Pencarian

Kutukan Bangsa Titan 5

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 5


yang bergelung di seputar pohon itu.
Omong-omong, aku tak tahu apa yang kaupikirkan saat aku mengatakan naga. Apa
pun itu, bayanganmu itu masih kurang menakutkan. Tubuh ular naga ini setebal
peluncur roket, berkilat dengan sisik-sisik tembaga. Ia memiliki kepala lebih
banyak dari bisa kuhitung, seolah seratus piton mematikan digabungkan jadi satu.
Ia sepertinya sedang tidur. Kepala-kepalanya berbaring melingkar seperti dalam
gundukan spageti besar di rumput, semua matanya terpejam.
Kemudian bayang-bayang di depan kami mulai bergerak. Ada sebuah nyanyian
indah yang menimbulkan perasaan ngeri, seperti suara-suara dari dasar sumur. Aku
hendak meraih Riptide, tapi Zo? menahan gerak tanganku. Empat sosok berdenyar
memunculkan diri, empat wanita muda yang terlihat sangat mirip dengan Zo?.
Mereka semua mengenakan gaun tunik putih Yunani kuno. Kulit mereka serupa
karamel. Rambut hitam lurus mereka tergerai ke bahu. Rasanya aneh, tapi aku tak
pernah menyadari betapa cantiknya Zo? hingga saat aku melihat saudarisaudarinya.
Hesperides. Mereka tampak persis seperti Zo? - cantik jelita, dan
mungkin sangat berbahaya.
"Saudari-saudariku," seru Zo?.
"Kami tak melihat adanya saudari," ujar salah satu gadis itu dingin. "Kami
melihat dua blasteran dan satu Pemburu. Yang kesemuanya akan segera mati."
"Kau salah," aku melangkah ke depan. "Tak ada yang akan mati di sini."
Para gadis mengamatiku. Mereka memiliki sepasang mata seperti batu vulkanis,
mengilat dan hitam pekat.
"Perseus Jackson," ujar salah satu dari mereka.
"Iya," renung satunya lagi. "Aku tak melihat dirinya sebagai ancaman."
"Siapa yang bilang aku ini ancaman?"
Hesperid pertama menoleh ke belakangnya, ke puncak gunung. "Mereka takut
akan engkau. Mereka tak senang mengetahui mengapa yang satu ini belum juga
membunuh engkau." Dia menunjuk pada Thalia.
"Kadang-kadang memang datang godaan itu," Thalia mengakui. "Tapi nggak deh,
makasih. Dia temanku."
"Tak ada teman di sini, putri Zeus," ujar sang gadis. "Hanya musuh. Kembalilah."
"Tidak tanpa Annabeth," ujar Thalia.
"Dan Artemis," tambah Zo?. "Kami harus mendekati gunung."
"Kau tahu dia akan membunuh engkau," kata sang gadis. "Kekuatan dikau tak
setara dengannya." "Artemis harus dibebaskan," desak Zo?. "Biarkan kami lewat."
Sang gadis menggeleng. "Engkau tak punya hak lagi datang ke sini. Kami hanya
perlu mengangkat suara kami dan Ladon pun akan terbangun."
"Dia tak akan melukaiku," kata Zo?.
"Tidak" Dan bagaimana dengan nasib orang-orang yang engkau sebut temanteman
itu?" Lalu Zo? bertindak di luar perkiraanku. Dia berteriak, "Ladon! Bangunlah!"
Sang naga terusik, tubuhnya berkilat seperti segunung koin. Para Hesperides
memekik dan berhambur pergi. Si gadis pemimpin berseru pada Zo?, "Apa kau
sudah gila?" "Kau tak pernah punya nyali, Saudari," ujar Zo?. "Itulah masalah engkau."
Sang naga Ladon kini menggeliat, seratus kepala menoleh, lidah-lidah mendesis
dan mencicip udara. Zo? mengambil satu langkah maju, kedua tangannya
terangkat. "Zo?, jangan," kata Thalia. "Kau kini bukan Hesperid lagi. Ia akan
membunuhmu." "Ladon dilatih untuk melindungi pohon," kata Zo?. "Kita lari ke tepi taman.
Panjatlah gunung itu. Selama aku menjadi ancaman yang lebih besar, ia mungkin
tak akan mengacuhkan kalian."
"Mungkin," sahutku. "Rasanya nggak terlalu meyakinkan."
"Itu satu-satunya jalan," katanya. "Bahkan kita bertiga pun tak akan sanggup
melawannya." Ladon membuka mulut-mulutnya. Suara seratus kepala mendesis bersamaan
membuat sekujut punggungku menggigil, dan itu pun sebelum embusan napasnya
mengenaiku. Baunya seperti zat asam. Ia membuat mataku terbakar, kulitku
merinding, dan rambutku berdiri. Aku teringat saat seekor tikus mati di dalam
apartemen kami di New York di tengah musim panas. Bau ini persis seperti itu,
kecuali seratus kali lebih menyengat, dan bercampur dengan bau kunyahan
eucalyptus. Aku berjanji pada diriku sendiri tepat saat itu bahwa aku takkan
pernah lagi meminta suster sekolah untuk sirup obat batuk.
Aku ingin menghunus pedangku. Tapi kemudian aku teringat akan mimpiku
tentang Zo? dan Hercules, dan bagaimana Hercules gagal dalam serangan
melawannya. Aku putuskan untuk memercayai penilaian Zo?.
Thalia pergi ke kiri. Aku bergerak ke kanan. Zo? berjalan lurus menuju sang
monster. "Ini aku, naga kecilku," ujar Zo?. "Zo? telah kembali."
Ladon bergerak maju, kemudian mundur. Beberapa mulutnya mengatup. Sebagian
lagi tetap mendesis. Kebingungan naga. Sementara itu, para Hesperides berdenyar
dan berubah jadi bayang-bayang. Suara sang tertua berbisik, "Bodoh."
"Aku biasa menyuapi dikau makanan dengan tanganku," lanjut Zo?, berbicara
dengan suara lembut selagi Zo? bergerak mendekati pohon emas. "Apa kau masih
menyukai daging domba?"
Mata sang naga berbinar. Thalia dan aku sudah mengitari setengah taman. Di depan, aku bisa melihat satu
jalan berbatu mengarah ke puncak hitam gunung. Badai berputar di atasnya,
mengitari puncaknya seolah itu adalah poros bagi seluruh dunia.
Kami sudah hampir keluar dari padang rumput ketika terjadi sesuatu yang salah.
Aku merasa suasana hati sang naga berubah. Mungkin Zo? bergerak terlalu dekat.
Mungkin sang naga tersadar kalau ia lapar. Apa pun alasannya, ia menerjang ke
arah Zo?. Dua ribu tahun latihan membuat Zo? bertahan hidup. Dia menghindar dari
terkaman gigi-gigi taring satu kepala dan berguling mengelak di bawah kepala
lainnya lagi, berkelit di antara sela-sela beberapa kepala naga selagi Zo?
berlari menuju arah kami, sembari menahan muntah dari napas bau busuk sang monster.
Kuhunus Riptide untuk menolong.
"Jangan!" Zo? terengah. "Lari!"
Sang naga menyerang ke sisi tubuhnya, dan Zo? berteriak keras. Thalia
mengacungkan Aegis, dan sang naga mendesis. Dalam momen kekalutannya, Zo?
berlari cepat menaiki gunung, dan kami pun mengikutinya.
Sang naga tak berusaha mengejar. Ia mendesis dan mengentak tanah, tapi kurasa ia
sudah dilatih dengan matang untuk mengawal pohon itu. Ia tak akan terpancing,
bahkan dengan menghadapi godaan menyantap beberapa pahlawan.
Kami berlari menaiki gunung selagi para Hesperides melanjutkan nyanyian mereka
dalam bayang-bayang di belakang kami. Musik itu tak terdengar begitu indah
bagiku sekarang - lebih terdengar mirip lagu untuk pemakaman.
Di puncak gunung itu tampak sisa-sisa reruntuhan, puing-puing batu granit dan
marmer hitam sebesar rumah-rumah. Patahan tiang-tiang. Patung-patung perunggu
yang terlihat seperti habis setengah dilumerkan.
"Reruntuhan Gunung Othrys," Thalia berbisik takjub.
"Benar," timpal Zo?. "Reruntuhan ini tak ada di sini sebelumnya. Ini pertanda
buruk." "Apa itu Gunung Othrys?" tanyaku, merasa seperti orang bego seperti biasa.
"Benteng gunung bangsa Titan," ujar Zo?. "Saat peperangan pertama, Olympus
dan Othrys merupakan dua ibukota saingan di dunia. Othrys adalah - " Dia
mengernyit dan memegangi sisi punggungnya.
"Kau terluka," kataku. "Biar kulihat."
"Tidak! Ini tidak apa-apa. Aku tadi bilang ... saat peperangan pertama, Othrys
dihancurleburkan." "Tapi ... bagaimana ia bisa muncul di sini?"
Thalia mengedarkan pandangan hati-hati selagi kami berjalan menyusuri
reruntuhan,melewati puing-puing marmer dan lengkungan pintu yang patah. "Ia
bergerak dengan cara yang sama seperti pergerakan Olympus. Ia selalu hadir di
ujung peradaban. Tapi fakta bahwa ia berada di sini, di gunung ini, bukanlah
pertanda baik." "Kenapa?" "Ini adalah gunung Atlas," ujar Zo?. "Tempat dia menyangga - " Dia mematung.
Suaranya parau oleh keputusasaan. "Tempat dulu dia menyangga langit."
Kami telah sampai di puncak. Beberapa meter di depan kami, awan-awan kelabu
berputar dalam pusaran kuat, membuat awan corong yang hampir menyentuh
puncak gunung, namun ternyata tersangga di puncak seorang gadis dua belas tahun
berambut merah dengan gaun peraknya yang koyak: Artemis, kakinya diikat ke
batu dengan rantai perunggu langit. Inilah yang kulihat dalam mimpiku. Ternyata
bukanlah langit-langit gua yang Artemis terpaksa sangga. Itu adalah atap dunia.
"Yang Mulia!" Zo? berlari maju, tapi Artemis berkata, "Stop! Ini adalah
perangkap. Kalian harus pergi sekarang."
Suaranya tegang. Dia bersimbah keringat. Aku belum pernah melihat seorang dewi
kesakitan sebelumnya, tapi bobot langit itu jelas terlalu berat untuk ditanggung
Artemis. Zo? menangis. Dia tetap berlari mendekat meski Artemis protes, dan menyentak
rantainya. Suara yang menggelegar terdengar dari belakang kami: "Ah, betapa
mengharukannya." Kami berbalik. Sang Jenderal berdiri di sana dengan setelan jas sutra
cokelatnya. Di sisinya berdiri Luke dan setengah lusin drakaina memikul sarkofagus emas
Kronos. Annabeth berdiri di sisi Luke. Tangannya diborgol di balik punggungnya,
dengan sumpalan di mulutnya, dan Luke mengacungkan ujung pedangnya ke
lehernya. Aku menatap mata Annabeth, berusaha menanyakan ribuan pertanyaan padanya.
Namun, hanya ada satu pesan yang dia kirimkan padaku: LARI.
"Luke," geram Thalia. "Lepaskan dia."
Senyum Luke lemah dan pucat. Dia bahkan tampak lebih buruk daripada tiga hari
lalu di Washington D.C. "Itu adalah keputusan sang Jenderal, Thalia. Tapi senang
berjumpa lagi denganmu."
Thalia meludah padanya. Sang Jenderal terkekeh. "Teman lama yang luar biasa. Dan kau, Zo?. Sudah lama
sekali. Bagaimana kabar pengkhianat kecilku" Aku akan sangat menikmati
membunuhmu." "Jangan ditanggapi," erang Artemis. "Jangan tantang dia."
"Tunggu sebentar," kataku. "Kau Atlas?"
Sang Jenderal memandangiku. "Jadi, bahkan pahlawan terbodoh pun akhirnya bisa
menyimpulkannya. Benar, aku adalah Atlas, sang jenderal bangsa Titan dan teror
bagi para dewa. Selamat. Aku akan segera membunuhmu, begitu aku selesai
memberesi gadis sialan ini."
"Kau takkan melukai Zo?," kataku. "Aku takkan mengizinkanmu melakukannya."
Sang Jenderal mencibir. "Kau tak punya hak untuk turut campur, pahlawan
ingusan. Ini adalah urusan keluarga."
Aku mengernyitkan dahi. "Urusan keluarga?"
"Benar," kata Zo? hampa. "Atlas adalah ayahku."
Bab 17 Aku Menambah Beberapa Juta Kilo Bobot Ekstra
Hal terburuknya adalah: aku bisa melihat kemiripan keluarganya. Atlas memeiliki
kesan ningrat yang sama dengan Zo?, ekspresi pongah yang sama yang kadang
terlihat di mata Zo? saat dia marah, meski pada Atlas ia tampak ribuan kali
lipat lebih jahat. Dia memiliki segala hal yang awalnya tak kusukai dari Zo?, tanpa
disertai kebaikan yang pada akhirnya kuhargai.
"Biarkan Artemis pergi," desak Zo?.
Atlas berjalan mendekat ke dewi yang terantai. "Barangkali kau ingin mengambil
langit itu untuknya, kalau begitu" Silakan saja."
Zo? membuka mulutnya untuk bicara, tapi Artemis berkata, "Tidak! Jangan
tawarkan, Zo?! Kularang kau."
Atlas mencibir. Dia berlutut di sebelah Artemis dan mencoba menyentuh
wajahnya, tapi sang dewi malah menggigitnya, nyaris mencopot jari-jarinya.
"Hoo-hoo," Atlas terkekeh. "Kau lihat, Nak" Yang Mulia Artemis menyukai tugas
barunya. Kukira aku akan biarkan bangsa Olympia bergiliran menyangga bebanku,
begitu Raja Kronos memerintah lagi, dan ini adalah pusat dari istana kami. Ia
akan mengajari dewa-dewi lemah itu kerendahan hati."
Aku memandang Annabeth, dia berusaha mati-matian memberitahukan sesuatu
padaku. Dia menggerakkan lehernya ke arah Luke. Tapi yang bisa kulakukan
hanya memelototinya. Aku belum menyadari sebelumnya, tapi ada sesuatu dari diri
Annabeth yang berubah. Rambut pirangnya kini diselingi dengan beberapa helai
rambut abu-abu. "Dari menahan langit," gumam Thalia, seolah dia membaca pikiranku. "Beban itu
mestinya sudah meremukkannya."
"Aku tak mengerti," ucapku. "Kenapa Artemis tak bisa melepas langit itu begitu
saja?" Atlas tertawa. "Begitu sedikit yang kau ketahui, anak muda. Ini adalah titik
tempat langit dan bumi pertama bertemu, tempat Ouranos dan Gaia pertama kalinya
melahirkan anak-anak berkuasa mereka, bangsa Titan. Langit masih mengharap
untuk merengkuh bumi. Seseorang harus menahan langit ini, jika tidak ingin
langit ambruk mengancurkan tempat ini, seketika meratakan gunung dan semua yang
berjarak ratusan mil darinya. Sekali kau mengambil beban itu, tak ada tempat
berlari." Atlas tersenyum. "Kecuali ada orang lain yang mengambilnya darimu."
Dia mendekati kami, mengamati Thalia dan aku. "Jadi inilah pahlawan-pahlawan
terbaik masa kini, eh" Bukan tantangan besar."
"Lawanlah kami," kataku. "Dan kita akan lihat."
"Apakah para dewa belum mengajarimu apa-apa" Makkluk abadi tak akan
bertarung dengan makhluk fana secara langsung. Itu di bawah kewibawaan kami.
Sebaliknya akan kutugaskan Luke untuk menghabisimu."
"Jadi kau hanya seorang pengecut biasa," kataku.
Mata Atlas bersinar dengan kebencian. Dengan kesulitan, dia mengalihkan
perhatiannya pada Thalia.
"Dan khusus dirimu, putri Zeus, sepertinya Luke telah keliru menilaimu."
"Aku tidak keliru," ujar Luke akhirnya. Luke terlihat sangat letih, dan dia
mengucapkan setiap kata seolah dengan menahan rasa sakit. Kalau aku tak terlalu
membencinya, aku tentu sudah akan merasa iba padanya. "Thalia, kau masih bisa
bergabung dengan kami. Panggil Ophiotaurus. Ia akan mendatangimu. Lihat!"
Dia mengibaskan tangannya, dan di sebelah kami muncul sebuah kolam: sebuah
kolam air yang pinggirannya dibatasi oleh batu-batu pualam hitam, cukup besar
untuk menampung Ophiotaurus. Aku bisa bayangkan Bessie berada di kolam itu.
Bahkan, semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin aku bisa mendengar
suara lenguhan Bessie. Jangan pikirkan Bessie! Tiba-tiba suara Grover terdengar dalam pikiranku -
sambungan empati. Aku bisa merasakan emosinya. Dia berada di ujung kepanikan.
Aku mulai kehilangan Bessie. Tutup pikiranmu!
Aku berusaha mengosongkan pikiranku. Aku berusaha memikirkan tentang para
pemain basket, skateboard, berbagai jenis permen di toko ibuku. Apa pun selain
Bessie. "Thalia, panggil Ophiotaurus," desak Luke. "Dan kau akan lebih berkuasa dari
para dewa." "Luke ..." Suara Thalia penuh dengan penderitaan. "Apa yang terjadi padamu?"
"Tidak ingatkah kau perbincangan kita di waktu dulu" Di masa-masa ketika kita
mengutuk para dewa" Ayah-ayah kita tak peduli pada kita. Mereka tak punya hak
untuk memerintah dunia!"
Thalia menggeleng. "Lepaskan Annabeth. Biarkan dia pergi."
"Kalau kau bergabung denganku," janji Luke, "ini akan seperti masa lalu. Kita
bertiga bersama lagi. Berjuang mewujudkan dunia yang lebih baik. Kumohon,
Thalia, kalau kau tak setuju ..."
Suaranya terputus. "Ini adalah kesempatan terakhirku. Dia akan mengambil cara
lain kalau kau tak setuju. Kumohon."
Aku tak tahu apa maksud perkataannya, tapi rasa takut pada suaranya terdengar
sangat nyata. Aku percaya Luke terancam bahaya. Nyawanya bergantung pada
keputusan Thalia untuk bergabung dengan misinya. Dan aku takut Thalia juga
akan memercayainya, juga.
"Jangan ikuti dia, Thalia," Zo? memperingatkan. "Kita harus melawan mereka."
Luke melambaikan tangannya lagi, dan sebuah api berkobar. Sebuah tungku


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perunggu, persis seperti yang ada di perkemahan. Api pengorbanan.
"Thalia," kataku. "Jangan."
Di belakang Luke, sarkofagus emas itu mulai berkilau. Sementara itu, aku melihat
bayangan di dalam kabut di sekeliling kami: dinding-dinding marmer hitam
menjulang, reruntuhan mulai kembali utuh, sebuah istana yang indah dan
mengerikan bangkit di sekitar kami, terbangun dari rasa takut dan bayang-bayang.
"Kami akan membangkitkan Gunung Othrys tepat di sini," janji Luke, dengan
suara yang begitu tegang sehingga tak terdengar seperti dirinya. "Sekali lagi,
ia akan lebih kuat dan hebat dari Olympus. Lihatlah, Thalia. Kami tidak lemah."
Dia menunjuk ke arah laut, dan hatiku melesak. Berderap maju menyusuri sisi
gunung, dari pantai tempat Putri Andromeda tertambat, tampak sebuah bala tentara
besar. Drakaina dan Laistrygonian, monster-monster dan kaum blasteran,
anjinganjing neraka, para harpy, dan makhluk-makhluk lainnya yang tak bisa
kunamai. Seluruh kapal pasti telah kosong, karena ada ratusan jumlah mereka, lebih banyak
dari yang kulihat di kapal musim panas lalu. Dan mereka bergerak maju menuju
kami. Dalam hitungan beberapa menit saja, mereka akan tiba di sini.
"Ini hanya gambaran sekilas akan apa yang akan datang," ujar Luke. "Tak lama
lagi kami akan siap menerjang Perkemahan Blasteran. Dan setelah itu, Olympus itu
sendiri. Yang kami butuhkan hanyalah bantuanmu."
Untuk sesaat yang mengerikan, Thalia tampak ragu. Dia memandangi Luke,
matanya penuh dengan derita, seolah satu-satunya hal yang dia inginkan di dunia
ini adalah memercayainya. Kemudian Thalia mengacungkan tombaknya. "Kau
bukan Luke. Aku nggak mengenalimu lagi."
"Tidak, kau mengenaliku, Thalia," dia memohon. "Kumohon. Jangan buat aku ...
Jangan buat dia menghancurkanmu."
Tak ada waktu lagi. Jika bala tentara itu tiba di puncak bukit, kami akan
kewalahan. Aku beradu mata dengan Annabeth lagi. Dia mengangguk.
Kupandangi Thalia dan Zo?, dan kuputuskan bahwa bukanlah hal terburuk di dunia
untuk bertarung hingga tetes darah penghabisan bersama teman-teman seperti ini.
"Sekarang," seruku.
Bersama-sama, kami menyerang.
Thalia menerjang ke arah Luke. Kekuatan perisainya begitu besar hingga pengawal
wanita-naga Luke berlari panik, menjatuhkan peti mati emas dan meninggalkan
Luke sendiri. Tapi meskipun tampilannya seperti orang sakit, Luke masih gesit
memainkan pedangnya. Dia menggeram seperti hewan liar dan membalas
pedangnya. Saat pedangnya, Backbiter, mengenai perisai Thalia, sebuah bola kilat
meledak di antara mereka, membakar udara dengan seberkas kuning listrik.
Sementara aku, aku melakukan perbuatan terbodoh sepanjang hidupku, dan itu
menjelaskan banyak hal. Aku menyerang Atlas sang Pemimpin Titan.
Dia tertawa begitu aku mendekat. Sebuah lembing besar muncul di kedua
tangannya. Setelan sutranya mencair ke bentuk baju zirah perang Yunani lengkap.
"Majulah, kalau begitu!"
"Percy!" seru Zo?. "Berhati-hatilah!"
Aku tahu apa maksud peringatannya padaku. Chiron telah memberitahuku sejak
lama: Makhluk abadi terkekang oleh aturan-aturan purba. Namun seorang
pahlawan bisa pergi ke mana pun, menantang siapa pun, selama dia memiliki nyali.
Akan tetapi, begitu aku menyerang, Atlas akan leluasa menyerang balik langsung,
dengan segenap kekuatannya.
Kuayunkan pedangku, dan Atlas menghantamku ke samping dengan tongkat
lembingnya. Aku terlempar ke udara dan menabrak sebuah dinding hitam. Itu
bukanlah Kabut lagi. Istana itu telah benar-benar berdiri, batu demi batu. Ia
mulai mewujuh nyata. "Bodoh!" teriak Atlas penuh kemenangan, sambil menepis salah satu panah Zo?.
"Apa kau pikir, hanya karena kau bisa menantang dewa perang picisan itu, maka
kau bisa berdiri melawan aku?"
Mendengar Ares disebut mengirim sentakan ke sekujur tubuhku. Aku menepis rasa
pusingku dan kembali menerjang. Kalau aku bisa sampai ke kolam itu, aku bisa
melipatgandakan kekuatanku.
Mata lembing itu menyayatku seperti sebuah sabit besar. Kuangkat Riptide,
berencana memotong batang senjatanya, tapi lenganku terasa bagai timbal.
Pedangku tiba-tiba terasa seberat satu ton.
Dan aku teringat akan peringatan Ares, yang dia ucapkan di pantai Los Angeles
sudah lama sekali: Saat kau paling membutuhkannya, pedangmu akan
meninggalkanmu. Jangan sekarang! Aku memohon. Tapi tak ada gunanya. Aku berusaha mengelak,
namun lembing itu menusuk dadaku dan membuatku terlempar seperti boneka
kain. Aku terempas ke tanah, kepalaku berputar. Aku mendongak dan mendapati
bahwa aku berada di depan kaki Artemis, yang masih bertahan di bawah berat
langit. "Larilah, Nak," dia memberitahuku. "Kau harus lari!"
Atlas dengan perlahan berjalan menujuku. Pedangku telah hilang, ia terempas ke
sisi jurang. Ia mungkin akan muncul kmebali dalam sakuku - mungkin beberapa
detik lagi - tapi itu tak penting. Aku akan mati di saat itu. Luke dan Thalia
sedang bertarung seperti kesetanan, kilat berpijar di antara mereka. Annabeth berada di
tanah, berusaha mati-matian melepaskan ikatan tangannya.
"Matilah, pahlawan cilik," ujar Atlas.
Dia mengangkat lembingnya untuk menusukku.
"Tidak!" teriak Zo?, dan semburan panah-panah perak berhambur dari celah ketiak
baju zirah Atlas. "AAAH!" Dia berteriak dan berpaling ke arah putrinya.
Aku merogoh dan merasakan Riptide kembali dalam sakuku. Aku tak bisa
melawan Atlas, bahkan dengan adanya pedang. Dan sekujur pungguungku
merinding. Aku teringat kata-kata ramalan itu: Kutukan Bangsa Titan harus
seorang hadapi. Aku tak bisa berharap untuk mengalahkan Atlas. Tapi ada orang
lain yang mungkin memiliki kesempatan.
"Langit itu," kataku pada sang dewi. "Berikan padaku."
"Tidak, bocah," ujar Artemis. Keningnya bertabur butir-butir keringat mengilat,
seperti air raksa. "Kau tak tahu apa yang akan kauhadapi. Langit ini akan
meremukkanmu!" "Annabeth mengambilnya!"
"Dia nyaris tak bertahan. Dia memiliki semangat seorang pemburu sejati. Kau
takkan bertahan lama."
"Bagaimanapun aku akan mati," kataku. "Berikan beban langit itu!"
Aku tak menunggu jawabannya. Kuambil Riptide dan kutebas rantai-rantainya.
Kemudian aku melangkah ke sampingnya dan mengambil posisi berlutut dengan
satu kaki - seraya mengangkat kedua tanganku - dan menyentuh awan-awan yang
berat dan dingin. Sejenak, Artemis dan aku menahan berat itu bersama-sama. Itu
adalah benda terberat yang pernah kurasakan, seolah aku tertindih oleh ribuan
truk. Aku merasa ingin pingsan dari rasa sakit ini, tapi aku mengambil napas
dalamdalam. Aku bisa melakukannya.
Kemudian Artemis dengan pelan melepaskan diri dari bawah beban itu, dan aku
menahannya sendiri. Setelahnya, aku sering kali berusaha menjelaskan seperti apa rasanya. Aku tak
bisa. Semua otot pada tubuhku terasa membakar. Tulang-tulangku rasanya
mencair. Aku ingin berteriak, tapi aku tak punya kekuatan untuk membuka
mulutku. Aku mulai terbenam, merosot lebih rendah ke tanah, berat langit
meremukkanku. Lawanlah! Suara Grover terdengar di kepalaku. Jangan menyerah.
Aku berkonsentrasi untuk bernapas. Kalau saja aku bisa menahan langit terangkat
selama beberapa detik lagi. Aku memikirkan tentang Bianca yang telah
mengorbankan hidupnya agar kami bisa sampai di sini. Kalau dia bisa
melakukannya, aku bisa menahan langit.
Pandanganku mengabur. Semua tampaknya bercorak dengan warna merah. Aku
menangkap bayangan-bayangan pertarungan, tapi aku tak yakin jika aku melihat
dengan jernih. Tampak Atlas dengan baju zirah perang lengkap, menikam dengan
lembingnya, tertawa seperti orang gila selagi bertarung. Dan Artemis, bayangan
perak yang kabur. Dia menggenggam dua belati berburu yang terlihat sangat
berbahaya, masing-masing sepanjang lengannya, dan dia melompat dengan
keanggunan yang memukau. Dia terlihat seperti berubah-ubah wujud selagi
bermanuver. Dia adalah macan, antelop, beruang, elang. Atau barangkali itu hanya
bayangan dalam otakku yang panas. Zo? menembakkan panah-panah pada
ayahnya, menyasar pada celah-celah baju zirahnya. Dia mengerang kesakitan
setiap kali panah itu mengenai sasaran, tapi panah-panah itu hanya menyakiti-nya
seperti gigitan lebah. Atlas hanya makin mengamuk dan terus melawan.
Thalia dan Luke bertarung tombak lawan pedang, kilat masih berdenyar-denyar di
antara mereka. Thalia menekan Luke mundur dengan aura perisainya. Bahkan
Luke pun tak kebal terhadapnya. Dia mundur, mengernyit dan menggeram frustasi.
"Menyerahlah!" teriak Thalia. "Kau nggak akan bisa mengalahkanku, Luke."
Luke memamerkan deretan giginya. "Kita lihat saja, teman lamaku."
Keringat membanjiri wajahku. Tanganku licin. Kedua pundakku akan berteriak
kesakitan jika bisa. Aku merasa seperti tulang belakang punggungku dilas dengan
obor. Atals bergerak maju, menekan Artemis. Gerak Artemis cepat, tapi kekuatan Atlas
tak dapat dihentikan. Lembingnya dipancangkan ke tanah tempat Artemis tadi
berada setengah detik sebelumnya, dan sebuah retakan membelah bebatuan. Atlas
melompati retakan itu dan terus mengejarnya. Artemis mengarahkan Atlas berjalan
ke dekatku. Bersiap-siaplah, Artemis bicara di benakku.
Aku kehilangan kemampuan untuk berpikir di tengah kesakitan. Tanggapanku
hanya seperti AAAAdoouuuuuwww.
"Kau bertarung cukup baik untuk seorang gadis," Atlas tertawa. "Tapi kau
bukanlah tandinganku."
Dia membuat gerak tipuan dengan mata lembingnya dan Artemis mengelak. Aku
melihat muslihat itu datang. Lembing Atlas diayunkan dan membuat kaki Artemis
terpeleset ke tanah. Dia terjatuh, dan Atlas mengangkat mata lembingnya untuk
membunuhnya. "Tidak!" teriak Zo?. Dia melompat ke antara ayahnya dan Artemis dan
menembakkan panah tepat ke kening sang Titan, tempat ia menancap seperti
tanduk unicorn. Atlas berteriak mengamuk. Dia memukul putrinya dengan
punggung tangannya, membuatnya terlempar ke bebatuan hitam.
Aku ingin meneriakkan namanya, berlari membantunya, tapi aku tak dapat bicara
ataupun bergerak. Aku bahkan tak bisa melihat di mana Zo? mendarat. Lantas
Atlas menoleh pada Artemis dengan wajah penuh kemenangan. Artemis
tampaknya terluka. Dia tidak bangkit.
"Darah pertama yang diteteskan dalam perang baru," seru Atlas puas. Dan dia
menikam ke arah bawah. Secepat pikiran, Artemis merenggut batang lembingnya. Lembing itu mengenai
tanah tepat di sebelahnya dan Artemis bergerak mundur, menggunakan lembing itu
seperti tuas, menyepak sang Pemimpin Titan dan membuatnya terempas melewati
atas Artemis. Aku melihatnya terjatuh ke atasku dan kusadari apa yang akan
terjadi. Kulonggarkan peganganku pada langit, dan saat Atlas membenturku aku
tak berusaha menahannya. Aku biarkan diriku terdorong keluar dan berguling
sekuat tenaga. Berat langit itu menimpa punggung Atlas, nyaris melumatnya sampai dia berhasil
berlutut, berusaha membebaskan diri dari bawah tekanan langit yang meremukkan.
Tapi sudah terlambat. "Tidaaaaaak!" Dia berteriak sangat keras hingga mengguncang gunung. "Tidak
lagi!" Atlas terperangkap di bawah beban lamanya.
Aku mencoba berdiri dan terjatuh kembali, kebingungan oleh rasa sakit. Badanku
terasa membakar. Thalia membuat Luke mundur ke ujung tebing, tapi mereka tetap bertarung sengit,
di sebelah peti mati emas. Mata Thalia berlinang air mata. Ada sayatan berdarah
melintangi dada Luke dan wajah pucatnya bersimbah keringat.
Dia menerjang ke arah Thalia dan Thalia menghantamnya dengan perisainya,
pedang Luke terlepas dari tangannya dan berdencang mengenai bebatuan. Thalia
mengacungkan ujung tombaknya ke batang lehernya.
Sejenak, hening. "Lalu?" tanya Luke. Dia berusaha menyembunyikannya, tapi aku bisa mendengar
ketakutan pada suaranya. Thalia gemetar dengan amarah.
Di belakangnya, Annabeth berlari tergesa, akhirnya terbebas dari ikatannya.
Wajahnya penuh luka dan ternodai tanah. "Jangan bunuh dia!"
"Dia pengkhianat," ujar Thalia. "Pengkhianat!"
Dalam kelinglunganku, kusadari Artemis tak lagi bersamaku. Dia telah berlari
menuju bebatuan hitam tempat Zo? terjatuh.
"Kita akan bawa pulang Luke," Annabeth memohon. "Ke Olympus. Dia ... dia
akan berguna." "Apa itu yang kauinginkan Thalia?" ejek Luke. "Untuk kembali ke Olympus
dengan kejayaan" Untuk menyenangkan hati ayahmu?"
Thalia tampak ragu, dan Luke mengerahkan upaya terakhirnya merenggut
tombaknya. "Tidak!" teriak Annabeth. Tapi sudah terlambat. Tanpa berpikir, Thalia
menendang Luke. Luke kehilangan keseimbangan, wajahnya panik, dan kemudian
dia pun terjatuh. "Luke!" teriak Annabeth.
Kami bergesa menuju ujung tebing. Di bawah kami, bala tentara dari Putri
Andromeda berhenti tertegun. Mereka semua memandangi tubuh patah Luke di
bebatuan. Meski aku sangat membencinya, aku tak tahan melihatnya. Aku ingin
memercayai bahwa dia masih hidup, tapi itu mustahil. Kejatuhannya setidaknya
sedalam lima belas meter, dan tubuhnya tak bergerak.
Salah satu raksasa mendongak ke atas dan menggeram, "Bunuh mereka!"
Thalia masih tegang oleh kesedihan, air mata mengaliri pipinya. Aku menariknya
mundur saat semburan lembing melesat ke atas kepala kami. Kami berlari menuju
bebatuan, tak mengacuhkan kutukan dan ancaman Atlas saat kami melintas.
"Artemis!" teriakku.
Sang dewi mendongak, wajahnya hampir sama sedihnya dengan Thalia. Zo?
tengah berbaring dalam dekapan sang dewi. Dia masih bernapas. Matanya
membuka. Tapi tetap saja ...
"Lukanya beracun," kata Artemis.
"Atlas meracuninya?" tanyaku.
"Tidak," kata sang dewi. "Bukan Atlas."
Dia menunjukkan luka di sisi tubuh Zo?. Aku nyaris terlupa akan sayatan lukanya
dengan Ladon sang naga. Gigitannya jauh lebih parah dari yang ditampilkan Zo?.
Aku tak tega melihat lukanya. Dia menerjang ke dalam pertempuran melawan
ayahnya dengan luka parah yang sudah menghabisi kekuatannya.
"Bintang-bintang," gumam Zo?. "Aku tak bisa melihatnya."
"Nektar dan ambrosia," kataku. "Ayo! Kita harus mendapatkannya untuknya."
Tak ada yang bergerak. Duka menggantung di udara. Bala tentara Kronos berada
di bawah bukit. Bahkan Artemis terlalu terguncang untuk beranjak. Kami mungkin
akan menemui kiamat kami tepat di situ, tapi kemudian aku mendengar suara
dengung yang aneh. Tepat saat pasukan monster muncul dari bukit, Sopwith Camel meluncur turun dari
langit. "Menjauhlah dari anakku!" pekik Dr. Chase, dan senapan mesinnya meledak
hidup, menghujani tanah dengan lubang-lubang peluru dan mengagetkan
sekumpulan monster hingga kocar-kacir.
"Ayah?" teriak Annabeth tak percaya.
"Lari!" dia balas berteriak, suaranya teredam saat pesawat sayap-ganda itu
melintas. Hal ini memulihkan Artemis dari dukanya. Dia memandang ke pesawat antik itu,
yang kini sedang bergerak memutar bersiap menembakkan peluru lagi.
"Pria pemberani," kata Artemis dengan pengakuan setengah hati. "Ayo. Kita harus
bawa Zo? pergi dari sini."
Dia mengangkat tanduk berburunya ke bibirnya, dan suara jernihnya bergema ke
sepenjuru lembah Marin. Mata Zo? berkedip-kedip.
"Bertahanlah!" kataku padanya. "Semua akan baik-baik saja!"
Sopwith Camel meluncur ke bawah lagi. Beberapa raksasa melemparkan lembing,
dan satu melesat ke antarasa sayap-sayap pesawat, tapi senapan mesinnya terus
memberondong peluru. Kusadari dengan takjub bahwa entah bagaimana Dr. Chase
pasti telah mendapatkan perunggu langit untuk membuat peluru-pelurunya. Barisan
pertama wanita naga meraung saat semburan senapan mesin itu meledakkan
mereka menjadi bubuk kuning sulfur.
"Itu ... ayahku!" ujar Annabeth takjub.
Kami tak punya waktu untuk mengagumi penerbangannya. Para raksasa dan


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita naga sudah mulai siuman dari keterkejutan mereka. Dr. Chase akan
menemui masalah tak lama lagi.
Tepat saat itu, cahaya bulan menyala terang, dan sebuah kereta perak muncul dari
langit, ditarik oleh rusa tercantik yang pernah kulihat. Ia mendarat tepat di
sisi kami. "Masuklah," ujar Artemis.
Annabeth membantuku membawa Thalia naik. Kemudian aku membantu Artemis
dengan Zo?. Kami bungkus Zo? dengan selimut selagi Artemis menarik tali
kekang dan kereta pun meluncur cepat meninggalkan gunung, melesat ke udara.
"Seperti kereta Sinterklas," gumamku, masih terlongo dengan rasa sakit.
Artemis sempat-sempatnya menoleh ke belakang padaku. "Tentu saja, blasteran
muda. Memang menurutmu dari mana legenda itu berasal?"
Melihat kami pergi dengan aman, Dr. Chase membalikkan pesawat sayapgandanya dan
mengikuti kami seperti pengawal kehormatan. Pasti ini merupakan
salah satu pemandangan teraneh yang pernah ada, bahkan bagi Area Teluk
sekalipun: sebuah kereta terbang perak yang ditarik rusa, dikawal oleh Sopwith
Camel. Di belakang kami, bala tentara Kronos meraung marah saat mereka berkumpul di
puncak Gunung Tamalpais, tapi suara tergaduh bersumber dari Atlas, meneriakkan
kutukan-kutukan terhadap para dewa selagi dia berjuang menahan beban langit.
Bab 18 Seorang Teman Mengucap Perpisahan
Kami mendarat di Lapangan Crissy saat malam tiba.
Begitu Dr. Chase melangkah keluar dari Sopwith Camelnya, Annabeth berlari ke
arahnya dan memberinya dekapan erat. "Ayah! Kau terbang ... kau menembak ...
oh demi dewa-dewi! Itu adalah hal terhebat yang pernah kulihat!"
Ayahnya merona. "Yah, tak buruklah untuk manusia paruh-baya, Ayah rasa."
"Tapi peluru-peluru perunggu langitnya! Bagaimana Ayah bisa mendapatkannya?"
"Ah, yah. Kau kan meninggalkan sebagian senjata blasteran di kamarmu di
Virginia, terakhir kalinya kau ... pergi."
Annabeth menunduk, malu. Kuperhatiakn Dr. Chase berhati-hati untuk tak
mengucapkan kabur dari rumah.
"Ayah putuskan untuk mencoba mencairkan sebagian untuk membuat selubung
peluru," lanjutnya. "Hanya percobaan kecil-kecilan."
Dr. Chase mengucapkannya seolah itu bukan masalah besar, tapi dia memiliki
sinar di matanya. Aku bisa mengerti tiba-tiba mengapa Athena, Dewi Seni
Kerajinan dan Kebijaksanaan, menaruh minat padanya. Di dalam jiwanya, dia
adalah seorang ilmuwan sinting yang hebat.
"Ayah ..." perkataan Annabeth terhenti.
"Annabeth, Percy," sela Thalia. Suaranya mendesak. Dia dan Artemis tengah
berlutut di sisi Zo?, membalut luka sang pemburu.
Annabeth dan aku berlari mendekat untuk membantu, tapi tak banyak yang bisa
kami lakukan. Kami tak memiliki ambrosia ataupun nektar. Tak ada obat-obatan
biasa yang bisa membantu. Hari sudah gelap, tapi aku bisa melihat kondisi Zo?
begitu buruk. Dia menggigil, dan pijar samar yang biasanya menggantung di
sekitarnya memudar. "Tak bisakah kau menyembuhkannya dengan sihir?" tanyaku pada Artemis.
"Maksudku ... kau kan dewi."
Artemis tampak gelisah. "Kehidupan itu hal yang rentan, Percy. Jika Takdir
memutuskan benang itu diputus, tak banyak yang bisa kulakukan. Tapi aku bisa
mencobanya." Dia mencoba meletakkan tangannya pada sisi badan Zo?, tapi Zo? mencengkeram
pergelangan tangan Artemis. Dia memandang ke mata sang dewi, dan sebuah
pemahaman bertukar di antara mereka.
"Apakah aku telah ... mengabdikan diri pada dikau dengan baik?" bisik Zo?.
"Dengan penuh kehormatan," ujar Artemis lembut. "Pengabdiku yang terbaik."
Wajah Zo? merileks. "Istirahat. Pada akhirnya."
"Aku bisa mencoba menyembuhkan racunnya, wakilku yang pemberani."
Tapi tepat pada saat itu, aku tahu bukan hanya racun yang membuatnya sekarat.
Pukulan terakhir ayahnyalah yang mengakibatkan hal itu. Zo? sudah lama tahu
bahwa ramalan sang Oracle itu adalah tentang dirinya: dia akan mati di tangan
salah satu orangtuanya. Dan walau begitu, Zo? tetap mengikuti misi ini. Dia
memilih untuk menyelamatkanku, dan kemarahan Atlas telah menghancurkan
dirinya dari dalam. Dia menatap Thalia, dan mengambil tangannya.
"Maafkan aku kita bertengkar," ujar Zo?. "Kita bisa saja jadi saudari."
"Itu salahku," ucap Thalia, mengerjapkan mata kuat-kuat. "Kau benar tentang
Luke, tentang pahlawan, laki-laki - semuanya."
"Mungkin tak semua laki-laki," gumam Zo?. Dia tersenyum lemah padaku. "Apa
kau masih punya pedangnya, Percy?"
Aku tak bisa bicara, tapi kukeluarkan Riptide dan kuletakkan pena itu di
tangannya. Dia menggenggamnya sepenuh hati. "Kau selalu bicara kebenaran,
Percy Jackson. Kau tak sama seperti ... seperti Hercules. Aku merasa tersanjung
bahwa kau yang menggenggam pedang ini."
Getaran menyebar ke sekujur tubuhnya.
"Zo? - " kataku.
"Bintang-bintang," bisiknya. "Aku bisa lihat bintang-bintangnya lagi, Yang
Mulia." Air mata menetes ke pipi Artemis. "Benar, wakilku yang pemberani. Mereka
tampak sangat indah malam ini."
"Bintang-bintang," ulang Zo?. Matanya terpaku pada langit malam. Dan dia tak
bergerak lagi. Thalia menundukkan kepalanya. Annabeth menahan isaknya, dan ayahnya
meletakkan kedua tangannya di pundaknya. Aku memandangi ketika Artemis
menangkupkan tangannya di atas mulut Zo? dan bicara beberapa patah kata dalam
bahasa Yunani Kuno. Seberkas asap perak terembus keluar dari bibir Zo? dan
tertangkap di tangan sang dewi. Tubuh Zo? berdenyar dan menghilang.
Artemis berdiri, mengucapkan semacam berkat, mengembuskan napas ke
tangkupan tangannya dan melepaskan debu perak itu ke langit. Debu itu pun
melayang, berkerlap-kerlip, dan raib.
Sejenak aku tak melihat ada hal yang berbeda. Kemudian Annabeth berdengap.
Memandang ke atas langit, aku melihat bahwa langit-langit kini bersinar lebih
terang. Mereka membentuk sebuah pola yang tak pernah kusadari sebelumnya -
sebuah rasi bintang bersinar terang yang tampak mirip seperti bentuk seorang
gadis - seorang gadis dengan busur, berlari melintasi langit.
"Biarkan dunia menghargaimu, Pemburuku," ujar Artemis. "Hiduplah selamanya
di antara bintang-bintang."
Tidak mudah mengucapkan perpisahan bagi kami. Guntur dan kilat masih
menyambar di belakang Gunung Tamalpais di utara. Artemis sangat berduka
hingga dia memijarkan cahaya keperakan. Hal itu membuatku tegang, karena jika
dia tiba-tiba lepas kendali dan menampilkan wujud agung sejatinya, kami akan
terbuyar dengan memandangnya.
"Aku harus pergi ke Olympus segera," kata Artemis. "Aku tak bisa membawa
kalian, tapi akan kukirimkan bantuan."
Sang dewi meletakkan tangannya di pundak Annabeth. "Keberanianmu sungguh
luar biasa, gadisku. Kau akan lakukan apa yang benar."
Kemudian dia memandang penuh tanda tanya pada Thalia, seolah dia tak yakin apa
yang bisa dia harapkan dari putri bungsu Zeus ini. Thalia tampak enggan untuk
bertemu mata dengannya, tapi sesuatu menggerakkannya, dan dia pun menatap
lekat pada mata sang dewi. Aku tak tahu pemahaman apa yang saling mereka
tukar, tapi pandangan Artemis melembut dengan rasa simpati. Kemudian dia
berpaling padaku. "Kau cukup lumayan tadi," ujarnya. "Untuk seorang laki-laki."
Aku ingin mengajukan protes. Tapi kemudian kusadari itu adalah kali pertamanya
dia tak memanggilku dengan sebutan bocah.
Dia menaiki keretanya, yang mulai bersinar. Kami mengalihkan pandangan. Ada
kilatan perak menyambar, dan sang dewi pun menghilang.
"Yah," desak Dr. Chase. "Dia sangat mengesankan; meski harus kuakui aku tetap
lebih menyukai Athena."
Annabeth berpaling memandang ayahnya. "Ayah, aku ... aku minta maaf telah - "
"Stt." Ayahnya memeluknya. "Lakukan apa yang seharusnya, sayang. Ayah tahu
ini tak mudah bagimu."
Suara ayahnya sedikit bergetar, tapi dia memberi Annabeth senyuman tegar.
Kemudian kudengar suara gemuruh kepakan sayap-sayap besar. Tiga pegasus
turun dari selubung kabut: dua kuda putih bersayap dan satu kuda hitam murni.
"Blackjack!" panggilku.
Yo, Bos! Panggilnya. Kau berhasil bertahan hidup tanpaku"
"Nggak gampang sih," aku mengakui.
Aku bawa serta Guido dan Porkpie bersamaku.
Gimana kabar kalian" Dua pegasus lain bicara dalam kepalaku.
Blackjack mengamatiku dengan cemas, kemudian mengamati Dr. Chase, Thalia,
dan Annabeth. Apa ada di antara orang-orang ini yang kau ingin kami injakinjak"
"Tidak," kataku lantang. "Ini adalah teman-temanku. Kita harus pergi ke Olympus
dengan cepat." Tak masalah, ujar Blackjack. Kecuali untuk manusia yang di sebelah sana.
Semoga dia nggak ikut. Kuyakinkan dia bahwa Dr. Chase takkan ikut. Sang profesor menatap dengan
mulut menganga pada ketiga pegasus.
"Mengagumkan," ujarnya. "Manuver yang mengesankan! Bagaimana cara panjang
sayap menahan berat tubuh kudanya, aku ingin tahu?"
Blackjack menelengkan kepalanya. Apaaaa"
"Begini, jika saja pasukan Inggris dulu memiliki pegasus-pegasus seperti ini
dalam kavaleri yang menyerang Semenanjung Crimea," ujar Dr. Chase, "maka serangan
dari brigade bersenjata ringan - "
"Ayah!" sela Annabeth.
Dr. Chase mengerjapkan mata. Dia menatap putrinya dan berhasil
menyunggingkan senyum. "Maafkan aku, Sayang. Aku tahu kalian mesti pergi."
Dia memberi Annabeth pelukan terakhir yang kikuk dan penuh arti. Selagi
Annabeth berbalik untuk menaiki Guido si pegasus, Dr. Chase memanggil,
"Annabeth. Ayah tahu ... Ayah tahu San Francisco adalah tempat yang berbahaya
bagimu. Tapi tolong ingatlah, kau selalu memiliki rumah bersama kami. Kami
akan menjaga keselamatanmu."
Annabeth tak menjawab, namun matanya merah saat dia membalikkan badan. Dr.
Chase mulai ingin bicara lebih banyak, tapi segera berubah pikiran. Dia
mengangkat tangannya melambaikan perpisahan sendu dan melangkah gontai
melintasi lapangan gelap.
Thalia dan Annabeth dan aku menaiki pegasus masing-masing. Bersama-sama
kami membubung tinggi melintasi teluk dan terbang menuju perbukitan sisi timur.
Tak lama San Francisco tak lebih dari bulan sabit gemerlap di belakang kami,
dengan sesekali tampak sambaran kilat di utara.
Thalia begitu letih hingga tertidur di punggung Porkpie. Aku tahu dia pasti luar
biasa letihnya hingga bisa-bisanya tertidur di udara, meski dia memiliki
ketakutan terhadap ketinggian, tapi dia memang tak perlu terlalu cemas. Pegasusnya terbang
dengan ringannya, menyesuaikan terbangnya sesekali agar Thalia bertengger
nyaman di punggungnya. Annabeth dan aku terbang bersisian.
"Ayahmu kelihatannya asyik," kataku padanya.
Terlalu gelap untuk melihat ekspresinya. Annabeth menoleh ke belakang meskipun
California kini sidah jauh di belakang kami.
"Kurasa begitu," ujarnya. "Kami sudah bertengkar terlalu lama."
"Yeah, itu yang kaubilang."
"Apa kau pikir aku berbohong tentang itu?" Perkataannya terdengar seperti
tantangan, tapi tantangan yang hanya setengah-hati, seolah dia menanyakan itu
pada dirinya sendiri. "Aku nggak bilang kau berbohong. Hanya saja ... dia kelihatan lumayan. Ibu
tirimu, juga. Barangkali mereka hanya, eh, jadi lebih tenang sejak terakhir
kalinya kau bertemu dengan mereka."
Dia ragu. "Mereka masih tinggal di San Francisco, Percy. Aku nggak bisa tinggal
sejauh itu dari perkemahan."
Aku enggan mengajukan pertanyaanku berikutnya. Aku takut mendengar
jawabannya. Namun aku tetap saja menanyakannya. "Jadi apa yang akan
kaulakukan sekarang?"
Kami terbang melewati sebuah kota, sebuah pulau penuh lampu di tengah-tengah
kegelapan. Kota itu melintas begitu cepatnya sehingga rasanya seperti kami
tengah naik pesawat terbang. "Aku nggak tahu," dia mengakui. "Tapi terima kasih sudah menyelamatkanku."
"Hei, bukan masalah. Kita kan teman."
"Kau nggak percaya aku sudah mati?"
"Nggak pernah."
Dia tampak ragu. "Luke juga begitu, kautahu. Maksudku ... dia juga belum mati."
Aku menatapnya. Aku tak tahu apakah pikirannya sedang kalut akibat stres atau
apa. "Annabeth, jatuhnya Luke cukup parah. Tak mungkin dia - "
"Dia belum mati," dia bersikukuh. "Aku tahu. Seperti cara yang sama kau bisa
tahu tentangku." Perbandingan itu tidak membuatku senang.
Kota-kota melintas lebih cepat kini, pulau-pulau cahaya kian menebal bersamaan,
hingga seluruh pemandangan di bawah kami berupa karpet gemerlap. Fajar kian
dekat. Langit timur berubah abu-abu. Dan di hadapan kami, cahaya putih-dankuning
besar menyebar di depan kami - lampu-lampu kota New York.
Bagaimana kecepatannya, Bos" Blackjack menyombong. Kami bakalan dapat
jerami ekstra buat sarapan atau apa"
"Kaulah jagoannya, Blackjack," seruku padanya.
"Kau nggak memercayaiku tentang Luke," ujar Annabeth, "tapi kita akan bertemu
lagi dengannya. Dia sedang terkena masalah, Percy. Dia berada di bawah gunaguna
Kronos." Aku sedang tak ingin berdebat, meski perkataannya membuatku marah. Bagaimana
mungkin Annabeth masih menyimpan perasaan untuk si berengsek itu" Bagaimana
mungkin dia bisa-bisanya mencari alasan untuknya" Luke pantas terjatuh. Dia
pantas ... oke, kuakui saja. Dia pantas mati. Tak seperti Bianca. Tak seperti
Zo?. Luke tak mungkin masih hidup. Itu takkan adil.
"Itu dia." Suara Thalia; dia sudah terbangun. Dia sedang menunjuk ke kota
Manhattan, yang dengan cepat muncul di pandangan. "Sudah mulai."
"Apa yang sudah mulai?"
Kemudian aku melihat apa yang ditunjuknya. Jauh di atas Empire State Building,
Olympus merupakan pulau cahaya tersendiri, gunung mengambang yang diterangi
dengan obor-obor dan tungku-tungku perapian, istana-istana marmer putih bersinar
diterpa udara dini hari. "Titik balik matahari musim dingin," ujar Thalia. "Pertemuan Dewan para Dewa."
Bab 19 Para Dewa Memvoting Cara Membunuh Kami
Terbang sudah cukup buruk bagi putra Poseidon, tapi terbang cepat menuju istana
Zeus, dengan iringan guntur dan kilat menyambar-nyambar di sekitarnya, jauh
lebih buruk lagi. Kami berputar mengitari tengah kota Manhattan, membuat satu putaran penuh
mengelilingi Gunung Olympus. Aku baru pernah sekali ke sana, menempuh
perjalanan dengan menaiki lift hingga ke lantai rahasia keenam ratus dari Empire
State Building. Kali ini, jika pun masing memungkinkan, Olympus membuatku
lebih takjub lagi. Di tengah kegelapan dini hari, obor-obor dan api-api membuat istana-istana di
sisi gunung memijarkan dua puluh warna berbeda, dari merah darah hingga nila.
Sepertinya tak ada yang pernah tidur di Olympus. Jalan-jalan yang berkelok
dipenuhi para makhluk-makhluk separuh dewa dan arwah-arwah liar dan dewadewi
minor yang sibuk lalu-lalang, mengendarai kereta kuda atau menaiki tandu
yang diangkut oleh para Cyclops. Musim dingin sepertinya tak pernah hadir di
sini. Aku menghirup bau taman-taman yang tengah bersemi, melati dan mawar dan
bahkan kembang-kembang yang lebih wangi yang tak kukenali. Musik mengalun
dari banyak jendela, alunan merdu lyre dan seruling.
Di puncak gunung menjulang sebuah istana termegah, balairung putih bersinar
para dewa. Pegasus-pegasus kami menurunkan kami di pekarangan luar, di depan gerbanggerbang
perak besar. Sebelum aku berpikir untuk mengetuknya, gerbang-gerbang
itu membuka sendiri.

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semoga beruntung, bos, ujar Blackjack.
"Iya." Aku tak tahu kenapa, tapi aku mendapat firasat hadirnya bencana. Aku tak
pernah melihat seluruh dewa berkumpul dalam satu tempat. Aku tahu masingmasing
dari mereka bisa meledakkanku jadi debu, dan beberapa dari mereka
memang menginginkannya. Hei, Bos, kalau kau nggak kembali, boleh nggak kabinmu kujadikan sebagai
kandangku" Aku menatap pegasus itu. Cuma sebuah ide, katanya. Maaf.
Blackjack dan kawan-kawannya pergi terbang, meninggalkan Thalia, Annabeth,
dan aku sendiri. Selama semenit kami mematung di sana memandangi istana itu,
sama seperti saat kami berdiri bersama di muka Asrama Westover, yang rasanya
sudah terjadi jutaan tahun yang lalu.
Dan kemudian, bersisian, kami berjalan memasuki ruang singgasana.
Dua belas kursi singgasana raksasa membentuk huruf U mengelilingi sebuah
lubang perapian di tengah, persis seperti susunan kabin di perkemahan.
Langitlangit di atas berkilauan dengan tebaran berbagai rasi bintang - bahkan rasi
bintang yang terbaru, Zo? sang Pemburu, berjalan melintas langit dengan menyandang
busurnya. Semua kursi diduduki. Setiap dewa dan dewi tingginya sekitar empat setengah
meter, dan kuberi tahu padamu, jika kau pernah mendapati selusin makhluk
raksasa penuh-kuasa memandangimu bersamaan ... Yah, tiba-tiba, berhadapan
dengan para monster hanya serasa piknik.
"Selamat datang, para pahlawan," ujar Artemis.
"Mooo!" Pada saat itulah aku menyadari kehadiran Bessie dan Grover.
Sebuah lengkungan berisi air mengambang di tengah-tengah ruangan, di sebuah
tungku pembakaran. Bessie tampak berenang-renang dengan riang, mengibas
buntut ular-nya dan menjulurkan kepalanya ke pinggir dan dasar kolam. Ia
sepertinya menikmati kemewahan berenang dalam gelembung ajaib. Grover tengah
berlutut di hadapan singgasana Zeus, seolah baru saja menyampaikan laporan, tapi
saat Grover melihat kami, dia berteriak, "Kalian berhasil!"
Grover mulai berlari menujuku, kemudian teringat bahwa dia tengah
memunggungi Zeus, lantas memohon izin.
"Pergilah," kata Zeus. Tapi dia tak sungguh-sungguh menaruh perhatian pada
Grover. Sang Penguasa Langit tengah menatap tajam pada Thalia.
Grover berderap mendekat. Tak satu pun dewa angkat bicara. Setiap derap langkah
Grover bergema di lantai marmer. Bessie berkecipak-kecipuk dalam gelombang
air. Tungku pembakar berderak.
Aku memandang gelisah pada ayahku, Poseidon. Dia mengenakan pakaian yang
sama seperti kali terakhir kuberjumpa dengannya: celana pendek pantai, kemeja
Hawaii, dan sepasang sandal. Kulit wajahnya cokelat terbakar matahari dengan
janggut hitam dan sepasang mata hijau tajam. Aku tak tahu bagaimana perasaanya
melihatku kembali, tapi sudut matanya berkerut dengan garis-garis senyum. Dia
mengangguk seolah hendak berkata Tenanglah.
Grover memberi Annabeth dan Thalia pelukan erat. Kemudian dia merengkuh erat
kedua lenganku. "Percy, Bessie dan aku berhasil! Tapi kau harus meyakinkan
mereka! Mereka tak bisa melakukannya!"
"Melakukan apa?" tanyaku.
"Para pahlawan," panggil Artemis.
Sang dewi turun dari singgasana dan mewujud ke ukuran manusia normal, seorang
gadis berambut kemerahan, tampak sangat tenang berada di tengah-tengah
kumpulan raksasa Olympia. Dia berjalan ke arah kami, jubah peraknya berkilauan.
Tak tampak emosi pada wajahnya. Dia seperti berjalan di bawah cahaya rembulan.
"Dewan para dewa telah diberi tahu mengenai perbuatan kalian," ujar Artemis
pada kami. "Mereka tahu bahwa Gunung Othrys tengah bangkit di Barat. Mereka
mengetahui akan upaya pembebasan diri Atlas, dan menguatkan bala tentara
Kronos. Kami telah memutuskan untuk mengambil tindakan."
Terdengar bunyi grasak-grusuk dan gumaman di antara para dewa, seolah tidak
semua dari mereka menyetujui rencana itu, namun tak ada yang mengajukan
protes. "Atas perintah Tuanku Zeus," ujar Artemis, "saudaraku Apollo dan aku sendiri
akan memburu monster-monster terkuat, berupaya menghabisi mereka sebelum
mereka sempat bergabung dengan misi bangsa Titan. Yang Mulia Athena secara
pribadi akan memeriksa kaum Titan yang tersisa untuk memastikan mereka tak
meloloskan diri dari berbagai tempat tahanan mereka. Tuanku Poseidon telah
diberi izin untuk melepaskan amukannya pada kapal pesiar Putri Andromeda dan
mengirimnya ke dasar lautan. Dan bagi kalian, para pahlawanku ..."
Artemis berpaling menghadapi para dewa-dewi lainnya. "Para blasteran ini telah
berjasa besar terhadap Olympus. Apakah ada hadirin di sini yang bisa
menyangkalnya?" Dia menebarkan padangannya pada seluruh dewa yang berkumpul, memandangi
mereka satu per satu. Zeus dengan setelan gelap bergaris-garis, janggut hitam
terpangkas rapi, dan matanya yang berbinar dengan semangat. Di sebelahnya
duduk seorang wanita cantik dengan rambut kepang perak terjuntai pada bahunya
dan dengan sebuah gaun yang mengilatkan warna-warni serupa bulu-bulu burung
merak. Sang Dewi Hera. Di sebelah kanan Zeus, duduk ayahku Poseidon. Di sebelahnya, tampak sesosok
pria dengan kaki terbungkus rangka baja, bentuk kepala yang cacat, dan janggut
cokelat lebat, api-api berdenyar pada jambangnya. Sang Raja Penempaan,
Hephaestus. Hermes mengedipkan mata padaku. Dia mengenakan setelan bisnis hari ini, sambil
memeriksa pesan-pesan pada ponsel caduceus-nya. Apollo menyandarkan
punggungnya pada singgasana emasnya dengan kacamata hitamnya. Headphone
iPodnya terpasang, jadi aku tak yakin apa dia bahkan menyimak, tapi dia
memberiku dua acungan jempol. Dionysus terlihat bosan terlihat bosan,
memainmainkan sulur anggur di sela jemarinya. Dan Ares, yah, dia duduk di
singgasana lapis krom-dan-kulitnya, memelototiku sementara dia mengasah pisaunya.
Pada deretan para wanita di ruang singgasana, seorang dewi berambut gelap
dengan jubah hijau duduk di sebelah Hera di singgasana yang terbuat dari jalinan
dahan-dahan pohon apel. Demeter, Dewi Panen. Di sebelahnya duduk seorang
wanita cantik bermata abu-abu dalam balutan gaun putih anggun. Pasti dia ibunya
Annabeth, Athena. Kemudian ada Aphrodite, yang tersenyum padaku penuh arti
dan membuatku malu-malu sendiri.
Seluruh warga Olympia di satu tempat. Ada begitu banyak kekuatan di ruangan ini
rasanya sungguh ajaib seluruh istana ini tidak meledak.
"Harus kuakui" - Apollo memecah keheningan - "anak-anak ini lumayan." Dia
berdeham dan mulai berdeklamasi: "Para pahlawan memenangkan mahkota daun
dafnah - " "Em, ya, kelas utama," sela Hermes, seperti tak sabar untuk menghindar dari
puisi Apollo. "Bagi yang setuju untuk tak membuyarkan mereka?"
Beberapa tangan teracung pelan - Dementer, Aphrodite.
"Tunggu dulu sebentar," geram Ares. Dia menunjuk pada Thalia dan aku. "Dua
anak ini berbahaya. Akan lebih aman jadinya, selagi kami masih menahan mereka
di sini - " "Ares," sela Poseidon, "mereka adalah pahlawan yang berjasa. Kita takkan
meledakkan putraku hingga berkeping-keping."
"Tidak pula putriku," gerutu Zeus. "Perbuatannya sangat memuaskan."
Thalia merona. Dia menekuni lantai. Aku tahu bagaimana perasaannya. Aku
sendiri hampir tak pernah bicara dengan ayahku, apalagi mendapat pujian.
Dewi Athena berdeham dan memajukan duduknya. "Aku juga bangga pada
putriku. Namun ada resiko keamanan di sini dengan dua anak yang lain."
"Ibu!" seru Annabeth. "Bagaimana Ibu bisa - "
Athena memutus ucapan Annabeth dengan tatapan yang tenang namun tegas.
"Sangat disayangkan bahwa ayahku, Zeus, dan pamanku, Poseidon, memilih untuk
melanggar sumpah mereka untuk tak memiliki anak lagi. Hanya Hades yang
menepati janjinya, sebuah fakta yang kuanggap sangat ironis. Seperti yang kami
ketahui dari Ramalan Besar, anak-anak dari tiga dewa utama ... seperti Thalia
dan Percy ... amat berbahaya. Seberapa pun kosongnya isi kepalanya, Ares ada
benarnya juga." "Benar!" timpal Ares. "Hei, tunggu sebentar. Siapa yang kau sebut - "
Ares mulai bangkit, tapi sulur-sulur anggur menjalar di seputar pinggangnya
seperti sabuk pengaman dan menariknya kembali duduk.
"Oh, tolonglah, Ares," desah Dionysus. "Simpanlah keributannya untuk nanti."
Ares mengumpat dan mencabik sulur-sulurnya. "Pantas sekali omongan itu keluar
dari mulutmu, dasar pemabuk tua. Kau serius ingin melindungi anak-anak tengik
ini?" Dionysus memandangi kami dengan tatapan bosan. "Aku sama sekali tak peduli
pada mereka. Athena, apa kau benar-benar berpikir langkah teraman adalah
menghancurkan mereka?"
"Aku tak mengemukakan penilaian," ujar Athena. "Aku hanya sekadar
mengemukakan risiko yang ada. Langkah apa yang akan kami lakukan kemudian,
semua bergantung pada keputusan Dewan."
"Aku takkan membiarkan mereka dihukum," ujar Artemis. "Aku akan memberikan
penghargaan pada mereka. Jika kita memusnahkan para pahlawan yang telah
berjasa pada kita, maka kita tak ada bedanya dengan bangsa Titan. Jika ini
keadilan bangsa Olympia, aku tak ingin berurusan dengannya."
"Tenanglah, Dik," timpal Apollo. "Busyet deh, kau perlu rileks sedikit."
"Jangan panggil aku dik! Aku akan memberikan penghargaan bagi mereka."
"Yah," gumam Zeus. "Mungkin sebaiknya begitu. Tapi monsternya setidaknya
harus dimusnahkan. Apa kita sudah menyepakati itu?"
Banyak kepala mengangguk.
Dibutuhkan satu detik untukku untuk menyadari apa yang mereka maksudkan.
Kemudian jantungku mengeras. "Bessie" Kalian ingin memusnahkan Bessie?"
"Mooooooo!" protes Bessie.
Ayahku mengerutkan kening. "Kau menamai Ophiotaurus itu Bessie?"
"Ayah," ujarku, "ia hanyalah makhluk laut. Makhluk laut yang sangat baik. Kau
tak bisa membinasakannya."
Poseidon bergerak gelisah. "Percy, kekuatan monster itu harus dipertimbangkan.
Jika para Titan mencurinya, atau - "
"Kalian tak bisa begitu," desakku. Kupandangi Zeus. Mungkin seharusnya aku
ketakutan berhadapan dengannya, tapi aku menatap tepat pada matanya.
"Mengendalikan ramalan tak pernah berhasil. Bukankah benar begitu" Lagi pula,
Bess - Ophiotaurus itu tak bersalah. Membunuh mahkluk seperti itu adalah
tindakan yang salah. Sama salahnya dengan ... dengan tindakan Kronos memakan
anak-anaknya, hanya karena mendengar ramalan akan apa yang anak-anaknya
mungkin lakukan. Itu salah!"
Zeus tampak mempertimbangkannya. Matanya beralih pada putrinya Thalia. "Dan
bagaimana dengan risikonya" Kronos tahu benar, jika salah satu dari kalian kelak
mengorbankan isi perut makhluk liar itu, kalian akan memiliki kekuasaan untuk
menghancurkan kami. Apa kau pikir kami bisa membiarkan adanya kemungkinan
itu" Kau, putriku, akan menginjak usia enam belas esok hari, seperti yang
disebutkan di dalam ramalan."
"Kau harus memercayai mereka," Annabeth angkat bicara. "Tuan, kau harus
memercayai mereka." Zeus menatap marah. "Memercayai pahlawan?"
"Annabeth benar," kata Artemis. "Itu sebabnya terlebih dulu aku harus memberi
penghargaan. Teman sejatiku, Zo? Nightshade, telah pergi ke bintang-bintang. Aku
harus mengangkat seorang wakil baru. Dan aku bermaksud memilih seseorang.
Tapi sebelumnya, Ayah Zeus, aku harus bicara secara pribadi dengan Ayah."
Zeus mengisyaratkan Artemis untuk mendekat. Dia mencondongkan tubuhnya
rendah dan mendengarkan selagi Artemis berbicara ke telinganya.
Rasa panik menyergapku. "Annabeth," kataku dengan napas berat. "Jangan."
Dia mengerutkan keningnya padaku. "Apa?"
"Dengar, aku harus memberitahukanmu sesuatu," lanjutku. Kata-kata itu terlontar
keluar dari mulutku. "Aku nggak bisa menerima kalau ... Aku nggak ingin kau - "
"Percy?" katanya. "Kau seperti pengin muntah."
Dan memang itulah yang kurasakan. Aku ingin bicara lebih, tapi lidahku
mengkhianatiku. Lidahku tak mau bergerak karena rasa takut yang melanda
perutku. Dan kemudian Artemis berpaling.
"Aku akan mengangkat seorang wakil baru," dia mengumumkan. "Jika dia mau
menerimanya." "Tidak," gumamku.
"Thalia," ujar Artemis. "Putri Zeus. Bersediakah kau bergabung dengan
Perburuan?" Keheningan memenuhi ruangan. Kupandangi Thalia, tak mampu mempercayai apa
yang kudengar. Annabeth tersenyum. Dia meremas tangan Thalia dan
melepaskannya, seolah dia telah mengharapkannya sejak lama.
"Aku bersedia," jawab Thalia tegas.
Zeus bangkit, matanya penuh kecemasan. "Putriku, pertimbangkanlah baik-baik -
" "Ayah," ujarnya. "Aku takkan menginjak usia enam belas besok. Aku takkan
pernah menginjak usia enam belas. Aku takkan biarkan ramalan ini menjadi
milikku. Aku akan berjuang bersama saudariku Artemis. Kronos takkan pernah
memikatku lagi." Thalia berlutut di hadapan Artemis dan mulai mengucapkan sumpah yang kuingat
pernah diucapkan Bianca, yang rasanya terjadi sudah lama sekali. "Aku bersumpah
mengabdikan diriku pada dewi Artemis. Aku lepaskan segala ikatan dengan lakilaki
..." Setelahnya, Thalia melakukan sesuatu yang hampir sama mengejutkanku dengan
sumpah itu sendiri. Dia mendatangiku, tersenyum, dan di hadapan semua anggota
dewan, dia memberiku pelukan erat.
Wajahku serasa terbakar. Saat dia melepaskan pelukannya dan mencengkeram kedua bahuku, aku berkata,
"Em ... bukankah kau nggak semestinya melakukan itu lagi" Memeluk anak lakilaki,
maksudku?" "Aku menghormati seorang teman," dia mengoreksi. "Aku harus bergabung
dengan Perburuan, Percy. Aku nggak pernah mengenal kedamaian sejak ... sejak
Bukit Blasteran. Aku akhirnya merasa seperti memiliki sebuah rumah. Tapi kau
adalah seorang pahlawan. Kau yang akan menjadi pahlawan yang dimaksud dalam
ramalan itu." "Hebat," gumamku.
"Aku bangga menjadi temanmu."
Dia memeluk Annabeth, yang berusaha keras tak menangis. Kemudian Thalia
bahkan memeluk Grover, yang kelihatan hampir pingsan, seolah ada yang baru
saja memberinya kupon makan enchilada-sesuka-hatimu.
Kemudian Thalia pergi untuk berdiri di sisi Artemis.
"Kini bagi Ophiotaurus itu," ujar Artemis.
"Bocah ini masih berbahaya," Dionysus memper-ingatkan. "Makhluk liar itu
adalah godaan terhadap kekuasaan besar. Bahkan jika pun kami selamatkan si
bocah - " "Tidak." Kupandangi semua dewa. "Kumohon. Selamatkan Ophiotaurus. Ayahku
bisa menyembunyikannya di suatu tempat di dasar laut, atau menyimpannya di
sebuah akuarium di Olympus sini. Tapi kalian harus melindunginya."
"Dan kenapa kami harus memepercayaimu?" gerutu Hephaestus.
"Aku baru empat belas tahun," ujarku. "Kalau ramalan ini benar tentangku, itu
berarti masih dua tahun lagi."
"Dua tahun bagi Kronos untuk menipumu," ujar Athena. "Banyak hal yang bisa
berubah dalam waktu dua tahun, pahlawan muda."
"Ibu!" ujar Annabeth, kesal.
"Itu semata kebenarannya, anakku. Merupakan strategi buruk untuk membiarkan
hidup hewan itu. Ataupun bocah itu."
Ayahku bangkit. "Aku takkan biarkan makhluk laut dimusnahkan, jika aku bisa
mencegahnya. Dan aku bisa mencegahnya."
Dia mengulurkan tangannya, dan sebuah trisula muncul di telapaknya: sebuah
gagang perunggu sepanjang enam meter dengan tiga mata tombak yang berdenyar
dengan cahaya air biru. "Aku akan menjamin atas anak ini dan keselamatan
Ophiotaurus." "Kau takkan membawanya ke bawah laut!" Zeus tiba-tiba bangkit. "Aku takkan
biarkan adanya aset perundingan macam itu dalam kepemilikanmu."
"Saudaraku, tolonglah," desah Poseidon.
Petir Zeus muncul di tangannya, sebuah batang proyektil listrik yang memenuhi
seluruh ruangan dengan bau ozon.
"Baiklah," ujar Poseidon. "Aku akan bangun sebuah akuarium untuk makhluk ini.
Hephaestus bisa membantuku. Makhluk ini akan aman. Kita akan melindungimya


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan segenap kekuatan kita. Anak ini takkan mengkhianati kita. Kujamin itu
dengan segenap harga diriku."
Zeus mempertimbangkan hal ini. "Bagi yang setuju?"
Betapa terkejutnya aku, banyak tangan teracung. Dionysus memilih abstain. Begitu
pula Ares dan Athena. Tapi semua dewa lain ...
"Kita sudah mendapat mayoritas suara," Zeus menjatuhkan keputusan. "Dengan
demikian, oleh karena kita tidak akan memusnahkan pahlawan-pahlawan ini ...
Menurutku kita harusnya memberi penghargaan pada mereka. Mari kita mulai
perayaan kemenangan ini!"
Ada yang namanya pesta, dan ada yang namanya pesta pora megah yang besarbesaran.
Dan ada pula pesta bangsa Olympia. Kalau kau pernah mendapat pilihan,
pilihlah pesta bangsa Olympia.
Kesembilan Musai mulai memainkan lagu, dan kusadari musiknya akan terdengar
sesuai dengan apa yang kauinginkan: para dewa bisa mendengar musik klasik
sementara para makhluk separuh dewa muda mendengarkan hiphop atau apa pun,
dan sumber musiknya sama semua. Tak ada perdebatan. Tak ada pertengkaran
untuk mengubah saluran radio. Hanya permintaan untuk mengeraskan volumenya.
Dionysus berjalan berkeliling menumbuhkan stan-stan camilan dan minuman dari
tanah, dan seorang wanita cantil berjalan bergandengan dengannya - istrinya,
Ariadne. Untuk kali pertama Dionysus tampak bahagia. Nektar dan ambrosia
tumpah ruah dari sejumlah air mancur emas, dan piring-piring makanan camilan
manusia biasa memenuhi meja-meja prasmanan. Gelas-gelas piala emas terisi
dengan minuman apa pun yang kauinginkan. Grover berjalan pelan berkeliling
dengan sepiring penuh kaleng-kaleng timah dan enchilada, dan gelas pialanya
terisi double-espresso latte, sambil terus menggumamkan sesuatu seperti jampi-jampi:
"Pan! Pan!" Para dewa terus berdatangan untuk mengucapkan selamat padaku. Untungnya,
mereka telah menciutkan diri mereka hingga seukuran manusia biasa, sehingga
mereka tidak akan menginjak para penikmat pesta secara tak sengaja di bawah kaki
mereka. Hermes mulai berbincang denganku, dan dia begitu riangnya hingga aku
benci untuk memberitahukannya akan apa yang terjadi pada anak yang paling tak
dibanggakannya, Luke, tapi sebelum aku bahkan bisa mengumpulkan keberanian
untuk menyampaikannya, Hermes menerima panggilan pada caduceusnya dan
melangkah pergi. Apollo memberitahuku bahwa aku boleh mengendarai kendaraan mataharinya
kapan pun, dan kalau suatu saat aku menginginkan pelajaran memanah -
"Makasih," kataku padanya. "Tapi serius, aku nggak pandai dalam memanah."
"Ah, omong kosong," ujarnya. "Latihan menembak dari kereta selagi kita terbang
melintas Amerika" Itu hiburan paling seru!"
Aku mengarang beberapa alasan dan lantas pergi menyelap-nyelip keramaian yang
sedang berdansa di pekarangan istana. Aku mencari Annabeth. Terakhir kali aku
melihatnya, dia sedang berdansa dengan seorang dewa minor.
Kemudia terdengar suara seorang pria dari belakangku, "Kau takkan
mengecewakanku, kuharap."
Aku berbalik dan menemukan Poseidon tengah tersenyum padaku.
"Ayah ... hai."
"Halo, Percy. Kau lumayan sukses."
Pujiannya membuatku rikuh. Maksudku, rasanya sih menyenangkan, tapi aku tahu
seberapa besarnya dia mempertaruhkan dirinya sendiri, menjamin untuk diriku.
Tentu akan jauh lebih mudah jika membiarkan yang lain membuyarkanku.
"Aku takkan mengecewakanmu," janjiku.
Dia mengangguk. Aku mengalami kesulitan membaca emosi dewa, tapi aku
bertanya-tanya jika dia memendam keraguan.
"Temanmu Luke - "
"Dia bukan temanku," semburku. Kemudian kusadari mungkin kasar untuk
menyela. "Maaf."
"Mantan temanmu Luke," Poseidon mengoreksi. "Dia pernah menjanjikan hal-hal
yang sama semacam itu. Dulunya dia adalah kebanggaan dan penggembira hati
Hermes. Ingatlah baik-baik itu, Percy. Bahkan yang terberani sekali pun bisa
tergelincir." "Luke terjatuh cukup parah," aku menyetujui. "Dia sudah mati."
Poseidon menggeleng. "Tidak, Percy. Dia belum mati."
Aku memandanginya. "Apa?"
"Aku percaya Annabeth telah memberitahumu hal ini. Luke masih hidup. Aku
melihatnya. Kapalnya berlayar dari San Francisco dengan sisa-sisa tubuh Kronos
bahkan hingga kini. Dia akan mundur sementara dan mengumpulkan kembali
kekuatan sebelum menyerang kalian lagi. Aku akan berusaha semampuku untuk
menghancurkan kapalnya dengan badai, namun dia membuat persekutuan dengan
musuh-musuhku, arwah-arwah purba lautan. Mereka akan melawan demi
melindunginya." "Bagaimana mungkin dia masih hidup?" kataku. "Jatuhnya mestinya sudah
menewaskannya!" Poseidon terlihat gelisah. "Aku tak tahu, Percy, tapi waspadailah dia. Dia lebih
berbahaya dari sebelumnya. Dan peti mati emas itu masih bersamanya, masih
menguat." "Bagaimana dengan Atlas?" tanyaku. "Apa yang bisa mencegahnya dari
meloloskan diri lagi" Tak bisakah dia memaksa raksasa atau makhluk lain
mengambil langit itu darinya?"
Ayahku mendengus penuh cemooh. "Kalau memang semudah itu, dia tentu sudah
meloloskan diri sejak lama sekali. Tidak, anakku. Kutukan langit itu hanya bisa
dipaksakan pada seorang Titan, salah satu anak dari Gaia dan Ouranous. Orang
lain harus memilih untuk mengambil beban itu berdasarkan kehendak bebas
mereka sendiri. Hanya seorang pahlawan, seseorang dengan kekuatan, jiwa yang
murni, dan keberanian besar, yang akan melakukan hal seperti itu. Tak ada satu
pun dari bala tentara Kronos yang akan berani mencoba menanggung beban itu,
bahkan jika harus sekarat sekalipun."
"Luke melakukannya," ujarku. "Dia membiarkan Atlas pergi. Kemudian dia
mengelabui Annabeth untuk menolongnya dan memanfaatkannya untuk
meyakinkan Artemis untuk mengambil langit itu."
"Benar," kata Poseidon. "Luke adalah ... kasus yang menarik."
Kupikir dia ingin bicara lebih banyak, tapi tepat saat itu, Bessie mulai
mengeluh dari seberang pekarangan. Beberapa makhluk separuh dewa tengah memainkan
gelombang air itu, dengan suka ria mendorongnya maju dan mundur di atas
kerumunan. "Aku sebaiknya mengurusi itu," gerutu Poseidon. "Kita tak bisa membiarkan
Ophiotaurus dilempar-lempar begitu seperti bola pantai. Jaga diri baik-baik,
anakku. Kita mungkin tak akan saling bicara lagi sementara waktu."
Lantas dia menghilang begitu saja.
Aku baru hendak mencarinya ke sekitar kerumunan saat sebuah suara lain bicara.
"Ayahmu mengambil risiko besar, kau tahu."
Aku menemukan diriku berhadapan muka dengan seorang wanita bermata abu-abu
yang sangat mirip dengan Annabeth hingga aku hampir memanggilnya dengan
nama itu. "Athena." Aku berusaha tak terdengar jengkel, setelah dia hendak menjatuhkanku
di pertemuan tadi, tapi kurasa aku tak mampu menyembunyikannya dengan baik.
Dia tersenyum hambar. "Jangan menilaiku terlalu keras, blasteran. Pertimbangan
bijaksana tak selalu populer, tapi aku hanya menyampaikan kebenaran. Kau
memang berbahaya." "Memangnya kau tak pernah mengambil risiko?"
Dia mengangguk. "Aku mengerti maksudmu. Kau bisa jadi akan berguna. Namun
tetap saja ... kekurangan fatalmu bisa menghancurkan kami sekaligus dirimu
sendiri." Jantungku merayap ke kerongkonganku. Setahun lalu, Annabeth dan aku pernah
membahas tentang kekurangan fatal. Setiap pahlawan memilikinya. Kekurangan
Annabeth, ujarnya, adalah kebanggaan. Dia memercayai bahwa dirinya bisa
melakukan apa pun ... seperti mengatur dunia, misalnya. Atau menyelamatkan
Luke. Tapi aku tak pernah benar-benar tahu akan kekuranganku sendiri.
Athena menatapku hampir penuh iba. "Kronos tahu akan kekuranganmu, bahkan
meski kau sendiri tak tahu. Dia tahu cara mepelajari musuh-musuhnya.
Pikirkanlah, Percy. Bagaimana dia telah memanipulasimu" Pertama, ibumu
direnggut darimu. Kemudian sahabatmu, Grover. Kini putriku, Annabeth." Dia
berhenti, tampak tak menyukainya. "Dalam setiap kasus, orang-orang terdekatmu
telah digunakan untuk memikatmu hingga masuk perangkap Kronos. Kekurangan
fatalmu adalah loyalitas pribadi, Percy. Kau tak tahu kapan waktunya kau harus
memilih untuk kehilangan. Untuk menyelamatkan seorang teman, kau bersedia
megorbankan seluruh dunia. Bagi pahlawan dalam ramalan tersebut, hal itu
sangatlah berbahaya."
Kukepalkan tanganku. "Itu bukan kekurangan. Hanya karena aku ingin menolong
teman-temanku - " "Kekurangan yang paling berbahaya adalah kekuarangan yang tak terlalu
berlebihan," ucapnya. "Kejahatan mudah dilawan. Kurangnya kebijaksanaan ... itu
jelas sangat sulit."
Aku ingin mendebatnya, tapi aku tahu takkan bisa. Athena terlalu pandai.
"Kuharap keputusan Dewan akan terbukti bijak," ujar Athena. "Tapi aku akan
mengamatimu, Percy Jackson. Aku tak menyetujui pertemananmu dengan putriku.
Menurutku itu bukanlah tindakan bijaksana bagi kalian berdua. Dan jika kau mulai
goyah dalam loyalitasmu ..."
Dia menatapku tajam dengan mata abu-abu dinginnya, dan kusadari betapa Athena
akan menjadi musuh yang mengerikan, sepuluh kali lipat lebih buruk daripada
Ares atau Dionysus atau bahkan ayahku sendiri. Athena takkan menyerah. Dia
takkan pernah melakukan tindakan yang gegabah atau bodoh hanya karena dia
membencimu, dan jika dia membuat sebuah rencana untuk menghancurkanmu,
rencana itu takkan gagal.
"Percy!" panggil Annabeth, berlari melewati kerumunan. Dia segera berhenti saat
melihat dengan siapa aku bicara. "Oh ... Ibu."
"Akan kutinggalkan kalian," ujar Athena. "Untuk saat ini."
Dia membalikkan badan dan berjalan melinatsi kerumunan, yang segera menepi di
depan jalannya seolah dia tengah menyandang Aegis.
"Apa dia menyulitkanmu?" tanya Annabeth.
"Tidak," kataku. "Semua ... baik-baik saja."
Annabeth mengamatiku dengan cemas. Dia menyentuh seberkas rambut abu-abu
baru yang juga persis dimikinya - suvenir menyakitkan kami dari menahan beban
Atlas. Ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Annabeth, tapi Athena telah
merampas kepercayaan diriku. Aku merasa perutku seperti habis ditonjok.
Aku tak menyetujui pertemananmu dengan putriku.
"Jadi," ujar Annabeth. "Apa yang ingin kaukatakan padaku sebelumnya?"
Musik mengalun. Orang-orang berdansa di jalan-jalan. Aku berkata, "Aku, eh, tadi
berpikir kita kan diganggu saat berada di Asrama Westover. Dan ... kupikir aku
berutang padamu satu dansa."
Dia tersenyum pelan. "Baiklah, Otak Ganggang."
Maka kuraih tangannya, dan aku tak tahu apa yang orang lain dengarkan, tapi
bagiku musik itu terdengar seperti musik dansa pelan: lagu yang berirama agak
sedih, tapi mungkin juga agak penuh harapan.
Bab 20 Aku Mendapat Musuh Baru untuk Natal
Sebelum meninggalkan Olympus, kuputuskan untuk melakukan beberapa
panggilan telepon. Memang tidak mudah, tapi akhirnya kutemukan sebuah air
mancur tenang di sudut taman dan kukirimkan pesan-Iris pada saudaraku, Tyson,
di bawah laut. Kuceritakan padanya tentang petualangan kami, dan Bessie - Tyson
ingin mendengar setiap detail tentang bayi ular sapi yang imut itu - dan
kuyakinkan padanya bahwa Annabeth selamat. Akhirnya, kujelaskan juga
bagaimana perisai yang dia buat musim panas lalu telah dirusak oleh serangan
manticore. "Hore!" seru Tyson. "Itu artinya perisainya bagus! Ia menyelamatkan nyawamu!"
"Itu jelas itu, Jagoan," kataku. "Tapi sekarang rusak, deh."
"Nggak rusak!" janji Tyson. "Aku akan berkunjung dan membetulkannya musim
panas mendatang." Usul itu segera menyemangatiku. Kurasa aku tak menyadari betapa aku sangat
merindukan kehadiran Tyson.
"Serius, nih?" tanyaku. "Mereka mengizinkanmu berlibur?"
"Iya! Aku sudah bikin dua ribu tujuh ratus empat puluh satu pedang-pedang
ajaib," ujar Tyson bangga, sambil menunjukkan pedang buatan terbarunya. "Bos bilang
'kerja bagus'! Dia akan mengizinkanku mengambil libur sepanjang musim panas.
Aku akan mengunjungi perkemahan!"
Kami mengobrol sebentar tentang persiapan perang dan perselisihan ayah kami
dengan dewa-dewa laut purba, dan hal-hal seru yang akan kami lakukan bersama
musim panas mendatang, tapi kemudian bos Tyson mulai meneriakinya dan dia
harus segera kembali bekerja.
Kurogoh koin drachma emas terakhirku dan kukirim satu pesan-Iris lagi.
"Sally Jackson," ujarku. "Upper East Side, Manhattan."
Kabut berdenyar, dan tampak ibuku di meja dapur kami, sedang tertawa dan
berpegangan tangan dengan temannya, Pak Blowfish.
Aku merasa sangat malu, hingga kuputuskan untuk mengibaskan tanganku ke
kabut dan memutuskan sambungannya, tapi sebelum aku sempat melakukannya,
ibuku melihatku. Matanya membelak. Dia melepaskan genggaman tangan Pak Blowfish dengan
cepatnya. "Oh, Paul! Kau tahu tidak" Kutinggalkan jurnal tulisanku di ruang
tamu. Maukah kau mengambilkannya?"
"Tentu, Sally. Tak masalah."
Dia meninggalkan ruangan, dan segera ibuku memajukan tubuh mendekati pesanIrus.
"Percy! Apa kau baik-baik saja?"
"Aku, eh, baik. Bagaimana dengan seminar menulis Ibu?"
Ibu mengerutkan bibirnya. "Baik. Tapi itu tak penting. Beri tahu Ibu apa yang
terjadi!" Kusampaikan kabar terbaru secepat yang kubisa. Ibu mendesah lega saat dia
mendengar bahwa Annabeth selamat.
"Ibu tahu kau bisa melakukannya!" ujarnya. "Ibu sangat bangga."
"Iya, yah, sebaiknya aku biarkan Ibu kembali dengan pekerjaan rumah Ibu."
"Percy, Ibu .. Paul dan Ibu - "
"Ibu, apa Ibu bahagia?"
Pertanyaan itu sepertinya membuat Ibu terkejut. Ibu tampak berpikir sejenak.
"Iya. Ibu bahagia, Percy. Berasa di dekatnya membuat Ibu bahagia."
"Kalau gitu nggak apa-apa. Serius. Jangan khawatirkan aku."
Hal anehnya adalah, aku tulus menyampaikannya. Mengingat kembali misi yang
kujalani, barangkali semestinya aku lebih mencemaskan akan kondisi ibuku. Aku
telah melihat bagaimana orang-orang bisa begitu keji terhadap satu sama lain,
seperti sikap Hercules pada Zo? Nightshade, seperti sikap Luke terhadap Thalia.
Aku telah bertemu dengan Aphrodite, Dewi Cinta, secara langsung, dan
kekuatannya membuatku lebih takut daripada saat menghadapi Ares. Namun
melihat ibuku tertawa dan tersenyum, setelah bertahun-tahun penderitaannya
bersama ayah-tiriku yang menyebalkan, Gabe Ugliano, aku tak bisa tak merasa
bahagia untuknya. "Kau berjanji takkan memanggilnya Pak Blowfish?" tanya Ibu.
Aku mengendikkan bahu. "Yah. Mungkin nggak di depan dia langsung, sih."
"Sally?" Pak Blofis memanggil dari ruang tamu kami. "Kau butuh binder yang
warna hijau atau merah?"
"Sebaiknya Ibu pergi," katanya padaku. "Sampai ketemu saat Natal?"
"Apa Ibu menaruh permen biru dalam stokingku?"
Dia tersenyum. "Kalau kau belum terlalu tua untuk itu."
"Aku nggak akan pernah terlalu tua untuk permen."
"Sampai ketemu di saat itu kalau begitu."
Ibu melambaikan tangannya ke kabut. Bayangannya menghilang, dan aku teringat
sendiri bahwa Thalia memang benar, beberapa hari silam di Asrama Westover:
ibuku memang asyik. Dibandingkan dengan Gunung Olympus, Manhattan terasa hening. Hari Jumat
sebelum Natal, walau hari masih sangat dini, hampir tak ada seorang pun di Fifth
Avenue. Argus, kepala keamanan bermata-banyak, menjemput Annabeth, Grover,
dan aku di Empire State Building dan dengan mengendarai kapal feri untuk
kembali ke perkemahan melalui badai salju ringan. Long Island Expressway nyaris
terbengkalai. Selagi kami berjalan gontai kembali mendaki Bukit Blasteran menuju pohon pinus
tempat Bulu Domba Emas berkerlap-kerlip, aku setengah berharap akan menemui
Thalia di sana, menanti kami. Namun, dia tak hadir di sana. Dia telah lama pergi
bersama Artemis dan para Pemburu lainnya, berangkat dalam petualangan
berikutnya.

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chiron menyambut kami di Rumah Besar ditemani cokelat panas dan roti
panggang isi keju. Grover pergi bersama dengan teman-teman satirnya untuk
menyebarkan berita akan perjumpaan aneh kami dengan sihir Pan. Dalam sejam,
para satir tampak sibuk berlarian ke sana kemari penuh semangat, bertanya di
mana letak bar espresso terdekat.
Annabeth dan aku duduk bersama Chiron dan beberapa pekemah senior lain -
Beckendorf, Silena Beauregard, dan Stoll bersaudara. Bahkan Clarisse dari kabin
Ares hadir di sana, setelah kembali dari misi pencariannya rahasianya. Kusadari
dia pasti habis menjalani misi yang sulit, karena dia bahkan tak tampak mencoba
menghabisiku. Dia memiliki codet baru di dagunya, dan rambut pirang kusamnya
telah dipotong pendek dan berantakan, seolah seseorang telah menyerangnya
dengan sepasang gunting tumpul.
"Aku membawa berita," gumam Clarisse cemas. "Berita yang buruk."
"Akan kusampaikan pada kalian nanti," ujar Chiron dengan keceriaan yang
dipaksakan. "Hal terpentingnya adalah kalian selamat. Dan kau berhasil
menyelamatkan Annabeth!"
Annabeth tersenyum penuh terima kasih padaku, yang membuatku pura-pura
melihat ke arah lain. Atas alasan yang aneh, aku jadi terpikir tentang Bendungan Hoover, dan gadis
manusia aneh yang kutemui di sana, Rachel Elizabeth Dare. Aku tak tahu kenapa,
tapi komentar-komentarnya yang aneh terus terngiang dalam benakku. Apa kau
selalu membunuh orang saat mereka membuang ingus" Aku masih bertahan hidup
hanya karena ada begitu banyak orang yang telah menolongku, bahkan seorang
gadis manusia seperti dirinya sekalipun. Aku bahkan tak pernah menjelaskan
padanya siapa diriku. "Luke masih hidup," ujarku. "Annabeth benar."
Annabeth menegakkan duduknya. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku berusaha tak merasa terganggu oleh keingintahuannya. Keberitahukan
padanya apa yang dikatakan oleh ayahku tentang Putri Andromeda.
"Yah." Annabeth bergerak-gerak gelisah di kursinya. "Kalau peperangan terakhir
tiba saat Percy berumur enam belas tahun, setidaknya kita masih punya waktu dua
tahun lagi untuk mengubah sesuatu."
Aku merasa saat dia bilang "mengubah sesuatu", maksudnya adalah "menyadarkan
Luke kembali", yang membuatku jauh lebih jengkel.
Raut Chiron muram. Duduk di dekat perapian di kursi rodanya, dia terlihat sangat
tua. Maksudku ... dia memang sudah sangat tua, tapi biasanya kesan itu tak
terlihat pada dirinya. "Dua tahun bisa jadi waktu yang lama," ujarnya. "Namun itu hanyalah seperti
sekejap mata. Aku masih berharap kau bukanlah anak di dalam ramalan itu, Percy.
Tapi jika pun benar itu dirimu, maka perang Titan babak kedua sudah nyaris di
hadapan. Serangan pertama Kronos akan segera tiba di sini."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku. "Mengapa dia akan peduli terhadap
perkemahan?" "Karena para dewa menggunakan pahlawan sebagai pion mereka," ujar Chiron
terus terang. "Hancurkan pionnya, dan para dewa akan pincang. Kekuatan Luke
akan menyerang perkemahan. Kaum manusia, makhluk separuh dewa, monster ...
Kita harus menyiapkan diri. Berita yang dibawa Clarisse bisa memberi kita
petunjuk akan rencana serangan mereka, tapi - "
Terdengar ketukan di pintu, dan Nico di Angelo datang dengan terengah-engah ke
ruang tamu, kedua pipinya bersemu merah terang dari cuaca dingin.
Dia tersenyum, tapi dia mengedarkan pandangan dengan gelisah. "Hei! Di mana ...
di mana kakakku?" Keheningan total. Kupandangi Chiron. Aku tak percaya belum ada yang
menyampaikan berita itu padanya. Dan kemudian kusadari alasannya. Mereka
menunggu kami hingga datang, untuk menyampaikan pada Nico secara langsung.
Itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Tapi aku berutang hal itu pada
Bianca. "Hei, Nico." Aku bangkit dari kursi sandarku. "Mari kita jalan-jalan, oke" Kita
perlu bicara." Nico menerima berita itu dengan hening, yang entah mengapa membuat hal itu
lebih buruk. Aku terus bicara, berusaha menjelaskan bagaimana terjadinya,
bagaimana Bianca telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan misi
ini. Tapi aku merasa seolah makin memperburuk keadaannnya.
"Dia ingin memberikanmu ini." Kuulurkan patung kecil dewa yang ditemukan oleh
Bianca di tempat pembuangan sampah. Nico menggenggamnya dengan telapaknya
dan memandanginya. Kami sedang berdiri di paviliun makan, persis di tempat terakhir kalinya kami
bicara sebelum aku berangkat untuk menjalani misi. Embusan angin dingin
menggigit, bahkan dengan adanya pelindung cuaca perkemahan yang ajaib. Salju
berjatuhan pelan menimpa anak-anak tangga marmer. Aku merasa di luar
perbatasan kemah, pasti sedang ada badai salju.
"Kau berjanji kau akan melindunginya," kata Nico.
Dia bisa saja langsung menikamku dengan belati karatan. Pasti hal itu tak akan
melukaiku sesakit diingatkan kembali akan janjiku.
"Nico," ujarku. "Aku sudah berusaha. Tapi Bianca menyerahkan dirinya sendiri
demi menyelamatkan kami semua. Aku sudah melarangnya. Tapi dia - "
"Kau sudah berjanji!"
Dia memelototiku, pinggir matanya memerah. Dia mengatupkan kepalan tangan
kecilnya erat pada patung dewa itu.
"Aku seharusnya nggak memercayaimu." Suaranya pecah. "Kau berbohong
padaku. Mimpi burukku ternyata terbukti!"
"Tunggu. Mimpi buruk apa?"
Dia melemparkan patung dewa itu ke lantai. Ia membentur marmer yang terlapisi
es. "Aku benci kamu!"
"Dia bisa saja masih hidup," ujarku putus asa. "Aku juga nggak yakin - "
"Dia sudah mati." Nico memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya bergetar dengan
amarah. "Seharusnya aku tahu lebih awal. Dia sedang berada di Lapangan
Asphodel kini, berdiri di depan para hakim sekarang ini, sedang dievaluasi. Aku
bisa merasakannya." "Apa maksudmu, kau bisa merasakannya?"
Sebelum Nico bisa menjawabnya, aku mendengar suara baru di belakangku. Suara
desisan, dan gemeretuk yang sangat kukenali.
Kuhunuskan pedangku dan Nico berdengap. Kubalikkan badan dan kudapati diriku
berhadapan dengan empat prajurit kerangka. Mereka menyeringai dengan seringai
tanpa daging dan bergerak maju dengan pedang-pedang terhunus. Aku tak
mengerti bagaimana mereka bisa menembus masuk kemah, tapi itu bukan masalah.
Aku takkan mendapatkan bantuan pada waktunya.
"Kau ingin membunuhku!" teriak Nico. "Kau membawa ... makhluk-makhluk ini?"
"Tidak! Maksudku, iya, mereka mengikutiku, tapi tidak! Nico, larilah. Mereka
nggak bisa dihancurkan."
"Aku nggak percaya padamu!"
Kerangka pertama menerjang. Kutangkis pedangnya ke samping, tapi tiga yang
lain juga merangsek maju. Kutebas satu kerangka menjadi dua, tapi dengan segera
dia mulai tersambung kembali. Kupenggal kepala kerangka lain tapi ia terus
melawan. "Lari, Nico!" teriakku. "Cari bantuan!"
"Tidak!" Dia menekan kedua tangannya ke telinganya.
Aku tak bisa bertarung melawan empat kerangka bersamaan, tidak mungkin jika
mereka tidak mau mati-mati. Aku menebas, berputar, menangkis, menikam, tapi
mereka terus-terusan menyerang. Hanya perlu menunggu sekian detik hingga
zombie-zombie ini menaklukkanku.
"Tidak!" teriak Nico lebih keras. "Pergilah!"
Lantai bergemuruh di bawah kami. Keempat kerangka itu mematung. Aku
berguling menyingkir saat retakan membuka di depan kaki keempat prajurit
kerangka itu. Lantai membelah terbuka seperti mulut yang hendak melahap sesuatu
dengan cepat. Api menyembur dari belahan itu, dan bumi pun menelan para
kerangka dalam satu bunyi kunyahan besar.
Hening. Di tempat berdiri para kerangka tadi, luka sepanjang enam meter tertoreh di
sepanjang lantai marmer paviliun. Selain dari itu, tak ada tanda-tanda akan
kehadiran mereka sebelumnya.
Tertegun, kupandangi Nico. "Bagaimana kau bisa - "
"Pergilah!" teriaknya. "Aku benci kau! Kuharap kau mati saja!"
Lantai tak menelanku, tapi Nico berlari menuruni anak tangga, mengarah ke hutan.
Aku mulai mengejarnya tapi terpeleset dan terjatuh di tangga berlapis es. Saat
aku bangkit, kusadari benda apa yang membuatku tergelincir.
Kupungut patung dewa yang Bianca ambil dari tempat pembuangan sampah untuk
Nico. Satu-satunya patung yang tak dimilikinya, katanya. Sebuah hadiah terakhir
dari kakaknya. Kupandangi patung itu dengan rasa ngeri, karena kusadari kini mengapa wajah itu
terlihat familier. Aku sudah pernah melihatnya sebelumnya.
Itu adalah patung Hades, Penguasa Kematian.
Annabeth dan Grover membantuku menjelajah hutan selama berjam-jam, namun
tak tampak adanya tanda-tanda Nico di Angelo.
"Kita harus memberi tahu Chiron," ujar Annabeth, terengah.
"Tidak," kataku.
Annabeth dan Grover memandangiku.
"Em," ujar Grover tegang, "apa maksudmu ... tidak?"
Aku masih berusaha memastikan mengapa aku mengatakan itu, tapi kata-kata itu
meluncur dari mulutku. "Kita nggak bisa membiarkan orang lain tahu. Kupikir
nggak ada yang menyadari kalau Nico adalah - "
"Putra Hades," kata Annabeth. "Percy, apa kau tahu seberapa seriusnya masalah
ini" Bahkan Hades pun melanggar sumpahnya! Ini mengerikan!"
"Kupikir tidak begitu," ucapku. "Kupikir Hades tidak melanggar sumpahnya."
"Apa?" "Dia ayah mereka," kataku, "tapi Bianca dan Nico sudah terlahir sejak lama
sekali, bahkan sebelum Perang Dunia II meletus."
"Kasino Lotus itu!" seru Grover, dan dia memberi tahu Annabeth mengenai
perbincangan kami dengan Bianca saat menjalani misi. "Dia dan Nico tertahan di
sana selama beberapa dekade. Mereka terlahir sebelum sumpah itu dibuat."
Aku mengangguk. "Tapi bagaimana mereka bisa keluar?" protes Annabeth.
"Aku nggak tahu," aku mengakui. "Bianca bilang ada seorang pengacara yang
datang dan menjemput mereka dan mengatar mereka ke Asrama Westover. Aku
nggak tahu siapa kemungkinan orang itu, atau apa alasan di baliknya. Barangkali
ini berkaitan dengan proses Kebangkitan Besar yang tengah terjadi. Kupikir Nico
sendiri nggak mengerti siapa dirinya sesungguhnya. Tapi kita nggak bisa memberi
tahu orang lain. Bahkan tidak pada Chiron. Kalau dewa-dewi Olympia sampai
tahu - " "Hal itu akan menyulutkan perkelahian di antara mereka kembali," kata Annabeth.
"Itu hal terakhir yang kita butuhkan."
Grover terlihat cemas. "Tapi kau nggak bisa menyembunyikan hal-hal seperti ini
dari para dewa. Tidak untuk selamanya."
"Nggak perlu selamanya," ujarku. "Hanya untuk dua tahun. Hingga aku berusia
enam belas." Annabeth memucat. "Tapi, Percy, ini artinya ramalan itu bisa jadi bukan tentang
dirimu. Bisa jadi ini tentang Nico. Kita harus - "
"Tidak," ujarku. "Aku memilih ramalan itu. Ramalan itu akan tertuju pada
diriku." "Kenapa kau bicara begitu?" tangisnya. "Kau mau bertanggung jawab untuk
seluruh dunia?" Itu adalah hal terakhir yang kuinginkan, tapi aku tak mengakuinya. Kusadari aku
harus bangkit dan merebutnya.
"Aku nggak bisa membiarkan Nico terancam bahaya lagi," ujarku. "Aku berutang
itu pada kakaknya. Aku ... mengecewakan keduanya. Aku nggak akan biarkan
anak malang itu menderita lebih banyak."
"Anak malang yang membencimu dan ingin melihatmu mati," Grover
mengingatkanku. "Barangkali kita bisa menemukannya," kataku. "Kita bisa meyakinkannya bahwa
semuanya akan baik-baik saja, menyembunyikannya di suatu tempat yang aman."
Annabeth menggigil. "Kalau Luke sampai mendapatinya - "
"Tak akan," ujarku. "Aku akan pastikan Luke harus mencemaskan hal-hal lain.
Misalnya, diriku." Aku tak yakin Chiron memercayai kisah yang diceritakan Annabeth dan aku
padanya. Kurasa dia bisa membaca bahwa aku menyembunyikan sesuatu tentang
menghilangnya Nico, tapi pada akhirnya, dia menerimanya. Sayangnya, Nico
bukanlah blasteran pertama yang menghilang.
"Begitu muda," desah Chiron, tangannya menyusuri langkan serambi depan.
"Sedihnya, aku berharap dia dimakan oleh monster. Lebih baik begitu daripada
direkrut oleh pasukan Titan."
Pikiran itu membuatku gelisah. Aku nyaris saja mengubah pikiranku untuk
memberi tahu Chiron, namun kembali mengurungkannya.
"Apa kau benar-benar berpikir serangan pertama akan berlangsung di sini?"
tanyaku. Chiron memandang salju yang berjatuhan di bebukitan. Aku bisa melihat asap
menyembur dari naga yang menjaga pohon pinus, kerlap-kerlip Bulu Domba di
kejauhan. "Peristiwa itu takkan terjadi hingga musim panas, setidaknya," ujar Chiron.
"Musim dingin ini akan berat ... saat terberat selama berabad-abad lampau.
Alangkah baiknya bila kaupulang ke kota, Percy; berusahalah memusatkan
pikiranmu pada sekolah. Dan beristirahatlah. Kau akan membutuhkannya."
Kupandangi Annabeth. "Bagaimana denganmu?"
Pipinya merona. "Aku kayaknya akan mencoba tinggal di San Francisco.
Barangkali aku bisa mewaspadai Gunung Tam, memastikan para Titan nggak
mencoba-coba melakukan hal lain.
"Kau akan mengirimkan pesan-Iris kalau terjadi masalah?"
Dia mengangguk. "Tapi kupikir Chiron benar. Peristiwa ini takkan terjadi hingga
musim panas. Luke akan membutuhkan waktu untuk memulihkan kembali
kekuatannya." Aku tak menyukai pikiran untuk menunggu. Tapi jika dipikir lagi, bulan Agustus
mendatang aku akan menginjak usia lima belas. Aku tak ingin memikirkan berada
di usia yang hampir menginjak enam belas.
"Baiklah," kataku. "Pokoknya jaga baik-baik dirimu. Dan jangan melakukan aksi
aneh-aneh dengan pesawat Sopwith Camel itu."
Annabeth tersenyum ragu. "Janji. Dan, Percy - "
Apa pun yang hendak dia katakan terganggu oleh kedatangan Grover, yang
terhuyung keluar dari Rumah Besar, tergelincir oleh kaleng-kaleng timah.
Wajahnya kalut dan pucat, seperti baru saja melihat hantu.
"Dia bicara!" pekik Grover.
"Tenanglah, satir muda," ujar Chiron, mengerutkan alis. "Ada masalah apa?"
"Aku ... aku sedang memainkan seruling di ruang tamu," gagapnya, "dan minum
kopi. Banyak sekali kopi! Dan dia bicara dalam pikiranku!"
"Siapa?" desak Annabeth.
"Pan!" tangis Grover. "Sang Penguasa Alam Liar sendiri. Aku mendengarnya!
Aku harus ... aku harus mencari koper."
"Hei, hei, hei," seruku. "Apa yang dia katakan?"
Grover memandangiku. "Hanya tiga kata. Dia bilang, 'Aku menanti engkau.'"
End Sumber Ebook : FB Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Re Edit & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku _ PP Assalam Cepu
Hantu Jatilandak 2 Dewi Ular Misteri Dewi Pembalasan Pedang Dewa Naga Sastra 5
^