Pencarian

Pendekar Lembah Naga 19

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


tangan kosong. "Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak, akan
tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus
menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.
"Heiiitttt!!" Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya
itu. "Hiaaaaattt!" Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat
tenaga. "Hemm, menjemukan kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki
miringkan tubuhnya. "Plak! Plak!" Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak
kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak
mampu bergerak lagi. "Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku" Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Kouwnio... harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini
memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan
dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya
meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.
Kim Hong Liu-nio menoleh dan tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak
membela mereka" Majulah!"
"Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu
tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke
atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.
"Plakk!" Sebuah tangan menangkis tamparannya. "Aih, suci, jangan bunuh mereka!
Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa
benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata
diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin
Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."
Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh kedua
orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar
derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.
"Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu?" begitu memasuki ruangan, Kwan-
ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke
sini, pangeran?" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi
hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, "Dengan adanya lihiap dan
pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang
buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"
Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan. "Wah, celaka, Kwan-
ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri
semalam!" "Ahhh...?" Kwan-ciangkun berseru kaget.
"Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!"
kata Han Houw. "ORANG SHE KUI, ke mana larinya mereka?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat
Kui Hok Boan gelagapan. "Mereka... saya kernarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu
menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri
ke utara." "Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah Kwan-
ciangkun. "Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu
bodoh" Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya dua orang buronan
itu lari, Kwan-ciangkun?" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.
Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya
gugup. "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan
tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh,
mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."
"Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin
Liong amat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu
bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri
yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana
yang akan kauambil" Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui
selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa
pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kauambil"
Melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan
melalui barat berarti melalui daerah pegupungan dan hutan-hutan."
Wajah Kwan-ciangkun berseri. "Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke
barat!" Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau
tidak lekas mengejarnya?"
Perwira itu memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan aba-
aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah
barat. Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan
suara dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dulu
dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."
"Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk
menangkap mereka..." Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.
"Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos" Dua orang puterimu, bukan"
Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka,
maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!"
Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"
Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-
sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia
tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat
betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran
ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan
dua orang itu! "Ampunkan hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.
Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang
tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan. "Jangan
membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.
"Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin
Lin. Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan,
wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian
untuk melindungi ayah mereka.
Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua
orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah
merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji. "Ha-ha, sungguh mengherankan sekali
seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang
naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku
menghadapi mereka!" Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara
kembar itu, memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah
sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?"
"Akan kami bela sampai mati!" jawab Lan Lan tegas sambil meniandang pangeran itu
dengan mata bersinar penuh ketekadan.
"Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian
ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"
"Tidak sudi!" bentak Lin Lin marah.
"Lebih baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.
Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat,
suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga
belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi
sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini kembali
menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita
saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian,
kalian boleh membelanya!" Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu
menggertak hendak memuKui Kui Hok Boan.
Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin cepat menerjangnya dan menyerang dengan pedang
mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan
juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.
Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang
pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah
dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini
sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-
penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu.
Melihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan
rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biarpun
mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu,
memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang
ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan
mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.
Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat
hebat pula! Betapapun mereka menyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung
pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-
sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor
kelinci sebelum diterkamnya!
"Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak
akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu. Akan tetapi
ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar
itu, dan sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada
pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu
bergerak mendahului. "Tuk! Tukk!" Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang
dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang
pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka
hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh
tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan
mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya
mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka
kena dicium! "Lepaskan mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.
"Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang
masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak
jadi bergerak, mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak
kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan
tubuh lemas! "Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan
tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan dua
orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng
Han Houw. Mengertikah engkau?"
Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan
hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang
she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri
pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!
"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali
berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok
Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap! Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin
melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis
itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas
diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan
mengelus jenggotnya memandang kepada mereka. "Baik sekali nasib kita, terutama
sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran"
Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-
olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap
serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis! Kui
Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau
mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia
mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.
"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!"
tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.
Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. "Eh, kenapa?"
"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua
adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi
korban!" "Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila" Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi
isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan
besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan
disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui
kedua anak kembarku itu!"
Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan
tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!"
Siong Bu berseru. "Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng Sin.
Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan
urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku,
kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan
dapat menang melawan pangeran dan sucinya itu" Mereka adalah orang-orang sakti,
selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas
celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan
kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!"
Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan
yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam
dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya!
Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!
Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya
berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya
tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang
puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa
potong pakaian dan uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak. Lan Lan dan
Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan
sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh
ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan
mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut,
pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri
mereka! Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot!
Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga
kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari
pihak pangeran itu dan sucinya kalau sampai dia tidak dapat menemukan kembali
dua orang puteri mereka. "Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan
diri" Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum
berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.
Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat
mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka ber-
pencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui
Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram
membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.
Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan per-
tentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri
ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih
halus atau lebih mulia, seperti "demi kebahagiaan anak", demi kemajuan golongan,
demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan
"demi aku" yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!
Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA
cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena
demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah
disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya,
yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti
akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan,
kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang
kesengsaraan. Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau
selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-
olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua
orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa!
Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya"
Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti
Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua
seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman,
lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut
dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi
kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan
membenci anaknya! Inikah cinta kasih" Yang setiap saat berubah menjadi benci
kalau keinginannya dibantah" Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang
yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu
berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara"
Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta,
melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.
Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku,
menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang
muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal,
orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan
kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci,
dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang
dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang
tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang
tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya,
tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan
diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan,
kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti
acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah.
Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si
anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-
satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia,
benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam
kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian
orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti
kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-
orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan
terletak dalam kesemuanya itu.
*** "Eh, di manakah aku...?" Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa
dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong
melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi
biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan
sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.
"Di mana kita..." Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh
tuntutan. "Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari
memondongmu sampai ke sini, dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel
dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.
"Semalam suntuk dikejar-kejar orang" Dan aku terus kaupondong" Aih, sungguh luar
biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun" Padahal, biasanya biarpun aku sedang
tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi
sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!" Dara remaja itu
memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku masih merasa pening..."
"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat
bius." "Aku" Dibius" Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi" Bukankah kita tadinya
menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kaumaksudkan arak
itu mengandung obat bius?" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar
demikian tajamnya seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.
Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan
juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan
diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran
dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah
tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat
dia menangis atau tertawa!
"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat
bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak
semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau kubawa lari
sepanjang malam." "Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak
terbius?" Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat me-
nyembunyikan kepandaiannya" Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam! "Ah,
akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju
ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam
perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya
ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka,
aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan
selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu
sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."
"Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan
seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang ter-
bius, melainkan engkau."
"Eh" Kenapa begitu?"
"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu
kalau ada bahaya mengancam" Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat
berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."
Sin Liong tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."
"Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan,
engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."
Sin Liong memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!" Akan tetapi
sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya
semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal
itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.
"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong" Padahal dia
begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat
kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak
menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya,
sinar mata cabul! Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit
dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui
Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan
pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja,
memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya."
"Ah, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai
topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu
akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang
masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin
Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.
"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan
kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki kamarku lewat
jendela dan dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan
surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka
berdua membuka surat itu di tengah jalan dan tahulah mereka bahwa surat itu
berisi pemberitahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani
membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu
pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk
memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki
kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang
memancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."
"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin
suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi
sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Aku sendiripun tidak mengerti, semalam suntuk dua
hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."
"Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya
berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki
yang sulit. "Apa yang kau tahu" Bagaimana?"
"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang
yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka,
melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu,
maka mereka demikian baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya
girang karena ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya
gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.
"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang
curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.
Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa
kepandalan Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.
"Mana mungkin itu, Bi Cu" Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke
dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke
sini." "Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya" Di mana kita ini sekarang, dan hendak
pergi ke mana?" "Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku
lari menuju ke barat dan setelah tiba di sini, kita menyusuri pegunungan ini
membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang
ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."
"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan
pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu
itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"
"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang,
sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita." Sin Liong menjawab. "Mari
kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan
dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."
Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk
keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan
liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah
matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di
sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.
Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka
diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak
polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu. Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu
yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak
tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang jelas
sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka
di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan
menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua!
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas
Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari
itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan
karena, pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir!
Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu
berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.
"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan
bersungut-sungut. "Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah
beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah ada di sini
dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa
kau menyalahkan dia yang tidak berdosa" Lebih tepat menyalahkan kita yang meng-
ambil jalan sampai di sini."
Bi Cu makin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri
sendiripun apa gunanya" Sekarang ini bagaimana" Menyeberang sungai ini tanpa
perahu, sungguh tidak mungkin!"
"Heran mengapa ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.
"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa
berperahu di tempat berbahaya begini" Ikan-ikanpun tentu pada sembunyi, dan
tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu
telah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air
bah." "Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."
"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan
dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."
"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"
"Tentu saja!" "Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"
"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"
Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara
liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan
yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu,
seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin
menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.
"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"
"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia
tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tidak akan mampu menyeberanginya,
Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai,
tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."
Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang
menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah
perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu
nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan agar jangan terseret oleh
banjir, dan setiap perahu dicancang pada sebatang pohon. Giranglah hati mereka
berdua melihat ini dan dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri
sebuah rumah yang berada di barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun rumah
dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah
banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi
Cu mengeluarkan jerit tertahan.
"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggauta pasukan.
"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.
"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, menggandeng tangan gadis itu dan melarikan
diri menjauhi dusun. Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang
lebih kuat daripada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk
menyelamatkan diri mereka berdua.
"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar
derap kaki kuda yang ditunggangi para anggauta pasukan itu. Kini Bi Cu yang
berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.
Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin
kita berenang di air yang deras itu...?"
"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo
cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai!
Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu
menggerakkan kaki tangan melawan arus dan berusaha menarik pundak baju Sin
Liong. Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang tentara telah meloncat turun
dari atas punggung kuda mereka, memegang busur dan anak panah, lalu mereka
menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.
Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan
setiap anak panah yang menyambar tepat ke arah mereka, dapat diruntuhkannya
dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk.
Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.
"Ah... eh... jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku akan
menyelamatkanmu, Sin Liong...!" kata Bi Cu sambil terengah-engah dan menarik Sin
Liong makin ke tengah. Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sh, Liong merasakan hal ini
dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar daripada
bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja ketika ditarik oleh


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi Cu" Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya" Kalau dia
tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu melarikan diri dan
serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya.
Namun, kini telah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.
"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru
sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.
Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta
untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu
kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat, bergulingan dan
gelagapan! Sin Liong timbul kembali dan melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai.
Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah melakukan serangan, karena pemuda
itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim
Hong Liu-nio! "Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih dan akhirnya mereka dapat
saling berpegangan. "Jangan pergunakan anak panah! Tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw
berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa membunuh diri" Aku akan
menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kautangkaplah
tali ini!" Han Houw melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali,
ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong. "Tidak... jangan pegang... mereka akan
membunmu...!" Bi Cu membantah dan merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu
memegang ujung tali. Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga
terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-
mutar tali di atas kepalanya "Liong-te, kautangkap ujung tali, jangan khawatir,
aku akan melindungimu!"
Tali itu dilemparkan dengan amat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong
yang cepat menangkapnya. "Jangan, Sin Liong...!"
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia itu kakak angkatku, lebih baik kita di darat daripada
mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita dapat membela diri." Lalu
ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras
ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"
"Aku" Takut?" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"
Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, dan tangannya yang sebelah lagi
memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Tali itu kini ditarik
oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu
masih terbanting-banting dan terguling-guling. Setelah mereka tiba dalam jarak
tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan
membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka
pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang
tangan dengan dia! Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat
betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang dengan cekatan tadi telah
menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi
betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu
dan ditelikungnya ke belakang.
"Houw-ko... apa yang kaulakukan itu...?" bentaknya. Para anggauta pasukan segera
mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka,
menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum
dingin, agaknya wanita ini membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sutenya
yang juga merupakan junjungannya.
"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" katanya perlahan sambil
memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran dalam istana
Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.
Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Eh, suci, apa
kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta" Siapa yang berani
membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te"
Bukankah kita telah bersumpah sebagai kakak beradik?"
"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan
sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kaulepaskan Bi Cu."
"Nona ini" Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta
padanya, Liong-te..."
"Jangan bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong cepat memotong dan wajahnya berubah
merah sekali, sedangkan Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya,
akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat
baginya. "Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang,
dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar
hatimu, engkau akan berkobar seperti lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku
terpaksa menawan dia ini agar engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan.
Kalau engkau menyerah baik-baik, aku tidak akan mengganggu dia ini."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka kepada Han Houw dan dia percaya
kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai
watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama
seperti kalau membunuh ayam saja.
"Kau berjanji akan membebaskan dia?"
"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang
patut." "Permintaanmu yang patut?" Sin Liong tersenyum mengejek.
"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan
tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, kalau
engkau melawan, nona ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. "Merobohkan setan cilik ini apa sukarnya,
pangeran?" Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong dan tangan
kirinya bergerak cepat sekali. Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat
mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan
dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul
saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan
membiarkan dirinya ditotok. Begitu jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai
tubuhnya, robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tidak mampu menggerakkan kaki
tangannya. "Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan
belenggu baik-baik, juga nona ini!" Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan
diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula
oleh Han Houw. Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi
Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka
menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di
antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu.
Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam
sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan
di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw
duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak
mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa
dalam rumah itu agak panas, bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah
biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia
lalu memandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para
pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-
nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggalkan
ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya
itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia
pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw
seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa
tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apalagi di depan
para perajurit atau orang-orang lain.
Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia menghendaki,
agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu
yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang
bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya,
maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya
untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya.
Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia
sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan
tetapi bagaimana dengan Bi Cu" Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu
tertawan! Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas
sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu
memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa. "Ha-ha, sungguh tak kusangka kita
akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh!
Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!" Kembali pangeran itu
tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.
"Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal
seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan
bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," kata Sin Liong dengan suara dan sikap
dingin. Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya.
"Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te" Aku selalu baik kepadamu,
akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa
pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan
restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu
berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur" Bukan itu saja, malah
keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi
pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga
tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan
setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah,
katakan salah siapa semua ini?"
Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa
tidak perlu untuk menanggapi. "Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa
kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?" Dia tahu bahwa tentu Han Houw
ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan
sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.
"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah,
sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi
calon iparku" Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu
berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih
seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu" Ah, apakah tidak ada wanita lain
di dunia ini, Liong-te" Biarpun dia cantik manis, akan tetapi..."
"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan
karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku.
Kaubebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."
"Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran,
padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang
di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta
memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena
hendak kutukar dengan sesuatu darimu."
"Lekas kaukatakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?" Sin Liong membentak
marah. Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apakah engkau
telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat
saudara" Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"
"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"
"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sama
dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu" Nah, aku amat tertarik akan
kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka
menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, karena menurut pengakuanmu, engkau
adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat
kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang
ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat
itu" Kuharap engkau bersikap jujur!"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau
membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung
dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.
"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"
"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan
kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kaucinta."
Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk
berbantah tentang hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki
kegagahan untuk memegang janjimu." Ketika dulu melakukan perjalanan bersama
pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh
Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya
yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan
selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa
pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia
dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan
kini pangeran itu minta penjelasan.
"Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat
di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku,
akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku
sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah
kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau
melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."
"Hemm...!" Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan
keterangan yang memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang
menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya,
kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak
mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."
Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran
ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko.
Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu
akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai simpanan kitab-
kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu,
sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku
mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."
"Ahhh...! Begitukah?" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya kitab-kitab
itu?" "Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."
"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau
minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang
engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka
menerimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng
Hud-couw!" Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin,
Houw-ko!" Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah
kakak angkatmu sendiri" Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-
citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"
"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah
memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."
"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"
"Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai
suheng marah kepadaku?"
"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan
marah" Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan
memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"
"Eh, maksudmu?" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh
ancaman itu. "Mari kaulihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya
masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan
terbelenggu kaki tangannya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika
melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin
Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan
setengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit
saja, sedangkan kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang
punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan
sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.
"Houw-ko, apa yang hendak kaulakukan ini?" Sin Liong bertanya dengan wajah
mengandung kekhawatiran. Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah
terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu?" Sin Liong membentak.
"Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu
Sek!" "Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin Liong
memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.
"Kalau engkau menolak, terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan
matamu!" Sin Liong terbelalak. "Tidak, tidak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak
percaya, hanya gertak kosong belaka!"
"Gertak kosong, ya" Nah, kau boleh lihat!" Pangeran itu dengan senyum lalu
melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih
ke arah dada Bi Cu. Dara ini menjerit dan menggulingkan tubuhnya. Biarpun
tubuhnya masih setengah lumpuh, namun rasa takut mendatangkan tenaga tambahan
dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini
mengenai leher bajunya. "Breeetttt...!" Sekali renggut saja baju Bi Cu terobek berikut pakaian dalamnya
sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.
"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru
dan sekali renggut, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula
kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke
arah ubun-ubun kepala dara itu. "Kau maju, dia mati!" katanya tenang. Diam-diam
pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat
membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya.
Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak. "Aku sudah berjanji kepadamu
maka kaulepaskan gadis itu, Houw-ko!"
"Tidak, kau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil
diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."
"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya
dan sekarang kaulepaskan dia."
"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.
Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya! "Baik,
demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"
Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-
te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"
"Dan sekarang, kaubebaskan dia!"
Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian
untuk nona ini. Cepat!"
Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian
mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka
keluar lagi. "Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-
te. Aku menanti di luar."
Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam
kamar, sengaja menutupkan daun pintu, membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi
Cu di dalam kamar itu. Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu akan tetapi dia tidak tahu betapa
Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa
betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia
merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal dan dia dapat
menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua
pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan
punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.
"Apa yang kaujanjikan tadi, Sin Liong?" Bi Cu berbisik ketika dia sudah terlepas
dari ikatan dan kini memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya
bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak terobek. Dia tidak
perduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya
dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh
dari tempat ini." "Dan kau?" "Aku tidak dapat ikut pergi."
"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami malapetaka, kita senasib,
mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan
engkau di tangan mereka yang jahat" Tidak, kita harus lari berdua, atau mati
berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan
memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.
"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini
terkurung oleh pasukan. Engkau harus ambil jalan dari pintu, dan pergi biasa.
Mereka tidak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."
"Tapi..." Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela
dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri pasukan yang berbaris rapi dan
ketat, dengan senjata di tangan.
"Ihhh...!" Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar,
banyak pasukan menjaga di sana."
"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini
sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."
"Tapi..." Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda
itu. "Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"
Sin Liong tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, kau pergilah dan
hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, jangan mencari
permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari
kuantar kau keluar."
Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw telah menanti di luar.
Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan kedua
pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut. "Nona,
harap kaumaafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah aku tetap
menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."
"HOUW-KO! Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah. Pangeran itu
hanya tersenyum dan mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu
melihat bahwa di situ banyak sekali perajurit yang telah mengepung rumah
sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.
"Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik
ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.
"Tapi... tapi engkau..." Bi Cu berkata lirih.
"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."
"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta,
betapa mengharukan!" kata Han Houw.
Hampir saja Sin Liong lupa diri dan kedua tangannya sudah terkepal. Dia
mendengar gerakan di sebelah kiri dan tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio sudah
siap untuk menerjang apabila dia menyerang sang pangeran.
"Houw-ko, engkau harus berjanji dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan
mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimanapun aku tidak
akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"
Melihat sikap pemuda ini dan mendengar suaranya yang keras dan mengandung
ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan
penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak buahku tidak akan mengganggu
nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua perajurit. Barulah
lega hati Sin Liong mendengar ini.
"Nah, pergilah, Bi Cu."
Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian
dia mengangguk dan berlari dari situ melalui jalan di mana berbaris pasukan di
kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok,
melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandang matanya, dan di
sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang lihai itu.
Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lenyap dari
pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega.
Yang penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah
hatinya lega. "Nah, kapan kita berangkat ke selatan?" tanyanya kepada Han Houw.
"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding
dengan suci." Sin Liong tidak perduli lagi dan memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari
jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia telah berjanji
dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suhengnya itu.
*** Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan
tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima
oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda
ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik. Memang, semenjak para
thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak
Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah
seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa
menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai
pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para
puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih
hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.
Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di
istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini
merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan
wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa
untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap
kaisar tanpa dipanggil! Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti
telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya
jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh
cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri,
menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang
telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak
dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di
tangan Lie Seng! Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat
besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia
diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian
kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam
hatinya. Kalau dahulu bersikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan
dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih
sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee
Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali. Sikap dan pandang matanya
terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria
muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat
besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, mem-
buatnya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang pria! Pada-
hal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan seorang
dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang
wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan
mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong mengatakan bahwa
dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah
demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan
sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang
ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda,
kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani
dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang
yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut "maju", "mulia", senang, bahagia
dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah
mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang
dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta
benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan
perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekali-
pun, disebut "maju" kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian
diukur dari dasar harta benda!
Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup
bahagia kalau sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda" Berbahagiakah
manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi" Berbahagiakah manusia kalau sudah
memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya,
dan sebagainya lagi itu" Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan
tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah
lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak
demikian! Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, harta benda,
nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap
kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu
kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber
kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya!
Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan
nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya,
kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yang belum memilikinya
hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan
dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu
segi susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan
hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar
kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah
merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat
dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa
kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang
nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga
miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan!
Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu,
menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya" Tentu saja tidak!
Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam
pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan!
Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa
semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan
berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan,
menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita! Pengertian
inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki
harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan
mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak
abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.
Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu,
tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati
sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam
batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan
tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!
Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita
lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang
putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga!
Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka
muncullah duka. Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan
tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa
kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak
mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini"
Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa
penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka,
menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!
Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang
tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah
rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian
dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali
kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahah diri dan menanti saat
yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu,
wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan
mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan
matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya
yang merdu merayu! Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali kaisar, memang pada
umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali
kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum
pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber
kebanggaan. Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja
kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka
hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi
sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda
yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau
hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa
kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan,
amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya,
menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini
muda! Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir
kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi
dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap
orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang
kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar dan kehidupan
di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan
kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-
kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu
saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang
kehidupan yang amat mulia itu.
Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah mengalirnya perkembangan
kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas
sampai ke seluruh dunia! Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan
belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja
dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-
dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu
suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan
pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang
cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek
kepada sang kaisar muda. Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan
merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan
apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar
ratusan atau ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu
berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para
puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi haremnya,
untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman
maupun di dalam kamar tidurnya.
Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini dilaporkan
oleh pengawal kepada kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan
ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di
tepi kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya
sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling,
melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi
romantis sekali. Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat memberi tahu
kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan
dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat
kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu
mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang
dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi
dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!
Biasanya kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah
perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia
menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik
kewanitaannya, melainkan sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan
kokoh kuat di balik kecantikannya.
Akan tetapi ketika itu dia belum begitu "matang" dalam penilaiannya terhadap
wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika
melihat Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat
itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh
perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang
disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah
dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai,
pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang
begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan
kemesraan. Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini
bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita
penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga
seorang wanita cantik yang memiliki kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan
bentuk tubuh yang menggairahkan! Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio lalu memberi
hormat, berlutut dan berkata, "Perkenankanlah hamba membicarakan sesuatu dengan
paduka tanpa didengar oleh orang lain."
Kaisar Ceng Hwa tersenyum dan matanya tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh
wanita yang berlutut di depannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan
berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat
kepada para selirnya untuk meninggalkan taman. Para selir itu tidak berani
membantah, dengan sikap hormat mereka lalu meninggalkan taman, berlari-lari
kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau
semerbak harum. Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar
taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak
kaubicarakan?" Kaisar berkata halus.
"Ampunkan hamba yang berani minta untuk bicara empat mata dengan paduka, akan
tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang
amat berbahaya, maka amat tidak baik kalau sampai terdengar orang lain. Hamba
hendak membicarakan tentang empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri
baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap
In Hong." "Oohh, tentang mereka?" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik. Tentu saja
dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan
pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan
tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan
soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja"
Kalau yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya
menjadi lain. Dia lebih tertarik memandang ke arah dada yang menonjolkan dua
bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu
bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis
bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut
kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.
Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita
ini melihat kesempatan baik sekali dan dia lalu menangis dalam keadaaan masih
berlutut dan tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan
bagian atas tubuhnya sehingga kaisar yang duduk itu dapat melihat dari atas
melalui celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang
membusung. "Ah, kenapa kau menangis, lihiap?" Kaisar itu terkejut juga karena
sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa
ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini,
apalagi melihat celah baju bagian atas itu.
"Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di
tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa
berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."
Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya
hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa
"ada main" antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia
pura-pura kaget dan bertanya, "Ah, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang
Lee-ciangkun?" Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama
sekali bukan karena malu atau jengah, melainkan karena pengerahan sin-kangnya
yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat
dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi. "Belum, sri
baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia telah menjanjikan hal itu kepada
hamba..." Biarpun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-
malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.
Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis,
lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."
Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena
tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu
berhasil agaknya! "Hamba... hamba mana berani...?"
"Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani" Ke sinilah!"
"Ba... baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat
dan dengan kedua kaki jelas nampak gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar,
sampai dekat sekali. Kaisar lalu memegang tangan wanita itu dan menariknya duduk
di atas bangku bertilamkan kasur dan beledu lembut itu. Kaisar merasa betapa
tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang amat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik,
apalagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.
"Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap..." bisik kaisar.
"Aihhh... sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-
takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau. Kaisar makin tertarik, dia
meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium
mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar
melepaskan ciumannya dan terbelalak. Belum pernah selama dia mengenal wanita dia
merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan
penuh api menggelora, juga dia merasakan getaran yang menggoncangkan jantungnya.
Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan
wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para
selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam merekapun merasa heran
mengapa kaisar kini bersikap demikian mesra dengan pendekar wanita itu! Namun,
tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu
berlutut membiarkan mereka berdua lewat, dan para pengawal yang terdiri dari
orang-orang kebiri karena mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu
juga menunduk saja dengan sikap tegak.
Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai
kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat
hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sin-
kangnya yang amat kuat, mudah bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar
muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, biarpun usianya sudah tiga
puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya
belum ada dua puluh tahun itu. Dan semenjak hari itu, Kim Hong Liu-nio
memperoleh ijin dari kaisar, untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan untuk
mengejar-ngejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang
menjadi buronan itu. Bahkan dia menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana
mereka itu bersembunyi. Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa musuh-musuhnya itu memiliki
kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang
menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan apabila tempat sembunyi para
pemberontak itu sudah dapat ditemukan.
Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia tidak
berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat
muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tidak mungkin dia akan dapat
terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya. Maka setelah dia berbasil
memperoleh kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan mempergunakan pasukan untuk
menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah puas dan hanya
kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Namun wanita
ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada
para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para
selir muda itu. Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, kakak tiri dari kaisar muda
itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung
Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia.
Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang
dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap
pemerintahan. Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang
merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai.
Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar
yang setia kepada kaisar. Mereka tahu pula bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara
Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang
kepercayaan raja liar Sabutai! Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri
yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar
agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja
menjadi mata-mata Raja Sabutai dan yang kelak hanya akan merugikan kerajaan
sendiri. "Ah, dia adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah, bahkan pernah
menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk" Pula, dia minta
pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan
telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?" demikian antara lain
kaisar membantah dan Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapapun juga,
peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini
jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.
*** Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan
namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi menjelang
tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga
mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu
beterbangan di sekitar bunga-bunga, menggelepar-geleparkan sayap yang beraneka
warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-
macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya gesit sekali terbang
menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.
Terdapat dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh
pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat
tinggal sementara, atau tempat bersembunyi dari dua pasang suami isteri kakak
beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap
In Hong! Semenjak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka
ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah
dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus
dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-
hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini. Sudah dua bulan mereka tinggal
di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan
keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini telah mengandung
lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun sudah belasan
tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar
itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini
selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya
suami isteri. Kemudian, setelah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka
menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan memperoleh restu dari kakek
Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dia
dengan kekerasan hatinya telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya.
Barulah mereka menjadi suami ister! dalam arti yang sebenarnya, dan baru
sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan
mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh
Lee Siang yang ingin memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!
Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar
Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok
mereka itu. Untuk menghindarkan banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang
pendekar ini menanam sayur-sayur sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari
mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup
hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh dan beberapa keperluan
lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging
binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu.
Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak
muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga
puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, walaupun ada bayangan kekhawatiran
membayang di wajahnya yang tampan. Tentu saja pendekar ini merasa gelisah kalau
mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi
buronan seperti itu. Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang,
kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah
oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke situ,
melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat. Tentu saja dua orang
pendekar ini menjadi curiga karena walaupun orang itu berpakaian petani, namun
cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang
ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung ke-
kuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka
dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar inipun meninggalkan
cangkul mereka di atas ladang, kemudlan berlari mengejar. Tentu saja mereka
tidak begitu khawatir karena isteri mereka bukanlah orang-orang lemah, apalagi
yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.
Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah
pondok itu, dia sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap!
Harap lekas keluar!"
Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu
yang tadi sudah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada
saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.
"Siapakah engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus namun
penuh wibawa. Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah
bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang
wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura
dengan hormat. "Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan
ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini
juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi
lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."
Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju
orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan
gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat
yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat
terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut
orang itu agar jangan membohong. "Siapa engkau?"
Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak
mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek." jawabnya cepat.
"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal
kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi
taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi.
Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung
Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim
Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi
karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini
telah mereka ketahui."
Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu
minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan
selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran
Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu menceritakan secara singkat tentang diri
Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar
mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa
Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk
mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan
menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua dan akhirnya
mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu
agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.
"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan
Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak
berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari sri
baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat
orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat
nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.
"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata
Cia Bun Houw. Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi
berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat,
dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi
taihiap!" Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu
meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng
melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata
keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.
Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan
di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata
dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan
menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap
menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemudian para mata-mata
ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang
lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!
*** Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu,
dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa
gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-
ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia
mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi
penyebab dari kedukaan kong-kongnya.
Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam
kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di
antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali
tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-
ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh
ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah
menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang
pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan
adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya
pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.
Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-
jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat
sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang
ribut mulut. Dia tidak mengenal empat orang itut namun amat tertarik karena
melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini
dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ
terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap
orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut
dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.
Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah
adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang
tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat
dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang
kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua
yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan
tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali
karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh
atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya.
Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-
ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong
Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di
selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut
Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan
tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh
Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan
seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang
kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi
bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!
Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan
dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-
ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam
pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang
tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-
pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi
mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-
thouw-pang ini" Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik,
menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-
ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong
Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal
lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan
kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua
perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-
masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan
manakah ini?" Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa
mengejek dan berkata, "Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam
itu" Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah
peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami
telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah
kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan
keputusan kami inilah peraturan baru!"
Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah
cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan
kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima
seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tentu kami akan berusaha
memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."
"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu
gugat dan ditawar-tawar lagi" Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami
sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."
"Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?"
bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah
tergetar dalam genggaman tangannya.
"Heh-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek,
tertawa mengejek. "Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan.
Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana
dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang
Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"
"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau
membayar uang paksa, kalian mau apa!" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak
keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.
"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!" kata Hai-liong-ong
(Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari
dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.
Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh
kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala
lawan. Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang
amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong
Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi,
maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal
kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke
belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang
dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan
tangan kiri menangkis. "Ting-ting-cringgg...!" Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang
terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh
wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-
ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban
maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan
menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena
Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan
itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk
membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu,
tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-
tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-
kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat,
membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka
cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.
"Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!" Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya
besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia
menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan
jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya
melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan
lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai
beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat
bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-
Suling Emas 5 Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah Imam Tanpa Bayangan 8
^