Pencarian

Mimi Elektrik 1

Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr Bagian 1


Teng... teng... teng... "Ya, kita selesaikan sampai di sini dan jangan lupa
pekerjaan ru..." Ucapan sang ibu guru tak lagi terdengar lantaran
riuhnya suara kursi dan derap langkah murid-murid
yang berlomba-lomba keluar ruangan kelas lebih dulu.
Tak ada seorang lagi pun yang mengacuhkan pesan
Bu Betty, sang guru fisika.
Tak terkecuali Mimi. Meski sudah memusatkan segala
kecepatan yang dimiliki, tetap saja ia kebagian posisi
juru kunci, alias paling belakang dan selalu diserobot
teman-temannya. Sambil menghela napas maklum,
Mimi membetulkan letak kacamata minus tujuh-nya
yang sering merosot akibat dorongan dan desakandesakan teman-teman yang memburu
keluar melewati pintu. "Hei!" seseorang mencolek bahunya.
Mimi menoleh dan tersenyum kikuk. "Hai, Belia,"
dibalasnya sapaan Bella. "Mau ke mana" Ke kantin yuk?" ajak Belia manis,
bernada bersahabat. Mimi terdiam sesaat. Seorang gadis cantik, manis, dan
cukup populer sedang mengajak seorang anak itik
yang dungu dan lamban, batin Mimi. Ya, Belia
memang gadis yang baik. Kecantikan dan
kepopulerannya di sekolah ini tak menjadikannya
sombong. Sementara teman-teman yang lain
menganggap Mimi aneh dan enggan menegur, apalagi
mengajak Mimi ikutan dalam suatu kegiatan.
"Ayolah," ajak Belia sambil menarik tangan Mimi.
"Kalau kau..." "Bel... cepetan dong, lama amat sih," panggil Kiki, salah
satu gadis dalam kelompok Belia. Kelompok yang
terkenal lantaran anggotanya terdiri dari gadis-gadis
manis dan modis. Lewat tatapan mata Kiki, Mimi dapat merasakan
bahwa keikutsertaannya tidak diharapkan dan
kehadirannya tak diinginkan oleh anggota kelompok
yang lain. "Aku... eh... lain kali sajalah," tolak Mimi seperti
biasanya dengan kikuk dan kepala agak tertunduktunduk, tak berani menatap lawan
bicaranya. "Bel, cepet...!" panggil Kiki.
Belia memandang ke arah Mimi dan Kiki bergantian
beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk
mengikuti Kiki. "Bener lho, Mi... lain kalinya?" Belia pura-pura
merengut. Mimi tersenyum lalu mengangguk dan segera berlalu
dari hadapan mereka. Ia lebih suka melewatkan
waktu makan siang di perpustakaan atau di taman
sambil memakan bekal roti yang dibawanya dari
rumah. Baginya kumpul-kumpul dan ngobrol di kantin
adalah sesuatu yang hanya membuatnya merasa
tidak enak, risi, dan malu. Sebab semua orang akan
memperhatikan dirinya begitu ia masuk ke sana.
Sambil melangkah Mimi terus memikirkan
keadaannya. Bukan ia yang minta menjadi gadis kutu
buku berkacamata minus tebal dan berpribadi pemalu,
tertutup seperti ini. Entah siapa yang salah.... Yang
jelas, selama 16 tahun ia telah tumbuh menjadi Mimi
yang lamban, kutu buku, tak pandai bergaul, dan
punya selera yang aneh dalam memilih penampilan.
Mimi memasuki taman sambil mulai mencari-cari
sudut yang lengang dan kursi yang kosong. Sekolah
swasta ini dikelola oleh yayasan Katolik, sehingga
selain kompleks sekolah, terdapat juga kompleks
biarawati. Dan taman ini sebenarnya adalah milik
para biarawati itu. Akan tetapi siapa saja boleh
memasukinya asalkan tidak merusak, bikin kotor,
atau bikin onar. Tak seorang pun nampak di taman. Tidak juga para
biarawati. Mungkin mereka sedang makan siang, pikir
Mimi, lalu memilih sebuah kursi dan duduk di atasnya.
Dikeluarkannya catatan kimia yang baru disalin-nya
kemarin dari buku Profesor Aloysius, guru kimia SMA
Valentino. Dan begitu larut dalam catatan dan pelajaran, Mimi
seperti lupa akan segalanya. Tak menghiraukan
keadaan sekelilingnya lagi. Asyik sendiri dengan
kumpulan rumus-rumus baku dan rumus-rumus
turunan. Kimia adalah salah satu mata pelajaran
favoritnya, sementara justru bagi kebanyakan anakanak lain menjadi musuh utama.
Mimi memang selalu aneh dan berbeda dengan kebanyakan anak
seusianya. Kalau anak-anak lain lebih suka ke disko,
ke toko kaset atau ke kantin, maka Mimi lebih suka
ke perpustakaan, toko buku, atau di rumah
mendengarkan walkman. Apa yang wajar menurut
Mimi ternyata merupakan keanehan bagi temantemannya.
Karena perbedaan-perbedaan inilah maka Mimi lantas
merasa enggan bergaul dengan teman-temannya.
Mimi terbiasa sendirian tanpa kawan, apalagi sahabat.
Dan lama-kelamaan muncul pula rasa rendah diri
apabila berada di tengah-tengah teman sebayanya.
Teng... teng... teng... Mimi masih asyik dengan catatan kimianya.
"Ehem... ehem..."
Mimi tersentak mendengar suara seseorang.
Ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya sosok
bergaun putih-putih berada dihadapannya.
"Suster Christine...," desisnya perlahan.
"Ya... saya senang melihat kau rajin belajar, Mimi,"
ujar Suster Christine sambil tersenyum.
Para biarawati di sini rata-rata mengenal Mimi, sebab
Mimi adalah murid yang paling sering mengunjungi
taman mereka. "Maaf, Suster... apakah sekarang anak-anak sudah
dilarang masuk ke taman ini lagi?" tanya Mimi takuttakut.
"O... tidak," geleng Suster Christine cepat. "Tapi saya
ingin mengingatkan kamu. Rasanya waktu istirahat
sudah habis dan kau harus kembali ke kelasmu."
Mimi ternganga. Diliriknya arloji bergambar Mickey
Mouse-nya. Suster Christine benar, sekarang sudah
jam setengah sepuluh, berarti pelajaran Bahasa
Inggris sudah dimulai! Mimi segera membereskan
buku-buku dan tempat rotinya.
"Tidakkah kau mendengar suara bel barusan" "Suster
Christine tersenyum geli melihat kekikukan Mimi.
Mimi menggeleng. "Selamat siang, Suster," ujarnya terengah. Lantas
secepat kilat Mimi hilang dari pandangan mata,
mengejar waktu yang tertinggal untuk mengikuti
pelajaran selanjutnya. ------"Tambah lagi, Sayang," ujar Mama lebih merupakan
suatu perintah. "Mimi sudah kenyang, Mam," Mimi berusaha menolak
sambil memperlihatkan ekspresi kenyang dengan
meringis. "Beberapa sendok lagi toh tak akan berpengaruh apaapa... ayo."
Mama menyodorkan lagi tempat nasi. Mimi menghela
napas. Tapi toh disendoknya juga nasi dari piring yang
disodorkan Mama. Ucapan Mama, meskipun manis
dan lembut, bagi Mimi lebih menakutkan ketimbang
suara Bu Betty, guru fisikanya. Apa-apa yang telah
keluar dari mulut Mama adalah peraturan yang mesti
dijalankan. Dan siapa yang tak menaatinya... uh
jangan tanya lagi deh. Pasti kena sanksi.
Sambil mengunyah dengan malas Mimi teringat
waktu ia meminta adik pada Mama. Mama sudah
memperingatkan agar tidak menyinggung-nyinggung
lagi hal itu, tapi Mimi toh keceplosan juga waktu
ngobrol dengan Tante Rince di jamuan arisan. Dan
Tante Rince tertawa mendengar keinginan Mimi, dan
Mama mendengarnya lalu marah, dan Mimi tidak
diberi uang saku selama seminggu dan akibatnya
Mimi tak bisa membeli kumpulan rumus terbaru yang
begitu didambakannya. Yah... panjang sekali bukan
buntutnya" Beranjak dari pengalaman itu Mimi
selanjutnya selalu mematuhi apa yang dikatakan
Mama. "Nah... habis juga, kan?"
Mama mengangkati piring-piring kotor, sementara
Mimi bersandar kekenyangan pada kursinya.
Diembuskannya napasnya secara teratur, untuk
mengatasi rasa mual akibat perutnya diisi terlalu
banyak. Mimi mencoba mengalihkan perhatiannya
pada televisi. Selepas pukul delapan biasanya acaraacara mulai menarik. Dari
ruang tengah terdengar musik intro sebuah film seri.
"Jeannie!" seru Mimi sambil memburu ke ruang
tengah. Film Dream of Jeannie yang penuh fantasi dan
keajaiban amat disukainya. Dan dalam beberapa saat
saja Mimi telah asyik larut dalam film tersebut. Ya,
dalam hal-hal yang diminatinya Mimi mudah sekali
hanyut dan larut. Seolah-olah sedemikian
menghayatinya sampai terseret dalam pusaran cerita
khayal itu sendiri. "Mimi!" tukas Mama yang tiba-tiba sudah ada di
sebelahnya. "Hm?" sahut Mimi tanpa melepaskan perhatiannya
pada televisi. "Sudah jam setengah sepuluh, lebih baik kaukerjakan
tugas-tugas sekolahmu dan masuk kamar lalu tidur."
"Ya... Mama... sebentar lagi deh," ujar Mimi jengkel.
"Mimi, film-film khayal seperti itu kurang baik
akibatnya bagi anak-anak seperti kamu...."
"Mimi kan sudah es-em-a, masa masih anak-anak?"
bantah Mimi. "Eh... kok anak Mama sudah mulai membantah?" bola
mata Mama membesar. "Itu tandanya sudah besar."
"Lho... Mimi kok gitu sih" Ayo sana... biar Mama
matikan saja televisinya supaya tak ada yang
menonton, supaya adil."
Mama bangkit dan pesawat televisi benar-benar
dimatikan oleh Mama. "Mama...," pekik Mimi setengah merengek.
"Sstt!" Mama menempelkan telunjuk pada bibirnya
sambil menatap tajam ke arah Mimi. "Jangan
merengek begitu... Mama tidak suka. Ayo, jangan
sampai Mama marah,ya?"
Dengan cemberut Mimi beranjak ke kamarnya di
lantai dua. Ditutupnya pintu dengan keras hingga
suaranya berdebum; Namun kekesalan di hatinya
belum juga hilang. Mama selalu memperlakukannya
seperti anak kecil, mengatur kehidupannya hampir di
segala bidang. Mulai dari memilihkan pakaian,
mengatur jadwal belajar, main, makan, dan tidur,
hingga menetapkan buku-buku atau film-film apa saja
yang patut ditonton oleh Mimi. Tentu aku tak pernah
dewasa... keluh Mimi menyesali nasibnya sebagai
anak tunggal. Kata orang jadi anak tunggal enak,
dimanja dan dituruti setiap kemauannya. Dulu
memang begitu... lamunan Mimi melayang ke hari-hari
silam waktu Papa masih ada. Kepergian Papa telah
mengubah perangai Mama, demikian pula cara Mama
mendidiknya. Mimi tak begitu mengerti kasus-kasus psikologi, tapi
menurutnya sikap Mama dan cara mendidiknya yang
keras adalah kompensasi dari ketakutannya belaka.
Mama adalah wanita karier yang sukses, yang tak
mau kelihatan tua, maka wajar kalau ia selalu
menganggap dan memperlakukan Mimi sebagai anak
kecil, sebab dengan demikian ia tak akan merasa tua.
Dan bisa jadi Mama berusaha mengimbangi
kelembutan seorang ibu dengan kekerasan seorang
ayah, karena Papa telah tiada, dan Mama mesti
berperan ganda. Tentu tak mudah.... Karena itu Mimi
jarang melawan Mama. Ia cukup mengerti
penderitaan Mama setelah Papa tiada. Meski kadangkadang menjengkelkan... tapi
toh diturutinya juga. Di kamarnya yang ditata feminin dalam nuansa
merah jambu, Mimi merasa kesepian. Dinyalakannya
walkman dan dicarinya gelombang radio
kesayangannya. "...dan satu nomor cantik saya hadirkan untuk kamu
yang siap berlayar ke dunia mimpi.... Mimpi indah
dan... selamat menikmati...."
Kemudian lagu Sealed With a Kiss versi baru dari
Jason Donovan pun mengalun merdu. Mimi
memejamkan matanya, meresapi lagu yang seolaholah dikirimkan oleh sang penyiar
cowok bersuara aduhai itu, khusus untuknya.
Penyiar yang memakai nama samaran Mister DJ itu
adalah satu-satunya orang yang tahu segala perasaan
Mimi. Mimi sering meminta lagu lewat kartupos pada
si Mister DJ dengan menggunakan nama samaran;
Monique. Lewat surat-surat dan kartupos-kartuposnya,
kadang Mimi menceritakan keluh-kesah di hatinya.
Meski tak lengkap semuanya.
Mungkin ini salah satu cara Mimi melepaskan beban di
hatinya. Dan Mister DJ ternyata pandai pula
menghibur, memberi saran lewat siaran-siarannya.
Mereka akrab, terasa dekat, meski belum saling kenal.
Dan mungkin tak akan pernah... angan Mimi
melayang jauh. though we've got to say goodbye,
for the summer and live in the emptiness


Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ill send you all my love everyday in a letter sealed
with a kiss... *** Pagi yang cerah. Mimi melompat turun dari
sepedanya. Ia ingin lebih lama menikmati perjalanan
menuju sekolah. Jalan masuk dari gerbang menuju
kompleks sekolah mereka amat panjang dan indah.
Di kanan-kiri begitu banyak yang bisa dinikmati
lantaran alam yang masih asri. Pohon-pohon besar di
tengah hamparan rumput. Kadang di musim seperti
ini, daun-daun yang berguguran menciptakan
permadani kuning tebal yang mengundang siapa pun
untuk mengempaskan diri di kelembutan alami itu.
Mimi menghirup udara pagi yang sejuk itu dalamdalam... sebanyak paru-parunya
dapat menampung. Seandainya saja cukup waktu, betapa ingin Mimi
sesaat berhenti di hutan kecil itu sambil membaca
buku dan memakan bekal rotinya. Pasti nikmat sekali,
khayalnya. Digiringnya sepedanya perlahan.
Kring... kring... Mimi terkejut dan segera minggir mendengar klakson
sepeda lain dari arah belakang.
"Halo... melamun, ya?" seru Rio sambil melompat turun
dari sepeda sport hitamnya yang berkilat ditimpa sinar
matahari pagi. Mimi ternganga, tak percaya pada apa yang
dialaminya. "Pagi yang cerah seperti ini memang kadang
memaksa kita melamun, berkhayal, dan
menghasilkan suatu inspirasi. Bener nggak?" tanya Rio
Jenaka. "Ah..." Mimi menahan tawanya. Hatinya berdegup
kencang. Rio, cowok paling ganteng di sekolah ini, kini berjalan
mendampinginya. Bersama-sama mereka menenteng
sepeda masing-masing, sepanjang jalan menuju
sekolah. Sungguh sukar dipercaya!
Membayangkannya saja Mimi tak pernah berani.
"Kau selalu berangkat sepagi ini, Mimi?" tanya Rio
sambil menatapnya. "Ya." Mimi mengangguk.
"Ck... ck... ck..." Rio geleng kepala dan berdecak
kagum. "Kenapa?" "Sayang..." "Sayang?" Mimi tak menangkap maksud Rio.
"Ya... sayang sekali aku baru mengetahuinya
sekarang.... Kalau aku tahu, sejak lama akan
kubiasakan diri bangun pagi supaya bisa bareng
denganmu tiap pagi."
"Ah, kau berolok-olok," tutur Mimi jengah.
"Tidak, aku serius."
Mimi mencibir. Padahal dalam hatinya jantungnya
nyaris berhenti berdetak. Tiap pagi berjalan bersama
Rio" Olala... "Besok... kautunggu aku di gerbang ya... dan ki..."
"Rio!" seseorang meneriakkan nama Rio.
Serempak Rio dan Mimi menoleh ke belakang dan
kelihatan Belia mengayuh sepedanya dengan susahpayah untuk mengejar mereka.
"Asthagha..." Belia terengah ketika akhirnya Rio dan
Mimi tersusul juga. "Eh... aku duluan..." Mimi naik ke sadel sepeda dan
melambaikan tangan pada Belia dan Rio.
"Hei, mau ke mana?" panggil Rio seperti kecewa.
"Aku mesti buru-buru... harus mengurus sesuatu ke
tata usaha. Ciao." Mimi tersenyum sumbang.
"Bagaimana janji kita besok?" teriak Rio lagi sambil
berlari kecil dan akhirnya ikut melompat ke atas
sepedanya dan mulai mengayuh. Sementara Belia
mengikuti dari belakang. Mimi mengangkat bahunya. Ia betul-betul tak tahu
harus menjawab apa. Sementara hatinya memaksa
kepalanya mengangguk dan bibirnya berseru, "Ya!!!"
Matanya yang melihat kehadiran Belia malah
membungkam segala hasrat itu.
Tidak, Rio hanya berbasa-basi dengan ajakan dan
obrolan tadi. Pasti tadi Rio sebetulnya menunggu Belia,
dan karena Belia tak kunjung datang Rio terpaksa
berjalan bersamaku, Mimi berusaha memadamkan
kegembiraan di hatinya dan mengubur harapan yang
bersemi lantaran ucapan Rio tadi.
Belia dan Rio adalah pasangan yang serasi, batin Mimi
lagi. Seorang cowok sepopuler dan setampan Rio tak
pantas berpasangan dengan gadis kurang pergaulan
dan aneh seperti aku, pikir Mimi sedih. Harapan tak
perlu tumbuh karena hanya akan mendatangkan
kekecewaan. Gadis kecil sepertiku menurut Mama
belum waktunya naksir-naksiran. Yang utama adalah
belajar! Mimi mencoba menegarkan hatinya dengan
mengingat kata-kata Mama. Tapi... Rio memang
tampan... dan semua gadis berlomba menarik
perhatiannya. Mimi tertunduk dan memarkir sepedanya di antara
puluhan sepeda lain di sayap kiri kompleks sekolah.
Mario nama lengkapnya. Seorang aktifis sekolah,
jagoan basket, dan berwajah imut-imut ala coverboy.
Penampilannya sederhana, tapi jantan. Dadanya
bidang, kakinya panjang, dan tubuhnya tinggi,
berimbang dengan berat badannya. Rahangnya keras,
menandakan keteguhan hati. Namun matanya lembut
mengisyaratkan persahabatan dan kasih sayang.
Sungguh Tuhan telah menciptakan seorang manusia,
cowok, yang mendekati sempurna, pikiran Mimi masih
pada Rio. Rio yang tadi pagi berjalan di sebelahnya
dan mengajaknya bareng tiap pagi. Ah... Rio lebih
menarik daripada pelajaran biologi yang tengah
diterangkan Bu Dani di depan kelas.
Sejak lama Mimi tertarik pada Rio. Rasanya inilah
satu-satunya persamaan Mimi dengan gadis-gadis lain.
Dalam hal selera memilih cowok, ternyata Mimi masih
normal. Tapi perasaan rendah dirinya membuatnya
selalu menghindari Rio. Tiap kali yang muncul cuma
keinginan dan impian belaka. Tapi tatkala kenyataan
telah hadir di depan mata dan kesempatan terbuka
seperti pagi tadi... yang muncul hanyalah kebodohankebodohan yang merugikan diri
sendiri. Mimi mencoret-coret kertas di hadapannya dengan
hati galau. Belum pernah ada hal-hal yang
membuatnya tak memusatkan diri pada pelajaran.
Biasanya bagi Mimi pelajaran adalah segala-galanya.
Tapi hari ini, gara-gara seorang Rio, catatan biologinya
kosong-melompong.... Teng... teng... teng... "...kah anak-anak, Ibu pikir be..."
Dan, seperti biasanya sebelum ucapan Bu Guru usai,
murid-murid sudah ngibrit ke luar kelas. Dan seperti
biasanya pula, Mimi dapat giliran paling belakang.
Kacamatanya merosot lagi.
"Heh!" Langkah Mimi terhenti. Ia dihadang oleh Lisa, gadis
bertubuh besar, terkenal nakal, dan berkali-kali tinggal
kelas. Lisa selalu ditemani sahabat-sahabat setianya.
Mereka terkenal suka membuat onar dan bertindak
seenaknya karena merasa jagoan. Karena tak ada
seorang gadis lain pun yang berani melawan mereka.
"Mana catatan biologimu" Pinjam!" Lisa mengulurkan
tangannya, meminta dengan kasar.
"Eh... aku tak mencatat hari ini...," sahut Mimi gemetar.
"Ah... bohong! Dasar pelit! Kikir! Berikan!" Lisa meyodok
perut Mimi dengan tangannya.
"Aduh... a..aku betul-betul..."
"Betul, Lis, hari ini dia nggak nyatet, aku melihatnya.
Sejak pelajaran dimulai ia cuma melamun sambil
sesekali senyum-senyum sendiri seperti orang miring."
Oya menimpali. "Melamun" Orang seperti kamu bisa melamun?" Lisa
tersenyum sinis. Membuat Mimi makin gemetar, ciut
ketakutan. "Pasti sesuatu yang istimewa telah terjadi," pancing
Oya lagi. "Aha!" Lisa menjentikkan jarinya, melirik penuh arti.
"Tadi pagi aku melihat pangeran berjalan dengan itik
buruk rupa.,.." Mimi tercekat. Jadi mereka melihatnya bersama-sama
Rio tadi pagi" "Kalian pacaran, ya?" desak Oya setengah berteriak.
"Ti.. tidak...."
"Bohong!" "Sungguh... ta.. tadi cuma kebetulan," kilah Mimi
hampir menangis. Kacamatanya melorot berkali-kali,
tapi ia tak berani bergerak membetulkannya.
"Awas ya, Rio adalah calon pacarku! Kalau kamu
berani-berani... uh...." Lisa menatap gemas pada Mimi,
seolah ingin menelannya. Mimi meringkuk bagai tikus yang akan dimangsa
kucing. Semua orang tahu bahwa Lisa juga matimatian hendak mendapatkan Rio. Di
hadapan Rio, Lisa selalu bersikap manis dan lembut karena ia tahu Rio
tak suka gadis kasar dan nakal.
"Tampar aja sekali. Lis, biar kapok," Oya memanasmanasi.
"Ja.. jangan..." Mimi meronta.
"Mimi!" Kejadian yang mengerikan itu terhenti sesaat Koridor
yang tadinya hanya berisi Mimi, Lisa, dan Oya kini
bertambah satu penghuninya.
"Rio..." Lisa spontan melepaskan cekalannya pada
lengan Mimi dan merapikan rambutnya dengan jarijarinya. Rambut yang dicat dengan
warna coklat dan pirang itu kelihatan amat menjijikkan, mirip bulu
ayam, alias kemoceng. Mimi menghela napasnya lega. Dibetulkannya letak
kacamatanya yang melorot di hidung.
"Kau baik-baik saja, Mimi?" Rio menghampiri Mimi dan
hendak menyentuh bahunya, tapi Mimi menghindar.
"Yah... eh... aku pulang dulu.... Ciao." Mimi melambai
dan segera berlalu dari hadapan Rio dan Lisa.
Rio menatap kepergian Mimi dengan rasa heran.
Aneh, gadis-gadis lain berlomba-lomba menarik
perhatiannya. Tapi Mimi... kutu buku langganan juara
kelas itu malah menghindari Rio. Setiap kali. Tak sekali
pun Rio berhasil menciptakan percakapan yang
hangat, obrolan yang akrab bersama Mimi.
"Eh, Rio... mengajakku pulang bareng?" tanya Lisa
genit sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Rio meringis mual. "Lain kali aja, ya" Dan lain kali itu tak akan pernah
ada bila kulihat sekali lagi kau mempermainkan Mimi!
Oke?" tukas Rio tegas tapi santai.
Lisa hanya melongo. Brak...! Ditinjunya tembok
dengan kepalannya. "Aduuh!" Lisa memegangi tangannya, kesakitan
sendiri. Senjata makan tuan! Hah! Rasain!
-----"Aku nggak ngerti. Mi," bisik Belia sambil pura-pura
mengerjakan soal kimia yang diberikan Profesor
Aloysius siang itu. "Sebentar..." Mimi asyik mengerjakannya. Sesekali
Belia melirik ke arah Mimi, mencoba mengintip tulisan
Mimi. Tapi toh percuma saja... jawaban boleh sama,
nilai bisa sama, tapi kalau tidak mengerti, apa
gunanya" "Pulang sekolah nanti ajari aku ya, Mi" Mau, kan?"
pinta Belia. Mimi mengangguk. Ia senang karena ternyata masih
ada yang dapat dilakukannya untuk orang lain. Ya...
dengan segala keanehan yang membuat orang
menjauhinya, ternyata ia masih punya satu kelebihan.
"Kurasa, Profesor Aloy tidak cocok mengajar di es-ema," komentar Belia lagi.
"Kenapa?" "Dia terlalu genius, coba perhatikan cara mengajar...
sepertinya kita ini sama geniusnya dengan dia,"
gerutu Bella. "Aku tak keberatan dengan cara Profesor mengajar,"
ujar Mimi jujur. Belia menatapnya sesaat. "Ya... itu karena kau sama
geniusnya seperti beliau."
"Ah, nggak mungkin," Mimi merendah. Disodorkannya
pekerjaannya pada Belia agar dapat segera disalin.
Waktu tinggal lima menit lagi dan Belia dengan
cekatan menyalin pekerjaan Mimi ke atas kertasnya.
"Tapi nanti aku diajari sampai mengerti, ya?"
Mimi mengangguk menjanjikan.
"Ya... waktu habis. Kumpulkan!" seru Profesor Aloysius.
Sementara seorang anak mengumpulkan kertas, sang
profesor mulai membaca daftar absen, mencari-cari
mangsa. Anak-anak diam, suasana kelas hening, menanti siapa
gerangan yang bernasib sial hari ini. Siapa gerangan
yang diminta maju mengerjakan soal ke papan tulis.
Siapa gerangan yang hari ini jadi korban bentakan
sang profesor berjenggot lebat bagai singa itu"
"Camelia Hadiman!"
Terdengar helaan napas mereka yang merasa bukan
namanya. Mimi bangkit dengan tenang dari kursinya
dan melangkah ke papan tulis. Sesaat kemudian Mimi
malah asyik sendiri di papan tulis, mengerjakan soalsoal yang seluruhnya
berjumlah tiga nomor itu.
Padahal mestinya tiap anak hanya mengerjakan satu
saja.

Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei! Kenapa kaukerjakan semuanya?" tanya Profesor
terkejut waktu memeriksa hasil pekerjaan Mimi di
papan tulis. "Oh., maaf... maaf, Profesor, saya keasyikan...."
"Keasyikan?" pekik Profesor makin heran.
"Eh.. ma.. maaf, Profesor, bu.. bukan maksud saya...
keterusan... eh..." Profesor memicingkan matanya meneliti jawaban
Mimi dan ia terkejut waktu menyadari bahwa tak
satu pun yang salah. Sementara kelas mulai gaduh. Dialog Mimi dan
Profesor barusan rupanya cukup lucu dan
mengundang tawa. "Beginilah kalau dua orang aneh bertemu," bisik Lisa,
agak keras. Serempak seisi kelas tertawa. Kelas
terasa gaduh dan ribut. Brak...!!! "Diaaaammm!" Profesor menjerit sambil memukulkan
penghapus ke papan tulis. Debu berhamburan di
mana-mana dan kelas kembali hening.
"Hari ini cukup sekian. Dan eh... siapa namamu?"
tanya Profesor pada Mimi.
"Mimi, Profesor...."
"Ya... pulang sekolah nanti temui saya di ruang guru."
Tanpa basa-basi Profesor Aloysius meninggalkan
kelas. Padahal jam pelajarannya sebenarnya belum
usai. Tapi itulah... bukan profesor namanya kalau tidak
linglung. Mimi kembali ke bangkunya.
"Wah... tahukah kau, Mimi, kau amat luar biasa!" seru
Belia memuji. Mimi hanya tersenyum. Ia memang pandai, tapi apa
gunanya" Bukan itu yang diinginkannya. Sekilas ia
melirik ke arah Belia. Penampilan modis, wajah manis,
dan pribadi mempesona. Tahukah Belia bahwa
sesungguhnya aku iri padanya" bisik Mimi dalam hati.
-----Setumpuk tugas dari Profesor Aloy. Hah. Mimi
mengayuh sepedanya dengan cepat, ingin segera tiba
di rumah dan mengempaskan diri sejenak di tempat
tidurnya yang lunak dan lembut.
"Spada...," teriaknya begitu memasuki rumah.
Tak ada sahutan. Artinya, Mama masih di kantor. Mimi
melangkah ke dapur, membuka lemari es dan
mengambil sekarton susu. Sambil lalu diraihnya juga
toples kue dan dibawanya semua itu ke kamarnya.
Masih mengenakan kaus kaki, Mimi melompat ke atas
tempat tidurnya. Sudah pukul setengah lima sore... hah... sungguh hari
yang amat panjang dan melelahkan. Dan sekarang
tiba waktunya untuk bersantai, melakukan sesuatu
yang membuatmu gembira tanpa digerecoki Mama!
seru Mimi sambil meraih radio mininya. Gelombang
yang tak pernah diubah-ubah itu segera
mengantarkan acara lewat frekuensi FM stereo.
"Mister DJ kembali menemani kamu mulai petang hari
hingga lepas pukul sembilan malam nanti. Satu nomor
dari Natalie Cole untuk sahabat saya Monique. Apa
kabar" Salam manis..."
I miss you like crazy no matter what you say or do
there's just no getting over you
I miss you like crazy I miss you, baby... Mimi terhanyut dalam alunan suara merdu penyanyi
kulit hitam kesayangannya itu. Mimi tak pernah punya
koleksi lagu-lagu populer. Ia hanya mendengarnya
lewat radio. Mama tak pernah mengizinkan Mimi
membelanjakan uangnya untuk benda-benda seperti
itu. Hanya untuk buku dan alat tulis. Selebihnya
ditabung. Ah... entah apa jadinya hidupku kalau tak ada kau,
Mister DJ, keluh Mimi terharu. Betapa merdu
kedengarannya waktu Mister DJ mengucapkan
namanya barusan. Meski nama samaran, tapi Mimi
merasa itulah namanya. Mister DJ adalah satu-satunya orang yang mengerti
dirinya, yang selalu menghibur dan tak pernah
mengecewakannya. Tiap kartuposnya selalu
dibacakan, dan tiap lagu yang dimintanya selalu
diputarkan. Selalu, dua kali seminggu mereka bertemu
lewat gelombang radio. Seandainya... Mimi
memejamkan matanya mulai mengkhayal.
"Mimi! Astaga!" pekik Mama melihat posisi Mimi di
tempat tidur. Entah kapan datangnya, tahu-tahu
Mama telah muncul di kamar tidur Mimi.
"Lho... kapan pulang, Ma?" tanya Mimi polos.
"Kue... susu... di tempat tidur" Apa-apaan ini" Siapa
yang mengajari kamu budaya jorok begini, hmh?"
Mama marah-marah. Mimi segera beringsut dari tempat tidur dan
membenahi toples kue dan susu yang ada di meja
samping tempat tidurnya. "Kalau Mama sampai sekali lagi melihatmu seperti
ini..." "Maaf, Ma... nggak lagi-lagi," sela Mimi takut.
"Lekas kembalikan benda-benda itu ke tempatnya... di
mana?" Mama mendikte persis seperti menghadapi
anak taman kanak-kanak. "Di dapur...." "Nah., ayo kembalikan ke sana! Kamar tidur harus
selalu bersih, untuk tidur! Bukan untuk makan!"
"Ya, Ma...." "Dan pulang sekolah mestinya kau segera mandi
sebelum masuk kamar!"
"Ya, Ma..." "Lihat... ck... ck... ck... apa pantas ini disebut kamar
anak gadis" Baju bertebaran di mana-mana... seperti
kapal pecah." "Ya, Ma...." Bla... bla... bla... Mama terus nyerocos dan Mimi
terkantuk-kantuk menjawab tanpa mendengar apa
yang dikatakan Mama lagi.
*** Perpustakaan adalah sahabat Mimi. Salah satu bagian
dari gedung sekolah yang paling akrab dengannya,
setelah kelas dan laboratorium di urutan pertama dan
kedua. Kadang Mimi heran, mengapa temantemannya sering kali menganggap sekolah
sebagai suatu tempat yang mengerikan dan patut dijauhi. Bagi
Mimi sama sekali tidak. Malah cenderung
kebalikannya. Banyak yang bisa kuperoleh di tempat
ini, pikir Mimi. Bacaan bermutu, tambahan ilmu
pengetahuan, dan suasana yang tenang dan tertib.
Suasana yang jarang ditemuinya di ruang kelas,
apalagi di kantin. Mimi memilih tempat duduk setelah mengambil
sebuah buku yang telah lama ingin dibacanya. Bumi
yang Subur karya Pearl S. Buck yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejak
lama Mimi ingin menyelesaikan buku itu, tapi ia tak
pernah berani meminjamnya. Bukan karena tidak
boleh oleh petugas perpustakaan, akan tetapi karena
Mimi yakin Mama takkan setuju Mimi membaca karya
fiksi. Meskipun Pearl S. Buck bukan penulis
sembarangan dan karyanya termasuk karya sastra,
toh Mama tak perduli. Mimi mengempaskan diri di atas kursi yang letaknya
agak menyendiri di sudut ruang baca. Bagi Mama,
buku yang boleh dibaca adalah buku cetak, pengantar
ilmu yang resmi dari Departemen P dan K.
80, 81, 82... ah... ini dia... Mimi melanjutkan membaca
halaman 83. Dan seperti biasa, ia pun lantas larut
dalam apa yang dibacanya.
"Hei!" sebuah seruan mampir tiba-tiba di telinganya.
Mimi tersentak, dan rasanya bukan cuma Mimi yang
merasa kaget dengan seruan senyaring itu di ruang
baca yang mestinya tenang dan lenggang.
"Astaga... Rio," desis Mimi memegangi dadanya.
Kacamatanya melorot. Rio hanya tersenyum. Sementara beberapa pasang
mata menatap kearah mereka dengan nada protes.
"Sori... soii," ujar Rio perlahan sambil menatapi wajahwajah jengkel itu satu
per satu. Lantas ia pun duduk
di sebelah Mimi. "Keterlaluan kamu, Rio. Coba lihat... semua
memperhatikan ulahmu!" tukas Mimi setelah
keterkejutannya mereda. "Ah, biar saja... kurasa mereka cuma iri."
"Iri bagaimana?"
"Ya... melihat kau dan aku... berdua... mesra... eh,
mesra sih enggak," canda Rio.
Mau tak mau bibir Mimi pun mengukir sebuah senyum
geli. Cowok tampan satu ini memang kocak dan
pandai mengambil hati siapa pun. Bagaimana gadisgadis tak tergila-gila"
Bagaimana ia tak menjadi dambaan tiap murid perempuan di sekolah ini"
"Tak ada pelajaran?" tanya Rio.
Mereka memang satu sekolah, tapi Rio mengambil
jurusan sosial, sedangkan Mimi memilih jurusan ilmu
pasti. Mimi menggeleng. "Tidak ada kerjaan?" tanya Rio lagi.
"Tidakkah kaulihat aku sedang membaca?" Mimi balas
bertanya. "Ya... maksudku pekerjaan lain selain membaca. Yang
lebih mengasyikkan dan..."
"Bagiku satu-satunya pekerjaan yang mengasyikkan
di sela waktu belajar adalah membaca," potong Mimi.
"O ya" Ck... ck... ck..." Rio memasang mimik serius,
sehingga mereka berdua lantas tertawa sendiri
dengan kekonyolan yang dilakukan Rio barusan.
"Eh, Mi, ngomong-ngomong soal hobi, aku lebih suka
nonton televisi atau mendengarkan musik," Rio
memancing pembicaraan. "Mendengarkan musik..." Sesaat Mimi teringat pada
penyiar pujaannya. "Ya... aku pun suka mendengarkan
musik." "O ya" Musik apa?"
"Musik apa?" Kening Mimi berkerut sejenak. Ia tak
pernah tahu jenis-jenis musik. Apa ya" Rasanya apa
saja yang diputar oleh Mister DJ pasti disukainya.
"Jazz, pop, atau dangdut barangkali?"
"Aku tak tahu." Mimi mengangkat bahunya lugu. "Aku
hanya mengenal lagu lewat radio saja."
"Tak punya kaset atau piringan hitam?"
"Mama punya, lagu-lagu tempo dulu."
"Kau sendiri?" Rio makin penasaran dengan gadis satu
ini. Mimi menggeleng. "Bohong!" "Sumpah!" yakin Mimi serius.
Rio tak bertanya-tanya lagi. Jadi, berhubung Mimi tak
punya koleksi album lagu-lagu, percakapan soal musik
tentu tak bisa dilanjutkan. Berarti ia mesti mencari
topik baru secepatnya, kalau tidak jam istirahat yang
tinggal lima menit lagi segera berlalu dan entah kapan
lagi ia bisa memperoleh kesempatan mengenal gadis
lucu ini lebih dekat lagi.
"Bagaimana dengan... bacaan" Buku macam apa yang
kausuka" Apa kau membaca majalah MODE" Atau
Gadis" Atau HAI" Atau... atau apa?"
Mimi menggeleng lagi. "Kau tidak membaca majalah remaja?" Rio makin
heran. "Tidak, aku tidak pernah membaca majalah, apa
pun...," sahut Mimi tenang.
Rio menelan ludah. Teng... teng... teng... Mimi menutup bukunya dengan jengkel. Hari ini tak
satu halaman pun dapat dibacanya, gara-gara Rio.
Cowok satu ini memang menyenangkan, tapi
adakalanya Mimi lebih suka sendirian, menikmati
kegiatannya tanpa diganggu oleh siapa pun, tak
kecuali Rio sekalipun. "Wah, maaf, aku telah merusak acara baca bukumu,"
ujar Rio tersenyum nakal.
"Kau tahu, Rio" Kau telah menggangguku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada sangkutpautnya dengan diriku. Pertanyaan-
pertanyaan yang mestinya tak kauajukan, pada orang seperti aku...."
"Kenapa?" "Entahlah. Yang pasti aku bukan orang yang tepat
untuk kauajak ngobrol," kata Mimi, bersiap
mengembalikan buku kembali ke raknya. Rio
membuntuti dari belakang.
"Kenapa begitu" Aku rasa kau gadis yang cukup
pandai, dan aku menyukai gadis seperti itu, gesit,
pandai, energik, dan..."
Mimi menatap Rio dengan hati lugas. Sengajakah Rio
mengucapkan kata-kata barusan" Sadarkah Rio
cewek macam apa yang tengah dihadapinya
sekarang" Gesit dan energik" Bah. Keluar kelas saja aku selalu
paling belakang, disodok kanan-kiri. Apalagi main voli,
basket, atau softball. Tak satu pun cabang olahraga
yang kukuasai, batin Mimi. Dan Rio menyukai gadis
seperti ihi" Yang pasti bukan dirinya...
Mimi menyelipkan buku Pearl S. Buck itu ke tempat
asalnya. Rio pun ikut-ikutan menyelipkan buku yang
dipegangnya ke dekat buku Pearl S. Buck.


Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan di situ tempatnya," protes Mimi melihat judul
Asterix pada komik tipis yang diselipkan Rio.
"Biarin," Rio bandel.
Mimi menghela napas. Ditariknya komik Rio keluar
dan diberikannya pada Rio.
"Nih, aku harus kembali ke kelas. Jangan bikin kacau
perpustakaan, ya! Tuh liat..." Mimi menunjuk tulisan
besar di dinding ruang baca.
HARAP TENANG. PATUHILAH PERATURAN DAN TATA
TERTIB! "Mimi, tahukah kau bahwa... lho... Mi! Mimi! Tunggu!"
seru Rio memanggil tatkala disadarinya bahwa Mimi
telah pergi diam-diam meninggalkannya.
Rio bergegas menyusul diiringi tatapan mata jengkel
para pengunjung perpustakaan lainnya. Rio cuek.
Disambarnya tasnya dari atas meja penitipan tas dan
dipacunya langkah memburu Mimi. Sayang... begitu
hampir terkejar, Mimi lenyap di balik pintu kelasnya.
"Mi..." Rio mengurungkan panggilannya. Tak ada
gunanya, Mimi telah masuk dalam kelasnya.
Rio melanjutkan langkahnya menuju ruang kelasnya
sendiri. Aneh... begitu banyak gadis yang mengelilingi
dan menginginkannya, tapi perhatiannya justru tercuri
oleh Mimi. Gadis yang menurut orang-orang punya
perilaku aneh, misterius, dan kutu buku. Lamban dan
kadang terlalu naif, hingga tak pandai bergaul.
Tapi Rio merasa ada sesuatu yang menarik dari dalam
diri Mimi. Sesuatu yang membuatnya penasaran.
Langka. Gadis cantik... di mana-mana ada. Gadis
periang... banyak di sekolah ini. Tapi gadis super
pandai yang lugu dan naif bertampang bayi cuma ada
satu... "Hai, Rio..." Seseorang menggandengnya tiba-tiba.
Rio mengerutkan hidungnya, mencium bau tak sedap
yang mendadak diciumnya. Tak salah lagi, tanpa perlu
menoleh pun Rio tahu bau parfum siapa ini....
"Tidak ada pelajaran?" tanya Lisa, mempererat
gandengannya. Rio meringis ngeri. "Tidak."
"Aku sebetulnya ada... tapi, aku lebih suka
menghabiskan waktu bersamamu, Rio."
"Ya... eh..." Rio pura-pura menjatuhkan tasnya. Segera
Lisa mengambilkannya, dengan demikian sesaat
gandengannya lepas dari tangan Rio.
"Ini..." "Thanks... sampai jumpa lagi! Merdeka!" teriak Rio
menirukan ucapan si Unyil sambil menyambar tasnya
dan melesat bagai seorang atlet lari Olimpyade.
"Rio!" panggil Lisa sambil mengentakkan kakinya
jengkel. Usahanya mendekati Rio selalu kandas. Padahal
kurang apa sih aku ini" Lisa menyemprotkan lagi
minyak wangi ke tubuhnya. Parfum dari Estee Lauder,
lipstick dari Yves St. Laurent... apa yang kurang"
pikirnya jengkel. -----"Aha... akhirnya kau datang juga!" seru Profesor
Aloysius menyambut kedatangan Mimi di ruang
laboratorium kimianya. "Eh... iya. Maaf terlambat lima menit, Prof."
"Tak apa... ayo... masuk... masuk."
Profesor mengajak Mimi ke ruangan lain yang
letaknya agak terpencil. Mimi melihat sekeliling dengan mata berbinar. Wah...
macam-macam zat komplet ada di sini. Peralatannya
pun canggih. Dijamin sukses untuk mengadakan
percobaan kimia yang mana pun, batinnya kagum,
dan bersemangat. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi
suasananya sangat indah, sebab ada jendela kaca
besar yang tepat menghadap ke lapangan olahraga
dan kantin, sehingga "keangkeran" sebuah
laboratorium tak terlalu terasa di situ.
"Ya... kadang untuk melepaskan kejenuhan saya
memperhatikan anak-anak yang bermain di
lapangan," ujar Profesor seperti dapat membaca jalan
pikiran Mimi. "Sebetulnya saya ingin minta
pertolongan kamu, Mimi..."
"Saya siap. Prof," jawab Mimi cepat.
"Ini..." Profesor membawa dua tabung berukuran
sedang. Yang satu berisi cairan kuning dan yang satu
berisi butir-butir kristal.
"Apa ini, Prof?" tanya Mimi takjub.
"Yang kuning adalah hasil penemuan saya. Suatu zat
istimewa yang dapat membuat seseorang bisa
melakukan segala sesuatu cukup dengan berpikir."
"Melakukan sesuatu dengan berpikir?" ulang Mimi
makin takjub. "Ya," angguk Profesor agak bangga." Dengan
pengaruh zat ini, gelombang pikiran seseorang bisa
ditransmisikan lewat udara sekitarnya dan menjadi
kenyataan tanpa perlu melakukan gerakan."
"Waaawww!" seru Mimi spontan.
"Sstt..." Profesor menempelkan jari telunjuk di
bibirnya. Mimi mengatupkan mulutnya.
"Jangan sampai ada yang tahu, Mimi!" pesan Profesor
dengan mimik serius. "Penemuan ini akan saya
sertakan pada sebuah lomba internasional."
Mimi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
penuh kekaguman dan hampir tak percaya pada
penemuan istimewa Profesor Aloysius itu.
"Karena itu saya perlu bantuan kamu."
"Bantuan saya" Saya akan dijadikan kelinci
percobaan?" Mimi ketakutan.
"Oh... tidak." Profesor tersenyum geli. "Satu jam lagi
saya harus menghadiri sidang para finalis lomba cipta
internasional itu." "Anda telah menjadi finalis, Prof?"
Profesor mengangguk, hidungnya mekar lantaran
bangga melihat wajah penuh kekaguman di
hadapannya. "Tinggal selangkah menuju
kemenangan.... Karena itu, sementara saya ajukan
rumus tertulis saya di sidang nanti, saya minta kamu
menjaga cairan kuning saya. Sebagian boleh
kaupergunakan untuk percobaan... karena... eh...
sebetulnya saya masih harus mengetahui dengan zat
apa cairan itu mesti dikombinasikan agar memperoleh
efek yang diinginkan..."
"Maksud Anda... penemuan ini belum sempurna?"
"Betul sekali." Profesor melirik ke arah jam dinding.
"Oh... saya sudah terlambat. Ingat Mimi.. pergunakan
setengah tabung saja... sisanya kausimpan baik-baik
dan... catat zat-zat yang kaukombinasikan," pesan
Profesor sambil mengenakan jas dan topinya lalu
meninggalkan laboratorium dengan tergesa-gesa.
Mimi menatap tabung berisi cairan kuning itu dengan
sukacita. Akan amat mengasyikkan sekali boleh
mengadakan percobaan dengan zat super hebat ini.
Mimi membaca tulisan ditabung kaca itu dengan
saksama. Tulisan kecil-kecil itu berbunyi: QQ
FORMULA. "Nah, formula QQ, Profesor Mimi akan mengadakan
percobaan... hmh..." Mimi mulai dengan mencampur
QQ dan asam sulfat. Ditunggunya beberapa saat
hingga terjadi reaksi, dan dicatatnya reaksi yang
timbul dalam satu tabel yang rapi.
Tak terasa... tiga jam berlalu dan tetes demi tetes
formula QQ telah digunakan oleh Mimi untuk
eksperimen-eksperimen kombinasi yang ditugaskan
Profesor Aloysius. "Uhhh..." Mimi menggerakkan pinggangnya yang
terasa pegal lantaran terlalu lama duduk. Ia bangkit
berdiri dan sejenak meregangkan otot-ototnya yang
terasa linu dan kaku. Dilayangkannya pandangan ke arah jendela. Di
kejauhan kelihatan keramaian anak-anak yang
tengah bermain basket. Mimi melirik jam di dinding,
sudah pukul setengah lima sore. Rupanya sudah
waktunya kegiatan ekstrakurikuler dimulai.
Dengan tabung sisa formula QQ di tangan, Mimi
beranjak mendekati jendela, asyik memperhatikan
langkah-langkah gesit Rio yang memimpin latihan
basket sore itu. Ada juga Belia dan Lisa di sana.
Mimi menghela napas. Sementara Rio begitu dikelilingi
oleh gadis-gadis cantik menarik, aku lebih suka
mengurung diri dalam laboratorium. Sungguh tak adil,
bisik Mimi sedih. Tapi mau apa lagi" Ia memang tak terampil dalam
urusan permainan lapangan. Ia lebih teliti menghitung
tetes cairan atau gram molekul di laboratorium.
Dunianya dan dunia Rio berbeda... dan terlalu sulit
disatukan. Sebaik dan seramah apa pun sikap Rio
terhadapnya, Mimi tetap tak berani mengkhayal
bahwa suatu saat mereka akan...
Prang!! "Aduh!" Mimi tersentak memegangi tangannya yang
terkena bola nyasar dari lapangan. Tabung sisa
formula QQ pecah berantakan dan sebagian cairan
muncrat memasuki tabung berisi sebuah senyawa...
entah apa namanya. Mimi tak sempat lagi membaca
nama tabung itu... ia amat ketakutan melihat asap
mengepul dari sana... akan meledakkah" Oh...
Bergegas ia mengayun langkah meninggalkan ruang
laboratorium, namun kakinya terasa berat dan
kepalanya pening. Matanya berkunang-kunang.
Bayangan Profesor Aloysius yang marah-marah
karena formulanya lenyap tak bersisa menghantui
benaknya. "Mimi!" teriak Rio dari jendela. Lemparannya rupanya
terlalu keras dan salah arah. Menghantam pohon
bungur lantas memantul ke jendela laboratorium. Rio
sungguh terkejut melihat tabung yang pecah
berserakan dan Mimi yang terkulai di lantai.
"Hoi!! Tolong... ada yang pingsan!" teriak Rio ke arah
lapangan meminta bantuan. Dengan panik Rio
melompat ke dalam lewat jendela yang sudah
bolong. Diangkatnya tubuh Mimi dari lantai dengan
hati-hati dan penuh rasa bersalah.
"Di... di mana aku?" Perlahan Mimi membuka matanya
tatkala diciumnya bau cologne yang menyengat dari
hidungnya. Wajah Belia-lah yang pertama-tama
dilihatnya. Gadis itu tersenyum manis dan
mengangkat kapas berbau cologne itu dari hidung
Mimi. "Nah, kau sudah siuman."
"Aku...?" Mimi memegangi kepalanya yang terasa
pening, berusaha mengingat-ingat kejadian yang
barusan dialaminya. "Kau berada di laboratorium waktu bola basket Rio
memecahkan jendela. Dan kau pingsan di lantai di
antara pecahan tabung kaca dan cairan kuning.
Untung..." "Cairan kuning!" seru Mimi sambil menepuk dahinya,
memotong cerita Belia. "Kenapa?" "Astaga... cairan kuning itu..." gumam Mimi ketakutan.
Bibirnya gemetar. Dengan apa harus digantinya
formula QQ Profesor Aloysius itu" Formula langka
yang akan diikutsertakan pada lomba internasional.
Yang mestinya dijaganya baik-baik. Yang harus
disisakannya. Kini lenyap tak berbekas.
Oh... apa yang harus kuperbuat" pikir Mimi ketakutan.
Jangankan bisa membuat yang baru, formulanya pun
Mimi tak tahu. Seperti kata Profesor, formula itu amat rahasia
suatnya, sehingga hanya Profesor yang tahu
rumusnya. Mungkin Profesor bisa membuatnya lagi,
mungkin rumus-rumus itu masih di kepalanya. Tapi
bagaimana kalau lupa" Biasanya seorang Profesor
punya kebiasaan linglung dan pikun. Oh... Mimi
menggigit bibir bawahnya cemas.
"Kenapa" Ada yang sakit. Mi?" tanya Belia seraya
memegang pergelangan tangan Mimi. Ada bekas
agak membiru di situ. Pasti lantaran terhantam bola
basket. Dan agaknya Belia telah membalurnya
dengan sejenis salep. "Aku harus kembali ke laboratorium sekarang," ujar
Mimi sambil berusaha bangkit dari tempat tidur.
"Apakah kau cukup sehat dan kuat untuk berjalan
kembali?" tanya Belia, khawatir, melihat langkah dan
tubuh Mimi yang masih limbung.
"Ya," sahut Mimi. "Eh... Belia, terima kasih atas
pertolonganmu," ujar Mimi sebelum meninggalkan
ruang P3K. Belia hanya tersenyum. Manis.
Mimi bergegas kembali ke laboratorium sambil
mencari akal agar terhindar dari kemarahan Profesor.
Sebetulnya memang bukan salahnya, melainkan salah
Rio, salah bola basket nyasar itu. Tapi tentu Profesor
tak mau peduli dengan urutan kejadian dan asalmuasal peristiwa kecelakaan siang
tadi. Yang jelas Profesor pasti menyesali keteledoran Mimi dan tak
akan pernah lagi mempercayai Mimi.
Mimi berjalan melintasi kantin. Anak-anak yang baru
usai latihan basket nampak merubungi kios minuman
di kantin. "Nah., rupanya putri tidur sudah terbangun dari
pingsannya," seru Lisa setengah mengejek.
Mimi berhenti sesaat. Bukan kata-kata Lisa yang
membuatnya menghentikan langkahnya, tapi cairan
kuning dalam plastik yang sedang diseruput Lisa.


Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" belum pernah minum sirup kuning ya?" ejek
Lisa lagi. Mimi tak peduli. Sirup itu punya warna persis sama
dengan formula QQ sang Profesor. Tak dipedulikannya
tawa Lisa and the gang yang mengejeknya waktu
melihat Mimi ikut antre dalam barisan anak-anak
untuk membeli sirup. "Rupanya nongkrong di lab sama melelahkannya
seperti latihan basket, ya" Lihat... Mimi sampai
kehausan begitu." "Bisa haus juga ya dia" Ha... ha... ha."
-----Selesai mengunci sepedanya di dalam garasi, Mimi
masuk ke rumah. Dilihatnya sedan merah menyala
milik Mama telah terparkir dalam garasi, itu artinya
Mama sudah pulang. "Malam betul, Mimi, ke mana saja kau?" tegur Mama
waktu melihat Mimi masuk.
Mimi melirik arlojinya. Jam setengah delapan malam.
Padahal biasanya ia selalu pulang sekolah tepat pukul
enam sore. Tapi lantaran kejadian di lab tadi ia
terpaksa mengurus ini-itu dan pulang hingga larut.
"Ada praktikum tambahan, Ma," dusta Mimi tanpa
berani menatap wajah Mama.
"Betul" Kok Suster Christine tidak bilang apa-apa
waktu Mama telepon ke sekolahmu tadi?" Mama
curiga. Mimi tercekat. Kini tak ada gunanya lagi mengarangngarang cerita bohong. Mama
pasti telah mengetahui semuanya. "Maaf, Ma... Mimi terkena bola basket nyasar, kaca
jendela lab kimia pecah sehingga Mimi harus melapor
ini-itu ke tata usaha," cerita Mimi sejujurnya.
"Ya... Mama sudah dengar itu dari Suster Christine."
Mimi tertunduk. Dalam hati ia agak jengkel. Ke mana
saja Rio sejak tadi" Padahal jelas itu adalah
kesalahannya. Akibat lemparannya yang ngaco itulah
ia kini pulang terlambat, repot melapor, dan dimarahi
Mama. Tapi anehnya sedari tadi ia tak melihat batang
hidung Rio. Dasar tak bertanggung jawab, maki Mimi
dalam hati. Jangankan minta maaf, menolongku
mengurus dan melapor saja ia tak mau.
Menampakkan diri saja ia tak berani. Pengecut.
"Makananmu ada di atas meja, Mimi," suara Mama
melunak. "Maaf, Ma... Mimi berbohong tadi, Mimi takut Mama
tak percaya kalau Mimi ceritakan yang sebenarnya,"
Mimi memeluk lengan mamanya.
Mama mengangguk. "Mimi mandi dulu ya, Ma," ujar Mimi lagi.
"Ya, tapi jangan terlalu lama. Sudah malam, nanti
masuk angin. Begitu selesai langsung makan, ya?"
pesan Mama panjang-lebar.
"Ya, Ma," sahut Mimi sambil menaiki tangga menuju
kamar tidurnya di atas. Harum bunga melati segera tercium begitu pintu
kamar terbuka. Mimi melepas sepatu dan kaus
kakinya, lantas mengunci pintu kamarnya.
Diempaskannya tubuhnya ke atas tempat tidur dan
dinyalakannya gelombang radio kesayangannya. Ia
telah terlambat hampir dua jam mengikuti acara sang
Mister DJ. Jangan-jangan suratnya telah dibacakan di
awal acara dan ia tak sempat mendengar suara
Mister DJ menyebut namanya. Nama samarannya.
when my heart is missing you I know just what to do
I close my eyes and count to ten and I'll be next to
you when the night is turning cold a darker shade of blue I
hold my breath and make a wish and I'll be next to
you.... "Ya... itulah suara bujang keling Jermaine Jackson
dalam sebuah tembang manis... Next to You,"
terdengar suara penyiar pujaan mengiringi
berakhirnya alunan lagu Next to You milik Jermaine
Jackson. Lagu slow berlirik manis itu kedengaran amat
indah di telinga Mimi. "Selamat malam, Monique di peraduannya. Setiap
persoalan pasti ada jalan keluarnya masing-masing.
Satu saran saya: be the best you can be, and
everything is gonna be all right... oke" "
Mimi senyum-senyum sendiri mendengar jawaban
Mister DJ atas suratnya minggu lalu. Surat yang
menceritakan kesedihannya lantaran cinta yang tak
mungkin bersambut. Perasaan yang mesti
dipadamkan lantaran dua dunia yang bertolak
belakang. Perasaan-perasaannya pada Rio...
"Baiklah, spesial untuk Monique, satu tembang manis
dari Gloria Estefan berjudul Don't Wanna Loose You
Now..." Mimi memeluk bantalnya dengan mata terpejam.
Rasanya hilang segala lelah dan gelisah di hatinya
begitu mendengar suara Mister DJ. Segala kejadian
yang menegangkan di sekolah barusan, segala yang
tak menyenangkan... berubah menjadi kedamaian
dan ketenangan di hati. Rasa lapar, rasa ingin segera
mandi... semua berubah menjadi satu keinginan:
memonitor siaran sang Mister DJ hingga tuntas!
7 don't wanna loose you now we're gonna get
through somehow I don't wanna loose you now or
ever... "Mimi! Sudah belum mandinya?" teriak Mama sambil
mengetuk pintu kamar Mimi.
Mimi tersentak. Dikecilkannya volume suara radio dan
dinyalakannya air pancuran kamar mandi keras-keras.
"Sebentar lagi, Ma!!" teriaknya dari dalam kamar
mandi, memberi kesan pada Mama bahwa ia sedang
mandi. "Cepatlah sedikit!"
*** "Mimi!" teriak Mama untuk yang kesekian kalinya. Tiap
kali selalu begitu. Panggilan-panggilan yang bersifat
setengah memaksa dan dikte-mendikte yang bersifat
perintah mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Mimi bergegas turun dari kamarnya sambil
membereskan seragam sekolahnya dengan sibuk,
karena tangan yang satunya harus menenteng tas
sekolahnya. "Cepat dong... nanti Mama terlambat ke kantor!"
Mimi hanya mengangguk. Pagi tadi ketika Mimi memeriksa sepedanya, ternyata
ban belakangnya kempes. Mimi berusaha
memompanya, tapi ternyata bukan sekadar kempes,
melainkan ada lubangnya. Sebab begitu berhenti
memompa, ban langsung kempes kembali. Sepagi ini
tentu belum ada tukang tambal ban yang buka, dan
lagi tak ada waktu yang cukup untuk menunggui ban
selesai ditambal. Karena itulah Mimi diantar Mama.
Dan akibatnya... diburu-buru waktu seperti ini.
Mimi melirik arloji di pergelangan tangannya. Baru
pukul setengah tujuh. Sekolah dimulai jam delapan,
masih terlalu pagi sebenarnya. Tapi apa boleh buat.
Letak kantor Mama memang agak jauh,
membutuhkan waktu kira-kira satu jam untuk
mencapainya. Apalagi dalam suasana pagi hari yang
senantiasa diwarnai kemacetan, bisa-bisa waktu yang
satu jam itu molor menjadi satu setengah atau dua
jam. Maka wajar saja jika Mama selalu berangkat
sepagi ini, jam kerjanya dimulai juga pukul delapan.
"Ck... ck... ck... rambutmu! Berantakan betul! Belum
sisiran, ya?" tanya Mama sambil memandang heran.
"Belum sempat, Ma... nanti di mobil saja Mimi sisir,"
sahut Mimi sambil menyambar tempat rotinya dan
meminum segelas susu jatah pagi harinya.
"Mama kan sudah beribu kali bilang jangan tidur
terlalu malam," gerutu Mama sambil melangkah
keluar. "Tapi kamu selalu keasyikan mendengarkan
radio kesayanganmu itu. Sampai-sampai tadi malam
kamu tidak makan lantaran keasyikan sampai
ketiduran...." Mama dengan cekatan mengunci pintu rumah dan
membuka pintu garasi. Dan dalam beberapa detik
Mama sudah berada di dalam mobil merahnya.
"Ayo..." Mama membukakan pintu buat Mimi.
Mobil di starter, gigi dimasukkan, dan sedetik
kemudian sudah melesat ke jalan. Membelah
keramaian kompleks dan memasuki jalan raya.
"Apa sih hebatnya acara kesayanganmu itu?", tanya
Mama seperti tak habis-habisnya menyerang.
Acara itu adalah satu-satunya hiburan yang masih
bisa dinikmati Mimi. Mimi menghela napasnya.
"Sekolah Mimi satu jalan lagi, Ma," ujarnya berusaha
mengalihkan pembicaraan. "Mama belum lupa," sahut Mama sambil terus
mengemudi. "Kenapa tak kaujawab pertanyaan
Mama tadi?" "Pertanyaan apa?" Mimi pura-pura lupa.
"Acara kesayanganmu di radio itu. Siapa sih penyiar
yang suaranya seperti banci itu?" ujar Mama
meremehkan. "Suaranya seperti banci" Ah, Mama salah memutar
gelombang mungkin," kilah Mimi mulai Jengkel.
"Ah, tidak. Di zaman Mama dulu, penyiar haruslah
bersuara jantan berwibawa. Tidak cengeng dan sok
dilembut-lembutkan seperti itu. Bikin ngantuk orang
saja... dan itu yang kausukai?"
Mimi menghela napasnya. Hanya lantaran hari ini ia
minta diantarkan, hanya lantaran semalam ia
ketiduran karena lelah, dan lupa makan malam,
mamanya menghina habis-habisan penyiar
pujaannya. Meremehkan seleranya. Bah. Mama selalu
bangga pada dirinya sendiri. Pada zamannya. Pada
segala sesuatu yang tak pernah dialami dan dikenal
oleh Mimi. Mama seperti berusaha membesarkan Mimi
dalam masa lalu. Padahal tahun berapa sekarang"
Tahun 90! seru Mimi dalam hati.
Rasanya ia telah cukup sabar dan amat penurut.
Sebagai anak tak banyak yang dituntutnya. Ia cukup
memahami Mama yang terpaksa berperan ganda
setelah kematian Papa. Tapi toh ada batasnya...
Tiba-tiba saja Mimi ingin kendaraan yang dinaikinya
berhenti mendadak supaya ia bisa turun dan jalan
kaki saja ke sekolah. Tinggal satu kilometer lagi. Ia
merasa kupingnya mulai panas mendengar
cemoohan-cemoohan Mama. Jangan sampai hati dan
kepalanya ikut panas pula....
"Lho... kenapa sih?" seru Mama ketika tiba-tiba mesin
mobil seperti batuk-batuk kemudian mendadak
berhenti. Mogok. Mimi ikut terkejut. Hah" Bagaimana mungkin" Apakah
secepat itu doanya sampai ke telinga Tuhan dan
dikabulkan" Bukankah ia menginginkan mobil berhenti
agar bisa jalan kaki dan melepaskan diri dari omelanomelan cerewet Mama"
"Ada-ada saja.... Kalau pagi sudah diawali dengan
kejadian tak enak dan marah-marah pasti adaaaa
saja kelanjutannya," gerutu Mama panjang-pendek
sambil keluar dari mobil dan membuka kap mesin.
Mimi ikut turun dengan membawa perlengkapan
sekolahnya komplet. Dirapatkan-nya sweater-nya,
udara terasa agak dingin.
"Ma... Mimi jalan kaki saja, ya?" ujarnya.
"Terserahlah," sahut Mama tak peduli. Setelah meneliti
dan tak menemukan keanehan, Mama masuk
kembali dan mencoba men-starter.
Dan... hidup! "Aneh..." Bukannya bersyukur. Mama malah terus
merecet. Mimi hanya tersenyum melihat sikap Mama.
Mobil kembali melaju dan berhenti di sebelah Mimi.
"Betul kau mau jalan kaki saja?" tanya Mama.
"Ya. Lagi pula sekalian menghabiskan waktu. Masih
terlalu pagi, Ma." "Ya sudah. Langsung pulang, ya!" Mama melambai.
Mimi melangkah cepat untuk menghalau udara dingin
yang siap menembus sweater-nya. Gerbang sekolah
St. Valentino yang tinggi menjulang dan berwarna
kuning keemasan sudah nampak di kejauhan sana.
Mimi mempercepat langkahnya. Beberapa sepeda
hilir-mudik di sisinya. Tentunya mereka adalah muridmurid St. Valentino juga,
pikir Mimi, teringat akan
sepedanya yang rusak. "Ho... ho... mau nebeng?" ajak sebuah suara, yang
telah amat dikenal oleh Mimi.
Tanpa menoleh Mimi menggeleng.
"Tidak perlu tebengan atau boncengan?"
Mimi menggeleng dan semakin mempercepat
langkahnya. Rio turun dari sepedanya dan mengiringi
Mimi, ikut melangkah di sebelah Mimi sambil
menuntun sepedanya. "Kalau tak perlu boncengan, tentu kau perlu teman
sejalan, kan?" "Tidak," tukas Mimi ketus.
"Lho... lho... galakmu mengalahkan Bu Betty."
Mimi tak menanggapi. Hatinya masih jengkel
mengingat peristiwa kemarin. Seenaknya melempar
orang dengan bola hingga berbilur biru, setelah itu
lepas tangan. Membiarkan Mimi sendiri mengurus
pecahnya kaca laboratorium kimia, melapor pada tata
usaha, diinterogasi oleh Suster Christine. Malah Belia
yang menemani Mimi hingga siuman. Laki-laki
pengecut. Rupamu saja indah, tapi hatimu... Mimi
mendengus. Ia kembali teringat pepatah kuno: Jangan
menilai orang hanya dari penampilannya saja, tapi


Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nilailah sikapnya. Dan Mimi merasa telah salah menilai
Rio selama ini. "Wah, rupanya kau betul-betul sedang tak butuh
teman pagi ini," tukas Rio merasa diacuhkan.
"Bukan cuma pagi ini, tapi selamanya!"
"Mimi" Apakah aku telah berbuat 'salah pada..." Rio
menghentikan kalimatnya saat teringat kejadian
kemarin. "Aha... aku tahu, pasti kejadian kemarin"
Betul, kan?" Mimi diam. "Aku minta maaf, Mimi, karena tak membantumu.
Tapi sungguh, waktu kugendong kau ke ruang P3K
kau pingsan berat. Kutunggu selama lima belas menit
kau tetap pingsan, maka terpaksa aku pulang. Ada
pekerjaan yang harus kuselesaikan...."
"Kau menggendongku?" Mimi terbata agak malu.
Rio mengangguk. "Lumayan juga ternyata. Berapa sih beratmu?"
"Huh," Mimi merengut.
"Ha... ha... ha..." Rio tertawa. "Ayolah, apakah hamba
mesti berlutut mencium tangan Paduka untuk
memohon grasi?" Mimi diam. Mungkin ia salah... Ia tak mengira bahwa
Rio-lah yang pertama kali menolongnya.
"Memangnya kau ada urusan apa sih?" Mimi mulai
membuka suara. "Aku... aku kerja sambilan sepulang sekolah. Buat
tambah-tambah uang saku." Rio tersenyum.
"Di mana?" "Ada aja..." Rio tersenyum penuh arti.
Mimi tak bertanya-tanya lagi. Gerbang sekolah telah
mereka lalui. Mimi merasa kakinya agak pegal. Baru
kali ini ia jalan kaki sejauh ini. Biasanya ia jarang
sekali berolahraga. Paling banter menggenjot sepeda.
Napasnya agak tersengal. "Mi, bolehkah aku menebus kesalahanku dengan..."
Rio melirik ke arah sepeda hitamnya, "memberimu
boncengan sampai ke sekolah?"
Mimi ragu sesaat, tapi akhirnya kepalanya
mengangguk juga tanda setuju.
"Cihuyy!" sorak Rio.
Agak berdegup jantung Mimi waktu Rio membimbing
tangannya memasuki kantin. Sebuah bagian dari
sekolah ini yang nyaris tak pernah dikunjunginya.
Suasana begitu hiruk-pikuk dan bising. Beberapa
pasang mata segera saja menyadari kehadirannya,
dan keributan mereda sedikit. Berganti dengan kasakkusuk. Apalagi kalau bukan
membicarakan dirinya. "Apakah tidak lebih baik aku kembali ke
perpustakaan saja?" tanya Mimi resah.
"Sstt... tenanglah. Ada aku...." Rio menatap Mimi
dalam-dalam. Jantung Mimi berdegup makin kencang. Ah... betapa
gadis-gadis lain akan hijau karena cemburu melihat
Rio menggenggam tanganku seperti ini, pikir Mimi
dalam hati. Sejak kejadian kaca pecah tempo hari mereka
memang kian akrab. Ada sesuatu dalam diri Rio yang
mengingatkan Mimi pada seseorang. Entah siapa dan
entah bagian mana dari diri Rio. Yang jelas, ia seperti
telah begitu lama mengenal Rio sehingga demikian
cepatnya mereka menjadi akrab. Rio tak seburuk
dugaannya. Di kelasnya Rio pun selalu memegang
peringkat atas. Dan pola berpikirnya, jangkauan ilmu
pengetahuannya, sungguh luas. Menimbulkan sisi
kekaguman yang lain dalam hati Mimi. Kekaguman
yang membuat Mimi mau saja diajak ke kantin.
"Nah... silakan duduk. Kau mau makan apa?"
"Terserah kau..." Mimi masih merasa risi.
"Ayolah. Ada hamburger, hot dog, mie bakso...," Rio
menawarkan dengan lincah.
"Aku... apakah memalukan seandainya kumakan
bekal yang kubawa dari rumah?" tanya Mimi takuttakut.
"Ha... ha... ha..." Rio tertawa. "Kenapa tidak?"
"Boleh?" Rio mengangguk dan menatap Mimi dengan senyum
lebar. Gadis satu ini memang lain dari yang lain.
Mungkin bagi orang lain agak aneh, tapi bagiku justru
menimbulkan keasyikan tersendiri. Menimbulkan daya
tarik sendiri, pikir Rio tak habisnya mengagumi Mimi.
"Kau tidak malu, Rio?" tanya Mimi sambil mulai
menggigit roti isi coklatnya.
"Malu" Kenapa?"
"Ya... berjalan bersama aku. Apa kau tidak tahu apa
julukanku?" Mimi melirik ke arah Rio.
"Tidak," geleng Rio.
"Si itik dungu yang lamban," keluh Mimi pasrah, "dan
kenyataannya memang begitu."
"Tapi aku tak melihatnya. Aku malah melihat kau
sebagai gadis yang... wah... susah dilukiskan dengan
kata-kata." Mimi tersenyum. Antara senang dan tak percaya.
"Berapa sih nilai bahasa Indonesiamu?" tanya Mimi.
"Semester kemarin delapan. Kenapa?"
"Pantas... pandai membuat karangan seperti tadi...."
"Enak aja... eh... yang tadi itu tulus lho. Mi!" yakin Rio
serius. Tapi makin serius Rio, makin lucu mimik
wajahnya. Mimi tak dapat menahan tawanya. Namun
tawa yang lepas itu terpaksa terhenti waktu Mimi
melihat siapa yang tengah berjalan ke arah mereka.
"Halo," sapa Belia ramah dan seperti biasanya
tersenyum manis memamerkan sebarisan gigi
Pepsodent-nya. Tak perlu dipamerkan, semua orang
juga sudah tahu gigimu indah, batin Mimi. la merasa
malu sendiri saat menyadari bahwa ia merasa
terganggu akan kehadiran Belia. Padahal ia toh bukan
apa-apa dan tidak akan pernah jadi apa-apanya Rio.
Jadi sebetulnya ia tak punya hak paten untuk
mengusir gadis-gadis lain dari sekeliling Rio.
"Wah, sejak kapan kantin jualan roti" Aku mau, ah,"
ujar Belia sungguh-sungguh.
"Eh, bukan, aku membawanya dari rumah kok. Kalau
kau mau..." "O... mau sekali. Apalagi kalau ditawari duduk
sekalian...'' Belia berusaha untuk berada di tengahtengah mereka.
Rio hanya memonyongkan bibirnya. Tapi diberikannya
juga tempat untuk Belia di sebelahnya. Jadi posisi
sekarang 2 banding 1. Rio dan Belia berdua di hadapan
Mimi. Sementara Mimi sendirian dan semakin risi.
Semakin merasa tak sepadan untuk jadi kawan Rio.
Ya... dibandingkan Belia ia memang tak ada apaapanya.
Tapi ia toh tak mungkin bersikap kasar pada Belia
karena gadis itu juga selalu ramah padanya. Dalam
hati, betapa ingin Mimi membuat Belia segera berlalu
meninggalkan mereka. Mungkin kalau tiba-tiba coklat
dalam roti yang sedang dikunyahnya itu muncrat
keluar dari mulutnya ia akan malu dan berlalu, pikir
Mimi nakal. "Mimi, mana janjimu untuk mengajari kimia... kau
kok... ups..." Belia mengatupkan bibirnya dan
mendekap mulutnya dengan telapak tangannya.
Mimi dan Rio menatap Belia terheran-heran.
Bagaimana mungkin gadis sesopan Belia mengunyah
seperti anak bayi sampai-sampai roti coklat yang
sedang dikunyahnya mental sebagian dari mulutnya.
Wajah Belia segera berubah menjadi merah padam.
"Sori... aku ke belakang dulu." Belia bangkit dan
meninggalkan Rio dan Mimi yang masih terheranheran.
"Aneh...," Rio tertawa, "tapi lumayan... buat hiburan."
Mimi ikut tersenyum sambil mengucap syukur dalam
hati. Agaknya akhir-akhir ini Tuhan sedang berbaik
hati padanya. Setiap keinginannya dipenuhi seketika.
Agak aneh memang, tapi tentu hanya kebetulan saja,
pikir Mimi, menghapus prasangka-prasangka aneh
dalam benaknya. -----when Tm feeling Hue, all I have to do is take a look
at you, then f m not so Hue when Tm in your...
"Radio lagi, radio lagi!" seru Mama yang tiba-tiba
sudah ada dalam kamar Mimi dan berkacak pinggang
dengan wajah ditekuk jengkel.
Mimi mematikan radionya dan melepas headphonenya. dengan cepat.
"Lagi-lagi radio..."
Mama merebut radio dan headphone dari tangan Mimi
"Kamu mulai keterlaluan, Mimi. Mama tidak melarang
asalkan tidak mengganggu waktu belajarmu. Lihat,
nilai-nilaimu merosot tajam!" Mama mengacungkan
setumpuk kertas hasil ulangan terakhir Mimi.
Mimi mengambilnya. Angka delapan untuk
matematika, sembilan untuk kimia, delapan untuk
biologi, delapan untuk bahasa, sembilan untuk bahasa
Inggris, apanya yang merosot tajam"
"Lihat., biasanya kauperoleh angka sembilan untuk
semuaaa mata pelajaran Tapi lihat sekarang
matematikamu cuma dapat angka delapan."
Mimi menghela napas. Mama seperti tidak
menghargai usaha dan kerja kerasnya selama ini.
Bergaul akrab dengan Rio membuat mata Mimi sedikit
terbuka melihat dunia sekitarnya. Gaya hidup yang
ditanamkan Mama sungguh bukan gaya hidup yang
normal bagi gadis seusianya. Dan sejauh ini ia
menurut saja. Ia berusaha memberi yang terbaik
untuk mamanya dengan mengorbankan kesenangankesenangan dan hura-hura yang
mestinya justru ia nikmati di usia seperti ini. Dan sekarang hanya
lantaran angka delapan Mama ribut bagai kakekkakek kebakaran jenggot" Sungguh
keterlaluan. "Ma, ini tak ada hubungannya dengan radio segala,"
ujar Mimi perlahan. "Bagaimana mungkin" Jelas ada! Sangat ada!" paksa
Mama. "Suara penyiar yang lembut itu membuatmu
terbuai, terlena, dan lebih suka berkhayal daripada
belajar." "Tidak, Ma, justru karena suaranya saya jadi lebih
semangat untuk belajar," bantah Mimi agak sengit. la
amat tersinggung bila Mama mulai mengejek suara
sang Mister DJ pujaannya.
"Hmh..," Mama mendengus. "Dan karena kau selalu
tidur larut malam menunggu acara selesai kau selalu
bangun kesiangan, tak sempat belajar lagi!"
Mimi menunduk dalam. "Karena itu, mulai sekarang tak ada radio-radioan."
Mama merapikan kabel headphone, melilitkannya
pada radio walkman Mimi. "Ma!" protes Mimi.
"Kau boleh ucapkan selamat tinggal lewat kartupos
pada sang Mister DJ-mu itu," kata Mama tegas, "dan
buktikan perbaikan nilaimu semester depan."
"Semester depan!" pekik Mimi membayangkan enam
bulan yang harus dilaluinya tanpa Mister DJ. Enam
bulan belajar terus-menerus tanpa ada pendorong
semangat" "Jangan, Ma... Mimi janji..."
"Tidak!" "Ma...," rengek Mimi. Sifat anak tunggalnya muncul
juga dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini. Tapi
Mama tidak peduli. Dengan santai Mama membawa
harta benda kesayangan Mimi itu ke bawah. Entah di
mana disembunyikannya hadiah dari Papa di ulang
tahun Mimi yang kedua belas itu.
Mimi merasa matanya menghangat.
"Mania jahat," desisnya agak geram.
Dan... braakkk!!! Pintu kamar tertutup dengan kekuatan dahsyat
hingga guncangannya menyebabkan beberapa pigura
lepas dari gantungannya di dinding. Mimi sendiri agak
terkejut. Padahal tak ada hujan tak ada angin. Aneh.
"Mimi!! Apa itu..."!" teriak Mama mengira Mimi-lah
yang membanting pintu dengan marah.
"Bukan Mimi, Ma," sahut Mimi. Kejengkelannya pada
Mama hilang, berganti dengan ketakutan dan
keheranan dengan apa yang barusan terjadi.
Bukan cuma yang barusan saja, tetapi yang kemarin
dan kemarin dan kemarinnya lagi. Sepertinya apa
yang dirasakannya, diinginkannya, langsung menjadi
kenyataan tanpa ia harus melakukan apa pun. Apa
gerangan yang sedang terjadi" Apakah alam sedang
ramah terhadapku" pikir Mimi bingung.
Malam semakin larut. Mimi berusaha menganggap
segala kejadian aneh yang dialaminya sebagai suatu
kebetulan belaka. Ia ingin segera terlelap dan
melupakan kekangenannya pada suara sang penyiar
pujaan Oh... apakah Mama sungguh-sungguh dengan
ancamannya nanti" Tak ada suara Mister DJ hingga
semester depan" Mimi khawatir nilai-nilainya malah
makin merosot nanti... Kriiing... kriiing... Mimi tersentak mendengar dering telepon. Diliriknya
jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya.
Pukul setengah sembilan malam. Pasti Rio yang
menelepon. Tadi siang Rio berjanji akan menelepon
Mimi jam setengah sembilan, di saat ia istirahat dari
pekerjaan tambahannya. Mimi beranjak dari tempat tidurnya dan mengintip ke
bawah. Dilihatnya Mama telah mengangkat gagang
telepon. Lamat-lamat didengarnya suara Mama
berbicara pada... siapa lagi kalau bukan pada Rio.
"Mimi sudah tidur... ini dari mana" Rio" Ya... ya nanti
saya sampaikan. Ya, selamat malam juga...." Klik.
Gagang telepon diletakkan kembali.
***

Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cersil Istana Pendekar Dewa Naga
Mimi mempercepat langkahnya dengan agak gemetar
dan hati deg-degan ketakutan. Namun semakin cepat
kakinya mengayun, derap langkah yang
membayanginya sedari tadi pun seperti latah ikut
mempercepat ayunannya. Dengan napas memburu dan tanpa berani menoleh
ke belakang, Mimi terus melaju. Berusaha
mengerahkan segala daya yang ada agar segera
meninggalkan koridor kelas yang sepi ini menuju
kantin, lapangan, atau tempat lain yang agak ramai.
"Hei!" Langkah Mimi terhenti seketika saat dirasakannya
sebuah tangan yang kuat mencengkeram bahunya.
"Ngapain sih buru-buru?" tanya Lisa sambil tersenyum
sinis. Mimi mengkerut ketakutan seperti bertemu monstermonster purba yang sering
dilihatnya di komik-komik
fantasi. "Aku... eh... di..ditung.. ditunggu Profesor Al...
Aloysius...," Mimi tergagap. Sementara cekalan tangan
Lisa makin dingin dan kuat pada bahunya.
"Aku tak akan lama," Lisa menyeringai.
"Langsung aja. Lis," timpal salah seorang kawanan
Lisa and the gang. "Aku hanya ingin menyatakan kekecewaanku...."
"A.. aku" Apa salahku...?" Mimi terbata.
"Kau mengabaikan kata-kataku, padahal setahuku
kau anak yang patuh, pandai, dan tak mudah
melupakan sesuatu. Tapi nyatanya..."
"Tunggu apa lagi. Lis...!"
"Beri satu di pipinya, ditanggung kapok dia!" kawan
yang lain ikut memanas-manasi.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Mimi.
Kacamatanya yang melorot tak berani dibetulkannya.
Lututnya gemetar. Ia mengira kejadian seperti ini
cuma ada di film tentang penjara wanita. Tapi
ternyata kini ia sendiri mengalaminya di sekolahnya.
Mendadak Mimi ingin pipis, tapi ditahannya sampai
wajahnya meringis-ringis tak keruan. Cekalan Lisa
memang terlepas, tapi tangan yang lain bersiap untuk
melakukah hal yang lebih menyakitkan ketimbang
cekalan barusan. Dengan satu gerakan saja dijamin
pipi Mimi akan babak-belur.
Mimi memegang erat kedua pipinya untuk melindungi,
sambil berdoa dalam hati, moga-moga urat lengan
Lisa mendadak terkilir, melintir, atau apa saja yang
bisa membatalkan pukulan jurus Cimande-nya
mendarat di wajahku, pinta Mimi dalam hati.
"Nih, rasa... aduuhhh... adudududuh..." Ayunan tangan
Lisa berhenti di posisi sembilan puluh derajat sehingga
kelihatan seperti tergantung lurus di udara.
Beberapa anggota gang-nya sibuk membantu dengan
panik dan heran melihat bosnya kesakitan tanpa
sebab. "Kenapa, Lis?" "Ada apa, Lis?"
"Aduuh... ati-ati... eeeh... pelan-pelan...," rengek Lisa
Nyi Roro Sekar Mayang 2 Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Murka Puri Rodriganda 5
^