My Name Red 3
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 3
lukisan-lukisanku. Ia menyapaku dengan bersahabat, dan ingin mengajukan beberapa
pertanyaan padaku atas nama Sultan kami. "Baiklah," kataku, "pertanyaan pa yang
harus kujawab?" Ia mengatakannya padaku. Baiklah, kalau begitu! Gaya dan Tanda Tangan
"Selama jumlah para seniman picisan yang dalam bekerja hanya idorong oleh uang
an ketenaran, bukannya kesenangan memandang an keyakinan, terus bertambah,"
kataku, "kita akan terus menyaksikan lebih banyak lagi ketidaksopanan dan
keserakahan berkaitan dengan 'gaya' dan 'tanda tangan.' Aku membuat pendahuluan
ini karena memang beginilah cara yang seharusnya, bukan karena aku memercayai
apa yang kukatakan. Kemampuan dan bakat sejati tidak bisa dirusak bahkan oleh
cinta terhadap harta atau ketenaran. Lebih jauh lagi, jika harus berkata jujur, uang dan
ketenaran adalah hak yang tak bisa dipisahkan dari bakat, seperti dalam kasusku,
dan hanya mengilhami kami untuk meraih prestasi yang lebih besar. Tetapi, jika
aku harus mengatakan hal ini secara terbuka, para ilustrator medioker dalam
divisi para miniaturis yang diliputi rasa dengki akan mendampratku. Untuk
membuktikan bahwa aku mencintai pekerjaan ini lebih daripada mereka, aku akan
melukis gambar sebatang pohon pada sebutir beras. Aku sangat sadar bahwa gairah
terhadap 'gaya', 'tanda tangan', dan 'karakter' telah dating kepada kita dengan
segala cara dari Timur melalui empu-empu Cina tertentu yang telah tersesat di
bawah pengaruh orangorang Eropa, melalui gambargambar yang dibawa ke sana dari
Barat oleh para pastor Jesuit. Namun demikian, izinkan aku menceritakan padamu
tiga parabel yang menyusun sebuah cerita mengenai topik ini."
Tiga Parabel tentang Gaya dan Tanda Tangan
ALIF Pada zaman dahulu kala, di sekitar bagian utara Herat, di sebuah puri
pegunungan, hiduplah seorang Khan muda yang terpesona dengan iluminasi dan
lukisan. Khan ini hanya mencintai satu orang perempuan saja di haremnya, dan
perempuan Tatar yang amat dicintainya itu pun membalas cintanya. Mereka terlibat
dalam sanggama penuh gairah, bermandi keringat hingga pagi tiba, dan hidup dalam
kemabukan sehinga mereka berharap bisa hidup abadi. Mereka sadar bahwa cara
terbaik untuk mewujudkan harapan mereka adalah dengan membuka
bukubuku dan melihat, selama berjam-jam dan akhirnya berharihari, gambargambar
para empu tua yang menakjubkan dan tanpa cacat. Ketika mereka memandang gambar
gambar yang direproduksi dan dibuat secara sempurna ini, mereka merasa seakan
akan waktu berhenti dan kebahagiaan mereka sendiri berbaur dengan kebahagiaan
zaman keemasan yang terungkap dalam kisahkisah itu. Dalam bengkel kerja pembuat
buku istana terdapat seorang miniaturis, empu segala empu, yang membuat karya-
karya tanpa cacat terusmenerus untuk halamanhalaman yang sama dari bukubuku yang
sama. Sesuai adat kebiasaan, sang empu menggambarkan kegelisahan cinta Ferhad
terhadap Shirin, atau tatapan penuh cinta dan bergairah antara Laila dan Majnun,
atau tatapan penuh arti bermakna ganda antara Husrev dan Shirin dalam taman
surgawi yang banyak diceritakan itu, dengan sedikit selingan: Di tempat sepasang
kekasih legendaris ini, sang seniman melukis sang Khan dan kekasih Tatar-nya
yang cantik sebagai penggantinya. Melihat halamanhalaman ini, Khan dan
kekasihnya sepenuhnya merasa yakin bahwa kegembiraan mereka tak akan pernah
berakhir, dan mereka pun menghujani empu miniaturis itu dengan pujian dan emas.
Pada akhirnya pujapuji yang berlebihan ini menyebabkan sang miniaturis tersesat
dari nalar yang sehat. Terhasut oleh Iblis, ia menolak kenyataan bahwa ia
berutang pada para empu lama untuk kesempurnaan gambargambarnya, dan dengan
congkak menganggap bahwa sentuhan kejeniusannya sendirilah yang membuat karyanya
makin menarik. Sang Khan dan kekasihnya, yang menganggap penemuan-penemuan baru
ini sentuhan gaya pribadi sang empu miniaturis hanyalah ketidaksempurnaan, ? ?amat
terganggu oleh semua itu. Dalam lukisanlukisan itu, yang diamati dengan teliti
oleh sang Khan, ia merasa bahwa kebahagiaannya yang terdahulu telah dikacaukan
dalam beberapa hal, dan ia menjadi amat cemburu pada kecantikan gadis Tatar-nya
yang digambarkan dengan sentuhan individual oleh si pelukis. Maka, dengan maksud
membuat gadis Tatar-nya yang cantik itu cemburu, ia bermain cinta dengan selir
lainnya. Kekasihnya merasa begitu kehilangan setelah mengetahui pengkhianatan
ini dari desas-desus yang beredar di dalam harem sehingga dia diamdiam
menggantung diri di sebuah pohon cedar yang tumbuh di halaman harem. Sang Khan
yang memahami kesalahan yang telah ia buat dan menyadari keterpesonaan sang
miniaturis pada gayanya sendiri merupakan biang keladi semua kejadian
menyedihkan ini, segera membutakan mata seniman empu yang tergoda oleh Iblis
ini. BA Pada zaman dahulu kala di sebuah negeri di Timur ada seorang Sultan yang sudah
tua, seorang pencinta ilustrasi, iluminasi, dan miniatur, yang hidup bahagia
dengan istrinya, seorang putrid Cina yang amat cantik tak tertandingi. Namun
sayangnya, putra Sultan yang ganteng dari perkawinan sebelumnya dan istri muda
Sultan itu saling jatuh cinta. Sang pangeran yang hidup ketakutan karena
pengkhianatannya terhadap ayahnya, dan malu karena cintanya yang terlarang,
mengasingkan diri di bengkel kerja pembuat buku dan menghanyutkan diri dengan
melukis. Karena ia melukis dalam kesedihan dan diwarnai oleh kuasa cintanya,
setiap lukisannya menjadi begitu menakjubkan sehingga para pengagumnya
tak mampu membedakannya dari karya para empu lama. Sultan amat bangga pada
putranya dan istri muda Cinanya itu pun berkata, "Ya, luar biasa!" saat dia
melihat lukisanlukisan itu. "Namun, waktu pasti akan berlalu dan jika ia tidak
menandatangani karyanya, tak seorang pun akan tahu bahwa dirinyalah yang layak
mendapat kemuliaan itu." Sultan menjawab, "Jika putraku menandatangani lukisan
lukisannya, tidak kah ia akan secara tidak adil mendapat pujian untuk teknik dan
gaya para empu lama yang ia tiru" Lagi pula, jika ia menandatangani karyanya,
tidakkah ia akan berkata, 'Lukisan-lukisanku memperlihatkan ketidaksempumaan-
ku.1?" Putri Cina yang melihat bahwa dia tak mampu meyakinkan suaminya yang
telah tua mengenai soal tanda tangan ini, akhirnya berhasil membujuk putra
tirinya, yang seperti biasa sedang mengurung diri di bengkel kerja pembuat buku.
Merasa terhina karena harus menyembunyikan cintanya, dan dihasut oleh gagasan
ibu tirinya yang muda dan cantik, serta karena bujukan Iblis, putra Sultan itu
menuliskan tanda tangannya di pojok sebuah lukisan, antara dinding dan
rerumputan, di sebuah sudut yang diduganya bakal luput dari perhatian orang.
Lukisan ini, yang pertama kali ia tanda tangani, merupakan sebuah adegan dari
kisah Husrev dan Shirin. Kautahu kisah ini: Setelah Husrev dan Shirin menikah,
Shiruye, putra Husrev dari perkawinan pertamanya, jatuh cinta pada Shirin. Suatu
malam, dengan memasuki kamar tidur melalui jendela, Siruye menusukkan belatinya
ke dada sang ayah. Ketika Sultan melihat lukisan putranya atas adegan ini, ia
dilanda perasaan bahwa lukisan itu mengandung cacat. Ia melihat tanda tangan
itu, tetapi tidak menyadarinya, dan ia hanya bereaksi pada lukisan
itu dengan pikiran, "Lukisan ini mengandung sebuah cacat." Karena orang tak akan
mengira hal semacam itu berasal dari para empu lama, Sultan dilanda rasa panik,
menduga bahwa buku yang tengah ia baca ini tidak menceritakan sebuah kisah atau
legenda, melainkan sesuatu yang paling tidak cocok untuk sebuh buku: kenyataan
itu sendiri. Ketika lelaki tua ini merasakan hal itu, ia dilanda rasa ngeri.
Putranya yang illustrator itu akan masuk melalui jendela seperti dalam lukisan,
dan bahkan tanpa melihat dua kali pada mata ayahnya yang membelalak, ia
mengayunkan belatinya belati sebesar yang tergambar dalam lukisan itu ke dada ? ?ayahnya.
JIM Dalam karyanya yang berjudul Sejarah, Rashiduddin dari Kazvin dengan riang
menulis bahwa 250 tahun yang lalu di Kazvin, iluminasi manuskrip, kaligrafi, dan
ilustrasi adalah cabang seni yang paling dihargai dan dicintai. Shah yang
berkuasa di Kazvin pada masa itu menguasai lebih dari empat puluh negeri yang
membentang dari Byzantium hingga Cina barangkali kecintaan terhadap seni buku ?adalah rahasia kekuasaannya yang besar tetapi sayangnya ia tidak punya pewaris
?lelaki. Agar negeri yang ia taklukkan tidak terpecah belah setelah kematiannya,
Shah memutuskan mencari seorang suami yang merupakan miniaturis cemerlang bagi
putrinya yang cantik. Untuk tujuan ini, ia mengadakan sebuah perlombaan di
antara tiga empu muda yang paling hebat di bengkel kerjanya, kesemuanya masih
bujangan. Menurut kitab Sejarah karya Rashiduddin, aturan perlombaan itu sangat
sederhana: Siapa pun yang membuat lukisan paling indah akan dinyatakan sebagai
pemenangnya! Seperti Rashiduddin sendiri, para miniaturis muda itu tahu bahwa
ini berarti lukisan dalam gaya para empu lama, dan oleh karenanya, masingmasing
di antara ketiganya membuat sebuah penafsiran atas adegan yang paling disukai
secara luas: Di sebuah taman yang mengingatkan orang pada surga, seorang gadis
muda yang cantik berdiri di tengahtengah pepohonan kastanye dan cedar, di antara
kelinci-kelinci yang malumalu dan angsa-angsa yang cemas, terbenam dalam
kesedihan luka cinta, tertunduk menatap bumi. Tanpa diketahui, ketiga miniaturis
ini ternyata membuat adegan yang persis sama dengan yang dilukis oleh para empu
lama, tetapi salah seorang yang ingin membedakan dirinya dari yang lain dan
dengan demikian memikul tangung jawab atas keindahan lukisannya menyembunyikan
tanda tangannya di antara bungabunga narsis di tempat paling terpencil di taman
itu, dan garagara tindakan kurang ajar itu, di mana sang seniman telah menghina
para empu lama, ia segera diasingkan dari Kazvin ke Cina. Perlombaan itu dimulai
lagi antara kedua miniaturis yang tersisa. Kali ini, keduanya membuat lukisan
yang seindah puisi, menggambarkan seorang gadis cantik menunggangi kudanya dalam
sebuah taman yang indah. Namun, salah seorang miniaturis entah karena tak
?sengaja terpeleset kuasnya, atau memang disengaja, tak seorang pun tahu telah
?menggambarkan dengan janggal lubang hidung kuda putih milik si gadis bermata
sipit seperti gadis Cina dengan tulang pipi yang tinggi, dan ini langsung
dianggap sebagai sebuah cacat oleh Shah dan putrinya. Memang, miniaturis ini
tidak menuliskan tanda tangannya, tetapi dalam lukisannya yang sangat indah itu,
ia dengan jelas telah memasukkan sebuah variasi pada penggambaran hidung
kuda untuk membedakan karyanya dari yang lain. Shah yang menyatakan bahwa,
"Ketidaksempurnaan adalah pangkal dari gaya," mengasingkan ilustrator itu ke
Byzantium. Tetapi, ada satu peristiwa terakhir yang penting menurut Sejarah
karya Rashiduddin dari Kazvin yang terjadi ketika persiapan dibuat untuk
pernikahan antara putri Shah dan miniaturis berbakat yang melukis tepat seperti
para empu lama tanpa tanda tangan atau variasi: Selama sehari penuh sebelum
pernikahan, putri Shah memandang dengan penuh kesedihan pada lukisan yang dibuat
oleh empu muda dan tampan yang akan menjadi suaminya esok harinya. Ketika
kegelapan telah jatuh pada malam itu, dia menghadap ayahnya. "Memang benar bahwa
para empu lama, dalam lukisanlukisan mereka yang sangat indah, akan
menggambarkan para gadis cantik seperti orang Cina, dan ini adalah aturan tak
bisa diubah yang datang pada kita dari Timur," katanya. "Namun, ketika mereka
mencintai seseorang, para pelukis itu akan memasukkan sebuah sifat dari yang
mereka kasihi dalam menggambarkan alis, mata, bibir, rambut, senyum, atau bulu
mata gadis cantik itu. Variasi rahasia dalam ilustrasi mereka akan menjadi
sebuah isyarat yang hanya bisa dibaca oleh para kekasih. Aku menatap gadis
cantik yang menunggang kuda itu sepanjang hari, ayahku sayang, dan tak ada jejak
diriku pada dirinya! Miniaturis ini barangkali memang seorang empu yang hebat.
Ia muda dan ganteng, tetapi ia tak mencintaiku." Setelah itu, Shah langsung
membatalkan pernikahan tersebut, dan ayah dan anak itu pun menjalani sisa hidup
mereka bersama. "MAKA, MENURUT parabel ketiga ini, ketidaksempurnaan
memunculkan apa yang kita sebut 'gaya'," kata Hitam amat sopan dan penuh hormat.
"Dan apakah fakta bahwa miniaturis sedang jatuh cinta tampak jelas dari
'isyarat' tersembunyi dalam gambar wajah yang cantik, mata yang indah, atau
senyum yang manis?" "Tidak," kataku dengan sikap yang menyiratkan rasa percaya diri dan harga
diriku. "Apa yang tergambar dari gadis itu, pusat cinta empu miniaturis itu,
pada lukisannya bukanlah ketidaksempurnaan atau cacat, melainkan sebuah aturan
artistik yang baru. Karena, setelah beberapa waktu dan melalui peniruan, semua
orang akan mulai menggambarkan wajah para gadis tepat seperti wajah gadis cantik
tertentu." Kami terdiam. Aku melihat Hitam yang mendengarkan dengan saksama ketiga parabel
yang kuceritakan kini memusatkan perhatiannya pada suarasuara yang dibuat
istriku yang cantik menarik saat dia menjelajahi lorong dan ruangan sebelah. Aku
membelalakkan mataku padanya dengan sikap mengancam.
"Kisah pertama menyatakan bahwa 'gaya' adalah ketidaksempurnaan," kataku. "Kisah
kedua menyatakan bahwa sebuah lukisan yang sempurna tidak memerlukan tanda
tangan, dan yang ketiga menggabungkan gagasan yang pertama dan kedua, dan oleh
karena itu menunjukkan bahwa 'tanda tangan' dan 'gaya' hanyalah pemuasan diri
yang kurang ajar dan bodoh mengenai karya yang cacat."
Sejauh apakah lelaki ini, yang baru saja kuberi sebuah pelajaran tak ternilai,
memahami lukisan" Aku berkata, "Sudahkah kau memahami siapa diriku dari cerita-
ceritaku?" "Tentu saja," katanya, tanpa keyakinan.
Maka, janganlah kau melihat siapa diriku melalui mata dan pendapatnya, biar aku
sendiri saja yang mengatakannya padamu secara langsung. Aku bisa melakukan apa
pun. Seperti para empu lama dari Kazvin, aku bisa menggambar dan mewarnai dengan
sukacita dan riang gembira. Aku mengatakan hal ini dengan tersenyum: Aku lebih
baik daripada orang lain. Aku tak punya urusan apa pun dengan tujuan kedatangan
Hitam, yang adalah jika intuisiku benar menghilangnya Elok Effendi sang ahli ? ?sepuh emas.
Hitam bertanya padaku tentang berbaurnya pernikahan dan seni.
Aku banyak bekerja dan aku menikmati pekerjaanku. Aku barubaru ini menikah
dengan gadis paling cantik di daerah ini. Ketika aku tidak sedang membuat hiasan
buku, kami bermain cinta dengan penuh gairah seperti orang gila. Lalu aku
bersiap untuk bekerja lagi. Tetapi bukan itu jawabanku. "Itu persoalan serius,"
kataku. "Jika karya-karya utama dihasilkan dari kuas seorang miniaturis, ketika
sampai pada soal istri, ia akan gagal melakukan kesenangan yang sama," kataku.
"Kebalikannya juga sama: Jika kejantanan seorang lelaki memuaskan sang istri,
kuasnya akan menjadi pucat bila diperbandingkan," tambahku. Seperti semua orang
yang mencemburui bakat seorang miniaturis, Hitam pun percaya pada kebohongan ini
dan tampak puas. Ia berkata ia ingin melihat halamanhalaman terakhir yang sedang kubuat
ilustrasinya. Aku mempersilakannya duduk di depan meja kerjaku, di antara
lukisan lukisan, wadah tinta, batu-batu penggosok, kuas, pena, dan papan. Hitam
mengamati lukisan dua halaman yang sedang dalam proses kuselesaikan untuk Kitab
Segala Pesta yang menggambarkan upacara khitan pangeran kami, dan aku duduk di
sampingnya di atas bantal merah yang kehangatannya mengingatkanku bahwa istriku
yang cantik dengan pinggulnya yang indah baru saja duduk di sini. Memang, tadi
aku menggunakan batang penaku untuk menggambarkan kesedihan para tahanan yang
malang di depan Sultan kami, ketika istriku yang pintar menempel erat pada
batang kelakianku. Adegan dua halaman yang sedang kulukis menggambarkan pembebasan para pengutang
yang ditahan beserta para anggota keluarganya atas kemuliaan Sultan kami. Aku
menempatkan Sultan di ujung sehelai karpet yang menutupi kantong kantong penuh
koin perak, seperti yang pernah kusaksikan sendiri dalam upacara upacara semacam
itu. Di belakang beliau, aku menempatkan Kepala Bendahara yang sedang memegang
dan membaca buku kas. Aku menggambarkan para pengutung terkutuk itu dalam
kepedihan dan ras sakit dengan alis bertaut, mereka dirantai satu sama lain
dengan belenggu besi melingkari leher mereka, wajah mereka tampak murung dengan
mata yang sembab. Aku melukis para pemain kecapi dalam bayangan merah dengan
wajahwajah bahagia ketika mereka mengiringi doa syukur dan pembacaan syair
setelah pemberian hadiah Sultan yang penuh kemurahan hati: membebaskan para
terhukum dari hukuman penjara. Untuk memberi penekanan pembebasan dari rasa sakit dan rasa malu karena berutang walaupun aku tak memiliki ?rencana semacam itu pada mulanya di samping tahanan menyedihkan yang terakhir,
?aku menyertakan istrinya, mengenakan sebuah gaun ungu dalam nestapa kemelaratan,
bersama putrinya yang berambut panjang, tampak sedih tapi cantik, memakai
jubah berwarna merah kirmizi. Maka orang ini, Hitam, dengan alisnya yang lebat,
mungkin akan paham betapa mem buat ilustrasi itu setara dengan cinta sejati. Aku
akan menjelaskan mengapa kawanan pengutang yang dirantai itu menghabiskan dua
halaman; aku akan menceritakan padanya tentang logika tersembunyi warna merah
dalam gambar itu; aku akan menguraikan hal-hal yang aku dan istriku diskusikan
dengan geli ketika mengagumi gambar itu, seperti bagaimana aku dengan senang
hati mewarnai sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh para empu lama anjing
? ?yang meringkuk di sudut dengan warna yang persis sama dengan jubah sutra Sultan,
tetapi ia malah menanyakan padaku sebuah pertanyaan yang amat kurang ajar dan
tidak pantas: Apakah aku mengetahui kira kira di manakah Elok Effendi yang
malang mungkin berada"
Apa yang ia maksud dengan 'yan9 malang1! Aku tidak mengatakan bahwa Elok Effendi
adalah seorang plagiator tak berguna, seorang bodoh yang mengerjakan penyepuhan
hanya demi uang belaka, nyaris tanpa jejak inspirasi. "Tidak," kataku, "aku tak
tahu." Apakah aku pernah mempertimbangkan bahwa para pengikut ulama dari Erzurum yang
agresif dan fanatik mungkin melakukan kejahatan terhadap Elok Effendi"
Aku menjaga sikap tenangku dan menahan diri untuk menjawab bahwa Elok Effendi
sendiri tak diragukan adalah bagian dari kelompok mereka. "Tidak," kataku,
"Mengapa?" Kemelaratan, wabah penyakit, amoralitas dan skandal yang memperbudak kami di
kota Istanbul ini hanya bisa dikaitkan dengan telah jauhnya kami dari ajaran
Islam di zaman Rasulullah dan menerima adat istiadat baru yang buruk, serta
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan pengaruh orangorang Eropa
berkembang di tengahtengah kami. Inilah yang dikatakan oleh Ulama Erzurumi,
tetapi musuhmusuhnya mencoba memengaruhi Sultan dengan menyatakan bahwa para
pengikut Erzurumi menyerang pondok tempat tinggal para darwis tempat musik
dimainkan, dan mereka merusak makam orangorang suci. Mereka tahu aku tidak
sepakat dengan kebencian mereka terhadap Yang Mulia Erzurumi, maka mereka
melontarkan sindiran sopan, "Apakah Anda yang telah merawat saudara kami Elok
Effendi?" Tibatiba jelas bagiku bahwa desas-desus ini telah lama menyebar di antara para
miniaturis. Gerombolan yang tak punya ilham, tak berbakat, dan tidak layak itu
dengan senang hati menuduh bahwa aku ini tiada lain adalah seorang pembunuh
kejam. Aku merasa ingin menuangkan sebuah wadah tinta ke tengkorak kepala orang
Sirkasia ini karena ia si Hitam menganggap serius fitnah keji gerombolan
? ?miniaturis yang cemburu itu.
Hitam mengamati bengkel kerjaku, mengingat-ingat segala yang ia lihat. Ia dengan
teliti mengamati gunting kertasku yang panjang, mangkuk keramik berisi cat
kuning, mangkuk-mangkuk cat, buah apel yang sesekali kukunyah saat bekerja, poci
kopi yang terletak di ujung kompor di belakang, cangkircangkir kopiku, bantal
bantal, sekat cahaya di jendela yang separuh terbuka, cermin yang kugunakan
untuk memeriksa komposisi sebuah halaman, kemeja-kemejaku, dan, di sana,
selendang merah istriku tertangkap seperti sebuah dosa di sudut tempat dia
menjatuhkannya tanpa sengaja saat bergegas meninggalkan ruangan ini begitu
mendengar suara ketukan Hitam di pintu depan.
Di luar fakta bahwa aku telah menyembunyikan pikiranpikiranku darinya, aku telah
memasrahkan lukisanlukisan yang kubuat dan ruangan tempatku tinggal ini pada tatapannya yang
berani dan agresif. Aku merasakan keangkuhanku ini akan mengejutkan kalian
semua, tetapi akulah yang menghasilkan uang paling banyak, dan oleh karenanya,
akulah miniaturis terbaik di antara semuanya! Ya, Tuhan pasti menginginkan seni
iluminasi menjadi ekstase sehingga Ia bisa menunjukkan bagaimana dunia itu
sendiri adalah ekstase bagi mereka yang sungguhsungguh melihat.[]
Bab 13 aku dinamai "bangau'
->**tf*^- PADA SEKITAR waktu salat dzuhur aku mendengar sebuah ketukan di pintu. Itu
adalah Hitam yang berasal dari masa laluku, dari masa kanakkanak kami. Kami
berpelukan. Ia kedinginan dan aku mengajaknya amsuk. Aku bahkan tidak bertanya
bagaimana ia telah menemukan jalan menuju rumahku. Enishtenya pasti mengirimnya
untuk bertanya padaku tentang lenyapnya Elok Effendi dan di mana ia mungkin
berada. Bukan hanya itu, ia juga membawa pesan dari Tuan Osman. "Izinkan aku
menanyakan sebuah pertanyaan padamu," katanya. "Menurut Tuan Osman, 'waktu'
memisahkan seorang miniaturis sejati dari yang lainnya: Waktu dalam ilustrasi,"
Apakah gagasan-gagasanku" Dengarkanlah dengan cermat.
Lukisan dan Waktu Di masa lampau, seperti banyak diketahui, para ilustrator di dunia Islam kita
ini, termasuk para empu lama Arab, menerima dunia dengan cara yang dilakukan
orangorang kafir Frank saat ini, memerhatikan semuanya dan menggambarkannya dari
tingkat seorang pengembara, anjing kampung, atau pegawai saat bekerja di
tokonya. Tak menyadari teknikteknik cara pandang masa kini yang
dengan sombong dibualkan oleh para empu bangsa Frank, dunia mereka tetap hampa
dan terbatas, dibatasi cara pandang sederhana anjing kampung atau pegawai toko.
Lalu sebuah peristiwa besar terjadi dan seluruh dunia ilustrasi kita pun
berubah. Izinkan aku memulainya di sini.
Tiga Cerita tentang Lukisan dan Waktu
ALIF Tiga ratus lima puluh tahun lampau, ketika Baghad jatuh dalam kekuasaan
orangorang Mongol dan tanpa belas kasihan dijarah pada sebuah hari yang dingin
pada bulan Safar, Ibnu Shakir adalah seorang penulis kaligrafi dan juru tulis
paling terkemuka yang paling masyhur bukan hanya di seluruh dunia Arab, tapi
juga di seluruh wilayah Islam. Meskipun usianya masih muda, ia telah menulis dua
puluh dua jilid buku, sebagian besar di antaranya adalah Alquran dan bisa
ditemukan di perpustakaanperpustakaan di Baghdad yang masyhur di seluruh dunia.
Ibnu Shakir percaya bukubuku ini akan abadi hingga akhir zaman dan oleh
karenanya ia hidup dengan sebuah gagasan tentang waktu yang dalam dan tak
terbatas. Ia bekerja keras dengan penuh semangat sepanjang malam diterangi
cahaya lilin yang temaram untuk menyelesaikan bukubuku legendaris itu, yang tak
kita kenal saat ini karena dalam waktu beberapa hari mereka semua satu demi satu
dikoyak, dicabik, dibakar, dan dilemparkan ke Sungai Tigris oleh para tentara
Hulagu Khan dari Mongol. Seperti yang dilakukan oleh para empu kaligrafi Arab
sejak lima abad lampau, berkaitan dengan gagasan tentang ketekunan atas tradisi
dan bukubuku yang tak pernah berakhir, sebagai kebiasaan
mengistirahatkan mata mereka untuk mencegah kebutaan dengan menghadapkan
punggung ke matahari terbit dan menatap ke depan ke arah cakrawala sebelah
barat, Ibnu Shakir menaiki menara Masjid Khalifah dalam dinginnya pagi, dan dari
balkon tempat muadzin mengumandangkan Azan, ia menyaksikan semua yang akan
mengakhiri tradisi seni tulis yang telah berumur lima abad. Pertama, ia melihat
para tentara Hulagu yang kejam memasuki kota, lalu ia menyaksikan pembantaian
ratusan ribu orang, pembunuhan Khalifah Islam terakhir yang telah menguasai
Baghdad secara turun temurun selama separuh milenium, pemerkosaan kaum
perempuan, pembakaran perpustakaan, dan penghancuran puluhan ribu buku dengan
dilemparkan ke Sungai Tigris. Dua hari kemudian, di tengah bau amis mayatmayat
bergelimpangan dan jerit kematian, ia menyaksikan aliran air Sungai Tigris
menjadi merah karena tinta yang luntur dari bukubuku. Ia berpikir tentang
bagaimana semua jilid buku yang telah ia kerjakan dalam tulisan yang indah,
bukubuku yang kini telah lenyap itu, ternyata tidak mampu sedikit pun
menghentikan pembantaian dan penghancuran yang mengerikan ini, dan sebagai
akibatnya, ia bersumpah tak akan pernah menulis lagi. Lebih jauh lagi, ia
diserang oleh keinginan untuk menyatakan rasa sakitnya dan petaka yang ia
saksikan melalui lukisan yang hingga hari itu dianggapnya hal remeh dan
merupakan sebuah penghinaan terhadap Allah. Dengan menggunakan sehelai kertas
yang selalu dibawanya serta, ia menggambarkan apa yang dilihatnya dari atas
menara. Kita berutang keajaiban membahagiakan tiga ratus tahun renaisans dalam
seni ilustrasi Islam yang mengikuti invasi Mongol pada unsur yang membedakannya
dari seni kaum kafir dan orangorang Kristen, yakni penggambaran yang sungguh menyedihkan mengenai dunia
ini dari sebuah tempat tinggi seperti singgasana Tuhan yang dicapai dengan
menggambar hanya selarik garis cakrawala. Kita berutang atas renaisans ini pada
garis cakrawala, dan juga pada Ibnu Shakir yang pergi ke utara setelah
pembantaian yang ia saksikan ke arah datangnya pasukan Mongol membawa serta ? ?lukisanlukisannya dan ambisi untuk membuat ilustrasi dalam hatinya. Pendeknya,
kita berutang banyak pada prosesnya dalam mempelajari teknikteknik melukis dari
para empu Cina. Dengan demikian, terbukti bahwa gagasan tentang waktu tanpa
akhir yang tersimpan di hati para juru tulis kaligrafi Arab selama lima ratus
tahun akhirnya tidak mewujud dalam tulisan, melainkan dalam lukisan. Bukti atas
hal ini terletak pada fakta bahwa ilustrasiilustrasi dalam manuskrip dan jilid-
jilid buku yang dikoyakmoyak dan sirna telah beralih ke dalam bukubuku lain dan
jilid-jilid lain untuk bertahan selamanya dalam pewahyuan mereka atas alam
duniawi milik Allah. BA Pada zaman dahulu kala, tidak terlalu lampau tapi juga tidak dalam waktu dekat,
semua hal meniru semua hal lain, dan oleh karenanya, jika bukan karena
bertambahnya umur dan kematian, orang tak akan pernah menjadi lebih bijak
mengenai perjalanan waktu. Ya, ketika alam duniawi berulangulang hadir melalui
cerita dan gambar yang sama, seakanakan waktu tidak mengalir, pasukan kecil
Fahir Shah memukul bala tentara Selahattin Khan seperti yang dikisahkan oleh
?kitab Sejarah karya Salim dari Samarkand. Setelah Fahir Shah sang pemenang
menawan Selahattin Khan dan menyiksanya sampai mati, tugas pertamanya dalam menegakkan
kedaulatan, sesuai adat kebiasaan, adalah mengunjungi perpustakaan dan harem
dari penguasa yang ditaklukkan. Di perpustakaan, tukang jilid berpengalaman
mendiang Selahattin Khan menarik bukubuku penguasa yang telah mangkat itu dan
kemudian menyusun kembali halamanhalaman, mulai mengumpulkan jilid-jilid buku
yang baru. Para penulis kaligrafinya mengganti julukan "Selahattin Khan yang
Selalu Menang" dengan "Fahir Shah sang Pemenang" dan para miniaturisnya
mengganti gambar mendiang Selahattin Khan yang dengan sangat ahli digambarkan
?pada halaman-halamn manuskrip yang paling indah yang, pada saat itu, mulai
?mengabur dari ingatan orangorang dengan potret diri Fahir Shah yang lebih muda.
Saat memasuki harem, Fahir Shah tak mendapat kesulitan dalam menemukan perempuan
paling cantik di sana. Namun, alihalih memaksakan dirinya pada perempuan itu,
karena ia adalah seorang lelaki beradab yang benar benar memahami seluk beluk
buku dan seni rupa, dan berketetapan hati untuk memenangkan hatinya, ia mengajak
perempuan itu bercakap-cakap. Sebagai akibatnya, Neriman Sultan, perempuan
kesayangan mendiang Selahattin Khan, istrinya yang tengah berkabung itu,
menyampaikan satusatunya permintaannya pada Fahir Shah: bahwa ilustrasi suaminya
dalam sebuah versi roman Laila dan Majnun, di mana Laila digambarkan sebagai
Neriman Sultan dan Majnun sebagai Selahattin Khan, tidak diubah. Setidaktidaknya
dalam satu halaman ini, perempuan itu berkeras, keabadian yang coba dicapai
mendiang suaminya selama bertahun tahun melalui bukubuku agar jangan diingkari.
Fahir Shah sang pemenang dengan berani mengabulkan permintaan sederhana ini dan para empu
bukunya membiarkan satu lukisan itu apa adanya. Neriman dan Fahir segera bermain
cinta dan dalam waktu singkat telah melupakan kengerian masa lalu, hingga sampai
pada cinta yang tulus satu sama lain. Namun, Fahir Shah belum bisa melupakan
lukisan dalam kisah Laila dan Majnun itu. Tidak, bukan rasa cemburu yang
membuatnya gelisah atau bahwa istrinya digambarkan dengan mantan suaminya. Yang
mengganggunya adalah ini: Karena ia tidak dilukis sebagai sang legenda lama
dalam buku yang indah tersebut, ia tak akan bisa bergabung dengan barisan
orangorang yang abadi bersama istrinya. Ulat keraguan ini menggerogoti Fahir
Shah selama lima tahun, dan di ujung sebuah malam bahagia setelah bermain cinta
berkali-kali dengan Neriman, dengan membawa lilin ia memasuki perpustakaan
seperti seorang pencuri, membuka buku Laila dan Majnun, dan di tempat wajah
mendiang suami Neriman, ia menggambar wajahnya sendiri. Seperti banyak penguasa
yang memiliki kecintaan terhadap ilustrasi dan lukisan, Fahir Shah adalah
seorang seniman amatir, dan karenanya tak bisa melukis potret dirinya dengan
baik. Pada pagi hari, ketika pustakawan membuka buku itu karena merasa curiga
ada seseorang yang merusaknya, dan melihat sosok lain di tempat mendiang
Selahattin Khan, di samping Laila yang berwajah Neriman, bukannya mengenalinya
sebagi Fahir Shah, ia malah mengumumkan bahwa itu adalah lukisan musuh besar
Fahir Shah, Abdullah Shah yang lebih muda dan tampan. Desas-desus ini
memengaruhi bala tentara Fahir Shah dan memberanikan Abdullah Shah, penguasa
baru yang muda dan agresif di negeri tetangga yang kemudian dalam
serbuan pertamanya berhasil menaklukkan, menawan, dan membunuh Fahir Shah. Ia
lalu mendirikan kedaulatannya sendiri di atas perpustakaan dan harem musuhnya,
dan menjadi suami baru bagi Neriman Sultan yang kecantikannya tetap abadi.
JIM Para miniaturis Istanbul menceritakan kembali legenda Mehmet Jangkung juga ?dikenal sebagai Muhammad Khorasani di Persia terutama sebagai sebuah contoh
?umur panjang dan kebutaan. Bagaimanapun, legenda Mehmet Jangkung pada hakikatnya
adalah sebuah parabel tentang lukisan dan waktu. Kelebihan utama empu ini yang
mengawali masa magangnya pada usia sembilan tahun, membuat ilustrasi selama
kurang lebih 110 tahun tanpa menjadi buta, adalah bahwa ia tidak memiliki
kelebihan. Aku tidak sedang mengolok-olok, melainkan menyatakan kekagumanku yang
tulus. Mehmet Jangkung melukis segala hal, seperti yang dilakukan orang lain,
dalam gaya para empu lama yang agung, tetapi bahkan biarpun demikian, dan karena
alasan ini, ia adalah yang paling besar di antara para empu. Kerendahhatian dan
pengabdian yang sempurna terhadap bidang ilustrasi dan seni lukis yang ia
maksudkan sebagai ibadah kepada Allah, meletakkan dirinya di atas segala
perselisihan di dalam bengkel kerja buku seni rupa tempat ia bekerja dan
mengatasi segala ambisi untuk menjadi miniatuis kepala, walaupun ia memiliki
usia dan bakat yang layak. Sebagai seorang miniaturis, selama sepuluh tahun ia
dengan sabar memperhitungkan setiap detail sepele: rerumputan yang digambar
untuk memenuhi sudutsudut halaman, ribuan dedaunan, gumpalan awan ikal, surai
kuda berupa sentuhan pendek berulang, dindingdinding bata, hiasan dinding yang tak berujung,
dan mata sipit serta dagu lembut puluhan ribu wajah yang masing masing mirip
satu sama lain. Mehmet Jangkung merasa puas dan ia tak pernah bermaksud
membedakan diri atau berkeras mengenai gaya atau individualitas. Ia menganggap
bengkel kerja pangeran atau penguasa mana pun yang menjadi tempatnya bekerja
pada saat itu adalah rumahnya sendiri dan menganggap dirinya hanya sebagai
perlengkapan di rumah itu. Ketika para penguasa saling bertempur dan para
miniaturis berpindah dari satu kota ke kota lain seperti para perempuan penghuni
harem untuk berkumpul di bawah pertolongan para empu baru, gaya bengkel kerja
buku seni yang baru mulamula akan ditetapkan berdasarkan halamanhalaman yang
digambar oleh Mehmet Jangkung, dalam rerumputannya, dalam lekuk bebatuannya, dan
dalam permukaan tersembunyi kesabarannya sendiri. Ketika ia berumur delapan
puluh tahun, orangorang lupa bahwa ia bisa mati dan mulai percaya bahwa ia hidup
dalam legenda-legenda yang ia buat ilustrasinya. Barangkali karena alasan
inilah, beberpa orang berkeras bahwa ia berada di luar waktu dan tak akan pernah
menua dan mati. Ada orangorang yang menghubungkan kenyataan bahwa ia tidak buta
dengan mukjizat bahwa waktu berhenti mengalir baginya walaupun ia tak memiliki?rumah sendiri, tidur di ruangan-ruangan atau tenda-tenda yang merupakan bengkel
kerja para miniaturis, dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menatap
halamanhalaman manuskrip. Beberapa orang menyatakan bahwa ia sesungguhnya buta,
dan tak lagi memiliki kebutuhan untuk melihat karena ia bisa melukis berdasarkan
ingatan. Pada usia 119 tahun, empu legendaris yang tak pernah menikah dan bahkan belum
pernah bersetubuh ini, bertemu dengan seorang pemuda rupawan yang sosoknya ideal
dengan mata sipit yang indah, berdagu lancip, dan berwajah bagai rembulan:
separuh Cina, separuh Kroasia seorang anak didik berumur enam belas tahun di
?bengkel kerja miniaturis Shah Tahmasp, yang membuatnya mendadak jatuh cinta.
Untuk menggoda pemuda magang yang ketampanannya tak terbayangkan itu, seperti
yang dilakukan oleh seorang kekasih sejati, ia bersiasat dan bergabung dalam
perebutan kekuasaan di antara para miniaturis. Ia membiarkan dirinya berbohong,
berkhianat, dan menipu. Pada mulanya, empu miniaturis dari Khorasan ini
dihidupkan oleh upaya-upayanya untuk menangkap gaya artistik yang berhasil ia
hindari selama seratus tahun, tetapi upaya ini juga menceraikannya dari masa-
masa lama yang legendaris dan abadi. Pada suatu senja, saat menatap nanar pada
anak magang yang tampan itu di depan sebuah jendela terbuka, ia merasakan
dinginnya angin beku Tabriz. Esok harinya, setelah terusmenerus bersin-bersin,
ia menjadi sepenuhnya buta. Dua hari kemudian ia jatuh di tangga batu bengkel
kerjanya dan mati. "AKU PERNAH mendengar nama Mehmet Jangkung dari Khorasan, tetapi aku tidak
pernah mendengar legenda ini," kata Hitam. Ia dengan halus menyatakan komentar
ini untuk menunjukkan bahwa ia tahu kisah itu telah selesai dan pikirannya
dipenuhi oleh apa yang kukatakan. Aku berdiam diri sejenak sehingga ia bisa
menatapku untuk memuaskan hatinya. Karena aku merasa tidak nyaman bila tanganku
menganggur, setelah menceritakan kisah kedua,
aku mulai melukis lagi, meneruskan apa yang tadi kutinggalkan saat Hitam
mengetuk pintu. Anak didikku Mahmut yang selalu duduk di dekat lututku dan
mencampurkan catku, meraut pena buluhku, dan terkadang menghapus
kesalahankesalahan yang kubuat, duduk diam di sampingku, mendengarkan dan
melihat. Dari dalam rumah suara gerakan istriku bisa terdengar.
"Aha," ujar Hitam, "Sultan berdiri."
Ia menatap lukisan itu dengan kagum, dan aku berpurapura alasan kekagumannya
tidaklah penting, tetapi izinkan aku mengatakan padamu secara diamdiam: Sultan
kami selalu muncul dalam keadaan duduk pada seluruh dua ratus gambar upacara
khitan dalam Kitab Segaia Pesta, menyaksikan dalam lima puluh dua hari
melintasnya para saudagar, anggota gilda, penonton, tentara, dan tawanan dari
jendela kamar istana yang didirikan untuk peristiwa itu. Hanya dalam sebuah
gambar karyaku beliau ditunjukkan sedang berdiri, melemparkan uang dari kantung
penuh uang logam ke tengah kerumunan di lapangan. Tujuanku adalah menangkap
kejutan dan kegairahan kerumunan itu yang saling memukul, menendang, dan
bergulat ketika mereka berebut mengambil uang logam dari tanah, pantat-pantat
mereka mendongak ke angkasa.
"Jika cinta merupakan bagian dari subjek lukisan, karya itu harus dibuat dengan
cinta," kataku. "Jika rasa sakit terlibat, rasa sakit seharusnya tergambar dalam
lukisan. Tetapi rasa sakit bias muncul dari tatapan pertama pada keselarasan
jiwa gambar yang bersangkutan yang tak tampak tapi bisa dilihat, bukan dari
sosoksosok dalam ilustrasi atau tangisan mereka. Aku tidak menggambarkan
kejutan, seperti yang telah
dilakukan selama berabadabad oleh ratusan miniaturis ahli, sebagai sebuah sosok
dengan ujung jari masuk ke lingkaran mulutnya, melainkan dengan membuat seluruh
gambar ini menerjemahkan sebuah kejutan. Ini kugambarkan dengan membuat Yang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulia berdiri tegak."
Aku merasa penasaran dan terganggu dengan cara ia meneliti barangbarang dan
peralatan ilustrasiku untuk mencari petunjuk; dan kemudian aku mulai melihat
rumahku sendiri melalui matanya.
Kau tahu gambargambar istana, tempat pemandian, dan puri yang dibuat di Tabriz
dan Shiraz pada suatu waktu. Karena gambar itu mungkin menggambarkan tatapan
Allah yang melihat dan memahami segalanya, sang miniaturis akan menggambarkan
istana dengan terpotong seakanakan memangkas separuhnya dengan pisau raksasa
yang tajam dan ia akan mengecat segala detail interior karena jika tidak
demikian tak akan bisa terlihat dari luar lalu pada poci dan mangkuk, gelas, ?hiasan dinding, tirai, burung nuri dalam kandang, sudutsudut paling pribadi, dan
bantal tempat bersandar seorang gadis cantik yang seakanakan tak pernah dilihat
dalam terangnya siang. Seperti seorang pembaca penuh rasa ingin tahu yang
terpukau, Hitam mengamati cat-catku, kertas-ketasku, buku-bukuku, asistenku yang
tampan, halamanhalaman Kitab Busana dan album kolase yang kubuat untuk seorang
pelancong Frank, adegan-adegan sanggama dan halamanhalaman tidak senonoh lainnya
yang secara rahasia kusimpan untuk seorang pasha, wadah tintaku yang terdiri
dari kaca, perunggu dan keramik berbagai warna, pisau pena gadingku, kuas
berlapis emasku, dan ya, tatapan anak didikku yang tampan.
"Tidak seperti para empu lama, aku telah melihat banyak sekali pertempuran,
banyak sekali," kataku untuk memecah kesunyian. "Peralatan perang, peluru
meriam, bala tentara, mayatmayat bergelimpangan. Akulah yang menghiasi langit
langit tenda Sultan dan para jenderal kita. Setelah sebuah serangan militer,
saat kembali ke Istanbul, akulah yang merekam dalam gambar adegan-adegan
pertempuran agar tidak dilupakan orang: mayatmayat terbelah dua, bentrokan kedua
pasukan yang bermusuhan, para tentara kafir yang malang gemetar di hadapan
meriam kita, pasukan yang mempertahankan menara-menara puri yang terkepung, para
pemberontak yang dipenggal, dan kudakuda yang ketakutan berlari sekncang-
kencangnya. Aku melihat semua nya dari ingatan: gilingan kopi baru, gaya kisi
jendela yang belum pernah kulihat sebelumnya, meriam, pelatuk senapan bangsa
Frank gaya baru, siapa memakai jubah warna apa dalam sebuah pesta, siapa makan
apa, siapa meletakkan tangannya di mana dan bagaimana ...."
"Apa maksud ketiga cerita yang tadi kauceritakan?" Tanya Hitam dengan sebuah
sikap yang menyimpulkan semuanya dan sedikit memaksaku bercerita.
"Alif," kataku. "Kisah pertama dengan menara menunjukan bahwa tak peduli
betapapun berbakat seorang miniaturis, waktulah yang membuat sebuah lukisan
menjadi 'sempurna.1 'Ba1, kisah kedua dengan harem dan perpustakaan, mengungkap
bahwa satusatunya jalan untuk melepaskan diri dari waktu adalah melalui
keterampilan dan ilustrasi. Adapun kisah ketiga, kau sajalah yang
menceritakannya padaku."
"Jim!" ujar Hitam penuh percaya diri. "Kisah ketiga tentang miniaturis berumur
seratus sembilan belas tahun
yang menyatukan "Alif dan "Ba" untuk mengungkap bagaimana waktu berakhir bagi seseorang yang
meninggalkan kehidupan dan iluminasi yang sempurna. Ia tak mendapatkan apa pun,
kecuali kematian. Jelaslah, ini yang dipampangkan."[]
Bab 14 AKulnNAMAj "ZAITUN"
SELEPAS WAKTU salat dzuhur, aku menggambar wajahwajah menyenangkan para pemuda
dengan hati riang ketika aku mendengar sebuah ketukan di pintu. Tanganku
teracung karena terkejut. Aku meletakkan kuasku. Dengan hatihati aku menaruh
papan kerjaku yang berada di atas lutut ke sampingku. Seraya bergegas seperti
angin, aku mengucapkan doa sebelum membuka pintu. Aku tak akan menyembunyikan
apa pun darimu, sebab kau yang bisa mendengarku dari dalam buku ini, jauh lebih
dekat pada Allah daripada kami dalam dunia kami yang kotor dan menyedihkan ini.
Akbar Khan, Kaisar Hindustan dan raja terkaya di dunia, sedang menyiapkan apa
yang suatu hari nanti akan menjadi sebuah buku legendaris. Untuk menyempurnakan
proyeknya, ia mengirim pesan ke empat penjuru angina wilayah Islam untuk
mengundang para seniman terhebat dunia bergabung dengannya. Orangorang yang
dikirimnya ke Istanbul mengunjungiku kemarin, mengundangku untuk pergi ke
Hindustan. Kali ini, aku membuka pintu untuk menemukan, di tempat mereka,
kenalan masa kanak-kanakku, Hitam, yang telah kulupakan sama sekali. Dulu ia tak
mampu menjaga pertemanan denganku, ia cemburu pada kami. "Ya?"
Katanya ia datang untuk bercakap-cakap, ber -
silaturahmi, dan melihat-lihat ilustrasiku. Aku mempersilakannya sehingga ia
bias melihat semuanya. Aku tahu hari ini ia baru saja mengunjungi Kepala
Iluminator Tuan Osman dan mencium tangannya. Ia menjelaskan bahwa empu agung itu
memberinya katakata bijak untuk direnungkan: "Kualitas seorang pelukis terbukti
dalam diskusi-diskusinya mengenai kebutaan dan ingatan," katanya. Jadi, biarlah
itu terbukti: Kebutaan dan Ingatan Sebelum ada seni iluminasi terdapat kegelapan dan setelahnya juga akan ada
kegelapan. Melalui warnawarna, cat, seni, dan cinta kami, kami ingat bahwa Allah
telah memerintahkan pada kita "Lihatlah!" Mengetahui adalah mengingat bahwa kau
telah melihat. Maka, melukis adalah mengingat kegelapan. Para empu agung, yang
berbagi cinta terhadap kegiatan melukis dan me nerima bahwa warna dan pandangan
muncul dari kegelapan, merasa rindu ingin kembali ke kegelapaan Allah dengan
menggunakan warna. Para seniman tanpa ingatan tidak akan mengingat Allah ataupun
kegelapan. Segala empu agung, dalam karya mereka, mencari kekosongan yang amat
dalam itu di dalam warna dan di luar waktu. Izinkan aku menjelaskan padamu apa
artinya mengingat kegelapan ini, yang pernah diungkapkan di Herat oleh para empu
agung zaman lalu. Tiga Cerita tentang Kebutaan dan Ingatan ALIF
Dalam terjemahan bahasa Turki Lami'i Chelebi atas
karya penyair Persia Jami, Anugerah Keakraban, yang merupakan kisahkisah para
orang suci, tertulis bahwa dalam bengkel kerja pembuat buku Jihan Shah, penguasa
bangsa Kambing hitam, empu terkenal Syekh Ali Tabrizi telah membuat ilustrasi
sebuah versi menakjubkan kisah Husrev dan Shirin. Menurut apa yang kudengar,
dalam manuskrip legendaries ini, yang membutuhkan waktu sebelas tahun untuk
menyelesaikannya, empu segala empu miniaturis, Syekh Ali, menampilkan semacam
bakat dan keterampilan, dan melukis gambargambar yang hanya bisa disaingi oleh
empu lama terhebat, Bihzad. Bahkan sebelum manuskrip yang diberi hiasan itu
setengah rampung, Jihan Shah sudah tahu bahwa ia akan segera memiliki sebuah
buku istimewa tanpa tandingan di seluruh dunia. Ia hidup dalam rasa takut dan
kecemburuan terhadap Hasan Jangkung yang masih muda, penguasa bangsa Kambing
putih, dan menyatakannya sebagai musuh besarnya. Lebih jauh lagi, Jihan Shah
merasa bahwa walaupun martabatnya akan meningkat pesat setelah buku itu selesai,
sebuah versi manuskrip yang lebih baik bisa dibuat bagi Hasan Jangkung. Ia
menjadi seorang lelaki pencemburu yang meracuni kepuasannya sendiri dengan
pikiran, "Bagaimana jika ada orang lain yang mengetahui kebahagiaan semacam
ini?" Jihan Shah langsung merasa bahwa jika miniaturis ahli itu membuat salinan
lain, atau bahkan sebuah versi yang lebih baik, itu pasti akan dilakukan untuk
musuh besarnya Hasan Jangkung. Oleh karena itu, untuk mencegah orang lain selain
dirinya memiliki buku yang luar biasa ini, Jihan Shah memutuskan untuk memberi
perintah agar empu miniaturis Syekh Ali dibunuh setelah ia menyelesaikan buku
tersebut. Namun, seorang perempuan berkebangsaan Sirkasia yang cantik dan baik hati di haremnya
menasehatinya agar cukup membutakan saja mata si miniaturis ulung itu. Jihan
Shah menyetujui gagsan pintar ini yang kemudian ia ceritakan pada lingkaran para
penjilat, hingga kabar itu akhirnya sampai ke telinga Syekh Ali. Biarpun
demikian, Syekh Ali tidak meninggalkan buku itu separuh tak selesai dan kabur
dari Tabriz seperti yang akan dilakukan oleh para illustrator picisan. Ia juga
tidak memperlambat penyelesaian manuskrip itu atau membuat ilustrasiilustrasi
yang buruk agar buku itu menjadi tidak sempurna dan dengan demikian mencegah
saat kebutaannya yang sudah makin dekat. Ia malah bekerja dengan keyakinan dan
semangat yang lebih besar. Di dalam rumah tempat ia tinggal sendirian, ia mulai
bekerja setelah salat subuh dan terus membuat ilustrasi kudakuda, pohonpohon
kastanye, para kekasih, naga, dan para pangeran tampan dengan diterangi cahaya
lilin hingga tengah malam terusmenerus sampai air mata getir mengalir dari
sepasang matanya. Kerap kali ia memandang berharihari pada sebuah ilustrasi
karya salah seorang empu lama yang agung dari Herat ketika ia membuat salinan
yang peris sama pada halaman yang lain. Akhirnya, ia berhasil menyelesaikan buku
untuk Jihan Shah si Kambing hitam, dan seperti yang diharapkan oleh miniaturis
itu, pada mulanya ia dipujipuji dan dihujani perhiasan emas, sebelum dibuat buta
dengan sebuah jarum bulu tajam yang biasa digunakan untuk melekatkan bulu-bulu
turban. Sebelum rasa sakitnya berkurang, Syekh Ali meninggalkan Herat dan pergi
bergabung dengan Hasan Jangkung si Kambing putih. "Ya, saya memang buta,"
jelasnya kepada Hasan Jangkung, "tetapi saya bisa mengingat setiap kemegahan
dari manuskrip yang telah saya hiasi selama sebelas tahun terakhir, hingga ke setiap
titik pena dan sentuhan kuas, dan tangan saya bisa menggambarkannya lagi
berdasarkan ingatan. Yang Mulia, saya bisa membuat ilustrasi manuskrip teragung
sepanjang masa untuk Anda. Karena mata saya tidak lagi terkacaukan oleh kotoran
duniawi, saya akan mampu menggambarkan segala kemuliaan Allah dari ingatan,
dalam bentuknya yang paling murni." Hasan Jangkung percaya pada empu miniaturis
yang agung itu, dan sesuai janjinya, empu miniaturis itu pun menyalin ilustrasi
bukubuku paling menakjubkan dari ingatannya bagi sang penguasa Kambing putih.
Semua orang tahu kekuatan spiritual yang dibangkitkan buku baru itulah yang ada
di balik penaklukan Hasan Jangkung terhadap Kambing hitam dan hukuman mati sang
pemenang terhadap Jihan Shah dalam sebuah serangan di dekat Bingol. Buku yang
luar biasa ini, bersama buku yang dibuat oleh Syekh Ali Tabrizi untuk mendiang
Jihan Shah, disimpan di gudang harta Sultan kami di Istanbul ketika Hasan
Jangkung yang selalu jaya itu berhasil ditaklukkan pada Pertempuran Otlukbeli
oleh Sultan Mehmet Khan sang penakluk, semoga beliau beristirahat dengan damai.
Mereka yang sungguh bisa melihat, akan tahu.
BA Karena Sultan Suleyman Khan, sang Pemberi Aturan dan Penghuni Surga, lebih
menyukai para penulis kaligrafi dibandingkan para ilustrator, para miniaturis di
masa itu akan menceritakan kembali kisah ini sebagai sebuah contoh bagaimana
ilustrasi mengungguli kaligrafi. Barangsiapa yang meperhatikan kisah ini dengan
teliti tentu akan menyadari bahwa kisah ini sesungguhnya adalah mengenai kebutaan dan
ingatan. Setelah kematian Timurleng, Penguasa Dunia, anakanak dan para cucunya
mulai saling menyerang dan bertempur satu sama lain tanpa belas kasihan. Dalam
peristiwa di mana salah satu di antara mereka berhasil menaklukkan kota lain,
tindakan pertamanya adalah mencetak uang logam sendiri dan menyuruh sebuah
khutbah dibacakan di masjid. Tindakannya yang kedua sebagai pemenang adalah
menarik bukubuku yang kini telah menjadi miliknya dari perpustakaan; sebuah
persembahan baru dituliskan, membualkan sang penakluk sebagai "penguasa dunia",
sebuah kolofon baru ditambahakan, dan bukubuku itu dijilid kembali sehingga
siapa pun yang melihat buku sang penakluk itu akan percaya bahwa ia memang
sungguh seorang penguasa dunia. Ketika Abdullatif, putra dari cucu Timurleng
Ulu9 Bey, menguasai Herat, ia mengerahkan para miniaturisnya, para penulis
kaligrafinya, dan para tukang jilid bukunya dengan tergesagesa, lalu memaksa
mereka membuat sebuah buku untuk menghormati ayahnya, seorang ahli dalam seni
buku, sehingga karena jilid-jilid buku tengah dalam penyelesaian untuk dijilid
dan halaman-halman yang ditulisi dihancurkan dan dibakar, gambargambar yang
saling berkaitan menjadi bercampur baur. Karena UluS Bey tidak puas anaknya
menyusun dan menjilid album buku tanpa peduli gambar yang mana sebagai bagian
kisah yang mana, ia mengumpulkan semua miniaturis di Herat dan meminta mereka
menceritakan kembali kisahkisah itu untuk menyusun gambargambar ilustrasi pada
urutan yang benar. Dari mulut tiap-tiap miniaturis keluar cerita yang berbeda-
beda, dan urutan ilustrasi yang benar pun makin
terbingungkan. Oleh karena itu, miniaturis yang paling tua pun dicari. Ia adalah
seorang lelaki yang telah memadamkan cahaya di matanya dalam kerja keras yang
sungguhsungguh demi menyelesaikan bukubuku untuk seluruh shah dan pangeran yang
berkuasa di Heart selama lima puluh empat tahun terakhir. Kegemparan terjadi
ketika orangorang menyadari bahwa empu tua yang kini sedang mengintip pada
gambargambar itu sungguhsungguh buta. Beberapa orang tertawa. Empu tua itu
meminta agar seorang bocah lelaki cerdas yang umurnya belum genap tujuh tahun
dan masih buta huruf, dibawa ke tempat itu, Bocah semacam itu dicari dan dibawa
kepadanya. Sang miniaturis tua meletakkan sejumlah ilustrasi di depan bocah itu.
"Gambarkan apa yang kaulihat," perintahnya. Ketika bocah itu menggambarkan isi
gambargambar tersebut, sang miniaturis tua itu menghadapkan matanya yang buta ke
angkasa, mendengarkan dengan teliti, dan menjawab, "Iskandar memeluk Darius yang
sekarat dari Kitab Para Paja (Shah Nameh) karya Firdausi ... cerita tentang guru
yang jatuh cinta pada muridnya yang tampan dari Taman Mawar (Guiistan) karya
Sadi... perlombaan para tabib dari Harta Karun Pahasiarahasia karya Nizami Para
miniaturis yang lain, merasa jengkel oleh polah rekan kerja mereka yang tua dan
buta itu, berkata, "Kami juga bisa menggambarkan semua itu padamu. Ini adalah
adegan-adegan terkenal dari kisahkisah paling terkenal." Sebagai jawabannya,
miniaturis buta yang renta itu meminta agar diberikan ilustrasiilustrasi paling
sulit di hadapan bocah itu dan mendengarkan kembali dengan saksama. "Hurmuz
meracuni para penulis kaligrafi satu demi satu dari Kitab Para Paja karya
Firdausi," ujarnya lagi, seraya kembali menatap angkasa. "Kisah seorang suami yang dikhianati
istrinya, dan menangkap basah istrinya bersama kekasihnya di sebuah pohon pir,
dari Matsnawi karya Rumi," ujarnya. Dengan cara ini, berdasarkan gambaran bocah
itu, ia berhasil mengenali semua gambar, walaupun tak satu pun yang bisa ia
lihat. Dan dengan demikian, ia berhasil membuat bukubuku itu dijilid rapi
kembali dengan sepantasnya. Ketika UluS Bey tiba di Herat dengan pasukannya, ia
bertanya pada miniaturis tua itu, dengan rahasia apakah ia, seorang buta, bias
mengenali kisahkisah yang oleh para empu ilustrator lainnya tidak bisa
dipecahkan, bahkan walau dengan melihatnya sekalipun. "Ini tidak seperti yang
diduga orang, yakni bahwa ingatan saya menggantikan kebutaan saya," jawab
ilustrator tua itu. "Saya tak pernah melupakan bahwa kisahkisah itu dikumpulkan
kembali tidak hanya melalui gambargambar, tetapi juga melalui katakata." UluS
Bey menjawab bahwa para miniaturisnya sendiri mengetahui katakata dan kisahkisah
itu, tetapi tetap saja tidak bisa menyusun gambargambar itu. "Karena," kata
miniaturis tua itu, "mereka berpikir dengan sangat baik ketika berkaitan dengan
lukisan yang merupakan keahlian seni mereka, tetapi mereka tidak memahami bahwa
para empu lama membuat gambargambar ini berdasarkan ingatan Allah sendiri." UluS
Bey bertanya bagaimana seorang bocah bias mengetahui hal-hal semacam itu. "Bocah
itu tidak tahu," kata miniaturis tua itu, "Namun, saya, seorang miniaturis tua
yang buta, tahu bahwa Allah menciptakan alam duniawi ini dengan cara seorang
bocah tujuh tahun yang cerdas ingin melihatnya. Selain itu, Allah menciptakan
alam duniawi ini agar semua ini bisa dilihat.
Setelahnya, Allah memberi kita katakata sehingga kita bisa berbagi dan
berdiskusi satu sama lain tentang apa yang kita lihat. Kita salah mengira bahwa
kisahkisah ini muncul dari katakata dan bahwa ilustrasi dibuat hanya untuk
melayani kisahkisah ini. Sebaliknya, melukis adalah tindakan untuk menemukan
ingatan Allah dan melihat dunia sebagaimana Allah melihat dunia."
JIM Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, para miniaturis Arab memiliki kebiasaan
melihat ke arah sebelah barat cakrawala pada tengah hari untuk melawan kecemasan
abadi yang tak bias dipahami bahwa mereka perlahanlahan akan menjadi buta. Hal
ini diamalkan oleh semua miniaturis. Senada dengan hal ini, seabad kemudian di
Shiraz, banyak ilustrator memakan biji kenari dicampur dengan kelopak mawar saat
perut sedang kosong di pagi hari. Di zaman yang sama, para ilustrator senior
Isfahan yang meyakini bahwa cahaya matahari bisa mengakibatkan kebutaan yang
mereka derita satu demi satu, seperti wabah, akan bekerja di sudut ruangan yang
setengah gelap, dan sering hanya diterangi oleh cahaya lilin untuk mencegah
sorot langsung sinar matahari mengenai meja kerja mereka. Di penghujung hari, di
dalam bengkel-bengkel seni para seniman Uzbek di Bukhara, para empu miniaturis
akan membasuh mata mereka dengan air yang sudah diberkati oleh para pemuka
agama. Namun, dari semua tindakan pencegahan ini, pendekatan yang paling murni
terhadap kebutaan ditemukan di Herat oleh seorang miniaturis, Seyyit Mirek, yang
merupakan mentor bagi seniman besar Bihzad. Menurut empu ilustrasi Mirek,
kebutaan bukanlah sebuah musibah, melainkan
anugerah yang diberikan Allah kepada para iluminator yang telah mengabdikan
seluruh hidupnya untuk kejayaanNya, mengingat pembuatan ilustrasi adalah
pencarian para miniaturis tersebut akan pandangan Allah terhadap isi dunia. Dan
sudut pandang unik ini hanya bisa dicapai melalui proses mengingat kembali
setelah kebutaan itu menetap, hanya setelah sebuah kerja keras sepanjang hayat,
dan hanya setelah mata si ilustrator menjadi lelah dan tubuhnya telah uzur.
Maka, pandangan Allah tentang dunia milikNya ini hanya bisa menjelma melalui
ingatan para ilustrator yang buta. Ketika bayangan ini datang kepada miniaturis
yang sedang beranjak uzur, yakni ketika ia melihat dunia ini sebagaimana Allah
melihat melalui kegelapan ingatan dan kebutaan, sang ilustrator telah
menghabiskan waktu seumur hidupnya untuk melatih tangannya agar menerjemahkan
pengungkapan yang indah itu ke dalam halamanhalaman kertas. Menurut sejarawan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mirza Muhammet Haydar Duglat, yang menulis panjang lebar tentang legenda para
miniaturis Herat, sang empu Seyyit Mirek, dalam teori yang dikembangkannya
mengenai apa yang tadi kita jabarkan tentang melukis, menggunakan contoh seorang
ilustrator yang ingin menggambar seekor kuda. Menurutnya, seorang pelukis paling
tidak berbakat sekalipun yang kepalanya kosong, seperti para pelukis Venesia ?sekarang ini yang membuat gambar seekor kuda sambil terus memandangi kudanya,
?tetap saja akan menggambar kuda itu berdasarkan ingatannya. Ini disebabkan tidak
mungkin ia melihat kuda itu dan melihat halaman tempat ia menggambar seekor kuda
pada waktu bersamaan. Mulamula, si ilustrator akan melihat kuda itu, lalu dengan
cepat ia akan memindahkan apa pun yang
muncul dalam ingatannya atas kertas. Untuk sementara waktu, meskipun hanya
sekejap, apa yang dihadirkan oleh si seniman di atas halaman itu bukanlah kuda
yang dilihatnya, melainkan ingatannya tentang kuda yang baru saja dilihatnya.
Terbukti bahwa bagi ilustrator yang keadaan fisiknya paling menyedihkan
sekalipun, sebuah gambar mungkin saja dihasilkan hanya dengan mengandalkan
ingatannya. Perkembangan logis dari konsep ini dalam kehidupan kerja yang aktif
dari seorang ilustrator yang menyiapkan diri menerima anugerah kebutaannya
sekaligus menggunakan ingatan butanya adalah bahwa para empu miniaturis di Herat
menganggap ilustrasi yang mereka buat untuk para penguasa dan pangeran pencinta
buku ini adalah sebagai latihan bagi tangan mereka. Mereka menerima pekerjaan
itu, menggambar tanpa henti dan memandangi berhalaman-halaman kertas dengan
bantuan cahaya lilin selama berharihari tanpa istirahat, sebagai pekerjaan
menyenangkan yang akan mengantar para ilustrator itu kepada kebutaan. Sepanjang
hidupnya, empu miniaturis Mirek, selalu menanti saat yang paling tepat untuk
mendekati ketakterdugaan yang gemilang ini, baik dengan sengaja mempercepat
kebutaannya melalui penggambaran pepohonan dan setiap helai daunnya dengan amat
teliti menggunakan kuku-kukunya, butiran beras, dan bahkan melalui helaian-
helaian rambut, atau dengan sangat berhatihati menunda datangnya kegelapan
dengan bermalasmalasan membuat gambar tamantaman menyenangkan yang bermandikan
cahaya matahari, misalnya. Ketika genap berusia tujuh puluh tahun, dalam rangka
menghargai sang empu, Sultan Hiiseyin Baykara memperbolehkannya memasuki ruang
harta pusaka yang berisi ribuan cetakan manuskrip yang dikoleksi Sultan dan disimpan dengan
pengamanan kunci dan gembok. Di ruang harta pusaka yang juga berisi aneka
senjata, emas, an bergulung-ulung kain sutra serta baju beludru, diterangi ahaya
lilin dari candelabra* emas, irek ang empu memelototi lembar demi lembar
bukubuku itu. Masingmasing memiliki legenda tersendiri, dan dibuat oleh para
empu Herat zaman dulu. Dan setelah tiga hari tiga malam mengamati dengan teliti
tanpa henti, empu agung itu pun menjadi buta. Ia menerima keadaannya dengan
penuh kedewasaan dan kepasrahan, seperti orang yang menyapa para bidadari Allah,
dan ia tidak pernah berbicara ataupun melukis lagi. Mirza Muhammet Haydar
Duglat, penulis buku Sejarah Rashid, mengartikan kejadian-kejadian seperti ini
sebagai: "Seorang miniaturis yang menyatu dengan pandangan dan pemandangan waktu
Allah yang baka, tidak akan pernah kembali ke halamanhalaman manuskrip yang
dibuat untuk makhluk makhluk fana." Dan ia menambahkan, "Bila ingatan seorang
miniaturis buta sampai kepada Allah, hal itu akan membangkitkan keheningan
sejati, sebuah kegelapan yang penuh berkah dan ketakterbatasan selembar halaman
kosong." TENTU SAJA jawabanku atas pertanyaan Tuan Osman mengenai kebutaan dan ingatan
tidak menyenangkan hatinya sehingga Hitam bertanya padaku ketika ia meneliti
harta bendaku, kamar, dan gambar-gambarku. Namun, masih saja aku merasa senang
melihat betapa kisahkisah yang kuceritakan itu memengaruhinya. "Kebutaan adalah
sebuah dunia yang penuh keberkahan, di mana iblis dan
"Wadah lilin berukuran besar, dengan banyak percabangan untuk memuat beberapa
batang lilin sekaligus. kesalahan terhadang," kataku padanya. "Di Tabriz," ujar Hitam, "di bawah
pengaruh Mirek, beberapa orang ilustrator bergaya lama masih saja melihat
kebutaan sebagai anugerah terindah dari keagungan Allah, dan mereka malu
beranjak tua tanpa mengalami kebutaan. Bahkan hingga hari ini, karena cemas
orangorang akan menganggap mereka kurang berbakat dan tidak terampil, mereka
berpurapura buta. Sebagai akibat keyakinan moral yang mengandung pengaruh dari
Jemalettin dari Kazvin ini, beberapa orang dari mereka duduk selama berminggu-
minggu dalam kegelapan dikelilingi cermin, dalam pendar cahaya temaram lampu
minyak, tanpa makan minum, dan menatap halamanhalaman berilustrasi yang dilukis
oleh para empu tua Herat untuk mempelajari bagaimana caranya mencermati dunia
seperti seorang buta, meskipun tidak sungguhsungguh buta." Seseorang mengetuk
pintu. Aku membuka pintu dan menemukan seorang murid rupawan dari bengkel kerja
yang mata indahnya terbelalak lebar. Ia berkata bahwa jenazah saudara kami, Elok
Effendi, telah ditemukan dalam sebuah sumur tua dan upacara pemakamannya akan
dilangsungkan di Masjid Mihrimah pada waktu salat ashar. Ia lalu berlalu untuk
menyampaikan kabar tersebut kepada yang lainnya. Allah, semoga Engkau melindungi
kami semua. [] Bab 15 aku adalah esther KATAKAN PADAKU, apakah cinta mampu membuat orang jadi bodoh atau hanya
orangorang bodoh yang jatuh cinta" Aku menjadi seorang penjaja pakaian dan mak
comblang selama bertahuntahun, dan aku tidak sedikit pun mampu memahaminya.
Betapa serunya bagiku bertemu dengan para lakilaki atau pasangan kekasih yang ? ?menjadi semakin cerdas, licin, dan penuh liku, saat mereka jatuh cinta semakin
dalam. Aku benarbenar tahu tentang hal ini: Jika seorang lakilaki sering merayu,
membual-bual, dan melakukan tipu daya, artinya ia tidak sedikit pun merasa
cinta. Sementara Hitam Effendi, kentara sekali betapa ia betul-betul kehilangan
kendali dirinya saat membicarakan Shekure.
Di pasar, berkali-kali aku menjejalinya dengan kalimat-kalimat yang sudah sangat
terlatih kukatakan pada semua orang: Shekure selalu memikirkannya, dia bertanya
padaku tentang tanggapan Hitam terhadap suratnya. Aku tidak pernah melihatnya
seperti itu, dan seterusnya. Ia menunjukkan tampang yang membuatku
mengasihaninya. Ia berkata padaku untuk segera memberikan suratnya pada Shekure.
Orangorang tolol pun akan mampu menyimpulkan adanya keadaan yang menekan dalam
rasa cintanya hingga menuntut ketergesaan seperti itu, dan
karenanya intensitas cintanya yang terbuka, tanpa disadarinya ia telah mencipta
sepucuk senjata di tangan kekasihnya. Jika kekasihnya ini cerdas, dia akan
menunda jawabannya. Pesan moralnya: ketergesaan menunda tumbuhnya buah cinta.
Jika Hitam yang dilanda derita cinta tahu bahwa aku mulamula mengambil jalan
memutar sambil membawa surat yang dikuasakannya padaku untuk kusampaikan
"secepat mungkin", ia akan berterima kasih padaku. Di lapangan pasar itu, aku
nyaris mati berdiri menunggunya. Setelah ia pergi, aku berniat mengunjungi salah
satu "putriku" sebagai pemanasan. Aku memanggil para gadis yang suratnya pernah
kusampaikan, mereka yang telah kunikahkan dengan tetesan keringatku, "putrid
putriku." Gadis buruk rupa yang satu ini begitu berterima kasih dan mengabdi
padaku setiap kali aku mengunjunginya, melayaniku dengan tangan dan kakinya,
bergerak-gerak di sekitarku seperti seekor ngengat, dan dia akan menyisipkan
beberapa keping uang perak ke dalam telapak tanganku. Kini perempuan ini sedang
hamil dan punya selera humor yang baik. Dia meletakkan the limau dalam air
mendidih. Aku menikmati setiap sesapannya. Ketika dia meninggalkanku sendirian,
aku menghitung kepingan uang logam yang diberikan Effendi Hitam padaku. Dua
puluh keping perak. Aku keluar untuk melanjutkan langkahku. Kutelusuri pinggiran jalan dan kulewati
gang-gang kecil berbahaya yang dingin, berlumpur, dan nyaris sulit dilalui. Saat
mengetuk pintu, keriangan menyusupiku, dan aku pun mulai berteriak.
"Penjaja pakaian datang! Pakaian!" seruku. "Mari lihat kain muslin lipit terbaik
yang pantas dikenakan seorang
sultan. Dapatkan selendang-selendang indahku dari Kashmir, kain selempang
beludru dari Bursa, kemeja Arab bertepian sutra yang menakjubkan, taplak meja
muslin berbordir, kasur dan sprei, juga sapu tangan warnawarni. Ayo ... Pakaian!
Pakaian!" Pintu itu terbuka, aku pun masuk. Sebagaimana biasanya, rumah itu berbau kain
kain penutup ranjang, tidur, minyak goreng dan hawa lembab, bau mengerikan khas
bujangan lapuk. "Nenek sihir," cercanya. "Apa yang kauteriakkan?"
Tanpa bersuara aku mengeluarkan surat dan menyerahkannya pada lakilaki itu. Di
kamar yang buram, dengan cermat dan perlahan ia mendekatiku, lalu merampas surat
itu dari tanganku. Ia berlalu memasuki kamar di sebelahnya di mana sebuah
lentera minyak sedang menyala. Aku menunggu di ambang pintu.
"Apakah ayahmu ada di rumah?"
Ia tidak menjawab. Ia telah menenggelamkan dirinya dalam surat itu. Aku
meninggalkannya sendirian agar ia dapat membaca dengan tenang. Ia berdiri di
belakang lampu, dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Setelah menuntaskan surat
itu, ia membacanya lagi. "Ya," ujarku, "apa yang telah dituliskannya?"
Hasan membacakannya: Shekure sayang, mengingat aku pun teiah bertahuntahun bertahan melewati mimpi-
mimpiku tentang seseorang, maka dengan penuh hormat aku memahami penantianmu
terhadap suamimu tanpa mempertimbangkan lakilaki lainnya. Apa lagi yang bisa
diharapkan dari seorang perempuan sepertimu selain kejujuran dan kebajikan"
[Hasan terkekeh!] Kedatanganku bertamu pada ayahmu hanya demi lukisan saja,
namun demikian, tidak ada
niatan untuk melecehkanmu. Hal itu tidak mungkin terlintas di benakku. Aku tidak
merasa telah menerima isyarat darimu ataupun tandatanda /ainnya yang
mendorongku. Saat wajahmu muncul di hadapanku di jendela itu bagaikan secercah
cahaya suci, aku tidak mengartikannya sebagai apa pun selain anugerah Tuhan.
Rasa senang karena telah melihat wajahmu sajalah yang kubutuhkan. ["Ia mengutip
itu dari karya Nizami," potong Hasan, merasa kesal.] Namun, kau memintaku
menjaga jarak darimu. Coba katakana padaku, apakah kau adalah sesosok bidadari
sehingga mendekatimu menjadi sedemikian menakutkan" Dengarkan apa yang akan
kukatakan padamu, dengarlah. Aku terbiasa bersusah payah mencoba tidur dengan
memandangi cahaya bulan yang jatuh menimpa pegunungan telanjang di kejauhan, dan
penginapan kafilah muram di mana tak seorang pun menginap, selain beberapa
penjahat yang melarikan diri dari hukuman. Dan di sanalah, di tengah pekatnya
malam, sambil mendengarkan lolongan segerombalan srigala yang ternyata lebih
kesepian dan lebih tidak beruntung daripada diriku sendiri, aku biasanya akan
berpikir bahwa suatu hari nanti kau akan tibatiba muncul di hadapanku,
sebagaimana yang kaulakukan di jendela itu. Bacalah baikbaik: Sekarang setelah
aku kembali pada ayahmu demi buku itu, kembalikanlah lukisan yang kubuat di masa
kecilku. Aku tahu ini bukan tanda kematianmu, melainkan tanda bahwa aku telah
menemukanmu lagi. Aku bertemu salah seorang anakmu, Orhan. Bocah malang tak
berayah itu. Suatu hari nanti aku akan menjadi ayahnya!
"Tuhan melindunginya, ia menulis dengan baik," seruku, "yang satu ini telah
menjadi seorang penyair rupanya."
"Apakah kau adalah sesosok bidadari sehingga mendekatimu menjadi sedemikian
menakutkan?" ulangnya. "Ia mencuri larik itu dari Ibnu Zerhani. Aku bisa menulis
yang lebih baik dari itu." Ia mengambil suratnya sendiri
dari sakunya. "Ambillah ini dan kirimkan kepada Shekure."
Untuk pertama kalinya, menerima uang beserta suratsurat itu terasa menggangguku.
Aku merasakan sesuatu seperti rasa jijik terhadap lakilaki ini dan obsesi
gilanya, cintanya yang tak berbalas. Hasan, seakanakan sedang menegaskan
dugaanku, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mengesampingkan sopan
santun dan berkata lumayan kasar, "Katakan padanya, jika kami mau, kami bias
memaksanya kembali ke sini di bawah desakan hakim."
"Kau sungguhsungguh ingin aku mengatakan hal itu?"
Hening. "Tidak," sahutnya. Pendar cahaya lampu minyak menerangi wajahnya,
membuatku melihat wajahnya lebih rendah ke arah kepalanya yang seperti seorang
bocah yang telah berbuat salah. Aku mengetahui sisi ini dari sifat Hasan,
seperti juga aku menghormati perasaannya dan mengirimkan suratsuratnya. Ini
bukan hanya karena uangnya, sebagaimana yang mungkin kaukira.
Aku sedang melangkah pergi meninggalkan rumah itu, dan ia menghentikan langkahku
di ambang pintu. "Apakah kau memberi tahu Shekure tentang betapa besar aku mencintainya?" ia
bertanya lugu padaku dengan penuh semangat.
"Bukankah kau sudah memberitahunya lewat surat-suratmu?"
"Katakan padaku bagaimana aku bisa meyakinkannya dan ayahnya" Bagaimana aku bisa
membujuk mereka?" "Dengan menjadi orang yang baik," jawabku sambil melangkah ke pintu.
"Di usiaku sekarang, itu sudah terlambat ..." ujarnya dengan kesedihan yang apa
adanya. "Kau sudah mulai menghasilkan banyak uang, Hasan si pegawai pabean. Ini bisa
membuat seseorang menjadi orang baik ..." kataku, dan aku pun pergi,
Rumah itu begitu gelap dan muram sehingga udara di luar rumah itu jadi terasa
hangat. Cahaya matahari menyapu wajahku. Aku mengharapkan kebahagiaan Shekure,
tetapi aku juga merasakan sesuatu untuk lakilaki malang di rumah penuh sampah
yang dingin dan gelap itu, Tibatiba saja, aku berbelok ke Pasar Bumbu di Laleli,
memikirkan bau kayu manis, kunyit dan lada yang bisa mengembalikan suasana
batinku. Ternyata aku salah.
Di rumah Shekure, setelah mengambil surat itu, dia segera bertanya soal Hitam.
Kukatakan padanya bahwa api cinta telah menyelimuti segenap jiwa dan raganya
tanpa ampun. Kabar ini membuatnya senang.
"Bahkan janda-janda kesepian pun sibuk dengan kegiatan sulam menyulam mereka dan
membahas mengapa Elok Effendi dibunuh," akhirnya aku mengatakan hal itu untuk
mengalihkan pembicaraan. "Hayriye membuat halva sebagai antaran duka cita dan membawanya ke Kalbiye,
janda Elok Effendi," ujar Shekure.
"Semua pengikut Erzurum dan banyak lagi orang lain akan menghadiri upacara
pemakamannya," lanjutku. "Kerabatnya bersumpah mereka akan membalaskan darahnya
yang telah tertumpah."
Shekure sudah mulai membaca surat Hitam. Aku menatap wajahnya lekat-lekat dengan
penuh kemarahan. Perempuan ini mungkin sejenis rubah betina sehingga dia mampu
mengendalikan gejolak perasaan yang terpancar di wajahnya. Saat dia membacanya,
aku bisa merasakan betapa diamku menyenangkan perasaannya, hingga dia
menganggapnya sebagai tanda persetujuanku atas perlakuan khususnya pada surat
Hitam itu. Shekure selesai membaca surat itu, lalu tersenyum padaku. Agar dia
puas, aku terpaksa bertanya, "Apa yang ditulisnya?"
"Sama seperti di masa kanak-kanaknya .... Ia jatuh cinta padaku."
"Apa yang kaupikirkan?"
"Aku adalah seorang perempuan yang sudah menikah, aku sedang menunggu suamiku."
Sebaliknya dari yang kauperkirakan, dusta yang dinyatakannya padaku setelah dia
memintaku terlibat dalam urusan cintanya itu tidak membuatku berang. Malah,
pernyataannya itu membuatku lega. Andai ada lebih banyak gadis muda dan dewasa
yang suratnya kukirimkan dan meminta nasehatku bersikap seperti Shekure, maka
kerja keras kami berdua, aku dan mereka, akan berkurang setengahnya. Lebih
penting lagi, mereka akan berakhir dengan pernikahan yang lebih baik.
"Apa yang tertulis dalam surat yang satunya lagi?" kutanyakan juga pertanyaan
itu. "Aku tidak ingin membaca surat dari Hasan sekarang," jawabnya. "Apakah Hasan
tahu bahwa Hitam sudah kembali ke Istanbul?"
"Ia bahkan tidak tahu bahwa lelaki itu ada."
"Apakah kau berbicara pada Hasan?" tanyanya sambil membelalakkan bola mata
hitamnya yang indah itu. "Sebagaimana yang kauminta."
"Lalu?" "Ia tampak amat merana. Ia tergila-gila padamu. Bahkan andai hatimu menjadi
milik orang lain sekalipun, akan sulit bagimu untuk terbebas darinya saat ini.
Dengan menerima suratsuratnya kau telah memberikan lampu
hijau untuknya. Bagaimanapun, berhati-hatilah terhadapnya. Bukan karena ia ingin
membuatmu kembali ke sana, melainkan dengan menegaskan bahwa kakaknya sudah
meninggal dunia, ia sedang bersiap untuk menikahimu." Aku tersenyum untuk
meringankan beban dari katakata yang kuucapkan, dan agar tidak memperburuk
katakataku yang menunjukkan ketidakpuasanku.
"Kalau begitu, apa yang dikatakan orang yang satunya lagi?" tanyanya. Namun,
apakah dia sendiri tahu siapa yang dia maksud"
"Miniaturis itu?"
"Pikiranku begitu kacau," tibatiba saja dia berseru seperti itu, mungkin dia
takut pada pikiran-pikirannya sendiri. "Rasanya semua masalahku akan menjadi
semakin membingungkan. Ayahku semakin tua. Apa yang akan terjadi pada kami, dan
pada anakanak tak berayah ini" Aku merasa ada sebuah kejahatan mendekat, dan
Iblis sedang mencoba memerangkap kami. Esther, ceritakan padaku hal-hal yang
bias memberiku kekuatan."
"Jangan cemas, Shekure sayangku," sahutku dengan emosi yang membuncah di dalam
dada. "Kau sungguh pandai, kau sangat jelita. Suatu hari kau akan tidur di
ranjang yang sama dengan suamimu yang tampan, kau akan mendekapnya, dan
melupakan semua kekhawatiranmu, Kau akan berbahagia. Aku bisa membacanya dari
sorot matamu." Sebentuk kasih sayang terbangkitkan di dalam diriku, hingga kedua mataku
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digenangi air mata. "Baiklah, tetapi yang manakah yang akan menjadi suamiku?"
"Tidakkah hatimu yang bijaksana itu telah memberimu
jawaban?" "Karena aku tidak memahami apa yang dikatakan oleh hatiku, aku jadi tak
berdaya." Sejenak terbersit dalam pikiranku bahwa Shekure tidak memercayaiku sama sekali,
sehingga dengan sangat pintar dia menutupi ketidakpercayaannya untuk mengetahui
apa yang kuketahui, dan berusaha membangkitkan rasa kasihanku. Ketika kutahu dia
tidak akan menulis surat balasan untuk suratsurat itu pada saat ini, aku
menyambar buntalanku, memasuki halaman, dan menyelinap pergi tetapi sebelumnya ?aku mengatakan hal yang selalu kukatakan pada gadis-gadisku, bahkan pada mereka
yang bermata juling sekalipun.
"Jangan takut, sayangku. Selama kau membiarkan sepasang mata indahmu itu terus
terbuka, tak ada nasib sial yang bakal menimpamu."[]
ab 16 aku, shekure JIKA HARUS berkata jujur, biasanya setiap kali Esther si penjaja pakaian dating
berkunjung, aku mengkhayalkan seorang lakilaki yang terpanah asmara akhirnya
akan bangkit untuk menulis sepucuk surat yang mampu menyentuh hati seorang
perempuan pintar sepertiku cantik jelita, keturunan baikbaik, dan seorang janda?dengan kehormatan yang belum ternoda dan membuatnya berdegup kencang. Menemukan
?surat yang berasal dari para calon yang biasa-biasa saja membuatku mampu
menyelamatkan keputusan dan kesabaranku dalam menunggu kepulangan suamiku.
Namun, beberapa waktu terakhir ini, setiap kali Esther pergi, aku menjadi amat
bingung dan merasa semuanya semakin kacau dalam hidupku. Aku mendengarkan
suarasuara dalam duniaku. Dari dapur muncul suara menggelegaknya air yang
mendidih dan semerbak aroma limau dan bawang. Hayriye sedang merebus zucchini.
Shevket dan Orhan sedang bersuka cita dan bermain pedangpedangan di halaman, di
bawah pohon delima, aku mendengarkan teriakan teriakan mereka. Ayahku sedang
duduk dalam hening di ruangannya. Aku membuka dan membaca surat dari Hasan, dan
aku pun kembali yakin bahwa tidak ada alas an untukku merasa cemas. Tetap saja,
aku menjadi semakin takut padanya, dan memberi selamat pada diriku sendiri karena telah
melawan upayanya yang ingin bercinta denganku saat kami tinggal seatap.
Berikutnya, aku membaca surat dari Hitam, memeganginya dengan lembut seolaholah
aku sedang memegangi burung kecil yang lembut dan teramat peka. Benakku
berkecamuk. Aku tidak membaca suratsurat itu lagi. Cahaya matahari menerobos
masuk di antara kepingan awan, dan terpikir dalam benakku andai dulu aku masuk
ke kamar tidur Hasan pada suatu malam dan kemudian bercinta dengannya, tak ada
yang akan menyaksikannya, kecuali Allah. Hasan memang mirip dengan suamiku yang
hilang; itu akan terasa sama saja. Terkadang sebentuk pikiran aneh seperti ini
merasuki kepalaku. Begitu cahaya matahari menghangatkan tubuhku, aku bisa
merasakan tubuhku: kulitku, leherku, dan kedua puting susuku. Orhan menyelinap
masuk saat matahari menyorotkan panasnya ke tubuhku lewat pintu yang terbuka.
"Ibu, sedang baca apa?" tanyanya.
Baiklah kalau begitu, ingatkah bagaimana aku berkata bahwa aku tidak membaca
ulang suratsurat yang baru saja diantarkan Esther" Aku berdusta. Aku sedang
membacanya, semuanya, sekali lagi. Kali ini, aku sungguhsungguh melipat surat
surat itu dan memasukkannya ke dalam baju atasanku.
"Kemarilah, naik ke pangkuanku!" perintahku pada Orhan. Ia melakukannya. "Ya
ampun, kau sangat berat. Semoga Allah selalu melindungimu, kau menjadi sangat
besar," pujiku sambil menciumnya. "Kau sedingin es
"Ibu terasa sangat hangat," potongnya, sambil menyandar ke dadaku.
Kami pun saling menyandarkan tubuh dengan erat,
menikmati duduk dengan posisi seperti itu sambil saling berdiam diri. Aku
mencium bagian belakang lehernya dan mengecupnya. Aku mendekapnya dengan lebih
erat lagi. Kami diam tak bicara.
Beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku merasa geli."
"Kalau begitu katakan padaku," ujarku dengan suara serius, "andai raja jin
dating dan berkata bahwa ia akan mengabulkan satu permohonanmu, apa yang paling
kau inginkan?" "Aku ingin Shevket pergi jauh."
"Apa lagi" Apakah kau tak ingin punya ayah?"
"Tidak. Nanti jika aku besar, aku sendiri yang akan menikahi Ibu."
Itu bukan proses menjadi dewasa. Kehilangan seorang kekasih pujaan hati, bahkan
ditinggalkan seorang suami atau kekurangan uang bukanlah musibah yang paling
buruk, yang benarbenar menakutkan adalah tidak memiliki seorang pun yang cemburu
padamu. Aku menurunkan tubuh Orhan yang menghangat dari pangkuanku. Aku
memikirkan betapa seorang perempuan licik seperti aku harus menikahi seseorang
berjiwa baik, dan aku pun pergi menemui ayahku.
"Yang Mulia Sultan akan memberi Ayah hadiah, setelah beliau melihat sendiri
bukunya selesai," seruku. "Ayah akan pergi ke Venesia lagi."
"Aku tidak bisa memastikannya," sahut ayahku. "Pembunuhan ini telah membuatku
kacau. Musuhmusuh kita tampak cukup kuat."
"Aku juga tahu keadaanku telah mendorong mereka, menambah kesalahpahaman dan
mematikan harapanharapan."
"Apa maksudmu?"
"Aku seharusnya menikah sesegera mungkin."
"Apa?" tanya ayahku. "Dengan siapa" Tetapi, bukankah kau masih menikah" Dari
mana datangnya pikiran seperti ini?" tanyanya lagi. "Siapa yang akan melamarmu"
Bahkan andai kita menemukan kemungkinan yang masuk akal sekalipun," ujar ayahku
yang berakal sehat. "Aku ragu apakah kita akan mampu mendapatkannya. Tidak
seperti itu. Kau paham?" Ia lalu menyimpulkan keadaanku yang kurang
menguntungkan ini sebagai berikut, "Kau sadar bukan bahwa ada beban dan masalah
rumit yang harus kita tuntaskan sebelum kau bisa menikah lagi Selepas jeda yang
cukup panjang, ia kembali menambahkan, "Itukah sebabnya kauingin
meninggalkanku, putriku tersayang?"
"Tadi malam aku bermimpi suamiku sudah meninggal dunia," ujarku. Aku tidak
menangis seperti seorang perempuan pada umumnya yang bermimpi seperti itu.
"Seperti mereka yang tahu bagaimana membaca lukisan, orang juga harus tahu
bagaimana membaca mimpi."
"Apakah menurut Ayah aku layak menjabarkan mimpiku?"
Hening lagi. Kami saling melempar senyum, membuat dugaandugaan dengan
cepat sebagaimana yang dilakukan orangorang pintar semua kesimpulan yang ? ?paling memungkinkan dari masalah yang kami miliki.
"Dengan menerjemahkan mimpimu itu, aku mungkin akan merasa yakin dengan
kematiannya. Jangan lupa, ayah mertuamu, adik iparmu dan hakim, yang juga harus
ikut mendengarkannya, akan menuntut bukti-bukti lebih banyak."
"Dua tahun telah berlalu sejak aku pulang ke tempat ini bersama anakanak, dan
keluarga suamiku tidak pernah mampu memaksaku kembali bersama mereka
"Karena mereka menyadari bahwa prilaku buruk mereka sendirilah yang menjadi
alasannya," ujar ayahku. "Ini bukan berarti mereka akan bersedia meluluskan
keinginanmu untuk bercerai."
"Jika saja kita pengikut Imam Maliki atau Imam Ham-bali, hakim, dengan
mengetahui bahwa empat tahun sudah berlalu, akan meluluskan permintaan ceraiku
sebagai tambahan atas jaminan tunjangan hidup bagiku. Namun, karena kita adalah
penganut mazhab Imam Hanafi, pilihan semacam ini tidak terbuka untuk kita,"
ujarku. "Jangan sebut Hakim Uskudar penganut Imam Syafi'i itu."
"Semua perempuan Istanbul yang suaminya hilang di medan peperangan pergi
menghadap Hakim Uskudar dengan membawa saksi-saksi mereka untuk bias bercerai.
Karena ia penganut mazhab Syafi'i, ia hanya akan bertanya, 'Apakah suamimu
menghilang"' 'Sudah berapa lama suamimu menghilang"' 'Apakah kau mendapatkan
kesulitan membuat keputusan akhir"1 'Apakah mereka ini saksi saksimu"' dan
selepas itu ia akan langsung mengabulkan perceraian."
"Shekure, sayangku, siapa yang menanamkan pikiran seperti itu di kepalamu?"
tanyanya. "Siapa yang telah merenggut akal sehatmu?"
"Setelah aku bercerai untuk selamanya, jika ada seorang lakilaki yang sungguh
sungguh bisa menghilangkan akal sehatku, Ayah tentu akan memberitahuku siapa
orangnya, dan aku tidak akan pernah mempertanyakan keputusanmu dalam memilihkan
seorang suami untukku."
Ayahku yang cerdas, yang menyadari betapa putrinya
juga sepandai dirinya, mengerjapkan matanya. Ayahku akan mengerjapngerjap
seperti ini untuk tiga alasan: 1. Karena ia sedang dalam keadaan terdesak dan
pikirannya sedang berpacu melawan waktu untuk menemukan jalan keluar yang
cemerlang; 2. Karena ia sedang mengalami ketakberdayaan dan kepiluan; 3. Karena
ia sedang terdesak dan dengan cerdas ia akan menggabungkan alasan 1 dan 2 untuk
memberi kesan bahwa ia akan segera menjeritkan kesedihannya.
"Apakah kau akan membawa serta anakanak dan menelantarkan ayahmu yang sudah tua
ini" Sadarkah kau bahwa karena buku kita" ya, ia dengan tegas mengatakan "buku ?kita"-"aku takut dibunuh, tetapi kini mengingat kau akan mengambil anakanak dan
pergi dariku, aku justru akan menyambut datangnya kematian."
"Ayahku tercinta, bukankah Ayah yang selalu berkata bahwa hanya sebuah
perceraian yang bisa menyelamatkanku dari adik iparku yang tak berguna itu?"
"Aku tidak mau kau pergi meninggalkanku. Suatu hari suamimu mungkin saja akan
kembali. Bahkan, andai ia tidak kembali sekalipun, tidak ada salahnya kau
berstatus menikah selama kau tinggal di rumah ini bersama ayahmu."
?"Aku tidak menginginkan apa pun lagi, kecuali tinggal di rumah ini bersama
Ayah." "Sayang, bukankah kau baru saja mengatakan betapa kauingin menikah sesegera
mungkin?" Inilah jalan buntu yang kau dapat dengan berdebat dengan ayahmu: Selama
perdebatan itu berlangsung, kau juga akan teryakinkan bahwa kau memang bersalah.
"Aku sempat berpikir demikian," sahutku, sambil menatap lantai di depanku. Lalu,
seraya menahan curahan air mataku, serta dikuatkan oleh kebenaran yang terbersit di benakku, aku pun
berucap, "Baiklah, kalau begitu .... Apakah aku tidak akan pernah menikah lagi?"
"Ada sebuah tempat khusus di hatiku untuk seorang menantu yang tidak akan
menjauhkanmu dariku. Siapakah calonmu, apakah ia akan bersedia tinggal bersama
kita di rumah ini?" Aku terhenyak membisu. Kami berdua tahu, tentu saja, bahwa ayahku tidak akan
pernah menghargai seorang menantu yang bersedia tinggal di sini bersama kami,
dan secara bertahap ia akan mempermalukan dan menekan lakilaki itu. Sementara
ayah membuat siasat licik dan merendahkan lakilaki yang mau pindah bersama
keluarga mempelai perempuannya, aku juga akan segera merasa tidak ingin menjadi
istrinya lagi. "Tanpa restuku, dalam situasi yang kauhadapi, kau sadar bahwa menikah lagi
adalah sesuatu yang mustahil, bukan" Aku tidak ingin kau menikah lagi, dan aku
menolak memberimu restu untuk melakukannya-"
"Aku bukan ingin menikah lagi, aku menginginkan perceraian."
" karena beberapa lelaki bodoh yang biadab, yang hanya memikirkan ?kepentingannya sendiri, bisa melukaimu. Kautahu seberapa besar rasa sayangku
padamu, bukan, Shekure sayang" Lagi pula, kita harus menyelesaikan buku ini."
Aku tidak mengatakan apa pun, karena jika aku berbicara dipicu oleh setan yang
?menyadari kemunculan angkara murka di dalam hatiku aku akan berkata tepat di
?depan wajah ayahku bahwa aku tahu ia tidur dengan Hayriye di malam hari. Namun,
pantaskah seorang perempuan sepertiku mengakui bahwa dia tahu ayahnya
yang sudah uzur itu tidur dengan seorang gadis budak?"
"Siapakah yang ingin menikahimu?"
Aku menatap lantai di depanku dan berdiam diri, bukan karena malu, melainkan
karena membuncahnya amarah. Mengenali keberlanjutan amarahku tanpa mampu
menanggapinya dengan sikap apa pun, membuatku semakin mendidih. Di titik inilah
aku membayangkan ayahku dan Hayriye bergelut di atas ranjang dengan posisi
ganjil yang menjijikkan. Aku sudah akan menangis ketika berkata, "Ada zucchini
di atas kompor, aku tak ingin masakan itu hangus."
Aku melintasi ruangan di samping tangga, ruangan yang jendelanya selalu tertutup
dan menghadap ke sebuah sumur. Di tengah pekatnya malam, dengan cepat tanganku
menemukan kasur lipat yang tergulung. Aku membentangkannya dan berbaring. Oh,
betapa perasaan yang luar biasa menerpaku, berbaring dan jatuh tertidur dengan
air mata tercurah deras, seperti seorang anak yang menerima hukuman tanpa
melakukan kesalahan! Betapa pedihnya menyadari bahwa akulah satusatunya orang di
dunia ini yang menyukai diriku. Sambil menangis dalam kesendirian, hanya
kau yang bisa mendengar isakan dan ratapanku yang bias membantuku.
? ?Beberapa saat kemudian, aku menemukan Orhan menggeliat di atas ranjangku. Ia
meletakkan kepalanya di antara buah dadaku. Aku melihat betapa ia menarik napas
panjang dan ikut-ikutan menangis. Aku merengkuhnya semakin erat dalam pelukanku.
"Jangan menangis, Ibu," serunya kemudian. "Ayah akan kembali dari medan perang."
"Bagaimana kautahu itu?"
Ia tidak menyahut. Aku sangat mencintainya, dan
kudekap ia erat-erat di dadaku, hingga aku mampu melupakan kegundahanku
sepenuhnya. Sebelum aku memeluk Orhan yang lembut itu sekuat tenaga, lalu
tertidur lelap, izinkan aku mengakui satusatunya masalah yang meresahkanku: Aku
menyesal baru sekarang memberitahumu tentang apa yang terjadi antara ayahku dan
Hayriye. Tidak, aku tak berdusta, tetapi aku masih merasa malu, sehingga akan
lebih baik jika kau melupakan saja hal itu. Berpura-puralah aku tidak pernah
mengatakan apa pun tentang hal ini, seolaholah ayahku dan Hayriye tidak terlibat
di dalamnya. Kumohon padamu ....[]
ab 17 aku adalah pamanmu tercinta
ADUH, BETAPA sulitnya memiliki seorang anak perempuan, sulit sekali. Ketika dia
menangis di kamar sebelah, aku bisa mendengar sedu sedannya, tetapi aku tidak
bias melakukan apa-apa selain memandangi halamanhalaman buku yang kupegang. Di
sebuah halaman pada jilid pertama buku yang sedang coba kubaca, Kitab
Penyingkapan, tertulis di sana bahwa tiga hari setelah kematiannya, jiwa
seseorang akan menerima izin dari Allah untuk mengunjungi raga yang telah
ditinggalkannya. Saat melihat tubuhnya yang dalam keadaan menyedihkan; berlumur
darah, membusuk, mengering, dan membujur di kuburnya, jiwa itu akan meratap
dengan penuh kesedihan dan kepiluan, "Lihatlah, raga fanaku yang menyedihkan,
tubuh tuaku tersayang yang hancur." Seketika, aku memikirkan akhir hidup Elok
Effendi yang begitu pahit di dasar sebuah sumur, dan membayangkan betapa hancur
jiwanya saat ia mengunjungi raganya dan menemukan tubuhnya tidak berada di
kuburnya, melainkan di dalam sumur.
Saat sedu sedan Shekure mereda, aku mengesampingkan buku mengenai kematian itu.
Aku mengenakan sehelai baju dalam wol tambahan, melilitkan selendang wol tebalku
ke sekeliling pinggangku untuk
menghangatkan bagian diafragmaku, dan menarik garis pinggang celana sha!war-ku
yang berlapis bulu kelinci. Saat berjalan keluar rumah, aku bertemu Shevket di
ambang pintu. "Mau pergi ke mana, Kek?"
"Kau masuklah. Aku mau ke pemakaman."
Aku melewati jalanan berselimut salju, di antara rumahrumah kumuh yang berderet
di sana-sini, nyaris tak mampu berdiri tegak, dan melintasi wilayah yang hancur
dimakan api. Aku berjalan kaki cukup lama, melangkah dengan hatihati layaknya
seorang tua yang berupaya agar tidak sampai terpeleset dan terjatuh di atas es.
Aku menelusuri lingkungan perumahan yang jauh dari jalan raya, melewati kebun-
kebun dan ladang. Aku melintas di depan jajaran kedai di atas kereta dan roda,
pandai-pandai besi, toko-toko yang menjual keperluan berkuda dan tukang pasang
sepatu kuda, menuju dinding benteng kota.
Aku tidak yakin mengapa mereka memutuskan memulai upacara pemakaman begitu jauh
di Masjid Mihrimah dekat Gerbang Edirne. Di masjid, aku memeluk saudarasaudara
lelaki almarhum yang angkuh bercampur bingung, serta terlihat marah dan
emosional. Kami para miniaturis dan pembuat kaligrafi saling memeluk dan
menangis. Saat kami melaksanakan salat jenazah di tengah kabut kelabu yang tibatiba saja turun
dan menelan semuanya, pandanganku jatuh ke peti mayat yang diletakkan di altar
batu untuk pemakaman di masjid itu, dan aku merasakan sebentuk kemarahan
menyeruak di dalam dadaku terhadap penjahat yang telah melakukan kekejian ini.
Percayalah, bahkan doa "Semoga Allah Memberkati" pun menjadi kacau balau di
dalam benakku. Selepas salat, sementara para jemaah memanggul peti mati itu, aku masih berada
di antara para miniaturis dan penulis kaligrafi. Bangau dan aku sudah lupa bahwa
beberapa malam lalu, ketika kami duduk di tengah temaramnya cahaya lelampu
minyak, mengerjakan bukuku sampai pagi, ia berusaha meyakinkanku tentang
kekurangan-kekurangan hasil sepuhan Elok Effendi, dan kurang seimbangnya ia
dalam menggunakan warna ia mewarnai semuanya dengan biru laut agar terlihat ?lebih kaya! Kami berdua telah melupakan bahwa aku memujinya dengan menyatakan,
"Tetapi tak ada orang lain yang mampu membuat karya seperti ini," an saat
bertemu di masjid itu kami pun saling berpelukan, kembali tersedu sedan.
Kemudian, Zaitun memandangiku dengan akrab dan penuh hormat sebelum
memelukku orang yang tahu bagaimana caranya memeluk adalah orang yang baik dan
? ?bahasa tubuh seperti ini begitu menyenangkanku, hingga kauingat betapa di antara
semua seniman di bengkel kerja itu, ia adalah salah satu yang paling meyakini
bukuku. Di tangga gerbang masuk di halaman, aku menemukan diriku di samping Kepala
Iluminator, Tuan Osman. Kami berdua sudah kehabisan katakata, satu saat yang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amat ganjil dan menegangkan. Salah seorang saudara lakilaki almarhum mulai
menangis terisak, dan seseorang tibatiba mengucapkan takbir dengan lantang,
"Allahu Akbar Allah maha besar."
?"Ke pemakaman mana?" Tuan Osman bertanya padaku hanya untuk sekadar bertanya.
Untuk menanggapinya, kujawab, "Aku tak tahu," Dan tanggapanku ini entah mengapa
terkesan keji. Tanpa pikir panjang dan dengan mengesalkan, aku melontarkan
pertanyaan yang sama pada seorang lakilaki yang berdiri
di sampingku di tangga itu, "Ke pemakaman mana" Yang di Gerbang Edirne?"
"Di Eyiip," sahut pemuda tolol yang tampak kesal itu.
"Eyiip," kataku pada Tuan Osman, meskipun ia sudah mendengar langsung dari mulut
si tolol itu. Kemudian, ia memandangiku seakanakan sedang mengatakan, "Aku
paham" dengan cara yang membuatku tahu bahwa ia tidak menginginkan pertemuan
kami berlangsung lebih lama lagi.
Tanpa menyebutkan pengaruhku pada ketertarikan Sultan kami yang semakin besar
dalam lukisan bergaya kaum Frank, Tuan Osman tentu saja merasa terganggu dengan
kenyataan bahwa Sultan telah memerintahkanku mengawasi penulisan, penghiasan,
dan pemberian ilustrasi pada manuskrip yang dihiasi itu, yang sudah kunyatakan
sebagai "rahasia." Pada suatu kali, Sultan memaksa Tuan Osman untuk menyalin
lukisan potret dirinya yang sudah dipesannya dari seorang seniman Venesia. Aku
tahu Tuan Osman menganggapku bertanggung jawab atas titah yang dijatuhkan
padanya untuk membuat tiruan dari karya pelukis Venesia itu, untuk menciptakan
sebuah lukisan aneh yang ia lakukan dengan penuh rasa jijik, dan menganggap
pengalaman tersebut sebagai "siksaan." Kemarahannya itu cukup beralasan.
Berdiri di tengahtengah tangga selama beberapa waktu, aku menatap angkasa.
Ketika aku merasa yakin bahwa aku sudah cukup jauh tertinggal, aku melanjutkan
melangkah turun di atas anakanak tangga yang terselimuti es. Aku nyaris belum
turun tidak pernah aku melangkah sedemikian perlahan hingga dua langkah,
? ?ketika seorang lelaki menyambar lenganku dan memelukku: Hitam.
"Udaranya begitu membekukan," serunya. "Kau pasti kedinginan."
Sempat terbersit keraguan di kepalaku bahwa lelaki inilah yang telah mengacaukan
pikiran Shekure. Rasa percaya diri yang besar dengan menyambar tanganku cukup
menjadi bukti. Ada sesuatu dalam penampakan sikapnya yang menyatakan, "Aku telah
bekerja selama dua belas tahun dan sudah benarbenar dewasa." Saat kami sampai di
anak tangga terbawah, kukatakan padanya bahwa aku menantikan surat berisi
laporan tentang apa yang dipelajarinya di bengkel seni.
"Kau pergi duluan saja, Nak," kataku. "Pergilah dan bergabunglah dengan jemaah
lainnya." Ia tampak tersentak mundur, dan ia tidak berpurapura. Caranya melepaskan
lenganku dengan kebimbangan dan berjalan menjauh membuatku senang. Andai
kuberikan Shekure padanya, akankah ia setuju tinggal serumah bersamaku"
Kami akan meninggalkan kota ini lewat Gerbang Edirne. Aku melihat peti mati itu
perlahanlahan hilang dari pandangan dalam kabut bersama rombongan para
ilustrator, penulis kaligrafi dan para anak didik yang memanggulnya seraya
menuruni bukit itu dengan langkah cepat menuju Golden Horn. Mereka melangkah
sebegitu cepatnya, sehingga mereka telah melalui setengah perjalanan di jalan
berlumpur yang menuruni lembah tertutup salju menuju Eyiip. Di dalam gumpalan
kabut yang sunyi, di sisi kirinya, cerobong di bengkel pembuat lilin pemberian
Sultan Hanim menyemburkan asap. Di bawah bayangan dindingdinding terdapat
jajaran rumah penyamakan kulit dan rumah jagal yang amat sibuk oleh kerja keras
para tukang jagal keturunan Yunani di Eyiip.
Bau amis jeroan menyerbak dari tempat tempat ini ke seluruh lembah, dan terseret
angin mencapai kubahkubah Masjid Eyiip yang samar terlihat hingga komplek
pemakaman yang berpagar pohon cemara. Setelah berjalan sekian lama, aku
mendengar suara celoteh anakanak yang sedang bermain di perkampungan Yahudi baru
di Baiat. Ketika kami sampai di sebuah dataran tempat Eyiip berada, Kupukupu mendatangiku,
dan dengan sikap emosional yang biasa ditunjukkannya, ia tibatiba saja
mengemukakan masalahnya, "Zaitun dan Bangau adalah orangorang yang berada di
balik kekejaman ini," ujarnya. "Seperti juga semua orang lainnya, mereka tahu
aku memiliki hubungan yang buruk dengan almarhum, Mereka sadar semua orang
mengetahui hal ini. Ada kecemburuan di antara kami berdua, bahkan kebencian dan
pertentangan yang nyata terlihat, mengenai siapa yang berperan dalam memimpin
bengkel kerja seni, di bawah Tuan Osman. Kini mereka menjatuhkan vonis bersalah
ke bahuku agar Kepala Bendahara dan Sultan menjauh dariku tidak, dari kita."?"Siapakah 'kita' yang kaumaksud?"
"Kita yang percaya bahwa moralitas lama harus ditegakkan di dalam bengkel kerja,
bahwa kita harus mengikuti jalan yang dibentangkan oleh para empu Persia, bahwa
seorang seniman tidak boleh membuat ilustrasi adegan apa pun hanya demi uang. Di
tempat senjata, budak, bala tentara, dan taklukan bertebaran ini, kita meyakini
bahwa mitos-mitos lama, legenda dan dongengan harus dibangkitkan kembali di
dalam bukubuku kita. Kita tidak boleh melupakan teladan-teladan lama. Miniaturis
sejati seharusnya tidak boleh menganggur di kedaikedai di dalam pasar dan membuat gambargambar tua yang
melukiskan kecabulan, untuk beberapa kurus* tambahan dari sembarang orang. Yang
Mulia Sultan akan menganggap kita benar."
"Kau menuduh dirimu sendiri tanpa perasaan," ujarku agar ia menuntaskan
ocehannya. "Aku percaya sebuah bengkel seni tidak bisa menampung siapa pun yang
mampu melakukan kejahatan semacam itu. Kalian semua bersaudara. Bukan masalah
jika membuat ilustrasi beberapa hal yang belum pernah dilukis sebelumnya,
setidak-tidaknya tak ada bahaya yang sedemikian besarnya sehingga bias
menimbulkan tindakan keji."
Sebagaimana yang terjadi ketika untuk pertama kalinya aku mendengar berita buruk
itu, aku mengalami ketercengangan yang serupa. Pembunuh Elok Effendi adalah
salah satu empu utama di bengkel seni istana, dan pembunuh itu adalah salah
seorang yang tergabung dalam kerumunan di depanku, yang kini sedang menaiki
bukit menuju tempat pemakaman. Aku juga merasa yakin bahwa si pembunuh ini akan
terus melanjutkan aksi iblisnya. Ia adalah musuh bagi buku yang sedang kubuat
dan sangat mungkin ia akan mendatangi rumahku untuk mengambil beberapa ilustrasi
dan lukisanku. Apakah Kupukupu juga, seperti sebagian besar seniman yang sering
mengunjungi rumahku, jatuh cinta pada Shekure" Ketika ia membuat pernyataannya,
apakah ia melupakan saat-saat ketika aku menyuruhnya membuat lukisanlukisan yang
bertentangan dengan pandangannya, ataukah ia hanya memperdayaku dengan
sedemikian cerdiknya"
Tidak, aku merenungkannya lagi, ia tidak bisa
"Mata uang Turki yang nilainya seperseratus lira
memperdayaku. Kupukupu, sebagaimana para empu ilustrator lainnya, tentu saja
berutang banyak ungkapan terima kasih padaku: Dengan dihilangkannya pemberian
uang dan hadiah pada para miniaturis selama peperangan, dan kurangnya perhatian
dari Sultan kami, maka satusatunya sumber pendapatan tambahan untuk sementara
adalah apa yang mereka dapat dengan bekerja padaku. Aku sadar mereka saling
cemburu satu sama lain dalam mendapatkan perhatianku, dan dengan alasan
ini walaupun bukan hanya ini alasannya aku menemui mereka secara sendiri-? ?sendiri di rumahku, dan itu hampir bukan merupakan dasar permusuhan terhadapku.
Semua miniaturisku sudah cukup dewasa untuk berperilaku cerdas, untuk dengan
tulus menemukan sebuah alas an untuk mengagumi seorang lelaki kepada siapa
mereka berutang atas keuntungan yang mereka nikmati.
Untuk memecah keheningan dan meyakinkan diri bahwa masalah yang
diperbincangkannya tadi tak akan dikemukakan lagi, aku berkata, "Oh, semoga
keagungan-Nya tak akan pernah sirna! Mereka mampu mengangkat peti mati itu
menanjaki bukit secepat mereka membawanya menuruni bukit."
Kupukupu tersenyum manis dengan menunjukkan semua gigi depannya, "Karena hawa
dingin." Aku bimbang, bisakah ia yang sesungguhnya telah membunuh orang, misalnya saja
karena dengki" Mungkinkah ia akan membunuhku" Ia memiliki alasan berikut ini:
Lelaki ini sedang meremehkan agamaku. Tidak, tetapi ia adalah seorang empu yang
hebat, dengan bakat yang terpoles sempurna, mengapa ia harus merendahkan diri
dengan menjadi seorang pembunuh" Usia tidak hanya memperberat seseorang dalam
mendaki bukit, tetapi juga
mampu membuat orang tidak terlalu takut pada kematian. Menjadi tua hanya berarti
berkurangnya keinginan untuk menyelinap ke kamar tidur seorang gadis budak,
bukan karena kurangnya gairah, melainkan karena berkurangnya kebiasaan.
Mengikuti kata hati, kukatakan langsung di hadapannya keputusan yang kuambil,
"Aku tidak akan meneruskan pengerjakan buku itu lagi."
"Apa?" sahut Kupukupu, dan ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Ada semacam kesialan di dalamnya. Sultan kita telah menghentikan pendanaannya.
Coba kauberi tahu juga Zaitun dan Bangau,"
Mungkin ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi kami lalu hanya mendaki jalan di
pemakaman, bergerombol di tengah pepohonan cemara yang menjulang tinggi, pakis-
pakis, dan batu-batu nisan. Ketika gerombolan orang ini mengelilingi tepi liang
kubur, satusatunya petunjukku adalah jenazah yang saat itu sedang diturunkan ke
dalam liang lahat, diiringi tangisan dan sedu sedan yang terdengar semakin
nyaring, juga seruan bismillah dan a!a millati Rasulullah.
"Buka bagian wajahnya sepenuhnya," seru seseorang.
Mereka lalu membuka kain kafan putih itu, dan mereka pasti bertatapan langsung
dengan mata si mayat, jika masih ada mata yang tersisa di kepala yang hancur
itu. Aku berada di belakang dan tak bisa melihat apa pun. Aku pernah memandangi
Pendekar Lembah Naga 19 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Keturunan Pendekar 1
lukisan-lukisanku. Ia menyapaku dengan bersahabat, dan ingin mengajukan beberapa
pertanyaan padaku atas nama Sultan kami. "Baiklah," kataku, "pertanyaan pa yang
harus kujawab?" Ia mengatakannya padaku. Baiklah, kalau begitu! Gaya dan Tanda Tangan
"Selama jumlah para seniman picisan yang dalam bekerja hanya idorong oleh uang
an ketenaran, bukannya kesenangan memandang an keyakinan, terus bertambah,"
kataku, "kita akan terus menyaksikan lebih banyak lagi ketidaksopanan dan
keserakahan berkaitan dengan 'gaya' dan 'tanda tangan.' Aku membuat pendahuluan
ini karena memang beginilah cara yang seharusnya, bukan karena aku memercayai
apa yang kukatakan. Kemampuan dan bakat sejati tidak bisa dirusak bahkan oleh
cinta terhadap harta atau ketenaran. Lebih jauh lagi, jika harus berkata jujur, uang dan
ketenaran adalah hak yang tak bisa dipisahkan dari bakat, seperti dalam kasusku,
dan hanya mengilhami kami untuk meraih prestasi yang lebih besar. Tetapi, jika
aku harus mengatakan hal ini secara terbuka, para ilustrator medioker dalam
divisi para miniaturis yang diliputi rasa dengki akan mendampratku. Untuk
membuktikan bahwa aku mencintai pekerjaan ini lebih daripada mereka, aku akan
melukis gambar sebatang pohon pada sebutir beras. Aku sangat sadar bahwa gairah
terhadap 'gaya', 'tanda tangan', dan 'karakter' telah dating kepada kita dengan
segala cara dari Timur melalui empu-empu Cina tertentu yang telah tersesat di
bawah pengaruh orangorang Eropa, melalui gambargambar yang dibawa ke sana dari
Barat oleh para pastor Jesuit. Namun demikian, izinkan aku menceritakan padamu
tiga parabel yang menyusun sebuah cerita mengenai topik ini."
Tiga Parabel tentang Gaya dan Tanda Tangan
ALIF Pada zaman dahulu kala, di sekitar bagian utara Herat, di sebuah puri
pegunungan, hiduplah seorang Khan muda yang terpesona dengan iluminasi dan
lukisan. Khan ini hanya mencintai satu orang perempuan saja di haremnya, dan
perempuan Tatar yang amat dicintainya itu pun membalas cintanya. Mereka terlibat
dalam sanggama penuh gairah, bermandi keringat hingga pagi tiba, dan hidup dalam
kemabukan sehinga mereka berharap bisa hidup abadi. Mereka sadar bahwa cara
terbaik untuk mewujudkan harapan mereka adalah dengan membuka
bukubuku dan melihat, selama berjam-jam dan akhirnya berharihari, gambargambar
para empu tua yang menakjubkan dan tanpa cacat. Ketika mereka memandang gambar
gambar yang direproduksi dan dibuat secara sempurna ini, mereka merasa seakan
akan waktu berhenti dan kebahagiaan mereka sendiri berbaur dengan kebahagiaan
zaman keemasan yang terungkap dalam kisahkisah itu. Dalam bengkel kerja pembuat
buku istana terdapat seorang miniaturis, empu segala empu, yang membuat karya-
karya tanpa cacat terusmenerus untuk halamanhalaman yang sama dari bukubuku yang
sama. Sesuai adat kebiasaan, sang empu menggambarkan kegelisahan cinta Ferhad
terhadap Shirin, atau tatapan penuh cinta dan bergairah antara Laila dan Majnun,
atau tatapan penuh arti bermakna ganda antara Husrev dan Shirin dalam taman
surgawi yang banyak diceritakan itu, dengan sedikit selingan: Di tempat sepasang
kekasih legendaris ini, sang seniman melukis sang Khan dan kekasih Tatar-nya
yang cantik sebagai penggantinya. Melihat halamanhalaman ini, Khan dan
kekasihnya sepenuhnya merasa yakin bahwa kegembiraan mereka tak akan pernah
berakhir, dan mereka pun menghujani empu miniaturis itu dengan pujian dan emas.
Pada akhirnya pujapuji yang berlebihan ini menyebabkan sang miniaturis tersesat
dari nalar yang sehat. Terhasut oleh Iblis, ia menolak kenyataan bahwa ia
berutang pada para empu lama untuk kesempurnaan gambargambarnya, dan dengan
congkak menganggap bahwa sentuhan kejeniusannya sendirilah yang membuat karyanya
makin menarik. Sang Khan dan kekasihnya, yang menganggap penemuan-penemuan baru
ini sentuhan gaya pribadi sang empu miniaturis hanyalah ketidaksempurnaan, ? ?amat
terganggu oleh semua itu. Dalam lukisanlukisan itu, yang diamati dengan teliti
oleh sang Khan, ia merasa bahwa kebahagiaannya yang terdahulu telah dikacaukan
dalam beberapa hal, dan ia menjadi amat cemburu pada kecantikan gadis Tatar-nya
yang digambarkan dengan sentuhan individual oleh si pelukis. Maka, dengan maksud
membuat gadis Tatar-nya yang cantik itu cemburu, ia bermain cinta dengan selir
lainnya. Kekasihnya merasa begitu kehilangan setelah mengetahui pengkhianatan
ini dari desas-desus yang beredar di dalam harem sehingga dia diamdiam
menggantung diri di sebuah pohon cedar yang tumbuh di halaman harem. Sang Khan
yang memahami kesalahan yang telah ia buat dan menyadari keterpesonaan sang
miniaturis pada gayanya sendiri merupakan biang keladi semua kejadian
menyedihkan ini, segera membutakan mata seniman empu yang tergoda oleh Iblis
ini. BA Pada zaman dahulu kala di sebuah negeri di Timur ada seorang Sultan yang sudah
tua, seorang pencinta ilustrasi, iluminasi, dan miniatur, yang hidup bahagia
dengan istrinya, seorang putrid Cina yang amat cantik tak tertandingi. Namun
sayangnya, putra Sultan yang ganteng dari perkawinan sebelumnya dan istri muda
Sultan itu saling jatuh cinta. Sang pangeran yang hidup ketakutan karena
pengkhianatannya terhadap ayahnya, dan malu karena cintanya yang terlarang,
mengasingkan diri di bengkel kerja pembuat buku dan menghanyutkan diri dengan
melukis. Karena ia melukis dalam kesedihan dan diwarnai oleh kuasa cintanya,
setiap lukisannya menjadi begitu menakjubkan sehingga para pengagumnya
tak mampu membedakannya dari karya para empu lama. Sultan amat bangga pada
putranya dan istri muda Cinanya itu pun berkata, "Ya, luar biasa!" saat dia
melihat lukisanlukisan itu. "Namun, waktu pasti akan berlalu dan jika ia tidak
menandatangani karyanya, tak seorang pun akan tahu bahwa dirinyalah yang layak
mendapat kemuliaan itu." Sultan menjawab, "Jika putraku menandatangani lukisan
lukisannya, tidak kah ia akan secara tidak adil mendapat pujian untuk teknik dan
gaya para empu lama yang ia tiru" Lagi pula, jika ia menandatangani karyanya,
tidakkah ia akan berkata, 'Lukisan-lukisanku memperlihatkan ketidaksempumaan-
ku.1?" Putri Cina yang melihat bahwa dia tak mampu meyakinkan suaminya yang
telah tua mengenai soal tanda tangan ini, akhirnya berhasil membujuk putra
tirinya, yang seperti biasa sedang mengurung diri di bengkel kerja pembuat buku.
Merasa terhina karena harus menyembunyikan cintanya, dan dihasut oleh gagasan
ibu tirinya yang muda dan cantik, serta karena bujukan Iblis, putra Sultan itu
menuliskan tanda tangannya di pojok sebuah lukisan, antara dinding dan
rerumputan, di sebuah sudut yang diduganya bakal luput dari perhatian orang.
Lukisan ini, yang pertama kali ia tanda tangani, merupakan sebuah adegan dari
kisah Husrev dan Shirin. Kautahu kisah ini: Setelah Husrev dan Shirin menikah,
Shiruye, putra Husrev dari perkawinan pertamanya, jatuh cinta pada Shirin. Suatu
malam, dengan memasuki kamar tidur melalui jendela, Siruye menusukkan belatinya
ke dada sang ayah. Ketika Sultan melihat lukisan putranya atas adegan ini, ia
dilanda perasaan bahwa lukisan itu mengandung cacat. Ia melihat tanda tangan
itu, tetapi tidak menyadarinya, dan ia hanya bereaksi pada lukisan
itu dengan pikiran, "Lukisan ini mengandung sebuah cacat." Karena orang tak akan
mengira hal semacam itu berasal dari para empu lama, Sultan dilanda rasa panik,
menduga bahwa buku yang tengah ia baca ini tidak menceritakan sebuah kisah atau
legenda, melainkan sesuatu yang paling tidak cocok untuk sebuh buku: kenyataan
itu sendiri. Ketika lelaki tua ini merasakan hal itu, ia dilanda rasa ngeri.
Putranya yang illustrator itu akan masuk melalui jendela seperti dalam lukisan,
dan bahkan tanpa melihat dua kali pada mata ayahnya yang membelalak, ia
mengayunkan belatinya belati sebesar yang tergambar dalam lukisan itu ke dada ? ?ayahnya.
JIM Dalam karyanya yang berjudul Sejarah, Rashiduddin dari Kazvin dengan riang
menulis bahwa 250 tahun yang lalu di Kazvin, iluminasi manuskrip, kaligrafi, dan
ilustrasi adalah cabang seni yang paling dihargai dan dicintai. Shah yang
berkuasa di Kazvin pada masa itu menguasai lebih dari empat puluh negeri yang
membentang dari Byzantium hingga Cina barangkali kecintaan terhadap seni buku ?adalah rahasia kekuasaannya yang besar tetapi sayangnya ia tidak punya pewaris
?lelaki. Agar negeri yang ia taklukkan tidak terpecah belah setelah kematiannya,
Shah memutuskan mencari seorang suami yang merupakan miniaturis cemerlang bagi
putrinya yang cantik. Untuk tujuan ini, ia mengadakan sebuah perlombaan di
antara tiga empu muda yang paling hebat di bengkel kerjanya, kesemuanya masih
bujangan. Menurut kitab Sejarah karya Rashiduddin, aturan perlombaan itu sangat
sederhana: Siapa pun yang membuat lukisan paling indah akan dinyatakan sebagai
pemenangnya! Seperti Rashiduddin sendiri, para miniaturis muda itu tahu bahwa
ini berarti lukisan dalam gaya para empu lama, dan oleh karenanya, masingmasing
di antara ketiganya membuat sebuah penafsiran atas adegan yang paling disukai
secara luas: Di sebuah taman yang mengingatkan orang pada surga, seorang gadis
muda yang cantik berdiri di tengahtengah pepohonan kastanye dan cedar, di antara
kelinci-kelinci yang malumalu dan angsa-angsa yang cemas, terbenam dalam
kesedihan luka cinta, tertunduk menatap bumi. Tanpa diketahui, ketiga miniaturis
ini ternyata membuat adegan yang persis sama dengan yang dilukis oleh para empu
lama, tetapi salah seorang yang ingin membedakan dirinya dari yang lain dan
dengan demikian memikul tangung jawab atas keindahan lukisannya menyembunyikan
tanda tangannya di antara bungabunga narsis di tempat paling terpencil di taman
itu, dan garagara tindakan kurang ajar itu, di mana sang seniman telah menghina
para empu lama, ia segera diasingkan dari Kazvin ke Cina. Perlombaan itu dimulai
lagi antara kedua miniaturis yang tersisa. Kali ini, keduanya membuat lukisan
yang seindah puisi, menggambarkan seorang gadis cantik menunggangi kudanya dalam
sebuah taman yang indah. Namun, salah seorang miniaturis entah karena tak
?sengaja terpeleset kuasnya, atau memang disengaja, tak seorang pun tahu telah
?menggambarkan dengan janggal lubang hidung kuda putih milik si gadis bermata
sipit seperti gadis Cina dengan tulang pipi yang tinggi, dan ini langsung
dianggap sebagai sebuah cacat oleh Shah dan putrinya. Memang, miniaturis ini
tidak menuliskan tanda tangannya, tetapi dalam lukisannya yang sangat indah itu,
ia dengan jelas telah memasukkan sebuah variasi pada penggambaran hidung
kuda untuk membedakan karyanya dari yang lain. Shah yang menyatakan bahwa,
"Ketidaksempurnaan adalah pangkal dari gaya," mengasingkan ilustrator itu ke
Byzantium. Tetapi, ada satu peristiwa terakhir yang penting menurut Sejarah
karya Rashiduddin dari Kazvin yang terjadi ketika persiapan dibuat untuk
pernikahan antara putri Shah dan miniaturis berbakat yang melukis tepat seperti
para empu lama tanpa tanda tangan atau variasi: Selama sehari penuh sebelum
pernikahan, putri Shah memandang dengan penuh kesedihan pada lukisan yang dibuat
oleh empu muda dan tampan yang akan menjadi suaminya esok harinya. Ketika
kegelapan telah jatuh pada malam itu, dia menghadap ayahnya. "Memang benar bahwa
para empu lama, dalam lukisanlukisan mereka yang sangat indah, akan
menggambarkan para gadis cantik seperti orang Cina, dan ini adalah aturan tak
bisa diubah yang datang pada kita dari Timur," katanya. "Namun, ketika mereka
mencintai seseorang, para pelukis itu akan memasukkan sebuah sifat dari yang
mereka kasihi dalam menggambarkan alis, mata, bibir, rambut, senyum, atau bulu
mata gadis cantik itu. Variasi rahasia dalam ilustrasi mereka akan menjadi
sebuah isyarat yang hanya bisa dibaca oleh para kekasih. Aku menatap gadis
cantik yang menunggang kuda itu sepanjang hari, ayahku sayang, dan tak ada jejak
diriku pada dirinya! Miniaturis ini barangkali memang seorang empu yang hebat.
Ia muda dan ganteng, tetapi ia tak mencintaiku." Setelah itu, Shah langsung
membatalkan pernikahan tersebut, dan ayah dan anak itu pun menjalani sisa hidup
mereka bersama. "MAKA, MENURUT parabel ketiga ini, ketidaksempurnaan
memunculkan apa yang kita sebut 'gaya'," kata Hitam amat sopan dan penuh hormat.
"Dan apakah fakta bahwa miniaturis sedang jatuh cinta tampak jelas dari
'isyarat' tersembunyi dalam gambar wajah yang cantik, mata yang indah, atau
senyum yang manis?" "Tidak," kataku dengan sikap yang menyiratkan rasa percaya diri dan harga
diriku. "Apa yang tergambar dari gadis itu, pusat cinta empu miniaturis itu,
pada lukisannya bukanlah ketidaksempurnaan atau cacat, melainkan sebuah aturan
artistik yang baru. Karena, setelah beberapa waktu dan melalui peniruan, semua
orang akan mulai menggambarkan wajah para gadis tepat seperti wajah gadis cantik
tertentu." Kami terdiam. Aku melihat Hitam yang mendengarkan dengan saksama ketiga parabel
yang kuceritakan kini memusatkan perhatiannya pada suarasuara yang dibuat
istriku yang cantik menarik saat dia menjelajahi lorong dan ruangan sebelah. Aku
membelalakkan mataku padanya dengan sikap mengancam.
"Kisah pertama menyatakan bahwa 'gaya' adalah ketidaksempurnaan," kataku. "Kisah
kedua menyatakan bahwa sebuah lukisan yang sempurna tidak memerlukan tanda
tangan, dan yang ketiga menggabungkan gagasan yang pertama dan kedua, dan oleh
karena itu menunjukkan bahwa 'tanda tangan' dan 'gaya' hanyalah pemuasan diri
yang kurang ajar dan bodoh mengenai karya yang cacat."
Sejauh apakah lelaki ini, yang baru saja kuberi sebuah pelajaran tak ternilai,
memahami lukisan" Aku berkata, "Sudahkah kau memahami siapa diriku dari cerita-
ceritaku?" "Tentu saja," katanya, tanpa keyakinan.
Maka, janganlah kau melihat siapa diriku melalui mata dan pendapatnya, biar aku
sendiri saja yang mengatakannya padamu secara langsung. Aku bisa melakukan apa
pun. Seperti para empu lama dari Kazvin, aku bisa menggambar dan mewarnai dengan
sukacita dan riang gembira. Aku mengatakan hal ini dengan tersenyum: Aku lebih
baik daripada orang lain. Aku tak punya urusan apa pun dengan tujuan kedatangan
Hitam, yang adalah jika intuisiku benar menghilangnya Elok Effendi sang ahli ? ?sepuh emas.
Hitam bertanya padaku tentang berbaurnya pernikahan dan seni.
Aku banyak bekerja dan aku menikmati pekerjaanku. Aku barubaru ini menikah
dengan gadis paling cantik di daerah ini. Ketika aku tidak sedang membuat hiasan
buku, kami bermain cinta dengan penuh gairah seperti orang gila. Lalu aku
bersiap untuk bekerja lagi. Tetapi bukan itu jawabanku. "Itu persoalan serius,"
kataku. "Jika karya-karya utama dihasilkan dari kuas seorang miniaturis, ketika
sampai pada soal istri, ia akan gagal melakukan kesenangan yang sama," kataku.
"Kebalikannya juga sama: Jika kejantanan seorang lelaki memuaskan sang istri,
kuasnya akan menjadi pucat bila diperbandingkan," tambahku. Seperti semua orang
yang mencemburui bakat seorang miniaturis, Hitam pun percaya pada kebohongan ini
dan tampak puas. Ia berkata ia ingin melihat halamanhalaman terakhir yang sedang kubuat
ilustrasinya. Aku mempersilakannya duduk di depan meja kerjaku, di antara
lukisan lukisan, wadah tinta, batu-batu penggosok, kuas, pena, dan papan. Hitam
mengamati lukisan dua halaman yang sedang dalam proses kuselesaikan untuk Kitab
Segala Pesta yang menggambarkan upacara khitan pangeran kami, dan aku duduk di
sampingnya di atas bantal merah yang kehangatannya mengingatkanku bahwa istriku
yang cantik dengan pinggulnya yang indah baru saja duduk di sini. Memang, tadi
aku menggunakan batang penaku untuk menggambarkan kesedihan para tahanan yang
malang di depan Sultan kami, ketika istriku yang pintar menempel erat pada
batang kelakianku. Adegan dua halaman yang sedang kulukis menggambarkan pembebasan para pengutang
yang ditahan beserta para anggota keluarganya atas kemuliaan Sultan kami. Aku
menempatkan Sultan di ujung sehelai karpet yang menutupi kantong kantong penuh
koin perak, seperti yang pernah kusaksikan sendiri dalam upacara upacara semacam
itu. Di belakang beliau, aku menempatkan Kepala Bendahara yang sedang memegang
dan membaca buku kas. Aku menggambarkan para pengutung terkutuk itu dalam
kepedihan dan ras sakit dengan alis bertaut, mereka dirantai satu sama lain
dengan belenggu besi melingkari leher mereka, wajah mereka tampak murung dengan
mata yang sembab. Aku melukis para pemain kecapi dalam bayangan merah dengan
wajahwajah bahagia ketika mereka mengiringi doa syukur dan pembacaan syair
setelah pemberian hadiah Sultan yang penuh kemurahan hati: membebaskan para
terhukum dari hukuman penjara. Untuk memberi penekanan pembebasan dari rasa sakit dan rasa malu karena berutang walaupun aku tak memiliki ?rencana semacam itu pada mulanya di samping tahanan menyedihkan yang terakhir,
?aku menyertakan istrinya, mengenakan sebuah gaun ungu dalam nestapa kemelaratan,
bersama putrinya yang berambut panjang, tampak sedih tapi cantik, memakai
jubah berwarna merah kirmizi. Maka orang ini, Hitam, dengan alisnya yang lebat,
mungkin akan paham betapa mem buat ilustrasi itu setara dengan cinta sejati. Aku
akan menjelaskan mengapa kawanan pengutang yang dirantai itu menghabiskan dua
halaman; aku akan menceritakan padanya tentang logika tersembunyi warna merah
dalam gambar itu; aku akan menguraikan hal-hal yang aku dan istriku diskusikan
dengan geli ketika mengagumi gambar itu, seperti bagaimana aku dengan senang
hati mewarnai sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh para empu lama anjing
? ?yang meringkuk di sudut dengan warna yang persis sama dengan jubah sutra Sultan,
tetapi ia malah menanyakan padaku sebuah pertanyaan yang amat kurang ajar dan
tidak pantas: Apakah aku mengetahui kira kira di manakah Elok Effendi yang
malang mungkin berada"
Apa yang ia maksud dengan 'yan9 malang1! Aku tidak mengatakan bahwa Elok Effendi
adalah seorang plagiator tak berguna, seorang bodoh yang mengerjakan penyepuhan
hanya demi uang belaka, nyaris tanpa jejak inspirasi. "Tidak," kataku, "aku tak
tahu." Apakah aku pernah mempertimbangkan bahwa para pengikut ulama dari Erzurum yang
agresif dan fanatik mungkin melakukan kejahatan terhadap Elok Effendi"
Aku menjaga sikap tenangku dan menahan diri untuk menjawab bahwa Elok Effendi
sendiri tak diragukan adalah bagian dari kelompok mereka. "Tidak," kataku,
"Mengapa?" Kemelaratan, wabah penyakit, amoralitas dan skandal yang memperbudak kami di
kota Istanbul ini hanya bisa dikaitkan dengan telah jauhnya kami dari ajaran
Islam di zaman Rasulullah dan menerima adat istiadat baru yang buruk, serta
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan pengaruh orangorang Eropa
berkembang di tengahtengah kami. Inilah yang dikatakan oleh Ulama Erzurumi,
tetapi musuhmusuhnya mencoba memengaruhi Sultan dengan menyatakan bahwa para
pengikut Erzurumi menyerang pondok tempat tinggal para darwis tempat musik
dimainkan, dan mereka merusak makam orangorang suci. Mereka tahu aku tidak
sepakat dengan kebencian mereka terhadap Yang Mulia Erzurumi, maka mereka
melontarkan sindiran sopan, "Apakah Anda yang telah merawat saudara kami Elok
Effendi?" Tibatiba jelas bagiku bahwa desas-desus ini telah lama menyebar di antara para
miniaturis. Gerombolan yang tak punya ilham, tak berbakat, dan tidak layak itu
dengan senang hati menuduh bahwa aku ini tiada lain adalah seorang pembunuh
kejam. Aku merasa ingin menuangkan sebuah wadah tinta ke tengkorak kepala orang
Sirkasia ini karena ia si Hitam menganggap serius fitnah keji gerombolan
? ?miniaturis yang cemburu itu.
Hitam mengamati bengkel kerjaku, mengingat-ingat segala yang ia lihat. Ia dengan
teliti mengamati gunting kertasku yang panjang, mangkuk keramik berisi cat
kuning, mangkuk-mangkuk cat, buah apel yang sesekali kukunyah saat bekerja, poci
kopi yang terletak di ujung kompor di belakang, cangkircangkir kopiku, bantal
bantal, sekat cahaya di jendela yang separuh terbuka, cermin yang kugunakan
untuk memeriksa komposisi sebuah halaman, kemeja-kemejaku, dan, di sana,
selendang merah istriku tertangkap seperti sebuah dosa di sudut tempat dia
menjatuhkannya tanpa sengaja saat bergegas meninggalkan ruangan ini begitu
mendengar suara ketukan Hitam di pintu depan.
Di luar fakta bahwa aku telah menyembunyikan pikiranpikiranku darinya, aku telah
memasrahkan lukisanlukisan yang kubuat dan ruangan tempatku tinggal ini pada tatapannya yang
berani dan agresif. Aku merasakan keangkuhanku ini akan mengejutkan kalian
semua, tetapi akulah yang menghasilkan uang paling banyak, dan oleh karenanya,
akulah miniaturis terbaik di antara semuanya! Ya, Tuhan pasti menginginkan seni
iluminasi menjadi ekstase sehingga Ia bisa menunjukkan bagaimana dunia itu
sendiri adalah ekstase bagi mereka yang sungguhsungguh melihat.[]
Bab 13 aku dinamai "bangau'
->**tf*^- PADA SEKITAR waktu salat dzuhur aku mendengar sebuah ketukan di pintu. Itu
adalah Hitam yang berasal dari masa laluku, dari masa kanakkanak kami. Kami
berpelukan. Ia kedinginan dan aku mengajaknya amsuk. Aku bahkan tidak bertanya
bagaimana ia telah menemukan jalan menuju rumahku. Enishtenya pasti mengirimnya
untuk bertanya padaku tentang lenyapnya Elok Effendi dan di mana ia mungkin
berada. Bukan hanya itu, ia juga membawa pesan dari Tuan Osman. "Izinkan aku
menanyakan sebuah pertanyaan padamu," katanya. "Menurut Tuan Osman, 'waktu'
memisahkan seorang miniaturis sejati dari yang lainnya: Waktu dalam ilustrasi,"
Apakah gagasan-gagasanku" Dengarkanlah dengan cermat.
Lukisan dan Waktu Di masa lampau, seperti banyak diketahui, para ilustrator di dunia Islam kita
ini, termasuk para empu lama Arab, menerima dunia dengan cara yang dilakukan
orangorang kafir Frank saat ini, memerhatikan semuanya dan menggambarkannya dari
tingkat seorang pengembara, anjing kampung, atau pegawai saat bekerja di
tokonya. Tak menyadari teknikteknik cara pandang masa kini yang
dengan sombong dibualkan oleh para empu bangsa Frank, dunia mereka tetap hampa
dan terbatas, dibatasi cara pandang sederhana anjing kampung atau pegawai toko.
Lalu sebuah peristiwa besar terjadi dan seluruh dunia ilustrasi kita pun
berubah. Izinkan aku memulainya di sini.
Tiga Cerita tentang Lukisan dan Waktu
ALIF Tiga ratus lima puluh tahun lampau, ketika Baghad jatuh dalam kekuasaan
orangorang Mongol dan tanpa belas kasihan dijarah pada sebuah hari yang dingin
pada bulan Safar, Ibnu Shakir adalah seorang penulis kaligrafi dan juru tulis
paling terkemuka yang paling masyhur bukan hanya di seluruh dunia Arab, tapi
juga di seluruh wilayah Islam. Meskipun usianya masih muda, ia telah menulis dua
puluh dua jilid buku, sebagian besar di antaranya adalah Alquran dan bisa
ditemukan di perpustakaanperpustakaan di Baghdad yang masyhur di seluruh dunia.
Ibnu Shakir percaya bukubuku ini akan abadi hingga akhir zaman dan oleh
karenanya ia hidup dengan sebuah gagasan tentang waktu yang dalam dan tak
terbatas. Ia bekerja keras dengan penuh semangat sepanjang malam diterangi
cahaya lilin yang temaram untuk menyelesaikan bukubuku legendaris itu, yang tak
kita kenal saat ini karena dalam waktu beberapa hari mereka semua satu demi satu
dikoyak, dicabik, dibakar, dan dilemparkan ke Sungai Tigris oleh para tentara
Hulagu Khan dari Mongol. Seperti yang dilakukan oleh para empu kaligrafi Arab
sejak lima abad lampau, berkaitan dengan gagasan tentang ketekunan atas tradisi
dan bukubuku yang tak pernah berakhir, sebagai kebiasaan
mengistirahatkan mata mereka untuk mencegah kebutaan dengan menghadapkan
punggung ke matahari terbit dan menatap ke depan ke arah cakrawala sebelah
barat, Ibnu Shakir menaiki menara Masjid Khalifah dalam dinginnya pagi, dan dari
balkon tempat muadzin mengumandangkan Azan, ia menyaksikan semua yang akan
mengakhiri tradisi seni tulis yang telah berumur lima abad. Pertama, ia melihat
para tentara Hulagu yang kejam memasuki kota, lalu ia menyaksikan pembantaian
ratusan ribu orang, pembunuhan Khalifah Islam terakhir yang telah menguasai
Baghdad secara turun temurun selama separuh milenium, pemerkosaan kaum
perempuan, pembakaran perpustakaan, dan penghancuran puluhan ribu buku dengan
dilemparkan ke Sungai Tigris. Dua hari kemudian, di tengah bau amis mayatmayat
bergelimpangan dan jerit kematian, ia menyaksikan aliran air Sungai Tigris
menjadi merah karena tinta yang luntur dari bukubuku. Ia berpikir tentang
bagaimana semua jilid buku yang telah ia kerjakan dalam tulisan yang indah,
bukubuku yang kini telah lenyap itu, ternyata tidak mampu sedikit pun
menghentikan pembantaian dan penghancuran yang mengerikan ini, dan sebagai
akibatnya, ia bersumpah tak akan pernah menulis lagi. Lebih jauh lagi, ia
diserang oleh keinginan untuk menyatakan rasa sakitnya dan petaka yang ia
saksikan melalui lukisan yang hingga hari itu dianggapnya hal remeh dan
merupakan sebuah penghinaan terhadap Allah. Dengan menggunakan sehelai kertas
yang selalu dibawanya serta, ia menggambarkan apa yang dilihatnya dari atas
menara. Kita berutang keajaiban membahagiakan tiga ratus tahun renaisans dalam
seni ilustrasi Islam yang mengikuti invasi Mongol pada unsur yang membedakannya
dari seni kaum kafir dan orangorang Kristen, yakni penggambaran yang sungguh menyedihkan mengenai dunia
ini dari sebuah tempat tinggi seperti singgasana Tuhan yang dicapai dengan
menggambar hanya selarik garis cakrawala. Kita berutang atas renaisans ini pada
garis cakrawala, dan juga pada Ibnu Shakir yang pergi ke utara setelah
pembantaian yang ia saksikan ke arah datangnya pasukan Mongol membawa serta ? ?lukisanlukisannya dan ambisi untuk membuat ilustrasi dalam hatinya. Pendeknya,
kita berutang banyak pada prosesnya dalam mempelajari teknikteknik melukis dari
para empu Cina. Dengan demikian, terbukti bahwa gagasan tentang waktu tanpa
akhir yang tersimpan di hati para juru tulis kaligrafi Arab selama lima ratus
tahun akhirnya tidak mewujud dalam tulisan, melainkan dalam lukisan. Bukti atas
hal ini terletak pada fakta bahwa ilustrasiilustrasi dalam manuskrip dan jilid-
jilid buku yang dikoyakmoyak dan sirna telah beralih ke dalam bukubuku lain dan
jilid-jilid lain untuk bertahan selamanya dalam pewahyuan mereka atas alam
duniawi milik Allah. BA Pada zaman dahulu kala, tidak terlalu lampau tapi juga tidak dalam waktu dekat,
semua hal meniru semua hal lain, dan oleh karenanya, jika bukan karena
bertambahnya umur dan kematian, orang tak akan pernah menjadi lebih bijak
mengenai perjalanan waktu. Ya, ketika alam duniawi berulangulang hadir melalui
cerita dan gambar yang sama, seakanakan waktu tidak mengalir, pasukan kecil
Fahir Shah memukul bala tentara Selahattin Khan seperti yang dikisahkan oleh
?kitab Sejarah karya Salim dari Samarkand. Setelah Fahir Shah sang pemenang
menawan Selahattin Khan dan menyiksanya sampai mati, tugas pertamanya dalam menegakkan
kedaulatan, sesuai adat kebiasaan, adalah mengunjungi perpustakaan dan harem
dari penguasa yang ditaklukkan. Di perpustakaan, tukang jilid berpengalaman
mendiang Selahattin Khan menarik bukubuku penguasa yang telah mangkat itu dan
kemudian menyusun kembali halamanhalaman, mulai mengumpulkan jilid-jilid buku
yang baru. Para penulis kaligrafinya mengganti julukan "Selahattin Khan yang
Selalu Menang" dengan "Fahir Shah sang Pemenang" dan para miniaturisnya
mengganti gambar mendiang Selahattin Khan yang dengan sangat ahli digambarkan
?pada halaman-halamn manuskrip yang paling indah yang, pada saat itu, mulai
?mengabur dari ingatan orangorang dengan potret diri Fahir Shah yang lebih muda.
Saat memasuki harem, Fahir Shah tak mendapat kesulitan dalam menemukan perempuan
paling cantik di sana. Namun, alihalih memaksakan dirinya pada perempuan itu,
karena ia adalah seorang lelaki beradab yang benar benar memahami seluk beluk
buku dan seni rupa, dan berketetapan hati untuk memenangkan hatinya, ia mengajak
perempuan itu bercakap-cakap. Sebagai akibatnya, Neriman Sultan, perempuan
kesayangan mendiang Selahattin Khan, istrinya yang tengah berkabung itu,
menyampaikan satusatunya permintaannya pada Fahir Shah: bahwa ilustrasi suaminya
dalam sebuah versi roman Laila dan Majnun, di mana Laila digambarkan sebagai
Neriman Sultan dan Majnun sebagai Selahattin Khan, tidak diubah. Setidaktidaknya
dalam satu halaman ini, perempuan itu berkeras, keabadian yang coba dicapai
mendiang suaminya selama bertahun tahun melalui bukubuku agar jangan diingkari.
Fahir Shah sang pemenang dengan berani mengabulkan permintaan sederhana ini dan para empu
bukunya membiarkan satu lukisan itu apa adanya. Neriman dan Fahir segera bermain
cinta dan dalam waktu singkat telah melupakan kengerian masa lalu, hingga sampai
pada cinta yang tulus satu sama lain. Namun, Fahir Shah belum bisa melupakan
lukisan dalam kisah Laila dan Majnun itu. Tidak, bukan rasa cemburu yang
membuatnya gelisah atau bahwa istrinya digambarkan dengan mantan suaminya. Yang
mengganggunya adalah ini: Karena ia tidak dilukis sebagai sang legenda lama
dalam buku yang indah tersebut, ia tak akan bisa bergabung dengan barisan
orangorang yang abadi bersama istrinya. Ulat keraguan ini menggerogoti Fahir
Shah selama lima tahun, dan di ujung sebuah malam bahagia setelah bermain cinta
berkali-kali dengan Neriman, dengan membawa lilin ia memasuki perpustakaan
seperti seorang pencuri, membuka buku Laila dan Majnun, dan di tempat wajah
mendiang suami Neriman, ia menggambar wajahnya sendiri. Seperti banyak penguasa
yang memiliki kecintaan terhadap ilustrasi dan lukisan, Fahir Shah adalah
seorang seniman amatir, dan karenanya tak bisa melukis potret dirinya dengan
baik. Pada pagi hari, ketika pustakawan membuka buku itu karena merasa curiga
ada seseorang yang merusaknya, dan melihat sosok lain di tempat mendiang
Selahattin Khan, di samping Laila yang berwajah Neriman, bukannya mengenalinya
sebagi Fahir Shah, ia malah mengumumkan bahwa itu adalah lukisan musuh besar
Fahir Shah, Abdullah Shah yang lebih muda dan tampan. Desas-desus ini
memengaruhi bala tentara Fahir Shah dan memberanikan Abdullah Shah, penguasa
baru yang muda dan agresif di negeri tetangga yang kemudian dalam
serbuan pertamanya berhasil menaklukkan, menawan, dan membunuh Fahir Shah. Ia
lalu mendirikan kedaulatannya sendiri di atas perpustakaan dan harem musuhnya,
dan menjadi suami baru bagi Neriman Sultan yang kecantikannya tetap abadi.
JIM Para miniaturis Istanbul menceritakan kembali legenda Mehmet Jangkung juga ?dikenal sebagai Muhammad Khorasani di Persia terutama sebagai sebuah contoh
?umur panjang dan kebutaan. Bagaimanapun, legenda Mehmet Jangkung pada hakikatnya
adalah sebuah parabel tentang lukisan dan waktu. Kelebihan utama empu ini yang
mengawali masa magangnya pada usia sembilan tahun, membuat ilustrasi selama
kurang lebih 110 tahun tanpa menjadi buta, adalah bahwa ia tidak memiliki
kelebihan. Aku tidak sedang mengolok-olok, melainkan menyatakan kekagumanku yang
tulus. Mehmet Jangkung melukis segala hal, seperti yang dilakukan orang lain,
dalam gaya para empu lama yang agung, tetapi bahkan biarpun demikian, dan karena
alasan ini, ia adalah yang paling besar di antara para empu. Kerendahhatian dan
pengabdian yang sempurna terhadap bidang ilustrasi dan seni lukis yang ia
maksudkan sebagai ibadah kepada Allah, meletakkan dirinya di atas segala
perselisihan di dalam bengkel kerja buku seni rupa tempat ia bekerja dan
mengatasi segala ambisi untuk menjadi miniatuis kepala, walaupun ia memiliki
usia dan bakat yang layak. Sebagai seorang miniaturis, selama sepuluh tahun ia
dengan sabar memperhitungkan setiap detail sepele: rerumputan yang digambar
untuk memenuhi sudutsudut halaman, ribuan dedaunan, gumpalan awan ikal, surai
kuda berupa sentuhan pendek berulang, dindingdinding bata, hiasan dinding yang tak berujung,
dan mata sipit serta dagu lembut puluhan ribu wajah yang masing masing mirip
satu sama lain. Mehmet Jangkung merasa puas dan ia tak pernah bermaksud
membedakan diri atau berkeras mengenai gaya atau individualitas. Ia menganggap
bengkel kerja pangeran atau penguasa mana pun yang menjadi tempatnya bekerja
pada saat itu adalah rumahnya sendiri dan menganggap dirinya hanya sebagai
perlengkapan di rumah itu. Ketika para penguasa saling bertempur dan para
miniaturis berpindah dari satu kota ke kota lain seperti para perempuan penghuni
harem untuk berkumpul di bawah pertolongan para empu baru, gaya bengkel kerja
buku seni yang baru mulamula akan ditetapkan berdasarkan halamanhalaman yang
digambar oleh Mehmet Jangkung, dalam rerumputannya, dalam lekuk bebatuannya, dan
dalam permukaan tersembunyi kesabarannya sendiri. Ketika ia berumur delapan
puluh tahun, orangorang lupa bahwa ia bisa mati dan mulai percaya bahwa ia hidup
dalam legenda-legenda yang ia buat ilustrasinya. Barangkali karena alasan
inilah, beberpa orang berkeras bahwa ia berada di luar waktu dan tak akan pernah
menua dan mati. Ada orangorang yang menghubungkan kenyataan bahwa ia tidak buta
dengan mukjizat bahwa waktu berhenti mengalir baginya walaupun ia tak memiliki?rumah sendiri, tidur di ruangan-ruangan atau tenda-tenda yang merupakan bengkel
kerja para miniaturis, dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menatap
halamanhalaman manuskrip. Beberapa orang menyatakan bahwa ia sesungguhnya buta,
dan tak lagi memiliki kebutuhan untuk melihat karena ia bisa melukis berdasarkan
ingatan. Pada usia 119 tahun, empu legendaris yang tak pernah menikah dan bahkan belum
pernah bersetubuh ini, bertemu dengan seorang pemuda rupawan yang sosoknya ideal
dengan mata sipit yang indah, berdagu lancip, dan berwajah bagai rembulan:
separuh Cina, separuh Kroasia seorang anak didik berumur enam belas tahun di
?bengkel kerja miniaturis Shah Tahmasp, yang membuatnya mendadak jatuh cinta.
Untuk menggoda pemuda magang yang ketampanannya tak terbayangkan itu, seperti
yang dilakukan oleh seorang kekasih sejati, ia bersiasat dan bergabung dalam
perebutan kekuasaan di antara para miniaturis. Ia membiarkan dirinya berbohong,
berkhianat, dan menipu. Pada mulanya, empu miniaturis dari Khorasan ini
dihidupkan oleh upaya-upayanya untuk menangkap gaya artistik yang berhasil ia
hindari selama seratus tahun, tetapi upaya ini juga menceraikannya dari masa-
masa lama yang legendaris dan abadi. Pada suatu senja, saat menatap nanar pada
anak magang yang tampan itu di depan sebuah jendela terbuka, ia merasakan
dinginnya angin beku Tabriz. Esok harinya, setelah terusmenerus bersin-bersin,
ia menjadi sepenuhnya buta. Dua hari kemudian ia jatuh di tangga batu bengkel
kerjanya dan mati. "AKU PERNAH mendengar nama Mehmet Jangkung dari Khorasan, tetapi aku tidak
pernah mendengar legenda ini," kata Hitam. Ia dengan halus menyatakan komentar
ini untuk menunjukkan bahwa ia tahu kisah itu telah selesai dan pikirannya
dipenuhi oleh apa yang kukatakan. Aku berdiam diri sejenak sehingga ia bisa
menatapku untuk memuaskan hatinya. Karena aku merasa tidak nyaman bila tanganku
menganggur, setelah menceritakan kisah kedua,
aku mulai melukis lagi, meneruskan apa yang tadi kutinggalkan saat Hitam
mengetuk pintu. Anak didikku Mahmut yang selalu duduk di dekat lututku dan
mencampurkan catku, meraut pena buluhku, dan terkadang menghapus
kesalahankesalahan yang kubuat, duduk diam di sampingku, mendengarkan dan
melihat. Dari dalam rumah suara gerakan istriku bisa terdengar.
"Aha," ujar Hitam, "Sultan berdiri."
Ia menatap lukisan itu dengan kagum, dan aku berpurapura alasan kekagumannya
tidaklah penting, tetapi izinkan aku mengatakan padamu secara diamdiam: Sultan
kami selalu muncul dalam keadaan duduk pada seluruh dua ratus gambar upacara
khitan dalam Kitab Segaia Pesta, menyaksikan dalam lima puluh dua hari
melintasnya para saudagar, anggota gilda, penonton, tentara, dan tawanan dari
jendela kamar istana yang didirikan untuk peristiwa itu. Hanya dalam sebuah
gambar karyaku beliau ditunjukkan sedang berdiri, melemparkan uang dari kantung
penuh uang logam ke tengah kerumunan di lapangan. Tujuanku adalah menangkap
kejutan dan kegairahan kerumunan itu yang saling memukul, menendang, dan
bergulat ketika mereka berebut mengambil uang logam dari tanah, pantat-pantat
mereka mendongak ke angkasa.
"Jika cinta merupakan bagian dari subjek lukisan, karya itu harus dibuat dengan
cinta," kataku. "Jika rasa sakit terlibat, rasa sakit seharusnya tergambar dalam
lukisan. Tetapi rasa sakit bias muncul dari tatapan pertama pada keselarasan
jiwa gambar yang bersangkutan yang tak tampak tapi bisa dilihat, bukan dari
sosoksosok dalam ilustrasi atau tangisan mereka. Aku tidak menggambarkan
kejutan, seperti yang telah
dilakukan selama berabadabad oleh ratusan miniaturis ahli, sebagai sebuah sosok
dengan ujung jari masuk ke lingkaran mulutnya, melainkan dengan membuat seluruh
gambar ini menerjemahkan sebuah kejutan. Ini kugambarkan dengan membuat Yang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulia berdiri tegak."
Aku merasa penasaran dan terganggu dengan cara ia meneliti barangbarang dan
peralatan ilustrasiku untuk mencari petunjuk; dan kemudian aku mulai melihat
rumahku sendiri melalui matanya.
Kau tahu gambargambar istana, tempat pemandian, dan puri yang dibuat di Tabriz
dan Shiraz pada suatu waktu. Karena gambar itu mungkin menggambarkan tatapan
Allah yang melihat dan memahami segalanya, sang miniaturis akan menggambarkan
istana dengan terpotong seakanakan memangkas separuhnya dengan pisau raksasa
yang tajam dan ia akan mengecat segala detail interior karena jika tidak
demikian tak akan bisa terlihat dari luar lalu pada poci dan mangkuk, gelas, ?hiasan dinding, tirai, burung nuri dalam kandang, sudutsudut paling pribadi, dan
bantal tempat bersandar seorang gadis cantik yang seakanakan tak pernah dilihat
dalam terangnya siang. Seperti seorang pembaca penuh rasa ingin tahu yang
terpukau, Hitam mengamati cat-catku, kertas-ketasku, buku-bukuku, asistenku yang
tampan, halamanhalaman Kitab Busana dan album kolase yang kubuat untuk seorang
pelancong Frank, adegan-adegan sanggama dan halamanhalaman tidak senonoh lainnya
yang secara rahasia kusimpan untuk seorang pasha, wadah tintaku yang terdiri
dari kaca, perunggu dan keramik berbagai warna, pisau pena gadingku, kuas
berlapis emasku, dan ya, tatapan anak didikku yang tampan.
"Tidak seperti para empu lama, aku telah melihat banyak sekali pertempuran,
banyak sekali," kataku untuk memecah kesunyian. "Peralatan perang, peluru
meriam, bala tentara, mayatmayat bergelimpangan. Akulah yang menghiasi langit
langit tenda Sultan dan para jenderal kita. Setelah sebuah serangan militer,
saat kembali ke Istanbul, akulah yang merekam dalam gambar adegan-adegan
pertempuran agar tidak dilupakan orang: mayatmayat terbelah dua, bentrokan kedua
pasukan yang bermusuhan, para tentara kafir yang malang gemetar di hadapan
meriam kita, pasukan yang mempertahankan menara-menara puri yang terkepung, para
pemberontak yang dipenggal, dan kudakuda yang ketakutan berlari sekncang-
kencangnya. Aku melihat semua nya dari ingatan: gilingan kopi baru, gaya kisi
jendela yang belum pernah kulihat sebelumnya, meriam, pelatuk senapan bangsa
Frank gaya baru, siapa memakai jubah warna apa dalam sebuah pesta, siapa makan
apa, siapa meletakkan tangannya di mana dan bagaimana ...."
"Apa maksud ketiga cerita yang tadi kauceritakan?" Tanya Hitam dengan sebuah
sikap yang menyimpulkan semuanya dan sedikit memaksaku bercerita.
"Alif," kataku. "Kisah pertama dengan menara menunjukan bahwa tak peduli
betapapun berbakat seorang miniaturis, waktulah yang membuat sebuah lukisan
menjadi 'sempurna.1 'Ba1, kisah kedua dengan harem dan perpustakaan, mengungkap
bahwa satusatunya jalan untuk melepaskan diri dari waktu adalah melalui
keterampilan dan ilustrasi. Adapun kisah ketiga, kau sajalah yang
menceritakannya padaku."
"Jim!" ujar Hitam penuh percaya diri. "Kisah ketiga tentang miniaturis berumur
seratus sembilan belas tahun
yang menyatukan "Alif dan "Ba" untuk mengungkap bagaimana waktu berakhir bagi seseorang yang
meninggalkan kehidupan dan iluminasi yang sempurna. Ia tak mendapatkan apa pun,
kecuali kematian. Jelaslah, ini yang dipampangkan."[]
Bab 14 AKulnNAMAj "ZAITUN"
SELEPAS WAKTU salat dzuhur, aku menggambar wajahwajah menyenangkan para pemuda
dengan hati riang ketika aku mendengar sebuah ketukan di pintu. Tanganku
teracung karena terkejut. Aku meletakkan kuasku. Dengan hatihati aku menaruh
papan kerjaku yang berada di atas lutut ke sampingku. Seraya bergegas seperti
angin, aku mengucapkan doa sebelum membuka pintu. Aku tak akan menyembunyikan
apa pun darimu, sebab kau yang bisa mendengarku dari dalam buku ini, jauh lebih
dekat pada Allah daripada kami dalam dunia kami yang kotor dan menyedihkan ini.
Akbar Khan, Kaisar Hindustan dan raja terkaya di dunia, sedang menyiapkan apa
yang suatu hari nanti akan menjadi sebuah buku legendaris. Untuk menyempurnakan
proyeknya, ia mengirim pesan ke empat penjuru angina wilayah Islam untuk
mengundang para seniman terhebat dunia bergabung dengannya. Orangorang yang
dikirimnya ke Istanbul mengunjungiku kemarin, mengundangku untuk pergi ke
Hindustan. Kali ini, aku membuka pintu untuk menemukan, di tempat mereka,
kenalan masa kanak-kanakku, Hitam, yang telah kulupakan sama sekali. Dulu ia tak
mampu menjaga pertemanan denganku, ia cemburu pada kami. "Ya?"
Katanya ia datang untuk bercakap-cakap, ber -
silaturahmi, dan melihat-lihat ilustrasiku. Aku mempersilakannya sehingga ia
bias melihat semuanya. Aku tahu hari ini ia baru saja mengunjungi Kepala
Iluminator Tuan Osman dan mencium tangannya. Ia menjelaskan bahwa empu agung itu
memberinya katakata bijak untuk direnungkan: "Kualitas seorang pelukis terbukti
dalam diskusi-diskusinya mengenai kebutaan dan ingatan," katanya. Jadi, biarlah
itu terbukti: Kebutaan dan Ingatan Sebelum ada seni iluminasi terdapat kegelapan dan setelahnya juga akan ada
kegelapan. Melalui warnawarna, cat, seni, dan cinta kami, kami ingat bahwa Allah
telah memerintahkan pada kita "Lihatlah!" Mengetahui adalah mengingat bahwa kau
telah melihat. Maka, melukis adalah mengingat kegelapan. Para empu agung, yang
berbagi cinta terhadap kegiatan melukis dan me nerima bahwa warna dan pandangan
muncul dari kegelapan, merasa rindu ingin kembali ke kegelapaan Allah dengan
menggunakan warna. Para seniman tanpa ingatan tidak akan mengingat Allah ataupun
kegelapan. Segala empu agung, dalam karya mereka, mencari kekosongan yang amat
dalam itu di dalam warna dan di luar waktu. Izinkan aku menjelaskan padamu apa
artinya mengingat kegelapan ini, yang pernah diungkapkan di Herat oleh para empu
agung zaman lalu. Tiga Cerita tentang Kebutaan dan Ingatan ALIF
Dalam terjemahan bahasa Turki Lami'i Chelebi atas
karya penyair Persia Jami, Anugerah Keakraban, yang merupakan kisahkisah para
orang suci, tertulis bahwa dalam bengkel kerja pembuat buku Jihan Shah, penguasa
bangsa Kambing hitam, empu terkenal Syekh Ali Tabrizi telah membuat ilustrasi
sebuah versi menakjubkan kisah Husrev dan Shirin. Menurut apa yang kudengar,
dalam manuskrip legendaries ini, yang membutuhkan waktu sebelas tahun untuk
menyelesaikannya, empu segala empu miniaturis, Syekh Ali, menampilkan semacam
bakat dan keterampilan, dan melukis gambargambar yang hanya bisa disaingi oleh
empu lama terhebat, Bihzad. Bahkan sebelum manuskrip yang diberi hiasan itu
setengah rampung, Jihan Shah sudah tahu bahwa ia akan segera memiliki sebuah
buku istimewa tanpa tandingan di seluruh dunia. Ia hidup dalam rasa takut dan
kecemburuan terhadap Hasan Jangkung yang masih muda, penguasa bangsa Kambing
putih, dan menyatakannya sebagai musuh besarnya. Lebih jauh lagi, Jihan Shah
merasa bahwa walaupun martabatnya akan meningkat pesat setelah buku itu selesai,
sebuah versi manuskrip yang lebih baik bisa dibuat bagi Hasan Jangkung. Ia
menjadi seorang lelaki pencemburu yang meracuni kepuasannya sendiri dengan
pikiran, "Bagaimana jika ada orang lain yang mengetahui kebahagiaan semacam
ini?" Jihan Shah langsung merasa bahwa jika miniaturis ahli itu membuat salinan
lain, atau bahkan sebuah versi yang lebih baik, itu pasti akan dilakukan untuk
musuh besarnya Hasan Jangkung. Oleh karena itu, untuk mencegah orang lain selain
dirinya memiliki buku yang luar biasa ini, Jihan Shah memutuskan untuk memberi
perintah agar empu miniaturis Syekh Ali dibunuh setelah ia menyelesaikan buku
tersebut. Namun, seorang perempuan berkebangsaan Sirkasia yang cantik dan baik hati di haremnya
menasehatinya agar cukup membutakan saja mata si miniaturis ulung itu. Jihan
Shah menyetujui gagsan pintar ini yang kemudian ia ceritakan pada lingkaran para
penjilat, hingga kabar itu akhirnya sampai ke telinga Syekh Ali. Biarpun
demikian, Syekh Ali tidak meninggalkan buku itu separuh tak selesai dan kabur
dari Tabriz seperti yang akan dilakukan oleh para illustrator picisan. Ia juga
tidak memperlambat penyelesaian manuskrip itu atau membuat ilustrasiilustrasi
yang buruk agar buku itu menjadi tidak sempurna dan dengan demikian mencegah
saat kebutaannya yang sudah makin dekat. Ia malah bekerja dengan keyakinan dan
semangat yang lebih besar. Di dalam rumah tempat ia tinggal sendirian, ia mulai
bekerja setelah salat subuh dan terus membuat ilustrasi kudakuda, pohonpohon
kastanye, para kekasih, naga, dan para pangeran tampan dengan diterangi cahaya
lilin hingga tengah malam terusmenerus sampai air mata getir mengalir dari
sepasang matanya. Kerap kali ia memandang berharihari pada sebuah ilustrasi
karya salah seorang empu lama yang agung dari Herat ketika ia membuat salinan
yang peris sama pada halaman yang lain. Akhirnya, ia berhasil menyelesaikan buku
untuk Jihan Shah si Kambing hitam, dan seperti yang diharapkan oleh miniaturis
itu, pada mulanya ia dipujipuji dan dihujani perhiasan emas, sebelum dibuat buta
dengan sebuah jarum bulu tajam yang biasa digunakan untuk melekatkan bulu-bulu
turban. Sebelum rasa sakitnya berkurang, Syekh Ali meninggalkan Herat dan pergi
bergabung dengan Hasan Jangkung si Kambing putih. "Ya, saya memang buta,"
jelasnya kepada Hasan Jangkung, "tetapi saya bisa mengingat setiap kemegahan
dari manuskrip yang telah saya hiasi selama sebelas tahun terakhir, hingga ke setiap
titik pena dan sentuhan kuas, dan tangan saya bisa menggambarkannya lagi
berdasarkan ingatan. Yang Mulia, saya bisa membuat ilustrasi manuskrip teragung
sepanjang masa untuk Anda. Karena mata saya tidak lagi terkacaukan oleh kotoran
duniawi, saya akan mampu menggambarkan segala kemuliaan Allah dari ingatan,
dalam bentuknya yang paling murni." Hasan Jangkung percaya pada empu miniaturis
yang agung itu, dan sesuai janjinya, empu miniaturis itu pun menyalin ilustrasi
bukubuku paling menakjubkan dari ingatannya bagi sang penguasa Kambing putih.
Semua orang tahu kekuatan spiritual yang dibangkitkan buku baru itulah yang ada
di balik penaklukan Hasan Jangkung terhadap Kambing hitam dan hukuman mati sang
pemenang terhadap Jihan Shah dalam sebuah serangan di dekat Bingol. Buku yang
luar biasa ini, bersama buku yang dibuat oleh Syekh Ali Tabrizi untuk mendiang
Jihan Shah, disimpan di gudang harta Sultan kami di Istanbul ketika Hasan
Jangkung yang selalu jaya itu berhasil ditaklukkan pada Pertempuran Otlukbeli
oleh Sultan Mehmet Khan sang penakluk, semoga beliau beristirahat dengan damai.
Mereka yang sungguh bisa melihat, akan tahu.
BA Karena Sultan Suleyman Khan, sang Pemberi Aturan dan Penghuni Surga, lebih
menyukai para penulis kaligrafi dibandingkan para ilustrator, para miniaturis di
masa itu akan menceritakan kembali kisah ini sebagai sebuah contoh bagaimana
ilustrasi mengungguli kaligrafi. Barangsiapa yang meperhatikan kisah ini dengan
teliti tentu akan menyadari bahwa kisah ini sesungguhnya adalah mengenai kebutaan dan
ingatan. Setelah kematian Timurleng, Penguasa Dunia, anakanak dan para cucunya
mulai saling menyerang dan bertempur satu sama lain tanpa belas kasihan. Dalam
peristiwa di mana salah satu di antara mereka berhasil menaklukkan kota lain,
tindakan pertamanya adalah mencetak uang logam sendiri dan menyuruh sebuah
khutbah dibacakan di masjid. Tindakannya yang kedua sebagai pemenang adalah
menarik bukubuku yang kini telah menjadi miliknya dari perpustakaan; sebuah
persembahan baru dituliskan, membualkan sang penakluk sebagai "penguasa dunia",
sebuah kolofon baru ditambahakan, dan bukubuku itu dijilid kembali sehingga
siapa pun yang melihat buku sang penakluk itu akan percaya bahwa ia memang
sungguh seorang penguasa dunia. Ketika Abdullatif, putra dari cucu Timurleng
Ulu9 Bey, menguasai Herat, ia mengerahkan para miniaturisnya, para penulis
kaligrafinya, dan para tukang jilid bukunya dengan tergesagesa, lalu memaksa
mereka membuat sebuah buku untuk menghormati ayahnya, seorang ahli dalam seni
buku, sehingga karena jilid-jilid buku tengah dalam penyelesaian untuk dijilid
dan halaman-halman yang ditulisi dihancurkan dan dibakar, gambargambar yang
saling berkaitan menjadi bercampur baur. Karena UluS Bey tidak puas anaknya
menyusun dan menjilid album buku tanpa peduli gambar yang mana sebagai bagian
kisah yang mana, ia mengumpulkan semua miniaturis di Herat dan meminta mereka
menceritakan kembali kisahkisah itu untuk menyusun gambargambar ilustrasi pada
urutan yang benar. Dari mulut tiap-tiap miniaturis keluar cerita yang berbeda-
beda, dan urutan ilustrasi yang benar pun makin
terbingungkan. Oleh karena itu, miniaturis yang paling tua pun dicari. Ia adalah
seorang lelaki yang telah memadamkan cahaya di matanya dalam kerja keras yang
sungguhsungguh demi menyelesaikan bukubuku untuk seluruh shah dan pangeran yang
berkuasa di Heart selama lima puluh empat tahun terakhir. Kegemparan terjadi
ketika orangorang menyadari bahwa empu tua yang kini sedang mengintip pada
gambargambar itu sungguhsungguh buta. Beberapa orang tertawa. Empu tua itu
meminta agar seorang bocah lelaki cerdas yang umurnya belum genap tujuh tahun
dan masih buta huruf, dibawa ke tempat itu, Bocah semacam itu dicari dan dibawa
kepadanya. Sang miniaturis tua meletakkan sejumlah ilustrasi di depan bocah itu.
"Gambarkan apa yang kaulihat," perintahnya. Ketika bocah itu menggambarkan isi
gambargambar tersebut, sang miniaturis tua itu menghadapkan matanya yang buta ke
angkasa, mendengarkan dengan teliti, dan menjawab, "Iskandar memeluk Darius yang
sekarat dari Kitab Para Paja (Shah Nameh) karya Firdausi ... cerita tentang guru
yang jatuh cinta pada muridnya yang tampan dari Taman Mawar (Guiistan) karya
Sadi... perlombaan para tabib dari Harta Karun Pahasiarahasia karya Nizami Para
miniaturis yang lain, merasa jengkel oleh polah rekan kerja mereka yang tua dan
buta itu, berkata, "Kami juga bisa menggambarkan semua itu padamu. Ini adalah
adegan-adegan terkenal dari kisahkisah paling terkenal." Sebagai jawabannya,
miniaturis buta yang renta itu meminta agar diberikan ilustrasiilustrasi paling
sulit di hadapan bocah itu dan mendengarkan kembali dengan saksama. "Hurmuz
meracuni para penulis kaligrafi satu demi satu dari Kitab Para Paja karya
Firdausi," ujarnya lagi, seraya kembali menatap angkasa. "Kisah seorang suami yang dikhianati
istrinya, dan menangkap basah istrinya bersama kekasihnya di sebuah pohon pir,
dari Matsnawi karya Rumi," ujarnya. Dengan cara ini, berdasarkan gambaran bocah
itu, ia berhasil mengenali semua gambar, walaupun tak satu pun yang bisa ia
lihat. Dan dengan demikian, ia berhasil membuat bukubuku itu dijilid rapi
kembali dengan sepantasnya. Ketika UluS Bey tiba di Herat dengan pasukannya, ia
bertanya pada miniaturis tua itu, dengan rahasia apakah ia, seorang buta, bias
mengenali kisahkisah yang oleh para empu ilustrator lainnya tidak bisa
dipecahkan, bahkan walau dengan melihatnya sekalipun. "Ini tidak seperti yang
diduga orang, yakni bahwa ingatan saya menggantikan kebutaan saya," jawab
ilustrator tua itu. "Saya tak pernah melupakan bahwa kisahkisah itu dikumpulkan
kembali tidak hanya melalui gambargambar, tetapi juga melalui katakata." UluS
Bey menjawab bahwa para miniaturisnya sendiri mengetahui katakata dan kisahkisah
itu, tetapi tetap saja tidak bisa menyusun gambargambar itu. "Karena," kata
miniaturis tua itu, "mereka berpikir dengan sangat baik ketika berkaitan dengan
lukisan yang merupakan keahlian seni mereka, tetapi mereka tidak memahami bahwa
para empu lama membuat gambargambar ini berdasarkan ingatan Allah sendiri." UluS
Bey bertanya bagaimana seorang bocah bias mengetahui hal-hal semacam itu. "Bocah
itu tidak tahu," kata miniaturis tua itu, "Namun, saya, seorang miniaturis tua
yang buta, tahu bahwa Allah menciptakan alam duniawi ini dengan cara seorang
bocah tujuh tahun yang cerdas ingin melihatnya. Selain itu, Allah menciptakan
alam duniawi ini agar semua ini bisa dilihat.
Setelahnya, Allah memberi kita katakata sehingga kita bisa berbagi dan
berdiskusi satu sama lain tentang apa yang kita lihat. Kita salah mengira bahwa
kisahkisah ini muncul dari katakata dan bahwa ilustrasi dibuat hanya untuk
melayani kisahkisah ini. Sebaliknya, melukis adalah tindakan untuk menemukan
ingatan Allah dan melihat dunia sebagaimana Allah melihat dunia."
JIM Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, para miniaturis Arab memiliki kebiasaan
melihat ke arah sebelah barat cakrawala pada tengah hari untuk melawan kecemasan
abadi yang tak bias dipahami bahwa mereka perlahanlahan akan menjadi buta. Hal
ini diamalkan oleh semua miniaturis. Senada dengan hal ini, seabad kemudian di
Shiraz, banyak ilustrator memakan biji kenari dicampur dengan kelopak mawar saat
perut sedang kosong di pagi hari. Di zaman yang sama, para ilustrator senior
Isfahan yang meyakini bahwa cahaya matahari bisa mengakibatkan kebutaan yang
mereka derita satu demi satu, seperti wabah, akan bekerja di sudut ruangan yang
setengah gelap, dan sering hanya diterangi oleh cahaya lilin untuk mencegah
sorot langsung sinar matahari mengenai meja kerja mereka. Di penghujung hari, di
dalam bengkel-bengkel seni para seniman Uzbek di Bukhara, para empu miniaturis
akan membasuh mata mereka dengan air yang sudah diberkati oleh para pemuka
agama. Namun, dari semua tindakan pencegahan ini, pendekatan yang paling murni
terhadap kebutaan ditemukan di Herat oleh seorang miniaturis, Seyyit Mirek, yang
merupakan mentor bagi seniman besar Bihzad. Menurut empu ilustrasi Mirek,
kebutaan bukanlah sebuah musibah, melainkan
anugerah yang diberikan Allah kepada para iluminator yang telah mengabdikan
seluruh hidupnya untuk kejayaanNya, mengingat pembuatan ilustrasi adalah
pencarian para miniaturis tersebut akan pandangan Allah terhadap isi dunia. Dan
sudut pandang unik ini hanya bisa dicapai melalui proses mengingat kembali
setelah kebutaan itu menetap, hanya setelah sebuah kerja keras sepanjang hayat,
dan hanya setelah mata si ilustrator menjadi lelah dan tubuhnya telah uzur.
Maka, pandangan Allah tentang dunia milikNya ini hanya bisa menjelma melalui
ingatan para ilustrator yang buta. Ketika bayangan ini datang kepada miniaturis
yang sedang beranjak uzur, yakni ketika ia melihat dunia ini sebagaimana Allah
melihat melalui kegelapan ingatan dan kebutaan, sang ilustrator telah
menghabiskan waktu seumur hidupnya untuk melatih tangannya agar menerjemahkan
pengungkapan yang indah itu ke dalam halamanhalaman kertas. Menurut sejarawan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mirza Muhammet Haydar Duglat, yang menulis panjang lebar tentang legenda para
miniaturis Herat, sang empu Seyyit Mirek, dalam teori yang dikembangkannya
mengenai apa yang tadi kita jabarkan tentang melukis, menggunakan contoh seorang
ilustrator yang ingin menggambar seekor kuda. Menurutnya, seorang pelukis paling
tidak berbakat sekalipun yang kepalanya kosong, seperti para pelukis Venesia ?sekarang ini yang membuat gambar seekor kuda sambil terus memandangi kudanya,
?tetap saja akan menggambar kuda itu berdasarkan ingatannya. Ini disebabkan tidak
mungkin ia melihat kuda itu dan melihat halaman tempat ia menggambar seekor kuda
pada waktu bersamaan. Mulamula, si ilustrator akan melihat kuda itu, lalu dengan
cepat ia akan memindahkan apa pun yang
muncul dalam ingatannya atas kertas. Untuk sementara waktu, meskipun hanya
sekejap, apa yang dihadirkan oleh si seniman di atas halaman itu bukanlah kuda
yang dilihatnya, melainkan ingatannya tentang kuda yang baru saja dilihatnya.
Terbukti bahwa bagi ilustrator yang keadaan fisiknya paling menyedihkan
sekalipun, sebuah gambar mungkin saja dihasilkan hanya dengan mengandalkan
ingatannya. Perkembangan logis dari konsep ini dalam kehidupan kerja yang aktif
dari seorang ilustrator yang menyiapkan diri menerima anugerah kebutaannya
sekaligus menggunakan ingatan butanya adalah bahwa para empu miniaturis di Herat
menganggap ilustrasi yang mereka buat untuk para penguasa dan pangeran pencinta
buku ini adalah sebagai latihan bagi tangan mereka. Mereka menerima pekerjaan
itu, menggambar tanpa henti dan memandangi berhalaman-halaman kertas dengan
bantuan cahaya lilin selama berharihari tanpa istirahat, sebagai pekerjaan
menyenangkan yang akan mengantar para ilustrator itu kepada kebutaan. Sepanjang
hidupnya, empu miniaturis Mirek, selalu menanti saat yang paling tepat untuk
mendekati ketakterdugaan yang gemilang ini, baik dengan sengaja mempercepat
kebutaannya melalui penggambaran pepohonan dan setiap helai daunnya dengan amat
teliti menggunakan kuku-kukunya, butiran beras, dan bahkan melalui helaian-
helaian rambut, atau dengan sangat berhatihati menunda datangnya kegelapan
dengan bermalasmalasan membuat gambar tamantaman menyenangkan yang bermandikan
cahaya matahari, misalnya. Ketika genap berusia tujuh puluh tahun, dalam rangka
menghargai sang empu, Sultan Hiiseyin Baykara memperbolehkannya memasuki ruang
harta pusaka yang berisi ribuan cetakan manuskrip yang dikoleksi Sultan dan disimpan dengan
pengamanan kunci dan gembok. Di ruang harta pusaka yang juga berisi aneka
senjata, emas, an bergulung-ulung kain sutra serta baju beludru, diterangi ahaya
lilin dari candelabra* emas, irek ang empu memelototi lembar demi lembar
bukubuku itu. Masingmasing memiliki legenda tersendiri, dan dibuat oleh para
empu Herat zaman dulu. Dan setelah tiga hari tiga malam mengamati dengan teliti
tanpa henti, empu agung itu pun menjadi buta. Ia menerima keadaannya dengan
penuh kedewasaan dan kepasrahan, seperti orang yang menyapa para bidadari Allah,
dan ia tidak pernah berbicara ataupun melukis lagi. Mirza Muhammet Haydar
Duglat, penulis buku Sejarah Rashid, mengartikan kejadian-kejadian seperti ini
sebagai: "Seorang miniaturis yang menyatu dengan pandangan dan pemandangan waktu
Allah yang baka, tidak akan pernah kembali ke halamanhalaman manuskrip yang
dibuat untuk makhluk makhluk fana." Dan ia menambahkan, "Bila ingatan seorang
miniaturis buta sampai kepada Allah, hal itu akan membangkitkan keheningan
sejati, sebuah kegelapan yang penuh berkah dan ketakterbatasan selembar halaman
kosong." TENTU SAJA jawabanku atas pertanyaan Tuan Osman mengenai kebutaan dan ingatan
tidak menyenangkan hatinya sehingga Hitam bertanya padaku ketika ia meneliti
harta bendaku, kamar, dan gambar-gambarku. Namun, masih saja aku merasa senang
melihat betapa kisahkisah yang kuceritakan itu memengaruhinya. "Kebutaan adalah
sebuah dunia yang penuh keberkahan, di mana iblis dan
"Wadah lilin berukuran besar, dengan banyak percabangan untuk memuat beberapa
batang lilin sekaligus. kesalahan terhadang," kataku padanya. "Di Tabriz," ujar Hitam, "di bawah
pengaruh Mirek, beberapa orang ilustrator bergaya lama masih saja melihat
kebutaan sebagai anugerah terindah dari keagungan Allah, dan mereka malu
beranjak tua tanpa mengalami kebutaan. Bahkan hingga hari ini, karena cemas
orangorang akan menganggap mereka kurang berbakat dan tidak terampil, mereka
berpurapura buta. Sebagai akibat keyakinan moral yang mengandung pengaruh dari
Jemalettin dari Kazvin ini, beberapa orang dari mereka duduk selama berminggu-
minggu dalam kegelapan dikelilingi cermin, dalam pendar cahaya temaram lampu
minyak, tanpa makan minum, dan menatap halamanhalaman berilustrasi yang dilukis
oleh para empu tua Herat untuk mempelajari bagaimana caranya mencermati dunia
seperti seorang buta, meskipun tidak sungguhsungguh buta." Seseorang mengetuk
pintu. Aku membuka pintu dan menemukan seorang murid rupawan dari bengkel kerja
yang mata indahnya terbelalak lebar. Ia berkata bahwa jenazah saudara kami, Elok
Effendi, telah ditemukan dalam sebuah sumur tua dan upacara pemakamannya akan
dilangsungkan di Masjid Mihrimah pada waktu salat ashar. Ia lalu berlalu untuk
menyampaikan kabar tersebut kepada yang lainnya. Allah, semoga Engkau melindungi
kami semua. [] Bab 15 aku adalah esther KATAKAN PADAKU, apakah cinta mampu membuat orang jadi bodoh atau hanya
orangorang bodoh yang jatuh cinta" Aku menjadi seorang penjaja pakaian dan mak
comblang selama bertahuntahun, dan aku tidak sedikit pun mampu memahaminya.
Betapa serunya bagiku bertemu dengan para lakilaki atau pasangan kekasih yang ? ?menjadi semakin cerdas, licin, dan penuh liku, saat mereka jatuh cinta semakin
dalam. Aku benarbenar tahu tentang hal ini: Jika seorang lakilaki sering merayu,
membual-bual, dan melakukan tipu daya, artinya ia tidak sedikit pun merasa
cinta. Sementara Hitam Effendi, kentara sekali betapa ia betul-betul kehilangan
kendali dirinya saat membicarakan Shekure.
Di pasar, berkali-kali aku menjejalinya dengan kalimat-kalimat yang sudah sangat
terlatih kukatakan pada semua orang: Shekure selalu memikirkannya, dia bertanya
padaku tentang tanggapan Hitam terhadap suratnya. Aku tidak pernah melihatnya
seperti itu, dan seterusnya. Ia menunjukkan tampang yang membuatku
mengasihaninya. Ia berkata padaku untuk segera memberikan suratnya pada Shekure.
Orangorang tolol pun akan mampu menyimpulkan adanya keadaan yang menekan dalam
rasa cintanya hingga menuntut ketergesaan seperti itu, dan
karenanya intensitas cintanya yang terbuka, tanpa disadarinya ia telah mencipta
sepucuk senjata di tangan kekasihnya. Jika kekasihnya ini cerdas, dia akan
menunda jawabannya. Pesan moralnya: ketergesaan menunda tumbuhnya buah cinta.
Jika Hitam yang dilanda derita cinta tahu bahwa aku mulamula mengambil jalan
memutar sambil membawa surat yang dikuasakannya padaku untuk kusampaikan
"secepat mungkin", ia akan berterima kasih padaku. Di lapangan pasar itu, aku
nyaris mati berdiri menunggunya. Setelah ia pergi, aku berniat mengunjungi salah
satu "putriku" sebagai pemanasan. Aku memanggil para gadis yang suratnya pernah
kusampaikan, mereka yang telah kunikahkan dengan tetesan keringatku, "putrid
putriku." Gadis buruk rupa yang satu ini begitu berterima kasih dan mengabdi
padaku setiap kali aku mengunjunginya, melayaniku dengan tangan dan kakinya,
bergerak-gerak di sekitarku seperti seekor ngengat, dan dia akan menyisipkan
beberapa keping uang perak ke dalam telapak tanganku. Kini perempuan ini sedang
hamil dan punya selera humor yang baik. Dia meletakkan the limau dalam air
mendidih. Aku menikmati setiap sesapannya. Ketika dia meninggalkanku sendirian,
aku menghitung kepingan uang logam yang diberikan Effendi Hitam padaku. Dua
puluh keping perak. Aku keluar untuk melanjutkan langkahku. Kutelusuri pinggiran jalan dan kulewati
gang-gang kecil berbahaya yang dingin, berlumpur, dan nyaris sulit dilalui. Saat
mengetuk pintu, keriangan menyusupiku, dan aku pun mulai berteriak.
"Penjaja pakaian datang! Pakaian!" seruku. "Mari lihat kain muslin lipit terbaik
yang pantas dikenakan seorang
sultan. Dapatkan selendang-selendang indahku dari Kashmir, kain selempang
beludru dari Bursa, kemeja Arab bertepian sutra yang menakjubkan, taplak meja
muslin berbordir, kasur dan sprei, juga sapu tangan warnawarni. Ayo ... Pakaian!
Pakaian!" Pintu itu terbuka, aku pun masuk. Sebagaimana biasanya, rumah itu berbau kain
kain penutup ranjang, tidur, minyak goreng dan hawa lembab, bau mengerikan khas
bujangan lapuk. "Nenek sihir," cercanya. "Apa yang kauteriakkan?"
Tanpa bersuara aku mengeluarkan surat dan menyerahkannya pada lakilaki itu. Di
kamar yang buram, dengan cermat dan perlahan ia mendekatiku, lalu merampas surat
itu dari tanganku. Ia berlalu memasuki kamar di sebelahnya di mana sebuah
lentera minyak sedang menyala. Aku menunggu di ambang pintu.
"Apakah ayahmu ada di rumah?"
Ia tidak menjawab. Ia telah menenggelamkan dirinya dalam surat itu. Aku
meninggalkannya sendirian agar ia dapat membaca dengan tenang. Ia berdiri di
belakang lampu, dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Setelah menuntaskan surat
itu, ia membacanya lagi. "Ya," ujarku, "apa yang telah dituliskannya?"
Hasan membacakannya: Shekure sayang, mengingat aku pun teiah bertahuntahun bertahan melewati mimpi-
mimpiku tentang seseorang, maka dengan penuh hormat aku memahami penantianmu
terhadap suamimu tanpa mempertimbangkan lakilaki lainnya. Apa lagi yang bisa
diharapkan dari seorang perempuan sepertimu selain kejujuran dan kebajikan"
[Hasan terkekeh!] Kedatanganku bertamu pada ayahmu hanya demi lukisan saja,
namun demikian, tidak ada
niatan untuk melecehkanmu. Hal itu tidak mungkin terlintas di benakku. Aku tidak
merasa telah menerima isyarat darimu ataupun tandatanda /ainnya yang
mendorongku. Saat wajahmu muncul di hadapanku di jendela itu bagaikan secercah
cahaya suci, aku tidak mengartikannya sebagai apa pun selain anugerah Tuhan.
Rasa senang karena telah melihat wajahmu sajalah yang kubutuhkan. ["Ia mengutip
itu dari karya Nizami," potong Hasan, merasa kesal.] Namun, kau memintaku
menjaga jarak darimu. Coba katakana padaku, apakah kau adalah sesosok bidadari
sehingga mendekatimu menjadi sedemikian menakutkan" Dengarkan apa yang akan
kukatakan padamu, dengarlah. Aku terbiasa bersusah payah mencoba tidur dengan
memandangi cahaya bulan yang jatuh menimpa pegunungan telanjang di kejauhan, dan
penginapan kafilah muram di mana tak seorang pun menginap, selain beberapa
penjahat yang melarikan diri dari hukuman. Dan di sanalah, di tengah pekatnya
malam, sambil mendengarkan lolongan segerombalan srigala yang ternyata lebih
kesepian dan lebih tidak beruntung daripada diriku sendiri, aku biasanya akan
berpikir bahwa suatu hari nanti kau akan tibatiba muncul di hadapanku,
sebagaimana yang kaulakukan di jendela itu. Bacalah baikbaik: Sekarang setelah
aku kembali pada ayahmu demi buku itu, kembalikanlah lukisan yang kubuat di masa
kecilku. Aku tahu ini bukan tanda kematianmu, melainkan tanda bahwa aku telah
menemukanmu lagi. Aku bertemu salah seorang anakmu, Orhan. Bocah malang tak
berayah itu. Suatu hari nanti aku akan menjadi ayahnya!
"Tuhan melindunginya, ia menulis dengan baik," seruku, "yang satu ini telah
menjadi seorang penyair rupanya."
"Apakah kau adalah sesosok bidadari sehingga mendekatimu menjadi sedemikian
menakutkan?" ulangnya. "Ia mencuri larik itu dari Ibnu Zerhani. Aku bisa menulis
yang lebih baik dari itu." Ia mengambil suratnya sendiri
dari sakunya. "Ambillah ini dan kirimkan kepada Shekure."
Untuk pertama kalinya, menerima uang beserta suratsurat itu terasa menggangguku.
Aku merasakan sesuatu seperti rasa jijik terhadap lakilaki ini dan obsesi
gilanya, cintanya yang tak berbalas. Hasan, seakanakan sedang menegaskan
dugaanku, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mengesampingkan sopan
santun dan berkata lumayan kasar, "Katakan padanya, jika kami mau, kami bias
memaksanya kembali ke sini di bawah desakan hakim."
"Kau sungguhsungguh ingin aku mengatakan hal itu?"
Hening. "Tidak," sahutnya. Pendar cahaya lampu minyak menerangi wajahnya,
membuatku melihat wajahnya lebih rendah ke arah kepalanya yang seperti seorang
bocah yang telah berbuat salah. Aku mengetahui sisi ini dari sifat Hasan,
seperti juga aku menghormati perasaannya dan mengirimkan suratsuratnya. Ini
bukan hanya karena uangnya, sebagaimana yang mungkin kaukira.
Aku sedang melangkah pergi meninggalkan rumah itu, dan ia menghentikan langkahku
di ambang pintu. "Apakah kau memberi tahu Shekure tentang betapa besar aku mencintainya?" ia
bertanya lugu padaku dengan penuh semangat.
"Bukankah kau sudah memberitahunya lewat surat-suratmu?"
"Katakan padaku bagaimana aku bisa meyakinkannya dan ayahnya" Bagaimana aku bisa
membujuk mereka?" "Dengan menjadi orang yang baik," jawabku sambil melangkah ke pintu.
"Di usiaku sekarang, itu sudah terlambat ..." ujarnya dengan kesedihan yang apa
adanya. "Kau sudah mulai menghasilkan banyak uang, Hasan si pegawai pabean. Ini bisa
membuat seseorang menjadi orang baik ..." kataku, dan aku pun pergi,
Rumah itu begitu gelap dan muram sehingga udara di luar rumah itu jadi terasa
hangat. Cahaya matahari menyapu wajahku. Aku mengharapkan kebahagiaan Shekure,
tetapi aku juga merasakan sesuatu untuk lakilaki malang di rumah penuh sampah
yang dingin dan gelap itu, Tibatiba saja, aku berbelok ke Pasar Bumbu di Laleli,
memikirkan bau kayu manis, kunyit dan lada yang bisa mengembalikan suasana
batinku. Ternyata aku salah.
Di rumah Shekure, setelah mengambil surat itu, dia segera bertanya soal Hitam.
Kukatakan padanya bahwa api cinta telah menyelimuti segenap jiwa dan raganya
tanpa ampun. Kabar ini membuatnya senang.
"Bahkan janda-janda kesepian pun sibuk dengan kegiatan sulam menyulam mereka dan
membahas mengapa Elok Effendi dibunuh," akhirnya aku mengatakan hal itu untuk
mengalihkan pembicaraan. "Hayriye membuat halva sebagai antaran duka cita dan membawanya ke Kalbiye,
janda Elok Effendi," ujar Shekure.
"Semua pengikut Erzurum dan banyak lagi orang lain akan menghadiri upacara
pemakamannya," lanjutku. "Kerabatnya bersumpah mereka akan membalaskan darahnya
yang telah tertumpah."
Shekure sudah mulai membaca surat Hitam. Aku menatap wajahnya lekat-lekat dengan
penuh kemarahan. Perempuan ini mungkin sejenis rubah betina sehingga dia mampu
mengendalikan gejolak perasaan yang terpancar di wajahnya. Saat dia membacanya,
aku bisa merasakan betapa diamku menyenangkan perasaannya, hingga dia
menganggapnya sebagai tanda persetujuanku atas perlakuan khususnya pada surat
Hitam itu. Shekure selesai membaca surat itu, lalu tersenyum padaku. Agar dia
puas, aku terpaksa bertanya, "Apa yang ditulisnya?"
"Sama seperti di masa kanak-kanaknya .... Ia jatuh cinta padaku."
"Apa yang kaupikirkan?"
"Aku adalah seorang perempuan yang sudah menikah, aku sedang menunggu suamiku."
Sebaliknya dari yang kauperkirakan, dusta yang dinyatakannya padaku setelah dia
memintaku terlibat dalam urusan cintanya itu tidak membuatku berang. Malah,
pernyataannya itu membuatku lega. Andai ada lebih banyak gadis muda dan dewasa
yang suratnya kukirimkan dan meminta nasehatku bersikap seperti Shekure, maka
kerja keras kami berdua, aku dan mereka, akan berkurang setengahnya. Lebih
penting lagi, mereka akan berakhir dengan pernikahan yang lebih baik.
"Apa yang tertulis dalam surat yang satunya lagi?" kutanyakan juga pertanyaan
itu. "Aku tidak ingin membaca surat dari Hasan sekarang," jawabnya. "Apakah Hasan
tahu bahwa Hitam sudah kembali ke Istanbul?"
"Ia bahkan tidak tahu bahwa lelaki itu ada."
"Apakah kau berbicara pada Hasan?" tanyanya sambil membelalakkan bola mata
hitamnya yang indah itu. "Sebagaimana yang kauminta."
"Lalu?" "Ia tampak amat merana. Ia tergila-gila padamu. Bahkan andai hatimu menjadi
milik orang lain sekalipun, akan sulit bagimu untuk terbebas darinya saat ini.
Dengan menerima suratsuratnya kau telah memberikan lampu
hijau untuknya. Bagaimanapun, berhati-hatilah terhadapnya. Bukan karena ia ingin
membuatmu kembali ke sana, melainkan dengan menegaskan bahwa kakaknya sudah
meninggal dunia, ia sedang bersiap untuk menikahimu." Aku tersenyum untuk
meringankan beban dari katakata yang kuucapkan, dan agar tidak memperburuk
katakataku yang menunjukkan ketidakpuasanku.
"Kalau begitu, apa yang dikatakan orang yang satunya lagi?" tanyanya. Namun,
apakah dia sendiri tahu siapa yang dia maksud"
"Miniaturis itu?"
"Pikiranku begitu kacau," tibatiba saja dia berseru seperti itu, mungkin dia
takut pada pikiran-pikirannya sendiri. "Rasanya semua masalahku akan menjadi
semakin membingungkan. Ayahku semakin tua. Apa yang akan terjadi pada kami, dan
pada anakanak tak berayah ini" Aku merasa ada sebuah kejahatan mendekat, dan
Iblis sedang mencoba memerangkap kami. Esther, ceritakan padaku hal-hal yang
bias memberiku kekuatan."
"Jangan cemas, Shekure sayangku," sahutku dengan emosi yang membuncah di dalam
dada. "Kau sungguh pandai, kau sangat jelita. Suatu hari kau akan tidur di
ranjang yang sama dengan suamimu yang tampan, kau akan mendekapnya, dan
melupakan semua kekhawatiranmu, Kau akan berbahagia. Aku bisa membacanya dari
sorot matamu." Sebentuk kasih sayang terbangkitkan di dalam diriku, hingga kedua mataku
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digenangi air mata. "Baiklah, tetapi yang manakah yang akan menjadi suamiku?"
"Tidakkah hatimu yang bijaksana itu telah memberimu
jawaban?" "Karena aku tidak memahami apa yang dikatakan oleh hatiku, aku jadi tak
berdaya." Sejenak terbersit dalam pikiranku bahwa Shekure tidak memercayaiku sama sekali,
sehingga dengan sangat pintar dia menutupi ketidakpercayaannya untuk mengetahui
apa yang kuketahui, dan berusaha membangkitkan rasa kasihanku. Ketika kutahu dia
tidak akan menulis surat balasan untuk suratsurat itu pada saat ini, aku
menyambar buntalanku, memasuki halaman, dan menyelinap pergi tetapi sebelumnya ?aku mengatakan hal yang selalu kukatakan pada gadis-gadisku, bahkan pada mereka
yang bermata juling sekalipun.
"Jangan takut, sayangku. Selama kau membiarkan sepasang mata indahmu itu terus
terbuka, tak ada nasib sial yang bakal menimpamu."[]
ab 16 aku, shekure JIKA HARUS berkata jujur, biasanya setiap kali Esther si penjaja pakaian dating
berkunjung, aku mengkhayalkan seorang lakilaki yang terpanah asmara akhirnya
akan bangkit untuk menulis sepucuk surat yang mampu menyentuh hati seorang
perempuan pintar sepertiku cantik jelita, keturunan baikbaik, dan seorang janda?dengan kehormatan yang belum ternoda dan membuatnya berdegup kencang. Menemukan
?surat yang berasal dari para calon yang biasa-biasa saja membuatku mampu
menyelamatkan keputusan dan kesabaranku dalam menunggu kepulangan suamiku.
Namun, beberapa waktu terakhir ini, setiap kali Esther pergi, aku menjadi amat
bingung dan merasa semuanya semakin kacau dalam hidupku. Aku mendengarkan
suarasuara dalam duniaku. Dari dapur muncul suara menggelegaknya air yang
mendidih dan semerbak aroma limau dan bawang. Hayriye sedang merebus zucchini.
Shevket dan Orhan sedang bersuka cita dan bermain pedangpedangan di halaman, di
bawah pohon delima, aku mendengarkan teriakan teriakan mereka. Ayahku sedang
duduk dalam hening di ruangannya. Aku membuka dan membaca surat dari Hasan, dan
aku pun kembali yakin bahwa tidak ada alas an untukku merasa cemas. Tetap saja,
aku menjadi semakin takut padanya, dan memberi selamat pada diriku sendiri karena telah
melawan upayanya yang ingin bercinta denganku saat kami tinggal seatap.
Berikutnya, aku membaca surat dari Hitam, memeganginya dengan lembut seolaholah
aku sedang memegangi burung kecil yang lembut dan teramat peka. Benakku
berkecamuk. Aku tidak membaca suratsurat itu lagi. Cahaya matahari menerobos
masuk di antara kepingan awan, dan terpikir dalam benakku andai dulu aku masuk
ke kamar tidur Hasan pada suatu malam dan kemudian bercinta dengannya, tak ada
yang akan menyaksikannya, kecuali Allah. Hasan memang mirip dengan suamiku yang
hilang; itu akan terasa sama saja. Terkadang sebentuk pikiran aneh seperti ini
merasuki kepalaku. Begitu cahaya matahari menghangatkan tubuhku, aku bisa
merasakan tubuhku: kulitku, leherku, dan kedua puting susuku. Orhan menyelinap
masuk saat matahari menyorotkan panasnya ke tubuhku lewat pintu yang terbuka.
"Ibu, sedang baca apa?" tanyanya.
Baiklah kalau begitu, ingatkah bagaimana aku berkata bahwa aku tidak membaca
ulang suratsurat yang baru saja diantarkan Esther" Aku berdusta. Aku sedang
membacanya, semuanya, sekali lagi. Kali ini, aku sungguhsungguh melipat surat
surat itu dan memasukkannya ke dalam baju atasanku.
"Kemarilah, naik ke pangkuanku!" perintahku pada Orhan. Ia melakukannya. "Ya
ampun, kau sangat berat. Semoga Allah selalu melindungimu, kau menjadi sangat
besar," pujiku sambil menciumnya. "Kau sedingin es
"Ibu terasa sangat hangat," potongnya, sambil menyandar ke dadaku.
Kami pun saling menyandarkan tubuh dengan erat,
menikmati duduk dengan posisi seperti itu sambil saling berdiam diri. Aku
mencium bagian belakang lehernya dan mengecupnya. Aku mendekapnya dengan lebih
erat lagi. Kami diam tak bicara.
Beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku merasa geli."
"Kalau begitu katakan padaku," ujarku dengan suara serius, "andai raja jin
dating dan berkata bahwa ia akan mengabulkan satu permohonanmu, apa yang paling
kau inginkan?" "Aku ingin Shevket pergi jauh."
"Apa lagi" Apakah kau tak ingin punya ayah?"
"Tidak. Nanti jika aku besar, aku sendiri yang akan menikahi Ibu."
Itu bukan proses menjadi dewasa. Kehilangan seorang kekasih pujaan hati, bahkan
ditinggalkan seorang suami atau kekurangan uang bukanlah musibah yang paling
buruk, yang benarbenar menakutkan adalah tidak memiliki seorang pun yang cemburu
padamu. Aku menurunkan tubuh Orhan yang menghangat dari pangkuanku. Aku
memikirkan betapa seorang perempuan licik seperti aku harus menikahi seseorang
berjiwa baik, dan aku pun pergi menemui ayahku.
"Yang Mulia Sultan akan memberi Ayah hadiah, setelah beliau melihat sendiri
bukunya selesai," seruku. "Ayah akan pergi ke Venesia lagi."
"Aku tidak bisa memastikannya," sahut ayahku. "Pembunuhan ini telah membuatku
kacau. Musuhmusuh kita tampak cukup kuat."
"Aku juga tahu keadaanku telah mendorong mereka, menambah kesalahpahaman dan
mematikan harapanharapan."
"Apa maksudmu?"
"Aku seharusnya menikah sesegera mungkin."
"Apa?" tanya ayahku. "Dengan siapa" Tetapi, bukankah kau masih menikah" Dari
mana datangnya pikiran seperti ini?" tanyanya lagi. "Siapa yang akan melamarmu"
Bahkan andai kita menemukan kemungkinan yang masuk akal sekalipun," ujar ayahku
yang berakal sehat. "Aku ragu apakah kita akan mampu mendapatkannya. Tidak
seperti itu. Kau paham?" Ia lalu menyimpulkan keadaanku yang kurang
menguntungkan ini sebagai berikut, "Kau sadar bukan bahwa ada beban dan masalah
rumit yang harus kita tuntaskan sebelum kau bisa menikah lagi Selepas jeda yang
cukup panjang, ia kembali menambahkan, "Itukah sebabnya kauingin
meninggalkanku, putriku tersayang?"
"Tadi malam aku bermimpi suamiku sudah meninggal dunia," ujarku. Aku tidak
menangis seperti seorang perempuan pada umumnya yang bermimpi seperti itu.
"Seperti mereka yang tahu bagaimana membaca lukisan, orang juga harus tahu
bagaimana membaca mimpi."
"Apakah menurut Ayah aku layak menjabarkan mimpiku?"
Hening lagi. Kami saling melempar senyum, membuat dugaandugaan dengan
cepat sebagaimana yang dilakukan orangorang pintar semua kesimpulan yang ? ?paling memungkinkan dari masalah yang kami miliki.
"Dengan menerjemahkan mimpimu itu, aku mungkin akan merasa yakin dengan
kematiannya. Jangan lupa, ayah mertuamu, adik iparmu dan hakim, yang juga harus
ikut mendengarkannya, akan menuntut bukti-bukti lebih banyak."
"Dua tahun telah berlalu sejak aku pulang ke tempat ini bersama anakanak, dan
keluarga suamiku tidak pernah mampu memaksaku kembali bersama mereka
"Karena mereka menyadari bahwa prilaku buruk mereka sendirilah yang menjadi
alasannya," ujar ayahku. "Ini bukan berarti mereka akan bersedia meluluskan
keinginanmu untuk bercerai."
"Jika saja kita pengikut Imam Maliki atau Imam Ham-bali, hakim, dengan
mengetahui bahwa empat tahun sudah berlalu, akan meluluskan permintaan ceraiku
sebagai tambahan atas jaminan tunjangan hidup bagiku. Namun, karena kita adalah
penganut mazhab Imam Hanafi, pilihan semacam ini tidak terbuka untuk kita,"
ujarku. "Jangan sebut Hakim Uskudar penganut Imam Syafi'i itu."
"Semua perempuan Istanbul yang suaminya hilang di medan peperangan pergi
menghadap Hakim Uskudar dengan membawa saksi-saksi mereka untuk bias bercerai.
Karena ia penganut mazhab Syafi'i, ia hanya akan bertanya, 'Apakah suamimu
menghilang"' 'Sudah berapa lama suamimu menghilang"' 'Apakah kau mendapatkan
kesulitan membuat keputusan akhir"1 'Apakah mereka ini saksi saksimu"' dan
selepas itu ia akan langsung mengabulkan perceraian."
"Shekure, sayangku, siapa yang menanamkan pikiran seperti itu di kepalamu?"
tanyanya. "Siapa yang telah merenggut akal sehatmu?"
"Setelah aku bercerai untuk selamanya, jika ada seorang lakilaki yang sungguh
sungguh bisa menghilangkan akal sehatku, Ayah tentu akan memberitahuku siapa
orangnya, dan aku tidak akan pernah mempertanyakan keputusanmu dalam memilihkan
seorang suami untukku."
Ayahku yang cerdas, yang menyadari betapa putrinya
juga sepandai dirinya, mengerjapkan matanya. Ayahku akan mengerjapngerjap
seperti ini untuk tiga alasan: 1. Karena ia sedang dalam keadaan terdesak dan
pikirannya sedang berpacu melawan waktu untuk menemukan jalan keluar yang
cemerlang; 2. Karena ia sedang mengalami ketakberdayaan dan kepiluan; 3. Karena
ia sedang terdesak dan dengan cerdas ia akan menggabungkan alasan 1 dan 2 untuk
memberi kesan bahwa ia akan segera menjeritkan kesedihannya.
"Apakah kau akan membawa serta anakanak dan menelantarkan ayahmu yang sudah tua
ini" Sadarkah kau bahwa karena buku kita" ya, ia dengan tegas mengatakan "buku ?kita"-"aku takut dibunuh, tetapi kini mengingat kau akan mengambil anakanak dan
pergi dariku, aku justru akan menyambut datangnya kematian."
"Ayahku tercinta, bukankah Ayah yang selalu berkata bahwa hanya sebuah
perceraian yang bisa menyelamatkanku dari adik iparku yang tak berguna itu?"
"Aku tidak mau kau pergi meninggalkanku. Suatu hari suamimu mungkin saja akan
kembali. Bahkan, andai ia tidak kembali sekalipun, tidak ada salahnya kau
berstatus menikah selama kau tinggal di rumah ini bersama ayahmu."
?"Aku tidak menginginkan apa pun lagi, kecuali tinggal di rumah ini bersama
Ayah." "Sayang, bukankah kau baru saja mengatakan betapa kauingin menikah sesegera
mungkin?" Inilah jalan buntu yang kau dapat dengan berdebat dengan ayahmu: Selama
perdebatan itu berlangsung, kau juga akan teryakinkan bahwa kau memang bersalah.
"Aku sempat berpikir demikian," sahutku, sambil menatap lantai di depanku. Lalu,
seraya menahan curahan air mataku, serta dikuatkan oleh kebenaran yang terbersit di benakku, aku pun
berucap, "Baiklah, kalau begitu .... Apakah aku tidak akan pernah menikah lagi?"
"Ada sebuah tempat khusus di hatiku untuk seorang menantu yang tidak akan
menjauhkanmu dariku. Siapakah calonmu, apakah ia akan bersedia tinggal bersama
kita di rumah ini?" Aku terhenyak membisu. Kami berdua tahu, tentu saja, bahwa ayahku tidak akan
pernah menghargai seorang menantu yang bersedia tinggal di sini bersama kami,
dan secara bertahap ia akan mempermalukan dan menekan lakilaki itu. Sementara
ayah membuat siasat licik dan merendahkan lakilaki yang mau pindah bersama
keluarga mempelai perempuannya, aku juga akan segera merasa tidak ingin menjadi
istrinya lagi. "Tanpa restuku, dalam situasi yang kauhadapi, kau sadar bahwa menikah lagi
adalah sesuatu yang mustahil, bukan" Aku tidak ingin kau menikah lagi, dan aku
menolak memberimu restu untuk melakukannya-"
"Aku bukan ingin menikah lagi, aku menginginkan perceraian."
" karena beberapa lelaki bodoh yang biadab, yang hanya memikirkan ?kepentingannya sendiri, bisa melukaimu. Kautahu seberapa besar rasa sayangku
padamu, bukan, Shekure sayang" Lagi pula, kita harus menyelesaikan buku ini."
Aku tidak mengatakan apa pun, karena jika aku berbicara dipicu oleh setan yang
?menyadari kemunculan angkara murka di dalam hatiku aku akan berkata tepat di
?depan wajah ayahku bahwa aku tahu ia tidur dengan Hayriye di malam hari. Namun,
pantaskah seorang perempuan sepertiku mengakui bahwa dia tahu ayahnya
yang sudah uzur itu tidur dengan seorang gadis budak?"
"Siapakah yang ingin menikahimu?"
Aku menatap lantai di depanku dan berdiam diri, bukan karena malu, melainkan
karena membuncahnya amarah. Mengenali keberlanjutan amarahku tanpa mampu
menanggapinya dengan sikap apa pun, membuatku semakin mendidih. Di titik inilah
aku membayangkan ayahku dan Hayriye bergelut di atas ranjang dengan posisi
ganjil yang menjijikkan. Aku sudah akan menangis ketika berkata, "Ada zucchini
di atas kompor, aku tak ingin masakan itu hangus."
Aku melintasi ruangan di samping tangga, ruangan yang jendelanya selalu tertutup
dan menghadap ke sebuah sumur. Di tengah pekatnya malam, dengan cepat tanganku
menemukan kasur lipat yang tergulung. Aku membentangkannya dan berbaring. Oh,
betapa perasaan yang luar biasa menerpaku, berbaring dan jatuh tertidur dengan
air mata tercurah deras, seperti seorang anak yang menerima hukuman tanpa
melakukan kesalahan! Betapa pedihnya menyadari bahwa akulah satusatunya orang di
dunia ini yang menyukai diriku. Sambil menangis dalam kesendirian, hanya
kau yang bisa mendengar isakan dan ratapanku yang bias membantuku.
? ?Beberapa saat kemudian, aku menemukan Orhan menggeliat di atas ranjangku. Ia
meletakkan kepalanya di antara buah dadaku. Aku melihat betapa ia menarik napas
panjang dan ikut-ikutan menangis. Aku merengkuhnya semakin erat dalam pelukanku.
"Jangan menangis, Ibu," serunya kemudian. "Ayah akan kembali dari medan perang."
"Bagaimana kautahu itu?"
Ia tidak menyahut. Aku sangat mencintainya, dan
kudekap ia erat-erat di dadaku, hingga aku mampu melupakan kegundahanku
sepenuhnya. Sebelum aku memeluk Orhan yang lembut itu sekuat tenaga, lalu
tertidur lelap, izinkan aku mengakui satusatunya masalah yang meresahkanku: Aku
menyesal baru sekarang memberitahumu tentang apa yang terjadi antara ayahku dan
Hayriye. Tidak, aku tak berdusta, tetapi aku masih merasa malu, sehingga akan
lebih baik jika kau melupakan saja hal itu. Berpura-puralah aku tidak pernah
mengatakan apa pun tentang hal ini, seolaholah ayahku dan Hayriye tidak terlibat
di dalamnya. Kumohon padamu ....[]
ab 17 aku adalah pamanmu tercinta
ADUH, BETAPA sulitnya memiliki seorang anak perempuan, sulit sekali. Ketika dia
menangis di kamar sebelah, aku bisa mendengar sedu sedannya, tetapi aku tidak
bias melakukan apa-apa selain memandangi halamanhalaman buku yang kupegang. Di
sebuah halaman pada jilid pertama buku yang sedang coba kubaca, Kitab
Penyingkapan, tertulis di sana bahwa tiga hari setelah kematiannya, jiwa
seseorang akan menerima izin dari Allah untuk mengunjungi raga yang telah
ditinggalkannya. Saat melihat tubuhnya yang dalam keadaan menyedihkan; berlumur
darah, membusuk, mengering, dan membujur di kuburnya, jiwa itu akan meratap
dengan penuh kesedihan dan kepiluan, "Lihatlah, raga fanaku yang menyedihkan,
tubuh tuaku tersayang yang hancur." Seketika, aku memikirkan akhir hidup Elok
Effendi yang begitu pahit di dasar sebuah sumur, dan membayangkan betapa hancur
jiwanya saat ia mengunjungi raganya dan menemukan tubuhnya tidak berada di
kuburnya, melainkan di dalam sumur.
Saat sedu sedan Shekure mereda, aku mengesampingkan buku mengenai kematian itu.
Aku mengenakan sehelai baju dalam wol tambahan, melilitkan selendang wol tebalku
ke sekeliling pinggangku untuk
menghangatkan bagian diafragmaku, dan menarik garis pinggang celana sha!war-ku
yang berlapis bulu kelinci. Saat berjalan keluar rumah, aku bertemu Shevket di
ambang pintu. "Mau pergi ke mana, Kek?"
"Kau masuklah. Aku mau ke pemakaman."
Aku melewati jalanan berselimut salju, di antara rumahrumah kumuh yang berderet
di sana-sini, nyaris tak mampu berdiri tegak, dan melintasi wilayah yang hancur
dimakan api. Aku berjalan kaki cukup lama, melangkah dengan hatihati layaknya
seorang tua yang berupaya agar tidak sampai terpeleset dan terjatuh di atas es.
Aku menelusuri lingkungan perumahan yang jauh dari jalan raya, melewati kebun-
kebun dan ladang. Aku melintas di depan jajaran kedai di atas kereta dan roda,
pandai-pandai besi, toko-toko yang menjual keperluan berkuda dan tukang pasang
sepatu kuda, menuju dinding benteng kota.
Aku tidak yakin mengapa mereka memutuskan memulai upacara pemakaman begitu jauh
di Masjid Mihrimah dekat Gerbang Edirne. Di masjid, aku memeluk saudarasaudara
lelaki almarhum yang angkuh bercampur bingung, serta terlihat marah dan
emosional. Kami para miniaturis dan pembuat kaligrafi saling memeluk dan
menangis. Saat kami melaksanakan salat jenazah di tengah kabut kelabu yang tibatiba saja turun
dan menelan semuanya, pandanganku jatuh ke peti mayat yang diletakkan di altar
batu untuk pemakaman di masjid itu, dan aku merasakan sebentuk kemarahan
menyeruak di dalam dadaku terhadap penjahat yang telah melakukan kekejian ini.
Percayalah, bahkan doa "Semoga Allah Memberkati" pun menjadi kacau balau di
dalam benakku. Selepas salat, sementara para jemaah memanggul peti mati itu, aku masih berada
di antara para miniaturis dan penulis kaligrafi. Bangau dan aku sudah lupa bahwa
beberapa malam lalu, ketika kami duduk di tengah temaramnya cahaya lelampu
minyak, mengerjakan bukuku sampai pagi, ia berusaha meyakinkanku tentang
kekurangan-kekurangan hasil sepuhan Elok Effendi, dan kurang seimbangnya ia
dalam menggunakan warna ia mewarnai semuanya dengan biru laut agar terlihat ?lebih kaya! Kami berdua telah melupakan bahwa aku memujinya dengan menyatakan,
"Tetapi tak ada orang lain yang mampu membuat karya seperti ini," an saat
bertemu di masjid itu kami pun saling berpelukan, kembali tersedu sedan.
Kemudian, Zaitun memandangiku dengan akrab dan penuh hormat sebelum
memelukku orang yang tahu bagaimana caranya memeluk adalah orang yang baik dan
? ?bahasa tubuh seperti ini begitu menyenangkanku, hingga kauingat betapa di antara
semua seniman di bengkel kerja itu, ia adalah salah satu yang paling meyakini
bukuku. Di tangga gerbang masuk di halaman, aku menemukan diriku di samping Kepala
Iluminator, Tuan Osman. Kami berdua sudah kehabisan katakata, satu saat yang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amat ganjil dan menegangkan. Salah seorang saudara lakilaki almarhum mulai
menangis terisak, dan seseorang tibatiba mengucapkan takbir dengan lantang,
"Allahu Akbar Allah maha besar."
?"Ke pemakaman mana?" Tuan Osman bertanya padaku hanya untuk sekadar bertanya.
Untuk menanggapinya, kujawab, "Aku tak tahu," Dan tanggapanku ini entah mengapa
terkesan keji. Tanpa pikir panjang dan dengan mengesalkan, aku melontarkan
pertanyaan yang sama pada seorang lakilaki yang berdiri
di sampingku di tangga itu, "Ke pemakaman mana" Yang di Gerbang Edirne?"
"Di Eyiip," sahut pemuda tolol yang tampak kesal itu.
"Eyiip," kataku pada Tuan Osman, meskipun ia sudah mendengar langsung dari mulut
si tolol itu. Kemudian, ia memandangiku seakanakan sedang mengatakan, "Aku
paham" dengan cara yang membuatku tahu bahwa ia tidak menginginkan pertemuan
kami berlangsung lebih lama lagi.
Tanpa menyebutkan pengaruhku pada ketertarikan Sultan kami yang semakin besar
dalam lukisan bergaya kaum Frank, Tuan Osman tentu saja merasa terganggu dengan
kenyataan bahwa Sultan telah memerintahkanku mengawasi penulisan, penghiasan,
dan pemberian ilustrasi pada manuskrip yang dihiasi itu, yang sudah kunyatakan
sebagai "rahasia." Pada suatu kali, Sultan memaksa Tuan Osman untuk menyalin
lukisan potret dirinya yang sudah dipesannya dari seorang seniman Venesia. Aku
tahu Tuan Osman menganggapku bertanggung jawab atas titah yang dijatuhkan
padanya untuk membuat tiruan dari karya pelukis Venesia itu, untuk menciptakan
sebuah lukisan aneh yang ia lakukan dengan penuh rasa jijik, dan menganggap
pengalaman tersebut sebagai "siksaan." Kemarahannya itu cukup beralasan.
Berdiri di tengahtengah tangga selama beberapa waktu, aku menatap angkasa.
Ketika aku merasa yakin bahwa aku sudah cukup jauh tertinggal, aku melanjutkan
melangkah turun di atas anakanak tangga yang terselimuti es. Aku nyaris belum
turun tidak pernah aku melangkah sedemikian perlahan hingga dua langkah,
? ?ketika seorang lelaki menyambar lenganku dan memelukku: Hitam.
"Udaranya begitu membekukan," serunya. "Kau pasti kedinginan."
Sempat terbersit keraguan di kepalaku bahwa lelaki inilah yang telah mengacaukan
pikiran Shekure. Rasa percaya diri yang besar dengan menyambar tanganku cukup
menjadi bukti. Ada sesuatu dalam penampakan sikapnya yang menyatakan, "Aku telah
bekerja selama dua belas tahun dan sudah benarbenar dewasa." Saat kami sampai di
anak tangga terbawah, kukatakan padanya bahwa aku menantikan surat berisi
laporan tentang apa yang dipelajarinya di bengkel seni.
"Kau pergi duluan saja, Nak," kataku. "Pergilah dan bergabunglah dengan jemaah
lainnya." Ia tampak tersentak mundur, dan ia tidak berpurapura. Caranya melepaskan
lenganku dengan kebimbangan dan berjalan menjauh membuatku senang. Andai
kuberikan Shekure padanya, akankah ia setuju tinggal serumah bersamaku"
Kami akan meninggalkan kota ini lewat Gerbang Edirne. Aku melihat peti mati itu
perlahanlahan hilang dari pandangan dalam kabut bersama rombongan para
ilustrator, penulis kaligrafi dan para anak didik yang memanggulnya seraya
menuruni bukit itu dengan langkah cepat menuju Golden Horn. Mereka melangkah
sebegitu cepatnya, sehingga mereka telah melalui setengah perjalanan di jalan
berlumpur yang menuruni lembah tertutup salju menuju Eyiip. Di dalam gumpalan
kabut yang sunyi, di sisi kirinya, cerobong di bengkel pembuat lilin pemberian
Sultan Hanim menyemburkan asap. Di bawah bayangan dindingdinding terdapat
jajaran rumah penyamakan kulit dan rumah jagal yang amat sibuk oleh kerja keras
para tukang jagal keturunan Yunani di Eyiip.
Bau amis jeroan menyerbak dari tempat tempat ini ke seluruh lembah, dan terseret
angin mencapai kubahkubah Masjid Eyiip yang samar terlihat hingga komplek
pemakaman yang berpagar pohon cemara. Setelah berjalan sekian lama, aku
mendengar suara celoteh anakanak yang sedang bermain di perkampungan Yahudi baru
di Baiat. Ketika kami sampai di sebuah dataran tempat Eyiip berada, Kupukupu mendatangiku,
dan dengan sikap emosional yang biasa ditunjukkannya, ia tibatiba saja
mengemukakan masalahnya, "Zaitun dan Bangau adalah orangorang yang berada di
balik kekejaman ini," ujarnya. "Seperti juga semua orang lainnya, mereka tahu
aku memiliki hubungan yang buruk dengan almarhum, Mereka sadar semua orang
mengetahui hal ini. Ada kecemburuan di antara kami berdua, bahkan kebencian dan
pertentangan yang nyata terlihat, mengenai siapa yang berperan dalam memimpin
bengkel kerja seni, di bawah Tuan Osman. Kini mereka menjatuhkan vonis bersalah
ke bahuku agar Kepala Bendahara dan Sultan menjauh dariku tidak, dari kita."?"Siapakah 'kita' yang kaumaksud?"
"Kita yang percaya bahwa moralitas lama harus ditegakkan di dalam bengkel kerja,
bahwa kita harus mengikuti jalan yang dibentangkan oleh para empu Persia, bahwa
seorang seniman tidak boleh membuat ilustrasi adegan apa pun hanya demi uang. Di
tempat senjata, budak, bala tentara, dan taklukan bertebaran ini, kita meyakini
bahwa mitos-mitos lama, legenda dan dongengan harus dibangkitkan kembali di
dalam bukubuku kita. Kita tidak boleh melupakan teladan-teladan lama. Miniaturis
sejati seharusnya tidak boleh menganggur di kedaikedai di dalam pasar dan membuat gambargambar tua yang
melukiskan kecabulan, untuk beberapa kurus* tambahan dari sembarang orang. Yang
Mulia Sultan akan menganggap kita benar."
"Kau menuduh dirimu sendiri tanpa perasaan," ujarku agar ia menuntaskan
ocehannya. "Aku percaya sebuah bengkel seni tidak bisa menampung siapa pun yang
mampu melakukan kejahatan semacam itu. Kalian semua bersaudara. Bukan masalah
jika membuat ilustrasi beberapa hal yang belum pernah dilukis sebelumnya,
setidak-tidaknya tak ada bahaya yang sedemikian besarnya sehingga bias
menimbulkan tindakan keji."
Sebagaimana yang terjadi ketika untuk pertama kalinya aku mendengar berita buruk
itu, aku mengalami ketercengangan yang serupa. Pembunuh Elok Effendi adalah
salah satu empu utama di bengkel seni istana, dan pembunuh itu adalah salah
seorang yang tergabung dalam kerumunan di depanku, yang kini sedang menaiki
bukit menuju tempat pemakaman. Aku juga merasa yakin bahwa si pembunuh ini akan
terus melanjutkan aksi iblisnya. Ia adalah musuh bagi buku yang sedang kubuat
dan sangat mungkin ia akan mendatangi rumahku untuk mengambil beberapa ilustrasi
dan lukisanku. Apakah Kupukupu juga, seperti sebagian besar seniman yang sering
mengunjungi rumahku, jatuh cinta pada Shekure" Ketika ia membuat pernyataannya,
apakah ia melupakan saat-saat ketika aku menyuruhnya membuat lukisanlukisan yang
bertentangan dengan pandangannya, ataukah ia hanya memperdayaku dengan
sedemikian cerdiknya"
Tidak, aku merenungkannya lagi, ia tidak bisa
"Mata uang Turki yang nilainya seperseratus lira
memperdayaku. Kupukupu, sebagaimana para empu ilustrator lainnya, tentu saja
berutang banyak ungkapan terima kasih padaku: Dengan dihilangkannya pemberian
uang dan hadiah pada para miniaturis selama peperangan, dan kurangnya perhatian
dari Sultan kami, maka satusatunya sumber pendapatan tambahan untuk sementara
adalah apa yang mereka dapat dengan bekerja padaku. Aku sadar mereka saling
cemburu satu sama lain dalam mendapatkan perhatianku, dan dengan alasan
ini walaupun bukan hanya ini alasannya aku menemui mereka secara sendiri-? ?sendiri di rumahku, dan itu hampir bukan merupakan dasar permusuhan terhadapku.
Semua miniaturisku sudah cukup dewasa untuk berperilaku cerdas, untuk dengan
tulus menemukan sebuah alas an untuk mengagumi seorang lelaki kepada siapa
mereka berutang atas keuntungan yang mereka nikmati.
Untuk memecah keheningan dan meyakinkan diri bahwa masalah yang
diperbincangkannya tadi tak akan dikemukakan lagi, aku berkata, "Oh, semoga
keagungan-Nya tak akan pernah sirna! Mereka mampu mengangkat peti mati itu
menanjaki bukit secepat mereka membawanya menuruni bukit."
Kupukupu tersenyum manis dengan menunjukkan semua gigi depannya, "Karena hawa
dingin." Aku bimbang, bisakah ia yang sesungguhnya telah membunuh orang, misalnya saja
karena dengki" Mungkinkah ia akan membunuhku" Ia memiliki alasan berikut ini:
Lelaki ini sedang meremehkan agamaku. Tidak, tetapi ia adalah seorang empu yang
hebat, dengan bakat yang terpoles sempurna, mengapa ia harus merendahkan diri
dengan menjadi seorang pembunuh" Usia tidak hanya memperberat seseorang dalam
mendaki bukit, tetapi juga
mampu membuat orang tidak terlalu takut pada kematian. Menjadi tua hanya berarti
berkurangnya keinginan untuk menyelinap ke kamar tidur seorang gadis budak,
bukan karena kurangnya gairah, melainkan karena berkurangnya kebiasaan.
Mengikuti kata hati, kukatakan langsung di hadapannya keputusan yang kuambil,
"Aku tidak akan meneruskan pengerjakan buku itu lagi."
"Apa?" sahut Kupukupu, dan ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Ada semacam kesialan di dalamnya. Sultan kita telah menghentikan pendanaannya.
Coba kauberi tahu juga Zaitun dan Bangau,"
Mungkin ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi kami lalu hanya mendaki jalan di
pemakaman, bergerombol di tengah pepohonan cemara yang menjulang tinggi, pakis-
pakis, dan batu-batu nisan. Ketika gerombolan orang ini mengelilingi tepi liang
kubur, satusatunya petunjukku adalah jenazah yang saat itu sedang diturunkan ke
dalam liang lahat, diiringi tangisan dan sedu sedan yang terdengar semakin
nyaring, juga seruan bismillah dan a!a millati Rasulullah.
"Buka bagian wajahnya sepenuhnya," seru seseorang.
Mereka lalu membuka kain kafan putih itu, dan mereka pasti bertatapan langsung
dengan mata si mayat, jika masih ada mata yang tersisa di kepala yang hancur
itu. Aku berada di belakang dan tak bisa melihat apa pun. Aku pernah memandangi
Pendekar Lembah Naga 19 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Keturunan Pendekar 1