mengikuti perintah Majikan-nya. Segera ia lewat, seperti
bayang-bayang masuk ke dalam bayangan, melewati jalan berliku-liku, di
belakangnya barisan-barisan hitam masih menyeberangi jembatan. Sejak zaman
Isildur; belum pernah pasukan sedemikian besar keluar dari lembah itu; belum
pernah ada pasukan yang begitu jahat dan kuat persenjataannya menyerang
arungan Anduin; tapi itu baru satu pasukan, dan bukan pasukan terbesar yang
sekarang dikirimkan Mordor.
Frodo tersentak. Tiba-tiba ia teringat Faramir.
"Badai sudah meledak," pikirnya. "Gabungan besar tombak dan pedang akan
pergi ke Osgiliath. Akankah Faramir melintas tepat waktu" Dia sudah menduga,
tapi tahukah dia waktunya yang tepat" Siapa yang bisa mempertahankan arungan
kalau Raja Sembilan Penunggang sudah datang" Dan pasukan lain juga akan
datang. Aku terlambat. Semuanya gagal. Aku terlalu berlama-lama di jalan.
Semuanya gagal. Bahkan kalau tugasku sudah terlaksana, takkan ada yang tahu.
Takkan ada siapa pun yang bisa kuberitahu. Akan sia-sia saja."
Ia meratap kelelahan. Dan pasukan Morgul masih melintasi jembatan. Lalu di
kejauhan, seolah datang dari kenangan tentang Shire pada suatu pagi cerah,
ketika hari baru dimulai dan pintu-pintu dibuka, ia mendengar suara Sam
berbicara. "Bangun, Mr. Frodo! Bangun!"
Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seandainya suara itu menambahkan, "Sarapanmu sudah siap," ia tidak akan
kaget. Suara Sam terdengar sangat mendesak.
"Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi," katanya.
Ada bunyi dentingan teredam. Gerbang Minas Morgul sudah ditutup. Barisan
tombak terakhir sudah lenyap. Menara itu masih menyeringai dari seberang
lembah, tapi cahaya di dalamnya sudah meredup. Seluruh kota kembali ke
keremangan yang gelap, dan keheningan. Namun masih tetap dipenuhi
kewaspadaan. Halaman | 354 The Lord of The Rings "Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi, dan sebaiknya kita juga pergi. Masih
ada yang hidup di tempat itu, sesuatu yang bermata, atau pikiran yang bisa
melihat; semakin lama kita tetap di satu tempat, semakin cepat dia akan
menemukan kita. Ayo, Mr. Frodo!"
Frodo mengangkat kepala, kemudian berdiri. Keputusasaan belum
meninggalkannya, tapi kelemahan itu sudah berlalu. Ia bahkan tersenyum muram,
perasaannya kini begitu bertolak belakang dengan beberapa saat sebelumnya. Apa
yang perlu ia lakukan, harus ia lakukan, kalau bisa. Tidak penting apakah
Faramir, Aragorn, Elrond, Galadriel, Gandalf, atau siapa pun yang lain akan pernah tahu
tentang itu. Ia memegang tongkatnya dengan satu tangan dan bejana Galadriel di
tangan lainnya. Ketika melihat cahaya terang itu sudah keluar melalui jemarinya,
ia memasukkan bejana itu ke dekat dadanya, memegangnya dekat ke hatinya.
Kemudian, sambil membelakangi kota Morgul yang kini hanya berupa kilauan
kelabu di seberang teluk gelap, ia bersiap-siap menapaki jalan mendaki.
Gollum tampaknya sudah merangkak pergi menyusuri pinggiran kegelapan di
sana, ketika gerbang Minas Morgul dibuka, meninggalkan kedua hobbit di tempat
mereka terbaring. Sekarang ia datang merangkak kembali, giginya gemerutuk dan
jarinya dikertakkan. "Bodoh! Tolol!" desisnya. "Cepatlah! Jangan kira bahaya
sudah lewat. Belum. Cepatlah!" Mereka tidak menjawab, tapi mengikutinya sampai ke
pinggiran yang mendaki. Hal itu sama sekali tidak disukai kedua hobbit, tidak
juga setelah menghadapi begitu banyak bahaya lain; tapi itu tidak berlangsung lama.
Dengan segera jalan itu mencapai sebuah sudut membulat, di mana sisi
pegunungan membengkak lagi, dan di sana tiba-tiba memasuki lubang sempit di
batu karang. Mereka sudah samliai ke tangga pertama yang diceritakan Gollum. Kegelapan
hampir sempurna, dan mereka tak bisa melihat banyak di luar jangkauan tangan
mereka; tapi mata Gollum bersinar pucat, beberapa meter di atas, ketika ia
menoleh ke arah mereka. "Hati-hati!" bisiknya. "Tangga. Banyak tangga. Harus
hati-hati!" Kehati-hatian memang dibutuhkan. Awalnya Sam dan Frodo merasa
gampang, karena ada dinding di kedua sisi, tapi tangga itu curam sekali, hampir
tegak, dan ketika mereka terus mendaki, mereka semakin menyadari jurang hitam
panjang di belakang. Selain itu, anak-anak tangganya sempit sekali, berbeda-beda
lebarnya, dan sering menipu: sudah usang dan mulus di pinggirnya, beberapa
sudah pecah, dan beberapa pecah ketika kaki menapakinya.
Kedua hobbit berjuang terus, sampai akhirnya mereka berpegangan ke anak
tangga di depan, dan memaksa lutut mereka yang sakit untuk melipat dan
Dua Menara Halaman | 355 meluruskan kaki; tangga itu masih terus mendaki semakin dalam ke gunung yang
curam, sementara dinding batu menjulang semakin tinggi di atas kepala. Akhirnya,
tepat ketika merasa sudah tak tahan lagi, mereka melihat mata Gollum
memandang ke arah mereka lagi.
"Kita sudah di atas," bisiknya. "Tangga pertama sudah lewat. Hobbit pintar
sudah bisa naik setinggi ini, hobbit sangat pintar. Tinggal beberapa anak tangga
lagi, itu saja, ya."
Dalam keadaan sangat pusing dan letih, Sam dan Frodo yang mengikutinya,
merangkak menaiki anak tangga terakhir, lalu duduk menggosok kaki dan lutut.
Mereka berada dalam sebuah selasar gelap yang rupanya masih mendaki di depan
sana, meski lerengnya lebih lembut dan tanpa anak tangga. Gollum tidak
membiarkan mereka beristirahat lama.
"Masih ada tangga lain," katanya. "Tangga yang jauh lebih panjang. Istirahat
kalau kita sudah sampai ke puncak tangga berikutnya. Sekarang belum."
Sam mengerang. "Lebih panjang, katamu?" tanyanya.
"Ya, ya, lebih panjang," kata Gollum. "Tapi tidak begitu sulit. Hobbit sudah
mendaki Tangga Lurus. Berikutnya Tangga Putar."
"Dan setelah itu apa?" kata Sam.
"Kita akan lihat," kata Gollum pelan. "Ya, kita akan lihat!"
"Rasanya kaubilang ada terowongan," kata Sam. "Bukankah ada terowongan
atau semacamnya yang harus dilewati?"
"Oh, ya, ada terowongan," kata Gollum. "Tapi hobbit tak bisa istirahat sebelum
mencoba itu. Kalau sudah melewatinya, berarti mereka sudah hampir sampai ke
puncak. Dekat sekali, kalau mereka bisa lewat. Oh ya!"
Frodo menggigil. Pendakian itu membuatnya berkeringat, tapi sekarang ia
merasa dingin dan lembap, dan di selasar bertiup angin dingin, berembus turun
dari ketinggian yang tidak tampak di atas sana. Ia bangkit dan menggoyangkan
badan. "Well, mari kita lanjutkan!" katanya. "Ini bukan tempat untuk duduk-duduk."
Selasar itu seakan bermil-mil panjangnya, dan udara dingin selalu saja
mengalir di atas mereka, membesar menjadi angin tajam ketika mereka naik
semakin tinggi. Gunung-gunung seolah berusaha mengecilkan hati mereka dengan
napas beku mematikan, agar mereka memalingkan diri dari rahasia tempat-tempat
Halaman | 356 The Lord of The Rings tinggi, atau untuk meniup mereka ke kegelapan di belakang. Mereka baru tahu
mereka sudah sampai ke ujung, ketika mendadak mereka merasa tak ada dinding
di sebelah kanan. Mereka hanya bisa melihat sedikit saja. Sosok-sosok besar tak berbentuk dan
bayangan kelabu tebal menjulang di atas dan di sekitar mereka, tapi sesekali
seberkas cahaya merah pudar berkobar naik di bawah awan-awan yang merendah,
dan untuk sekejap mereka melihat puncak-puncak tinggi, di depan dan di kedua
sisi, seperti tiang-tiang yang menopang atap besar. Rupanya mereka sudah
mendaki sekian ratus kaki, sampai ke sebuah dataran lebar. Batu karang ada di
sebelah kin, dan jurang di sebelah kanan. Gollum memimpin jalan di bawah batu
karang. Untuk sementara mereka tidak lagi mendaki, tapi tanah sekarang lebih
hancur dan berbahaya dalam gelap, ada balok-balok dan bongkah-bongkah batu
yang terjatuh menghalangi jalan. Mereka berjalan lambat dan hati-hati. Entah
sudah berapa jam berlalu sejak mereka masuk Lembah Morgul, Sam maupun
Frodo tak bisa mengira-ngira. Malam serasa tak berujung. Akhirnya mereka sekali
lagi melihat sebuah tembok menjulang, dan sebuah tangga di depan. Sekali lagi
mereka berhenti, dan sekali lagi mulai mendaki.
Pendakian panjang dan melelahkan; tapi tangga ini tidak masuk ke dalam sisi
pegunungan. Di sini wajah batu karang besar mendaki ke belakang, jalanannya
berbelok-belok seperti ular. Pada satu titik, jalan itu merayap ke pinggir,
langsung sampai ke ujung jurang gelap. Ketika Frodo melirik ke bawah, ia melihat ngarai
besar di ujung Lembah Morgul, seperti sebuah sumur dalam yang luas. Di
kedalamannya terjulur jalan hantu dan kota mati ke Jalan Tak Bernama, bersinar
seperti ulat kelapkelip. Lekas-lekas Frodo memalingkan muka.
Tangga masih terus naik, membelok dan merayap; akhirnya, dengan satu
tanjakan terakhir, pendek dan lurus, ia mendaki keluar ke sebuah dataran lain.
Jalan itu sudah menyimpang dari jalan utama di jurang besar, dan sekarang
mengikuti arahnya sendiri yang meliuk berbahaya di dasar sebuah belahan, di
tengah wilayah yang lebih tinggi dari Ephel Duath. Samar-samar kedua hobbit bisa
melihat tonjolan-tonjolan dan pttncak bergerigi dan batu di kedua sisi, di
antaranya ada retakan-retakan dan celah-celah besar yang lebih hitam daripada malam, di
mana musim dingin yang terlupakan sudah menggerogoti dan memahat batu yang
tak pernah disinari matahari.
Dan kini cahaya merah di langit tampak lebih kuat, meski mereka tidak tahu
apakah pagi han yang mengerikan akan datang ke tempat gelap ini, ataukah yang
mereka lihat itu hanyalah nyala api akibat kekejaman Sauron yang sedang
Dua Menara Halaman | 357 menyiksa Gorgoroth di luar sana. Masih jauh sekali, dan masih tinggi di atas,
Frodo yang menengadah melihat puncak jalan keras itu. Di depan kemerahan langit timur
terlihat sebuah belahan di punggung bukit paling atas, sempit, terbelah sangat
dalam di antara dua pundak hitam; dan di masing-masing pundak ada terompet
batu. Ia berhenti dan memandang lebih cermat. Terompet di sebelah kini tinggi
dan ramping; di dalamnya menyala cahaya merah, atau mungkin nyala merah dan
daratan di luar bersinar melalui sebuah lubang. Sekarang ia melihatnya: ternyata
sebuah menara hitam yang berdiri di atas celah luar. Ia menyentuh tangan Sam
dan menunjuknya. "Aku tak suka melihatnya!" kata Sam. "Jadi, jalan rahasiamu ini toh dijaga
juga," geramnya, berbicara pada Gollum. "Kuduga selama ini kau sudah tahu,
bukan?" "Semua jalan diawasi, ya," kata Gollum. "Tentu saja begitu. Tapi hobbit harus
mencoba salah satunya. Jalan ini mungkin yang tidak terlalu ketat diawasi.
Mungkin mereka semua sudah berangkat perang, mungkin!"
"Mungkin," gerutu Sam. "Well, tampaknya masih cukup jauh, dan masih lama
sebelum kita sampai di sana. Juga masih ada terowongan. Kupikir kau sekarang
perlu istirahat, Mr. Frodo. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, pagi atau malam,
tapi kita sudah berjalan terus selama berjam-jam."
"Ya, kita perlu istirahat," kata Frodo. "Mari kita cari pojok yang tidak kena
angin, dan mengumpulkan kekuatan-untuk putaran terakhir."
Karena ia merasa begitulah kenyataannya. Kengerian negeri di sana itu, dan
tugas yang harus dilakukannya di sana, tampak jauh, masih terlalu jauh untuk
mengganggunya. Seluruh pikirannya tertuju pada cara untuk menerobos atau lewat
di atas tembok dan penjagaan yang tak bisa ditembus itu. Kalau suatu saat ia
bisa melakukan hal yang mustahil itu, berarti selesailah tugasnya, atau begitulah
tampaknya bagi Frodo di saat gelap penuh keletihan itu, sementara ia berjalan
susah payah dalam bayang-bayang gelap di bawah Cirith Ungol.
Mereka duduk dalam sebuah celah gelap di antara dua tonjolan batu karang:
Frodo dan Sam agak masuk ke dalam, dan Gollum meringkuk di tanah, dekat
bukaannya. Di sana kedua hobbit menyantap bekal mereka, yang rasanya bakal
menjadi hidangan terakhir sebelum mereka masuk ke Negeri Tak Bernama itu
bahkan mungkin hidangan terakhir yang akan mereka makan bersama. Mereka
makan sedikit makanan dan Gondor, dan wafer dari kaum Peri, juga minum sedikit.
Halaman | 358 The Lord of The Rings Tapi mereka menghemat air dan hanya minum sedikit untuk membasahi mulut
yang kering. "Aku ingin tahu, kapan kita akan menemukan air lagi?" kata Sam. "Tapi di
negeri itu mereka juga minum, bukan" Orc juga minum, kan?"
"Ya, mereka minum," kata Frodo. "Tapi jangan bicarakan itu. Minuman seperti
itu bukan untuk kita."
"Kalau begitu, kita perlu sekali mengisi botol air," kata Sam. "Tapi tidak ada
air di atas sini: aku tidak mendengar bunyi aliran atau tetesan sama sekali.
Bagaimanapun, Faramir bilang kita jangan minum air di Morgul."
"Tidak ada air yang mengalir keluar dari Imlad Morgul, begitu katanya," kata
Frodo. "Kita bukan berada di lembah itu sekarang, dan kalau kita sampai ke
sebuah mata air, maka airnya mengalir masuk, bukan keluar, darinya."
"Aku tidak bakal mau minum air di sini," kata Sam, "kecuali kalau aku sudah
hampir mati kehausan. Ada kesan jahat di tempat ini."
Ia mengendus-endus. "Dan bau aneh, kukira. Kauperhatikan itu" Bau yang
aneh, agak pengap. Aku tak suka ini."
"Aku sama sekali tak suka apa pun di sini," kata Frodo, "tangga atau batu,
napas atau tulang. Bumi, udara, dan air semuanya seperti dikutuk. Tapi mau tak
mau jalan kita harus lewat sini."
"Ya, memang," kata Sam. "Dan seharusnya kita tidak berada di sini,
seandainya kita tahu lebih banyak tentang ini, sebelum kita berangkat. Tapi
kupikir memang sering terjadi hal seperti ini. Peristiwaperistiwa gagah berani dalam
dongeng-dongeng dan lagu-lagu lama, Mr. Frodo: petualangan, aku menyebutnya.
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 11 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear The Ellimist Chronicle 2